Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura Tigawasa

14
arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 60 POLA RUANG PERMUKIMAN DAN RUMAH TRADISIONAL BALI AGA BANJAR DAUH PURA TIGAWASA Wayan Ganesha, Antariksa, Dian Kusuma Wardhani Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Desa Tigawasa adalah salah satu Desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Adat Tigawasa memiliki perbedaan dengan desa-desa yang ada di Bali lainnya yang telah mendapat pengaruh dari kedatangan Majapahit. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik sosial budaya masyarakat serta pada pola tata ruang permukiman rumahnya. Tujuan studi ini adalah untuk mengindentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa dan pola tata ruang permukiman rumah yang terbentuk. Kemudian menganalisis pola tata ruang permukiman rumah tradisional yang terbentuk akibat pengaruh dari sosial budaya masyarakatnya serta perubahan-perubahan pola ruangnya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-evaluatif. Data–data diperoleh melalui observasi lapangan, kuisioner, serta wawancara. Hasil studi diketahui bahwa pola permukiman makro desa Tigawasa dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tata ruang makronya dibagi menjadi tiga zona. Tingkat hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsep hulu–teben pada konsep tata letaknya. Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi memiliki tingkat kesakralan/kesucian lebih tinggi dari wilayah yang bertopografi rendah. Pola tata ruang permukiman terbentuk akibat pengaruh sistem kepercayaan masyarakatnya sebagai pemeluk Agama Hindu Sekte Dewa Sambu. Terdapat perubahan pola permukiman rumah antara lain material bangunan serta lokasi dapur yang bergeser dari dalam bangunan utama (sakaroras) kini berada diluar sakaroras. Kata Kunci: Pola ruang, permukiman rumah, Bali aga, desa adat ABSTRACT Tigawasa village is the one of Bali Aga Village in Bali. Tigawasa Traditional Village has differences with the other existing villages in Bali who have gained influence of the arrival of Majapahit. The difference can be seen on the social and cultural characteristics as well as the spatial patterns of settlement house. The purpose of this study was to identify the social and cultural characteristics of Tigawasa Traditional Village and identify spatial patterns of houses settlement formed, and analyze the spatial patterns of traditional houses settlement that formed due to the influence of socio- cultural community as well as changes to the spatial pattern. Descriptive-evaluative method was used in this study. The data obtained through field observations, questionnaires, and interviews. Results of research known Tigawasa macro-village settlement pattern can be seen based on the Tri Hita Karana and Tri Mandala concept, macro layout is divided into three zones. As the residential homes level (micro) based on the hulu - teben concept on the layout. Higher topography has sanctity/purity levels higher than at low topography location. Spatial patterns of settlement are formed also under the influence of Tigawasa Hindu belief of the Sambu Gods sect. There is a change in the house settlement, the material of the building and the kitchen transfer of location which was originally located in the main building (sakaroras) is now located outside the main building. Key Words: Spatial pattern, settlement houses, Bali aga, tradition village

Transcript of Pola Ruang Permukiman dan Rumah Tradisional Bali Aga Banjar Dauh Pura Tigawasa

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201260

POLA RUANG PERMUKIMAN DAN RUMAHTRADISIONAL BALI AGA BANJAR DAUH PURA TIGAWASA

Wayan Ganesha, Antariksa, Dian Kusuma WardhaniJurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 IndonesiaEmail: [email protected]

ABSTRAKDesa Tigawasa adalah salah satu Desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Adat Tigawasa memilikiperbedaan dengan desa-desa yang ada di Bali lainnya yang telah mendapat pengaruh darikedatangan Majapahit. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik sosial budaya masyarakatserta pada pola tata ruang permukiman rumahnya. Tujuan studi ini adalah untuk mengindentifikasikarakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa dan pola tata ruang permukimanrumah yang terbentuk. Kemudian menganalisis pola tata ruang permukiman rumah tradisionalyang terbentuk akibat pengaruh dari sosial budaya masyarakatnya serta perubahan-perubahanpola ruangnya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-evaluatif. Data–data diperolehmelalui observasi lapangan, kuisioner, serta wawancara. Hasil studi diketahui bahwa polapermukiman makro desa Tigawasa dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tataruang makronya dibagi menjadi tiga zona. Tingkat hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsephulu–teben pada konsep tata letaknya. Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi memiliki tingkatkesakralan/kesucian lebih tinggi dari wilayah yang bertopografi rendah. Pola tata ruangpermukiman terbentuk akibat pengaruh sistem kepercayaan masyarakatnya sebagai pemelukAgama Hindu Sekte Dewa Sambu. Terdapat perubahan pola permukiman rumah antara lainmaterial bangunan serta lokasi dapur yang bergeser dari dalam bangunan utama (sakaroras) kiniberada diluar sakaroras.Kata Kunci: Pola ruang, permukiman rumah, Bali aga, desa adat

