resensi buku

16
RESENSI BUKU ISLAMIC STUDI PENDEKATAN DAN METODE Resensi Ini Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Metodelogi Studi Islam yang Diampu Oleh Dr. Zakiyuddin baidhaw. Oleh: Muhammad Choirurohman (215-13-010) JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHLUHUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA 1

Transcript of resensi buku

RESENSI BUKU

ISLAMIC STUDI PENDEKATAN DAN METODE

Resensi Ini Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Mata KuliahMetodelogi Studi Islam yang Diampu Oleh Dr. Zakiyuddin

baidhaw.

Oleh:

Muhammad Choirurohman (215-13-010)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHLUHUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

1

IAIN SALATIGA

2015

IDENTITAS BUKU

Peresensi : Muhammad Choirurohman

Judul Buku : ISLAMIC STUDEIS PENDEKATAN DAN METODE

Penulis : Zakiyuddin Baidhawy

Penerbit : Insan Madani

Ceakan : cetakan Pertama April, 2011

Tebal : 310 halaman

PENULIS

Zakiyuddin Baidhawy lahir diIndramayu, Jawa Barat. Kini tinggal

diSolo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam

(Perbandingan Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah

nyantri diPondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). StudiS-2 pada

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada

Universitas yang sama (2007). Staf Edukatif pada Sekolah Tinggi Agama

Islam Negeri(STAIN) Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan

Perubahan Sosial UMS, Associate pada Maarif Institute for Culture and

Humanity.

PENDAHULUAN

2

Buku ``Islamic studies pendekatan dan metode`` ini hadir sebagai

solusi kebimbangan masyarakat, serta member penjelasan kepada

masyarakat kontemporer akan ruang lingkup studi islam, didalamnya

berisi dari bab yang sederhana, tentan penjelasan/pengertian

metodelogi studi islam, sampai yang terperinci, tentang ruang lingkup

kajian, sejarah perkembangan kajian, model-model kajian dari yang

model kajian ilmu kalam, tasawof, hermeneotika, ushul fiq dan fiqih,

filsafat, dan pendidikan.

SINOPSIS

BAB 1

PENGERTIAN DAN METODOLOGI STUDI ISLAM

A. Pengertian Studi Islam

Istilah “Islamic Studies” atau Studi Islam kini telah dipergunakan

dalam jurnal-jurnal profesional, departemen akademik, dan lembaga-

lembaga perguruan tinggi yang mencakup bidang pengkajian dan

penelitian yang luas, yakni seluruh yang memiliki dimensi“Islam” dan

keterkaitan dengannya. Rujukan pada Islam, apakah dalam pengertian

kebudayaan, peradaban, atau tradisi keagamaan, telah semakin sering

dipakai dengan munculnya sejumlah besar literatur dalam berbagai

bahasa Eropa atau Barat pada umumnya yang berkenaan dengan paham Islam

politik, atau Islamisme. Literatur-literatur tersebut berbicara

tentang perbankan Islam, ekonomi Islam, tatanan politik Islam,

demokrasi Islam, hak-hak asasi manusia Islam, dan sebagainya. Sejumlah

buku-buku terlaris sejak 1980an berhubungan dengan

3

judul-judul “Islam” dan hal-hal yang berkaitan dengan kata sifat

“Islami”, yang menunjukkan betapa semua itu telah diistilahkan dengan

sebutan “Islamic Studies” didunia akademik.

BA B 2

RUANG LINGKUP OBJEK KAJIAN STUDI ISLAM

A. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya

Setiap kajian ilmiah menghendaki objek sebagai prasyarat utama.

Kejelasan objek memudahkan para pengkaji membuat batasan akan ruang

lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai kajian ilmiah pada intinya

adalah upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekadar

fungsi agama. Hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan.

