Teknologi Nuklir: Korut & AS dalam Neo-Realis & Neo-Liberalis
Transcript of Teknologi Nuklir: Korut & AS dalam Neo-Realis & Neo-Liberalis
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 1 of 15
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir
Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
Dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis1
oleh Aulia Djatnika
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Diplomasi Pertahanan Fakultas Strategi Pertahanan – Universitas Pertahanan Indonesia
Korea Utara, Nuklir dan Ancaman Keamanan Global
Ber-ibukota di Pyongyang, Republik Demokratik Rakyat Korea merupakan sebuah negara
yang terletak di Semenanjung Korea bagian Utara. Republik Demokratik Rakyat korea berdiri
tahun 1948 dan biasa dikenal dengan sebutan Korea Utara (North Korea). Korea Utara memiliki
luas wilayah 120.538 km2 (Lokasi, 2012). Wilayah Korea Utara bagian utara berbatasan langsung
dengan Republik Rakyat Cina, Bagian Utara-timur berbatasan dengan Russia, bagian Timur
berbatasan dengan Laut Timur (Laut Jepang), bagian selatan berbatasan dengan Korea Selatan dan
bagian barat berbatasan dengan Laut Kuning (Locher, 2014).
Awalnya, dunia hanya mengenal satu Korea namun pada awal masa Perang Dingin, Korea
sempat mengalami perang saudara serta konflik bersenjata yang mengakibatkan Koera terbagi
menjadi dua bagian, Korea Utara dan Korea Selatan. Terdapat perbedaan ideologi dari kedua
wilayah korea tersebut. Korea Utara pada awalnya menganut ideologi Komunis sedangkan Korea
Selatan menganut ideologi Demokrasi (Korea Utara dan Sejarah Konfrontasi Masa Lalu, 2013).
Keterbukaan yang ditawarkan oleh demokrasi mengantarkan Korea Selatan pada kemajuan yang
1 Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir semester I, Matakuliah International Relation. Perkuliahan Pascasarjana
Departemen Diplomasi Pertahanan, Fakultas Strategi Pertahanan – Universitas Pertahanan Indonesia
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 2 of 15
terhitung lebih pesat dari pada Korea Utara. Kemajuan Korea Selatan dalam bidang teknologi dan
ekonomi menjadikan Korea Selatan tumbuh menjadi The New Industry Countries (NICs) (MP,
2014).
Pada saat itu Korea Utara belum menunjukkan kekuatannya, baik pada rival nya, Korea
Selatan, juga pada kawasan Asia Timur dan dunia. Korea Utara mulai menjadi pembahasan lewat
kebijakannya di bidang energi nuklir. Bersama Uni Soviet, Korea Utara menandatangani
kerjasama bidang nuklir pada tahun 1956 dan mengirimkan ilmuan serta teknisinya untuk
mempelajari nuklir (Woo, 2008, p. 490). Pada tahun 1965, para tentara Korea Utara menerima
pelatihan pengembangan Peluru Kendali (rudal) bersamaan dengan didirikannya Akademi Militer
Hamhung (Bermudez, 1999, p. 2). Pada tahun yang sama, Uni Soviet memberikan bantuan kepada
Korea Utara berupa pembangunan Pusat Penelitian di Yongbyon.
Korea Utara melaksanakan uji coba rudal Scud-B pada April 1984. Uji coba tersebut
membuat Korea Utara didorong untuk bergabung dengan Nuclear Nonpoliferation Treaty (NPT)
dan memaksa Korea Utara untuk tidak menyebarkan nuklir lewat ancaman Uni Soviet melalui
Mikhail Gorbachev yang mengatakan akan menghentikan bantuan ekonomi bila Korea Utara tidak
menandatangani perjanjian NPT tersebut. Bergabungnya Korea Utara dengan NPT tidak membuat
Korea Utara berhenti melakukan perkembangan teknologi nuklirnya. Pada tahun 1986 dengan
berbekal pusat penelitian di Yongbyon, Korea Utara bahkan mulai memproduksi Plutonium yang
menandai niat serius Korea Utara untuk melakukan pengembangan nuklir untuk tujuan penguatan
persenjataan (Yang, 2004, p. 5).
Bergabung dengan NPT tidak membuat Korea Utara merasa nyaman karena merasa
pengembangan teknologi nuklirnya terus diawasi dan dibatasi. Bagi Korea Utara, selain dapat
menjadikan negara tersebut unggul dari Korea Selatan, nuklir juga dianggap dapat meningkatkan
nilai tawar ditengah negara-negara dunia serta menjadi sumber keamanan baik bagi pemerintahan
saat itu hingga masa pemerintahan yang akan datang (Kuhn, 2010, p. 38). Selain dengan Uni
Soviet, Korea Utara juga membangun kerjasama dengan Cina. Korea Utara memiliki hubungan
pasang surut dalam kerjasama nuklir Baik kerjasama nuklir dengan Cina maupun Uni Soviet.
