Pengembangan Instrumen Spiritualitas pada Pembelajaran Sains berbasis IMTAK bagi Mahasiswa Calon...

92
PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS PADA PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS IMTAK BAGI MAHASISWA CALON GURU PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) sebagai penjabaran dari salah satu tujuan negara yang tercantum pada pembukaan UUD 45, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk: Mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi warga Negara yang demokratis serta bertanggunga jawab. Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional tersebut mencakup komponen pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan nasional sudah selayaknya tercermin pada kurikulum dan sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, tugas lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi 1

Transcript of Pengembangan Instrumen Spiritualitas pada Pembelajaran Sains berbasis IMTAK bagi Mahasiswa Calon...

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS PADA PEMBELAJARAN SAINS

BERBASIS IMTAK BAGI MAHASISWA CALON GURU

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) sebagai penjabaran dari

salah satu tujuan negara yang tercantum pada pembukaan UUD

45, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengamanatkan bahwa

pendidikan nasional bertujuan untuk:

Mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pesertadidik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi wargaNegara yang demokratis serta bertanggunga jawab.

Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional tersebut mencakup komponen

pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian,

kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan

kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan

nasional sudah selayaknya tercermin pada kurikulum dan sistem

pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional, tugas lembaga pendidikan adalah

mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi

1

kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut mensejahterakan

masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki

pengetahuan dan ketrampilan serta berprilaku yang baik. Untuk

itu peserta didik harus mampu mendemonstrasikan pengetahuan

dan ketrampilan yang dimiliki sesuai dengan standar yang

ditetapkan.

Pembelajaran sains (fisika, kimia dan biologi) Fisika,

Kimia, Biologi berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran terhadap

keteraturan dan keindahan ciptaan tuhan, meningkatkan

pemahaman konsep dan prinsip-prinsip melalui sejumlah

keterampilan proses. Keterampilan proses mencakup:

pengamatan, membuat hipotesis, menggunakan alat dan bahan

yang dilaksanakan melalui kegiatan praktik, sesuai dengan

prosedur dan keselamatan kerja. Dengan demikian, upaya

menanamkan ketakwaan tidak hanya menjadi kewajiban guru agama

semata, tetapi juga menjadi kewajiban pendidik lainnya,

termasuk dalam pembelajaran sains.

Ketiga aspek (kognitif, psikhomotor dan afektif) memiliki

bobot penilaian yang proposional. Proses penilaiannya

dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam hal ini,

Aspek Kognitif mencakup : pemahaman konsep yang berfungsi

untuk menunjang pelaksanaan praktik. Aspek Psikomotor

mencakup keterampilan sains yang dilaksanakan melalui

praktikum. Aspek Afektif yang terkait dengan mata pelajaran

biasanya dititik beratkan pada sikap ilmiah yang mencakup:

ketelitian, ketekunan, dan kemampuan memecahkan masalah

2

secara logis dan sistematis. Di samping itu, aspek afektif

juga secara umum mencakup: perasaan, minat, sikap, emosi, dan

nilai, (Djameri Mardapi 2004:3; S. Nasution 1989:152).

Beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang memiliki

fakultas/jurusan tarbiyah (kependidikan), memiliki fungsi

yang sama dengan LPTK lainnya, yaitu menghasilkan para

sarjana calon guru. Dalam hal ini, PTAI tersebut memiliki

tantangan untuk dapat mengintegrasikan pembelajaran sains

dengan landasan dan spiritualisasi nilai dalam proses

pembelajarannya. PTAI tidak hanya dituntut untuk mampu

menghasilkan para guru yang memiliki kompetensi memadai,

namun juga sekaligus memiliki kemampuan penanaman sikap dan

nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran tersebut. Apatah

lagi, standar kompetensi guru sebagaimana dicanangkan pada

Peraturan Mendiknas No. 16 tahun 2007, secara tegas

mencantumkan kompetensi kepribadian, dimana guru dituntut

untuk mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur,

berakhlak mulia, dewasa, arif, bertanggung jawab, memiliki

etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi dan menjunjung

tinggi etika profesinya. Karenanya, keseluruhan karakter

kepribadian tersebut sudah semestinya juga menjadi sasaran

dalam pembelajaran sains bagi mahasiswa calon guru tersebut.

Upaya spiritualisasi pembelajaran tampaknya merupakan

tindak lanjut dari wacana islamisasi sains dan disiplin ilmu,

terutama secara praktis dalam bidang pendidikan. Terkait

dengan upaya tersebut, Nasim Butt (1995) menegaskan 3 prinsip

3

dasar sebagai acuan bagi pengembangan pendidikan sains dalam

perspektif Islam, yaitu memasukkan iman dan nilai sebagai

landasan pembelajaran sains, memanusiawikan dalam

pembelajaran sains di kelas, serta mengintegrasikan sains dan

agama dalam pembelajaran di kelas. Namun demikian, model

pembelajaran yang tepat dalam mengintegrasikan sains dengan

nilai-nilai Islam tersebut belum banyak memperoleh perhatian

dalam penelitian pendidikan.

Dalam penerapan pembelajaran sains yang berbasis imtak,

tentunya diperlukan juga seperangkat instrumen asesmen yang

sesuai dengan model pembelajaran itu sendiri. Dalam praktek

pembelajaran yang selama ini berlangsung, asesmen

konvensional dalam bentuk tes tertulis (paper & pencil test) lebih

banyak digunakan ketimbang asesmen otentik. Sementara itu,

asesmen tes konvensional sendiri memiliki kelemahan dalam

mengevaluasi nilai dan sikap yang juga terkandung dalam

pembelajaran sains itu sendiri. Di sisi lain, asesmen

otentik sendiri belum banyak dikembangkan dalam pembelajaran

sains. Morgan (2004) melaporkan bahwa lebih dari 70 % guru

tidak menggunakan asesmen otentik dalam pembelajaran,

meskipun jenis asesmen ini telah direkomendasikan sebagai

bentuk penilaian yang sesuai dengan hakekat sains yang

mengutamakan keterampilan proses dan produk sains. Asesmen

ini setidaknya telah direkomendasikan oleh berbagai kalangan

ahli pendidikan (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan Zainul,

2001). Hal ini disebabkan kesulitan guru dalam menyusun dan

4

menerapkan asesmen otentik, sebagaimana dilaporkan oleh Wulan

(2007). Kesulitan ini semakin meningkat terutama bagi guru

madrasah, yang relatif kurang mengenal asesmen otentik. Dalam

kerangka itulah, penelitian ini menemukan signifikansinya.

Untuk tujuan itu, peneliti mengajukan rencana penelitian

untuk mengembangkan instumen asesmen otentik yang sesuai bagi

penerapan model pembelajaran berbasis Imtak bagi mahasiswa

calon guru madrasah.

B. Indentifikasi dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan peta teoritis di atas dapat dirumuskan suatu

pertanyaan, yaitu Asesmen Otentik yang Bagaimana yang relevan untuk

diterapkan pada Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak bagi Mahasiswa

Calon Guru Madrasah ?

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi (gambaran) dari kajian literatur

dan temuan studi pendahuluan di atas fokus penelitian secara

“tentatif” dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah keadaan awal pembelajaran sains pada

pembelajaran sains calon guru madrasah sebelum asesmen

otentik dan model pembelajaran berbasis imtak diterapkan ?

b. Desain model implementasi pengembangan model bagaimana

yang relevan pada pembelajaran berbasis imtak bagi

mahasiswa calon guru madrasah?

5

c. Desain model asesmen otentik yang bagaimana yang relevan

pada pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon

guru madrasah ?

d. Bagaimanakah tingkat keterapan asesmen otentik pada model

pembelajaran sains berbasis imtak yang dihasilkan dilihat

dari aspek: peningkatan prestasi mahasiswa; dukungan

terhadap pelaksanaan pembelajaran; substansi isi (materi

pelajaran); fleksibilitas desain model; keselarasan

dengan media dan potensi dukungan stakeholders?

e. Bagaimanakah efektifitas dan dampak pengembangan asesmen

otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak

terhadap hasil belajar mahasiswa dan terhadap dosen dalam

menyusun rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar

sains?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan

pengembangan asesmen otentik relevan untuk untuk diterapkan

pada model pembelajaran sains berbasis imtak bagi mahasiswa

calon guru madrasah.

b. Tujuan Khusus Penelitian

1) Untuk mengetahui keadaan awal pembelajaran sains sebelum

desain asesmen dan model pembelajaran diimplementasikan.

2) Untuk menemukan desain model implementasi pengembangan

asesmen otentik yang relevan untuk diterapkan pada model

pembelajaran sains berbasis imtak.

6

3) Untuk mengetahui tingkat keterapan pengembangan asesmen

otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak

terhadap mahasiswa dilihat dari aspek: peningkatan

prestasi mahasiswa; dukungan terhadap pelaksanaan

pembelajaran; substansi isi (materi pelajaran);

fleksibilitas desain model; dan potensi dukungan

stakeholders?

4) Untuk mengetahui efektifitas dan dampak pengembangan

asesmen otentik pada model pembelajaran sains berbasis

imtak terhadap mahasiswa, peningkatan belajar mahasiswa,

dukungan terhadap dosen dalam menyususn rencana

pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Umum Penelitian

Dengan dihasilkannya pengembangan asesmen otentik yang

relevan untuk diterapkan pada model pembelajaran berbasis

imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah, dapat dimanfaatkan

dalam meningkatkan mutu pembelajaran sains di LPTK PTAI.

b. Manfaat Khusus Penelitian

1) Untuk memberi masukan kepada dosen-dosen sains khususnya

dalam menerapkan model pembelajaran berbasis imtak.

2) Desain implementasi pengembangan asesmen otentik dan model

pembelajaran sains berbasis imtak dapat dimanfaatkan

meningkatkan pembelajaran sains.

7

3) Desain asesmen otentik yang dihasilkankan dapat digunakan

sebagai bahan acuan dosen untuk mengevaluasi keberhasilan

pembelajaran sains berbasis imtak.

4) Untuk memberi masukan kepada dosen dan mahasiswa dalam

meningkatkan mutu pembelajaran sains

8

BAB II

LANDASAN TEORITIK

Asesmen Otentik adalah suatu istilah/terminologi yang

diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian

alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan

kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan

menyelesaikan masalah, sekaligus, mengekspresikan pengetahuan

dan keterampilannya dengan cara mensimulasikan situasi yang

dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan kampus

(Hymes, 1991).

Dalam hal ini adalah simulasi yang dapat mengekspresikan

prestasi (performance) siswa yang ditemui di dalam praktek

dunia nyata. Karenanya, dapat dimengerti bahwa Asesmen

Otentik dapat diidentikkan dengan asesmen kinerja (Performance

Assesments), sebagaimana dikemukakan oleh Zainul (2001), bahwa

asesmen otentik dimaksudkan juga sebagai Proses Penilaian

Kinerja prilaku Siswa secara multi dimensional pada situasi

nyata (life-like performance behavior). Meskipun asesmen

otentik ini direkomendasikan sebagai bentuk penilaian yang

sesuai dengan hakekat sains yang mengutamakan keterampilan

proses dan produk sains (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan

Stiggins, 1994), namun pada kenyataannya Morgan (2004)

menemukan bahwa lebih dari 70 % guru tidak menggunakan jenis

asesmen ini dalam pembelajaran. Di antara penyebabnya adalah

sebagaimana dilaporkan oleh Wulan (2003) yang mengungkap

9

tentang kesulitan guru dalam menyusun dan menggunakan asesmen

otentik.

2.Model Pembelajaran

Makna model pembelajaran sebagaimana Joyce and Weill

(2000) menjelaskan adalah: a plant or pattern that we can use to design

face to face teaching in classrom or tutorial settings and to sgaps instructional

material including books, film, tapes, and komputer. Each model guide us as we

design instruction to help students achieve various objectives.

Maksudnya yaitu, kerangka konseptual yang melukiskan

prosedur yang sistematis dalam mengorganisir pengalaman

belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang berfungsi

sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas

belajar mengajar.

Pengembangan model pembelajaran dimaksud untuk

menentukan konseptual yang berisi tentang prosedur

pengembangan rancangan kegiatan pembelajaran pendidikan Agama

Islam yang dapat meningkatkan kompetensi keagamaan siswa

kampus dasar. Desain model yang dikembangkan meliputi desain

perencanaan, implementasi dan evaluasi. Setiap desain berisi

tentang tahapan-tahapan yang dapat dijadikan rujukan oleh

guru dalam mengembangkan aktivitas pembelajaran.

3. Sains dan Pembelajaran Sains Berbasis Imtak

Pada dasarnya sains yang berbasis imtak berbeda dengan

sains sebagaimana dikenal pada umumnya. Namun demikian,

10

perlu diberikan penegasan bahwa sains berbasis imtak, dalam

hal ini sains berbasis Islam sebagaimana diungkap oleh Sardar

(1998), adalah sains yang juga memiliki fungsi dan tanggung

jawab untuk mengembangkan kesadaran ketuhanan;

mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu

pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian

maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas

ilmu pengetahuan obyektif. Dalam hal ini terlihat, sains

berbasis imtak, sebagaimana juga dapat dipahami ajuan langkah

Zaghlul Najjar (1995:146) tentang garis-garis besar upaya

penulisan ulang dan pengajaran sains dalam perspektif Islam,

mencakup aspek ontologis, epistemologi dan aksiologi sains

itu sendiri.

Model Pembelajaran Berbasis Imtak

a. Model pembelajaran Nilai-Nilai Islami berdasarkan

adapatasi terhadap teori David R. Kratwohl, dapat

dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

(1) Tahap memulai terbukanya menerima rangsangan, yang

meliputi tingkatan :

1.1 Penyadaran; 1.2 Hasrat untuk menerima pengaruh; dan

1.3 Memberikan perhatian secara memilih diantara pengaruh

yang masuk.

(2) Tahap memulai memberikan tanggapan terhadap rangsangan

afektif, yang meliputi tingkatan : 2.1 Mulai memberikan

perhatian p[ada nilai yang dirangsangkan; 2.2 Berhasrat

11

untuk secara aktif memberikan perhatian; 2.3 Menikmati

dengan penuh kebahagiaan memberikan perhatian terhadap

nilai afektif.

