Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
HADIS NABAWI dan SEJARAH KODIFIKASINYA
(Pemikiran M.M Azami)
Oleh: Miftakhul Maesaroh
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sebuah literatur yang mencakup semua
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW, dan
gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadis
dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi. Setelah Nabi
wafat pada tahun 10 H, Islam merasa kehilangan yang sangat
besar. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang
tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di
tengah-tengah umat Islam.
Sebagai sumber hukum utama sesudah al-Quran,
keberadaan hadis merupakan realitas nyata dari ajaran Islam
yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul
adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan
apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan
hadis, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek
dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan hadis dalam proses
kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah
SAW maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya.
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 1
Sementara itu, perhatian terhadap hadis tidaklah demikian.
Bahkan Rasulullah sendiri melarang para sahabat untuk
menuliskan hadis, karena dikhawatirkan akan tercampur degan
al-Quran.
Hadis yang juga merupakan sumber hukum kedua bagi agama
Islam menuai perhatian dari kalangan orientalis. Mereka
menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun
teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas
hadis. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische
Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya
pemeliharaan hadis pada masa sahabat sampai awal abad
kedua hijriyah. Begitu pula yang nantinya jejak Goldziher
diikuti muridnya Joseph Schacht dalam penelitian thesisnya
yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul The
Origins of Muhammadan Jurisprudence. Apabila Ignaz Goldziher
berhasil meragukan orang terhadap kebenaran hadis Nabi,
maka Prof. Schacht lebih dari itu, ia berhasil meyakinkan
orang bahwa apa yang sering disebut hadis itu tidak
autentik berasal dari Nabi Muhammad SAW.1
Demikianlah kira-kira kegelisahan Muhammad Musthafa
Azami muncul. Hadis Nabawi telah menjadi kajian orientalis
dan berhasil diobrak-abrik keotentikannya. Kecintaannya
terhadap hadis Nabawi menghasilkan karya ilmiah fenomenal
yang berjudul Studies in Early Hadith Literature merupakan hasil
desertasi beliau yang kemudian diterjemahkan Ali Musthafa
1 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya; terjemahan Ali Musthafa Ya’kub cet. Ke-6,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), Hal. 3
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 2
Ya’kub ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hadis Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya.
Azami menuangkan pemikirannya serta pembuktian ilmiah
yang sekaligus merupakan bantahan terhadap orientalis akan
kepalsuan system isnad dalam hadis Nabi. Untuk membuktikan
hal-hal tersebut, Azami harus menjelaskan beberapa bab
diantaranya bagaimana pengertian hadis perspektif jumhur
ulama dan orientalis, bagaimana kegiatan pendidikan di
jazirah Arab yang mana diantaranya akan menolak pemikiran
orientalis bahwa penulisan hadis terlambat dikarenakan
kebodohan umat muslim, sejak kapan dimulai penulisan hadis
dan bagaimana penyebarannya. Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan membuka pemikiran kita khususnya
dalam kajian study hadis.
B. Rumusan Masalah
Dalam kajian ini, kami memfokuskan pada beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana biografi M. M. Azami?
2. Bagaimanakah Pengertian dan Kedudukan Sunnah dalam
Islam?
3. Bagaimana Kegiatan Pendidikan di Jazirah Arab pada
Permulaan Islam?
4. Bagaimanakah Kegiatan Penulisan Hadis Nabawi?
5. Bagaimana cara dan upaya penyebaran Hadis nabawi?
6. Bagaimana sistem sanad Hadis nabawi?
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 3
7. Bagaimana M.M. Azami membuktikan otentisitas Hadis
nabawi?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam kajian ini adalah:
1. Untuk menyelami biografi M. M. Azami
2. Mengetahui Pengertian dan Kedudukan Sunnah dalam
Islam.
3. Mengetahui Kegiatan Pendidikan di Jazirah Arab pada
permulaan Islam.
4. Mengetahui Kegiatan Penulisan Hadis Nabawi.
5. Untuk mengetahui cara dan upaya penyebaran hadis
nabawi
6. Untuk mengetahui sistem sanad yang menjadi tolak ukur
keshahihan hadis nabawi
7. Untuk mengetahui metode yang digunakan M.M Azami
membuktikan otentisitas Hadis nabawi
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 4
PEMBAHASAN
A. Biografi M. M. Azami
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara,
tahun 1932. Nama Azami nisbat dari daerah Azamgarh.Azami
mengaku berasal dari kota Mau Distrik Azamgarh negara
bagian Utara Pradesh. Jadi nama itu bukan nama marga
melainkan nisbat daerah.2
Ayahnya pecinta ilmu dan membenci penjajahan, serta
tidak suka bahasa Inggris. Watak ini mempengaruhi
perjalanan studi Azami, dimana ketika masih duduk di SLTA
beliau disuruh pindah oleh ayahnya ke Sekolah Islam yang
menggunakan bahasa Arab. Dari sinilah Azami belajar hadis.
Setelah tamat dari sekolah Islam Azami kemudian
melanjutkan studinya di College of Science di Deoband,
sebuah perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan2https://www.academia.edu/5622467/
Keotentikan_hadits_Nabi_saw_Menurut_M.M._Azami(diakses pada tgl. 15 Mei 2015)
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 5
studi Islam (Islamic Studies). Berkat ketekunan dan
keuletannya, akhirnya beliau dapat menamatkan studinya di
tahun 1952. Kemudian Azami melanjutkan studi lagi ke
Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris (pengajaran), di
Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, dan lulus tahun 1955.
Dengan memperoleh ijazah al-'Alimiyah Universitas al-
Azhar, tahun itu juga beliau kembali ke tanah airnya,
India.3
. Pada tahun 1956, Azami diangkat sebagai dosen bahasa
Arab untuk orang-orang non-Arab di Qatar. Kemudian pada
tahun 1957, beliau ditunjuk menjadi Sekretaris Perpustakaan
Nasional di Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964,
Azami melanjutkan studinya lagi di Universitas Cambridge,
Inggris, sampai meraih gelar doktor atau Ph.D. Disertasi
Azami telah dinyatakan lulus oleh dua tim penguji bertaraf
Internasional, masing-masing adalah Tim Penguji dari
Universitas Cambridge, Inggris, dan Tim Penguji dari
Lembaga Hadiah Internasional Raja Faisal, Riyadh, Arab
Saudi. Adapun tim penguji kedua ini beranggotakan tokoh-
tokoh terkemuka bertaraf Internasional, di antaranya
berasal dari Syaikh al-Azhar dan lain-lain. Disertasi Azami
berjudul Studies in Early Hadith Literature with a Critical Edition of Some
Early Text4s. Lalu beliau kembali ke Qatar untuk memegang
jabatan semula. Tahun 1968 beliau mengundurkan diri dari
3 Lihat biografi Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya;terjemahan Ali Musthafa Ya’kub cet. Ke-6, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014)
4https://www.academia.edu/5622467/Keotentikan_hadits_Nabi_saw_Menurut_M.M._Azami(diakses pada tgl. 15 Mei 2015)
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 6
jabatannya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di
Fakultas Pasca Sarjana, jurusan Syariah dan Studi Islam,
Universitas King Abdul Aziz (kini Universitas Umm al-Qura).
Tahun 1973 beliau pindah ke Riyadh untuk mengajar di
Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King
Saud. Dan Pada tahun 1980 beliau menerima Hadiah
Internasional Raja Faisal untuk studi keislaman dari
Lembaga Hadiah Yayasan Raja di Riyadh. Kini Azami tinggal
di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai
Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.5
Karya-karyanya antara lain, Studies in Early Hadith Literature On
Schacht's Origin of Muhammadan Jurisprudence, Dirasat fi al-Hadith an-
Nabawi , Kuttab an-Nabi , Manhaj an-Naqd `ind al-`Ilal Muhaddithin, dan al-
Muhaddithin min al-Yamamah. Beberapa buku yang dieditnya
antara lain, al-`Ilah of lbn al-Madini , Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim,
Maghazi Rasulullah of `Urwah bin Zubayr , Muwatta Imam Malik, Sahih ibn
Khuzaimah, dan Sunan ibn Majah. 6
B. Pengertian Sunnah dan Kedudukannya dalam Islam
1. Pengertian Sunnah
Sunnah secara bahasa adalah jalan yang dilalui orang-
orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang
belakangan. Sumber lain mengatakan Sunnah mengartikanya
5Lihat biografi Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya;terjemahan Ali Musthafa Ya’kub cet. Ke-6, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014)
6http://tokoh1038.blogspot.com/2010/08/muhammad-mustafa-al-azami.html (diaksespada tgl. 15 Mei 2015)
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 7
sebagai tata cara, tingkah, dan perilaku hidup, baik
yang terpuji maupun tercela.
Adapun arti istilah (terminologi) Sunnah memiliki
beberapa variasi arti yang muncul dari beberapa kelompok
karena perbedaaan tujuan ilmu yang menjadi objek
pembahasannya. Ahli Hadis memandang Nabi saw sebagai
Imam, pemberi petunjuk, pemberi nasihat, suri teladan,
dan panutan. Mereka menukil segala yang berhubungan
dengan Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan, ciri fisik dan budi pekerti, baik berupa
hukum Syara’ maupun bukan,7 baik sebelum diutus maupun
sesudahnya.8 Hal ini didasarkan pada sifat kejujuran,
amanah dan akhlak beliau yang mulia sejak kecil yang
secara signifikan dapat dijadikan dalil atas kenabian
beliau.9
Sedangkan kelompok Ahli Usul Fikih secara spesifik
memandang Nabi sebagai figur penetap hukum Islam (al-
syari) dan peletak kaidah-kaidah bagi para mujtahid dalam
menetapkan hukum Islam,10 karena itu mereka mengatakan;
Sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad
saw yang selain dari Alquran, yang terkait dengan hukum
perbuatan mukallaf saja, baik perkataan, perbuatan,
ataupun ketetapan yang bisa dijadikan dalil hukum
7 Idris. Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2010), Hal: 28 M.M. Azami, Hal. 14 9 Abdul Madid Khon. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.
(Jakarta: Kencana 2011) Hal: 16710 Idris. Hal: 2
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 8
Syara’.11 Berarti mengecualikan hadis yang tidak layak
dijadikan hukum, maka tidak dinamakan Sunnah seperti
duduk, beridiri, jongkok, dan berjalan.12 Definisi ini
muncul lantaran objek perhatian adalah pembahasan
terhadap dalil-dalil syara’.13
Menurut Fuqoha’ (Ahli Fikih), Sunnah adalah apa saja
yang benar dari Nabi saw dalam urusan agama yang
berkaitan dengan hal wajib atau fardhu yang di dalamnya
terkandung unsur memfardhukan atau mewajibkan. Ini
disebabkan pokok pembahasan dan perhatiannya adalah
hukum-hukum syara’, seperti wajib, fardhu, mandub,
haram, makruh dan bagian dari masing-masing hukum
tersebut.14 Mereka memandang Nabi saw sebagai sosok yang
perilakunya mengandung hukum Syara’ selain wajib atau
fardhu.15
Selanjutnya, Kaum Orientalis juga memberikan beberapa
arti yang lain terhadap istilah Sunnah. Diataranya; I.
Goldziher yang menyebut Sunnah adalah Istilah Animis
artinya tradisi yang telah dikenal pada zaman
Jahiliyah.16 Dalam buku The Origins of Muhammad Jurisprudence,
Schacht mengartikan Sunnah sebagai ‘perbuatan-perbuatan
Nabi saw yang ideal’. Sedangkan Margoliouth menyimpulkan
11 Idris. Hal: 412 Abdul Majid Khon. Hal: 16513 Muhammad Alawi al-Maliki. Ilmu Ushul Hadis. Terj. Adnan Qohar. (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta 2006) hal: 414 Muhamad Alawi al-Maliki. Hal: 415 Idris. Hal: 516 MM. Azami. Hal 21
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 9
Sunnah adalah ‘masalah ideal atau norma yang dikenal
dalam Masyarakat, kemudian belakangan pengartian itu
terbatas hanya pada perbuatan Nabi saw saja’.17
Dari beberapa pengartian di atas seputar Istilah
Sunnah yang menarik untuk dibahas dalam buku ini adalah
tentang arti yang diusung Orientalis. Pertama,
pendefiniaan Sunnah sebagai istilah animis yang kemudian
dipakai oleh orang-orang Islam. Arti Sunnah yang dikenal
di kalangan masyarakat Arab sebagai ‘jalan yang benar
dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat’, arti ini
tidak dibuat oleh Muslimin tetapi sudah dikenal pada
masa Jahiliyah. Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang
sesuai dengan kebiasaan nenek moyang oleh mereka disebut
sebagai ‘Sunnah’. Pengertian ini tetap dipakai pada masa
Islam tanpa membatasi pada ‘Sunnah Nabi’ saja. Kemudian
pada ahir abad kedua, berdasarkan ungkapan as-Syafii
bahwa Sunnah dan Sunnah Nabi adalah sinonim maka dari
sini mulai dibatasi hanya pada Sunnah Nabi saja.