Kondisi hubungan tersebut membuat Korea Utara membangun kerjasama nuklir dengan Iran
sambil terus mengurangi ketergantungannya dengan negara donor.
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 3 of 15
Perkembangan teknologi nuklir Korea Utara terus meningkat dan mulai menjadi perhatian
serius bagi negara dikawasan Asia Timur, negara barat dan Amerika Serikat (AS). Berawal dari
bergabungnya Korea Utara dengan NPT atas tekanan Uni Soviet dibawah kepemimpinan Mikhail
Gorbachev, tekanan terhadap kebijakan nuklir Korea Utara terus terjadi. Pada tahun 1991, AS
meminta Korea Utara untuk menghentikan program nuklir nya dan mengancam akan melakukan
serangan fasilitas nuklir Korea Utara jika program pengembangan teknologi nuklir tidak
dihentikan.
Pada 1992, atas tekanan AS, Korea Utara menandatangani perjanjian Joint Declaration of
Denuclearization of the Korean Peninsula. Deklarasi tersebut berisi komitmen baik dari Korea
Utara dan Korea Selatan untuk tidak melakukan uji coba, membuat, memproduksi, menerima,
memiliki, menyimpan, menempatkan atau menggunakan senjata nuklir. Ketegangan AS-Korea
Utara berakhir pada 1994 ketika dicapai kesepakatan bahwa Korea Utara selama delapan tahun
akan membekukan program pengembangan teknologi nuklirnya. Sebagai gantinya, AS akan
memberikan support kepada Korea Utara dalam bentuk pembangunan reaktor air raksa untuk
kepentingan energi. Perjanjian tersebut dikenal dengan istilah Agreed Framework (Kesepakatan
Jenewa) (Woo, 2008, p. 493).
Agreed Framework membuat Jepang, Korea Selatan juga AS bahu – membahu
’membangun’ Korea Utara. Jepang dan Korea Selatan membangun reaktor air ringan berkapasitas
2000 MW dan hingga proyek pembangunan reaktor air ringan tersebut selesai, AS akan
memberikan 500.000 ton solar per tahun untuk pemanasan dan pembangkit listrik bagi Korea
Utara. Pembangunan dan support yang dilakukan ketiga negara tersebut mensyaratkan Korea
Utara menghentikan semua kegiatan pembangunan teknologi nuklirnya termasuk menutup pusat
penelitian nuklir yang berkemampuan memproduksi plutonium di Yonghyon.
Korea Utara secara rahasia ternyata tetap melanjutkan proyek pembangunan teknologi
nuklirnya. Terbukti pada tahun 1998 Korea Utara meluncurkan misil jarak jauh dan mendarat di
bagian barat Hawaii, AS (Perry, 2006, p. 82). Tindakan tersebut menciptakan dilema pelaksanaan
pemenuhan Agreed Framework bagi Jepang dan AS. Disatu sisi, AS dan Jepang sangat ingin
menghentikan aksinya namun disisi lain, penghentian pemenuhan Agreed Framework berpotensi
membuat Korea Utara membuka kembali pusat penelitian nuklir di Yonghyon. Jika pusat
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 4 of 15
penelitian Nuklir tersebut kembali dibuka, maka Korea Utara akan benar-benar mampu
mewujudkan cita-cita Intercontinental Ballistic Missile (ICBM).
Berturut-turut tekanan AS dan negara-negara di dunia akibat kebijakan pengembangan
teknologi nuklir Korea Utara melahirkan berbagai kesepakatan yang pada akhirnya dicederai oleh
Korea Utara. Konsekuensi dari inkonsistensi Korea Utara atas berbagai perjanjian tersebut adalah
terjadinya embargo, munculnya reaksi dari negara-negara lain, juga sanksi keuangan dari AS.
Inkonsistensi Korea Utara terhadap kesepakatan-kesepakatan yang disetujuinya, disatu sisi
merupakan bentuk konsisten Korea Utara terhadap pembangunan teknologi nuklir guna
kepentingan nasionalnya. Disisi lain, kegigihan AS untuk membuat Korea Utara menghentikan
pembangunan teknologi nuklir selalu disusun berdasar argumentasi AS untuk mereduksi ancaman
keamanan global.
Korea Utara dikenal tanpa henti melakukan usaha, gerakan, dan pengembangan untuk
memajukan teknologi persenjataannya terutama dalam bidang nuklir demi mewujudkan cita-cita
ICBM. Pada 2002 AS mencurigai Korea Utara kembali melaksanakan program nuklirnya. AS
memberikan peringatan dengan menghentikan pasokan solarnya ke Korea Utara. Tindakan AS
tersebut diikuti dengan perginya semua personel inspeksi nuklir PBB dari Korea Utara setelah
lebih dulu Korea Utara memindahkan peralatan pemantauan fasilitas nuklir di Yongbyon. Pada
bulan yang sama terungkap bahwa Korea Utara melakukan usaha transaksi rudal Scud lewat kapal
Sosan yang dicegat oleh angkatan laut Spanyol ketika akan mengirimkan rudal Scud ke Yaman
(Andrea, 2006).
