STRUKTUR MAKRO, SUPRA, DAN MIKRO PADA ESAI
KHILAFAH EMHA AINUN NAJIB DI CAKNUN.COM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
M. Ilhamul Qolbi
NIM 1113013000012
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
LEMBAR PENGESAHAN
STRUKTUR MAKRO, SUPRA, DAN MIKRO PADA ESAI
KHILAFAH EMHA AINUN NAJIB DI CAKNUN.COM
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
M. Ilhamul Qolbi
NIM 1113013000012
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. Makyun Subuki, M. Hum.
NIP 19800305 200901 1015
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi yang berjudul Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai Khilafah
Emha Ainun Najib di Caknun.com disusun oleh M. Ilhamul Qolbi,
NIM. 1113013000012, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang
berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan
oleh fakultas.
Dr. Makyun Subuki, M. Hum.
NIP 19800305 200901 1015
Jakarta, 05 Mei 2020
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing
iii
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
N a m a : M. Ilhamul Qolbi
Tempat/Tgl.Lahir : Tegal, 28 November 1995
NIM : 1113013000012
Jurusan / Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/ S-1
Judul Skripsi : Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai
Khilafah Emha Ainun Najib di Caknun.com
Dosen Pembimbing : Dr. Makyun Subuki, M. Hum.
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
KEMENTERIAN AGAMA
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
iv
ABSTRAK
M. Ilhamul Qolbi (NIM: 1113013000012). Struktur Makro, Supra, dan
Mikro pada Esai Khilafah Emha Ainun Najib di Caknun.com
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur makro,
struktur supra, dan struktur mikro yang mendasari Esai Khilafah Emha Ainun
Najib di Caknun.com. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif.
Objek penelitian ini adalah kumpulan esai Emha Ainun Najib di laman
Caknun.com yang bertema Khilafah. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode pencatatan dokumen. Data yang terkumpul dianalisis dengan
menggunakan model analisis deskriptif kualitatif menggunakan teori analisis
wacana Teun A van Dijk. Dari empat esai yang diteliti, hasil penelitian
menunjukkan (1) Struktur makro atau tema pada wacana Esai tentang Khilafah
Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com terlihat pada topik, subtopik, dan fakta.
Tema yang disampaikan penulis dalam wacana masing-masing menunjukkan, (a)
Esai KIKS bertema seorang muslim tidak harus mendirikan atau masuk ke
Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam Khilafah Silmi, (b) Esai KN
bertema aplikasi Khilafah dalam NKRI, (c) Esai TPTM bertema HTI erlu
engguliran diskusi publik tentang Khilafah, (d) Esai TSK bertema Khilafah
adalah desain Tuhan yang tidak perlu ditakuti; (2) Struktur supra yang digunakan
untuk mendukung struktur lengkap yang terdiri atas (a) pendahuluan, (b) kalimat
tesis, (c) tubuh atau isi, dan (d) penutup; (3) Strukur mikro yang digunakan untuk
mendukung struktur makro terdiri atas (a) latar; (b) rincian, (c) bentuk kalimat
aktif dan kalimat pasif, (d) penanda kohesif dan koherensi; (e) pemakaian kata
ganti, (f) pemakaian grafis, dan (g) metafora. Dari semua aspek mikro yang
digunakan, penulis lebih dominan menggunakan grafis dan metafora.
Kata Kunci: Analisis Wacana, Emha Ainun Najib, Esai, Caknun.com, Khilafah.
v
ABSTRACT
M. Ilhamul Qolbi (NIM: 1113013000012). Macro, Supra, and Micro
structurein Emha Ainun Najib's Khilafah Essay on Caknun.com.
This study aims to describe and analyze the macro structures, supra structures, and
micro structures that underlie Emha Ainun Najib's Khilafah Essay on
Caknun.com. The research design used is descriptive. The object of this research
is Emha Ainun Najib's collection of essays on the Caknun.com pages with the
theme of the Khilafah. The data collection method used was document recording
method. The collected data were analyzed using a qualitative descriptive analysis
model using Teun A van Dijk's discourse analysis theory. from the four essays
researched, the results showed (1) The macro structure or theme of Emha Ainun
Najib's essay on the Khilafah discourse on Caknun.com looks at topics, subtopics,
and facts. The themes conveyed by the authors in their respective discourses
show, (a) KIKS essays with the theme of a Muslim do not have to establish or
convert the Islamic Khilafah, but simply enter into the Khilafah Silmi, (b) KN
essays on the application of the Khilafah in the Republic of Indonesia, (c) The
TPTM essay on the theme of HTI needs to roll out public discussions about the
Khilafah, (d) TSK essays on the Khilafah theme are God's designs that need not be
feared; (2) The supra structure used to support the complete structure consisting of
(a) introduction, (b) thesis sentence, (c) body or content, and (d) closing; (3) the
microstructure used to support the macro structure consists of (a) background; (b)
details, (c) active and passive voice, (d) cohesive and coherence markers; (e) use
of pronouns, (f) use of graphics, and (g) use of metaphors. Of all the micro aspects
used, the author predominantly uses graphics and metaphors.
Keywords: Discourse Analysis, Emha Ainun Najib, Essays, Caknun.com,
Khilafah.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillah, Alhamdulillah segala puji ke Hadirat Allah swt. atas limpahan
karunia, rahmat, nikmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat
merampungkan skripsi ini. Selawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad saw. serta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya semoga
mendapatkan syafaatnya kelak di hari akhir nanti.
Skripsi ini disusun guna untuk memenuhi salah satu sarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan,
petunjuk, motivasi, serta dorongan baik secara moril maupun materil dari berbagai
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pembimbing skripsi
yang telah banyak memberi arahan dan masukan dalam penulisan ini.
3. Ibu Novi Diah Haryanti, M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Dr. Elvi Susanti, M. Pd. selaku penasehat akademik yang selalu berhati
baik.
5. Dosen penguji skripsi Ibu Dr. Nuryani, M. A. dan Bapak Dona Aji
Karunia Putra, M. A. yang telah banyak memberikan saran guna perbaikan
skripsi penulis.
6. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
vii
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan secara
luas selama penulis menempuh masa studi.
7. Mama Maskunah yang selalu tabah dalam menghadapi anak bungsunya
yang satu ini. Senantiasa memberikan pendidikan demokrasi dan
kedewasaan berpikir. Selalu memanjatkan doa setiap dipenghujung malam
demi anaknya sehat, selamat, dan sukses di perantauan Jakarta. Juga Abah
Nuridin yang selalu peduli dalam diam. Terima kasih sudah memberikan
dukungan dan kepercayaannya tentang bagaimana menjalani pendidikan di
tanah rantau Ciputat. Kepercayaan yang diberikan sangat berarti hingga
hari ini.
8. Mamas Biqih Zulmi yang sedang manjalankan studi di kota yang berbeda,
semoga lekas selesai juga untuk tesisnya. Terima kasih atas dukungan dan
pencerahannya yang tak henti.
9. Mba Iqi yang selalu memberikan kasih sayangnya secara penuh. Bahkan
hingga hari ini walaupun sudah menjadi ibu.
10. Ketua STKIP Suar Bangli I Wayan Numertayasa, S. Pd., M. Pd. yang
bersedia berbagi ilmu mengenai penelitian tesisnya. Semoga sehat selalu
Guru.
11. Sedulur-sedulur dari Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat yang mengisi
hari-hari selama ini. Terkhusus Mas Mahbub, Mas Subur, Mas Fakhrur,
Darip, Idos, Andi, Ardi, dan masih banyak lagi.
12. Sahabat-sahabat Arman. Tri Puji Astuti, Fitrotullaeli, Istikomatullaeli,
Retno Ayuningityas, Andriyanto, Ahmad Husni Akbar, M. Rizki Nailul
Author. Semoga abadi.
13. Sahabat sekosan yang masih setia menemani, M. Syakir Niamillah Fiza.
Semoga lekas lulus dan meraih gelar magisternya.
14. Bapak Ibu dan Staff SMA Dharma Karya Jakarta. Khususnya Ibu Intan
Nuridian Fauziyah, M. Pd. sebagai Pimpinan yang selalu mendukung dan
melancarkan kelulusan S-1 ini. Juga Neng Wulan Meitri Nurjanah, yang
sudah mendukung dan menemani dalam menyelesaikan skripsi. Bahkan
sering sampai larut malam.
viii
15. Rekan-rekan satu kelas dan satu jurusan yang mengisi hari-hari ketika
studi bersama. Teman-teman satu kampus yang memberi banyak warna
dalam berkegiatan dan bermain.
16. Sahabat-sahabati PMII Ciputat, khususnya PMII Rayon PBSI. Satgas
GAN UIN Jakarta. Sekolah Pengabdian Al Hakim. Teman-teman Sekolah
Guru Indonesia (SGI) Literat, Sekolah Guru Siaga Bencana, Sekolah Guru
Digital, Kelas Menulis NU Online, dan program-program lainnya yang
menemani saya dalam pelarian skripsi. Namun sungguh, itu membawa
saya hingga menyelesaikan studi.
Terima kasih tidak lupa saya sampaikan kepada semua pihak yang tidak
dapat tersebutkan namun telah memberikan kontribusi yang sangat berharga
hingga terselesaikannya skripsi ini. Akhir kata, harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat bagi seluruh pembaca dan lembaga-lembaga pendidikan sebagai
perbandingan maupun dasar untuk penelitian lebih lanjut. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun tetap penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Jakarta, 05 Mei 2020
M. Ilhamul Qolbi
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... i
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ........................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
ABSTRACT .............................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Pembatasan Masalah .................................................... 5
C. Rumusan Masalah ........................................................ 5
D. Tujuan Penelitian .......................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ........................................................ 6
BAB II KAJIAN TEORI .................................................................... 8
A. Pengertian Analisis Wacana .......................................... 8
B. Analisis Wacana Teun A van Dijk ............................... 12
1. Struktur Makro ...................................................... 14
2. Struktur Supra ....................................................... 16
3. Struktur Mikro ....................................................... 18
C. Penelitian Relevan ........................................................ 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 37
A. Jenis Penelitian ............................................................. 37
B. Subjek dan Objek Penelitian ........................................ 37
C. Wujud dan Sumber Data .............................................. 38
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 38
x
E. Instrumen Penelitian ..................................................... 39
F. Teknik Analisis Data ..................................................... 41
G. Reduksi Data ........................................................ 41
H. Penyajian Data ..................................................... 42
I. Penyimpulan Data .................................................. 42
BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................... 44
A. Hasil Penelitian ............................................................ 44
B. Pembahasan .................................................................. 51
1. Analisis Wacana KIKS .......................................... 44
2. Analisis Wacana KN .............................................. 92
3. Analisis Wacana TPTM ......................................... 122
4. Analisis Wacana TSK ............................................ 159
BAB V PENUTUP .............................................................................. 168
A. Simpulan ....................................................................... 188
B. Saran ............................................................................. 189
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 190
LAMPIRAN ............................................................................................... 203
RIWAYAT PENULIS ............................................................................. 348
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 40
Tabel 3.2 Struktur Supra Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 40
Tabel 3.3 Struktur Mikro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 40
Tabel 4.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 44
Tabel 4.2 Struktur Supra Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com ………….. ......................... 46
Tabel 4.3 Struktur Mikro Aspek Semantik Wacana Esai Tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com ……… 47
Tabel 4.4 Struktur Mikro Aspek Sintaksis Wacana Esai Tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com ……… 48
Tabel 4.5 Struktur Mikro Aspek Sintaksis dan Retoris Wacana Esai
Tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com
………………….. ......................... ………….. .................. 50
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Analisis Wacana Teun A van Dijk ..................................... 13
Gambar 2.2 Pengacuan Persona ................... ..........................……….. 24
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Sampel Esai
Lampiran 2 : Analisis Struktur Makro
Lampiran 3 : Analisis Struktur Supra
Lampiran 4 : Analisis Struktur Mikro
Lampiran 5 : Riwayat Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wajah masyarakat Islam di Indonesia sangat beragam. Keberagaman
itu memunculkan banyak pandangan mau dibawa ke mana masyarakat Islam
yang ada di Indonesia itu. Salah satu isu yang muncul akhir-akhir ini di
Indonesia yaitu mencuatnya kembali seruan-seruan menegakkan khilafah
sebagai bentuk pemerintahan umat Islam. Hal itu dimulai setelah
dideklarasikannya Turki sebagai negara sekular yang menandai berakhirnya
lembaga politik umat Islam setelah beberapa ratus tahun lamanya.
Saat ini, muncul beragam isu yang kembali mencuat mengenai
khilafah. Munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan menjadi alat untuk memukul mundur organisasi yang
mendukung khilafah. Berdasarkan Perppu tersebut, melalui Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM
mencabut status badan hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia ( HTI) pada
Rabu, 19 Juli 2017. Akhirnya, HTI resmi dibubarkan pemerintah pada saat itu.
Alasan pembubaran dipaparkan oleh Menteri Koordinator bidang
Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dengan tiga alasan. Pertama, sebagai
ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk
mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan
nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah
bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktivitas yang
dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat
2
mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan
keutuhan NKRI. Ketiga alasan tersebut pada dasarnya berujung pada tujuan
dasar HTI yang ingin mendirikan khilafah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Secara bahasa, khilafah merupakan bentuk infinitive (masdar) dari kata
khalafa-yakhlifu-khilafatan, yaitu menggantikan. Menurut istilah yang populer
di tengah-tengah umat Islam, khalifah adalah orang yang datang kemudian dan
posisinya menggantikan orang sebelumnya, baik yang digantikan itu masih
ada maupun setelah tiada.1 Gelar ini muncul pertama kalinya untuk
disematkan kepada Abu Bakar pasca pelantikannya oleh umat Islam untuk
menjabat kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dari sinilah khilafah
membentuk makna sebagai sebuah institusi kepemimpinan pengganti Nabi.2
Sedangkan menurut Istilah, ada beberapa definisi yang dikemukakan
oleh beberapa ulama terkait dengan khilafah sebagai sebuah kepemimpinan
dalam Islam. Ibnu Taymiyah memandang praktik pemerintahan Islam harus
berorientasi pada dua hal: memelihara eksistensi agama dan mengatur strategi
keduniaan. Definisi tersebut senada dengan pendapat Al-Mawardi yang
menyatakan bahwa khilafah merupakan sebuah topik bagi institusi ke-
khilafah-an nubuwah yang bertugas memelihara agama dan mengatur dunia.3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alvara Research Center
(ARC), sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan BUMN tercatat
menginginkan perubahan ideologi Pancasila. Pada saat yang sama, ada pula
dari mereka terafiliasi dengan ormas yang dianggap radikal.
1Muhammad Sofi Mubarok, Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah, (Jakarta: Pustaka Harakatuna,
2017) h. 32 2Ibid., h. 33 3Ibid., h. 34
3
Dalam laporan ARC bertajuk Potensi Radikalisme di Kalangan
Profesional Indonesia4 didapati bahwa 15,5% kelompok kelas menengah
(PNS, karyawan BUMN, dan swasta) menginginan dasar negara berasaskan
Islam. Jika diselami lebih dalam, ada 19,4% PNS dan 18,1% pegawai BUMN
yang menginginkan Pancasila diganti.
Dari beberapa penelitian tersebut, menunjukkan bahwasanya masih
banyak pendukung khilafah. Bahkan tidak tanggung-tanggung berani
menginginkan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Data
penelitian yang menunjukkan terkait jihad dalam menegakkan negara
Islam/khilafah, mayoritas profesional tidak setuju untuk berjihad menegakkan
negara Islam/khilafah. Namun yang setuju untuk berjihad jumlahnya juga
cukup besar (19,6%). Persentase PNS yang siap berjihad untuk tegaknya
negara Islam/khilafah cukup besar, lebih besar dibanding swasta dan BUMN.
Dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
2 Tahun 2017 itu, dalam kalangan Islam sendiri muncul berbagai variasi
dalam memandang permasalahan tersebut. Nahdlatul Ulama muncul di garda
terdepan dalam mendukung sikap pemerintah tersebut. Hal itu menurutnya
karena sistem khilafah yang sedang diperjuangkan oleh ormas Hizbut Tahrir
Indonesia dipandang akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang majemuk. Namun, di lain sisi, ada juga beberapa kalangan
yang menolak terbitnya peraturan tersebut. Di kalangan parlemen misalnya,
tiga partai politik yang terdiri dari Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan
Sejahtera, dan Partai Gerindra menyatakan menolak terbitnya peraturan
tersebut. Selain itu, dari berbagai tokoh juga muncul berbagai pandangan
mengenai bagaimana menyikapi sistem khilafah dan terbitnya peraturan itu.
Salah satu tokoh tersebut yang perlu dipandang menarik yaitu Budayawan
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
4Samdysara Saragih, Pemerintah Diminta Bikin Perpres Penangkal Paham Radikal PNS &
BUMN, https://surabaya.bisnis.com/read/20171024/531/758502/pemerintah-diminta-bikin-perpres
-penangkal-paham-radikal-pns-bumn, (diakses pada 01 Oktober 2020, pukul 12.34 WIB)
4
Cak Nun merupakan tokoh yang dikenal memperjuangkan
kemoderatan. Ia mempunyai jamaah yang disebut dengan Jamaah Maiyah.
Tempat kajian rutinannya tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Cak Nun
menyikapi khilafah dan terbitnya peraturan itu berbeda dengan teman-teman
tokoh yang memiliki pandangan kemoderatan yang sama. Ia menilai Perppu
Ormas yang diterbitkan oleh pemerintah sebab adanya ketidakberimbangan.
Hal yang dinilainya tidak berimbang itu baik dari segi pemikiran hingga soal
manajemen. Dari hal itu, akhirnya Cak Nun dianggap oleh beberapa kalangan
sebagai tokoh yang pro terhadap sistem khilafah. Dari hal itu, penulis tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut tentang pandangan Cak Nun terhadap khilafah
yang sampai sekarang masih hangat diperbincangkan.
Penulis tertarik esai yang disampaikan atau ditulis Cak Nun melalui
internet. Penulis memilih untuk meneliti website Caknun.com, situs resmi
Emha Ainun Nadjib. Sebagai seorang tokoh yang mempunyai basis masa yang
cukup besar, Cak Nun tentunya tidak terlepas dari kegiatan berpendapat.
Sekarang banyak sekali media-media online yang digunakan untuk
menyampaikan gagasannya. Dengan mengandalkan teknologi yang ada
sekarang, tidak sedikit orang berargumen melalui media online. Mulai dari
situs majalah, koran, sampai situs milik pribadi juga banyak terdapat di
internet. Seperti halnya situs Caknun.com ini. Situs ini mengatasnamakan
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dan ditujukan khususnya untuk jamaah
maiyah dan umumnya untuk masyarakat umum. Dengan memberikan
pandangan berbeda melalui tulisan-tulisan karya Emha Ainun Nadjib dan
beberapa orang lainnya termasuk pandangan mengenai khilafah itu. Maka dari
itu peneliti ingin meneliti pandangan mengenai khilafah pada esai Emha
Ainun Nadjib yang berada di situs Caknun.com.
Ada beberapa analisis wacana yang dikemukakan oleh para ahli, baik
dari pandangan sintagmatik maupun paradigmatik, salah satu yang terkenal
adalah analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A van Dijk. Ia
merupakan tokoh analisis wacana yang melihat penelitian analisis wacana
5
tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi. Model analisis wacana van Dijk
dalam buku Eriyanto bisa dikatakan yang paling lengkap karena
mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat digunakan secara
praktis.5 Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi atau
bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Dalam meneliti website Caknun.com, peneliti memilih rubrik Tajuk
dan Khasanah. Dalam rubrik ini terdapat banyak sekali esai, terutama esai
Emha Ainun Nadjib dan beberapa orang lainnya. Alasan memilih kedua rubrik
tersebut karena di dalamnya terdapat beberapa esai Emha Ainun Nadjib yang
ditulis oleh dirinya sendirinya dan memberikan pandangan berbeda mengenai
khilafah sehingga sangat menarik untuk dikaji. Untuk itu peneliti memilih
untuk meneliti rubrik Tajuk dan Khasanah yang membahas tentang khilafah
sampai pada bulan Oktober 2017. Peneliti sangat tertarik untuk meneliti
pandangan khilafah yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam esai karena
ia sosok tokoh yang selalu berusaha berada posisi tengah.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian tentang Struktur Supra, Makro, dan Mikro Pada Esai
Khilafah Emha Ainun Najib di Caknun.com terfokus pada struktur supra,
mikro dan makro dengan tidak dilakukan analisis sosial. Kajian terhadap
struktur supra mencakup struktur yang melingkupi wacana, yaitu
pendahuluan, isi, dan penutup dengan pola kebahasaan dan muatan yang
mempunyai karakter tersendiri. Kajian terhadap struktur mikro mencakup
pola struktur gagasan, penggunaan piranti kohesif leksikal dan gramatikal,
pola hubungan antar unsur berupa rujukan yang digunakan penulis dalam
membentuk wacana yang kohesif dan koheren. Kajian terhadap struktur
makro mencakup pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat
dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana.
5Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 221
6
Esai yang akan diteliti adalah esai yang ditulis Emha Ainun Nadjib di
rubrik Tajuk dan Khasanah mengenai khilafah dari awal situs Caknun.com itu
diterbitkan sampai pada bulan Oktober 2017. Hal itu dikarenakan jauh
sebelum Perppu Ormas itu diterbitkan, Emha sudah menyinggung tentang
khilafah, sehingga menurut peneliti nantinya ada keterkaitan antara tulisan-
tulisan tersebut yang dapat ditarik kesimpulannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
menuliskan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana struktur wacana
esai yang dibangun Emha Ainun Nadjib mengenai khilafah dalam rubrik
khasanah dan tajuk di Caknun.com?
1. Bagaimanakah struktur makro yang mendasari esai Emha Ainun Najib
tentang Khilafah di website Caknun.com?
2. Bagaimanakah struktur supra yang digunakan Emha Ainun Najib untuk
menyampaikan gagasan dalam esai tentang Khilafah di website
Caknun.com?
3. Bagaimanakah struktur mikro yang digunakan Emha Ainun Najib untuk
menyampaikan gagasan dalam esai tentang Khilafah di website
Caknun.com?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur
wacana esai yang dibangung Emha Ainun Nadjib mengenai khilafah dalam
rubrik tajuk dan khasanah di Caknun.com.
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur makro yang
mendasari esai Emha Ainun Najib tentang Khilafah di website
Caknun.com.
7
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur supra yang
digunakan Emha Ainun Najib untuk menyampaikan gagasan dalam
Esai tentang Khilafah di website Caknun.com.
3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur mikro yang
digunakan Emha Ainun Najib untuk menyampaikan gagasan dalam
Esai tentang Khilafah di website Caknun.com.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tentang analisis struktur wacana esai Emha Ainun
Najib mengenai khilafah di Caknun.com ini diharapkan dapat memberikan
manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, diharapkan dapat
menunjukkan dan memberikan deskripsi tentang pandangan Emha Ainun
Najib tentang khilafah. Penelitian ini juga dapat digunakan untuk menambah
wawasan peneliti di bidang wacana, khususnya analisis wacana, yang tidak
hanya melibatkan linguistik, melainkan juga melibatkan ilmu lain, seperti ilmu
sosial politik, maupun keagamaan.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran khalayak dalam menyikapi wacana-wacana yang disajikan.
Khalayak yang memiliki kesadaran kritis, diharapkan dapat menambah
pengetahuan agar lebih bijaksana, cerdas, serta berpikir terbuka.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Analisis Wacana
Kajian bahasa merupakan salah satu cabang tertua dalam penelitian
sistematik. Hal ini tertelusuri dari zaman India dan Yunani kuno, dengan
catatan keberhasilan yang begitu produktif dan kaya.6 Pengertian secara
sederhana, bahasa dimaknai sebagai proses berkomunikasi yang dijadikan
sebagai alat kendaraan. Dengan bahasa, kita membawa suatu pesan untuk
mencapai tujuannya. Jika kendaraan itu tidak ada bensinnya atau bannya
rusak, jelas perjalanan akan terganggu dan muatan kendaraan tidak dapat
sampai di tujuan.7
Analogi bahasa sebagai kendaraan itu memunculkan pengertian bahwa
bahasa tidak hanya terkait dengan bahasa itu sendiri. Hal itu sejalan dengan
pendapat Saussure, suatu bahasa merupakan contoh suatu wujud yang
menurut para ahli sosiologi tertentu disebut “fakta-fakta sosial”.8 Fakta sosial
tersebut menunjukkan bahwa bahasa sangat terkait dengan kondisi realitas
yang ada. Bukan hanya sebatas pada bahasa itu sendiri. Oleh karena itu,
dalam sebuah kajian bahasa ada yang disebut dengan istilah wacana.
Gorys Keraf dalam Alex Sobur mengemukakan bahwa pengertian
wacana dapat dibatasi dari dua sudut yang berlainan. Pertama dari sudut
bentuk bahasa, dan kedua, dari sudut tujuan umum sebuah karangan yang
utuh atau sebagai bentuk sebuah komposisi.9
6Noam Chomsky, Cakrawala Baru Kajian Bahasa dan Pikiran, (Tangerang Selatan: Logos
Wacana Ilmu, 2000), h. 5 7Dendy Sugono, Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani, (Jakarta: Progres, 2003), h. 66 8Abd. Syukur Ibrahim dkk., Aliran-Aliran Linguistik, (Surabaya: Usaha Nasional, 1985), h. 56 9Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), h. 11-12
9
Oleh karena itu, kita perlu melihat pengertian wacana yang
diungkapkan oleh Gee dalam bukunya yang membedakan discourse atau
wacana dalam dua jenis seperti yang dikutip di bawah ini.
The distinction between “Discourse” with a “big D” and “discourse”
with a “little d” plays a role throughout this book. This distinction is
meant to do this: we as “applied linguists” or “sociolinguists,” are
interested in how language is used “on site” to enact activities and
identities. Such language-in-use, I will call “discourse” with a “little
d.” But activities and identities are rarely ever enacted through
language alone.10
I will reserve the word “discourse,” with a little “d,” to mean
language-in-use or stretches of language (like conversations or stories).
“Big D” Discourses are always language plus “other stuff”.11
The key to Discourses is “recognition.” If you put language, action,
interaction, values, beliefs, symbols, objects, tools, and places together
in such a way that others recognize you as a particular type of who
(identity) engaged in a particular type of what (activity) here and now,
then you have pulled off a Discourse (and thereby continued it through
history, if only for a while longer).12
Dari teks di atas, dapat kita ketahui bahwa wacana yang dimaksud
oleh Gee itu dibagi menjadi dua. Pertama, “discourse” (d kecil) yang melihat
bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (“on site”) untuk memerankan
kegiatan, pandangan, dan identitas atas dasar-dasar linguistik. Kedua,
“Discourse” (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada “discourse”
(dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”)
untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language
“stuff” ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Komponen non-language “stuff” itu juga yang membedakan cara
beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator
dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan
orang lain.
10James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis Theory and Method, (London: Taylor &
Francis e-Library, 2001), h. 6-7 11Ibid., h. 17 12Ibid., h. 18
10
Dari uraian tersebut, tampak bahwa baik “discourse” (dengan kecil)
maupun “Discourse” (dengan D besar) adalah hasil dari pekerjaan si pembuat
wacana memakai bahasa (verbal atau nonverbal) untuk mempresentasikan
realitas karena memang pada dasarnya definisi kerja memandang bahwa
wacana adalah penggunaan bahasa untuk menggambarkan realitas.
Secara singkatnya, wacana adalah kesatuan makna (semantis)
antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana
dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam
wacana itu berhubungan secara padu.13 Kemudian, dalam konteks
menggunakan, wacana menurut Brown and Yule adalah beberapa pernyataan
yang digunakan dalam konteks tertentu.14
Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Michael Fairclough
dalam Eriyanto yang mengatakan bahwa wacana tidaklah dipahami sebagai
serangkaian kata atau preposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi
yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena
secara sistemis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam
suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak
sesuatu.15
Pembagian wacana pun beragam. Jika dilihat berdasarkan saluran
komunikasi, wacana dibedakan atas wacana lisan dan wacana tulis. Wacana
lisan memiliki ciri antara lain adanya penutur dan mitra tutur, bahasa yang
dituturkan, dan alih tutur (turn taking) yang menandai pergantian giliran
bicara. Wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang
dituliskan, dan penerapan sistem ejaan.16
Sebagai kesatuan yang abstrak, wacana dibedakan dari teks, tulisan,
bacaan, tuturan, atau inskripsi, yang mengacu pada makna yang sama, yaitu
13Kushartanti dkk., Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia
Pustaka, 2009), h. 92 14Brown and Yule, Discourse Analysis, (Cambridge: Cambrige University Press, 1983), h. 25-26 15Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 65 16Kushartanti dkk., Op. Cit., h. 94
11
wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar.17 Secara lebih rinci,
wacana dalam wujud tulisan/grafis yang disebut sebagai teks itu mempunyai
berbagai macam bentuk antara lain surat, e-mail, berita, features, artikel opini,
puisi, lagu, cerpen, novel, iklan cetak, komik, dsb.18
Baik wacana tulis maupun lisan, kedua-duanya tidak hanya semata-
mata hanya data. Tetapi seperti yang diungkapkan Alex Sobur mengutip
Heryanto yang mengatakan bahwa aturan-aturan kebahasaan di dalam wacana
tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya.
Karena menurutnya bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik.19
Hal itu sejalan dengan pengertian wacana yang dikemukakan oleh Ibnu
Hamad bahwa wacana (discourse) adalah susunan data dan atau fakta dengan
memakai sistem tanda yang membentuk cerita dan mengandung makna.20
Oleh karena itu, dalam menganalisis wacana perlu melihat pendapat
Littlejohn dalam Alex Sobur yang mengemukakan bawa analisis wacana lahir
dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan
terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi, ucapan, tetapi
juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut
wacana.21 Lebih jelasnya, Eriyanto mengutip dari Dennis McQuail yang
menekankan analisis wacana lebih pada pemaknaan. Dasar analisis wacana
adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode
interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti.22
Begitu juga Henry Guntur Tarigan dalam bukunya yang memperkuat
pendapat di atas bahwa mengadakan pendekatan telaah bahasa sebagai
wacana berarti memberi penekanan pada fungsinya. Ini berarti bahwa
pertanyaan yang diajukan mengenai setiap bagian atau segmen bahasa
17Ibid., h. 92 18Ibnu Hamad, Wacana, (Jakarta: La Tofi Enterprise, 2010), h. 43-44 19Alex Sobur, Op Cit., h. 13 20Ibnu Hamad, Op Cit., h. 3 21Alex Sobur, Op Cit., h. 48 22Eriyanto, Op. Cit., h. 337
12
tertentu bukanlah melulu mengenai bentuk tetapi juga mengenai penggunaan
atau pemakaiannya. Hal itu seperti mengenai apa yang ingin dicapai oleh si
pembicara (atau penulis), dan apa sebenarnya yang diperolehnya, dengan
bagian bahasa yang khas ini.23
B. Analisis Wacana Teun A van Dijk
Ada beberapa analisis wacana yang dikemukakan oleh para ahli, baik
dari pandangan sintagmatik maupun paradigmatik, salah satu yang terkenal
adalah analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A van Dijk. Ia
merupakan tokoh analisis wacana yang melihat penelitian analisis wacana
tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks
hanya hasil dari suatu praktik produksi. Model analisis wacana van Dijk
dalam buku Eriyanto bisa dikatakan yang paling lengkap karena
mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat digunakan secara
praktis.24
Analisis wacana kritis berfokus pada 'hubungan antara wacana,
kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan sosial' dan bagaimana wacana
menghasilkan dan mempertahankan hubungan dominasi dan ketidaksetaraan
ini.25 Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi atau
bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Penjelasan tersebut
lebih mudahnya diilustrasikan dengan gambar model analisis Van Dijk di
bawah ini.
23Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Analisis Konstrastif Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1992), h.
200 24Eriyanto, Op. Cit., h. 221 25Van Dijk, T.A. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society 4:249-83
(1993), h. 249
13
Dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan
strategi wacana digunakan untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada
dimensi kognisi sosial, yang diamati adalah proses produksi suatu teks yang
melibatkan kognisi individu penulis. Sedangkan pada dimensi konteks yang
dipelajari adalah wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu
masalah.26 Namun, dalam pengkajian ini penulis hanya melakukan analisis
teks pada esai Cak Nun tentang Khilafah di Caknun.com, tidak menyertakan
kognisi sosial dan analisis sosial karena peneliti hanya ingin meneliti struktur
wacananya saja.
Halliday dan Hasan menjelaskan bahwa teks memiliki tekstur dan
inilah yang membedakannya dari sesuatu yang bukan teks. Tekstur teks dapat
diamati dengan melihat ikatan kohesif yang mencerminkan keterhubungan.27.
Sedangkan Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau
tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk melihat
teks dari beberapa struktur yang saling membangun. Van Dijk membagi
26Ibid., h. 224-225 27Brown and Yule, Op. Cit., h. 191
Teks
Kognisi Sosial
Konteks
Gambar 2.1 Analisis Wacana Teun A van Dijk
14
cabang elemen wacana dalam tiga poin; yaitu struktur makro, suprastruktur
dan struktur mikro.28
Jika digambarkan, maka struktur dan elemen wacana van Dijk adalah
sebagai berikut.29
Tabel 2.1 Struktur Teks Wacana Model Teun A van Dijk.
Struktur
Wacana Hal yang Diamati Elemen
Struktur makro TEMATIK (Apa yang
dikatakan?) Topik
Superstruktur SKEMATIK (Bagaimana
pendapat disusun dan dirangkai?) Skema
Struktur Mikro SEMANTIK (Makna yang ingin
ditekankan dalam esai)
Latar, detail,
maksud,
praanggapan,
nominalisasi
Struktur Mikro SINTAKSIS (Bagaimana
pendapat disampaikan?)
Bentuk kalimat,
koherensi, kata
ganti
Struktur Mikro STILISTIK (Pilihan kata apa
yang dipakai?) Leksikon
Struktur Mikro
RETORIS (Bagaimana dan
dengan cara apa penekanan
dilakukan?)
Grafis, metafora,
ekspresi
Dari gambaran elemen wacana Van Dijk di atas dapat dijelaskan secara
lebih rinci sebagai berikut.
28Van Dijk, News Analysis: Case Studies of International and National News in the Press, (New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Publisher, 1988b), h. 17 29Alex Sobur, Op. Cit., h. 74
15
1. Struktur Makro
Menurut van Dijk dalam Rosidi30, struktur makro menunjuk pada
makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau
topik yang diangkat oleh suatu wacana. Hal itu terlihat juga dari
pandangan Teun van Dijk berikut ini.
“The meaning of discourse is not limited to the meaning of its
words and sentences. Discourse also has more 'global'
meanings, such as 'topics' or 'themes'. Such topics represent the gist
or most important information of a discourse, and tell us what a
discourse 'is about', globally speaking. We may render such topics in
terms of (complete) propositions such as 'Neighbors attacked
Moroccans'. Such propositions typically appear in newspaper
headlines.”31
Van Dijk memperkenalkan istilah topik wacana untuk menunjukkan
apa itu wacana. Topik wacana dapat didefinisikan sebagai inti atau
ringkasan teks.32 Menurut Brown dan Yule, tema memiliki dua fungsi
utama yaitu menghubungkan kembali dan menghubungkan wacana
sebelumnya, dan untuk menjadi titik awal pengembangan wacana
selanjutnya.33
Brown dan Yule juga menyatakan bahwa tajuk utama ini menciptakan
beberapa harapan bagi pembaca tentang isi teks.34 Jadi, dengan tajuk
utama ini, pembicara sudah bisa membaca ke mana ia akan dibawa oleh
tulisan itu.
Topik kalimat di setiap paragraf akan membangun koherensi dengan
topik wacana. Topik wacana ini diikuti oleh subtopik untuk mendukung
topik umum. Di sisi lain, subtopik akan didukung oleh fakta kalimat yang
30Sakhban Rosidi, “Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian Wacana,” Makalah
disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Universitas
Islam Negeri (UIN) Malang, 15 Desember 2007, h. 22 31Teun A van Dijk, Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction, (Barcelona: Internet
Course for the Oberta de Catalunya (UOS), 2003), h. 45 32Van Dijk, (1988b), h. 13 33Brown and Yule, Op. Cit.,h. 133 34Brown and Yule, Op. Cit.,h. 139
16
berfungsi sebagai kesatuan dan koherensi informasi teks, selalu disebut
sebagai co-text. Co-teks adalah teks koherensi. Ini membuat pembaca
mengerti bahwa semua laporan berita bagus harus memiliki teks
koherensi, baik tentang makna dan struktur yang diwakili dari
penghitungan kalimat di setiap paragraf. Jadi, setiap kalimat memiliki
tema sendiri atau topik kalimat di setiap paragraf.35 Dalam teori kognitif,
para jurnalis membangun dan membuat judul yang bagus karena strategi
untuk menarik pembaca dengan cepat mengetahui topik berita dari
serangkaian kalimat.36
Hal ini dimungkinkan untuk merumuskan tema tidak hanya untuk
kalimat secara individu, tetapi juga untuk keseluruhan teks. Van Dijk
mengamati bahwa topik kalimat (tema kalimat) berbeda dengan topik
wacana (tema teks wacana), tetapi tidak sepenuhnya independen darinya.
Setiap kalimat sederhana memiliki tema. Temanya sesuai dengan seperti
apa kalimatnya. Ini biasanya merupakan titik awal ujaran dan hal lain yang
mengikuti kalimat yang terdiri dari 'pembicara tentang' disebut "rheme".37
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, struktur
makro dalam sebuah wacana dapat dilihat topik dan sub topik yang
mendukung wacana.
2. Struktur Supra
Menurut van Dijk dalam Rosidi38 menyatakan bahwa struktur
supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti
kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan,
dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan
penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang
dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.
35Brown and Yule, Op. Cit.,h. 46-48 36Van Dijk, (1988b), h. 13 37Brown and Yule, Op. Cit.,h. 126-127 38Sakhban Rosidi, Op. Cit., h. 11
17
Kalau topik menunjukkan makna umum dari suatu wacana, maka
struktur skematis atau struktur supra menggambarkan bentuk umum dari
suatu teks. Bentuk wacana umum itu disusun dengan sejumlah kategori
atau pembagian umum seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan
masalah, penutup, dan sebagainya.39
Teks wacana pada umumnya mempunyai skema atau alur dari
pendahuluan serta akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-
bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membuat kesatuan arti.
Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana
yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi
penting. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di
bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.40
Terkait dengan esai, menurut Freddy K. Kalijernih esai yang benar
dan baik harus memiliki tiga paragraf yakni paragraf pengantar, paragraf
tubuh, dan paragraf simpulan.41
a. Paragraf Pengantar (Introductory Paragraph atau Introduction)
Paragraf pengantar pada esai biasanya terdiri atas satu paragraf
yang memperkenalkan topik yang akan dibahas dan sebuah gagasan
sentral yang lazim disebut gagasan pengontrol atau pernyataan tesis
(thesis statement). Oshima dan Houge dalam Kalidjernih
mengungkapkan bahwa pernyataan tesis mirip kalimat topik yakin
berisi suatu ekspresi tentang sikap, opini, dan gagasan tentang sebuah
topik. Akan tetapi, kalimat tesis lebih luas dan menjadi gagasan
pengontrol (controling idea) keseluruhan esai. Ada beberapa ciri
pernyataan tesis, (1) berupa kalimat yang lengkap (2) mengekspresikan
39Alex Sobur, Op. Cit., h. 76 40Eriyanto, Op. Cit., h. 232-234 41Freddy K. Kalijernih, Penulisan Akademik, (Bandung: Widya Aksara Press, 2010), h. 40
18
opini, sikap, dan gagasan dan (3) mengekspresikan hanya satu
gagasan.42
b. Paragraf Tubuh (Body atau Developmental Paragraph)
Paragraf tubuh sekurang-kurangnya satu, tetapi umumnya lebih
dari satu paragraf. Paragraf-paragraf ini mengembangkan pelbagai
aspek dari topik atau gagasan sentral yang disebut pada pernyataan
tesis. Paragraf-paragraf ini dapat mendiskusikan sebab, akibat, alasan,
proses, klasifikasi, contoh, dan perbandingan. Selain itu, dapat juga
mendeskripsikan atau menarasikan sesuatu.43 Paragraf tubuh sebuah
esai berfungsi untuk menjelaskan, mengilustrasikan, mendiskusikan,
atau membuktikan pernyataan tesis.
c. Paragraf Simpulan (Concluding Paragraph atau Conclution)
Paragraf ini menyimpulkan pemikiran yang dikembangkan
dalam esai dan berperan sebagai kata-kata penutup. Paragraf simpulan
(konklusi) mengakhiri pembahasan dan semua paragraf isi.44
Berdasarkan paparan di atas, struktur supra wacana esai dapat dilihat
dari komposisi esai. Jadi struktur supra wacana esai mencakup 1)
Pendahuluan, 2) Kalimat tesis, 3) Inti atau tubuh, dan 4) Penutup.
3. Struktur Mikro
a. Semantik
Tiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik,
sesuai dengan pengalaman-pengalaman ekstra linguistiknya, dan ciri-
ciri yang khas itu dipengaruhi oleh struktur bahasanya masing-
masing.45 Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai
makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan
42Ibid. h. 41 43Ibid. h. 40 44Ibid. h. 41 45Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologis, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 122
19
antarkalimat, hubungan antarpreposisi yang membangun makna tertentu
dalam suatu bangunan teks.46 Elemen-eleman yang diteliti dalam bagian
ini yaitu latar, rincian, maksud, dan praanggapan.
1) Latar
Latar dalam istilah kognitif, menginformasikan informasi yang
diperlukan pembaca untuk mengaktifkan model situasi dari
memori; Artinya, representasi akumulasi pengalaman pribadi dan
pengetahuan tentang situasi yang bersifat konkret.47 Latar
merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik (arti)
yang ingin ditampilkan. Latar biasanya ditulis sebagai latar
belakang suatu berita atau peristiwa. Latar yang ditulis tersebut
menentukan ke arah mana pandangan khalayak dibawa oleh
wartawan tersebut.48
2) Rincian
Rincian berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan seseorang. Elemen rincian merupakan strategi
bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang
implisit. Sikap atau wacana yang dikembangkan oleh wartawan
kadangkala tidak perlu disampaikan secara terbuka, tetapi dari detil
bagian mana yang dikembangkan dan mana yang diberitakan
dengan detil yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana
yang dikembangkan oleh media.49
3) Maksud
Maksud, hampir sama dengan elemen detil. Bedanya, dalam
detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan
46Alex Sobur, Op. Cit., h. 78 47Van Dijk, Episodic Models in Discourse Processing, (New York: Academic Press, 1985) 48Eriyanto, Op. Cit., h. 235 49Ibid., h. 238
20
dengan detil yang panjang. Elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan keomunikator akan diuraikan secara eksplisit dan
jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara
tersamar, implisit, dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik
hanya disajikan informasi yang menguntungkan komunikator.50
4) Praanggapan
Praanggapan (presupposition) merupakan pernyataan yang
digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti
upaya mendukung dengan jalan memberi latar belakang, maka
praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan
memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan
hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak
perlu dipertanyakan.51
Grundy dalam Diemroh Ihsan mengatakan bahwa
presupposition atau praanggapan diartikan sebagai informasi yang
dimiliki oleh pendengar atau pembaca sebagai bagian dari latar
belakang yang tidak bertentangan untuk membuat suatu ungkapan
bermakna baginya sehingga dia dapat memberikan tanggapan yang
tepat. Kadang-kadang pemahaman ini dipicu oleh pemahaman
makna kosakata atau tata bahasa dan kadang-kadang oleh
pemahaman situasi. Pemahaman jenis yang pertama yang membuat
sebuah ungkapan bermakna disebut praanggapan makna (semantic
presupposition) dan jenis yang kedua disebut sebagai praanggapan
pragmatik (pragmatic presupposition).52
5) Nominalisasi
50Ibid., h. 240 51Eriyanto, Op. Cit., h. 256 52Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa (Palembang: Universitas
Sriwijaya, 2011) h. 84
21
Nominalisasi merupakan salah satu bagian eksklusi yang
merupakan strategi untuk menghilangkan sekelompok aktor sosial
tertentu. Strategi ini berkaitan dengan pengubahan kata kerja
(verba) menjadi kata benda (nomina). Umumnya nominalisasi
dilakukan dengan memberikan imbuhan pe-an.53 Nominalisasi
dalam wacana menurut pandangan wacana kritis dapat memberi
sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. Elemen yang
hampir sama dengan nominalisasi adalah abstraksi- berhubungan
dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai
sesuatu yang tunggal berdiri sendiri ataukah sebagai suatu
kelompok atau komunitas.54
b. Sintaksis
Kemudian aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan
bagaimana frase dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan.
Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Strategi
pada level sintaksis ini adalah dengan pemakaian koherensi, bentuk
kalimat, dan penggunaan kata ganti.55
“Ideological discourse structures are organized by the
constraints of the context models, but also as a function of the
structures of the underlying ideologies and the social
representations and models controlled by them. Thus, if
ideologies are organized by well known ingroup-outgroup
polarization, then we may expect such a polarization also to be
coded in talk and text. This may happen, as suggested, by
pronouns such as us and them, but also by possessives and
demonstratives such as our people and those people,
respectively.”56
53Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 40 54Alex Sobur, Op. Cit., h. 81 55Alex Sobur, Op. Cit., h. 80-81 56Teun A. van Dijk, Ideology and Discourse Analysis, (Journal of Political Ideologies, 2006), h.
126
22
1) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat merupakan elemen sintaksis yang
berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas.
Bentuk kalimat bukan hanya sekedar persoalan teknis kebenaran
tata bahasa, tetapi menemukan makna yang dibentuk oleh susunan
kalimat. Bentuk kalimat ini menentukan subjek diekspresikan
secara eksplisit atau implisit dalam teks.57 Dalam kalimat yang
berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek pernyataannya,
sedangkan dalam kalimat pasif, seseorang menjadi objek
pernyataannya.58 Berkaitan dengan hal itu, bentuk kalimat yang
menjadi kajian dalam penelitian ini adalah kalimat aktif dan
kalimat pasif.
2) Kohesi dan Koherensi
Gutwinsky dalam Tarigan mengutarakan bahwa kohesi
adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam
skala gramatikal maupun skala leksikal tertentu. Pengetahuan strata
dan penguasaan kohesi yang baik memudahkan pemahaman
tentang wacana. Wacana benar-benar bersifat kohesif apabila
terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap koteks (situasi
dalam bahasa; sebagai lawan dari konteks atau situasi luar
bahasa).59
a) Kohesi Leksikal
Menurut Sumarlam kohesi leksikal adalah hubungan
antarunsur dalam wacana secara semantis.60
57Eriyanto, Op. Cit., h. 251 58Alex Sobur, Ibid. 59Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 93 60Sumarlam, Analisis Wacana: Teori dan Praktik, (Solo: Pustaka Cakra, 2003), h. 35
23
(1) Repetisi
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi,
suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Pengulangan yang dimaksud bukan proses reduplikasi
melainkan pengulangan sebagai penanda hubungan
antarkalimat dengan adanya unsur pengulangan yang
mengulang unsur yang terdapat dalam kalimat di depannya.
b) Kohesi Gramatikal
(1) Pengacuan
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu dengan
mengacu pada satuan lingual lain (atau satuan acuan) yang
mendahului atau mengikutinya.61 Sumarlam, menegaskan
bahwa berdasarkan tempatnya, pengacuan dibedakan
menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila
acuannya (satuan yang diacu) berada atau terdapat di
dalam teks dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya
berada atau terdapat di luar teks wacana.
Pengacuan Endofora pun dibagi menjadi dua, yaitu
pengacuan anaforis dan pengacuan kartaforis. Pengacuan
anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual
lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di
sebelah kiri, atau pada unsur yang telah disebut terdahulu.
Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu
kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tetentu yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya , atau
61Sumarlam, Analisis Wacana: Teori dan Praktik, (Solo: Pustaka Cakra, 2003), h. 23
24
mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada
unsur yang disebutkan kemudian.
Jenis kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan
menjadi tiga macam, yakni (1) pengacuan persona (2)
pengacuan demonstratif dan (3) pengacuan komparatif.
(a) Pengacuan Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui
pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi
persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga
(persona III), baik tunggal maupun jamak. Klasifikasi
pronomina persona dapat diperhatikan pada bagan di bawah
ini.62
62Ibid., h. 25
PERSONA
I
II
III
Tunggal
Jamak
Aku, saya, hamba
Terikat lekat kiri : ku-
Lekat kanan : -ku
Kami
Kami semua
Kita
Tunggal
Jamak
Tunggal
Jamak
Kamu, Anda, anta/ente
Terikat lekat kiri : kau-
Lekat kanan : -mu
Kamu semua
kalian
kalian semua
Ia, dia, beliau
Terikat lekat kiri : di-
Lekat kanan : -nya
Mereka
Mereka semua Gambar 2.2 Pengacuan Persona
25
(b) Pengacuan Demonstratif
Sumarlam membagi pengacuan demonstratif (kata
ganti penunjuk) menjadi dua, yaitu pronomina
demonstratif waktu (temporal) dan pronomina tempat
(lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang
mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang),
lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti
besok dan yang akan datang), dan waktu netral (seperti
pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif
tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang
dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan
pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan
menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta,
Yogyakarta).63
(c) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu
jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua
hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan
dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak,
perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan
untuk membandingkan misalnya seperti, bagai, bagaikan,
laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti,
dan persis sama dengan. Berikut ini adalah contoh beberapa
kalimat yang menggunakan pengacuan komparatif.64
(2) Konjungsi
Konjungsi atau yang biasa dinamakan kata sambung,
adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa
yang sederajat: kata dengan kata, frase dengan frasem atau
63Ibid., h. 25 64Ibid., h. 27
26
klausa dengan klausa.65 Dilihat dari perilaku sintaksisnya
dalam kalimat, konjungsi dibagi menjadi empat kelompok,
yaitu konjungsi koordinatif, konjungsi subordinatif,
konjungsi korelatif, dan konjungsi antarkalimat.66
(a) Konjungsi Koordinatif
Konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang
menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama
pentingnya, atau memiliki status yang sama. Jika dilihat
dari sifat hubungannya, konjungsi koordinatif terdiri atas
konjungsi koordinatif hubungan penambahan/ penjumlahan,
hubungan pendamping, hubungan pemilihan, hubungan
pertentangan, dan hubungan perlawanan. Konjungsi
tersebut antara lain: dan, serta, atau, tetapi, melankan,
padahal, dan sedangkan.67
(b) Konjungsi Subordinatif
Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang
menghubungkan dua klausa atau lebih dan tidak memiliki
status sintaksis yang sama. Hasan Alwi dkk. membagi
konjungsi subordinatif menjadi tiga belas kelompok,
yaitu:68
1. Konjungsi subordinatif waktu, yaitu sejak, semenjak,
sedari, sewaktu, ketika, tatkala, sementara, begitu,
seraya, selagi, selama, serta, sambil, demi, setelah,
sesudah, sebelum, sehabis, selesai, seusai, hingga, dan
sampai.
65Hasan Alwi dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003),
h. 296 66Ibid. 67Ibid., h. 297 68Ibid., h. 299
27
2. Konjungsi subrodinatif syarat, yaitu jika, kalau, jikalau,
asal(kan), bila dan manakala.
3. Konjungsi subordinatif pengandaian, yaitu andaikan,
seandainya, umpamanya, dan sekiranya.
4. Konjungsi subordinatif tujuan, yaitu agar, supaya, dan
biar.
5. Konjungsi subordinatif konsesif, yaitu biarpun,
meskipun, walaupun, sungguhpun, dan kendatipun.
6. Konjungsi subordinatif pembandingan, yaitu seakan-
akan, seolah-seolah, sebagaimana, seperti, sebagai,
laksana, ibarat, dan daripada.
7. Konjungsi subordinatif sebab, yaitu sebab, karena, oleh
karena, dan oleh sebab.
8. Konjungsi subordinatif hasil, yaitu sehingga, sampai,
dan makanya.
9. Konjungsi subordinatif alat, yaitu dengan dan tanpa.
10. Konjungsi subordinatif cara, yaitu dengan dan tanpa.
11. Konjungsi subordinatif komplementasi, yaitu bahwa.
12. Konjungsi subordinatif atributif, yaitu yang.
13. Konjungsi subordinatif perbandingan, yaitu sama...
dengan, lebih ... daripada.
(c) Konjungsi Korelatif
Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang
menghubungkan dua kata, frasa atau klausa yang memiliki
status sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas
dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau
klausa, yang dihubungkan. Contoh:
1. Baik ayah mupun ibu tidak menyukai kekerasan.
2. Jangankan temannya, saudaranya sendiri pun tidak
dihormati.
28
3. Entah diterima entah tidak, ia tetap akan mencintainya.
(d) Konjungsi Antarkalimat
Konjungsi antarkalimat menghubungkan satu kalimat
dengan kalimat lain. Jenis konjungsi ini selalu muncul di
awal kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan
menggunakan huruf kapital.69 Contoh:
1. Hubungan Ari dan Ira tidak mendapat restu dari Gita.
2. Ari tetap mengunjungi gadis itu di peristirahatan
terakhirnya.
3. Hubungan Ari dan Ira tidak mendapat restu dari Gita.
Sekalipun demikian Ari tetap mengunjungi gadis itu di
peristirahatan terakhirnya.
Wohl dalam Tarigan menyatakan bahwa koherensi merupakan
pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, ide, menjadi
suatu untaian yang logis, sehingga mudah memahami pesan yang
dikandungnya.70 Sedangkan Kridalaksana dalam Hartono
mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya
adalah hubungan semantis.71
Menurut van Dijk, aturan dasar sederhana dari kalimat
koherensi adalah bahwa kalimat A sesuai dengan kalimat B, jika A
mengacu pada situasi atau peristiwa yang merupakan kondisi
situasi atau peristiwa yang mungkin disebut oleh B.72 Jadi, urutan
kalimat Pagi ini aku sakit gigi. Saya pergi ke dokter gigi itu
koheren sesuai dengan aturan itu (kalimat urutan pertama memiliki
kondisi yaitu sebuah alasan dan kemudian kalimat urutan kedua
melakukan tindakan konsekuensi atau akibat), sedangkan kalimat
69Ibid., h. 300 70Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), h. 100 71Bambang Hartono, Dasar-dasar Kajian Wacana (Semarang: Pustaka Zaman, 2012), h. 151 72Van Dijk, (1988b), h. 12
29
urutan Kami pergi ke restoran mahal. John memesan Chevrolet itu
tidak koheren, (karena pengetahuan kita tentang makan di restoran
memberitahu kita bahwa memesan mobil bukanlah hal yang biasa
untuk dilakukan di restoran).73 Bahkan, Widyamartawa
mengungkapkan untuk menjaga kesatuan gagasan, hendaknya
dicamkan asas “tiap kalimat harus mengandung satu ide pokok”.74
Harimurti Kridalaksana dalam Mulyana mengemukakan
bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan
semantis. Artinya, hubungan itu terjadi antarproposisi. Secara
struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara
semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya.
Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat leksikal,
namun kadang-kadang tanpa petanda. Hubungan semantis yang
dimaksud antara lain (1) hubungan sebab akibat, (2) hubungan
sarana hasil, (3) hubungan alasan sebab, (4) hubungan sarana
tujuan, (5) hubungan latar kesimpulan, (6) hubungan kelonggaran
hasil, (7) hubungan syarat-hasil, (8) hubungan perbandingan, (9)
hubungan parafrastis, (10) hubungan amplikatif, (11) hubungan
aditif waktu (simultan dan berurutan), (12) hubungan aditif non
waktu, (13) hubungan identifikasi, (14) hubungan generik spesifik,
dan (15) hubungan ibarat.75
a) Hubungan Sebab-Akibat
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama
menyatakan sebab, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan
akibat. Berikut penggunaan hubungan sebab-akibat dalam
kalimat.
73Van Dijk, Discourse Semantic Analysis, (London: Academic Press London, 1985), h. 109-111 74A. Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 19 75Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 32
30
Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan
itu. Koleksi perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.
b) Hubungan Akibat-Sebab
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua
menyatakan sebab terjadinya/tindakan yang dinyatakan pada
kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan akibat-sebab
dalam kalimat.
Tiba-tiba ia merasa rindu kepada anaknya. Tanpa banyak
persiapan pergilah ia ke kota yang jauh itu.
c) Hubungan Latar-Kesimpulan
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat
menyatakan simpulan atas pernyataan pada kalimat lainnya.
Berikut penggunaan hubungan latar-simpulan dalam kalimat.
Mobil itu sudah tua, tetapi. Rupanya pemiliknya pandai
merawatnya.
d) Hubungan Parafrastis
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan
pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat
berikutnya. Berikut penggunaan hubungan parafrastis dalam
kalimat.
Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk
proyek ini, karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah
saatnya kita menghemat uang rakyat.
e) Hubungan Adiktif
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan
pada kalimat pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan
31
pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan adiktif
dalam kalimat.
Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini
(simultan).
f) Hubungan Identifikasi
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan
pada kalimat pertama didentifikasi dengan kalimat berikutnya.
Berikut penggunaan hubungan identifikasi dalam kalimat.
Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh.
Kamu tahu nggak, Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah
gagal masuk ke universitas.
g) Hubungan Ibarat
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama
diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya.
Berikut penggunaan hubungan ibarat dalam kalimat.
Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang
dia seperti belut di lumpur basah.
h) Hubungan Argumentatif
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua
menyatakan argumen (alasan) bagi pendapat yang dinyatakan
pada kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan
argumentatif dalam kalimat.
Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang
bijaksana dan dapat bergaul dengan siapa saja.
32
c. Stilistika
Sebagai alat penyampai pengalaman batin, pesan, amanat, berita,
dan sebagainya, dalam proses komunikasi antarmanusia, bahasa tulis
memang banyak kekurangannya. Bahasa lisan dapat didukung oleh lagu
kalimat dan gerak-gerik badan serta perubahan air muka dalam
menyampaikan amanat, sedangkan bahasa tulis tidak. bahasa tulis
hanya kelihatan sebagai baris-baris atau lautan huruf dan tanda baca.
Akan tetapi, hal yang paling menentukan dalam komunikasi tulis ialah
cara membingkiskan gagasan, sedang huruf dan tanda baca hanya bahan
pembungkus.76
Dari keinginan untuk menyampaikan gagasan tertulis secara efektif
dan efisien lahirlah apa yang kita sebut gaya bahasa. Secara umum,
dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah daya guna bahasa:
kesanggupan menyampaikan pengalaman batin (berita batin) dengan
hasil sebesar-besarnya. Bahasa tulis merupakan bahasa bergaya.77
Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan
seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat
diterjemahkan sebagai gaya bahasa.78 Menurut Van Dijk, pilihan
leksikal yang dipilih oleh wartawan dalam menyajikan berita tidak
spontan, namun dirancang secara idelogis untuk membuat pembaca
memahami berita yang diwakili oleh mereka. Variasi gaya akan
dipengaruhi oleh situasi percakapan (formal dan informal), teks tertulis
(teks formal dan informal), jenis kelamin, kekuasaan, dan status
sosial.79
76A. Widyamartaya, Op. Cit., h. 19 77Ibid., h. 19 78Alex Sobur, Op. Cit., h. 82 79Van Dijk, (1988b) h. 10
33
d. Retorika
Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara
yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan
pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Dimensi retoris dapat
mempengaruhi semua tingkat struktural teks karena akan
mengungkapkan atau memberi sinyal apa yang paling penting dalam
laporan berita.80 Pada bagian ini, elemen yang diamati yaitu grafis dan
metafora.
1) Grafis
Dalam teks wacana, elemen grafis selalu muncul dengan teks
tertulis yang berbeda dari pada yang lain. Jenis huruf tebal ditandai
secara tipografis di tajuk utama. Ini digunakan sebagai strategi
untuk meyakinkan perhatian pembaca lebih pada sisi itu.81
Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah,
huruf yang dibuat besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaian
caption, raster. Grafik, gambar, tabel, dan pemakaian angka untuk
mendukung arti penting sebuah pesan. Bagian-bagian yang
ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian
tersebut. bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang
dipandang penting oleh komunikator, di sana ia menginginkan
khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.82
2) Metafora
Metafora adalah bentuk pengungkapan pesan melalui kiasan
atau ungkapan. Metafora ini dimaksudkan sebagai ornamen atau
bumbu dari suatu berita..83 Pengertian lain menjelaskan bahwa
metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal
80Van Dijk, (1986) h. 161 81Ibid. 82Eriyanto, Op. Cit., h. 257 83Ibid., h. 259
34
secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa,
buaya darat, buah hati, dan sebagainya. Metafora sebagai
perbandingan langsung tidak menggunakan kata: seperti, bak,
bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung
dihubungkan dengan pokok kedua.84 Pemakaian metafora tertentu
boleh jadi menjadi perunjuk utama untuk mengerti makna suatu
teks.85
C. Penelitian Relevan
Terdapat dua penelitian sejenis dalam penelitian ini. Pertama yaitu
tesis yang berjudul Wacana Khilafah dalam Diksi Pemberitaan Media Online
Arab (Analisis Wacana Kritis Pasca Pemroklamiran ISIS Tahun 2014) oleh
Yuliani tahun 2014. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini ada dua
yaitu, (a) bagaimanakah perbandingan wacana pemberitaan khilafah yang
dibangun oleh media online berbahasa Arab Aljazeera dan Alarabiya pasca
pemroklamiran ISIS tahun 2014?; (b) Bagaimanakah ideologi media online
berbahasa Arab Aljazeera dan Alarabiya pasca pemroklamiran ISIS tahun
2014?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis
wacana kritis. Pendekatan analisis wacana kritis yang dipakai adalah
model analisis Norman Fairclough meyakini bahwa wacana merupakan
sebuah praktik sosial yang melihat wacana dari tiga tingkatan, yaitu teks,
praktik wacana, dan praktik sosial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wacana khilafah yang
diberitakan oleh kedua situs berita Aljazeera dan Alarabiya dikaitkan dengan
wacana terorisme. Meskipun khilafah adalah isu universal dalam penyajian
beritanya, kedua situs berita tersebut menafikan untuk membahas wacana
84Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 139 85Alex Sobur, Op. Cit., h. 84
35
khilafah –dalam hal ini Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) yang muncul
pada tahun 2014- sebagai sebuah negara Islam, sehingga wacana khilafah
yang hadir di dalam berita hanya nampak sebagai sebuah gerakan bukan
sebuah negara seperti yang diklaim oleh ISIS yang mendeklarasikannya.
Alarabiya bahkan cenderung untuk menyamakannya dengan Al-Qaeda yang
dikenal sebagai gerakan teroris.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sejenis di atas adalah 1)
tema yang diangkat sama yaitu tentang khilafah. 2) metode pengumpulan data
yang dipakai sama yaitu metode dokumentasi. Sedangkan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian di atas adalah 1) sumber data penelitian ini
adalah tulisan dalam bentuk esai yang ditulis oleh Emha Ainun Najib
sedangkan penelitian di atas menggunakan berita media online Arab. 2)
pendekatan yang digunakan yaitu, penelitian ini menggunakan pendekatan
model AWK Teun Van Dijk sedangkan penelitian sejenis di atas
menggunakan pendekatan AWK model Norman Fairclough.
Selanjutnya, penelitian sejenis yang kedua adalah tesis yang berjudul
Teks, Konteks, dan Kognisi Sosial Wacana Bertema Pendidikan dalam Situs
Kompasiana dan Implikasinya Pada Pembelajaran Bahasa di SMA oleh
Dewi Ratna Ningsih pada tahun 2015. Permasalahan dari penelitian ini
adalah: (1) bagaimanakah teks wacana bertema pendidikan dalam situs
Kompasiana, (2) bagaimanakah konteks wacana bertema pendidikan dalam
situs Kompasiana, (3) bagaimanakah kognisi sosial wacana bertema
pendidikan dalam situs Kompasiana, dan (4) bagaimanakah implikasi hasil
penelitian pada pembelajaran bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA)?
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu: (1) menganalisis dan
mendeskripsikan teks wacana bertema pendidikan dalam situs Kompasiana
menggunakan metode AWKVD. (2) menganalisis dan mendeskripsikan
konteks wacana bertema pendidikan dalam situs Kompasiana menggunakan
metode AWKVD. (3) menganalisis dan mendeskripsikan kognisi sosial
36
wacana bertema pendidikan dalam situs Kompasiana menggunakan metode
AWKVD. (4) mengimplikasikan hasil penelitian wacana bertema pendidikan
dalam situs Kompasiana pada pembelajaran bahasa di SMA. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
deskriptif dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis.
Pendekatan analisis wacana kritis yang dipakai adalah model analisis
Teun A van Dijk, yang melihat wacana dari tiga tingkatan, yaitu teks,
konteks, dan kognisi sosial. Setelah itu dijelaskan bagaimana
mengimplikasikan hasil penelitian tersebut dalam pembelajaran bahasa di
SMA.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam level teks, hampir
semua unsur teks ada di dalam wacana yang dianalisis. Dalam level konteks
terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi seperti pentingnya sertifikasi
guru, polemik Ujian Nasional dan penyelenggaraan kurikulum 2013. Selain
itu, dalam level kognisi sosial terdapat berbagai macam penulis seperti guru,
mahasiswa, PNS dan wiraswasta yang mempunyai latar belakang
pengetahuan berbeda dan mempengaruhi dalam membuat wacana dalam
bentuk esai di Kompasiana.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sejenis di atas adalah
1) sumber data yang dianalisis sama yaitu esai; 2) metode analisis data
yang digunakan sama yaitu analisis deskriptif kualitatif. Selain itu, ada juga
beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sejenis di
atas adalah dari segi 1) pendekatan yang digunakan yaitu, penelitian ini
menggunakan pendekatan model AWK Teun A van Dijk fokus dalam level
teks yaitu struktur makro, struktur surpra, dan struktur mikro sedangkan
penelitian sejenis di atas menggunakan pendekatan AWK model AWK
Teun Van Dijk dalam level teks, konteks, dan koginisi sosial; 2) sumber data
penelitian sejenis di atas adalah esai dengan beberapa penulis dengan tema
Pendidikan sedangkan penelitian ini menganalisis esai dengan satu penulis
yaitu Emha Ainun Najib dengan tema Khilafah.
37
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan penelitian ini
merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti lain.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam metodologi penelitian ini akan dipaparkan jenis penelitian,
subjek dan objek penelitian, wujud dan sumber data, instrumen penelitian,
teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan keabsahan
data.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini terfokus pada analisis wacana mengenai Khilafah yang
terdapat dalam website Caknun.com. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan data berupa wacana Khilafah yang terdapat pada rubrik
Khasanah dan Tajuk. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif.
Moleong menjelaskan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian
yang mendeskripsikan suatu objek penelitian yang berupa kutipan data
sebagai gambaran penyajian laporan penelitian. Penelitian kualitatif sebagai
penelitian untuk memahami fenomena yang di alami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.86
B. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Emha Ainun Najib. Emha Ainun
Nadjib juga berperan aktif saat terjadinya tranformasi politik dari Orde Baru
ke Orde Reformasi. Ia juga salah satu anggota dari Dewan Sembilan yang
menghadiri pidato pengunduran diri Presiden Soeharto di Istana Merdeka.
