teruntuk rumah, tempat pulang dan menampung kalah

155

Transcript of teruntuk rumah, tempat pulang dan menampung kalah

galih adi

rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

© Galih Pandu Adi

Hak cipta dilindungi undang-undangAll right reserved

Cetakan Pertama, 2012x + 124 hlm. 14,5 x 21 cmISBN: 978-602-99907-3-7

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Penerbit Kendi AksaraWisma Pedak Baru No. 675 Banguntapan Bantul Yogyakarta Indonesia Telp. 085328075686 Weblog: kendiaksara.webs.com Email: [email protected]

Penulis : Galih Pandu AdiPereka Sampul : Emte Firdaus

Penata Aksara : Moh. FathoniFoto Ilustrasi : Day Milovich, Yudho Widodo & Rahmat Hari “Adi Karnoe”“Gusur”

Lukisan Ilustrasi : “Waiting of Mahdi” karya Ahmad Kekal Hamdani

teruntuk rumah, tempat pulang dan menampung kalah;

Yon Suprayoga, Suyamti

Galih Panji Aji & Johar Woro Putri Yanti

“Tak terkira jika Pandu Adi begitu trampil memintal kata dalam buku puisi pertamanya . Diksi melebur dalam ungkapan padat, dalam metafor-metafor suasana yang melebur pada peristiwa yang seringkali menyayat tengkuk. Meski temaram pada mulanya, pesan puisi yang ditulis akhirnya terungkap pada pembacaan kesekian kalinya. Puisi-puisi Pandu seakan tak terlalu dibebani teriakan pesan sebagaimana puisi anak muda, namun melebur dalam rangkaian keindahan kata yang memang menjadi kemestian bagi puisi yang sejati.”

Mulyo Hadi Purnomo, Dosen Sastra FIB Undip, tinggal di Semarang

Ia menjadi sebuah subjektivitas si pencipta yang sedang berusaha menjadi penyair dengan media sajak-sajaknya. Ia menjadi subjektivitas pikirannya, pengetahuannya, serta bahasanya.

Bisa jadi catatan ini hanya sekadar sapaan numpang lewat, namun saya harus menjadi penziarah yang menyepakatinya. Salam.”

Drs. Agus Maladi Irianto M, Hum. Teaterawan dan Budayawan, sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Budaya Undip. Tinggal di Semarang

“Harus diyakini bahwa sebuah sajak yang menjadi itu bukanlah sebuah sajak yang asal-jadi. Intensitas adalah segalanya. Itulah sebabnya bagi penyair sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia, suatu dunia baru, yang indah serta mengharukan, dan dunia itu adalah kepunyaan penyair itu sendiri. Dan, pada sajak-sajak Galih Pandu Adi yang dikumpulkan pada antologi yang berjudul “rel kereta dan bangku tunggu yang memucat” ini, tentu tidak menjadi kumpulan saja yang asal jadi.

Mengasyikkan! Begitulah yang saya rasakan tatkala membaca puisi-puisi Galih Pandu Adi ini. Saya memang merasa tak sepenuhnya mampu menangkap atau meraba imaji yang terserak di setiap puisi. Namun, sungguh, impresinya terasa benar. Ya, puisi-puisi Pandu ibarat “tak teraba, tetapi terasa”. Asyik!”

Gunawan Budi Susanto.

Jurnalis dan Penulis, tinggal di Semarang

“Membaca puisi-puisi Pandu mengingatkan saya pada kesementaraan yang indah. Sesekali terasa perih, namun perihnya seperti pengorbanan kekasih. Pandu adalah salah satu adik kelasku yang cukup konsisten bersajak. Maka layaklah disimak dari perjalanannya bersajak dan menabahkan diri dengan puisi.”

Ahmad “Adin” Khoiruddin. Penyair,

Pemimpin Komunitas Hysteria, tinggal di Semarang

Sajak-sajak Pandu, serupa kidungan hari yang tak letih-letih bersiasat mengabarkan waktu. Bahwa dalam segala peristiwa menunggu dan keberangkatan, segala yang tampak baku dan kaku; adalah kefanaan itu sendiri.”

Ahmad Kekal Hamdani. Penyair, mukim di Yogyakarta.

“Entah mengapa, setiap kali membaca sajak-sajak Galih Pandu Adi, saya selalu membayangkan seseorang di seberang tengah menyihir saya dengan kidung. Dan meski suara yang sampai terasa begitu liris dan berbisik, ia ternyata tetap saja tak tergapai. Tak berbentuk serupa imaji yang umum. Hening yang ditawarkannya adalah romansa ngungun, yang pikuk berdiam dan dapat meledak kapan pun. Lirik-liriknya cemas dalam diam yang manis.”

Timur Budi Raja. Penyair, tinggal di Madura

pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

erupa peron di sebuah stasiun yang ramai. Antrian orang di loket tiket, berjejalan. Bangku-bangku tunggu sesak oleh muka-muka yang penat, sebagian memilih membaca informasi kadaluwarsa di papan pengumuman, membuka kembali koran yang terlanjur dilipat, atau menanti harap pada jarum jam yang bergerak semakin lama kian lambat. Kami semua menunggu kedatangan kereta, kereta yang sengaja kami nantikan demi mengangkut peristiwa-peristiwa, kenangan, nama-nama, tanda-tanda, pertemuan, kehilangan dan harapan. Kereta yang selalu kami tunggu, walaupun ketika kereta datang, kami berhimpit memasuki pintu gerbong yang terasa semakin sempit, berdesak demi bangku kereta yang sebenarnya telah sesak. Berlomba memasuki gerbong serupa lorong kota yang kumuh, yang beberapa saat lagi segera mengangkut kami menuju sebuah kota yang sebenarnya terlahir di antara kami, kota yang tumbuh di gerbong-gerbong kereta.

***

Di antara penat gerbong kereta yang mulai merayap. Seorang kakek tua dengan tongkat jalan dan pipa cangklong di tangannya berusaha berjalan cepat _meskipun tetap saja lambat_ mengumpat karena bangku yang hampir

S

2 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

didudukinya diserobot lelaki tegap yang muncul tiba-tiba dari arah tubuh-tubuh riuh yang berdesakan. Umpatannya meledak serupa mantera yang dihamburkan, sumpah serapahnya menggema, memantulkan suara-suara parau, dan seketika menyulap gerbong itu menjadi begitu senyap, menyisakan denging panjang yang tak berkesudahan. Hingga sebuah bisik lirih memecahkan keheningan. Bisikan sajak seorang lelaki dengan kaki tersilang, yang membenamkan wajah murungnya dalam runcing pena dan lipatan buku. Lelaki lain di seberang tempat duduknya seketika membalas dengan sajak menghentak-hentak dan melempar botol bir. Sekelebat mereka berdiri, saling bersitatap, saling melempar sajak, memenuhi gerbong itu dengan syair-syair sunyi yang merubah langit-langit dan apapun yang ada di bawahnya menjadi usang.

“Penyair gila, kalo mau baca puisi di panggung, bukan di sini!” teriak lelaki botak dengan gulungan koran teracungkan.

“Tidak semua orang suka kata-kata puitis, kata-kata gombal yang melenakan para perempuan” sergah seorang wanita.

“Bung, buatkan aku puisi cinta untuk seorang gadis yang akan kunikahi bulan depan” lelaki lain berambut cepak dan berperawakan seperti tentara menimba harap.

Tak hanya itu, sebagian yang lain melempari mereka dengan sepatu, sandal, tas, pisau jagal, belati, caci maki, telor busuk, dan puntung rokok yang menyala. Sebagian lagi melempari dengan sapu tangan, bunga, tasbih, jubah, uang dan sajadah.

Satu sisi melempar benda-benda dan kebencian, sisi lain melempar sajak-sajak dan kerinduan.

Dua lelaki penyair itu tetap saling melempar kata demi kata, membenamkan sepi demi sepi ke dada mereka. Lantas mereka melukisi tubuh masing-masing dengan pena, air mata dan pecahan botol-botol bir.

***

Situasi berantakan itu sungguh hampir mencabik-cabik seluruh ingatan. Ketika akhirnya saya berhasil menyelinap di antara tubuh-tubuh berdesakan dan terbebas dari benda-benda yang beterbangan liar. Hiruk pikuk itu tanpa saya sadari tiba-tiba melenyap, tersilap oleh harmoni suara gesekan biola yang sayup dan ngungun berkolaborasi suara seruling, gitar, jimbe, triangle, kenong, bonang, siter, harmonika. Saya mendengar dialog-dialog yang tumpang tindih, bersahut-sahutan menjadi percakapan yang sentimentil. Menghidupkan bunyi, memainkan suara dan nada-nada. Seorang wanita dengan senyumnya yang tentram menembang jawa. Begitu lirih, namun tentram menyentuh batin saya. Saya berada pada sebuah lorong yang sungguh tenang, menyaksikan orang-orang tengah sibuk menata gerbong dengan lampu-lampu meriah dan juntai kain penuh warna, seakan tengah menyiapkan sebuah panggung. Sebuah pementasan di dalam gerbong kereta. Seorang lelaki tua dengan secangkir kopi dan mata yang teduh merapal mantra dan doa-doa; “berbahagialah semuanya di sini. berangkatkanlah duka dan kecemasan kami. cukupkanlah atas semuanya”.

Saya seperti sedang menyaksikan kelahiran sebuah fragmen panggung yang asing. Tumpukan naskah yang berserakan, sisa-sisa rias, kostum-kostum tercecer , gelas-gelas kosong dan properti yang bergeletakan. Tanpa penonton, tanpa tepuk tangan, hanya saya yang menonton dan orang-orang hidup di atas panggung dengan lakon yang seakan terlambat dipentaskan. Melihat sebagian mereka tertawa-tawa dan bahagia, sebagian lain membatu dan berwajah pucat. Mereka bertirakat, merayakan kesedihan dan kegembiraan dengan caranya masing-masing. Menangis atau tertawa pada akhirnya memang sama saja.

3pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

Dalam hati saya bertanya-tanya; “Ini kereta macam apa sebenarnya?”

***

Saya masih berdiri di sini, ketika dari celah jendela saya mendapati rel kereta ini terus memanjang menembus hutan, menembus jantung kota, menembus langit, menembus mata, menembus dada saya. Di luar, hujan mulai berjatuhan, membikin gambar di jendela dengan wajah kabut berwarna basah. Setengah berbisik saya bertanya-tanya; “musim apa ini sebenarnya?”

“ini pancaroba. hujan bisa datang kapan saja dan selalu tiba-tiba”. Suara seorang wanita menjawab pertanyaan saya.

Wanita yang mulanya tak saya sadari keberadaannya membuat saya tertegun. Ia tak bergeming, tak juga menoleh. Duduk di bangku kereta dengan matanya terus menggait daun jendela yang basah, sementara saya terus berlalu, berjalan di antara bangku kereta dan pancaroba, melintasi lorong panjang kumuh yang makin lama makin tak mampu saya reka. Lorong yang tak sedikitpun meninggalkan jejak yang dapat saya tebak, selain aromanya yang menyentuh kenangan, dan ketika menyadarinya saya telah terhisap, entah sampai ke mana.

Aroma yang seperti bau garam, bau lautan, bau yang menghadirkan masa lalu begitu dekat. Dalam gemetar saya coba memejamkan mata, mencoba mengumpulkan ingatan dari setiap nafas yang saya hirup sedalam-dalamnya, sepuas-puasnya. Saya teringat kepada rumah dan kampung halaman, kepada nenek, kepada bapak ibu dan saudara, kepada nelayan-nelayan yang menjaring doa di laut, kepada kota dengan tembok-tembok arsitektur cina yang usang sepanjang jalan, arca-arca leluhur yang berserakan, suara santri saat mengaji di malam lekang.

4 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

“Ini adalah rel kepulangan barangkali. Pulang menuju sebuah kolong ranjang di rumah untuk meringkuk, menarik diri. Memilih hidup atau mati.” bisik saya dalam pejam.

Belum sempat saya mengamini kenangan dan kenyataan yang terjadi, di lorong ini. Saya mendapati tubuh saya terhentak oleh benturan hebat. Hingga saya sadari, kereta yang saya tumpangi ternyata baru saja menghujam lautan. Air berwarna keruh pekat seketika mengalir deras dari arah pintu yang terlepas daunnya, dan jendela-jendela gerbong yang tak lagi berkaca. Menghempaskan saya ke sudut lepas, berjibaku dengan barang bawaan dan sampah-sampah, pintu gerbong dan serpih pecahan kaca, bangku-bangku yang tercerabut dari asalnya, serta tubuh dan potongan tubuh entah milik siapa. Gerbong ini benar-benar terkaram, menenggelamkan tubuhnya pada palung paling dalam. Gelap, tak seberkaspun cahaya mampu menembusnya, tak ada sedikitpun ruang untuk menghisap udara. Di kedalaman laut yang gulita, saya masih bisa merasakan air dengan cepat merasuki setiap lubang dan celah pori-pori tubuh saya, menyesaki dada dan pikiran saya, mengisi lambung, urat-urat, saraf-saraf, paru-paru dan kerongkongan, seakan hendak mencekik jalan pernafasan saya.

Pada puncak segalanya, Saya menggeliat kencang, membuka mata selebar-lebarnya berteriak sekencang-kencangnya dan tiba-tiba Plasss..... Segalanya tiada. Tak saya temukan lagi arus air laut berkubik-kubik yang ganas, tak ada bangku-bangku, tak ada benda-benda yang tenggelam. Saya mendapati tubuh saya yang gigil oleh keringat bercucuran dengan nafas yang bekejaran, terduduk di atas ranjang. Semuanya seperti mimpi buruk yang menghentakkan tubuh untuk terduduk di atas ranjang. Ranjang yang aroma dan wajahnya seakan telah lama sekali saya kenali. Ini seperti ranjang di rumah kampung halaman. Ranjang tempat saya pertama kali tertidur sebagai seorang bayi manusia, yang merawat masa

5pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

kecil dan mimpi-mimpi saya. Ranjang yang sejenak tadi saya rindukan bersama rumah dan keluarga. Dan kali ini, Ranjang ini telah tertata rapi di sebuah gerbong kereta yang kosong lengang, tak ada siapa-siapa. Hanya ada saya yang sedang terduduk di atasnya, dengan keringat berlumuran, dengan dada yang sesak menghadapi kenyataan yang asing.

“Ada apa dengan kereta ini? Saya tengah di gerbong kereta atau di kamar saya? Kenapa ranjang ini ada di sini? Saya mimpi apa, Tuhan?

Pada ranjang ini saya dulu pernah membangun mimpi dan kecemasan-kecemasan. Perihal bayi-bayi yang mengubur diri, malam tidur di atas ranjang, pagi-pagi sudah berkeliaran di kolong ranjang. Atau setan-setan yang bermunculan, saat bocah-bocah mulai belajar tidur sendiri, di kamarnya sendiri. Dari kolong ranjang keluarlah potongan tangan, potongan kaki, kepala, telinga, tubuh-tubuh temutilasi, peri-peri kecil, monster, goblin, makhluk-makhluk dongengan, juga tuhan yang kesepian. Ranjang yang menyimpan wajah kakek saat meninggal, tubuhnya berselimutkan kain batik di atas ranjang, dan di kolong ranjang kami menyalakan batang api. “agar tak tersesat jalan kepulangannya, agar tak gelap di alam sana”.

“Kota macam apa yang lahir dari kolong ranjang para bayi dan orang-orang mati?”

Dan kini saya dapati rasa asing dan kecemasan-kecemasan itu kembali, di atas ranjang, di dalam gerbong kereta yang masih terus berjalan membawa saya entah ke mana. Saya tengah begitu rindu tapi tak tahu rindu kepada apa. Saya tengah begitu takut tapi takut pada apa. Seperti dulu, di ranjang ini saya bersedih, berduka, tentram, cemas, damai, bahagia, asing tapi entah pada apa??

6 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Saya meringkuk mencari suara-suara tapi tak saya dapati suara apa-apa, selain denging yang melengking panjang menyesakkan gendang telinga, juga suara detak jantung saya sendiri. Kadang menyebut nama saya, kadang menyebut nama siapa, kadang tak menyebut siapa-siapa.

Saya begitu rindu pada tuhan, saya ingin mencari tuhan, mengenali bayangan tak bertuan, menggapai-gapai wajahnya, mengenali suaranya di antara suara detak jantung saya sendiri. Saya tak sepenuhnya percaya bahwa tuhan adalah cahaya benderang yang menyilaukan mata. Ia adalah cahaya yang redup, yang lindap, menelusup tertamat tentram ke urat-urat leher, ke urat-urat nadi, ke ruas-ruas dada tanpa pernah saya sadari keberadaanya. Ia dekat, sangat dekat, melebihi urat leher saya sendiri. Saya meyakini itu. Jikapun ini dikatakan lancang, saya benar-benar tak perduli.

Dan saya mengenalinya lewat kesadaran yang terpatik pada peristiwa-peristiwa, yang ketika semuanya usai, entah kenapa saya merasa telah melewatkannya begitu saja, tanpa makna; “Apa ini? Kenapa saya di sini? Saya itu mencari apa? Kau di mana? “ Saya berjalan tapi tak pernah sampai, kau berkali-kali hadir tapi saya melewatkanmu begitu saja. Saya tak bersujud, saya berpaling, menjauhimu, tapi semakin dekat dan saya begitu rindu. Kadang saya merasa tak pernah berkuasa pada diri saya. Peristiwa macam apa ini? Kenapa saya mesti melaluinya? Ini aroma apa? Ini wajah siapa? Ini tubuh siapa? Udara begitu janggal, kau hendak menjelma apa lagi? Kenapa saya masih menungguimu di ranjang ini dengan dada yang begitu majal, begitu asing.

Desing roda kereta menggesek rel dari palang besi, suaranya berderum menggesek bersit nurani. Lamat-lamat saya mendengar alunan seperti orang mengaji. Suaranya bercampur dengan bising kereta yang terus merogoh tengkuk dan kerinduan saya, entah pada apa. Saya melihat

7pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

sekitaran, tapi tak ada siapa-siapa. Suara mengaji ini seperti tak berada jauh di ranjang ini. Semakin lama suaranya semakin nyata, memenuhi gerbong kosong sialan ini. Saya julurkan tubuh dengan kepala melongok ke kolong ranjang; “Anjing!!”

Saya melihat anjing!! Anjing yang menggonggong di kolong ranjang, menyalaki selembar kertas robek tercabik dan terlihat usang. Giginya bertaring runcing, air liurnya menetes-netes. Ia melongok ke arah saya, menyalak semakin keras. Sejurus kemudian melompat seolah hendak menerkam, memaksa saya mengangkat tubuh kembali ke atas ranjang. Seketika anjing itu menghilang, berganti suara detak jantung saya yang berdegup kencang. “Ke mana anjing itu? Bukankah ia tadi nyaris menerkam kepala saya? Melihat giginya yang besar dan runcing saja, leher saya rasanya telah tertikam”.

Perlahan-lahan kembali saya julurkan kepala pelan-pelan, coba menengok lagi ke kolong ranjang. Tapi, Kosong. Hanya ada selembar kertas, tergeletak sendirian di kolong ranjang. Kertas apa gerangan sampai seekor anjing menyalakinya begitu kencang? batin saya bertanya-tanya.

Merangkak saya mengarah sampai ke kertas yang tergeletak. Saya melihat lambang-lambang, garis-garis seperti petunjuk jalan, huruf-huruf penanda yang tak saya kenal. Saya mengamatinya lebih dekat, mencari-cari petunjuk yang dapat saya mengerti dari kertas itu. Belum sampai saya memahami, dorongan perasaan aneh dari dalam diri saya menyeruak. Seperti duka amarah, serupa luka tersayat, menghipnotis fokus perhatian saya pada titik pusaran tornado yang memporak-porandakan kesadaran .Tiba-tiba saja saya menyalak, terus menyalak, menggonggong, menggeram, melolong serupa anjing. “Anjing!! Apa yang terjadi pada saya??” Tak hanya menggonggong dan

8 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

menyalak, kuku dan taring saya yang tajam juga mencabik-cabik ranjang saya sendiri, menjadikannya hancur berantakan. Lalu puing-puing dari ranjang itu perlahan memudar, menghilang bersama gelapnya lorong gerbong yang masih terus berjalan.