(3) Tahap mulai memberikan perhatian terhadap rangsangan,

yang meliputi tingkatan : 3.1 Mulai menerima nilai yang

sudah menarik perhatiannya; pada tingkatan ini anak didik

mulai aktif menyatakan perhatiannya berdasarkan nilai yang

mulai diterimanya; 3.2 Memilih berdasarkan nilai pada

tingkatan ini anak didik sudah mulai menggunakan nilainya

sebagai acuan dalam memilih obyek; dan 3.3 Percaya akan

kebenaran semua nilai. Pada tingkatan ini anak didik sudah

mulai dengan penuh keyakinan menerima kebenaran suatu

nilai.

(4) Pengorganisasian berbagai nilai yang telah diterimanya,

yang meliputi tingkatan :4.1 Menetapkan kedudukan atau

hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya; 4.2 Menempatkan

prioritas diantara nilai-nilai yang telah diterima.

(5) Penyaturagaan nilai-nilai dalam satu system nilai yang

konsisten, yang meliputi tingkatan : 5.1 Generalisasi

nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan memandang

masalah-masalah yang dihadapi; dan 5.2 Mengembangkan suatu

filsafat hidup yang konsisten. Pada saat ini semua nilai

yang ditanamkan dalam dirinya telah menjadi bagian terpadu

dari system kepribadian anak didik. (Soedijarto, 1993).

b. Model Pembelajaran Nilai-Nilai Islami Berdasarkan “Values

Clarification”

12

Prinsip-prinsip model pembelajaran internalisasi nilai

berdasarkan model Values Clarification mempunyai tiga langkah

utama dan tiap langkah terdiri pula atas dua bagian sehingga

seluruhnya menjadi tujuh langkah adalah sebagai berikut :

I. Memilih (1) secara bebas, (2) dari beberapa alternative,

(3) dengan memepertimbangan setiap konsekuensi tiap

alternative.

II. Menghargai (4) menjunjung tinggi, merasa bahagia dengan

pilihan itu, (5) menyatakan dan mempertahankannya di

depan umum.

III. Berbuat (6) melaksanakan dan menerapkannya dalam

perbuatan (7) melakukannya berulang-ulang sebagai pola

kelakuan.

(1) Memilih itu harus dilakukan secara bebas. Nilai yang

dipaksakan tidak akan mengintegrasikannya dalam sistem

nilainya.

(2) Memilih harus dari sejumlah alternative sehingga ia dapat

memilihnya secara bebas.

(3) Memilih hanya setelah mempertimbangkan konsekuensinya.

Memilih adalah proses berfikir yang memerlukan waktu dan

tak dapat dilakukan impulsive dan tergesa-gesa.

(4) Menghargai suatu nilai, menujunjung tinggi suatu nilai

suatu tanda bahwa suatu nilai menjadi bagian integral

dalam kepribadian kita. Kita harus bangga akan nilai-nilai

yang telah kita pilih.

13

(5) Menegaskan berarti berani mengemukakannya di depan orang

lain bila nilai itu telah kita internalisasikan kita tidak

malu menyaksikannya di depan umum.

(6) Melaksanakannya. Nilai harus nyata dalam perbuatan.

Kelakuan kita harus mencerminkan nilai-nilai yang kita

junjung tinggi.

(7) Mengulangi. Bila nilai itu telah sebagian dari

kepribadian kita, maka kita harus mewujudkan nilai itu

secara konsisten dalam kelakuan kita. (S. Nasution, 1989).

Dimensi Religiusitas: menurut Glock & Stark (dalam

Ancok,1985; Turmudhi, 1991; Safaria, 1999).

1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang

menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap

kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran

fundamental atau dogma

2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi

yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam

mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di

dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan

kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah,

sembahyan, puasa, dll

3. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau

experiental dimension), yaitu yang menunjukkan seberapa

jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami

14

perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman

religiusnya. Misalnya seberapa besar seseorang merasakan

kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya

terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan

pertolongan

4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang

menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang

terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat

dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya,

apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat,

bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa

yang benar, dll.

5. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang

menunjukkan tingkatan seseorang dalam berprilaku yang

dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh

seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku

hidupnya sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamnya

mengajarkan untuk beramal, maka dengan senang hati

mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.

Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang

oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohonh atau

memkai narkoba.

Pengembangan Instrumen Asesmen Otentik

15

Pada dasarnya instrumen dibagi dua, yaitu instrumen yang

berbentuk tes dan instrumen yang non tes1. Tes merupakan

prosedur sistematis untuk melakukan pengamatan terhadap

perilaku seseorang dan mendiskripsikan perilaku tersebut

dengan bantuan skala angka atau suatu sistem penggolongan2.

Indikator perilaku yang diungkapkan oleh instrumen tes

bersifat kinerja maksimal (Maximum performance) karena suatu

tes dirancang untuk mengungkapkan kemampuan individu secara

maksimal. Yang termasuk dalam kelompok tes adalah tes

prestasi belajar, tes inteligensi, tes bakat, atau tes

kemampuan akademik.

Sementara itu, indikator perilaku yang diungkapkan oleh

instrumen yang berbentuk non tes bersifat Instrumen penilaian

kinerja (performance assesment) mencakup konten/konteks yang

dinilai berpatok pada pedoman/penuntun pemberian skor yang

memuat karakteristik kualitas Berdasarkan uraian diatas, maka

dapat dikatakan bahwa hakikat instrumen adalah alat ukur yang

dimiliki kualitas validitas dan reliabilitas yang baik dan

digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian.

Dalam penelitian ini Instrumen spriritualitas diperoleh

melalui prosedur pengembangan skala Thurstone. Penggunaan

skala Likert didasarkan pada pendapat Djaali bahwa skala

Likert dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat,

persepsi seseorang atau kelompok tentang suatu gejala atau1 Ibid., h. 127. 2 Lee J. Cronbrach, 1984. Essentials of Psychologocal Testing (New York:

Harper and Row Publishers, h. 26.

16

fenomena pendidikan.3 Sedangkan Seltiz menyatakan penggunaan

skala Likert lebih mudah dikonstruksi dari pada skala

Thurstone selain itu skala Likert memberikan koefisien

korelasi lebih tinggi dari pada skala Thurstone.4

1. Prosedur Pengembangan Instrumen Spritualitas

Bagan Alir Penyusunan Konstruk Instrumen Pengukuruan Spiritualitas dan Kisi-kisi

Identifikasi aspek

Spiritualitas

3 Djaali dan Pudjiono Muljono, op cit, h. 40.4 Lewis R. Aiken. 1997. Psychological Testing and Assessment. London: Allyn and

Bacon, h. 254.

17

Kajian Teori Tentang Konsep Variabel dan menyusun konstruk dari variabel

Tersebut

Pengembangan Dimensi dan Indikator

Membuat Kisi-kisi InstrumenPenilaian

Validasi Teoritik dan Validasiempirik

Evaluasi dan penilaian olehpakar

Revisi

Uji coba Evaluasi Revisi

2. Ujicoba Instrumen

Menurut Djaali untuk mengetahui apakah suatu instrumendianggap valid secara konseptual maka instrumen tersebutdiujicobakan pada sekelompok responden yang merupakan sampeluji coba. Dari respon sampel uji coba tersebut akandiperoleh data yang akan dianalisa untuk menguji validitasinternal. Analisa data hasil uji coba dimaksudkan untukmenguji validitas butir instrumen secara empiris, validitasyang akan diuji adalah validitas antara skor butir denganskor total.5

3. Kalibrasi

a. Validitas Instrumen

Dalam penelitian ujicoba untuk content validity padainstrumen pada skor butir kontinum yaitu pada variabel

5 Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., pp. 116.

18

Uji Coba Instrumen

Butir-butir Instrumen PenilaianSpiritualitas Hasil Uji Coba dan

Kisi-kisi

penilaian praktikum IPA digunakan rumus korelasi product

moment (r). Hal ini sesuai dengan pendapat Ferguson, jikaskor butir kontinum maka untuk menghitung skor butir denganskor total instrumen digunakan rumus koefisien korelasiproduct moment (r).6 Menurut Kaplan koefisien korelasi Pearsonproduct moment adalah perbandingan yang digunakan untukmembedakan tingkat variasi pada variabel tersebut dan jugamengestimasi variasi pada variabel yang lainnya. Koefisienkorelasinya dinyatakan dengan nilai dari –1,0 dan 1,0.7 danSudjana juga menyatakan bahwa rumus product moment Korelasilebih senang digunakan karena; (1) perhitungannya sederhanasementara besaran-besaran yang diperlukan bisa langsungdiperoleh dari besaran-besaran yang ada pada saat menentukanregresi Y atas X, (2) lebih terlihat dalam bentuk data asli,kekeliruan yang terjadi pada hasil akhir untuk r sangatkecil, (3) tanda r positif atau negatif bisa langsungdiperoleh, dan (4) mudah dibuat program perhitungan denganmneggunakan bantuan komputer.8

Kaplan juga menyatakan bahwa Validity didefinisikansebagai pencocokan skor test atau ukuran dengankualitas ukuran yang dapat dipercaya.9 SedangkanKerlinger secara epistemologi menyatakan definisi validitydalam bentuk pertanyaan sebagai berikut, apa yangdiukur dan bagaimana mengukurnya?10 Menurut Ghiselli

6 George A. Ferguson and Yoshio Takane, Statistical Analysis in Psychology and Education (New York: McGraw-Hill Book Company, 1989), p. 125.

7 Robert M. Kaplan, Basic Statistics For The Beavioral Sciences (Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1987) pp. 224.

8 Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi (Bandung: Tarsito, 1992), pp. 47-48.

9 Kaplan, op.cit., p. 254.10 Kerlinger, op.cit., p. 457.

19

ada tiga tipe validity, yaitu: (1) criterion-related Validity,(2) content Validity, dan (3) construct Validity.11

Construct validity mempermasalahkan seberapa jauh item-itemtes mampu mengukur apa yang harus diukur sesuai dengandefinisi konseptual yang telah ditetapkan.12 Menyusun sebuahconstruct validity harus dimulai dari definisi teori untukkonstruk, dengan memberikan beberapa teori tentang prilaku,dan teori khusus dengan cara: (1) tujuan konstruk, (2)bagaimana hubungan antara konstruk, dan (3) bagaimanahubungan dari prilaku khusus yang tampak.13 Kerlingermenyatakan bahwa criterion related validity adalah membandingkan tesatau skor dengan satu atau beberapa variabel eksternal ataukriteria14 sedangkan Ghiselli menyatakan bahwa The Criterion

related validity digambarkan secara kuantitatif yang ditampilkanberupa tingkat hubungan antara skor predictor dan skor criterion.Tingkat hubungan ini dihitung dengan menggunakan rumuskoefisien korelasi Pearson seperti point biserial, biserial, phi

atau tetrachoric. Koefisien yang digunakan untuk mengindikasikantingkat hubungan antara skor predictor dan criterion biasanyadisebut dengan koefisien validitas.15

b. Reliabilitas Instrumen

11 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 267.12 Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., p. 73.13 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 282.14 Kerlinger, op.cit., p. 459.15 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 269.

20

Reliabilitas berasal dari kata reliability berartisejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasilpengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapakalipelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama,diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama.16 Agarinstrumen dalam penelitian ini dapat dipercaya maka harusmempunyai reliabilitas yang memadai.

Ghiselli menyatakan bahwa, The reliability of measurement (or the

lack it) is the extent of unsystematic in the quantitative description of some

characteristic of an individual when the same individual is measured a number of

times”17 Definisi ini memberikan asumsi dengan mengukurberulang-ulang prilaku seseorang dengan cara membedakan skorseseorang, seperti membedakan skor masing-masing individumenunjukkan variasi yang tidak sistematis. SedangkanKerlinger menyatakan bahwa reliabilitas adalah ketepatan atauketelitian dalam mengukur instrumen18 dan Marlene menyatakanbahwa reliabilitas mengacu pada suatu tingkatan dimana hasil-hasil pengukuran bebas dari kesalahan-kesalahan yang tidakdapat diramalkan

Reliabilitas instrumen untuk mengukur variabelperhatian orang tua digunakan rumus Alpha Cronbach untukmengestimasi konsistensi internal dari instrumen yang itemnyabukan skor 0 atau 1 (benar atau salah).19 Koefisienreliabilitas variabel tersebut dihitung setelah butirpernyataan yang tidak valid dibuang. 16 Djaali, Pudji Muljono, Ramly, op.cit., p. 81.17 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 191.18 Kerlinger, op.cit., p. 443.19 Kaplan, op.cit., p. 252.

21

c. Validasi oleh Pakar/Tenaga Ahli

Instrumen dimaksudkan untuk mengukur tingkat spiritualitas

/ religiusitas yang diukur melalui aspek: (a) ideologis,

(b) konsekuensial, (c) eksperiensial, (d) intelektual,

dan (e) ritualistik. Validasi tenaga ahli dilakukan

melalui prosedur Thurstone.

Kriteria penilaian berdasarkan atas:

a. Kesesuaian antara pernyataan dengan variabelb. Kesesuaian antara pernyataan dengan indikatorc. Kesesuaian antara pernyataan dengan indikator dan

variabeld. Penulisan pernyataan menggunakan kaidah bahasa Indonesia

yang benare. Pernyataan tidak ambigu/bermakna ganda

22

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan “Research and Development”. Menurut Borg

dan Gall (1979:626), “ Educational research and development (R&D) is

process used to develop and validate educational products.” Dalam kaitan

ini Borg dan Gall menjelaskan bahwa, yang dimaksud produk

dalam konteks penelitian dan pengembangan pendidikan tidak

hanya terbatas pada bahan-bahan material saja seperti buku

teks, film pendidikan dan sejenisnya, akan tetapi juga

berhubungan dengan prosedur dan proses seperti misalnya

metode mengajar atau metode pengorganisasian pembelajaran.

Proses pelaksanaan “Research and Development” membentuk

suatu siklus yang diawali dengan melakukan suatu studi

pendahuluan untuk menemukan suatu produk pendidikan, kemudian

produk tersebut dikembangkan dalam suatu situasi tertentu,

diuji, direvisi, dan dikaji kembali, sampai pada akhirnya

ditemukan produk akhir yang dianggap sempurna yang

selanjutnya produk tersebut diuji validasinya. Apabila sudah

teruji, diharapkan dapat diterapkan untuk memperbaiki proses

pendidikan dalam upaya menghasilkan lulusan (output) yang

lebih baik.

