Pesan dan Kritik dalam Film "Di Balik Frekuensi"

20
Gilang Desti Parahita, SIP Pengajar MK Media Penyiaran JIK FISIPOL UGM Disampaikan pada Film Screening “Di Balik Frekuensi”, FH UGM, 28 Maret 2014

Transcript of Pesan dan Kritik dalam Film "Di Balik Frekuensi"

Gilang Desti Parahita, SIPPengajar MK Media Penyiaran JIK FISIPOL UGM

Disampaikan pada Film Screening

“Di Balik Frekuensi”, FH UGM, 28 Maret 2014

1) Profesionalisme jurnalisme Hak-hak jurnalis untuk berserikat dilanggar

2) Pengelolaan frekuensi publik peran KPI yang dibonsai, pemilik media televisi yang partisan , televisi swasta jakarta masih bersiaran nasional , tiadanya keberagaman isi dan kepemilikan

• 85 % wartawan Indonesia menerima ‘amplop’ (Warren, 2006) bahkan sebagian media mempersilakan wartawan melakukannya

• Hingga 2012, menurut data Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) dan AJI, pada September 2012 tercatat 34 serikat pekerja pers.

• Serikat pekerja media justru dimiliki oleh media-media yang relatif sudah lebih baik kesejahteraannya, seperti Harian Kompas, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Tabloid Kontan, Majajalah Tempo, Media Online detik.com, ANTV, dan SCTV.

Jenis profesionalisme: okupasional dan organisasional (Evetts, 2006)

Jenis serikat wartawan: interorganisasional, intraorganisasional

Serikat interorganisasional (PWI, AJI) profesionalisme okupasional

Serikat intraorganisasional profesionalisme organisasional

Apakah profesionalisme organisasional = pekerja menjadi ‘budak’ kepentingan pemilik media?

Apakah profesionalisme organisasional berlawanan kepentingan dengan profesionalisme okupasional?

Jurnalis

Jurnalis

Praktek Jurnalistik

Proses Editorial

Pengelola Media

SP

Intraorganisasional

SP Interorganisasional

Kata-kata kunci: KREDIBILITAS PRODUK, PROSES, INDEPENDENSI JURNALIS

Hubungan langsung: Perserikatan akan mendorong meningkatnya kredibilitas produk jurnalistik melalui pengawasan kolegial

Hubungan tidak langsung: Hak-hak, kepentingan ekonomi pekerja media termasuk jurnalis dimediasi oleh SP

Konten: sebagian besar isi TV swasta adalah opera sabun, dibandingkan berita

Kepemilikan: pemilik 10 TV swasta Jakarta bersiaran nasional hanyalah 5 perusahaan media

Legal formal: UU Penyiaran melarang kepemilikan silang LP Komersial namun UU Perseroan Terbatas No 40/2007 menjadi dalih akuisisi

Bias representasi: banyak pemilik media memiliki afiliasi dengan partai politik

Tiga sifat frekuensi publik: public domain, scarcity, pervasive presence theory (Dominick, et.al., 2004).

Jaminan di negara demokratis: freedom of expression, freedom of speech, freedom of the press, diversity of content and diversity of ownership.

UU No. 32 Tahun 2002: LP publik, LP komersial, LP komunitas, siaran berjaringan, tidak boleh ada konglomerasi

KPI sebagai regulator penyiaran, milik publik, bukan pemerintah pembonsaian karena KPI hanya mengawasi isi, sedangkan izin berada di tangan pemerintah

Sistem siaran berjaringan tidak diterapkan, dalih “...kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh KPI bersama pemerintah”

LP komunitas dan publik LP komunitas : terbatas geografis, proses izin sulit; LP publik: pemerintah belum punya pandangan seragam, manajemen masih korup (TVRI)

NO PP Isi Kelemahan

11/2005 LPP Ketiadaan support tegas dari pemerintah ttg pembiayaan LPP dari APBN, besaran tidak disebutkan

12/2005 Organisasi RRI Keterwakilan pemerintah di Dewan Pengawas, usulan pemerintah ttg DP melalui DPR mengganggu independensi LPP

12/2005 Organisasi TVRI Keterwakilan pemerintah di Dewan Pengawas, usulan pemerintah ttg DP melalui DPR mengganggu independensi LPP

50/2005 Pendirian LPswasta

Tak terimplementasinya pasal 67 mengatur divestasi LP hingga maksimal empat tahun sejak diundangkannya tidak diterapkan hingga saat ini

51/2005 Pendirian LP komunitas

Pembatasan jangkauan siaran tanpa melihat kondisi geografis, menyampaikan laporan ke menteri, KPI, dan komunitasnya, spirit otoritarianisme

Mengatur lembaga penyiaran digital yang tidak terbahas di UU Penyiaran

Memunculkan lembaga penyiaran baru: LPPSiaran, LPPMltipleksing. LPPM adalah lembaga yang sudah punya izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan IPP.

Berpotensi memunculkan bentuk monopoli baru Mengerdilkan PP karena TVRI hanya

dierkenankan menjadi LPPM pada satu dari 6 kanal yang ada.

Untungnya, Permen tersebut telah dibatalkan oleh MK

Rebirokratisasi: negara, dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksana UU kembali memegang otoritas perizinan dan kebijakan penyiaran.

Rekomersialiasi: dua bentuk lembaga penyiaran (publik & komunitas) cenderung dibiarkan tidak berkembang.

Terjadi pembatasan kepemilikan dan representasi pesaing dalam isi media oleh media massa yang berafiliasi politik tertentu

Deideologisasi parpol telah menjadian posisi media massa penting sebagai penarik massa politik yang kini diterjemahkan sebagai audiens media massa

Perbaiki UU Penyiaran, masukkan pasal2 digitalisasi yang berpihak pada publik, kepemilikan media disusun ulang dari nol, partisanships dilarang.

Berhentikan/ bekukan siaran nasional TV swasta jakarta dengan mencabut izin siaran/ tidak memperpanjang izin

Perkuat wewenang KPI Penegakan regulasi