Saya masih terus menyalaki kertas aneh itu, ketika sosok tubuh-tubuh perlahan muncul dari simbol-simbol di kertas itu, tumbuh dari lantai gerbong, muncul dari dinding dan atap gerbong. Mereka muncul dari segala arah. Semakin lama tubuh-tubuh itu semakin banyak, bangkit, berdiri, bergentayangan, berkeliaran di seantero ruang, menjadikan gerbong-gerbong ini mendadak lenyap. Saya tak lagi melihat kaca jendela, tak melihat dinding besi, tak mendengar suara kereta. Hanya saya yang terus menyalak, menggonggong dalam gelap.

Ketika tubuh-tubuh itu terlahir semakin banyak, saya menyaksikan kilatan-kilatan berlesatan mewujud serupa bangunan-bangunan; rumah, jembatan, gedung tingkat, etalase kaca, halte, masjid, dan biara. Seperti gereja, terminal, tiang-tiang lampu, jalanan, stasiun, taman, tugu monumen, dan dermaga. Cahaya remang mulai terlihat dari lampu-lampu kota, menandai kelahiran sebuah kota di hadapan saya. Sebuah kota dengan orang-orang bertubuh dan berwajah sama, serupa dengan tubuh dan wajah saya. Tak laki, tak perempuan, tak muda, tak tua semuanya berwajah seperti saya. Saya tercengang, saya melolong panjang. Saya menerkam kertas di hadapan saya dan membawanya berlari menyusuri jalanan kota, melintasi tiang-tiang lampu yang berbaris mengiringi bangunan-bangunan di tepinya. Saya terus berlari mengitari kota dan kenyataan-kenyataan aneh ini.

9pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

Saya menyaksikan orang-orang duduk di halte, saya juga melihat seseorang mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama kekasihnya, sementara beberapa orang di taman terlihat saling bermadu kasih sayang. Ada bangku pucat kosong di bawah tiang lampu dengan kunang-kunang berpendar di atasnya, di sebelahnya seorang wanita berdiri seperti menunggu. Sepasang kekasih bercinta terlihat dari jendela kamarnya. Ada bangunan-bangunan yang utuh, ada juga yang runtuh. Ada arca-arca raksasa para leluhur yang pecah, lantas orang-orang mengumpulkan pecahannya, menyusun arca-arca baru dengan pecahan dari arca raksasa menjadi arca-arca kecil berwajah serupa mereka. Ada iringan orang berdemo. Ada makam kota yang ramai. Ada perahu-perahu yang menepi dan berlabuh, ada juga yang hendak berlayar dan tengah berlayar. Perahu-perahu itu tak hanya berlayar ke lautan, tapi juga berlayar ke langit jauh. Ada sebuh gang yang lengang, seekor anjing kencing di sudut tembok dan di sebelahnya seorang pemabuk tertidur lelap. Ada kakek yang bercerita perihal nabi dan tokoh-tokoh wayang pujaan kepada cucu-cucunya yang berwajah sama. Ada surau dengan seorang tua tengah berdoa. Ada rumah dengan pintu yang patah. Ada gedung bioskop dan gedung wayang orang di sebelahnya. Ada bulan yang retak di kaca jendela. Kota ini terus tumbuh, menjelmakan dirinya sedemikian rupa. Sementara Saya telah menjelma seekor anjing yang berlari dan tak perduli. Saya berhenti, menghempaskan kertas dari mulut dan melolong panjang sekali lagi. Saya lelah, benar-benar lelah.

Di ujung jalan, saya melihat titik cahaya. Cahaya terang menyilaukan. Saya harap itu tuhan. Saya berharap ia adalah cahaya benderang, tak sekedar redup seperti lampu kota ini.

10 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Saya berharap sampai. Saya berharap benar-benar telah menemukannya. Saya menerkam kembali kertas usang. Saya berlari lebih kencang. Saya berlari serupa anjing yang berhari-hari hilang dan menemukan tuannya. Saya terus berlari dan tak perduli kota ini akan tumbuh seperti apa, orang-orang akan berbuat dan melakukan apa. Saya tak perduli. Toh, segalanya telah memiliki dirinya sendiri, begitupun dengan saya. Saya semakin dekat, cahaya itu terlihat semakin menyilaukan. Saya terus berlari mendekat, cahaya itu semakin besar, semakin benderang. Cahaya itu tinggal hanya beberapa meter di hadapan saya. Saya berlari menembus segalanya, menembus ketakutan-ketakutan, menanggalkan rencana-rencana, menembus kecemasan dan kenangan saya. Saya meloncat jauh, di udara segalanya benderang segalanya benar-benar menyilaukan.

“inikah Engkau? Apakah saya sampai padamu?”

*****

“Braaakkk....”

Saya terjerembab di lantai besi. Mata saya tertutup rapat, kepala saya teramat pening dan berat, saya mendengar suara berderak berderuman seperti suara kereta, suaranya tak hilang-hilang. Saya membuka mata, mendapati buku catatan di mulut saya. Saya melihat sekitaran; tas-tas kecil besar, sampah-sampah, koran bekas, kaki-kaki, barisan bangku-bangku yang tertata rapi, dan di atasnya orang-orang yang tampak heran melihat ke arah saya. Seorang kakek tua dengan tongkat jalan dan pipa cangklong di tangannya bertanya; “Kenapa, bung? Anda pingsan atau tersandung? Apa kau sakit?”

Saya tersenyum. Mencoba duduk dengan memegang kepala belakang yang masih terasa berat.

11pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

“Tak apa, pak. Mungkin saya tersandung. Entahlah, saya lupa. Tapi saya tak apa-apa.”

Orang-orang kembali pada tempat duduknya. Saya berdiri, mengambil ransel dan buku catatan yang tergeletak di lantai. Sejenak saya melihat ke arah jendela. Melihat langit yang terang sembari mengingat siapa saya. Mengingat-ingat apa yang terjadi, menentramkan diri; “Saya masih di dalam kereta dan saya tak ke mana-mana. Titik itu saja.” Bisik saya pada diri sendiri. Saya berusaha keras menyadarkan diri. Ini hanya bebayang yang tak bertuan. Saya harus kembali sekalipun saya masih tak mengerti apa yang tengah terjadi di gerbong kereta ini dan kenapa mesti berada di dalamnya. Kepala saya masih sangat pening. Entahlah.

Bangku-bangku di gerbong ini telah penuh. Gerbong yang ramai dan orang-orang berjejalan. Bersiasat mencari bangku (Orang-orang ini tak serupa dengan wajah saya, dan itu membuat saya lega). Saya berjalan, terus saja berjalan. Saya mesti juga mencari bangku, punggung saya sangat lelah. Melewati gerbong demi gerbong, melihat orang-orang melahirkan kotanya masing-masing, memiliki harapannya masing-masing, memiliki riwayatnya masing-masing. Ada yang saling bertemu di sana dan akhirnya menjadi kekasih, ada yang melahirkan pertikaian lantas berusaha keras saling menikam, ada yang mencoba saling mensiasati untuk mendapat bangku atau kolongan tempat tas-tas bawaan mesti ditempatkan. Dan saya terus saja berlalu, seperti mereka, bersiasat mencari bangku.

Saya sepintas mengamati para penumpang. Orang-orang di gerbong yang entah kenapa begitu ingin saya kenali _yang sebenarnya mungkin juga telah saya kenali_. Kami melakoni

12 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

keadaan sebagai penumpang dengan sederhana. Kami bersedih dan berbahagia dengan sederhana, dengan cara-cara yang barangkali hanya dapat dimengerti oleh kami sendiri. Saling menegur, saling tersenyum ramah, bercinta, mengumpat, memendam, menikam, mencintai, dan saling meninggalkan dengan begitu sederhana. Di luar jendela, wajah-wajah berlalu. Di dalam keretapun kami terus hadir dan berlalu. Entah sampai pada gerbong yang ke berapa saya berjalan.

Pada sebuah gerbong yang telah tenang, di kejauhan tampak sebuah bangku kosong, seperti sengaja diabaikan penumpang lain yang telah menduduki bangkunya masing-masing. Saya bergegas menuju bangku tak berpenghuni itu. Di sebelahnya, terduduk gadis muda bermata manja dengan earphone di telinganya, menatap halaman-halaman teks dari benda aneh serupa buku. Masih disempatkannya membagi senyum sambil menggeser sedikit tubuhnya memberi Saya ruang untuk duduk di sebelahnya. Saya letakkan tas bawaan ke rak atas sembari melihat kembali hampir seluruh penumpang di gerbong itu. Saya duduk, menempatkan punggung yang lelah, mengenali kembali wajah demi wajah yang sepintas telah Saya temui, tak terkecuali gadis ini. Wajah-wajah itu menghilang bersama bangunan dan pepohonan yang berlesatan dibalik jendela, tetapi tidak dengan wajah gadis ini. Ia masih tak perduli, matanya tertuju pada sebuah kotak mesin kecil canggih bernama aneh ; tablet, dan sesekali senyumnya menyungging oleh sebab imajinasi yang dibangunnya sendiri, fikirannya bisa jadi sedang menjelajahi dunia, melampaui jagat maya, dan tak perduli pada apapun lagi termasuk Saya yang tanpa disadarinya diam-diam mencuri matanya.

Entah kenapa, ada sebuah perasaan rindu yang jauh. Seperti kekasih yang terlalu lama memendam rindu, sampai lupa rindu ini mesti beralamat pada siapa. Atau seperti bertemu

13pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

kawan yang lama tak jumpa. Mungkin kita telah saling mengenal jauh sebelum kita bertemu. Ada kangen seketika, datang dan meledak-ledak. Ingin menegur dan menyapanya, tapi tak mampu. Hanya diam-diam mencuri sudut matanya yang serupa puisi, yang menghisap kuat lantas menjatuhkan saya teramat keras. Rasanya seperti mengalami amnesia akut, hilang ingatan, sampai tak ada apapun lagi yang dapat saya ingat. Tak ada apa-apa lagi untuk saya kenali. Hanya matanya yang berkabut pekat dan detak asing di dada, sebegitu asing dan saya tetap tak sanggup menjangkaunya.

Sampai akhirnya suara peluit kereta yang melengking panjang tiba-tiba menyesakkan telinga telinga. Suaranya membuat kepala semakin berat, membawa saya pada wilayah kesadaran yang lain. Segalanya kembali hilang dan berganti rupa, membentuk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba telah tak ada lagi wajah gadis itu, tak ada matanya yang manja itu. Tak ada lagi bangku-bangku, tak ada jendela, tak ada gerbong-gerbong, tak ada rel ataupun kereta. Tak ada wajah orang-orang yang sepintas saya temui, tak ada siapapun atau apapun lagi. Tetapi punggung dan tubuh saya ini masih tetap terduduk di sebuah bangku, hanya saja bukan lagi di bangku kereta melainkan di sebuah bangku tunggu di sebuah peron yang pucat dengan orang-orang yang mengantri di loket, dengan orang-orang yang resah melihat jam tangan, melihat papan pengumuman, membolak-balik halaman koran, riuh sesak dengan tubuh dan percakapan-percakapan, teriakan, umpatan, keluh kesah sampai sebuah kereta datang dan berhenti tepat di depan saya. Mereka, orang-orang yang ada di peron ini adalah orang-orang yang telah saya temui secara sepintas di dalam gerbong-gerbong kereta sejenak tadi, di sebuah kesadaran

14 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

saya yang lain. Dan sekarang, mereka telah hadir kembali di sebuah peron yang sama, pada kesempatan yang sama. Mereka masih hanya berlintasan, saling berdesakan, saling menuju, saling menunggu dan kami masih tetap saling tak mengenali.

Seorang wanita dengan kotak hitam dan earphone di telinganya melewati saya dengan setengah berlari menuju kereta yang datang. Saya terdiam, menjangkaunya dalam pandangan sampai akhirnya ia turut hilang berdesakan dengan tubuh-tubuh lain. Saya tetap terduduk dan tak sekalipun beranjak, melihat sekitaran, melihat peristiwa-peristiwa tumbuh dengan dada yang sangat asing.

Lamat-lamat peron mulai sepi, orang-orang telah bergegas pergi. Sementara kereta telah semakin ramai dan penuh. Saya melihat kereta itu berangkat, pelan-pelan menjauh. Sampai akhirnya tatapan mata saya tertuju di sebuah jendela gerbong paling belakang. Mata saya dengan tajam mengamati sesosok tubuh di tengah-tengah ribuan tubuh.Seorang lelaki, dengan ransel di punggungnya, bertubuh seperti tubuh saya, berwajah seperti wajah saya sedang berjalan berdesak-desakan di gerbong kereta. Melihat-lihat sekitaran, mencari bangku kosong barangkali. Sepintas ia menatap jendela, sepintas juga ia melihat ke arah saya, lantas ia kembali berpaling. Berdesakan, bererjejal-jejalan dan hilang di tengah riuh para penumpang.

Entahlah, rasa-rasanya ada yang turut pergi dari tubuh saya ketika melihat kereta itu mulai pergi, berjalan semakin cepat, semakin menjauh. Dalam hati tanpa sadar saya berbisik;

15pada sebuah bangku dan gerbong yang melaju

“Hati-hati di jalan, Bung. Selamat mencari, selamat menemukan dan berbahagialah”.

Saya tetap terduduk dan melihat kereta itu menjauh. Saya mungkin akan tetap di sini, menunggu dan tetap menunggu. Entah menunggu apa. Barangkali menunggu kereta selanjutnya, atau menunggu pertemuan dan kehilangan selanjutnya...

Semarang, 12 Juni 2012

16 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

ix

DAFTAR ISI

rel kereta yang terus memanjang

kota yang tumbuh di kolong ranjang

saat malam-malam sebegitu ganjil ~ 25malam dan perahu dari tubuh kita 26yang disisakan angin 27rel kereta dan stasiun di telapak tanganmu 28di antara bangku kereta dan pancaroba 29setelah berlayar 30pulang 31

~~

~~

~~

peta di kolong ranjang 35riwayat kota 36di antara lorong kota dan percakapan kita 37langit malam di kota kita 38malam yang jatuh di bangku kota 39Luh dari malam yang likat 40malam, setelah ini 41sepotong ingatan dari sebuah catatan di otakku 42dinding yang retak di bulan januari 43sepertinya langit memang berjarak selepas Januari ini 44langit bulan Mei 45lelaki dan hujan bulan Desember 46saat Desember hampir usai 47saat musim tak lagi mencintai kita 48sebelum langit memberi cuaca 49hujan terakhir bulan ini 50

~~

~~

~~

~~

~~

~~

~~

~~

x

sebuah jalan dan nama di tubuh daun 51di sebuah gang kecil di suatu pagi yang tak cerah 52sketsa rumah dan jalan pulang 53perihal rumah 55bulan di beranda 56sketsa daun pintu 57laut di rumah nenek 59wanita kuli bangunan dalam rumah pasir 60sebuah cerita dari kamarku 61Banjaran Ramaparasu 63Aswatama 65sabda Amba 66sketsa wanita bermata kaca 67kukatakan ini cinta 69sepotong sajak untukmu, kekasihku 70sketsa bulan retak di atas ranjang 71sketsa wanita bersayap iblis 73soliloqui I 76soliloqui II 77soliloqui III 78soliloqui IV 79soliloqui V 80soliloqui VI 81soliloqui VII 82soliloqui VIII 83sebuah catatan kecil di sisi jendela 84sketsa batu sungai 85hikayat jejak batu 86di atas sajadah batu 88saat ayah berdoa 89Saat Mengaji 90