Setelah memasuki Orde Reformasi, Emha Ainun Nadjib memutuskan
untuk melakukan pendidikan politik ke masyarakat melalui gerakan sholawat.
86Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), (Bandung: Rosdakarya, 2007),
h.6
39
Ia memadukan kesenian, kebudayaan, politik, ekonomi, dan agama secara
holistik dan komprehensif.
Dalam melakukan pendidikan politik ke masyarakat, Emha Ainun
Nadjib hampir selalu ditemani oleh gamelan Kyai Kanjeng dan pemainnya.
Gamelan Kyai Kanjeng sendiri, selain menjadi nama gamelan, juga
merupakan nama sebuah konsep nada pada alat musik gamelan tersebut.
Setiap bulan, Emha Ainun Nadjib melakukan aktivitas rutinnya,
Maiyah, yang memiliki arti gotong royong. Induk dari Maiyah berada di
Jombang, yang bernama Masyarakat Padhang Bulan. Komunitas Maiyah di
Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di Jakarta bernama Kenduri Cinta, di
Semarang bernama Gambang Syafaat, di Surabaya bernama Bang Bang
Wetan, di Banyumas bernama Juguran Syafaat, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, objek dalam penelitian ini adalah Kumpulan esai
bertema Khilafah yang ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website
Caknun.com. Objek ini diambil melalui esai tentang khilafah yang terbit dari
mulai awal website Caknun.com berdiri sampai pada bulan Oktober 2017.
Data dalam penelitian ini berupa wacana Khilafah Emha Ainun Najib di
website Caknun.com.
C. Wujud dan Sumber Data
Dalam penelitian ini wujud data berupa esai tentang Khilafah oleh
Emha Ainun Najib secara keseluruhan. Wujud data berupa esai tersebut
digunakan untuk mengungkap objek penelitian pandangan Emha Ainun Najib
mengenai Khilafah. Sumber data ini adalah tertulis berupa bahasa tulis yang
terdapat dalam rubrik Khasanah dan Tajuk di Caknun.com sampai pada bulan
Oktober 2017.
D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi
beberapa tahap.
40
1. Mencari (searching)
Proses utama dalam pengumpulan data adalah pencarian. Pencarian
dilakukan untuk menemukan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Proses pencarian dilakukan melalui beberapa cara
menggunakan mesin pencarian internal dan eksternal. Mesin pencarian
internal adalah mesin pencarian yang disediakan dalam situs Caknun.com.
Pencarian dengan cara ini dilakukan dengan menuliskan beberapa kata
kunci terkait masalah.
2. Mengunduh (download)
Tulisan-tulisan yang telah ditemukan dalam proses pencarian
kemudian diunduh. Pengunduhan dilakukan untuk mendokumentasikan
sehingga proses analisis data menjadi lebih mudah.
3. Metode Simak
Metode simak dilakukan untuk menyimak penggunaan bahasa.
Menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasaa
secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis.87 Metode ini
memiliki teknik dasar yang berupa teknik sadap. Maksud teknik sadap di
sini adalah menyadap penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun
tulisan. Dalam praktiknya, teknik sadap ini diikuti dengan teknik lanjutan,
yaitu teknik simak libat cakap, teknik simak bebas cakap, teknik simak
bebas libat cakap dan teknik catat.88
Metode simak dalam penelitian ini menggunakan teknik lanjutan
berupa teknik catat. Teknik catat digunakan sebagai teknik dalam
pengumpulan data. Teknik catat adalah mencatat beberapa bentuk yang
relevan bagi penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis.89
87Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 92 88Ibid., h. 93 89Ibid.
41
Selanjutnya langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data,
yaitu menentukan sumber data. Penelitian ini menggunakan sumber data
dari rubrik esai dari Caknun.com yang relevan dengan isu Khilafah.
Langkah selanjutnya adalah menyimak dengan membaca sumber-sumber
data dan menandai esai-esai yang membahas tentang Khilafah yang
terdapat dalam sumber data yang telah disebutkan.
Langkah terakhir setelah menyimak data-data tersebut adalah
mencatat data-data tersebut yang selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan
waktu diterbitkan.
E. Instrumen Penelitian
Berdasarkan metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini, instrumen yang digunakan peneliti adalah (1) peneliti sendiri
dan (2) pedoman dokumentasi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Sugiyono bahwa dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen atau alat
penelitian adalah peneliti itu sendiri.90 Hal ini dipertegas oleh Moleong bahwa
salah satu ciri penelitian kualitatif adalah manusia sebagai alat atau
instrumen. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,
menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuan dalam penelitian itu.
Semua itu hanya bisa dilakukan oleh manusia.91
Instrumen pengumpulan data yang kedua adalah pedoman
dokumentasi. Menurut Arikunto, pedoman dokumentasi dapat memuat garis-
garis besar atau kategori yang akan dicari datanya.92 Pedoman dokumentasi
ini dirinci sebagai berikut.
90Lexy J Moleong, Op. Cit., h. 250 91Ibid., h. 9 92Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 135-136
42
1. Contoh instrumen pengumpulan data tentang struktur makro adalah
sebagai berikut.
Tabel 3.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com
No Judul
Wacana
Topik Kode Data Uraian Data
1
2
3
4
2. Contoh instrumen pengumpulan data tentang struktur mikro adalah
sebagai berikut.
Tabel 3.2 Struktur Supra Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com
No Judul
Wacana
Topik Kode Data Uraian Data
1
2
3
4
3. Contoh instrumen pengumpulan data tentang struktur makro adalah
sebagai berikut.
Tabel 3.3 Struktur Mikro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com
No Judul
Wacana
Topik Kode Data Uraian Data
43
1
2
3
4
Dengan pedoman dokumentasi tersebut, peneliti mudah
menemukan apa yang hendak dicari dalam penelitian ini, yaitu struktur supra,
struktur mikro yang digunakan untuk membangun gagasan penulis dan
struktur makro yang mendasari Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Secara keseluruhan metode kualitatif memanfaatkan cara-cara atau
mendeskripsikan fakta-fakta sosial yang ada atau terjadi. Analisis data
dalam penelitian ini dilakukan pada data yang berupa kata, kalimat,
paragraf, dan wacana sebagai satu kesatuan yang disusun dalam bentuk teks
yang diperoleh dari kumpulan esai Emha Ainun Najib bertema Khilafah yang
ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website Caknun.com. Dalam
menganalisis data peneliti menggunakan prosedur analisis kualitatif
berdasarkan model interaktif Miles dan Huberman.93 Ada tiga tahap prosedur
analisis data penelitian ini meliputi (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan
(3) penyimpulan. Prosedur analisis data tersebut dipaparkan sebagai berikut.
1. Reduksi Data
Sejalan dengan uraian di atas, data berupa struktur supra, mikro
dan makro yang membangun wacana kumpulan esai Emha Ainun Najib
bertema Khilafah yang ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website
Caknun.com dipahami dan diklasifikasi. Dalam hal ini, data yang bersifat
relevan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya dan yang kurang relevan
93Matthew Miles, dan Michael Huberman, Analisis Data kualitatif, (Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press, 1992), h. 21-25
44
disisihkan. Secara simultan dengan kegiatan tersebut, dilakukan
pengodean data. Dalam hal ini, data berupa struktur supra, mikro dan
makro diberi kode seperti (Khalifah Islam dan Khilafah Silmi). Kode itu
dibaca sebagai judul esai. Dengan pengodean seperti itu, data tentang
struktur supra, mikro dan makro kumpulan esai Emha Ainun Najib
bertema Khilafah yang ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website
Caknun.com dapat dilacak pada tempat penyimpanannya. Hal itu penting
dilakukan untuk melihat data bila sesekali diperlukan lagi untuk
melengkapi data yang ada atau untuk konfirmasi.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan
data yang berupa struktur supra, struktur mikro yang digunakan penulis
untuk menyampaikan gagasan dan struktur makro yang mendasari
kumpulan esai Emha Ainun Najib bertema Khilafah yang ada dalam rubrik
Khasanah dan Tajuk website Caknun.com. Pada tahap ini, seluruh data
yang terkumpul melalui dokumentasi disajikan sesuai dengan
kenyataan dalam kumpulan esai Emha Ainun Najib bertema Khilafah yang
ada dalam rubrik Khasanah dan Tajuk website Caknun.com.
3. Penyimpulan Data
Langkah terakhir yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
penarikan simpulan. Berdasarkan deskripsi data pada masing-masing
masalah, ditarik suatu simpulan secara logis. Kesimpulan tersebut masih
bersifat sementara dan perlu ditinjau kembali atau diverifikasi dengan cara
memperhatikan seluruh proses penelitian. Hal ini dilakukan dengan
melibatkan dosen pembimbing. Setelah memperoleh kesepakatan, disusun
kesimpulan akhir bagi penelitian ini. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan
Sugiyono bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun,
45
apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti ke lapangan
mengumpulkan data. maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kenyataan. Dalam penelitian ini, proses analisis data dan penyimpulan
diberlakukan untuk seluruh data terkecuali data yang telah terbuang
melalui reduksi data.94
Selain penjelasan teknin di atas, untuk memudahkan dalam
menganalisis data, peneliti membuat pedoman analisis data sesuai dengan
teori Analisis Wacana Teun A van Dijk sebagai berikut.
No. Masalah Deskriptor Pedoman Analisis Data
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Bagaimanak
ah struktur
makro yang
mendasari
Esai tentang
Khilafah
karya Emha
Ainun Najib
di
Caknun.co
m?
• struktur makro
Esai tentang
Khilafah karya
Emha Ainun
Najib di
Caknun.com
• Struktur makro menunjuk
pada makna keseluruhan
(global meaning) yang
dapat dicermati dari tema
atau topik yang diangkat
oleh pemakaian bahasa
dalam suatu wacana
• Analisis secara makro
dapat dilakukan untuk
mengetahui sesuatu yang
berada di luar struktur
wacana, seperti ideologi
dan kekuasaan
• Ideologi adalah sistem
ide-ide yang diungkapkan
dalam komunikasi.
• Setiap peristiwa
komunikasi pasti
mengandung ideologi
tertentu.
• Wacana tidak selalu
dipahami sebagai sesuatu
yang netral dan ilmiah,
karena wacana selalu
mengandung ideologi
yang berfungsi
Kumpulan
esai
tentang
Khilafah
karya
Emha
Ainun
Najib di
Caknun.co
m
94Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta Bandung,
2006) h. 283
46
mendominasi dan
membentuk pengaruh
kepada kelompok tertentu.
• Wacana hadir dengan
tujuan tertentu dan bahkan
kuasa tertentu pula
2. Bagaimanak
ah struktur
supra yang
digunakan
Emha
Ainun Najib
untuk
menyampai
kan gagasan
dalam Esai
tentang
Khilafah di
Caknun.co
m?
• struktur supra
Esai tentang
Khilafah karya
Emha Ainun
Najib di
Caknun.com
• Struktur supra dalam suatu
wacana dapat dilihat dari
bagian pendahuluan,
kalimat tesis, inti, dan
penutup
• Pada pendahuluan penulis
harus menegaskan
mengapa persoalan itu
dibicarakan pada saat ini
• Pada pendahuluan penulis
harus menjelaskan juga
latar belakang historis
yang mempunyai
hubungan langsung
dengan persoalan yang
akan diargumentasikan
• Pada pendahuluan penulis
menuliskan kalimat tesis
yang akan menjadi acuan
dalam melanjutkan di
bagian inti.
• Inti adalah keseluruhan
pesan yang ingin
disampaikan penulis,
mulai dari awal
permasalahan, puncak
permasalahan, sampai
pada akhir permasalahan
itu sendiri
• Penutup merupakan
ringkasan dari ide-ide
pokok atau argumen-
argumen yang telah
dikemukakan.
Kumpulan
esai
tentang
Khilafah
karya
Emha
Ainun
Najib di
Caknun.co
m
3. Bagaimanak
ah struktur
mikro yang
• struktur mikro
Esai tentang
Khilafah karya
Emha Ainun
• Struktur mikro menunjuk
pada makna setempat
(local meaning) suatu
wacana.
Kumpulan
esai
tentang
Khilafah
karya
47
digunakan
Emha
Ainun Najib
untuk
menyampai
kan gagasan
dalam Esai
tentang
Khilafah di
Caknun.co
m?
Najib di
Caknun.com • Struktur mikro dapat
digali dari aspek semantik,
sintaksis, dan retorika.
• Aspek semantik suatu
wacana mencakup latar,
rincian, dan nominalisasi
• Aspek sintaksis suatu
wacana berkenaan dengan
bagaimana frasa dan atau
kalimat disusun untuk
dikemukakan.
• Aspek sintaksis mencakup
bentuk kalimat, kohesi dan
koherensi, serta pemilihan
sejumlah kata ganti
(pronouns).
• Kohesi atau kepaduan
wacana ialah keserasian
hubungan antarunsur yang
satu dengan unsur yang
lain dalam wacana,
sehingga tercipta
pengertian yang koheren
• koherensi merupakan
pengaturan secara rapi
kenyataan dan gagasan,
fakta, dan ide menjadi suatu
untaian yang logis sehingga
mudah memahami pesan
yang dihubungkannya.
• Aspek retorik suatu
wacana menunjuk pada
siasat dan cara yang
digunakan oleh pelaku
wacana untuk memberikan
penekanan pada unsur-
unsur yang ingin
ditonjolkan.
Emha
Ainun
Najib di
Caknun.co
m
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. Hasil
penelitian ini berupa uraian tentang struktur makro, struktur supra dan struktur
mikro yang membangun wacana esai tentang Khilafah karya Emha Ainun Najib
di Caknun.com. Hasil penelitian kemudian dibahas pada bagian pembahasan
berdasarkan teori analisis wacana yang digunakan.
A. Hasil Penelitian
Data penelitian tentang struktur makro diperoleh dengan cara
mendokumentasikan wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha Ainun
Najib di Caknun.com. Jumlah wacana yang diperoleh adalah 4 wacana
esai. Berdasarkan analisis data tersebut, diperoleh hasil penelitian
sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Struktur Makro Wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com
No Kode Wacana Tema
1 (KIKS) Seorang muslim tidak harus mendirikan atau masuk ke
Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam Khilafah Silmi.
2 (KN) Aplikasi Khilafah dalam NKRI
3 (TPTM) HTI Perlu Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah
4 (TSK) Khilafah adalah Desain Tuhan yang Tidak Perlu Ditakuti
Berdasarkan tabel di atas, walaupun secara umum tulisan yang menjadi
objek penelitian adalah bertema Khilafah, tetapi terdapat juga tema secara
rinci yang digunakan dalam wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com yaitu, (1) tema Seorang muslim tidak harus
49
mendirikan atau masuk ke Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam
Khilafah Silmi, (2) tema Aplikasi Khilafah dalam NKRI, (3) tema HTI Perlu
Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah, (4) tema Khilafah adalah
Desain Tuhan yang Tidak Perlu Ditakuti. Tema yang melatarbelakangi
wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com
dapat dianalisis dengan sub topik dan fakta-fakta yang membangun wacana.
Temuan penelitian ini menunjukkan secara makro wacana Esai Tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com menggunakan tema (1)
tema Konsep Khilafah Silmi, (2) tema Aplikasi Khilafah dalam NKRI, (3)
tema HTI Perlu Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah, (4) tema
Khilafah adalah Desain Tuhan. Makna global wacana tersebut terlihat dari
topik, subtopik, dan fakta yang dihadirkan penulis dalam wacananya. Hal ini
menunjukkan makna global wacana dituangkan oleh penulis esai berupa
topik, subtopik dan fakta yang menjelaskannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang telah dikemukakan oleh Eriyanto yang menyatakan topik
didukung oleh subtopik dan serangkaian fakta yang menunjuk dan
menggambarkan subtopik dalam sebuah wacana.95
Analisis global struktur makro dari keempat artikel menunjukkan
bahwa Emha Ainun Nadjib tidak perlu mendirikan sistem Khilafah seperti
yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Solusi yang ditawarkan
oleh penulis yaitu dengan memberikan pemahaman baru mengenai konsep
Khilafah versi penulis. Konsep Khilafah yang ditawarkan bahwasanya
Khilafah yang dimaksud bukan secara legal formal sistem pemerintahan,
tetapi esendi dari Khilafah itu sendiri yaitu memberikan keselamatan kepada
semua makhluk di bumi.
Data penelitian tentang struktur supra diperoleh dengan cara
mendokumentasikan wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib
di Caknun.com. Jumlah wacana yang diperoleh adalah 4 wacana esai.
95Eriyanto, h. 230
50
Berdasarkan analisis data tersebut, diperoleh hasil penelitian sebagaimana
diuraikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.2 Struktur supra wacana esai tentang Khilafah karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com
No Judul
Esai Kode
Aspek Struktur Supra
Pendahulua
n
Kalimat
Tesis
Tubuh Penutup
1 Khalifah
Islam dan
Khilafah
Silmi
KIKS Paragraf 1
s.d Paragraf
13
Paragraf
14
Paragr
af 15
s.d
Paragr
af 25
Paragraf
26 s.d
Paragraf
28
2 Khilafah
NKRI
KN Paragraf 1
s.d Paragraf
3
Paragraf
4
Paragr
af 5
s.d
Paragr
af 14
Paragraf
15 s.d
Paragraf
16
3 Tongkat
Perppu
dan
Tongkat
Musa
TPTM Paragraf 1
s.d Paragraf
4
Paragraf
5
Paragr
af 6
s.d
Paragr
af 12
Paragraf
13 s.d
Paragraf
16
4 The
Scary
Khilafah
TSK Paragraf 1
s.d Paragraf
5
Paragraf
6
Paragr
af 7
s.d
Paragr
af 10
Paragraf
11
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa secara struktur supra wacana
esai tentang Khilafah karya Emha Ainun Najib di Caknun.com dibangun
berdasarkan (1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh; dan (4) penutup.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, 4 esai tersebut telah sesuai dengan
struktur supra esai tersebut. Dalam hal ini terdapat 4 esai yang menjadi subjek
penelitian yang memiliki sruktur 1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh;
dan (4) penutup. Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa secara umum
wacana Esai Tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com
memiliki skema yang tersruktur.
51
Analisis global strukur supra dari keempat artikel menunjukkan
bahwa Emha Ainun Nadjib dalam membuat esai sesuai dengan struktur yaitu
(1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh; dan (4) penutup. Penggunaan
pendahuluan sebagai latar belakang esai menjadi ciri khas penulis karena
dari keempat esai masing-masing memiliki pendahuluan yang cukup
panjang yaitu lebih dari 2 paragraf dan menggunakan paragraf narasi. Selain
itu, pada bagian penutup, penulis rata-rata membuatnya lebih dari 2 paragraf.
Hanya ada 1 yang singkat, yaitu 1 paragraf yaitu pada esai The Scary
Khilafah. Namun, secara global struktur supra yang digunakan memiliki
struktur yang sama.
Data penelitian tentang struktur mikro diperoleh dengan cara
mendokumentasikan wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun
Najib di Caknun.com. Jumlah Wacana yang diperoleh adalah 4 buah
wacana esai. Berdasarkan analisis data tersebut diketahui bahwa secara
mikro, wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di
Caknun.com. dibangun dengan aspek semantik, aspek sintaksis, dan aspek
retorika. Hasil penelitian sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.3 Struktur Mikro Aspek Semantik Wacana Esai tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com
No Judul Esai Kode
Aspek Semantik
Latar Rincian Nomin
alisasi
1 Khalifah Islam
dan Khilafah
Silmi
KIKS 5 11 2
2 Khilafah NKRI KN 1 3 3
3 Tongkat Perppu
dan Tongkat
Musa
TPTM 4 5 3
52
4 The Scary
Khilafah
TSK 4 3 2
Jumlah 14 22 10
Berdasarkan tabel di atas, aspek sematik yang membangun Wacana
Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah latar,
rincian, dan nominalisasi. Penggunaan latar pada wacana berjumlah 14,
rincian berjumlah 22, dan nominalisasi berjumlah 10.
Analisis global strukur mikro aspek semantik keempat esai tersebut
lebih dominan menggunakan aspek rincian. Hal itu dikarenakan penulis
mencoba memberikan informasi yang detail mengenai hal-hal yang menjadi
ide pokok esai tersebut. Selanjutnya, sesuai dengan analisis global struktur
supra di atas yang menyatakan bahwa pendahuluan yang ditulis setiap esai
cukup panjang, hal itu berkaitan dengan penggunaan aspek latar yang
digunakan penulis. Jumlahnya cukup banyak dan pasti ada di setiap esai.
Walaupun tidak sebanyak aspek rincian. Dalam penggunaan aspek
nominalisasi, penulis tidak terlalu dominan menggunakan itu. Walaupun
dalam hasil penelitian ada di setiap esai, tetapi tidak terlalu berpengaruh
dalam pembentukan struktur makro esai.
Tabel. 4.4 Struktur Mikro Aspek Sintaksis Wacana Esai tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com
No
Kode
Wacan
a
Aspek Sintaksis
K.
Akti
f
K.
Pasif
An
a
K
a
P.
Per
P.
De
m
P.
Ko
m
Ko
n
Pen
g
1 KIKS 53 11 55 7 41 5 6 57 9
2 KN 20 4 12 - 3 14 1 26 4
3 TPTM 19 5 28 1 20 16 1 55 8
4 TSK 9 3 8 2 7 7 - 29 8
Jumlah 101 23 103 10 71 42 8 167 29
53
Selanjutnya secara mikro untuk mendukung keutuhan wacana,
penulis menggunakan aspek sintaksis yang berupa; bentuk kalimat,
koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Bentuk kalimat yang
digunakan dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di
Caknun.com meliputi kalimat aktif dan kalimat pasif. Kalimat aktif yang
digunakan berjumlah 101 dan kalimat pasif yang digunakan berjumlah 23.
Kemudian penulis menggunakan piranti kohesi gramatikal dan kohesi
leksikal. Kohesi gramatikal yang penulis gunakan dalam wacana Esai
tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah pengacuan
(referensi) endofora (anafora dan katafora), dan konjungsi. Dalam hal ini
pengacuan anafora berjumlah 103. Pengacuan katafora berjumlah 10.
Pengancuan berikutnya yang digunakan adalah pengacuan persona dengan
jumlah 71, pengacuan demonstratif dengan jumlah 42, dan pengacuan
komparatif dengan jumlah 8. Lebih lanjut penulis menggunakan
konjungsi sebanyak 167 dan pengulangan berjumlah 29. Berdasarkan hasil
ini dapat dikatakan piranti kohesif gramatikal yang paling banyak
digunakan oleh penulis dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com adalah konjungsi.
Keterangan :
K. Aktif : Kalimat Aktif
K. Pasif : Kalimat Pasif
Ana : Pengacuan Anafora
Kat : Pengacuan Katafora
P. Per : Pengacuan Persona
P. Dem : Pengacuan Demonstratif
P. Kom : Pengacuan Komparatif
Kon : Konjungsi
Peng : Pengulangan
54
Aspek sintaksis yang digunakan adalah bentuk kalimat, kohesi,
koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Penggunaan aspek semantik
dan sintaksis ini menunjukkan ide yang dikemukakan penulis melalui frase
dan atau kalimat yang tersusun dengan baik. Bentuk kalimat yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah kalimat aktif dan kalimat pasif. Berdasarkan hasil
penelitian jumlah kalimat aktif yang digunakan lebih banyak dibandingkan
dengan kalimat pasif. Hal ini menunjukkan bahwa penulis lebih menonjolkan
subjek yang digunakan dalam wacananya.
Selanjutnya piranti kohesif gramatikal yang digunakan adalah referensi
dan konjungsi. Jenis referensi yang digunakan penulis dalam wacana Esai
tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah referensi
endofora (anafora dan katafora) dan referensi eksofora. Selain menggunakan
pola referensi, penulis juga menggunakan konjungsi. Dalam hal ini, penulis
menggunakan konjungsi untuk menghubungkan unsur yang satu dan unsur
yang lain dalam wacananya. Unsur yang dihubungkan (dirangkaikan), yaitu
berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, dan kalimat. Adapun makna
konjungsi yang ditemukan dalam wacana wacana Esai tentang Khilafah
Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah konjungsi koordinatif,
subordinatif, korelatif, dan antar kalimat. Tujuan penggunaan konjungsi oleh
penulis dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di
Caknun.com adalah untuk menghubungkan kata dengan kata, frasa dengan
frasa, klausa dengan klausa, atau paragraf dengan paragraf. Selain pengacuan
di atas, pengacuan lain yang digunakan adalah pengacuan demonstratif,
pengacuan komparatif, dan pengacuan persona. Pemakaian pengacuan ini
dapat menunjukan kepaduan wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com. Penulis esai juga menggunakan peranti kohesif
leksikal, yaitu repetisi (pengulangan). Penggunaan piranti kohesif gramatikal
dan leksikal tersebut sangat mendukung kepaduan wacana yang dibuat oleh
penulis esai. Dari paparan di atas menunjukkan secara gramatikal dan
leksikal, penulis esai sudah mampu menunjukkan kepaduan wacananya.
55
Temuan ini menunjukkan bahwa pada penulis esai sudah bisa
mengorganisasikan kalimat-kalimat yang ada pada wacananya sehingga
menciptakan kepaduan wacana.
Sementara itu, untuk menunjang kekoherensian tulisannya, penulis
menggunakan penanda (1) hubungan sebab akibat, (2) hubungan latar
kesimpulan, (3) hubungan parafrastis, (4) hubungan aditif, (5) hubungan
ibarat, dan (6) hubungan argumentatif. Dalam hal ini, penanda koherensi
yang paling banyak ditemukan adalah koherensi ibarat. Hal ini menunjukkan
penulis lebih cenderung menggunakan ibarat atau perumpamaan ketika
menyampaikan gagasannya.
Tabel 4.5 Struktur Mikro Aspek Sintaksis dan Retorika Wacana Esai
tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com
Lebih lanjut, berdasarkan tabel di atas penulis juga menggunakan
penanda koherensi (1) sebab-akibat, (2) latar-simpulan, (3) parafratis, (4)
adiktif, (5) ibarat, dan (6) argumentatif. Penanda koherensi sebab-akibat
yang digunakan oleh penulis berjumlah 2, penanda latar-simpulan
berjumlah 2, penanda parafratis berjumlah 4, penanda adiktif berjumlah 3,
penanda ibarat berjumlah 11, dan penanda argumentatif berjumlah 4.
Berdasarkan hasil ini, penanda koherensi yang paling banyak digunakan oleh
penulis dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di
Caknun.com adalah penanda koherensi ibarat. Hal itu dikarenakan penulis
lebih sering menggunakan perumpamaan atau contoh-contoh yang dekat
No Kode
Wacana
Aspek Sintaksis (Koherensi) Retoris
Sebab-
Akibat
Latar-
Simpulan Parafratis Adiktif Ibarat Argumentatif Grafis Metafora
1 KIKS 1 1 - 1 4 1 13 9
2 KN - 1 2 2 - 1 25 16
3 TPTM 1 - 2 - 4 1 20 15
4 TSK - - - - 3 1 7 8
Jumlah 2 2 4 3 11 4 65 48
56
dengan pembaca dan sederhana sehingga dapat dengan mudah diterima oleh
pembaca.
Aspek terakhir yang digunakan penulis secara mikro adalah
aspek retorika. Aspek retorika yang ditemukan dalam wacana Esai tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com adalah grafis dan
metafora. Ditinjau dari segi grafis, penulis menggunakan 65 cara dan
metafora berjumlah 48. Penggunaan grafis yang sangat dominan
menunjukkan pada siasat dan cara yang digunakan oleh penulis esai untuk
memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ditonjolkan. Hal itu
ditunjukkan dengan memberikan cetak tebal untuk satuan lingual yang
menurut penulis penting. Sedangkan penggunaan metafora dimasudkan
sebagai ungkapan untuk menyatakan hal pokok dari wacana. Penggunaan
metafora ini juga dapat dikatakan dominan karena di setiap esai selalu ada
penggunaan metafora dan ini menjadi ciri khas penulis. Sehingga argumen-
argumen yang disampaikan dalam esai terkesan bermuatan sastra.
Analisis global struktur mikro dari keempat esai tersebut, aspek yang
menjadi ciri khas penulis dan paling dominan adalah penggunaan retorika
yang terdiri dari aspek grafis dan metafora.
B. Pembahasan
1. Analisis Struktur Makro, Supra, dan Mikro dalam Wacana KIKS
Khalifah Islam dan Khilafah Silmi
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara, itu tidak
berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi “persona non
grata.” Kalau dikaitkan dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada
rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap
orang atau kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang
meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang menanggung
resikonya. Ada juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang
hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru mereka sedang
menjalani ujian kenaikan derajat.
57
(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga penduduknya
berjuang mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para Prajurit
Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk
semakin nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi
hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah payung untuk
berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.
Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan
atau ambil yang baru di Toko Ilmu.
(3)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah menghimpun ilmu
dan menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke kampung halaman aslinya,
yakni Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,
meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua rentang
waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal anharu kholidina fiha
abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.
(4)Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu manusia untuk
menata pagar di antara penduduk Bumi. Karena di kehidupan Dunia yang
ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan
kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu kebebasan
orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan training sejenak di Bumi
agar manusia belajar berbagi kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak
sebagai penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya
kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah selama
di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,
pembunuhan dan pemusnahan.
(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas
semua hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan kemungkinan baik
atau buruk bagi sandang, pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak
berkuasa atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak
menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya, sehingga rela
menjadi buih yang diseret dan diombang-ambingkan ke manapun Negara
dan Pemerintahnya mau.
Keniscayaan Khilafah
(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah,
karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali
menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta
dan saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya
“patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan,
tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung, hutan, angin,
dedaunan dan embun, juga detak jantung manusia, aliran darahnya,
kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh
kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas
sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips
yang bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu. (FAKTA)
58
(7)Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan, hewan adalah
makhluk kepastian, meskipun sebagian di antara mereka ada yang
menjadi wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.
Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan
berbagi dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas tertentu,
dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit. Manusia bisa melanggar
batas yang sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan
Development bisa merusak bumi, dengan memberangus sesama manusia
yang menentangnya.
(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa
“membolos” dari kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka memulai
Semester berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia tidak
bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang dan
waktu yang selain milik Tuhan. Manusia tidak bisa mengelak dari
tanggung jawabnya sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada)
yang wajib dijalaninya.
(9)Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di empat lapisan
langit Surga, yang semua teduh berwarna dominan hijau tua. Manusia
“ngunduh wohing pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya.
Bumi adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari Akhirat.
Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung besar
Akhirat, yang juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
(10)Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-sungguh berlatih
menjadi penduduk Surga. Serta menjunjung kemuliaan untuk mencita-
citakan agar seluruh bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni
Surga. Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau Syaikh
Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan Indonesia 1980-an
oleh Syaikh Abdurahman Al-Baghdady.
(11)Mereka orang-orang baik sebagai manusia, sangat menyayangi
penduduk Bumi dan mencita-citakan semua manusia lintas-Negara agar
kelak bercengkerama dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai
kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar, semacam grand design
untuk seluruh wilayah di Bumi. Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh
atau komunitas inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas
membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di seantero Bumi –
maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan
berangkat dari Nol.
(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen,
plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan, berbagai-
bagai jalan ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis
darah, marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI
hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan
sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi
59
total atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga
pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit. (FAKTA)
(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari kegelapan menuju
cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan pengambil-alihan
kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-
kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah Unggul.
(14)Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas
perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi
secara utuh dan tunai. Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata
Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi sukar
dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa
mengandung perbedaan antara kedua kata itu. (TEMA/TOPIK)
(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan “Udkhulu fil-Islami
Kaffah”: membangun sistem Islam besar nasional dan global. Sangat
meyakini kebenaran Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara
saya seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari Allah.
Kelak kita mempertanggungjawabkan kehidupan di hadapan Allah secara
individual, tanpa bisa ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan kita,
kemudian hak prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk menawar nasib
kita dalam konteks dialektika cinta.
(16)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di perempatan
jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya bayangkan
akan ditagih oleh Allah hal-hal mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau
Malaikat menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial, sistem
pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar industrialisme dan
sistem perbankan Dunia. Juga untuk menjadi Muslim yang tidak masuk
Neraka apakah ia harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus
berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut Tahrir.
(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la
yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia
melebihi kadar kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan
ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-
Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat sesama
manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia. (FAKTA)
(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang mungkin hanya hafal
Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam
terhadap tata nilai Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,
kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak pandai dan
‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak canggih shalat dan bacaan
Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit
siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa. (SUB TOPIK)
Kalimat Tesis
60
(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang tukang jahit di
pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah
Negara Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa
menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah,
mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar. Karena setiap huruf
yang saya ketik bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan
Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga
gagah perkasa memprogram pengkhilafahan Indonesia. (SUB TOPIK)
Syariat Allah di Alam dan Manusia
(20)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak dengan berbagai
hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang mendasar sejak persiapan
kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba
Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang
berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-
alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan makanan minuman
yang sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur, tetapi
kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian
mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan manfaat-nya.
(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka wilayah kehidupan
saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak mau meladeni kekerdilan cara
berpikir tanpa kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan
antara Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan
Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan
Islamis. Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-
Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan antara
Bumi dengan Langit dan antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak
famili dari terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi. (SUB TOPIK)
(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau prinsip Khilafah
identik-formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua
manusia adalah Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya
tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan Khalifah.
(FAKTA)
(23)Pada hakikinya semua makhluk adalah representasi atau
manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga tak ada
kehampaan atau kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.
Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya:
metabolisme semesta, organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan
galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah, gunung
menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam semesta menari-nari,
menyusun koreografi yang luar biasa, beredar pada porosnya, berputar satu
sama lain.
(24)Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan hukum dan
penataan aturan yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu persesuaian
dan kepatuhan kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan
birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan
61
manusia dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada
Syariat Allah.
(25)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah
seperti pohon, mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan
secara alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya,
namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa itu adalah
ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia menginisiali Syariat Allah
itu dengan nama Syariat Islam, sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma,
Bebekti, dan banyak lagi.
(26)Semua makhluk adalah utusan Tuhan, “Rasul”-Nya. Dituliskan
oleh para Malaikat atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh.
Sejak awal mula penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat
mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur Muhammad”,
dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah
merebakkannya menjadi alam semesta dan umat manusia. Maka para
Malaikat semua, kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,
meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah”.
(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur Muhammad, yang
kumparan dan gelombangnya mentransformasi menjadi jagat raya — dan
itulah yang disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.
Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah, Muhammad-manusia
dengan kontrak 63 tahun di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah yang
membawa berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari
Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat sejatinya, Nabi
adalah pangkatnya, Rasul adalah jabatannya di Bumi.
(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara nasional di
Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan Maulid Nabi
diselenggarakan pada bulan Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra`
yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia.
Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja karena tatkala “Kun”
dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan
tahun yang dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai
Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut
kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa
siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa
Negara Khilafah. (FAKTA)
(KIKS)
a. Struktur Makro
Tema umum dari wacana KIKS adalah seorang muslim tidak harus
mendirikan atau masuk ke Khilafah Islam, tetapi cukup masuk ke dalam
Khilafah Silmi. Hal ini terlihat pada paragraf 14. Pada paragraf ini
62
penulis menyatakan tema/topik tentang penggunaan kata Silmi, bukan
Islam dalam ayat “Udkhulu fis-silmi kaffah” yang bermakna ‘masuklah ke
dalam Silmi secara utuh dan tunai’. Bukan “Udkhulu fil-Islami kaffah”
yang berarti ‘membangun sistem Islam besar nasional dan global’.
Tema tersebut menjadi tema yang bersifat umum karena didiukung
oleh subtema atau subtopik. Subtema yang mendukung tema umum
menyatakan tentang bagaimana konsep Khilafah Silmi. Selanjutnya untuk
mendukung tema/topik tersebut penulis menguatkan dengan beberapa
subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat pada paragraf 18, 19, dan 21.
Pada paragraf 18, penulis membahas mengenai konsep Silmi, yang dalam
paragraf tersebut digambarkan seseorang yang hanya hafal Al-Fatihah dan
beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai
Islam, tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun,
menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa dan tidak
merusak apa-apa.
Selanjutnya paragraf 19 menjelaskan mengenai Konsep Silmi
membukakan jalan agar seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima
oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah.
Kemudian paragraf 21 menjelaskan mengenai adanya ketidaktepatan
mengenai polarisasi antara pancasila dengan Islam, Bhineka Tunggal Ika
dengan Kekhalifahan. Subtopik-subtopik tersebut dapat dikatakan
mendukung tema/topik wacana yaitu perlunya Khilafah Silmi, bukan
Khilafah Islam di Indonesia.
Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada
makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada
paragraf 6, 12, 17, 22, dan 28. Pada paragraf 6 dibahas mengenai
Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Manusia, menjadi Khalifah tugasnya
patuh dengan kesadaran akal. Fakta selanjutnya yang digunakan pada
paragraf 12 yaitu tentang keadaan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Lalu pada kalimat terakhirnya juga mengungkapkan fakta sejarah bahwa
63
bangsa Indonesia pernah mengalami proses pengambilalihan kekuasaan,
revolusi, bahkan percobaan kudeta.
Kemudian pada paragraf 17 kalimat 1 menunjukkan fakta bahwa
setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan
illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia melebihi kadar
kemampuannya). Fakta ini mendukung tema/topik umum wacana. Bahwa
berdasarkan fakta ini seorang muslim tidak wajib mendirikan sistem
Khilafah seperti golongan Hizbut Tahrir Indonesia.
Selanjutnya, pada paragraf 22 kalimat 1 juga diungkapkan fakta
bahwa keadaan yang muncul di masyarakat prinsip Khilafah identik-
formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua
manusia adalah Khalifah.
Paragraf 28 menunjukkan bahwa setiap orang (dalam tulisan
diilustrasikan dengan seorang tukang andong) bisa mencintai Tuhan,
merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut
kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa
siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa
Negara Khilafah. Fakta tersebut mendukung bahwa Negara Khilafah
(Islam) tidak harus ada, tetapi yang perlu ada yaitu Khilafah Silmi.
Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan fakta yang disampaikan penulis
dalam wacana dapat dikatakan secara mikro makna wacana di atas
adalah Khilafah Silmi (Keselamatan).
b. Struktur Supra
Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Tajuk dan
ditulis pada bulan Mei 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,
terdapat 13 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 13 paragraf
tersebut adalah paragraf 1 sampai dengan paragraf 13. Selain itu, dalam
pendahuluan tersebut juga terdapat 3 sub judul yang terletak pada
64
paragraf 1 dengan sub judul Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan,
paragraf 6 dengan sub judul Keniscayaan Khilafah, dan paragraf 10
dengan sub judul Kudeta Surga dan Khilafah Silmi.
Wacana di atas memulai pendahuluan dengan menyatakan latar.
Dalam hal ini penulis esai menyatakan bahwa wacana pembubaran HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia) yang muncul di masyarakat tidak berarti orang-
orang yang aktif di dalam organisasi tersebut nantinya stateless, yang
berarti “tanpa kewarganegaraan”. Selain stateless, penulis juga
mengungkapkan bahwa aktivis HTI nantinya tidak persona non grata.
Istilah tersebut diambil dari bahasa Italia yang berarti “orang tidak
bersyukur”. Penulis berpendapat bahwa setiap orang berhak atau
kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya, termasuk HTI yang
sedang berjuang dengan keyakinannya memperjuangkan Khilafah Islam.
Kemudian pada paragraf 2, merupakan penjabaran mengenai sub
judul Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan. Penulis menjelaskan
mengenai dunia sebagai sistem batasan sehingga penduduknya mencari
kemerdekaan. Dalam hal ini, penulis tidak menjelaskan bagaimana
maksud dunia adalah sistem batasan. Penulis esai hanya menjelaskan
bahwa karena dunia adalah sistem batasan, maka penduduknya mencari
ruang pembebasan untuk kemerdekaan. Penulis mengaitkan pembebasan
itu dengan arti kata Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir berasal dari bahasa Arab
ditulis حزب التحرير . Hizb (حزب) artinya tentara, sementara tahrir (التحرير)
artinya pembebasan.
Pada paragraf 3, penulis menjelaskan bahwa tempat kemerdekaan
yang dimaksud adalah Surga. Selanjutnya pada paragraf 4, penulis
masih melanjutkan mengenai dunia batasan dengan memberikan definisi
negara yang diartikan sebagai hasil karya kecerdasan ilmu manusia
untuk menata pagar di antara penduduk bumi. Menurutnya
kemerdekaan seseorang dalam negara tidak seutuhnya, karena masih
berbagi kemerdekaan dengan yang lain. Berbeda dengan surga, karena
65
menurutnya di Surga, kemerdekaan tidak saling membatasi satu sama
lain.
Pada paragraf 5, penulis menekankan lagi paragraf sebelumnya
bahwa negara tidak berkuasa atas semua hal pada manusia, termasuk
tidak berkuasa atas hati dan pikiran warganya. Pada sub judul
selanjutnya yaitu Keniscayaan Khilafah yang terdapat pada paragraf 6,
penulis mulai memasuki pembahasan mengenai topik. Penulis
memulainya dengan pernyataan umum mengenai khilafah adalah sebuah
keniscayaan, yang tidak perlu disetujui atau tidak disetujui. Keniscayaan
berasal dari kata niscaya, yang bermakna tentu; pasti; tidak boleh tidak.
Selanjutnya pada paragraf 7, penulis menjelaskan mengenai
makhluk kepastian yang terdiri dari malaikat, iblis, setan, benda,
tumbuhan dan hewan, dan makhluk kemungkinan yang terdiri dari
manusia dan jin. Pada paragraf 8 dan 9, penulis mengingatkan tentang
manusia yang menjadi makhluk kemungkinan, walaupun bisa melakukan
kemungkinan yang baik maupun buruk, tetapi ada kehidupan abadi yang
nantinya akan menjadi tanggung jawab perbuatannya di dunia.
Pada sub judul selanjutnya yaitu Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
yang diawali pada paragraf 10, penulis bercerita mengenai sejarah HTI.
Paragraf 11, penulis bercerita mengenai tujuan HTI yaitu menyusun tata
nilai kebudayaan Islam sebagai sistem besar untuk seluruh wilayah Bumi.
Pada paragraf 12, penulis mulai membuat pertentangan dengan
paragraf sebelumnya untuk mengantarkan kepada kalimat tesis. Paragraf
tersebut menceritakan tentang Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Paragraf selanjutnya, paragraf 13, penulis menceritakan tentang
kekhawatiran adanya konflik ketika adanya pergantian sistem
pemerintahan.
Hal ini menunjukkan bahwa bagian pendahuluan pada paragraf 1-
11, penulis esai mencoba memberikan pemahaman mengenai HTI yang
dinilai ke arah positif, sedangkan bagian akhir pendahuluan yang terdapat
66
pada paragraf 12 dan 13 memberikan realitas sejarah yang ada di
Indonesia, yang menjadi pengantar memasuki kalimat tesis.
Selanjutnya pada paragraf 14, penulis esai mencantumkan kalimat
tesis berupa Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas
perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi
secara utuh dan tunai. Kata Silmi diartikan sebagai kedamaian. Kalimat
tesis ini berisi gagasan yang mengendalikan arah dan batas dari esai
yang akan dibahas pada tubuh esai, dalam hal ini kalimat ini membatasi
tentang Khilafah Silmi, bukan Khilafah Islam. Kemudian kalimat tesis di
atas dijelaskan dalam tubuh esai pada paragraf 15 s.d paragraf 25.
Pada paragraf 15 dijelaskan tentang pemaknaan Udkhulu fil-Islami
Kaffah oleh Hizbut Tahrir yang berarti membangun sistem Islam besar
nasional dan global. Paragraf ini berbeda dengan paragraf sebelumnya
yang menjadi kalimat tesis.
Selanjutnya pada paragraf 16, penulis memberikan contoh
keadaan muslim di Indonesia yang terdiri dari beragam profesi,
dihadapkan dengan situasi Khilafah Islam. Paragraf 17, penulis
selanjutnya menguatkan paragraf sebelumnya dengan
mengungkapkan dalil la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak
membebani manusia melebihi kadar kemampuannya). Paragraf 18,
penulis menegaskan kembali realita keadaan muslim di Indonesia yang
beragam itu dengan mengaitkannya dengan konsep Khilafah Silmi yang
menjadi kalimat tesis.
Paragraf 19 pun sama. Penulis mencoba menegaskan kembali
konsep Khilafah Silmi itu sesuai dengan keadaan muslim di Indonesia
yang beragam dengan memberikan contoh yang sejenis dengan
paragraf sebelumnya, yaitu profesi orang Islam seperti tukang jahit,
penjual jamu dan sebagainya.
Pada paragraf tubuh esai tersebut juga ditemukan sub judul,
tepatnya pada paragraf 20 dengan sub judul Syariat Allah di Alam dan
Manusia. Paragraf ini, penulis menggunakan kalimat metafora dengan
67
mengibaratkan berbagai hal tentang NKRI bukan sebagai bahan-bahan
mentah makanan serta alat-alat dapur, melainkan makanan minuman
yang sudah tersedia di warung. Perumpamaan ini hampir sama dengan
pendahuluan pada paragraf 12 dan 13.
Paragraf 21, penulis menjelaskan mengenai polarisasi yang terjadi
antara Pancasila dan Islam beserta polarisasi sejenisnya yang dianggap
sebagai kekerdilan cara berpikir. Selanjutnya pada paragraf 22, penulis
menekankan kembali gagasan bahwa semua manusia adalah khalifah, jadi
bumi yang sekarang kita tempati, termasuk Indonesia ya Khilafah, karena
Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Hal itu seperti yang terdapat pada
paragraf 6 dengan sub judul Keniscayaan Khilafah.
Selanjutnya paragraf 23, 24, dan 25 menjelaskan tentang
penegasan kembali tentang kesesuaian keadaan yang ada di suatu
negara dengan Syariat Allah. Dengan kata lain, ketiga paragraf itu
menjelaskan kembali tentang Khilafah Silmi, bahwa pada dasarnya
ketika semua undang-undang, pelaksanaan birokrasi dan tatanan
kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan manusia dan
berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada Syariat
Allah.
Selanjutnya, mengakhiri esai tersebut, penulis membuat sebuah
penutup yang terdiri dari 3 paragraf yaitu paragraf 26, 27, dan 28. Ketiga
paragraf tersebut menekankan kembali kalimat tesis tentang Khilafah
Silmi. Dimulai dari paragraf 26 yang menjelaskan munculnya Nur
Muhammad. Selanjutnya paragraf 27, penulis menjelaskan mengenai 3
jenis Muhammad yaitu Nur Muhammad, Muhammad bin Abdullah, dan
Muhammad Nabiyullah. Paragraf 28, penulis menguraikan penjelasan
mengenai ketiga jenis Muhammad tersebut. Dalam kalimat terakhir dari
paragraf tersebut, penulis menegaskan ulang bahwa apapun profesi
seorang muslim, seperti halnya seorang tukang andong bisa mencintai
Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah
lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak
68
memaksa siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau
tanpa Negara Khilafah.
c. Struktur Mikro
1) Aspek Semantik
a) Latar
Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana KIKS
adalah tentang ketidaksetujuan pembuat wacana terhadap
pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah melalui Perppu
Ormas.
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara,
itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya
menjadi “persona non grata.” Kalau dikaitkan dengan makar,
sebaiknya jangan makar kepada rujukan konsep makar dari
Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap orang atau
kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang
meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang
menanggung resikonya. Ada juga yang melihat keluasan
hidup di mana kalah menang hanyalah sebuah strata. Dalam
konteks ini mungkin justru mereka sedang menjalani ujian
kenaikan derajat. (Paragraf 1)
Pada paragraf di atas, penulis esai menyampaikan bahwa
andaikan wacana HTI dibubarkan oleh pemerintah terjadi, para
aktivisnya masih tetap menjadi warga negara Indonesia. Indonesia,
sebagai negara yang menganut asas demokrasi dalam menjalankan
pemerintahan serta menjunjung tinggi kebebasan berpendapat
setelah era reformasi, menurut penulis setiap orang atau kelompok
berhak memperjuangkan keyakinannya. Namun, keyakinan yang
diperjuangkan oleh organisasi tersebut menjadi pro dan kotra di
masyarakat. Salah satu yang gencar menjadi opini publik adalah
HTI sebagai organisasi mengusung ideologi Khilafah yang
menurut banyak kalangan bertentangan dengan Pancasila sebagai
dasar negara.
69
Kemudian pada data (2), penulis esai menyampaikan bahwa
HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga diperbaiki dengan
pengetahuan dan ilmu. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.
(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga
penduduknya berjuang mencari celah-celah ruang
kemerdekaan. Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-Tahrir,
justru mendapat limpahan rezeki untuk semakin nikmat
bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi
hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang,
hanyalah payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung, dan
kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan atau
ambil yang baru di Toko Ilmu. (Paragraf 2)
Dalam paragraf tersebut penulis esai mengingatkan tentang
negara dengan pemerintahannya tidak berkuasa atas semua hal
pada manusia, termasuk dalam pembubaran HTI. Penulis
berpendapat melalui analogi yang digunakan, bahwa seharusnya
pemerintah melihat HTI sebagai organisasi, yang menurut penulis,
hanyalah media. Jika analogi yang digunakan adalah pisau dapur,
payung, dan kendaraan, yang ketika rusak dibengkelkan, berarti
organisasi yang berisi sekelompok manusia dengan segala jenis
pikirannya, perlu diperbaiki cara pandangnya agar HTI sebagai
organisasi bisa lebih baik. Dalam hal ini, poin yang didapat adalah
bahwa penulis sepakat bahwa organisasi HTI keliru, atau
setidaknya mempunyai kemungkinan untuk keliru.
Selanjutnya, dalam data (4), hal yang melatari penulis esai
yaitu tentang Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak perlu
disetujui atau tidak.
(4)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’
Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya
kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di
Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya. Menjadi
Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya “patuh
dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada
Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung,
70
hutan, angin, dedaunan dan embun, juga detak jantung
manusia, aliran darahnya, kesegaran dan keausan jasadnya,
jadwal lahir dan matinya, semua patuh kepada kehendak
Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas
sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya
semacam supra-chips yang bernama akal, serta cakrawala
yang bernama kalbu. (Paragraf 6)
Dalam paragraf tersebut penulis esai mempunyai
pandangan bahwa Khilafah adalah keniscayaan. Dalam KBBI V,
niscaya diartikan sebagai tentu; pasti; tidak boleh tidak. Jadi,
khilafah sudah pasti, tidak boleh tidak. Namun, dalam kalimat
selanjutnya penulis menggambarkan khilafah bukan sebagai
sistem kenegaraan. Hal itu terbukti dengan korelasi ‘kepastian’
yang dimaksud adalah bahwa setiap manusia yang diciptakan
oleh Allah menjadi Khalifah. Berarti, tempat untuk dihuninya
adalah Khilafah.
Selanjutnya dalam data (5), penulis menampilkan latar
bersifat fakta bahwa Indonesia yang mempunyai keragaman suku
bangsa dengan Bhinneka Tunggal Ika.
(5)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika,
heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai
faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju
Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,
golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI
hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan
jalan sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan
kekuasaan, revolusi total atau kudeta: membubarkan
Parlemen dan Pemerintahan, mengganti Presiden dengan
Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga pola
pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.
(Paragraf 12)
Dalam paragraf tersebut penulis esai mulai mencoba
mengorelasikan antara konsep Khilafah dengan sistem
kenegaraan dengan berbagai kemungkinannya. Terdapat
ketidakpaduan antara data (5) dengan data (4). Jika pada data (4)
penulis mengatakan bahwa Khilafah adalah kepastian yang tidak
71
boleh tidak, tetapi dalam data (5) penulis seakan-akan mengakui
bahwa Indonesia memang bukan Khilafah. Jika akan diganti
dengan Khilafah, kemungkinannya adalah pengambil alihan
kekuasaan, revolusi total, dan kudeta. Menurut peneliti, ini
dikarenakan adanya perbedaan konsep bahwa pada data (4),
penulis memahami Khilafah bukan sebagai sistem
ketatanegaraan, sedangkan pada data (5) penulis memahaminya
sebagai sistem ketatanegaraan.
Kemudian dalam data (6), mengingatkan bahwa jika HTI
akan menerapkan cita-citanya di Indonesia yang sudah beragam
itu, makan akan mengulang kembali sejarah pengambil-alihan
kekuasaan yang menimbulkan konflik besar, seperti yang pernah
terjadi pada sebelumnya.
(6)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari
kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-
adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak mampu
mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya dari
konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak
Sekolah Unggul. (Paragraf 13)
Dalam paragraf tersebut penulis esai masih berprasangka
baik, bahwa jika HTI tujuannya adalah baik, dalam hal ini
digambarkan oleh penulis dengan membawa NKRI dari
kegelapan menuju cahaya, tetap proses pengambil alihan
kekuasaannya adalah hal buruk. Di sini terlihat bahwa penulis
mulai konsisten dengan pemahaman Khilafah sebagai sistem
ketatanegaraan. Ini menunjukkan kepaduan dengan data
sebelumnya.
Dalam keenam paragraf di atas penulis esai menekankan
bahwa Khilafah yang dicita-citakan HTI akan menimbulkan
72
konflik jika akan diterapkan di Indonesia yang mempunyai
keanekaragaman dalam segala hal. Oleh karena itu, paragraf-
paragraf di atas menjadi latar memasuki tesis dari esai itu sendiri,
yaitu perlunya Khilafah Silmi, yang mengutamakan keselamatan
dan kedamaian. Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui
maksud yang ingin disampaikan oleh penulis esai.
b) Rincian
Rincian merupakan elemen wacana yang menunjukkan
rincian dalam wacana. Penanda rincian dalam wacana adalah kata
yakni, adalah, yaitu, sebagai berikut, dan seperti. Berikut ini
disajikan beberapa kutipan yang menyatakan rincian. Berikut
merupakan contoh penggunaan rincian dalam wacana KIKS.
(7)Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk
mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung dari
hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.
(Paragraf 2 kalimat 3)
Data (7) di atas merupakan kalimat yang menggunakan
rincian. Penanda rincian yang digunakan adalah titik dua (:). Hal
yang dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang
analogi organisasi dengan sebuah alat yang digunakan oleh
penulis. Penggunaan rincian tersebut bertujuan mendukung
gagasan terkait HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga
diperbaki dengan pengetahuan dan ilmu.
(8)Semacam “puasa”, agar kelak sebagai penduduk
Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan
yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah
selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan,
persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan menganiaya
dirinya sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan
pemusnahan. (Paragraf 4 kalimat 4)
73
Berdasarkan kutipan data (8), penanda yang digunakan
adalah kata-kata yang diulang dalam makna yang berbeda. Yang
dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah kata menyiksa
yang selanjutnya dijelaskan bahwa kata tersebut terdiri dari
perebutan, persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan
menganiaya diri sendiri. Rincian tersebut digunakan untuk
memberikan penekanan dan penjelasan yang detail pada kata
menyiksa tersebut. Penggunaan rincian tersebut bertujuan
mendukung gagasan tentang kemerdekaan seseorang dalam
negara tidak seutuhnya, karena masih berbagi kemerdekaan
dengan yang lain. Berbeda dengan surga, karena menurutnya di
Surga, kemerdekaan tidak saling membatasi satu sama lain.
(9)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika,
heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai
faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju
Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,
golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. (Paragraf 12
kalimat 1)
Berdasarkan kutipan data (9), penanda rincian yang
digunakan adalah mengulang kata-kata yang memiliki makna
yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang
dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang
Bhinneka Tunggal Ika. Penulis merinci kata tersebut dengan
rincian seperti heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-
bagai faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju
Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,
golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kata-kata tersebut
digunakan oleh penulis untuk merinci kata Bhinneka Tunggal Ika
agar lebih jelas dan maksudnya tersampaikan.
(10)Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya
tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus
melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau
74
kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan,
mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,
dari BI hingga Bank Plecit. (Paragraf 12 kalimat 2)
Selain itu, rincian juga terlihat dalam kutipan data (10).
Penanda rincian yang digunakan adalah mengulang kata-kata
yang memiliki makna yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang
berbeda. Hal yang dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah
tentang pengambil-alihan kekuasaan. Konteks dalam kalimat
tersebut yaitu Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, jalannya
hanya pengambil-alihan kekuasaan. Frasa tersebut dirinci lebih
jelas seperti revolusi total atau kudeta: membubarkan Parlemen
dan Pemerintahan, mengganti Presiden dengan Khalifah,
meredesain sistem pemerintahannya hingga pola pasarnya,
kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit. Ini menunjukkan
bahwa penulisingin menyampaikan pesan secara lebih rinci dalam
frasa pengambil-alihan kekuasaan.
(11)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan
Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina
martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari
jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)
Berdasarkan kutipan data (11), penanda yang digunakan
adalah titik dua (:). Hal yang dirinci dalam kutipan wacana di
atas adalah tentang beberapa hal yang ditanyakan ketika nanti
berhadapan dengan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa penulis ingin
menyampaikan pesan secara lebih rinci sekaligus menekankan
bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai
sistem kenegaraan dengan segala kerumitannya, karena dengan
berbagai macam manusia yang ada, salah satunya seperti yang
dicontohkan oleh penulis yaitu kuli pasar, hanya akan dimintai
75
pertanggungjawaban dalam konteks ia sebagai manusia yang
sederhana, seperti dituliskan dalam kutipan tersebut.
c) Nominalisasi
Nominalisasi merupakan elemen wacana yang merupakan
salah satu bagian eksklusi dan menjadi strategi untuk
mengihilangkan kelompok aktor sosial tertentu. Strategi ini
berkaitan dengan pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata
benda (nomina). Umumnya nominalisasi dilakukan dengan
memberikan imbuhan pe-an. Berikut ini disajikan beberapa
kutipan yang menyatakan nominalisasi. Berikut merupakan contoh
penggunaan nominalisasi dalam wacana KIKS.
(12)Karena setiap huruf yang saya ketik bersifat
relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut
Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak,
sehingga gagah perkasa memprogram pengkhilafahan
Indonesia. (Paragraf 19 kalimat 4)
Kutipan data (12) tersebut merupakan nominalisasi yaitu
pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina) yang
digunakan adalah kata pengkhilafahan. Penggunaan nominalisasi
tersebut bertujuan untuk mendukung penulis dalam menegaskan
kembali konsep Khilafah Silmi itu sesuai dengan keadaan
muslim di Indonesia yang beragam dengan memberikan contoh
yang sejenis dengan paragraf sebelumnya, yaitu profesi orang
Islam seperti tukang jahit, penjual jamu dan sebagainya.
2) Aspek Sintaksis
a) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat berhubungan dengan berpikir logis,
yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat ini digunakan sebagai
strategi untuk mengarahkan pandangan pembaca melalui makna
yang terbentuk melalui sebuah satuan kalimat. Dalam
76
penelitian ini, bentuk kalimat yang menjadi fokus penelitian
adalah bentuk kalimat aktif dan bentuk kalimat pasif. Berikut ini
beberapa kutipan kalimat aktif dan kalimat pasif yang
digunakan dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha
Ainun Najib di Caknun.com.
Bentuk kalimat pada wacana KIKS banyak menggunakan
kalimat aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang
menjadi objek dari tanggapannya. Dalam wacana KIKS kalimat
banyak menempatkan subjek sebagai hal yang ingin ditonjolkan.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim menjadi subjek
dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan. Berikut merupakan
kutipan beberapa bentuk kalimat dalam wacana KIKS.
Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang
digunakan oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek
sebagai hal yang ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa
seorang muslim menjadi subjek dalam Khilafah Silmi yang
diwacanakan. Terlihat dari data (13), penulis esai menyampaikan
tentang konsep silmi yang menjadi tesis dari wacana tersebut.
(13)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang
tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa
menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah. (Paragraf
19 kalimat 1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
aktif dengan frasa ‘konsep silmi’ menjadi subjek. Penulis dalam
hal ini ingin menonjolkan frasa tersebut. Konsep silmi
menekankan bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah
sebagai sistem kenegaraan dengan segala kerumitannya, karena
dengan berbagai macam manusia yang ada, salah satunya seperti
yang dicontohkan oleh penulis yaitu tukang jahit, bisa diterima
oleh Allah, seperti dituliskan dalam kutipan tersebut.
77
Selanjutnya dalam data (14), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika
HTI mewujudkan cita-citanya.
(14)Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya
tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus
melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau
kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan,
mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,
dari BI hingga Bank Plecit. (Paragraf 12 kalimat 2)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menempatkan HTI
sebagai subjek, yang menunjukkan bahwa HTI adalah hal yang
ingin ditonjolkan. Kalimat tersebut bisa saja menggunakan
kalimat pasif dengan NKRI sebagai subjeknya. Namun, penulis
ingin menekankan bahwa HTI sebagai subjek jika ingin
mewujudkan cita-citanya di NKRI, harus melalui proses
pengambil-alihan kekuasaan dengan cara revolusi dan kudeta.
Selanjutnya dalam data (15), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai maksud dan tujuan HTI.
(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan
“Udkhulu fil-Islami Kaffah”: membangun sistem Islam
besar nasional dan global. (Paragraf 15 kalimat 1)
Jika dalam data sebelumnya penulis menempatkan HTI
sebagai subjek terkait dengan proses pengambil-alihan
kekuasaan, kalimat dalam data (15) ingin menonjolkan bahwa
HTI sebagai subjek mempunyai maksud membangun sistem Islam
besar nasional dan global. Ini menunjukkan penulis
mengonfirmasi bahwa memang HTI memandang konsep
Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan.
78
Beberapa kutipan kalimat di atas merupakan kutipan
kalimat aktif yang digunakan oleh penulis dalam wacana KIKS.
Kalimat aktif yang dibentuk dalam kutipan wacana di atas dapat
dilihat dari predikat kalimat. Semua predikat kalimat terbentuk
dari awalan me-. Kutipan kalimat aktif di atas memperlihatkan
penulis lebih menonjolkan subjek.
Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang
digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis
umumnya digunakan untuk menunjukkan bahwa HTI sebagai
organisasi adalah korban dari pemerintah. Seperti halnya terlihat
dalam data (16) di bawah ini.
(16)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas
Negara, itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”,
aktivisnya menjadi “persona non grata.” (Paragraf 1 kalimat
1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
pasif dengan menitikberatkan pada HTI sebagai korban.
Penggunaan kaimat pasif ini mendukung pendapat yang
sebelumnya di bagian latar, bahwa Indonesia sebagai negara yang
menganut asas demokrasi dalam menjalankan pemerintahan serta
menjunjung tinggi kebebasan berpendapat setelah era reformasi,
menurut penulis setiap orang atau kelompok berhak
memperjuangkan keyakinannya.
Selanjutnya dalam data (17), penulis menggunakan kalimat
pasif untuk menjelaskan mengenai contoh kasus kesulitan jika
memang Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan merupakan hal
yang harus ditegakkan di Indonesia.
(17)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di
perempatan jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam,
tidak bisa saya bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal
79
mengenai Negara Islam dan Khilafah. (Paragraf 16 kalimat
1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
pasif dengan menitikberatkan pada seorang muslim yang menjadi
contoh kasus, seperti tukang ojek, penjual jajan, petani, sales, dan
satpam. Sebenarnya bisa saja penulis meletakkan subjeknya,
Allah, di awal kalimat. Tetapi, penulis memang ingin
menonjolkan bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah
sebagai sistem kenegaraan dengan segala kerumitannya, karena
dengan berbagai macam manusia yang ada.
Selanjutnya dalam data (18), penulis menggunakan kalimat
pasif untuk menjelaskan mengenai konsep Khilafah Silmi.
(18)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan
“la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak
membebani manusia melebihi kadar kemampuannya).
(Paragraf 17 kalimat 1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
pasif dengan menitikberatkan pada hamba Allah yang berfungsi
sebagai objek diletakkan di depan. Hal ini masih berkaitan dan
sebenarnya juga mendukung data (17), bahwa Islam tidak
mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan
dengan segala kerumitannya tidak harus didirikan. Hal itu karena
manusia sebagai hamba Allah dibebani hanya sesuai dengan
kemampuannya.
Selanjutnya dalam data (19), penulis menggunakan kalimat
pasif untuk menjelaskan mengenai realitas keberagaman manusia.
(19)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan
Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina
80
martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari
jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)
Data (19) di atas masih berkaitan dengan data sebelumnya
yaitu data (18) dan (19). Dalam data (19) penulis esai
menggunakan kalimat pasif dengan menitikberatkan pada seorang
muslim yang menjadi contoh kasus, seperti tukang kuli pasar.
Penulis ingin menonjolkan bahwa Islam tidak mewajibkan
mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan dengan segala
kerumitannya, karena dengan berbagai macam manusia yang ada.
Konsep Khilafah Silmi dengan segala kemudahannya dapat
dijadikan sebagai alternatif.
Beberapa kutipan kalimat di atas merupakan kutipan
kalimat pasif yang digunakan oleh penulis dalam wacana Esai
tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com.
Kalimat pasif yang dibentuk dalam kutipan wacana di atas dapat
dilihat dari predikat kalimat. Semua predikat kalimat terentuk
dari awalan di-. Kutipan penggunaan kalimat pasif di atas
memperlihatkan penulis lebih menonjolkan objek.
b) Kohesi (Gramatikal)
(1) Pengacuan
Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat
dilihat dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan)
merupakan salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan
(referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada satuan
lingual lain. Dalam wacana pengacuan anafora, pengacuan
katafora, pengacuan katafora, pengacuan persona, pengacuan
demonstratif, dan pengacuan komparatif.
(a) Anafora
81
Pengacuan anafora adalah pengacuan yang merujuk
silang pada unsur yang disebutkan terdahulu. Berikut ini
disajikan beberapa kutipan yang menyatakan pengacuan anafora.
Penggunaan anafora di bawah ini bertujuan mendukung adanya
kesatuan gagasan tentang konsep Khilafah Silmi.
(20)Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI,
saya tidak bisa menemukan jalan sejarahnya kecuali harus
melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total
atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan,
mengganti Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,
dari BI hingga Bank Plecit. (Paragraf 12 kalimat 2)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (20),
yaitu akhiran –nya pada kata ‘sejarahnya’. Dalam kalimat
tersebut yang menjelaskan mengenai kemungkinan HTI
jika ingin mewujudkan cita-citanya di NKRI, harus melalui
proses pengambil-alihan kekuasaan dengan cara revolusi dan
kudeta. Akhiran –nya dalam kata tersebut merujuk pada proses
HTI hendak “mensurgakan” NKRI. Hal ini mendukung temuan
data sebelumnya dalam aspek semantik rincian dan aspek
sintaksis bentuk kalimat aktif.
(21)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari
kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-
adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak mampu
mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya dari
konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah
tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah
Unggul. (Paragraf 13 kalimat 1)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (21)
yaitu anafora dalam bentuk persona yang terwujud dalam kata
‘beliau-beliau’. Penggunaan anafora persona merujuk pada
orang-orang HTI yang sedang berupaya mewujudkan cita-cita
82
khilafahnya di Indonesia. Hal ini mendukung gagasan yang
terdapat dalam data (6) pada analisis latar bahwa penulis esai
masih berprasangka baik, bahwa jika HTI tujuannya adalah baik,
dalam hal ini digambarkan oleh penulis dengan membawa NKRI
dari kegelapan menuju cahaya, tetap proses pengambil alihan
kekuasaannya adalah hal buruk. Di sini terlihat bahwa penulis
mulai konsisten dengan pemahaman Khilafah sebagai sistem
ketatanegaraan. Ini menunjukkan kepaduan dengan data
sebelumnya.
