Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya

73
HADIS NABAWI dan SEJARAH KODIFIKASINYA (Pemikiran M.M Azami) Oleh: Miftakhul Maesaroh PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hadis merupakan sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadis dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H, Islam merasa kehilangan yang sangat besar. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat Islam. Sebagai sumber hukum utama sesudah al-Quran, keberadaan hadis merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan hadis, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 1

Transcript of Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya

HADIS NABAWI dan SEJARAH KODIFIKASINYA

(Pemikiran M.M Azami)

Oleh: Miftakhul Maesaroh

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis merupakan sebuah literatur yang mencakup semua

ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW, dan

gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadis

dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara

berkesinambungan dari generasi ke generasi. Setelah Nabi

wafat pada tahun 10 H, Islam merasa kehilangan yang sangat

besar. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang

tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di

tengah-tengah umat Islam.

Sebagai sumber hukum utama sesudah al-Quran,

keberadaan hadis merupakan realitas nyata dari ajaran Islam

yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul

adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan

apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan

hadis, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek

dari ajaran al-Quran itu sendiri.

Kendati demikian, keberadaan hadis dalam proses

kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak

awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah

SAW maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya.

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 1

Sementara itu, perhatian terhadap hadis tidaklah demikian.

Bahkan Rasulullah sendiri melarang para sahabat untuk

menuliskan hadis, karena dikhawatirkan akan tercampur degan

al-Quran.

Hadis yang juga merupakan sumber hukum kedua bagi agama

Islam menuai perhatian dari kalangan orientalis. Mereka

menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun

teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas

hadis. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische

Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya

pemeliharaan hadis pada masa sahabat sampai awal abad

kedua hijriyah. Begitu pula yang nantinya jejak Goldziher

diikuti muridnya Joseph Schacht dalam penelitian thesisnya

yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul The

Origins of Muhammadan Jurisprudence. Apabila Ignaz Goldziher

berhasil meragukan orang terhadap kebenaran hadis Nabi,

maka Prof. Schacht lebih dari itu, ia berhasil meyakinkan

orang bahwa apa yang sering disebut hadis itu tidak

autentik berasal dari Nabi Muhammad SAW.1

Demikianlah kira-kira kegelisahan Muhammad Musthafa

Azami muncul. Hadis Nabawi telah menjadi kajian orientalis

dan berhasil diobrak-abrik keotentikannya. Kecintaannya

terhadap hadis Nabawi menghasilkan karya ilmiah fenomenal

yang berjudul Studies in Early Hadith Literature merupakan hasil

desertasi beliau yang kemudian diterjemahkan Ali Musthafa

1 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya; terjemahan Ali Musthafa Ya’kub cet. Ke-6,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), Hal. 3

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 2

Ya’kub ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hadis Nabawi

dan Sejarah Kodifikasinya.

Azami menuangkan pemikirannya serta pembuktian ilmiah

yang sekaligus merupakan bantahan terhadap orientalis akan

kepalsuan system isnad dalam hadis Nabi. Untuk membuktikan

hal-hal tersebut, Azami harus menjelaskan beberapa bab

diantaranya bagaimana pengertian hadis perspektif jumhur

ulama dan orientalis, bagaimana kegiatan pendidikan di

jazirah Arab yang mana diantaranya akan menolak pemikiran

orientalis bahwa penulisan hadis terlambat dikarenakan

kebodohan umat muslim, sejak kapan dimulai penulisan hadis

dan bagaimana penyebarannya. Semoga makalah ini dapat

menambah wawasan dan membuka pemikiran kita khususnya

dalam kajian study hadis.

B. Rumusan Masalah

Dalam kajian ini, kami memfokuskan pada beberapa rumusan

masalah yaitu:

1. Bagaimana biografi M. M. Azami?

2. Bagaimanakah Pengertian dan Kedudukan Sunnah dalam

Islam?

3. Bagaimana Kegiatan Pendidikan di Jazirah Arab pada

Permulaan Islam?

4. Bagaimanakah Kegiatan Penulisan Hadis Nabawi?

5. Bagaimana cara dan upaya penyebaran Hadis nabawi?

6. Bagaimana sistem sanad Hadis nabawi?

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 3

7. Bagaimana M.M. Azami membuktikan otentisitas Hadis

nabawi?

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan pembahasan dalam kajian ini adalah:

1. Untuk menyelami biografi M. M. Azami

2. Mengetahui Pengertian dan Kedudukan Sunnah dalam

Islam.

3. Mengetahui Kegiatan Pendidikan di Jazirah Arab pada

permulaan Islam.

4. Mengetahui Kegiatan Penulisan Hadis Nabawi.

5. Untuk mengetahui cara dan upaya penyebaran hadis

nabawi

6. Untuk mengetahui sistem sanad yang menjadi tolak ukur

keshahihan hadis nabawi

7. Untuk mengetahui metode yang digunakan M.M Azami

membuktikan otentisitas Hadis nabawi

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 4

PEMBAHASAN

A. Biografi M. M. Azami

Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara,

tahun 1932. Nama Azami nisbat dari daerah Azamgarh.Azami

mengaku berasal dari kota Mau Distrik Azamgarh negara

bagian Utara Pradesh. Jadi nama itu bukan nama marga

melainkan nisbat daerah.2

Ayahnya pecinta ilmu dan membenci penjajahan, serta

tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi

perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA

beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang

menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami belajar hadis.

Setelah tamat dari sekolah Islam Azami kemudian

melanjutkan studinya di College of Science di Deoband,

sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan2https://www.academia.edu/5622467/

Keotentikan_hadits_Nabi_saw_Menurut_M.M._Azami(diakses pada tgl. 15 Mei 2015)

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 5

studi Islam (Islamic Studies). Berkat ketekunan dan

keuletannya, akhirnya  beliau dapat menamatkan studinya di

tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studi lagi ke

Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris (pengajaran), di

Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan lulus tahun 1955.

Dengan memperoleh ijazah al-'Alimiyah Universitas al-

Azhar, tahun itu juga  beliau kembali ke tanah airnya,

India.3

. Pada tahun 1956, Azami diangkat sebagai dosen bahasa

Arab untuk orang-orang non-Arab di Qatar. Kemudian pada

tahun 1957, beliau ditunjuk menjadi Sekretaris Perpustakaan

Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964,

Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge,

Inggris, sampai meraih gelar doktor atau Ph.D. Disertasi

Azami telah dinyatakan lulus oleh dua tim penguji bertaraf

Internasional, masing-masing adalah Tim Penguji dari

Universitas Cambridge, Inggris, dan Tim Penguji dari

Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal, Riyadh, Arab

Saudi. Adapun tim penguji kedua ini beranggotakan tokoh-

tokoh terkemuka bertaraf Internasional, di antaranya

berasal dari Syaikh al-Azhar dan lain-lain. Disertasi Azami

berjudul Studies in Early Hadith Literature with a Critical Edition of Some

Early Text4s. Lalu beliau kembali ke Qatar untuk memegang

jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari

3 Lihat biografi Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya;terjemahan Ali Musthafa Ya’kub cet. Ke-6, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014)

4https://www.academia.edu/5622467/Keotentikan_hadits_Nabi_saw_Menurut_M.M._Azami(diakses pada tgl. 15 Mei 2015)

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 6

jabatannya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di

Fakultas Pasca Sarjana, jurusan Syariah dan Studi Islam,

Universitas King Abdul Aziz (kini Universitas Umm al-Qura).

Tahun 1973 beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di

Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King

Saud. Dan Pada tahun 1980 beliau menerima Hadiah

Internasional Raja Faisal untuk studi keislaman dari

Lembaga Hadiah Yayasan Raja di Riyadh. Kini Azami tinggal

di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai

Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.5

 Karya-karyanya antara lain, Studies in Early Hadith Literature On

Schacht's Origin of Muhammadan  Jurisprudence, Dirasat fi al-Hadith an-

Nabawi , Kuttab an-Nabi , Manhaj an-Naqd `ind al-`Ilal Muhaddithin, dan al-

Muhaddithin min al-Yamamah. Beberapa buku yang dieditnya

antara lain, al-`Ilah of lbn al-Madini , Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim,

Maghazi Rasulullah of `Urwah bin Zubayr , Muwatta Imam Malik, Sahih ibn

Khuzaimah, dan Sunan ibn Majah. 6

B. Pengertian Sunnah dan Kedudukannya dalam Islam

1. Pengertian Sunnah

Sunnah secara bahasa adalah jalan yang dilalui orang-

orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang

belakangan. Sumber lain mengatakan Sunnah mengartikanya

5Lihat biografi Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya;terjemahan Ali Musthafa Ya’kub cet. Ke-6, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014)

6http://tokoh1038.blogspot.com/2010/08/muhammad-mustafa-al-azami.html (diaksespada tgl. 15 Mei 2015)

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 7

sebagai tata cara, tingkah, dan perilaku hidup, baik

yang terpuji maupun tercela.

Adapun arti istilah (terminologi) Sunnah memiliki

beberapa variasi arti yang muncul dari beberapa kelompok

karena perbedaaan tujuan ilmu yang menjadi objek

pembahasannya. Ahli Hadis memandang Nabi saw sebagai

Imam, pemberi petunjuk, pemberi nasihat, suri teladan,

dan panutan. Mereka menukil segala yang berhubungan

dengan Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan,

ketetapan, ciri fisik dan budi pekerti, baik berupa

hukum Syara’ maupun bukan,7 baik sebelum diutus maupun

sesudahnya.8 Hal ini didasarkan pada sifat kejujuran,

amanah dan akhlak beliau yang mulia sejak kecil yang

secara signifikan dapat dijadikan dalil atas kenabian

beliau.9

Sedangkan kelompok Ahli Usul Fikih secara spesifik

memandang Nabi sebagai figur penetap hukum Islam (al-

syari) dan peletak kaidah-kaidah bagi para mujtahid dalam

menetapkan hukum Islam,10 karena itu mereka mengatakan;

Sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad

saw yang selain dari Alquran, yang terkait dengan hukum

perbuatan mukallaf saja, baik perkataan, perbuatan,

ataupun ketetapan yang bisa dijadikan dalil hukum

7 Idris. Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), Hal: 28 M.M. Azami, Hal. 14 9 Abdul Madid Khon. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.

(Jakarta: Kencana 2011) Hal: 16710 Idris. Hal: 2

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 8

Syara’.11 Berarti mengecualikan hadis yang tidak layak

dijadikan hukum, maka tidak dinamakan Sunnah seperti

duduk, beridiri, jongkok, dan berjalan.12 Definisi ini

muncul lantaran objek perhatian adalah pembahasan

terhadap dalil-dalil syara’.13

Menurut Fuqoha’ (Ahli Fikih), Sunnah adalah apa saja

yang benar dari Nabi saw dalam urusan agama yang

berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang di dalamnya

terkandung unsur memfardhukan atau mewajibkan. Ini

disebabkan pokok pembahasan dan perhatiannya adalah

hukum-hukum syara’, seperti wajib, fardhu, mandub,

haram, makruh dan bagian dari masing-masing hukum

tersebut.14 Mereka memandang Nabi saw sebagai sosok yang

perilakunya mengandung hukum Syara’ selain wajib atau

fardhu.15

Selanjutnya, Kaum Orientalis juga memberikan beberapa

arti yang lain terhadap istilah Sunnah. Diataranya; I.

Goldziher yang menyebut Sunnah adalah Istilah Animis

artinya tradisi yang telah dikenal pada zaman

Jahiliyah.16 Dalam buku The Origins of Muhammad Jurisprudence,

Schacht mengartikan Sunnah sebagai ‘perbuatan-perbuatan

Nabi saw yang ideal’. Sedangkan Margoliouth menyimpulkan

11 Idris. Hal: 412 Abdul Majid Khon. Hal: 16513 Muhammad Alawi al-Maliki. Ilmu Ushul Hadis. Terj. Adnan Qohar. (Pustaka

Pelajar, Yogyakarta 2006) hal: 414 Muhamad Alawi al-Maliki. Hal: 415 Idris. Hal: 516 MM. Azami. Hal 21

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 9

Sunnah adalah ‘masalah ideal atau norma yang dikenal

dalam Masyarakat, kemudian belakangan pengartian itu

terbatas hanya pada perbuatan Nabi saw saja’.17

Dari beberapa pengartian di atas seputar Istilah

Sunnah yang menarik untuk dibahas dalam buku ini adalah

tentang arti yang diusung Orientalis. Pertama,

pendefiniaan Sunnah sebagai istilah animis yang kemudian

dipakai oleh orang-orang Islam. Arti Sunnah yang dikenal

di kalangan masyarakat Arab sebagai ‘jalan yang benar

dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat’, arti ini

tidak dibuat oleh Muslimin tetapi sudah dikenal pada

masa Jahiliyah. Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang

sesuai dengan kebiasaan nenek moyang oleh mereka disebut

sebagai ‘Sunnah’. Pengertian ini tetap dipakai pada masa

Islam tanpa membatasi pada ‘Sunnah Nabi’ saja. Kemudian

pada ahir abad kedua, berdasarkan ungkapan as-Syafii

bahwa Sunnah dan Sunnah Nabi adalah sinonim maka dari

sini mulai dibatasi hanya pada Sunnah Nabi saja.

