PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS PADA PEMBELAJARAN SAINS
BERBASIS IMTAK BAGI MAHASISWA CALON GURU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) sebagai penjabaran dari
salah satu tujuan negara yang tercantum pada pembukaan UUD
45, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengamanatkan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk:
Mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pesertadidik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi wargaNegara yang demokratis serta bertanggunga jawab.
Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional tersebut mencakup komponen
pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian,
kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan
kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan
nasional sudah selayaknya tercermin pada kurikulum dan sistem
pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional, tugas lembaga pendidikan adalah
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi
1
kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut mensejahterakan
masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki
pengetahuan dan ketrampilan serta berprilaku yang baik. Untuk
itu peserta didik harus mampu mendemonstrasikan pengetahuan
dan ketrampilan yang dimiliki sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Pembelajaran sains (fisika, kimia dan biologi) Fisika,
Kimia, Biologi berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran terhadap
keteraturan dan keindahan ciptaan tuhan, meningkatkan
pemahaman konsep dan prinsip-prinsip melalui sejumlah
keterampilan proses. Keterampilan proses mencakup:
pengamatan, membuat hipotesis, menggunakan alat dan bahan
yang dilaksanakan melalui kegiatan praktik, sesuai dengan
prosedur dan keselamatan kerja. Dengan demikian, upaya
menanamkan ketakwaan tidak hanya menjadi kewajiban guru agama
semata, tetapi juga menjadi kewajiban pendidik lainnya,
termasuk dalam pembelajaran sains.
Ketiga aspek (kognitif, psikhomotor dan afektif) memiliki
bobot penilaian yang proposional. Proses penilaiannya
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam hal ini,
Aspek Kognitif mencakup : pemahaman konsep yang berfungsi
untuk menunjang pelaksanaan praktik. Aspek Psikomotor
mencakup keterampilan sains yang dilaksanakan melalui
praktikum. Aspek Afektif yang terkait dengan mata pelajaran
biasanya dititik beratkan pada sikap ilmiah yang mencakup:
ketelitian, ketekunan, dan kemampuan memecahkan masalah
2
secara logis dan sistematis. Di samping itu, aspek afektif
juga secara umum mencakup: perasaan, minat, sikap, emosi, dan
nilai, (Djameri Mardapi 2004:3; S. Nasution 1989:152).
Beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang memiliki
fakultas/jurusan tarbiyah (kependidikan), memiliki fungsi
yang sama dengan LPTK lainnya, yaitu menghasilkan para
sarjana calon guru. Dalam hal ini, PTAI tersebut memiliki
tantangan untuk dapat mengintegrasikan pembelajaran sains
dengan landasan dan spiritualisasi nilai dalam proses
pembelajarannya. PTAI tidak hanya dituntut untuk mampu
menghasilkan para guru yang memiliki kompetensi memadai,
namun juga sekaligus memiliki kemampuan penanaman sikap dan
nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran tersebut. Apatah
lagi, standar kompetensi guru sebagaimana dicanangkan pada
Peraturan Mendiknas No. 16 tahun 2007, secara tegas
mencantumkan kompetensi kepribadian, dimana guru dituntut
untuk mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur,
berakhlak mulia, dewasa, arif, bertanggung jawab, memiliki
etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi dan menjunjung
tinggi etika profesinya. Karenanya, keseluruhan karakter
kepribadian tersebut sudah semestinya juga menjadi sasaran
dalam pembelajaran sains bagi mahasiswa calon guru tersebut.
Upaya spiritualisasi pembelajaran tampaknya merupakan
tindak lanjut dari wacana islamisasi sains dan disiplin ilmu,
terutama secara praktis dalam bidang pendidikan. Terkait
dengan upaya tersebut, Nasim Butt (1995) menegaskan 3 prinsip
3
dasar sebagai acuan bagi pengembangan pendidikan sains dalam
perspektif Islam, yaitu memasukkan iman dan nilai sebagai
landasan pembelajaran sains, memanusiawikan dalam
pembelajaran sains di kelas, serta mengintegrasikan sains dan
agama dalam pembelajaran di kelas. Namun demikian, model
pembelajaran yang tepat dalam mengintegrasikan sains dengan
nilai-nilai Islam tersebut belum banyak memperoleh perhatian
dalam penelitian pendidikan.