(22)Sangat meyakini kebenaran Islam dan gagah
berani menerapkannya. (Paragraf 15 kalimat 2)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (22)
yaitu anafora dengan akhiran –nya dalam kata ‘menerapkannya’.
Akhiran –nya pada kalimat itu mengacu kepada kebenaran
Islam. Hal ini mendukung gagasan mengenai pemaknaan
Udkhulu fil-Islami Kaffah oleh Hizbut Tahrir yang berarti
membangun sistem Islam besar nasional dan global. Pengacuan
anafora ini mendukung analisis data (15) dalam aspek sintaksis
bentuk kalimat aktif.
(b) Katafora
Katafora adalah pengacuan yang merujuk silang pada
unsur yang disebutkan kemudian. Berikut ini disajikan beberapa
kutipan dari wacana KIKS.
(23)Memang demikianlah sejak didirikan 1953
oleh beliau Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa
ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh
Abdurahman Al-Baghdady. (Paragraf 10 kalimat 3)
Pengacuan katafora yang terdapat pada kutipan data (23)
yaitu kata beliau mengacu kepada nama Syaikh Taqiyudin An-
Nabhani yang disebutkan setelahnya. Nama yang disebutkan
tersebut adalah pendiri Hizbut Tahrir. Upaya penulis dalam hal
83
ini adalah ingin menekankan bahwa memang Khilafah yang
dicita-citakan oleh kelompok Hizbut Tahrir adalah berkaitan
dengan sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini jelas untuk
mengonfirmasi pada data (4) dan (5) aspek semantik latar.
(24)Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga
tanpa menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia.
(Paragraf 19 kalimat 2)
Pengacuan katafora yang terdapat pada kutipan data (24)
yaitu akhiran –nya dalam kata ‘berhasilnya’ yang disebutkan
setelahnya. Akhiran –nya tersebut merujuk pada frasa
‘perjuangan khilafah dunia’. Upaya penulis dalam hal ini adalah
ingin menekankan bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan
Khilafah sebagai sistem kenegaraan dengan segala
kerumitannya, karena dengan berbagai macam manusia yang
ada. Analisis ini untuk menguatkan analisis sebelumnya yang
terdapat pada data (17), (18) dan (19) aspek sintaksis bentuk
kalimat.
(c) Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina
persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah
pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.
Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri
(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang
diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada
orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).
(i) Pronomina persona pertama
(25)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas
‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. (Paragraf
6 kalimat 1)
84
(26)Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali
menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta
Bumi, alam semesta dan saya. (Paragraf 6 kalimat 2)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (25)
dan (26) yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud
dalam kata ‘saya’. Kata saya merupakan pronomina persona
yang mengacu pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu
Emha Ainun Najib. Hal ini mendukung gagasan yang terdapat
dalam data (4) pada analisis semantik latar. Dalam paragraf
tersebut penulis esai mempunyai pandangan bahwa Khilafah
adalah keniscayaan. Namun pandangan tersebut bukan sebagai
sistem kenegaraan. Hal itu terbukti dengan korelasi ‘kepastian’
yang dimaksud adalah bahwa setiap manusia yang diciptakan
oleh Allah menjadi Khalifah. Berarti, tempat untuk dihuninya
adalah Khilafah.
(ii) Pronomina persona kedua
Dalam wacana KIKS, tidak ditemukan pengacuan yang
menggunakan pronomina persona kedua.
(iii) Pronomina persona ketiga
(27)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan
adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari
kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-
adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak
mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya
dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak
Sekolah Unggul. (Paragraf 13 kalimat 1)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (27) yaitu
pronomina dalam bentuk persona ketiga yang terwujud dalam
kata ‘beliau-beliau’. Penggunaan persona tersebut merujuk pada
orang-orang HTI yang sedang berupaya mewujudkan cita-cita
85
khilafahnya di Indonesia. Hal ini mendukung gagasan yang
terdapat dalam data (6) pada analisis latar dan data (21) pada
analisis anafora bahwa penulis esai mulai konsisten dengan
pemahaman Khilafah yang dimaksud adalah sebagai sistem
ketatanegaraan. Ini menunjukkan penguatan dengan data
sebelumnya.
(28)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya
dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah
tidak membebani manusia melebihi kadar
kemampuannya. (Paragraf 17 kalimat 1)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (28) yaitu
pronomina persona ketiga yang berwujud lekat kanan –nya
dalam kata ‘kemampuannya’. Penggunaan lekat kanan tersebut
merujuk pada manusia sebagai makhluk Allah. Analisis ini
mendukung data (18) apspek sintaksis bentuk kalimat bahwa
Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai sistem
kenegaraan dengan segala kerumitannya tidak harus didirikan.
Hal itu karena manusia sebagai hamba Allah dibebani hanya
sesuai dengan kemampuannya.
(29)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan
ditanya beberapa hal:aqidahnya, hubungannya dengan
Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,
menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan
nyawa dari jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (29) yaitu
pronomina persona ketiga yang berwujud lekat kanan –nya dan
penggunakan pronomina ketiga tunggal ia. Penggunaan lekat
kanan yang terdapat pada kata aqidahnya dan hubungannya
tersebut merujuk pada contoh seorang kuli pasar sebagai
realitas keragaman manusia di Indonesia. Penggunaan
pronomina ketiga tunggal ia pun merujuk pada hal yang sama.
Hal ini mendukung data (18) dan (19) aspek sintaksis bentuk
86
kalimat bahwa Islam tidak mewajibkan mendirikan Khilafah
sebagai sistem kenegaraan.
(30)Seseorang mungkin hanya hafal Al-Fatihah
dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam
terhadap tata nilai Islam. (3)Tetapi hidupnya sungguh-
sungguh, kebergantungannya kepada Allah mendarah-
daging. (4)Tidak pandai dan ‘alim, tapi kejujuran
perilakunya ajeg. (5)Tidak canggih shalat dan bacaan
Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam,
tidak menyakit siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
(Paragraf 18 kalimat 2)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (30) yaitu
pronomina persona ketiga yang berwujud lekat kanan –nya
dalam beberapa kata. Penggunaan lekat kanan tersebut merujuk
seorang muslim. Analisis ini mendukung data (29) di atas
bahwa dengan realitas keragaman manusia di Indonesia, Islam
tidak mewajibkan mendirikan Khilafah sebagai sistem
kenegaraan.
(d) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu
(temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Pronomina
demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini
(seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu),
akan datang (seperti besok dan yang akan datang), dan waktu
netral (seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina
demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi
yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan
pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan
menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta).
Dalam wacana KIKS terdapat pronomina demonstratif
waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut
87
ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan
pengacuan demonstratif yang digunakan.
(31)Memang demikianlah sejak didirikan 1953
oleh beliau Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa
ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh
Abdurahman Al-Baghdady. (Paragraf 10 kalimat 3)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (31) yaitu
demonstratif tempat (lokasional) eksplisit yaitu pada kata Bogor
dan Indonesia dan demonstratif waktu (temporal) netral yaitu
1980-an. Penggunaan demonstratif tersebut menunjukkan
penulis ingin menegaskan bahwa yang Hizbut Tahrir sebagai
tentara pembebasan adalah memang HT yang pada tanhun 1980-
an dibawa oleh Syaikh Taqiyudin An-Nabhani di Bogor,
sehingga menjadi Hizbut Tahrir Indonesia. Hal ini mendukung
data (23) aspek sintaksis pengacuan katafora bahwa Khilafah
yang dicita-citakan oleh kelompok Hizbut Tahrir adalah
berkaitan dengan sistem ketatanegaraan. Dalam hal ini jelas
untuk mengonfirmasi pada data (4) dan (5) aspek semantik latar.
(e) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah
satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan
dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan
dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan
sebagainya. Berikut ini disampaikan pengacuan komparatif
yang digunakan dalam wacana KIKS untuk menciptakan
kepaduan wacana.
(32)Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk
mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung
dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu
tujuan. (Paragraf 2 kalimat 3)
88
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (32)
mengacu pada perbandingan persamaan antara organisasi dalam
hal ini HTI dengan pisau dapur, payung, dan kendaraan. Dalam
analisis sebelumnya yang terdapat dalam data (7) aspek
semantik rincian, penulis ingin menyampaikan gagasan terkait
HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga diperbaki dengan
pengetahuan dan ilmu. Jadi pemerintah tidak perlu
membubarkan organisasi tersebut.
(33)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada
Syariat Allah seperti pohon, mengalirnya air,
berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan secara
alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap
kemanusiaannya, namun tanpa akalnya menemukan dan
menyadari bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-
Nya. (Paragraf 25 kalimat 1)
Sementara itu, satuan lingual seperti pada data (33) di
atas mengacu pada perbandingan persamaan antara tingkat dan
pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah dengan ciri-ciri
atau sifat yang sama dengan pohon, mengalirnya air,
berhembusnya angin. Pengacuan ini mendukung analisis data
(30) dan data (29) sebelumnya bahwa dengan realitas
keragaman manusia di Indonesia, Islam tidak mewajibkan
mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan. Hal itu karena
umat muslim di Indonesia patuh kepada syariat Allah secara
alamiah, naluriah bagaikan pohon, mengalirna air, dan
sebagainya, tanpa tegaknya khilafah sebagai sistem kenegaraan.
(2) Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal
yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu
dengan unsur yang lain dalam wacana. Berkaitan dengan hal itu,
penulis juga menggunakan konjungsi untuk menunjang
kepaduan tulisannya dalam wacana. Konjungsi dalam bahasa
89
Indonesia dikelompokkan menjadi: (a) konjungsi kordinatif (b)
konjungsi subordinatif (c) konjungsi korelatif dan (d) konjungsi
antar kalimat.
Konjungsi yang digunakan dalam wacana KIKS
adalah konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi
korelatif, dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan
pemakaian konjungsi dalam wacana KIKS.
(a) Koordinatif
(34)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan
ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan
Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,
menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan
nyawa dari jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 2)
Data (34) di atas menunjukkan konjungsi yang
digunakan dalam wacana dengan kode (KIKS). Konjungsi yang
digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor atau
yang menyatakan makna pemilihan. Penulis ingin menekankan
bahwa tukang kuli pasar tidak akan ditanyakan bagaimana
sistem khilafah sebagai sistem kenegaraan, oleh karena itu
penulis ingin menonjolkan bahwa Islam tidak mewajibkan
mendirikan Khilafah sebagai sistem kenegaraan.
Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah
konjungsi tapi. Konjungsi ini terlihat pada data (35) di bawah
ini.
(35)Tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya,
tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak
menyakit siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
(Paragraf 18 kalimat 5)
Data tersebut menunjukkan kalimat menggunakan
konjungsi koordinatif melalui konjungtor tapi yang menyatakan
makna pertentangan. Ini menguatkan analisis data sebelumnya,
90
bahwa jangankan kewajiban mendirikan khilafah sebagai sistem
kenegaraan bagi umat Islam. Muslim tidak canggih shalat dan
bacaan Qur`annya, yang penting adalah santun, menyayangi
manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa dan tidak
merusak apa-apa.
(b) Subordinatif
(36)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas
‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. (Paragraf
6 kalimat 1)
Data (36) di atas menggunakan konjungsi subordinatif
sebab melalui konjungtor karena yang menyatakan makna
sebab. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk
menekankan analisis sebelumnya yaitu dalam data (4) aspek
semantik latar, penulis esai mempunyai pandangan bahwa
Khilafah adalah keniscayaan yang berarti kepastian dan tidak
boleh tidak. Jadi tidak bisa ditolak. Namun hal ini karena
konteksnya penulis memandang khilafah tersebut bukan
sebagai sistem kenegaraan. Di sini terlihat bahwa penulis tidak
konsisten dalam memahami konsep khilafah yang sedang
dibahas.
(37)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan
adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari
kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-
adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak
mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya
dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak
Sekolah Unggul. (Paragraf 13 kalimat 1)
Data (37) di atas menggunakan konjungsi subordinatif
melalui konjungtor sampai yang menyatakan makna hasil dan
konjungtor seperti yang menyatakan makna perbandingan.
Konjungtor pertama ingin menekankan jika HTI tetap ingin
91
menegakkan sistem kenegaraan khilafah, akan ada hasil yang
buruk yaitu pertumpahan darah. Konjungtor kedua menekankan
bahwa pertumpahan darah yang akan terjadi bersifat besar,
dengan membandingkannya tidak seperti tawuran anak sekolah
yang ruang lingkupnya kecil. Proses pembandingan itu penulis
menggunakan konjungto tetapi. Analisis mikro ini mendukung
analisis pada data (6) aspek semantik latar bahwa proses
pengambil alihan kekuasaan jika HTI menegakkan khilafah
adalah hal buruk.
(c) Korelatif
Dalam esai KIKS, ada 4 (empat) konjungsi korelatif yang
digunakan. Tetapi penggunaan tersebut tidak berkaitan dengan
fokus pembahasan dalam membangun struktur wacana.
(d) Antar kalimat
Konjungsi antarkalimat ini berbeda dengan konjungsi-
konjungsi sebelumya. Konjungsi antarkalimat adalah sebuah kata
hubung yang menghubungkan satu kalimat dengan kaimat yang
lain. Oleh sebab itu, jenis konjungsi ini selalu muncul di awal
kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan
menggunakan huruf kapital.
(38)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal
Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai
faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh
menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah,
marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya.
(Paragraf 12 kalimat 1)(KIKS)
Data (38) di atas menggunakan konjungsi antarkalimat
melalui konjungtor tetapi yang menyatakan makna
pertentangan. Konjungsi dalam data di atas bukan hanya antar
kalimat, tetapi juga antar paragraf karena data tersebut
merupakan kalimat awal di paragraf 12. Konjungsi tersebut
92
untuk mempertentangkan dua paragraf sebelumnya, yaitu
paragraf 10 dan 11.
Seperti yang sudah dijelaskan pada analisis struktur
supra sebelumnya bahwa pada paragraf 10, penulis bercerita
mengenai sejarah HTI. Paragraf 11, penulis bercerita mengenai
tujuan HTI yaitu menyusun tata nilai kebudayaan Islam sebagai
sistem besar untuk seluruh wilayah Bumi. Penulis ingin berada
di posisi yang, walaupun tidak sepakat dengan penegakkan
khilafah sebagai sistem ketatanegaraan, tetapi tidak mau
menyalahkan HTI dengan cita-cita khilafahnya karena secara
esensi menurut penulis baik. Penulis berdiri di dua sisi dalam
hal ini.
Namun, untuk masuk ke tesis wacana bahwa penulis
tidak sepakat dengan penegakkan khilafah, ia menggunakan
konjungsi pertentangan dengan mempertentangkan bahwa saat
ini Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika. Ini wujud
pertentangan penulis atas penjelasan sebelumnya bahwa tujuan
HTI adalah menyusun tata nilai kebudayaan Islam sebagai
sistem besar. Penulis ingin menyampaikan bahwa Indonesia,
sebagai negara, tidak hanya ada Islam, tetapi ada juga Kristen,
Hindu, Budha, juga beragam bentuk realitas manusianya.
c) Kohesi (Leksikal)
Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis
juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang
kepaduan wacana KIKS. Adapun peranti kohesif leksikal yang
digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan
kutipan tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang
digunakan dalam wacana KIKS.
93
(1) Repetisi
(39)Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk
mengiris bawang, hanyalah payung untuk berlindung
dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu
tujuan. (Paragraf 2 kalimat 3)
Data (39) di atas terdapat repetisi yang digunakan.
Kohesif repetisi anafora tersebut dalam satuan lingual hanyalah
diulang tiga kali secara berturut-turut untuk menyampaikan
maksud bahwa organisasi hanyalah alat, seperti pisau, payung,
dan kendaraan. Satuan lingual hanyalah di sini digunakan oleh
penulis untuk menekankan bahwa HTI tidak bisa dibubarkan
oleh pemerintah begitu saja. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa penulis terkait sikap terhadap HTI memang
tidak sepakat dengan pemerintah. Terlihat juga pada analisis
data (7) aspek semantik rincian bahwa HTI sebagai organisasi,
bisa salah, sehingga diperbaki dengan pengetahuan dan ilmu.
Bukan dengan pembubaran. Apalagi pengerdilan status
kewarganegaraan.
(40)Maka saya memberanikan diri mencari
pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi
kaffah”. (2)Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan
tunai. (3)Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata
Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya,
tetapi sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi,
bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua
kata itu. (Paragraf 14 kalimat 1,2,3)
Data (40) di atas, kohesif repetisi anafora yang
digunakan dalam bentuk satuan lingual silmi. Satuan lingual
tersebut diulang 4 (empat) kali di setiap kalimat. Dalam hal ini,
penulis ingin menekankan bahwa satuan lingual tersebut sedang
ditonjolkan. Seperti halnya yang terdapat dalam analisis struktur
supra, data (40) tersebut mendukung bahwa paragraf tersebut
adalah kalimat tesis, yaitu bukan khilafah Islam yang saat ini
94
diperlukan, tetapi cukup dengan khilafah silmi. Kata Silmi
diartikan sebagai kedamaian. Satuan lingual ini yang menjadi
kata kunci dan mengendalikan arah serta batas dari esai yang
akan dibahas
d) Koherensi
Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga
perlu diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi
merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan
ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami
pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang
digunakan dalam wacana KIKS, tetapi yang berkaitan dengan fokus
pembahasan dalam membanguns struktur wacana adalah koherensi
hubungan ibarat. Berikut ini merupakan aspek koherensi yang
digunakan dalam wacana KIKS.
(1) Hubungan Ibarat
(41)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya
dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah
tidak membebani manusia melebihi kadar
kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya
akan ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya
dengan Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta
orang, menghina martabat sesama manusia, atau
memisahkan nyawa dari jasad manusia. (Paragraf 17
kalimat 1 dan 2)
Kutipan dengan kode data (41) di atas memperlihatkan
koherensi hubungan ibarat yang digunakan dalam wacana
dengan kode (KIKS). Berdasarkan kutipan di atas, gagasan pada
kalimat (1) tentang Allah tidak membebani manusia melebihi
kadar kemampuannya diibaratkan dengan gagasan pada kalimat
(2) yaitu bahwa Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-
95
Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat
sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia.
Gagasan yang muncul pada kalimat (2) menjadi contoh atau
ibarat pada gagasan yang terdapat pada kalimat (1). Hal ini
menunjukkan upaya penulis dalam membentuk paragraf yang
padu melalui koherensi.
(42)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak
dengan berbagai hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang
mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-
nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi
hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak
sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan
mentah makanan serta alat-alat dapur. Saya berada di
warung depannya, dengan makanan minuman yang
sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari
dapur, tetapi kalau saya memaksakan diri untuk
mengambil alih dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu
besar dibanding kemungkinan manfaat-nya. (Paragraf
20 kalimat 1 s.d 5)
Kutipan dengan kode data (42) di atas memperlihatkan
koherensi hubungan ibarat yang digunakan dalam wacana
dengan kode (KIKS). Berdasarkan kutipan di atas, gagasan pada
kalimat (1) menunjukkan adanya keadaan bahwa penulis juga
sebenarnya terdapat hal-hal yang tidak setuju dan merasa tidak
jenak dengan berbagai hal tentang NKRI. Pada kalimat (2)
penulis menambahkan bahwa ketidaksetujuan dan
ketidakjenakan itu terdapat pada hal-hal mendasar sejak
persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945,
sampai Orla Orba Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini.
Namun, pada kalimat (3) dan (4), penulis mengibaratkan bahwa
dia tidak sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan
mentah makanan serta alat-alat dapur. Ia sedang berada di
warung depannya, dengan makanan minuman yang sudah
tersedia. Kemudian pada kalimat (5) mengungkapkan bahwa jika
memang mau memperbaiki hal-hal yang tidak setuju dan tidak
96
jenak seperti yang diungkapkan pada kalimat (1) dan (2), maka
menurut penulis sudah pasti perbaikannya harus dari dapur,
tetapi kalau penulis memaksakan diri untuk mengambil alih
dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding
kemungkinan manfaat-nya. Gagasan yang muncul pada kalimat
(3), (4) dan (5) menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang
terdapat pada kalimat (1) dan (2). Hal ini menunjukkan upaya
penulis dalam membentuk paragraf yang padu melalui koherensi.
3) Aspek Retoris
Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara
yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan
pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup
penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang
digunakan. Dalam wacana wacana KIKS ditemukan 2 aspek, yaitu
aspek grafis dan aspek metafora.
a) Grafis
Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian
untuk menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh
penulis yang dapat diamati dari teks atau wacana. Dalam
wacana KIKS, penggunaan unsur grafis yang digunakan penulis
cukup dominan, seperti halnya dalam bentuk cetak tebal, cetak
miring, dan tanda petik dua (“”). Namun, di bawah ini yang
dianalisis oleh peneliti hanyalah yang berkaitan dengan struktur
makro wacana. Berikut ini disajikan kutipan yang menunjukkan
grafis yang digunakan dalam wacana KIKS.
(43)Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata
Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya,
tetapi sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi,
bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua
kata itu. (Paragraf 14 kalimat 3)
97
Data (43) di atas, grafis yang digunakan penulis yaitu
cetak tebal pada kutipan tidak menggunakan kosa-kata Islam,
melainkan Silmi. Klausa tersebut ditandai oleh penulis sebagai hal
yang penting dalam menekankan kalimat sebelumnya yang
menjadi kalimat tesis. Penulis menegaskan kembali pada data di
atas bahwa yang diperlukan oleh Indonesia saat ini bukan Khilafah
Islam, tetapi Khilafah Silmi. Hal itu juga menurut penulis sudah
menjalankan perintah Allah. Argumentasi yang ingin ditekankan
adalah seperti yang dicetak tebal oleh penulis pada klausa tidak
menggunakan kosa-kata Islam, melainkan Silmi. Dari segi retoris,
inilah cara penulis esai untuk menonjolkan hal yang dianggap
penting oleh penulis, terutama dalam kalimat tesis bahwa seorang
muslim tidak wajib mendirikan negara Islam, tetapi cukup
Khilafah Silmi.
b) Metafora
Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan
dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga
bangsa, buaya darat, buah hati, dan sebagainya. Metafora sebagai
perbandingan langsung tidak menggunakan kata: seperti, bak,
bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama
langsung dihubungkan dengan pokok kedua.96 Dalam wacana
KIKS, penggunaan unsur metafora yang digunakan penulis
berjumlah 5 (lima). Namun, di bawah ini yang dianalisis secara
mendalam oleh peneliti hanyalah yang berkaitan dengan struktur
makro wacana. Berikut ini disajikan kutipan yang menunjukkan
metafora yang digunakan dalam wacana KIKS
(44)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah
menghimpun ilmu dan menyusun strategi, agar ia lolos
kembali ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,
96 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 139
98
di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar, meluas,
dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua
rentang waktu: kekekalan dan keabadian. (Paragraf 3
kalimat 1)
Data (44) di atas, apsek retoris metafora yang digunakan
penulis yaitu satuan lingual surga dianalogikan sebagai sebuah
kebun. Selain itu, penulis juga menganalogikan Kebun Surga
sebagai kampung halaman manusia. Klausa selanjutnya, penulis
esai menggunakan metafora dengan menggabungkan kata
kemerdekaan dengan kata mengalir, meruang, melebar, dan
meluas. Dalam hal ini jika manusia dapat menuju Surga, maka
kemerdekaan akan dimiliki secara kekal dan abadi. Makna metafora
yang sampaikan oleh penulis esai pada kutipan di atas adalah tugas
manusia sebagai makhluk di bumi yang hidup hanya sementara
adalah mencapai Surga yang bersifat kekal.
Penggunaan metafora tersebut adalah upaya yang
dilakukan penulis dalam mengungkapkan gagasan tentang
ketidaksetujuannya terhadap wacana pemerintah tentang
pembubaran organisasi HTI. Hal ini berkaitan dengan analisis data
(32) dan (7) bahwa HTI sebagai organisasi, bisa salah, sehingga
diperbaki dengan pengetahuan dan ilmu. Jadi pemerintah tidak
perlu membubarkan organisasi tersebut.
2. Analisis Struktur Makro, Supra, dan Mikro dalam Wacana KN
Khilafah NKRI
(1)Mungkin ini bukan yang paling urgen. Tetapi apa yang tidak urgen
di Indonesia hari ini? Perkara mana yang kalah urgen dibanding lain-lainnya?
(2)Ibarat sedang masak sayur di dapur, perkenankan saya
menuntaskannya menuju matang.
(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang menyangkut
penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati
setiap kali menatap Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena
lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak
99
kenal” saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib “lapor”
kepada diri saya sendiri:
(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah
aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah
benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau
kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar
atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan
ini. (TOPIK/TEMA)
(5)Karena saya tidak mau bikin perkara dengan Tuhan Yang Maha
Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan manusia adalah “Inni
Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai
Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak, ada Hizbut-Tahrir atau
tidak, pakai Hizib-Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari
wujud adanya manusia.
(6)Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan kelapa bukan
semangka, kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut
Nabi Musa keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa tahu
berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya,
beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak
punya secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.
(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah adalah tuntunan
manajemen agar perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan
keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila dengan Metoda
Khilafah. Juga Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila. (SUB TOPIK)
(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah tidak membebani
manusia melebihi kadarnya. Khilafah adalah Allah mentransfer benih-
benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat
sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-hambaNya berkebun dengan
menghasilkan buah-buah surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya
menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya. (SUB
TOPIK)
(9)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya
“kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber filosofi Anda.
Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut, di-
tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-cocokan di antara kita,
faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu-
gelombang-annya. Belajar terbuka dan jujur saja.
(10)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan menjadi alat dan medan
untuk kita berperang. Belajar menentukan kadar “puasa” dan tahan diri
masing-masing, agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul umuri
ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a rofa’aha
wawadlo’al mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,
meletakkan keseimbangan pada keduanya.
(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari Nol-Peradaban,
sehingga semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara murni dari
Kalimat Tesis
100
awal persemaian. Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis
pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan
kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan
berendah-hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap
segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh. (FAKTA)
(12)Allah juga memberi keringanan kepada kelemahan manusia. Ia
tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain Islam besar, yang
berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin sore”, 14 abad
silam, tatkala Ia menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini
telah kulengkapkan Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada
kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai modal
untuk membangun peradaban di sisa senja hari usia alam semesta.
(13)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam Silmi secara
kaffah”. Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah
di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya “nekad”
menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”,
“Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung, pesantren,
padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. Saya berpuasa
dari Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak
pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.
(14)“Sinau Bareng” dengan anak-anak muda, Bapak Ibu Kakek
Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres, Dandim,
Danramil, Kapolsek, para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu
dan simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita. “Indonesia
Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami jadikan landasan berpikir, bersikap
dan mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi
kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.
(15)Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan
menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani
agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan
Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta berbagai “hawa
global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin manusia lainnya.
(16)72 tahun merdeka belum cukup untuk membangun Indonesia
Besar yang tidak besar kepala di Jakarta. Yang bisa membedakan antara
“otoritas” dengan “otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-
wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya. Tidak
memusuhi siapa saja yang seharusnya dirangkulnya. Tidak merasa pantas
untuk sewenang- wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak
meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau perilaku apapun
agar tercapai kepentingannya.
(KN)
101
a. Struktur Makro
Berdasarkan bahasa yang digunakan, wacana di atas berisi
Penerapan Khilafah yang sudah ada dalam NKRI. Makna global yang
ingin disampaikan oleh penulis adalah tentang Khilafah NKRI. Hal ini
terlihat pada paragraf 4. Pada paragraf ini penulis menyatakan tema/topik
tentang Khilafah sebagai nilai yang sudah diterapkan di NKRI dengan
segala keterbatasannya.
Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis
menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat
pada paragraf 7 dan 8. Pada paragraf 7 penulis membahas mengenai
hakikat Khilafah yang bertujuan mewujudkan sila kelima yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian pada paragraf 8, penulis
membahas mengenai pemahaman Khilafah yang berbeda sehingga bisa
menjadi alasan mengapa Indonesia bisa dikatakan sudah menerapkan
Khilafah.
Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada
makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada
paragraf 11. Dalam hal ini fakta yang ditunjukkan berkaitan dengan
penguatan mengenai keadaan Bhineka Tunggal Ika yang ada di
Indonesia, dalam hal ini penulis menggunakan gaya bahasa
perumpamaan, sehingga tidak pas jika memahami Khilafah sebagai
barang jadi yang dipaksakan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta ini
muncul pemahaman bahwa NKRI juga bisa dikatakan sudah
menerapkan aplikasi Khilafah. Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan
fakta yang disampaikan penulis dalam wacana dapat dikatakan secara
mikro makna wacana di atas adalah Aplikasi Khilafah dalam NKRI.
102
b. Struktur Supra
Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Khasanah
dan ditulis pada bulan Juni 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,
terdapat 3 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 3 paragraf
tersebut adalah paragarf 1, 2, dan paragraf 3.
Wacana di atas memulai pendahuluan dengan menggunakan
teknik pertanyaan retoris. Dalam hal ini, penulis esai melontarkan
pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun mengajak pembaca
untuk ikut memikirkan permasalahan yang menjadi topik esai. Kemudian
pada paragraf 2, penulis esai menggunakan perumpamaan. Paragraf 2
hanya terdiri dari 1 kalimat. Selanjutnya pada paragraf 3, penulis mulai
menggunakan latar untuk mengantarkan pembaca pada topik esai yang
akan dibahas.
Selanjutnya, pada paragraf 4, penulis esai mencatumkan kalimat
tesis berupa mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah
sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya,
salah benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Kalimat tesis ini
berisi gagasan yang mengendalikan arah dan batas dari esai yang akan
dibahas pada tubuh esai, dalam hal ini kalimat ini membatasi tentang
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah sebuah aplikasi
Khilafah.
Kemudian kalimat tesis di atas dijelaskan dalam tubuh esai pada
paragraf 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15. Pada paragraf 5
dijelaskan tentang alasan mengapa NKRI sudah aplikasi Khilafah karena
menurut penulis yang mengutip Q.S. Al Baqarah : 30 yang berbunyi
“Inni Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia
sebagai Khalifah di bumi. Jadi, semua tempat yang dihuni manusia di
bumi adalah Khilafah.
103
Kemudian pada paragraf 6, penulis kembali menegaskan bahwa
Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diingkari.
Selanjutnya, pada paragraf 7 penulis mencoba mengaitkan Pancasila yang
menjadi ideologi NKRI, dengan konsep Khilafah yang menurut penulis
mencapai sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Pada paragraf 8, penulis memperjelas konsep Khilafah.
Dengan menggunakan gaya kiasan, penulis mengibaratkan Khilafah
adalah sebuah benih, bukan barang jadi. Seperti yang diungkapkan
Khilafah adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia menanamnya,
memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-bisanya.
Selanjutnya, penulis menggunakan paragraf 9, 10, dan 11 dengan
menampilkan keadaan yang banyak perbedaan dan perlu
dikerjasamakan, dirajut, di-tunggal-ika-i, disinergikan. Penulis kembali
menggunakan gaya bahasa metafora seperti yang tertulis berikut.
Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis pepohonan,
rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan
kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-
tanamnya, dan berendah-hati untuk menahan diri dari
kemungkinan perusakan terhadap segala sesuatu yang sudah
terlanjur tumbuh.
Selanjutnya pada paragraf 12, penulis memberikan penekanan
bahwa Ia (Allah) tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain
Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Tetapi,
menurut penulis yang dilanjutkan pada paragraf 13, Allah membatasi
tuntutannya dengan Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah. Selanjutnya
ia menjelaskan bahwa penulis telah menyemaikan Silmi itu di seantero
Nusantara. Pada paragraf 14, penulis menjelaskan lebih rinci tentang apa
yang diungkapkan pada paragraf 13.
Pada bagian penutup, penulis mengakhiri esai dengan 2 paragraf
yang terdiri dari paragraf 15 dan 16. Pada paragraf 15, penulis
mengungkapkan adanya sebuah perbedaan antara Indonesia Besar dan
104
Indonesia Kecil. Indonesia besar dimaknai sebagai pemerintah pusat,
yang diungkapkan oleh penulis cenderung ke arah negatif, sehingga perlu
bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor
destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Maksudnya adalah membuat Pagar
jasmani rohani agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia
Besar”, pemerintahan Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak
serta berbagai “hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin
manusia lainnya.
Pada paragraf terakhir, jika dikaitkan dengan kalimat tesis pada
paragraf 4, penulis kembali menekankan keadaan Indonesia Besar yang
cenderung negatif. Indonesia Besar yang digambarkan oleh penulis
merupakan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,
mulia hinanya serta indah joroknya yang diungkapkan di kalimat tesis
pada paragraf 4.
c. Struktur Mikro
1) Aspek Semantik
a) Latar
Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana KN adalah
tentang penulis mengikuti rapat yang membahas HTI.
(45)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang
menyangkut penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan
fix. Ada rasa getir di hati setiap kali menatap Indonesia. Tapi
secara pribadi saya bersyukur karena lembaga Negara, aparat
Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak kenal”
saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib
“lapor” kepada diri saya sendiri: (Paragraf 3)
Pada data (45) di atas, penulis esai memberitahukan kepada
pembaca bahwa sebelum menulis esai ini, sebelumnya ia mengikuti
rapat yang menyangkut penanganan hukum atas HTI. Dalam
paragraf ini penulis esai menekankan bahwa ia terlibat baik itu
secara langsung atau tidak dalam diskusi dengan pemerintah atas
105
HTI. Namun, satu hal yang pasti, penulis berada sangat dekat
dengan forum itu karena jika melihat esai ini yang diterbitkan pada
tanggal 7 Juni 2017, sedangkan keputusan yang menyangkut
penanganan hukum HTI yang diwujudkan dalam bentuk Perppu
Ormas baru diumumkan secara resmi oleh pemerintah pada
tanggal 10 Juli 2017. Dari hasil diskusi yang sudah ditetapkan, ada
keresahan dalam diri penulis dari keputusan yang sudah dibuat
pemerintah. Oleh karena itu, ia perlu membuat esai tersebut.
b) Rincian
Rincian merupakan elemen wacana yang menunjukkan
rincian dalam wacana. Penanda rincian dalam wacana adalah kata
yakni, adalah, yaitu, sebagai berikut, dan seperti. Berikut ini
disajikan beberapa kutipan yang menyatakan rincian.
(46)Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,
pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati
rakyat kecil”. (Paragraf 13 kalimat 4)
Berdasarkan kutipan data (46), penanda yang digunakan
adalah tanda titik dua (:). Hal yang dirinci dalam kutipan wacana di
atas adalah tentang masyarakat lokal yang berada di bawah ruang
lingkup kabupaten. Rincian tersebut digunakan untuk memberikan
penekanan dan penjelasan yang detail pada gagasan bahwa penulis
selama puluhan tahun sudah menyemaikan konsep Silmi, yang jika
diartikan secara denotatif adalah kedamaian, ke seluruh penjuru
tanah air. Lihatlah data (47) di bawah ini.
(47)Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara selama
30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan menyemaikan
“Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam
esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,
pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati
rakyat kecil”. (Paragraf 13 kalimat 3)
106
Analisis tersebut mendukung analisis struktur supra
sebelumnya bahwa Allah membatasi tuntutannya dengan Masuklah
ke dalam Silmi secara kaffah. Bukan masuklah ke dalam Islam,
melainkan Silmi. Hal itu menjadi analisis rincian selanjutnya yaitu
pada kutipan di bawah ini.
(48)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke
dalam Silmi secara kaffah”. (Paragraf 13 kalimat 1)
Data (48) di atas menunjukkan elemen rincian yang
digunakan yaitu tanda titik dua (:). Hal yang dirinci adalah tentang
batasan tuntutan Allah. Rincian untuk mendukung dan menjadi dasar
tesis dari wacana KN bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
sudah menerapkan aplikasi khilafah. Namun, bukan seperti yang
dicita-citakan oleh organisasi HTI. Khilafah yang diterapkan
menurut penulis yaitu Khilafah Silmi, bukan Khilafah Islam. Hal ini
menjadi jawaban atas analisis data pada esai sebelumnya yaitu esai
KIKS bahwa penulis mempunyai dua pendapat dalam memandang
konsep Khilafah yang dibicarakan. Di satu sisi, penulis memandang
Khilafah sebagai keniscayaan secara esensial, di sisi lain
memandang Khilafah sebagai sistem kenegaranan. Hal yang
pertama, penulis setuju. Hal yang kedua, penulis tidak sepakat.
Analisis ini membuat solusi bahwa sebenarnya Khilafah sebagai
sistem ketatanegaraan sudah diterapkan di NKRI.
c) Nominalisasi
Nominalisasi merupakan elemen wacana yang merupakan
salah satu bagian eksklusi dan menjadi strategi untuk menghilangkan
kelompok aktor sosial tertentu. Strategi ini berkaitan dengan
pengubahan kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina).
Umumnya nominalisasi dilakukan dengan memberikan imbuhan
pe-an. Berikut ini disajikan beberapa kutipan yang menyatakan
nominalisasi.
107
(49)Hal-hal yang menyangkut penanganan hukum atas
HTI, sudah ketemu dan fix. (Paragraf 3 kalimat 2)
Dalam kutipan data (49) tersebut nominaliasi yang digunakan
adalah kata penanganan. Penggunaan nominalisasi itu bertujuan
untuk menghilangkan kelompok yang menjadi pelaku dalam
menangani hukum atas HTI tersebut. Jika melihat paragraf utuhnya
dalam paragraf 3, pada kalimat 4 terdapat penyebutan subjek dan
kelompok sosial seperti penulis sendiri, lembaga Negara, dan aparat
pemerintahan. Siapa yang menangani hukum atas HTI, yang jelas
dalam hal ini seharusnya adalah pihak yang berwenang yaitu lembaga
negara yang dikelola oleh aparat pemerintah. Namun, karena Dalam
hal ini, penulis berupaya untuk tidak menampilkan siapa yang
menangani hukum atas organisasi HTI.
Selain itu, nominalisasi lain juaga speerti halnya yang terlihat
pada data (50) di bawah ini.
(50)Khilafah memerlukan kearifan manajemen,
memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-
hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap
segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.(Paragraf 11
kalimat 3)
Dalam kutipan data (50) tersebut nominaliasi yang digunakan
adalah kata perusakan. Penggunaan nominalisasi itu bertujuan untuk
menghilangkan kelompok yang merusak tersebut. Jika melihat
paragraf utuhnya dalam paragraf 11, penulis sedang membicarakan hal
terkait dengan penerapan Khilafah yang harus disesuaikan keadaan
daerahnya. Seperti halnya di Indonesia yang mempunyai
keanekaragaman sosial, budaya, agama, dan sebagainya sehingga
tidak menimbulkan dampak buruk, apalagi dampaknya berkaitan
dengan kerusakan keanekaragaman tersebut. Jadi, jika dikaitkan
dengan kalimat sebelumnya, penulis kelompok yang dimungkinkan
merusak itu adalah penerapan Khilafah itu sendiri.
108
2) Aspek Sintaksis
a) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat pada wacana KN banyak menggunakan
kalimat aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang
menjadi objek dari tanggapannya. Dalam wacana KN kalimat
banyak menempatkan subjek sebagai hal yang ingin ditonjolkan.
Hal ini menunjukkan bahwa Khilafah Silmi dalam penerapannya
di NKRI yang diwacanakan. Berikut merupakan kutipan beberapa
bentuk kalimat dalam wacana KN.
Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang digunakan
oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek sebagai hal
yang ingin ditonjolkan. Terlihat dari data (51), penulis esai
menyampaikan tentang khilafah yang menjadi sebuah keniscayaan
yang tidak bisa dipngkiri dalam wacana tersebut.
(51)Saya tidak bisa tahu berapa tinggi badan Nabi
Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya, beliau
ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi
saya tidak punya secuilpun peluang untuk mengingkari
khilafah. (Paragraf 6 kalimat 2)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
aktif dengan kata ganti pertama tunggal saya menjadi subjek. Penulis
dalam hal ini ingin menekankan bahwa terkait dengan gagasan
Khilafah, saya yang merujuk pada penulis sendiri yaitu Emha Ainun
Najib, tidak bisa mengingkari keberadaannya. Seperti halnya yang
sudah dibahas di wacana sebelumnya bahwa khilafah adalah
keniscayaan, yang tidak boleh tidak. Penekanan di sini adalah bahwa
yang menyampaikan gagasan itu adalah ia sendiri, bukan mewakili
siapapun. Jadi, ketika memang penulis sengaja menonjolkan dirinya
dalam mengungkapkan gagasan tersebut, yang mungkin saja bisa
timbul pro dan kontra.
109
Selanjutnya dalam data (52), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai adanya keinginan untuk menulis
mengenai Pancasila dan Khilafah –walaupun dalam wacana KN
sebenarnya sudah menyinggung tentang dua hal tersebut.
(52)Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan
keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila
dengan Metoda Khilafah. (4)Juga Memahami Khilafah
lewat Pintu Pancasila. (Paragraf 7 kalimat 3 dan 4)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menempatkan Allah
sebagai subjek, dan objeknya adalah penulis sendiri, yaitu Emha
Ainun Najib. Dalam kalimat tersebut, penulis mencoba membuat
wacana tentang Pancasila dan Khilafah yang tidak berseberangan.
Namun, aspek yang ditonjolkan di sini bukan penulis sendiri,
melainkan Allah. Bahwa wacana yang ingin ditulis tersebut tidak
akan bisa jika Allah tidak mengijinkan. Hal ini terlihat kepasrahan
penulis terhadap Sang Pencipta dalam upaya mengungkapkan
gagasan mengenai Khilafah dan Pancasila tersebut.
Kemudian dalam data (53), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai ide pokok dari wacana KN yakni
NKRI sudah menerapkan Khilafah.
(53)Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa
dikerjasamakan, dirajut, di-tunggal-ika-i, disinergikan.
(Paragraf 9 kalimat 2)
Hal ini berbeda dengan analisis data (51). Analisis data
dalam mengungkapkan gagasan mengenai Khilafah adalah
keniscayaan yang tidak bisa diingkari subjek pengemuka pendapat
itu sendiri adalah penulis yaitu Emha Ainun Najib. Namun, dalam
data (53) di atas, penulis menggunakan kata ganti pertama jamak
kita sebagai subjek. Hal yang ingin ditonjolkan adalah satuan
lingual kita itu yang dalam kesatuan gagasannya berkaitan dengan
analisis data (50) aspek semantik naominalisasi yaitu mengenai
110
penerapan Khilafah yang harus disesuaikan keadaan daerahnya
yang beranekaragam bentuk sosial budayanya. Komponen
keanekaragaman itu yang nantinya perlu disinergikan.
Selanjutnya dalam data (54), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai dasar konsep Khilafah Silmi.
(54)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke
dalam Silmi secara kaffah”. (Paragraf 13 kalimat 1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menempatkan Allah
sebagai subjek, yang menunjukkan bahwa Allah Sang Pencipta
yang ingin ditonjolkan. Dasar gagasan NKRI sudah menerapkan
adalah adanya konsep Khilafah Silmi tersebut -yang dibahas di
analisis wacana KIKS sebelumnya. Konsep yang mendasari dasar
munculnya gagasan wacana KN ini diungkapkan dengan
menonjolkan bahwa Allah sebagai Tuhan Semesta Alam yang
menyatakan hal itu. Itu adalah strategi penulis agar dasar konsep
tersebut tidak dianggap sebagai opini pribadi Emha Ainun Najib.
Selanjutnya dalam data (55), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai korelasi antara mengabdi kepada
Tuhan dan mengabdi kepada tanah air.
(55)Kita mencintai dan mengabdi kepada Tuhan
sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.
(Paragraf 14 kalimat 3)
Sama dengan analisis data (53), data (55) di atas pun penulis
esai menempatkan kembali kata ganti pertama jamak kita sebagai
subjek, yang menunjukkan bahwa bukan hanya penulis sendiri
yang ada dalam konteks kalimat tersebut, tetapi jamak. Penggunaan
kalimat aktif tersebut sebagai upaya penekanan terhadap
subjeknya.
111
Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang
digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis umumnya
digunakan untuk menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara
mempunyai keragaman sosial budaya.
(56)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari
Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa
dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian.
(Paragraf 11 kalimat 1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
pasif dengan menitikberatkan pada Indonesia sebagai fokus
pembicaraan. Konteks dari kalimat pasif tersebut adalah mengenai
bagaimana Indonesia sebagai negara yang penuh dengan keragaman
sosial budaya dipaksakan dengan penerapan Khilafah. Oleh karena
itu, penerapan Khilafah yang cocok adalah disesuaikan dengan
kondisi keragaman masyarakat yang ada.
b) Kohesi (Gramatikal)
(1) Pengacuan
Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat
dilihat dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan)
merupakan salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan
(referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada satuan
lingual lain. Dalam wacana pengacuan anafora, pengacuan
katafora, pengacuan katafora, pengacuan persona, pengacuan
demonstratif, dan pengacuan komparatif.
(a) Anafora
(57)Mohon izin saya bersangka baik bahwa
NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan
segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,
mulia hinanya serta indah joroknya. (2)Termasuk niat
suci atau kemunafikan pelakunya. (3)Apakah khilafah
NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau
112
tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan
ini. (Paragraf 4 kalimat 1 s.d 3)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (57),
yaitu akhiran –nya pada beberapa kata seperti
‘keterbatasannya’, ‘baik buruknya’, ‘salah benarnya’, ‘mulia
hinanya’, ‘indah joroknya’, ‘pelakunya’, dan ‘urusannya’.
Dalam kalimat tersebut menjelaskan meng enai
pendapat penulis mengenai NKRI yang sudah
menerapkan Khilafah, dengan segala keterbatasannya.
Akhiran –nya dalam kata tersebut merujuk pada penerapan
aplikasi Khilafah di NKRI. Hal ini mendukung temuan data
sebelumnya dalam aspek analisis makro yang dilakukan dalam
menentukan tema utama dalam wacana KN.
(58)Ia tidak menuntut suatu desain besar Islam
atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal
tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 2)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (58)
yaitu anafora dalam bentuk persona yang terwujud dalam kata Ia.
Penggunaan anafora persona merujuk pada kalimat sebelumnya
yaitu kalimat 1. Lihatlah kutipan data di bawah ini.
(59)Allah juga memberi keringanan kepada
kelemahan manusia. (Paragraf 12 kalimat 1)
Penulis secara eksplisit merujuk kata ganti Ia kepada
Allah yang dalam konteks pembahasan di data (58) adalah
tentang konsep dasar mengenai penerapan Khilafah Silmi di
Indonesia, bukan Khilafah Islam sebagai sebuah sistem
ketatanegaraan. Hal ini juga berkaitan dan mendukung analisis
data (54) aspek sintaksis bentuk kalimat tentang Allah membatasi
tuntutannya. Ini menunjukkan kepaduan dengan data
sebelumnya.
113
(b) Katafora
Dalam wacana KN, peneliti tidak menemukan adanya
data mengenai pengacuan katafora.
(c) Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina
persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah
pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.
Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri
(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang
diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada
orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).
(i) Pronomina persona pertama
(60)Mohon izin saya bersangka baik bahwa
NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan
segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,
mulia hinanya serta indah joroknya. (Paragraf 4 kalimat
1)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (60)
yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud dalam kata
‘saya’. Kata saya merupakan pronomina persona yang mengacu
pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu Emha Ainun
Najib. Penggunaan pronomina ini digunakan penulis sebagai
upaya menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa gagasan
NKRI adalah aplikasi Khilafah memang dari dirinya pribadi.
Bukan dari diri atau kelompok sosial lain. Hal ini merinci
analisis data (57) sebelumnya dan mendukung temuan data
dalam aspek analisis makro yang dilakukan dalam menentukan
tema utama dalam wacana KN.
(61)Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara
selama 30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan
menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam
114
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.
(Paragraf 13 kalimat 3)
Sama dengan analisis sebelumnya, pengacuan persona
yang terdapat pada kutipan data (61) terwujud dalam kata
‘saya’. Kata saya ini merujuk kepada penulis, yaitu Emha
Ainun Najib. Dalam kalimat tersebut penulis ingin menunjukkan
bahwa gagasan mengenai Silmi yang menjadi konsep Khilafah
Silmi selanjutnya sudah dilakukan oleh penulis selama puluhan
tahun di beberapa dearah. Penggunaan pronomina ini juga
mendukung temuan data tesis bahwa NKRI sudah menerapkan
aplikasi Khilafah. Juga mendukung temuan data (47) aspek
semantik rincian mengenai penerapan Khilafah Silmi di NKRI.
(ii) Pronomina persona kedua
Dalam wacana KN, ditemukan 1 (satu) temuan data
pronomina persona kedua. Namun temuan data tersebut tidak
berkaitan dengan gagasan mengenai pemerintah, khilafah, dan
negara yang menjadi fokus pembahasan.
(iii) Pronomina persona ketiga
(62)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”,
Allah tidak membebani manusia melebihi kadarnya.
(2)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-benih,
manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya,
mencoba merawat sebisa-bisanya. (Paragraf 8 kalimat 1
dan 2)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (62) yaitu
pronomina dalam bentuk persona ketiga tunggal lekat kanan –
nya. Penggunaan persona tersebut merujuk kepada manusia
sebagai ciptaan Allah. Ada hubungan antara Tuhan dan
makhluknya dalam data ini. hubungan tersebut seperti halnya
top-down dengan manusia sebagai objeknya dari Sang
115
Penciptanya. Penggunaan pronomina ini juga mendukung data
(54) aspek sintaksis bentuk kalimat mengenai Allah membatasi
tuntutannya kepada makhluknya, manusia.
(63)Ia tidak menuntut suatu desain besar Islam
atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal
tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 2)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (63) yaitu
persona ketiga tunggal Ia. Analisis ini sama dengan yang sudah
dilakukan pada data (58) aspek sintaksis anafora. Hanya analisis
ini menekankan kembali bahwa selain data tersebut masuk ke
dalam analisis anafora, juga diperkuat dengan analisis
pronomina persona ketiga bahwa Allah tidak mewajibkan
manusia mendirikan Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan.
(d) Pengacuan Demonstratif
Dalam wacana KN terdapat pronomina demonstratif
waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut
ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan
pengacuan demonstratif yang digunakan.
(64)Mohon izin saya bersangka baik bahwa
NKRI ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan
segala keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya,
mulia hinanya serta indah joroknya. (3)Apakah khilafah
NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau
tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan
ini. (Paragraf 4 kalimat 1 dan 3)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (64) yaitu
demonstratif tempat (lokasional) yang dekat dengan pembicara
yaitu pada kata ini dalam kata NKRI ini dan kehidupan ini.
Penggunaan demonstratif tersebut menunjukkan penulis ingin
menegaskan bahwa wilayah yang dimaksud NKRI adalah
memang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini
menjadi tempat tinggal penulis. Seperti diketahui, Emha Ainun
116
Najib lahir di Jombang, Jawa Timur dan saat ini tinggal di
Yogyakarta. Namun, selain dianalisis sebagai demonstratif
lokasional, kata ini dalam kata NKRI ini dapat juga
dikategorikan sebagai pronomina demonstratif waktu yang
mengacu pada waktu kini atau sekarang. Sesuai dengan tulisan
itu dibuat, waktu yang dimaksud penulis merujuk pada keadaan
NKRI pada tanggal 7 Juni 2017.
(65)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Ada rasa
getir di hati setiap kali menatap Indonesia. (Paragraf 3
kalimat 1 dan 3)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (65) yang
pertama seperti terlihat pada kata itu yang merupakan pengacuan
demonstratif tempat (lokasional). Hal ini menunjukkan hal yang
diacu penulis berada agak dekat dari keberadaan penulis.
Dengan kata lain, penulis dalam konteks kalimat itu, ia sedang
berada di tempat yang agak dekat dengan tempat yang
dimaksudkan pada tuturan itu, yaitu berada di ruangan.
Kemudian pengacuan demonstratif lainnya terdapat pada kata
Indonesia yang merupakan pengacuan demonstratif tempat
(lokasional). Pengacuan ini menunjukkan hal yang disampaikan
penulis esai adalah hal yang terjadi saat ini. Analisis ini
menguatkan analisis pada data (45) aspek latar sebelumnya
mengenai penulis terlibat baik itu secara langsung atau tidak
dalam diskusi dengan pemerintah terkait penanganan hukum atas
HTI.
(e) Pengacuan Komparatif
Dalam wacana KN, ditemukan 1 (satu) temuan data
pengacuan komparatif. Namun temuan data tersebut tidak
berkaitan dengan gagasan mengenai pemerintah, khilafah, dan
negara yang menjadi fokus pembahasan.
117
(2) Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi yang digunakan dalam wacana KN adalah
konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif,
dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan pemakaian
konjungsi dalam wacana KN tersebut.
(a) Koordinatif
(66)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan
menjadi alat (koordinatif)dan medan untuk kita
berperang. (2)Belajar menentukan kadar “puasa” dan
tahan diri masing-masing, agar dicapai titik tengah dan
keseimbangan. (Paragraf 10 kalimat 1 dan 2)
Konjungsi yang digunakan dalam data (66) adalah
konjungsi koordinatif melalui konjungtor dan yang menyatakan
makna penambahan/ penjumlahan. Penulis ingin menekankan
bahwa keragaman sosial dan budaya berwujud bhineka tunggal
ika yang ada di Indonesia bisa menjadi modal dalam penerapan
Khilafah Silmi,bukan Khilafah Islam. Keragaman yang disebut
oleh penulis dalam data di atas sebagai perbedaan bukan
sebagai alat dan medan untuk mewujudkan kerusakan.
Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah
konjungsi atau. Konjungsi ini terlihat pada data (67) di bawah
ini.
(67)Ia tidak menuntut suatu desain besar Islam
atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal
tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 2)
Data (67) di atas menggunakan konjungsi kordinatif
melalui konjungtor atau yang menyatakan makna pemilihan.
Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk memberikan
pilihan bahwa Allah sebagai Sang Pencipta membatasi
tuntutannya sesuai dengan kadar kemampuannya. Salah satu
118
kemampuan yang saat ini dilakukan adalah penerapan Khilafah
Silmi di NKRI, bukan Khilafah Islam. Hal itu ditekankan
melalui penggunaan konjungsi pemilihan di atas yang
menampilkan desain besar Islam atau desain Islam besar yang
kedua-duanya mengacu kepada cita-cita HTI yaitu penegakkan
Khilafah sebagai sistem kenegaraan.
(b) Subordinatif
(68)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI
ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala
keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia
hinanya serta indah joroknya. (Paragraf 4 kalimat 1)
Data (68) di atas menggunakan konjungsi subordinatif
melalui konjungtor bahwa yang menyatakan makna
komplementasi. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut
menggabungkan preposisi untuk mengisi bagian yang kosong
dari posisi lain. Penggunaan konjungsi subordinatif ini merinci
analisis data (57) sebelumnya dan mendukung temuan data
dalam aspek analisis makro yang dilakukan dalam menentukan
tema utama dalam wacana KN yaitu NKRI adalah aplikasi
Khilafah.
(69)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari
Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa
dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian.
(Paragraf 11 kalimat 1)
Data (69) di atas menggunakan konjungsi subordinatif
melalui konjungtor sehingga yang menyatakan makna hasil.
Penggunaan konjungsi tersebut sebagai upaya penulis dalam
menyampaikan pesan bahwa klausa pertama menjadi dasar
munculnya hasil terhadap klausa kedua. Klausa pertama
mengungkapkan pesan bahwa Indonesia bukalah negara yang
masih baru dengan ciri homogen, tetapi negara yang sudah
119
mendekati satu abad dan punya ciri yang heterogen dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, klausa kedua
menekankan bahwa terkait dengan klausa pertama, Khilafah
tidak bisa diterapkan secara murni yang digagas oleh HTI yaitu
konsep Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan. Analisis mikro
ini mendukung analisis pada data (56) aspek sintaksis bahwa
Khilafah yang cocok adalah disesuaikan dengan kondisi
keragaman masyarakat yang ada.
(c) Korelatif
Dalam esai KN, peneliti tidak menemukan konjungsi
korelatif.
(d) Antar kalimat
Konjungsi antarkalimat ini berbeda dengan konjungsi-
konjungsi sebelumya. Konjungsi antarkalimat adalah sebuah kata
hubung yang menghubungkan satu kalimat dengan kaimat yang
lain. Oleh sebab itu, jenis konjungsi ini selalu muncul di awal
kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan
menggunakan huruf kapital.
(70)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga.
(Paragraf 7 kalimat 1)
Data (70) di atas menggunakan konjungsi antarkalimat
melalui konjungtor tetapi yang menyatakan makna
pertentangan. Konjungsi dalam data di atas bukan hanya antar
kalimat, tetapi juga antar paragraf karena data tersebut
merupakan kalimat awal di paragraf 7. Konjungsi tersebut untuk
mempertentangkan paragraf sebelumnya, yaitu paragraf 6.
Seperti yang sudah dijelaskan pada analisis struktur
supra sebelumnya bahwa pada paragraf 6, penulis membahas
120
tentang khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa
diingkari. Namun, gagasan itu juga dipertentangkan oleh penulis
menggunakan konjungsi antar kalimat tetapi yang bertujuan
menyampaikan bahwa walaupun Khilafah adalah sebuah
keniscayaan yang diberikan oleh Tuhan, tetapi Khilafah juga
bukan barang jadi dengan segala kenikmatannya. Penulis dalam
hal ini menganalogikannya dengan Negeri Surga. Hal ini
menjadi kesatuan gagasan penulis bahwa memang bukan
Khilafah Islam seperti yang dicita-citakan oleh HTI, tetapi
Khilafah Silmi yang saat ini pun Indonesia sudah
mengaplikasikannya.
c) Kohesi (Leksikal)
Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis
juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang
kepaduan wacana KN. Adapun peranti kohesif leksikal yang
digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan
kutipan tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang
digunakan dalam wacana KN.
(1) Repetisi
(71)Sudah di 3789 titik di seantero Nusantara
selama 30-40 tahun ini saya “nekad” menanam dan
menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.
Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,
pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati
rakyat kecil”. (Paragraf 13 kalimat 3)
Data (71) di atas, kohesif repetisi yang digunakan
dalam bentuk satuan lingual Islam. Pada tuturan di atas, kata
Islam merupakan repetisi epizeuksis yang diulang beberapa kali
secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata
tersebut dalam konteks tuturan itu. Satuan lingual tersebut
121
diulang 4 (empat) kali dalam satu kalimat. Dalam hal ini,
penulis ingin menekankan bahwa satuan lingual tersebut sedang
ditonjolkan. Seperti halnya yang terdapat dalam analisis struktur
supra, bahwa Allah membatasi tuntutannya dengan Masuklah
ke dalam Silmi secara kaffah. Bukan masuklah ke dalam Islam,
melainkan Silmi. Kata Silmi diartikan sebagai kedamaian.
Upaya penulis melalui repetisi kata Islam di sini yaitu
menekankan kepada pembaca bahwa konsep Silmi adalah
Islam. Begitupun sebaliknya. Silmi menurut penulis adalah
“Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam
lokal-konstekstual.”
(72)Yang tidak Adigang adigung adiguna
kepada rakyatnya. (5)Tidak memusuhi siapa saja yang
seharusnya dirangkulnya. (6)Tidak merasa pantas untuk
sewenang- wenang. (7)Tidak mengambil alih otoritas
Tuhan. (8)Tidak meminjam tangan Iblis. (9)Tidak
berkostum Malaikat. (Paragraf 16 kalimat 4 s.d 9)
Data (72) di atas, kohesif repetisi yang digunakan
adalah repetisi anafora. Repetisi tersebut mengulang satuan
lingual berupa kata atau frasa pertama pada akhir baris atau
kalimat berikutnya. Satuan lingual tidak dalam paragraf
tersebut diulang 6 (enam) kali secara berturut-turut di awal tiap
kalimat. Dalam hal ini, penulis ingin menekankan bahwa satuan
lingual tersebut sedang ditonjolkan. Seperti halnya yang
terdapat dalam analisis struktur supra, data (40) tersebut
mendukung bahwa paragraf tersebut adalah kalimat tesis, yaitu
bukan khilafah Islam yang saat ini diperlukan, tetapi cukup
dengan khilafah silmi. Kata Silmi diartikan sebagai kedamaian.
Satuan lingual ini yang menjadi kata kunci dan mengendalikan
arah serta batas dari esai yang akan dibahas.
122
d) Koherensi
Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga
perlu diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi
merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan
ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami
pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang
digunakan dalam wacana KN, di antaranya (1) hubungan latar
kesimpulan, (2) hubungan parafrastis, (3) hubungan aditif waktu
(simultan dan berurutan), dan (4) hubungan identifikasi. Berikut ini
merupakan aspek koherensi yang digunakan dalam wacana Esai
tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com.
(1) Hubungan Latar-Kesimpulan
(73)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah
tidak membebani manusia melebihi kadarnya. (2)Khilafah
adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia
menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba
merawat sebisa-bisanya. (3)Allah tidak menagih hamba-
hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah
surga. (4)Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan
buahnya, manusia hanya menanam dan
merawatnya.(koherensi latar-simpulan) (Paragraf 8
kalimat 1 s.d 4)
Data (73) di atas menunjukkan koherensi yang dinyatakan
dengan salah satu kalimat menyatakan simpulan atas pernyataan
pada kalimat lainnya. Berdasarkan kutipan di atas, penulis
menjadikan kalimat 1, 2, dan 3 sebagai latar yang menjelaskan
kemurahan Allah terhadap hambanya yang tidak akan
memberikan beban di luar kemampuannya. Hal yang dimaksud
dalam hal ini adalah organisasi HTI yang mempunyai cita-cita
menciptakan desain besar Islam dalam konsep Khilafah. Penulis
pun mempunyai konsep Khilafah yang berbeda dengan HTI.
Khilafah yang dimaksud adalah Khilafah Silmi dengan
penyesuaian terhadap wilayah masing-masing yang beragam.
123
Selanjutnya pada kalimat 4 terdapat koherensi kesimpulan yaitu
Allah sebagai Sang Pencipta yang menciptakan Khilafah, karena
memang menurut penulis itu adalah keniscayaan. Akan tetapi,
manusia punya andil dalam menyesuaikan penerapan Khilafah di
wilayahnya masing-masing. Tidak seragam seperti yang dicita-
citakan oleh HTI.
(2) Hubungan Parafrastis
(74)Allah juga memberi keringanan kepada
kelemahan manusia. (2)Ia tidak menuntut suatu desain
besar Islam atau desain Islam besar, yang berlaku di
setiap jengkal tanah di bumi. (Paragraf 12 kalimat 1 dan
2)
Data (74) di atas menunjukkan koherensi hubungan
parafrastis yang dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan
pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat
berikutnya. Berdasarkan data di atas, gagasan pada kalimat 1
tentang Allah memberi keringanan kepada kelemahan manusia
dinyatakan secara lain pada kalimat 2 yang bertujuan
memperkuat gagasan tersebut. Gagasan itu menunjukkan bahwa
Ia (Allah) tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain
Islam besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi.
Analisis ini berkaitan sekaligus menguatkan analisis data (73)
sebelumnya bahwa Allah tidak menuntut umatnya mendirikan
Khilafah sebagai desain Islam besar.
(75)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke
dalam Silmi secara kaffah”. (2)Tuhan tidak memilih
kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. (Paragraf 13
kalimat 1 dan 2)
Data (75) di atas menunjukkan koherensi hubungan
parafrastis yang dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan
pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat
124
berikutnya. Koherensi parafrastis mengenai gagasan pada kalimat
1 tentang Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam
Silmi secara kaffah” dinyatakan secara lain pada kalimat 2 yang
bertujuan memperkuat gagasan sebelumnya. Gagasan tersebut
yaitu bahwa Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam
Islam…”. Penggunaan koherensi parafratis tersebut sebagai upaya
penulis membedakan antara Islam dan Silmi. Jika dikaitkan
dengan konsep khilafah, Khilafah Islam adalah gagasan yang
diusung oleh HTI dalam membuat desain besar Islam sebagai
sistem ketatangeraan. Sedangkan Khilafah Silmi, adalah gagasan
penulis bahwa Khilafah memang sebuah keniscayaan, tetapi
bukan berarti harus Khilafah Islam. Penulis menggunakan Silmi
yang berarti kedamaian.
(3) Hubungan Adiktif
(76)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga.
(2)Khilafah adalah tuntunan manajemen agar perjalanan
sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”. (Paragraf 14 kalimat 1 dan
2)
Kutipan data (76) di atas menunjukkan koherensi
hubungan adiktif yang dinyatakan dengan gagasan pada kalimat
pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan pada kalimat
berikutnya. Koherensi adiktif pada kutipan di atas ditunjukkan
pada kalimat 1 tentang khilafah bukan Negeri Surga diikuti atau
ditambah dengan gagasan pada kalimat 2 yaitu bahwa Khilafah
adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita
memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Analisis ini berkaitan dan mendukung temuan data (70) aspek
sintaksis konjungsi bahwa walaupun Khilafah adalah sebuah
keniscayaan yang diberikan oleh Tuhan, tetapi Khilafah juga
bukan barang jadi dengan segala kenikmatannya. Koherensi
125
adiktif berfungsi menambahkan penjelasan bahwa khilafah adalah
tuntunan manajemen yang selanjutnya dikelola oleh manusia
sebagai subjeknya dalam menyesuaikan keadaan wilayahnya
masing-masing.
(4) Hubungan Identifikasi
(77)Yang bisa membedakan antara “otoritas”
dengan “otoriter”. (3)Antara “kewenangan” dengan
“sewenang-wenang”. (Paragraf 16 kalimat 2 dan 3)
Kutipan data (77) di atas menunjukkan koherensi
hubungan identifikasi yang dinyatakan pada kalimat pertama
didentifikasi dengan kalimat berikutnya. Gagasan pada kalimat 2
tentang otoritas dan otoriter diidentifikasi dengan kalimat 3 yaitu
bahwa kewenangan dan sewenang-sewenang. Jika melihat
analisis struktur supra dalam paragraf 16 menujukkan bahwa
keadaan Indonesia Besar yang cenderung negatif. Kecenderungan
negatif ini oleh penulis dikuatkan dengan kata-kata otoritas dan
otoriter yang diidentifikasi dengan kewenangan dan sewenang-
sewenang.
3) Aspek Retoris
Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara
yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan
pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup
penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang
digunakan. Dalam wacana wacana KN ditemukan 2 aspek ini, yaitu
aspek grafis dan aspek metafora.
a) Grafis
Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian
untuk menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh
penulis yang dapat diamati dari teks atau wacana. Berikut ini
126
disajikan beberapa kutipan yang menunjukkan grafis yang
digunakan dalam wacana KN.
(78)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI
ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala
keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia
hinanya serta indah joroknya. (Paragraf 4 kalimat 1)
Data (78) di atas, grafis yang digunakan penulis yaitu
cetak tebal pada kutipan aplikasi Khilafah. Frasa tersebut ditandai
oleh penulis sebagai hal yang penting dalam kalimat tersebut.
