Proposal: Efektivitas Proses Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter

79
EFEKTIVITAS PROSES PELAKSANAAN MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA BANDUNG (STUDI KASUS DI SMA TARUNA BAKTI BANDUNG, SMA TERPADU KRIDA NUSANTARA BANDUNG DAN SMA NEGERI 3 BANDUNG) PROPOSAL PENELITIAN Sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) Semester Ganjil mata kuliah Metodologi dan Statistik Penelitian Manajemen Pendidikan Lanjut, diampu oleh Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja Oleh Denny Kodrat NPM: 4103810413007 PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN/MANAJEMEN PENDIDIKAN PROGRAM PASCASARJANA Denny Kodrat | Proposal Penelitian 0

Transcript of Proposal: Efektivitas Proses Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter

EFEKTIVITAS PROSES PELAKSANAAN MANAJEMEN PENDIDIKANKARAKTER TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA

BANDUNG

(STUDI KASUS DI SMA TARUNA BAKTI BANDUNG, SMA TERPADU KRIDANUSANTARA BANDUNG DAN SMA NEGERI 3 BANDUNG)

PROPOSAL PENELITIAN

Sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) Semester Ganjil mata kuliahMetodologi dan Statistik Penelitian Manajemen Pendidikan Lanjut,

diampu oleh Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja

OlehDenny Kodrat

NPM: 4103810413007

PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN/MANAJEMEN PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 0

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

2013

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahPendidikan, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Moh. Nuh,

merupakan obat untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan

peradaban. Pernyataan ini menegaskan bahwa betapa pendidikan

masih diyakini memegang peranan penting dalam pembangunan

manusia, karena kemajuan peradaban sejatinya merupakan

kemajuan manusia. Semakin tinggi sebuah peradaban, maka hal

itu mengindikasikan semakin majunya manusia. Begitupula dengan

kemiskinan. Usia kemiskinan sama tuanya dengan usia peradaban

manusia. Tentunya, usia pendidikan pun setua pula usia

peradaban manusia. Oleh karenanya, pendidikan selalu menjadi

jalan keluar tanpa alternatif (no alternative way) untuk sebuah

upaya membangun peradaban dan memerangi kemiskinan.

Kewajiban negara yang utama di bidang pendidikan dapat

dilihat dalam pembukaan konstitusi negara Republik Indonesia,

yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut, dalam

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 1

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dijelaskan fungsi dan tujuan

pendidikan nasional, yaitu:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan danmembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuanuntuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadimanusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis sertabertanggung jawab.

Salah satu kebijakan pemerintah dalam mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban adalah dengan

menggulirkan pendidikan karakter. Hal ini didasarkan bahwa

pendidikan merupakan pembentukan karakter (character building).

Bahkan, pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana

pengkulturan dan pemanusiaan, disebabkan peran pendidikan

karakter bukan saja bersifat integratif, dalam arti

mengukuhkan moral intelektual peserta didik, melainkan juga

bersifat kuratif, baik secara personal maupun sosial, yakni

bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial

(Koesoema, 2010:116).

Realitas dunia pendidikan saat ini masih didominasi oleh

cerita-cerita buram penuh kekerasan. Misalnya tawuran

antarpelajar. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat telah

terjadi 147 kasus tawuran dengan korban jiwa sebanyak 82 anak

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 2

sepanjang 2012 (Megapolitan.com). Tawuran pelajar ini bahkan

hampir merata disetiap jenjang, baik jenjang pendidikan dasar,

menengah hingga perguruan tinggi. Tidak hanya kasus kekerasan

tawuran saja yang cukup mengkhawatirkan, kasus amoral lain

seperti seks bebas, aborsi, penyalahgunaan obat-obat terlarang

hingga kasus kekerasan seksual cukup mendominasi dunia

pendidikan. Belum lagi masalah-masalah penyimpangan moral yang

terjadi di mikro pendidikan, misalnya mencontek dan bullying,

menjadi masalah yang cukup serius untuk disikapi bersama para

pemangku kepentingan (stakeholders).

Berkaca dari fenomena persoalan pendidikan di atas, konsep

pendidikan karakter menjadi menarik untuk diteliti terlebih

bila ditelaah bagaimana penerapan dan pengelolaan pendidikan

karakter ini oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

Sementara itu, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2013

menekankan pada pendidikan karakter dengan tujuan meningkatkan

mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada

pembentukan budi pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara

utuh, terpadu dan seimbang sesuai dengan standard kompetensi

lulusan pada setiap satuan pendidikan (Mulyasa, 2013).

Peneliti memilih satuan pendidikan SMA Taruna Bakti Bandung

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 3

sebagai subjek penelitian dengan pertimbangan bahwa sekolah

ini dikenal menjadikan pendidikan karakter sebagai misi

sekolahnya, selain menjadi sekolah pembauran multi etnis.

Selain itu, dengan kiprahnya yang lebih dari 60 tahun, sekolah

ini tidak hanya memiliki jejak rekam yang baik secara

akademis, popular secara nama, dan menjadi salah satu dari

sedikit sekolah swasta yang menempati 5 (lima) besar sekolah

unggulan di kota Bandung, namun juga memiliki kekhasan dalam

misi pendidikannya, yaitu menjadikan pendidikan karakter dan

pembauran sebagai bagian dari softskill yang tidak terpisahkan.

SMA Taruna Bakti, terakreditasi A sejak tahun 2007

terletak di Jalan L.L.R.E Martadinata 52 Kota Bandung, persis

berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan factory outlets dan

pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) dan

Kejaksaan Provinsi Jawa Barat. Sekolah ini berdiri di bawah

naungan Yayasan Taruna Bakti yang didirikan oleh masyarakat

dengan ketua umumnya Drs. K. Kamajaya, M.Sc. Yayasan Taruna

Bakti sendiri saat ini mengelola satuan pendidikan Play group,

Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,

Sekolah Menengah Atas dan Akademi Sekretari Taruna Bakti.

Untuk kegiatan SMA, proses manajemen dan pembelajarannya

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 4

berada di gedung utama Jl. L.L.R.E. Martadinata no. 52 lantai

3 dan 4. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan, disiplin

dan keramahtamahan sangat ditekankan. Senyum, Tegur dan Sapa

menjadi salah satu etika yang ditekankan baik kepada siswa

juga guru. Siswa harus berada di sekolah sebelum jam 06.30.

Sesudah jam tersebut, Siswa-siswa yang terlambat mendapatkan

sanksi tidak diperkenankan masuk kelas sebelum menyelesaikan

tugas terlambat yang dibuat oleh guru jam pertama dan dipantau

serta diadministrasikan oleh guru piket. Ucapan-ucapan seperti

“Assalamu’alaikum, selamat pagi,” dan diikuti mencium tangan dari

siswa ke guru menjadi keseharian para siswa dan guru di

sekolah.

Hasil observasi awal di atas dikuatkan oleh penuturan

Kepala Sekolah melalui wawancara informal yang dilakukan

peneliti. Kepala Sekolah menegaskan bahwa SMA Taruna Bakti

adalah sekolah yang sangat menekankan pendidikan karakter,

bahkan jauh sebelum pemerintah menyuarakan urgensi pendidikan

karakter. Salah satu nilai yang ditekankan selama 2013 adalah

respect (menghormati/menghargai). Setiap komponen; siswa, guru

maupun pegawai berupaya untuk menghayati dan mewujudkan nilai

respect ini.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 5

Akan tetapi, Kepala Sekolah mengakui di tengah-tengah

upaya mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah ini,

terdapat beberapa persoalan mendasar, yaitu pertama, tidak

semua siswa berasal dari lingkungan keluarga yang harmonis.

Banyak di antara diasuh secara single parent. Sehingga, kompensasi

yang cenderung ke arah negatif seperti absensi, keterlambatan,

pelanggaran, sering dilakukan oleh para siswa sekadar untuk

mencari perhatian. Lingkungan keluarga yang kondusif dapat

menjaga kesinambungan pendidikan karakter yang ditekankan di

sekolah. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang bermasalah,

dapat menyebabkan terputusnya sosialisasi dan internalisasi

nilai-nilai yang diterima siswa di sekolah. Kedua, SMA Taruna

Bakti adalah sekolah non-asrama. Kebersamaan dengan siswa di

sekolah tidak berlangsung 1x24 jam seperti yang terjadi di

sekolah berasrama (boarding school).

Sekolah kedua adalah SMA Terpadu Krida Nusantara menempati

tanah seluas 25 Ha yang terletak di wilayah Bandung Timur,

tepatnya di desa Cipadung, Cibiru. SMA ini memiliki akreditasi

A dan mengedepankan pendidikan karakter yang terlihat dari

ungkapan visinya, yaitu “Menjadi sekolah berasrama terkemuka

dalam pengembangan potensi peserta didik di bidang akademik,

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 6

keagamaan dan keterampilan dengan disiplin tinggi serta mampu

bersaing secara nasional dan internasional”. Selain itu, SMA

Krida Nusantara ini memiliki slogan “Mendidik anak untuk

disiplin, bebas rokok, narkotika dan tawuran.” Selain itu,

dengan konsep sekolah asrama (boarding school), proses pendidikan

bisa relatif terpantau selama 24 jam dengan dibimbing oleh

kepala sekolah, kepala asrama para guru kelas, wali kelas,

guru asrama hingga tenaga kependidikan.

Sekolah ketiga adalah SMA Negeri 3 Bandung, terletak di

jalan Belitung 8 Bandung, memiliki slogan “Knowledge is power, but

character is more” bervisi “Menjadi sekolah berbasis riset terdepan

dalam pembentukan karakter unggul dalam imtak dan iptek”.

Sekolah ini dalam kurun waktu selama dua dekade menjadi

sekolah dengan nilai passing grade teratas se-kota Bandung dan

memiliki perolehan A dalam status akreditasinya. Sebagaimana

sekolah-sekolah formal lainnya, SMA Negeri 3 Bandung ini

memiliki 64 tenaga pendidik dengan status PNS dan 8 guru

honorer, ditunjang dengan 32 tenaga kependidikan serta

dilengkapi dengan berbagai fasilitas sekolah yang memadai.

