PERHATIAN MUHADDISIN TERHADAP KRITIK HADIS

39
PERHATIAN MUHADITHI<N TERHADAP KRITIK HADIS Makalah Diajukan Untuk Seminar Kelas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hadis Dosen Pengampu Prof. DR. H. Zainul Arifin, MA Oleh M. Syukrillah NIM. F08213256 PROGRAM STUDI ILMU HADIS PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN) SUNAN AMPEL SURABAYA 2014

Transcript of PERHATIAN MUHADDISIN TERHADAP KRITIK HADIS

0

PERHATIAN MUHADITHI<N TERHADAP KRITIK HADIS

Makalah

Diajukan Untuk Seminar Kelas

Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hadis

Dosen Pengampu

Prof. DR. H. Zainul Arifin, MA

Oleh

M. Syukrillah

NIM. F08213256

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

PASCASARJANA UNIVERSITASISLAM NEGERI (UIN) SUNAN

AMPEL SURABAYA

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

Urgensi hadis nabi—baik dalam studi Islam maupun implementasi

ajarannya—bukanlahhal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi

kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai

sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-

Qur’a>n.1

Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Qur’an,2 hadis membentuk

hubungan simbiosis mutualismdengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam

peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga

terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek

keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.Bersama al-Qur’an,

hadis merupakan “sumber mata air” yang menghidupkan peradaban Islam,

menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka

ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis,

mendokumentasikan dalam kitabdan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-

cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk

menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan

riset-riset untuk meneliti validitas hadis.3

Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang urgensi penelitian atau kritik

hadis dan sebab-sebab para ulama hadis memberikan perhatian yang intensif

terhadap pengembangan metodologinya.

1Abdullah Hasan al-Hadi>thi, Athar al-H{adi>th al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha> (Beirut :

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3 2Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah

menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubu>t, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubu>t, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang

z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas

(al-baya>n) adalah ta>bi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif,

Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke

Yaman. Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419

H), 37-38 3Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah

al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M),

5-6

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kritik Hadis (Naqd al-Hadi>th)

1. Tinjauan Etimologis

Dalam bahasa Arab, penelitian (kritik) hadis dikenal dengan naqd al-

hadi>th.4 Kata naqd secara bahasa adalah meneliti dan membedakan (tingkat

kualitas) dirham (mata uang perak) dan memisahkan yang palsu darinya ( هو متييز

5Sehingga, dari hasil naqd atau tamyi>z, uang dirham.(الدراهم وإخراج الزيف منها

tersebut sah atau valid untuk diserahterimakan kepada seseorang atau dapat

digunakan dalam transaksi keuangan (ييز الدرماهم. وإعطاؤها إنسمانا وأخذها .(متم6 Dalam

proses naqd ini, ditampakkan mana yang cacat dan mana yang baik ( ا أظهر مما فيهمم

.(من عيب أمو حسن7

Jika dirangkum, naqd secara etimologis antara lain mencakup arti to

examine critically (menguji secara kritis), to criticize (mengecek), find fault

(menemukan kesalahan), take exception (mengambil sikap pengecualian atau

keberatan), to show up the shortcomings (menunjukkan suatu kelemahan atau

4 Idri,Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, cet.2, 2013), 275

5Ibnu Manzhur,Lisa>n al-‘Arab, Vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H), 425

6Muhammad bin Ahmad al-Azhary al-Harawy, Tahdhi>b al-Lughah. Vol. 9 (Beirut: Dar ihya’ al-

Turath, cet. 1, 2001), 50, Al-Murtada al-Zabidy, Ta>j al-‘Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mu>s .Vol. 9 (t.t.:

Dar al-Hidayah, t.th.), 230, Zain al-din Abu Abdillah al-Razi, Mukhta>r al-Shiha>h (Beirut: al-

Maktabah al-‘Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M), 317. Di kalangan ulama hadis generasi awal

(mutaqaddimi>n), penggunaan istilah naqd secara etimologis untuk kritik hadis dapat ditemui

dalam ungkapan mereka seperti al-Auza’y (w. 156 H) sebagai berikut:

اب ع المديثم ف من معرضه عملمى أمصحم ذنما، وممما أمنكمروا ت مرمكنما.كنا نمسمم ا عمرمفوا منه أمخم رهمم الزيف، فممم ا ي عرمض الد نما كممم

“Kami mendengar suatu hadis maka kami paparkan kondisinya kepada teman-teman kami (ahli

hadis) sebagaimana dirham yang palsu disingkap kepalsuannya. Apabila mengetahui (validitas)

hadis tersebut, maka hadisnya kami ambil, apabila mereka mengingkari maka kami buang”. Al-

Baihaqi>, Ma’rifah al-Sunan wa al-Atha>r. Vol. 1.ed. ‘Abd al-Mu’thi Amin Qal’ajy. (Beirut: Dar

Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M), 143 7 Ibrahim Musthafa, et.all. Mu’ja>m al-Wasi>th, Vol. 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th.), 944.

3

kekeliruan).8Selaras dengan makna tersebut, kata “kritik” dalam Bahasa

Indonesia berkonotasi pada sifat tidak lekas percaya, tajam dalam menganalisa,

ada uraian pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu karya.9

Dengan demikian, secara etimologis kritik (naqd) bisa diartikan sebagai

suatu upaya untuk menentukan mana yang benar (asli) dan mana yang salah

(palsu/tiruan).Kandungan maknanya mencakup kritik atau penilaian positif (al-

naqd al-ijabi>) dan makna kritik negatif (al-naqd al-salabi>).

2. Tinjauan Terminologis

Naqd secara terminologis, menurut Abubakar Ka>fi> adalah studi tentang

perawi dan apa yang diriwayatkannya dengan tujuan untuk menyeleksi perawi

dan periwayatan yang berkualitas baik dari yang berkualitas rendah ( دراسة الرواة

.(واملرويات لتمييز جيدها من رديئها10

Senada dengan itu Mustafa al-A’zami>

mendefinisikan naqd ialah membedakan dan menyaring atau menyeleksi hadis-

hadis yang sahih dari hadis-hadis yang d{a’i>f dan menghukumi (menilai) para

perawi dengan nilai positif atau negatif ( من الضعيفة والكم متييز األحاديث الصحيحة

.(على الرواة توثيقا وجترحيا11

Sebagai disiplin ilmu, kritik hadis adalah :

علم يبحث يف متييز األحاديث الصحيحة من الضعيفة , وبيان عللها والكم على رواهتا جرحا وتعديال بألفاظ خمصوصة, ذات دالئل معلومة عند أهل الفن.

“Ilmu yang membahas tentang cara menyeleksi hadis-hadis yang shahih dari yang

d}a’i>f dan menjelaskan ‘illat-nya serta menetapkan status hukum atas para

8Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen & Unwin Ltd.,

1970), 990 9Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988), 466

10 Abubakar Ka>fy,Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Ta’li>liha. (Beirut: Dar

Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M), 37 11

Muhammad Mustafa al-A’zamy, Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-‘Ummariyah,

1982), 5

4

perawinya baik dalam bentuk jarh atau ta’dil dengan ungkapan atau istilah

khusus yang menunjukkan makna tertentu yang dipahami oleh ahlinya.”12

الكم على الرواة جترحيا أو تعديال بألفاظ خاصة ذات دالئل معلومة عند أهله والنظر يف متون األحاديث اليت صح سندها لتصحيحها أو تضعيفها, ولرفع اإلشكال عما بدا مشكال من

صحيحها ودفع التعارض بينها, بتطبيق مقايس دقيقة

“Penetapan status cacat atau adil pada periwayat hadis dengan menggunakan

idiom khusus berdasar bukti-bukti yang mudah diketahui oleh para ahlinya, dan

mencermati matan-matan hadis sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui

validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan

dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail”.13

B. Tujuan, Objek dan Nilai Guna Penelitian (Kritik) Hadis

Pada dasarnya, kritik hadis tidak diorientasikan untuk menguji kapasititas

dan otoritas hadis atau sunnah Rasulullah SAW yang telah disepakati (al-mujma’

‘alaihi) sebagai sumber ajaran Islam utama dan terpenting setelah al-Quran.

Merujuk definisi terminologis naqd al-h}adi>th, maka naqd al-h}adi>th bertujuan

untuk menguji dan menganalisis secara kritis apakah secara historis suatu hadis

dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari Nabi atau tidak.14

Dengan demikian,

penelitian (kritik) hadis diorientasikan untuk menguji otentitas dan validitas

informasi hadis dalam proses periwayatannya.15

Sementara objek kajiannya adalah sanad (al-ruwa>t) dan matan hadis (al-

marwiya>t).16Kritik sanad disebut kritik eksternal (al-naqd al-kha>riji>).Sementara

kritik matan disebut juga kritik internal (al-naqd al-da>khili>).

Adapun nilai guna penelitian hadis, antara lain; (1) untuk mengetahui

hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk pendalilan hukum(istidla>l) dan

12

Muh}ammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary. Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania:

Dar al-Nafa’is, tth), 11 13

Muh}ammad T{ahir al-Jawabi, Juh}ud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th al-Shari>f (Tunisia: Mu’assasah Abd al-Karim, 1986), 94 14

Idri, Studi Hadis, 276 15

Hal ini karena kegiatan transfer informasi (riwayat) hadis melibatkan banyak orang dengan

berbagai kualitasnya dalam mata rantai periwayatan yang relatif panjang dengan proses

kodifikasi dalam kurun waktu yang relatif lama. 16

Muhammad ‘Ali Qa>shim al-‘Umary, Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Yordania:

Dar al-Nafa>’is, t.th.), 20

5

penarikan kesimpulan hukum (istinba>t}) dalam ijtihad dalam berbagai persoalan

keagamaan, (2) menguatkan ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis

yang telah diverifikasi validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari

Nabi SAW, (3) sebagai keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti

dalam menyeleksi riwayat-riwayat hadis dan informasi sejarah,17

(4) menjaga

orisinalitas ajaran Islam dari upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan

(tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan penyisipan ajaran khurafat dan

isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi berdusta atas nama Nabi SAW

dalam periwayatan hadis.18

C. Latar Belakang Pentingnya Penelitian (Kritik) Hadis

Kritik hadis bukan hanya dilatar belakangi oleh keinginan untuk

memuaskan hasrat ilmiah semata.Akan tetapi ada latar belakang dan motivasi

yang lebih dalam dan kuat.Dalam hal ini dorongan nilai spiritual dan orientasi

transcendental sangat berperan. Penjagaan terhadap otentitas dan orisinalitas

serta validitas sumber referensi keagamaan menjadi hal utama karena akan

menjadi landasan bagi pemahaman dan pengamalan syari’at. Hal ini

membutuhkan upaya penelitian dan kecermatan dalam transfer sumber referensi

tersebut.19

Adapun beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi pentingnya kritik

hadis adalah:

1. Pertimbangan teologis

Hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem

hukum Islam (al-Tashri>’ al-Isla>mi>) setelah al-Qur’a>n. Hal ini berbeda dengan

17

Mustafa al-Khan,al-Manhal al-Ra>wy min Taqri>b al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Taba’ah wa

al-Nashr, ttt), 18 18

Nur al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-Hadi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418

H/1998 M), 29-30 19

Muhammad Mustafa al-A’zamy, Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n (Riyadh: al-‘Ummariyah,

1982), 6

6

anggapan kelompok inka>r al-sunnah atau munkir al-sunnah.20 Terdapat landasan

normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis sebagai mas}dar (sumber) dan

marja>’ (rujukan) bagi ajaran Islam, antara lain sebagai berikut;

1. Dalil Al-Quran

1) Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk menjelaskan

(tabyi>n) al-Quran.21

Allah SWT mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu

dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan pengajaran Allah SWT (al-

h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai pewahyuan al-Quran yang setara

dengan wahyu itu sendiri.22

Kalau al-Qur’an adalah wahyu matluw, maka

sunnah merupakan wahyu ghair al-matluw.23

2) Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri>’) kepada Rasulullah disertai

ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.24

Perintah untuk berhukum kepada

keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan25

Keputusan

hukum Nabi yang tidak memberi ruang alternatif pilihan lain bagi orang yang

beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a >’) itu.26

Penegasan otoritas hukum

pada diri Rasulullah ini disertai ancaman penegasian iman27

dan penetapan

sifat hipokrit (nifa>q) bagi mereka tidak mengakuinya,28

serta ancaman keras

20

Mereka adalah orang-orang yang skeptis baik secara secara totalitas ataupun parsial terhadap

otoritas hadis sebagai sumber hukum dan ajaran Islam. Di antara tokohnya di India; Ahmad

Khan, Ciragh Ali. di Mesir; Tawfiq Shidqiy, Mahmud Abu Rayyah, Ahmad Amin, Rasyad

Khalifah, Ahmad Shubhiy Manshur, dan Musthafa mahmud. Di Indonesia misalnya; Ir. Ircham

Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu, di Malaysia, seperti Kassim Ahmad.