Penulis dalam hal ini berupaya menunjukkan kepada pembaca
bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah. Hal ini
ditekankan karena memang muncul pro kontra mengenai gagasan
Khilafah. Penulis sendiri berpendapat bahwa Khilafah adalah
sebuah keniscayaan yang berarti tidak bisa tidak. Ketika
sebelumnya analisis data (45) aspek semantik latar menjelaskan
mengenai keputusan yang menyangkut penanganan hukum HTI,
kalimat ini ingin menyampaikan pesan bahwa tidak perlu
gundah, bahkan kepada teman-teman HTI bahwa pada dasarnya
NKRI ini menurut penulis sudah menerapkan aplikasi Khilafah
seperti yang sedang diperjuangkan oleh HTI. Walaupun dalam
temuan data menunjukkan adanya perbedaan mengenai konsep
Khilafah tersebut.
(79)Khilafah adalah tuntunan manajemen agar
perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. (3)Semoga pada suatu
hari Allah mengizinkan keinginan saya menulis tentang
Memahami Pancasila dengan Metoda Khilafah. (4)Juga
Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila. (Paragraf 7
kalimat 2 s.d 4)
Data (79) di atas, grafis yang digunakan penulis yaitu
cetak tebal pada kutipan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, Memahami Pancasila dengan Metoda Khilafah, dan
127
Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila. Ketiga kutipan
tersebut ditandai oleh penulis sebagai hal yang penting dalam
pagragraf. Penulis menguatkan kalimat tesis bahwa Aplikasi
Khilafah sudah diterapkan di NKRI di antaranya melalui Pancasila.
Dalam hal ini, penulis menekankan sila ke-5 yang menjadi muara
penerapan aplikasi Khilafah tersebut. Hal yang ditekankan oleh
penulis adalah Pancasila dan Khilafah tidak berseberangan,
berlawanan, tetapi bisa saling berkaitan, bahkan berkelindan.
(80)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke
dalam Silmi secara kaffah”. (2)Tuhan tidak memilih
kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. (3)Sudah di 3789
titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya
“nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam
kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam
lokal-konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.
(Paragraf 13 kalimat 1 s.d 3)
Data (80) di atas, terdapat dua bentuk grafis yang
digunakan penulis yaitu cetak miring dan cetak tebal. Cetak
miring terlihat dalam kutipan Masuklah ke dalam Silmi secara
kaffah dan Masuklah ke dalam Islam. Penggunaan grafis tersebut
dimaksudkan penulis untuk menegaskan bahwa ada perbedaan
antara Islam dan Silmi. Jika dikaitkan dengan Khilafah, Khilafah
Islam adalah yang dicita-citakan HTI, sedangkan Khilafah Silmi
adalah pemahaman Emha Ainun Najib dalam memberikan solusi
terkait pro dan kontra Khilafah di Indonesia.
Selain cetak miring, grafi dalam bentuk cetak tebal pun
digunakan oleh penulis dalam kutipan Islam kecil, Islam
substansial, Islam esensial, Islam lokal-konstekstual. Penggunaan
grafis tersebut dimaksudkan penulis untuk menegaskan bahwa
konsep Silmi itu tidak serumit Khilafah Islam yang diusung oleh
HTI. Konsep Silmi menyesuaikan keadaaan sosial budaya
masyarakat Indonesia yang beragam.
128
Dari segi retoris, inilah cara penulis esai untuk
menonjolkan hal yang dianggap penting oleh penulis, terutama
dalam kalimat tesis bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi
Khilafah melalui Pancasila, khususnya sila kelima dengan konsep
Khilafah Silmi.
b) Metafora
(81)Termasuk niat suci atau kemunafikan
pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar
atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-
Owner kehidupan ini. (Paragraf 4 kalimat 2)
Data (81) di atas, apsek retoris metafora yang digunakan
penulis yaitu frasa Khilafah NKRI. Penggabungan satuan lingual
Khilafah dan satuan lingual NKRI adalah wujud analogi yang
membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk
yang singkat. Frasa ini, yang juga digunakan oleh penulis sebagai
judul wacana, adalah upaya penulis dalam menyatakan tesisnya
bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah menggunakan
kiasan. Walaupun sebenarnya konsep Khilafah yang diterapkan
adalah Khilafah Silmi.
(82)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-
benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya,
mencoba merawat sebisa-bisanya. (3)Allah tidak menagih
hamba-hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-
buah surga. (4)Bahkan hanya Allah yang sejatinya
menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan
merawatnya. (Paragraf 8 kalimat 2 s.d 4)
Data (82) di atas apsek retoris metafora yang digunakan
penulis adalah Khilafah dianalogikan sebagai benih-benih.
Kemudian penulis esai menggunakan metafora dengan
menggabungkan kata benih-benih dengan bentuk kata kerja
mentransfer. Ketika Khilafah dianalogikan sebagai benih-benih
yang ditransfer oleh Allah, manusia hanya bisa menanam,
memilih kondisi tanah, dan merawatnya.
129
Selain itu, pada kalimat 3 penulis juga melanjutkan
analogi pada kalimat sebelumnya yaitu mengaitkan benih
Khilafah dengan buah-buah surga. Jika pada kalimat 2 Allah
mentransfer benih-benih, pada kalimat 3, Allah tidak menagih
buah-buah surga seperti apa yang sudah manusia tanam.
Selanjutnya pada kalimat 4, metafora sebelumnya ditegaskan
lagi dengan unsur metafora yang terdapat pada klausa
menerbitkan buahnya.
Dalam hal ini jika Khilafah adalah benih, jika ditanam
maka akan menjadi buah. Makna metafora yang disampaikan oleh
penulis esai pada kutipan di atas menjelaskan bahwa Khilafah
adalah benih yang dianugerahi oleh Allah, kemudian manusia
mempunyai tugas menanam dan merawat benih tersebut. Ketika
benih tersebut sudah berbuah, manusia sebagai penanam dan
perawat tidak punya hak untuk menentukan buahnya seperti apa,
karena buah itu sudah ditetapkan ketentuannya sejak dari benih
oleh Allah. Seperti halnya benih dalam tanaman. Berdasarkan
metafora ini penulis esai dapat menyampaikan makna yang
ingin disampaikan, selain itu metafora ini juga bisa dikatakan
bumbu dalam wacana di atas.
3. Analisis Struktur Makro, Supra, dan Mikro dalam Wacana TPTM
Tongkat Perppu dan Tongkat Musa
(1)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan
HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami
“maiyahan” di halaman Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik
oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang
Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang terukur untuk
tidak mencintai secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap dan
amarah.
(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima
tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para
perwira tinggi dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran
130
variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan
saya sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada HTI maupun
Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati
Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis
otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi penggunaan
kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding, jargon politik,
icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut
fenomena “aurat”.
(3)Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada
Kaum Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe
Penyet “Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor
“Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau
Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”
dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. Meskipun saya
tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban
“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram “Visa
Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas
“Pohon Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.
(4)Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt
bertuliskan “Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya
sedang meyakinkan dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.
Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,
sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI
dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI
adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah.
Padahal NU, Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di
Bumi.
(5)HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik
tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik,
bendera ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat
semua yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada
teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa
kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah
bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.
Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu
mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang
leher Anda akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”. (TOPIK)
(6)Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI,
karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa
Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi
supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan
membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.
Kalimat Tesis
131
Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan
Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita
punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan.”
(SUB TOPIK)
(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI
Khilafah itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan).
Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan
kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.
Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan
dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi
tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama.
Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan
kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah
sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia dengan segala
kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan kesesatannya,
kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni. (SUB
TOPIK)
(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,
Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau
Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke
dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati tidak
menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”. Kelihatannya itu terkait
dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia. Allah
tidak membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia bukan
Sorga. Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit
beberapa lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau
bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan
hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah
usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya. (SUB TOPIK)
(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar
maupun kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah
dengan taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk
tidur berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah
Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama,
Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah
Khilafah. (SUB TOPIK)
(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti
yang di depannya. Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang
mengkonsep seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan Global kita adalah
Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah Air ini milik-Nya, kalau mau menggali
isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan
Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian bilang
terima kasih sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara Pancasila adalah
132
menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan
inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah. (SUB TOPIK)
(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak
dan luas lagi. Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar
memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa
aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan
bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan darah”
(definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat dan nyawa satu
sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw). (SUB TOPIK)
(12)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan
tentang Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada
Evolusi Empat. Spektrum filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri
dan mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada ilmu dan
teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu
yang berevolusi. Dunia sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci
antara Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang
bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana Kelapa
juga kebanyakan masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,
bahkan jumud dalam semangat Bluluk.
(13)Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus
kepada teman-teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan
melotot kepada rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan
tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah kasih sayang dan
pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). Kalau tidak sangat
terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi
“Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat yang
tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat
Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan Indonesia
perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.
(14)Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal,
Moderat: afala ta’qilun, tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau
telan begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang radikal.
Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak
memerlukan apapun dari saya. Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing
in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan
Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang”, kata adik
kesayangan saya Ebiet G. Ade.
(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.
Masalah tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir
dan seribu kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan
“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan. Bhinneka
Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai dan saling menerima. Cinta
plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta plus
Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian plus Kepentingan =
Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan Firaun adalah kehancuran.
133
Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat
Musa. (SUB TOPIK)
(16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya
sejarah panjang tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia.
Bangsa Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia
adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-
Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-
garap, kata penduduk Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.
(FAKTA)
(TPTM)
a. Struktur Makro
Wacana di atas berisi tentang perlunya pengguliran diskusi publik
tentang Khilafah oleh HTI. Hal ini terlihat pada paragraf 5. Pada
paragraf ini penulis menyatakan tema/topik tentang perlu pemahaman
yang komprehensif dalam memahami Khilafah.
Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis
menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat
pada paragraf 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 15. Pada paragraf 6, penulis
membahas mengenai tindakan Polri terahadap HTI. Penulis memberikan
saran agar Polri jangan membenci HTI, karena menurut penulis mereka
menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Langkah
yang seharusnya diambil menurutnya memanggil mereka untuk dialog,
karena jika langsung diberangus akan ada akibatnya.
Selanjutnya paragraf 7 menjelaskan mengenai perbedaa pandangan
antara penulis dengan HTI tentang Khilafah. Dengan menggunakan
perumpamaan, HTI memaknai Khilafah diibaratkan sebagai ‘barang jadi’,
semacam makanan yang sudah matang. Sementara bagi penulis, Khilafah
diibaratkan seperti benih atau biji yang bisa berjodoh dengan kondisi
tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.
Kemudian pada paragraf 8 dijelaskan bahwa Khilafah yang
diibaratkan sebagai biji, bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,
134
Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau
Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Jika dikaitkan dengan
perumpamaan tersebut, berarti Khilafah bisa beradapatasi dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, atau seperti yang ditulis dalam esai
sebelumnya, bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah.
Selanjutnya pada paragraf 9 dan 10, penulis memberikan contoh
mengenai keadaan di mana konsep Khilafah sudah ada di dalamnya. Pada
paragraf 9, menurut penulis jika hukum ditegakkan, ketertiban sosial
dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya,
secara substansial itu sudah Khilafah. Kemudian contoh yang
dikemukakan pada paragraf 10 yaitu mengenai cara berpikir Negara
Pancasila adalah menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, itu
sudah Khilafah.
Pada paragraf 11, subtopik yang terdapat di dalam paragraf tersebut
menjelaskan bahwa dalam konsep Khilafah yang utama bukan apa
aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun
kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Menurut penulis, sejauh tidak “merusak bumi
dan menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling melindungi
harta, martabat dan nyawa satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad
saw), itu Khilafah.
Pada paragraf 15, subtopik ini menjelaskan kembali yang sudah
disinggung pada paragraf 6. Paragraf ini mengingatkan bahwa Masalah
tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Tidak semua hal bisa di-
cover oleh kekuasaan. Penulis mengkhawatirkan jika penanganan
pemerintah terhadap HTI berdasarkan Kebencian plus Kepentingan =
Otoritarianisme alias Firaunisme. Perumpamaan yang digunakan oleh
penulis yaitu jika tindakan pemerintah didasarkan pada kebencian dan
kepentingan, maka sejarah akan terulang. Sejarah mencatat bahwa masa
135
depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung turnamen nanti Tongkat
Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa. Penulis mengibaratkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Ormas yang
menjadi dasar pembubaran kelompok HTI sebagai Tongkat Perppu Firaun
yang nantinya akan ditelan oleh Tongkat Musa, yaitu kekuasaan Allah
SWT. Subtopik-subtopik tersebut dapat dikatakan mendukung tema/topik
wacana yaitu perlunya HTI perlu menggulirkan diksusi tentang Khilafah
agar tidak terjadi salah paham di masyarakat.
Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada
makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada
paragraf 16. Pada paragraf 6 dibahas mengenai )Bangsa Indonesia ini
Subjek Besar di muka bumi. Ia punya sejarah panjang tentang
kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia. Berdasarkan
tema/topik, subtopik, dan fakta yang disampaikan penulis dalam wacana
dapat dikatakan secara mikro makna wacana di atas adalah Perlunya
Pengguliran Diskusi Publik tentang Khilafah oleh HTI.
Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis
menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat
pada paragraf 7 dan 8. Pada paragraf 7 penulis membahas mengenai
hakikat Khilafah yang bertujuan mewujudkan sila kelima yaitu Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian pada paragraf 8, penulis
membahas mengenai pemahaman Khilafah yang berbeda sehingga bisa
menjadi alasan mengapa Indonesia bisa dikatakan sudah menerapkan
Khilafah.
Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada
makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada
paragraf 11. Dalam hal ini fakta yang ditunjukkan berkaitan dengan
penguatan mengenai keadaan Bhineka Tunggal Ika yang ada di
Indonesia, dalam hal ini penulis menggunakan gaya bahasa
136
perumpamaan, sehingga tidak pas jika memahami Khilafah sebagai
barang jadi yang dipaksakan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta ini
muncul pemahaman bahwa NKRI juga bisa dikatakan sudah
menerapkan aplikasi Khilafah. Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan
fakta yang disampaikan penulis dalam wacana dapat dikatakan secara
mikro makna wacana di atas adalah Aplikasi Khilafah dalam NKRI.
b. Struktur Supra
Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Tajuk dan
ditulis pada bulan Juli 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,
terdapat 5 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 5 paragraf
tersebut adalah paragarf 1, 2, 3, 4, dan 5. Wacana di atas memulai
pendahuluan dengan menggunakan teknik narasi. Dalam hal ini penulis
esai menceritakan tentang kegiatan “Maiyahan” yang dilakukan penulis di
Polres Malang Raya yang membahas Khilafah. Cerita ini dimaksudkan
untuk memberikan gambaran mengenai topik yang akan dibicarakan.
Kemudian pada paragraf 2, penulis esai masih melanjutkan cerita
tentang kegiatan selanjutnya yang betemu dengan beberapa pihak untuk
membicarakan Khilafah. Hal ini menunjukkan bahwa penulis esai
mencoba mengajak pembaca mengetahui kegiatan penulis yang berkaitan
dengan topik yang akan dibahas. Pada paragraf 3 dan 4, penulis
memberikan contoh tentang fenomena substansi, filosofi, dan branding
yang dibahas pada akhir paragraf 2. Pada akhir paragraf 3, penulis ingin
menyampaikan bahwa dari fenomena substansi, filosofi, dan branding itu,
hingga akhirnya menyebar jadi kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah,
Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah.
Selanjutnya di penghujung pendahuluan, pada paragraf 5 penulis
esai mengungkapkan HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran
diskusi publik tentang Khilafah. Penulis menggunakan analogi Kalau kita
masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan
137
pemahaman tentang makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. Penjelasan
itu sebagai kalimat tesis yang menjadi topik esai yang berisi gagasan
d a l a m u p a y a mengendalikan arah dan batas dari esai yang akan
dibahas pada tubuh esai.
Kemudian kalimat tesis di atas dijelaskan dalam tubuh esai pada
paragraf 6, paragraf 7, paragraf 8, paragraf 9, paragraf 10, paragraf 11,
dan paragraf 12.
Pada paragraf 6, penulis membahas mengenai tindakan Polri
terahadap HTI. Penulis memberikan saran agar Polri jangan membenci
HTI, karena menurut penulis mereka menginginkan kehidupan yang lebih
baik bagi bangsa Indonesia. Langkah yang seharusnya diambil
menurutnya memanggil mereka untuk dialog, karena jika langsung
diberangus akan ada akibatnya.
Selanjutnya paragraf 7 menjelaskan mengenai perbedaan
pandangan antara penulis dengan HTI tentang Khilafah. Dengan
menggunakan perumpamaan, HTI memaknai Khilafah diibaratkan
sebagai ‘barang jadi’, semacam makanan yang sudah matang. Sementara
bagi penulis, Khilafah diibaratkan seperti benih atau biji yang bisa
berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat
alam yang berbeda.
Kemudian pada paragraf 8 dijelaskan bahwa Khilafah yang
diibaratkan sebagai biji, bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,
Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau
Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Jika dikaitkan dengan
perumpamaan tersebut, berarti Khilafah bisa beradapatasi dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, atau seperti yang ditulis dalam esai
sebelumnya, bahwa NKRI sudah menerapkan aplikasi Khilafah.
Selanjutnya pada paragraf 9 dan 10, penulis memberikan contoh
mengenai keadaan di mana konsep Khilafah sudah ada di dalamnya. Pada
138
paragraf 9, menurut penulis jika hukum ditegakkan, ketertiban sosial
dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya,
secara substansial itu sudah Khilafah. Kemudian contoh yang
dikemukakan pada paragraf 10 yaitu mengenai cara berpikir Negara
Pancasila adalah menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, itu
sudah Khilafah.
Pada paragraf 11 menjelaskan bahwa dalam konsep Khilafah yang
utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk
membangun kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut penulis, sejauh tidak
“merusak bumi dan menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling
melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain (kriteria dari Rasul
Muhammad saw), itu Khilafah.
Selanjutnya, mengakhiri esai penulis esai membuat sebuah penutup
yang terdapat pada paragraf 13, paragraf 14, paragraf 15, dan paragraf 16.
Pada paragraf 13, penulis menegaskan ulang apa yang sudah disampaikan
pada paragraf 6 yng menjadi tubuh esai. Penulis mengimbau ulang agar
teman-teman Polri “jangan terlalu garang dan melotot kepada rakyat”.
Kemudian pada paragraf 14, penulis mengingatkan bahwa jangan telan
begitu saja terminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal, Moderat.
Pada paragraf 15, penulis mengingatkan tentang sejarah hancurnya
Firaun. Penulis ingin mengibaratkan pemerintah saat ini, dalam
konteksnya mengeluarkan Perppu Ormas yang menjadi dasar dalam
membubarkan HTI, diibaratkan seperti Tongkat Perppu Firaun yang
mendasarkan keputusan pada Kebencian dan Kepentingan hingga
melahirkan Otoritarianisme atau Firaunisme.
Di akhir paragraf esai tersebut, yakni paragraf 16, penulis
mengingatkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, menggunakan
bahasa penulis yaitu Subjek Besar di muka bumi. Ungkapan untuk
139
mengingatkan tentang kebesaran bangsa Indonesia seperti halnya Bangsa
Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia
adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah
Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-
ruwat, Arab di-garap, kata penduduk Gunung Merapi.
c. Struktur Mikro
1) Aspek Semantik
a) Latar
Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana TPTM
adalah tentang penulis yang membahas wacana pembubaran HTI
dalam forum maiyahan.
(83)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk
membubarkan HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng dan
lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman Polres
Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak Polres
saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang
Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang
terukur untuk tidak mencintai secara membabi-buta atau
membenci dengan mata gelap dan amarah. (Paragraf 1)
Maiyah merupakan kegiatan ngaji yang diprakarsai oleh
Emha Ainun Najib. Kegiatan ini dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia, salah satunya di Malang, Jawa Timur. Saat muncul
wacana dari pemerintah untuk membubarkan HTI, ia berdiskusi
dalam forum maiyah tersebut bersama puluhan ribu massa yang
dilakukan di Polres Malang Raya membahas tentang Khilafah.
Seperti halnya yang sudah dianalisis dalam esai KIKS sebelumnya
bahwa HTI dianalogikan sebagai alat, yang memang bisa rusak dan
diperbaiki dengan keilmuan. Dalam wacana KN pun sama, bahwa
pemahaman Khilafah perlu didasari pengetahuan dan ilmu. Dalam
data (83), penulis melalui forum tersebut pun menegaskannya
140
dengan penjelasan mengenai HTI perlu pengguliran diskusi publik
mengeni Khilafah.
Kemudian pada data (84), penulis esai menceritakan tentang
adanya diskusi lebih lanjut yang bersifat personal dengan HTI dan Polri
di tempat tinggalnya.
(84)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya
saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY,
sesudah itu rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri.
Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya berbeda,
tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan saya
sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada
HTI maupun Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas
manusia yang dimandati Khilafah, epistemologinya,
koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik
tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis
otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya
regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi,
filosofi, branding, jargon politik, icon eksistensi, merk
dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena
“aurat”. (Paragraf 2)
Pada paragraf di atas, penulis esai menekankan kembali
bahwa pada hari lain selanjutnya, penulis juga berdiskusi dengan
HTI, Kapolda DIY, Mabes Polri. Penyampaian ini dimaksudkan
untuk memengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapatnya nanti
yang disampaikan masuk akal dan beralasan karena dua paragraf di
atas menyampaikan bahwa penulis dekat dengan masyarakat yang
ditunjukkan pada data (83), dan penulis juga dekat dengan elite
pemerintah dan HTI seperti yang ditunjukkan pada paragraf (84).
b) Rincian
(85)Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang
dimandati Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam
seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya,
dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada
kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi
penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi,
branding, jargon politik, icon eksistensi, merk dagang dan
141
pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
(Paragraf 2 kalimat 4)
Berdasarkan kutipan data (85), penanda yang digunakan
adalah mengulang kata-kata yang memiliki makna hampir sama,
tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang dirinci dalam kutipan
wacana di atas adalah tentang Policy penciptaan Tuhan. Penulis
merinci kata tersebut dengan rincian seperti epistemologinya,
koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-
tafsirnya, dialektika sejarahnya. Rincian tersebut digunakan oleh
penulis dalam upaya menekankan analisis data di wacana KIKS dan
KN bahwa Khilafah memang sebuah keniscayaan, yang tidak bisa
tidak, adalah ketentuan Allah yang menurut penulis dalam syariat
Allah.
(86)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon
Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,
Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is
beautiful” saja. (Paragraf 8 kalimat 1)
Sama dengan analisis seblumnya, penanda yang digunakan
data (86) adalah mengulang kata-kata yang memiliki makna yang
hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang dirinci
dalam kutipan wacana di atas adalah tentang berbagai bentuk
sistem pemerintahan atau komunitas yang melibatkan banyak orang.
Penulis merinci kata tersebut dengan rincian seperti pohon
Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan,
Padepokan, atau Komunitas saja,. Kata-kata tersebut digunakan
oleh penulis untuk merinci bahwa Biji Khilafah bisa tumbuh
menjadi bentuk yang bermacam-macam seperti rincian di atas. Ini
menegaskan menguatkan analisis data wacana KN sebelumnya
bahwa Khilafah adalah benih, kita yang menanamnya sesuai dengan
wilayah masing-masing dengan kondisi yang berbeda-beda.
142
Bahkan, Khilafah itu bisa tumbuh dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, seperti judul wacana sebelumnya yaitu Khilafah NKRI.
(87)Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari
posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan
inspirator utama Dirut serta para Manager. (Paragraf 10
kalimat 6)
Berdasarkan kutipan data (87), penanda yang digunakan
adalah yang digunakan adalah mengulang kata-kata yang memiliki
makna yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal
yang dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang
posisi Tuhan. Penulis merinci hal tersebut dengan rincian seperti
The Only Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama Dirut
serta para Manager. Kata-kata tersebut digunakan oleh penulis
untuk merinci frasa posisi Tuhan sebagai penekanan dan
mendukung analisis struktur supra dalam paragraf 10. Selain itu,
analisis ini juga berkaitan dengan wacana sebelumnya bahwa
Khilafah sudah menerapkan aplikasi Khilafah melalui Pancasila.
Rincian yang digunakan tersebut mengacu pada sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.
c) Nominalisasi
Dalam esai TPTM, ada 3 (tiga) temuan data nominalisasi
yang digunakan. Tetapi penggunaan tersebut tidak berkaitan dengan
fokus pembahasan dalam membangun struktur wacana.
2) Aspek Sintaksis
a) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat pada wacana TPTM banyak menggunakan
kalimat aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang
menjadi objek dari tanggapannya. Dalam wacana TPTM banyak
kalimat yang menempatkan subjek sebagai hal yang ingin
143
ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim menjadi
subjek dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan. Berikut
merupakan kutipan beberapa bentuk kalimat dalam wacana
TPTM.
Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang digunakan
oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek sebagai hal
yang ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang
muslim menjadi subjek dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan.
Terlihat dari data (88), penulis esai menyampaikan tentang konsep
silmi yang menjadi tesis dari wacana tersebut.
(88)HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran
diskusi publik tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan
komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan menghindari
keterperosokan untuk menjadi jargon politik, bendera
ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang
membuat semua yang di sekitarnya merasa terancam.
(Paragraf 5 kalimat 1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
aktif dengan HTI menjadi subjek. Penulis dalam hal ini ingin
menonjolkan HTI sebagai sebuah organisasi agar melakukan diskusi
publik terkait dengan konsep Khilafah. Dalam hal ini, yang perlu
melakukan diskusi yaitu HTI. Bukan yang lain. Penggunaan kalimat
aktif dengan HTI sebagai subjek yang ditonjolkan juga mendukung
temuan data sebelumnya dalam analisis struktur supra terkait kalimat
tesis yang menjadi tema umum dalam wacana TPTM.
Selanjutnya dalam data (89), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika
HTI mewujudkan cita-citanya.
(89)Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam Silmi
setotal-totalnya” (kaffah). (Paragraf 8 kalimat 2)
144
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
aktif dengan Allah menjadi subjek. Penulis dalam hal ini ingin
menonjolkan bahwa konsep Khilafah Silmi yang digagas oleh
penulis dasarnya bukan hanya dari dirinya, melainkan Emha juga
berdasarkan pemahamannya terhadap firman Allah. Penggunaan
kalimat aktif tersebut penekanannya bukan di konteks Silminya,
melainkan Allah sebagai penguatan argumen penulis sendiri.
Selanjutnya dalam data (90), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika
HTI mewujudkan cita-citanya.
(90)Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang,
tanpa terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang
makanan itu, pasti akan dimuntahkannya.(Paragraf 12
kalimat 3)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
aktif dengan kata ganti pertama jamak kita menjadi subjek. Penulis
dalam hal ini ingin menonjolkan kita dalam konteks pembicaraan.
Kalimat tersebut membahas terkait HTI yang menurut penulis perlu
melakukan diskusi publik dengan kelengkapan ilmu terlebih dahulu
dalam mengusung ideologi Khilafah. Kata kita dalam kalimat
analogi tersebut ditekankan untuk meyakinan bahwa ketika klausa
masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu
mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya itu bukan hanya terjadi di penulis, kelompok HTI,
tetapi semuanya, dalam hal ini pembaca juga akan merasakan hal
yang sama.
Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang
digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis umumnya
digunakan untuk menunjukkan bahwa HTI sebagai organisasi
145
adalah korban dari pemerintah. Seperti halnya terlihat dalam data
(91) di bawah ini.
(91)Masalah tidak cukup diselesaikan dengan
kekuasaan. (Paragraf 15 kalimat 2)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat
pasif dengan menitikberatkan pada kata kekuasaan. Penggunaan
kalimat pasif ini sebagai upaya penulis dalam menunjukkan bahwa
negara dan pemerintah sebagai aparat yang memiliki kewenangan
dalam menyikapi masalah, dalam hal ini adalah menyikapi
organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi
Khilafah, tidak hanya bisa diselesaikan oleh kekuasaan negara dan
pemerintah saja. Hal ini berkaitan dengan judul wacana ini, Tongkat
Perppu dan Tongkat Musa, bahwa pemerintah menyikapi HTI
dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang. Hal itu yang Cak Nun kritisi.
Selanjutnya dalam data (92), penulis menggunakan kalimat
pasif untuk menjelaskan mengenai contoh kasus kesulitan jika
memang Khilafah sebagai sistem ketatanegaraan merupakan hal
yang harus ditegakkan di Indonesia.
(92)Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan.
(Paragraf 15 kalimat 5)
Kalimat tersebut masih satu paragraf dengan data (91)
sebelumnya. Penggunaan kalimat pasifnya pun masih
menitikberatkan hal yang sama, yaitu kekuasaan. Penulis mengkritisi
pengambilan sikap pemerintah terhadap HTI dengan cara
mengeluarkan Perppu.
b) Kohesi (Gramatikal)
(1) Pengacuan
146
Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat
dilihat dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan)
merupakan salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan
(referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu dengan mengacu pada satuan
lingual lain. Dalam wacana pengacuan anafora, pengacuan
katafora, pengacuan katafora, pengacuan persona, pengacuan
demonstratif, dan pengacuan komparatif.
(a) Anafora
(93)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang
diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk
menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua
yang di sekitarnya merasa terancam. (Paragraf 5 kalimat
1)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (93),
yaitu akhiran –nya pada kata sekitarnya. Dalam kalimat tersebut
menjelaskan mengenai perlunya pengguliran diskusi publik oleh
HTI mengenai Khilafah. Akhiran –nya dalam kata tersebut
merujuk pada HTI. Penggunaan anafora tersebut mendukung
gagasan sebelumnya dalam analisis struktur supra mengenai
kalimat tesis dan data (88) aspek sintaksis bentuk kalimat aktif.
(94)Saya sempat kemukakan kepada teman-
teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan
Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada
semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,
melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.
(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka
batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan
kekuasaannya”. (Paragraf 5 kalimat 2 dan 4)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (94)
yaitu anafora dalam bentuk persona yang terwujud dalam kata
147
ganti kedua tunggal Anda. Penggunaan anafora persona merujuk
pada teman-teman HTI yang terletak sebelumnya. Kalimat
tersebut menjelaskan mengenai penulis yang berdialog dengan
orang-orang HTI mengenai perlunya diskusi publik mengenai
Khilafah dengan ilmu dan pengetahuan. Hal itu dianalogikan
dengan makanan yang akan diberikan kepada seseorang, orang
itu harus mengetahui terlebih dahulu mengenai makanan
tersebut. Pada kalimat 4, penulis melanjutkan analogi
memberikan makanan itu kepada penguasa, yang dalam hal ini
adalah pemerintah. Pemerintah dengan kewenangannya, yang
oleh penulis menggunakan kata kekuasaan, dapat mengambil
sikap sesuai dengan kewenangannya. Analisis ini juga
menguatkan temuan data (90) aspek sintaksis bentuk kalimat
yang menggunakan analogi makanan tersebut dan temuan data
(91) dan (92) yang menitikberatkan kata kekuasaan dalam
kalimatnya.
(95)Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah yang
berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.
(Paragraf 7 kalimat 4)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (95)
yaitu kata beliau yang mengacu kepada paragraf sebelumnya
yaitu kata Khilafah. Pengacuan anafora tersebut mendukung
temuan data sebelumnya dalam wacana KIKS dan KN yang
menyatakan bahwa Khilafah adalah benih yang dapat
disesuaikan dengan kondisi wiayah yang beragam baik dari
sosial budaya maupun realitas manusianya. Salah satunya adalah
penerapan Khilafah Silmi di NKRI dengan menyesuaikan
Pancasila.
148
(b) Katafora
Pada esai TPTM peneliti tidak ditemukan data mengenai
pengacuan katafora.
(c) Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina
persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah
pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang.
Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri
(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang
diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada
orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga).
a. Pronomina persona pertama
(96)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah
untuk membubarkan HTI dll, malam itu bersama
KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan”
di halaman Polres Malang Raya. (2)Didokumentasi
dengan baik oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta
pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah. (Paragraf 1
kalimat 1 dan 2)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (96)
yaitu dalam bentuk persona pertama jamak kami. Kata kami
merupakan pronomina persona pertama jamak yang mengacu
pada penulis, Kiai Kanjeng, dan 10 ribu massa yang hadir di
halaman Polres Malang dalam kegiatan maiyahan yang
membahas tentang Khilafah. Penggunaan persona tersebut
sebagai upaya penulis dalam menunjukkan bahwa diskusi
mengenai Khilafah tersebut dilakukan oleh banyak orang,
bahkan puluhan ribu massa, yang terhimpun dalam jamaah
maiyah. Hal ini mendukung gagasan sebelumnya yaitu Dalam
data (83) aspek semantik latar, penulis melalui forum tersebut
149
pun menegaskannya dengan penjelasan mengenai HTI perlu
pengguliran diskusi publik mengeni Khilafah.
Masih dalam data (96) di atas, pada kalimat 2 juga
ditemukan pengacuan persona pertama tunggal saya. Kata saya
yang mengacu pada penulis sendiri (tunggal) menegaskan
bahwa yang menjadi pemateri dan menjelaskan mengenai peta
pengetahuan dan ilmu tentang Khilafah adalah penulis sendiri,
Emha Ainun Najib. Setelah sebelumnya digunakan persona
kami yang mengacu siapa saja yang mengikuti diskusi tersebut.
b. Pronomina persona kedua
(97)Saya sempat kemukakan kepada teman-
teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan
Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada
semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,
melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.
(3)Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa
terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang
makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. (4)Dan kalau
yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda
akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”. (Paragraf
5 kalimat 2 s.d 4)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (97)
yaitu dalam bentuk persona kedua tunggal Anda. Kata Anda
dalam data ter sebut mengacu kepada teman-teman HTI
yang dalam paragraf sebelumnya diceritakan mendatangi
kediaman penulis dan berdiskusi. Penggunaan persona tersebut
sebagai upaya penulis dalam menguatkan data (94) aspek
sintaksis pengacuan anafora bahwa penulis berdialog dengan
orang-orang HTI mengenai perlunya diskusi publik mengenai
Khilafah dengan ilmu dan pengetahuan. Pengacuan persona
kedua digunakan dengan referen yang memang dekat dengan
subjek. Jadi, analisis tersebut menunjukkan bahwa dialog
tersebut dilakukan secara langsung dan dekat.
150
(98)Kepada teman-teman Polri saya mohon
“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
(2)Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog,
simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau langsung
Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan
membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke
organ-organ lain. (4)Mohon Anda juga jangan anti-
Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab
Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-
Nya. (Paragraf 6 kalimat 1 s.d 4)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (98)
yaitu dalam bentuk persona kedua tunggal bebas Anda. Berbeda
dengan analisis sebelumnya, kata Anda dalam data tersebut
mengacu kepada teman-teman Polri yang dalam paragraf
tersebut menjadi lawan bicara penulis dalam diskusi personal
temuan data (84) aspek latar yang menjelaskan mengenai
penulis yang berdiskusi lebih dekat dengan HTI, Kapolda DIY,
dan Mabes Polri. Penggunaan persona tersebut sebagai upaya
penulis dalam menguatkan kesan kedekatan tidak hanya kepada
teman-teman HTI seperti temuan data (97) aspek sintaksis
pengacuan anafora persona. Namun, penulis juga dekat dengan
teman-teman Polri sebagai rekan dikusinya. Pembahasan dengan
referen tersebut tentang imbauan penulis agar jangan membenci
HTI serta perlunya dialog. Konteks pembicaraan ini mengenai
sikap pemerintah terhadap HTI dengan terbitnya Perppu Ormas
yang dianggap penulis memberangus teman-teman HTI.
Pendapat penulis dalam temuan data ini masih konsisten dengan
temuan data esai KIKS dan KN tentang Khilafah adalah
keniscayaan dan ketidaksetujuan penulis terhadap sikap yang
diambil pemerintah dengan menerbitkan Perppu tersebut.
151
c. Pronomina persona ketiga
(99)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,
maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan
kekuasaannya. (Paragraf 5 kalimat 4)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (99)
yaitu dalam bentuk persona ketiga terikat lekat kanan -nya.
Satuan lingual –nya yang terdapat pada kata kekuasaannya
merupakan pronomina persona yang mengacu pada penguasa.
Penggunaan pengacuan tersebut menguatkan temuan data (94)
dan (97) bahwa penulis berdialog dengan orang-orang HTI
mengenai perlunya diskusi publik mengenai Khilafah dengan
ilmu dan pengetahuan. Dalam data (99), penulis mengingatkan
kepada teman-teman HTI tentang perlunya proses dalam
memberikan pemahaman, dalam hal ini Khilafah, kepada
pemerintah yang dalam kalimat tersebut menggunakan kata
penguasa untuk selanjutnya menggunakan kata kekuasaan
sebagai upaya kepaduan penulis dalam paragraf tersebut.
(100)Kepada teman-teman Polri saya mohon
“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data
(100) yaitu dalam bentuk persona ketiga jamak bebas mereka.
Pronomina persona tersebut mengacu pada unsur lain yang
berada dalam teks yang disebutkan sebelumnya, yaitu HTI.
Penggunaan pengacuan tersebut merincikan temuan data (84)
dan (94) sebelumnya mengenai imbauan penulis agar jangan
membenci HTI serta perlunya dialog. Konteks pembicaraan ini
mengenai sikap pemerintah terhadap HTI dengan terbitnya
Perppu Ormas yang dianggap penulis memberangus teman-
teman HTI. Karena bentuk pengacuannya jamak, berarti
menunjukkan bahwa referen HTI bukan sebagai organisasi
152
yang bersifat tunggal, tetapi merujuk pada manusia di dalamnya
yang jamak.
(d) Pengacuan Demonstratif
Dalam wacana TPTM terdapat pronomina demonstratif
waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut
ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan
pengacuan demonstratif yang digunakan.
(101)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah
untuk membubarkan HTI dll, malam itu bersama
KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di
halaman Polres Malang Raya. (Paragraf 1 kalimat 1)
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (101) yaitu
demonstratif tempat (lokasional) itu. Kata itu menunjukkan hal
yang diacu penulis berada dekat dari keberadaan
penulis. Analisis sejalan dengan temuan data (83) aspek latar
dan data (96) aspek sintaksis pengacuan persona mengenai
upaya penulis dalam menunjukkan bahwa diskusi maiyahan
mengenai Khilafah tersebut dilakukan oleh penulis penegasan
mengenai HTI perlu pengguliran diskusi publik mengeni
Khilafah.
(102)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di
Yogya saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian
Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira tinggi
dari Mabes Polri. (2)Tema pertemuan itu meskipun
lebaran variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar
Khilafah. (Paragraf 2 kalimat 1 dan 2)
Kemudian pengacuan demonstratif lainnya terdapat
dalam kutipan data (102) yaitu demonstratif waktu akan datang
sesudahnya, demonstratif tempat (lokasional) eksplisit Yogya,
dan demonstratif tempat (lokasional) itu. Satuan lingual
sesudahnya mengacu pada paragraf sebelumnya yaitu sesudah
153
kegiatan maiyah yang dilakukan di Polres Malang Raya bersama
puluhan ribu jamaahnya. Selanjutnya satuan lingual Yogya
sebagai demonstratif tempat eksplisit menegaskan bahwa
konteksnya dengan paragraf sebelumnya berbeda. Hal ini
menguatkan temuan data sebelumnya bahwa jika pertemuan
pada paragraf 1 bersifat publik, tempatnya di Malang,
sedangkan untuk data (102) pertemuan bersifat lebih personal
karena diadakan di kediamannya, Yogya. Kemudian
penggunaan demonstratif tempat (lokasional) itu pada kata
pertemuan itu menunjukkan hal yang diacu penulis berada
dekat dari keberadaan penulis. Hal itu mengacu pada
pertemuan personal yang diadakan di kediamannya tersebut.
(e) Pengacuan Komparatif
Dalam esai TPTM, peneliti menemukan 1 (satu)
pengacuan komparatif. Akan tetapi, pengacuan tersebut tidak
berhubungan dengan fokus pembahasan mengenai Khilafah.
(2) Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi yang digunakan dalam wacana TPTM
adalah konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi
korelatif, dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan
pemakaian konjungsi tersebut.
(a) Koordinatif
(103)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang
diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk
menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua
yang di sekitarnya merasa terancam. (2)Saya sempat
kemukakan kepada teman-teman HTI: “Bagaimana
mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa kesabaran
berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa
154
Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi
bagi problem ummat manusia. (Paragraf 5 kalimat 1 dan
2)
Data (103) di atas menunjukkan konjungsi koordinatif
melalui konjungtor dan yang menyatakan makna penambahan.
Namun, menurut peneliti, penggunaan konjungtor dan sebagai
makna penambahan/ penjumlahan dalam kalimat tersebut
kurang tepat karena antar klausa tersebut tidak memiliki status
sintaksis yang sama. Selain itu, hubungan yang terjadi
sebenarnya adalah makna tujuan, bukan penambahan. Penulis
ingin menekankan bahwa pengguliran diskusi publik yang
dilakukan oleh HTI dengan ilmu dan pengetahuan adalah
penting dengan tujuan untuk menghindari keterperosokan untuk
menjadi jargon politik, bendera ideologi.
Masih dalam data yang sama, temuan konjungsi
koordinatif selanjutnya yaitu melalui konjungtor atau yang
menyatakan makna pemilihan. Penggunaan konjungsi tersebut
digunakan penulis untuk memberikan pilihan mengenai tujuan
perlunya pengguliran diskusi publik oleh HTI agar mereka tidak
terperosok dalam jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas dalam mengusung ideologi Khilafah tersebut.
Selanjutnya temuan konjungsi koordinatif yang lain yaitu
melalui konjungtor melainkan yang menyatakan makna
hubungan pertentangan. Pertentangan tersebut dibuat oleh
dalam menjelaskan mengenai HTI yang perlu berproses dalam
menjalankan ke semua pihak bahwa ideologi Khilafah yang
diusungnya bukanlah ancaman, melainkan solusi. Terlihat jelas
bahwa ada dua kata yang saling bertentangan, yaitu ancaman
dan solusi.
155
Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah
konjungsi dan. Konjungsi ini terlihat pada data (104) di bawah
ini.
(104)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-
Maidah (hidangan). ... (5)Benih akan menjadi tanaman
yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta
antropologis-sosiologi yang berbeda. (6)Kesuburan dan
jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan
Khilafah yang juga tidak sama. (Paragraf 7 kalimat 2, 5,
dan 6)
Data (104) di atas menunjukkan konjungsi yang
digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor dan
yang menyatakan makna penambahan atau penjumlahan. Ada 3
(tiga) konjungtor dalam pemakaian kalimat tersebut. Pemakaian
pertama, penulis ingin menekankan bahwa pemahaman HTI
mengenai Khilafah seperti barang jadi yang sudah final.
Berbeda dengan pemahaman penulis yang menurutnya bisa
disesuaikan dengan kondisi wilayah yang berbeda sesuai dengan
keragamannya. Pemakaian kedua, penulis menjelaskan
pemahamannya mengenai Khilafah adalah benih yang bisa
menyesuaikan kondisi wilayah. Pemakaian ketiga, penulis
menambahkan keterangan untuk menekankan pemahaman
tersebut kepada pembaca.
(b) Subordinatif
(105)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang
diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk
menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua yang
di sekitarnya merasa terancam. (Paragraf 5 kalimat 1)
156
Data (105) di atas menggunakan konjungsi
subordinatif melalui konjungtor yang yang menyatakan makna
atributif. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk
memberikan penjelasan lebih rinci mengenai perlunya HTI
melakukan diskusi publik mengenai Khilafah dengan
komprehensi ilmu. Analisis ini juga menekankan temuan data
sebelumnya yaitu dalam data (88) aspek sintaksis bentuk
kalimat, bahwa penulis esai menggunakan kalimat aktif dalam
menjelaskan mengenai pentingnya pengguliran diskusi publik
tersebut, dengan catatan menggunakan komprehensi ilmu.
(106)Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial
dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada
rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah. (Paragraf
9 kalimat 2)
Data (106) di atas menggunakan konjungsi
subordinatif sebab melalui konjungtor kalau yang menyatakan
makna syarat. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk
menjelaskan bahwa syarat dikategorikan bahwa negara atau
kelompok masyarakat secara substansial dikatakan Khilafah
apabila hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama,
Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya. Hal ini
sejalan dengan temuan data (104) aspek sintaksis konjungsi
mengenai perbedaan pandangan penulis dan HTI dalam
memahami konsep Khilafah.
(c) Korelatif
(107)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,
(korelatif)maka batang leher Anda akan dicengkeram
oleh tangan kekuasaannya”. (Paragraf 5 kalimat 4)
Data (107) di atas menggunakan konjungsi korelatif
melalui konjungtor kalau-maka yang menyatakan makna
157
pertautan. Konjungsi tersebut menghubungkan dua klausa yang
memiliki status sintaksis yang sama. Penggunaan konjungsi
korelatif tersebut untuk menekankan bahwa HTI jika memaksa
pemerintah untuk menerima ideologi Khilafah yang sedang
diusungnya tanpa memberikan pemahaman dengan komprehensi
ilmu, hal yang terjadi adalah pemerintah bisa mengambil sikap
dengan kewenangan yang dipunyai. Seperti halnya terbitnya
Perppu Ormas sebagai sikap pemerintah terhadap HTI. Itu
menunjukkan sebuah hubungan dengan perantara konjungsi
korelatif tersebut yang mengaitkan satu dengan lainnya.
(108)Yang utama bukan apa aplikasinya,
melainkan efektif atau tidak untuk membangun
kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Paragraf 11 kalimat
4)
Data (108) di atas menggunakan konjungsi korelatif
melalui konjungtor bukan-melainkan yang menyatakan makna
pertautan. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk
menghubungkan dua klausa yang memiliki status sintaksis yang
sama. Penjelasan yang ditekankan oleh penulis adalah mengenai
esensi Khilafah itu sendiri yang menurut penulis membangun
kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan dilihat apakah itu
Khilafah atau bukan sebagai aplikasinya. Hal ini sejalan dengan
temuan data (106) aspek sintaksis konjungsi mengenai syarat
dikategorikan bahwa negara atau kelompok masyarakat secara
substansial dikatakan Khilafah.
(d) Antar kalimat
(109)Sampai pada getolnya HTI dengan kata
“Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI
adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI
bukan Khilafah. (5)Padahal NU, Muhammadiyah, semua
158
ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi. (Paragraf 4
kalimat 4 dan 5)
Data (109) di atas menggunakan konjungsi
antarkalimat melalui konjungtor padahal yang menyatakan
makna perlawanan. Konjungtor tersebut menghubungkan dua
kalimat utuh yaitu kalimat 4 dan 5. Dalam data tersebut, penulis
menjelaskan mengenai adanya kesalahpahaman di masyarakat
bahwa HTI adalah Khilafah, yang bukan HTI bukan Khilafah.
Seperti halnya temuan data sebelumnya bahwa pendapat penulis
berpendapat bahwa Khilafah adalah keniscayaan dan semua
manusia Khalifah Allah. Sedangkan wilayah yang dihuni oleh
manusia itu ruang lingkupnya adalah Khilafah. Penyamaan
Khilafah dan HTI di masyarakat dalam kalimat selanjutnya
ditentang menggunakan konjungsi perlawanan padahal dengan
memberikan contoh organisasi Islam lain yaitu Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah untuk memberikan penekanan sama-
sama posisinya dengan HTI sebagai sebuah organisasi Islam
untuk menyatakan argumentasinya mengenai Khilafah adalah
keniscayaan tersebut. Hal ini sejalan dengan temuan data esai
KIKS dan KN terkait Khilafah adalah keniscayaan, yang tidak
bisa tidak tersebut.
c) Kohesi (Leksikal)
Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis
juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang
kepaduan wacana TPTM. Adapun peranti kohesif leksikal yang
digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan
kutipan tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang
digunakan dalam wacana TPTM.
159
(1) Repetisi
(110)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda
dengan HTI. (2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-
Maidah (hidangan). (3)Sementara bagi saya Khilafah itu
benih atau biji. ... (5)Benih Khilafah akan menjadi
tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta
antropologis-sosiologi yang berbeda. (6)Kesuburan dan
jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan
Khilafah yang juga tidak sama. ... (8)Saya bersyukur
andaikan kadar Khilafah hanya 10%. (Paragraf 7 kalimat
1 s.d 8)
Data (110) di atas terdapat repetisi yang digunakan.
Kohesif repetisi epizeuksis tersebut dalam satuan lingual
khilafah diulang lima kali secara berturut-turut untuk
menjelaskan mengenai Khilafah adalah benih yang dapat
disesuaikan dengan kondisi wilayah yang beragam. Kata
Khilafah dalam paragraf tersebut yang ditonjolkan oleh penulis
agar muncul dominan dan juga menciptakan kepaduan paragraf.
Paragraf tersebut menekankan bahwa pandangan penulis dengan
HTI dalam memahami Khilafah berbeda. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya dalam temuan data (108) aspek sintaksis
konjungsi bahwa esensi Khilafah adalah membangun
kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
(111)Kalau orang masih mau mandi, makan
minum dan buang air besar maupun kecil, masih tak
keberatan untuk berpakaian, membangun rumah dengan
taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak
keberatan untuk tidur berselang-seling dengan kerja
keras menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana
manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. (2)Kalau hukum ditegakkan, ketertiban
sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab
kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.
(Paragraf 9 kalimat 1 dan 2)
160
Data (110) di atas, kohesif repetisi yang digunakan
adalah repetisi epistrofa, yaitu pengulangan satuan lingual
kata/frasa pada akhir kalimat secara berturut-turut. Anafora
yang digunakan dalam bentuk satuan lingual itu sudah
Khilafah tersebut diulang 2 (dua) kali. Dalam hal ini, penulis
ingin menekankan bahwa satuan lingual tersebut sedang
ditonjolkan. Paragraf tersebut menjelaskan mengenai
pemahaman penulis dalam memandang Khilafah -seperti
dijelaskan dalam analisis sebelumnya bahwa penulis dan HTI
mempunyai pandangan yang berbeda. Menurut penulis, Khilafah
tidak mesti dalam desain Islam besar –seperti dalam analisis esai
KN sebelumnya, tetapi dapat disesuaikan dengan wilayah yang
beragam. Temuan ini juga sejalan dengan data (106) aspek
sintaksis konjungsi mengenai Khilafah.
d) Koherensi
Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga
perlu diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi
merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan
ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami
pesan yang dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang
digunakan dalam wacana TPTM, di antaranya (1) hubungan sebab
akibat, (2) hubungan parafrastis, (3) hubungan ibarat, dan (4)
hubungan argumentatif. Berikut ini merupakan aspek koherensi yang
digunakan dalam wacana TPTM.
(1) Hubungan Sebab-Akibat
(111)Kepada teman-teman Polri saya mohon
“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
(2)Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog,
simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau langsung
Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan
161
membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke
organ-organ lain. (Paragraf 6 kalimat 1 s.d 3)
Kutipan data (111) di atas menunjukkan koherensi
hubungan sebab-akibat. Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat
pertama menyatakan sebab, sedangkan kalimat ketiga
menyatakan akibat. Pada kutipan di atas, kalimat 1 menyatakan
sebab, bahwa HTI jangan dibenci. Kemudian pada kalimat 3
menyatakan akibat dari kalimat sebelumnya, yaitu akibatnya
ketika diberangus akan ada cipratannya dan melebar ke organ-
organ lain. Temuan ini sejalan dengan temuan data (98) yaitu
imbauan penulis agar jangan membenci HTI serta perlunya
dialog. Konteks pembicaraan ini mengenai sikap pemerintah
terhadap HTI dengan terbitnya Perppu Ormas yang dianggap
penulis memberangus teman-teman HTI. Ini adalah
ketidaksetujuan penulis terhadap sikap yang diambil pemerintah
dengan menerbitkan Perppu tersebut.
(2) Hubungan Parafrastis
(112)Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam
Silmi setotal-totalnya” (kaffah). (3)Dan Allah bermurah
hati tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam
kaffah”.(Paragraf 8 kalimat 2 dan 3)
Kutipan data (112) di atas menunjukkan koherensi
hubungan parafrastis. Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan
yang dinyatakan pada kalimat pertama dinyatakan secara lain
dengan kalimat berikutnya. Koherensi parafrastis pada kutipan di
atas ditunjukkan pada kalimat 2 tentang Masuklah ke dalam Silmi
setotal-totalnya dinyatakan secara lain pada kalimat 3 yaitu
Masuklah ke dalam Islam kaffah. Penggunaan koherensi tersebut
selain agar menjadi paragraf padu, juga sekaligus penekanan
bahwa Allah tidak membebani manusia dengan mendirikan
Khilafah Islam seperti halnya menjadi cita-cita perjuangan HTI.
162
(3) Hubungan Ibarat
(113)Saya sempat kemukakan kepada teman-
teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan
Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada
semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,
melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.
(3)Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa
terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang
makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. (4)Dan kalau
yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda
akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”. (Paragraf
5 kalimat 2 s.d 4)
Kutipan data (113) di atas menunjukkan koherensi
hubungan ibarat yang dinyatakan dengan kalimat pertama
diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya.
Koherensi ibarat pada kutipan di atas ditunjukkan pada kalimat 2
menunjukkan bahwa penulis sempat kemukakan kepada teman-
teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah
tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak
bahwa Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi
bagi problem ummat manusia. Kemudian pada kalimat 3 dan 4,
penulis mengibaratkan hal yang diungkapkan pada kalimat 2
dengan perumpamaan kalau kita masukkan makanan ke mulut
orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang
makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda
cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram
oleh tangan kekuasaannya. Gagasan yang muncul pada kalimat 3
dan 4 menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang terdapat pada
kalimat 2.
Hal ini mendukung analisis struktur supra yang
menyatakan bahwa paragraf tersebut menggunakan analogi dan
sejalan dengan temuan data (90) aspek sintaksis bentuk kalimat
163
terkait dengan perlunya pengguliran diskusi publik mengenai
Khilafah agar memberikan pemahaman secara komprehensif
secara keilmuan.
(114)Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang
harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah
“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah adalah “pènèkno
blimbing kuwi”. (6)Etos kerja, amal saleh, daya juang
upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo
penekno”. (7)Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus
panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik
“blimbing” yang bergigir lima. (koherensi ibarat)
(Paragraf 6 kalimat 4 s.d 7)
Kutipan data (114) di atas menunjukkan koherensi
hubungan ibarat yang dinyatakan dengan kalimat pertama
diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya.
Koherensi ibarat pada kutipan di atas ditunjukkan pada kalimat 4
yaitu Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo
royo-royo, tak sengguh temanten anyar”. Itu adalah lirik dari
syair Lir Ilir karya Sunan Kalijaga. Syair itu kemudian pada
kalimat 5 dan 6 dilanjutkan dengan “pènèkno blimbing kuwi” dan
“lunyu-lunyu yo penekno”. Kemudian dalam kalimat 7 penulis
menjelaskan maksud dari pengaitan syair Lir Ilir tersebut dengan
Khilafah, khususnya manusia sebagai Khilafah. Pada kalimat 7,
penulis menjelaskan bahwa selicin apapun jalanan di zaman ini,
terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”
yang bergigir lima. Penjelasan itu bisa kaitkan dengan dua hal.
Pertama, sesuai dengan syair dan pemaknaan syair tersebut,
bahwa angka lima tersebut dapat dikaitkan dengan rukun Islam
sebagai fondasi menjalankan syariat Allah SWT. Kedua, jika
dikaitkan dengan analisis sebelumnya yaitu dalam temuan data
esai KN, yang dimaksud lima itu adalah Pancasila sebagai dasar
NKRI yang berjumlah lima sila juga.
164
(4) Hubungan Argumentatif
(115)Khusus kepada teman-teman Polri saya
mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada
rakyat”. (3)Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran
Tuhan tentang pengelolaan sosial. (4)Default tugas
mereka adalah kasih sayang dan pengayoman
(Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). (Paragraf 13
kalimat 2 s.d 4)
Kutipan data (115) di atas memperlihatkan koherensi
hubungan argumentatif yang dinyatakan dengan kalimat kedua
menyatakan argumen (alasan) bagi pendapat yang dinyatakan
pada kalimat pertama. Koherensi argumentatif pada kalimat 2
tentang imbauan penulis kepada teman-teman Polri saya
mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada
rakyat. Alasan kenapa imbauan itu disampaikan disertai
argumentasi yang disampaikan pada kalimat 3 yaitu penulis
mengutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan tentang
pengelolaan sosial. Argumentasi yang lain juga terdapat pada
kalimat 4 yaitu default tugas mereka adalah kasih sayang dan
pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”).
Gagasan yang muncul pada kalimat 3 dan 4 menjadi gagasan
argumentatif untuk memperkuat pernyataan gagasan yang
terdapat pada kalimat 2.
3) Aspek Retoris
Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara
yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan
pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup
penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang
digunakan. Dalam wacana wacana TPTM ditemukan 2 aspek ini,
yaitu aspek grafis dan aspek metafora.
165
a) Grafis
Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian
untuk menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh
penulis yang dapat diamati dari teks atau wacana. Berikut ini
disajikan beberapa kutipan yang menunjukkan grafis yang
digunakan dalam wacana TPTM.
(116)Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam
Silmi setotal-totalnya” (kaffah). ... (3)Dan Allah bermurah
hati tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.
(Paragraf 8 kalimat 2 dan 3)
Kutipan data (116) di atas merupakan unsur grafis yang
dapat dilihat dari pemakaian tanda petik dua (“”) pada klausa
Masuklah ke dalam Silmi setotal-totalnya (kaffah) dan Masuklah
ke dalam Islam kaffah. Pemakaian tanda petik dua (“”) tersebut
dimaksudkan penulis esai untuk menonjolkan klausa tersebut
sekaligus menyampaikan pesan sesuai dengan data (112) aspek
sintaksis koherensi parafratis tentang penekanan bahwa Allah
tidak membebani manusia dengan mendirikan Khilafah Islam
seperti halnya menjadi cita-cita perjuangan HTI. Dari segi retoris,
inilah cara penulis esai untuk menonjolkan hal yang dianggap
penting oleh penulis.
(117)Khusus kepada teman-teman Polri saya
mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada
rakyat”. (Paragraf 13 kalimat 2)
Pemakaian tanda petik dua (“”) juga terdapat pada data
(117) di atas. Penggunaan itu terlihat pada klausa jangan terlalu
garang dan melotot kepada rakyat. Pemakaian tanda petik dua
(“”) tersebut digunakan oleh penulis karena sikap dasar tidak
setujua terhadap cara pemerintah dalam menyikapi HTI dengan
menerbitkan Perppu Ormas tersebut. Hal ini dianggap oleh
penulis sebagai kesewenang-wenangan pemerintah dalam
menggunakaan kekuasaan, padahal menurut penulis tidak semua
166
hal dapat dicover oleh kekuasaan seperti yang terdapat dalam
temuan data esai KN .
b) Metafora
(118)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,
maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan
kekuasaannya”. (Paragraf 5 kalimat 4)
Data (118) di atas, apsek retoris metafora yang
digunakan penulis yaitu satuan lingual tangan kekuasaan.
Seperti halnya dalam temuan data (99), konteks paragraf tersebut
yaitu penulis mengingatkan kepada teman-teman HTI tentang
perlunya proses dalam memberikan pemahaman, dalam hal ini
Khilafah, kepada pemerintah yang dalam kalimat tersebut
menggunakan kata penguasa untuk selanjutnya menggunakan
kata kekuasaan. Makna metafora yang sampaikan oleh penulis
esai pada kutipan di atas adalah otoritas yang diartikan sebagai
kewenangan, atau mungkin juga otoriter atau kesewenang-
kewenangan pemerintah. Hal itu karena pilihan kata yang
digunakan adalah penguasa, bukan pemerintah. Analisis ini
menguatkan temuan data (113) aspek sintaksis koherensi yang
menyatakan hubungan ibarat.
(119)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon
Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,
Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is
beautiful” saja. (9)Kalau bangunan Peradaban di Bumi
bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan hanya
sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah
adalah usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.
(Paragraf 8 kalimat 8 dan 9)
Kutipan data (119) di atas m.h[erupakan penggunaan
metafora dengan cara Khilafah dianalogikan sebagai Biji (benih).
Kemudian penulis esai menggunakan metafora pada frasa
pohon Kesultanan. Ketika Khilafah dianalogikan sebagai biji
167
maka ketika biji Khilafah itu tumbuh, menjadi pohon. Pohon
dalam hal ini bervariasi, bisa dalam bentuk Kesultanan,
Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan,
Padepokan, atau Komunitas.
Kemudian pada kalimat 9 penulis juga melanjutkan
analogi pada kalimat sebelumnya yaitu peradaban diibaratkan
sebagai sebuah bangunan. Dalam hal ini Khilafah dianalogikan
sebagai biji, jika tumbuh maka akan menjadi pohon. Makna
metafora yang disampaikan oleh penulis esai pada kutipan di
atas menjelaskan bahwa Khilafah adalah biji yang kemudian
tumbuh menjadi pohon. Jenis pohon yang tumbuh dari biji
Khilafah bisa bervariasi, bisa dalam bentuk Kesultanan,
Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan,
Padepokan, atau Komunitas. Pesan yang ingin disampaikan oleh
penulis esai adalah dalam berbagai bentuk pohon tersebut,
masing-masing bisa berasal dari biji Khilafah tersebut. Jadi,
Khilafah tidak harus berbentuk seperti zaman kesultanaan
Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan sebagainya. Bentuk Republik
pun bisa berasal dari biji Khilafah tersebut. Berdasarkan
metafora ini penulis esai dapat menyampaikan makna yang
ingin disampaikan, selain itu metafora ini juga bisa
dikatakan bumbu dalam wacana di atas.
(120)Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu
Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa. (Paragraf 15
kalimat 12)
Data (120) di atas, apsek retoris metafora yang
digunakan penulis yaitu Tongkat Perppu Firaun dan Tongkat
Musa. Kedua satuan lingual tersebut dianggap sangat penting
untuk disampaikan kepada pembaca karena digunakan oleh
penulis sebagi judul esai. Tongkat Perppu Firaun menurut
168
peneliti dimaknai sebagai Perppu Ormas yang diterbitkan oleh
pemerintah dalam menyikapi organisasi HTI. Pengunaan
metafora tersebut bukan tanpa sebab. Penulis memang dari awal
tidak sepakat dengan sikap yang diambil pemerintah, terutama
setelah terbitnya Perppu Ormas tersebut. Hal itu terlihat dalam
analisis data esai KIKS dan KN, dan juga ditegaskan kembali
dalam temuan data esai TPTM (117). Pemilihan nama Firaun
juga menguatkan temuan data (118) sebelumnya terkait dengan
penggunaan kata penguasa dan kekuasaan. Selanjutnya, satuan
lingual Tongkat Musa dimaknai peneliti sebagai kekuasaan
Allah. Seperti halnya cerita asli tentang Raja Firaun yang
dibinasakan oleh Allah SWT. Waktu itu nabi yang hidup semasa
kekejaman Firaun adalah Nabi Musa yang terkenal dengan
tongkatnya membelah laut merah. Jadi, penggunaan metafora ini
menunjukkan bahwa penulis menganggap bahwa keputusan
Perppu Ormas adalah sebuah kesewenang-wenangan pemerintah
dalam mengambil sikap terhadap HTI. Hal ini sejalan dengan
temuan data sebelumnya bahwa penulis tidak sepakat dengan
adanya Perppu Ormas tersebut dan memahami bahwa Khilafah
adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa tidak.
4. Analisis Struktur Supra, Makro, dan Mikro dalam Wacana TSK
The Scary Khilafah
(1)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi
Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3
abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan
pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh
Khilafah.
(2)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara
memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan
uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan
Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan
hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia,
bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk
169
dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan
dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.
(3)Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke
spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah.
Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya
panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega
kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan
menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.
Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
(4)Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas
alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma
kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia
Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk.
Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara.
Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan.
Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.
(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah.
Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka
menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan
manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas
menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni
ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi.
Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia
ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia
lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”,
“Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya
Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”. (SUB TOPIK)
(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari
desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya,
visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-
nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam
semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia,
adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”.
Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya
juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.
Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk
memetik “blimbing” yang bergigir lima. (TEMA/TOPIK)
(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan
sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat
Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah
kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta
untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium
untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan
bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia
Kalimat Tesis
170
sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam
Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.
(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin.
Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar
tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman
ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit
urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati
mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah
adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI
bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya
kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah
untuk menjadi Khalifah.
(9)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak
bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang
menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan
saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu
membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan
sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit
kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan
menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya —
tanpa saya pernah memprogramnya.
(10)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak
punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya.
Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a
falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau
kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di
mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan
udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa
membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.
(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi
kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia,
apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian
akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai
hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih
Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab.
Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy
tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan
ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana. (FAKTA)
(TSK)
a. Struktur Makro
Berdasarkan bahasa yang digunakan, wacana di atas berisi mengenai
konsep Khilafah sebagai desain Tuhan. Hal ini terlihat pada paragraf 6.
171
Pada paragraf ini penulis menyatakan tema/topik tentang konsep Khilafah
sebagai bagian dari desain Tuhas yang merupakan sebuah keniscayaan atas
kehidupan manusia di alam semesta, tidak terkecuali Indonesia.
Selanjutnya untuk mendukung tema/topik tersebut penulis
menguatkan dengan beberapa subtopik. Subtopik wacana di atas terdapat
pada paragraf 5 dan 7. Pada paragraf 5 penulis menguatkan tema yaitu
Khilafah merupakan konsep paling mendasar yang membuat Tuhan
menciptakan manusia. Kemudian pada paragraf 7, penulis menjelaskan lebih
rinci mengenai desain Tuhan tersebut dan mengaitkannya dengan sila kelima
dalam Pancasila. Subtopik-subtopik tersebut dapat dikatakan mendukung
tema/topik wacana yaitu Khilafah sebagai Desain Tuhan.
Selain itu, fakta yang disampaikan penulis juga merujuk pada
makna global wacana. Fakta yang disampaikan oleh penulis terletak pada
paragraf 8 dan 11. Dalam hal ini fakta yang ditunjukkan berkaitan
dengan Khilafah yang terjadi di Indonesia seperti mengidentikkan dan
mempersempit urusan Khilafah hanya dengan Hizbut Tahrir. Fakta lainnya
seperti Islam tidak sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi
tidak sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Fakta-fakta
yang ditampilkan oleh penulis tersebut mendukung tema/topik umum
wacana. Berdasarkan tema/topik, subtopik, dan fakta yang disampaikan
penulis dalam wacana dapat dikatakan secara mikro makna wacana di atas
adalah konsep Khilafah sebagai desain Tuhan.
b. Struktur Supra
Wacana di atas merupakan wacana yang berada di kolom Khasanah
dan ditulis pada bulan Agustus 2017. Berdasarkan struktur yang digunakan,
terdapat 6 paragraf pendahuluan yang digunakan penulis. 6 paragraf tersebut
adalah paragarf 1 sampai dengan paragraf 6.