Pada Februari dan Maret 2003, Korea Utara kembali melakukan uji coba rudal anti kapal
yang jatuh di laut Jepang dan pantai Timur (Powell Mengecilkan Arti dari Uji Coba Rudal oleh
Korea Utara, 2014). Menghadapi kebuntuan dalam pembicaraan Six Party Talks (pembicaraan
enam negara tentang perundingan damai soal nuklir korea utara bersama dengan AS, Korea
Selatan, Jepang, China dan Rusia), pada Juli 2006 Korea Utara kembali melakukan peluncural
rudal di Semenanjung Korea (Dunia: Korea Utara Kembali Uji Coba Rudal, 2014).
Uji coba penembakan misil jarak jauh dan beberapa rudal jarak menengah kembali
dilakukan oleh Korea Utara pada tahun 2007 setelah pada Februari 2007 Korea Utara sempat
bersepakat untuk menutup reaktor nuklir utamanya dengan bantuan bahan bakar lewat desakan
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 5 of 15
dari Jepang dan AS (Korea Utara Uji Tembak Rudal, 2007). Pada 2009, Korea Utara sudah
memiliki kemampuan rudal balistik antar benua yang dibuktikannya lewat peluncuran roket jarak
jauh pada 4 April . Terakhir, pada tahun 2013, Korea Utara melakukan tes penembakan rudal jarak
pendek selama tiga hari menyusul pergantian kepemimpinan militer di Korea Utara (Sieff, 2013).
Tulisan ini disusun untuk menjawab pertanyaan:”Bagaimana perspektif Neo-Realisme dan Neo-
Liberalisme menjelaskan Sikap Korea Utara dan Amerika Serikat dalam merespon perkembangan
teknologi nuklir?”
Kerangka Pemikiran
A. Neo-Realisme: Balance of Power
Neo-Realisme adalah pembaharuan yang lahir dari kritik terhadap pemikiran
Realisme. Pemikir Realism mendasari pemikiran mereka pada pemikiran Hobbes tentang
state of nature yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Pemikir Realism memandang nature Negara sama dengan memandang nature mannusia.
Oleh karena itu, menurut pemikir realism, Negara bersifat rasional dan akan
mengutamakan kepentingan pribadinya. Pada gilirannya, mereka yang mengabaikan
masalah militer dari kekuasaan dan keamanan akan kehilangan kekuasaan (Machiaveli,
1988, p. 52).
Menurut Realis, actor dari hubungan Internasional adalah Negara. Pendekatan
terhadap Negara dilakukan oleh Realis dengan mengasosiasikannya dengan pendekatan
terhadap manusia. Pemikir Realis adalah para pemikir dengan pandangan state sentris.
Praktek hubungan internasional hanya dapat dijalankan oleh Negara. Penekanan pada
pendekatan Realis adalah actor. Realis memandang dunia secara pesimistis. Menurut
Realis, perang dapat dikelola tapi pada satu titik tertentu tidak dapat dihilangkan.(Saeri,
2012:10)
Hubungan kepercayaan antar Negara-negara bersifat anarkis, karenanya, pada titik
tertentu dunia akan menemui hambatan kerjasama global yang tidak dapat dihindari.
Dengan kecenderungan Negara-negara yang anarkis, Realis tidak mempercayai lembaga
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 6 of 15
internasional agar Negara dapat menentukan sikap dengan otonom. Pandangan bahwa
Negara harus otonom secara maksimal membuat Realis menentang perdagangan bebas
yang dapat menyebabkan Negara menjadi ketergantungan dengan Negara lain (Asrudin,
2010:1).
Ketika hubungan antar Negara terjadi, muncul hubungan yang saling membutuhkan
atau interdependensi. Hubungan interdependensi antar Negara membuat hubungan
internasional tidak dapat dipandang sebagai hubungan yang sederhana. Kompleksifitas
hubungan antar Negara, menyebabkan Negara tidak lagi secara pribadi dapat menentukan
sikap dan perilakunya secara tunggal. Negara akhirnya bersikap berdasarkan
interdependensinya kepada Negara lain. Dengan kata lain, Negara menentukan sikap
berdasarkan system atau sistem internasional yang terjadi akibat fenomena
interdependensi.