Menurut Azami, pernyataan di atas sangat tidak masuk
akal, kenyataan nya bahwa kata Sunnah telah digunakan
semenjak masa Jahiliyah: pada syair-syair Jahiliyah18
dan dalam Alquran dan kitab-kitab Hadist juga ada
17 MM. Azami. Hal: 20 18 Penyair Khalid mengatakan, Janganlah Anda merasa risau, Terhadap sunnah (tradisi) yang anda lakukan,Yang pertama kali puas dengan suatu sunnah (tradisi), Adalah orang yang menjalankan tradisi itu sendiri. Lihat MM. Azami, hal:
15
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 10
penggunaan Sunnah19 yang pengartiannya adalah ‘tata
cara, jalan dan perilaku hidup’ dan merupakan arti
sebenarnya (harfiyah) dari kata Sunnah itu. Kalaupun
Orang Jahiliyah yang animis menggunakan kata bahasa Arab
untuk menunjuk arti etimologisnya (harfiyah, lughowiyah),
maka hal itu tidak lantas menjadi arti terminologi atau
istilah Jahiliyah. Kalau ini dibenarkan, artinya seluruh
bahasa Arab arti harfiyahnya adalah istilah Jahiliyah.20
Makna etimologi memang memiliki hubungan erat dengan
makna terminologi. Tetapi tidak lantas keduanya bisa
dicampuradukkan, karena dapat mengkaburkan makna
terminologi yang terbentuk dan disepakati dalam konteks
tertentu.21 Misalkan kata Shalat secara terminologinya
dipahami masyarakat sebagai salah satu rukun Islam yang
dimulai dengan takbir dan diahiri dengan salam, tidak
dapat dicampuradukkan dengan makna harfiyahnya yang
berarti berdoa.
Bila ditelisik dari sisi awal mula kedatangan Islam
yang bertujuan untuk membenahi tradisi dan peradaban
19 QS. An-Nisa 26, al-Anfal 38, al-Isra 77.
ي� ب�� ن� أ�� ار ع�� س�� ي��� ن� اء ب�� ط�� ن� ع�� م� ع�� ل� س�� ن� أ�� د ب�� ي��� ي�� ر!� ن# ث�%� د� ال� ح��� ان�� ق�*�� س�� و ع�!� ب.�� ا أ�� ن!� ث��1 د� م� ح�� � ري�� ي� م� ب�� ن� أ�� د ب�� عن� ا س�� ن!� ث��1 د� ح��ا ... أع� ر� ذ! ر و� ب� ش% رأ ي�< ب� م ش% ك ل� ب� ن� ق�*� ن!�ن�� م�� عن�� س�� ب� �Gت ن*� ال� ل�� م� ق�*� ل� س�� ه و� ي� ل� ع�� ي أهلل� ل� ي�� ص�� ن� ن�� أل�ت!� ه أ�� ي! ع�� ي�� أهلل� ض! د ر� عن� س��
Dari Abu Said, Ata bin Yasar menuturkan bahwa Nabi Muhammad sawbersabda: “Kamu semuanya niscaya akan mengikuti Sunnah orang-orangsebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa …” (Lihat:Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Sahih Bukhari. Al Maktabah al Shameela:4/169).
20 MM. Azami. Hal: 2121 Abdul Majid Khon: 163
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 11
bangsa Arab dari kejahiliyahan, maka tujuan mulia ini
tidak akan terwujud jika memang Sunnah, yang sebagai
dasar penting agama Islam, merupakan ‘tradisi Jahiliyah’
(animis). Pemahaman yang akan muncul adalah bahwa Sunnah
itu merupakan wujud Islam yang mengajarkan tradisi-
tradisi Jahiliyah kepada umat muslim bahkan sampai
sekarang. Ini tidak mungkin.
Kedua, pendapat dari Margoliouth yang mengatakan
bahwa Sunnah pada masa awal Islam berarti ‘hal-hal yang
sudah menjadi tradisi’ adalah bertentangan dengan teks-
teks yang menjadi rujukannya. Dalam dari itu ia juga
mengatakan Sunnah dipakai untuk beberapa pengertian,
antara lain: 22 Pertama, Perbuatan yang sudah dikenal atau
diketahui, lawan dari Bid’ah dengan berdasar kepada
percakapan Ustman dan Ali ra (34 H.): “Maka ia
menegakkan kembali Sunnah yang sudah dikenal dan
meninggalkan bidah. Kedua, Pekerjaan yang telah berlalu.
Ketiga, pekerjaan yang baik, lawan dari pekerjaan buruk
dan juga perbuatan Nabi saw dan dua orang khalifah
setelahnya. Dengan berdasar pada ucapan Usman ra (35
H).23 Keempat, teratur, lawan kacau.24 Kelima, kata Sunnah
juga sering dinisbatkan kepada yang lain, seperti:
Sunnah Allah, Sunnah Muslimin, dan Sunnah Islam. Keenam,
22 MM. Azami. Hal: 2223 Pidato Usman ra kepada Orang-orang Makkah (35 H): “… dan Sunnah
yang baik yang telah dikerjakan oleh Rasulullah saw dan kedua khalifahsesudahnya.”
24 Pengertian ini dipakai pada tahun 64 H. “Orang-orangdiperintahkan untuk berlaku sunnah (teratur) dan mencegah fitnah.”
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 12
segala sesuatu di luar perbuatan Nabi saw, dengan
berdasarkan ucapan Zaid bin Ali.25 Ketujuh, Muhammad saw
di mana beliau sendiri yang bertindak sebagai pembimbing
dan pemberi petunjuk.26
Margoliouth melanjutkan dengan komentar sebagai
berikut: 27
“Kata Sunnah Nabi saw banyak dipakai dalam naskah-
naskah kuno. Istilah ini juga dipakai dalam
naskah-naskah yang ada kaitannya dengan Khalifah
Ustman, barangkali beliau punya perilaku terntentu
yang berbeda dengan pendahulunya, sehingga hal itu
mempunyai dampak tersendiri, meskipun tuduhan
adanya perilaku-perilaku itu belum jelas
kebenarannya. Yang jelas, ‘sampai saat itu belum
ada sumber kedua yang pasti dalam hukum islam.’
Yang ada hanya kebiasaan-kebiasaan yang ditunjang
oleh kekuasaan, yang kemudian menjadi unsur yang
terbaur dalam pribadi Nabi.”
Melihat dari dasar-dasar yang dikemukakan Margoliouth
di atas, ‘seluruhnya atau sebagian besar dari keterangan
25 Zaid bin Ali (122 H.) “ Kami hanya mengajak kalian untukmengamalkan Kitabullah, Sunnah Nabi saw, melestarikan Sunnah-sunnahdan meninggalkan bid’ah.
26 Ini berdasarkan pidato yang konon diucapkan oleh Ali ra. (36H.) “Ajarilah mereka akan al-kitab, hikmah, faridl, dan Sunnah …..Kemudian kaum Muslimin mengangkat dua pemimpin yang saleh yangmengamalkan al-Kitab, sunnah, dan berperilaku baik. Maka mereka tidakmenganggap sunnah kecuali mesti ada contoh pengamalan ya kita lakukandari kitab Allah dan Sunnah RasulNya.”
27 MM. Azami. Hal: 22
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 13
di atas dikaitkan dengan Sunnah Rasul, Sunnah Nabi,
Kitabullah, Sunnah Nabinya, dan sebagai pengamalan Kitab
dan Sunnah’. Margoliouth sepertinya berusaha menutupi
kenyataan dan berusaha menafsirkan seenaknya, sehingga
ahirnya ia menuduh bahwa: 1) Sumber kedua yang pasti
dalam hukum Islam belum terdapat pada saat itu. 2)
Sunnah yang dimaksud adalah kebiasaan yang dilakukan
dalam suatu lingkungan. Padahal jelas dasar argument
yang diajukannya sama sekali tidak mendukung tuduhannya
tersebut.
Seandainya pendapat bahwa Sunnah pada mulanya
diartikan untuk ‘hal-hal yang sudah dikenal di kalangan
masyarakat Islam’ itu kita terima, sedang ini jarang
terjadi di mana istilah itu menjadi ‘Sunnah Muslimin’,
maka tidak otomatis akan bisa disebut dengan ‘Sunnah
Nabi’. Apalagi ucapan Ibnu Umar ketika dikomplain
tentang fatwanya seputar Haji Tamattu’: “Manakah yang
berhak diikuti, Sunnah Rasulullah atau Sunnah Umar?”
dari situ tampak penegasan terhadap perbedaan pengertian
antara kedua istilah itu. Apabila adat istiadat
diartikan sebagai Sunnah, maka apa arti ucapan Ibnu Umar
tadi?28
2. Kedudukan Sunnah dalam Islam.
28 MM. Azami. Hal: 25
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 14
a. Penjelas Kitabullah.29
ل� ز# ا ن�!������ اس م�������� لن!� ن�� ل� Zن � ن� Gت ر� ل� ك� د! ك[� أل������� ن������� ل�� ا أ_ ن!������� ل� ز#� ن�! أ�� و�حل: زون�� )أل�ن# ك� ف!� ب*� هم ث�� ل� ع� ل�� هم و� ي� ل�� (44أ_
“… Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44)
b. Rasulullah saw mempunyai wewenang untuk membuat
suatu aturan.30
ي� د! ي�� أل�� م ي�� ألأ� ن� ول� أل�ت!� س�������������� ون�� أل�ر� ع������������� ب� �Gت ن�� ي�� ب.� د! أل��م مره� ا� ل ي������� Zب���� ج� ن�! ألأ_ أة* و� ور� ي� أل�ت*� م ف! ده� ن!���� ا ع� وي������ ت* ك ه م�� دون�!����� ح� � ن��
ات* ن�� Zي هم أل�ط� ل ل�� ح ن�� ز و� ك� من! أل� ن� م ع�� اه� ه� ي! ث�� و� عروف! م� ال� ي��29 MM. Azami. Hal: 2730 MM. Azami. Hal: 30
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 15
م ه� ر� ص����������� هم أ_ ي! ع ع�� ض�����������!� ي��� ائ��ث%� و� ������������ ب� ج!� هم أل� ي� ل� م ع�� ح������������ر ن�� و�ه وأ ن��������������� ت!������������� م�� ن�� أ� ب.� د! ال�� هم ق�!� ي� ل� ائ�!�ث* ع�� ي� ك��������������� ن* لأل� أل�� ع�! ألأ� و�ه ع������� ل� م�� ز# ن�!������ ي� أ� د! ور� أل�� وأ أل�ت! ع������ ب�� أث�*� روة و� ص������� ي�!� روة و� ر!� ع�������� و�
. ون�� لح��������� مف! م أل� ك[� ه� ن� ول�� ي� أ� ! ب� اس أ_ ا أل�ن!� ه���������� ي�� ا أ�� ل ي������������ ق�*���������
أت* او� م� ك[ أل�س���� ل��� ه م� ي� ل���� د! ا أل�� ع��� مب� � م ج�� ك ن� ل�� أ_ ول أهلل� س���� ر� اهلل� وأ ي�� ت! م� ا� ت* ق�!��������� مي� ي�� ي� و� ن� ج و� ن�� لأ ه��������� ه� أ_ ل��������� لأ أ_ رض! ألأ� و�
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 16
عوة ب� أث�*� ه و� ن�* ا لم� ك�� و� اهلل� ن� ي�� م� و� ي� ب�� د! ي� أل�� م ي� ألأ� ن� وله أل�ت!� س� ر� و�ع�رأف! . )ألأ� دون�� هن*� م ي�*� ك ل� ع� (158-157ل��
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan
melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-
orang yang beruntung.
Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan
bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang
menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan
kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya
kamu mendapat petunjuk".” (Al A’raff: 157-158)
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 17
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Kesimpulan ayat-ayat di atas adalah tidak dibenarkan
menggunakan Alquran saja dan meninggalkan Sunnah. Oleh
karena itu Imam Syafii mengatakan bahwa setiap orang
yang menerima hukum-hukum Allah berarti ia menerima
Sunnah Rasulnya serta menerima hukum-hukumnya.
3. Inkarus sunnah
Di atas telah disinggung sebagian kecil tentang
posisi Sunnah dalam Islam. Rasulullah saw mendapatkan
legitimasi resmi dari Allah swt sebagai salah satu
penetap hukum Islam dan kedudukan Sunnah Nabi sebagai
dasar istinbath hukum. Belakangan, muncul pemahaman yang
frontal yang mensuarakan bahwa Sunnah tidak layak
dijadikan sebagai dasar hukum agama Islam.
Azami menuliskan dalam bukunya, munkirus sunnah
tidak hanya muncul di era modern saja, bahkan sejak
dahulu kala telah terjadi gerakan inkarus sunnah dari Kaum
Khawarij, Mu’tazilah dan Syiah, tetapi mereka pada
dasarnya tidak menginkari Sunnah secara total, tetapi
hanya sebagiannya saja karena ada kecenderungan
subjektif kelompok yang mendorong mereka menolak Sunnah
dari riwayat sahabat tertentu saja, bukan menolak Sunnah
secara mutlak. Misalkan, Khawarij menolak sejumlah
Sunnah yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat yang
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 18
terlibat dan pro terhadap peristiwa akad perdamaian
(tahkim), Syiah yang menuduh murtad semua sahabat pasca
Nabi wafat, sehingga mereka menolak hadis riwayat
sahabat kecuali dari Ahlul Bait.
