PROBLEMATIKA PERENCANAAN OTONOMI DAERAH DI PEDESAAN

23
1 PROBLEMATIKA PERENCANAAN OTONOMI DAERAH DI PEDESAAN PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesi sedang berada di tenghah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kotayang menurut undang-undang nomor 5 tahun 1974 hanya merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah. Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah dibuka saluran baru bagi pemerintah propinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antar pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuan politis, maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutan reformasi seperti direfleksikan dalam garis-garis besar haluan Negara (GBHN). Secara teknis masih terdapat sejumlah besar persiapan yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif. Untuk menjamin proses disentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui undang-undang nomor 22 tahun 1999, serta peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000dan ketentuan lainnya yang relefan. Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang kontsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya. Dalam Negara yang majemuk seperti Indonesia, “satu ukuran belum tentu cocok untuk semua”. Penyususnan “paket

Transcript of PROBLEMATIKA PERENCANAAN OTONOMI DAERAH DI PEDESAAN

1

PROBLEMATIKA PERENCANAAN OTONOMI DAERAH

DI PEDESAAN

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesi sedang berada di tenghah masa transformasi dalamhubungan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kotayangmenurut undang-undang nomor 5 tahun 1974 hanya merupakankepanjangan tangan pusat di daerah. Dalam undang-undang nomor 22tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah dibuka saluran barubagi pemerintah propinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakatsetempat, untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antarpemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sudah memuat tujuanpolitis, maupun teknis. Secara politis, desentralisasi kewenanganpada masing-masing daerah menjadi perwujudan dari suatu tuntutanreformasi seperti direfleksikan dalam garis-garis besar haluanNegara (GBHN). Secara teknis masih terdapat sejumlah besarpersiapan yang harus dilakukan untuk menjamin penyesuaiankewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara efektif.

Untuk menjamin proses disentralisasi berlangsung danberkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerahtelah diwujudkan melalui undang-undang nomor 22 tahun 1999, sertaperaturan pemerintah nomor 25 tahun 2000dan ketentuan lainnyayang relefan.

Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuksuatu paket otonomi yang kontsisten dengan kapasitas dankebutuhannya. Dalam Negara yang majemuk seperti Indonesia, “satuukuran belum tentu cocok untuk semua”. Penyususnan “paket

2

otonomi” dalam perancangannya. Dalam proses ini komunitas –komunitas local perlu dilibatkan oleh masing-masing pemerintahkabupaten/kota, termasuk DPRD untuk menjamin prosesdesentralisasi secara lebih baik dan bertanggung jawab, di manamereka sebagai salah satu “stakeholder” yang memiliki kepentinganmendalam untuk mensukseskan otonomi daerah.

Perencanaan pembangunan desa yang partisipatif danberkelanjutan memiliki peran yang strategis dalam kerangkaotonomi daerah, karena pembangunan desa merupakan dasar daripembangunan nasional, dan partisipasi masyarakat merupakan modalutama keberhasilan pembangunan. Tulisan ini akan melakukantinjauan terhadap model perencanaan pembangunan desa pada masalalu dan masa sekarang ini terutama dikaitkan dengan partisipasimasyarakat. Dari tinjauan tersebut, penulis mencoba memberikanalternatif pengembangan perencanaan pembangunan desa yangpartisipatif dan berkelanjutan dalam mendukung otonomi daerah.Pelaksanaan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakanmelalui proses P5D, secara konseptual telah mencoba melibatkanmasyarakat semaksimal mungkin tetapi dalam kenyataannyamenghadapi berbagai kendala sehingga diperlukan revisi mekanismeP5D.

Pola perencanaan pembangunan tetap mengikuti alurperencanaan yang sudah ada dengan mengadopsi konsep keterpaduanP5D, namun dengan memberikan penekanan pada : pelibatanpartisipasi aktif semua peserta forum musyawarah perencanaan,meningkatkan bobot keterwakilan masyarakat dalam forumperencanaan, meningkatkan pengakomodasian usulan dari bawah dalamprogram Dinas sektoral. Agar dapat terakomodir, maka usulan daribawah harus memiliki ketajaman prioritas sesuai dengan kebutuhanmasyarakat.

Untuk itu diperlukan revitalisasi dan penguatan lembagaperencanaan desa, dan memberikan bantuan pendampingan dalamproses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan,serta perlu dilakukan desiminasi dokumen-dokumen perencanaan

3

sampai kepada masyarakat desa untuk memberi arah dalam penyusunanperencanaan masyarakat.