~~

~~

~ ~

~~

~~

~~

~~

~~

~~ ~~~

~~~~

~~

~~

~~

xi

bangku tunggu yang memucat

PETA DI KOLONG RANJANG:

CATATAN PENULIS

pintu rumah 97sebuah ode di ruang tamu kepada tamu 99arloji 100sebuah aquarium dan ikan-ikan yang selalu berlari 101mencari sunyi 102saat kau aku di atas ranjang 103malam di kaca jendela 104malam yang lupa 105yang disisakan dari kamar kita 106saat malam terlepas 107lalu aku menjadi terlampau 108sebuah fragmen panggung 109sketsa kelopak mata dengan pendar cahaya bulan 110saat kunang-kunang berjatuhan di bangku 112tentang yang terduduk di bangku penumpang dan bangku jemputan 113

~~

~~

~ ~

~~

~~

~~

~ ~

Hudan Hidayat 115 ~

Galih Pandu Adi 139~

sebuah esai sepi yang tumbuh di kolong ranjang

lalu saat pintu-pintu kereta itu mengatupsuara peluit, tubuh-tubuh hilir mudik, sisa nafas yang tertahan di lokomotif.

kau akan mengerti, betapa sepi peron ini;

aat malam-malam sebegitu ganjil

semacam inilah nasib mengekalkan kita pada kelembak kamboja dan doa-doa yang bertebaran dari lubang-lubang di kepala dan dadaku. kau mencium ajal,aku mengeja asing yang menghampar-hampar lalu, malam-malam yang entah ke berapa dulu, kita bertirakat. melipat musim dingin yang sekarat.langit di atas kepala kita betapa kosong,kita bertanya; “siapa yang mesti berbohong?” aku menjelma arwah sakit yang berjatuhan serupa logam dari langit.di bawah,kau tengadah; “tuhan ke mana? ” sekarang, aku yang mesti melubangi kepala dan dadamu itulalu bau ajal,kelembak dari doa-doa yang gagaldan aku gaib bergentayanganentah ke mana arah

tuhan ke mana?

Semarang, 2011

25rel kereta yang terus memanjang

S

alam dan perahu dari tubuh kita

malam sebegitu kekal, Nundi laut, tubuh kita dirakit menjadi perahu-perahu tanpa layar, tanpa dayung, tanpa kaleidoskop, tanpa trisula Poseidon, tanpa mata Amftrite, tanpa ingatanku, tanpa runcing lidahmu. kedalaman macam apa yang akan mengaramkan kita kelak, Nun?kesepian macam apa pula yang mengikat kepala kita menjadi arca di kepala kapal? malam sebegitu kekal, Nunkau tanggal sebagai arwah yang sakitaku berlayar sepagi sepi tanpa kemudi

Semarang, 2011

26 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

M

ang disisakan angin

kita singgah, dari punggung angin sampai ke langit tak terjamah. kita sempat menemu sebagai huruf di bilangan waktu. aku masih tak mengerti mengapa mesti mengenalmu semacam ini.

kubilang mata belati itu genap. tapi kau terus bersepakat bahwa luka selalu ganjil. sekarang aku sudah tak memiliki apapun untuk melunasi cemasmu itu. dan kita terus tetirah di punggung angin yang dingin.

Semarang, 2011

27rel kereta yang terus memanjang

Y

el kereta dan stasiun di telapak tanganmu

dan kita, memang telah memilih jalur kepulangan sendirirel-rel kereta yang melintangaku kau melaju tanpa doa atau erangantanpa peta atau kenangandan stasiun pemberhentian di telapak tanganmu,tak ada penumpang yang datangbangku-bangku di punggungku memucatmenulis nama-nama di baris rubaiat “sesepi inikah jalan kembali?”

jantungmu berdentang-dentangserupa lonceng yang memaksaku berangkatdan kembali dengan terlambat Semarang, 2011

28 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

R

i antara bangku kereta dan pancaroba

di bangku kereta, aku mengukur jarak pada kota yang tumbuh di kolong ranjangmu. seperti detik yang tirakat, akupun berangkat. kau masih menyusun duka paling nisbi. entah dendam, entah rindu tapi aku sepenuhnya demam sejak mengenalmu. maka aku pergi, tanpa peta atau jarum kompas. tersesat di stasiun yang entah ke berapa. dan tak pernah sampai pada jantung kota di jantungmu.

tetaplah dinda, kau serupa itu. kita tak perlu bersepakat. sejak bilangan-bilangan pergi dari halaman buku. kita hanya menyusun kecemasan di balik pintu. kau bisu, aku bisu. di telinga, lonceng kereta bertalu-lalu.

adalah doa sepeninggal kita. malam-malam tua. bangku-bangku dan lengking kereta. kau berbiak dari musim yang purna.

aku sembunyi,terus terlipat di bilangan nisbiterus kau ingat,semacam riwayat yang putus dan cacat

di luar, angin meruncing dan bersiapmenikam dadamudi bangku kereta, aku mengukur jarak langitdengan matamu

“musim apa ini sebenarnya?” tanyaku

“ini pancaroba,” jawabmu“hujan bisa datang kapan saja dan selalu tiba-tiba”

Semarang-Bekasi, 2011

29rel kereta yang terus memanjang

D

etelah berlayar

pencarianku terus saja meredup

aku kembali, tanpa sekalipun menemuimudan jika mereka bertanya, kuberi mereka petayang sama sekali tak pernah kulalui

“kau minta kaleidoskop?”takkan ada apapun yang kau teropong sebenarnyaselain hanya wajahmu sendiri

baiklah, kapal ini kukaramkandan tak ada pilihan lain bagi kitaselain berenangatau terus terapung-apung di laut kegamangan

“pilihan lain, katamu?”

bagaimana jika tenggelam?

Semarang, 2011

30 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

ulang

tuhan, luka dalam sajakku bertubi-tubi menujumulantas, malam yang entah kelakgelas-gelas kosong tanpa arak atau sajak, kutenggak

di rumahmu, aku pulang tanpa wajahdi ranjangmu, kulucuti satu persatu tubuhku

aku demam bergetar-getarseperti sejak mula kelahiran sampai ajaldadaku ini zikir detakmenghentak-hentaktanpa hitungan,tanpa bilangan

Semarang, 2011

31rel kereta yang terus memanjang

P

ota yang tumbuh di kolong ranjangk

eta di kolong ranjang

aku jadi ingin rebah di kolong ranjang sajasunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiribiar cahaya menyeruak di ranjang dan bantalaku tak perduli jika luka makin mengental

aku ingin tidur di kolong ranjang sajamemintal benang-benang sepimenjadi peta menuju kotamuyang kerap kukunjungi dalam mimpi

Semarang, 2009

35kota yang tumbuh di kolong ranjang

P

iwayat kota

barangkali memang benar. kota kita memang telah tumbuh di kolong ranjang. lantas kita sembunyi. lantas kita layati kematian itu sendiri. berbiak dari wajah pintu-pintu. berharap sajak memilin kita serupa debu. dari ruas-ruas jalan yang menikung, entah kenapa kita tak menemu ujung. jarak itu terus memanjang. menembus jantung langit di aortaku. menembus jalur-jalur kapal di lambungmu. pelabuhan sepi, tiang lampu yang melayu, dan berpuing-puing tubuh kita melindap senyap.sunyi bersahut-sahutan di jantungmu kota ini benar-benar telah tumbuh di kolong ranjang.

Semarang, 2011

36 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

R

i antara lorong kota dan percakapan kita

kota ini telah mendaur ulang kesenyapanmenjadi berjuta-juta tubuh kitamenjadi semacam kauatau akuyang terus menerus luputmengeja doalalu dari percakapan initak ada yang tersisaselain jejak yang tercecerdari rindu kita yang nisbidan lorong ini,semakin panjangsemakin jauh menujulangit angkuhsepi kota ini tak lelah-lelah mendaur ulang air mataatau tawalalu kita, terus-menerus kehilanganentah atas apa Bekasi, 2011

37kota yang tumbuh di kolong ranjang

D

angit malam di kota kita

kita menangis tiap langit malam mengirim gerimisada kapal di langit itu,melempar jala, menjerat rumah kitadi beranda, kau aku terkail wajah nasib yang lebam

serupa nabi yang pergi,dan ikan-ikan memalingkan wajahnya di lambung dukapetaka atas kota-kota di tubuh kitadan kita masih tak menyerahmerawat rasa sakitmengukir berhalaberwajah serupa kitaberdukalah kita,berdukalah.......

Semarang, 2011

38 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

L

alam yang jatuh di bangku kota

“langit lengang,malam adalah kesepakatan atas rasa sakit” aku terduduk,kau melumer di tiang lampu angin tetirah,kau singgahpada kota yang tumbuh di keningkuyang semua penduduknya berwajah serupa wajahmu kau membatu,angin memukul wajahku kau terduduk di bangku kota,aku mencairmenjelma ribuan kunangdengan cahaya sesakyang tak putus-putus melindapyang tak putus-putus menelusupke sudut-sudut matamu “langit terjatuh,malam adalah kesepakatan atas rasa sakit” Semarang, 2011

39kota yang tumbuh di kolong ranjang

M

uh dari malam yang likat

ini malam yang likat, Luhlabalaba mengekalkan kepalakepala di langitlangit kamar kita

itu wajah siapa? dari matanya kau menetes,berpantulan dan menjelma genangantuhan, maha tinggi sajakkita muasaldan berakhir sebagai kenangan.kepalaku tanggal,tergantung dan dikekalkan di langit jauhsisa tubuhku menjelma perahu,melayarkanmu ke kotakota yang tumbuh di kolong ranjang kita usai ini sajak, kau hendak ke mana? malam ini sebegitu likat, Luhjantung siapa dicuri sunyilantas dibenamkan jauh ke dadamu yang sepi? Semarang, 2011

40 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

L

alam, setelah ini

setelah ini baik-baiklah,kehilangan hanyalah cerita yang terputus cukup kita yang selesairumah mimpi biarlah dipinang sepiseperti saat kupinang kau di baris rubaiatberharap malam tak selamanya sekarattapi, bangku-bangku di halte lengang itumungkin memang tak untuk kau akurindu adalah rasa asingdan percakapan kita, sejak mulatelah jadi bilangan doakembara setelah ini baik-baiklah,kau tak perlu terus bermimpikehilangan biarlah saja jadi sajak Semarang, 2011

41kota yang tumbuh di kolong ranjang

M

epotong ingatan dari sebuah catatan di otakku

1lalu segalanya menjadi pekattuhan membatu di kamarmuhujan petang ini duka-duka yang riwis

2dan telah dilayarkan perahu pada laut di perutmuseorang tenggelamtangannya menggenggam melati

3kita tak mampu sembunyidi langit segala membuyar

4lelaki mengetuki pintumengumpati rindu di dadanya 5tuhan masih membatuapi-api melempar wajahkuke atas tungku,

kau menanak usiadoa-doa

Semarang, 2009

42 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

inding yang retak di bulan januari

dinding-dinding menguburkudalam lindap januariyang jatuh di atap-atap

duh yang ombak di baris usiaduh yang menghentak di muka sajakduh yang terlumat di segala jejakduh yang sepi saat kembaliduh yang merupa di gema doaduh yang terlempar di halaman pertama

“siapa melukis wajah di sinidengan cat berwarna usang dan sepi?”

sampai khatam usia waktuaku dinding dengan coretan dari tanganmukikis dan meretaksampai habis kelakkukenakan wajahmukau kenakan tubuhku

Semarang, 2010

43kota yang tumbuh di kolong ranjang

D

epertinya langit memang berjarak selepas januari ini

sepertinya langit memang berjarak selepas Januari inikitapun jatuh di punggung waktubersama riwis yang tak sekedar gerimisdaun-daun yang mengapung di jalanjuga tulang-belulang leluhurmenunggu di kuburkita gelisah mencuri nama-nama di rak buku “kau mencari siapa?”

sepertinya langit memang berjarak selepas januari inihujan pula yang mengendap di tapak-tapak kaki“ini pertanda langit mencintaimu,” katamusedang kita masih juga bertanyasiapa yang lebih dulu berdusta,di balik matamu hujan tak juga reda

sepertinya langit memang berjarak selepas Januari inilewat logam-logam yang jatuh di gang-gang sepisajak-sajak tanggal di punggung kita yang lekatdan kita masih juga bertanyasetelah ini, siapa harus menghabisisiapa?

Semarang, 2009

44 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

angit bulan Mei

seperti wajah Mei yang beringsutseperti itu pula kau tengadahmenatap langit kosongdan lengang jalan menuju rumah terus mengabut

kau dengar lengking gelas-gelas kosongdan perabot rumah bersekutu terus berbohongmengirim sepi yang habis kau lumat sendiridetakku mengalir sampai ke muara sajakmuaku mengutuk,kau tengadahwajah Mei melapuklangit kosong itu terus menjauh

Semarang, 2011

45kota yang tumbuh di kolong ranjang

L

elaki dan hujan bulan Desember

seorang lelaki mengenakan tubuhku lewat Desember yang basahberbiak di depan pintu dan mengguruikutentang batu-batu berwarna merahaku serupa arwah dalam kabut gaibberwajah sakitmenggumamkan mantra-mantra penyakitsedang langit di atas bukit selalu enggan melepaskan rindu dan petuah ibuhujan di bawah lampuadalah Desember yang melambat di garis wajahmu -garis tanganku

lelaki menggenggam sabitmengenakan tubuh dari aksara ganjillebih dulu meramalkan takdirtentang akhir seorang Khidirlewat Desember di bawah lampuaku arwah yang basah serupa tanahsaat logam-logam jatuh dari langit

Semarang, 2008

46 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

L

aat Desember hampir usai

dari sekian bulan,Desember ini aku mesti menawar hiduplewat bangku-bangku pucatdan arloji yang mati berabad-abadudara menyusun tubuhkudari potongan-potongan peristiwayang terlanjur porak porandatuhan di dadaku yang gigildan aku memilin kecemasanpada riwayat yang terus berlanjuttentang pagi dengan burung-burung pipit bercericitatau patung yang kupahat dengan sia-siayang hanya akan kau kenang begitu sajasebagai cerita terputusdan terlempar dari jantung kota tuhan, aku mendoa lalu rumah pun berpalingkita berbiak dari wajah katedral yang sesattuhan bertirakat dan bangku-bangku kosongmenebarkan aroma sekarattembok-tembok kota,garis-garis mata,hujan logam dandadaku yang berlobang kenapa mesti pulang, jika kau memaksaku lacur dan menggelandang? aku kembali, saat rumah kita kehilangan pintukelak aku datang sebagai tamusebagai pelacur yang dadanya piatu Semarang, 2011

47kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

aat musim tak lagi mencintai kita

barangkali benar,kita mungkin tak perlu banyak bertanyakenapa aku mesti jadi angin yang memelukmu sedemikian rupalantas, saat kau berpalinghanya ada sepi belaka

langit jatuh tepat di atas kepala kitakau retak dari bilangan yang kesekianmusim di matamu menjadi begitu demamaku sejak mula, telah dipilin purnama sebagai sajak,sebagai hujan di dadamu,sebagai angin yang melesapkanmu,sebagai keranda yang memantrai jantungmu.

Semarang, 2011

48 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

ebelum langit memberi cuaca

sebelum langit memberi cuacahalaman-halaman buku di meja kerjamu berhenti nulis ceritaperihal sekantong ingatan anak-anak langit yang terusirmatahari yang bergegas lupa memberi pagidan kita tertegun di beranda,angin berbisik inginmengibas rambutmu sampai ke ranjang tuamenghempas denyutku ke wajah jendelatempat kau ngungun dan berdoa,berduka sebelum langit memberi cuacaaku kembalidan kau pergimendongengkan riwayat kota-kota yang tumbuh di lipatan kitabbocah-bocah bergegas mengingat riwayat kelahirannyasementara di beranda, aku ingin memburu anginyang mengajarimu lupamengeja bahagia Semarang, 2012

49kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

ujan terakhir bulan ini

hujan terakhir bulan ini aku masih saja terlambatsedang cangkir-cangkir mengabutkita menenggak sepi yang kalut“maaf, aku menunggu langit yang ribut seharian”maka sisihkanlah gerimisyang kerap membuatku lumerdan tergenang di sudut matamu

kau lihat gerak arloji?seperti memutar tubuhku kembalimenyusuri gang sepi di pergelangan tanganmu“ini jam berapa?” tanyaku“masih seperti duludan kau masih terlambatmengetuk pintu,” jawabmu

hujan telah redatak ada yang tersisa

hujan terakhir bulan iniaku benar-benar terlambatsedang tak ada yang berubah dari langitaku justru tersesat di kerut usang tudung kerandayang menyimpan bau tubuhmuapak dan purba

hujan ini isyarat sepipintu rumahmu berderittak terkunci

Semarang, 2010

50 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

H

ebuah jalan dan nama di tubuh daun

pada jalan, lengang kita tak terpautkanderu-deru dari nasib waktumelumat kita,menjadi serupa debubulan menepi di kaca-kaca matamu aku mendoa untuk sempat memotongnyamenjadi sabityang menetak tubuhku satu persatu

aku menghitung bilangan ganjildan mereka-reka kembali ingatan pada gaibyang menyekutukan kitadan melarikan sunyi di kantong-kantong mata

sesekali aku melihatmu di sisi jendelakau masih berdiri tanpa menoleh sedikitpunmenjabat angin yang resah menyibak daundan meruntuhkannya saat hari makin matang

menghitung satu-persatu yang gugur"adakah namaku di tubuh daun?"

Solo, 2009

51kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

i sebuah gang kecil di suatu pagi yang tak cerah

mata malam yang lamur takkan sempat melihat kita yang terlambat memintal detak, menyusun jarak dan menautkan kesunyian mata di antara ruas-ruas jalan dan jendela. seperti saat kau menemukanku di bagian ganjil sebuah halaman kata, di suatu pagi yang tak cerah, saat kita terlempar jauh dari wajah kota. sebuah gang kecil berbau kencing anjing bercampur kencing pemabuk gila setelah berbotol-botol arak murahan menghabisinya, setelah berbotol-botol ingatan menelanjangi kita. ini pertama kali kita bertemu, bukan?lantas ini kenangan macam apa?anjing! bagaimana mestinya kita menghabisi cerita? bisikmu sembari menyelipkan sebotol arak di saku celanaku. pada suatu malam yang terbakar, dan hari-hari setelahnya kitapun terus terbakar. aku ingin menawar hening, seperti saat kau menjelma angin yang bersarang di dadaku. tapi aku tahu, di antara kita memang tak pernah ada yang rela kehabisan cerita. maka, kita memang tak perlu memulai ataupun mengakhirinya.sebuah nasib yang ganjil,sebuah duka yang bening,dan kelak di suatu pagi yang tak cerah, barangkali kita akan kembali,menjadi pencuri-pencuri kecil yang rela tercuri. Rumah Labirin, 2012

52 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

D

ketsa rumah dan jalan pulang

ternyata kita memang harus memilih pergi. daun pintu itu telah menutup dan sebuah ruang tak dapat lagi kita anggap sebagai tempat pulang. bisa saja kita mencuri-curi, mendongkel jendela, kita masuki lagi. tapi pastilah, ranjang berkelambu ungu itu telah serupa kubur batu. dingin dan keras. debu-debu di kursi meja. dan bayang-bayang kita di kaca, takkan pernah lagi tersenyum selain kepura-puraan yang munafk belaka.

larutlah larut kita kian mengerut dalam mukamuka air matamu surut sampai sampailah sampai habis detakdetak menipis tipistipis sedang sesiar kabar telah kita tepis jauh sebelum datang riakriak menyambar wajah kita sampai habis,,,kikis,,,kikis,,,sampailah sampai segala tangis,,,

aku pulang, tapi kau tak ada di rumah. sepi sekali ranjang itu. sampai harus kupilin debu-debu menjadi semacam rindu. aku tengah mabuk tuhan, dengan sebotol ingatan yang lama kusiapkan. dengan ratap doa-doa sunyi orang kehilangan. mari minum, tuhan.

53kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