Gerakan inkarus sunnah ini kemudian berkembang semakin
radikal menjelang ahir abad kedua. Inkarus sunnah yang
awalnya hanya didorong oleh idealisme kelompok
berkembang menolak Sunnah secara mutlak, di samping ada
pula golongan yang hanya mengingkari Sunnah yang tidak
mutawatir saja (Ahad). Gerakan ini banyak berkembang di
tangan Orientalis dan murid-muridnya. Mereka beranggapan
bahwa Sunnah seharusnya hanya menjelaskan Alquran, jadi
bila membawa suatu hukum yang tidak tertera di dalam
Alquran, maka tidak diterima.31 Gerakan ini, kemudian
banyak mempengaruhi pemikiran para sarjana muslim,
seperti Syekh Abu Rayyah dalam kitabnya Adlwa’ Alaas
Sunnatil Muhammadiyah. Seharusnya perselisihan di antara
para fuqoha tidak menjadi sandaran bagi orang-orang yang
mempunyai maksud-maksud tertentu, karena itu hanyalah
perbedaan istilah saja. Sebab mereka menganggap Sunnah
sebagai tambahan terhadap apa yang ada di dalam Alquran,
sedangkan yang lain menganggap sebagai penjelasan. Ada
pula yang menganggap sebagai penguat terhadap apa yang
ada di dalam Alquran, tidak lebih.32 Dan masih banyak
lagi, seperti Tawfiq Shidqiy, Rasyid Ridha, Ahmad Amin,
31 Salim Ali Al Bahanasawi. Rekayasa Sunnah. Terj. Abdul Basith Junaidy.(Yogyakarta. ITTAQA PRESS, 2001) hal: 22
32 Salim Ali Al Bahanasawi. Hal: 22
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 19
Ahmad Shubhy Manshur, dan lain-lain. Azami dalam
bukunya, memberikan tanggapan kritis terhadap munkirus
sunnah modern pada tokoh-tokoh yang muncul di Mesir,
ini sangat penting mengingat Mesir menjadi pusat
keilmuan Islam sejak berdirinya dinasti Fatimiyah sampai
sekarang, dan pemikiran Islam yang muncul dari Mesir
berpotensi tinggi untuk bisa menyebar ke berbagai
penjuru Dunia.
Diakui atau tidak, munkirus sunnah tersebut banyak
dipengaruhi pemikiran orientalis33. Mereka dikecam oleh
para ulama sebagai orang yang berusaha merusak Islam,
tetapi dengan gigih mereka membantah balik bahwa mereka
sedang berusaha mengangkat Islam, memurnikan dan
memajukannya dengan gagasan yang diplomatis dan
mengatasnamakan penelitian ilmiyah dan modernisasi. Ini
secara perlahan menggeser posisi Sunnah dari dasar hukum
kedua agama Islam. Salim Ali Al Bahanasawi dengan terang
mengatakan bahwa hal ini merupakan upaya untuk
menjauhkan umat Islam dari Sunnah secara sebagian atau
keseluruhan. Bahkan untuk Sunnah Ahad yang diragukan
kedatangannya dari Rasuullah saw, mestinya sudah tidak
menjadi masalah, karena pembukuan dan pengklasifikasian
33 Juynboll, dalam analisisnya tidak terbuka (tidak fair), ia memuji AbuRayyah bahwa pemikirannya dalam Sunnah bukanlah terpengaruh dari orientalis,karena ia tidak dapat membaca selain bahasa Arab dan pada masanya bukuGoldziher belum diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pernyataan inibertentangan dengan keterangan sebelumnya, bahwa pada 1940 Ali Abd. Al-Qadirmenerbitkan buku yang berjudul Nazrah ‘Ammah fi Tarikh al-Fiqh al-Islamy yang merupakanterjemahan Muhammedanische Studien tulisan Goldziher secara harfiyah dan tanpamenyebutkan footnote. (Lihat Abdul Majid Khon. Hal: 72)
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 20
kedudukan Sunnah dalam sahih, dhaif dan maudhu’ telah
selesai. Dan dalam tempo yang lama para ulama telah
sepakat bahwa Sunnah adalah Hujjah dan wajib diamalkan
sebagaimana Alquran, tidak ada perbedaan antara yang
mutawatir dan ahad.34
a. Munkirus sunnah Abad Modern
Ada beberapa tokoh munkirus sunnah yang
disinggung Azami dalam Buku ini, diantarnya:
Muhammad Abduh. Sebagaimana penuturan Abu Rayyah,
Abduh mengatakan bahwa Umat Islam saat ini tidak
mempunyai pimpinan lain kecuali Alquran. Islam yang
benar adalah Islam yang dulu sebelum munculnya
perpecahan di tubuh muslimin.35 Abduh adalah orang
yang membangkitkan semangat modernisasi dan
berpikir rasional, sehingga kajian Islam kembali
hangat setelah ratusan tahun beku dalam kejumudan.
Ia juga menyerukan agar umat Islam tidak taklid. Ia
mengatakan ayat Alquran dan Hadis Nabi itu bersifat
qoth’iy dalalah jika berkaitan dengan ibadah, dan
bersifat dhannny dalalah jika berkaitan dengan
muamalat dan sosial kemasyarakatan. Abdul Majid
Khon menulis, Azami dalam menilai Abduh hampir-
hampir salah, bahwa Abduh adalah orang pertama yang
menolak sunnah di abad modern lantaran pernyataan
34 Salim Ali Al Bahanasawi. Hal: 2335 MM. Azami. Hal: 46
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 21
yang disampaikan Abu Rayyah di atas.36 Abduh memang
pembangkit semangat berpikir rasional, tetapi
murid-murid Abduh banyak yang menyimpang dan over
dari apa yang digariskan oleh Abduh sendiri,
sehingga murid-muridnya itulah yang pada ahirnya
menginkari sunnah, seperti Mamhmud Abu Rayyah,
Ahmad Amin, Ahmad Subhy Manshur, dan lain-lain.
Ada juga Dr. Tawfiq Shidqiy yang menulis Artikel
dengan Judul “Islam adalah Alquran itu sendiri”
dengan berargumen kepada ayat-ayat Alquran saja,
tanpa perlu Hadis. Pikiran ini didukung oleh Rasyid
Ridha dan ia memberikan tanggapan “ada suatu hal
yang perlu disimak dalam masalah ini, yaitu suatu
pertanyaan, apakah Hadis yang disebut juga dengan
Sunnah yang berupa ucapan Nabi itu juga bisa
disebut sebagai ‘Agama dan Syairah’. Bila ‘iya’
(berarti Agama dan Syariah) maka kenapa Nabi justru
melarang Sahabat untuk menulis selain Alquran? Para
sahabat juga tidak menulis Hadis. Begitu juga para
Ulama dan Khulafa tidak melihat pengajaran Hadis
sebagai hal yang penting.” Menurut Rasyid Ridha
Hadis yang mutawatir wajib kita terima sebagai
suatu agama secara umum, sedang hadis non mutawatir
diterima sebagai agama khusus, kita tidak wajib
mengikutinya. Semua keterangan bahwa Abu Bakar
membakar catatan Hadis dari para Sahabat dan para
36 Abdul Majid Khon. Hal: 68
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 22
sahabat enggan menulis Hadis sampai ahirnya ada
perintah dari penguasa, memperkuat pendapat bahwa
para sahabat menulis Hadis hanya untuk dihafal
sendiri, setelah itu mereka menghapusnya. Apalagi
tokoh-tokoh sahabat tidak mau mengajarkan Hadis,
bahkan melarangnya. Hal demikian itu memperkuat
pendapat bahwa Sahabat tidak bermaksud menjadikan
hadis-hadis itu sebagai suatu agama secara umum dan
abadi seperti halnya Alquran. Inilah pendapat
Rasyid Ridha, namun pada ahir hayatnya ia mencabut
pendapatnya itu.37
Gerakan inkarus sunnah juga terjadi di Benua
India, yang didalangi oleh Inggris. Kaum Muslimin
India pernah mengumumkan Jihad untuk melepaskan
diri dari belenggu penjajahan Inggris (1857 M).
Inggris mewaspadai gerakan ini dan melakukan
berbagai usaha untuk pendangkalan ilmu Agama dan
umum, penyimpangan akidah melalui pimpinan umat
Islam, dan tergiurnya mereka terhadap teori-teori
Barat untuk memberikan interpretasi hakikat Islam.38
Seperti yang dilakukan oleh Ciragh Ali dan Mirza
Ghulam Ahmad, yang fatwanya antara lain mengingkari
adanya jihad dengan senjata dalam Islam. Caranya
adalah dengan mencela-cela dan menolak Hadis-hadis
yang membicarakan Jihad. Tokoh-tokohnya adalah
37 MM. Azami. Hal: 4738 Abdul Majid Khon: 61
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 23
Sayyid Ahmad Khan (w. 1897 M), Ciragh Ali (w. 1898
M), Maulevi Abdillah Jakralevi (w. 1918 M) Ahmad
al-Din Amratserri (w. 1933 M) Aslam Cirachburri
(w. 1955 M) dan Mirza Ghulam Ahmad dan Abd. Khaliq
Malwadah. Belakangan muncul nama Ghulam Ahmad
Parwez yang membentuk kelompok Ahlul Quran (Al-
Quraniyyun). Ia mengaku mujtahid dan berfatwa bahwa
Alquran hanya memerintahakn Shalat, tentang tata
caranya hal itu diserahkan kepada kepala Negara
dengan mempertimbangkan situasi dan tempat.39
Mereka juga berpendapat bahwa perpecahan umat
Islam dikarenakan banyaknya madzhab dalam Islam dan
untuk menyatukannya adalah dengan kembali
berpedoman kepada Alquran saja.40
b. Argumen-argumen Munkirus sunnah
Salah satu Argumen Ahlul Quran adalah Agama
haruslah dilandaskan pada satu hal yang pasti.41
Apabila kita mengambil Sunnah, maka berarti Agama
itu berlandaskan pada hal yang tidak pasti. Alquran
adalah satu-satunya yang pasti. Mereka mengutip
Albaqarah: 1-2 dan Fathir: 31.
Ahlul Quran berkata: “Anda mengatakan Hadis
terbagi menjadi dua; Mutawatir dan Ahad. Hadis
39 MM. Azami. Hal: 4940 Abdul Majid Khon: 6241 MM. Azami. Hal: 51
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 24
mutawatir hanya beberapa butir saja, selebihnya
adalah hadis Ahad yang masih bersifat dhanni
(dugaan kuat) saja. Mereka berhujjah dengan QS. An
Najm: 28 yang mengecam pengguanaan dhann dan
meninggalkan yakin.
Selanjutnya mereka mengutip janji Allah untuk
menjaga Alquran dalam QS. Al Hijr: 9 dan juga
perhatian Rasulullah terhadap Alquran, sehingga
ketika wahyu Alquran turun maka Rasulullah saw akan
mengumpulkan sejumlah sahabat untuk menulisnya.
Berbeda dengan Hadis, yang justru Rasulullah
melarang penulisannya, bahkan Abu Bakar
membakarnya. Ini memunculkan sebuah pertanyaan,
kenapa hal itu dilakukan oleh Nabi dan para
sahabat? Jika memang hadis itu penting (wahyu dari
Allah), maka hal itu tidak mungkin terjadi.42
Isu lain yang muncul adalah pernyataan bahwa
Sunnah bukanlah wahyu, sebab ini akan meniscayakan
keterjagaannya sebagimana Alquran. Menurut Tawfiq
Shidqiy, apa yang diucapkan Nabi saw tidak secara
mutlak sebagi wahyu, tetapi ijtihad. Ia menafsirkan
QS. An Najm ayat 3-4 bahwa dhomir ه�و kembali kepadaal-Kitab yang diturunkan, bukan kepada Nabi. Ayat
ini tidak menjelaskan bahwa apa saja yang dikatakan
Nabi adalah wahyu, tetapi lebih kepada pokok
42 MM. Azami. Hal: 54
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 25
derajat kenabian. Maka apa yang dikatakan Nabi
adalah ijtihad yang mungkin benar dan salah,
diikuti oleh sahabat atau tidak sebagaimana dalam
pemilihan strategi dalam pemilihan lokasi perang
badar. Pendapat Nabi tidak diikuti tetapi memilih
pendapat sahabat al-Habbab bin al-Mundzir yang
dianggap lebih tepat dan strategis.43
Pemikiran yang membagi wahyu menjadi dua, yakni:
wahyu dibacakan (matlu) dan tidak terbaca (ghoiru
matlu) oleh Ahlul Quran dinilai adalah sangat lemah
dan merupakan pemikiran susupan Yahudi.44
c. Tanggapan Azami terhadap Argumen-argumen
tersebut
Guna membantah pendapat yang mengatakan
penggunaan hadis Ahad, Azami mengutip apa yang
disampaikan Abu al-Husain Al-Basri Al-Mu’tazili:
“Dalam menerima Hadis-hadis Ahad sebenarnya kita
memakai dalil-dalil yang pasti yang mengharuskan
untuk menerima Hadis-Hadis itu.” Jadi kita tidak
memakai dhann yang bertentangan dengan haqq tetapi
kita memakai dhann yang memang diperintahkan oleh
Allah.45
43 Abdul Majid Khon. Hal: 117 44 MM. Azami. Hal: 5545 MM. Azami. Hal: 58
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 26
Selanjutnya, terkait adanya wahyu terbaca dan
tidak terbaca yang kemudian diklaim oleh munkirus
sunnah sebagai susupan pemikiran Yahudi. Azami
menawarkan untuk menelaah kembali QS. Albaqarah:
144-142, yang menyiratkan pengertian bahwa Kiblat
pertama (Baitul Maqdis) ditentukan sendiri oleh
Allah, seperti juga Kiblat kedua (Ka’bah). Sebab
Allah juga berfirman:
“… Dan Kami tidak menjadikan Kiblat (Baitul Maqdis) yang
menjadi kiblatmu sekarang …” (QS. Albaqarah: 142)
Namun, tidak ditemukan sama sekali di dalam
Alquran satu ayat pun yang membahas perintah
menghadap Kiblat pertama. Dengan demikian, perintah
menghadap Kiblat pertama adalah bukti adanya wahyu
tidak tertulis.46 Jadi klaim yang mengatakan bahwa
wahyu terbaca dan tidak terbaca adalah pemikiran
Yahudi adalah suatu klaim yang tidak berdasar dan
muncul dari kekurang telitian dalam memahami
Alquran.