Interaksi antar Negara sama dengan interaksi internasional. Keputusan yang diambil
Negara tidak dapat dilepaskan dari struktur yang terbentuk secara alamiah akibat relasi
antar negara. Negara dipandang sebagai satu kesatuan atau unitary. Negara unitary yang
dimaksud adalah masyarakat, Negara dan unsur Negara lainnya dianggap sebagai satu
kesatuan. Pemikiran tersebut dinamakan pemikiran Neo-Realis. Kerjasama yang dibangun
antar Negara dalam system internasional menurut Neo-Realis adalah kerjasama yang
menguntungkan.
Walaupun system internasional menciptakan interdependensi antar Negara,
kecenderungan dari tiap Negara adalah saling mendominasi satu sama lain. Dibalik
interdependensi tersebut, setiap Negara memiliki ambisi untuk saling mengalahkan. Norma
pada gilirannya adalah hasil dari dominasi Negara kuat. Bagi Neo-Realis dengan keadaan
interdependensi yang menyebabkan sikap Negara ‘tergantung’ pada system internasional,
kekuatan militer merupakan kekuatan Negara yang utama. Neo-Realis lebih tertarik
bekerjasama dalam ‘kumpulan tanpa ikatan’ atau aliansi seperti asean, dsb.
Neo-Realis merupakan pemikiran yang muncul dari kritik terhadap pemikiran Realis
yang dianggap tidak mampu mendefinisikan balance of power. Perkembangan menjadi
pemikiran Neo-Realis mendefinisikan ulang pendekatan realisme klasik dengan
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 7 of 15
mengembangkan pemikiran berdasarkan pada pertentangan antara variable bebas
(independent variables) dan variable tidak bebas (dependent variables) serta dengan
mengaplikasikan teori realisme klasik kedalam kerangka kontemporer yang didasarkan
pada analisis komparatif (Dougherty, 1990, p. 199).
Perkembangan pemikiran berdasarkan pada pertentangan variable dan aplikasi teori
realisme klasik kedalam kerangka kontemporer dilakukan lewat penyelidikan yang saling
terkait dalam hal system dan keputusan (kepemimpinan), kepentingan dan power, persepsi
dan realitas, kerjasama dan konflik, serta norma dan keuntungan (Dougherty, 1990, p. 119).
Menurut Martin Griffiths (Griffiths, 2002, p. 279), Neo-Realis memiliki beberapa asumsi
tehadap perilaku Negara, antara lain:
Anarchy. Istilah anarchy digunakan untuk menggambarkan ketiadaan otoritas baku
dalam system internasional. Anarchy merupakan keadaan tidak menentu (chaos),
kekerasan (violence) dan tanpa hukum (lawlessness). Negara anarchy adalah Negara
tanpa kekuatan berarti yang dapat memperkuat perjanjian internasional atau melindungi
legitimasi Negara oleh dunia internasional.
Kekuatan Militer. Setiap Negara, memiliki kekuatan militer yang dalam setiap
kondisinya dapat membahayakan bagi Negara lain.
Ketidakpastian dan Keragu-raguan. Setiap Negara, tetap tidak dapat memastikan
intensi dari Negara lain walaupun telah tergabung dalam satu kesepakatan tertentu atau
telah bersepakat untuk membentuk aliansi. Posisi ini membuat Negara terus waspada
dikarenakan kemungkinan bahwa pada titik tertentu bahkan Negara yang telah
bersepakat dalam perjanjian atau beraliansi menjadi sekutu dapat menjelma menjadi
bermusuhan satu dengan yang lain
Survival. Negara dibentuk berdasarkan kesatuan dan keutamaan kepentingan
nasionalnya masing-masing. Alasan fundamental berdirinya Negara tersebut
melahirkan sifat yang sangat melekat pada Negara: survival. Negara, memiliki
kecenderungan untuk survive atau mempertahankan diri terutama ditengah
ketidakpastian relasi dan situasi dalam system internasional.
Rasional. Perilaku Negara dikarenakan kepentingan fundamental berdirinya Negara
menjadikannya menjadi actor yang bersikap rasional.
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 8 of 15
Pemikiran Neo-Realis membantu kita untuk mengerti politik dunia sebagai fenomena
yang sistemik dan memiliki logika dan keteraturannya dalam memandang pilihan tindakan
yang diambil atau diputuskan oleh Negara (Hobden, 1998, p. 55). Pemikiran Neo-Realis
Waltz di-claim sebagai teori balance of power yang secara ilmiah dapat dipertahankan
dalam ilmu HI (Griffiths M. , 1999, p. 67). Situasi balance of power akan terjadi ketika
terdapat relasi antara lebih dari dua actor Negara dalam sebuah system tertentu.
Perilaku balance of power Negara tercermin ketika Negara melakukan usaha untuk
memelihara posisi mereka dalam system tertentu dengan menggunakan kekuatannya dan
memanfaatkan usaha serta tekanan dari Negara lain untuk menjadi Negara greatest power.