kini aku takkan menangis melihatmu pergi. sebuah jalan, dan bersama kita memetakan jejak-jejak di sana. tapi pastilah kita akan berbelok pada gang yang berbeda. sebuah batu telah kucuri dari saku bajumu. sekedar benda di mana aku dapat mengenangmu dan menangisi kepergianmu saat hari-hari makin menepi dan senja itu bergetar-getar di punggung kita. menulis kehangatan, aku hangat, kau hangat sedang jarak sudah bukan lagi tabir untuk menyingkap wajahmu. maka sekarang berhentilah kita menangis. kita tulis saja bait-bait ingatan yang telah ditawarkan sembari merapal ayat-ayat sunyi.

aku dan kau sudah menjadi kita lewat ruang atas nama rumah. rumah yang kadang ia menjelma bulan perak yang pasi dan lembut sekali mengecup keningmu saat kau menangisi almanak yang tanggal dan nama-nama berjatuhan. kadang ia menjelma senja yang matang lalu kita serupa batu yang diam. menerima segala kesunyian dan senja itu akan menghangatkan punggung kita lewat ratap-ratap yang takkan mampu dimengerti oleh mereka, para pendusta, bermata janggal dan selalu mengumpati semua hidup yang sunyi.

sampai, sampailah sampai segala tangis. pulang, pulang, pulanglah pulang musafr sunyi. jadi, jadilah jadi kita yang kikis terkikis sampai habis. aku tak ada, kau tak ada, dan sebuah jalan memetakan wajah kita kembali.

larutlah larut kita kian mengerut dalam mukamuka air matamu surut sampai sampailah sampai habis detakdetak menipis tipistipis sedang sesiar kabar telah kita tepis jauh sebelum datang riakriak menyambar wajah kita sampai habis,,, kikis,,, kikis,,, sampailah sampai segala tangis,,,

Semarang, 2009

54 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

erihal rumah

di mana hendak kau sisiripadang kering dan keremangan lampu di tepi trotoarmengemasi jejak-jejak sepipada hari yang terlalu kekardi bawah lampu kau telah kehilangan sepasang sepatusiapa sangka waktu memang tak memilih kita?betapa sunyi langit di matamusebelum hujan kau bahkan menolak berhenti mendongakmengutuki keramat yang lindap di kibasan tombak

“hati-hati, banyak pencuri di sini,” bisikmukau bahkan tak tahu, aku yang sebagian mencuri receh di dompetmu“dasar gila!” batinku

pulanglah,ibu telah memasak waktu untukmudan bapak telah menyiapkan keranda di kamarmupulanglah,rumahmu takkan mencuri apa pun darimu

Semarang, 2008

55kota yang tumbuh di kolong ranjang

; Ahmad “adin” KhoiruddinP

ulan di beranda di beranda,saat angin mengetuk jendela, dadamubangku-bangku kekal menulis sepiserupa kecupmu yang jauh melarikanku pada telaga bernama;purnama, di beranda saat purnamaharmonika berbau minor menghisap kitaseperti saat kuhisap habis dadamuanak-anak ikan berloncatan dari matamu ke mataku Rumah Labirin, 2012

56 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

B

ketsa daun pintu

aku pergi karena memang kau harus sendiri. memintal doa-doa di sudut sepi. air matamu yang deras bermuara di muka pintu. memanggilku untuk kembali.

sudahlah, pintumu memang telah patah di tubuh angin yang sama sekali tidak pernah kita panggil, dan kau terus menambalnya dengan air mata. bersyukurlah kita masih bisa menangis.

rindu memang memilih ujungnya sendiri. pintu itu juga telah memilih tamunya sendiri. kau tinggal duduk dan memulai percakapan. aku tak peduli jika sesabit bulan yang lama kau eram telah memutus pergelangan tanganku saat kugenggam tanganmu.

pintu itu pula yang melempar kita pada rumah yang sama. di kota penuh kutuk. kita juga dikutuk. menjadi angin yang tak tahu sarangnya. hanya berpusing di tanah tandus dan mengirimkan debu di mata para musafr. mencium punggung daun, menarik-narik dan memutus tangkai lehernya.

57kota yang tumbuh di kolong ranjang

kau sudah mulai kelelahan sepertinya. mencatat setiap kealphaan, mendengar setiap keraguan. sampai harus kau tutup pintu mati-matian. menyuruhku pergi sebelum sempat aku mendekapmu. sedang sejak kita bertemu pernah kukatakan padamu; “mengenalku kau hanya akan menemui kemalangan”.

S

setidaknya kita tidak jadi badai yang mengangkat atap dan doa-doa ke langit itu, yang ketika sampai di sana segalanya hanya akan terbakar. karena beribu-ribu malaikat penjaga tak kan sudi pelataran rumahnya dimasuki begitu saja, kecuali tamu yang memang telah ditunggu.dan itu bukan kita.

aku ingin tertawa sekarang. aku juga melihatmu tersenyum lepas. kenapa dulu aku tak memaksa untuk tinggal. menanggalkan segala kecurigaan. membiarkan sabit itu memotong-motong tubuhku yang lain. sedang aku tahu telapak tanganku masih kau simpan. dan kita bertemu kembali untuk menghitung sisa percakapan.

“aku mencuri tanganmu,” katamu.

“aku mematahkan daun pintumu”

“sialan!”

memang! sekarang aku hanya berharap dapat mencium bahumu diam-diam, dan saat kau palingkan tubuhmu aku telah menghilang. bersama angin yang menunggu di depan pagar. menjadi duka yang kau tenun dalam ingatan.

aku tahu tak ada orang lain yang kau biarkan masuk, walau banyak yang mengetuk.

sekalah air matamu dan tahanlah tangismu. pintu itu akan membuka dan memilih tamunya sendiri. kau tinggal duduk dan mengulang percakapan.

Semarang, 2009

58 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

aut di rumah nenek

atap rumah kita bocor, Nekair hujan masukember sudah penuh dan sandal-sandal terapungaku main kapal-kapalantapi kau masih saja diam di atas ranjang

ada kapal di lambungmu,ada laut di rumah kita, Nekmengirim camar di sudut kamardengan kabar tentang dermaga yang jauh tempat doa-doa berlabuh

“nahkoda yang baik, dialah yang mengerti arti tenggelam. tahu kapan mesti berlabuh dan tak takut saat harus berlayar,” bisikmu di suatu pagi yang masam

tapi lihatlah, rumah kita sudah tergenang!dan kau masih saja rebah di atas ranjangaku hampir tenggelam di kolong ranjang

ini bulan terkutuk, Nekmelempar hujan tanpa bilangansedang belum sempat kita benahi atapmengganti kayu usukdan memantrai tiang-tiangrumah kita hampir karam, Nek!dan kapal di lambungmu ituentah ke mana menuju

“jangan pernah takut tenggelam, nak” bisikmu di suatu malam sembari beranjak dari ranjangdan mematikan lampu kamar

Klaten, 2010

59kota yang tumbuh di kolong ranjang

L

anita kuli bangunan dalam rumah pasir

dalam rinai hujan di siang jalangwanita dengan garis trotoar di keningnya tempat pejalan-pejalan membuang ludah dan bermimpi menuju jalan kebenaran yang indahkau lelah sepertinya? bahwa hidup memaksamu memanggul batu-batumenyetak peruntungan nasib di kertas semen,tumpukan batu bata dan debu-debu.

"kutanam mimpi seabad lalu di rumah pasir. tapi angin mengirim kabar tentang anak-anakku yang tak pernah kenyang. inilah kebenaran" katamu.

Semarang, 2009

60 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

W

ebuah cerita dari kamarku

sebelumnya telah benar-benar kukatakan padamutentang cerita dinding kamar yang dicoreti waktuhuruf-huruf jatuh dan berlalu lalangserupa kepadatan jalan-jalan kota di garis kepalamukueja persatuah, nama tuhankah itu?

tanah yang kucuri dari kelopak matamutelah menjelma badik di tangankudan siapkah kau menerimanyauntuk kau lesapkan di dadaku?dan darah yang harus diterima dinding-dinding itupasti kan menjelma doa yang merambat di keningmu saat kau terjaga

aku benar-benar ingin tertawasepasang luka saling menghabisi di ranjangnyakemudian mereka bercintaaku semacam puisi yang mereka tulis saat terbata!

aih! di mana surat-surat dari bundayang telah kutata rapi di meja belajarku?aku telah benar-benar lupa harus menciumnya!

61kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

mari-mari ke maritelah kuseduhkan kopi dan secangkir puisikemarilah wajah-wajah layutelah kuasah badikkujuga segenggam melatiyang kan merangkai kerandamu

batu-batu di halaman rumah telah membuang mukadari langit yang hanya bisa bercerita tentang dosa-dosakarena telah kucuri bulan merah perawan diam-diamyang diam-diam pula menyingkap hari matiku

Semarang, 2009

62 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

anjaran Ramaparasu

kau kekalkan ajal ibu di mata kapakmu. seperti itu pula waktu telah menajamkan mata panahnya ke pundi-pundi jantungmu. bukankah hidup membuat kita terus membatu?jika malam, lonceng di dadaku berdentang-dentang. urat di nadimu mengirim tiktak jarum jam. benarkah sekarat itu waktu?

sampai detik-detik bilangan yang kuhitungkau masih terus tualangdari halaman doa sampai ke anyir bangkai para sentanalaku pungkasan sejatitumuju ing seda jati

dendammu kang nyawijilahir dari rahim ibumu Renuka,yang mesti bergetar-getar di ranjang Citrarata “ibu, aku bukan binatang. tapi wajah kematianmu telah menggaris tajam di mata kapakku,” teriakmu dibilik sunyi itu Ramaparasu, kayon telah oncat dilepar ke angkasadi sini, tak ada langitwaktu terhenti,tapi peristiwa tetap jadi-menjadidi dada, sesak menjeda-jedakau masih terus bertanya: kenapa?

;Sigid Ariyanto

63kota yang tumbuh di kolong ranjang

B

di sini, tak ada dewatak ada Ramatapi kita terus tualangmembilang dukamenyusun air mata jika malam berdentang-dentang, Bhargawabarisan carita itu, sebisa mungkin kita ringkaskemarilah,pulanglah,ada yang mesti lunas waktu mendesak kitadi dadaku, di dadamu sesak menjeda-jeda

Semarang, 2011

64 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

swatama

maka aku kembara, sebagai badai atau doa yang tak tahu sarangnya. sejak usai perang sampai habis kaliyuga, akulah yang tetirah dan tak putus-putus singgah. dari meja-meja altar sampai ke ranjang paling darah.

setiap subuh yang sekarat. demamku berangkat, dendamku menetap. maka kucuri kembang mawar dari nisan-nisan para Bhatara, dan kukalungkan ke arcamu. kukalungkan jantungku.

akulah yang dikutuk sampai remuk. ribuan tahun menanggung hampa, sejak kutikam dada anak-anak Pandawa dan kupenggal kepala Drestayumna. sumpahmu kuterima. akulah Aswatama

Semarang, 2011

65kota yang tumbuh di kolong ranjang

A

abda Amba

Bisma, lihatlah aku yang terlahir sebagai mata panah takdirmu. saat kau disumpahi kutuk, akulah Amba yang tiap malam kekal dalam remuk reruntuk. rindu paling nisbi telah menikam kita, sayang. maka kujemput ajalku lewat runcing mata panahmu yang bermuara di jantungku.

Bisma, menangislah sejadi-jadinya. akulah kelak mata panah yang menyusun ranjangmu. saat purna kutuk dan usia. kukecup jantungmu. kukecup lembut, Dewabrata.

Semarang, 2011

66 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

ketsa wanita bermata kaca

sampai harus kususunpecahan-pecahan kacamenjadi serupa matamu

entah sampai huruf ke berapa telah kuulang tiap percakapan. sampai rindu memang benar-benar selesai. kau telah mampu menghentikan tangis dan matamu mengisyaratkan malam retak dengan sepi yang menggait punggung kita tiba-tiba, sampai harus saling lekat dan kusandarkan kepalaku di kepalamu.

seperti apa sebuah perjalanan telah melaju atas nama kita? dan gaib hanya kita sepakati dengan anggukan dan air mata. di matamu, pernah dulu aku berkaca. melihat tubuhku sepotong-sepotong. tanganku, dadaku, punggungku, kepalaku lalu kau susun rapi menjadi utuh. dan kukenakan kembali tubuh yang rapuh.

matamu itukah yang mengisyaratkan waktu berhenti dan detak jantungku seperti habis dilumat sepi?

percakapan kita memang sampai karena memang harus kita akhiri dan matamu yang dulu kaca, retak dalam malam yang kian buta, berkaca-kaca. kau kembali berjalan dengan mengemasi rindu yang selesai tiba-tiba. simpanlah barangkali menjadi peta menuju kampung yang lelah menunggu kepulanganmu, atau larungkanlah ke sungai biar hilir menggenapi aksara gaib yang mengait ganjil nama kita dan namaku sampai juga ke muara, semoga.

67kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

kini kubiarkan kau berjalan dengan mimpi yang kau tepis. bahkan sejak mula aku tahu kau takut merindukanku, maka kau tulis saja namaku di tanah biar disapu angin yang resah. tapi aku berbelok dengan masih mengenangmu karena perjalanan takkan mampu dicuri lewat apapun. dan aku tak takut menjadi orang yang kehilangan. karena begitulah semestinya hidup. di garis tangan, tersusun samar sketsa wajah yang patah. dan pecahan kaca dari matamu kusimpan di saku baju. barangkali kelak aku jatuh dan merindukan lagi tatap matamu.

Semarang, 2009

68 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

ukatakan ini cinta

1kisah bercinta hanya sebatas luas ranjangdan dekapan selimutyang dekil-dekil melekat di kain sepreikupintal menjadi jalauntuk menjaring bulanlalu kutitipkan dalam rahim dan dadamukukatakan padamu – ini cinta kelak kan lahir sabit-sabit kecilasah dan asuhlah buat menetak birahiku

dan sebelum usai lakon yang kita perankankita sudah terkapar di tepi ranjangbersama darah yang mengentalsisa-sisa luka, dan bekas cakaran

2pergumulan pertama kukatakan – ini cintaselebihnya, kita mungkin angin yang terpenjaratersesat di bulanterjaring angkasa bersama hujan

3sebelum usai dongeng itutelah kuawetkan kelaminku dalam kulkasdan kau tak beranjak mematungdi sisi dapurmerebus air matamudi atas tungkumaka kukatakan – ini cinta

Semarang, 2007

69kota yang tumbuh di kolong ranjang

K

epotong sajak untukmu, kekasihku

Kekasihku, mata belati dan roncean melati ini memang hanya untukmumaka aku hanya mengabarkan lukabetapa ngarai di dadaku tak putus-putus menjatuhkanmupada bebal batu dan gemetar tangismu Kekasihku, secangkir kopi dan rindu yang basi ini memang hanya untukmumaka kukunci kau pada lipatan-lipatan ingatanyang membuatmu terus berseterudengan bau busuk masa lalu dan rasa asingyang bertebaran lewat degup jantungmu Kekasihku, saat kita kembali ke ranjang iniingatan kita telah terlampau jauh mengembaramenziarahi waktu dan pintu-pintumenetak leherku dan detak jantungmulalu ranjang ini, menjelma sebuah kota yang tetap sepitak ada nama atau tanda-tanda yang kita kenaliselain hujan logam dari matamuterus-menerus mengikismeruntuhkan puing-puing tubuhku Semarang, 2010

70 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

ketsa bulan retak di atas ranjang

bilamana bulan meretak, lalu kuhirup itu pendar cahaya keperakan dari ruas-ruas dadamu. ada yang menyesak dan penuh di paru-paru. sedang kau memang tak pernah cukup dalam puisi, dalam halaman-halaman buku yang menulis namamu namaku untuk kesekian kali. “dinding-dinding kamar dan ranjang ini memang telah terlampau basi,” ucapmu. “bagaimana dengan tikaman belati itu, sayang?apakah cukup untuk sekedar mengenalbetapa dendam dan rindu adalah hal paling nisbi?” bisikku sembari menggeliat erat menyusuri punggung pundakmu.

kaupun tahu bagaimana malam telah berubah menjadi mata panah yang melesap cepat dan meruncing tajam dalam kepala kita.

lalu derik udara menjadi begitu sepi,ada yang berdenging dan membuat kita terus berpusingmenekuri debu-debu yang disisakan ranjang itutempat segala dendam dan rindumu menetesmembentuk peta sungaimenderas,melarungkan batang-batang doa yang beranak-pinak di garis-garis matalalu muara biru bernama laut itu terciptamenyelimuti tubuh kita dalam ombak,dalam sesak yang menggeliatmelempar bilangan-bilangan almanakmenyeret nama-nama pada kedalaman paling tuadi dada kita

71kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

selebihnya, dermaga sepi di garis tanganmu selalu memaksa perahu dari tulang punggungku kembali, melambat ke tepian, melempar tali pancang dan tertambat untuk kesekian kali.

sedang ingatan adalah mata logam paling runcing yang menajam sampai retak bulan itu. garis-garisnya membentuk peta wajahmu.melesap lindap cahayanya, kita hirup penuh dan sesak.

“setelah ini adakah yang disisakan waktu untuk kita, sayang?”

selain rindu dan dendam yang terus membatu meruntuhkan puing-puing tubuh kita pada bau busuk masa lalu. dan logam-logam itu terus berjatuhan dari langit malam paling sialan. saat tak lagi kutemui kau sebagai kekasih, sebagai laut paling dalam.

Semarang, 2010

72 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

ketsa wanita bersayap iblis

ada yang berdenging sampai bising. sampai kabut teramat sepi, dan perabot-perabot rumah seperti memaki; selamat usang seperti kami.

lalu lampu-lampu melebarkan bayang tubuhmu. merayapi dinding sampai gelisahmu benar-benar tak tentu. ini yang purba sejak luka tak lagi dari nganga. yang kerap datang saat pancaroba. merayap di garis pecah tapak kaki. lalu hujan juga dadamu itu.

rumah ini tempat memampatkan segala yang terkucur dari telapak tangan. asin dan membasahi gaun merah yang membalut tubuhmu. dan malam berdetak semakin kencang melemparkan sabit yang nyata runcingnya. gerak arloji melambat dan jantungmu tertahan semakin pelan.

kau lelah terduduk di depan kaca. membersihkan wajah belang, sisa-sisa bedak sesore tadi. lipstik yang belepotan dan bibirmu jelas berkerut, pucat pasi. tapi, bayang-bayangmu tak memperlihatkan apa-apa. tak menunjuk dirimu atau tubuh yang mengendur otot-ototnya.

“kita milik siapa sebenarnya? jika waktu memang tak pernah punya pintu. tak melempar atau menarik tubuhmu. pada ranah rumah yang memang tak pernah nyata”.

73kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

kau hanya terduduk dan melepas resah di sudut meja.

“aku tak pernah memulai apapun. maka tak ada yang harus kuakhiri”.

seperti sajak ini? tanyaku subuh itu.

“barangkali, dan aku lelah menjadi pendosa hanya karena bertanya tentang kenapa dan bagaimana. sesekali aku ingin membenci tuhan. tapi aku terlampau takut.”

gelap yang larut dan air matamu mengendap bersama-sama dengan ampas kopi. sayap malam yang tanggal saat kepul rokokmu terlempar seperti mengabarkan hidup memang sial. tapi apalah itu, jika kau masih tak ingin memejamkan matamu barang sekali.

atap rumah merunduk dan saat kau sadari bahwa apapun yang terjadi saat ini kau hampir tak perduli. kamu mulai mencair, lumer dan menjadi genangan di rumahmu sendiri. bahkan sebelum langit memberi pagi dengan kepul asap di tungku dapurmu. kau sudah benar-benar luruh.

“aku selalu mencintai subuh, tapi tidak pagi. karena bunyi-bunyian dari ranting dan burung-burung kerap membuatku alpa.”

74 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

maka kubiarkan saja kau terjaga. mengawasi langit-langit kamarmu dengan curiga. saat laba-laba merayap cepat dengan jaring gaib yang mulai menutupi ranjang dan menjalin tubuhmu menjadi semacam debu. kau masih berpura-pura waspada.

saat itu aku akan kembali menyusup. melewati lubang mulut, hidung, telinga atau bahkan pori-pori kulitmu. saat itu aku akan memaksamu terpejam. melupakan setiap peristiwa. menerbangkanmu ke langit sebagai wanita berbibir senja, hangat dan menggetarkan, melempar api dan kutuk ke sudut-sudut kota.

lalu saat kau kembali tersadar, kau harus memulai lagi hidup lebih awal dengan segala kemalangan baru, rindu yang sial dan segala tanda tanya.