23

Secara rinci prosedur penelitian dan pengembangan

(Research and Development) menurut Borg dan Gall membagi kedalam

10 tahapan pokok, yaitu:

1. Riset dan pengumpulan informasi yang meliputi penelaahan

literature dan observasi lapangan;

2. Perencanaan, meliputi pendefinisian produk yang akan

dikembangkan, perumusan tujuan dan menentukan urutan

pelajaran;

3. Pengembangan produk awal termasuk mempersiapkan bahan-

bahan pembelajaran, buku pegangan dan alat penilaian;

4. Uji lapangan produk awal yang telah dikembangkan dalam

skala terbatas. Pada uji lapangan ini data dikumpulkan

melalui wawancara, observasi dan angket, selanjutnya data

tersebut dianalisis untuk menemukan berbagai kelemahan dan

kekurangan;

5. Revisi produk awal setelah ditemukan berbagai kelemahan

dan kekurangan, selanjutnya produk awal tersebut

dikembangkan menjadi menjadi produk yang lebih baik;

6. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang

lebih luas. Pada tahap ini, data secara kuantitatif dari

subyek penelitian (siswa) baik sebelum maupun sesudah

proses pengembangan dikumpulkan, hasilnya divalidasi dan

dibandingkan dengan kelompok lain;

7. Revisi produk yang telah diuji lapangan pada tahap 6;

8. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang

lebih luas lagi. Pada tahap ini dilakukan wawancara,

24

observasi dan penyebaran angket untuk mengumpulkan data,

yang selanjutnya data tersebut dianalisis;

9. Revisi akhir produk (final product revision). Revisi ini

dilakukan berdasarkan hasil iji lapangan pada langkah 8;

10. Desiminasi dan distribusi, yaitu langkah melaporkan

produk yang telah dihasilkan pada pertemuan ilmiah serta

dipublikasikan melalui jurnal.

B. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh melalui penelitian ini

mengacu pada model penelitian dan pengembangan seperti yang

dikemukakan oleh Borg dan Gall. Atas dasar pertimbangan

kondisi dan situasi lapangan serta rekomendasi pihak terkait

(jurusan Tadris IPA STAIN Cirebon, jumlah mahasiswa sebanyak

300 mahasiswa), yang tidak mungkin membawa siswa pada situasi

laboris seperti yang dilakukan Borg dan Gall, maka proses

penelitian dan pengembangan model melalui uji coba terbatas

dan uji coba yang lebih luas, dilakukan di kelas reguler.

Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya terjadi penyederhanaan

walaupun prosedur penelitian yang ditempuh tetap mengacu pada

model penelitian dan pengembangan seperti yang disarankan

Borg dan Gall. Langkah-langkah dan prosedur penelitian yang

digunakan adalah:

1. Melakukan Pra-survai

Pra-survai dilakukan untuk pengkajian literatur dan

pengkajian lapangan sebagai upaya untuk memahami model dan

kondisi pembelajaran sains dewasa ini. Pengkajian lapangan

25

dilakukan bukan hanya terhadap kinerja dosen dalam

pengelolaan pembelajaran sains di LPTK PTAI, akan tetapi juga

cara belajar mahasiswa baik di kampus (di dalam kelas) maupun

di luar kampus.

Studi mengenai kinerja guru dan siswa merupakan fokus

penelitian pertama yang dianggap penting untuk diteliti,

sebab guru dan siswa merupakan subyek dalam proses

pembelajaran. Di samping guru dan siswa, studi pendahuluan

juga dilakukan dengan menganalisis kondisi kampus yang bukan

saja tentang fasilitas termasuk media pembelajaran yang

tersedia serta pemanfaatannya oleh guru, akan tetapi juga

tentang iklim sosial dan iklim psikologis warga kampus

seperti pimpinan perguruan tinggi, guru, staf administrasi

kampus dan siswa.

2. Menyusun Rencana Awal Model

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hasil pra-survai,

langkah selanjutnya adalah menyusun rancangan atau desain

awal pembelajaran. Proses pelaksanaan dalam rancangan dan

pengembangan model awal ini dilakukan dengan kolaborasi

bersama dosen mata kuliah khususnya.

3. Mengadakan Uji Coba

Uji coba yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji coba

terbatas dan yang lebih luas. Uji coba terbatas difokuskan

kepada evaluasi proses pada satu mata kuliah yang melibatkan

dosen dan mahasiswa semester 5/6, sedangkan uji coba yang

lebih luas difokuskan kepada evaluasi proses, juga difokuskan

26

kepada evaluasi hasil yang melibatkan dosen dan mahasiswa

semester 5/6 pada beberapa mata kuliah yang berbeda. Desain

uji coba dalam skala yang lebih luas digunakan desain tes

awal-tes akhir atau kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim,

1989:35). Desain uji coba lebih luas digambarkan sebagai

berikut:

Tes awal Variabel

bebas

(Perlakuan)

Tes akhir

T1 X T2

Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses uji coba yang

lebih luas sesuai dengan desain di atas adalah sebagai

berikut:

a. Menentukan sekelompok subyek penelitian;

b. Mengadakan tes awal (T1);

c. Mencobakan model pembelajaran (X);

d. Mengadakan tes akhir (T2), setelah proses belajar mengajar

dengan model pembelajaran;

e. Mencari rata-rata baik tes awal (T1) maupun tes akhir

(T2), membandingkan keduanya;

Dengan metoda statistika dicari selisih perbedaan antara

kedua rata-rata tersebut, untuk menentukan ada dan tidaknya

pengaruh yang signifikan dari penggunaan model pembelajaran.

Selain analisis nilai rata-rata, dalam pelaksanaan uji coba

27

ini juga dilakukan analisis proses untuk penyempurnaan model

yang dikembangkan.

4. Melakukan Pengujian Model

Pengujian (validasi) model dilakukan untuk melakukan

efektifitas model pembelajaran yang akan dikembangkan dengan

model pembelajaran yang selama ini digunakan dalam proses

pembelajaran sains. Desain eksperimen yang digunakan adalah

desain statis dua kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim, 1989:37).

Bagan disain tersebut adalah sebagai berikut:

Kelompok Perlakuan

(variabel

bebas)

Tes akhir

(variabel

terikat)E

(eksperimen

)

K (kontrol)

X

-

Y

Y

Berdasarkan disain di atas, maka langkah-langkah dalam uji validasi adalah sebagai berikut:

1. Menentukan kelompok eksperimen (KE) dan kelompok kontrol(KK), yaitu 3 kelompok kampus yang dijadikan subyek padauji coba yang lebih luas;

2. Melakukan perlakuan (X) yaitu untuk KE, dan pada KK diberikan pelajaran dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan ;

3. Mengadakan tes akhir (Y) baik untuk KE maupun untuk KK;4. Membandingkan gain, (selisih antara hasil tes awal dan

tes akhir) antara KE dan KK;5. Menguji signifikansi secara statistik perbedaan

tersebut.

28

C. Lokasi Penelitian

Lokasi dan Subyek Penelitian Pra-survai

Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon, Prodi

Tadris IPA-Biologi

1. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Coba Terbatas

Di STAIN Cirebon, Prodi Tadris IPA-Biologi

2. Lokasi dan Subyek Penelitian Kegiatan Uji Coba yang Lebih

Luas

Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon Prodi Tadris

IPA-Biologi

3. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Validasi Model

Pembelajaran

Penelitian dilakukan di kampus: STAIN Cirebon pada

pembelajaran di Prodi Tadris IPA-Biologi Jurusan Tarbiyah.

D.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian

ini adalah (1) pengamatan (observasi), (2) wawancara dan

kuesioner, (3) analisis dokumen dan (4) tes).

1.Pengamatan (observasi)

Pengamatan (observasi) dilakukan pada setiap tahapan

penelitian, baik pada tahap pra-survai, tahap pengembangan

maupun pada tahap uji coba yang lebih luas. Pada tahap pra-

survai observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang

pola pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh dosen dan

mahasiswa di dalam kelas, serta fasilitas termasuk media

29

pembelajaran sains yang tersedia dan penggunaannya dalam

proses pembelajaran.

Pada tahap uji coba baik terbatas maupun yang lebih

luas, observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang

pola pembelajaran dosen sains serta cara belajar mahasiswa.

2.Wawancara dan Kuesioner

Wawancara dan kuesioner digunakan pada tahap pra-survai,

tahap pengembangan model dan tahap uji coba. Pada tahap pra-

survai wawncara dan kuesioner digunakan untuk memperoleh

informasi dari guru dan siswa. Pada tahap pengembangan uji

coba model untuk mendapatkan informasi dalam rangka

penyempurnaan model yang sedang dikembangkan digunakan

wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian

ini adalah wawancara tidak berstruktur atau wawancara yang

menghendaki jawaban terbuka. Hal ini dimaksudkan agar sumber

data dapat mengemukakan pandangannya sesuai dengan

pendapatnya secara bebas.

Demikian juga penggunaan kuesioner. Alat pengumpul data

ini disusun secara bervariasi. Artinya, selain diberi

kemungkinan jawaban juga disediakan tempat yang memungkinkan

responden untuk menjawab sesuai dengan pendapatnya. Bentuk

kuesioner semacam ini dianggap efektif untuk menjaring data

sesuai dengan pertanyaan penelitian.

3.Analisis Dokumen

30

Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan berbagai

informasi khususnya untuk melengkapi data dalam rangka studi

pendahuluan, yaitu untuk menjawab pertanyaan penelitian yang

berhubungan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran

sains yang selama ini berlangsung.

4.Tes

Tes dalam penelitian ini adalah alat ukur yang diberikan

kepada individu untuk mendapatkan jawaban yang diharapkan

secara tertulis. Tes digunakan untuk mengukur ada atau tidak

adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran terhadap

penguasaan materi pembelajaran serta untuk menguji

efektifitas penggunaan model yang telah dipilih dibandingkan

dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh

dosen dalam pembelajaran sains. Tes dalam penelitian ini

adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan

dengan uji coba model yang lebih luas serta uji validasi

model.

Tes yang digunakan bukan dalam penelitian ini bukan tes

baku atau tes standar. Akan tetapi tes yang disusun oleh

dosen bersama peneliti. Hal ini didasarkan kepada

pertimbangan bahwa tes prestasi belajar yang disusun sendiri

dapat mengungkapkan keberhasilan model pembelajaran. Nana

Sudjana, Ibrahim (1989:101) mengemukakan bahwa, dalam

penelitian pendidikan, penyusunan tes prestasi belajar buatan

peneliti sebagai alat pengumpul data jauh lebih baik daripada

tes baku atau sekedar mengumpulkan data sekunder dari dokumen

31

hasil belajar yang telah ada, sebab instrumen yang dihasilkan

dapat dipandang sebagai hasil penelitian itu sendiri.

E. Penyusunan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian disusun sesuai dengan alat

pengumpul data seperti yang telah dikemukakan di atas.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan instrumen

penelitian ini adalah:

1. Menyusun kisi-kisi atau lay out penelitian untuk

memudahkan dalam menentukan dan penyusunan alat

pengumpul data, sesuai dengan jenis data yang

diperlukan;

2. Membuat kerangka pertanyaan setiap alat pengumpul

data yang telah ditentukan berserta kemungkinan

jawabannya. Alat pengumpul data seperti tes, kerangka

pertanyaan ditentukan bersama dosen pengampu mata

kuliah. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa

terdisfungsikan hanya untuk kepentingan pra dan

pasca-tes yang digunakan untuk memperoleh keandalan

model yang dikembangkan;

3. Menguji coba instrumen setelah sebelumnya meminta

pendapat dan pertimbangan ahli tentang instrumen yang

telah disusun. Pertimbangan para ahli dimaksudkan

untuk menguji validitas isi dan validitas konstruk.

Sedangkan uji coba dilaksanakan untuk menguji

keterbacaan instrumen;

32

4. Merevisi instrumen setelah mempertimbangkan hasil

konsultasi dengan ahli dan memasukan hasil uji coba

keterbacaan. Beberapa revisi yang disarankan oleh

ahli diantaranya tentang bentuk pertanyaan yang

diajukan yang sebaiknya tidak menimbulkan kesan

seperti menguji, serta bentuk option yang tidak

terbatas kepada option tertutup akan tetapi harus

memberi kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka.

Sedangkan hasil uji coba keterbacaan adalah adanya

saran tentang penjelasan istilah yang dianggap sulit

khusunya untuk siswa seperti istilah” media

pembelajaran;

5. Memperbanyak instrumen sebanyak subyek penelitian.

F.Analisis Data

Pendekatan “Research and Development” yang digunakan

dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh asesmen model

pembelajaran dalam pembelajaran sains berbasis imtak yang

sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, yang dapat digunakan

untuk meningkatkan pembelajaran sains di LPTK PTAI. Sesuai

dengan penelitian ini maka ada dua jenis data yaitu data

kualitatif dan data kuantitatif.

Data kualitatif dihasilkan dari studi pendahuluan atau

kegiatan pra survey baik dalam studi literatur maupun studi

lapangan, serta proses pengembangan dan penemuan model itu

sendiri baik melalui uji coba terbatas maupun uji coba lebih

luas, khususnya dalam upaya melihat pengaruh model yang

33

dikembangkan terhadap peningkatan kepribadian siswa islami

yang diajukan. Analisis data kualitatif dilakukan melalui

penafsiran secara langsung untuk menyusun kesimpulan. Hal ini

seperti diungkapkan Nana Sudjana dan Ibrahim (1989:126) bahwa

data kualitatif bisa disusun dan langsung ditafsirkan untuk

menyusun kesimpulan penelitian melalui kategorisasi data

kualitatif berdasarkan masalah dan tujuan penelitian.

Dijelaskan pula bahwa peneliti tidak perlu melakukan

pengolahan data melalui perhitungan matematis sebab data

telah memiliki makna apa adanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka data kualitatif

yang diperoleh dalam setiap tahapan penelitian setelah

dilakukan katagorisasi secara langsung ditafsirkan oleh

peneliti untuk selanjutnya diambil kesimpulan.

Data kuantitatif dilakukan dalam proses uji coba dan uji

validasi. Dalam proses uji coba, analisis data kuantitatif

digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan model terhadap

penguasaan materi pembelajaran sains, dengan mencari selisih

(gains) antara hasil pra dan pasca-tes. Sedangkan, pengujian

validasi digunakan untuk melihat efektifitas model

pembelajaran sebagai hasil pengembangan dibandingkan dengan

model pembelajaran yang selam ini digunakan oleh guru. Proses

analisis data dilakukan menggunakan bantuan komputer dengan

program SPSS versi 15.0.