Joachim Wach (1958) menjelaskan beberapa kriteria mengenai pengalaman

keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu respon

terhadap apa yang dialami sebagai Realitas Ultim (the Ultimate

Reality). Realitas Ultim disini artinya sesuatu yang “mengesankan dan

menantang kita”. Pengalaman ini melibatkan empat hal, yaitu asumsi

tentang adanya kesadaran, yakni pemahaman dan konsepsi; respon

dipandang sebagai bagian dari perjumpaan; pengalaman tentang Realitas

Ultim mengimplikasikan relasi dinamis antara yang mengalami dan yang

dialami; dan kita perlu memahami karakter situasional dari pengalaman

keagamaan itu sendiri dalam suatu konteks tertentu.

Kedua, pengalaman keagamaan itu harus dipahami sebagai suatu respon

menyeluruh terhadap Realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang

melibatkan jiwa, emosi dan kehendak sekaligus. Karenanya, pengalaman

keagamaan terdiri dari suatu hirarki tiga unsur, yaitu intelektual,

afeksi, dan kesukarelaan.

4

Ketiga, pengalaman keagamaan menghendaki intensitas, yaitu suatu

pengalaman yang sangat kuat, komprehensif, dan mendalam. Para tokoh

pembawa agama sepanjang masa dan dimanapun telah memberikan kesaksian

tentang intensitas ini baik dalam pikiran, ucapan maupun tindakan.

Dalam Islam misalnya, antusiasme yang bergairah terhadap Allah telah

membangkitkan spiritualitas NabiMuhammad, dan para tokoh lainnya

seperti Rabiah al-Adawiyah, al-Hallaj, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hanbal, al-

Afghani, dan sebagainya.

Keempat, pengalaman keagamaan sejati selalu berujung pada tindakan. Ia

melibatkan imperatif, sumber motivasi dan tindakan yang kuat. Praktik-

praktik dan tindakan-tindakan kita dalam keseharian merupakan bukti

nyata bahwa kita seorang yang beragama sejati.

Empat kriteria tersebut menggaris bawahi bahwa pengalaman agama sejati

merupakan pengalaman batin dari perjumpaan manusia dan pikiran manusia

dengan Tuhan. Karena pengalaman batiniah itu sifatnya personal dan

unik, maka pengalaman keagamaan itu sendiri sulit untuk dijadikan

sebagai objek langsung dari kajian ilmiah dalam Studi Islam.

BAB 3

SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI ISLAM

Studi Islam mulai muncul pada abad ke-9 diIrak, ketika ilmu-ilmu agama

Islam mulai memperoleh bentuknya dan berkembang didalam sekolah-

sekolah hingga terbentuknya tradisi literer dikawasan Arab masa

pertengahan. Studi Islam bukan hanya berjalan didalam peradaban Islam

itu sendiri bahkan juga menjadi fokus diskusi dinegara-negara Barat.

Bahkan, sebelum kemunculan Islam pada abad ke-7, orang-orang Arab

sudah dikenal oleh bangsa Israel dan Yunani Kuno serta para pendiri

5

gereja. Pandangan orang-orang Eropa tentang Islam sepanjang masa

pertengahan diambil dari konstruk Injili dan teologis. Mitologi,

teologi, dan missionarisme menyediakan formulasi utama tentang apa

yang diketahui gereja mengenai Muslim sekaligus alasan-asalan bagi

perkembangan wacana resmi tentang Islam. Secara mitologis, Muslim

dipandang sebagai orang Arab, Sarasen, yang merupakan keturunan

Ibrahim melalui Siti Hajar dan putranya Ismail.

Richard C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan

Studi Islam, antara lain sebagaiberikut:

Fase Pertama (800-1100), masa dimana banyak bermunculan polemik

teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Mitos dan legenda Yahudi-

Kristen menyebutkan kemunculan kaum monoteistik Arab non-Yahudi dan

Kristen pada abad ke-7. Polemik teologis sering terjadi dalam ruang

public atau dalam audiensi Khalifah atau pejabat resmi negara, yang

dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan Kristen sebagai

kelompok atau ahlu zimmi berpartisipasi dalam ritual-ritual sosial

diskursus dan perdebatan publik dengan kaum Muslim. Ini semua

membutuhkan banyak pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, dengan

tujuan hanya untuk menolak ajaran tersebut.