172
Wacana di atas memulai pendahuluan dengan menggunakan teknik
pertanyaan retoris. Dalam hal ini, penulis esai melontarkan pertanyaan
yang tidak memerlukan jawaban, namun mengajak pembaca untuk ikut
memikirkan latar yang akan membawa kepada permasalahan yang menjadi
topik esai. Dalam hal ini penulis esai menyatakan bahwa keadaan saat ini
yaitu adanya ketakutan kepada Khilafah. Pada paragraf 1, pertanyaan retoris
itu dijawab sendiri oleh penulis, namun jawabannya tidak ada dalam dua
pilihan yang ditawarkan pada pertanyaan tersebut.
Kemudian pada paragraf 2, merupakan penjabaran mengenai
jawaban yang disampaikan kalimat terakhir paragraf 1. Di akhir paragraf 2,
penulis menegaskan kembali keterkaitan antara penjabaran pada paragraf 2
sebagai jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan pada paragraf 1. Pada
paragaf 3, penulis mengungkapkan alasan mengapa ia menulis esai tentang
Khilafah ini. Selanjutnya pada paragraf 4, penulis menjelaskan mengenai
semua hal yang diciptakan oleh Tuhan itu tidak ada yang sia-sia. Penulis
mendasarkan hal itu pada ayat al Quran “Robbana ma kholaqta hadza
bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia Engkau
menciptakan semua ini.
Selanjutnya pada paragraf 5, penulis menekankan lagi alasan yang
diungkapkan pada paragraf 3. Penulis menyayangkan jika anti HTI berarti
anti Khilafah. Padahal, penulis mengingatkan kembali tentang konsep
Khilafah yang dipahaminya yaitu Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Hal
ini menunjukkan bahwa bagian pendahuluan pada paragraf 1-5, penulis esai
menekankan kembali bahwa Khilafah adalah sebuah keniscayaan yang tidak
perlu ditakuti, termasuk di Indonesia.
Pada paragraf 6, penulis esai mencantumkan kalimat tesis berupa
Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan
atas kehidupan manusia di alam semesta. Kalimat tesis ini berisi gagasan
yang mengendalikan arah dan batas dari esai yang akan dibahas pada tubuh
173
esai, dalam hal ini kalimat ini membatasi tentang pemahaman bahwa
Khilafah adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, apalagi ditakuti.
Keniscayaan Khilafah ini diungkapkan dengan tempat yang lebih spesifik,
yaitu di Indonesia. Hal itu dilihat dari perumpamaan yang digunakan yaitu
kutipan dari syair Lir Ilir karya Sunan Kalijaga. Kemudian kalimat tesis di
atas dijelaskan dalam tubuh esai pada paragraf 7, 8, 9, dan 10.
Pada paragraf 7 penulis mencoba mengaitkan keniscayaan Khilafah
yang diungkapkan pada paragaf sebelumnya dengan hal-hal yang ada di
Indonesia dengan memunculkan Sila kelima, dan juga ungkapan yang
berasal dari orang Jawa. Pada paragraf 8-10 merupakan penjabaran tesis
yang terdapat pada paragraf 6. Paragraf tersebut membahas mengenai
Khilafah adalah sebuah keniscayaan, jadi tidak hanya bisa disematkan
kepada HTI yang saat ini seolah-olah menjadi penggagas utama Khilafah.
Selain itu, penulis juga menjelaskan mengenai konsep Khalifah dengan
memberikan contoh-contohnya.
Selanjutnya, mengakhiri esai tersebut, penulis membuat sebuah
penutup yang terdiri dari 1 paragraf yaitu paragraf 11. Paragraf tersebut
menyimpulkan bahwa pemahaman yang diuraikan pada kalimat tesis dan
bagian isi belum cukup mendalam dipahami oleh kaum muslimin, baik
secara individual maupun kolektif. Penulis juga mengingatkan pembaca
bahwa tidak perlu takut kepada Khilafah, karena Andaikan Khilafah
terwujud, kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum
terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah,
melainkan masih Kaum Muslimin.
c. Struktur Mikro
1) Aspek Semantik
a) Latar
Hal yang melatari pembuat wacana dalam wacana TSK adalah
tentang keadaan dunia yang takut terhadap adanya Khilafah.
174
(121)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah?
Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang menyampaikan
Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para pemimpin
dunia bersepakat untuk memastikan jangan pernah Kaum
Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh
Khilafah. (Paragraf 1)
Pada paragraf di atas, penulis esai menyampaikan dengan
menggunakan teknik pertanyaan retoris. Dalam hal ini, penulis esai
melontarkan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, namun
mengajak pembaca untuk ikut memikirkan latar yang akan membawa
kepada permasalahan yang menjadi topik esai. Dalam hal ini penulis
esai menyatakan bahwa keadaan saat ini yaitu adanya ketakutan kepada
Khilafah. Pada data (121) di atas, pertanyaan retoris itu dijawab sendiri
oleh penulis. Namun jawabannya tidak ada dalam dua pilihan yang
ditawarkan pada pertanyaan tersebut. Ada dua pilihan jawaban yang
diberikan. Pertama, visi Khilafahnya memang salah. Kedua, pihak yang
menyampaikan Khilafah kepada dunia yang salah.
Kemudian pada data (122), penulis esai menyampaikan bahwa
keadaan saat ini, Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding
Komunisme dan Terorisme. Hal itu terlihat dalam kutipan di bawah ini.
(122)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah:
dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian,
melalui pendidikan, media dan uang, membuat Ummat Islam
tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan Islam. Puncak
sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan
hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata
dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri:
Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme
dan Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak
setakut kepada Khilafah. (Paragraf 2)
Setelah mengajukan pertanyaan retoris pada data sebelumnya,
dalam data (122) penulis memberikan penjelasan lebih rinci mengenai
dua pilihan jawaban yang diberikan. Penulis lebih cenderung terlihat
megambing-hitamkan pihak di luar kaum muslimin yang tidak
disebutkan secara jelas. Penulis hanya menggunakan frasa sejarah
175
dunia dalam menyampaikannya. Jadi, dua pilihan jawaban yang
terdapat dalam data (121) bukanlah yang dirinci lebih lanjut oleh
penulis dan dibiarkan multitafsir. Penulis beranggapan bahwa ada
pihak tertentu yang sengaja menciptakan kondisi agar manusia,
khususnya umat Islam takut terhadap Khilafah. Bahkan menurut
penulis kondisi saat ini yang terjadi adalah Khilafah lebih terkutuk dan
mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Dua paham
tersebut diketahui sampai saat ini menjadi paham yang beredar dan
menjadi adu wacana di dalam masyarakat. Hal inilah yang melatari
penulis esai dalam wacana untuk membahas mengenai konsep
Khilafah sebagai desain Tuhan.
Kemudian pada data (123), penulis esai menyampaikan bahwa
penulis prihatin kepada pihak yang anti Khilafah. Hal itu terlihat dalam
kutipan di bawah ini.
(123)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang
anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan
Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang
membuat-Nya menciptakan manusia. Komponen penyaringnya
dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas menyembunyikan
pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni
ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat
Khalifah di bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-
Nya tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat
raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan tidak
menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas”
atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya
Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.
(Paragraf 5)
Pada paragraf di atas, penulis esai menyampaikan terkait
keprihatinannya kepada kelompok yang anti Khilafah. Hal itu
dikarenakan penulis berpandangan bahwa Khilafah adalah
keniscayaan seperti dalam temuan data esai KIKS, KN, dan TPTM.
Jika dalam data (122) sebelumnya penulis belum menjelaskan
mengenai pilihan jawaban pertanyaan retoris yang disampaikan,
176
peneliti dalam data (123) menemukan keterkaitan dengan pertanyaan
retoris tersebut. Dalam data (121) terdapat dua pilihan jawaban yang
diberikan. Pertama, visi Khilafahnya memang salah. Kedua, pihak yang
menyampaikan Khilafah kepada dunia yang salah. Menurut peneliti,
dua pilihan jawaban tersebut sebenarnya adalah jawaban dari
pertanyaan yang dibuatnya sendiri.
Dalam data (123) di atas, penulis menyampaikan bahwa anti
HTI berarti anti Khilafah, dan pemahaman itu adalah keliru karena
Khilafah adalah keniscayaan. Karena ketika anti Khilafah, berarti
menurut penulis sama saja dengan anti Tuhan. Dari penjelasan tersebut,
terlihat bahwa HTI mempunyai kemungkinan sebagai kelompok yang
salah dalam menyampaikan Khilafah kepada dunia, sehingga terjadi
kesalahpahaman. Salah menyampaikannya itu bisa dalam bentuk visi
Khilafah yang dimiliki HTI. Seperti halnya temuan data esai TPTM
sebelumnya, bahwa penulis dan HTI mempunyai pandangan yang
berbeda mengenai Khilafah.
b) Rincian
(124)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia
mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,
“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun
Ghofur”. (Paragraf 7 kalimat 1)
Berdasarkan kutipan data (124), terdapat penanda rincian
yang digunakan dengan cara mengulang kata-kata yang memiliki
makna yang hampir sama, tetapi dalam wujud yang berbeda. Hal yang
dirinci dalam kutipan wacana di atas adalah tentang tujuan
Khilafah yang diasumsikan sebagai desain Tuhan. Penulis merinci hal
tersebut dengan rincian seperti “keadilan sosial”, “gemah ripah loh
jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun
Ghofur”. Kata-kata tersebut digunakan oleh penulis untuk merinci
tujuan Khilafah tersebut agar lebih jelas dan maksudnya tersampaikan.
Hal ini menekankan kalimat tesis bahwa Khilafah adaha desain Tuhan
177
yang memang tidak perlu ditakuti keberadaannya. Hal itu karena
Khilafah bisa disesuaikan Pancasila, seperti halnya temuan data esai
KN, terutama seperti yang dirinci dalam data di atas dalam farasa
keadilan sosial yang dapat dikaitkan dengan sila kelima dalam
Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c) Nominalisasi
Dalam esai TSK ditemukan 2 data yang menunjukkan
nominalisasi. Namun, temuan itu tidak berkaitan dengan fokus
pembahasan yaitu tentang Khilafah.
2) Aspek Sintaksis
a) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat pada wacana TSK banyak menggunakan kalimat
aktif. Kalimat aktif umumnya digunakan agar seseorang menjadi objek
dari tanggapannya. Dalam wacana TSK kalimat banyak menempatkan
subjek sebagai hal yang ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa
seorang muslim menjadi subjek dalam Khilafah Silmi yang
diwacanakan. Berikut merupakan kutipan beberapa bentuk kalimat
dalam wacana TSK.
Di bawah ini terdapat beberapa kalimat aktif yang digunakan
oleh penulis dalam rangka upaya menempatkan subjek sebagai hal yang
ingin ditonjolkan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim menjadi
subjek dalam Khilafah Silmi yang diwacanakan. Terlihat dari data
(125), penulis esai menyampaikan tentang pandangan penulis bahwa
Khilafah adalah keniscayaan.
(125)Sebab mereka menentang konsep paling mendasar
yang membuat-Nya menciptakan manusia. (7)Sesungguhnya
aku mengangkat Khalifah di bumi. (Paragraf 5 kalimat 3 dan 7)
Dalam kalimat 3, penulis esai menggunakan kalimat aktif
dengan kata ganti mereka menjadi subjek. Penulis dalam hal ini ingin
178
menonjolkan kata tersebut. Dalam paragraf tersebut dijelaskan bahwa
Khilafah adalah keniscayaan yang tidak boleh diingkari, apalagi
dibenci. Seperti halnya temuan data (124) aspek semantik rincian
bahwa Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai keadilan
sosial, subjek mereka dalam hal ini adalah orang-orang yang
menentang konsep Khilafah tersebut.
Kemudian dalam kalimat 7, penulis esai menggunakan kata
ganti aku sebagai subjek. Namun, menurut peneliti, cara penulisan
dalam menulis kata ganti itu keliru. Jika dilihat dari referennya, kata
ganti aku mengacu pada Allah, karena kalimat lengkapnya adalah
Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi. Jika aku dalam
kalimat tersebut mengacu pada diri penulis, Emha Ainun Najib,
bagaimana penulis dalam mengangkat Khalifah, sedangkan ia punya
pandangan bahwa Khilafah adalah desain Tuhan. Khilafah adalah
wilayahnya, Khalifah adalah manusia yang mengatur wilayah itu.
Selanjutnya dalam data (126), penulis menggunakan kalimat
aktif untuk menjelaskan mengenai kemungkinan yang terjadi jika HTI
mewujudkan cita-citanya.
(126)Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang harus
dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis
sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”.
(Paragraf 6 kalimat 4)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat aktif
dengan kata Para Wali menjadi subjek. Seperti halnya temuan data
esai TPTM yang membahas mengenai lagu Lir Ilir dalam data (114).
Kalimat itu diulang sama persis dengan kalimat sebelumnya yang
terdapat dalam wacana TPTM. Lirik syair tersebut diciptakan Sunan
Kalijaga. Subjek Para Wali salah satunya adalah Sunan Kalijaga
sebagai subjek. Penggunaan kalimat aktif tersebut sebagai upaya
179
penulis dalam menekankan bahwa Khilafah adalah benih yang dapat
disesuaikan di wilayah yang beragam. Salah satunya di Indonesia,
disemaikan oleh Para Wali tersebut.
Beberapa kutipan kalimat di atas merupakan kutipan
kalimat aktif yang digunakan oleh penulis dalam wacana TSK.
Kalimat aktif yang dibentuk dalam kutipan wacana di atas dapat dilihat
dari predikat kalimat. Semua predikat kalimat terbentuk dari awalan
me-. Kutipan kalimat aktif di atas memperlihatkan penulis lebih
menonjolkan subjek.
Selain kalimat aktif, terdapat juga kalimat pasif yang
digunakan. Kalimat pasif tersebut digunakan oleh penulis umumnya
digunakan untuk menunjukkan bahwa keadaan dunia saati ini
hubungannya dengan Khilafah. Seperti halnya terlihat dalam data
(127) di bawah ini.
(127)Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh
“udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh
kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.
(Paragraf 7 kalimat 6)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat pasif
dengan menitikberatkan pada dunia yang begitu luas menjadi objek dari
konsep Silmi. Dalam kalimat tersebut, penulis menjelaskan mengenai
keadaan dunia yang saat ini sudah diayomi oleh Khilafah Silmi. Jika
sebelumnya dalam temuan data (122) aspek semantik latar penulis
beranggapan bahwa ada pihak tertentu yang sengaja menciptakan
kondisi agar manusia, khususnya umat Islam takut terhadap Khilafah.
Bahkan menurut penulis kondisi saat ini yang terjadi adalah Khilafah
lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme.
Dalam data (127) tersebut penulis berupaya menyampaikan kepada
pembaca bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan seperti halnya dalam
data (122), karena keadaan dunia yang saat ini sudah diayomi oleh
180
Khilafah Silmi. Hal ini juga mendukung pendapat sebelumnya dalam
temuan data (124) aspek semantik rincian tentang Khilafah yang
diasumsikan sebagai desain Tuhan.
Selanjutnya dalam data (128), penulis menggunakan kalimat
pasif untuk menekankan kembali tentang Khilafah adalah desain
Tuhan dengan manusia sebagai Khalifah.
(128)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh
Allah. (Paragraf 9 kalimat 1)
Dalam kalimat tersebut penulis esai menggunakan kalimat pasif
dengan menitikberatkan pada manusia objek dari penciptaan Allah
sebagai Khalifah. Dalam kalimat tersebut, penulis menjelaskan
mengenai Khilafah adalah desain Tuhan sebagai kalimat tesis dalam
esai TSK. Hal ini mengacu kepada firman Allah yang diungkapkan
yaitu “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Penulis menjadikan manusia
sebagai hal yang ditonjolkan untuk menekankan kepada pembaca
bahwa memang manusia tidak bisa mengingkari konsep Khilafah, di
manapun, kapanpun, siapapun. Karena penulis menggunakan objeknya
adalah setiap manusia.
b) Kohesi (Gramatikal)
(1) Pengacuan
Dalam sebuah wacana, mekanisme kohesi itu dapat dilihat
dari penggunaan referensi. Referensi (pengacauan) merupakan
salah satu bentuk kohesi gramatikal. Pengacuan (referensi) adalah
salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual
tertentu dengan mengacu pada satuan lingual lain. Dalam wacana
pengacuan anafora, pengacuan katafora, pengacuan katafora,
pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan
komparatif.
181
(a) Anafora
(129)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang
anti-Khilafah. (2)Tidak tega mensimulasikan nasibnya di
depan Tuhan. (3)Sebab mereka menentang konsep paling
mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.
(Paragraf 5 kalimat 1 s.d 3)
Pengacuan anafora yang terdapat pada kutipan data (129),
yaitu akhiran –nya pada kata nasibnya . Dalam kalimat
tersebut menjelaskan mengenai keprihatinannya kepada
kelompok yang anti Khilafah. Ketika anti Khilafah, berarti
menurut penulis sama saja dengan anti Tuhan. Akhiran –nya
dalam kata tersebut mengacu pada teman-teman yang anti
Khilafah. Pengacuan anafora selanjutnya yang digunakan adalah
kata ganti mereka. Kata ganti tersebut juga mengacu kepada
subjek yang sama dengan pengacuan sebelumya, yaitu teman-
teman yang anti Khilafah. Penggunaan pengacuan ini adalah
upaya penulis dalam mendukung tesis esai yaitu tentang Khilafah
adalah desain Tuhan yang tidak perlu ditakuti karena adanya
Khilafah dibarengi dengan manusia sebagai Khalifahnya.
(b) Katafora
(130)Khilafah adalah UUD-nya Allah swt.
(Paragraf 6 kalimat 3)
Kutipan data (130) di atas adalah pengacuan katafora
dengan akhiran -nya pada kata UUD-nya yang mengacu kepada
kata Allah swt. yang disebutkan setelahnya. Kalimat ini
memberikan pesan secara eksplisit bahwa Khilafah adalah
keniscayaan yang tidak bisa tidak. Dalam kalimat tersebut
menggunakan ungkapan UUD sebagai desain Khilafah. Seperti
halnya temuan data (129), penulis mencoba menguatkan pendapat
sebelumnya mengenai Khilafah yang tidak perlu ditakuti.
182
(c) Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina
persona (kata ganti orang). Pronomina persona adalah pronomina
yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona
dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona
pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina
persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan
(pronomina persona ketiga).
(i) Pronomina persona pertama
(131)Misalnya saya tidak tega kepada teman-teman
yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan
menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan
pengetahuan. (6)Sementara saya yang memetik laba ilmu
dan berkahnya. (Paragraf 3 kalimat 5 dan 6)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (131)
yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud dalam kata
saya. Kata saya merupakan pronomina persona yang mengacu
pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu Emha Ainun
Najib. Dalam kalimat tersebut, penulis mencoba mengungkapkan
mengenai teman-teman yang anti terhadap Khilafah. Penulis
menekankan bahwa yang mengungkapkan hal itu adalah dirinya
sendiri. Bukan orang lain. Hal ini sejalan dengan temuan data
(129) mengenai keprihatinannya kepada kelompok yang anti
Khilafah. Ketika anti Khilafah, berarti menurut penulis sama saja
dengan anti Tuhan.
(132)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang
anti-Khilafah. (Paragraf 5 kalimat 1)
Pengacuan persona yang terdapat pada kutipan data (132)
yaitu dalam bentuk persona pertama yang terwujud dalam kata
saya. Kata saya merupakan pronomina persona yang mengacu
pada diri sendiri (tunggal) yaitu penulis, yaitu Emha Ainun Najib.
183
Pengacuan ini konteksnya sama dengan temuan data (131)
mengenai teman-teman yang anti terhadap Khilafah.
(ii) Pronomina persona kedua
(133)Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh
“udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam
Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan
membersamakan. (Paragraf 7 kalimat 6)
Kutipan paragraf data (133) di atas menggunakan
pengacuan persona kedua tunggal seperti terlihat dalam klausa
masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk
mempersatukan dan membersamakan. Satuan lingual –mu yang
terdapat pada kata kemampuanmu merupakan pronomina persona
kedua tunggal bentuk terikat lekat kanan yang mengacu pada
pembaca. Penggunaan pronomina ini sebagai upaya penulis esai
menekankan pesan bahwa konteks Silmi cakupannya luas. Tidak
terbatas hanya untuk orang-orang yang mendukung konsep
Khilafah saja, tetapi untuk semua kalangan untuk mempersatukan
dan membersamakan. Bahkan, bukan hanya untuk kaum muslim,
karena ketika mengacunya kepada pembaca adalah tidak terbatas
oleh agama.
(134)Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari
Khilafah? (3)Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan
diayomi oleh rahmatan lil’alamin. (Paragraf 11 kalimat 2
dan 3)
Kutipan data (134) di atas menggunakan pengacuan
persona kedua yaitu pada kalimat 2 seperti terlihat dalam kalimat
Jadi, wahai dunia, apa yang kau takutkan dari Khilafah?
Pronomina persona kedua tunggal bentuk bebas kau mengacu
pada unsur lain yang berada dalam teks yang disebutkan
sebelumnya, yaitu dunia. Selain itu, pada kalimat 3 yang
berbunyi Andaikan Khilafah terwujud, kalian akan diayomi oleh
184
rahmatan lil’alamin pun terdapat pronomina persona kedua jamak
bentuk bebas kalian yang mengacu pada unsur lain yang berada
dalam teks yang disebutkan sebelumnya, yaitu wahai dunia.
Dalam hal ini, mengacu pada temuan data (121) dan (122) aspek
semantik latar bahwa dunia yang dimaksud adalah mengenai
keadaan saat ini yaitu adanya ketakutan kepada Khilafah. Khilafah
lebih terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan
Terorisme.
(iii) Pronomina persona ketiga
(135)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang
anti-Khilafah. (3)Sebab mereka menentang konsep paling
mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.
(Paragraf 5 kalimat 2 dan 3)
Kutipan paragraf di atas merupakan kutipan paragraf dari
wacana dengan kode (TSK). Pada paragraf 1 di atas penulis esai
menggunakan pengacuan persona ketiga yaitu pada kalimat 3 yaitu
Sebab mereka menentang konsep paling mendasar yang membuat-
Nya menciptakan manusia. Pronomina persona ketiga tunggal
bentuk bebas mereka mengacu pada unsur lain yang berada dalam
teks yang disebutkan sebelumnya, yaitu teman-teman yang anti-
Khilafah. Penggunaan pronomina tersebut digunakan untuk
menyampaikan pesan mengenai pandangan penulis bahwa
Khilafah adalah keniscayaan dan desain Tuhan.
(d) Pengacuan Demonstratif
Dalam wacana TSK terdapat pronomina demonstratif
waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional). Berikut
ini disajikan beberapa kutipan wacana yang menunjukkan
pengacuan demonstratif yang digunakan.
(136)Hari-hari ini jangan terlalu tegang
menghadapi Kaum Muslimin. (Paragraf 8 kalimat 1)
185
Pengacuan yang terdapat pada kutipan data (136) yaitu
demonstratif waktu (temporal) ini yang mengacu pada waktu
kini. Penggunaan demonstratif tersebut mengacu pada konteks
data (121) dan (122) tentang keadaan dunia yang takut terhadap
adanya Khilafah. Keadaan saat ini, Khilafah lebih terkutuk dan
mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Penggunaan
demosntratif waktu tersebut menegaskan bahwa kondisi yang
disampaikan memang aktual dan relevan dengan kondisi saat
esai tersebut dibuat mengenai konsep Khilafah sebagai desain
Tuhan.
(137)Andaikan ia belum terwujud, sampai hari ini
fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan
masih Kaum Muslimin. (5)Bahkan di pusatnya sana Islam
tidak sama dengan Arab. (Paragraf 11 kalimat 4 dan 5)
Kutipan data (137) di atas menunjukkan pengacuan
demonstratif waktu (temporal) ini yang mengacu pada waktu kini.
Hal ini menunjukkan hal yang diacu penulis adalah aktual saat
wacana TSK ini dibuat. Hal yang ditegaskan tentang keadaan
negara-negara di dunia yang tidak menerapkan Khilafah seperti
halnya yang diusung oleh HTI yaitu Khilafah sebagai desain Islam
besar, tetapi keadaan dunia saat ini baik-baik saja. Penggunaan
satuan lingual Kaum Muslimin yang disampaikan dapat diartikan
sebagai Khilafah Silmi yang beorientasi pada kedamain, seperti
halnya pandangan penulis mengenai Khilafah adalah keniscayaan
dan berbeda dengan pandangan HTI.
Kemudian pengacuan demonstratif lainnya terdapat pada
kalimat 5. Dalam kalimat tersebut terdapat pengacuan demonstratif
tempat (lokasional) sana yang mengacu jauh dengan penulis. Kata
sana mengacu yang memang jauh dari tempat penulis, yaitu di
Arab. Dalam kalimat tersebut penulis ingin menegaskan bahwa
tidak semua hal dapat digeneralisasikan seperti halnya Arab
186
disamakan dengan Islam. Walaupun Islam lahir di daerah tersebut.
Generalisasi lainnya adalah tentang tidak semua Islam adalah
Khilafah. Hal ini terdapat dalam kalimat sebelumnya yang lebih
memilih Kaum Muslimin, bukan Khilafah.
(e) Pengacuan Komparatif
Dalam wacana TSK tidak ditemukan data tentang
pengacuan komparatif.
(2) Perangkaian (Konjungsi)
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan
unsur yang lain dalam wacana. Berkaitan dengan hal itu, penulis
juga menggunakan konjungsi untuk menunjang kepaduan
tulisannya dalam wacana. Konjungsi dalam bahasa Indonesia
dikelompokkan menjadi: (a) konjungsi kordinatif (b) konjungsi
subordinatif (c) konjungsi korelatif dan (d) konjungsi antar
kalimat.
Konjungsi yang digunakan dalam wacana TSK adalah
konjungsi kordinatif, konjungsi subordinatif, konjungsi korelatif,
dan konjungsi antar kalimat. Berikut ini disajikan pemakaian
konjungsi dalam wacana TSK.
(a) Koordinatif
(138)Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang
menyampaikan Khilafah kepada dunia? (Paragraf 1
kalimat 2)
Data (138) di atas menunjukkan konjungsi yang
digunakan dalam wacana dengan kode (TSK). Konjungsi yang
digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor atau
yang menyatakan makna pemilihan. Penulis ingin
187
menyampaikan dalam pertanyaan retoris tersebut bahwa tentang
keadaan yang menurut penulis sangat takut terhadap Khilafah,
penyebabnya ada dua yang oleh penulis ditanyakan kembali
kepada pembaca dengan maksud itu memang adalah sebuah
jawabannya. Penggunan konjungsi koordinatif menguatkan
temuan data (121) mengenai keadaan saat ini yaitu adanya
ketakutan kepada Khilafah. Ada dua pilihan jawaban yang
diberikan. Pertama, visi Khilafahnya memang salah. Kedua,
pihak yang menyampaikan Khilafah kepada dunia yang salah.
Selain itu, konjungsi lain yang digunakan adalah
konjungsi tapi. Konjungsi ini terlihat pada data (139) di bawah
ini.
(139)Toh juga dengan pemahaman ilmu yang tanpa
anatomi, banyak teman mengidentikkan dan
mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir.
(5)Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah,
bukan pemilik Khilafah bukan satu-satunya kelompok di
antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh
Allah untuk menjadi Khalifah. (Paragraf 8 kalimat 3 dan 5)
Kutipan paragraf di atas memperlihatkan konjungsi
yang digunakan dalam wacana dengan kode (TSK). Konjungsi
yang digunakan adalah konjungsi koordinatif melalui konjungtor
dan yang menyatakan makna penambahan. Dalam kalimat 3,
penggunaan konjungsi dan digunakan dalam menjelaskan
mengenai generalisasi yang terdapat di masyarakat antara
Khilafah dengan Hizbut Tahrir. Keduanya saling diidentikkan.
Padahal menurut penulis adalah dua hal yang tidak selalu sama.
Mengenai hal itu, dilanjutkan oleh penulis penjelasannya dalam
kalimat 5. Dalam kalimat tersebut, penggunaan konjungsi
koordinatif yang memiliki makna penambahan digunakan dalam
menegaskan terkait HT atau HTI bukan satu-satunya kelompok di
antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah
188
untuk menjadi Khalifah. Hal ini berkaitan dengan struktur makro
wacana ini yaitu Khilafah adalah desain Tuhan, dengan dasarnya
adalah manusia diciptakan sebagai Khalifah, jadi otomatis tempat
yang dihuni adalah Khilafah.
(b) Subordinatif
(140)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia
mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,
“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa
Rabbun Ghofur”. (Paragraf 7 kalimat 1)
Data (140) di atas menggunakan konjungsi
subordinatif melalui konjungtor agar yang menyatakan makna
tujuan. Penggunaan konjungsi subordinatif tersebut untuk
menekankan struktur makro bahwa Khilafah adalah desain
Tuhan yang tidak perlu ditakuti karena Khilafah mempunyai
tujuan mencapai “keadilan sosial”. Penggunaan konjungsi
subordinatif tujuan menjadi sesuai dalam menyampaikan
pandangan penulis terhadap Khilafah yang berbeda dengan HTI.
(141)HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan
Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah
adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya.
(5)Padahal HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah,
bukan pemilik Khilafah bukan satu-satunya kelompok di
antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh
Allah untuk menjadi Khalifah. (Paragraf 8 kalimat 4 dan 5)
Kutipan data (141) di atas memperlihatkan konjungsi
yang digunakan dalam wacana dengan kode (TSK). Konjungsi
yang digunakan adalah konjungsi subordinatif melalui
konjungtor sehingga dan yang. Konjungtor sehingga digunakan
penulis dalam menyampaikan pesan yang menyatakan makna
hasil. Hal ini terlihat dalam kalimat 4 yang menjelaskan
mengenai kesalahan yang dilakukan oleh HTI dalam
menyampaikan Khilafah sehingga hasilnya adalah terjadi
189
kekeliruan dalam memahami Khilafah di masyarakat. Selain itu,
konjungtor yang digunakan penulis dalam menyampaikan pesan
yang menyatakan atributif, yaitu menjelaskan kata atau frasa
sebelumnya. Penggunaan konjungsi ini menguatkan temuan data
struktur makro yaitu Khilafah adalah desain Tuhan, dengan
dasarnya adalah manusia diciptakan sebagai Khalifah, jadi
otomatis tempat yang dihuni adalah Khilafah.
(c) Korelatif
Dalam wacana TSK, ditemukan 1 data yang menggunakan
konjungsi korelatif. Namun, penggunaan konjungsi tersebut tidak
berhubungan fokus pembahasan yaitu tentang Khilafah.
(d) Antar kalimat
Konjungsi antarkalimat ini berbeda dengan konjungsi-
konjungsi sebelumya. Konjungsi antarkalimat adalah sebuah kata
hubung yang menghubungkan satu kalimat dengan kaimat yang
lain. Oleh sebab itu, jenis konjungsi ini selalu muncul di awal
kalimat, tentu saja penulisan huruf pertamanya dengan
menggunakan huruf kapital.
(142)Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah
mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur,
celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi
ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan
shalawatan. (6)Apalagi dunia sekarang justru diayomi
oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam
Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan
membersamakan. (Paragraf 7 kalimat 3 dan 6)
Data (148) di atas menggunakan konjungsi
antarkalimat melalui konjungtor apalagi yang menyatakan
makna penegasan. Konjungsi tersebut untuk mempertentangkan
kalimat sebelumnya, yaitu kalimat tanya Apanya yang
ditakutkan?. Penggunaan konjungsi tersebut sebagai upaya
190
penulis dalam menegaskan bahwa tidak perlu ada yang
ditakutkan dengan Khilafah karena Khilafah adalah desain
Tuhan. Tanpa ribut mengenai Khilafah pun, di dalam tubuh
Islam sendiri sudah dan masih banyak pertentangan antar umat
Islam sendiri mengenai hal-hal yang bersifat furuiyah seperti
hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik
haram.
Penegasan tersebut digunakan juga oleh penulis dalam
kalimat 6 dengan menggunakan konjungtor yang sama, yaitu
apalagi. Sebagai kalimat terakhir dalam paragraf, penulis ingin
menekankan bahwa tanpa Khilafah yang sedang diusung oleh
HTI, keadaan saat ini sudah menerapkan Khilafah Silmi tanpa
dirancang oleh desain Islam besar seperti halnya yang dicita-
citakan HTI. Penegasan ini juga mengulang pendapat
sebelumnya bahwa pandangan mengenai Khilafah antara HTI
dan Emha Ainun Najib itu berbeda.
c) Kohesi (Leksikal)
Selain menggunakan piranti kohesif gramatikal, penulis
juga menggunakan peranti kohesif leksikal untuk menunjang
kepaduan wacana TSK. Adapun peranti kohesif leksikal yang
digunakan adalah repetisi (pengulangan). Berikut ini disajikan kutipan
tentang kohesif leksikal repetisi (pengulangan) yang digunakan dalam
wacana TSK.
(1) Repetisi
(149)Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama
dengan Arab. (6)Arab tidak sama dengan Saudi. (7)Saudi
tidak sama dengan Quraisy. (8)Quraisy tidak sama
dengan Badwy. (Paragraf 11 kalimat 5 s.d 8)
191
Data (149) di atas terdapat repetisi yang digunakan.
Kohesif repetisi yang digunakan adalah repetisi anadiplosis
yang menunjukkan pengulangan kata atau frasa terakhir dari
baris atau kalimat itu menjadi kata atau frasa pertama pada baris
atau kalimat berikutnya. Pengulangan tersebut digunakan oleh
penulis dalam menekankan tentang perlunya membedakan antara
HTI dan Khilafah seperti temuan data (141). Kesalahpahaman
yang terjadi di masyarakat mengakibatkan munculnya ketakutan
terhadap Khilafah, bahkan di umat Islam sendiri. Untuk
menguatkan itu, penulis dalam data (149) di atas memberikan
contoh yang mempunyai kesamaan dalam kekeliruan,
kesalahpahaman seperti itu dicontohkan dengan Islam yang tidak
sama dengan Arab. Agar pesan itu sampai kepada pembaca,
maka ditekankan oleh penulis dengan menggunakan repetisi
anadiplosis.
d) Koherensi
Sementara itu untuk menciptakan kepaduan wacana juga perlu
diperhatikan aspek koherensi. Dalam hal ini, koherensi merupakan
pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi
suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang
dihubungkannya. Ada beberapa penanda koherensi yang digunakan
dalam wacana TSK di antaranya hubungan ibarat. Berikut ini merupakan
aspek koherensi yang digunakan dalam wacana TSK.
(1) Hubungan Ibarat
(150)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya
dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak
membebani manusia melebihi kadar kemampuannya).
(2)Seorang kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan
Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina
192
martabat sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari
jasad manusia. (Paragraf 17 kalimat 1 dan 2)
Kutipan data (150) di atas menunjukkan koherensi ibarat
dengan cara kalimat pertama diibaratkan seperti yang dinyatakan
pada kalimat berikutnya.. Gagasan pada kalimat 1 tentang Allah
tidak membebani manusia melebihi kadar kemampuannya
diibaratkan dengan gagasan pada kalimat 2 yaitu bahwa Seorang
kuli pasar mungkin hanya akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,
hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri
harta orang, menghina martabat sesama manusia, atau
memisahkan nyawa dari jasad manusia. Gagasan yang muncul
pada kalimat 2 menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang
terdapat pada kalimat 1. Penggunaan koherensi ibarat ini
digunakan oleh penulis sebagai upaya memyampaikan pesan
tentang tidak adanya kewajiban dalam membangun Khilafah
sebagai sistem ketatanegaraan seperti halnya yang dicita-citakan
oleh HTI. Gagasan ini pernah disampaikan dalam temuan data
wacana KIKS yang memberikan solusi dengan penerapan Khilafah
Silmi. Selanjutnya dikuatkan dengan wacana KN dengan
mengungkapkan bahwa NKRI sudah sebuah aplikasi Khilafah.
Kesederhanaan berpikir itu dapat dilihat dari contoh yang diberikan
seperti kuli pasar sebagai realitas manusia di Indonesia yang
beragam.
(151)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak
dengan berbagai hal tentang NKRI. (2)Bahkan hal-hal
yang mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan
nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi
hingga Era Klayapan sekarang ini. (3)Tapi saya tidak
sedang berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan
mentah makanan serta alat-alat dapur. (4)Saya berada di
warung depannya, dengan makanan minuman yang sudah
tersedia. (5)Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur,
tetapi kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih
193
dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding
kemungkinan manfaat-nya. (Paragraf 20 kalimat 1 s.d 5)
Kutipan data (151) di atas menunjukkan hubungan ibarat
yang digunakan dengan kalimat pertama diibaratkan seperti yang
dinyatakan pada kalimat berikutnya. Gagasan pada kalimat 1
menunjukkan adanya keadaan bahwa penulis juga sebenarnya
terdapat hal-hal yang tidak setuju dan merasa tidak jenak dengan
berbagai hal tentang NKRI. Pada kalimat 2 penulis menambahkan
bahwa ketidaksetujuan dan ketidakjenakan itu terdapat pada hal-
hal mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai
Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi hingga Era
Klayapan sekarang ini. Kemudian pada kalimat 3 dan 4, penulis
mengibaratkan bahwa dia tidak sedang berada di dapur dikepung
oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-alat dapur. Ia
sedang berada di warung depannya, dengan makanan minuman
yang sudah tersedia. Kemudian pada kalimat 5 mengungkapkan
bahwa jika memang mau memperbaiki hal-hal yang tidak setuju
dan tidak jenak seperti yang diungkapkan pada kalimat 1 dan 2,
maka menurut penulis sudah pasti perbaikannya harus dari dapur,
tetapi kalau penulis memaksakan diri untuk mengambil alih
dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar dibanding
kemungkinan manfaat-nya. Gagasan yang muncul pada kalimat 3,
4 dan 5 menjadi contoh atau ibarat pada gagasan yang terdapat
pada kalimat 1 dan 2. Hal ini menunjukkan upaya penulis dalam
membentuk paragraf yang padu melalui koherensi.
3) Aspek Retoris
Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang
digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada
unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Aspek ini mencakup penampilan
grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan. Dalam
194
wacana wacana TSK ditemukan 2 aspek ini, yaitu aspek grafis dan
aspek metafora.
a) Grafis
Grafis dalam aspek retoris wacana merupakan bagian untuk
menyatakan hal yang ditonjolkan atau ditekankan oleh penulis
yang dapat diamati dari teks atau wacana. Berikut ini disajikan
beberapa kutipan yang menunjukkan grafis yang digunakan dalam
wacana TSK.
(152)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia
mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,
“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun
Ghofur”. (4)Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut
kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan
bersama-sama”. (6)Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh
“udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh
kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.
(Paragraf 7 kalimat 1, 4, dan 6)
Kutipan data (152) di atas menggunakan unsur grafis dalam
paragraf 7 kalimat 4 dan 6. Kalimat 4 terdapat frasa ke dalam Islam.
Kalimat 6 terlihat dalam frasa ke dalam Silmi. Kedua frasa di atas
yang terdapat dalam dua kalimat secara berturut-turut menggunakan
unsur grafis dengan cara cetak tebal. Pemakaian cetak tebal tersebut
dimaksudkan penulis esai untuk menonjolkan penekanan antara Islam
dan Silmi. Ada dua perbedaan mendasar menurut penulis dengan
dua kata tersebut. Hal itu menyangkut dengan perbedaan pandangan
mengenai Khilafah antara Emha Ainun Najib dan HTI. Menurut
Emha, Khilafah cukup dengan Khilafah Silmi yang berorientasi
pada kedamaian dan menyesuaikan dengan kondisi wilayah masing-
masing dengan ragam sosial budaya dan masyarakatnya. Sedangkan
HTI memandang bahwa Khilafah yang diusund adalah Khilafah
Islam sebagai sistem ketatanegaraan dengan wujud desain besar
Islam.
195
Selain dengan menggunakan cetak tebal, penulis esai juga
menggunakan tanda petik dua (“) pada frasa keadilan sosial dalam
kalimat 1 dan klausa masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya
dan bersama-sama dalam kalimat 4. Pemakaian tanda petik dua (“”)
tersebut dimaksudkan penulis esai untuk menonjolkan satuan lingual
tersebut. Satuan lingual keadilan sosial dimaksudkan penulis sebagai
tujuan Khilafah Silmi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Satuan
lingual tersebut dapat dikaitkan dengan sila ke-lima Pancasila yaitu
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini digunakan
oleh penulis sebagai penekanan bahwa Indonesia sudah menerapkan
Khilafah Silmi dengan adanya Pancasila yang sudah relevan dengan
hakikat Khilafah itu sendiri yang menurut penulis sebagai
keniscayaan. Dari segi retoris, inilah cara penulis esai untuk
menonjolkan hal yang dianggap penting oleh penulis.
b) Metafora
(153)Banyak hal yang membuat saya panèn hikmah,
pengetahuan, ilmu dan berkah. (5)Misalnya saya tidak tega
kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan
karena kalap dan menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa
kelengkapan pengetahuan. (6)Sementara saya yang memetik
laba ilmu dan berkahnya. (Paragraf 3 kalimat 4 s.d 6)
Kutipan data (153) di atas merupakan penggunaan metafora
dengan menggabungkan kata panen dengan kata hikmah dalam
kalimat 4. Kata panen biasanya digunakan untuk memetik hasil
sawah atau ladang, tetapi dalam hal ini penulis
menggabungkannya dengan kata hikmah. Kata panen dalam hal ini
diartikan beroleh keuntungan dengan mudah. Hal serupa juga
terdapat pada kalimat 5 seperti terlihat dalam klausa defisit masa
depan. Kata defisit biasanya digunakan untuk mengaitkan
kekurangan dalam anggaran belanja. Tetapi, penulis esai mencoba
menggabungkannya dengan frasa masa depan. Pada kalimat 6 pun
terlihat pada klausa memetik laba ilmu. Kata kerja memetik biasanya
196
disandingkan dengan hal-hal yang berjenis tanaman. Namun, penulis
esai menggabungkannya dengan frasa yang menggunakan unsur
metafora juga yaitu laba ilmu. Kata laba biasanya berhubungan
dengan penjualan, pembelian, dan biaya produksi. Namun kali ini
kata laba disandingkan dengan kata ilmu.
(154)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh
Allah. (6)Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan
menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta
dipeluknya — tanpa saya pernah memprogramnya. (Paragraf 9
kalimat 1 dan 6)
Selain itu, dalam data (154) di atas juga ditemukan
metafora dalam kalimat 1 dengan menggunakan kata kerja pasif
dilantik. Kata kerja tersebut biasanya digunakan dengan hal-hal
yang berhubungan jabatan atau birokrasi, namun kali ini penulis
menggunakanya dengan dihubungkan dengan Allah yang melantik
manusia menjadi Khalifah. Selanjutnya pada kalimat 6 terlihat
metofora yang digunakan pada klausa seluruh alam semesta
dipeluknya. Makna metafora yang sampaikan oleh penulis esai pada
kutipan di atas adalah cinta yang dimiliki oleh kata ganti saya yang
merujuk pada penulis sangatlah besar, sampai seluruh alam semesta
dipeluknya. Berdasarkan metafora ini penulis esai dapat
menyampaikan makna yang ingin disampaikan, selain itu
metafora ini juga bisa dikatakan bumbu dalam wacana di atas.
197
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan masalah yang yang diajukan, pada bagian penutup ini
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Struktur makro pada wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun
Najib di Caknun.com terlihat pada topik, subtopik, dan fakta. Secara
global makna yang disampaikan penulis dalam wacana adalah yaitu, (1)
tema Seorang muslim tidak harus mendirikan atau masuk ke Khilafah
Islam, tetapi cukup masuk ke dalam Khilafah Silmi, (2) tema Aplikasi
Khilafah dalam NKRI, (3) tema HTI Perlu Pengguliran Diskusi Publik
tentang Khilafah, (4) tema Khilafah adalah Desain Tuhan yang Tidak
Perlu Ditakuti.
2. Struktur supra wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di
Caknun.com terdiri atas (1) pendahuluan, (2) kalimat tesis, (3) tubuh atau
isi, dan (4) penutup. Berdasarkan struktur tersebut wacana Esai tentang
Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com dapat digolongkan
sebagai wacana yang terstruktur.
3. Strukur mikro Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di
Caknun.com terdiri atas (1) latar; (2) rincian, (3) bentuk kalimat aktif dan
kalimat pasif , (4) penanda kohesif dan koherensi; (5) pemakaian kata
ganti, (6) pemakaian grafis, dan (7) metafora. Selanjutnya, bentuk kalimat
aktif yang digunakan lebih banyak dibandingkan kalimat pasif. Hal itu
dikarenakan penulis lebih menonjolkan subjektifitas penulis dalam
memberikan argumentasinya, terutama dalam memberikan penjelasan
mengenai konsep Khilafah yang berbeda dengan Hizbut Tahrir Indonesia.
Piranti kohesif gramatikal yang digunakan adalah referensi, dan konjungsi.
Pola pengacuan (referensi) yang digunakan terdiri atas pola pengacuan
198
endofora (anafora dan katafora). Selanjutnya, konjungsi yang
digunakan dalam wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib
di Caknun.com memiliki makna, yaitu makna adversatif, kausal,
koordinatif, dan korelatif.. Piranti kohesif leksikal yang digunakan adalah
repetisi. Selanjutnya, penanda koherensi yang digunakan adalah (1)
hubungan sebab akibat, (2) hubungan sarana hasil, (3) hubungan sarana
tujuan, (4) hubungan latar kesimpulan, (5) hubungan perbandingan, (6)
hubungan parafrastis, (7) hubungan aditif waktu (simultan dan berurutan),
(8) hubungan identifikasi, dan (9) hubungan ibarat.
4. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa struktur mikro
yang digunakan penulis dalam membangun Esai tentang Khilafah Karya
Emha Ainun Najib di Caknun.com cukup lengkap. Dari banyaknya aspek
mikro yang digunakan, penulis lebih dominan menggunakan aspek
retorika yang terdiri dari aspek grafis dan metafora. Penggunaan grafis
yang sangat dominan menunjukkan pada siasat dan cara yang digunakan
oleh penulis esai untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang
ditonjolkan. Hal itu ditunjukkan dengan memberikan cetak tebal untuk
satuan lingual yang menurut penulis penting. Sedangkan penggunaan
metafora dimasudkan sebagai ungkapan untuk menyatakan hal pokok dari
wacana. Penggunaan metafora ini juga dapat dikatakan dominan karena di
setiap esai selalu ada penggunaan metafora dan ini menjadi ciri khas
penulis. Sehingga argumen-argumen yang disampaikan dalam esai
terkesan bermuatan sastra. Hal itu cukup mendukung wacana ini menjadi
wacana yang kohesif dan koheren. Hal itu dibuktikan dengan hubungan
antarkalimat yang sudah terjalin dengan padu dan utuh. Dengan demikian,
pembaca mudah memahami pesan yang disampaikan penulis dalam
wacana Esai tentang Khilafah Karya Emha Ainun Najib di Caknun.com.
Berkaitan dengan hal itu, wacana ini dapat digunakan sebagai bahan
pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran menulis, baik di tingkat
pendidikan menengah maupun pendidikan atas.
199
B. Saran
Berdasarkan tindak lanjut penelitian ini, maka dapat diperoleh beberapa
saran, yaitu:
1. Bagi ahli bahasa disarankan agar menggunakan hasil penelitian ini
untuk memperluas wawasan tentang teori belajar bahasa, khususnya
tentang analisis wacana kritis. Dalam hal ini, informasi-informasi yang
diperoleh melalui penelitian ini seperti struktur supra, struktur mikro dan
struktur makro dalam wacana dapat digunakan untuk mendukung dan
menjelaskan teori-teori analisis wacana kritis yang sudah ada.
2. Bagi siswa Sekolah Menengah Atas agar menggunakan hasil
penelitian ini sebagai bahan pembelajaran dalam meningkatkan kualitas
keterampilan menulis karangan dan yang lebih mengkhusus menulis esai.
3. Bagi guru bahasa Indonesia agar mengunakan hasil penelitian tentang
Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai Khilafah Emha Ainun Najib
di Caknun.com dalam menyusun pembelajaran menulis karangan,
khususnya menulis esai.
4. Bagi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini
agar digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan kemampuan dan
menambah wawasan dalam menganalisis wacana pada mata kuliah
Analisis Wacana.
5. Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini agar dijadikan bahan
pertimbangan untuk melakukan penelitian dengan kajian yang sama dan
lebih mendalam.
200
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka, 2003.
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Badara, Aris. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana
Media. Jakarta: Kencana, 2012.
Brown and Yule. Discourse Analysis. Cambridge: Cambrige University Press,
1983.
Chomsky, Noam. Cakrawala Baru Kajian Bahasa dan Pikiran. Tangerang
Selatan: Logos Wacana Ilmu, 2000.
Dijk, Teun A van. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and
Society 4:249-83, 1993.
Dijk, Teun A van. News Analysis: Case Studies of International and National
News in the Press. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Publisher,
1988b.
Dijk, Teun A van. Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction.
Barcelona: Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOS), 2003.
Dijk, Teun A van. Episodic Models in Discourse Processing. New York:
Academic Press, 1985.
Dijk, Teun A van. Discourse Semantic Analysis. London: Academic Press
London, 1985.
Dijk, Teun A. van. Ideology and Discourse Analysis. Journal of Political
Ideologies, 2006.
201
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS,
2001.
Gee, James Paul. An Introduction to Discourse Analysis Theory and Method.
London: Taylor & Francis e-Library, 2001
Hamad, Ibnu. Wacana. Jakarta: La Tofi Enterprise, 2010.
Hartono, Bambang. Dasar-dasar Kajian Wacana. Semarang: Pustaka Zaman,
2012.
Ibrahim, Abd. Syukur dkk. Aliran-Aliran Linguistik. Surabaya: Usaha Nasional,
1985.
Ihsan, Diemroh. Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa. Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2011.
Kalijernih, Freddy K. Penulisan Akademik. Bandung: Widya Aksara Press, 2010.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia, 1988.
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologis. Jakarta: Gramedia, 1990.
Kushartanti dkk. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2009.
Miles, Matthew dan Huberman, Michael. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press), 2014.
Mahsun. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Mubarok, Muhammad Sofi. Kontroversi Dalil-Dalil Khilafah. Jakarta: Pustaka
Harakatuna, 2017.
Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
202
Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Rosidi, Sakhban. “Analisis Wacana Kritis Sebagai Ragam Paradigma Kajian
Wacana,” Makalah disajikan pada Sekolah Bahasa, atas prakarsa Himpunan
Mahasiswa Islam Komisariat Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 15
Desember 2007.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015.
Sugono, Dendy. Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progres,
2003.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta Bandung, 2006.
Sumarlam. Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Solo: Pustaka Cakra, 2003.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Analisis Konstrastif Bahasa. Bandung:
Angkasa, 1992.
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung, 2009.
Widyamartaya, A. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
204
Lampiran 01 Sampel Esai
Khalifah Islam dan Khilafah Silmi
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas Negara, itu tidak
berarti manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi “persona non
grata.” Kalau dikaitkan dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada
rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”). Setiap
orang atau kelompok berhak memperjuangkan keyakinannya. Ada yang
meletakkannya pada peta kalah menang, dan HTI sedang menanggung
resikonya. Ada juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang
hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru mereka sedang
menjalani ujian kenaikan derajat.
(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan, sehingga penduduknya
berjuang mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para Prajurit
Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk
semakin nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi
hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah payung untuk
berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.
Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan
atau ambil yang baru di Toko Ilmu.
(3)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah menghimpun ilmu
dan menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke kampung halaman aslinya,
yakni Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,
meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam dua rentang
waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal anharu kholidina fiha
abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.
(4)Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu manusia untuk
menata pagar di antara penduduk Bumi. Karena di kehidupan Dunia yang
ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan
kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu kebebasan
orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan training sejenak di Bumi
agar manusia belajar berbagi kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak
sebagai penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya
kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain – sesudah selama
di Bumi mereka menyiksa diri oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,
pembunuhan dan pemusnahan.
(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas
semua hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan kemungkinan baik
atau buruk bagi sandang, pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak
berkuasa atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak
menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya, sehingga rela
205
menjadi buih yang diseret dan diombang-ambingkan ke manapun Negara
dan Pemerintahnya mau.
Keniscayaan Khilafah
(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah,
karena itu adalah niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain kecuali
menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta
dan saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia: tugasnya
“patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan,
tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai, gunung, hutan, angin,
dedaunan dan embun, juga detak jantung manusia, aliran darahnya,
kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh
kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal hanya entitas
sistem makhluk manusia yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips
yang bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.
(7)Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan, hewan adalah
makhluk kepastian, meskipun sebagian di antara mereka ada yang
menjadi wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.
Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan
berbagi dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas tertentu,
dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit. Manusia bisa melanggar
batas yang sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan
Development bisa merusak bumi, dengan memberangus sesama manusia
yang menentangnya.
(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa
“membolos” dari kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka memulai
Semester berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia tidak
bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang dan
waktu yang selain milik Tuhan. Manusia tidak bisa mengelak dari
tanggung jawabnya sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada)
yang wajib dijalaninya.
(9)Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di empat lapisan
langit Surga, yang semua teduh berwarna dominan hijau tua. Manusia
“ngunduh wohing pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya.
Bumi adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari Akhirat.
Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung besar
Akhirat, yang juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
(10)Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-sungguh berlatih
menjadi penduduk Surga. Serta menjunjung kemuliaan untuk mencita-
citakan agar seluruh bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni
Surga. Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau Syaikh
Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan Indonesia 1980-an
oleh Syaikh Abdurahman Al-Baghdady.
206
(11)Mereka orang-orang baik sebagai manusia, sangat menyayangi
penduduk Bumi dan mencita-citakan semua manusia lintas-Negara agar
kelak bercengkerama dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai
kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar, semacam grand design
untuk seluruh wilayah di Bumi. Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh
atau komunitas inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas
membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di seantero Bumi –
maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan
berangkat dari Nol.
(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen,
plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan, berbagai-
bagai jalan ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis
darah, marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI
hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan
sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-alihan kekuasaan, revolusi
total atau kudeta: membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya hingga
pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.
(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari kegelapan menuju
cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan pengambil-alihan
kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-
kecilan seperti tawuran anak-anak Sekolah Unggul.
(14)Maka saya memberanikan diri mencari pemahaman atas
perintah Allah “Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi
secara utuh dan tunai. Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata
Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi sukar
dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa
mengandung perbedaan antara kedua kata itu.
(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan “Udkhulu fil-Islami
Kaffah”: membangun sistem Islam besar nasional dan global. Sangat
meyakini kebenaran Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara
saya seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari Allah.
Kelak kita mempertanggungjawabkan kehidupan di hadapan Allah secara
individual, tanpa bisa ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan kita,
kemudian hak prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk menawar nasib
kita dalam konteks dialektika cinta.
(16)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di perempatan
jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya bayangkan
akan ditagih oleh Allah hal-hal mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau
Malaikat menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial, sistem
pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar industrialisme dan
sistem perbankan Dunia. Juga untuk menjadi Muslim yang tidak masuk
207
Neraka apakah ia harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus
berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut Tahrir.
(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya dengan “la
yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani manusia
melebihi kadar kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan
ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan Nabi dan Al-
Qur`an, apakah ia mencuri harta orang, menghina martabat sesama
manusia, atau memisahkan nyawa dari jasad manusia.
(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang mungkin hanya hafal
Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek, pengetahuannya sangat awam
terhadap tata nilai Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,
kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak pandai dan
‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak canggih shalat dan bacaan
Qur`annya, tapi santun, menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit
siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang tukang jahit di
pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga negara sebuah
Negara Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa
menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah,
mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar. Karena setiap huruf
yang saya ketik bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan keyakinan
Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga
gagah perkasa memprogram pengkhilafahan Indonesia.
Syariat Allah di Alam dan Manusia
(20)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak dengan berbagai
hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang mendasar sejak persiapan
kemerdekaan, muatan nilai-nilai Proklamasi 1945, sampai Orla Orba
Reformasi hingga Era Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang
berada di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-
alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan makanan minuman
yang sudah tersedia. Sudah pasti perbaikannya harus dari dapur, tetapi
kalau saya memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian
mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan manfaat-nya.
(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka wilayah kehidupan
saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak mau meladeni kekerdilan cara
berpikir tanpa kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan
antara Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan
Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan
Islamis. Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-
Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan antara
Bumi dengan Langit dan antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak
famili dari terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi.
(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau prinsip Khilafah
identik-formal dengan suatu Organisasi atau golongan, sementara semua
208
manusia adalah Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya
tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan Khalifah.
(23)Pada hakikinya semua makhluk adalah representasi atau
manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga tak ada
kehampaan atau kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.
Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya:
metabolisme semesta, organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan
galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah, gunung
menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam semesta menari-nari,
menyusun koreografi yang luar biasa, beredar pada porosnya, berputar satu
sama lain.
(24)Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan hukum dan
penataan aturan yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu persesuaian
dan kepatuhan kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan
birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada kemashlahatan
manusia dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah kepatuhan kepada
Syariat Allah.
(25)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada Syariat Allah
seperti pohon, mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan
secara alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya,
namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa itu adalah
ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia menginisiali Syariat Allah
itu dengan nama Syariat Islam, sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma,
Bebekti, dan banyak lagi.
(26)Semua makhluk adalah utusan Tuhan, “Rasul”-Nya. Dituliskan
oleh para Malaikat atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh.
Sejak awal mula penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat
mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur Muhammad”,
dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah
merebakkannya menjadi alam semesta dan umat manusia. Maka para
Malaikat semua, kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,
meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah”.
(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur Muhammad, yang
kumparan dan gelombangnya mentransformasi menjadi jagat raya — dan
itulah yang disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.
Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah, Muhammad-manusia
dengan kontrak 63 tahun di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah yang
membawa berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari
Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat sejatinya, Nabi
adalah pangkatnya, Rasul adalah jabatannya di Bumi.
(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara nasional di
Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan Maulid Nabi
diselenggarakan pada bulan Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra`
yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia.
Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja karena tatkala “Kun”
209
dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan
tahun yang dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai
Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun bersembahyang, lemah lembut
kepada tetangga, tidak maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa
siapapun untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa
Negara Khilafah.
(KIKS)
Khilafah NKRI
(1)Mungkin ini bukan yang paling urgen. Tetapi apa yang tidak urgen
di Indonesia hari ini? Perkara mana yang kalah urgen dibanding lain-lainnya?
(2)Ibarat sedang masak sayur di dapur, perkenankan saya
menuntaskannya menuju matang.
(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal yang menyangkut
penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati
setiap kali menatap Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena
lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya “tidak
kenal” saya. Jadi saya merdeka. Namun demikian saya tetap wajib “lapor”
kepada diri saya sendiri:
(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah
aplikasi Khilafah, dengan segala keterbatasannya, baik buruknya, salah
benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau
kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak, sadar
atau tidak, niat atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-Owner kehidupan
ini.
(5)Karena saya tidak mau bikin perkara dengan Tuhan Yang Maha
Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan manusia adalah “Inni
Ja’ilun fil-ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia sebagai
Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak, ada Hizbut-Tahrir atau
tidak, pakai Hizib-Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari
wujud adanya manusia.
(6)Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan kelapa bukan
semangka, kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut
Nabi Musa keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa tahu
berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya,
beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak
punya secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.
(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah adalah tuntunan
manajemen agar perjalanan sejarah kita memproduksi “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan
keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila dengan Metoda
Khilafah. Juga Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.
(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah tidak membebani
manusia melebihi kadarnya. Khilafah adalah Allah mentransfer benih-
benih, manusia menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba merawat
210
sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-hambaNya berkebun dengan
menghasilkan buah-buah surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya
menerbitkan buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.
(9)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya
“kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber filosofi Anda.
Kita tinggal cari komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut, di-
tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-cocokan di antara kita,
faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu-
gelombang-annya. Belajar terbuka dan jujur saja.
(10)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan menjadi alat dan medan
untuk kita berperang. Belajar menentukan kadar “puasa” dan tahan diri
masing-masing, agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul umuri
ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a rofa’aha
wawadlo’al mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,
meletakkan keseimbangan pada keduanya.
(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari Nol-Peradaban,
sehingga semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara murni dari
awal persemaian. Di Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis
pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu. Khilafah memerlukan
kearifan manajemen, memahami batas pencapaian cocok-tanamnya, dan
berendah-hati untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap
segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.
(12)Allah juga memberi keringanan kepada kelemahan manusia. Ia
tidak menuntut suatu desain besar Islam atau desain Islam besar, yang
berlaku di setiap jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin sore”, 14 abad
silam, tatkala Ia menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini
telah kulengkapkan Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada
kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai modal
untuk membangun peradaban di sisa senja hari usia alam semesta.
(13)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke dalam Silmi secara
kaffah”. Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah
di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya “nekad”
menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”,
“Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung, pesantren,
padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. Saya berpuasa
dari Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak
pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.
(14)“Sinau Bareng” dengan anak-anak muda, Bapak Ibu Kakek
Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres, Dandim,
Danramil, Kapolsek, para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu
dan simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita. “Indonesia
Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami jadikan landasan berpikir, bersikap
dan mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi
211
kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.
(15)Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia Besar jangan
menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani
agar jangan terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan
Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta berbagai “hawa
global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin manusia lainnya.
(16)72 tahun merdeka belum cukup untuk membangun Indonesia
Besar yang tidak besar kepala di Jakarta. Yang bisa membedakan antara
“otoritas” dengan “otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-
wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya. Tidak
memusuhi siapa saja yang seharusnya dirangkulnya. Tidak merasa pantas
untuk sewenang- wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak
meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau perilaku apapun
agar tercapai kepentingannya.
(KN)
Tongkat Perppu dan Tongkat Musa
(1)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan
HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa kami
“maiyahan” di halaman Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik
oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang
Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang terukur untuk
tidak mencintai secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap dan
amarah.
(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima
tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para
perwira tinggi dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran
variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan
saya sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada HTI maupun
Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati
Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis
otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi penggunaan
kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding, jargon politik,
icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut
fenomena “aurat”.
(3)Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada
Kaum Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe
Penyet “Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor
“Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau
Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”
dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. Meskipun saya
tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban
212
“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram “Visa
Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas
“Pohon Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.
(4)Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt
bertuliskan “Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya
sedang meyakinkan dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.
Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,
sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI
dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI
adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah.
Padahal NU, Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di
Bumi.
(5)HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik
tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik,
bendera ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat
semua yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada
teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa
kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah
bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia.
Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu
mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang
leher Anda akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
(6)Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI,
karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa
Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi
supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan
membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.
Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan
Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita
punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan.”
(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI
Khilafah itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan).
Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan
kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda.
Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan
dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi
tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama.
Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan
kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah
sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia dengan segala
kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan kesesatannya,
kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni.
213
(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan,
Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau
Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke
dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati tidak
menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”. Kelihatannya itu terkait
dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia. Allah
tidak membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia bukan
Sorga. Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit
beberapa lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau
bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan
hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah
usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.
(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar
maupun kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah
dengan taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk
tidur berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah
Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama,
Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah
Khilafah.
(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti
yang di depannya. Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang
mengkonsep seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan Global kita adalah
Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah Air ini milik-Nya, kalau mau menggali
isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan
Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian bilang
terima kasih sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara Pancasila adalah
menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan
inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah.
(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak
dan luas lagi. Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar
memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa
aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan
bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan darah”
(definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat dan nyawa satu
sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).
(12)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan
tentang Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada
Evolusi Empat. Spektrum filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri
dan mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada ilmu dan
teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu
yang berevolusi. Dunia sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci
antara Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang
bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana Kelapa
214
juga kebanyakan masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,
bahkan jumud dalam semangat Bluluk.
(13)Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus
kepada teman-teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan
melotot kepada rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan
tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah kasih sayang dan
pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). Kalau tidak sangat
terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi
“Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat yang
tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat
Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan Indonesia
perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.
(14)Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal,
Moderat: afala ta’qilun, tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau
telan begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang radikal.
Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak
memerlukan apapun dari saya. Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing
in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan
Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang”, kata adik
kesayangan saya Ebiet G. Ade.
(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.
Masalah tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir
dan seribu kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan
“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan. Bhinneka
Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai dan saling menerima. Cinta
plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta plus
Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian plus Kepentingan =
Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan Firaun adalah kehancuran.
Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat
Musa.
(16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya
sejarah panjang tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia.
Bangsa Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia
adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-
Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-
garap, kata penduduk Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.
(TPTM)
The Scary Khilafah
(1)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada Khilafah? Yang salah visi
Khilafahnya ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3
abad yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan jangan
pernah Kaum Muslimin dibiarkan bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh
Khilafah.
215
(2)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah: dengan segala cara
memecah belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui pendidikan, media dan
uang, membuat Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an dan
Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan
hati dan pikirannya, sudah memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia,
bahkan di pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk
dan mengerikan dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan kepada setan
dan iblis, manusia tidak setakut kepada Khilafah.
(3)Perkenankan saya mundur dua langkah dan mencekung ke
spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya menulis lagi tentang Khilafah.
Ini tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya
panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya saya tidak tega
kepada teman-teman yang mengalami defisit masa depan karena kalap dan
menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.
Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
(4)Ummat manusia sudah berabad-abad melakukan penelitian atas
alam dan kehidupan. Maka mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma
kholaqta hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak sia-sia
Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk.
Sampah-sampah alam menjadi rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara.
Penjajahan melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan kebangkitan.
Penderitaan memberi pelajaran tentang kebahagiaan.
(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang anti-Khilafah.
Tidak tega mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. Sebab mereka
menentang konsep paling mendasar yang membuat-Nya menciptakan
manusia. Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti Khilafah. Lantas
menyembunyikan pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni
ja’ilun fil ardli khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di bumi.
Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya tentang makhluk yang Ia
ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia
lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”, “Insan”,
“Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan langsung menyebutnya
Khalifah. Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung “Af’al”.
(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari
desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya,
visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-
nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam
semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia,
adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”.
Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya
juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.
Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk
memetik “blimbing” yang bergigir lima.
(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan
sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat
216
Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah
kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta
untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium
untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan
bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia
sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam
Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.
(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin.
Kenduri yang dipertentangkan adalah kenduri wèwèh ambengan antar
tetangga, bukan kenduri pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman
ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan mempersempit
urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati
mewacanakan Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah
adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT maupun HTI
bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya
kelompok di antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah
untuk menjadi Khalifah.
(9)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh Allah. Saya tidak
bisa menyalahkan atau membantah Allah, karena kebetulan bukan saya yang
menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi. Bahkan
saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak atau stop. Saya tidak mampu
membangunkan diri saya sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan
sel-sel tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian, menit
kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol dan
menggelembung begitu saja, sampai seluruh alam semesta dipeluknya —
tanpa saya pernah memprogramnya.
(10)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak
punya pilihan lain. Saya hanya karyawan-Nya. Allah Big Boss saya.
Meskipun dia kasih aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a
falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau
kehilangan perhitungan. Kalau saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di
mana, mau kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan
udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan istri, Tuhan yang berkuasa
membuatnya hamil. Bukan saya. Saya cuma numpang enak sebentar.