Lihat Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta:

Kencana, Cet. 1, 2011), 79-114 21

Al-Qur’an, 16: 44 22

Imam al-Shafi’i berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Qur’an dan al-

hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu Al-Qur’an, 4:

113, 2 :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Sha>fi’i, Al-Risalah . ed. Ahmad Shakir (Mesir:

Maktabah al-H{alaby, Cet. 1, 1358 H/1940 M) 73-76 23

Al-Qur’an, 53: 3-4, Abu Muhammad ‘Ali Ibn Hazm al-Andalusy. Al-Ihka>m fi Us}u>l al-Ahka>m. Ed. Ahmad Muhammad Shakir. Vol. 1(Beirut: Dar al-A<fa>q al-Jadi>dah, T.tp), 97 24

Al-Qur’an, 24: 63, 4: 65, 59: 7 25

Ibid., 4: 59 26

Ibid., 33:36. Menurut Imam al-Shafi’i, al-hikmah adalah keputusan (qad}a>’) Rasulullah dalam

bentuk sunnah yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran. Ibid, 83 27

Ibid., 3: 65 28

Al-Qur’an,3: 61

7

berupa pembiaran dalam kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci

ajaran Rasulullah SAW.29

3) Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat tersebut

sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT.30

Tentunya, menaati

Rasulullah berarti menaati ajarannya yang terdokumentasikan dalam hadis.

4) Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh dan

diikuti perikehidupannya,31

disertai penegasan bahwa Beliau adalah pribadi

agung yang layak diteladani.32

Mengikutinya merupakan manifestasi cinta

kepada Allah .33

2. Dalil Hadis

1) Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib dipegang

teguh.

ت مرمكت فيكم أممرمين لمن تمضلوا مما متممسكتم بمما كتمابم الله ومسنةم نمبيه

“Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara. Kalian tidak

akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah

dan sunnah Nabi-Nya”.34

2) Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai utusan

(Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>’). Hal ini untuk membantah

pendapat munki>r al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh Rasulullah SAW akan

muncul.

29

Ibid., 3:115 30

Lihat al-Qur’an, 3: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 31

Ibid., 33:21 32

Ibid., 68:4 33

Ibid., 3: 31 34

Ma>lik bin Anas al-Madany, al-Muwa>t}a, Vol. 3, ed. Muhammad Must}afa al-A’z}amy (Abu> Z{aby:

Muassasah Za>yid bin Sult}a>n A<lu Mihya>n, Cet. 1, 1425 H/2004 M), 3338. Hadis ini disahihkan al-

Albani.merujuk takhrij Rabi’ bin Hady al-Madkhaly, Hujjiyah Khabar al-A<had fi al-Aqa >’id wa al-Ahka>m (Kairo: Dar al-Minhaj, Cet. 1, 2005 M) , 15

8

نمكم كتم ن منما ومب مي ته ف مي مقول ب مي لغه المديث عمن ومهوم متكئ عملمى أمريكم ل عمسمى رمجل ي مب اب أمالم هم

دنما الا استمحلملنماه وممما ومجم دنما فيه حمالم فيه حمرماماا حمرمنماه ومإن مما حمرمم رمسول الله الله فممما ومجم

.صملى الله عملميه ومسملمم كممما حمرمم الله

“Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu

hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian

berkata “Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai

otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu

saja) yang kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka

itulah yang diharamkan”. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh

Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang

diharamkan Allah”.35

3) Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai wahyu

Allah.

.أمالم إن أوتيت الكتمابم وممث لمه ممعمه

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang

setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah)”.36

4) Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran (sunnah)

Rasulullah SAW.

ن أمطماعمن دمخملم المنةم كل أميت يمدخلونم المنةم إال ممن أمبم قمالوا يما رمسولم الله ومممن يمأبم قمالم مم ومممن عمصمان ف مقمد أمبم

“Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka (para

Sahabat) bertanya; ‘Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?’. Rasulullah

35

Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan al-Tirmidhi, Vol. 5. Ed. Ahmad Muhammad Shakir dan

Muhammad Fu’a>d ‘Abd al-Ba>qy (Mesir: Sharikah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby,

Cet. 2, 1395 H/1975 M), 38. Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Majah, Vol. 1, ed. Shu’aib al-Arnauwt}

(Beirut: Da>r al-Risalah al-‘Ilmiyah, 1430 H/2009 M), 9. Hadis nomor 21. Abu ‘Abd Allah Ahmad

bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 28. Ed. Shu’aib al-Arnauwt},

dkk (Beirut: Mu’asssah al-Risalah, Cet. 1, 1421 H/2001 M), 429. Sahih, merujuk takhrij Rabi’ bin

Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-

Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15 36

Ibn Ma>jah, SunanIbn Ma>jah.Vol. 7, 13.Hadis nomor. 4604. Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny,

Sunan Abi Da>wud, Vol. 4, ed. Muhammad Muh{yi al-Di>n ‘Abd al-Humai>d (Beirut: al-Maktabah

al-‘As}riyah, t.th), 200

9

bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa yang

mendurhakaiku maka berarti dia enggan”.37

5) Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada

sunnahnya dan sunnah para al-khulafa>’ al-Ra>shidin. بمشيا فمإنه ا حم ي مرمى أوصيكم بت مقومى الله ومالسمع ومالطاعمة ومإن عمبدا ممن يمعش منكم ب معدي فمسم

هدينيم الراشدينم متممسكوا بما ومعمضوا ثرياا ف معملميكم بسنيت ومسنة اللمفماء المم فاا كم عملمي هما اختالمثمة بد ثمات األمور فمإن كل مدم لمة بالن وماجذ ومإياكم وممدم .عمة ومكل بدعمة ضمالم

“Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan

taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit hitam).

Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku

maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian

berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ ar-rasyidin yang

mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat dan gigitlah

dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas). jauhilah inovasi

dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam itu adalah bid’ah

dan setiap bid’ah adalah sesat”. 38

3. Dalil Al-Ijma>’ Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat

Islam.39

Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi

dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama

dengan al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.40

Dalam tataran realitas,

terdapat ijma’ kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW dan

menjadikan sunnahnya sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak

masa sahabat,41

tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.42

37

Al-Bukhari,Al-Ja>mi’ al-S{ahi>h, Vol. 9, 92. Hadis terdapat dalam Kitab al-I’tis }a>m hadis no. 7280. 38

HR. Abu Dawud no. 3991. Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Shayba>ny. Musnad al-Ima>m Ahmad bin Hanbal. Vol. 36. Ed. Shu’aib al-Arnauwt}, dkk (Beirut: Mu’asssah al-Risa>lah, Cet. 1,

1421 H/2001 M), 561 39

S{ubhi al-S}a>lih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-‘Ilm al-

Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 291 40

Ash-Shaukany. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqi>q al-Haq min ‘Ilm al-Us}u>l, vol. 1 (Riyadh: Dar Fadilah,

cet. 1, 1421 H/2000), 187 41

Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma’ mereka tentang

kewajiban ittiba’ kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan

para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa

inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya

dan Rasulullah melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para

sahabat lainnya. Demikian pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa

seandainya dia tidak melihat Rasulullah mencium Hajar aswad maka dia tidak akan

10

4. Dalil Logika (al-Ma’qu>l)

Dalil al-Ma’qu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah

dari sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn

hanya mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an

tanpa penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW

melibatkan pembacaan al-Qur’an dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak

cukup mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.43

Bahkan, menurut al-

Auza’y (w. 157 H)44

, al-Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada

sebaliknya (al-Kita>b ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b).45

Yahya

bin Abi Kathi>r (w. 129 H)46

menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum

bagi al-Quran (al-Sunnah qa>d}iyatun ‘ala> al-Kita>b).47

(2) Jika perbuatan Nabi

mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak

wajib. Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati

(ikht}iya>t}) dari perbuatan meninggalkan kewajiban,48

(3) Martabat nubuwwah

adalah level yang tinggi dan mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-

sifat yang agung. Mengikuti perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4)

Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan, maka

meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan.49

Otoritas hadis sebagai sumber syari’ah (al-adillah al-shar’iyyah) semakin

bertambah dengan kuatnya relasi fungsional antara hadis dengan al-Quran dalam

melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihka>m fi Usu>l al-Ahka>m, Vol. 1, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify

(Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M), 206 42

Wahbah al-Zuhaily, Al-Waji>z fi Us}u>l al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir, 1419 H/1999 M),

40 43

Ibid,. 44

Abu ‘Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh al-Islam. Pada zamannya

menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan

fiqh. Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al-Zuhry, Abu Ja’far al-Ba>qir, ‘At}a bin Abi Raba>h},

Makh}u>l, dll. Muridnya antara lain; Sufyan al-Thaury, Syu’bah dan Imam Malik. Lihat Siyar A’la>m Nubala>. vol. 7, ed. Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405), 107-108 45

Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Maka>natuha fi Tashri>’ al-Isla>mi> (Beirut: al-maktab al-Islamy,

cet.3, 1402 H/1982 M), 387 46

Seorang imam ha>fiz}. Yang menjadi muridnya antara lain al-Auza’y, Ma’mar bin Rasyid, Aban

bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim)

di Kota Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu Sahl al-Maghrawy.

Mausu’ah Mawa>qif al-Salaf fi al-‘Aqi>dah.,vol. 2(Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, t.th.), 219 47

Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, 189 48

Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat

fardhu atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya. 49

Al-Amidy, Al-Ihka>m, vol. 1, 237-238. Ash-Shaukany, Irsha>d al-Fuhul, Vol.1, 203-207

11

wacana agama. Dalam konteks relasi ini, hadis memiliki beberapa fungsi

terhadap al-Qur’an, yaitu:

1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya

hadis Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri,

saksi palsu, durhaka kepada orang tua50

menegaskan dan memperkuat

larangan tersebut dalam Al-Quran.51

2- Hadis sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga

bentuk, yaitu (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang

bersifat global (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan

sholat52

yang diperintahkan dalam Al-Quran53

, (b) mengkhususkan (lex

specialis) petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Quran. Seperti

hadis larangan menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa54

sebagai pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 2455

.

