Prosedur Tata Kelola - TAMAN NASIONAL BOGANI NANI ...

41
Prosedur Tata Kelola Hanom Bashari, Max Welly Lela, Muslim Kobandaha, Dini Rahmanita, dan Herman Teguh Lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Empowered lives. Resilient nations.

Transcript of Prosedur Tata Kelola - TAMAN NASIONAL BOGANI NANI ...

Prosedur Tata Kelola

Hanom Bashari, Max Welly Lela, Muslim Kobandaha, Dini Rahmanita, dan Herman Teguh

Lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo)di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Empowered lives.Resilient nations.

Prosedur Tata KelolaLokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo)

di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

Hanom Bashari, Max Welly Lela, Muslim Kobandaha, Dini Rahmanita, dan Herman Teguh

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – Project

Prosedur tata kelolaLokasi Peneluran Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

ISBN: 978-623-91240-3-8

PenyusunHanom Bashari, Max Welly Lela, Muslim Kobandaha, Dini Rahmanita, dan Herman Teguh(Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, EPASS Project Bogani Nani Wartabone, Wildlife Conservation Society)

KontributorAgus S.B. Sutito (Dit. KKH), Agusriyanto Kobandaha (BTNBNW), Alfons Patandung (WCS), Aris Udi (BTNBNW), Bagus Tri Nugroho (BTNBNW), Danny Rogi (EPASS), Elisabet Purastuti (EPASS), Fahmi Yulianto (BTNBNW), Iwan Hunowu (WCS), Lukita Awang Nistyantara (BTNBNW), Max Welly Lela (BTNBNW), Nuraini (BTNBNW), S.T. Agung Triono Hermawan (BTNBNW), Sudarsono (EPASS), Taufik Nadjamudin (BTNBNW), Wisnu Wardhana (PDHI), Yahya Laode (PPST), Yulian Sadono (BTNBNW).

Kredit foto dan ilustrasiHanom Bashari (EPASS Bogani Nani Wartabone)

Tata Letak dan GrafisIka Tri Lestari

PenerbitBalai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – Project

Jalan AKD, Mongkonai Barat, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara

Rekomendasi kutipanBashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh. 2020. Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kotamobagu: Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone - EPASS Project Bogani Nani Wartabone.

Empowered lives.Resilient nations.

Cetakan pertama, Februari 2020Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

KEPUTUSAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONENomor : SK. 2396/BTNBNW-1/2018

TENTANG

PROSEDUR TATA KELOLA LOKASI PENELURAN MALEO (Macrocephalon maleo)

DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

KEPALA BALAI TN BOGANI NANI WARTABONE

Menimbang : a. bahwa Direktur Jenderal KSDAE sesuai Surat Keputusan nomor SK. 375/KSDAE/SET/KSA/.2/9/2016 telah menetapkan Pusat Pembinaan Populasi Suaka Maleo (Macrocephalon maleo) di Hungayono, Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.

b. bahwa Direktur Jenderal KSDAE sesuai Surat Keputusan nomor SK. 376/KSDAE/SET/KSA/.2/9/2016 telah menetapkan Pusat Pembinaan Popu-lasi Suaka Maleo (Macrocephalon maleo) di Muara Pusian, Desa Pusian Barat, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.

c. bahwa Direktur Jenderal KSDAE sesuai Surat Keputusan nomor SK. 377/KSDAE/SET/KSA/.2/9/2016 telah menetapkan Pusat Pembinaan Populasi Suaka Maleo (Macrocephalon maleo) di Tambun, Desa Pinonobatuan, Kecamatan Dumoga Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara.

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan prosedur tata kelola lokasi pe- neluran maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Mengingat : a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang;

c. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar.

d. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BALAI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE TENTANG PROSEDUR TATA KELOLA LOKASI PENELURAN MALEO (Macro-cephalon maleo) DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE.

KESATU : Menetapkan Prosedur Tata Kelola Lokasi Peneluran Maleo (Macroceph-alon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sebagaimana dalam buku lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

KEDUA : Prosedur Tata Kelola Lokasi Peneluran Maleo (Macrocephalon maleo), sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU, dalam pelaksanaannya digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan lokasi peneluran maleo dalam lingkup Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan ditinjau kembali dan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : KotamobaguPada Tanggal : 4 September 2018-------------------------------------------------KEPALA BALAI

Lukita Awang Nistyantara, S.Hut, M.SiNIP. 19750112 200003 1 003

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.:Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati.Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional ingkup Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

BALAI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONEJalan AKD Mongkonai Barat,Telp/Fax (0434) 22548 Kota Kotamobagu 95716

SULAWESI UTARA

vi vii

viii ix

M aleo senkawor (Macrocephalon maleo) atau maleo merupakan salah satu satwa yang dilindungi pemerintah karena keberadaannya di alam terus menurun. Populasi maleo mengalami penurunan

karena adanya pemangsaan terhadap telur dan burung maleo, baik oleh manusia maupun predator alaminya. Selain itu, factor lain yang menyebabkan penurunan populasi maleo adalah adanya gangguan terhadap habitatnya. Berbagai upaya untuk penyelamatan dan peningkatan populasi maleo terus dilakukan untuk menghindari terjadinya kepunahan jenis maleo.

Salah satu faktor penting dalam upaya penyelamatan dan peningkatan populasi maleo adalah melalui pengelolaan lokasi peneluran secara baik dan benar. Pengelolaan lokasi peneluran maleo perlu dilakukan dalam rangka mempertahankan keberadaan maleo, agar tekanan dan ancaman terhadap maleo dapat dikurangi sehingga diharapkan mampu meningkatkan populasi maleo secara ideal di alam.

Untuk dapat mewujudkan tujuan pengelolaan tersebut, maka pengelolaan lokasi peneluran maleo tentunya harus dilakukan dengan cara-cara yang benar. Kegiatan pengelolaan lokasi peneluran maleo tersebut harus mampu mendukung kesejahteraan satwa dan menjaga kelestarian habitatnya. Selain itu, pengelolaan lokasi peneluran maleo harus dilakukan oleh pihak yang yang mempunyai kewenangan di bidangnya.

Kami sangat menyambut gembira dengan terbitanya buku “Standar Tata Kelola Lokasi Peneluran Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW)” ini. Standar tata kelola ini merupakan kumpulan dari berbagai pembelajaran penting dari pengelolaan lokasi peneluran yang sudah dilaksanakan di TNBNW.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Balai TNBNW bersama mitra yang telah bekerjasama menyusun buku ini. Diharapkan buku ini akan menjadi satu pedoman teknis dalam pengelolaan lokasi peneluran maleo khususnya di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Jakarta, Januari 2020Direktur KKH

Drh. Indra Exploitasia, M.SiNIP. 19660618 199203 2 002

Sambutan

T aman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) memiliki keragaman hayati yang besar, antara lain anoa (Bubalus spp.), babirusa sulawesi (Babyrousa celebensis), monyet-hitam sulawesi

(Macaca nigra), monyet-hitam gorontalo (Macaca nigrescens), tarsius (Tarsius tarsier), musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroeki), dan lebih dari 200 jenis burung termasuk di antaranya adalah maleo senkawor (Macrocephalon maleo).

Logo Balai TNBNW adalah maleo. Hal ini memberi motivasi bagi pengelola untuk dapat melaksanakan pengelolaan maleo secara tuntas, yang meliputi 3 (tiga) aspek yaitu : 1. Habitat maleo, agar maleo dapat berkembang biak dan hidup dengan nyaman di habitatnya; 2. Pengetahuan tentang maleo yang terus perlu digali, baik dari aspek genetik, perkembangbiakannya, wilayah jelajah, dan sebagainya; 3. Pemanfaatan maleo untuk kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan melalui pemanfaatan secara lestari, yaitu dimanfaatkan sebagai bagian pengembangan ekowisata dan pendidikan konservasi.

Salah satu upaya yang telah berhasil dilakukan untuk menyelamatkan maleo dari kepunahan adalah dengan mengelola areal yang menjadi lokasi peneluran. Lokasi peneluran maleo membutuhkan sumber panas bumi maupun matahari. Hal ini menjadikan lokasi peneluran sangat rentan terhadap perubahan dan gangguan. Oleh karena itu, pengelolaan secara intensif terhadap lokasi-lokasi peneluran maleo yang masih aktif harus terus dilakukan, bahkan diperluas sebagai sanctuary maleo. Saat ini telah dibangun di 3 (tiga) Seksi Pengelolaan Taman Nasional.

Balai TNBNW, bekerjasama dengan mitra (Wildlife Conservation Society – Indonesia Program Sulawesi) telah lama melakukan pengelolaan terhadap lokasi-Iokasi peneluran maleo yang ada di dalam kawasan TNBNW, sejak 2001. Berbagai pembelajaran penting diperoleh selama melakukan pengelolaan tersebut. Untuk itu, sejak 2018 Balai TNBNW telah berhasil menyusun dokumen “Prosedur Tata Kelola Lokasi Peneluran Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone”.

Dokumen prosedur tata kelola ini sangat penting untuk membantu dalam pengelolaan lokasi peneluran maleo di TNBNW dengan baik dan benar. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi sehingga dokumen ini dapat disusun dengan baik. Besar harapan saya bahwa dokumen ini tidak hanya menjadi panduan teknis dalam pengelolaan lokasi peneluran maleo, khususnya di kawasan TNBNW, namun dapat juga menjadi referensi dan pembelajaran penting bagi pengelolaan lokasi peneluran maleo di tempat lainnya, sehingga upaya-upaya dalam penyelamatan dan peningkatan populasi maleo ini dapat lebih baik ke depannya. Pengelolaan lokasi peneluran maleo yang baik dan benar menjadi prasayarat penting dalam upaya penyelamatan maleo di alam.

Kotamobagu, Januari 2020Kepala Balai

drh. Supriyanto

Sambutan

x xi

M aleo senkawor (Macrocephalon maleo) atau maleo merupakan salah satu satwa endemik Sulawesi. Maleo juga telah ditetapkan sebagai salah satu dari 25 Satwa Terancam Punah Prioritas untuk

ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen pada tahun 2015-2019, berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal KSDAE-KLHK Nomor 180/IV-KKH/2015.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) seluas 282.098,93 hektar merupakan taman nasional daratan terbesar di Pulau Sulawesi, yang memiliki keanekaragaman hayati dengan keendemikan yang sangat penting secara global. Maleo adalah satu dari tiga satwa priotas TNBNW yang telah dikelola secara intensif, baik peningkatan populasinya maupun pengelolaan habitatnya.

Di dalam kawasan TNBNW, terdapat delapan lokasi peneluran aktif maleo, yang menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi maleo terpenting di Sulawesi. Dekade 1980 dan 1990an, ragam pene-litian maleo telah dilakukan di dalam kawasan TNBNW. Sejak 2001, Balai TNBNW bersama mitra ini telah mengelola dua lokasi peneluran maleo secara intensif, yaitu Tambun dan Muara Pusian, kemudian pembelajarannya direplikasi di lokasi peneluran Hungayono pada 2003.

Pengelolaan lokasi peneluran maleo yang intensif terbukti mampu meningkatkan jumlah kunjungan pasangan maleo berbiak di suatu lokasi peneluran. Peningkatan jumlah pasangan berbiak dapat menjadi salah satu indikator peningkatan populasi sekaligus peningkatan kualitas habitat, khususnya lokasi peneluran.

Banyaknya pembelajaran penting dalam pengelolaan di tiga lokasi peneluran ini, mendorong Balai TNBNW bersama mitra untuk menyusun panduan atau prosedur tata kelola dalam pengelolaan loka-si-lokasi peneluran maleo. Prosedur tata kelola tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Balai TNBNW Nomor: SK.2396/BTNBNW-1/2018, agar dapat menjadi pedoman atau acuan bagi pengelolaan lokasi-lokasi peneluran maleo khususnya bagi Balai TNBNW sehingga dapat mendukung upaya-upaya peningkatan populasi maleo di alam.

Kotamobagu, September 2018Kepala Balai

Lukita Awang Nistyantara, S.Hut. M.Si.NIP. 197501122000031003

Pengantar

D okumen ini disusun atas usaha bersama. Kami mengucapkan terimakasih kepada staf-staf lapangan Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), khususnya yang telah

berkontribusi langsung terhadap pengelolaan lokasi-lokasi peneluran maleo di dalam kawasan taman nasional ini, mulai dari taman nasional ini berdiri sampai saat ini. Dari merekalah bulir-bulir penting, masukan, dan pembelajaran dalam pengelolaan lokasi peneluran maleo ini dapat tertuangkan secara baik.

Masukan-masukan yang berharga untuk hal-hal khusus, kami ucapkan terimakasih kepada Agus S.B. Sutito (Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati – KLHK) atas masukan dari sisi teknis doku-men, drh. Whisnu Wardana (PDHI – Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia) atas masukan perihal kesehatan dan kesejahteraan satwa, serta Iwan Hunowu (WCS – Wildlife Conservaton Society) atas masukan teknis pengelolaan lokasi peneluran maleo, di lapangan.

Secara khusus kami ucapkan terimakasih kepada WCS - Indonesia Program, atas kontribusi- nya dalam upaya pengelolaan awal tiga lokasi peneluran maleo di dalam kawasan TNBNW (Tambun, Muara Pusian, dan Hungayono), sejak 2001 silam. Konsep awal tata kelola ini lahir dari banyak pembe-lajaran berharga yang WCS lakukan bersama Balai TNBNW dalam pengelolaan di tiga lokasi tersebut.

Para kontributor juga mengambil peran penting dalam melengkapi dokumen ini dari banyak sisi. Rangkaian diskusi formal dan informal banyak dilakukan dengan para kontributor. Terimakasih dan penghargaan untuk para kontributor.

Kami juga menghargai kontribusi yang kuat dari EPASS (Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation) Project, yang merupakan kerjasama Kementerian Lingkun-gan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama United Nation Development Programme (UNDP) dalam pembiayaan dana hibah dari Global Environment Facility (GEF). EPASS yang telah membiayai rang-kaian lokakarya dan diskusi dalam penyusunan dokumen prosedur tata kelola ini. Terakhir, tentunya kami ucapkan terimakasih yang besar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atas dukungan selama proses penyusunan dokumen ini.

Kotamobagu, September 2018

Penyusun

Ucapan Terimakasih

SAMBUTAN VIIIPENGANTAR XUCAPAN TERIMAKASIH XI

A PENGELOLAAN HAMPARAN LOKASI PENELURAN

1

9

24PENDAHULUAN 1. Latar belakang penyusunan prosedur tata kelola 22. Tujuan 33. Ruang lingkup 44. Bio-ekologi maleo senkawor 45. Ancaman 7

1. Pengertian 102. Batasan kegiatan di lokasi

peneluran 103. Perawatan lokasi peneluran 114. Pembangunan fisik 165. Kunjungan wisata 30

DAFTAR ISI

C PENGELOLAAN KANDANG HABITUASI DAN ISOLASI

1. Pengertian 502. Jenis-jenis kandang 513. Aturan umum di dalam kandang habituasi 514. Perawatan kandang 545. Minum dan pakan 556. Maleo sakit atau mati 597. Pelepasliaran 608. Keadaan darurat 61

B PENGELOLAAN TELUR, ANAK MALEO, DAN BAK PENETASAN

1. Pengertian 342. Pengambilan telur 343. Penanaman kembali telur

dalam hatchery 374. Aturan umum di dalam

hatchery 385. Penanganan anak maleo yang menetas 396. Pelepasliaran anak maleo 417. Penanganan anak maleo

lemah lemah dan mati 428. Perawatan bak penetasan 449. Keadaan darurat 46

PENUTUP 62PUSTAKA 64

33

36

49

3842

xiv

Pendahuluan

1Secara alami, sudah banyak tantangan yang dihadapi maleo untuk suskes hidup di alam, seperti bagaimana mereka menghadapi ter-batasnya habitat yang cocok untuk lokasi peneluran.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 3| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh2

beberapa pemangsa alami maleo itu sendiri. Untuk itu, campur tangan manusia juga diperlukan untuk mempertahankan keberadaan maleo, khususnya di lokasi-lokasi pen-eluran yang ada, agar tekanan dan ancaman terhadap maleo dapat dikurangi dalam satu sisi (khusus untuk lokasi peneluran), serta diharapkan dapat meningkatkan populasi mereka secara ideal di alam.

Sejak 2001, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) bersama mitra telah melakukan pengelolaan di tiga lokasi peneluran utama maleo di dalam kawasan taman nasional ini, yaitu Tambun, Muara Pusian, serta Hungayono, dan masih berlangsung sampai sekarang. Lebih dari 17 tahun pengalaman pengelolaan tersebut memperikan banyak pembelajaran, baik karena keberhasilan maupun kegagalan. Agar pembelajaran yang diperoleh dapat memperbaiki pengelolaan lokasi peneluran lainnya, baik dilingkup TNBNW maupun lokasi lainnya, maka disusunlah dokumen prosedur tata kelola lokasi peneluran ini.

2. Tujuan

Dokumen tatakelola ini bertujuan untuk memberikan acuan dalam pengelolaan lokasi pe- neluran maleo untuk pengelolaan yang dilakukan dalam lingkup Balai TNBNW. Aspek-aspek pengelolaan akan tergantung dari tahapan atau sudah sejauh mana pengelolaan dilakukan di lokasi peneluran tersebut. Hal-hal yang dibahas dalam dokumen ini mencakup:• Pengelolaan hamparan lokasi peneluran.• Pengelolaan telur, anak maleo, dan bak penetasan.• Pengelolaan kandang habituasi dan isolasi

1. Latar belakang penyusunan prosedur tata kelola

Secara alami, sudah banyak tantangan yang dihadapi maleo untuk suskes hidup di alam, seperti bagaimana mereka menghadapi terbatasnya habitat yang cocok untuk lokasi peneluran, proses perkembangbiakan yang penuh tantangan, ancaman predator alami, dan sebagainya. Namun keadaan alamiah tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari peran ekosistem yang mereka jalankan. Kehadiran manusia dengan segala kebutuhannya, termasuk kebutuhan ruang untuk budidaya dan permukiman, pencarian dan pengembangan sumber pangan, serta satwa dan tumbuhan asing yang ikut dalam proses okupansi manusia di suatu daerah, sedikit banyaknya ikut membawa tekanan tambahan kepada kehidupan maleo secara alami saat ini.

Kebutuhan ruang untuk lahan budidaya dan permukiman manusia menyebabkan beberapa lokasi peneluran maleo saat ini di Sulawesi telah lenyap. Sementara hutan sebagai habitat jelalah dan sumber pakan maleo, pun makin berkurang. Proses pemukiman manusia di dekat lokasi-lokasi peneluran maleo juga turut menyertakan pemangsa maleo bertambah, seperti anjing, kucing, tikus, bahkan manusia itu sendiri. Belum lagi perubahan bentang ekosistem menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu, seperti makin berkembangnya

Gambar 2.Hamparan lokasi peneluran

maleo di Tambun, TN Bogani Nani Wartabone

Gambar 1.Salah satu sumber mata air panas di lokasi peneluran maleo Hungayono, TN Bogani Nani Wartabone

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 5| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh4

3. Ruang lingkup

Pemantauan rutin dan pengelolaan yang intensif di lokasi-lokasi peneluran, berdasarkan pembelajaran yang diperoleh,terbukti turut membawa dampak menurunkan tingkat ancaman langsung terhadap maleo, sekaligus meningkatkan jumlah kunjungan pasangan maleo untuk di lokasi tersebut. Maka hasil-hasil pembelajaran ini dikumpulkan menjadi dokumen prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo. Dalam pembahasannya, prosedur ini mencakup tiga aspek pengelolaan yang dapat dilakukan manusia di lokasi peneluran maleo, yaitu pengelolaan hamparan lokasi peneluran, pengelolaan telur dan bak penetasan semi alami, serta pengelo-laan kandang habituasi.