(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam dan rasional menjadi
kesadaran individual maupun kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia,
apa yang kau takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud, kalian
akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia belum terwujud, sampai
hari ini fakta di muka bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan masih
Kaum Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab.
Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan Quraisy. Quraisy
tidak sama dengan Badwy. Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan
ganggu kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.
(TSK)
217
Lampiran 02 Analisis Struktur Makro
Judul : Khalifah Islam dan Khilafah Silmi
Kode : KIKS
No Aspek Analisis
Struktur
Makro
Analisis
1 Tema/topik Paragraf 14
(14)Maka saya memberanikan diri mencari
pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi
kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan tunai.
Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata Islam,
melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi
sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan
Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua kata
itu. (TEMA/TOPIK)
2 Sub Topik Paragraf 18
(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang
mungkin hanya hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat
pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai
Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,
kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging.
Tidak pandai dan ‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg.
Tidak canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun,
menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-
siapa dan tidak merusak apa-apa. (SUB TOPIK)
Paragraf 19
(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar
seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh
Allah tanpa menjadi warga negara sebuah Negara
Khilafah. Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk surga
tanpa menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia.
Kalau saya salah, mohon dilembuti dengan informasi
yang lebih benar. Karena setiap huruf yang saya ketik
bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu dan
keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya merasakan hampir
mendekati mutlak, sehingga gagah perkasa memprogram
pengkhilafahan Indonesia. (SUB TOPIK)
Paragraf 21
(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka
wilayah kehidupan saya pastilah Khilafah. Tapi saya
218
tidak mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa
kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang
mempolarisasikan antara Pancasila dengan Islam, antara
Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan, antara
Negara dengan Agama, antara Nasionalis dengan Islamis.
Apalagi mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan
Agama-Ardli, antara Kesalehan Individu dengan
Kesalehan Sosial, bahkan antara Bumi dengan Langit dan
antara Dunia dengan Akhirat. Itu semua sanak famili dari
terminologi lucu Santri-Agama-Priyayi. (SUB TOPIK)
3 Fakta Paragraf 6
(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas
‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak
punya kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)
Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan
saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia:
tugasnya “patuh dengan kesadaran akal”. Semua
benda patuh kepada Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran
akal. Sungai, gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,
juga detak jantung manusia, aliran darahnya, kesegaran
dan keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua
patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan
kesadaran akal hanya entitas sistem makhluk manusia
yang dipasang di kepalanya semacam supra-chips yang
bernama akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.
(FAKTA)
Paragraf 12
(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal
Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai
faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh
menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah,
marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya.
Kalau HTI hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa
menemukan jalan sejarahnya kecuali harus melakukan
pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total atau kudeta:
membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,
dari BI hingga Bank Plecit. (FAKTA)
Paragraf 17
(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya
dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah
tidak membebani manusia melebihi kadar
kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan
219
ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan
Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,
menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan
nyawa dari jasad manusia. (FAKTA)
Paragraf 22
(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau
prinsip Khilafah identik-formal dengan suatu Organisasi
atau golongan, sementara semua manusia adalah
Khalifah. Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya
tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan
Khalifah. (FAKTA)
Paragraf 28
(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara
nasional di Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal.
Sedangkan Maulid Nabi diselenggarakan pada bulan
Ramadlan, bersamaan dengan turunnya Iqra` yang
merupakan momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-
manusia. Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan
saja karena tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan,
belum ada satuan hari kesepakatan bulan dan tahun yang
dikreasi oleh manusia. Seorang tukang andong bisa
mencintai Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun
bersembahyang, lemah lembut kepada tetangga, tidak
maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa siapapun
untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa
Negara Khilafah. (FAKTA)
Judul : Khilafah NKRI
Kode : KN
No Aspek Analisis
Struktur
Makro
Analisis
1 Tema/topik Paragraf 4
(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI
ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala
keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia
hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau
kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja
atau tidak, sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya
nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.
(TOPIK/TEMA)
2 Sub Topik Paragraf 7
220
(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah
adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita
memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan
keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila
dengan Metoda Khilafah. Juga Memahami Khilafah
lewat Pintu Pancasila. (SUB TOPIK)
Paragraf 8
(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah
tidak membebani manusia melebihi kadarnya. Khilafah
adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia
menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba
merawat sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-
hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah
surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan
buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.
(SUB TOPIK)
3 Fakta Paragraf 11
(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam
dari Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa
dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian. Di
Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis
pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu.
Khilafah memerlukan kearifan manajemen, memahami
batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-hati
untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap
segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh. (FAKTA)
Judul : Tongkat Perppu dan Tongkat Musa
Kode : TPTM
No Aspek Analisis
Struktur
Makro
Analisis
1 Tema/topik (5)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang
diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk
menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua
yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat
kemukakan kepada teman-teman HTI: “Bagaimana
mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa kesabaran
berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa
221
Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi
bagi problem ummat manusia. Kalau kita masukkan
makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu
mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti
akan dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu
Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram
oleh tangan kekuasaannya”. (TOPIK)
2 Sub Topik (6)Kepada teman-teman Polri saya mohon
“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium
3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus,
nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-
serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.
Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari
masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling
dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan
anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”.
(SUB TOPIK)
(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda
dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-
Maidah (hidangan). Sementara bagi saya Khilafah itu
benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah
yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang
berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang
tidak sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-
sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi
tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang
juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%,
50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah
hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan
Allah sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan
semua manusia dengan segala kelemahan dan
kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan
kesesatannya, kelak tetap memperoleh kedermawanan
hati Allah untuk diampuni. (SUB TOPIK)
(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon
Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,
Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is
beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam
Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati
tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.
Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan hati Tuhan
tentang batas kemampuan manusia. Allah tidak
222
membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya.
Dunia bukan Sorga. Dunia bukan kampung halaman,
melainkan hanya tempat transit beberapa lama. Tidak
harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau
bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar
Khilafah Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar
Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah usaha per-
individu untuk menjadi Khalifah-Nya. (SUB TOPIK)
(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum
dan buang air besar maupun kecil, masih tak keberatan
untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat
gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan
untuk tidur berselang-seling dengan kerja keras
menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana
manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban
sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab
kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.
(SUB TOPIK)
(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di
belakang membuntuti yang di depannya. Yang di
depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep
seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan
Global kita adalah Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah
Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang, mau
mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan
Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan,
kemudian bilang terima kasih sesudah menikmatinya.
Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari posisi
Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan
inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah
Khilafah. (SUB TOPIK)
(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya
ungkapkan lebih banyak dan luas lagi. Khilafah itu ilmu
dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar
memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang
utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak
untuk membangun kemashlahatan bersama, rahmatan
lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan
menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling
melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain
(kriteria dari Rasul Muhammad saw). (SUB TOPIK)
(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-
banyak berpikir ulang. Masalah tidak cukup diselesaikan
223
dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan seribu
kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis”
dan “syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh
kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti
belajar mencintai dan saling menerima. Cinta plus Ilmu =
Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta
plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian
plus Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme.
Dan masa depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung
turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh
Tongkat Musa. (SUB TOPIK)
3 Fakta (16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka
bumi. Ia punya sejarah panjang tentang kebijaksanaan
hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa Indonesia
ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia
adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia
adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor
globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata penduduk
Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.
(FAKTA)
Judul : The Scary Khilafah
Kode : TSK
No Aspek Analisis
Struktur
Makro
Analisis
1 Tema/topik Paragraf 6
(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah
adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia
di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis
Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya
Allah swt. Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang
harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah
“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno
blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang
upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo
penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus
panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”
yang bergigir lima. (TEMA/TOPIK)
2 Sub Topik Paragraf 5
(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang
224
anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di
depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling
mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.
Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti
Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa
anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli
khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di
bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya
tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat
raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan
tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,
“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan
langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim”
tapi juga langsung “Af’al”. (SUB TOPIK)
Paragraf 7
(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia
mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,
“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa
Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi
Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan
hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan
musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh
tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu
milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam
Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun
sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang
justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:
masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk
mempersatukan dan membersamakan. (SUB TOPIK)
3 Fakta Paragraf 8
(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi
Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah
kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri
pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman
ilmu yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan
dan mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut
Tahrir. HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan
Khilafah sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah
adalah HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal
HT maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan
pemilik Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di
antara ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh
Allah untuk menjadi Khalifah. (FAKTA)
Paragraf 11
(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam
225
dan rasional menjadi kesadaran individual maupun
kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau
takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud,
kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan
ia belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi
belum dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum
Muslimin. Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama
dengan Arab. Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak
sama dengan Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy.
Apa yang kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu
kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.
(FAKTA)
226
Lampiran 03 Analisis Struktur Supra
Judul : Khalifah Islam dan Khilafah Silmi
Kode : KIKS
No Aspek
Analisis
Struktur
Supra
Analisis
1 Pendahuluan Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
Paragraf 1
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh otoritas
Negara, itu tidak berarti manusianya menjadi “stateless”,
aktivisnya menjadi “persona non grata.” Kalau dikaitkan
dengan makar, sebaiknya jangan makar kepada rujukan
konsep makar dari Tuhan (“wa makaru wa makarallah”).
Setiap orang atau kelompok berhak memperjuangkan
keyakinannya. Ada yang meletakkannya pada peta kalah
menang, dan HTI sedang menanggung resikonya. Ada
juga yang melihat keluasan hidup di mana kalah menang
hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini mungkin justru
mereka sedang menjalani ujian kenaikan derajat.
Paragraf 2
(2)Bumi dan Dunia adalah sistem batasan,
sehingga penduduknya berjuang mencari celah-celah
ruang kemerdekaan. Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-
Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk semakin
nikmat bekerja keras menemukan pembebasan. Organisasi
hanyalah alat: pisau dapur untuk mengiris bawang,
hanyalah payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung,
dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan
atau ambil yang baru di Toko Ilmu.
Paragraf 3
(3)Karena tugas kemakhlukan manusia adalah
menghimpun ilmu dan menyusun strategi, agar ia lolos
kembali ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,
di mana kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,
meluas, dan manusia memegang kendali aliran itu dalam
dua rentang waktu: kekekalan dan keabadian. “Tajri min
tahtihal anharu kholidina fiha abada”, begitu Allah mengindikasikan pintu pengetahuan tentang Surga.
Paragraf 4
(4)Negara adalah hasil karya kecerdasan ilmu
manusia untuk menata pagar di antara penduduk Bumi.
227
Karena di kehidupan Dunia yang ini, sistem nilainya tidak
dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan kebebasan
seseorang berposisi steril atau tidak mengganggu
kebebasan orang lainnya. Tuhan hanya menyelenggarakan
training sejenak di Bumi agar manusia belajar berbagi
kemerdekaan. Semacam “puasa”, agar kelak sebagai
penduduk Surga, mereka menikmati betapa dahsyatnya
kemerdekaan yang tidak saling membatasi satu sama lain –
sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh
perebutan, persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan
menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,
pembunuhan dan pemusnahan.
Paragraf 5
(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak
berkuasa atas semua hal pada manusia. Negara bisa
menyebarkan kemungkinan baik atau buruk bagi sandang,
pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara tidak berkuasa
atas hati dan pikiran warganya, kecuali mereka yang tidak
menikmati otonomi rohani dan independensi pikirannya,
sehingga rela menjadi buih yang diseret dan diombang-
ambingkan ke manapun Negara dan Pemerintahnya mau.
Keniscayaan Khilafah
Paragraf 6
(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak atas
‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah niscaya. Saya tidak
punya kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)
Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan
saya. Menjadi Khalifah adalah posisi khusus manusia:
tugasnya “patuh dengan kesadaran akal”. Semua benda
patuh kepada Tuhan, tetapi tidak dengan kesadaran akal.
Sungai, gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun, juga
detak jantung manusia, aliran darahnya, kesegaran dan
keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya, semua patuh
kepada kehendak Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran
akal hanya entitas sistem makhluk manusia yang dipasang
di kepalanya semacam supra-chips yang bernama akal,
serta cakrawala yang bernama kalbu.
Paragraf 7
(7)Malaikat, Iblis, Setan, benda, tetumbuhan,
hewan adalah makhluk kepastian, meskipun sebagian di
antara mereka ada yang menjadi wadah kerjasama antara
takdir Tuhan dengan inisiatif manusia. Sementara Jin dan
Manusia adalah makhluk kemungkinan. Tuhan berbagi
dengan mereka berdua “hak mentakdirkan” sampai batas
tertentu, dengan pembekalan ilmu yang juga amat sedikit.
228
Manusia bisa melanggar batas yang sedikit itu,
Pembangunan boleh mengeruk tambang, kerakusan
Development bisa merusak bumi, dengan memberangus
sesama manusia yang menentangnya.
Paragraf 8
(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa “pensiun
dini”, tidak bisa “membolos” dari kehidupan yang abadi.
Dalam kuburan mereka memulai Semester berikutnya,
kemudian berlangsung semesteran-semesteran berikutnya,
hingga tiba di babak final Surga atau Neraka. Manusia
tidak bisa melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet,
galaksi, ruang dan waktu yang selain milik Tuhan.
Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung jawabnya
sampai dua kehidupan abadi (kholidina fiha abada) yang
wajib dijalaninya.
Paragraf 9
(9)Khusus yang dapat kapling surga akan dibagi di
empat lapisan langit Surga, yang semua teduh berwarna
dominan hijau tua. Manusia “ngunduh wohing pakarti”,
memetik buah dari kelakuan yang ditanamnya. Bumi
adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian awal dari
Akhirat. Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung kecil di
dalam gelembung besar Akhirat, yang juga terletak di
Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
Paragraf 10
(10)Para Prajurit Pembebasan itu sungguh-
sungguh berlatih menjadi penduduk Surga. Serta
menjunjung kemuliaan untuk mencita-citakan agar seluruh
bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana menghuni Surga.
Memang demikianlah sejak didirikan 1953 oleh beliau
Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor
dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh Abdurahman Al-
Baghdady.
Paragraf 11
(11)Mereka orang-orang baik sebagai manusia,
sangat menyayangi penduduk Bumi dan mencita-citakan
semua manusia lintas-Negara agar kelak bercengkerama
dengan Allah di Surga. Mereka menyusun tata nilai
kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar,
semacam grand design untuk seluruh wilayah di Bumi.
Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh atau komunitas
inti beliau, yang sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas
membagi rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di
229
seantero Bumi – maka mereka bisa meng-Hizbut-tahrir-
kan kehidupan di Bumi dengan berangkat dari Nol.
Paragraf 12
(12)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka Tunggal
Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai
faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh menuju
Tuhan, berbagai latar belakang, etnik, jenis darah, marga,
golongan, aliran dan berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI
hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa menemukan
jalan sejarahnya kecuali harus melakukan pengambil-
alihan kekuasaan, revolusi total atau kudeta:
membubarkan Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya, kebudayaannya,
dari BI hingga Bank Plecit.
Paragraf 13
(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI dari
kegelapan menuju cahaya, tetapi momentum dan adegan-
adegan pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak
mampu mensimulasi kemungkinan bisa dihindarkannya
dari konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama Kaum
Muslimin sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-anak
Sekolah Unggul.
2 Kalimat Tesis Paragraf 14
(14)Maka saya memberanikan diri mencari
pemahaman atas perintah Allah “Udkhulu fis-silmi
kaffah”. Masuklah ke dalam Silmi secara utuh dan tunai.
Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-kata Islam,
melainkan Silmi. Wallahu a’lam maksud-Nya, tetapi
sukar dibayangkan bahwa penggunaan kata Silmi, bukan
Islam, tanpa mengandung perbedaan antara kedua kata itu.
3 Tubuh Paragraf 15
(15)Hizbut Tahrir tampaknya memaksudkan
“Udkhulu fil-Islami Kaffah”: membangun sistem Islam
besar nasional dan global. Sangat meyakini kebenaran
Islam dan gagah berani menerapkannya. Sementara saya
seorang penakut yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi
dari Allah. Kelak kita mempertanggungjawabkan
kehidupan di hadapan Allah secara individual, tanpa bisa
ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang
mendoakan kita, kemudian hak prerogatif Muhammad
kekasih Allah untuk menawar nasib kita dalam konteks
dialektika cinta.
230
Paragraf 16
(16)Seorang Muslim tukang ojek, penjual jajan di
perempatan jalan, petani di dusun atau sales dan Satpam,
tidak bisa saya bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal
mengenai Negara Islam dan Khilafah. Atau Malaikat
menanyainya soal ideologi global, kapitalisme mondial,
sistem pasar Yahudi internasional, atau satuan-satuan
besar industrialisme dan sistem perbankan Dunia. Juga
untuk menjadi Muslim yang tidak masuk Neraka apakah ia
harus menguasai semua makna Al-Qur`an, harus
berkualitas Ulama dan bergabung dalam Khilafah Hizbut
Tahrir.
Paragraf 17
(17)Setiap hamba Allah dilindungi oleh-Nya
dengan “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha” (Allah
tidak membebani manusia melebihi kadar
kemampuannya). Seorang kuli pasar mungkin hanya akan
ditanya beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan
Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta orang,
menghina martabat sesama manusia, atau memisahkan
nyawa dari jasad manusia.
Paragraf 18
(18)Itulah Silmi, mudah-mudahan. Seseorang
mungkin hanya hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat
pendek, pengetahuannya sangat awam terhadap tata nilai
Islam. Tetapi hidupnya sungguh-sungguh,
kebergantungannya kepada Allah mendarah-daging. Tidak
pandai dan ‘alim, tapi kejujuran perilakunya ajeg. Tidak
canggih shalat dan bacaan Qur`annya, tapi santun,
menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit siapa-siapa
dan tidak merusak apa-apa.
Paragraf 19
(19)Konsep Silmi membukakan jalan agar seorang
tukang jahit di pinggir jalan bisa diterima oleh Allah tanpa
menjadi warga negara sebuah Negara Khilafah. Seorang
Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa menunggu
berhasilnya perjuangan Khilafah Dunia. Kalau saya salah,
mohon dilembuti dengan informasi yang lebih benar.
Karena setiap huruf yang saya ketik bersifat relatif dan
dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut Tahrir
sejauh saya merasakan hampir mendekati mutlak,
sehingga gagah perkasa memprogram pengkhilafahan
Indonesia.
Syariat Allah di Alam dan Manusia
Paragraf 20
231
(20)Jangan dipikir saya setuju dan merasa jenak
dengan berbagai hal tentang NKRI. Bahkan hal-hal yang
mendasar sejak persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai
Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi hingga Era
Klayapan sekarang ini. Tapi saya tidak sedang berada di
dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah makanan serta
alat-alat dapur. Saya berada di warung depannya, dengan
makanan minuman yang sudah tersedia. Sudah pasti
perbaikannya harus dari dapur, tetapi kalau saya
memaksakan diri untuk mengambil alih dapur: kepastian
mudlarat-nya terlalu besar dibanding kemungkinan
manfaat-nya.
Paragraf 21
(21)Saya pun adalah seorang Khalifah, maka
wilayah kehidupan saya pastilah Khilafah. Tapi saya tidak
mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan
pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan antara
Pancasila dengan Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika
dengan Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama,
antara Nasionalis dengan Islamis. Apalagi
mendikotomikan antara Agawa-Samawi dengan Agama-
Ardli, antara Kesalehan Individu dengan Kesalehan Sosial,
bahkan antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia
dengan Akhirat. Itu semua sanak famili dari terminologi
lucu Santri-Agama-Priyayi.
Paragraf 22
(22)Juga saya merasa agak repot selama ini kalau
prinsip Khilafah identik-formal dengan suatu Organisasi
atau golongan, sementara semua manusia adalah Khalifah.
Saya jadi kikuk karena seakan-akan kalau saya tidak
bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti saya bukan
Khalifah.
Paragraf 23
(23)Pada hakikinya semua makhluk adalah
representasi atau manifestasi atau tajalli Tuhan sendiri,
sebab tidak ada apapun, juga tak ada kehampaan atau
kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.
Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”, maka
berlangsunglah syariat-Nya: metabolisme semesta,
organisme alam, sistem nilai kehidupan, hamparan galaksi,
susunan tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,
gunung menyimpan api, semua kelereng-kelereng alam
semesta menari-nari, menyusun koreografi yang luar biasa,
beredar pada porosnya, berputar satu sama lain.
Paragraf 24
(24)Kalau ada Negara di Bumi yang menegakkan
232
hukum dan penataan aturan yang memprimerkan
keperluan rakyatnya, itu persesuaian dan kepatuhan
kepada Syariat Allah. Semua undang-undang, pelaksanaan
birokrasi dan tatanan kenegaraan yang berpihak pada
kemashlahatan manusia dan berkesesuaian dengan hukum
alam: itulah kepatuhan kepada Syariat Allah.
Paragraf 25
(25)Tingkat dan pola kepatuhan mereka kepada
Syariat Allah seperti pohon, mengalirnya air,
berhembusnya angin: patuh kepada Tuhan secara alamiah,
naluriah, karena kejujuran terhadap kemanusiaannya,
namun tanpa akalnya menemukan dan menyadari bahwa
itu adalah ketaatan kepada Syariat-Nya. Sebagian manusia
menginisiali Syariat Allah itu dengan nama Syariat Islam,
sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma, Bebekti, dan banyak
lagi.
4 Pentup Paragraf 26
(26)Semua makhluk adalah utusan Tuhan,
“Rasul”-Nya. Dituliskan oleh para Malaikat atas perintah-
Nya di Kitab Agung Lauhul-Mahfudh. Sejak awal mula
penciptaan berupa pancaran cahaya, yang Allah sangat
mencintai dan memujinya, sehingga manamainya “Nur
Muhammad”, dan gara-gara makhluk wiwitan inilah
maka kemudian Allah merebakkannya menjadi alam
semesta dan umat manusia. Maka para Malaikat semua,
kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, meneguhkan
keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Paragraf 27
(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama Nur
Muhammad, yang kumparan dan gelombangnya
mentransformasi menjadi jagat raya — dan itulah yang
disyahadatkan oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.
Kemudian kedua Muhammad bin Abdullah,
Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun di Bumi.
Lantas Muhammad Nabiyyullah yang membawa berita,
hidayah dan “buku manual” Allah yang berevolusi dari
Taurat, Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad adalah zat
sejatinya, Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah
jabatannya di Bumi.
Paragraf 28
(28)Muhammad bin Abdullah diperingati secara
nasional di Indonesia setiap 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan
Maulid Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan,
bersamaan dengan turunnya Iqra` yang merupakan
momentum awal ke-Nabi-an Muhammad-manusia.
233
Adapun Nur Muhammad diperingati bisa kapan saja
karena tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan, belum ada
satuan hari kesepakatan bulan dan tahun yang dikreasi
oleh manusia. Seorang tukang andong bisa mencintai
Tuhan, merindukan tiga Muhammad, tekun
bersembahyang, lemah lembut kepada tetangga, tidak
maling, tidak menyakiti orang, tidak memaksa siapapun
untuk berpandangan sama dengannya – dengan atau tanpa
Negara Khilafah.
Judul : Khalifah NKRI
Kode : KN
No Aspek Analisis
Struktur
Supra
Analisis
1 Pendahuluan Paragraf 1
(1)Mungkin ini bukan yang paling urgen. Tetapi
apa yang tidak urgen di Indonesia hari ini? Perkara mana
yang kalah urgen dibanding lain-lainnya?
Paragraf 2
(2)Ibarat sedang masak sayur di dapur,
perkenankan saya menuntaskannya menuju matang.
Paragraf 3
(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai. Hal-hal
yang menyangkut penanganan hukum atas HTI, sudah
ketemu dan fix. Ada rasa getir di hati setiap kali menatap
Indonesia. Tapi secara pribadi saya bersyukur karena
lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut
Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya. Jadi saya merdeka.
Namun demikian saya tetap wajib “lapor” kepada diri saya
sendiri:
2 Kalimat Tesis Paragraf 4
(4)Mohon izin saya bersangka baik bahwa NKRI
ini sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan segala
keterbatasannya, baik buruknya, salah benarnya, mulia
hinanya serta indah joroknya. Termasuk niat suci atau
kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah NKRI sengaja
atau tidak, sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya
nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.
3 Tubuh Paragraf 5
(5)Karena saya tidak mau bikin perkara dengan
Tuhan Yang Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam
menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli
khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan manusia
234
sebagai Khalifah di bumi. Ada Hizbul-Wathon atau tidak,
ada Hizbut-Tahrir atau tidak, pakai Hizib-Nashr atau
tidak, takdir khilafah tidak bisa diurai dari wujud adanya
manusia.
Paragraf 6
(6)Ketentuan khilafah sama niscayanya dengan
kelapa bukan semangka, kerbau tak bisa terbang,
rambutnya Nabi Isa lurus halus, rambut Nabi Musa
keriting, rambut Nabi Muhammad ikal. Saya tidak bisa
tahu berapa tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut
Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda Hawa di
Kebumen atau Magetan — tetapi saya tidak punya
secuilpun peluang untuk mengingkari khilafah.
Paragraf 7
(7)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga. Khilafah
adalah tuntunan manajemen agar perjalanan sejarah kita
memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. Semoga pada suatu hari Allah mengizinkan
keinginan saya menulis tentang Memahami Pancasila
dengan Metoda Khilafah. Juga Memahami Khilafah
lewat Pintu Pancasila.
Paragraf 8
(8)“La yukallifullahu nafsan illa wus’aha”, Allah
tidak membebani manusia melebihi kadarnya. Khilafah
adalah Allah mentransfer benih-benih, manusia
menanamnya, memilih kondisi tanahnya, mencoba
merawat sebisa-bisanya. Allah tidak menagih hamba-
hambaNya berkebun dengan menghasilkan buah-buah
surga. Bahkan hanya Allah yang sejatinya menerbitkan
buahnya, manusia hanya menanam dan merawatnya.
Paragraf 9
(9)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda boleh
menamakannya “kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab
Suci atau sumber filosofi Anda. Kita tinggal cari
komponen-komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut,
di-tunggal-ika-i, disinergikan. Juga kita daftar ketidak-
cocokan di antara kita, faktor-faktor inkompatibilitasnya,
daya tolak air-minyaknya, ketidak-satu- gelombang-annya.
Belajar terbuka dan jujur saja.
Paragraf 10
(10)Daftar perbedaan itu kita sepakati jangan
menjadi alat dan medan untuk kita berperang. Belajar
menentukan kadar “puasa” dan tahan diri masing-masing,
agar dicapai titik tengah dan keseimbangan. “Khoirul
umuri ausathuha”, sebaik-baik perkara itu tengah-
tengahnya. “Wassama`a rofa’aha wawadlo’al mizan”,
235
Allah mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,
meletakkan keseimbangan pada keduanya.
Paragraf 11
(11)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi Adam dari
Nol-Peradaban, sehingga semua benih Khilafah bisa
dicocok-tanamkan secara murni dari awal persemaian. Di
Kebun Nusantara sudah terlanjur banyak jenis
pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan benalu.
Khilafah memerlukan kearifan manajemen, memahami
batas pencapaian cocok-tanamnya, dan berendah-hati
untuk menahan diri dari kemungkinan perusakan terhadap
segala sesuatu yang sudah terlanjur tumbuh.
Paragraf 12
(12)Allah juga memberi keringanan kepada
kelemahan manusia. Ia tidak menuntut suatu desain besar
Islam atau desain Islam besar, yang berlaku di setiap
jengkal tanah di bumi. Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru kemarin
sore”, 14 abad silam, tatkala Ia menyatakan kepada
Muhammad kekasih-Nya: “Hari ini telah kulengkapkan
Agama-Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada
kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan kesempurnaan
itu” sebagai modal untuk membangun peradaban di sisa
senja hari usia alam semesta.
Paragraf 13
(13)Allah membatasi tuntutannya: “Masuklah ke
dalam Silmi secara kaffah”. Tuhan tidak memilih
kosakata “Masuklah ke dalam Islam…”. Sudah di 3789
titik di seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini saya
“nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”, “Islam
kecil”, “Islam substansial”, “Islam esensial”, “Islam
lokal-konstekstual” — di lapangan bawah masyarakat.
Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa, kampung,
pesantren, padepokan, sanggar — berbagai “ruangan hati
rakyat kecil”. Saya berpuasa dari Negara “besar”, politik
“elite”, mowo-toto politik praktis, yang puncak
pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.
Paragraf 14
(14)“Sinau Bareng” dengan anak-anak muda,
Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak Kadus, Pak Lurah,
Camat, Bupati, Kapolres, Dandim, Danramil, Kapolsek,
para Sesepuh, lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan
simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap gempita.
“Indonesia Bagian Dari Desa Saya” buku 1979 kami
jadikan landasan berpikir, bersikap dan mengkhalifahi
keadaan-keadaan lokal. Kita mencintai dan mengabdi
236
kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah Air,
menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan nasionalisme,
berlatih menjadi Satriyo.
4 Penutup Paragraf 15
(15)Tapi harus bikin pagar komplet agar Indonesia
Besar jangan menjadi faktor destruktif bagi lokal
Indonesia Kecil. Pagar jasmani rohani agar jangan terlalu
mudah diracuni oleh “Indonesia Besar”, pemerintahan
Jakarta, industrialisme global, kapitalisme maniak serta
berbagai “hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin
manusia lainnya.
Paragraf 16
(16)72 tahun merdeka belum cukup untuk
membangun Indonesia Besar yang tidak besar kepala di
Jakarta. Yang bisa membedakan antara “otoritas” dengan
“otoriter”. Antara “kewenangan” dengan “sewenang-
wenang”. Yang tidak Adigang adigung adiguna kepada
rakyatnya. Tidak memusuhi siapa saja yang seharusnya
dirangkulnya. Tidak merasa pantas untuk sewenang-
wenang. Tidak mengambil alih otoritas Tuhan. Tidak
meminjam tangan Iblis. Tidak berkostum Malaikat. Atau
perilaku apapun agar tercapai kepentingannya.
Judul : Tongkat Perppu dan Tongkat Musa
Kode : TPTM
No Aspek Analisis
Struktur
Supra
Analisis
1 Pendahuluan Paragraf 1
(1)Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk
membubarkan HTI dll, malam itu bersama KiaiKanjeng
dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman
Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh
pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan
ilmu” tentang Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah
pengambilan jarak yang terukur untuk tidak mencintai
secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap
dan amarah.
Paragraf 2
(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di
Yogya saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian
Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira tinggi
dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar
237
Khilafah. Pengetahuan saya sangat terbatas, sehingga apa
yang saya kemukakan kepada HTI maupun Polri sama
saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang
dimandati Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam
seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya,
dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada
kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi
penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi,
filosofi, branding, jargon politik, icon eksistensi, merk
dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena
“aurat”.
Paragraf 3
(3)Belum ada diskusi publik antara berbagai
kalangan, termasuk pada Kaum Muslimin sendiri,
misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe Penyet
“Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”,
Geng Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25
Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi “Izroil”.
Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah”
dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic
Fashion. Meskipun saya tidak khawatir akan muncul
“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban “Obama Atina
Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram
“Visa Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah
“Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk
rokok “Hisab Akherat”.
Paragraf 4
(4)Belum ada diskusi strategis yang menganalisis
kalau ada T-Shirt bertuliskan “Islam My Right, My
Choice, My Life”, apakah pemakainya sedang meyakinkan
dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya.
Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia
bagian dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral
sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian
kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI dengan
kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa
HTI adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan
HTI bukan Khilafah. Padahal NU, Muhammadiyah, semua
ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi.
2 Kalimat Tesis Paragraf 5
(5)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang
diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-
lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk
menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua yang
238
di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan
kepada teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda
menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses
menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah
bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi
problem ummat manusia. Kalau kita masukkan makanan
ke mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan
pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu
Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh
tangan kekuasaannya”.
3 Tubuh Paragraf 6
(6)Kepada teman-teman Polri saya mohon
“jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium
3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus,
nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-
serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain.
Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari
masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling
dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan
anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”.
Paragraf 7
(7)Pandangan saya tentang Khilafah berbeda
dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-
Maidah (hidangan). Sementara bagi saya Khilafah itu
benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah
yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang
berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak
sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-
sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi
tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang
juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%,
50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya
10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah
sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua
manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya,
mungkin keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap
memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni.
Paragraf 8
(8)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon
Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi,
Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is
239
beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam
Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati
tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.
Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan hati Tuhan
tentang batas kemampuan manusia. Allah tidak
membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya.
Dunia bukan Sorga. Dunia bukan kampung halaman,
melainkan hanya tempat transit beberapa lama. Tidak
harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau
bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah
Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang
nanti dihitung oleh Allah adalah usaha per-individu untuk
menjadi Khalifah-Nya.
Paragraf 9
(9)Kalau orang masih mau mandi, makan minum
dan buang air besar maupun kecil, masih tak keberatan
untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat
gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan
untuk tidur berselang-seling dengan kerja keras
menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana
manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial
dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada
rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.
Paragraf 10
(10)Khalifah adalah orang yang berjalan di
belakang membuntuti yang di depannya. Yang di
depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep
seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan
Global kita adalah Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah
Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang, mau
mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan
Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan,
kemudian bilang terima kasih sesudah menikmatinya.
Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari posisi
Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan
inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah
Khilafah.
Paragraf 11
(11)Kepada HTI maupun Polri sudah saya
ungkapkan lebih banyak dan luas lagi. Khilafah itu ilmu
dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar
memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang
utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak
untuk membangun kemashlahatan bersama, rahmatan
240
lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan
menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling
melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain
(kriteria dari Rasul Muhammad saw).
Paragraf 12
(12)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya
nekad ungkapkan tentang Enam Tahap Evolusi di mana
Globalisme saat ini berada pada Evolusi Empat. Spektrum
filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri dan
mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada
ilmu dan teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa
di-empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi. Dunia
sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci antara
Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban
Degan, yang bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa.
Para pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan masih
berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir, bahkan
jumud dalam semangat Bluluk.
4 Penutup Paragraf 13
(13)Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad
kemukakan. Khusus kepada teman-teman Polri saya
mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada
rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan
tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah
kasih sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi
Rabbinnas”). Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai
pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi
“Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana
aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan
penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu,
dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan
Indonesia perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.
Paragraf 14
(14)Termasuk teminologi tentang Radikal,
Fundamental, Liberal, Moderat: afala ta’qilun, tidak
engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau telan
begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang
radikal. Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh
proses Indonesia ini tidak memerlukan apapun dari saya.
Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing in the wind”,
kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan
Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang
bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G. Ade.
Paragraf 15
(15)Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-
241
banyak berpikir ulang. Masalah tidak cukup diselesaikan
dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan seribu
kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan
“syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh
kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti
belajar mencintai dan saling menerima. Cinta plus Ilmu =
Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta
plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian
plus Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan
masa depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung turnamen
nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat
Musa.
Paragraf 16
(16)Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka
bumi. Ia punya sejarah panjang tentang kebijaksanaan
hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa Indonesia
ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia
adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia
adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor
globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata penduduk
Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri.
Judul : The Scary Khilafah
Kode : TSK
No Aspek Analisis
Struktur
Supra
Analisis
1 Pendahuluan Paragraf 1
(1)Kenapa dunia begitu ketakutan kepada
Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya ataukah yang
menyampaikan Khilafah kepada dunia? Sejak 2-3 abad
yang lalu para pemimpin dunia bersepakat untuk
memastikan jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan
bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh Khilafah.
Paragraf 2
(2)Maka pekerjaan utama sejarah dunia adalah:
dengan segala cara memecah belah Kaum Muslimin.
Kemudian, melalui pendidikan, media dan uang, membuat
Ummat Islam tidak percaya kepada Khilafah, AlQur`an
dan Islam. Puncak sukses peradaban dunia adalah kalau
Kaum Muslimin, dengan hati dan pikirannya, sudah
memusuhi Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di
pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih
242
terkutuk dan mengerikan dibanding Komunisme dan
Terorisme. Bahkan kepada setan dan iblis, manusia tidak
setakut kepada Khilafah.
Paragraf 3
(3)Perkenankan saya mundur dua langkah dan
mencekung ke spektrum kecil. Juga maaf-maaf saya
menulis lagi tentang Khilafah. Ini tahadduts binni’mah,
berbagi kenikmatan. Banyak hal yang membuat saya
panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah. Misalnya
saya tidak tega kepada teman-teman yang mengalami
defisit masa depan karena kalap dan menghardik dan
mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.
Sementara saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
Paragraf 4
(4)Ummat manusia sudah berabad-abad
melakukan penelitian atas alam dan kehidupan. Maka
mereka takjub dan mengucapkan “Robbana ma kholaqta
hadza bathila”. Wahai Maha Pengasuh, seungguh tidak
sia-sia Engkau menciptakan semua ini. Bahkan teletong
Sapi, menjadi pupuk. Sampah-sampah alam menjadi
rabuk. Timbunan batu-batu menjadi mutiara. Penjajahan
melahirkan kemerdekaan. Kejatuhan menghasilkan
kebangkitan. Penderitaan memberi pelajaran tentang
kebahagiaan.
Paragraf 5
(5)Saya juga tidak tega kepada teman-teman yang
anti-Khilafah. Tidak tega mensimulasikan nasibnya di
depan Tuhan. Sebab mereka menentang konsep paling
mendasar yang membuat-Nya menciptakan manusia.
Komponen penyaringnya dol: anti HTI berarti anti
Khilafah. Lantas menyembunyikan pengetahuan bahwa
anti Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil ardli
khalifah”. Sesungguhnya aku mengangkat Khalifah di
bumi. Ketika menginformasikan kepada para staf-Nya
tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah Malaikat, jagat
raya, Jin dan Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan
tidak menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,
“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”, melainkan
langsung menyebutnya Khalifah. Bukan sekadar “Isim”
tapi juga langsung “Af’al”.
2 Kalimat Tesis Paragraf 6
(6)Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah
adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia
di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis
Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya
243
Allah swt. Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang
harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah
“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno
blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang
upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo
penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus
panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”
yang bergigir lima.
3 Tubuh Paragraf 7
(7)Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia
mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,
“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa
Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi
Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan
hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan
musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh
tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu
milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam
Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun
sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang
justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:
masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk
mempersatukan dan membersamakan.
Paragraf 8
(8)Hari-hari ini jangan terlalu tegang menghadapi
Kaum Muslimin. Kenduri yang dipertentangkan adalah
kenduri wèwèh ambengan antar tetangga, bukan kenduri
pasokan dana nasional. Toh juga dengan pemahaman ilmu
yang tanpa anatomi, banyak teman mengidentikkan dan
mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut Tahrir.
HTI sendiri kurang hati-hati mewacanakan Khilafah
sehingga dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah
HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya. Padahal HT
maupun HTI bukan penggagas Khilafah, bukan pemilik
Khilafah dan bukan satu-satunya kelompok di antara
ummat manusia yang secara spesifik ditugasi oleh Allah
untuk menjadi Khalifah.
Paragraf 9
(9)Setiap manusia dilantik menjadi Khalifah oleh
Allah. Saya tidak bisa menyalahkan atau membantah
Allah, karena kebetulan bukan saya yang menciptakan
gunung, sungai, laut, udara, tata surya, galaksi-galaksi.
Bahkan saya tidak bisa menyuruh jantung saya berdetak
atau stop. Saya tidak mampu membangunkan diri saya
244
sendiri dari tidur. Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel
tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini jam sekian,
menit kesekian, detik kesekian. Bahkan cinta di dalam
kalbu saya nongol dan menggelembung begitu saja,
sampai seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa saya
pernah memprogramnya.
Paragraf 10
(10)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah Pengelola
Bumi”, saya tidak punya pilihan lain. Saya hanya
karyawan-Nya. Allah Big Boss saya. Meskipun dia kasih
aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a
falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang ingkar
ingkarlah – saya tidak mau kehilangan perhitungan. Kalau
saya menolak regulasi Boss, saya mau kerja di mana, mau
kos di mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas
dengan udara milik siapa. Apalagi kalau saya tidur dengan
istri, Tuhan yang berkuasa membuatnya hamil. Bukan
saya. Saya cuma numpang enak sebentar.
4 Penutup Paragraf 11
(11)Hal-hal seperti itu belum cukup mendalam
dan rasional menjadi kesadaran individual maupun
kolektif Kaum Muslimin. Jadi, wahai dunia, apa yang kau
takutkan dari Khilafah? Andaikan Khilafah terwujud,
kalian akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin. Andaikan ia
belum terwujud, sampai hari ini fakta di muka bumi belum
dan bukan Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin.
Bahkan di pusatnya sana Islam tidak sama dengan Arab.
Arab tidak sama dengan Saudi. Saudi tidak sama dengan
Quraisy. Quraisy tidak sama dengan Badwy. Apa yang
kau takutkan? Wahai dunia, jangan ganggu
kemenanganmu dengan rasa takut kepada fatamorgana.
245
Lampiran 04 Analisis Struktur Mikro
Judul : Khalifah Islam dan Khilafah Silmi
Kode : KIKS
No Aspek
Mikro
Keterangan
Semantik Latar Paragraf 1
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh
otoritas Negara, itu tidak berarti manusianya
menjadi “stateless”, aktivisnya menjadi
“persona non grata.” Kalau dikaitkan dengan
makar, sebaiknya jangan makar kepada
rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa
makaru wa makarallah”). Setiap orang atau
kelompok berhak memperjuangkan
keyakinannya. Ada yang meletakkannya pada
peta kalah menang, dan HTI sedang
menanggung resikonya. Ada juga yang melihat
keluasan hidup di mana kalah menang
hanyalah sebuah strata. Dalam konteks ini
mungkin justru mereka sedang menjalani ujian
kenaikan derajat.
Paragraf 2
(2)Bumi dan Dunia adalah sistem
batasan, sehingga penduduknya berjuang
mencari celah-celah ruang kemerdekaan. Para
Prajurit Pembebasan, Hizbut-Tahrir, justru
mendapat limpahan rezeki untuk semakin
nikmat bekerja keras menemukan pembebasan.
Organisasi hanyalah alat: pisau dapur untuk
mengiris bawang, hanyalah payung untuk
berlindung dari hujan, hanyalah kendaraan
untuk mencapai suatu tujuan. Pisau, payung,
dan kendaraan, biasa rusak atau aus, lantas
dibengkelkan atau ambil yang baru di Toko
Ilmu.
Paragraf 5
(5)Tetapi Negara dengan Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua
hal pada manusia. Negara bisa menyebarkan
kemungkinan baik atau buruk bagi sandang,
pangan, dan papan manusia. Tetapi Negara
246
tidak berkuasa atas hati dan pikiran warganya,
kecuali mereka yang tidak menikmati otonomi
rohani dan independensi pikirannya, sehingga
rela menjadi buih yang diseret dan diombang-
ambingkan ke manapun Negara dan
Pemerintahnya mau.
Paragraf 6
(6)Saya tidak perlu setuju atau tidak
atas ‘ideologi’ Khilafah, karena itu adalah
niscaya. Saya tidak punya kemungkinan lain
kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi
oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya.
Menjadi Khalifah adalah posisi khusus
manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran
akal”. Semua benda patuh kepada Tuhan,
tetapi tidak dengan kesadaran akal. Sungai,
gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,
juga detak jantung manusia, aliran darahnya,
kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir
dan matinya, semua patuh kepada kehendak
Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal
hanya entitas sistem makhluk manusia yang
dipasang di kepalanya semacam supra-chips
yang bernama akal, serta cakrawala yang
bernama kalbu.
Paragraf 12
(12)Tetapi Indonesia terlanjur
Bhinneka Tunggal Ika, heterogen, plural,
“syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham
kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh
menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik,
jenis darah, marga, golongan, aliran dan
berbagai-bagai lainnya. Kalau HTI hendak
“mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa
menemukan jalan sejarahnya kecuali harus
melakukan pengambil-alihan kekuasaan,
revolusi total atau kudeta: membubarkan
Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya,
kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.
Paragraf 13
(13)Katakanlah yang beliau-beliau
247
lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”,
membawa NKRI dari kegelapan menuju
cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan
pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak
mampu mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya dari konflik-konflik besar,
bahkan dengan sesama Kaum Muslimin
sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-
anak Sekolah Unggul.
Rincian Paragraf 2
(3)Organisasi hanyalah alat: pisau
dapur untuk mengiris bawang, hanyalah
payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.
Paragraf 3
(1)Karena tugas kemakhlukan manusia
adalah menghimpun ilmu dan menyusun
strategi, agar ia lolos kembali ke kampung
halaman aslinya, yakni Kebun Surga, di mana
kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,
meluas, dan manusia memegang kendali aliran
itu dalam dua rentang waktu: kekekalan dan
keabadian.
Paragraf 4
(4)Semacam “puasa”, agar kelak
sebagai penduduk Surga, mereka menikmati
betapa dahsyatnya kemerdekaan yang tidak
saling membatasi satu sama lain – sesudah
selama di Bumi mereka menyiksa diri oleh
perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya
sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan
pemusnahan.
Paragraf 6
(5)Sungai, gunung, hutan, angin,
dedaunan dan embun, juga detak jantung
manusia, aliran darahnya, kesegaran dan
keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya,
semua patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi
yang dengan kesadaran akal hanya entitas
sistem makhluk manusia yang dipasang di
kepalanya semacam supra-chips yang bernama
akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.
248
Paragraf 8
(3)Manusia tidak bisa melarikan diri,
karena tidak ada tempat, planet, galaksi, ruang
dan waktu yang selain milik Tuhan.
Paragraf 11
(2)Mereka menyusun tata nilai
kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem
besar, semacam grand design untuk seluruh
wilayah di Bumi.
Paragraf 12
(1)Tetapi Indonesia terlanjur Bhinneka
Tunggal Ika, heterogen, plural, “syu’ub wa
qabail”, berbagai-bagai faham kepercayaan,
berbagai-bagai jalan ditempuh menuju Tuhan,
berbagai latar belakang, etnik, jenis darah,
marga, golongan, aliran dan berbagai-bagai
lainnya. (2)Kalau HTI hendak “mensurgakan”
NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan
sejarahnya kecuali harus melakukan
pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total
atau kudeta: membubarkan Parlemen dan
Pemerintahan, mengganti Presiden dengan
Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya
hingga pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI
hingga Bank Plecit.
Paragraf 15
(3)Kelak kita
mempertanggungjawabkan kehidupan di
hadapan Allah secara individual, tanpa bisa
ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak
saleh yang mendoakan kita, kemudian hak
prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk
menawar nasib kita dalam konteks dialektika
cinta.
Paragraf 17
(2)Seorang kuli pasar mungkin hanya
akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,
hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an,
apakah ia mencuri harta orang, menghina
martabat sesama manusia, atau memisahkan
249
nyawa dari jasad manusia.
Paragraf 23
(2)Begitu Tuhan bilang “Kun”,
“Jadi!”, maka berlangsunglah syariat-Nya:
metabolisme semesta, organisme alam, sistem
nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan
tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,
gunung menyimpan api, semua kelereng-
kelereng alam semesta menari-nari, menyusun
koreografi yang luar biasa, beredar pada
porosnya, berputar satu sama lain.
Paragraf 24
(1)Kalau ada Negara di Bumi yang
menegakkan hukum dan penataan aturan yang
memprimerkan keperluan rakyatnya, itu
persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat
Allah.
Paragraf 27
(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama
Nur Muhammad, yang kumparan dan
gelombangnya mentransformasi menjadi jagat
raya — dan itulah yang disyahadatkan oleh
para Malaikat dan para Nabi Rasul. Kemudian
kedua Muhammad bin Abdullah,
Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun
di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah
yang membawa berita, hidayah dan “buku
manual” Allah yang berevolusi dari Taurat,
Zabur, Injil, hingga Qur`an. Muhammad
adalah zat sejatinya, Nabi adalah pangkatnya,
Rasul adalah jabatannya di Bumi.
Pengandaian Paragraf 11
(3)Andaikan mereka adalah putra Nabi
Nuh atau komunitas inti beliau, yang sesudah
Bahtera mendarat di Turki, lantas membagi
rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di
seantero Bumi – maka mereka bisa meng-
Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan
berangkat dari Nol.
Paragraf 13
(13)Katakanlah yang beliau-beliau lakukan
adalah “minadhdhulumati ilannur”, membawa
NKRI dari kegelapan menuju cahaya, tetapi
250
momentum dan adegan-adegan pengambil-
alihan kekuasaannya, saya tidak mampu
mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya dari konflik-konflik besar,
bahkan dengan sesama Kaum Muslimin
sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-
anak Sekolah Unggul.
Paragraf 16
(1)Seorang Muslim tukang ojek,
penjual jajan di perempatan jalan, petani di
dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya
bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal
mengenai Negara Islam dan Khilafah. (2)Atau
Malaikat menanyainya soal ideologi global,
kapitalisme mondial, sistem pasar Yahudi
internasional, atau satuan-satuan besar
industrialisme dan sistem perbankan Dunia.
Nominalisasi Paragraf 7
(4)Manusia bisa melanggar batas yang
sedikit itu, Pembangunan boleh mengeruk
tambang, kerakusan Development bisa
merusak bumi, dengan memberangus sesama
manusia yang menentangnya.
Paragraf 19
(4)Karena setiap huruf yang saya ketik
bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu
dan keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya
merasakan hampir mendekati mutlak, sehingga
gagah perkasa memprogram pengkhilafahan
Indonesia.
Sintaksis Bentuk
Kalimat
Kalimat Aktif : (53)
Paragraf 1
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(2)(K.A)Setiap orang atau kelompok
berhak memperjuangkan keyakinannya.
(3)(K.A)Ada yang meletakkannya pada peta
kalah menang, dan HTI sedang menanggung
resikonya. (4)(K.A)Ada juga yang melihat
keluasan hidup di mana kalah menang
hanyalah sebuah strata. (5)(K.A)Dalam
konteks ini mungkin justru mereka sedang
menjalani ujian kenaikan derajat.
251
Paragraf 2
(1)(K.A)Bumi dan Dunia adalah sistem
batasan, sehingga penduduknya berjuang
mencari celah-celah ruang kemerdekaan.
(2)(K.A)Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-
Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk
semakin nikmat bekerja keras menemukan
pembebasan. (3)(K.A)Organisasi hanyalah
alat: pisau dapur untuk mengiris bawang,
hanyalah payung untuk berlindung dari hujan,
hanyalah kendaraan untuk mencapai suatu
tujuan.
Paragraf 3
(1)(K.A)Karena tugas kemakhlukan
manusia adalah menghimpun ilmu dan
menyusun strategi, agar ia lolos kembali ke
kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,
di mana kemerdekaan mengalir, meruang,
melebar, meluas, dan manusia memegang
kendali aliran itu dalam dua rentang waktu:
kekekalan dan keabadian. “Tajri min tahtihal
anharu kholidina fiha abada”, begitu Allah
mengindikasikan pintu pengetahuan tentang
Surga.
Paragraf 4
(1)(K.A)Negara adalah hasil karya
kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar
di antara penduduk Bumi. ... (3)(K.A)Tuhan
hanya menyelenggarakan training sejenak di
Bumi agar manusia belajar berbagi
kemerdekaan. (4)(K.A)Semacam “puasa”, agar
kelak sebagai penduduk Surga, mereka
menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan
yang tidak saling membatasi satu sama lain –
sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri
oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya
sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan
pemusnahan.
Paragraf 5
(1)(K.A)Tetapi Negara dengan
Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua
252
hal pada manusia. (2)(K.A)Negara bisa
menyebarkan kemungkinan baik atau buruk
bagi sandang, pangan, dan papan manusia.
(3)(K.A)Tetapi Negara tidak berkuasa atas hati
dan pikiran warganya, kecuali mereka yang
tidak menikmati otonomi rohani dan
independensi pikirannya, sehingga rela
menjadi buih yang diseret dan diombang-
ambingkan ke manapun Negara dan
Pemerintahnya mau.
Paragraf 6
Keniscayaan Khilafah
(1)(K.A)Saya tidak perlu setuju atau
tidak atas ‘ideologi’ Khilafah, karena itu
adalah niscaya. (2)(K.A)Saya tidak punya
kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)
Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam
semesta dan saya. (3)(K.A)Menjadi Khalifah
adalah posisi khusus manusia: tugasnya
“patuh dengan kesadaran akal”. ...
(5)(K.A)Sungai, gunung, hutan, angin,
dedaunan dan embun, juga detak jantung
manusia, aliran darahnya, kesegaran dan
keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya,
semua patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi
yang dengan kesadaran akal hanya entitas
sistem makhluk manusia yang dipasang di
kepalanya semacam supra-chips yang bernama
akal, serta cakrawala yang bernama kalbu.
Paragraf 7
(1)(K.A)Malaikat, Iblis, Setan, benda,
tetumbuhan, hewan adalah makhluk
kepastian, meskipun sebagian di antara
mereka ada yang menjadi wadah kerjasama
antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.
(2)(K.A)Sementara Jin dan Manusia adalah
makhluk kemungkinan. Tuhan berbagi
dengan mereka berdua “hak mentakdirkan”
sampai batas tertentu, dengan pembekalan
ilmu yang juga amat sedikit. (3)(K.A)Manusia
bisa melanggar batas yang sedikit itu,
Pembangunan boleh mengeruk tambang,
kerakusan Development bisa merusak bumi,
dengan memberangus sesama manusia yang
253
menentangnya.
Paragraf 8
(1)(K.A)Tetapi para pelakunya tidak
bisa “pensiun dini”, tidak bisa “membolos”
dari kehidupan yang abadi. (2)(K.A)Dalam
kuburan mereka memulai Semester berikutnya,
kemudian berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga
atau Neraka. (3)(K.A)Manusia tidak bisa
melarikan diri, karena tidak ada tempat, planet,
galaksi, ruang dan waktu yang selain milik
Tuhan. (4)(K.A)Manusia tidak bisa mengelak
dari tanggung jawabnya sampai dua kehidupan
abadi (kholidina fiha abada) yang wajib
dijalaninya.
Paragraf 9
(2)(K.A)Manusia “ngunduh wohing
pakarti”, memetik buah dari kelakuan yang
ditanamnya.
Paragraf 10
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
(1)(K.A)Para Prajurit Pembebasan itu
sungguh-sungguh berlatih menjadi penduduk
Surga.
Paragraf 11
(2)(K.A)Mereka menyusun tata nilai
kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem
besar, semacam grand design untuk seluruh
wilayah di Bumi.
Paragraf 12
(1)(K.A)Tetapi Indonesia terlanjur
Bhinneka Tunggal Ika, heterogen, plural,
“syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai faham
kepercayaan, berbagai-bagai jalan ditempuh
menuju Tuhan, berbagai latar belakang, etnik,
jenis darah, marga, golongan, aliran dan
berbagai-bagai lainnya.(2)(K.A)Kalau HTI
hendak “mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa
menemukan jalan sejarahnya kecuali harus
melakukan pengambil-alihan kekuasaan,
revolusi total atau kudeta: membubarkan
254
Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya,
kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.
Paragraf 14
(1)(K.A)Maka saya memberanikan diri
mencari pemahaman atas perintah Allah
“Udkhulu fis-silmi kaffah”. ...
(3)(K.A)Anehnya Allah tidak menggunakan
kosa-kata Islam, melainkan Silmi. Wallahu
a’lam maksud-Nya, tetapi sukar dibayangkan
bahwa penggunaan kata Silmi, bukan Islam,
tanpa mengandung perbedaan antara kedua
kata itu.
Paragraf 15
(1)(K.A)Hizbut Tahrir tampaknya
memaksudkan “Udkhulu fil-Islami Kaffah”:
membangun sistem Islam besar nasional dan
global. Sangat meyakini kebenaran Islam dan
gagah berani menerapkannya.
...(3)(K.A)Sementara saya seorang penakut
yang merasa ditolong oleh kosakata Silmi dari
Allah. (4)(K.A)Kelak kita
mempertanggungjawabkan kehidupan di
hadapan Allah secara individual, tanpa bisa
ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak
saleh yang mendoakan kita, kemudian hak
prerogatif Muhammad kekasih Allah untuk
menawar nasib kita dalam konteks dialektika
cinta.
Paragraf 16
(2)(K.A)Atau Malaikat menanyainya
soal ideologi global, kapitalisme mondial,
sistem pasar Yahudi internasional, atau satuan-
satuan besar industrialisme dan sistem
perbankan Dunia.
Paragraf 18
(2)(K.A)Seseorang mungkin hanya
hafal Al-Fatihah dan beberapa ayat pendek,
pengetahuannya sangat awam terhadap tata
nilai Islam.
255
Paragraf 19
(1)(K.A)Konsep Silmi membukakan
jalan agar seorang tukang jahit di pinggir jalan
bisa diterima oleh Allah tanpa menjadi warga
negara sebuah Negara Khilafah.
(2)(K.A)Seorang Ibu penjual jamu bisa masuk
surga tanpa menunggu berhasilnya perjuangan
Khilafah Dunia. ... (4)(K.A)Karena setiap
huruf yang saya ketik bersifat relatif dan
dinamis, sementara ilmu dan keyakinan Hizbut
Tahrir sejauh saya merasakan hampir
mendekati mutlak, sehingga gagah perkasa
memprogram pengkhilafahan Indonesia.
Paragraf 20
Syariat Allah di Alam dan Manusia
(3)(K.A)Tapi saya tidak sedang berada
di dapur dikepung oleh bahan-bahan mentah
makanan serta alat-alat dapur. (4)(K.A)Saya
berada di warung depannya, dengan makanan
minuman yang sudah tersedia.
Paragraf 21
(1)(K.A)Saya pun adalah seorang
Khalifah, maka wilayah kehidupan saya
pastilah Khilafah. (2)(K.A)Tapi saya tidak
mau meladeni kekerdilan cara berpikir tanpa
kelengkapan pengetahuan dan ilmu, yang
mempolarisasikan antara Pancasila dengan
Islam, antara Bhinneka Tunggal Ika dengan
Kekhalifahan, antara Negara dengan Agama,
antara Nasionalis dengan Islamis.
Paragraf 22
(1)(K.A)Juga saya merasa agak repot
selama ini kalau prinsip Khilafah identik-
formal dengan suatu Organisasi atau golongan,
sementara semua manusia adalah Khalifah.
(2)(K.A)Saya jadi kikuk karena seakan-akan
kalau saya tidak bergabung dengan Hizbut
Tahrir berarti saya bukan Khalifah.
Paragraf 23
(1)Pada hakikinya semua makhluk
adalah representasi atau manifestasi atau tajalli
256
Tuhan sendiri, sebab tidak ada apapun, juga
tak ada kehampaan atau kekosongan yang
bukan bagian dari Tuhan itu sendiri.
(2)(K.A)Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”,
maka berlangsunglah syariat-Nya:
metabolisme semesta, organisme alam, sistem
nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan
tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,
gunung menyimpan api, semua kelereng-
kelereng alam semesta menari-nari, menyusun
koreografi yang luar biasa, beredar pada
porosnya, berputar satu sama lain.
Paragraf 24
(1)(K.A)Kalau ada Negara di Bumi
yang menegakkan hukum dan penataan aturan
yang memprimerkan keperluan rakyatnya, itu
persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat
Allah. (2)(K.A)Semua undang-undang,
pelaksanaan birokrasi dan tatanan kenegaraan
yang berpihak pada kemashlahatan manusia
dan berkesesuaian dengan hukum alam: itulah
kepatuhan kepada Syariat Allah.
Paragraf 25
(1)(K.A)Tingkat dan pola kepatuhan
mereka kepada Syariat Allah seperti pohon,
mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh
kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena
kejujuran terhadap kemanusiaannya, namun
tanpa akalnya menemukan dan menyadari
bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-Nya.
(2)(K.A)Sebagian manusia menginisiali
Syariat Allah itu dengan nama Syariat Islam,
sebagian lain Kasih Tuhan, Dharma, Bebekti,
dan banyak lagi.
Paragraf 26
(4)(K.A)Maka para Malaikat semua,
kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,
meneguhkan keridlaannya: “Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad
adalah utusan Allah”.
Paragraf 28
(4)(K.A)Seorang tukang andong bisa
257
mencintai Tuhan, merindukan tiga
Muhammad, tekun bersembahyang, lemah
lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak
menyakiti orang, tidak memaksa siapapun
untuk berpandangan sama dengannya – dengan
atau tanpa Negara Khilafah.
Kalimat Pasif : (11)
Paragraf 1
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(1)(K.P)Katakanlah HTI dibubarkan
oleh otoritas Negara, itu tidak berarti
manusianya menjadi “stateless”, aktivisnya
menjadi “persona non grata.”
Paragraf 2
(4)(K.P)Pisau, payung, dan kendaraan,
biasa rusak atau aus, lantas dibengkelkan atau
ambil yang baru di Toko Ilmu.
Paragraf 4
(2)(K.P)Karena di kehidupan Dunia
yang ini(demonstratif), sistem nilainya tidak
dibikin oleh Tuhan untuk memungkinkan
kebebasan seseorang berposisi steril atau tidak
mengganggu kebebasan orang lainnya.
Paragraf 9
(1)(K.P)Khusus yang dapat kapling
surga akan dibagi di empat lapisan langit
Surga, yang semua teduh berwarna dominan
hijau tua.
Paragraf 10
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
(2)(K.P)Memang demikianlah sejak
didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin
An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan
Indonesia 1980-an oleh Syaikh Abdurahman
Al-Baghdady.
Paragraf 16
(1)(K.P)Seorang Muslim tukang ojek,
penjual jajan di perempatan jalan, petani di
dusun atau sales dan Satpam, tidak bisa saya
bayangkan akan ditagih oleh Allah hal-hal
258
mengenai Negara Islam dan Khilafah.
Paragraf 17
(1)(K.P)Setiap hamba Allah dilindungi
oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa
wus’aha” (Allah tidak membebani manusia
melebihi kadar kemampuannya).
(2)(K.P)Seorang kuli pasar mungkin hanya
akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,
hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an,
apakah ia mencuri harta orang, menghina
martabat sesama manusia, atau memisahkan
nyawa dari jasad manusia.
Paragraf 19
(3)(K.P)Kalau saya salah, mohon
dilembuti dengan informasi yang lebih benar.
Paragraf 28
(28)(K.P)Muhammad bin Abdullah
diperingati secara nasional di Indonesia setiap
12 Rabi’ul Awwal. (2)(K.P)Sedangkan Maulid
Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan,
bersamaan dengan turunnya Iqra` yang
merupakan momentum awal ke-Nabi-an
Muhammad-manusia. (3)(K.P)Adapun Nur
Muhammad diperingati bisa kapan saja karena
tatkala “Kun” dihembuskan oleh Tuhan, belum
ada satuan hari kesepakatan bulan dan tahun
yang dikreasi oleh manusia.
Kohesi
(Gramatikal)
Referensi (Pengacuan)
Pengacuan Anafora : 55
Paragraf 1
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh
otoritas Negara, itu tidak berarti
manusianya(anaforapersona) menjadi
“stateless”, aktivisnya(anaforapersona)
menjadi “persona non grata.” ... (3)Setiap
orang atau kelompok berhak memperjuangkan
keyakinannya(anaforapersona). (4)Ada yang
meletakkannya pada peta kalah menang, dan
HTI sedang menanggung resikonya(anafora).
(6)Dalam konteks ini mungkin justru
259
mereka(anaforapersona) sedang menjalani
ujian kenaikan derajat.
Paragraf 2
(1)Bumi dan Dunia adalah sistem
batasan, sehingga penduduknya(anafora)
berjuang mencari celah-celah ruang
kemerdekaan.
Paragraf 3
(1)Karena tugas kemakhlukan manusia
adalah menghimpun ilmu dan menyusun
strategi, agar ia(anaforapersona) lolos kembali
ke kampung halaman aslinya(katafora), yakni
Kebun Surga, di mana kemerdekaan mengalir,
meruang, melebar, meluas, dan manusia
memegang kendali aliran itu dalam dua
rentang waktu: kekekalan dan keabadian.
Paragraf 4
(4)Semacam “puasa”, agar kelak
sebagai penduduk Surga,
mereka(anaforapersona) menikmati betapa
dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling
membatasi satu sama lain(komparatif) –
sesudah selama di Bumi
mereka(anaforapersona) menyiksa diri oleh
perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya
sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan
pemusnahan.
Paragraf 5
(3)Tetapi Negara tidak berkuasa atas
hati dan pikiran warganya(anafora), kecuali
mereka(anaforapersona) yang tidak menikmati
otonomi rohani dan independensi
pikirannya(anaforapersona), sehingga rela
menjadi buih yang diseret dan diombang-
ambingkan ke manapun Negara dan
Pemerintahnya(anaforapersona) mau.
Paragraf 6
Keniscayaan Khilafah
(3)Menjadi Khalifah adalah posisi
khusus manusia: tugasnya(anaforapersona)
260
“patuh dengan kesadaran akal”. (5)Sungai,
gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,
juga detak jantung manusia, aliran
darahnya(anaforapersona), kesegaran dan
keausan jasadnya(anaforapersona), jadwal
lahir dan matinya(anaforapersona), semua
patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang
dengan kesadaran akal hanya entitas sistem
makhluk manusia yang dipasang di
kepalanya(anaforapersona) semacam supra-
chips yang bernama akal, serta cakrawala yang
bernama kalbu.
Paragraf 7
(1)Malaikat, Iblis, Setan, benda,
tetumbuhan, hewan adalah makhluk
kepastian, meskipun sebagian di antara
mereka(anaforapersona) ada yang menjadi
wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan
inisiatif manusia. (3)Tuhan berbagi dengan
mereka berdua(anaforapersona) “hak
mentakdirkan” sampai batas tertentu, dengan
pembekalan ilmu yang juga amat sedikit.
(4)Manusia bisa melanggar batas yang sedikit
itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang,
kerakusan Development bisa merusak bumi,
dengan memberangus sesama manusia yang
menentangnya(anaforapersona).
Paragraf 8
(1)Tetapi para pelakunya(anafora)
tidak bisa “pensiun dini”, tidak bisa
“membolos” dari kehidupan yang abadi.
(2)Dalam kuburan mereka(anaforapersona)
memulai Semester berikutnya, kemudian
berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga
atau Neraka. (4)Manusia tidak bisa mengelak
dari tanggung jawabnya sampai dua kehidupan
abadi (kholidina fiha abada) yang wajib
dijalaninya(anaforapersona).
Paragraf 9
(2)Manusia “ngunduh wohing pakarti”,
memetik buah dari kelakuan yang
ditanamnya(anaforapersona).
261
Paragraf 11
(1)Mereka(anaforapersona) orang-
orang baik sebagai manusia, sangat
menyayangi penduduk Bumi dan mencita-
citakan semua manusia lintas-Negara agar
kelak bercengkerama dengan Allah di Surga.
(2)Mereka(anaforapersona) menyusun tata
nilai kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai
sistem besar, semacam grand design untuk
seluruh wilayah di Bumi(komparatif).
(3)Andaikan mereka(anaforapersona) adalah
putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau,
yang sesudah Bahtera mendarat di Turki,
lantas membagi rombongan-rombongan ke
berbagai wilayah di seantero Bumi –maka
mereka(anaforapersona) bisa meng-Hizbut-
tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan
berangkat dari Nol.