Orang-orang Yahudi dan Kristen Eropa berupaya untuk mengkonstruk

pemahaman mereka sendiri tentang Islam. Karena kurangnya pengalaman

kerjasama dan perjumpaan dikalangan mereka ketika hidup dibawah

kekuasaan Islam diTimur, Gereja Romawimemandang Islam sebagai“yang

lain”, asing, musuh Kristen yang harus dikonversi melalui kampanye

militer dan missionaris.

Selama empat abad kemudian hingga awal Perang Salib, orang-orang Eropa

hidup dalam kebodohan tentang agama dan penduduk yang hidup bersebelah

6

dengan mereka diSpanyol. Suku-suku Jerman, orang Slavia, Magyar, dan

gerakan-gerakan bidah seperti Manicheanisme, melihat Islam sebagai

salah satu musuh yang mengancam kerajaan Kristen. Sejak awal Perang

Salib hingga abad ke-11, nama Muhammad dikenal negatif dikalangan

Eropa. Tafsir-tafsir keagamaan Kristen mengidentikkan bangsa Sarasen

dengan bangsa Ismail, keturunan Ibrahim dariHajar.

BAB 4

MODEL PENDEKATAN KAJIAN TEKS-TEKS ISLAM: STUDI AL-QUR’AN

Studi Islam dalam pengertiannya yang sempit, sebagaimana telah

dijelaskan dalam bab I, adalah suatu disiplin intelektual dan

keagamaan tradisional. Mengikuti pengertian ini, maka kajian-kajian

atas teks-teks keislaman membentuk ruang lingkup inti dari Studi

Islam. Kajian-kajian berbasis pada teks-teks, sebagaimana dikenal

dalam tradisi bayani, menekankan prisma teks sebagai cara untuk

memahami hakikat Islam. Karena itu, kajian semacam ini menekankan

perhatian pada teks-teks suci keislaman utamanya Al-Qur’an dan hadis,

juga karya-karya intelektual klasik yang berhubungan erat dengan dua

sumber ajar-an tersebut.

Dalam sejarah perkembangan peradaban dan pemikiran Islam, dikenal

sejumlah cabang keilmuan tradisional Islam yang meliputi antara lain

ulum al-Qur’an dengan seluruh ramifikasi-nya, tafsir al-Qur’an, ulum

al-hadis lengkap dengan semua percabangannya, ilmu kalam, tasawuf,

fikih, dan usul fikih, dan lain-lain. Cabang-cabang keilmuan ini

merupakan jasa para pengkaji Muslim atas tradisi tekstual keagamaan

mereka dan telah melahirkan khazanah intelektual yang sangat kaya.

Karena objek kajian studi Islam tradisional ini adalah teks-teks

keagamaan dan karya-karya yang berkaitan dengannya, maka metode dan

7

pendekatan yang dipergunakan oleh komunitas ilmiah dikalangan mereka

pun meliputi metode dan pendekatan tekstual (bayani).

BAB 5.

MODEL KAJIAN TEKS-TEKS KEISLAMAN: STUDI HADIS

Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al- Qur’an. Karena

itu, perdebatan tentang hadis bukanlah suatu yang mengejutkan hingga

saat ini terus terjadi. Pada akhir abad ke-20, studi hadis mencatat

kemajuan yang berarti dan semakin banyak memperoleh perhatian dari

kalangan dunia Islam dan Barat. Ini disebabkan penemuan-penemuan

banyak sumber baru dan perkembangan dalam bidang metodologi. Banyak

manuskrip hadis pada masa-masa awal diterbitkan dan memperoleh bahasan

dari para sarjana. Beberapa sumber hadis yang baru mencakup kitab

Musannaf (11 volumes, Beirut 1391/1972) karya `Abdur-Razzaq ibn Hammam

As-San`ani (w. 211/827), Al-Kitab al-Musannaf fi al-Ahadith wa al-

Athar (15 volumes, Hyderabad 1386/1983) karya Ibn AbiShaybah (w.

235/849), dan Tarikh al-Madinah al-Munawwarah (4 volumes., Jeddah,

tth.) karya `Umar ibn Shabba.

Tiga sumber ini dan banyak lainnya dipandang sebagai temuan penting

dalam bidang wacana hadis. Diantara metodologi baru yang berkembang

dalam studihadis adalah dua pendekatan yang dapat dibedakan: Pertama,

analisis isnad terhadap hadis-hadis ahad, demikian Harald

Motzki(1992) menyebutnya, yang terbukti menjadi alat penelitian yang

sangat kuat. Metodologi ini secara luas telah diterapkan oleh sarjana

Belanda GHA. Juynboll (1989). Kedua, pendekatan yang fokus pada

analisis teks (matn) hadis yang dikembangkan melalui penyelidikan

varian teks-teks hadis, dan kombinasi pendekatan analisis teks dan

8

analisis isnad. Beberapa diantara yang menggunakan pendekatan ini

ialah Gregor Schoeler dan Motzki(1992).

Wael B. Hallad dariMcGill University menyatakan bahwa sejak Joseph

Schacht menerbitkan karya monumentalnya pada 1950, wacana ilmiah

tentang masalah ini(persoalan otentisitas hadis) telah tersebar luas.

Tiga kelompok sarjana dapat diidentifikasi disini antara lain: mereka

yang berusaha untuk menguatkan analisis Schacht dan melampaui

analisisnya; mereka yang berupaya menolak analisis Schacht; dan mereka

yang berupaya mencari jalan tengah, membuat sintesis antara dua

pendapat diatas. Dalam kelompok pertama antara lain John Wansbrough

dan Michael Cook; kelompok kedua antara lain Nabia Abbott, F. Sezgin,

M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann Fück; dan kelompok ketiga yang

mengambil jalan tengah antara lain Motzki, D. Santillana, G.H.

Juynboll, Fazlur Rahman dan James Robson (Hallaq, 1999).

BAB 6

MODEL KAJIAN ILMU KALAM

Istilah kalam biasanya diterjemahkan sebagai“kata” atau “firman”,

namun kata ini menjadi lebih layak maknanya jika diterjemahkan

“diskusi” atau “argumen” atau “perdebatan”. Mereka yang terlibat dalam

diskusi atau perdebatan disebut sebagai mutakallimun (orang-orang yang

mempraktikan kalam atau perdebatan). Istilah ini memiliki kedudukan

khusus ketika para muhadisun melarang perdebatan semacam ini, karena

kaum Muslim masa awal tidak pernah mengenal dan tak pernah

terlibat dalam perdebatan tersebut. Mereka yang berpartisipasi dalam

perdebatan semacam itu dikatakan berbicara tentang atau

mendiskusikan topik-topik yang terlarang. Para penganjur kalam juga

suka menyebutnya sebagai`ilm al-usul atau `ilm at-tawhid, dan dengan

9

sebutan tersebut banyak topik terus diajarkan dan didiskusikan

dilembaga-lembaga pendidikan Islam hingga saat ini. Kemunculan ilmu

kalam adalah akibat dari banyak kontroversi yang telah memecah

belah komunitas Muslim pada masa-masa awal. Meskipun kemunculan Islam

ditandai dengan polemik dengan kaum musyrik dan pengikut wahyu-wahyu

terdahulu, kontroversi tentang persoalan-persoalan keagamaan

fundamental tidak disukaioleh kaum Muslim awal, khususnya selama masa

hidup Nabi. Namun, perselisihan, utamanya dalam masalah politik, pecah

segera setelah wafatnya Nabi, dan diikuti dengan tragedy yang membawa

pada pembunuhan khalifah Usman pada tahun 656, masa dimana perpecahan

dalam sistem politik terjadisetelah kematian Nabi.