ABSTRACTTigawasa village is the one of Bali Aga Village in Bali. Tigawasa Traditional Village has differenceswith the other existing villages in Bali who have gained influence of the arrival of Majapahit. Thedifference can be seen on the social and cultural characteristics as well as the spatial patterns ofsettlement house. The purpose of this study was to identify the social and cultural characteristics ofTigawasa Traditional Village and identify spatial patterns of houses settlement formed, and analyzethe spatial patterns of traditional houses settlement that formed due to the influence of socio-cultural community as well as changes to the spatial pattern. Descriptive-evaluative method wasused in this study. The data obtained through field observations, questionnaires, and interviews.Results of research known Tigawasa macro-village settlement pattern can be seen based on theTri Hita Karana and Tri Mandala concept, macro layout is divided into three zones. As theresidential homes level (micro) based on the hulu - teben concept on the layout. Higher topographyhas sanctity/purity levels higher than at low topography location. Spatial patterns of settlement areformed also under the influence of Tigawasa Hindu belief of the Sambu Gods sect. There is achange in the house settlement, the material of the building and the kitchen transfer of locationwhich was originally located in the main building (sakaroras) is now located outside the mainbuilding.Key Words: Spatial pattern, settlement houses, Bali aga, tradition village

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 61

PendahuluanBali memiliki tatanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal

permukiman. Tidak hanya bentuk bangunannnya saja yang khas, tetapi demikian pulahalnya dengan pola desanya. Hampir semua desa memiliki pola yang jelas. (Setiada2003). Pola perkembangan permukiman tradisional di Bali umumnya dipengaruhi olehbeberapa faktor. Faktor tata nilai ritual yang menempatkan zona sakral di bagian kangin(Timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Faktor kondisi danpotensi alam, nilai utama pada arah gunung. Ke arah laut dinilai lebih rendah. Faktorekonomi yang berpengaruh pada pola perkampungan adalah desa nelayan menghadapke laut, desa petani menghadap ke arah sawah atau perkebunan (Gelebet, et al 1985:12).

Desa Tigawasa sebagai desa Bali Aga di Bali memiliki ciri khas tersendiri padapola permukimanya khususnya di Banjar Dinas Dauh Pura. Pola tata ruangpermukimannya tidak seperti pola permukiman tradisional Bali secara umum yang dipengaruhi konsepsi Tri Hita Karana pada ruang makro dan Tri Angga serta SangaMandala pada tata nilai pola hunian. Kebudayaan masyarakat yang sangat kental dalamkegiatanya sehari-hari, serta keberadaan desa yang berada di daerah pegunungan,memberikan pengaruh tersendiri pada pola permukiman maupun pola hunian sehinggamembentuk pola permukiman rumah yang unik.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas terkait dengan Pola RuangPermukiman dan Perumahan Tradisional Bali Aga Desa Tigawasa Buleleng Bali adalahsebagai berikut; Bagaimana Karakteristik fisik, sosial–budaya masyarakat Tradisional BaliAga di Desa Tigawasa Buleleng Bali; Bagaimana Karakteristik pola ruang permukimanrumah Tradisional Bali Aga di Banjar Dinas Dauh Pura Desa Tigawasa Buleleng Baliyang terbentuk serta perubahan yang terjadi pada pola ruang makro maupun tingkathunian. Dengan demikian, dapat diketahui karakteristik fisik dan sosial-budayamasyarakat tradisonal Bali Aga, karakteristik pola ruang permukiman rumah, sertaperubahan-perubahan yang terjadi saat ini. Dari hasil pembahasan diketahui terjadiperubahan pla ruang makro maupun mikro, pada pal ruang makro terjadi perubahan padazona utama mandala dan nista mandala dengan adanya permukiman pada zona tersebut.Pada pola ruang unit hunian terjadi perubahan pada material penyusun bangunan sertasemakin sempitnya natah karena penambahan bangunan baru.