Paragraf 12
(2)Kalau HTI hendak “mensurgakan”
NKRI, saya tidak bisa menemukan jalan
sejarahnya(anafora) kecuali harus melakukan
pengambil-alihan kekuasaan, revolusi total
atau kudeta: membubarkan Parlemen dan
Pemerintahan, mengganti Presiden dengan
Khalifah, meredesain sistem pemerintahannya
hingga pola pasarnya, kebudayaannya, dari BI
hingga Bank Plecit.
Paragraf 13
(1)Katakanlah yang beliau-
beliau(anaforapersona) lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI
dari kegelapan menuju cahaya, tetapi
momentum dan adegan-adegan pengambil-
alihan kekuasaannya, saya tidak mampu
mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya(anafora) dari konflik-konflik
besar, bahkan dengan sesama Kaum Muslimin
sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-
anak Sekolah Unggul.
Paragraf 15
(2)Sangat meyakini kebenaran Islam
262
dan gagah berani menerapkannya.(anafora)
Paragraf 16
(2)Atau Malaikat
menanyainya(anaforapersona) soal ideologi
global, kapitalisme mondial, sistem pasar
Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar
industrialisme dan sistem perbankan Dunia.
(3)Juga untuk menjadi Muslim yang tidak
masuk Neraka apakah ia(anaforapersona)
harus menguasai semua makna Al-Qur`an,
harus berkualitas Ulama dan bergabung dalam
Khilafah Hizbut Tahrir.
Paragraf 17
(1)Setiap hamba Allah dilindungi
oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa
wus’aha” (Allah tidak membebani manusia
melebihi kadar
kemampuannya(anaforapersona)). (2)Seorang
kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya,(anaforapersona)
hubungannya(anaforapersona) dengan Nabi
dan Al-Qur`an, apakah ia(anaforapersona)
mencuri harta orang, menghina martabat
sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari
jasad manusia.
Paragraf 18
(2)Seseorang mungkin hanya hafal Al-
Fatihah dan beberapa ayat pendek,
pengetahuannya(anaforapersona) sangat awam
terhadap tata nilai Islam. (3)Tetapi
hidupnya(anaforapersona) sungguh-sungguh,
kebergantungannya(anafora) kepada Allah
mendarah-daging. (4)Tidak pandai dan ‘alim,
tapi kejujuran perilakunya(anaforapersona)
ajeg. (5)Tidak canggih shalat dan bacaan
Qur`annya(anaforapersona), tapi santun,
menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit
siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
Paragraf 20
Syariat Allah di Alam dan Manusia
(5)Sudah pasti perbaikannya(anafora)
harus dari dapur, tetapi kalau saya
263
memaksakan diri untuk mengambil alih dapur:
kepastian mudlarat-nya(anafora) terlalu
besar dibanding kemungkinan manfaat-
nya(anafora).
Paragraf 24
(1)Kalau ada Negara di Bumi yang
menegakkan hukum dan penataan aturan yang
memprimerkan keperluan rakyatnya(anafora),
itu persesuaian dan kepatuhan kepada Syariat
Allah.
Paragraf 26
(2)Sejak awal mula penciptaan berupa
pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai
dan memujinya(anafora), sehingga
manamainya(anafora) “Nur Muhammad”,
dan gara-gara makhluk wiwitan inilah maka
kemudian Allah merebakkannya(anafora)
menjadi alam semesta dan umat manusia.
(3)Maka para Malaikat semua, kemudian
semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,
meneguhkan keridlaannya(anaforapersona):
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Paragraf 27
(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama
Nur (repetisi)Muhammad, yang kumparan
dan gelombangnya(anafora) mentransformasi
menjadi jagat raya —dan itulah yang
disyahadatkan oleh para Malaikat dan para
Nabi Rasul. (4)Muhammad adalah zat
sejatinya, Nabi adalah pangkatnya, Rasul
adalah jabatannya(anaforapersona) di Bumi.
Paragraf 28
(4)Seorang tukang andong bisa
mencintai Tuhan, merindukan tiga
Muhammad, tekun bersembahyang, lemah
lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak
menyakiti orang, tidak memaksa siapapun
untuk berpandangan sama
dengannya(anaforapersona) – dengan atau
tanpa Negara Khilafah.
264
Pengacuan Katafora : 7
Paragraf 2
(2)Para Prajurit Pembebasan(katafora),
Hizbut-Tahrir, justru mendapat limpahan
rezeki untuk semakin nikmat bekerja keras
menemukan pembebasan.
Paragraf 3
(1)Karena tugas kemakhlukan manusia
adalah menghimpun ilmu dan menyusun
strategi, agar ia lolos kembali ke kampung
halaman aslinya(katafora), yakni Kebun Surga,
di mana kemerdekaan mengalir, meruang,
melebar, meluas, dan manusia memegang
kendali aliran itu dalam dua rentang waktu:
kekekalan dan keabadian.
Paragraf 10
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
(3)Memang demikianlah sejak
didirikan 1953 oleh beliau (kataforapersona)
Syaikh Taqiyudin An-Nabhani hingga dibawa
ke Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh
Abdurahman Al-Baghdady.
Paragraf 19
(2)Seorang Ibu penjual jamu bisa
masuk surga tanpa menunggu
berhasilnya(katafora) perjuangan Khilafah
Dunia.
Paragraf 25
(1)Tingkat dan pola kepatuhan mereka
kepada Syariat Allah seperti pohon,
mengalirnya(katafora) air, berhembusnya
(katafora)angin: patuh kepada Tuhan secara
alamiah, naluriah, karena kejujuran terhadap
kemanusiaannya, namun tanpa akalnya
menemukan dan menyadari bahwa itu adalah
ketaatan kepada Syariat-Nya.
Paragraf 28
(2)Sedangkan Maulid Nabi
265
diselenggarakan pada bulan Ramadlan,
bersamaan dengan turunnya(katafora) Iqra`
yang merupakan momentum awal ke-Nabi-an
Muhammad-manusia.
Pengacuan Persona : 41
Paragraf 1
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(1)Katakanlah HTI dibubarkan oleh
otoritas Negara, itu tidak berarti
manusianya(anaforapersona) menjadi
“stateless”, aktivisnya(anaforapersona)
menjadi “persona non grata.” ... (3)Setiap
orang atau kelompok berhak memperjuangkan
keyakinannya(anaforapersona). (6)Dalam
konteks ini mungkin justru
mereka(anaforapersona) sedang menjalani
ujian kenaikan derajat.
Paragraf 3
(1)Karena tugas kemakhlukan manusia
adalah menghimpun ilmu dan menyusun
strategi, agar ia(anaforapersona) lolos kembali
ke kampung halaman aslinya, yakni Kebun
Surga, di mana kemerdekaan mengalir,
meruang, melebar, meluas, dan manusia
memegang kendali aliran itu dalam dua
rentang waktu: kekekalan dan keabadian.
Paragraf 4
(4)Semacam “puasa”, agar kelak
sebagai penduduk Surga,
mereka(anaforapersona) menikmati betapa
dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling
membatasi satu sama lain(komparatif) –
sesudah selama di Bumi
mereka(anaforapersona) menyiksa diri oleh
perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya
sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan
pemusnahan.
Paragraf 5
(3)Tetapi Negara tidak berkuasa atas
266
hati dan pikiran warganya, kecuali
mereka(anaforapersona) yang tidak menikmati
otonomi rohani dan independensi
pikirannya(anaforapersona), sehingga rela
menjadi buih yang diseret dan diombang-
ambingkan ke manapun Negara dan
Pemerintahnya(anaforapersona) mau.
Paragraf 6
Keniscayaan Khilafah
(1)Saya(anaforapersona) tidak perlu
setuju atau tidak atas ‘ideologi’ Khilafah,
karena itu adalah niscaya.
(2)Saya(anaforapersona) tidak punya
kemungkinan lain kecuali menjadi (dijadikan)
Khalifah di Bumi oleh Pencipta Bumi, alam
semesta dan saya. (3)Menjadi Khalifah adalah
posisi khusus manusia:
tugasnya(anaforapersona) “patuh dengan
kesadaran akal”. (5)Sungai, gunung, hutan,
angin, dedaunan dan embun, juga detak
jantung manusia, aliran
darahnya(anaforapersona), kesegaran dan
keausan jasadnya(anaforapersona), jadwal
lahir dan matinya(anaforapersona), semua
patuh kepada kehendak Tuhan, tetapi yang
dengan kesadaran akal hanya entitas sistem
makhluk manusia yang dipasang di
kepalanya(anaforapersona) semacam supra-
chips yang bernama akal, serta cakrawala yang
bernama kalbu.
Paragraf 7
(1)Malaikat, Iblis, Setan, benda,
tetumbuhan, hewan adalah makhluk
kepastian, meskipun sebagian di antara
mereka(anaforapersona) ada yang menjadi
wadah kerjasama antara takdir Tuhan dengan
inisiatif manusia. (3)Tuhan berbagi dengan
mereka berdua(anaforapersona) “hak
mentakdirkan” sampai batas tertentu, dengan
pembekalan ilmu yang juga amat sedikit.
(4)Manusia bisa melanggar batas yang sedikit
itu, Pembangunan boleh mengeruk tambang,
kerakusan Development bisa merusak bumi,
dengan memberangus sesama manusia yang
267
menentangnya(anaforapersona).
Paragraf 8
(2)Dalam kuburan
mereka(anaforapersona) memulai Semester
berikutnya, kemudian berlangsung semesteran-
semesteran berikutnya, hingga tiba di babak
final Surga atau Neraka. (4)Manusia tidak bisa
mengelak dari tanggung jawabnya sampai dua
kehidupan abadi (kholidina fiha abada) yang
wajib dijalaninya(anaforapersona).
Paragraf 9
(2)Manusia “ngunduh wohing pakarti”,
memetik buah dari kelakuan yang
ditanamnya(anaforapersona).
Paragraf 11
(1)Mereka(anaforapersona) orang-
orang baik sebagai manusia, sangat
menyayangi penduduk Bumi dan mencita-
citakan semua manusia lintas-Negara agar
kelak bercengkerama dengan Allah di Surga.
(2)Mereka(anaforapersona) menyusun tata
nilai kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai
sistem besar, semacam grand design untuk
seluruh wilayah di Bumi(komparatif).
(3)Andaikan mereka(anaforapersona) adalah
putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau,
yang sesudah Bahtera mendarat di Turki,
lantas membagi rombongan-rombongan ke
berbagai wilayah di seantero Bumi –maka
mereka(anaforapersona) bisa meng-Hizbut-
tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan
berangkat dari Nol.
Paragraf 13
(1)Katakanlah yang beliau-
beliau(anaforapersona) lakukan adalah
“minadhdhulumati ilannur”, membawa NKRI
dari kegelapan menuju cahaya, tetapi
momentum dan adegan-adegan pengambil-
alihan kekuasaannya, saya tidak mampu
mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya dari konflik-konflik besar,
bahkan dengan sesama Kaum Muslimin
sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
268
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-
anak Sekolah Unggul.
Paragraf 16
(2)Atau Malaikat
menanyainya(anaforapersona) soal ideologi
global, kapitalisme mondial, sistem pasar
Yahudi internasional, atau satuan-satuan besar
industrialisme dan sistem perbankan Dunia.
(3)Juga untuk menjadi Muslim yang tidak
masuk Neraka apakah ia(anaforapersona)
harus menguasai semua makna Al-Qur`an,
harus berkualitas Ulama dan bergabung dalam
Khilafah Hizbut Tahrir.
Paragraf 17
(1)Setiap hamba Allah dilindungi
oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa
wus’aha” (Allah tidak membebani manusia
melebihi kadar
kemampuannya(anaforapersona)). (2)Seorang
kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya,(anaforapersona)
hubungannya(anaforapersona) dengan Nabi
dan Al-Qur`an, apakah ia(anaforapersona)
mencuri harta orang, menghina martabat
sesama manusia, atau memisahkan nyawa dari
jasad manusia.
Paragraf 18
(2)Seseorang mungkin hanya hafal Al-
Fatihah dan beberapa ayat pendek,
pengetahuannya(anaforapersona) sangat awam
terhadap tata nilai Islam. (3)Tetapi
hidupnya(anaforapersona) sungguh-sungguh,
kebergantungannya kepada Allah mendarah-
daging. (4)Tidak pandai dan ‘alim, tapi
kejujuran perilakunya(anaforapersona) ajeg.
(5)Tidak canggih shalat dan bacaan
Qur`annya(anaforapersona), tapi santun,
menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit
siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
Paragraf 26
(3)Maka para Malaikat semua,
kemudian semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul,
269
meneguhkan keridlaannya(anaforapersona):
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Paragraf 27
(4)Muhammad adalah zat sejatinya,
Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah
jabatannya(anaforapersona) di Bumi.
Paragraf 28
(4)Seorang tukang andong bisa
mencintai Tuhan, merindukan tiga
Muhammad, tekun bersembahyang, lemah
lembut kepada tetangga, tidak maling, tidak
menyakiti orang, tidak memaksa siapapun
untuk berpandangan sama
dengannya(anaforapersona) – dengan atau
tanpa Negara Khilafah.
Pengacuan Demonstratif : 5
Paragraf 4
(2)Karena di kehidupan Dunia yang
ini(demonstratif), sistem nilainya tidak dibikin
oleh Tuhan untuk memungkinkan kebebasan
seseorang berposisi steril atau tidak
mengganggu kebebasan orang lainnya.
Paragraf 20
Syariat Allah di Alam dan Manusia
(1)Jangan dipikir saya setuju dan
merasa jenak dengan berbagai hal tentang
NKRI. (2)Bahkan hal-hal yang mendasar sejak
persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai
Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi
hingga Era Klayapan sekarang
ini(demonstratif).
Paragraf 10
Kudeta Surga dan Khilafah Silmi
(3)Memang demikianlah sejak
didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin
An-Nabhani hingga dibawa ke Bogor dan
Indonesia 1980-an(demonstratif) oleh Syaikh
Abdurahman Al-Baghdady.
270
Paragraf 28
(1)Muhammad bin Abdullah
diperingati secara nasional di Indonesia setiap
12 Rabi’ul Awwal(demonstratif).
(2)Sedangkan Maulid Nabi diselenggarakan
pada bulan Ramadlan(demonstratif),
bersamaan dengan turunnya Iqra` yang
merupakan momentum awal ke-Nabi-an
Muhammad-manusia.
Pengacuan Komparatif : 6
Paragraf 2
(3)Organisasi hanyalah alat: pisau
dapur untuk mengiris bawang, hanyalah
payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu
tujuan(komparatif).
Paragraf 4
(3)Tuhan hanya menyelenggarakan
training sejenak di Bumi agar manusia belajar
berbagi kemerdekaan. (4)Semacam “puasa”,
agar kelak sebagai penduduk Surga, mereka
menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan
yang tidak saling membatasi satu sama
lain(komparatif) –sesudah selama di Bumi
mereka menyiksa diri oleh perebutan,
persaingan, pertengkaran, pembubaran, bahkan
menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,
pembunuhan dan pemusnahan.
Paragraf 11
(2)Mereka menyusun tata nilai
kebudayaan (Tsaqafah) Islam sebagai sistem
besar, semacam grand design untuk seluruh
wilayah di Bumi(komparatif).
Paragraf 13
(1)Katakanlah yang beliau-beliau
lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”,
membawa NKRI dari kegelapan menuju
cahaya, tetapi momentum dan adegan-adegan
pengambil-alihan kekuasaannya, saya tidak
mampu mensimulasi kemungkinan bisa
dihindarkannya dari konflik-konflik besar,
271
bahkan dengan sesama Kaum Muslimin
sendiri, sampai mungkin juga pertumpahan
darah tidak kecil-kecilan seperti tawuran anak-
anak Sekolah Unggul.(komparatif)
Paragraf 21
(2)Tapi saya tidak mau meladeni
kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan
pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan
antara Pancasila dengan Islam, antara
Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan,
antara Negara dengan Agama, antara
Nasionalis dengan Islamis. (3)Apalagi
mendikotomikan antara Agawa-Samawi
dengan Agama-Ardli, antara Kesalehan
Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan
antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia
dengan Akhirat(komparatif).
Paragraf 25
(1)Tingkat dan pola kepatuhan mereka
kepada Syariat Allah seperti pohon,
mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh
kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena
kejujuran terhadap kemanusiaannya, namun
tanpa akalnya menemukan dan menyadari
bahwa itu adalah ketaatan kepada Syariat-
Nya(komparatif).
Penyulihan (Subtitusi)
Pelesapan (Elipsis)
Perangkaian (Konjungsi)
(1) konjungsi koordinatif : 15
(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi
Paragraf 1
(3)Setiap orang (koordinatif)atau
kelompok berhak memperjuangkan
keyakinannya. (4) Ada yang meletakkannya
pada peta kalah menang, (koordinatif)dan HTI
sedang menanggung resikonya.
Paragraf 2
(4)Pisau, payung, dan kendaraan, biasa
rusak atau aus, lantas dibengkelkan
272
(koordinatif)atau ambil yang baru di Toko
Ilmu.
Paragraf 4
(2)Karena di kehidupan Dunia yang
ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh Tuhan
untuk memungkinkan kebebasan seseorang
berposisi steril (koordinatif)atau tidak
mengganggu kebebasan orang lainnya.
Paragraf 5
(2)Negara bisa menyebarkan
kemungkinan baik (koordinatif)atau buruk
bagi sandang, pangan, dan papan manusia.
Paragraf 6
Keniscayaan Khilafah
(1)Saya tidak perlu setuju
(koordinatif)atau tidak atas ‘ideologi’
Khilafah, karena itu adalah niscaya.
(3)Menjadi Khalifah adalah posisi khusus
manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran
akal”. (4)Semua benda patuh kepada Tuhan,
(koordinatif)tetapi tidak dengan kesadaran
akal. (5)Sungai, gunung, hutan, angin,
dedaunan dan embun, juga detak jantung
manusia, aliran darahnya, kesegaran dan
keausan jasadnya, jadwal lahir dan matinya,
semua patuh kepada kehendak Tuhan,
(koordinatif)tetapi yang dengan kesadaran akal
hanya entitas sistem makhluk manusia yang
dipasang di kepalanya semacam supra-chips
yang bernama akal, serta cakrawala yang
bernama kalbu.
Paragraf 11
(1)Mereka orang-orang baik sebagai
manusia, sangat menyayangi penduduk Bumi
(koordinatif)dan mencita-citakan semua
manusia lintas-Negara agar kelak
bercengkerama dengan Allah di Surga.
Paragraf 15
(2)Sangat meyakini kebenaran Islam
(koordinatif)dan gagah berani menerapkannya.
273
Paragraf 17
(2)Seorang kuli pasar mungkin hanya
akan ditanya beberapa hal: aqidahnya,
hubungannya dengan Nabi dan Al-Qur`an,
apakah ia mencuri harta orang, menghina
martabat sesama manusia, (koordinatif)atau
memisahkan nyawa dari jasad manusia.
Paragraf 18
(5)Tidak canggih shalat dan bacaan
Qur`annya, (koordinatif)tapi santun,
menyayangi manusia dan alam, tidak menyakit
siapa-siapa dan tidak merusak apa-apa.
Paragraf 26
(2)Sejak awal mula penciptaan berupa
pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai
dan memujinya, sehingga manamainya “Nur
Muhammad”, (koordinatif)dan gara-gara
makhluk wiwitan inilah maka kemudian Allah
merebakkannya menjadi alam semesta dan
umat manusia.
Paragraf 27
(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama
Nur Muhammad, yang kumparan dan
gelombangnya mentransformasi menjadi jagat
raya — (koordinatif)dan itulah yang
disyahadatkan oleh para Malaikat dan para
Nabi Rasul.
(2) konjungsi subordinatif : 32
(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;
(b) konjungsi kausal: sebab, karena;
(c) konjungsi konsesif: meskipun,
(d) konjungsi syarat: kalau,
(e) konjungsi komplementasi: bahwa,
Paragraf 1
(2)(subordinatif)Kalau dikaitkan
dengan (repetisi)makar, sebaiknya jangan
makar kepada rujukan konsep makar dari
Tuhan (“wa makaru wa makarallah”).
274
Paragraf 2
(1)Bumi dan Dunia adalah sistem
batasan, (subordinatif)sehingga penduduknya
berjuang mencari celah-celah ruang
kemerdekaan.
Paragraf 3
(1)Karena tugas kemakhlukan manusia
adalah menghimpun ilmu dan menyusun
strategi, (subordinatif)agar ia lolos kembali ke
kampung halaman aslinya, yakni Kebun Surga,
di mana kemerdekaan mengalir, meruang,
melebar, meluas, dan manusia memegang
kendali aliran itu dalam dua rentang waktu:
kekekalan dan keabadian.
Paragraf 4
(3)Tuhan hanya menyelenggarakan
training sejenak di Bumi (subordinatif)agar
manusia belajar berbagi kemerdekaan.
(4)Semacam “puasa”, agar kelak sebagai
penduduk Surga, mereka menikmati betapa
dahsyatnya kemerdekaan yang tidak saling
membatasi satu sama lain –
(subordinatif)sesudah selama di Bumi mereka
menyiksa diri oleh perebutan, persaingan,
pertengkaran, pembubaran, bahkan
menganiaya dirinya sendiri dengan pengusiran,
pembunuhan dan pemusnahan.
Paragraf 5
(3)Tetapi Negara tidak berkuasa atas
hati dan pikiran warganya, kecuali mereka
yang tidak menikmati otonomi rohani dan
independensi pikirannya,
(subordinatif)sehingga rela menjadi buih yang
diseret dan diombang-ambingkan ke manapun
Negara dan Pemerintahnya mau.
Paragraf 6
Keniscayaan Khilafah
(1)Saya tidak perlu setuju atau tidak
atas ‘ideologi’ Khilafah, (subordinatif)karena
itu adalah niscaya.
Paragraf 7
275
(1)Malaikat, Iblis, Setan, benda,
tetumbuhan, hewan adalah makhluk
kepastian, (subordinatif)meskipun sebagian di
antara mereka ada yang menjadi wadah
kerjasama antara takdir Tuhan dengan inisiatif
manusia.
Paragraf 8
(2)Dalam kuburan mereka memulai
Semester berikutnya, (subordinatif)kemudian
berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, (subordinatif)hingga tiba di babak
final Surga atau Neraka. (3)Manusia tidak bisa
melarikan diri, (subordinatif)karena tidak ada
tempat, planet, galaksi, ruang dan waktu yang
selain milik Tuhan. (4)Manusia tidak bisa
mengelak dari tanggung jawabnya sampai dua
kehidupan abadi (kholidina fiha abada)
(subordinatif)yang wajib dijalaninya.
Paragraf 9
(1)Khusus yang dapat kapling surga
akan dibagi di empat lapisan langit Surga,
(subordinatif)yang semua teduh berwarna
dominan hijau tua. (5)Kehidupan di Bumi
hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung
besar Akhirat, (subordinatif)yang juga terletak
di Maha Gelembung Tuhan itu sendiri.
Paragraf 10
(3)Memang demikianlah sejak
didirikan 1953 oleh beliau Syaikh Taqiyudin
An-Nabhani (subordinatif)hingga dibawa ke
Bogor dan Indonesia 1980-an oleh Syaikh
Abdurahman Al-Baghdady.
Paragraf 11
(1)Mereka orang-orang baik sebagai
manusia, sangat menyayangi penduduk Bumi
dan mencita-citakan semua manusia lintas-
Negara (subordinatif)agar kelak
bercengkerama dengan Allah di Surga.
(3)Andaikan mereka adalah putra Nabi Nuh
atau komunitas inti beliau, (subordinatif)yang
sesudah Bahtera mendarat di Turki,
(subordinatif)lantas membagi rombongan-
276
rombongan ke berbagai wilayah di seantero
Bumi – (subordinatif)maka mereka bisa meng-
Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi dengan
berangkat dari Nol.
Paragraf 12
(2)(subordinatif)Kalau HTI hendak
“mensurgakan” NKRI, saya tidak bisa
menemukan jalan sejarahnya kecuali harus
melakukan pengambil-alihan kekuasaan,
revolusi total atau kudeta: membubarkan
Parlemen dan Pemerintahan, mengganti
Presiden dengan Khalifah, meredesain sistem
pemerintahannya hingga pola pasarnya,
kebudayaannya, dari BI hingga Bank Plecit.
Paragraf 13
(1)Katakanlah yang beliau-beliau
lakukan adalah “minadhdhulumati ilannur”,
membawa NKRI dari kegelapan menuju
cahaya, (subordinatif)tetapi momentum dan
adegan-adegan pengambil-alihan
kekuasaannya, saya tidak mampu mensimulasi
kemungkinan bisa dihindarkannya dari
konflik-konflik besar, bahkan dengan sesama
Kaum Muslimin sendiri, (subordinatif)sampai
mungkin juga pertumpahan darah tidak kecil-
kecilan (subordinatif)seperti tawuran anak-
anak Sekolah Unggul.
Paragraf 14
(4)Wallahu a’lam maksud-Nya,
(koordiatif)tetapi sukar dibayangkan
(subordinatif)bahwa penggunaan kata Silmi,
bukan Islam, tanpa mengandung perbedaan
antara kedua kata itu.
Paragraf 15
(4)Kelak kita
mempertanggungjawabkan kehidupan di
hadapan Allah secara individual, tanpa bisa
ditolong oleh siapapun kecuali oleh empat hal:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak
saleh yang mendoakan kita,
(subordinatif)kemudian hak prerogatif
Muhammad kekasih Allah untuk menawar
277
nasib kita dalam konteks dialektika cinta.
Paragraf 19
(3)(subordinatif)Kalau saya salah,
mohon dilembuti dengan informasi yang lebih
benar. (4)Karena setiap huruf yang saya ketik
bersifat relatif dan dinamis, sementara ilmu
dan keyakinan Hizbut Tahrir sejauh saya
merasakan hampir mendekati mutlak,
(subordinatfi)sehingga gagah perkasa
memprogram pengkhilafahan Indonesia.
Paragraf 20
(5)Sudah pasti perbaikannya harus dari
dapur, (subordinatif)tetapi kalau saya
memaksakan diri untuk mengambil alih dapur:
kepastian mudlarat-nya terlalu besar
dibanding kemungkinan manfaat-nya.
Paragraf 22
(2)Saya jadi kikuk
(subordinatif)karena seakan-akan kalau saya
tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir berarti
saya bukan Khalifah.
Paragraf 23
(1)Pada hakikinya semua makhluk
adalah representasi atau manifestasi atau tajalli
Tuhan sendiri, (subordinatif)sebab tidak ada
apapun, juga tak ada kehampaan atau
kekosongan yang bukan bagian dari Tuhan itu
sendiri.
Paragraf 24
(1)(subordinatif)Kalau ada Negara di
Bumi yang menegakkan hukum dan penataan
aturan yang memprimerkan keperluan
rakyatnya, itu persesuaian dan kepatuhan
kepada Syariat Allah.
Paragraf 25
(1)Tingkat dan pola kepatuhan mereka
kepada Syariat Allah seperti pohon,
mengalirnya air, berhembusnya angin: patuh
kepada Tuhan secara alamiah, naluriah, karena
kejujuran terhadap kemanusiaannya,
278
(subordinatif)namun tanpa akalnya
menemukan dan menyadari bahwa itu adalah
ketaatan kepada Syariat-Nya.
Paragraf 28
(3)Adapun Nur Muhammad
diperingati bisa kapan saja
(subordinatif)karena tatkala “Kun”
dihembuskan oleh Tuhan, belum ada satuan
hari kesepakatan bulan dan tahun yang
dikreasi oleh manusia.
(3) konjungsi korelatif : 4
(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;
Paragraf 11
(3)(korelatif)Andaikan mereka adalah
putra Nabi Nuh atau komunitas inti beliau,
(subordinatif)yang sesudah Bahtera mendarat
di Turki, (subordinatif)lantas membagi
rombongan-rombongan ke berbagai wilayah di
seantero Bumi – (subordinatif)maka mereka
bisa meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di
Bumi dengan berangkat dari Nol.
Paragraf 23
(2)Begitu(korelatif) Tuhan bilang
“Kun”, “Jadi!”, maka berlangsunglah
syariat-Nya: metabolisme semesta, organisme
alam, sistem nilai kehidupan, hamparan
galaksi, susunan tata-tata surya, benih tumbuh,
pohon berbuah, gunung menyimpan api,
semua kelereng-kelereng alam semesta
menari-nari, menyusun koreografi yang luar
biasa, beredar pada porosnya, berputar satu
sama lain.
(4) konjungsi antar kalimat : 6
Paragraf 4
(1)Negara adalah hasil karya
kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar
di antara penduduk Bumi.
(2)(antarkalimat)Karena di kehidupan Dunia
279
yang ini, sistem nilainya tidak dibikin oleh
Tuhan untuk memungkinkan kebebasan
seseorang berposisi steril atau tidak
mengganggu kebebasan orang lainnya.
Paragraf 5
(1)(antarkalimat)Tetapi Negara dengan
Pemerintahannya tidak berkuasa atas semua
hal pada manusia.
Paragraf 10
(2)(antarkalimat)Serta menjunjung
kemuliaan untuk mencita-citakan agar seluruh
bangsa Indonesia pun berlatih bagaimana
menghuni Surga.
Paragraf 12
(1)(antarkalimat)Tetapi Indonesia
terlanjur Bhinneka Tunggal Ika, heterogen,
plural, “syu’ub wa qabail”, berbagai-bagai
faham kepercayaan, berbagai-bagai jalan
ditempuh menuju Tuhan, berbagai latar
belakang, etnik, jenis darah, marga, golongan,
aliran dan berbagai-bagai lainnya.
Paragraf 16
(2)(antarkalimat)Atau Malaikat
menanyainya soal ideologi global, kapitalisme
mondial, sistem pasar Yahudi internasional,
atau satuan-satuan besar industrialisme dan
sistem perbankan Dunia.
Paragraf 28
(2)(antarkalimat)Sedangkan Maulid
Nabi diselenggarakan pada bulan Ramadlan,
bersamaan dengan turunnya Iqra` yang
merupakan momentum awal ke-Nabi-an
Muhammad-manusia.
Kohesi
(Leksikal)
Repetisi (Pengulangan) : 9
Paragraf 1 (kalimat 2, 3, 4, 5)
Dunia Batasan dan Surga Kemerdekaan
(2)Kalau dikaitkan dengan
(repetisi)makar, sebaiknya jangan makar
kepada rujukan konsep makar dari Tuhan (“wa
makaru wa makarallah”).(3)Setiap orang atau
kelompok berhak memperjuangkan
280
keyakinannya.(4)Ada yang meletakkannya
pada peta kalah menang, dan HTI sedang
menanggung resikonya.(5) Ada juga yang
melihat keluasan hidup di mana kalah menang
hanyalah sebuah strata.
Paragraf 2 (kalimat 3)
(3)Organisasi (repetisi)hanyalah alat:
pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah
payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.
Paragraf 8 (kalimat 1,2,3,4)
(1)Tetapi para pelakunya (repetisi)tidak
bisa “pensiun dini”, tidak bisa “membolos”
dari kehidupan yang abadi. (2)Dalam kuburan
mereka memulai Semester berikutnya,
kemudian berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga
atau Neraka. (3)Manusia tidak bisa melarikan
diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi,
ruang dan waktu yang selain milik Tuhan.
(4)Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung
jawabnya sampai dua kehidupan abadi
(kholidina fiha abada) yang wajib dijalaninya.
Paragraf 11 (kalimat 1,2,3)
(1)(repetisi)Mereka orang-orang baik
sebagai manusia, sangat menyayangi
penduduk Bumi dan mencita-citakan semua
manusia lintas-Negara agar kelak
bercengkerama dengan Allah di Surga.
(2)Mereka menyusun tata nilai kebudayaan
(Tsaqafah) Islam sebagai sistem besar,
semacam grand design untuk seluruh wilayah
di Bumi. (3)Andaikan mereka adalah putra
Nabi Nuh atau komunitas inti beliau, yang
sesudah Bahtera mendarat di Turki, lantas
membagi rombongan-rombongan ke berbagai
wilayah di seantero Bumi –maka mereka bisa
meng-Hizbut-tahrir-kan kehidupan di Bumi
dengan berangkat dari Nol.
Paragraf 14 (kalimat 1,2,3)
(1)Maka saya memberanikan diri
mencari pemahaman atas perintah Allah
“Udkhulu fis-silmi kaffah”. (2)Masuklah ke
281
dalam (repetisi)Silmi secara utuh dan tunai.
(3)Anehnya Allah tidak menggunakan kosa-
kata Islam, melainkan Silmi. Wallahu a’lam
maksud-Nya, tetapi sukar dibayangkan bahwa
penggunaan kata Silmi, bukan Islam, tanpa
mengandung perbedaan antara kedua kata itu.
Paragraf 20 (kalimat 3,4)
Syariat Allah di Alam dan Manusia
(3)Tapi saya tidak sedang berada di
(repetisi)dapur dikepung oleh bahan-bahan
mentah makanan serta alat-alat dapur. (4)Saya
berada di warung depannya, dengan makanan
minuman yang sudah tersedia. Sudah pasti
perbaikannya harus dari dapur, tetapi kalau
saya memaksakan diri untuk mengambil alih
dapur: kepastian mudlarat-nya terlalu besar
dibanding kemungkinan manfaat-nya.
Paragraf 21 (kalimat 2,3)
(2)Tapi saya tidak mau meladeni
kekerdilan cara berpikir tanpa kelengkapan
pengetahuan dan ilmu, yang mempolarisasikan
(repetisi)antara Pancasila dengan Islam, antara
Bhinneka Tunggal Ika dengan Kekhalifahan,
antara Negara dengan Agama, antara
Nasionalis dengan Islamis. (3)Apalagi
mendikotomikan antara Agawa-Samawi
dengan Agama-Ardli, antara Kesalehan
Individu dengan Kesalehan Sosial, bahkan
antara Bumi dengan Langit dan antara Dunia
dengan Akhirat.
Paragraf 27 (1,2,3,4)
(1)Ada “tiga” Muhammad: pertama
Nur (repetisi)Muhammad, yang kumparan
dan gelombangnya mentransformasi menjadi
jagat raya — dan itulah yang disyahadatkan
oleh para Malaikat dan para Nabi Rasul.
(2)Kemudian kedua Muhammad bin
Abdullah, Muhammad-manusia dengan
kontrak 63 tahun di Bumi. (3)Lantas
Muhammad Nabiyyullah yang membawa
berita, hidayah dan “buku manual” Allah yang
berevolusi dari Taurat, Zabur, Injil, hingga
Qur`an. (4)Muhammad adalah zat sejatinya,
282
Nabi adalah pangkatnya, Rasul adalah
jabatannya di Bumi.
Koherensi Paragraf 2
(2)Para Prajurit Pembebasan, Hizbut-
Tahrir, justru mendapat limpahan rezeki untuk
semakin nikmat bekerja keras menemukan
pembebasan. (3)Organisasi hanyalah alat:
pisau dapur untuk mengiris bawang, hanyalah
payung untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu tujuan.
(4)Pisau, payung, dan kendaraan, biasa rusak
atau aus, lantas dibengkelkan atau ambil yang
baru di Toko Ilmu. (koherensi sebab akibat)
Paragraf 4
(3)Tuhan hanya menyelenggarakan
training sejenak di Bumi agar manusia belajar
berbagi kemerdekaan. (4)Semacam “puasa”,
agar kelak sebagai penduduk Surga, mereka
menikmati betapa dahsyatnya kemerdekaan
yang tidak saling membatasi satu sama lain –
sesudah selama di Bumi mereka menyiksa diri
oleh perebutan, persaingan, pertengkaran,
pembubaran, bahkan menganiaya dirinya
sendiri dengan pengusiran, pembunuhan dan
pemusnahan. (koherensi ibarat)
Paragraf 6
(4)Semua benda patuh kepada Tuhan,
tetapi tidak dengan kesadaran akal. (5)Sungai,
gunung, hutan, angin, dedaunan dan embun,
juga detak jantung manusia, aliran darahnya,
kesegaran dan keausan jasadnya, jadwal lahir
dan matinya, semua patuh kepada kehendak
Tuhan, tetapi yang dengan kesadaran akal
hanya entitas sistem makhluk manusia yang
dipasang di kepalanya semacam supra-chips
yang bernama akal, serta cakrawala yang
bernama kalbu. (koherensi aditif)
Paragraf 8
(1)Tetapi para pelakunya tidak bisa
“pensiun dini”, tidak bisa “membolos” dari
kehidupan yang abadi. (2)Dalam kuburan
mereka memulai Semester berikutnya,
283
kemudian berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga
atau Neraka. (3)Manusia tidak bisa melarikan
diri, karena tidak ada tempat, planet, galaksi,
ruang dan waktu yang selain milik Tuhan.
(4)Manusia tidak bisa mengelak dari tanggung
jawabnya sampai dua kehidupan abadi
(kholidina fiha abada) yang wajib dijalaninya.
(koherensi argumentatif)
Paragraf 9
(3)Bumi adalah bagian dari Langit.
(4)Dunia adalah bagian awal dari Akhirat.
(5)Kehidupan di Bumi hanyalah gelembung
kecil di dalam gelembung besar Akhirat, yang
juga terletak di Maha Gelembung Tuhan itu
sendiri.(koherensi latar simpulan)
Paragraf 17
(1)Setiap hamba Allah dilindungi
oleh-Nya dengan “la yukallifullahu nafsan illa
wus’aha” (Allah tidak membebani manusia
melebihi kadar kemampuannya). (2)Seorang
kuli pasar mungkin hanya akan ditanya
beberapa hal: aqidahnya, hubungannya dengan
Nabi dan Al-Qur`an, apakah ia mencuri harta
orang, menghina martabat sesama manusia,
atau memisahkan nyawa dari jasad
manusia.(koherensi ibarat)
Paragraf 19
(1)Konsep Silmi membukakan jalan
agar seorang tukang jahit di pinggir jalan bisa
diterima oleh Allah tanpa menjadi warga
negara sebuah Negara Khilafah. (2)Seorang
Ibu penjual jamu bisa masuk surga tanpa
menunggu berhasilnya perjuangan Khilafah
Dunia. (koherensi ibarat)
Paragraf 20
(1)Jangan dipikir saya setuju dan
merasa jenak dengan berbagai hal tentang
NKRI. (2)Bahkan hal-hal yang mendasar sejak
persiapan kemerdekaan, muatan nilai-nilai
Proklamasi 1945, sampai Orla Orba Reformasi
hingga Era Klayapan sekarang ini. (3)Tapi
284
saya tidak sedang berada di dapur dikepung
oleh bahan-bahan mentah makanan serta alat-
alat dapur. (4)Saya berada di warung
depannya, dengan makanan minuman yang
sudah tersedia. (5)Sudah pasti perbaikannya
harus dari dapur, tetapi kalau saya
memaksakan diri untuk mengambil alih dapur:
kepastian mudlarat-nya terlalu besar
dibanding kemungkinan manfaat-
nya.(koherensi ibarat)
Retoris Grafis Paragraf 6 (kalimat 2 dan 3)
Keniscayaan Khilafah
Saya tidak punya kemungkinan lain
kecuali menjadi (dijadikan) Khalifah di Bumi
oleh Pencipta Bumi, alam semesta dan saya.
Menjadi Khalifah adalah posisi khusus
manusia: tugasnya “patuh dengan kesadaran
akal”.
Paragraf 7 (kalimat 1 dan 2)
(7) Malaikat, Iblis, Setan, benda,
tetumbuhan, hewan adalah makhluk
kepastian, meskipun sebagian di antara
mereka ada yang menjadi wadah kerjasama
antara takdir Tuhan dengan inisiatif manusia.
Sementara Jin dan Manusia adalah makhluk
kemungkinan.
Paragraf 14 (kalimat 2)
(14) Maka saya memberanikan diri
mencari pemahaman atas perintah Allah
“Udkhulu fis-silmi kaffah”. Masuklah ke dalam
Silmi secara utuh dan tunai. Anehnya Allah
tidak menggunakan kosa-kata Islam,
melainkan Silmi.
Paragraf 20 (kalimat 5)
Syariat Allah di Alam dan Manusia
Sudah pasti perbaikannya harus dari
dapur, tetapi kalau saya memaksakan diri
untuk mengambil alih dapur: kepastian
mudlarat-nya terlalu besar dibanding
kemungkinan manfaat-nya.
Paragraf 23 (kalimat 2)
Begitu Tuhan bilang “Kun”, “Jadi!”,
285
maka berlangsunglah syariat-Nya:
metabolisme semesta, organisme alam, sistem
nilai kehidupan, hamparan galaksi, susunan
tata-tata surya, benih tumbuh, pohon berbuah,
gunung menyimpan api, semua kelereng-
kelereng alam semesta menari-nari, menyusun
koreografi yang luar biasa, beredar pada
porosnya, berputar satu sama lain.
Paragraf 26 (kalimat 2, 3, 4)
Dituliskan(katafora) oleh para Malaikat
atas perintah-Nya di Kitab Agung Lauhul-
Mahfudh. Sejak awal mula penciptaan berupa
pancaran cahaya, yang Allah sangat mencintai
dan memujinya, sehingga manamainya “Nur
Muhammad”, dan gara-gara makhluk wiwitan
inilah maka kemudian Allah merebakkannya
menjadi alam semesta dan umat manusia.
Maka para Malaikat semua, kemudian semua
Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, meneguhkan
keridlaannya: “Aku bersaksi tiada Tuhan
selain Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah”.
Paragraf 27 (kalimat 1, 2, 3)
(27)Ada “tiga” Muhammad: pertama
Nur Muhammad, yang kumparan dan
gelombangnya mentransformasi menjadi jagat
raya — dan itulah yang disyahadatkan oleh
para Malaikat dan para Nabi Rasul. Kemudian
kedua Muhammad bin Abdullah,
Muhammad-manusia dengan kontrak 63 tahun
di Bumi. Lantas Muhammad Nabiyyullah
yang membawa berita, hidayah dan “buku
manual” Allah yang berevolusi dari Taurat,
Zabur, Injil, hingga Qur`an.
Metafora Paragraf 2 (kalimat 3 dan 4)
Organisasi hanyalah alat: pisau dapur
untuk mengiris bawang, hanyalah payung
untuk berlindung dari hujan, hanyalah
kendaraan untuk mencapai suatu tujuan. Pisau,
payung, dan kendaraan, biasa rusak atau aus,
lantas dibengkelkan atau ambil yang baru di
Toko Ilmu.
Paragraf 3 (kalimat 1)
286
(3)Karena tugas kemakhlukan manusia
adalah menghimpun ilmu dan menyusun
strategi, agar ia lolos kembali ke kampung
halaman aslinya, yakni Kebun Surga, di mana
kemerdekaan mengalir, meruang, melebar,
meluas, dan manusia memegang kendali aliran
itu dalam dua rentang waktu: kekekalan dan
keabadian.
Paragraf 4 (kalimat 1)
(4)Negara adalah hasil karya
kecerdasan ilmu manusia untuk menata pagar
di antara penduduk Bumi.
Paragraf 8 (kalimat 1,2)
(8)Tetapi para pelakunya tidak bisa
“pensiun dini”, tidak bisa “membolos” dari
kehidupan yang abadi. Dalam kuburan mereka
memulai Semester berikutnya, kemudian
berlangsung semesteran-semesteran
berikutnya, hingga tiba di babak final Surga
atau Neraka.
Paragraf 9 (kalimat 1, 2, 4)
(9)Khusus yang dapat kapling surga
akan dibagi di empat lapisan langit Surga,
yang semua teduh berwarna dominan hijau tua.
Manusia “ngunduh wohing pakarti”, memetik
buah dari kelakuan yang ditanamnya. Bumi
adalah bagian dari Langit. Dunia adalah bagian
awal dari Akhirat. Kehidupan di Bumi
hanyalah gelembung kecil di dalam gelembung
besar Akhirat, yang juga terletak di Maha
Gelembung Tuhan itu sendiri.
Judul : Khalifah NKRI
287
Kode : KN
No Aspek
Mikro
Keterangan
Semantik Latar Paragraf 3
(3)Di ruangan itu, rapat sudah selesai.
Hal-hal yang menyangkut penanganan hukum
atas HTI, sudah ketemu dan fix. Ada rasa getir
di hati setiap kali menatap Indonesia. Tapi
secara pribadi saya bersyukur karena lembaga
Negara, aparat Pemerintahan maupun Hizbut
Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya. Jadi saya
merdeka. Namun demikian saya tetap wajib
“lapor” kepada diri saya sendiri:
Rincian Paragraf 13
(4)Kabupaten ke bawah: kecamatan,
desa, kampung, pesantren, padepokan, sanggar
— berbagai “ruangan hati rakyat kecil”.
Paragraf 12
(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan
“baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia
menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:
“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku
untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada
kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan
kesempurnaan itu” sebagai modal untuk
membangun peradaban di sisa senja hari usia
alam semesta.
Paragraf 13
(1)Allah membatasi tuntutannya:
“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.
Nominalisasi Paragraf 3
(2)Hal-hal yang menyangkut
penanganan hukum atas HTI, sudah ketemu
dan fix.
Paragraf 11
(3)Khilafah memerlukan kearifan
manajemen, memahami batas pencapaian
cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk
menahan diri dari kemungkinan perusakan
terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur
tumbuh.
288
Paragraf 13
(4)Saya berpuasa dari Negara
“besar”, politik “elite”, mowo-toto politik
praktis, yang puncak pencapaiannya adalah
jabatan, kekuasaan dan penguasaan.
Sintaksis Bentuk
Kalimat
Kalimat Aktif : (20)
Paragraf 2
(1)(KA)Ibarat sedang masak sayur di
dapur, perkenankan saya menuntaskannya
menuju matang.
Paragraf 3
(4)(KA)Tapi secara pribadi saya
bersyukur karena lembaga Negara, aparat
Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya
“tidak kenal” saya. ... (6)(KA)Namun
demikian saya tetap wajib “lapor” kepada diri
saya sendiri:
Paragraf 4
(1)(KA)Mohon izin saya bersangka
baik bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi
Khilafah, dengan segala keterbatasannya,
baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya
serta indah joroknya.
Paragraf 5
(1)(KA)Karena saya tidak mau bikin
perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa,
yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan
manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli
khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan
manusia sebagai Khalifah di bumi.
Paragraf 6
(2)(KA)Saya tidak bisa tahu berapa
tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut
Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu
Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan —
tetapi saya tidak punya secuilpun peluang
untuk mengingkari khilafah.
Paragraf 7
(3)(KA)Semoga pada suatu hari Allah
mengizinkan keinginan saya menulis tentang
Memahami Pancasila dengan Metoda
289
Khilafah. (4)(KA)Juga Memahami Khilafah
lewat Pintu Pancasila.
Paragraf 8
(3)(KA)Allah tidak menagih hamba-
hambaNya berkebun dengan menghasilkan
buah-buah surga. (4)(KA) Bahkan hanya Allah
yang sejatinya menerbitkan buahnya, manusia
hanya menanam dan merawatnya.
Paragraf 9
(2)(KA)Kita tinggal cari komponen-
komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut,
di-tunggal-ika-i, disinergikan. (3)(KA)Juga
kita daftar ketidak-cocokan di antara kita,
faktor-faktor inkompatibilitasnya, daya tolak
air-minyaknya, ketidak-satu- gelombang-
annya.
Paragraf 12
(1)(KA)Allah juga memberi
keringanan kepada kelemahan manusia.
(2)(KA)Ia tidak menuntut suatu desain besar
Islam atau desain Islam besar, yang berlaku
di setiap jengkal tanah di bumi.
Paragraf 13
(1)(KA)Allah membatasi tuntutannya:
“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.
(2)(KA)Tuhan tidak memilih kosakata
“Masuklah ke dalam Islam…”. (3)(KA)Sudah
di 3789 titik di seantero Nusantara selama 30-
40 tahun ini saya “nekad” menanam dan
menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat. ... (5)(KA)Saya berpuasa dari
Negara “besar”, politik “elite”, mowo-toto
politik praktis, yang puncak pencapaiannya
adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.
Paragraf 14
(3)(KA)Kita mencintai dan mengabdi
kepada Tuhan sehingga rajin merawat Tanah
Air, menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan
nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.
290
Kalimat Pasif : (4)
Paragraf 5
(2)(KP)Ada Hizbul-Wathon atau tidak,
ada Hizbut-Tahrir atau tidak, pakai Hizib-
Nashr atau tidak, takdir khilafah tidak bisa
diurai dari wujud adanya manusia.
Paragraf 10
(1)(KP)Daftar perbedaan itu kita
sepakati jangan menjadi alat dan medan untuk
kita berperang.
Paragraf 11
(1)(KP)Indonesia tidak didirikan oleh
Nabi Adam dari Nol-Peradaban, sehingga
semua benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan
secara murni dari awal persemaian.
Paragraf 14
(2)(KP)“Indonesia Bagian Dari Desa
Saya” buku 1979 kami jadikan landasan
berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-
keadaan lokal.
Kohesi
(Gramatikal)
Referensi (Pengacuan)
Pengacuan Anafora : 12
Paragraf 2
(1)Ibarat sedang masak sayur di dapur,
perkenankan saya menuntaskannya(anafora)
menuju matang.
Paragraf 4
(1)Mohon izin saya bersangka baik
bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi
Khilafah, dengan segala keterbatasannya,
baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya
serta indah joroknya(anafora). (2)Termasuk
niat suci atau kemunafikan
pelakunya(anafora). (3)Apakah khilafah NKRI
sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat atau
tidak, urusannya(anafora) nanti dengan Maha-
Owner kehidupan ini.
291
Paragraf 8
(1)“La yukallifullahu nafsan illa
wus’aha”, Allah tidak membebani manusia
melebihi kadarnya(anaforapersona).
(2)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-
benih, manusia menanamnya, memilih kondisi
tanahnya, mencoba merawat sebisa-
bisanya(anaforapersona). ... (4)Bahkan hanya
Allah yang sejatinya menerbitkan buahnya,
manusia hanya menanam dan
merawatnya.(anafora)
Paragraf 9
(1)Khilafah itu “kukuruyuk”, Anda
boleh menamakannya(anafora) “kukurunnuk”,
berdasarkan wacana Kitab Suci atau sumber
filosofi Anda.
Paragraf 10
(4)“Wassama`a rofa’aha wawadlo’al
mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit
mengatasinya, meletakkan keseimbangan
pada keduanya.(anafora)
Paragraf 12
(2)Ia(anafora) tidak menuntut suatu
desain besar Islam atau desain Islam besar,
yang berlaku di setiap jengkal tanah di bumi.
(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi sistem
nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru
kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia
menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:
“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku
untukmu(anaforapersona), kusempurnakan
nikmat-Ku kepada kalian, dan Kurelakan
kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai
modal untuk membangun peradaban di sisa
senja hari usia alam semesta.
Paragraf 13
(5)Saya berpuasa dari Negara
“besar”, politik “elite”, mowo-toto politik
praktis, yang puncak pencapaiannya(anafora)
adalah jabatan, kekuasaan dan penguasaan.
292
Pengacuan Katafora : -
Pengacuan Persona : 3
Paragraf 3
(4)Tapi secara pribadi
saya(anaforapersona) bersyukur karena
lembaga Negara, aparat Pemerintahan maupun
Hizbut Tahrir, faktanya “tidak kenal” saya.
Jadi saya merdeka. (5)Namun demikian
saya(anaforapersona) tetap wajib “lapor”
kepada diri saya sendiri:
Paragraf 4
(1)Mohon izin saya(anaforapersona)
bersangka baik bahwa NKRI ini sudah sebuah
aplikasi Khilafah, dengan segala
keterbatasannya, baik buruknya, salah
benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya.
Paragraf 5
(1)Karena saya(anaforapersona) tidak
mau bikin perkara dengan Tuhan Yang
Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam
menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-
ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku
menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi.
Paragraf 8
(1)“La yukallifullahu nafsan illa
wus’aha”, Allah tidak membebani manusia
melebihi kadarnya(anaforapersona).
(2)Khilafah adalah Allah mentransfer benih-
benih, manusia menanamnya, memilih kondisi
tanahnya, mencoba merawat sebisa-
bisanya(anaforapersona).
Paragraf 12
(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan
“baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia
menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:
“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku
untukmu(anaforapersona), kusempurnakan
nikmat-Ku kepada kalian, dan Kurelakan
kelengkapan dan kesempurnaan itu” sebagai
293
modal untuk membangun peradaban di sisa
senja hari usia alam semesta.
Paragraf 13
(3)Sudah di 3789 titik di seantero
Nusantara selama 30-40 tahun ini
saya(anaforapersona) “nekad” menanam dan
menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat. (5)Saya(anaforapersona)
berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”,
mowo-toto politik praktis, yang puncak
pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan
penguasaan.
Paragraf 14
(2)“Indonesia Bagian Dari Desa
Saya” buku 1979 kami(anaforapersona)
jadikan landasan berpikir, bersikap dan
mengkhalifahi keadaan-keadaan lokal.
(3)Kita(anaforapersona) mencintai dan
mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin
merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi
Satriyo.
Pengacuan Demonstratif : 14
Paragraf 1
(1)Mungkin ini(demonstratif) bukan
yang paling urgen.
Paragraf 3
(1)Di ruangan itu(demonstratif), rapat
sudah selesai. ... (3)Ada rasa getir di hati setiap
kali menatap Indonesia(demonstratif).
Paragraf 4
(1)Mohon izin saya bersangka baik
bahwa NKRI ini(demonstratif) sudah sebuah
aplikasi Khilafah, dengan segala
keterbatasannya, baik buruknya, salah
benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya.
(3)Apakah khilafah NKRI sengaja atau tidak,
sadar atau tidak, niat atau tidak, urusannya
nanti dengan Maha-Owner kehidupan ini.
(demonstratif)
294
Paragraf 6
(2)Saya tidak bisa tahu berapa tinggi
badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi
Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda
Hawa di Kebumen atau Magetan(demonstratif)
— tetapi saya tidak punya secuilpun peluang
untuk mengingkari khilafah.
Paragraf 9
(1)Khilafah itu(demonstratif)
“kukuruyuk”, Anda boleh menamakannya
“kukurunnuk”, berdasarkan wacana Kitab Suci
atau sumber filosofi Anda.
Paragraf 10
(1)Daftar perbedaan itu(demonstratif)
kita sepakati jangan menjadi alat dan medan
untuk kita berperang.
Paragraf 12
(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan
“baru kemarin sore”, 14 abad
silam(demonstratif), tatkala Ia menyatakan
kepada Muhammad kekasih-Nya: “Hari
ini(demonstratif) telah kulengkapkan Agama-
Ku untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku
kepada kalian, dan Kurelakan kelengkapan
dan kesempurnaan itu” sebagai modal untuk
membangun peradaban di sisa senja hari usia
alam semesta.
Paragraf 13
(3)Sudah di 3789 titik di seantero
Nusantara selama 30-40 tahun
ini(demonstratif) saya “nekad” menanam dan
menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat.
Pengacuan Komparatif : 1
Paragraf 6
(1)Ketentuan khilafah sama
niscayanya dengan kelapa bukan semangka,
295
kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa
lurus halus, rambut Nabi Musa keriting,
rambut Nabi Muhammad ikal.
(2)(komparatif)Saya tidak bisa tahu berapa
tinggi badan Nabi Khidlir, apakah di perut
Nabi Adam ada pusar-nya, beliau ketemu
Ibunda Hawa di Kebumen atau Magetan—
tetapi saya tidak punya secuilpun peluang
untuk mengingkari khilafah.
Penyulihan (Subtitusi)
Pelesapan (Elipsis)
Perangkaian (Konjungsi)
(1) konjungsi koordinatif (10)
(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi
Paragraf 4
(2)Termasuk niat suci atau(koordinatif)
kemunafikan pelakunya.
Paragraf 6
(2)Saya tidak bisa tahu berapa tinggi
badan Nabi Khidlir, apakah di perut Nabi
Adam ada pusar-nya, beliau ketemu Ibunda
Hawa di Kebumen atau Magetan—
tetapi(koordinatif) saya tidak punya secuilpun
peluang untuk mengingkari khilafah.
Paragraf 9
(4)Belajar terbuka (koordinatif)dan
jujur saja.
Paragraf 10
(1)Daftar perbedaan itu kita sepakati
jangan menjadi alat (koordinatif)dan medan
untuk kita berperang. (2)Belajar menentukan
kadar “puasa” (koordinatif)dan tahan diri
masing-masing, agar dicapai titik tengah dan
keseimbangan.
Paragraf 11
(3)Khilafah memerlukan kearifan
manajemen, memahami batas pencapaian
cocok-tanamnya, (koordinatif)dan berendah-
296
hati untuk menahan diri dari kemungkinan
perusakan terhadap segala sesuatu yang sudah
terlanjur tumbuh.
Paragraf 12
(2)Ia tidak menuntut suatu desain
besar Islam (koordinatif)atau desain Islam
besar, yang berlaku di setiap jengkal tanah di
bumi.
Paragraf 13
(3)Sudah di 3789 titik di seantero
Nusantara selama 30-40 tahun ini saya
“nekad” menanam (koordinatif)dan
menyemaikan “Silmi”, “Islam kecil”, “Islam
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat.
Paragraf 14
(1)“Sinau Bareng” dengan anak-anak
muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak
Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres,
Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh,
lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu
(koordinatif)dan simpul-simpul nasionalisme
yang tidak gegap gempita. ... (3)Kita mencintai
(koordinatif)dan mengabdi kepada Tuhan
sehingga rajin merawat Tanah Air,
menjunjung Ibu Pertiwi, menegakkan
nasionalisme, berlatih menjadi Satriyo.
(2) konjungsi subordinatif (9)
(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;
(b) konjungsi kausal: sebab, karena;
(c) konjungsi konsesif: meskipun,
(d) konjungsi syarat: kalau,
(e) konjungsi komplementasi: bahwa,
Paragraf 3
(4)Tapi secara pribadi saya bersyukur
karena(subordinatifkausal) lembaga Negara,
aparat Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir,
faktanya “tidak kenal” saya.
297
Paragraf 4
(1)Mohon izin saya bersangka baik
bahwa(subordinatifkomplementasi) NKRI ini
sudah sebuah aplikasi Khilafah, dengan
segala keterbatasannya, baik buruknya, salah
benarnya, mulia hinanya serta indah joroknya.
Paragraf 5
(1)Karena saya tidak mau bikin
perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa,
(subordinatif)yang ‘policy’ utamanya dalam
menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-
ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku
menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi.
Paragraf 10
(2)Belajar menentukan kadar “puasa”
dan tahan diri masing-masing,
(subordinatif)agar dicapai titik tengah dan
keseimbangan.
Paragraf 11
(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi
Adam dari Nol-Peradaban,
(subordinatif)sehingga semua benih Khilafah
bisa dicocok-tanamkan secara murni dari awal
persemaian.
Paragraf 12
(2)Ia tidak menuntut suatu desain
besar Islam atau desain Islam besar,
(subordinatif)yang berlaku di setiap jengkal
tanah di bumi.
Paragraf 14
(3)Kita mencintai dan mengabdi
kepada Tuhan (subordinatif)sehingga rajin
merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi
Satriyo.
Paragraf 15
(1)Tapi harus bikin pagar komplet
(subordinatif)agar Indonesia Besar jangan
menjadi faktor destruktif bagi lokal Indonesia
298
Kecil.
(3) konjungsi korelatif -
(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;
(4) konjungsi antar kalimat (7)
Paragraf 1
(2)(antarkalimat)Tetapi apa yang tidak
urgen di Indonesia hari ini? Paragraf 3
(4)(antarkalimat)Tapi secara pribadi
saya bersyukur karena lembaga Negara, aparat
Pemerintahan maupun Hizbut Tahrir, faktanya
“tidak kenal” saya. (5)(antarkalimat)Jadi saya
merdeka. (6)(antarkalimat)Namun demikian
saya tetap wajib “lapor” kepada diri saya
sendiri:
Paragraf 5
(1)(antarkalimat)Karena saya tidak
mau bikin perkara dengan Tuhan Yang
Maha Esa, yang ‘policy’ utamanya dalam
menciptakan manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-
ardli khalifah”: Sesungguhnya Aku
menjadikan manusia sebagai Khalifah di bumi.
Paragraf 7
(1)(antarkalimat)Tetapi khilafah bukan
Negeri Surga.
Paragraf 8
(4)(antarkalimat)Bahkan hanya Allah
yang sejatinya menerbitkan buahnya, manusia
hanya menanam dan merawatnya. Kohesi
(Leksikal)
Repetisi (Pengulangan) :
Paragraf 1
(1)Mungkin ini bukan yang paling
(repetisi)urgen. (2)Tetapi apa yang tidak urgen
di Indonesia hari ini? Perkara mana yang kalah
urgen dibanding lain-lainnya?
Paragraf 7
(1)Tetapi khilafah bukan Negeri
Surga. (2)Khilafah adalah tuntunan
manajemen agar perjalanan sejarah kita
memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
299
Rakyat Indonesia”. (3)Semoga pada suatu
hari Allah mengizinkan keinginan saya
menulis tentang (repetisi)Memahami
Pancasila dengan Metoda Khilafah. (4)Juga
Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.
Paragraf 13
(1)Allah membatasi tuntutannya:
“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.
(2)Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah
ke dalam Islam…”. (3)Sudah di 3789 titik di
seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini
saya “nekad” menanam dan menyemaikan
“Silmi”, “(repetisi)Islam kecil”, “Islam
substansial”, “Islam esensial”, “Islam lokal-
konstekstual” — di lapangan bawah
masyarakat. Kabupaten ke bawah: kecamatan,
desa, kampung, pesantren, padepokan, sanggar
— berbagai “ruangan hati rakyat kecil”.
(3)Saya berpuasa dari Negara “besar”,
politik “elite”, mowo-toto politik praktis, yang
puncak pencapaiannya adalah jabatan,
kekuasaan dan penguasaan.
Paragraf 16
(1)72 tahun merdeka belum cukup
untuk membangun Indonesia Besar yang tidak
besar kepala di Jakarta. (2)Yang bisa
membedakan antara “otoritas” dengan
“otoriter”. (3)Antara “kewenangan” dengan
“sewenang-wenang”. (4)Yang (repetisi)tidak
Adigang adigung adiguna kepada rakyatnya.
(5)Tidak memusuhi siapa saja yang seharusnya
dirangkulnya. (6)Tidak merasa pantas untuk
sewenang- wenang. (7)Tidak mengambil alih
otoritas Tuhan. (8)Tidak meminjam tangan
Iblis. (9)Tidak berkostum Malaikat. (10)Atau
perilaku apapun agar tercapai kepentingannya.
Koherensi Paragraf 7
(1)Tetapi khilafah bukan Negeri Surga.
(2)Khilafah adalah tuntunan manajemen agar
perjalanan sejarah kita memproduksi
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. (koherensi adiktif)
Paragraf 8
300
(1)“La yukallifullahu nafsan illa
wus’aha”, Allah tidak membebani manusia
melebihi kadarnya. (2)Khilafah adalah Allah
mentransfer benih-benih, manusia
menanamnya, memilih kondisi tanahnya,
mencoba merawat sebisa-bisanya. (3)Allah
tidak menagih hamba-hambaNya berkebun
dengan menghasilkan buah-buah surga.
(4)Bahkan hanya Allah yang sejatinya
menerbitkan buahnya, manusia hanya
menanam dan merawatnya.(koherensi latar-
simpulan)
Paragraf 11
(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi
Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua
benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara
murni dari awal persemaian. (2)Di Kebun
Nusantara sudah terlanjur banyak jenis
pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan
benalu. (3)Khilafah memerlukan kearifan
manajemen, memahami batas pencapaian
cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk
menahan diri dari kemungkinan perusakan
terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur
tumbuh.(koherensi argumentatif)
Paragraf 12
(1)Allah juga memberi keringanan
kepada kelemahan manusia. (2)Ia tidak
menuntut suatu desain besar Islam atau
desain Islam besar, yang berlaku di setiap
jengkal tanah di bumi.(koherensi parafrastis)
Paragraf 13
(1)Allah membatasi tuntutannya:
“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.
(2)Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah
ke dalam Islam…”.(koherensi parafrastis)
Paragraf 15
(1)Tapi harus bikin pagar komplet
agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor
destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. (2)Pagar
jasmani rohani agar jangan terlalu mudah
301
diracuni oleh “Indonesia Besar”,
pemerintahan Jakarta, industrialisme global,
kapitalisme maniak serta berbagai “hawa
global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin
manusia lainnya.(koherensi aditif)
Retoris Grafis Paragraf 4
(1)Mohon izin saya bersangka baik
bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi
Khilafah, dengan segala keterbatasannya,
baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya
serta indah joroknya.
Paragraf 5
(1)Karena saya tidak mau bikin
perkara dengan Tuhan Yang Maha Esa,
yang ‘policy’ utamanya dalam menciptakan
manusia adalah “Inni Ja’ilun fil-ardli
khalifah”: Sesungguhnya Aku menjadikan
manusia sebagai Khalifah di bumi.
Paragraf 7
(2)Khilafah adalah tuntunan
manajemen agar perjalanan sejarah kita
memproduksi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”. (3)Semoga pada suatu
hari Allah mengizinkan keinginan saya
menulis tentang Memahami Pancasila
dengan Metoda Khilafah. (4)Juga
Memahami Khilafah lewat Pintu Pancasila.
Paragraf 8
(2)Khilafah adalah Allah mentransfer
benih-benih, manusia menanamnya, memilih
kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-
bisanya. ... (4)Bahkan hanya Allah yang
sejatinya menerbitkan buahnya, manusia
hanya menanam dan merawatnya.
Paragraf 9
(2)Kita tinggal cari komponen-
komponen yang bisa dikerjasamakan, dirajut,
di-tunggal-ika-i, disinergikan.
Paragraf 10
(4)“Wassama`a rofa’aha wawadlo’al
mizan”, Allah mengarsiteki bumi, langit
302
mengatasinya, meletakkan keseimbangan
pada keduanya.
Paragraf 11
(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi
Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua
benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara
murni dari awal persemaian. (2)Di Kebun
Nusantara sudah terlanjur banyak jenis
pepohonan, rerumputan liar, alang-alang, dan
benalu. (3)Khilafah memerlukan kearifan
manajemen, memahami batas pencapaian
cocok-tanamnya, dan berendah-hati untuk
menahan diri dari kemungkinan perusakan
terhadap segala sesuatu yang sudah terlanjur
tumbuh.
Paragraf 12
(2)Ia tidak menuntut suatu desain
besar Islam atau desain Islam besar, yang
berlaku di setiap jengkal tanah di bumi.
(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi sistem
nilai Islam mencapai kesempurnaan “baru
kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia
menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:
“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku
untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada
kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan
kesempurnaan itu” sebagai modal untuk
membangun peradaban di sisa senja hari usia
alam semesta.
Paragraf 13
(1)Allah membatasi tuntutannya:
“Masuklah ke dalam Silmi secara kaffah”.
(2)Tuhan tidak memilih kosakata “Masuklah
ke dalam Islam…”. (3)Sudah di 3789 titik di
seantero Nusantara selama 30-40 tahun ini
saya “nekad” menanam dan menyemaikan
“Silmi”, “Islam kecil”, “Islam substansial”,
“Islam esensial”, “Islam lokal-konstekstual”
— di lapangan bawah masyarakat.
(4)Kabupaten ke bawah: kecamatan, desa,
kampung, pesantren, padepokan, sanggar —
berbagai “ruangan hati rakyat kecil”. (5)Saya
berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”,
303
mowo-toto politik praktis, yang puncak
pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan
penguasaan.