Campur tangan manusia dalam pengelolaan lokasi peneluran maleo ini, dalam rangka meningkatkan populasi mereka di alam, mengikuti fase kehidupan maleo itu sendiri, yaitu:• Fase telur, yaitu mengamankan telur dari pencurian, kerusakan, predasi, dsb.• Fase anak maleo yaitu mengamankan anak maleo dari pemangsaan oleh predator, pe-

nangkapan oleh manusia, kematian alami, dsb.• Fase dewasa yaitu menyediakan habitat-habitat alami, koridor pergerakan, dsb.• Fase bertelur, yaitu mengamankan lokasi peneluran dari berbagai bentuk gangguan, seperti

kehadiran manusia, anjing, pemangsa alami, keadaan yang tidak cocok, pemadatan tanah oleh injakan manusia, naungan yang berlebihan, dsb.

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam campur tangan manusia selama proses pengelolaan lokasi-lokasi peneluran ini adalah:• Meningkatkan keamanan dan kenyamanan maleo sejak kedatangannya ke lokasi peneluran

hingga pelepasliaran anak maleo ke alam.• Segala perlakukan yang dilakukan tetap mendekati keadaan asli maleo (habitat, perilaku,

kondisi, dsb.) secara alami.• Meminimalkan campur tangan (intervensi) atau interaksi atau kontak langsung dengan

manusia.• Mengedepankan perlindungan, kenyamanan, dan keberlangsungan hidup maleo daripada

tujuan-tujuan lain dalam pengelolaan selain dari itu.• Menerapkan pula prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare)

4. Bio-ekologi maleo senkawor

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) atau maleo, merupakan anggota suku Megapodiidae yang hanya tersebar di Sulawesi, Bangka, Lembeh, dan Buton (Coates & Bishop 1997, Jones dkk. 1995, Prawiradilaga 1997, BirdLife International 2001). Secara global, jenis ini masuk dalam kategori genting (Endangered–EN) menurut kriteria IUCN karena penurunan populasi yang sangat cepat, yang diperkirakan akan terus menurun berdasarkan tingkat eksploitasi dan penurunan kualitas habitat, dikombinasikan dengan fakta bahwa maleo memiliki populasi kecil dan habitatnya terus mengalami fragmentasi yang parah (BirdLife International 2017).

Status perlindungan maleo mulai sejak ditetap-kan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian di-cantumkan kembali dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 90/Kpts/Um/2/1972. Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 757/Kpts/Um/12/1979, maleo kembali ditetapkan sebagai jenis dilindungi bersama-sama dengan seluruh suku Megapodiidae. Terakhir, berdasarkan Peraturan Peme- rintah Nomor: 7/1999 juga ditetapkan sebagai satwa dilindu- ngi sebagai bagian dari suku Megapodiidae (Noerdjito & Maryanto 2001).

Secara internasional, jenis ini masuk dalam Appendix I CITES (BirdLife International 2016) yang melarang perdagangan internasionalnya. Maleo juga masuk dalam Permenhut No. P. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 serta termasuk dalam 25 satwa prioritas KLHK berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor 180/IV-KKH/2015 tentang Penetapan 25 Satwa Terancam Punah Prioritas untuk Ditingkatkan Populasinya Sebesar 10% pada Tahun 2015-2019.

Secara umum, maleo mendiami habitat berupa hutan tropis Sulawesi dari permukaan laut sampai ketinggian 1.200 mdpl. Mereka juga kadangkala dijumpai di hutan sekunder, perkebunan kelapa, dan habitat buatan manusia lainnya, khususnya jika mereka terpaksa melintasinya untuk mencapai lokasi-lokasi peneluran (Jones dkk. 1995).

Lokasi peneluran maleo berada di daerah berpasir di pantai atau daerah vulkanik dan juga di tanah yang mendapatkan panas vulkanik baik di hutan primer dataran rendah maupun perbukitan. Hamparan lokasi peneluran dapat berada di hutan primer, hutan sekunder, tepi

Gambar 3.Menjaga hutan primer di sekitar

lokasi peneluran maleo sangat penting karena berfungsi sebagai

koridor mereka dari hutan menuju lokasi-lokasi peneluran

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 7| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh6

sungai, bahkan hutan rawa (Coates & Bishop 1997). Dalam dan ukuran lubang telur sangat bervariasi tergantung substrat dan suhu tanah, mulai dari cekungan yang dangkal dengan pasir kering dan tidak padat, sampai lubang yang luas dan dalam, dengan tanah yang sangat padat (Jones dkk. 1995).

Maleo biasa dijumpai berpasangan namun jarang terlihat selain di lokasi-lokasi peneluran-nya. Umumnya bersifat terrestrial atau lebih suka di permukaan tanah, namun kadangkala terlihat bertengger atau berlindung saat terdapat gangguan, di atas dahan pohon yang men-datar. Umumnya mereka pemalu dan penakut saat berada di permukaan tanah dan juga saat bertengger di pohon. Kadang-kadang saling memanggil apabila berada di atas pohon (Coates & Bishop 1997).

Jenis-jenis dalam suku megapoda, dikenal memiliki empat strategi dalam proses inkubasi telur-telur mereka, yaitu menimbun dalam tumpukan serasah, membuat lubang sarang di antara akar-akar pohon, membuat lubang sarang di tanah yang memperoleh panas karena proses vulkanik, dan membuat lubang sarang pada pantai yang terpapar panas matahari. Maleo menggunakan strategi ketiga dan keempat, yaitu memanfaatkan panas vulkanik dan panas matahari (Dekker & Brom 1992).

Pasangan maleo meletakkan telurnya pada pagi atau sore di lokasi-lokasi peneluran yang bersifat komunal (Jones, dkk. 1995, Coates & Bishop 1997). Di lokasi-lokasi peneluran daratan yang menggunakan panas vulkanik/geothermal, maleo umumnya datang berpasangan dan menggali lubang sarang secara bergantian, antara jantan dan betina. Di lokasi seperti ini, biasanya jarang terjadi persaingan antar pasangan dalam merebutkan lubang sarang. Lokasi-lokasi peneluran di pantai, umumnya berupa ham-paran pantai terbuka. Pada lokasi seperti ini, maleo datang hampir bersamaan, sehingga biasa terjadi persaingan antar pasangan da-lam merebutkan lubang peneluran mereka.

Maleo meletakkan telurnya setiap 7–9 hari sekali selama periode bertelur 2–3 bulan, dengan produksi telur (betina) sebanyak 8–12 butir per tahun dalam periode musim (Dekker 1990a). Anak maleo yang baru menetas akan naik ke permukaan tanah dengan kecepatan 0,5–1,0cm per jam, sehingga jika kedalamam lubang 20cm maka mereka akan mencapai permukaan setelah 20–40 jam. Anak maleo

Gambar 4.(Atas) Sepasang maleo menuju lokasi peneluran, dan;

(Bawah) Hamparan lokasi peneluran di Muara Pusian, TN Bogani Nani Wartabone, salah satu lokasi peneluran aktif di tengah daratan (inland) .

tidak membutuhkan banyak perawatan. Setelah menetas, mereka sepenuhnya sudah mandiri dari induk mereka dan sudah dapat terbang (Dekker 1990b).

Masa inkubasi telur maleo 62–85 hari tergantung suhu. Suhu lubang sarang berkisar 29,4–36,0 derajat Celcius dengan besar lubang sarang bervariasi 40–150cm untuk diameter dan dalam 10–50 cm dari dasar lubang, di lokasi peneluran Tambun Sulawesi Utara (Dekker 1988). Sedangkan Hafsah (2009) melaporkan bahwa masa inkubasi dalam proses penetasan dalam penangkaran di habitat alami di Lore Lindu Sulawesi Tengah yaitu 60–69 hari, di habitat ex-situ 72–86 hari, dengan penggunaan inkubator selama 57–61 hari pada media rak dan 59–60 hari pada media pasir. Menurut Jones dkk. (1995), rata-rata perbandingan panjang dan lebar telur maleo adalah 1,72, dengan rata-rata berat telur 231 gram serta berat telur relatif dengan berat tubuh adalah 13,8–17,6%.

MacKinnon (1978) memperkirakan total individu maleo dari 13 lokasi peneluran Sulawesi Utara sebesar 3.000 individu dan memperkirakan 5.000–10.000 untuk seluruh Pulau Sulawesi. Sedangkan Argeloo (1994) memperkirakan populasi maleo khusus di Sulawesi Utara sebesar 335–740 pasang untuk lokasi-lokasi peneluran di pantai, dan diduga sekitar 2.000 pasang untuk lokasi-lokasi peneluran di daratan (inland). Buchart & Baker (2000) yang melakukan kajian area prioritas konservasi maleo di Sulawesi Tengah, memperkirakan populasi maleo di Sulawesi Tengah dan Selatan sebesar 1.700–4.300 pasang, dan secara global diperkirakan populasi sebesar 4.000–7.000 pasang. Khusus di lokasi peneluran Tambun (TN Bogani Nani Wartabone), hasil kajian Dekker (1990a) pada 1985–1986 memperkirakan terdapat 150–200 individu maleo yang berada atau memanfaatkan lokasi peneluran tersebut. Saat ini, secara global BirdLife International (2017) memperkirakan populasi global maleo sebesar 8.000–14.000 individu dengan kecenderungan populasi yang menurun.

5. Ancaman

Beberapa ancaman umum yang terjadi terhadap maleo yaitu :• Degradasi habitat, pengambilan/pemanenan telur, dan perburuan (penembakan, perang-

kap, dan jerat). • Perubahan fungsi lahan akibat gangguan manusia (permukiman dan lahan pertanian)

menjadi sebab utama banyak lokasi peneluran maleo di pantai ditinggalkan atau tidak aktif lagi (Baker & Buchart 2000).

• Pengrusakan dan fragmentasi hutan mengakibatkan ancaman daya hidup maleo di alam (Dekker 1988). MacKinnon (1981) menyebutkan bahwa pembalakan dan perubahan hutan menjadi lahan pertanian, permukiman, pembangunan jalan yang banyak mengisolasi lokasi-lokasi peneluran dengan habitat maleo di luar musim bertelurnya, semuanya meningkatkan resiko kematian maleo dan predasi alami dari anak-anak maleo. Untuk lokasi-lokasi peneluran aktif maleo, Gorog dkk. (2005) menyarankan perlindungan dari ancaman predasi, gangguan manusia, dan vegetasi yang bersifat invasif.

| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh8

2Hamparan lokasi peneluran (nesting ground) merupakan lokasi yang teridentifikasi digunakan oleh pasangan maleo untuk meletakkan telurnya, baik lokasi ini masih aktif maupun sudah tidak aktif lagi.

A Pengelolaan Hamparan Lokasi Peneluran

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 11| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh10

Gambar 5.Lokasi peneluran maleo di Tanjung Binerean, Bolaang Mongondow Selatan, yang masih menjadi bagian dalam lanskap Bogani Nani Wartabone, salah satu lokasi peneluran aktif yang memanfaatkan panas pasir pantai

1. Pengertian

Hamparan lokasi peneluran (nesting ground) merupakan lokasi yang teridentifikasi digunakan oleh pasangan maleo untuk meletakkan telurnya, baik lokasi ini masih aktif maupun sudah tidak aktif lagi. Di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone, lokasi peneluran maleo ini biasa ditandai dengan adanya sumber air panas vulkanik (air panas). Batas lokasi peneluran ditandai dengan lubang-lubang terjauh yang terdeteksi masih atau pernah digunakan sebagai lubang tempat penempatan telur-telur maleo.

2) Kegiatan yang diperkenankan di dalam lokasi peneluran Penelitian, pemantauan, pembangunan fisik, kegiatan wisata terbatas, dan kegiatan

dalam pengelolaan lokasi peneluran itu sendiri. Semua kegiatan harus memenuhi waktu-waktu dan batasan tertentu yang ditetapkan.

b. Waktu dan batasan kegiatan

1) Waktu yang tidak diperbolehkan ada kegiatan di lokasi peneluran Sekitar 06:00–10:00 dan 15:00–17:00 tidak diperkenankan segala kegiatan di lokasi

utama peneluran. Hal ini dikarenakan pada waktu-waktu tersebut merupakan waktu untuk pasangan maleo bertelur.

2) Waktu yang diperbolehkan ada kegiatan di lokasi peneluran Di luar waktu-waktu bertelur di atas kadangkala masih dijumpai pasangan maleo

datang dan bertelur namun dengan intensitas yang rendah. Namun, untuk kepenti- ngan pengelolaan, waktu-waktu di luar waktu tersebut dapat digunakan sebagai waktu untuk melakukan aktifitas di dalam lokasi peneluran dengan sedikit resiko mengganggu proses peneluran maleo.

Aktifitas penelitian atau pemantauan diperkenankan pada waktu-waktu tersebut di lokasi utama peneluran hanya jika dilakukan di dalam menara-menara atau lokasi pengamatan atau jalur khusus yang telah disediakan oleh pengelola lokasi peneluran, baik yang berbentuk bangunan permanen ataupun sementara. Pengamat dalam kegiatan seperti ini diwajibkan telah berada di lokasi-lokasi pengamatan sebelum pasangan maleo datang di waktu-waktu tersebut.

Dalam melakukan kegiatan-kegiatan pengelolaan, penelitian,maupun pemantauan atau pengamatan, sepanjang waktu dan diseluruh lokasi peneluran, maka:1. Petugas pengelola, peneliti, dan pengamat dilarang ke luar dari lokasi pengamatan

sehingga masuk ke dalam lokasi peneluran langsung, sebelum waktu yang telah ditetapkan berakhir dan/atau secara pasti masih terdapat maleo di lokasi peneluran tersebut.

2. Petugas pengelola, peneliti, dan pengamat dilarang merokok atau menggunakan we-wangian atau hal lain yang secara tidak alami menciptakan bau yang menyengat.

3. Petugas pengelola, peneliti, dan pengamat harus menggunakan pakaian dengan warna yang tidak mencolok, gunakan warna yang selaras alam.

4. Petugas pengelola, peneliti, dan pengamat tidak diperkenankan membuat suara gaduh, baik itu karena percakapan maupun penggunaan peralatan yang dibawa.

3. Perawatan lokasi peneluran

Perawatan lokasi peneluran berupa perawatan rutin dan non-rutin (tambahan). Perawatan hanya ditujukan untuk menciptakan lokasi peneluran yang disukai atau nyaman digunakan oleh pasangan maleo dalam proses meletakkan telurnya. Perawatan lokasi peneluran yang bersifat rutin, hanya diperkenankan untuk kegiatan-kegiatan dalam bentuk pembersihan hamparan, pengendalian

2. Batasan kegiatan di lokasi peneluran

a. Jenis kegiatan

1) Kegiatan yang tidak diperbolehkan di lokasi peneluran maleo Segala kegiatan yang dapat mengganggu proses pasangan maleo bertelur atau men-

gubah fisik hamparan lokasi peneluran sehingga menyebabkan maleo tidak dapat atau tidak nyaman atau terganggu dalam melakukan proses peletakkan telurnya di dalam lubang-lubang alami mereka.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 13| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh12

predator, patroli, dan pengelolaan sampah. Sedangkan perawatan lainnya yang bersifat non-rutin hanya diperkenankan berupa penanaman pohon transit dan pakan, pengelompokkan lokasi pe- neluran, serta pembangunan fisik yang menunjang pengelolaan.

a. Pembersihan hamparan

1) Yang boleh dilakukan• Pasangan maleo lebih menyukai untuk meletakkan telurnya di lokasi hamparan

peneluran yang bersih dari semak namun mendapat naungan yang cukup. Untuk itu harus dipastikan bahwa dilakukan pembersihan semak atau ilalang atau tumbuhan bawah lain yang dianggap mengganggu hamparan, yang dilakukan secara rutin yang disesuaikan dengan pertumbuhan semak atau ilalang. Intensitas pembersihan dilakukan sesuai kebutuhan dan hanya dilakukan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan seperti tertera pada bagian A.2.b.

• Kadangkala juga dijumpai maleo dewasa mati di lokasi peneluran. Kuburlah di luar lokasi peneluran atau dibakar, jika tidak diperlukan untuk koleksi atau penelitian lebih lanjut. Prosedur ini juga berlaku bagi satwa apapun yang kedapatan mati di dalam area lokasi peneluran.

2) Yang tidak boleh dilakukan• Penggunaan mesin pemotong karena akan menimbulkan suara yang keras. • Penggunaan herbisida atau bahan kimia lainnya untuk membersihkan atau

membunuh tumbuhan bawah. • Membuang sembarangan bangkai maleo atau satwa lain yang mati di area lokasi

peneluran, seperti membuang di dalam lokasi peneluran, sungai, sumber atau aliran air panas, dan sebagainya.

b. Pengendalian predator

1) Jenis-jenis pemangsa/predator maleo Secara alami, terdapat beberapa pemangsa maleo, yaitu biawak air (Varanus salvator)

dan ular phyton (Phyton reticulatus). Keduanya dapat memangsa individu maleo dewasa, anak, maupun telur. Beberapa pemangsa non-alami pun muncul jika lokasi peneluran dekat dengan permukiman, seperti anjing, kucing, dan tikus.

2) Cara mengendalikan pemangsa/predator maleo Beberapa cara untuk mengendalikan predator adalah:

Pemasangan pagar.• Pemagaran cukup efektif untuk penghindari pemangsa seperti anjing ataupun

gangguan ternak bahkan manusia, yang dapat masuk ke dalam lokasi peneluran, khususnya pada daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan permukiman atau lahan budidaya manusia. Bahkan pagar juga cukup efektif mencegah biawak masuk ke dalam lokasi peneluran. Kontruksi pagar dapat dilihat pada bagian A.4.d.

Pemasangan jerat• Pemasangan jerat dapat dilakukan dan efektif untuk untuk mengurangi gangguan

biawak yang masuk ke lokasi utama peneluran. Namun perlu diperhatikan bahwa mangsa alami merupakan bagian dari ekosistem yang seharusnya terjadi. Selain itu, pemasangan jerat perlu kehati-hatian agar tidak mengenai satwa lain, apalagi maleo. Pemasangan jerat diperkenankan jika telur yang dimangsa telah melebihi 20%.

• Bahan jerat dapat berupa tali/tambang (berbahan nilon 3 mm), dipasang di bagian luar pagar atau di bagian lokasi peneluran yang dicurigai sebagai lokasi masuk biawak namun bukan menjadi jalur utama maleo masuk ke dalam lokasi peneluran. Tipe jerat harus benar-benar dibuat untuk memperbesar kemungkinan biawak tertangkap namun sangat kecil kemungkinan terkena maleo. Biawak yang tertangkap jerat disarankan hanya dibuang di lokasi yang sangat jauh dari lokasi peneluran (dapat dibuang melalui sungai besar yang menjauhi lokasi peneluran atau cara lainnya).