Metode PenelitianStudi Pola Ruang Permukiman Ruman Tradisional Bali Aga Banjar Dinas Dauh

Pura Desa Tigawasa Buleleng Bali ini termasuk studi dengan menggunakan metodedeskripti eksploratif dan evaluatif. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulandata, yaitu dengan melakukan survei primer dan survei sekunder.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik pengambilan sampelbersifat tidak acak, dengan sampel yang di pilih berdasarkan pertimbangan-pertimangantertentu (Purposive Sampling). Berdasarkan pada kriteria tersebut, maka bangunanrumah yang didapat sebanyak tiga puluh tujuh (37) rumah, rumah yang dijadikan sampelberada pada Banjar Dinas Dauh Pura Desa Tigawasa. Sampel penduduk adalah pemilikrumah yang dijadikan responden.

Hasil dan PembahasanSejarah Desa Adat Tigawasa

Asal-usul Desa Tigawasa belum dapat diketahui, masih dalam penelitian, tetapikenyataannya Desa Tigawasa adalah masuk Desa Purba (Bali Aga) karena banyakmengandung kepurbakalaan. Menurut Ilmu Bahasa, nama Desa itu terdiri dari katamajemuk, yaitu tiga-wasa (wasa-bahasa kawi) artinya Banjar atau Desa. Jadi Desa

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201262

Tigawasa terjadi dari 3 (tiga) Banjar: Banjar Sanda, Banjar Pangus, Banjar KuumMungggah (Gunung Sari).

Menurut Bapak Sudaya, perkembangan permukiman penduduk pertama kali didaerah wilayah desa (Banjar Dinas Dauh Pura). Berdasarkan penuturan beliau sejarahpermukiman Desa Tigawasa dimulai di tiga Banjar, yaitu Sanda, Pangus dan KuumMunggah. Pembanguan permukiman di tiga banjar tersebut mengalami gangguan baikdari binatang yang ada di hutan, maupun mahluk halus. Masyarakat dari ketiga banjartersebut bersatu dan membangun permukiman baru di wilayah yang baru yang sekarangdikenal sebagai ibu kota desa, yaitu Banjar Dinas Dauh Pura yang tepat berada ditengah-tengah desa. Aktivitas penduduk hanya terkonsentrasi pada sektor pertanian danmelakukan ritual upacara yang terpusat di Pura Desa. Berdasarkan pengamatanlapangan bukti sejarah menunjukkan bangunan tertua terdapat di wilayah Banjar DinasDauh Pura.

Pola permukimanPola permukiman Desa Tigawasa memiliki pola permukiman memusat.

Permukiman masyarakat mengelompok di tengah–tengah desa yang dikelilingi olehkawasan perkebunan dan tegalan dan perkembangannya menyebar pada lokasipertanian yang berada pada luar wilayah Banjar Dauh Pura. Banjar Dauh Pura berada dipusat atau di tengah–tengah desa dan terdapat rumah dadia sebanyak 37 buah dantempat suci, yaitu Pura Desa dan Pura Dalem yang menjadi satu dengan Pura Desa,sedangkan Banjar lainnya berada mengelilingi Banjar dauh pura dengan wilayahnyaberada di luar wilayah utama Desa Tigawasa, biasanya masyarakat mengatakan wilayahtersebut dengan istilah “kubu”. Kubu merupakan rumah tinggal di luar pusat permukimandi ladang, di perkebunan atau tempat tempat kehidupan lainya. Lokasi kubu tersebartanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan permukiman, menempati unit-unit perkebunanatau ladang-ladang yang berjauhan tanpa penyediaan sarana utilitas. Pola ruang kubusebagai rumah tempat tinggal serupa pola dengan rumah/umah (Gelebet, et al. 1985 :39). (Gambar 1)

Gambar 1. Peta permukiman Desa Tigawasa.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 63

Kehidupan sosial dan budayaTerdapat empat bentuk persekutuan dasar yang terkait dengan secara fungsional

struktural yang terdapat dalam kehidupan personal masyrakat Desa Tigawasa, yaitukeluarga inti, dadia, banjar dan pakraman desa atau warga. Keempat persekutuantersebut sangat erat kaitanya dengan hak dan kewajiban sebagai warga desa. Semakinterbukanya desa terhadap lingkungan luar menyebabkan semakin tingginya minatterdapat pendidikan terutama generasi muda Desa Tigawasa. Arus globalisai juga telahmasuk ke dalam desa ini, namun demikian Desa Tigawasa masih memiliki banyakkeunikan dan kearifan tradisional. Di antara keunikan unikan tersebut teletak padabahasa keseharian antar penduduk desa, sistem kepercayaan, ritual keagamaan, sistemkemasyarakatan, dan pandangan hidup.