B. PERUMUSAN MASALAH

Terkait dengan pengelolaan program dan proyek pembangunanyang ada di daerah, maka prinsip-prinsip demokrasi mendorongperan serta masyarakat dan transparansi serta mengedepankanpemerataan dan keadilan dalam melaksanakan otonomi daerah menjadisangat strategis. Artinya, peran masyarakat di daerah menjadifaktor utama di dalam proses pembangunan karena lebih banyakberfungsi sebagai “subyek” ketimbang sebagai “obyek”.

Banyak program dan proyek yang ada di daerah dengan biayayang sangat besar dirumuskan, dilaksanakan, dan diawasi olehpusat sedangkan daerah hanya sekedar dilihat sebagai tempat(lokasi) dari proyek tersebut sehingga daerah tidak diberikesempatan untuk mengolah sendiri sumber daya yang ada di daerahtersebut.

Dengan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong masyarakatdaerah berperan aktif dalam pemanfaatan sumber daya yang adaserta pengontrol bagi pejabat daerah dalam mengatur proyekpembangunan daerah.

Godaan untuk melakukan sentralisasi dengan asumsi bahwadaerah mempunyai kemampuan yang terbatas sehingga pemusatankekuasaan merupakan satu-satunya jalan pengamanan terbaik perlusegera dihindari. Apalagi jika pembangunan diartikan sekedarsebagai redistribusi kekuasaan dan sumber daya dan mengasumsikanbahwa hanya otoritas yang mempunyai landasan luaslah yang mampumelaksanakan perubahan dengan hasil baik.

4

Sehingga dapat kita rumuskan dari uraian diatas adalah:“sejauh mana kemampuan profesionalisme dan kuatnya ide-ide praktis dari pejabat daerah untuk mencapaiadministratif dan ekonomis dalam pelaksanaan otonomidaerah.

C. KERANGKA TEORI

Hal–hal yang di kita bahas meliputi beberapa hal yaitu,meliputi:

1. Konsep Pelaksanaan Otonomi Daerah2. Percepatan Otonomi Daerah3. Tinjauan Konsep dan Implementasi Proses Perencaanaan,

Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan (P5D)4. Upaya Meningkatkan Kualitas Perencanaan Pembangunan di

Tingkat Desa5. Institutional Building: Upaya Memberdayakan Pertanian dan

Ekonomi Pedesaan

5

1. KONSEP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

1.Umum

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah, adlah upayamemaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindarikerumitan dan hal-hal yang mengambat pelaksanaan otonomi daerah.Dengan demikian, tuntutan masyarakat dapat diwujudkan secaranyata dengan penerapan otonomi daerah luas dan kelangsunganpelayanan umum tidak diabaikan, serta memelihara kesinambunganfiscal secara nasional.

2. Pengaturan Transisi1. Kewenangan dan Kelembagaan

a. Semua unit dekonsentrasi (kanwil/unit lain yang terkait)yang berada dipropinsi, statusnya dialihkan menjadiperangkat daerah propinsi, kecuali instansi vertical menurutundang-undang nomor 22 tahun 1999.

b. Semua unit dekonsentrasi (kandep/cabang dinas propinsi/UPTpropinsi, unit lain yang terkait)Yang berada dikabupaten dan kota, kecuali instansi verticalmenurut undang-undang nomor 22 tahun 1999

6

c. UPT pusat yang berada didaerah yang statusnya akan diaturkasus perkasus oleh instansi terkait dipusat,dikoordinasikan oleh tim koordinasi kepres nomor 52 tahun2000

d. Pada dinas propinsi dimungkinkan ada unit kerja dekosentrasiberada dibawahdan bertanggungjawab kepada dinas propinsi

e. Ex.kanwil dimungkinkan menjadi dinas propinsi secarakeseluruhan jika beban tugasnya dianggap sangat luas dantidak mungkin ditangani dinas tertentu yang sudah ada ataukarena tidak dimungkinkan dibentuk dinas yang menanganikewenangan otonomi karena propinsi tidak memiliki kewenanganotonom untuk bidang yang dimaksud

f. Dinas propinsi dapat melaksanakan beberapa tugas-tugas unitdekonsentrasi dan unit desentralisasi yang sejenis dapatdilebur menjadi dinas baru yang besar organisasinyadisesuaikan dengan kewenangan dan beban tugasnya

g. Dinas propinsi dapat melaksanakan beberapa tugas-tugasdekonsentrasi yang ruang lingkupnya dan jenis pekerjaan yangberbeda.

h. Kewenangan /organisasi yang dapat menimbulkan konflik antarapemerintah, propinsi dan kabupaten/kota dan belumterselesaiakan menjelang akhir tahun 2000, untuk sementara(paling lama satu tahun anggaran) dijalankanpemerintah/propinsi atas kesepakatan antara pemerintahkabupaten/kota dan pemerintah pusat, misalnya pengaturanpengujian kendaraan bermotor

i. Penyatuan kelembagaan dan pembentukan lembaga baru denganperaturan daerah.