G. Agenda Rencana Penelitian

No KEGIATAN RENCANA

34

.1 Persiapan teknis:

Seminar proposal

Perbaikan proposal

Penetapan lokasi dan ijin

penelitian

Bulan 1

2. Penilaian dan uji coba

instrumen

Bulan ke 1 dan 2

3. Penelitian pra-survai Bulan ke 2 dan 34. Analisis Pendahuluan Bulan ke 2 dan 35. Penyusunan draf awal model dan

review

Bulan ke 3 dan 4

6. Uji coba terbatas dan

penyempurnaan

Bulan ke 4, 5

dan 67. Uji coba lebih luas dan

penyempurnaan hingga ditemukan

model final

Bulan ke 6, 7

dan 8

8. Pengujian validasi Bulan ke 8, 9

dan 109. Penyusunan laporan Bulan ke 11 dan

12

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengembangan Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak

35

Pada bagian pertama dari penelitian ini, peneliti

terlebih dahulu melakukan penelusuran literature untuk

menyusun sebuah model pembelajaran yang sesuai bagi

pembelajaran sains berbasis iman dan takwa. Pembentukan

model pembelajaran ini merupakan suatu rangkaian kegiatan

hingga terbentuknya sebuah model yang dianggap solid. Proses

pembentukan model pembelajaran sains berbasis iman dan takwa

ini diawali dengan merumuskan ide-ide atau konsep-konsep

model hipotetis kurikulum yang memadukan sains dan imtak yang

dianggap cocok untuk diterapkan di perkuliahan. Dari gagasan

atau konsepsi tersebut selanjutnya dikembangkan rancangan

atau desain tertulis, model implementasi dan evaluasi atas

hasil yang diharapkan oleh guru sains.

1. Gagasan/Konsepsi Sains Berbasis Imtak

Hakikat Sains

Untuk membahas hakikat sains, diperlukan sebuah kajian

kritis yang tentunya akan membawa konsekuensi pada cara

pandang manusia dalam menanggapi dan menghayati sains. Cara

pandang yang sempit tentang sains akan mempengaruhi warna

yang diberikan kepada para siswa dalam proses pendidikan dan

pembelajaran sains. Terlepas dari materi apa yang diajarkan,

model pendidikan dan pembelajaran sains akan sangat

dipengaruhi oleh persepsi para pendidik tentang sains itu

sendiri.

36

Untuk membahas hakikat sains, terdapat beberapa hal yang

perlu diperhatikan, sehingga para memungkinkan para pendidik

untuk memahami pengertian sains secara lebih luas.20

1. Sains sebagai kumpulan pengetahuan

Sebagai kumpulan pengetahuan, sains mengacu pada

berbagai konsepsi sains yang sangat luas. Sains

dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan

yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai

pengetahuan yang terkini dan terbaru. Pengetahuan

tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi

yang menjelaskan tentang alam semesta.

2. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigasi)

Sebagai suatu proses penelusuran, sains pada umumnya

merupakan suatu pandangan yang Menghubungkan gambaran

sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium

beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai suatu

displin ilmu yang ketat dari kegiatan pengamatan,

inferensi, hipotesis dan percobaan tentang alam semesta.

3. Sains sebagai kumpulan nilai

Sebagai kumpulan nilai, sains berhubungan erat

dengan penekanan sains sebagai proses. Bagaimanapun

juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah

yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai

20 R. Rohandi, Memberdayakan Anak melalui Penddikan Sains, dalam Sumaji,Pendidikan Sains Yang Humanitis, Penerbit Kanisius. Jakarta. 1998. hal.113-115

37

kejujuran, rasa ingin tahu (curiousity), dan keterbukaan

akan berbagai fenomena yang baru sekalipun

4. Sains sebagai cara untuk mengenal dunia

Proses sains dipengaruhi oleh cara manusia memahami

kehidupan dan dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini,

Sains dipahami sebagai salah satu cara manusia mengerti

dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka.

Diyakini, bahwa sains merupakan hal sangat penting dan

karenanya dipandang sebagai suuatu cara untuk memahami

alams emesta. Namun demikian, disadari pula bahwa sians

memiliki keterbatasan sebagai suatu keumpulan pengetahuan

dan strategi untuk memahami dunia secara komprehensif.

5. Sains sebagai Institusi Sosial

Sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai

kumpulan para profesional dan ilmuwan, dimana para

melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi penghargaan

akan karya yang dihasilkannya, didanai, dan diatur dalam

masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah, bahkan

dipengaruhi dalam politik. Kenyataannya, saat ini banyak

para ilmuwan mengembangkan sains berkaitan dengan

kepentingan negara ataupun tendensi tertentu.

6. Sains sebagai Hasil Konstruksi Manusia

Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains

sebenarnya merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah

mengenai hakikat alam semesta yang tidak lain merupakan

akumulasi kebenaran yang diperoleh. Hal pokok dalam

38

pandangan ini adalah sains merupakan kontruksi pemikiran

manusia, yang karenanya apa yang dihasilkan bisa jadi

memiliki sifat bias dan sementara.

7. Sains sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-hari

Manusia menyadari bahwa apa yang dipakai dan

digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat

dipengaruhi oleh sains. Hal ini tidak semata-mata dalam

wujud produk teknologi sebagai hasil dari metode ilmiah

dalam sains, tetapi juga berupa bagaimana cara manusia

berpikir mengenai situasi sehari-hari yang sangat kuat

dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah.

Kritik terhadap Sains Modern dan Urgensi Sains Islam

Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang

sangat besar baik di bidang sains maupun teknologi, menurut

terminologi mereka, sejak mereka memisahkan aspek metafisik

dari pemikiran dan kehidupan mereka. Namun, tidak dapat

dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi

tersebut diikuti pula oleh berbagai dampak negatif yang

semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metafisiknya.

Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern

yang ada sekarang ini menyebar karena dominasi Barat di

bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos atau

sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern

atau sains Barat tidak mungkin bersifat universal, netral dan

39

bebas nilai. Dalam kerangka ini, sains seringkali

dikembangkan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi,

untuk pengembangan militer dan perlengkapan-perlengkapan

perang, serta untuk dominasi suatu ras manusia terhadap ras

lainnya, sebagaiman juga untuk mendominasi dan

mengeksploitasi alam semesta. Sejauh mana sains modern

bersifat universal, tidak netral, dan bebas nilai, para

ilmuwan muslim sendiri masih memiliki keragaman pendapat.

Sementara itu, Sayid Hossein Nasr memandang bahwa

isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu

pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga

seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya.

Naquib Al-Attas mengidentifikasikan nilai-nilai zaman

pencerahan (Renaissance) sebagai nilai-nilai dari sains dan

teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam pada tahap awal

evolusinya telah memberikan kontribusi yang sangat penting

terhadap sains dan teknologi Barat, "tetapi ilmu pengetahuan

dan semangat ilmiahnya yang rasional telah disusun dan

dibentuk kembali untuk disesuaikan dengan wadah peradaban

Barat sehingga ia mengalami peleburan dan amalgamasi dengan

semua elemen-elemen lain yang membentuk karakater dan

personalitas peradaban Barat.21 Karenanya, Sardar memandang

perlu untuk merekontruksi sains dan membentuk apa yang

disebut dengan sains Islam.

21 Sardar, Jihad Intelektual, Risalah Gusti, Jakrata. 2000. hal. 124-125

40

Pro dan Kontra Seputar Sains Islam dan Islamisasi Sains

Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin

Sardar melaporkan hasil perjalanannya ke delapan negara

muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi, Pakistan,

dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci yang

mewakili pendapat dan sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia

Islam terhadap sains modern dan teknologi modern. Sardar

mengklasifikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan

dan sikap yang membentuk suatu spektrum luas sikap ilmuwan

muslim terhadap sains modern.22

Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat

universal, netral dan bebas nilai, karenanya hanya ada satu

sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan yang

dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan

Tunisia yang diwakili oleh Ali El-Hilli. Bahkan El-Hilli

mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan rasionalitas

dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita

kompromikan obyektivitas dan netralitas sains dengan nilai-

nilai dan etika Islam, maka kita akan menghancurkan landasan

terdasar dari sains itu sendiri. Pandangan ini juga dianut

oleh sebagian ilmuwan di Mesir, Syiria dan Turki

Pandangan kedua, banyak dianut di Iran dan di Arab Saudi,

seperti diungkap oleh Abdulah Umar Nassef, “Sains sekarang

adalah sains Barat yang tumbuh dengan akar-akar budaya, etos,22 Nurhadi, Krisis Metafisik Sains Modern. Makalah Seminar " Islamisasi Sains dan Ilmu Pengetahuan. t.t.

41

ilusi dan nilai-nilai Barat. Karenanya, harus direkontruksi

dengan sains Islami. Dalam Islam, Sains harus tunduk di

bawah tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan umat Islam adalah

mempererat persaudaraan, mengurangi konsumsi dan meningkatkan

kesadaran spiritual”. Jelas bahwa pendapat ini menghendaki

Islamisasi Sains bukan saja pada tujuan Sains tetapi juga

landasan filosofisnya.. Karenanya, Waqar S. Hussaini

mengungkapkan bahwa “sains Islami tidak dapat dipisahkan

secara ontologis maupun etimologis dari konsep Islam tentang

Tuhan. Sains Islam adalah sains untuk ummat dan bekerja di

dalam parameter-parameter konsep Islam tentang maslahat dan

memajukan serta menjaga “Dhoruriyyat al Khomsah”.

Diantara kedua kutub pendapat di atas terdapat dua

pendapat lain. Pendapat Ketiga, misalnya seperti diungkap dari

Ali Kattani, “Sains Islam tidak berbeda secara radikal

terhadap sains Barat. Hanya saja prioritas riset dan

penekanannya berbeda sehingga baik kuantitas maupun kualitas

isinya juga berbeda. Begitu pula tujuan-tujuan pemakaiannya.”

Pandangan Keempat, merupakan pandangan ilmuwan Pakistan

dan Malaysia yang menganggap isi sains bersifat bersifat

universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan

Islami.

Di samping itu, terdapat pula pandangan lain yang pada

prinsipnya lebih menitikberatkan pada sains natural (sains

alam), seperti diungkap oleh Maurice Bucaille23. Ia23 Pandangan ini dikenal dengan Bucaillisme, dimana upaya utama dari

pandangan ini adalah membuktikan kemukjizatan Al Qur’an secara ilmiah,

42

beranggapan bahwa sains modern sekarang ini sudah Islami

justru karena unversalitasnya. Buktinya, banyak penemuan-

penemuan sains modern sudah diisyaratkan oleh Al Qur’an.

Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat spektrum sudut

pandang yang cukup luas dimulai dari universalisme sains yang

konservatif, pandangan Islamisasi moderat yang tidak

menganggap perlu Islamisasi filsafat sains, universalisme

liberal yang mengizinkan Islamisasi tujuan penerapan sains,

dan akhirnya baik tujuan maupun landasan filsafatnya perlu

diislamisasikan, serta paham Bucaillisme yang lebih

menitikberatkan pembuktian sains dengan Al Qur’an.

Paradigma Sains Islam

Sains Islam, menurut Sardar, sebagaimana dibuktikan oleh

sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan

mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban

Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk

mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai.

Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya

pada kesatuan agama dan sains, pengetahuan dan nilai-nilai,

fisika dan metafisika. Sedangkan menurut Osman Bakar,

kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber semangat

ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan.

Dalam pandangan Islam, cakupan sains tidaklah terbatas

pada aspek material yang bertebaran di jagat raya,

seperti terdapat pada karya utamanya Bible, Qur’an dan Sains Modern

43

sebagaimana pandangan Barat selama ini. Islam memberikan

ruang lingkup yang lebih luas terhadap sains yang meliputi

tiga aspek. Pertama, aspek metafisik yang dibawa oleh

wahyu. Aspek ini menjawab pertanyaan-pertanyaan abadi yang

selalu muncul dalam jiwa manusia, yaitu dari mana, ke mana,

dan bagaimana. Dengan memahami jawaban pertanyaan-pertanyaan

ini menjadikan manusia tahu akan dirinya, tahu perjalanan dan

misinya, dan tahu pula akan Tuhannya. Menurut Islam, ilmu

inilah yang menempati tempat tertinggi. Kedua, aspek

humaniora, dan studi-studi yang berkaitan dengannya, meliputi

pembahasan mengenai kehidupan manusia, psikologi, sosiologi,

ekonomi, politik, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan

dengan kebutuhan manusia. Ketiga, aspek material, yang

mencakup ilmu matematika dan ilmu alam, ilmu falak,

kedokteran, teknik, dan lain-lain. Tegasnya segala ilmu yang

dibangun di atas observasi dan eksperimen. Ketiga aspek ini,

menurut Islam tidak boleh dipisahkan satu dengan yang

lainnya, karena disinilah letak kekuatan dan kesatuan ilmu

dalam Islam seperti diisyaratkan Al Qur’an dalam surat

Fusshilat ayat 53 berikut :

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada mereka sendiri,sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnyaDia menyaksikan segala sesuatu.”

Dalam upaya mendefinisikan nilai-nilai pijakan sains

Islam, sebuah seminar tentang "Science and Values" telah

44

Ibadah

Khilafah

Zhulm

Dhiya'

Haram

Tauhid

'Ilm

'Adl

Istishlah

Halal

dilaksanakan pada September 1981 di Stockholm. Para peserta

seminar merekomendasikan bahwa realisasi kontemporer dari

sains Islam harus didasari oleh kerangka nilai yang merupakan

karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam. Kerangka

nilai tersebut terdiri atas sepeuluh konsep islami yang

secara bersama-sama membentuk kerangka nilai Islam.

Kesepuluh nilai tersebut adalah Tauhid, Khilafah, Ibadah, 'Ilm, Halal

dan Haram, 'Adl (keadilan sosial), Zhulm (kezaliman), Istishlah

(kemaslahatan umum), dan Dhiya' (kecerobohan), yang secara

diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut :24

Sebuah definisi mengenai sains Islam kini bisa

diformulasikan dalam terma kerangka nilai-nilai Qur'ani.