Mengenai QS. An Najm 3-4. Dhomir ه�و yang dimaksudyang benar kembali kepada ط�������ق* yang أل�ن! diambil darikata ط�������ق* ن! .ث�� Selain itu, dalam ayat tersebut jugamenggunakan pola ringkasan (uslub hasr) dengan
46 MM. Azami. Hal: 64
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 27
menggunakan pola pengecualian (istisna’ لأ (أ_ yangdidahului oleh adat nafi ن� yang ,أ_ berarti seluruh
ucapan Nabi adalah wahyu, tanpa terkecuali dan
tidak ada ijtihad sama sekali.47
C. Kegiatan Pendidikan Di Jazirah Arab
1. Kegiatan Pendidikan Pada Masa Raslullah
Tatkala Allah bermaksud menyempurnakan nikmatNya di
alam Raya ini, Ia mengutus Muhammad saw yang ummi
sebagai Rasul. Tetapi risalah Islam tidak mungkin
membiarkan dalam keadaan begitu, sebab Islam menghendaki
umatnya melepaskan diri dari kebodohan. Karena ketidak
tahuan tulis menulis termasuk hal yang menghalangi
masalah itu, maka perintah Allah yang pertama kali
diturunkan adalah perintah membaca.
Setelah Kaum Muslimin berhijrah ke Madinah, dakwah
Islam menemukan titik-titik cerah dimana Kaum Anshar
memeluk Islam. Keadaan pendidikan Islam juga mengalami
perubahan sebab Kaum Anshar yang hidup -saat itu-
sebagai bangsa ummi tidak menghendaki hidup dalam
kebodohan.
Pada waktu Nabi masih tinggal di Makkah, orang Anshar
seperti Rafi’ bin Malik juga pernah menghadap Nabi saw
untuk belajar Alquran dan sesudah kembali ke Madinah ia
47 Abdul Majid Khon. Hal: 118
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 28
mengajarkannya di sana. Bahkan, mereka meminta Nabi
mengirimkan guru-guru untuk mengajarkan Agama dan
Alquran kepada mereka.48
Rasulullah saw juga menyampaikan beberapa Hadis yang
mengangkat derajat pendidikan (belajar-mengajar). Di
samping belajar, Rasulullah saw juga menganjurkan untuk
mengajar dengan gratis tanpa biaya, agar kemiskinan
tidak menjadi kendala dalam menuntut ilmu. Oleh sebab
itu, ketika Ubadah bin Shamit menerima hadiah panah dari
muridnya, Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu senang
memakai pedang dari neraka, maka terimalah saja pedang
itu.”
Hal yang pertama dilakukan Nabi setelah Hijrah ke
Madinah ialah membangun masjid dimana disediakan ruangan
khusus untuk pendidikan yang disebut Suffah. Ini bisa
kita sebut sebagai perguruan intern dalam Islam, sebab
tempat itu juga dipakai sebagai asrama pelajar yang
tidak mampu. Jumlah penghuni Suffah itu tidak tentu
tergantung situasi dan waktu. Peta Madinah waktu itu
sudah menunjukkan adanya Sembilan masjid, yang tidak
menutup kemungkinan juga dijadikan sebagai pusat
Kegiatan Pendidikan Agama.49
Rombongan yang menghadap Nabi selalu dipersilahkan
untuk menginap di rumah-rumah sahabat Anshar. Nabi
48 MM. Azami. Hal: 8149 MM. Azami. Hal: 85
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 29
pernah bertanya kepada rombongan Abdul Qais: “Bagaimana
saudara-saudaramu di sini menerima kehadiran kalian?”
Mereka menjawab: “Baik sekali, Kami diberi tempat tidur
yang empuk, dan makanan yang lezat. Pada malam dan pagi
hari kami diberi penjelasan tentang Kitabullah dan
Sunnah RasulNya.” Rasulullah merasa kagum dan gembira,
lalu mereka ditest satu persatu tentang pelajaran yang
telah diperolehnya dari sahabat Anshar sambil
menambahinya pelajaran-pelajaran yang baru. Para sahabat
sangat perhatian terhadap Sunnah-sunnah Nabi saw, mereka
sangat bersemangat dalam saling meriwayatkan apa yang
mereka peroleh dari Nabi satu sama lain, bahkan ada yang
bersepakat dengan kawannya agar ia hadir di majelis Nabi
pada hari ini sementara yang satu pergi bekerja,
kemudian esoknya bergantian satunya hadir di majelis
Nabi sedang satunya lagi bekerja, sehingga pada hari
kemudian mereka bisa saling berbagi ilmu yang ia
lewatkan. Perhatian mereka yang demikian bukanlah hal
yang aneh mengingat itu adalah cerminan langsung dari
perhatian Rasulullah saw sendiri terhadap ilmu.50
Tidak berselang lama setelah Nabi tinggal di Madinah,
turun wahyu tentang masalah hutang piutang dan anjuran
agar Umat Islam mencatat dagangannya. Perintah inipun
bersambut baik dan lancar, karena Umat Islam yang
mulanya ummi saat itu telah mengetahui benar tentang
tulis menulis. Ini implikasi positif atas perhatian
50 Muhammad Alawi Al-Maliki. al-Manhal al-Latief. (tanpa penerbit) hal: 23
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 30
Rasulullah saw tentang kemampuan menulis Sahabat, usaha
beliau ini terlihat jelas dalam sejarah perang Badar.
Rasulullah saw memutuskan orang-orang kafir yang menjadi
tawanan perang yang bisa membaca menulis dapat
memperoleh kebebasan dirinya dengan syarat tiap-tiap
satu orang tawanan harus mengajar membaca menulis sampai
mahir kepada sepuluh orang putra-putri Orang Islam di
Madinah.51 Rasulullah saw juga pernah mengangkat Abdullah
Ibn Said ibn Al-Ash sebagai pengajar tulis menulis,
karena saat itu ia adalah salah satu orang yang terampil
menulis. Ada juga Ubadah bin Shamit yang juga
mengajarkan tulis menulis kepada para Ahli Suffah.52
Bukti lain tentang tersebarnya budaya tulis-menulis
dikalang Muslimin adalah keberadaan sekertaris Nabi yang
jumlahnya mencapai lima puluh orang.53 Keberhasilan
kebijakan pendidikan yang diterapkan Nabi ini sangat
gemilang, Islam yang mulanya ummi tidak sampai satu Abad
telah memiliki begitu banyak tenaga teknis yang mumpuni.
Ini juga menandai akan hangatnya kegiatan pendidikan
pada periode abad pertama Hijri.
2. Orientalis dan Periode Umayah (Abad pertama Hijri)
Prof. Nicholson dalam bukunya Goldziher menjelaskan
bahwa tulisan-tulisan prosa pada periode Umayyah perlu
51 Muhammad Alawi al-Maliki. Ilmu Ushhul Hadis. Terj. Adnan Qohar. Hal:14
52 MM. Azami. Hal: 8353 MM. Azami. Hal: 87
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 31
mendapat catatan penting. Dalam bidang sastra, semangat
non-agama (atheis) dan non Islam telah mempengaruhi
tulisan-tulisan mereka.54
Schacht yang juga menjadikan tulisan Goldziher
sebagai Argumen, mengatakan bahwa Goldziher menegaskan
bahwa hadis-hadis yang tersebar pada masa abad pertama
tidak ada kaitannya dengan fikih (hukum), tetapi
berkaitan dengan masalah Akhlaq, zuhud, ahirat dan
politik.55 Dalam bukunya Introduction of Islamic Law, Schacht
memberikan laporan berikut:
Sunnah dalam konteks Islam pada awalnya lebih memliki konotasi
politis daripada hukum. Sunnah merujuk pada kebijakan-kebijakan dan
administrasi khalifah. Pertanyaan apakah tindakan-tindakan administratif
dari dua khalifah yang pertama, Abu Bakar dan Umar harus dipandang
sebagai preseden-preseden yang mengikat, muncul barangkali pada saat
pengganti Umar harus ditunjuk (23/644), dan ketidak puasan terhadap
khalifah ketiga (Usman) yang mengakibatkan pembunuhannya pada
35/655, menjadi tuduhan bahwa dia pada gilirannya, menyimpang dari
kebijakan pendahulunya dan, secara implisit, dari Alquran.56
Pada umumnya Muhammad, hanya memiliki sedikit alasan untuk
mengubah hukum adat yang sudah ada. Tujuannya selaku Nabi bukanlah
untuk membuat sistem hukum yang baru, tetapi sekedar mengajarkan
manusia bagaimana manusia bertindak, apa yang harus dilakukan, dan
54 MM. Azami. Hal: 9255 MM. Azami. Hal: 9356 MM. Azami. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum. Terj. Asrofi Shodri. (Jakarta:
Pustaka Firdaus 2004) hal: 35
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 32
apa yang harus dihindari agar dapat dengan selamat menghadapi
perhitungan pada hari pembalasan dan agar masuk surga.57
Goldziher juga mengemukakan hadis yang dituduhnya
didasari unsur politik:
“Tidak diperkuat berkendaraan (di perjalanan) kecuali kepada tiga
masjid, yaitu: masjidil Haram, masjidku ini, dan masjidil Aqsha. (muttafaq
alaih)”
Ia menuduh Hadis ini adalah ucapan Al-Zuhri bukan
dari Nabi saw, karena ada alasan politik yakni melayani
keinginan Abd. Al-Syiah bin Marwan yang khawatir, jika
penduduk Syam pergi haji ke Makkah dan membaiat Abdullah
bin Zubayr. Maka haji mereka akan dialihkan ke Qubbah Al-
Sakhra di Al-Quds.58
Pandangan-pandangan Goldziher juga mempunyai posisi
yang sangat berpengaruh besar di antara akdemisi
orientalis, bahkan buku Muhammedanische Studien menjadi
kitab suci mereka dalam mengkaji Hadis. Maka, di sini,
Azami merasa perlu mengulas tentang Goldziher dan
kesimpulannya terhadap Islam. Berikut adalah point-point
dari bagaimana Goldziher mendeskripsikan Umat Islam
periode Umayyah:59
a. Umat Islam diselimuti kebodohan yang mutlak tentang
ajaran Islam baik sebagai akidah maupun syariah.
57 MM. Azami. Hal: 1958 Abdul Majid Khon. Hal: 7359 MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejerah Kodifikasinya. Hal: 94
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 33
b. Ketidakmampuan Islam untuk membuat aturan-aturan dan
teori-teori yang lengkap secara teratur dan rapi.
Kedua kesimpulan di atas muncul berdasarkan beberapa
alasan, di antaranya adalah:60
a. Orang-orang Islam itu ternyata tidak mengetahui cara-
cara mengerjakan Shalat. Goldziher berdalih dengan
Hadis yang diriwayatkan dari Imam Bukhari, dimana Abu
Qilabah berkata: “Kami didatangi Malik bin al
Huwairist di Masjid kita ini. Malik kemudian shalat.
Setelah selesai shalat ia berkata: “Sebenarnya saya
tidak bermaksud shalat. Saya hanya ingin
memberitahukan bagaimana cara Rasulullah saw
melakukan shalat.”
b. Masyarakat Islam ternyata benar-benar bodoh sekali.
Sampai ketika Ibnu Abbas minta penduduk kota Basrah
untuk mengeluarkan zakat fitrah, mereka tidak paham.
Ahirnya, salah seorang yang berasal dari Madinah
menjelaskan hal itu kepada mereka. Goldziher berdalil
dengan riwayat yang berasal dari al-Hasan, dimana
Ibnu Abbas pada suatu saat di ahir Ramadhan berhutbah
di sebuah masjid Basrah dan memerintahkan agar orang-
orang membayar zakat firahnya, namun mereka tidak
melakukannya. Lalu beliau menyuruh orang dari Madinah
untuk menerangkannya kepada yang tidak tahu.
60 MM. Azami. Hal: 95
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 34
Begitulah kurang lebih gambaran Goldziher terhadap
keadaan masyarakat Islam periode Abad pertama Hijri.
Tetapi, ada hal yang perlu diperhatikan dari deskripsi
Goldziher itu, ia sama sekali tidak menyinggung tentang
geliat pendidikan yang terjadi di abad pertama. Di atas
telah dijelaskan bahwa kegiatan pendidikan di Jazirah
Arab sangatlah subur dan memperoleh pencapaian yang
fantastis, mengingat start awal umat Islam yang
mayoritas ummi. Hangatnya geliat pendidikan di tangan
Rasulullah semestinya akan berdampak positif di masa-
masa setelahnya dalam melahirkan cendikiawan dan
agamawan yang berkualitas, dan tentu priode Umayyah
seharusnya penuh dengan cendikiawan dan agamawan, yang
tentu tidak akan membiarkan umat Islam dalam kebodohan
sebagiamana tuduhan Goldziher.
Tradisi saling menyampaikan ilmu yang telah
ditanamkan oleh Nabi, menjadi sebuah fakta yang secara
otomatis menyanggah kesimpulan Goldziher itu. Rasulullah
berkata: “Semoga Allah menerangi seseorang yang
mendengarkan sesuatu dariku, kemudian ia menyampaikannya
kepada orang lain, sebagaimana ia mendengarkannya
dariku. Terkadang banyak orang yang disampaikan
(kepadanya) itu lebih mengerti dari pada si pendengar
langsung.”61 Ini memberikan sebuah semangat dan motivasi
yang kuat kepada umat Islam untuk menaruh perhatian yang
besar terhadap ilmu.