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas,

peneliti tertarik untuk mendalami efektivitas proses

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 7

pelaksanaan manajemen pendidikan karakter pada tingkat Sekolah

Menengah Atas dengan mengambil 3 (tiga) kasus di SMA Taruna

Bakti, SMA Krida nusantara dan SMA Negeri 3 Bandung

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Manajemen berfokus pada perencanaan (planning),

pengorganisasian (organizing), Pelaksanaan (Actuating) dan

Pengawasan (Controlling). Oleh karenanya, penelitian ini

difokuskan kepada efektivitas disetiap tahapan dari mulai

tahapan perencanaan hingga pengawasan. Untuk itu dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada tingkat

SMA.

2. Bagaimana pengorganisasian pendidikan karakter pada

tingkat SMA.

3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada tingkat

SMA.

4. Bagaimana pengawasan pendidikan karakter pada tingkatSMA.

5. Bagaimanakah efektivitas proses manajemen pendidikankarakter pada tingkat SMA

C. Tujuan Penelitian

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 8

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi

yang rinci dan jelas tentang:

1. Perencanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

2. Pengorganisasian pendidikan karakter pada tingkat SMA.

3. Pelaksanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

4. Pengawasan pendidikan karakter pada tingkat SMA.

5. Efektivitas proses penerapan manajemen pendidikan

karakter pada tingkat SMA.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

teoretik dan praktis.

1. Manfaat Teoretik

Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk mengembangkan keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan

dan secara khusus manajemen pendidikan karakter. Hasil

penelitian ini juga dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian-

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

pimpinan yayasan, pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 9

sekolah, bahkan para pemerhati pendidikan tentang pedoman

pelaksanaan pendidikan karakter.

E. Batasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan kepada efektivitas proses

pelaksanaan manajemen berkarakter di tingkat SMA. Efektivitas

sendiri dapat diukur melalui 4 (empat) pendekatan yaitu

pendekatan sasaran (goal approach), pendekatan sistem (system

approach), pendekatan proses (process approach) dan pendekatan

gabungan dari tiga gabungan pendekatan tersebut (Lubis dan

Huseini, 1987). Pengukuran efektif juga didasarkan pada

pendapat Windham (1988) bahwa efektivitas pendidikan, dalam

hal ini, manajemen pendidikan berkarakter dapat dilihat dari

proses input-proses-output dan outcomenya. Penelitian ini

membatasi efektivitas hanya pada pendekatan proses dan sasaran

serta faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas proses

pelaksanaan manajemen pendidikan kepribadian.

II. ACUAN TEORITIS

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 10

A. Konsep Dasar Manajemen dan Manajemen Pendidikan

1. Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan

Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa

Italia maneggiare yang berarti ‘mengendalikan’. Kata ini

mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti

‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari Bahasa Inggris yang

berarti seni mengendalikan kuda). Bahasa Perancis lalu

mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement,

yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Berdasarkan

etimologinya, istilah manajemen sebenarnya berasal dari

bahasa Latin manus yang berati ‘tangan’ dan agere yang berarti

‘melakukan’.

Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan

pengertian yang lebih spesifik dan variatif dari para ahli.

Harold Koontz dan Hein Weirich (dalam Kambey, 2006:2),

mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain dan

memelihara lingkungan di mana orang-orang bekerja bersama

dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu

secara efisien”. Sementara itu, Sanches (dalam Kambey,

2006:2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses

mengembangkan manusia”. Denny Kodrat | Proposal Penelitian 11

Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu,

melainkan sebagai seni. Mary Parker Follet (dalam Sule dan

Saefullah, 2010:5) menegaskan bahwa “manajemen is the art of getting

things done through people.” Artinya, manajemen adalah seni

menyelesaikan sesuatu melalui orang lain. Manajemen sebagai

proses ataupun seni senantiasa terarah pada suatu tujuan yang

hendak dicapai dan melalui tahapan-tahapan yang pasti, yakni

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk. (dalam Sule dan

Saefullah, 2010:6). Mereka menyebutkan pengertian manajemen

sebagai “the process used to accomplish organizational goals through planning,

organizing, directing, and controlling people and other organizational goals”.

Definisi sesungguhnya dari kata manajemen ternyata banyak,

tergantung pada persepsi masing-masing ahli. Namun, terdapat

salah satu definisi klasik tentang manajemen yang dirumuskan

oleh George Terry (dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2011:315),

yakni “management is a distinct process consisting of planning, organizing,

actuating, and controlling, performed to determine and accomplish stated

objetctives by the use of human beings and other resources”. Manajemen adalah

suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan

pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain untuk

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 12

mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang

secara populer dikenal dengan singkatan POAC (planning, organizing,

actuating, controlling).

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di

atas, maka manajemen dalam arti luas adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan proses perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan dan pengendalian sumber daya organisasi untuk

mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Sementara itu

dalam arti sempit, yakni dalam konteks lingkungan pendidikan,

“manajemen adalah perencanaan program sekolah, pelaksanaan

program sekolah, kepemimpinan kepala sekolah,

pengawas/evaluasi, dan sistem informasi sekolah” (Usman,

2011:5). Lebih lanjut Usman (2011:12) mengemukakan definisi

manajemen pendidikan sebagai berikut:

Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelolasumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajardan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktifmengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatanspiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yangdiperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dari definisi di atas, Usman menjabarkan tujuan dan

manfaat manajemen pendidikan (2011:13), antara lain:

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 13

1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran

yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan

bermakna.

2. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan

potensi dirinya.

3. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga

kependidikan, yaitu kompetensi manajerial.

4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan

efisien.

5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang

proses dan tugas administrasi pendidikan.

6. Teratasinya masalah mutu pendidikan.

7. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata,

bermutu, relevan, dan akuntabel.

8. Meningkatnya citra positif pendidikan.

Secara ringkas, Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen

Administrasi Pendidikan UPI, 2011:88) menegaskan bahwa

pentingnya manejemen agar pelaksanaan suatu usaha terencana

secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat

dan lengkap sehingga mencapai tujuan secara produktif,

berkualitas, efektif dan efisien.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 14

2. Fungsi-Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi

manajemen yang dikemukan oleh para ahli, yaitu perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian/pengawasan.

Fungsi-fungsi tersebut merupakan elemen dasar yang akan selalu

ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan

acuan oleh manajer/pemimpin dalam melaksanakan kegiatan untuk

mencapai tujuan.

Secara garis besar Gerloff (dalam Kusdi, 2009:9)

menunjukkan melalui sebuah tabel dinamika proses manajemen

sebagai berikut:

Fungsi Tindakan Resultan/EfekPlanning Menentukan berbagai

tujuan, strategi, danarah yang ingin dicapai.

Dasar bagi desaindan kebijakanorganisasi

Organizing Menentukan aktivitas-aktivitas pokok.

Mengelompokkan aktivitas-aktivitas menjadi jabatan-jabatan.

Mengelompokkan jabatan dan menentukan tanggung jawab

Mengisi jabatan dengan orang-orang

Struktur kerja formal dengan mengidentifikasi jabatan, hubungan pelaporan dan koordinasi, departemen-departemen, serta prosedur yang dibutuhkan.

Menciptakan situasi yang

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 15

yang sesuai. memungkinkan munculnya strukturkerja informal.

Directing Memprakarsai dan memfokuskan tindakan para bawahan menuju tujuan.

Aliran komunikasi dari atas ke bawah yang mengaktifkan rencana formal dan mendukung prioritas-prioritasnya.

Controlling Memonitor kinerja dan mengarahkan upaya menujutujuan yang sudah direncanakan

Standard-standar kerja, media pelaporan, dan metode-metode standard yang merupakan bagian dari struktur

2.1. Perencanaan

Banghart dan Trull (dalam Sagala, 2010:56) mengemukakan:

“Educational planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan

pendidikan adalah langkah paling awal dari semua proses

rasional. Dengan kata lain sebelum melaksanakan kegiatan lain,

langkah pertama yang mestinya dibuat adalah perencanaan.

Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses

memikirkan dan menetapkan secara matang arah, tujuan dan

tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan metode

yang tepat. Pengertian serupa dikemukakan oleh Gibson (dalam

Sagala, 2010:56), “perencanaan mencakup kegiatan menentukan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 16

sasaran dan alat sesuai untuk mencapai tujuan yang telah

ditentukan”. Perencanaan yang dibuat secara matang akan

berfungsi sebagai kompas untuk mencapai tujuan organisasi.

Untuk itu Sergiovanni (dalam Sagala, 2010:57) menegaskan:

“plans are guides, approximation, goal post, and compass setting not irrevocable

commitments or dicision commandments”.

Lebih lanjut Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen,

2011:93-95) mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:

- Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.

- Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan

yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

- Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan

mendayagunakan sesuai tugas pokok fungsi yang telah

ditetapkan.

- Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan

aktivitas yang konsisten prosedur dan tujuan.

- Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi

seluruh pelaksana.

- Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara

intensif sehingga bisa menemukan dan memperbaiki

penyimpangan secara dini.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 17

- Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara

kegiatan internal dengan situasi eksternal.

- Menghindari pemborosan.

Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi

menjadi perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu

bulan, satu semester dan satu tahun, perencanaan jangkah

menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk jangka waktu tiga

sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat

untuk jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun.

Sementara itu proses perencanaan dilaksanakan secara

kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah. Alasan pentingnya

melibatkan mereka dalam perencanaan dikemukakan oleh Hoyle dan

Moedjiarto (dalam Sagala, 2010:57). Masyarakat sekolah akan

bertanggungjawab atas perencanaan yang ditetapkan dan akan

menimbulkan sense of belonging (rasa memiliki), sehingga mendorong

warga sekolah untuk bersama-sama berusaha agar rencana

tersebut berhasil.

