UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTUK MENINGKATKAN KETERIKATAN KERJA KARYAWAN
Transcript of UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTUK MENINGKATKAN KETERIKATAN KERJA KARYAWAN
UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTUK MENINGKATKAN KETERIKATAN KERJA KARYAWAN
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Profesi Psikologi
Program Studi Magister Profesi Psikologi Minat Utama Psikologi Industri dan Organisasi
Diajukan Oleh Farisa H. Wedhalaksmi
08/266804/PPS/1707
Kepada PROGRAM MAGISTER PROFESI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2013
iv
DAFTAR ISI Halaman Judul ........................................................................................... i
Lembar pengesahan .................................................................................. ii
Lembar Pernyataan .................................................................................... iii
Daftar Isi ..................................................................................................... iv
Daftar Gambar ........................................................................................... v
Daftar Tabel ............................................................................................... vi
Daftar Lampiran ......................................................................................... vii
Ucapan Terima Kasih .............................................................................. .. viii
Abstrak ....................................................................................................... 1
Pengantar .................................................................................................. 1
Metode ....................................................................................................... 14
Subjek Penelitian .......................................................................... 14
Definisi Operasional ....................................................................... 15
Alat Ukur......................................................................................... 15
Rancangan Eksperimen ................................................................ 17
Manipulasi ..................................................................................... 19
Prosedur ....................................................................................... 19
Hasil .......................................................................................................... 25
Statistik Deskriptif........................................................................... 25
Uji Prasyarat……………………. ..................................................... 26
Uji Hipotesis ................................................................................... 26
Diskusi ....................................................................................................... 28
Kesimpulan .................................................................................................. 33
Saran .......................................................................................................... 33
Daftar Pustaka ............................................................................................ 34
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Berpikir penelitian .................................................... 13
Gambar 2. Rancangan Eksperimen........................................................... 18
Gambar 3. Perubahan Indeks Keterikatan Kerja........................................ 27
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1. Sebaran Butir Pernyataan Skala Keterikan Kerja........................... 17
Tabel 2. Statistik Deskriptif................................................ ............................ 25
Tabel 3. Hasil Analisis Data Keterikatan Kerja................................................ 27
vii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A. Skala Penelitian......................................................................... 38
Lampiran B. Data Penelitian ........................................................................ 39
Lampiran C. Hasil Analisis Kuantitatif .......................................................... 41
Lampiran D. Cek Manipulasi.............. .......................................................... 45
Lampiran E. Hasil Cek Manipulasi........ ....................................................... 48
Lampiran F. Hasil Evaluasi Pelatihan .......................................................... 57
Lampiran G. Inform Consent Peserta Penelitian ............................................. 59
Lampiran H. Ijin Penelitian ............................................................................ 60
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas terselesaikannya tesis ini, penulis berterima kasih kepada Bapak Dr. IJK Sito
Meiyanto, selaku dosen pembimbing, Bapak Drs. Haryanto FR., MA., Psi, Bapak Drs.
Rachmat Hidayat, S.Psi., MSc., Ph.D dan Ibu Dra. Anita Lestari, Msi., Psi selaku dosen
penguji atas semua bimbingan dan arahannya.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kartika Rizki Astuti, M.Psi., Psi atas
masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan modul dan kesediaannya
menjadi trainer penelitian ini.
Terima kasih kepada PT. Garuda Maintenance Facilities Aero-asia atas segala
kerjasamanya dalam penelitian ini.
Tak lupa, ucapan terima kasih diucapkan kepada orang tua dan adik tersayang,
suami tercinta Zaid Muttaqien, yang terkasih Jasmine Zaida, juga kepada pihak
pengelola Magister Profesi Psikologi dan teman-teman MAPRO angkatan V yang telah
memberikan dukungan luar biasa kepada penulis sepanjang menempuh masa
pendidikan di Magister Profesi Psikologi UGM.
Terakhir dan paling utama, Alhamdulillahi robbil alamin. Segaja puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam yang telah membukakan pintu ilmu dan meminjamkan sedikit
pengetahuan kepada penulis. Sesungguhnya, seluruh ilmu yang ada di dunia hanyalah
setitik dari seluruh ilmu yang berada dalam kekuasaanNya.