Sistem pemerintahanSecara umum, sistem pemerintahan desa yang dikenal oleh masyarakat Bali

adalah sistem pemerintahan desa dinas dan sistem pemerintahan desa adat. Keduanyamemiliki perbedaan secara substansial, struktur dan fungsi. Keterikatan masyarakatmaupun respon yang diberikan pada dua lembaga pemerintahan tersebut berbeda pula.Sistem pemerintahan adat di pimpin oleh ulu apad yaitu sesepuh desa yang terdiri daridelapan orang yaitu, 1 pasang kebaan, 1 pasang pasek, 1 pasang takin dan 1 pasangpamurakan.

Sistem kelembagaan/organisasi sosialSecara turun–temurun kehidupan masyarakat Desa Tigawasa tidak pernah

terlepas dari adat. Begitu juga sistem organisasi sosial yang ada selalu mengacu padasistem adat dan awig–awig. Hal ini lah yang mendasari sistem organisasi sosial yang kuatdan bertahan hingga kini. Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalahdesa, banjar, subak, dan sekehe. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adatdan desa dinas.

Sistem kemasyarakatanSebagai desa yang masih tradisional dan selalu menjunjung tinggi awig–awig

desa, kehidupan masyarakat Desa Tigawasa selalu mengedepankan prinsip persatuan,kesatuan dan kebersamaan. Hal ini dikarenakan setiap warga memiliki tanggung jawabuntuk menjaga kelestarian dan kesucian desa. Sebagai salah satu dari desa Bali Aga,Tigawasa memiliki budaya, dialek bahasa, dan ritual yang berbeda dari desa-desa lain diBali. Dalam sistem sosialnya Desa Tigawasa menganut sistem ulunan atau prajuru.Sistem ulunan berarti mengedepankan kedudukan dalam keluarga berdasarkanperkawinan. Begitu seseorang menikah, maka namanya dimasukkan dalam karma adat.Selain krama desa adat tersebut terdapat pula warda desa yang disebut dengan istilahpancer (panca datu), yaitu Warga pasek bertugas untuk tetap melestarikan adat Tigawasa; Juru gemblung yang bertugas untuk memegang gamelan sacraln ketika ada upacara

di pura; Juru gambuh bertugas sebagai penari tari-tarian sakral; Juru lawan bertugas sebagai penari saat upacara Galungan dan Kuningan; dan Juru Sudamala bertugas untuk melaksanakan upacara pembersihan pada saat terjadi

kematian atau upacara ngaben.

Kehidupan ekonomi masyarakat Desa TigawasaKehidupan ekonomi masyarakat di Desa Tigawasa terletak pada sektor pertanian

dan industri rumah tangga bahwa jenis mata pencaharian yang paling dominan di DesaTigawasa adalah petani sebanyak 47,85% dan sebagi pengarajin industri rumah tangga

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201264

sebanyak 47,01%. Banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai petani didukung olehluasnya lahan pertanian yang ada di desa terutama lahan perkebunan kopi dan cengkehmencapaii 6,05% dari luas keseluruhan Desa Tigawasa. Biasanya masyarakatmemanfaatkan pekarangan rumah (natah) sebagai tempat menjemur hasil panen kopimaupun cengkeh.

Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa TigawasaAnalisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa

Tigawasa bertujuan untuk mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruangtradisional masyarakat Desa Tigawasa, sehingga nanti dapat memberikan gambaranmengenani filosofi dan konsepsi serta pergeseran-pergeseran tata ruang yang ada.

Awig – awig (Hukum adat) Desa Tigawasa dalam pengaturan tata ruang desaSebagai salah satu desa tua di Bali pada khususnya Kabupaten Buleleng

keberadaan Desa Adat Tigawasa bisa terjaga hingga kini dikarenakan dalam setiapkehidupan masyarakat selalu berpegang pada awig–awig desa. Begitu juga halnyadengan pemanfaatan wilayah desa yang telah diatur dalam ketentuan desa adat. Jikaada masyarakat yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi, mulai dari pamindanda(denda) hingga dikeluarkan dari keanggotaan krama desa adat.

Hukum adat (awig–awig) adalah aturan yang dibuat oleh warga (krama) desa adatyang dipakai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari masayarakat Desa AdatTigawasa, baik dalam kehidupan sosial budaya dan dalam pelaksaan tara ruang desamaupun dalam pekarangan.

Analisis tata ruang desa (Makro)Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, tata ruang yang dimaksudkan

adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi tertentu serta tatanilai yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan berlandaskan pada ajaran agamaHindu di Bali. Seperti yang diungkapkan Parwata (2004), bahwa pengaturan tata ruangmasyarakat Bali dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari zona parahyangan(ruang utama/suci), palemahan (wilayah desa/ruang interaksi dan kegiatan masyarakat),pawongan (manusia).