Semarang, 2010

75kota yang tumbuh di kolong ranjang

oliloqui I

aku ingin pulang,kembali merapat di antara lipatan musimdi lipatan tubuhmu aku ingin tak kembali,menekuri ranjang initanpa kau,tanpa sepi yang memaksa kita untuk telanjangdan sabit yang tergantung di langit jauh itulesapmenetak kau akudan berpuing-puing tubuh kita meruntuhsampai yang terkucur dari nganga itutak tuntas menderassebagian menjadi peta sungai yang beranak-pinakdan tak bermuarasebagian menjelma hujan yang tak putus-putusberjatuhan

Semarang, 2011

76 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

oliloqui II

setelah ini, biarlah tik-tak jarum jam itu turut memutar tubuh kitapada lengang cuaca juga sepi yang mengail percakapan-percakapan di berandadan aku kau berlesatan dalam hujandalam runcing logam yang menawarkan gigiljuga kenangan setelah ini, kita tak akan sepenuhnya mengertiapa benar ada jalan kembalijika kompas yang patah jarumnyatak lagi menunjuk apa-apa dari petaselain kursi meja berdebudan ranjang kita yang membatu setelah ini, tak usah kembalidan kau tak perlu menangis lagi

Semarang, 2011

77kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

oliloqui III

ada yang mengaduh dari lengkung bibir matamulalu hujan menetes di kening subuhmenggambar lajur peta sungaiberkelok dan menghujam sampaimuara terjauhlubang tak berdasardi palung hatikuada yang nyilusaat kepak subuh melipat tubuhmulalu bau hujanmenjadi terlampau asingdan di luaran, kita dengar kertap angin berpusingada yang diterbangkandari serpihan tubuhkuyang tak pernah sampaidan menemukau Semarang, 2011

78 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

oliloqui IV

aku sadar, kita telah jauh tersesat dari labirin malam yang kosong, yang merujuk kita untuk terus menerus berbohong. dari runcing jarum jam dinding, harapan semacam apa lagi terus berkelebat?

derit ranjang, yah barangkali hanya itulah satu kesempatan untuk kita bersepakat. selebihnya, kubiarkan kau menjelma bebayang. aku mengeras, lantas melumer dengan kepala terbakar serupa lilin di atas altar, berpendaran. dan terus menjelmakanmu serupa malam. serupa kenangan yang kosong.

Semarang, 2011

79kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

oliloqui V

lalu, saat kau kembali mereka-rekasiapa kau dulusebelum tanggal tubuh-tubuhmusebelum rahim menampungdan mengenalkanmu pada bau amismungkin kau batuatau sepi yang menggantung di langit itutempias di atap-atapsebagai gerimis

Semarang, 2011

80 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

oliloqui VI

botol-botol jackdaniel...lagunya Ipang...malam yang pecah...sajak-sajak kehilangan...sajak-sajak pertemuan tak terbilang...kau yang menenun ingatan...langit retak...bulan kesumba...purnama di dadamu...keranda di kamarku...

Semarang, 2011

81kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

oliloqui VII

beginilah nasib menyalib kita, dindaaku memburu sakit dari dada-dada yang asing dan majaldi luar jendela, sebatang pohon dengan kepala-kepala yang terus tanggal

kau berbiak dengan demam titipandengan gelisah tanpa bilangan

bukankah tabah itu memang menunggu?

aku bertanya karena aku mungkin kelirumungkin kaulah yang aku burumungkin aku yang kau candu

Semarang, 2011

82 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

oliloqui VIII

setelahnya hujan menaksir kita pada demam dan peluh. kita hendak menakar apalagi dari kota yang jauh. saat ingatan-ingatan diberangkatkan. aku memunguti puing-puing tubuhmu di trotoar yang resah. sepanjang jalan, sepanjang kecemasan.

di sebuah bilangan yang tak pernah sampai dilewati putaran jarum jam, aku akan menemukanmu. cahaya yang membikin sebuah bilik paling rahasia di dadaku. dan kita berdua saja. tanpa jam dinding yang resah menjangkaumu, tanpa langit yang menakar kita sebegitu jauh.

Semarang, 2012

83kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

ebuah catatan kecil di sisi jendela

seperti waktu yang menawarkan tiada. kita kekal melarungkan risalah ke muara aksara. dan lampu-lampu kota muram di telapak tanganmu. memanjangkan bayangmu pada ruas-ruas jalan di garis keningku. kau terduduk di atas bangku dari punggungku. ini mungkin catatan kecil tentang bagaimana mestinya aku mencintaimu.

di jendela, suara kereta bergegas tiada. tanpa lonceng, tanpa angin ataupun penanda. tapi langit sebegitu jauh dengan peron sepi dan gerbong-gerbong yang menanti. kau berkemas tapi tak pergi. hanya berdoa di tepi untuk sebuah kepulangan.

“kenangan hanyalah cara bunuh diri paling keji,” bisikmu

tapi aku takkan pernah mati bagimu. saat anak-anak mesti bergegas pergi. perjalanan kita hanya menunjuk kembali

atau tertikam lebih dulu. lantas malam usai di dadamu. adalah sajak terpanjang yang takkan sanggup kuselesaikan, sayang.

Semarang, 2012

84 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

ke ranjang ini. darah dan belati. perihal siapa yang bergetaran

S

ketsa batu sungai

aku tahu kau akan menangis. aku tahu kau akan menepis. inilah jejak batu yang mengendap di sungai. arus-arus melumat tapi kekal jejakku selalu tertanam. ah, pasanglah matamu di tempatnya, hingga kau benar-benar terjaga. tapi berhentilah mencurigai, karna picing-picing mata hanya mengarah serapah, karena ratap anak-anak sungai akan sampai ke muara.

kau tahu? malam tidak benar-benar buta. sunyi-sunyi merapat di kolong ranjang kita. dan kau akan mengumpati bayangmu sendiri. yang lindap dan sesat. sampai gigil lebih terpahami saat kau sendiri. dan aku memang lebih memilih serupa batu. karena darah memang darah. karena tanah memang tanah. karena kalah memang kalah. sederhana

oh! akulah kekal batu menjejal di aorta dan nadimu. berdegup dan menepi di sudut. memilih tak bermuara biar deras arus melumat nama-nama. mengendap terlampau purba dan waktu hanya membuat kita sia-sia.

aku kikis, kikis menipis. kau sampai, sampai tiada.pulang atau pergi sederhana.

Eloprogo, 2009

85kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

ikayat jejak batu

1sejak mula kitalah yang dalam diam menerima segala rindusampai denyut waktu melumat kita serupa debudalam kikis aku menepistak ada kemalangan selain mengabu

2maka kita terima saja bahwa takdir kita hanya menjadi bagian dari rumahsebagai dinding penahan tangisjuga dari musim yang tak ramahsampai akhir usia waktukita istirah di kubur batu

3tertulis di tubuhhuruf-huruf samar dan rapuh,orang-orang berdada apimelempar kita di ujung sepimenerima detak sekarat sebagai pendosa berwajah darahjejak-jejak karena kesumatsaat aku kau kapak tunai menetak

86 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

H

4lewat sujud yang diampercakapan telah sampai di ujung kalamdoa-doa kita tanamdi jantung waktu sekeras logammenenun sajak sunyi di sudutdan tak lelah menyebutbiar pecah kitadi runcing hujan

Semarang, 2009

87kota yang tumbuh di kolong ranjang

i atas sajadah batu

di atas sajadah batukita tak henti melenakan rindubetapa keras kepala beradudan tanah betapa rela menerima darahseperti sungai mengendapkan perahumengalirkan bunga-bunga saljujuga sayap-sayap ibuke muara ituangkuh dan biru

di atas sajadah batukita terus mentasbihkan bisuyang kekal merayap di daundi lembayung keringjuga telinga kita enggan menerima bisingkau menantiku dalam weningaku mentahlilkan nama abu-abu

Semarang, 2008

88 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

D

aat ayah berdoa

tubuhmu lesap anginmenghempas jendelamengatupkan pintu-pintupada malam yang tuaseperti wajahmuberderit menunjuk langitmengabarkan hidup yang sakitsiapa datangdengan tawa yang masam?melipat halaman-halamantentang kota dengan jalan berasap di garis tangansedang musim pergi menghilangselalu menunjuk arah bayang

Klaten, 2010

89kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

aat Mengaji

ijaiyah Awal

dan bulan merah di dadamu, saat kugenggam sepasang aksaraAlif yang jatuh di reranting tak sempat kita ejaNun panjang dari luka yang remangaku mengaji dalam tembang-tembang ganjildi sela almanak sebelum jatuh adalah tiadayang kekal hanyalah tanggalyang sesaat adalah nyatamaka bulan tak habis di sinimaka roh-roh adalah dzat yang sepikuterima mereka menetap di jisimkusebagai musafr-musafr yang menagih janjikelembak dupa dan doa-doa dihabisi di sinidadaku rumah sunyi

ijaiyah Akhir

dan tembangkan Nunmu dalam-dalamagar tegak Alif di tubuhkukitalah yang samar sebenarnyakarena gaib adalah nyatatapi tak ada lolong anjing di kolong ranjangkarena aku yang menjelma bayang-bayangsaat santri-santri mengaji kitab kuning

langit di atas kepala berwarna jelagatak lekang, tak rindanghitam putih sepasangkita gamang

90 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

imriti, nahwu shorofkita belajar membaca yang tak pernah usai

SH

H

yat Pembuka

dan tiba-tiba detak udara melemah di bawah lampusaat kupu-kupu berjatuhan serupa gerimis yang matangkau membatu di sudut gang,para pendusta terbangun dan menari di makammenggenggam bulan tembagamengarak berhala berwajah kembar tigasebelum akhirnya Ibrahim mengalungkan sebilah kapak di leher kita

yat Api

dan masih kita genggam kitab itu tapi tak hendak kita baca isinyakarena sekeping kaca di dalam hanya memantulkan luka-lukasayatan yang dalam dari huruf-huruf purbaSodom dan Gomorah,malaikat-malaikat membuang muka dari nama sebuah kotaseorang nabi menziarahi dendam di atas bukitada sungai di bawah kotaada telaga di mataada api di jantungnyaada kutuk menebar tiadaseorang bocah lahir dari rahim batu

91kota yang tumbuh di kolong ranjang

bertulis Kaf Fa’ Ro’ di keningnya

A

A

yat Tengah

dan gaib tak tahu hendak menjelma apa pada malam di tengah gurunlelaki bertongkat kayu mengacungkan jarinya ke langitlaut menjadi batusungai-sungai mengalirkan batuangin-angin menebar batugerimis dari rintik-rintik batuorang-orang mencetak tuhan dari batuberwajah lembu

yat Luka

seorang gadis perawan melahirkan bintang kembara dari rahimnyamuara angin-angin tak berumahluka dari huruf-huruf ganjil yang tak ramahtapi kita tetap sesat di rumah sendirimenatap timur kepada baratmembaca langit di atas tanahdan tiba-tiba harus menyerah di atas sajadah“Lihat, seorang disalib altarnya sendiri saat requiem dan misa arwah!”sedang langit di atas betapa nisbi tak terjamah

92 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

A

A

yat Muara

seorang lelaki melemparku ke dalam kitab abu-abubahkan padanya aku tak tahu hendak ke mana puisi ini menuju

Semarang, 2008

93kota yang tumbuh di kolong ranjang

A

angku tunggu yang memucatb

intu rumah

aku pintu rumahmu. dalam lelah yang panjang, terjaga dan menungguimu di dalam. biar selalu terlewati aku tak pernah peduli. sesekali kau datang, menghampiriku, menyandarkan punggungmu ke tubuhku. lalu kau pandangi senja yang memucat dan kian tak hangat. tak ada yang datang hari ini, karena sebagai pintu aku tahu siapa yang akan mengunjungimu. lewat angin yang lesap dan melampau begitu cepat, aku mencium bau takdir atas dirimu. nama-nama yang dikirim cuaca. tapi tidak untuk hari ini. tapi kau masih menunggu, seperti tak rela pada sepi. dalam keyakinanmu selalu kau nyatakan bahwa kaulah sepi itu sendiri dan hanya ada kau, padahal selalu ada aku.

sebagai pintu, akulah yang memilihkan tamu-tamu yang mendatangi rumahmu. lalu jika ada luka, kau dengan mudahnya mengibaskan tubuhku teramat keras. tapi aku tetap setia. berdiam di muka. membuka dan menutup siapa saja. sampai kau punya kisah dan mengakhirinya dengan tubuhku yang patah.

“barangkali besok ada yang mengetuk sekali lagi, ” ucapmu

“besok tak ada siapa-siapa ,” bisikku sedikit berderit.lalu kau pun pergi, kembali menikam mimpi di ranjangmu yang sepi.

97bangku tunggu yang memucat

P

kau kira aku tak punya mimpi? yah, aku memang lelah bermimpi. tentang rumah yang tenang dan kau datang bersama senja. bukan untuk menunggu tapi menatap pendar hangat dengan apapun yang kau miliki saat ini.

sekarang sudah mulai dingin dan tutuplah aku, seperti kau tutup kelopak matamu, hingga kelak kukirim kabar atas mimpimu;

“besok akan ada yang mengetuk pintumu, dan aku siap patah sekali lagi”

Semarang, 2010

98 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

ebuah ode di ruang tamu kepada tamu

sebagai pintu kawanku,bacalah nama-nama yang mengetuk tubuhkusaat angin menulis cuacaruas-ruas jalan adalah tubuh lelaki memardan aku tahu, kita cuma takut kesepian bukan? sejak mula bilangan menancap di telapak kakiatas ziarah di tubuh kita sendiri,kita telah sama meramalbahwa pada akhirnya kita akan saling membencibenci pada sepiatau sepi yang membencidan kita pintar merawatnyasepintar kita melahirkannya di gelas-gelas kopi tertawalah di sini,tertawalah di sini,di luar kau tak butuh botol lagikarena kenyataan lebih memabukkan ketimbang apiterbakarlah di sini,pecahlah di sini, kepada rumah yang menyimpan jalanan tak berujung,siapapun yang bertandang adalah ia yang pejalantak ada yang lebih tinggi atas apapunselain kenisbian,dan sejak mulatembok-tembok aksara mencatatbahwa muasal kita hanyalah berpura-pura waspada,berpura-pura perihal siapa yang menjadi tuan rumahsiapa yang menjadi tamudan siapa yang menjadi bangku

Rumah Labirin, 2012

99kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

rloji

memasuki rumah, dan detik arlojiku kembali berhenti di rumah ini memang tak ada satupun jam dinding yang berputarsegalanya usai dan mesti diawalidetik yang beralibiterus berbiak, mencatatdan sembunyirahasia-rahasia yang terkekalkansedang di luaran wajah-wajah terlanjur bergegas kemari dan mukimlah,kau akan mengerti, bahwa di sini ada banyak hal yang tak dapat lagi kau kenali seolah mesti terus berseteru dengan waktudan saat kau sadari, kita akan sama-sama tak tahusiapa yang sebenarnya telah diburu?

Semarang, 2011

100 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

A

ebuah aquarium dan ikan-ikan yang selalu berlari ; Lusriana Rahayu

aku tak ingin lagi menulis puisi, tentang masa depan kita, Rhimengajarimu pergi atau kembalisebuah tirakat perihal ziarah atau rumah

di ruang tamu, kita berdirimenatap aquarium yang tetap sepiikan-ikan menetes dan berjatuhan dari matamu

"tetaplah seperti ini," bisikmu"ikan-ikan ini akan hidup atau mati atau mungkin menelusup ke bola-bola matamu"

sepasang bocah dari masalalulahir dari rak-rak album foto yang lembabmereka yang hidup berbahagiabersenang-senang dan bertengkar dengan bahagia

karna itu, sekali waktu aku ingin berhenti menulis puisimamadamkan lampududuk dengan sederhanamenatapmu biasa sajadan membiarkan ikan-ikan dari mataku menetes,berlompatan,merenangi gelas-gelas kopi kita

Semarang, 2012

101kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

encari sunyi

aku tak hendak mencari sunyi di ruang iniranjang tua, seprai bekas lukadebu-debu, sisa keringat kita di situbau dendamjejak cinta terakhir kutanam di sanalahirlah anak-anak angin kitamenyapu wajahmumenyingkap kelahirankupada waktu yang terlampau usang

aku tak hendak mencari sunyi di ruang inimanekin-manekin usang tergantung di sudut pintuterlalu bosan menghakimi tamutak kunjung tiba

Semarang, 2008

102 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

M

aat kau aku di atas ranjang

seperti kau yang tetirahdari garis-garis tanganmenuju riwayat yang terlampau malampada sepi yang telah memaksa kita bertemumenanggalkan baju-baju,rencana,dan tanda-tandaaku telanjang dan berseterupada huruf-huruf di dadaku yang kau pinangyang terus kau jalinmenjadi semacam rubaiyat paling masgul kita sama-sama tahu, bahwa nasib memang tak pernah meniputapi kau terus menanggalkan bajumenjalin riwayatku,dan aku terus mengenakan ribuan wajah satu persatuberbiak,dan berseteru dengan tubuhku Semarang, 2012

103kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

alam di kaca jendela

pada malam yang merayap di kaca jendelatelah lahir peri-peri bersayap daunmenebar gaib serupa kabutmengail jejak di sisa rumputjuga di atas jalan maut mematungmenatap jisim-jisim bercinta di bangku kotadaging mencium daging, tulang menggesek tulanglelah mengeja istirah

di atas ranjang pandangan kita terlampau panjangmalam berkabut di ujung kaca adalah maut yang lupa hendak menjelma apa; mencium siapa?

Semarang, 2008

104 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

M

alam yang lupa

kita telah datang pada riak sungai dan kekal batusegala tumpah di sinijuga tangis sepenuh rinduah, aku mendengar detak-detak di jantung waktumenyebut namamulalu kita serupa daun-daun yang hanyut ke hilirsesekali kita lupake mana hendak bermuara

Eloprogo, 2009

105kota yang tumbuh di kolong ranjang

M

ang disisakan dari kamar kita

ranjangku batugelas-gelas berdenting sunyikita jadi mesti menenggak sepi

ada altar,tanpa tuhan,tanpa doa,tanpa siapa-siapa

Semarang, 2011

106 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Y

aat malam terlepas

saat malam terlepas dari rumah kitatak ada langitataupun katahanya termos dingin di dapurmasih menyimpan laut yang bekuyang sekali waktu kau seduhkan dengan biji-biji kopi dari matamukucecap lagi air matamusaat langit pecah di kaca jendela isyarat gaib macam apa pula yang merubuhkan ingatan kita?aku pecah di bilangan yang kesekian kalinya mencatatriwayat wajah-wajah yang berkunjung tiap purnamasaat engkau entah berdoa,entah berduka kita menangis sebab apa sebenarnya?toh kita ataupun puisi tak ada bedakerap luput dan tak terbaca dari dinding-dinding yang retakada peta ada sajakada kota ada rindu yang sesaksaat entah kau, entah akutak lagi mengenal kata pulangsekalipun sebenarnya, kita masih bertahanberdiam di rumah sendiridan malam tetap terlepas dari rumah kitatak ada langitataupun katatak aku, tak engkauentah berdoaentah berduka

Jogja, 2011

107kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

alu aku menjadi terlampau

lalu aku menjadi terlampau kemarau, saat kau kembali mencintaikudengan galau.lalu aku menjadi terlampau laut, saat namamu kian luput kusebuttubuhmu meluruh menjelma kabut.lalu aku menjadi terlampau belantara, saat gemetar nafasmu kembaratak lagi kenal muara.lalu aku menjadi terlampau debu, saat kursi-kursi taman dari tubuhmu gemetardalam hujan, dalam partitur rindu.lalu aku menjadi terlampau air mata, saat doa-doa kita tak lagi menunjuk petaperjalananmu lewat ruas-ruas jalan urat darahku akankah sia-sia?lalu aku menjadi terlampauterlampaulampau

Semarang, 2010