1
UMPAN BALIK HASIL ASSESSMENT CENTRE UNTUK MENINGKATKAN WORK ENGAGEMENT KARYAWAN
Farisa H. Wedhalaksmi
Intisari
Penelitian terdahulu telah membuktikan adanya hubungan antara permasalahan kinerja dengan keterikatan kerja (work engagement) karyawan. Tingkat keterikatan kerja karyawan dipengaruhi oleh job demands dan job resources. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efektivitas pemberian umpan balik sebagai salah satu jenis job resources terhadap keterikatan kerja karyawan. Umpan balik berdasarkan hasil assessment centre dipilih karena pertimbangan objektivitas terhadap proses
pengambilan data. Asesor sebagai perwakilan dari pihak perusahaan diberikan pelatihan umpan balik untuk menjamin kualitas pemberian umpan balik. Subjek penelitian merupakan para pimpinan lini yang direkomendasi untuk mengikuti assesssment centre. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen yaitu untreated control group design with pretest-posttest dengan melibatkan 16 peserta asesmen yang dibagi menjadi kelompok eksperimen (n=8) dan kelompok kontrol (n=8 orang). Variabel keterikatan kerja diukur dengan 17 aitem skala dari Ulrich Work Engagement Scale (UWES) yang telah diadaptasi. Hipotesis diuji dengan
menggunakan analisis kovarian (ANAKOVA) dengan menempatkan skor pra-tes sebagai kovarian. Penelitian ini menghasilkan bukti bahwa pemberian umpan balik hasil assessment centre dapat meningkatkan keterikatan kerja karyawan (F = 82,805, p<0,05). Nilai keterikatan kerja pada kelompok yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak diberi perlakuan. Kata kunci: keterikatan kerja, umpan balik, assessment centre
Abstract
Previous research had verified correlation between performance problems and the work engagement. Employees’ work engagements were influenced by job demands and job resources. This study aimed to measure the effectiveness of feedback as one kind of job resources on employee engagement. Feedback based assessment centre report was selected due to the objectivity of the data collection process. Assesors as the company representative were being trained to deliver feedback in order to ensure quality of the feedback delivery. The subjects were supervisors recommended by company to attend assessment centre. This study used experimental design that was untreated control group design with pretest-posttest, involving 16 participants which were divided into an experimental group (n=8) and a control group (n=8). Work engagement was measured by 17 item Ulrich Work Engagement Scale (UWES) that had been adapted. Hypothesis was tested by using analysis of covariance (ANCOVA) technique by placing the pretest score as a covariant. The study produced evidence that feedback based assessment centre can increase employee work engagement (F = 82,805, p<0,05). The value of work engagement in the group treated with feedback was higher than the untreated group.
Keywords: work engagement, feedback, assessment centre
Pengantar
Persaingan bisnis di semua sektor industri meningkat tajam dalam era
globalisasi. Perusahaan menghadapi tantangan perubahan lingkungan yang luar
biasa seperti krisis keuangan, tidak menentunya kondisi ekonomi, serta
perkembangan pengetahuan dan teknologi. Kesuksesan sebuah organisasi di masa
depan akan bergantung pada kapasitas organisasi untuk belajar, mendapatkan
pengetahuan baru dan mengelola karyawan sebagai aset intelektual (Nafukho,
2
2009). Oleh sebab itu hanya perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif saja
lah yang mampu bertahan dan memenangkan persaingan bisnis tersebut.
Pertumbuhan industri penerbangan turut meningkatkan peluang bisnis
perawatan pesawat di Indonesia. Bahkan, dalam dua tahun terakhir kecenderungan
pasar perawatan pesawat di Amerika dan Eropa beralih ke kawasan Asia Pasifik.
Hanya saja, bisnis perawatan pesawat di Indonesia masih rawan direbut pihak asing.
Saat ini, dari seluruh permintaan jasa perawatan pesawat udara dalam negeri,
Indonesia hanya mampu memenuhi 30% dari seluruh permintaan tersebut. Hal ini
disebabkan antara lain karena industri jasa perawatan pesawat dalam negeri masih
kalah bersaing dengan industri jasa perawatan pesawat di luar negeri.
PT. Garuda Maintenance Facilities (PT. GMF) sebagai perusahaan
perawatan pesawat di Indonesia, saat ini sedang mengembangkan kapabilitasnya
untuk mengantisipasi pertumbuhan industri aviasi yang ditandai dengan kehadiran
jenis-jenis pesawat baru. Kini PT. GMF telah mendapatkan lisensi untuk merawat
pesawat Bombardier buatan Kanada. Selain pengembangan kapabilitas, PT. GMF
juga mengembangkan kapasitasnya untuk menangani pesawat dengan jenis Boeing
B737-NG dan Airbus A320 sebagai dua tipe pesawat yang paling banyak digunakan
maskapai penerbangan, karena sifatnya yang efisien dalam penggunaan bahan
bakar. Pengembangan kapasitas ini juga dilandasi adanya rencana PT. Garuda
Indonesia sebagai induk perusahaan untuk menggandakan jumlah pesawatnya dari
kondisi saat ini yang berjumlah 92 pesawat, menjadi 194 pesawat di tahun 2015.
Hanya saja, upaya perluasan jangkauan bisnis perusahaan masih terhambat
karena kualitas hasil kerja yang belum memadai. Berdasarkan wawancara awal
dengan pihak SDM PT. GMF pada akhir bulan Juli 2012, produktivitas perusahaan
masih belum optimal, ditandai dengan masih adanya keterlambatan dalam
penyelesaian perawatan pesawat yang disebut sebagai Turn-around Time (TAT) dan
masih tingginya biaya yang dikeluarkan akibat ketidaksempurnaan hasil perawatan
pesawat, yang disebut juga sebagai Cost of Poor Quality (COPQ).