Balance of power berbeda dengan bandwagoning. Bandwagoning merupakan perilaku
Negara yang cenderung mendekat dan menyatakan aliansi pada Negara lain yang lebih kuat
untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingannya terutama kepentingan keamanan tanpa
memposisikan dirinya dalam situasi yang berbahaya. Perilaku Bandwagoning akan
menciptakan Negara great power yang mampu menghegemoni system internasional.
B. Neo-Liberalisme: Complex Interdependence
Neo-Liberalisme muncul sebagai pembaharuan dari pemikiran Liberalisme.
Liberalisme muncul antara abad ke-17 dan 19 di Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Terdapat beberap tokoh kunci dari pemikiran liberalism (Mansbach, 2008, p. 29), antara
lain:
Voltaire (Francois Marie Arouet). Pemikirannya memerangi intoleransi dan takhayul
Denis Diderot. Ia percaya dan mendasari pemikiran liberalism nya pada nilai
pengetahuan dan reformasi sosial.
Immanuel Kant. Ia merupakan seorang filsuf Jerman. Ia mendasari pemikirannya atas
kepercayaannya kepada ilmu pengetahuan dan nalar.
John Locke. Liberalism nya berpedoman pada pembelaannya terhadap hak rakyat yang
tidak dapat dicabut.kaum liberalis adalah mereka yang memiliki hak untuk hidup,
merdeka dan sejahtera.
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 9 of 15
John Brigit dan Richard Gobden. Liberalism mereka didasarkan pada kepercayaan
mereka pada pasar dan perdagangan bebas.
John Stuart Mill. Menurutnya, dengan pendidikan dan pengetahuan, dalam tataran
individu seseorang atau sekelompok orang dapat mengakhiri perang
Adam Smith. Lewat liberalism ia menentang perbudakan dan menganjurkan adanya
perdagangan bebas.
Bukan hanya negara, liberalis memandang organisasi trans-nasional (yaitu hubungan
antara individu dengan individu dan hubungan antara individu dengan negara) dan trans-
govermental (yaitu hubungan antara negara dengan negara dan hubungan antara negara
dengan unsur-unsur negara lainnya seperti umat manusia) juga merupakan aktor dari HI.
Pandangan tersebut muncul karena liberalis melihat bahwa individu dalam taataran tertentu
dapat bekerjasama dengan negara untuk mengatasi permasalahan yang bersifat kolektif.
Memilih melakukan pendekatan terhadap sifat negara dengan melihat sifat manusia,
liberalis berpandangan bahwa sifat manusia (yang pada gilirannya dilekatkan pada sifat
yang dimiliki oleh negara) pada dasarnya adalah baik (Yuniarti, 2010:2-3). Dengan
pendekatan sifat dasar baik tersebut, kerjasama yang tercipta baik antara manusia dengan
manusia, antara manusia dengan Negara, antara Negara dengan Negara atau antara Negara
dengan unsur Negara lainnya merupakan kerjasama yang harmonis.
Komunikasi yang dipersyaratkan dalam pemikiran liberal adalah komunikasi
diplomatis terbuka agar opini public yang muncul dan dinamika yang dimungkinkan
muncul dari opini public tersebut dapat menghambat munculnya perang. Komunikasi
diplomatis membuka kemungkinan actor-aktor dalam HI pada pemikiran liberal dapat
melakukan kerjasama secara terbuka dan tidak kaku. Logika berpikir liberal membuat
pemikiran liberal tidak terjebak dalam tataran yang bersifat birokratis dan bahkan lebih
jauh pemikiran liberal menginginkan pembatasan atas kekuatan Negara sehingga
memungkinkan entitas actor lain dapat berkembang secara lebih pesat.
Pada era 1980an, sebagai respon pemikiran liberal terhadap pemikiran realis, lahir
pemikiran Neo-Liberal. Peran Negara dalam konsep Negara kesejahteraan Neo-Liberal,
tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, namun juga diperluas sehingga dapat
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 10 of 15
meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiscal, khususnya untuk
menggerakkan sector riil dan menciptakan lapangan kerja. Secara perlahan intervensi
Negara harus semakin banyak dikurangi sehingga individu akan lebih bebas untuk
memiliki usaha.
Neo-Liberal memiliki persamaan dengan Liberal dalam memandang actor pada HI.
Menurut Neo-Liberal, actor dalam HI adalah Negara dan non Negara. Actor non Negara
yang dimaksud dapat berupa perusahaan multi nasional, perusahaan transnasional, individu
dan organisasi internasional. Bretton Woods Institutions (IMF, WTO dan World Bank)
adalah produk lain dari pendekatan neo liberal. Misalnya, Neo-Liberal percaya bahwa
institusi internasional seperti PBB dapat memainkan peran penting dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan atau konflik dan membuat Negara-negara mengadakan kerjasama
untuk kepentingan yang saling menguntungkan secara jangka panjang. Neo-Liberal
percaya pada kerjasama internasional antar Negara dalam kapasitas untuk memenuhi
kepentingan nasional dari masing-masing Negara. Kerjasama internasional tersebut dapat
terjalin dengan baik ketika masing-masing Negara menyatukan kepentingan masing-
masing menjadi kepentingan bersama.