61 Muhammad Alawi Al Maliki. Al-Manhal al-Latief. (tanpa penerbit) Hal: 23
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 35
Dalam rangka memperkuat kesimpulannya itu Goldziher
juga beberapa kali mengutip buku dari penulis yang tidak
dikenal, seperti al Uyun wal Hadaiq. Selain itu, buku-buku
Syiah juga dikutip tanpa kajian yang cermat. Padahal
dalam mengkaji Periode Umayyah perlu mencermati secara
mendalam buku-buku Syiah yang dijadikan sumber,
mengingat Syiah dan Dinasti Umayyah memiliki konflik.
Kritik terhadap kesimpulan Goldziher sesungguhnya telah
dirintis oleh Nashir al-Din al-Asad dalam buku hasil
penelitiannya yang berjudul Masadir al-syi’r al-Ula (1926), ia
berhasil menemukan fakta-fakta dan dokumen mengenai
perkembangan subur tulis-menulis di Jazirah Arab, suatu
hal yang tidak diakui oleh Goldziher.62
Adapun kesimpulan Goldziher di atas disanggah Azami
degan mengkaji kembali alasan-alasan yang
dikemukakannya:63
a. Seperti yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu
Saad, bahwa Malik bin al-Huwairist pernah ditugaskan
oleh Nabi saw untuk mengajarkan Shalat kepada orang
lain. Oleh sebab itu, wajar saja, jika ia datang ke
masjid lalu mengajarkan shalat kepada orang lain.
Sebenarnya kesimpulan Goldziher ini sangat aneh,
sebab apabila memang ada orang yang mengajar orang
lain dalam suatu masyarakat, apakah itu dapat
62 Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis: Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer.(Bandung: Remaja Rosdakarya 2004) hal: 251
63 MM. Azami. Hal: 99
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 36
dijadikan bukti bahwa masyarakat itu bodoh
seluruhnya?
b. Riwayat tentang Ibnu Abbas di atas adalah dhaif
(lemah). Di samping itu lebih dari lima puluh orang
tokoh-tokoh sahabat tinggal di Basrah, antara lain;
Abu Musa Al Asyari, Anas bin Malik, Qabisah bin Al
Muharriq dan lain-lain. Di antara mereka ada Abdullah
bin Al Mughaffal dan Imran bin Hushain. Keduanya
adalah orang yang diutus oleh Umar ra. untuk mengajar
penduduk Basrah.
Setelah diteliti kembali gambaran yang disampaikan
Goldziher jelas tidak berlandaskan kajian ilmiyah,
tetapi lebih cenderung subjektif. Dari sini, diketahui
tuduhan Goldziher –tentang penulisan prosa pada masa
Umayyah- yang dimulai dengan materi-materi non agama itu
lemah sekali. Yang benar justru sebaliknya, sebab jumlah
kitab-kitab Hadis yang cukup banyak pada masa Umayyah.
Terbukti bahwa terdapat perpustakaan yang tersebar di
Negara-negara Islam pada dekade keenam Abad pertama
Hijri. Abd al-Hakam bin Amr bin Abdullah bin Sufwan al-
Jumahi mendirikan perpustakaan umum yang berisi berbagai
koleksi buku serta dilengkapi ruangan untuk bermain.
Mujahid menuturkan bahwa Abd al-Rahman bin Abu Laila
mempunyai rumah yang diisi dengan mushaf-mushaf. Ada
juga perpustakaan milik Khalid bin Yazid bin Muawiyah.
Selain itu kitab-kitab hadis tulisan Sahabat, Tabiin,
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 37
hingga tabiut Tabiin yang dijelaskan oleh Azami dalam
Bab IV buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya
merupakan penjelasan akan banyaknya kitab-kitab Hadis
yang muncul dari abad pertama Hijri dan era Muawiyah.
D. Penulisan Hadis Nabawi
Kapasitas umat Islam dalam tulis-menulis jelas sangat
cukup untuk melakukan kodifikasi Hadis secara teks sejak
Nabi saw masih hidup, tetapi pendapat yang dominan di
antara para sarjana Muslim adalah Hadis itu disebarkan dari
mulut ke mulut (secara lisan) sampai ahir abad pertama
Hijri. Sebagaimana dinukil Ibnu Hajar bahwa Umat Islam pada
mulanya mengajarkan Hadis melalui hafalan. Ketika kemampuan
hafalannya menurun, mereka mulai membukukanya.
Orang yang pertama kali mempunyai ide untuk membukukan
Hadis adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Proses
kodifikasi dimulai dengan khalifah mengirimkan surat ke
seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada ahir
tahun 100 H yang berisi perintah agar seluruh hadis Nabi
dihimpun.64 Beliau mengirim surat kepada Abu Bakar bin
Muhammad bin Hazm dan mengatakan: “Periksalah dan tulislah
semua hadis-hadis Nabi saw, sunnah-sunnah yang sudah
dikerjakan, atau hadis dari Amrah binti Abd Rahmah (murid
kepercayaan Aisyah)65; karena saya khawatir hal itu akan
punah.” Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memberikan
64 Idris. Hal: 9465 Idris. Hal: 95
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 38
perintah kepada Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Al Zuhri dan
lain-lain untuk mengumpulkan dan menuliskan Hadis. Pendapat
Malik juga popular bahwa orang pertama yang menulis Hadis
adalah Ibnu Syihab Al Zuhri.66 Al Zuhri berhasil
mengumpulkan hadis dalam satu kitab sebelum Khalifah
meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah ke
berbagai daerah untuk bahan penghimpunan Hadis
selanjutnya.67
1. Keterlambatan Penulisan Hadis sampai Satu Abad
Mengenai fakta keterlambatan penulisan hadis yang
sampai seratus tahun lebih, Ibnu Hajar menjawab bahwa
Hadis Nabi yang belum disusun dan dibukukan pada masa
Sahabat dan Tabiin tua disebabkan adanya tiga faktor.
Azami merumuskannya dari alasan Ibnu Hajar dan
langsung menanggapinya sebagai berikut:68
a. “Kebanyakan mereka tidak dapat menulis.”
Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan tentang
kapasitas Kaum Muslimin di era Nabi yang mumpuni
dalam tulis menulis. Banyaknya jumlah sekertaris
dan sistem administrasi yang besar di era Khualafaur
Rasyidin yang menuntut kecakapan menulis adalah
bukti bahwa tulis menulis sudah pasti dikuasai oleh
umat Islam.
66 MM. Azami. Hal: 10767 Idris. Hal: 9568 MM. Azami. Hal: 109
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 39
Selain itu, alasan ini terbantahkan dengan
ditulisnya Alquran, maka berarti Umat Islam benar-
benar bisa menulis.
b. “Kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka sudah dapat
diandalkan, sehingga mereka tidak perlu menulis
Hadis.”
Kemampuan hafalan yang tinggi yang dimiliki
mayoritas Orang Arab adalah mungkin sekali karena
mereka jauh dari kesulitan-kesulitan dan kebisingan
kota. Selain itu, tradisi mereka menghafal nama-
nama kakek buyut dan diwan-diwan Syair adalah suatu
penjelasan terhadap kemampuan hafalannya yang terus
terasah. Tetapi demikian tidak lantas mereka tidak
menulis. Meskpiun orang hafal syair-syair ternyata
ia juga menulisnya.
c. Semula ada larangan dari Nabi untuk menulis Hadis,
seperti yang terdapat dalam Sahih Muslim. Hal itu
dikhawatirkan akan tercampurnya sejumlah Hadis
dengan Alquran.
Mengenai hadis tersebut. Terdapat tiga riwayat
sahabat yang populer, yakni: dari Abu Said al
Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit. Tetapi
semua riwayat itu dinilai tidak sahih, karena
terjadi masalah dalam sanad yang melalui ‘Abd al
Rahman bin Zaid bin Aslam yang dianggap lemah
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 40
sekali. Abu Said al Khudri diriwayatkan dari dua
jalur salah satunya melalui ‘Abd al Rahman bin Zaid
bin Aslam, sedangkan Abu Hurairah diriwayatkan
dengan satu jalur juga melalui jalur yang sama.
Zaid bin Tsabit diriwayatkan melalui al-Mutallib
bin Abdullah bin Hantab, yang dianggap lemah karena
ia tidak pernah mendengar langsung dari Zaid bin
Tsabit.
Yang bisa diperhitngkan adalah riwayat Abu Said al
Khudri yang melalui Hammam dari Zaid bin Aslam,
dari Ata’ bin Yasar, dari Abu Said Al Khudri.
Tetapi hadist inipun dikaji kembali dan ternyata
masih dalam perselisihan ulama, apakah marfu atau
mauquf.
Azami melanjutkan, ia cenderung memilih pendapat
bahwa larangan penulisan Hadis tersebut hanyalah untuk
penulisan Hadis bersama Alquran dalam satu naskah.
Sebab akan dikhawatirkan percampuran antara Hadis dan
Alquran.69
2. Kitab-Kitab Hadis Periode Abad Pertama Hijriyah.
Selanjutnya, Azami menyebutkan jumlah yang sangat
banyak sekali tentang riwayat Hadis dari para sahabat,
Tabiin, dan Tabiut Tabiin sekitar abad pertama Hijri,
sebagai bukti adanya ribuan kitab Hadis yang beredar
69 MM. Azami. Hal: 116
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 41
di masa Tabiin dan Tabiut Tabiin. Sebab peristiwa
penulisan Hadist yang terjadi pada Abad ketiga, yang
dinilai lebih baik dan jauh lebih teratur dibanding
penulisan pada masa sebelumnya, telah banyak
menggabungkan kitab-kitab masa sebelumnya dengan
kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa itu, sehingga
tidak tersisa kitab Hadis yang ditulis di masa
sebelumnya, kecuali sedikit saja.
Kenyataan ini sering dijadikan oleh sementara orang
untuk membantah adanya pembukuan hadis pada masa dini,
bahkan untuk membantah adanya hadis itu sendiri.70
Misalkan dalam teori e-silento yang digunakan oleh
Schacht guna mendukung thesisnya. Teori itu
mengasumsikan bahwa jika seorang ulama pada waktu
tertentu mengabaikan suatu Hadis tertentu atau tidak
menyinggungnya atau, terlebih, jika hadis tersebut
tidak disinggung oleh ulama-ulama terkemudian bahwa
ulama sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka
Hadis itu dianggap tidak ada pada masa itu.71
Dalam Bab IV buku Hadis Nabi dan Sejarah
Kodifikasinya, Azami mencurahkannya guna membuktikan
adanya tulisan-tulisan Hadis di masa Sahabat, Tabiin
dan Tabiut Tabiin. Ia mencoba membatalkan asumsi-
asumsi di atas, dengan membuktikan akan adanya sejarah
bahwa Hadis itu sudah ada sejak Abad pertama dan
70 MM. Azami. Hal: 12371 MM. Azami. Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum. Hal: 164
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 42
bukanlah produk Abad kedua sebagaimana dituduhkan
orientalis. Berikut sebagian sedikit dari ratusan
Sahabat, Tabiin dan Tabuit Tabiin yang ditulis oleh
Azami.
a. Tulisan Para Sahabat72
1) Abu Ayyub Al Anshari
Nama aslinya Khalid bin Zaid, Ra. (w. 52
H). Beliau menulis beberapa Hadis Nabi dan
dikirimkan kepada kemenakannyaseperti
dituturkan dalam kitab Musnad al Imam Ahmad “…
Saya diberitahu kemenakan Abu Ayub al Anshari,
ia dikirimi surat oleh Abu Ayub dan diberitahu
bahwa Abu Ayub mendengar dari Rasulullah saw
bersabda ….”
Cucu beliau, yaitu Ayub bin Khalid bin Ayub al
Anshari jura meriwayatkan 112 Hadis dari
ayahnya, dari kakeknya (Abu Ayub al Anshari).
Hadis sebanyak ini biasanya merupakan tulisan
dalam lembaran-lembaran (shahifah), tetapi
tidak diketahui siapa yang mencatat shahifah
itu.
2) Abdullah bin Amr bin Ash
72 MM. Azami. Hadis Nabawi dan Sejarah kodifikasinya. Hal: 132
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 43
Beliau adalah seorang tokoh yang alim dan
rajin beribadah, di samping sebagai Sahabat
Rasulullah saw. Beliau masuk Islam lebih
dahulu daripada kedua orang tuanya dan hijrah
ke Madinah sesudah tahun ke tujuh.
Di Madinah beliau banyak menyaksikan
sahabat menulis Hadis. Seperti beliau tuturkan
sendiri sebagai berikut: “Pada suatu saat para
sahabat berada di Kediaman Rasulullah saw.
Saya juga bersama mereka, dan saya yang paling
muda. Waktu itu Rasulullah saw bersabda:
barangsiapa dengan sengaja membohongi diriku
maka hendaklah ia siap-siap masuk neraka.”
Setelah kami keluar dari rumah Nabi saw, kami
bertanya kepada mereka “Bagaimana kalian
meriwayatkan Hadis dari Nabi, sedangkan beliau
bersabda seperti itu?” mendengar pertanyaan
saya itu mereka tertawa seraya mengatakan
“Wahai kemenakan kami, semua hadis yang kami
dengar dari Rasulullah itu sudah kami tulis
dalam buku.”
Abu Hurairah memberikan kesaksian bahwa
Abdullah banyak menulis Hadis. Katanya, “Tidak
ada Sahabat nabi yang lebih banyak hadisnya
dibanding saya, kecuali Abdullah bin Amr,
sebab ia menulis sedangkan saya tidak.” Dan
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 44
begitulah, Abdullah bin Amr selalu menulis
Hadis sampai hal itu dikumpukan dalam sebuah
sahifah yang dinamai al Shadiqah. Dan ini
merupakan benda yang paling berharga bagi
beliau.
b. Tulisan para Tabiin73
1) Abban bin Ustman (20-105 H.)