2. Pegawai Negeri Sipila. Pengalihan pegawai yang tidak bereselon yang berasal dari

unit dekonsentrasi harus selambat-lambatnya pada akhirSeptember 2012

7

b. Kabupaten /kota tidak diperbolehkan menolak perpindahan PNSyang statusnya dipekerjakan atau diperbantukan daripemerintah pusat ataupun pemerintah propinsi

c. Perpindahan PNS secara fisik dari kanwil/dinas propinsidikabupaten /kota, harus selesai selambat-lambatnya bulanmei 2013. Petunjuk pelaksanaan akan diberikan olehpemerintah melalui tim koordinasi koppres nomor 52 tahun2000

d. PNS yang bekerja atau akan bekerja di instansi propinsi dikabupaten/kota apapun status kepegawaiannya akan dibayardari APBD. Pemerintah tidak akan memberi subsidi dalambentuk apapun untuk belanja pegawai karena sudah termasukdalam dana anggaran umum (DAU).

e. Perpindahan pegawai dalam daerah kabupaten/kota dilakukanoleh bupati/walikota, pemindahan pegawai antar kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dan daerah propinsidilakukan oleh gubernur setelah berkonsultasi denganbupati/walikota dan pemindahan pegawai antar daerahkabupaten/kota dan daerah kabupaten/kota didaerah propinsilainnya ditetapkan oleh pemerintah pusat setelahberkonsultasi dengan kepala daerah.

f. Kantor BKN dibawah koordinasi menteri Negara penerbitanaparatur Negara bertanggungjawab untuk melakukan pengaturanmutasi pegawai akibat pengalihan instansi vertical.

3. Pelayanan Daerah a. Bilamana pedoman,standar, norma dan prosedur yang menjadi

kewajibanpemerintah tidak dikeluarkan dalam waktu enam bulansesudah peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 diterbitkanmaka daerah dapat melaksanakan kewenangan termasuk perizinandengan berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku

b. Tingkat pelayanan umum tetap dipertahankan pada kuantitasdan mutu sama seperti sebelum penyerahan. Perubahan –

8

perubahan dapat dilakukan sepanjang hal tersebut merupakan“penambahan” atau “perbaikan”

c. Standar pelayanan minimal (SPM) untuk kewenangan wajibkabupaten/kota ditetapkan oleh propinsi berdasarkan pedomandari pemerintah. Penetapan SPM tersebut sudah selesaiselambat-lambatnya satu bulan setelah pedoman dikeluarkanoleh pusat.

4. Pengaturan Aset a. Aset yang berasal dari kanwil dialihkan menjadi asset

daerah sesuai dengan kewenangannya.b. Asset yang berasal dari kandep/cabang dinas propinsi

dialihkan menjadi asset daerah sesuai dengan kewenangannya.c. Asset yang berasal dari UPT departemen yang menjadi

kewenangan daerah, statusnya akan diatur kasus-perkasusd. Pengaturan tentang BUMN, BUMD akan ditetapkan tersendiri.

5. Perimbangan Keuangana. Pembiayaan kegiatan dekonsentrasi mencakup biaya

administrasi, operasi danpemeliharaan prasarana dan saranayang diperlukan dalam rangka tugas-tugas dekonsentrasi padadinas atau unit kerja pada dinas dan menjadi beban APBN,menunggu penjelasan dari departemen keuangan

b. Hal-hal lain yang berkaitan dengan perimbangan keuangan akandijelaskan oleh departemen keuangan.

6. Lain-laina. Pengaturan Desa

1. Pengaturan tentang desa sebagai tindak lanjut undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang sudah dikeluarkan menunggu penetapan lebihlanjut

2. Pengaturan tentang BUMDES akan ditetapkan sendiri

9

3. Pengalihan desa menjadi kelurahan dapat dilakukan secarabertahap disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing

4. Status kepala desa didesa yang beralih menjadi kelurahanakan ditetapkan dalam peraturan tersendiri.

b. Koordinasi Pusat dan DaerahKorordinasi pusat dengan daerah untuk tahap berikutnya akandilaksanakan pada awal oktober 2013

2. PERCEPATAN OTONOMI DAERAH

Percepatan pelaksanaanotonomi daerah sebagai implementasiundang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah danundang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuanganantara pemerintah pusat dan daerahyang telah bergulir di daerah.Banyak harapan yang dimungkinkan dari penerapan otonomi daerah,seiring dengan itu tidak sedikit pula masalah, tantangan dankendala yang dihadapi oleh daerah.