Dalam penerapan pembelajaran sains yang berbasis imtak,
tentunya diperlukan juga seperangkat instrumen asesmen yang
sesuai dengan model pembelajaran itu sendiri. Dalam praktek
pembelajaran yang selama ini berlangsung, asesmen
konvensional dalam bentuk tes tertulis (paper & pencil test) lebih
banyak digunakan ketimbang asesmen otentik. Sementara itu,
asesmen tes konvensional sendiri memiliki kelemahan dalam
mengevaluasi nilai dan sikap yang juga terkandung dalam
pembelajaran sains itu sendiri. Di sisi lain, asesmen
otentik sendiri belum banyak dikembangkan dalam pembelajaran
sains. Morgan (2004) melaporkan bahwa lebih dari 70 % guru
tidak menggunakan asesmen otentik dalam pembelajaran,
meskipun jenis asesmen ini telah direkomendasikan sebagai
bentuk penilaian yang sesuai dengan hakekat sains yang
mengutamakan keterampilan proses dan produk sains. Asesmen
ini setidaknya telah direkomendasikan oleh berbagai kalangan
ahli pendidikan (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan Zainul,
2001). Hal ini disebabkan kesulitan guru dalam menyusun dan
4
menerapkan asesmen otentik, sebagaimana dilaporkan oleh Wulan
(2007). Kesulitan ini semakin meningkat terutama bagi guru
madrasah, yang relatif kurang mengenal asesmen otentik. Dalam
kerangka itulah, penelitian ini menemukan signifikansinya.
Untuk tujuan itu, peneliti mengajukan rencana penelitian
untuk mengembangkan instumen asesmen otentik yang sesuai bagi
penerapan model pembelajaran berbasis Imtak bagi mahasiswa
calon guru madrasah.
B. Indentifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan peta teoritis di atas dapat dirumuskan suatu
pertanyaan, yaitu Asesmen Otentik yang Bagaimana yang relevan untuk
diterapkan pada Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak bagi Mahasiswa
Calon Guru Madrasah ?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi (gambaran) dari kajian literatur
dan temuan studi pendahuluan di atas fokus penelitian secara
“tentatif” dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah keadaan awal pembelajaran sains pada
pembelajaran sains calon guru madrasah sebelum asesmen
otentik dan model pembelajaran berbasis imtak diterapkan ?
b. Desain model implementasi pengembangan model bagaimana
yang relevan pada pembelajaran berbasis imtak bagi
mahasiswa calon guru madrasah?
5
c. Desain model asesmen otentik yang bagaimana yang relevan
pada pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon
guru madrasah ?
d. Bagaimanakah tingkat keterapan asesmen otentik pada model
pembelajaran sains berbasis imtak yang dihasilkan dilihat
dari aspek: peningkatan prestasi mahasiswa; dukungan
terhadap pelaksanaan pembelajaran; substansi isi (materi
pelajaran); fleksibilitas desain model; keselarasan
dengan media dan potensi dukungan stakeholders?
e. Bagaimanakah efektifitas dan dampak pengembangan asesmen
otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak
terhadap hasil belajar mahasiswa dan terhadap dosen dalam
menyusun rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar
sains?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan
pengembangan asesmen otentik relevan untuk untuk diterapkan
pada model pembelajaran sains berbasis imtak bagi mahasiswa
calon guru madrasah.
b. Tujuan Khusus Penelitian
1) Untuk mengetahui keadaan awal pembelajaran sains sebelum
desain asesmen dan model pembelajaran diimplementasikan.
2) Untuk menemukan desain model implementasi pengembangan
asesmen otentik yang relevan untuk diterapkan pada model
pembelajaran sains berbasis imtak.
6
3) Untuk mengetahui tingkat keterapan pengembangan asesmen
otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak
terhadap mahasiswa dilihat dari aspek: peningkatan
prestasi mahasiswa; dukungan terhadap pelaksanaan
pembelajaran; substansi isi (materi pelajaran);
fleksibilitas desain model; dan potensi dukungan
stakeholders?
4) Untuk mengetahui efektifitas dan dampak pengembangan
asesmen otentik pada model pembelajaran sains berbasis
imtak terhadap mahasiswa, peningkatan belajar mahasiswa,
dukungan terhadap dosen dalam menyususn rencana
pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Umum Penelitian
Dengan dihasilkannya pengembangan asesmen otentik yang
relevan untuk diterapkan pada model pembelajaran berbasis
imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah, dapat dimanfaatkan
dalam meningkatkan mutu pembelajaran sains di LPTK PTAI.
b. Manfaat Khusus Penelitian
1) Untuk memberi masukan kepada dosen-dosen sains khususnya
dalam menerapkan model pembelajaran berbasis imtak.