Beliau termasuk orang yang pertama kali
menulis buku. Beliau menulis buku tentang
maghazi (kisah-kisah peperangan Nabi). Yahya
bin al Mughirah bin Abd Rahmah meriwayatkan
dari ayahnya, bahwa ayahnya (al Mughirah)
tidak mempunyai kitab tulisan tangan yeng
berisi hadis-hadis Nabi, selain maghazi Nabi
yang diambilnya dari Abban bin Ustman. Ayahnya
sering membacakan kitab tersebut dan
menyuruhnya untuk mempelajarinya.
2) Ibrahim bin Yazid al Nakhai al Anwar
Mansur meriwayatkan dari Ibrahim, kata
Ibrahim: “Saya tidak pernah menulis apapun.”
Sedangkan Fudhail pernah datang kepada Ibrahim
dan berkata, saya datang kepadamu membawa
berbagai masalah, tetapi saya lupa hal itu;
sedangkan anda juga tidak suka menulis
73 MM. Azami. Hal: 201
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 45
sesuatu.” Kemudian Ibrahim menjawab, “Memang
jarang orang mau menulis kecuali tulisannya
itu ahirnya dijadikan andalan.”
Barangkali karena alasan inilah beliau
enggan menulis Hadis. Apabila tidak demikian,
tentu beliau sudah menulisnya, seperti yang
pernah beliau lakukan pada Qatadah.
Orang-orang yang menyimpan tulisan Hadis dari Ibrahim
1) Hammad bin Abu Sulaiman.
Jami’ bin Syaddad menuturkan, ia melihat
Hammad menulis Hadis dirumah Ibrahim.
2) Qatadah
Qatadah menulis surat kepada Ibrahim al
Nakhai, menanyakan masalah-masalah asuhan
dan susuan. Kemudian Ibrahim menjawabnya
secara tertulis di mana disebutkan beberapa
Hadis Nabi dan pendapat para Sahabat yang
ada kaitannya dengan masalah tersebut.
E. Tahammul al-‘Ilm (Penyebaran Hadis)
Para ulama’ dan peneliti lebih-lebih para pembaca
umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa hadis Nabi SAW
tersebar secara lisan dari generasi ke generasi. Seperti
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 46
pendapat yang masyhur dari Malik bin Anas, di mana beliau
mengatakan bahwa orang yang pertama kali mentadwin hadis
adalah Ibnu Syihab al Zuhri. Adalah suatu kekeliruan
pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali
menulis hadis adalah al- Zuhri74.
Ibn Syihab al-Zuhri hidup pada masa khalifah Umar Ibn
Abd al-Aziz dari bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 99-
101 H. Khalifah memerintahkan para ulama untuk mendirikan
majelis-majelis hadis dan membukukan hadis Nabi. Selain al-
Zuhri, ulama yang mendapat perintah untuk mengumpulkan dan
membukukan hadis tersebut adalah Amarah binti Abd al-Rahman
dan Abu Bakar Ibn Hazm75. Maka dari itu, dianggaplah bahwa
penulisan hadis baru dimulai pada masa khlalifah Umar Ibn
Abd al-Aziz oleh Syihab al-Zuhri. Tidak berarti menafikan
bahwa al-Zuhri merupakan ulama’ yang mengumpulkan hadis,
yang perlu diperhatikan adalah bahwa proses pengumpulan
sampai pentadwinan bukanlah baru dimulai oleh al-Zuhri akan
tetapi hal itu merupakan proses yang sangat panjang dan
lama sejak masa nabi Muhammad SAW.
Sulit juga rupanya untuk menetapkan siapa sebenarnya
penulis/ pembuku pertama hadis secara resmi, mengingat
instruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz selain dikirim
74Beliau dilahirkan pada tahun 58 Hijriah, di akhir kepemimpinanMuawiyah, dan wafat di tahun 124 Hijriah. Beliau menulis hadis atasperintas khalifah Umar bin Abdul Aziz pada akhir abad pertama hijri.(http://rafiqjauhary.com/2014/04/15/muhammad-bin-syihab-az-zuhri/), diakses pada15 Mei 2015
75 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer),(PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), hal.178
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 47
kepada para gubernurnya, dikirim juga secara khusus kepada
masyarakat, khususnya penduduk Madinah. Fashih al-Harawiy
dan al-alyubiy menetapkan orang pertama yang menulis dan
membukukan hadis secara resmi ialah Ibnu Juraij atau Malik
bin Anas,atau Rabi’in bin Shabih di Basrah.76
Di samping perdebatan para ulama tentang siapa yang
membukukan hadis pertama kali, data-data lain membuktikan
bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi Muhammad SAW
masih hidup, dan hal itu berlangsung sampai kurun-kurun
sesudahnya. Namun hal itu tidak berarti meniadakan adanya
penyebaran hadis secara lisan atau berdasarkan kekuatan
hafalan. Yang perlu dijelaskan adalah bahwa penulisan hadis
tidaklah sedikit seperi bayangan sementara orang, begitu
pula kekuatan hafalan tidak merupakan andalan mutlak
seperti anggapan kebanyakan orang.77
Oleh karena itu, M.M Azami dalam bukunya membahas
tentang system penyebaran atau pengajaran hadis, pada kurun
waktu sekitar abad pertama dan kedua hijri:
1. Guru dan Kelompok Belajar
M. M Azami dalam bukunya menyebutkan bahwa salah
satu metode penyebaran atau pengajaran hadis adalah
lewat guru dan kelompok belajar. Ada riwaya lemah
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menyebut76 H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN
Purwokerto Press: Purwokerto, 2010), hal: 28777 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya; terjemahan Ali Musthafa
Ya’kub cet. Ke-6, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hal. 441
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 48
dirinya sebagai “guru” (mu’allim). Memang Rasulullah SAW
sering duduk dalam halaqah bersama para sahabat untuk
mengajar mereka. Abu Waqid al-Laitsi menuturkan, suatu
ketika Rasulullah SAW duduk di mesjid bersama para
sahabat, tiba-tiba tiga orang dating. Yang dua menghadap
Rasulullah SAW, sedang yang satu pergi. Kemudian dua
orang ini berdiri di depan Rasulullah SAW, dan setelah
salah satunya melihat tempat kosong dalam halaqah itu,
ia duduk di situ. Terkadang Nabi SAW juga duduk di atas
mimbar sambil mengajarkan masalah-masalah agama kepada
para sahabat, sedang mereka duduk mengelilinginya. Dan
masalah-masalah penting selalu diulangi Nabi SAW sampai
tiga kali.
Para sahabat juga memperhatikan tingkah laku,
perbuatan, ucapan, dan gerak-gerik Nabi SAW dengan
cermat. Mereka tanpa berkemauan keras untuk menghafal
sabda-sabda Nabi SAW yang mereka dengar, dan berusaha
mengamalkan hal-hal yang mereka pelajari. Bahkan lebih
dari itu, sejumlah sahabat ada yang menghafal hadis
kemudian memperdengarkannya kembali hafalannya itu
kepada Rasulullah SAW. Dan beberapa fenomena yang
terjadi, ketika tidak semua sahabat dapat menghadiri
majleis ta’lim yang diadakan oleh Nabi SAW secara terus
menerus maka mereka mengatur waktu untuk bergiliran
sehingga dapat saling menambah pelajaran-pelajaran yang
tertinggal. Sampai Imam Bukhari membuat bab khusus dalam
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 49
kitabnya, yaitu “Bab tentang bergiliran dalam
belajar”(al-Tanawub fi al-‘Ilm).
Telah disebutkan bahwa sebagian sahabat sudah menulis
hadis ketika Nabi SAW masih hidup, sedang yang lain
menulisnya setelah Nabi SAW wafat. Dalam pada itu,
mereka juga selalu menghafal dan mengingat-ingat kembali
hadis-hadis itu (mudzakarah, memorizing), baik secara
sendiri-sendiri maupun berkelompok, dimana dalam
menghafal yang satu dapat minta bantuan orang lain78.
Ibnu Mas’ud berkata, “Ingat-ingatlah hadis Nabi SAW,
sebab dengan mengingat-ingat seperti itu Hadis akan
terpelihara kelestariannya”. 79
Pada abad pertama, tampaknya ada metode tertentu
dalam mengajarkan hadis, yaitu murid menghadiri majelis
pengajian gurunya yang diadakan secara rutin maupun
tidak, atau murid selalu mendampingi gurunya. Dalam
mengajarkan hadis, para Sahabat mengajarkan secara
lisan, imla’, dan bahkan membacakan hadis dari suatu
kitab.80
Ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa tradisi
yang dipakai dalam mengajarkan hadis pada saat itu
adalah berdasar guru-guru dimana hadis itu diperoleh.
Al-Fallas mengatakan bahwa ia pernah ditanya Yahya bin
78 M.M. Azami, hal. 444-44779 Sunan al-Darimi dalam M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, hal. 44980 M.M. Azami, hal. 448
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 50
Sa’id, “Darimana kamu?” Jawab al-Fallas, “Dari rumah
Mu’adz”. Yahya bertanya lagi, “Hadis dari siapa yang ia
ajarkan?” Jawab al-Fallas, “Hadis dari Ibnu ‘Aun.”81
Dari peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa ahli-
ahli hadis itu mengajarkan hadis berdasarkan guru-
gurunya dimana mereka pernah belajar dan memperoleh
hadis. Dan hal ini memang wajar dan mudah. Sedang pada
umumnya, para ahi hadis dahulu ketika menulis hadis,
baik dari sahabat atau Tabi’in mereka menimpannya secara
terpisah dan tidak bercampur dengan yang lain. Sebagai
contoh, Mujahid menyuruh Hammad bin ‘Amr, agar
mengambilkan kitab milik Khushaif. Ternyata ia mengambil
kitab Hushain. Kata Mujahid, “Hammad tidak dapat
membedakan antara Khushaif dan Hushain. Karenanya lalu
saya tinggalkan”. 82
Sabda-sabda nabi juga disampaikan dalam berbagai
kesempatan yang tak dapat ditentukan, seperti83:
a. Sewaktu berpidato atau berceramah
b. Sewaktu menjawab pertanyaan
c. Sewaktu menjelaskan al-Quran
d. Sewaktu sahabat menceritakan ulang kebiasaan Nabi
2. Metode Mengajarkan Hadis84
81 M.M. Azami, hal. 45382 Tarikh Baghdad, viii: 154 dalam M.M. Azami, hal. 45483H.M. Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (STAIN
Purwokerto Press: Purwokerto, 2010), hal: 17-2884 Lihat M.M. Azami, hal. 455-484
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 51
Dalam mengajarkan hadis, ada beberapa metode yang
dipakai pada saat itu:
a. Mengajarkan hadis secara lisan
Metode ini mulai tampak sejak paruh kedua dari abad
kedua hijri dan berlangsung sampai lama sekali
sesuadah itu, tetapi dalam lingkup yang sangat sempit.
Para murid pada saat itu tinggal bersama gurunya dalam
waktu yang lama, dan dari cara inilah mereka
memperoleh hadis dari para gurunya. Karena mereka lama
sekali mendampingi gurunya, maka akhirnya mereka
disebut sebagai rawi-rawi (para periwayat) dari guru-
gurunya, atau ashhab (kawan-kawan) mereka. Sebagai
contoh Tsabit bin Aslam al-Bunani, Ia menjadi shahib
(kawan) Anas selama empat puluh tahun. Dalam memakai
metode pengajaran secara lisan, pelajaran juga diatur
sedemikian rupa, sehingga umumnya para guru tidak
mengajarkan hadis terlalu banyak. 85
b. Membacakan hadis dari suatu kitab
Metode ini terdapat tiga macam, yaitu:
1) Guru membacakan kitabnya sendiri, sedang murid
mendengarkannya
2) Guru membecakan kitab orang lain, sedang murid
mendengarkannya
85 Tahdzib ii:3 dalam M.M. Azami, hal. 455-456
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 52
3) Murid membacakan suatu kitab, sedang guru
mendengarkannya
c. Metode soal-jawab
Sistem atraf (menuliskan pangkal hadis saja) juga
dipakai dalam pengajaran hadis dengan metode soal-
jawab, dimana murid membacakan pangkal dari suatu
hadis, kemudian gurunya meneruskan hadis itu
selengkapnya. Seperti yang dilakukan oleh:
1) Ibnu Sirin,
Ia berkata, “Saya bertemu ‘Abidah dengan membawa
kitab atraf hadi, lalu kutanyakan hal itu
kepadanya”. 86
2) Isma’il bin ‘Ayyasy
Waki’ berkata, “Ismail bin Ayyasy mengambil
system atraf milik Isma’il bin Abu Khalid dari
saya, tetapi saya melihat ia mencampur adukkan
dalam mengambilnya”.87
d. Metode Imla’
Apabila dibanding dengan metode-metode pengajaran
hadis sejak abad kedua dan sesudahnya, maka metode-
metode yang disebutkan tadi termasuk tidak popular,
bahkan sebagian ada yang jarang dipakai. Dan tampaknya
sejak awal abad ketiga, metode imla’ ini lazim dipakai
86 Al-Ilal, i: 387 dalam M.M. Azami, hal. 47687 Tahdzib, 324 dalam M.M. Azami, hal. 476
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 53
dalam membacakan kitab kepada guru, bahkan termasuk
metode yang banyak popular disbanding dengan metode-
metode lain. Al-Khatib al-Baghdadi menuturkan bahwa di
antara ahli-ahli hadis klasik yang menggunakan metode
imla’ ini adalah Syu’bah bin al-Hajjaj, kemudian pada
periode berikutnya adalah Yazid bin Harun al-Wasiti,
‘Ashim bin ‘Ali bin ‘Ashim al-Tamimi, dan ‘Amr bin
Marzuq al-Bahili.