Otonomi daerah ini merupakan fenomena politis yang sangatdibutuhkan dalam era-globalisasi dan demokrasi, apalagi jikadikaitkan dengan tantangan masa depan memasuki era perdaganganbebas yang antara lain ditandai dengan tantangan masa depanmemasuki era perdangan bebas yang antara lain ditandai dengantumbuhnya berbagai bentuk kerja sama regional, perubahan polaatau system informasi global.

Melalui otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalammenentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkantidak terlalu aktif mengatur daerah.pemerintahan daerahdiharapkan mampu memainkan perananya dalam membuka peluangmamajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secaraekonomi yang wajar, efisien, efektif termasuk kemampuan perangkatdaerah meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepadapemerintah atasannya maupun kepada public/masyarakat.

10

Perkembangan situasi yang terjadi, perubahan systempemerintahan berupa penerapan otonomi daerah yang telahdigulirkan pada tanggal 1 januari 2001, serta reorganisasiinstitusi pemerintahan, mengharuskan pemerintah pusatmenyelaraskan semua kegiatan pemerintah sesuai denganperkembangan di lapangan, dengan memperhatikan kapasitas daerahmeliputi kapasitas individu, kelembagaan dan system yang telahdimiliki oleh daerah.

3. TINJAUAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI PROSES PERENCANAAN,PELAKSANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN

Konsep dan ProsesBerdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.

9 tahun 1982, pelaksanaan pembangunan daerah dilaksanakan melaluisuatu proses yang relatif baku yaitu Proses Perencanaan,Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan (P5D). Proses P5Ddimulai dari tingkat bawah (masyarakat) dalam bentuk MusyawarahPembangunan Desa (Musbangdes), yang kemudian dilanjutkan denganMusyawarah Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di tingkatKecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten,Rakorbang Propinsi, dan berakhir dengan Rakorbang Nasional.

Praktek Pelaksanaan P5DMekanisme P5D, secara konsepsual telah mencoba melibatkan

masyarakat semaksimal mungkSin, dan mencoba memadukan perencanaandari masyarakat (Bottom up planing) dengan perencanaanDinas/Instansi sektoral (Top down planning). Akan tetapi, dariberbagai literatur dan hasil penelitian (P3P Unram, 2001;Siregar, 2001, Team Work Lapera, 2001; Hadi, Hilyana dan Hayati,2003) diperoleh gambaran bahwa implementasi perencanaanpembangunan selama ini belum partisipatif seperti konsep dankebijakan yang dikembangkan Pemerintah.

11

Perencanaan dari atas lebih mendominasi hasil perencanaan.Namun dalam pelaksanaan program-program pembangunan, sebagianbesar anggota masyarakat terlibat aktif, baik sebagai pelaksanamaupun penerima manfaat. Sedangkan dalam pengawasan hasil-hasilpembangunan desa, keterlibatan masyarakat sangat kecil.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa berbagai keputusan umumnyasudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuksosialisasi yang tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedarobjek pembangunan yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belummenjadi subyek pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkanpada posisi inisiator (sumber bertindak).

Mekanisme perencanaan P5D cenderung menjadi ritual, menjadisemacam rutinitas formal, tidak menyentuh substansi dankehilangan makna hakikinya. Pelaksanaan Musbangdes terkesan hanyaseremonial, sehingga masyarakat merasakan kejenuhan mengikutiMusbangdes. Hasil penelitian P3P Unram (2001) menemukan bahwausulan masyarakat dalam Musbangdes hanya sebagian kecil yangterakomodir dalam forum perencanaan supra desa. Keterwakilanmasyarakat dalam forum-forum perencanaan yang ada sangat kurang.

Hal ini karena peserta musyawarah dalam forum perencanaanyang dilaksanakan lebih didasarkan pada keterwakilan yangbersifat formal, sehingga susunan pesertanya didominasi parabirokrat dan unsur lembaga formal. Dari sisi perencanaan jangkamenengah dan jangka panjang, Pemerintah Kabupaten/Kota telahmemiliki berbagai dokumen perencanaan (seperti ProgramPembangunan Lima Tahun Daerah/Propeda, Rencana Strategis/Renstra,dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah/RUTRW) dan seharusnya menjadipedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah(Repetada).