Menurut Azami, pernyataan di atas sangat tidak masuk

akal, kenyataan nya bahwa kata Sunnah telah digunakan

semenjak masa Jahiliyah: pada syair-syair Jahiliyah18

dan dalam Alquran dan kitab-kitab Hadist juga ada

17 MM. Azami. Hal: 20 18 Penyair Khalid mengatakan, Janganlah Anda merasa risau, Terhadap sunnah (tradisi) yang anda lakukan,Yang pertama kali puas dengan suatu sunnah (tradisi), Adalah orang yang menjalankan tradisi itu sendiri. Lihat MM. Azami, hal:

15

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 10

penggunaan Sunnah19 yang pengartiannya adalah ‘tata

cara, jalan dan perilaku hidup’ dan merupakan arti

sebenarnya (harfiyah) dari kata Sunnah itu. Kalaupun

Orang Jahiliyah yang animis menggunakan kata bahasa Arab

untuk menunjuk arti etimologisnya (harfiyah, lughowiyah),

maka hal itu tidak lantas menjadi arti terminologi atau

istilah Jahiliyah. Kalau ini dibenarkan, artinya seluruh

bahasa Arab arti harfiyahnya adalah istilah Jahiliyah.20

Makna etimologi memang memiliki hubungan erat dengan

makna terminologi. Tetapi tidak lantas keduanya bisa

dicampuradukkan, karena dapat mengkaburkan makna

terminologi yang terbentuk dan disepakati dalam konteks

tertentu.21 Misalkan kata Shalat secara terminologinya

dipahami masyarakat sebagai salah satu rukun Islam yang

dimulai dengan takbir dan diahiri dengan salam, tidak

dapat dicampuradukkan dengan makna harfiyahnya yang

berarti berdoa.

Bila ditelisik dari sisi awal mula kedatangan Islam

yang bertujuan untuk membenahi tradisi dan peradaban

19 QS. An-Nisa 26, al-Anfal 38, al-Isra 77.

ي� ب�� ن� أ�� ار ع�� س�� ي��� ن� اء ب�� ط�� ن� ع�� م� ع�� ل� س�� ن� أ�� د ب�� ي��� ي�� ر!� ن# ث�%� د� ال� ح��� ان�� ق�*�� س�� و ع�!� ب.�� ا أ�� ن!� ث��1 د� م� ح�� � ري�� ي� م� ب�� ن� أ�� د ب�� عن� ا س�� ن!� ث��1 د� ح��ا ... أع� ر� ذ! ر و� ب� ش% رأ ي�< ب� م ش% ك ل� ب� ن� ق�*� ن!�ن�� م�� عن�� س�� ب� �Gت ن*� ال� ل�� م� ق�*� ل� س�� ه و� ي� ل� ع�� ي أهلل� ل� ي�� ص�� ن� ن�� أل�ت!� ه أ�� ي! ع�� ي�� أهلل� ض! د ر� عن� س��

Dari Abu Said, Ata bin Yasar menuturkan bahwa Nabi Muhammad sawbersabda: “Kamu semuanya niscaya akan mengikuti Sunnah orang-orangsebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa …” (Lihat:Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Sahih Bukhari. Al Maktabah al Shameela:4/169).

20 MM. Azami. Hal: 2121 Abdul Majid Khon: 163

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 11

bangsa Arab dari kejahiliyahan, maka tujuan mulia ini

tidak akan terwujud jika memang Sunnah, yang sebagai

dasar penting agama Islam, merupakan ‘tradisi Jahiliyah’

(animis). Pemahaman yang akan muncul adalah bahwa Sunnah

itu merupakan wujud Islam yang mengajarkan tradisi-

tradisi Jahiliyah kepada umat muslim bahkan sampai

sekarang. Ini tidak mungkin.

Kedua, pendapat dari Margoliouth yang mengatakan

bahwa Sunnah pada masa awal Islam berarti ‘hal-hal yang

sudah menjadi tradisi’ adalah bertentangan dengan teks-

teks yang menjadi rujukannya. Dalam dari itu ia juga

mengatakan Sunnah dipakai untuk beberapa pengertian,

antara lain: 22 Pertama, Perbuatan yang sudah dikenal atau

diketahui, lawan dari Bid’ah dengan berdasar kepada

percakapan Ustman dan Ali ra (34 H.): “Maka ia

menegakkan kembali Sunnah yang sudah dikenal dan

meninggalkan bidah. Kedua, Pekerjaan yang telah berlalu.

Ketiga, pekerjaan yang baik, lawan dari pekerjaan buruk

dan juga perbuatan Nabi saw dan dua orang khalifah

setelahnya. Dengan berdasar pada ucapan Usman ra (35

H).23 Keempat, teratur, lawan kacau.24 Kelima, kata Sunnah

juga sering dinisbatkan kepada yang lain, seperti:

Sunnah Allah, Sunnah Muslimin, dan Sunnah Islam. Keenam,

22 MM. Azami. Hal: 2223 Pidato Usman ra kepada Orang-orang Makkah (35 H): “… dan Sunnah

yang baik yang telah dikerjakan oleh Rasulullah saw dan kedua khalifahsesudahnya.”

24 Pengertian ini dipakai pada tahun 64 H. “Orang-orangdiperintahkan untuk berlaku sunnah (teratur) dan mencegah fitnah.”

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 12

segala sesuatu di luar perbuatan Nabi saw, dengan

berdasarkan ucapan Zaid bin Ali.25 Ketujuh, Muhammad saw

di mana beliau sendiri yang bertindak sebagai pembimbing

dan pemberi petunjuk.26

Margoliouth melanjutkan dengan komentar sebagai

berikut: 27

“Kata Sunnah Nabi saw banyak dipakai dalam naskah-

naskah kuno. Istilah ini juga dipakai dalam

naskah-naskah yang ada kaitannya dengan Khalifah

Ustman, barangkali beliau punya perilaku terntentu

yang berbeda dengan pendahulunya, sehingga hal itu

mempunyai dampak tersendiri, meskipun tuduhan

adanya perilaku-perilaku itu belum jelas

kebenarannya. Yang jelas, ‘sampai saat itu belum

ada sumber kedua yang pasti dalam hukum islam.’

Yang ada hanya kebiasaan-kebiasaan yang ditunjang

oleh kekuasaan, yang kemudian menjadi unsur yang

terbaur dalam pribadi Nabi.”

Melihat dari dasar-dasar yang dikemukakan Margoliouth

di atas, ‘seluruhnya atau sebagian besar dari keterangan

25 Zaid bin Ali (122 H.) “ Kami hanya mengajak kalian untukmengamalkan Kitabullah, Sunnah Nabi saw, melestarikan Sunnah-sunnahdan meninggalkan bid’ah.

26 Ini berdasarkan pidato yang konon diucapkan oleh Ali ra. (36H.) “Ajarilah mereka akan al-kitab, hikmah, faridl, dan Sunnah …..Kemudian kaum Muslimin mengangkat dua pemimpin yang saleh yangmengamalkan al-Kitab, sunnah, dan berperilaku baik. Maka mereka tidakmenganggap sunnah kecuali mesti ada contoh pengamalan ya kita lakukandari kitab Allah dan Sunnah RasulNya.”

27 MM. Azami. Hal: 22

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 13

di atas dikaitkan dengan Sunnah Rasul, Sunnah Nabi,

Kitabullah, Sunnah Nabinya, dan sebagai pengamalan Kitab

dan Sunnah’. Margoliouth sepertinya berusaha menutupi

kenyataan dan berusaha menafsirkan seenaknya, sehingga

ahirnya ia menuduh bahwa: 1) Sumber kedua yang pasti

dalam hukum Islam belum terdapat pada saat itu. 2)

Sunnah yang dimaksud adalah kebiasaan yang dilakukan

dalam suatu lingkungan. Padahal jelas dasar argument

yang diajukannya sama sekali tidak mendukung tuduhannya

tersebut.

Seandainya pendapat bahwa Sunnah pada mulanya

diartikan untuk ‘hal-hal yang sudah dikenal di kalangan

masyarakat Islam’ itu kita terima, sedang ini jarang

terjadi di mana istilah itu menjadi ‘Sunnah Muslimin’,

maka tidak otomatis akan bisa disebut dengan ‘Sunnah

Nabi’. Apalagi ucapan Ibnu Umar ketika dikomplain

tentang fatwanya seputar Haji Tamattu’: “Manakah yang

berhak diikuti, Sunnah Rasulullah atau Sunnah Umar?”

dari situ tampak penegasan terhadap perbedaan pengertian

antara kedua istilah itu. Apabila adat istiadat

diartikan sebagai Sunnah, maka apa arti ucapan Ibnu Umar

tadi?28

2. Kedudukan Sunnah dalam Islam.

28 MM. Azami. Hal: 25

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 14

a. Penjelas Kitabullah.29

ل� ز# ا ن�!������ اس م�������� لن!� ن�� ل� Zن � ن� Gت ر� ل� ك� د! ك[� أل������� ن������� ل�� ا أ_ ن!������� ل� ز#� ن�! أ�� و�حل: زون�� )أل�ن# ك� ف!� ب*� هم ث�� ل� ع� ل�� هم و� ي� ل�� (44أ_

“… Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan

pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan

supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44)

b. Rasulullah saw mempunyai wewenang untuk membuat

suatu aturan.30

ي� د! ي�� أل�� م ي�� ألأ� ن� ول� أل�ت!� س�������������� ون�� أل�ر� ع������������� ب� �Gت ن�� ي�� ب.� د! أل��م مره� ا� ل ي������� Zب���� ج� ن�! ألأ_ أة* و� ور� ي� أل�ت*� م ف! ده� ن!���� ا ع� وي������ ت* ك ه م�� دون�!����� ح� � ن��

ات* ن�� Zي هم أل�ط� ل ل�� ح ن�� ز و� ك� من! أل� ن� م ع�� اه� ه� ي! ث�� و� عروف! م� ال� ي��29 MM. Azami. Hal: 2730 MM. Azami. Hal: 30

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 15

م ه� ر� ص����������� هم أ_ ي! ع ع�� ض�����������!� ي��� ائ��ث%� و� ������������ ب� ج!� هم أل� ي� ل� م ع�� ح������������ر ن�� و�ه وأ ن��������������� ت!������������� م�� ن�� أ� ب.� د! ال�� هم ق�!� ي� ل� ائ�!�ث* ع�� ي� ك��������������� ن* لأل� أل�� ع�! ألأ� و�ه ع������� ل� م�� ز# ن�!������ ي� أ� د! ور� أل�� وأ أل�ت! ع������ ب�� أث�*� روة و� ص������� ي�!� روة و� ر!� ع�������� و�

. ون�� لح��������� مف! م أل� ك[� ه� ن� ول�� ي� أ� ! ب� اس أ_ ا أل�ن!� ه���������� ي�� ا أ�� ل ي������������ ق�*���������

أت* او� م� ك[ أل�س���� ل��� ه م� ي� ل���� د! ا أل�� ع��� مب� � م ج�� ك ن� ل�� أ_ ول أهلل� س���� ر� اهلل� وأ ي�� ت! م� ا� ت* ق�!��������� مي� ي�� ي� و� ن� ج و� ن�� لأ ه��������� ه� أ_ ل��������� لأ أ_ رض! ألأ� و�

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 16

عوة ب� أث�*� ه و� ن�* ا لم� ك�� و� اهلل� ن� ي�� م� و� ي� ب�� د! ي� أل�� م ي� ألأ� ن� وله أل�ت!� س� ر� و�ع�رأف! . )ألأ� دون�� هن*� م ي�*� ك ل� ع� (158-157ل��

“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang

(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di

sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan

melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan

bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala

yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-

belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman

kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang

terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-

orang yang beruntung.

Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah

kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan

bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang

menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah

dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan

kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya

kamu mendapat petunjuk".” (Al A’raff: 157-158)

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 17

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa

yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)

Kesimpulan ayat-ayat di atas adalah tidak dibenarkan

menggunakan Alquran saja dan meninggalkan Sunnah. Oleh

karena itu Imam Syafii mengatakan bahwa setiap orang

yang menerima hukum-hukum Allah berarti ia menerima

Sunnah Rasulnya serta menerima hukum-hukumnya.

3. Inkarus sunnah

Di atas telah disinggung sebagian kecil tentang

posisi Sunnah dalam Islam. Rasulullah saw mendapatkan

legitimasi resmi dari Allah swt sebagai salah satu

penetap hukum Islam dan kedudukan Sunnah Nabi sebagai

dasar istinbath hukum. Belakangan, muncul pemahaman yang

frontal yang mensuarakan bahwa Sunnah tidak layak

dijadikan sebagai dasar hukum agama Islam.

Azami menuliskan dalam bukunya, munkirus sunnah

tidak hanya muncul di era modern saja, bahkan sejak

dahulu kala telah terjadi gerakan inkarus sunnah dari Kaum

Khawarij, Mu’tazilah dan Syiah, tetapi mereka pada

dasarnya tidak menginkari Sunnah secara total, tetapi

hanya sebagiannya saja karena ada kecenderungan

subjektif kelompok yang mendorong mereka menolak Sunnah

dari riwayat sahabat tertentu saja, bukan menolak Sunnah

secara mutlak. Misalkan, Khawarij menolak sejumlah

Sunnah yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat yang

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 18

terlibat dan pro terhadap peristiwa akad perdamaian

(tahkim), Syiah yang menuduh murtad semua sahabat pasca

Nabi wafat, sehingga mereka menolak hadis riwayat

sahabat kecuali dari Ahlul Bait.

