Penggunaan Jilbab sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan

33
Lutfiyah Rahma 4415122364 Pendidikan Sejarah 2012 Kelas A Penggunaan Jilbab sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan Pemakaian jilbab pada kaum wanita merupakan sebuah fenomena sosial yang sudah lumrah akhir-akhir ini di negara Indonesia, karena telah kita semua ketahui bahwa Indonesia merupakan negara mayoritas pemeluk agama Islam di mana aturan mengenakan jilbab pada kaum wanita telah tersurat dalam kitab suci umat Islam, Al-Qur’an. Fenomena pemakaian jilbab pada kaum wanita bukan berarti tidak menimbulkan suatu permasalahan apa-apa. Apabila ditinjau dari segi sosial dan budaya, penggunaan 1

Transcript of Penggunaan Jilbab sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan

Lutfiyah Rahma

4415122364

Pendidikan Sejarah 2012 Kelas A

Penggunaan Jilbab

sebagai Simbol Kesopanan dan Perlawanan

Pemakaian jilbab pada kaum wanita merupakan sebuah

fenomena sosial yang sudah lumrah akhir-akhir ini di

negara Indonesia, karena telah kita semua ketahui bahwa

Indonesia merupakan negara mayoritas pemeluk agama Islam

di mana aturan mengenakan jilbab pada kaum wanita telah

tersurat dalam kitab suci umat Islam, Al-Qur’an.

Fenomena pemakaian jilbab pada kaum wanita bukan

berarti tidak menimbulkan suatu permasalahan apa-apa.

Apabila ditinjau dari segi sosial dan budaya, penggunaan

1

jilbab merupakan suatu simbol fundamental. Berjilbab

merupakan fenomena yang kaya makna dan penuh nuansa. Ia

berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan pesan-pesan

sosial dan budaya, sebuah praktik yang telah hadir dalam

legenda sepanjang zaman. Jilbab juga memiliki posisi

penting sebagai simbol identitas dan resistensi.

Dalam karya tulis ini, penulis mengambil kasus

mengenai fenomena penggunaan jilbab sebagai suatu simbol

kesopanan dan juga perlawanan. Dalam kajian terhadap

kasus ini, penulis menggunakan teori interaksionalisme

simbolik sebagai landasan atau dasar teori sosial budaya

untuk lebih memperkuat bahwa penggunaan jilbab dalam

masyarakat, yakni pada masyarakat kaum wanita merupakan

salah satu kasus sosial yang seharusnya tidak dianggap

sebagai angin lalu saja. Namun, dibalik itu, dalam

penggunaan jilbab mengandung sebuah interaksi sosial.

Menyoal pada salah satu teori sosial, yakni teori

interaksionisme simbolik, penulis akan menjelaskan

2

terlebih dahulu mengenai teori interaksionisme simbolik

sebelum membahas kasus yang menjadi sorotan utama dalam

tulisan ini.

Interaksionisme simbolik merupakan salah satu teori

sosial yag terkenal. Teori interaksionisme simbolik

adalah teori yang menunjukkan jenis-jenis aktivitas

manusia dalam memandang pentingnya memahami kehidupan

sosial. Interaksionisme simbolik mengacu pada interaksi

manusia melalui penggunaan simbol-simbol, yaitu bagaimana

cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapkan apa

yang mereka maksud, dan juga dapat dijadikan sebagai

suatu alat komunikasi satu sama lain, dari interpretasi

simbol iniah kemudian dapat mempengaruhi kelakuan pihak-

pihak yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi

yang merupakan kegiatan sosial dinamis yang terjadi pada

kehidupan manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat

aktif, reflektif, dan kreatif yang mammpu menafsirkan,

3

menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan.

Paham atau teori ini menolak gagasan bahwa individu

adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan

oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar

dirinya. Oleh karena individu terus berubah, maka

masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi, interaksi

sosial lah yang dianggap sebagai suatu variabel penting

yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur

masyarakat. Struktur sendiri tercipta dan berubah

disebabkan adanya interaksi manusia, yakni ketika

individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil

terhadap seperangkat objek yang sama.

Persepektif interaksi simbolik berusaha memahami

perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Persepektif

ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat

sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan

mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan

ekspektasi orang lain, situasi, objek dan bahkan diri

4

mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka.

Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai

kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan

peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi

dan penafsiran atas objek-objek di sekeliling mereka.

Tidak mengherankan apabila frase-frase “definisi

situasi”, “realitas terletak pada mata yang melihat” dan

“bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil,

situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering

dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.1

Salah satu tokoh yang menganut teori interaksionimse

simbolik ini adalah Herbert Mead. Sedikit mengenai

riwayat Herbert Mead, beliau dilahirkan pada 27 Februari

1863 di Hadley Selatan, Massachussets, Amerika Serikat.

Ayahnya bernama Hiram Mead dan ibunya bernama Elizabeth

Storrs Mead, sedangkan saudara perempuannya bernama

Alice. Ayahnya adalah seorang Pastor di Orbelin College

1 Deddy Mulyana, Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 70.

5

dan ibunya juga semapat mengajar di Orbelin College

selama dua tahun. Mead mendapatkan gelar B.A. di Oberlin

College, lalu mengajar di sana selama 4 bulan. Setelah

itu ia melanjuktan sekolahnya di Harvard University

dimana ia sangat tertarik dengan filsafat dan psikologi.

Setelah menyelesaikan disertasinya, ia pun pindah ke

University of Michigan, dan kemudian ia pindah lagi ke

University of Chicago, di sana ia bertemu dengan Charles

Horton Cooley dan John Dewey. Merekalah yang mempengaruhi

pemikirannya. Mead mengajar di University of Chicago

hingga akhir hayatnya.2

Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik

pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi professor

filsafat di Universitas Chicago. Namun, gagasan-

gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang

pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan

kuliah-kuliah dari Mead. Terutama melalui buku yang

2 http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead. (Diakses padatanggal 2 Januari 2015, pukul 10.15 WIB).

6

menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik,

yakni mind, self and society.3

Karya Mead yang paling terkenal tersebut

menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam

menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme

simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama

lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu,

pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (self dengan

orang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan

memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna

berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain.

Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam

konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara

masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi

bahan bagi penelaahan dalam tradisi interaksionalisme

simbolik.

1. Pikiran (Mind)

3 Op.cit., hlm.68.

7

Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses

percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak

ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah

fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang

dalam proses sosial dan merupakan bagian integral

dari proses sosial. Proses sosial mendahului

pikiran, proses sosial bukanlah produk dari

pikiran. Jadi, pikiran juga didefinisikan secara

fungsional ketimbang secara substantif.

Karakteristik istimewa dari pikiran adalah

kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya

sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga

respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang

kita namakan pikiran.

Melakukan sesuatu berarti member respon

terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai

respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang

kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat

8

dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep

ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya

menanggapi komunitas secara menyeluruh dan

mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga

melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran

melibatkan proses berpikir yang mengarah pada

penyelesaian masalah.4

2. Diri (Self)

Pemikiran Mead tentang pikiran, melibatkan

gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri

adalah kemampua untuk menerima diri sendiri sebagai

sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk

menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan

proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri,

muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara

hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil

4 Ritzer, George dan  Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern(Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 280.

9

membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan

pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri

berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada

tanpa kontak sosial.

3. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan

istilah masyarakat (society) yang berarti proses

sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan

diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk

pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead,

masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan

terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam

bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual

ini masyarakat memperngaruhi mereka, member mereka

kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan

mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang

masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai

pikiran dan diri.

10

Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus,

Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata

sosial. Secara luas, Mead mendefinisikan pranata

sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau

“kebiasaan hidup komunitas”.secara lebih khusus, ia

mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas

tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu

menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu

pula, terdapat respon yang sama di pihak komunitas.

Proses ini disebut “pembentukan pranata”.5

Persepektif interaksi simbolik sebenarnya berada di

bawah paying persepektif yang lebih besar lagi, yakni

persepektif fenomenologis atau persepektif interpretatif.

Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang

pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita

sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-

kejadian yang secara sadar kita lami. Fenomenologi

5 Ibid., hlm. 287-288.

11

melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari

persepektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena

adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi

dalam persepsi individu.6

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial

pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan

simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik

didasarkan pada premis-premis berikut. Pertama, individu

merespon suatu simbolik. Mereka merespon lingkungan,

termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang

dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi

mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial,

karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan

dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna

yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu

ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan

dalam interaksi sosial.