Pemeriksaan secara rutin dan cepat• Pemeriksaan secara rutin dan cepat sesaat setelah waktu maleo bertelur berakhir

(10:00 dan 17:00) sangat dianjurkan untuk mencegah lebih besar kemungkinan predator datang terlebih dahulu untuk memangsa telur. Beberapa predator seperti ular dan tikus lebih banyak menyerang ke dalam bak-bak penetasan semi alami, sehingga akan dibahas dalam bagian pembangunan dan pengelolaan bak pe- netasan semi alami.

• Cara mencegah predator-predator lainnya (jika ada, sesuai dengan keadaan di setiap lokasi peneluran), dapat disesuaikan dengan keefektifan dan kondisi di setiap lokasi peneluran.

3) Hal yang tidak diperkenankan dalam penanganan pemangsa/predator maleo menggunakan racun atau cara lain yang menyebabkan predator mati atau terbunuh,

untuk membasmi predator.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 15| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh14

c. Patroli

Patroli merupakan salah satu kegiatan pengamanan hutan di kawasan konservasi. Di lokasi peneluran maleo, patroli dilakukan untuk mencegah ataupun menindak segala bentuk ke-jadian yang dapat mengganggu keamanan lokasi peneluran atau mengganggu kenyamanan proses pasangan maleo bertelur atau mengganggu maleo itu sendiri secara langsung. Patroli dapat dilakukan dengan mengelilingi seluruh lokasi peneluran atau berjalan pada jalur-jalur khusus, setiap hari. Patroli dilakukan rutin oleh petugas pengelola lokasi peneluran ataupun dilakukan oleh tim-tim bantuan khusus untuk patroli tersebut.Petugas patroli mencatat segala temuan yang dianggap dapat mengganggu atau merusak lokasi peneluran, seperti adanya jejak predator atau kejadian pencurian telur, bagian pagar yang rusak, jerat biawak yang tertangkap, maleo mati, kerusakan akibat masuknya satwa ternak, pengambilan hasil hutan lain, dsb. Jika kejadian-kejadian tersebut dapat segera ditindaklanjuti, maka harus segera ditindaklanjuti, walaupun hanya untuk penanganan sementara. Segala temuan kejadian dalam patroli harus tercatat dalam buku harian pos penjagaan (lihat bagian A.4.f.).

d. Pengelolaan sampah

Di lokasi peneluran tidak disediakan tempat sampah. Setiap petugas maupun pengunjung tidak diperkenankan meninggalkan apapun di dalam lokasi peneluran. Setiap sampah harus dibawa kembali ke luar lokasi peneluran dan dibuang di tempat yang telah dise-diakan oleh pengelola di luar lokasi peneluran. Pengelola lokasi peneluran dapat mem-buat rambu-rambu khusus di dalam lokasi peneluran mengenai sampah. Pengelola juga

dapat membuat aturan-aturan khusus jika diperlukan untuk pelanggar ketentuan ini. Hamparan lokasi peneluran harus benar-benar bebas benda asing yang membahayakan maleo, seperti plastik, logam kecil, kaleng, dsb.Sampah, jika ternyata masih ada di dalam lokasi peneluran, maka petugas harus mem-bawanya ke luar. Pengelolaan sampah dilakukan di luar lokasi peneluran. Untuk sisa-sisa pengelolaan hamparan, seperti potongan tumbuhan bawah dalam proses pembersihan hamparan, dapat dikumpulkan pada lokasi tertentu yang bukan merupakan lokasi pe- neluran utama dan dibiarkan membusuk secara alami. Jangan dibakar, karena umumnya lokasi peneluran merupakan daerah yang cukup panas dan kering sehingga rawan kebakaran.

e. Penanaman dan pemeliharaan pohon naungan, transit, dan pakan

Penanaman ditujukan untuk memberikan naungan yang cukup bagi hamparan penelu-ran maupun sebagai tenggeran transit dan sumber pakan maleo (buahnya). Maleo juga terindikasi sebagai salah satu kelompok Megapoda yang suka membuat lubang-lubang peneluran mereka di antara akar-akar pohon. Hal ini menyebabkan keberadaan pohon menjadi penting di lokasi peneluran.Di beberapa lokasi peneluran, terdapat juga kebiasaan maleo untuk bertengger terlebih dahulu di batas lokasi peneluran sebelum masuk ke dalam lokasi peneluran. Untuk itu baik juga dilakukan penanaman pohon di batas-batas terluar lokasi peneluran, khususnya dari arah maleo datang. Di hamparan lokasi peneluran, pohon-pohon yang ditanaman atau-pun dibiarkan tumbuh dibuat tidak terlalu rapat namun dengan tajuk yang dapat tetap saling bersambungan. Beberapa jenis pohon yang direkomendasikan seperti kemiri (Aleurites

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 17| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh16

moluccana), melinjo (Gnetum gnemon), pangi (Pangium edule), mara (Macaranga spp.), kayu kambing (Garuga floribunda), palem kipas (Livistona rotundifolia), dsb.

f. Pengelompokkan lokasi peneluran

Lokasi peneluran biasanya berupa hamparan luas atau memanjang (sempadan sungai). Untuk itu, lokasi peneluran dapat dibagi menjadi kelompok atau grid tertentu untuk memudahkan pemantauan. Pengelompokkan ini untuk mengetahui lokasi utama dan lokasi non-utama. Lokasi utama adalah lokasi-lokasi yang paling sering digunakan pasangan maleo untuk meletakkan telurnya. Sedangkan lokasi non-utama atau di luar lokasi utama adalah lokasi-lokasi yang masih digunakan oleh pasangan maleo untuk meletakkan telurnya namun dengan intensitas yang sangat jarang (tidak lebih dari satu kali kunjungan pasangan maleo tiap bulan) atau lokasi-lokasi yang tidak pernah lagi dikunjungi oleh pasangan maleo namun masih terdapat bekas lubang peneluran lama sehingga masih menjadi bagian lokasi peneluran.Pengelompokkan lokasi peneluran dapat menggunakan tanda-tanda alam maupun tanda-tanda buatan yang tidak terlalu mencolok. Jika lokasi peneluran utama cukup luas dan dalam satu hamparan, untuk memudahkan pemantauan, hamparan utama ini dapat dibagi men-jadi beberapa plot atau grid yang ditandai. Sedangkan jika dalam bentuk lokasi-lokasi terpisah, dapat ditandai sesuai tanda alam di lokasi tersebut. Setiap kelompok lokasi peneluran dinamai untuk memudahkan pemantauan.

4. Pembangunan fisik

Pembangunan fisik secara umum di lokasi peneluran hanya diperkenankan dalam rangka meningkatkan pengelolaan lokasi peneluran tersebut. Untuk itu tidak diperkenankan ke-giatan-kegiatan pembangunan fisik lainnya, yang berada di dalam atau terlalu dekat di lokasi

Gambar 6.Menara pengintai maleo,

harus dibuat kokoh dan sealami mungkin

peneluran. Dalam proses pembangunannya pun, tidak melanggar ketentuan waktu seperti yang telah disebutkan dalam bagian A.2.b. Walaupun untuk kepentingan pengelolaan dan dilakukan sesuai waktu yang telah ditentukan dalam kegiatan harian, namun pembangunan fisik di dalam lokasi peneluran selalu menimbulkan gangguan baik ringan maupun berat. Untuk itu proses pembangunan harus dilakukan seefektif dan secepat mungkin serta dilakukan pada bulan-bulan musim peneluran terendah di lokasi peneluran tersebut (umumnya pada Juni–Oktober).

a. Menara atau tempat pengintaian

Pembangunan menara atau tempat pengintaian ditujukan sebagai lokasi pengamatan maleo, hanya untuk kegiatan penelitian, pemantauan, dan wisata terbatas. Penempatan lokasi pengintaian sebaiknya tidak tepat di tengah areautama atau area aktif pasangan maleo bertelur, namun berada di bagian yang tidak terlalu aktif dengan tetap mempunyai daya pandang yang baik ke arah lokasi utama peneluran.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 19| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh18

Pemilihan penempatan menara atau tempat pengintaianPenempatan lokasi menara atau tempat pengintaian juga harus benar-benar membertimbangkan kefektifan dalam pengamatan. Informasi pendahuluan mengenai lokasi aktif maleo sangat penting. Untuk memastikan lokasi ini, dapat dibuat lokasi pengintaian uji coba atau semi permanen sehingga dapat dipastikan sebagai lokasi yang tepat.

Kontruksi menara atau tempat pengintaianMenara atau tempat pengintaian yang permanen dapat dibuat dari bahan kayu/papan maupun besi. Semua kontruksi yang dibuat harus kuat dan dihindari dapat menimbulkan suara-suara (akibat pergerakan menara saat ada pengamat di dalamnya) yang dapat mengganggu maleo. Jika karena posisinya menyebabkan menara cukup dekat dengan lokasi peneluran utama, maka menara harus dibuat cukup tinggi (lebih dari 2m) sehingga keberadaannya tidak terlalu mencolok di tengah lokasi peneluran.

Lubang pengintaian harus diberikan penutup khusus (seperti kelambu) sehingga pengamat tidak terlihat dari luar. Bangunan menara atau tempat pengintaian dibuat berwarna menyerupai lokasi sekitar sehingga tidak terlihat mencolok. Ukuran menara atau lokasi pengintaian tidak boleh terlalu besar yang dapat mengganggu keselarasan dengan kondisi sekitarnya. Ukuran maksimal 2x2m2 sudah cukup untuk memuat 2 sampai 3 pengamat. Ukuran bangunan yang terlalu besar sehingga dapat memuat banyak orang, akan cenderung menyebabkan pengamat untuk saling berbicara saat pengamatan atau pengintaian sehingga menimbulkan keributan.

Pengelola hamparan lokasi peneluran harus membuat aturan secara jelas dan tertulis untuk setiap menara atau tempat pengintaian, yaitu yang berisi waktu-waktu menara atau lokasi pengintaian dapat digunakan, kapasitas maksimal pengamat di dalam menara atau lokasi pengintaian, serta aturan-aturan lain yang dibutuhkan berdasarkan pertimbangan kekuatan bangunan dan efek gangguan terhadap proses pasangan maleo saat bertelur.

b. Bak penetasan semi alami

Bak penetasan semi alami atau hatchery adalah bangunan khusus yang dibuat untuk me- nempatkan kembali telur-telur yang diperoleh dari lokasi peneluran alami maleo, sehingga telur-telur ini menjadi lebih aman dari gangguan predator dalam proses inkubasinya.Hatchery sedemikian rupa harus memiliki karakteristik seperti lubang yang digunakan maleo untuk bertelur di lubang alaminya, dengan memperhatikan dua hal utama, yaitu suhu dan kelembaban.

Syarat ekologis hatcheryWalapun suhu lubang telur maleo di alam cukup bervariasi antara 29O–36OC, namun di-anjurkan untuk hatchery, suhu lubang telur 32O–35OC, namun yang paling ideal adalah stabil pada 34OC. Suhu yang lebih tinggi daripada suhu inkubasi ideal, akan menyebabkan kemungkinan telur gagal menetas, karena dehidrasi dan kepanasan. Sebaliknya, jika suhu yang terlalu rendah akan menyebabkan proses perkembangan embrio berjalan sangat lambat, sehingga telur juga akan gagal menetas atau jika menetas membutuhkan waktu yang sangat lama. Waktu penetasan yang sangat lama akan menyebabkan cadangan makanan (yolk) dalam

telur akan tinggal sedikit saat menetas sehingga anak maleo akan lebih cepat lemah untuk menggali jalan menuju permukaan tanah. Kegagalan naik ke permukaan tanah sering terjadi dalam kasus telur yang lama menetas.

Kelembaban tanah di dalam lubang penetasan berkisar 6–12%. Kulit telur maleo relatif sangat tipis dan memiliki pori-pori yang besar. Hal ini menyebabkan telur maleo sangat mudah terdehidrasi. Tanah yang terlalu kering akan menyebabkan telur terdehidrasi, tetapi tanah yang terlalu basah juga akan menurunkan suhu tanah.

Pemilihan penempatan hatcheryHatchery sebaiknya ditempatkan di pinggir lokasi peneluran utama, dengan kondisi yang masih ideal namun intensitas kunjungan pasangan maleo tidak terlalu aktif. Lokasi ini pun bukan di jalur perlintasan maleo ketika menuju atau pergi dari lokasi peneluran, sehingga tidak mengganggu mereka. Pemilihan lokasi yang terpenting juga harus cocok dengan kondisi suhu, kelembaban tanah, dan kondisi fisik lainnya. Untuk itu, pembangunan calon lokasi hatchery melalui beberapa tahap sebagai berikut:• Pilihlah beberapa calon lokasi hatchery dalam satu hamparan dalam lokasi peneluran.

Calon lokasi hatchery sebaiknya di beberapa lokasi yang tidak berkumpul menjadi satu, agar jika selama proses pemantauan awal ternyata satu lokasi tidak cocok, masih memiliki alternatif lainnya. Calon lokasi hatchery juga disarankan lebih dekat ke arah pos penjagaan untuk memudahkan pemeriksaan.

• Pemantauan calon lokasi hatchery dilakukan selama satu tahun penuh. Pemantauan meliputi suhu dan kelembaban calon lubang inkubasi, lokasinya bebas dari banjir (jika di tepi sungai), genangan jika hujan, kebakaran rutin, atau gangguan lain yang mungkin timbul.

• Pada setiap calon lokasi hatchery yang sudah dibatasi, ambilah minimal tiga titik untuk dipantau suhu dan kelembabannya tiap bulan. Tiap bulan, minimal dilakukan tiga hari pengukuran yang dilakukan tiga kali setiap hari, yaitu pagi, siang, dan malam. Galilah lubang sedalam 30–40cm, kemudian ukurlah suhu dan kelembaban pada lubang tersebut sesuai waktu-waktu yang telah ditetapkan. Catatlah hasil pengukuran tersebut dengan baik selama satu tahun.

• Dari beberapa calon lokasi hatchery yang dipantau, pilihlah lokasi yang memiliki stabilitas suhu dan kelembaban paling stabil, serta paling kecil resiko gangguan alam.

Kontruksi hatcherySebelum membangun hatchery secara permanen, idealnya, buatlah terlebih dahulu hatchery semi permanen (biasanya hanya terbuat dari kontrusi kayu atau bambu) untuk diujicobakan dalam jangka waktu tertentu (3–6 bulan). Jika keberhasilan tetas tinggi maka dapat dibuat permanen. Namun kadangkala hal ini tidak dapat dilakukan, karena tujuan utama mem- bangunan hatchery adalah melindungi telur dari predator. Jika tingkat predasi di lokasi peneluran tinggi, membuat hatchery semi permanen justru dapat mempermudah predator memangsa atau mengambil telur yang ada dalam hatchery tersebut.Untuk itu, pemantauan calon lokasi hatchery sangat penting dilakukan.

Kontruksi hatchery yang baik terbuat dari beton. Pondasi dibuat sedalam minimal 30cm. Lebih dalam akan lebih baik untuk menghindari tikus yang dapat membuat lubang menembus

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 21| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh20

bagian bawah pondasi. Tikus menjadi masalah yang serius bagi kematian anak maleo yang berhasil menetas.

Ukuran hatchery dapat bervariasi tergantung kebutuhan kapasitas maksimal telur yang dapat diperoleh dari lokasi peneluran tersebut selama tiga bulan (maksimal proses inkubasi telur). Jika di lokasi peneluran tersebut rata-rata diperoleh 3 telur per hari, maka hatchery yang harus tersedia di lokasi tersebut setidaknya dapat memuat 270 telur (3 telur x 90 hari). Dengan jarak tanam antar telur sekitar 20–30cm, maka luasan hatchery yang dibutuhkan dapat diperhitungkan. Tinggi hatchery minimal 180cm, untuk memudahkan petugas dalam melakukan kegiatan di dalam hatchery nantinya.

Ukuran hatchery sebaiknya tidak terlalu luas, walaupun secara fisik (suhu dan kelembaban) cocok. Buatlah dua buah hatchery atau lebih jika diperlukan daripada membuat satu hatchery berukuran sangat besar. Hatchery yang lebih dari satu juga membantu dalam beberapa proses perawatan hatchery nantinya (lihat bagian B.8.c–d.). Hatchery yang besar juga akan menyulitkan penangkapan anak maleo ketika akan dilepasliarkan atau dipindahkan ke dalam kandang habituasi. Sedangan di dalam hatchery, pergerakan petugas sangat terbatas karena keberadaan telur-telur di dalam tanah.Namun hatchery yang terlalu kecil juga menjadi tidak efektif jika jumlah telur harian yang diperoleh cukup tinggi. Untuk itu, ukuran hatchery sebaiknya dibuat hanya cukup untuk memuat antara 50–80 telur saja.

Gunakan kawat ram (jika memungkinkan berbahan stainless steel) ukuran maksimal 2,5x2,5 cm2 untuk dinding hatchery, dengan beberapa tiang beton antara sudut-sudut bangunan hatchery agar kontruksi lebih kuat. Ukuran kawat ram cukup kecil sehingga mencegah tikus masuk ke dalam hatchery. Pastikan kembali kemungkinan predator (tikus, ular, biawak) untuk masuk tidak ada sama sekali. Jika lokasi peneluran juga masih rentan terhadap pencurian telur oleh manusia, maka selain menggunakan kawat, dinding juga sebaiknya dipasang besi tralis (termasuk bagian atasnya), sehingga tidak bisa digunting atau dibobol. Pembuatan pintu besi dan gembok pun diperlukan.

Hatchery yang baik sebenarnya sebisa mungkin sealami seperti di alam, sehingga lebih baik tidak ditutup dengan atap. Tidak disarankan seluruh dinding dan atap dalam bentuk beton tertutup, karena dapat menyebabkan sirkulasi udara tidak baik (jika ada anak maleo menetas dan terbiarkan cukup lama di dalam hatchery) serta tidak mudah dipantau dari luar hatchery.

Untuk lokasi peneluran yang menggunakan sumber panas bumi, bangunan hatchery tetap dapat menggunakan atap (sebaiknya genteng tanah liat atau daun) untuk menghindari tambahan panas yang berlebih dari matahari. Namun untuk hatchery seperti ini, pengelola harus secara periodik menyiram seluruh hamparan hatchery dengan siraman air yang tipis dan rata untuk tetap menjaga kelembabam tanah (di lokasi alaminya hal ini dibantu oleh hujan).

Bagian samping dan atas hatchery harus dilapisi dengan paranet di bagian dalamnya, yang dipasang membentang tegang untuk melapisi dinding kawat yang ada di bagian luarnya. Hal ini ditujukan untuk menghindari cidera yang dapat terjadi jika anak maleo terbang panik

dan menabrak-tabrak langsung ke dinding kawat. Cidera di bagian kepala umum terjadi jika dinding tanpa paranet.

Di dalam hatchery, buatlah koordinat-koordinat untuk menandakan lokasi telur ditanam, yang ditandai atau ditulis secara jelas di dinding bagian bawah. Sistem koordinat dapat berupa pemberian huruf untuk kolom dan angka untuk baris.