BAB 7

A. Mistisisme: Fenomena Universal

Tasawuf atau dikenal sebagai mistisisme Islam adalah fenomena

universal yang menggambarkan upaya manusia untuk meraih kebenaran.

Tasawuf juga dikenal sebagai pengetahuan intuitif tentang Tuhan atau

Realitas Ultim yang diraih melalui pengalaman keagamaan personal.

Yakni kesadaran akan realitas transenden atau Tuhan melalui

meditasiatau kontemplasi batin. Atau disebut juga sebagai sesuatu yang

memiliki makna tersembunyi atau makna simbolik yang mengilhami

pencarian atas sesuatu yang misteri dan dahsyat. Sedangkan sufi ialah

orang yang berusaha mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui kontemplasi

spiritual. Dalam buku Sufism: An Account of the Mystics of Islam, A.

J. Arberry (1950: 11) menyatakan bahwa kaum orientalis dan sejarawan

agama melihat tasawuf dengan cara seragam. Tasawuf dipandang sebagai

fenomena dunia yang permanen dan tunggal. Arberry menegaskan bahwa

pengamatan atas fenomena tasawuf atau mistisisme sebagai tunggal dan

10

serupa, apa pun agama yang dianut oleh seorang sufi mistikus, adalah

suatu pemahaman yang banal. Para sarjana kontemporer berjuang untuk

memahami keragaman dan dinamika yang ada dalam fenomena mistik

sebagaimana termini festasi dalam berbagai tradisi. Mereka berupaya

menelusuri berbagai makna dan ragam kesimpulan tentang tasawuf yang

diambil dari berbagai konteks. Clifford Geertz (1971: 23-24)

menyatakan bahwa penggunaan konsep-konsep tentang tasawuf mistisisme

harus berdasarkan pada studi mengenai keragaman “sebagaimana yang kita

jumpai”, bukan memformulasi generalisasi yang seragam dan definisi

yang berlaku untuk semua. Dengan cara demikian, konsep-konsep sepert

imistisisme dan mistikus, tasawuf dan sufimen jadi sangat kaya dan

berakar. Kita perlu menganalisis hakikat keragaman sebagaimana adanya,

kemudian menelusuri berbagai makna dan konsep-konsep itu. Karena itu

kajian semacam ini setidaknya akan mempelajari fakta-fakta yang ada

dalam keragaman itu. Sementara sarjana lain seperti Rhys Davids yang

ahli dalam kajian Budha, kebingungan dengan kompleksitas dan keragaman

dalam konsep-konsep mistikus atau mistisisme sehingga ia berkesimpulan

bahwa menggunakan istilah-istilah tersebut lebih banyak membingungkan

daripada membantu (Awn, 1983).

BAB 8

MODEL KAJIAN USUL FIKIH DAN FIKIH

A. Definisi dan Ruang Lingkup

Usul fikih dan fikih mempunyai hubungan yang sangat erat. Yang pertama

merupakan akar dari hukum Islam yang membahas indikasi-indikasi dan

metode-metode dimana aturan-aturan fikih dideduksi dari sumber-

sumbernya. Indikasi-indikasi ini dijumpai utamanya dalam Al-Qur’an dan

Sunnah yang merupakan sumber utama syariah. Aturan-aturan fikih

11

berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah yang sejalan dengan sejumlah prinsip

dan metode yang secara kolektif dikenal dengan sebutan usul fikih.

