Tesis - Universitas Muhammadiyah Makassar

139
MAKNA SIMBOLIK DALAM TEKS RITUAL MAGGIRI PADA PESTA ADAT KOMUNITAS BISSU DI KABUPATEN PANGKEP (Strukturalisme Levi-Strauss) The Simbolik of Ritual Text Maggiri on the Feast of Indigenous Communities Bissu in Pangkep (Structuralism Levi-Strauss) Tesis IRAWATI NIM 04.08. 924.2013 PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2015

Transcript of Tesis - Universitas Muhammadiyah Makassar

MAKNA SIMBOLIK DALAM TEKS RITUAL MAGGIRI PADA PESTAADAT KOMUNITAS BISSU DI KABUPATEN PANGKEP

(Strukturalisme Levi-Strauss)

The Simbolik of Ritual Text Maggiri on the Feast of IndigenousCommunities Bissu in Pangkep (Structuralism Levi-Strauss)

Tesis

IRAWATINIM 04.08. 924.2013

PROGRAM PASCASARJANAPENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2015

MOTTO DAN PERSEMBAHANMotto

Memulai dengan penuh keyakinan,

Menjalankan dengan penuh keikhlasan,

Menyelesaikan dengan penuh kebahagiaan.

Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan.

Karena itu bila kau sudah selesai (mengerjakan yang lain).

Dan berharaplah kepada Tuhanmu. (Q.S Al Insyirah: 6-8)

Jadilah seperti karang di lautan yang selalu kuat meskipun terus

dihantam ombak dan lakukanlah hal yang bermanfaat untuk diri sendiri

dan juga untuk orang lain, karena hidup hanyalah sekali. Ingat hanyalah

kepada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat

meminta dan memohon.

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karyaku ini untuk suami dan anak-anakku tercinta:

1. A. Ari Festiyanto, Sp (suami)

2. Ferry Erlangga Reynaldi (anak)

3. Kesya Yumna Salsabila (anak)

4. Ahmad Nabil Fadhilah (anak)

5. Syafiq Khairy Nasywan (anak)

ABSTRAK

Irawati, 2015. Makna Simbolik dalam Teks Ritual Maggiri pada Pesta AdatKomunitas Bissu di Kabupaten Pangkep (Strukturalisme Levi-Strauss)dibimbing oleh Abd Rahman Rahim dan Sitti Aida Azis. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan bentukpenelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah data verbal dannonverbal. Alat pengumpul data utama dalam penelitian ini adalah penelitisendiri sebagai instrumen kunci. Selan itu, peneliti juga menggunakankeabsahan data sebagai ketekunan peneliti, triangulasi dan diskusi temansejawat. Tujuan penelitian ini adalah 1). memberikan kejelasan apakah yangterkandung dalam acara ritual maggiri pada pesta adat komunitas bissu, 2)menggambarkan bagaimanakah persepsi masyarakat Segeri terhadapkeberadaan komunitas Bissu di Kecamatan Segeri. Hasil temuan dalampenelitian ini adalah makna simbolik yang terdapat dalam ritual maggiriadalah 1). Simbol kesempurnaan bissu berupa ota sakke yang di dalamnyaterdiri atas ota atau siri’, kapur, tembakau dan pinang. 2) sesajen adalahsimbol dari status sosial, kesempurnaan agama Tuhan, dan hari-hari yangada dalam setiap minggunya, kue dua belas macam adalah simbolkebahagian yang selalu menjadi harapan akan terulang kembali danpembauran suku Bugis dengan suku lainnya, yang menandakan bahwamanusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri, 3) pakaian adalahsimbol bahwa manusia harus menutup auratnya mulai dari kepala hinggamata kaki sebagai makhluk yang paling mulia di bumi ini. 4) mantera ataupunnyanyian adalah lantunan seorang hamba kepada sang pencipta tentang darimana manusia berasal dan bagaimana harus hidup secara beradab dan tidakboleh sombong, karena sesungguhnya kesombongan hanya akanmenghancurkan manusia melalui azab yang diturunkan oleh Sang Pencipta.

Kata kunci: ota sakke, sesajen, pakaian, dan mantera-mantera

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, yang

telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula penulis kirimkan salawat dan taslim

kepada junjungan Nabi Besar Nabiyullah Nabi Muhammad saw, yang telah

membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang

seperti sekarang ini, penulisan tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu

persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister

Pendidikan pada Perguruan Tinggi Universitas Muhammadiyah Makassar.

Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada yang terhormat:

Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. Ketua Program Magister Pendidikan

Bahasa Indonesia, dan juga sebagai pembimbing dalam penulisan tesis ini.

Dr. Sitti Aida Azis, M.Pd. Pembimbing yang di dalam berbagai kesibukan

dapat menyempatkan diri membimbing dan mengarahkan serta memberi

petunjuk dan saran yang sangat berharga dalam penulisan tesis ini.

Prof. Dr. H. M. Ide Said D. M., M.Pd. Direktur Program Pascasarjana

Universitas Muhammadiyah Makassar.

Pengelola, Dosen Pengajar dan Staf Sekretariat Magister Bahasa Indonesia,

yang teiah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

Suami dan anak-anakku yang telah memberikan semangat kepada penulis,

dan Semua pihak yang telah membantu dan terlibat dalam penyelesaian tesis

ini.

Semoga Allah swt senantiasa memberikan berkat dan anugrah-Nya

berlimpah bagi beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari dalam tesis ini

terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu semua saran dan kritik penulis

terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya

harapan penulis, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, Amin ya

Rabbal alamin.

Makassar, Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................... i

HALAMANPENGESAHAN....................................................................... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ...................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................... iv

ABSTRACK.............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................. vii

BAB I. PENDAHULUAN....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................... 13

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 13

D. Manfaat Penelitian ............................................................... 13

BAB II. KAJIAN PUSTAKA.................................................................... 16

A. Tinjauan Pustaka ................................................................ 16

B. Penelitian yang Relevan ...................................................... 39

C. Kerangka Pikir ..................................................................... 44

BAB III. METODE PENELITIAN............................................................. 45

A. Pendekatan Penelitian.......................................................... 45

B. Lokasi Penelitian................................................................... 45

C. Unit Analisis dan Penentuan Instrumen................................ 46

D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 46

E. Teknik Analisis Data ................................................................. 46

F. Triangulasi Data........................................................................ 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 50

A. Hasil Penelitian ......................................................................... 50

B. Pembahasan............................................................................. 97

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 104

A. Simpulan................................................................................... 104

B. Saran ........................................................................................ 105

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 107

LAMPIRAN............................................................................................... 109

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Dengan penuh kesadaran, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : IRAWATI

NIM : 04.08.924.2013

Prog. Studi : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

Judul tesis : MAKNA SIMBOLIK DALAM TEKS RITUALMAGGIRI PADA PESTA ADAT KOMUNITAS BISSUDI KABUPATEN PANGKEP (Strukturalisme Levi-Strauss)

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar

merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan

atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat

dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain,

saya bersedia menerima sangsi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Oktober 2015

Yang menyatakan

IRAWATI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai suku dan

budaya yang terletak di seluruh pelosok negeri. Keberagaman suku

dan budaya merupakan ciri khas dan kebanggaan tersendiri bagi

rakyat Indonesia. Semua suku menyimpan mutiara kearifan lokal

dengan simbol- simbol dan keunikannya masing- masing. kejujuran,

keberanian, rendah hati, motivasi, pantang menyerah, harga diri,

pemimpin yang bijak, malu untuk korupsi, adalah sebagian kecil dari

filosofi hidup yang terkandung dalam nilai- nilai kearifan lokal. Sebuah

nilai yang dapat membentengi Indonesia dari paham- paham global

(Darmaputra, 2014: 5).

Tercipta dan terwujudnya suatu kebudayaan adalah hasil

interaksi antara manusia dengan segala isi alam raya ini. Manusia

yang telah dilengkapi Tuhan dengan akal pikirannya menjadikan

manusia sebagai khalifah di muka bumi ini dan diberikan kemampuan

daya antara lain akal, inteligensi, intuisi, kemauan, fantasi, dan

perilaku (Setiadi, 2005: 36)

Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang ada di

Indonesia yang mempunyai kebudayaan dan komunitas yang unik,

yaitu Pakbissu=pbiisu yang terletak di Kabupaten Pangkajene dan

Kepulauan tepatnya di Kecamatan Segeri. Kabupaten Pangkajene

2

terdapat dua suku yang sangat dominan yaitu suku Bugis dan

Makassar.

Pangkajene berasal dari dua kata yang disatukan, yakni

Pangka=pnk yang berarti cabang dan Je’ne=ejen yang berarti air,

sedangkan kata Segeri=sEEgEri berasal dari kata Sigere-

gere=siEEgErE-sigErE (Bugis : saling membunuh). Dugaan ini

dilatarbelakangi terjadinya peristiwa pertumpahan darah di daerah

pada masa lampau, karena daerah itu menjadi tempat bertemunya

dua orang atau dua kelompok yang sama-sama mempertaruhkan

siriknya=siriny (harga dirinya) yang harus terbalaskan (terbayar)

setelah pertumpahan darah terjadi sebagai tumbalnya.

Dugaan kedua, daerah yang sekarang bernama Segeri=sEegri

itu awalnya adalah merupakan wilayah Kerajaan Siang, yang

diperebutkan oleh Gowa dan Bone untuk dijadikan wanua

palili=wnua plili (negeri bawahan) .

Perseteruan wilayah itu kemudian melahirkan konflik berdarah

pertempuran antara laskar Gowa dan Bone, saling membunuh untuk

memperebutkan wilayah itu. Dalam sejarah memang diketahui bahwa

Segeri pernah menjadi wanua palili (negeri bawahan) Bone, dalam

periode yang lain Segeri juga pernah menjadi wanua palili (negeri

bawahan) Gowa (Makkulau, 2006). Namun, ada pula yang

mengatakan bahwa kata Segeri=sEgEri berasal dari kata Sigegeri=

siegegri (Makassar : geger ; ribut diiringi tawa terbahak- bahak ;

saling melampiaskan rasa senangnya ; ramai), namun kurang

3

mendapatkan konfirmasi sosial karena fakta di lapangan

menunjukkan bahwa masyarakat Segeri=sEegri adalah masyarakat

berpenutur bahasa Bugis. (dari berbagai sumber: Makkulau, 2006) di

tempat inilah komunitas Bissu berada.

Bissu=bisu merupakan kaum pendeta yang tidak mempunyai

gender. Sebutan bissu=bisu berdasarkan keberadaan mereka di luar

batas gender, yakni bukan laki-laki pun bukan kaum perempuan.

Dikatakan di luar batas gender karena bissu tidak dianggap banci

atau waria.

Kata waria dalam bahasa Bugis disebut calabai=clbi, berasal

dari kata sala bai=sl bmi atau sala baine=slbien. Disebut demikian

karena terlahir sebagai pria, tetapi bertingkah laku seperti perempuan.

Dalam budaya Bugis kuno (pra-Islam), waria, wandu, banci

(calabai) punya kedudukan terhormat sebagai penyambung lidah raja

dan rakyat, penghubung antara raja dengan para dewa.

Kala itu, setiap ranreng=rnrE(wilayah) atau semacam wilayah

adat memilki komunitas bissu. Pada setiap upacara adat akan

dilaksanakan maka diharapkan hadir empat puluh bissu yang disebut

Bissu PatappuloE=bisu ptpuloea (empat puluh bissu). Menurut

Gilbert A Hamonic (dalam Makkulau, 2008) agama bissu mula-mula

lahir dari upacara dan kepercayaan rakyat yang sangat kuno. Dalam

perjalanan masa, kepercayaan orang biasa itu diubah oleh beberapa

pengaruh tradisi lainnya---termasuk tradisi Hindu dan Budha---lalu

diterima oleh kalangan bangsawan.

4

Sebagai “orang suci” bissu atau pendeta agama Bugis kuno,

bissu mendapat perlakuan yang sangat istimewa oleh istana

kerajaan.

Bissu dalam bahasa Bugis diambil dari kata bessi= bEsi yang

berarti bersih. Mereka disebut bissu karena tidak berdarah, suci

(tidak kotor), dan tidak haid. Selain laki-laki yang bersifat feminim ada

pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah

mengalami masa tidak subur lagi atau manopaus. Panggilan spiritual

menjadi bissu yang kemudian mengangkat derajat mereka menjadi,

bukan sekadar waria biasa. (Intisari, 2005 dalam Makkulau, 2007).

Pakaian yang digunakan oleh komunitas bissu berbeda

dengan pakaian laki-laki pada umumnya namun mereka juga tidak

memakai pakaian waria atau banci. Akan tetapi, mereka memiliki

pakaian sendiri sesuai dengan komunitas mereka.

Dalam kitab I La Galigo diuraikan bahwa setelah Batara Guru

diturunkan dari langit (dunia atas) ke bumi (dunia tengah) untuk

mengisi kekosongan bumi, menyusul diturunkan oleh istana yaitu selir,

saudara sesusuan, dan inang pengasuh, orang banyak beserta

rumah, gelanggang pohon wodi, dan pohon asam tempat bersantain.

We Nyillik Timo dimunculkan dari dunia bawah untuk menjadi

permaisurinya. Demikian pula diturunkan bissu yang bernama We

Sawammega dan rombongannya di Lenteriwu, di lereng Gunung

Latimojong. (Kompas, 2004 dalam Makkulau, 2008 ).

5

Diturunkannya We Sawammega ini atas usul Datu PatotoE’

kepada permaisurinya. Dari sinilah diyakini tradisi bissu berawal dan

menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

We Sawammega diminta oleh Batara Guru dan isterinya agar

memohonkan keduanya kepada dewa agar memperoleh putera

mahkota. Maka, We Sawammega pergi tidur selama tujuh malam.

Dalam tidurnya (We Sawammega) merasakan dirinya naik ke langit

dan turun ke dunia bawah, memohonkan kehendak Batara Guru dan

isterinya. Setelah sadar dari tidurnya, We Sawammega

menyampaikan bahwa sudah dekat masanya We Nyilik Timo tidak

haid lagi, dan kelak akan melahirkan seorang anak laki-laki.

(Kompas,2004 dalam Makkulau 2008).

Menurut mitos dalam sureq Galigo, Batara Guru turun dan keluar

dari sebatang bambu. Keterasingan Batara Guru yang berasal dari

botting langi (dunia atas) terobati dengan pertemuan We Nyilik Timo

dari bori liung (dunia bawah) keduanya bertemu dan hidup secara

turun temurun di ale kawa (dunia tengah). Dari sinilah diyakini tradisi

bissu berawal dan menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan

(Makkulau, 2005)

Bissu mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti

upacara kehamilan (Bugis= maccerak wettang=mecr wEt),

kelahiran (Bugis= massuke lolo=msuek lolo), perkawinan

(Bugis=mappabotting=mpboti), kematian (Bugis=madduppa

wenni=mdup wEni), pelepasan nazar (Bugis=mappaleppe

6

tinja=mlEpE tij), persembahan tolak bala (Bugis=mattola bala=mtol

bl), dan lain-lain. Dalam surek Galigo termaktub, bahasa bissu

disebut juga “bahasa dewa” dalam pelaksaanaan upacaranya.

Religi orang Bugis Makassar, pada masa pra Islam sudah

menganut suatu kepercayaan pada suatu dewa (Tuhan) yang

tunggal, yang disebut dengan beberapa nama, seperti:

Patotoe=ptotoea (Dia yang menentukan nasib), Dewata

SeuwaE=edwt sEwea (Dewa yang tunggal), dan Turi Akrana= turi

arn (kehendak yang tertinggi). Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih

tampak jelas hingga kini dibeberapa daerah, seperti bissu di

Kabupaten Pangkep, To Lotang di Kabupaten Sidenreng Rappang,

Kajang di Kabupaten Bulukumba. (Koentjaraningrat,1995 : 278,

dalam Mattulada)

Istilah Dewata SeuwaE=edwt sEwea dalam aksara Bugis

Lontara, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya :

Dewata=edwt (Tuhan), Dewangta=edwt (Tuhan) dan

Dewatangna=edwtn (yang tidak berwujud)) Bentuk pengucapan itu

mencerminkan sifat dan esensi Tuhan. De’watangna berarti yang

tidak punya wujud. De’Watangna juga dapat diucapkan De’batang.

De’=ed artinya tidak, sedangkan Watang=wt (batang) berarti tubuh.

Jadi De’watang dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak

berwujud. Yang dimaksudkan De’watang adalah sesuatu yang

tidak bertubuh seperti manusia. Jadi perkataan Dewata SeuwaE

(Tuhan kita yang satu) berarti Dewa yang Esa (Tunggal), pencipta

7

segala sesuatunya, dan yang tidak berwujud. Dialah yang patut

disembah oleh manusia. (Fauzi 1982 : 24 dalam Kambie, 2003).

Konsepsi Tuhan pada masa pra-Islam juga dijelaskan sebagai

berikut, Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang=naiiy edwt sEwea

tEekain, artinya : “ Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan

tidak berayah”. Sedang dalam lontarak Sangkuru’ Patau’ Mulajaji

sering juga digunakan istilah Puang SeuwaE To PalanroE=, yaitu

Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang

MappancajiE’’= Tuhan yang menciptakan (Abidin, 1979 : 12). Konsep

Dewata SeuwaE disimpulkan oleh Abidin (1979 : 59) sebagai nama

yang diberikan kepada Tuhan yang dikenal etnik Bugis Makassar.

(Kambie, 2003).

Bissu dan calabai sangat berbeda. Pada masa lalu, calabai

banyak yang menjadi bissu, walau pun begitu tidak semua memang

bukan laki-laki dan bukan perempuan. Mereka adalah calabai kodrati

atau calabai tungkekna lino. Mereka terlahir sebagai pria, tetapi

bertingkah laku seperti perempuan (Darmaputra, 2014:41).

Calabai terbagi atas tiga kategori yaitu maccalabai, calabai

kedona, dan calabai tungkena lino. Kategori yang ketiga inilah yang

menjadi bissu penyambung lidah baik kepada raja maupun dengan

roh-roh leluhur. Orang yang menjadi bissu berarti telah siap dengan

segala konsekuensinya. Menjadi bissu berarti menyandang predikat

suci, tidak boleh menikah dan melakukan hubungan intim.

8

Seorang bissu harus menjadi penjaga ritus dan kepercayaan

masyarakat. Kepercayaan leluhur yang terwariskan secara turun

temurun dari tahun ke tahun selama ratusan tahun. Bissu adalah

perantara manusia dan Dewata. Bissu menjadi perantara manusia

yang hendak berkomunikasi dengan Dewata di kayangan. Bissu

dikenal sebagai pendeta Bugis kuno pra-Islam.

Dalam kepercayaan masyarakat Bugis, bissu dianggap

menampung dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan

(hermaphroditic beings who embody female and male elements).

Bissu juga dianggap mampu mengalami dua alam, alam makhluk dan

alam roh. Alam makhluk menempatkan bissu sebagai manusia biasa.

Alam roh diidentifikasi pada kemampuannya berkomunikasi dengan

para dewa.

Kemampuan bissu berkomunikasi dengan Dewa hanya

dilakukan saat ritual tertentu. Bissu memiliki gelar Puang

Matowa=pua mtoa atau Puang Towa=pua toa (Darmaputra: 2014).

Puang Towa inilah yang memimpin saat melakukan ritual.

Keberadaan bissu bagi masyarakat Sulawesi Selatan sangat

berperan penting bagi kehidupan mereka. Bissu selalu dijadikan

pemimpin ritual. Masyarakat yang mengadakan ritual atau

persembahan untuk Dewata harus dipimpin oleh bissu.