6 Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness Dalam KomunikasiAntaretnis, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 44.

12

Dalam merelevansikan kerangka teori mengenai

interaksionisme simbolik pada kasus sosial yang terjadi

di dalam masyarakat, maka berikut pembahasan mengenai

topik yang diambil oleh penulis.

Banyak istilah kata yang digunakan dalam menyebut

kain penutup kepala tersebut, ada yang menyebutnya hijab,

kerudung, atau pun jilbab. Dalam bahasa Inggris, jilbab

dikenal dengan sebutan veil, biasa dipakai untuk merujuk

pada penutup tradisional kepala, wajah, atau tubuh wanita

di Timur Tengah dan Asia Selatan. Sebagai kata benda,

kata ini digunakan untuk empat ungkapan :

1. Kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup

kepala, bahu, dan kadang-kadang muka

2. Rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau

tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah

atau melindungi kepala dan wajah

3. a. Bagian tutup kepala biarawati yang melingkari

wajah terus ke bawah sampai menutupi bahu.

13

b. kehidupan atau sumpah biarawati

4. Secarik tekstil tipis yang digantung untuk

memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang da di

baliknya, sebuah gorden.7

Dapat disimpulkan bahwa sederet makna yang diterapkan

dalam istilah veil meliputi empat dimensi, yaitu material,

ruang, komunikatif, dan religious. Dimensi material

berisi pakaian dan ornamen-ornamen seperti jilbab dalam

arti bagian dari pakaian yang menutupi kepala, bahu, dan

wajah atau dalam arti hiasan yang menutup topi dan

menggantung di depan mata. Dalam penggunaan ini, veil

tidak saja menutupi wajah, tapi terus memanjang sampai

kepala dan bahu. Dimensi ruang mengartikan veil sebagai

layar yang membagi ruang secara fisik, sedangkan dimensi

komunikatif menekankan pada makna penyembunyian dan

ketidaktampakan. Dalam dimensi religius, bermakna

7Fadwa El Guindi, Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan(Jakarta : Serambi, 1999), hlm. 29.

14

pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan

seksual.

Penggunaan jilbab memiliki sejarah yang sangat

panjang bagi kehidupan manusia. Jilbab tidak hanya

dikenal pada kalangan umat muslim saja, tetapi ada juga

aturan memakai jilbab atau penutup kepala pada wanita-

wanita Nasrani dan Yahudi. Namun, pada masa dewasa ini

jilbab lebih dikenal sebagai simbol dari agama Islam.

Jilbab adalah sebuah benda yang kemunculannya akibat

dari dorongan syariat, artinya munculnya ide budaya

materi jilbab adalah berasal dari hukum Allah yang jelas,

telah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud,

dan dalam kadar seperti apa sesuatu itu bisa disebut

sebagai jilbab, semuanya tertulis jelas dalam kitab suci

Al-Qur’an, surat An-Nur ayat 23. Dapat ditafsirkan bahwa

awalnya jilbab masih sebatas sebagai fungsi teknis,

artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki

fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang utuk

15

dilihat oleh orang lain dan untuk menghindari maksiat

bagi yang melihat.

Masyarakat pendukung atau yang menggunakan jilbab

pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan

dalil tentang jilbab, dan belum terfikirkan untuk

mengubah makna jilbab itu sendiri. Ketika Islam pada abad

9 sampai 12 mengalami perkembangan dan persebaran,

sehingga mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya,

seperti di sebagian negara Timur Tengah berkembang model

jilbab dengan cadar, burqa8, niqab9. Kemudian berkembang

pula di Nusantara atau Melayu pada abad 19 jilbab dalam

bentuk selendang yang tidak sepenuhnya menutupi kepala

digunakan oleh kaum wanita yang telah memeluk agama

Islam. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah

perkembangan dalam upaya utuk menafsirkan jilbab.8Burqa adalah sebuah pakaian yang membungkus seluruhtubuh yang dikenakan oleh sebagian perempuan Muslim diAfganistan, Pakistan, dan India utara. 9 Niqab adalah sesuatu yang dijadikan penutup muka olehpara wanita. Atau istilah yang ma'ruf pada dewasa iniadalah cadar.