2.2. Pengorganisasian

Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan

dan mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 18

antara anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

Stoner (dalam Tim Dosen, 2011:94) menyatakan bahwa

mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang atau

lebih untuk bekerja sama dalam cara terstruktur guna mencapai

sasaran spesifik atau beberapa sasaran”. Pada intinya

mengorganisasikan berarti:

- menentukan sumber daya kegiatan yang dibutuhkan untuk

mencapai tujuan organisasi.

- merancang dan mengembangkan kelompok kerja yang berisi

orang yang mampu membawa organisasi pada tujuan.

- menugaskan seseorang atau kelompok orang dalam suatu

tanggung jawab tugas dan fungsi tertentu.

- mendelegasikan wewenang kepada individu yang berhubungan

dengan keleluwasaan melaksanakan tugas.

Pengorganisasian yang tepat akan membuat posisi orang

jelas dalam struktur dan pekerjaannya melalui pemilihan,

pengalokasian dan pendistribusian kerja yang profesional.

Untuk itu seorang manajer memerlukan kemampuan memahami sifat

pekerjaan dan kualifikasi orang yang harus mengisi jabatan.

2.3. Pelaksanaan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 19

Pelaksanaan, pengimplementasian, atau penggerakkan

(actuating) merupakan proses implementasi program agar bisa

dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses

memotivasi agar semua pihak dapat bertanggung-jawab dengan

penuh kesadaran dan produktivitas yang tinggi (Sule dan

Saefulla, 2010:8). Proses memotivasi berarti mendorong semua

pihak agar mau bekerja sama, ikhlas dan bergairah untuk

mencapai tujuan yang sesuai dengan rencana-rencana yang telah

ditentukan atau diorganisir sebelumnya. Hal ini ditegaskan

oleh Terry (dalam Kambey, 2006:70), “Actuating is setting all members of

the group to want to achieve and to strike to achieve the objective willingly and

keeping with the managerial planning and organizing the efforts”.

Dalam konteks manajemen sekolah, fungsi tersebut

dijalankan oleh kepala sekolah, yakni melalui tindakan

merangsang guru dan personal sekolah lainnya melaksanakan

tugas-tugas dengan antusias dan kemauan yang baik untuk

mencapai tujuan dengan penuh semangat (Sagala, 2010:60).

Menurut Sagala (2010:62-63), kepala sekolah dalam menjalankan

fungsinya perlu memperhatikan beberapa faktor seperti

keefektifan organisasi kerja yang terdiri dari sejumlah unit

kerja (kelas, guru kelas, bimbingan penyuluhan, usaha

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 20

kesehatan sekolah), kepekaan terhadap sejumlah kebutuhan

pelayanan persoan sekolah, pelatihan guru, koordinasi yang

meliputi pembagian kerja dan spesialisasi atas dasar tanggung

jawab profesionalnya masing-masing, semangat kerja sama,

tersedianya fasilitas dan kontak hubungan yang lancer bagi

semua pihak dan memulai tahapan suatu kegiatan dengan benar

dan mempertahankan kualitas pekerjaan sebagai proses yang

kontinu.

Koordinasi dapat diwujudkan melalui 1) konfrensi atau

pertemuan lengkap yang mewakili unit kerja di sekolah, 2)

pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat tertentu, 3)

pembentukan panitia gabungan jika diperlukan, 4) pembentukan

badan koordinasi staf untuk mengkoordinir kegiatan, 5)

mewawancarai personal sekolah untuk mengetahui hal yang

penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, 6)

memorandum atau instruksi berantai, dan , 7) ada dan

tersedianya buku pedoman organisasi dan tatakerja.

2.4. Pengawasan

Sagala merangkum beberapa pengertian pengawasan dari

beberapa pakar berikut (dalam Sagala, 2010:65). Pertama, Oteng

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 21

Sutisna menghubungkan fungsi pengawasan dengan tindakan

administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses

administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan

apa yang seharusnya terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang

perlu dibuatnya. Kedua, Hadari Nawawi menegaskan bahwa

pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan menukur tingkat

efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi penggunaan

metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Ketiga,

Johnson mengemukakan pengawasan sebagai fungsi sistem yang

melakukan penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar

penyimpangan-penyimpangan tujuan sistem hanya dalam batas-

batas yang dapat ditoleransi.

Dalam kaitannya dengan manajemen sekolah, Sagala

menegaskan bahwa pengawasan adalah salah satu kegiatan

mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan apakah

tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki,

kemudian dari hasil pengawasan apakah dilakukan perbaikan.

Pengawasan meliputi pemeriksaan apakah semua berjalan sesuai

rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan, dan

prinsip-prinsip yang ditetapkan, antara lain seperti yang

dikemukakan oleh Massie (dalam Sagala, 2010:65):

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 22

- Tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang

menentukan keberhasilan.

- Menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai

tujuan.

- Fleksibel dan responsif terhadap perubahan-perubahan

kondisi dan lingkungan.

- Cocok dengan organisasi pendidikan.

- Merupakan kontrol diri sendiri.

- Bersifat langsung yaitu pelaksanaan kontrol di tempat

pekerja.

- Memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para

personal pendidikan.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Oteng Sutisna

(Sagala, 2010:65) menegaskan bahwa tindakan pengawasan terdiri

dari tiga langkah universal, yaitu (1) mengukur perbuatan atau

kinerja; (2) membandingkan perbuatan dengan standar yang

ditetapkan dan menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada; dan

(3) memperbaiki penyimpangan dengan tindakan pembetulan.

Lebih lanjut Stoner (dalam Sagala, 2010:66) membagi

pengawasan dalam empat langkah berikut:

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 23

- Pertama, menetapkan standar dan metode untuk mengukur

prestasi yang mencakup di dalamnya penetapan standar

dan ukuran untuk segala macam keperluan, mulai dari

target pencapaian kurikulum sampai pada target

pencapaian mutu lulusan.

- Kedua, mengukur prestasi kerja yang dilakukan secara

berkesinambungan, repetitif dan frekeunsinya tergantung

pada jenis aktivitas yang sedang diukur.

- Ketiga, membandingkan hasil yang telah diukur dengan

sasaran dan standar yang telah ditetapkan sebelumnya.

- Keempat, mengambil tindakan korektif, jika hasil-hasil

yang dicapai tidak memenuhi standar dan analisis

menunjukkan perlunya diambil tindakan.

B. Konsep Dasar Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan

Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi pendidikan, secara etimologis berasal

dari kata kerja bahasa Latin educare. Koesoema (2010:53)

mengemukakan bahwa bisa jadi secara etimologis, kata

pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 24

dari kata educare dan educere. Secara distingtif, Koesoema

mendeskripsikan makna kedua istilah tersebut sebagai berikut.

Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’, ‘menjinakkan’,

atau ‘menyuburkan’. Dalam konteks ini pendidikan dipahami

sebagai “sebuah proses yang membantu menumbuhkan,

mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau

liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan kultur

dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam diri orang lain”.

Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum

behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan

pendidikan sebagai proses perubahan tingkah laku (Mudyahardjo,

2001:7). Pendidikan juga berarti “proses pengembangan berbagai

macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan

akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik atau

daya-daya seni”.

Sementara itu, kata educere merupakan gabungan dari

preposisi ex (keluar dari) dan kata kerja ducere (memimpin).

Secara harafiah educere berarti “suatu kegiatan untuk menarik

keluar atau membawa keluar”. Dalam arti ini, pendidikan

dimengerti sebagai “sebuah proses pembimbingan keluar yang

terarah pada satu tujuan tertentu”. Proses pembimbingan keluar

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 25

ini bisa berarti secara internal, yakni keluar dari

keterbatasan fisik kodrati yang dimiliki sehingga tetap

bertahan hidup, dan secara eksternal lebih mengacu pada

kecerdasan sosial individu, antara lain tampak dari kemampuan

bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Di pihak lain, menurut John Dewey (dalam Muslich,

2011:67) pendidikan adalah “proses pembentukan kecapakan

fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan

sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia,

pengertian pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang-

Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi demikian:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untukmewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agarpeserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinyauntuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendaliandiri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsadan negara.

Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek

kehidupan manusia. Bahkan, pendidikan adalah hidup itu

sendiri, sebab pendidikan berlangsung seumur hidup (life-long

education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang

mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001:3).Denny Kodrat | Proposal Penelitian 26

2. Pengertian Karakter

Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa

Yunani karasso, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau

‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Interpretasi atas istilah

ini bermacam-macam. Mounier (dalam Koesoema, 2010:90-91)

mengajukan dua cara interpretasi, yaitu pertama, karakter

sebagai “sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja,

atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam

diri kita” (karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter

sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu

menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah sebuah proses yang

kehendaki” (willed). Senada dengan pengertian karakter di atas,

Ohoitmur (dalam Rataq dan Korompis, 2011:11), menegaskan bahwa

“karakter personal terdiri dari dua unsur yakni karakter

bawaan dan karakter binaan. Karakter bawaan merupakan karakter

yang secara hereditas menjadi ciri khas kepribadiannya.

Sedangkan karakter binaan merupakan karakter yang berkembang

melalui pembinaan dan pendidikan secara sistematis.

Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (dalam Kemendiknas,

2010:12) karakter diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa,

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 27

kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat,

tabiat, temperamen, watak.” Berkarakter berarti

“berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan

berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah

seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik

terhadap Tuhan, dirinya, sesame dan lingkungannya dengan cara

mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran,

emosi dan motivasinya.

Musfiroh (dalam Kemendiknas, 2010:12) berpendapat bahwa

“karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi

dan keterampilan”. Karakter berhubungan dengan karakteristik

psikologis individual. Hal ini ditegaskan oleh Berkowitz

(2002:69) sebagai berikut: “Character as an individual’s set of

psychological characteristics that affect that person’s ability and inclination to

function morally. Simply put, character is comprised of those characteristics that

lead person to do the right thing or not to do the right thing.” Karakter adalah

kumpulan dari karakteristik psikologis individual yang

mempengaruhi bakat seseorang dan kecenderungan untuk bertindak

sesuai dengan moralitas. Dengan kata lain karakter itu terdiri

dari karakteristik-karakteristik yang menuntun seseorang untuk

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 28

melakukan sesuatu yang baik atau melakukan sesuatu yang tidak

baik.