Kemampuannya berkomunikasi dengan Dewata dan berkomunkasi

dengan sesama menjadikan bissu memainkan peran vital di

masyarakat. Sebagai pendeta kuno masyarakat Bugis, bissu telah

9

memerankan diri sebagai sosok setengah Dewa. Bissu sebagai

penyambung doa masyarakat dengan Dewata melalui bahasa

Torilangi (bahasa langit).

Untuk menjadi seorang bissu bukanlah hal yang mudah karena

harus melalui prosesi yang sangat lama, dan bukanlah berasal dari

calabai biasa yang bisa menjadi bissu, namun ada hal-hal tertentu

yang harus dilewati seperti: berawal dari mimpi, (Puang matowa

akan mendapat isyarat bahwa akan datang seorang waria yang akan

datang magang kepadanya).

Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat

mengetahui bahasa torilangi (bahasa Bugis kuno), meski tidak ada

yang mengajarkannya kepada mereka. (intisari, 2005 dalam

Makkulau, 2007).

Seorang calon bissu juga harus memenuhi persyaratan yang

lain. Yakni, mereka harus suci dari hal-hal duniawi yang sangat

menggoda. Sebut saja, mereka harus menahan nesunna=nEsu(hawa

nafsu atau syahwat), mappanre tomalupu=mpeN tomlupu (memberi

makan orang yang kelaparan), mappeinung to madekka=mepainu

to mdEk (memberi minum orang yang kehausan), maksampo to

mabelang=mspo to mebl (saling menutupi kekurangan), dan mali

siparape= mli siprep (saling mengingatkan).

Waria atau calabai yang akan dilantik menjadi bissu juga

diwajibkan untuk berpuasa ( Bugis=mappuasa=mpuas) selama satu

minggu hingga empat puluh hari. Selama menjalani puasa, banyak

10

sekali pantangan- pantangan (Bugis: Pammali=pmli, Makassar:

Kasipalli=ksipli) yang harus dihindari oleh seorang calon bissu

(Makkulau, 2007). Setelah puasa, sang calon bissu diharuskan

bernazar (mattinjak=mtij) untuk menjalani proses irebba=airEb (

proses dibaringkan). Dalam menjalani proses proses puasa, seorang

calon bissu dituntut untuk menjaga segala sikap, tingkah laku dan

perbuatan agar tidak tercela dan menodai kekhusu’an berpuasa.

Prosesi irebba= airEb(prosesi dibaringkan) dilakukan berhari-

hari yaitu (dibaringkan) yang dilakukan di loteng bagian depan pada

“Bola arajang” (Rumah Pusaka), (Intisari, 2005 dalam Makkulau,

2007).

Prosesi irebba=airEb biasanya berlangsung selama tiga atau

tujuh hari. Setelah itu sang calon bissu dimandikan, lalu dikafani dan

dibaringkan selama hari yang dinazarkan. Di atasnya digantung

sebuah guci berisi air.

Selama disemayamkan sesuai nazarnya, calon bissu dianggap

dan diperlakukan sebagai “orang mati”=tau met. Pada hari yang

dinazarkan, guci dipecahkan hingga airnya menyirami waria yang

sedang menjalani prosesi irebba=airEb (prosesi ini juga biasa juga

disebut mapparebba).

Setelah menjalani prosesi sakral ini seorang waria dapat

dinyatakan sudah resmi menjadi seorang bissu . setelah menjalani

proses panjang itu (prosesi irebba), seorang bissu diharuskan tampil

anggun (bugis=malebbi=mlEbi) dan senantiasa berlaku sopan.

11

Seorang bissu diwajibkan untuk menjaga sikap, perilaku dan

tutur katanya. Hal inilah yang membedakan antara waria-waria

lainnya. Bissu memang bukan sembarang calabai, tetapi seorang

calabai sakti yang lahir atau dilahirkan kembali dari peradaban Bugis

Kuno. Mereka adalah pelestari tradisi dan pemelihara benda-benda

arajang yang dikeramatkan. (Intisari, 2005 dalam Makkulau, 2007).

Bissu atau komunitas bissu yang ada sekarang ini (Kabupaten

Pangkajene Kepulauan) kini masih tetap kuat memegang teguh tradisi

dan peran sebagai pemelihara dan pelestari nilai-nilai budaya bugis

klasik dan digambarkan sebagai “manusia setengah dewa” yang

memiliki kekuatan supranatural. Mereka mendayagunakan hubungan

dengan dunia roh dan bertindak sebagai media bagi roh yang

memasukinya.

Bissu dengan tradisi transvestite-nya (lelaki yang berperan

sebagai perempuan) juga dikategorikan sebagai pendeta agama

Bugis kuno praislam. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk

berkomunkasi dengan para Dewata dan sesamanya.

Keberadaan bissu sebagai benang merah kesinambungan adat

dan tradisi Bugis kuno yang masih eksis di tanah Bugis hingga kini.

Bissu dalam upacara adat tidaklah berdiri sendiri, melainkan menjadi

bagian dari budaya atau tradisi yang berlaku bagi masyarakat

penyangga pertunjukan tersebut (Ahmad, Makalah Disparbud, 2003).

Keberadaan pusaka bagi bissu sangat penting. Pusaka atau

arajang bukan hanya sebagai senjata atau benda keramat , tetapi

12

sebagai simbol rohani bissu. Oleh karenanya, bissu selalu merawat

dan mengagungkan arajang.

Arajang menjadi simbol pusaka yang harus dilestarikan dan

dirawat. Simbol yang ada dalam komunitas bissu bukan hanya

merupakan benda pusaka namun nyanyian dan bahasa yang

digunakan pun adalah bukti adanya makna yang tersimpan, baik itu

berupa nasihat ataupun sebagai alat komunikasi dengan Sang

Pencipta.

Simbol dalam ritual maggiri dikenal simbol verbal dan simbol

nonverbal. Simbol verbal yang dimaksud adalah bahasa yang

digunakan dalam acara ritual berupa nyanyian yang dilantunkan

maupun mantra-mantra yang diucapkan sebelum ritual maggiri

dilaksanakan dan simbol nonverbal yang dimaksud adalah berupa

benda benda yang digunakan dalam acara maggiri seperti keris atau

badik maupun sesajen yang berupa kue-kue tradisional dan songkolo(

nasi dari ketan yang telah diberi warna) yang terdiri atas berbagai

warna yang kesemuanya memiliki makna tersendiri.

B. Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

13

1. Bagaimanakah makna simbolik yang terkandung dalam acara

ritual maggiri pada pesta adat komunitas bissu di Kecamatan

Segeri Kabupaten Pangkep?

2. Bagaimanakah persepsi masyarakat Segeri mengenai

keberadaan bissu di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep?

C. Tujuan Penelitian

Pada hakikatnya tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut :

1. Untuk memberikan kejelasan bagaimanakah makna simbolik yang

terkandung dalam acara ritual maggiri pada pesta adat komunitas

bissu di Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep?

2. Untuk menggambarkan bagaimanakah persepsi masyarakat

Segeri terhadap keberadaan komunitas bissu di Kecamatan Segeri

Kabupaten Pangkep?

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik

secara teoritis maupun secara praktis,

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menyikapi esensi dasar dalam

makna proses acara ritual maggiri dalam komunitas bissu sebagai

14

kebiasaan atau adat yang harus dilaksanakan oleh komunitas bissu

setiap tahunnya pada pertengahan bulan November. Selain itu,

penelitian ini dapat memberikan sumbangsi interaksi simbolik

pengajaran makna ungkapan kebahasaan bagi para siswa,

mahasiswa, dan bahkan pembaca di sekolah untuk dapat menelusuri

kejelasan makna acara ritual maggiri pada komunitas bissu yang

merupakan tradisi atau budaya yang dilaksanakan oleh bissu di

Kecamatan Segeri Kabupaten Pangkep.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

kepustakaan terkhusus bidang semantik, yang masih sangat

terbatas.

b. Menghilangkan persepsi tentang bissu yang cenderung mendapat

stigma negatif dari masyarakat modern.

c. Agar masyarakat Bugis pada khususnya lebih menghargai dan

menghormati komunitas tersebut sebagai pelestari adat dan

budaya Bugis kuno sebagai Pelestari warisan leluhur termasuk

benda-benda keramat, pusaka, dan kepercayaan masyarakat Bugis

d. Menambah atau memperdalam wawasan guru khususnya dalam

mengajarkan materi tentang simbol.

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

16

A. Kajian Pustaka

Penelitian ini membutuhkan sejumlah teori yang merupakan

landasan dalam melaksanakan penelitian maupun dalam penulisan

laporan.

Pengertian teori menurut seorang ahli dalam penelitian,

Snelbecker (dalam Moelong, 1995: 38) menyatakan: “Teori adalah

seperangkat proposisi terintegrasi secara sintaksis yaitu mengikuti

aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu sama lain

dengan data dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana

untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.

Kemudian fungsi teori itu dirumuskan pula oleh Snelbecker (dalam

Moleong, 2007: 39) menyatakan bahwa:

“Fungsi teori terdiri atas empat yaitu 1) mensistematiskan

penemuan-penemuan peneliti, 2) menjadi pendorong untuk menyusun

hipotesis, dan dengan hipotesis membantu peneliti mencari jawaban-

jawaban, 3) membuat ramalan-ramalan atas penemuan, dan 4)

menyajikan penjelasan, menjawab pertanyaan mengapa dan

bagaimanakah”.

Sedangkan teori menurut Jonathan H. Turner teori adalah proses

mengembangkn ide-ide yang membantu kita menjelaskan bagaimana

dan mengapa suatu peristiwa terjadi. Sedangkan menurut Litlle Jhon

dan Karen Foss teori merupakan sebuah sistem konsep yang abstrak

dan hubungan-hubungan konsep yang membantu kita memahami

sebuah fenomena.

17

Jadi, teori adalah instrumen penghubung antara data yang

diperoleh dengan sejumlah proposisi awal dalam penelitian, selain

teori dan fungsi pada bab ini, juga dijelaskan konsep-konsep yang

merupakan tinjauan tentang unsur-unsur di dalam karya sastra yang

mempunyai makna dalam teori semantik.

1. Strukturalisme Levi-Strauss

Sehubungan dengan strukturalisme Levi-Strauss, dapat

ditemukan paling tidak lima pandangan dari de Saussure yang

kemudian menjadi dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yakni

pandangan tentang: (1) signified (tinanda) dan signifier (penanda). (2)

form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran,

tuturan); (4) synchronic (singkronis) dan diachronic (diakronis); (5)

syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik).

De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah

tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda kebahasaan (linguistic sign),

yang wujudnya tidak lain adalah ‘kata-kata’. De Saussure menolak

anggapan kubu nominalis yang mengatakan bahwa kata-kata ini

memiliki makna karena kata-kata ini stand for sesuatu atau mewakili

sesuatu. Alasan penolakannya adalah karena: (a) pandangan tersebut

menganggap bahwa ide-ide sebelum kata-kata, padahal (b)

pandangan tersebut tidak mengatakan kepada kita, apakah suatu

nama pada dasarnya bersifat ‘vokal’ (bersuara) atau psikologis

(psychological). Selain itu, (c) pandangan tersebut menganggap

18

bahwa hubungan antara suatu nama dengan suatu benda adalah

sederhana, atau tidak problematis (Pettit, 1976:5-6).

Bagi De Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan

menurut dia secara psikologis pikiran kita –terlepas dari

perwujudannya dalam kata-kata –sebenarnya hanyalah “a shapeless

and indistinct mass”, suatu massa yang tak berbentuk dan tak

mengenal perbedaan-perbedaan atau tak bisa dibeda-bedakan.

De Saussure mengemukakan dua macam pembedaan yang

sangat penting, yakni (a) pembedaan antara signified (tinanda) dan

signifier (penanda), serta (b) pembedaan antara form (bentuk) dan

content, substance (isi). Dua pembedaan ini saling menyilang

sehingga pada setiap kata terdapat empat aspek, yakni: bentuk dan isi

dari tinanda, dan bentuk dan isi dari penanda.

Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang

signifier-, dengan sebuah ide atau tinanda –yang disebut signified-.

Walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang

terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari

tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler,

1976: 19). oleh karena itu, setiap upaya untuk memaparkan teori de

saussure mengenai bahasa pertama-tama harus membicarakan

pandangan de Saussure tentang hakekat tanda tersebut.

De Saussure ( dalam Ahimsa:2001-34) mengatakan bahwa

setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep

(concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatukan

19

sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata

yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya

adalah tinanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan sama

sekali.

Pemisahan hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut. Ambil

saja misalnya sebuah kata, apa saja, maka kata tersebut pasti

menunjukkan tidak hanya suatu konsep yang berbeda (distinct

concept), tetapi juga suara yang berbeda (distinct sound). “In

language, a concept is a quality of its phonic substance, just as

particular slice of sound is a quality of the concept” (Saussure, 1996:

103).

Bahasa dapat diumpamakan seperti selembar kertas yang

memiliki dua sisi. Sisi yang satu adalah pikiran dan sisi yang lain

adalah suara, dan tidak dapat menggunting sisi yang satu tanpa

menggunting sisi yang lain.

Selanjutnya tanda kebahasaan (Linguistic Sign), menurut de

Saussure, adalah sebuah entitas yang arbitrair, semena-mena.

Artinya, hubungan atau kombinasi antara elemen penanda dan

tinanda yang bersifat semena-mena. Tidak ada hubungan alami atau

intrinsik antara kedua unsur tersebut. Contoh, tidak ada alasan yang

jelas dan pasti mengapa seekor binatang berkaki empat yang dapat

berlari kencang atau citra binatang yang seperti itu dalam pikiran –

yang disebut konsep- disebut dengan istilah ‘kuda’, pada orang jawa

menyebutnya jaran dan orang Inggris menyebutnya horse.

20

Bahasa bukan sekedar kumpulan nama-nama atau nomenklatur

(nomenclatures). Tinanda dalam berbagai bahasa bisa sangat

berbeda antara satu dengan yang lain. Kata tresna dalam bahasa

Jawa misalnya, tidak dapat diterjemahkan begitu saja menjadi kata

cinta atau setia dalam bahasa Indonesia. Demikian pula halnya kata

kunduran. Kata tresna dalam bahasa Jawa misalnya tidak dapat

diterjemahkan begitu saja menjadi kata cinta atau setia dalam bahasa

Indonesia. Demikian pula halnya kata kunduran. Kata ini tidak dapat

diartikan sebagai kemunduran . Jadi, setiap bahasa sebenarnya

mengartikulasikan, menyatakan ide tentang realitas di dunia dengan

cara yang berbeda-beda.

Oleh karena bahasa bukanlah sekedar nomenklatur, maka

tinanda-tinandanya bukanlah konsep-konsep yang sudah ada lebih

dulu, tetapi konsep-konsep yang dapat berubah-ubah dan tergantung

pada yang lain; konsep-konsep yang bervariasi mengikuti perubahan

dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Dengan kata lain, setiap

bahasa sebenarnya merupakan seperangkat tinanda-tinanda yang

berbeda-beda. Setiap bahasa memiliki sendiri caranya yang khas dan

arbitrair, seenaknya, dalam mengorganisir dunia dengan segala isinya

ini menjadi konsep-konsep, menjadi kategori-kategori (Culler, 1976:

23).

Lebih dari itu, bahasa juga membagi suatu spektrum

kemungkinan konseptual dengan cara yang disukainya. Fakta bahwa

konsep-konsep atau tinanda-tinanda tersebut merupakan pembagian

21

–pembagian suatu kontinum secara arbitrair menunjukkan bahwa

tinanda-tinanda tersebut tidaklah otonom atau berdiri sendiri, yang

masing-masing memiliki semacam esensi atau inti yang

menentukannya. Sebaliknya, tinanda-tinanda tersebut adalah bagian

dari sebuah sistem dan ditentukan, didefinisikan, oleh bagian-bagian

lain dari sistem tersebut (Culler, 1976: 24).

Menurut De Saussure bahasa juga harus mengandung

differential structure (struktur differensial), sebab kalau tidak

bagaiamana kita akan dapat mengetahui apakah suatu kata tetap

tampak sama –jika ada peralihan atau pergantian dalam pengucapan

dan penggunaan-, jika kata tersebut tidak memiliki suatu identitas

formal dalam bahasa lewat pembedaannya dengan kaa-kata yang

lain. Bahasa –demikian De Saussure menyimpulkan-, pada

hakekatnya adalah juga sebuah sistem untuk membedakan kata-kata

(Pettit, 1976: 8).

Berbeda dengan parole, atau performance menurut Chomsky,

yang merupakan wujud atau aktualisasi dari languge dalam rupa lisan

maupun tulisan (Culler, 1973: 8). Parole atau tuturan adalah apa yang

di wujudkan ketika menggunakan suatu bahasa dalam percakapan

atau ketika menyampaikan pesan tertentu lewat sura-suara simbolik

yang keluar dari mulut seseorang. Tuturan bersifat individual,

sehingga mencerminkan atau menunjukkan kebebasan pibadi

seseorang.

22

Dalam istilah Levi-Staruss (1963) tuturan adalah sisi statistical

dari fenomena bahasa Walaupun tuturan merupakan wujud empiris

bahasa, namun sebuah tuturan tidak tidak pernah merupakan

perwujudan dari keseluruhan dari bahasa yang merupakan sistem

dengan struktrur tertentu.

Language dan parole memang berbeda, meskipun demikian

bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang yang sama, keduanya tidak

mungkin dipisahkan satu sama lain. Agar pesan yang ingin

disampaikan seseorang mencapai sasarannya atau dimengerti oleh

pihak yang lain, maka parole yang diwujudkannya harus berada dalam

sistem languge tertentu. Diabaikannya language akan membuat

pesan yang ingin disampaikan tidak dapat dimengerti atau

disalahmengertikan. Dengan kata lain, tanpa adanya language tidak

akan ada parole. Sebaliknya, tanpa parole, language juga tidak akan

diketahui keberadaannya.

Dalam analisis struktural struktur ini dibedakan menjadi dua

macam: struktur lahir, struktur luar (surface structure), dan struktur

batin, struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi

antar unsur yang dapat dibuat atau bangun berdasar, atas ciri-ciri luar

atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam

adalah susunan tertentu yang dibangun berdasarkan atas struktur

lahir yang telah berhasil dibuat, namun tidak selalu tampak pada sisi

empiris fenomena yang dipelajari. Struktur dalam ini dapat disusun

23

dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang

berhasil diketemukan atau dibangun.

2. Mitos dan Bahasa

Ada dua persamaan antara bahasa dan mitos menurut Levi-

Strauss yaitu: pertama, bahasa adalah sebuah media, alat, atau

sarana untuk komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan dari

satu individu ke individu yang lain, dari kelompok yang satu ke

kelompok yang lain. Demikian pula halnya dengan mitos. Mitos

disampaikan melalui bahasa dan mengandung pesan-pesan. Pesan-

pesan dalam sebuah mitos diketahui lewat proses penceritaannya,

seperti halnya pesan-pesan yang disampaikan lewat bahasa diketahui

dari pengucapannya.

Kedua, mengikuti pandangan de Saussure tentang bahasa yang

memiliki aspek language dan parole-, Levi-Strauss juga melihat mitos

sebagai fenomena yang memiliki dua aspek tersebut. Di mata Levi-

Strauss parole adalah aspek statistikal dari bahasa, yang muncul dari

adanya penggunaan bahasa secara konkret, sedang aspek langue

dari sebuah bahasa adalah aspek strukturalnya.Bahasa dalam

pengertian kedua ini merupakan struktur-struktur yang membentuk

suatu sistem atau merupakan suatu sistem struktur, yang relatif tetap,

yang tidak terpengaruh oleh individu-individu yang menggunakannya.