Jika material tanah hatchery dominan pasir (pada lokasi peneluran di tepi saungai), maka sebaiknya jarak antar telur harus lebih renggang (minimal 30cm), karena tanah akan lebih mudah bergerak atau tidak stabil. Untuk menghindari terlalu banyak bergeraknya material tanah berpasir ini pula, maka hatchery seperti ini harus menyediakan papan-papan tipis untuk jalur-jalur khusus sebagai sarana petugas berjalan di dalam hathcery (tidak langsung menginjak tanah).

Jika material tanah hatchery banyak mengandung kerikil atau batu, maka pastikan lubang-lubang tanam telur dibersih dari bongkahan batu atau kerikil yang dapat menyebabkan resiko telur pecah. Ayaklah tanah penutup lubang tanam, untuk memastikan tidak ada kerikil atau benda-benda besar lainnya menutupi telur. Jarak tanam antar telur pada lokasi seperti ini juga dapat lebih rapat (20–25cm), seperti Gambar 1, untuk memaksimalkan kapasitas hatchery.

Secara teratur, minimal satu bulan sekali, suhu dan kelembaban lubang-lubang pada hatchery diukur kembali. Pilihlah minimal tiga lubang secara acak, kemudian ukurlah suhu dan kelembabannya seperti pada prosedur awal menetapkan hatchery. Jika ada gejala suhu yang berubah drastis, segera dianalisa dan tetapkan rencana untuk menanggulanginya.

Gambar 7.Sketsa contoh hatchery dengan pengaturan jarak antar lubang tanam dengan sistem koordinat.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 23| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh22

c. Kandang habituasi dan isolasi

Kandang habituasi maleo adalah kandang berukuran tertentu yang diibuat sebagai tempat pemeliharaan sementara maleo anak atau maleo remaja dan dewasa, hanya untuk tujuan penelitian dan/atau pendidikan, sebelum dilepasliarkan kembali ke alam. Kandang habituasi maleo dapat dibagi menjadi dua tipe kandang, yaitu kandang habituasi maleo anak, dan kan-dang habituasi maleo remaja/dewasa. Kandang habituasi dibuat sedemikian rupa sehingga maleo merasa nyaman seperti dihabitat aslinya dan diharapkan dapat tetap bertahan hidup ketika dilepasliarkan kembali ke alam.

Kandang habituasi anak maleo ditujukan untuk anak maleo berumur tidak lebih dari 3 bulan. Kandang habituasi maleo remaja dan dewasa ditujukan untuk maleo berumur lebih dari 3 bulan sampai usia tertentu (dewasa) yang dibutuhkan untuk keperluan penelitian dan pendidikan.

Kandang isolasi merupakan kandang yang ditujukan untuk pengisolasian anak maleo maupun dewasa yang terindikasi sakit di dalam kandang habituasi, sampai maleo tersebut telah sehat kembali.Kandang habituasi anak maleo sebaiknya dibuat khusus karena umumnya anak maleo rentan terkena penyakit, sehingga lebih mudah membatasi penyebaran penyakit ke maleo remaja atau dewasa.Selain itu, kandang anak maleo ini terpisah untuk menghindari penyerangan maleo dewasa ke anak maleo atau kalah persaingan dalam mendapatkan makanan.

Posisi kandangUntuk menghindari penyebaran penyakit bila terjadi, sebaiknya tiga kandang ini dibuat dalam posisi sebagai berikut :• Diletakkan cukup berjauhan, lebih dari 20 m antar kandang. • Pastikan kandang berada pada lokasi yang tidak terlalu tertutup tajuk, yaitu secara teratur

setiap hari ada bagian-bagian kandang yang mendapat sinar matahari cukup baik, khususnya ketika pagi dan sore. Terpaan sinar matahari dapat membantu kandang menjadi lebih kering, terhindar lembab yang berlebihan, membunuh sebagian kuman akibat lembab, maupun sebagai sarana maleo untuk terkena sinar matahari langsung setiap hari.

• Posisi kandang tidak berada di area peneluran utama. Pilihlah di area yang sedikit terbuka, di pinggir lokasi peneluran atau di dalam area peneluran namun yang tidak terlalu aktif atau sudah tidak aktif sama sekali.

• Pastikan juga kandang-kandang terletak tidak di jalur utama masuk ke lokasi peneluran. Hal ini untuk menghindari gangguan yang sering terjadi akibat hilir mudik atau pergerakan manusia (petugas atau pengujung) yang masuk ke lokasi peneluran.

Kontruksi kandangKontruksi kandang habituasi dibuat sebagai berikut :• Kandang habituasi dibuat pondasi beton dengan rangka besi atau baja.• Ukuran kandang habituasi dapat menyesuaikan dengan kebutuhan, namun minimal ber-

ukuran 3x3 m2 untuk kandang habituasi anak maleo dan berukuran 5x5 m2 untuk kandang habituasi remaja dan dewasa.Untuk memudahkan pergerakan maleo, tinggi kandang habituasi minimal 3 m.

• Setiap kandang habituasi berdinding kawat, baiknya menggunakan kawat harmonika ber-bahan stainless steel di lapisi kawat ram 2,5 cm untuk menghalangi predator (khususnya tikus) masuk ke dalam.

• Kandang habituasi juga sebaiknya tidak beratap namun bagian atas tetap tertutup oleh jaringan dinding kawat.

• Lantai kandang dibuat seperti apa adanya lantai hutan atau di lokasi peneluran, namun dengan meniadakan tumbuhan bawah yang terlalu tebal agar mempermudah pergerakan maleo. Hindari potensi terjadinya genangan air di lantai kandang akibat hujan.

• Untuk menghindari aliran permukaan yang masuk ke dalam kandang berlebihan dari luar (apalagi jika kandang berada pada area yang agak miring, maka harus dipastikan dibangun saluran air yang cukup baik (sedalam sekitar 20 cm) mengelilingi area kandang di bagian luar.

• Untuk menghindari air tergenang di dalam kadang akibat hujan (air permukaan), harus dipersiapkan saluran air mengalir dari dalam kandang ke luar kandang yang cukup baik.

• Pastikan secara alami lantai kandang tersinari matahari setiap hari. Sinar matahari yang kurang akan menyebabkan lantai kandang cenderung lembab sehingga lebih berpotensi berkembangnya penyakit. Sinar matahari juga dapat membantu maleo yang basah akibat kehujanan, dapat segera kering kembali.

Kontruksi kandang isolasi dibuat sebagai berikut :• Kandang isolasi dibuat dalam pondasi beton dengan rangka besi atau baja.• Ukuran kandang isolasi minimal 2x3 m2 dengan tinggi minimal 1,8 m.• Kandang isolasi dibuat sekat-sekat semi permanen (dapat dibongkar pasang). Jika terdapat

lebih dari 1 maleo yang sakit, maka sekat-sekat ini difungsikan sehingga antar maleo tidak saling bersatu. Kebutuhan ruang per kelompok umur maleo, menyesuaikan seperti kandang habituasi. Sekat dapat dibuat dari kawat ram 2,5 cm dengan bagian bawah di-lapisi triplek atau bahan lainnya setinggi sekitar 50 cm sehingga antar maleo tidak saling melihat (untuk menghindari maleo stress).

• Kandang isolasi dibuat beratap untuk menjaga agar lantai tetap kering. Atap sebaiknya dari genteng tanah liat atau asbes agar tidak menambah panas ruangan di bawahnya. Pastikan kemungkinan semua predator (tikus, ular, dan biawak) untuk masuk tidak ada sama sekali, khususnya pada bagian antara dinding dan lantai, serta celah-celah diantara pintu dan dinding.

• Lantai kandang isolasi dapat dibuat lebih tinggi 5–10 cm dari lantai hutan di sekitarnya (dengan menimbun tanah) sehingga dipastikan lantai kandang isolasi tetap kering.

Pengkayaan kandangBeberapa pohon ukuran sedang (<10 cm) sebaiknya tetap dipertahankan jika telah ada se-belum pembangunan fisik kandang atau ditambah dengan penanaman. Pastikan pohon tidak tembus sampai merusak dinding atas maupun samping. Jika pohon cukup besar atau telah menembus dinding atas kandang, maka dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada celah antar batang pohon dan dinding kawat penutup yang menyebabkan tikus, ular, atau predator lain masuk ke dalam kandang.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 25| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh24

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 27| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh26

Perlu juga dibuat batang-batang melintang buatan sebagai tempat bertengger, karena maleo walaupun lebih banyak menghabiskan waktu di permukaan tanah secara harian, namun membutuhkan tenggeran saat tidur. Untuk anak maleo, tenggeran sangat penting untuk menghindari bahaya predator di hutan, pada habitat alaminya. Buatlah tenggeran setinggi 1–2m dari permukaan tanah secara bervariasi.

Khusus untuk kandang maleo anak, harus disediakan panggung kecil (tinggi sekitar 10cm dari lantai kandang) sebagai tempat maleo anak jika terjadi hujan besar, sehingga mereka tidak terlalu basah. Sediakan pula secukupnya naungan di atasnya agar maleo anak terhin-dar terik matahari langsung. Tinggi naungan cukup sekitar 1m dari lantai kandang. Buatlah semuanya sealami mungkin, seperti panggung dengan bambu atau batang kayu kecil yang disusun rapat dan naungannya dengan atap daun.

Pada sekeliling dinding pada bagian bawah sebaiknya diberikanlapisan penutup setinggi 1–1,5m yang terbuat dari seng, pada bagian luar. Selain untuk menghalangi pandangan maleo dari aktifitas manusia(khususnya yang dilakukan oleh petugas pengelola lokasi peneluran), lapisan seng ini dapat menghindari gangguan predator yang memanjat dari tanah.Lapisan seng ini dicat, pada bagian dalam dengan warna gelap. Seng yang tidak dicat cenderung akan memberikan pantulan dan tidak alami.

Untuk menambah kenyamanan, variasikan kandang habituasi sehingga memiliki tempat-tem-pat untuk mereka bersembunyi. Bentuknya dapat berupa dinding buatan tambahan setinggi sekitar 1m, dengan panjang 1–2m. Dinding ini dapat dibuat lurus atau melengkung. Bahan dapat terbuat dari material organik seperti potongan batang-batang pohon atau bambu ukuran sedang (diameter 5–10cm) yang ditancapkan langsung di ke tanah. Bahan dapat juga berupa tanaman perdu yang ditanam rapat.

Di habitat alaminya, maleo juga terindikasi sering terlihat bermandi pasir atau tanah. Untuk itu sediakan di satu atau beberapa bagian lantai kandang berupa tanah halus atau berpasir seluas sekitar 2–3m2. Selain itu sediakan di beberapa tempat kumpulan batu-batu berukuran sedang (diameter 10–20cm), khususnya di dekat tempat-tempat pemberian pakan. Maleo memiliki kebiasaan akan menghancurkan makanannya dengan membenturkannya ke ben-da-benda keras seperti batu.

d. Pagar

Pagar di sekitar lokasi peneluran ditujukan untuk meminimalisir gangguan predator saat proses maleo bertelur. Pagar disarankan dibuat dari bahan kawat harmonika (berbahan stainless steel lebih baik) dengan tiang-tiang dan podasi yang kokoh dan dalam. Pemasangan kawat sampai masuk ke dalam tanah sedalam 20–30 cm juga dianjurkan karena beberapa predator dapat menggali tanah di bawah pagar untuk masuk ke bagian dalam. Pagar dipasang pada daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan permukiman atau lahan budidaya manusia. Jangan memasang pagar di bagian lokasi peneluran yang berhubungan langsung dengan koridor perlintasan maleo dari hutan ke dalam lokasi peneluran, karena dapat mengganggu

proses maleo datang dan ke luar lokasi peneluran. Tinggi pagar juga juga dapat bervariasi disesuikan dengan keadaan serta kebutuhan (sekitar 1,5–2m).

Untuk beberapa bagian pagar yang langsung berhubungan dengan aktivitas manusia yang tinggi (kebun, jalan, dsb.), dapat diberikan penutup dengan menggunakan paranet. Pembuatan buffer atau daerah penyangga tepat di luar pagar juga dapat dilakukan untuk menghindari kontak langsung manusia atau satwa lain yang mengganggu ke bagian inti lokasi peneluran. Daerah penyangga ini dapat berupa parit besar atau pagar hidup dari beberapa tanaman terpilih (bambu, dsb.).

Gambar 8.(Atas) Kandang habituasi yang telah dibangun di lokasi peneluran Tambun, TN Bogani Nani Wartabone, dan;

(Bawah) Pagar dan lapisan dinding paranet di sisi sebelahnya, sehingga dapat digunakan juga sebagai jalur pengamatan atau pemantauan

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 29| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh28

e. Jalur pengamatan khusus

Jalur pengamatan khusus merupakan jalur yang ditujukan untuk pengamatan maleo maupun burung lainnya jika diperlukan. Terdapat dua tipe jalur, yaitu jalan setapak asli dan jalur buatan. Jalan setapak asli adalah jalan yang tidak dibuat secara khusus atau dengan material khusus, namun hanya berupa pembukaan jalan kecil. Sedangkan jalur buatan adalah jalur yang sengaja dibuat dengan material khusus (batu dan/atau plester semen). Selain jalur pengamatan khusus, dalam pengelolaan lokasi peneluran juga terdapat jalur-jalur untuk pencarian telur. Jalur ini tidak dibuat secara khusus namun hanya mengikuti kebiasaan para pencari telur.

Jalur pengamatan khusus harus dibuat hanya di bagian tepi lokasi peneluran. Lebar jalur tidak lebih dari 1m. Jika diperlukan untuk menghindari licin, becek, atau berlumpur saat musim hujan, jalur dapat dibuat dengan penyusunan material batu-batu berukuran besar (batu pondasi) atau material lain yang masih dapat menyerap air permukaan. Hindari penggunaan kerikil kecil karena mudah menimbulkan suara saat diinjak. Hindari juga penggunaan beton atau plester semen untuk seluruh bagian jalur karena selain menghambat proses penyerapan air hujan, juga untuk menghindari pengubahan bentang lokasi peneluran lebih banyak ke dalam bentuk yang tidak alami. Jika diperlukan penyemenan, cukup pada bagian pinggir jalur untuk mengokohkan batu-batu pada bagian dalamnya.

Pada lokasi-lokasi khusus yang cukup dekat dengan aktivitas maleo, jalur dapat diberi tam-bahan penghalang menggunakan paranet sehingga pengamat terlihat langsung oleh pasangan maleo ketika melintasi jalur pada waktu-waktu aktif maleo bertelur. Tinggi paranet minimal 1,5m dan sebaiknya hanya sebagian kecil saja dari jalur yang dibuat penghalang seperti ini, untuk menghindari banyakketidak-alamian lokasi peneluran. Jalur ini dapat digunakan pada waktu-waktu aktif pasangan maleo bertelur, hanya untuk kegiatan penelitian, pemantauan, dan wisata terbatas (seperti halnya menara pengintai), tentunya dengan didampingi atau izin dari petugas pengelola lokasi peneluran tersebut.

Sebelum memasuki lokasi peneluran, harus dibuat dan ditampilkan peta yang menggambarkan jalur-jalur dan lokasi penting lain yang menggambarkan situasi lokasi peneluran. Pada jalur-jalur-pun, pengelola harus memberikan papan-papan petunjuk, baik petunjuk arah maupun hal-hal lain (larangan, anjuran, dsb.) ketika melewati jalur-jalur tertentu.

f. Pos penjagaan

Pos penjagaan ditujukan untuk petugas pengelola lokasi peneluran yang harus selalu hadir di lokasi peneluran setiap hari. Pos ini sebaiknya dibuat dengan kontruksi permanen atau semi permanen dengan dilengkapi berbagai kelengkapan untuk menginap. Hal ini bertujuan agar selama 24 jam, terdapat kehadiran petugas, dan petugas dapat pula beraktifitas secara nyaman di lokasi tersebut tanpa harus pulang ke rumahnya (makan, tidur, dsb.). Keberadaan pos penjagaan yang aktif selama 24 jam selalu menunjukkan tingkat keamanan lokasi pe- neluran yang lebih baik jika tanpa pos penjagaan.

Lokasi pos penjagaan harus berada di luar lokasi peneluran namun tidak terlalu jauh dari lokasi peneluran itu sendiri, sekitar 20–30 dari batas terluar lokasi peneluran. Pos sebaiknya berada di pintu masuk utama menuju lokasi peneluran agar dapat memantau setiap pengunjung yang masuk ke dalam lokasi peneluran. Karena lokasi pos penjagaan yang tidak terlalu jauh dari lokasi peneluran, maka hindari pula penggunaan peralatan (pengeras suara, mesin, dsb.) atau bentuk apapun yang dapat mengeluarkan suara keras atau bising, khususnya pada waktu-waktu pasangan maleo datang ke lokasi peneluran.Posisi pos penjagaan juga sebisa mungkin tidak menyebabkan kendaraan keluar masuk pos mengganggu lokasi peneluran khususnya dalam bentuk suara.

Dilarang memelihara satwa apapun di area pos penjagaan, baik ternak (ayam, atau unggas lain) maupun satwa piaraan (anjing, kucing, dsb.). Satwa domestik sangat berpotensi menyebarkan penyakit yang tidak alami diderita oleh maleo, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagai penunjang kegiatan pengelolaan lokasi peneluran, maka di pos penjagaan disiapkan pula papan tulis, buku tamu, dan buku harian patroli. Whiteboard digunakan untuk mencatat jumlah telur yang diperoleh, jumlah anak maleo yang menetas dan dilepasliarkan, serta kejadian-kejadian lain yang diperlukan, secara harian selama satu bulan. Papan ini akan memudahkan proses pemantauan dan evaluasi harian jika diperlukan tindakan-tindakan tertentu terhadap lokasi peneluran. Buku tamu tentunya untuk mencatat setiap tamu yang berkunjung ke lokasi peneluran. Sedangkan buku harian patroli merupakan buku yang mencatat setiap kejadian-kejadian yang ditemukan selama patroli harian, termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan.