Paradigma-paradigma sains Islam adalah konsep-konsep Tauhid,

khilafah, ibadah. D idalam paradigma-paradigma ini, sains

24 Butt, op.cit. hal. 71

45

islam bekerja melalui perantaraan 'ilm untuk memajukan keadilan

sosial ('adl) dan kepentingan umum (istishlah). Oleh karena itu,

sains Islam bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran

ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu

pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian

maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas

ilmu pengetahuan obyektif. Berbeda dengan sains Barat yang

berupaya memperkembangkan nilai-nilai kebudayaan Barat dan

peradaban Barat, sains Islam mengembangkan nilai-nilai

pandangan dunia Islam.

Dari definisi mengenai Sains Islam di atas, dapatlah

dilihat bahwa tidak semua sains Barat berada di luar kerangka

nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, dapat diungkap bahwa

gagasan tentang teknologi tepat guna, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, semuanya

cukup sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan sains Islam.

Lebih dari itu, semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk

memajukan keadilan sosial dan kemaslahatan, seperti misalnya

penelitian kedokteran untuk mengurangi rasa sakit dan

penderitaan manusia, penelitian dan pengembangan pertanian

untuk menanggulangi kelaparan dunia, konservasi alam dan

lingkungan, serta upaya-upaya untuk mengantisipasi dampak

negatif teknologi, secara otomatis akan membentuk sebagian

dari sains Islam.25

25 Sardar, op.cit, hal. 130

46

Hakikat Pendidikan Sains

Sains dari aspek dan epistemologi, didefinisikan sebagai

“Suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan

satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi

dan observasi, serta berguna untuk diamati dan

dieksprementasikan lebih lanjut”. Sebagai disiplin ilmu,

sains diidentikkan dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang

terediri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical

sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi,

mineralogi, meteorologi, dan fisika. Sedangkan life sciences

meliputi biologi, zoologi, dan fisiologi. Hal ini sejalan

dengan pendefinisian yang diberikan dalam Encyclopaedia of

Knowledge, 1993, dimana Sains / IPA didefinisikan sebagai

pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan positif

yang berkaitan dengan alam semesta. Perkembangan IPA

ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta saja, melainkan

juga oleh timbulnya metode ilmiah (scientific method) dan sikap

ilmiah (scientific attitude).26

Sementara itu, A.N. Whitehead menyatakan bahwa sains

dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman, yaitu orde

observasi yang didiasarkan pada hasil observasi terhadap

26 Abu Su’ud, 1993. Peranan Program MKDU dalam Upaya Memadukan Konsep-konsep IPA dan IPS di Perguruan Tinggi. Mimbar Pendidikan. No. 4/XII.IKIP Bandung. Bandung. hal. 18-19

47

gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada

konsep manusia mengenai alam semesta.27

Dengan demikian, Sains berupaya membangkitkan minat

manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahaman

tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak

habis-habisnya, yang pada akhirnya akan memperdekat rentang

jarak antara sains dengan teknologi sebagai terapannya.

Pendidikan Sains tentunya berbeda dengan sains itu

sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat. Bila

Sains ditujukan untuk mengembangkan Sains itu sendiri,

tetapi pendidikan sains ditujukan agar manusia mengerti dan

mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains. Lain

halnya dengan para saintis (ilmuwan), para praktisi dalam

pendidikan sains dituntut harus memperhatikan aspek-aspek

psikologis, sosial dan kultural.28

Meskipun pendidikan sains seringkali disamakan dengan

pengajaran sains, namun pendidikan sains dapat dibedakan

lebih jauh dari pengajaran sains. Dalam pengajaran sains,

para siswa terutama dilatih untuk memahami hubungan antar

(dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa

alam, serta kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak

terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu. Sementara

itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan,

27 Sumaji, Dimensi Pendidikan IPA dan Pengembangannya sebagai Disiplin Ilmu dalamSumaji, dkk. Pendidikan Yang Humanitis, Kanisius, . Jakarta, 1998. hal.31-32

28 Y. Marpaung,. Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji, Pendidikan Sains Yang Humanitis , 1998. hal.248-249

48

Psikologi

Sains

Pendidikan Sains

Pedagogi

Dll

menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan

serta sikap moral etis. Dengan demikian, pendidikan sains

lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif, dan

pengajaran sains lebih terfokus pada segi-segi kognitif dan

psikomotorik.29

Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains (dan

matematika) dapat dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan)

dengan ilmu-ilmu lain dimana, sains itu sendiri merupakan

disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan

sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi,

epistemologi, sosiologi, antropologi, bahasa dan lain-lain.30

Hubungan erat antar disiplin ilmu sebagaimana dimaksud

tersebut, dapat dilukiskan seperti pada diagram berikut :

Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Sains dengan

Disiplin ilmu lain

29 Liek Wilardjo, Secercah Pandangan tentang Pengajaran Sains , dalam Sumaji, Pendidikan Yang Humanitis, hal. 50-53

30 Y. Marpaung, Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji dkk, Pendidikan Sains Yang Humanitis, hal. 248-249

49

Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin ilmu

lainnya dalam Pendidikan Sains, berimplikasi pada

pengembangannya sebagai disiplin ilmu yang relatif masih

berkembang ini. Dimensi Pendidikan Sains, dengan sendirinya,

sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai sosial budaya,

etika moral dan agama.31

Perkembangan Konsepsi Pendidikan Sains

Sebagai disiplin ilmu tersendiri Pendidikan sains

relatif masih berusia muda. Sebagai gambaran, berikut ini

diberikan gambaran perkembangan sains di negara lain, Amerika

Serikat. Sampai tahun 1950, pengajaran sains di Amerika

Serikat sangat menekankan pada segi-segi praktis, vokasional,

dan aspek-aspek humanitarian dari sains. Sebagai illustrasi,

pengajaran Biologi pada masa tersebut tidak terlalu teoretis,

memberikan penekanan pada aspek-aspek praktis, ekologis,

ekonomis, dan hubungannya dengan kesejaheteraan ummat

manusia. Sehingga topik-topik yang berkembang adalah

disekitar masalah-lingkungan hidup, pencegahan penyakit,

higiene, dan pertanian. Begitu pula, pengajaran fisika

dipenuhi dengan persoalan-persoalan praktis dan illustrasi

penerapan fisika dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga

biasa dijumpai dalam pelajaran fisika masa itu, pokok bahasan

tentang listrik berisi pembahasan cara kerja telepon,

seterika listrik, rangkaian listrik dalam rumah, sekering dan

31 Sumaji, op.cit. hal. 37-39

50

cara kerja berbagai peralatan rumah tangga. Demikian pula,

dalam pokok bahasan fluida dibahas sistem aliran air di dalam

kota, rem hidrolik, dan hal lain sejenisnya.

Pada tahun 1950-an terjadi suatu reformasi pendidikan

sains di Amerika Serikat yangdipicu oleh oleh hasil

penelitian bahwa jumlah mahasiswa yang memasuki bidang-bidang

sains dan matematika semakin berkurang. Upaya reformasi itu

diperkuat oleh peristiwa peluncuran Sputnik oleh Uni Soviet,

yang membuat bangsa Amerika merasa tertinggal dalam hal sains

dari Rusia dan berusaha mengejar ketertinggalan tersebut.

Situasi ini mendorong para akademisi, ilmuwan dan para

profesional merancang reformasi pendidikan sains yang lebih

ke arah akademik. Hasilnya adalah rumusan pengajaran sains

yang lebih teoretis, lebih menekankan pada struktur keilmuan.

Periode ditandai dengan diterbitkannya buku Physical Science

Study Committee (PSSC) yang disusun oleh sekelompok fisikawan

dari Massachussets Institute of Technology. Buku yang

dijadikan sebagai buku standar di Amerika Serikat dan dipakai

juga di banyak negara di dunia termasuk di Indonesia

tersebut, memfokuskan pada struktur konsep-konsep fisika, dan

menyampaikannya sebagai suatu ilmu, sehingga aspek terapan

hampir tidak ada.32

Sementara itu, bersamaan dengan bekerjanya PSSC, begitu

juga halnya dengan kelompok ilmuwan bidang studi lain. Dalam32 T. Sarkim, Humaniora dalam Pendidikan Sains, dalam Sumaji dkk, Pendidikan

Sains Yang Humanitis, hal. 135-137. Sebagai bahan perbandingan lihatjuga, Anna Poedjiadi, Pembaharuan Pandangan dalam Pendidikan Sains, MimbarPendidikan No. 4/XIII/1994

51

bidang Biologi juga terdapat upaya serupa dengan dibentuknya

Biological Science Curriculum Study (BSSC) dari American Institute of

Biological Science. Dalam bidang Kimia juga terdapat The Chemical

Education Material Study dari Harvey Mudd College and University of

California, sedangkan dalam Matematika terdapat School Mathematics

Study Group dari Yale University.33

Pada tahun 1980-an terjadi perubahan strategi pendidikan

sains yang ditandai dengan dipromosikannya konsep Scientific

Literacy yang menyangkut pandangan terintegrasi sains dengan

teknologi, masyarakat, nilai dan etika. Pembaruan ini terus

berlanjut dengan pencanangan “toward scientifically literate society”

dengan menggunakan pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat /

STM (Science-Technology-Society / STS). Pendekatan ini

dipilih sebagai pendekatan dipandang yang cocok untuk

mengajarkan sains yang terarah pada pengembangan masyarakat

yang scientifically literate.34

Beberapa Prinsip Dasar Pendidikan Sains Islam

Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, pengembangan

Pendidikan Sains juga dapat dilakukan dengan memperhatikan

perspektif Islam tentang Pendidikan dan Sains. Sebagai acuan

dasar bagi pengembangan Pendidikan Sains dalam perspektif

33 Uraian lebih lengkap dapat dilihat pada Sukarno dkk, Dasar-dasar Pendidikan Sains, Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 1981. hal. 91-124

34 T. Sarkim, op.cit. hal. 138 dan Anna Poedjiadi, op.cit, hal 57

52

Islam tersebut, Nasim Butt mengajukan 3 prinsip dasar

sebagai berikut :35

1. Iman dan Nilai dalam Pendidikan Sains

Iman dan nilai tidak dapat diabaikan begitu saja, dan

sudah semestinya diberi kedudukan sentral dalam sistem

pendidikan. Dalam pendidikan sains, terdapat berbagai

pokok pembahasan yang sarat nilai. Antara lain,

topik-topik yang berkaitan dengan penerapan analisa

lingkungan, rekayasa genetika, seksualitas, tenaga

nuklir, dan perosalan-persoalan yang berkaitan dengan

permulaan dan akhir dari kehidupan. Disamping itu, juga

terdapat topik-topik kontroversial lain yang membutuhkan

pembahasan dari perspektif nilai dan moral agama,

seperti teori evolusi, kontroversi pemanfaatan

teknologi, dan hukum-hukum kekekalan energi dan materi.

Karenanya, reformasi pendidikan sains juga mensyaratkan

upaya mengintegrasikannya dengan nilai moral dan

keimanan.

Satu hal terpenting yang dilakukan Kuhn adalah

membawa konsep nilai ke dalam tubuh sains. Pasca

aliran Kuhn, sudah tidak relevan lagi untuk berpendapat

bahwa pendidikan sains benar-benar bebas nilai dan

obyektif. Sekalipun obyektifitas adalah tujuan utama

sains modern, tak urung keseluruhan faktor subyektif35 Pembahasan secara luas tentang 3 prinsip dasar ini dapat dilihat pada

Naim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, hal. 127-151

53

akan selalu mempengaruhi persepsi, teori, seleksi dan

proses pengolahan data. Sebaliknya, iman dan nilai

bukanlah merupakan persoalan pilihan pribadi yang

sederhana, akan tetapi memiliki satu realitas di luar

individu dalam mengikat masyarakat dengan sekat moral

yang akan memperkuat landasan etikanya. Sementara itu,

sebuah sistem pendidikan sekuler tidak memiliki sikap

yang holistik pada kehidupan dan hanya memberi sedikit

perhatian pada upaya peningkatan nilai-nilai positif

Ketuhanan dan Kesucian. Pemahaman akan pentingnya iman

dan nilai inilah yang mendorong para ilmuwan dan

cendekiawan muslim untuk memasukkan semangat nilai-nilai

Islam sebagai pandangan dunia dan peradaban Islam ke

dalam sains.

2. Memanusiawikan Sains Dalam Kelas

Dimensi manusia harus menjadi bagian yag terpadu

dengan pengajaran sains, karena proses penemuan sains

adalah satu hal yang menyeluruh. Dalam rangka

memanusiawikan sains dalam ruang kelas, sains harus

diajarkan pada siswa dengan cara yang yang sesuai dengan

konteks masyarakat dan budaya.

3. Menyatukan Agama dan Sains di Sekolah

Ide bahwa ilmu pengetahuan sains dan pengetahuan

agama adalah saling berdiri sendiri merupakan cara

pandang ilmu pengetahuan barat yang sekuler yang

menekankan bahwa tidak ada relevansi santara sains

54

dengan agama. Tanpa adanya pegajaran yang terpadu dan

terencana, siswa dengan sendirinya akan menerapkan

bentukan pemikiran sekuler yang berlaku selama ini, dan

menerima adanya pertentangan antara sains dan agama,

baik disadari ataupun tidak.

Sehubungan dengan upaya untuk menjabarkan upaya praktis

dalam pendidikan sains Islam, Zaghlul Al-Najjar, mengajukan

beberapa langkah berupa Garis-garis Besar Upaya Penulisan

Ulang dan Pengajaran Sains dalam Perspektif Islam yang antara

lain dapat digambarkan sebagai berikut :36

1. Menekankan pentingnya Sains dan Penyelidikan ilmiah

dalam Islam

2. Menunjukkan bahwa Alam semesta yang sedemikian

rumit dan luasnya, tidak mungkin terjadi dengan dengan

sendirinya, melainkan dengan campur tangan Sang

Pencipta (Al-Khaliq)

3. Menegaskan bahwa alam semesta dibangun diatas basis

yang sama, baik dari unit terkecil sampai dengan yang

terbesar, yang kesemuanya saling berubah dan

berhubungan.

4. Menegaskan bahwa alam semesta tidaklah abadi; yang

dengan demikian, dalam perspektif Islam tidak dikenal

adanya konsep kekalan energi dan materi.

