struktur makro, supra, dan mikro pada esai khilafah emha ...

364
STRUKTUR MAKRO, SUPRA, DAN MIKRO PADA ESAI KHILAFAH EMHA AINUN NAJIB DI CAKNUN.COM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh M. Ilhamul Qolbi NIM 1113013000012 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Transcript of struktur makro, supra, dan mikro pada esai khilafah emha ...

STRUKTUR MAKRO, SUPRA, DAN MIKRO PADA ESAI

KHILAFAH EMHA AINUN NAJIB DI CAKNUN.COM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

M. Ilhamul Qolbi

NIM 1113013000012

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

i

LEMBAR PENGESAHAN

STRUKTUR MAKRO, SUPRA, DAN MIKRO PADA ESAI

KHILAFAH EMHA AINUN NAJIB DI CAKNUN.COM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

M. Ilhamul Qolbi

NIM 1113013000012

Menyetujui,

Pembimbing

Dr. Makyun Subuki, M. Hum.

NIP 19800305 200901 1015

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi yang berjudul Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai Khilafah

Emha Ainun Najib di Caknun.com disusun oleh M. Ilhamul Qolbi,

NIM. 1113013000012, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang

berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan

oleh fakultas.

Dr. Makyun Subuki, M. Hum.

NIP 19800305 200901 1015

Jakarta, 05 Mei 2020

Yang mengesahkan,

Dosen Pembimbing

iii

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

N a m a : M. Ilhamul Qolbi

Tempat/Tgl.Lahir : Tegal, 28 November 1995

NIM : 1113013000012

Jurusan / Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/ S-1

Judul Skripsi : Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai

Khilafah Emha Ainun Najib di Caknun.com

Dosen Pembimbing : Dr. Makyun Subuki, M. Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

KEMENTERIAN AGAMA

FORM (FR)

No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

FITK No. Revisi: : 01

Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

iv

ABSTRAK

M. Ilhamul Qolbi (NIM: 1113013000012). Struktur Makro, Supra, dan

Mikro pada Esai Khilafah Emha Ainun Najib di Caknun.com

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur makro,

struktur supra, dan struktur mikro yang mendasari Esai Khilafah Emha Ainun

Najib di Caknun.com. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif.

Objek penelitian ini adalah kumpulan esai Emha Ainun Najib di laman

Caknun.com yang bertema Khilafah. Metode pengumpulan data yang digunakan

adalah metode pencatatan dokumen. Data yang terkumpul dianalisis dengan

menggunakan model analisis deskriptif kualitatif menggunakan teori analisis

wacana Teun A van Dijk. Dari empat esai yang diteliti, hasil penelitian

menunjukkan (1) Struktur makro atau tema pada wacana Esai tentang Khilafah

Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com terlihat pada topik, subtopik, dan fakta.

Tema yang disampaikan penulis dalam wacana masing-masing menunjukkan, (a)

Esai KIKS bertema seorang muslim tidak harus mendirikan atau masuk ke

Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam Khilafah Silmi, (b) Esai KN

bertema aplikasi Khilafah dalam NKRI, (c) Esai TPTM bertema HTI erlu

engguliran diskusi publik tentang Khilafah, (d) Esai TSK bertema Khilafah

adalah desain Tuhan yang tidak perlu ditakuti; (2) Struktur supra yang digunakan

untuk mendukung struktur lengkap yang terdiri atas (a) pendahuluan, (b) kalimat

tesis, (c) tubuh atau isi, dan (d) penutup; (3) Strukur mikro yang digunakan untuk

mendukung struktur makro terdiri atas (a) latar; (b) rincian, (c) bentuk kalimat

aktif dan kalimat pasif, (d) penanda kohesif dan koherensi; (e) pemakaian kata

ganti, (f) pemakaian grafis, dan (g) metafora. Dari semua aspek mikro yang

digunakan, penulis lebih dominan menggunakan grafis dan metafora.

Kata Kunci: Analisis Wacana, Emha Ainun Najib, Esai, Caknun.com, Khilafah.

v

ABSTRACT

M. Ilhamul Qolbi (NIM: 1113013000012). Macro, Supra, and Micro

structurein Emha Ainun Najib's Khilafah Essay on Caknun.com.

This study aims to describe and analyze the macro structures, supra structures, and

micro structures that underlie Emha Ainun Najib's Khilafah Essay on

Caknun.com. The research design used is descriptive. The object of this research

is Emha Ainun Najib's collection of essays on the Caknun.com pages with the

theme of the Khilafah. The data collection method used was document recording

method. The collected data were analyzed using a qualitative descriptive analysis

model using Teun A van Dijk's discourse analysis theory. from the four essays

researched, the results showed (1) The macro structure or theme of Emha Ainun

Najib's essay on the Khilafah discourse on Caknun.com looks at topics, subtopics,

and facts. The themes conveyed by the authors in their respective discourses

show, (a) KIKS essays with the theme of a Muslim do not have to establish or

convert the Islamic Khilafah, but simply enter into the Khilafah Silmi, (b) KN

essays on the application of the Khilafah in the Republic of Indonesia, (c) The

TPTM essay on the theme of HTI needs to roll out public discussions about the

Khilafah, (d) TSK essays on the Khilafah theme are God's designs that need not be

feared; (2) The supra structure used to support the complete structure consisting of

(a) introduction, (b) thesis sentence, (c) body or content, and (d) closing; (3) the

microstructure used to support the macro structure consists of (a) background; (b)

details, (c) active and passive voice, (d) cohesive and coherence markers; (e) use

of pronouns, (f) use of graphics, and (g) use of metaphors. Of all the micro aspects

used, the author predominantly uses graphics and metaphors.

Keywords: Discourse Analysis, Emha Ainun Najib, Essays, Caknun.com,

Khilafah.

vi

KATA PENGANTAR

Bismillah, Alhamdulillah segala puji ke Hadirat Allah swt. atas limpahan

karunia, rahmat, nikmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat

merampungkan skripsi ini. Selawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada

Nabi Muhammad saw. serta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya semoga

mendapatkan syafaatnya kelak di hari akhir nanti.

Skripsi ini disusun guna untuk memenuhi salah satu sarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan,

petunjuk, motivasi, serta dorongan baik secara moril maupun materil dari berbagai

pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pembimbing skripsi

yang telah banyak memberi arahan dan masukan dalam penulisan ini.

3. Ibu Novi Diah Haryanti, M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Dr. Elvi Susanti, M. Pd. selaku penasehat akademik yang selalu berhati

baik.

5. Dosen penguji skripsi Ibu Dr. Nuryani, M. A. dan Bapak Dona Aji

Karunia Putra, M. A. yang telah banyak memberikan saran guna perbaikan

skripsi penulis.

6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif

vii

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan secara

luas selama penulis menempuh masa studi.

7. Mama Maskunah yang selalu tabah dalam menghadapi anak bungsunya

yang satu ini. Senantiasa memberikan pendidikan demokrasi dan

kedewasaan berpikir. Selalu memanjatkan doa setiap dipenghujung malam

demi anaknya sehat, selamat, dan sukses di perantauan Jakarta. Juga Abah

Nuridin yang selalu peduli dalam diam. Terima kasih sudah memberikan

dukungan dan kepercayaannya tentang bagaimana menjalani pendidikan di

tanah rantau Ciputat. Kepercayaan yang diberikan sangat berarti hingga

hari ini.

8. Mamas Biqih Zulmi yang sedang manjalankan studi di kota yang berbeda,

semoga lekas selesai juga untuk tesisnya. Terima kasih atas dukungan dan

pencerahannya yang tak henti.

9. Mba Iqi yang selalu memberikan kasih sayangnya secara penuh. Bahkan

hingga hari ini walaupun sudah menjadi ibu.

10. Ketua STKIP Suar Bangli I Wayan Numertayasa, S. Pd., M. Pd. yang

bersedia berbagi ilmu mengenai penelitian tesisnya. Semoga sehat selalu

Guru.

11. Sedulur-sedulur dari Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat yang mengisi

hari-hari selama ini. Terkhusus Mas Mahbub, Mas Subur, Mas Fakhrur,

Darip, Idos, Andi, Ardi, dan masih banyak lagi.

12. Sahabat-sahabat Arman. Tri Puji Astuti, Fitrotullaeli, Istikomatullaeli,

Retno Ayuningityas, Andriyanto, Ahmad Husni Akbar, M. Rizki Nailul

Author. Semoga abadi.

13. Sahabat sekosan yang masih setia menemani, M. Syakir Niamillah Fiza.

Semoga lekas lulus dan meraih gelar magisternya.

14. Bapak Ibu dan Staff SMA Dharma Karya Jakarta. Khususnya Ibu Intan

Nuridian Fauziyah, M. Pd. sebagai Pimpinan yang selalu mendukung dan

melancarkan kelulusan S-1 ini. Juga Neng Wulan Meitri Nurjanah, yang

sudah mendukung dan menemani dalam menyelesaikan skripsi. Bahkan

sering sampai larut malam.

viii

15. Rekan-rekan satu kelas dan satu jurusan yang mengisi hari-hari ketika

studi bersama. Teman-teman satu kampus yang memberi banyak warna

dalam berkegiatan dan bermain.

16. Sahabat-sahabati PMII Ciputat, khususnya PMII Rayon PBSI. Satgas

GAN UIN Jakarta. Sekolah Pengabdian Al Hakim. Teman-teman Sekolah

Guru Indonesia (SGI) Literat, Sekolah Guru Siaga Bencana, Sekolah Guru

Digital, Kelas Menulis NU Online, dan program-program lainnya yang

menemani saya dalam pelarian skripsi. Namun sungguh, itu membawa

saya hingga menyelesaikan studi.

Terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada semua pihak yang tidak

dapat tersebutkan namun telah memberikan kontribusi yang sangat berharga

hingga terselesaikannya skripsi ini. Akhir kata, harapan penulis semoga skripsi ini

bermanfaat bagi seluruh pembaca dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai

perbandingan maupun dasar untuk penelitian lebih lanjut. Penulis menyadari

bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang

membangun tetap penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Jakarta, 05 Mei 2020

M. Ilhamul Qolbi

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... i

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ........................................ iii

ABSTRAK ................................................................................................. iv

ABSTRACT .............................................................................................. v

KATA PENGANTAR .............................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1

B. Pembatasan Masalah .................................................... 5

C. Rumusan Masalah ........................................................ 5

D. Tujuan Penelitian .......................................................... 6

E. Manfaat Penelitian ........................................................ 6

BAB II KAJIAN TEORI .................................................................... 8

A. Pengertian Analisis Wacana .......................................... 8

B. Analisis Wacana Teun A van Dijk ............................... 12

1. Struktur Makro ...................................................... 14

2. Struktur Supra ....................................................... 16

3. Struktur Mikro ....................................................... 18

C. Penelitian Relevan ........................................................ 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 37

A. Jenis Penelitian ............................................................. 37

B. Subjek dan Objek Penelitian ........................................ 37

C. Wujud dan Sumber Data .............................................. 38

D. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 38

x

E. Instrumen Penelitian ..................................................... 39

F. Teknik Analisis Data ..................................................... 41

G. Reduksi Data ........................................................ 41

H. Penyajian Data ..................................................... 42

I. Penyimpulan Data .................................................. 42

BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................... 44

A. Hasil Penelitian ............................................................ 44

B. Pembahasan .................................................................. 51

1. Analisis Wacana KIKS .......................................... 44

2. Analisis Wacana KN .............................................. 92

3. Analisis Wacana TPTM ......................................... 122

4. Analisis Wacana TSK ............................................ 159

BAB V PENUTUP .............................................................................. 168

A. Simpulan ....................................................................... 188

B. Saran ............................................................................. 189

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 190

LAMPIRAN ............................................................................................... 203

RIWAYAT PENULIS ............................................................................. 348

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 40

Tabel 3.2 Struktur Supra Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 40

Tabel 3.3 Struktur Mikro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 40

Tabel 4.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 44

Tabel 4.2 Struktur Supra Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 46

Tabel 4.3 Struktur Mikro Aspek Semantik Wacana Esai Tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com ……… 47

Tabel 4.4 Struktur Mikro Aspek Sintaksis Wacana Esai Tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com ……… 48

Tabel 4.5 Struktur Mikro Aspek Sintaksis dan Retoris Wacana Esai

Tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com

………………….. ......................... ………….. .................. 50

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Analisis Wacana Teun A van Dijk ..................................... 13

Gambar 2.2 Pengacuan Persona ................... ..........................……….. 24

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Sampel Esai

Lampiran 2 : Analisis Struktur Makro

Lampiran 3 : Analisis Struktur Supra

Lampiran 4 : Analisis Struktur Mikro

Lampiran 5 : Riwayat Penulis

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wajah masyarakat Islam di Indonesia sangat beragam. Keberagaman

itu memunculkan banyak pandangan mau dibawa ke mana masyarakat Islam

yang ada di Indonesia itu. Salah satu isu yang muncul akhir-akhir ini di

Indonesia yaitu mencuatnya kembali seruan-seruan menegakkan khilafah

sebagai bentuk pemerintahan umat Islam. Hal itu dimulai setelah

dideklarasikannya Turki sebagai negara sekular yang menandai berakhirnya

lembaga politik umat Islam setelah beberapa ratus tahun lamanya.

Saat ini, muncul beragam isu yang kembali mencuat mengenai

khilafah. Munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor

2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan menjadi alat untuk memukul mundur organisasi yang

mendukung khilafah. Berdasarkan Perppu tersebut, melalui Direktorat

Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM

mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) pada

Rabu, 19 Juli 2017. Akhirnya, HTI resmi dibubarkan pemerintah pada saat itu.

Alasan pembubaran dipaparkan oleh Menteri Koordinator bidang

Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dengan tiga alasan. Pertama, sebagai

ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk

mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan

nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah

bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan

UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktivitas yang

dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat

2

mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan

keutuhan NKRI. Ketiga alasan tersebut pada dasarnya berujung pada tujuan

dasar HTI yang ingin mendirikan khilafah di Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Secara bahasa, khilafah merupakan bentuk infinitive (masdar) dari kata

khalafa-yakhlifu-khilafatan, yaitu menggantikan. Menurut istilah yang populer

di tengah-tengah umat Islam, khalifah adalah orang yang datang kemudian dan

posisinya menggantikan orang sebelumnya, baik yang digantikan itu masih

ada maupun setelah tiada.1 Gelar ini muncul pertama kalinya untuk

disematkan kepada Abu Bakar pasca pelantikannya oleh umat Islam untuk

menjabat kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dari sinilah khilafah

membentuk makna sebagai sebuah institusi kepemimpinan pengganti Nabi.2

Sedangkan menurut Istilah, ada beberapa definisi yang dikemukakan

oleh beberapa ulama terkait dengan khilafah sebagai sebuah kepemimpinan

dalam Islam. Ibnu Taymiyah memandang praktik pemerintahan Islam harus

berorientasi pada dua hal: memelihara eksistensi agama dan mengatur strategi

keduniaan. Definisi tersebut senada dengan pendapat Al-Mawardi yang

menyatakan bahwa khilafah merupakan sebuah topik bagi institusi ke-

khilafah-an nubuwah yang bertugas memelihara agama dan mengatur dunia.3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alvara Research Center

(ARC), sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan BUMN tercatat

menginginkan perubahan ideologi Pancasila. Pada saat yang sama, ada pula

dari mereka terafiliasi dengan ormas yang dianggap radikal.

1Muhammad Sofi Mubarok, Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah, (Jakarta: Pustaka Harakatuna,

2017) h. 32 2Ibid., h. 33 3Ibid., h. 34

3

Dalam laporan ARC bertajuk Potensi Radikalisme di Kalangan

Profesional Indonesia4 didapati bahwa 15,5% kelompok kelas menengah

(PNS, karyawan BUMN, dan swasta) menginginan dasar negara berasaskan

Islam. Jika diselami lebih dalam, ada 19,4% PNS dan 18,1% pegawai BUMN

yang menginginkan Pancasila diganti.

Dari beberapa penelitian tersebut, menunjukkan bahwasanya masih

banyak pendukung khilafah. Bahkan tidak tanggung-tanggung berani

menginginkan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Data

penelitian yang menunjukkan terkait jihad dalam menegakkan negara

Islam/khilafah, mayoritas profesional tidak setuju untuk berjihad menegakkan

negara Islam/khilafah. Namun yang setuju untuk berjihad jumlahnya juga

cukup besar (19,6%). Persentase PNS yang siap berjihad untuk tegaknya

negara Islam/khilafah cukup besar, lebih besar dibanding swasta dan BUMN.

Dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor

2 Tahun 2017 itu, dalam kalangan Islam sendiri muncul berbagai variasi

dalam memandang permasalahan tersebut. Nahdlatul Ulama muncul di garda

terdepan dalam mendukung sikap pemerintah tersebut. Hal itu menurutnya

karena sistem khilafah yang sedang diperjuangkan oleh ormas Hizbut Tahrir

Indonesia dipandang akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang majemuk. Namun, di lain sisi, ada juga beberapa kalangan

yang menolak terbitnya peraturan tersebut. Di kalangan parlemen misalnya,

tiga partai politik yang terdiri dari Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan

Sejahtera, dan Partai Gerindra menyatakan menolak terbitnya peraturan

tersebut. Selain itu, dari berbagai tokoh juga muncul berbagai pandangan

mengenai bagaimana menyikapi sistem khilafah dan terbitnya peraturan itu.

Salah satu tokoh tersebut yang perlu dipandang menarik yaitu Budayawan

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).

4Samdysara Saragih, Pemerintah Diminta Bikin Perpres Penangkal Paham Radikal PNS &

BUMN, https://surabaya.bisnis.com/read/20171024/531/758502/pemerintah-diminta-bikin-perpres

-penangkal-paham-radikal-pns-bumn, (diakses pada 01 Oktober 2020, pukul 12.34 WIB)

4

Cak Nun merupakan tokoh yang dikenal memperjuangkan

kemoderatan. Ia mempunyai jamaah yang disebut dengan Jamaah Maiyah.

Tempat kajian rutinannya tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Cak Nun

menyikapi khilafah dan terbitnya peraturan itu berbeda dengan teman-teman

tokoh yang memiliki pandangan kemoderatan yang sama. Ia menilai Perppu

Ormas yang diterbitkan oleh pemerintah sebab adanya ketidakberimbangan.

Hal yang dinilainya tidak berimbang itu baik dari segi pemikiran hingga soal

manajemen. Dari hal itu, akhirnya Cak Nun dianggap oleh beberapa kalangan

sebagai tokoh yang pro terhadap sistem khilafah. Dari hal itu, penulis tertarik

untuk mengkaji lebih lanjut tentang pandangan Cak Nun terhadap khilafah

yang sampai sekarang masih hangat diperbincangkan.

Penulis tertarik esai yang disampaikan atau ditulis Cak Nun melalui

internet. Penulis memilih untuk meneliti website Caknun.com, situs resmi

Emha Ainun Nadjib. Sebagai seorang tokoh yang mempunyai basis masa yang

cukup besar, Cak Nun tentunya tidak terlepas dari kegiatan berpendapat.

Sekarang banyak sekali media-media online yang digunakan untuk

menyampaikan gagasannya. Dengan mengandalkan teknologi yang ada

sekarang, tidak sedikit orang berargumen melalui media online. Mulai dari

situs majalah, koran, sampai situs milik pribadi juga banyak terdapat di

internet. Seperti halnya situs Caknun.com ini. Situs ini mengatasnamakan

Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dan ditujukan khususnya untuk jamaah

maiyah dan umumnya untuk masyarakat umum. Dengan memberikan

pandangan berbeda melalui tulisan-tulisan karya Emha Ainun Nadjib dan

beberapa orang lainnya termasuk pandangan mengenai khilafah itu. Maka dari

itu peneliti ingin meneliti pandangan mengenai khilafah pada esai Emha

Ainun Nadjib yang berada di situs Caknun.com.

Ada beberapa analisis wacana yang dikemukakan oleh para ahli, baik

dari pandangan sintagmatik maupun paradigmatik, salah satu yang terkenal

adalah analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A van Dijk. Ia

merupakan tokoh analisis wacana yang melihat penelitian analisis wacana

5

tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks

hanya hasil dari suatu praktik produksi. Model analisis wacana van Dijk

dalam buku Eriyanto bisa dikatakan yang paling lengkap karena

mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat digunakan secara

praktis.5 Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi atau

bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Dalam meneliti website Caknun.com, peneliti memilih rubrik Tajuk

dan Khasanah. Dalam rubrik ini terdapat banyak sekali esai, terutama esai

Emha Ainun Nadjib dan beberapa orang lainnya. Alasan memilih kedua rubrik

tersebut karena di dalamnya terdapat beberapa esai Emha Ainun Nadjib yang

ditulis oleh dirinya sendirinya dan memberikan pandangan berbeda mengenai

khilafah sehingga sangat menarik untuk dikaji. Untuk itu peneliti memilih

untuk meneliti rubrik Tajuk dan Khasanah yang membahas tentang khilafah

sampai pada bulan Oktober 2017. Peneliti sangat tertarik untuk meneliti

pandangan khilafah yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam esai karena

ia sosok tokoh yang selalu berusaha berada posisi tengah.

B. Pembatasan Masalah

Penelitian tentang Struktur Supra, Makro, dan Mikro Pada Esai

Khilafah Emha Ainun Najib di Caknun.com terfokus pada struktur supra,

mikro dan makro dengan tidak dilakukan analisis sosial. Kajian terhadap

struktur supra mencakup struktur yang melingkupi wacana, yaitu

pendahuluan, isi, dan penutup dengan pola kebahasaan dan muatan yang

mempunyai karakter tersendiri. Kajian terhadap struktur mikro mencakup

pola struktur gagasan, penggunaan piranti kohesif leksikal dan gramatikal,

pola hubungan antar unsur berupa rujukan yang digunakan penulis dalam

membentuk wacana yang kohesif dan koheren. Kajian terhadap struktur

makro mencakup pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat

dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana.

5Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 221

6

Esai yang akan diteliti adalah esai yang ditulis Emha Ainun Nadjib di

rubrik Tajuk dan Khasanah mengenai khilafah dari awal situs Caknun.com itu

diterbitkan sampai pada bulan Oktober 2017. Hal itu dikarenakan jauh

sebelum Perppu Ormas itu diterbitkan, Emha sudah menyinggung tentang

khilafah, sehingga menurut peneliti nantinya ada keterkaitan antara tulisan-

tulisan tersebut yang dapat ditarik kesimpulannya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

menuliskan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana struktur wacana

esai yang dibangun Emha Ainun Nadjib mengenai khilafah dalam rubrik

khasanah dan tajuk di Caknun.com?

1. Bagaimanakah struktur makro yang mendasari esai Emha Ainun Najib

tentang Khilafah di website Caknun.com?

2. Bagaimanakah struktur supra yang digunakan Emha Ainun Najib untuk

menyampaikan gagasan dalam esai tentang Khilafah di website

Caknun.com?

3. Bagaimanakah struktur mikro yang digunakan Emha Ainun Najib untuk

menyampaikan gagasan dalam esai tentang Khilafah di website

Caknun.com?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur

wacana esai yang dibangung Emha Ainun Nadjib mengenai khilafah dalam

rubrik tajuk dan khasanah di Caknun.com.

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur makro yang

mendasari esai Emha Ainun Najib tentang Khilafah di website

Caknun.com.

7

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur supra yang

digunakan Emha Ainun Najib untuk menyampaikan gagasan dalam

Esai tentang Khilafah di website Caknun.com.

3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur mikro yang

digunakan Emha Ainun Najib untuk menyampaikan gagasan dalam

Esai tentang Khilafah di website Caknun.com.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang analisis struktur wacana esai Emha Ainun

Najib mengenai khilafah di Caknun.com ini diharapkan dapat memberikan

manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, diharapkan dapat

menunjukkan dan memberikan deskripsi tentang pandangan Emha Ainun

Najib tentang khilafah. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk menambah

wawasan peneliti di bidang wacana, khususnya analisis wacana, yang tidak

hanya melibatkan linguistik, melainkan juga melibatkan ilmu lain, seperti ilmu

sosial politik, maupun keagamaan.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan

kesadaran khalayak dalam menyikapi wacana-wacana yang disajikan.

Khalayak yang memiliki kesadaran kritis, diharapkan dapat menambah

pengetahuan agar lebih bijaksana, cerdas, serta berpikir terbuka.

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Analisis Wacana

Kajian bahasa merupakan salah satu cabang tertua dalam penelitian

sistematik. Hal ini tertelusuri dari zaman India dan Yunani kuno, dengan

catatan keberhasilan yang begitu produktif dan kaya.6 Pengertian secara

sederhana, bahasa dimaknai sebagai proses berkomunikasi yang dijadikan

sebagai alat kendaraan. Dengan bahasa, kita membawa suatu pesan untuk

mencapai tujuannya. Jika kendaraan itu tidak ada bensinnya atau bannya

rusak, jelas perjalanan akan terganggu dan muatan kendaraan tidak dapat

sampai di tujuan.7

Analogi bahasa sebagai kendaraan itu memunculkan pengertian bahwa

bahasa tidak hanya terkait dengan bahasa itu sendiri. Hal itu sejalan dengan

pendapat Saussure, suatu bahasa merupakan contoh suatu wujud yang

menurut para ahli sosiologi tertentu disebut “fakta-fakta sosial”.8 Fakta sosial

tersebut menunjukkan bahwa bahasa sangat terkait dengan kondisi realitas

yang ada. Bukan hanya sebatas pada bahasa itu sendiri. Oleh karena itu,

dalam sebuah kajian bahasa ada yang disebut dengan istilah wacana.

Gorys Keraf dalam Alex Sobur mengemukakan bahwa pengertian

wacana dapat dibatasi dari dua sudut yang berlainan. Pertama dari sudut

bentuk bahasa, dan kedua, dari sudut tujuan umum sebuah karangan yang

utuh atau sebagai bentuk sebuah komposisi.9

6Noam Chomsky, Cakrawala Baru Kajian Bahasa dan Pikiran, (Tangerang Selatan: Logos

Wacana Ilmu, 2000), h. 5 7Dendy Sugono, Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Progres, 2003), h. 66 8Abd. Syukur Ibrahim dkk., Aliran-Aliran Linguistik, (Surabaya: Usaha Nasional, 1985), h. 56 9Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), h. 11-12

9

Oleh karena itu, kita perlu melihat pengertian wacana yang

diungkapkan oleh Gee dalam bukunya yang membedakan discourse atau

wacana dalam dua jenis seperti yang dikutip di bawah ini.

The distinction between “Discourse” with a “big D” and “discourse”

with a “little d” plays a role throughout this book. This distinction is

meant to do this: we as “applied linguists” or “sociolinguists,” are

interested in how language is used “on site” to enact activities and

identities. Such language-in-use, I will call “discourse” with a “little

d.” But activities and identities are rarely ever enacted through

language alone.10

I will reserve the word “discourse,” with a little “d,” to mean

language-in-use or stretches of language (like conversations or stories).

“Big D” Discourses are always language plus “other stuff”.11

The key to Discourses is “recognition.” If you put language, action,

interaction, values, beliefs, symbols, objects, tools, and places together

in such a way that others recognize you as a particular type of who

(identity) engaged in a particular type of what (activity) here and now,

then you have pulled off a Discourse (and thereby continued it through

history, if only for a while longer).12

Dari teks di atas, dapat kita ketahui bahwa wacana yang dimaksud

oleh Gee itu dibagi menjadi dua. Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat

bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan

kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Kedua,

“Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada “discourse”

(dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”)

untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language

“stuff” ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan

sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang membedakan cara

beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator

dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan

orang lain.

10James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis Theory and Method, (London: Taylor &

Francis e-Library, 2001), h. 6-7 11Ibid., h. 17 12Ibid., h. 18

10

Dari uraian tersebut, tampak bahwa baik “discourse” (dengan kecil)

maupun “Discourse” (dengan D besar) adalah hasil dari pekerjaan si pembuat

wacana memakai bahasa (verbal atau nonverbal) untuk mempresentasikan

realitas karena memang pada dasarnya definisi kerja memandang bahwa

wacana adalah penggunaan bahasa untuk menggambarkan realitas.

Secara singkatnya, wacana adalah kesatuan makna (semantis)

antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana

dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam

wacana itu berhubungan secara padu.13 Kemudian, dalam konteks

menggunakan, wacana menurut Brown and Yule adalah beberapa pernyataan

yang digunakan dalam konteks tertentu.14

Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Michael Fairclough

dalam Eriyanto yang mengatakan bahwa wacana tidaklah dipahami sebagai

serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi

yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena

secara sistemis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam

suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak

sesuatu.15

Pembagian wacana pun beragam. Jika dilihat berdasarkan saluran

komunikasi, wacana dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Wacana

lisan memiliki ciri antara lain adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang

dituturkan, dan alih tutur (turn taking) yang menandai pergantian giliran

bicara. Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang

dituliskan, dan penerapan sistem ejaan.16

Sebagai kesatuan yang abstrak, wacana dibedakan dari teks, tulisan,

bacaan, tuturan, atau inskripsi, yang mengacu pada makna yang sama, yaitu

13Kushartanti dkk., Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia

Pustaka, 2009), h. 92 14Brown and Yule, Discourse Analysis, (Cambridge: Cambrige University Press, 1983), h. 25-26 15Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 65 16Kushartanti dkk., Op. Cit., h. 94

11

wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar.17 Secara lebih rinci,

wacana dalam wujud tulisan/grafis yang disebut sebagai teks itu mempunyai

berbagai macam bentuk antara lain surat, e-mail, berita, features, artikel opini,

puisi, lagu, cerpen, novel, iklan cetak, komik, dsb.18

Baik wacana tulis maupun lisan, kedua-duanya tidak hanya semata-

mata hanya data. Tetapi seperti yang diungkapkan Alex Sobur mengutip

Heryanto yang mengatakan bahwa aturan-aturan kebahasaan di dalam wacana

tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya.

Karena menurutnya bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik.19

Hal itu sejalan dengan pengertian wacana yang dikemukakan oleh Ibnu

Hamad bahwa wacana (discourse) adalah susunan data dan atau fakta dengan

memakai sistem tanda yang membentuk cerita dan mengandung makna.20

Oleh karena itu, dalam menganalisis wacana perlu melihat pendapat

Littlejohn dalam Alex Sobur yang mengemukakan bawa analisis wacana lahir

dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan

terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi, ucapan, tetapi

juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut

wacana.21 Lebih jelasnya, Eriyanto mengutip dari Dennis McQuail yang

menekankan analisis wacana lebih pada pemaknaan. Dasar analisis wacana

adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode

interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti.22

Begitu juga Henry Guntur Tarigan dalam bukunya yang memperkuat

pendapat di atas bahwa mengadakan pendekatan telaah bahasa sebagai

wacana berarti memberi penekanan pada fungsinya. Ini berarti bahwa

pertanyaan yang diajukan mengenai setiap bagian atau segmen bahasa

17Ibid., h. 92 18Ibnu Hamad, Wacana, (Jakarta: La Tofi Enterprise, 2010), h. 43-44 19Alex Sobur, Op Cit., h. 13 20Ibnu Hamad, Op Cit., h. 3 21Alex Sobur, Op Cit., h. 48 22Eriyanto, Op. Cit., h. 337

12

tertentu bukanlah melulu mengenai bentuk tetapi juga mengenai penggunaan

atau pemakaiannya. Hal itu seperti mengenai apa yang ingin dicapai oleh si

pembicara (atau penulis), dan apa sebenarnya yang diperolehnya, dengan

bagian bahasa yang khas ini.23

B. Analisis Wacana Teun A van Dijk

Ada beberapa analisis wacana yang dikemukakan oleh para ahli, baik

dari pandangan sintagmatik maupun paradigmatik, salah satu yang terkenal

adalah analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A van Dijk. Ia

merupakan tokoh analisis wacana yang melihat penelitian analisis wacana

tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks

hanya hasil dari suatu praktik produksi. Model analisis wacana van Dijk

dalam buku Eriyanto bisa dikatakan yang paling lengkap karena

mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat digunakan secara

praktis.24

Analisis wacana kritis berfokus pada 'hubungan antara wacana,

kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan sosial' dan bagaimana wacana

menghasilkan dan mempertahankan hubungan dominasi dan ketidaksetaraan

ini.25 Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi atau

bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penjelasan tersebut

lebih mudahnya diilustrasikan dengan gambar model analisis Van Dijk di

bawah ini.

23Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Analisis Konstrastif Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1992), h.

200 24Eriyanto, Op. Cit., h. 221 25Van Dijk, T.A. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society 4:249-83

(1993), h. 249

13

Dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan

strategi wacana digunakan untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada

dimensi kognisi sosial, yang diamati adalah proses produksi suatu teks yang

melibatkan kognisi individu penulis. Sedangkan pada dimensi konteks yang

dipelajari adalah wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu

masalah.26 Namun, dalam pengkajian ini penulis hanya melakukan analisis

teks pada esai Cak Nun tentang Khilafah di Caknun.com, tidak menyertakan

kognisi sosial dan analisis sosial karena peneliti hanya ingin meneliti struktur

wacananya saja.

Halliday dan Hasan menjelaskan bahwa teks memiliki tekstur dan

inilah yang membedakannya dari sesuatu yang bukan teks. Tekstur teks dapat

diamati dengan melihat ikatan kohesif yang mencerminkan keterhubungan.27.

Sedangkan Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau

tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk melihat

teks dari beberapa struktur yang saling membangun. Van Dijk membagi

26Ibid., h. 224-225 27Brown and Yule, Op. Cit., h. 191

Teks

Kognisi Sosial

Konteks

Gambar 2.1 Analisis Wacana Teun A van Dijk

14

cabang elemen wacana dalam tiga poin; yaitu struktur makro, suprastruktur

dan struktur mikro.28

Jika digambarkan, maka struktur dan elemen wacana van Dijk adalah

sebagai berikut.29

Tabel 2.1 Struktur Teks Wacana Model Teun A van Dijk.

Struktur

Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur makro TEMATIK (Apa yang

dikatakan?) Topik

Superstruktur SKEMATIK (Bagaimana

pendapat disusun dan dirangkai?) Skema

Struktur Mikro SEMANTIK (Makna yang ingin

ditekankan dalam esai)

Latar, detail,

maksud,

praanggapan,

nominalisasi

Struktur Mikro SINTAKSIS (Bagaimana

pendapat disampaikan?)

Bentuk kalimat,

koherensi, kata

ganti

Struktur Mikro STILISTIK (Pilihan kata apa

yang dipakai?) Leksikon

Struktur Mikro

RETORIS (Bagaimana dan

dengan cara apa penekanan

dilakukan?)

Grafis, metafora,

ekspresi

Dari gambaran elemen wacana Van Dijk di atas dapat dijelaskan secara

lebih rinci sebagai berikut.

28Van Dijk, News Analysis: Case Studies of International and National News in the Press, (New

Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Publisher, 1988b), h. 17 29Alex Sobur, Op. Cit., h. 74

15

1. Struktur Makro

Menurut van Dijk dalam Rosidi30, struktur makro menunjuk pada

makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau

topik yang diangkat oleh suatu wacana. Hal itu terlihat juga dari

pandangan Teun van Dijk berikut ini.

“The meaning of discourse is not limited to the meaning of its

words and sentences. Discourse also has more 'global'

meanings, such as 'topics' or 'themes'. Such topics represent the gist

or most important information of a discourse, and tell us what a

discourse 'is about', globally speaking. We may render such topics in

terms of (complete) propositions such as 'Neighbors attacked

Moroccans'. Such propositions typically appear in newspaper

headlines.”31

Van Dijk memperkenalkan istilah topik wacana untuk menunjukkan

apa itu wacana. Topik wacana dapat didefinisikan sebagai inti atau

ringkasan teks.32 Menurut Brown dan Yule, tema memiliki dua fungsi

utama yaitu menghubungkan kembali dan menghubungkan wacana

sebelumnya, dan untuk menjadi titik awal pengembangan wacana

selanjutnya.33

Brown dan Yule juga menyatakan bahwa tajuk utama ini menciptakan

beberapa harapan bagi pembaca tentang isi teks.34 Jadi, dengan tajuk

utama ini, pembicara sudah bisa membaca ke mana ia akan dibawa oleh

tulisan itu.

Topik kalimat di setiap paragraf akan membangun koherensi dengan

topik wacana. Topik wacana ini diikuti oleh subtopik untuk mendukung

topik umum. Di sisi lain, subtopik akan didukung oleh fakta kalimat yang

30Sakhban Rosidi, “Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana,” Makalah

disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Universitas

Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007, h. 22 31Teun A van Dijk, Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction, (Barcelona: Internet

Course for the Oberta de Catalunya (UOS), 2003), h. 45 32Van Dijk, (1988b), h. 13 33Brown and Yule, Op. Cit.,h. 133 34Brown and Yule, Op. Cit.,h. 139

16

berfungsi sebagai kesatuan dan koherensi informasi teks, selalu disebut

sebagai co-text. Co-teks adalah teks koherensi. Ini membuat pembaca

mengerti bahwa semua laporan berita bagus harus memiliki teks

koherensi, baik tentang makna dan struktur yang diwakili dari

penghitungan kalimat di setiap paragraf. Jadi, setiap kalimat memiliki

tema sendiri atau topik kalimat di setiap paragraf.35 Dalam teori kognitif,

para jurnalis membangun dan membuat judul yang bagus karena strategi

untuk menarik pembaca dengan cepat mengetahui topik berita dari

serangkaian kalimat.36

Hal ini dimungkinkan untuk merumuskan tema tidak hanya untuk

kalimat secara individu, tetapi juga untuk keseluruhan teks. Van Dijk

mengamati bahwa topik kalimat (tema kalimat) berbeda dengan topik

wacana (tema teks wacana), tetapi tidak sepenuhnya independen darinya.

Setiap kalimat sederhana memiliki tema. Temanya sesuai dengan seperti

apa kalimatnya. Ini biasanya merupakan titik awal ujaran dan hal lain yang

mengikuti kalimat yang terdiri dari 'pembicara tentang' disebut "rheme".37

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, struktur

makro dalam sebuah wacana dapat dilihat topik dan sub topik yang

mendukung wacana.

2. Struktur Supra

Menurut van Dijk dalam Rosidi38 menyatakan bahwa struktur

supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti

kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan,

dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan

penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang

dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.

35Brown and Yule, Op. Cit.,h. 46-48 36Van Dijk, (1988b), h. 13 37Brown and Yule, Op. Cit.,h. 126-127 38Sakhban Rosidi, Op. Cit., h. 11

17

Kalau topik menunjukkan makna umum dari suatu wacana, maka

struktur skematis atau struktur supra menggambarkan bentuk umum dari

suatu teks. Bentuk wacana umum itu disusun dengan sejumlah kategori

atau pembagian umum seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan

masalah, penutup, dan sebagainya.39

Teks wacana pada umumnya mempunyai skema atau alur dari

pendahuluan serta akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-

bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membuat kesatuan arti.

Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana

yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi

penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di

bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.40

Terkait dengan esai, menurut Freddy K. Kalijernih esai yang benar

dan baik harus memiliki tiga paragraf yakni paragraf pengantar, paragraf

tubuh, dan paragraf simpulan.41

a. Paragraf Pengantar (Introductory Paragraph atau Introduction)

Paragraf pengantar pada esai biasanya terdiri atas satu paragraf

yang memperkenalkan topik yang akan dibahas dan sebuah gagasan

sentral yang lazim disebut gagasan pengontrol atau pernyataan tesis

(thesis statement). Oshima dan Houge dalam Kalidjernih

mengungkapkan bahwa pernyataan tesis mirip kalimat topik yakin

berisi suatu ekspresi tentang sikap, opini, dan gagasan tentang sebuah

topik. Akan tetapi, kalimat tesis lebih luas dan menjadi gagasan

pengontrol (controling idea) keseluruhan esai. Ada beberapa ciri

pernyataan tesis, (1) berupa kalimat yang lengkap (2) mengekspresikan

39Alex Sobur, Op. Cit., h. 76 40Eriyanto, Op. Cit., h. 232-234 41Freddy K. Kalijernih, Penulisan Akademik, (Bandung: Widya Aksara Press, 2010), h. 40

18

opini, sikap, dan gagasan dan (3) mengekspresikan hanya satu

gagasan.42

b. Paragraf Tubuh (Body atau Developmental Paragraph)

Paragraf tubuh sekurang-kurangnya satu, tetapi umumnya lebih

dari satu paragraf. Paragraf-paragraf ini mengembangkan pelbagai

aspek dari topik atau gagasan sentral yang disebut pada pernyataan

tesis. Paragraf-paragraf ini dapat mendiskusikan sebab, akibat, alasan,

proses, klasifikasi, contoh, dan perbandingan. Selain itu, dapat juga

mendeskripsikan atau menarasikan sesuatu.43 Paragraf tubuh sebuah

esai berfungsi untuk menjelaskan, mengilustrasikan, mendiskusikan,

atau membuktikan pernyataan tesis.

c. Paragraf Simpulan (Concluding Paragraph atau Conclution)

Paragraf ini menyimpulkan pemikiran yang dikembangkan

dalam esai dan berperan sebagai kata-kata penutup. Paragraf simpulan

(konklusi) mengakhiri pembahasan dan semua paragraf isi.44

Berdasarkan paparan di atas, struktur supra wacana esai dapat dilihat

dari komposisi esai. Jadi struktur supra wacana esai mencakup 1)

Pendahuluan, 2) Kalimat tesis, 3) Inti atau tubuh, dan 4) Penutup.

3. Struktur Mikro

a. Semantik

Tiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik,

sesuai dengan pengalaman-pengalaman ekstra linguistiknya, dan ciri-

ciri yang khas itu dipengaruhi oleh struktur bahasanya masing-

masing.45 Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai

makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan

42Ibid. h. 41 43Ibid. h. 40 44Ibid. h. 41 45Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologis, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 122

19

antarkalimat, hubungan antarpreposisi yang membangun makna tertentu

dalam suatu bangunan teks.46 Elemen-eleman yang diteliti dalam bagian

ini yaitu latar, rincian, maksud, dan praanggapan.

1) Latar

Latar dalam istilah kognitif, menginformasikan informasi yang

diperlukan pembaca untuk mengaktifkan model situasi dari

memori; Artinya, representasi akumulasi pengalaman pribadi dan

pengetahuan tentang situasi yang bersifat konkret.47 Latar

merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik (arti)

yang ingin ditampilkan. Latar biasanya ditulis sebagai latar

belakang suatu berita atau peristiwa. Latar yang ditulis tersebut

menentukan ke arah mana pandangan khalayak dibawa oleh

wartawan tersebut.48

2) Rincian

Rincian berhubungan dengan kontrol informasi yang

ditampilkan seseorang. Elemen rincian merupakan strategi

bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang

implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan

kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detil

bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan

dengan detil yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana

yang dikembangkan oleh media.49

3) Maksud

Maksud, hampir sama dengan elemen detil. Bedanya, dalam

detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan

46Alex Sobur, Op. Cit., h. 78 47Van Dijk, Episodic Models in Discourse Processing, (New York: Academic Press, 1985) 48Eriyanto, Op. Cit., h. 235 49Ibid., h. 238

20

dengan detil yang panjang. Elemen maksud melihat informasi yang

menguntungkan keomunikator akan diuraikan secara eksplisit dan

jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara

tersamar, implisit, dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik

hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator.50

4) Praanggapan

Praanggapan (presupposition) merupakan pernyataan yang

digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti

upaya mendukung dengan jalan memberi latar belakang, maka

praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan

memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan

hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak

perlu dipertanyakan.51

Grundy dalam Diemroh Ihsan mengatakan bahwa

presupposition atau praanggapan diartikan sebagai informasi yang

dimiliki oleh pendengar atau pembaca sebagai bagian dari latar

belakang yang tidak bertentangan untuk membuat suatu ungkapan

bermakna baginya sehingga dia dapat memberikan tanggapan yang

tepat. Kadang-kadang pemahaman ini dipicu oleh pemahaman

makna kosakata atau tata bahasa dan kadang-kadang oleh

pemahaman situasi. Pemahaman jenis yang pertama yang membuat

sebuah ungkapan bermakna disebut praanggapan makna (semantic

presupposition) dan jenis yang kedua disebut sebagai praanggapan

pragmatik (pragmatic presupposition).52

5) Nominalisasi

50Ibid., h. 240 51Eriyanto, Op. Cit., h. 256 52Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa (Palembang: Universitas

Sriwijaya, 2011) h. 84

21

Nominalisasi merupakan salah satu bagian eksklusi yang

merupakan strategi untuk menghilangkan sekelompok aktor sosial

tertentu. Strategi ini berkaitan dengan pengubahan kata kerja

(verba) menjadi kata benda (nomina). Umumnya nominalisasi

dilakukan dengan memberikan imbuhan pe-an.53 Nominalisasi

dalam wacana menurut pandangan wacana kritis dapat memberi

sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. Elemen yang

hampir sama dengan nominalisasi adalah abstraksi- berhubungan

dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai

sesuatu yang tunggal berdiri sendiri ataukah sebagai suatu

kelompok atau komunitas.54

b. Sintaksis

Kemudian aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan

bagaimana frase dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan.

Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang

membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Strategi

pada level sintaksis ini adalah dengan pemakaian koherensi, bentuk

kalimat, dan penggunaan kata ganti.55

“Ideological discourse structures are organized by the

constraints of the context models, but also as a function of the

structures of the underlying ideologies and the social

representations and models controlled by them. Thus, if

ideologies are organized by well known ingroup-outgroup

polarization, then we may expect such a polarization also to be

coded in talk and text. This may happen, as suggested, by

pronouns such as us and them, but also by possessives and

demonstratives such as our people and those people,

respectively.”56

53Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, (Jakarta:

Kencana, 2012), h. 40 54Alex Sobur, Op. Cit., h. 81 55Alex Sobur, Op. Cit., h. 80-81 56Teun A. van Dijk, Ideology and Discourse Analysis, (Journal of Political Ideologies, 2006), h.

126

22

1) Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat merupakan elemen sintaksis yang

berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas.

Bentuk kalimat bukan hanya sekedar persoalan teknis kebenaran

tata bahasa, tetapi menemukan makna yang dibentuk oleh susunan

kalimat. Bentuk kalimat ini menentukan subjek diekspresikan

secara eksplisit atau implisit dalam teks.57 Dalam kalimat yang

berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek pernyataannya,

sedangkan dalam kalimat pasif, seseorang menjadi objek

pernyataannya.58 Berkaitan dengan hal itu, bentuk kalimat yang

menjadi kajian dalam penelitian ini adalah kalimat aktif dan

kalimat pasif.

2) Kohesi dan Koherensi

Gutwinsky dalam Tarigan mengutarakan bahwa kohesi

adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam

skala gramatikal maupun skala leksikal tertentu. Pengetahuan strata

dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman

tentang wacana. Wacana benar-benar bersifat kohesif apabila

terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap koteks (situasi

dalam bahasa; sebagai lawan dari konteks atau situasi luar

bahasa).59

a) Kohesi Leksikal

Menurut Sumarlam kohesi leksikal adalah hubungan

antarunsur dalam wacana secara semantis.60

57Eriyanto, Op. Cit., h. 251 58Alex Sobur, Ibid. 59Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 93 60Sumarlam, Analisis Wacana: Teori dan Praktik, (Solo: Pustaka Cakra, 2003), h. 35

23

(1) Repetisi

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi,

suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting

untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.

Pengulangan yang dimaksud bukan proses reduplikasi

melainkan pengulangan sebagai penanda hubungan

antarkalimat dengan adanya unsur pengulangan yang

mengulang unsur yang terdapat dalam kalimat di depannya.

b) Kohesi Gramatikal

(1) Pengacuan

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi

gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu dengan

mengacu pada satuan lingual lain (atau satuan acuan) yang

mendahului atau mengikutinya.61 Sumarlam, menegaskan

bahwa berdasarkan tempatnya, pengacuan dibedakan

menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila

acuannya (satuan yang diacu) berada atau terdapat di

dalam teks dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya

berada atau terdapat di luar teks wacana.

Pengacuan Endofora pun dibagi menjadi dua, yaitu

pengacuan anaforis dan pengacuan kartaforis. Pengacuan

anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa

satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual

lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di

sebelah kiri, atau pada unsur yang telah disebut terdahulu.

Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu

kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tetentu yang

mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya , atau

61Sumarlam, Analisis Wacana: Teori dan Praktik, (Solo: Pustaka Cakra, 2003), h. 23

24

mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada

unsur yang disebutkan kemudian.

Jenis kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan

menjadi tiga macam, yakni (1) pengacuan persona (2)

pengacuan demonstratif dan (3) pengacuan komparatif.

(a) Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui

pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi

persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga

(persona III), baik tunggal maupun jamak. Klasifikasi

pronomina persona dapat diperhatikan pada bagan di bawah

ini.62

62Ibid., h. 25

PERSONA

I

II

III

Tunggal

Jamak

Aku, saya, hamba

Terikat lekat kiri : ku-

Lekat kanan : -ku

Kami

Kami semua

Kita

Tunggal

Jamak

Tunggal

Jamak

Kamu, Anda, anta/ente

Terikat lekat kiri : kau-

Lekat kanan : -mu

Kamu semua

kalian

kalian semua

Ia, dia, beliau

Terikat lekat kiri : di-

Lekat kanan : -nya

Mereka

Mereka semua Gambar 2.2 Pengacuan Persona

25

(b) Pengacuan Demonstratif

Sumarlam membagi pengacuan demonstratif (kata

ganti penunjuk) menjadi dua, yaitu pronomina

demonstratif waktu (temporal) dan pronomina tempat

(lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang

mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang),

lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti

besok dan yang akan datang), dan waktu netral (seperti

pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif

tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang

dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan

pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan

menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta,

Yogyakarta).63

(c) Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu

jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua

hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan

dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak,

perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan

untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan,

laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti,

dan persis sama dengan. Berikut ini adalah contoh beberapa

kalimat yang menggunakan pengacuan komparatif.64

(2) Konjungsi

Konjungsi atau yang biasa dinamakan kata sambung,

adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa

yang sederajat: kata dengan kata, frase dengan frasem atau

63Ibid., h. 25 64Ibid., h. 27

26

klausa dengan klausa.65 Dilihat dari perilaku sintaksisnya

dalam kalimat, konjungsi dibagi menjadi empat kelompok,

yaitu konjungsi koordinatif, konjungsi subordinatif,

konjungsi korelatif, dan konjungsi antarkalimat.66

(a) Konjungsi Koordinatif

Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang

menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama

pentingnya, atau memiliki status yang sama. Jika dilihat

dari sifat hubungannya, konjungsi koordinatif terdiri atas

konjungsi koordinatif hubungan penambahan/ penjumlahan,

hubungan pendamping, hubungan pemilihan, hubungan

pertentangan, dan hubungan perlawanan. Konjungsi

tersebut antara lain: dan, serta, atau, tetapi, melankan,

padahal, dan sedangkan.67

(b) Konjungsi Subordinatif

Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang

menghubungkan dua klausa atau lebih dan tidak memiliki

status sintaksis yang sama. Hasan Alwi dkk. membagi

konjungsi subordinatif menjadi tiga belas kelompok,

yaitu:68

1. Konjungsi subordinatif waktu, yaitu sejak, semenjak,

sedari, sewaktu, ketika, tatkala, sementara, begitu,

seraya, selagi, selama, serta, sambil, demi, setelah,

sesudah, sebelum, sehabis, selesai, seusai, hingga, dan

sampai.

65Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,

2003),

h. 296 66Ibid. 67Ibid., h. 297 68Ibid., h. 299

27

2. Konjungsi subrodinatif syarat, yaitu jika, kalau, jikalau,

asal(kan), bila dan manakala.

3. Konjungsi subordinatif pengandaian, yaitu andaikan,

seandainya, umpamanya, dan sekiranya.

4. Konjungsi subordinatif tujuan, yaitu agar, supaya, dan

biar.

5. Konjungsi subordinatif konsesif, yaitu biarpun,

meskipun, walaupun, sungguhpun, dan kendatipun.

6. Konjungsi subordinatif pembandingan, yaitu seakan-

akan, seolah-seolah, sebagaimana, seperti, sebagai,

laksana, ibarat, dan daripada.

7. Konjungsi subordinatif sebab, yaitu sebab, karena, oleh

karena, dan oleh sebab.

8. Konjungsi subordinatif hasil, yaitu sehingga, sampai,

dan makanya.

9. Konjungsi subordinatif alat, yaitu dengan dan tanpa.

10. Konjungsi subordinatif cara, yaitu dengan dan tanpa.

11. Konjungsi subordinatif komplementasi, yaitu bahwa.

12. Konjungsi subordinatif atributif, yaitu yang.

13. Konjungsi subordinatif perbandingan, yaitu sama...

dengan, lebih ... daripada.

(c) Konjungsi Korelatif

Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang

menghubungkan dua kata, frasa atau klausa yang memiliki

status sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas

dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau

klausa, yang dihubungkan. Contoh:

1. Baik ayah mupun ibu tidak menyukai kekerasan.

2. Jangankan temannya, saudaranya sendiri pun tidak

dihormati.

28

3. Entah diterima entah tidak, ia tetap akan mencintainya.

(d) Konjungsi Antarkalimat

Konjungsi antarkalimat menghubungkan satu kalimat

dengan kalimat lain. Jenis konjungsi ini selalu muncul di

awal kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan

menggunakan huruf kapital.69 Contoh:

1. Hubungan Ari dan Ira tidak mendapat restu dari Gita.

2. Ari tetap mengunjungi gadis itu di peristirahatan

terakhirnya.

3. Hubungan Ari dan Ira tidak mendapat restu dari Gita.

Sekalipun demikian Ari tetap mengunjungi gadis itu di

peristirahatan terakhirnya.

Wohl dalam Tarigan menyatakan bahwa koherensi merupakan

pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, ide, menjadi

suatu untaian yang logis, sehingga mudah memahami pesan yang

dikandungnya.70 Sedangkan Kridalaksana dalam Hartono

mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya

adalah hubungan semantis.71

Menurut van Dijk, aturan dasar sederhana dari kalimat

koherensi adalah bahwa kalimat A sesuai dengan kalimat B, jika A

mengacu pada situasi atau peristiwa yang merupakan kondisi

situasi atau peristiwa yang mungkin disebut oleh B.72 Jadi, urutan

kalimat Pagi ini aku sakit gigi. Saya pergi ke dokter gigi itu

koheren sesuai dengan aturan itu (kalimat urutan pertama memiliki

kondisi yaitu sebuah alasan dan kemudian kalimat urutan kedua

melakukan tindakan konsekuensi atau akibat), sedangkan kalimat

69Ibid., h. 300 70Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 100 71Bambang Hartono, Dasar-dasar Kajian Wacana (Semarang: Pustaka Zaman, 2012), h. 151 72Van Dijk, (1988b), h. 12

29

urutan Kami pergi ke restoran mahal. John memesan Chevrolet itu

tidak koheren, (karena pengetahuan kita tentang makan di restoran

memberitahu kita bahwa memesan mobil bukanlah hal yang biasa

untuk dilakukan di restoran).73 Bahkan, Widyamartawa

mengungkapkan untuk menjaga kesatuan gagasan, hendaknya

dicamkan asas “tiap kalimat harus mengandung satu ide pokok”.74

Harimurti Kridalaksana dalam Mulyana mengemukakan

bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan

semantis. Artinya, hubungan itu terjadi antarproposisi. Secara

struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara

semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya.

Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat leksikal,

namun kadang-kadang tanpa petanda. Hubungan semantis yang

dimaksud antara lain (1) hubungan sebab akibat, (2) hubungan

sarana hasil, (3) hubungan alasan sebab, (4) hubungan sarana

tujuan, (5) hubungan latar kesimpulan, (6) hubungan kelonggaran

hasil, (7) hubungan syarat-hasil, (8) hubungan perbandingan, (9)

hubungan parafrastis, (10) hubungan amplikatif, (11) hubungan

aditif waktu (simultan dan berurutan), (12) hubungan aditif non

waktu, (13) hubungan identifikasi, (14) hubungan generik spesifik,

dan (15) hubungan ibarat.75

a) Hubungan Sebab-Akibat

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama

menyatakan sebab, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan

akibat. Berikut penggunaan hubungan sebab-akibat dalam

kalimat.

73Van Dijk, Discourse Semantic Analysis, (London: Academic Press London, 1985), h. 109-111 74A. Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 19 75Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 32

30

Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan

itu. Koleksi perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.

b) Hubungan Akibat-Sebab

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua

menyatakan sebab terjadinya/tindakan yang dinyatakan pada

kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan akibat-sebab

dalam kalimat.

Tiba-tiba ia merasa rindu kepada anaknya. Tanpa banyak

persiapan pergilah ia ke kota yang jauh itu.

c) Hubungan Latar-Kesimpulan

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat

menyatakan simpulan atas pernyataan pada kalimat lainnya.

Berikut penggunaan hubungan latar-simpulan dalam kalimat.

Mobil itu sudah tua, tetapi. Rupanya pemiliknya pandai

merawatnya.

d) Hubungan Parafrastis

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan

pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat

berikutnya. Berikut penggunaan hubungan parafrastis dalam

kalimat.

Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk

proyek ini, karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah

saatnya kita menghemat uang rakyat.

e) Hubungan Adiktif

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan

pada kalimat pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan

31

pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan adiktif

dalam kalimat.

Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini

(simultan).

f) Hubungan Identifikasi

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan

pada kalimat pertama didentifikasi dengan kalimat berikutnya.

Berikut penggunaan hubungan identifikasi dalam kalimat.

Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh.

Kamu tahu nggak, Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah

gagal masuk ke universitas.

g) Hubungan Ibarat

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama

diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya.

Berikut penggunaan hubungan ibarat dalam kalimat.

Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang

dia seperti belut di lumpur basah.

h) Hubungan Argumentatif

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua

menyatakan argumen (alasan) bagi pendapat yang dinyatakan

pada kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan

argumentatif dalam kalimat.

Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang

bijaksana dan dapat bergaul dengan siapa saja.

32

c. Stilistika

Sebagai alat penyampai pengalaman batin, pesan, amanat, berita,

dan sebagainya, dalam proses komunikasi antarmanusia, bahasa tulis

memang banyak kekurangannya. Bahasa lisan dapat didukung oleh lagu

kalimat dan gerak-gerik badan serta perubahan air muka dalam

menyampaikan amanat, sedangkan bahasa tulis tidak. bahasa tulis

hanya kelihatan sebagai baris-baris atau lautan huruf dan tanda baca.

Akan tetapi, hal yang paling menentukan dalam komunikasi tulis ialah

cara membingkiskan gagasan, sedang huruf dan tanda baca hanya bahan

pembungkus.76

Dari keinginan untuk menyampaikan gagasan tertulis secara efektif

dan efisien lahirlah apa yang kita sebut gaya bahasa. Secara umum,

dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah daya guna bahasa:

kesanggupan menyampaikan pengalaman batin (berita batin) dengan

hasil sebesar-besarnya. Bahasa tulis merupakan bahasa bergaya.77

Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan

seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan

menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat

diterjemahkan sebagai gaya bahasa.78 Menurut Van Dijk, pilihan

leksikal yang dipilih oleh wartawan dalam menyajikan berita tidak

spontan, namun dirancang secara idelogis untuk membuat pembaca

memahami berita yang diwakili oleh mereka. Variasi gaya akan

dipengaruhi oleh situasi percakapan (formal dan informal), teks tertulis

(teks formal dan informal), jenis kelamin, kekuasaan, dan status

sosial.79

76A. Widyamartaya, Op. Cit., h. 19 77Ibid., h. 19 78Alex Sobur, Op. Cit., h. 82 79Van Dijk, (1988b) h. 10

33

d. Retorika

Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara

yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan

pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Dimensi retoris dapat

mempengaruhi semua tingkat struktural teks karena akan

mengungkapkan atau memberi sinyal apa yang paling penting dalam

laporan berita.80 Pada bagian ini, elemen yang diamati yaitu grafis dan

metafora.

1) Grafis

Dalam teks wacana, elemen grafis selalu muncul dengan teks

tertulis yang berbeda dari pada yang lain. Jenis huruf tebal ditandai

secara tipografis di tajuk utama. Ini digunakan sebagai strategi

untuk meyakinkan perhatian pembaca lebih pada sisi itu.81

Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah,

huruf yang dibuat besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaian

caption, raster. Grafik, gambar, tabel, dan pemakaian angka untuk

mendukung arti penting sebuah pesan. Bagian-bagian yang

ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian

tersebut. bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang

dipandang penting oleh komunikator, di sana ia menginginkan

khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.82

2) Metafora

Metafora adalah bentuk pengungkapan pesan melalui kiasan

atau ungkapan. Metafora ini dimaksudkan sebagai ornamen atau

bumbu dari suatu berita..83 Pengertian lain menjelaskan bahwa

metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal

80Van Dijk, (1986) h. 161 81Ibid. 82Eriyanto, Op. Cit., h. 257 83Ibid., h. 259

34

secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa,

buaya darat, buah hati, dan sebagainya. Metafora sebagai

perbandingan langsung tidak menggunakan kata: seperti, bak,

bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung

dihubungkan dengan pokok kedua.84 Pemakaian metafora tertentu

boleh jadi menjadi perunjuk utama untuk mengerti makna suatu

teks.85

C. Penelitian Relevan

Terdapat dua penelitian sejenis dalam penelitian ini. Pertama yaitu

tesis yang berjudul Wacana Khilafah dalam Diksi Pemberitaan Media Online

Arab (Analisis Wacana Kritis Pasca Pemroklamiran ISIS Tahun 2014) oleh

Yuliani tahun 2014. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini ada dua

yaitu, (a) bagaimanakah perbandingan wacana pemberitaan khilafah yang

dibangun oleh media online berbahasa Arab Aljazeera dan Alarabiya pasca

pemroklamiran ISIS tahun 2014?; (b) Bagaimanakah ideologi media online

berbahasa Arab Aljazeera dan Alarabiya pasca pemroklamiran ISIS tahun

2014?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis

wacana kritis. Pendekatan analisis wacana kritis yang dipakai adalah

model analisis Norman Fairclough meyakini bahwa wacana merupakan

sebuah praktik sosial yang melihat wacana dari tiga tingkatan, yaitu teks,

praktik wacana, dan praktik sosial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wacana khilafah yang

diberitakan oleh kedua situs berita Aljazeera dan Alarabiya dikaitkan dengan

wacana terorisme. Meskipun khilafah adalah isu universal dalam penyajian

beritanya, kedua situs berita tersebut menafikan untuk membahas wacana

84Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 139 85Alex Sobur, Op. Cit., h. 84

35

khilafah –dalam hal ini Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) yang muncul

pada tahun 2014- sebagai sebuah negara Islam, sehingga wacana khilafah

yang hadir di dalam berita hanya nampak sebagai sebuah gerakan bukan

sebuah negara seperti yang diklaim oleh ISIS yang mendeklarasikannya.