Pos penjagaan juga harus dapat berfungsi sebagai pusat informasi secara lokal untuk lokasi peneluran di wilayah tersebut. Aturan-aturan penting, khususnya yang berkaitan dengan pengunjung sebaiknya dibuat tertulis (bagan atau infografis) untuk memudahkan dan me- ngingatkan setiap petugas dan pengunjung yang datang.

g. Kolam dipping

Kolam dipping adalah kolam kecil sebesar seukuran sekitar lebar pintu masuk (80 cm) dengan lebar sekitar 40–50 cm dan dalam sekitar 10–15 cm. Kolam ini diletakkan di depan pintu masuk lokasi peneluran. Kolam berisi campuran air dan chlorine (kaporit), yang berfungsi untuk membersihkan sepatu (alas kaki) setiap petugas atau pengunjung yang masuk ke lokasi peneluran. Setiap petugas atau pengunjung yang masuk ke lokasi peneluran, cukup mencelupkan terlebih dahulu alas kaki mereka ke dalam kolam tersebut agar bebas potensi penyakit yang berasal dari luar lokasi peneluran.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 31| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh30

5. Kunjungan wisata

Kunjungan pengamatan untuk kegiatan wisata terbatas masih diperkenankan jika mengikuti aturan waktu yang telah ditetapkan dalam bagian A.2.b. Beberapa aturan lain ditetapkan untuk menghindari gangguan proses pasangan maleo bertelur. Namun perlu diingat bahwa pengelolaan lokasi peneluran maleo tidak ditujukan sebagai obyek wisata, sehingga segala kegiatan wisata terbatas yang memungkinkan harus sangat diawasi dan diatur secara baik oleh pengelola lokasi peneluran.

a. Jenis kegiatan wisata

Kegiatan-kegiatan wisata yang diperkenankan untuk memasuki lokasi peneluran, hanyalah kegiatan wisata terbatas, yaitu pengamatan maleo, pengamatan burung lainnya, fotografi, dan mengikuti proses pencarian telur, atau kegiatan lain yang telah diperkenankan oleh petugas pengelola lokasi peneluran. Seluruh kegiatan wisata ini harus didampingi oleh petugas pengelola lokasi peneluran. Tidak diperkenankan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan, yang dianggap dapat menggangu atau membahayakan maleo secara langsung dan tidak langsung, atau menimbulkan potensi yang dianggap dapat merusak lokasi peneluran, atau kegiatan yang mengganggu proses pengelolaan, seperti:• Masuk ke dalam lokasi peneluran tanpa didampingi petugas pengelola;• Menggunakan peralatan yang dapat menimbulkan kebisingan atau suara yang tidak alami

(pemutaran rekaman suara pemanggil burung, pengeras suara, dsb.);• Masuk ke dalam bak penetasan semi alami;• Menggali telur (karena potensi pecah);

• Tidak berada di lokasi pengamatan yang telah ditetapkan pada waktu proses pasangan maleo meletakkan telurnya;

• Menebang, mencabut, atau merusak tumbuhan apapun di dalam lokasi peneluran;• Merokok;• Bersuara keras (berbicara, teriak, bersiul, dsb.).

b. Penjadwalan dan lokasi

Kunjungan wisatawan hanya diperkenankan sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh pengelola lokasi peneluran. Penjadwalan ini akan mengikuti waktu-waktu harian ataupun musiman. Lokasi-lokasi yang dapat dilintasi atau dikunjungi oleh para wisatawan hanyalah jalur-jalur khusus pengamatan atau menara pengintai yang telah disediakan oleh pengelola lokasi peneluran. Penjadwalan dan lokasi pengamatan harus diatur tersendiri oleh pengelola lokasi peneluran.

c. Kapasitas pengunjung

Pengelola lokasi peneluran akan menetapkan kapasitas satu kali kunjungan per tim wisatawan pada waktu tertentu. Penetapan kapasitas ini disesuaikan dengan luasan lokasi peneluran, jumlah jalur, dan jumlah petugas yang tersedia. Petugas pengelola lokasi peneluran tidak diperkenankan untuk mementingkan kegiatan wisata daripada pengelolaan lokasi peneluran tersebut. Kapasitas harus diatur tersendiri oleh setiap pengelola lokasi peneluran.

| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh32

3Pengelolaan telur adalah proses pencarian, penggalian, dan pe-mindahan telur maleo dari lubang alami ke dalam bak penetasan semi alami.

B Pengelolaan Telur, Anak Maleo, dan Bak Penetasan

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 35| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh34

Gambar 9.Proses penggalian lubang sarang untuk mencari telur maleo hanya boleh dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih.

1. Pengertian

Pengelolaan telur adalah proses pencarian, penggalian, dan pemindahan telur maleo dari lubang alami ke dalam bak penetasan semi alami. Bak penetasan merupakan lokasi khusus yang dibuat semi alami di dalam lokasi peneluran sebagai tempat untuk penimbunan atau peletakkan kembali telur-telur maleo yang dipindahkan dari lubang alami agar terhindar dari bahaya predator dan/atau pencurian.Sedangkan anak maleo adalah maleo yang baru menetas sampai berumur tiga bulan.

Untuk kepentingan pemantauan tingkat kehadiran pasangan maleo di lokasi peneluran, maka seorang pencari telur harus memiliki keahlian tinggi dalam mendeteksi lubang-lubang peneluran yang benar-benar berisi telur baru. Serangkaian ujicoba harus dilakukan sebelum memastikan petugas pencari telur ditunjuk secara tetap di setiap lokasi peneluran. Jumlah pencari telur dapat satu atau lebih, sesuai dengan kebutuhan berdasarkan luasan dan intensitas lokasi peneluran tersebut.

b. Pencarian telur

Pencarian telur harus secepat mungkin setelah pukul 10:00 untuk mencegah lebih besar kemungkinan predator datang terlebih dahulu untuk memangsa telur maleo. Namun perlu diperhatikan bahwa kadangkala walaupun waktu 10:00 merupakan waktu umum pasangan maleo selesai bertelur, kadangkala beberapa pasangan maleo masih terlihat aktif di lokasi peneluran. Sebelum pencarian telur dimulai, harus dipastikan tidak ada lagi pasangan maleo yang masih dalam proses meletakkan telurnya. Hentikan dan tunggulah jika ternyata masih ada pasangan maleo di lokasi peneluran, sampai pasangan tersebut selesai atau meninggalkan lokasi peneluran. Jangan sekali-kali melakukan pengusiran terhadap pasangan maleo yang berada di lokasi peneluran, kapanpun.

Pencarian telur dilakukan setiap hari. Satu tim pencari telur maksimal 3 orang untuk keefektifan dan menghindari gangguan yang besar di dalam lokasi peneluran. Dalam satu lokasi peneluran, dapat dibentuk beberapa tim jika lokasi pencarian telur cukup besar. Hanya petugas yang ditunjuk atau terlatih yang diperkenankan menggali lubang peneluran untuk mendapatkan telur. Ketika pencari telur sedang menggali, anggota tim lain harus sedikit menjauh dari lubang (minimal 1 m) karena berdiri di pinggir lubang dapat meruntuhkan lubang sehingga beresiko menyebabkan telur pecah tertimbun batu atau tanah atau pasir secara tiba-tiba dalam jumlah besar.

Tugas pencarian telur dan proses pemindahan serta penanaman kembali ke bak penetasan semi alami merupakan tugas utama yang harus pertama dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Petugas pencari telur dilarang mendahulukan tugas lain pada saat tersebut, seperti memandu tamu, mendampingi peneliti, dsb.

Kondisi tanah lokasi peneluran yang padat atau bercampur batu, biasanya membutuhkan alat bantu khusus untuk menggali, agar tidak menimbulkan luka atau cidera jika menggali langsung dengan jari tangan. Gunakan alat bantu berupa batok/tempurung kelapa atau benda lain yang terbuat dari plastik atau vinyl. Hindari menggunakan alat bantu dari logam apalagi logam tajam (cangkul atau sekop kecil). Perlu berhati-hati, ketika dirasa telur telah hampir diperoleh atau tidak ada lagi lapisan batu, kembali gunakan tangan untuk menggali.

Cangkang telur maleo sangat tipis dan sensitif. Untuk itu wajib berhati-hati dalam menggali telur, khususnya untuk lokasi-lokasi peneluran dengan struktur tanah yang bercampur batu dan kerikil. Untuk tanah yang berbentuk pasir (tepi sungai) juga tetap berhati-hati karena dinding lubang biasanya rawan runtuh. Jatuhan batu kecil saja dapat memecahkan atau meretakkan cangkang telur maleo sehingga telur akan gagal dalam proses inkubasinya.

2. Pengambilan telur

a. Petugas pencari telur

Petugas pencari telur adalah petugas khusus yang ditunjuk oleh pengelola lokasi peneluran untuk mencari telur maleo di lokasi peneluran setiap hari pada waktu-waktu tertentu. Seorang pencari telur dapat merupakan petugas pengelola kawasan konservasi (jika lokasi peneluran berada di dalam kawasan konservasi) atau masyarakat sekitar lokasi peneluran yang telah dilatih khusus atau memiliki keahlian khusus untuk pencarian telur.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 37| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh36

Jika terjadi telur pecah atau retak akibat alami (ditemukan telah retak atau pecah) ataupun akibat dalam proses penggalian, maka biarkan telur pecah tersebut, timbun atau kubur kembali telur tersebut di lubang ditemukannya (Gambar 9). Keadaan ini secara alami biasa terjadi. Namun kejadiaan ini tetap dicatat karena merupakan tanda kehadiran pasangan maleo di lokasi tersebut.

Bawalah telur ke hatchery setelah selesai pencarian telur untuk segera ditanam kembali. Jika diperlukan untuk pengukuran tertentu (berat, ukuran, dsb.), lakukan di lokasi yang teduh. Sekali lagi, hindari guncangan yang terlalu banyak, termasuk dalam pengukuran. Jika diperlukan pemberian nomor pada telur, gunakan arang atau pensil yang lunak (2B atau lebih) dan tumpul. Jangan menggunakan bolpoint (karena berujung tajam) apalagi spidol (karena berbau menyengat).

3. Penanaman kembali telur dalam hatchery

Pada hatchery yang kecil (tidak lebih dari 2x3 m2), cukup satu orang yang masuk ke dalam hatchery untuk proses penanaman kembali telur maleo. Jika ukuran hatchery cukup besar, maka dapat lebih dari satu orang, namun tetap memperhatikan kapasitas. Disarankan tidak lebih dari 3 orang untuk satu kali kesempatan masuk ke dalam setiap hatchery. Setiap petugas yang masuk ke dalam hatchery harus mengikuti jalur-jalur yang telah disediakan agar tidak salah menginjak lubang yang terisi telur.

Galilah lubang untuk penempatan telur. Penggalian dapat dibantu dengan alat penggali jika diperlukan. Diameter lubang tanam sekitar 10 cm dengan dalam minimal 25 cm (Gambar 11). Tidak dianjurkan lubang terlalu rendah karena suhu dekat permukaan tanah umumnya makin tidak stabil sehingga akan mengganggu proses inkubasi telur. Jangan khawatirnya ketidak- mampuan anak maleo ketika menggali ke dalam permukaan, karena di alam aslinya telur maleo dapat mencapai kedalaman 50 cm.

Letakkan telur di dalam lubang secara hati-hati. Pastikan tidak ada batu tepat di dasar lubang. Letakkan telur dalam posisi bagian tumpul menghadap ke atas. Walaupun tidak ada bukti posisi telur mempengaruhi keberhasilan tetas, namun sebagian besar telur maleo di alam ditemukan dengan posisi bagian tumpul di atas. Tutuplah telur dengan tanah kembali hasil galian atau hasil ayakan (seperti yang telah disampaikan pada bagian pembuatan hatchery pada bagian A.4.b.). Lakukan secara perlahan-lahan dan hati-hati. Pastikan tidak ada batu atau kerikil yang masuk ke dalam lubang saat penimbunan. Tepuk-tepuk sedikit jika telah penuh, untuk memastikan tanah masuk dengan sempurna namun jangan sampai terlalu padat (karena terlalu keras menepuk tanah).

Penggalian lubang tanam telur maleo hanya dilakukan sesaat sebelum telur ditanam. Jangan membuat atau menggali lubang sampai membiarkannya berhari-hari terbuka, karena di alam aslinya lapisan tanah selalu tertutup dan baru digali setelah betina siap bertelur. Lubang yang terlalu lama terbuka, dikhawatirkan akan mempengaruhi kelembaban lubang tersebut, karena secara langsung dan lama terpapar aliran udara secara terus-menerus, sehingga dapat mempengaruhi proses inkubasi telur nantinya.

Posisi lubang tanam di dalam hatchery mengikuti sistem koordinat yang telah dibuat untuk memudahkan pengecekan telur menetas nanti. Lubang telur baru dibuat secara teratur mengisi lubang-lubang yang belum terisi sampai satu hatchery terisi penuh. Walaupun ada lubang lama

Gambar 11.(Atas) Telur maleo yang sebesar telapak tangan, dan;

(Bawah) Proses penanaman telur maleo harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tercatat

Gambar 10.Alur penanganan telur di

lokasi peneluran.c. Pemindahan telur

Pada prinsipnya, ketika telur ditemukan dalam kondisi baik maka harus sesegera mungkin dipindahkan untuk ditanam kembali ke dalam hatchery (Gambar 9). Namun kadangkala untuk efektivitas pencarian telur, pencari telur mencari telur di seluruh lokasi target terlebih dahulu, kemudian membawa semua telur yang diperoleh ke hatchery.

Jika telur tidak langsung dipindahkan ke hatchery (menunggu pencarian telur di lubang lainnya), maka letakkan telur dalam ember berisi pasir dan tutupi dengan daun atau pasir kembali. Letakkan dalam lokasi yang teduh dan dibawa dengan sangat hati-hati. Walaupun tidak ada bukti bahwa posisi telur mempengaruhi sukses tetas, namun tidak diperkenankan untuk memu-tar-mutar atau membuat banyak guncangan pada telur yang ditemukan. Dalam keadaan alaminya, telur setelah diletakkan induknya, tidak akan berubah posisi sampai menetas. Telur juga secara alami tidak pernah terpapar sinar matahari langsung. Untuk alasan apapun, tidak diperkenankan meletakan telur di permukaan yang keras, seperti batu atau permukaan semen.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 39| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh38

yang baru saja atau belum lama telur di dalamnya menetas, tetap gunakan terlebih dahulu lubang yang belum terpakai. Jika hatchery telah terisi semua, barulah lubang telur berikutnya menggunakan lubang-lubang yang telah menetas, juga terus secara berurutan.

Berilah tanda pada setiap koordinat pada hatchery yang telah terdapat telur di dalamnya. Buatlah tanda yang tidak membahayakan anak maleo ketika akan menetas dan keluar nantinya.

5. Tangkaplah anak maleo yang telah terlihat segar dan kuat, secara cepat dan hati-hati, setelah melakukan penanaman telur.

6. Dilarang berlarian di dalam hatchery. 7. Ikuti jalur yang telah disediakan, untuk segala proses kegiatan di dalam hatchery.8. Bawalah seluruh sisa cangkang penetasan keluar hatchery, pastikan hatchery bersih.9. Tidak diperkenankan meninggalkan peralatan apapun di dalam hatchery.10. Pastikan pintu hatchery tertutup rapat saat petugas di dalam dan terkunci saat ditinggalkan.

Setiap pengelola kandang harus menetapkan kapasitas maksimal petugas atau orang yang diperkenankan masuk dalam hatchery dalam satu waktu. Kapasitas tergantung besar hatchery. Sebaiknya tidak lebih dari 3 orang dalam satu waktu. Tuliskan secara jelas aturan umum dan kapasitas hatchery di setiap pintu masuk kandang.

5. Penanganan anak maleo yang menetas

a. Pasca menetas

Masa inkubasi telur maleo di lubang peneluran umumnya 60–90 hari, tergantung suhu. Anak maleo yang baru menetas akan naik ke permukaan tanah dengan kecepatan 0,5–1,0 cm per jam, sehingga jika kedalamam lubang 20 cm maka mereka akan mencapai permukaan setelah 20–40 jam. Anak maleo tidak membutuhkan banyak perawatan. Setelah menetas, mereka sepenuhnya sudah mandiri dari induk mereka dan sudah dapat terbang.

Telur dalam lubang yang terindikasi sudah menetas, biasanya ditandai dengan permukaan lubang yang terlihat sedikit menurun atau cekung. Biarkan keadaan ini sampai anak maleo dapat keluar sendiri ke permukaan tanah. Anak maleo biasa akan muncul kepala mereka terlebih dahulu, lalu berdiam cukup lama. Jangan ganggu jika terdapat anak maleo dalam keadaan seperti ini, karena sesungguhnya mereka sedang beristirahat, memulihkan tenaganya, mengisi paru-parunya dengan oksigen, serta mengeringkan bulu-bulunya. Mereka sangat waspada pada saat-saat seperti ini khususnya terhadap predator.

Ketika anak maleo baru menampakkan kepalanya di permukaan tanah, itulah saat paling kritis, apalagi jika mereka muncul di malam hari. Mereka sangat lemah pada saat itu. Banyak kasus terjadi, anak maleo dimangsa oleh tikus bahkan semut (karena sebagian tubuhnya masih berlendir atau darah yang menarik semut) saat mereka masih setengah terkubur. Jika keadaan ini terjadi pada siang hari, maka biarkan mereka cukup kuat sampai keluar sepenuhnya dan berlari lincah. Anak maleo yang menetas siang hari, biasanya sudah cukup kuat dilepasliarkan pada sore hari.

Jika hatchery terindikasi sangat rawan gangguan predator yang masuk (khususnya tikus dan semut), hal ini harus menjadi perhatian serius. Anak maleo yang menetas pada sore hari, lebih baik dipindahkan ke kandang habituasi atau kotak khusus. Kandang khusus dapat dibuat sederhana dari kardus bekas berukuran dari setidaknya 30x50x30 cm3 untuk satu anak maleo. Bahan kertas dus cukup baik, karena cukup lunak jika sesekali anak maleo berusaha terbangsehingga

Gambar 12.Posisi telur dalam lubang penetasan, di dalam hatchery.

Untuk alasan apapun, jangan menggali kembali dan/atau memindahkan telur yang telah ditanam di hatchery, kecuali keadaan darurat. Keadaan darurat akan dibahas pada bagian B.9. Jika dibangun hatchery baru, telur-telur pada hatchery lama tidak perlu dipindahkan jika keamanan hatchery lama masih cukup baik. Biarkan sampai semua telur dalam hatchery lama menetas secara alami, namun telur-telur baru yang diperoleh dapat dipindahkan ke hatchery baru.

4. Aturan umum di dalam hatchery

Setiap petugas atau peneliti yang masuk ke dalam hatchery, harus mengikuti aturan umum sebagai berikut:1. Tidak diperkenankan masuk ke dalam hatchery, kecuali atas izin petugas.2. Tidak diperkenankan masuk ke dalam hatchery melebihi kapasitas yang diperkenankan.3. Dilarang masuk ke dalam hatchery kecuali untuk kepentingan pengelolaan dan penelitian

(penanaman telur kembali, menangkap anak maleo untuk dilepasliarkan, dan penelitian tertentu).

4. Bawalah telur masuk ke dalam hatchery secara hati-hati, letakkan pada tempat yang teduh dan lembut sebelum di tanam kembali dalam lubang penetasan.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 41| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh40

menabrak dinding kotak, tidak berbahaya. Jika kotak berbahan dinding kawat dan ruangan yang sempit justru akan rentan menyebabkan anak maleo cidera. Pisahkan antar anak maleo dalam kotak terpisah, jika terdapat lebih dari satu, karena secara alami mereka soliter dan akan sensitif untuk terbang jika terdapat obyek lain di dekatnya.

Sediakan lubang-lubang udara yang cukup pada dinding kotak sementara berisi anak maleo ini. Letakkan di tempat yang aman, seperti di pos jaga, namun gelap dan sesunyi mungkin. Hal terpenting tetap bebas dari predator. Jangan letakkan di dapur, karena rentan panas dan kehadiran predator (semut dan tikus). Keesokan paginya jika terlihat cukup lincah, anak maleo ini sudah dapat dilepas liarkan ke arah hutan. Jika terlihat masih lemah atau stress, dapat dipindahkan ke hatchery atau kandang habituasi jika tersedia.