Permasalahan terkait kinerja berkaitan erat dengan keterikatan kerja (work
engagement) karyawan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa keterikatan kerja
merupakan prediktor yang kuat terhadap kinerja (Halbesleben & Wheeler, 2008;
Markos & Sridevi, 2010). Tingginya beban kerja dan target waktu merupakan suatu
bentuk tuntutan kerja (job demand) yang dapat menimbulkan stres (Karasek, 1979).
Permasalahan mengenai TAT dan COPQ merupakan tantangan besar yang dihadapi
berbagai unit di PT. GMF terutama pada unit-unit produksi yang berkaitan langsung
dengan pesawat seperti unit Line Maintenance, Base Maintenance, Component
Maintenance dan Engine Maintenance.
3
Pada unit Line Maintenance maupun Base Maintenance, kurangnya
semangat untuk menunjukkan hasil kerja yang prima ditunjukkan para pimpinan lini
(supervisor) sehingga hal ini memicu penurunan motivasi karyawan di bawah
tanggung jawabnya. Sikap apatis yang disebabkan karena masalah ketersediaan
material juga ditunjukkan karyawan di unit Line Maintenance, Base Maintenance dan
Component Maintenance. Sementara kejenuhan dari unit Material Management
merupakan masalah tersendiri yang sering berakibat pada ketidakdisiplinan
melakukan koordinasi penggunaan material dan proses dokumentasi penggunaan
material. Karyawan di unit Engine Maintenance juga kurang menunjukkan sikap
proaktif untuk menyajikan kelengkapan peralatan sehingga memperpanjang proses
kerja bagi unit-unit produksi. Kurangnya kesadaran untuk menindaklanjuti hasil
temuan menyebabkan kualitas pengecekan dari unit Quality Assurance & Safety
menjadi dipertanyakan. Pemeriksa (inspector) di unit ini juga sering mengalami
kejenuhan karena pekerjaan yang bersifat administratif. Rendahnya semangat kerja
karyawan dalam memberikan kontribusi yang optimal pada akhirnya berdampak
pada pencapaian target di masing-masing unit kerja.
Beberapa tantangan yang dihadapi PT. GMF secara umum berkaitan dengan
pemenuhan material yang tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Hal
ini sering mengakibatkan ketidaksesuaian spesifikasi barang yang dibutuhkan atau
keterlambatan dalam pemenuhan material. Akibatnya para teknisi harus menunda
pekerjaannya hingga material yang dibutuhkan tersedia sehingga target
penyelesaian perawatan pesawat tidak tercapai. Berdasarkan data di tahun 2011,
dari target TAT sebesar 100%, unit Line Maintenence hanya dapat memenuhi 92%.
Kesenjangan ini tentu saja mengakibatkan hilangnya peluang (opportunity lost) bagi
pihak perusahaan jasa penerbangan. Semangat kerja di unit Line Maintenence
sendiri juga tidak bisa terbilang baik. Bahkan dikatakan bahwa dari semua unit
produksi yang ada, unit Line Maintenance merupakan unit kerja dengan tingkat
pencapaian performa kerja dalam hal service level agreement yang paling rendah.
Bila dikaitkan dengan kejenuhan yang juga dirasakan para pemeriksa di unit Quality
Assurance & Safety, permasalahan COPQ ini semakin terlihat. Pesawat yang
dinyatakan telah laik terbang sering mengalami keluhan ulang yang masuk kembali
ke bengkel perawatan dengan tanggung jawab dibebankan pada pihak PT. GMF.
Angka COPQ di unit Line Maintenence misalnya, dari target COPQ yang ditetapkan
sebesar 5%, namun kenyataannya pada tahun 2011, angka COPQ yang dimiliki
masih sebesar 9%.
4
Berdasarkan uraian sebelumnya, gambaran permasalahan yang terjadi
secara umum antara lain adalah kurangnya semangat kerja dari para karyawan,
adanya hambatan cenderung menurunkan dorongan untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan standar yang diharapkan perusahaan, adanya kejenuhan dalam
melakukan tugas sehari-hari yang menunjukkan bahwa karyawan kurang terinspirasi
dan kurang tertantang pada pekerjaannya, serta indikasi kurangnya konsentrasi
munculnya kesalahan berulang yang menunjukkan bahwa karyawan kurang
terhubung dalam pekerjaannya. Gejala-gejala tersebut memberikan indikasi
permasalahan mengenai keterikatan kerja karyawan. Karyawan dengan keterikatan
kerja yang rendah cenderung membuang energi mereka untuk kegiatan yang tidak
berguna sehingga apa yang ia kerjakan tidak mendukung performa organisasi.
Semakin rendah keterikatan kerja seseorang, ia akan semakin tinggi perilaku yang
merugikan perusahaan tempat ia bekerja (Johnson, 2011).
Keterikatan kerja merupakan perilaku positif dalam organisasi yang dipercaya
lebih kuat memprediksi kinerja bila dibandingkan dengan kepuasan kerja dan
komitmen afektif (Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008; Markos & Sridevi, 2010).