Bahasa sebagai suatu langue berada dalam waktu yang bisa

berbalik (reversible time), karena terlepas dari perangkap waktu yang

24

diakronis, tetapi bahasa sebagai parole tidak dapat terlepas dari

perangkap waktu ini sehingga parole dianggap oleh Levi-Staruss

berada dalam waktu yang tidak dapat berbalik (non-reversible time).

Mitos, kata Levi-Staruss, juga berada dalam dua waktu

sekaligus, yaitu waktu yang bisa berbalik, dan waktu yang tidak bisa

berbalik. Ini terlihat misalnya dari fakta bahwa mitos selalu menunjuk

ke peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau. Kata-kata “konon

dahulu kala...”, “Alkisah di zaman dahulu...”, :Tersebutlah di zaman

dahulu...”, dan sebagainya, adalah kata-kata yang lazim ditemukan

dalam pembukaan sebuah mitos.

Di pihak lain, pola-pola khas dari mitos merupakan ciri yang

membuat mitos dapat tetap relevan dan operasional dalam konteks

yang ada sekarang. Pola-pola tertentu yang diungkapkan mitos, yang

dideskripsikan oleh mitos, bersifat timeless, tidak terikat pada waktu,

atau berada pada reversible time.Pola-pola ini menjelaskan apa yang

terjadi di masa lalu, namun sekaligus juga dapat menjelaskan apa

yang tengah terjadi sekarang, dan apa yang akan terjadi di masa

mendatang. Pola-pola tersebut dapat “explains the present and the

past, as wellas the future” (Levi-Strauss,1963: 209).

Mitos bisa sama dengan bahasa, tetapi juga berbeda

dengannya. Kalau bahasa memiliki sisi singkronis dan diakronis, dan

pangkronis (singkronis dan diakronis sekaligus tidak terpisah, tetapi

menyatu). Di sini mitos dikatakan oleh Levi-Strauss memiliki struktur

ganda (dublestructure), yaitu historis dan ahistoris sekaligus. Sturktur

25

ganda inilah yang membuat mitos sama namun sekaligus juga

berbeda dengan bahasa. Kata Levi-Strauss (1963: 210), “...It is that

double structure, altogether ahistorical which explains how myth, while

pertaining to realm of parole and calling for an explanation as such, as

well as to that of langue in which it is expressed, can also be an

abslute entity on a third level which, though it remains linguistic by

nature, is never theless distinct from the other two”.

Ada dua implikasi yang penting tentang mitos yang di

kemukakan oleh Levi-Staruss (1963: 210-211) pertama, mitos -seperti

halnya bahasa- terbentuk dari constituent units.

Unit-unit ini adalah seperti unit-unit dalam bahasa ketika

dianalisis pada tingkat-tingkat yang berbeda, seperti fonem, morfem,

dan semem. Kedua, walaupun unit-unit dalam mitos ini sama seperti

unit-unit tersebut, tetapi merek juga berbeda, sebagaimana halnya

unit-unit tersebut berbeda satu dengan yang lain. Fonem berbeda

dengan morfem, morfem berbeda dengan semem dan seterusnya.

Unit atau satuan-satuan dalam mitos berada pada tataran yang lebih

kompleks, dan karena itu disebut oleh Levi-Strauss gross constituent

units atau mythemes, yang di Indonesiakan menjadi miteme.

Miteme-miteme inilah yang harus didapatkan terlebih dulu

sebelum berusaha untuk mengetahui makna sebuah mitos secara

keseluruhan, karena miteme merupakan unit yang terkecil dari

ceritera. Di sinilah dapat ditemukan kedudukan mitemeyang berada

26

pada posisi sebagai simbol dan tanda. Secara sederhana dapat

dikatakan bahwa simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai.

Simbol mengacu pada sesuatu. Simbol dapat dikatakan

mempunyai makna referential. Suatu simbol mengacu pada sesuatu di

luar dirinya, sedang tanda tidak mengacu pada apa-apa. Sebuah

tanda pada dasarnya ‘tidak bermakna’ tetapi mempunyai ‘nilai’. Nilai

ini lahir jika tanda berada dalam konteks. Tanpa konteks, tanda

adalah nothing, bukan apa-apa. Lain halnya dengan simbol, yang

masih bisa bermakna walaupun konteksnya tidak ada, walaupun tidak

tahu makna mana yang diacu dalam suatu saat tertentu. Oleh karena

itu, makna suatu simbol pada suatu waktu dan ruang tertentu, selalu

tergantung pada konteksnya juga.

Unit-unit terkecil mitos, yaitu miteme, adalah kalimat-kalimat atau

kata-kata yang menunjukkan relasi tertentu atau mempunyai makna

tertentu. Berbeda dengan fonem yang memang betul-betul merupakan

tanda yang tak bermakna, namun bernilai. Oieh karena itu, sebuah

miteme dapat dikatakan sebagai sebuah simbol, karena memiliki

acuan, mempunyai makna referential, tetapi di lain pihak miteme juga

dapat ditanggapi sebagai sebuah tanda, yang mempunyai ‘nilai’

(value) dalam konteks tertentu. Jadi, sebuah miteme dapat ditanggapi

sebagai simbol dan tanda sekaligus.

3. Pengertian Semantik

27

Istilah semantik berasal dari bahasa Yunani sema, yang berarti

‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti

menandai atau melambangkan. Yang dimaksud dengan tanda atau

lambang adalah sebagai padanan kata sema itu adalah tanda

linguistik (Prancis: signe´linguistique) menurut Ferdinand de Saussure

(1966), yaitu yang terdiri atas (1) komponen yang mengartikan, yang

berujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan

makna dari komponen yang pertama itu.

Kata semantik diterima masuk dalam perbendaharaan bahasa

Indonesia terutama digunakan dalam pengetahuan yang

berhubungan dengan linguistik. Hal ini menunjukkan bahwa semantik

merupakan cabang linguistik yang menelaah tentang makna bahasa.

Dengan demikian, semantik sebagaimana asalnya digunakan sebagi

salah satu ilmu bahasa yang mempermasalahkan makna dan

perubahan atau perkembangan kata dalam bidang arti (Rahman,

dalam Alwasilah, 1984 : 27).

Menurut beberapa ahli pengertian semantik sangat beragam,

berikut ini akan diturunkan beberapa pendapat agar semakin jelas

makna semantik yang sesungguhnya, antara lain sebagai berikut:

Kridalaksana (1993 : 193) dalam Kamus Linguistik edisi ketiga

mengatakan bahwa semantik adalah sebagian dari struktur bahasa

yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur

makna suatu wicara, sistem penyelidikan makna dan arti dalam suatu

bahasa atau bahasa pada umumnya.

28

Kridalaksana (1993 : 195) menyatakan bahwa semiotika

(semiotics) adalah ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan

tanda-tanda. Semantika (semantics) adalah cabang semiotika yang

mempelajari hubungan antara lambang dan referennya.

Kridalaksana (1993:120) memberikan pengertian makna

sebagai berikut: “Makna (1) maksud pembicaraan, (2) pengaruh

satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia

atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti

kesepadanan/ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar

bahasa atau ujaran dan semua hal yang ditujukannya, dan (4)

menggunakan lambang-lambang bahasa.

Slametmuljana, (1964 : 1) mengatakan bahwa semantik adalah

makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan.

Tarigan (1985: 166) menyebutkan “semantik adalah telaah tentang

makna kata”. Lanjut Aminuddin (1988 : 15) mengatakan bahwa

semantik mengandung pengertian studi tentang makna. Demikian

pula Verhaar (dalam Pateda, 1989 : 14) menyebutkan bahwa

“semantik adalah teori makna atau teori arti (Ing. semantics :

Indonesia semantik ) dengan semantics dengan kata sifatnya”.

Beberapa pendapat di atas, menurut penulis bahwa “semantik

merupakan salah cabang ilmu linguistik yang membahas tentang

makna” sehingga dapat dikatakan bahwa makna yang menjadi objek

dari semantik yaitu:

4. Definisi Makna

29

Makna merupakan pertautan yang ada di antara unsur-unsur

bahasa itu sendiri terutama (terutama kata-kata) “Makna”: 1) maksud

pembicaraan, 2) pengaruh suatu bahasadalam pemahaman persepsi

atau perilaku manusia atau kelompok manusia, 3) hubungan dalam

arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di

luar bahasa atau antara dari semua hal yang ditunjuk, dan 4) cara

menggunakan lambang-lambang bahasa.

Kridalaksana (1993:120) memberikan pengertian makna

sebagai berikut: “Makna (1) maksud pembicaraan, (2) pengaruh

satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia

atau kelompok manusia, (3) hubungan, dalam arti

kesepadanan/ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar

bahasa atau ujaran dan semua hal yang ditujukannya, dan (4)

menggunakan lambang-lambang bahasa.

Chaer (2009: 32) mengatakan, bahwa hubungan antara kata

dengan maknanya memang bersifat arbitrer. Artinya tidak ada

hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan

maknanya. Namun, hubungannya bersifat konvensional. Artinya

disepakati oleh setiap anggota masyarakat suatu bahasa untuk

mematuhi hubungan itu; sebab kalau tidak, komunikasi verbal yang

dilakukan akan mendapat hambatan.

Dengan demikian, terdapat adanya hubungan antara makna

dengan pengertian. Misalnya, apabila seseorang mendengarkan

sesuatu atau sebuah kata tentulah membayangkan bendanya, dan

30

apabila seseorang membayangkan bendanya, maka ia akan segera

mengatakan benda tersebut.

Hakikat makna, dinyatakan dalam “The Nature of Meaning “ oleh

Paul Horwich ( dalam Michael Devitt and Richard Hanley ,2006)

adalah setiap ungkapan berarti atau mengandung sesuatu.

Poerwadarminta (dalam Pateda, 1989 : 45) menyatakan sebagai

berikut : makna adalah arti atau maksud (sesuatu kata); misalnya

mengetahui lafal dan maknanya bermakna berarti; mengandung arti

yang penting (dalam); berbilang, mengandung beberapa arti :

memaknakan : menerangkan arti (maksud) sesuatu kata dan

sebagainya”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa makna

merupakan konsep yang lahir dari hasil interpretasi yang menunjuk

kepada suatu makna tertentu yang dapat dipahami. Hal ini berarti

bahwa hal itu berkaitan erat dengan upaya agar setiap pemakai

bahasa atau pembicara maupun pendengar bisa saling memahami

dengan apa yang telah dituturkan. Oleh karena itu, makna hanya

berlaku untuk bahasa yang bersangkutan maka dengan sendirinya

pula makna itu terbentuk berdasarkan sistem aturan yang berlaku dan

dimiliki oleh bahasa tersebut , sehingga perhatian dalam mencari dan

menemukan suatu makna adalah dengan memperhatikan leksem ymg

terdapat dalam bahasa seseorang.

31

Leksem terbagi atas beberapa jenis, ada yang memiliki makna

sendiri tanpa terikat oleh konteks yang mengikutinya dan maknanya

juga lebih mudah untuk dianalisis.

5. Jenis Makna

Jenis makna dapat dibedakan dalam beberapa kriteria dan sudut

pandang. Sedang jenis semantik dibedakan atas dua yaitu semantik

leksikal dan semantik gramatikal. Berdasarkan ada tidaknya referen

pada sebuah leksem/kata dapat dibedakan adanya makna denotasi

dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal

adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna

khusus, berdasarkan kriteria dan sudut pandang lain dapat disebutkan

adanya makna deskriptif dan referensial dan sebagainya.

a. Makna Deskriptif

Makna deskriptif (descriptive meaning) atau makna kognitif

(cognitive meaning) atau makna referensial (referential meaning)

adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa

yang sangat dekat dengan dunia luar bahasa, objek atau gagasan,

dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponenya. Seperti kata

“pohon” bermakna tumbuhan yang berbatang keras dan besar. Yang

terbayang dalam ingatan kita yakni sebatang pohon (entah pohon

apa yang jelas bukan seekor sapi).

32

b. Makna Referensial

Makna referensial (referential meaning) adalah makna yang

langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata.

Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. Menurut Palmer

(1976 : 30) makna referen adalah hubungan antara unsur unsur

linguistik berupa kata-kata, kalimat-kalimat, dan dunia pengalaman

yang non linguistik, sedangkan menurut Anthoni (1975 : 5) referen

adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus

lambang.

Makna referensial mengisyaratkan kepada kita tentang makna

yang langsung menunjuk pada sesuatu, apakah benda, gejala,

kenyataan, peristiwa, proses, sifat. Jadi, kalau seseorang mengatakan

marah maka yang diacu adalah gejala marah, misalnya mukanya

cemberut, diam, dan kalau berbicara menggunakan bahasa yang

bernada tinggi yang kadang-kadang diikuti dengan anggota badan.

Begitu pula, jika seseorang mengatakan sungai , maka yang ditunjuk

oleh lambang tersebut, yakni tanah yang berlubang lebar dan panjang

tempat air mengalir dari hulu ke danau atau laut. Kata sungai

langsung dihubungkan dengan acuannya. Tidak mungkin timbul

asosiasi lain.

6. Makna Simbolik

Makna simbolik adalah interaksi yang menggunakan simbol

(yaitu objek sosial yang disetujui orang

33

menggantikan/merepresentasikan sesuatu) , manusia mempelajari

simbol) manusia mempelajari simbol dan maknanya melalui interaksi,

simbol berupa benda, gerak/isyarat atau kata-kata, bahasa adalah

simbol yang paling penting, simbol harus dimaknai sama oleh pihak

yang bersangkutan.

7. Bahasa dan Sastra

Bahasa dalam sastra merupakan unsur bahan, alat sarana, yang

diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih”

daripada sekadar bahasa itu sendiri. Bahasa dimanfaatkan sastra

dalam menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu. Jadi bahasa

dalam sastra juga mengemban fungsi komunikatif (Nurgiantoro,

2002:15). Untuk mengefektivitaskan pengungkapan, pengarang

(penutur) menyiasati, memanipulasi, dan mendayagunakan secermat

mungkin sehingga bahasa tampil dalam sosok berbeda dengan

bahasa nonsastra.

Pada kesempatan lain Pradopo (1995:118) mengatakan bahwa

“struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal

bila tidak memperhatikan tanda, sistem tanda, makna tanda, dan

konvensi tanda”. Oleh karena itu, tanda atau simbol yang digunakan

dalam pesta adat ritual maggiri.

8. Pengertian Tari Maggiri

Maggiri berasal dari kata giri ( Bugis giri=ditusukkan). Tarian ini

dimainkan oleh enam orang penari (dahulu tarian ini dilakukan

34

dimainkan oleh empat puluh satu orang penari). Layaknya tarian pada

umumnya, diiringi oleh tabuhan gendang yang berirama khas. Dalam

gerakannya, keenam penari ini melantunkan mantra-mantra mistis

dalam bahasa to rilangi (bahasa kuno suku Bugis). Selain lantunan

mantra-mantranya, diarena pertunjukan ini tersedia berbagai sesajen.

Sesajen ini terdiri atas kue- kue tradisional Bugis, buah-buahan,

ayam, kepala kerbau, dan sapi sebagai persembahan kepada roh

leluhur.

Tari maggiri dikenal sebagai tarian yang mempertontonkan

kekebalan tubuh bissu. Tari maggiri adalah tarian yang penuh dengan

nilai estetika dan sarat dengan muatan spiritual. Tari maggiri

dianggap sebagai tari pengagunan terhadap Dewata. Tarian bissu

menyanyikan doa dan ekspresi syukur kepada Dewata.

Kesakralan tari maggiri terlihat dari prosesi yang dilakukan bissu

sebelum memulai tariannya. Para bissu menyiapkan dupa=dup

(kemenyang) dan beberapa tappi=tpi (keris). Di dekat dupa dan keris,

terdapat ota sakke =wt skE (daun sirih yang ruas yang saling

ketemu, kapur serta pinang).

Beberapa menit setelah itu, ruangan akan ditutupi kain putih.

Tujuannya agar ada pembatas antara bissu dengan pengunjung.

Selain para bissu tidak boleh berada dalam ruangan yang dibatasi

kain tersebut. Masyarakat umum pun tidak diperbolehkan melihat

prosesi ritual yang dilakukan bissu di dalam tirai tersebut.

35

Puang Matowa menyanyikan lagu Bugis yang dipercaya sebagai

nyanyian La Galigo waktu masih kecil. Lagu tersebut berbunyi; yaa

saboo yaa saboo, aju bitti.

Setelah prosesi ritual dalam tirai tersebut selesai, para bissu

akan menuju panggung yang telah dipersiapkan untuk tarian maggiri.

Panggung tersebut berupa serambi rumah pemimpin bissu. Di

panggung tersebut, bissu akan menari maggiri.

Sebagai penanda dimulainya tarian maggiri, gendang akan

ditabuh. Tabuhan pembuka, hanya pelan-pelan. Tabuhan gendang

yang pelan ini disebut Bali’ Sumange=bli sumGE (mengembalikan

semangat). Bissu akan menari mengikuti irama gendangnya. Semakin

lama, gendang akan ditabuh lebih kencang dan lebih cepat. Tabuhan

ini disebut Tettek Sompa=tEet soP. Perlahan-lahan, tabuhan

gendang akan terus meningkat, mulai dari pukulan losa-losa=los- los

(mpellung= timbul tenggelam), sala kanjara=sl kjr (hentakan kaki

yang tidak beraturan), na kanjara=n kjr (hentakan kaki mulai agak

cepat) sampai U kanjara=au kjr (hentakan kaki yang semakin kuat

dan semakin hebat tusukan badik pada tubuh sang penari).

Tarian bissu mengikuti irama tabuhan gendang. Ketika tabuhan

masuk pada irama sala kanjara, para bissu akan memulai

menunjukkan atraksinya. Ketika pukulan masuk pada irama kanjara,

yaitu pukulan gendang yang paling cepat tari terus berlangsung

hingga bissu sendiri mengakhiri tariannya. Pada saat tarian maggiri

akan dihentikan, pemimpin bissu akan berteriak dengan bahasa

36

Bugis. Saat itulah, pemimpin bissu diangkat dan dimasukkan ke

dalam kamar penanda tari maggiri telah selesai. Selesai acara,

pemimpin bissu dan para penari akan kembali ke tempat upacara

untuk membaca doa.

Yang unik dari pertunjukan ini adalah pakaian yang digunakan

oleh penari. Keenam penari berdandan layaknya seorang perempuan

dengan pakaian berwarna keemasan dan badik terselip di pinggang.

Penari mabissu atau tari Maggiri ini biasanya menggunakan pakaian

berwarna terang. Celana berpadu rok berwarna hijau, biru muda,

kuning, dan merah menjadi pelengkap yang sangat indah.

Pertunjukan bissu diawali dengan tari-tarian sederhana diiringi

musik palappasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah bambu

yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian lain berasal dari pantat

piring dan mangkuk yang saling digesekkan sehingga timbul suara

berisik. (Monoharto,etal,2003).

Seiring musik mengalun, para penari mengelilingi Arajange

(benda yang dikeramatkan) sambil menggerakkan tangannya dengan

gemulai. Awalnya, gerakan penari-penari ini terlihat semakin lambat.

Namun, lama-kelamaan gerakannya semakin cepat.

Ketika sang penari semakin tak terkendali, tangan mereka

langsung mengeluarkan badik yang terselip dipinggangnya. Seolah

ada pengendali lain di dalam tubuhnya, para penari terlihat tak mampu

melawannya. Mereka pun langsung menusuk-nusukkan seluruh

tubuhnya dengan badik tersebut. Inilah yang disebut dengan maggiri.