Penerapan konsep Tri Mandala terbagi menjadi Zona Utama, Zona Madya, ZonaNista. Zona Utama adalah wilayah yang terletak pada sisi (Hulu) selatan desa topografitinggi. Zona Utama merupakan zona suci (parahyangan) bangunan bangunan suciataupun segala hal yang berkaitan dengan pemujaan diarahkan pada zona ini. ZonaMadya, zona ini berda di tengah-tengah desa zona ini merupakan pusat permukimanmasyarakat (pawongan) desa tigawasa. Untuk Zona Nista terletak pada sisi utara desa(Teben) topografi rendah, wilayah ini merupakan wilayah yang paling “kotor”, karena padazona ini terdapat merupakan zona ini merupakan tempat pembuangan akhir untuk segalayang kotor. ciri khusus yaitu keberadaan kuburan (Gambar 2 dan Gambar 3).

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 65

Gambar 2. Indentifikasi Zona Tri Mandal.

Gambar 3. Transek Desa melintang vertikal utara selatan.

Tipologi Desa Adat TigawasaCiri utama fisik Desa Bali Pegunungan adalah ruang terbuka cukup luas yang

memanjang (linier) dari arah utara menuju selatan (kaja-kelod), yang membagi desamenjadi dua bagian. Pada posisi yang diametral, yakni pada ujung utara (kaja) terletakPura Puseh (tempat pemujaan untuk Dewa Wisnu, yaitu Dewa Penciptaan), di tengahsebagai tempat Pura Bale Agung (tempat pemujaan untuk Dewa Brahma), dan pada arahselatan (kelod) terletak Pura Dalem (tempat pemujaan untuk Dewa Siwa). Fasilitas umumatau infrastuktur berada di tengah desa dan hunian penduduk berada pada sisi kiri dankanan jalan utama desa. Untuk lebih jelasnya mengenai tipologi desa Bali Pegunungan(Gambar 4)

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201266

Gambar 4. Ilustrasi tipologi permukiman Desa Adat Tigawasa.

Analisis pengaturan ruang budaya Desa TigawasaZona parahyangan merupakan suatu bentuk manifestasi hubungan yang

seimbang antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan melaluisarana peribadatan (pura) di setiap wilayah desa. Di Desa Adat Tigawasa terdapat 9 purayang tersebar di dalam permukiman desa, di dalam hutan, dan di batas wilayah desa.

Analisis tata ruang unit hunian (Mikro)Proses pembangunan tempat tinggal masyarakat Desa Tigawasa

Berdasarkan hasil kuisioner dapat diketahui bahwa rata-rata rumah tradisonalyang tedapat di wilayah Banjar Dinas Dauh Pura dibangun pada pada tahun 1901-1906.Demulai dengan membangun penyengker/bata pekarangan kemuadian membangunsanggah dilanjutkan dengan membangun sakaroras. Jika pemilik rumah memilikikeinginan membangun bangunan penjunjang lainya juga dapat dilbangun setelahmembangun bangunan utama. Permukiman rumah panti Desa Adat Bali Aga Tigawasapada dasarnya dalam satu perkarangan hanya terdiri dari dua bangunan yaitu bangunanSanggah/Mrajan dan Sakaroras (Gambar 5).

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 67

Gambar 5. Tata urutan pembangunan tempat tinggal.

Pola pengaturan ruang natah /pekarangan rumahPada umumnya, pola pemanfaatan ruang pekarangan rumah di Bali berdasarkan

pada konsep Sanga Mandala. Konsep ini membagi pekarangan menjadi 9 bagian dengantata nilai dari Utamaning Utama sampai Nistaning Nista. Namun berdasarkanpengamatan lapangan di Desa Adat Tigawasa konsep tata letak bangunan berorintasipada konsep tata letak hulu-teben (tinggi-rendah). Peletakan setiap unit bangunan dalampekarangan rumah tergantung pada fungsi dan nilai kesakralannya. Berdasar padapengamatan fisik permukiman maka orientasi terhadap nilai utama dalam penataanlingkungan nampaknya menggunakan ketinggian sebagai nilai utama sedangkan daerahnistanya pada daerah yang lebih rendah (Gambar 6).

Gambar 6. Pembagian ruang dalam unit hunian.