Harter, Schmidt, Hayes (2002) menyatakan bahwa keterikatan kerja memberikan
sumbangan sebesar 16% terhadap profitabilitas, 18% pada produktivitas, 25%
terhadap turnover pada perusahaan dengan turnover tinggi, 49% turnover pada
perusahaan dengan turnover rendah, 37% terhadap ketidakhadiran dan 60% pada
kualitas kerja. Peningkatan keterikatan kerja sangat penting artinya bagi produktivitas
perusahaan.
Keterikatan kerja adalah kondisi pikiran positif, dipenuhi hal-hal terkait
dengan pekerjaan yang ditandai dengan adanya semangat, pengabdian dan
kekhusukan. Semangat (Vigor) ditandai dengan adanya energi dan ketahanan
mental yang tinggi ketika bekerja, adanya kemauan untuk berusaha dalam suatu
bidang pekerjaan, serta adanya kegigihan dalam menghadapi hambatan.
Pengabdian (Dedication) merupakan kondisi ketika seseorang merasa terlibat,
antusias, bangga, merasa berarti, terinspirasi dan tertantang dalam melakukan
pekerjaannya. Kekhusukan (Absorption), yaitu kondisi dimana seseorang dengan
gembira dan penuh perhatian terhubung dengan pekerjaannya, merasakan kondisi
dimana waktu terasa berlalu dengan cepat dan memiliki kesulitan untuk memisahkan
diri dari pekerjaan (Schaufeli & Bakker, 2004; Schaufeli, Bakker & Salanova, 2006).
Karyawan yang terikat pada pekerjaannya akan memberikan intensitas yang lebih
banyak pada tugas mereka dalam waktu yang lebih panjang, memberikan lebih
banyak perhatian dan lebih fokus pada tanggung jawab mereka serta terlibat secara
emosional dalam peran mereka di organisasi.
5
Penyebab tinggi rendahnya keterikatan kerja karyawan dapat dijelaskan
berdasakan job demand-resource model. Keterikatan kerja dibentuk oleh dua faktor
utama yaitu job demands dan job resources. Job demands merupakan aspek fisik,
psikologis, sosial maupun organisasional yang membutuhkan usaha dalam bentuk
fisik, kognitif maupun emosional tertentu untuk memenuhinya. Meskipun job
demands tidak selalu menghasilkan efek negatif, namun job demands dapat berubah
menjadi stres kerja bila disertai dengan tuntutan yang membutuhkan usaha yang
besar, yang pada akhirnya dapat menimbukan efek negatif seperti depresi,
kecemasan dan burnout (Schaufeli & Bakker, 2004). Dalam kasus ini, beban kerja
yang bersifat rutin, pola kerja yang cenderung birokratif serta penempatan karyawan
yang relatif lama di suatu unit kerja merupakan job demands yang berpotensi
sebagai faktor yang mempengaruhi rendahnya keterikatan kerja karyawan.
Sebaliknya, job resources merupakan aspek-aspek fisik, sosial, maupun psikologis
dari pekerjaan yang mampu: (1) mengurangi tuntutan pekerjaan dalam kaitannya
dengan pengorbanan psikologis (psychological cost) yang diberikan karyawan; (2)
memberikan pengaruh pada pencapaian tujuan; (3) menstimulasi pengembangan
dan pembelajaran (Bakker & Demerouti, 2008; Schaufeli & Bakker, 2004).
Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris (2008) menyatakan bahwa job resources
memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap keterikatan kerja bila dibandingkan
dengan job demands. Hal ini disebabkan karena job resources dapat menahan
pengaruh negatif akibat job demands. Bakker dan Demerouti (2008) menyatakan
bahwa job resources dapat berada pada tingkatan organisasi (misalnya gaji,
kesempatan berkarir dan keamanan kerja), tingkatan interaksi sosial (misalnya
hubungan dengan supervisor dan rekan kerja), tingkatan pengelolaan pekerjaan
(kejelasan tugas dan partisipasi dalam pengambilan keputusan), serta pada
tingkatan tugas (keberagaman tugas, otonomi, umpan balik dan signifikansi tugas).
Kahn (1990) memaparkan tiga kondisi psikologis yang mempengaruhi tingkat
keterikatan kerja seseorang, yaitu kebermaknaan (meaningfulness), keamanan
(safety), dan ketersediaan (availability). Kebermaknaan psikologis dipahami sebagai
perasaan bahwa seseorang menerima kembali hasil dari dalam peran kerja mereka.
Keamanan psikologis didefinisikan sebagai rasa mampu menunjukkan kinerja tanpa
takut konsekuensi negatif terhadap citra maupun status dirinya di tempat kerja.
Ketersediaan psikologis digambarkan sebagai rasa memiliki sumber daya fisik,
emosional, dan psikologis yang dibutuhkan untuk bekerja. Dari ketiga hal yang telah
disebutkan, kebermaknaan psikologis menyumbangkan pengaruh yang paling kuat
terhadap engagement (May, Gilson dan Harter, 2004).
6
Koyuncu, Burke & Fiksenbaum (2006) mengajukan pengalaman ketika bekerja
sebagai prediktor dari keterikatan kerja. Pengalaman ini bisa berupa kontrol,
penghargaan, pengakuan kinerja dan kesesuaian nilai dengan perusahaan.