Alarabiya bahkan cenderung untuk menyamakannya dengan Al-Qaeda yang

dikenal sebagai gerakan teroris.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sejenis di atas adalah 1)

tema yang diangkat sama yaitu tentang khilafah. 2) metode pengumpulan data

yang dipakai sama yaitu metode dokumentasi. Sedangkan perbedaan

penelitian ini dengan penelitian di atas adalah 1) sumber data penelitian ini

adalah tulisan dalam bentuk esai yang ditulis oleh Emha Ainun Najib

sedangkan penelitian di atas menggunakan berita media online Arab. 2)

pendekatan yang digunakan yaitu, penelitian ini menggunakan pendekatan

model AWK Teun Van Dijk sedangkan penelitian sejenis di atas

menggunakan pendekatan AWK model Norman Fairclough.

Selanjutnya, penelitian sejenis yang kedua adalah tesis yang berjudul

Teks, Konteks, dan Kognisi Sosial Wacana Bertema Pendidikan dalam Situs

Kompasiana dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa di SMA oleh

Dewi Ratna Ningsih pada tahun 2015. Permasalahan dari penelitian ini

adalah: (1) bagaimanakah teks wacana bertema pendidikan dalam situs

Kompasiana, (2) bagaimanakah konteks wacana bertema pendidikan dalam

situs Kompasiana, (3) bagaimanakah kognisi sosial wacana bertema

pendidikan dalam situs Kompasiana, dan (4) bagaimanakah implikasi hasil

penelitian pada pembelajaran bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA)?

Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu: (1) menganalisis dan

mendeskripsikan teks wacana bertema pendidikan dalam situs Kompasiana

menggunakan metode AWKVD. (2) menganalisis dan mendeskripsikan

konteks wacana bertema pendidikan dalam situs Kompasiana menggunakan

metode AWKVD. (3) menganalisis dan mendeskripsikan kognisi sosial

36

wacana bertema pendidikan dalam situs Kompasiana menggunakan metode

AWKVD. (4) mengimplikasikan hasil penelitian wacana bertema pendidikan

dalam situs Kompasiana pada pembelajaran bahasa di SMA. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif

deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis.

Pendekatan analisis wacana kritis yang dipakai adalah model analisis

Teun A van Dijk, yang melihat wacana dari tiga tingkatan, yaitu teks,

konteks, dan kognisi sosial. Setelah itu dijelaskan bagaimana

mengimplikasikan hasil penelitian tersebut dalam pembelajaran bahasa di

SMA.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam level teks, hampir

semua unsur teks ada di dalam wacana yang dianalisis. Dalam level konteks

terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi seperti pentingnya sertifikasi

guru, polemik Ujian Nasional dan penyelenggaraan kurikulum 2013. Selain

itu, dalam level kognisi sosial terdapat berbagai macam penulis seperti guru,

mahasiswa, PNS dan wiraswasta yang mempunyai latar belakang

pengetahuan berbeda dan mempengaruhi dalam membuat wacana dalam

bentuk esai di Kompasiana.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sejenis di atas adalah

1) sumber data yang dianalisis sama yaitu esai; 2) metode analisis data

yang digunakan sama yaitu analisis deskriptif kualitatif. Selain itu, ada juga

beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sejenis di

atas adalah dari segi 1) pendekatan yang digunakan yaitu, penelitian ini

menggunakan pendekatan model AWK Teun A van Dijk fokus dalam level

teks yaitu struktur makro, struktur surpra, dan struktur mikro sedangkan

penelitian sejenis di atas menggunakan pendekatan AWK model AWK

Teun Van Dijk dalam level teks, konteks, dan koginisi sosial; 2) sumber data

penelitian sejenis di atas adalah esai dengan beberapa penulis dengan tema

Pendidikan sedangkan penelitian ini menganalisis esai dengan satu penulis

yaitu Emha Ainun Najib dengan tema Khilafah.

37

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan penelitian ini

merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.

38

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam metodologi penelitian ini akan dipaparkan jenis penelitian,

subjek dan objek penelitian, wujud dan sumber data, instrumen penelitian,

teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan keabsahan

data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini terfokus pada analisis wacana mengenai Khilafah yang

terdapat dalam website Caknun.com. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan data berupa wacana Khilafah yang terdapat pada rubrik

Khasanah dan Tajuk. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif.

Moleong menjelaskan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian

yang mendeskripsikan suatu objek penelitian yang berupa kutipan data

sebagai gambaran penyajian laporan penelitian. Penelitian kualitatif sebagai

penelitian untuk memahami fenomena yang di alami oleh subjek penelitian,

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus

yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.86

B. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Emha Ainun Najib. Emha Ainun

Nadjib juga berperan aktif saat terjadinya tranformasi politik dari Orde Baru

ke Orde Reformasi. Ia juga salah satu anggota dari Dewan Sembilan yang

menghadiri pidato pengunduran diri Presiden Soeharto di Istana Merdeka.

Setelah memasuki Orde Reformasi, Emha Ainun Nadjib memutuskan

untuk melakukan pendidikan politik ke masyarakat melalui gerakan sholawat.

86Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung: Rosdakarya, 2007),

h.6

39

Ia memadukan kesenian, kebudayaan, politik, ekonomi, dan agama secara

holistik dan komprehensif.

Dalam melakukan pendidikan politik ke masyarakat, Emha Ainun

Nadjib hampir selalu ditemani oleh gamelan Kyai Kanjeng dan pemainnya.

Gamelan Kyai Kanjeng sendiri, selain menjadi nama gamelan, juga

merupakan nama sebuah konsep nada pada alat musik gamelan tersebut.

Setiap bulan, Emha Ainun Nadjib melakukan aktivitas rutinnya,

Maiyah, yang memiliki arti gotong royong. Induk dari Maiyah berada di

Jombang, yang bernama Masyarakat Padhang Bulan. Komunitas Maiyah di

Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di Jakarta bernama Kenduri Cinta, di

Semarang bernama Gambang Syafaat, di Surabaya bernama Bang Bang

Wetan, di Banyumas bernama Juguran Syafaat, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, objek dalam penelitian ini adalah Kumpulan esai

bertema Khilafah yang ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website

Caknun.com. Objek ini diambil melalui esai tentang khilafah yang terbit dari

mulai awal website Caknun.com berdiri sampai pada bulan Oktober 2017.

Data dalam penelitian ini berupa wacana Khilafah Emha Ainun Najib di

website Caknun.com.

C. Wujud dan Sumber Data

Dalam penelitian ini wujud data berupa esai tentang Khilafah oleh

Emha Ainun Najib secara keseluruhan. Wujud data berupa esai tersebut

digunakan untuk mengungkap objek penelitian pandangan Emha Ainun Najib

mengenai Khilafah. Sumber data ini adalah tertulis berupa bahasa tulis yang

terdapat dalam rubrik Khasanah dan Tajuk di Caknun.com sampai pada bulan

Oktober 2017.

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi

beberapa tahap.

40

1. Mencari (searching)

Proses utama dalam pengumpulan data adalah pencarian. Pencarian

dilakukan untuk menemukan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan

masalah penelitian. Proses pencarian dilakukan melalui beberapa cara

menggunakan mesin pencarian internal dan eksternal. Mesin pencarian

internal adalah mesin pencarian yang disediakan dalam situs Caknun.com.

Pencarian dengan cara ini dilakukan dengan menuliskan beberapa kata

kunci terkait masalah.

2. Mengunduh (download)

Tulisan-tulisan yang telah ditemukan dalam proses pencarian

kemudian diunduh. Pengunduhan dilakukan untuk mendokumentasikan

sehingga proses analisis data menjadi lebih mudah.

3. Metode Simak

Metode simak dilakukan untuk menyimak penggunaan bahasa.

Menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasaa

secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis.87 Metode ini

memiliki teknik dasar yang berupa teknik sadap. Maksud teknik sadap di

sini adalah menyadap penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun

tulisan. Dalam praktiknya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan,

yaitu teknik simak libat cakap, teknik simak bebas cakap, teknik simak

bebas libat cakap dan teknik catat.88

Metode simak dalam penelitian ini menggunakan teknik lanjutan

berupa teknik catat. Teknik catat digunakan sebagai teknik dalam

pengumpulan data. Teknik catat adalah mencatat beberapa bentuk yang

relevan bagi penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis.89

87Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 92 88Ibid., h. 93 89Ibid.

41

Selanjutnya langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data,

yaitu menentukan sumber data. Penelitian ini menggunakan sumber data

dari rubrik esai dari Caknun.com yang relevan dengan isu Khilafah.

Langkah selanjutnya adalah menyimak dengan membaca sumber-sumber

data dan menandai esai-esai yang membahas tentang Khilafah yang

terdapat dalam sumber data yang telah disebutkan.

Langkah terakhir setelah menyimak data-data tersebut adalah

mencatat data-data tersebut yang selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan

waktu diterbitkan.

E. Instrumen Penelitian

Berdasarkan metode pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini, instrumen yang digunakan peneliti adalah (1) peneliti sendiri

dan (2) pedoman dokumentasi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Sugiyono bahwa dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat

penelitian adalah peneliti itu sendiri.90 Hal ini dipertegas oleh Moleong bahwa

salah satu ciri penelitian kualitatif adalah manusia sebagai alat atau

instrumen. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi

menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,

melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,

menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuan dalam penelitian itu.

Semua itu hanya bisa dilakukan oleh manusia.91

Instrumen pengumpulan data yang kedua adalah pedoman

dokumentasi. Menurut Arikunto, pedoman dokumentasi dapat memuat garis-

garis besar atau kategori yang akan dicari datanya.92 Pedoman dokumentasi

ini dirinci sebagai berikut.

90Lexy J Moleong, Op. Cit., h. 250 91Ibid., h. 9 92Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 135-136

42

1. Contoh instrumen pengumpulan data tentang struktur makro adalah

sebagai berikut.

Tabel 3.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com

No Judul

Wacana

Topik Kode Data Uraian Data

1

2

3

4

2. Contoh instrumen pengumpulan data tentang struktur mikro adalah

sebagai berikut.

Tabel 3.2 Struktur Supra Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com

No Judul

Wacana

Topik Kode Data Uraian Data

1

2

3

4

3. Contoh instrumen pengumpulan data tentang struktur makro adalah

sebagai berikut.

Tabel 3.3 Struktur Mikro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com

No Judul

Wacana

Topik Kode Data Uraian Data

43

1

2

3

4

Dengan pedoman dokumentasi tersebut, peneliti mudah

menemukan apa yang hendak dicari dalam penelitian ini, yaitu struktur supra,

struktur mikro yang digunakan untuk membangun gagasan penulis dan

struktur makro yang mendasari Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Secara keseluruhan metode kualitatif memanfaatkan cara-cara atau

mendeskripsikan fakta-fakta sosial yang ada atau terjadi. Analisis data

dalam penelitian ini dilakukan pada data yang berupa kata, kalimat,

paragraf, dan wacana sebagai satu kesatuan yang disusun dalam bentuk teks

yang diperoleh dari kumpulan esai Emha Ainun Najib bertema Khilafah yang

ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website Caknun.com. Dalam

menganalisis data peneliti menggunakan prosedur analisis kualitatif

berdasarkan model interaktif Miles dan Huberman.93 Ada tiga tahap prosedur

analisis data penelitian ini meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan

(3) penyimpulan. Prosedur analisis data tersebut dipaparkan sebagai berikut.

1. Reduksi Data

Sejalan dengan uraian di atas, data berupa struktur supra, mikro

dan makro yang membangun wacana kumpulan esai Emha Ainun Najib

bertema Khilafah yang ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website

Caknun.com dipahami dan diklasifikasi. Dalam hal ini, data yang bersifat

relevan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan yang kurang relevan

93Matthew Miles, dan Michael Huberman, Analisis Data kualitatif, (Jakarta: Universitas Indonesia

(UI-Press, 1992), h. 21-25

44

disisihkan. Secara simultan dengan kegiatan tersebut, dilakukan

pengodean data. Dalam hal ini, data berupa struktur supra, mikro dan

makro diberi kode seperti (Khalifah Islam dan Khilafah Silmi). Kode itu

dibaca sebagai judul esai. Dengan pengodean seperti itu, data tentang

struktur supra, mikro dan makro kumpulan esai Emha Ainun Najib

bertema Khilafah yang ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website

Caknun.com dapat dilacak pada tempat penyimpanannya. Hal itu penting

dilakukan untuk melihat data bila sesekali diperlukan lagi untuk

melengkapi data yang ada atau untuk konfirmasi.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan

data yang berupa struktur supra, struktur mikro yang digunakan penulis

untuk menyampaikan gagasan dan struktur makro yang mendasari

kumpulan esai Emha Ainun Najib bertema Khilafah yang ada dalam rubrik

Khasanah dan Tajuk website Caknun.com. Pada tahap ini, seluruh data

yang terkumpul melalui dokumentasi disajikan sesuai dengan

kenyataan dalam kumpulan esai Emha Ainun Najib bertema Khilafah yang

ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website Caknun.com.

3. Penyimpulan Data

Langkah terakhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

penarikan simpulan. Berdasarkan deskripsi data pada masing-masing

masalah, ditarik suatu simpulan secara logis. Kesimpulan tersebut masih

bersifat sementara dan perlu ditinjau kembali atau diverifikasi dengan cara

memperhatikan seluruh proses penelitian. Hal ini dilakukan dengan

melibatkan dosen pembimbing. Setelah memperoleh kesepakatan, disusun

kesimpulan akhir bagi penelitian ini. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan

Sugiyono bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat

sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat

yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun,

45

apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh

bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti ke lapangan

mengumpulkan data. maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kenyataan. Dalam penelitian ini, proses analisis data dan penyimpulan

diberlakukan untuk seluruh data terkecuali data yang telah terbuang

melalui reduksi data.94

Selain penjelasan teknin di atas, untuk memudahkan dalam

menganalisis data, peneliti membuat pedoman analisis data sesuai dengan

teori Analisis Wacana Teun A van Dijk sebagai berikut.

No. Masalah Deskriptor Pedoman Analisis Data

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Bagaimanak

ah struktur

makro yang

mendasari

Esai tentang

Khilafah

karya Emha

Ainun Najib

di

Caknun.co

m?

• struktur makro

Esai tentang

Khilafah karya

Emha Ainun

Najib di

Caknun.com

• Struktur makro menunjuk

pada makna keseluruhan

(global meaning) yang

dapat dicermati dari tema

atau topik yang diangkat

oleh pemakaian bahasa

dalam suatu wacana

• Analisis secara makro

dapat dilakukan untuk

mengetahui sesuatu yang

berada di luar struktur

wacana, seperti ideologi

dan kekuasaan

• Ideologi adalah sistem

ide-ide yang diungkapkan

dalam komunikasi.

• Setiap peristiwa

komunikasi pasti

mengandung ideologi

tertentu.

• Wacana tidak selalu

dipahami sebagai sesuatu

yang netral dan ilmiah,

karena wacana selalu

mengandung ideologi

yang berfungsi

Kumpulan

esai

tentang

Khilafah

karya

Emha

Ainun

Najib di

Caknun.co

m

94Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta Bandung,

2006) h. 283

46

mendominasi dan

membentuk pengaruh

kepada kelompok tertentu.

• Wacana hadir dengan

tujuan tertentu dan bahkan

kuasa tertentu pula

2. Bagaimanak

ah struktur

supra yang

digunakan

Emha

Ainun Najib

untuk

menyampai

kan gagasan

dalam Esai

tentang

Khilafah di

Caknun.co

m?

• struktur supra

Esai tentang

Khilafah karya

Emha Ainun

Najib di

Caknun.com

• Struktur supra dalam suatu

wacana dapat dilihat dari

bagian pendahuluan,

kalimat tesis, inti, dan

penutup

• Pada pendahuluan penulis

harus menegaskan

mengapa persoalan itu

dibicarakan pada saat ini

• Pada pendahuluan penulis

harus menjelaskan juga

latar belakang historis

yang mempunyai

hubungan langsung

dengan persoalan yang

akan diargumentasikan

• Pada pendahuluan penulis

menuliskan kalimat tesis

yang akan menjadi acuan

dalam melanjutkan di

bagian inti.

• Inti adalah keseluruhan

pesan yang ingin

disampaikan penulis,

mulai dari awal

permasalahan, puncak

permasalahan, sampai

pada akhir permasalahan

itu sendiri

• Penutup merupakan

ringkasan dari ide-ide

pokok atau argumen-

argumen yang telah

dikemukakan.

Kumpulan

esai

tentang

Khilafah

karya

Emha

Ainun

Najib di

Caknun.co

m

3. Bagaimanak

ah struktur

mikro yang

• struktur mikro

Esai tentang

Khilafah karya

Emha Ainun

• Struktur mikro menunjuk

pada makna setempat

(local meaning) suatu

wacana.

Kumpulan

esai

tentang

Khilafah

karya

47

digunakan

Emha

Ainun Najib

untuk

menyampai

kan gagasan

dalam Esai

tentang

Khilafah di

Caknun.co

m?

Najib di

Caknun.com • Struktur mikro dapat

digali dari aspek semantik,

sintaksis, dan retorika.

• Aspek semantik suatu

wacana mencakup latar,

rincian, dan nominalisasi

• Aspek sintaksis suatu

wacana berkenaan dengan

bagaimana frasa dan atau

kalimat disusun untuk

dikemukakan.

• Aspek sintaksis mencakup

bentuk kalimat, kohesi dan

koherensi, serta pemilihan

sejumlah kata ganti

(pronouns).

• Kohesi atau kepaduan

wacana ialah keserasian

hubungan antarunsur yang

satu dengan unsur yang

lain dalam wacana,

sehingga tercipta

pengertian yang koheren

• koherensi merupakan

pengaturan secara rapi

kenyataan dan gagasan,

fakta, dan ide menjadi suatu

untaian yang logis sehingga

mudah memahami pesan

yang dihubungkannya.

• Aspek retorik suatu

wacana menunjuk pada

siasat dan cara yang

digunakan oleh pelaku

wacana untuk memberikan

penekanan pada unsur-

unsur yang ingin

ditonjolkan.

Emha

Ainun

Najib di

Caknun.co

m

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. Hasil

penelitian ini berupa uraian tentang struktur makro, struktur supra dan struktur

mikro yang membangun wacana esai tentang Khilafah karya Emha Ainun Najib

di Caknun.com. Hasil penelitian kemudian dibahas pada bagian pembahasan

berdasarkan teori analisis wacana yang digunakan.

A. Hasil Penelitian

Data penelitian tentang struktur makro diperoleh dengan cara

mendokumentasikan wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha Ainun

Najib di Caknun.com. Jumlah wacana yang diperoleh adalah 4 wacana

esai. Berdasarkan analisis data tersebut, diperoleh hasil penelitian

sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com

No Kode Wacana Tema

1 (KIKS) Seorang muslim tidak harus mendirikan atau masuk ke

Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam Khilafah Silmi.

2 (KN) Aplikasi Khilafah dalam NKRI

3 (TPTM) HTI Perlu Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah

4 (TSK) Khilafah adalah Desain Tuhan yang Tidak Perlu Ditakuti

Berdasarkan tabel di atas, walaupun secara umum tulisan yang menjadi

objek penelitian adalah bertema Khilafah, tetapi terdapat juga tema secara

rinci yang digunakan dalam wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com yaitu, (1) tema Seorang muslim tidak harus

49

mendirikan atau masuk ke Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam

Khilafah Silmi, (2) tema Aplikasi Khilafah dalam NKRI, (3) tema HTI Perlu

Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah, (4) tema Khilafah adalah

Desain Tuhan yang Tidak Perlu Ditakuti. Tema yang melatarbelakangi

wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com

dapat dianalisis dengan sub topik dan fakta-fakta yang membangun wacana.

Temuan penelitian ini menunjukkan secara makro wacana Esai Tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com menggunakan tema (1)

tema Konsep Khilafah Silmi, (2) tema Aplikasi Khilafah dalam NKRI, (3)

tema HTI Perlu Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah, (4) tema

Khilafah adalah Desain Tuhan. Makna global wacana tersebut terlihat dari

topik, subtopik, dan fakta yang dihadirkan penulis dalam wacananya. Hal ini

menunjukkan makna global wacana dituangkan oleh penulis esai berupa

topik, subtopik dan fakta yang menjelaskannya. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang telah dikemukakan oleh Eriyanto yang menyatakan topik

didukung oleh subtopik dan serangkaian fakta yang menunjuk dan

menggambarkan subtopik dalam sebuah wacana.95

Analisis global struktur makro dari keempat artikel menunjukkan

bahwa Emha Ainun Nadjib tidak perlu mendirikan sistem Khilafah seperti

yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Solusi yang ditawarkan

oleh penulis yaitu dengan memberikan pemahaman baru mengenai konsep

Khilafah versi penulis. Konsep Khilafah yang ditawarkan bahwasanya

Khilafah yang dimaksud bukan secara legal formal sistem pemerintahan,

tetapi esendi dari Khilafah itu sendiri yaitu memberikan keselamatan kepada

semua makhluk di bumi.

Data penelitian tentang struktur supra diperoleh dengan cara

mendokumentasikan wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib

di Caknun.com. Jumlah wacana yang diperoleh adalah 4 wacana esai.

95Eriyanto, h. 230

50

Berdasarkan analisis data tersebut, diperoleh hasil penelitian sebagaimana

diuraikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.2 Struktur supra wacana esai tentang Khilafah karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com

No Judul

Esai Kode

Aspek Struktur Supra

Pendahulua

n

Kalimat

Tesis

Tubuh Penutup

1 Khalifah

Islam dan

Khilafah

Silmi

KIKS Paragraf 1

s.d Paragraf

13

Paragraf

14

Paragr

af 15

s.d

Paragr

af 25

Paragraf

26 s.d

Paragraf

28

2 Khilafah

NKRI

KN Paragraf 1

s.d Paragraf

3

Paragraf

4

Paragr

af 5

s.d

Paragr

af 14

Paragraf

15 s.d

Paragraf

16

3 Tongkat

Perppu

dan

Tongkat

Musa

TPTM Paragraf 1

s.d Paragraf

4

Paragraf

5

Paragr

af 6

s.d

Paragr

af 12

Paragraf

13 s.d

Paragraf

16

4 The

Scary

Khilafah

TSK Paragraf 1

s.d Paragraf

5

Paragraf

6

Paragr

af 7

s.d

Paragr

af 10

Paragraf

11

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa secara struktur supra wacana

esai tentang Khilafah karya Emha Ainun Najib di Caknun.com dibangun

berdasarkan (1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh; dan (4) penutup.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, 4 esai tersebut telah sesuai dengan

struktur supra esai tersebut. Dalam hal ini terdapat 4 esai yang menjadi subjek

penelitian yang memiliki sruktur 1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh;

dan (4) penutup. Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa secara umum

wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com

memiliki skema yang tersruktur.

51

Analisis global strukur supra dari keempat artikel menunjukkan

bahwa Emha Ainun Nadjib dalam membuat esai sesuai dengan struktur yaitu

(1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh; dan (4) penutup. Penggunaan

pendahuluan sebagai latar belakang esai menjadi ciri khas penulis karena

dari keempat esai masing-masing memiliki pendahuluan yang cukup

panjang yaitu lebih dari 2 paragraf dan menggunakan paragraf narasi. Selain

itu, pada bagian penutup, penulis rata-rata membuatnya lebih dari 2 paragraf.

Hanya ada 1 yang singkat, yaitu 1 paragraf yaitu pada esai The Scary

Khilafah. Namun, secara global struktur supra yang digunakan memiliki

struktur yang sama.

Data penelitian tentang struktur mikro diperoleh dengan cara

mendokumentasikan wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun

Najib di Caknun.com. Jumlah Wacana yang diperoleh adalah 4 buah

wacana esai. Berdasarkan analisis data tersebut diketahui bahwa secara

mikro, wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di

Caknun.com. dibangun dengan aspek semantik, aspek sintaksis, dan aspek

retorika. Hasil penelitian sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.3 Struktur Mikro Aspek Semantik Wacana Esai tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com

No Judul Esai Kode

Aspek Semantik

Latar Rincian Nomin

alisasi

1 Khalifah Islam

dan Khilafah

Silmi

KIKS 5 11 2

2 Khilafah NKRI KN 1 3 3

3 Tongkat Perppu

dan Tongkat

Musa

TPTM 4 5 3

52

4 The Scary

Khilafah

TSK 4 3 2

Jumlah 14 22 10

Berdasarkan tabel di atas, aspek sematik yang membangun Wacana

Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah latar,

rincian, dan nominalisasi. Penggunaan latar pada wacana berjumlah 14,

rincian berjumlah 22, dan nominalisasi berjumlah 10.

Analisis global strukur mikro aspek semantik keempat esai tersebut

lebih dominan menggunakan aspek rincian. Hal itu dikarenakan penulis

mencoba memberikan informasi yang detail mengenai hal-hal yang menjadi

ide pokok esai tersebut. Selanjutnya, sesuai dengan analisis global struktur

supra di atas yang menyatakan bahwa pendahuluan yang ditulis setiap esai

cukup panjang, hal itu berkaitan dengan penggunaan aspek latar yang

digunakan penulis. Jumlahnya cukup banyak dan pasti ada di setiap esai.

Walaupun tidak sebanyak aspek rincian. Dalam penggunaan aspek

nominalisasi, penulis tidak terlalu dominan menggunakan itu. Walaupun

dalam hasil penelitian ada di setiap esai, tetapi tidak terlalu berpengaruh

dalam pembentukan struktur makro esai.

Tabel. 4.4 Struktur Mikro Aspek Sintaksis Wacana Esai tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com

No

Kode

Wacan

a

Aspek Sintaksis

K.

Akti

f

K.

Pasif

An

a

K

a

P.

Per

P.

De

m

P.

Ko

m

Ko

n

Pen

g

1 KIKS 53 11 55 7 41 5 6 57 9

2 KN 20 4 12 - 3 14 1 26 4

3 TPTM 19 5 28 1 20 16 1 55 8

4 TSK 9 3 8 2 7 7 - 29 8

Jumlah 101 23 103 10 71 42 8 167 29

53

Selanjutnya secara mikro untuk mendukung keutuhan wacana,

penulis menggunakan aspek sintaksis yang berupa; bentuk kalimat,

koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Bentuk kalimat yang

digunakan dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di

Caknun.com meliputi kalimat aktif dan kalimat pasif. Kalimat aktif yang

digunakan berjumlah 101 dan kalimat pasif yang digunakan berjumlah 23.

Kemudian penulis menggunakan piranti kohesi gramatikal dan kohesi

leksikal. Kohesi gramatikal yang penulis gunakan dalam wacana Esai

tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah pengacuan

(referensi) endofora (anafora dan katafora), dan konjungsi. Dalam hal ini

pengacuan anafora berjumlah 103. Pengacuan katafora berjumlah 10.

Pengancuan berikutnya yang digunakan adalah pengacuan persona dengan

jumlah 71, pengacuan demonstratif dengan jumlah 42, dan pengacuan

komparatif dengan jumlah 8. Lebih lanjut penulis menggunakan

konjungsi sebanyak 167 dan pengulangan berjumlah 29. Berdasarkan hasil

ini dapat dikatakan piranti kohesif gramatikal yang paling banyak

digunakan oleh penulis dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com adalah konjungsi.

Keterangan :

K. Aktif : Kalimat Aktif

K. Pasif : Kalimat Pasif

Ana : Pengacuan Anafora

Kat : Pengacuan Katafora

P. Per : Pengacuan Persona

P. Dem : Pengacuan Demonstratif

P. Kom : Pengacuan Komparatif

Kon : Konjungsi

Peng : Pengulangan

54

Aspek sintaksis yang digunakan adalah bentuk kalimat, kohesi,

koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Penggunaan aspek semantik

dan sintaksis ini menunjukkan ide yang dikemukakan penulis melalui frase

dan atau kalimat yang tersusun dengan baik. Bentuk kalimat yang ditemukan

dalam penelitian ini adalah kalimat aktif dan kalimat pasif. Berdasarkan hasil

penelitian jumlah kalimat aktif yang digunakan lebih banyak dibandingkan

dengan kalimat pasif. Hal ini menunjukkan bahwa penulis lebih menonjolkan

subjek yang digunakan dalam wacananya.

Selanjutnya piranti kohesif gramatikal yang digunakan adalah referensi

dan konjungsi. Jenis referensi yang digunakan penulis dalam wacana Esai

tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah referensi

endofora (anafora dan katafora) dan referensi eksofora. Selain menggunakan

pola referensi, penulis juga menggunakan konjungsi. Dalam hal ini, penulis

menggunakan konjungsi untuk menghubungkan unsur yang satu dan unsur

yang lain dalam wacananya. Unsur yang dihubungkan (dirangkaikan), yaitu

berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, dan kalimat. Adapun makna

konjungsi yang ditemukan dalam wacana wacana Esai tentang Khilafah

Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah konjungsi koordinatif,

subordinatif, korelatif, dan antar kalimat. Tujuan penggunaan konjungsi oleh

penulis dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di

Caknun.com adalah untuk menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan

frasa, klausa dengan klausa, atau paragraf dengan paragraf. Selain pengacuan

di atas, pengacuan lain yang digunakan adalah pengacuan demonstratif,

pengacuan komparatif, dan pengacuan persona. Pemakaian pengacuan ini

dapat menunjukan kepaduan wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com. Penulis esai juga menggunakan peranti kohesif

leksikal, yaitu repetisi (pengulangan). Penggunaan piranti kohesif gramatikal

dan leksikal tersebut sangat mendukung kepaduan wacana yang dibuat oleh

penulis esai. Dari paparan di atas menunjukkan secara gramatikal dan

leksikal, penulis esai sudah mampu menunjukkan kepaduan wacananya.

55

Temuan ini menunjukkan bahwa pada penulis esai sudah bisa

mengorganisasikan kalimat-kalimat yang ada pada wacananya sehingga

menciptakan kepaduan wacana.

Sementara itu, untuk menunjang kekoherensian tulisannya, penulis

menggunakan penanda (1) hubungan sebab akibat, (2) hubungan latar

kesimpulan, (3) hubungan parafrastis, (4) hubungan aditif, (5) hubungan

ibarat, dan (6) hubungan argumentatif. Dalam hal ini, penanda koherensi

yang paling banyak ditemukan adalah koherensi ibarat. Hal ini menunjukkan

penulis lebih cenderung menggunakan ibarat atau perumpamaan ketika

menyampaikan gagasannya.

Tabel 4.5 Struktur Mikro Aspek Sintaksis dan Retorika Wacana Esai

tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com

Lebih lanjut, berdasarkan tabel di atas penulis juga menggunakan

penanda koherensi (1) sebab-akibat, (2) latar-simpulan, (3) parafratis, (4)

adiktif, (5) ibarat, dan (6) argumentatif. Penanda koherensi sebab-akibat

yang digunakan oleh penulis berjumlah 2, penanda latar-simpulan

berjumlah 2, penanda parafratis berjumlah 4, penanda adiktif berjumlah 3,

penanda ibarat berjumlah 11, dan penanda argumentatif berjumlah 4.

Berdasarkan hasil ini, penanda koherensi yang paling banyak digunakan oleh

penulis dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di

Caknun.com adalah penanda koherensi ibarat. Hal itu dikarenakan penulis

lebih sering menggunakan perumpamaan atau contoh-contoh yang dekat

No Kode

Wacana

Aspek Sintaksis (Koherensi) Retoris

Sebab-

Akibat

Latar-

Simpulan Parafratis Adiktif Ibarat Argumentatif Grafis Metafora

1 KIKS 1 1 - 1 4 1 13 9

2 KN - 1 2 2 - 1 25 16

3 TPTM 1 - 2 - 4 1 20 15

4 TSK - - - - 3 1 7 8

Jumlah 2 2 4 3 11 4 65 48

56

dengan pembaca dan sederhana sehingga dapat dengan mudah diterima oleh

pembaca.

Aspek terakhir yang digunakan penulis secara mikro adalah

aspek retorika. Aspek retorika yang ditemukan dalam wacana Esai tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah grafis dan

metafora. Ditinjau dari segi grafis, penulis menggunakan 65 cara dan

metafora berjumlah 48. Penggunaan grafis yang sangat dominan

menunjukkan pada siasat dan cara yang digunakan oleh penulis esai untuk

memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ditonjolkan. Hal itu

ditunjukkan dengan memberikan cetak tebal untuk satuan lingual yang

menurut penulis penting. Sedangkan penggunaan metafora dimasudkan

sebagai ungkapan untuk menyatakan hal pokok dari wacana. Penggunaan

metafora ini juga dapat dikatakan dominan karena di setiap esai selalu ada

penggunaan metafora dan ini menjadi ciri khas penulis. Sehingga argumen-

argumen yang disampaikan dalam esai terkesan bermuatan sastra.

Analisis global struktur mikro dari keempat esai tersebut, aspek yang

menjadi ciri khas penulis dan paling dominan adalah penggunaan retorika

yang terdiri dari aspek grafis dan metafora.

B. Pembahasan

1. Analisis Struktur Makro, Supra, dan Mikro dalam Wacana KIKS

Khalifah Islam dan Khilafah Silmi

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara, itu tidak

berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi “persona non

grata.” Kalau dikaitkan dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada

rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap

orang atau kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang

meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang menanggung

resikonya. Ada juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang

hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru mereka sedang

menjalani ujian kenaikan derajat.

57

(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga penduduknya

berjuang mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para Prajurit

Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk

semakin nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi

hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah payung untuk

berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.

Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan

atau ambil yang baru di Toko Ilmu.

(3)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah menghimpun ilmu

dan menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke kampung halaman aslinya,

yakni Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,

meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua rentang

waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal anharu kholidina fiha

abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.

(4)Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu manusia untuk

menata pagar di antara penduduk Bumi. Karena di kehidupan Dunia yang

ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan

kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu kebebasan

orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan training sejenak di Bumi

agar manusia belajar berbagi kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak

sebagai penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya

kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah selama

di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,

pembunuhan dan pemusnahan.

(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas

semua hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan kemungkinan baik

atau buruk bagi sandang, pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak

berkuasa atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak

menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya, sehingga rela

menjadi buih yang diseret dan diombang-ambingkan ke manapun Negara

dan Pemerintahnya mau.

Keniscayaan Khilafah

(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah,

karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali

menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta

dan saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya

“patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan,

tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung, hutan, angin,

dedaunan dan embun, juga detak jantung manusia, aliran darahnya,

kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh

kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas

sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips

yang bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu. (FAKTA)

58

(7)Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan, hewan adalah

makhluk kepastian, meskipun sebagian di antara mereka ada yang

menjadi wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.

Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan

berbagi dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas tertentu,

dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit. Manusia bisa melanggar

batas yang sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan

Development bisa merusak bumi, dengan memberangus sesama manusia

yang menentangnya.

(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa

“membolos” dari kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka memulai

Semester berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia tidak

bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang dan

waktu yang selain milik Tuhan. Manusia tidak bisa mengelak dari

tanggung jawabnya sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada)

yang wajib dijalaninya.

(9)Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di empat lapisan

langit Surga, yang semua teduh berwarna dominan hijau tua. Manusia

“ngunduh wohing pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya.

Bumi adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari Akhirat.

Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung besar

Akhirat, yang juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

(10)Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-sungguh berlatih

menjadi penduduk Surga. Serta menjunjung kemuliaan untuk mencita-

citakan agar seluruh bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni

Surga. Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau Syaikh

Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan Indonesia 1980-an

oleh Syaikh Abdurahman Al-Baghdady.

(11)Mereka orang-orang baik sebagai manusia, sangat menyayangi

penduduk Bumi dan mencita-citakan semua manusia lintas-Negara agar

kelak bercengkerama dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai

kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar, semacam grand design

untuk seluruh wilayah di Bumi. Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh

atau komunitas inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas

membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di seantero Bumi –

maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan

berangkat dari Nol.

(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen,

plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan, berbagai-

bagai jalan ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis

darah, marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI

hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan

sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi

59

total atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga

pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit. (FAKTA)

(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari kegelapan menuju

cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan pengambil-alihan

kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-

kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah Unggul.

(14)Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas

perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi

secara utuh dan tunai. Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata

Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi sukar

dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa

mengandung perbedaan antara kedua kata itu. (TEMA/TOPIK)

(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan “Udkhulu fil-Islami

Kaffah”: membangun sistem Islam besar nasional dan global. Sangat

meyakini kebenaran Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara

saya seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari Allah.

Kelak kita mempertanggungjawabkan kehidupan di hadapan Allah secara

individual, tanpa bisa ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:

sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan kita,

kemudian hak prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk menawar nasib

kita dalam konteks dialektika cinta.

(16)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di perempatan

jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya bayangkan

akan ditagih oleh Allah hal-hal mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau

Malaikat menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial, sistem

pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar industrialisme dan

sistem perbankan Dunia. Juga untuk menjadi Muslim yang tidak masuk

Neraka apakah ia harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus

berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut Tahrir.

(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la

yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia

melebihi kadar kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan

ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-

Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat sesama

manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia. (FAKTA)

(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang mungkin hanya hafal

Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam

terhadap tata nilai Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,

kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak pandai dan

‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak canggih shalat dan bacaan

Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit

siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa. (SUB TOPIK)

Kalimat Tesis

60

(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang tukang jahit di

pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah

Negara Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa

menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah,

mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar. Karena setiap huruf

yang saya ketik bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan

Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga

gagah perkasa memprogram pengkhilafahan Indonesia. (SUB TOPIK)

Syariat Allah di Alam dan Manusia

(20)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak dengan berbagai

hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang mendasar sejak persiapan

kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba

Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang

berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-

alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan makanan minuman

yang sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur, tetapi

kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian

mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan manfaat-nya.

(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka wilayah kehidupan

saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak mau meladeni kekerdilan cara

berpikir tanpa kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan

antara Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan

Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan

Islamis. Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-

Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan antara

Bumi dengan Langit dan antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak

famili dari terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi. (SUB TOPIK)

(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau prinsip Khilafah

identik-formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua

manusia adalah Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya

tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan Khalifah.

(FAKTA)

(23)Pada hakikinya semua makhluk adalah representasi atau

manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga tak ada

kehampaan atau kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.

Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya:

metabolisme semesta, organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan

galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah, gunung

menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam semesta menari-nari,

menyusun koreografi yang luar biasa, beredar pada porosnya, berputar satu

sama lain.

(24)Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan hukum dan

penataan aturan yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu persesuaian

dan kepatuhan kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan

birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan

61

manusia dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada

Syariat Allah.

(25)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah

seperti pohon, mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan

secara alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya,

namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa itu adalah

ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia menginisiali Syariat Allah

itu dengan nama Syariat Islam, sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma,

Bebekti, dan banyak lagi.

(26)Semua makhluk adalah utusan Tuhan, “Rasul”-Nya. Dituliskan

oleh para Malaikat atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh.

Sejak awal mula penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat

mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur Muhammad”,

dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah

merebakkannya menjadi alam semesta dan umat manusia. Maka para

Malaikat semua, kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,

meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan

Muhammad adalah utusan Allah”.

(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur Muhammad, yang

kumparan dan gelombangnya mentransformasi menjadi jagat raya — dan

itulah yang disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.

Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah, Muhammad-manusia

dengan kontrak 63 tahun di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah yang

membawa berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari

Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat sejatinya, Nabi

adalah pangkatnya, Rasul adalah jabatannya di Bumi.

(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara nasional di

Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan Maulid Nabi

diselenggarakan pada bulan Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra`

yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia.

Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja karena tatkala “Kun”

dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan

tahun yang dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai

Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut

kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa

siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa

Negara Khilafah. (FAKTA)

(KIKS)

a. Struktur Makro

Tema umum dari wacana KIKS adalah seorang muslim tidak harus

mendirikan atau masuk ke Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam

Khilafah Silmi. Hal ini terlihat pada paragraf 14. Pada paragraf ini

62

penulis menyatakan tema/topik tentang penggunaan kata Silmi, bukan

Islam dalam ayat “Udkhulu fis-silmi kaffah” yang bermakna ‘masuklah ke

dalam Silmi secara utuh dan tunai’. Bukan “Udkhulu fil-Islami kaffah”

yang berarti ‘membangun sistem Islam besar nasional dan global’.

Tema tersebut menjadi tema yang bersifat umum karena didiukung

oleh subtema atau subtopik. Subtema yang mendukung tema umum

menyatakan tentang bagaimana konsep Khilafah Silmi. Selanjutnya untuk

mendukung tema/topik tersebut penulis menguatkan dengan beberapa

subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat pada paragraf 18, 19, dan 21.

Pada paragraf 18, penulis membahas mengenai konsep Silmi, yang dalam

paragraf tersebut digambarkan seseorang yang hanya hafal Al-Fatihah dan

beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai

Islam, tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun,

menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa dan tidak

merusak apa-apa.

Selanjutnya paragraf 19 menjelaskan mengenai Konsep Silmi

membukakan jalan agar seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima

oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah.

Kemudian paragraf 21 menjelaskan mengenai adanya ketidaktepatan

mengenai polarisasi antara pancasila dengan Islam, Bhineka Tunggal Ika

dengan Kekhalifahan. Subtopik-subtopik tersebut dapat dikatakan

mendukung tema/topik wacana yaitu perlunya Khilafah Silmi, bukan

Khilafah Islam di Indonesia.

Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada

makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada

paragraf 6, 12, 17, 22, dan 28. Pada paragraf 6 dibahas mengenai

Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Manusia, menjadi Khalifah tugasnya

patuh dengan kesadaran akal. Fakta selanjutnya yang digunakan pada

paragraf 12 yaitu tentang keadaan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

Lalu pada kalimat terakhirnya juga mengungkapkan fakta sejarah bahwa

63

bangsa Indonesia pernah mengalami proses pengambilalihan kekuasaan,

revolusi, bahkan percobaan kudeta.

Kemudian pada paragraf 17 kalimat 1 menunjukkan fakta bahwa

setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan

illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia melebihi kadar

kemampuannya). Fakta ini mendukung tema/topik umum wacana. Bahwa

berdasarkan fakta ini seorang muslim tidak wajib mendirikan sistem

Khilafah seperti golongan Hizbut Tahrir Indonesia.

Selanjutnya, pada paragraf 22 kalimat 1 juga diungkapkan fakta

bahwa keadaan yang muncul di masyarakat prinsip Khilafah identik-

formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua

manusia adalah Khalifah.

Paragraf 28 menunjukkan bahwa setiap orang (dalam tulisan

diilustrasikan dengan seorang tukang andong) bisa mencintai Tuhan,

merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut

kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa

siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa

Negara Khilafah. Fakta tersebut mendukung bahwa Negara Khilafah

(Islam) tidak harus ada, tetapi yang perlu ada yaitu Khilafah Silmi.

Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan fakta yang disampaikan penulis

dalam wacana dapat dikatakan secara mikro makna wacana di atas

adalah Khilafah Silmi (Keselamatan).

b. Struktur Supra

Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Tajuk dan

ditulis pada bulan Mei 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,

terdapat 13 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 13 paragraf

tersebut adalah paragraf 1 sampai dengan paragraf 13. Selain itu, dalam

pendahuluan tersebut juga terdapat 3 sub judul yang terletak pada

64

paragraf 1 dengan sub judul Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan,

paragraf 6 dengan sub judul Keniscayaan Khilafah, dan paragraf 10

dengan sub judul Kudeta Surga dan Khilafah Silmi.

Wacana di atas memulai pendahuluan dengan menyatakan latar.

Dalam hal ini penulis esai menyatakan bahwa wacana pembubaran HTI

(Hizbut Tahrir Indonesia) yang muncul di masyarakat tidak berarti orang-

orang yang aktif di dalam organisasi tersebut nantinya stateless, yang

berarti “tanpa kewarganegaraan”. Selain stateless, penulis juga

mengungkapkan bahwa aktivis HTI nantinya tidak persona non grata.

Istilah tersebut diambil dari bahasa Italia yang berarti “orang tidak

bersyukur”. Penulis berpendapat bahwa setiap orang berhak atau

kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya, termasuk HTI yang

sedang berjuang dengan keyakinannya memperjuangkan Khilafah Islam.

Kemudian pada paragraf 2, merupakan penjabaran mengenai sub

judul Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan. Penulis menjelaskan

mengenai dunia sebagai sistem batasan sehingga penduduknya mencari

kemerdekaan. Dalam hal ini, penulis tidak menjelaskan bagaimana

maksud dunia adalah sistem batasan. Penulis esai hanya menjelaskan

bahwa karena dunia adalah sistem batasan, maka penduduknya mencari

ruang pembebasan untuk kemerdekaan. Penulis mengaitkan pembebasan

itu dengan arti kata Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab

ditulis حزب التحرير . Hizb (حزب) artinya tentara, sementara tahrir (التحرير)

artinya pembebasan.

Pada paragraf 3, penulis menjelaskan bahwa tempat kemerdekaan

yang dimaksud adalah Surga. Selanjutnya pada paragraf 4, penulis

masih melanjutkan mengenai dunia batasan dengan memberikan definisi

negara yang diartikan sebagai hasil karya kecerdasan ilmu manusia

untuk menata pagar di antara penduduk bumi. Menurutnya

kemerdekaan seseorang dalam negara tidak seutuhnya, karena masih

berbagi kemerdekaan dengan yang lain. Berbeda dengan surga, karena

65

menurutnya di Surga, kemerdekaan tidak saling membatasi satu sama

lain.

Pada paragraf 5, penulis menekankan lagi paragraf sebelumnya

bahwa negara tidak berkuasa atas semua hal pada manusia, termasuk

tidak berkuasa atas hati dan pikiran warganya. Pada sub judul

selanjutnya yaitu Keniscayaan Khilafah yang terdapat pada paragraf 6,

penulis mulai memasuki pembahasan mengenai topik. Penulis

memulainya dengan pernyataan umum mengenai khilafah adalah sebuah

keniscayaan, yang tidak perlu disetujui atau tidak disetujui. Keniscayaan

berasal dari kata niscaya, yang bermakna tentu; pasti; tidak boleh tidak.

Selanjutnya pada paragraf 7, penulis menjelaskan mengenai

makhluk kepastian yang terdiri dari malaikat, iblis, setan, benda,

tumbuhan dan hewan, dan makhluk kemungkinan yang terdiri dari

manusia dan jin. Pada paragraf 8 dan 9, penulis mengingatkan tentang

manusia yang menjadi makhluk kemungkinan, walaupun bisa melakukan

kemungkinan yang baik maupun buruk, tetapi ada kehidupan abadi yang

nantinya akan menjadi tanggung jawab perbuatannya di dunia.

Pada sub judul selanjutnya yaitu Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

yang diawali pada paragraf 10, penulis bercerita mengenai sejarah HTI.

Paragraf 11, penulis bercerita mengenai tujuan HTI yaitu menyusun tata

nilai kebudayaan Islam sebagai sistem besar untuk seluruh wilayah Bumi.

Pada paragraf 12, penulis mulai membuat pertentangan dengan

paragraf sebelumnya untuk mengantarkan kepada kalimat tesis. Paragraf

tersebut menceritakan tentang Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Paragraf selanjutnya, paragraf 13, penulis menceritakan tentang

kekhawatiran adanya konflik ketika adanya pergantian sistem

pemerintahan.

Hal ini menunjukkan bahwa bagian pendahuluan pada paragraf 1-

11, penulis esai mencoba memberikan pemahaman mengenai HTI yang

dinilai ke arah positif, sedangkan bagian akhir pendahuluan yang terdapat

66

pada paragraf 12 dan 13 memberikan realitas sejarah yang ada di

Indonesia, yang menjadi pengantar memasuki kalimat tesis.

Selanjutnya pada paragraf 14, penulis esai mencantumkan kalimat

tesis berupa Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas

perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi

secara utuh dan tunai. Kata Silmi diartikan sebagai kedamaian. Kalimat

tesis ini berisi gagasan yang mengendalikan arah dan batas dari esai

yang akan dibahas pada tubuh esai, dalam hal ini kalimat ini membatasi

tentang Khilafah Silmi, bukan Khilafah Islam. Kemudian kalimat tesis di

atas dijelaskan dalam tubuh esai pada paragraf 15 s.d paragraf 25.

Pada paragraf 15 dijelaskan tentang pemaknaan Udkhulu fil-Islami

Kaffah oleh Hizbut Tahrir yang berarti membangun sistem Islam besar

nasional dan global. Paragraf ini berbeda dengan paragraf sebelumnya

yang menjadi kalimat tesis.

Selanjutnya pada paragraf 16, penulis memberikan contoh

keadaan muslim di Indonesia yang terdiri dari beragam profesi,

dihadapkan dengan situasi Khilafah Islam. Paragraf 17, penulis

selanjutnya menguatkan paragraf sebelumnya dengan

mengungkapkan dalil la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak

membebani manusia melebihi kadar kemampuannya). Paragraf 18,

penulis menegaskan kembali realita keadaan muslim di Indonesia yang

beragam itu dengan mengaitkannya dengan konsep Khilafah Silmi yang

menjadi kalimat tesis.

Paragraf 19 pun sama. Penulis mencoba menegaskan kembali

konsep Khilafah Silmi itu sesuai dengan keadaan muslim di Indonesia

yang beragam dengan memberikan contoh yang sejenis dengan

paragraf sebelumnya, yaitu profesi orang Islam seperti tukang jahit,

penjual jamu dan sebagainya.

Pada paragraf tubuh esai tersebut juga ditemukan sub judul,

tepatnya pada paragraf 20 dengan sub judul Syariat Allah di Alam dan

Manusia. Paragraf ini, penulis menggunakan kalimat metafora dengan

67

mengibaratkan berbagai hal tentang NKRI bukan sebagai bahan-bahan

mentah makanan serta alat-alat dapur, melainkan makanan minuman

yang sudah tersedia di warung. Perumpamaan ini hampir sama dengan

pendahuluan pada paragraf 12 dan 13.

Paragraf 21, penulis menjelaskan mengenai polarisasi yang terjadi

antara Pancasila dan Islam beserta polarisasi sejenisnya yang dianggap

sebagai kekerdilan cara berpikir. Selanjutnya pada paragraf 22, penulis

menekankan kembali gagasan bahwa semua manusia adalah khalifah, jadi

bumi yang sekarang kita tempati, termasuk Indonesia ya Khilafah, karena

Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Hal itu seperti yang terdapat pada

paragraf 6 dengan sub judul Keniscayaan Khilafah.

Selanjutnya paragraf 23, 24, dan 25 menjelaskan tentang

penegasan kembali tentang kesesuaian keadaan yang ada di suatu

negara dengan Syariat Allah. Dengan kata lain, ketiga paragraf itu

menjelaskan kembali tentang Khilafah Silmi, bahwa pada dasarnya

ketika semua undang-undang, pelaksanaan birokrasi dan tatanan

kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan manusia dan

berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada Syariat

Allah.

Selanjutnya, mengakhiri esai tersebut, penulis membuat sebuah

penutup yang terdiri dari 3 paragraf yaitu paragraf 26, 27, dan 28. Ketiga

paragraf tersebut menekankan kembali kalimat tesis tentang Khilafah

Silmi. Dimulai dari paragraf 26 yang menjelaskan munculnya Nur

Muhammad. Selanjutnya paragraf 27, penulis menjelaskan mengenai 3

jenis Muhammad yaitu Nur Muhammad, Muhammad bin Abdullah, dan

Muhammad Nabiyullah. Paragraf 28, penulis menguraikan penjelasan

mengenai ketiga jenis Muhammad tersebut. Dalam kalimat terakhir dari

paragraf tersebut, penulis menegaskan ulang bahwa apapun profesi

seorang muslim, seperti halnya seorang tukang andong bisa mencintai

Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah

lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak

68

memaksa siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau

tanpa Negara Khilafah.

c. Struktur Mikro

1) Aspek Semantik

a) Latar

Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana KIKS

adalah tentang ketidaksetujuan pembuat wacana terhadap

pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah melalui Perppu

Ormas.

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara,

itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya

menjadi “persona non grata.” Kalau dikaitkan dengan makar,

sebaiknya jangan makar kepada rujukan konsep makar dari

Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap orang atau

kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang

meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang

menanggung resikonya. Ada juga yang melihat keluasan

hidup di mana kalah menang hanyalah sebuah strata. Dalam

konteks ini mungkin justru mereka sedang menjalani ujian

kenaikan derajat. (Paragraf 1)

Pada paragraf di atas, penulis esai menyampaikan bahwa

andaikan wacana HTI dibubarkan oleh pemerintah terjadi, para

aktivisnya masih tetap menjadi warga negara Indonesia. Indonesia,

sebagai negara yang menganut asas demokrasi dalam menjalankan

pemerintahan serta menjunjung tinggi kebebasan berpendapat

setelah era reformasi, menurut penulis setiap orang atau kelompok

berhak memperjuangkan keyakinannya. Namun, keyakinan yang

diperjuangkan oleh organisasi tersebut menjadi pro dan kotra di

masyarakat. Salah satu yang gencar menjadi opini publik adalah

HTI sebagai organisasi mengusung ideologi Khilafah yang

menurut banyak kalangan bertentangan dengan Pancasila sebagai

dasar negara.

69

Kemudian pada data (2), penulis esai menyampaikan bahwa

HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga diperbaiki dengan

pengetahuan dan ilmu. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.

(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga

penduduknya berjuang mencari celah-celah ruang

kemerdekaan. Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-Tahrir,

justru mendapat limpahan rezeki untuk semakin nikmat

bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi

hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang,

hanyalah payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung, dan

kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan atau

ambil yang baru di Toko Ilmu. (Paragraf 2)

Dalam paragraf tersebut penulis esai mengingatkan tentang

negara dengan pemerintahannya tidak berkuasa atas semua hal

pada manusia, termasuk dalam pembubaran HTI. Penulis

berpendapat melalui analogi yang digunakan, bahwa seharusnya

pemerintah melihat HTI sebagai organisasi, yang menurut penulis,

hanyalah media. Jika analogi yang digunakan adalah pisau dapur,

payung, dan kendaraan, yang ketika rusak dibengkelkan, berarti

organisasi yang berisi sekelompok manusia dengan segala jenis

pikirannya, perlu diperbaiki cara pandangnya agar HTI sebagai

organisasi bisa lebih baik. Dalam hal ini, poin yang didapat adalah

bahwa penulis sepakat bahwa organisasi HTI keliru, atau

setidaknya mempunyai kemungkinan untuk keliru.

Selanjutnya, dalam data (4), hal yang melatari penulis esai

yaitu tentang Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak perlu

disetujui atau tidak.

(4)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’

Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya

kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di

Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya. Menjadi

Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya “patuh

dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada

Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung,

70

hutan, angin, dedaunan dan embun, juga detak jantung

manusia, aliran darahnya, kesegaran dan keausan jasadnya,

jadwal lahir dan matinya, semua patuh kepada kehendak

Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas

sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya

semacam supra-chips yang bernama akal, serta cakrawala

yang bernama kalbu. (Paragraf 6)

Dalam paragraf tersebut penulis esai mempunyai

pandangan bahwa Khilafah adalah keniscayaan. Dalam KBBI V,

niscaya diartikan sebagai tentu; pasti; tidak boleh tidak. Jadi,

khilafah sudah pasti, tidak boleh tidak. Namun, dalam kalimat

selanjutnya penulis menggambarkan khilafah bukan sebagai

sistem kenegaraan. Hal itu terbukti dengan korelasi ‘kepastian’

yang dimaksud adalah bahwa setiap manusia yang diciptakan

oleh Allah menjadi Khalifah. Berarti, tempat untuk dihuninya

adalah Khilafah.

Selanjutnya dalam data (5), penulis menampilkan latar

bersifat fakta bahwa Indonesia yang mempunyai keragaman suku

bangsa dengan Bhinneka Tunggal Ika.

(5)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika,

heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai

faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju

Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,

golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI

hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan

jalan sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan

kekuasaan, revolusi total atau kudeta: membubarkan

Parlemen dan Pemerintahan, mengganti Presiden dengan

Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga pola

pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.

(Paragraf 12)

Dalam paragraf tersebut penulis esai mulai mencoba

mengorelasikan antara konsep Khilafah dengan sistem

kenegaraan dengan berbagai kemungkinannya. Terdapat

ketidakpaduan antara data (5) dengan data (4). Jika pada data (4)

penulis mengatakan bahwa Khilafah adalah kepastian yang tidak

71

boleh tidak, tetapi dalam data (5) penulis seakan-akan mengakui

bahwa Indonesia memang bukan Khilafah. Jika akan diganti

dengan Khilafah, kemungkinannya adalah pengambil alihan

kekuasaan, revolusi total, dan kudeta. Menurut peneliti, ini

dikarenakan adanya perbedaan konsep bahwa pada data (4),

penulis memahami Khilafah bukan sebagai sistem

ketatanegaraan, sedangkan pada data (5) penulis memahaminya

sebagai sistem ketatanegaraan.

Kemudian dalam data (6), mengingatkan bahwa jika HTI

akan menerapkan cita-citanya di Indonesia yang sudah beragam

itu, makan akan mengulang kembali sejarah pengambil-alihan

kekuasaan yang menimbulkan konflik besar, seperti yang pernah

terjadi pada sebelumnya.

(6)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari

kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-

adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak mampu

mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya dari

konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak

Sekolah Unggul. (Paragraf 13)

Dalam paragraf tersebut penulis esai masih berprasangka

baik, bahwa jika HTI tujuannya adalah baik, dalam hal ini

digambarkan oleh penulis dengan membawa NKRI dari

kegelapan menuju cahaya, tetap proses pengambil alihan

kekuasaannya adalah hal buruk. Di sini terlihat bahwa penulis

mulai konsisten dengan pemahaman Khilafah sebagai sistem

ketatanegaraan. Ini menunjukkan kepaduan dengan data

sebelumnya.

Dalam keenam paragraf di atas penulis esai menekankan

bahwa Khilafah yang dicita-citakan HTI akan menimbulkan

72

konflik jika akan diterapkan di Indonesia yang mempunyai

keanekaragaman dalam segala hal. Oleh karena itu, paragraf-

paragraf di atas menjadi latar memasuki tesis dari esai itu sendiri,

yaitu perlunya Khilafah Silmi, yang mengutamakan keselamatan

dan kedamaian. Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui

maksud yang ingin disampaikan oleh penulis esai.

b) Rincian

Rincian merupakan elemen wacana yang menunjukkan

rincian dalam wacana. Penanda rincian dalam wacana adalah kata

yakni, adalah, yaitu, sebagai berikut, dan seperti. Berikut ini

disajikan beberapa kutipan yang menyatakan rincian. Berikut

merupakan contoh penggunaan rincian dalam wacana KIKS.

(7)Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk

mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung dari

hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.

(Paragraf 2 kalimat 3)

Data (7) di atas merupakan kalimat yang menggunakan

rincian. Penanda rincian yang digunakan adalah titik dua (:). Hal

yang dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang

analogi organisasi dengan sebuah alat yang digunakan oleh

penulis. Penggunaan rincian tersebut bertujuan mendukung

gagasan terkait HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga

diperbaki dengan pengetahuan dan ilmu.

(8)Semacam “puasa”, agar kelak sebagai penduduk

Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan

yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah

selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan,

persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan menganiaya

dirinya sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan

pemusnahan. (Paragraf 4 kalimat 4)

73

Berdasarkan kutipan data (8), penanda yang digunakan

adalah kata-kata yang diulang dalam makna yang berbeda. Yang

dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah kata menyiksa

yang selanjutnya dijelaskan bahwa kata tersebut terdiri dari

perebutan, persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan

menganiaya diri sendiri. Rincian tersebut digunakan untuk

memberikan penekanan dan penjelasan yang detail pada kata

menyiksa tersebut. Penggunaan rincian tersebut bertujuan

mendukung gagasan tentang kemerdekaan seseorang dalam

negara tidak seutuhnya, karena masih berbagi kemerdekaan

dengan yang lain. Berbeda dengan surga, karena menurutnya di

Surga, kemerdekaan tidak saling membatasi satu sama lain.

(9)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika,

heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai

faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju

Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,

golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. (Paragraf 12

kalimat 1)

Berdasarkan kutipan data (9), penanda rincian yang

digunakan adalah mengulang kata-kata yang memiliki makna

yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang

dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang

Bhinneka Tunggal Ika. Penulis merinci kata tersebut dengan

rincian seperti heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-

bagai faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju

Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,

golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kata-kata tersebut

digunakan oleh penulis untuk merinci kata Bhinneka Tunggal Ika

agar lebih jelas dan maksudnya tersampaikan.

(10)Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya

tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus

melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau

74

kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan,

mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,

dari BI hingga Bank Plecit. (Paragraf 12 kalimat 2)

Selain itu, rincian juga terlihat dalam kutipan data (10).

Penanda rincian yang digunakan adalah mengulang kata-kata

yang memiliki makna yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang

berbeda. Hal yang dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah

tentang pengambil-alihan kekuasaan. Konteks dalam kalimat

tersebut yaitu Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, jalannya

hanya pengambil-alihan kekuasaan. Frasa tersebut dirinci lebih

jelas seperti revolusi total atau kudeta: membubarkan Parlemen

dan Pemerintahan, mengganti Presiden dengan Khalifah,

meredesain sistem pemerintahannya hingga pola pasarnya,

kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit. Ini menunjukkan

bahwa penulisingin menyampaikan pesan secara lebih rinci dalam

frasa pengambil-alihan kekuasaan.

(11)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan

Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina

martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari

jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)

Berdasarkan kutipan data (11), penanda yang digunakan

adalah titik dua (:). Hal yang dirinci dalam kutipan wacana di

atas adalah tentang beberapa hal yang ditanyakan ketika nanti

berhadapan dengan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa penulis ingin

menyampaikan pesan secara lebih rinci sekaligus menekankan

bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai

sistem kenegaraan dengan segala kerumitannya, karena dengan

berbagai macam manusia yang ada, salah satunya seperti yang

dicontohkan oleh penulis yaitu kuli pasar, hanya akan dimintai

75

pertanggungjawaban dalam konteks ia sebagai manusia yang

sederhana, seperti dituliskan dalam kutipan tersebut.

c) Nominalisasi

Nominalisasi merupakan elemen wacana yang merupakan

salah satu bagian eksklusi dan menjadi strategi untuk

mengihilangkan kelompok aktor sosial tertentu. Strategi ini

berkaitan dengan pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata

benda (nomina). Umumnya nominalisasi dilakukan dengan

memberikan imbuhan pe-an. Berikut ini disajikan beberapa

kutipan yang menyatakan nominalisasi. Berikut merupakan contoh

penggunaan nominalisasi dalam wacana KIKS.

(12)Karena setiap huruf yang saya ketik bersifat

relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut

Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak,

sehingga gagah perkasa memprogram pengkhilafahan

Indonesia. (Paragraf 19 kalimat 4)

Kutipan data (12) tersebut merupakan nominalisasi yaitu

pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina) yang

digunakan adalah kata pengkhilafahan. Penggunaan nominalisasi

tersebut bertujuan untuk mendukung penulis dalam menegaskan

kembali konsep Khilafah Silmi itu sesuai dengan keadaan

muslim di Indonesia yang beragam dengan memberikan contoh

yang sejenis dengan paragraf sebelumnya, yaitu profesi orang

Islam seperti tukang jahit, penjual jamu dan sebagainya.

2) Aspek Sintaksis

a) Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat berhubungan dengan berpikir logis,

yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini digunakan sebagai

strategi untuk mengarahkan pandangan pembaca melalui makna

yang terbentuk melalui sebuah satuan kalimat. Dalam

76

penelitian ini, bentuk kalimat yang menjadi fokus penelitian

adalah bentuk kalimat aktif dan bentuk kalimat pasif. Berikut ini

beberapa kutipan kalimat aktif dan kalimat pasif yang

digunakan dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha

Ainun Najib di Caknun.com.

Bentuk kalimat pada wacana KIKS banyak menggunakan

kalimat aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang

menjadi objek dari tanggapannya. Dalam wacana KIKS kalimat

banyak menempatkan subjek sebagai hal yang ingin ditonjolkan.

Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim menjadi subjek

dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan. Berikut merupakan

kutipan beberapa bentuk kalimat dalam wacana KIKS.

Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang

digunakan oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek

sebagai hal yang ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa

seorang muslim menjadi subjek dalam Khilafah Silmi yang

diwacanakan. Terlihat dari data (13), penulis esai menyampaikan

tentang konsep silmi yang menjadi tesis dari wacana tersebut.

(13)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang

tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa

menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah. (Paragraf

19 kalimat 1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

aktif dengan frasa ‘konsep silmi’ menjadi subjek. Penulis dalam

hal ini ingin menonjolkan frasa tersebut. Konsep silmi

menekankan bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah

sebagai sistem kenegaraan dengan segala kerumitannya, karena

dengan berbagai macam manusia yang ada, salah satunya seperti

yang dicontohkan oleh penulis yaitu tukang jahit, bisa diterima

oleh Allah, seperti dituliskan dalam kutipan tersebut.

77

Selanjutnya dalam data (14), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika

HTI mewujudkan cita-citanya.

(14)Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya

tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus

melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau

kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan,

mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,

dari BI hingga Bank Plecit. (Paragraf 12 kalimat 2)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menempatkan HTI

sebagai subjek, yang menunjukkan bahwa HTI adalah hal yang

ingin ditonjolkan. Kalimat tersebut bisa saja menggunakan

kalimat pasif dengan NKRI sebagai subjeknya. Namun, penulis

ingin menekankan bahwa HTI sebagai subjek jika ingin

mewujudkan cita-citanya di NKRI, harus melalui proses

pengambil-alihan kekuasaan dengan cara revolusi dan kudeta.

Selanjutnya dalam data (15), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai maksud dan tujuan HTI.

(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan

“Udkhulu fil-Islami Kaffah”: membangun sistem Islam

besar nasional dan global. (Paragraf 15 kalimat 1)

Jika dalam data sebelumnya penulis menempatkan HTI

sebagai subjek terkait dengan proses pengambil-alihan

kekuasaan, kalimat dalam data (15) ingin menonjolkan bahwa

HTI sebagai subjek mempunyai maksud membangun sistem Islam

besar nasional dan global. Ini menunjukkan penulis

mengonfirmasi bahwa memang HTI memandang konsep

Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan.

78

Beberapa kutipan kalimat di atas merupakan kutipan

kalimat aktif yang digunakan oleh penulis dalam wacana KIKS.

Kalimat aktif yang dibentuk dalam kutipan wacana di atas dapat

dilihat dari predikat kalimat. Semua predikat kalimat terbentuk

dari awalan me-. Kutipan kalimat aktif di atas memperlihatkan

penulis lebih menonjolkan subjek.

Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang

digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis

umumnya digunakan untuk menunjukkan bahwa HTI sebagai

organisasi adalah korban dari pemerintah. Seperti halnya terlihat

dalam data (16) di bawah ini.

(16)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas

Negara, itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”,

aktivisnya menjadi “persona non grata.” (Paragraf 1 kalimat

1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

pasif dengan menitikberatkan pada HTI sebagai korban.

Penggunaan kaimat pasif ini mendukung pendapat yang

sebelumnya di bagian latar, bahwa Indonesia sebagai negara yang

menganut asas demokrasi dalam menjalankan pemerintahan serta

menjunjung tinggi kebebasan berpendapat setelah era reformasi,

menurut penulis setiap orang atau kelompok berhak

memperjuangkan keyakinannya.

Selanjutnya dalam data (17), penulis menggunakan kalimat

pasif untuk menjelaskan mengenai contoh kasus kesulitan jika

memang Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan merupakan hal

yang harus ditegakkan di Indonesia.

(17)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di

perempatan jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam,

tidak bisa saya bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal

79

mengenai Negara Islam dan Khilafah. (Paragraf 16 kalimat

1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

pasif dengan menitikberatkan pada seorang muslim yang menjadi

contoh kasus, seperti tukang ojek, penjual jajan, petani, sales, dan

satpam. Sebenarnya bisa saja penulis meletakkan subjeknya,

Allah, di awal kalimat. Tetapi, penulis memang ingin

menonjolkan bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah

sebagai sistem kenegaraan dengan segala kerumitannya, karena

dengan berbagai macam manusia yang ada.

Selanjutnya dalam data (18), penulis menggunakan kalimat

pasif untuk menjelaskan mengenai konsep Khilafah Silmi.

(18)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan

“la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak

membebani manusia melebihi kadar kemampuannya).

(Paragraf 17 kalimat 1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

pasif dengan menitikberatkan pada hamba Allah yang berfungsi

sebagai objek diletakkan di depan. Hal ini masih berkaitan dan

sebenarnya juga mendukung data (17), bahwa Islam tidak

mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan

dengan segala kerumitannya tidak harus didirikan. Hal itu karena

manusia sebagai hamba Allah dibebani hanya sesuai dengan

kemampuannya.

Selanjutnya dalam data (19), penulis menggunakan kalimat

pasif untuk menjelaskan mengenai realitas keberagaman manusia.

(19)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan

Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina

80

martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari

jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)

Data (19) di atas masih berkaitan dengan data sebelumnya

yaitu data (18) dan (19). Dalam data (19) penulis esai

menggunakan kalimat pasif dengan menitikberatkan pada seorang

muslim yang menjadi contoh kasus, seperti tukang kuli pasar.

Penulis ingin menonjolkan bahwa Islam tidak mewajibkan

mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan dengan segala

kerumitannya, karena dengan berbagai macam manusia yang ada.

Konsep Khilafah Silmi dengan segala kemudahannya dapat

dijadikan sebagai alternatif.

Beberapa kutipan kalimat di atas merupakan kutipan

kalimat pasif yang digunakan oleh penulis dalam wacana Esai

tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com.

Kalimat pasif yang dibentuk dalam kutipan wacana di atas dapat

dilihat dari predikat kalimat. Semua predikat kalimat terentuk

dari awalan di-. Kutipan penggunaan kalimat pasif di atas

memperlihatkan penulis lebih menonjolkan objek.

b) Kohesi (Gramatikal)

(1) Pengacuan

Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat

dilihat dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan)

merupakan salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan

(referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada satuan

lingual lain. Dalam wacana pengacuan anafora, pengacuan

katafora, pengacuan katafora, pengacuan persona, pengacuan

demonstratif, dan pengacuan komparatif.

(a) Anafora

81

Pengacuan anafora adalah pengacuan yang merujuk

silang pada unsur yang disebutkan terdahulu. Berikut ini

disajikan beberapa kutipan yang menyatakan pengacuan anafora.

Penggunaan anafora di bawah ini bertujuan mendukung adanya

kesatuan gagasan tentang konsep Khilafah Silmi.

(20)Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI,

saya tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus

melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total

atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan,

mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,

dari BI hingga Bank Plecit. (Paragraf 12 kalimat 2)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (20),

yaitu akhiran –nya pada kata ‘sejarahnya’. Dalam kalimat

tersebut yang menjelaskan mengenai kemungkinan HTI

jika ingin mewujudkan cita-citanya di NKRI, harus melalui

proses pengambil-alihan kekuasaan dengan cara revolusi dan

kudeta. Akhiran –nya dalam kata tersebut merujuk pada proses

HTI hendak “mensurgakan” NKRI. Hal ini mendukung temuan

data sebelumnya dalam aspek semantik rincian dan aspek

sintaksis bentuk kalimat aktif.

(21)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari

kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-

adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak mampu

mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya dari

konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah

tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah

Unggul. (Paragraf 13 kalimat 1)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (21)

yaitu anafora dalam bentuk persona yang terwujud dalam kata

‘beliau-beliau’. Penggunaan anafora persona merujuk pada

orang-orang HTI yang sedang berupaya mewujudkan cita-cita

82

khilafahnya di Indonesia. Hal ini mendukung gagasan yang

terdapat dalam data (6) pada analisis latar bahwa penulis esai

masih berprasangka baik, bahwa jika HTI tujuannya adalah baik,

dalam hal ini digambarkan oleh penulis dengan membawa NKRI

dari kegelapan menuju cahaya, tetap proses pengambil alihan

kekuasaannya adalah hal buruk. Di sini terlihat bahwa penulis

mulai konsisten dengan pemahaman Khilafah sebagai sistem

ketatanegaraan. Ini menunjukkan kepaduan dengan data

sebelumnya.

(22)Sangat meyakini kebenaran Islam dan gagah

berani menerapkannya. (Paragraf 15 kalimat 2)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (22)

yaitu anafora dengan akhiran –nya dalam kata ‘menerapkannya’.

Akhiran –nya pada kalimat itu mengacu kepada kebenaran

Islam. Hal ini mendukung gagasan mengenai pemaknaan

Udkhulu fil-Islami Kaffah oleh Hizbut Tahrir yang berarti

membangun sistem Islam besar nasional dan global. Pengacuan

anafora ini mendukung analisis data (15) dalam aspek sintaksis

bentuk kalimat aktif.

(b) Katafora

Katafora adalah pengacuan yang merujuk silang pada

unsur yang disebutkan kemudian. Berikut ini disajikan beberapa

kutipan dari wacana KIKS.

(23)Memang demikianlah sejak didirikan 1953

oleh beliau Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa

ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh

Abdurahman Al-Baghdady. (Paragraf 10 kalimat 3)

Pengacuan katafora yang terdapat pada kutipan data (23)

yaitu kata beliau mengacu kepada nama Syaikh Taqiyudin An-

Nabhani yang disebutkan setelahnya. Nama yang disebutkan

tersebut adalah pendiri Hizbut Tahrir. Upaya penulis dalam hal

83

ini adalah ingin menekankan bahwa memang Khilafah yang

dicita-citakan oleh kelompok Hizbut Tahrir adalah berkaitan

dengan sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini jelas untuk

mengonfirmasi pada data (4) dan (5) aspek semantik latar.

(24)Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga

tanpa menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia.

(Paragraf 19 kalimat 2)

Pengacuan katafora yang terdapat pada kutipan data (24)

yaitu akhiran –nya dalam kata ‘berhasilnya’ yang disebutkan

setelahnya. Akhiran –nya tersebut merujuk pada frasa

‘perjuangan khilafah dunia’. Upaya penulis dalam hal ini adalah

ingin menekankan bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan

Khilafah sebagai sistem kenegaraan dengan segala

kerumitannya, karena dengan berbagai macam manusia yang

ada. Analisis ini untuk menguatkan analisis sebelumnya yang

terdapat pada data (17), (18) dan (19) aspek sintaksis bentuk

kalimat.

(c) Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina

persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah

pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.

Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri

(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang

diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada

orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).

(i) Pronomina persona pertama

(25)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas

‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. (Paragraf

6 kalimat 1)

84

(26)Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali

menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta

Bumi, alam semesta dan saya. (Paragraf 6 kalimat 2)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (25)

dan (26) yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud

dalam kata ‘saya’. Kata saya merupakan pronomina persona

yang mengacu pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu

Emha Ainun Najib. Hal ini mendukung gagasan yang terdapat

dalam data (4) pada analisis semantik latar. Dalam paragraf

tersebut penulis esai mempunyai pandangan bahwa Khilafah

adalah keniscayaan. Namun pandangan tersebut bukan sebagai

sistem kenegaraan. Hal itu terbukti dengan korelasi ‘kepastian’

yang dimaksud adalah bahwa setiap manusia yang diciptakan

oleh Allah menjadi Khalifah. Berarti, tempat untuk dihuninya

adalah Khilafah.

(ii) Pronomina persona kedua

Dalam wacana KIKS, tidak ditemukan pengacuan yang

menggunakan pronomina persona kedua.

(iii) Pronomina persona ketiga

(27)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan

adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari

kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-

adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak

mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya

dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak

Sekolah Unggul. (Paragraf 13 kalimat 1)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (27) yaitu

pronomina dalam bentuk persona ketiga yang terwujud dalam

kata ‘beliau-beliau’. Penggunaan persona tersebut merujuk pada

orang-orang HTI yang sedang berupaya mewujudkan cita-cita

85

khilafahnya di Indonesia. Hal ini mendukung gagasan yang

terdapat dalam data (6) pada analisis latar dan data (21) pada

analisis anafora bahwa penulis esai mulai konsisten dengan

pemahaman Khilafah yang dimaksud adalah sebagai sistem

ketatanegaraan. Ini menunjukkan penguatan dengan data

sebelumnya.

(28)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya

dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah

tidak membebani manusia melebihi kadar

kemampuannya. (Paragraf 17 kalimat 1)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (28) yaitu

pronomina persona ketiga yang berwujud lekat kanan –nya

dalam kata ‘kemampuannya’. Penggunaan lekat kanan tersebut

merujuk pada manusia sebagai makhluk Allah. Analisis ini

mendukung data (18) apspek sintaksis bentuk kalimat bahwa

Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai sistem

kenegaraan dengan segala kerumitannya tidak harus didirikan.

Hal itu karena manusia sebagai hamba Allah dibebani hanya

sesuai dengan kemampuannya.

(29)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan

ditanya beberapa hal:aqidahnya, hubungannya dengan

Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,

menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan

nyawa dari jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (29) yaitu

pronomina persona ketiga yang berwujud lekat kanan –nya dan

penggunakan pronomina ketiga tunggal ia. Penggunaan lekat

kanan yang terdapat pada kata aqidahnya dan hubungannya

tersebut merujuk pada contoh seorang kuli pasar sebagai

realitas keragaman manusia di Indonesia. Penggunaan

pronomina ketiga tunggal ia pun merujuk pada hal yang sama.

Hal ini mendukung data (18) dan (19) aspek sintaksis bentuk

86

kalimat bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah

sebagai sistem kenegaraan.

(30)Seseorang mungkin hanya hafal Al-Fatihah

dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam

terhadap tata nilai Islam. (3)Tetapi hidupnya sungguh-

sungguh, kebergantungannya kepada Allah mendarah-

daging. (4)Tidak pandai dan ‘alim, tapi kejujuran

perilakunya ajeg. (5)Tidak canggih shalat dan bacaan

Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam,

tidak menyakit siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.

(Paragraf 18 kalimat 2)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (30) yaitu

pronomina persona ketiga yang berwujud lekat kanan –nya

dalam beberapa kata. Penggunaan lekat kanan tersebut merujuk

seorang muslim. Analisis ini mendukung data (29) di atas

bahwa dengan realitas keragaman manusia di Indonesia, Islam

tidak mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai sistem

kenegaraan.

(d) Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu

(temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Pronomina

demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini

(seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu),

akan datang (seperti besok dan yang akan datang), dan waktu

netral (seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina

demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi

yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan

pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan

menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta).

Dalam wacana KIKS terdapat pronomina demonstratif

waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut

87

ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan

pengacuan demonstratif yang digunakan.

(31)Memang demikianlah sejak didirikan 1953

oleh beliau Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa

ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh

Abdurahman Al-Baghdady. (Paragraf 10 kalimat 3)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (31) yaitu

demonstratif tempat (lokasional) eksplisit yaitu pada kata Bogor

dan Indonesia dan demonstratif waktu (temporal) netral yaitu

1980-an. Penggunaan demonstratif tersebut menunjukkan

penulis ingin menegaskan bahwa yang Hizbut Tahrir sebagai

tentara pembebasan adalah memang HT yang pada tanhun 1980-

an dibawa oleh Syaikh Taqiyudin An-Nabhani di Bogor,

sehingga menjadi Hizbut Tahrir Indonesia. Hal ini mendukung

data (23) aspek sintaksis pengacuan katafora bahwa Khilafah

yang dicita-citakan oleh kelompok Hizbut Tahrir adalah

berkaitan dengan sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini jelas

untuk mengonfirmasi pada data (4) dan (5) aspek semantik latar.

(e) Pengacuan Komparatif

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah

satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan

dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan

dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan

sebagainya. Berikut ini disampaikan pengacuan komparatif

yang digunakan dalam wacana KIKS untuk menciptakan

kepaduan wacana.

(32)Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk

mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung

dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu

tujuan. (Paragraf 2 kalimat 3)

88

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (32)

mengacu pada perbandingan persamaan antara organisasi dalam

hal ini HTI dengan pisau dapur, payung, dan kendaraan. Dalam

analisis sebelumnya yang terdapat dalam data (7) aspek

semantik rincian, penulis ingin menyampaikan gagasan terkait

HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga diperbaki dengan

pengetahuan dan ilmu. Jadi pemerintah tidak perlu

membubarkan organisasi tersebut.

(33)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada

Syariat Allah seperti pohon, mengalirnya air,

berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan secara

alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap

kemanusiaannya, namun tanpa akalnya menemukan dan

menyadari bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-

Nya. (Paragraf 25 kalimat 1)

Sementara itu, satuan lingual seperti pada data (33) di

atas mengacu pada perbandingan persamaan antara tingkat dan

pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah dengan ciri-ciri

atau sifat yang sama dengan pohon, mengalirnya air,

berhembusnya angin. Pengacuan ini mendukung analisis data

(30) dan data (29) sebelumnya bahwa dengan realitas

keragaman manusia di Indonesia, Islam tidak mewajibkan

mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan. Hal itu karena

umat muslim di Indonesia patuh kepada syariat Allah secara

alamiah, naluriah bagaikan pohon, mengalirna air, dan

sebagainya, tanpa tegaknya khilafah sebagai sistem kenegaraan.

(2) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal

yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu

dengan unsur yang lain dalam wacana. Berkaitan dengan hal itu,

penulis juga menggunakan konjungsi untuk menunjang

kepaduan tulisannya dalam wacana. Konjungsi dalam bahasa

89

Indonesia dikelompokkan menjadi: (a) konjungsi kordinatif (b)

konjungsi subordinatif (c) konjungsi korelatif dan (d) konjungsi

antar kalimat.

Konjungsi yang digunakan dalam wacana KIKS

adalah konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi

korelatif, dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan

pemakaian konjungsi dalam wacana KIKS.

(a) Koordinatif

(34)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan

ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan

Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,

menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan

nyawa dari jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)

Data (34) di atas menunjukkan konjungsi yang

digunakan dalam wacana dengan kode (KIKS). Konjungsi yang

digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor atau

yang menyatakan makna pemilihan. Penulis ingin menekankan

bahwa tukang kuli pasar tidak akan ditanyakan bagaimana

sistem khilafah sebagai sistem kenegaraan, oleh karena itu

penulis ingin menonjolkan bahwa Islam tidak mewajibkan

mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan.

Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah

konjungsi tapi. Konjungsi ini terlihat pada data (35) di bawah

ini.

(35)Tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya,

tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak

menyakit siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.

(Paragraf 18 kalimat 5)

Data tersebut menunjukkan kalimat menggunakan

konjungsi koordinatif melalui konjungtor tapi yang menyatakan

makna pertentangan. Ini menguatkan analisis data sebelumnya,

90

bahwa jangankan kewajiban mendirikan khilafah sebagai sistem

kenegaraan bagi umat Islam. Muslim tidak canggih shalat dan

bacaan Qur`annya, yang penting adalah santun, menyayangi

manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa dan tidak

merusak apa-apa.

(b) Subordinatif

(36)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas

‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. (Paragraf

6 kalimat 1)

Data (36) di atas menggunakan konjungsi subordinatif

sebab melalui konjungtor karena yang menyatakan makna

sebab. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk

menekankan analisis sebelumnya yaitu dalam data (4) aspek

semantik latar, penulis esai mempunyai pandangan bahwa

Khilafah adalah keniscayaan yang berarti kepastian dan tidak

boleh tidak. Jadi tidak bisa ditolak. Namun hal ini karena

konteksnya penulis memandang khilafah tersebut bukan

sebagai sistem kenegaraan. Di sini terlihat bahwa penulis tidak

konsisten dalam memahami konsep khilafah yang sedang

dibahas.

(37)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan

adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari

kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-

adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak

mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya

dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak

Sekolah Unggul. (Paragraf 13 kalimat 1)

Data (37) di atas menggunakan konjungsi subordinatif

melalui konjungtor sampai yang menyatakan makna hasil dan

konjungtor seperti yang menyatakan makna perbandingan.

Konjungtor pertama ingin menekankan jika HTI tetap ingin

91

menegakkan sistem kenegaraan khilafah, akan ada hasil yang

buruk yaitu pertumpahan darah. Konjungtor kedua menekankan

bahwa pertumpahan darah yang akan terjadi bersifat besar,

dengan membandingkannya tidak seperti tawuran anak sekolah

yang ruang lingkupnya kecil. Proses pembandingan itu penulis

menggunakan konjungto tetapi. Analisis mikro ini mendukung

analisis pada data (6) aspek semantik latar bahwa proses

pengambil alihan kekuasaan jika HTI menegakkan khilafah

adalah hal buruk.

(c) Korelatif

Dalam esai KIKS, ada 4 (empat) konjungsi korelatif yang

digunakan. Tetapi penggunaan tersebut tidak berkaitan dengan

fokus pembahasan dalam membangun struktur wacana.

(d) Antar kalimat

Konjungsi antarkalimat ini berbeda dengan konjungsi-

konjungsi sebelumya. Konjungsi antarkalimat adalah sebuah kata

hubung yang menghubungkan satu kalimat dengan kaimat yang

lain. Oleh sebab itu, jenis konjungsi ini selalu muncul di awal

kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan

menggunakan huruf kapital.

(38)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal

Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai

faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh

menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah,

marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya.

(Paragraf 12 kalimat 1)(KIKS)

Data (38) di atas menggunakan konjungsi antarkalimat

melalui konjungtor tetapi yang menyatakan makna

pertentangan. Konjungsi dalam data di atas bukan hanya antar

kalimat, tetapi juga antar paragraf karena data tersebut

merupakan kalimat awal di paragraf 12. Konjungsi tersebut

92

untuk mempertentangkan dua paragraf sebelumnya, yaitu

paragraf 10 dan 11.

Seperti yang sudah dijelaskan pada analisis struktur

supra sebelumnya bahwa pada paragraf 10, penulis bercerita

mengenai sejarah HTI. Paragraf 11, penulis bercerita mengenai

tujuan HTI yaitu menyusun tata nilai kebudayaan Islam sebagai

sistem besar untuk seluruh wilayah Bumi. Penulis ingin berada

di posisi yang, walaupun tidak sepakat dengan penegakkan

khilafah sebagai sistem ketatanegaraan, tetapi tidak mau

menyalahkan HTI dengan cita-cita khilafahnya karena secara

esensi menurut penulis baik. Penulis berdiri di dua sisi dalam

hal ini.

Namun, untuk masuk ke tesis wacana bahwa penulis

tidak sepakat dengan penegakkan khilafah, ia menggunakan

konjungsi pertentangan dengan mempertentangkan bahwa saat

ini Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika. Ini wujud

pertentangan penulis atas penjelasan sebelumnya bahwa tujuan

HTI adalah menyusun tata nilai kebudayaan Islam sebagai

sistem besar. Penulis ingin menyampaikan bahwa Indonesia,

sebagai negara, tidak hanya ada Islam, tetapi ada juga Kristen,

Hindu, Budha, juga beragam bentuk realitas manusianya.

c) Kohesi (Leksikal)

Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis

juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang

kepaduan wacana KIKS. Adapun peranti kohesif leksikal yang

digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan

kutipan tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang

digunakan dalam wacana KIKS.

93

(1) Repetisi

(39)Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk

mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung

dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu

tujuan. (Paragraf 2 kalimat 3)

Data (39) di atas terdapat repetisi yang digunakan.

Kohesif repetisi anafora tersebut dalam satuan lingual hanyalah

diulang tiga kali secara berturut-turut untuk menyampaikan

maksud bahwa organisasi hanyalah alat, seperti pisau, payung,

dan kendaraan. Satuan lingual hanyalah di sini digunakan oleh

penulis untuk menekankan bahwa HTI tidak bisa dibubarkan

oleh pemerintah begitu saja. Seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa penulis terkait sikap terhadap HTI memang

tidak sepakat dengan pemerintah. Terlihat juga pada analisis

data (7) aspek semantik rincian bahwa HTI sebagai organisasi,

bisa salah, sehingga diperbaki dengan pengetahuan dan ilmu.

Bukan dengan pembubaran. Apalagi pengerdilan status

kewarganegaraan.

(40)Maka saya memberanikan diri mencari

pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi

kaffah”. (2)Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan

tunai. (3)Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata

Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya,

tetapi sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi,

bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua

kata itu. (Paragraf 14 kalimat 1,2,3)

Data (40) di atas, kohesif repetisi anafora yang

digunakan dalam bentuk satuan lingual silmi. Satuan lingual

tersebut diulang 4 (empat) kali di setiap kalimat. Dalam hal ini,

penulis ingin menekankan bahwa satuan lingual tersebut sedang

ditonjolkan. Seperti halnya yang terdapat dalam analisis struktur

supra, data (40) tersebut mendukung bahwa paragraf tersebut

adalah kalimat tesis, yaitu bukan khilafah Islam yang saat ini

94

diperlukan, tetapi cukup dengan khilafah silmi. Kata Silmi

diartikan sebagai kedamaian. Satuan lingual ini yang menjadi

kata kunci dan mengendalikan arah serta batas dari esai yang

akan dibahas

d) Koherensi

Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga

perlu diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi

merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan

ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami

pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang

digunakan dalam wacana KIKS, tetapi yang berkaitan dengan fokus

pembahasan dalam membanguns struktur wacana adalah koherensi

hubungan ibarat. Berikut ini merupakan aspek koherensi yang

digunakan dalam wacana KIKS.

(1) Hubungan Ibarat

(41)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya

dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah

tidak membebani manusia melebihi kadar

kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya

akan ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya

dengan Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta

orang, menghina martabat sesama manusia, atau

memisahkan nyawa dari jasad manusia. (Paragraf 17

kalimat 1 dan 2)

Kutipan dengan kode data (41) di atas memperlihatkan

koherensi hubungan ibarat yang digunakan dalam wacana

dengan kode (KIKS). Berdasarkan kutipan di atas, gagasan pada

kalimat (1) tentang Allah tidak membebani manusia melebihi

kadar kemampuannya diibaratkan dengan gagasan pada kalimat

(2) yaitu bahwa Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-

95

Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat

sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia.

Gagasan yang muncul pada kalimat (2) menjadi contoh atau

ibarat pada gagasan yang terdapat pada kalimat (1). Hal ini

menunjukkan upaya penulis dalam membentuk paragraf yang

padu melalui koherensi.

(42)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak

dengan berbagai hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang

mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-

nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi

hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak

sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan

mentah makanan serta alat-alat dapur. Saya berada di

warung depannya, dengan makanan minuman yang

sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari

dapur, tetapi kalau saya memaksakan diri untuk

mengambil alih dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu

besar dibanding kemungkinan manfaat-nya. (Paragraf

20 kalimat 1 s.d 5)

Kutipan dengan kode data (42) di atas memperlihatkan

koherensi hubungan ibarat yang digunakan dalam wacana

dengan kode (KIKS). Berdasarkan kutipan di atas, gagasan pada

kalimat (1) menunjukkan adanya keadaan bahwa penulis juga

sebenarnya terdapat hal-hal yang tidak setuju dan merasa tidak

jenak dengan berbagai hal tentang NKRI. Pada kalimat (2)

penulis menambahkan bahwa ketidaksetujuan dan

ketidakjenakan itu terdapat pada hal-hal mendasar sejak

persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945,

sampai Orla Orba Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini.

Namun, pada kalimat (3) dan (4), penulis mengibaratkan bahwa

dia tidak sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan

mentah makanan serta alat-alat dapur. Ia sedang berada di

warung depannya, dengan makanan minuman yang sudah

tersedia. Kemudian pada kalimat (5) mengungkapkan bahwa jika

memang mau memperbaiki hal-hal yang tidak setuju dan tidak

96

jenak seperti yang diungkapkan pada kalimat (1) dan (2), maka

menurut penulis sudah pasti perbaikannya harus dari dapur,

tetapi kalau penulis memaksakan diri untuk mengambil alih

dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding

kemungkinan manfaat-nya. Gagasan yang muncul pada kalimat

(3), (4) dan (5) menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang

terdapat pada kalimat (1) dan (2). Hal ini menunjukkan upaya

penulis dalam membentuk paragraf yang padu melalui koherensi.

3) Aspek Retoris

Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara

yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan

pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup

penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang

digunakan. Dalam wacana wacana KIKS ditemukan 2 aspek, yaitu

aspek grafis dan aspek metafora.

a) Grafis

Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian

untuk menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh

penulis yang dapat diamati dari teks atau wacana. Dalam

wacana KIKS, penggunaan unsur grafis yang digunakan penulis

cukup dominan, seperti halnya dalam bentuk cetak tebal, cetak

miring, dan tanda petik dua (“”). Namun, di bawah ini yang

dianalisis oleh peneliti hanyalah yang berkaitan dengan struktur

makro wacana. Berikut ini disajikan kutipan yang menunjukkan

grafis yang digunakan dalam wacana KIKS.

(43)Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata

Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya,

tetapi sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi,

bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua

kata itu. (Paragraf 14 kalimat 3)

97

Data (43) di atas, grafis yang digunakan penulis yaitu

cetak tebal pada kutipan tidak menggunakan kosa-kata Islam,

melainkan Silmi. Klausa tersebut ditandai oleh penulis sebagai hal

yang penting dalam menekankan kalimat sebelumnya yang

menjadi kalimat tesis. Penulis menegaskan kembali pada data di

atas bahwa yang diperlukan oleh Indonesia saat ini bukan Khilafah

Islam, tetapi Khilafah Silmi. Hal itu juga menurut penulis sudah

menjalankan perintah Allah. Argumentasi yang ingin ditekankan

adalah seperti yang dicetak tebal oleh penulis pada klausa tidak

menggunakan kosa-kata Islam, melainkan Silmi. Dari segi retoris,

inilah cara penulis esai untuk menonjolkan hal yang dianggap

penting oleh penulis, terutama dalam kalimat tesis bahwa seorang

muslim tidak wajib mendirikan negara Islam, tetapi cukup

Khilafah Silmi.

b) Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan

dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga

bangsa, buaya darat, buah hati, dan sebagainya. Metafora sebagai

perbandingan langsung tidak menggunakan kata: seperti, bak,

bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama

langsung dihubungkan dengan pokok kedua.96 Dalam wacana

KIKS, penggunaan unsur metafora yang digunakan penulis

berjumlah 5 (lima). Namun, di bawah ini yang dianalisis secara

mendalam oleh peneliti hanyalah yang berkaitan dengan struktur

makro wacana. Berikut ini disajikan kutipan yang menunjukkan

metafora yang digunakan dalam wacana KIKS

(44)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah

menghimpun ilmu dan menyusun strategi, agar ia lolos

kembali ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,

96 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 139

98

di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar, meluas,

dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua

rentang waktu: kekekalan dan keabadian. (Paragraf 3

kalimat 1)

Data (44) di atas, apsek retoris metafora yang digunakan

penulis yaitu satuan lingual surga dianalogikan sebagai sebuah

kebun. Selain itu, penulis juga menganalogikan Kebun Surga

sebagai kampung halaman manusia. Klausa selanjutnya, penulis

esai menggunakan metafora dengan menggabungkan kata

kemerdekaan dengan kata mengalir, meruang, melebar, dan

meluas. Dalam hal ini jika manusia dapat menuju Surga, maka

kemerdekaan akan dimiliki secara kekal dan abadi. Makna metafora

yang sampaikan oleh penulis esai pada kutipan di atas adalah tugas

manusia sebagai makhluk di bumi yang hidup hanya sementara

adalah mencapai Surga yang bersifat kekal.

Penggunaan metafora tersebut adalah upaya yang

dilakukan penulis dalam mengungkapkan gagasan tentang

ketidaksetujuannya terhadap wacana pemerintah tentang

pembubaran organisasi HTI. Hal ini berkaitan dengan analisis data

(32) dan (7) bahwa HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga

diperbaki dengan pengetahuan dan ilmu. Jadi pemerintah tidak

perlu membubarkan organisasi tersebut.

2. Analisis Struktur Makro, Supra, dan Mikro dalam Wacana KN

Khilafah NKRI

(1)Mungkin ini bukan yang paling urgen. Tetapi apa yang tidak urgen

di Indonesia hari ini? Perkara mana yang kalah urgen dibanding lain-lainnya?

(2)Ibarat sedang masak sayur di dapur, perkenankan saya

menuntaskannya menuju matang.

(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang menyangkut

penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati

setiap kali menatap Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena

lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak

99

kenal” saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib “lapor”

kepada diri saya sendiri:

(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah

aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah

benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau

kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar

atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan

ini. (TOPIK/TEMA)

(5)Karena saya tidak mau bikin perkara dengan Tuhan Yang Maha

Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan manusia adalah “Inni

Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai

Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak, ada Hizbut-Tahrir atau

tidak, pakai Hizib-Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari

wujud adanya manusia.

(6)Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan kelapa bukan

semangka, kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut

Nabi Musa keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa tahu

berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya,

beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak

punya secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.

(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah adalah tuntunan

manajemen agar perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan

keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila dengan Metoda

Khilafah. Juga Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila. (SUB TOPIK)

(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah tidak membebani

manusia melebihi kadarnya. Khilafah adalah Allah mentransfer benih-

benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat

sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-hambaNya berkebun dengan

menghasilkan buah-buah surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya

menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya. (SUB

TOPIK)

(9)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya

“kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber filosofi Anda.

Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut, di-

tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-cocokan di antara kita,

faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu-

gelombang-annya. Belajar terbuka dan jujur saja.

(10)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan menjadi alat dan medan

untuk kita berperang. Belajar menentukan kadar “puasa” dan tahan diri

masing-masing, agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul umuri

ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a rofa’aha

wawadlo’al mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,

meletakkan keseimbangan pada keduanya.

(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari Nol-Peradaban,

sehingga semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara murni dari

Kalimat Tesis

100

awal persemaian. Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis

pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan

kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan

berendah-hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap

segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh. (FAKTA)

(12)Allah juga memberi keringanan kepada kelemahan manusia. Ia

tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain Islam besar, yang

berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin sore”, 14 abad

silam, tatkala Ia menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini

telah kulengkapkan Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada

kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai modal

untuk membangun peradaban di sisa senja hari usia alam semesta.

(13)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam Silmi secara

kaffah”. Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah

di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya “nekad”

menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”,

“Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung, pesantren,

padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. Saya berpuasa

dari Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak

pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

(14)“Sinau Bareng” dengan anak-anak muda, Bapak Ibu Kakek

Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres, Dandim,

Danramil, Kapolsek, para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu

dan simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita. “Indonesia

Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami jadikan landasan berpikir, bersikap

dan mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi

kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.

(15)Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan

menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani

agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan

Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta berbagai “hawa

global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin manusia lainnya.

(16)72 tahun merdeka belum cukup untuk membangun Indonesia

Besar yang tidak besar kepala di Jakarta. Yang bisa membedakan antara

“otoritas” dengan “otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-

wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya. Tidak

memusuhi siapa saja yang seharusnya dirangkulnya. Tidak merasa pantas

untuk sewenang- wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak

meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau perilaku apapun

agar tercapai kepentingannya.

(KN)

101

a. Struktur Makro

Berdasarkan bahasa yang digunakan, wacana di atas berisi

Penerapan Khilafah yang sudah ada dalam NKRI. Makna global yang

ingin disampaikan oleh penulis adalah tentang Khilafah NKRI. Hal ini

terlihat pada paragraf 4. Pada paragraf ini penulis menyatakan tema/topik

tentang Khilafah sebagai nilai yang sudah diterapkan di NKRI dengan

segala keterbatasannya.

Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis

menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat

pada paragraf 7 dan 8. Pada paragraf 7 penulis membahas mengenai

hakikat Khilafah yang bertujuan mewujudkan sila kelima yaitu Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian pada paragraf 8, penulis

membahas mengenai pemahaman Khilafah yang berbeda sehingga bisa

menjadi alasan mengapa Indonesia bisa dikatakan sudah menerapkan

Khilafah.

Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada

makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada

paragraf 11. Dalam hal ini fakta yang ditunjukkan berkaitan dengan

penguatan mengenai keadaan Bhineka Tunggal Ika yang ada di

Indonesia, dalam hal ini penulis menggunakan gaya bahasa

perumpamaan, sehingga tidak pas jika memahami Khilafah sebagai

barang jadi yang dipaksakan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta ini

muncul pemahaman bahwa NKRI juga bisa dikatakan sudah

menerapkan aplikasi Khilafah. Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan

fakta yang disampaikan penulis dalam wacana dapat dikatakan secara

mikro makna wacana di atas adalah Aplikasi Khilafah dalam NKRI.

102

b. Struktur Supra

Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Khasanah

dan ditulis pada bulan Juni 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,

terdapat 3 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 3 paragraf

tersebut adalah paragarf 1, 2, dan paragraf 3.

Wacana di atas memulai pendahuluan dengan menggunakan

teknik pertanyaan retoris. Dalam hal ini, penulis esai melontarkan

pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun mengajak pembaca

untuk ikut memikirkan permasalahan yang menjadi topik esai. Kemudian

pada paragraf 2, penulis esai menggunakan perumpamaan. Paragraf 2

hanya terdiri dari 1 kalimat. Selanjutnya pada paragraf 3, penulis mulai

menggunakan latar untuk mengantarkan pembaca pada topik esai yang

akan dibahas.

Selanjutnya, pada paragraf 4, penulis esai mencatumkan kalimat

tesis berupa mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah

sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya,

salah benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Kalimat tesis ini

berisi gagasan yang mengendalikan arah dan batas dari esai yang akan

dibahas pada tubuh esai, dalam hal ini kalimat ini membatasi tentang

NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah sebuah aplikasi

Khilafah.

Kemudian kalimat tesis di atas dijelaskan dalam tubuh esai pada

paragraf 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Pada paragraf 5

dijelaskan tentang alasan mengapa NKRI sudah aplikasi Khilafah karena

menurut penulis yang mengutip Q.S. Al Baqarah : 30 yang berbunyi

“Inni Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia

sebagai Khalifah di bumi. Jadi, semua tempat yang dihuni manusia di

bumi adalah Khilafah.

103

Kemudian pada paragraf 6, penulis kembali menegaskan bahwa

Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diingkari.

Selanjutnya, pada paragraf 7 penulis mencoba mengaitkan Pancasila yang

menjadi ideologi NKRI, dengan konsep Khilafah yang menurut penulis

mencapai sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia. Pada paragraf 8, penulis memperjelas konsep Khilafah.

Dengan menggunakan gaya kiasan, penulis mengibaratkan Khilafah

adalah sebuah benih, bukan barang jadi. Seperti yang diungkapkan

Khilafah adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia menanamnya,

memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-bisanya.

Selanjutnya, penulis menggunakan paragraf 9, 10, dan 11 dengan

menampilkan keadaan yang banyak perbedaan dan perlu

dikerjasamakan, dirajut, di-tunggal-ika-i, disinergikan. Penulis kembali

menggunakan gaya bahasa metafora seperti yang tertulis berikut.

Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis pepohonan,

rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan

kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-

tanamnya, dan berendah-hati untuk menahan diri dari

kemungkinan perusakan terhadap segala sesuatu yang sudah

terlanjur tumbuh.

Selanjutnya pada paragraf 12, penulis memberikan penekanan

bahwa Ia (Allah) tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain

Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Tetapi,

menurut penulis yang dilanjutkan pada paragraf 13, Allah membatasi

tuntutannya dengan Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah. Selanjutnya

ia menjelaskan bahwa penulis telah menyemaikan Silmi itu di seantero

Nusantara. Pada paragraf 14, penulis menjelaskan lebih rinci tentang apa

yang diungkapkan pada paragraf 13.

Pada bagian penutup, penulis mengakhiri esai dengan 2 paragraf

yang terdiri dari paragraf 15 dan 16. Pada paragraf 15, penulis

mengungkapkan adanya sebuah perbedaan antara Indonesia Besar dan

104

Indonesia Kecil. Indonesia besar dimaknai sebagai pemerintah pusat,

yang diungkapkan oleh penulis cenderung ke arah negatif, sehingga perlu

bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor

destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Maksudnya adalah membuat Pagar

jasmani rohani agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia

Besar”, pemerintahan Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak

serta berbagai “hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin

manusia lainnya.

Pada paragraf terakhir, jika dikaitkan dengan kalimat tesis pada

paragraf 4, penulis kembali menekankan keadaan Indonesia Besar yang

cenderung negatif. Indonesia Besar yang digambarkan oleh penulis

merupakan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,

mulia hinanya serta indah joroknya yang diungkapkan di kalimat tesis

pada paragraf 4.

c. Struktur Mikro

1) Aspek Semantik

a) Latar

Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana KN adalah

tentang penulis mengikuti rapat yang membahas HTI.

(45)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang

menyangkut penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan

fix. Ada rasa getir di hati setiap kali menatap Indonesia. Tapi

secara pribadi saya bersyukur karena lembaga Negara, aparat

Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak kenal”

saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib

“lapor” kepada diri saya sendiri: (Paragraf 3)

Pada data (45) di atas, penulis esai memberitahukan kepada

pembaca bahwa sebelum menulis esai ini, sebelumnya ia mengikuti

rapat yang menyangkut penanganan hukum atas HTI. Dalam

paragraf ini penulis esai menekankan bahwa ia terlibat baik itu

secara langsung atau tidak dalam diskusi dengan pemerintah atas

105

HTI. Namun, satu hal yang pasti, penulis berada sangat dekat

dengan forum itu karena jika melihat esai ini yang diterbitkan pada

tanggal 7 Juni 2017, sedangkan keputusan yang menyangkut

penanganan hukum HTI yang diwujudkan dalam bentuk Perppu

Ormas baru diumumkan secara resmi oleh pemerintah pada

tanggal 10 Juli 2017. Dari hasil diskusi yang sudah ditetapkan, ada

keresahan dalam diri penulis dari keputusan yang sudah dibuat

pemerintah. Oleh karena itu, ia perlu membuat esai tersebut.

b) Rincian

Rincian merupakan elemen wacana yang menunjukkan

rincian dalam wacana. Penanda rincian dalam wacana adalah kata

yakni, adalah, yaitu, sebagai berikut, dan seperti. Berikut ini

disajikan beberapa kutipan yang menyatakan rincian.

(46)Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,

pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati

rakyat kecil”. (Paragraf 13 kalimat 4)

Berdasarkan kutipan data (46), penanda yang digunakan

adalah tanda titik dua (:). Hal yang dirinci dalam kutipan wacana di

atas adalah tentang masyarakat lokal yang berada di bawah ruang

lingkup kabupaten. Rincian tersebut digunakan untuk memberikan

penekanan dan penjelasan yang detail pada gagasan bahwa penulis

selama puluhan tahun sudah menyemaikan konsep Silmi, yang jika

diartikan secara denotatif adalah kedamaian, ke seluruh penjuru

tanah air. Lihatlah data (47) di bawah ini.

(47)Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara selama

30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan menyemaikan

“Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam

esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,

pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati

rakyat kecil”. (Paragraf 13 kalimat 3)

106

Analisis tersebut mendukung analisis struktur supra

sebelumnya bahwa Allah membatasi tuntutannya dengan Masuklah

ke dalam Silmi secara kaffah. Bukan masuklah ke dalam Islam,

melainkan Silmi. Hal itu menjadi analisis rincian selanjutnya yaitu

pada kutipan di bawah ini.

(48)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke

dalam Silmi secara kaffah”. (Paragraf 13 kalimat 1)

Data (48) di atas menunjukkan elemen rincian yang

digunakan yaitu tanda titik dua (:). Hal yang dirinci adalah tentang

batasan tuntutan Allah. Rincian untuk mendukung dan menjadi dasar

tesis dari wacana KN bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

sudah menerapkan aplikasi khilafah. Namun, bukan seperti yang

dicita-citakan oleh organisasi HTI. Khilafah yang diterapkan

menurut penulis yaitu Khilafah Silmi, bukan Khilafah Islam. Hal ini

menjadi jawaban atas analisis data pada esai sebelumnya yaitu esai

KIKS bahwa penulis mempunyai dua pendapat dalam memandang

konsep Khilafah yang dibicarakan. Di satu sisi, penulis memandang

Khilafah sebagai keniscayaan secara esensial, di sisi lain

memandang Khilafah sebagai sistem kenegaranan. Hal yang

pertama, penulis setuju. Hal yang kedua, penulis tidak sepakat.

Analisis ini membuat solusi bahwa sebenarnya Khilafah sebagai

sistem ketatanegaraan sudah diterapkan di NKRI.

c) Nominalisasi

Nominalisasi merupakan elemen wacana yang merupakan

salah satu bagian eksklusi dan menjadi strategi untuk menghilangkan

kelompok aktor sosial tertentu. Strategi ini berkaitan dengan

pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina).

Umumnya nominalisasi dilakukan dengan memberikan imbuhan

pe-an. Berikut ini disajikan beberapa kutipan yang menyatakan

nominalisasi.

107

(49)Hal-hal yang menyangkut penanganan hukum atas

HTI, sudah ketemu dan fix. (Paragraf 3 kalimat 2)

Dalam kutipan data (49) tersebut nominaliasi yang digunakan

adalah kata penanganan. Penggunaan nominalisasi itu bertujuan

untuk menghilangkan kelompok yang menjadi pelaku dalam

menangani hukum atas HTI tersebut. Jika melihat paragraf utuhnya

dalam paragraf 3, pada kalimat 4 terdapat penyebutan subjek dan

kelompok sosial seperti penulis sendiri, lembaga Negara, dan aparat

pemerintahan. Siapa yang menangani hukum atas HTI, yang jelas

dalam hal ini seharusnya adalah pihak yang berwenang yaitu lembaga

negara yang dikelola oleh aparat pemerintah. Namun, karena Dalam

hal ini, penulis berupaya untuk tidak menampilkan siapa yang

menangani hukum atas organisasi HTI.

Selain itu, nominalisasi lain juaga speerti halnya yang terlihat

pada data (50) di bawah ini.

(50)Khilafah memerlukan kearifan manajemen,

memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-

hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap

segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.(Paragraf 11

kalimat 3)

Dalam kutipan data (50) tersebut nominaliasi yang digunakan

adalah kata perusakan. Penggunaan nominalisasi itu bertujuan untuk

menghilangkan kelompok yang merusak tersebut. Jika melihat

paragraf utuhnya dalam paragraf 11, penulis sedang membicarakan hal

terkait dengan penerapan Khilafah yang harus disesuaikan keadaan

daerahnya. Seperti halnya di Indonesia yang mempunyai

keanekaragaman sosial, budaya, agama, dan sebagainya sehingga

tidak menimbulkan dampak buruk, apalagi dampaknya berkaitan

dengan kerusakan keanekaragaman tersebut. Jadi, jika dikaitkan

dengan kalimat sebelumnya, penulis kelompok yang dimungkinkan

merusak itu adalah penerapan Khilafah itu sendiri.

108

2) Aspek Sintaksis

a) Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat pada wacana KN banyak menggunakan

kalimat aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang

menjadi objek dari tanggapannya. Dalam wacana KN kalimat

banyak menempatkan subjek sebagai hal yang ingin ditonjolkan.

Hal ini menunjukkan bahwa Khilafah Silmi dalam penerapannya

di NKRI yang diwacanakan. Berikut merupakan kutipan beberapa

bentuk kalimat dalam wacana KN.

Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang digunakan

oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek sebagai hal

yang ingin ditonjolkan. Terlihat dari data (51), penulis esai

menyampaikan tentang khilafah yang menjadi sebuah keniscayaan

yang tidak bisa dipngkiri dalam wacana tersebut.

(51)Saya tidak bisa tahu berapa tinggi badan Nabi

Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya, beliau

ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi

saya tidak punya secuilpun peluang untuk mengingkari

khilafah. (Paragraf 6 kalimat 2)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

aktif dengan kata ganti pertama tunggal saya menjadi subjek. Penulis

dalam hal ini ingin menekankan bahwa terkait dengan gagasan

Khilafah, saya yang merujuk pada penulis sendiri yaitu Emha Ainun

Najib, tidak bisa mengingkari keberadaannya. Seperti halnya yang

sudah dibahas di wacana sebelumnya bahwa khilafah adalah

keniscayaan, yang tidak boleh tidak. Penekanan di sini adalah bahwa

yang menyampaikan gagasan itu adalah ia sendiri, bukan mewakili

siapapun. Jadi, ketika memang penulis sengaja menonjolkan dirinya

dalam mengungkapkan gagasan tersebut, yang mungkin saja bisa

timbul pro dan kontra.

109

Selanjutnya dalam data (52), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai adanya keinginan untuk menulis

mengenai Pancasila dan Khilafah –walaupun dalam wacana KN

sebenarnya sudah menyinggung tentang dua hal tersebut.

(52)Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan

keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila

dengan Metoda Khilafah. (4)Juga Memahami Khilafah

lewat Pintu Pancasila. (Paragraf 7 kalimat 3 dan 4)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menempatkan Allah

sebagai subjek, dan objeknya adalah penulis sendiri, yaitu Emha

Ainun Najib. Dalam kalimat tersebut, penulis mencoba membuat

wacana tentang Pancasila dan Khilafah yang tidak berseberangan.

Namun, aspek yang ditonjolkan di sini bukan penulis sendiri,

melainkan Allah. Bahwa wacana yang ingin ditulis tersebut tidak

akan bisa jika Allah tidak mengijinkan. Hal ini terlihat kepasrahan

penulis terhadap Sang Pencipta dalam upaya mengungkapkan

gagasan mengenai Khilafah dan Pancasila tersebut.

Kemudian dalam data (53), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai ide pokok dari wacana KN yakni

NKRI sudah menerapkan Khilafah.

(53)Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa

dikerjasamakan, dirajut, di-tunggal-ika-i, disinergikan.

(Paragraf 9 kalimat 2)

Hal ini berbeda dengan analisis data (51). Analisis data

dalam mengungkapkan gagasan mengenai Khilafah adalah

keniscayaan yang tidak bisa diingkari subjek pengemuka pendapat

itu sendiri adalah penulis yaitu Emha Ainun Najib. Namun, dalam

data (53) di atas, penulis menggunakan kata ganti pertama jamak

kita sebagai subjek. Hal yang ingin ditonjolkan adalah satuan

lingual kita itu yang dalam kesatuan gagasannya berkaitan dengan

analisis data (50) aspek semantik naominalisasi yaitu mengenai

110

penerapan Khilafah yang harus disesuaikan keadaan daerahnya

yang beranekaragam bentuk sosial budayanya. Komponen

keanekaragaman itu yang nantinya perlu disinergikan.

Selanjutnya dalam data (54), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai dasar konsep Khilafah Silmi.

(54)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke

dalam Silmi secara kaffah”. (Paragraf 13 kalimat 1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menempatkan Allah

sebagai subjek, yang menunjukkan bahwa Allah Sang Pencipta

yang ingin ditonjolkan. Dasar gagasan NKRI sudah menerapkan

adalah adanya konsep Khilafah Silmi tersebut -yang dibahas di

analisis wacana KIKS sebelumnya. Konsep yang mendasari dasar

munculnya gagasan wacana KN ini diungkapkan dengan

menonjolkan bahwa Allah sebagai Tuhan Semesta Alam yang

menyatakan hal itu. Itu adalah strategi penulis agar dasar konsep

tersebut tidak dianggap sebagai opini pribadi Emha Ainun Najib.

Selanjutnya dalam data (55), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai korelasi antara mengabdi kepada

Tuhan dan mengabdi kepada tanah air.

(55)Kita mencintai dan mengabdi kepada Tuhan

sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.

(Paragraf 14 kalimat 3)

Sama dengan analisis data (53), data (55) di atas pun penulis

esai menempatkan kembali kata ganti pertama jamak kita sebagai

subjek, yang menunjukkan bahwa bukan hanya penulis sendiri

yang ada dalam konteks kalimat tersebut, tetapi jamak. Penggunaan

kalimat aktif tersebut sebagai upaya penekanan terhadap

subjeknya.

111

Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang

digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis umumnya

digunakan untuk menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara

mempunyai keragaman sosial budaya.

(56)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari

Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa

dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian.

(Paragraf 11 kalimat 1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

pasif dengan menitikberatkan pada Indonesia sebagai fokus

pembicaraan. Konteks dari kalimat pasif tersebut adalah mengenai

bagaimana Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman

sosial budaya dipaksakan dengan penerapan Khilafah. Oleh karena

itu, penerapan Khilafah yang cocok adalah disesuaikan dengan

kondisi keragaman masyarakat yang ada.

b) Kohesi (Gramatikal)

(1) Pengacuan

Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat

dilihat dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan)

merupakan salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan

(referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada satuan

lingual lain. Dalam wacana pengacuan anafora, pengacuan

katafora, pengacuan katafora, pengacuan persona, pengacuan

demonstratif, dan pengacuan komparatif.

(a) Anafora

(57)Mohon izin saya bersangka baik bahwa

NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan

segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,

mulia hinanya serta indah joroknya. (2)Termasuk niat

suci atau kemunafikan pelakunya. (3)Apakah khilafah

NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau

112

tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan

ini. (Paragraf 4 kalimat 1 s.d 3)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (57),

yaitu akhiran –nya pada beberapa kata seperti

‘keterbatasannya’, ‘baik buruknya’, ‘salah benarnya’, ‘mulia

hinanya’, ‘indah joroknya’, ‘pelakunya’, dan ‘urusannya’.

Dalam kalimat tersebut menjelaskan meng enai

pendapat penulis mengenai NKRI yang sudah

menerapkan Khilafah, dengan segala keterbatasannya.

Akhiran –nya dalam kata tersebut merujuk pada penerapan

aplikasi Khilafah di NKRI. Hal ini mendukung temuan data

sebelumnya dalam aspek analisis makro yang dilakukan dalam

menentukan tema utama dalam wacana KN.

(58)Ia tidak menuntut suatu desain besar Islam

atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal

tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 2)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (58)

yaitu anafora dalam bentuk persona yang terwujud dalam kata Ia.

Penggunaan anafora persona merujuk pada kalimat sebelumnya

yaitu kalimat 1. Lihatlah kutipan data di bawah ini.

(59)Allah juga memberi keringanan kepada

kelemahan manusia. (Paragraf 12 kalimat 1)

Penulis secara eksplisit merujuk kata ganti Ia kepada

Allah yang dalam konteks pembahasan di data (58) adalah

tentang konsep dasar mengenai penerapan Khilafah Silmi di

Indonesia, bukan Khilafah Islam sebagai sebuah sistem

ketatanegaraan. Hal ini juga berkaitan dan mendukung analisis

data (54) aspek sintaksis bentuk kalimat tentang Allah membatasi

tuntutannya. Ini menunjukkan kepaduan dengan data

sebelumnya.

113

(b) Katafora

Dalam wacana KN, peneliti tidak menemukan adanya

data mengenai pengacuan katafora.

(c) Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina

persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah

pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.

Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri

(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang

diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada

orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).

(i) Pronomina persona pertama

(60)Mohon izin saya bersangka baik bahwa

NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan

segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,

mulia hinanya serta indah joroknya. (Paragraf 4 kalimat

1)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (60)

yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud dalam kata

‘saya’. Kata saya merupakan pronomina persona yang mengacu

pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu Emha Ainun

Najib. Penggunaan pronomina ini digunakan penulis sebagai

upaya menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa gagasan

NKRI adalah aplikasi Khilafah memang dari dirinya pribadi.

Bukan dari diri atau kelompok sosial lain. Hal ini merinci

analisis data (57) sebelumnya dan mendukung temuan data

dalam aspek analisis makro yang dilakukan dalam menentukan

tema utama dalam wacana KN.

(61)Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara

selama 30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan

menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam

114

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.

(Paragraf 13 kalimat 3)

Sama dengan analisis sebelumnya, pengacuan persona

yang terdapat pada kutipan data (61) terwujud dalam kata

‘saya’. Kata saya ini merujuk kepada penulis, yaitu Emha

Ainun Najib. Dalam kalimat tersebut penulis ingin menunjukkan

bahwa gagasan mengenai Silmi yang menjadi konsep Khilafah

Silmi selanjutnya sudah dilakukan oleh penulis selama puluhan

tahun di beberapa dearah. Penggunaan pronomina ini juga

mendukung temuan data tesis bahwa NKRI sudah menerapkan

aplikasi Khilafah. Juga mendukung temuan data (47) aspek

semantik rincian mengenai penerapan Khilafah Silmi di NKRI.

(ii) Pronomina persona kedua

Dalam wacana KN, ditemukan 1 (satu) temuan data

pronomina persona kedua. Namun temuan data tersebut tidak

berkaitan dengan gagasan mengenai pemerintah, khilafah, dan

negara yang menjadi fokus pembahasan.

(iii) Pronomina persona ketiga

(62)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”,

Allah tidak membebani manusia melebihi kadarnya.

(2)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-benih,

manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya,

mencoba merawat sebisa-bisanya. (Paragraf 8 kalimat 1

dan 2)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (62) yaitu

pronomina dalam bentuk persona ketiga tunggal lekat kanan –

nya. Penggunaan persona tersebut merujuk kepada manusia

sebagai ciptaan Allah. Ada hubungan antara Tuhan dan

makhluknya dalam data ini. hubungan tersebut seperti halnya

top-down dengan manusia sebagai objeknya dari Sang

115

Penciptanya. Penggunaan pronomina ini juga mendukung data

(54) aspek sintaksis bentuk kalimat mengenai Allah membatasi

tuntutannya kepada makhluknya, manusia.

(63)Ia tidak menuntut suatu desain besar Islam

atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal

tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 2)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (63) yaitu

persona ketiga tunggal Ia. Analisis ini sama dengan yang sudah

dilakukan pada data (58) aspek sintaksis anafora. Hanya analisis

ini menekankan kembali bahwa selain data tersebut masuk ke

dalam analisis anafora, juga diperkuat dengan analisis

pronomina persona ketiga bahwa Allah tidak mewajibkan

manusia mendirikan Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan.

(d) Pengacuan Demonstratif

Dalam wacana KN terdapat pronomina demonstratif

waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut

ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan

pengacuan demonstratif yang digunakan.

(64)Mohon izin saya bersangka baik bahwa

NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan

segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,

mulia hinanya serta indah joroknya. (3)Apakah khilafah

NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau

tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan

ini. (Paragraf 4 kalimat 1 dan 3)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (64) yaitu

demonstratif tempat (lokasional) yang dekat dengan pembicara

yaitu pada kata ini dalam kata NKRI ini dan kehidupan ini.

Penggunaan demonstratif tersebut menunjukkan penulis ingin

menegaskan bahwa wilayah yang dimaksud NKRI adalah

memang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini

menjadi tempat tinggal penulis. Seperti diketahui, Emha Ainun

116

Najib lahir di Jombang, Jawa Timur dan saat ini tinggal di

Yogyakarta. Namun, selain dianalisis sebagai demonstratif

lokasional, kata ini dalam kata NKRI ini dapat juga

dikategorikan sebagai pronomina demonstratif waktu yang

mengacu pada waktu kini atau sekarang. Sesuai dengan tulisan

itu dibuat, waktu yang dimaksud penulis merujuk pada keadaan

NKRI pada tanggal 7 Juni 2017.

(65)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Ada rasa

getir di hati setiap kali menatap Indonesia. (Paragraf 3

kalimat 1 dan 3)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (65) yang

pertama seperti terlihat pada kata itu yang merupakan pengacuan

demonstratif tempat (lokasional). Hal ini menunjukkan hal yang

diacu penulis berada agak dekat dari keberadaan penulis.

Dengan kata lain, penulis dalam konteks kalimat itu, ia sedang

berada di tempat yang agak dekat dengan tempat yang

dimaksudkan pada tuturan itu, yaitu berada di ruangan.

Kemudian pengacuan demonstratif lainnya terdapat pada kata

Indonesia yang merupakan pengacuan demonstratif tempat

(lokasional). Pengacuan ini menunjukkan hal yang disampaikan

penulis esai adalah hal yang terjadi saat ini. Analisis ini

menguatkan analisis pada data (45) aspek latar sebelumnya

mengenai penulis terlibat baik itu secara langsung atau tidak

dalam diskusi dengan pemerintah terkait penanganan hukum atas

HTI.

(e) Pengacuan Komparatif

Dalam wacana KN, ditemukan 1 (satu) temuan data

pengacuan komparatif. Namun temuan data tersebut tidak

berkaitan dengan gagasan mengenai pemerintah, khilafah, dan

negara yang menjadi fokus pembahasan.

117

(2) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi yang digunakan dalam wacana KN adalah

konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif,

dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan pemakaian

konjungsi dalam wacana KN tersebut.

(a) Koordinatif

(66)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan

menjadi alat (koordinatif)dan medan untuk kita

berperang. (2)Belajar menentukan kadar “puasa” dan

tahan diri masing-masing, agar dicapai titik tengah dan

keseimbangan. (Paragraf 10 kalimat 1 dan 2)

Konjungsi yang digunakan dalam data (66) adalah

konjungsi koordinatif melalui konjungtor dan yang menyatakan

makna penambahan/ penjumlahan. Penulis ingin menekankan

bahwa keragaman sosial dan budaya berwujud bhineka tunggal

ika yang ada di Indonesia bisa menjadi modal dalam penerapan

Khilafah Silmi,bukan Khilafah Islam. Keragaman yang disebut

oleh penulis dalam data di atas sebagai perbedaan bukan

sebagai alat dan medan untuk mewujudkan kerusakan.

Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah

konjungsi atau. Konjungsi ini terlihat pada data (67) di bawah

ini.

(67)Ia tidak menuntut suatu desain besar Islam

atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal

tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 2)

Data (67) di atas menggunakan konjungsi kordinatif

melalui konjungtor atau yang menyatakan makna pemilihan.

Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk memberikan

pilihan bahwa Allah sebagai Sang Pencipta membatasi

tuntutannya sesuai dengan kadar kemampuannya. Salah satu

118

kemampuan yang saat ini dilakukan adalah penerapan Khilafah

Silmi di NKRI, bukan Khilafah Islam. Hal itu ditekankan

melalui penggunaan konjungsi pemilihan di atas yang

menampilkan desain besar Islam atau desain Islam besar yang

kedua-duanya mengacu kepada cita-cita HTI yaitu penegakkan

Khilafah sebagai sistem kenegaraan.