Ketika anak maleo sudah keluar seluruh badannya dari lubang telur, mereka biasanya juga tidak terlalu banyak bergerak, walaupun mereka sudah mampu terbang jika terpaksa atau terganggu. Anak maleo yang masih lemah juga ditandai dengan cara berdirinya yang tidak tegap, masih bertumpu pada tarsus, bukan telapak kakinya secara penuh. Namun dalam beberapa jam, anak maleo biasanya sudah cukup lincah, yang ditandai dengan berdiri tegap dan dapat bertengger dengan baik.

Anak maleo tidak membutuhkan makanan dalam beberapa jam setelah mereka menetas, karena masih memiliki cadangan makanan dari sisa yolk yang masih tersedia di dalam tubuh mereka. Di alam aslinya, mereka akan manfaatkan waktu “tidak makan” ini dengan mencari ruang yang baik untuk berlindung (bertengger) sembari memulihkan keadaan tubuhnya. Untuk itu, tidak diperlukan penyediaan makanan di dalam hatchery untuk anak maleo.

Ketika telur dalam masa inkubasi telah lebih dari 100 hari namun belum menetas, maka periksalah lubang tanam tersebut. Galilah secara hati-hati. Ada tiga kemungkinan, yaitu telur tidak menetas, telur menetas dan anak maleo mati dalam perjalanan menuju permukaan, atau telur menetas dan anak maleo masih dalam perjalanannya menuju permukaan.

Jika telur belum menetas, angkatlah telur dan kubur telur di luar lokasi peneluran (Gambar 2), karena kemungkinan telur seperti ini sudah tidak mungkin menetas (infertil atau tidak mencapai kondisi optimum untuk menetas). Jangan sekali-kali membuang telur busuk ke sembarang tepat tanpa di kubur, khususnya di dalam lokasi peneluran. Jika anak maleo masih hidup dan lemah, atau mati, maka lakukan seperti dijelaskan pada bagian B.7.a–b.

b. Pemindahan anak maleo

Penangkapan anak maleo yang baru menetas di dalam hatchery ditujukan untuk pemindahan anak maleo ke kandang habituasi atau ke kotak penyimpanan sementara atau langsung dile-pasliarkan. Penangkapan ini dapat dilakukan hanya pada waktu-waktu sekitar 10:00–14:00, yaitu di luar waktu maleo aktif bertelur. Jika penangkapan dilakukan setelah pencarian telur di hamparan lokasi peneluran, maka lakukan penangkapan sebelum telur-telur yang diperoleh ditanam dalam hatchery. Hal ini untuk menghindari stress akibat kehadiran manusia terlalu lama di dalam hatchery.

Anak maleo dapat ditangkap dengan tangan langsung maupun menggunakan sarung tangan, namun harus sangat hati-hati. Untuk hatchery dengan ukuran cukup besar lebih baik meng-gunakan jaring tangkap untuk lebih mudah dan cepat. Jangan berlari-lari di dalam hatchery karena terdapat telur di dalam tanah. Berusahalah cepat dalam menangkap anak maleo, agar mereka juga tidak stress dan banyak menghasbiskan energi cadangan mereka yang seharusnya untuk bertahan dalam beberapa jam ke depan. Sebaiknya terdapat lebih dari satu orang dalam menangani proses ini, terlebih jika terdapat lebih dari satu anak maleo yang telah menetas dan ke luar di dalam hatchery saat itu.

Jangan memegang atau menangkap dengan tangan basah atau berkeringat karena bulu-bulu anak maleo masih sangat rentan rontok. Tangan yang basah akan menyebabkan bulu-bulu mudah me-nempel dan copot dari tubuh anak maleo. Penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan.

Tangani anak maleo dengan lembut dan hati-hati. Peganglah dengan dua tangan pada bagian atas dan bawah. Rasakan dengan tangan agar tidak terlalu keras ataupun terlalu longgar dalam menggenggamnya. Biarkan kaki mereka terjulur karena jika ditekuk akan memudahkan mereka untuk berontak dengan menekan kaki-kaki mereka. Jika diperlukan pengukuran (untuk kepentingan penelitian), lakukan pada saat ini, yaitu sebelum dilepasliarkan atau dipindahkan ke dalam kandang habituasi.

6. Pelepasliaran anak maleo

Anak maleo tergolong dalam tipe anak burung yang bersifat nidifugous, yaitu dapat cepat meninggalkan sarang tanpa membutuhkan banyak perawatan dari induknya. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dengan pemeliharaan atau perawatan anak maleo setelah menetas (beberapa hari atau beberapa bulan) maka selanjutnya mereka lebih mampu hidup di alam aslinya. Begitupun sebaliknya, tidak ada bukti juga yang menyatakan bahwa dengan melepas langsung mereka setelah menetas, peluang hidup mereka lebih baik. Namun di habitat alaminya tentu mereka ketika menetas dan mencapai permukaan tanah, akan langsung bergerak ke arah hutan.

Gambar 13.Alur pilihan pelepasliaran anak maleo hasil penetasan di bak penetasan semi alami.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 43| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh42

Pelepasliaran anak maleo langsung setelah mereka dianggap kuat dan lincah, merupakan pilihan utama, khususnya ketika tidak ada kepentingan tertentu untuk penelitian dan/atau pendidikan (Gambar 4 [diagram]). Salah satu cara untuk meningkatkan peluang hidup anak maleo di alam adalah dengan melepasliarkan mereka di tepi hutan dan ke arah hutan. Jangan melepas mereka di tengah area peneluran, karena lokasi ini justru tempat yang paling rentan terhadap pemangsaan. Secara alami musuh-musuh (predator) mereka berada di lokasi peneluran ini. Sangat penting untuk anak maleo segera masuk ke hutan karena mereka butuh perlindungan secepat mungkin dengan menemukan lokasi tenggeran yang bebas dari predator. Jika lokasi peneluran dan koridor terpotong oleh jalan (khususnya jalan raya), maka pastikan lokasi pelepasliaran berada di seberang jalan untuk mengurangi resiko anak maleo mati ketika menyeberang jalan raya.

Lepaskan anak maleo satu persatu. Jangan melemparkan anak maleo ke udara agar terbang. Saat pelepasan, letakkan tangan di permukaan tanah atau tidak lebih dari tinggi anak maleo terebut (sekitar 10 cm dari permukaan tanah), kemudian lepaskanlah genggaman perlahan dan biarkan anak maleo lepas kemudian berjalan atau berlari atau terbang sendiri ke arah hutan (Gambar 13). Sebaiknya petugas atau orang yang melepaskan berjongkok. Namun sekali lagi, jangan genggam maleo dalam keadaan tangan basah atau berkeringat.

Anak maleo juga dapat dilepasliarkan dari kotak-kotak penyimpanan sementara, langsung ke arah hutan. Jangan menyatukan anak maleo dalam kotak kecil, apalagi yang terbuat dari kawat ram. Anak maleo akan cenderung stress berada dalam ruang sempit dan bersama-sama, sehingga kemungkinan besar akan saling tabrak dan menabrak dinding kawat yang berpotensi menciderai mereka.

Jika kondisi anak maleo lemah, maka biarkan terlebih dahulu mereka tetap di dalam hatchery sampai mereka kuat dan lincah. Jika anak maleo terindikasi masih lemah pada sore hari dan hatchery rawan gangguan predator, maka lakukan juga pemindahan anak maleo lemah tadi seperti dijelaskan pada prosedur bagian B.4.b. Biasanya anak maleo yang lemah sudah dapat aktif dalam waktu sehari. Lepas liarkan jika sudah memungkinkan.

Adakalanya terdapat anak maleo yang mengalami luka akibat kondisi hatchery yang kurang baik. Luka dapat berupa gigitan serangan semut, tikus, atau predator yang masuk ke dalam hatchery. Luka juga dapat karena benturan saat mereka menerjang dinding kawat (yang tanpa dilapisi paranet) atau tembok karena panik terus menerus. Jika terdapat dokter hewan dalam pengelolaan lokasi peneluran tersebut, maka serahkan perawatan pada mereka.

Jika tidak tersedia dokter hewan secara cepat, maka pindahkan anak maleo terluka ini dalam ruang atau kotak khusus yang bebas dari gangguan (predator dan penyebab stress). Pastikan dalam setiap penanganan anak maleo, hal pertama yang harus dilakukan adalah membebas-kan atau mengurasi tingkat stress mereka. Untuk itu tangani anak maleo yang luka secara hati-hati, perlahan, dalam ruangan yang nyaman (teduh dan tenang), dan cukup satu anak maleo yang luka ditangani oleh satu orang saja.

Biasanya anak maleo luka masih tetap sehat dan kuat. Bersihkan luka secara perlahan dengan kain dan cairan antiseptik. Anak maleo yang diserang semut, biasanya semut menyerang mata atau tempat-tempat yang luka dan basah. Pastikan semua semut terlepas dari tubuh anak maleo ini. Jaga sampai luka mengering. Berilah makan dan minum jika diperlukan. Lepasliarkan segera jika terlihat luka telah kering dan anak maleo terlihat tetap sehat dan lincah.

b. Penanganan kematian

Kematian anak maleo dapat disebabkan oleh serangan predator, anak maleo terlalu lemah, luka yang terlalu parah, atau anak maleo telah mati sebelum mencapai permukaan tanah. Semua anak maleo yang mati harus dikubur di luar lokasi peneluran, bahkan jika mungkin juga dikubur di luar jalur atau koridor maleo menuju ke lokasi peneluran. Jangan kubur apalagi membuangnya sembarangan di lokasi peneluran, karena mungkin bau bangkai dapat mudah dideteksi oleh biawak sehingga mereka membongkar dan memakannya. Bangkai kemungkinan dapat menyebarkan penyakit jika bangkai tersebut berada di lokasi peneluran. Pembakaran dapat juga dijadikan alternatif, untuk memastikan anak maleo yang mati tidak membusuk atau menjadi bangkai.

Khusus untuk predator yang tertangkap di dalam hatchery, harus ditangani segera. Tangkap dan buang atau pindahkan predator ini ke tempat yang cukup jauh dari lokasi peneluran. Hal ini untuk mencegah mereka kembali lagi ke lokasi peneluran untuk memangsa.

Gambar 14.Proses pelepasliaran anak maleo yang benar, dilakukan di permukaan tanah.

7. Penanganan anak maleo lemah lemah dan mati

a. Perawatan anak maleo luka atau lemah

Anak maleo yang baru menetas dan tiba di permukaan lubang tanam biasanya dalam kondisi yang sehat dan kuat. Namun kadangkala kondisi suhu lubang tanam yang cenderung tidak stabil atau dibawah kondisi minimum (suhu dan kelembaban) akan menyebabkan telur lambat menetas dan menghasilkan anak maleo (jika menetas) yang lemah.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 45| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh44

8. Perawatan bak penetasan

a. Predator

Ular phyton dan biawak monitor tetap menjadi potensial predator walaupun telur telah diamankan di dalam hatchery. Beberapa kejadian membuktikan kemampuan mereka untuk masuk ke dalam hatchery, ketika ada peluang yang dapat mereka dapatkan. Selain dua makhluk itu, hatchery juga masih rentan terhadap bahaya tikus (Ratus sp.) dan semut yang dapat menyerang anak maleo yang baru menetas.

Ular phyton dan biawak monitor dapat masuk ke dalam hatchery melalui celah-celah antar pintu atau jika terdapat bagian dinding kawat hatchery yang rusak. Untuk itu diperlukan pengecekan rutin dan memperbaiki sesegera mungkin jika terjadi kerusakan pada dinding hatchery. Satu kali kesempatan mereka masuk, bisa dipastikan akan menghancurkan banyak telur yang telah ditanam dan/atausemua anak maleo yang menetas saat itu.

Satu kali tikus dapat masuk ke dalam hatchery, biasanya mereka akan selalu berusaha masuk kembali, walaupun jalan masuknya telah ditutup atau dihancurkan. Tikus biasa masuk dengan menggali lubang sampai ke bawah pondasi. Untuk inilah diperlukan pondasi yang cukup dalam (minimal 30 cm) pada setiap pembangunan hatchery (lihat kembali bagian A.4.b).

Jika tikus berhasil masuk dan memangsa anak maleo di dalam hatchery, segera cari lubang mereka hari itu juga saat kasus dijumpai. Jika tidak segera ditangani, mereka akan kembali masuk di malam berikutnya. Carilah lubang yang terlihat muncul di dalam hatchery. Buatlah asap di mulut lubang tikus tadi, dapat dengan membakar sabut kelapa atau lainnya. Tiup dan arahkan asap ke dalam lubang secara terus menerus, sampai terlihat asap ke luar dari pangkal lubang di luar hatchery. Pengasapan ini juga dapat sekaligus tindakan untuk mengusir tikus. Tutup mulut lubang yang ada di dalam hatchery dengan batu atau jika memungkinkan dengan semen/beton. Lakukan hal yang sama dengan pangkal lubang di luar hatchery. Perlu diingat, semua aktivitas di dalam hatchery ini dilakukan setelah semua telur baru ditanam dan anak maleo dipindahkan atau dilepasliarkan.

Kadangkala tikus membuat jaringan lubang di dalam tanah, sehingga bisa jadi serangan tikus akan datang berkali-kali jika mereka telah berhasil. Penggunaan racun tikus dapat dipertimbangkan namun dengan perhitungan yang matang, karena jangan sampai racun termakan satwa lain (apalagi maleo) atau bangkai tikus mati dan tidak terdeteksi di dalam lokasi peneluran. Jika serangan tikus ini sangat sering terjadi dan kematian anak maleo cukup tinggi, lebih baik non-aktifkan hatchery ini dan membangun hatchery yang baru dengan pondasi lebih dalam dan baik.

Semut seringkali menyerang anak maleo yang baru keluar dari dalam lubang inkubasi mereka. Umumnya kedatangan mereka dipicu oleh ketidak-bersihan hatchery dari bekas-bekas cangkang sisa peneluran. Selain pembersihan hatchery, untuk mencegah semut datang dapat dilakukan dengan memutuskan atau mengisolasi bangunan hatchery dari cabang-cabang pohon atau lainnya yang menempel atau berhubungan dengan bangunan hatchery.Penggunaan kapur

semut juga dapat digunakan pada dinding-dinding hatchery bagian luar untuk mencegah semut masuk. Namun, jangan pernah menggunakan pembasmi serangga berbahan kimia (insektisida) baik di dalam maupun di sekitar hatchery.

b. Pencurian

Dalam sejarahnya, pencurian telur maleo tidak saja terjadi secara langsung yang terdapat di hamparan lokasi peneluran, namun juga di dalam hatchery. Namun kejadian pencurian di dalam hatchery sangat jarang terjadi. Jika lokasi peneluran rawan pencurian, maka pembangunan hatchery harus mengikuti petunjuk seperti yang tertera di bagian A.4.b., yaitu dengan menggunakan tralis. Penggunaan kawat harmonika yang dilapis kawat ram, bukan halangan bagi pencuri telur untuk membobol hatchery dengan menggunakan gunting pemotong kawat. Penggunaan tralis khususnya besi-siku yang ditanam langsung pada dinding sangat dianjurkan.

Penggunaan CCTV (Closed Circuit Television) juga disarankan jika memungkinkan, dengan prasyarat memiliki sumberdaya listrik yang stabil (berasal dari PLN) dan terdapat operator yang mengelola harian. Keberadaan CCTV selain dapat mendeteksi dan menindak lebih cepat jika terjadi aksi pencurian, juga dapat membantu untuk mengidentifikasi modus-modus pencurian ataupun predator yang masuk ke dalam hatchery untuk dapat segera dilakukan perbaikan yang tepat.

Kehadiran petugas pengelola lokasi peneluran setiap hari juga sangat penting untuk mencegah pencurian. Beberapa kasus pencurian terjadi diindikasikan karena ketidakhadiran petugas yang rutin secara harian untuk berpatroli atau sekedar memeriksa hatchery. Patroli rutin harian di sekitar lokasi peneluran dapat mencegah pencurian terjadi (lihat bagian A.3.c.).

c. Pembersihan sisa cangkang dan bangkai anak maleo mati

Setiap lubang telur yang telah menetas telur di dalamnya, ataupun gagal menetas, harus segera dibersihkan sisa-sia cangkang, telur busuk, atau pun anak maleo yang mati di dalam tanah/lubang tersebut. Jangan sampai ada sisa-sisa yang dibiarkan lebih dari satu hari jika sudah terdeteksi. Sisa-sia cangkang atau anak maleo yang mati akan cepat menarik kedatangan semut dan predator lainnya sehingga membahayakan anak maleo yang akan menetas kemudian.

Sebaiknya bersihkan pula sisa-sisa bulu yang mungkin tercabut dari anak maleo, termasuk yang pasti adalah segera membawa keluar sisa bagian tubuh anak maleo yang dimangsa oleh predator di dalam hatchery. Buanglah sisa-sisa cangkang cukup jauh dari hatchery. Sedangkan telur busuk dan sisa anak maleo yang mati harus dikubur di luar lokasi peneluran.

Bersihkan pula hatchery dari batu-batu (kecil apalagi besar), untuk memperkecil kemungkinan terjadi kesalahan yang menyebabkan telur pecah tertimpa batu saat diletakkan sementara di lantai hatchery atau saat penimbunan di lubang tanam. Jangan gunakan bahan-bahan kimia dalam membersihkan hatchery, baik di dalam maupun di sekitar hatchery. Hindari pula menyimpan peralatan apapun di dalam hatchery, walaupun itu berupa alat bantu penggali lubang, alat ukur, dsb. Hindarkan hal-hal yang potensial dapat mengganggu anak maleo atau menambah kondisi hatchery menjadi tambah tidak alami.

| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh46

d. Desinfektasi ruangan dan perawatan tanah tempat proses inkubasi

Ruangan hatchery dapat berpotensi menjadi sumber atau tempat kuman penyakit bagi anak maleo itu sendiri. Hal ini disebabkan karena aktivitas kegiatan di dalamnya seperti aktivitas manusia keluar masuk setiap hari, kotoran anak maleo, dsb. Pembersihan ruangan hatchery perlu dilakukan dengan melakukan penyemprotan desinfektan. Pilihlah desinfektan yang tidak berbahaya bagi jenis-jenis burung (seperti beberapa merk: Antisep, Neo Antisep, Rodalon, dsb.). Lakukan penyemprotan secara rutin, 1–2 kali dalam sebulan. Ikuti petunjuk dosis yang telah tersedia di setiap kemasan desinfektan.

Lantai hatchery juga karena kondisi aktivitas di dalamnya, menyebabkan tanah cenderung akan menjadi mengeras karena terinjak aktivitas manusia maupun kering. Tanah yang keras dapat menjadi salah satu sebab kegagalan anak maleo mencapai permukaan tanah. Di habitat alaminya, tanah di lubang-lubang peneluran secara alami tergali kembali akibat aktivitas induk maleo itu sendiri ketika mencari-cari lubang yang tepat (yang kadangkala juga ber-fungsi sebagai lubang tipuan). Secara alami juga, lubang-lubang peneluran akan tersirami oleh hujan, sehingga kelembaban tetap terjaga.