Sementara, Harter, Schmidt & Hayes (2002) mengemukakan adanya empat hal yang
penting dipenuhi agar memunculkan keterikatan kerja, yaitu:
1. Kejelasan harapan mengenai target kerja dan ketersediaan materi dan
perlengkapan yang dibutuhkan,
2. Perasaan berkontribusi terhadap organisasi,
3. Perasaan memiliki organisasi, dan
4. Harapan atas adanya peluang untuk membahas kemajuan dan perkembangan.
Penjelasan paling umum dari sejumlah uraian di atas adalah bahwa
kemungkinan keterikatan kerja akan meningkat ketika karyawan yakin akan
menerima kembali hasil peran kerja mereka dalam bentuk pengakuan kinerja dan
peluang untuk berkembang. Mengacu pada pentingnya kebermaknaan psikologis
untuk meningkatkan keterikatan kerja, diperlukan adanya suatu bentuk komunikasi
dua arah antara karyawan dan pihak yang mewakili perusahaan yang berfokus untuk
memfasilitasi kemajuan dan perkembangan diri karyawan. Dialog merupakan satu-
satunya media penyampaian informasi secara lengkap untuk memastikan adanya
pemahaman (Lee, 2011). Bila dihubungkan dengan job resource-model, maka jenis
job resource yang memiliki pendekatan berupa dialog adalah pemberian umpan
balik. Schaufeli, Bakker & Van Rhenen (2009) telah membuktikan bahwa keterikatan
kerja karyawan dapat meningkat dengan adanya jenis intervensi ini.
Berdasarkan teori pertukaran sosial, perilaku muncul dari keinginan untuk
meminimalisasi pengalaman negatif dan memaksimalkan pengalaman positif. Ketika
karyawan merasa organisasi memberi imbalan atas pengetahuan, keterampilan dan
kinerja yang mereka berikan, maka karyawan akan membalasnya dengan perilaku
dan sikap positif di lingkungan kerja (Willis, 2010).
Umpan balik dalam suatu pengukuran psikologis pada umumnya merupakan
informasi yang membandingkan kinerja aktual dengan standar kinerja yang
diharapkan (International Task Force on Assessment Center Guidelines, 2009).
Umpan balik sebagai sebuah intervensi merupakan tindakan yang dilakukan pihak
lain untuk memberikan informasi terkait beberapa aspek dari performa individu
terhadap suatu tugas (Kluger & DeNisi, 1996). Lee (2011) mendefinisikan umpan
balik sebagai pertukaran informasi mengenai status dan kualitas produk kerja.
Berbeda dengan penilaian kinerja yang merupakan penilaian (judgement) atau hasil
evaluasi, titik berat umpan balik adalah pada nilai informasi yang dikandungnya.
Umpan balik digunakan untuk mendorong, mengarahkan, memperbaiki dan
7
mengatur upaya dan hasil kerja karena di dalamnya berisi peta sukses individu.
Karena sifatnya sebagai informasi, maka umpan balik harus disampaikan secara
netral dan tidak menimbulkan reaksi yang bersifat emosional. Dari ketiga definisi di
atas dapat ditarik garis merah bahwa umpan balik adalah suatu aktivitas yang
dilakukan pihak lain berupa penyampaian informasi mengenai status dan kualitas
dari beberapa aspek kinerja aktual individu terhadap suatu standar kerja yang
diharapkan .
Umpan balik tidak selalu menyenangkan sehingga dalam dialog interpersonal
memiliki resiko untuk menimbulkan menghasilkan emosi negatif yang menghambat
proses pembelajaran (Comer, 2007). Kluger dan DeNisi (1996) bahkan menyatakan
bahwa umpan balik dapat memberikan efek negatif rata-rata sebesar 38%. Umpan
balik yang tidak menyenangkan dapat berujung pada sikap negatif, kurangnya
penerimaan terhadap hasil umpan balik dan keengganan untuk memperbaiki perilaku
berdasarkan umpan balik yang diterima. Umpan balik harus dibangun atas informasi
yang menggambarkan permasalahan, tantangan, ide dan peluang yang ada (Lee,
2011).
Untuk mendapatkan kualitas yang tinggi, umpan balik harus bersifat
membangun, yaitu umpan balik yang berfokus pada tugas atau target jabatan, tidak
kepada individual. Umpan balik mempunyai 2 peran yaitu membantu individu untuk
memahami informasi kinerja dengan membandingkannya terhadap standar serta
dapat berfokus pada perbaikan kinerja dengan menunjukkan perilaku yang harus
dipelajari (Peacock, Scott, Murray dan Morss, 2012).
Schartel (2012) merumuskan bahwa umpan balik akan efektif bila
disampaikan dalam setting/ kondisi yang pantas, berfokus pada kinerja dibandingkan
pada individu, spesifik dan didasarkan pada pengamatan yang objektif,
menggunakan bahasa netral yang tidak menghakimi serta mengidentifikasi tindakan
dan rencana pengembangan. Umpan balik yang disampaikan secara adil dan wajar
akan menghasilkan penerimaan terhadap umpan balik tersebut dan reaksi-reaksi
yang lebih menguntungkan terhadap organisasi (Leung, Su dan Moris, 2001).