(b) Subordinatif

(68)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI

ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala

keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia

hinanya serta indah joroknya. (Paragraf 4 kalimat 1)

Data (68) di atas menggunakan konjungsi subordinatif

melalui konjungtor bahwa yang menyatakan makna

komplementasi. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut

menggabungkan preposisi untuk mengisi bagian yang kosong

dari posisi lain. Penggunaan konjungsi subordinatif ini merinci

analisis data (57) sebelumnya dan mendukung temuan data

dalam aspek analisis makro yang dilakukan dalam menentukan

tema utama dalam wacana KN yaitu NKRI adalah aplikasi

Khilafah.

(69)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari

Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa

dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian.

(Paragraf 11 kalimat 1)

Data (69) di atas menggunakan konjungsi subordinatif

melalui konjungtor sehingga yang menyatakan makna hasil.

Penggunaan konjungsi tersebut sebagai upaya penulis dalam

menyampaikan pesan bahwa klausa pertama menjadi dasar

munculnya hasil terhadap klausa kedua. Klausa pertama

mengungkapkan pesan bahwa Indonesia bukalah negara yang

masih baru dengan ciri homogen, tetapi negara yang sudah

119

mendekati satu abad dan punya ciri yang heterogen dengan

semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, klausa kedua

menekankan bahwa terkait dengan klausa pertama, Khilafah

tidak bisa diterapkan secara murni yang digagas oleh HTI yaitu

konsep Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan. Analisis mikro

ini mendukung analisis pada data (56) aspek sintaksis bahwa

Khilafah yang cocok adalah disesuaikan dengan kondisi

keragaman masyarakat yang ada.

(c) Korelatif

Dalam esai KN, peneliti tidak menemukan konjungsi

korelatif.

(d) Antar kalimat

Konjungsi antarkalimat ini berbeda dengan konjungsi-

konjungsi sebelumya. Konjungsi antarkalimat adalah sebuah kata

hubung yang menghubungkan satu kalimat dengan kaimat yang

lain. Oleh sebab itu, jenis konjungsi ini selalu muncul di awal

kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan

menggunakan huruf kapital.

(70)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga.

(Paragraf 7 kalimat 1)

Data (70) di atas menggunakan konjungsi antarkalimat

melalui konjungtor tetapi yang menyatakan makna

pertentangan. Konjungsi dalam data di atas bukan hanya antar

kalimat, tetapi juga antar paragraf karena data tersebut

merupakan kalimat awal di paragraf 7. Konjungsi tersebut untuk

mempertentangkan paragraf sebelumnya, yaitu paragraf 6.

Seperti yang sudah dijelaskan pada analisis struktur

supra sebelumnya bahwa pada paragraf 6, penulis membahas

120

tentang khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa

diingkari. Namun, gagasan itu juga dipertentangkan oleh penulis

menggunakan konjungsi antar kalimat tetapi yang bertujuan

menyampaikan bahwa walaupun Khilafah adalah sebuah

keniscayaan yang diberikan oleh Tuhan, tetapi Khilafah juga

bukan barang jadi dengan segala kenikmatannya. Penulis dalam

hal ini menganalogikannya dengan Negeri Surga. Hal ini

menjadi kesatuan gagasan penulis bahwa memang bukan

Khilafah Islam seperti yang dicita-citakan oleh HTI, tetapi

Khilafah Silmi yang saat ini pun Indonesia sudah

mengaplikasikannya.

c) Kohesi (Leksikal)

Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis

juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang

kepaduan wacana KN. Adapun peranti kohesif leksikal yang

digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan

kutipan tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang

digunakan dalam wacana KN.

(1) Repetisi

(71)Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara

selama 30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan

menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.

Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,

pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati

rakyat kecil”. (Paragraf 13 kalimat 3)

Data (71) di atas, kohesif repetisi yang digunakan

dalam bentuk satuan lingual Islam. Pada tuturan di atas, kata

Islam merupakan repetisi epizeuksis yang diulang beberapa kali

secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata

tersebut dalam konteks tuturan itu. Satuan lingual tersebut

121

diulang 4 (empat) kali dalam satu kalimat. Dalam hal ini,

penulis ingin menekankan bahwa satuan lingual tersebut sedang

ditonjolkan. Seperti halnya yang terdapat dalam analisis struktur

supra, bahwa Allah membatasi tuntutannya dengan Masuklah

ke dalam Silmi secara kaffah. Bukan masuklah ke dalam Islam,

melainkan Silmi. Kata Silmi diartikan sebagai kedamaian.

Upaya penulis melalui repetisi kata Islam di sini yaitu

menekankan kepada pembaca bahwa konsep Silmi adalah

Islam. Begitupun sebaliknya. Silmi menurut penulis adalah

“Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam

lokal-konstekstual.”

(72)Yang tidak Adigang adigung adiguna

kepada rakyatnya. (5)Tidak memusuhi siapa saja yang

seharusnya dirangkulnya. (6)Tidak merasa pantas untuk

sewenang- wenang. (7)Tidak mengambil alih otoritas

Tuhan. (8)Tidak meminjam tangan Iblis. (9)Tidak

berkostum Malaikat. (Paragraf 16 kalimat 4 s.d 9)

Data (72) di atas, kohesif repetisi yang digunakan

adalah repetisi anafora. Repetisi tersebut mengulang satuan

lingual berupa kata atau frasa pertama pada akhir baris atau

kalimat berikutnya. Satuan lingual tidak dalam paragraf

tersebut diulang 6 (enam) kali secara berturut-turut di awal tiap

kalimat. Dalam hal ini, penulis ingin menekankan bahwa satuan

lingual tersebut sedang ditonjolkan. Seperti halnya yang

terdapat dalam analisis struktur supra, data (40) tersebut

mendukung bahwa paragraf tersebut adalah kalimat tesis, yaitu

bukan khilafah Islam yang saat ini diperlukan, tetapi cukup

dengan khilafah silmi. Kata Silmi diartikan sebagai kedamaian.

Satuan lingual ini yang menjadi kata kunci dan mengendalikan

arah serta batas dari esai yang akan dibahas.

122

d) Koherensi

Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga

perlu diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi

merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan

ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami

pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang

digunakan dalam wacana KN, di antaranya (1) hubungan latar

kesimpulan, (2) hubungan parafrastis, (3) hubungan aditif waktu

(simultan dan berurutan), dan (4) hubungan identifikasi. Berikut ini

merupakan aspek koherensi yang digunakan dalam wacana Esai

tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com.

(1) Hubungan Latar-Kesimpulan

(73)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah

tidak membebani manusia melebihi kadarnya. (2)Khilafah

adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia

menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba

merawat sebisa-bisanya. (3)Allah tidak menagih hamba-

hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah

surga. (4)Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan

buahnya, manusia hanya menanam dan

merawatnya.(koherensi latar-simpulan) (Paragraf 8

kalimat 1 s.d 4)

Data (73) di atas menunjukkan koherensi yang dinyatakan

dengan salah satu kalimat menyatakan simpulan atas pernyataan

pada kalimat lainnya. Berdasarkan kutipan di atas, penulis

menjadikan kalimat 1, 2, dan 3 sebagai latar yang menjelaskan

kemurahan Allah terhadap hambanya yang tidak akan

memberikan beban di luar kemampuannya. Hal yang dimaksud

dalam hal ini adalah organisasi HTI yang mempunyai cita-cita

menciptakan desain besar Islam dalam konsep Khilafah. Penulis

pun mempunyai konsep Khilafah yang berbeda dengan HTI.

Khilafah yang dimaksud adalah Khilafah Silmi dengan

penyesuaian terhadap wilayah masing-masing yang beragam.

123

Selanjutnya pada kalimat 4 terdapat koherensi kesimpulan yaitu

Allah sebagai Sang Pencipta yang menciptakan Khilafah, karena

memang menurut penulis itu adalah keniscayaan. Akan tetapi,

manusia punya andil dalam menyesuaikan penerapan Khilafah di

wilayahnya masing-masing. Tidak seragam seperti yang dicita-

citakan oleh HTI.

(2) Hubungan Parafrastis

(74)Allah juga memberi keringanan kepada

kelemahan manusia. (2)Ia tidak menuntut suatu desain

besar Islam atau desain Islam besar, yang berlaku di

setiap jengkal tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 1 dan

2)

Data (74) di atas menunjukkan koherensi hubungan

parafrastis yang dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan

pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat

berikutnya. Berdasarkan data di atas, gagasan pada kalimat 1

tentang Allah memberi keringanan kepada kelemahan manusia

dinyatakan secara lain pada kalimat 2 yang bertujuan

memperkuat gagasan tersebut. Gagasan itu menunjukkan bahwa

Ia (Allah) tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain

Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi.

Analisis ini berkaitan sekaligus menguatkan analisis data (73)

sebelumnya bahwa Allah tidak menuntut umatnya mendirikan

Khilafah sebagai desain Islam besar.

(75)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke

dalam Silmi secara kaffah”. (2)Tuhan tidak memilih

kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. (Paragraf 13

kalimat 1 dan 2)

Data (75) di atas menunjukkan koherensi hubungan

parafrastis yang dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan

pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat

124

berikutnya. Koherensi parafrastis mengenai gagasan pada kalimat

1 tentang Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam

Silmi secara kaffah” dinyatakan secara lain pada kalimat 2 yang

bertujuan memperkuat gagasan sebelumnya. Gagasan tersebut

yaitu bahwa Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam

Islam…”. Penggunaan koherensi parafratis tersebut sebagai upaya

penulis membedakan antara Islam dan Silmi. Jika dikaitkan

dengan konsep khilafah, Khilafah Islam adalah gagasan yang

diusung oleh HTI dalam membuat desain besar Islam sebagai

sistem ketatangeraan. Sedangkan Khilafah Silmi, adalah gagasan

penulis bahwa Khilafah memang sebuah keniscayaan, tetapi

bukan berarti harus Khilafah Islam. Penulis menggunakan Silmi

yang berarti kedamaian.

(3) Hubungan Adiktif

(76)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga.

(2)Khilafah adalah tuntunan manajemen agar perjalanan

sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia”. (Paragraf 14 kalimat 1 dan

2)

Kutipan data (76) di atas menunjukkan koherensi

hubungan adiktif yang dinyatakan dengan gagasan pada kalimat

pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan pada kalimat

berikutnya. Koherensi adiktif pada kutipan di atas ditunjukkan

pada kalimat 1 tentang khilafah bukan Negeri Surga diikuti atau

ditambah dengan gagasan pada kalimat 2 yaitu bahwa Khilafah

adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita

memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Analisis ini berkaitan dan mendukung temuan data (70) aspek

sintaksis konjungsi bahwa walaupun Khilafah adalah sebuah

keniscayaan yang diberikan oleh Tuhan, tetapi Khilafah juga

bukan barang jadi dengan segala kenikmatannya. Koherensi

125

adiktif berfungsi menambahkan penjelasan bahwa khilafah adalah

tuntunan manajemen yang selanjutnya dikelola oleh manusia

sebagai subjeknya dalam menyesuaikan keadaan wilayahnya

masing-masing.

(4) Hubungan Identifikasi

(77)Yang bisa membedakan antara “otoritas”

dengan “otoriter”. (3)Antara “kewenangan” dengan

“sewenang-wenang”. (Paragraf 16 kalimat 2 dan 3)

Kutipan data (77) di atas menunjukkan koherensi

hubungan identifikasi yang dinyatakan pada kalimat pertama

didentifikasi dengan kalimat berikutnya. Gagasan pada kalimat 2

tentang otoritas dan otoriter diidentifikasi dengan kalimat 3 yaitu

bahwa kewenangan dan sewenang-sewenang. Jika melihat

analisis struktur supra dalam paragraf 16 menujukkan bahwa

keadaan Indonesia Besar yang cenderung negatif. Kecenderungan

negatif ini oleh penulis dikuatkan dengan kata-kata otoritas dan

otoriter yang diidentifikasi dengan kewenangan dan sewenang-

sewenang.

3) Aspek Retoris

Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara

yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan

pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup

penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang

digunakan. Dalam wacana wacana KN ditemukan 2 aspek ini, yaitu

aspek grafis dan aspek metafora.

a) Grafis

Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian

untuk menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh

penulis yang dapat diamati dari teks atau wacana. Berikut ini

126

disajikan beberapa kutipan yang menunjukkan grafis yang

digunakan dalam wacana KN.

(78)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI

ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala

keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia

hinanya serta indah joroknya. (Paragraf 4 kalimat 1)

Data (78) di atas, grafis yang digunakan penulis yaitu

cetak tebal pada kutipan aplikasi Khilafah. Frasa tersebut ditandai

oleh penulis sebagai hal yang penting dalam kalimat tersebut.

Penulis dalam hal ini berupaya menunjukkan kepada pembaca

bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah. Hal ini

ditekankan karena memang muncul pro kontra mengenai gagasan

Khilafah. Penulis sendiri berpendapat bahwa Khilafah adalah

sebuah keniscayaan yang berarti tidak bisa tidak. Ketika

sebelumnya analisis data (45) aspek semantik latar menjelaskan

mengenai keputusan yang menyangkut penanganan hukum HTI,

kalimat ini ingin menyampaikan pesan bahwa tidak perlu

gundah, bahkan kepada teman-teman HTI bahwa pada dasarnya

NKRI ini menurut penulis sudah menerapkan aplikasi Khilafah

seperti yang sedang diperjuangkan oleh HTI. Walaupun dalam

temuan data menunjukkan adanya perbedaan mengenai konsep

Khilafah tersebut.

(79)Khilafah adalah tuntunan manajemen agar

perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial

Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. (3)Semoga pada suatu

hari Allah mengizinkan keinginan saya menulis tentang

Memahami Pancasila dengan Metoda Khilafah. (4)Juga

Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila. (Paragraf 7

kalimat 2 s.d 4)

Data (79) di atas, grafis yang digunakan penulis yaitu

cetak tebal pada kutipan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia, Memahami Pancasila dengan Metoda Khilafah, dan

127

Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila. Ketiga kutipan

tersebut ditandai oleh penulis sebagai hal yang penting dalam

pagragraf. Penulis menguatkan kalimat tesis bahwa Aplikasi

Khilafah sudah diterapkan di NKRI di antaranya melalui Pancasila.

Dalam hal ini, penulis menekankan sila ke-5 yang menjadi muara

penerapan aplikasi Khilafah tersebut. Hal yang ditekankan oleh

penulis adalah Pancasila dan Khilafah tidak berseberangan,

berlawanan, tetapi bisa saling berkaitan, bahkan berkelindan.

(80)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke

dalam Silmi secara kaffah”. (2)Tuhan tidak memilih

kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. (3)Sudah di 3789

titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya

“nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam

kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam

lokal-konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.

(Paragraf 13 kalimat 1 s.d 3)

Data (80) di atas, terdapat dua bentuk grafis yang

digunakan penulis yaitu cetak miring dan cetak tebal. Cetak

miring terlihat dalam kutipan Masuklah ke dalam Silmi secara

kaffah dan Masuklah ke dalam Islam. Penggunaan grafis tersebut

dimaksudkan penulis untuk menegaskan bahwa ada perbedaan

antara Islam dan Silmi. Jika dikaitkan dengan Khilafah, Khilafah

Islam adalah yang dicita-citakan HTI, sedangkan Khilafah Silmi

adalah pemahaman Emha Ainun Najib dalam memberikan solusi

terkait pro dan kontra Khilafah di Indonesia.

Selain cetak miring, grafi dalam bentuk cetak tebal pun

digunakan oleh penulis dalam kutipan Islam kecil, Islam

substansial, Islam esensial, Islam lokal-konstekstual. Penggunaan

grafis tersebut dimaksudkan penulis untuk menegaskan bahwa

konsep Silmi itu tidak serumit Khilafah Islam yang diusung oleh

HTI. Konsep Silmi menyesuaikan keadaaan sosial budaya

masyarakat Indonesia yang beragam.

128

Dari segi retoris, inilah cara penulis esai untuk

menonjolkan hal yang dianggap penting oleh penulis, terutama

dalam kalimat tesis bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi

Khilafah melalui Pancasila, khususnya sila kelima dengan konsep

Khilafah Silmi.

b) Metafora

(81)Termasuk niat suci atau kemunafikan

pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar

atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-

Owner kehidupan ini. (Paragraf 4 kalimat 2)

Data (81) di atas, apsek retoris metafora yang digunakan

penulis yaitu frasa Khilafah NKRI. Penggabungan satuan lingual

Khilafah dan satuan lingual NKRI adalah wujud analogi yang

membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk

yang singkat. Frasa ini, yang juga digunakan oleh penulis sebagai

judul wacana, adalah upaya penulis dalam menyatakan tesisnya

bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah menggunakan

kiasan. Walaupun sebenarnya konsep Khilafah yang diterapkan

adalah Khilafah Silmi.

(82)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-

benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya,

mencoba merawat sebisa-bisanya. (3)Allah tidak menagih

hamba-hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-

buah surga. (4)Bahkan hanya Allah yang sejatinya

menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan

merawatnya. (Paragraf 8 kalimat 2 s.d 4)

Data (82) di atas apsek retoris metafora yang digunakan

penulis adalah Khilafah dianalogikan sebagai benih-benih.

Kemudian penulis esai menggunakan metafora dengan

menggabungkan kata benih-benih dengan bentuk kata kerja

mentransfer. Ketika Khilafah dianalogikan sebagai benih-benih

yang ditransfer oleh Allah, manusia hanya bisa menanam,

memilih kondisi tanah, dan merawatnya.

129

Selain itu, pada kalimat 3 penulis juga melanjutkan

analogi pada kalimat sebelumnya yaitu mengaitkan benih

Khilafah dengan buah-buah surga. Jika pada kalimat 2 Allah

mentransfer benih-benih, pada kalimat 3, Allah tidak menagih

buah-buah surga seperti apa yang sudah manusia tanam.

Selanjutnya pada kalimat 4, metafora sebelumnya ditegaskan

lagi dengan unsur metafora yang terdapat pada klausa

menerbitkan buahnya.

Dalam hal ini jika Khilafah adalah benih, jika ditanam

maka akan menjadi buah. Makna metafora yang disampaikan oleh

penulis esai pada kutipan di atas menjelaskan bahwa Khilafah

adalah benih yang dianugerahi oleh Allah, kemudian manusia

mempunyai tugas menanam dan merawat benih tersebut. Ketika

benih tersebut sudah berbuah, manusia sebagai penanam dan

perawat tidak punya hak untuk menentukan buahnya seperti apa,

karena buah itu sudah ditetapkan ketentuannya sejak dari benih

oleh Allah. Seperti halnya benih dalam tanaman. Berdasarkan

metafora ini penulis esai dapat menyampaikan makna yang

ingin disampaikan, selain itu metafora ini juga bisa dikatakan

bumbu dalam wacana di atas.

3. Analisis Struktur Makro, Supra, dan Mikro dalam Wacana TPTM

Tongkat Perppu dan Tongkat Musa

(1)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan

HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami

“maiyahan” di halaman Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik

oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang

Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang terukur untuk

tidak mencintai secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap dan

amarah.

(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima

tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para

perwira tinggi dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran

130

variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan

saya sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada HTI maupun

Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati

Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat

Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis

otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi penggunaan

kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding, jargon politik,

icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut

fenomena “aurat”.

(3)Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada

Kaum Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe

Penyet “Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor

“Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau

Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”

dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. Meskipun saya

tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban

“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram “Visa

Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas

“Pohon Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.

(4)Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt

bertuliskan “Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya

sedang meyakinkan dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.

Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian dari “aurat”,

sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,

sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI

dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI

adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah.

Padahal NU, Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di

Bumi.

(5)HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik

tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik,

bendera ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat

semua yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada

teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa

kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah

bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.

Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu

mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang

leher Anda akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”. (TOPIK)

(6)Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI,

karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa

Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi

supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan

membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.

Kalimat Tesis

131

Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan

Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita

punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan.”

(SUB TOPIK)

(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI

Khilafah itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan).

Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan

kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.

Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan

dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi

tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama.

Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan

kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah

sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia dengan segala

kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan kesesatannya,

kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni. (SUB

TOPIK)

(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,

Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau

Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke

dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati tidak

menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”. Kelihatannya itu terkait

dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia. Allah

tidak membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia bukan

Sorga. Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit

beberapa lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau

bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan

hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah

usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya. (SUB TOPIK)

(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar

maupun kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah

dengan taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk

tidur berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah

Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan

kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama,

Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah

Khilafah. (SUB TOPIK)

(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti

yang di depannya. Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang

mengkonsep seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha

Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan Global kita adalah

Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah Air ini milik-Nya, kalau mau menggali

isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan

Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian bilang

terima kasih sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara Pancasila adalah

132

menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan

inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah. (SUB TOPIK)

(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak

dan luas lagi. Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar

memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa

aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan

bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan darah”

(definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat dan nyawa satu

sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw). (SUB TOPIK)

(12)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan

tentang Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada

Evolusi Empat. Spektrum filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri

dan mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada ilmu dan

teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu

yang berevolusi. Dunia sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci

antara Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang

bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana Kelapa

juga kebanyakan masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,

bahkan jumud dalam semangat Bluluk.

(13)Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus

kepada teman-teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan

melotot kepada rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan

tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah kasih sayang dan

pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). Kalau tidak sangat

terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi

“Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat yang

tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat

Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan Indonesia

perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.

(14)Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal,

Moderat: afala ta’qilun, tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau

telan begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang radikal.

Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak

memerlukan apapun dari saya. Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing

in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan

Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang”, kata adik

kesayangan saya Ebiet G. Ade.

(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.

Masalah tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir

dan seribu kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan

“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan. Bhinneka

Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai dan saling menerima. Cinta

plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta plus

Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian plus Kepentingan =

Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan Firaun adalah kehancuran.

133

Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat

Musa. (SUB TOPIK)

(16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya

sejarah panjang tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia.

Bangsa Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia

adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-

Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-

garap, kata penduduk Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.

(FAKTA)

(TPTM)

a. Struktur Makro

Wacana di atas berisi tentang perlunya pengguliran diskusi publik

tentang Khilafah oleh HTI. Hal ini terlihat pada paragraf 5. Pada

paragraf ini penulis menyatakan tema/topik tentang perlu pemahaman

yang komprehensif dalam memahami Khilafah.

Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis

menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat

pada paragraf 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 15. Pada paragraf 6, penulis

membahas mengenai tindakan Polri terahadap HTI. Penulis memberikan

saran agar Polri jangan membenci HTI, karena menurut penulis mereka

menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Langkah

yang seharusnya diambil menurutnya memanggil mereka untuk dialog,

karena jika langsung diberangus akan ada akibatnya.

Selanjutnya paragraf 7 menjelaskan mengenai perbedaa pandangan

antara penulis dengan HTI tentang Khilafah. Dengan menggunakan

perumpamaan, HTI memaknai Khilafah diibaratkan sebagai ‘barang jadi’,

semacam makanan yang sudah matang. Sementara bagi penulis, Khilafah

diibaratkan seperti benih atau biji yang bisa berjodoh dengan kondisi

tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.

Kemudian pada paragraf 8 dijelaskan bahwa Khilafah yang

diibaratkan sebagai biji, bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,

134

Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau

Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Jika dikaitkan dengan

perumpamaan tersebut, berarti Khilafah bisa beradapatasi dengan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, atau seperti yang ditulis dalam esai

sebelumnya, bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah.

Selanjutnya pada paragraf 9 dan 10, penulis memberikan contoh

mengenai keadaan di mana konsep Khilafah sudah ada di dalamnya. Pada

paragraf 9, menurut penulis jika hukum ditegakkan, ketertiban sosial

dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya,

secara substansial itu sudah Khilafah. Kemudian contoh yang

dikemukakan pada paragraf 10 yaitu mengenai cara berpikir Negara

Pancasila adalah menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, itu

sudah Khilafah.

Pada paragraf 11, subtopik yang terdapat di dalam paragraf tersebut

menjelaskan bahwa dalam konsep Khilafah yang utama bukan apa

aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun

kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia. Menurut penulis, sejauh tidak “merusak bumi

dan menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling melindungi

harta, martabat dan nyawa satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad

saw), itu Khilafah.

Pada paragraf 15, subtopik ini menjelaskan kembali yang sudah

disinggung pada paragraf 6. Paragraf ini mengingatkan bahwa Masalah

tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Tidak semua hal bisa di-

cover oleh kekuasaan. Penulis mengkhawatirkan jika penanganan

pemerintah terhadap HTI berdasarkan Kebencian plus Kepentingan =

Otoritarianisme alias Firaunisme. Perumpamaan yang digunakan oleh

penulis yaitu jika tindakan pemerintah didasarkan pada kebencian dan

kepentingan, maka sejarah akan terulang. Sejarah mencatat bahwa masa

135

depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung turnamen nanti Tongkat

Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa. Penulis mengibaratkan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Ormas yang

menjadi dasar pembubaran kelompok HTI sebagai Tongkat Perppu Firaun

yang nantinya akan ditelan oleh Tongkat Musa, yaitu kekuasaan Allah

SWT. Subtopik-subtopik tersebut dapat dikatakan mendukung tema/topik

wacana yaitu perlunya HTI perlu menggulirkan diksusi tentang Khilafah

agar tidak terjadi salah paham di masyarakat.

Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada

makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada

paragraf 16. Pada paragraf 6 dibahas mengenai )Bangsa Indonesia ini

Subjek Besar di muka bumi. Ia punya sejarah panjang tentang

kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia. Berdasarkan

tema/topik, subtopik, dan fakta yang disampaikan penulis dalam wacana

dapat dikatakan secara mikro makna wacana di atas adalah Perlunya

Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah oleh HTI.

Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis

menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat

pada paragraf 7 dan 8. Pada paragraf 7 penulis membahas mengenai

hakikat Khilafah yang bertujuan mewujudkan sila kelima yaitu Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian pada paragraf 8, penulis

membahas mengenai pemahaman Khilafah yang berbeda sehingga bisa

menjadi alasan mengapa Indonesia bisa dikatakan sudah menerapkan

Khilafah.

Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada

makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada

paragraf 11. Dalam hal ini fakta yang ditunjukkan berkaitan dengan

penguatan mengenai keadaan Bhineka Tunggal Ika yang ada di

Indonesia, dalam hal ini penulis menggunakan gaya bahasa

136

perumpamaan, sehingga tidak pas jika memahami Khilafah sebagai

barang jadi yang dipaksakan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta ini

muncul pemahaman bahwa NKRI juga bisa dikatakan sudah

menerapkan aplikasi Khilafah. Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan

fakta yang disampaikan penulis dalam wacana dapat dikatakan secara

mikro makna wacana di atas adalah Aplikasi Khilafah dalam NKRI.

b. Struktur Supra

Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Tajuk dan

ditulis pada bulan Juli 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,

terdapat 5 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 5 paragraf

tersebut adalah paragarf 1, 2, 3, 4, dan 5. Wacana di atas memulai

pendahuluan dengan menggunakan teknik narasi. Dalam hal ini penulis

esai menceritakan tentang kegiatan “Maiyahan” yang dilakukan penulis di

Polres Malang Raya yang membahas Khilafah. Cerita ini dimaksudkan

untuk memberikan gambaran mengenai topik yang akan dibicarakan.

Kemudian pada paragraf 2, penulis esai masih melanjutkan cerita

tentang kegiatan selanjutnya yang betemu dengan beberapa pihak untuk

membicarakan Khilafah. Hal ini menunjukkan bahwa penulis esai

mencoba mengajak pembaca mengetahui kegiatan penulis yang berkaitan

dengan topik yang akan dibahas. Pada paragraf 3 dan 4, penulis

memberikan contoh tentang fenomena substansi, filosofi, dan branding

yang dibahas pada akhir paragraf 2. Pada akhir paragraf 3, penulis ingin

menyampaikan bahwa dari fenomena substansi, filosofi, dan branding itu,

hingga akhirnya menyebar jadi kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah,

Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah.

Selanjutnya di penghujung pendahuluan, pada paragraf 5 penulis

esai mengungkapkan HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran

diskusi publik tentang Khilafah. Penulis menggunakan analogi Kalau kita

masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan

137

pemahaman tentang makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. Penjelasan

itu sebagai kalimat tesis yang menjadi topik esai yang berisi gagasan

d a l a m u p a y a mengendalikan arah dan batas dari esai yang akan

dibahas pada tubuh esai.

Kemudian kalimat tesis di atas dijelaskan dalam tubuh esai pada

paragraf 6, paragraf 7, paragraf 8, paragraf 9, paragraf 10, paragraf 11,

dan paragraf 12.

Pada paragraf 6, penulis membahas mengenai tindakan Polri

terahadap HTI. Penulis memberikan saran agar Polri jangan membenci

HTI, karena menurut penulis mereka menginginkan kehidupan yang lebih

baik bagi bangsa Indonesia. Langkah yang seharusnya diambil

menurutnya memanggil mereka untuk dialog, karena jika langsung

diberangus akan ada akibatnya.

Selanjutnya paragraf 7 menjelaskan mengenai perbedaan

pandangan antara penulis dengan HTI tentang Khilafah. Dengan

menggunakan perumpamaan, HTI memaknai Khilafah diibaratkan

sebagai ‘barang jadi’, semacam makanan yang sudah matang. Sementara

bagi penulis, Khilafah diibaratkan seperti benih atau biji yang bisa

berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat

alam yang berbeda.

Kemudian pada paragraf 8 dijelaskan bahwa Khilafah yang

diibaratkan sebagai biji, bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,

Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau

Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Jika dikaitkan dengan

perumpamaan tersebut, berarti Khilafah bisa beradapatasi dengan Negara

Kesatuan Republik Indonesia, atau seperti yang ditulis dalam esai

sebelumnya, bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah.

Selanjutnya pada paragraf 9 dan 10, penulis memberikan contoh

mengenai keadaan di mana konsep Khilafah sudah ada di dalamnya. Pada

138

paragraf 9, menurut penulis jika hukum ditegakkan, ketertiban sosial

dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya,

secara substansial itu sudah Khilafah. Kemudian contoh yang

dikemukakan pada paragraf 10 yaitu mengenai cara berpikir Negara

Pancasila adalah menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, itu

sudah Khilafah.

Pada paragraf 11 menjelaskan bahwa dalam konsep Khilafah yang

utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk

membangun kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut penulis, sejauh tidak

“merusak bumi dan menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling

melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain (kriteria dari Rasul

Muhammad saw), itu Khilafah.

Selanjutnya, mengakhiri esai penulis esai membuat sebuah penutup

yang terdapat pada paragraf 13, paragraf 14, paragraf 15, dan paragraf 16.

Pada paragraf 13, penulis menegaskan ulang apa yang sudah disampaikan

pada paragraf 6 yng menjadi tubuh esai. Penulis mengimbau ulang agar

teman-teman Polri “jangan terlalu garang dan melotot kepada rakyat”.

Kemudian pada paragraf 14, penulis mengingatkan bahwa jangan telan

begitu saja terminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal, Moderat.

Pada paragraf 15, penulis mengingatkan tentang sejarah hancurnya

Firaun. Penulis ingin mengibaratkan pemerintah saat ini, dalam

konteksnya mengeluarkan Perppu Ormas yang menjadi dasar dalam

membubarkan HTI, diibaratkan seperti Tongkat Perppu Firaun yang

mendasarkan keputusan pada Kebencian dan Kepentingan hingga

melahirkan Otoritarianisme atau Firaunisme.

Di akhir paragraf esai tersebut, yakni paragraf 16, penulis

mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, menggunakan

bahasa penulis yaitu Subjek Besar di muka bumi. Ungkapan untuk

139

mengingatkan tentang kebesaran bangsa Indonesia seperti halnya Bangsa

Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia

adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah

Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-

ruwat, Arab di-garap, kata penduduk Gunung Merapi.

c. Struktur Mikro

1) Aspek Semantik

a) Latar

Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana TPTM

adalah tentang penulis yang membahas wacana pembubaran HTI

dalam forum maiyahan.

(83)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk

membubarkan HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng dan

lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman Polres

Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak Polres

saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang

Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang

terukur untuk tidak mencintai secara membabi-buta atau

membenci dengan mata gelap dan amarah. (Paragraf 1)

Maiyah merupakan kegiatan ngaji yang diprakarsai oleh

Emha Ainun Najib. Kegiatan ini dilakukan di berbagai daerah di

Indonesia, salah satunya di Malang, Jawa Timur. Saat muncul

wacana dari pemerintah untuk membubarkan HTI, ia berdiskusi

dalam forum maiyah tersebut bersama puluhan ribu massa yang

dilakukan di Polres Malang Raya membahas tentang Khilafah.

Seperti halnya yang sudah dianalisis dalam esai KIKS sebelumnya

bahwa HTI dianalogikan sebagai alat, yang memang bisa rusak dan

diperbaiki dengan keilmuan. Dalam wacana KN pun sama, bahwa

pemahaman Khilafah perlu didasari pengetahuan dan ilmu. Dalam

data (83), penulis melalui forum tersebut pun menegaskannya

140

dengan penjelasan mengenai HTI perlu pengguliran diskusi publik

mengeni Khilafah.

Kemudian pada data (84), penulis esai menceritakan tentang

adanya diskusi lebih lanjut yang bersifat personal dengan HTI dan Polri

di tempat tinggalnya.

(84)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya

saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY,

sesudah itu rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri.

Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya berbeda,

tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan saya

sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada

HTI maupun Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas

manusia yang dimandati Khilafah, epistemologinya,

koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik

tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis

otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya

regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi,

filosofi, branding, jargon politik, icon eksistensi, merk

dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena

“aurat”. (Paragraf 2)

Pada paragraf di atas, penulis esai menekankan kembali

bahwa pada hari lain selanjutnya, penulis juga berdiskusi dengan

HTI, Kapolda DIY, Mabes Polri. Penyampaian ini dimaksudkan

untuk memengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapatnya nanti

yang disampaikan masuk akal dan beralasan karena dua paragraf di

atas menyampaikan bahwa penulis dekat dengan masyarakat yang

ditunjukkan pada data (83), dan penulis juga dekat dengan elite

pemerintah dan HTI seperti yang ditunjukkan pada paragraf (84).

b) Rincian

(85)Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang

dimandati Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam

seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya,

dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada

kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi

penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi,

branding, jargon politik, icon eksistensi, merk dagang dan

141

pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.

(Paragraf 2 kalimat 4)

Berdasarkan kutipan data (85), penanda yang digunakan

adalah mengulang kata-kata yang memiliki makna hampir sama,

tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang dirinci dalam kutipan

wacana di atas adalah tentang Policy penciptaan Tuhan. Penulis

merinci kata tersebut dengan rincian seperti epistemologinya,

koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-

tafsirnya, dialektika sejarahnya. Rincian tersebut digunakan oleh

penulis dalam upaya menekankan analisis data di wacana KIKS dan

KN bahwa Khilafah memang sebuah keniscayaan, yang tidak bisa

tidak, adalah ketentuan Allah yang menurut penulis dalam syariat

Allah.

(86)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon

Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,

Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is

beautiful” saja. (Paragraf 8 kalimat 1)

Sama dengan analisis seblumnya, penanda yang digunakan

data (86) adalah mengulang kata-kata yang memiliki makna yang

hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang dirinci

dalam kutipan wacana di atas adalah tentang berbagai bentuk

sistem pemerintahan atau komunitas yang melibatkan banyak orang.

Penulis merinci kata tersebut dengan rincian seperti pohon

Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan,

Padepokan, atau Komunitas saja,. Kata-kata tersebut digunakan

oleh penulis untuk merinci bahwa Biji Khilafah bisa tumbuh

menjadi bentuk yang bermacam-macam seperti rincian di atas. Ini

menegaskan menguatkan analisis data wacana KN sebelumnya

bahwa Khilafah adalah benih, kita yang menanamnya sesuai dengan

wilayah masing-masing dengan kondisi yang berbeda-beda.

142

Bahkan, Khilafah itu bisa tumbuh dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia, seperti judul wacana sebelumnya yaitu Khilafah NKRI.

(87)Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari

posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan

inspirator utama Dirut serta para Manager. (Paragraf 10

kalimat 6)

Berdasarkan kutipan data (87), penanda yang digunakan

adalah yang digunakan adalah mengulang kata-kata yang memiliki

makna yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal

yang dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang

posisi Tuhan. Penulis merinci hal tersebut dengan rincian seperti

The Only Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama Dirut

serta para Manager. Kata-kata tersebut digunakan oleh penulis

untuk merinci frasa posisi Tuhan sebagai penekanan dan

mendukung analisis struktur supra dalam paragraf 10. Selain itu,

analisis ini juga berkaitan dengan wacana sebelumnya bahwa

Khilafah sudah menerapkan aplikasi Khilafah melalui Pancasila.

Rincian yang digunakan tersebut mengacu pada sila pertama yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa.

c) Nominalisasi

Dalam esai TPTM, ada 3 (tiga) temuan data nominalisasi

yang digunakan. Tetapi penggunaan tersebut tidak berkaitan dengan

fokus pembahasan dalam membangun struktur wacana.

2) Aspek Sintaksis

a) Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat pada wacana TPTM banyak menggunakan

kalimat aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang

menjadi objek dari tanggapannya. Dalam wacana TPTM banyak

kalimat yang menempatkan subjek sebagai hal yang ingin

143

ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim menjadi

subjek dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan. Berikut

merupakan kutipan beberapa bentuk kalimat dalam wacana

TPTM.

Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang digunakan

oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek sebagai hal

yang ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang

muslim menjadi subjek dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan.

Terlihat dari data (88), penulis esai menyampaikan tentang konsep

silmi yang menjadi tesis dari wacana tersebut.

(88)HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran

diskusi publik tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan

komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan menghindari

keterperosokan untuk menjadi jargon politik, bendera

ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang

membuat semua yang di sekitarnya merasa terancam.

(Paragraf 5 kalimat 1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

aktif dengan HTI menjadi subjek. Penulis dalam hal ini ingin

menonjolkan HTI sebagai sebuah organisasi agar melakukan diskusi

publik terkait dengan konsep Khilafah. Dalam hal ini, yang perlu

melakukan diskusi yaitu HTI. Bukan yang lain. Penggunaan kalimat

aktif dengan HTI sebagai subjek yang ditonjolkan juga mendukung

temuan data sebelumnya dalam analisis struktur supra terkait kalimat

tesis yang menjadi tema umum dalam wacana TPTM.

Selanjutnya dalam data (89), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika

HTI mewujudkan cita-citanya.

(89)Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam Silmi

setotal-totalnya” (kaffah). (Paragraf 8 kalimat 2)

144

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

aktif dengan Allah menjadi subjek. Penulis dalam hal ini ingin

menonjolkan bahwa konsep Khilafah Silmi yang digagas oleh

penulis dasarnya bukan hanya dari dirinya, melainkan Emha juga

berdasarkan pemahamannya terhadap firman Allah. Penggunaan

kalimat aktif tersebut penekanannya bukan di konteks Silminya,

melainkan Allah sebagai penguatan argumen penulis sendiri.

Selanjutnya dalam data (90), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika

HTI mewujudkan cita-citanya.

(90)Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang,

tanpa terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang

makanan itu, pasti akan dimuntahkannya.(Paragraf 12

kalimat 3)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

aktif dengan kata ganti pertama jamak kita menjadi subjek. Penulis

dalam hal ini ingin menonjolkan kita dalam konteks pembicaraan.

Kalimat tersebut membahas terkait HTI yang menurut penulis perlu

melakukan diskusi publik dengan kelengkapan ilmu terlebih dahulu

dalam mengusung ideologi Khilafah. Kata kita dalam kalimat

analogi tersebut ditekankan untuk meyakinan bahwa ketika klausa

masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu

mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya itu bukan hanya terjadi di penulis, kelompok HTI,

tetapi semuanya, dalam hal ini pembaca juga akan merasakan hal

yang sama.

Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang

digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis umumnya

digunakan untuk menunjukkan bahwa HTI sebagai organisasi

145

adalah korban dari pemerintah. Seperti halnya terlihat dalam data

(91) di bawah ini.

(91)Masalah tidak cukup diselesaikan dengan

kekuasaan. (Paragraf 15 kalimat 2)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat

pasif dengan menitikberatkan pada kata kekuasaan. Penggunaan

kalimat pasif ini sebagai upaya penulis dalam menunjukkan bahwa

negara dan pemerintah sebagai aparat yang memiliki kewenangan

dalam menyikapi masalah, dalam hal ini adalah menyikapi

organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi

Khilafah, tidak hanya bisa diselesaikan oleh kekuasaan negara dan

pemerintah saja. Hal ini berkaitan dengan judul wacana ini, Tongkat

Perppu dan Tongkat Musa, bahwa pemerintah menyikapi HTI

dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang. Hal itu yang Cak Nun kritisi.

Selanjutnya dalam data (92), penulis menggunakan kalimat

pasif untuk menjelaskan mengenai contoh kasus kesulitan jika

memang Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan merupakan hal

yang harus ditegakkan di Indonesia.

(92)Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan.

(Paragraf 15 kalimat 5)

Kalimat tersebut masih satu paragraf dengan data (91)

sebelumnya. Penggunaan kalimat pasifnya pun masih

menitikberatkan hal yang sama, yaitu kekuasaan. Penulis mengkritisi

pengambilan sikap pemerintah terhadap HTI dengan cara

mengeluarkan Perppu.

b) Kohesi (Gramatikal)

(1) Pengacuan

146

Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat

dilihat dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan)

merupakan salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan

(referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada satuan

lingual lain. Dalam wacana pengacuan anafora, pengacuan

katafora, pengacuan katafora, pengacuan persona, pengacuan

demonstratif, dan pengacuan komparatif.

(a) Anafora

(93)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang

diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk

menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua

yang di sekitarnya merasa terancam. (Paragraf 5 kalimat

1)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (93),

yaitu akhiran –nya pada kata sekitarnya. Dalam kalimat tersebut

menjelaskan mengenai perlunya pengguliran diskusi publik oleh

HTI mengenai Khilafah. Akhiran –nya dalam kata tersebut

merujuk pada HTI. Penggunaan anafora tersebut mendukung

gagasan sebelumnya dalam analisis struktur supra mengenai

kalimat tesis dan data (88) aspek sintaksis bentuk kalimat aktif.

(94)Saya sempat kemukakan kepada teman-

teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan

Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada

semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,

melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.

(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka

batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan

kekuasaannya”. (Paragraf 5 kalimat 2 dan 4)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (94)

yaitu anafora dalam bentuk persona yang terwujud dalam kata

147

ganti kedua tunggal Anda. Penggunaan anafora persona merujuk

pada teman-teman HTI yang terletak sebelumnya. Kalimat

tersebut menjelaskan mengenai penulis yang berdialog dengan

orang-orang HTI mengenai perlunya diskusi publik mengenai

Khilafah dengan ilmu dan pengetahuan. Hal itu dianalogikan

dengan makanan yang akan diberikan kepada seseorang, orang

itu harus mengetahui terlebih dahulu mengenai makanan

tersebut. Pada kalimat 4, penulis melanjutkan analogi

memberikan makanan itu kepada penguasa, yang dalam hal ini

adalah pemerintah. Pemerintah dengan kewenangannya, yang

oleh penulis menggunakan kata kekuasaan, dapat mengambil

sikap sesuai dengan kewenangannya. Analisis ini juga

menguatkan temuan data (90) aspek sintaksis bentuk kalimat

yang menggunakan analogi makanan tersebut dan temuan data

(91) dan (92) yang menitikberatkan kata kekuasaan dalam

kalimatnya.

(95)Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah yang

berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.

(Paragraf 7 kalimat 4)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (95)

yaitu kata beliau yang mengacu kepada paragraf sebelumnya

yaitu kata Khilafah. Pengacuan anafora tersebut mendukung

temuan data sebelumnya dalam wacana KIKS dan KN yang

menyatakan bahwa Khilafah adalah benih yang dapat

disesuaikan dengan kondisi wiayah yang beragam baik dari

sosial budaya maupun realitas manusianya. Salah satunya adalah

penerapan Khilafah Silmi di NKRI dengan menyesuaikan

Pancasila.

148

(b) Katafora

Pada esai TPTM peneliti tidak ditemukan data mengenai

pengacuan katafora.

(c) Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina

persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah

pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.

Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri

(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang

diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada

orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).

a. Pronomina persona pertama

(96)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah

untuk membubarkan HTI dll, malam itu bersama

KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan”

di halaman Polres Malang Raya. (2)Didokumentasi

dengan baik oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta

pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah. (Paragraf 1

kalimat 1 dan 2)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (96)

yaitu dalam bentuk persona pertama jamak kami. Kata kami

merupakan pronomina persona pertama jamak yang mengacu

pada penulis, Kiai Kanjeng, dan 10 ribu massa yang hadir di

halaman Polres Malang dalam kegiatan maiyahan yang

membahas tentang Khilafah. Penggunaan persona tersebut

sebagai upaya penulis dalam menunjukkan bahwa diskusi

mengenai Khilafah tersebut dilakukan oleh banyak orang,

bahkan puluhan ribu massa, yang terhimpun dalam jamaah

maiyah. Hal ini mendukung gagasan sebelumnya yaitu Dalam

data (83) aspek semantik latar, penulis melalui forum tersebut

149

pun menegaskannya dengan penjelasan mengenai HTI perlu

pengguliran diskusi publik mengeni Khilafah.

Masih dalam data (96) di atas, pada kalimat 2 juga

ditemukan pengacuan persona pertama tunggal saya. Kata saya

yang mengacu pada penulis sendiri (tunggal) menegaskan

bahwa yang menjadi pemateri dan menjelaskan mengenai peta

pengetahuan dan ilmu tentang Khilafah adalah penulis sendiri,

Emha Ainun Najib. Setelah sebelumnya digunakan persona

kami yang mengacu siapa saja yang mengikuti diskusi tersebut.

b. Pronomina persona kedua

(97)Saya sempat kemukakan kepada teman-

teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan

Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada

semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,

melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.

(3)Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa

terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang

makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. (4)Dan kalau

yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda

akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”. (Paragraf

5 kalimat 2 s.d 4)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (97)

yaitu dalam bentuk persona kedua tunggal Anda. Kata Anda

dalam data ter sebut mengacu kepada teman-teman HTI

yang dalam paragraf sebelumnya diceritakan mendatangi

kediaman penulis dan berdiskusi. Penggunaan persona tersebut

sebagai upaya penulis dalam menguatkan data (94) aspek

sintaksis pengacuan anafora bahwa penulis berdialog dengan

orang-orang HTI mengenai perlunya diskusi publik mengenai

Khilafah dengan ilmu dan pengetahuan. Pengacuan persona

kedua digunakan dengan referen yang memang dekat dengan

subjek. Jadi, analisis tersebut menunjukkan bahwa dialog

tersebut dilakukan secara langsung dan dekat.

150

(98)Kepada teman-teman Polri saya mohon

“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

(2)Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog,

simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau langsung

Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan

membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke

organ-organ lain. (4)Mohon Anda juga jangan anti-

Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab

Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-

Nya. (Paragraf 6 kalimat 1 s.d 4)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (98)

yaitu dalam bentuk persona kedua tunggal bebas Anda. Berbeda

dengan analisis sebelumnya, kata Anda dalam data tersebut

mengacu kepada teman-teman Polri yang dalam paragraf

tersebut menjadi lawan bicara penulis dalam diskusi personal

temuan data (84) aspek latar yang menjelaskan mengenai

penulis yang berdiskusi lebih dekat dengan HTI, Kapolda DIY,

dan Mabes Polri. Penggunaan persona tersebut sebagai upaya

penulis dalam menguatkan kesan kedekatan tidak hanya kepada

teman-teman HTI seperti temuan data (97) aspek sintaksis

pengacuan anafora persona. Namun, penulis juga dekat dengan

teman-teman Polri sebagai rekan dikusinya. Pembahasan dengan

referen tersebut tentang imbauan penulis agar jangan membenci

HTI serta perlunya dialog. Konteks pembicaraan ini mengenai

sikap pemerintah terhadap HTI dengan terbitnya Perppu Ormas

yang dianggap penulis memberangus teman-teman HTI.

Pendapat penulis dalam temuan data ini masih konsisten dengan

temuan data esai KIKS dan KN tentang Khilafah adalah

keniscayaan dan ketidaksetujuan penulis terhadap sikap yang

diambil pemerintah dengan menerbitkan Perppu tersebut.

151

c. Pronomina persona ketiga

(99)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,

maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan

kekuasaannya. (Paragraf 5 kalimat 4)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (99)

yaitu dalam bentuk persona ketiga terikat lekat kanan -nya.

Satuan lingual –nya yang terdapat pada kata kekuasaannya

merupakan pronomina persona yang mengacu pada penguasa.

Penggunaan pengacuan tersebut menguatkan temuan data (94)

dan (97) bahwa penulis berdialog dengan orang-orang HTI

mengenai perlunya diskusi publik mengenai Khilafah dengan

ilmu dan pengetahuan. Dalam data (99), penulis mengingatkan

kepada teman-teman HTI tentang perlunya proses dalam

memberikan pemahaman, dalam hal ini Khilafah, kepada

pemerintah yang dalam kalimat tersebut menggunakan kata

penguasa untuk selanjutnya menggunakan kata kekuasaan

sebagai upaya kepaduan penulis dalam paragraf tersebut.

(100)Kepada teman-teman Polri saya mohon

“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data

(100) yaitu dalam bentuk persona ketiga jamak bebas mereka.

Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang

berada dalam teks yang disebutkan sebelumnya, yaitu HTI.

Penggunaan pengacuan tersebut merincikan temuan data (84)

dan (94) sebelumnya mengenai imbauan penulis agar jangan

membenci HTI serta perlunya dialog. Konteks pembicaraan ini

mengenai sikap pemerintah terhadap HTI dengan terbitnya

Perppu Ormas yang dianggap penulis memberangus teman-

teman HTI. Karena bentuk pengacuannya jamak, berarti

menunjukkan bahwa referen HTI bukan sebagai organisasi

152

yang bersifat tunggal, tetapi merujuk pada manusia di dalamnya

yang jamak.

(d) Pengacuan Demonstratif

Dalam wacana TPTM terdapat pronomina demonstratif

waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut

ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan

pengacuan demonstratif yang digunakan.

(101)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah

untuk membubarkan HTI dll, malam itu bersama

KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di

halaman Polres Malang Raya. (Paragraf 1 kalimat 1)

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (101) yaitu

demonstratif tempat (lokasional) itu. Kata itu menunjukkan hal

yang diacu penulis berada dekat dari keberadaan

penulis. Analisis sejalan dengan temuan data (83) aspek latar

dan data (96) aspek sintaksis pengacuan persona mengenai

upaya penulis dalam menunjukkan bahwa diskusi maiyahan

mengenai Khilafah tersebut dilakukan oleh penulis penegasan

mengenai HTI perlu pengguliran diskusi publik mengeni

Khilafah.

(102)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di

Yogya saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian

Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira tinggi

dari Mabes Polri. (2)Tema pertemuan itu meskipun

lebaran variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar

Khilafah. (Paragraf 2 kalimat 1 dan 2)

Kemudian pengacuan demonstratif lainnya terdapat

dalam kutipan data (102) yaitu demonstratif waktu akan datang

sesudahnya, demonstratif tempat (lokasional) eksplisit Yogya,

dan demonstratif tempat (lokasional) itu. Satuan lingual

sesudahnya mengacu pada paragraf sebelumnya yaitu sesudah

153

kegiatan maiyah yang dilakukan di Polres Malang Raya bersama

puluhan ribu jamaahnya. Selanjutnya satuan lingual Yogya

sebagai demonstratif tempat eksplisit menegaskan bahwa

konteksnya dengan paragraf sebelumnya berbeda. Hal ini

menguatkan temuan data sebelumnya bahwa jika pertemuan

pada paragraf 1 bersifat publik, tempatnya di Malang,

sedangkan untuk data (102) pertemuan bersifat lebih personal

karena diadakan di kediamannya, Yogya. Kemudian

penggunaan demonstratif tempat (lokasional) itu pada kata

pertemuan itu menunjukkan hal yang diacu penulis berada

dekat dari keberadaan penulis. Hal itu mengacu pada

pertemuan personal yang diadakan di kediamannya tersebut.

(e) Pengacuan Komparatif

Dalam esai TPTM, peneliti menemukan 1 (satu)

pengacuan komparatif. Akan tetapi, pengacuan tersebut tidak

berhubungan dengan fokus pembahasan mengenai Khilafah.

(2) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi yang digunakan dalam wacana TPTM

adalah konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi

korelatif, dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan

pemakaian konjungsi tersebut.

(a) Koordinatif

(103)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang

diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk

menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua

yang di sekitarnya merasa terancam. (2)Saya sempat

kemukakan kepada teman-teman HTI: “Bagaimana

mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa kesabaran

berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa

154

Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi

bagi problem ummat manusia. (Paragraf 5 kalimat 1 dan

2)

Data (103) di atas menunjukkan konjungsi koordinatif

melalui konjungtor dan yang menyatakan makna penambahan.

Namun, menurut peneliti, penggunaan konjungtor dan sebagai

makna penambahan/ penjumlahan dalam kalimat tersebut

kurang tepat karena antar klausa tersebut tidak memiliki status

sintaksis yang sama. Selain itu, hubungan yang terjadi

sebenarnya adalah makna tujuan, bukan penambahan. Penulis

ingin menekankan bahwa pengguliran diskusi publik yang

dilakukan oleh HTI dengan ilmu dan pengetahuan adalah

penting dengan tujuan untuk menghindari keterperosokan untuk

menjadi jargon politik, bendera ideologi.

Masih dalam data yang sama, temuan konjungsi

koordinatif selanjutnya yaitu melalui konjungtor atau yang

menyatakan makna pemilihan. Penggunaan konjungsi tersebut

digunakan penulis untuk memberikan pilihan mengenai tujuan

perlunya pengguliran diskusi publik oleh HTI agar mereka tidak

terperosok dalam jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas dalam mengusung ideologi Khilafah tersebut.

Selanjutnya temuan konjungsi koordinatif yang lain yaitu

melalui konjungtor melainkan yang menyatakan makna

hubungan pertentangan. Pertentangan tersebut dibuat oleh

dalam menjelaskan mengenai HTI yang perlu berproses dalam

menjalankan ke semua pihak bahwa ideologi Khilafah yang

diusungnya bukanlah ancaman, melainkan solusi. Terlihat jelas

bahwa ada dua kata yang saling bertentangan, yaitu ancaman

dan solusi.

155

Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah

konjungsi dan. Konjungsi ini terlihat pada data (104) di bawah

ini.

(104)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-

Maidah (hidangan). ... (5)Benih akan menjadi tanaman

yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta

antropologis-sosiologi yang berbeda. (6)Kesuburan dan

jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan

Khilafah yang juga tidak sama. (Paragraf 7 kalimat 2, 5,

dan 6)

Data (104) di atas menunjukkan konjungsi yang

digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor dan

yang menyatakan makna penambahan atau penjumlahan. Ada 3

(tiga) konjungtor dalam pemakaian kalimat tersebut. Pemakaian

pertama, penulis ingin menekankan bahwa pemahaman HTI

mengenai Khilafah seperti barang jadi yang sudah final.

Berbeda dengan pemahaman penulis yang menurutnya bisa

disesuaikan dengan kondisi wilayah yang berbeda sesuai dengan

keragamannya. Pemakaian kedua, penulis menjelaskan

pemahamannya mengenai Khilafah adalah benih yang bisa

menyesuaikan kondisi wilayah. Pemakaian ketiga, penulis

menambahkan keterangan untuk menekankan pemahaman

tersebut kepada pembaca.

(b) Subordinatif

(105)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang

diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk

menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua yang

di sekitarnya merasa terancam. (Paragraf 5 kalimat 1)

156

Data (105) di atas menggunakan konjungsi

subordinatif melalui konjungtor yang yang menyatakan makna

atributif. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk

memberikan penjelasan lebih rinci mengenai perlunya HTI

melakukan diskusi publik mengenai Khilafah dengan

komprehensi ilmu. Analisis ini juga menekankan temuan data

sebelumnya yaitu dalam data (88) aspek sintaksis bentuk

kalimat, bahwa penulis esai menggunakan kalimat aktif dalam

menjelaskan mengenai pentingnya pengguliran diskusi publik

tersebut, dengan catatan menggunakan komprehensi ilmu.

(106)Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial

dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada

rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah. (Paragraf

9 kalimat 2)

Data (106) di atas menggunakan konjungsi

subordinatif sebab melalui konjungtor kalau yang menyatakan

makna syarat. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk

menjelaskan bahwa syarat dikategorikan bahwa negara atau

kelompok masyarakat secara substansial dikatakan Khilafah

apabila hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama,

Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya. Hal ini

sejalan dengan temuan data (104) aspek sintaksis konjungsi

mengenai perbedaan pandangan penulis dan HTI dalam

memahami konsep Khilafah.

(c) Korelatif

(107)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,

(korelatif)maka batang leher Anda akan dicengkeram

oleh tangan kekuasaannya”. (Paragraf 5 kalimat 4)

Data (107) di atas menggunakan konjungsi korelatif

melalui konjungtor kalau-maka yang menyatakan makna

157

pertautan. Konjungsi tersebut menghubungkan dua klausa yang

memiliki status sintaksis yang sama. Penggunaan konjungsi

korelatif tersebut untuk menekankan bahwa HTI jika memaksa

pemerintah untuk menerima ideologi Khilafah yang sedang

diusungnya tanpa memberikan pemahaman dengan komprehensi

ilmu, hal yang terjadi adalah pemerintah bisa mengambil sikap

dengan kewenangan yang dipunyai. Seperti halnya terbitnya

Perppu Ormas sebagai sikap pemerintah terhadap HTI. Itu

menunjukkan sebuah hubungan dengan perantara konjungsi

korelatif tersebut yang mengaitkan satu dengan lainnya.

(108)Yang utama bukan apa aplikasinya,

melainkan efektif atau tidak untuk membangun

kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Paragraf 11 kalimat

4)

Data (108) di atas menggunakan konjungsi korelatif

melalui konjungtor bukan-melainkan yang menyatakan makna

pertautan. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk

menghubungkan dua klausa yang memiliki status sintaksis yang

sama. Penjelasan yang ditekankan oleh penulis adalah mengenai

esensi Khilafah itu sendiri yang menurut penulis membangun

kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan dilihat apakah itu

Khilafah atau bukan sebagai aplikasinya. Hal ini sejalan dengan

temuan data (106) aspek sintaksis konjungsi mengenai syarat

dikategorikan bahwa negara atau kelompok masyarakat secara

substansial dikatakan Khilafah.

(d) Antar kalimat

(109)Sampai pada getolnya HTI dengan kata

“Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI

adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI

bukan Khilafah. (5)Padahal NU, Muhammadiyah, semua

158

ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi. (Paragraf 4

kalimat 4 dan 5)

Data (109) di atas menggunakan konjungsi

antarkalimat melalui konjungtor padahal yang menyatakan

makna perlawanan. Konjungtor tersebut menghubungkan dua

kalimat utuh yaitu kalimat 4 dan 5. Dalam data tersebut, penulis

menjelaskan mengenai adanya kesalahpahaman di masyarakat

bahwa HTI adalah Khilafah, yang bukan HTI bukan Khilafah.

Seperti halnya temuan data sebelumnya bahwa pendapat penulis

berpendapat bahwa Khilafah adalah keniscayaan dan semua

manusia Khalifah Allah. Sedangkan wilayah yang dihuni oleh

manusia itu ruang lingkupnya adalah Khilafah. Penyamaan

Khilafah dan HTI di masyarakat dalam kalimat selanjutnya

ditentang menggunakan konjungsi perlawanan padahal dengan

memberikan contoh organisasi Islam lain yaitu Nahdlatul Ulama

(NU) dan Muhammadiyah untuk memberikan penekanan sama-

sama posisinya dengan HTI sebagai sebuah organisasi Islam

untuk menyatakan argumentasinya mengenai Khilafah adalah

keniscayaan tersebut. Hal ini sejalan dengan temuan data esai

KIKS dan KN terkait Khilafah adalah keniscayaan, yang tidak

bisa tidak tersebut.

c) Kohesi (Leksikal)

Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis

juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang

kepaduan wacana TPTM. Adapun peranti kohesif leksikal yang

digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan

kutipan tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang

digunakan dalam wacana TPTM.

159

(1) Repetisi

(110)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda

dengan HTI. (2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-

Maidah (hidangan). (3)Sementara bagi saya Khilafah itu

benih atau biji. ... (5)Benih Khilafah akan menjadi

tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta

antropologis-sosiologi yang berbeda. (6)Kesuburan dan

jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan

Khilafah yang juga tidak sama. ... (8)Saya bersyukur

andaikan kadar Khilafah hanya 10%. (Paragraf 7 kalimat

1 s.d 8)

Data (110) di atas terdapat repetisi yang digunakan.

Kohesif repetisi epizeuksis tersebut dalam satuan lingual

khilafah diulang lima kali secara berturut-turut untuk

menjelaskan mengenai Khilafah adalah benih yang dapat

disesuaikan dengan kondisi wilayah yang beragam. Kata

Khilafah dalam paragraf tersebut yang ditonjolkan oleh penulis

agar muncul dominan dan juga menciptakan kepaduan paragraf.

Paragraf tersebut menekankan bahwa pandangan penulis dengan

HTI dalam memahami Khilafah berbeda. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya dalam temuan data (108) aspek sintaksis

konjungsi bahwa esensi Khilafah adalah membangun

kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia.

(111)Kalau orang masih mau mandi, makan

minum dan buang air besar maupun kecil, masih tak

keberatan untuk berpakaian, membangun rumah dengan

taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak

keberatan untuk tidur berselang-seling dengan kerja

keras menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana

manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan

kemashlahatan. (2)Kalau hukum ditegakkan, ketertiban

sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab

kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.

(Paragraf 9 kalimat 1 dan 2)

160

Data (110) di atas, kohesif repetisi yang digunakan

adalah repetisi epistrofa, yaitu pengulangan satuan lingual

kata/frasa pada akhir kalimat secara berturut-turut. Anafora

yang digunakan dalam bentuk satuan lingual itu sudah

Khilafah tersebut diulang 2 (dua) kali. Dalam hal ini, penulis

ingin menekankan bahwa satuan lingual tersebut sedang

ditonjolkan. Paragraf tersebut menjelaskan mengenai

pemahaman penulis dalam memandang Khilafah -seperti

dijelaskan dalam analisis sebelumnya bahwa penulis dan HTI

mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut penulis, Khilafah

tidak mesti dalam desain Islam besar –seperti dalam analisis esai

KN sebelumnya, tetapi dapat disesuaikan dengan wilayah yang

beragam. Temuan ini juga sejalan dengan data (106) aspek

sintaksis konjungsi mengenai Khilafah.

d) Koherensi

Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga

perlu diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi

merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan

ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami

pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang

digunakan dalam wacana TPTM, di antaranya (1) hubungan sebab

akibat, (2) hubungan parafrastis, (3) hubungan ibarat, dan (4)

hubungan argumentatif. Berikut ini merupakan aspek koherensi yang

digunakan dalam wacana TPTM.