2) Desain implementasi pengembangan asesmen otentik dan model
pembelajaran sains berbasis imtak dapat dimanfaatkan
meningkatkan pembelajaran sains.
7
3) Desain asesmen otentik yang dihasilkankan dapat digunakan
sebagai bahan acuan dosen untuk mengevaluasi keberhasilan
pembelajaran sains berbasis imtak.
4) Untuk memberi masukan kepada dosen dan mahasiswa dalam
meningkatkan mutu pembelajaran sains
8
BAB II
LANDASAN TEORITIK
Asesmen Otentik adalah suatu istilah/terminologi yang
diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian
alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan
kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
menyelesaikan masalah, sekaligus, mengekspresikan pengetahuan
dan keterampilannya dengan cara mensimulasikan situasi yang
dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan kampus
(Hymes, 1991).
Dalam hal ini adalah simulasi yang dapat mengekspresikan
prestasi (performance) siswa yang ditemui di dalam praktek
dunia nyata. Karenanya, dapat dimengerti bahwa Asesmen
Otentik dapat diidentikkan dengan asesmen kinerja (Performance
Assesments), sebagaimana dikemukakan oleh Zainul (2001), bahwa
asesmen otentik dimaksudkan juga sebagai Proses Penilaian
Kinerja prilaku Siswa secara multi dimensional pada situasi
nyata (life-like performance behavior). Meskipun asesmen
otentik ini direkomendasikan sebagai bentuk penilaian yang
sesuai dengan hakekat sains yang mengutamakan keterampilan
proses dan produk sains (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan
Stiggins, 1994), namun pada kenyataannya Morgan (2004)
menemukan bahwa lebih dari 70 % guru tidak menggunakan jenis
asesmen ini dalam pembelajaran. Di antara penyebabnya adalah
sebagaimana dilaporkan oleh Wulan (2003) yang mengungkap
9
tentang kesulitan guru dalam menyusun dan menggunakan asesmen
otentik.
2.Model Pembelajaran
Makna model pembelajaran sebagaimana Joyce and Weill
(2000) menjelaskan adalah: a plant or pattern that we can use to design
face to face teaching in classrom or tutorial settings and to sgaps instructional
material including books, film, tapes, and komputer. Each model guide us as we
design instruction to help students achieve various objectives.
Maksudnya yaitu, kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisir pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas
belajar mengajar.
Pengembangan model pembelajaran dimaksud untuk
menentukan konseptual yang berisi tentang prosedur
pengembangan rancangan kegiatan pembelajaran pendidikan Agama
Islam yang dapat meningkatkan kompetensi keagamaan siswa
kampus dasar. Desain model yang dikembangkan meliputi desain
perencanaan, implementasi dan evaluasi. Setiap desain berisi
tentang tahapan-tahapan yang dapat dijadikan rujukan oleh
guru dalam mengembangkan aktivitas pembelajaran.
3. Sains dan Pembelajaran Sains Berbasis Imtak
Pada dasarnya sains yang berbasis imtak berbeda dengan
sains sebagaimana dikenal pada umumnya. Namun demikian,
10
perlu diberikan penegasan bahwa sains berbasis imtak, dalam
hal ini sains berbasis Islam sebagaimana diungkap oleh Sardar
(1998), adalah sains yang juga memiliki fungsi dan tanggung
jawab untuk mengembangkan kesadaran ketuhanan;
mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu
pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian
maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas
ilmu pengetahuan obyektif. Dalam hal ini terlihat, sains
berbasis imtak, sebagaimana juga dapat dipahami ajuan langkah
Zaghlul Najjar (1995:146) tentang garis-garis besar upaya
penulisan ulang dan pengajaran sains dalam perspektif Islam,
mencakup aspek ontologis, epistemologi dan aksiologi sains
itu sendiri.
Model Pembelajaran Berbasis Imtak
a. Model pembelajaran Nilai-Nilai Islami berdasarkan
adapatasi terhadap teori David R. Kratwohl, dapat
dimodifikasi menjadi sebagai berikut:
(1) Tahap memulai terbukanya menerima rangsangan, yang
meliputi tingkatan :
1.1 Penyadaran; 1.2 Hasrat untuk menerima pengaruh; dan
1.3 Memberikan perhatian secara memilih diantara pengaruh
yang masuk.
(2) Tahap memulai memberikan tanggapan terhadap rangsangan
afektif, yang meliputi tingkatan : 2.1 Mulai memberikan
perhatian p[ada nilai yang dirangsangkan; 2.2 Berhasrat
11
untuk secara aktif memberikan perhatian; 2.3 Menikmati
dengan penuh kebahagiaan memberikan perhatian terhadap
nilai afektif.