Gerakan inkarus sunnah ini kemudian berkembang semakin

radikal menjelang ahir abad kedua. Inkarus sunnah yang

awalnya hanya didorong oleh idealisme kelompok

berkembang menolak Sunnah secara mutlak, di samping ada

pula golongan yang hanya mengingkari Sunnah yang tidak

mutawatir saja (Ahad). Gerakan ini banyak berkembang di

tangan Orientalis dan murid-muridnya. Mereka beranggapan

bahwa Sunnah seharusnya hanya menjelaskan Alquran, jadi

bila membawa suatu hukum yang tidak tertera di dalam

Alquran, maka tidak diterima.31 Gerakan ini, kemudian

banyak mempengaruhi pemikiran para sarjana muslim,

seperti Syekh Abu Rayyah dalam kitabnya Adlwa’ Alaas

Sunnatil Muhammadiyah. Seharusnya perselisihan di antara

para fuqoha tidak menjadi sandaran bagi orang-orang yang

mempunyai maksud-maksud tertentu, karena itu hanyalah

perbedaan istilah saja. Sebab mereka menganggap Sunnah

sebagai tambahan terhadap apa yang ada di dalam Alquran,

sedangkan yang lain menganggap sebagai penjelasan. Ada

pula yang menganggap sebagai penguat terhadap apa yang

ada di dalam Alquran, tidak lebih.32 Dan masih banyak

lagi, seperti Tawfiq Shidqiy, Rasyid Ridha, Ahmad Amin,

31 Salim Ali Al Bahanasawi. Rekayasa Sunnah. Terj. Abdul Basith Junaidy.(Yogyakarta. ITTAQA PRESS, 2001) hal: 22

32 Salim Ali Al Bahanasawi. Hal: 22

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 19

Ahmad Shubhy Manshur, dan lain-lain. Azami dalam

bukunya, memberikan tanggapan kritis terhadap munkirus

sunnah modern pada tokoh-tokoh yang muncul di Mesir,

ini sangat penting mengingat Mesir menjadi pusat

keilmuan Islam sejak berdirinya dinasti Fatimiyah sampai

sekarang, dan pemikiran Islam yang muncul dari Mesir

berpotensi tinggi untuk bisa menyebar ke berbagai

penjuru Dunia.

Diakui atau tidak, munkirus sunnah tersebut banyak

dipengaruhi pemikiran orientalis33. Mereka dikecam oleh

para ulama sebagai orang yang berusaha merusak Islam,

tetapi dengan gigih mereka membantah balik bahwa mereka

sedang berusaha mengangkat Islam, memurnikan dan

memajukannya dengan gagasan yang diplomatis dan

mengatasnamakan penelitian ilmiyah dan modernisasi. Ini

secara perlahan menggeser posisi Sunnah dari dasar hukum

kedua agama Islam. Salim Ali Al Bahanasawi dengan terang

mengatakan bahwa hal ini merupakan upaya untuk

menjauhkan umat Islam dari Sunnah secara sebagian atau

keseluruhan. Bahkan untuk Sunnah Ahad yang diragukan

kedatangannya dari Rasuullah saw, mestinya sudah tidak

menjadi masalah, karena pembukuan dan pengklasifikasian

33 Juynboll, dalam analisisnya tidak terbuka (tidak fair), ia memuji AbuRayyah bahwa pemikirannya dalam Sunnah bukanlah terpengaruh dari orientalis,karena ia tidak dapat membaca selain bahasa Arab dan pada masanya bukuGoldziher belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pernyataan inibertentangan dengan keterangan sebelumnya, bahwa pada 1940 Ali Abd. Al-Qadirmenerbitkan buku yang berjudul Nazrah ‘Ammah fi Tarikh al-Fiqh al-Islamy yang merupakanterjemahan Muhammedanische Studien tulisan Goldziher secara harfiyah dan tanpamenyebutkan footnote. (Lihat Abdul Majid Khon. Hal: 72)

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 20

kedudukan Sunnah dalam sahih, dhaif dan maudhu’ telah

selesai. Dan dalam tempo yang lama para ulama telah

sepakat bahwa Sunnah adalah Hujjah dan wajib diamalkan

sebagaimana Alquran, tidak ada perbedaan antara yang

mutawatir dan ahad.34

a. Munkirus sunnah Abad Modern

Ada beberapa tokoh munkirus sunnah yang

disinggung Azami dalam Buku ini, diantarnya:

Muhammad Abduh. Sebagaimana penuturan Abu Rayyah,

Abduh mengatakan bahwa Umat Islam saat ini tidak

mempunyai pimpinan lain kecuali Alquran. Islam yang

benar adalah Islam yang dulu sebelum munculnya

perpecahan di tubuh muslimin.35 Abduh adalah orang

yang membangkitkan semangat modernisasi dan

berpikir rasional, sehingga kajian Islam kembali

hangat setelah ratusan tahun beku dalam kejumudan.

Ia juga menyerukan agar umat Islam tidak taklid. Ia

mengatakan ayat Alquran dan Hadis Nabi itu bersifat

qoth’iy dalalah jika berkaitan dengan ibadah, dan

bersifat dhannny dalalah jika berkaitan dengan

muamalat dan sosial kemasyarakatan. Abdul Majid

Khon menulis, Azami dalam menilai Abduh hampir-

hampir salah, bahwa Abduh adalah orang pertama yang

menolak sunnah di abad modern lantaran pernyataan

34 Salim Ali Al Bahanasawi. Hal: 2335 MM. Azami. Hal: 46

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 21

yang disampaikan Abu Rayyah di atas.36 Abduh memang

pembangkit semangat berpikir rasional, tetapi

murid-murid Abduh banyak yang menyimpang dan over

dari apa yang digariskan oleh Abduh sendiri,

sehingga murid-muridnya itulah yang pada ahirnya

menginkari sunnah, seperti Mamhmud Abu Rayyah,

Ahmad Amin, Ahmad Subhy Manshur, dan lain-lain.

Ada juga Dr. Tawfiq Shidqiy yang menulis Artikel

dengan Judul “Islam adalah Alquran itu sendiri”

dengan berargumen kepada ayat-ayat Alquran saja,

tanpa perlu Hadis. Pikiran ini didukung oleh Rasyid

Ridha dan ia memberikan tanggapan “ada suatu hal

yang perlu disimak dalam masalah ini, yaitu suatu

pertanyaan, apakah Hadis yang disebut juga dengan

Sunnah yang berupa ucapan Nabi itu juga bisa

disebut sebagai ‘Agama dan Syairah’. Bila ‘iya’

(berarti Agama dan Syariah) maka kenapa Nabi justru

melarang Sahabat untuk menulis selain Alquran? Para

sahabat juga tidak menulis Hadis. Begitu juga para

Ulama dan Khulafa tidak melihat pengajaran Hadis

sebagai hal yang penting.” Menurut Rasyid Ridha

Hadis yang mutawatir wajib kita terima sebagai

suatu agama secara umum, sedang hadis non mutawatir

diterima sebagai agama khusus, kita tidak wajib

mengikutinya. Semua keterangan bahwa Abu Bakar

membakar catatan Hadis dari para Sahabat dan para

36 Abdul Majid Khon. Hal: 68

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 22

sahabat enggan menulis Hadis sampai ahirnya ada

perintah dari penguasa, memperkuat pendapat bahwa

para sahabat menulis Hadis hanya untuk dihafal

sendiri, setelah itu mereka menghapusnya. Apalagi

tokoh-tokoh sahabat tidak mau mengajarkan Hadis,

bahkan melarangnya. Hal demikian itu memperkuat

pendapat bahwa Sahabat tidak bermaksud menjadikan

hadis-hadis itu sebagai suatu agama secara umum dan

abadi seperti halnya Alquran. Inilah pendapat

Rasyid Ridha, namun pada ahir hayatnya ia mencabut

pendapatnya itu.37

Gerakan inkarus sunnah juga terjadi di Benua

India, yang didalangi oleh Inggris. Kaum Muslimin

India pernah mengumumkan Jihad untuk melepaskan

diri dari belenggu penjajahan Inggris (1857 M).

Inggris mewaspadai gerakan ini dan melakukan

berbagai usaha untuk pendangkalan ilmu Agama dan

umum, penyimpangan akidah melalui pimpinan umat

Islam, dan tergiurnya mereka terhadap teori-teori

Barat untuk memberikan interpretasi hakikat Islam.38

Seperti yang dilakukan oleh Ciragh Ali dan Mirza

Ghulam Ahmad, yang fatwanya antara lain mengingkari

adanya jihad dengan senjata dalam Islam. Caranya

adalah dengan mencela-cela dan menolak Hadis-hadis

yang membicarakan Jihad. Tokoh-tokohnya adalah

37 MM. Azami. Hal: 4738 Abdul Majid Khon: 61

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 23

Sayyid Ahmad Khan (w. 1897 M), Ciragh Ali (w. 1898

M), Maulevi Abdillah Jakralevi (w. 1918 M) Ahmad

al-Din Amratserri (w. 1933 M) Aslam Cirachburri

(w. 1955 M) dan Mirza Ghulam Ahmad dan Abd. Khaliq

Malwadah. Belakangan muncul nama Ghulam Ahmad

Parwez yang membentuk kelompok Ahlul Quran (Al-

Quraniyyun). Ia mengaku mujtahid dan berfatwa bahwa

Alquran hanya memerintahakn Shalat, tentang tata

caranya hal itu diserahkan kepada kepala Negara

dengan mempertimbangkan situasi dan tempat.39

Mereka juga berpendapat bahwa perpecahan umat

Islam dikarenakan banyaknya madzhab dalam Islam dan

untuk menyatukannya adalah dengan kembali

berpedoman kepada Alquran saja.40

b. Argumen-argumen Munkirus sunnah

Salah satu Argumen Ahlul Quran adalah Agama

haruslah dilandaskan pada satu hal yang pasti.41

Apabila kita mengambil Sunnah, maka berarti Agama

itu berlandaskan pada hal yang tidak pasti. Alquran

adalah satu-satunya yang pasti. Mereka mengutip

Albaqarah: 1-2 dan Fathir: 31.

Ahlul Quran berkata: “Anda mengatakan Hadis

terbagi menjadi dua; Mutawatir dan Ahad. Hadis

39 MM. Azami. Hal: 4940 Abdul Majid Khon: 6241 MM. Azami. Hal: 51

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 24

mutawatir hanya beberapa butir saja, selebihnya

adalah hadis Ahad yang masih bersifat dhanni

(dugaan kuat) saja. Mereka berhujjah dengan QS. An

Najm: 28 yang mengecam pengguanaan dhann dan

meninggalkan yakin.

Selanjutnya mereka mengutip janji Allah untuk

menjaga Alquran dalam QS. Al Hijr: 9 dan juga

perhatian Rasulullah terhadap Alquran, sehingga

ketika wahyu Alquran turun maka Rasulullah saw akan

mengumpulkan sejumlah sahabat untuk menulisnya.

Berbeda dengan Hadis, yang justru Rasulullah

melarang penulisannya, bahkan Abu Bakar

membakarnya. Ini memunculkan sebuah pertanyaan,

kenapa hal itu dilakukan oleh Nabi dan para

sahabat? Jika memang hadis itu penting (wahyu dari

Allah), maka hal itu tidak mungkin terjadi.42

Isu lain yang muncul adalah pernyataan bahwa

Sunnah bukanlah wahyu, sebab ini akan meniscayakan

keterjagaannya sebagimana Alquran. Menurut Tawfiq

Shidqiy, apa yang diucapkan Nabi saw tidak secara

mutlak sebagi wahyu, tetapi ijtihad. Ia menafsirkan

QS. An Najm ayat 3-4 bahwa dhomir ه�و kembali kepadaal-Kitab yang diturunkan, bukan kepada Nabi. Ayat

ini tidak menjelaskan bahwa apa saja yang dikatakan

Nabi adalah wahyu, tetapi lebih kepada pokok

42 MM. Azami. Hal: 54

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 25

derajat kenabian. Maka apa yang dikatakan Nabi

adalah ijtihad yang mungkin benar dan salah,

diikuti oleh sahabat atau tidak sebagaimana dalam

pemilihan strategi dalam pemilihan lokasi perang

badar. Pendapat Nabi tidak diikuti tetapi memilih

pendapat sahabat al-Habbab bin al-Mundzir yang

dianggap lebih tepat dan strategis.43

Pemikiran yang membagi wahyu menjadi dua, yakni:

wahyu dibacakan (matlu) dan tidak terbaca (ghoiru

matlu) oleh Ahlul Quran dinilai adalah sangat lemah

dan merupakan pemikiran susupan Yahudi.44

c. Tanggapan Azami terhadap Argumen-argumen

tersebut

Guna membantah pendapat yang mengatakan

penggunaan hadis Ahad, Azami mengutip apa yang

disampaikan Abu al-Husain Al-Basri Al-Mu’tazili:

“Dalam menerima Hadis-hadis Ahad sebenarnya kita

memakai dalil-dalil yang pasti yang mengharuskan

untuk menerima Hadis-Hadis itu.” Jadi kita tidak

memakai dhann yang bertentangan dengan haqq tetapi

kita memakai dhann yang memang diperintahkan oleh

Allah.45

43 Abdul Majid Khon. Hal: 117 44 MM. Azami. Hal: 5545 MM. Azami. Hal: 58

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 26

Selanjutnya, terkait adanya wahyu terbaca dan

tidak terbaca yang kemudian diklaim oleh munkirus

sunnah sebagai susupan pemikiran Yahudi. Azami

menawarkan untuk menelaah kembali QS. Albaqarah:

144-142, yang menyiratkan pengertian bahwa Kiblat

pertama (Baitul Maqdis) ditentukan sendiri oleh

Allah, seperti juga Kiblat kedua (Ka’bah). Sebab

Allah juga berfirman:

“… Dan Kami tidak menjadikan Kiblat (Baitul Maqdis) yang

menjadi kiblatmu sekarang …” (QS. Albaqarah: 142)

Namun, tidak ditemukan sama sekali di dalam

Alquran satu ayat pun yang membahas perintah

menghadap Kiblat pertama. Dengan demikian, perintah

menghadap Kiblat pertama adalah bukti adanya wahyu

tidak tertulis.46 Jadi klaim yang mengatakan bahwa

wahyu terbaca dan tidak terbaca adalah pemikiran

Yahudi adalah suatu klaim yang tidak berdasar dan

muncul dari kekurang telitian dalam memahami

Alquran.