16

Faktornya tentu banyak sekali, hal ini bisa terkait

dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman

atas dalil agama.

Misalnya, di Jawa pada abad 19 masih sedikit

masyarakat yang memakai jilbab yang sesuai dengan

ketentuan dalil, mereka hanya mengenakan sebatas

selendang yang diselampirkan di kepala, beberapa pendapat

mengemukakan bahwa hal ini sebagai dampak pola penyebaran

agama Islam yang dilakukan oleh Wali Songo sangat toleran

dengan budaya lokal sehingga Wali Songo baru menyampaikan

masalah Teologis dan belum sampai pada masalah fiqih

tentang pemakaian jilbab, karena mereka menyadari bahwa

hal ini akan mengubah budaya berpakaian masyarakat Jawa.

Hingga abad-abad selanjutnya, pemahaman manusia atas

dalil agama yang menyebutkan keharusan dalam berjilbab

mulai dimaknai sebagai materi yang sakral, karena ini

adalah perintah Allah, dan penggunaan jilbab pada pola

pemikiran seperti ini merupakan penggunaan jilbab masih

17

dalam lingkup simbol kesopanan, karena mereka yang

menggunakan jilbab ingin menutupi aurat mereka, yakni

bagian anggota tubuh dari seorang wanita yang harus

disembunyikan dari pandangan masyarakat umum yang bukan

menjadi mahram atau tidak memiliki hubungan darah dengan

wanita pemakai jilbab tersebut. Selain itu, simbol

kesopanan ini menggambarkan akan ketaatan pada perintah

Tuhannya yang sudah tercantum di dalam kitab agamanya.

Kasus penggunaan jilbab di samping menjadi sebuah

kesopanan dan ketaatan pada agama ialah sebagai simbol

dari suatu gerakan atau perlawanan.

Semisal yang terjadi di Mesir, jilbab kontemporer

merepresentasikan sebuah pergerakan yang telah melewati

beberapa kali fase transisi sejak tahun 1970-an, yang

telah menyebar di seluruh wilayah Arab dan belahan dunia

yang lain. Rupanya, pakaian termasuk jilbab telah

18

memainkan sebuah simbol yang sangat penting, peran ritual

dan politik dalam fenomena yang dinamis.10

Pada tahun 1970-an, ketika beberapa wanita muda Mesir

memakai jilbab, pemerintah yang sekularis mulai merasakan

ancaman dari militansi Islam dan mencari berbagai solusi.

Pada tahun 1993, menteri pendidikan (Husain Kamal Baha’

al-Din) tampaknya berusaha memerangi aktivisme Islam

dengan memberlakukan beberapa perubahan dalam area

pendidikan, seperti transfer atau penurunan pangkat guru-

guru yang berkecenderungan aktivis, revisi kurikulum, dan

pembatasan pemakaian jilbab. Namun, larangan pemakaian

jilbab pada universitas-universitas ditolak oleh

pengadilan. Menjelang 1994, usaha untuk membatasi

pemakaian jilbab di sekolah-sekolah hanya bagi siswa yang

memperoleh izin dari orang tuanya menerima kritik tajam.

Menteri pendidikan mulai berputar balik, menyerah dengan

mengiinkan gadis-gadis pelajar berjilbab walaupun tanpa

10 Fedwa El Guindi, op.cit., hlm. 210.

19

kesediaan orang tua. Campur tangan pemerintah dalam

urusan jilbab masih kontroversial di Mesir.

Selanjutnya, selama dekade pertama pergerakan yang

terjadi di Mesir, kode berpakaian untuk wanita

dihubungkan dengan tingkat pengetahuan dan bacaan

mengenai Islam, juga sampai pada tahap skala kepemimpinan

di kalangan wanita. Semakin intensif seorang wanita di

perguruan tinggi menutup tubuhnya, yakni dengan

mengenakan jilbab sampai rapat dan panjang, maka semakin

“serius” perilaku publiknya, semakin banyak pula

pengetahuannya terhadap sumber-sumber Islam, dan semakin

tinggi skala kepemimpinannya di kalangan wanita. Ia akan

memimpin diskusi-diskusi, seperti di masjid-masjid dan

dalam ruang-ruang mahasiswa di sela-sela kuliah. Namun

penghubungan ini kemudian agak pudar ketika gerakan itu

telah menyebar di luar kampus dan jilbab menjadi bagian

20

dari kehidupan normal, bercampur dengan lingkungan

sekuler di Kairo dan kota-kota besar lainnya.11

Lalu di Turki, pada tahun 1970-an terdapat

serangkaian upaya untuk menciptakan “gaya pakaian asli

bagi wanita muslim dan untuk melegitimasi pakaian Islam

tradisional”. Wanita turki mulai memakai jubah panjang

dan selendang kepala, aksi ini merupakan akibat dari

perpecahan yang terjadi antara sekularis dan pembela

Islam.