3. Pendidikan Karakter

3.1. Pengertian Pendidikan Karakter

Elkind dan Sweet (dalam Kemendiknas, 2010:13) menyebutkan

pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education

is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core

ethical values”. Pendidikan karakter adalah suatu usaha sengaja

untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak menurut

nilai-nilai etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam

Kemendiknas, 2010:13), pendidikan karakter memiliki esensi dan

makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.

Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi

manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang

baik.

Pendidikan moral dan pendidikan karakter tidaklah sama.

Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan lingkungan yang

membantu individu dalam mengambil keputusan. Dalam pendidikan

moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang.

Sedangkan dalam pendidikan karakter ruang lingkupnya selain

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 29

terdapat dalam diri individu, juga memiliki konsekuensi

kelembagaan, yang keputusannya tampil dalam kinerja dan

kebijakan lembaga pendidikan (Koesoema, 2010:198).

Koesoema (2010:42) menyebutkan bahwa pendidikan karakter

sebenarnya dicetuskan pertama kali oleh ahli pendidikan Jerman

F.W. Foerster (1869-1966). Lahirnya pendidikan karakter bisa

dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali

pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang arus

positivisme yang dipelopori oleh filsuf dan sosiolog Perancis

Auguste Comte (1798-1857). Tujuan pendidikan menurut Foerster

adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan

esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang

dimilikinya. Karakter menjadi semacam identitas yang mengatasi

pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan

karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Lebih lanjut

Foerster menyebutkan kekuatan karakter seseorang tampak dalam

empat ciri fundamental yang mesti dimiliki. Kematangan keempat

ciri fundamental karakter inilah yang memungkinkan manusia

melewati tahap individualitas menuju personalitas.

Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan

diukur berdasarkan hierarki nilai. Karakter tidak terbentuk

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 30

selalui merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk

mengubah dan dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.

Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana

seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak

mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko.

Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu

sama lain. Kredilibitas seseorang akan runtuk apabila tidak

ada koherensi.

Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk

menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-

nilai bagi pribadi. Hal ini tampak dari penilaian keputusan

pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya

tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik,

sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas

komitmen yang dipilih.

Lebih lanjut, Koesoema sendiri (2010:193-190) melihat

pendidikan karakter sebagai keseluruhan dinamika relasional

antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam

maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat

menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 31

bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai

peribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka.

Pendidikan karakter memiliki dua dimensi sekaligus, yakni

dimensi individual dan dimensi sosio-struktural. Dimensi

individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan

pendidikan moral seseorang. Sedangkan dimensi sosio-kultural

lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem sosial yang

kondusif bagi pertumbuhan individu.

Tidak hanya di Indonesia, pendidikan karakter juga

menjadi perhatian di belahan dunia lain, seperti di Amerika.

Character Education Partnership (CEP) (dalam Koesoema, 2012:57),

sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika

Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter demikian.

Sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat menumbuhkan dan memelihara nilai-nilaietis, tanggung jawab dan kemauan untuk merawat satu samalain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan danpengajaran tentang karakter yang baik, dengan caramemberikan penekanan pada nilai-nilai universal yangditerima oleh semua. Gerakan ini merupakan usaha-usahadari sekolah, distrik, dan Negara bagian yang sifatnyaintensional dan proaktif untuk menanamkan dalam diri parasiswa nilai-nilai oral inti, seperti perhatian danperawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggungjawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 32

Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di

Amerika Serikat (dalam Koesoema, 2012:57-58), mendefinisikan

pendidikan karakter sebagai berikut.

Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan dasar, termasuk di dalamnya kejujuran,keramahtamahan, kemurahan hati, keberanian, kebebasan,persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untukmenumbuhkan diri siswa sebagai warga Negara yang dapatbertanggungjawab secara moral dan memiliki disiplin diri.

Pendidikan karakter baik di Indonesia, maupun di Amerika

memuat nilai-nilai yang kurang lebih sama. Dalam konteks

Indonesia, Kemendiknas secara detail (2011) menyebutkan

delapan belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu religius,

jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri,

demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah

air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar

membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung

jawab. Koesoema (2010:208-2011) mengambil garis besarnya saja

dengan menyebutkan delapan nilai, yakni keutamaan, keindahan,

kerja, cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, menghidupi nilai

moral, dan kemanusiaan.

3.2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Karakter

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 33

Koesoema (2010:218-220) mengemukakan bahwa pendidikan

karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang

mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu

yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Beberapa

prinsip dasar itu antara lain sebagai berikut.

a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan,

bukan apa yang kamu katakan atau kamu yakini.

b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan

menjadi orang macam apa dirimu.

c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik

itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan

seandainya pun kamu harus membayarnya secara mahal,

sebab mengandung risiko.

d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan

oleh orang lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu

dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.

e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan

transformatif. Seorang individu bisa mengubah dunia.

f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah

bahwa kamu menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 34

akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik

untuk dihuni.

3.3. Metode Integral bagi Pendidikan Karakter

Koesoema (2010:212-217) menyebutkan secara praktis dan

sederhana lima unsur yang bisa dipertimbangkan dalam upaya

mengarahkan sekolah pada penghayatan pendidikan karakter yang

realistis, konsisten, dan integral. Koesoema menegaskan bahwa

kelima unsur itu bisa menjadi menjadi pedoman dan patokan

dalam menghayati dan mencoba menghidupi pendidikan karkater di

dalam setiap lembaga pendidikan. Lima hal tersebut bisa

dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang senantiasa

berputar semakin maju. Kelima unsur itu adalah mengajarkan,

keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas, dan

refleksi.

a. Mengajarkan

Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis

tentang konsep-konsep nilai tertentu. Artinya, untuk dapat

melakukan yang baik, adil, dan bernilai, maka peserta didik

pertama-tama perlu mengetahui dengan jelas apa itu kebaikan,

keadilan dan nilai. Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 35

tindakan sadar subjek dalam melaksanakan nilai. Untuk inilah,

salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah

mengajarkan nilai-nilai sehingga anak didik memiliki gagasan

konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa

dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.

Proses diseminasi nilai tidak hanya berlangsung di dalam

kelas, melainkan bisa memanfaatkan berbagai macam unsur lain,

misalnya proses perencanaan kurikulum. Dalam merencanakan

kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-nilai etis

yang menyerambah dalam kurikulum sehingga sekolah memiliki

nilai-nilai yang ditawarkan (proposed values). Cara lain adalah

dengan mengundang pembicara tamu dalam sebuah seminar,

diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-

nilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan

karakter bagi para peserta didik.

b. Keteladanan

“Verba movent exempla trahunt”, ungkapan bahasa Latin ini

berarti kata-kata memang dapat menggerakkan orang, namun

teladan itulah yang menarik hati. Untuk itu pendidikan

karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik

sendiri. Sebab, pengetahuan yang baik tentang nilai akan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 36

menjadi kredibel ketika gagasan teoretis normatif itu ditemui

oleh peserta didik dalam praksis kehidupan di sekolah.

Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi

berhasilnya pendidikan karakter. guru sesungguhnya menjadi

jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi dalam

mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang

dikatakan melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai

itu juga tampil dalam diri guru di kehidupannya di luar kelas.

Indikasi adanya keteladanan dalam pendidikan karakter adalah

apakah terdapat model peran dalam diri insan pendidik.

Demikian juga, apakah secara kelembagaan terdapat contoh-

contoh kebijakan serta perilaku yang bisa diteladani oleh

siswa sehingga apa yang mereka pahami tentang nilai-nilai itu

memang dekat dengan hidup mereka, dan mereka dapat menemukan

afirmasi dalam perilaku individu atau lembaga sebagai

manifestasi nilai.

c. Menentukan prioritas

Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang

dianggap penting bagi realisasi atas visi lembaga pendidikan.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti menentukan standar

atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik. Untuk

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 37

ini, setiap pihak yang terlibat perlu memahami secara jernih

apakah prioritas nilai yang ingin ditekankan dalam pendidikan

karakter di lingkungan sekolahnya. Selain prioritas nilai,

diperlukan juga penentuan sekumpulan perilaku standar yang

diketahui dan dipahami oleh peserta didik, orang tua dan

masyarakat.

d. Praksis prioritas

Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter

adalah verifikasi di lapangan tentang karakter yang

dituntutkan itu. verifikasi yang dimaksudkan antara lain

bagaimana sikap sekolah terhadap pelanggaran atas kebijakan

sekolah, bagaimana sanksi itu diterapkan secara transparan

sehingga menjadi praksis kelembagaan. realisasi visi dalam

kebijakan sekolah merupakan salah satu cara untuk

mempertanggungjawabkan pendidikan karakter di hadapan publik.

e. Refleksi

Setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi,

perlulah diadakan semacam evaluasi, pendalaman atau refleksi,

untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil

atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.

Keberhasilan dan kegagalan itu lantas menjadi sarana untukDenny Kodrat | Proposal Penelitian 38

meningkatkan kemajuan yang dasarnya adalah pengalaman itu

sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para siswa

setelah memperoleh kesempatan untuk belajar dari pengalaman

dapat menyampaikan refleksi pribadinya tentang nilai-nilai

tersebut dan membagikannya dengan teman lain? Apakah ada

diskusi untuk semakin memahami nilai pendidikan karakter yang

hasil-hasilnya bisa diterbitkan dalam jurnal, koran sekolah,

dll?

Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya

yang lain mendeskripsikan secara detail pelbagai metode

integral untuk mewujudkan pendidikan karakter yang utuh dan

menyeluruh bagi setiap kegiatan yang ada di dalam lingkungan

sekolah. Metode integral berarti terkait upaya pengembangan

kualitas individu, desain program yang sesuai dengan tanggung

jawab individu, dan upaya membangun lingkungan yang ramah atau

kondusif bagi pertumbuhan individu sesuai dengan tahap

perkembangan kepribadiannya. Berikut pelbagai metode integral

yang disarikan dari pemikiran Koesoema (2012:70-82).

a. Menyebar ke seluruh kehidupan sekolah

Metode pendidikan karakter seperti ini didesain secara

khusus agar seluruh dinamika kehidupan sekolah senantiasa

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 39

berjiwa pembentukan karakter. Pendidikan karakter utuh dan

menyeluruh memasuki seluruh fase kehidupan sekolah, mulai dari

siswa-siswa masuk melalui gerbang sekolah, kantin, aula, ruang

kelas, perpustakaan sampai mereka kembali melalui gerbang yang

sama untuk pulang ke rumah.

b. Prioritas nilai dan keutamaan (core values)

Lembaga pendidikan mesti menentukan prioritas nilai atau

keutamaan apa yang akan diraih. Prioritas nilai dan keutamaan

ini menjadi dasar penting bagi pertumbuhan individu agar

mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Nilai-nilai yang

diprioritaskan itu dijunjung tinggi, disepakati bersama,

dihormati, dan diteladankan oleh para pendidik dan orang-orang

lain dalam perkataan dan perbuatan. Dengan demikian,

diharapkan para siswa dapat menangkap bahwa nilai-nilai

tersebut sungguh merupakan nilai-nilai bersama yang ingin

diperjuangkan oleh seluruh komunitas sekolah. Dalam setiap

pembicaraan, diskusi atau berhadapan dengan berbagai masalah

di sekolah, setiap anggota komunitas senantiasa menyadari

bahwa segala peristiwa dalam lembaga pendidikan mesti

diletakkan dalam kerangka pengembangan prioritas nilai, yang

menggerakkan dinamika kehidupan sekolah.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 40

c. Mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup

Metode pendidikan karakter utuh dan menyeluruh

mengembangkan seluruh dimensi pengolahan diri manusia secara

integral, yakni meliputi olah pikir, olah hati, dan olahraga.

Olah pikir berarti mengajarkan individu untuk dapat memahami

nilai-nilai dan keutamaan secara benar. Individu mengetahui

mengapa ia melakukan sebuah tindakan dan mengapa tindakan yang

dilakukan itu dapat dibenarkan secara moral (moral reasoning).

Olah hati berarti upaya menanamkan pemahaman yang benar dalam

diri individu sampai pemahaman tersebut sungguh menjadi bagian

berharga dalam dirinya. Dengan kata lain, individu menghidupi

dan mencintai nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Olah

hati mengarahkan individu agar mampu membangun komitmen

menjadi pribadi berintegritas secara mendalam (moral loving).

Selanjutnya, olah raga merupakan pembadanan dari praksis nilai,

yaitu merawat tubuh diri dan orang lain. Penghargaan atas

tubuh menjadi tanda dihargainya harkat dan martabat manusia.

Olah raga mengindikasikan bahwa tindakan bermoral itu hanya

dapat diverifikasi dalam praksis dan tindakan, di mana fungsi

organis tubuh berperan penting. pemahaman dan penghargaan atas

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 41

tubuh secara benar membuat individu mampu juga menghargai

keberadaan fisik orang lain apapun keadaan mereka.

d. Pengembangan organisasi dan manajemen

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh juga menyebar

sampai pada pembentukan organisasi dan manajemen sekolah yang

berjiwa pembentukan karakter, baik itu berupa kebijakan-

kebijakan maupun keputusan-keputusan yang diambil. Definisi

tugas yang jelas dari masing-masing individu, proses

pengaturan relasi antar individu dalam kerangka organisasi

perlu diperjelas, sehingga masing-masing individu dalam

lembaga pendidikan tersebut memiliki pemahaman akan cakupan

tanggung jawab mereka secara spesifik dan khas. Sekolah yang

memiliki manajemen yang baik mampu merealisasikan visi dan

misi lembaga ke dalam praksis, membentuk tradisi pendidikan

yang kokoh, serta memiliki kepemimpinan yang berkelanjutan.

e. Pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring

community)

Pendidikan karakter akan semakin efektif, relevan dan

berkesinambungan jika terarah pada pengembangan kultur sekolah

yang menghargai individu dalam mengembangkan karakter

pribadinya. Pengembangan kultur sekolah yang baik padaDenny Kodrat | Proposal Penelitian 42

gilirannya akan berpengaruh pada pengembangan kultur sekolah

di lingkungan pendidikan lain. Dalam hal ini, lembaga

pendidikan sebagai sebuah pelaku bagi pengembangan pendidikan

tidak dapat berdiri sendiri, atau hidup bagi dirinya sendiri.

Kehadirannya yang bermutu dan bai semestinya juga dapat

menjadi contoh dan model sekolah-sekolah lain di sekitarnya.

Dengan demikian, kultur pendidikan karakter di satu sekolah

yang baik dapat memengaruhi lingkungan pendidikan lain di

sekitarnya.

f. Eksplisit, direncanakan, terpadu

Pendidikan karakter mesti berciri eksplisit, direncanakan

(planned), dan terpadu (integrated). Pendidikan karakter mesti

bersifat eksplisit. Artinya, isi, pendekatan, dan bentuk

praksisnya di dalam atau di luar kelas, disampaikan secara

transparan kepada seluruh pemangku kepentingan sekolah, yakni

siswa, guru, orang tua, ataupun masyarakat.

Pendidikan karakter dilakukan secara sengaja dan

direncanakan. Ada niat, kehendak dan kemauan untuk secara

sengaja mengembangkan pendidikan karakter di sekolah. Guru,

tim pendidikan karakter, penanggung jawab setiap kelas, serta

anggota komunitas lain terlibat dalam desain dan perencanaan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 43

strategis pendidikan karakter. Melalui perencanaan secara

sadar, keberhasilan pendidikan karakter dapat dievaluasi dan

dinilai untuk pengembangan selanjutnya.

Pendidikan karakter dipraktikkan secara terpadu, dan

melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan dengan

pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan

karakter menjadi kepentingan bersama yang akan berdampak luas

dalam masyarakat. Untuk itu, kerja sama intensif dan saling

mendukung antara lembaga pendidikan dengan masyarakat

sangatlah penting. keterpaduan ini juga mempersyaratkan adanya

simultanitas program, yakni berjalannya berbagai macam program

secara serentak dan bersama-sama. Simultanitas program

mengandaikan adanya pembenahan praksis di lapangan bukan

memulai dari awal atau menunggu program pendidikan matang.

Caranya adalah dengan mulai membuat skala prioritas hal-hal

mendesak mana yang mesti dilakukan segera.

g. Pertumbuhan motivasi individu

Sifat utuh dan menyeluruh pendidikan karakter merangkum

persoalan tentang motivasi moral. Artinya, sifat itu mencakup

bagaimana menumbuhkan dalam diri individu sebuah semangat

pembaruan diri terus-menerus dalam kebersamaan untuk

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 44

menghidupi dan menghayati nilai-nilai moral inti yang

diperjuangkan. Dengan mengembangkan motivasi dalam diri

individu, program tidak sekedar dipaksakan dari atas.

Sebaliknya, ada rasa memiliki, rasa satu panggilan untuk

menghayati dan melaksanakan setiap program pengembangan

sebagai bagian dari tugas panggilan hidupnya di dunia.

Dengan motivasi moral, tampaklah bahwa setiap anggota

komunitas menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral

inti dalam hidup mereka. Untuk mendukung tumbuhnya motivasi

internal yang muncul dari dalam, setiap tindakan bermoral baik

mesti memperoleh penghargaan secara natural, pujian yang

wajar. Upah perilaku bermoral yang baik adalah pujian tulus

dari komunitas, kesadaran, dan kebanggaan diri bahwa individu

tersebut menjadi contoh bagi integritas moral seorang pribadi.

Rasa hormat dan pujian ini dilakukan secara wajar dan normal

dalam setiap sisi kehidupan sekolah.

h. Pengembangan professional

Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menyertakan

pengembangan professional para pelakunya sebagai bagian

penting. Tujuannya adalah pengayaan serta peningkatan

kemampuan agar guru dapat menjadi pendidik karakter yang

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 45

efektif, seperti lokakarya tentang cara mengajar yang baik dan

efektif, teknik berkomunikasi dengan orang lain, manajemen

kelas, dan lain sebagainya, yang dirasakan relevan bagi

kinerja dan pengembangan tugas guru. Di sini dibutuhkan

pengetahuan dan keterampilan agar individu yang terlibat dalam

dunia pendidikan bertumbuh secara sehat dan professional.

i. Kerja sama dengan banyak pihak

Metode pengembangan pendidikan karakter juga melibatkan

berbagai macam pihak dalam komunitas pendidikan. keterlibatan

semua pihak diperlukan karena pendidikan karakter menyangkut

kepentingan seluruh anggota komunitas, terutama guru, staf

pendidik, dan karyawan tenaga kependidikan. Keyakinan bersama

(shared believed) mesti muncul pada hal-hal yang esensial: nilai-

nilai dan keutamaan, prinsip-prinsip pendidkan karakter, dan

nilai-nilai yang diprioritaskan dan ingin dikembangkan oleh

lembaga pendidikan.

Selain itu, pendidikan karakter di lembaga pendidikan

juga berusaha menjembatani dan menghubungkan pendidikan

karakter dalam konteks tantanan perubahan masyarakat yang

lebih luas. Integrasi dan kerja sama antara sekolah dengan

masyarakat, terutama orang tua, merupakan sebuah keharusan.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 46

Lembaga pendidikan melibatkan komunitas yang lebih besar agar

terlibat dalam pengembangan dan promosi pendidikan karakter di

lingkungan sekolah. Komunitas yang lebih luas itu antara lain

kelompok bisnis, kelompok organisasi kepemudaan, organisasi

pemerintah dan non-pemerintah.

j. Terintegrasi dalam kurikulum

Metode pendidikan karakter yang terintegrasi dalam

kurikulum ini mempergunakan berbagai macam materi pembelajaran

yang ada dalam kurikulum demi pembentukan karakter siswa.