Sebagian sarjana menjelaskan usul fikih sebagai metodologi hukum,

suatu penjelasan yang akurat namun tidak lengkap. Meskipun metode-

metode penafsiran dan deduksi merupakan perhatian utama bagi usul

fikih namun ia bukan semata diperuntukkan pada metodologi. Katakanlah

bahwa usul fikih merupakan ilmu mengenai sumber-sumber dan metodologi

hukum yang akurat dalam arti bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan

sumber sekaligus materi bahasan dimana metodologi usul fikih

diterapkan. Al-Qur’an dan Sunnah sendiri mengandung sangat sedikit

metodologi, namun lebih menyediakan inidikasi-indikasi dimana aturan-

aturan syariah dapat dideduksi. Metodologi usul fikih sesungguhnya

merujuk kepada metode-metode penalaran seperti analogi qiyas,

istihsan, istishab, dan aturan-aturan penafsiran dan deduksi. Semua

ini didesain untuk berperan sebagai alat bantu menuju pemahaman yang

benar tentang sumber-sumber dan ijtihad.

BAB 9

MODEL KAJIAN HERMENEUTIKA: Studi Hermeneutika Pembebasan Farid Esack

Sebagai firman Allah swt., Al-Qur’an sesungguhnya merupakan bentuk

nyata campur tangan Tuhan dalam sejarah manusia. Namun, ia tidak

bermakna tanpa campur tangan pikiran dan kesadaran manusia itu

sendiri. Oleh karena itu, cara manusia mendekati Al-Qur’an sangat

berperan dalam menafsir¬kannya dan menghasilkan makna. Sudah banyak

kita jumpai warisan tradisional tafsir Al-Qur’an yang berlimpah dalam

Islam, sebagaimana telah disebut pada bab terdahulu. Sebagai akibat

perkembangan baru kajian Islam didunia dan pengaruh perkembangan ilmu-

ilmu sosial dan humaniora yang semakin canggih pada umumnya, kajian

12

Al-Qur’an semakin membuka diriterhadap pertumbuhan metodologidan

pendekatan kontemporer. Hermeneutika kontemporer, terutama productive

hermeneutics ala Gadamer atau al-Qira’ah al-muntijah menurut Nasr

Hamid Abu Zayd (1994:144), membuka pengakuan terhadap cara baru

pembacaan Al-Qur’an yang menerima fakta adanya prasangka-prasangka

yang sah (Gadamer, 1992: 261). Metode initernyata mengilhami sejumlah

sarjana Muslim untuk melakukan interpretasi terhadap fenomena Al-

Qur’an, dapat disebutkan misalnya Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun,

Hassan Hanafidan Farid Esack.

BAB 1 0

MODEL KAJIAN FILSAFAT: Studi Hibrida Filsafat Fondasionalisme dan

Hermeneutika

Pergumulan otoritarianisme, otoritatif dan otoritas didunia Islam,

sebagaimana telah dipaparkan oleh Khaled Abou al- Fadl dalam karyanya

Speaking in the God’s Name, merupakan fakta sejarah yang tak

terelakkan dan mungkin akan terus berjalan. Munculnya fatwa mutakhir

dari MUI mengenai Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan dan

pengharaman atas paham-paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme,