108 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

L

ebuah fragmen panggung

lalu, panggung inipun kembali,sepi.gemetar lampumelebarkan bayang-bayang tubuhmumerayapi meja kursiatas resah tak bertuanatas percakapan yang meruncing tajamadalah hanya kata yang kelak akan kembali,sunyi.menyusuri panggung sepi,kotak-kotak properti,tumpukan naskah,dan lakon yang terlambatdipentaskan Semarang, 2010

109kota yang tumbuh di kolong ranjang

S

ketsa kelopak mata dengan pendar cahaya bulan

adalah lidahmu yang laut, melumatku dalam ombak. dan dadamukah itu sunyi-sunyi merapat? berdoa di sudut sepi dan aku terima saja kau habisi. kau telah melihatku melebihi diriku sendiri. maka kirimkan pedar lampu itu di alas sujudku, juga keduklah tanah itu, kuburkan tubuhku di situ dan kelak ziarahilah lewat doa-doa yang likat, saat sunyi kembali merapat.

kau pasti telah tahu lebih dulu bahwa percakapan kita pasti selesai. maka kau biarkan aku datang dan secangkir teh hangat telah lama kau siapkan. kadang kelu juga lidahku karena kau memang lebih memilih menjalani perdebatan dengan segala yang mengabu. sampai sepipun harus kita habisi saat maghrib terlampau cepat datang, waktunya aku pulang dengan senyum kecil dan sebait rindu selesai juga kita tuntaskan. sudut matamu bercahaya, serupa rahim kunang-kunang yang dari sana memancarkan pendar cahaya temaram. sewarna bulan yang matang, kini bulan itu jatuh tepat di sudut matamu. sungguh kelak pastilah aku merindukanmu. walau tanpa percakapan yang panjang, sunyi dengan segala yang diam.

maka lelaplah kita saat setengah bayang bulan jatuh di tiang keranda. ah matamu, sajak-sajakku tersesat di sana, lemparlah kembali dan kirim ke muaranya. seperti saat kita kenangkan duka lalu nafas kita yang panjang melepaskan segalanya.

110 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

lelaplah lelap dan katupkan matamu lewat doa-doa yang tersesat di tepi ranjang kita. lalu segera kau selesaikan menenun duka-duka, karena aku takut mengelus pipimu yang merah masak. juga kukirim sunyi ke lubang telingamu. hingga tak ada suara lain yang kau dengar selain denging dan detak jantungmu sendiri.kadang menyebut namamu,kadang menyebut namaku,kadang tak siapa-siapa.

lelaplah lelap dan habisi segala duka lewat kelopak matamu.

kita memang mudah kalah dan rela di habisi,tapi kita belum selesai bukan?

kucium keningmu dalam pendar bulan dan sajak-sajak yang tanggal.

Semarang, 2009

111kota yang tumbuh di kolong ranjang

aat kunang-kunang berjatuhan di bangku

sampai saat ini aku tak pernah tahukenapa bangku yang kita duduki inimenjadi begitu asingada gelas-gelas yang dinginlalu aku mesti menenggak sepi yang kering

ada bunyi terpelanting dari bibirmumenghunjam sesak di dadakuada kunang di pipi lampuberpendaran dan menjadi batujatuh serupa runcing hujan dari matamu

Semarang, 2011

112 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

S

entang yang terduduk di bangku penumpang dan bangku jemputan

lalu saat pintu-pintu kereta itu mengatupsuara peluit,tubuh-tubuh hilir mudik,sisa nafas yang tertahan di lokomotifkau akan mengertibetapa sepi peron ini

Semarang, 2010

113kota yang tumbuh di kolong ranjang

T

ETA DI KOLONG RANJANGsebuah esai sepi yang tumbuh di kolong ranjang

—Hudan Hidayat

peta di kolong ranjang aku jadi ingin rebah di kolong ranjang sajasunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiribiar cahaya menyeruak di ranjang dan bantalaku tak perduli jika luka makin mengental aku ingin tidur di kolong ranjang sajamemintal benang-benang sepimenjadi peta menuju kotamuyang kerap kukunjungi dalam mimpi Semarang, 2009

1. Aku ini hitam Kukira aku akan mulai menulis dari sini saja, Galih. Dari sekian banyak puisi-puisi yang akan kamu jadikan buku. Entah belakangan ini aku kerap lupa. Kadang asyik menulis lalu lupa apa yang sedang ditulis. Lagi pula ada alasan lain. Seperti kamu tahu, kadang kita menangkap bahasa tak harus menyeluruh. Saat bertemu bahasa yang membuat kita berhenti, kita pun berhenti oleh undangan bahasa itu. Aku juga menangkap samar samar apa maksudmu dengan buku itu. Mungkin sudah ada yang menulis di dalam buku, katakanlah semacam pengenalan atas dunia puisimu yang kerap kusaksikan unik oleh kata yang seakan individual,

P

116 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

oleh demikian individunya kata itu, kerap kusaksikan kata dalam puisi-puisimu seolah bergerak menjadi dirimu sendiri. Begitu sunyi dan begitu tak terduga dalam kesunyian.

Mungkin yang kamu hendaki dariku menulis di belakang bukumu dan kukira itu baik. Tapi aku mengartikannya sebagai undangan untuk menulis di atas kamu menulis. Jadi aku menulis di atas puisi yang kamu tulis. Kukira begitu mungkin ya. Kau dan aku saling menulis sehingga terbentuk gelombang bahasa di antara kita. Tapi lalu bagaimana dengan ruang di belakang bukumu. Sejenak aku mempertimbangkan ini sebelum akhirnya menepikannya. Sudahlah kataku, yang penting aku menulis dulu. Mungkin dari tulisan ini ada yang bisa kamu potong dan lalu tempel ke belakang bukumu. Atau tak ada juga tak apa apa. Bahasa sungguh seolah kedirian kita. Kau boleh agak menjauh dariku seperti aku bisa beranjak darimu. Oleh kemerdekaan dan justru karena kemerdekaan, kita lalu bisa saling melambai atau mengucapkan kata saling berpisah.

seperti katamu juga galih:

peta di kolong ranjang, katamu.

Alangkah indah puisimu itu. Atau ini ya? Apakah aku harus memakaikan kata alangkah indah puisimu itu? Atau: alangkah indah puisimu ini? Entahlah yang mana, apakah ini ataukah itu. Biarkan saja orang pusat bahasa sibuk memikirkannya, Galih.

Galih, kita langsung saja bekerja dengan atau ini atau itu. Tak penting, bukan sekadar dua kata yang tak terlalu banyak bedanya. Aku bisa memakai kata ini dalam kata-kataku tadi atau mencabut ini dan membawa masuk itu. Sama saja bagiku. Rasanya aku memilih ini atau memilih itu, tak ada seorang pun yang akan mati di dunia ini oleh keputusan meletakkan sebuah kata dalam bahasa. Tapi kukira kalau maknanya jadi berubah, maka kita harus sedia untuk kembali lagi. Seperti aku kembali, belum masuk ke kolong ranjang untuk melihat kau yang meringkuk di bawah ranjang itu. Aku kembali karena aku membutuhkan meletakkan tanda baca, yang urusannya bukan kepada pusat bahasa atau kamus kita, Galih. Tapi kepada diri kita sendiri yang cinta akan keindahan itu. Bahwa akan sukar menangkap pokok kalimat atau kalimat itu urung menjadi penari, saat ia kubaca lagi telah menempati posisinya sebagai: tak penting bukan sekadar dua kata yang tak terlalu banyak bedanya. Kau dan aku mengerti apa kehendak kalimat ini. (atau itu? Nah kembali lagi penyakit kau dan aku itu ya, Galih.) Tapi bukan soal mengerti. Adalah soal indahnya oleh aliran kata-kata yang macet oleh letak tanda baca yang kurang tepat. Kukira kalimat itu begini bunyinya, Galih: tak penting, bukan, sekedar dua kata yang tak terlalu banyak bedanya. Saat aku berpikir tentang ketepatan dua kalimat itu, pada saat itulah ini dan itu masuk mengubah dirinya kepadaku. Segalanya kini jadi berubah, Galih. Apakah kau yang ada di bawah kolong ranjang itu, atau aku yang sebenarnya ada di sana. Kalau aku lalu di manakah letak tubuhmu? Tapi kalau kamu di bawah kolong ranjang itu, di manakah pula letak tubuhku? Sebab aku melihat dengan senyatanya, tubuhkulah yang ada di bawah kolong ranjang itu. Tubuhku bukan tubuhmu. Atau tubuh siapa yang sebenarnya di bawah kolong ranjang itu ya? Segalanya kuat dan hidup dalam diriku saat ini. Punggungku

epilog: peta di kolong ranjang 117

yang sakit telah kuletakkan di tempat yang selayaknya. Ia disandang oleh sikuku yang bertelakan ke bantal dan bantal itu ada di kasur dan kasur itu ada di ranjangku, dan ranjangku, juga memiliki kolongnya. Segalanya tepat letaknya di sore ini. Tadi aku baru kembali ke foto yang indah dari kawan kita. Dia penyair dan sekaligus pemikir. Kukira dia itu lebih dari dua kata itu. Entah aku merasa orang itu adalah suf yang sedang turun ke dunia. Kau tahu yang kumaksudkan? Benar: dia Erry Amanda, sedikit dari orang di negeri kita ini yang aku menaruh hormat padanya. Oleh etos hidup keilmuan yang mengagumkan. Picku ini juga dibuatnya berdasarkan insting keilmuan. Keilmuan fotograf tentu saja. Wah aku nyaris lupa, Galih: segalanya masih kuat dan aku nyaman sekali menuliskan apa yang sedang kutulis ini. Tapi ruangku dingin dan aku tak tahan untuk tidak mengisap rokokku. Sebentar lagi anakku masuk dan aku harus keluar agar dia jangan terganggu. Maksudku dengan kalimat berputar-putar ini Galih, aku harus merokok dulu keluar dan artinya, mungkin aku sudahi dulu di sini. Kelak, tentu aku akan kembali lagi untuk mengusut, siapakah sebenarnya yang berada di bawah kolong ranjang itu. Ataukah kamu ataukah aku yang ada di sana.

2. Gandhi di bawah ranjang galih Aku kembali lagi, Galih, di bawah bahasamu ini. Di Nun. Kau tahu bukan, Nun telah ditelan ikan. Oleh ia pergi meninggalkan umatnya maka sang Nun masuk ke dalam perut ikan. Di sanalah gelap di dalam gelap. Dengan malu-malu aku mengulumnya dalam mulutku. Lihat kataku, Galih pergi ke Nun ranjangnya sendiri. Berkata tanpa doa seperti sang Nun yang ditelan ikan tak berdoa kecuali berseru-seru di bawah lautan: laillahailla antasubhanaka innikuntu minazzolimin.

118 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Itu memang suara tapi bukan doa. Mungkin gerak jiwa orang yang di awal mulanya panik lalu kepanikan membuat dia diam pasrah kepada Tuhannya dengan menyebut-nyebut namanya. Seperti kamu yang menyebut-nyebut sunyi dan sepimu sendiri. Kamu memang bukan Nun dan Nun yang kuceritakan juga mungkin Nun atau Zunun. Atau nama lain dari sebuah peristiwa lelaki yang pergi meninggalkan puaknya, sebelum laut mengantarkan tubuh dan jiwanya ke perut ikan dan sebelum ikan itu berenang ke sana ke mari lalu sakit perut oleh nama yang disebut sebut oleh lelaki itu. Seperti kamu juga, memanggil-manggil satu dua nama dan itu adalah sunyi dan sepi, yang kamu panggili setiap hari sehingga kamu tak tahan lagi dan kini masuk ke kolong ranjang sunyi dan sepimu sendiri.

Aneh ya, Galih, manusia itu. Perasaan kadang kecil dan kadang besar dan aku ingat sebuah perasaan yang amat kontras dengan laku yang kamu peragakan dengan masuk ke kolong ranjangmu itu. Latarnya sebuah bangsa, maka aku sebutkan latar kita itu kecil saja. Dan latar bangsa itu diletakkan ke dalam suatu bangsa yang sedang dicekam kepenjajahan. Jadi bukan bangsa merdeka seperti kau dan aku yang sepenuh waktu menggenggam hidup kita sendiri. Tapi mengapa kau dan aku masuk ke bawah kolong ranjang, sedang mereka keluar ke dunia yang lebar?

Ini ada cerita yang dikarang oleh Andre Malraux dari dunia yang nyata. Dalam anti-memoir ia menulis dan tulisannya baik sekali untuk menyoroti keganjilan dan keanehan laku diri dalam puisi, puisimu dan puisiku, Galih. Alias hidup kita sendiri ini. Hidup yang beranjak ke bawah kolong ranjang kita sendiri oleh sentakan sentakan sepi di detik-detik hidup

119epilog: peta di kolong ranjang

kita. Mereka juga sepi dan bahkan banyak yang menderita sepi sampai mati. Kukira penderitaan mereka bukan dari jenis penderitaan kau dan aku. Kita masih bisa makan dan kita masih bisa berenang-renang ke tengah lautan kemerdekaan dan kebebasan. Buktinya tak ada yang melarang kamu masuk ke bawah ranjangmu sendiri. Sedang mereka yang diceritakan Malraux, tak seberuntung nasib kau dan aku. Di anti-memoirs Malraux itu menuliskan kata kata Nehru. For you prison was an accident; for us, an and. Itulah suara Nehru dari India yang menyapa Andre Malraux di tengah “pesta”. Dan Nehru ini membawa bawa suara Gandhi yang kontras sekali dengan suara kita dalam puisi. Kata Gandhi, Galih: “Freedom must often be sought behind prison walls, sometimes on the scafold, never in council-chambers, law-courts or schools.”

Dan inilah yang membuat kita malu itu. Kau tahu Galih kontrasnya? Kita masuk menyuruk ke bawah meja, sedang mereka pergi berperang penuh semangat api dalam dadanya. Tapi mungkin kita bisa berkata atau kita acuhkan saja mereka. Bagaimanapun itulah hidupmu dan ini pula hidupku. Bagaimana kalau aku ini memang hitam seperti dikatakan oleh kritikus Faruk HT itu. Aku ini hitam bukan putih, dan putih adalah kulit dan wajah kalian. Sedang kita ini hitam. Wajah serta kulit kita sewarna seperti orang orang hitam di seluruh dunia. Hitam itu tepi, dan tepi itu sunyi alias sepi seolah sunyi dan sepi milikmu itu, Galih. (apakah kita akan angkat senjata oleh sebab itu dengan menggerakkan kata-kata di mimbar-mimbar dewan yang mulia?) Aku bertanya padamu dan kau tentu bertanya padaku. Maka aku mewakili

120 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

kamu menjawab pertanyaan itu. Adalah: tidak. Hidupmu hidupmu, hidupku hidupku, dan hidup kita hitam, dengan warna bunyi yang sepi dan sunyi sebagai ciri diri. Dari Malraux ke Nehru. Dari Nehru ke Gandhi dan dari Gandhi ke puisimu lagi. Puisi sepi yang hitam legam itu. Kini kau di mana Galih? Barusan tadi aku melongok lagi ke bawah kolong ranjangmu. Tadi kau ada di sana tapi saat detik yang sama mengapa lagi-lagi aku tak melihatmu. Mengapa terjadi pertukaran wajah di bawah kolong yang sama? Bukan wajahmu di sana tapi wajahku. Wajahku. Yang membawa pedang kata-katamu lalu pelan-pelan kutusukkan ke dalam tubuhku sendiri. Aku mati sepi dan sunyi di bawah kolong ranjangmu dan saat kematian itu benar-benar hendak datang, kutolak ia dengan memanggil-manggil namamu. Kau harus datang kepadaku. Suka rela atau dengan terpaksa kau harus datang kataku. Harus kataku. Dan kau memang datang dengan malu-malu. Wajahmu tersipu memandangku. Ya aku datang dan kita gantian ya Hudan. Dan kau masuk ke bawah kolong ranjangmu lagi. Saat aku hendak keluar aku merasa bajuku ditarik-tarik dan sebuah tawa lucu terdengar olehku. Aku berpaling: tak ada orang di sana. Sekali lagi kutegaskan mataku di bawah kolong ranjang itu. Tetap: tak suatu pun yang berjenis manusia di sana. Lalu aku tahu, bahwa bukanlah kau dan aku ada di bawah kolong ranjang itu, tapi bangkai bahasa dengan anak-anak kata yang telah mati di sana.

3. Segi tiga M.H. Abrams - ada jatuh dari Tuhan tiada

Segitiga yang dibuat kritikus sastra M.H. Abrams dalam The Mirror and The Lamp , meletakkan karya sebagai pusat pengelihatan dari suatu produksi sang pengarang dalam hubungannya dengan dunia dan pembaca. Bahwa sebuah karya datang dari semesta (universe), untuk diresepsi oleh pembaca. Tentu saja kita bisa mengubah letak dan unsur

121epilog: peta di kolong ranjang

bagan Abrams dengan suatu asumsi paradigmatik. Bahwa “universe” tampak seolah “menghilangkan” pencipta sebagai sebuah sumber dari segala sumber. Padahal pengarang, karya, serta dunia itu sendiri, adalah turunan langsung dari mula pertama yang dalam hal ini dia yang “memecah” diri ke dalam dunia. Dan, inilah ada dari tiada itu. Ada yang jatuh dari tiada dan dunia jatuh dari ketiadaan semacam ini, seperti karya jatuh dari dalam hati sang pengarang dan dunia (universe) jatuh pula ke dalam hati sang pengarang. Semua adalah ada jatuh sebagai benda jatuh. Bahwa manusia datang dari dunia (ia tercipta dari tanah, bukan?), manusia tak bisa ada sebelum adanya dunia. Dan kalau saya berbicara tentang manusia, maka yang kita maksud adalah manusia konvensional yang kita kenali ini. Dan seperti manusia tercipta dari dunia, demikian juga sang bahasa itu, tercipta dari pengarang yang tercipta dari dunia. Pendekatan seperti ini, tentu saja akan membalik segitiga yang dibuat oleh M.H. Abrams. Kini bukan lagi work sebagai sebuah pusat yang dikelilingi oleh universe, artist, dan audience. Tapi god yang diseputarnya adalah universe, artist dan work itu sendiri. (Audience kita masukkan ke dalam artist. Bukankah ia, walau berfungsi sebagai pembaca atau pendengar, adalah pembaca dan pendengar pasif dalam relasinya dengan karya. Lagi pula audience se-species dengan artist dalam arti, sama-sama manusia di muka bumi ini. Perlu pula kita tambahkan sebuah perubahan posisi yang lain dan oleh itu perubahan peran yang lain pula. Bahwa, setelah karya selesai dan tersaji ke hadapan publik, identitas artist itu kini telah berganti menjadi audience di depan karyanya sendiri. Oleh ini ada benarnya pengarang telah mati seperti yang di-launching Roland Barthes itu, walau arah Barthes dan arah kita dalam soal ini berbeda.) “a triangle will do, with the work of art, the thing to be explained, in he center.”

122 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Demikian Abrams dan kita pun, tak juga beranjak dari center yakni karya. Bahwa sebuah karya yang kita jadikan pusat penglihatan. Tapi bukan dalam bentuk diletakkan di tengah sebagaimana Abrams meletakkannya, tapi di seputaran: ia menjadi salah satu dari segitiga yang mengeliling sang pencipta itu. Maka kini kita telah mendapati aksis pembagi yang dalam hal ini bukanlah karya yang kalau dibaca dari segitiga Abrams akan berjatuhan ke karya; bahwa universe sebagai karya akan menghujamkan dirinya ke karya sebagai pusat karya yang baru. Dan pengarang yang mengoperasikan penghujaman seperti ini. Demikian juga dengan pembaca, akan bergerak ke center adalah karya. Kini kita memiliki aksis pembagi yang lain adalah god. Tuhan inilah yang akan men-spread-kan dirinya ke universe, turun ke manusia dan akhirnya berhenti kepada karya. (audience tetap masuk dalam barisan artist) Kita kini memiliki center baru sebagaimana Abrams memiliki centernya adalah work itu. Kita telah menggantinya menjadi god. Maka kalau kelak mata bahasa kita berputaran di sebuah puisi, dalam hal ini puisi Galih Pandu Adi yang terkumpul dalam buku kumpulan puisinya “rel kereta dan bangku tunggu yang memucat”; itu tak lain adalah pengelihatan pertama kepada puisi besar adalah sang maha puisi-tuhan, yang kemudian turun ke puisi itu sendiri. Sehingga keadaannya adalah: satu puisi dan satu puisi. Apa yang ada di balik kolong ranjang sang penyair, kini adalah dugaan dari apa yang hendak disingkapkannya di balik kolong ranjangnya itu. Dengan demikian, oleh sifat maha pencipta, kolong ranjang itu kini bergerak menjadi kolong ranjang dunia alias dunia ini sendiri sebagai, atau seolah, seakan kolong ranjang. Tentu

123epilog: peta di kolong ranjang