Akan tetapi dokumen-dokumen perencanaan tersebut tidaktersosialisasikan, sehingga hal ini mengakibatkan perencanaandilaksanakan tanpa perspektif yang jelas. Seringkali terjadiRepetada sebagai pedoman mengenai arah dan kebijaksanaanpenyusunan program dan proyek disusun setelah RAPBD disyahkan

12

sehingga kehilangan fungsi substansifnya. Sementara itu, menurutAsmara (2001) komitmen dan orientasi pelanggan (public driven) dalamsistem programming sektoral, belum mantap. Hal ini karena budayabirokrasi berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baikseperti akuntabilitas, responsibilitas dan transparansi dalampenyelenggaraan kepentingan publik belum melembaga dengan baik.Akibatnya jaminan pengakomodasian usulan dari bawah sangatkurang.

4. UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DITINGKAT DESA

Paradigma lama pembangunan perdesaan pada masa sebelum eraotonomi adalah bagaimana melaksanakan program-program pemerintahyang datang dari atas. Program pembangunan desa lebih banyakdalam bentuk proyek dari atas, dan sangat kurang memperhatikanaspek keberlanjutan pembangunan desa dan partisipasi masyarakat.Sebagian besar kebijakan Pemerintah bernuansa “top-down”,dominasi Pemerintah sangat tinggi, akibatnya antara lain banyakterjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat,tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan desa, dan tidak banyakmempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Kurangterakomodirnya perencanaan dari bawah dan masih dominannyaperencanaan dari atas, menurut Asmara, H., (2001) adalah karenakualitas dan hasil perencanaan dari bawah lemah, yang disebabkanbeberapa faktor antara lain : (1) Lemahnya kapasitas lembaga-lembaga yang secara fungsionalmenangani perencanaan; (2) Kelemahan identifikasi masalah pembangunan; (3) Dukungan data dan informasi perencanaan yang lemah; (4) Kualitas sumberdaya manusia khususnya di desa yang lemah;(5) Lemahnya dukungan pendampingan dalam kegiatan perencanaan,dan

13

(6) Lemahnya dukungan pendanaan dalam pelaksanaan kegiatanperencanaan khususnya di tingkat desa dan kecamatan.

Untuk mengatasi lemahnya kualitas dan hasil perencanaan daribawah, Pemerintah pada pertengahan tahun 1990-an memperkenalkanmetode Perencanaan Partisipatif Pembangunan Masyarakat Desa(P3MD) dengan memberikan pelatihan dan buku panduan kepada LKMD,dan mengangkat pemandu untuk memfasilitasi proses Musbangdes.Metode P3MD ini nampaknya dimaksudkan untuk memberdayakan LKMDsebagai refresentasi lembaga perencanaan pembangunan di tingkatdesa.

a. Revitalisasi dan Penguatan Lembaga Perencanaan Desa

Penguatan kelembagaan perencanaan di tingkat desa dimulaidengan merevitalisasi LKMD sebagai lembaga yang dibentuk atasprakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Desa dalam menampungdan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di bidangpembangunan. Sejauh mana peran dan fungsi yang dimainkan LKMDdalam proses perencanaan pembangunan selama ini.

Konsep tentang LKMD sebagaimana diatur dalam KeputusanPresiden Nomor 28 Tahun 1980 tentang Penyempurnaan danPeningkatan Fungsi Lembaga Sosial Desa menjadi Lembaga KetahananMasyarakat Desa tidak sesuai lagi dengan semangat Otonomi Daerah,oleh karena itu perlu ditata kembali sesuai dengan kebutuhanmasyarakat. Dalam mendukung upaya revitalisasi LKMD, pemerintahtelah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentangPenataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Atau Sebutan Lain.Dalam Keppres No. 49/2001 tersebut dinyatakan bahwa LKMD atausebutan lain mempunyai tugas :(1) menyusun rencana pembangunan yang partisipatif; (2) menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat; dan (3) melaksanakan dan mengendalikan pembangunan.

14

Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, LKMD atau sebutanlain mempunyai fungsi : (1) menanam dan memupuk rasa persatuandan kesatuan masyarakat desa; (2) mengkoordinir perencanaan pembangunan; (3) mengkoordinir perencanaan lembaga kemasyarakatan; (4) merencanakan kegiatan pembangunan secara partisipatif danterpadu; dan (5) menggali dan memanfaatkan sumber daya kelembagaan untukpembangunan desa.

b. Pendampingan dalam Proses PerencanaanDari hasil on the job training yang dilakukan P3P Unram (2001)

ditemukan bahwa karena dominannya perencanaan dari atas,masyarakat desa mengalami kegamangan saat melakukan perencanaanpartisipatif dari bawah. Masyarakat mengalami kesulitan dalammengidentifikasi potensi yang ada di Desa/ Kelurahan, sertamengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan pembangunan. Untukitu sangat dibutuhkan bantuan pendampingan dalam prosespenyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan. Dalam upayamenumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat, diperlukanfasilitator, penggerak atau agen pembangunan (development agent),yang berperan sebagai : (Ditjen PMD, 1996; Siregar, 2001).(1) Katalisator yang menggerakkan masyarakat agar mau melakukanperubahan, (2) Membantu pemecahan masalah, (3) Membantu penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk bagaimana

mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosapermasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan sumber-sumberyang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan

(4) Menghubungkan dengan sumber-sumber yang diperlukan.