37

Tujuannya adalah untuk menguji apakah roh leluhur atau Dewata

yang sakti sudah merasuk ke dalam diri mereka. Jika mereka kebal,

berarti bissu itu dan roh yang merasukinya dipercaya dapat

memberikan berkat. Sebaliknya, jika badik itu menembus dan melukai

tubuh mereka, berarti yang merasukinya adalah roh lemah. Akan

tetapi, apabila seorang penari terluka dalam acara maggiri tersebut itu

pertanda bahwa ada salah satu persyaratan tarian yang tidak

dipenuhi, sehingga badik bisa menembus kulit sang penari maggiri

tersebut.

Seni tradisional tari bissu sedikit telah mengalami perubahan

yang ekstensif. Tari bissu saat ini masih tampil sebagai genre tari

tradisisonal yang lebih adaptif terhadap lingkungan, sebagai bagian

dari upacara mappalili dan upacara adat lainnya. Kehadiran tari

bissu atau maggiri dewasa ini telah mengalami perubahan karena

telah menjadi seni hiburan atau pertunjukan dalam seni hiburan. Jadi

pada hakikatnya tarian maggiri ini bagi bissu merupakan

persembahan dan permohonan doa kepada Dewata.

9. Jenis-Jenis Tarian Maggiri

Menurut penjelasan pemimpin bissu bahwa tari maggiri terbagi

atas dua yaitu tarian maggiri Dewata dan tarian maggiri mamata.

a. Tarian maggiri Dewata (Madewata)

38

Tarian Maggiri Dewata adalah salah satu prosesi tarian maggiri

yang betul-betul bernuansa spiritual mendalam. Tarian maggiri

Dewata bercirikan bissu yang tidak tahu pengunjungnya. Bissu yang

melakukan tarian maggiri tidak akan tahu para pengunjung. Ketika

tarian dimulai, tarian bissu tidak dapat dihentikan oleh siapa pun,

kecuali bissu sendiri. Proses berhentinya tarian melalui ritual yang

dilakukan oleh bissu.

b. Tari Maggiri Mammata

Tarian Maggiri Mamata adalah tarian bissu yang tidak

mempunyai nuansa spiritual atau ritual. Maggiri Mamata hanya

bertujuan untuk pertunjukan, seperti ada festival, undangan

pemerintah daerah atau tarian menjemput tamu undangan luar

daerah. Tarian maggiri mamata adalah tarian yang fleksibel. Tarian ini

bisa menyesuaikan sesuai ketetapan panitia acara.

Persiapan yang dilakukan tarian Maggiri Mamata biasa dilakukan

di rumah Bissu. Artinya, persiapan tari Maggiri Mamata tidak perlu

menunggu hingga sampai di tempat ritual diadakan.

Bila tari Maggiri Dewata, persiapannya harus menunggu sampai

di tempat acara ritual. Jadi, persiapan tari Mamata dapat dilaksanakan

di rumah Bissu sebelum berangkat ke acara.

Tari maggiri yang ditampilkan dewasa ini adalah tarian Maggiri

Mamata. Dikatakan tarian Maggiri Mamata, karena tarian ini ada

39

perubahannya, baik gerakan atau lainnya. Tarian yang ditampilkan

sekarang tidak mengandung nilai spiritual dan upacara.

Sedangkan gerak tari Dewata tidak pernah mengalami

perubahan. Maggiri Mamata adalah tarian asli Bissu yang

mencerminkan persembahan dan pemujaan terhadap dewata. Hal ini

sesuai dengan namanya, Maggiri. Maggiri berarti penyembahan.

Tujuan Maggiri Dewata adalah seni atau tarian yang bertujuan

spiritual bukan sebatas seni pertunjukan.

Dalam kepercayaan Bissu, ketika Maggiri dipentaskan atau

kesakralan. Maggiri akan kehilangan nilai spiritualnya. Bahkan Maggiri

yang diniatkan sebagai seni akan mendatangkan bala bagi Bissu

sendiri. Oleh karenanya, kalangan bissu akan memperingatkan Bissu

lain yang terlibat tari Maggiri Mamata.

B. Penelitian yang Relevan

1. Simbol dalam penelitian yang Relevan

Peneliti yang pernah menganalisis simbol dalam karya sastra

antara lain:

Pertama, Sujinah (2009) dengan menganalisis Simbol-Simbol

dalam Cerpen Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan karya Kunowijoyo.

Hasil yang dicapai adalah ditemukan simbol-simbol yang berupa

simbol verbal dan simbol benda (nonverbal). Simbol verbal yang

ditemukan yakni”mantra”, sedangkan simbol benda atau nonverbal

yakni “danyang, anjing, beras kuning dan penunggu makam”

40

Kedua, Rosyidi,dkk.(2010) dengan menganalisis Mistisme

Cahaya pada Puisi “Rumah Cahaya” Karya Abdul Wachid B.S.: Kajian

Metafora dan Simbol dalam Perspektif Hermeneutika Paul Ricoeur.

Hasil yang dicapai adalah adanya simbol seperti “cahaya” dalah

simbol hidayah atau jiwa yang terang,”malam” adalah simbol

kehidupan manusia yang sering terjebak pada persoalan keduniawian.

Ketiga, A.Yayi Amie (2014) dengan menganalisis Interaksi

Simbolik Tokoh Dewa dalam novel “Biola Tak Berdawai” Karya Seno

Gumira Adjidarma: kajian Interaksionisme Simbolik George Herbert

Mead. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa simbol yang muncul

adalah simbol secara tersirat digunakan untuk berinteraksi secara

simbolik.

Keempat, Wulan (2010) yang menganalisis Mendengar Hati

Mengejar Mimpi dan relitas Dunia: Interpretasi Simbol dalam Novel

The Alchest Karya Paulo Coelho. Hasil yang ditemukan adalah

menginterpretasikan 11 simbol utama yang terdapat di alam novel

tersebut yaitu, a shepherd, an Old Gypsy Woman, the King of Salem,

Personal Lagend, the Stone, the Sword, the Egyptian Pyramid, the

Crystal Merhant, the Soul of the Word, Fatima dan the Alchemist.

Kelima, Azis (2009) yang menganalisis puisi Sodom dan

Gomorrha Karya Sastrowardoyo Suatu Tinjauan Semiotik. Hasil yang

ditemukan adalah gambaran simbolik ungkapan penyair secara

semiotik diekspresikan lewat puisinya Sodom dan Gomorrha,

mengungkapkan kemurkaan Allah swt., atas kaum Nabi Luth a.s.,

41

yang penduduknya homoseksual. Oleh penyair keadaan yang

tergambar dalam larik-larik puisi diasosiasikan dengan sebagian kota-

kota yang ada di Indonesia. Tempat maksiat bukan lagi tabu,

pelacuran merajalela, narkoba menjamur. Pada tingkat atas

(pimpinan) sebagian korupsi adalah santapan yang empuk,

dipengadilan merupakan arena sandiwara yang dilakonkan menurut

keinginan sutradara.

Keenam, Winata (2011) yang menganalisis Simbol dalam Novel

Diaroma Sepasang Albanna Karya Ari Nur Utami: Tinjauan

Strukturalisme Semiotik. Hasil yang ditemukan adalah adanya nilai-

nilai dan simbol-simbol religius yang membangun cerita sehingga lebih

menarik.

2. Sastra Daerah dalam Penelitian yang Relevan

Peneliti yang pernah melakukan penelitian yang relevan dalam

sastra daerah antara lain:

Pertama, A. Yenni Wahyuliana (2005) yang menganalisis Makna

Simbolik Gerak Ma’bissu dalam Upacara Ritual Mattompang Arajang

di Kabupaten Bone.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Ritual mattompang

arajang di Kabupten Bone adalah tradisi yang diciptakan oleh bissu

untuk membersihkan benda-benda kerajaan atau arajang.2) Ma’bissu

atau sere bissu dalam ritual Mattompang Arajang adalah bentuk ritual

permohonan doa kepada Dewata seuwa’E. 3) Ma’bissu atau sere

42

bissu adalah tarian yang tidak berpola lantai dan pola gerak yang

tetap, para bissu hanya bergerak bebas dalam bahasa Bugis disebut

sere bissu. 4) Bissu mulai ada di Kerajaan Bone sejak raja I To

Manurunge pada tahun 1326, dengan tugas menangani urusan

kepercayaan kepada Dewata Seuwa’E. 5) Bissu mulai mengurusi

benda-benda kerajaan setelah masuknya agama islam tahun 1611,

masa pemerintahan raja XI La Tenri Ruwa Matinroe Ri Bantaeng. 6)

Maggiri adalah tahapan terakhir sere bissu, yang menyimbolkan

kesetiaan kepada Dewata seuwa’E, arung (raja) dan masyarakat. 7)

Puang Matowa hanya ikut sere (menari) setelah tarian memasuki

tahapan terakhir yaitu maggiri. 8) Timbulnya upacara adat termasuk

sere bissu dalam upacara Ritual Mattompang Arajang di Kabupaten

Bone disebabkan karena adanya kepercayaan terhadap dunia mistis,

sehingga banyak masalah (gejala alam) dijawab dengan mitos.

Kedua, Mujahiduddin (2004) yang menelaah Konsep Calabai

dalam Pandangan Komunitas Bissu di kabupatenPangkep Sulawesi

Selatan (sebuah kajian fenomenologi Edmund Husserl) hasil temuan

yaitu bissu atau calabai terbagi atas tiga, yaitu 1) Calabai tungkena

lino (bissu). 2) Paccalabai. 3) Calabai kedo-kedonami.

Perbedaan bissu dengan kedua calabai itu adalah bissu tidak

boleh kawin dan harus menjaga perilaku agar tidak menyimpang dan

senantiasa suci. Hal ini dikarenakan tugas bissu sebagai wasilah

antara dunia dewa dan manusia. Ke-calabai-an bissu datangnya dari

Dewata atau takdir dan merupakan simbol bahwa Dewata memiliki

43

ketidakjelasan jenis kelamin, sehingga ke-calabai-an bissu bersifat

sakral dan suci atau merupakan konsep spiritual-transedental. Suatu

posisi yang mampu menghindarkan Bissu untuk tidak melakukan

hubungan seksual.

Ketiga, Syahrul (2012) yang menelaah Ritual Bissu Segeri

Fungsi Mappalili dalam Transformasi Sosial di Kabupaten Pangkep

Sulawesi Selatan. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa identitas

bissu merupakan identitas yang lahir melalui proses sosial yang

panjang . Identitas bissu merupakan konstruksi dari relasi sosial.

Berangkat dari uraian di atas menggambarkan bahwa sudah

banyak penelitian tentang simbol dalam karya sastra. Begitu pula

dengan Bissu di Segeri (Kabupaten Pangkajene Kepulauan) telah

banyak diteliti. Namun, dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan

perhatian pada makna simbol pada teks dan benda yang digunakan

dalam acara riual tersebut, yang menurut pengetahuan peneliti belum

pernah diangkat dalam penelitian dan layak untuk diteliti.

C. Kerangka Pikir

Makna simbolik yang terkandung dalam ritual maggiri dapat

dilihat dari berbagai sudut. Sebagai salah satu jenis semantik dalam

makna simbolik benda dan bahasa dalam ritual maggiri Kabupaten

pangkep dengan pendekatan jenis semantik yang ada relevansinya

antara lain makna deskriptif dan makna referensial keinteraksi

44

simbolik yang tersirat serta benda-benda yang digunakan dalam acara

ritual maggiri kabupaten pangkep.

untuk lebih memperjelas bentuk ini dikemukakan dalam bagan

kerangka pikir.

Bagan Kerangka Pikir

Ritual Maggiri

Simbol Verbal Simbol Nonverbal

a. Maknab. Bentukc. Fungsi

a. Maknab. Bentukc. Fungsi

Analisis

Temuan

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menganalisis,

mendeskripsikan, dan menjelaskan penggunaan sistem tanda,

lambang atau simbol dalam acara Ritual Maggiri dalam Pesta

Adat Komunitas Bissu yang ada di Kabupaten Pangkep Kecamatan

Segeri.

Berdasarkan jenisnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif

kualitatif, karena penelitian dimaksudkan untuk menggambarkan atau

mendeskripsikan hasil penelitian sebagaimana adanya .

Penelitian kualitatif ini memiliki karakteristik di antaranya memiliki

sifat induktif yaitu pengembangan konsep yang didasarkan atas data

yang ada, mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai dengan

konteksnya. Desain yang dimaksud tidak kaku sifatnya sehingga

memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri sesuai

dengan konteks yang ada.

B. Tempat Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Pangkep

(Pangkajene dan Kepulauan) tepatnya di Kecamatan Segeri

Kelurahan Segeri .

46

Alasan peneliti memilih lokasi ini karena di daerah inilah bissu

bertempat tinggal dan melaksanakan ritual setiap tahunnya.

C. Unit Analisis dan Penentuan Instrumen

Instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri

sebagai instrumen, pedoman wawancara, daftar petanyaan, rating

role sebagai pelengkap untuk data terdokumentasi dan akuntabilitas.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi

pengumpulan data verbal dan data simbol nonverbal.

1. Data verbal berupa bahasa-bahasa yang digunakan atau

dilantunkan oleh pemimpin bissu atau puang towa sebelum acara

ritual maggiri dimulai.

2. Data simbol nonverbal, berupa benda-benda yang digunakan

sewaktu berlangsungnya acara prosesi maggiri.

E. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2011: 244) analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari

wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori menjabarkan ke unit-unit,

melakukan sintesa,menyusun ke dalam pola, memilih mana yang

47

penting dan yang akan dipelajari , dan membuat kesimpulan sehingga

mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah

1. Teknik observasi

Peneliti langsung mengadakan observasi atau pengamatan ke

lapangan yakni tempat dan waktu pelaksanaan acara ritual maggiri.

Peneliti mengamati bagaimana prosesi pelaksanaan acara ritual

maggiri secara khusus bagaimana lantunan lagu yang diucapkan

sebelum maggiri dilaksanakan.

2. Rekaman audio-visual

Peneliti mendokumentasikan proses pelaksanaan acara ritual

maggiri secara audio-visual agar terdengar dan terlihat bagaimana

bahasa dan benda-benda yang digunakan pada saat

melaksanakan acara ritual maggiri.

3. teknik wawancara

Wawancara adalah cara menghimpun bahan keterangan yang

dilakukan dengan tanya jawab secara lisan secara sepihak

berhadapan muka, dan dengan arah serta tujuan yang telah

ditetapkan.

4. Teknik simak-catat

Wawancara yang dilakukan dengan informan disimak dan dicatat

kemudian dipilah-pilah dan dianalisis lebih lanjut.

48

5. Dokumentasi

Dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan

tertulis terutama berupa arsip-arsip, termasuk buku dan majalah

yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

F. Triangulasi Data

Penelitian kualitatif harus mengungkap kebenaran yang objektif.

Karena itu, keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif sangat

penting. Melalui keabsahan data kredibilitas (kepercayaan) penelitian

kualitatif dapat tercapai.

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan keabsahan data

dilakukan dengan triangulasi. Adapun triangulasi adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data itu (Moleong, 2007:330).

Dalam memenuhi keabsahan data penelitian ini dilakukan

triangulasi dengan sumber. Menurut Patton, triangulasi dengan

sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat

yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2007:29). Dengan

triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data bila dibandingkan

dengan satu pendekatan.

49

Triangulasi sumber juga berarti, unttuk mendapatkan data dari

sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Di bawah ini

adalah bagan triangulasi “teknik” pengumpulan data (bermacam-

macam cara pada sumber yang sama).

Bagan triangulasi “teknik” pengumpulan data

Observasipartisipatif

Wawancaramendalam

Dokumentasi

Sumberdata sama

50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini akan menguraikan (1) makna simbolik yang terkandung

dalam acara maggiri pada pesta adat komunitas Bissu di Kecamatan

Segeri Kabupaten Pangkep (2) Persepsi masyarakat Segeri terhadap

keberadaan Bissu.

Simbol dalam acara maggiri akan dianalisis berdasarkan aspek

bentuk dan jenis peralatan yang digunakan, maka peneliti

menggunakan teori stukturalsme Levi-Strauss karena teori tersebut

berhubungan dengan mitos dan bahasa. Sebagaimana diungkapkan

oleh Levi-Staruss bahwa bahasa adalah sebuah media, alat, dan

sarana dalam berkomunikasi.

Untuk lebih jelasnya analisis mempeoleh hasil berikut:

a. Temuan Peneliti

(a). Simbol yang ditemukan oleh peneliti adalah perlengkapan

yang digunakan dalam acara maggiri yang terdiri atas:

1. Alat yaitu berupa badik, ota, beras , dan ayam.

2. Kue yaitu onde-onde (umba-umba), cangkuling, lapisi, dan

beppa oto, cucuru bayao dll.

3. Pakaian yaitu baju, sarung, celana, selendang, dan passapu.

(b) Syair atau lantunan mantera sebelum maggiri

51

Berdasarkan hasil perolehan data maka untuk lebih jelasnya

dipaparkan di bawah ini.

b. Makna simbol dalam penelitian ini

1. Alat

Alat atau perkakas (inggris: tools). Alat adalah suatu benda yang

dapat dipakai untuk mengerjakan sesuatu; perkakas, perabot, yang

dipakai untuk mencapai maksud (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

2005, hal: 30). Begitu pula halnya peralatan yang digunakan oleh

para bissu dalam melakukan ritual adalah untuk mempermudah

komunitas tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya dalam hal

maggiri, sebagai berikut:

a. Ota Sakke (Sirih, pinang, kapur, tembakau)

Ota atau lebih dikenal dengan sebutan siri yang mempunyai

nama latin piper betle l merupakan tanaman asli Indonesia yang

tumbuh merambat atau bersandar pada batang pohon lain. Sebagai

budaya daun dan buahnya biasa dikunyah bersama gambir, pinang,

tembakau, dan kapur. Selain itu sirih juga mempunyai banyak manfaat

untuk menjaga kesehatan.

Ciri daun sirih adalah panjangnya 5-8 cm daunnya tunggal

berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling,

bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas.

Sedangkan batangnya ialah berwarna coklat kehijauan berbentuk

bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Jenis-jenis daun

52

sirih terbagi atas sirih hias, sirih hitam, sirih merah, sirih gading, sirih

belanda, sirih hijau, sirih kuning, dan sirih hitam.

Ota (Sirih)

Konon sebelum dunia ini berpenghuni, Dewa Patotote

berkeinginan untuk menurunkan salah seorang putranya untuk turun

ke dunia tengah ( Ale lino=bumi) menjadi tunas yang akan

berketurunan dan dapat memakmurkan bumi yang masih kosong dari

pengaruh kerajaan dan kedewaan, yang kelak akan menyembah

kepada Dewata dikala sulit maupun mengirim doa-doa pujian dikala

senang kepada Dewa. Maka, diutuslah seorang putra Dewata

untuk turun ke bumi dan berkembang biak seperti sekarang ini.

Ota atau sirih yang konon digunakan oleh Batara Guru turun ke

bumi sebagai kendaraan, yang menyerupai sebuah mangkuk oleh

Batara Guru dari botting langi turun ke ale lino (dari langit turun ke

bumi).

Siri (bahasa la galigo) namun lebih dikenal oleh masyarakat

bugis dengan nama ota dan selalu digunakan pada setiap upacara

adat baik untuk acara pengantin mupun acara sakral lainnya, seperti

pada saat hendak memanggil perias pengantin atau indo botting,

dukun beranak dan lain sebagainya, maka sirih atau ota ini dijadikan

sebagai salah satu syarat untuk dapat diterima oleh sang perias

pengantin maupun dukun beranak tadi, begitupun halnya pada acara

ritual bissu yang selalu menyertakan ota dalam setiap melakukan

ritual.