Berdasarkan pengamatan fisik permukiman maka orientasi terhadap nilai utamadalam penataan lingkungan menggunakan ketinggian sebagai nilai utama sedangkandaerah nistanya pada daerah yang lebih rendah.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201268

Dari penempatan sarana dan prasarana pura keluarga terletak lokasi yangposisinya lebih tinggi dari pekarangan. Tata nilai yang berdasarkan atas sumbu terbit dantenggelamnya matahari tidak dipergunakan. Dengan demikian maka konsep SangaMandala tidak diterapkan dalam penataan permukiman

Orientasi unit bangunan dalam pekarangan rumahSesuai dengan konsep pengaturan ruang pekarangan yang mengacu pada

konsep Hulu-Teben, maka semua unit bangunan yang ada dalam rumah masyarakatDesa Adat Tigawasa berorientasi ke natah (teben). Natah merupakan suatu istilah umumuntuk menyatakan suatu halaman di tempat yang paling rendah (teben) lingkunganterbangun, baik dalam rumah/unit hunian maupun desa (Gambar 7).

Gambar 7. Orientasi bangunan dalam pekarangan rumah.

Pola pemanfatan ruang pekaranganSumbu Utara - Selatan

Bila kita melihat pola pemanfaatan ruang berdasarkan sumbu utara selatan, makapemanfaatan ruang satu unit pekarangan dari arah selatan adalah: Paling selatan adalah ruang dengan peruntukan bangunan sanggah. Kedudukan

lantai sanggah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan sakaroras, maupundengan natah dan bangunan jineng/lumbung/penyimpanan padi. Namun demikian biladilihat dari ketinggian halaman (natah). Apabila dalam satu unit pekarangan terdapatbeberapa kepala keluarga maka hanya terdapat satu zona lahan tempat suci, denganmenempatkan sanggah di tempat itu pula, sedangkan bangunan baru dibangun diarea natah/halaman. Lebih ke utara bangunan setelah sanggah adalah sakaroras.

Sumbu Timur - Barat Bila kita melihat pola pemanfaatan ruang berdasarkan sumbu timur barat, maka

terlihat bahwa yang dipergunakan sebagai sumbu utama (patokan) adalah jalan,dengan posisi ini umumnya merupakan daerah rendah dari pekarangan. Dilihat darijalan, maka posisi yang paling dekat adalah zona madya (natah) yang menempatidaerah terendah dari pekarangan.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 69

Zona berikutnya adalah sakaroras dan dapur yang jika dilihat dari jalan posisinyaberada lebih jauh bila dibandingkan dengan natah. Namun posisinya lebih tinggi darinatah, karena tingkat kesucian bangunan ini lebih tinggi dari natah.

Zona terakhir bila ditinjau dari posisi timur barat adalah zona hulu yang merupakanbagian sisi paling tinggi dari pekarangan yang miring ke arah timur (pekarangan disebelah timur jalan) dan kearah barat (pekarangan di sebelah barat jalan).

Perubahan pola ruang permukiman rumahPerubahan pola ruang permukiman makro

Konsep pola ruang yang digunakan pada permukiman makro Desa Tigawasaadalah konsep Tri Hita Karana dan konsep Tri Mandala yang diimplementasikan padapermukiman makro desa. Hingga saat ini konsep tersebut masih bertahan sebagaikonsep permukiman makro Desa Tigawasa. Pada perkembangannya seriring denganpertambahan jumlah penduduk, keberadaan permukiman masyarakat desa tidak lagihanya berpusat pada wilayah Banjar Dinas Dauh Pura, tetapi menyebar ke seluruhwilayah Desa Tigawasa. Tempat-tempat yang semula hanya menjadi tempat untukberteduh ketika menjaga kebun atau ladang kini berubah menjadi tempat untuk menetap.Namun untuk istilah masyarakat desa masih menyebut dengan istilah kubu. Keberadaanpermukiman-permukiman baru tersebut tidak merubah aktifitas masyarakat desa, karenapusat-pusat kegiatan masih berada di Banjar Dinas Dauh Pura seperti kantor desa, puradesa dan pura-pura panti atau pura keluarga, sehingga kerap kali masyarakat yangberada di luar wilayah Banjar Dinas Dauh Pura kembali untuk melakukan sebagianaktifitas terutama yang berkaitan dengan kegiatan religi (Gambar 8)

Gambar 8. Perkembangan permukiman Desa Tigawasa.