The Ken Blancard Companies (2007) menawarkan delapan pedoman
pemberian umpan balik, yaitu sebagai berikut:
1. Sasaran (Direction) yaitu pemahaman bersama mengenai tujuan, norma, peran
dan ekspektasi mengenai pekerjaan yang ditetapkan perusahaan. Pedoman
mengenai sasaran pekerjaan ini memungkinkan kedua belah pihak untuk kinerja
yang ada dengan target yang diinginkan untuk dapat melihat kesenjangan di
antaranya. Pedoman ini harus rinci dan terurai.
8
2. Kepercayaan (Trust) yaitu menumbuhkan kepercayaan dengan mempertahankan
keseimbangan antara menunjukkan informasi menganai perilaku bermasalah
dengan apresiasi perilaku yang diinginkan. Dalam proses ini, pemberi umpan
balik perlu meminta ijin untuk melakukan umpan balik.
3. Bebas dari penilaian sepihak (Non-judgemental) yaitu menghilangkan penilaian
dan penghakiman dengan berfokus pada perilaku yang menjadi masalah, bukan
pada individu sehingga dalam sesi umpan balik karyawan diberi kesempatan
untuk membela dirinya sendiri. Ketika proses penyampaian umpan balik, hal-hal
yang disampaikan tidak dihubungkan pada hal-hal terkait kepribadian ataupun
kehidupan pribadi karyawan, juga tidak berhubungan dengan kesalahan mereka
di masa lalu untuk menghukumnya. Pemberi umpan balik perlu peka terhadap
bahasa non-verbal dan intonasi bicara, menggunakan bahasa yang netral,
mendengarkan dengan hormat dan sopan serta mengekspresikan penghargaan
terhadap waktu dan usaha mereka.
4. Segera (Timely) yaitu memberikan umpan balik sesegera mungkin agar ingatan
karyawan mengenai kinerjanya masih dalam titik puncak.
5. Relevan (Relevant) yaitu memberikan penjelasan yang relevan mengenai
langkah terinci mengenai hal-hal yang selanjutnya harus ditempuh. Umpan balik
seharusnya difokuskan untuk bergerak maju, bukan membahas tentang peristiwa
di masa lalu. Langkah ini dapat dengan mudah dicapai dengan menjabarkan
komponen utama dan menyampaikan informasi secara langsung dan berfokus
pada bagaimana perilaku karyawan mempengaruhi perusahaan. Sesi umpan
balik berusaha mengeksplorasi alasan dibalik perilaku yang ditunjukkan
karyawan, dan bukan mengatasi perilaku tersebut sendiri.
6. Mempertimbangkan wewenang, kendali dan tanggung jawab karyawan dalam
menangani perilaku kinerja yang tidak diinginkan.
7. Spesifik dan deskriptif (Specific and descriptive). Terdapat model situasi-perilaku-
pengaruh (Situation-Behavior-Impact model) yang dapat menjadi pedoman
melakukan langkah ini. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menjabarkan
situasi munculnya suatu perilaku. Hal yang kedua adalah menjabarkan perilaku
meliputi karakteristik, perilaku verbal dan non-verbal yang teramati yang perlu
untuk diubah atau ditingkatkan. Hal terakhir adalah menjabarkan konsekuensi
dari perilaku tersebut terhadap pihak lain dan bagaimana tingkat efektivitasnya
dalam menciptakan pengaruh.
8. Mendengarkan secara aktif (Active listening) agar terbuka terhadap hasil apapun.
Untuk dapat melakukan langkah ini, terdapat 5 aturan yang perlu dipatuhi.
Pertama, menggunakan kalimat positif. Kedua, mengolah kembali pernyataan
9
dalam istilah yang membangun. Ketiga, berempati, bukan bersimpati. Keempat,
mengajukan pertanyaan dalam bentuk positif dengan frase yang positif. Kelima,
menggunakan kata ganti saya untuk menyatakan keprihatinan dan
ketidaknyamanan terhadap perilaku tertentu untuk menghindari penilaian
sepihak.
Steelman dan Rutkowski (2004) menyimpulkan bahwa penerimaan terhadap
umpan balik negatif dimungkinkan bila memenuhi 3 kondisi. Pertama, umpan balik
yang disampaikan memiliki kualitas yang tinggi. Kedua, umpan balik didasarkan
pada sumber data yang kredibel. Terakhir, umpan balik disampaikan dengan cara
yang penuh perhatian.
Berbicara mengenai sumber data yang kredibel, sebagian besar perusahaan
menemukan bahwa umpan balik terhadap hasil assessment centre diterima dengan
lebih baik bila dibandingkan dengan umpan balik dari hasil informasi evaluatif lain
seperti penilaian kinerja (Thornton & Rupp, 2006). Hal ini disebabkan karena hasil
assessment centre didapat berdasarkan observasi terhadap kriteria yang diukur
melalui perilaku yang spesifik berdasarkan multi-metode dan dilakukan oleh multi-
asesor. Persepsi keadilan terhadap suatu proses evaluatif akan menghasilkan
penerimaan, bahkan bila individu menerima kritik terhadap kinerjanya (Leung, Su
dan Morris, 2001).