saja kita kini berhadapan dengan kolong ranjang raksasa yang, ataukah olehnya maka sang aku dalam puisi, menjadi takut dan akhirnya, membentuk kolong ranjangnya sendiri - ia kecilkan kolong ranjang dunia ini, dibawa masuk ke dalam pemadatan ruang domestik rumahnya. Menjadi kolong ranjang fsik dari sebuah bunker untuk escape; bahwa di sinilah ia mengungsikan sunyi dan sepinya hidupnya. Alangkah unik dan ajaibnya manusia, yang bukan keluar tapi menyempit ke dunia dalam dari fsiknya sebagai bangunan gedung. Sebuah pandangan lain dari hal yang sama, pada saat ia mengungsikan diri ke bawah ranjang, pada saat itu juga tubuh dan jiwanya sudah menjadi ranjang pula oleh sifat jiwanya yang tak bisa keluar, tapi tersekap di dalam, dan dalam ini mirip dengan kolong ranjang fsik itu. Kita bisa merogoh kolong ranjang dan bertemu dengan tubuh puisi sang aku di sana, tapi kita apakah bisa merogoh ke dalam tubuh sang aku fsik dalam puisi dan menemukan jiwa di dalam badannya? Di sini kita akan bertemu dengan tiada. Olehnya badan ini bisa kita lebarkan, keluar dari anggapan sempit tubuh dan kini telah menjelma sebagai badan dunia, yang tangan kita terulur ingin meraih tuhan tapi tuhan, seperti tubuh tadi, tak juga bisa kita jemput dalam tubuh dunia. (ke mana tangan kita akan meraihnya dalam dunia? Dalam dunia kalau kita hendak meraih tuhan, maka keadaannya, tangan kita menggapai tapi yang ia raih adalah daerah kosong. Oleh itu Sutardji mengamuk dan berucap dalam rintihan: beri aku sejumput saja, separuh untuk kalian dan separuh untukku dan ia mencari tuhan itu jauh sampai ke belantara Afrika; tak ada di sana. Ia masuk ke dalam dirinya sendiri menjadi organ dalam tubuh dan menjadi nyawa tubuh yakni darahnya dan di sanalah ia menderas sebagai seekor kucing yang berteriak penuh kesakitan: kucing menderas dalam darah ngiauuuuuu.

124 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Galih tidak begitu. Ia melakukan gerak pembalikan yang unik sekali dalam puisi. Sedemikian uniknya sehingga sepengetahuan saya, baru sekali ini puisi indonesia dihadiri oleh warganya yang melarikan diri dan mengungsikan sunyi dan sepi ke bawah kolong ranjang. aku jadi ingin rebah di kolong ranjang sajasunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiri Puisi adalah tanda dan tanda itu adalah kata. Tentu saja tidak setiap kata adalah tanda, yang dalam hal ini dimaksudkan sebagai, atau mengacu, oleh dirinya sebagai referen dalam bahasa. Aku-ingin jelas adalah tanda yakni sebuah kehadiran dari sang aku, aku lirik dalam puisi sebagai perpanjangan suara aku sang penyair yang bergerak ke dalam penulisan puisi, sebuah gerak dalam bahasa yang memungkinkan kelahiran aku lirik dalam puisi. Aku itu tanda seperti buku suci itu berkata untuk dirinya: takkah kau lihat kehadiran tanda-tandaku di segala semesta? Atau seperti di dalam puisi: aku sebagai tanda memecah-mecah dirinya ke dalam banyak tanda yang bisa kita cium ke dalam pengelompokan oleh aku yang menyebut-nyebutkan dirinya itu. “Kolong ranjang”, “ranjang”, “bantal”, di dua baris di bait pertama puisi galih pandu adi, serta “sunyi” dan “sendiri” di baris kedua; atau “cahaya”, “luka” serta “mengental” di baris tiga dan empat. Tapi apakah “ingin” itu adalah tanda juga? Ingin tak kuasa berdiri sendirian—ia memang seolah “sepi”, ingin itu. Tapi sepi adalah sebuah keadaan yang oleh biograf kemanusiaan yang panjang, telah mengambang dalam kesadaran bahwa itu adalah dunia tanda. Ia keadaan dan sekaligus ia adalah keterangan. (Dunia ini sendiri adalah keterangan. Kelak, keterangan ini, di pengelihatan kita atas bahasa tiga orang penyair, dapat kita kenakan hukum dalam bahasa dari dia yang menerangkan dan dia yang diterangkan). Kalau sepi

125epilog: peta di kolong ranjang

datang dari dunia masa lalu manusia, maka demikian jugaingin itu datang dari dunia yang sama. Hasrat atau passion diri, diri aku atau diri manusia, selalu akan diekspresikan oleh ingin. Aku ingin, i want to. Apa saja atas relasi kita terhadap dunia luar dan dunia dalam, adalah wajah dari sebuah kehendak yang difasilitasi oleh kata “ingin” ini. Kalau demikian, maka kita telah gagal mendepaknya dari dunia tanda. Alhasil ingin seolah sepi dan sepi seolah aku. Lalu membentanglah tiga kata yang membentuk rantai tanda yang seimbang dan keimbangan ini terus-menerus menaikkan dirinya. Saling kait-mengait untuk menunjukkan sebuah eksistensi dan oleh itu sekaligus esensi.

“Aku jadi ingin rebah di kolong ranjang saja, ”

dan inilah gema dari tiga tanda yang saling melipatkan dirinya itu. Kita telah gagal mendepak ingin, apa boleh buat ingin masuk ke dalam barisan tanda setingkat aku dalam sebuah permainan peran yang menjulurkan aku ke luar dirinya, atau mengisap apa yang telah terjulur ke luar masuk ke dalam dan kita lalu melihat “tangan” yang terjulur itu kini mengembang di dalam, sebagai ingin yang bekerja di ruang dalam tubuh manusia. Lalu mana tanda yang bukan bersifat referens selain, tapi bekerja sebagai tanda dalam bahasa, menjadi penghubung di antara satu tanda ke tanda lainnya? Kita harus menemukannya untuk menggenapkan satu pandangan bahwa kata adalah tanda, dan tanda merantaikan diri mereka ke dalam bahasa. Dalam bentukkan tanda ber-referens , dalam bentukkan tanda dalam yang mengikatkan riwayat luar ke dalam riwayat dalam bahasa. Ia adalah penghubung. Peng-aksis dalam bahasa. Tepatnya: puisi atau lebih tepat lagi: puisi yang bekerja dalam sajak Galih Pandu Adi ini. Dan, mungkinkah tanda penghubung itu adalah “yang”?

126 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Notes From Maka masuk ke dalam kolong ranjang itu rupanya bukanlah sebuah gerak sembunyi atas hidup yang menekan (apakah yang menekannya sehingga escape aneh itu mesti ia tempuh?), sehingga aku seakan putus asa seolah notes from underground Dostoyevsky yang masuk dan meringkuk ke lubang ruang bawah tanah persembunyiannya. Kalau bukan itu lalu apa? Rantai tanda dalam puisi mesti bisa menjawabkannya untuk kita pembaca puisi. Apakah yang membuat orang aneh itu bergerak ke bawah kolong ranjangnya. Tak berdiam diri atau, tubuh kita itu hendak menggeliat terus pun misalnya dalam tidur melalui mekanisme mimpi, gerakan yang tak hendak diam itu, terus berusaha meloloskan dirinya dari lubang tiga empat tingkat sebagai lubang simbolik yang mungkin saja telah bergerak ke arah lubang yang gaib, atas mana suara manusia seolah panggilan yang tak sampai; seakan nyata tapi tak nyata; seakan terang tapi kata dalam puisi terus menerus menyembunyikan arti-arti sebagai puisi. Apakah yang membuat aku lirik dalam puisi Galih Pandu Adi ini, bersembunyi di bawah kolong ranjang dengan cara menarik tubuh dan jiwa ke dunia anak kecil kembali dan kini dari sana mulai mencoba membentukkan kembali harapannya. Alangkah harapan itu, manakala kita tahu hanyalah seolah surat hampa oleh tiadanya kertas tempat menuliskan perasaan, oleh perasaan telah dilipat kembali ke dalam badan. Tiadanya pena-pena oleh batang-batang dalam hutan menarik batang-batangnya kembali menjadi rimba raya dari gua garba manusia. Alangkah pula, benang yang dulu tempat ibu menjahitkan mungkin kebayanya untuk menggoda ayah atau celana kita yang sobek di pantatnya, kini dibawa masuk untuk bermain simbolik unik yang dilancarkan dari sebuah tempat yang maha-unik—kolong

127epilog: peta di kolong ranjang

ranjang tempat tidur manusia. Seolah ini kabar dari kematian dalam kematian, dan itu adalah syair awal akan tubuh kita yang kelak mati dengan memasukkan dirinya sendiri ke kerandanya sendiri. Kita berjalan ke kubur kita sendiri, demikian sebuah esai yang lepas dari sepasang tangan gaib ini dulu kala. Ah, segalanya gaib di bawah imaji-imaji puisi yang hendak masuk ke dunia ada tiadanya sendiri. (Ini belum kamu masukkan, Galih. Kalau kamu sabar menunggu, sehari dua ni, aku coba tarik kata ke kata puisimu, sehingga terbaca, mengapa ia itu indah, dalam dan tinggi; mengapa ia itu unik, agaknya samarlah terjawab. Mau kau masukkan dari “note from” hingga “ada tiadanya sendiri? Kukira yang di dalam kurung ini menarik juga ya mungkin dimasukkan, sehingga ia menjadi karakteristik maya, di mana yang mencolok itu adalah sebuah tiktak langsung seperti kau dan aku sedang lakukan ini—sesuatu yang nyaris mustahil terjadi di dunia sastra kita di luar oleh watak medium. Mana baiknya saja menurutmu. Tapi tentu hingga “ada tiadanya sendiri”, menjadi titik stop sampai saat ini. Entah malam kelak atau besok. Ok yo.)

4. Citra Tapi Galih berjalan ke kolong ranjangnya. “Galih” dari sebuah rekaan dalam bahasa. Tapi dari sini kita tahu bahwa puisi bisa dibaca dengan dua belahan pembagi. Kita membaca puisi sebagai bahasa dan kita pun, membaca puisi dengan membayangkan orangnya—penyair yang menulis puisi itu. Dengan yang terakhir imaji-imaji dalam puisi membuat bahasa mengundang kita untuk merenungkan manusia dalam hidupnya yang nyata. Kita pun termenung oleh sebuah bayangan yang bergerak ke bawah ranjang. Kita dari

128 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

diterobosnya bahasa oleh segenap hidup nyata juga, yang konvensional. Bahwa tak ada kata tanpa bendanya. Dan kata dalam puisi membuat kita menghidupi bendanya yang, benda itu dalam hal ini aku-lirik—oleh pengetahuan kita akan penulisnya-penyair yang membuat puisi itu—maka benda yang kita bayangkan pun bergerak ke arah penyair. Dan oleh itu pula, kita lalu membayangkan sang Galih seolah sang kita-fakta itu kini kelihatan dengan jelas telah—entah bagaimana caranya dia masuk itu, atau kita menyisakan ‘ruang mungkin’ untuk sebuah pengimajinasian, bahwa sang aku-Galih, mungkin setengah memakai busana merayap ke kolong ranjangnya. Kapankah itu terjadi? Boleh kita bertanya kepada (ruang dan) waktu dalam puisi Galih yang amatlah provokatif dari satuan cara escape. (Mengapa pilihan sunyi bukan ke sebuah kafe, tapi menyuruk ke kolong ranjang misalnya. Ataukah ini adalah dunia domestik yang ia lipat gandakan sebagai domestik dunia dalam: rumah, dunia dalam - dan oleh itu ia tak membawa latar ruang luar ke dalam.) Kata cahaya di bagian awal itu membuat kita berpikir, waktu yang dipakai penyair adalah waktu siang hari dan oleh itu cahaya matahari menerobos mungkin jendela kamarnya sampai ke bantalnya dan tapi tak sampai ke kolong ranjangnya. Bisa begitu. Tapi bisa juga: waktu malam hari. Sebab bukankah cahaya lampu juga adalah cahaya dan oleh karena itu, sifat kata cahaya di sini menjadi demikian plastis. Ia membawakan kita ke sebuah lanskap dari ruang kamar sang aku lirik yang sedang kita tarik ke aku fakta dalam bahasa. Tak bisa, kita melarikan dari bidang ini: bukankah cerita puisi ini sampai kepada kita melalui bahasa? Lisan pun adalah bahasa. Derrida membelah dua bahasa dan memihak salah satunya. Lisan kita tinggalkan dan mari kita (me)masuk ke tulisan, katanya. Kata saya tidak: lisan itu adalah bahasa di mana aksaranya mengambang di udara dan ia masuk menjadi pengelihatan batin bagi mereka yang peka memandangnya.

129epilog: peta di kolong ranjang

Alhasil, bahasa adalah bahasa dan tak suatu ada pun adalah ada-tanpa. Selalu, ada-kata atau ada-bahasa. Begitu juga kalau kita menghidupkan puisi Galih ke dalam undangan yang ia pendamkan, adalah lanskap ruang dan waktu, yang sedang saya nikmati ini dengan sepenuh hati. Bahwa ada dua ruang dan waktu yang mungkin. Ruang dan waktu malam hari dan atau, ruang dan waktu siang hari. Inilah indahnya sebuah kata yang berhasil dalam satuan puisi. Misalnya kata cahaya itu, ia menghidupkan konteks dan konteks itu adalah lanskap bahasa yang bekerja di dalam jiwa sang pembaca (puisi). Setelah ia bekerja di jiwa sang bahasa adalah kerjasama kata dalam puisi. Kerjasama yang tak disesaki oleh informasi yang menerangkan, yang riuh oleh dipakainya kata ke sana ke mari sehingga, sang kata gagal menampakkan sifat misterinya oleh misterius yang hendak ia ceritakan, telah terhambur dari keterangan kata yang riuh itu. Orang mengatakan ini sebagai gejala: penyairnya tak menghormati pembaca puisinya. Lihat, ia seakan mengajari pembacanya, seakan takut pembacanya tak sampai ke arti puisinya—dan lihatlah pula, dengan begitu kata di puisi penyair kehilangan misteri.

Pesona kata kini telah direnggut, bukan oleh bahasa puisi tapi bahasa prosa, atas mana kelak, kita pun mengambil ancang-ancang lain saat membaca, karena tahu yang kita hadapai bukanlah puisi tapi prosa (Demikian sulit memang, dengan demikian, menjadi penyair dan tapi oleh itu pula, tentu saja, kita menghormati penyair dengan jalan merayakan capaiannya. Banyak sekali orang-orang yang belajar sedikit linguistik dan lalu seolah telah menjadi penyair dengan menggoyang-goyangkan kata itu ke arah dunia kosong dari sifat puisi yang misterius itu).

130 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

aku jadi ingin rebah di kolong ranjang sajasunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiribiar cahaya menyeruak di ranjang dan bantalaku tak perduli jika luka makin mengental

Baiklah kita bergerak ke arah (yang) lain. Arah di mana tak seorang pun di bawah kolong ranjang itu oleh, dicegatnya “manusia nyata” ke dalam bahasa, sehingga yang kita hadapi kini adalah bahasa, semata kata-kata yang dibentuk oleh penyairnya tanpa kata itu mengacu kepada suatu pun (kita telah mencegatnya, bukan?) Manusia tak bisa masuk ke dalam, oleh upaya kita yang memotongnya hendak berdiam di dalam kata. (Apa yang abadi itu adalah, benda berdiam di dalam bahasa tapi oleh bentukan kehendak untuk menceraikan bahasa dari ilmu-ilmu lain atau dari dunia empirik, maka memang mungkin gerak mencegat benda masuk ke dalam seperti itu. Akibatnya bukan lagi sesiapa yang ada di dalam bahasa Galih kini. Aku-lirik itu bukan Galih sang penyairnya lagi. Kalau demikian aku siapakah yang sedang merangkaikan riwayat dirinya ke dalam dunia tanda sebagai unsur nyata pembentuk puisi itu? (Orang menyebutnya sebagai sajak, kata berirama naik turun oleh sekian teknik mungkin metrum atau apa saja tehnik dalam puisi, boleh kita pajangkan untuk investigasi keindahan sebuah bahasa puisi pada satuan bergayut-gayutnya kata satu ke kata yang lain). Kita tidak tahu. Bukan sesiapa akhirnya tak seorang pun. Ia bisa menjadi siapa saja. Siapa saja bisa kita masukkan menjadi sebuah riwayat yang di/ter-ceritakan oleh bahasa. Tapi, riwayat semacam itu telah diisap oleh kehendak linguistik modern untuk, mandiri sebagai pengucap dirinya sendiri. Dan imbasnya pada sastra puisi. (Bukankah pengarang telah meninggal dunia seperti yang dikisahkah oleh Roland Barthes? Tapi cepat pula kita katakan: bukankah sifat “tiada”

131epilog: peta di kolong ranjang

dalam posisi argumen Barthes ini, mirip sekali dengan tuhan yang tiada itu/dia tiada pernah hadir sebagai satuan fsik personal. Dia ada tapi adanya dalam tiada, seolah bahasa, ada kata dan dunia bahasa semacam itu kita namakan sastra. Dunia yang super mandiri, terlepas/berlepas (demikian dianggapkan orang) dari dunia nyata. Maka kini kalau kita coba terjemahkan: siapakah pengarang kitab suci? Tiada. Dia datang dari ketiadaan, dia bukanlah (sudah pasti) karya para nabi-nabi, seperti misal karya Dante atau sebuah karya bernama Bustanus Salatin seperti yang diperikan oleh Djazlam Zainal (di fb-nya). Demikian juga dengan kata-kata dalam puisi. Siapakah pengarang teks puisi, aku sembunyi di kolong ranjangku sendiri itu? Bukan Galih.

Sesaat Galih berkutat oleh sifat aneh dan unik dirinya yang pindah ke bahasa, Galih kini telah sama dengan kita yang disentuh oleh puisi “aku aneh” itu. Sama-sama sebagai pembaca yang menghadapi dunia bahasa yang kini, statusnya, datang dari dunia antah-berantah. Pada titik ini kita mulai bergeser, oleh mata bahasa yang semula melihat tubuh Galih meringkuk sunyi dan sepi di bawah ranjangnya sendir—atau di atas itu telah kita mainkan dalam gerak tukar guling antara aku dan kau sehingga ia menjadi tidur yang selang-seling. Kadang Galih dan kadang “Ratna” di bawah kolong ranjang itu. (Ratna, kata lain dari kita demi mengejar ekspresi kebudayaan kita itu: sebuah lagu Galih dan Ratna yang kita bawa masuk sebagai cara berucap dalam sastra). Tak lagi ada Galih dan Ratna di sana. Yang ada kini semata bahasa dengan satuan satuan kata pembentuk dirinya. Di bawah kolong ranjang itu kini kita hanya menemukan onggokan kata dan kata. Kita melihat ke bawah kolong ranjang itu dengan pandangan mata aneh, unik sekali kamu,

132 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

kata, kata kita, mengapa berada di bawah kolong ranjang itu. Kamu berjejer di sana dalam bahasa, sebagai bait awal dari sebuah bukan apa kecuali bahasa saja. aku jadi ingin rebah di kolong ranjang sajasunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiribiar cahaya menyeruak di ranjang dan bantalaku tak perduli jika luka makin mengental

Begitu rupa rasanya keadaan kita kini, mendapati kata kata yang mengucapkan dirinya sendiri tanpa seorang pun aku di dalam kata-kata itu. “Aku ingin rebah di kolong ranjang saja zhu oh zhu penyair zhu idih zhu penyair zhu”. Dia bukanlah Zubaidah yang tenar. Dia bukan Galih yang aneh secara fsik respon-respon jiwanya itu. Dia hanya semata kata saja. Kata aku yang arbitrer karena tak lagi bisa diacukan kepada seorang pun. Teronggok kata itu di bawah ranjang dan diam sunyi sendiri, sampai ia kita temukan dan kini, kita yang menjadi aneh, sunyi dan sepi mendapati kata aku tanpa pernah tahu siapakah orangnya. Demikianlah keadan kita berhadap-hadapan dengan bahasa tanpa sebuah dunia empirik lagi di dalamnya. Bahasa mendadak menjadi aneh dan semua keanehan itu masuk sebagai pengalaman membaca bahasa yang memang, dimungkinkan di saat “benda” telah kita usir dari rumahnya—kata.

5. Dua bahasa - membaca puisi dari belakang aku ingin tidur di kolong ranjang sajamemintal benang-benang sepimenjadi peta menuju kotamuyang kerap kukunjungi dalam mimpi

133epilog: peta di kolong ranjang

aku jadi ingin rebah di kolong ranjang sajasunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiribiar cahaya menyeruak di ranjang dan bantalaku tak perduli jika luka makin mengental