53

Ota atau sirih bisa juga diartikan mappalise (berisi), karena

manusia diciptakan dan terlahir dalam keadaan sempurna yang

mempunyai akal dan pikiran yang dinamai otak. Dengan otak inilah,

manusia dapat hidup dan menghidupi keluarganya dengan

menggunakan otaknya untuk berfikir dan bekerja sehingga mereka

dapat hidup dengan layak di bumi ini dan saling menghargai dengan

sesama mahluk hidup lainnya. Karena sesungguhnya manusia adalah

mahluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha

Kuasa yang diberikan akal serta fikiran yang bisa membedakan antara

hal yang baik dan perbuatan yang buruk.

Dalam budaya Bugis Makassar siri atau ota juga dipercaya

adalah simbol atau cermin identitas serta watak seseorang, rasa malu

atau harga diri orang bugis pada masa itu dan bahkan sampai saat

ini, masih sangat dipegang kuat. Suku bugis sangat memegang kuat

dan menghindari agar tidak kehilangan siri, karena seorang bugis

merasa siri itu diatas segala-galanya mereka rela mati mati demi

memertahankan martabat dan harga dirinya. Karena seseorang tidak

akan tertimpa atau kehilangan siri apabila mereka menggunakan

otaknya untuk berpikir dengan baik dan akal sehat agar tidak

kehilangan sirina atau pammate siri (dipermalukan).

Kata siri , dalam bahasa Bugis atau Makassar bermakna “malu”.

Struktur siri dalam budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat

kategori yaitu, (1) Siri’Ripakkasiri’, (2) Siri’Mappakasiri’siri, (3)

Tabbe’Siri”, (4) Siri’Mate siri”.

54

Siri Ripakasiri

Adalah siri yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga

diri atau tau harkat dan martabat keluarga. Siri jenis ini adalah sesuatu

yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah

nyawa.

Sebagai contoh dalam hal ini adalah membwa lari seorang gadis

(kawin lari), baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh,

terutama oleh pihak kelurga perempuan (gadis yang dibawa lari)

karena telah membuat malu keluarga.

Contoh lain adalah kasus kekerasan, penganiayaan atau

pembunuhan dimana pihak ke;uarga korban yang merasa terinjak-

injak harga dirinya (Sirina) wajib untuk menegakkannya kembali,

kendati pun ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus

dibalas dengan darah, utang nyaa harus dibals dengan nyawa.

Dalam keyakinan orang Bugis atau Makassar bahwa orang yang mati

terbunuh karena mempertahankan siri’, mtinya adalah mati syahid,

atau yang mereka sebut Mate risantangi atau Mate Rigollai, yang

artinya bahwa, yang atinya kematiannya ibarat kematian yang terbalut

oleh santan atau gula.

Secara logika orang lain (selain suku Bugis-Makassar) memang tidak

dapat memahami hal tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham

makna siri yang sesungguhnya. Agar dapat memahami tentang

bagaimana pentingnya menjaga siri’Ripakkasiri, simaklah pepatah

55

berikut: sirimi imonro tuo rilinoe, narekko denagaga sirimu mutuwo

sirupa olokoloe, yang artinya karena malu kita masih hidup, jika hidup

sudah tidak mempunyai rasa malu maka hidup ini menjadi hina seperti

binatang, bahkan lebih dari binatang.

Siri’Mapakkasiri’Siri’

Siri ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis

disebutkan, “narekko de gaga sirimu inrengko siri”, yang artinya kalau

anda tidak mempunyai rasa malu maka pinjamlh kepada orang yang

masih memilki rasa malu (siri). Begitu pula sebaliknya, “Narekko

engka siri’mu, aja’ mupakasiri-siri.”Artinya jangan membuat malu.

Bekerjalah dengan giat, agar harkat dan martabat keluarga dapat

terangkat. Jangan menjadi peminta-minta karena itu sama halnya

dengan membuat keluarga menjadi malu atau mempermalukan

keluarga.

Dengan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang

Makassar “Takkunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku

kualleangngangi tallanganna to waliya”. Artinya, begitu mata terbuka

(bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki

akan melangkah, bulatkan tekad “lebih baik tenggelam daripada balik

haluan (kembli ke rumah) sebelum tercapai cita-cita”. Atau, sekali

layar terkembang panang biduk surut ke pantai sebelum tercapai

tujuan, sebelum tercapai pulau harapan.

56

Selain itu, siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah seseorang

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,

agama, adat-istiadat dan perbuatn-perbuatan lainnya ang dapat

merugikan manusia daan kemanusiaan itu sendiri.

Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah

“Mali siparappe, Malilu sipakainge”, dan “pada idi’ pada elo’ sipatuo

sipattokkong” atau “pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatettong”. Artinya

ketika seorang sanak keluarga tertimpa kesusahan atau musibah

maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang

terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka kelurga yang

lain wajib untuk mengingatkan atau meluruskannya.

Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Tabbe Siri’ (Bugis)

Yang artinya rasa malu sesorang sudah hilang “terusik” karena

sesuatu hal. Misalnya, seseorang yang mempunyai utang dan telah

berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha

sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya,

sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai

waktu yang telah ditentukan, jika orang yang berutang tidak menepati

janjinya, itu artinya telah mempermalukan dirinya sendiri.

Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh

nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak perlu ditagih, dia akaan datang

senddiri untuk membayar utangnya.

Siri’ Mate Siri’

57

Siri’ yang satu ini, berhubungan dengan iman. Dalam pandangan

orang Bugis atau Makassar,orang yang mate siri’-nya adalah orang

yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun.

Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau

yang biasa disebut bangkai hidup yang hidup.

Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan.

Aroma busuk kan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan

Istana, di senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga tercium bau

busuk yang terasa sangat menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme,

jual-beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak, serta mafia-mafia

lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya,

Nauzubillahi min-dzalik.

Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah

dalam masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap

sakral. Begitu sakralnya kata tersebut, sehingga apabila seseorang

kehilangan Siri’-nya atau Dena gaga siri’na, maka tak ada lagi artinya

menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis-

Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’ e (seperti

binatang). Petuah Bugis berkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita

hidup).

Alosi (Pinang)

Alosi (Bahasa Bugis) yang lebih dikenal dengan nama pinang

mempunyai nama latin Areca catechu L. Alosi atau pinang

58

mempunyai ciri-ciri pohon tumbuh satu-satu tidak berumpun jenis

palem. Batang lurus agak licin, dengan tinggi pohon dapat mencapai

25 meter, sedangkan dimeter batang atau jarak ruas batang sekitar 15

cm dan mempunyai garis lingkaran batangtampak jelas, bentuk buah

bulat telurdengan ukuran sekitar 3,5 cm sampai 7 cm serta berwarna

hijau aktu muda dan merah kekuningan saat masak atau tua.

Alosi atau pinang pada jaman dahulu terutama ditanam untuk

dimanfaatkan bijinya, yang di dunia Barat dikenal sebagai betel nut.

Biji ini dikenal sebagai salah satu campuran orang makan sirih, selan

gambir dan kapur. Biji ini juga dimanfaatkan sebagai penghasil zat

pewarna merah dan bahan penyamak.

Konon pada jaman dahulu jenis pinang hitam, digunakan

sebagai bahan peracun untuk menyingkirkan musuh atau orang yang

disukai. Sedangkan pelepahnya yang mirip tabung (dikenal sebagai

upih) digunakan sebagai pembungkus kue-kue dan makanan,

sedangkan umbutnya dimakan sebagai lalapan atau dibikin acar.

Alosi atau pinang yang berbiji keras ini diibaratkan sebagai

gambaran otak manusia, bijinya yang keras tidak dapat dipisahkan

dari karakter orang bugis yang keras dalam pendirian namun tetap

mengedepankan pikiran yang sehat agar tidak terjadi

kesalahpahaman baik dengan suku sendiri terlebih lagi dengan suku

lain.

Alosi atau pinang ini diibaratkan seseorang yang mempunyai

martabat yang tinggi, berbudi pekerti yang luhur, serta jujur yang

59

bersedia melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan pikiran yang

terbuka. Makna ini bisa dilihat dari pohonnya yang tinggi menjulang,

buahnya yang lebat, semua berguna untuk kehidupan manusia, mulai

dari akarnya yang bisa dijadikan obat, buahnya yang pada jaman

dahulu bisa digunakan untuk memperkuat gigi, serta batangnya yang

bisa dijadikan tiang, bahkan bisa dibuat menjadi papan dan masih

banyak lagi kegunaan dari pinang tersebut.

Puale (kapur)

Puale atau Kapur berasal dari batu kapur atau Calcium

Carbonate (Ca CO3) terbentuk lebih dari 300-500 juta tahun lalu, yang

berasal dari kerang, karang, ikan purba dan kalsium yang

mengendap ke dasar laut dan membentuk lapisan dari batuan kapur.

Batuan kapur (Limestone) dapat berubah menjadi “kapur reaktif”

apabila mendapatkan pemanasan 900 c, yang apabila dicampur

dengan air membentuk reaksi kimia menjadi Calcium Hidroksida (Ca

(OH) 2)an apabila mengering akan kembali ke bentuk aslinya.

Kapur yang digunakan dalam mengonsumsi sirih pinang

mengandung manfaat untuk kesehatan periodental karena

mengandung zat-zat kitin yang bermanfaat untuk kesehatan.

Kapur atau puale yang berwarna putih, merupakan simbol

tulang belulang manusia yang dibungkus oleh daging dan kulit. Warna

putih selalu diidentikkan dengan kebersihan dan kesucian. Warna

putih sering dihubungkan dengan terang, kebaikan, kemurnian,

kesucian dan keperawanan.

60

Makna dari warna putih adalah aman, murni, dan bersih. Warna

putih pun oleh budaya manapun selalu dimaknai dengan suci, seperti

halnya di Bali, pakaian pedanda memakai bajun yang berwarna putih,

demikin pun paus dan uskup menggunakan jubah berwarna putih,

terlebih lagi bagi umat islam menggunakan kain putih dalam

menjalankan Ibadah haji yaitu kain Ihram baik laki-laki maupun wanita

menggunakan warna yang sama yaiu warna putih.

Dari sinilah kenapa bissu dalam setiap melakukan ritualnya

harus ada kapur atau puale tersebut, yang menganggap seorang

bissu adalah sekelompok orang suci dan bersih karena sesungguhnya

mereka tidak berdarah atau haid, tidak melahirkan dan tidak pula

menyusui. namun mereka pun bisa lebih agresif dan marah bila

keadaan memaksa.

Kapur diperoleh dari pemrosesan cangkang kerang atau

pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya putih bersih, tetapi

reaksi kimianya bisa menghancurkan. Begitu pun dengan bissu,

mereka lemah lembut dalam bertingkah laku dan bertutur kata,

namun sesungguhnya mereka akan bisa lebih kuat dari laki-laki yang

sempurna, apabila mereka dalam keadaan yang terdesak dan

terancam.

Ico (tembakau)

Tembakau (ico) yang bernama latin Nicoiana tabacum. Dalam

Bahasa Indonesia tembakau merupakan serapan dari bahasa asing.

Bahasa Spanyol “tabaco” dianggap sebagai asal kata dalam bahasa

61

Arawakan, khususnya, dalam bahasa Tainodi Karibia, disebutkan

mengacu pada gulungan daun-daun pada tumbuhan ini (menurut

Bartolome de Las Casas, 1552) atau bisa juga dari kata “tabago”,

sejenis pipa berbentuk y untuk menghirup asap tembakau (menurut

Oviedo, daun-daun tembakau dirujuk sebagai Cohiba, tetapi Sp.

Tabaco (juga It. Tobacco) umumnya digunakan untuk mendefinisikan

tumbuhan obat-obatan sejak 1410, yang berasal dari Bahasa arab

“tabbaq”, yang dikabarkan ada sejak abad ke-9, sebagai nama dari

berbagai jenis tumbuhan. Kata tobacco (bahasa Inggris) bisa jadi

berasal dari Eropa dan pada akhirnya diterapkan untuk tumbuhan

sejenis yang berasal dari Amerika.

Tembakau adalah produk pertanian semusim yang bukan

termasuk komoditas pangan, melainkan komoditas perkebunan.

Produk ini dikomsumsi bukan untuk makanan tetapi sebagai pengisi

waktu luang atau “hiburan” , yaitu sebagai bahan baku rokok dan

cerutu.

Tembakau dapat dikunyah. Kandungan metabolit sekunder yang

kaya juga membuatnya bermanfaat sebagai pestisida dan bahan baku

obat. Ico atau tembakau di simbolkan sebagai rumpu api (dapur

yang selalu berasap) yang berarti kehidupan manusia sangat

bergantung dengan dapur yang selalu harus beraktifitas.

Dapur adalah tempat keluarga untuk melakukan segala aktifitas

yang berhubungan dengan perut, baik untuk keluarga itu sendiri

maupun sekedar untuk berbagi dengan sesama. Dapur diumpamakan

62

sebagai sebuah negeri atau kampung, yang bila suatu kampung

keadaannya subur, makmur dan sentosa tentu akan selalu berasap

atau ada aktifitas yang selalu dijalankan atau dikerjakan oleh

masyarakat tersebut.

Apabila sebuah kampung yang penduduknya sangat miskin

maka, diibaratkan dapurnya tak akan pernah berasap atau

masyarakat dalam kampung tersebut taraf ekonominya berada di

tingkat paling bawah, karena mungkin penghuninya atau

masyarakatnya malas atau tidak mau untuk bekerja keras agar bisa

mendapatkan kehidupan yang lebih layak, yang pada akhirnya

mengakibatkan dapur menjadi diam dan tidak berasap. Apabila dapur

tak berasap maka sebuah keluarga atau kaum akan tersebut akan

mati dan bahkan bisa punah.

Kehidupan manusia di dunia ini akan selalu membutuhkan

makanan dan mengonsumsinya untuk kelangsungan hidupnya. Yang

berarti manusia hidup karena semua makanan harus selalu dan pasti

ada hubungannya dengan api, yang menurut orang bugis bahwa “iya

maneng kianrede nakke’na maneng sellung api” yang berarti apapun

yang ada hubungnnya dengan makanan yang akan kita konsumsi

setidaknya harus dimasak terlebih dahulu dengan menggunakan api.

Sellung-sellung api ini juga mengingatkan pada salah satu filosofi

Bugis yang mengatakan “Makkalu Dapureng Wekka Pitu” yang berarti

dalam kehidupan berumah tangga, seorang suami atau pemimpin

keluarga harus mampu untuk bisa mengelilingi dapur sebanyak tujuh

63

kali, yang bermakna bahwa seseorang yang telah bertekad untuk

membina rumah tangga, maka orang tersebut telah sanggup untuk

dapat menafkahi istrinya atau keluarganya dengan usaha sekuat

tenaga agar keluarga yang dibinanya bisa menjadi langgeng,

sejahtera tanpa kekurangan sedikit pun, baik sandang, pangan dan

papan.

Keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang mampu untuk

selalu membuat dapurnya selalu berasap. Dengan berasapnya dapur

berarti keluarga tersebut atau sebuah kampung telah dapat

mencukupi segala kebutuhan dan keperluan yang dapat menunjang

terciptanya keluarga yang sehat bukan hanya dari lahir namun dari

segi batin membuat keluarga menjadi tenteram dan sentaosa demi

kelangsungan kehidupan selanjutnya.

Lempu (Bunga nangka)

Nangka yang mempunyai nama latin (Artocarpus heterophyllus)

pohonnya memiliki tinggi 10-15 m. Batangnya tegak berkayu, bulat,

kasar dan berwarna hijau kotor. Daun Artocarpus heterophyllus,

tunggal, berseling, lonjong, memiliki tulang daun yang menyirip,

daging daun tebal, tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm,

mempunyai lebar 4-5 cm, tangkai panjang lebih kurang 2 cm dan

berwarna hijau, bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai

yang memiliki cincin, bunga jantan ada di batang baru diantara daun

64

atau di atas bunga betina. Buah berwarna kuning ketika masa, oval,

dan berbiji coklat muda (Heyne, 1987).

Lempu atau bunga nangka melambangkan kejujuran, lurus dan

tidak macam-macam. Kejujuran harus selalu dijunjung tinggi dimana

pun seseorang berada dan dalam keadaan apapun, kejujuran inilah

yang harus dipegang teguh dan dijadikan pegangan dan menjadi

pagar diri agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bersipat buruk

ataupun jatuh dalam kenistaan.

Orang tua dulu sering berpesan kepada remaja atau anak-anak

muda yaitu ”Duami Uala Sappo, Unganna panasae na belo kanuku”

yang berarti “Hanya dua yang kujadikan pegangan dalam hidup,

bunga nangka=lempu yang bermakna kejujuran, dan perhiasan

kuku=pacci= paccing yang berarti bersih.

Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang

berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa

Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara lontara’ dapat

dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi suku Bugis, segala

macam perbuatan harus dimulai dengan yang suci karena tanpa niat

suci (baik), tindakan manusia mendapatkan ridha dari Tuhan Yang

Maha Kuasa.

Saat ini, seiring pesatnya perkembangan dunia modern,

semakin banyak pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin saja bisa

menjerumuskan generasi saat ini, bahkan pemimpin-pemimpin dalam

negeri ini pun masih bisa diragukan tingkat kejujurannya.

65

Seorang manusia yang hidup di dalam sebuah masyarakat,

tentulah sangat diharapkan kejujurannya dalam segala hal, bukan

hanya perilaku namun juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan dalam

setiap berkomunikasi akan menjadi modal utama untuk bisa dipercaya

apakah orang tersebut mempunyai sifat jujur atau tidak.

Dalam adat Bugis atau kebiasaan suku Bugis, sering diucapkan

oleh orang-orang tua bahwa “Ikkonami yakkateni olokolo’e, tau adami

yakkateni” yang berarti bahwa binatang yang kita pegang adalah

ekornya agar tidak lari, namun manusia yang dipegang adalah

ucapannya atau janjinya, maksudnya apabila seseorang berkata atau

berjanji hendaklah ucapannya itu bisa dipercaya dan menjadi

pegangan bahwa apa yang telah diucapkan bisa dipercaya, karena

satu kali saja kita ingkar akan apa yang telah terucapkan berarti orang

tidak akan menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk kedua

kalinya.

a. Sesajen dalam ritual

Adapun sesajen yang bisa djumpai sebelum bissu melakukan

ritualnya dan makna yang terkandung didalamnya adalah sebagai

berikut:

1. Benang 7 ikat

2. Ayam (manu) 17 ekor

3. Siri (ota) 40

4. Pisang (utti) 41 sisir

66

5. Cucu Bannang

6. Beppa (kue) 12 macam

1. Wennang Pitu Sio (Benang tujuh ikat) adalah simbol status

sosial

Benang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari,

karena baju,celana dan sarung yang kita gunakan berasal dari benang

yang telah dipintal menjadi kain dan diolah menjadi pakaian. Fungsi

pakaian yang digunakan sehari-hari adalah sebagai penutup tubuh

atau aurat ( yang tentunya akan memberikan rasa nyaman dan

aman). Pakaian dalam fungsinya memberikan keamanan adalah

sebagai benteng atau tameng dari gangguan baik gangguan dari

udara dingin, panas, atau gangguan yang diakibatkan karena

pandangan mata.

Setiap bentuk dan jenis pakaian apapun yang dikenakan baik

secara gamblang maupun secara samar-samar akan menyampaikan

penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya. Orang yang

berpakaian asal-asalan karena tidak menyukai perhatian orang lain

tertuju pada pakaiannya, sekalipun mereka sadari telah menunjukkan

peran sosial dan kode-kode sosial yang dianutnya terhadap budaya

dimana mereka berada (Morris, 1977).

Menurut Morris, pakaian yang dikenakan oleh manusia memiliki

tiga fungsi mendasar yaitu, memberikan kenyamanan, sopan-santun

dan pamer (display), seperti diungkapkan oleh Broby-Johansen (1968:

5) “it seeks not pretend, but rather to display” .

67

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Horn dan

Gurel yang mengemukakan empat teori tentang fungsi pakaian

pakaian bagi manusia (1981: 19-34) secara umum orang meyakini

bahwa sopan santun merupakan hasil atau akibat dari pakaiannya.

Sopan santun bukanlah bukanlah yang mendorong seseorang untuk

berpakaian.

Teori lainnya menyatakan bahwa dengan menutupi tubuh

dengan pakaian justru menarik perhatian orang terhadap tubuh yang

tertutupi. Teori ke tiga yang dikemukakan oleh Horn dan Gurel

tersebut menyatakan bahwa pakaian yang dikenakan oleh manusia

memiliki fungsi sebagai pelindung.

Menurut teori ini pakaian dipandang sebagai benteng antara

manusia dan lingkungannya yang melindungi mereka dari unsur-unsur

berbahaya baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Teori terakhir

kecenderungan berkaitan dengan nilai ornamental (ornamental

values) dari pakaian yang mampu memberikan pengalaman estetik

dan memenuhi kepuasan atau kenikmatan inderawi bagi seseorang

yang menginginkan keindahan.

Selain sebagai penutup tubuh, pakaian juga mempunyai fungsi

lain yang dapat menunjukkan lambang status sosial seseorang dalam

kehidupan bermasyarakat.

Benang dalam arti yang lain adalah simbol urat-urat yang ada

dalam tubuh manusia yang saling berhubungan satu dengan yang

lain.

68

2. Ayam 17 ekor (Simbol Hari dan Agama Tuhan)

7 (hitungan hari dalam satu minggu)

Dalam keseharian hidup di dunia ini, dalam satu minggu ada

beberapa hari yang merupakan hari untuk beraktifitas, dimulai dari hari

senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu, dan minggu. Begitulah setiap

hari, manusia melakukan segala aktifitasnya, siang dan malam

digunakan untuk mencari nafkah, berkumpul dengan keluarga, teman

dan handai tolan, tak pernah terlepas dari ketujuh hari tersebut, baik

siang maupun malam hari.

5 (pengabdian kepada Tuhan)

Setiap makhluk yang ada di bumi ini, pasti mempunyai keyakinan

dan kepercayaan akan adanya Tuhan yang harus disembah setiap

saat. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan adalah makhluk

yang paling sempurna yang dikarunai akal dan fikiran, untuk

menggunakan akalnya agar menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang

telah menciptakannya. Bagi umat Islam telah ditetapkan waktu-waktu

untuk dapat bersujud kepada Pencipta-Nya dimulai dari Subuh,

Dhuhur, Ashar, Magrib, dan Isya.

5 (Puang Sewwae dan Eppa Sulapa)

Eppa sulapa (Empat sudut) adalah empat penjuru mata angin

yaitu utara, selatan, barat dan timur. Namun kepercayaan orang bugis

69

mengatakan bahwa empat penjuru ini adalah hanya tiga yang

merupakan sulapa (sudut) yang ada dalam kehidupan sedangkan

yang satu sulapa (satu sudut) adalah bagi manusia yang telah

meninggalkan dunia.

Sudut-sudut yang dipakai dalam kehidupan ini yaitu, selatan ,

barat dan timur sedangkan utara setelah kita meninggal dunia maka

kehidupan di dunia tidak menempati sudut yang Utara.

Selatan, barat dan timur diibaratkan sebagai Botting langi (Dunia

atas), tempat dimana para dewa atau tempat asal muasal manusia

yang pertama yang dibawa turun ke bumi untuk mengisi kekosongan

ale lino.

Ale lino adalah bumi yang ditempati manusia saat ini,

sedangkan ale kawah adalah dunia dimana dibawah air yang

ditempati oleh mahluk-mahluk yang di dalam laut yang hidupnya

adalah untuk menjadi penghibur maupun sebagai makanan bagi

mahluk hidup yang ada di ale lino.

Pappunna sewwae (Tuhan Yang Maha Esa) adalah melengkapi

dari keempat sulapa yang merupakan satu-satunya tempat kita

menyembah yang telah menciptakan bumi beserta isinya. Dimana

manusia menjalani lakon kehidupan sebelum akhirnya kembali

kepada Sang Pencipta seru sekalian alam.

Sedangkan 17 Makna yang ke dua adalah kesempurnaan

agama Islam dalam keseluruhan jumlah hitungan rakaatnya. Disaat

adzan menggema,maka tiba waktunya dimana seorang hamba harus

70

menghadap dan bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

menciptakan manusia. Hitungan rakaat dari subuh sampai isya

semuanya berjumlah 17 rakaat.

Siri 40 ikat simbol (hidup dan kehidupan yang ada di Bumi ini)

Dalam satu minggu terdapat tujuh hitungan hari, dimulai dari hari

senin sampai minggu, manusia tidak pernah berhenti untuk

melakukan aktifitas dalam sehari pun, baik untuk mencari nafkah

ataupun menyembah kepada sang Pencipta-Nya, semuanya

dilakukan pada hari-hari yang sudah dikodratkan sebagai nama hari

untuk manusia selalu melakukan aktifitas.

Dalam satu minggu itu pula (hitungan tujuh hari) baik siang

maupun malam, seorang hamba tidak pernah akaan pernah

melupakan Tuhan-nya dalam setiap harinya atau hitungan hari

tersebut.

Tellu (tiga) diibaratkan adanya hubungan timbal balik antara

Tuhan (Puang), datu (raja), dan ata (hamba). Tuhan sudah pasti

disembah oleh hambanya entah itu raja maupun hanya seorang

hamba sahaya atau pun budak. Begitupula halnya seorang Raja tetap

akan dihormati dan disembah oleh rakyatnya baik dalam keadaan

susah maupun dalam keadaan senang, karena hal itu tidak dapat

dilepas dari kehidupan dan penghidupan yang ada di dunia ini.

Tuhan menciptakan manusia ke bumi ini, tentunya dengan

maksud agar manusia tidak melupakan bahwa dari mana asalnya

71

sehingga bisa berada di dunia dan dengan segala karunia yang di

berikan oleh Sang pencipta, tentunya ada yang menciptakannya

Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa, kuasa segala-galanya yang apabila

dikehendakinya sesuatu terjadi maka akan terjadi tanpa ada yang bisa

mencegahnya.

Tuhan menciptakan manusia dari berbagai suku dan agama

tentunya untuk saling menghrgai satu sama lain. Dalam kehidupan

masyarakat dahulu terdapat kasta ataupun golongan. Golongan-

golongan tersebut terdiri dari berbagai kasta, ada kasta yang tinggi

adapula yang rendah.

Kasta yang tertinggi pada masa itu adalah raja atau karaeng dan

yang dibawah kastanya hamba atau rakyat jelata. Namun, diantara

kedua hal tersebut antara raja dan hamba tentulah mempunyai

pencipta yang hanya dapat dirasakan oleh hati, namun tidak dapat

nampak oleh mata kasar manusia, dialah Sang Pencipta langit dan

Bumi seru sekalian alam, yang tentunya harus disembah oleh

hambanya.

Karaeng=krea’ (raja) ataupun ata=at (hamba sahaya atau

rakyat jelata) tidak memandang miskin maupun kaya, karena

sesungguhnya manusia tidak dapat dinilai dari apa yang dimiliki,

namun apa yang diperbuat, baik pada dirinya sendiri maupun kepada

orang lain.

72

Utti Patappulo Seddi Seppe (Simbol Hidup Mandiri)

Pisang atau dalam bahasa Bugis dikenal dengan nama Utti= auti

(Pisang). Pisang adalah nama umum yang diberikan pada tumbuhan

terna raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musaceae .

Pisang baik daun dan buahnya sangat memegang peranan penting

dalam upacara-upacara adat, baik untuk acara pernikahan,

mendirikan rumah, dan upacara keagamaan.

Pisang atau utti= auti yang bisa di jumpai di daerah manapun saja

baik di Indonesia maupun di luar Negeri.

Pisang diibaratkan sebagai seorang manusia yang mampu untuk

menghidupi dirinya walaupun tanpa kehadiran orang tua atau telah

menjadi anak yatim. Dan ternyata justru pisang dapat memberikan

kehidupan kepada orang lain dan dapat berbaur dengan mudah

dimanapun berada, diibaratkan bahwa pisang ini dapat hidup baik di

sawah, di ladang bahkan di pekarangan rumah pun bisa tumbuh

dengan subur walaupun tidak dirawat atau diberi perhatian khusus

tetap dapat berbuah.

Dalam kepercayaan orang Bugis bahwa mereka tidak boleh

memakan pisang pada saat magrib karena diyakini mereka akan

membuat sial kehidupan dalam keluarganya utamanya orang tua laki-

laki atau ayah, yang akan cepat meninggal apabila si anak atau siapa

pun dalam keluarga tersebut yang memakan pisang pada saat

magrib, yang menurut kepercayaan orang terdahulu nasibnya akan

sama dengan pisang yang tidak mempunyai ayah atau bapak. Itu pula

73

yang menyebabkan orang-orang dahulu meyakini, apabila dijumpai

oleh mereka anak yang menangis didekat rumpun bambu, diambil

oleh mereka dan disebut sebagai To’ Manurung.

Suku Bugis meyakini bahwa apa yang ditemukannya tersebut

adalah pemberian Tuhan yang harus dipelihara dan dirawat dengan

baik, sehingga kelak setelah dewasa berguna dan bermanfaat bagi

sekelilingnya, maka dari itulah di Bugis atau suku Bugis akan selalu

menyiapkan Utti Manurung dalam setiap acara-acara adat dan

keagamaan untuk mengingat asal mereka.

Utti atau pisang juga merupakan keyakinan orang Bugis atau

suku Bugis bahwa dimanapun mereka berada akan berusaha untuk

bisa beradaptasi dan berbaur dengan suku manapun tanpa melihat

status sosialnya, miskin ataupun kaya sama, namun satu yang selalu

dipegang adalah kejujuran atau lempu sepeti batang pisang yang

berdiri lurus dan tegak tanpa pernah bengkok kekiri ataupun kekanan

walaupun diterpa angin kencang.

Utti atau pisang ini dalam melaksanaakan sebuah hajatan baik

untuk pernikahan naik rumah ataupun kegiatan keagamaan, utti atau

pisang dijadikan lauk. Oleh oang-orang yang dituakan dalam setiap

atau sesepuh yang meyakini bahwa tidak sempurna pabberena atau

sesajen kepada keluarga yang sudah meninggal apabila tidak

dibuatkan lawa’ (Bugis ) lawara (Makassar) atau urap (bagi suku

Jawa). Lawa ini mengandung makna pembauran dari berbagai suku,

karena lawa terdiri dari kelapa, ikan, cuka, garam dan penyedap rasa

74

yang berbaur menjadi satu, saling melengkapi antara satu dengan

yang lain.

Lauk yang lainnya yang selalu ada adalah tempa-tempa (bahasa

Bugis) yang bentuknya ada tiga macam yaitu bentuk segitiga, bentuk

daun, bentuk bundar kecil-kecil, dan berbentuk seperti alu-alu (

anakan untuk menumbuk pada lesung kecil) yang masing-masing

mempunyai makna tersendiri, yang berbahan dasar: kelapa, ikan

garam, asam, dan kunyit.

Tempa-tempa atau ditepuk-tepuk adalah cara membuat lauk

tersebut sehingga bisa berubah bentuknya. Tempa-tempa dengan

bentuk segitiga adalah simbol ‘atuongen ri lino’ (kehidupan di dunia)

atau disebut dengan tiga arah mata angin yaitu alau’ atau timur,

maniang atau selatan, arai atau barat.

Segitiga juga simbol bentuk timpa’ laja’ atau bentuk bubungan

atap rumah orang Bugis yang membedakan strata sosial seseorang.

Tempa-tempa berbentuk daun adalah simbol tumbuh-

tumbuhan. Jenis tanaman yang ada di bumi sungguh sangat beraneka

ragam mulai dari yang bisa di komsumsi sampai tumbuhan yang

hanya sebagai penghias atau tanaman hias, semua pasti mempunyai

daun yang berfungsi sebagai pembuat makanan yang utama dari

hampir semua tumbuhan.

Tempa-tempa tello bale= etP-etP tElo bel diibaratkan bulatan-

bulatan kecil itu adalah simbol dari planet-planet yang ada di alam

semesta. Sedangkan yang melingkari atau yang mengitari bulatan

75

kecil tersebut diibaratkan Bumi mengelilingi matahari, hal ini

mengingatkan kepada manusia bahwa hidup ini masih terus berputar

selama masih ada kehidupan. Karena itu manusia tidak boleh

sombong dan angkuh, bahkan takabur karena kehidupan seseorang

tidak akan selamanya berada pada posisi yang tetap namun akan

selalu berputar dan menjadikan seseorang yang sombong berada

pada penghidupan yang rendah.

Tempa-tempa gambere adalah simbol eppa sulapa yaitu ada

tanah, api, air, dan angin, yang berarti bahwa dalam kehidupan ini

dari keempat unsur ini ada dalam kehidupan. Manusia berasal dari

tanah dan akan kembali kepada tanah. Air dalam kehidupan sangat

berarti karena dengan air, baik manusia, hewan dan tanaman

memerlukan air, tanpa air maka alam akan menjadi kering dan

penghuninya bisa terancam mati kelaparan.

Tempa-tempa yang berbentuk seperti alu adalah bisa

diartikan dalam berbagai simbol, yang pertama adalah simbol huruf

pertama dalam kitab suci Al-Quran yaitu alif. Simbol kedua yaitu

watakkale tettong ( batang tubuh manusia). Manusia adalah khalifah

di muka bumi ini dengan dibekali akal pikiran untuk berkarya agar

bisa berguna bagi dirinya dan bagi orang lain.

Cucu Bannang (Beras empat warna) simbol warna dalam

kehidupan.

76

Dalam kehidupan ini ada empat warna yang sangat dominan

menyertai dalam setiap aktifitas manusia baik warna pakaian maupun

warna makanan yaitu: putih, hitam , merah dan kuning.

Pute Bali’ Lotong=puet bli lot (Putih berubah menjadi hitam)

Maknanya manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih,

seperti kain putih polos bersih tanpa noda. Pute (putih) dan hitam

(lotong) dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia,

karena sesungguhnya manusia bisa berubah dalam waktu sekejap

dalam hitungan detik pun manusia bisa terjatuh kedalam hal yang

bersipat buruk atau jelek. Persoalan yang membuat manusia dari baik

menjadi buruk disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena

harta atau uang yang bisa menjadikan manusia yang jujur menjadi

pembohong.

Hal seperti itu di jaman sekarang ini sudah biasa terjadi, karena

hal itu sudah menjadi kodrat alam bahwa alam ini terlahir diciptakan

secara berpasangan. Ada siang ada malam, ada kaya ada miskin, ada

laki-laki ada perempuan, ada calabai dan ada calalai. Begitulah

seterusnya kehidupan berputar seperti roda kadang diatas terkadang

dibawah, yang apabila manusia tidak dapat mengalahkan napsunya

maka tidak mustahil akan terperosok kedunia yang kelam, dari yang

putih menjadi hitam.

Pute Bali’ cella = peut bli cEl (putih menjadi merah)

77

Pute (putih) berarti suci merah artinya berani. Dalam tubuh

manusia mengalir darah yang merah dan segar, manusia tidak dapat

hidup tanpa ada darah dalam tubuhnya.

Namun disisi lain darah dalam filosofi bugis adalah tamu

perempuan yang setiap bulan selalu hadir tanpa bisa ditolak

kehadirannya, karena sudah merupakan kodrat yang diberikan oleh

Tuhan Yang maha Kuasa.

Warna ridi= wrn ridi (kuning)

Kuning diibaratkan tulang sumsung manusia ,

Warna Gau = wrn gau (biru)

Gau dalam bahasa bugis adalah tingkah laku atau perbuatan

manusia dalam melakoni kehidupan di muka bumi sebagai khalipah.

Gau atau dalam Bahasa Indonesia di kenal sebagai warna biru

merupakan simbol ampe-ampe atau tingkah laku manusia.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari

suatu niat yang baik dan ikhlas unutk melakukan sesuatu demi

tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik

mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud

lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan

dan memurnikan hatinya dari segala nafsu-nafsu kotor, dengki, iri hati,

dan kepalsuan-kepalsuan.

78

Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan

tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat

tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan

menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum

tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat

menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik

perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Segala

macam perbuatan harus dimulai dengan niat yang suci karena tanpa

niat suci (baik), tindakan manusia tidak akan mendapatkan ridha dari

Tuhan Yang Maha Kuasa.

Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan

pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya.

Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya

dengan lebih tepat.

Manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang

direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Lontara’

menyebutkan:

Atutuiwi anngolona atimmu; aja’

Mummamminasangi ri ja’e padammu rupa tau nasaba’ mattentui iko

matti’ nareweki ja’na apa riturungenngi ritu gau’ madecenge riati

maja’e nade’sa nariturungeng ati madecenge ri gau’ maja’e. Naiya tau

maja’ akaleng atie lettu’ rimonri ja’na.

79

(jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada

sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima

akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk

akibatnya akan sampai pada keturunanya keburukan itu).

Maksud dari papesangka diatas menitikberatkan pentingnya

seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut

untuk selalu berniat baik kepada sesama. Manusia tidak akan

membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu , emosi, perasaan,

kecondongan , melainkan dari suatu pedoman (toddo), yang

memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia.

Ada satu pepatah Orang Bugis yang mengatakan “ Buru Buku-

buku te’ buru rampe-rampe” yang artinya apabila kelakuan seseorang

baik, tidak pernah berbuat hal-hal yang aneh atau merugikan orang

lain maka baik pula cerita atau ingatan seseorang terhadapnya,

namun apabila orang tersebut kelakuannya buruk dan selalu membuat

onar, maka tidak berhenti orang mengingat keburukan orang tersebut,

walaupun orangnya telah tiada atau meninggal dunia. Kebaikan dan

keburukan seseorang akan tetap dibicarakan walaupun sudah

meninggal.

Beppa Seppulo Dua Rupanna= ebp sEpulo dua rupn (Kue dua

belas macam )

Onde-onde= aoed-aoed (umba-umba/kelepon)

berbahan dasar

80

1. beras ,

2.gula, dan

3.kelapa

Onde-onde yang dalam Bugis dan umba-umba dalam bahasa

Makassar akan selalu dijumpai dalam setiap acara atau hajat

masyarakat Bugis-Makassar entah itu naik rumah (menre bola atau

panai’ balla, menikah, sunat, dan hajat lain) yang selalu menandakan

bahwa hajatan tersebut adalah suatu hajatan yang berbau

kegembiraan dan maksud yang baik.

Onde-onde ini menandakan seseorang yang selalu

menginginkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan dan

kesenangan, yang berarti kehidupan “malunra na macenning

akkatuongenna” adalah kehidupan yang penuh dengan

kegembiraan, kesenangan dan berkecukupan. Dalam arti lain

kehidupan manusia semakin hari akan semakin lebih baik dari

kehidupan sebelumnya.