36 Al-Najjar, Zaghlul, Islamizing The Teaching of Science : A Model in Challenge andResponse, dalam Islam : Source and Purpose of Knowledge, IIIT, hal 146-149

55

5. Menunjukkan bahwa sains, dalam pengertian

terbatas, merupakan upaya manusia untuk mengeksplorasi

alam semesta ciptaan Allah SWT, hukum-hukum

keteraturan yang mengaturnya.

6. Memberikan penegasan bahwa eksperimentasi sains

adalah sebagian dari metode untuk memperoleh

pengetahuan, di antaranya metode lainnya, tanpa

terlepas dari wahyu ilahi.

7. Menekankan fakta bahwa eksperimentasi sains akan

dapat membawa pada pembuktian eksistensi yang ghaib

8. Menunjukkan fakta bahwa eksperimentasi sains pada

hakikatnya tidaklah dapat mengenali esensi kehidupan,

akan tetapi hanya mempelajari fenomena kehidupan.

Yang kita ketahui sampai saat ini diantaranya, detail

komposisi kimiawi dari sel hidup, akan tetapi kita

tidak dapat membuatnya.

9. Menunjukkan bahwa ayat-ayat Al Qur'an mengandung

isyarat-isyarat ilmiah tentang sains. Tidak kurang

dari 750 ayat berfungsi sebaai isyarat sains dan

kealaman, meskipun Al Qur'an bukanlah buku teks sains.

10. Memberikan penekanan bahwa otak manusia, naluri dan

berbagai bagian tubuh lainnya yang dapat menjadi

penghantar kepada sains, merupakan anugerah ilahi yang

selayaknya didayagunakan secara semestinya.

56

11. Menunjukkan kontribusi para ilmuwan muslim dalam

berbagai bidang sains, yang seringkali dikaburkan dan

dihilangkan dari sejarah perkembangan sains.

Dalam kaitan operasionalisasi dari upaya-upaya

islamisasi dalam pendidikan sains, sebagaimana ditunjukkan

pada Garis-garis besar diatas, maka Al Najjar lebih lanjut

merekomendasikan, antara lain : Revisi terhadap buku-buku

teks sains, terutama untuk sekolah dasar, menengah dan

program sarjana; Restrukturisasi kurikulum dan silabus yang

dipergunakan dalam pendidikan dan pengajaran sains.

2. Draft Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak

Berdasarkan telaah terhadap berbagai gagasan dan konsep

di atas, penulis mencoba merumuskan sebuah model pembelajaran

sains berbasis imtak, yang secara ringkas dapat diuraikan

sebagai berikut:

Lang-kah

Bentuk Kegiatan Kegiatan Dosen KegiatanMahasiswa

1 PendahuluanKlarifikasi tujuanpembelajaranMenjelaskan kegiatanpembelajaranMemotivasi danmenginterasikannilai imtak

Dosenmenjelaskantujuanperkuliahan

Menyimak,merespon

2 Penjelasan materiperkuliahan

Dosenmenjelaskan

Mahasiswamerespons dan

57

danmelaksanakankegiatanpembelajaran,baik ituberupaperkuliahanataupunpraktikum

berinteraksidalam kegiatanpembelajaran;menggalisumberbelajar, untukbahan diskusi

3 Kegiatan di luarperkuliahan (antarapertemuan satudengan pertemuanberikutnya) Eksplorasi materiperkuliahan

Dosenmemberikanarahan danbimbingandalam materisains danimtak sertamemberikanbimbingandalam diskusikelompok danpembuatanlaporan

Melakukaneskplorasimateriberdasarkanlembar kerja,diskusikelompok danmembuatlaporan

4 Penyampaian laporanhasil eksplorasi /diskusi kelompok

Dosenmemberikanarahan diskusidanklarifikasi

Menyampaikanlaporan,mendiskusikandanklarifikasi

Model pembelajaran yang terdiri dari empat sintaks

pembelajaran tersebut dapat disinergikan dengan berbagai

strategi dan teknik pembelajaran sains, tentu saja dengan

dengan penyesuaian tertentu tanpa merubah sintaks

pembelajaran tersebut secara umum.

3. Draf Awal Instrumen Asesmen Spiritualitas Mahasiswa

58

Untuk mengembangkan instrument spiritualitas, peneliti

menggunakan memodifikasi konsep religiusitas sebagaimana

dikembangkan oleh Glock & Stark (dalam Ancok,1985; Turmudhi,

1991; Safaria, 1999). Dalam hal ini, dengan demikian

spiritualitas dapat diartikan terdiri dari 5 dimensi, yaitu

1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang

menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap

kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran

fundamental atau dogma

2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi

yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam

mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di

dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan

kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah,

sembahyan, puasa, dll

3. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau

experiental dimension), yaitu yang menunjukkan seberapa

jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami

perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman

religiusnya. Misalnya seberapa besar seseorang merasakan

kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya

terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan

pertolongan

4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang

menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang

terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat

59

dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya,

apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat,

bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa

yang benar, dll.

5. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang

menunjukkan tingkatan seseorang dalam berprilaku yang

dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh

seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku

hidupnya sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamanya

mengajarkan untuk beramal, maka dengan senang hati

mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.

Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang

oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohong atau

memakai narkoba.

Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut, peneliti

mengembangkan indikator-indikator sebagai berikut:

NO Dimensi Indikator1 Ideologis a. Keyakinan pada tuhan

b. Keyakinan pada kebenaran agama

c. Keyakinan pada ajaran agama

Nya

d. Keyakinan pada anugerahNya

e. Keyakinan pada Keadilan NYa

f. Keyakinan pada pertolonganNya2 Eksperiensial a. Pengaruh Tuhan dalam

kehidupan

60

b. Kedekatan pada Tuhan

c. Kehidupan spiritual

d. Kebersamaan Tuhan dalam

kehidupan3 Konsekuensial a. Pengamalan ajaran agama

b. Kepedulian pada agama

c. Kepedulian pada sesama4 Intelektual a. Pemahaman akan hakekat Tuhan

b. Pemahaman akan ajaran agama

c. Pemahaman akan spiritualitas

5 Ritualistik a. Prilaku ibadah ritual

b. Prilaku ibadah sosial

Berdasarkan indikator-indikator tersebut, penulis

mengembangkan butir- butir pernyataan yang akan digunakan

sebagai instrument spiritualitas. Butir-butir tersebut

adalah sebagai berikut:NO PernyataanA Ideologis1 Saya bosan dengan ajaran agama2 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam3 Keadilan tuhan tidak perlu saya pertanyakan4 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas5 Ketika menghadapi masalah, saya yakin bahwa Tuhan akan membantu

saya6 Saya tidak memahami hakekat tuhan7 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari

61

Tuhan8 Dalam kehidupan, saya tidak butuh petunjuk tuhan9 Saya tidak meyakini bahwa Tuhan ada dalam kehidupan saya10 Saya meyakini tuhan ada dalam kehidupan saya11 Ketika dalam kesusahan, saya meyakini bahwa Allah SWT akan

memberikan jalan terbaiknya12 Saya menggantungkan harapan-harapan saya kepada kasih sayang

Allah SWT13 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh makhluk

Nya14 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam15 Kebenaran agama menurut saya sangat relative16 Agama saya adalah agama yang kebenarannya mutlakB Eksperiensial17 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna18 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja19 Saya merasa spiritualitas saya kering dan gersang20 Secara umum, saya merasa dekat dengan Allah SWT21 Saya tidak tahu apakah saya merasa dekat dengan Allah SWT22 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan

dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari23 Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya24 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan

dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari25 Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya26 Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT27 Saya sulit merasakan seberapa dekat saya dengan allah28 Saya cenderung tidak mau tahu tentang kehidupan spiritual saya29 Saya merasa Tuhan telah berlaku tidak adil dalam kehidupan saya30 Saya tidak merakasan bantuan tuhan dalam permasalahan yang saya

hadapi31 Bagiku, doa-doa yang saya panjatkan memberikan kekuatan

62

tersendiri bagi hidup saya32 Saya merasa Tuhan menyertai langkah-langkah hidup saya33 Saya tidak merasakan tuhan menyertai langkah hidup saya34 Saya merasa hidup saya penuh dosa35 Kedekatan saya dengan Tuhan telah memberikan banyak pencerahan

dalam hidup saya36 Kehidupan spiritual saya terasa gersang37 Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan kebaikan

untuk orang tersebutC Konsekuensial38 Saya tidak peduli dengan ajaran-ajaran Islam39 Saya tidak dapat menghayati kegiatan ibadah saya sendiri40 Saya cenderung apatis terhadap spiritualitas41 Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya sehari-

hari42 Saya mengamalkan ajaran islam yang saya perlukan saja43 Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara konsisten44 Saya mengamalkan ajaran agama semampu saya45 Saya tidak perduli dengan ajaran agama46 Ajaran agama tidak berpengaruh apa-apa bagi saya47 Saya tidak biasa memanjatkan doa48 Bagi saya, kasih sayang harus diberikan kepada setiap manusia49 Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap saya50 Saya berusaha banyak berbuat kebajikan dalam hidup sayaD Intelektual51 Saya memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan

spiritual saya52 Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri53 Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan54 Saya memahami ajaran agama saya55 Saya kurang memahami tata cara ibadahE Ritualistik

63

56 Saya selalu melaksanakan shalat fardlu57 Saya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib58 Saya terbiasa melaksanakan shalat dluha59 Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud60 Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan61 Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah62 Saya terbiasa membaca alquran63 Saya terbiasa membaca buku agama64 Saya terbiasa berinfak/sedekah65 Saya selalu melaksanakan silaturahmi

Berdasarkan hasil pengembangan kisi-kisi tersebut,

peneliti kemudian mengembangkan dua macam instrument

spiritualitas, yaitu instrument skala Thurstone dan

instrument skala Likert.

4. Validasi Instrumen Spiritualitas Skala Thurstone

Spiritualitas dalam pandangan Glock dan Stark (2008:53)

dapat diindikasikan dari lima aspek, yakni dimensi ideologis,

dimensi ekperiensial, dimensi konsekuensial, dimensi

intelektual dan dimensi ritualistik.

Instrumen pengukur spiritualitas mahasiswa ini

dikembangkan dengan memakai skala Thurstone (metode equal

appearing interval). Pertama-tama dilakukan kajian teoretik yang

mendalam tentang sikap ilmiah mahasiswa untuk dapat menyusun

definisi konseptual. Dari sini kemudian diturunkan pernyataan

pernyataan yang mencerminkan definisi operasional berdasarkan

patokan kawasan. Jumlah pernyataan yang dikembangkan dengan

cara ini adalah 65 butir, dengan catatan bahwa diusahakan

64

agar pernyataan-pernyataan tersebut berbobot dari 1 sampai 11

(sangat negatif sampai sangat positif). Kesemua pernyataan

tersebut diberikan kepada 6 orang penilai (dosen sains yang

juga merupakan mahasiswa program doktor penelitian dan

evaluasi pendidikan) untuk menentukan bobot masing-masing

pernyataan. Berdasarkan respons yang diberikan oleh para

penilai kemudian ditentukan nilai skala (S) dan rentangan

kuartil (Q) setiap pernyataan. Frekuensi pernyataan respons,

nilai S, dan nilai Q untuk setiap pernyataan dapat dilihat

dari lampiran. Kesemua pernyataan tersebut diurutkan kembali

berdasarkan nilai S yang diperoleh. Setelah itu dilakukan

pemilihan pernyataan. Dalam hal terdapat dua pernyataan yang

ternyata mempunyai nilai S sama, maka dipilih pernyataan yang

mempunyai rentangan Q terkecil. Pernyataan-pernyataan yang

terpilih kemudian disusun secara acak.

NomorButir  

Interval Nilai

Skala

NilaiQ

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

3

f             1 1 2   2

9.00 2.75

p 0 0 0 0 0 00.167

0.167

0.333 0

0.333

pk 0 0 0 0 0 0

0.167

0.333

0.667

0.667 1

1

f 1 2 1 2              

2.50 2.00

p0.167

0.333

0.167

0.333 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.167 0.5

0.667 1 1 1 1 1 1 1 1

2

f   2 3 1              

2.83 1.08

p 00.333 0.5

0.167 0 0 0 0 0 0 0

pk 0

0.333

0.833 1 1 1 1 1 1 1 1

5 f               3 1 2   8.50 1.7

65

5p 0 0 0 0 0 0 0 0.5

0.167

0.333 0

pk 0 0 0 0 0 0 0 0.5

0.667 1 1

4

f                 3 2 1

9.50 1.25

p 0 0 0 0 0 0 0 0 0.50.333

0.167

pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5

0.833 1

10

f           1 1   2 2  

9.00 2.75

p 0 0 0 0 00.167

0.167 0

0.333

0.333 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333

0.333

0.667 1 1

6

f 2 3 1                

1.83 1.08

p0.333 0.5

0.167 0 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.333

0.833 1 1 1 1 1 1 1 1 1

7

f 3 3                  

1.50 1.00

p 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0pk 0.5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