(1) Hubungan Sebab-Akibat

(111)Kepada teman-teman Polri saya mohon

“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

(2)Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog,

simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau langsung

Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan

161

membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke

organ-organ lain. (Paragraf 6 kalimat 1 s.d 3)

Kutipan data (111) di atas menunjukkan koherensi

hubungan sebab-akibat. Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat

pertama menyatakan sebab, sedangkan kalimat ketiga

menyatakan akibat. Pada kutipan di atas, kalimat 1 menyatakan

sebab, bahwa HTI jangan dibenci. Kemudian pada kalimat 3

menyatakan akibat dari kalimat sebelumnya, yaitu akibatnya

ketika diberangus akan ada cipratannya dan melebar ke organ-

organ lain. Temuan ini sejalan dengan temuan data (98) yaitu

imbauan penulis agar jangan membenci HTI serta perlunya

dialog. Konteks pembicaraan ini mengenai sikap pemerintah

terhadap HTI dengan terbitnya Perppu Ormas yang dianggap

penulis memberangus teman-teman HTI. Ini adalah

ketidaksetujuan penulis terhadap sikap yang diambil pemerintah

dengan menerbitkan Perppu tersebut.

(2) Hubungan Parafrastis

(112)Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam

Silmi setotal-totalnya” (kaffah). (3)Dan Allah bermurah

hati tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam

kaffah”.(Paragraf 8 kalimat 2 dan 3)

Kutipan data (112) di atas menunjukkan koherensi

hubungan parafrastis. Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan

yang dinyatakan pada kalimat pertama dinyatakan secara lain

dengan kalimat berikutnya. Koherensi parafrastis pada kutipan di

atas ditunjukkan pada kalimat 2 tentang Masuklah ke dalam Silmi

setotal-totalnya dinyatakan secara lain pada kalimat 3 yaitu

Masuklah ke dalam Islam kaffah. Penggunaan koherensi tersebut

selain agar menjadi paragraf padu, juga sekaligus penekanan

bahwa Allah tidak membebani manusia dengan mendirikan

Khilafah Islam seperti halnya menjadi cita-cita perjuangan HTI.

162

(3) Hubungan Ibarat

(113)Saya sempat kemukakan kepada teman-

teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan

Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada

semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,

melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.

(3)Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa

terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang

makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. (4)Dan kalau

yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda

akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”. (Paragraf

5 kalimat 2 s.d 4)

Kutipan data (113) di atas menunjukkan koherensi

hubungan ibarat yang dinyatakan dengan kalimat pertama

diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya.

Koherensi ibarat pada kutipan di atas ditunjukkan pada kalimat 2

menunjukkan bahwa penulis sempat kemukakan kepada teman-

teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah

tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak

bahwa Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi

bagi problem ummat manusia. Kemudian pada kalimat 3 dan 4,

penulis mengibaratkan hal yang diungkapkan pada kalimat 2

dengan perumpamaan kalau kita masukkan makanan ke mulut

orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang

makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda

cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram

oleh tangan kekuasaannya. Gagasan yang muncul pada kalimat 3

dan 4 menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang terdapat pada

kalimat 2.

Hal ini mendukung analisis struktur supra yang

menyatakan bahwa paragraf tersebut menggunakan analogi dan

sejalan dengan temuan data (90) aspek sintaksis bentuk kalimat

163

terkait dengan perlunya pengguliran diskusi publik mengenai

Khilafah agar memberikan pemahaman secara komprehensif

secara keilmuan.

(114)Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang

harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah

“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah adalah “pènèkno

blimbing kuwi”. (6)Etos kerja, amal saleh, daya juang

upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo

penekno”. (7)Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus

panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik

“blimbing” yang bergigir lima. (koherensi ibarat)

(Paragraf 6 kalimat 4 s.d 7)

Kutipan data (114) di atas menunjukkan koherensi

hubungan ibarat yang dinyatakan dengan kalimat pertama

diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya.

Koherensi ibarat pada kutipan di atas ditunjukkan pada kalimat 4

yaitu Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo

royo-royo, tak sengguh temanten anyar”. Itu adalah lirik dari

syair Lir Ilir karya Sunan Kalijaga. Syair itu kemudian pada

kalimat 5 dan 6 dilanjutkan dengan “pènèkno blimbing kuwi” dan

“lunyu-lunyu yo penekno”. Kemudian dalam kalimat 7 penulis

menjelaskan maksud dari pengaitan syair Lir Ilir tersebut dengan

Khilafah, khususnya manusia sebagai Khilafah. Pada kalimat 7,

penulis menjelaskan bahwa selicin apapun jalanan di zaman ini,

terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”

yang bergigir lima. Penjelasan itu bisa kaitkan dengan dua hal.

Pertama, sesuai dengan syair dan pemaknaan syair tersebut,

bahwa angka lima tersebut dapat dikaitkan dengan rukun Islam

sebagai fondasi menjalankan syariat Allah SWT. Kedua, jika

dikaitkan dengan analisis sebelumnya yaitu dalam temuan data

esai KN, yang dimaksud lima itu adalah Pancasila sebagai dasar

NKRI yang berjumlah lima sila juga.

164

(4) Hubungan Argumentatif

(115)Khusus kepada teman-teman Polri saya

mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada

rakyat”. (3)Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran

Tuhan tentang pengelolaan sosial. (4)Default tugas

mereka adalah kasih sayang dan pengayoman

(Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). (Paragraf 13

kalimat 2 s.d 4)

Kutipan data (115) di atas memperlihatkan koherensi

hubungan argumentatif yang dinyatakan dengan kalimat kedua

menyatakan argumen (alasan) bagi pendapat yang dinyatakan

pada kalimat pertama. Koherensi argumentatif pada kalimat 2

tentang imbauan penulis kepada teman-teman Polri saya

mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada

rakyat. Alasan kenapa imbauan itu disampaikan disertai

argumentasi yang disampaikan pada kalimat 3 yaitu penulis

mengutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan tentang

pengelolaan sosial. Argumentasi yang lain juga terdapat pada

kalimat 4 yaitu default tugas mereka adalah kasih sayang dan

pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”).

Gagasan yang muncul pada kalimat 3 dan 4 menjadi gagasan

argumentatif untuk memperkuat pernyataan gagasan yang

terdapat pada kalimat 2.

3) Aspek Retoris

Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara

yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan

pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup

penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang

digunakan. Dalam wacana wacana TPTM ditemukan 2 aspek ini,

yaitu aspek grafis dan aspek metafora.

165

a) Grafis

Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian

untuk menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh

penulis yang dapat diamati dari teks atau wacana. Berikut ini

disajikan beberapa kutipan yang menunjukkan grafis yang

digunakan dalam wacana TPTM.

(116)Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam

Silmi setotal-totalnya” (kaffah). ... (3)Dan Allah bermurah

hati tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.

(Paragraf 8 kalimat 2 dan 3)

Kutipan data (116) di atas merupakan unsur grafis yang

dapat dilihat dari pemakaian tanda petik dua (“”) pada klausa

Masuklah ke dalam Silmi setotal-totalnya (kaffah) dan Masuklah

ke dalam Islam kaffah. Pemakaian tanda petik dua (“”) tersebut

dimaksudkan penulis esai untuk menonjolkan klausa tersebut

sekaligus menyampaikan pesan sesuai dengan data (112) aspek

sintaksis koherensi parafratis tentang penekanan bahwa Allah

tidak membebani manusia dengan mendirikan Khilafah Islam

seperti halnya menjadi cita-cita perjuangan HTI. Dari segi retoris,

inilah cara penulis esai untuk menonjolkan hal yang dianggap

penting oleh penulis.

(117)Khusus kepada teman-teman Polri saya

mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada

rakyat”. (Paragraf 13 kalimat 2)

Pemakaian tanda petik dua (“”) juga terdapat pada data

(117) di atas. Penggunaan itu terlihat pada klausa jangan terlalu

garang dan melotot kepada rakyat. Pemakaian tanda petik dua

(“”) tersebut digunakan oleh penulis karena sikap dasar tidak

setujua terhadap cara pemerintah dalam menyikapi HTI dengan

menerbitkan Perppu Ormas tersebut. Hal ini dianggap oleh

penulis sebagai kesewenang-wenangan pemerintah dalam

menggunakaan kekuasaan, padahal menurut penulis tidak semua

166

hal dapat dicover oleh kekuasaan seperti yang terdapat dalam

temuan data esai KN .

b) Metafora

(118)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,

maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan

kekuasaannya”. (Paragraf 5 kalimat 4)

Data (118) di atas, apsek retoris metafora yang

digunakan penulis yaitu satuan lingual tangan kekuasaan.

Seperti halnya dalam temuan data (99), konteks paragraf tersebut

yaitu penulis mengingatkan kepada teman-teman HTI tentang

perlunya proses dalam memberikan pemahaman, dalam hal ini

Khilafah, kepada pemerintah yang dalam kalimat tersebut

menggunakan kata penguasa untuk selanjutnya menggunakan

kata kekuasaan. Makna metafora yang sampaikan oleh penulis

esai pada kutipan di atas adalah otoritas yang diartikan sebagai

kewenangan, atau mungkin juga otoriter atau kesewenang-

kewenangan pemerintah. Hal itu karena pilihan kata yang

digunakan adalah penguasa, bukan pemerintah. Analisis ini

menguatkan temuan data (113) aspek sintaksis koherensi yang

menyatakan hubungan ibarat.

(119)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon

Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,

Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is

beautiful” saja. (9)Kalau bangunan Peradaban di Bumi

bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan hanya

sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah

adalah usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.

(Paragraf 8 kalimat 8 dan 9)

Kutipan data (119) di atas m.h[erupakan penggunaan

metafora dengan cara Khilafah dianalogikan sebagai Biji (benih).

Kemudian penulis esai menggunakan metafora pada frasa

pohon Kesultanan. Ketika Khilafah dianalogikan sebagai biji

167

maka ketika biji Khilafah itu tumbuh, menjadi pohon. Pohon

dalam hal ini bervariasi, bisa dalam bentuk Kesultanan,

Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan,

Padepokan, atau Komunitas.

Kemudian pada kalimat 9 penulis juga melanjutkan

analogi pada kalimat sebelumnya yaitu peradaban diibaratkan

sebagai sebuah bangunan. Dalam hal ini Khilafah dianalogikan

sebagai biji, jika tumbuh maka akan menjadi pohon. Makna

metafora yang disampaikan oleh penulis esai pada kutipan di

atas menjelaskan bahwa Khilafah adalah biji yang kemudian

tumbuh menjadi pohon. Jenis pohon yang tumbuh dari biji

Khilafah bisa bervariasi, bisa dalam bentuk Kesultanan,

Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan,

Padepokan, atau Komunitas. Pesan yang ingin disampaikan oleh

penulis esai adalah dalam berbagai bentuk pohon tersebut,

masing-masing bisa berasal dari biji Khilafah tersebut. Jadi,

Khilafah tidak harus berbentuk seperti zaman kesultanaan

Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan sebagainya. Bentuk Republik

pun bisa berasal dari biji Khilafah tersebut. Berdasarkan

metafora ini penulis esai dapat menyampaikan makna yang

ingin disampaikan, selain itu metafora ini juga bisa

dikatakan bumbu dalam wacana di atas.

(120)Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu

Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa. (Paragraf 15

kalimat 12)

Data (120) di atas, apsek retoris metafora yang

digunakan penulis yaitu Tongkat Perppu Firaun dan Tongkat

Musa. Kedua satuan lingual tersebut dianggap sangat penting

untuk disampaikan kepada pembaca karena digunakan oleh

penulis sebagi judul esai. Tongkat Perppu Firaun menurut

168

peneliti dimaknai sebagai Perppu Ormas yang diterbitkan oleh

pemerintah dalam menyikapi organisasi HTI. Pengunaan

metafora tersebut bukan tanpa sebab. Penulis memang dari awal

tidak sepakat dengan sikap yang diambil pemerintah, terutama

setelah terbitnya Perppu Ormas tersebut. Hal itu terlihat dalam

analisis data esai KIKS dan KN, dan juga ditegaskan kembali

dalam temuan data esai TPTM (117). Pemilihan nama Firaun

juga menguatkan temuan data (118) sebelumnya terkait dengan

penggunaan kata penguasa dan kekuasaan. Selanjutnya, satuan

lingual Tongkat Musa dimaknai peneliti sebagai kekuasaan

Allah. Seperti halnya cerita asli tentang Raja Firaun yang

dibinasakan oleh Allah SWT. Waktu itu nabi yang hidup semasa

kekejaman Firaun adalah Nabi Musa yang terkenal dengan

tongkatnya membelah laut merah. Jadi, penggunaan metafora ini

menunjukkan bahwa penulis menganggap bahwa keputusan

Perppu Ormas adalah sebuah kesewenang-wenangan pemerintah

dalam mengambil sikap terhadap HTI. Hal ini sejalan dengan

temuan data sebelumnya bahwa penulis tidak sepakat dengan

adanya Perppu Ormas tersebut dan memahami bahwa Khilafah

adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa tidak.

4. Analisis Struktur Supra, Makro, dan Mikro dalam Wacana TSK

The Scary Khilafah

(1)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi

Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3

abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan

pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh

Khilafah.

(2)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara

memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan

uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan

Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan

hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia,

bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk

169

dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan

dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.

(3)Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke

spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah.

Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya

panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega

kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan

menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.

Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

(4)Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas

alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma

kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia

Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk.

Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara.

Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan.

Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.

(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah.

Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka

menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan

manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas

menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni

ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi.

Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia

ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia

lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”,

“Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya

Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”. (SUB TOPIK)

(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari

desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya,

visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-

nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam

semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia,

adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”.

Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya

juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.

Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk

memetik “blimbing” yang bergigir lima. (TEMA/TOPIK)

(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan

sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun

thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat

Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah

kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta

untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium

untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan

bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia

Kalimat Tesis

170

sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam

Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin.

Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar

tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman

ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit

urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati

mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah

adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI

bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya

kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah

untuk menjadi Khalifah.

(9)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak

bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang

menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan

saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu

membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan

sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit

kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan

menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya —

tanpa saya pernah memprogramnya.

(10)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak

punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya.

Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a

falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau

kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di

mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan

udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa

membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.

(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi

kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia,

apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian

akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai

hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih

Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab.

Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy

tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan

ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana. (FAKTA)

(TSK)

a. Struktur Makro

Berdasarkan bahasa yang digunakan, wacana di atas berisi mengenai

konsep Khilafah sebagai desain Tuhan. Hal ini terlihat pada paragraf 6.

171

Pada paragraf ini penulis menyatakan tema/topik tentang konsep Khilafah

sebagai bagian dari desain Tuhas yang merupakan sebuah keniscayaan atas

kehidupan manusia di alam semesta, tidak terkecuali Indonesia.

Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis

menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat

pada paragraf 5 dan 7. Pada paragraf 5 penulis menguatkan tema yaitu

Khilafah merupakan konsep paling mendasar yang membuat Tuhan

menciptakan manusia. Kemudian pada paragraf 7, penulis menjelaskan lebih

rinci mengenai desain Tuhan tersebut dan mengaitkannya dengan sila kelima

dalam Pancasila. Subtopik-subtopik tersebut dapat dikatakan mendukung

tema/topik wacana yaitu Khilafah sebagai Desain Tuhan.

Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada

makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada

paragraf 8 dan 11. Dalam hal ini fakta yang ditunjukkan berkaitan

dengan Khilafah yang terjadi di Indonesia seperti mengidentikkan dan

mempersempit urusan Khilafah hanya dengan Hizbut Tahrir. Fakta lainnya

seperti Islam tidak sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi

tidak sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Fakta-fakta

yang ditampilkan oleh penulis tersebut mendukung tema/topik umum

wacana. Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan fakta yang disampaikan

penulis dalam wacana dapat dikatakan secara mikro makna wacana di atas

adalah konsep Khilafah sebagai desain Tuhan.

b. Struktur Supra

Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Khasanah

dan ditulis pada bulan Agustus 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,

terdapat 6 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 6 paragraf tersebut

adalah paragarf 1 sampai dengan paragraf 6.

172

Wacana di atas memulai pendahuluan dengan menggunakan teknik

pertanyaan retoris. Dalam hal ini, penulis esai melontarkan pertanyaan

yang tidak memerlukan jawaban, namun mengajak pembaca untuk ikut

memikirkan latar yang akan membawa kepada permasalahan yang menjadi

topik esai. Dalam hal ini penulis esai menyatakan bahwa keadaan saat ini

yaitu adanya ketakutan kepada Khilafah. Pada paragraf 1, pertanyaan retoris

itu dijawab sendiri oleh penulis, namun jawabannya tidak ada dalam dua

pilihan yang ditawarkan pada pertanyaan tersebut.

Kemudian pada paragraf 2, merupakan penjabaran mengenai

jawaban yang disampaikan kalimat terakhir paragraf 1. Di akhir paragraf 2,

penulis menegaskan kembali keterkaitan antara penjabaran pada paragraf 2

sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan pada paragraf 1. Pada

paragaf 3, penulis mengungkapkan alasan mengapa ia menulis esai tentang

Khilafah ini. Selanjutnya pada paragraf 4, penulis menjelaskan mengenai

semua hal yang diciptakan oleh Tuhan itu tidak ada yang sia-sia. Penulis

mendasarkan hal itu pada ayat al Quran “Robbana ma kholaqta hadza

bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia Engkau

menciptakan semua ini.

Selanjutnya pada paragraf 5, penulis menekankan lagi alasan yang

diungkapkan pada paragraf 3. Penulis menyayangkan jika anti HTI berarti

anti Khilafah. Padahal, penulis mengingatkan kembali tentang konsep

Khilafah yang dipahaminya yaitu Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Hal

ini menunjukkan bahwa bagian pendahuluan pada paragraf 1-5, penulis esai

menekankan kembali bahwa Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak

perlu ditakuti, termasuk di Indonesia.

Pada paragraf 6, penulis esai mencantumkan kalimat tesis berupa

Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan

atas kehidupan manusia di alam semesta. Kalimat tesis ini berisi gagasan

yang mengendalikan arah dan batas dari esai yang akan dibahas pada tubuh

173

esai, dalam hal ini kalimat ini membatasi tentang pemahaman bahwa

Khilafah adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, apalagi ditakuti.

Keniscayaan Khilafah ini diungkapkan dengan tempat yang lebih spesifik,

yaitu di Indonesia. Hal itu dilihat dari perumpamaan yang digunakan yaitu

kutipan dari syair Lir Ilir karya Sunan Kalijaga. Kemudian kalimat tesis di

atas dijelaskan dalam tubuh esai pada paragraf 7, 8, 9, dan 10.

Pada paragraf 7 penulis mencoba mengaitkan keniscayaan Khilafah

yang diungkapkan pada paragaf sebelumnya dengan hal-hal yang ada di

Indonesia dengan memunculkan Sila kelima, dan juga ungkapan yang

berasal dari orang Jawa. Pada paragraf 8-10 merupakan penjabaran tesis

yang terdapat pada paragraf 6. Paragraf tersebut membahas mengenai

Khilafah adalah sebuah keniscayaan, jadi tidak hanya bisa disematkan

kepada HTI yang saat ini seolah-olah menjadi penggagas utama Khilafah.

Selain itu, penulis juga menjelaskan mengenai konsep Khalifah dengan

memberikan contoh-contohnya.

Selanjutnya, mengakhiri esai tersebut, penulis membuat sebuah

penutup yang terdiri dari 1 paragraf yaitu paragraf 11. Paragraf tersebut

menyimpulkan bahwa pemahaman yang diuraikan pada kalimat tesis dan

bagian isi belum cukup mendalam dipahami oleh kaum muslimin, baik

secara individual maupun kolektif. Penulis juga mengingatkan pembaca

bahwa tidak perlu takut kepada Khilafah, karena Andaikan Khilafah

terwujud, kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum

terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah,

melainkan masih Kaum Muslimin.

c. Struktur Mikro

1) Aspek Semantik

a) Latar

Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana TSK adalah

tentang keadaan dunia yang takut terhadap adanya Khilafah.

174

(121)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah?

Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang menyampaikan

Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para pemimpin

dunia bersepakat untuk memastikan jangan pernah Kaum

Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh

Khilafah. (Paragraf 1)

Pada paragraf di atas, penulis esai menyampaikan dengan

menggunakan teknik pertanyaan retoris. Dalam hal ini, penulis esai

melontarkan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun

mengajak pembaca untuk ikut memikirkan latar yang akan membawa

kepada permasalahan yang menjadi topik esai. Dalam hal ini penulis

esai menyatakan bahwa keadaan saat ini yaitu adanya ketakutan kepada

Khilafah. Pada data (121) di atas, pertanyaan retoris itu dijawab sendiri

oleh penulis. Namun jawabannya tidak ada dalam dua pilihan yang

ditawarkan pada pertanyaan tersebut. Ada dua pilihan jawaban yang

diberikan. Pertama, visi Khilafahnya memang salah. Kedua, pihak yang

menyampaikan Khilafah kepada dunia yang salah.

Kemudian pada data (122), penulis esai menyampaikan bahwa

keadaan saat ini, Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding

Komunisme dan Terorisme. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.

(122)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah:

dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian,

melalui pendidikan, media dan uang, membuat Ummat Islam

tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan Islam. Puncak

sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan

hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata

dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri:

Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme

dan Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak

setakut kepada Khilafah. (Paragraf 2)

Setelah mengajukan pertanyaan retoris pada data sebelumnya,

dalam data (122) penulis memberikan penjelasan lebih rinci mengenai

dua pilihan jawaban yang diberikan. Penulis lebih cenderung terlihat

megambing-hitamkan pihak di luar kaum muslimin yang tidak

disebutkan secara jelas. Penulis hanya menggunakan frasa sejarah

175

dunia dalam menyampaikannya. Jadi, dua pilihan jawaban yang

terdapat dalam data (121) bukanlah yang dirinci lebih lanjut oleh

penulis dan dibiarkan multitafsir. Penulis beranggapan bahwa ada

pihak tertentu yang sengaja menciptakan kondisi agar manusia,

khususnya umat Islam takut terhadap Khilafah. Bahkan menurut

penulis kondisi saat ini yang terjadi adalah Khilafah lebih terkutuk dan

mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Dua paham

tersebut diketahui sampai saat ini menjadi paham yang beredar dan

menjadi adu wacana di dalam masyarakat. Hal inilah yang melatari

penulis esai dalam wacana untuk membahas mengenai konsep

Khilafah sebagai desain Tuhan.

Kemudian pada data (123), penulis esai menyampaikan bahwa

penulis prihatin kepada pihak yang anti Khilafah. Hal itu terlihat dalam

kutipan di bawah ini.

(123)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang

anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan

Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang

membuat-Nya menciptakan manusia. Komponen penyaringnya

dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas menyembunyikan

pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni

ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat

Khalifah di bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-

Nya tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat

raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan tidak

menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas”

atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya

Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.

(Paragraf 5)

Pada paragraf di atas, penulis esai menyampaikan terkait

keprihatinannya kepada kelompok yang anti Khilafah. Hal itu

dikarenakan penulis berpandangan bahwa Khilafah adalah

keniscayaan seperti dalam temuan data esai KIKS, KN, dan TPTM.

Jika dalam data (122) sebelumnya penulis belum menjelaskan

mengenai pilihan jawaban pertanyaan retoris yang disampaikan,

176

peneliti dalam data (123) menemukan keterkaitan dengan pertanyaan

retoris tersebut. Dalam data (121) terdapat dua pilihan jawaban yang

diberikan. Pertama, visi Khilafahnya memang salah. Kedua, pihak yang

menyampaikan Khilafah kepada dunia yang salah. Menurut peneliti,

dua pilihan jawaban tersebut sebenarnya adalah jawaban dari

pertanyaan yang dibuatnya sendiri.

Dalam data (123) di atas, penulis menyampaikan bahwa anti

HTI berarti anti Khilafah, dan pemahaman itu adalah keliru karena

Khilafah adalah keniscayaan. Karena ketika anti Khilafah, berarti

menurut penulis sama saja dengan anti Tuhan. Dari penjelasan tersebut,

terlihat bahwa HTI mempunyai kemungkinan sebagai kelompok yang

salah dalam menyampaikan Khilafah kepada dunia, sehingga terjadi

kesalahpahaman. Salah menyampaikannya itu bisa dalam bentuk visi

Khilafah yang dimiliki HTI. Seperti halnya temuan data esai TPTM

sebelumnya, bahwa penulis dan HTI mempunyai pandangan yang

berbeda mengenai Khilafah.

b) Rincian

(124)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia

mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,

“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun

Ghofur”. (Paragraf 7 kalimat 1)

Berdasarkan kutipan data (124), terdapat penanda rincian

yang digunakan dengan cara mengulang kata-kata yang memiliki

makna yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang

dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang tujuan

Khilafah yang diasumsikan sebagai desain Tuhan. Penulis merinci hal

tersebut dengan rincian seperti “keadilan sosial”, “gemah ripah loh

jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun

Ghofur”. Kata-kata tersebut digunakan oleh penulis untuk merinci

tujuan Khilafah tersebut agar lebih jelas dan maksudnya tersampaikan.

Hal ini menekankan kalimat tesis bahwa Khilafah adaha desain Tuhan

177

yang memang tidak perlu ditakuti keberadaannya. Hal itu karena

Khilafah bisa disesuaikan Pancasila, seperti halnya temuan data esai

KN, terutama seperti yang dirinci dalam data di atas dalam farasa

keadilan sosial yang dapat dikaitkan dengan sila kelima dalam

Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

c) Nominalisasi

Dalam esai TSK ditemukan 2 data yang menunjukkan

nominalisasi. Namun, temuan itu tidak berkaitan dengan fokus

pembahasan yaitu tentang Khilafah.

2) Aspek Sintaksis

a) Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat pada wacana TSK banyak menggunakan kalimat

aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang menjadi objek

dari tanggapannya. Dalam wacana TSK kalimat banyak menempatkan

subjek sebagai hal yang ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa

seorang muslim menjadi subjek dalam Khilafah Silmi yang

diwacanakan. Berikut merupakan kutipan beberapa bentuk kalimat

dalam wacana TSK.

Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang digunakan

oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek sebagai hal yang

ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim menjadi

subjek dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan. Terlihat dari data

(125), penulis esai menyampaikan tentang pandangan penulis bahwa

Khilafah adalah keniscayaan.

(125)Sebab mereka menentang konsep paling mendasar

yang membuat-Nya menciptakan manusia. (7)Sesungguhnya

aku mengangkat Khalifah di bumi. (Paragraf 5 kalimat 3 dan 7)

Dalam kalimat 3, penulis esai menggunakan kalimat aktif

dengan kata ganti mereka menjadi subjek. Penulis dalam hal ini ingin

178

menonjolkan kata tersebut. Dalam paragraf tersebut dijelaskan bahwa

Khilafah adalah keniscayaan yang tidak boleh diingkari, apalagi

dibenci. Seperti halnya temuan data (124) aspek semantik rincian

bahwa Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai keadilan

sosial, subjek mereka dalam hal ini adalah orang-orang yang

menentang konsep Khilafah tersebut.

Kemudian dalam kalimat 7, penulis esai menggunakan kata

ganti aku sebagai subjek. Namun, menurut peneliti, cara penulisan

dalam menulis kata ganti itu keliru. Jika dilihat dari referennya, kata

ganti aku mengacu pada Allah, karena kalimat lengkapnya adalah

Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi. Jika aku dalam

kalimat tersebut mengacu pada diri penulis, Emha Ainun Najib,

bagaimana penulis dalam mengangkat Khalifah, sedangkan ia punya

pandangan bahwa Khilafah adalah desain Tuhan. Khilafah adalah

wilayahnya, Khalifah adalah manusia yang mengatur wilayah itu.

Selanjutnya dalam data (126), penulis menggunakan kalimat

aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika HTI

mewujudkan cita-citanya.

(126)Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang harus

dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis

sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”.

(Paragraf 6 kalimat 4)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat aktif

dengan kata Para Wali menjadi subjek. Seperti halnya temuan data

esai TPTM yang membahas mengenai lagu Lir Ilir dalam data (114).

Kalimat itu diulang sama persis dengan kalimat sebelumnya yang

terdapat dalam wacana TPTM. Lirik syair tersebut diciptakan Sunan

Kalijaga. Subjek Para Wali salah satunya adalah Sunan Kalijaga

sebagai subjek. Penggunaan kalimat aktif tersebut sebagai upaya

179

penulis dalam menekankan bahwa Khilafah adalah benih yang dapat

disesuaikan di wilayah yang beragam. Salah satunya di Indonesia,

disemaikan oleh Para Wali tersebut.

Beberapa kutipan kalimat di atas merupakan kutipan

kalimat aktif yang digunakan oleh penulis dalam wacana TSK.

Kalimat aktif yang dibentuk dalam kutipan wacana di atas dapat dilihat

dari predikat kalimat. Semua predikat kalimat terbentuk dari awalan

me-. Kutipan kalimat aktif di atas memperlihatkan penulis lebih

menonjolkan subjek.

Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang

digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis umumnya

digunakan untuk menunjukkan bahwa keadaan dunia saati ini

hubungannya dengan Khilafah. Seperti halnya terlihat dalam data

(127) di bawah ini.

(127)Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh

“udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh

kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

(Paragraf 7 kalimat 6)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat pasif

dengan menitikberatkan pada dunia yang begitu luas menjadi objek dari

konsep Silmi. Dalam kalimat tersebut, penulis menjelaskan mengenai

keadaan dunia yang saat ini sudah diayomi oleh Khilafah Silmi. Jika

sebelumnya dalam temuan data (122) aspek semantik latar penulis

beranggapan bahwa ada pihak tertentu yang sengaja menciptakan

kondisi agar manusia, khususnya umat Islam takut terhadap Khilafah.

Bahkan menurut penulis kondisi saat ini yang terjadi adalah Khilafah

lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme.

Dalam data (127) tersebut penulis berupaya menyampaikan kepada

pembaca bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan seperti halnya dalam

data (122), karena keadaan dunia yang saat ini sudah diayomi oleh

180

Khilafah Silmi. Hal ini juga mendukung pendapat sebelumnya dalam

temuan data (124) aspek semantik rincian tentang Khilafah yang

diasumsikan sebagai desain Tuhan.

Selanjutnya dalam data (128), penulis menggunakan kalimat

pasif untuk menekankan kembali tentang Khilafah adalah desain

Tuhan dengan manusia sebagai Khalifah.

(128)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh

Allah. (Paragraf 9 kalimat 1)

Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat pasif

dengan menitikberatkan pada manusia objek dari penciptaan Allah

sebagai Khalifah. Dalam kalimat tersebut, penulis menjelaskan

mengenai Khilafah adalah desain Tuhan sebagai kalimat tesis dalam

esai TSK. Hal ini mengacu kepada firman Allah yang diungkapkan

yaitu “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Penulis menjadikan manusia

sebagai hal yang ditonjolkan untuk menekankan kepada pembaca

bahwa memang manusia tidak bisa mengingkari konsep Khilafah, di

manapun, kapanpun, siapapun. Karena penulis menggunakan objeknya

adalah setiap manusia.

b) Kohesi (Gramatikal)

(1) Pengacuan

Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat dilihat

dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan) merupakan

salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan (referensi) adalah

salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual

tertentu dengan mengacu pada satuan lingual lain. Dalam wacana

pengacuan anafora, pengacuan katafora, pengacuan katafora,

pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan

komparatif.

181

(a) Anafora

(129)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang

anti-Khilafah. (2)Tidak tega mensimulasikan nasibnya di

depan Tuhan. (3)Sebab mereka menentang konsep paling

mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.

(Paragraf 5 kalimat 1 s.d 3)

Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (129),

yaitu akhiran –nya pada kata nasibnya . Dalam kalimat

tersebut menjelaskan mengenai keprihatinannya kepada

kelompok yang anti Khilafah. Ketika anti Khilafah, berarti

menurut penulis sama saja dengan anti Tuhan. Akhiran –nya

dalam kata tersebut mengacu pada teman-teman yang anti

Khilafah. Pengacuan anafora selanjutnya yang digunakan adalah

kata ganti mereka. Kata ganti tersebut juga mengacu kepada

subjek yang sama dengan pengacuan sebelumya, yaitu teman-

teman yang anti Khilafah. Penggunaan pengacuan ini adalah

upaya penulis dalam mendukung tesis esai yaitu tentang Khilafah

adalah desain Tuhan yang tidak perlu ditakuti karena adanya

Khilafah dibarengi dengan manusia sebagai Khalifahnya.

(b) Katafora

(130)Khilafah adalah UUD-nya Allah swt.

(Paragraf 6 kalimat 3)

Kutipan data (130) di atas adalah pengacuan katafora

dengan akhiran -nya pada kata UUD-nya yang mengacu kepada

kata Allah swt. yang disebutkan setelahnya. Kalimat ini

memberikan pesan secara eksplisit bahwa Khilafah adalah

keniscayaan yang tidak bisa tidak. Dalam kalimat tersebut

menggunakan ungkapan UUD sebagai desain Khilafah. Seperti

halnya temuan data (129), penulis mencoba menguatkan pendapat

sebelumnya mengenai Khilafah yang tidak perlu ditakuti.

182

(c) Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina

persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah pronomina

yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona

dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona

pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina

persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan

(pronomina persona ketiga).

(i) Pronomina persona pertama

(131)Misalnya saya tidak tega kepada teman-teman

yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan

menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan

pengetahuan. (6)Sementara saya yang memetik laba ilmu

dan berkahnya. (Paragraf 3 kalimat 5 dan 6)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (131)

yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud dalam kata

saya. Kata saya merupakan pronomina persona yang mengacu

pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu Emha Ainun

Najib. Dalam kalimat tersebut, penulis mencoba mengungkapkan

mengenai teman-teman yang anti terhadap Khilafah. Penulis

menekankan bahwa yang mengungkapkan hal itu adalah dirinya

sendiri. Bukan orang lain. Hal ini sejalan dengan temuan data

(129) mengenai keprihatinannya kepada kelompok yang anti

Khilafah. Ketika anti Khilafah, berarti menurut penulis sama saja

dengan anti Tuhan.

(132)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang

anti-Khilafah. (Paragraf 5 kalimat 1)

Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (132)

yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud dalam kata

saya. Kata saya merupakan pronomina persona yang mengacu

pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu Emha Ainun Najib.

183

Pengacuan ini konteksnya sama dengan temuan data (131)

mengenai teman-teman yang anti terhadap Khilafah.

(ii) Pronomina persona kedua

(133)Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh

“udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam

Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan

membersamakan. (Paragraf 7 kalimat 6)

Kutipan paragraf data (133) di atas menggunakan

pengacuan persona kedua tunggal seperti terlihat dalam klausa

masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk

mempersatukan dan membersamakan. Satuan lingual –mu yang

terdapat pada kata kemampuanmu merupakan pronomina persona

kedua tunggal bentuk terikat lekat kanan yang mengacu pada

pembaca. Penggunaan pronomina ini sebagai upaya penulis esai

menekankan pesan bahwa konteks Silmi cakupannya luas. Tidak

terbatas hanya untuk orang-orang yang mendukung konsep

Khilafah saja, tetapi untuk semua kalangan untuk mempersatukan

dan membersamakan. Bahkan, bukan hanya untuk kaum muslim,

karena ketika mengacunya kepada pembaca adalah tidak terbatas

oleh agama.

(134)Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari

Khilafah? (3)Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan

diayomi oleh rahmatan lil’alamin. (Paragraf 11 kalimat 2

dan 3)

Kutipan data (134) di atas menggunakan pengacuan

persona kedua yaitu pada kalimat 2 seperti terlihat dalam kalimat

Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari Khilafah?

Pronomina persona kedua tunggal bentuk bebas kau mengacu

pada unsur lain yang berada dalam teks yang disebutkan

sebelumnya, yaitu dunia. Selain itu, pada kalimat 3 yang

berbunyi Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan diayomi oleh

184

rahmatan lil’alamin pun terdapat pronomina persona kedua jamak

bentuk bebas kalian yang mengacu pada unsur lain yang berada

dalam teks yang disebutkan sebelumnya, yaitu wahai dunia.

Dalam hal ini, mengacu pada temuan data (121) dan (122) aspek

semantik latar bahwa dunia yang dimaksud adalah mengenai

keadaan saat ini yaitu adanya ketakutan kepada Khilafah. Khilafah

lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan

Terorisme.

(iii) Pronomina persona ketiga

(135)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang

anti-Khilafah. (3)Sebab mereka menentang konsep paling

mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.

(Paragraf 5 kalimat 2 dan 3)

Kutipan paragraf di atas merupakan kutipan paragraf dari

wacana dengan kode (TSK). Pada paragraf 1 di atas penulis esai

menggunakan pengacuan persona ketiga yaitu pada kalimat 3 yaitu

Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang membuat-

Nya menciptakan manusia. Pronomina persona ketiga tunggal

bentuk bebas mereka mengacu pada unsur lain yang berada dalam

teks yang disebutkan sebelumnya, yaitu teman-teman yang anti-

Khilafah. Penggunaan pronomina tersebut digunakan untuk

menyampaikan pesan mengenai pandangan penulis bahwa

Khilafah adalah keniscayaan dan desain Tuhan.

(d) Pengacuan Demonstratif

Dalam wacana TSK terdapat pronomina demonstratif

waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut

ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan

pengacuan demonstratif yang digunakan.

(136)Hari-hari ini jangan terlalu tegang

menghadapi Kaum Muslimin. (Paragraf 8 kalimat 1)

185

Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (136) yaitu

demonstratif waktu (temporal) ini yang mengacu pada waktu

kini. Penggunaan demonstratif tersebut mengacu pada konteks

data (121) dan (122) tentang keadaan dunia yang takut terhadap

adanya Khilafah. Keadaan saat ini, Khilafah lebih terkutuk dan

mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Penggunaan

demosntratif waktu tersebut menegaskan bahwa kondisi yang

disampaikan memang aktual dan relevan dengan kondisi saat

esai tersebut dibuat mengenai konsep Khilafah sebagai desain

Tuhan.

(137)Andaikan ia belum terwujud, sampai hari ini

fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan

masih Kaum Muslimin. (5)Bahkan di pusatnya sana Islam

tidak sama dengan Arab. (Paragraf 11 kalimat 4 dan 5)

Kutipan data (137) di atas menunjukkan pengacuan

demonstratif waktu (temporal) ini yang mengacu pada waktu kini.

Hal ini menunjukkan hal yang diacu penulis adalah aktual saat

wacana TSK ini dibuat. Hal yang ditegaskan tentang keadaan

negara-negara di dunia yang tidak menerapkan Khilafah seperti

halnya yang diusung oleh HTI yaitu Khilafah sebagai desain Islam

besar, tetapi keadaan dunia saat ini baik-baik saja. Penggunaan

satuan lingual Kaum Muslimin yang disampaikan dapat diartikan

sebagai Khilafah Silmi yang beorientasi pada kedamain, seperti

halnya pandangan penulis mengenai Khilafah adalah keniscayaan

dan berbeda dengan pandangan HTI.

Kemudian pengacuan demonstratif lainnya terdapat pada

kalimat 5. Dalam kalimat tersebut terdapat pengacuan demonstratif

tempat (lokasional) sana yang mengacu jauh dengan penulis. Kata

sana mengacu yang memang jauh dari tempat penulis, yaitu di

Arab. Dalam kalimat tersebut penulis ingin menegaskan bahwa

tidak semua hal dapat digeneralisasikan seperti halnya Arab

186

disamakan dengan Islam. Walaupun Islam lahir di daerah tersebut.

Generalisasi lainnya adalah tentang tidak semua Islam adalah

Khilafah. Hal ini terdapat dalam kalimat sebelumnya yang lebih

memilih Kaum Muslimin, bukan Khilafah.

(e) Pengacuan Komparatif

Dalam wacana TSK tidak ditemukan data tentang

pengacuan komparatif.

(2) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang

dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan

unsur yang lain dalam wacana. Berkaitan dengan hal itu, penulis

juga menggunakan konjungsi untuk menunjang kepaduan

tulisannya dalam wacana. Konjungsi dalam bahasa Indonesia

dikelompokkan menjadi: (a) konjungsi kordinatif (b) konjungsi

subordinatif (c) konjungsi korelatif dan (d) konjungsi antar

kalimat.

Konjungsi yang digunakan dalam wacana TSK adalah

konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif,

dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan pemakaian

konjungsi dalam wacana TSK.

(a) Koordinatif

(138)Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang

menyampaikan Khilafah kepada dunia? (Paragraf 1

kalimat 2)

Data (138) di atas menunjukkan konjungsi yang

digunakan dalam wacana dengan kode (TSK). Konjungsi yang

digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor atau

yang menyatakan makna pemilihan. Penulis ingin

187

menyampaikan dalam pertanyaan retoris tersebut bahwa tentang

keadaan yang menurut penulis sangat takut terhadap Khilafah,

penyebabnya ada dua yang oleh penulis ditanyakan kembali

kepada pembaca dengan maksud itu memang adalah sebuah

jawabannya. Penggunan konjungsi koordinatif menguatkan

temuan data (121) mengenai keadaan saat ini yaitu adanya

ketakutan kepada Khilafah. Ada dua pilihan jawaban yang

diberikan. Pertama, visi Khilafahnya memang salah. Kedua,

pihak yang menyampaikan Khilafah kepada dunia yang salah.

Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah

konjungsi tapi. Konjungsi ini terlihat pada data (139) di bawah

ini.

(139)Toh juga dengan pemahaman ilmu yang tanpa

anatomi, banyak teman mengidentikkan dan

mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir.

(5)Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah,

bukan pemilik Khilafah bukan satu-satunya kelompok di

antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh

Allah untuk menjadi Khalifah. (Paragraf 8 kalimat 3 dan 5)

Kutipan paragraf di atas memperlihatkan konjungsi

yang digunakan dalam wacana dengan kode (TSK). Konjungsi

yang digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor

dan yang menyatakan makna penambahan. Dalam kalimat 3,

penggunaan konjungsi dan digunakan dalam menjelaskan

mengenai generalisasi yang terdapat di masyarakat antara

Khilafah dengan Hizbut Tahrir. Keduanya saling diidentikkan.

Padahal menurut penulis adalah dua hal yang tidak selalu sama.

Mengenai hal itu, dilanjutkan oleh penulis penjelasannya dalam

kalimat 5. Dalam kalimat tersebut, penggunaan konjungsi

koordinatif yang memiliki makna penambahan digunakan dalam

menegaskan terkait HT atau HTI bukan satu-satunya kelompok di

antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah

188

untuk menjadi Khalifah. Hal ini berkaitan dengan struktur makro

wacana ini yaitu Khilafah adalah desain Tuhan, dengan dasarnya

adalah manusia diciptakan sebagai Khalifah, jadi otomatis tempat

yang dihuni adalah Khilafah.

(b) Subordinatif

(140)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia

mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,

“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa

Rabbun Ghofur”. (Paragraf 7 kalimat 1)

Data (140) di atas menggunakan konjungsi

subordinatif melalui konjungtor agar yang menyatakan makna

tujuan. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk

menekankan struktur makro bahwa Khilafah adalah desain

Tuhan yang tidak perlu ditakuti karena Khilafah mempunyai

tujuan mencapai “keadilan sosial”. Penggunaan konjungsi

subordinatif tujuan menjadi sesuai dalam menyampaikan

pandangan penulis terhadap Khilafah yang berbeda dengan HTI.

(141)HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan

Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah

adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya.

(5)Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah,

bukan pemilik Khilafah bukan satu-satunya kelompok di

antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh

Allah untuk menjadi Khalifah. (Paragraf 8 kalimat 4 dan 5)

Kutipan data (141) di atas memperlihatkan konjungsi

yang digunakan dalam wacana dengan kode (TSK). Konjungsi

yang digunakan adalah konjungsi subordinatif melalui

konjungtor sehingga dan yang. Konjungtor sehingga digunakan

penulis dalam menyampaikan pesan yang menyatakan makna

hasil. Hal ini terlihat dalam kalimat 4 yang menjelaskan

mengenai kesalahan yang dilakukan oleh HTI dalam

menyampaikan Khilafah sehingga hasilnya adalah terjadi

189

kekeliruan dalam memahami Khilafah di masyarakat. Selain itu,

konjungtor yang digunakan penulis dalam menyampaikan pesan

yang menyatakan atributif, yaitu menjelaskan kata atau frasa

sebelumnya. Penggunaan konjungsi ini menguatkan temuan data

struktur makro yaitu Khilafah adalah desain Tuhan, dengan

dasarnya adalah manusia diciptakan sebagai Khalifah, jadi

otomatis tempat yang dihuni adalah Khilafah.

(c) Korelatif

Dalam wacana TSK, ditemukan 1 data yang menggunakan

konjungsi korelatif. Namun, penggunaan konjungsi tersebut tidak

berhubungan fokus pembahasan yaitu tentang Khilafah.

(d) Antar kalimat

Konjungsi antarkalimat ini berbeda dengan konjungsi-

konjungsi sebelumya. Konjungsi antarkalimat adalah sebuah kata

hubung yang menghubungkan satu kalimat dengan kaimat yang

lain. Oleh sebab itu, jenis konjungsi ini selalu muncul di awal

kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan

menggunakan huruf kapital.

(142)Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah

mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur,

celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi

ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan

shalawatan. (6)Apalagi dunia sekarang justru diayomi

oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam

Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan

membersamakan. (Paragraf 7 kalimat 3 dan 6)

Data (148) di atas menggunakan konjungsi

antarkalimat melalui konjungtor apalagi yang menyatakan

makna penegasan. Konjungsi tersebut untuk mempertentangkan

kalimat sebelumnya, yaitu kalimat tanya Apanya yang

ditakutkan?. Penggunaan konjungsi tersebut sebagai upaya

190

penulis dalam menegaskan bahwa tidak perlu ada yang

ditakutkan dengan Khilafah karena Khilafah adalah desain

Tuhan. Tanpa ribut mengenai Khilafah pun, di dalam tubuh

Islam sendiri sudah dan masih banyak pertentangan antar umat

Islam sendiri mengenai hal-hal yang bersifat furuiyah seperti

hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik

haram.

Penegasan tersebut digunakan juga oleh penulis dalam

kalimat 6 dengan menggunakan konjungtor yang sama, yaitu

apalagi. Sebagai kalimat terakhir dalam paragraf, penulis ingin

menekankan bahwa tanpa Khilafah yang sedang diusung oleh

HTI, keadaan saat ini sudah menerapkan Khilafah Silmi tanpa

dirancang oleh desain Islam besar seperti halnya yang dicita-

citakan HTI. Penegasan ini juga mengulang pendapat

sebelumnya bahwa pandangan mengenai Khilafah antara HTI

dan Emha Ainun Najib itu berbeda.

c) Kohesi (Leksikal)

Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis

juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang

kepaduan wacana TSK. Adapun peranti kohesif leksikal yang

digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan kutipan

tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang digunakan dalam

wacana TSK.

(1) Repetisi

(149)Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama

dengan Arab. (6)Arab tidak sama dengan Saudi. (7)Saudi

tidak sama dengan Quraisy. (8)Quraisy tidak sama

dengan Badwy. (Paragraf 11 kalimat 5 s.d 8)

191

Data (149) di atas terdapat repetisi yang digunakan.

Kohesif repetisi yang digunakan adalah repetisi anadiplosis

yang menunjukkan pengulangan kata atau frasa terakhir dari

baris atau kalimat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris

atau kalimat berikutnya. Pengulangan tersebut digunakan oleh

penulis dalam menekankan tentang perlunya membedakan antara

HTI dan Khilafah seperti temuan data (141). Kesalahpahaman

yang terjadi di masyarakat mengakibatkan munculnya ketakutan

terhadap Khilafah, bahkan di umat Islam sendiri. Untuk

menguatkan itu, penulis dalam data (149) di atas memberikan

contoh yang mempunyai kesamaan dalam kekeliruan,

kesalahpahaman seperti itu dicontohkan dengan Islam yang tidak

sama dengan Arab. Agar pesan itu sampai kepada pembaca,

maka ditekankan oleh penulis dengan menggunakan repetisi

anadiplosis.

d) Koherensi

Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga perlu

diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi merupakan

pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi

suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang

dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang digunakan

dalam wacana TSK di antaranya hubungan ibarat. Berikut ini merupakan

aspek koherensi yang digunakan dalam wacana TSK.

(1) Hubungan Ibarat

(150)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya

dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak

membebani manusia melebihi kadar kemampuannya).

(2)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan

Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina

192

martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari

jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 1 dan 2)

Kutipan data (150) di atas menunjukkan koherensi ibarat

dengan cara kalimat pertama diibaratkan seperti yang dinyatakan

pada kalimat berikutnya.. Gagasan pada kalimat 1 tentang Allah

tidak membebani manusia melebihi kadar kemampuannya

diibaratkan dengan gagasan pada kalimat 2 yaitu bahwa Seorang

kuli pasar mungkin hanya akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,

hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri

harta orang, menghina martabat sesama manusia, atau

memisahkan nyawa dari jasad manusia. Gagasan yang muncul

pada kalimat 2 menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang

terdapat pada kalimat 1. Penggunaan koherensi ibarat ini

digunakan oleh penulis sebagai upaya memyampaikan pesan

tentang tidak adanya kewajiban dalam membangun Khilafah

sebagai sistem ketatanegaraan seperti halnya yang dicita-citakan

oleh HTI. Gagasan ini pernah disampaikan dalam temuan data

wacana KIKS yang memberikan solusi dengan penerapan Khilafah

Silmi. Selanjutnya dikuatkan dengan wacana KN dengan

mengungkapkan bahwa NKRI sudah sebuah aplikasi Khilafah.

Kesederhanaan berpikir itu dapat dilihat dari contoh yang diberikan

seperti kuli pasar sebagai realitas manusia di Indonesia yang

beragam.

(151)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak

dengan berbagai hal tentang NKRI. (2)Bahkan hal-hal

yang mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan

nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi

hingga Era Klayapan sekarang ini. (3)Tapi saya tidak

sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan

mentah makanan serta alat-alat dapur. (4)Saya berada di

warung depannya, dengan makanan minuman yang sudah

tersedia. (5)Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur,

tetapi kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih

193

dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding

kemungkinan manfaat-nya. (Paragraf 20 kalimat 1 s.d 5)

Kutipan data (151) di atas menunjukkan hubungan ibarat

yang digunakan dengan kalimat pertama diibaratkan seperti yang

dinyatakan pada kalimat berikutnya. Gagasan pada kalimat 1

menunjukkan adanya keadaan bahwa penulis juga sebenarnya

terdapat hal-hal yang tidak setuju dan merasa tidak jenak dengan

berbagai hal tentang NKRI. Pada kalimat 2 penulis menambahkan

bahwa ketidaksetujuan dan ketidakjenakan itu terdapat pada hal-

hal mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai

Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi hingga Era

Klayapan sekarang ini. Kemudian pada kalimat 3 dan 4, penulis

mengibaratkan bahwa dia tidak sedang berada di dapur dikepung

oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-alat dapur. Ia

sedang berada di warung depannya, dengan makanan minuman

yang sudah tersedia. Kemudian pada kalimat 5 mengungkapkan

bahwa jika memang mau memperbaiki hal-hal yang tidak setuju

dan tidak jenak seperti yang diungkapkan pada kalimat 1 dan 2,

maka menurut penulis sudah pasti perbaikannya harus dari dapur,

tetapi kalau penulis memaksakan diri untuk mengambil alih

dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding

kemungkinan manfaat-nya. Gagasan yang muncul pada kalimat 3,

4 dan 5 menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang terdapat

pada kalimat 1 dan 2. Hal ini menunjukkan upaya penulis dalam

membentuk paragraf yang padu melalui koherensi.

3) Aspek Retoris

Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang

digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada

unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup penampilan

grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan. Dalam

194

wacana wacana TSK ditemukan 2 aspek ini, yaitu aspek grafis dan

aspek metafora.

a) Grafis

Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian untuk

menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh penulis

yang dapat diamati dari teks atau wacana. Berikut ini disajikan

beberapa kutipan yang menunjukkan grafis yang digunakan dalam

wacana TSK.

(152)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia

mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,

“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun

Ghofur”. (4)Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut

kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan

bersama-sama”. (6)Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh

“udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh

kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

(Paragraf 7 kalimat 1, 4, dan 6)

Kutipan data (152) di atas menggunakan unsur grafis dalam

paragraf 7 kalimat 4 dan 6. Kalimat 4 terdapat frasa ke dalam Islam.

Kalimat 6 terlihat dalam frasa ke dalam Silmi. Kedua frasa di atas

yang terdapat dalam dua kalimat secara berturut-turut menggunakan

unsur grafis dengan cara cetak tebal. Pemakaian cetak tebal tersebut

dimaksudkan penulis esai untuk menonjolkan penekanan antara Islam

dan Silmi. Ada dua perbedaan mendasar menurut penulis dengan

dua kata tersebut. Hal itu menyangkut dengan perbedaan pandangan

mengenai Khilafah antara Emha Ainun Najib dan HTI. Menurut

Emha, Khilafah cukup dengan Khilafah Silmi yang berorientasi

pada kedamaian dan menyesuaikan dengan kondisi wilayah masing-

masing dengan ragam sosial budaya dan masyarakatnya. Sedangkan

HTI memandang bahwa Khilafah yang diusund adalah Khilafah

Islam sebagai sistem ketatanegaraan dengan wujud desain besar

Islam.

195

Selain dengan menggunakan cetak tebal, penulis esai juga

menggunakan tanda petik dua (“) pada frasa keadilan sosial dalam

kalimat 1 dan klausa masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya

dan bersama-sama dalam kalimat 4. Pemakaian tanda petik dua (“”)

tersebut dimaksudkan penulis esai untuk menonjolkan satuan lingual

tersebut. Satuan lingual keadilan sosial dimaksudkan penulis sebagai

tujuan Khilafah Silmi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Satuan

lingual tersebut dapat dikaitkan dengan sila ke-lima Pancasila yaitu

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini digunakan

oleh penulis sebagai penekanan bahwa Indonesia sudah menerapkan

Khilafah Silmi dengan adanya Pancasila yang sudah relevan dengan

hakikat Khilafah itu sendiri yang menurut penulis sebagai

keniscayaan. Dari segi retoris, inilah cara penulis esai untuk

menonjolkan hal yang dianggap penting oleh penulis.

b) Metafora

(153)Banyak hal yang membuat saya panèn hikmah,

pengetahuan, ilmu dan berkah. (5)Misalnya saya tidak tega

kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan

karena kalap dan menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa

kelengkapan pengetahuan. (6)Sementara saya yang memetik

laba ilmu dan berkahnya. (Paragraf 3 kalimat 4 s.d 6)

Kutipan data (153) di atas merupakan penggunaan metafora

dengan menggabungkan kata panen dengan kata hikmah dalam

kalimat 4. Kata panen biasanya digunakan untuk memetik hasil

sawah atau ladang, tetapi dalam hal ini penulis

menggabungkannya dengan kata hikmah. Kata panen dalam hal ini

diartikan beroleh keuntungan dengan mudah. Hal serupa juga

terdapat pada kalimat 5 seperti terlihat dalam klausa defisit masa

depan. Kata defisit biasanya digunakan untuk mengaitkan

kekurangan dalam anggaran belanja. Tetapi, penulis esai mencoba

menggabungkannya dengan frasa masa depan. Pada kalimat 6 pun

terlihat pada klausa memetik laba ilmu. Kata kerja memetik biasanya

196

disandingkan dengan hal-hal yang berjenis tanaman. Namun, penulis

esai menggabungkannya dengan frasa yang menggunakan unsur

metafora juga yaitu laba ilmu. Kata laba biasanya berhubungan

dengan penjualan, pembelian, dan biaya produksi. Namun kali ini

kata laba disandingkan dengan kata ilmu.

(154)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh

Allah. (6)Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan

menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta

dipeluknya — tanpa saya pernah memprogramnya. (Paragraf 9

kalimat 1 dan 6)

Selain itu, dalam data (154) di atas juga ditemukan

metafora dalam kalimat 1 dengan menggunakan kata kerja pasif

dilantik. Kata kerja tersebut biasanya digunakan dengan hal-hal

yang berhubungan jabatan atau birokrasi, namun kali ini penulis

menggunakanya dengan dihubungkan dengan Allah yang melantik

manusia menjadi Khalifah. Selanjutnya pada kalimat 6 terlihat

metofora yang digunakan pada klausa seluruh alam semesta

dipeluknya. Makna metafora yang sampaikan oleh penulis esai pada

kutipan di atas adalah cinta yang dimiliki oleh kata ganti saya yang

merujuk pada penulis sangatlah besar, sampai seluruh alam semesta

dipeluknya. Berdasarkan metafora ini penulis esai dapat

menyampaikan makna yang ingin disampaikan, selain itu

metafora ini juga bisa dikatakan bumbu dalam wacana di atas.

197

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan masalah yang yang diajukan, pada bagian penutup ini

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Struktur makro pada wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun

Najib di Caknun.com terlihat pada topik, subtopik, dan fakta. Secara

global makna yang disampaikan penulis dalam wacana adalah yaitu, (1)

tema Seorang muslim tidak harus mendirikan atau masuk ke Khilafah

Islam, tetapi cukup masuk ke dalam Khilafah Silmi, (2) tema Aplikasi

Khilafah dalam NKRI, (3) tema HTI Perlu Pengguliran Diskusi Publik

tentang Khilafah, (4) tema Khilafah adalah Desain Tuhan yang Tidak

Perlu Ditakuti.

2. Struktur supra wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di

Caknun.com terdiri atas (1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh atau

isi, dan (4) penutup. Berdasarkan struktur tersebut wacana Esai tentang

Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com dapat digolongkan

sebagai wacana yang terstruktur.

3. Strukur mikro Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di

Caknun.com terdiri atas (1) latar; (2) rincian, (3) bentuk kalimat aktif dan

kalimat pasif , (4) penanda kohesif dan koherensi; (5) pemakaian kata

ganti, (6) pemakaian grafis, dan (7) metafora. Selanjutnya, bentuk kalimat

aktif yang digunakan lebih banyak dibandingkan kalimat pasif. Hal itu

dikarenakan penulis lebih menonjolkan subjektifitas penulis dalam

memberikan argumentasinya, terutama dalam memberikan penjelasan

mengenai konsep Khilafah yang berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia.

Piranti kohesif gramatikal yang digunakan adalah referensi, dan konjungsi.

Pola pengacuan (referensi) yang digunakan terdiri atas pola pengacuan

198

endofora (anafora dan katafora). Selanjutnya, konjungsi yang

digunakan dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib

di Caknun.com memiliki makna, yaitu makna adversatif, kausal,

koordinatif, dan korelatif.. Piranti kohesif leksikal yang digunakan adalah

repetisi. Selanjutnya, penanda koherensi yang digunakan adalah (1)

hubungan sebab akibat, (2) hubungan sarana hasil, (3) hubungan sarana

tujuan, (4) hubungan latar kesimpulan, (5) hubungan perbandingan, (6)

hubungan parafrastis, (7) hubungan aditif waktu (simultan dan berurutan),

(8) hubungan identifikasi, dan (9) hubungan ibarat.

4. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa struktur mikro

yang digunakan penulis dalam membangun Esai tentang Khilafah Karya

Emha Ainun Najib di Caknun.com cukup lengkap. Dari banyaknya aspek

mikro yang digunakan, penulis lebih dominan menggunakan aspek

retorika yang terdiri dari aspek grafis dan metafora. Penggunaan grafis

yang sangat dominan menunjukkan pada siasat dan cara yang digunakan

oleh penulis esai untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang

ditonjolkan. Hal itu ditunjukkan dengan memberikan cetak tebal untuk

satuan lingual yang menurut penulis penting. Sedangkan penggunaan

metafora dimasudkan sebagai ungkapan untuk menyatakan hal pokok dari

wacana. Penggunaan metafora ini juga dapat dikatakan dominan karena di

setiap esai selalu ada penggunaan metafora dan ini menjadi ciri khas

penulis. Sehingga argumen-argumen yang disampaikan dalam esai

terkesan bermuatan sastra. Hal itu cukup mendukung wacana ini menjadi

wacana yang kohesif dan koheren. Hal itu dibuktikan dengan hubungan

antarkalimat yang sudah terjalin dengan padu dan utuh. Dengan demikian,

pembaca mudah memahami pesan yang disampaikan penulis dalam

wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com.

Berkaitan dengan hal itu, wacana ini dapat digunakan sebagai bahan

pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran menulis, baik di tingkat

pendidikan menengah maupun pendidikan atas.

199

B. Saran

Berdasarkan tindak lanjut penelitian ini, maka dapat diperoleh beberapa

saran, yaitu:

1. Bagi ahli bahasa disarankan agar menggunakan hasil penelitian ini

untuk memperluas wawasan tentang teori belajar bahasa, khususnya

tentang analisis wacana kritis. Dalam hal ini, informasi-informasi yang

diperoleh melalui penelitian ini seperti struktur supra, struktur mikro dan

struktur makro dalam wacana dapat digunakan untuk mendukung dan

menjelaskan teori-teori analisis wacana kritis yang sudah ada.

2. Bagi siswa Sekolah Menengah Atas agar menggunakan hasil

penelitian ini sebagai bahan pembelajaran dalam meningkatkan kualitas

keterampilan menulis karangan dan yang lebih mengkhusus menulis esai.

3. Bagi guru bahasa Indonesia agar mengunakan hasil penelitian tentang

Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai Khilafah Emha Ainun Najib

di Caknun.com dalam menyusun pembelajaran menulis karangan,

khususnya menulis esai.

4. Bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini

agar digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan kemampuan dan

menambah wawasan dalam menganalisis wacana pada mata kuliah

Analisis Wacana.

5. Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini agar dijadikan bahan

pertimbangan untuk melakukan penelitian dengan kajian yang sama dan

lebih mendalam.

200

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:

Balai Pustaka, 2003.

Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Badara, Aris. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana

Media. Jakarta: Kencana, 2012.

Brown and Yule. Discourse Analysis. Cambridge: Cambrige University Press,

1983.

Chomsky, Noam. Cakrawala Baru Kajian Bahasa dan Pikiran. Tangerang

Selatan: Logos Wacana Ilmu, 2000.

Dijk, Teun A van. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and

Society 4:249-83, 1993.

Dijk, Teun A van. News Analysis: Case Studies of International and National

News in the Press. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Publisher,

1988b.

Dijk, Teun A van. Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction.

Barcelona: Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOS), 2003.

Dijk, Teun A van. Episodic Models in Discourse Processing. New York:

Academic Press, 1985.

Dijk, Teun A van. Discourse Semantic Analysis. London: Academic Press

London, 1985.