Sebagai contoh pemakaian metode imla’ yang
dilakukan oleh ahli-ahli hadis adalah, Ibnu Jurraj.
Ibnu Hanbal mengatakan bahwa pada waktu Ibnu Jurraj
dating di Basrah, Muadz bin Muadz berdiri dan bikin
rebut seraya berkata, “Kami tidak mau menulis hadis
kecuali apabila diimla’kan”. Ibnu Hanbal ditanya,
apakah Ibnu Jurraj kemudian mengimla’kan? Jwabnya,
“Ya, mereka menulis berdasarkan imla”. 88
Dalam mengimla’kan hadis kepada para murid , ada
dua cara yang dilakukan ahli-ahli hadis:
1) Mengimla’kan hadis dari kitab, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Abi ‘Aidy, Ibnu Lahi’ah, Abu
‘Ashim, Abu ‘Awabah, Hajjaj bin Muhammad al-
A’war, Rauh bin ‘Ubadah, Zakariya bin Abu
Za’idah dan masih banyak lainnya.
2) Mengimla’kan hadis dari ingatan (hafalan),
seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jurraj, Abu
88 Al-‘Ilal, 370 dalam M.M. Azami, hal. 480
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 54
Dawud, Abu Muawiyyah al-Dhahir, Baqiyah,
Isra’il, al-Hasan ibn Musa, Hafsh bin Ghiyats,
Zakariya bin ‘Aidy, Thalhah bin ‘Amr, Wuhaib bin
Khalid.
3. Penulis Cepat
Dikarenakan banyaknya jumlah murid tadi telah
mendorong guru untuk menunjuk mustamli (orang yang
membantu dalam mengimla’kan hadis), maka di sisi lain
para murid juga mendapatkan kesulitan, karena tidak
semuanya dapat menulis cepat seperti yang diimla’kan,
atu kemungkinan seorang murid lambat dalam menulis.
Untuk mengatasi kesulitan ini, mereka meminta bantuan
orang-orang yang dapat menulis cepat, dengan sama-sama
mendengarkan dan ikut mengawasi kemudian setelah selesai
mereka baru menyalinnya kembali.
4. Pinjam Meminjam Buku
Sebagai contoh yang bisa disebutkan , hal ini seperti
yang dilakukan Abu ‘Awanah, Ia meminjam buku dari ‘Ali
bin ‘Ashim89.
5. Jual-Beli Kitab
89 Al-Kamil, i:207 B dalam M.M. Azami, hal.493
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 55
Kebutuhan yang mendesak kepada buku, ditambah dengan
sempitnya waktu atau tidak mampunya orang untuk menulis
pelajaran hadis, telah menimbulkan adanya “pasar” buku.
Sedang di pihak lain timbul pula “kelas sekretaris”. Dan
kenyataannya sejak abad kedua sampai berikutya, banyak
sumber-sumber yang menyebutkan adanya jual beli kitab-
kitab hadis. Diantara yang melakukan jual beli kitab
hadis adalah Abu al-Yaman, Ahmad bin ‘Isa al-Mishri,
Ibrahim bin Abu al-Laits90.
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa kegiatan tulis
menulis hadis Nabawi sudah dimulai sejak masa Nabi SAW.
Pengajaran hadis melalui tulisan dilakukan juga melalui
surat Nabi menginat Islam telah tersebar ke sebagian
jazirah Arab dan tidak memungkingkan bagi Nabi untuk
mengajarkan hadis secara langsung. Untuk itu, Nabi
mengirimkan para utusannya untuk membawa surat kepada para
penguasa daerah, gubernur, raja, dan kaisar. Surat-surat
Nabi yang dikirim tersebut dapat dimasukkan ke dalam
pengajaran hadis dengan media tulisan. Ibn Sa’ad menvatat
dalam al-Thabaqat al-Kubra surat-surat Nabi yang jumlahnya
menjacapai 105 buah lengkap dengan sanadnya. Sayangnya
tidak semua teks ditulis secara lengkap. 91
90 M.M. Azami, hal. 49691 Mujammil Qomar, Kritik Teks Hadis –Analisis tentan ar-Riwayah
bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis-, (Teras: Yogyakarta,2009), hal. 29
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 56
F. Isnad (Pemakaian Sanad)
1. Awal Mula Pemakaian Sanad
Sistem periwayatan terhadap suatu berita, cerita,
sya’ir dan sisilah sudah sangat kental dalam budaya Arab
jauh sebelum Islam datang, bangsa Arab mempergunakan
sistem periwayatan berantai (sanad), terhadap berita,
cerita, sya’ir dan sisilah mereka miliki yang dihafalkan
dan diwariskan secara turun temurun, mereka menghapal
apa yang menjadi kebanggaannya itu di luar kepala,
khususnya tentang nasab mereka, dan dalam hal ini bangsa
arab memang terkenal akan kekuatan hafalnnya.92 Namun
urgensi metode sanad ini baru tampak dalam periwayatan
hadis saja. Dan begitulah metode itu berkembang sampai
Ibnu Mubarak mengatakan bahwa metode sanad itu merupakan
bagian dari agama Islam.93
Isnad adalah system yang unik yang diaplikasikan oleh
sarjana Muslim dalam mentransmisikan informasi yang
datang dari Nabi SAW. Sistem isnad muncul pertama kali
pada masa hidup Nabi SAW dan telah berkembang menjadi
ilmu yang mapan pada akhir abad pertama hijrah. Sistem
ini dmulai dari praktek para Sahabat dalam meriwayatkan
Hadis Nabi ketika mereka saling bertemu. Biasanya, dalam
menginformasikan kepada teman-teman mereka, mereka
menggunakan kalimat-kalimat seperti “Nabi SAW telah
92 Muhammad Ali, Urgensi Dalam Penelitian Hadis (pdf), hal. 10193 M.M. Azami, hal. 530
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 57
melakukan ini dan ini atau Nabi SAW telah mengatakan
begini dan begini. Sudah biasa juga bahwa siapa saja
yang mendapatkan informasi pada tahap kedua, ketika
melaporkan kejadian itu kepada orang ketiga, akan
menyampaikan sumber-sumber informasinya dan memberikan
cerita lengkap mengenai kejadian itu. 94
2. Orientalis dan Sanad Hadis
Salah satu kajian hadis yang menjadi perhatian utama
para orientalis adalah sanad hadis. Orientalis yang
meneliti masalah kapan sanad itu mulai dipergunakan
adalah Horovitz, ada juga sarjana Skotlandia, yaitu
Prof. J. Robson yang meneliti masalah sanad agak luas95.
Lebih mendalam lagi, penelitian yang dilakukan oleh
Ignaz Goldziher dimana hasil penelitiannya
dipublikasikan pada tahun 1890 dengan judul
“Muhammedanische Studien”. Dan sejak saat itu hingga
kini, kitab itu di kalangan orang-orang orientalis
dijadikan semacam kitab suci yang menjadi anutan
peneliti lain. Lebih kurang 60 tahun setelah buku itu
terbit, Prof. Schacht juga meneliti sumber-sumber hadis-
hadis fiqih selama lebih dari sepuluh tahun. Hasil
penelitiannya kemudian diterbitkan dalam sebuah buku
berjudul “The Origins of Muhammadan Yurisprudrence”.96
94 M. M. Azami, Menguji Keaslian hadis-hadis Hukum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 223-224
95 M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 53396 M. M. Azami, Menguji Keaslian hadis-hadis Hukum, dalam halaman
pendahuluan
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 58
Adapun diantara pendapat Yoseph Schaht tentang system
isnad sekaligus sanggahan Azami terhadapnya akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Setelah mempelajari hadis-hadis yang berkaitan
dengan masalah fiqih serta perkembangannya, Schaht
berpendapat bahwa isnad adalah bagian dari tindakan
sewenang-wenang dalam Hadis Nabi SAW. Hadis-hadis itu
sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang
berbeda-beda yang ingin mengaitkan teori-teorinya
kepada tokoh-tokoh terdahulu97.
Prof. Schacht telah mempelajari kitab Muwatha’
karya Imam Malik, kitab al-muwatha’ karya Imam
Muhammad al-Syaibani, dan kitab al-Umm karya Imam
Syafi’i. Kitab-kitab ini sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai kitab-kitab fiqih daripada kitab
hadis. Namun demikian, Schacht telah
mengeneralisasikan hasil kajiannya terhadap kitab-
kitab tersebut sekaligus menerapkannya untuk seluruh
kitab-kitab tersebut hadis. Seolah-olah tidak ada
kitab yang khusus mengenai hadis dan seolah-olah
tidak ada perbedaan watak kitab fiqih dan kitab
hadis. Tampaknya Schacht tidak memperhatikan cara
penyusunan kitab-kitab fiqih. Sebab seorang
mufti,pembela, atau hakim, apabila menangani suatu
masalah atau memberikan fatwa, ia tidak diharuskan
97 J. Robson dalam M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,hal. 534
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 59
memberikan keterangan-keterangan yang selengkap-
lengkapnya. 98
Dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu,
khususnya selain kitab hadis secara umum dapat
didapati gejala-gejala berikut:
1) Membuang (tidak menuliskan) sebagian sanad,
untuk mempersingkat pembahasan kitab dan cukup
menyebutkan sebagian dari matan
2) Membuang sanad seluruhnya, dan langsung
menyebutkan hadis dari sumber pertama
3) Metode Abu Yusuf dalam memakai sanad,
terkadang beliau menyebutkan sanad secara
lengkap, terkadang juga tidak
4) Penguunaan kata sunnah atau yang seperti
dengan itu untuk menunjukkan kepada perbuatan
Nabi SAW tanpa menyebut hadis dan sanadnya.
Dari uraian di atas, pemakaian kitab-kitab fiqih
klasik tidak tepat dijadikan sebagai obyek penelitian
sanad Hadis, baik ditinjau dari gejala adanya sanad
itu sendiri, pertumbuhannya maupun perkembangannya.99
b. Schacht mengatakan bahwa pendapat yang bersumber
dari seorang Tabiin Ibnu Sirin menuturkan bahwa usaha
untuk mempertanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai
98 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, hal.538-53999 M.M. Azami, hal. 547
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 60
sejak terjadinya fitnah (musibah perang saudara),
dimana semua orang sudah tidak dapat dipercaya lagi.
Tanpa diteliti lebih dahulu. Dan kita akan dapat
mengetahui bahwa fitnah yang bermula dari terbunuhnya
al-Walid bin Yazid (w 126 H) menjelang surutnya
Daulah Umayyah itu adalah waktu yang dijadikan
patokan sebagai akhir kejayaan masa lampau, yaitu
masa dimana sunah-sunah Nabi masih berlaku secara
umum. Oleh karena Ibnu Sirrin wafat pada 110 H, maka
pendapat yang bersumber daripadanya tadi itu adalah
tidak benar dan palsu.100
Jelaslah bahwa semua analisa Schacht itu hanyalah
berdasarkan penafsiran yang subyektif serta ceroboh
tentang fitnah. Sebab hakikatnya tarikh Islam tidak
pernah menuturkan bahwa tahun 126 H itu dianggap
sebagai masa peralihan dan akhir kejayaan masa
lampau. Seandainya umat Islam memerlukan masa
kejayaan masa lampau tentunya masa Khulafaur Rasyidun
lebih tepat disebut sebagai kejayaan. Dalam segi
laintarikh Islam berbagai fitnah sebelum tahun itu
terjadi, seperti fitnah antara al-Zubair dengan Abd
al-Malik bin Marwan sekitar tahun 70 H. Juga
sebelumnya ada fitnah antara Muawiyah dan Ali. Oleh
karena itu kita mempertanyakan, apakah alas an
sehingga fitnah tersebut oleh Schacht ditafsiri
sebagai terbunuhnya al-Walid bin Yazid? Apabila
100 M.M. Azami, hal. 535
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 61
seseorang dapat menafsiri kejadian-kejadian itu
sesuai dengan kemauannya tanpa mengindahkan bukti-
bukti sejarah maka fitnah dapat saja diartikan
sebagai fitnah yang lain. Akan tetapi sebenarnya
yang dimaksud dengan fitnah dalam Ibnu Sirin tersebut
adalah fitnah antara Ali dan Muawiyah RA. 101
c. Schacht mengatakan bahwa sanad-sanad hadis itu
diduplikat sedemikian rupa dengan memakai nama orang
lain sehingga akhirnya sampai pada sumber utama yaitu
Rasul.102 Teori Projecting Back (proyeksi ke belakang)103
yang dituturkan Joseph Schacht. Menurut teori ini,
sanad pada awalnya dipakai dalam bentuk sederhana,
kemudian pada abad kedua Hijriah, dikembangkan dan
diarahkan ke belakang dengan memperbaiki atau
menambahkan sanad atau dibuat-buat sehingga sampai
pada generasi sahabat dan tentunya sampai kepada Nabi
agar hadis yang disampaikan menjadi otentik.
Azami menyebutkan, adalah hal yang umum dalam
sanad apabila semakin jauh dari masa Nabi saw, maka
semakin besar pula jumlah orang-orang yang
meriwayatkan hadis dari Nabi saw. Dalam hal ini,
Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis
101 Lihat M.M. Azami, hal. 535-536102 M.M. Azami, hal. 576103 Teori Joseph Schacht yang menyatakan bahwa matan hadis pada
awalnya berasal dari generasi tabiin yang diproyeksikan ke belakangkepada generasi sahabat dan akhirnya kepada Nabi saw dengan cara menanmemperbaiki isnad yang sudah ada.