Mengenai QS. An Najm 3-4. Dhomir ه�و yang dimaksudyang benar kembali kepada ط�������ق* yang أل�ن! diambil darikata ط�������ق* ن! .ث�� Selain itu, dalam ayat tersebut jugamenggunakan pola ringkasan (uslub hasr) dengan

46 MM. Azami. Hal: 64

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 27

menggunakan pola pengecualian (istisna’ لأ (أ_ yangdidahului oleh adat nafi ن� yang ,أ_ berarti seluruh

ucapan Nabi adalah wahyu, tanpa terkecuali dan

tidak ada ijtihad sama sekali.47

C. Kegiatan Pendidikan Di Jazirah Arab

1. Kegiatan Pendidikan Pada Masa Raslullah

Tatkala Allah bermaksud menyempurnakan nikmatNya di

alam Raya ini, Ia mengutus Muhammad saw yang ummi

sebagai Rasul. Tetapi risalah Islam tidak mungkin

membiarkan dalam keadaan begitu, sebab Islam menghendaki

umatnya melepaskan diri dari kebodohan. Karena ketidak

tahuan tulis menulis termasuk hal yang menghalangi

masalah itu, maka perintah Allah yang pertama kali

diturunkan adalah perintah membaca.

Setelah Kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, dakwah

Islam menemukan titik-titik cerah dimana Kaum Anshar

memeluk Islam. Keadaan pendidikan Islam juga mengalami

perubahan sebab Kaum Anshar yang hidup -saat itu-

sebagai bangsa ummi tidak menghendaki hidup dalam

kebodohan.

Pada waktu Nabi masih tinggal di Makkah, orang Anshar

seperti Rafi’ bin Malik juga pernah menghadap Nabi saw

untuk belajar Alquran dan sesudah kembali ke Madinah ia

47 Abdul Majid Khon. Hal: 118

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 28

mengajarkannya di sana. Bahkan, mereka meminta Nabi

mengirimkan guru-guru untuk mengajarkan Agama dan

Alquran kepada mereka.48

Rasulullah saw juga menyampaikan beberapa Hadis yang

mengangkat derajat pendidikan (belajar-mengajar). Di

samping belajar, Rasulullah saw juga menganjurkan untuk

mengajar dengan gratis tanpa biaya, agar kemiskinan

tidak menjadi kendala dalam menuntut ilmu. Oleh sebab

itu, ketika Ubadah bin Shamit menerima hadiah panah dari

muridnya, Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu senang

memakai pedang dari neraka, maka terimalah saja pedang

itu.”

Hal yang pertama dilakukan Nabi setelah Hijrah ke

Madinah ialah membangun masjid dimana disediakan ruangan

khusus untuk pendidikan yang disebut Suffah. Ini bisa

kita sebut sebagai perguruan intern dalam Islam, sebab

tempat itu juga dipakai sebagai asrama pelajar yang

tidak mampu. Jumlah penghuni Suffah itu tidak tentu

tergantung situasi dan waktu. Peta Madinah waktu itu

sudah menunjukkan adanya Sembilan masjid, yang tidak

menutup kemungkinan juga dijadikan sebagai pusat

Kegiatan Pendidikan Agama.49

Rombongan yang menghadap Nabi selalu dipersilahkan

untuk menginap di rumah-rumah sahabat Anshar. Nabi

48 MM. Azami. Hal: 8149 MM. Azami. Hal: 85

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 29

pernah bertanya kepada rombongan Abdul Qais: “Bagaimana

saudara-saudaramu di sini menerima kehadiran kalian?”

Mereka menjawab: “Baik sekali, Kami diberi tempat tidur

yang empuk, dan makanan yang lezat. Pada malam dan pagi

hari kami diberi penjelasan tentang Kitabullah dan

Sunnah RasulNya.” Rasulullah merasa kagum dan gembira,

lalu mereka ditest satu persatu tentang pelajaran yang

telah diperolehnya dari sahabat Anshar sambil

menambahinya pelajaran-pelajaran yang baru. Para sahabat

sangat perhatian terhadap Sunnah-sunnah Nabi saw, mereka

sangat bersemangat dalam saling meriwayatkan apa yang

mereka peroleh dari Nabi satu sama lain, bahkan ada yang

bersepakat dengan kawannya agar ia hadir di majelis Nabi

pada hari ini sementara yang satu pergi bekerja,

kemudian esoknya bergantian satunya hadir di majelis

Nabi sedang satunya lagi bekerja, sehingga pada hari

kemudian mereka bisa saling berbagi ilmu yang ia

lewatkan. Perhatian mereka yang demikian bukanlah hal

yang aneh mengingat itu adalah cerminan langsung dari

perhatian Rasulullah saw sendiri terhadap ilmu.50

Tidak berselang lama setelah Nabi tinggal di Madinah,

turun wahyu tentang masalah hutang piutang dan anjuran

agar Umat Islam mencatat dagangannya. Perintah inipun

bersambut baik dan lancar, karena Umat Islam yang

mulanya ummi saat itu telah mengetahui benar tentang

tulis menulis. Ini implikasi positif atas perhatian

50 Muhammad Alawi Al-Maliki. al-Manhal al-Latief. (tanpa penerbit) hal: 23

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 30

Rasulullah saw tentang kemampuan menulis Sahabat, usaha

beliau ini terlihat jelas dalam sejarah perang Badar.

Rasulullah saw memutuskan orang-orang kafir yang menjadi

tawanan perang yang bisa membaca menulis dapat

memperoleh kebebasan dirinya dengan syarat tiap-tiap

satu orang tawanan harus mengajar membaca menulis sampai

mahir kepada sepuluh orang putra-putri Orang Islam di

Madinah.51 Rasulullah saw juga pernah mengangkat Abdullah

Ibn Said ibn Al-Ash sebagai pengajar tulis menulis,

karena saat itu ia adalah salah satu orang yang terampil

menulis. Ada juga Ubadah bin Shamit yang juga

mengajarkan tulis menulis kepada para Ahli Suffah.52

Bukti lain tentang tersebarnya budaya tulis-menulis

dikalang Muslimin adalah keberadaan sekertaris Nabi yang

jumlahnya mencapai lima puluh orang.53 Keberhasilan

kebijakan pendidikan yang diterapkan Nabi ini sangat

gemilang, Islam yang mulanya ummi tidak sampai satu Abad

telah memiliki begitu banyak tenaga teknis yang mumpuni.

Ini juga menandai akan hangatnya kegiatan pendidikan

pada periode abad pertama Hijri.

2. Orientalis dan Periode Umayah (Abad pertama Hijri)

Prof. Nicholson dalam bukunya Goldziher menjelaskan

bahwa tulisan-tulisan prosa pada periode Umayyah perlu

51 Muhammad Alawi al-Maliki. Ilmu Ushhul Hadis. Terj. Adnan Qohar. Hal:14

52 MM. Azami. Hal: 8353 MM. Azami. Hal: 87

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 31

mendapat catatan penting. Dalam bidang sastra, semangat

non-agama (atheis) dan non Islam telah mempengaruhi

tulisan-tulisan mereka.54

Schacht yang juga menjadikan tulisan Goldziher

sebagai Argumen, mengatakan bahwa Goldziher menegaskan

bahwa hadis-hadis yang tersebar pada masa abad pertama

tidak ada kaitannya dengan fikih (hukum), tetapi

berkaitan dengan masalah Akhlaq, zuhud, ahirat dan

politik.55 Dalam bukunya Introduction of Islamic Law, Schacht

memberikan laporan berikut:

Sunnah dalam konteks Islam pada awalnya lebih memliki konotasi

politis daripada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan-kebijakan dan

administrasi khalifah. Pertanyaan apakah tindakan-tindakan administratif

dari dua khalifah yang pertama, Abu Bakar dan Umar harus dipandang

sebagai preseden-preseden yang mengikat, muncul barangkali pada saat

pengganti Umar harus ditunjuk (23/644), dan ketidak puasan terhadap

khalifah ketiga (Usman) yang mengakibatkan pembunuhannya pada

35/655, menjadi tuduhan bahwa dia pada gilirannya, menyimpang dari

kebijakan pendahulunya dan, secara implisit, dari Alquran.56

Pada umumnya Muhammad, hanya memiliki sedikit alasan untuk

mengubah hukum adat yang sudah ada. Tujuannya selaku Nabi bukanlah

untuk membuat sistem hukum yang baru, tetapi sekedar mengajarkan

manusia bagaimana manusia bertindak, apa yang harus dilakukan, dan

54 MM. Azami. Hal: 9255 MM. Azami. Hal: 9356 MM. Azami. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum. Terj. Asrofi Shodri. (Jakarta:

Pustaka Firdaus 2004) hal: 35

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 32

apa yang harus dihindari agar dapat dengan selamat menghadapi

perhitungan pada hari pembalasan dan agar masuk surga.57

Goldziher juga mengemukakan hadis yang dituduhnya

didasari unsur politik:

“Tidak diperkuat berkendaraan (di perjalanan) kecuali kepada tiga

masjid, yaitu: masjidil Haram, masjidku ini, dan masjidil Aqsha. (muttafaq

alaih)”

Ia menuduh Hadis ini adalah ucapan Al-Zuhri bukan

dari Nabi saw, karena ada alasan politik yakni melayani

keinginan Abd. Al-Syiah bin Marwan yang khawatir, jika

penduduk Syam pergi haji ke Makkah dan membaiat Abdullah

bin Zubayr. Maka haji mereka akan dialihkan ke Qubbah Al-

Sakhra di Al-Quds.58

Pandangan-pandangan Goldziher juga mempunyai posisi

yang sangat berpengaruh besar di antara akdemisi

orientalis, bahkan buku Muhammedanische Studien menjadi

kitab suci mereka dalam mengkaji Hadis. Maka, di sini,

Azami merasa perlu mengulas tentang Goldziher dan

kesimpulannya terhadap Islam. Berikut adalah point-point

dari bagaimana Goldziher mendeskripsikan Umat Islam

periode Umayyah:59

a. Umat Islam diselimuti kebodohan yang mutlak tentang

ajaran Islam baik sebagai akidah maupun syariah.

57 MM. Azami. Hal: 1958 Abdul Majid Khon. Hal: 7359 MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejerah Kodifikasinya. Hal: 94

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 33

b. Ketidakmampuan Islam untuk membuat aturan-aturan dan

teori-teori yang lengkap secara teratur dan rapi.

Kedua kesimpulan di atas muncul berdasarkan beberapa

alasan, di antaranya adalah:60

a. Orang-orang Islam itu ternyata tidak mengetahui cara-

cara mengerjakan Shalat. Goldziher berdalih dengan

Hadis yang diriwayatkan dari Imam Bukhari, dimana Abu

Qilabah berkata: “Kami didatangi Malik bin al

Huwairist di Masjid kita ini. Malik kemudian shalat.

Setelah selesai shalat ia berkata: “Sebenarnya saya

tidak bermaksud shalat. Saya hanya ingin

memberitahukan bagaimana cara Rasulullah saw

melakukan shalat.”

b. Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali.

Sampai ketika Ibnu Abbas minta penduduk kota Basrah

untuk mengeluarkan zakat fitrah, mereka tidak paham.

Ahirnya, salah seorang yang berasal dari Madinah

menjelaskan hal itu kepada mereka. Goldziher berdalil

dengan riwayat yang berasal dari al-Hasan, dimana

Ibnu Abbas pada suatu saat di ahir Ramadhan berhutbah

di sebuah masjid Basrah dan memerintahkan agar orang-

orang membayar zakat firahnya, namun mereka tidak

melakukannya. Lalu beliau menyuruh orang dari Madinah

untuk menerangkannya kepada yang tidak tahu.

60 MM. Azami. Hal: 95

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 34

Begitulah kurang lebih gambaran Goldziher terhadap

keadaan masyarakat Islam periode Abad pertama Hijri.

Tetapi, ada hal yang perlu diperhatikan dari deskripsi

Goldziher itu, ia sama sekali tidak menyinggung tentang

geliat pendidikan yang terjadi di abad pertama. Di atas

telah dijelaskan bahwa kegiatan pendidikan di Jazirah

Arab sangatlah subur dan memperoleh pencapaian yang

fantastis, mengingat start awal umat Islam yang

mayoritas ummi. Hangatnya geliat pendidikan di tangan

Rasulullah semestinya akan berdampak positif di masa-

masa setelahnya dalam melahirkan cendikiawan dan

agamawan yang berkualitas, dan tentu priode Umayyah

seharusnya penuh dengan cendikiawan dan agamawan, yang

tentu tidak akan membiarkan umat Islam dalam kebodohan

sebagiamana tuduhan Goldziher.

Tradisi saling menyampaikan ilmu yang telah

ditanamkan oleh Nabi, menjadi sebuah fakta yang secara

otomatis menyanggah kesimpulan Goldziher itu. Rasulullah

berkata: “Semoga Allah menerangi seseorang yang

mendengarkan sesuatu dariku, kemudian ia menyampaikannya

kepada orang lain, sebagaimana ia mendengarkannya

dariku. Terkadang banyak orang yang disampaikan

(kepadanya) itu lebih mengerti dari pada si pendengar

langsung.”61 Ini memberikan sebuah semangat dan motivasi

yang kuat kepada umat Islam untuk menaruh perhatian yang

besar terhadap ilmu.