Dan yang ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan

persyaratan) sesuatu yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti

hadis yang menerangkan tentang bagian tangan yang dipotong dalam

hukuman bagi pencuri adalah telapak sampai pergelangan tangan

sebagai taqyi>d kata ‘yadd’ dalam Al-Quran 5:38. (d)

3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Qur’an, seperti hadis

“La was{iyyah li wa>rith” sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.56

50

Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>l Allah S{alla Allah ‘alaih wa Sallam Wa Sunanih wa Ayya>mih.Vol. 3, ed. Muhammad Zuhair

bin Na>s}ir al-Na>s}ir (t.t. : Da>r T{uruq al-Naja>h, cet. 1, 1422 H), 171, hadis no. 2653 ;

شرما ادمة الزور عمن أمنمس رمضيم الله عمنه قمالمسئلم النب صملى الله عملميه ومسملمم عمن الكمبمائر قمالم اإل ين ومق متل الن فس ومشمهم ك بالله ومعقوق الومالدم51

Sebagai contohal-Qur’an, 31: 13 dan4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang

tua, 4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 52

Lihat hadis-hadis dalam Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}i>h pada

juz 1 mulai Kitab al-Wudhu’ sampai Kitab al-Sahwi 53

al-Qur’an, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 54

Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’…., Vol. 7, 12.Hadis no. 5108 dan 5109

ابراا رمضيم الله عمنه قم عم جم ان أمخب مرمنما عمبد الله أمخب مرمنما عماصم عمن الشعب سم ث منما عمبدم تهما أمو حمد رأمة عملمى عمم المن مهمى رمسول الله صملى الله عملميه ومسملمم أمن ت نكمحم المما المتهم خم

55Di antara penggalan ayatnya :

ومأحل لمكم مما ومرماءم ذملكم 56

Wahbah al-Zuhaily. Al-Waji>z…, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-

Shafi’i

12

4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-

Qur’an (h}adi>th tashri>’). Kedudukan al-Sunnah sama dengan al-Quran

dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Hal ini disepakati

oleh para ulama menurut Ash-Sha>tiby. Contohnya; hukuman rajam bagi

pezina muhs}an, keharaman perhiasan emas dan sutra bagi laki-laki,

kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai jinak, dll.57

Dalilnya;

secara logika hal tersebut tidak mustahil karena Rasulullah diberikan

sifat ma’shu >m dan tugas menyampaikan syari’at. Adapun secara nash,

Allah SWT menetapkan hak Rasulullah untuk ditaati secara umum

termasuk terhadap sunnah istiqla>liyyah (independen)-nya.58

Mengingat strategisnya posisi hadis maka menjaga dan mempelajarinya

adalah hal yang sangat penting. Imam Al-Nawawi rah}imahullah menjelaskan

posisi strategis studi hadis ini sebagai berikut:

“Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang

berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan

hadis dari aspek sahi>h, hasan dan d}a’i >f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}al, maqlu>b, mashhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.” Al-Nawawi

berargumen bahwa syari’at Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan sunah-

sunah yang diriwayatkan. Di atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-

hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat yang mengatur masalah

furu>‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara penjelasannya

terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara tegas

(muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama

sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah

memiliki kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan

ini—menurut an-Nawawi—menegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu

yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling utama, dan bentuk

qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu tersebut

menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT

yang paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW. 59

Generasi salaf al-s}a>leh memberikan perhatian serius dalam bentuk

menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan

57

Muhammd bin ‘Ali al-Shauka>ny, Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tahqi>q al-Haq min ‘Ilm al-Us}u>l, ed. Shaikh

Ahmad ‘Azw ‘Ina>yah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, cet. 1, 1419 H/1999 M),96 58

Al-Qur’an., 4: 59, 4: 75, 5: 92, 4: 80, 24: 63, 59: 7. Mustafaal-Siba’i, al-Sunnah, 382 59

Abu Zakariya Yahya bin Sharf al-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim,

Vol. 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M),3-4

13

mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya,

mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at, menjelaskan posisi dan

urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan

berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya.60

Dalam konteks ini, para ulama hadis mengambil tanggung jawab utama

dan peran khusus dalam al-riwa>yah dan al-dira>yah hadis dari zaman ke zaman.

Mereka berupaya untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi makna dan

kandungan hukum dan hikmahnya.61

2. Pertimbangan Historis-Dokumenter

Hadis Nabi saw. tidak seluruhnya tertulis pada waktu Nabi masih hidup.

Hal ini berbeda dengan status periwayatan al-Quran yang mutawa>tir dan qat}’iy

al-wuru>d.62 Pada masa Nabi SAW, metode pemeliharan atau penjagaan hadis (al-

hifz}) yang dilakukan oleh sahabat dilakukan dengan tiga cara yaitu penjagaan

secara hafalan (hifz} fi al-s}udu>r) dan penjagaan secara tertulis (hifz} fi al-sutu>r)

serta penjagaan secara praktik (hifz} fi al-tat}bi>q al-‘amali>). Ketiga metode

tersebut saling menunjang dan saling menyempurnakan.

Metode yang umum dipakai oleh mayoritas sahabat adalah metode

hafalan dan praktek. Namun demikian, para sahabat yang menggunakan metode

tulisan atau catatan tidaklah sedikit. Menurut ‘Itr, jumlah para sahabat yang

mencatat hadis jumlahnya mencapai status muta>watir.63 Dalam penelitiannya,

A’zamy menyampaikan data sebanyak 99 orang sahabat yang menulis hadis serta

catatan hadis yang diriwayatkan dari mereka.64

Pencatatan hadis di masa Nabi SAW secara umum ada dua macam, yaitu:

60

Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah

al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M),

5-6. 61

Sejarah perkembangan hadis dari masa ke masa dapat dibaca dalam Muhammad Muhammad

Abu Zahwu,Al-H{adi>th wa al-Muhaddithu>n (al-Riyadh: al-Riasah al-’ammah li idarah al-buhuth

al-‘Ilmiyah wa al-ifta’, 1404 H/1984 M), Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd, 51-80. 62

Idri,Studi Hadis, 281 63

‘Itr,Manhaj al-Naqd…, 40 64

Lihat A’zamy, Dirasa>t…., 92-142

14

Pertama, pencatatan dibawah perintah Nabi yaitu berupa dokumen resmi

dan formal kenegaraan seperti kontrak sosial (al-wathi>qah), surat perjanjian (al-

mu’a>hadah), surat kenegaraan yang dikirim kepada raja-raja (al-risa>lah).65

Diantara contohnya adalah piagam Madinah (Wathi>qah al-Madi>nah) yang

merupakan dokumen kenegaraan yang memuat aturan hubungan antarwarga

negara di atas prinsip toleransi beragama dan kerjasama sosial. Piagam perjanjian

dengan kaum Nasrani Najran Demikian pula tata aturan hukum pidana, keuangan

negara, dll.66

Demikian pula catatan tentang khutbah Nabi saat Fath al-Makkah

untuk salah seorang penduduk Yaman yang hadir yang bernama Abu Shah.67

Kedua, pencatatan berdasarkan ijin Nabi SAW. Diantara mereka yang

mendapatkan ijin adalah;

(a) Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (w. 63 H). Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash

adalah sahabat yang biasa menemani Rasulullah SAW karena beliau juga

termasuk salah seorang pencatat wahyu (al-Qur’an). Abdullah bin ‘Amr

bin al-Ash meminta ijin kepada Rasulullah untuk menulis hadis dan Nabi

mengijinkannya. Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash menulis langsung

dihadapan Nabi setiap hadis yang didengarnya sehingga ditegur salah

seorang tokoh tetapi setelah dikonfirmasi kepada Rasulullah, sikap

Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dibenarkan oleh beliau. Bahkan banyaknya

catatan Ibn Amr bin al-Ash diakui oleh Abu Hurairah. Catatan hadis yang

dikumpulkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dikenal dengan nama al-

S{ahi>fah al-S{a>diqah.68

(b) ‘Ali bin Abi T{alib RA yang mendokumentasikan hadis dalam s}ah}i>fah

kecil yang berkaitan dengan masalah diyat dan tawanan perang.

65

Sebagaimana yang diteliti oleh Muhammad Hamidullah dalam Majmu’ah al-Watha>’iq al-Siyasiyah li al-‘Ahd al-Nabawy (Beirut: Dar al-Nafais, cet. 6, 1987), 57. Ta>rikh Tadwi>n al-Sunnah, 35. Itr, Manhaj al-Naqd, 47-48 66

Bukhari, Vol. 1, 449. Hadis no. 1454 mengenai aturan zakat di zaman Abubakar yang merujuk

ketentuan Rasulullah SAW. Demikian pula sahifah Amr bin Hazm yang memuat tentang aturan

zakat yang dicatat saat beliau diutus Rasulullah SAW ke Yaman. Ta>rikh Tadwi>n….., 37 67

Telah ditakhri>j di muka 68

‘Itr, Manhaj……, 45-46

15

(c) S{ah}i>fah Sa’ad bin ‘Ubadah yang berisi tentang keputusan hukum yang

ditetapkan saat bertugas di Yaman. Sebagaimana hal ini tersebut oleh al-

Tirmidzi dalam sunannya.69

Terkait sejarah awal pencatatan hadis ini, muncul polemik tentang hukum

mencatat hadis di masa Nabi SAW karena adanya beberapa hadis yang dinilai

kontradiktif antara melarang dan membolehkan.Di antara hadis yang melarang

adalah hadis dari Abu Sa’id al-Khudry RA bahwa Nabi SAW bersabda:

ثوا عمن ومالم حمرمجم ومممن كمذمبم عملمي قمالم ممام الم تمكتبوا عمن ومممن كمتمبم عمن غمي رم القرآن ف مليممحه ومحمده من النار ا ف مليمتمب موأ ممقعمدم .أمحسبه قمالم مت معممدا

“Janganlah kalian menulis dariku (selain al-Qur’an).Barangsiapa yang

menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, hendaklah

menghapusnya.Sampaikan hadis dariku dan tidak apa-apa. Barangsiapa

yang berdusta atas namaku—Himam berkata, aku menyangka beliau

bersabda—maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.70

Sementara hadis lain yang menunjukkan kebolehan adalah hadis dari Abu

Hurairah RA:

ديثاا عمنه د أمكث مرم حم من إال مما كمانم من عمبد الله بن مما من أمصحماب النب صملى الله عملميه ومسملمم أمحم عممرو فمإنه كمانم يمكتب ومالم أمكتب

“Tidak ada seorang sahabat Nabi SAW pun yang lebih banyak hadisnya

dari padaku selain Abdullah bin ‘Amr, karena dia menulis (hadis)

sementara saya tidak menulis”.71

Juga hadis dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA:

تن ق رميش ومقمالوا كنت أمكتب كل شميء أمسمعه من رمسول الله صملى الله عملميه ومسملمم أريد حفظمه ف من مهمعه ومرمسول الله صملى الله عملميه ومسملمم بمشمر ي متمكملم يف الغمضمب ومالرضما أمتمكتب كل شميء تمسمم

رت ذملكم لرمسول الله صملى الله عملميه ومسملمم فمأموممأم بأصبعه إ لم فيه ف مقمالم فمأممسمكت عمن الكتماب فمذمكم يمرج منه إال حمق اكتب ف مومالذي ن مفسي بيمده مما

Dulunya saya menulis semua (hadis) yang saya dengar dari Rasulullah

SAW yang ingin saya jaga dan hafalkan. Tetapi orang-orang Qurays

69

Ibid,. 70

Muslim bin al-Hajja>j al-Naisa>bu>ry, al-Musnad al-S{ah{i>h atau dikenal denganSa>h}ih Muslim, Vol.

4, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abdal-Ba>qy (Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Turath al-‘Araby, t.th.), 2298. Hadis

no. 3004. 71

Muh}ammad bin Isma>’il al-Bukha>ry, Al-Ja>mi’ al-Musnad, Vol. 1, 34. Hadis ini terdapat dalam

Kitab al-‘ilm Bab Kitabah al-‘Ilm, hadis no. 113

16

kemudian melarang saya melakukannya dan berkata: “Apakah kamu

hendak menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah SAW padahal

beliau (juga) seorang manusia yang bisa saja bersabda dalam keadaan

marah atau senang. Maka akupun menahan diri (untuk tidak menulis)

hingga aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian

sambil berisyarat menunjuk bibirnya, Beliau bersabda: “Tulislah, maka

demi Zat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar darinya

selain kebenaran”.72

Juga hadis tentang permintaan seorang pria dari Yaman yang bernama

Abu Shah yang meminta catatan teks pidato Nabi SAW saat Fath al-Makkah

kemudian Nabi bersabda:

اكتبوا ألمب فالمن

“Tulislah untuk Abu Fulan (yaitu Abu Syah)” 73

Sejalan dengan pendapat ‘Itr, bahwa keberadaan hadis-hadis baik yang

menetapkan larangan mencatat hadis ataupun sebaliknya yang memberikan ijin,

sama-sama valid, sehingga dari aspek thubu>t keduanya tidak diragukan

kesahihannya.74

Secara umum pendekatan yang ditawarkan oleh sejumlah ulama hadis

adalah metode al-jam’u wa al-tawfiq (kompromi) dan metode na>sikh wa al-

mansu>kh (abrogasi).75

Namun, pendekatan yang paling tepat dalam masalah ini

adalah al-jam’u wa al-tawfiq (mengkompromikan).76

Dengan melihat bahwa

masalah ini bukan terkait dengan ubudiyah dan larangan penulisan itu bukanlah

keharaman pada substansi perbuatannya. Jika larangan menulis bersifat

substansial, maka tidak akan ada ijin dipihak lain untuk menulisnya. Oleh karena

itu, larangan dan ijinbersifat kondisional berkaitan dengan faktor sebab (illat)

tertentu. Sementara hukum itu yadu>ru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman.

Menurut pendapat yang dipilih oleh ‘Itr sebabnya adalah kekhawatiran terhadap

melemahnya perhatian dan konsentrasi kepada penjagaan dan periwayatan al-

72

Abu Da>wud Sulaiman al-Sijista>ny, Sunan Abi Da>wud, Vol. 3, 318. Hadis ini terdapat

dalamKitab al-‘Ilm bab Kitabah al-‘Ilm no. 3646. 73

Al-Bukhari.Al-Jami al-Sahih.Vol.1, 56. Hadis nomor 112 74

Itr,Manhaj al-Naqd, 41. Muhammad Ajaj al-Khatib.menyebut 3 hadis tentang larangan menulis

hadis dan 8 hadis tentang ijin dan kebolehan menulis. Lihat Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, 303-305 75

Metode tarjih tidak ditempuh oleh para ulama hadis karena dari aspek thubut setara

validitasnya. 76

Lihat ‘Itr, Manhaj al-Naqd.. 43, A’z}amy, Dira>sat..79

17

Qur’an.77

A’zamy juga menguatkan sebab larangan pendapat ini dengan

menyebut bahwa illat-nya adalah masalah iltibas catatan selain al-Qur’an dengan

al-Qur’an.Agumennya adalah; (a) Adanya penulisan al-Qur’an dan hadis yang

berlangsung dengan imla>’ (dikte) dari Nabi. Aktivitas penulisan hadis

berlangsung secara mutawa>tir di kalangan sahabat, seperti ketika Nabi meng-

imla>’-kan surat-surat dan dokumen administrasi kenegaraan. Ini menunjukkan

bahwa larangan tidak bersifat umum untuk seluruh penulisan hadis, tetapi hanya

bentuk peringatan untuk tidak menulis sesuatu bercampur dengan penulisan al-

Quran seperti catatan berkaitan dengan tafsirnya agar tidak terjadi iltibas.(b)

Adanya pembolehan pencatatan hadis oleh Nabi dalam sejumlah hadis sahih.78

Pendapat kedua pakar tersebut dapat dibenarkan melihat perbedaan

ijtihad para sahabat dan ulama berikutnya dalam menetapkan adanya illat ini

pada realitas (wa>qi’) setelah Rasul wafat. Para ulama yang tidak setuju penulisan

apa saja selain al-Qur’an agar berkosentrasi sepenuhnya difokuskan kepada

penulisan dan penjagaan al-Quran dan agar tidak terjadi percampuran teks al-

Qur’an dengan teks lainnya dalam catatan naskah yang sama.79

Pada masa Nabi,

para sahabat mencatat untuk keperluan pribadi dan diwariskan kepada

keluarganya serta tidak dipublikasikan secara umum. Setelah, masa kodifikasi al-

Qur’an sukses dan telah menyebar secara massif, mulailah sahabat yang mencatat

hadis mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.80

Setelah Nabi SAW wafat (11 H/632 M), sejarah perkembangan

periwayatan hadis memasuki era pencermatan dan pembatasan periwayatan (al-

tathabbut wa al-iqla>l min al-riwa>yah) pada masa Khulafa’ al-Rasyidin (sekitar 11

H sampai 40 H). Para sahabat yang diamanahi kepemimpinan umat yaitu

Abubakar As-S}iddiq (w. 13 H), Umar bin al-Khattab (w. 23 H), Usman bin

‘Affan (w. 35 H) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H) menerapkan kebijakan

tersebut didasari pertimbangan antara lain; fokus dan perhatian utama pada

pembukuan dan otentitas periwayatan al-Qur’an, peringatan bagi para sahabat

yang menjadi guru (nara sumber) hadis untuk bersikap waspada dalam aktivitas

77

Ibid., 43 78

A’z }amy,Dira>sat, 79 79

Rishwan, Kita>bah, 146-147 80

Itr,Manhaj al-naqd, 45

18

periwayatan agar tidak terkena ancaman Rasulullah terhadap orang yang

berdusta dan menyelewengkan hadis, dan pelajaran bagi generasi pelanjut

(tabi’in dan seterusnya) untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam menjaga

otentisitas periwayatan hadis.81

Setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin masa kodifikasi al-Qur’an sukses

dan telah menyebar secara massiv, mulailah sahabat yang mencatat hadis

mempublikasikan dan meriwayatkan hadis untuk umum.82

Dalam masa

pascakhalifah al-Rasyidin, muncul para tabi’in senior (kiba>r al-Tabi’i >n) yang

bekerja sama dengan para sahabat yang masih hidup pada masa itu. Di antara

sahabat yang masih hidup setelah periode al-Khulafa’ al-Rasyidin dan yang

cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis di antaranya 'Ais‘ah RA (w. 68

H), Abu Hurairah (w. 58 H), Abdullah bin Abbas RA (w. 68), Abdullah bin

‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H), dan Jabir bin Abdullah (w. 78 H).

Penyebaran hadis tersebut seiring dengan penyebaran sahabat secara

geografis mengikuti perluasan wilayah kekuasaan Islam. Di antara beberapa kota

yang menjadi pusat periwayatan hadis dan menjadi tempat tujuan para tabi’in

dalam mencari hadis (rihlah li talab al-h}adi>th) yaitu Madinah al-Munawwarah,

Makkah al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib, Yaman dan

Khurasan. Masa ini disebut juga dengan masa penyebaran periwayatan hadis

(Intis}a>r al-riwa>yah ila> al-ams}a>r).

Kebutuhan terhadap penulisan atau dokumentasi hadis semakin

meningkat pada masa ini karena semakin luasnya Daulah Islamiyah dan semakin

meningkatnya kekhawatiran terhadap hilangnya sunnah Rasulullah SAW dengan

meninggalnya para sahabat yang menjadi saksi mata, nara sumber periwayatan

dan para pelaku sejarah yang pernah hidup dan berjuang bersama Rasulullah

SAW. Terlebih lagi dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap usaha-usaha

orang-orang fasik yang ingin menyusupkan hadis-hadis palsu dalam kondisi

81

Lihat Abu Zahu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 63-79. Patut diakui bahwa kebijakan tersebut

sangat penting sebagai upaya penjagaan dan pemeliharaan otentisitas hadis. Bahkan, sikap

memuliakan hadis Nabi, kecermatan dan hati-hati dari kekeliruan periwayatan dan menjaganya

dari upaya pemalsuan yang dicontohkan oleh para sahabat tersebut diteladani dan diwariskan oleh

murid-murid mereka yang thiqa>t pada generasi ta>bi’in dan seterusnya. Walaupun demikian, di sisi

lain sikap tersebut berdampak negatif terhadap periwayatan hadis yaitu mayoritas sanad hadis

berstatus ahad pada t}abaqa>t perawi di era sahabat dan tabi’in ini. 82

Itr,Manhaj al-naqd, 45

19

fitnah politik dan aliran bid’ah83

serta tindakan bodoh para pendongeng (al-

Qas}a>s}) yang menyisipkan hadis-hadis yang tidak ada asalnya (la as}la lah) dalam

nasehat targhi>b wa tarhi>b.84

Sementara itu, pada abad awal kedua Hijriyah, kodifikasi (tadwi>n) baru

dimulai secara formal atas perintah dari Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz (w.

101/7\19). Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz meminta Abubakar bin Muhammad

bin Hazm, seorang Qa>d}i yang bertugas di Madinah untuk menuliskan untuknya

hadis-hadis yang diriwayatkannya dari gurunya ‘Amrah binti ‘Abdurrahman al-

Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abubakar (w. 106 H):

فاكتبه فإن خفت دروسم العلم -صلى اهلل عليه وسلم -انظر ما كانم من حديث رسول اهلل وذهابم العلماء

“Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan catatlah. Saya

khawatir hilangnya ilmu itu dan wafatnya ulama (pakar yang

menguasainya)”.85

Khalifah Umar bin ‘Abdul Aziz memerintahkan para pegawai dan ulama seluruh

dunia Islam supaya mencari dan mengumpulkan hadis-hadis Rasulullah.

انظروا إلم حمديث رمسول اهلل فماجمعوه

“Kalian Perhatikan keberadaan hadis-hadis Rasulullah SAW dan

kumpulkanlah.”86

Perhatian besar jugadiberikan oleh Umar bin ‘Abdul Aziz dalam

penyebaran naskah catatan hadis. Umar bin Abdul ‘Aziz meminta kepada pakar

hadis terkemuka di zaman tersebut yaitu Ibn syihab al-Zuhri (w. 124 H) untuk

mengkodifikasifan hadis untuk disebarkan ke seluruh wilayah Islam. Al-Zuhri

berkata:

83

Seperti firqoh Khowarij, syi’ah, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dll yang memproduksi hadis

palsu untuk kepentingan aliran ideologinya. 84

DR. Yasir al-S{amaly,Al-Wa>d}ih fi Mana>hij al-Muhadithi>n (Oman: Maktabah al-Hamid, cet. 2,

2006 M), 19 85

Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Maka>natuha fi al-Tasyri’ al-Islamy (Beirut: al-Maktab al-

Islamy, Cet. 3, 1420 H/1982 M), 104, Burhanuddin Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’I, Al-nukat al-Wafiyah bima fi Syarh Alfiyah. Ed. Mahir Yasin al-Fahl. Vol. 2 (Maktabah al-Rusyd Nasyirun,

cet. 1, 1428 H/2007 M), 129, Abu Zahu. Al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, 244 86

Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha .., 104

20

نماهما دمف ت مراا دمف ت مراا، ف مب معمثم إلم كل أمرض لم تمب ر بن عمبد العمزيز بممع السنمن فمكم هما سلطمان أمممرمنما عمم ه عملمي دمف ت مراا

“Kami diperintah oleh Umar bin ‘Abdul Aziz untuk mengumpulkan

sunah-sunnah Nabi. Maka kamipun menulisnya dalam naskah-naskah

catatan. Kemudian, masing-masing naskah tersebut dikirimkan kepada

seluruh pelosok negeri dibawah pemerintahannya.”87

Setelah era al-Zuhri, kodifikasi hadis oleh ulama generasi berikutnya

semakin menyebar luas. Di antara para ulama yang terkemuka adalah Ibnu Jurai>j

(w. 150 H) dan Ibnu Ish}a>q (w. 156 H) di Kota Makkah, Sa’i>d bin ‘Arubah (w.