Lebih popular dalam bidang ekonomi, paham ekonomi Neo-Liberal mengacu pada
pemikiran bahwa campur tangan pemerintah perlu diminimalisir (atau jika memungkinkan
dihilangkan) dalam kegiatan ekonomi domestic, perilaku bisnis dan hak-hak pribadi
masyarakat. Minimalisasi atau penghilangan campur tangan pemerintah menurut Neo-
Liberal adalah hal yang diperlukan untuk menunjang terselenggaranya pasar bebas.
Implementasi dari paham Neo-Liberal dalam konteks kebijakan luar negeri adalah dengan
membuka pasar bbebas internasional melalui cara politis, menggunakan tekanan ekonomi,
diplomasi atau intervensi.
Menawarkan pemikiran politik yang sederhana dan penyederhanaan politik sehingga
pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh
pasar bebas dan pengusaha, adalah satu kelebihan Neo-Liberal. Politik menurut pemikiran
Neo-Liberal adalah keputusan yang menawarkan nilai. Cara paling rasional untuk
menemukan nilai adalah lewat dinamika pasar. Pasar dalam pengertian Neo-Liberal bukan
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 11 of 15
hanya merupakan deskripsi hubungan Negara dengan Negara dalam HI namun juga
hubungan Negara dengan aktor-aktor non Negara lainnya.
Logika berpikir Neo-Liberal memperkenalkan konsep complex interdependency
sebagai gambaran atas relasi saling ketergantungan yang kompleks antara actor-aktor HI
dalam pasar. Relasi kompleks merupakan pendekatan untuk menggambarkan hubungan
beragam actor HI yang terlibat dalam varian bidang pembahasan: politik, keamanan,
ekonomi dan isu lainnya. Tiga ciri utama dari complex interdependency (Keohane, 1991,
pp. 20-31), adalah:
Multiple Channels. Dipahami sebagai saluran komunikasi yang beragam untuk
menghubungkan seluruh lapisan masyarakat (yang dalam Neo-Liberal merupakan actor
HI). Penyederhanaan dari Multiple Channels dibagi menjadi tiga bagian yaitu
hubungan Negara dengan Negara (mengadopsi hubungan antar Negara menurut
pemikiran realis), hubungan lintas pemerintah (digunakan ketika menggunakan asumsi
bahwa Negara adalah actor yang koheren) dan hubungan lintas Negara (atau hubungan
transnasional ketika menggunakan asumsi bahwa Negara adalah aktor tunggal).
Multiple bureaucratics and multiple issues. Agenda HI terdiri dari isu yang disusun
oleh akumulasi berbagai model birokrasi dinamis yang diwarnai oleh berbagai
kalangan. Misalnya, ketika dilakukan pembahasan terhadap isu keamanan dalam HI,
konsepsi birokrasi yang dipertimbangkan adalah birokrasi yang beragam dan dinamis
serta pembahasannya melibatkan bukan hanya kalangan militer namun juga kalangan
lain seperti ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Market and Economy Comes First. Kekuatan militer bukanlah alat utama pemerintah
dalam menentukan arah dan kebijakan luar negerinya. Kekuatan ekonomi, dipandang
sebagai kekuatan utama dibandingkan dengan penggunaan kekuatan militer.
Neo-Liberal mengakui economic free. Konsepsi tentang kerjasama antar aktor HI yang
saling menguntungkan dalam pemikiran Neo-Liberalis dapat dilihat dari munculnya
kelompok seperti NAFTA dan ACFTA. Kerjasama yang saling menguntungkan dalam
pemikiran Neo-Liberal dilindungi oleh hukum internasional dan diperkuat oleh Global
Governance. Kerjasama saling menguntungkan yang dibangun dibawah perlindungan
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 12 of 15
hukum internasional dan Global Governance memungkinkan lahirnya norma. Bagi Neo-
Liberal, kerjasama merupakan absolute gain (Keohane R. O., 1994, p. 144).
Analisis: Sikap Korea Utara dalam Kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis
a. Sikap Korea Utara dalam kerangka Neo-Realis
Neo-Realis memiliki beberapa asumsi dalam memandang perilaku negara yaitu anarchy,
negara dan kekuatan militer, ketidakpastian dan keragu-raguan negara, kecenderungan negara
untuk survive, dan sikap rasional dari negara. Perilaku negara dapat dipengaruhi oleh anarchy.