Paragraf 14
(1)“Sinau Bareng” dengan anak-anak
muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak
Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres,
Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh,
lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan
simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap
gempita. (2)“Indonesia Bagian Dari Desa
Saya” buku 1979 kami jadikan landasan
berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-
keadaan lokal. (3)Kita mencintai dan
mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin
merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi
Satriyo.
Paragraf 15
(2)Pagar jasmani rohani agar jangan
terlalu mudah diracuni oleh “Indonesia
Besar”, pemerintahan Jakarta, industrialisme
global, kapitalisme maniak serta berbagai
“hawa global”, jenis rabun jiwa dan katarak
batin manusia lainnya.
Paragraf 16
(1)72 tahun merdeka belum cukup
untuk membangun Indonesia Besar yang tidak
besar kepala di Jakarta. (2)Yang bisa
membedakan antara “otoritas” dengan
“otoriter”. (3)Antara “kewenangan” dengan
“sewenang-wenang”. (4)Yang tidak Adigang
adigung adiguna kepada rakyatnya.
Metafora Paragraf 4
(1)Mohon izin saya bersangka baik
bahwa NKRI ini sudah sebuah aplikasi
Khilafah, dengan segala keterbatasannya,
baik buruknya, salah benarnya, mulia hinanya
serta indah joroknya. (2)Termasuk niat suci
atau kemunafikan pelakunya. Apakah khilafah
NKRI sengaja atau tidak, sadar atau tidak, niat
atau tidak, urusannya nanti dengan Maha-
Owner kehidupan ini.
304
Paragraf 6
(1)Ketentuan khilafah sama
niscayanya dengan kelapa bukan semangka,
kerbau tak bisa terbang, rambutnya Nabi Isa
lurus halus, rambut Nabi Musa keriting,
rambut Nabi Muhammad ikal. (2)Saya tidak
bisa tahu berapa tinggi badan Nabi Khidlir,
apakah di perut Nabi Adam ada pusar-nya,
beliau ketemu Ibunda Hawa di Kebumen atau
Magetan — tetapi saya tidak punya secuilpun
peluang untuk mengingkari khilafah.
Paragraf 7
(1)Tetapi khilafah bukan Negeri
Surga.
Paragraf 8
(2)Khilafah adalah Allah mentransfer
benih-benih, manusia menanamnya, memilih
kondisi tanahnya, mencoba merawat sebisa-
bisanya. (3)Allah tidak menagih hamba-
hambaNya berkebun dengan menghasilkan
buah-buah surga. (4)Bahkan hanya Allah yang
sejatinya menerbitkan buahnya, manusia
hanya menanam dan merawatnya.
Paragraf 10
(1)Daftar perbedaan itu kita sepakati
jangan menjadi alat dan medan untuk kita
berperang. (2)Belajar menentukan kadar
“puasa” dan tahan diri masing-masing, agar
dicapai titik tengah dan keseimbangan.
(3)“Khoirul umuri ausathuha”, sebaik-baik
perkara itu tengah-tengahnya. “Wassama`a
rofa’aha wawadlo’al mizan”, Allah
mengarsiteki bumi, langit mengatasinya,
meletakkan keseimbangan pada keduanya.
Paragraf 11
(1)Indonesia tidak didirikan oleh Nabi
Adam dari Nol-Peradaban, sehingga semua
benih Khilafah bisa dicocok-tanamkan secara
murni dari awal persemaian.
Paragraf 12
305
(3)Apalagi sebagai wacana, evolusi
sistem nilai Islam mencapai kesempurnaan
“baru kemarin sore”, 14 abad silam, tatkala Ia
menyatakan kepada Muhammad kekasih-Nya:
“Hari ini telah kulengkapkan Agama-Ku
untukmu, kusempurnakan nikmat-Ku kepada
kalian, dan Kurelakan kelengkapan dan
kesempurnaan itu” sebagai modal untuk
membangun peradaban di sisa senja hari usia
alam semesta.
Paragraf 13
(3)Sudah di 3789 titik di seantero
Nusantara selama 30-40 tahun ini saya
“nekad” menanam dan menyemaikan “Silmi”,
“Islam kecil”, “Islam substansial”, “Islam
esensial”, “Islam lokal-konstekstual” — di
lapangan bawah masyarakat. ... (5)Saya
berpuasa dari Negara “besar”, politik “elite”,
mowo-toto politik praktis, yang puncak
pencapaiannya adalah jabatan, kekuasaan dan
penguasaan.
Paragraf 14
(1)“Sinau Bareng” dengan anak-anak
muda, Bapak Ibu Kakek Nenek dusun, Pak
Kadus, Pak Lurah, Camat, Bupati, Kapolres,
Dandim, Danramil, Kapolsek, para Sesepuh,
lingkaran-lingkaran patriot-patriot bisu dan
simpul-simpul nasionalisme yang tidak gegap
gempita. (2)“Indonesia Bagian Dari Desa
Saya” buku 1979 kami jadikan landasan
berpikir, bersikap dan mengkhalifahi keadaan-
keadaan lokal. (3)Kita mencintai dan
mengabdi kepada Tuhan sehingga rajin
merawat Tanah Air, menjunjung Ibu Pertiwi,
menegakkan nasionalisme, berlatih menjadi
Satriyo.
Paragraf 15
(15)Tapi harus bikin pagar komplet
agar Indonesia Besar jangan menjadi faktor
destruktif bagi lokal Indonesia Kecil. Pagar
jasmani rohani agar jangan terlalu mudah
diracuni oleh “Indonesia Besar”,
pemerintahan Jakarta, industrialisme global,
306
kapitalisme maniak serta berbagai “hawa
global”, jenis rabun jiwa dan katarak batin
manusia lainnya.
Judul : Tongkat Perppu dan Tongkat Musa
Kode : TPTM
No Aspek
Mikro
Keterangan
Semanti
k
Latar Paragraf 1
(1)Pada hari muncul wacana dari
Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam
itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa
kami “maiyahan” di halaman Polres Malang
Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak
Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan
ilmu” tentang Khilafah. Sikap dasar Maiyah
adalah pengambilan jarak yang terukur untuk
tidak mencintai secara membabi-buta atau
membenci dengan mata gelap dan amarah.
Paragraf 2
(2)Pada hari lain sesudahnya berturut-
turut di Yogya saya menerima tamu dari DPP
HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu
rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri.
Tema pertemuan itu meskipun lebaran
variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap
seputar Khilafah. Pengetahuan saya sangat
terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan
kepada HTI maupun Polri sama saja. Policy
penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati
Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam
seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-
tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-
jenis otoritas pada kumpulan manusia, termasuk
tidak adanya regulasi penggunaan kata yang
terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding,
jargon politik, icon eksistensi, merk dagang dan
pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena
“aurat”.
Paragraf 4
(4)Belum ada diskusi strategis yang
307
menganalisis kalau ada T-Shirt bertuliskan
“Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah
pemakainya sedang meyakinkan dirinya sendiri
yang belum yakin dengan Islamnya. Ataukah ia
unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian
dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral
sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana
bagian kelamin dan payudara. Sampai pada
getolnya HTI dengan kata “Khilafah” sampai
menyebar jadi kesan umum bahwa HTI adalah
Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI
bukan Khilafah. Padahal NU, Muhammadiyah,
semua ummat manusia adalah Khalifatullah di
Bumi.
Rincian Paragraf 2
(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia
yang dimandati Khilafah, epistemologinya,
koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika
sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada
kumpulan manusia, termasuk tidak adanya
regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di
antara substansi, filosofi, branding, jargon
politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –
yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
Paragraf 3
(1)Belum ada diskusi publik antara
berbagai kalangan, termasuk pada Kaum
Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin
bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,
Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng
Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25
Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi
“Izroil”. (2Tapi memang ada Band Group
“Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,
Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion.
(3)Meskipun saya tidak khawatir akan muncul
“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban
“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau
Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;
tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun
Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk
rokok “Hisab Akherat”.
308
Paragraf 8
(1)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi
pohon Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan,
Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau
Komunitas saja, “small is beautiful” saja.
Paragraf 10
(6)Cara berpikir Negara Pancasila adalah
menyadari posisi Tuhan sebagai The Only
Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama
Dirut serta para Manager.
Paragraf 14
(4)Kalimat-kalimat kasih sayang saya
“blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup
di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman,
atau “bertanyalah kepada rumput yang
bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G.
Ade.
Pengandai
an
Paragraf 7
(8)Saya bersyukur andaikan kadar
Khilafah hanya 10%.
Paragraf 9
(1)Kalau orang masih mau mandi, makan
minum dan buang air besar maupun kecil, masih
tak keberatan untuk berpakaian, membangun
rumah dengan taat gravitasi, memasak air sampai
mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-
seling dengan kerja keras menghidupi keluarga –
itu sudah Khilafah, di mana manusia mematuhi
asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan.
(2)Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial
dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab
kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah
Khilafah.
Nominalis
asi
Paragraf 1
(3)Sikap dasar Maiyah adalah
pengambilan jarak yang terukur untuk tidak
mencintai secara membabi-buta atau membenci
dengan mata gelap dan amarah.
Paragraf 5
(1)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,
309
yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu
selengkap-lengkapnya, dan menghindari
keterperosokan untuk menjadi jargon politik,
bendera ideologi atau wajah identitas yang
bersifat “padat”, yang membuat semua yang di
sekitarnya merasa terancam.
Paragraf 15
(9)Cinta plus Kepentingan = Kalap dan
Penyanderaan.
Sintaksi
s
Bentuk
Kalimat
Kalimat Aktif : 19
Paragraf 2
(1)(K.A.)Pada hari lain sesudahnya
berturut-turut di Yogya saya menerima tamu dari
DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu
rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri.
Paragraf 5
(1)(K.A.)HTI memerlukan satu dua era
untuk pengguliran diskusi publik tentang
Khilafah, yang diwacanakan dengan
komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan
menghindari keterperosokan untuk menjadi
jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”, yang membuat
semua yang di sekitarnya merasa terancam.
(2)(K.A.)Saya sempat kemukakan kepada teman-
teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda
menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses
menjelaskan kepada semua pihak bahwa
Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran
solusi bagi problem ummat manusia.
(3)(K.A.)Kalau kita masukkan makanan ke
mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan
pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya.
Paragraf 6
(1)(K.A.)Kepada teman-teman Polri saya
mohon “jangan membenci HTI, karena mereka
menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi
bangsa Indonesia. (5)(K.A.)Kita punya keluarga
dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten
dengan Tuhan”.
Paragraf 7
(4)(K.A.)Ia akan berjodoh dengan
310
kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan
sifat-sifat alam yang berbeda. (5)(K.A.)Benih
Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama
di medan kebudayaan dan peta antropologis-
sosiologi yang berbeda. (10)(K.A.)Maka saya
selalu mendoakan semua manusia dengan segala
kelemahan dan kekurangannya, mungkin
keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap
memperoleh kedermawanan hati Allah untuk
diampuni.
Paragraf 8
(2)(K.A.)Allah menganjurkan “Masuklah
ke dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah).
(5)(K.A.)Allah tidak membebani manusia hal-hal
yang melebihi kuasanya.
Paragraf 11
(1)(K.A.)Kepada HTI maupun Polri
sudah saya ungkapkan lebih banyak dan luas
lagi. (3)(K.A.)Kita bersabar memahaminya,
menyusun bagan dan formulanya. (5)(K.A.)Kita
pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan
darah” (definisi dari Allah swt), saling
melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama
lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).
Paragraf 12
(1)(K.A.)Saya merasa tak banyak
gunanya, tapi saya nekad ungkapkan tentang
Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini
berada pada Evolusi Empat.
Paragraf 13
(3)(K.A.)Saya kutip An-Nas yang berisi
anjuran Tuhan tentang pengelolaan sosial.
Paragraf 14
(3)(K.A.)Tetapi kemudian saya
menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini
tidak memerlukan apapun dari saya.
Paragraf 15
(1)(K.A.)Tetapi Indonesia sungguh perlu
banyak-banyak berpikir ulang.
311
Paragraf 16
(2)(K.A.)Ia punya sejarah panjang
tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban
karakter manusia. (3)Bangsa Indonesia ini
Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan.
Kalimat Pasif : 5
Paragraf 8
(3)(K.P.)Dan Allah bermurah hati tidak
menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”.
(4)Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan
hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia.
Paragraf 12
(3)(K.P.)Manusia diredusir hanya pada
ilmu dan teknologi. (4)(K.P.)Bluluk, Cengkir,
Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu
yang berevolusi.
Paragraf 15
(2)(K.P.)Masalah tidak cukup
diselesaikan dengan kekuasaan. ...
(5)(K.P.)Tidak semua hal bisa di-cover oleh
kekuasaan.
Kohesi
(Gramatik
al)
Referensi (Pengacuan)
Pengacuan Anafora : 28
Paragraf 2
(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia
yang dimandati Khilafah, epistemologinya,
koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika
sejarahnya(anafora) dengan berjenis-jenis
otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak
adanya regulasi penggunaan kata yang terbiaskan
di antara substansi, filosofi, branding, jargon
politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –
yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
Paragraf 4
(1)Belum ada diskusi strategis yang
menganalisis kalau ada T-Shirt bertuliskan
“Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah
pemakainya(anafora) sedang meyakinkan dirinya
sendiri yang belum yakin dengan
Islamnya(anafora). (2)Ataukah
312
ia(anaforapersona) unjuk gigi kepada orang lain.
(3)Ataukah ia (anaforapersona) bagian dari
“aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral
sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana
bagian kelamin dan payudara.
Paragraf 5
(1)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,
yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu
selengkap-lengkapnya, dan menghindari
keterperosokan untuk menjadi jargon politik,
bendera ideologi atau wajah identitas yang
bersifat “padat”, yang membuat semua yang di
sekitarnya(anafora) merasa terancam. (2)Saya
sempat kemukakan kepada teman-teman HTI:
“Bagaimana mungkin Anda(anaforapersona)
menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses
menjelaskan kepada semua pihak bahwa
Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran
solusi bagi problem ummat manusia. (3)Kalau
kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa
terlebih dulu mempersiapkan pemahaman
tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya(anaforapersona). (4)Dan kalau
yang Anda(anaforapersona) cekoki itu Penguasa,
maka batang leher Anda(anaforapersona) akan
dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
(anaforapersona)
Paragraf 6
(1)Kepada teman-teman Polri saya
mohon “jangan membenci HTI, karena
mereka(anaforapersona) menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa
Indonesia. (2)Mestinya Anda(anaforapersona)
panggil mereka(anaforapersona) untuk dialog,
simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau
langsung Anda(anaforapersona) berangus, nanti
ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-
serbuknya akan malah melebar ke organ-organ
lain. (4)Mohon Anda(anaforapersona) juga
jangan anti-Khilafah, kita(anaforapersona)
jangan cari masalah dengan Allah, sebab
Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan
qadar-Nya. (5)Kita(anaforapersona) punya
313
keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik
laten dengan Tuhan”.
Paragraf 7
(4)Ia(anafora) akan berjodoh dengan
kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan
sifat-sifat alam yang berbeda. (5)Benih Khilafah
akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan
kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang
berbeda. (6)Kesuburan dan jenis kimiawi tanah
yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang
juga tidak sama. (7)Termasuk kadar
tumbuhnya(anafora): bisa 30%, 50%, 80%.
(8)Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah
hanya 10%. (9)Saya belum seorang yang lulus di
hadapan Allah sebagai Muslim. (10)Maka saya
selalu mendoakan semua manusia dengan segala
kelemahan dan kekurangannya(anaforapersona),
mungkin keterpelesetan dan
kesesatannya(anaforapersona), kelak tetap
memperoleh kedermawanan hati Allah untuk
diampuni.
Paragraf 8
(5)Allah tidak membebani manusia hal-
hal yang melebihi kuasanya.(anaforapersona)
Paragraf 10
(5)Sebab semua kekayaan Tanah Air ini
milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang,
mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan,
rakyat dan Pemerintah Indonesia bilang permisi
dulu kepada Tuhan, kemudian bilang terima
kasih sesudah menikmatinya(anafora).
Paragraf 11
(3)Kita bersabar memahaminya(anafora),
menyusun bagan dan formulanya.
Paragraf 12
(4)Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa
di-empat-kan, padahal ia(anafora) satu yang
berevolusi.
314
Paragraf 13
(4)Default tugas mereka(anaforapersona)
adalah kasih sayang dan pengayoman
(Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”).
Paragraf 16
(2)Ia(anafora) punya sejarah panjang
tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban
karakter manusia.
Pengacuan Katafora : 1
Paragraf 10
(1)Khalifah adalah orang yang berjalan di
belakang membuntuti yang di
depannya(katafora). (2)Yang di
depannya(repetisi) itu adalah kemauan Tuhan
yang mengkonsep seluruh kehidupan ini
seluruhnya.
Pengacuan Persona : 20
Paragraf 1
(1)Pada hari muncul wacana dari
Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam
itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa
kami(persona) “maiyahan” di halaman Polres
Malang Raya. (2)Didokumentasi dengan baik
oleh pihak Polres saya(persona) menjelaskan
“peta pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah.
Paragraf 4
(2)Ataukah ia(anaforapersona) unjuk gigi
kepada orang lain. (3) Ataukah ia
(anaforapersona) bagian dari “aurat”, sesuatu
yang terindah dan sakral sehingga justru
sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin
dan payudara.
Paragraf 5
(2)Saya sempat kemukakan kepada
teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin
Anda(anaforapersona) menawarkan Khilafah
tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada
semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman,
melainkan tawaran solusi bagi problem ummat
manusia. (3)Kalau kita masukkan makanan ke
mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan
315
pemahaman tentang makanan itu, pasti akan
dimuntahkannya(anaforapersona). (4)Dan kalau
yang Anda(anaforapersona) cekoki itu Penguasa,
maka batang leher Anda(anaforapersona) akan
dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
(anaforapersona)
Paragraf 6
(1)Kepada teman-teman Polri saya
mohon “jangan membenci HTI, karena
mereka(anaforapersona) menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa
Indonesia. (2)Mestinya Anda(anaforapersona)
panggil mereka(anaforapersona) untuk dialog,
simposium 3-5 sesi supaya matang. (3)Kalau
langsung Anda(anaforapersona) berangus, nanti
ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-
serbuknya akan malah melebar ke organ-organ
lain. (4)Mohon Anda(anaforapersona) juga
jangan anti-Khilafah, kita(anaforapersona)
jangan cari masalah dengan Allah, sebab
Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan
qadar-Nya. (5)Kita(anaforapersona) punya
keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik
laten dengan Tuhan”.
Paragraf 7
(10)Maka saya selalu mendoakan semua
manusia dengan segala kelemahan dan
kekurangannya(anaforapersona), mungkin
keterpelesetan dan
kesesatannya(anaforapersona), kelak tetap
memperoleh kedermawanan hati Allah untuk
diampuni.
Paragraf 8
(5)Allah tidak membebani manusia hal-
hal yang melebihi kuasanya.(anaforapersona)
Paragraf 13
(4)Default tugas mereka(anaforapersona)
adalah kasih sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”).
Pengacuan Demonstratif : 16
316
Paragraf 1
(1)Pada hari muncul wacana dari
Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam
itu(demonstratif) bersama KiaiKanjeng dan lebih
10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman
Polres Malang Raya.
Paragraf 2
(1)Pada hari lain
sesudahnya(demonstratif) berturut-turut di
Yogya(demonstratif) saya menerima tamu dari
DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah
itu(demonstratif) rombongan para perwira tinggi
dari Mabes Polri. (2)Tema pertemuan
itu(demonstratif) meskipun lebaran variabelnya
berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah.
Paragraf 8
(4)Kelihatannya itu(demonstratif) terkait
dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas
kemampuan manusia.
Paragraf 9
(1)Kalau orang masih mau mandi, makan
minum dan buang air besar maupun kecil, masih
tak keberatan untuk berpakaian, membangun
rumah dengan taat gravitasi, memasak air sampai
mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-
seling dengan kerja keras menghidupi keluarga –
itu(demonstratif), di mana manusia mematuhi
asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan.
Paragraf 10
(1)Khalifah adalah orang yang berjalan di
belakang membuntuti yang di depannya.
(2)Yang di depannya itu(demonstratif) adalah
kemauan Tuhan yang mengkonsep seluruh
kehidupan ini(demonstratif) seluruhnya.
(5)Sebab semua kekayaan Tanah Air
ini(demonstratif) milik-Nya, kalau mau menggali
isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan
perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia
bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian
bilang terima kasih sesudah menikmatinya.
Paragraf 11
317
(2)Khilafah itu(demonstratif) ilmu dan
hidayah utama dari Tuhan.
Paragraf 12
(1)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi
saya nekad ungkapkan tentang Enam Tahap
Evolusi di mana Globalisme saat
ini(demonstratif) berada pada Evolusi Empat.
Paragraf 14
(3)Tetapi kemudian saya menyadari
bahwa seluruh proses Indonesia ini(demonstratif)
tidak memerlukan apapun dari saya.
Paragraf 15
(1)Tetapi Indonesia(demonstratif)
sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.
Paragraf 16
(1)Bangsa Indonesia ini(demonstratif)
Subjek Besar di muka bumi. ... (3)Bangsa
Indonesia ini(demonstratif) Garuda, bukan bebek
dan ayam sembelihan.
Pengacuan Komparatif : 1
Paragraf 3
(1)Belum ada diskusi publik antara
berbagai kalangan, termasuk pada Kaum
Muslimin sendiri, (komparatif)misalnya apakah
mungkin bikin Warung Tempe Penyet “Islam
Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal
Jamaah”, Geng Motor “Jihad fi Sabilillah”,
Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air
“Nokafir”, atau Jagal Sapi “Izroil”. (2)Tapi
memang ada Band Group “Wali”, Bank
“Syariah” dan “Muamalat”, Sekolah Dasar
Islam, atau Islamic Fashion. (3)Meskipun saya
tidak khawatir akan muncul “Coca Cola
Rasulullah saw”, Paguyuban “Obama Atina
Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang
Haram “Visa Bilillah”; tetapi saya merindukan
ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas “Pohon
Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.
318
Penyulihan (Subtitusi)
Pelesapan (Elipsis)
Perangkaian (Konjungsi)
(1) konjungsi koordinatif : 21
(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi
Paragraf 1
(1)Pada hari muncul wacana dari
Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam
itu bersama KiaiKanjeng dan(koordinatif) lebih
10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman
Polres Malang Raya. (3)Sikap dasar Maiyah
adalah pengambilan jarak yang terukur untuk
tidak mencintai secara membabi-buta
atau(koordinatif) membenci dengan mata gelap
dan amarah.
Paragraf 2
(2)Tema pertemuan itu meskipun lebaran
variabelnya berbeda, tetapi(koordinatif)
fokusnya tetap seputar Khilafah. (3)Pengetahuan
saya sangat terbatas, sehingga(koordinatif) apa
yang saya kemukakan kepada HTI
maupun(koordinatif) Polri sama saja.
Paragraf 3
(3)Meskipun saya tidak khawatir akan
muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban
“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau
Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;
(koordinatif)tetapi saya merindukan ada Sekolah
“Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau
merk rokok “Hisab Akherat”.
Paragraf 5
(1)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,
yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu
selengkap-lengkapnya, (koordinatif)dan
menghindari keterperosokan untuk menjadi
jargon politik, bendera ideologi (koordinatif)atau
wajah identitas yang bersifat “padat”, yang
membuat semua yang di sekitarnya merasa
terancam. (2)Saya sempat kemukakan kepada
teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda
319
menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses
menjelaskan kepada semua pihak bahwa
Khilafah bukanlah ancaman,
(koordinatif)melainkan tawaran solusi bagi
problem ummat manusia.
Paragraf 6
(5)Kita punya keluarga (koordinatif)dan
anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan
Tuhan”.
Paragraf 7
(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang
(koordinatif)dan sedang dinegosiasikan untuk
diprasmanankan di atas meja Al-Maidah
(hidangan). ... (5)Benih akan menjadi tanaman
yang tidak sama di medan kebudayaan
(koordinatif)dan peta antropologis-sosiologi
yang berbeda. (6)Kesuburan (koordinatif)dan
jenis kimiawi tanah yang berbeda akan
menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama.
Paragraf 8
(7)Dunia bukan kampung halaman,
(koordinatif)melainkan hanya tempat transit
beberapa lama. (9)Kalau bangunan Peradaban di
Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam,
(koordinatif)melainkan hanya sejauh ikhtiar-
ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah
adalah usaha per-individu untuk menjadi
Khalifah-Nya.
Paragraf 11
(1)Kepada HTI maupun Polri sudah saya
ungkapkan lebih banyak (koordinatif)dan luas
lagi. (2)Khilafah itu ilmu (koordinatif)dan
hidayah utama dari Tuhan. (5)Kita pastikan tidak
“merusak bumi (koordinatif)dan menumpahkan
darah” (definisi dari Allah swt), saling
melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama
lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).
Paragraf 12
(1)Saya merasa tak banyak gunanya,
(koordinatif)tapi saya nekad ungkapkan tentang
320
Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini
berada pada Evolusi Empat. (5)Dunia sekarang
bertengkar, saling dengki (koordinatif)dan
membenci antara Peradaban Bluluk, Peradaban
Cengkir dan Peradaban Degan, yang bersama-
sama memusuhi Peradaban Kelapa.
Paragraf 15
(3)Waktu terus bergulir (koordinatif)dan
seribu kemungkinan terus berproses.
(2) konjungsi subordinatif : 23
(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;
(b) konjungsi kausal: sebab, karena;
(c) konjungsi konsesif: meskipun,
(d) konjungsi syarat: kalau,
(e) konjungsi komplementasi: bahwa,
Paragraf 1
(3)Sikap dasar Maiyah adalah
pengambilan jarak yang terukur
untuk(subordinatif) tidak mencintai secara
membabi-buta atau membenci dengan mata
gelap dan amarah.
Paragraf 2
(2)Tema pertemuan itu
meskipun(subordinatifkonsesif) lebaran
variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap
seputar Khilafah. (4)Policy penciptaan Tuhan
atas manusia yang dimandati Khilafah,
epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh
bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya,
dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis
otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak
adanya regulasi penggunaan kata yang terbiaskan
di antara substansi, filosofi, branding, jargon
politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –
yang(subordinatif) di dalam Islam disebut
fenomena “aurat”.
Paragraf 4
(3)Ataukah ia bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral
(subordinatif)sehingga justru sebaiknya ditutupi,
sebagaimana bagian kelamin dan payudara.
321
Paragraf 5
(1)HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,
(subordinatif)yang diwacanakan dengan
komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan
menghindari keterperosokan untuk menjadi
jargon politik, bendera ideologi atau wajah
identitas yang bersifat “padat”,
(subordinatif)yang membuat semua yang di
sekitarnya merasa terancam.
Paragraf 6
(1)Kepada teman-teman Polri saya
mohon “jangan membenci HTI,
(subordinatif)karena mereka menginginkan
kehidupan yang lebih baik bagi bangsa
Indonesia. (2)Mestinya Anda panggil mereka
untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya matang.
(3)(subordinatif)Kalau langsung Anda berangus,
nanti ada cipratannya, akan membengkak,
serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-
organ lain. (4)Mohon Anda juga jangan anti-
Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah,
(subordinatif)sebab Khilafah itu gagasan paling
dasar dari qadla dan qadar-Nya.
Paragraf 7
(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang dan
sedang dinegosiasikan (subordinatif)untuk
diprasmanankan di atas meja Al-Maidah
(hidangan). (10) Maka saya selalu mendoakan
semua manusia dengan segala kelemahan dan
kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan
kesesatannya, (subordinatif)kelak tetap
memperoleh kedermawanan hati Allah untuk
diampuni.
Paragraf 8
(9)(subordinatif)Kalau bangunan
Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah
Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar
Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah
usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.
322
Paragraf 9
(1)(subordinatif)Kalau orang masih mau
mandi, makan minum dan buang air besar
maupun kecil, masih tak keberatan untuk
berpakaian, membangun rumah dengan taat
gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak
keberatan untuk tidur berselang-seling dengan
kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah
Khilafah, di mana manusia mematuhi asas
kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan.
(2)(subordinatif)Kalau hukum ditegakkan,
ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah
bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara
substansial itu sudah Khilafah.
Paragraf 10
(5)Sebab semua kekayaan Tanah Air ini
milik-Nya, (subordinatif)kalau mau menggali isi
tambang, mau mengenyam hasil sawah dan
perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia
bilang permisi dulu kepada Tuhan,
(subordinatif)kemudian bilang terima kasih
sesudah menikmatinya.
Paragraf 12
(2)Spektrum filosofi (subordinatif)dan
pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg
sejak awal Masehi. (4)Bluluk, Cengkir, Degan
dan Kelapa di-empat-kan, (subordinatif)padahal
ia satu yang berevolusi. (5)Dunia sekarang
bertengkar, saling dengki dan membenci antara
Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan
Peradaban Degan, (subordinatif)yang bersama-
sama memusuhi Peradaban Kelapa. (6)Para
pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan masih
berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir,
(subordinatif)bahkan jumud dalam semangat
Bluluk.
Paragraf 13
(3)Saya kutip An-Nas (subordinatif)yang
berisi anjuran Tuhan tentang pengelolaan sosial.
... (5) (subordinatif)Kalau tidak sangat terpaksa
jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah,
kekuasaan), apalagi “Ilahinnas” (kekuatan
politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat
323
yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa
dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu,
dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa.
(3) konjungsi korelatif : 2
(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;
Paragraf 5
(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu
Penguasa, (korelatif)maka batang leher Anda
akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
Paragraf 11
(4)Yang utama bukan apa aplikasinya,
(korelatif)melainkan efektif atau tidak untuk
membangun kemashlahatan bersama, rahmatan
lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
(4) konjungsi antar kalimat : 9
Paragraf 3
(2)(antarkalimat)Tapi memang ada Band
Group “Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,
Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion.
(3)(antarkalimat)Meskipun saya tidak khawatir
akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”,
Paguyuban “Obama Atina Fiddunya Hasanah”,
atau Kelompok Pendatang Haram “Visa
Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah
“Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau
merk rokok “Hisab Akherat”.
Paragraf 4
(2)(antarkalimat)Ataukah ia unjuk gigi
kepada orang lain. (3)(antarkalimat)Ataukah ia
bagian dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan
sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi,
sebagaimana bagian kelamin dan payudara.
(5)(antarkalimat)Padahal NU, Muhammadiyah,
semua ummat manusia adalah Khalifatullah di
Bumi.
Paragraf 10
(4)(antarkalimat)Karena Boss Nasional
324
dan Global kita adalah Tuhan.
(5)(antarkalimat)Sebab semua kekayaan Tanah
Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi
tambang, mau mengenyam hasil sawah dan
perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia
bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian
bilang terima kasih sesudah menikmatinya.
(6)Cara berpikir Negara Pancasila adalah
menyadari posisi Tuhan sebagai The Only
Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama
Dirut serta para Manager. (7)Itulah Khilafah.
Paragraf 14
(3)(antarkalimat)Tetapi kemudian saya
menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini
tidak memerlukan apapun dari saya.
Paragraf 15
(1)(antarkalimat)Tetapi Indonesia
sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang.
Kohesi
(Leksikal)
Repetisi (Pengulangan) :
Paragraf 4
(2)Ataukah ia unjuk gigi kepada orang
lain. (3) Ataukah ia(repetisi) bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru
sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin
dan payudara. (4)Sampai pada getolnya HTI
dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi
kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah,
Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan
Khilafah(repetisi). (5)Padahal NU,
Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah
Khalifatullah di Bumi.
Paragraf 7
(1)Pandangan saya tentang
(repetisi)Khilafah berbeda dengan HTI. (2)Bagi
HTI Khilafah itu “barang jadi” semacam
makanan yang sudah matang dan sedang
dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas
meja Al-Maidah (hidangan). (3)Sementara bagi
saya Khilafah itu benih atau biji. ... (5)Benih
Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama
di medan kebudayaan dan peta antropologis-
sosiologi yang berbeda. (6)Kesuburan dan jenis
325
kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan
Khilafah yang juga tidak sama. ... (8)Saya
bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya 10%.
Paragraf 8
(6)(repetisi)Dunia bukan Sorga. (7)Dunia
bukan kampung halaman, melainkan hanya
tempat transit beberapa lama.
Paragraf 9
(1)Kalau orang masih mau mandi, makan
minum dan buang air besar maupun kecil, masih
tak keberatan untuk berpakaian, membangun
rumah dengan taat gravitasi, memasak air
sampai mendidih, tidak keberatan untuk tidur
berselang-seling dengan kerja keras menghidupi
keluarga – itu sudah Khilafah, di mana manusia
mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan
kemashlahatan. (2)Kalau hukum ditegakkan,
ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah
bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara
substansial itu sudah Khilafah.
Paragraf 10
(1)Khalifah adalah orang yang berjalan
di belakang membuntuti yang di depannya.
(2)Yang di depannya(repetisi) itu adalah
kemauan Tuhan yang mengkonsep seluruh
kehidupan ini seluruhnya.
Paragraf 16
(4)(repetisi)Indonesia adalah Ibu Pertiwi,
bukan perempuan pelacur. (5)Indonesia adalah
Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor
globalisasi. ... (7)Indonesia adalah dirinya
sendiri.
Koherensi Paragraf 5
(2)Saya sempat kemukakan kepada
teman-teman HTI: “Bagaimana mungkin Anda
menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses
menjelaskan kepada semua pihak bahwa
Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran
solusi bagi problem ummat manusia. (3)Kalau
kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa
terlebih dulu mempersiapkan pemahaman
tentang makanan itu, pasti akan dimuntahkannya.
326
(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa,
maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh
tangan kekuasaannya”. (koherensi ibarat)
Paragraf 6
(1)Kepada teman-teman Polri saya
mohon “jangan membenci HTI, karena mereka
menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi
bangsa Indonesia. (2)Mestinya Anda panggil
mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya
matang. (3)Kalau langsung Anda berangus, nanti
ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-
serbuknya akan malah melebar ke organ-organ
lain. (koherensi sebab akibat)
Paragraf 7
(3)Sementara bagi saya Khilafah itu
benih atau biji. (4)Ia akan berjodoh dengan
kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan
sifat-sifat alam yang berbeda. (5)Benih Khilafah
akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan
kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang
berbeda. (6)Kesuburan dan jenis kimiawi tanah
yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang
juga tidak sama. (koherensi ibarat)
Paragraf 8
(2)Allah menganjurkan “Masuklah ke
dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). (3)Dan
Allah bermurah hati tidak menyatakan
“Masuklah ke dalam Islam kaffah”. (koherensi
parafrastis)
Paragraf 12
(1)Saya merasa tak banyak gunanya, tapi
saya nekad ungkapkan tentang Enam Tahap
Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada
Evolusi Empat. (2)Spektrum filosofi dan
pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg
sejak awal Masehi. (3)Manusia diredusir hanya
pada ilmu dan teknologi. (4)Bluluk, Cengkir,
Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu
yang berevolusi. (koherensi ibarat)
(5)Dunia sekarang bertengkar, saling
dengki dan membenci antara Peradaban Bluluk,
Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang
327
bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa.
(6)Para pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan
masih berpikir secara Degan, berlaku secara
Cengkir, bahkan jumud dalam semangat Bluluk.
(koherensi ibarat)
Paragraf 13
(2)Khusus kepada teman-teman Polri
saya mohon agar “jangan terlalu garang dan
melotot kepada rakyat”. (3)Saya kutip An-Nas
yang berisi anjuran Tuhan tentang pengelolaan
sosial. (4)Default tugas mereka adalah kasih
sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul
a’udzu bi Rabbinnas”). (koherensi argumentatif)
Paragraf 15
(2)Masalah tidak cukup diselesaikan
dengan kekuasaan. (3)Waktu terus bergulir dan
seribu kemungkinan terus berproses. (4)Apalagi
banyak “talbis” dan “syayathinil-insi”. (5)Tidak
semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan.
(koherensi parafratis)
Retoris Grafis Paragraf 1
(1)Pada hari muncul wacana dari
Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam
itu bersama KiaiKanjeng dan lebih 10 ribu massa
kami “maiyahan” di halaman Polres Malang
Raya. (2)Didokumentasi dengan baik oleh pihak
Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan
ilmu” tentang Khilafah.
Paragraf 2
(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia
yang dimandati Khilafah, epistemologinya,
koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika
sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada
kumpulan manusia, termasuk tidak adanya
regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di
antara substansi, filosofi, branding, jargon
politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –
yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
Paragraf 3
(1)Belum ada diskusi publik antara
berbagai kalangan, termasuk pada Kaum
328
Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin
bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,
Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng
Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25
Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi
“Izroil”. (2) Tapi memang ada Band Group
“Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,
Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. (3)
Meskipun saya tidak khawatir akan muncul
“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban
“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau
Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;
tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun
Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk
rokok “Hisab Akherat”.
Paragraf 4
(3) Ataukah ia bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru
sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin
dan payudara. (4)Sampai pada getolnya HTI
dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi
kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah,
Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan
Khilafah.
Paragraf 5
(1) HTI memerlukan satu dua era untuk
pengguliran diskusi publik tentang Khilafah,
yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu
selengkap-lengkapnya, dan menghindari
keterperosokan untuk menjadi jargon politik,
bendera ideologi atau wajah identitas yang
bersifat “padat”, yang membuat semua yang di
sekitarnya merasa terancam.
Paragraf 7
(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
semacam makanan yang sudah matang dan
sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di
atas meja Al-Maidah (hidangan).
Paragraf 8
(2)Allah menganjurkan “Masuklah ke
dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). ... (3)Dan
Allah bermurah hati tidak menyatakan
“Masuklah ke dalam Islam kaffah”.
329
Paragraf 11
(5)Kita pastikan tidak “merusak bumi dan
menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt),
saling melindungi harta, martabat dan nyawa
satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad
saw).
Paragraf 12
(4) Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa
di-empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi.
Paragraf 13
(2)Khusus kepada teman-teman Polri
saya mohon agar “jangan terlalu garang dan
melotot kepada rakyat”. (5) Kalau tidak sangat
terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas”
(Mulukiyah, kekuasaan), apalagi “Ilahinnas”
(kekuatan politik dan militeristik) di mana
aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan
kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan
Tongkat Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah
Penguasa. (6)Kapan-kapan Indonesia perlu
punya Pemimpin yang “Rububiyah”.
Paragraf 14
(4)Kalimat-kalimat kasih sayang saya
“blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup
di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman,
atau “bertanyalah kepada rumput yang
bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G.
Ade.
Paragraf 15
(4)Apalagi banyak “talbis” dan
“syayathinil-insi”.
Paragraf 16
(6)Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata
penduduk Gunung Merapi.
Metafora Paragraf 1
(2)Didokumentasi dengan baik oleh
pihak Polres saya menjelaskan “peta
pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah.
(3)Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak
yang terukur untuk tidak mencintai secara
membabi-buta atau membenci dengan mata
330
gelap dan amarah.
Paragraf 2
(4)Policy penciptaan Tuhan atas manusia
yang dimandati Khilafah, epistemologinya,
koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat
Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika
sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada
kumpulan manusia, termasuk tidak adanya
regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di
antara substansi, filosofi, branding, jargon
politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar –
yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
Paragraf 3
(1)Belum ada diskusi publik antara
berbagai kalangan, termasuk pada Kaum
Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin
bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”,
Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng
Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25
Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi
“Izroil”. (2)Tapi memang ada Band Group
“Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”,
Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion.
(3)Meskipun saya tidak khawatir akan muncul
“Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban
“Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau
Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”;
tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun
Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk
rokok “Hisab Akherat”.
Paragraf 4
(3) Ataukah ia bagian dari “aurat”,
sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru
sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin
dan payudara.
Paragraf 5
(4)Dan kalau yang Anda cekoki itu
Penguasa, maka batang leher Anda akan
dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
Paragraf 7
(2)Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi”
331
semacam makanan yang sudah matang dan
sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di
atas meja Al-Maidah (hidangan). ... (5)Benih
akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan
kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang
berbeda.
Paragraf 8
(1)Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi
pohon Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan,
Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau
Komunitas saja, “small is beautiful” saja.
(9)Kalau bangunan Peradaban di Bumi bukan
sistem besar Khilafah Islam, melainkan hanya
sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung
oleh Allah adalah usaha per-individu untuk
menjadi Khalifah-Nya.
Paragraf 10
(4)Karena Boss Nasional dan Global kita
adalah Tuhan.
Paragraf 12
(4)(K.P.)Bluluk, Cengkir, Degan dan
Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu yang
berevolusi. (5)Dunia sekarang bertengkar, saling
dengki dan membenci antara Peradaban Bluluk,
Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang
bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa.
Paragraf 13
(5)Kalau tidak sangat terpaksa jangan
sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah,
kekuasaan), apalagi “Ilahinnas” (kekuatan
politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat
yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa
dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu,
dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa.
Paragraf 14
(4)Kalimat-kalimat kasih sayang saya
“blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup
di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman,
atau “bertanyalah kepada rumput yang
bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G.
Ade.
332
Paragraf 15
12)Di ujung turnamen nanti Tongkat
Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa.
Paragraf 16
(5)Hamengku-Bumi, pemangku dunia,
bukan ekor globalisasi. (6)Barat di-ruwat, Arab
di-garap, kata penduduk Gunung Merapi.
Judul : The Scary Khilafah
Kode : TSK
No Aspek
Mikro
Keterangan
Semantik Latar Paragraf 1
(1)Kenapa dunia begitu ketakutan
kepada Khilafah? Yang salah visi Khilafahnya
ataukah yang menyampaikan Khilafah kepada
dunia? Sejak 2-3 abad yang lalu para
pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan
jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan
bersatu, agar dunia tidak dikuasai oleh
Khilafah.
Paragraf 2
(2)Maka pekerjaan utama sejarah
dunia adalah: dengan segala cara memecah
belah Kaum Muslimin. Kemudian, melalui
pendidikan, media dan uang, membuat Ummat
Islam tidak percaya kepada Khilafah,
AlQur`an dan Islam. Puncak sukses peradaban
dunia adalah kalau Kaum Muslimin, dengan
hati dan pikirannya, sudah memusuhi
Khilafah. Hari ini di mata dunia, bahkan di
pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri:
Khilafah lebih terkutuk dan mengerikan
dibanding Komunisme dan Terorisme. Bahkan
kepada setan dan iblis, manusia tidak setakut
kepada Khilafah.
Paragraf 5
(5)Saya juga tidak tega kepada teman-
teman yang anti-Khilafah. Tidak tega
333
mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan.
Sebab mereka menentang konsep paling
mendasar yang membuat-Nya menciptakan
manusia. Komponen penyaringnya dol: anti
HTI berarti anti Khilafah. Lantas
menyembunyikan pengetahuan bahwa anti
Khilafah adalah anti Tuhan. “Inni ja’ilun fil
ardli khalifah”. Sesungguhnya aku
mengangkat Khalifah di bumi. Ketika
menginformasikan kepada para staf-Nya
tentang makhluk yang Ia ciptakan sesudah
Malaikat, jagat raya, Jin dan Banujan, yang
kemudian Ia lantik – Tuhan tidak
menyebutnya dengan “Adam” atau “Manusia”,
“Insan”, “Nas” atau “makhluk hibrida baru”,
melainkan langsung menyebutnya Khalifah.
Bukan sekadar “Isim” tapi juga langsung
“Af’al”.
Paragraf 6
(6)Konsep Khilafah dengan pelaku
Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas
kehidupan manusia di alam semesta. Adalah
skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar Haluan
Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya
Allah swt. Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau
al’alamin yang harus dirahmatkan oleh
Khilafah manusia, adalah “tandure wis
sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah
“pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal
saleh, daya juang upayakan tidak mencekung
ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”. Selicin
apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah,
terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing”
yang bergigir lima.
Rincian Paragraf 5
(8)Ketika menginformasikan kepada
para staf-Nya tentang makhluk yang Ia
ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan
Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan
tidak menyebutnya dengan “Adam” atau
“Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk
hibrida baru”, melainkan langsung
menyebutnya Khalifah.
334
Paragraf 7
(1)Khilafah adalah desain Tuhan agar
manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah
ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau
“baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. ...
(3)Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah
mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah
kubur, celana congklang dan musik haram,
atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh
tidaknya tahlilan dan shalawatan.
Paragraf 9
... (2)Saya tidak bisa menyalahkan atau
membantah Allah, karena kebetulan bukan
saya yang menciptakan gunung, sungai, laut,
udara, tata surya, galaksi-galaksi. (3)Bahkan
saya tidak bisa menyuruh jantung saya
berdetak atau stop. (4)Saya tidak mampu
membangunkan diri saya sendiri dari tidur.
(5)Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel
tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini
jam sekian, menit kesekian, detik kesekian.
(6)Bahkan cinta di dalam kalbu saya nongol
dan menggelembung begitu saja, sampai
seluruh alam semesta dipeluknya — tanpa
saya pernah memprogramnya.
Pengandaian Paragraf 11
(3)Andaikan Khilafah terwujud, kalian
akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin.
(4)Andaikan ia belum terwujud, sampai hari
ini fakta di muka bumi belum dan bukan
Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin.
Paragraf 2
(3)Puncak sukses peradaban dunia
adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan
pikirannya, sudah memusuhi Khilafah.
Paragraf 7
(4)Mungkin butuh satu milenium untuk
mulai takut kepada “masuklah ke dalam
Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”.
Nominalisasi Paragraf 4
(7)Penjajahan melahirkan
kemerdekaan. ... (9)Penderitaan memberi
335
pelajaran tentang kebahagiaan.
Sintaksis Bentuk
Kalimat
Kalimat Aktif : 9
Paragraf 3
(2)(K.A.)Juga maaf-maaf saya menulis
lagi tentang Khilafah. (6)(K.A.)Sementara
saya yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
Paragraf 4
(1)(K.A.)Ummat manusia sudah
berabad-abad melakukan penelitian atas alam
dan kehidupan. (7)(K.A.)Penjajahan
melahirkan kemerdekaan. (8)(K.A.)Kejatuhan
menghasilkan kebangkitan.
(9)(K.A.)Penderitaan memberi pelajaran
tentang kebahagiaan.
Paragraf 5
(3)(K.A.)Sebab mereka menentang
konsep paling mendasar yang membuat-Nya
menciptakan manusia. (7)(K.A.)Sesungguhnya
aku mengangkat Khalifah di bumi.
Paragraf 6
(4)(K.A.)Para Wali membumikannya
dengan mendendangkan: di alam semesta atau
al’alamin yang harus dirahmatkan oleh
Khilafah manusia, adalah “tandure wis
sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”.
Kalimat Pasif : 3
Paragraf 7
(6)(K.P.)Apalagi dunia sekarang justru
diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:
masuklah ke dalam Silmi sejauh
kemampuanmu untuk mempersatukan dan
membersamakan.
Paragraf 8
(2)(K.P.)Kenduri yang dipertentangkan
adalah kenduri wèwèh ambengan antar
tetangga, bukan kenduri pasokan dana
nasional.
336
Paragraf 9
(1)(K.P.)Setiap manusia dilantik
menjadi Khalifah oleh Allah.
Kohesi
(Gramatikal)
Referensi (Pengacuan)
Pengacuan Anafora : 8
Paragraf 2
(3)Puncak sukses peradaban dunia
adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati dan
pikirannya(anaforapersona), sudah memusuhi
Khilafah.
Paragraf 3
(6)Sementara saya yang memetik laba
ilmu dan berkahnya(anafora).
Paragraf 4
(2)Maka mereka(anaforapersona)
takjub dan mengucapkan “Robbana ma
kholaqta hadza bathila”. (3)Wahai Maha
Pengasuh, seungguh tidak sia-sia
Engkau(anaforapersona) menciptakan semua
ini.
Paragraf 5
(2)Tidak tega mensimulasikan
nasibnya(anafora) di depan Tuhan. (3)Sebab
mereka(anaforapersona) menentang konsep
paling mendasar yang membuat-Nya
menciptakan manusia.
Paragraf 6
(4)Para Wali
membumikannya(anafora) dengan
mendendangkan: di alam semesta atau
al’alamin yang harus dirahmatkan oleh
Khilafah manusia, adalah “tandure wis
sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”.
Paragraf 9
(6)Bahkan cinta di dalam kalbu saya
nongol dan menggelembung begitu saja,
sampai seluruh alam semesta dipeluknya —
tanpa saya pernah memprogramnya(anafora)
Pengacuan Katafora : 2
337
Paragraf 6
(3)Khilafah adalah UUD-nya(katafora)
Allah swt.
Paragraf 11
(9)Apa yang kau(katafora) takutkan?
(10)Wahai dunia, jangan ganggu
kemenanganmu dengan rasa takut kepada
fatamorgana.
Pengacuan Persona : 7
Paragraf 3
(1)Perkenankan saya(persona) mundur
dua langkah dan mencekung ke spektrum
kecil. (2)Juga maaf-maaf
saya(persona)menulis lagi tentang Khilafah.
(4)Banyak hal yang membuat saya(persona)
panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah.
(5)Misalnya saya(persona) tidak tega kepada
teman-teman yang mengalami defisit masa
depan karena kalap dan menghardik dan
mengutuk-ngutuk tanpa kelengkapan
pengetahuan. (6)Sementara saya(persona)
yang memetik laba ilmu dan berkahnya.
Paragraf 4
(2)Maka mereka(anaforapersona)
takjub dan mengucapkan “Robbana ma
kholaqta hadza bathila”. (3)Wahai Maha
Pengasuh, seungguh tidak sia-sia
Engkau(anaforapersona) menciptakan semua
ini.
Paragraf 5
(1)Saya(persona) juga tidak tega
kepada teman-teman yang anti-Khilafah.
(3)Sebab mereka(anaforapersona) menentang
konsep paling mendasar yang membuat-Nya
menciptakan manusia.
Paragraf 7
(6)Apalagi dunia sekarang justru
diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”:
masuklah ke dalam Silmi sejauh
kemampuanmu(persona) untuk
338
mempersatukan dan membersamakan.
Paragraf 9
(2)Saya(persona) tidak bisa
menyalahkan atau membantah Allah, karena
kebetulan bukan saya(persona) yang
menciptakan gunung, sungai, laut, udara, tata
surya, galaksi-galaksi. (3)Bahkan
saya(persona) tidak bisa menyuruh jantung
saya berdetak atau stop. (4)Saya(persona)
tidak mampu membangunkan diri saya sendiri
dari tidur. (5)Saya(persona) tidak sanggup
memuaikan sel-sel tubuh saya, menjadwal
buang air besar hari ini jam sekian, menit
kesekian, detik kesekian. (6)Bahkan cinta di
dalam kalbu saya(persona) nongol dan
menggelembung begitu saja, sampai seluruh
alam semesta dipeluknya — tanpa
saya(persona) pernah memprogramnya.
Paragraf 10
(1)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah
Pengelola Bumi”, saya(persona) tidak punya
pilihan lain. (2)Saya(persona) hanya
karyawan-Nya. (3)Allah Big Boss
saya(persona). (4)Meskipun dia kasih aturan
dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man sya`a
falyakfur”, yang beriman berimanlah, yang
ingkar ingkarlah – saya(persona) tidak mau
kehilangan perhitungan. (5)Kalau
saya(persona) menolak regulasi Boss, saya
mau kerja di mana, mau kos di mana, mau
pakai kendaraan apa, mau bernapas dengan
udara milik siapa. (6)Apalagi kalau
saya(persona) tidur dengan istri, Tuhan yang
berkuasa membuatnya hamil. (7)Bukan
saya(persona). (8)Saya(persona) cuma
numpang enak sebentar.
Paragraf 11
(2)Jadi, wahai dunia, apa yang
kau(persona) takutkan dari Khilafah?
(3)Andaikan Khilafah terwujud,
kalian(persona) akan diayomi oleh rahmatan
lil’alamin.
339
Pengacuan Demonstratif : 7
Paragraf 2
(4)Hari ini(demonstratif) di mata
dunia, bahkan di pandangan banyak Kaum
Muslimin sendiri: Khilafah lebih terkutuk dan
mengerikan dibanding Komunisme dan
Terorisme.
Paragraf 3
(3)Ini(demonstratif) tahadduts
binni’mah, berbagi kenikmatan.
Paragraf 4
(3)Wahai Maha Pengasuh, seungguh
tidak sia-sia Engkau menciptakan semua
ini(demonstratif).
Paragraf 6
(7)Selicin apapun jalanan di zaman
ini(demonstratif), terus panjatlah, terus
memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang
bergigir lima.
Paragraf 8
(1)Hari-hari ini(demonstratif) jangan
terlalu tegang menghadapi Kaum Muslimin.
Paragraf 11
(4)Andaikan ia belum terwujud,
sampai hari ini(demonstratif) fakta di muka
bumi belum dan bukan Khilafah, melainkan
masih Kaum Muslimin. (5)Bahkan di pusatnya
sana(demonstratif) Islam tidak sama dengan
Arab.
Pengacuan Komparatif : -
Penyulihan (Subtitusi)
Pelesapan (Elipsis)
Perangkaian (Konjungsi)
(1) konjungsi koordinatif : 10
(a) konjungsi koordinatif: dan, atau, tetapi
340
Paragraf 1
(2)Yang salah visi Khilafahnya
(koordinatif)ataukah yang menyampaikan
Khilafah kepada dunia?
Paragraf 2
(3)Puncak sukses peradaban dunia
adalah kalau Kaum Muslimin, dengan hati
(koordinatif)dan pikirannya, sudah memusuhi
Khilafah. (4)Hari ini di mata dunia, bahkan di
pandangan banyak Kaum Muslimin sendiri:
Khilafah lebih terkutuk (koordinatif)dan
mengerikan dibanding Komunisme dan
Terorisme.
Paragraf 3
(1)Perkenankan saya mundur dua
langkah (koordinatif)dan mencekung ke
spektrum kecil.
Paragraf 4
(1)Ummat manusia sudah berabad-
abad melakukan penelitian atas alam dan
kehidupan. (2)Maka mereka takjub
(koordinatif)dan mengucapkan “Robbana ma
kholaqta hadza bathila”.
Paragraf 7
(3)Apalagi Ummat Islam sudah
terpecah belah mempertengkarkan hukum
kenduri dan ziarah kubur, celana congklang
dan musik haram, (koordinatif)atau Masjid
jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan
dan shalawatan.
Paragraf 8
(3)Toh juga dengan pemahaman ilmu
yang tanpa anatomi, banyak teman
mengidentikkan (koordinatif)dan
mempersempit urusan Khilafah dengan Hizbut
Tahrir. (5)Padahal HT maupun HTI bukan
penggagas Khilafah, bukan pemilik Khilafah
(koordinatif)bukan satu-satunya kelompok di
antara ummat manusia yang secara spesifik
ditugasi oleh Allah untuk menjadi Khalifah.
341
Paragraf 9
(2)Saya tidak bisa menyalahkan
(koordinatif)atau membantah Allah, karena
kebetulan bukan saya yang menciptakan
gunung, sungai, laut, udara, tata surya,
galaksi-galaksi.
Paragraf 11
(1)Hal-hal seperti itu belum cukup
mendalam (koordinatif)dan rasional menjadi
kesadaran individual maupun kolektif Kaum
Muslimin.
(2) konjungsi subordinatif : 11
(a) konjungsi adversatif: tetapi, namun;
(b) konjungsi kausal: sebab, karena;
(c) konjungsi konsesif: meskipun,
(d) konjungsi syarat: kalau,
(e) konjungsi komplementasi: bahwa,
Paragraf 1
(3)Sejak 2-3 abad yang lalu para
pemimpin dunia bersepakat untuk memastikan
jangan pernah Kaum Muslimin dibiarkan
bersatu, (subordinatif)agar dunia tidak
dikuasai oleh Khilafah.
Paragraf 2
(3)Puncak sukses peradaban dunia
adalah (subordinatif)kalau Kaum Muslimin,
dengan hati dan pikirannya, sudah memusuhi
Khilafah. (4)Hari ini di mata dunia,
(subordinatif)bahkan di pandangan banyak
Kaum Muslimin sendiri: Khilafah lebih
terkutuk dan mengerikan dibanding
Komunisme dan Terorisme.
Paragraf 3
(5)Misalnya saya tidak tega kepada
teman-teman yang mengalami defisit masa depan (subordinatif)karena kalap dan
menghardik dan mengutuk-ngutuk tanpa
kelengkapan pengetahuan.
342
Paragraf 5
(8)Ketika menginformasikan kepada
para staf-Nya tentang makhluk yang Ia
ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan
Banujan, (subordinatif)yang kemudian Ia
lantik – Tuhan tidak menyebutnya dengan
“Adam” atau “Manusia”, “Insan”, “Nas” atau
“makhluk hibrida baru”, melainkan langsung
menyebutnya Khalifah.
Paragraf 7
(1)Khilafah adalah desain Tuhan
(subordinatif)agar manusia mencapai
“keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”,
“rahmatan lil’alamin” atau “baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghofur”.
Paragraf 8
(4)HTI sendiri kurang hati-hati
mewacanakan Khilafah (subordinatif)sehingga
dunia dan Indonesia tahunya Khilafah adalah
HTI, bukan Muhammadiyah atau lainnya.
(5)Padahal HT maupun HTI bukan penggagas
Khilafah, bukan pemilik Khilafah bukan satu-
satunya kelompok di antara ummat manusia
(subordinatif)yang secara spesifik ditugasi
oleh Allah untuk menjadi Khalifah.
Paragraf 9
(2)Saya tidak bisa menyalahkan atau
membantah Allah, (subordinatif)karena
kebetulan bukan saya yang menciptakan
gunung, sungai, laut, udara, tata surya,
galaksi-galaksi.
Paragraf 10
(4)(subordinatif)Meskipun dia kasih
aturan dasar “fa man sya`a falyu`min, wa man
sya`a falyakfur”, yang beriman berimanlah,
yang ingkar ingkarlah – saya tidak mau
kehilangan perhitungan.
(4)(subordinatif)Kalau saya menolak regulasi
Boss, saya mau kerja di mana, mau kos di
mana, mau pakai kendaraan apa, mau bernapas
dengan udara milik siapa.
343
(3) konjungsi korelatif : 1
(a) konjungsi korelatif: entah, baik, maupun;
Paragraf 5
(9)Bukan sekadar “Isim” (korelatif)tapi
juga langsung “Af’al”.
(4) konjungsi antar kalimat : 7
Paragraf 2
(2)(antarkalimat)Kemudian, melalui
pendidikan, media dan uang, membuat Ummat
Islam tidak percaya kepada Khilafah,
AlQur`an dan Islam.
Paragraf 5
(3)(antarkalimat)Sebab mereka
menentang konsep paling mendasar yang
membuat-Nya menciptakan manusia.
(5)(antarkalimat)Lantas menyembunyikan
pengetahuan bahwa anti Khilafah adalah anti
Tuhan.
Paragraf 7
(3)(antarkalimat)Apalagi Ummat Islam
sudah terpecah belah mempertengkarkan
hukum kenduri dan ziarah kubur, celana
congklang dan musik haram, atau Masjid jadi
ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan
shalawatan. (6)(antarkalimat)Apalagi dunia
sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-
silmi kaffah”: masuklah ke dalam
Silmi sejauh kemampuanmu untuk
mempersatukan dan membersamakan.
Paragraf 10
(1)(antarkalimat)Jadi ketika Tuhan
bilang “Jadilah Pengelola Bumi”, saya tidak
punya pilihan lain.
Paragraf 11
(2)(antarkalimat)Jadi, wahai dunia, apa
yang kau takutkan dari Khilafah?
Kohesi
(Leksikal)
Repetisi (Pengulangan) :
Paragraf 4
(4)Bahkan teletong Sapi, menjadi
pupuk. (5)Sampah-sampah alam menjadi
rabuk. (6)Timbunan batu-batu menjadi
344
mutiara. (7)Penjajahan melahirkan
kemerdekaan. (8)Kejatuhan menghasilkan
kebangkitan. (9)Penderitaan memberi
pelajaran tentang kebahagiaan.
Paragraf 5
(1)Saya juga tidak tega kepada teman-
teman yang anti-Khilafah. (2)Tidak tega
mensimulasikan nasibnya di depan Tuhan. ...
(4)Komponen penyaringnya dol: anti HTI
berarti anti Khilafah. (5)Lantas
menyembunyikan pengetahuan bahwa anti
Khilafah adalah anti Tuhan.
Paragraf 6
(1)Konsep Khilafah dengan pelaku
Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas
kehidupan manusia di alam semesta.
(2)Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis
Besar Haluan Kehendak-Nya. (3)Khilafah
adalah UUD-nya Allah swt.
Paragraf 9
(2)Saya tidak bisa menyalahkan atau
membantah Allah, karena kebetulan bukan
saya yang menciptakan gunung, sungai, laut,
udara, tata surya, galaksi-galaksi. (3)Bahkan
saya tidak bisa menyuruh jantung saya
berdetak atau stop. (4)Saya tidak mampu
membangunkan diri saya sendiri dari tidur.
(5)Saya tidak sanggup memuaikan sel-sel
tubuh saya, menjadwal buang air besar hari ini
jam sekian, menit kesekian, detik kesekian.
Paragraf 10
(4)Kalau saya menolak regulasi Boss,
saya mau kerja di mana, mau kos di mana,
mau pakai kendaraan apa, mau bernapas
dengan udara milik siapa.
Paragraf 11
(3)Andaikan Khilafah terwujud, kalian
akan diayomi oleh rahmatan lil’alamin.
(4)Andaikan ia belum terwujud, sampai hari
ini fakta di muka bumi belum dan bukan
Khilafah, melainkan masih Kaum Muslimin.
345
(5)Bahkan di pusatnya sana Islam tidak
sama dengan Arab. (6)Arab tidak sama dengan
Saudi. (7)Saudi tidak sama dengan Quraisy.
(8)Quraisy tidak sama dengan Badwy.
Koherensi Paragraf 3
(4)Banyak hal yang membuat saya
panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah.
(5)Misalnya saya tidak tega kepada teman-
teman yang mengalami defisit masa depan
karena kalap dan menghardik dan mengutuk-
ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.
(6)Sementara saya yang memetik laba ilmu
dan berkahnya. (koherensi ibarat)
Paragraf 4
(2)Maka mereka takjub dan
mengucapkan “Robbana ma kholaqta hadza
bathila”. (3)Wahai Maha Pengasuh, seungguh
tidak sia-sia Engkau menciptakan semua ini.
(4)Bahkan teletong Sapi, menjadi pupuk.
(5)Sampah-sampah alam menjadi rabuk.
(6)Timbunan batu-batu menjadi mutiara.
(7)Penjajahan melahirkan kemerdekaan.
(8)Kejatuhan menghasilkan kebangkitan.
(9)Penderitaan memberi pelajaran tentang
kebahagiaan. (koherensi ibarat)
Paragraf 6
(1)Konsep Khilafah dengan pelaku
Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas
kehidupan manusia di alam semesta.
(2)Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis
Besar Haluan Kehendak-Nya. (3)Khilafah
adalah UUD-nya Allah swt. (4)Para Wali
membumikannya dengan mendendangkan: di
alam semesta atau al’alamin yang harus
dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah
“tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak
sengguh temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah
adalah “pènèkno blimbing kuwi”. (6)Etos
kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak
mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo
penekno”. (7)Selicin apapun jalanan di zaman
ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk
memetik “blimbing” yang bergigir lima.
346
(koherensi ibarat)
Paragraf 10
(1)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah
Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan
lain. (2)Saya hanya karyawan-Nya. (3)Allah
Big Boss saya. (koherensi argumentatif)
Retoris Grafis Paragraf 5
(8)Ketika menginformasikan kepada
para staf-Nya tentang makhluk yang Ia
ciptakan sesudah Malaikat, jagat raya, Jin dan
Banujan, yang kemudian Ia lantik – Tuhan
tidak menyebutnya dengan “Adam” atau
“Manusia”, “Insan”, “Nas” atau “makhluk
hibrida baru”, melainkan langsung
menyebutnya Khalifah.
Paragraf 6
(4)Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau
al’alamin yang harus dirahmatkan oleh
Khilafah manusia, adalah “tandure wis
sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah adalah
“pènèkno blimbing kuwi”. (6)Etos kerja, amal
saleh, daya juang upayakan tidak mencekung
ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.
(7)Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus
panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik
“blimbing” yang bergigir lima.
Paragraf 7
(1)Khilafah adalah desain Tuhan agar
manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah
ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau
“baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. ...
(4)Mungkin butuh satu milenium untuk mulai
takut kepada “masuklah ke dalam
Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”.
... (6)Apalagi dunia sekarang justru diayomi
oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke
dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk
mempersatukan dan membersamakan.
Metafora Paragraf 2
(1)Maka pekerjaan utama sejarah dunia
adalah: dengan segala cara memecah belah
347
Kaum Muslimin.
Paragraf 3
(4)Banyak hal yang membuat saya
panèn hikmah, pengetahuan, ilmu dan berkah.
(5)Misalnya saya tidak tega kepada teman-
teman yang mengalami defisit masa depan
karena kalap dan menghardik dan mengutuk-
ngutuk tanpa kelengkapan pengetahuan.
(6)Sementara saya yang memetik laba ilmu
dan berkahnya.
Paragraf 6
... (2)Adalah skrip-Nya, visi missi-
Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya.
(3)Khilafah adalah UUD-nya Allah swt.
(4)Para Wali membumikannya dengan
mendendangkan: di alam semesta atau
al’alamin yang harus dirahmatkan oleh
Khilafah manusia, adalah “tandure wis
sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh
temanten anyar”. (5)Tugas Khalifah adalah
“pènèkno blimbing kuwi”. (6)Etos kerja, amal
saleh, daya juang upayakan tidak mencekung
ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”.
(7)Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus
panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik
“blimbing” yang bergigir lima.
Paragraf 9
(1)Setiap manusia dilantik menjadi
Khalifah oleh Allah. ... (6)Bahkan cinta di
dalam kalbu saya nongol dan menggelembung
begitu saja, sampai seluruh alam semesta
dipeluknya — tanpa saya pernah
memprogramnya.
Paragraf 10
(1)Jadi ketika Tuhan bilang “Jadilah
Pengelola Bumi”, saya tidak punya pilihan
lain. (2)Saya hanya karyawan-Nya. (3)Allah
Big Boss saya.
348
RIWAYAT PENULIS
M. Ilhamul Qolbi lahir di Tegal, 28
November 1995 merupakan anak ketiga
dari tiga bersaudara. Ia putra dari Bapak
Nuridin dan Ibu Maskunah. Penulis
beralamat di Dk. Babakan Desa
Jatimulya RT 02 RW 06 Kec. Lebaksiu
Kab. Tegal.
Penulis mengawali pendidikan di
Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Babakan
pada tahun 2002 s.d. 2007, melanjutkan ke pendidikan menengah di MTs N
Model Babakan pada tahun 2007 s.d. 2010, dan pendidikan terakhir di MAN
Babakan Tegal pada tahun 2010 s.d. 2013. Pendidikan berlanjut pada perguruan
tinggi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penulis yang memiliki hobi mengoleksi buku serta bermain musik ini mengambil
judul skripsi untuk menndapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul
“Struktur Makro, Supra, dan Mikro pada Esai Khilafah Emha Ainun Najib di
Caknun.com”.
Top Related