61 Muhammad Alawi Al Maliki. Al-Manhal al-Latief. (tanpa penerbit) Hal: 23

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 35

Dalam rangka memperkuat kesimpulannya itu Goldziher

juga beberapa kali mengutip buku dari penulis yang tidak

dikenal, seperti al Uyun wal Hadaiq. Selain itu, buku-buku

Syiah juga dikutip tanpa kajian yang cermat. Padahal

dalam mengkaji Periode Umayyah perlu mencermati secara

mendalam buku-buku Syiah yang dijadikan sumber,

mengingat Syiah dan Dinasti Umayyah memiliki konflik.

Kritik terhadap kesimpulan Goldziher sesungguhnya telah

dirintis oleh Nashir al-Din al-Asad dalam buku hasil

penelitiannya yang berjudul Masadir al-syi’r al-Ula (1926), ia

berhasil menemukan fakta-fakta dan dokumen mengenai

perkembangan subur tulis-menulis di Jazirah Arab, suatu

hal yang tidak diakui oleh Goldziher.62

Adapun kesimpulan Goldziher di atas disanggah Azami

degan mengkaji kembali alasan-alasan yang

dikemukakannya:63

a. Seperti yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu

Saad, bahwa Malik bin al-Huwairist pernah ditugaskan

oleh Nabi saw untuk mengajarkan Shalat kepada orang

lain. Oleh sebab itu, wajar saja, jika ia datang ke

masjid lalu mengajarkan shalat kepada orang lain.

Sebenarnya kesimpulan Goldziher ini sangat aneh,

sebab apabila memang ada orang yang mengajar orang

lain dalam suatu masyarakat, apakah itu dapat

62 Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer.(Bandung: Remaja Rosdakarya 2004) hal: 251

63 MM. Azami. Hal: 99

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 36

dijadikan bukti bahwa masyarakat itu bodoh

seluruhnya?

b. Riwayat tentang Ibnu Abbas di atas adalah dhaif

(lemah). Di samping itu lebih dari lima puluh orang

tokoh-tokoh sahabat tinggal di Basrah, antara lain;

Abu Musa Al Asyari, Anas bin Malik, Qabisah bin Al

Muharriq dan lain-lain. Di antara mereka ada Abdullah

bin Al Mughaffal dan Imran bin Hushain. Keduanya

adalah orang yang diutus oleh Umar ra. untuk mengajar

penduduk Basrah.

Setelah diteliti kembali gambaran yang disampaikan

Goldziher jelas tidak berlandaskan kajian ilmiyah,

tetapi lebih cenderung subjektif. Dari sini, diketahui

tuduhan Goldziher –tentang penulisan prosa pada masa

Umayyah- yang dimulai dengan materi-materi non agama itu

lemah sekali. Yang benar justru sebaliknya, sebab jumlah

kitab-kitab Hadis yang cukup banyak pada masa Umayyah.

Terbukti bahwa terdapat perpustakaan yang tersebar di

Negara-negara Islam pada dekade keenam Abad pertama

Hijri. Abd al-Hakam bin Amr bin Abdullah bin Sufwan al-

Jumahi mendirikan perpustakaan umum yang berisi berbagai

koleksi buku serta dilengkapi ruangan untuk bermain.

Mujahid menuturkan bahwa Abd al-Rahman bin Abu Laila

mempunyai rumah yang diisi dengan mushaf-mushaf. Ada

juga perpustakaan milik Khalid bin Yazid bin Muawiyah.

Selain itu kitab-kitab hadis tulisan Sahabat, Tabiin,

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 37

hingga tabiut Tabiin yang dijelaskan oleh Azami dalam

Bab IV buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya

merupakan penjelasan akan banyaknya kitab-kitab Hadis

yang muncul dari abad pertama Hijri dan era Muawiyah.

D. Penulisan Hadis Nabawi

Kapasitas umat Islam dalam tulis-menulis jelas sangat

cukup untuk melakukan kodifikasi Hadis secara teks sejak

Nabi saw masih hidup, tetapi pendapat yang dominan di

antara para sarjana Muslim adalah Hadis itu disebarkan dari

mulut ke mulut (secara lisan) sampai ahir abad pertama

Hijri. Sebagaimana dinukil Ibnu Hajar bahwa Umat Islam pada

mulanya mengajarkan Hadis melalui hafalan. Ketika kemampuan

hafalannya menurun, mereka mulai membukukanya.

Orang yang pertama kali mempunyai ide untuk membukukan

Hadis adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Proses

kodifikasi dimulai dengan khalifah mengirimkan surat ke

seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada ahir

tahun 100 H yang berisi perintah agar seluruh hadis Nabi

dihimpun.64 Beliau mengirim surat kepada Abu Bakar bin

Muhammad bin Hazm dan mengatakan: “Periksalah dan tulislah

semua hadis-hadis Nabi saw, sunnah-sunnah yang sudah

dikerjakan, atau hadis dari Amrah binti Abd Rahmah (murid

kepercayaan Aisyah)65; karena saya khawatir hal itu akan

punah.” Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memberikan

64 Idris. Hal: 9465 Idris. Hal: 95

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 38

perintah kepada Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Al Zuhri dan

lain-lain untuk mengumpulkan dan menuliskan Hadis. Pendapat

Malik juga popular bahwa orang pertama yang menulis Hadis

adalah Ibnu Syihab Al Zuhri.66 Al Zuhri berhasil

mengumpulkan hadis dalam satu kitab sebelum Khalifah

meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke

berbagai daerah untuk bahan penghimpunan Hadis

selanjutnya.67

1. Keterlambatan Penulisan Hadis sampai Satu Abad

Mengenai fakta keterlambatan penulisan hadis yang

sampai seratus tahun lebih, Ibnu Hajar menjawab bahwa

Hadis Nabi yang belum disusun dan dibukukan pada masa

Sahabat dan Tabiin tua disebabkan adanya tiga faktor.

Azami merumuskannya dari alasan Ibnu Hajar dan

langsung menanggapinya sebagai berikut:68

a. “Kebanyakan mereka tidak dapat menulis.”

Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan tentang

kapasitas Kaum Muslimin di era Nabi yang mumpuni

dalam tulis menulis. Banyaknya jumlah sekertaris

dan sistem administrasi yang besar di era Khualafaur

Rasyidin yang menuntut kecakapan menulis adalah

bukti bahwa tulis menulis sudah pasti dikuasai oleh

umat Islam.

66 MM. Azami. Hal: 10767 Idris. Hal: 9568 MM. Azami. Hal: 109

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 39

Selain itu, alasan ini terbantahkan dengan

ditulisnya Alquran, maka berarti Umat Islam benar-

benar bisa menulis.

b. “Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat

diandalkan, sehingga mereka tidak perlu menulis

Hadis.”

Kemampuan hafalan yang tinggi yang dimiliki

mayoritas Orang Arab adalah mungkin sekali karena

mereka jauh dari kesulitan-kesulitan dan kebisingan

kota. Selain itu, tradisi mereka menghafal nama-

nama kakek buyut dan diwan-diwan Syair adalah suatu

penjelasan terhadap kemampuan hafalannya yang terus

terasah. Tetapi demikian tidak lantas mereka tidak

menulis. Meskpiun orang hafal syair-syair ternyata

ia juga menulisnya.

c. Semula ada larangan dari Nabi untuk menulis Hadis,

seperti yang terdapat dalam Sahih Muslim. Hal itu

dikhawatirkan akan tercampurnya sejumlah Hadis

dengan Alquran.

Mengenai hadis tersebut. Terdapat tiga riwayat

sahabat yang populer, yakni: dari Abu Said al

Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit. Tetapi

semua riwayat itu dinilai tidak sahih, karena

terjadi masalah dalam sanad yang melalui ‘Abd al

Rahman bin Zaid bin Aslam yang dianggap lemah

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 40

sekali. Abu Said al Khudri diriwayatkan dari dua

jalur salah satunya melalui ‘Abd al Rahman bin Zaid

bin Aslam, sedangkan Abu Hurairah diriwayatkan

dengan satu jalur juga melalui jalur yang sama.

Zaid bin Tsabit diriwayatkan melalui al-Mutallib

bin Abdullah bin Hantab, yang dianggap lemah karena

ia tidak pernah mendengar langsung dari Zaid bin

Tsabit.

Yang bisa diperhitngkan adalah riwayat Abu Said al

Khudri yang melalui Hammam dari Zaid bin Aslam,

dari Ata’ bin Yasar, dari Abu Said Al Khudri.

Tetapi hadist inipun dikaji kembali dan ternyata

masih dalam perselisihan ulama, apakah marfu atau

mauquf.

Azami melanjutkan, ia cenderung memilih pendapat

bahwa larangan penulisan Hadis tersebut hanyalah untuk

penulisan Hadis bersama Alquran dalam satu naskah.

Sebab akan dikhawatirkan percampuran antara Hadis dan

Alquran.69

2. Kitab-Kitab Hadis Periode Abad Pertama Hijriyah.

Selanjutnya, Azami menyebutkan jumlah yang sangat

banyak sekali tentang riwayat Hadis dari para sahabat,

Tabiin, dan Tabiut Tabiin sekitar abad pertama Hijri,

sebagai bukti adanya ribuan kitab Hadis yang beredar

69 MM. Azami. Hal: 116

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 41

di masa Tabiin dan Tabiut Tabiin. Sebab peristiwa

penulisan Hadist yang terjadi pada Abad ketiga, yang

dinilai lebih baik dan jauh lebih teratur dibanding

penulisan pada masa sebelumnya, telah banyak

menggabungkan kitab-kitab masa sebelumnya dengan

kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa itu, sehingga

tidak tersisa kitab Hadis yang ditulis di masa

sebelumnya, kecuali sedikit saja.

Kenyataan ini sering dijadikan oleh sementara orang

untuk membantah adanya pembukuan hadis pada masa dini,

bahkan untuk membantah adanya hadis itu sendiri.70

Misalkan dalam teori e-silento yang digunakan oleh

Schacht guna mendukung thesisnya. Teori itu

mengasumsikan bahwa jika seorang ulama pada waktu

tertentu mengabaikan suatu Hadis tertentu atau tidak

menyinggungnya atau, terlebih, jika hadis tersebut

tidak disinggung oleh ulama-ulama terkemudian bahwa

ulama sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka

Hadis itu dianggap tidak ada pada masa itu.71

Dalam Bab IV buku Hadis Nabi dan Sejarah

Kodifikasinya, Azami mencurahkannya guna membuktikan

adanya tulisan-tulisan Hadis di masa Sahabat, Tabiin

dan Tabiut Tabiin. Ia mencoba membatalkan asumsi-

asumsi di atas, dengan membuktikan akan adanya sejarah

bahwa Hadis itu sudah ada sejak Abad pertama dan

70 MM. Azami. Hal: 12371 MM. Azami. Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum. Hal: 164

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 42

bukanlah produk Abad kedua sebagaimana dituduhkan

orientalis. Berikut sebagian sedikit dari ratusan

Sahabat, Tabiin dan Tabuit Tabiin yang ditulis oleh

Azami.

a. Tulisan Para Sahabat72

1) Abu Ayyub Al Anshari

Nama aslinya Khalid bin Zaid, Ra. (w. 52

H). Beliau menulis beberapa Hadis Nabi dan

dikirimkan kepada kemenakannyaseperti

dituturkan dalam kitab Musnad al Imam Ahmad “…

Saya diberitahu kemenakan Abu Ayub al Anshari,

ia dikirimi surat oleh Abu Ayub dan diberitahu

bahwa Abu Ayub mendengar dari Rasulullah saw

bersabda ….”

Cucu beliau, yaitu Ayub bin Khalid bin Ayub al

Anshari jura meriwayatkan 112 Hadis dari

ayahnya, dari kakeknya (Abu Ayub al Anshari).

Hadis sebanyak ini biasanya merupakan tulisan

dalam lembaran-lembaran (shahifah), tetapi

tidak diketahui siapa yang mencatat shahifah

itu.

2) Abdullah bin Amr bin Ash

72 MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejarah kodifikasinya. Hal: 132

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 43

Beliau adalah seorang tokoh yang alim dan

rajin beribadah, di samping sebagai Sahabat

Rasulullah saw. Beliau masuk Islam lebih

dahulu daripada kedua orang tuanya dan hijrah

ke Madinah sesudah tahun ke tujuh.

Di Madinah beliau banyak menyaksikan

sahabat menulis Hadis. Seperti beliau tuturkan

sendiri sebagai berikut: “Pada suatu saat para

sahabat berada di Kediaman Rasulullah saw.

Saya juga bersama mereka, dan saya yang paling

muda. Waktu itu Rasulullah saw bersabda:

barangsiapa dengan sengaja membohongi diriku

maka hendaklah ia siap-siap masuk neraka.”

Setelah kami keluar dari rumah Nabi saw, kami

bertanya kepada mereka “Bagaimana kalian

meriwayatkan Hadis dari Nabi, sedangkan beliau

bersabda seperti itu?” mendengar pertanyaan

saya itu mereka tertawa seraya mengatakan

“Wahai kemenakan kami, semua hadis yang kami

dengar dari Rasulullah itu sudah kami tulis

dalam buku.”

Abu Hurairah memberikan kesaksian bahwa

Abdullah banyak menulis Hadis. Katanya, “Tidak

ada Sahabat nabi yang lebih banyak hadisnya

dibanding saya, kecuali Abdullah bin Amr,

sebab ia menulis sedangkan saya tidak.” Dan

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 44

begitulah, Abdullah bin Amr selalu menulis

Hadis sampai hal itu dikumpukan dalam sebuah

sahifah yang dinamai al Shadiqah. Dan ini

merupakan benda yang paling berharga bagi

beliau.

b. Tulisan para Tabiin73

1) Abban bin Ustman (20-105 H.)