Pembelajaran di dalam kelas mesti menghargai keunikan setiap

peserta didik dan membantu mengembangkan karakter mereka.

Proses pembelajaran di kelas terarah pada pembentukan

karakter siswa melalui pendalaman materi, baik tematis maupun

non-tematis. Guru memiliki tanggung jawab dalam merancang dan

mengembangkan pendidikan karakter dalam konteks kelas, yaitu

melalui pengajaran, manajemen kelas dan pembuatan kesepakatan

kelas yang mendukung tercapainya pengembangan belajar di dalam

kelas. Melalui metode pembelajaran yang melibatkan siswa

secara aktif, menghargai perbedaan dalam belajar, dan

perhatian pada pertumbuhan individu, diharapkan karakter siswa

dapat berkembang.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 47

k. Memberikan ruang bagi tindakan

Setiap anggota komunitas diberikan ruang untuk bertindak

dan mempraktikkan nilai-nilai yang diperjuangkan. Dalam hal

ini, lembaga pendidikan memberikan harapan yang jelas tentang

apa yang dapat mereka lakukan. Tujuannya agar para siswa

terlibat dalam tindakan-tindakan yang terkait dengan

pengembangan kehidupan moral mereka, baik di lingkungan

sekolah maupun di masyarakat. Caranya adalah dengan memberikan

penekanan pada unsur pengembangan tanggung jawab pribadi,

sprotivitas dalam olah raga, kesediaan untuk membantu orang

lain, dan pelayanan pada sekolah ataupun komunitas. Metode ini

akan semakin efektif ketika lembaga pendidikan mampu

memberikan pada siswa berbagai macam kesempatan dan

kemungkinan untuk melaksanakan nilai-nilai itu dalam setiap

kebijakan dan program yang dibuat oleh sekolah, yang membuat

mereka terlibat aktif dalam kehidupan sekolah.

l. Kepemimpinan pendidikan berkarakter

Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin sangatlah penting

dalam pengembangan dan keberlangsungan program pendidikan

karakter. Namun, kepemimpinan kepala sekolah tidaklah berdiri

sendiri. Ada berbagai macam jenis kepemimpinan yang bisa

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 48

terlibat bagi pengembangan pendidikan karakter. Untuk itu

berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan. Semakin banyak pihak

yang terlibat dalam pengembangan pendidikan karakter, akan

semakin lestari pengembangan program tersebut. Pembentukan Tim

Pendidikan Karakter sekolah yang melibatkan berbagai macam

pemangku kepentingan sekolah merupakan hal yang tidak dapat

diabaikan.

m. Sistem evaluasi berkesinambungan

Agar pendidikan karakter dapat berlangsung lestari dan

menjadi semakin baik, maka diperlukan sistem evaluasi

pendidikan karakter yang berkesinambungan. Sistem evaluasi ini

mesti memotret sekolah sebagai lembaga pendidikan,

mengevaluasi program yang didesain dan dibuat, serta memiliki

sistem evaluasi individual secara berkelanjutan utnuk melihat

sejauh mana setiap individu sungguh telah bertumbuh dan

berkembang dalam pembentukan diri menjadi pribadi berkarakter.

Sekolah menentukan indikator-indikator keberhasilan dan

menilah keseluruhan program untuk melihat keberhasilan program

pendidikan karakter sesuai dengan visi-misi yang ingin

dicapai. Oleh karena itu, harus ada sistem evaluasi kualitatif

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 49

dan kuantitatif utnuk menilai sejauh mana program pendidikan

karakter itu berhasil diterapkan.

Sekolah juga menilai dan mengevaluasi sejauh mana program

pendidikan karakter mampu mengembangkan dan menumbuhkan

prestasi akademik siswa serta membantu mereka untuk semakin

termotivasi dalam membentuk diri sebagai pelajar yang

bertanggung jawab.

3.4. Desain Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang efektif dan utuh menyertakan

tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tiga basis yang

dimaksud adalah basis kelas, basis kultur sekolah dan basis

komunitas. Berikut intisari desain pendidikan karakter menurut

Koesoema (2012:105-153).

3.4.1. Pendidikan karakter berbasis kelas

Kelas yang dimaksud bukan saja bangunan fisik, melainkan

lebih pada corak relasional yang terjadi antara guru dan murid

dalam proses pendidikan. Untuk itu pendidikan karakter

berbasis kelas membahas lebih tentang bagaimana lembaga

pendidikan dapat memaksimalkan corak relasional yang terjadi

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 50

dalam kelas agar masing-masing individu dapat bertumbuh secara

sehat, dewasa, dan bertanggung jawab.

Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas

terjadi melalui dua ranah yang berjalan seiring, yaitu

intstruksional dan non-instruksional. Ranah instruksional

terkait secara langsung dengan tindakan pembelajaran dan

pengajaran di dalam kelas, yakni proses pembelajaran bersama

terhadap materi kurikulum yang diajarkan. Sedangkan ranah non-

instruksional mengacu pada unsur-unsur di luar dinamika

belajar mengajar di dalam kelas, seperti motivasi,

keterlibatan, manajemen kelas, pembuatan norma, aturan dan

prosedur, komitmen bersama, dan lingkungan fisik.

a. Ranah Instruksional

Desain pendidikan karakter berbasis kelas yang sifatnya

instruksional dapat terjadi melalui dua cara, yaitu bersifat

pengajaran tematis dan non-tematis. Pertama, pendidikan

karakter berbasis kelas instruksional tematis adalah

diberikannya materi pembelajaran tertentu tentang pendidikan

karakter melalui proses belajar mengajar. Pendidik memilih

satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah

mengalokasikan waktu khusus untuk pengembangan pembentukan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 51

karkater, baik melalui pengajaran tradisional, dialogis,

diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama. Sifat

pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis ini

adalah parsial selektif. Artinya, program pendidikan karakter

yang dilaksanakan sungguh membidik satu tema khusus atau

memilih tema tertentu tentang nilai yang dipilih dan akan

dibahas dalam pendidikan karakter.

Kedua, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional

non-tematis. Ini adalah sebuah model pendekatan pembelajaran

bagi pembentukan karakter dengan mempergunakan momen-momen

pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam kurikulum,

proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi

pembelajaran. Dalam proses pengajarannya tidak ditentukan ada

tema khusus yang mau dibahas, tetapi terintegrasi dengan

materi yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu

khusus untuk melatih dan mengajarkan pembentukan karkater

karena dengan model ini pembentukan karakter yang dilakukan

terintegrasi melalui kurikulum yang ada dalam setiap mata

pelajaran. Guru mempergunakan proses belajar mengajar sesuai

dengan mata pelajaran yang diampunya untuk menanamkan nilai-

nilai tertentu. Sebagai contoh konkretnya, guru diminta

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 52

membuat silabus, yang di dalamnya dimasukkan kolom ‘karakter’.

Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),

beberapa nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses

pembelajaran mesti disebut secara eksplisit.

b. Ranah Non-Instruksional

Ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis

kelas tertuju pada penciptaan lingkungan belajar yang nyaman

dan kondusif bagi pembentukkan atau pengembangan karakter

siswa. Penciptaan lingkungan yang dimaksud meliputi manajemen

kelas, pendampingan perwalian, dan membangun konsensus kelas.

Pertama, manajemen kelas berarti menciptakan dan menjaga

sebuah lingkungan pembelajaran yang mendukung pengajaran dan

meningkatkan prestasi siswa. Guru dan siswa berhadapan dan

berdialog secara langsung sebagai pribadi. Secara bersama-sama

mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan dalam kelas

terjadi secara terencana dan teratur melalui penjadwalan mata

pelajaran yang diorganisir dan diarahkan agar tujuan

pembelajara dapat tercapai, yaitu penguasaan materi,

keterampilan teknis, pengayaan pribadi tentang objek

pembelajaran tertentu.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 53

Kedua, pendampingan perwalian. Kegiatan pembinaan wali

kelas sesungguhnya menjadi tempat penting bagi penanaman nilai

dan pembentukan karakter siswa. Siswa di ajak berkumpul

bersama melalui berbagai macam cara. Di dalamnya warga kelas

mengevaluasi dinamika kelas mereka, mengembangkan dinamika

kelompok, mencoba mencari cara-cara penyelesaian konflik

secara damai. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam program

perwalian kelas antara lain, saling menghormati, tanggung

jawab bersama, saling membantu dalam proses belajar,

pembelajaran demokrasi dengan mengajak siswa menentukan tujuan

kelas secara bersama beserta cara-cara praktis untuk mencapai

tujuan, keterbukaan dan persahabatan. Tujuan utama

pendampingan kelas adalah membangun kesepakatan bersama kelas

demi kemajuan dan keberhasilan mereka sebagai komunitas kelas

yang belajar.

Ketiga, membangun konsensus kelas. Dasar dari

pengembangan ini adalah hubungan timbale balik satu sama lain

berdasarkan kepercayaan (trust), rasa hormat (respect), dan saling

menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang baik memiliki

aturan bersama yang dipahami oleh setiap anggota komunitas

kelas sehingga proses belajar mengajar menjadi lancar. Dalam

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 54

mengembangkan konsensus kelas, keterlibatan setiap anggota

kelas sangatlah diperlukan. Kesepakatan kelas mesti dipahami,

disetujui dan disepakati oleh anggota komunitas kelas.

Pada pendidikan karakter berbasis kelas tersebut, dapat

disimpulkan beberapa karakteristik yang menjadi cara bertindak

dalam pengembangan pendidikan karakter berbasis kelas, antara

lain:

- Guru sebagai fasilitator pembelajaran.

- Guru sebagai motivator pembelajaran.

- Guru sebagai desainer program.

- Guru sebagai pembimbing dan sumber keteladanan.

- Isi kurikulum menjadi sumber bagi pembentukan karakter.

- Metode pengajaran dialog bukan monolog.