Di negara-negara Timur Tengah lainnya, berjilbab

bagi wanita perguruan tinggi yang oleh banyak orang

ditolak karena dianggap “iseng” saja, berbalik menjadi

sebuah gerakan sosial dan politik yang kuat dan ulet.

Walaupun mungkin dimulai oleh wanita, tren itu berkembang

dan memiliki pesan tegas untuk disampaikan. Pakaian

melembagakan sebuah kode sosial moral dan berfungsi

sebagai alat sentral bagi pesan ini. dalam konteks ini,

11 Ibid., hlm. 233.

21

faktor-faktor lokal, regional, dan global berpadu ketika

berjuang untuk meraih kemerdekaan dari kekuasaan kolonial

atau pemerintahan kolonial dan para wanita berjuang untuk

emansipasi.

Perlawanan dengan pakaian wanita dan jilbab lainnya

terjadi juga di Aljazair. Aljazair sebagai negara jajahan

dari Prancis, rakyatnya yang sebagian besar pemeluk agama

Islam mengadakan perlawanan kepada Prancis. Pada akhir

tahun 1980-an, Prancis melakukan sebuah gerakan yakni

gereja dan pastur kulit putih terlibat dalam kegiatan

misionaris yang agresif untuk mencari pengikut baru.

Namun, bagaimana pun hal ini mengalami kegagalan total.

Di Aljazair, sebagaimana di kawasan Arab lainnya,

misionaris Kristen tidak mampu menggantikan Islam. Dan di

sisi lain gerakan nasionalis Aljazair mulai terbentuk.

Pemerintahan Prancis mulai menyerang letupan-letupan anti

Prancis tersebut, sebagian besar dengan cara membuat

patokan-patokan untuk meruntuhkan kebudayaan Aljazair.

22

Strategi lainnya yang dilakukan oleh Prancis ialah

dengan mengadakan asimilasi kelas atas Aljazair dengan

mem-Pranciskan wanita Aljazair. Latarbelakang melakukan

hal tersebut ialah apabila wanita telah tercerabut dari

akar budayanya, maka yang lainnya akan mengikuti. Jilbab

menjadi target strategi kolonial untuk mengontrol dan

mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya.

Penjajah tersebut bersikap hormat kepada wanita yang

tidak berjilbab di Aljazair. Proses tersebut diperkuat

dengan alasan bahwa aturan-aturan tersebut dibuat untuk

memodernisir Aljazair agar sesuai dengan selera penjajah.

Akan tetapi, aljazair sebagaimana seperti semua

nasionalis Arab lainnya memandangnya sebagai taktik untuk

menghina akar budaya. Taktik seperti itu membuat orang-

orang Arab menghubungkan proses pelepasan jilbab wanita

muslim dengan strategi kolonial untuk menghina dan

menghancurkan kebudayaan. Efeknya adalah perlawanan

terhadap apa yang dilakukan oleh Prancis dan mereka malah

23

memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasionl dan

kultural perjuangan wanita Aljazair, yang memberikan

jilbab vitalitas baru.

Pada masa itu, jilbab merupakan simbol resistensi

melawan hukum penjajah asing, melawan penjajahan

kontemporer di tanah Palestina, dan melawan rezim yang

tidak disahkan oleh pemilu, tapi tetap menegaskan tradisi

dan identitas Aljazair. Perjuangan Aljazair masih terus

berlangsung, pada tahun 1998 Aljazair masih membebaskan

dirinya dari hukum kolonial Prancis, walaupun telah

merdeka sejak 1956. Pada Juli 1998, Aljazair telah

menetapkan (kembali) bahasa Arab sebagai bahasa resmi

negara itu.