Beppa Cangkuling

Cangkuling berbahan dasar

1. Beras ketan

2. Gula merah

3. Kelapa

Menurut filosofi dan keyakinan orang tua-tua masyarakat bugis-

Makassar kue ini dilambangkan dengan segala sesuatu kebaikan

akan terus-menerus berulang tanpa henti dalam hal kebaikan rejeki

81

dan penghidupan. Perpaduan dari kelapa, beras dan gula adalah

agar kehidupan yang penuh nikmat dan penuh rezeki akan bisa

berulang-ulang secara terus-menerus. Cangkuling berasal dari kata

“kuling” ditambah “ma” menjadi “makkuling” , makkuling-kuling aga-

aga madecenge. Dan diharapkan sesuatu yang baik itu akan

bermanfaat dan penuh isi “malunra na maccenning” hidup yang

selalu dianugrhi kebahagiaan dan kesenangan.

Beppa oto= ebp aoto yang berarti bangun atau bangkit. Oto

yang dari bahasa bugis yang berati bangun adalah kehidupan ini

harus terus dibangun jangan sampai tertidur dan berusaha untuk

selalu bangkit menghadapi arus kehidupan yang keras dan bangkit

untuk bekerja keras agar kehidupan keluarga bisa terus berlangsung

tanpa kekurangan apapun, terpenuhi segal keperluan baik sandang,

pangan maupun papan.

Cucuru bayao dan kue-kue yang lainnya adalah kue yang menjadi

bahan pelengkap saja. Kue-kue yang lainnya menandakan bahwa

orang bugis atau suku Bugis selalu dan menginginkan perubahan dan

pembauran dengan suku lain yang ada di nusantara, karena

sesungguhnya keanekaragaman dan perbedaan akan menambah

hasanah budaya yang beragam.

Bhineka tunggal ika merupakan semboyang bangsa Indonesia

yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari

keanekaragaman. Membiasakan bersahabat dan saling membantu

dengan sesama warga yang ada dilingkungan sekitar, walaupun tidak

82

satu suku, seperti gotong-royong, akan dapat memudahkan

tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga tercipta

suasana yang damai berbaur untuk selalu menjadi satu dan bersama-

sama dalam membangun keutuhan masyarakat dengan memegang

prinsip bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Perbedaan yang ada

bukanlah halangan untuk menjadi maju, namun perbedaan akan bisa

membawa bangsa atau suku untuk lebih maju.

Aksesoris yang digunakan dalam kegiatan maggiri atau ritual

adalah sebagai berikut:

Passapu atau sikku tellu (segitiga di kepala) adalah simbol

perempuan yang harus menggunakan tutup kepala atau hijab yang

berarti juga harus menutup aurat, agar terlindung dari pandangan

yang bukan menjadi muhrimnya.

Pakambang atau selendang adalah simbol jaring yang diartikan

dunia ini pada akhirnya akan kiamat dan yang menurut

kepercayaan bissu bahwa pada saat itu manusia yang

berterbangan seperti anai-anai akan dijala atau dijaring untuk

kembali kedunia atas.

Baju yang diberi nama Bella dada yang berarti kesopanan. Dalam

dada ada hati yang bisa memilih dan memilah segala yang baik dan

segala yang buruk.

Sarung namanya tope adalah, luasnya dunia yang harus dapat

diarungi dengan segala daya. Sedangkan hati yang luas berarti

manusia harus bisa menerima apapun yan diberikan oleh Sang

83

pencipta, harus dengan hati yang ikhlas menerima hal tersebut.

Wiring tope atau wiring lipa (pinggir sarung) adalah simbol

kehidupan dunia atas (botting langi), dunia tengah (ale lino), dunia

duniah bawah (ale kawah).

Celana namanya pakalepe. Simbol pallawa-lawa atau pateppo

(penghalang atau pemotong) adalah penangkal, yang dapat

berfungsi sebagai penangkal dari segala perbuatan yang jahat, baik

oleh bangsa manusia maupun oleh bangsa jin yang diartikan

adalah Paccalla lino (cobaan hidup di dunia).

Hidup di dunia ini diibaratkan sebuah perahu yang mengarungi

lautan luas tak bertepi dengan ombak yang besar, yang apabila

nahkoda tidak mengendalikan kemudi maka kapal akan terbalik dan

bahkan tenggelam didasar lautan, begitu pun dengan dalam

kehidupan yang pasti selalu ada cobaan dari sang pencipta kepada

umatnya. Apabila seorang hamba tabah menghadapi semua

cobaan yang diberikan, maka niscaya derajat yang lebih tinggi akan

diberikan oleh sang pencipta.

Badik atau dalam bahasa Bugis disebut kawali adalah senjata

tradisional Bugis- Makassar. Badik mempunyai bagian-bagian

seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung), seperti

pada senjata tradisonal lainnya, kawali juga dipercaya memiliki

kekuatan sakti, baik itu yang dapat membawa keberuntungan

ataupun kesialan. Seperti kata orang Bugis Makassar mengenai

badik atau kawali “Teyai bura’ne punna tena ammallakki badik

84

(bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan

kata orang Bugis “taniya ugi narekko de’na punnai kawali” (bukan

orang Bugis jika tidak memiliki badik). Badik atau kawali bukan

hanya berfungsi sekadar sebagai senjata tikam, melainkan juga

melambangkan status, pribadi dan karakter pembawanya. Badik

sejatinya adalah sebagai media simbolik, ia hanya bisa tercabut

atau dicabut untuk menjaga diri dan kehormatan pemiliknya atau

keluarganya dan bukan alat untuk melakukan kejahatan atau

pengancaman. Badik adalah pelengkap dari “pappaseng” (pesan-

pesan leluhur yang baik) yang diwariskan kepada anak cucunya

sebagai pendamping untuk menegakkannya. Sejatinya, badik

adalah untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kehormatan,

lebih penting dari itu semua adalah kematangan dan kearifan si

pembawa badik itu sendiri.

Paccoda adalah simbol asal usul nenek moyang atau manusia

yang pertama turun dari botting langi turun kebumi atau ale lino,

yang sengaja diturunkan oleh dewa patotoe untuk meramaikan

bumi atau ale lino yang bisa menyembah kepada dewata baik

dalam keadaan susah terlebih lagi dalam keadaan bahagia atau

senang.

Adidi masebbu (lidi beribu-ribu) adalah simbol persatuan dan

kesatuan. Diibaratkan bahwa dalam sebuah masyarakat apabila

menghadapi kesusahan atau menghadapi musuh, tidaklah mungkin

dapat dihadapi sendirian akan tetapi harus bersama-sama

85

menghadapi musuh, niscaya musuh dengan mudah dapat

ditaklukkan. Hal itu sejalan dengan pribahasa “bersatu kita teguh

bercerai kita runtuh”. Begitu pun dengan lidi yang apabila hanya

satu batang lidi saja digunakan untuk menyapu kotoran niscaya

akan sangat susah untuk menghilangkan kotoran tersebut, namun

apabila lidinya banyak maka dengan mudahnya membersihkan

kotoran yang ada.

Lellu adalah teddung yang menyerupai sebuah payung yang

digunakan pada zaman dulu untuk memayungi karaeng atau raja,

dan diperbolehkan memegangnya adalah sandro atau pawang

yang bisa massappo eppae sulapa atau memagari eppa sulapa

(empat penjuru) . Teddung atau payung berarti memayungi atau

menaungi, memberikan naungan kepada siapa saja, agar bisa

terlindung dari segala marabahaya dan malapetaka.

Taluttu adalah sejenis kain putih yang dibentangkan sepanjang lima

puluh meter, yang dijadikan alas atau yang diinjak mempunyai

makna bahwa selama kita hidup di dunia ini haruslah tetap berjalan

di jalan yang lurus atau bersih, melangkan kaki untuk hal yang baik

yang bisa berguna bagi siapa pun.

Ada’ papaseng orang tua dulu “lokkako mangkalinga panggadereng

riawana barugae” yang berarti berjalanlah kalian untuk mendengar

hal-hal yang baik tentang kebaikan dan adat-istiadat atau

kebiasaan orang Bugis yaitu sipakatau, sipakainge, dan

sipakalebbi. Sipakatau Artinya saling menghormati atau saling

86

memanusiakan, menghargai harkat dan martabat orang lain

sebagai mahluk ciptaan Tuhan yan paling sempurna.

Sipakalebbi yang berati saling memuliakan posisi dan fungsi

masing-masing dalam kehidupan sosial, senantiasa berperilaku

yang baik sesuai dengan adat yang berlaku, dan Sipakainge adalah

saling mengingatkan satu sama lain, saling menghargai dan

menerima saran dan kritikan yang bersifat membangun.

Bulo reppa (bambu pecah) adalah simbol assedingen, yang

menandakan bahwa betapa anak-anak suku Bugis selalu bersatu

dalam melakukan suatu pekerjaan agar hasilnya lebih maksimal.

Oje adalah simbol bumi yang mengelilingi rotasinya

Alameng adalah sejenis pedang atau senjata tajam yang dibawa

oleh puang Towa kemanapun beliau pergi barang tersebut selalu

dibawa apabila hendak melakukan ritual. Sementara Bissu yang

lain hanya berupa keris atau tappi.

Arumpigi atau lolosi arumpigi simbol perkawinan burung dengan

ular . Benda ini sejenis alat musik yang digunakan untuk memanggil

sesama burung.

Memmang atau nyanyian yang dilantunkan oleh pemimpin bissu

sebelum melakukan ritual adalah sebagai berikut:

Ooo rueee

Kerru jiwamu pale

Talaga pun ratu

Uppaddirate mai alebiremmu

87

ao ruea

kEru jiwmu pel

tlg pu rtu

aupdiret mai alEbirEmu

Ya Tuhan

Semangat jiwamulah,

wahai adinda

Kujunjung tinggi derajatmu

Maknanya adalah sikap seorang hamba yang senantiasa

memberi hormat dan menyembah kepada tuannya ataupun

rajanya dalam keadaan apa pun.

Ooo rue

Mangkau iko mu pale

Eee puangge pole wiring langie

ao ruea

mKau aiko mupel

ea puaeG poel wiri lGiea

ya tuhan

ternyata engkau tuhan

tuhan yang berasal dari pinggir langit

Artinya:

Tuhan (Dewata), engkaulah Tuhan yang diturunkan dari langit

menuju bumi yang akan dijadikan pemimpin .

88

Kekkengenggi linoe

Tenrenrengi pole linoe

Salangkaengi tanae

O mularennunnu pale

kEkEGi linoea

tEeReRGi poel lino

slKeaGi tnea

ao mul ernunu pel

yang memegang dunia

yang datang tanpa bantuan siapa pun

yang menopang tanah dari bawah

yang mencari jalan kehidupan

Maknanya adalah;

Dunia ini akan berada dalam kekuasaannya, karena kesaktian

yang di miliki akan mampu menopang seluruh sendi kehidupan di

dunia dan akan menjalani kehidupan dengan penuh kebahagiaan

Addampengeko mai mangkau e

Duae rate tellui rate

Uppaddirate mai alebbiremmu

Iko pue

89

adPEko mai mKau ea

duea rtE tEluea rtE

aupdirtE mai alEbirEmu

aiko puea

memohonlah ampun wahai pemimpin (Raja atau arung)

kepada Sang pencipta.

Dua diatas, tiga diatas,

Kujunjung tinggi derajatmu

Tuhan pencipta seru sekalian alam

Artinya,

seorang hamba harus senantiasa memohon ampun kepada Tuhan

Pencipta-nya atas segala apa yang dilakukannya. Karena

sesungguhnya manusia tak pernah luput dari khilap dan dosa. Dan

sesungguhnya antara seorang hamba dan pencipta-nya, ada hal

yang tak bisa terucapkan itulah yang dikatakan, tubuh, nyawa dan

rahasia. Sungguh Tuhan adalah pencipta langit dan bumi yang tak

pernah terbantahkan kebenarannya.

Oooo......rueee

Oteddukka matu

ri alla nabi cicue iya malaeka eppae

ao ruea

autEduko mtu rial nbi cicuea

aiylea rimleak aEpea

90

Ya Tuhan....

Engkau akan dibangunkan

Oleh empat malaikat

Artinya, manusia akan dibangkitkan dari segala penjuru arahyaitu

timur, barat, utara dan selatan.

Aja musala panggade

Aj musala passessung

Utau calikereng lete

lao ri panggemerekku

aj musl psEsu

aj musl pGdE

autauu clikErE elet

lao ri pGEEEmErEku

jangan salah dalam berbicara

jangan salah dalam berperilaku

manusia sering mengucapkan sesuatu yang menjadi keinginnanya.

Artinya,

Manusia jangan berbuat atau melakukan tindakan yang dapat

meyalahi aturan yang telah ditetapkan baik yang dibut oleh

manusia apalagi yang sudah di tetapkan oleh Tuhan. Manusia tidak

boleh berlebihan dalam segala hal, baik dalam berbicara, dan

91

bertindak, karena sesungguhnya,apa yang dimiliki saat ini adalah

titipan yang diberikan oleh-Nya, apakah sebagai manusia mampu

memahami dan menyadari bahwa in semua adalah sementara,

apakah manusia bisa bersyukur atau tidak dengan apa yang telah

diperolehnya.

Rau-rau patola tarau

muola lete

Nagae muattongcengi

Pottoe muakkarekkengi mangkau

Rau-rau ptol trau

muaol elet

ngea muatoeCGi

potoea muakrEkEGi

pelangi yang engkau lalui

naga tungganganmu

Usaweko mai ri paratiwi

Usaweko mai ri lino tenggae

Usawekko mai ri botting langie

auswEko mai riprtiwi

auswEko mai ri lino tEGea

auswEko mai ri boti lGiea

yakin akan kekuasaan Tuhan

yang membawamu ke dunia bawah

92

yang membawamu ke dunia tengah

yang membawamu ke dunia atas

Iko are ga hatu mai

Iya Buajana bulue

Lampuarana tasie

aiko aerg htumai

aiy buajn buluea

lPuarn tsiea

mEet tERi bliea

ternyata kamu

buaya di atas gunung

buaya yang ada di laut

berbicara namun tak ada yang menjawabmu

Maknanya,

Sesungguhnya ini adalah peringatan kepada manusia yang lalai,

manusia yang selalu berhura-hura, manusia pendosa. Tuhan telah

mengingatkan akan murka Allah yang sangat pedih, yang akan

membuat manusia menyesal. Apabila nyawa sudah terlepas dari

raga, tak ada lagi yang bisa diperbuat. Tuhan telah murka, dunia

dihancur-leburkan dengan mendatangkan bencana alam, namun

manusi tak pernah sadar. Bertobatlah selalu, sebelum ajal datang

menjemput, sebelum pintu tobat tertutup, sesungguhnya Allah

Maha penyayang dan Maha Pengampun.

93

Mette tenri balie

Makkedae tenri sumpala

Musorokoha matu

Iko la Dewatae maccalae

Waliyala maddenrungeng

mEet tERi bliea

mkEdea tERi suPl

musoro kohamtu

aiko ldEwt mclea

wliyl mdERuGE

Tuhan akan mengambil nyawamu

Karena sesungguhnya,

Semua yang ada di dunia ini

Pada akhirnya akan mati, dan

Akan kembali kepada-Nya. Bertobatlah, ingat kepada Sang

Pencipta. Manusia, hewan dan seluruh yang ada di bumi ini adalah

tanda kebesaran Sang PenciptaTuhan Semesta Alam.

Artinya,

hidup di dunia ini sangat banyak cobaan, manusia harus kuat untuk

menjalaninya, karena cobaan yang diberikan adalah untuk menguji

ketaatan seorang hamba kepada pencipta-Nya. Jalani kehidupan

dengan berpedoman kepada agama, agar tidak menyesal nantinya.

94

Pungo tennana tiwi

sini ompo tennawawa

sumangeko ri lino

tunrue papengeng sikkiri

adekia assarae puo-puo cudae

alamakeng abbisungeng arukaju, o pabatari

puGo tEn tiwi

sini aoPo tEn ww

sumGEko ri lino

tuRuea pepGE sikiri

adEki asrea puo cudea

almkE abisuGe arukju

ao pbtri

sesungguhnya kehidupan di dunia ini

sungguh sangat berat

manusia harus kuat menghadapi segala tantangan

harus tetap semangat untuk menjalani kehidupan di dunia

selalu berjalan sesuai yang ditentukan oleh agama

agar lebih mengetahui asal usul dan tardisi kita

melalui abbisungeng, oh Tuhan...!

ooorueee

95

Dapo-dapona batara

Kusimulajajing kuteteng

kupangesara

aoruea

dpo-dpona btr

kusimuljji kuetet

kupeGsr

ya tuhan,

Kuali kepunyaan Dewa

Telah ada sejak dia lahir

Di pegang dan dibawah kemana-mana

Artinya,

sesungguhnya sumber kehidupan telah ada sejak awal dunia ini

tercipta dan sampai akhir zaman. Manusia sebagai khalipah di bumi

harus bisa mencari jalan rejekinya agar dapat hidup dengan layak

dan tidak menjadi beban bagi yang lain.

Saliu sarompo-rompo

Saliu sanra batara

Ana toa battoa

Lao-lao ko hamai musolo

sliau sroPo-roPo

sliau sR btr

an toa btoa

96

lao-lao kohmai musolo

berdatanganlah semua

datanglah kepada tuhanmu

anak-anak, orang tua

datanglah untuk bersedekah

Lanyu-lanyu anurungeng

Toriwakasi na upasangajiko

ro sakkoro

Wennie tunrui papenge

lNu-lNu anuruGEu

toriwksi n aupsGjiko

ro skoro

wEniaE tuRuai pepGE

mengetahui asal dunia atas

seluruh jagat raya tercipta

bagaikan sebuah keajaiban

yakinlah...!

Madekia assarae sikkiri’e

Pao-pao cudae ampulangeng

Alamakeng abbissungeng

Arung kaju, Opa batari

mdEki asrae sikiriaea

pao-pao cde aPlGEu

97

almkE abisuGE

aru kju, ao pbtri

seluruh tanda-tanda kebesaran Tuhan

segala perintah untuk selalu mengingatnya

bersikir selalu,

yang mengingatkan manusia untuk

selalu mengingat asal muasalnya

dan tradisi lama ( attauriolong) melalui abbisungeng

ya... Tuhan!

Mantera yang kedua bissu sudah bersiap untuk memasuki arena

maggiri

Ya sabo yoo

E ya saboo yoo

E pole alauka mai wanuanna bessie

E yaa saboo yooo

E yaa saboo yooo

E langkana aja mumarusseng

E natudduko no mpissue

E yaa saboo yoo

E laengkana aja mumarusseng

E natudduko no mpissue

98

E cenrana datu ajue

E yaa saboo yoo

E cenrana datu ajue

ea y sbo yo

ea y sbo yo

ea poel alauk mai wnuan bEsiea

ea y sbo yo

ea y sbo yo

ea laEKn aj mumrues

ea ntuduko no Pisuea

ea y sbo yo

ea laEKn aj mumrues

ea ntuduko no Pisuea

ea cERn dtu ajuea

ea y sbo yo

ea cRn dtu ajuea

Iko malaekana bolae

aja mumacai

99

pa elokkona onroi ma’bbissu,

bissu dewata, eloko na rumpu

aja mumacai

ya Tuhan...

Ya Tuhan...

Aku datang dari timur

wahai engkau malaikat rumah

janganlah engkau marah

janganlah engkau marah

rumah ini akan dipakai untuk mabissu

janganlah marah bila terkena asap dupa

Artinya

mereka meminta izin kepada malaikat rumah, agar tidak marah karena

rumahnya akan di pakai untuk acara mabbissu dan terkena oleh

paparan asap dupa-dupa yang telah di bakar sebelumnya.