Prinsip yang harus dikembangkan fasilitator di tingkat desaadalah membudayakan warga desa memikirkan desanya dan atau

15

pembangunan desanya. Fasilitasi yang dapat dilakukan adalahdengan membantu masyarakat dalam : (a) Perumusan masalah yang dihadapi oleh masyarakat sendiri

sebagai input dalam proses perencanaan pembangunan desa, dan(b) Pengenalan potensi yang dimiliki masyarakat. Berbagai metode

partisipatif dapat digunakan, seperti metode Participatory RuralAppraisal (PRA), Ziel Orientierte Projekt Planung (ZOPP), SWOT Analysis, dan lainsebagainya, atau penggabungan berbagai metode perencanaanpartisipatif yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi desasetempat.

Titik kritis peran pendamping yang harus dihindari adalahtimbulnya “outsider bias” karena fasilitator memerankan diri sebagaiorang luar, dan pendampingan jangan sampai menciptakanketergantungan daripada menciptakan kemandirian.

c. Menuju Pembangunan Desa yang Partisipatif dan Berkelanjutan

Pemasalahan pembangunan desa, termasuk lemahnya kelembagaandesa mengharuskan perlunya pemikiran kembali terhadap pendekatanyang pernah dilakukan selama ini. Pendekatan top-down, danmencuatnya ego sektoral membuat setiap Dinas/Instansi melakukankegiataannya secara sendiri-sendiri tanpa adanya komunikasi dankoordinasi yang jelas antar stakeholders. Dengan dasar tersebut,maka untuk peningkatan efektifitas pembangunan desa berkelanjutandan termasuk kelembagaan diperlukan keterpaduan kerja dari semuapihak yang terkait.

Koordinasi dan kerjasama yang efektif akan bermanfaat tidaksaja dalam menyatukan visi dan mengintegrasikan missi, tetapijuga dalam mengatasi adanya duplikasi pelayanan, pemborosan dana,jurang (gap) pelayanan, serta aksesibilitas dan ketersediaanpelayanan. Koordinasi dan kerjasama antar stakeholders akanmembantu proses konvergensi dan divergensi sumberdaya bagi prosespembangunan pedesaan. Untuk itu, dalam perencanaan desa hendaknyajuga dikembangkan struktur partisipasi dan pemberdayaan bagi

16

masing-masing stakeholders. Setiap stakeholder dapatberpartisipasi dalam proses perencanaan, implementasi, evaluasi,dan berbagi hasil, yang pada gilirannya melahirkan komitmen dantanggung jawab.

Pemerintahan desa yang otonom akan dapat diwujudkan apabilaprogramprogram pembangunan dari atas tidak mengedepankan egosektoral dan Dinas/Instansi menempatkan pemerintah desa “saluran”program-program sektoral. Semua programprogam pembangunan,bantuan/dukungan teknis dan pendanaan, baik dariDinas/Instansi Pemerintah, Swasta, LSM dan lembaga-lembagalainnya harus melalui Pemerintahan Desa yang kemudian bersama-sama masyarakat melalui LKMD akan menyesuaikan dengan programpembangunan desa. Dalam pelaksanaannya, Badan Perwakilan Desa(BPD) harus melaksanakan fungsi legislasi dan kontrol dalamkedudukan sebagai mitra pemerintahan desa. Apabila mekanisme yangaspiratif dan partisipatif ini dapat dikembangkan dalam kerangkapembangunan desa berkelanjutan, maka tujuan pembangunan untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat akan dapat tercapai.

5. INSTITUTIONAL BUILDING:UPAYA MEMBERDAYAKAN PERTANIAN DANEKONOMI PERDESAAN

Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masamendatang adalah sejauh mungkin mengatasi masalah dan kendalakritikal yang sampai sejauh ini belum mampu diselesaikan secaratuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu halyang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian(agribisnis) selama ini belum disertai dengan meningkatnyapendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan. Petanisebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambahyang rasional sesuai skala usaha tani terpadu (integrated farmingsystem). Oleh karena itu persoalan membangun kelembagaan (institution)di bidang pertanian dalam pengertian yang luas menjadi semakinpenting agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanya

17

menyangkut on farm business saja, akan tetapi juga terkait eratdengan aspek-aspek off farm agribussinessnya.