Perubahan pola ruang permukiman rumah mikroSeiring dengan kemajuan jaman dan mulai masuknya pengaruh-pengaruh dari

luar dan semakin terbukanya masyarakat desa dengan adanya kemajuan serta denganadanya regenerasi pemilik rumah dari ayah ke anak, menjadi salah satu faktor yangmenyebabnya adanya perubahan pada pola ruang rumah tradisional Desa Tigawasa.Generasi ke-2 yang menempati rumah tersebut memiliki sifat keterbukaan dan pola pikiryang lebih modern. Beberapa perubahan mendasar yang terdapat pada rumah tradisionaladalah adanya letak dapur yang semula berada di dalam sakaroras kini berada luarsakaroras namun masuh dalam area pekarangan. Letak atau posisi dapur yang baru diarea teben dari sakaroras baik itu di sebelah kanan, kiri atau depan tergantung dariketersediaan lahan yang ada dalam pekarangan. Hal ini mengingat dapur memiliki tingkatkesakralan yang lebih rendah dari sakaroras. Selain perubahan letak dapur, juga terdapatpenambahan bangunan baru, yaitu bangunan untuk kamar tidur anak serta kamar mandi.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201270

Tidak semua rumah tradisional mengalami perubahan penambahan bangunandari 37 jumlah sampel rumah tradisional terdapat 7 sampel rumah yang tidak mengalamiperubahan pola tata ruang. Terdapat 19 rumah dengan penambahan dapur yang baruterpisah dengan bangunan utama, 10 rumah dengan penambahan dapur dan kamarmandi, serta 3 rumah dengan penambahan dapur, kamar mandi serta kamar tidur baru(Gambar 9 dan Gambar 10). Adapun perbedaan karakteristik sosial budaya dan polaruang Bali Aga Desa Tigawasa dengan Bali Daratan (Tabel 1).

Gambar 9. Perubahan pota tata ruang karena penambahan dapur.

Gambar 10. Perubahan pota tata ruang karena penambahan dapur dan kamar mandi.

Tabel 1. Martiks Perbandingan Desa Tigawasa dan Desa Bali DataranNo Materi Desa Tigawasa Desa Bali Dataran Keterangan1 Sosial Budaya

SistemKepercayaan

Menganut SistemKepercayaan HinduSekte Dewa Sambu

Menganut SistemKepercayaan HinduSiwa Sidanta

Dengan adanyakepercayaan DewaSambu berpengaruhpada pola hunian

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 71

No Materi Desa Tigawasa Desa Bali Dataran Keteranganyaitu, sanggah angberbentuk liner sertatidak terdapat sangahpengunkarang yangberada di dekatdengan pintu depan

SistemPemerintahanadat

Uluapad (Sistempemerintan adat yangdipimpin delapanpengurus adat yangdi wariskanberdasarkan tingkatusia perkawinan)

Sistempemerintahan yangdipimpin oleh Ketuaadat yang dipilihsecara musyawarahadat

SistemKemasyarakatan

Tidak mengenalistilah kasta

Terdapatpengolonganmasayarakatberdasarkan kasta

Pengaruh dengantidak adanya sistemkasta pada plapermukiman rumahyaitu pola rumah ataubentuk pekaranganyang seragam satusatu sama lainnyadengan istilah umah,tidak terdapat jero dll

UpacaraKeagamaan

Panca Yadnya(Namun tidakmengenal istilahNgaben(membakarmayat )

Panca Yadnya,Desa Kala Patra

Upacara agama tidakpernah terlepas darikehidupanmasyarakat tigasawajuga sebagai bentuksosialismemasyarakat hal initerwujud dalam polahunian “natah” untukaktifitas yangberkaitan dengankeagamaan.

2 Pola Ruang Desa Konsep Desa Tri Hita Karana Tri Hita Karana Konsep dasar dalam

ajaran Agama Hindudimana dalam suatubentuk kehdupanuntuk mencapaikebahagian harusterdadapatkeharmonisan antaraTuhan, Manusia danAlam.

Konsep PolaRuang Desa

Tri Mandala, Tri Madala, SangaMandala, Tri Angga,Rwa-Bhineda,Konsep Dinamika

Dengan konsep polaruang Desa yangmengacu padaKonsep Tri Mandala,membagi wilayahdesa menjadi tigazona yaitu zonamandala utama,madya utama dannista utama.

Konsep PolaRuangPermukimandan Hunian

Hulu- Teben Hulu-Teben, Kaja-Kelod, Kangin Kauh,Sakral-Profan,Sanga Mandala

Konsep pola ruanghunian hulu tebenmenempatkan wilayahyang bertopografilebih tinggi memilikitinggkat kesarkralanyang lebih tinggi dibanding denganwilayah yang lebih

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 201272

No Materi Desa Tigawasa Desa Bali Dataran Keteranganrendah.