Anarchy merupakan situasi sistem internasional yang tidak memiliki otoritas baku yang dapat
memperkuat negara, konsisten terhadap perjanjian internasional atau melindungi legitimasi negara
oleh dunia internasional. Situasi anarchy memunculkan ketidak pastian dan keragu-raguan dari
masing-masing negara yang pada dasarnya bersifat rasional, memiliki kecenderungan untuk
survive dan memiliki kekuatan militer.
Asumsi Neo-Realis dapat menjelaskan mengapa Korea Utara terus bersikap tarik ulur akan
kepastian kebijakannya terkait nuklir. Walaupun terlibat dan menyetujui beberapa kesepakatan
dengan negara lain terkait nuklir, Korea Utara sadar bahwa tanpa memikirkan strategi jangka
panjang, ia membiarkan dirinya berada pada situasi anarchy. Korea Utara sangat memahami
bahwa bukan hanya dirinya yang memiliki kekuatan militer, namun juga negara lain termasuk rival
abadinya, Korea Selatan.
Korea Utara dengan kecenderungannya untuk survive, menyusun taktik dan memilih untuk
dinyatakan sebagai negara yang selalu ingkar terhadap perjanjian-perjanjian yang disepakatinya
karena kesadaran akan ketidak pastian yang dapat membahayakan kepentingan nasionalnya.
Kecenderungan Korea Utara untuk ingkar merupakan bentuk keragu-raguannya atas intensi negara
lain yang mendorongnya dalam sejumlah kesepakatan penghentian pengembangan teknologi
nuklir. Sikap rasional Korea Utara merupakan sikap rasional yang juga dimiliki tiap negara yang
menginginkannya menghentikan kebijakan pengembangan teknologi nuklirnya.
Keputusan Korea Utara jelas tidak dapat dilepaskan dari struktur yang terbentuk secara
alamiah akibat relasi antar negara. Korea Utara menginginkan kesepakatan yang saling
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 13 of 15
menguntungkan terjadi antara negaranya dan negara-negara lain. Dilain sisi, Korea Utara juga
mengetahui bahwa bukan hanya dia yang memiliki teknologi nuklir. Terbukti, AS beberapa kali
memberikan ancaman penyerangan untuk menghancurkan usaha pengembangan nuklir Korea
Utara sedangkan disatu sisi AS juga melakukan perkembangan energi nuklir.
Interdependensi yang tidak mengikat adalah yang diinginkan oleh Korea Utara. Kekuatan
militer seperti yang disebutkan oleh pemikiran Neo-Realis merupakan kekuatan yang utama bagi
negara, adalah kekuatan yang diandalkan oleh Korea Utara. Pemikiran tersebut membuat Korea
Utara melakukan serangkaian pengembangan energi nuklir secara rahasia dibalik sikapnya yang
seperti tunduk pada perjanjian yang disepakatinya. Pilihan sikap yang diambil oleh Korea Utara
dijelaskan oleh pemikiran Neo-Realis sebagai pilihan sikap yang menggambarkan kecenderungan
setiap negara untuk saling mendominasi satu sama lain.
Menggunakan pendekatan Neo-Realis, kita dapat memahami bahwa inkonsistensi Korea
Utara terhadap perjanjian yang disepakatinya merupakan usaha Korea Utara untuk berperilaku
dalam konteks balance of power. Satu sisi, Korea Utara lewat perjanjian yang disepakatinya
mendapatkan keuntungan sumber daya energi lain seperti air dan solar serta keuntungan finansial
dari AS, Jepang, Cina dan Rusia sebagai negara-negara penekan, disisi lain, secara diam-diam
Korea Utara tetap melakukan pengembangan teknologi nuklir yang membuat Korea Utara tetap
memiliki bargaining position dalam sistem internasional.
b. Sikap Amerika Serikat dalam kerangka Neo-Liberal
Logika berpikir Neo-Liberal memperkenalkan konsep Complex Interdependency sebagai
gambaran atas relasi saling ketergantungan yang kompleks antara aktor-aktor dalam sistem
internasional yang dianalogikan sebagai pasar. Ketergantungan yang kompleks antar negara-
negara mengantarkan negara-negara tersebut untuk dapat melakukan kerjasama saling
menguntungkan untuk kebaikan bersama jangka panjang. Menggunakan kerangka berpikir Neo-
Liberal, kita dapat memandang sikap AS melakukan tawaran perjanjian dengan Korea Utara
sebagai usaha AS untuk melakukan kerjasama yang menguntungkan bagi kebaikan bersama
jangka panjang.
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 14 of 15
Bagi AS kepemilikan teknologi nuklir dan pengembangan teknologi nuklir yang dilakukan
oleh Korea Utara merupakan hal yang dapat mengancam keamanan nasionalnya, juga keamanan
dunia. Karena kekhawatiran tersebut, AS dalam beberapa kesepakatan bersedia untuk memberikan
kompensasi berupa support energi pengganti (dalam bentuk solar), bantuan ekonomi dan teknologi
asalkan Korea Utara melakukan penghentian terhadap usaha pengembangan teknologi nuklirnya.