(3) Tahap mulai memberikan perhatian terhadap rangsangan,
yang meliputi tingkatan : 3.1 Mulai menerima nilai yang
sudah menarik perhatiannya; pada tingkatan ini anak didik
mulai aktif menyatakan perhatiannya berdasarkan nilai yang
mulai diterimanya; 3.2 Memilih berdasarkan nilai pada
tingkatan ini anak didik sudah mulai menggunakan nilainya
sebagai acuan dalam memilih obyek; dan 3.3 Percaya akan
kebenaran semua nilai. Pada tingkatan ini anak didik sudah
mulai dengan penuh keyakinan menerima kebenaran suatu
nilai.
(4) Pengorganisasian berbagai nilai yang telah diterimanya,
yang meliputi tingkatan :4.1 Menetapkan kedudukan atau
hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya; 4.2 Menempatkan
prioritas diantara nilai-nilai yang telah diterima.
(5) Penyaturagaan nilai-nilai dalam satu system nilai yang
konsisten, yang meliputi tingkatan : 5.1 Generalisasi
nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan memandang
masalah-masalah yang dihadapi; dan 5.2 Mengembangkan suatu
filsafat hidup yang konsisten. Pada saat ini semua nilai
yang ditanamkan dalam dirinya telah menjadi bagian terpadu
dari system kepribadian anak didik. (Soedijarto, 1993).
b. Model Pembelajaran Nilai-Nilai Islami Berdasarkan “Values
Clarification”
12
Prinsip-prinsip model pembelajaran internalisasi nilai
berdasarkan model Values Clarification mempunyai tiga langkah
utama dan tiap langkah terdiri pula atas dua bagian sehingga
seluruhnya menjadi tujuh langkah adalah sebagai berikut :
I. Memilih (1) secara bebas, (2) dari beberapa alternative,
(3) dengan memepertimbangan setiap konsekuensi tiap
alternative.
II. Menghargai (4) menjunjung tinggi, merasa bahagia dengan
pilihan itu, (5) menyatakan dan mempertahankannya di
depan umum.
III. Berbuat (6) melaksanakan dan menerapkannya dalam
perbuatan (7) melakukannya berulang-ulang sebagai pola
kelakuan.
(1) Memilih itu harus dilakukan secara bebas. Nilai yang
dipaksakan tidak akan mengintegrasikannya dalam sistem
nilainya.
(2) Memilih harus dari sejumlah alternative sehingga ia dapat
memilihnya secara bebas.
(3) Memilih hanya setelah mempertimbangkan konsekuensinya.
Memilih adalah proses berfikir yang memerlukan waktu dan
tak dapat dilakukan impulsive dan tergesa-gesa.
(4) Menghargai suatu nilai, menujunjung tinggi suatu nilai
suatu tanda bahwa suatu nilai menjadi bagian integral
dalam kepribadian kita. Kita harus bangga akan nilai-nilai
yang telah kita pilih.
13
(5) Menegaskan berarti berani mengemukakannya di depan orang
lain bila nilai itu telah kita internalisasikan kita tidak
malu menyaksikannya di depan umum.
(6) Melaksanakannya. Nilai harus nyata dalam perbuatan.
Kelakuan kita harus mencerminkan nilai-nilai yang kita
junjung tinggi.
(7) Mengulangi. Bila nilai itu telah sebagian dari
kepribadian kita, maka kita harus mewujudkan nilai itu
secara konsisten dalam kelakuan kita. (S. Nasution, 1989).
Dimensi Religiusitas: menurut Glock & Stark (dalam
Ancok,1985; Turmudhi, 1991; Safaria, 1999).
1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang
menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap
kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran
fundamental atau dogma
2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi
yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam
mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di
dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan
kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah,
sembahyan, puasa, dll
3. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau
experiental dimension), yaitu yang menunjukkan seberapa
jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami
14
perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman
religiusnya. Misalnya seberapa besar seseorang merasakan
kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya
terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan
pertolongan
4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang
menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang
terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat
dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya,
apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat,
bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa
yang benar, dll.
5. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang
menunjukkan tingkatan seseorang dalam berprilaku yang
dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh
seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku
hidupnya sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamnya
mengajarkan untuk beramal, maka dengan senang hati
mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang
oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohonh atau
memkai narkoba.
Pengembangan Instrumen Asesmen Otentik
15
Pada dasarnya instrumen dibagi dua, yaitu instrumen yang
berbentuk tes dan instrumen yang non tes1. