RAPOR MERAH APIP MELALUI PENILAIAN IACM - Group Paper, DIV PKN STAN

27
“Rapor Merah” Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Melalui Penilaian Internal Audit Capability Model Politeknik Keuangan Negara STAN Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Pengendalian Manajemen Kelompok Ekalavya 8A STAR BPKP Galuna Hari Wangi (12) Ishaq (14) Rizky Bagoes Alam (28) Sang Putu Dian D. (30)

Transcript of RAPOR MERAH APIP MELALUI PENILAIAN IACM - Group Paper, DIV PKN STAN

“Rapor Merah” Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Melalui Penilaian Internal Audit

Capability Model

Po

lite

kn

ik K

eu

an

ga

n N

eg

ara

ST

AN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sistem Pengendalian Manajemen

2015

Kelompok Ekalavya 8A STAR BPKP

Galuna Hari Wangi (12)

Ishaq (14)

Rizky Bagoes Alam (28)

Sang Putu Dian D. (30)

1

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Galuna Hari Wangi Nama : Ishaq

NPM : 144060006295 NPM : 144060006297

Kelas : 8 A STAR Kelas : 8 A STAR

No. Urut Absen : 12 No. Urut Absen : 14

Nama : Rizky Bagoes Alam Nama : Sang Putu Dian Dwipayana

NPM : 144060006311 NPM : 144060006313

Kelas : 8 A STAR Kelas : 8 A STAR

No. Urut Absen : 28 No. Urut Absen : 30

dengan ini menyatakan bahwa makalah/paper Mata Kuliah Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) dengan

judul:

“Rapor Merah Penilaian Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Melalui Internal Audit Capability Model”

adalah merupakan hasil karya saya sendiri yang belum pernah dipublikasikan baik secara keseluruhan maupun

sebagian. Makalah/paper ini sepenuhnya merupakan karya intelektual saya dan seluruh sumber yang menjadi

rujukan dalam karya ini telah kami sebutkan sesuai kaidah akademik yang berlaku umum.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa karya ini contekan/jiplakan (sebagian atau seluruhnya),

maka kami siap dikenai sanksi “Tidak Lulus”.

Tangerang Selatan, Agustus 2015

Anggota 1

Galuna Hari WangiNPM 144060006295

Anggota 2

IshaqNPM 144060006297

Anggota 3

Rizky Bagoes AlamNPM 144060006311

Anggota 4

Sang Putu Dian DwipayanaNPM 144060006313

2

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Kegiatan manajemen terdiri dari empat tahapan utama yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling). Proses manajemen yang dimulai dari

perencanaan tidak akan berhenti setelah melakukan pengawasan melainkan hasil pengawasan akan menjadi

bahan masukan (feed back) bagi proses perencanaan selanjutnya. Konsep ini juga diterapkan dalam

penyelenggaraan kegiatan negara atau pemerintahan sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri

dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Bermacam peristiwa yang terjadi selama tujuh puluh tahun ini sempat memberikan gambaran bahwa

kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada pemerintah telah disalahgunakan. Untuk itu, puncaknya pada

tahun reformasi yaitu tahun 1998 dilakukan perbaikan dari semua sektor di pemerintahan terutama

pengelolaan keuangan negara. seiring berjalannya pengelolaan keuangan negara masih terdapat kelemahan

yang muncul sehingga dibutuhkan pengawasan yang pada waktu itu bentuknya beragam seperti pengawasan

fungsional, pengawasan melekat dan pengawasan keuangan. Pengawasan melekat menurut Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan

yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya

secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkembangannya, pengawasan melekat

ini berkembang menjadi sistem pengawasan intern.

Implementasi dari waskat atau sistem pengawasan intern tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dari berbagai kasus korupsi yang terjadi dengan melibatkan pejabat dan/atau pegawai pada instansi

pemerintah, menunjukkan bahwa memang masih dibutuhkan kerja keras untuk dapat mencegah terjadinya

korupsi. SPI dalam hal ini APIP telah disusun pada setiap satuan kerja atau instansi dimana APIP bertanggung

jawab secara langsung kepada pimpinan instansi. Auditor intern yang merupakan bagian dari APIP memiliki

peran dalam assurance dan consulting dalam pencapaian tujuan organisasi. Salah satu penilaian dari hasil

kapabilitas APIP dari suatu organisasi diwujudkan dalam suatu model penilaian kapabilitas pengawasan intern

atau IA-CM.

Dalam IIA Research Fondation dikemukakan bahwa Internal Audit Capability Model (IA-CM) is a framework

that identifies the fundamentals needed for effective internal auditing in the public sector. Dengan kata lain IA-

CM atau Model Kapabilitas Pengawasan Intern dapat didefinisikan sebagai suatu kerangka kerja yang

mengidentifikasi aspek-aspek fundamental yang dibutuhkan untuk pengawasan intern yang efektif di sektor

publik. IA-CM memiliki tiga peranan yaitu sebagai sarana komunikasi, sarana sebagai kerangka penilaian, dan

sarana untuk meningkatkan ketertiban/kepatuhan. Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi kapabilitas

pengawasan internal yaitu kegiatan pengawasan intern, organisasi, dan lingkungan.

3

IA-CM merupakan alat bagi organisasi sektor publik (Kementerian/Lembaga/Pemda) yang dapat

digunakan untuk:

a. Menentukan pemenuhan kegiatan pengawasan intern sesuai dengan sifat, kompleksitas, dan risiko

dari kegiatan operasional.

b. Menilai kapabilitas pengawasan intern yang dimiliki terhadap kapabiltas yang seharusnya dipenuhi.

c. Mengidentifikasi kesenjangan yang signifikan antara kebutuhan dan kapabilitas pengawasan intern

yang dimiliki serta mengupayakan pengembangan hingga pada tingkat kapabilitas yang tepat.

Hasil penilaian IA-CM Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan memberikan hasil yang memuaskan

karena menempati level 3 dari 5 level yang ada pada level internasional yang dapat disejajarkan dengan audit

intern pemerintah di eropa. Untuk itu, Itjen Kementerian Keuangan menjadi yang terbaik di Asia Tenggara

dengan mendapatkan ISO:9001 sebagai indikasi bahwa sisi manajemen di Itjen Kemenkeu telah tertata rapih.

Berbeda dengan prestasi Itjen Kemenkeu, hasil pemetaan kapabilitas APIP 2010-2011 terhadap 331 APIP

pusat dan daerah secara nasional menunjukkan hasil bahwa APIP sebanyak 93,96% masih berada di level 1

(initial), 5,74% sembilan K/L berada di level 2 (infrastructure), dan dua K/L pada level 3 (integrated) yaitu BPKP

dengan Kemenkeu. Kondisi ini menunjukkan bahwa auditor pada kementerian atau lembaga berada di level 1

atau tingkat pemula secara kapabilitasnya tidak bisa mendeteksi korupsi. Untuk itu, peran auditor intern yang

sangat penting untuk meningkatkan ketaatan demi terciptanya good governance harus ditingkatkan baik lever

personal maupun organisasi. Selain itu, jumlah auditor internal yang tersedia saat ini sekitar delapan ribu

auditor masih belum mumpuni dari jumlah auditor ideal sebanyak empat puluh enam ribu untuk mampu

mencapai good governance di tanah air.

Dalam konferensi AAIPI pada tanggal 12 Juni 2014, Menteri Keuangan menyampaikan bahwa “Beberapa

hal yang harus diantisipasi dan direspon oleh APIP antara lain perubahan lingkungan internal, perubahan

proses bisnis, perubahan peraturan dan lingkungan hukum, serta perubahan kebutuhan dan harapan

pemangku kepentingan”. Disebutkan juga dalam forum bahwa telah terjadi peningkatan kualitas pengelolaan

keuangan negara melalui peningkatan kualitas laporan keuangan kementerian dan lembaga, yang juga

merupakan kontribusi dari APIP. Mengingat semakin besarnya anggaran dan kompleksitas pengelolaan

keuangan negara, APIP diharapkan untuk mengevaluasi dan meningkatkan proses manajemen risiko,

pengendalian, dan tata kelola, dengan melakukan antisipasi dan merespon terhadap perubahan pada

lingkungan internal, perubahan proses bisnis, perubahan peraturan dan lingkungan hukum, serta perubahan

kebutuhan dan harapan pemangku kepentingan. Dengan peranan APIP sebagai assurance and consulting,

diharapkan mampu memperbaiki desain pengendalian dan memberikan rekomendasi yang tepat kepada

instansi pemerintah sehingga bisa menurunkan audit expectation gap dan mengarahkan hasil penilaian

kapabilitas pengawasan internal menjadi berada pada level 3 sebagaimana diamanatkan oleh presiden.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, kami mengangkat topik penelitian terkait sistem

pengendalian manajemen dengan pertanyaan penelitian “Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya audit

expectation gap sehingga hasil pengawasan yang mencerminkan kinerja APIP masih merah dalam artian belum

bisa mencapai level 3?”

4

2. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah

a. Memberikan gambaran pentingnya peranan dan fungsi APIP dalam suatu organisasi yang ditunjukkan

dari hasil penilaian IA-CM.

b. Memberikan gambaran mengenai penyebab lemahnya hasil penilaian terhadap kapabilitas APIP.

c. Memberikan ulasan atas bentuk pengendalian yang dilakukan APIP untuk dapat meningkatkan

kinerjanya sebagai auditor intern pemerintah.

3. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan paper ini adalah terdiri dari:

a. BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum atas penilaian kapabilitas auditor intern pemerintah

(APIP) yang menjadi latar belakang pemilihan topik serta tujuan penulisan.

b. BAB II FAKTA DAN DATA

Bab ini menguraikan landasan teori terkait dengan Model Kapabilitas Pengawasan Intern serta data

dan fakta mengenai kondisi APIP melalui penilaian IA-CM

c. BAB III PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan pembahasan komprehensif atas kondisi atau fenomena yang terjadi dengan

menggunakan teori yang telah dikumpulkan pada Bab II.

d. BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini meyajikan hasil simpulan dan saran yang disusun berdasarkan hasil pembahasan pada Bab III.

5

BAB II FAKTA DAN DATA

1. Pengawasan Intern

Definisi menurut PP 60 Tahun 2008 tentang SPIP menyebutkan bahwa Pengawasan Intern adalah seluruh

proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap

penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa

kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk

kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

Wujud dari peran aparat pemerintah yang baik berdasarkan apa yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP 60

Tahun 2008 antara lain:

a. memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas

pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah;

b. memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam

penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan

c. memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi

Pemerintah.

2. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah

Dalam rangka penguatan efektivitas penyelenggaraan SPIP, para pimpinan K/L/D/I dibantu oleh sebuah

unit yang dinamakan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Pasal 49 PP 60 Tahun 2008

menyebutkan bahwa APIP yang dimaksud terdiri dari:

a. BPKP;

b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern;

c. Inspektorat Provinsi; dan

d. Inspektorat Kabupaten/Kota.

3. Tugas dan Fungsi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah

Peran APIP pada masing-masing jenis APIP dijabarkan lebih lanjut pada pasal 49 PP 60 Tahun 2008 antara

lain sebagai berikut:

a. BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu

yang meliputi:

kegiatan yang bersifat lintas sektoral;

kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku

Bendahara Umum Negara; dan

kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.

b. Inspektorat Jenderal melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka

penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan APBN

6

c. Inspektorat Jenderal Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan satuan kerja

perangkat daerah provinsi yang didanai dengan APBD provinsi.

Inspektorat Jenderal Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan satuan kerja

perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan APBD kabupaten/ kota

4. Penilaian Kapabilitas Aparat Pengawasan Internal Pemerintah

Salah satu cara yang digunakan dalam mengukur seberapa efektifnya peran APIP di dalam tata kelola

pemerintahan adalah dengan menggunakan sebuah model penilaian kapabilitas yang diberi nama IACM

(Internal Audit Capability Model). IACM pada dasarnya merupakan suatu framework yang mengidentifikasi

dan menilai aspek-aspek fundamental yang dibutuhkan dalam rangkan pengawasan intern yang efektif di

sektor publik. IACM itu sendiri dibuat dan dikembangkan pertama kali oleh salah satu kompartemen dalam

Institute of Internal Auditor, yakni The Institute of Internal Auditor Research Foundation (IIARF) pada tahun

2009. Di Indonesia, pengenalan model penilaian APIP melalui IACM mulai ada pada tahun 2010. BPKP, yang

dalam PP 60 Tahun 2008 berperan sebagai pembina APIP ditunjuk sebagai assessor terkait penilaian APIP

dengan IACM ini.

BPKP sendiri telah menerbitkan sebuah pedoman teknis tentang peningkatan kapabilitas APIP melalui

Peraturan Kepala BPKP Nomor PER-1633/K/JF/2011. Di bawah ini akan dijelaskan apa saja hal-hal yang di

bahas di dalam Perka tersebut sekaligus menjelaskan bagaimana kondisi pemetaan leveling APIP yang ada di

pemerintahan Indonesia.

5. Kondisi Level Internal Audit Capability Model Aparat Pengawasan Internal Pemerintah

Kondisi APIP di Indonesia berhubungan dengan gambaran indikator pelaksanaan sektor pemerintahan di

Indonesia. Beberapa data yang disajikan dalam Perka tersebut menunjukkan masih buruknya penegakan

aspek-aspek good governance, yaitu:

a. Data Tranparency International pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi

Indonesia (IPK) masing rendah (2,8 dari 10).

b. Survei integritas oleh KPK pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik

Indonesia baru mencapai 6,64 untuk instansi pusat dan 6,69 untuk instansi daerah dari skala 1 –

10.

c. Opini BPK atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju opini

Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

d. Bank Dunia menilai government effectiveness Indonesia memperoleh skor - 0,43 (2004), -0,37

(2006), -0,29 (2008) dari skala -2,5 sampai dengan 2,5.

e. Hasil evaluasi atas laporan kinerja pada tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah instansi

pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%.

Kondisi tersebut menurut hasil analisis dan penilaian oleh BPKP dianggap menunjukkan peran APIP

yang belum efektif sesuai dengan hasil pemetaan terhadap tingkat kapabilitas pelaksanaan tugas pengawasan

intern pada setiap APIP di seluruh Indonesia tahun 2010. Penilaian terakhir pada tahun 2015 tidak banyak

7

menunjukkan peningkatan yang signifikan terkait level kapabilitas APIP di pemerintahan di Indonesia. Gambar

di bawah ini menunjukkan hasil penilaian IACM pada tahun 2015 yang dilakukan oleh BPKP.

6. Prinsip-Prinsip Internal Audit Capability Model

Sebagai model dan kerangka kerja dalam rangka peningkatan kapabilitas APIP, IA-CM didasari oleh

prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Pengawasan intern merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari tata kelola yang efektif di

sektor publik dan membantu mencapai tujuan organisasi.

b. Tiga variabel yang harus dipertimbangkan saat menilai tingkat kapabilitas suatu APIP adalah kegiatan

pengawasan intern itu sendiri, organisasi, dan lingkungan keseluruhan dimana organisasi beroperasi.

c. Sebuah organisasi memiliki kewajiban untuk menentukan tingkat kapabilitas optimal pengawasan

intern guna mendukung tata kelola yang dibutuhkan dan untuk mencapai, serta mempertahankan

kemampuan yang diinginkan.

d. Tidak setiap organisasi membutuhkan tingkat kapabilitas yang sama, namun semakin tinggi tingkat

kapabilitas adalah semakin baik. Tingkatan (level) yang tepat harus sesuai dengan sifat dan

kompleksitas organisasi dan risiko yang mungkin dihadapi oleh organisasi (no one size fits all).

e. Kapabilitas APIP secara langsung terkait dengan tindakan yang diambil oleh Pimpinan APIP untuk

menetapkan proses dan praktik-praktik yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan

kapabilitas pengawasan intern dan tindakan yang diambil oleh manajemen organisasi untuk

menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pengawasan intern.

f. Pengawasan intern harus diselenggarakan dengan cara yang hemat biaya.

7. Indikator Penilaian Internal Audit Capability Model

Indonesia mengadopsi model penilaian kapabilitas APIP—Internal Audit Capability Model (IA-CM) yang

dikeluarkan oleh organisasi auditor internal di dunia internasional, yakni IIA. IACM pada dasarnya

menggambarkan jalur perkembangan organisasi sektor publik dalam menerapkan sistem pengendalian intern

yang efektif di lingkungan mereka dalam mewujudkan good governance. IA-CM memetakan tingkatan dan

tahap-tahap yang menjadi indikator terhadap kemajuan dari implementasi pengawasan intern dari yang

8

terlemah hingga kepada implementasi penuh yang optimalDi dalam konsep IA-CM terdapat lima leveling

kapabilitas, yaitu :

a. Initial;

b. Infrastructure;

c. Integrated;

d. Managed; dan

e. Optimizing.

Masing-masing level di atas mempunyai karakteristik berbeda sesuai dnegn ukuran dan kompleksitas unit

organisasi yang ada di lingkungannya. Selain itu pengawasan ini berkaitan erat dengan tiptipe risiko yang ada

di setiap organisasi. Melalui model IACM, diharapkan para APIP dapat menjadikan indikator-indikator yang

ada pada setiap level ini sebagai tolok ukur dalam penerapan dan peningkatan pengawasan di organisasinya.

Dengan demikian, jika organisasi memerlukan tingkat yang lebih baik dalam praktik pengawasan intern,

kegiatan pengawasan intern kecenderungan yang mengikutinya adalah APIP yang ada akan berada pada

tingkat kapabilitas yang lebih tinggi. Tingkat kapabilitas pengawasan intern seringkali terkait dengan

struktur dan tata kelola organisasi. Perka BPKP Nomor PER-1633/K/JF/2011 membagi masing-masing level

dengan penjabaran karakteristik sebagai berikut:

a. Level 1 (Initial), mempunyai karakteristik:

Ad hoc atau tidak terstruktur;

Hanya melakukan audit saja atau reviu dokumen dan transaksi untuk akurasi dan kepatuhan;

Hasil pengawasan bergantung pada keterampilan orang tertentu;

Tidak ada praktik profesional yang dilaksanakan;

Persetujuan anggaran oleh manajemen K/L/P, sesuai dengan kebutuhan;

Tidak adanya infrastruktur;

Keberadaan APIP kurang diperhitungkan; serta

Kemampuan kelembagaan tidak dikembangkan.

b. Level 2 (Infrastructure), mempunyai karakteristik:

APIP membangun dan memelihara proses secara berulang-ulang dengan demikian kemampuan

akan meningkat;

APIP telah memiliki aturan tertulis mengenai pelaporan kegiatan pengawasan intern,

infrastruktur manajemen dan administrasi, serta praktik profesional dan proses yang sedang

dibangun;

Perencanaan audit ditentukan berdasarkan prioritas manajemen;

Masih ketergantungan pada keterampilan dan kompetensi dari orang- orang tertentu; serta

Penerapan standar masih parsial.

c. Level 3 (Integrated), mempunyai karakteristik:

Kebijakan, proses, dan prosedur di APIP telah ditetapkan, didokumentasikan, dan terintegrasi

satu sama lain, serta merupakan infrastruktur organisasi;

9

Manajemen serta praktik profesional APIP telah mapan dan seragam diterapkan di seluruh

kegiatan pengawasan intern;

Kegiatan pengawasan intern mulai diselaraskan dengan tata kelola dan risiko yang dihadapi;

APIP berevolusi dari hanya melakukan kegiatan secara tradisional menjadi mengintegrasikan

diri sebagai kesatuan organisasi dan memberikan saran terhadap kinerja dan manajemen risiko;

Memfokuskan untuk membangun tim dan kapasitas kegiatan pengawasan intern, independesi

serta objektivitas; serta

Pelaksanaan kegiatan secara umum telah sesuai dengan Standar Audit.

d. Level 4 (Managed), mempunyai karakteristik:

Adanya keselarasan harapan APIP dan stakeholder utama;

Memiliki ukuran kinerja kuantitatif untuk mengukur dan memantau proses dan hasil pengawasan

intern;

APIP diakui memberikan kontribusi yang signifikan bagi organisasi;

Fungsi pengawasan intern sebagai bagian integral dari tata kelola organisasi dan manajemen

risiko;

APIP adalah unit usaha yang dikelola dengan baik. Risiko diukur dan dikelola secara kuantitatif;

serta

Adanya persyaratan keterampilan dan kompetensi dengan kapasitas untuk pembaruan dan

berbagi pengetahuan (dalam APIP dan seluruh organisasi).

e. Level 5 (Optimizing), mempunyai karakteristik:

APIP adalah organisasi pembelajar dengan proses perbaikan yang berkesinambungan dan

inovasi;

APIP menggunakan informasi dari dalam dan luar organisasi untuk berkontribusi dalam

pencapaian tujuan strategis;

Kinerja kelas dunia (world-class)/recommended/best practice;

APIP adalah bagian penting dari struktur tata kelola organisasiK/L/Pemda;

APIP masuk kategori organisasi top-level yang profesional dan memiliki keterampilan

terspesialisasi; serta

Ukuran kinerja individu, unit, dan organisasi sepenuhnya terintegrasi untuk mendorong

peningkatan kinerja.

10

Di bawah ini merupakan tabel yang berisi matriks model kapabilitas APIP berdasarkan Perka BPKP Nomor PER-

1633/K/JF/2011:

MATRIKS MODEL KAPABILITAS APIP

Peran danLayanan APIP

PengelolaanSDM

PraktikProfesional

Akuntabilitas danManajemen

Kinerja

Budaya danHubunganOrganisasi

Struktur TataKelola

Level 5-Optimizing

APIP diakuisebagai agenperubahan

Pimpinan APIPberperan aktif

dalam organisasiprofesi.

Proyeksitenaga/tim

kerja.

Praktikprofesional

dikembangkansecara

berkelanjutan

APIP memilikiPerencanaan

strategis

Laporan efektivitasAPIP kepada publik

Hubunganberjalan

efektif danterus-

menerus

Independensi,kemampuan, dan

kewenangan penuhAPIP

Level 4-Managed

Jaminanmenyeluruh atas

tata kelola,manajemen risiko,dan pengendalian

organisasi

APIPberkontribusi

terhadappengembangan

manajemen

APIP mendukungorganisasi profesi

Perencanaantenaga/tim

kerja

Strategi auditmemanfaatkan

manajemen risikoorganisasi

Penggabunganukuran kinerjakualitatif dan

kuantitatif

Pimpinan APIPmampu

memberikansaran dan

mempengaruhimanajemen

Pengawasanindependen

terhadap kegiatanAPIP

Laporan pimpinanAPIP kepada

pimpinantertinggi

organisasi

Level 3-Integrated

LayananKonsultansi

Auditkinerja/progra

m evaluasi

Membanguntim dan

kompetensinya

Pegawai yangberkualifikasiprofesional

Koordinasi tim

Kualitas kerangkakerja manajemen

Perencanaan auditberbasis risiko

Pengukuran kinerja

Informasi biaya

Pelaporanmanajemen APIP

Koordinasidengan Pihak

Lain yangmemberikan

Saran danPenjaminan

KomponenManajemen Tim

yang Integral

Pengawasanmanajemen

terhadap kegiatanAPIP

Mekanismependanaan

11

MATRIKS MODEL KAPABILITAS APIP

Peran danLayanan APIP

PengelolaanSDM

PraktikProfesional

Akuntabilitas danManajemen

Kinerja

Budaya danHubunganOrganisasi

Struktur TataKelola

Level 2-Infrastructure

Audit Ketaatan Pengembanganprofesi individu

Identifikasi danrekrutmen SDMyang kompeten

Kerangka kerjapraktik

profesional danprosesnya

Perencanaanpengawasanberdasarkan

prioritasmanajemen/

pemangkukepentingan

Anggaranoperasional

kegiatan APIP

Perencanaankegiatan APIP

Pengelolaanorganisasi APIP

Akses penuhterhadap informasiorganisasi, aset dan

SDM

Hubunganpelaporan telah

terbangun

Level 1-

Initial

Ad hoc dan tidak terstruktur, audit terbatas untuk ketaatan, output tergantung pada keahlian orang pada posisi tertentu, tidak

menerapkan praktik profesional secara spesifik selain yang ditetapkan asosiasi profesional, pendanaan disetujui oleh manajemen

sesuai yang diperlukan, tidak adanya infrastruktur, auditor diperlakukan sama seperti sebagian besar unit organisasi, tidak ada

kapabilitas yang dibangun, oleh karena itu tidak memiliki area proses kunci yang spesifik.

8. Temuan Kelemahan atas Hasil Penilaian Internal Audit Capability Model

Hasil pemetaan IACM oleh BPKP pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 93% APIP Indonesia masih

berada pada Level 1 (Initial), sedangkan sisanya sebanyak 7% berada pada level 2 (Infrastructure). Rendahnya

level kapabilitas APIP ini disebabkan oleh faktor-faktor yang di dalam Perka BPKP Nomor PER-1633/K/JF/2011

dijabarkan sebagai berikut:

a. Independensi dan objektivitas APIP belum dapat diterapkan sepenuhnya.

b. Lemahnya manajemen/tata laksana/bisnis proses APIP.

c. Tidak terpenuhinya kebutuhan formasi Auditor.

d. Kurangnya alokasi anggaran belanja APIP dibandingkan dengan total belanja dalam APBN/APBD.

e. Struktur organisasi dan pola hubungan kerja belum sepenuhnya sesuai dengan strategi dalam

mencapai tujuan APIP yang efektif.

f. Kurangnya kegiatan pengembangan kompetensi dan lemahnya manajemen SDM APIP terutama

rekrutmen dan pola karier.

g. Organisasi profesi auditor belum terbentuk sehingga standar audit, kode etik, dan peer review

belum sepenuhnya tersedia dan belum dapat dilaksanakandengan efektif.

12

9. Langkah-Langkah Peningkatan Kapabilitas APIP Level 1 untuk Mencapai Level 2

Berdasarkan fakta dan data serta hasil pemetaan di atas, langkah strategis yang perlu untuk ditindaklanjuti

adalah meningkatkan kapabilitas APIP ke level yang lebih tinggi agar terwujud pengawasan intern yang lebih

efektif. Dengan kondisi APIP saat ini yang mayoritas masih berada pada level 1, langkah realistis yang dapat

dilakukan adalah mengupayakan peningkatan level seluruh APIP yang masih berada pada level 1 (initial) agar

naik menjadi level 2 (Infrastructure): Peningkatan kapabilitas APIP untuk mencapai level 2 (Infrastructure)

bertujuan agar APIP dapat memaksimalkan perannya dalam hal assurance activities, anticorruption activities,

dan consulting activities. Dalam rangka peningkatan kapabilitas APIP untuk mencapai level 2, area-area proses

kunci yang perlu diperbaiki dan dioptimalkan mencakup poin-poin sebagai berikut:

a. Peran dan layanan APIP dalam hal Compliance Auditing APIP harus mampu melaksanakan

pengawasan yang fokus pada audit ketaatan (compliance audit) pada area, proses atau sistem yang

mengacu pada ketentuan dalam piagam audit internal (internal audit charter) yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan penugasan, serta komunikasi dan pelaporan hasil pengawasan.

b. Pengelolaan SDM melalui identifikasi dan rekrutmen SDM yang kompeten serta pengembangan

profesi individu. APIP harus mampu memilih dan merekrut pegawai yang kompeten sesuai dengan

kebutuhan dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan. APIP perlu mengidentifikasi dan mendefinisikan

jenis penugasan audit serta menghitung formasi pegawai. APIP juga perlu mengidentifikasi

persyaratan pengetahuan, keahlian dan kompetensi pegawai, menetapkan klasifikasi tunjangan

kinerja/remunerasi yang layak, serta melaksanakan proses rekrutmen yang valid dan kredibel dalam

rangka seleksi calon pegawai. Dalam hal pengembangan profesi individu, APIP bertanggung jawab

membina pegawainya agar mampu memelihara dan mengembangkan kapabilitas profesionalnya

secara berkelanjutan, antara lain dengan menetapkan standar minimal jam/hari dan angka kredit

pengembangan profesi yang sesuai dengan standar audit dan sistem sertifikasi, menyelenggarakan

diklat/pelatihan dalam rangka program pengembangan profesi, dan sebagainya.

c. Praktik Profesional yang meliputi perencanaan pengawasan berdasarkan prioritas pemangku

kepentingan dan kerangka kerja praktik profesional beserta prosesnya. APIP perlu mengembangkan

rencana pengawasan tahunan berdasarkan hasil konsultasi dengan manajemen dan stakeholders

lainnya. APIP harus mengidentifikasi unit organisasi dan mendokumentasikannya dalam audit

universe, bekerja sama dengan pimpinan unit dan stakeholders lainnya untuk menentukan periode

pengawasan dan area/isu prioritas, menentukan SDM yang dibutuhkan, serta mendapatkan

persetujuan dari pimpinan atas rencana dan sumber daya yang dibutuhkan. Selain itu APIP juga harus

mendorong peningkatan kinerja penugasan pengawasan intern dengan mewujudkan independensi

dan objektivitas sebagaimana dituntut dalam piagam audit intern dan standar audit. Kerangka kerja

proses dan praktik profesional mencakup kebijakan, proses, dan prosedur yang mengarahkan

kegiatan APIP, mengarahkan program kerja pengawasan, serta kebijakan dan prosedur dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pengawasan.

d. Akuntabilitas dan Manajemen Kinerja yang meliputi perencanaan kegiatan APIP dan anggaran

operasional kegiatan APIP. APIP harus mampu menyusun rencana pengawasan tahunan meliputi

13

tujuan dan hasil yang diharapkan, jumlah dukungan sumber daya, jadwal rencana mulai pengawasan

dan rencana penyelesaian laporan, rencana detail yang diperlukan, serta persetujuan atas rencana

yang telah disusun. Selain itu APIP harus mampu menyusun anggaran operasional yang realistis dan

akurat, mengalokasikan sumber daya berdasarkan kebutuhan dan rencana pengawasan, dan

melakukan reviu anggaran operasional secara periodik/berkelanjutan untuk memastikan keakuratan

serta untuk mengidentifikasi dan melaporkan adanya penyimpangan.

e. Budaya dan Hubungan Organisasi APIP harus fokus pada upaya/usaha manajemen atas kegiatan

operasional dan hubungan dalam organisasi seperti struktur organisasi, manajemen sumber daya

manusia, penyusunan dan monitoring anggaran, rencana tahunan, penyediaan sarana dan teknologi

pengawasan, serta pelaksanaan pengawasan. APIP harus berfungsi secara efektif dalam memberikan

nilai tambah kepada organisasi.

f. Struktur Tata Kelola yang meliputi terbangunnya hubungan pelaporan serta akses penuh terhadap

informasi organisasi, aset dan SDM. APIP berkewajiban menyusun laporan kegiatan organisasi,

termasuk Laporan Hasil Pengawasan dan menyampaikan kepada pihak terkait. Untuk itu APIP harus

memiliki visi dan misi yang jelas; mendefinisikan tujuan, kewenangan dan tanggung jawab APIP serta

mengkomunikasikannya ke seluruh organisasi; dan menjaga hubungan yang memadai antara

pelaporan dengan posisi APIP dalam struktur organisasi untuk mencegah adanya intervensi bagi APIP

dalam menetapkan ruang lingkup, pelaksanakan tugas dan penyampaian hasil pengawasan. APIP

memiliki kewenangan untuk mendapatkan akses ke seluruh informasi, aset dan pegawai yang

diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas pengawasan. Untuk itu APIP membutuhkan kerjasama,

komitmen dan dukungan dari Menteri/Kepala LPNK/Gubernur/Bupati/Walikota agar APIP dapat

mengakses secara penuh serta mengomunikasikannya kepada seluruh unit kerja.

10. Audit Expectation Gap

Appah Ebimobowei dan Oyadonghan James Kereotu dalam jurnal Role Theory and the Concept of Audit

Expectation Gap in South-South, Nigeria menjelaskan bahwa

“Audit expectation gap is the difference between the levels of expected performance as envisioned by the users offinancial statements and by the independent accountant. Baker (2002) argues that public confidence in a group ofprofessionals is the “living heart” of the profession. Hence if such confidence is betrayed, the professional functiontoo is destroyed, since it becomes useless (Porter et al., 2005). McEnroe and Martens (2001) note that theauditing expectation gap is the difference between (i) what the public and other financial statement usersperceive auditors’ responsibilities to be and (ii) what auditors believe their responsibilities entail.”

Berdasarkan pengertian tersebut, Audit Expectation Gap dapat diterjemahkan sebagai perbedaan antara

tingkat kinerja yang diharapkan seperti yang digambarkan oleh pengguna laporan keuangan dan oleh akuntan

independen. Sedangkan Baker (2002) berpendapat bahwa kepercayaan masyarakat terhadap sekelompok

profesional adalah inti sari dari profesi. Oleh karena itu jika kepercayaan dikhianati, fungsi profesional juga

hancur, dan sejak itu menjadi tidak berguna (Porter et al, 2005). Kemudian McEnroe dan Martens (2001),

mencatat bahwa Audit Expectation Gap adalah perbedaan antara (i) apa masyarakat dan pengguna laporan

keuangan persepsikan tentang tanggung-jawab auditor dan (ii) apa yang auditor yakini atas tanggung jawab

yang mereka perlukan.

14

BAB III PEMBAHASAN

1. Audit Expectation Gap dan IA-CM

Masyarakat mengharapkan pengelolaan keuangan negara dapat berjalan dengan transparan dan

mengutamakan kepentingan masyarakat. Pengelolaan keuangan negara yang dipalorkan

kementerian/lembaga secara akuntabel telah mengalami perbaikan dari masa ke masa. Perbaikan tersebut

ternyata tidak sejalan dengan harapan masyarakat mengingat masih seringnya terjadi kasus tindak pidana

korupsi yang melibatkan pejabat dan/atau pegawai pada instansi pemerintah. Oleh karena itu, muncullah

perbedaan antara apa yang diharapkan masyarakat dengan apa yang menjadi keyakinan auditor dalam bentuk

audit expectation gap. Masyarakat berharap opini atas audit keuangan yang dilakukan dapat mendeteksi atau

bahkan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Kondisi ini diperkuat dari sejumlah survey yang menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia

masih rendah dan survei integritas oleh KPK tentang layanan publik masih menunjukkan nilai pada kisaran

angka enam hingga tujuh dari skala sepuluh. Oleh karena itu, masih sangat diperlukan pengawasan tidak hanya

untuk masalah laporan keuangan tetapi juga masalah pengelolaan keuangan negara secara keseluruhan oleh

APIP. Sebagaimana PP 60 Tahun 2008, definisi Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu,

evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi

dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok

ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata

kepemerintahan yang baik. Disebutkan juga di dalamnya bahwa APIP memiliki tugas untuk melakukan

pengawasan intern sehingga wewenng APIP juga menjadi sangat luas. Untuk itu, peranan APIP sangat

diharapkan untuk membantu memperbaiki sistem pengawasan yang ada pada saat ini bisa menjadi memadai

sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki nilai IA-CM.

2. Analisis Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Level IA-CM

Hasil penilaian terhadap IA-CM yang rendah dapat terjadi karena beberapa faktor yang dapat

dikelompokkan menjadi:

a. Kualitas dan kuantitas auditor internal pemerintah

Saat ini tenaga auditor internal yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengcover pengawasan seluruh

unit yang ada di pemerintahan dapat dikatakan jauh dari kata ideal. Dalam formasi yang disusun

pusbin JFA BPKP bahkan disebutkan bahwa jumlah auditor internal yang ada di Indonesia seharusnya

adalah sebanyan 46.560 orang sedangkan hingga kini tercatat auditor internal yang sudah memiliki

sertifikasi tercatat hingga semester I tahun 2014 adalah sebanyak 14.104 orang.

Berdasarkan dokumentasi yang dimiliki Pusbin JFA BPKP komposisi auditor yang ada dari angka

tersebut terdiri dari Auditor Ahli yang berjumlah 10.315 orang, didominasi oleh Auditor Pertama

sebanyak 4.399 orang, disusul dengan jumlah Auditor Muda sebanyak 3. 914 orang dan Auditor

Madya sebanyak 1.988 orang. Auditor Utama masih sangat langka di Indonesia, yaitu baru berjumlah

14 orang, jumlah auditor madya ini bertambah sebanyak 3 orang.

15

Sisanya sebanyak 3.789 orang merupakan auditor dengan tingkatan auditor terampil. Jumlah tersebut

terdiri dari Auditor Penyelia sebanyak 1.424 orang, Auditor Pelaksana Lanjutan sebanyak 896 orang

dan Auditor Pelaksana sebanyak 1.469 orang.

Adapun persebaran dan perkembagnan jumlah auditor tiap level APIP dapat dilihat melalui tabel di

bawah ini.

Tabel Perkembangan Data Auditor APIP31 Januari 2014 hingga 30 Juni 2014

Unit kerja Data auditor

31 Januari 2014 30 April 2014 30 Juni 2014

BPKP 3.329 3.445 3.747

APIP PUSAT 2.033 2.023 2.207

APIP DAERAH 6.948 7.281 8.144

BLU dan BHMN 0 6 6

JUMLAH 12.310 12.755 14.104

Sumber: http://pusbinjfa.bpkp.go.id/

Melihat kondisi tenaga APIP tersbut, tentu saja jumlah auditor yang ada menjadi salah satu penyebab

terhambatnya pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh APIP. Di BPKP sendiri misalkan,

tidak jarang seorang anggota tim atau ketua tim memiliki dua penugasan atau lebih dalam waktu yang

hampir bersamaan. Tentu saja output yang dihasilkan tidak maksimal dan outcome yang dirasakan

kepada pihak auditi tidak optimal.

Belum lagi jika berbicara tentang kompetensi auditor internal, terutama bagi APIP di wilayah

pemerintah daerah. Tidak jarang bahkan orang-orang yang ditempatkan di lingkungan APIP tergolong

orang-orang yang notabene “buangan” atau bermasalah di organisasi sebelumnya.

Dua hal di atas jika tidak segera diatasi tentu akan menyebabkan kemunduran efektivitas peran

pengawasan APIP di Indonesia (jika tidak stagnan). Pola rekrutmen dan seleksi yang bagus akan

menjadi kunci atas permasalahan ini.

b. Mindset APIP sebagai “Watchdog”

Kebanyakan pola pikir APIP saat ini yang masih belum move on dari peninggalan masa lalu sebagai

auditor membuat banyak pelaksanaan kegiatan pengawasan APIP masih bersifat “mencari-cari

kesalahan”. Dengan perubahan paradigma auditor internal pada era sekarang, seharusnya APIP dapat

lebih mengambil sudut pandang perannya sebagai mitra kerja bagi unit yang diawasinya. Dengan

demikian hubungan mutualisme yang terbangun adalah dalam rangka memperbaiki dan

meningkatkan tata kelola pemerintahan organisasi yang efektif dan efisien serta pelayanan prima

kepada stakeholder.

16

c. Perubahan lingkungan internal dan proses bisnis.

Independensi dan objektivitas APIP belum dapat diterapkan sepenuhnya karena APIP adalah

satuan pengawas yang dibentuk untuk mengawasi dan memberikan rekomendasi positif untuk

perbaikan dan bertanggung secara langsung kepada pimpinan instansi. APIP sendiri merupakan

pegawai pada suatu instansi tetapi rekomendasi yang dihasilkan dapat mengakibatkan penilaian

kinerja suatu instansi dan/atau suatu jabatan menjadi terlihat kurang sehingga sangat besar terjadi

peluang campur tangan dari pemegang kekuasaan terutama jika anggota APIP adalah masih

berupa pegawai dengan golongan kecil seperti golongan II (dan/atau golongan III).

Tidak terpenuhinya kebutuhan formasi Auditor dan lemahnya manajemen/tata laksana/bisnis

proses APIP menjadikan apa yang telah dilakukan oleh APIP kadang menjadi sia-sia. Sebagai suatu

posisi yang tidak populer dan dianggap sebagai orang buangan kerap menjadikan APIP sebagai

sasaran empuk atau objek bully secara tidak langsung. Banyak cara yang bisa terjadi seperti

penundaan pembaerian data atau informasi, keterbatasan ruangan untuk kerja dan penyimpanan,

dsb yang menjadikan hambatan dalam melaksanakan tugas. Dibutuhkan komitmen dari pimpinan

puncak untuk dapat membimbing anak buahnya untuk bersama melaksanakan apa yang menjadi

tujuan bersama. Tanpa ada kesatuan kata dari pimpinan puncak maka tidak akan ada kepercayaan

diantara pegawai.

Kurangnya alokasi anggaran belanja APIP dibandingkan dengan total belanja dalam APBN/APBD

menadi salah satu penyebab yang berdampak penting. Mengingat hasil penilaian IA-CM yang

rendah, tentunya memang tidak memungkinkan untuk seketika melakukan perubahan yang besar

secara signifikan terutama masalah anggaran yang merupakan isu yang sangat sensitif. Anggaran

bisa menjadi penggerak suatu kegiatan namun jika anggaran tidak dilakukan melalui prosedur

perencanaan yang tepat makananggaran tersebut akan menadi sia-sia. Oleh karena itu, APIP

diharapkan dapat menyusun anggaran dan kegiatan berdasarkan skala prioritas yang ingin dicapai

dan berdasarkan signifikansi dampaknya terhadap pencapaian tujuan organisasi. Anggaran ini juga

meliputi kegiatan pengembangan kompetensi dan manajemen SDM dari APIP itu sendiri.

Diharapkan ke depannya penganggaran untuk APIP dapat terpenuhi untuk penyusunan rencana

jenjang karir APIP terutama masalah perekrutan dan pola karir.

d. Perubahan peraturan dan lingkungan hukum.

PP 60 Tahun 2008 mngamanatkan terbentuknya APIP, namun APIP sendiri belum disenjatai dengan

baik. Faktor senjata tersebut yaitu kejelasan wewenang, peran dan ruang lingkup pekerjaan yang

dilaksanakan oleh APIP. Agar tidak menjadikan pekerjaan APIP menjadi sia-sia dan dapat mendukung

audit yang dilakukan oleh BPK maka perlu dilakukan penguatan status APIP pada instansi pemerintah.

saat ini telah ada beberapa instansi yang menjabat sebagai APIP yaitu BPKP dan Inspektora Jenderal

Baik tingkat pusat, tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Meskipun telah ditunjuk

instansi yang melaksanakan tugas sebagai APIP, penunjukan tersebut belum sepentuhnya dapat

berjalan dengan baik tanpa payung hukum mengenai organisasi dan tata laksana serta petunjuk teknis

17

dan petunjuk pelaksanaan bagi masing-masing APIP agar nantinya wacana Inspektorat Nasional tidak

hanya sekedar wacana atau hanya sekedar mengganti nama tanpa kejelasan tugas di dalamnya.

e. Perubahan kebutuhan dan harapan pemangku kepentingan.

Kehadiran APIP yang memiliki peran penting terkadang tidak sejalan dengan kepentingan dari

pemangku jabatan sehingga kerap masalah SPI menjadi prioritas kedua. Pemangku kepentingan

terutama pada instansi di pemerintah daerah masih hidup dengan paradigmanya yang lama yang

lebih menekankan aspek pemenuhan dibanding dengan kualitas yang terbalik dengan substance over

form. Yang penting laporan sudah diaudit, laporan sudah diasistensi, dan lainnya tanpa mengetahui

bagaimana proses penyusunan yang baik, bagaimana bentuk pengendalian yang diharapkan dapat

mengurangi kesalahan, dsb. Untuk mengubah paradigma seperti ini memang sangat sulit dan butuh

proses tetapi APIP memang harus bekerja keras menemukan cara terbaik untuk mengatasi masalah

yang ada.

f. Organisasi profesi yang belum berjalan maksimal

Terkait temuan kelemahan IACM oleh BPKP yang menyebutkan belum adanya organisasi profesi

auditor internal di pemerintahgan indonesia, hal tersebut sudah ditindaklanjuti pada akhir tahun 2013

dengan dibentuknya organisasi profesi auditor internal pemerintah bernama AAIPI (Asosiasi Auditor

Internal Pemerintah Indonesia). Dengan adanya AAIPI yang masih seumur jagung ini tentu saja

pembentukan produk-produk yang mengatur profesi auditor internal juga baru selesai dibuat

beberapa tahun belakangan ini. Standar audit, kode etik, dan peer review praktis selesai dibuat pada

tahun 2014. Artinya, implementasi atas ketiga pondasi dasar sebuah profesi tersebut efektif baru

berjalan selama satu tahun.

Hal-hal lain yang dapat memberikan andil atas lemahnya efektivitas peran pengawasan APIP selain hal

di atas dapat berupa:

Komitmen pimpinan

Tidak berjalannya fungsi organisasi profesi seperti AAIPI

Adanya unsur politis dalam hal pelemahan APIP

Ego sektoral pimpinan APIP antar lembaga maupun dengan pimpinan di luar APIP

3. Dampak Kualitas Auditor Internal Terhadap Fungsi Pengawasan

Laporan Keuangan sebelum diserahkan kepada BPK harus dilakukan reviu terlebih dahulu oleh Aparat

Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang nomor 15 Tahun 2004.

Meskupin telah diatur demikian, pelaksanaan reviu ternyata belum bisa sepenuhnya meningkatkan kualitas

laporan keuangan pemerintah sehingga diperlukan optimalisasi peran APIP melalui pengembangan sinergi

pengawasan sesama APIP seperti mutual adjustment melalui koordinasi yang baik, direct supervision melalui

proses peer review, serta standardisasi input, proses kerja, maupun output. Proses reviu atas laporan

keuangan akan menentukan apakah laporan keuangan tersebut telah disajikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Masukan yang diberikan APIP (dalam hal ini inspektorat) sewaktu proses reviu akan menuntun terwujudnya

18

laporan keuangan yang sesuai dengan SAP sehingga meningkatkan kualitas laporan keuangan daerah itu

sendiri.

Untuk menyusun laporan keuangan yang baik memerlukan sistem pengendalian yang memadai. Memadai

atau tidaknya pengendalian yang ada di suatu instansi dapat diketahui melalui rancangan (desain)

pengendalian yang ada dan melalui pengamatan di lapangan sehingga APIP dapat memberikan penilaian

apakah pengendalian telah memadai atau tidak. Fungsi early warning system ini akan dapat menjadi catatan

dan menjadi rekomendasi yang dapat disarankan oleh APIP untuk mencegah terjadinya penyajian laporan

keuangan yang tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Dalam hal hasil kegiatan audit atau reviu

telah selesai dilakukan oleh APIP, nantinya LHR atau LHA ini akan menjadi dasar bagi BPK untuk menetapkan

selera risiko dalam pemeriksaan keuangan yang nantinya akan mengarahkan hasil pemeriksaan kepada opini

yang diberikan.

Penyusunan laporan keuangan dengan penyelenggaraan pemerintahan merupakan dua hal yang satu

namun terpisah. Perbedaannya yaitu, penyelenggaraan pemerintahan melibatkan pegawai dan pejabat

sedangkan penyusunan laporan keuangan melibatkan pegawai dan pejabat dalam lingkup yangmlebh kecil

sehingga apabila dikaitkan dengan tingginya tingkat korupsi dengan opini atas laporan keuangan tentu

merupakan sesuatu yang berbeda. Hal ini dikarenakanoleh apa yang diyakini oleh auditor atas laporan

keuangan berbeda dengan masyarakat. Auditor hanya mampu mendeteksi potensi korupsi yang dituangkan

dalam catatan pada laporan hasil pemeriksaan untuk selanjutnya dikategorikan sebagai kegiatan

penyimpangan daam bentuk melawan hukum atau tindak pidana korupsi. Selanjutnya berdasarkan data

catatan dan hasil temuan yang dimiliki, baik APIP maupun BPK dapat memprosesnya ke tahap lebih lanjut pada

tahap investigatif. Oleh karena itu, peranan APIP sebagai auditor lebih kepada pencegahan dini untuk

menghentikan lemahnya pengendalian intern agar tidak menjadi semakin besar dan bedampak pada korupsi.

Sebagai salah satu kegiatan yang pelaksanaannya dan pengelolaannya diawasi oleh APIP, opini laporan

keuangan pemerintah menjadi hal yang relevan untuk dijadikan salah satu indikator efektivitas peran APIP.

Sebagai gambaran atas hal tersebut, berikut ini disampaikan tabel serta grafik opini BP Katas laporan keuangan

pemerintah.

19

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II tahun 2014 (BPK RI)

Jika melihat dari tabel dan grafik di atas, nampaknya peran pengawasan APIP masih dapat dikategorikan

lemah dalam hal mengawal pemerintah melaksanakan penyelenggaraan keuangan yang baik. Kecenderungan

terlihat bahwa selama ini peran APIP khususnya di pemerintah daerah masih jauh dari kata optimal. Meskipun

demikian untuk level pusat sudah memberikan hasil yang cukup baik. Pemerataan kualitas APIP dalam hal ini

perlu diperhatikan agar tidak hanya terpusat di level kementerian, tetapi menyebar di seluruh daerah.

4. Tantangan APIP di Masa Mendatang

APIP pada dasarnya merupakan “filter” terdepan bagi sebuah organisasi sektor publik dalam

menjalankan kegiatan tupoksinya. Entah itu dengan menggunakan terminologi “pengawasan” maupun

“pengendalian”, salah satu hal yang hingga kini memberikan nyawa bagi eksistensi APIP di pemerintahan

Indonesia adalah pentingnya hal tersebut.

Lantas bagaimana jika ternyata APIP yang ada belum memberikan jaminan terhadap jalannya tata kelola

pemerintahaan yang baik? Hal ini tentu saja merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi para pimpinan dan

APIP itu sendiri. Jika kita sedikit melihat lebih dalam “mesin penggerak” yang ada di APIP—yakni auditornya,

setidaknya hingga kini 14.104 orang yang tercatat sebagai auditor yang bersertifikat. Secara matetematis,

Perkembangan Opini LKPD

20

perhitungan kasarnya adalah rata-rata disetiap instansi dan pemerintah yang ada di seluruh Indonesia,

jumlah auditor yang bersertifikat hanyalah sebanyak 3 orang. Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya,

kebutuhan akan jumlah auditor yang ideal adalah 46.560 orang auditor, atau dengan kata lain sedikitnya rata-

rata per APIP/Inspektorat minimal kabupaten/kota 50 orang jumlah auditor bersertifikat.

Tantangan ke depan tentu saja merupakan beban yang cukup besar bagi APIP sekaligus dapat dijadikan

sebuah pembuktian akan kualitas dan peran sesungguhnya dari APIP di Indonesia. Dengan demikian tidak ada

lagi pandangan baik dari masyarakat umum maupun pengamat tata negara Indonesia yang mempertanyakan

sebenarnya ke mana saja APIP hingga kini, apakah di Indonesia sebenarnya masih perlu ada APIP, atau

bahkan memandang negatif adanya APIP sebagai hal yang mubazir saja.

Di bawah ini akan dijabarkan apa saja hal-hal yang dapat menjadi isu berkaitan keberlangsungan APIP

kini, dan di masa yang akan datang sekaligus menganalisis bagaimana peluang APIP, khususnya BPKP dalam

menghadapi tantangan ini.

a. Wacana Pembentukan Inspektorat Nasional

Saat ini, ada sebuah desain yang sedang digodok pemerintah terkait struktur dan organisasi APIP

secara keseluruhan di Indonesia. Gagasan ini diawali dengan dibuatnya RUU SPIP yang kemudian di

dalamnya mengatur mengenai dibangunya organisasi APIP yang menjadi induk dan coordinator

seluruh APIP di Indonesia bernama Inspektorat Nasional.

Wacana pembentukan inspektorat nasional ini dapat dikatakan merupakan konsep yang dapat

meng-address permasalahan yang ada di dalam tubuh APIP, terutama masalah kekuatan peran,

kompetensi, independensi serta masalah koordinasi. Tidak jarang selama ini pihak inspektorat, baik

itu Inspektorat Jenderal/Provinsi/Kabupaten/Kota terbentur kendala konflik kepentingan terhadap

atasannya. Namun, Di samping itu, pembentukan Inspektorat Nasional diharapkan akan mampu

meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaran tugas dan fungsi pemerintah

(kementerian/lembaga/daerah/instansi).

Sampai sejauh ini, peran pembinaan APIP memang diemban oleh BPKP sesuai dengan amanat PP 60

Tahun 2008. Dengan adanya wacana pendirian Inspektorat Nasional, BPKP diharapkan dapat

menjadi leading sector dalam keberhasilan gagasan besar ini.

b. Tuntutan Peran APIP dalam Memberantas TPKKN

Penyakit yang sudah lama melekat dalam institusi pemerintahan di Indonesia adalah mental serta

perilaku negatif para aparatur negaranya yang korup. Beberapa pandangan mengatakan bahwa

perilaku pada dasarnya yang membentuk sistem. Di sisi lain ada yang mempercayai bahwa

sesungguhnya sistemlah yang membentuk perilaku para aparatur yang ada di dalam lingkungan

sistem itu.

Terlepas dari perdebatan di atas, nampaknya keberadaan APIP sejatinya menjadi harapan bagi

masyarakat untuk menjadi unit yang berperan baik secara preventif, detektif, maupun korektif untuk

memberantas tindak pidana kejahatan KKN di dalam seluruh institusi pemerintahan sekaligus

menciptakan budaya malu dan integritas tinggi terhadap para aparatur sipil negara di Republik

Indonesia.

21

c. Kesiapan Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Isu yang cukup menarik terkait dengan tantangan di masa yang akan datang bagi APIP adalah dengan

adanya perjanjian regional di lingkungan ASEAN, yakni terselenggaranya apa yang disebut dengan

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Awal mula adanya perjanjian ini sebenarnya telah berlangsung

lebih dari satu dekade lalu ketika para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di

kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang.

Tujuan dibentuknya MEA sesungguhnya adalah agar daya saing Asean meningkat serta bisa

menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing secara global. Penanaman modal asing di

wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan

kesejahteraan. Pembentukan pasar tunggal yang) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual

barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi

akan semakin ketat.

Lalu apa hubungannya dengan APIP di Indonesia? Dalam penjelasan di atas, salah satu hal yang

dimungkinkan untuk ditawarkan dalam pasar bebas nanti selain barang adalah jasa. Sebagaimana

yang ada pada fungsi APIP itu sendiri, paradigma kini sudah mulai berkembang dari sebelumnya

hanya bersifat jasa atestasi atau assurance menjadi lebih banyak bersifat consulting dan

pembenahan.

Bukan tidak mungkin, dalam perjalanannya, pasar MEA akan memberikan peningkatan daya saing

dalam pemberian jasa konseling ini. Sebelum ada MEA bahkan tidak jarang institusi pemerintah, baik

pusat maupun daerah menggandeng tenaga asing atau swasta dalam rangka pembenahan

institusinya, seperti kegiatan transformasi kelembagaan, inventarisasi aset, penyusunan laporan

keuangan, dan sebagainya. Kementerian Keuangan akhir-akhir ini melakukan praktik tersebut

dengan “menyewa” tenaga asing McKenzie dalam melakukan reformasi kelembagaan di dalam

lingkungan Kementarian Keuangan. Di level pemerintah daerah, hal serupa juga banyak terjadi,

terutama dalam urusan penyusunan laporan keuangan dan inventarisasi aset daerah mereka yang

menggunakan jasa konsultan dari pihak swasta,

Tentu akan sangat lebih bermanfaat dan berguna jika APIP yang ada diberdayakan dalam

melaksanakan kegiatan ini. Pertanyaannya adalah: “mengapa tidak demikian?”. Hal ini menunjukkan

ketidakpercayaan pemerintah terhadap kompetensi APIP itu sendiri. Oleh sebab itu, adalah sebuah

urgensi bagi pimpinan APIP untuk membekali para auditornya dengna kompetensi yang memadai

dan merata di seluruh level dan lingkungan APIP. Patut diakui bahwa tidak sedikit APIP yang sudah

memiliki kualitas yang baik, terutama di level pusat. Namun, untuk level pemerintah daerah, kondisi

APIP yang ada masih dapat dikatakan belum optimal (jika tidak dikatakan memperihatinkan).

5. Peran BPKP Sebagai Pembina APIP

BPKP dalam PP 60 Tahun 2008 diamanatkan sebagai institusi yang melakukan pembinaan terhadap

efektivitas pengawasan yang dilakukan APIP. Tahun 2014, Presiden mengeluarkan dua peraturan yang

mempertegas fungsi dan tugas BPKP terkait urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan

22

negara/daerah dan pembangunan nasional melalui Perpres Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Inpres Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas

Sistem Pengendalian Intern dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka

Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.

Berdasarkan Perpres 192 Tahun 2014, tugas dan peran BPKP dalam mewujudkan efektivitas SPIP terdiri dapat

berupa:

a. Audit dan Evaluasi atas:

Pengelolaan penerimaan pajak , bea & cukai.

Pengelolaan PNBP pada Instansi Pemerintah, Badan Hukum Lain, dan Wajib Bayar.

Pengelolaan PAD.

Pemanfaatan aset negara/daerah.

Program/kegiatan strategis di bidang kemaritiman, ketahanan energi, ketahanan pangan,

infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Pembiayaan pembangunan nasional/daerah.

b. Audit Investigatif

Penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah untuk memberikan dampak

pencegahan yang efektif.

Audit dalam rangka penghitungan kerugian negara

c. Evaluasi Lainnya berupa penilaian penerapan sistem pengendalian intern dan sistem pengendalian

kecurangan yang dapat mencegah, mendeteksi, dan menangkat korupsi.

Selain itu, berdasarkan Perpres tersebut BPKP juga melaksanakan tugas yang berkaitan dengan

mempercepat efektivitas penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dalam pengelolaan

keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional melalui pembinaan APIP, serta mengintensifkan peran

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di lingkungan masing-masing dalam rangka meningkatkan

kualitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannegara/daerah dan pembangunan

nasional serta meningkatkan upaya pencegahan korupsi.

Terkait dengan penilaian kapabilitas APIP dengan pendekatan IACM, selain memberikan assessment

terhadap pelaksanaan pengawasan oleh APIP, BPKP juga memberikan kegiatan bimbingan teknis peningkatan

kapabilitas APIP sebagai proses pemberian dukungan teknis peningkatan kapabilitas APIP dalam bentuk

pendampingan kepada APIP untuk dapat melakukan perbaikan/peningkatan kapabilitasnya sesuai dengan

Model Kapabilitas APIP (Internal Audit Capability Model / IA-CM).

BPKP sendiri pada dasarnya belum sepenuhnya menerapkan pengawasan secara efektif. BPKP tidak boleh

berpuas diri dengan hanya meraih level ke-3 dalam hasil assessment terhadap IACM di lingkungannya. Dari

dalam tubuh kelembagaan BPKP sendiri masih banyak yang harus dibenahi terkait pola kerja serta kualitas

pengawasan yang dilaksanakan oleh para auditornya.

23

Selain tantangan untuk meningkatkan level kapabilitas APIP di dalam tubuh BPKP. Geliat reformasi dan

transformasi kelembagaan juga menjadi salah satu isu yang banyak menjadi sorotan BPKP secara organisasi.

Pada bagian sebelumya, dibahas mengenai wacana pembentukan Inspektorat Nasional. Sebagai leading sector

dalam pelaksanaan SPIP, BPKP berpeluang besar menjadi penggerak utama dalam mensukseskan grand design

pembangunan organiasasi yang mewadahi auditor internal di seluruh lingkungan pemerintahan Indonesia

dalam rangka mewujudkan peran APIP yang semakin efektif.

24

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Kondisi pengawasan Indonesia sedang dihadapkan pada sebuah Audit Expectation Gap. Keyakinan

auditor atas pengelolaan keuangan yang cenderung baik, berbeda dengan harapan masyarakat yang

melihat pengelolaan keuangan yang carut marut. Keadaan ini sejalan dengan hasil pemetaan IACM oleh

BPKP yang menunjukkan bahwa sebanyak 93% APIP Indonesia masih berada pada Level 1 (Initial), sedangkan

sisanya sebanyak 7% berada pada level 2 (Infrastructure). Rendahnya level kapabilitas APIP ini disebabkan oleh

faktor-faktor yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kurangnya kuantitas dan kualitas auditor.

b. Mindset APIP sebagai “Watchdog”.

c. Perubahan lingkungan internal dan proses bisnis.

d. Perubahan peraturan dan lingkungan hukum.

e. Perubahan kebutuhan dan harapan pemangku kepentingan.

Faktor-faktor tersebut mengakibatkan peran pengawasan APIP masih dapat dikategorikan lemah dalam

hal mengawal pemerintah melaksanakan penyelenggaraan keuangan yang baik. Kecenderungan terlihat

bahwa selama ini peran APIP khususnya di pemerintah daerah masih jauh dari kata optimal. Kelemahan ini

harus segera diatasi karena akan muncul tantangan-tantangan baru yang akan dihadapi oleh APIP seperti

wacana pembentukan Inspektorat Nasional, tuntutan peran APIP dalam memberantas TPKKN, serta kesiapan

menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

2. Saran

Peningkatan kualitas tata kelola APIP pada aspek kelembagaan dan bisnis proses perlu dilakukan secara

berkelanjutan dan terintegrasi dengan sistem tata kelola yang terlah dibangun. Strategi yang dapat dibangun

misalnya dengan:

a. Untuk meningkatkan transparansi APIP memerlukan SOP dan pola hubungan yang jelas sehingga

tidak ada informasi yang ditutup-tutupi.

b. Untuk mengatasi masalah anggaran, perlu dilakukan penyusunan rencana kerja dan anggaran yang

lebih baik pada setiap kementerian dan lembaga yang dijabarkan untuk kegiatan APIP.hingga ke

tingkat unit.

c. Untuk mengatasi masalah organisasi diperlukan komitmen pimpinan puncak untuk membentuk

struktur organisasi fungsional untuk APIP dalam melaksanakan pengawasan.

d. Untuk mengatasi masalah independensi diperlukan pemberian jabatan secara resmi atas jabatan

APIP (eselonisasi) sehingga keberadaan dari APIP itu sendiri menjadi benar benar nyata. Selain itu,

dapat dilakukan penyusunan kebijakan dan SOP untuk menjadi pedoman APIP dalam melaksanakan

tugasnya agar tidak menimbulkan conflic of interest. Selanjutnya dengan adanya struktur organisasi,

eslonisasi dan penetapan SOP, dilakukan pemberdayaan fungsi organisasi APIP.

25

e. Untuk mengatasi ketatalaksanaan dalam pengawasan, APIP sebagaimana telah diaksanakan oleh

BPKP yaitu dengan menyusun PKPT yang berbasis risiko termasuk implementasi manajemen risiko

APIP, mengoptimalkam kegiatan assurance dan consulting pada kegiatan pengawasan intern seperti

audit, reviu, evaluasi, dan monitoring.

26

DAFTAR PUSTAKA

Ebimobowei, Appah dan Kereotu, Oyadonghan James. 2011.Role Theory and the Concept of Audit ExpectationGap in South-South, Nigeria. Maxwell Scientific Organization, Current Research Journal of Social Sciences3(6): 445-452, 2011

Institute of Internal Auditors Research Foundation. 2009. Internal Audit Capability Model (IA-CM). Institute ofInternal Auditors. Amerika Serikat

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2014. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semesteran Tahun 2014.Jakarta

Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor: PER-118/K/SU/2010 tentang GrandDesign Pengembangan Budaya Kerja Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1633/K/JF/2011 tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kapabilitas AparatPengawasan Intern Pemerintah

Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan danPembangunan

Republik Indonesia. Instuksi Presiden Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem PengendalianIntern dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern Dalam Rangka MewujudkanKesejahteraan Rakyat.

Meningkatan Kompetensi APIP dengan Diklat Auditor Ahli.http://www.bpkp.go.id/bali/berita/read/11845/0/Meningkatan-Kompetensi-APIP-dengan-Diklat-Auditor-Ahli.bpkp (diakses pada 17 Agustus 2015)

Peluang, Tantangan, dan Risiko Bagi Indonesia dengan Adanya Masyarakat Ekonomi Asean.http://crmsindonesia.org/knowledge/crms-articles/peluang-tantangan-dan-risiko-bagi-indonesia-denganadanya-masyarakat-ekonomi

pusbinjfa.bpkp.go.id Situs Resmi Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Auditor, Badan Pengawasan Keuangandan Pembangunan.

Pratama, Okky Rizky: Itjen Kemenkeu Tembus Level 3 IACM. Oktober 2013.http://timdisclaimer.blogspot.com/2013/10/opini-wtp-dibebankan-pada-inspektorat.html

Online, Iyas: Pengawasan Melekat. 10 September 2012.http://iyasyusuf.blogspot.com/2012/09/pengawasan-melekat.html

Diana: Arahan Menteri Keuangan dalam Konferensi AAIPI. 17 Juni 2014http://pusbinjfa.bpkp.go.id/berita/104-Arahan-Menteri-Keuangan-dalam-Konferensi-AAIPI-?page=9