Cenrana Datu aju yang dianggap dan diyakini bahwa kayu cenrana

adalah Datu=dtu (raja) kayu karena getahnya yang berwarna merah

merupakan darah yang berwarna merah (dara aju atau aju maddara),

dan kayu cendana pammali digunakan sebagai papan untuk lantai

rumah hanya boleh dijadikan dinding saja, karena barang siapa yang

100

menggunakan kayu cendana untuk lantai rumah, maka penghuni

rumah tersebut akan mengalami sakit keras, yang tidak ada obatnya

dan pada akhirnya meninggal.

B. Pembahasan

Sebagai tindak lanjut dari pengolahan dan analisis data tentang

Makna Simbolik dalam Teks Ritual Maggiri pada Pesta Adat

Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep, pembahasan sebagai

berikut:

Pelaksanaan ritual Maggiri di Kabupaten Pangkep ternyata sarat

dengan simbol yang terdapat pada setiap kata dan gerakan serta

pernak-pernik yang digunakan. Ricoeur (1976: 6) menyatakan bahwa

bentuk simbol dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan menjadi dua

kelompok, yakni simbol verbal dan simbol non verbal. Simbol verbal

adalah simbol-simbol yang berupa bahasa yang dituturkan oleh para

pelaku sedangkan simbol nonverbal adalah benda-benda yang

menjadi pelengkap dalam ritual.

Seperti yang dikemukakan oleh Pierre (dalam Endraswara, 2008:

65) bahwa salah satu jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda

dengan yang ditandakan adalah simbol. Simbol adalah tanda yang

memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer,

sesuai dengan suatu konvensi lingkungan tertentu.

Simbol-simbol dalam ritual maggiri adalah tanda yang memiliki

hubungan makna dengan yang ditandakan bersifat arbitrer, sesuai

dengan konvensi masyarakat bugis segeri . Seperti “alosi” (pinang)

101

adalah simbol kejujuran , “ota sakke” (siri) adalah simbol

kesempurnaan “tope” (sarung) adalah simbol betapa dunia bulat dan

luas, “pakambang” (selendang) adalah simbol jaring, “alameng”

(pedang), “passapu” (segitiga di kepala) adalah simbol penutup aurat,

bella dada (baju) adalah simbol manusia yang mempunyai hati,

pakkalepe (celana) adalah simbol penangkal dari segala mara bahaya

dan badik atau kawali atau tappi adalah simbol status sosial,

kepribadian dan karakter pembawanya. semua simbol tersebut adalah

persetujuan masyarakat bugis tentang yang disimbolkan.

Selanjutnya Azis (2012: 18) menyebutkan bahwa ada empat ciri

utama simbol (1) simbol bersifat figuratif yang selalu menunjukkan

kepada sesuatu diluar dirinya, (2) simbol bersifat dapat dicerap baik

sebagai bentuk objektif dan sebagai konsep imajinatif, (3) simbol

memiliki daya kekuatan yang melekat secara gaib, mistis, religius atau

rohaniah, dan (4) simbol mendapat dukungan dari masyarakat.

Misalnya “Siri” (sirih) adalah simbol harga diri dan rasa malu.

“Ota Sakke” adalah simbol kesempurnaan seorang Bissu, “ota”

(otak manusia) mappalise adalah simbol isi atau berisi, karena

manusia diciptakan dan terlahir dalam keadaan sempurna yang

dikaruniai akal dan pikiran yang ada dalam otak manusia. “siri” (Sirih)

adalah simbol malu atau harga diri masyarakat Bugis. Siri bagi orang

Bugis menyangkut reputasi, harga diri atau martabat, dan kehormatan

semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata.

102

Istilah malu atau siri’ adalah menyangkut unsur yang hakiki

dalam diri manusia Bugis yang telah dipelihara sejak mereka

mengenal apa sesungguhnya arti hidup ini dan apa arti harga diri bagi

seorang manusia (Abdullah, 1985: 40-41).begitu pentingnya siri ‘

dalam kehidupan orang bugis sehingga mereka beranggapan bahwa

tujuan manusia hidup di dunia ini adalah untuk mempertahankan atau

menegakkan dan menjaga siri’ tersebut.

Siri merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam

masyarakat Bugis makassar merupakan sesuatu yang sangat sakral,

begitu sakralnya kata tersebut, sehingga apabila seseorang

kehilangan siri’na atau tidak mempunyai rasa malu tak ada lagi artinya

menempuh kehidupan sebagai manusia. Bunga nangka atau lempu

adalah simbol kejujuran, lurus dan tidak menyimpang dari aturan yang

berlaku.

Warna-warna yang digunakan dalam berupa warna putih, merah,

kuning, dan biru adalah merupakan warna yang dalam kehidupan

setiap warna yang tertera adalah bagaimana manusia bisa menyikapi

semua dengan penuh optimis agar kehidupan yang dijalani bisa

berdaya guna. Hidup dan kehidupan yang diwarnai akan lebih

bermakna jika apa yang telah terjadi menjadi pengalaman dan

dijadikan pedoman dalam menjalani hidup sebelum mengambil

sebuah keputusan yang pasti.

103

“Passapu” atau segitiga, yang berarti manusia harus menutup

kepalanya atau berkerudung karena merupakan kewajiban yang telah

ditentukan oleh sang Pencipta.

“pakambang” atau selendang, adalah simbol kehidupan di dunia

ini hanya sementara, yang bila sudah masanya maka manusia akan

dijala karena manusia begitu sangat kecil. Apabila sangkakala telah

ditiupkan maka manusia beterbangan seperti anai-anai dan bumi akan

hancur, semua akan kembali ke sang pencipta, tanpa seorang pun

yang dapat menolaknya.

Bella dada” atau baju adalah simbol manusia yang mempunyai

hati yang dapat memilah baik dan buruknya sesuatu. Kata hati

(arab:qalbun) mempunyai du penggunaan dalam bahasa, pertama

menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu,

kedua bermaknaerubah dan membalikkan sesuatu dari satu posisi ke

posisi yang lain.

Hati merupakan bagian yang paling murni dan paling mulia dari

seluruh makhluk hidup, dan dia juga sangat rawan untuk berbolak-

balik dan berubah haluan. Nabi Muhammad saw bersabda yang

artinya “wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada

agamamu” (HR.At-Tirmidzi dari Anas bin Malik) adapun letaknya,

maka Al-Qur-an dan As- Sunnah menunjukkan bahwa dia terletak di

dalam dada. Allah berfirman,”karena sesungguhnyabukanlah mata itu

yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (Qs. Al-

Hajj: 46).

104

“Tope” atau lipa adalah simbol luasnya dunia yang begitu

banyak cobaan dan rintangan yang harus dihadapi. Namun,

sesungguhnya sarung merupakan kain yang selalu digunakan oleh

manusia dalam segala aktifitasnya, bahkan meninggal pun manusia

masih diberikan sarung sebagai penutup jasadnya. Sarung dapat

menyentuh segala lapisan masyarakat dan pada masa kolonial

belanda, sarung merupakan simbol sebuah perlawanan.

“Pakkalepe” atau celana atau patteppo adalah simbol

penangkal dari segala mara bahaya yang ada, baik secara kasar

maupun secara kasat mata.

Makna yang terkandung di balik simbol dalam ritual maggiri

merupakan makna yang terkandung oleh pandangan dan budaya

Bugis pada umumnya yang bersifat arbitrer dengan hal yang

disimbolkan.

Dalam komunias bissu terdapat seorang pemimpin bissu

yang disebut “Puang matowa” atau “Puang Towa” yang merupakan

pimpinan tertinggi dalam komunitas tersebut. Tugas Puang Matowa ini

antara lain, sebagai penasehat kerajaan, pengabdi dan penjaga

arajang (benda-benda pusaka kerajaan) yang merupakan benda

pusaka dan dianggap keramat.

Dalam kenyataannya dewasa ini, bissu yang ada sekarang

adalah pewaris bissu zaman dahulu sebelum masuknya Agama

Islam di Sulawesi Selatan kepercayaan Bugis pada masa silam

dijalankan dengan konsep dewa tertinggi atau To Palanroe.

105

Sistem kepercayaan ini disebut attoriolong (leluhur), yang

secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Melalui

attoriolong=atoriaolo (leluhur), petunjuk- petunjuk normatif dalam

kehidupan bermasyarakat diwariskan. Sampai saat ini kepercayaan ini

belum hilang meskipun masyarakat telah memeluk Agama Islam.

Sebelum kedatangan Agama Islam, sebagian masyarakat

Sulawesi Selatan sudah mempunyai kepercayaan asli dan menyebut

Tuhan dengan sebutan Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa),

yang berarti Tuhan kita yang satu.

106

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka peneliti

dapat menarik simpulan bahwa:

Makna Simbolik Ritual Maggiri pada Pesta Adat Komunitas

Bissu di Kabupaten Pangkep sarat dengan simbol. Adapun jenis

simbol yang digunakan dalam acara tersebut adalah simbol

kesempurnaan seorang manusia atau bissu, simbol starata sosial,

simbol religius, simbol kehidupan, simbol kejujuran, simbol warna

kehidupan, simbol persatuan, simbol dunia simbol kerukunan.

Simbol kesempurnaan seperti “ota sakkek” (siri,kapur, tembakau,

dan pinang), simbol rasa malu atau harga diri masyarakat Bugis,

“puale” (kapur) tulang-belulang manusia, putih bersih, “ico” (tembakau)

simbol kehidupan masih berlangsung, “alosi” (pinang) simbol otak

manusia. “ota patapullo” (sirih empat puluh) simbol religius. “lempu-

lempu” (bunga nangka) simbol kejujuran. “ pute bali’ lotong, pute bali’

cella, ridi, dan gau” ( putih berubah menjadi hitam, putih menjadi

merah , kuning, biru) simbol warna-warna kehidupan. “adidi

massebbu” (seribu lidi) simbol persatuan. “tope” (sarung) adalah

107

simbol dunia yang luas. Beppa seppulo dua rupanna (kue dua belas

macam) simbol pembauran dengan suku lain. Sedangkan

memmangnya (mantera) atau nyanyiannya adalah pesan-pesan

kepada manusia untuk selalu mengingat sang pencipta akan semua

yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali ke haribaan sang

Pencipta, jangan sombong dan jangan pernah takabur karena hidup

di dunia hanya sementara saja.

Makna yang terkandung di balik Simbol ritual maggiri pada pesta

adat komunitas bissu merupakan makna yang ditentukan oleh

pandangan dan budaya suku Bugis serta adanya kesamaan sifat dan

wujud suatu simbol dengan hal-hal yang disimbolkan.

Begitu pun persepsi masyarakat yang menganggap kehadiran

bissu sebagai hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan

masyarakat, terkhusus para petani yang sangat mempercayai ritual

bissu dapat memengaruhi hasil panen.

A. Saran

Sehubungan dengan tujuan penulisan ini, maka peneliti mengajukan

beberapa saran sebagai berikut:

1. Sebagai anggota masyarakat Bugis tidak berlebihan jika peneliti

menyarankan bahwa penelitian tentang sastra terkhusus tentang

acara Ritual Bissu perlu mendapat perhatian peneliti, secara

khusus masyarakat bugis atau peneliti yang cinta dan tertarik

dengan kebudayaan Bugis.

108

2. Seiring dengan perkembangan zaman Keberadaan sastra Bugis

kuno semakin terkikis oleh oleh adanya pengaruh budaya luar,

Oleh karena itu generasi muda sebagai pewaris budaya agar

menjaga dan melestarikannya.

3. Makna Simbolik Ritual Maggiri pada Pesta Adat Komunitas Bissu

yang penulis kaji belumlah sempurna, mengingat masih banyak hal

yang belum terungkap secara maksimal. Penulis mengharapkan

penelitian dan pengkajian lebih lanjut untuk lebih

menyempurnakan penelitian ini.

109

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar.Jakarta: Inti IdayuPress

Abidin Farid, Andi Zaenal. 1979. Beberapa Istilah dan Ungkapan didalam Lontarak dan Petuah Lisan. Ujung Pandang: FIISBUDUniversitas Hasanuddin.

Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos danKarya Sastra. Yogyakarta: Galang Press

Ahmad. 2003. Urgensi Pemetaan Wilayah Bahasa Daerah danReinventarisasi Nilai Sejarah dan Seni Budaya KabupatenPangkajene dan Kepulauan. Dinas Pendidikan NasionalPemerintah Kabupaten Pangkep: Pangkep

Alwasilah, A, Chaedar. 1984. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:Angkasa.

Amie, A, Yayi. 2014. Interaksi Simbolik Tokoh Dewa dalam Novel“Biola Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Adjidarma: KajianInteraksionisme Simbolik George Herbert Mead.

Anthoni. 1975. Pengantar Semantik Indonesia dalam KaryaSastra.Jakarta: Rineke Cipta.

Azis, Sitti Aida. 2009. Puisi Sodom dan Gomorrha KaryaSastrowardoyo Suatu Tinjauan Semiotik. Stilistika. 1:69-87.

Azis, Sitti Aida. 2012. Apresiasi dan Kajian Prosa Fiksi. Surabaya:Penerbit Bintang Surabaya.

Bogdan, R,C. dan Sari Knopp Biklen. 1982. Riset Kualitatif. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:Rieneke Cipta.

Culler, J. 1973. “The Linguistik Basic of Strukturalism dalamStrukturalism: An Introduction, D. Robey (ed) Oxford: ClarendonPress.

Culler, J. 1976. Saussure. Pontana Paperbacks.

110

Darmaputra, Juma. 2014. Bissu Perantara Dewa. Makassar: ArusTimur.

de Saussure, Ferdinand. 1996. Course in Generale Linguistic. NewYork: Mc Grow Hill.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Devvit, Michael dan Richard Hanley. 2006. Black Well Guide toPhilosophy. Oxford: Blackwell.

Gofman, Ervin. 1947. Interaksi Simbolik Sosial. Bandung: Angkasa.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: PustakaWidiyatama.

Fausi, Mappasare. 1982. Transliterasi dan Terjemahan Naskah KunoBugis Surek Selleang, Departemen Pendidikan danKebudayaan. Jakarta: Radjawali.

Kambie, A,S. 2003. Akar Kenabian Sawerigading. Makassar: PenerbitParasufia.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Levi-Strauss. 1963. Struktural Anthropology. New York: Basic Books.

Makkulau. 2005. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep –I. DinasKebudayaanPemerintah Kabupaten Pangkep

Makkulau, M, Farid. 2006. Upacara Adat Perkawinan Bugis Makassar.Makassar: YKAM.

Makkulau, M, Farid. 2007. Komunitas Bissu di Pangkep dan Bone.Makassar: Refleksi.

Makkulau,W,Farid. 2008. Manusia Bissu. Makassar: PustakaRefleksi.

Mattulada. 1970. “Kebudayaan Bugis Makassar” dalamKoentjraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta:Djambatan.

Moleong, J, Lexy. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Remaja Rosda

Monoharto, Goenawan, dkk. 2003. Seni Tradisional Sulawesi Selatan,Pengantar. Makassar: Adjiep Padindang, Lamacca Press.

111

Mujahiduddin. 2004. Konsep Calabai dalam Pandangan KomunitasBissu di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan (Sebuah KajianEdmund-Husserl) Tesis Fakultas UGM, 2004.

Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Universits Gajah Mada.

Palmer, F.R. 1976. Semantics. A New Outline London: CambridgeUniv Press.

Pateda, Mansur. 1981. Semantik Leksikal. Ende: Nusa Indah

Pettit,L. 1976. The Concept of Strukturalism. Berkeley University ofCalifornia Press.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,dan Penerapannya. Universits Michigan: Pustaka Pelajar.

Rosyidi, M. Ikwan, dkk. 2010. Analisis Mistisme. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Setiadi, Elly, M. 2005. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bandung:Kencana.

Slametmuljana. 1964. Semantik. Jakarta: Djembatan.

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Bandung: Alfabeta.

Sujinah. 2009. Simbol-Simbol dalam Cerpen Anjing-Anjing MenyerbuKuburan Karya Kontowijoyo. Stilistika. 1: 89-113.

Syahrul. 2012. ”Menjadi Muslim yang Animis” Telaah Identitas Bissu.Al Fihr. Makassar: Stain Bone

Tarigan, H.G. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Veerhar, S.J.1981. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Of Press.

Wahyuliana, A. Yenni. 2005. Makna simbolik Gerak Ma’bissu dalamUpacara Ritual Mattompang Arajang. Skripsi Fakultas Seni TariIKIP Ujung Pandang.

Winata, Hendra. 2011. Simbol dalam Novel Diaroma SepasangAlbanna Karya Ari Nur Utami: Tinjauan Strukturalisme Semiotik”tanggal 12 Februari 2011 dalamhttp://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30125.

Wulan, Nanang. 2010. “Mendengar Hati, Mengejar Mimpi dan RealitasDunia: Interpretasi Simbol dalam Novel The Alchest Karya Paulo

112

Coelho”. tanggal 11 Februari 2012 dalam eprints.undip.ac.id/23977/1/D-Nawang- Wulan-E.P.S.

LAMPIRAN

ANGKET

1. Bagaimanakah persepsi masyarakat Segeri terhadap acara ritual

maggiri?

a) Biasa saja

b) Acuh

c) Antusias

d) Ikutserta

2. Bagaimanakah partisipasi masyarakat Segeri dalam acara ritual

maggiri?

a) Biasa saja

b) Acuh

c) Antusias

d) Ikutserta

3. Bagaimanakah tanggapan masyarakat Segeri terhadap kehadiran

Bissu?

a) Biasa saja

b) Mencemooh

c) Menghargai

d) Menolak

4. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam menyumbangkan dana

untuk kegiatan ritual tersebut?

a) Menolak memberi

b) Memberi

c) Memberi semampunya

d) Memberi jika dipaksakan

5. Adakah upaya masyarakat segeri untuk menghilangkan atau

meninggalkan ritual tersebut?

a) Tidaktahu

b) Tidak ada

c) Tidak ingin

d) Menolak

6. Adakah kekhawatiran masyarakat akan gagal panen apabila ritual

tersebut tidak dilaksanakan?

a) Tidak tahu

b) Tidak ada

c) Ada

d) Biasasaja

7. Apakah masyarakat Segeri masih mempercayai bahwa bissu satu-

satunya yang bisa membawakan ritual tersebut?

a) Ya

b) Tidak

8. Bagaimanakah tanggapan pemuka agama terhadap rirula tersebut?

a) Diam saja

b) Menolak

c) Tidak mau tahu

d) Acuh saja

9. Bagaimana tanggapan para pemuda di kecamatan segeri

terhadap keberadaan bissu?

a) Diam saja

b) Menolak

c) Tidak mau tahu

d) Acuh saja

10.Adakah rasa prihatin masyarakat Segeri terhadap kaum bissu yang

semakin sedikitjumlahnya?

a) Biasasaja

b) Tidakada

c) Khawatir

d) Tidaktahu

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

IRAWATI. Lahir di Segeri Mandalle, Kabupaten

Pangkep Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Juni

1976. Menghabiskan masa kecil sampai remaja (SD,

SMP, dan SMEAdi kabupaten Pangkep. Penulis

melanjutkan kuliah pada jenjang yang lebih tinggi yaitu

pada STKIP Cokroaminoto Pinrang dengan mengambil Program Studi

Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2006- 2008.

Pada tahun 2013 penulis kembali melanjutkan studi ke jenjang S-2

pada perguruan tinggi Universitas Muhammadiyah Makassar dengan

tetap memilih program yang sama yaitu Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia pada program Pascasarjana.

Saat ini, penulis selain sebagai Ibu rumah tangga juga

menyibukkan diri dengan mengajar pada salah satu sekolah di

kecamatan Segeri, tepatnya SMA negeri 1 Segeri. Dan untuk

memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) dan menulis Tesis

dengan judul Makna Simbolik dalam Teks Ritual Maggiri pada Pesta

Adat Komunitas Bissu di Kabupaten Pangkep.