8

f   1 2 1 1     1      

3.50 2.25

p 00.167

0.333

0.167

0.167 0 0

0.167 0 0 0

pk 0

0.167 0.5

0.667

0.833

0.833

0.833 1 1 1 1

9

f 1 1   1 2   1        

4.50 3.25

p0.167

0.167 0

0.167

0.333 0

0.167 0 0 0 0

pk

0.167

0.333

0.333 0.5

0.833

0.833 1 1 1 1 1

21

f   1 3     1 1        

3.17 3.33

p 00.167 0.5 0 0

0.167

0.167 0 0 0 0

pk 0

0.167

0.667

0.667

0.667

0.833 1 1 1 1 1

26

f 1     2 2 1          

4.50 1.50

p0.167 0 0

0.333

0.333

0.167 0 0 0 0 0

pk

0.167

0.167

0.167 0.5

0.833 1 1 1 1 1 1

11

f             1 2 1 2  

8.50 2.00

p 0 0 0 0 0 00.167

0.333

0.167

0.333 0

pk 0 0 0 0 0 0

0.167 0.5

0.667 1 1

12 f           1 1 1 1 2   8.50 2.7

66

5p 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.167

0.167

0.333 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333 0.5

0.667 1 1

13

f           1   2 2 1  

8.50 1.50

p 0 0 0 0 00.167 0

0.333

0.333

0.167 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.167 0.5

0.833 1 1

18

f           2 1   2 1  

7.50 3.00

p 0 0 0 0 00.333

0.167 0

0.333

0.167 0

pk 0 0 0 0 0

0.333 0.5 0.5

0.833 1 1

17

f           1 1   3 1  

8.83 2.33

p 0 0 0 0 00.167

0.167 0 0.5

0.167 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333

0.333

0.833 1 1

23

f   2 1 1 1 1          

3.50 2.75

p 00.333

0.167

0.167

0.167

0.167 0 0 0 0 0

pk 0

0.333 0.5

0.667

0.833 1 1 1 1 1 1

15

f 1   3 2              

3.17 1.08

p0.167 0 0.5

0.333 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.167

0.167

0.667 1 1 1 1 1 1 1 1

14

f           1   1 4    

8.75 1.13

p 0 0 0 0 00.167 0

0.167

0.667 0 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.333 1 1 1

19

f 1 1 1 2 1            

3.50 2.25

p0.167

0.167

0.167

0.333

0.167 0 0 0 0 0 0

pk

0.167

0.333 0.5

0.833 1 1 1 1 1 1 1

16

f               1   3 2

10.17

2.08

p 0 0 0 0 0 0 00.167 0 0.5

0.333

pk 0 0 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.667 1

20

f             1   1 3 1

9.83 1.33

p 0 0 0 0 0 00.167 0

0.167 0.5

0.167

pk 0 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.333

0.833 1

67

22

f             2   1 3  

9.50 2.75

p 0 0 0 0 0 00.333 0

0.167 0.5 0

pk 0 0 0 0 0 0

0.333

0.333 0.5 1 1

25

f   2 2 2              

3.00 1.50

p 00.333

0.333

0.333 0 0 0 0 0 0 0

pk 0

0.333

0.667 1 1 1 1 1 1 1 1

24

f         1     2 2 1  

8.50 1.50

p 0 0 0 00.167 0 0

0.333

0.333

0.167 0

pk 0 0 0 0

0.167

0.167

0.167 0.5

0.833 1 1

27

f     3 2 1            

3.50 1.25

p 0 0 0.50.333

0.167 0 0 0 0 0 0

pk 0 0 0.5

0.833 1 1 1 1 1 1 1

31

f             2 1 1 2  

8.50 2.75

p 0 0 0 0 0 00.333

0.167

0.167

0.333 0

pk 0 0 0 0 0 0

0.333 0.5

0.667 1 1

 

f         1 1 1 2 1    

7.50 2.25

p 0 0 0 00.167

0.167

0.167

0.333

0.167 0 0

pk 0 0 0 0

0.167

0.333 0.5

0.833 1 1 1

 

f           1 1 2 2    

8.00 1.75

p 0 0 0 0 00.167

0.167

0.333

0.333 0 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333

0.667 1 1 1

32

f           1     2 1 2

9.50 2.00

p 0 0 0 0 00.167 0 0

0.333

0.167

0.333

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.167 0.5

0.667 1

28

f   2 1 1 2            

3.50 2.50

p 00.333

0.167

0.167

0.333 0 0 0 0 0 0

pk 0

0.333 0.5

0.667 1 1 1 1 1 1 1

35 f           1     3 1 1 9.17 1.33

p 0 0 0 0 00.167 0 0 0.5

0.167

0.167

p 0 0 0 0 0 0.167

0.167

0.167

0.667

0.833

1

68

k

34

f           1     2 1 2

9.50 2.00

p 0 0 0 0 00.167 0 0

0.333

0.167

0.333

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.167 0.5

0.667 1

29

f 3 1 1   1            

1.50 2.00

p 0.50.167

0.167 0

0.167 0 0 0 0 0 0

pk 0.5

0.667

0.833

0.833 1 1 1 1 1 1 1

64

f             1     2 3

10.50

1.25

p 0 0 0 0 0 00.167 0 0

0.333 0.5

pk 0 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.167 0.5 1

37

f         2 1 1 2      

6.50 2.50

p 0 0 0 00.333

0.167

0.167

0.333 0 0 0

pk 0 0 0 0

0.333 0.5

0.667 1 1 1 1

30

f 1 1 1 2 1            

3.50 2.25

p0.167

0.167

0.167

0.333

0.167 0 0 0 0 0 0

pk

0.167

0.333 0.5

0.833 1 1 1 1 1 1 1

33

f 3 1 2                

1.50 1.75

p 0.50.167

0.333 0 0 0 0 0 0 0 0

pk 0.5

0.667 1 1 1 1 1 1 1 1 1

65

f               1 2 1 2

9.50 2.00

p 0 0 0 0 0 0 00.167

0.333

0.167

0.333

pk 0 0 0 0 0 0 0

0.167 0.5

0.667 1

42

f         1 1   2 1 1  

8.00 3.00

p 0 0 0 00.167

0.167 0

0.333

0.167

0.167 0

pk 0 0 0 0

0.167

0.333

0.333

0.667

0.833 1 1

36

f 4 1 1                

1.25 1.13

p0.667

0.167

0.167 0 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.667

0.833 1 1 1 1 1 1 1 1 1

41 f           1   2 2 1   8.50 1.50p 0 0 0 0 0 0.1

670 0.3

330.333

0.167

0

69

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.167 0.5

0.833 1 1

44

f           1 1 1 1 2  

8.50 2.75

p 0 0 0 0 00.167

0.167

0.167

0.167

0.333 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333 0.5

0.667 1 1

38

f 2 1 1 1 1            

2.50 2.75

p0.333

0.167

0.167

0.167

0.167 0 0 0 0 0 0

pk

0.333 0.5

0.667

0.833 1 1 1 1 1 1 1

42

f   1     1 1 1   1 1  

6.50 4.00

p 00.167 0 0

0.167

0.167

0.167 0

0.167

0.167 0

pk 0

0.167

0.167

0.167

0.333 0.5

0.667

0.667

0.833 1 1

43

f                 4 2  

9.25 0.88

p 0 0 0 0 0 0 0 00.667

0.333 0

pk 0 0 0 0 0 0 0 0

0.667 1 1

39

f 1 1 2 1 1            

3.00 2.00

p0.167

0.167

0.333

0.167

0.167 0 0 0 0 0 0

pk

0.167

0.333

0.667

0.833 1 1 1 1 1 1 1

51

f           1 1   1 1 2

9.50 3.75

p 0 0 0 0 00.167

0.167 0

0.167

0.167

0.333

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333

0.333 0.5

0.667 1

40

f 2   2 2              

3.00 2.50

p0.333 0

0.333

0.333 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.333

0.333

0.667 1 1 1 1 1 1 1 1

49

f           1 2   1 2  

7.50 3.00

p 0 0 0 0 00.167

0.333 0

0.167

0.333 0

pk 0 0 0 0 0

0.167 0.5 0.5

0.667 1 1

50

f           1 1 1 2 1  

8.50 2.00

p 0 0 0 0 00.167

0.167

0.167

0.333

0.167 0

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.333 0.5

0.833 1 1

45 f 2 1 1 2               2.50 2.50p 0.3 0.1 0.1 0.3 0 0 0 0 0 0 0

70

33 67 67 33pk

0.333 0.5

0.667 1 1 1 1 1 1 1 1

46

f 2   3 1              

2.83 2.08

p0.333 0 0.5

0.167 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.333

0.333

0.833 1 1 1 1 1 1 1 1

48

f             1 1 2 1 1

9.00 2.00

p 0 0 0 0 0 00.167

0.167

0.333

0.167

0.167

pk 0 0 0 0 0 0

0.167

0.333

0.667

0.833 1

47

f 1   2 1   1       1  

3.50 3.25

p0.167 0

0.333

0.167 0

0.167 0 0 0

0.167 0

pk

0.167

0.167 0.5

0.667

0.667

0.833

0.833

0.833

0.833 1 1

63

f         1   1   4    

8.75 2.13

p 0 0 0 00.167 0

0.167 0

0.667 0 0

pk 0 0 0 0

0.167

0.167

0.333

0.333 1 1 1

58

f           1     2 1 2

9.50 2.00

p 0 0 0 0 00.167 0 0

0.333

0.167

0.333

pk 0 0 0 0 0

0.167

0.167

0.167 0.5

0.667 1

59

f                 1 3 2

10.17

1.08

p 0 0 0 0 0 0 0 00.167 0.5

0.333

pk 0 0 0 0 0 0 0 0

0.167

0.667 1

65

f                   2 4

10.75

0.88

p 0 0 0 0 0 0 0 0 00.333

0.667

pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.333 1

61

f                 2 3 1

9.83 1.08

p 0 0 0 0 0 0 0 00.333 0.5

0.167

pk 0 0 0 0 0 0 0 0

0.333

0.833 1

56

f                 3 2 1

9.50 1.25

p 0 0 0 0 0 0 0 0 0.50.333

0.167

pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5

0.833 1

60 f                 1 3 2 10.1 1.0

71

7 8p 0 0 0 0 0 0 0 0

0.167 0.5

0.333

pk 0 0 0 0 0 0 0 0

0.167

0.667 1

55

f                   2 4

10.75

0.88

p 0 0 0 0 0 0 0 0 00.333

0.667

pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.333 1

62

f               3 2 1  

8.50 1.00

p 0 0 0 0 0 0 0 0.50.333

0.167 0

pk 0 0 0 0 0 0 0 0.5

0.833 1 1

53

f               1 3 2  

9.17 1.08

p 0 0 0 0 0 0 00.167 0.5

0.333 0

pk 0 0 0 0 0 0 0

0.167

0.667 1 1

52

f   1 4   1            

3.00 0.75

p 00.167

0.667 0

0.167 0 0 0 0 0 0

pk 0

0.167

0.833

0.833 1 1 1 1 1 1 1

57

f 1 4 1                

2.00 0.75

p0.167

0.667

0.167 0 0 0 0 0 0 0 0

pk

0.167

0.833 1 1 1 1 1 1 1 1 1

63

f               1 3 1 1

9.17 1.33

p 0 0 0 0 0 0 00.167 0.5

0.167

0.167

pk 0 0 0 0 0 0 0

0.167

0.667

0.833 1

64

f                   5 1

10.10

0.60

p 0 0 0 0 0 0 0 0 00.833

0.167

pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0.833 1

Berdasarkan validasi instrumen menggunakan skala

Thurstone (tabel terlampir), diperoleh instrumen

spiritualitas dengan skala Thurstone sebagai berikut:

72

Skala Thurstone untuk Instrumen SpiritualitasNO Pernyataan Nila

i Skala

1 Dalam kehidupan, saya tidak membutuhkan petunjuk tuhan 2.502 Kebenaran agama menurut saya sangat relatif 2.833 Kedekatan saya dengan Tuhan telah memberikan banyak

pencerahan dalam hidup saya

9.50

4 Kehidupan spiritual saya terasa gersang 1.835 Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya

sehari-hari

8,83

6 Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan

kebaikan untuk orang tersebut

8.50

7 Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara

konsisten

8.75

8 Saya bosan dengan ajaran agama 3.179 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam 3,0010 Saya kurang memahami tata cara ibadah 1.5011 Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap saya 8.5012 Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan 7.5013 Saya mengamalkan ajaran islam yang saya perlukan saja 3.5014 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh

makhluk Nya

9.50

15 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja 2,5016 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan

dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari

9,17

17 Saya merasa Tuhan menyertai langkah-langkah hidup saya 6.5018 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam 8.5019 Saya selalu melaksanakan shalat fardlu 8.00

73

20 Saya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib 9.2521 Saya selalu melaksanakan silaturahmi 9.0022 Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri 1,2523 Saya sulit merasakan seberapa dekat saya dengan allah 3.0024 Saya terbiasa berinfak/sedekah 9.1725 Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan 10.7526 Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah 9.5027 Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud 7,5028 Saya terbiasa membaca alquran 10.1729 Saya terbiasa membaca buku agama 10.1030 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari

Tuhan

9.83

31 Saya tidak memahami hakekat tuhan 2,0032 Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT 1,2533 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas 10.5034 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna 10.75

74

INSTRUMEN SPIRITUALITASBerilah tanda checklist pada kolom checklist berikut bila butir pernyataan sesuai dengan kondisi andaNO Pernyataan Checkli

st

1 Dalam kehidupan, saya tidak membutuhkan petunjuk tuhan …………2 Kebenaran agama menurut saya sangat relative …………3 Kedekatan dengan Tuhan telah memberikan banyak

pencerahan dalam hidup saya

…………

4 Kehidupan spiritual saya terasa gersang …………5 Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya

sehari-hari

…………

6 Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan

kebaikan untuk orang tersebut

…………

7 Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara

konsisten

…………

8 Saya bosan dengan ajaran agama …………9 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam …………10 Saya kurang memahami tata cara ibadah …………11 Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap

saya

…………

12 Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan …………13 Saya mengamalkan ajaran islam yang saya perlukan saja …………14 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh

makhluk Nya

…………

15 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja …………16 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan

kekuatan dan dukungan dalam kehidupan sehari-hari

…………

17 Saya merasa Tuhan menyertai langkah-langkah hidup saya …………18 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam …………19 Saya selalu melaksanakan shalat fardlu …………

75

20 Saya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib …………21 Saya selalu melaksanakan silaturahmi …………22 Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri …………23 Saya sulit merasakan seberapa dekat saya dengan allah …………24 Saya terbiasa berinfak/sedekah …………25 Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan …………26 Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah …………27 Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud …………28 Saya terbiasa membaca alquran …………29 Saya terbiasa membaca buku agama …………30 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk

dari Tuhan

…………

31 Saya tidak memahami hakekat tuhan …………32 Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT …………33 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas …………34 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna …………

5. Validasi Skala Instrumen Skala Likert

Adapun untuk Instrumen spiritualitas dengan skala

likert, diperoleh melalui validasi skala melalui penilaian

para ahli yang juga melibatkan 6 orang ahli (dosen sains,

mahasiswa program doktor penelitian dan evaluasi pendidikan),

sebelum diujikan pada sejumlah mahasiswa. Berdasarkan

Validasi Skala, maka diperoleh bahwa sebagian besar skala

pada instrument spiritualitas telah dapat digunakan untuk

mengukur spiritualitas mahasiswa (tabel validasi skala

terlampir). Adapun instrument yang divalidasi tersebut

adalah sebagai berikut:

76

Validasi Skala Sikap SpiritualitasNO Dimensi Pernyataan Skala SikapA Ideologis1 Ideologis Saya bosan dengan

ajaran agama  SS S R TS STS

2 Ideologis Saya jenuh denganajaran-ajaran Islam

SS S R TS STS

3 Ideologis Keadilan tuhan tidak perlu saya pertanyakan

  SS S R TS STS

4 Ideologis Saya yakin bahwa karunia Allah SWTamat luas

SS S R TS STS

5 Ideologis Ketika menghadapimasalah, saya yakin bahwa Tuhanakan membantu saya

 SS S R TS STS

6 Ideologis Saya tidak memahami hakekat tuhan

SS S R TS STS

7 Ideologis Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari Tuhan

  SS S R TS STS

8 Ideologis Dalam kehidupan, saya tidak butuh petunjuk tuhan

SS S R TS STS

9 Ideologis Saya tidak meyakini bahwa Tuhan ada dalam kehidupan saya

  SS S R TS STS

10 Ideologis Saya meyakini tuhan ada dalam kehidupan saya

SS S R TS STS

77

11 Ideologis Ketika dalam kesusahan, saya meyakini bahwa Allah SWT akan memberikan jalan terbaiknya

  SS S R TS STS

12 Ideologis Saya menggantungkan harapan-harapan saya kepada kasihsayang Allah SWT

SS S R TS STS

13 Ideologis Saya merasa bahwakasih sayang Allah menyertai seluruh makhluk Nya

 SS S R TS STS

14 Ideologis Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam

SS S R TS STS

15 Ideologis Kebenaran agama menurut saya sangat relative

  SS S R TS STS

16 Ideologis Agama saya adalahagama yang kebenarannya mutlak

SS S R TS STS

B Eksperiensial

17 Eksperiensial

Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna

  SS S R TS STS

18 Eksperiensial

Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja

SS S R TS STS

19 Eksperiensial

Saya merasa spiritualitas

  SS S R TS STS

78

saya kering dan gersang

20 Eksperiensial

Secara umum, sayamerasa dekat dengan Allah SWT

SS S R TS STS

21 Eksperiensial

Saya tidak tahu apakah saya merasa dekat dengan Allah SWT

 SS S R TS STS

22 Eksperiensial

Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari

SS S R TS STS

23 Eksperiensial

Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya

  SS S R TS STS

24 Eksperiensial

Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari

  SS S R TS STS

25 Eksperiensial

Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya

SS S R TS STS

26 eksperiensial

Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT

  SS S R TS STS

27 Eksperiensial

Saya sulit merasakan

SS S R TS STS

79

seberapa dekat saya dengan allah

28 Eksperiensial

Saya cenderung tidak mau tahu tentang kehidupanspiritual saya

 SS S R TS STS

29 Eksperiensial

Saya merasa Tuhantelah berlaku tidak adil dalam kehidupan saya

  SS S R TS STS

30 Eksperiensial

Saya tidak merakasan bantuantuhan dalam permasalahan yangsaya hadapi

  SS S R TS STS

31 Eksperiensial

Bagiku, doa-doa yang saya panjatkan memberikan kekuatan tersendiri bagi hidup saya

  SS S R TS STS

32 Eksperiensial

Saya merasa Tuhanmenyertai langkah-langkah hidup saya

SS S R TS STS

33 Eksperiensial

Saya tidak merasakan tuhan menyertai langkahhidup saya

  SS S R TS STS

34 Eksperiensial

Saya merasa hidupsaya penuh dosa

SS S R TS STS

35 Eksperiensial

Kedekatan saya dengan Tuhan telah memberikan banyak pencerahandalam hidup saya

 SS S R TS STS

36 Eksperien Kehidupan SS S R

80

sial spiritual saya terasa gersang

TS STS

37 Eksperiensial

Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan kebaikan untuk orang tersebut

  SS S R TS STS

C Konsekuensial38 Konsekuen

sialSaya tidak pedulidengan ajaran-ajaran Islam

  SS S R TS STS

39 Konsekuensial

Saya tidak dapat menghayati kegiatan ibadah saya sendiri

SS S R TS STS

40 Konsekuensial

Saya cenderung apatis terhadap spiritualitas

  SS S R TS STS

41 Konsekuensial

Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya sehari-hari

SS S R TS STS

42 Konsekuensial

Saya mengamalkan ajaran islam yangsaya perlukan saja

 SS S R TS STS

43 Konsekuensial

Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara konsisten

SS S R TS STS

44 Konsekuensial

Saya mengamalkan ajaran agama semampu saya

  SS S R TS STS

45 Konsekuensial

Saya tidak perduli dengan

SS S R TS STS

81

ajaran agama46 Konsekuen

sialAjaran agama tidak berpengaruhapa-apa bagi saya

  SS S R TS STS

47 Konsekuensial

Saya tidak biasa memanjatkan doa

SS S R TS STS

48 Konsekuensial

Bagi saya, kasih sayang harus diberikan kepada setiap manusia

 SS S R TS STS

49 konsekuensial

Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap saya

SS S R TS STS

50 Konsekuensial

Saya berusaha banyak berbuat kebajikan dalam hidup saya

  SS S R TS STS

D Intelektual 

51 Intelektual

Saya memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan spiritual saya

 SS S R TS STS

52 Intelektual

Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri

SS S R TS STS

53 Intelektual

Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan

  SS S R TS STS

E Ritualistik 

54 Ritualistik

Saya selalu melaksanakan

  SS S R TS STS

82

shalat fardlu55 Ritualist

ikSaya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib

SS S R TS STS

56 Ritualistik

Saya terbiasa melaksanakan shalat dluha

  SS S R TS STS

57 Ritualistik

Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud

SS S R TS STS

58 Ritualistik

Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan

 SS S R TS STS

59 Ritualistik

Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah

SS S R TS STS

60 Ritualistik

Saya terbiasa membaca alquran

  SS S R TS STS

61 Ritualistik

Saya terbiasa membaca buku agama

 SS S R TS STS

62 Ritualistik

Saya terbiasa berinfak/sedekah

SS S R TS STS

63 Ritualistik

Saya selalu melaksanakan silaturahmi

  SS S R TS STS

6. Uji Coba Instrumen Spiritualitas Skala Thurstone

Berdasarkan hasil validasi skala yang telah dilakukan

sebelumnya, maka butir-butir pernyataaan yang telah

divalidasi tersebut kemudian diacak dan disusun ulang untuk

diujicoba pada sejumlah mahasiswa. Hasil uji coba terhadap

40 mahasiswa dari 2 kelas yang diasumsikan memiliki kondisi

83

setara menunjukkan bahwa instumen tersebut valid dan reliable

(r=0,757).

Keterbatasan dan Kelemahan Instrumen Yang Dikembangkan

Dalam upaya mengembangkan instrument spiritualitas yang

akan digunakan pada asesmen pembelajaran sains berbasis

imtak, diakui adanya beberapa kelemahana, antara lain:

1. Cara-cara yang digunakan untuk menentukan validitas

dan reliabilitas hasil pengukuran instrument

didasarkan pada respon yang diberikan oleh sampel

uji coba terhadap kuesioner, yang mungkin saja

respons yang diberikan belum dapat secara mutlak

dapat dipercaya sepenuhnya. Asumsi yang diambil

oleh peneliti adalah bahwa responden telah mau dan

mampu memberikan respons secara terbuka sehingga

orang lain dapat mengetahui perasaan dan kondisi

responden yang sebenarnya. Akan lebih baik lagi,

bila pengukuran dengan kuesioner ini dilengkapi

lagi dengan suatu observasi.

2. Uji coba instrument baru dilakukan sekali. Untuk

memantapkan validitas dan reliabilitas hasil

pengukuran yang diperoleh, diperlukan replikasi/uji

coba yang lebih luas.

84

BAB VKESIMPULAN

Karena berbagai keterbatasan, penelitian ini baru

menyelesaikan tahap pengembangan instrumen dan uji coba

terbatas asesmen pembelajaran sains berbasis imtak. Dari

tahapan penelitian tersebut diperoleh beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

Model pembelajaran sains berbasis imtak yang memadukan sains

dengan imtak, unsur afektif dan humanis dalam pembelajaran,

yang terdiri dari empat sintaks pembelajaran yang perlu

diujicoba lebih luas.

Asesmen spiritualitas dalam pembelajaran sains berupa

instrument spiritualitas yang terdiri instrument bentuk skala

Thurstone dan instrumen bentuk Skala Likert. Kedua bentuk

instrument tersebut telah melalui proses validasi teoretik

dan empirik. Dimensi spiritualitas dimaksud terdiri dari

dimensi ideologis, eksperiensial, konsekuensial, intelektual

dan ritualistik.

Diperlukan ujicoba empirik yang lebih luas terhadap model

pembelajaran dan bentuk asesmen spiritualitas yang diperlukan

dalam pembelajaran sains berbasis imtak bagi mahasiswa calon

guru biologi.

85

DAFTAR PUSTAKA

Angelo, PA & Cross, M. 1993. Classroom Assessment Techniques:

Handbook Of Strategies in Higher Education. Joey Bass. San

Fransisco

Aiken, Lewis R. (1996). Rating Scales & Checklists: Evaluating Behavior,

Personality & Attitudes. New York: John Wiley & Sons Inc

Arends, Richard I. (2007). Learning to Teach. 7th Edition. Boston:

McGraw-Hill

Azra, A. (2006). Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan

Demokratisasi. Cet: 1. Jakarta: Kompas.

Barry K Beyer. Practical Strategies for Teaching of Thingking. Allyn &

Bacon. New York.

Berman, Sally. 1997. Teach Them thinking in Science: A Handbook of

Classrom Strategies.IRI Skylight

Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1996). Qualitative Research for

Education: An Introductory To Theory & Methods. Boston: Allyn &

Bacon

Crocker, L & Algina, J. (1986). Introduction to Classical & Modern

Test Theory. New York: Holt, Reinhar & Winston Inc..

Fraenkel, R.K. (1997). How To Teach About Values. London:

Prentice-Hall International Inc.

Gall, Gall dan Borg (2003 ). Educational Research An Introduction.

7th Edition. Botson: New York San Francisco.

86

--------------- (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidkan Nasional. Jakarta. Depdagri.

Hamid Hasan, S. H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: Departmen

Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga

Pendidikan.

Hammerman, E. 1998. Classroom 2061: Activity Based Assessment in

Science. New York: IRI Skylight.

Hurlock, B.E. (t.t). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan

sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Indrajit, Jokopranoto. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi Modern.

Yogyakarta: Andi.

Johnson, Elaine B (2002). Contextual Teaching and Learning.

California:Corwin Press Inc.

Lawson, Anton E. (1995). Science Teaching & the Development of

Thinking. California: Wadsworth

Lasley, Thomas J. et.al. (2002). Instructional Models. Second

Edition. Wadsworth: United State America.

Mardapi, D. (2004). Pedoman Khusus Pengembangan Instrumen dan

Penilaian Ranah Afektif. Jakarta: Depdiknas.

McMillan, James H & Schumacher, Sally. (2001). Research in

Education: A Conceptual Introduction. 5th Edition. New York: Longman

McNeil, J. (1990). Curriculum Comprehensive Introduction. Botson:

Little Brown&Co, Inc.

Ozman, H. dan Craver, S. (1990). Philosophical Foundation Of

Education. London: Merril Publishing Company.

87

Popham, M.J. (1995). Classroom Assessment: What Teachers Need To

Know. Boston: Allyn & Bacon

Pollard, A. (2005). Reflective Teaching. 2 nd Edition. London:

British Library.

Nasution, S. (1989). Kurikulum Dan Pengajaran. Cet:I. Jakarta:

Bina Aksara.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. 2end ed.

Autraalia: Allen & Unwin.

Shihab, M.Q. (2007). Membumikan Al-Qur’an. Cet: XXXI. Jakarta:

Mizan Pustaka.

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Cet:1. Jakarta: Perdana

Media.

Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual : Merumuskan Parameter-

parameter Sains Islam. terj. AE Priyono. Risalah Gusti.

Surabaya.

Simon, S.B, et.al. 1973. Values Clarification : A Handbook of Practical

Strategies for Teachers & Students. Hart Publishing. New York

Stiggins, R.C. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New

York: Merill

Sukmadinata Nana, S. (2005). Pengembangan Kurikulum Teori Dan

Praktek. Cet: VII. Bandung: Roda.

Surapranata, Sumarna & M. Hatta. 2004. Penilaian Portofolio:

Implementasi Kurikulum 2004. Rosda Karya. Bandung.

Suparno, S. (1977). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan.

Yogyakarta: Kanisius.

88

Wulan, Ana Ratna. (2007). Pembekalan Kemampuan Performance

Assessment Kepada Calon Guru Biologi dalam Menilai Kemampuan

Inquiry. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia.

Zainul, Asmawi. 1999. Asessmen Alternatif. Dikti. Jakarta.

89

Anggaran Penelitian

No.

Keterangan Biaya

1.Persiapan Penelitiana. Proposalb. Studi Pendahuluan Rp

.500.000,

-

2. Pembuatan instrumen penelitian Rp.

250.000,-

3. Perbanyakan insturemen awal (10 lbr x 300exp)

Rp.

50.000,-

4. Revisi instrumen Rp.

200.000,-

5. Pengadaan linteratur jurnal penelitian Rp.

500.000,-

6. Uji coba instrumen (3 kelas x 50 mhs x Rp5000)

Rp.

750.000,-

7. Perbanyakan instrumen uji coba Rp.

50.000,-

8. Pengembangan instrumen hasil uji coba Rp.

200.000,-

9. Implementasi Instrumen (2 x 3 kelas x 50 mhs x Rp 5000)

Rp.

1.500.000,-

10.

Honor Peneliti Rp.

500.000,-

11.

Pembuatan laporan (10 exp x Rp 50.000) Rp.

500.000,-

12.

Narasumber Penelitian (2 x Rp 150.000) Rp.

300.000,-

13.

Diseminasi Hasil Penelitian ( 25 0rang x Rp 20.000)

Rp.

500.000,-

14.

Lain-lain Rp.

200.000,-

Total Rp.

5.500.000,-

90

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS

PADA PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS IMTAK

BAGI MAHASISWA CALON GURU

Laporan Penelitian

Oleh:

EDY CHANDRA

NIP 150 300 932

91

PROGRAM STUDI TADRIS IPA-BIOLOGI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI CIREBON

2 0 0 9

92