Beliau termasuk orang yang pertama kali

menulis buku. Beliau menulis buku tentang

maghazi (kisah-kisah peperangan Nabi). Yahya

bin al Mughirah bin Abd Rahmah meriwayatkan

dari ayahnya, bahwa ayahnya (al Mughirah)

tidak mempunyai kitab tulisan tangan yeng

berisi hadis-hadis Nabi, selain maghazi Nabi

yang diambilnya dari Abban bin Ustman. Ayahnya

sering membacakan kitab tersebut dan

menyuruhnya untuk mempelajarinya.

2) Ibrahim bin Yazid al Nakhai al Anwar

Mansur meriwayatkan dari Ibrahim, kata

Ibrahim: “Saya tidak pernah menulis apapun.”

Sedangkan Fudhail pernah datang kepada Ibrahim

dan berkata, saya datang kepadamu membawa

berbagai masalah, tetapi saya lupa hal itu;

sedangkan anda juga tidak suka menulis

73 MM. Azami. Hal: 201

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 45

sesuatu.” Kemudian Ibrahim menjawab, “Memang

jarang orang mau menulis kecuali tulisannya

itu ahirnya dijadikan andalan.”

Barangkali karena alasan inilah beliau

enggan menulis Hadis. Apabila tidak demikian,

tentu beliau sudah menulisnya, seperti yang

pernah beliau lakukan pada Qatadah.

Orang-orang yang menyimpan tulisan Hadis dari Ibrahim

1) Hammad bin Abu Sulaiman.

Jami’ bin Syaddad menuturkan, ia melihat

Hammad menulis Hadis dirumah Ibrahim.

2) Qatadah

Qatadah menulis surat kepada Ibrahim al

Nakhai, menanyakan masalah-masalah asuhan

dan susuan. Kemudian Ibrahim menjawabnya

secara tertulis di mana disebutkan beberapa

Hadis Nabi dan pendapat para Sahabat yang

ada kaitannya dengan masalah tersebut.

E. Tahammul al-‘Ilm (Penyebaran Hadis)

Para ulama’ dan peneliti lebih-lebih para pembaca

umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa hadis Nabi SAW

tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Seperti

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 46

pendapat yang masyhur dari Malik bin Anas, di mana beliau

mengatakan bahwa orang yang pertama kali mentadwin hadis

adalah Ibnu Syihab al Zuhri. Adalah suatu kekeliruan

pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali

menulis hadis adalah al- Zuhri74.

Ibn Syihab al-Zuhri hidup pada masa khalifah Umar Ibn

Abd al-Aziz dari bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 99-

101 H. Khalifah memerintahkan para ulama untuk mendirikan

majelis-majelis hadis dan membukukan hadis Nabi. Selain al-

Zuhri, ulama yang mendapat perintah untuk mengumpulkan dan

membukukan hadis tersebut adalah Amarah binti Abd al-Rahman

dan Abu Bakar Ibn Hazm75. Maka dari itu, dianggaplah bahwa

penulisan hadis baru dimulai pada masa khlalifah Umar Ibn

Abd al-Aziz oleh Syihab al-Zuhri. Tidak berarti menafikan

bahwa al-Zuhri merupakan ulama’ yang mengumpulkan hadis,

yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses pengumpulan

sampai pentadwinan bukanlah baru dimulai oleh al-Zuhri akan

tetapi hal itu merupakan proses yang sangat panjang dan

lama sejak masa nabi Muhammad SAW.

Sulit juga rupanya untuk menetapkan siapa sebenarnya

penulis/ pembuku pertama hadis secara resmi, mengingat

instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz selain dikirim

74Beliau dilahirkan pada tahun 58 Hijriah, di akhir kepemimpinanMuawiyah, dan wafat di tahun 124 Hijriah. Beliau menulis hadis atasperintas khalifah Umar bin Abdul Aziz pada akhir abad pertama hijri.(http://rafiqjauhary.com/2014/04/15/muhammad-bin-syihab-az-zuhri/), diakses pada15 Mei 2015

75 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer),(PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), hal.178

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 47

kepada para gubernurnya, dikirim juga secara khusus kepada

masyarakat, khususnya penduduk Madinah. Fashih al-Harawiy

dan al-alyubiy menetapkan orang pertama yang menulis dan

membukukan hadis secara resmi ialah Ibnu Juraij atau Malik

bin Anas,atau Rabi’in bin Shabih di Basrah.76

Di samping perdebatan para ulama tentang siapa yang

membukukan hadis pertama kali, data-data lain membuktikan

bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW

masih hidup, dan hal itu berlangsung sampai kurun-kurun

sesudahnya. Namun hal itu tidak berarti meniadakan adanya

penyebaran hadis secara lisan atau berdasarkan kekuatan

hafalan. Yang perlu dijelaskan adalah bahwa penulisan hadis

tidaklah sedikit seperi bayangan sementara orang, begitu

pula kekuatan hafalan tidak merupakan andalan mutlak

seperti anggapan kebanyakan orang.77

Oleh karena itu, M.M Azami dalam bukunya membahas

tentang system penyebaran atau pengajaran hadis, pada kurun

waktu sekitar abad pertama dan kedua hijri:

1. Guru dan Kelompok Belajar

M. M Azami dalam bukunya menyebutkan bahwa salah

satu metode penyebaran atau pengajaran hadis adalah

lewat guru dan kelompok belajar. Ada riwaya lemah

menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyebut76 H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN

Purwokerto Press: Purwokerto, 2010), hal: 28777 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya; terjemahan Ali Musthafa

Ya’kub cet. Ke-6, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hal. 441

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 48

dirinya sebagai “guru” (mu’allim). Memang Rasulullah SAW

sering duduk dalam halaqah bersama para sahabat untuk

mengajar mereka. Abu Waqid al-Laitsi menuturkan, suatu

ketika Rasulullah SAW duduk di mesjid bersama para

sahabat, tiba-tiba tiga orang dating. Yang dua menghadap

Rasulullah SAW, sedang yang satu pergi. Kemudian dua

orang ini berdiri di depan Rasulullah SAW, dan setelah

salah satunya melihat tempat kosong dalam halaqah itu,

ia duduk di situ. Terkadang Nabi SAW juga duduk di atas

mimbar sambil mengajarkan masalah-masalah agama kepada

para sahabat, sedang mereka duduk mengelilinginya. Dan

masalah-masalah penting selalu diulangi Nabi SAW sampai

tiga kali.

Para sahabat juga memperhatikan tingkah laku,

perbuatan, ucapan, dan gerak-gerik Nabi SAW dengan

cermat. Mereka tanpa berkemauan keras untuk menghafal

sabda-sabda Nabi SAW yang mereka dengar, dan berusaha

mengamalkan hal-hal yang mereka pelajari. Bahkan lebih

dari itu, sejumlah sahabat ada yang menghafal hadis

kemudian memperdengarkannya kembali hafalannya itu

kepada Rasulullah SAW. Dan beberapa fenomena yang

terjadi, ketika tidak semua sahabat dapat menghadiri

majleis ta’lim yang diadakan oleh Nabi SAW secara terus

menerus maka mereka mengatur waktu untuk bergiliran

sehingga dapat saling menambah pelajaran-pelajaran yang

tertinggal. Sampai Imam Bukhari membuat bab khusus dalam

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 49

kitabnya, yaitu “Bab tentang bergiliran dalam

belajar”(al-Tanawub fi al-‘Ilm).

Telah disebutkan bahwa sebagian sahabat sudah menulis

hadis ketika Nabi SAW masih hidup, sedang yang lain

menulisnya setelah Nabi SAW wafat. Dalam pada itu,

mereka juga selalu menghafal dan mengingat-ingat kembali

hadis-hadis itu (mudzakarah, memorizing), baik secara

sendiri-sendiri maupun berkelompok, dimana dalam

menghafal yang satu dapat minta bantuan orang lain78.

Ibnu Mas’ud berkata, “Ingat-ingatlah hadis Nabi SAW,

sebab dengan mengingat-ingat seperti itu Hadis akan

terpelihara kelestariannya”. 79

Pada abad pertama, tampaknya ada metode tertentu

dalam mengajarkan hadis, yaitu murid menghadiri majelis

pengajian gurunya yang diadakan secara rutin maupun

tidak, atau murid selalu mendampingi gurunya. Dalam

mengajarkan hadis, para Sahabat mengajarkan secara

lisan, imla’, dan bahkan membacakan hadis dari suatu

kitab.80

Ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa tradisi

yang dipakai dalam mengajarkan hadis pada saat itu

adalah berdasar guru-guru dimana hadis itu diperoleh.

Al-Fallas mengatakan bahwa ia pernah ditanya Yahya bin

78 M.M. Azami, hal. 444-44779 Sunan al-Darimi dalam M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah

Kodifikasinya, hal. 44980 M.M. Azami, hal. 448

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 50

Sa’id, “Darimana kamu?” Jawab al-Fallas, “Dari rumah

Mu’adz”. Yahya bertanya lagi, “Hadis dari siapa yang ia

ajarkan?” Jawab al-Fallas, “Hadis dari Ibnu ‘Aun.”81

Dari peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa ahli-

ahli hadis itu mengajarkan hadis berdasarkan guru-

gurunya dimana mereka pernah belajar dan memperoleh

hadis. Dan hal ini memang wajar dan mudah. Sedang pada

umumnya, para ahi hadis dahulu ketika menulis hadis,

baik dari sahabat atau Tabi’in mereka menimpannya secara

terpisah dan tidak bercampur dengan yang lain. Sebagai

contoh, Mujahid menyuruh Hammad bin ‘Amr, agar

mengambilkan kitab milik Khushaif. Ternyata ia mengambil

kitab Hushain. Kata Mujahid, “Hammad tidak dapat

membedakan antara Khushaif dan Hushain. Karenanya lalu

saya tinggalkan”. 82

Sabda-sabda nabi juga disampaikan dalam berbagai

kesempatan yang tak dapat ditentukan, seperti83:

a. Sewaktu berpidato atau berceramah

b. Sewaktu menjawab pertanyaan

c. Sewaktu menjelaskan al-Quran

d. Sewaktu sahabat menceritakan ulang kebiasaan Nabi

2. Metode Mengajarkan Hadis84

81 M.M. Azami, hal. 45382 Tarikh Baghdad, viii: 154 dalam M.M. Azami, hal. 45483H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN

Purwokerto Press: Purwokerto, 2010), hal: 17-2884 Lihat M.M. Azami, hal. 455-484

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 51

Dalam mengajarkan hadis, ada beberapa metode yang

dipakai pada saat itu:

a. Mengajarkan hadis secara lisan

Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad

kedua hijri dan berlangsung sampai lama sekali

sesuadah itu, tetapi dalam lingkup yang sangat sempit.

Para murid pada saat itu tinggal bersama gurunya dalam

waktu yang lama, dan dari cara inilah mereka

memperoleh hadis dari para gurunya. Karena mereka lama

sekali mendampingi gurunya, maka akhirnya mereka

disebut sebagai rawi-rawi (para periwayat) dari guru-

gurunya, atau ashhab (kawan-kawan) mereka. Sebagai

contoh Tsabit bin Aslam al-Bunani, Ia menjadi shahib

(kawan) Anas selama empat puluh tahun. Dalam memakai

metode pengajaran secara lisan, pelajaran juga diatur

sedemikian rupa, sehingga umumnya para guru tidak

mengajarkan hadis terlalu banyak. 85

b. Membacakan hadis dari suatu kitab

Metode ini terdapat tiga macam, yaitu:

1) Guru membacakan kitabnya sendiri, sedang murid

mendengarkannya

2) Guru membecakan kitab orang lain, sedang murid

mendengarkannya

85 Tahdzib ii:3 dalam M.M. Azami, hal. 455-456

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 52

3) Murid membacakan suatu kitab, sedang guru

mendengarkannya

c. Metode soal-jawab

Sistem atraf (menuliskan pangkal hadis saja) juga

dipakai dalam pengajaran hadis dengan metode soal-

jawab, dimana murid membacakan pangkal dari suatu

hadis, kemudian gurunya meneruskan hadis itu

selengkapnya. Seperti yang dilakukan oleh:

1) Ibnu Sirin,

Ia berkata, “Saya bertemu ‘Abidah dengan membawa

kitab atraf hadi, lalu kutanyakan hal itu

kepadanya”. 86

2) Isma’il bin ‘Ayyasy

Waki’ berkata, “Ismail bin Ayyasy mengambil

system atraf milik Isma’il bin Abu Khalid dari

saya, tetapi saya melihat ia mencampur adukkan

dalam mengambilnya”.87

d. Metode Imla’

Apabila dibanding dengan metode-metode pengajaran

hadis sejak abad kedua dan sesudahnya, maka metode-

metode yang disebutkan tadi termasuk tidak popular,

bahkan sebagian ada yang jarang dipakai. Dan tampaknya

sejak awal abad ketiga, metode imla’ ini lazim dipakai

86 Al-Ilal, i: 387 dalam M.M. Azami, hal. 47687 Tahdzib, 324 dalam M.M. Azami, hal. 476

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 53

dalam membacakan kitab kepada guru, bahkan termasuk

metode yang banyak popular disbanding dengan metode-

metode lain. Al-Khatib al-Baghdadi menuturkan bahwa di

antara ahli-ahli hadis klasik yang menggunakan metode

imla’ ini adalah Syu’bah bin al-Hajjaj, kemudian pada

periode berikutnya adalah Yazid bin Harun al-Wasiti,

‘Ashim bin ‘Ali bin ‘Ashim al-Tamimi, dan ‘Amr bin

Marzuq al-Bahili.