Assessment centre (AC) adalah prosedur yang digunakan untuk
mengevaluasi atribut perilaku atau kemampuan yang relevan terkait dengan
efektivitas organisasi (Thornton & Rupp, 2006). Fokus AC adalah bukti perilaku
aktual yang ditunjukkan peserta asesmen yang dapat diamati dan dievaluasi oleh
asesor terlatih, berdasarkan multi-kriteria dalam beberapa simulasi langsung terkait
situasi kerja sesungguhnya (Lievens, 2009). Setiap kriteria dalam AC harus dapat
diukur melalui lebih dari satu jenis simulasi. Suatu simulasi pun harus dapat
mengukur lebih dari satu kriteria. Asesor merupakan sebutan bagi orang yang
bertanggung jawab untuk mengamati dan mengevaluasi perilaku peserta asesmen.
Tugas utamanya merekam perilaku peserta asesmen dalam simulasi dan
menggunakan data tersebut untuk memberikan rating pada setiap dimensi perilaku
(Gatewood, Field, & Barrick, 2008).
Metode assessment centre merupakan metode yang valid dan dapat
diandalkan untuk menyeleksi karyawan di tingkat pimpinan lini atau tingkat
manajerial, untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan terkait atribut kerja
individu, dan untuk menentukan kebutuhan perkembangan (Amen, 2010).
10
International Task Force on Assessment Centre Guideline (2009)
menyebutkan sepuluh elemen esensial dalam proses assessment centre:
1. Assessment centre dilakukan berdasarkan model kompetensi yang disusun dari
proses analisis jabatan terlebih dahulu. Model kompetensi yang dimaksud berisi
dimensi-dimensi yang secara jelas dapat mendeskripsikan perilaku yang dapat
terobservasi melalui prosedur dalam pelaksanaan assessment centre.
2. Adanya klasifikasi perilaku setelah proses pengamatan dalam setiap simulasi.
Perilaku yang ditunjukkan oleh peserta asesmen harus diklasifikasikan ke dalam
kategori yang bermakna sesuai dengan dimensi perilaku pada model kompetensi
yang dimiliki perusahaan.
3. Adanya teknik asesmen yang dedesain khusus untuk memberikan informasi
terkait dimensi perilaku dalam model kompetensi yang dimiliki perusahaan.
4. Menggunakan kombinasi beberapa jenis metode asesmen (multi-metode).
Beberapa metode digunakan dengan mempertimbangkan bahwa masing-
masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kombinasi metode ini
digunakan untuk memanfaatkan masing-masing metode agar kelemahan dari
salah satu jenis metode dapat diatasi dengan penggunaan metode yang lain.
5. Adanya simulasi yang mencerminkan kondisi natural pada target jabatan yang
didesain untuk mengungkap perilaku yang menjadi prasyarat pada target jabatan
tersebut.
6. Dilakukan oleh sekelompok asesor terlatih untuk mengoptimalkan objektifitas
penilaian serta menekan bias (multi-asesor).
7. Adanya pelatihan terhadap asesor yang memastikan bahwa asesor yang terlibat
dapat menunjukkan kinerja sesuai dengan pedoman pelaksanaan assessment
centre.
8. Adanya prosedur sistematis yang dilakukan para asesor untuk merekam secara
akurat observasi yang mereka lakukan terhadap perilaku spesifik yang
ditunjukkan kandidat. Prosedur pencatatan dapat berupa cek lis, skala perilaku,
maupun catatan tangan. Perekam audio maupun video dapat digunakan sebagai
alat bantu dalam proses assessment centre.
9. Adanya integrasi data dari setiap perilaku partisipan yang didapatkan melalui
gabungan dari informasi yang dimiliki masing-masing asesor.
10. Adanya laporan hasil assessment centre yang mencerminkan performa
partisipan terhadap suatu tugas dalam jabatan tertentu berdasarkan seluruh data
yang terkumpul dari setiap simulasi yang diberikan yang telah dibahas bersama
oleh para asesor yang bertugas dalam sesi integrasi data.
11
Umpan balik seharusnya menjadi bagian dari setiap proses assessment
centre (Ballantyne & Povah, 2004). Namun demikian, International Task Force on
Assessment Centre Guideline (2009) menyatakan bahwa keberadaan dan format
pemberian umpan balik dalam suatu kesatuan assessment centre sangat
dipengaruhi oleh tujuan pelaksanaan pengukuran kompetensi. Tujuan assessment
center pada umumnya lebih ditekankan untuk memberikan data kepada organisasi
sebagai dasar pengambilan keputusan untuk seleksi, penempatan dan promosi
sehingga umpan balik yang diberikan kepada partisipan sebatas pada rekomendasi
kelayakan promosi disertai keterangan kekuatan dan kelemahan peserta secara
ringkas. Umpan balik terkait dengan kelebihan dan kelemahan partisipan yang
diberikan biasanya bersifat umum dan lebih singkat serta disampaikan oleh
karyawan di unit SDM.