Isu jilbab di negara Iran juga menuai polemik yang

berarti. Pada masa kepemimpinan Syah Reza pada tahun 196,

dalam perjuangan Westernisasinya ia melarang penggunaan

jilbab pada masyarakatnya, dan para polisi menahan

wanita-wanita yang memakai jilbab dan dengan paksa

24

melepasnya, serta para ulama dianiaya. Tindakan yang

dilakukan oleh pemerintah ini mendapat sambutan yang baik

oleh laki-laki dan perempuan dari kelas atas dan mereka

yang telah ter-Baratkan, yang memandangnya dalam istilah

liberal sebagai tahap pertama untuk memberikan hak-hak

wanita. Sejak itulah isu jilbab menajdi luka dalam bagi

politik Iran, membangkitkan emosi kuat bagi semua pihak.

Isu ini juga menjadi arena utama konflik antara kekuatan

modernitas melawan otentisitas Islam, di mana setiap

pihak telah memproyeksikan visi mereka sendiri akan

moralitas.12

Setelah Syah Reza turun tahta pada tahun 1941,

kewajiban melepas jilbab tidak diberlakukan lagi,

walaupun kebijakan itu masih utuh di sepanjang era

Pahlevi. Antara tahun 1941 sampai 199, memakai jilbab

tidak lagi dianggap melanggar hukum, tetapi jilbab masih

merupakan penghalang untuk meningkatkan karir sosial,

12 Ibid., hlm. 276.

25

sebuah lambang untuk keterbelakangan dan penanda kelas.

Sehelai kain pun yang menutupi kepala para wanita di Iran

dapat menghambat kesempatan untuk maju dalam bekerja dan

bermasyarakat.

Di Indonesia yang juga sebagian besar penduduknya

merupakan pemeluk agama Islam, telah mengalami pula masa-

masa pelarangan untuk menegnakan jilbab bagi kaum wanita,

sehingga bagi siapa saja yang melanggar pemerintahan saat

itu dan tetap menggunakan jilbab maka dianggap sebagai

aksi perlawanan terhadap pemerintah. Adalah rezim orde

baru pada tahun 1980-an, hampir mustahil menemukan

perempuan yang berjilbab di Indonesia yang bekerja

sebagai sekretaris di perusahaan multinasional, atau

instansi pemerintahan lainnya.

Pada era Orde Baru, pemerintah mengeluarkan SK

052/1982 tentang larangan berjilbab di sekolah dan

mengasosiasikan pemakainya sebagai gerakan politik yang

26

menentang rezim.13 Larangan pemakaian jilbab ini juga

berlaku bagi pegawai negeri sipil. Larangan ini membuat

ratusan perempuan muslim bernegosiasi, mereka menggunakan

jilbab di rumah, tetapi tidak menggunakannya apabila

mereka beraktivitas di kantor pemerintahan. Bahkan

beberapa sekolah dan universitas mengusulkan agar para

pelajar wanita tidak menggunakan jilbab untuk foto di

ijazah dengan alasan agar mudah dalam mencari pekerjaan.

Hal ini mengakibatkan muslimah berjilbab memiliki

keterbatasan pada pilihan karir di era Orde Baru.

Dari pembahasan mengenai fenomena penggunaan jilbab

yang ternyata dijadikan sebagai simbol, baik dari

kesopanan maupun perlawanan, maka dapat disimpulkan bahwa

jilbab sebagai simbol dalam kesopanan seorang wanita

adalah karena perintah untuk mengenakan jilbab telah

jelas tertulis dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai

perintah Allah swt. yang wajib untuk dilaksanakan. Simbol

13 http://www.rahima.or.id/, (Diakses pada 02 Januari 2015, pukul15.59 WIB.)

27

jilbab dalam arti kesopanan berarti seorang wanita yang

menggunakan jilbab tealah menutupi auratnya. Aurat ialah

bagian tubuh yang harus dilindungi dan tidak boleh

diperlihatkan secara public oleh seorang wanita tersebut

selain kepada keluarga atau orang yang telah menjadi

mahramnya atau memiliki hubungan darah. Serta agar wanita

tersebut mampu menjaga pandangan dan perbuatannya ketika

ia mengenakan jilbab yang menutupi kepalanya, karena

jilbab tersebut merupakan suatu benda yang sakral.