Tipologi Desa Pegunugnan Dataran

Pola Desa adat Pola II: Satu desaterdiri dari satudesa adat;

Pola I : Satu desamencakupbeberapa desaadat;

Pola II: Satu desaterdiri dari satudesa adat;

Pola III: Satu desaadat terdiri daribeberapa desa;dan

Pola IV: satu desaadat terbagi kedalam beberapadesa.

Tata CaraPembangunanRumah

Asta Kosala-Kosalidan Asta Bumi

Asta Kosala-Kosali dan AstaBumi

RekomendasiPola ruang tradisional dalam lingkup desa (makro)1. Pembatasan pembangunan di zona utama dan nista mandala terutama dari penduduk

yang berasal dari luar wilayah desa dengan menjalankan sepenuhnya ketentuan yangada dalam awig–awig desa. Hal ini dikarenakan kehidupan masyarakat Desa AdatTigawasa dari dulu hingga sekarang selalu diselimuti oleh aturan adat.

2. Menjaga aturan yang selama ini telah berlaku, yaitu dengan tidak mengijinkanpembangunan rumah adat (panti) di luar wilayah Banjar Dinas Dauh Pura (zonamadya mandala) sehingga kekhasan pola permukiman tetap terjaga.

Pola ruang tradisional dalam lingkup unit hunian (mikro)1. Pembatasan terhadap bagian rumah yang boleh direnovasi, seperti hanya sebatas

estetika bangunan. Namun jika sampai merubah unit bangunan hendaknya dilarangkarena dapat menghilangkan ciri pola ruang tradisional yang dimiliki.

2. Memberikan intensif terhadap penduduk yang masih menjaga rumah tradisional BaliAga.

3. Dalam pembangunan bangunan baru diharapkan masyarakat tetap mengacu padakonsep Hulu Teben sehingga kelestarian pola ruang tradisonal yang telah ada tetapberhan dan lestari.

4. Memberikan pemahaman pemahaman kepada generasi muda akan pentingnyamenjaga kelestarian rumah tradisional Bali Aga Desa Tigawasa sebagai suatu warisanyang berharga sehingga nantinya jika sampai pada saat generasi tersebut mendiamirumah tradisonal senantiasa selalu menjaga kelestarian dari rumah tradisional BaliAga tersebut.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 2, November 2012 73

KesimpulanBerdasarkan hasil pembahasan kesimpulan yang dapat diambil pada studi ini,

antara lain:1. Desa Adat Tigawasa tidak mengenal adanya strata sosial (tingkatan kasta). Seluruh

penduduknya menganut agama Hindu Sekte Sambu;2. Karakteristik Pola Tata Ruang Tradisional Desa Adat Tigawasa: Dalam sistem

pembagian tata ruang secara makro, Desa Adat Tigawasa mengikuti konsep Tri HitaKarana dan Tri Mandala. Ditinjau dari segi pola desa adat yang ada di Bali, Desa AdatTigawasa masuk ke dalam pola II, yaitu satu desa mencakup desa adat; Untuk polaruang dalam unit hunian penduduk mengacu pada Konsep Hulu-teben. Dalam lingkupdesa, perubahan pola ruang tradisional desa adalah semakin berkembanganyapermukiman yang semula hanya terdapat pada wilayah Banjar Dinas Dauh Puraberkembang menjadi permukman-permukiam yang tersebar ke seluruh wilayah desasecara tidak terpola; Dalam lingkup unit hunian penduduk, pergeseran pemanfatanruang terjadi pada natah/pekarangan rumah yang makin meyempit karena adanyapergeseran dari dapur, dapur yang mulanya berada di dalam sakaroras kemudiandibangun di luar dari sakaroras.

SaranTerkait dengan hasil studi perlu ada studi lebih lanjut mengenai bagaimana

melestarian permukiman rumah tradisonal Bali Aga, mengingat rumah terebut mempunyaimakna sejarah dan merupakan warisan budaya yang harus dijaga kelsetarianya

Daftar PustakaAlit, I Ketut, 2004. Morfologi Pola Mukiman Adati Bali: Jurnal Permukiman Natah. 2 (2).Gelebet, I.N.M., I W., Negara Yasa, I M., Suwirya, I M.,Surata, I N 1985. Arsitektur

Tradisional Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: ProyekInventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Parwata, I. W. 2004. Dinamika Permukiman Perdesaan Pada Masyarakat Bali. Denpasar: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Setiada, N. K. 2003. Desa Adat Legian Di Tinjau Dari Pola Desa Tradisional Bali. JurnalPermukiman Natah. 1 (2).

© Antariksa 2012