Jika ditelaah, walaupun telah melampui masa-masa kritis krisisekonomi nasional, saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapakondisi yang dihadapi petani di dalam mengembangkan kegiatanusaha produktifnya, yaitu:

Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access toresources), seperti keterbatasan aset lahan, infrastrukturserta sarana dan prasarana penunjang

kegiatan produktif lainnya;

Produktivitas dan tenaga kerja yang relative rendah(productive and remunerative employment), sebagai akibatketerbatasan investasi, teknologi, keterampilan danpengelolaan sumberdaya yang effisien;

Perasaan ketidak merataan dan ketidakadilan akses pelayanan

(access to services) sebagai akibat kurang terperhatikannyarangsangan bagi tumbuhnya lembagalembaga social (social capital)dari bawah;

Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yangdihadapi dalam menciptakan rasa akan keamanan pangan,pasar, harga dan lingkungan. Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama

ketimpang pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikantanah. Hal ini adalah benar, karena tanah tidak hanya dihubungkandengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang erat dengankelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumberbantuan teknis, juga pemilikan tanah mempunyai hubungan dengankekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebihtinggi. Manfaat dari program-program pembangunan pertanian di

18

perdesaan yang datang dari “atas” tampaknya hanya jatuh padakelompok pemilik tanah, sebagai lapisan atas dari masyarakatdesa.

Sebagai contoh, program kredit dengan jaminan tanah sertabunga modal, subsidi paket teknologi, teknologi produksi, bahkancontrol terhadap distribusi pengairan dan pasar local jugadilakukan oleh kelompok ini. Dilain pihak, pelaksanaan perubahanseperti landreform, credit reform dan sebagainya yang memang secarasubstansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi assetmasih merupakan isyu yang kurang populer. Berbagai langkahterobosan sebagai suatu upaya kelembagaan guna memecahkanpermasalahan di atas yang dikembangkan seperti pengembangansistem usahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekalibelum memecahkan problem substansial yang oleh Boeke diungkapkansebagai “dualisme”.

Dari pada itu, karakteristik perdesaan seringkali ditandaidengan pengangguran,produktivitas dan pendapatan rendah,kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-msalah pengangguran,setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadigambaran umum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama,terjadi pula produktifitas yang rendah dan kurangnya fasilitaspelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakan ciri khasdi kawasan perdesaan.

Pada umumnya, sebagian besar petani dan para pengelolaindustri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah.Investasi modal pada masa sebelum krisis lebih banyak diarahkanpada industry perkotaan daripada di sektor pertanian perdesaan.Sebagai konsekuensinya, perbedaan produktifitas antara petaniperdesaan dengan pekerja industri perkotaan semakin besarsenjangnya. Hal ini merupakan masalah yang banyak dibicarakandalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan,pertanian dan bukan pertanian.

19

Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasiterutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkansuasana yang mencemaskan. Di satu pihak memang terdapat kenaikanproduksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinyapencemaran lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektorpertanian yang tidak tertampung dan tanpa keahlian/ketrampilanlain, ledakan hama karena terganggunya keseimbangan lingkungandan sebagainya.

Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakan lebih banyakdinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga padagilirannya justru menjadi penyabab utama dalam mempertajamperbedaan pendapatan dan mempercepat polarisasi dalam berbagaibentuk. Perasaan ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibatberbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal,damping, pemalsuan dan ketiadaan saprotan, keracunan lingkungan,jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkali menjadipelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme berlebihan) padasebagian petani.

Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagaiaspek kehidupan pertanian dan perdesaan seperti diuraikan disini,menunjukan bahwa inti esensi dari proses pembangunan pertaniandan perdesaan adalah transformasi structural masyarakat perdesaandari kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaanberbasis ekologi pertanian dengan pengusahaan bersistemagribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaanyang terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dansistem jasa nasional dan global.

Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembangan agribisnis yang lekat dengan peningkatanpemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skalamikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”.Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak)

20

diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantanganpengembangan agribisnis yang beriorentasi ekonomi kerakyatankeadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim“kebersamaan” pelakupelaku ekonomi lainnya.

Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatuiklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi(kelembagaan) yang mampu meningkatkan posisi petani menjadibagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baik dalam bentukkelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate)ataupun shareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapatmenjadi nilai (value) baru, semangat baru bagi petani untukterutama dapat melonggarkan keterbatasan-keterbatasannya, sepertiakses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatanproduktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan,serta meningkatkan rasa percaya diri akan lingkungan yang aman,adil dan transparan.

Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebutpada dasarnya bukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rulesatau nilai dan semangat baru dalam pembangunan pertanian ke,depan seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok dan mendasar.Pertama, upaya kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorongterciptanya the same level playing field bagi petani dan pelaku ekonomilainnya, berdasarkan “aturan main” yang fair, transparent, demokratisdan adil. Kedua, upaya kelembagaan tersebut mampu mendorongpeningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi dankelestarian bagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang padagilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

21

D. PENUTUP

Menghadapi tuntutan otonomi daerah yang harusdimanifestasikan dalam bentuk kesiapan aparat serta seluruhstakeholders pembangunan dalam pengelolaan pembangunan daerah,diperlukan suatu proses yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penentuan kebijakan dan berbagai pengambilankeputusan publik, sehingga aspirasi masyarakat dapat tercermindalam pelaksanaan pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakanmelalui proses P5D, secara konseptual telah mencoba melibatkanmasyarakat semaksimal mungkin tetapi dalam kenyataannyamenghadapi berbagai kendala sehingga diperlukan revisi danpengembangan pola perencanaan pembangunan yang partisipatif,responsif, transparan, dan akuntabel.

Pola perencanaan pembangunan partisipatif tetap mengikutialur perencanaan yang sudah ada dengan mengadopsi konsepketerpaduan P5D, namun dengan memberikan penekanan pada :pelibatan partisipasi aktif semua peserta forum musyawarahperencanaan, meningkatkan bobot keterwakilan masyarakat dalamforum perencanaan, meningkatkan pengakomodasian usulan dari bawahdalam program Dinas sektoral. Agar dapat terakomodir, maka usulandari bawah harus memiliki ketajaman prioritas sesuai dengankebutuhan masyarakat.

Untuk itu diperlukan revitalisasi dan penguatan lembagaperencanaan desa, dan memberikan bantuan pendampingan dalamproses penyusunan perencanaan di tingkat Desa dan Kecamatan,serta perlu dilakukan desiminasi dokumen Rencana PembangunanDaerah (Poldas, Renstra, Repetada) sampai kepada masyarakat desauntuk memberi arah dalam penyusunan perencanaan masyarakat.

D.1 Kesimpulan

22

Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa percepatanpenanggulangan problematika di pedesaan, seperti salah satucontoh masalah kemiskinan, pertanian dan ekonomik pedesaan. Halini dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaanmasyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif,dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal.Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dankeluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil.

Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesiasaat ini, meskipun gamang pada awalnya, diyakini nanti akanberada pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah konsistensidari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yangmemberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program-programpenanggulangan problematika pedesaan ke depan mengarah padapenciptaan lingkungan lokal yang kondusif demi mamajukanpertanian dan ekonomi pedesaan bersama komunitasnya dalammenolong diri sendiri.

D.2 SARAN

Hasil-hasil kajian Pusat P3MD dalam memberdayakan LKMDsebagaimana dikemukakan secara ringkas di atas merupakan masukanyang baik bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan ketajamanprogram-program perencanaan desa demi meningkatkan pertanian danekonomi desa yang sedang direncanakan. Ke depan, pemerintah perlumelakukan dialog-dialog yang lebih mendalam dengan berbagaipelaku pemberdayaan masyarakat seperti LSM dan perguruan tinggiuntuk mendapatkan masukan-masukan aktual bagi perencanaanstrategi pembangunan yang partisipati.

Dalam rangka meningkatkan komunikasi antara pemerintahdengan berbagai komponen masyarakat yang terkait dengan upaya-upaya pemberdayaan perencanaan partisipatif pembangunan

23

masyarakat desa (P3MD), maka mungkin perlu menyebarluaskanhasil-hasil kajian seperti yang dihasilkan oleh Pusat LKMD ini.

DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, HAW. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta. PT.Raja grafindo persada.2002

HS. Dillon, “Paradigma Ekonomi yang Pro-Kaum Miskin dan Pro-Keadilan: Belajar DariPelajaran Masa Lalu”. Juni 2001

Asmara, Lalu Hajar., 2001. Mencari Format Perencanaan Pembangunan yang Aspiratif Untuk Mendukung Implementasi Otonomi Daerah.

Hadi, A.P., Hilyana, dan Hayati, 2003. Revitalisasi Kelembagaan Petani dan MasyarakatPerdesaan Melalui Pemberdayaan Kelompok Lokal Dalam KerangkaPembangunan Desa Berkelanjutan. Laporan Penelitian Tahun Pertama HibahBersaing Perguruan Tinggi XI. Mataram : Fakultas Pertanian Universitas Mataram.

Team Work Lapera, 2001. Politik Pemberdayaan Jalan Mewujudkan Otonomi Desa. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

http://emperordeva.wordpress.com/about/pemberdayaan-masyarakat-miskin-di-era-otonomi-daerah/

http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/