Tapi kata masuk kembali dan kini kita membacanya dari belakang. Belakang dari gandanya makna sebuah kata: belakang itu bisa menjadi sebuah pembalikan: bait kedua kita letakkan menjadi bait pertama untuk sebuah orientasi menguji kebertautan puisi. Koherenkah dia sebagai dunia kata yang saling melimpahkan/melimpahi makna dalam puisi? Teknik menghadirkan apa yang diucapkan oleh sebuah teks yakni akhir dari teks (bait kedua di puisi Galih), kini kita letakkan di muka menjadi “teks” pertama. Seolah orang berjalan dan di tengah kembaranya ia ingin tahu akhirnya. (Ke manakah semua ini berakhir? Sebuah esai memperingati meninggalnya HB Jassin telah dituliskan oleh Goenawan Mohamad yang saya petik dari ingatan, sebuah kata (-kata): di manakah berakhir mata seorang penyair?) Ke mana mekarnya jari bahasa kita ini Afrilia? Dalam kasus bahasa puisi; dalam kasus hidup yang datang dari dunia fakta, “ke mana” itu kini bergerak ke takdir atau nasib apa yang akan menimpa kita itu. Dan itu inilah yang hendak kita lihat dari suatu asumi, bahwa penyair bisa mendayakan motif yang didukung oleh barisnya, barisnya yang membawakan tema dari motif sebagai drive itu, kini menggelar dirinya sebagai sebuah “keterangan” yang bisa diletakkan di muka atau di belakang (tapi kerap di belakang oleh suatu bahasa yang akan menanjak; bahasa yang hendak meretorikkan setiap unsurnya sehingga sang bahasa (puisi) sampai kepada daerah jawaban dari apa yang ia cari. Atau dalam dunia nyata: kita sampai hingga tepi dari sebuah simpang yang tak lagi ada simpang selain simpang di mana kedua kaki kita

134 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

itu kini terentang. Inilah mungkin sebuah metafora “laut tak bernama” itu. Atau sebuah kata yang dijagokan Nietzsche dalam menanggapi hidup ini dengan kata-kata: kita telah membakar semua layar-layar kapal dan kini kapal menjadi titik kecil yang terapung di luatan ganas dengan ombak-ombaknya. Sebuah simpang seperti itu tak mungkin diletakkan penyair di depan dari bahasanya yang menjadi etalase bagi dunia pembaca yang ingin memandang. Semua itu adalah gerak naik dan gerak menanjak dari bahasa. Ia adalah jawaban dari keterangan yang telah pelan-pelan disayatkan di muka itu. Kata itu memiliki sifat seolah pisau, menusukkan tajamnya ke tubuh dan jiwa manusia dan manusia yang menerima sayatan tajamnya pisau, bisa dan boleh bereaksi apa saja. Tapi kalau takdir-nasib telah sampai, apa pun reaksi yang kita tampilkan, adalah sebuah kenyataan dalam hidup nyata yang kelak, dengan waktu, dengan proses(nya), berpindah ke dalam otak/jiwa dan lalu lahir menjadi kenyataan dalam bahasa-puisi dalam kerja penyair Galih Pandu ini. Itulah saat ia datang kepada kita dengan baris baris awal di awal mula bait puisinya. Tapi kita melompatinya—seperti kita pernah melakukan hal yang sama dengan dunia puisi Afrilia yang memukau itu dengan melakukan panggilan muka dan belakang puisi—dan kini sampai ke dunia akhir dari jawaban yang menjadi keterangan atas dunia dalam puisi. Terbentanglah kini jawaban dari baris/bait awal itu, sebuah baris yang nampak seolah putus asa. Seolah aku dalam puisi itu telah menyerah, give up, atas kenyataan hidup ini yang misterius dalam fakta, misterius pula dalam bahasa - puisi. Apakah Galih sebagai penyair menerangkan, mengapa motif apa sampai ia menyuruk ke balik kolong ranjang bahasanya?

135epilog: peta di kolong ranjang

Inilah dia keterangan itu. Jawaban itu. aku ingin tidur di kolong ranjang sajamemintal benang-benang sepimenjadi peta menuju kotamuyang kerap kukunjungi dalam mimpi

6. Peta di kolong ranjang Apakah sebabnya kata “peta” itu muncul? Kita memerlukan peta agar tak tersesat, dan kata “sesat (Maman S. Mahayana memakainya dalam istilah yang begitu provokatif dalam sastra kita: sesat nalar, kata Dosen UI ini), rasanya tak mungkin akan kita kenakan ke sebuah ruang kecil yang telah kita akrabi. (Maka oleh selembar tubuh yang tak lebih dari dua meter tinggi dan, berapakah lebar tubuh manusia-Olenka?—masuk akal kalau Faruk HT, kritikus sastra kita itu, mengatakan bahwa kata-kata (saya kutip dari luar teks) dalam novel Budi Darma, Olenka, bahwa Fanton Drummond itu memperlakukan tubuh Olenka sebagai peta dan lalu menunjuk ke suatu titik sebagai, ini jalan ke surga!, adalah dunia baru dalam kosa kata kenyataan yang dibentuk ke dalam bahasa. Seraya menyebut Arsitektur Hujan dan Jurnal Sastra Tuhan (Faruk melepaskan ‘Hudan’-nya. Hanya “Jurnal Sastra Tuhan” sebagai sebuah paradigma yang begitu bertentangan. Dalam alur seperti itu pula rasanya kita bisa meletakkan satuan judul puisi Galih ini ke dalam dunia paradigma yang bertentangan. Ia baru dalam bentukan bahasa atas kenyataan dari dunia empirik. Gerakan fsik dan gerakan batin oleh diumbarkan keluar atas kata ini—peta, dari sebuah dunia yang dikecilkan menjadi kolong ranjang, peta di kolong ranjang—adalah sebuah efek atas bentukan kolong ranjang itu sebagai sebuah, peta. Peta di kolong ranjang, dengan

136 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

demikian, bukan saja demikian menggoda sebagai satuan judul, tapi kita lalu berdebar-debar ingin tahu. Kuasakah sang penyairnya mendayakan kata sebagai elemen dasar puisi? Ataukah ia akan longsor setelah menemukan daerah “baru” atas dunia yang kita kenali dan amatlah janggal kita tempati. Apakah yang bisa dilakukan oleh manusia di bawah kolong ranjang? Rasanya mustahil ada kafe, atau sebuah mobil yang melaju di jalan lengang (turning ke priok, mencari angin, kata novel Belenggu yang tersohor itu). Mau mencari angin apa, kita di bawah kolong ranjang. Dunia kolong ranjang seolah mengungsikan dunia sepi kita ke dalam almari. Atau seolah tubuh kita sendiri, pada suatu hari telah kehilangan apa saja, lalu kita pun berjalan surealistik, masuk ke dalam lemari dan diam saja di sana tanpa kehendak untuk keluar lagi. Kafka membawakan dunia “kolong ranjang dan dunia tubuh dalam lemari ini—Afrizal membawanya ke arah yang lain: tubuh dalam kulkas, katanya—sebagai suatu periode waktu yang kita sebutkan dengan kata “kebudayaan”, yang telah berhenti di kamarnya, saat Gregor Samsa bermetamorfosis dari manusia jadi serangga. Lagi-lagi kita menemukan titik-titik singgung dari peta di kolong ranjang Galih Pandu Adi ke diksi-diksi sastra kita atau sastra dunia. (Apakah Galih sebagai penyair menyadari semua yang kita katakan itu? Bahwa dengan sadar ia telah mengerahkan bahasa sebagai sesuatu yang bisa kita seret ke dalam dunia paradigma yang berlawanan?)

Jakarta, Januari 2012

137epilog: peta di kolong ranjang

138 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

ATATAN PENULIS

Tanpa ada maksud untuk mendikte atau mengajari pembaca sebenarnya catatan ini saya tuliskan. Barangkali halaman ini hanyalah catatan sederhana, sebagai catatan untuk berterima kasih dan sedikit bercerita perihal perjalanan terbitnya buku ini. Saya hanya bisa berterima kasih sebesar-besarnya kepada Allah SWT, Tuhan kang murbeng dumadi yang memberikan peristiwa-peristiwa sesudah keputusan saya menunda terbitnya buku antologi pertama saya ini lebih dari 3 tahun yang lalu. Saya memang baru mengerti ternyata mencetak buku apalagi buku kumpulan puisi tunggal memang tak mudah, sekalipun banyak yang bilang mudah. Tinggal punya bahan, punya duit, bikin konsep, selesai.

Tiga tahun setelah mempersiapkan semuanya untuk cetak buku pertama, (bahkan saya dan teman-teman dari Komunitas Panggung Semarang dan kawan-kawan lain dari beberapa komunitas teater dan sastra di Semarang telah membuat acara softlaunching buku sebagai rangkaian acara tercetaknya buku antologi puisi pertama saya yang semula berjudul doa di putik kamboja) saya hanya tinggal memasukkan konsep buku ke percetakan dan menunggu beberapa hari proses cetak maka rampung sudah keinginan saya punya antologi tunggal sajak-sajak saya. Tapi entah

C

mengapa akhirnya mesti juga saya gagalkan rencana-rencana itu. Saya tak punya alasan kuat untuk menghentikannya. Tidak atas apapun. Barangkali karena peristiwa yang saya percayai sebagai tanda, yang pada akhirnya menguatkan keyakinan saya untuk menunda terbit dan cetaknya buku tersebut. Tak enak juga rasanya dengan beberapa kawan yang sebelumnya telah saya kabari dan saya mintai tolong untuk proses cetak buku ternyata tak jadi cetak. Ternyata memang ada yang tak terjangkau dari rencana-rencana, ada yang kadang tak sesuai dengan perkiraan-perkiraan kita. Mungkin memang belum waktunya, bisik saya kepada diri saya sendiri.

Tapi dari semua itu ternyata ada yang jauh lebih berharga bagi diri saya sendiri. Pada saat yang sama justru saya melakoni pertemuan-pertemuan baru. Mendapatkan kedekatan baru dengan orang-orang yang tak pernah saya sangka yang pada akhirnya menjadi teman dekat bahkan keluarga baru. Mungkin bukan waktunya untuk mencetak buku, tapi menyaksikan sebuah proses hidup yang jauh lebih puitis dari pada sajak-sajak dan buku-buku puisi. Menyaksikan berbagai problematika hidup orang-orang yang saya temui yang begitu menyentuh batin. Hidup kadang-kadang juga berisi ketersesatan yang tepat. Bahwa segala hal adalah tepat, peristiwa-peristiwa adalah tepat dan yang tak tepat barangkali hanyalah keinginan kita. Dan puisi menjadi bagian hidup yang mesti saya tempuh. Bukan sekedar bergumul dengan kata-kata tetapi juga merekam ingatan, menerjemahkan wajah-wajah perasaan.

Tanpa maksud mengabaikan kepercayaan saya pada puisi, akhirnya meyakini bahwa realita hidup ataupun puisi pada akhirnya sama saja. Barangkali sesekali kita mesti meragukan keyakinan kita sendiri. Mengambil jarak dan mencari wilayah lain yang tak pernah kita duga sebelumnya. Pada kesunyian kata dan pada kesunyian hidup yang ternyata tak ada

140 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

bedanya. Tak ada yang lebih baik atau buruk atas keduanya. Puisi menjadi sebuah realitas dalam bentuknya yang lain, yang sedemikian rupa gemerlap, sedemikian rupa sederhana, yang dicintai ataupun dibenci. Atau benarlah ungkapan; bahwa mungkin kitalah yang samar sebenarnya, sebenarnya tak nyata. Tetapi bukankah kehidupan kita ini memang demikian kita rasakan?

Mencoba untuk berbenah dan semoga belum terlambat, saya menata kembali termasuk usaha untuk menyelesaikan buku ini. Merubah judul bukunya dari yang sebelumnya berjudul “Doa di Putik Kamboja” menjadi judul yang pembaca terima saat ini, juga merombak sebagian besar isinya. Terdapat 69 puisi yang saya tuliskan dari tahun 2008 sampai 2012. Usaha merampungkan buku saya ini, saya harap jadi dapat menjadi bingkisan sederhana untuk bapak dan ibu sepulang beliau dari umroh di tanah mulia. Juga sebuah usaha kecil saya mencarikan rumah-rumah baru untuk sajak yang telah lahir. Mencoba membukakan pintu dan membiarkan sajak-sajak itu pergi, mencari jalan sendiri, menuju kota-kota baru dan mendapatkan rumahnya masing-masing, yang mungkin saja ada di dada para pembaca. Saya berharap sangat untuk itu, amin...

Pertemuan-pertemuan yang hadir, wajah-wajah berlalu lalang, nama-nama berlesatan, waktu yang tak menyisakan, yang memotong ingatan perlahan-lahan, sampai kita lupa, benar-benar lupa. Dan pada kesempatan ini saya ingin sekali berterima kasih kepada siapapun yang telah saya jumpai, mencoba mengingat puluhan nama-nama yang menjadi bagian dari hidup saya sebelum saya tua, amnesia akut dan jadi pelupa. Terima kasih kepada bapak, Yon Suprayoga yang mengenalkan saya kepada Tuhan, kepada puisi dan mengingatkan saya untuk bersyukur. Kepada ibu saya Suyamti yang merawat, menuntun dan mengajari saya perihal banyak kebajikan dan apa saja yang mesti saya kerjakan.

141catatan penulis

Saudara kembar saya yang baik Galih Panji Aji dan adik perempuanku yang cantik Johar Woro Putri Yanti. Untuk almarhum Mbah Kakung Muhammad Masngoet dan Mbah Putri Maskuriatun yang merawat saya sejak kecil serta almarhum/almarhumah Simbah Kakung Padmo Siswoyo dan Simbah Putri Sutinah Padmo Siswoyo yang mengenalkan saya pada kesederhanaan, juga seluruh keluarga besar.

Kepada Mas Ton Lingkar dan Bu Dhien yang jadi bapak dan ibu kedua saya selama di Semarang dan memberikan banyak tuntunan kepada saya. Mas Alfi yang menjadi guru saya berteater dan yang mengajari saya berserius pada apapun, serta teman-teman Teater Lingkar Semarang lainnya – Mas Suprih, Mas Budi Bobo, Mas Wiwiek, Pak Kirno, Almarhum Mas Nur, Mas Eddy Morphin, Mas Suroso Jati, Mas Abbas Efendi, Mbak Sari, Mbak Vida, Mbak Niken, Muh. Syahrul Rifa'i, Fajar, Sigit, Adinar Paydi, Paijan, Mahfudz, Ditto Mora, Chandra, Adytia Aw, Amat Garuda, Didik Tegal, serta kawan-kawan lain yang tak tersebut satu persatu saking banyaknya... - Kawan-kawan di Komunitas Khethek Ogleng Rembang; Mas Mulyanto Ari Wibowo, Kang Day Milovich, Mas Ipien, Mas Arif Zam, Mas Chamim, Mas Amin Prop, Besy Pop, Aziz, Kang Rosyid Ngoyek, Gus Wahyu, Mas Dalang Sigid Ariyanto serta kawan-kawan lainnya. Temen-Temen Teater Emka beserta alunmi dan para groupisnya yang baik. Kawan-Kawan di Komunitas Panggung Semarang (Kompas), Roda Gila, Teater Asa, Teater Gema, adik-adik Teater Sukma, serta temen-temen Teater Kampus se-Semarang yang tergabung (maupun tidak tergabung) di Fotkas. Kawan-kawan di Dekase, di komunitas Hysteria, Open Mind, Laci Kata.

Kepada Lusriana Rahayu yang baik. Kawan dekat, kawan-kawan pegiat seni dan temen ngopi di TBRS maupun kawan di kota maya facebook dan jejaring sosial lainnya;Om Edy Geol,

142 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

Mbak Maret, Pratiwi Yulia Aditama, Nien Nurulita, Widyo Leksono “Babahe”, Mas Marco Marnadi, Mas Agung Himawan, Mas Mulyo HP, Kang Putu, Pak Agus Maladi, Mas Sendang Mulyono, Mas Acyar M. Permana, Dodi Agil Martanto, Dodi Ahmad, Mohammad Najib, Berni Lutfi, Mas Cipto Suranto, Pak Joko Samudro, Kangmas Dodok, Mas Sendang Mulyono, Anton Sudibyo, Daniel Hakiki, Mas Adhitia Armitrianto, Mas Kustam, Mas Sony Wib, Mas Andrie, Lanang Wib, Gema Yudha, Wicha Setyawan, El Nugrahaeni, Andi Setyo, Mas Hudan Hidayat, Mas Sitok Srengenge, Mas Cepi Sabre, Mas Arif Gumantia, Mas Eddy “Lanang Sawah”, Mas Apriadi Ujiarso, Pak Rosa Widyawan, Mas Paox Iben, Mas Pandu Birowo, Bli Nanoq Da Kansas, Galuh Hapsari, Rahma Damayanti R, Yudhie Yarco, Arif Ma'sum, Rizky Sahara, Rangga Umara, Sinta Agustina, Pandu Birowo, Mahadewi Nugraheni, Palestina Billa, Nimaz Aiu, Niendha Nindutz, Ofirisha Utami, Benny Fauzan, Asyari Muhammad, Mia Indria, Skylasthar Maryam, Eko Triono, Rozi Kembara, Dea Anugrah, Yayan Rozaq Triyansyah, Agus Budiawan, Edward Maulana, Dien Wijayantiningrum, Aji Wib, Faisal Syahreza, Dik Ety Musrifahe, Lukman Hakim Ag, Dini Zakia, Arif Ma'sum, Ni Wayan Santi Dewi, Mbak SuPrex, Kang Su'ek, Mas Budi Maryono, Umam, Gusur, Vikcy, Bagus Taufiqurrahman, Galih Prasojo, Erna Hernandith, Diah Angraheni, Catastrova Prima, Pinky, Alousius Bayu, Gagas, Sherly TamTam, Ika Wulandari, Adin Mbuh, Vivi Adriani, Kurniawan Yunianto, Musyafak Timur Banua, Janoari M. Wibowo, Latree Manohara, Mbak Sandra Palupi, Mas Purwono, Guri Ridhola, Arif Fitrah, Ganjar Sudibyo, Mas Beno Siang P, Mas Sukamto, Mas Gun, Fajar, Agus, Andi Ihwan, Lang-lang Randawa, Satria Ade, Kang Rustam, Gilang Mukti R., Mawan Bingkai, Bang Suhu, Dik Faruk serta semua teman-teman pegiat seni, seniman, dan para pecinta kesenian di Semarang dan kawan-kawan lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, yang dengan apapun caranya menyadarkan saya, menemani untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu.

143catatan penulis

Kepada dosen-dosen saya di FIB Undip Semarang yang banyak membantu dan membimbing saya; Pak Agus Maladi, Prof Soedjarwo, Pak Redy, Pak Ary S., Mas Mulyo Hadi Purnomo, Pak Hermintoyo, Pak Trias, Pak Yudhi, Pak Mujid, Bu Ken, Pak Abdullah, Pak Suharyo, Mbak Yanti, Mbak Sari, serta pada dosen dan para staf yang lain.

Kepada adik-adik saya di kampus FIB Undip dan juga Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) yang dekat, baik dan menjadi keluarga lain saya di Semarang; Adi Karnoe, Dissa, Bram, Acik, Budi Cicak, Eka, Asti, Ocim, Heri, Asyhar, Elok, Winda, Windi, Jennifer, Syifa, Novi Tri, Eno, Dhian, Rere, Andik, Ghani, Khairul, Dida, Ali, Anik, Aulia, serta semua adik-adik lainnya yang tak tersebut satu persatu yang benar-benar saya banggakan.

Terima kasih sangat kepada mas Timur Budhi Raja dan dik Memey Khumaida. Juga untuk Kekal Hamdani yang baik, yang membikinkan lukisan atas refleksi sajak-sajak saya sekaligus jadi salah satu ilustrasi untuk buku pertama saya ini. Serta kawan-kawan di Komunitas Bawah Pohon dan Kendi Aksara; Mas Fathoni, Badrul Munir, Zavind, Mas Jufri, Mas Sule, Mas Habib, Mas Andrew, Ubed, Mas Farukhi, Mas Yudhi, Mas Fajar dan teman-teman lain_ yang menemani saya di Jogja dan memfasilitasi penerbitan untuk buku ini. Juga kepada Gus Musthofa Bisri (Gus Mus) atas sarannya untuk terus berusaha mencetak buku ini.

Kepada “Mbah Degleng” Mohammad Ridwan dan Bu Tri beserta keluarga besar, kepada Mas Firdaus dan Mbak Ema, terima kasih sangat telah selalu membukakan pintu kapanpun untuk saya, menjadikan saya bukan sebagai bagian dari yang lain.

Terlebih kepada Mas Hudan Hidayat yang baik, yang banyak

144 rel kereta dan bangku tunggu yang memucat

mengapresiasi sajak-sajak saya serta bersedia membikinkan esai atas sajak saya yang akhirnya dapat saya gunakan untuk epilog buku ini. Juga “Kang Putu” Gunawan Budhi Susanto, Pak Agus Maladi Irianto, Mas Mulyo Hadi Purnomo, Ahmad “Adin” Khairudin, Mas Sitok Srengenge, Timur Budhi Raja, Kekal Hamdani yang tak hanya menjadi kawan yang baik tapi bersedia meluangkan waktu untuk membaca sajak-sajak saya dan memberikan catatan komentar di buku ini. Buat Pak Dhe Rahmat Hari”Adi Karnoe”, Yudho “Gusur” Widodo, dan Kang Day Milovich, Kekal Hamdani; atas foto-foto dan lukisannyanya yang dapat saya gunakan untuk ilustrasi di dalam buku ini. Juga mas EmTe Firdaus dan Mas Fathoni yang membantu mengkonsepkan buku, desain sampul serta layout isi.

Atas semua nama yang dapat saya sebutkan atau tak tersebutkan satu persatu saya benar-benar mengucapkan terima kasih atas pertemuannya, atas kedekatannya, atas kebaikannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, atas puluhan cerita yang terlahir dan mewarnai waktu di kehidupan saya. Tanpa semua itu mungkin saya tak menulis, tak dapat menghadirkan halaman-halaman buku yang sedang pembaca pegang saat ini. Maaf untuk pembaca yang jadi hanya membaca nama-nama di catatan terakhir ini, tetapi barangkali inilah saatnya yang tepat bagi saya untuk mengungkapkan keinginan besar saya untuk mengucap terima kasih sebelum segala hal jadi terlambat lagi saya kenali, saya kerjakan.

Semarang, 10 Juni 2012

145catatan penulis