Usaha AS dalam mengintervensi kebijakan Korea Utara menunjukkan kepercayaan AS terhadap
tawaran pemikiran yang juga diutarakan oleh Neo-Liberal: melakukan kerjasama merupakan
absolute gain dalam politik internasional demi kebaikan bersama.
Kerangka berpikir Neo-Liberal menjadi jelas ketika kita mengkomparasikannya dengan
sikap AS terhadap teknologi nuklir milik Korea Utara. AS mendorong Korea Utara menyepakati
perjanjian lewat usaha politis, tekanan ekonomi, diplomasi dan intervensi. Bentuk usaha politik
AS adalah dengan menggandeng negara lain agar juga bersikap terhadap tindakan pengembangan
teknologi nuklir Korea Utara. Usaha diplomasi AS adalah dengan menggiring negara-negara dan
membentuk six party talk dan menggunakan media untuk melakukan diplomasi publik melalui
statement-statement elitnya.
Ketika Korea Utara disinyalir melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah
disepakati, AS menyikapinya dengan menghentikan support dananya bagi perkembangan
teknologi selain nuklir di Korea Utara. Korea Utara yang berkeras melakukan uji coba dan
cenderung tidak merespond usaha diplomatis AS kemudian dipaksa kembali ke meja perundingan
lewat ancaman penghancuran teknologi nuklirnya oleh serangan AS. Tidak dapat dipungkiri
bahwa AS memiliki kepentingan dan melakukan tekanan terhadap Korea Utara dalam
kapasitasnya melindungi kepentingan nasional. Namun usaha AS untuk terus mengganggu
kebijakan nuklir Korea Utara terus mendapatkan pembenaran karena AS menawarkan nilai
”kebaikan bersama dan keamanan serta perdamaian dunia” sebagai pembenaran atas keputusan-
keputusannya.
Relasi dan pilihan tindakan yang dilakukan AS, cukup dapat mewakili pemikiran Neo-
Liberal pada konsep Complex Interdependency. Ciri utama pertama dari konsep Complex
Interdependency adalah multiple channel. Multiple Channels berarti terdapat berbagai saluran
Aulia Djatnika || Universitas Pertahanan Indonesia
Kepemilikan dan Pengembangan Teknologi Nuklir: Respon Korea Utara dan Amerika Serikat
dalam kerangka Neo-Realis dan Neo-Liberalis Page 15 of 15
yang dapat dimanfaatkan oleh negara dalam berhubungan dengan negara lain dalam kapasitas
memperjuangkan kepentingan negaranya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, AS menggunakan setidaknya empat cara untuk
berhubungan dengan negara lain dalam melindungi kepentingannya yaitu usaha politik dengan
menggandeng negara lain agar juga bersikap terhadap tindakan pengembangan teknologi nuklir
Korea Utara; usaha diplomasi dengan menggiring negara-negara dan membentuk six party talk
dan menggunakan media untuk melakukan diplomasi publik melalui statement-statement elitnya;
tekanan ekonomi dengan menghentikan support dananya bagi perkembangan teknologi selain
nuklir di Korea Utara; dan intervensi lewat ancaman serangan.
Ciri utama kedua dari konsep Complex Interdependency adalah multiple bureaucratics and
multiple issue. Pada konsep tersebut, Neo-Liberal memandang diperlukannya birokrasi yang
beragam dan mengangkat isu yang beragam untuk menanggapi suatu isu tertentu. Sesuai dengan
kerangka tersebut, AS melakukan birokrasi yang beragam ketika berhadapan dengan Korea Utara.
Ragam birokrasi yang digunakan AS adalah dengan menggunakan jalur semi formal lewat opini
publik, dan jalur formal antar negara-negara dalam contohnya six party talks. Isu yang diangkat
oleh AS dalam menanggapi kepemilikan dan pengembangan teknologi nuklir Korea Utara juga
beragam, yaitu isu ekonomi, isu kesejahteraan, isu energi dan isu keamanan dunia serta
kemanusiaan.
Ciri utama ketiga dari konsep Complex Interdependency adalah Market and Economy
Comes First. Konsep utama ketiga ini menekankan pada keutamaan kekuatan ekonomi disamping
kekuatan militer untuk menentukan arah kebijakan luar negeri. Konsep ini tercermin dari usaha-
usaha AS melakukan diplomasi, komunikasi, kesepakatan dan bantuan ekonomi terlebih dahulu,
baru didukung oleh tekanan atau ancaman yang dilakukan AS akan melakukan serangan tanpa
sekalipun pernah benar-benar melakukan serangan secara militer kepada Korea Utara.