Sebagai contoh pemakaian metode imla’ yang

dilakukan oleh ahli-ahli hadis adalah, Ibnu Jurraj.

Ibnu Hanbal mengatakan bahwa pada waktu Ibnu Jurraj

dating di Basrah, Muadz bin Muadz berdiri dan bikin

rebut seraya berkata, “Kami tidak mau menulis hadis

kecuali apabila diimla’kan”. Ibnu Hanbal ditanya,

apakah Ibnu Jurraj kemudian mengimla’kan? Jwabnya,

“Ya, mereka menulis berdasarkan imla”. 88

Dalam mengimla’kan hadis kepada para murid , ada

dua cara yang dilakukan ahli-ahli hadis:

1) Mengimla’kan hadis dari kitab, seperti yang

dilakukan oleh Ibnu Abi ‘Aidy, Ibnu Lahi’ah, Abu

‘Ashim, Abu ‘Awabah, Hajjaj bin Muhammad al-

A’war, Rauh bin ‘Ubadah, Zakariya bin Abu

Za’idah dan masih banyak lainnya.

2) Mengimla’kan hadis dari ingatan (hafalan),

seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jurraj, Abu

88 Al-‘Ilal, 370 dalam M.M. Azami, hal. 480

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 54

Dawud, Abu Muawiyyah al-Dhahir, Baqiyah,

Isra’il, al-Hasan ibn Musa, Hafsh bin Ghiyats,

Zakariya bin ‘Aidy, Thalhah bin ‘Amr, Wuhaib bin

Khalid.

3. Penulis Cepat

Dikarenakan banyaknya jumlah murid tadi telah

mendorong guru untuk menunjuk mustamli (orang yang

membantu dalam mengimla’kan hadis), maka di sisi lain

para murid juga mendapatkan kesulitan, karena tidak

semuanya dapat menulis cepat seperti yang diimla’kan,

atu kemungkinan seorang murid lambat dalam menulis.

Untuk mengatasi kesulitan ini, mereka meminta bantuan

orang-orang yang dapat menulis cepat, dengan sama-sama

mendengarkan dan ikut mengawasi kemudian setelah selesai

mereka baru menyalinnya kembali.

4. Pinjam Meminjam Buku

Sebagai contoh yang bisa disebutkan , hal ini seperti

yang dilakukan Abu ‘Awanah, Ia meminjam buku dari ‘Ali

bin ‘Ashim89.

5. Jual-Beli Kitab

89 Al-Kamil, i:207 B dalam M.M. Azami, hal.493

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 55

Kebutuhan yang mendesak kepada buku, ditambah dengan

sempitnya waktu atau tidak mampunya orang untuk menulis

pelajaran hadis, telah menimbulkan adanya “pasar” buku.

Sedang di pihak lain timbul pula “kelas sekretaris”. Dan

kenyataannya sejak abad kedua sampai berikutya, banyak

sumber-sumber yang menyebutkan adanya jual beli kitab-

kitab hadis. Diantara yang melakukan jual beli kitab

hadis adalah Abu al-Yaman, Ahmad bin ‘Isa al-Mishri,

Ibrahim bin Abu al-Laits90.

Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa kegiatan tulis

menulis hadis Nabawi sudah dimulai sejak masa Nabi SAW.

Pengajaran hadis melalui tulisan dilakukan juga melalui

surat Nabi menginat Islam telah tersebar ke sebagian

jazirah Arab dan tidak memungkingkan bagi Nabi untuk

mengajarkan hadis secara langsung. Untuk itu, Nabi

mengirimkan para utusannya untuk membawa surat kepada para

penguasa daerah, gubernur, raja, dan kaisar. Surat-surat

Nabi yang dikirim tersebut dapat dimasukkan ke dalam

pengajaran hadis dengan media tulisan. Ibn Sa’ad menvatat

dalam al-Thabaqat al-Kubra surat-surat Nabi yang jumlahnya

menjacapai 105 buah lengkap dengan sanadnya. Sayangnya

tidak semua teks ditulis secara lengkap. 91

90 M.M. Azami, hal. 49691 Mujammil Qomar, Kritik Teks Hadis –Analisis tentan ar-Riwayah

bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis-, (Teras: Yogyakarta,2009), hal. 29

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 56

F. Isnad (Pemakaian Sanad)

1. Awal Mula Pemakaian Sanad

Sistem periwayatan terhadap suatu berita, cerita,

sya’ir dan sisilah sudah sangat kental dalam budaya Arab

jauh sebelum Islam datang, bangsa Arab mempergunakan

sistem periwayatan berantai (sanad), terhadap berita,

cerita, sya’ir dan sisilah mereka miliki yang dihafalkan

dan diwariskan secara turun temurun, mereka menghapal

apa yang menjadi kebanggaannya itu di luar kepala,

khususnya tentang nasab mereka, dan dalam hal ini bangsa

arab memang terkenal akan kekuatan hafalnnya.92 Namun

urgensi metode sanad ini baru tampak dalam periwayatan

hadis saja. Dan begitulah metode itu berkembang sampai

Ibnu Mubarak mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan

bagian dari agama Islam.93

Isnad adalah system yang unik yang diaplikasikan oleh

sarjana Muslim dalam mentransmisikan informasi yang

datang dari Nabi SAW. Sistem isnad muncul pertama kali

pada masa hidup Nabi SAW dan telah berkembang menjadi

ilmu yang mapan pada akhir abad pertama hijrah. Sistem

ini dmulai dari praktek para Sahabat dalam meriwayatkan

Hadis Nabi ketika mereka saling bertemu. Biasanya, dalam

menginformasikan kepada teman-teman mereka, mereka

menggunakan kalimat-kalimat seperti “Nabi SAW telah

92 Muhammad Ali, Urgensi Dalam Penelitian Hadis (pdf), hal. 10193 M.M. Azami, hal. 530

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 57

melakukan ini dan ini atau Nabi SAW telah mengatakan

begini dan begini. Sudah biasa juga bahwa siapa saja

yang mendapatkan informasi pada tahap kedua, ketika

melaporkan kejadian itu kepada orang ketiga, akan

menyampaikan sumber-sumber informasinya dan memberikan

cerita lengkap mengenai kejadian itu. 94

2. Orientalis dan Sanad Hadis

Salah satu kajian hadis yang menjadi perhatian utama

para orientalis adalah sanad hadis. Orientalis yang

meneliti masalah kapan sanad itu mulai dipergunakan

adalah Horovitz, ada juga sarjana Skotlandia, yaitu

Prof. J. Robson yang meneliti masalah sanad agak luas95.

Lebih mendalam lagi, penelitian yang dilakukan oleh

Ignaz Goldziher dimana hasil penelitiannya

dipublikasikan pada tahun 1890 dengan judul

“Muhammedanische Studien”. Dan sejak saat itu hingga

kini, kitab itu di kalangan orang-orang orientalis

dijadikan semacam kitab suci yang menjadi anutan

peneliti lain. Lebih kurang 60 tahun setelah buku itu

terbit, Prof. Schacht juga meneliti sumber-sumber hadis-

hadis fiqih selama lebih dari sepuluh tahun. Hasil

penelitiannya kemudian diterbitkan dalam sebuah buku

berjudul “The Origins of Muhammadan Yurisprudrence”.96

94 M. M. Azami, Menguji Keaslian hadis-hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 223-224

95 M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 53396 M. M. Azami, Menguji Keaslian hadis-hadis Hukum, dalam halaman

pendahuluan

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 58

Adapun diantara pendapat Yoseph Schaht tentang system

isnad sekaligus sanggahan Azami terhadapnya akan

diuraikan sebagai berikut:

a. Setelah mempelajari hadis-hadis yang berkaitan

dengan masalah fiqih serta perkembangannya, Schaht

berpendapat bahwa isnad adalah bagian dari tindakan

sewenang-wenang dalam Hadis Nabi SAW. Hadis-hadis itu

sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang

berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya

kepada tokoh-tokoh terdahulu97.

Prof. Schacht telah mempelajari kitab Muwatha’

karya Imam Malik, kitab al-muwatha’ karya Imam

Muhammad al-Syaibani, dan kitab al-Umm karya Imam

Syafi’i. Kitab-kitab ini sebenarnya lebih tepat

disebut sebagai kitab-kitab fiqih daripada kitab

hadis. Namun demikian, Schacht telah

mengeneralisasikan hasil kajiannya terhadap kitab-

kitab tersebut sekaligus menerapkannya untuk seluruh

kitab-kitab tersebut hadis. Seolah-olah tidak ada

kitab yang khusus mengenai hadis dan seolah-olah

tidak ada perbedaan watak kitab fiqih dan kitab

hadis. Tampaknya Schacht tidak memperhatikan cara

penyusunan kitab-kitab fiqih. Sebab seorang

mufti,pembela, atau hakim, apabila menangani suatu

masalah atau memberikan fatwa, ia tidak diharuskan

97 J. Robson dalam M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,hal. 534

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 59

memberikan keterangan-keterangan yang selengkap-

lengkapnya. 98

Dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu,

khususnya selain kitab hadis secara umum dapat

didapati gejala-gejala berikut:

1) Membuang (tidak menuliskan) sebagian sanad,

untuk mempersingkat pembahasan kitab dan cukup

menyebutkan sebagian dari matan

2) Membuang sanad seluruhnya, dan langsung

menyebutkan hadis dari sumber pertama

3) Metode Abu Yusuf dalam memakai sanad,

terkadang beliau menyebutkan sanad secara

lengkap, terkadang juga tidak

4) Penguunaan kata sunnah atau yang seperti

dengan itu untuk menunjukkan kepada perbuatan

Nabi SAW tanpa menyebut hadis dan sanadnya.

Dari uraian di atas, pemakaian kitab-kitab fiqih

klasik tidak tepat dijadikan sebagai obyek penelitian

sanad Hadis, baik ditinjau dari gejala adanya sanad

itu sendiri, pertumbuhannya maupun perkembangannya.99

b. Schacht mengatakan bahwa pendapat yang bersumber

dari seorang Tabiin Ibnu Sirin menuturkan bahwa usaha

untuk mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai

98 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal.538-53999 M.M. Azami, hal. 547

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 60

sejak terjadinya fitnah (musibah perang saudara),

dimana semua orang sudah tidak dapat dipercaya lagi.

Tanpa diteliti lebih dahulu. Dan kita akan dapat

mengetahui bahwa fitnah yang bermula dari terbunuhnya

al-Walid bin Yazid (w 126 H) menjelang surutnya

Daulah Umayyah itu adalah waktu yang dijadikan

patokan sebagai akhir kejayaan masa lampau, yaitu

masa dimana sunah-sunah Nabi masih berlaku secara

umum. Oleh karena Ibnu Sirrin wafat pada 110 H, maka

pendapat yang bersumber daripadanya tadi itu adalah

tidak benar dan palsu.100

Jelaslah bahwa semua analisa Schacht itu hanyalah

berdasarkan penafsiran yang subyektif serta ceroboh

tentang fitnah. Sebab hakikatnya tarikh Islam tidak

pernah menuturkan bahwa tahun 126 H itu dianggap

sebagai masa peralihan dan akhir kejayaan masa

lampau. Seandainya umat Islam memerlukan masa

kejayaan masa lampau tentunya masa Khulafaur Rasyidun

lebih tepat disebut sebagai kejayaan. Dalam segi

laintarikh Islam berbagai fitnah sebelum tahun itu

terjadi, seperti fitnah antara al-Zubair dengan Abd

al-Malik bin Marwan sekitar tahun 70 H. Juga

sebelumnya ada fitnah antara Muawiyah dan Ali. Oleh

karena itu kita mempertanyakan, apakah alas an

sehingga fitnah tersebut oleh Schacht ditafsiri

sebagai terbunuhnya al-Walid bin Yazid? Apabila

100 M.M. Azami, hal. 535

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 61

seseorang dapat menafsiri kejadian-kejadian itu

sesuai dengan kemauannya tanpa mengindahkan bukti-

bukti sejarah maka fitnah dapat saja diartikan

sebagai fitnah yang lain. Akan tetapi sebenarnya

yang dimaksud dengan fitnah dalam Ibnu Sirin tersebut

adalah fitnah antara Ali dan Muawiyah RA. 101

c. Schacht mengatakan bahwa sanad-sanad hadis itu

diduplikat sedemikian rupa dengan memakai nama orang

lain sehingga akhirnya sampai pada sumber utama yaitu

Rasul.102 Teori Projecting Back (proyeksi ke belakang)103

yang dituturkan Joseph Schacht. Menurut teori ini,

sanad pada awalnya dipakai dalam bentuk sederhana,

kemudian pada abad kedua Hijriah, dikembangkan dan

diarahkan ke belakang dengan memperbaiki atau

menambahkan sanad atau dibuat-buat sehingga sampai

pada generasi sahabat dan tentunya sampai kepada Nabi

agar hadis yang disampaikan menjadi otentik.

Azami menyebutkan, adalah hal yang umum dalam

sanad apabila semakin jauh dari masa Nabi saw, maka

semakin besar pula jumlah orang-orang yang

meriwayatkan hadis dari Nabi saw. Dalam hal ini,

Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis

101 Lihat M.M. Azami, hal. 535-536102 M.M. Azami, hal. 576103 Teori Joseph Schacht yang menyatakan bahwa matan hadis pada

awalnya berasal dari generasi tabiin yang diproyeksikan ke belakangkepada generasi sahabat dan akhirnya kepada Nabi saw dengan cara menanmemperbaiki isnad yang sudah ada.