156 H), al-Rabi>’ bin S{abi>h (w. 160 H) dan Imam Ma>lik (w. 179 H) di Kota

Madinah. Di Kota Basrah, dipelopori oleh Hama>d bin Salamah (w. 167 H). Di

Kota Kufah, di antaranya Sufya>n al-Tsaury (w. 161 H), di Syam Abu ‘Amr al-

Auza’y (w. 157 H), di Wasit} ada Husyaim (w. 173 H), di Khurasan ada Abdullah

bin al-Mubarak (w. 181 H), Ma’mar (w. 154 H) di Yaman, Jarir bin ‘Abd al-

Hamid (w. 188 H) di Ray. Demikian pula terdapat tokoh-tokoh hadis seperti

Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Syu’bah bin al-

Hajjaj (w. 160 H).88

Kebanyakan buku (kitab hadis) dalam periode ini belum diberi judul

atau nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Hampir semua buku-

buku mereka pada periode ini kini sudah tidak ada lagi. Yang tinggal adalah isi

kandungan dan nama-nama mereka dalam isna>d hadis yang terdapat dalam buku-

buku (kitab hadis) yang ada kemudian.89

Dengan demikian, proses penghimpunan dan periwayatan hadis Nabi

SAWtelah memakan waktu yang sangat panjang.Dalam konteks periodesasi

penulisan hingga era kodifikasi yang massif dan sempurna telah melewati tiga

periode.Pertama, periode Taqyi>d; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke

akhir abad pertama hijrah. Kedua, periode Tadwi>n ; kira-kira dari awal abad

kedua sampai pertengahan abad itu. Dan ketiga, periode Tas}ni>f ; kira-kira dari

87

Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abd al-Barr al-Qurt}uby, Ja>mi’ Baya>n al-‘Ilm wa Fad}lih, Vol. 1, ed. Abu

Ashba>l al-Zuhairy (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah: Da>r Ibn al-Jauzy, Cet. 1, 1414

H/1994 M), 331 88

Must}afa al-Siba>’I,Al-Sunnah wa Maka>natuha.., 105 89

Ugi Suharto, “Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith”, Majalah Islamia, Thn. I No. 2

(Juni-Agustus, 2004), 83

21

pertengahan abad kedua hingga seterusnya.90

Oleh karena itu, mata rantai

periwayatan menjadi cukup panjang yang semakin membuka peluang

kemungkinan masuknya para perawi “bermasalah” dalam silsilah sanad.

Realitas ini menjadi semakin kompleks dengan fenomena

pemdokumentasian hadis ke dalam kitab-kitab hadis ternyata menggunakan

berbagai metode dan pendekatan penyusunan yang bervariasi. Memasuki abad

ke-3 H, gerakan massif di bidang pendokumentasian hadis dalam kitab-kitab

hadis membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan kitab-kitab sunnah

berupa sunan, al-mus}annafa>t, al-jawa>mi’, al-masa>nid, kitab-kitab tafsir, kitab al-

Magha>zi>dan siyar, maupun berbentuk juz-juz khusus yang mencantumkan hadis-

hadis dalam bab-bab tentang tema-tema tertentu. Beragamnya metode dan

pendekatan pengumpulan, penyusunan dan kodifikasi sunnah ini melahirkan

upaya penelitian dan kritik terhadap kualitas hadis-hadis dalam berbagai kitab

hadis tersebut. Pada abab ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang kritik

hadis, kritik hadis beriringan dengan lahirnya produk-produk keilmuan yang

unggul berupa kutub al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh

hadis-hadis yang tha>bit yang menjadi referensi utama bagi para ulama di bidang

keilmuan Islam lainnya.91

3. Pertimbangan Praktis

Fenomena munculnya pemalsuan hadis merupakan pertimbangan penting

yang melatarbelakangi upaya para ulama hadis melakukan penelitian dan kritik

hadis. Fenomena pemalsuan hadis ini mulai semarak di saat perpecahan politik di

90

Periode taqyi>d adalah periode ketika hadis dicatat dalam buku-buku kecil (s}ah}i>fah; booklet)

oleh para Sahabat dan Tabi’in. Jumlah risalah dan catatan kecil mengenai hadis mencapai ratusan

jumlahnya. Periode tadwi>n, dimulai dengan perintah ‘Umar bin Abd al-‘Aziz (w. 101 H) yang

menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan hadis-hadis Rasulullah SAW.

Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama dan belum disusun berdasarkan bab-bab

tertentu. Adapun periode tas}ni>f ditandai dengan munculnya buku-buku hadis yang mempunyai

nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Contohnya al-Muwat}t}a’ susunan Imam

Malik bin Anas (w. 179 H), al-Musnad oleh Dawud al-Tayalisi (w. 203 H), al-Mus}annaf oleh

‘Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Ja>mi’ al-S{{ah}i>h} oleh Imam Bukhari (w. 256 H). Ugi

Suharto, “Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith”, 82-84 91

Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Shubh al-Mushtariqi>n wa al-Kita>b al-Mu’as{iri>n- wa yali>hi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah

(Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26

22

kalangan umat Islam muncul semenjak masa ‘Ali bin Abi Thalib (35-40 H).

Krisis ini berdampak negatif terhadap keberadaan hadis Nabi dengan dibuatnya

hadis-hadis palsu untuk mendukung faksi masing-masing. Di samping itu peran

golongan zindik dari musuh-musuh Islam berusaha merusak akidah Islam dan

sunnah Rasulullah dengan menyebarkan hadis palsu.92

Tidak sedikit hadis yang dibuat oleh pemalsu hadis yang dapat

meluluhlantakkan fondasi-fondasi Islam sehingga bila tidak dilakukan koreksi,

klarifikasi dan dokumentasi khusus, dapat berakibat pada kehancuran ajaran

Islam.Para ahli hadis berperan penting melalui ilmu kritik hadis untuk menjaga

eksistensi sumber syariat dalam “matan-matan riwayat”. Rasulullah SAW

bersabda:

ا العلمم من لف عدوله ، ي من فونم عمنه تمريفم الغمالنيم ، ومانتحمالم المبطلنيم ، ومتمأويلم حيممل همذم كل خم الماهلنيم

“Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi.

Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang

ekstrim, pemalsuan yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bid’ah dan interpretasi (ta’wi>l) dari

orang-orang bodoh”.93

Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi

seluruhnya, pemalsuan hadis belum menjadi masalah besar di era al-Khulafa’ al-

Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih

relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah

ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.94

Al-

Barra’ bin ‘Azib berkata:

عنماه من رمسول الله صملى اهلل عملميه ومسملمم، وملمكن لم يمكن يكمذب ب م عضنما ب معضاالميسم كل مما نمدث سم

“Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari Rasulullah

SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi (kami dengar

92

Idri,Studi Hadis, 257-259 93

Sulaima>n bin Ahmad al-T{abary. Musnad Al-Sa>miyyin. Vol. 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-

Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), 344. Hadis hasan ghari>b, lihat

catatan Abu Mu’adz dalam Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>. Tadri>b al-Ra>wy fi Sharh taqri>b al-Nawawi>, Vol. 1, (al-Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H), 511 94

Akram Dhiya’ al-‘Umary. Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharby (Riyadh: Dar Isbaliya, cet.1, 1417 H/1997M ), 17

23

dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami tidak pernah saling

meriwayatkan berita dusta”.95

Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang

dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman

dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.Dari perpektif

perkembangan hadis, realitas fitnah ini berpengaruh negatif berupa muncul dan

berkembang pesatnya pemalsuan hadis.Bahkan informasi jumlah penyebaran

hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar. Hammad bin zaid

menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan tidak kurang dari

14.000 hadis. Abd al-Karim ibn Abi al-‘Auja>’ mengaku telah membuat 4.000

hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan hal-hal yang

halal.96

Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bid’ah tersebut ternyata

berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah.Sehingga,

para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah

tertentu.Menurut al-Khatib al-Baghdady bahwa peta penyebaran hadis

berdasarkan urutan negeri yang paling valid jalur sanad hadis-hadisnya adalah al-

Haramain (Makkah dan Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam.

Jalur sanad dari para perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur

sanad yang paling sahih periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir

tidak pernah ada kasus pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para

perawi di kalangan penduduk Yaman dimana referensi (marja’) sanadnya kepada

penduduk Hijaz (ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi

secara kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit.

Adapun para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah

dengan sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi

secara kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah

sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi

riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang

95

Muhammad Abu Zahu. Al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby), 157 96

Nur al-Di>n ‘Itr,Manhaj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-H{adi>th (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418

H/1998 M), 303

24

terbebas dari ‘illat.97Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk

Syam—yaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah,

Yordania, Palestina dan Libanon—kebanyakan berstatus mursal dan maqt}u>’.

Namun, jika riwayat mereka muttas}il dan para perawinya thiqa>t, hadisnya

bernilai s}a>lih (sahih).Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk

Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>’iz).98

Sejalan dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibnu Taimiyah

menegaskan:

مدينمة، ث أمهل البمصرمة ، ات فمقم أمهل العلم بالمديث عملمى أمن أمصمح األمحماديث مما رموماه أمهل امل

ث أمهل الشام

“Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah

hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk

Basrah dan kemudian penduduk Syam.”99

Respon para sahabat yunior (s}igha>r) terhadap perkembangan situasi

keagamaan dengan bersikap hati-hati dalam menerima riwayat hadis.

Muhammad Ibnu Sirin menginformasikan:

المكم، ف مي نظمر إ نمة، قمالوا: سموا لمنما رجم سنماد، ف ملمما ومق معمت الفت لم لم يمكونوا يمسأملونم عمن اإلديث هم، ومي نظمر إلم أمهل البدمع فمالم ي ؤخمذ حمديث هم أمهل السنة ف مي ؤخمذ حم

“Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad.

Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka

berkata: “Sebutkan para perawi hadis kalian”. Maka dilihat hadisnya, jika

perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat

perawinya dari ahli bid’ah maka tidak diambil hadis mereka.”100

97

Imam Syafi’i menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang tidak

memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak dapat

diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). T{a>wus bin Ki>san berpendapat bahwa 99 %

hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b Al-Rawy, 63 98

Jala>l al-Di>n Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Rawy, 63 99

S{ubhi al-S}a>lih, ‘Ulu>m al-H{adi>th wa Must}ala>huh: Ard}un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-‘Ilm al-

Malayi>n, cet. 15, 1984 M), 154 100

Muslim bin al-Hajja>j. al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, Ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd

al-Baqy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, tth), 15

25

Realitas ini mendorong upaya penyempurnaan metodologi ilmu hadis

riwayatan dan dirayah.101

Dengan berkembangnya ilmu isnad, rija>l al-hadi>th dan

jarh wa ta’di>l, dll yang sangat penting artinya dalam bidang kritik hadis. Di

antara para sahabat yang membicarakan tentang jarh wa ta’di>l adalah Abdullah

bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H), Aisyah (52 H), ‘imran bin

Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).102

Demikian pula, perkembangan

teori dan praktek nadq al-hadi>th semakin berkembang pada era setelah itu.