Pelaksanaan assessment centre yang ditujukan untuk kepentingan
pengembangan akan menghasilkan output umpan balik berupa informasi kebutuhan
dan arah pengembangan jangka pendek. Ballantyne & Povah (2004) menyatakan
bahwa pihak yang paling ideal memberikan umpan balik adalah para asesor yang
tidak menjadi bagian dari struktur organisasi di perusahaan. Hal ini dilatarbelakangi
karena alasan objektivitas. Pemberian umpan balik oleh asesor eksternal juga lebih
sesuai karena dinilai lebih mampu menumbuhkan kepercayaan dan penerimaan
terhadap umpan balik yang diberikan.
Kompleksnya usaha yang perlu dilakukan untuk dapat melakukan aktivitas
assessment centre pada umumnya mendorong beberapa perusahaan untuk
memberikan sesi umpan balik langsung kepada para partisipan sebagai upaya
pengembangan. Hanya saja ada beberapa penyebab yang menjadi kendala bagi
perusahaan dalam mengimplementasikan umpan balik hasil assessment centre
antara lain keterbatasan sumber daya baik dalam hal tenaga (SDM), biaya, maupun
saran dan prasarana; kurangnya desain pengembangan yang tersedia berdasarkan
hasil assessment center dan belum tersedianya metode evaluasi terhadap hasil
penugasan. Terlebih lagi seperti yang disebutkan pada International Task Force on
Assessment Centre Guideline (2009), tujuan awal pelaksanaan assessment centre
yang sebelumnya ditetapkan perusahaan akan mempengaruhi beberapa keputusan
termasuk mengenai kualifikasi asesor serta materi seleksi dan pelatihan asesor.
Agar asesor dapat dilibatkan dalam pemberian umpan balik, maka pelatihan
yang memadai terkait keterampilan dalam memberikan sesi umpan balik yang
mendetail harus diberikan. Asesor yang terlibat juga harus memiliki kemahiran dalam
semua aspek yang berlangsung dalam proses assessment centre. Pelatihan khusus
berkaitan dengan umpan balik menjadi sangat penting karena pada hal ini
12
melibatkan proses tatap muka dimana terjadi level kontak yang tinggi yang menuntut
asesor untuk dapat membangun hubungan yang didasari rasa percaya dan empati.
Selain dituntut memberikan umpan balik yang bersifat positif dan negatif dengan
menyampaikan bukti-bukti perilaku yang didapatkan dari hasil assessment centre,
para asesor juga dituntut untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri dari
partisipan yang kemudian menjadi dasar untuk memotivasi partisipan agar terlibat
dalam rencana aksi tertentu sesuai dengan rekomendasi yang diberikan.
Umpan balik sebagai sebuah intervensi merupakan tindakan yang dilakukan
pihak lain untuk memberikan informasi terkait beberapa aspek dari performa individu
terhadap suatu tugas (Kluger & DeNisi, 1996). Umpan balik dari hasil AC diberikan
agar peserta dapat menyerap secara optimal manfaat yang terkandung dalam
proses asesmen. Nilai dari informasi yang didapat dari keseluruhan proses yang
dilakukan ditentukan dari seberapa efektif umpan balik ini diberikan. Dalam penelitian
ini, untuk dapat meningkatkan keterikatan kerja, jenis umpan balik yang diperlukan
adalah umpan balik yang komprehensif yang ditujukan ke arah pengembangan.
Informasi dalam umpan balik diberikan agar peserta memahami kelebihan dan
kekurangan terkait kompetensi yang dipersyaratkan untuk jabatan yang lebih tinggi.
Dengan mengetahui gap kompetensinya, maka partisipan secara pribadi dapat
menentukan langkah-langkah untuk pengembangan diri untuk memenuhi level
kompetensi yang dipersyaratkan.
Pelatihan terhadap asesor PT. GMF terkait keterampilan dalam pemberian
umpan balik masih perlu dilakukan. Sejumlah materi yang telah diberikan kepada
para asesor PT. GMF setelah proses seleksi mencakup materi-materi antara lain
sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap organisasi dan jenis pekerjaan yang ada di perusahaan.
2. Pengetahuan mengenai dimensi perilaku dalam model kompetensi yang
digunakan perusahaan, definisi dan hubungannya terhadap pencapaian kinerja.
3. Pengetahuan mengenai teknik asesment, konten simulasi, dimensi-dimensi
perilaku yang diungkap dalam setiap simulasi, serta contoh-contoh sampel
perilaku.
4. Kemampuan untuk melakukan observasi, pencatatan dan pengklasifikasian
perilaku ke dalam dimensi perilaku.
5. Kemampuan memberikan rating dan melakukan integrasi data.
6. Kemampuan untuk dapat berperan secara objektif dan konsisten dalam simulasi
yang membutuhkan interaksi dengan peserta asesmen.
7. Kemampuan untuk menuliskan laporan hasil assessment centre secara akurat.
8. Sikap profesional asesor.