Dijk, Teun A. van. Ideology and Discourse Analysis. Journal of Political

Ideologies, 2006.

201

Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS,

2001.

Gee, James Paul. An Introduction to Discourse Analysis Theory and Method.

London: Taylor & Francis e-Library, 2001

Hamad, Ibnu. Wacana. Jakarta: La Tofi Enterprise, 2010.

Hartono, Bambang. Dasar-dasar Kajian Wacana. Semarang: Pustaka Zaman,

2012.

Ibrahim, Abd. Syukur dkk. Aliran-Aliran Linguistik. Surabaya: Usaha Nasional,

1985.

Ihsan, Diemroh. Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa. Palembang:

Universitas Sriwijaya, 2011.

Kalijernih, Freddy K. Penulisan Akademik. Bandung: Widya Aksara Press, 2010.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia, 1988.

Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia, 1990.

Kushartanti dkk. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:

Gramedia Pustaka, 2009.

Miles, Matthew dan Huberman, Michael. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:

Universitas Indonesia (UI-Press), 2014.

Mahsun. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Mubarok, Muhammad Sofi. Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah. Jakarta: Pustaka

Harakatuna, 2017.

Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis

Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

202

Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2009.

Rosidi, Sakhban. “Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian

Wacana,” Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan

Mahasiswa Islam Komisariat Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15

Desember 2007.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015.

Sugono, Dendy. Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progres,

2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta Bandung, 2006.

Sumarlam. Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Solo: Pustaka Cakra, 2003.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Analisis Konstrastif Bahasa. Bandung:

Angkasa, 1992.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung, 2009.

Widyamartaya, A. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

203

LAMPIRAN

204

Lampiran 01 Sampel Esai

Khalifah Islam dan Khilafah Silmi

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara, itu tidak

berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi “persona non

grata.” Kalau dikaitkan dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada

rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap

orang atau kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang

meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang menanggung

resikonya. Ada juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang

hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru mereka sedang

menjalani ujian kenaikan derajat.

(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga penduduknya

berjuang mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para Prajurit

Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk

semakin nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi

hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah payung untuk

berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.

Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan

atau ambil yang baru di Toko Ilmu.

(3)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah menghimpun ilmu

dan menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke kampung halaman aslinya,

yakni Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,

meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua rentang

waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal anharu kholidina fiha

abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.

(4)Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu manusia untuk

menata pagar di antara penduduk Bumi. Karena di kehidupan Dunia yang

ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan

kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu kebebasan

orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan training sejenak di Bumi

agar manusia belajar berbagi kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak

sebagai penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya

kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah selama

di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,

pembunuhan dan pemusnahan.

(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas

semua hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan kemungkinan baik

atau buruk bagi sandang, pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak

berkuasa atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak

menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya, sehingga rela

205

menjadi buih yang diseret dan diombang-ambingkan ke manapun Negara

dan Pemerintahnya mau.

Keniscayaan Khilafah

(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah,

karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali

menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta

dan saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya

“patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan,

tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung, hutan, angin,

dedaunan dan embun, juga detak jantung manusia, aliran darahnya,

kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh

kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas

sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips

yang bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.

(7)Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan, hewan adalah

makhluk kepastian, meskipun sebagian di antara mereka ada yang

menjadi wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.

Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan

berbagi dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas tertentu,

dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit. Manusia bisa melanggar

batas yang sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan

Development bisa merusak bumi, dengan memberangus sesama manusia

yang menentangnya.

(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa

“membolos” dari kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka memulai

Semester berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia tidak

bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang dan

waktu yang selain milik Tuhan. Manusia tidak bisa mengelak dari

tanggung jawabnya sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada)

yang wajib dijalaninya.

(9)Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di empat lapisan

langit Surga, yang semua teduh berwarna dominan hijau tua. Manusia

“ngunduh wohing pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya.

Bumi adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari Akhirat.

Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung besar

Akhirat, yang juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

(10)Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-sungguh berlatih

menjadi penduduk Surga. Serta menjunjung kemuliaan untuk mencita-

citakan agar seluruh bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni

Surga. Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau Syaikh

Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan Indonesia 1980-an

oleh Syaikh Abdurahman Al-Baghdady.

206

(11)Mereka orang-orang baik sebagai manusia, sangat menyayangi

penduduk Bumi dan mencita-citakan semua manusia lintas-Negara agar

kelak bercengkerama dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai

kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar, semacam grand design

untuk seluruh wilayah di Bumi. Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh

atau komunitas inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas

membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di seantero Bumi –

maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan

berangkat dari Nol.

(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen,

plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan, berbagai-

bagai jalan ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis

darah, marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI

hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan

sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi

total atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga

pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.

(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari kegelapan menuju

cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan pengambil-alihan

kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-

kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah Unggul.

(14)Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas

perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi

secara utuh dan tunai. Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata

Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi sukar

dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa

mengandung perbedaan antara kedua kata itu.

(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan “Udkhulu fil-Islami

Kaffah”: membangun sistem Islam besar nasional dan global. Sangat

meyakini kebenaran Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara

saya seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari Allah.

Kelak kita mempertanggungjawabkan kehidupan di hadapan Allah secara

individual, tanpa bisa ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:

sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan kita,

kemudian hak prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk menawar nasib

kita dalam konteks dialektika cinta.

(16)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di perempatan

jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya bayangkan

akan ditagih oleh Allah hal-hal mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau

Malaikat menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial, sistem

pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar industrialisme dan

sistem perbankan Dunia. Juga untuk menjadi Muslim yang tidak masuk

207

Neraka apakah ia harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus

berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut Tahrir.

(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la

yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia

melebihi kadar kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan

ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-

Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat sesama

manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia.

(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang mungkin hanya hafal

Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam

terhadap tata nilai Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,

kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak pandai dan

‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak canggih shalat dan bacaan

Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit

siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.

(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang tukang jahit di

pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah

Negara Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa

menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah,

mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar. Karena setiap huruf

yang saya ketik bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan

Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga

gagah perkasa memprogram pengkhilafahan Indonesia.

Syariat Allah di Alam dan Manusia

(20)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak dengan berbagai

hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang mendasar sejak persiapan

kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba

Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang

berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-

alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan makanan minuman

yang sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur, tetapi

kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian

mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan manfaat-nya.

(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka wilayah kehidupan

saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak mau meladeni kekerdilan cara

berpikir tanpa kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan

antara Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan

Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan

Islamis. Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-

Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan antara

Bumi dengan Langit dan antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak

famili dari terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi.

(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau prinsip Khilafah

identik-formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua

208

manusia adalah Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya

tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan Khalifah.

(23)Pada hakikinya semua makhluk adalah representasi atau

manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga tak ada

kehampaan atau kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.

Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya:

metabolisme semesta, organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan

galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah, gunung

menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam semesta menari-nari,

menyusun koreografi yang luar biasa, beredar pada porosnya, berputar satu

sama lain.

(24)Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan hukum dan

penataan aturan yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu persesuaian

dan kepatuhan kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan

birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan

manusia dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada

Syariat Allah.

(25)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah

seperti pohon, mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan

secara alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya,

namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa itu adalah

ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia menginisiali Syariat Allah

itu dengan nama Syariat Islam, sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma,

Bebekti, dan banyak lagi.

(26)Semua makhluk adalah utusan Tuhan, “Rasul”-Nya. Dituliskan

oleh para Malaikat atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh.

Sejak awal mula penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat

mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur Muhammad”,

dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah

merebakkannya menjadi alam semesta dan umat manusia. Maka para

Malaikat semua, kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,

meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan

Muhammad adalah utusan Allah”.

(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur Muhammad, yang

kumparan dan gelombangnya mentransformasi menjadi jagat raya — dan

itulah yang disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.

Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah, Muhammad-manusia

dengan kontrak 63 tahun di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah yang

membawa berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari

Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat sejatinya, Nabi

adalah pangkatnya, Rasul adalah jabatannya di Bumi.

(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara nasional di

Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan Maulid Nabi

diselenggarakan pada bulan Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra`

yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia.

Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja karena tatkala “Kun”

209

dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan

tahun yang dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai

Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut

kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa

siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa

Negara Khilafah.

(KIKS)

Khilafah NKRI

(1)Mungkin ini bukan yang paling urgen. Tetapi apa yang tidak urgen

di Indonesia hari ini? Perkara mana yang kalah urgen dibanding lain-lainnya?

(2)Ibarat sedang masak sayur di dapur, perkenankan saya

menuntaskannya menuju matang.

(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang menyangkut

penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati

setiap kali menatap Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena

lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak

kenal” saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib “lapor”

kepada diri saya sendiri:

(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah

aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah

benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau

kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar

atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan

ini.

(5)Karena saya tidak mau bikin perkara dengan Tuhan Yang Maha

Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan manusia adalah “Inni

Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai

Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak, ada Hizbut-Tahrir atau

tidak, pakai Hizib-Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari

wujud adanya manusia.

(6)Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan kelapa bukan

semangka, kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut

Nabi Musa keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa tahu

berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya,

beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak

punya secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.

(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah adalah tuntunan

manajemen agar perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi

Seluruh Rakyat Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan

keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila dengan Metoda

Khilafah. Juga Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.

(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah tidak membebani

manusia melebihi kadarnya. Khilafah adalah Allah mentransfer benih-

benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat

210

sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-hambaNya berkebun dengan

menghasilkan buah-buah surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya

menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.

(9)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya

“kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber filosofi Anda.

Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut, di-

tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-cocokan di antara kita,

faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu-

gelombang-annya. Belajar terbuka dan jujur saja.

(10)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan menjadi alat dan medan

untuk kita berperang. Belajar menentukan kadar “puasa” dan tahan diri

masing-masing, agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul umuri

ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a rofa’aha

wawadlo’al mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,

meletakkan keseimbangan pada keduanya.

(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari Nol-Peradaban,

sehingga semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara murni dari

awal persemaian. Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis

pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan

kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan

berendah-hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap

segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.

(12)Allah juga memberi keringanan kepada kelemahan manusia. Ia

tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain Islam besar, yang

berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin sore”, 14 abad

silam, tatkala Ia menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini

telah kulengkapkan Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada

kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai modal

untuk membangun peradaban di sisa senja hari usia alam semesta.

(13)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam Silmi secara

kaffah”. Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah

di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya “nekad”

menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”,

“Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung, pesantren,

padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. Saya berpuasa

dari Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak

pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

(14)“Sinau Bareng” dengan anak-anak muda, Bapak Ibu Kakek

Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres, Dandim,

Danramil, Kapolsek, para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu

dan simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita. “Indonesia

Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami jadikan landasan berpikir, bersikap

dan mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi

211

kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.

(15)Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan

menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani

agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan

Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta berbagai “hawa

global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin manusia lainnya.

(16)72 tahun merdeka belum cukup untuk membangun Indonesia

Besar yang tidak besar kepala di Jakarta. Yang bisa membedakan antara

“otoritas” dengan “otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-

wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya. Tidak

memusuhi siapa saja yang seharusnya dirangkulnya. Tidak merasa pantas

untuk sewenang- wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak

meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau perilaku apapun

agar tercapai kepentingannya.

(KN)

Tongkat Perppu dan Tongkat Musa

(1)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan

HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami

“maiyahan” di halaman Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik

oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang

Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang terukur untuk

tidak mencintai secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap dan

amarah.

(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima

tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para

perwira tinggi dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran

variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan

saya sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada HTI maupun

Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati

Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat

Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis

otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi penggunaan

kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding, jargon politik,

icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut

fenomena “aurat”.

(3)Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada

Kaum Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe

Penyet “Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor

“Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau

Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”

dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. Meskipun saya

tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban

212

“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram “Visa

Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas

“Pohon Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.

(4)Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt

bertuliskan “Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya

sedang meyakinkan dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.

Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian dari “aurat”,

sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,

sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI

dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI

adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah.

Padahal NU, Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di

Bumi.

(5)HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik

tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik,

bendera ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat

semua yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada

teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa

kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah

bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.

Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu

mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang

leher Anda akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.

(6)Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI,

karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa

Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi

supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan

membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.

Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan

Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita

punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan.”

(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI

Khilafah itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan).

Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan

kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.

Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan

dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi

tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama.

Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan

kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah

sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia dengan segala

kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan kesesatannya,

kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni.

213

(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,

Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau

Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke

dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati tidak

menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”. Kelihatannya itu terkait

dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia. Allah

tidak membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia bukan

Sorga. Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit

beberapa lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau

bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan

hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah

usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.

(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar

maupun kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah

dengan taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk

tidur berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah

Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan

kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama,

Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah

Khilafah.

(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti

yang di depannya. Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang

mengkonsep seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha

Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan Global kita adalah

Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah Air ini milik-Nya, kalau mau menggali

isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan

Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian bilang

terima kasih sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara Pancasila adalah

menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan

inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah.

(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak

dan luas lagi. Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar

memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa

aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan

bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan darah”

(definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat dan nyawa satu

sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).

(12)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan

tentang Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada

Evolusi Empat. Spektrum filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri

dan mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada ilmu dan

teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu

yang berevolusi. Dunia sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci

antara Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang

bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana Kelapa

214

juga kebanyakan masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,

bahkan jumud dalam semangat Bluluk.

(13)Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus

kepada teman-teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan

melotot kepada rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan

tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah kasih sayang dan

pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). Kalau tidak sangat

terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi

“Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat yang

tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat

Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan Indonesia

perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.

(14)Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal,

Moderat: afala ta’qilun, tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau

telan begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang radikal.

Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak

memerlukan apapun dari saya. Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing

in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan

Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang”, kata adik

kesayangan saya Ebiet G. Ade.

(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.

Masalah tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir

dan seribu kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan

“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan. Bhinneka

Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai dan saling menerima. Cinta

plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta plus

Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian plus Kepentingan =

Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan Firaun adalah kehancuran.

Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat

Musa.

(16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya

sejarah panjang tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia.

Bangsa Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia

adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-

Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-

garap, kata penduduk Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.

(TPTM)

The Scary Khilafah

(1)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi

Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3

abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan

pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh

Khilafah.

215

(2)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara

memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan

uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan

Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan

hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia,

bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk

dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan

dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.

(3)Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke

spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah.

Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya

panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega

kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan

menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.

Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

(4)Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas

alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma

kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia

Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk.

Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara.

Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan.

Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.

(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah.

Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka

menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan

manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas

menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni

ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi.

Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia

ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia

lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”,

“Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya

Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.

(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari

desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya,

visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-

nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam

semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia,

adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”.

Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya

juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.

Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk

memetik “blimbing” yang bergigir lima.

(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan

sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun

thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat

216

Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah

kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta

untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium

untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan

bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia

sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam

Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin.

Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar

tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman

ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit

urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati

mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah

adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI

bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya

kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah

untuk menjadi Khalifah.

(9)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak

bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang

menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan

saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu

membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan

sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit

kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan

menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya —

tanpa saya pernah memprogramnya.

(10)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak

punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya.

Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a

falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau

kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di

mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan

udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa

membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.

(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi

kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia,

apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian

akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai

hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih

Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab.

Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy

tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan

ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.

(TSK)

217

Lampiran 02 Analisis Struktur Makro

Judul : Khalifah Islam dan Khilafah Silmi

Kode : KIKS

No Aspek Analisis

Struktur

Makro

Analisis

1 Tema/topik Paragraf 14

(14)Maka saya memberanikan diri mencari

pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi

kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan tunai.

Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata Islam,

melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi

sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan

Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua kata

itu. (TEMA/TOPIK)

2 Sub Topik Paragraf 18

(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang

mungkin hanya hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat

pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai

Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,

kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging.

Tidak pandai dan ‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg.

Tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun,

menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-

siapa dan tidak merusak apa-apa. (SUB TOPIK)

Paragraf 19

(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar

seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh

Allah tanpa menjadi warga negara sebuah Negara

Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga

tanpa menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia.

Kalau saya salah, mohon dilembuti dengan informasi

yang lebih benar. Karena setiap huruf yang saya ketik

bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan

keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir

mendekati mutlak, sehingga gagah perkasa memprogram

pengkhilafahan Indonesia. (SUB TOPIK)

Paragraf 21

(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka

wilayah kehidupan saya pastilah Khilafah. Tapi saya

218

tidak mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa

kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang

mempolarisasikan antara Pancasila dengan Islam, antara

Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan, antara

Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan Islamis.

Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan

Agama-Ardli, antara Kesalehan Individu dengan

Kesalehan Sosial, bahkan antara Bumi dengan Langit dan

antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak famili dari

terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi. (SUB TOPIK)

3 Fakta Paragraf 6

(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas

‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak

punya kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)

Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan

saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia:

tugasnya “patuh dengan kesadaran akal”. Semua

benda patuh kepada Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran

akal. Sungai, gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,

juga detak jantung manusia, aliran darahnya, kesegaran

dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua

patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan

kesadaran akal hanya entitas sistem makhluk manusia

yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips yang

bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.

(FAKTA)

Paragraf 12

(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal

Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai

faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh

menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah,

marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya.

Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa

menemukan jalan sejarahnya kecuali harus melakukan

pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau kudeta:

membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,

dari BI hingga Bank Plecit. (FAKTA)

Paragraf 17

(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya

dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah

tidak membebani manusia melebihi kadar

kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan

219

ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan

Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,

menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan

nyawa dari jasad manusia. (FAKTA)

Paragraf 22

(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau

prinsip Khilafah identik-formal dengan suatu Organisasi

atau golongan, sementara semua manusia adalah

Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya

tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan

Khalifah. (FAKTA)

Paragraf 28

(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara

nasional di Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal.

Sedangkan Maulid Nabi diselenggarakan pada bulan

Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra` yang

merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-

manusia. Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan

saja karena tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan,

belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan tahun yang

dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa

mencintai Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun

bersembahyang, lemah lembut kepada tetangga, tidak

maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa siapapun

untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa

Negara Khilafah. (FAKTA)

Judul : Khilafah NKRI

Kode : KN

No Aspek Analisis

Struktur

Makro

Analisis

1 Tema/topik Paragraf 4

(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI

ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala

keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia

hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau

kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja

atau tidak, sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya

nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.

(TOPIK/TEMA)

2 Sub Topik Paragraf 7

220

(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah

adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita

memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan

keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila

dengan Metoda Khilafah. Juga Memahami Khilafah

lewat Pintu Pancasila. (SUB TOPIK)

Paragraf 8

(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah

tidak membebani manusia melebihi kadarnya. Khilafah

adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia

menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba

merawat sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-

hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah

surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan

buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.

(SUB TOPIK)

3 Fakta Paragraf 11

(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam

dari Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa

dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian. Di

Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis

pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu.

Khilafah memerlukan kearifan manajemen, memahami

batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-hati

untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap

segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh. (FAKTA)

Judul : Tongkat Perppu dan Tongkat Musa

Kode : TPTM

No Aspek Analisis

Struktur

Makro

Analisis

1 Tema/topik (5)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang

diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk

menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua

yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat

kemukakan kepada teman-teman HTI: “Bagaimana

mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa kesabaran

berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa

221

Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi

bagi problem ummat manusia. Kalau kita masukkan

makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu

mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti

akan dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu

Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram

oleh tangan kekuasaannya”. (TOPIK)

2 Sub Topik (6)Kepada teman-teman Polri saya mohon

“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium

3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus,

nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-

serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.

Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari

masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling

dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan

anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”.

(SUB TOPIK)

(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda

dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-

Maidah (hidangan). Sementara bagi saya Khilafah itu

benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah

yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang

berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang

tidak sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-

sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi

tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang

juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%,

50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah

hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan

Allah sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan

semua manusia dengan segala kelemahan dan

kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan

kesesatannya, kelak tetap memperoleh kedermawanan

hati Allah untuk diampuni. (SUB TOPIK)

(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon

Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,

Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is

beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam

Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati

tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.

Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan hati Tuhan

tentang batas kemampuan manusia. Allah tidak

222

membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya.

Dunia bukan Sorga. Dunia bukan kampung halaman,

melainkan hanya tempat transit beberapa lama. Tidak

harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau

bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar

Khilafah Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar

Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah usaha per-

individu untuk menjadi Khalifah-Nya. (SUB TOPIK)

(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum

dan buang air besar maupun kecil, masih tak keberatan

untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat

gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan

untuk tidur berselang-seling dengan kerja keras

menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana

manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan

kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban

sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab

kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.

(SUB TOPIK)

(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di

belakang membuntuti yang di depannya. Yang di

depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep

seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang

Maha Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan

Global kita adalah Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah

Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang, mau

mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan

Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan,

kemudian bilang terima kasih sesudah menikmatinya.

Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari posisi

Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan

inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah

Khilafah. (SUB TOPIK)

(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya

ungkapkan lebih banyak dan luas lagi. Khilafah itu ilmu

dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar

memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang

utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak

untuk membangun kemashlahatan bersama, rahmatan

lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan

menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling

melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain

(kriteria dari Rasul Muhammad saw). (SUB TOPIK)

(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-

banyak berpikir ulang. Masalah tidak cukup diselesaikan

223

dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan seribu

kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis”

dan “syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh

kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti

belajar mencintai dan saling menerima. Cinta plus Ilmu =

Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta

plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian

plus Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme.

Dan masa depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung

turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh

Tongkat Musa. (SUB TOPIK)

3 Fakta (16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka

bumi. Ia punya sejarah panjang tentang kebijaksanaan

hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa Indonesia

ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia

adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia

adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor

globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata penduduk

Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.

(FAKTA)

Judul : The Scary Khilafah

Kode : TSK

No Aspek Analisis

Struktur

Makro

Analisis

1 Tema/topik Paragraf 6

(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah

adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia

di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis

Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya

Allah swt. Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang

harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah

“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno

blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang

upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo

penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus

panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”

yang bergigir lima. (TEMA/TOPIK)

2 Sub Topik Paragraf 5

(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang

224

anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di

depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling

mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.

Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti

Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa

anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli

khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di

bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya

tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat

raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan

tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,

“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan

langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim”

tapi juga langsung “Af’al”. (SUB TOPIK)

Paragraf 7

(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia

mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,

“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa

Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi

Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan

hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan

musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh

tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu

milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam

Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun

sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang

justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:

masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk

mempersatukan dan membersamakan. (SUB TOPIK)

3 Fakta Paragraf 8

(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi

Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah

kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri

pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman

ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan

dan mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut

Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan

Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah

adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal

HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan

pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di

antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh

Allah untuk menjadi Khalifah. (FAKTA)

Paragraf 11

(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam

225

dan rasional menjadi kesadaran individual maupun

kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau

takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud,

kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan

ia belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi

belum dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum

Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama

dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak

sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy.

Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu

kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.

(FAKTA)

226

Lampiran 03 Analisis Struktur Supra

Judul : Khalifah Islam dan Khilafah Silmi

Kode : KIKS

No Aspek

Analisis

Struktur

Supra

Analisis

1 Pendahuluan Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

Paragraf 1

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas

Negara, itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”,

aktivisnya menjadi “persona non grata.” Kalau dikaitkan

dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada rujukan

konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”).

Setiap orang atau kelompok berhak memperjuangkan

keyakinannya. Ada yang meletakkannya pada peta kalah

menang, dan HTI sedang menanggung resikonya. Ada

juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang

hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru

mereka sedang menjalani ujian kenaikan derajat.

Paragraf 2

(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan,

sehingga penduduknya berjuang mencari celah-celah

ruang kemerdekaan. Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-

Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk semakin

nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi

hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang,

hanyalah payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung,

dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan

atau ambil yang baru di Toko Ilmu.

Paragraf 3

(3)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah

menghimpun ilmu dan menyusun strategi, agar ia lolos

kembali ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,

di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,

meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam

dua rentang waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min

tahtihal anharu kholidina fiha abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.

Paragraf 4

(4)Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu

manusia untuk menata pagar di antara penduduk Bumi.

227

Karena di kehidupan Dunia yang ini, sistem nilainya tidak

dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan kebebasan

seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu

kebebasan orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan

training sejenak di Bumi agar manusia belajar berbagi

kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak sebagai

penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya

kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain –

sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh

perebutan, persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan

menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,

pembunuhan dan pemusnahan.

Paragraf 5

(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak

berkuasa atas semua hal pada manusia. Negara bisa

menyebarkan kemungkinan baik atau buruk bagi sandang,

pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak berkuasa

atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak

menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya,

sehingga rela menjadi buih yang diseret dan diombang-

ambingkan ke manapun Negara dan Pemerintahnya mau.

Keniscayaan Khilafah

Paragraf 6

(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas

‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak

punya kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)

Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan

saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia:

tugasnya “patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda

patuh kepada Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran akal.

Sungai, gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun, juga

detak jantung manusia, aliran darahnya, kesegaran dan

keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh

kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran

akal hanya entitas sistem makhluk manusia yang dipasang

di kepalanya semacam supra-chips yang bernama akal,

serta cakrawala yang bernama kalbu.

Paragraf 7

(7)Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan,

hewan adalah makhluk kepastian, meskipun sebagian di

antara mereka ada yang menjadi wadah kerjasama antara

takdir Tuhan dengan inisiatif manusia. Sementara Jin dan

Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan berbagi

dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas

tertentu, dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit.

228

Manusia bisa melanggar batas yang sedikit itu,

Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan

Development bisa merusak bumi, dengan memberangus

sesama manusia yang menentangnya.

Paragraf 8

(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun

dini”, tidak bisa “membolos” dari kehidupan yang abadi.

Dalam kuburan mereka memulai Semester berikutnya,

kemudian berlangsung semesteran-semesteran berikutnya,

hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia

tidak bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet,

galaksi, ruang dan waktu yang selain milik Tuhan.

Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung jawabnya

sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada) yang

wajib dijalaninya.

Paragraf 9

(9)Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di

empat lapisan langit Surga, yang semua teduh berwarna

dominan hijau tua. Manusia “ngunduh wohing pakarti”,

memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya. Bumi

adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari

Akhirat. Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di

dalam gelembung besar Akhirat, yang juga terletak di

Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

Paragraf 10

(10)Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-

sungguh berlatih menjadi penduduk Surga. Serta

menjunjung kemuliaan untuk mencita-citakan agar seluruh

bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni Surga.

Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau

Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor

dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh Abdurahman Al-

Baghdady.

Paragraf 11

(11)Mereka orang-orang baik sebagai manusia,

sangat menyayangi penduduk Bumi dan mencita-citakan

semua manusia lintas-Negara agar kelak bercengkerama

dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai

kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar,

semacam grand design untuk seluruh wilayah di Bumi.

Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh atau komunitas

inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas

membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di

229

seantero Bumi – maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-

kan kehidupan di Bumi dengan berangkat dari Nol.

Paragraf 12

(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal

Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai

faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju

Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,

golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI

hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan

jalan sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-

alihan kekuasaan, revolusi total atau kudeta:

membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,

dari BI hingga Bank Plecit.

Paragraf 13

(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari

kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-

adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak

mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya

dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum

Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak

Sekolah Unggul.

2 Kalimat Tesis Paragraf 14

(14)Maka saya memberanikan diri mencari

pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi

kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan tunai.

Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata Islam,

melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi

sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan

Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua kata itu.

3 Tubuh Paragraf 15

(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan

“Udkhulu fil-Islami Kaffah”: membangun sistem Islam

besar nasional dan global. Sangat meyakini kebenaran

Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara saya

seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi

dari Allah. Kelak kita mempertanggungjawabkan

kehidupan di hadapan Allah secara individual, tanpa bisa

ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal: sedekah

jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang

mendoakan kita, kemudian hak prerogatif Muhammad

kekasih Allah untuk menawar nasib kita dalam konteks

dialektika cinta.

230

Paragraf 16

(16)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di

perempatan jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam,

tidak bisa saya bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal

mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau Malaikat

menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial,

sistem pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan

besar industrialisme dan sistem perbankan Dunia. Juga

untuk menjadi Muslim yang tidak masuk Neraka apakah ia

harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus

berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut

Tahrir.

Paragraf 17

(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya

dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah

tidak membebani manusia melebihi kadar

kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan

ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan

Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,

menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan

nyawa dari jasad manusia.

Paragraf 18

(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang

mungkin hanya hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat

pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai

Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,

kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak

pandai dan ‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak

canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun,

menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa

dan tidak merusak apa-apa.

Paragraf 19

(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang

tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa

menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah. Seorang

Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa menunggu

berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah,

mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar.

Karena setiap huruf yang saya ketik bersifat relatif dan

dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut Tahrir

sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak,

sehingga gagah perkasa memprogram pengkhilafahan

Indonesia.

Syariat Allah di Alam dan Manusia

Paragraf 20

231

(20)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak

dengan berbagai hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang

mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai

Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi hingga Era

Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang berada di

dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta

alat-alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan

makanan minuman yang sudah tersedia. Sudah pasti

perbaikannya harus dari dapur, tetapi kalau saya

memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian

mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan

manfaat-nya.

Paragraf 21

(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka

wilayah kehidupan saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak

mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan

pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan antara

Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika

dengan Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama,

antara Nasionalis dengan Islamis. Apalagi

mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-

Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial,

bahkan antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia

dengan Akhirat. Itu semua sanak famili dari terminologi

lucu Santri-Agama-Priyayi.

Paragraf 22

(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau

prinsip Khilafah identik-formal dengan suatu Organisasi

atau golongan, sementara semua manusia adalah Khalifah.

Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya tidak

bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan

Khalifah.

Paragraf 23

(23)Pada hakikinya semua makhluk adalah

representasi atau manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri,

sebab tidak ada apapun, juga tak ada kehampaan atau

kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.

Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka

berlangsunglah syariat-Nya: metabolisme semesta,

organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan galaksi,

susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,

gunung menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam

semesta menari-nari, menyusun koreografi yang luar biasa,

beredar pada porosnya, berputar satu sama lain.

Paragraf 24

(24)Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan

232

hukum dan penataan aturan yang memprimerkan

keperluan rakyatnya, itu persesuaian dan kepatuhan

kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan

birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada

kemashlahatan manusia dan berkesesuaian dengan hukum

alam: itulah kepatuhan kepada Syariat Allah.

Paragraf 25

(25)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada

Syariat Allah seperti pohon, mengalirnya air,

berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan secara alamiah,

naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya,

namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa

itu adalah ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia

menginisiali Syariat Allah itu dengan nama Syariat Islam,

sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma, Bebekti, dan banyak

lagi.

4 Pentup Paragraf 26

(26)Semua makhluk adalah utusan Tuhan,

“Rasul”-Nya. Dituliskan oleh para Malaikat atas perintah-

Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh. Sejak awal mula

penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat

mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur

Muhammad”, dan gara-gara makhluk wiwitan inilah

maka kemudian Allah merebakkannya menjadi alam

semesta dan umat manusia. Maka para Malaikat semua,

kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, meneguhkan

keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,

dan Muhammad adalah utusan Allah”.

Paragraf 27

(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur

Muhammad, yang kumparan dan gelombangnya

mentransformasi menjadi jagat raya — dan itulah yang

disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.

Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah,

Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun di Bumi.

Lantas Muhammad Nabiyyullah yang membawa berita,

hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari

Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat

sejatinya, Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah

jabatannya di Bumi.

Paragraf 28

(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara

nasional di Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan

Maulid Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan,

bersamaan dengan turunnya Iqra` yang merupakan

momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia.

233

Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja

karena tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan, belum ada

satuan hari kesepakatan bulan dan tahun yang dikreasi

oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai

Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun

bersembahyang, lemah lembut kepada tetangga, tidak

maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa siapapun

untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa

Negara Khilafah.

Judul : Khalifah NKRI

Kode : KN

No Aspek Analisis

Struktur

Supra

Analisis

1 Pendahuluan Paragraf 1

(1)Mungkin ini bukan yang paling urgen. Tetapi

apa yang tidak urgen di Indonesia hari ini? Perkara mana

yang kalah urgen dibanding lain-lainnya?

Paragraf 2

(2)Ibarat sedang masak sayur di dapur,

perkenankan saya menuntaskannya menuju matang.

Paragraf 3

(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal

yang menyangkut penanganan hukum atas HTI, sudah

ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati setiap kali menatap

Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena

lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut

Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya. Jadi saya merdeka.

Namun demikian saya tetap wajib “lapor” kepada diri saya

sendiri:

2 Kalimat Tesis Paragraf 4

(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI

ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala

keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia

hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau

kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja

atau tidak, sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya

nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.

3 Tubuh Paragraf 5

(5)Karena saya tidak mau bikin perkara dengan

Tuhan Yang Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam

menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli

khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia

234

sebagai Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak,

ada Hizbut-Tahrir atau tidak, pakai Hizib-Nashr atau

tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari wujud adanya

manusia.

Paragraf 6

(6)Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan

kelapa bukan semangka, kerbau tak bisa terbang,

rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut Nabi Musa

keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa

tahu berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut

Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda Hawa di

Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak punya

secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.

Paragraf 7

(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah

adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita

memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan

keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila

dengan Metoda Khilafah. Juga Memahami Khilafah

lewat Pintu Pancasila.

Paragraf 8

(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah

tidak membebani manusia melebihi kadarnya. Khilafah

adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia

menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba

merawat sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-

hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah

surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan

buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.

Paragraf 9

(9)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh

menamakannya “kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab

Suci atau sumber filosofi Anda. Kita tinggal cari

komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut,

di-tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-

cocokan di antara kita, faktor-faktor inkompatibilitasnya,

daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu- gelombang-annya.

Belajar terbuka dan jujur saja.

Paragraf 10

(10)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan

menjadi alat dan medan untuk kita berperang. Belajar

menentukan kadar “puasa” dan tahan diri masing-masing,

agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul

umuri ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-

tengahnya. “Wassama`a rofa’aha wawadlo’al mizan”,

235

Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,

meletakkan keseimbangan pada keduanya.

Paragraf 11

(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari

Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa

dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian. Di

Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis

pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu.

Khilafah memerlukan kearifan manajemen, memahami

batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-hati

untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap

segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.

Paragraf 12

(12)Allah juga memberi keringanan kepada

kelemahan manusia. Ia tidak menuntut suatu desain besar

Islam atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap

jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin

sore”, 14 abad silam, tatkala Ia menyatakan kepada

Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini telah kulengkapkan

Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada

kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan

itu” sebagai modal untuk membangun peradaban di sisa

senja hari usia alam semesta.

Paragraf 13

(13)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke

dalam Silmi secara kaffah”. Tuhan tidak memilih

kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah di 3789

titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya

“nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam

kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam

lokal-konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.

Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,

pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati

rakyat kecil”. Saya berpuasa dari Negara “besar”, politik

“elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak

pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

Paragraf 14

(14)“Sinau Bareng” dengan anak-anak muda,

Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah,

Camat, Bupati, Kapolres, Dandim, Danramil, Kapolsek,

para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan

simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita.

“Indonesia Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami

jadikan landasan berpikir, bersikap dan mengkhalifahi

keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi

236

kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air,

menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan nasionalisme,

berlatih menjadi Satriyo.

4 Penutup Paragraf 15

(15)Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia

Besar jangan menjadi faktor destruktif bagi lokal

Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani agar jangan terlalu

mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan

Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta

berbagai “hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin

manusia lainnya.

Paragraf 16

(16)72 tahun merdeka belum cukup untuk

membangun Indonesia Besar yang tidak besar kepala di

Jakarta. Yang bisa membedakan antara “otoritas” dengan

“otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-

wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada

rakyatnya. Tidak memusuhi siapa saja yang seharusnya

dirangkulnya. Tidak merasa pantas untuk sewenang-

wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak

meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau

perilaku apapun agar tercapai kepentingannya.

Judul : Tongkat Perppu dan Tongkat Musa

Kode : TPTM

No Aspek Analisis

Struktur

Supra

Analisis

1 Pendahuluan Paragraf 1

(1)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk

membubarkan HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng

dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman

Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh

pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan

ilmu” tentang Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah

pengambilan jarak yang terukur untuk tidak mencintai

secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap

dan amarah.

Paragraf 2

(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di

Yogya saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian

Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira tinggi

dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar

237

Khilafah. Pengetahuan saya sangat terbatas, sehingga apa

yang saya kemukakan kepada HTI maupun Polri sama

saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang

dimandati Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam

seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya,

dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada

kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi

penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi,

filosofi, branding, jargon politik, icon eksistensi, merk

dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena

“aurat”.

Paragraf 3

(3)Belum ada diskusi publik antara berbagai

kalangan, termasuk pada Kaum Muslimin sendiri,

misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe Penyet

“Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”,

Geng Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25

Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi “Izroil”.

Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”

dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic

Fashion. Meskipun saya tidak khawatir akan muncul

“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban “Obama Atina

Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram

“Visa Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah

“Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk

rokok “Hisab Akherat”.

Paragraf 4

(4)Belum ada diskusi strategis yang menganalisis

kalau ada T-Shirt bertuliskan “Islam My Right, My

Choice, My Life”, apakah pemakainya sedang meyakinkan

dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.

Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia

bagian dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral

sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian

kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI dengan

kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa

HTI adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan

HTI bukan Khilafah. Padahal NU, Muhammadiyah, semua

ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi.

2 Kalimat Tesis Paragraf 5

(5)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang

diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-

lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk

menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua yang

238

di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan

kepada teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda

menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses

menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah

bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi

problem ummat manusia. Kalau kita masukkan makanan

ke mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan

pemahaman tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu

Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh

tangan kekuasaannya”.

3 Tubuh Paragraf 6

(6)Kepada teman-teman Polri saya mohon

“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium

3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus,

nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-

serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.

Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari

masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling

dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan

anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”.

Paragraf 7

(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda

dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-

Maidah (hidangan). Sementara bagi saya Khilafah itu

benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah

yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang

berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak

sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-

sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi

tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang

juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%,

50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya

10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah

sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua

manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya,

mungkin keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap

memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni.

Paragraf 8

(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon

Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,

Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is

239

beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam

Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati

tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.

Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan hati Tuhan

tentang batas kemampuan manusia. Allah tidak

membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya.

Dunia bukan Sorga. Dunia bukan kampung halaman,

melainkan hanya tempat transit beberapa lama. Tidak

harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau

bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah

Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang

nanti dihitung oleh Allah adalah usaha per-individu untuk

menjadi Khalifah-Nya.

Paragraf 9

(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum

dan buang air besar maupun kecil, masih tak keberatan

untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat

gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan

untuk tidur berselang-seling dengan kerja keras

menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana

manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan

kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial

dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada

rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.

Paragraf 10

(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di

belakang membuntuti yang di depannya. Yang di

depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep

seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang

Maha Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan

Global kita adalah Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah

Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang, mau

mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan

Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan,

kemudian bilang terima kasih sesudah menikmatinya.

Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari posisi

Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan

inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah

Khilafah.

Paragraf 11

(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya

ungkapkan lebih banyak dan luas lagi. Khilafah itu ilmu

dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar

memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang

utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak

untuk membangun kemashlahatan bersama, rahmatan

240

lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan

menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling

melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain

(kriteria dari Rasul Muhammad saw).

Paragraf 12

(12)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya

nekad ungkapkan tentang Enam Tahap Evolusi di mana

Globalisme saat ini berada pada Evolusi Empat. Spektrum

filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri dan

mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada

ilmu dan teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa

di-empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi. Dunia

sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci antara

Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban

Degan, yang bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa.

Para pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan masih

berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir, bahkan

jumud dalam semangat Bluluk.

4 Penutup Paragraf 13

(13)Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad

kemukakan. Khusus kepada teman-teman Polri saya

mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada

rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan

tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah

kasih sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi

Rabbinnas”). Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai

pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi

“Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana

aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan

penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu,

dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan

Indonesia perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.

Paragraf 14

(14)Termasuk teminologi tentang Radikal,

Fundamental, Liberal, Moderat: afala ta’qilun, tidak

engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau telan

begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang

radikal. Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh

proses Indonesia ini tidak memerlukan apapun dari saya.

Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing in the wind”,

kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan

Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang

bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G. Ade.

Paragraf 15

(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-

241

banyak berpikir ulang. Masalah tidak cukup diselesaikan

dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan seribu

kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan

“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh

kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti

belajar mencintai dan saling menerima. Cinta plus Ilmu =

Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta

plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian

plus Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan

masa depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung turnamen

nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat

Musa.

Paragraf 16

(16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka

bumi. Ia punya sejarah panjang tentang kebijaksanaan

hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa Indonesia

ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia

adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia

adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor

globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata penduduk

Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.

Judul : The Scary Khilafah

Kode : TSK

No Aspek Analisis

Struktur

Supra

Analisis

1 Pendahuluan Paragraf 1

(1)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada

Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang

menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad

yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk

memastikan jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan

bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh Khilafah.

Paragraf 2

(2)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah:

dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin.

Kemudian, melalui pendidikan, media dan uang, membuat

Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an

dan Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau

Kaum Muslimin, dengan hati dan pikirannya, sudah

memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di

pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih

242

terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan

Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak

setakut kepada Khilafah.

Paragraf 3

(3)Perkenankan saya mundur dua langkah dan

mencekung ke spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya

menulis lagi tentang Khilafah. Ini tahadduts binni’mah,

berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya

panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya

saya tidak tega kepada teman-teman yang mengalami

defisit masa depan karena kalap dan menghardik dan

mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.

Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

Paragraf 4

(4)Ummat manusia sudah berabad-abad

melakukan penelitian atas alam dan kehidupan. Maka

mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma kholaqta

hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak

sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong

Sapi, menjadi pupuk. Sampah-sampah alam menjadi

rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara. Penjajahan

melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan

kebangkitan. Penderitaan memberi pelajaran tentang

kebahagiaan.

Paragraf 5

(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang

anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di

depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling

mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.

Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti

Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa

anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli

khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di

bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya

tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat

raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan

tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,

“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan

langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim”

tapi juga langsung “Af’al”.

2 Kalimat Tesis Paragraf 6

(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah

adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia

di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis

Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya

243

Allah swt. Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang

harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah

“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno

blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang

upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo

penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus

panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”

yang bergigir lima.

3 Tubuh Paragraf 7

(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia

mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,

“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa

Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi

Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan

hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan

musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh

tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu

milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam

Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun

sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang

justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:

masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk

mempersatukan dan membersamakan.

Paragraf 8

(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi

Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah

kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri

pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman ilmu

yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan

mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir.

HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan Khilafah

sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah

HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT

maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik

Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di antara

ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah

untuk menjadi Khalifah.

Paragraf 9

(9)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh

Allah. Saya tidak bisa menyalahkan atau membantah

Allah, karena kebetulan bukan saya yang menciptakan

gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi.

Bahkan saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak

atau stop. Saya tidak mampu membangunkan diri saya

244

sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel

tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian,

menit kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam

kalbu saya nongol dan menggelembung begitu saja,

sampai seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa saya

pernah memprogramnya.

Paragraf 10

(10)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola

Bumi”, saya tidak punya pilihan lain. Saya hanya

karyawan-Nya. Allah Big Boss saya. Meskipun dia kasih

aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a

falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar

ingkarlah – saya tidak mau kehilangan perhitungan. Kalau

saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di mana, mau

kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas

dengan udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan

istri, Tuhan yang berkuasa membuatnya hamil. Bukan

saya. Saya cuma numpang enak sebentar.

4 Penutup Paragraf 11

(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam

dan rasional menjadi kesadaran individual maupun

kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau

takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud,

kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia

belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum

dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin.

Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab.

Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan

Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Apa yang

kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu

kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.

245

Lampiran 04 Analisis Struktur Mikro

Judul : Khalifah Islam dan Khilafah Silmi

Kode : KIKS

No Aspek

Mikro

Keterangan

Semantik Latar Paragraf 1

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh

otoritas Negara, itu tidak berarti manusianya

menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi

“persona non grata.” Kalau dikaitkan dengan

makar, sebaiknya jangan makar kepada

rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa

makaru wa makarallah”). Setiap orang atau

kelompok berhak memperjuangkan

keyakinannya. Ada yang meletakkannya pada

peta kalah menang, dan HTI sedang

menanggung resikonya. Ada juga yang melihat

keluasan hidup di mana kalah menang

hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini

mungkin justru mereka sedang menjalani ujian

kenaikan derajat.

Paragraf 2

(2)Bumi dan Dunia adalah sistem

batasan, sehingga penduduknya berjuang

mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para

Prajurit Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru

mendapat limpahan rezeki untuk semakin

nikmat bekerja keras menemukan pembebasan.

Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk

mengiris bawang, hanyalah payung untuk

berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan

untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung,

dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas

dibengkelkan atau ambil yang baru di Toko

Ilmu.

Paragraf 5

(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua

hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan

kemungkinan baik atau buruk bagi sandang,

pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara

246

tidak berkuasa atas hati dan pikiran warganya,

kecuali mereka yang tidak menikmati otonomi

rohani dan independensi pikirannya, sehingga

rela menjadi buih yang diseret dan diombang-

ambingkan ke manapun Negara dan

Pemerintahnya mau.

Paragraf 6

(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak

atas ‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah

niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain

kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi

oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya.

Menjadi Khalifah adalah posisi khusus

manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran

akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan,

tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai,

gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,

juga detak jantung manusia, aliran darahnya,

kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir

dan matinya, semua patuh kepada kehendak

Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal

hanya entitas sistem makhluk manusia yang

dipasang di kepalanya semacam supra-chips

yang bernama akal, serta cakrawala yang

bernama kalbu.

Paragraf 12

(12)Tetapi Indonesia terlanjur

Bhinneka Tunggal Ika, heterogen, plural,

“syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham

kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh

menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik,

jenis darah, marga, golongan, aliran dan

berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI hendak

“mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa

menemukan jalan sejarahnya kecuali harus

melakukan pengambil-alihan kekuasaan,

revolusi total atau kudeta: membubarkan

Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya,

kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.

Paragraf 13

(13)Katakanlah yang beliau-beliau

247

lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”,

membawa NKRI dari kegelapan menuju

cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan

pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak

mampu mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya dari konflik-konflik besar,

bahkan dengan sesama Kaum Muslimin

sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-

anak Sekolah Unggul.

Rincian Paragraf 2

(3)Organisasi hanyalah alat: pisau

dapur untuk mengiris bawang, hanyalah

payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.

Paragraf 3

(1)Karena tugas kemakhlukan manusia

adalah menghimpun ilmu dan menyusun

strategi, agar ia lolos kembali ke kampung

halaman aslinya, yakni Kebun Surga, di mana

kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,

meluas, dan manusia memegang kendali aliran

itu dalam dua rentang waktu: kekekalan dan

keabadian.

Paragraf 4

(4)Semacam “puasa”, agar kelak

sebagai penduduk Surga, mereka menikmati

betapa dahsyatnya kemerdekaan yang tidak

saling membatasi satu sama lain – sesudah

selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh

perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya

sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan

pemusnahan.

Paragraf 6

(5)Sungai, gunung, hutan, angin,

dedaunan dan embun, juga detak jantung

manusia, aliran darahnya, kesegaran dan

keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya,

semua patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi

yang dengan kesadaran akal hanya entitas

sistem makhluk manusia yang dipasang di

kepalanya semacam supra-chips yang bernama

akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.

248

Paragraf 8

(3)Manusia tidak bisa melarikan diri,

karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang

dan waktu yang selain milik Tuhan.

Paragraf 11

(2)Mereka menyusun tata nilai

kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem

besar, semacam grand design untuk seluruh

wilayah di Bumi.

Paragraf 12

(1)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka

Tunggal Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa

qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan,

berbagai-bagai jalan ditempuh menuju Tuhan,

berbagai latar belakang, etnik, jenis darah,

marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai

lainnya. (2)Kalau HTI hendak “mensurgakan”

NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan

sejarahnya kecuali harus melakukan

pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total

atau kudeta: membubarkan Parlemen dan

Pemerintahan, mengganti Presiden dengan

Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya

hingga pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI

hingga Bank Plecit.

Paragraf 15

(3)Kelak kita

mempertanggungjawabkan kehidupan di

hadapan Allah secara individual, tanpa bisa

ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:

sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak

saleh yang mendoakan kita, kemudian hak

prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk

menawar nasib kita dalam konteks dialektika

cinta.

Paragraf 17

(2)Seorang kuli pasar mungkin hanya

akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,

hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an,

apakah ia mencuri harta orang, menghina

martabat sesama manusia, atau memisahkan

249

nyawa dari jasad manusia.

Paragraf 23

(2)Begitu Tuhan bilang “Kun”,

“Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya:

metabolisme semesta, organisme alam, sistem

nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan

tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,

gunung menyimpan api, semua kelereng-

kelereng alam semesta menari-nari, menyusun

koreografi yang luar biasa, beredar pada

porosnya, berputar satu sama lain.

Paragraf 24

(1)Kalau ada Negara di Bumi yang

menegakkan hukum dan penataan aturan yang

memprimerkan keperluan rakyatnya, itu

persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat

Allah.

Paragraf 27

(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama

Nur Muhammad, yang kumparan dan

gelombangnya mentransformasi menjadi jagat

raya — dan itulah yang disyahadatkan oleh

para Malaikat dan para Nabi Rasul. Kemudian

kedua Muhammad bin Abdullah,

Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun

di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah

yang membawa berita, hidayah dan “buku

manual” Allah yang berevolusi dari Taurat,

Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad

adalah zat sejatinya, Nabi adalah pangkatnya,

Rasul adalah jabatannya di Bumi.

Pengandaian Paragraf 11

(3)Andaikan mereka adalah putra Nabi

Nuh atau komunitas inti beliau, yang sesudah

Bahtera mendarat di Turki, lantas membagi

rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di

seantero Bumi – maka mereka bisa meng-

Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan

berangkat dari Nol.

Paragraf 13

(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan

adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa

NKRI dari kegelapan menuju cahaya, tetapi

250

momentum dan adegan-adegan pengambil-

alihan kekuasaannya, saya tidak mampu

mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya dari konflik-konflik besar,

bahkan dengan sesama Kaum Muslimin

sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-

anak Sekolah Unggul.

Paragraf 16

(1)Seorang Muslim tukang ojek,

penjual jajan di perempatan jalan, petani di

dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya

bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal

mengenai Negara Islam dan Khilafah. (2)Atau

Malaikat menanyainya soal ideologi global,

kapitalisme mondial, sistem pasar Yahudi

internasional, atau satuan-satuan besar

industrialisme dan sistem perbankan Dunia.

Nominalisasi Paragraf 7

(4)Manusia bisa melanggar batas yang

sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk

tambang, kerakusan Development bisa

merusak bumi, dengan memberangus sesama

manusia yang menentangnya.

Paragraf 19

(4)Karena setiap huruf yang saya ketik

bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu

dan keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya

merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga

gagah perkasa memprogram pengkhilafahan

Indonesia.

Sintaksis Bentuk

Kalimat

Kalimat Aktif : (53)

Paragraf 1

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(2)(K.A)Setiap orang atau kelompok

berhak memperjuangkan keyakinannya.

(3)(K.A)Ada yang meletakkannya pada peta

kalah menang, dan HTI sedang menanggung

resikonya. (4)(K.A)Ada juga yang melihat

keluasan hidup di mana kalah menang

hanyalah sebuah strata. (5)(K.A)Dalam

konteks ini mungkin justru mereka sedang

menjalani ujian kenaikan derajat.

251

Paragraf 2

(1)(K.A)Bumi dan Dunia adalah sistem

batasan, sehingga penduduknya berjuang

mencari celah-celah ruang kemerdekaan.

(2)(K.A)Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-

Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk

semakin nikmat bekerja keras menemukan

pembebasan. (3)(K.A)Organisasi hanyalah

alat: pisau dapur untuk mengiris bawang,

hanyalah payung untuk berlindung dari hujan,

hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu

tujuan.

Paragraf 3

(1)(K.A)Karena tugas kemakhlukan

manusia adalah menghimpun ilmu dan

menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke

kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,

di mana kemerdekaan mengalir, meruang,

melebar, meluas, dan manusia memegang

kendali aliran itu dalam dua rentang waktu:

kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal

anharu kholidina fiha abada”, begitu Allah

mengindikasikan pintu pengetahuan tentang

Surga.

Paragraf 4

(1)(K.A)Negara adalah hasil karya

kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar

di antara penduduk Bumi. ... (3)(K.A)Tuhan

hanya menyelenggarakan training sejenak di

Bumi agar manusia belajar berbagi

kemerdekaan. (4)(K.A)Semacam “puasa”, agar

kelak sebagai penduduk Surga, mereka

menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan

yang tidak saling membatasi satu sama lain –

sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri

oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya

sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan

pemusnahan.

Paragraf 5

(1)(K.A)Tetapi Negara dengan

Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua

252

hal pada manusia. (2)(K.A)Negara bisa

menyebarkan kemungkinan baik atau buruk

bagi sandang, pangan, dan papan manusia.

(3)(K.A)Tetapi Negara tidak berkuasa atas hati

dan pikiran warganya, kecuali mereka yang

tidak menikmati otonomi rohani dan

independensi pikirannya, sehingga rela

menjadi buih yang diseret dan diombang-

ambingkan ke manapun Negara dan

Pemerintahnya mau.

Paragraf 6

Keniscayaan Khilafah

(1)(K.A)Saya tidak perlu setuju atau

tidak atas ‘ideologi’ Khilafah, karena itu

adalah niscaya. (2)(K.A)Saya tidak punya

kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)

Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam

semesta dan saya. (3)(K.A)Menjadi Khalifah

adalah posisi khusus manusia: tugasnya

“patuh dengan kesadaran akal”. ...

(5)(K.A)Sungai, gunung, hutan, angin,

dedaunan dan embun, juga detak jantung

manusia, aliran darahnya, kesegaran dan

keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya,

semua patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi

yang dengan kesadaran akal hanya entitas

sistem makhluk manusia yang dipasang di

kepalanya semacam supra-chips yang bernama

akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.

Paragraf 7

(1)(K.A)Malaikat, Iblis, Setan, benda,

tetumbuhan, hewan adalah makhluk

kepastian, meskipun sebagian di antara

mereka ada yang menjadi wadah kerjasama

antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.

(2)(K.A)Sementara Jin dan Manusia adalah

makhluk kemungkinan. Tuhan berbagi

dengan mereka berdua “hak mentakdirkan”

sampai batas tertentu, dengan pembekalan

ilmu yang juga amat sedikit. (3)(K.A)Manusia

bisa melanggar batas yang sedikit itu,

Pembangunan boleh mengeruk tambang,

kerakusan Development bisa merusak bumi,

dengan memberangus sesama manusia yang

253

menentangnya.

Paragraf 8

(1)(K.A)Tetapi para pelakunya tidak

bisa “pensiun dini”, tidak bisa “membolos”

dari kehidupan yang abadi. (2)(K.A)Dalam

kuburan mereka memulai Semester berikutnya,

kemudian berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga

atau Neraka. (3)(K.A)Manusia tidak bisa

melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet,

galaksi, ruang dan waktu yang selain milik

Tuhan. (4)(K.A)Manusia tidak bisa mengelak

dari tanggung jawabnya sampai dua kehidupan

abadi (kholidina fiha abada) yang wajib

dijalaninya.

Paragraf 9

(2)(K.A)Manusia “ngunduh wohing

pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang

ditanamnya.

Paragraf 10

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

(1)(K.A)Para Prajurit Pembebasan itu

sungguh-sungguh berlatih menjadi penduduk

Surga.

Paragraf 11

(2)(K.A)Mereka menyusun tata nilai

kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem

besar, semacam grand design untuk seluruh

wilayah di Bumi.

Paragraf 12

(1)(K.A)Tetapi Indonesia terlanjur

Bhinneka Tunggal Ika, heterogen, plural,

“syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham

kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh

menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik,

jenis darah, marga, golongan, aliran dan

berbagai-bagai lainnya.(2)(K.A)Kalau HTI

hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa

menemukan jalan sejarahnya kecuali harus

melakukan pengambil-alihan kekuasaan,

revolusi total atau kudeta: membubarkan

254

Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya,

kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.

Paragraf 14

(1)(K.A)Maka saya memberanikan diri

mencari pemahaman atas perintah Allah

“Udkhulu fis-silmi kaffah”. ...

(3)(K.A)Anehnya Allah tidak menggunakan

kosa-kata Islam, melainkan Silmi. Wallahu

a’lam maksud-Nya, tetapi sukar dibayangkan

bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam,

tanpa mengandung perbedaan antara kedua

kata itu.

Paragraf 15

(1)(K.A)Hizbut Tahrir tampaknya

memaksudkan “Udkhulu fil-Islami Kaffah”:

membangun sistem Islam besar nasional dan

global. Sangat meyakini kebenaran Islam dan

gagah berani menerapkannya.

...(3)(K.A)Sementara saya seorang penakut

yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari

Allah. (4)(K.A)Kelak kita

mempertanggungjawabkan kehidupan di

hadapan Allah secara individual, tanpa bisa

ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:

sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak

saleh yang mendoakan kita, kemudian hak

prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk

menawar nasib kita dalam konteks dialektika

cinta.

Paragraf 16

(2)(K.A)Atau Malaikat menanyainya

soal ideologi global, kapitalisme mondial,

sistem pasar Yahudi internasional, atau satuan-

satuan besar industrialisme dan sistem

perbankan Dunia.

Paragraf 18

(2)(K.A)Seseorang mungkin hanya

hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek,

pengetahuannya sangat awam terhadap tata

nilai Islam.

255

Paragraf 19

(1)(K.A)Konsep Silmi membukakan

jalan agar seorang tukang jahit di pinggir jalan

bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga

negara sebuah Negara Khilafah.

(2)(K.A)Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk

surga tanpa menunggu berhasilnya perjuangan

Khilafah Dunia. ... (4)(K.A)Karena setiap

huruf yang saya ketik bersifat relatif dan

dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut

Tahrir sejauh saya merasakan hampir

mendekati mutlak, sehingga gagah perkasa

memprogram pengkhilafahan Indonesia.

Paragraf 20

Syariat Allah di Alam dan Manusia

(3)(K.A)Tapi saya tidak sedang berada

di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah

makanan serta alat-alat dapur. (4)(K.A)Saya

berada di warung depannya, dengan makanan

minuman yang sudah tersedia.

Paragraf 21

(1)(K.A)Saya pun adalah seorang

Khalifah, maka wilayah kehidupan saya

pastilah Khilafah. (2)(K.A)Tapi saya tidak

mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa

kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang

mempolarisasikan antara Pancasila dengan

Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan

Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama,

antara Nasionalis dengan Islamis.

Paragraf 22

(1)(K.A)Juga saya merasa agak repot

selama ini kalau prinsip Khilafah identik-

formal dengan suatu Organisasi atau golongan,

sementara semua manusia adalah Khalifah.

(2)(K.A)Saya jadi kikuk karena seakan-akan

kalau saya tidak bergabung dengan Hizbut

Tahrir berarti saya bukan Khalifah.

Paragraf 23

(1)Pada hakikinya semua makhluk

adalah representasi atau manifestasi atau tajalli

256

Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga

tak ada kehampaan atau kekosongan yang

bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.

(2)(K.A)Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”,

maka berlangsunglah syariat-Nya:

metabolisme semesta, organisme alam, sistem

nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan

tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,

gunung menyimpan api, semua kelereng-

kelereng alam semesta menari-nari, menyusun

koreografi yang luar biasa, beredar pada

porosnya, berputar satu sama lain.

Paragraf 24

(1)(K.A)Kalau ada Negara di Bumi

yang menegakkan hukum dan penataan aturan

yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu

persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat

Allah. (2)(K.A)Semua undang-undang,

pelaksanaan birokrasi dan tatanan kenegaraan

yang berpihak pada kemashlahatan manusia

dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah

kepatuhan kepada Syariat Allah.

Paragraf 25

(1)(K.A)Tingkat dan pola kepatuhan

mereka kepada Syariat Allah seperti pohon,

mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh

kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena

kejujuran terhadap kemanusiaannya, namun

tanpa akalnya menemukan dan menyadari

bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-Nya.

(2)(K.A)Sebagian manusia menginisiali

Syariat Allah itu dengan nama Syariat Islam,

sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma, Bebekti,

dan banyak lagi.

Paragraf 26

(4)(K.A)Maka para Malaikat semua,

kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,

meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi

tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad

adalah utusan Allah”.

Paragraf 28

(4)(K.A)Seorang tukang andong bisa

257

mencintai Tuhan, merindukan tiga

Muhammad, tekun bersembahyang, lemah

lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak

menyakiti orang, tidak memaksa siapapun

untuk berpandangan sama dengannya – dengan

atau tanpa Negara Khilafah.

Kalimat Pasif : (11)

Paragraf 1

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(1)(K.P)Katakanlah HTI dibubarkan

oleh otoritas Negara, itu tidak berarti

manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya

menjadi “persona non grata.”

Paragraf 2

(4)(K.P)Pisau, payung, dan kendaraan,

biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan atau

ambil yang baru di Toko Ilmu.

Paragraf 4

(2)(K.P)Karena di kehidupan Dunia

yang ini(demonstratif), sistem nilainya tidak

dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan

kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak

mengganggu kebebasan orang lainnya.

Paragraf 9

(1)(K.P)Khusus yang dapat kapling

surga akan dibagi di empat lapisan langit

Surga, yang semua teduh berwarna dominan

hijau tua.

Paragraf 10

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

(2)(K.P)Memang demikianlah sejak

didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin

An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan

Indonesia 1980-an oleh Syaikh Abdurahman

Al-Baghdady.

Paragraf 16

(1)(K.P)Seorang Muslim tukang ojek,

penjual jajan di perempatan jalan, petani di

dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya

bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal

258

mengenai Negara Islam dan Khilafah.

Paragraf 17

(1)(K.P)Setiap hamba Allah dilindungi

oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa

wus’aha” (Allah tidak membebani manusia

melebihi kadar kemampuannya).

(2)(K.P)Seorang kuli pasar mungkin hanya

akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,

hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an,

apakah ia mencuri harta orang, menghina

martabat sesama manusia, atau memisahkan

nyawa dari jasad manusia.

Paragraf 19

(3)(K.P)Kalau saya salah, mohon

dilembuti dengan informasi yang lebih benar.