4. Pertimbangan Teknis

Masalah secara teknis terkait periwayatan hadis, paling tidak terkait dua

aspek. Pertama, masalah tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan

integritas pribadi (‘ada>lah) orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis.

Kedua, masalah tingkat akurasi dalam pengutipan dan pencatatan hadis. Tidak

semua orang-orang yang terlibat dalam periwayatan hadis memiliki kualifikasi

tingkat kualitas intelektual, kapabilitas (d}abt}) dan integritas pribadi (‘ada>lah)

yang tinggi. Beragamnya tingkat kualitas dan kualifikasi tersebut menuntut

adanya parameter atau acuan (qawa>id wa d}awa>bit}) dan metode penelitian

(manhaj al-naqd) yang tepat.

Al-‘ada>lah menurut Ibnu Sholah (w. 643 H) adalah syarat disepakati oleh

jumhur ulama ahli hadis dan ahli fiqh. Seorang perawi memiliki sifat ‘ada>lah

yaitu jika memenuhi syarat muslim, ba>ligh, berakal, dan tidak fasik serta terjaga

sifat muru’ah-nya.103

Menurut Ibnu Hajar, sifat ‘ada>lah yaitu karakter pribadi

yang senantiasa menjaga ketakwaan, muruah dan marwah. Adapun takwa adalah

101

Hasan Fauzy Hasan Al-S{a>’idy. “Al-Manhaj al-Naqdy ‘Ind al-Mutaqaddimi>n min al-

Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj”. (Tesis—Ja>ami’ah ‘Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94 102

Muhammad Luqman Al-Salafy. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa Matanan (Riyadh: Dar al-Da’I, cet. 2, 1420 H), 54 103

Ibnu S{ala>h,‘Ulu>m al-Hadi>th, 104

26

konsistensi menjauhi perbuatan buruk berupa kesyirikan, kefasikan, dan

bid’ah.104

Adapun d{abt} adalah syarat yang penting dalam penerimaan informasi dari

seorang perawi. Terpenuhinya syarat ‘adalah diniyah (Kesalehan dan integritas

moral) tidak mencukupi untuk kesahihahan riwayatnya, sebelum memenuhi

syarat ini.Seorang perawi dikatakan memiliki sifat d{abt} apabila ia sadar

sepenuhnya dalam periwayatan, tidak lalai (dengan ragu atau lupa), menghafal

dengan baik jika menyampaikan hadis dari hafalan, penulisannya teliti dan valid

jika meriwayatkan dengan catatan atau kitab. Jika meriwayatkan secara makna

maka disyaratkan harus memahami hal yang bisa merusak kandungan makna

hadis yang diriwayatkannya.105

D{abt}, di kalangan ahli hadis, ada dua macam; d{abt} al-s}adr dan d{abt} al-

kitab. D{abt} al-s}adr adalah kekuatan dan ketepatan perawi dalam menjaga hadis

yang didengarnya melalui kemampuan hafalannya dan mampu disampaikan

kapan saja diinginkan. Adapun D{abt} al-Kita>b adalah ketelitian dan ketepatan

perawi untuk menjaga catatan hadisnya semenjak didengarnya dan dicatatnya

sampai waktu disampaikan. Ibnu S{ala>h menyatakan bahwa seorang perawi

ditolak periwayatannya karena diketahui dia tashahul (meremehkan ketelitian)

saat mendengar hadis dan menyampaikannya seprti sering keliru, banyak

keganjilan (shadh dan munkar karena tidak tepat sesuai riwayat yang thiqah)

dalam periwayatan.106

Ke-d{a>bit}-an seorang perawi diketahui dengan melakukan menguji dan

membandingkan periwayatannya (muqa>ranah) dengan periwayatan dari para

perawi lain yang telah diakui luas ke-thiqa>h-an, kekuatan dan ketelitian

hafalannya atau membandingkan dengan catatan yang shohih dalam kitab.

Banyak sedikitnya perbedaan (mukha>lafah) menentukan ukuran ke-d{a>bit}-

annya.107

104

Abu al-Fad}l Ibn Hajar al-‘Asqala>ny, Nuzhah al-Naz}r fi Tawd}i>h Nukhbah al-Fikar fi Must}alah Ahl Athar , ed. ‘Abd Allah bin Yusuf bin D{aif Allah al-Ruhaily (Riyad} : Mat{ba’ah Safi>r, cet. 1,

1422 H), 69 105

Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-Naqd.., 80 106

Ibnu S{ala>h, ‘Ulu>m al-Hadi>th.., 119 107

‘Itr, Manhaj al-Naqd.., 80-dst.

27

Sebab-sebab yang mengeluarkan seorang perawi dari sifat D{abt} antara

lain:

a. Banyak meriwayatkan hadis atas dugaan dan perkiraan (al-wahm), seperti

menyambung isnad yang mursal, me-marfu>’-kan athar yang mauqu>f, dll.

b. Banyak terbukti menyelisihi atau tidak tepat sesuai dengan perawi yang lebih

thiqah baik secara kualitas maupun jumlah (mukha>lafah)

c. Lemahnya hafalan. Sulit di-tarji>h (ditentukan mana yang tepat)

periwayatannya karena merubah-rubah periwayatan disebabkan kelemahan

hafalan.

d. Sering lalai (al-gaflah), ketidakmampuan perawi dalam menyeleksi, meneliti

dan menentukan mana periwayatnya yang benar dan mana yang keliru.

e. Keliru yang berat. Lebih sering keliru dalam menyampaikan dibandingkan

benarnya.

f. Ketidaktahuan perawi terhadap kandungan hadis. Ketidaktepatan dalam

meriwayatkan hadis secara makna sehingga mengurangi atau merusak makna

hadis.

g. Bersikap meyepelekan (tasa>hul) dalam proses periwayatan, penghafalan dan

pencatatan hadis. 108

Ke-d}a>bt}-an para perawi hadis berbeda-beda. Menurut Ibnu Rajab al-

Hanbali>, klasifikasinya ada empat jenis : (1) perawi yang tertuduh berdusta, (2)

perawi yang bukan tertuduh tetapi mayoritas hadisnya didasari perkiraan (wahm)

dan keliru (al-ghalat). (3) perawi yang shodiq (jujur), cukup wahm dalam

hadisnya, tetapi tidak mendominasi, (4) perawi ha>fiz} yang sangat jarang terkena

wahm atau sedikit melakukan kesalahan dalam periwayatan. Jenis pertama,

hadisnya disepakati untuk ditinggalkan atau tidak diriwayatkan dan hadisnya

tidak boleh dijadikan dalil. Jenis terakhir, disepakati hadisnya dijadikan hujah

dan dalil. Sementara, jenis kedua, mayoritas ahli hadis tidak berhujah denganya.

Adapun jenis perawi ketiga, para ahli hadis berbeda pendapat.109

Adapun dari aspek pengutipan dan pencatatan, secara teknis sejumlah

hadis mengalami beberapa permasalahan dalam proses penyadurannya. Di

108

Lukman al-Salafy, Ihtima>m Muh}adithi>n, 231-245 109

Ibnu Rajab. Sharah ‘ilal at-Tirmidzi. Vol. 1, 158-161

28

antaranya, selain ada yang diriwayatkan secara literal (al-riwa>yah bi al-lafz}),

sebagian hadis diriwayatkan secara makna (al-riwa>yah bi al-ma’na). Adanya

pemenggalan kalimat (taqt}i>’ matn al-h}adi>th), atau disingkat (al-ikhtis}a>r),

penambahan kata penjelas kalimat (al-ziya>dah), sisipan (al-idra>j), dll. Demikian

pula pengeditan dan kodifikasi hadis yang berbaur dengan fatwa sahabat

(mauqu>f) dan ta>bi’in (mursal).Kondisi-kondisi tersebut menuntut adanya kritik

ulang terhadap kualitas dan status hadis-hadis tersebut.

5. Pertimbangan kelemahan dasar manusiawi

Tidak ada manusia yang terjaga dari dosa dan kesalahan (ma’s}u>m) setelah

para nabi. Demikian pula, tidak ada yang mengklaim diri memiliki terjaga (al-

‘ishmah) dari kekeliruan.Kesalahan dalam periwayatan hadis Nabi adalah suatu

hal yang dapat terjadi, karena kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia.110

Oleh karena itu, secara retoris ‘Abd Allah bin al-Muba>rak bertanya: “Adakah

orang yang terhindar dari wahm ? Ibn Mahdi> berkata: “Orang yang mengklaim

dirinya terbebas dari sifat keliru (ghalat}) adalah orang yang tidak waras”.111

Imam Muslim (w. 261 H) berkata: “Tidak ada orang yang menukil

informasi hadis (khabar) dan pembawa atha>r dari generasi salaf terdahulu sampai

zaman kita, walaupun dari seorang yang paling hafal menyampaikan hafalan dan

mentransfer hafalannya, kecuali pasti mungkin akan terjadi kekeliruan dan lupa

baik saat menghafal maupun dalam proses mentransfer”.112

Al-Dhahaby menegaskan bahwa bukanlah syarat thiqah perawi tidak

pernah sama sekali keliru dalam periwayatan hadis. Imam Ahmad bin Hanbal

berkata tentang Imam Malik: “Malik adalah orang yang paling kokoh (dalam

periwayatan hadis), (akan tetapi) terkadang melakukan kekeliruan”.113

110

Musta{fa al-A’z{amy, Manhaj al-Nad ‘Ind al-Muh}addithi>n: Nash’atuhu wa Ta>rikhuhu wa Adwa>ruhu. (Riyadh:, tp, cet. 2, 1402 H), 5 111

Al-Murt}ad}a> al-Zain Ahmad, Mana>hij al-Muhaddithi>n fi Taqwiyah al-Aha>di>th al-Hasanah wa al-D{a’i>fah (Riyad}: Maktabah al-Rushd, cet.1, 1415 H), 84 112

Muslim bin al-Hajja>j. al-Tamyi>z. ed. Muhammad Musthafa al-A’zhamy (Saudi: Maktabah al-

Kauthar, cet. 3, 1410 H), 170 113

Abu Abdurrahman Muhammad bin Thany. D{awa>bith fi Jarh wa Ta’dil ‘Ind al-Dhahaby. Vol. 2

(Riyadh: Majalah al-Hikmah, 1421 H), 521

29

Al-Ashja’y menyebutkan keadaan Sufya>n al-Thawry dan berkata:

“Hampir tidak ada seorang pun yang luput dari kekeliruan (al-ghalat}). Dengan

demikian, jika seseorang mayoritas hafalannya tepat maka dia seorang ha>fiz}

walaupun (pernah) keliru dalam hafalannya.Apabila kekeliruannya mendominasi

maka dia ditinggalkan (periwayatan darinya)".114

Al-Tirmidhi> berkesimpulan

bahwa; “Hal yang menyebabkan adanya kelebihan seorang ulama adalah

kemampuan hafalan (hifz}), ketepatan (itqa>n), dan kecermatan (tathabbut) dia

ketika mendengarkan hadis dari gurunya (sima>’), walaupun pada dasarnya dia

tidak terbebas dari kesalahan (khat}a’) dan kekeliruan (ghalat}). Itu terjadi pada

tokoh ulama yang diakui kekuatan hafalannya sekalipun”. 115

Dengan demikian, ilmu kritik hadis dibutuhkan untuk mewaspadai, dan

mendeteksi “celah-celah” (‘illat) yang disebabkan karena kekeliruan dan

kesalahan periwayatan (wahm wa ghalat}) para perawi yang secara z}a>hir tampak

valid tapi pada hadis-hadis tertentu rusak kualitas periwayatannya. Dalam

penelitian (naqd) hadis hal dilakukan dengan mengumpulkan riwayat (jam’ al-

t}uruq) dalam berbagai versi shawa>hid wa i’tiba>r dan melakukan perbandingan

(muqa>ranah) sehingga dapat ditentukan apakah suatu hadis terdapat sha>dh dan

‘illat ataukah tidak.

Penelitian ‘illat diperlukan untuk mengungkap kekeliruan dan kesalahan

yang tersembunyi dalam suatu periwayatan. Penelusuran adanya ‘Illat dilakukan

dengan mengumpulkan sebanyaknya riwayat-riwayat terkait dan melakukan

perbandingan (muqa>ranah).116

Penelusuri‘illat adalah hal sangat sulit. Hanya

pakar yang berpengalaman dalam penelitian hadis, memiliki hafalan dan

pengetahuan luas tentang riwayat hadis (sanad dan matannya) dan pengenalan

yang mendalam terhadap para perawi dan riwayat masing-masing serta

kecermatan dalam penelitian. Tidak bisa seseorang menentukan ‘illat hanya

bersandar kepada jarh wa ta’di >l para perawi.117

114

Ibn Rajab al-Hanbaly.Sharh ‘Ilal al-Tirmidhy.Vol. 1, ed. Hamma>m ‘Abd al-Rahi>m Sa’i>d (al-

Zarqa>’ : Maktabah al-Maktabah, cet. 1, 1407 H/1987), 399 115

Al-Murt}ad}a> al-Zain Ahmad, Mana>hij al-Muhaddithi>n…..., 84 116

Hamzah al-Malibary. ‘Ulu>m al-Hadi>th………, 52 117

Hamzah al-Malibary,Al-Hadi>th al-Ma’lu >l…., 14 dan Nur al-di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd…, 447

30

D. Perhatian Muh}addi>th Terhadap Kritik Hadis Dalam Perkembangan Sejarah

1. Kritik hadis Masa Nabi SAW

Bersama era kehidupan Nabi SAW otentitas hadis terjaga. Secara faktual,

penelitian (kritik) hadis telah terjadi pada masa Nabi, meskipun secara

konseptual belum ada. Tidak perlunya teori khusus dalam kritik hadis karena

keberadaan Nabi di tengah para sahabat memudahkan klarifikasi dan pengecekan

langsung kepada narasumber hadis.118

Penelitian hadis itupun hanya dalam ruang

lingkup yang sangat terbatas berupa pengecekan informasi dengan menanyakan

kepada Nabi untuk ketenangan hati penerima berita, klarifikasi informasi

langsung oleh Nabi, dan koreksi oleh Nabi terhadap hafalan hadis para sahabat.

Mustafa al-A’zamy memaparkan beberapa contoh hadis dalam hal ini antara lain;

Dhamam bin Tha’labah datang menghadap Rasulullah SAW dan bertanya dan

mengklarifikasi informasi yang dibawa oleh utusan beliau tentang posisi beliau

sebagai rasul dan kewajiban-kewajiban dalam Islam. Demikian pula hadis

taba>yun ‘Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah mengenai pakaian yang

dikenakan istrinya, Fatimah yang dikatakan istrinya atas perintah Rasulullah,

dll.119

Bahkan terdapat riwayat kritik hadis yang dilakukan oleh Nabi sendiri

yaitu tatkala Nabi mengoreksi secara cermat hafalan para sahabat terhadap doa

yang diajarkan beliau, yaitu doa sebelum tidur. Disebutkan bahwa al-Bara>’ bin

‘A<zib merubah lafal “Dan Nabi yang telah Engkau utus” ( ونبيك الذي أرسلت)

kemudian dikoreksi oleh Nabi menjadi “Dan Rasul yang telah Engkau utus”

.(ورسولك الذي أرسلت )120

118

Idri, Studi Hadis, 286, Ali Na>yif Biqa>’I. Mana>hij al-Muhaddithu>n al-Kha>s wa al-‘A<m (Beirut:

Dar al-Bas}a>ir, cet. 2, 1430 H), 50-51 119

Lihat Muhammad Mustafa al-A’zamy. Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n: Nash’atuhu wa Ta>rikhuhu (Riyadh: ttp, cet. 2, 1402), 7-10 120

Al-Bukhari.al-Jami’ Vol. 1, 98-99. Hadis nomor 247

31

Kritik pada masa Nabi telah ada meskipun tidak terdapat data atau dalil

yang dapat diyakini yang menunjukkan bahwa pemalsuan hadis terjadi pada masa

Rasulullah SAW hingga masa Abubakar al-Shiddi>q.121

2. Kritik Hadis di era Munculnya krisis (fitnah).

Walaupun eksistensi sunnah di awal sejarah Islam belum terkodifikasi

seluruhnya, namun hal tersebut tidak menjadi masalah di era al-Khulafa’ al-

Rashidin karena di samping banyaknya para penghafal hadis, juga karena masih

relative dekatnya dengan era Rasulullah SAW. Apalagi sifat dan sikap amanah

ilmiah generasi era tersebut dan keterjagaan diri mereka dari kedustaan.122

Al-

Barra’ bin ‘Azib berkata:

واهلل ما كل ما ندثكم عن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم سعناه منه، ولكن ل يكن يكذب بعضنا بعضا"

“Demi Allah, tidak semua hadis yang kami sampaikan dari

Rasulullah SAW, kami dengar sendiri dari Rasulullah. Akan tetapi

(kami dengar dengan perantaraan sahabat yang lain) yang kami

tidak pernah saling meriwayatkan berita dusta”.123

Masalah besar (fitnah) terjadi dan menimpa generasi sahabat yang

dimulai sejak terbunuhnya Umar bin al-Khatab, kemudian terbunuhnya Utsman

dan al-fitnah al-kubra yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah. Krisis dan

pergulatan yang berlatar belakang teologi dan politik semakin menguat pada era

sesudahnya hingga berpengaruh pada bidang periwayatan hadis.

Dari perpektif perkembangan hadis, realitas fitnah tersebut berpengaruh

negatif berupa muncul dan berkembang pesatnya pemalsuan hadis. Bahkan

informasi jumlah penyebaran hadis palsu menunjukkan angka yang sangat besar.

Hammad bin Zaid menginformasikan bahwa kaum zindik telah memalsukan

tidak kurang dari 14.000 hadis. ‘Abd al-Karim ibn Abi al-‘Auja>’ mengaku telah

121

Akram Dhiya’ al-‘Umary, Buhu>th fi Ta>rikh al-Sunnah al-Musharrafah (Madinah: Maktabah al-

‘Ulum wa al-Hikam, cet. 5, 1405 H), 13-14 122

Akram Dhiya’ al-‘Umary, Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n wa Muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharbi> (Riyadh: Da>r Isbaliya, Cet.1, 1417 H/1997M ), 17 123

Muhammad Abu Zahu>. Al-hadi>th wa al-Muhaddithu>n. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby), 157

32

membuat 4.000 hadis yang menghalalkan hal-hal yang haram dan mengharamkan

hal-hal yang halal.124

Peta pusat penyebaran sekte-sekte (firqah) bid’ah tersebut ternyata

berbanding lurus dengan kualitas periwayatan masing-masing wilayah. Sehingga,

para ahli kritik hadis mewaspadai jalur-jalur periwayatan dari daerah-daerah

tertentu. Menurut al-Khati>b al-Baghda>di>, peta penyebaran hadis jika diurutkan

berdasar kualitas jalur sanad yang paling valid adalah al-Haramain (Makkah dan

Madinah), kemudian Yaman, Basrah, Kufah, dan Syam. Jalur sanad dari para

perawi di kalangan penduduk al-Haramain adalah jalur sanad yang paling sahih

periwayatannya karena sedikitnya tadli>s dan hampir tidak pernah ada kasus

pemalsuan hadis. Berikutnya adalah riwayat dari para perawi di kalangan

penduduk Yaman dimana referensi (marja’) sanadnya kepada penduduk Hijaz

(ahl al-Hijaz), riwayat mereka cukup valid (jayyidah) akan tetapi secara

kuantitas, hadis-hadis dari jalur periwayatan mereka relative sedikit. Adapun

para perawi dari penduduk Basrah memiliki koleksi sunnah tha>bitah dengan

sanad yang jelas yang tidak dimiliki oleh tempat lain, ditambah lagi secara

kuantitas cukup banyak. Sementara itu, para perawi dari penduduk Kufah

sebanding dengan penduduk Basrah dari aspek kuantitas periwayatan, akan tetapi

riwayat-riwayat mereka cukup banyak yang bermasalah dan relatif sedikit yang

terbebas dari ‘illat.125Adapun periwayatan dari para perawi di kalangan penduduk

Syam—yaitu negeri yang dewasa ini meliputi empat negara yaitu Suriah,

Yordania, Palestina dan Libanon—kebanyakan berstatus mursal dan maqt}u’.

Namun, jika riwayat mereka muttashil dan para perawinya thiqa>t, hadisnya

bernilai s}a>lih (sahih). Mayoritas hadis-hadis yang diriwayatkan oleh penduduk

124

‘Itr, Nur al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadi>th. (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418

H/1998 M), 303 125

Imam Syafi’i menyatakan bahwa hadis-hadis yang datang dari perawi penduduk Irak yang

tidak memiliki referensi riwayat yang selaras dengan hadis-hadis Hijaz maka hadis tersebut tidak

dapat diterima validitasnya walaupun sahih (secara sanad). Thowus bin Kisan berpendapat bahwa

99 % hadis dari perawi Irak tidak valid. Lihat Al-Suyu>t}i, Tadri>b Al-Rawy (Kairo: Da>r al-Hadith,

2010), 63

33

Syam berkaitan dengan nasehat dan motivasi beramal (mawa>’iz).126

Sejalan

dengan pendapat al-Khati>b al-Baghda>dy, Ibn Taimiyah menegaskan:

اديث مما رم مدينمة، ث أمهل ات فمقم أمهل العلم بالمديث عملمى أمن أمصمح األمحموماه أمهل امل

البمصرمة، ث أمهل الشام “Para ulama hadis sepakat bahwa hadis-hadis yang paling sahih adalah

hadis yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk

Basrah dan kemudian penduduk Syam.”127

Realitas masalah yang muncul dan tuntutan perkembangan situasi

keagamaan tersebut direspon oleh para ahli hadis dengan bersikap hati-hati

dalam menerima riwayat hadis. Mereka tidak sembarang mengambil hadis

kecuali dari perawi yang dikenal (diri dan kualitasnya). Muhammad Ibnu Sirin

menginformasikan:

المكم، ف مي نظمر إ نمة، قمالوا: سموا لمنما رجم سنماد، ف ملمما ومق معمت الفت لم لم يمكونوا يمسأملونم عمن اإلديث هم، ومي نظمر إلم أمهل البدمع فمالم ي ؤخمذ حمديث هم أمهل السنة ف مي ؤخمذ حم

“Mereka (generasi awal Islam) tidak mempertanyakan tentang isnad.