adalah contoh betapa sebuah lembaga keagamaan “otoritatif” telah

menjerumuskan diridalam kubangan “otoritarianisme religius”. Disebut

otoritarianisme karena MUI secara terbuka telah memasuki wilayah hak

prerogatif Tuhan dan mencurinya atas nama kepentingan agama. Belum

dibuka kesempatan dialog secara terbuka dengan berbagai elemen atau

kelompok masyarakat Muslim yang menjadi sasaran fatwa tersebut. Fatwa

MUI dan tertutupnya pintu dialog dikalangan internal Muslim,

memperlihatkan ada upaya-upaya sistematis hegemoni tafsir tertentu

tentang apa, siapa, dan bagaimana Islam. Perlu disadari bahwa tafsir 1

13

bukanlah agama, ia produk akal pikiran sesuai dengan ruang dan waktu

dan tingkat pemahaman intelektual manusia. Meskipun sumbernya adalah

kitab suci dan sunnah, tafsir dapat salah, ia dapat berubah sesuai

dengan semangat zamannya (zeitgeist). Oleh karena itu, tafsir menjadi

asing jika horizon perbendaharaan kata dan rumusannya tak

berdialektika dan bercermin pada perubahan pengalaman kognitif,

kultural dan spiritual. Sebab temuan-temuan ilmiah yang bersifat

empirik, sosial, maupun humaniora berpengaruh besar membentuk

pengalaman keberagamaan manusia, karena keberagamaan bukan wilayah

yang terpisah dari struktur dasar kehidupan. Jika semua itu diabaikan,

pemikiran keagamaan hanya bersifat reaktif, bukan diskursif dan makin

jauh dari kenyataan empirik (Dewey, 1960: 161-186).

BAB 1 1

MODEL KAJIAN PENDIDIKAN: Pendekatan Multikultural terhadap Pendidikan

Agama

Kekayaan akan keane karagaman Nusantara agama, etnik, dan budaya

ibarat pisau bermata dua. Disatu sisi, kekayaan ini merupakan khazanah

yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa.

Disisi lain, ia dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan,

konflik vertikal dan horizontal. Krisis multi dimensi yang berawal

sejak pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian

nasional, sulit dijelaskan secara mono-kausal. Faktor-faktor yang

terlibat terlalu kompleks dan saling terkait: ada faktor kepentingan

internasional dan kepentingan nasional, sejarah kolonial, sumber daya

alam yang tersedia, keragaman etnik, iklim, agama-agama, tradisi, dan

globalisasi. Cukup banyak konflik komunal terjadi sepanjang krisis,

dan diperparah konflik elite politik yang membuang-buang waktu dan

14

mengarahkan Negara pada perang sipil (Bamualim dkk, ed., 2002).

Sebuah permulaan yang sangat buruk bagi bangsa Indonesia dalam

menyambut abad 21. Krisis moneter dan politik yang berlarut-larut

bergerak dalam suatu proses interrelasi yang sangat kompleks telah

menghasilkan kekacauan yang sulit diprediksi. Berbagai ragam kekerasan

bersilang sengkarut dengan proses demokratisasi yang mandul dan

kebebasan tanpa kesadaran dan penerapan hukum yang berwibawa.

Sementara itu, economic recovery berjalan lambat karena teorientasi

ekonomi pasca era konglomerat masih terbuka untuk dipersoalkan; karena

aparat negara yang berkuasa gagal ketika monopolike kuasaan

terdesentralisir melalui kebijakan otonomisasi daerah yang berjalan

tanpa skenario yang jelas. Tiga rangkaian Undang-undang otonomi daerah

dan penanggulangan korupsi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, serta UU No.28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN masih mengandung

banyak celah untuk korupsi. Semua bentuk korupsi diatas disebabkan

oleh penyalah gunaan kekuasaan untuk meraih keuntungan pribadiyang

berhubungan dengan merembesnya insentif, minimnya informasi dan

transparansi kepada publik, dan kurangnya akuntabilitas publik.

KELEBIHAN

1. Di buat oleh orang hebat, berpendidikan dan berpengalaman luas.

2. Penjelasan tentang bab-babnya sangat rinci dan jelas.

3. Jika tidak mau membeli bukunya , tapi ingin membaca

karyanya(pengertian dan metodelogi studi islam) dapat di download

di iainsalatiga.academia.edu/zakiyuddinbaidhawy

4. Bab-babnya sangat lengkap sesuia pembahasan.

15

5. Penjelasanya di sertai dengan contoh-contoh yang kontemporer, dan

ada pembuktian dari karya-karya lain yang di cantunkan.

KEKURANGAN

Terdapat kata-kata yang sulit di fahami, kurangnya penjelasan

terhadap kata-kata ilmiah/ pendidikan,

16