- Mempergunakan metode pembelajaran melalui kerja sama

(collaborative learning).

- Partisipasi komunitas kelas dalam pembelajaran.

- Penciptaan kelas sebagai komunitas moral.

- Penegakkan disiplin moral.

- Penciptaan lingkungan kelas yang demokratis.

- Membangun sebuah ‘rasa tanggung jawab bagi pembentukan

diri’.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 55

- Pengelolaan konflik moral melalui pengajaran.

- Solusi konflik secara adil dan tanpa kekerasan.

3.4.2. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah

Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah

pola perilaku dan cara bertindak yang telah terbentuk secara

otomatis menjadi bagian yang hidup dalam sebuah komunitas

pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertidaknya adalah

norma sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di

tingkat lokal. Oleh karena itu kultur sekolah dapat dikatakan

seperti kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang lebih

efektif memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh

anggota komunitas sekolah. Kultur sekolah berjiwa pendidikan

karakter terbentuk ketika dalam merancang sebuah program,

setiap individu dapat bekerja sama satu sama lain melaksanakan

visi dan misi sekolah melalui berbagai macam kegiatan.

Pada pendidikan karakter berbasis kultur sekolah terdapat

integrasi antara idealisme lembaga pendidikan, yakni visi dan

misi, dengan berbagai macam struktur yang mendefinisikan

kinerja individu melalui cakupan tanggung jawabnya. Dalam

mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah,

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 56

berbagai macam momen dalam dunia pendidikan dapat menjadi

titik temu. Momen pendidikan ini dapat bersifat struktural,

polisional, dan eventual. Momen pendidikan yang struktural

adalah peristiwa yang berkaitan erat dengan proses regulasi

dan administrasi sekolah. Momen struktural ini di antaranya

adalah proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan

yayasan, peraturan sekolah, job description setiap jabatan dan

kedudukan.

Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah

kebijakan pendidikan on the spot yang dilaksanakan secara rutin

dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat rutin adalah

berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam kerangka

pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang

penerimaan siswa baru, ujian sekolah, pengaturan jadwal

pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan pengembagan

professional guru. Sedangkan, yang bersifat tradisional adalah

kebijakan rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang

senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja,

pertemuan orang tua murid, penerimaan rapor, dll.

Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-

peristiwa pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 57

karena terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan tanggapan

nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan, dan

memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan

eventual ini tidak dapat diprediksi, namun membutuhkan

keputusan dan tanggapan langsung dari pihak sekolah untuk

menyikapinya.

Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis kultur

sekolah mengarah pada pertumbuhan lembaga pendidikan sebagai

komunitas moral. Prinsip-prinsip moral dasar semestinya

menjadi dasar bertindak dan pengambilan keputusan. Prinsip-

prinsip yang dimaksud adalah berbuat baik, jangan merusak,

setiap individu berharga di dalam dirinya, dan prinsip moral

dasar tersebut mesti senantiasa diingat oleh para pendidik dan

pengambil keputusan.

Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam

lingkungan sekolah merupakan salah satu strategi pengembangan

pendidikan karkater berbasis kultur sekolah. Mengembangkan

kultur demokratis di sekolah tidak berarti menghapus otoritas

yang dimiliki guru. Intinya adalah bagaimana setiap individu,

terutama guru, menghayati tanggung jawab moral yang diembannya

secara akuntabel dan transparan dalam kebersamaan dengan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 58

komunitas. Kehidupan bersama adalah tanggung jawab bersama dan

melibatkan seluruh anggota untuk membangunnya. Dialog,

komunikasi, kesediaan untuk saling mendengarkan dan menghargai

perbedaan adalah ciri medasar sebuah komunitas demokratis.

Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis

pengembangan kultur demokratis di sekolah, misalnya: proses

pemilihan ketua kelas, ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau

evaluasi atas kehidupan bersama.

Adapun momen-momen dalam dunia pendidikan yang dapat

dijadikan sebagai pengembangan kultur sekolah antara lain:

- Momen pengembangan diri sepertu kelompok diskusi,

jurnalistik, karya ilmiah, seni teater, menggambar,

dll.

- Momen perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau

syukuran kelulusan.

- Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain.

- Masa orientasi sekolah (MOS).

- Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas, Presidium.

- Kebijakan pendidikan.

- Kolegialitas antarguru.

- Pengembangan professional guru.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 59

- Merawat tradisi sekolah.

- Asosiasi guru-orang tua.

3.4.3. Pendidikan karakter berbasis komunitas

Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan

memiliki ikatan yang erat dengan komunitas-komunitas lain,

baik yang terlibat secara langsung atau tidak langsug.

Komunitas-komunitas itu antara lain:

- Komunitas sekolah: siswa, guru, karyawan, staf sekolah,

pengurus yayasan, dll.

- Komunitas keluarga: orang tua, wali siswa, komite

sekolah.

- Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha, berbagai

perkumpulan sosial, dll.

- Komunitas politik: pejabat birokrasi negara bidang

pendidikan, mulai dari pejabat di tingkat dinas

pendidikan sampai kementrian pendidikan nasional.

Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang

berbagai macam corak kerja sama dan keterlibatan antara

lembaga pendidikan dengan komunitas-komunitas dalam

masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran lembaga pendidikan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 60

semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap

anggota komunitas tentang harapan mereka, fungsi, dan peran

lembaga pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

4. Efektivitas

Pengertian dasar efektivitas umumnya menunjukkan pada

taraf tercapainya hasil. Meski demikian, efektivitas

senantiasa dipadankan dengan efesien, padahal terdapat

perbedaan diantara keduanya. Efektivitas menekankan pada hasil

yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat bagaimana cara

mencapai hasil yang dicapai dengan membandingkan antara input

dan outputnya. Istilah efektif (effective) dan efisien (efficient)

merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati

dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Tentang

arti efektif dan efesien terdapat beberapa pendapat. Bernard

dalam Prawirosentono (1999:27) menegaskan sebagai “When a

specific desired and is attained we shall say that the action is effective….When the

unsought concequences are unimportant or trivial, the action is efficient.”

Sementara itu, Drucker dalam Kisdarto (2002:139) menyebutkan

bahwa “Effectiveness is to do the right things, while efficiency is to do the things

right”. Handoko (1989:169) menyatakan bahwa efektivitas

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 61

merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan

suatu kegiatan atau program.

Harjana (2000:24) berpendapat bahwa kriteria yang

digunakan untuk mengukur efektivitas adalah:

1. Siapa penerima atau pemakai (receiver atau user) yang

menggambarkan apakah semua orang yang dituju (sasaran)

menerima pesan yang disampaikan;

2. Isi pesan (content), yang menggambarkan apakah semua isi

pesan yang disampaikan sesuai dengan tujuan penyampaian

pesan;

3. Ketetapan waktu (timing), yang menggambarkan apakah pesan

yang disampaikan tersedia dan diterima oleh khalayak

sasaran tepat pada waktunya;

4. Media komunikasi (meda) yang menggambarkan apakah jenis

saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan tepat dan

sesuai dengan karakteristik dan kondisi khalayak sasaran;

5. Format, yang menggambarkan apakah pesan yang

disampaikan disajikan atau dikemas dalam bentuk yang

tepat dan sesuai dengan khalayak sasaran;

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 62

6. Sumber pesan (source) yang menggambarkan apakah sumber

yang menyampaikan pesan berasal dari pihak yang

berkompeten.

Selanjutnya, Harjana (2000:24) menggambarkan pengertian

efektivitas secara umum yaitu mencakup:

1. Mengerjakan hal-hal yang benar;

2. Mencapai tingkat di atas pesaing;

3. Membawa hasil;

4. Menangani tantangan masa depan;

5. Meningkatkan laba atau keuntungan;

6. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya.

Menurut Lubis dan Huseini (1987:55) efektivitas organisasi

dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam

usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya. Efektivitas

merupakan konsep yang sangat penting karena mampu memberikan

gambaran mengenai keberhasilan organisasi dalam mencapai

sasarannya. Pengukuran efektivitas dapat didekati dengan

beberapa pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan sasaran (goal approach), dalam pengukuran

efektivitas memusatkan perhatian pada aspek output, yaitu

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 63

dengan mengukur keberhasilan organisasi dalam mencapai

tingkatan output yang direncanakan. Pendekatan sasaran

dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi

sasaran organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan

organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Dengan

demikian, pendekatan ini mencoba mengukur sejauhmana

organisasi berhasil merealisasikan sasaran yang hendak

dicapainya. Sasaran yang penting diperhatikan dalam

pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah

sasaran yang sebenarnya (operative goal) bukan berdasarkan

sasaran resmi (official goal).

2. Pendekatan sistem (System resource approach), mengukur

efektivitas melalui keberhasilan organisasi dalam

mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya.

Organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber

yang dibutuhkannya dan juga memelihara keandalan sistem

organisasi agar bisa menjadi efektif. Pendekatan ini

didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem

organisasi. Secara lebih luas, pendekatan sumber

mempergunakan beberapa dimensi berikut untuk mengukur

efektivitas organisasi:

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 64

a. Kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan

untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat

langka dan nilainya tinggi.

b. Kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi

untuk menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara

tepat.

c. Kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu

dengan menggunakan sumber-sumber yang berhasil

diperoleh.

d. Kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan

operasionalnya sehari-hari.

3. Pendekatan proses (process approach) melihat kegiatan

internal organisasi dan mengukur efektivitas melalui

berbagai indikator internal seperti efisiensi atau iklim

organisasi. Pendekatan proses menganggap efektivitas

sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi

internal. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan

organisasi dan memusatkan perhatian terhadap kegiatan

yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh

organisasi, yang menggambarkan tingkat efisiensi serta

kesehatan organisasi.Denny Kodrat | Proposal Penelitian 65

4. Pendekatan gabungan merupakan gabungan dari tiga macam

pendekatan di atas. Pendekatan-pendekatan di atas dapat

digabungkan secara bersamaan terutama jika informasi yang

diperlukan seluruhnya tersedia.

C. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang model pendidikan karakter sudah pernah

dilakukan dengan judul “Manajemen Pendidikan Karakter Siswa

Berasrama: Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon”

oleh Riny Cintya Kumendong, Program Pascasarjana UNIMA, Tahun

2012. Penelitian ini menyoroti tentang bagaimana perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter siswa berasrama.

Dari penelitian tersebut disimpulkan, pertama, perencanaan

pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat

oleh masing-masing unit dan sub-unit yang ada di lembaga

pendidikan Lokon dan kemudian dirumuskan bersama dalam rapat

koordinasi antarunit, yakni sekolah, asrama, dan yayasan.

Kedua, pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St.

Nikolaus Tomohon dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan

program pendidikan karakter yang telah dirumuskan sebelumnya

ke dalam kegiatan konkret sesuai dengan waktu yang ditentukan.

Pendidikan karakter merupakan bagian dari kurikulum yang

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 66

diatur dan dilaksanakan oleh sekolah dan asrama. Di sekolah

pendidikan karakter diintegrasikan dalam tiap-tiap mata

pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan karakter

dilaksanakan dalam bentuk pembinaan dan pendampingan personal

maupun kelompok.

Ketiga, evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St.

Nikolaus Tomohon, dilakukan dengan menggunakan catatan data-

data yang secara valid dibuat berdasarkan kenyataan. Sekolah

tidak membuat format penilaian tersendiri untuk pendidikan

karakter karena sudah terintegrasi dalam mata pelajaran.

Sementara asrama menggunakan raport sendiri dalam penilaian

pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter siswa diambil

dari catatan-catatan yang dibuat oleh pamong, pembina asrama

saat proses pendampingan berlangsung. Penilaian pendidikan

karakter didasarkan pada indikator-indikator yang dijabarkan

dari tiga nilai utama, yakni Veritas, Virtus, Fides (Kebenaran,

Kebajikan, Iman). Nilai pendidikan karakter dibuat dalam

bentuk penilaian kualitatif, bukan kuantitatif.

Relevansinya dengan penelitian yang akan peneliti

laksanakan adalah terletak pada konsep dasar manajemen dan

fungsi-fungsi manajemen, serta konsep pendidikan karakter yang

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 67

akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada lingkungan

pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari

objek penelitian ini.

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode

Penelitian ini akan menggunakan metode campuran (mixed

method) dengan menggabungkan kualitatif dan kuantitatif secara

sekuen (Cresswell, 2003), dengan tujuan untuk saling

melengkapi gambaran hasil studi mengenai fenomena yang

diteliti dan untuk memperkuat analisis penelitian (Gay, et

all, 2006; Cresswell, 2005; Sugiyono, 2011:399).

B. Lokus dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada SMA Taruna Bakti

Bandung, SMA Kridanusantara dan SMA Negeri 3 Bandung. Waktu

penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama 5 (lima)

bulan terhitung sejak penyusunan proposal penelitian hingga

perbaikan Desertasi (September 2013– Januari 2014).

C. Sumber Data/Populasi dan Sampel

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 68

Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi

dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer adalah pernyataan dan tindakan dari orang-

orang yang diamati atau yang diwawancarai yang dicatat melalui

catatan tertulis atau melalui perekaman dan pengambilan foto.

Selebihnya adalah sumber data sekunder seperti

tulisan/dokumen, foto dan statistik (Moleong: 2007:157). Data

primer diperoleh dari informan yaitu kepala sekolah, wakil

kepala sekolah, guru, dan perwakilan siswa. Data sekunder

bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang ada berupa catatan,

gambar, foto serta bahan lain yang dapat mendukung penelitian

ini.

Selain itu, karena desain penelitian ini menggunakan

desain penelitian campuran, maka selain menggunakan wawacara,

data akan didapat dengan menggunakan survey dengan kuisioner

kepada populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh warga

sekolah di tiga sekolah tersebut meliputi pimpinan sekolah,

pengawas, guru, tenaga kependidikan, siswa serta stakeholder

terkait dengan instrumen yang sebelumnya sudah divalidasi

terlebih dahulu. Penarikan sampel berdasarkan teknik purposive

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 69

sampling dimana sampel akan dipilih berdasarkan kriteria

tertentu.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah

trianggulasi atau gabungan dari tiga teknik sekaligus, yaitu

observasi partisipatif, wawancara mendalam dan studi

dokumentasi. Calon peneliti akan menggunakan teknik

pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari

sumber yang sama. Observasi partisipatif, wawancara mendalam

dan dokumentasi akan digunakan untuk semua sumber data secara

serempak (Sugiyono, 2011:330). Selain itu, teknik survey

dengan penyebaran sejumlah pertanyaan dalam kuisioner

dilakukan kepada seluruh civitas akademika sekolah tersebut

yang meliputi pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan,

siswa.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data akan dianalisis secara

interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai datanya

sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data mengikuti flow model

yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011:337),

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 70

yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification.

Langkah-langkah analisis data ini dapat digambarkan sebagai

berikut:

Periode pengumpulan data

Reduksi data

Antisipasi Selama

Setelah

Display data

Selama Setelah

Kesimpulan/verifikasi

Selama Setelah

Komponen dalam analisis data (flow model)Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011:

337)

Berdasarkan gambar tersebut peneliti melakukan

pengumpulan data melalui kegiatan anticipatory sebelum melakukan

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 71

Analis

is

reduksi data. Selanjutnya model interaktif dalam analisis data

seperti gambar di bawah ini:

Komponen dalan analisis data (interactive model)

Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 338)

F. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Dalam pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data

peneliti akan menggunakan teknik pemeriksaan seperti yang

dikemukakan oleh Sugiyono (2011:367-378) yakni: 1) Credibility

(Derajat Kepercayaan) yaitu perpanjangan pengamatan,

peningkatan ketekunan dalam penelitian, tringulasi, diskusi

dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, menggunakan

bahan referensi, dan member check.2) Transferability (keteralihan)

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 72

Data

reduction

Data

Display

Data

collectio

n

Data

collectio

nData

Display

Data

reductionConclusion:

drawing/ver

ifying

yaitu mendeskripsikan secara rinci, jelas, dan sistematis

temuan-temuan yang diperolah di lapangan ke dalam format yang

telah disiapkan. 3) Dependability (kebergantungan) adalah

melakukan audit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan

penelitian.4) Confirmability (kepastian) adalah menguji hasil

penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan.

G. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, seluruh instrumen penelitian kuantitatif

dilakukan uji validitas dan realitibitas. Uji tersebut

dimaksudkan untuk memastikan bahwa instrumen penelitian ini

shah dan handal.

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk menunjukan sejaumana

instrumen penelitian ini mengukur apa yang diukur. Pengukuran

uji validitas dilakukan dengan menggunakan Pearson Product

Moment dengan rumus:

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 73

Note:

r = r-hitung

Xi = Nilai variabel

Yi = Nilai total variable setiap responden

N = total responden

(Arikunto, 2006: 170)

Uji Reliabilitas

Untuk uji reliabilitas digunakan penghitungan alpha

cronbach dengan rumus:

r11 =

Note:

r11 = instrument reliability

k = total questions

= total each variant

= total variants

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 74

Untuk mengakurasikan perhitugan uji validitas dan

reliabilitas, maka program statistic SPSS 17 for Windows akan

digunakan.

IV. JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 5

(lima) bulan, yakni dari bulan September 2013 sampai dengan

Januari 2014, terhitung sejak penulisan Rencana Usulan

Penelitian (RUP) dengan jadwal sebagai berikut:

5

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, Jhon.W. (2003). Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed Methods

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 75

Approaches. London. Sage Publication.

Creswell, Jhon.W. (2005). Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantiative and Qualitative Research. Boston: Pearson

Gay, L.R. Mills, Geoffrey. Airasian, Peter. (2006). EducationalResearch: Competencies for Analysis and Application. Ohio: Pearson.

Harjana, Andre. (2000). Audit Komunikasi: Teori dan Praktek. Jakarta:Grasindo.

Kambey, Daniel C. (2006). Landasan Teori Administrasi/Manajemen.

Manado: Tri Ganesha Nusantara.

Kisdarto, Atmosoeprato. (2002). Menuju SDM Berdaya – DenganKepemimpinan Efektif dan Manajemen Efisien. Jakarta: elex MediaKomputindo.

Koesoema, Doni A. (2010). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak DiZaman Global. Jakarta: Grasindo.

________________ (2012). Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.Yogyakarta: Kanisius.

Kusdi. (2009). Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: SalembaHumanika.

Lubis, S.B. Hari, dan Huseini, Mertani. (1987). Teori Organisasi:Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Pusat Antar UniversitasIlmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia

Prawirosentono, Suyadi. (1999). Kebijakan Kinerja Pegawai. Jogyakarta: BPFE

Megapolitan, Tawuran Antarpelajar, [Online] (http://www.megapolitan.com, diakses 21 Desember 2012).

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif (EdisiRevisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 76

Mudyahardjo, Redja. (2001). Pengantar Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Mulyasa, Enco. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan KrisisMultidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Ratag, Mezak A. & Korompis, Ronald, (2009). Kurikulum BerbasisKehidupan: Pandangan tentang Pendidikan Menurut Ronald Korompis.Tomohon: Yayasan Pendidikan Lokon.

Sagala, Syaiful, (2010). Manajemen Strategik Dalam Peningkatan MutuPendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan, (2010).Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas PendidikanIndonesia, (2011). Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Usman, Husaini. (2011). Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.

Wikipedia Indonesia, Manajemen, [Online] (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia .manajemen , diakses 5 April 2013).

Windham, Douglas. M. (1988). Improving the Efeciency and Educational System: Indicator of Educational Efectiveness and Efeciency. New York: State University of New York at Albany

Tesis:

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 77

Kumendong, Riny Cintya, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter SiswaBerasrama. Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon. Manado:Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas NegeriManado.

Denny Kodrat | Proposal Penelitian 78