Ketika fitnah terjadi, (saat mereka menerima suatu hadis) mereka

berkata: “Sebutkan para perawi hadis kalian”. Maka dilihat hadisnya, jika

perawinya adalah ahli sunnah maka hadisnya diambil. Jika dilihat

perawinya dari ahli bid’ah maka tidak diambil hadis mereka.”128

Dalam perkembangannya, hal tersebut mendorong upaya penyempurnaan

metodologi ilmu hadis riwayatan dan dirayah.129

Dengan berkembangnya ilmu

isna>d, rija>l al-h}adi>th dan jarh} wa ta’di>l, dan lain-lain yang sangat penting artinya

dalam bidang kritik hadis. Di antara para sahabat yang membicarakan tentang

126

Al-Suyut}i>, Tadri>b al-Ra>wy. (Kairo: Dar al-Hadits, 1431 H), 63 127

S}ubhi S}alih, Ulu>m al-H{adi>th wa Must}alahu: Ard{un wa Dira>satun (Beirut: Dar al-‘Ilm al-

Malayin, cet. 15, 1984 M), 154 128

Muslim bin al-Hajja>j, al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar. Vol. 1, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd

al-Baqy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, tth), 15 129

al-S{a>’idy, Hasan Fauzy Hasan, “Al-Manhaj al-Naqdy ‘Ind al-Mutaqaddimi>n min al-

Muhaddithi>n wa Atha>r Taba>yun al-Manhaj”. (Tesis—Ja>ami’ah ‘Ain Sham, Kairo, 1421 H), 94

34

jarh} wa ta’di>l adalah Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Anas bin Malik (w. 92 H),

Aisyah (52 H), ‘imran bin Husain (w. 65 H) dan Abu Hurairah (w. 59 H).130

3. Perkembangan Naqd al-Hadi>th di Era Pascashahabat

Para tabi’in mewariskan ilmu dan sunnah dari para sahabat. Mereka

mengembangkan kaidah seleksi hadis melalui penelitian sanad. Diantara

pendapat generasi tabi’in yang menunjukkan upaya mereka melawan

dekonstruksi otentitas hadis melalui penyebaran hadis palsu khususnya. ‘Abd

Allah bin al-Muba>rak (w. 181 H) berkata:

سنماد لمقمالم ممن شماءم مما شماءم ين وملموالم اإل سنماد من الد اإل

“Sanad adalah bagian dari (masalah) agama, seandainya tidak ada (ilmu)

sanad, maka seseorang akan mengatakan tentang agama semaunya” 131

Sufyan Al-Thauri> (w. 161 H) berkata :

اإلسناد سالح املؤمن، فإذما لم يمكن ممعمه سالح فمبأمي شميء ي قماتل؟

“Isnad adalah senjata orang yang beriman, seandainya seorang mukmin

tidak punya senjata, maka dengan apa dia akan berperang?”132

Muhammad bin Sirin (w. 110 H) berkata :

ا إن دي نمكم تمأخذونم عممن فمانظروا دين، العلمم همذم

“Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) ini adalah agama, maka

lihatlah dari mana kamu mengambil agamamu”.133

130

Ihtimam al-Muhadditin, 54 131

Al-Hasan bin ‘Abd Al-Rahma>n al-Ramahurmudzi, Al-Muh}addi>th al-Fa>sil Baina al-Ra>wi> wa al-Wa’iy>, ed. DR. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M), 209.

S{aifurrahman al-Mubarakfuri, Mannah al-Mun’i>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m, Juz 1(Dar al-Salam li

al-nasyr wa al-Tauzi’, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M), 36. As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Vol. 2, ed. Abu Mu’adz Thoriq bin ‘Audhillah bin Muhammad (Riyad }: Da>r

al-‘Ashimah, 1423 H), 144 132

Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits, 344 133

Shoifurrahman al-Mubarakfury, Mannah….., Vol. 1, 35

35

Di antara para tabi’in yang bergelut dengan keilmuan kritik hadis era ini

adalah Sa’id bin al-Musayyib (w. 94 H), al-Qa>s}im bin Muhammad bin Abu Bakar

(w. 107 H), Salim bin ‘Abd Allah bin ‘Umar bin al-Khattab (w. 106 H), ‘Ali bin

al-Husain bin ‘Ali (w. 94 H), dll.134

Pada era ini, pengumpulan riwayat hadis dan kodifikasinya berjalan

seiring dengan penelitian, kritik dan seleksi hadis. Sehingga, semua tokoh atau

pakar (ima>m) dalam hadis juga beratensi kepada kritik hadis, meletakkan pondasi

ilmu hadis dan pengetahuan tentang kondisi perawi dan memberikan catatan

kritik terhadap sejumlah ‘illat (cacat) periwayatan hadis yang mengurangi

kualitas perawi dan hadis yang diriwayatkannya.135

Para era ini lahir para tokoh besar di bidang kritik hadis di berbagai

wilayah periwayatan dan studi hadis, di antaranya di Madinah: Malik bin Anas

(w. 179 H), di Makkah; Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), di Kufah; Sufyan al-

Thaury (w. 161 H), di Bashrah; Shu’bah (w. 160 H) dan Hammad bin Zaid (w.

179 H), di Syam; al-Auza’y (w. 158 H).136

Abad ketiga muncul kritikus hadis dan periwayatannya seperti Yazid ibn

Harun (w. 206 H), Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204 H),’Abd al-Razaq ibn

Hammam (w. 211 H), dll. Pada masa ini disusun literature-literatur yang memuat

teori-teori tentang kritik hadis yang disebut ilmu al-jarh wa al-ta’di>l yang

dipelopori antara lain oleh Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Sa’ad

(w. 230 H), Yahya ibn Ma’in (w. 232 H), ‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H), disusul

al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan Abu Dawud al-Sijista>ny (w. 275

H).137

134

Lukman al-Salafi>, Ihtima>m al-Muhaddithi>n….., 56 135

Ibid., 58 136

Ibid., 59 137

Idri, Ilmu Hadis, 295

36

BAB III

KESIMPULAN

1. Penelitian (kritik) hadis adalah perangkat keilmuan yang tujuannya

adalah untuk menguji dan menganalisis secara kritis dan ilmiah apakah

suatu hadis dapat dibuktikan validitas kebenarannya berasal dari Nabi

atau tidak.

2. Penelitian (kritik) hadis penting dilakukan atas dasar pertimbangan

teologis, historis-dokumenter, praktis dan pertimbangan teknis serta

antisaipasi kekeliruan yang menjadi sifat manusiawi.

3. Eksistensi penelitian (kritik) hadis telah ada sejak era Rasulullah yang

kemudian berkembang pesat secara faktual dan konseptual pada masa-

masa berikutnya sesuai tuntutan situasi dan kondisi.

37

DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nur al-Di>n. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadi>th. Damaskus: Dar al-Fikr, Cet.

3, 1418 H/1998 M

‘Umary (al), Akram Dhiya’.Buhu>th fi Ta>rikh al-Sunnah al-Musharrafah.Madinah:

Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, cet. 5, 1405 H.

_____,. Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n wa muqa>rinan bi al-Manhaj al-Gharby. Riyadh: Dar Isbaliya, cet.1, 1417 H/1997M.

A’zamy (al), Muhammad Mustafa. Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n: Nash’atuhu wa Ta>rikhuhu. Riyadh: ttp, cet. 2, 1402.

Amidy (al).Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar

Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M.

Baghdady (al),Abubakar. Al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah.Ed. Abu ‘Abdullah al-

Sura>qy dan Ibrahim Hamdy al-Madany.Madinah al-Munawwarah: al-

Maktabah al-‘Ilmiyah, tth.

Baihaqy (al). Ma’rifah al-Sunan wa al-A<tha>r. Juz 1.ed. ‘Abd al-Mu’thi Amin

Qal’ajy.Beirut: Dar Qutaibah, cet. 1, 1412 H/1991 M.

Biqa>’I, Ali Na>yif.Mana>hij al-Muhaddithu>n al-Kha>s wa al-‘A<m (Beirut: Dar al-

Bas}a>ir, cet. 2, 1430 H)

Depdikbud.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1988)

Haditsi (al), Abdullah Hasan.Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005

Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen &

Unwin Ltd., 1970.

Harawy (al), Muhammad bin Ahmad al-Azhary. Tahdhi>b al-Lughah. Jilid 9

(Beirut: Dar ihya’ al-Turath, cet. 1, 2001.

Idri.Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013.

Jawabi (al), Muhammad Thahir. Juhud al-Muhadithi>n fi Naqd al-Matan al-Hadi>th al-Shari>f. Tunisia: Mu’assasah Abd al-Karim, 1986.

Ka>fy, Abubakar. Manhaj al-Imam al-Bukha>ry fi Tashi>hi al-Aha>di>th wa Ta’li>liha.

(Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet. 1, 1422 H/2000 M

Khan (al), Mustafa dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt).

Khon, Abdul Majid.Pemikiran Modern Dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu HadisJakarta: Kencana, Cet. 1, 2011

Manz}ur, Ibn.Lisan al-‘Arab. Jilid 3 (Beirut: Dar Shadir, cet. 3, 1414 H

Mubarakfuri (al), Saif al-Rahman, Mannah al-Mun’i>m fi Syarh Shoh}i>h Musli>m,

Juz 1. Dar al-Salam li al-nasyr wa al-Tauzi’, al-Riyadh, cet. 1, 1999 M.

Musthafa, Ibrahim, et.all. Mu’jam al-Wasi>t}. Juz 2 (Kairo: Dar al-dakwah, t.th

Naisa>bu>ry (al), Muslim bin al-Hajja>j al-Qushairy, al-Musnad al-S{ahi>h al-Mukhtas}ar atau Sahih Muslim. Vol. 3. Ed.Muhammad Fu’ad Abd al-Ba>qy

Beirut: Dar Ihya>’ al-Turath al-‘Araby, t.th.

_____. al-Tamyi>z. ed. Muhammad Musthafa al-A’zhamy. Saudi: Maktabah al-

Kauthar, cet. 3, 1410 H.

Ramahurmudzi (al), Al-Hasan bin Abdurrahman, Al-muh}addith al-Fa>sil baina al-Ra>wi> wa al-Wa’iy>, ed. DR. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. (Beirut: Dar al-

Fikr, Cet. 1, 1391 H/1771 M

38

Razi (al), Zain al-din Abu Abdillah.Mukhtar al-S{ihhah (Beirut: al-Maktabah al-

‘Ashriyah, cet. 5, 1420 H/1999 M.

S{a>’idy (al), Hasan Fauzy Hasan. “Al-Manhaj al-Naqdy ‘Ind al-Mutaqaddimi>n

min al-Muhaddithi>n wa atha>r Taba>yun al-Manhaj”. (Tesis—Ja>ami’ah ‘Ain

Sham, Kairo, 1421 H),

S{a>lih (al),S{ubhi. Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun

(Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M.

Salafy (al), Muhammad Luqman. Ihtima>m al-Muhaddithi>n bi al-Naqd al-Hadi>th Sanadan wa Matanan (Riyadh: Dar al-Da’I, cet. 2, 1420 H

Shaukany (al). Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul, Vol.

1,(Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000

Suharto, Ugi, “Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith”. Majalah Islamia,

Thn. I No. 2 (Juni-Agustus, 2004)

Suyut}i (al), Jalaluddin. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-

Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H)

_____. Tadrib al-Rawy. Kairo: Dar al-Hadits, 1431 H.

_____. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, Tahqiq; Abu Mu’adz Thoriq

bin ‘Audhillah bin Muhammad. Juz 2 (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H)

Syuhbah, Muhammad Muhammad Abu dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubh al-Musytariqi>n wa al-Kita>b al-Mu’as{iri>n- wa yali>hi al-Radd ‘ala Man Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1,

1989 M)

T}abary (al), Sulaiman bin Ahmad. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin

Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984

M)

Umary (al), Muhammad ‘Ali Qa>shim.Dirasa>t fi Manhaj al-Naqd ‘Ind al-Muhaddithi>n. Yordania: Dar al-Nafa’is, t.th.

Zabidy (al), Al-Murtada. Taj al-‘Arus min Jawa>hir al-Qa>mus . Juz 9 (ttp: Dar al-

Hidayah, tth)

Zahwu, Muhammad Muhammad Abu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n.Riyadh: Al-

Ri’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah

wa al-Iryad, 1404 H/1984 M

Zuhaily (al), Wahbah, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir,

1419 H/1999 M)