Paragraf 28

(28)(K.P)Muhammad bin Abdullah

diperingati secara nasional di Indonesia setiap

12 Rabi’ul Awwal. (2)(K.P)Sedangkan Maulid

Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan,

bersamaan dengan turunnya Iqra` yang

merupakan momentum awal ke-Nabi-an

Muhammad-manusia. (3)(K.P)Adapun Nur

Muhammad diperingati bisa kapan saja karena

tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan, belum

ada satuan hari kesepakatan bulan dan tahun

yang dikreasi oleh manusia.

Kohesi

(Gramatikal)

Referensi (Pengacuan)

Pengacuan Anafora : 55

Paragraf 1

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh

otoritas Negara, itu tidak berarti

manusianya(anaforapersona) menjadi

“stateless”, aktivisnya(anaforapersona)

menjadi “persona non grata.” ... (3)Setiap

orang atau kelompok berhak memperjuangkan

keyakinannya(anaforapersona). (4)Ada yang

meletakkannya pada peta kalah menang, dan

HTI sedang menanggung resikonya(anafora).

(6)Dalam konteks ini mungkin justru

259

mereka(anaforapersona) sedang menjalani

ujian kenaikan derajat.

Paragraf 2

(1)Bumi dan Dunia adalah sistem

batasan, sehingga penduduknya(anafora)

berjuang mencari celah-celah ruang

kemerdekaan.

Paragraf 3

(1)Karena tugas kemakhlukan manusia

adalah menghimpun ilmu dan menyusun

strategi, agar ia(anaforapersona) lolos kembali

ke kampung halaman aslinya(katafora), yakni

Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir,

meruang, melebar, meluas, dan manusia

memegang kendali aliran itu dalam dua

rentang waktu: kekekalan dan keabadian.

Paragraf 4

(4)Semacam “puasa”, agar kelak

sebagai penduduk Surga,

mereka(anaforapersona) menikmati betapa

dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling

membatasi satu sama lain(komparatif) –

sesudah selama di Bumi

mereka(anaforapersona) menyiksa diri oleh

perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya

sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan

pemusnahan.

Paragraf 5

(3)Tetapi Negara tidak berkuasa atas

hati dan pikiran warganya(anafora), kecuali

mereka(anaforapersona) yang tidak menikmati

otonomi rohani dan independensi

pikirannya(anaforapersona), sehingga rela

menjadi buih yang diseret dan diombang-

ambingkan ke manapun Negara dan

Pemerintahnya(anaforapersona) mau.

Paragraf 6

Keniscayaan Khilafah

(3)Menjadi Khalifah adalah posisi

khusus manusia: tugasnya(anaforapersona)

260

“patuh dengan kesadaran akal”. (5)Sungai,

gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,

juga detak jantung manusia, aliran

darahnya(anaforapersona), kesegaran dan

keausan jasadnya(anaforapersona), jadwal

lahir dan matinya(anaforapersona), semua

patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang

dengan kesadaran akal hanya entitas sistem

makhluk manusia yang dipasang di

kepalanya(anaforapersona) semacam supra-

chips yang bernama akal, serta cakrawala yang

bernama kalbu.

Paragraf 7

(1)Malaikat, Iblis, Setan, benda,

tetumbuhan, hewan adalah makhluk

kepastian, meskipun sebagian di antara

mereka(anaforapersona) ada yang menjadi

wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan

inisiatif manusia. (3)Tuhan berbagi dengan

mereka berdua(anaforapersona) “hak

mentakdirkan” sampai batas tertentu, dengan

pembekalan ilmu yang juga amat sedikit.

(4)Manusia bisa melanggar batas yang sedikit

itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang,

kerakusan Development bisa merusak bumi,

dengan memberangus sesama manusia yang

menentangnya(anaforapersona).

Paragraf 8

(1)Tetapi para pelakunya(anafora)

tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa

“membolos” dari kehidupan yang abadi.

(2)Dalam kuburan mereka(anaforapersona)

memulai Semester berikutnya, kemudian

berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga

atau Neraka. (4)Manusia tidak bisa mengelak

dari tanggung jawabnya sampai dua kehidupan

abadi (kholidina fiha abada) yang wajib

dijalaninya(anaforapersona).

Paragraf 9

(2)Manusia “ngunduh wohing pakarti”,

memetik buah dari kelakuan yang

ditanamnya(anaforapersona).

261

Paragraf 11

(1)Mereka(anaforapersona) orang-

orang baik sebagai manusia, sangat

menyayangi penduduk Bumi dan mencita-

citakan semua manusia lintas-Negara agar

kelak bercengkerama dengan Allah di Surga.

(2)Mereka(anaforapersona) menyusun tata

nilai kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai

sistem besar, semacam grand design untuk

seluruh wilayah di Bumi(komparatif).

(3)Andaikan mereka(anaforapersona) adalah

putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau,

yang sesudah Bahtera mendarat di Turki,

lantas membagi rombongan-rombongan ke

berbagai wilayah di seantero Bumi –maka

mereka(anaforapersona) bisa meng-Hizbut-

tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan

berangkat dari Nol.

Paragraf 12

(2)Kalau HTI hendak “mensurgakan”

NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan

sejarahnya(anafora) kecuali harus melakukan

pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total

atau kudeta: membubarkan Parlemen dan

Pemerintahan, mengganti Presiden dengan

Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya

hingga pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI

hingga Bank Plecit.

Paragraf 13

(1)Katakanlah yang beliau-

beliau(anaforapersona) lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI

dari kegelapan menuju cahaya, tetapi

momentum dan adegan-adegan pengambil-

alihan kekuasaannya, saya tidak mampu

mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya(anafora) dari konflik-konflik

besar, bahkan dengan sesama Kaum Muslimin

sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-

anak Sekolah Unggul.

Paragraf 15

(2)Sangat meyakini kebenaran Islam

262

dan gagah berani menerapkannya.(anafora)

Paragraf 16

(2)Atau Malaikat

menanyainya(anaforapersona) soal ideologi

global, kapitalisme mondial, sistem pasar

Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar

industrialisme dan sistem perbankan Dunia.

(3)Juga untuk menjadi Muslim yang tidak

masuk Neraka apakah ia(anaforapersona)

harus menguasai semua makna Al-Qur`an,

harus berkualitas Ulama dan bergabung dalam

Khilafah Hizbut Tahrir.

Paragraf 17

(1)Setiap hamba Allah dilindungi

oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa

wus’aha” (Allah tidak membebani manusia

melebihi kadar

kemampuannya(anaforapersona)). (2)Seorang

kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya,(anaforapersona)

hubungannya(anaforapersona) dengan Nabi

dan Al-Qur`an, apakah ia(anaforapersona)

mencuri harta orang, menghina martabat

sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari

jasad manusia.

Paragraf 18

(2)Seseorang mungkin hanya hafal Al-

Fatihah dan beberapa ayat pendek,

pengetahuannya(anaforapersona) sangat awam

terhadap tata nilai Islam. (3)Tetapi

hidupnya(anaforapersona) sungguh-sungguh,

kebergantungannya(anafora) kepada Allah

mendarah-daging. (4)Tidak pandai dan ‘alim,

tapi kejujuran perilakunya(anaforapersona)

ajeg. (5)Tidak canggih shalat dan bacaan

Qur`annya(anaforapersona), tapi santun,

menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit

siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.

Paragraf 20

Syariat Allah di Alam dan Manusia

(5)Sudah pasti perbaikannya(anafora)

harus dari dapur, tetapi kalau saya

263

memaksakan diri untuk mengambil alih dapur:

kepastian mudlarat-nya(anafora) terlalu

besar dibanding kemungkinan manfaat-

nya(anafora).

Paragraf 24

(1)Kalau ada Negara di Bumi yang

menegakkan hukum dan penataan aturan yang

memprimerkan keperluan rakyatnya(anafora),

itu persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat

Allah.

Paragraf 26

(2)Sejak awal mula penciptaan berupa

pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai

dan memujinya(anafora), sehingga

manamainya(anafora) “Nur Muhammad”,

dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka

kemudian Allah merebakkannya(anafora)

menjadi alam semesta dan umat manusia.

(3)Maka para Malaikat semua, kemudian

semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,

meneguhkan keridlaannya(anaforapersona):

“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,

dan Muhammad adalah utusan Allah”.

Paragraf 27

(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama

Nur (repetisi)Muhammad, yang kumparan

dan gelombangnya(anafora) mentransformasi

menjadi jagat raya —dan itulah yang

disyahadatkan oleh para Malaikat dan para

Nabi Rasul. (4)Muhammad adalah zat

sejatinya, Nabi adalah pangkatnya, Rasul

adalah jabatannya(anaforapersona) di Bumi.

Paragraf 28

(4)Seorang tukang andong bisa

mencintai Tuhan, merindukan tiga

Muhammad, tekun bersembahyang, lemah

lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak

menyakiti orang, tidak memaksa siapapun

untuk berpandangan sama

dengannya(anaforapersona) – dengan atau

tanpa Negara Khilafah.

264

Pengacuan Katafora : 7

Paragraf 2

(2)Para Prajurit Pembebasan(katafora),

Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan

rezeki untuk semakin nikmat bekerja keras

menemukan pembebasan.

Paragraf 3

(1)Karena tugas kemakhlukan manusia

adalah menghimpun ilmu dan menyusun

strategi, agar ia lolos kembali ke kampung

halaman aslinya(katafora), yakni Kebun Surga,

di mana kemerdekaan mengalir, meruang,

melebar, meluas, dan manusia memegang

kendali aliran itu dalam dua rentang waktu:

kekekalan dan keabadian.

Paragraf 10

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

(3)Memang demikianlah sejak

didirikan 1953 oleh beliau (kataforapersona)

Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa

ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh

Abdurahman Al-Baghdady.

Paragraf 19

(2)Seorang Ibu penjual jamu bisa

masuk surga tanpa menunggu

berhasilnya(katafora) perjuangan Khilafah

Dunia.

Paragraf 25

(1)Tingkat dan pola kepatuhan mereka

kepada Syariat Allah seperti pohon,

mengalirnya(katafora) air, berhembusnya

(katafora)angin: patuh kepada Tuhan secara

alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap

kemanusiaannya, namun tanpa akalnya

menemukan dan menyadari bahwa itu adalah

ketaatan kepada Syariat-Nya.

Paragraf 28

(2)Sedangkan Maulid Nabi

265

diselenggarakan pada bulan Ramadlan,

bersamaan dengan turunnya(katafora) Iqra`

yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an

Muhammad-manusia.

Pengacuan Persona : 41

Paragraf 1

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh

otoritas Negara, itu tidak berarti

manusianya(anaforapersona) menjadi

“stateless”, aktivisnya(anaforapersona)

menjadi “persona non grata.” ... (3)Setiap

orang atau kelompok berhak memperjuangkan

keyakinannya(anaforapersona). (6)Dalam

konteks ini mungkin justru

mereka(anaforapersona) sedang menjalani

ujian kenaikan derajat.

Paragraf 3

(1)Karena tugas kemakhlukan manusia

adalah menghimpun ilmu dan menyusun

strategi, agar ia(anaforapersona) lolos kembali

ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun

Surga, di mana kemerdekaan mengalir,

meruang, melebar, meluas, dan manusia

memegang kendali aliran itu dalam dua

rentang waktu: kekekalan dan keabadian.

Paragraf 4

(4)Semacam “puasa”, agar kelak

sebagai penduduk Surga,

mereka(anaforapersona) menikmati betapa

dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling

membatasi satu sama lain(komparatif) –

sesudah selama di Bumi

mereka(anaforapersona) menyiksa diri oleh

perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya

sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan

pemusnahan.

Paragraf 5

(3)Tetapi Negara tidak berkuasa atas

266

hati dan pikiran warganya, kecuali

mereka(anaforapersona) yang tidak menikmati

otonomi rohani dan independensi

pikirannya(anaforapersona), sehingga rela

menjadi buih yang diseret dan diombang-

ambingkan ke manapun Negara dan

Pemerintahnya(anaforapersona) mau.

Paragraf 6

Keniscayaan Khilafah

(1)Saya(anaforapersona) tidak perlu

setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah,

karena itu adalah niscaya.

(2)Saya(anaforapersona) tidak punya

kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)

Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam

semesta dan saya. (3)Menjadi Khalifah adalah

posisi khusus manusia:

tugasnya(anaforapersona) “patuh dengan

kesadaran akal”. (5)Sungai, gunung, hutan,

angin, dedaunan dan embun, juga detak

jantung manusia, aliran

darahnya(anaforapersona), kesegaran dan

keausan jasadnya(anaforapersona), jadwal

lahir dan matinya(anaforapersona), semua

patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang

dengan kesadaran akal hanya entitas sistem

makhluk manusia yang dipasang di

kepalanya(anaforapersona) semacam supra-

chips yang bernama akal, serta cakrawala yang

bernama kalbu.

Paragraf 7

(1)Malaikat, Iblis, Setan, benda,

tetumbuhan, hewan adalah makhluk

kepastian, meskipun sebagian di antara

mereka(anaforapersona) ada yang menjadi

wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan

inisiatif manusia. (3)Tuhan berbagi dengan

mereka berdua(anaforapersona) “hak

mentakdirkan” sampai batas tertentu, dengan

pembekalan ilmu yang juga amat sedikit.

(4)Manusia bisa melanggar batas yang sedikit

itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang,

kerakusan Development bisa merusak bumi,

dengan memberangus sesama manusia yang

267

menentangnya(anaforapersona).

Paragraf 8

(2)Dalam kuburan

mereka(anaforapersona) memulai Semester

berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-

semesteran berikutnya, hingga tiba di babak

final Surga atau Neraka. (4)Manusia tidak bisa

mengelak dari tanggung jawabnya sampai dua

kehidupan abadi (kholidina fiha abada) yang

wajib dijalaninya(anaforapersona).

Paragraf 9

(2)Manusia “ngunduh wohing pakarti”,

memetik buah dari kelakuan yang

ditanamnya(anaforapersona).

Paragraf 11

(1)Mereka(anaforapersona) orang-

orang baik sebagai manusia, sangat

menyayangi penduduk Bumi dan mencita-

citakan semua manusia lintas-Negara agar

kelak bercengkerama dengan Allah di Surga.

(2)Mereka(anaforapersona) menyusun tata

nilai kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai

sistem besar, semacam grand design untuk

seluruh wilayah di Bumi(komparatif).

(3)Andaikan mereka(anaforapersona) adalah

putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau,

yang sesudah Bahtera mendarat di Turki,

lantas membagi rombongan-rombongan ke

berbagai wilayah di seantero Bumi –maka

mereka(anaforapersona) bisa meng-Hizbut-

tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan

berangkat dari Nol.

Paragraf 13

(1)Katakanlah yang beliau-

beliau(anaforapersona) lakukan adalah

“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI

dari kegelapan menuju cahaya, tetapi

momentum dan adegan-adegan pengambil-

alihan kekuasaannya, saya tidak mampu

mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya dari konflik-konflik besar,

bahkan dengan sesama Kaum Muslimin

sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

268

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-

anak Sekolah Unggul.

Paragraf 16

(2)Atau Malaikat

menanyainya(anaforapersona) soal ideologi

global, kapitalisme mondial, sistem pasar

Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar

industrialisme dan sistem perbankan Dunia.

(3)Juga untuk menjadi Muslim yang tidak

masuk Neraka apakah ia(anaforapersona)

harus menguasai semua makna Al-Qur`an,

harus berkualitas Ulama dan bergabung dalam

Khilafah Hizbut Tahrir.

Paragraf 17

(1)Setiap hamba Allah dilindungi

oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa

wus’aha” (Allah tidak membebani manusia

melebihi kadar

kemampuannya(anaforapersona)). (2)Seorang

kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya,(anaforapersona)

hubungannya(anaforapersona) dengan Nabi

dan Al-Qur`an, apakah ia(anaforapersona)

mencuri harta orang, menghina martabat

sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari

jasad manusia.

Paragraf 18

(2)Seseorang mungkin hanya hafal Al-

Fatihah dan beberapa ayat pendek,

pengetahuannya(anaforapersona) sangat awam

terhadap tata nilai Islam. (3)Tetapi

hidupnya(anaforapersona) sungguh-sungguh,

kebergantungannya kepada Allah mendarah-

daging. (4)Tidak pandai dan ‘alim, tapi

kejujuran perilakunya(anaforapersona) ajeg.

(5)Tidak canggih shalat dan bacaan

Qur`annya(anaforapersona), tapi santun,

menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit

siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.

Paragraf 26

(3)Maka para Malaikat semua,

kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,

269

meneguhkan keridlaannya(anaforapersona):

“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,

dan Muhammad adalah utusan Allah”.

Paragraf 27

(4)Muhammad adalah zat sejatinya,

Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah

jabatannya(anaforapersona) di Bumi.

Paragraf 28

(4)Seorang tukang andong bisa

mencintai Tuhan, merindukan tiga

Muhammad, tekun bersembahyang, lemah

lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak

menyakiti orang, tidak memaksa siapapun

untuk berpandangan sama

dengannya(anaforapersona) – dengan atau

tanpa Negara Khilafah.

Pengacuan Demonstratif : 5

Paragraf 4

(2)Karena di kehidupan Dunia yang

ini(demonstratif), sistem nilainya tidak dibikin

oleh Tuhan untuk memungkinkan kebebasan

seseorang berposisi steril atau tidak

mengganggu kebebasan orang lainnya.

Paragraf 20

Syariat Allah di Alam dan Manusia

(1)Jangan dipikir saya setuju dan

merasa jenak dengan berbagai hal tentang

NKRI. (2)Bahkan hal-hal yang mendasar sejak

persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai

Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi

hingga Era Klayapan sekarang

ini(demonstratif).

Paragraf 10

Kudeta Surga dan Khilafah Silmi

(3)Memang demikianlah sejak

didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin

An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan

Indonesia 1980-an(demonstratif) oleh Syaikh

Abdurahman Al-Baghdady.

270

Paragraf 28

(1)Muhammad bin Abdullah

diperingati secara nasional di Indonesia setiap

12 Rabi’ul Awwal(demonstratif).

(2)Sedangkan Maulid Nabi diselenggarakan

pada bulan Ramadlan(demonstratif),

bersamaan dengan turunnya Iqra` yang

merupakan momentum awal ke-Nabi-an

Muhammad-manusia.

Pengacuan Komparatif : 6

Paragraf 2

(3)Organisasi hanyalah alat: pisau

dapur untuk mengiris bawang, hanyalah

payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu

tujuan(komparatif).

Paragraf 4

(3)Tuhan hanya menyelenggarakan

training sejenak di Bumi agar manusia belajar

berbagi kemerdekaan. (4)Semacam “puasa”,

agar kelak sebagai penduduk Surga, mereka

menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan

yang tidak saling membatasi satu sama

lain(komparatif) –sesudah selama di Bumi

mereka menyiksa diri oleh perebutan,

persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan

menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,

pembunuhan dan pemusnahan.

Paragraf 11

(2)Mereka menyusun tata nilai

kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem

besar, semacam grand design untuk seluruh

wilayah di Bumi(komparatif).

Paragraf 13

(1)Katakanlah yang beliau-beliau

lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”,

membawa NKRI dari kegelapan menuju

cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan

pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak

mampu mensimulasi kemungkinan bisa

dihindarkannya dari konflik-konflik besar,

271

bahkan dengan sesama Kaum Muslimin

sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan

darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-

anak Sekolah Unggul.(komparatif)

Paragraf 21

(2)Tapi saya tidak mau meladeni

kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan

pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan

antara Pancasila dengan Islam, antara

Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan,

antara Negara dengan Agama, antara

Nasionalis dengan Islamis. (3)Apalagi

mendikotomikan antara Agawa-Samawi

dengan Agama-Ardli, antara Kesalehan

Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan

antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia

dengan Akhirat(komparatif).

Paragraf 25

(1)Tingkat dan pola kepatuhan mereka

kepada Syariat Allah seperti pohon,

mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh

kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena

kejujuran terhadap kemanusiaannya, namun

tanpa akalnya menemukan dan menyadari

bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-

Nya(komparatif).

Penyulihan (Subtitusi)

Pelesapan (Elipsis)

Perangkaian (Konjungsi)

(1) konjungsi koordinatif : 15

(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi

Paragraf 1

(3)Setiap orang (koordinatif)atau

kelompok berhak memperjuangkan

keyakinannya. (4) Ada yang meletakkannya

pada peta kalah menang, (koordinatif)dan HTI

sedang menanggung resikonya.

Paragraf 2

(4)Pisau, payung, dan kendaraan, biasa

rusak atau aus, lantas dibengkelkan

272

(koordinatif)atau ambil yang baru di Toko

Ilmu.

Paragraf 4

(2)Karena di kehidupan Dunia yang

ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan

untuk memungkinkan kebebasan seseorang

berposisi steril (koordinatif)atau tidak

mengganggu kebebasan orang lainnya.

Paragraf 5

(2)Negara bisa menyebarkan

kemungkinan baik (koordinatif)atau buruk

bagi sandang, pangan, dan papan manusia.

Paragraf 6

Keniscayaan Khilafah

(1)Saya tidak perlu setuju

(koordinatif)atau tidak atas ‘ideologi’

Khilafah, karena itu adalah niscaya.

(3)Menjadi Khalifah adalah posisi khusus

manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran

akal”. (4)Semua benda patuh kepada Tuhan,

(koordinatif)tetapi tidak dengan kesadaran

akal. (5)Sungai, gunung, hutan, angin,

dedaunan dan embun, juga detak jantung

manusia, aliran darahnya, kesegaran dan

keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya,

semua patuh kepada kehendak Tuhan,

(koordinatif)tetapi yang dengan kesadaran akal

hanya entitas sistem makhluk manusia yang

dipasang di kepalanya semacam supra-chips

yang bernama akal, serta cakrawala yang

bernama kalbu.

Paragraf 11

(1)Mereka orang-orang baik sebagai

manusia, sangat menyayangi penduduk Bumi

(koordinatif)dan mencita-citakan semua

manusia lintas-Negara agar kelak

bercengkerama dengan Allah di Surga.

Paragraf 15

(2)Sangat meyakini kebenaran Islam

(koordinatif)dan gagah berani menerapkannya.

273

Paragraf 17

(2)Seorang kuli pasar mungkin hanya

akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,

hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an,

apakah ia mencuri harta orang, menghina

martabat sesama manusia, (koordinatif)atau

memisahkan nyawa dari jasad manusia.

Paragraf 18

(5)Tidak canggih shalat dan bacaan

Qur`annya, (koordinatif)tapi santun,

menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit

siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.

Paragraf 26

(2)Sejak awal mula penciptaan berupa

pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai

dan memujinya, sehingga manamainya “Nur

Muhammad”, (koordinatif)dan gara-gara

makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah

merebakkannya menjadi alam semesta dan

umat manusia.

Paragraf 27

(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama

Nur Muhammad, yang kumparan dan

gelombangnya mentransformasi menjadi jagat

raya — (koordinatif)dan itulah yang

disyahadatkan oleh para Malaikat dan para

Nabi Rasul.

(2) konjungsi subordinatif : 32

(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;

(b) konjungsi kausal: sebab, karena;

(c) konjungsi konsesif: meskipun,

(d) konjungsi syarat: kalau,

(e) konjungsi komplementasi: bahwa,

Paragraf 1

(2)(subordinatif)Kalau dikaitkan

dengan (repetisi)makar, sebaiknya jangan

makar kepada rujukan konsep makar dari

Tuhan (“wa makaru wa makarallah”).

274

Paragraf 2

(1)Bumi dan Dunia adalah sistem

batasan, (subordinatif)sehingga penduduknya

berjuang mencari celah-celah ruang

kemerdekaan.

Paragraf 3

(1)Karena tugas kemakhlukan manusia

adalah menghimpun ilmu dan menyusun

strategi, (subordinatif)agar ia lolos kembali ke

kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,

di mana kemerdekaan mengalir, meruang,

melebar, meluas, dan manusia memegang

kendali aliran itu dalam dua rentang waktu:

kekekalan dan keabadian.

Paragraf 4

(3)Tuhan hanya menyelenggarakan

training sejenak di Bumi (subordinatif)agar

manusia belajar berbagi kemerdekaan.

(4)Semacam “puasa”, agar kelak sebagai

penduduk Surga, mereka menikmati betapa

dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling

membatasi satu sama lain –

(subordinatif)sesudah selama di Bumi mereka

menyiksa diri oleh perebutan, persaingan,

pertengkaran, pembubaran, bahkan

menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,

pembunuhan dan pemusnahan.

Paragraf 5

(3)Tetapi Negara tidak berkuasa atas

hati dan pikiran warganya, kecuali mereka

yang tidak menikmati otonomi rohani dan

independensi pikirannya,

(subordinatif)sehingga rela menjadi buih yang

diseret dan diombang-ambingkan ke manapun

Negara dan Pemerintahnya mau.

Paragraf 6

Keniscayaan Khilafah

(1)Saya tidak perlu setuju atau tidak

atas ‘ideologi’ Khilafah, (subordinatif)karena

itu adalah niscaya.

Paragraf 7

275

(1)Malaikat, Iblis, Setan, benda,

tetumbuhan, hewan adalah makhluk

kepastian, (subordinatif)meskipun sebagian di

antara mereka ada yang menjadi wadah

kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif

manusia.

Paragraf 8

(2)Dalam kuburan mereka memulai

Semester berikutnya, (subordinatif)kemudian

berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, (subordinatif)hingga tiba di babak

final Surga atau Neraka. (3)Manusia tidak bisa

melarikan diri, (subordinatif)karena tidak ada

tempat, planet, galaksi, ruang dan waktu yang

selain milik Tuhan. (4)Manusia tidak bisa

mengelak dari tanggung jawabnya sampai dua

kehidupan abadi (kholidina fiha abada)

(subordinatif)yang wajib dijalaninya.

Paragraf 9

(1)Khusus yang dapat kapling surga

akan dibagi di empat lapisan langit Surga,

(subordinatif)yang semua teduh berwarna

dominan hijau tua. (5)Kehidupan di Bumi

hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung

besar Akhirat, (subordinatif)yang juga terletak

di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.

Paragraf 10

(3)Memang demikianlah sejak

didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin

An-Nabhani (subordinatif)hingga dibawa ke

Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh

Abdurahman Al-Baghdady.

Paragraf 11

(1)Mereka orang-orang baik sebagai

manusia, sangat menyayangi penduduk Bumi

dan mencita-citakan semua manusia lintas-

Negara (subordinatif)agar kelak

bercengkerama dengan Allah di Surga.

(3)Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh

atau komunitas inti beliau, (subordinatif)yang

sesudah Bahtera mendarat di Turki,

(subordinatif)lantas membagi rombongan-

276

rombongan ke berbagai wilayah di seantero

Bumi – (subordinatif)maka mereka bisa meng-

Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan

berangkat dari Nol.

Paragraf 12

(2)(subordinatif)Kalau HTI hendak

“mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa

menemukan jalan sejarahnya kecuali harus

melakukan pengambil-alihan kekuasaan,

revolusi total atau kudeta: membubarkan

Parlemen dan Pemerintahan, mengganti

Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem

pemerintahannya hingga pola pasarnya,

kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.

Paragraf 13

(1)Katakanlah yang beliau-beliau

lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”,

membawa NKRI dari kegelapan menuju

cahaya, (subordinatif)tetapi momentum dan

adegan-adegan pengambil-alihan

kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi

kemungkinan bisa dihindarkannya dari

konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama

Kaum Muslimin sendiri, (subordinatif)sampai

mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-

kecilan (subordinatif)seperti tawuran anak-

anak Sekolah Unggul.

Paragraf 14

(4)Wallahu a’lam maksud-Nya,

(koordiatif)tetapi sukar dibayangkan

(subordinatif)bahwa penggunaan kata Silmi,

bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan

antara kedua kata itu.

Paragraf 15

(4)Kelak kita

mempertanggungjawabkan kehidupan di

hadapan Allah secara individual, tanpa bisa

ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:

sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak

saleh yang mendoakan kita,

(subordinatif)kemudian hak prerogatif

Muhammad kekasih Allah untuk menawar

277

nasib kita dalam konteks dialektika cinta.

Paragraf 19

(3)(subordinatif)Kalau saya salah,

mohon dilembuti dengan informasi yang lebih

benar. (4)Karena setiap huruf yang saya ketik

bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu

dan keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya

merasakan hampir mendekati mutlak,

(subordinatfi)sehingga gagah perkasa

memprogram pengkhilafahan Indonesia.

Paragraf 20

(5)Sudah pasti perbaikannya harus dari

dapur, (subordinatif)tetapi kalau saya

memaksakan diri untuk mengambil alih dapur:

kepastian mudlarat-nya terlalu besar

dibanding kemungkinan manfaat-nya.

Paragraf 22

(2)Saya jadi kikuk

(subordinatif)karena seakan-akan kalau saya

tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti

saya bukan Khalifah.

Paragraf 23

(1)Pada hakikinya semua makhluk

adalah representasi atau manifestasi atau tajalli

Tuhan sendiri, (subordinatif)sebab tidak ada

apapun, juga tak ada kehampaan atau

kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu

sendiri.

Paragraf 24

(1)(subordinatif)Kalau ada Negara di

Bumi yang menegakkan hukum dan penataan

aturan yang memprimerkan keperluan

rakyatnya, itu persesuaian dan kepatuhan

kepada Syariat Allah.

Paragraf 25

(1)Tingkat dan pola kepatuhan mereka

kepada Syariat Allah seperti pohon,

mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh

kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena

kejujuran terhadap kemanusiaannya,

278

(subordinatif)namun tanpa akalnya

menemukan dan menyadari bahwa itu adalah

ketaatan kepada Syariat-Nya.

Paragraf 28

(3)Adapun Nur Muhammad

diperingati bisa kapan saja

(subordinatif)karena tatkala “Kun”

dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan

hari kesepakatan bulan dan tahun yang

dikreasi oleh manusia.

(3) konjungsi korelatif : 4

(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;

Paragraf 11

(3)(korelatif)Andaikan mereka adalah

putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau,

(subordinatif)yang sesudah Bahtera mendarat

di Turki, (subordinatif)lantas membagi

rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di

seantero Bumi – (subordinatif)maka mereka

bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di

Bumi dengan berangkat dari Nol.

Paragraf 23

(2)Begitu(korelatif) Tuhan bilang

“Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah

syariat-Nya: metabolisme semesta, organisme

alam, sistem nilai kehidupan, hamparan

galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh,

pohon berbuah, gunung menyimpan api,

semua kelereng-kelereng alam semesta

menari-nari, menyusun koreografi yang luar

biasa, beredar pada porosnya, berputar satu

sama lain.

(4) konjungsi antar kalimat : 6

Paragraf 4

(1)Negara adalah hasil karya

kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar

di antara penduduk Bumi.

(2)(antarkalimat)Karena di kehidupan Dunia

279

yang ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh

Tuhan untuk memungkinkan kebebasan

seseorang berposisi steril atau tidak

mengganggu kebebasan orang lainnya.

Paragraf 5

(1)(antarkalimat)Tetapi Negara dengan

Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua

hal pada manusia.

Paragraf 10

(2)(antarkalimat)Serta menjunjung

kemuliaan untuk mencita-citakan agar seluruh

bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana

menghuni Surga.

Paragraf 12

(1)(antarkalimat)Tetapi Indonesia

terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen,

plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai

faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan

ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar

belakang, etnik, jenis darah, marga, golongan,

aliran dan berbagai-bagai lainnya.

Paragraf 16

(2)(antarkalimat)Atau Malaikat

menanyainya soal ideologi global, kapitalisme

mondial, sistem pasar Yahudi internasional,

atau satuan-satuan besar industrialisme dan

sistem perbankan Dunia.

Paragraf 28

(2)(antarkalimat)Sedangkan Maulid

Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan,

bersamaan dengan turunnya Iqra` yang

merupakan momentum awal ke-Nabi-an

Muhammad-manusia.

Kohesi

(Leksikal)

Repetisi (Pengulangan) : 9

Paragraf 1 (kalimat 2, 3, 4, 5)

Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan

(2)Kalau dikaitkan dengan

(repetisi)makar, sebaiknya jangan makar

kepada rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa

makaru wa makarallah”).(3)Setiap orang atau

kelompok berhak memperjuangkan

280

keyakinannya.(4)Ada yang meletakkannya

pada peta kalah menang, dan HTI sedang

menanggung resikonya.(5) Ada juga yang

melihat keluasan hidup di mana kalah menang

hanyalah sebuah strata.

Paragraf 2 (kalimat 3)

(3)Organisasi (repetisi)hanyalah alat:

pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah

payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.

Paragraf 8 (kalimat 1,2,3,4)

(1)Tetapi para pelakunya (repetisi)tidak

bisa “pensiun dini”, tidak bisa “membolos”

dari kehidupan yang abadi. (2)Dalam kuburan

mereka memulai Semester berikutnya,

kemudian berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga

atau Neraka. (3)Manusia tidak bisa melarikan

diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi,

ruang dan waktu yang selain milik Tuhan.

(4)Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung

jawabnya sampai dua kehidupan abadi

(kholidina fiha abada) yang wajib dijalaninya.

Paragraf 11 (kalimat 1,2,3)

(1)(repetisi)Mereka orang-orang baik

sebagai manusia, sangat menyayangi

penduduk Bumi dan mencita-citakan semua

manusia lintas-Negara agar kelak

bercengkerama dengan Allah di Surga.

(2)Mereka menyusun tata nilai kebudayaan

(Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar,

semacam grand design untuk seluruh wilayah

di Bumi. (3)Andaikan mereka adalah putra

Nabi Nuh atau komunitas inti beliau, yang

sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas

membagi rombongan-rombongan ke berbagai

wilayah di seantero Bumi –maka mereka bisa

meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi

dengan berangkat dari Nol.

Paragraf 14 (kalimat 1,2,3)

(1)Maka saya memberanikan diri

mencari pemahaman atas perintah Allah

“Udkhulu fis-silmi kaffah”. (2)Masuklah ke

281

dalam (repetisi)Silmi secara utuh dan tunai.

(3)Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-

kata Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam

maksud-Nya, tetapi sukar dibayangkan bahwa

penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa

mengandung perbedaan antara kedua kata itu.

Paragraf 20 (kalimat 3,4)

Syariat Allah di Alam dan Manusia

(3)Tapi saya tidak sedang berada di

(repetisi)dapur dikepung oleh bahan-bahan

mentah makanan serta alat-alat dapur. (4)Saya

berada di warung depannya, dengan makanan

minuman yang sudah tersedia. Sudah pasti

perbaikannya harus dari dapur, tetapi kalau

saya memaksakan diri untuk mengambil alih

dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar

dibanding kemungkinan manfaat-nya.

Paragraf 21 (kalimat 2,3)

(2)Tapi saya tidak mau meladeni

kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan

pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan

(repetisi)antara Pancasila dengan Islam, antara

Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan,

antara Negara dengan Agama, antara

Nasionalis dengan Islamis. (3)Apalagi

mendikotomikan antara Agawa-Samawi

dengan Agama-Ardli, antara Kesalehan

Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan

antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia

dengan Akhirat.

Paragraf 27 (1,2,3,4)

(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama

Nur (repetisi)Muhammad, yang kumparan

dan gelombangnya mentransformasi menjadi

jagat raya — dan itulah yang disyahadatkan

oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.

(2)Kemudian kedua Muhammad bin

Abdullah, Muhammad-manusia dengan

kontrak 63 tahun di Bumi. (3)Lantas

Muhammad Nabiyyullah yang membawa

berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang

berevolusi dari Taurat, Zabur, Injil, hingga

Qur`an. (4)Muhammad adalah zat sejatinya,

282

Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah

jabatannya di Bumi.

Koherensi Paragraf 2

(2)Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-

Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk

semakin nikmat bekerja keras menemukan

pembebasan. (3)Organisasi hanyalah alat:

pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah

payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.

(4)Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak

atau aus, lantas dibengkelkan atau ambil yang

baru di Toko Ilmu. (koherensi sebab akibat)

Paragraf 4

(3)Tuhan hanya menyelenggarakan

training sejenak di Bumi agar manusia belajar

berbagi kemerdekaan. (4)Semacam “puasa”,

agar kelak sebagai penduduk Surga, mereka

menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan

yang tidak saling membatasi satu sama lain –

sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri

oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,

pembubaran, bahkan menganiaya dirinya

sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan

pemusnahan. (koherensi ibarat)

Paragraf 6

(4)Semua benda patuh kepada Tuhan,

tetapi tidak dengan kesadaran akal. (5)Sungai,

gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,

juga detak jantung manusia, aliran darahnya,

kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir

dan matinya, semua patuh kepada kehendak

Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal

hanya entitas sistem makhluk manusia yang

dipasang di kepalanya semacam supra-chips

yang bernama akal, serta cakrawala yang

bernama kalbu. (koherensi aditif)

Paragraf 8

(1)Tetapi para pelakunya tidak bisa

“pensiun dini”, tidak bisa “membolos” dari

kehidupan yang abadi. (2)Dalam kuburan

mereka memulai Semester berikutnya,

283

kemudian berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga

atau Neraka. (3)Manusia tidak bisa melarikan

diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi,

ruang dan waktu yang selain milik Tuhan.

(4)Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung

jawabnya sampai dua kehidupan abadi

(kholidina fiha abada) yang wajib dijalaninya.

(koherensi argumentatif)

Paragraf 9

(3)Bumi adalah bagian dari Langit.

(4)Dunia adalah bagian awal dari Akhirat.

(5)Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung

kecil di dalam gelembung besar Akhirat, yang

juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu

sendiri.(koherensi latar simpulan)

Paragraf 17

(1)Setiap hamba Allah dilindungi

oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa

wus’aha” (Allah tidak membebani manusia

melebihi kadar kemampuannya). (2)Seorang

kuli pasar mungkin hanya akan ditanya

beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan

Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta

orang, menghina martabat sesama manusia,

atau memisahkan nyawa dari jasad

manusia.(koherensi ibarat)

Paragraf 19

(1)Konsep Silmi membukakan jalan

agar seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa

diterima oleh Allah tanpa menjadi warga

negara sebuah Negara Khilafah. (2)Seorang

Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa

menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah

Dunia. (koherensi ibarat)

Paragraf 20

(1)Jangan dipikir saya setuju dan

merasa jenak dengan berbagai hal tentang

NKRI. (2)Bahkan hal-hal yang mendasar sejak

persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai

Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi

hingga Era Klayapan sekarang ini. (3)Tapi

284

saya tidak sedang berada di dapur dikepung

oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-

alat dapur. (4)Saya berada di warung

depannya, dengan makanan minuman yang

sudah tersedia. (5)Sudah pasti perbaikannya

harus dari dapur, tetapi kalau saya

memaksakan diri untuk mengambil alih dapur:

kepastian mudlarat-nya terlalu besar

dibanding kemungkinan manfaat-

nya.(koherensi ibarat)

Retoris Grafis Paragraf 6 (kalimat 2 dan 3)

Keniscayaan Khilafah

Saya tidak punya kemungkinan lain

kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi

oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya.

Menjadi Khalifah adalah posisi khusus

manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran

akal”.

Paragraf 7 (kalimat 1 dan 2)

(7) Malaikat, Iblis, Setan, benda,

tetumbuhan, hewan adalah makhluk

kepastian, meskipun sebagian di antara

mereka ada yang menjadi wadah kerjasama

antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.

Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk

kemungkinan.

Paragraf 14 (kalimat 2)

(14) Maka saya memberanikan diri

mencari pemahaman atas perintah Allah

“Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam

Silmi secara utuh dan tunai. Anehnya Allah

tidak menggunakan kosa-kata Islam,

melainkan Silmi.

Paragraf 20 (kalimat 5)

Syariat Allah di Alam dan Manusia

Sudah pasti perbaikannya harus dari

dapur, tetapi kalau saya memaksakan diri

untuk mengambil alih dapur: kepastian

mudlarat-nya terlalu besar dibanding

kemungkinan manfaat-nya.

Paragraf 23 (kalimat 2)

Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”,

285

maka berlangsunglah syariat-Nya:

metabolisme semesta, organisme alam, sistem

nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan

tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,

gunung menyimpan api, semua kelereng-

kelereng alam semesta menari-nari, menyusun

koreografi yang luar biasa, beredar pada

porosnya, berputar satu sama lain.

Paragraf 26 (kalimat 2, 3, 4)

Dituliskan(katafora) oleh para Malaikat

atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-

Mahfudh. Sejak awal mula penciptaan berupa

pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai

dan memujinya, sehingga manamainya “Nur

Muhammad”, dan gara-gara makhluk wiwitan

inilah maka kemudian Allah merebakkannya

menjadi alam semesta dan umat manusia.

Maka para Malaikat semua, kemudian semua

Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, meneguhkan

keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan

selain Allah, dan Muhammad adalah

utusan Allah”.

Paragraf 27 (kalimat 1, 2, 3)

(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama

Nur Muhammad, yang kumparan dan

gelombangnya mentransformasi menjadi jagat

raya — dan itulah yang disyahadatkan oleh

para Malaikat dan para Nabi Rasul. Kemudian

kedua Muhammad bin Abdullah,

Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun

di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah

yang membawa berita, hidayah dan “buku

manual” Allah yang berevolusi dari Taurat,

Zabur, Injil, hingga Qur`an.

Metafora Paragraf 2 (kalimat 3 dan 4)

Organisasi hanyalah alat: pisau dapur

untuk mengiris bawang, hanyalah payung

untuk berlindung dari hujan, hanyalah

kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau,

payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus,

lantas dibengkelkan atau ambil yang baru di

Toko Ilmu.

Paragraf 3 (kalimat 1)

286

(3)Karena tugas kemakhlukan manusia

adalah menghimpun ilmu dan menyusun

strategi, agar ia lolos kembali ke kampung

halaman aslinya, yakni Kebun Surga, di mana

kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,

meluas, dan manusia memegang kendali aliran

itu dalam dua rentang waktu: kekekalan dan

keabadian.

Paragraf 4 (kalimat 1)

(4)Negara adalah hasil karya

kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar

di antara penduduk Bumi.

Paragraf 8 (kalimat 1,2)

(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa

“pensiun dini”, tidak bisa “membolos” dari

kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka

memulai Semester berikutnya, kemudian

berlangsung semesteran-semesteran

berikutnya, hingga tiba di babak final Surga

atau Neraka.

Paragraf 9 (kalimat 1, 2, 4)

(9)Khusus yang dapat kapling surga

akan dibagi di empat lapisan langit Surga,

yang semua teduh berwarna dominan hijau tua.

Manusia “ngunduh wohing pakarti”, memetik

buah dari kelakuan yang ditanamnya. Bumi

adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian

awal dari Akhirat. Kehidupan di Bumi

hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung

besar Akhirat, yang juga terletak di Maha

Gelembung Tuhan itu sendiri.

Judul : Khalifah NKRI

287

Kode : KN

No Aspek

Mikro

Keterangan

Semantik Latar Paragraf 3

(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai.

Hal-hal yang menyangkut penanganan hukum

atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir

di hati setiap kali menatap Indonesia. Tapi

secara pribadi saya bersyukur karena lembaga

Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut

Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya. Jadi saya

merdeka. Namun demikian saya tetap wajib

“lapor” kepada diri saya sendiri:

Rincian Paragraf 13

(4)Kabupaten ke bawah: kecamatan,

desa, kampung, pesantren, padepokan, sanggar

— berbagai “ruangan hati rakyat kecil”.

Paragraf 12

(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan

“baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia

menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:

“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku

untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada

kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan

kesempurnaan itu” sebagai modal untuk

membangun peradaban di sisa senja hari usia

alam semesta.

Paragraf 13

(1)Allah membatasi tuntutannya:

“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.

Nominalisasi Paragraf 3

(2)Hal-hal yang menyangkut

penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu

dan fix.

Paragraf 11

(3)Khilafah memerlukan kearifan

manajemen, memahami batas pencapaian

cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk

menahan diri dari kemungkinan perusakan

terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur

tumbuh.

288

Paragraf 13

(4)Saya berpuasa dari Negara

“besar”, politik “elite”, mowo-toto politik

praktis, yang puncak pencapaiannya adalah

jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

Sintaksis Bentuk

Kalimat

Kalimat Aktif : (20)

Paragraf 2

(1)(KA)Ibarat sedang masak sayur di

dapur, perkenankan saya menuntaskannya

menuju matang.

Paragraf 3

(4)(KA)Tapi secara pribadi saya

bersyukur karena lembaga Negara, aparat

Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya

“tidak kenal” saya. ... (6)(KA)Namun

demikian saya tetap wajib “lapor” kepada diri

saya sendiri:

Paragraf 4

(1)(KA)Mohon izin saya bersangka

baik bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi

Khilafah, dengan segala keterbatasannya,

baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya

serta indah joroknya.

Paragraf 5

(1)(KA)Karena saya tidak mau bikin

perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa,

yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan

manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli

khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan

manusia sebagai Khalifah di bumi.

Paragraf 6

(2)(KA)Saya tidak bisa tahu berapa

tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut

Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu

Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan —

tetapi saya tidak punya secuilpun peluang

untuk mengingkari khilafah.

Paragraf 7

(3)(KA)Semoga pada suatu hari Allah

mengizinkan keinginan saya menulis tentang

Memahami Pancasila dengan Metoda

289

Khilafah. (4)(KA)Juga Memahami Khilafah

lewat Pintu Pancasila.

Paragraf 8

(3)(KA)Allah tidak menagih hamba-

hambaNya berkebun dengan menghasilkan

buah-buah surga. (4)(KA) Bahkan hanya Allah

yang sejatinya menerbitkan buahnya, manusia

hanya menanam dan merawatnya.

Paragraf 9

(2)(KA)Kita tinggal cari komponen-

komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut,

di-tunggal-ika-i, disinergikan. (3)(KA)Juga

kita daftar ketidak-cocokan di antara kita,

faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak

air-minyaknya, ketidak-satu- gelombang-

annya.

Paragraf 12

(1)(KA)Allah juga memberi

keringanan kepada kelemahan manusia.

(2)(KA)Ia tidak menuntut suatu desain besar

Islam atau desain Islam besar, yang berlaku

di setiap jengkal tanah di bumi.

Paragraf 13

(1)(KA)Allah membatasi tuntutannya:

“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.

(2)(KA)Tuhan tidak memilih kosakata

“Masuklah ke dalam Islam…”. (3)(KA)Sudah

di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-

40 tahun ini saya “nekad” menanam dan

menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat. ... (5)(KA)Saya berpuasa dari

Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto

politik praktis, yang puncak pencapaiannya

adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

Paragraf 14

(3)(KA)Kita mencintai dan mengabdi

kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah

Air, menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan

nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.

290

Kalimat Pasif : (4)

Paragraf 5

(2)(KP)Ada Hizbul-Wathon atau tidak,

ada Hizbut-Tahrir atau tidak, pakai Hizib-

Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa

diurai dari wujud adanya manusia.

Paragraf 10

(1)(KP)Daftar perbedaan itu kita

sepakati jangan menjadi alat dan medan untuk

kita berperang.

Paragraf 11

(1)(KP)Indonesia tidak didirikan oleh

Nabi Adam dari Nol-Peradaban, sehingga

semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan

secara murni dari awal persemaian.

Paragraf 14

(2)(KP)“Indonesia Bagian Dari Desa

Saya” buku 1979 kami jadikan landasan

berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-

keadaan lokal.

Kohesi

(Gramatikal)

Referensi (Pengacuan)

Pengacuan Anafora : 12

Paragraf 2

(1)Ibarat sedang masak sayur di dapur,

perkenankan saya menuntaskannya(anafora)

menuju matang.

Paragraf 4

(1)Mohon izin saya bersangka baik

bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi

Khilafah, dengan segala keterbatasannya,

baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya

serta indah joroknya(anafora). (2)Termasuk

niat suci atau kemunafikan

pelakunya(anafora). (3)Apakah khilafah NKRI

sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau

tidak, urusannya(anafora) nanti dengan Maha-

Owner kehidupan ini.

291

Paragraf 8

(1)“La yukallifullahu nafsan illa

wus’aha”, Allah tidak membebani manusia

melebihi kadarnya(anaforapersona).

(2)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-

benih, manusia menanamnya, memilih kondisi

tanahnya, mencoba merawat sebisa-

bisanya(anaforapersona). ... (4)Bahkan hanya

Allah yang sejatinya menerbitkan buahnya,

manusia hanya menanam dan

merawatnya.(anafora)

Paragraf 9

(1)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda

boleh menamakannya(anafora) “kukurunnuk”,

berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber

filosofi Anda.

Paragraf 10

(4)“Wassama`a rofa’aha wawadlo’al

mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit

mengatasinya, meletakkan keseimbangan

pada keduanya.(anafora)

Paragraf 12

(2)Ia(anafora) tidak menuntut suatu

desain besar Islam atau desain Islam besar,

yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi.

(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi sistem

nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru

kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia

menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:

“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku

untukmu(anaforapersona), kusempurnakan

nikmat-Ku kepada kalian, dan Kurelakan

kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai

modal untuk membangun peradaban di sisa

senja hari usia alam semesta.

Paragraf 13

(5)Saya berpuasa dari Negara

“besar”, politik “elite”, mowo-toto politik

praktis, yang puncak pencapaiannya(anafora)

adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.

292

Pengacuan Katafora : -

Pengacuan Persona : 3

Paragraf 3

(4)Tapi secara pribadi

saya(anaforapersona) bersyukur karena

lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun

Hizbut Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya.

Jadi saya merdeka. (5)Namun demikian

saya(anaforapersona) tetap wajib “lapor”

kepada diri saya sendiri:

Paragraf 4

(1)Mohon izin saya(anaforapersona)

bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah

aplikasi Khilafah, dengan segala

keterbatasannya, baik buruknya, salah

benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya.

Paragraf 5

(1)Karena saya(anaforapersona) tidak

mau bikin perkara dengan Tuhan Yang

Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam

menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-

ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku

menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi.

Paragraf 8

(1)“La yukallifullahu nafsan illa

wus’aha”, Allah tidak membebani manusia

melebihi kadarnya(anaforapersona).

(2)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-

benih, manusia menanamnya, memilih kondisi

tanahnya, mencoba merawat sebisa-

bisanya(anaforapersona).

Paragraf 12

(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan

“baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia

menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:

“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku

untukmu(anaforapersona), kusempurnakan

nikmat-Ku kepada kalian, dan Kurelakan

kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai

293

modal untuk membangun peradaban di sisa

senja hari usia alam semesta.

Paragraf 13

(3)Sudah di 3789 titik di seantero

Nusantara selama 30-40 tahun ini

saya(anaforapersona) “nekad” menanam dan

menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat. (5)Saya(anaforapersona)

berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”,

mowo-toto politik praktis, yang puncak

pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan

penguasaan.

Paragraf 14

(2)“Indonesia Bagian Dari Desa

Saya” buku 1979 kami(anaforapersona)

jadikan landasan berpikir, bersikap dan

mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal.

(3)Kita(anaforapersona) mencintai dan

mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin

merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi

Satriyo.

Pengacuan Demonstratif : 14

Paragraf 1

(1)Mungkin ini(demonstratif) bukan

yang paling urgen.

Paragraf 3

(1)Di ruangan itu(demonstratif), rapat

sudah selesai. ... (3)Ada rasa getir di hati setiap

kali menatap Indonesia(demonstratif).

Paragraf 4

(1)Mohon izin saya bersangka baik

bahwa NKRI ini(demonstratif) sudah sebuah

aplikasi Khilafah, dengan segala

keterbatasannya, baik buruknya, salah

benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya.

(3)Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak,

sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya

nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.

(demonstratif)

294

Paragraf 6

(2)Saya tidak bisa tahu berapa tinggi

badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi

Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda

Hawa di Kebumen atau Magetan(demonstratif)

— tetapi saya tidak punya secuilpun peluang

untuk mengingkari khilafah.

Paragraf 9

(1)Khilafah itu(demonstratif)

“kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya

“kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci

atau sumber filosofi Anda.

Paragraf 10

(1)Daftar perbedaan itu(demonstratif)

kita sepakati jangan menjadi alat dan medan

untuk kita berperang.

Paragraf 12

(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan

“baru kemarin sore”, 14 abad

silam(demonstratif), tatkala Ia menyatakan

kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari

ini(demonstratif) telah kulengkapkan Agama-

Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku

kepada kalian, dan Kurelakan kelengkapan

dan kesempurnaan itu” sebagai modal untuk

membangun peradaban di sisa senja hari usia

alam semesta.

Paragraf 13

(3)Sudah di 3789 titik di seantero

Nusantara selama 30-40 tahun

ini(demonstratif) saya “nekad” menanam dan

menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat.

Pengacuan Komparatif : 1

Paragraf 6

(1)Ketentuan khilafah sama

niscayanya dengan kelapa bukan semangka,

295

kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa

lurus halus, rambut Nabi Musa keriting,

rambut Nabi Muhammad ikal.

(2)(komparatif)Saya tidak bisa tahu berapa

tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut

Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu

Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan—

tetapi saya tidak punya secuilpun peluang

untuk mengingkari khilafah.

Penyulihan (Subtitusi)

Pelesapan (Elipsis)

Perangkaian (Konjungsi)

(1) konjungsi koordinatif (10)

(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi

Paragraf 4

(2)Termasuk niat suci atau(koordinatif)

kemunafikan pelakunya.

Paragraf 6

(2)Saya tidak bisa tahu berapa tinggi

badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi

Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda

Hawa di Kebumen atau Magetan—

tetapi(koordinatif) saya tidak punya secuilpun

peluang untuk mengingkari khilafah.

Paragraf 9

(4)Belajar terbuka (koordinatif)dan

jujur saja.

Paragraf 10

(1)Daftar perbedaan itu kita sepakati

jangan menjadi alat (koordinatif)dan medan

untuk kita berperang. (2)Belajar menentukan

kadar “puasa” (koordinatif)dan tahan diri

masing-masing, agar dicapai titik tengah dan

keseimbangan.

Paragraf 11

(3)Khilafah memerlukan kearifan

manajemen, memahami batas pencapaian

cocok-tanamnya, (koordinatif)dan berendah-

296

hati untuk menahan diri dari kemungkinan

perusakan terhadap segala sesuatu yang sudah

terlanjur tumbuh.

Paragraf 12

(2)Ia tidak menuntut suatu desain

besar Islam (koordinatif)atau desain Islam

besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di

bumi.

Paragraf 13

(3)Sudah di 3789 titik di seantero

Nusantara selama 30-40 tahun ini saya

“nekad” menanam (koordinatif)dan

menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat.

Paragraf 14

(1)“Sinau Bareng” dengan anak-anak

muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak

Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres,

Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh,

lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu

(koordinatif)dan simpul-simpul nasionalisme

yang tidak gegap gempita. ... (3)Kita mencintai

(koordinatif)dan mengabdi kepada Tuhan

sehingga rajin merawat Tanah Air,

menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan

nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.

(2) konjungsi subordinatif (9)

(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;

(b) konjungsi kausal: sebab, karena;

(c) konjungsi konsesif: meskipun,

(d) konjungsi syarat: kalau,

(e) konjungsi komplementasi: bahwa,

Paragraf 3

(4)Tapi secara pribadi saya bersyukur

karena(subordinatifkausal) lembaga Negara,

aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir,

faktanya “tidak kenal” saya.

297

Paragraf 4

(1)Mohon izin saya bersangka baik

bahwa(subordinatifkomplementasi) NKRI ini

sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan

segala keterbatasannya, baik buruknya, salah

benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya.

Paragraf 5

(1)Karena saya tidak mau bikin

perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa,

(subordinatif)yang ‘policy’ utamanya dalam

menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-

ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku

menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi.

Paragraf 10

(2)Belajar menentukan kadar “puasa”

dan tahan diri masing-masing,

(subordinatif)agar dicapai titik tengah dan

keseimbangan.

Paragraf 11

(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi

Adam dari Nol-Peradaban,

(subordinatif)sehingga semua benih Khilafah

bisa dicocok-tanamkan secara murni dari awal

persemaian.

Paragraf 12

(2)Ia tidak menuntut suatu desain

besar Islam atau desain Islam besar,

(subordinatif)yang berlaku di setiap jengkal

tanah di bumi.

Paragraf 14

(3)Kita mencintai dan mengabdi

kepada Tuhan (subordinatif)sehingga rajin

merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi

Satriyo.

Paragraf 15

(1)Tapi harus bikin pagar komplet

(subordinatif)agar Indonesia Besar jangan

menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia

298

Kecil.

(3) konjungsi korelatif -

(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;

(4) konjungsi antar kalimat (7)

Paragraf 1

(2)(antarkalimat)Tetapi apa yang tidak

urgen di Indonesia hari ini? Paragraf 3

(4)(antarkalimat)Tapi secara pribadi

saya bersyukur karena lembaga Negara, aparat

Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya

“tidak kenal” saya. (5)(antarkalimat)Jadi saya

merdeka. (6)(antarkalimat)Namun demikian

saya tetap wajib “lapor” kepada diri saya

sendiri:

Paragraf 5

(1)(antarkalimat)Karena saya tidak

mau bikin perkara dengan Tuhan Yang

Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam

menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-

ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku

menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi.

Paragraf 7

(1)(antarkalimat)Tetapi khilafah bukan

Negeri Surga.

Paragraf 8

(4)(antarkalimat)Bahkan hanya Allah

yang sejatinya menerbitkan buahnya, manusia

hanya menanam dan merawatnya. Kohesi

(Leksikal)

Repetisi (Pengulangan) :

Paragraf 1

(1)Mungkin ini bukan yang paling

(repetisi)urgen. (2)Tetapi apa yang tidak urgen

di Indonesia hari ini? Perkara mana yang kalah

urgen dibanding lain-lainnya?

Paragraf 7

(1)Tetapi khilafah bukan Negeri

Surga. (2)Khilafah adalah tuntunan

manajemen agar perjalanan sejarah kita

memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh

299

Rakyat Indonesia”. (3)Semoga pada suatu

hari Allah mengizinkan keinginan saya

menulis tentang (repetisi)Memahami

Pancasila dengan Metoda Khilafah. (4)Juga

Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.

Paragraf 13

(1)Allah membatasi tuntutannya:

“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.

(2)Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah

ke dalam Islam…”. (3)Sudah di 3789 titik di

seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini

saya “nekad” menanam dan menyemaikan

“Silmi”, “(repetisi)Islam kecil”, “Islam

substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-

konstekstual” — di lapangan bawah

masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan,

desa, kampung, pesantren, padepokan, sanggar

— berbagai “ruangan hati rakyat kecil”.

(3)Saya berpuasa dari Negara “besar”,

politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang

puncak pencapaiannya adalah jabatan,

kekuasaan dan penguasaan.

Paragraf 16

(1)72 tahun merdeka belum cukup

untuk membangun Indonesia Besar yang tidak

besar kepala di Jakarta. (2)Yang bisa

membedakan antara “otoritas” dengan

“otoriter”. (3)Antara “kewenangan” dengan

“sewenang-wenang”. (4)Yang (repetisi)tidak

Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya.

(5)Tidak memusuhi siapa saja yang seharusnya

dirangkulnya. (6)Tidak merasa pantas untuk

sewenang- wenang. (7)Tidak mengambil alih

otoritas Tuhan. (8)Tidak meminjam tangan

Iblis. (9)Tidak berkostum Malaikat. (10)Atau

perilaku apapun agar tercapai kepentingannya.

Koherensi Paragraf 7

(1)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga.

(2)Khilafah adalah tuntunan manajemen agar

perjalanan sejarah kita memproduksi

“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia”. (koherensi adiktif)

Paragraf 8

300

(1)“La yukallifullahu nafsan illa

wus’aha”, Allah tidak membebani manusia

melebihi kadarnya. (2)Khilafah adalah Allah

mentransfer benih-benih, manusia

menanamnya, memilih kondisi tanahnya,

mencoba merawat sebisa-bisanya. (3)Allah

tidak menagih hamba-hambaNya berkebun

dengan menghasilkan buah-buah surga.

(4)Bahkan hanya Allah yang sejatinya

menerbitkan buahnya, manusia hanya

menanam dan merawatnya.(koherensi latar-

simpulan)

Paragraf 11

(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi

Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua

benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara

murni dari awal persemaian. (2)Di Kebun

Nusantara sudah terlanjur banyak jenis

pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan

benalu. (3)Khilafah memerlukan kearifan

manajemen, memahami batas pencapaian

cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk

menahan diri dari kemungkinan perusakan

terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur

tumbuh.(koherensi argumentatif)

Paragraf 12

(1)Allah juga memberi keringanan

kepada kelemahan manusia. (2)Ia tidak

menuntut suatu desain besar Islam atau

desain Islam besar, yang berlaku di setiap

jengkal tanah di bumi.(koherensi parafrastis)

Paragraf 13

(1)Allah membatasi tuntutannya:

“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.

(2)Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah

ke dalam Islam…”.(koherensi parafrastis)

Paragraf 15

(1)Tapi harus bikin pagar komplet

agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor

destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. (2)Pagar

jasmani rohani agar jangan terlalu mudah

301

diracuni oleh “Indonesia Besar”,

pemerintahan Jakarta, industrialisme global,

kapitalisme maniak serta berbagai “hawa

global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin

manusia lainnya.(koherensi aditif)

Retoris Grafis Paragraf 4

(1)Mohon izin saya bersangka baik

bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi

Khilafah, dengan segala keterbatasannya,

baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya

serta indah joroknya.

Paragraf 5

(1)Karena saya tidak mau bikin

perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa,

yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan

manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli

khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan

manusia sebagai Khalifah di bumi.

Paragraf 7

(2)Khilafah adalah tuntunan

manajemen agar perjalanan sejarah kita

memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh

Rakyat Indonesia”. (3)Semoga pada suatu

hari Allah mengizinkan keinginan saya

menulis tentang Memahami Pancasila

dengan Metoda Khilafah. (4)Juga

Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.

Paragraf 8

(2)Khilafah adalah Allah mentransfer

benih-benih, manusia menanamnya, memilih

kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-

bisanya. ... (4)Bahkan hanya Allah yang

sejatinya menerbitkan buahnya, manusia

hanya menanam dan merawatnya.

Paragraf 9

(2)Kita tinggal cari komponen-

komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut,

di-tunggal-ika-i, disinergikan.

Paragraf 10

(4)“Wassama`a rofa’aha wawadlo’al

mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit

302

mengatasinya, meletakkan keseimbangan

pada keduanya.

Paragraf 11

(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi

Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua

benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara

murni dari awal persemaian. (2)Di Kebun

Nusantara sudah terlanjur banyak jenis

pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan

benalu. (3)Khilafah memerlukan kearifan

manajemen, memahami batas pencapaian

cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk

menahan diri dari kemungkinan perusakan

terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur

tumbuh.

Paragraf 12

(2)Ia tidak menuntut suatu desain

besar Islam atau desain Islam besar, yang

berlaku di setiap jengkal tanah di bumi.