Sedangkan penggunaan jilbab sebagai simbol

perlawanan, merujuk pembahasan dari beberapa negara yang

mengalami hal demikian, maka dapat ditarik pula

kesimpulan bahwa kaum berjilbab yang melakukan perlawanan

ialah mereka yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam

melawan pemerintahan atau pihak yang menganut sekularisme

dan merasa terancam apabila pemakaian jilbab pada umat

Islam diperbolehkan.

28

Hal ini berkaitan dengan anggapan dunia Barat atau

penganut paham sekularisme bahwa agama atau tradisi pada

agama Islam merupakan agama yang keras dan kejam, menurut

anggapan mereka Islam selalu menggunakan cara kekerasan

dan sama sekali tidak menghormati dan selalu merendahkan

kaum wanita. Akibat dari hal itulah kemudian para

pemerintah atau golongan sekularian sangat menentang

dengan keras penggunaan simbol agama Islam seperti jilbab

dalam negara atau pemerintahannya. Dengan demikian, siapa

saja yang berani melanggar aturan larangan pemakaian

jilbab tersebut maka dengan terang-terangan mereka

menentang rezim atau pemerintah yang mengeluarkan

peraturan itu.

Ketegangan antara negara dan simbol-simbol agama yang

terjadi baik di Indonesia maupun belahan lain di dunia

adalah akibat dari pergumulan semangat sekularisme dan

aliran politik yang menggunakan semangat agama, yang

29

kemudian berujung pada prasangka dan salah pengenalan

antara yang religius dan yang politis.

Dalam kasus penggunaan jilbab di Indonesia pada masa

rezim Orde Baru ialah korban dari kecurigaan rezim

terhadap kelompok Islam Politik. Jilbab oleh Orde Baru

diartikan secara sederhana sebagai representasi kelompok

Islam ekstrimis yang bisa mengganggu keamanan negara.

Jilbab bukan lagi dianggap sebagai pilihan religius

individu, tapi sejenis bentuk pemberontakan sehingga

setiap muslimah yang menggunakan jilbab dicurigai

ideologinya dan kesetiaannya pada negara. Pada tingkat

ini lah jilbab yang idealnya merupakan sebuah pilihan dan

hak individu dalam mengartikan agamanya kemudian ditarik

ke ranah politik oleh Orde Baru.

Jilbab merupakan metafora yang penuh kekuatan,

sanggup mengayomi berbagai makna dan membentuk banyak

fungsi. Pemberdayaan jilbab dapat menjadi sangat kuat

sebagaimana pelarangannya. Sementara jilbab tidak

30

diragukan lagi membatasi sebagian wanita, jilbab juga

mengemansipasikan yang lain dengan melegitimasi kehadiran

mereka di tengah kehidupan publik. 14

Tentu saja persepsi mengenai jilbab adalah

representasi dari politik yang anti negara sekuler

merupakan tuduhan yang ahistoris dan tidak dapat

dibuktikan kebenarannya. Pada perkembangannya, kita

menemui banyak perempuan berjilbab menempati posisi

penting di pemerintahan yang menyokong negara sekuler.

Di Indonesia sendiri, penggunaan jilbab telah

mengalami kemajuan yang luar biasa dengan mengembalikan

jilbab sebagai hak muslimah dan tidak mencampuradukannya

dengan pandangan politik pengguna walaupun hal ini

memerlukan waktu selama lebih kurang 15 tahun.

14 Fedwa El-Guindi, op.cit., hlm. 28.

31

Daftar Pustaka

Buku :

El Guindi, Fadwa. Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan

Perlawanan. Jakarta : Serambi. 1999.

Mulyana, Deddy. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi.

Bandung: Remaja Rosdakarya. 2001.

Rahardjo, Turnomo. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness

Dalam Komunikasi Antaretnis. Jogjakarta: Pustaka

Pelajar 2005.

32

Ritzer, George dan  Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi

Modern. Jakarta : Kencana. 2005.

Sumber Penunjang Lainnya :

http://en.wikipedia.org/wiki/George_Herbert_Mead.

(Diakses pada 02 Januari 2015, pukul 10.15 WIB).

http://www.rahima.or.id/. (Diakses pada 02 Januari 2015,

pukul 15.59 WIB)

33