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 62

nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik,

diantaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shalih

(w.138 H). Adapun tuduhan Schacht bahwa sanad-sanad

hadis itu diduplikat sedemikian rupa dengan memakai

nama-nama orang lain sehingga akhirnya sampai pada

sumber utama, yaitu Rasul, Sahabat, Tabiin dan hal

itu merupakan bukti sendiri tentang otentisitas

pemikiran mereka yang berasal dari tokoh-tokoh

klasik. Maka sebenarnya hal itu bertentangan dengan

akal dan pikiran sehat. Sebab sejak semula kita sudah

mengetahui bahwa banyak sekali hadis-hadis nabi yang

diriwayatkan oleh puluhan rawi untuk setiap tingkatan

(generasi) dan mereka tinggal di berbagai daerah yang

berjauhan. Sehingga hal itu tidak memungkinkan mereka

bahkan mustahil bagi mereka untuk bersekongkol dalam

memalsu hadis Nabi SAW.104

Untuk lebih jelasnya, di bawah ini disebutkan

beberapa contoh hadis yang terdapat dalam naskah

Suhail bin Abu Shalih:

ه ي��� ث.< ال�ح ع�ن� أ� ي� ص��� ب�� ن� أ� ل ب�� ا س�هن� ال: ي�! ار ق�* ب* ن� أل�مج! ن.�ز! ب�� د أل�عر! ا ع�ن� ن! ح�دث�1ال: ي� ض.م ق�* ن� ن� أل�ت! ن.�زة* أ� ي� ه�ر ع�ن� أب��

104 M.M. Azami, hal. 576

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 63

ا_ ه، ق����! م ن����� ي�* و� ام ل�ت���� م���� م���ا ألأ_ ي�! أ"أ_ ا_ذ! ك���ب�روأ، ق����! ر ق�# ب� ارك�عوأ، وأ_ذ! ك���� ع ق����! أأ رك���� ذ!د ح� أ س���� ذ! ك[ أل�حم���د، وأ_ ا ل���� ن���! ث.� وأ: أل�لهم ر ول���� ق* مع أل�ل���ه ل�من� ج�م���دة ف�! ال: س���� ق����*ع، ي ن��زف��! ن* ع�وأ ح�� زف�! عوأ ولأ ن�* ارف�! ع ق��! أ رف��! ذ! د، وأ_ ي ي��س�ح� ن* دوأ ح�� س�ح� دوأ ولأ ي�* ح� اس�� ق�!

. معون� ج�� عوذأ أ� صلوأ ف�* اع�دأ ف�! أ ص�لي ق�* ذ! "وأ_

Hadis ini paling sedikit diriwayatkan oleh sepuluh

orang Sahabat. Sumber-sumber yang ada pada kami

(Azami) menunjukkan bahwa Hadis ini tersebar melalui

tujuh orang sahabat dari yang sepuluh. Dari tujuh

orang Sahabat yang meriwayatkan Hadis ini, empat

orang tinggal di Madinah, seorang tinggal di Syam,

dan dua orang lagi tinggal di Iraq.

Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa

system isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis

sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan

yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW dan

para Sahabat adalah palsu.105

d. Teori coomon link (tokoh penghubung) dalam rantai

periwayatan. Teori Schacht ini menyatakan bahwa

105 M. M. Azami, Menguji Keaslian hadis-hadis Hukum, hal. 232

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 64

keberadaan coomon link (tokoh penghubung) dalam rantai

periwayatan mengindikasikan bahwa hadis itu berasal

dari masa tokoh tersebut. Ini memberikan petunjuk

kepada kita untuk menentukan waktu terjadinya

pemalsuan106. Dalam hal ini, M.M Azami menolak secara

a priori atas validitas teori common link dan juga hasil-

hasilnya107.

G. Otentisitas Hadis

Untuk membuktikan otentisitas Hadis nabawi, M. M. Azami

melakukan kritiknya dengan cara sebagai berikut108:

1. Meneliti tuduhan Goldziher c.s., bahwa hadis hanya

sedikit sekali yang terpelihara, karena hadis diturunkan

secara lisan dari generasi umat selama abad pertama

Hijriyah. Penelitian M.M. Azami membuktikan:

a. Hadis diturunkan tidak hanya dengan cara lisan

belaka. Ia menunjang pembuktian ini dengan

menerbitkan tiga buah corpus hadis yang dieditnya

dalam desertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail Ibn

Abi Shalih, Ubaidillah Ibn Umar, dan Ali al-Yaman al-

Hakam, yang kesemuanya berasal dari abad pertama

Hijriyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadis mudah

106 M. M. Azami, hal. 281107 Dapat dilihat lebih rinci dalam buku, M. M. Azami, Menguji

Keaslian hadis-hadis Hukum108 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis

Kontemporer), (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), hal. 250-254

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 65

dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang

otentik dan buatan, menjadi tidak terbukti lagi.

b. Penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam

referensi hadis menunjukkan, bahwa berita yang

menyatakan Ibn Shihab al-Zuhri adalah orang pertama

yang menuliskan hadis pada permulaan abad II hijriyah

(awalu man dawwana al-ilma) mengandung arti lain daripada

yang diduga dan diterimasecara umum selama ini. Azami

membuktikan bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler)

belaka dari semua koleksi naskah-naskah hadis yang

telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya.

Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini hanya

dianggap memiliki konotasi transmisi hadis secara

lisan, oleh M.M. Azami dianggap memiliki juga arti

tulisan dan tertulis. M.M. Azami mendasarkan

anggapannya ini adalah dari segi pembuktian bahasa

dan bukti-bukti tertulis sejarah atas istilah-istilah

seperti : haddatsana, akhbarana, sami’na, dan sebainya.

c. Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami hadis-

hadis yang melarang penulisan hadis oleh Nabi

Muhammad, sebagaimana secara gencar dikemukakan oleh

Imam al-Qahir al-Baghdadi dalam karyanya, Taqyid al-‘Ilm.

Azami membuktikan bahwa hanya ada ada satu sajahadis

yang otentik yang berhubungan dengan penulisan hadis,

yang memiliki sanad dha’if. Adapun hadis yang satu-

satunya tidak melarang penulisan hadis secara umum,

melainkan larangan menuliskan hadis dalam carik

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 66

kertas, kain, muka tulang, atau pelepah kurma yang

telah berisikan tulisan ayat-ayat al-Quran, guna

menghindarkan kekeliruan dalam pemeliharaan al-Quran

setelah nabi wafat nantinya. Pembuktian dilakukan

atas kenyataan, bahwa penulisan hadis adalah kejadian

yang normal di masa kehidupan beliau, terlebih-lebih

setelah berakhirnya pemerintahan para Khulafa al-

Rasyidin pada akhir paruh abad pertama Hijriyah.

2. Di samping pembuktian atas kepalsuan tuduhan bahwa hadis

tidak terpelihara karena diturunkan secara lisan dari

generasi ke generasi, M.M Azami juga meragukan

argumentasi yang diajukan baik oleh Goldziher c.s dan

Schacht, antara lain melalui cara berikut:

a. Goldziher senantiasa menggunakan suatu kejadian

individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk

menjadi bukti bagi hal-hal umum yang disinyalirnya,

seperti wasiat Muawiyah kepada salah seorang

pengikutnya: Janganlah ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan

menyumpahinya, dan perbanyaklah memintakan ampunan Tuhan bagi

Utsman. Wasiat ini oleh Goldziher dijadikan bukti

bagi kebiasaan pembesar-pembesar Dinasti Umayyah

untuk memasukkan bias politik ke dalam pemberitaan

mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak

dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak

membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis

belaka, melainkan juga mengenai periwayatan hadis

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 67

dari mereka. Hal ini secara ilmiah sebenarnya tidak

boleh dilakukan.

b. Goldziher dan Schacht seringkali tidak melakukan

penelitian (checking) ulang yang mendalam atas bahan-

bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian,

sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut

sebenarnya justru melemahkan argumentasi mereka

sendiri. Untuk sinyal elemennya ini, Azami

mengemukakan beberapa puluh contoh yang diambilnya

dari karya-karya Goldziher dan Schacht.

c. Para orientalis, tidak terkecuali Schacht sendiri

yang dikenal sebagai peneliti yang memiliki

objektivitas yang diakui, sering menutupi bahan-bahan

kesejarahan yang bertentangan dengan pembuktian yang

sedang mereka kemukakan, dan hanya menggunakan bahan-

bahan yang memperkuat teori-teori mereka belaka. Juga

untuk diambil contoh-contoh cukup banyak dari karya-

karya Schacht yang telah disebut di atas.

d. Seringnya Schacht, terlebih-lebih Goldziher, salah

mengartikan ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang

diberitakan dalam sumber-sumber kesejarahan.

Contohnya adalah ucapan Amir Ibn Sha’bu: Aku tak pernah

menulis dengan (tinta) hitam di atas (permukaan kertas) putih atau

meminta seseorang untuk mengulangi sebuah hadis sampai dua kali.

Ucapan ini tidak ada hubungannya dengan larangan

menuliskan hadis, melainkan hanya untuk menunjukkan

kekuatan hafalan Amir saja. Walaupun demikian,

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 68

Schacht menggunakan nya sebagai dalil pembuktian,

bahwa pada abad pertama hijriyah kaum muslimin

dilarang menulis hadis.

KESIMPULAN

Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932.

Nama Azami nisbat dari daerah Azamgarh. Azami berasal dari

kota Mau Distrik Azamgarh negara bagian Utara Pradesh.

Beliau mendapat julukan pendekar hadis dengan hasil kajian

beliau tentang hadis khususnya dalam bidang isnad yang

berhasil membantah pemikiran orientalis. Kini Azami tinggal

di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai

Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.

Sunnah memiliki beberapa variasi arti yang muncul dari

beberapa kelompok karena perbedaaan tujuan ilmu yang

menjadi objek pembahasannya, sebagaimana perbedaan pendapat

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 69

ahli hadis dan ulama’ ushul dalam mengartikan kata sunnah.

Adapun kedudukan sunnah dalam islam yaitu sebagai penjelas

Kitabullah dan Rasulullah saw mempunyai wewenang untuk

membuat suatu aturan.

Kegiatan pendidikan di jazirah Arab telah dimulai sejak

masa Rasulullah SAW. Bukti tersebarnya budaya tulis-menulis

dikalang Muslimin adalah keberadaan sekertaris Nabi yang

jumlahnya mencapai lima puluh orang. Keberhasilan

kebijakan pendidikan yang diterapkan Nabi ini sangat

gemilang, Islam yang mulanya ummi tidak sampai satu Abad

telah memiliki begitu banyak tenaga teknis yang mumpuni.

Ini juga menandai akan hangatnya kegiatan pendidikan pada

periode abad pertama Hijri.

Kapasitas umat Islam dalam tulis-menulis jelas sangat

cukup untuk melakukan kodifikasi Hadis secara teks sejak

Nabi saw masih hidup, tetapi pendapat yang dominan di

antara para sarjana Muslim adalah Hadis itu disebarkan dari

mulut ke mulut (secara lisan) sampai ahir abad pertama

Hijri. Umat Islam pada mulanya mengajarkan Hadis melalui

hafalan. Ketika kemampuan hafalannya menurun, mereka mulai

membukukanya.

Begitulah pendapat para ulama’ dan peneliti lebih-lebih

para pembaca umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa

hadis Nabi SAW tersebar secara lisan dari generasi ke

generasi, dan bahwa orang yang pertama kali mentadwin hadis

adalah Ibnu Syihab al Zuhri. Akan tetapi data-data lain

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 70

membuktikan bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi

Muhammad SAW masih hidup, dan hal itu berlangsung sampai

kurun-kurun sesudahnya. Namun hal itu tidak berarti

meniadakan adanya penyebaran hadis secara lisan atau

berdasarkan kekuatan hafalan.

Argumen Schaht tentang otentisitas hadis Nabi dapat

diringkas sebagai berikut: a) system isnad dimulai pada

awal abad kedua, b) isnad-isnad itu diletakkan secara

sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin

memproyeksikan ke belakang doktrin mereka sampai kepada

sumber klasik, c) isnad yang dahulu tidak lengkap

dilengkapi pada asa klasik, d) keberadaan common narrator

dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadis

itu berasal dari masa periwayat itu.

Diantara cara yang digunakan Azami untuk membuktikan

kepalsuan tuduhan atas penjagaan hadis nabi adalah

penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam

referensi hadis dan pembuktian tentang kesalahan dalam

memahami hadis-hadis yang melarang penulisan hadis oleh

Nabi Muhammad

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 71

DAFTAR PUSTAKA

Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya; terjemahan AliMusthafa Ya’kub cet. Ke-6. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2014.

Azami, M.M. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; terjemahan AsrofiShodri. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2004

al-Bahanasawi, Salim Ali. Rekayasa Sunnah. Terj. Abdul BasithJunaidy. Yogyakarta: ITTAQA PRESS, 2001

Dailamy, H.M. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. STAINPurwokerto Press: Purwokerto. 2010

Idris. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010Khaeruman,Badri. Otentisitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis

Kontemporer). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2004Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu

Hadis. Jakarta: Kencana, 2011al-Maliki, Muhammad Alawi. al-Manhal al-Latief. (tanpa penerbit)al-Maliki , Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2006 Qomar, Mujammil. Kritik Teks Hadis –Analisis tentan ar-Riwayah bi al-

Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis-. Teras: Yogyakarta.2009.

Pustaka non cetak

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 72

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih Bukhari. Al Maktabahal Shameela.

Muhammad Ali, Urgensi Dalam Penelitian Hadis (pdf)

Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 73