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 62
nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik,
diantaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shalih
(w.138 H). Adapun tuduhan Schacht bahwa sanad-sanad
hadis itu diduplikat sedemikian rupa dengan memakai
nama-nama orang lain sehingga akhirnya sampai pada
sumber utama, yaitu Rasul, Sahabat, Tabiin dan hal
itu merupakan bukti sendiri tentang otentisitas
pemikiran mereka yang berasal dari tokoh-tokoh
klasik. Maka sebenarnya hal itu bertentangan dengan
akal dan pikiran sehat. Sebab sejak semula kita sudah
mengetahui bahwa banyak sekali hadis-hadis nabi yang
diriwayatkan oleh puluhan rawi untuk setiap tingkatan
(generasi) dan mereka tinggal di berbagai daerah yang
berjauhan. Sehingga hal itu tidak memungkinkan mereka
bahkan mustahil bagi mereka untuk bersekongkol dalam
memalsu hadis Nabi SAW.104
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini disebutkan
beberapa contoh hadis yang terdapat dalam naskah
Suhail bin Abu Shalih:
ه ي��� ث.< ال�ح ع�ن� أ� ي� ص��� ب�� ن� أ� ل ب�� ا س�هن� ال: ي�! ار ق�* ب* ن� أل�مج! ن.�ز! ب�� د أل�عر! ا ع�ن� ن! ح�دث�1ال: ي� ض.م ق�* ن� ن� أل�ت! ن.�زة* أ� ي� ه�ر ع�ن� أب��
104 M.M. Azami, hal. 576
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 63
ا_ ه، ق����! م ن����� ي�* و� ام ل�ت���� م���� م���ا ألأ_ ي�! أ"أ_ ا_ذ! ك���ب�روأ، ق����! ر ق�# ب� ارك�عوأ، وأ_ذ! ك���� ع ق����! أأ رك���� ذ!د ح� أ س���� ذ! ك[ أل�حم���د، وأ_ ا ل���� ن���! ث.� وأ: أل�لهم ر ول���� ق* مع أل�ل���ه ل�من� ج�م���دة ف�! ال: س���� ق����*ع، ي ن��زف��! ن* ع�وأ ح�� زف�! عوأ ولأ ن�* ارف�! ع ق��! أ رف��! ذ! د، وأ_ ي ي��س�ح� ن* دوأ ح�� س�ح� دوأ ولأ ي�* ح� اس�� ق�!
. معون� ج�� عوذأ أ� صلوأ ف�* اع�دأ ف�! أ ص�لي ق�* ذ! "وأ_
Hadis ini paling sedikit diriwayatkan oleh sepuluh
orang Sahabat. Sumber-sumber yang ada pada kami
(Azami) menunjukkan bahwa Hadis ini tersebar melalui
tujuh orang sahabat dari yang sepuluh. Dari tujuh
orang Sahabat yang meriwayatkan Hadis ini, empat
orang tinggal di Madinah, seorang tinggal di Syam,
dan dua orang lagi tinggal di Iraq.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa
system isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis
sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan
yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi SAW dan
para Sahabat adalah palsu.105
d. Teori coomon link (tokoh penghubung) dalam rantai
periwayatan. Teori Schacht ini menyatakan bahwa
105 M. M. Azami, Menguji Keaslian hadis-hadis Hukum, hal. 232
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 64
keberadaan coomon link (tokoh penghubung) dalam rantai
periwayatan mengindikasikan bahwa hadis itu berasal
dari masa tokoh tersebut. Ini memberikan petunjuk
kepada kita untuk menentukan waktu terjadinya
pemalsuan106. Dalam hal ini, M.M Azami menolak secara
a priori atas validitas teori common link dan juga hasil-
hasilnya107.
G. Otentisitas Hadis
Untuk membuktikan otentisitas Hadis nabawi, M. M. Azami
melakukan kritiknya dengan cara sebagai berikut108:
1. Meneliti tuduhan Goldziher c.s., bahwa hadis hanya
sedikit sekali yang terpelihara, karena hadis diturunkan
secara lisan dari generasi umat selama abad pertama
Hijriyah. Penelitian M.M. Azami membuktikan:
a. Hadis diturunkan tidak hanya dengan cara lisan
belaka. Ia menunjang pembuktian ini dengan
menerbitkan tiga buah corpus hadis yang dieditnya
dalam desertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail Ibn
Abi Shalih, Ubaidillah Ibn Umar, dan Ali al-Yaman al-
Hakam, yang kesemuanya berasal dari abad pertama
Hijriyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadis mudah
106 M. M. Azami, hal. 281107 Dapat dilihat lebih rinci dalam buku, M. M. Azami, Menguji
Keaslian hadis-hadis Hukum108 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis
Kontemporer), (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), hal. 250-254
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 65
dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang
otentik dan buatan, menjadi tidak terbukti lagi.
b. Penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam
referensi hadis menunjukkan, bahwa berita yang
menyatakan Ibn Shihab al-Zuhri adalah orang pertama
yang menuliskan hadis pada permulaan abad II hijriyah
(awalu man dawwana al-ilma) mengandung arti lain daripada
yang diduga dan diterimasecara umum selama ini. Azami
membuktikan bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler)
belaka dari semua koleksi naskah-naskah hadis yang
telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya.
Demikian pula, istilah-istilah yang selama ini hanya
dianggap memiliki konotasi transmisi hadis secara
lisan, oleh M.M. Azami dianggap memiliki juga arti
tulisan dan tertulis. M.M. Azami mendasarkan
anggapannya ini adalah dari segi pembuktian bahasa
dan bukti-bukti tertulis sejarah atas istilah-istilah
seperti : haddatsana, akhbarana, sami’na, dan sebainya.
c. Pembuktian tentang kesalahan dalam memahami hadis-
hadis yang melarang penulisan hadis oleh Nabi
Muhammad, sebagaimana secara gencar dikemukakan oleh
Imam al-Qahir al-Baghdadi dalam karyanya, Taqyid al-‘Ilm.
Azami membuktikan bahwa hanya ada ada satu sajahadis
yang otentik yang berhubungan dengan penulisan hadis,
yang memiliki sanad dha’if. Adapun hadis yang satu-
satunya tidak melarang penulisan hadis secara umum,
melainkan larangan menuliskan hadis dalam carik
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 66
kertas, kain, muka tulang, atau pelepah kurma yang
telah berisikan tulisan ayat-ayat al-Quran, guna
menghindarkan kekeliruan dalam pemeliharaan al-Quran
setelah nabi wafat nantinya. Pembuktian dilakukan
atas kenyataan, bahwa penulisan hadis adalah kejadian
yang normal di masa kehidupan beliau, terlebih-lebih
setelah berakhirnya pemerintahan para Khulafa al-
Rasyidin pada akhir paruh abad pertama Hijriyah.
2. Di samping pembuktian atas kepalsuan tuduhan bahwa hadis
tidak terpelihara karena diturunkan secara lisan dari
generasi ke generasi, M.M Azami juga meragukan
argumentasi yang diajukan baik oleh Goldziher c.s dan
Schacht, antara lain melalui cara berikut:
a. Goldziher senantiasa menggunakan suatu kejadian
individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk
menjadi bukti bagi hal-hal umum yang disinyalirnya,
seperti wasiat Muawiyah kepada salah seorang
pengikutnya: Janganlah ragu-ragu untuk memaki-maki Ali dan
menyumpahinya, dan perbanyaklah memintakan ampunan Tuhan bagi
Utsman. Wasiat ini oleh Goldziher dijadikan bukti
bagi kebiasaan pembesar-pembesar Dinasti Umayyah
untuk memasukkan bias politik ke dalam pemberitaan
mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak
dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak
membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis
belaka, melainkan juga mengenai periwayatan hadis
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 67
dari mereka. Hal ini secara ilmiah sebenarnya tidak
boleh dilakukan.
b. Goldziher dan Schacht seringkali tidak melakukan
penelitian (checking) ulang yang mendalam atas bahan-
bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian,
sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut
sebenarnya justru melemahkan argumentasi mereka
sendiri. Untuk sinyal elemennya ini, Azami
mengemukakan beberapa puluh contoh yang diambilnya
dari karya-karya Goldziher dan Schacht.
c. Para orientalis, tidak terkecuali Schacht sendiri
yang dikenal sebagai peneliti yang memiliki
objektivitas yang diakui, sering menutupi bahan-bahan
kesejarahan yang bertentangan dengan pembuktian yang
sedang mereka kemukakan, dan hanya menggunakan bahan-
bahan yang memperkuat teori-teori mereka belaka. Juga
untuk diambil contoh-contoh cukup banyak dari karya-
karya Schacht yang telah disebut di atas.
d. Seringnya Schacht, terlebih-lebih Goldziher, salah
mengartikan ucapan-ucapan atau kejadian-kejadian yang
diberitakan dalam sumber-sumber kesejarahan.
Contohnya adalah ucapan Amir Ibn Sha’bu: Aku tak pernah
menulis dengan (tinta) hitam di atas (permukaan kertas) putih atau
meminta seseorang untuk mengulangi sebuah hadis sampai dua kali.
Ucapan ini tidak ada hubungannya dengan larangan
menuliskan hadis, melainkan hanya untuk menunjukkan
kekuatan hafalan Amir saja. Walaupun demikian,
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 68
Schacht menggunakan nya sebagai dalil pembuktian,
bahwa pada abad pertama hijriyah kaum muslimin
dilarang menulis hadis.
KESIMPULAN
Azami lahir di kota Mano, India Utara, tahun 1932.
Nama Azami nisbat dari daerah Azamgarh. Azami berasal dari
kota Mau Distrik Azamgarh negara bagian Utara Pradesh.
Beliau mendapat julukan pendekar hadis dengan hasil kajian
beliau tentang hadis khususnya dalam bidang isnad yang
berhasil membantah pemikiran orientalis. Kini Azami tinggal
di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh, sebagai
Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di Universitas tersebut.
Sunnah memiliki beberapa variasi arti yang muncul dari
beberapa kelompok karena perbedaaan tujuan ilmu yang
menjadi objek pembahasannya, sebagaimana perbedaan pendapat
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 69
ahli hadis dan ulama’ ushul dalam mengartikan kata sunnah.
Adapun kedudukan sunnah dalam islam yaitu sebagai penjelas
Kitabullah dan Rasulullah saw mempunyai wewenang untuk
membuat suatu aturan.
Kegiatan pendidikan di jazirah Arab telah dimulai sejak
masa Rasulullah SAW. Bukti tersebarnya budaya tulis-menulis
dikalang Muslimin adalah keberadaan sekertaris Nabi yang
jumlahnya mencapai lima puluh orang. Keberhasilan
kebijakan pendidikan yang diterapkan Nabi ini sangat
gemilang, Islam yang mulanya ummi tidak sampai satu Abad
telah memiliki begitu banyak tenaga teknis yang mumpuni.
Ini juga menandai akan hangatnya kegiatan pendidikan pada
periode abad pertama Hijri.
Kapasitas umat Islam dalam tulis-menulis jelas sangat
cukup untuk melakukan kodifikasi Hadis secara teks sejak
Nabi saw masih hidup, tetapi pendapat yang dominan di
antara para sarjana Muslim adalah Hadis itu disebarkan dari
mulut ke mulut (secara lisan) sampai ahir abad pertama
Hijri. Umat Islam pada mulanya mengajarkan Hadis melalui
hafalan. Ketika kemampuan hafalannya menurun, mereka mulai
membukukanya.
Begitulah pendapat para ulama’ dan peneliti lebih-lebih
para pembaca umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa
hadis Nabi SAW tersebar secara lisan dari generasi ke
generasi, dan bahwa orang yang pertama kali mentadwin hadis
adalah Ibnu Syihab al Zuhri. Akan tetapi data-data lain
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 70
membuktikan bahwa penulisan hadis sudah dimulai sejak Nabi
Muhammad SAW masih hidup, dan hal itu berlangsung sampai
kurun-kurun sesudahnya. Namun hal itu tidak berarti
meniadakan adanya penyebaran hadis secara lisan atau
berdasarkan kekuatan hafalan.
Argumen Schaht tentang otentisitas hadis Nabi dapat
diringkas sebagai berikut: a) system isnad dimulai pada
awal abad kedua, b) isnad-isnad itu diletakkan secara
sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin
memproyeksikan ke belakang doktrin mereka sampai kepada
sumber klasik, c) isnad yang dahulu tidak lengkap
dilengkapi pada asa klasik, d) keberadaan common narrator
dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadis
itu berasal dari masa periwayat itu.
Diantara cara yang digunakan Azami untuk membuktikan
kepalsuan tuduhan atas penjagaan hadis nabi adalah
penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam
referensi hadis dan pembuktian tentang kesalahan dalam
memahami hadis-hadis yang melarang penulisan hadis oleh
Nabi Muhammad
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 71
DAFTAR PUSTAKA
Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya; terjemahan AliMusthafa Ya’kub cet. Ke-6. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2014.
Azami, M.M. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum; terjemahan AsrofiShodri. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2004
al-Bahanasawi, Salim Ali. Rekayasa Sunnah. Terj. Abdul BasithJunaidy. Yogyakarta: ITTAQA PRESS, 2001
Dailamy, H.M. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. STAINPurwokerto Press: Purwokerto. 2010
Idris. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010Khaeruman,Badri. Otentisitas Hadis (Studi Kritis Atas Kajian Hadis
Kontemporer). PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2004Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu
Hadis. Jakarta: Kencana, 2011al-Maliki, Muhammad Alawi. al-Manhal al-Latief. (tanpa penerbit)al-Maliki , Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006 Qomar, Mujammil. Kritik Teks Hadis –Analisis tentan ar-Riwayah bi al-
Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis-. Teras: Yogyakarta.2009.
Pustaka non cetak
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya 72