Untuk mengkondisikan agar tanah sebagai media inkubasi tetap dalam kondisi baik dan meminimalkan kegagalan tetas, minimal satu tahun sekali, seluruh tanah di dalam hatchery dibongkar sampai sedalam penanaman telur (sekitar 25 cm) untuk digemburkan kembali. Agar kegiatan ini tidak mengganggu proses inkubasi telur di dalamnya, maka lebih baik dikondisikan kegiatan penggemburan dilakukan saat hatchery kosong (dianjurkan satu lokasi peneluran memiliki lebih dari satu hatchery, lihat kembali bagian A.4.b.). Jika lokasi peneluran tidak memeliki lebih dari satu hatchery, maka pembongkaran tanah ini dapat dilakukan secara bertahap pada bagian-bagian yang tidak berisi telur.

Lantai hatchery juga secara teratur harus disiram dengan air halus secara merata ke seluruh permukaan tanah (jangan menyiram dengan diguyur). Secara alami ini juga terjadi di lokasi peneluran akibat siraman hujan. Penyiraman dapat dilakukan satu minggu satu kali. Penyiraman dilakukan dengan air bersih dan dingin. Air dapat menjaga kelembaban tetap terjadi dan stabil, serta turut menjaga tana tetap gembur.

9. Keadaan darurat

Keadaan darurat yaitu keadaan ketika:• Hatchery diperkirakan akan terpapar bencana besar, seperti kebakaran atau banjir besar

dalam waktu lama, yang kemungkinan akan menghancurkan hatchery dan telur-telur di dalamnya.

• Hatchery mengalami kerusakan permanen yang menyebabkan keamanan telur-telur sangat terganggu jika dibiarkan, seperti dinding rusak/runtuh yang tidak bisa diperbaiki sehingga rawan pencurian atau masuknya predator.

Jika keadaan darurat seperti di atas terjadi, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:• Gali dan ambilah telur secara perlahan dan hati-hati. Kerusakan sedikit saja pada telur

(retak, berlubang, dsb.) akan menyebabkan telur gagal menetas.• Saat telur diambil, perhatikan apakah nomor telur masih tercatat. Jika nomor telur telah

hilang, maka lakukan penulisan nomor kembali (sesuai nomor yang tercatat pada buku catatan).

• Pindahkan telur dan tanam kembali dalam hatchery lain yang tersedia dengan sangat hati-hati. Catat kembali nomor telur dalam buku catatan yang telah disediakan.

• Walaupun terjadi bencana, telur tetap tidak boleh digali dan dipindahkan jika tidak terdapat hatchery lain tempat untuk memindahkan telur dari hatchery yang terkena bencana, maka tidak perlu dilakukan penggalian telur-telur tersebut walaupun bencana terjadi.

• Banjir terjadi musiman dan diperkirakan hanya terjadi tidak lebih dari satu hari. Walaupun banjir musiman merupakan hal alami yang terjadi di alam (biasanya untuk lokasi-lokasi peneluran di sempadan sungai), namun perlu dipastikan bahwa pembuatan hatchery tidak di lokasi rawan banjir (lihat di bagian A.4.b.).

| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh48

4Kandang habituasi maleo adalah kandang berukuran tertentu yang diibuat sebagai tempat pemeliharaan sementara anak maleo atau maleo remaja dan dewasa, untuk tujuan penelitian dan pendidikan.

C Pengelolaan Kandang Habituasi dan Isolasi

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 51| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh50

1. Pengertian

Kandang habituasi maleo adalah kandang berukuran tertentu yang diibuat sebagai tempat pemeliharaan sementara anak maleo atau maleo remaja dan dewasa, untuk tujuan penelitian, pendidikan, dan meningkatkan daya hidup maleo di alam sebelum dilepasliarkan kembali. Kandang habituasi tidak ditujukan untuk penangkaran atau usaha pengembangbiakan dan tidak pula ditujukan untuk tempat pameran (display) maleo, atau untuk kepentingan wisata. Seluruh kandang habituasi tertutup bagi umum kecuali kegiatan terbatas untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Kandang isolasi adalah kandang yang ditujukan untuk perawatan sementara anak maleo atau maleo remaja atau dewasa yang sakit, yang berasal kandang habituasi sampai maleo tersebut benar-benar sembuh. Pengisoloasian ditujukan agar memperkecil kemungkinan penyakit tertular ke maleo lainnya.

Ketika satwa sudah mendapatkan intervensi perlakukan oleh manusia, dalam hal ini maleo yang berada di dalam kandang habituasi, maka perlakuannya harus memenuhi prinsip-prinsip umum kesejahteraan satwa. Prinsip kesejahteraan satwasebagai berikut:1. Cukup pakan dan air (Freedom from hunger and thirst)2. Tempat tinggal dan lingkungan nyaman sesuai habitatnya (Freedom from discomfort)3. Satwa tidak cidera, mengalami rasa sakit, dan tida menderita suatu penyakit (Freedom

from pain, injury and diseases)4. Di lingkungannya ada tempat-tempat yang mereka bisa memiliki rasa privasi atau tem-

pat-tempat mereka bisa bersembunyi sehingga tidak merasa takut atau stress (Freedom from fear and distress)

5. Mereka dapat bersosialisasi (perpasangan atau berkelompok) sehingga dapat berperilaku alami (Freedom to express natural behavior).

Bebas dari rasa lapar dan haus dapat dilakukan dengan pemberian pakan minum yang ber-sifat ad libitum (disediakan secara terus menerus sesuai kebutuhan) dan kemudahan hewan dalam mengakses pakan dan minum kapanpun mereka kehendaki. Selain itu jenis pakan yang diberikan haruslah sesuai dengan pakan alami dengan kandungan nutrisi yang seimbang.

Bebas dari rasa tidak nyaman dapat dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan hewan terhadap tempat tinggal yang sesuai atau pemberian naungan atau sarang yang sesuai. Selain itu faktor lingkungan yang harus diperhatikan meliputi temperatur, kelembaban, ventilasi dan pencahayaan yang harus sesuai dengan kondisi alamiah hewan yang bersangkutan.

Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit dapat dilakukan dengan melakukan tindakan pence-gahan, dan jika telah terkena maka harus mendapatkan diagnosa dan terapi yang tepat. Selama perlakukan, haruslah menjalankan program kesehatan yang telah ditetapkan.

Bebas dari rasa takut dan stress dapat dilakukan dengan menghindari prosedur atau teknik yang menyebabkan rasa takut dan stress pada hewan dan memberikan masa transisi dan adaptasi sebelum perlakuan berlangsung (adaptasi terhadap lingkungan baru, petugas kandang baru,

pakan baru, atau prosedur baru). Selanjutnya, petugas kandang atau peneliti haruslah petugas yang memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan dan telah mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menghindari kesalahan di dalam penanganan hewan dan pelaksanaan prosedur.

Bebas mengekspresikan tingkah-laku alamiah dapat diupayakan melalui penyediaan luasan kandang yang cukup, kualitas kandang yang baik, dan teman dari hewan yang sejenis dengan memperhatikan sosialisasi, tingkah-laku spesifik (misalnya cara mengambil makan), serta program pengayaan. Program pengayaan ialah memberikan bentuk-bentuk mainan, bahan atau alat yang dapat digunakan oleh hewan didalam mengekspresikan tingkah-lakunya.

2. Jenis-jenis kandang

a. Kandang habituasi setidaknya terdiri dari dua tipe, yaitu:• Kandang untuk anak maleo yang baru menetas sampai maksimal umur tiga bulan• Kandang untuk maleo remaja dan dewasa untuk maleo berumur tiga bulan ke atas.

b. Kandang isolasi dapat digunakan baik untuk anak maleo maupun maleo remaja dan dewasa.

Besar kandang sesuai kebutuhan dengan ketentuan mengikuti petunjuk yang tertera pada bagian A.4.c. dan kapasitasnya dibahas dalam bagian C.4.d.

3. Aturan umum di dalam kandang habituasi

Setiap petugas atau peneliti yang hendak masuk ke dalam kandang habituasi, harus memenuhi aturan sebagai berikut:• Tidak diperkenankan masuk ke dalam kandang habituasi, kecuali atas izin petugas.• Tidak diperkenankan masuk ke dalam kandang habituasi melebihi kapasitas yang diperke-

nankan. Kapasitas kandang ditetapkan oleh pengelola lokasi peneluran, namun tidak lebih dari 3 orang dalam satu waktu.

• Dilarang masuk ke dalam kandang habituasi kecuali untuk kepentingan pengelolaan dan penelitian (pemberian pakan, pembersihan, perawatan, dan penelitian tertentu).

• Bawalah maleo masuk ke dalam kandang habituasi secara hati-hati dan segera lepaskan cukup jauh dari dinding kandang.

• Segera keluarkan maleo yang terindikasi sakit.• Tangkaplah maleo yang akan dilepasliarkan pada malam hari secara cepat dan hati-hati.• Tangani maleo yang ditangkap atau diberikan perlakuan, tidak lebih dari 2,5 menit.• Dilarang berlarian di dalam kandang habituasi. • Pastikan kandang bersih dari sisa pakan ataupun bahan-bahan lain yang membusuk.• Tidak diperkenankan meninggalkan peralatan apapun di dalam kandang habituasi.• Pastikan pintu kandang habituasi tertutup rapat saat petugas di dalam dan terkunci saat

ditinggalkan.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 53| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh52

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 55| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh54

Setiap pengelola kandang harus menetapkan kapasitas maksimal petugas atau orang yang diperkenankan masuk dalam kandang dalam satu waktu. Kapasitas tergantung besar kandang. Sebaiknya tidak lebih dari 3 orang dalam satu waktu. Tuliskan secara jelas aturan umum dan kapasitas kandang di setiap pintu masuk kandang.

4. Perawatan kandang

a. Kebersihan, kesehatan, dan kenyamanan

Kebersihan merupakan hal yang paling utama dalam perawatan kadang habituasi dan isolasi, karena sangat mempengaruhi kesehatan maleo yang ada di dalamnya. Kebersihan dan kesehatan mencakup kandang dan petugas. Menjaga kebersihan kandang juga ditujukan untuk kenyamanan maleo yang ada di dalamnya.

Pastikan kandang dibersihkan secara berkala dari sumber-sumber penyakit. Semprotlah kan-dang dengan desinfektan seperti pada hatchery, setiap dua minggu sekali secara menyeluruh. Sumber-sumber penyakit dapat berasal dari maleo yang sakit atau mati, pakan yang berlebihan sehingga busuk, bangkai hewan lain, genangan air, dan kotoran maleo yang berlebihan. Jika terdapat maleo sakit atau mati, maka ikuti prosedur seperti yang dijelaskan pada bagian C.6.a–c. Hal yang sama dilakukan jika terdapat hewan lain (katak, ular, tikus, dsb.) yang masuk dan mati di dalam kandang.

Pemberian pakan juga harus mengikuti prosedur (bagian C.5.a–d.) yang telah ditetapkan, karena kelebihan pakan akan menyebabkan potensi busuk dan menimbulkan penyakit. Buanglah kelebihan pakan jika terjadi, ke luar lokasi peneluran, setiap hari. Kelebihan kapasitas juga dapat menjadi sumber penyakit atau memudahkan penyakit tersebar dari individu sakit ke individu sehat. Pastikan kotoran yang menumpuk dibersihkan dengan membuangnya ke tempat yang jauh dari kandang.

Buatlah lantai kandang seperti alami di hutan namun tidak menyebabkan air tergenang (lihat bagian A.4.c.). Jika terdapat genangan air lebih dari satu hari, segera buang dan keringkan, serta pastikan tempat genangan tersebut ditangani agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Kandang juga dibersihkan dari hal-hal yang mengganggu kenyamanan maleo, seperti rumput atau perdu yang terlalu banyak serta benda-benda lain. Dilarang keras meninggalkan benda apapun, selain minum, pakan, dan tempatnya, di dalam kandang habituasi. Selain dapat berpo-tensi menciderai maleo (jika benda tajam seperti kawat, besi, dsb.), dapat juga tanpa sengaja dimakan oleh maleo (potongan plastik, kain, dsb.). Pastikan kandang habituasi dibersihkan dari benda-benda tersebut.

Petugas yang masuk untuk membersihkan kandang maupun memberi minum dan pakan dipastikan juga bebas dari penyakit, khususnya penyakit menular, seperti flu. Walaupun belum dapat dipastikan penularan maupun penyebarannya, namun sebaiknya keadaan ini dicegah. Petugas yang sakit dapat bergantian dengan petugas lain dan petugas yang sakit dapat bertugas hal lain yang tidak membutuhkan untuk masuk ke dalam kandang habituasi.

b. Bahaya pemangsaan predator

Ular phyton dan biawak monitor tetap menjadi potensial predator untuk maleo-maleo di dalam kandang habituasi dan isolasi. Beberapa kejadian membuktikan kemampuan mereka untuk masuk ke dalam kandang habituasi. Selain dua makhluk itu, kandangjuga masih rentan terhadap bahaya tikus (Ratus sp.).

Ular phyton dan biawak monitor dapat masuk ke dalam kandang jika terdapat celah-celah antar pintu atau jika terdapat bagian dinding kawat kandangyang rusak. Untuk itu diperlukan pengecekan rutin dan memperbaiki sesegera mungkin jika terjadi kerusakan pada dinding kandang. Satu kali kesempatan mereka masuk, bisa dipastikan akan memangsa maleo se-banyak mereka sanggup memakannya.

Tikus pun masih dapat menjadi potensial predator yang masuk ke dalam kandang habituasi atau isolasi. Selain menggali lubang sampai melewati pondasi kandang, tikus juga dapat lebih mudah masuk (dibandingkan predator lainnya) melalui celah dinding atas kandang yang tertembus pohon dari dalam kandang.

Jika tikus berhasil masuk dan memangsa anak maleo di dalam kandang, segera cari lubang mereka hari itu juga saat kasus dijumpai. Jika tidak segera ditangani, mereka akan kembali masuk di malam berikutnya. Carilah lubang yang terlihat muncul di dalam kandang. Tangani masalah tikus ini sama seperti menangani tikus di hatchery (lihat bagian B.8.a.).

c. Kapasitas kandang

Setiap kandang habituasi hanya dapat diisi oleh maleo dengan kapasitas tertentu. Kapasitas optimum untuk kandang habituasi anak maleo adalah untuk satu anak maleo membutuhkan ruang minimal 10 m2, artinya jika kandang habituasi anak maleo berukuran 100 m2, maka kapasitas optimumnya adalah hanya 10ekor anak maleo. Untuk kandang habituasi remaja dan dewasa, kapasitas optimumnya yaitu satu maleo remaja (3–12 bulan) membutuhkan ruang minimal 50 m2 dan satu maleo dewasa (lebih dari 1 tahun) membutuhkan minimal 100 m2. Perlu diingat bahwa di habitat alaminya, maleo hanya hidup berpasangan. Mereka hanya berkumpul di lokasi-lokasi peneluran untuk bertelur. Saat proses penggalian lubang telur, mereka umumnya juga me-mentingkan teritori. Terlalu tinggi kapasitas kandang dapat mengganggu perilaku alami mereka.Tidak diperkenankan memasukkan hewan apapun, selain maleo dan pakannya, baik sementara maupun permanen di dalam kandang habituasi. Maleo di alam sangat soliter, sehingga akan sangat terganggu jika terdapat individu lain beda jenis di dekat mereka.

5. Minum dan pakan

a. Pemberian minum

Minum di setiap kandang habituasi diberikan secara ad libitum atau tidak terbatas. Untuk menjaga sifat alami anak maleo atau maleo dewasa, maka pemberian minum sebaiknya tidak menggunakan tempat minum untuk unggas ternak. Tempat minum dapat dibuat dari batok

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 57| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh56

kelapa atau mangkuk dari bahan kaca (jangan yang berbahan plastik atau melamin). Letak-kan tempat minum tersebut pada beberapa tempat. Agar tidak mudah tumpah atau terbalik, tanamlah mangkuksedemikian rupa sehingga bibir mangkuk cukup sejajar permukaan tanah dan mangkok dalam posisi kokoh. Hal ini penting karena maleo memiliki kebiasaan aneh untuk memutar kepala mereka ke samping sampai 90 derajat untuk menyeruput air dari genangan air yang dangkal.

Lakukan perubahan penempatan air minum secara acak setiap beberapa hari sekali, untuk menyesuaikan secara alami maleo mencari minum secara mandiri.Bersihkan tempat air minum secara rutin setiap hari sebelum diisi kembali. Jika sore hari air minum terlihat sudah hampir habis, segera isi kembali. Pastikan air minum cukup sampai besok siang. Jika perlu ditam-bahkan menjelang sore hari.

b. Jenis pakan

Sebisa mungkin berikan makanan alami maleo seperti di alam aslinya, atau minimal bukan makanan buatan (pelet). Makanan juga sebisa mungkin diberikan dalam bentuk seperti aslinya, tanpa perlakuan tambahan.

Secara alami maleo merupakan omnivora, artinya selain memakan biji-bijian dan buah di lantai hutan (biji dan buah yang telah masak dan jatuh), juga mereka mendapatkan sumber protein dari memakan serangga (semut, rayap, kumbang, dsb.) dan moluska darat (keong, siput, dsb.). Untuk anak maleo, berikan pakan yang banyak mengandung protein, seperti serangga dan biji-bijian. Sedangkan untuk maleo dewasa, berikan pakan yang lebih banyak mengandung karbohidrat, seperti buah-buahan.

Carilah pakan maleo secara langsung di alam. Jangan membeli bahan pakan dari pasar atau toko (seperti kemiri, kacang tanah, kelapa, dan melinjo) namun membeli langsung dari petani. Bahan pakan yang telah cukup banyak berinteraksi dengan manusia, akan berpotensi membawa bibit penyakit dari lingkungan manusia yang tidak dapat diatasi oleh maleo.

Untuk bahan makanan dari tumbuhan, berikan makanan dalam bentuk biji atau yang telah masak. Jenis pakan utama alami maleo di alam, yang dapat diberikan sebagai berikut:• Biji kemiri (Aleurites moluccanus). Secara alamimaleo memakan biji kemiri di hutan mau-

pun pinggir hutan, mulai dari mengupas kemudian memecahkan bijinya untuk diambil daging bijinya. Untuk itu disiapkan buah kemiri dalam 3 bentuk, buah, biji (dengan cangkang) dan daging biji. Untuk kandang habituasi anak maleo, berikan biji masih bercangkang dicampur dengan daging biji yang telah dikupas. Sedangkan untuk kandang habituasi maleo dewasa atau remaja, berikan dalam bentuk biji dengan cangkang serta masih dalam bentuk buah, semuanya kemiri yang telah masak.

• Biji pangi (Pangium edule). Pohon pangi cukup umum tumbuh di hutan Sulawesi. Buah pangi cukup besar namun daging buah dan biji di dalamnya dalam bentuk bongkahan-bongkahan lebih kecil. Ambilah buah pangi yang telah jatuh dan ambil bijinya untuk diberikan ke maleo. Berikan buah pangi secara utuh namun telah terbelah, baik untuk anak maleo maupun maleo dewasa, karena selain bijinya, maleo juga memakan daging buahnya.

• Buah melinjo/ganemo (Gnetum gnemon). Melinjo juga secara alami dapat dijumpai di hutan-hutan Sulawesi. Berikan buah melinjo hanya yang telah matang. Berikan baik untuk anak maleo maupun maleo dewasa. Untuk maleo anak, berikan sedikit campuran dengan buah atau biji maleo yang telah dibantu dengan meretakkan cangkang bijinya, sehingga memudahkan anak maleo, khususnya yang masih baru menetas.