(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi sistem

nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru

kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia

menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:

“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku

untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada

kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan

kesempurnaan itu” sebagai modal untuk

membangun peradaban di sisa senja hari usia

alam semesta.

Paragraf 13

(1)Allah membatasi tuntutannya:

“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.

(2)Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah

ke dalam Islam…”. (3)Sudah di 3789 titik di

seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini

saya “nekad” menanam dan menyemaikan

“Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”,

“Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual”

— di lapangan bawah masyarakat.

(4)Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa,

kampung, pesantren, padepokan, sanggar —

berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. (5)Saya

berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”,

303

mowo-toto politik praktis, yang puncak

pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan

penguasaan.

Paragraf 14

(1)“Sinau Bareng” dengan anak-anak

muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak

Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres,

Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh,

lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan

simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap

gempita. (2)“Indonesia Bagian Dari Desa

Saya” buku 1979 kami jadikan landasan

berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-

keadaan lokal. (3)Kita mencintai dan

mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin

merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi

Satriyo.

Paragraf 15

(2)Pagar jasmani rohani agar jangan

terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia

Besar”, pemerintahan Jakarta, industrialisme

global, kapitalisme maniak serta berbagai

“hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak

batin manusia lainnya.

Paragraf 16

(1)72 tahun merdeka belum cukup

untuk membangun Indonesia Besar yang tidak

besar kepala di Jakarta. (2)Yang bisa

membedakan antara “otoritas” dengan

“otoriter”. (3)Antara “kewenangan” dengan

“sewenang-wenang”. (4)Yang tidak Adigang

adigung adiguna kepada rakyatnya.

Metafora Paragraf 4

(1)Mohon izin saya bersangka baik

bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi

Khilafah, dengan segala keterbatasannya,

baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya

serta indah joroknya. (2)Termasuk niat suci

atau kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah

NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat

atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-

Owner kehidupan ini.

304

Paragraf 6

(1)Ketentuan khilafah sama

niscayanya dengan kelapa bukan semangka,

kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa

lurus halus, rambut Nabi Musa keriting,

rambut Nabi Muhammad ikal. (2)Saya tidak

bisa tahu berapa tinggi badan Nabi Khidlir,

apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya,

beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau

Magetan — tetapi saya tidak punya secuilpun

peluang untuk mengingkari khilafah.

Paragraf 7

(1)Tetapi khilafah bukan Negeri

Surga.

Paragraf 8

(2)Khilafah adalah Allah mentransfer

benih-benih, manusia menanamnya, memilih

kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-

bisanya. (3)Allah tidak menagih hamba-

hambaNya berkebun dengan menghasilkan

buah-buah surga. (4)Bahkan hanya Allah yang

sejatinya menerbitkan buahnya, manusia

hanya menanam dan merawatnya.

Paragraf 10

(1)Daftar perbedaan itu kita sepakati

jangan menjadi alat dan medan untuk kita

berperang. (2)Belajar menentukan kadar

“puasa” dan tahan diri masing-masing, agar

dicapai titik tengah dan keseimbangan.

(3)“Khoirul umuri ausathuha”, sebaik-baik

perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a

rofa’aha wawadlo’al mizan”, Allah

mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,

meletakkan keseimbangan pada keduanya.

Paragraf 11

(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi

Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua

benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara

murni dari awal persemaian.

Paragraf 12

305

(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi

sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan

“baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia

menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:

“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku

untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada

kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan

kesempurnaan itu” sebagai modal untuk

membangun peradaban di sisa senja hari usia

alam semesta.

Paragraf 13

(3)Sudah di 3789 titik di seantero

Nusantara selama 30-40 tahun ini saya

“nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”,

“Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam

esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di

lapangan bawah masyarakat. ... (5)Saya

berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”,

mowo-toto politik praktis, yang puncak

pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan

penguasaan.

Paragraf 14

(1)“Sinau Bareng” dengan anak-anak

muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak

Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres,

Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh,

lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan

simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap

gempita. (2)“Indonesia Bagian Dari Desa

Saya” buku 1979 kami jadikan landasan

berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-

keadaan lokal. (3)Kita mencintai dan

mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin

merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,

menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi

Satriyo.

Paragraf 15

(15)Tapi harus bikin pagar komplet

agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor

destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar

jasmani rohani agar jangan terlalu mudah

diracuni oleh “Indonesia Besar”,

pemerintahan Jakarta, industrialisme global,

306

kapitalisme maniak serta berbagai “hawa

global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin

manusia lainnya.

Judul : Tongkat Perppu dan Tongkat Musa

Kode : TPTM

No Aspek

Mikro

Keterangan

Semanti

k

Latar Paragraf 1

(1)Pada hari muncul wacana dari

Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam

itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa

kami “maiyahan” di halaman Polres Malang

Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak

Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan

ilmu” tentang Khilafah. Sikap dasar Maiyah

adalah pengambilan jarak yang terukur untuk

tidak mencintai secara membabi-buta atau

membenci dengan mata gelap dan amarah.

Paragraf 2

(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-

turut di Yogya saya menerima tamu dari DPP

HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu

rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri.

Tema pertemuan itu meskipun lebaran

variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap

seputar Khilafah. Pengetahuan saya sangat

terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan

kepada HTI maupun Polri sama saja. Policy

penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati

Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam

seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-

tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-

jenis otoritas pada kumpulan manusia, termasuk

tidak adanya regulasi penggunaan kata yang

terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding,

jargon politik, icon eksistensi, merk dagang dan

pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena

“aurat”.

Paragraf 4

(4)Belum ada diskusi strategis yang

307

menganalisis kalau ada T-Shirt bertuliskan

“Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah

pemakainya sedang meyakinkan dirinya sendiri

yang belum yakin dengan Islamnya. Ataukah ia

unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian

dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral

sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana

bagian kelamin dan payudara. Sampai pada

getolnya HTI dengan kata “Khilafah” sampai

menyebar jadi kesan umum bahwa HTI adalah

Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI

bukan Khilafah. Padahal NU, Muhammadiyah,

semua ummat manusia adalah Khalifatullah di

Bumi.

Rincian Paragraf 2

(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia

yang dimandati Khilafah, epistemologinya,

koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat

Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika

sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada

kumpulan manusia, termasuk tidak adanya

regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di

antara substansi, filosofi, branding, jargon

politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –

yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.

Paragraf 3

(1)Belum ada diskusi publik antara

berbagai kalangan, termasuk pada Kaum

Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin

bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,

Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng

Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25

Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi

“Izroil”. (2Tapi memang ada Band Group

“Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,

Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion.

(3)Meskipun saya tidak khawatir akan muncul

“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban

“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau

Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;

tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun

Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk

rokok “Hisab Akherat”.

308

Paragraf 8

(1)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi

pohon Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan,

Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau

Komunitas saja, “small is beautiful” saja.

Paragraf 10

(6)Cara berpikir Negara Pancasila adalah

menyadari posisi Tuhan sebagai The Only

Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama

Dirut serta para Manager.

Paragraf 14

(4)Kalimat-kalimat kasih sayang saya

“blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup

di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman,

atau “bertanyalah kepada rumput yang

bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G.

Ade.

Pengandai

an

Paragraf 7

(8)Saya bersyukur andaikan kadar

Khilafah hanya 10%.

Paragraf 9

(1)Kalau orang masih mau mandi, makan

minum dan buang air besar maupun kecil, masih

tak keberatan untuk berpakaian, membangun

rumah dengan taat gravitasi, memasak air sampai

mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-

seling dengan kerja keras menghidupi keluarga –

itu sudah Khilafah, di mana manusia mematuhi

asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan.

(2)Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial

dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab

kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah

Khilafah.

Nominalis

asi

Paragraf 1

(3)Sikap dasar Maiyah adalah

pengambilan jarak yang terukur untuk tidak

mencintai secara membabi-buta atau membenci

dengan mata gelap dan amarah.

Paragraf 5

(1)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,

309

yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu

selengkap-lengkapnya, dan menghindari

keterperosokan untuk menjadi jargon politik,

bendera ideologi atau wajah identitas yang

bersifat “padat”, yang membuat semua yang di

sekitarnya merasa terancam.

Paragraf 15

(9)Cinta plus Kepentingan = Kalap dan

Penyanderaan.

Sintaksi

s

Bentuk

Kalimat

Kalimat Aktif : 19

Paragraf 2

(1)(K.A.)Pada hari lain sesudahnya

berturut-turut di Yogya saya menerima tamu dari

DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu

rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri.

Paragraf 5

(1)(K.A.)HTI memerlukan satu dua era

untuk pengguliran diskusi publik tentang

Khilafah, yang diwacanakan dengan

komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan

menghindari keterperosokan untuk menjadi

jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”, yang membuat

semua yang di sekitarnya merasa terancam.

(2)(K.A.)Saya sempat kemukakan kepada teman-

teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda

menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses

menjelaskan kepada semua pihak bahwa

Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran

solusi bagi problem ummat manusia.

(3)(K.A.)Kalau kita masukkan makanan ke

mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan

pemahaman tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya.

Paragraf 6

(1)(K.A.)Kepada teman-teman Polri saya

mohon “jangan membenci HTI, karena mereka

menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi

bangsa Indonesia. (5)(K.A.)Kita punya keluarga

dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten

dengan Tuhan”.

Paragraf 7

(4)(K.A.)Ia akan berjodoh dengan

310

kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan

sifat-sifat alam yang berbeda. (5)(K.A.)Benih

Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama

di medan kebudayaan dan peta antropologis-

sosiologi yang berbeda. (10)(K.A.)Maka saya

selalu mendoakan semua manusia dengan segala

kelemahan dan kekurangannya, mungkin

keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap

memperoleh kedermawanan hati Allah untuk

diampuni.

Paragraf 8

(2)(K.A.)Allah menganjurkan “Masuklah

ke dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah).

(5)(K.A.)Allah tidak membebani manusia hal-hal

yang melebihi kuasanya.

Paragraf 11

(1)(K.A.)Kepada HTI maupun Polri

sudah saya ungkapkan lebih banyak dan luas

lagi. (3)(K.A.)Kita bersabar memahaminya,

menyusun bagan dan formulanya. (5)(K.A.)Kita

pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan

darah” (definisi dari Allah swt), saling

melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama

lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).

Paragraf 12

(1)(K.A.)Saya merasa tak banyak

gunanya, tapi saya nekad ungkapkan tentang

Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini

berada pada Evolusi Empat.

Paragraf 13

(3)(K.A.)Saya kutip An-Nas yang berisi

anjuran Tuhan tentang pengelolaan sosial.

Paragraf 14

(3)(K.A.)Tetapi kemudian saya

menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini

tidak memerlukan apapun dari saya.

Paragraf 15

(1)(K.A.)Tetapi Indonesia sungguh perlu

banyak-banyak berpikir ulang.

311

Paragraf 16

(2)(K.A.)Ia punya sejarah panjang

tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban

karakter manusia. (3)Bangsa Indonesia ini

Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan.

Kalimat Pasif : 5

Paragraf 8

(3)(K.P.)Dan Allah bermurah hati tidak

menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.

(4)Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan

hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia.

Paragraf 12

(3)(K.P.)Manusia diredusir hanya pada

ilmu dan teknologi. (4)(K.P.)Bluluk, Cengkir,

Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu

yang berevolusi.

Paragraf 15

(2)(K.P.)Masalah tidak cukup

diselesaikan dengan kekuasaan. ...

(5)(K.P.)Tidak semua hal bisa di-cover oleh

kekuasaan.

Kohesi

(Gramatik

al)

Referensi (Pengacuan)

Pengacuan Anafora : 28

Paragraf 2

(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia

yang dimandati Khilafah, epistemologinya,

koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat

Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika

sejarahnya(anafora) dengan berjenis-jenis

otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak

adanya regulasi penggunaan kata yang terbiaskan

di antara substansi, filosofi, branding, jargon

politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –

yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.

Paragraf 4

(1)Belum ada diskusi strategis yang

menganalisis kalau ada T-Shirt bertuliskan

“Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah

pemakainya(anafora) sedang meyakinkan dirinya

sendiri yang belum yakin dengan

Islamnya(anafora). (2)Ataukah

312

ia(anaforapersona) unjuk gigi kepada orang lain.

(3)Ataukah ia (anaforapersona) bagian dari

“aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral

sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana

bagian kelamin dan payudara.

Paragraf 5

(1)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,

yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu

selengkap-lengkapnya, dan menghindari

keterperosokan untuk menjadi jargon politik,

bendera ideologi atau wajah identitas yang

bersifat “padat”, yang membuat semua yang di

sekitarnya(anafora) merasa terancam. (2)Saya

sempat kemukakan kepada teman-teman HTI:

“Bagaimana mungkin Anda(anaforapersona)

menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses

menjelaskan kepada semua pihak bahwa

Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran

solusi bagi problem ummat manusia. (3)Kalau

kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa

terlebih dulu mempersiapkan pemahaman

tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya(anaforapersona). (4)Dan kalau

yang Anda(anaforapersona) cekoki itu Penguasa,

maka batang leher Anda(anaforapersona) akan

dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.

(anaforapersona)

Paragraf 6

(1)Kepada teman-teman Polri saya

mohon “jangan membenci HTI, karena

mereka(anaforapersona) menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa

Indonesia. (2)Mestinya Anda(anaforapersona)

panggil mereka(anaforapersona) untuk dialog,

simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau

langsung Anda(anaforapersona) berangus, nanti

ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-

serbuknya akan malah melebar ke organ-organ

lain. (4)Mohon Anda(anaforapersona) juga

jangan anti-Khilafah, kita(anaforapersona)

jangan cari masalah dengan Allah, sebab

Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan

qadar-Nya. (5)Kita(anaforapersona) punya

313

keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik

laten dengan Tuhan”.

Paragraf 7

(4)Ia(anafora) akan berjodoh dengan

kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan

sifat-sifat alam yang berbeda. (5)Benih Khilafah

akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan

kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang

berbeda. (6)Kesuburan dan jenis kimiawi tanah

yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang

juga tidak sama. (7)Termasuk kadar

tumbuhnya(anafora): bisa 30%, 50%, 80%.

(8)Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah

hanya 10%. (9)Saya belum seorang yang lulus di

hadapan Allah sebagai Muslim. (10)Maka saya

selalu mendoakan semua manusia dengan segala

kelemahan dan kekurangannya(anaforapersona),

mungkin keterpelesetan dan

kesesatannya(anaforapersona), kelak tetap

memperoleh kedermawanan hati Allah untuk

diampuni.

Paragraf 8

(5)Allah tidak membebani manusia hal-

hal yang melebihi kuasanya.(anaforapersona)

Paragraf 10

(5)Sebab semua kekayaan Tanah Air ini

milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang,

mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan,

rakyat dan Pemerintah Indonesia bilang permisi

dulu kepada Tuhan, kemudian bilang terima

kasih sesudah menikmatinya(anafora).

Paragraf 11

(3)Kita bersabar memahaminya(anafora),

menyusun bagan dan formulanya.

Paragraf 12

(4)Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa

di-empat-kan, padahal ia(anafora) satu yang

berevolusi.

314

Paragraf 13

(4)Default tugas mereka(anaforapersona)

adalah kasih sayang dan pengayoman

(Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”).

Paragraf 16

(2)Ia(anafora) punya sejarah panjang

tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban

karakter manusia.

Pengacuan Katafora : 1

Paragraf 10

(1)Khalifah adalah orang yang berjalan di

belakang membuntuti yang di

depannya(katafora). (2)Yang di

depannya(repetisi) itu adalah kemauan Tuhan

yang mengkonsep seluruh kehidupan ini

seluruhnya.

Pengacuan Persona : 20

Paragraf 1

(1)Pada hari muncul wacana dari

Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam

itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa

kami(persona) “maiyahan” di halaman Polres

Malang Raya. (2)Didokumentasi dengan baik

oleh pihak Polres saya(persona) menjelaskan

“peta pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah.

Paragraf 4

(2)Ataukah ia(anaforapersona) unjuk gigi

kepada orang lain. (3) Ataukah ia

(anaforapersona) bagian dari “aurat”, sesuatu

yang terindah dan sakral sehingga justru

sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin

dan payudara.

Paragraf 5

(2)Saya sempat kemukakan kepada

teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin

Anda(anaforapersona) menawarkan Khilafah

tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada

semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,

melainkan tawaran solusi bagi problem ummat

manusia. (3)Kalau kita masukkan makanan ke

mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan

315

pemahaman tentang makanan itu, pasti akan

dimuntahkannya(anaforapersona). (4)Dan kalau

yang Anda(anaforapersona) cekoki itu Penguasa,

maka batang leher Anda(anaforapersona) akan

dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.

(anaforapersona)

Paragraf 6

(1)Kepada teman-teman Polri saya

mohon “jangan membenci HTI, karena

mereka(anaforapersona) menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa

Indonesia. (2)Mestinya Anda(anaforapersona)

panggil mereka(anaforapersona) untuk dialog,

simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau

langsung Anda(anaforapersona) berangus, nanti

ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-

serbuknya akan malah melebar ke organ-organ

lain. (4)Mohon Anda(anaforapersona) juga

jangan anti-Khilafah, kita(anaforapersona)

jangan cari masalah dengan Allah, sebab

Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan

qadar-Nya. (5)Kita(anaforapersona) punya

keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik

laten dengan Tuhan”.

Paragraf 7

(10)Maka saya selalu mendoakan semua

manusia dengan segala kelemahan dan

kekurangannya(anaforapersona), mungkin

keterpelesetan dan

kesesatannya(anaforapersona), kelak tetap

memperoleh kedermawanan hati Allah untuk

diampuni.

Paragraf 8

(5)Allah tidak membebani manusia hal-

hal yang melebihi kuasanya.(anaforapersona)

Paragraf 13

(4)Default tugas mereka(anaforapersona)

adalah kasih sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”).

Pengacuan Demonstratif : 16

316

Paragraf 1

(1)Pada hari muncul wacana dari

Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam

itu(demonstratif) bersama KiaiKanjeng dan lebih

10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman

Polres Malang Raya.

Paragraf 2

(1)Pada hari lain

sesudahnya(demonstratif) berturut-turut di

Yogya(demonstratif) saya menerima tamu dari

DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah

itu(demonstratif) rombongan para perwira tinggi

dari Mabes Polri. (2)Tema pertemuan

itu(demonstratif) meskipun lebaran variabelnya

berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah.

Paragraf 8

(4)Kelihatannya itu(demonstratif) terkait

dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas

kemampuan manusia.

Paragraf 9

(1)Kalau orang masih mau mandi, makan

minum dan buang air besar maupun kecil, masih

tak keberatan untuk berpakaian, membangun

rumah dengan taat gravitasi, memasak air sampai

mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-

seling dengan kerja keras menghidupi keluarga –

itu(demonstratif), di mana manusia mematuhi

asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan.

Paragraf 10

(1)Khalifah adalah orang yang berjalan di

belakang membuntuti yang di depannya.

(2)Yang di depannya itu(demonstratif) adalah

kemauan Tuhan yang mengkonsep seluruh

kehidupan ini(demonstratif) seluruhnya.

(5)Sebab semua kekayaan Tanah Air

ini(demonstratif) milik-Nya, kalau mau menggali

isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan

perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia

bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian

bilang terima kasih sesudah menikmatinya.

Paragraf 11

317

(2)Khilafah itu(demonstratif) ilmu dan

hidayah utama dari Tuhan.

Paragraf 12

(1)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi

saya nekad ungkapkan tentang Enam Tahap

Evolusi di mana Globalisme saat

ini(demonstratif) berada pada Evolusi Empat.

Paragraf 14

(3)Tetapi kemudian saya menyadari

bahwa seluruh proses Indonesia ini(demonstratif)

tidak memerlukan apapun dari saya.

Paragraf 15

(1)Tetapi Indonesia(demonstratif)

sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.

Paragraf 16

(1)Bangsa Indonesia ini(demonstratif)

Subjek Besar di muka bumi. ... (3)Bangsa

Indonesia ini(demonstratif) Garuda, bukan bebek

dan ayam sembelihan.

Pengacuan Komparatif : 1

Paragraf 3

(1)Belum ada diskusi publik antara

berbagai kalangan, termasuk pada Kaum

Muslimin sendiri, (komparatif)misalnya apakah

mungkin bikin Warung Tempe Penyet “Islam

Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal

Jamaah”, Geng Motor “Jihad fi Sabilillah”,

Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air

“Nokafir”, atau Jagal Sapi “Izroil”. (2)Tapi

memang ada Band Group “Wali”, Bank

“Syariah” dan “Muamalat”, Sekolah Dasar

Islam, atau Islamic Fashion. (3)Meskipun saya

tidak khawatir akan muncul “Coca Cola

Rasulullah saw”, Paguyuban “Obama Atina

Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang

Haram “Visa Bilillah”; tetapi saya merindukan

ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas “Pohon

Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.

318

Penyulihan (Subtitusi)

Pelesapan (Elipsis)

Perangkaian (Konjungsi)

(1) konjungsi koordinatif : 21

(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi

Paragraf 1

(1)Pada hari muncul wacana dari

Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam

itu bersama KiaiKanjeng dan(koordinatif) lebih

10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman

Polres Malang Raya. (3)Sikap dasar Maiyah

adalah pengambilan jarak yang terukur untuk

tidak mencintai secara membabi-buta

atau(koordinatif) membenci dengan mata gelap

dan amarah.

Paragraf 2

(2)Tema pertemuan itu meskipun lebaran

variabelnya berbeda, tetapi(koordinatif)

fokusnya tetap seputar Khilafah. (3)Pengetahuan

saya sangat terbatas, sehingga(koordinatif) apa

yang saya kemukakan kepada HTI

maupun(koordinatif) Polri sama saja.

Paragraf 3

(3)Meskipun saya tidak khawatir akan

muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban

“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau

Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;

(koordinatif)tetapi saya merindukan ada Sekolah

“Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau

merk rokok “Hisab Akherat”.

Paragraf 5

(1)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,

yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu

selengkap-lengkapnya, (koordinatif)dan

menghindari keterperosokan untuk menjadi

jargon politik, bendera ideologi (koordinatif)atau

wajah identitas yang bersifat “padat”, yang

membuat semua yang di sekitarnya merasa

terancam. (2)Saya sempat kemukakan kepada

teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda

319

menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses

menjelaskan kepada semua pihak bahwa

Khilafah bukanlah ancaman,

(koordinatif)melainkan tawaran solusi bagi

problem ummat manusia.

Paragraf 6

(5)Kita punya keluarga (koordinatif)dan

anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan

Tuhan”.

Paragraf 7

(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang

(koordinatif)dan sedang dinegosiasikan untuk

diprasmanankan di atas meja Al-Maidah

(hidangan). ... (5)Benih akan menjadi tanaman

yang tidak sama di medan kebudayaan

(koordinatif)dan peta antropologis-sosiologi

yang berbeda. (6)Kesuburan (koordinatif)dan

jenis kimiawi tanah yang berbeda akan

menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama.

Paragraf 8

(7)Dunia bukan kampung halaman,

(koordinatif)melainkan hanya tempat transit

beberapa lama. (9)Kalau bangunan Peradaban di

Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam,

(koordinatif)melainkan hanya sejauh ikhtiar-

ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah

adalah usaha per-individu untuk menjadi

Khalifah-Nya.

Paragraf 11

(1)Kepada HTI maupun Polri sudah saya

ungkapkan lebih banyak (koordinatif)dan luas

lagi. (2)Khilafah itu ilmu (koordinatif)dan

hidayah utama dari Tuhan. (5)Kita pastikan tidak

“merusak bumi (koordinatif)dan menumpahkan

darah” (definisi dari Allah swt), saling

melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama

lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).

Paragraf 12

(1)Saya merasa tak banyak gunanya,

(koordinatif)tapi saya nekad ungkapkan tentang

320

Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini

berada pada Evolusi Empat. (5)Dunia sekarang

bertengkar, saling dengki (koordinatif)dan

membenci antara Peradaban Bluluk, Peradaban

Cengkir dan Peradaban Degan, yang bersama-

sama memusuhi Peradaban Kelapa.

Paragraf 15

(3)Waktu terus bergulir (koordinatif)dan

seribu kemungkinan terus berproses.

(2) konjungsi subordinatif : 23

(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;

(b) konjungsi kausal: sebab, karena;

(c) konjungsi konsesif: meskipun,

(d) konjungsi syarat: kalau,

(e) konjungsi komplementasi: bahwa,

Paragraf 1

(3)Sikap dasar Maiyah adalah

pengambilan jarak yang terukur

untuk(subordinatif) tidak mencintai secara

membabi-buta atau membenci dengan mata

gelap dan amarah.

Paragraf 2

(2)Tema pertemuan itu

meskipun(subordinatifkonsesif) lebaran

variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap

seputar Khilafah. (4)Policy penciptaan Tuhan

atas manusia yang dimandati Khilafah,

epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh

bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya,

dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis

otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak

adanya regulasi penggunaan kata yang terbiaskan

di antara substansi, filosofi, branding, jargon

politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –

yang(subordinatif) di dalam Islam disebut

fenomena “aurat”.

Paragraf 4

(3)Ataukah ia bagian dari “aurat”,

sesuatu yang terindah dan sakral

(subordinatif)sehingga justru sebaiknya ditutupi,

sebagaimana bagian kelamin dan payudara.

321

Paragraf 5

(1)HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,

(subordinatif)yang diwacanakan dengan

komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan

menghindari keterperosokan untuk menjadi

jargon politik, bendera ideologi atau wajah

identitas yang bersifat “padat”,

(subordinatif)yang membuat semua yang di

sekitarnya merasa terancam.

Paragraf 6

(1)Kepada teman-teman Polri saya

mohon “jangan membenci HTI,

(subordinatif)karena mereka menginginkan

kehidupan yang lebih baik bagi bangsa

Indonesia. (2)Mestinya Anda panggil mereka

untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya matang.

(3)(subordinatif)Kalau langsung Anda berangus,

nanti ada cipratannya, akan membengkak,

serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-

organ lain. (4)Mohon Anda juga jangan anti-

Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah,

(subordinatif)sebab Khilafah itu gagasan paling

dasar dari qadla dan qadar-Nya.

Paragraf 7

(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang dan

sedang dinegosiasikan (subordinatif)untuk

diprasmanankan di atas meja Al-Maidah

(hidangan). (10) Maka saya selalu mendoakan

semua manusia dengan segala kelemahan dan

kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan

kesesatannya, (subordinatif)kelak tetap

memperoleh kedermawanan hati Allah untuk

diampuni.

Paragraf 8

(9)(subordinatif)Kalau bangunan

Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah

Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar

Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah

usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.

322

Paragraf 9

(1)(subordinatif)Kalau orang masih mau

mandi, makan minum dan buang air besar

maupun kecil, masih tak keberatan untuk

berpakaian, membangun rumah dengan taat

gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak

keberatan untuk tidur berselang-seling dengan

kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah

Khilafah, di mana manusia mematuhi asas

kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan.

(2)(subordinatif)Kalau hukum ditegakkan,

ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah

bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara

substansial itu sudah Khilafah.

Paragraf 10

(5)Sebab semua kekayaan Tanah Air ini

milik-Nya, (subordinatif)kalau mau menggali isi

tambang, mau mengenyam hasil sawah dan

perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia

bilang permisi dulu kepada Tuhan,

(subordinatif)kemudian bilang terima kasih

sesudah menikmatinya.

Paragraf 12

(2)Spektrum filosofi (subordinatif)dan

pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg

sejak awal Masehi. (4)Bluluk, Cengkir, Degan

dan Kelapa di-empat-kan, (subordinatif)padahal

ia satu yang berevolusi. (5)Dunia sekarang

bertengkar, saling dengki dan membenci antara

Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan

Peradaban Degan, (subordinatif)yang bersama-

sama memusuhi Peradaban Kelapa. (6)Para

pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan masih

berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,

(subordinatif)bahkan jumud dalam semangat

Bluluk.

Paragraf 13

(3)Saya kutip An-Nas (subordinatif)yang

berisi anjuran Tuhan tentang pengelolaan sosial.

... (5) (subordinatif)Kalau tidak sangat terpaksa

jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah,

kekuasaan), apalagi “Ilahinnas” (kekuatan

politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat

323

yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa

dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu,

dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa.

(3) konjungsi korelatif : 2

(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;

Paragraf 5

(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu

Penguasa, (korelatif)maka batang leher Anda

akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.

Paragraf 11

(4)Yang utama bukan apa aplikasinya,

(korelatif)melainkan efektif atau tidak untuk

membangun kemashlahatan bersama, rahmatan

lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

(4) konjungsi antar kalimat : 9

Paragraf 3

(2)(antarkalimat)Tapi memang ada Band

Group “Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,

Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion.

(3)(antarkalimat)Meskipun saya tidak khawatir

akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”,

Paguyuban “Obama Atina Fiddunya Hasanah”,

atau Kelompok Pendatang Haram “Visa

Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah

“Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau

merk rokok “Hisab Akherat”.

Paragraf 4

(2)(antarkalimat)Ataukah ia unjuk gigi

kepada orang lain. (3)(antarkalimat)Ataukah ia

bagian dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan

sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,

sebagaimana bagian kelamin dan payudara.

(5)(antarkalimat)Padahal NU, Muhammadiyah,

semua ummat manusia adalah Khalifatullah di

Bumi.

Paragraf 10

(4)(antarkalimat)Karena Boss Nasional

324

dan Global kita adalah Tuhan.

(5)(antarkalimat)Sebab semua kekayaan Tanah

Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi

tambang, mau mengenyam hasil sawah dan

perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia

bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian

bilang terima kasih sesudah menikmatinya.

(6)Cara berpikir Negara Pancasila adalah

menyadari posisi Tuhan sebagai The Only

Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama

Dirut serta para Manager. (7)Itulah Khilafah.

Paragraf 14

(3)(antarkalimat)Tetapi kemudian saya

menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini

tidak memerlukan apapun dari saya.

Paragraf 15

(1)(antarkalimat)Tetapi Indonesia

sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.

Kohesi

(Leksikal)

Repetisi (Pengulangan) :

Paragraf 4

(2)Ataukah ia unjuk gigi kepada orang

lain. (3) Ataukah ia(repetisi) bagian dari “aurat”,

sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru

sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin

dan payudara. (4)Sampai pada getolnya HTI

dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi

kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah,

Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan

Khilafah(repetisi). (5)Padahal NU,

Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah

Khalifatullah di Bumi.

Paragraf 7

(1)Pandangan saya tentang

(repetisi)Khilafah berbeda dengan HTI. (2)Bagi

HTI Khilafah itu “barang jadi” semacam

makanan yang sudah matang dan sedang

dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas

meja Al-Maidah (hidangan). (3)Sementara bagi

saya Khilafah itu benih atau biji. ... (5)Benih

Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama

di medan kebudayaan dan peta antropologis-

sosiologi yang berbeda. (6)Kesuburan dan jenis

325

kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan

Khilafah yang juga tidak sama. ... (8)Saya

bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya 10%.

Paragraf 8

(6)(repetisi)Dunia bukan Sorga. (7)Dunia

bukan kampung halaman, melainkan hanya

tempat transit beberapa lama.

Paragraf 9

(1)Kalau orang masih mau mandi, makan

minum dan buang air besar maupun kecil, masih

tak keberatan untuk berpakaian, membangun

rumah dengan taat gravitasi, memasak air

sampai mendidih, tidak keberatan untuk tidur

berselang-seling dengan kerja keras menghidupi

keluarga – itu sudah Khilafah, di mana manusia

mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan

kemashlahatan. (2)Kalau hukum ditegakkan,

ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah

bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara

substansial itu sudah Khilafah.

Paragraf 10

(1)Khalifah adalah orang yang berjalan

di belakang membuntuti yang di depannya.

(2)Yang di depannya(repetisi) itu adalah

kemauan Tuhan yang mengkonsep seluruh

kehidupan ini seluruhnya.

Paragraf 16

(4)(repetisi)Indonesia adalah Ibu Pertiwi,

bukan perempuan pelacur. (5)Indonesia adalah

Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor

globalisasi. ... (7)Indonesia adalah dirinya

sendiri.

Koherensi Paragraf 5

(2)Saya sempat kemukakan kepada

teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda

menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses

menjelaskan kepada semua pihak bahwa

Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran

solusi bagi problem ummat manusia. (3)Kalau

kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa

terlebih dulu mempersiapkan pemahaman

tentang makanan itu, pasti akan dimuntahkannya.

326

(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,

maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh

tangan kekuasaannya”. (koherensi ibarat)

Paragraf 6

(1)Kepada teman-teman Polri saya

mohon “jangan membenci HTI, karena mereka

menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi

bangsa Indonesia. (2)Mestinya Anda panggil

mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya

matang. (3)Kalau langsung Anda berangus, nanti

ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-

serbuknya akan malah melebar ke organ-organ

lain. (koherensi sebab akibat)

Paragraf 7

(3)Sementara bagi saya Khilafah itu

benih atau biji. (4)Ia akan berjodoh dengan

kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan

sifat-sifat alam yang berbeda. (5)Benih Khilafah

akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan

kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang

berbeda. (6)Kesuburan dan jenis kimiawi tanah

yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang

juga tidak sama. (koherensi ibarat)

Paragraf 8

(2)Allah menganjurkan “Masuklah ke

dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). (3)Dan

Allah bermurah hati tidak menyatakan

“Masuklah ke dalam Islam kaffah”. (koherensi

parafrastis)

Paragraf 12

(1)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi

saya nekad ungkapkan tentang Enam Tahap

Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada

Evolusi Empat. (2)Spektrum filosofi dan

pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg

sejak awal Masehi. (3)Manusia diredusir hanya

pada ilmu dan teknologi. (4)Bluluk, Cengkir,

Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu

yang berevolusi. (koherensi ibarat)

(5)Dunia sekarang bertengkar, saling

dengki dan membenci antara Peradaban Bluluk,

Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang

327

bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa.

(6)Para pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan

masih berpikir secara Degan, berlaku secara

Cengkir, bahkan jumud dalam semangat Bluluk.

(koherensi ibarat)

Paragraf 13

(2)Khusus kepada teman-teman Polri

saya mohon agar “jangan terlalu garang dan

melotot kepada rakyat”. (3)Saya kutip An-Nas

yang berisi anjuran Tuhan tentang pengelolaan

sosial. (4)Default tugas mereka adalah kasih

sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul

a’udzu bi Rabbinnas”). (koherensi argumentatif)

Paragraf 15

(2)Masalah tidak cukup diselesaikan

dengan kekuasaan. (3)Waktu terus bergulir dan

seribu kemungkinan terus berproses. (4)Apalagi

banyak “talbis” dan “syayathinil-insi”. (5)Tidak

semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan.

(koherensi parafratis)

Retoris Grafis Paragraf 1

(1)Pada hari muncul wacana dari

Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam

itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa

kami “maiyahan” di halaman Polres Malang

Raya. (2)Didokumentasi dengan baik oleh pihak

Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan

ilmu” tentang Khilafah.

Paragraf 2

(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia

yang dimandati Khilafah, epistemologinya,

koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat

Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika

sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada

kumpulan manusia, termasuk tidak adanya

regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di

antara substansi, filosofi, branding, jargon

politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –

yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.

Paragraf 3

(1)Belum ada diskusi publik antara

berbagai kalangan, termasuk pada Kaum

328

Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin

bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,

Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng

Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25

Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi

“Izroil”. (2) Tapi memang ada Band Group

“Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,

Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. (3)

Meskipun saya tidak khawatir akan muncul

“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban

“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau

Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;

tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun

Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk

rokok “Hisab Akherat”.

Paragraf 4

(3) Ataukah ia bagian dari “aurat”,

sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru

sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin

dan payudara. (4)Sampai pada getolnya HTI

dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi

kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah,

Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan

Khilafah.

Paragraf 5

(1) HTI memerlukan satu dua era untuk

pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,

yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu

selengkap-lengkapnya, dan menghindari

keterperosokan untuk menjadi jargon politik,

bendera ideologi atau wajah identitas yang

bersifat “padat”, yang membuat semua yang di

sekitarnya merasa terancam.

Paragraf 7

(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

semacam makanan yang sudah matang dan

sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di

atas meja Al-Maidah (hidangan).

Paragraf 8

(2)Allah menganjurkan “Masuklah ke

dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). ... (3)Dan

Allah bermurah hati tidak menyatakan

“Masuklah ke dalam Islam kaffah”.

329

Paragraf 11

(5)Kita pastikan tidak “merusak bumi dan

menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt),

saling melindungi harta, martabat dan nyawa

satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad

saw).

Paragraf 12

(4) Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa

di-empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi.

Paragraf 13

(2)Khusus kepada teman-teman Polri

saya mohon agar “jangan terlalu garang dan

melotot kepada rakyat”. (5) Kalau tidak sangat

terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas”

(Mulukiyah, kekuasaan), apalagi “Ilahinnas”

(kekuatan politik dan militeristik) di mana

aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan

kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan

Tongkat Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah

Penguasa. (6)Kapan-kapan Indonesia perlu

punya Pemimpin yang “Rububiyah”.

Paragraf 14

(4)Kalimat-kalimat kasih sayang saya

“blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup

di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman,

atau “bertanyalah kepada rumput yang

bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G.

Ade.

Paragraf 15

(4)Apalagi banyak “talbis” dan

“syayathinil-insi”.

Paragraf 16

(6)Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata

penduduk Gunung Merapi.

Metafora Paragraf 1

(2)Didokumentasi dengan baik oleh

pihak Polres saya menjelaskan “peta

pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah.

(3)Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak

yang terukur untuk tidak mencintai secara

membabi-buta atau membenci dengan mata

330

gelap dan amarah.

Paragraf 2

(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia

yang dimandati Khilafah, epistemologinya,

koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat

Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika

sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada

kumpulan manusia, termasuk tidak adanya

regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di

antara substansi, filosofi, branding, jargon

politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –

yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.

Paragraf 3

(1)Belum ada diskusi publik antara

berbagai kalangan, termasuk pada Kaum

Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin

bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,

Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng

Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25

Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi

“Izroil”. (2)Tapi memang ada Band Group

“Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,

Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion.

(3)Meskipun saya tidak khawatir akan muncul

“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban

“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau

Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;

tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun

Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk

rokok “Hisab Akherat”.

Paragraf 4

(3) Ataukah ia bagian dari “aurat”,

sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru

sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin

dan payudara.

Paragraf 5

(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu

Penguasa, maka batang leher Anda akan

dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.

Paragraf 7

(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”

331

semacam makanan yang sudah matang dan

sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di

atas meja Al-Maidah (hidangan). ... (5)Benih

akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan

kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang

berbeda.

Paragraf 8

(1)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi

pohon Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan,

Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau

Komunitas saja, “small is beautiful” saja.

(9)Kalau bangunan Peradaban di Bumi bukan

sistem besar Khilafah Islam, melainkan hanya

sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung

oleh Allah adalah usaha per-individu untuk

menjadi Khalifah-Nya.

Paragraf 10

(4)Karena Boss Nasional dan Global kita

adalah Tuhan.

Paragraf 12

(4)(K.P.)Bluluk, Cengkir, Degan dan

Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu yang

berevolusi. (5)Dunia sekarang bertengkar, saling

dengki dan membenci antara Peradaban Bluluk,

Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang

bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa.

Paragraf 13

(5)Kalau tidak sangat terpaksa jangan

sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah,

kekuasaan), apalagi “Ilahinnas” (kekuatan

politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat

yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa

dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu,

dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa.

Paragraf 14

(4)Kalimat-kalimat kasih sayang saya

“blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup

di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman,

atau “bertanyalah kepada rumput yang

bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G.

Ade.

332

Paragraf 15

12)Di ujung turnamen nanti Tongkat

Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa.

Paragraf 16

(5)Hamengku-Bumi, pemangku dunia,

bukan ekor globalisasi. (6)Barat di-ruwat, Arab

di-garap, kata penduduk Gunung Merapi.

Judul : The Scary Khilafah

Kode : TSK

No Aspek

Mikro

Keterangan

Semantik Latar Paragraf 1

(1)Kenapa dunia begitu ketakutan

kepada Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya

ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada

dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para

pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan

jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan

bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh

Khilafah.

Paragraf 2

(2)Maka pekerjaan utama sejarah

dunia adalah: dengan segala cara memecah

belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui

pendidikan, media dan uang, membuat Ummat

Islam tidak percaya kepada Khilafah,

AlQur`an dan Islam. Puncak sukses peradaban

dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan

hati dan pikirannya, sudah memusuhi

Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di

pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri:

Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan

dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan

kepada setan dan iblis, manusia tidak setakut

kepada Khilafah.

Paragraf 5

(5)Saya juga tidak tega kepada teman-

teman yang anti-Khilafah. Tidak tega

333

mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan.

Sebab mereka menentang konsep paling

mendasar yang membuat-Nya menciptakan

manusia. Komponen penyaringnya dol: anti

HTI berarti anti Khilafah. Lantas

menyembunyikan pengetahuan bahwa anti

Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil

ardli khalifah”. Sesungguhnya aku

mengangkat Khalifah di bumi. Ketika

menginformasikan kepada para staf-Nya

tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah

Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang

kemudian Ia lantik – Tuhan tidak

menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,

“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”,

melainkan langsung menyebutnya Khalifah.

Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung

“Af’al”.

Paragraf 6

(6)Konsep Khilafah dengan pelaku

Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas

kehidupan manusia di alam semesta. Adalah

skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar Haluan

Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya

Allah swt. Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau

al’alamin yang harus dirahmatkan oleh

Khilafah manusia, adalah “tandure wis

sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah

“pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal

saleh, daya juang upayakan tidak mencekung

ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”. Selicin

apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah,

terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”

yang bergigir lima.

Rincian Paragraf 5

(8)Ketika menginformasikan kepada

para staf-Nya tentang makhluk yang Ia

ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan

Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan

tidak menyebutnya dengan “Adam” atau

“Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk

hibrida baru”, melainkan langsung

menyebutnya Khalifah.

334

Paragraf 7

(1)Khilafah adalah desain Tuhan agar

manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah

ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau

“baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. ...

(3)Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah

mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah

kubur, celana congklang dan musik haram,

atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh

tidaknya tahlilan dan shalawatan.

Paragraf 9

... (2)Saya tidak bisa menyalahkan atau

membantah Allah, karena kebetulan bukan

saya yang menciptakan gunung, sungai, laut,

udara, tata surya, galaksi-galaksi. (3)Bahkan

saya tidak bisa menyuruh jantung saya

berdetak atau stop. (4)Saya tidak mampu

membangunkan diri saya sendiri dari tidur.

(5)Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel

tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini

jam sekian, menit kesekian, detik kesekian.

(6)Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol

dan menggelembung begitu saja, sampai

seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa

saya pernah memprogramnya.

Pengandaian Paragraf 11

(3)Andaikan Khilafah terwujud, kalian

akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin.

(4)Andaikan ia belum terwujud, sampai hari

ini fakta di muka bumi belum dan bukan

Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin.

Paragraf 2

(3)Puncak sukses peradaban dunia

adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan

pikirannya, sudah memusuhi Khilafah.

Paragraf 7

(4)Mungkin butuh satu milenium untuk

mulai takut kepada “masuklah ke dalam

Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”.

Nominalisasi Paragraf 4

(7)Penjajahan melahirkan

kemerdekaan. ... (9)Penderitaan memberi

335

pelajaran tentang kebahagiaan.

Sintaksis Bentuk

Kalimat

Kalimat Aktif : 9

Paragraf 3

(2)(K.A.)Juga maaf-maaf saya menulis

lagi tentang Khilafah. (6)(K.A.)Sementara

saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

Paragraf 4

(1)(K.A.)Ummat manusia sudah

berabad-abad melakukan penelitian atas alam

dan kehidupan. (7)(K.A.)Penjajahan

melahirkan kemerdekaan. (8)(K.A.)Kejatuhan

menghasilkan kebangkitan.

(9)(K.A.)Penderitaan memberi pelajaran

tentang kebahagiaan.

Paragraf 5

(3)(K.A.)Sebab mereka menentang

konsep paling mendasar yang membuat-Nya

menciptakan manusia. (7)(K.A.)Sesungguhnya

aku mengangkat Khalifah di bumi.

Paragraf 6

(4)(K.A.)Para Wali membumikannya

dengan mendendangkan: di alam semesta atau

al’alamin yang harus dirahmatkan oleh

Khilafah manusia, adalah “tandure wis

sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”.

Kalimat Pasif : 3

Paragraf 7

(6)(K.P.)Apalagi dunia sekarang justru

diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:

masuklah ke dalam Silmi sejauh

kemampuanmu untuk mempersatukan dan

membersamakan.

Paragraf 8

(2)(K.P.)Kenduri yang dipertentangkan

adalah kenduri wèwèh ambengan antar

tetangga, bukan kenduri pasokan dana

nasional.

336

Paragraf 9

(1)(K.P.)Setiap manusia dilantik

menjadi Khalifah oleh Allah.

Kohesi

(Gramatikal)

Referensi (Pengacuan)

Pengacuan Anafora : 8

Paragraf 2

(3)Puncak sukses peradaban dunia

adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan

pikirannya(anaforapersona), sudah memusuhi

Khilafah.

Paragraf 3

(6)Sementara saya yang memetik laba

ilmu dan berkahnya(anafora).

Paragraf 4

(2)Maka mereka(anaforapersona)

takjub dan mengucapkan “Robbana ma

kholaqta hadza bathila”. (3)Wahai Maha

Pengasuh, seungguh tidak sia-sia

Engkau(anaforapersona) menciptakan semua

ini.

Paragraf 5

(2)Tidak tega mensimulasikan

nasibnya(anafora) di depan Tuhan. (3)Sebab

mereka(anaforapersona) menentang konsep

paling mendasar yang membuat-Nya

menciptakan manusia.

Paragraf 6

(4)Para Wali

membumikannya(anafora) dengan

mendendangkan: di alam semesta atau

al’alamin yang harus dirahmatkan oleh

Khilafah manusia, adalah “tandure wis

sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”.

Paragraf 9

(6)Bahkan cinta di dalam kalbu saya

nongol dan menggelembung begitu saja,

sampai seluruh alam semesta dipeluknya —

tanpa saya pernah memprogramnya(anafora)

Pengacuan Katafora : 2

337

Paragraf 6

(3)Khilafah adalah UUD-nya(katafora)

Allah swt.

Paragraf 11

(9)Apa yang kau(katafora) takutkan?

(10)Wahai dunia, jangan ganggu

kemenanganmu dengan rasa takut kepada

fatamorgana.

Pengacuan Persona : 7

Paragraf 3

(1)Perkenankan saya(persona) mundur

dua langkah dan mencekung ke spektrum

kecil. (2)Juga maaf-maaf

saya(persona)menulis lagi tentang Khilafah.

(4)Banyak hal yang membuat saya(persona)

panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah.

(5)Misalnya saya(persona) tidak tega kepada

teman-teman yang mengalami defisit masa

depan karena kalap dan menghardik dan

mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan

pengetahuan. (6)Sementara saya(persona)

yang memetik laba ilmu dan berkahnya.

Paragraf 4

(2)Maka mereka(anaforapersona)

takjub dan mengucapkan “Robbana ma

kholaqta hadza bathila”. (3)Wahai Maha

Pengasuh, seungguh tidak sia-sia

Engkau(anaforapersona) menciptakan semua

ini.

Paragraf 5

(1)Saya(persona) juga tidak tega

kepada teman-teman yang anti-Khilafah.

(3)Sebab mereka(anaforapersona) menentang

konsep paling mendasar yang membuat-Nya

menciptakan manusia.

Paragraf 7

(6)Apalagi dunia sekarang justru

diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:

masuklah ke dalam Silmi sejauh

kemampuanmu(persona) untuk

338

mempersatukan dan membersamakan.

Paragraf 9

(2)Saya(persona) tidak bisa

menyalahkan atau membantah Allah, karena

kebetulan bukan saya(persona) yang

menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata

surya, galaksi-galaksi. (3)Bahkan

saya(persona) tidak bisa menyuruh jantung

saya berdetak atau stop. (4)Saya(persona)

tidak mampu membangunkan diri saya sendiri

dari tidur. (5)Saya(persona) tidak sanggup

memuaikan sel-sel tubuh saya, menjadwal

buang air besar hari ini jam sekian, menit

kesekian, detik kesekian. (6)Bahkan cinta di

dalam kalbu saya(persona) nongol dan

menggelembung begitu saja, sampai seluruh

alam semesta dipeluknya — tanpa

saya(persona) pernah memprogramnya.

Paragraf 10

(1)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah

Pengelola Bumi”, saya(persona) tidak punya

pilihan lain. (2)Saya(persona) hanya

karyawan-Nya. (3)Allah Big Boss

saya(persona). (4)Meskipun dia kasih aturan

dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a

falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang

ingkar ingkarlah – saya(persona) tidak mau

kehilangan perhitungan. (5)Kalau

saya(persona) menolak regulasi Boss, saya

mau kerja di mana, mau kos di mana, mau

pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan

udara milik siapa. (6)Apalagi kalau

saya(persona) tidur dengan istri, Tuhan yang

berkuasa membuatnya hamil. (7)Bukan

saya(persona). (8)Saya(persona) cuma

numpang enak sebentar.

Paragraf 11

(2)Jadi, wahai dunia, apa yang

kau(persona) takutkan dari Khilafah?

(3)Andaikan Khilafah terwujud,

kalian(persona) akan diayomi oleh rahmatan

lil’alamin.

339

Pengacuan Demonstratif : 7

Paragraf 2

(4)Hari ini(demonstratif) di mata

dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum

Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk dan

mengerikan dibanding Komunisme dan

Terorisme.

Paragraf 3

(3)Ini(demonstratif) tahadduts

binni’mah, berbagi kenikmatan.

Paragraf 4

(3)Wahai Maha Pengasuh, seungguh

tidak sia-sia Engkau menciptakan semua

ini(demonstratif).

Paragraf 6

(7)Selicin apapun jalanan di zaman

ini(demonstratif), terus panjatlah, terus

memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang

bergigir lima.

Paragraf 8

(1)Hari-hari ini(demonstratif) jangan

terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin.

Paragraf 11

(4)Andaikan ia belum terwujud,

sampai hari ini(demonstratif) fakta di muka

bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan

masih Kaum Muslimin. (5)Bahkan di pusatnya

sana(demonstratif) Islam tidak sama dengan

Arab.

Pengacuan Komparatif : -

Penyulihan (Subtitusi)

Pelesapan (Elipsis)

Perangkaian (Konjungsi)

(1) konjungsi koordinatif : 10

(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi

340

Paragraf 1

(2)Yang salah visi Khilafahnya

(koordinatif)ataukah yang menyampaikan

Khilafah kepada dunia?

Paragraf 2

(3)Puncak sukses peradaban dunia

adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati

(koordinatif)dan pikirannya, sudah memusuhi

Khilafah. (4)Hari ini di mata dunia, bahkan di

pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri:

Khilafah lebih terkutuk (koordinatif)dan

mengerikan dibanding Komunisme dan

Terorisme.

Paragraf 3

(1)Perkenankan saya mundur dua

langkah (koordinatif)dan mencekung ke

spektrum kecil.

Paragraf 4

(1)Ummat manusia sudah berabad-

abad melakukan penelitian atas alam dan

kehidupan. (2)Maka mereka takjub

(koordinatif)dan mengucapkan “Robbana ma

kholaqta hadza bathila”.

Paragraf 7

(3)Apalagi Ummat Islam sudah

terpecah belah mempertengkarkan hukum

kenduri dan ziarah kubur, celana congklang

dan musik haram, (koordinatif)atau Masjid

jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan

dan shalawatan.

Paragraf 8

(3)Toh juga dengan pemahaman ilmu

yang tanpa anatomi, banyak teman

mengidentikkan (koordinatif)dan

mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut

Tahrir. (5)Padahal HT maupun HTI bukan

penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah

(koordinatif)bukan satu-satunya kelompok di

antara ummat manusia yang secara spesifik

ditugasi oleh Allah untuk menjadi Khalifah.

341

Paragraf 9

(2)Saya tidak bisa menyalahkan

(koordinatif)atau membantah Allah, karena

kebetulan bukan saya yang menciptakan

gunung, sungai, laut, udara, tata surya,

galaksi-galaksi.

Paragraf 11

(1)Hal-hal seperti itu belum cukup

mendalam (koordinatif)dan rasional menjadi

kesadaran individual maupun kolektif Kaum

Muslimin.

(2) konjungsi subordinatif : 11

(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;

(b) konjungsi kausal: sebab, karena;

(c) konjungsi konsesif: meskipun,

(d) konjungsi syarat: kalau,

(e) konjungsi komplementasi: bahwa,

Paragraf 1

(3)Sejak 2-3 abad yang lalu para

pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan

jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan

bersatu, (subordinatif)agar dunia tidak

dikuasai oleh Khilafah.

Paragraf 2

(3)Puncak sukses peradaban dunia

adalah (subordinatif)kalau Kaum Muslimin,

dengan hati dan pikirannya, sudah memusuhi

Khilafah. (4)Hari ini di mata dunia,

(subordinatif)bahkan di pandangan banyak

Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih

terkutuk dan mengerikan dibanding

Komunisme dan Terorisme.

Paragraf 3

(5)Misalnya saya tidak tega kepada

teman-teman yang mengalami defisit masa depan (subordinatif)karena kalap dan

menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa

kelengkapan pengetahuan.

342

Paragraf 5

(8)Ketika menginformasikan kepada

para staf-Nya tentang makhluk yang Ia

ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan

Banujan, (subordinatif)yang kemudian Ia

lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan

“Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas” atau

“makhluk hibrida baru”, melainkan langsung

menyebutnya Khalifah.

Paragraf 7

(1)Khilafah adalah desain Tuhan

(subordinatif)agar manusia mencapai

“keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,

“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun

thayyibatun wa Rabbun Ghofur”.

Paragraf 8

(4)HTI sendiri kurang hati-hati

mewacanakan Khilafah (subordinatif)sehingga

dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah

HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya.

(5)Padahal HT maupun HTI bukan penggagas

Khilafah, bukan pemilik Khilafah bukan satu-

satunya kelompok di antara ummat manusia

(subordinatif)yang secara spesifik ditugasi

oleh Allah untuk menjadi Khalifah.

Paragraf 9

(2)Saya tidak bisa menyalahkan atau

membantah Allah, (subordinatif)karena

kebetulan bukan saya yang menciptakan

gunung, sungai, laut, udara, tata surya,

galaksi-galaksi.

Paragraf 10

(4)(subordinatif)Meskipun dia kasih

aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man

sya`a falyakfur”, yang beriman berimanlah,

yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau

kehilangan perhitungan.

(4)(subordinatif)Kalau saya menolak regulasi

Boss, saya mau kerja di mana, mau kos di

mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas

dengan udara milik siapa.

343

(3) konjungsi korelatif : 1

(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;

Paragraf 5

(9)Bukan sekadar “Isim” (korelatif)tapi

juga langsung “Af’al”.

(4) konjungsi antar kalimat : 7

Paragraf 2

(2)(antarkalimat)Kemudian, melalui

pendidikan, media dan uang, membuat Ummat

Islam tidak percaya kepada Khilafah,

AlQur`an dan Islam.

Paragraf 5

(3)(antarkalimat)Sebab mereka

menentang konsep paling mendasar yang

membuat-Nya menciptakan manusia.

(5)(antarkalimat)Lantas menyembunyikan

pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti

Tuhan.

Paragraf 7

(3)(antarkalimat)Apalagi Ummat Islam

sudah terpecah belah mempertengkarkan

hukum kenduri dan ziarah kubur, celana

congklang dan musik haram, atau Masjid jadi

ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan

shalawatan. (6)(antarkalimat)Apalagi dunia

sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-

silmi kaffah”: masuklah ke dalam

Silmi sejauh kemampuanmu untuk

mempersatukan dan membersamakan.

Paragraf 10

(1)(antarkalimat)Jadi ketika Tuhan

bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak

punya pilihan lain.

Paragraf 11

(2)(antarkalimat)Jadi, wahai dunia, apa

yang kau takutkan dari Khilafah?

Kohesi

(Leksikal)

Repetisi (Pengulangan) :

Paragraf 4

(4)Bahkan teletong Sapi, menjadi

pupuk. (5)Sampah-sampah alam menjadi

rabuk. (6)Timbunan batu-batu menjadi

344

mutiara. (7)Penjajahan melahirkan

kemerdekaan. (8)Kejatuhan menghasilkan

kebangkitan. (9)Penderitaan memberi

pelajaran tentang kebahagiaan.

Paragraf 5

(1)Saya juga tidak tega kepada teman-

teman yang anti-Khilafah. (2)Tidak tega

mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. ...

(4)Komponen penyaringnya dol: anti HTI

berarti anti Khilafah. (5)Lantas

menyembunyikan pengetahuan bahwa anti

Khilafah adalah anti Tuhan.

Paragraf 6

(1)Konsep Khilafah dengan pelaku

Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas

kehidupan manusia di alam semesta.

(2)Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis

Besar Haluan Kehendak-Nya. (3)Khilafah

adalah UUD-nya Allah swt.

Paragraf 9

(2)Saya tidak bisa menyalahkan atau

membantah Allah, karena kebetulan bukan

saya yang menciptakan gunung, sungai, laut,

udara, tata surya, galaksi-galaksi. (3)Bahkan

saya tidak bisa menyuruh jantung saya

berdetak atau stop. (4)Saya tidak mampu

membangunkan diri saya sendiri dari tidur.

(5)Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel

tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini

jam sekian, menit kesekian, detik kesekian.

Paragraf 10

(4)Kalau saya menolak regulasi Boss,

saya mau kerja di mana, mau kos di mana,

mau pakai kendaraan apa, mau bernapas

dengan udara milik siapa.

Paragraf 11

(3)Andaikan Khilafah terwujud, kalian

akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin.

(4)Andaikan ia belum terwujud, sampai hari

ini fakta di muka bumi belum dan bukan

Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin.

345

(5)Bahkan di pusatnya sana Islam tidak

sama dengan Arab. (6)Arab tidak sama dengan

Saudi. (7)Saudi tidak sama dengan Quraisy.

(8)Quraisy tidak sama dengan Badwy.

Koherensi Paragraf 3

(4)Banyak hal yang membuat saya

panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah.

(5)Misalnya saya tidak tega kepada teman-

teman yang mengalami defisit masa depan

karena kalap dan menghardik dan mengutuk-

ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.

(6)Sementara saya yang memetik laba ilmu

dan berkahnya. (koherensi ibarat)

Paragraf 4

(2)Maka mereka takjub dan

mengucapkan “Robbana ma kholaqta hadza

bathila”. (3)Wahai Maha Pengasuh, seungguh

tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini.

(4)Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk.

(5)Sampah-sampah alam menjadi rabuk.

(6)Timbunan batu-batu menjadi mutiara.

(7)Penjajahan melahirkan kemerdekaan.

(8)Kejatuhan menghasilkan kebangkitan.

(9)Penderitaan memberi pelajaran tentang

kebahagiaan. (koherensi ibarat)

Paragraf 6

(1)Konsep Khilafah dengan pelaku

Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas

kehidupan manusia di alam semesta.

(2)Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis

Besar Haluan Kehendak-Nya. (3)Khilafah

adalah UUD-nya Allah swt. (4)Para Wali

membumikannya dengan mendendangkan: di

alam semesta atau al’alamin yang harus

dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah

“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak

sengguh temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah

adalah “pènèkno blimbing kuwi”. (6)Etos

kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak

mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo

penekno”. (7)Selicin apapun jalanan di zaman

ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk

memetik “blimbing” yang bergigir lima.

346

(koherensi ibarat)

Paragraf 10

(1)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah

Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan

lain. (2)Saya hanya karyawan-Nya. (3)Allah

Big Boss saya. (koherensi argumentatif)

Retoris Grafis Paragraf 5

(8)Ketika menginformasikan kepada

para staf-Nya tentang makhluk yang Ia

ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan

Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan

tidak menyebutnya dengan “Adam” atau

“Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk

hibrida baru”, melainkan langsung

menyebutnya Khalifah.

Paragraf 6

(4)Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau

al’alamin yang harus dirahmatkan oleh

Khilafah manusia, adalah “tandure wis

sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah adalah

“pènèkno blimbing kuwi”. (6)Etos kerja, amal

saleh, daya juang upayakan tidak mencekung

ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.

(7)Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus

panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik

“blimbing” yang bergigir lima.

Paragraf 7

(1)Khilafah adalah desain Tuhan agar

manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah

ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau

“baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. ...

(4)Mungkin butuh satu milenium untuk mulai

takut kepada “masuklah ke dalam

Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”.

... (6)Apalagi dunia sekarang justru diayomi

oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke

dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk

mempersatukan dan membersamakan.

Metafora Paragraf 2

(1)Maka pekerjaan utama sejarah dunia

adalah: dengan segala cara memecah belah

347

Kaum Muslimin.

Paragraf 3

(4)Banyak hal yang membuat saya

panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah.

(5)Misalnya saya tidak tega kepada teman-

teman yang mengalami defisit masa depan

karena kalap dan menghardik dan mengutuk-

ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.

(6)Sementara saya yang memetik laba ilmu

dan berkahnya.

Paragraf 6

... (2)Adalah skrip-Nya, visi missi-

Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya.

(3)Khilafah adalah UUD-nya Allah swt.

(4)Para Wali membumikannya dengan

mendendangkan: di alam semesta atau

al’alamin yang harus dirahmatkan oleh

Khilafah manusia, adalah “tandure wis

sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh

temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah adalah

“pènèkno blimbing kuwi”. (6)Etos kerja, amal

saleh, daya juang upayakan tidak mencekung

ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.

(7)Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus

panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik

“blimbing” yang bergigir lima.

Paragraf 9

(1)Setiap manusia dilantik menjadi

Khalifah oleh Allah. ... (6)Bahkan cinta di

dalam kalbu saya nongol dan menggelembung

begitu saja, sampai seluruh alam semesta

dipeluknya — tanpa saya pernah

memprogramnya.

Paragraf 10

(1)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah

Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan

lain. (2)Saya hanya karyawan-Nya. (3)Allah

Big Boss saya.

348

RIWAYAT PENULIS

M. Ilhamul Qolbi lahir di Tegal, 28

November 1995 merupakan anak ketiga

dari tiga bersaudara. Ia putra dari Bapak

Nuridin dan Ibu Maskunah. Penulis

beralamat di Dk. Babakan Desa

Jatimulya RT 02 RW 06 Kec. Lebaksiu

Kab. Tegal.

Penulis mengawali pendidikan di

Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Babakan

pada tahun 2002 s.d. 2007, melanjutkan ke pendidikan menengah di MTs N

Model Babakan pada tahun 2007 s.d. 2010, dan pendidikan terakhir di MAN

Babakan Tegal pada tahun 2010 s.d. 2013. Pendidikan berlanjut pada perguruan

tinggi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Penulis yang memiliki hobi mengoleksi buku serta bermain musik ini mengambil

judul skripsi untuk menndapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul

“Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai Khilafah Emha Ainun Najib di

Caknun.com”.