• Buah palm kipas/woka (Livistona rotundifolia). Woka di beberapa tempat cukup umum di hutan-hutan Sulawesi. Pada musim-musim tertentu buahnya sangat berlimpah dan dapat diambil buah yang berjatuhan di bawah, namun yang belum busuk. Berikan secara utuh buah woka yang masih segar (baru jatuh).

• Buah beringin (Ficus spp.). Walaupun beringin cukup banyak jenisnya di Sulawesi, namun hampir secara umum semua jenis beringin menjadi pakan burung, sesuai stratanya masing-masing. Untuk maleo, buah beringin jatuhan namun masih segar, yang biasanya jatuh karena goyangan monyet atau rangkong. Buah yang segar dan masih berkulit keras lebih disukai oleh maleo daripada yang sudah lunak.

Selain jenis pakan alami tersebut, maleo dan anak maleo dapat pula diberikan makanan utama, yang sebenarnya bukan merupakan pakan alami maleo di alam. Namun untuk menambah variasi makanan dan terhambatnya pencarian pakan yang benar-benar alami, maka berikut beberapa jenis pakan yang masih dapat diberikan untuk anak maleo maupun maleo remaja dan dewasa:• Biji kacang tanah (Arachis hypogaea). Walaupun bukan makanan alaminya, namun

kacang-kacangan cukup dapat memberikan tambahan protein dan ragam minineral. Berikan kacang tanah masih beserta kulitnya. Biarkan anak maleo maupun maleo dewasa untuk membongkar biji kacang tanah tersebut.

• Daging buah kelapa (Cocos nucifera). Daging buah kelapa cukup disukai oleh maleo. Bentuk pemberian dapat dua bentuk, yaitu dipotong dadu atau cukup dibiarkan batok kelapa dan dagingnya yang telah terbelah.

Untuk pasokan tambahan protein, khususnya untuk memenuhi kebutuhan kalsium, maleo dapat diberikan beberapa jenis makan yang berasal dari hewan. Makan ini diberikan tidak sesering makanan dari unsur nabati. Maleo dewasa diketahui memakan beragam serangga dan moluska seperti semut, kumbang, rayap, ketonggeng (whipscorpion), dan siput air tawar. Di dalam kandang habituasi, pakan hewani ini dapat berupa:• Keong sawah (Pila ampullacea) dan keong mas (Pomacea canaliculata). Berikan siput

atau keong ini secara utuh tanpa dipecahkan cangkangnya. Namun untuk anak maleo, beberapa dapat dicampur dengan siput yang telah sedikit dipecahkan cangkangnya.

• Cacing tanah (Lumbricus spp.). Cacing tanah dengan beragam ukuran dapat diberikan baik untuk anak maleo maupun maleo dewasa. Pemberian dapat dalam bentuk utuh (gumpalan) maupun masih menyatu dengan sebagian tanahnya, agar tetap ada aktivitas maleo dalam mencari dan membongkar tanah.

Makanan tambahan hewani dapat juga diberikan sewaktu-waktu tergantung kesediaan pakan di sekitar lokasi peneluran atau kandang habituasi. Makanan tambahan ini biasanya berupa beragam serangga, seperti belalang, jangkrik, dan rayap. • Belalang, jangkrik, dan serangga lainnya,dapat diberikan beragam ukuran. Berikan dalam

keadaan hidup. Belalang yang cukup besar lebih baik dipotong sayapnya agar tidak dapat

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 59| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh58

terbang, namun masih dapat melompat. Belalang yang hidup dapat membantu anak maleo atau maleo dewasa untuk terus beraktivitas mengejar mereka seperti di habitat alami mereka.

• Rayap sebaiknya diberikan masih dalam bentuk bongkahan sarang (biasanya sarang-sarang rayap yang ditemukan di dalam tanah) maupun kayu-kayu lapuk yang sedang dimakan rayap. Berikan bongkahan maupun kayu tersebut secara utuh atau dapat dibantu dengan membelahkan menjadi potongan-potongan lebih kecil. Selanjutnya biarkan maleo yang membongkar sendiri sarang maupun kayu tersebut. Dapat pula diberikan rayap dalam bentuk laron, namun sebaiknya yang masih hidup atau belum lama mati (laron semalam).

c. Penjadwalan dan cara pemberian pakan

Pemberian pakan utama hanya dilakukan satu kali sehari, yaitu sekitar 12.00–14.00. Dalam satu hari, hanya diberikan satu jenis pakan utama. Diusahakan jenis pakan menyesuai dengan musim alami ketersediaan pakan tersebut di alam. Jika dalam satu rentang waktu terdapat beberapa jenis pakan, berikan secara acak setiap harinya.

Di dalam kandang habituasi berikan makanan tidak dalam satu tempat, namun tidak juga dihamburkan. Letakkan kumpulan makanan dalam beberapa tempat dan diacak setiap hari agar maleo tidak terbiasa dan ada aktifitas mencari. Sebaiknya tidak diberikan wadah khusus untuk makan, namun pakan ditempatkan pada bagian yang dinilai selalu kering atau tidak mudah basah kalau hujan.

Jumlah atau volume pakan yang diberikan tergantung jumlah dan ukuran individu dalam kandang. Tidak ada patokan khusus, namun dapat diukur sampai diperkirakan makanan hanya menyisakan sedikit pada keesokan harinya. Jika keesokan harinya makanan habis sama sekali, maka pada pemberian berikutnya (untuk jenis makanan utama yang sama) harus ditambah.

Pakan dalam bentuk biji, sebaiknya diberikan utuh dengan kulit atau cangkangnya. Hal ini untuk memberikan aktivitas kepada maleo dalam mengambil daging biji yang ada, seperti alaminya perilaku mereka.

Pakanhewani (keong dan cacing tanah) diberikan satu minggu satu kali, bersamaan dengan pemberian pakan nabati, dengan waktu yang sama pula. Jumlah pakan yang diberikan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan jumlah maleo di dalam kandang, jangan sampai terlalu berlebihan dan tersisa keesokan harinya. Berikan makanan hewani ini dalam keadaan hidup. Jika masih terdapat sisa dan pakan sudah dalam keadaan mati, maka harus segera dibersihkan.

Untuk makanan tambahan berupa serangga, berikan jika memang berhasil didapatkan. Jika sudah diberikan makanan hewani (bekicot dan cacing) pada hari ini, maka makanan tambahan berupa serangga dapat diberikan 2–3 setelahnya. Pemberian serangga yang masih hidup (belakang, jangkrik, dsb.) juga sangat baik untuk melatih maleo berburu seperti di kondisi alaminya.

d. Perubahan komposisi dan jenis pakan

Makanan dan komposisinya dapat diubah sesuai dengan ketersediaan pakan di lokasi peneluran masing-masing. Namun tetap memperhatikan asupan protein/gizi yang di dapat dari buah dan biji, asupan kalsium yang diperoleh dari serangga dan pakan hewani lain, serta membiasakan maleo pada kondisi atau perilaku alaminya. Tidak diperkenankan memberikan pakan utama ataupun tambahan yang sifatnya mudah membusuk atau mudah membawa penyakit jika tidak habis, seperti pisang, pepaya, dsb. Beberapa biji-bijian masih diperkenankan sepanjang pakan-pakan asli masih terus diberikan, seperti jagung (dengan tongkolnya), gabah, kedelai, dsb. Jika diperlukan makanan baru, maka harus diujicobakan dalam ukuran yang sedikit dan bervariasi terlebih dahulu dengan makanan utama lain yang telah teruji baik. Jika tidak memberikan efek buruk pada maleo dan maleo masih dapat sehat dan tumbuh berkembang baik, maka jenis pakan baru tersebut dapat diberikan secara berlanjut.

6. Maleo sakit atau mati

a. Perawatan maleo sakit

Maleo yang terindikasi sakit dapat terlihat dari tanda-tanda berikut (namun tidak terbatas hanya tanda-tanda ini saja):• Nafsu makan cenderung menurun. • Lebih banyak minum. • Mata terlihat selalu mengantuk atau seperti tertidur. • Kotoran umumnya menjadi lebih cair.• Seringkali bulu-bulu mereka terlihat kusut, dikembangkan, atau sayap yang terkulai.• Berjalan sempoyongan atau tidak seimbang dan pergerakan tidak lincah seperti biasanya.• Dan sebagainya.

Jika terdapat terindikasi maleo sakit di kandang habituasi, maka segera pindahkan maleo tersebut ke kandang isolasi. Berilah sekat tertutup (tidak tembus pandang) antar maleo yang sakit, jika terdapat lebih dari satu maleo di dalam kandang isolasi. Penanganan awal maleo yang sakit yaitu dengan pemberian makanan dan minuman dalam wadah khusus dan bersih. Perlu diperhatikan juga dalam pemindahan maleo terindikasi sakit ke kandang habituasi dengan berhati-hati, tidak memperberat stress maleo maupun maleo yang lain di dalam kandang. Proses pemindahan dilakukan secara cepat. Anak maleo atau remaja dapat digenggam langsung dengan baik dan dipindahkan. Sedangkan maleo dewasa sebaiknya menggunakan kandang transit jika tersedia.

Segera hubungi dokter hewan jika terlihat maleo terindikasi sakit, untuk mendapatkan pe- nanganan lanjutan. Ikuti petunjuk dokter hewan sampai maleo kembali sehat. Setelah sehat, maka kembalikan maleo tersebut ke kandang habituasi atau dapat langsung dilepasliarkan.

Jangan pernah melepasliarkan maleo dalam keadaan sakit. Tidak diperkenankan pula untuk memberikan vaksin apapun untuk meningkatkan daya tahan maleo di dalam kandang habituasi maupun kandang isolasi.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 61| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh60

Setelah maleo terindikasi sakit dipindahkan ke kandang, maka segera dilakukan pembersihan terhadap hal-hal yang diduga menjadi sebab maleo sakit dan juga kotoran maleo yang ter-indikasi sakit tersebut. Semprot kembali kandang dengan desinfektan secara menyeluruh.

b. Pengecekan kesehatan berkala

Secara berkala, kadang habituasi harus dicek secara detail hal-hal yang berpotensi menye-babkan maleo sakit. Undanglah dokter hewan untuk membantu juga mengecek maleo secara acak sehingga dapat memperoleh rekomendasi-rekomendasi yang lebih baik dalam perawatan maleo. Pengecekan kesehatan ini dapat dilakukan sekitar 3 bulan sekali.

c. Penanganan kematian

Maleo mati di kandang habituasi dapat terjadi umumnya akibat pemangsaan. Predator dapat menerobos kandang dan memangsa maleo yang ada di dalam kandang. Penanganan anak maleo yang mati di kandang habituasi sama dengan penanganan anak maleo yang mati di hatchery (bagian B.7.b.).

Semua maleo yang mati harus dikubur di luar lokasi peneluran, bahkan jika mungkin juga dikubur di luar jalur atau koridor maleo menuju ke lokasi peneluran. Jangan kubur apalagi membuangnya sembarangan di lokasi peneluran, karena bau bangkai dapat mudah dideteksi oleh biawak sehingga mereka membongkar dan memakannya. Bangkai kemungkinan dapat menyebarkan penyakit jika bangkai tersebut berada di lokasi peneluran. Pembakaran dapat juga dijadikan alternatif, untuk memastikan maleo yang mati tidak membusuk atau menjadi bangkai.

Khusus untuk predator yang tertangkap di dalam kandang habituasi karena memangsa maleo, harus ditangani segera. Tangkap dan buang atau pindahkan predator ini ke tempat yang cukup jauh dari lokasi peneluran. Hal ini untuk mencegah mereka kembali lagi ke lokasi peneluran untuk memangsa.

Jika terjadi kematian anak maleo mendadak atau sakit yang tidak sempat tertangani, segera keluarkan maleo mati tersebut dari dalam kandang. Jika memungkinkan, segera panggil dokter hewan untuk memeriksa secara menyeluruh dan berkonsultasi penyebab kematian. Ikuti petunjuk dokter hewan untuk menghindari penyebaran penyakit yang menyebabkan kematian tersebut.

7. Pelepasliaran

Lepasliarkan maleo segera dari dalam kandang habituasi remaja/besar yang telah berumur lebih dari satu tahun, jika tidak ada kepentingan penelitian dan pendidikan (liat diagram pada Gambar 4) serta maleo dalam keadaan sehat. Prosedur pelepasliaran sama seperti pada pelepasliaran anak maleo (lihat bagian B.6).

8. Keadaan darurat

Keadaan darurat yang mungkin terjadi untuk kadang habituasi dan isolasi adalah (namun tidak terbatas hanya pada hal-hal ini) ancaman yang mungkin terjadi dalam bentuk:• Bencana alam (banjir besar dan kebakaran) yang potensial membunuh maleo yang ada

di kandang.• Bencana atau kejadian (gempa, pohon besar tumbang, atau kandang tertimpa sesuatu

yang berat), yang menyebabkan kandang hancur dan membutuhkan waktu lama untuk diperbaiki atau kekembalikan ke kondisi semula.

• Bencana non-teknis seperti ancaman kerusuhan dan berpotensi terjadi pengrusakan ter-hadap kandang.

• Perubahan kebijakan pengelolaan yang sangat drastis, yang menyebabkan tidak ada perawatan terhadap maleo di dalam kandang.

Jika hal-hal tersebut maka petugas pengelola lokasi peneluran harus benar-benar dapat menilai potensi ancaman yang akan terjadi. Jika dinilai potensi ancaman sangat besar dan ancaman kemungkinan besar akan terjadi dan menimpa kadang habituasi dan atau isolasi, maka langkah yang dilakukan:• Isolasi sumber bencana jika memungkinkan sehingga tidak terkena atau berdampak pada

maleo di dalam kandang.• Jika tidak memungkinkan, maka tangkap seluruh maleo yang ada di dalam kandang yang

terancam bahaya tersebut, kemudian evakuasi segera ke tempat yang aman untuk dile-pasliarkan ke lokasi atau hutan yang aman, yang masih menjadi bagian koridor pergerakan maleo di lokasi peneluran tersebut.

• Jangan hanya membuka kandang dan membiarkan maleo ke luar dan lepas dengan sendirinya, karena bisa jadi justru maleo akan terdesak dan menuju lokasi yang menjadi sumber bencana.

• Lakukan proses evakuasi ini tetap dengan kehati-hatian sehingga tidak menyebabkan maleo stress atau cidera bahkan kematian akibat kecerobohan atau hal-hal yang tidak perlu.

• Karena lokasi kandang saling terpisah jauh, maka lakukan prosedur ini yang pertama pada kandang yang paling berpotensi terkena bencana paling awal atau hanya lakukan pada kandang yang memang terdampak dari bencana saja.

• Sebaiknya tidak memindahkan maleo ke kandang yang lain, yang dinilai masih aman, karena hal ini akan menyebabkan kandang menjadi kelebihan kapasitas yang justru akan menekan maleo yang ada di dalamnya.

Hal-hal lain yang belum diatur untuk menangani kondisi-kondisi darurat untuk kandang habituasi dan atau kandang isolasi ini, dapat diatur lebih lanjut oleh pengelola lokasi peneluran.

Prosedur tata kelola lokasi peneluran maleo (Macrocephalon maleo) | 63| Bashari, H., M. W. Lela, M. Kobandaha, D. Rahmanita, dan H. Teguh62

PenutupProsedur tata kelola lokasi peneluran maleo ini merupakan hasil pembe-lajaran pengelolaan lokasi peneluran di TNBNW. Diharapkan prosedur ini dapat dijadikan acuan tidak hanya bagi lingkup pengelolaan lokasi-lokasi lain di dalam kawasan TNBNW, namun dapat juga digunakan bagi pengelolaan lokasi peneluran maleo di manapun di Sulawesi. Prosedur tata kelola ini juga masih dapat berkembang untuk mengakomodasi perkembangan zaman, teknologi, tingkat ancaman yang berubah, maupun kebijakan dalam pengelo-laan kawasan konservasi tempat lokasi-lokasi peneluran sebagian berada.

Pustaka

Argeloo, M. (1994) The maleo Macrocephalon maleo: New information on the distribution and status of Sulawesi’s endemic megapode. Bird Conservation International 4:383–393.

Baker, G.C. & Buchart, S.H.M. (2000) Threats to the maleo Macrocephalon maleo and recommendations for its conservation. Oryx 34: 255–261

BirdLife International (2001) Threatened birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book. Cambridge: BirdLife International.

BirdLife International (2016) Macrocephalon maleo. The IUCN Red List of Threatened Species 2016: e.T22678576A92779438.http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2016-3.RLTS.T22678576A92779438.en

BirdLife International (2017) Species factsheet: Macrocephalon maleo. Downloaded from http://www.birdlife.org on 06/02/2017.

Butchart, S.H.M. & Baker, G.C. (2000) Priority sites for conservation of maleos (Macro-cephalon maleo) in central Sulawesi. Biological Conservation 94: 79–91.

Coates, B.J. & Bishop, K.D. (1997) A guide to the birds of Wallacea. Alderley, Australia: Dove Publications.

Dekker, R.W.R.J. & Brom, T.G. (1992) Megapode phylogeny and the interpretation of incu-bation strategies. Zoologische Verhandelingen 278: 19–31

Dekker, R.W.R.J. (1988) Notes on ground temperatures at nesting sites of the maleo Mac-rocephalon maleo (Megapodiidae). Emu 88:124–127.

Dekker, R.W.R.J. (1990a) The distribution and status of nesting grounds of the maleo Mac-rocephalon maleo in Sulawesi, Indonesia. Biological Conservation 51: 139–150.

Dekker, R.W.R.J. (1990b) Conservation and biology of Megapodes (Megapodiidae, Gal-liformes, Aves). Unpublished D. Phill thesis. Amsterdam: University of Amsterdam.

Gorog, A.J., Pamungkas, B. & Lee, R.J. (2005) Nesting ground abandonment by the maleo (Macrocephalon maleo) in North Sulawesi: Identifying conservation priorities for In-donesia’s endemic megapode. Biological Conservation 126: 548–555.

Hafsah (2009) Percepatan Peningkatan Populasi Burung Maleo (Macrocephalon maleo) melalui Perbaikan Pola Penetasan dan Penangkaran di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Disertasi. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Jones, D.N., Dekker, R.W.R.J. & Roselaar, C.S. (1995) The families of the world The Mega-podes Megapodiidae. Oxford: Oxford University Press.

MacKinnon, J. (1978) Sulawesi megapodes. Journal of the World Pheasant Association 3:96–103.

MacKinnon, J. (1981) Methods for the conservation of maleo birds, Macrocephalon maleo on the island of Sulawesi, Indonesia. Biological Conservation 20: 183–193.

Noerdjito, M. & Maryanto, I. (eds.) (2001). Jenis-jenis hayati yang dilindungi perundang-un-dangan Indonesia. Bogor: Balitbang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense), Pus-litbang Biologi–LIPI & The Nature Conservancy

Prawiradilaga, D.M. (1997) The Maleo Macrocephalon maleo on Buton. Bulletin British Ornithologists’ Club 117(3): 237.

ISBN 978-623-91240-3-8

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Enhancing the Protected Area System in Sulawesi for Biodiversity Conservation (EPASS) – ProjectJalan AKD, Mongkonai Barat, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara Telp: +62 81245941865 E-mail: [email protected]

www.boganinaniwartabone.org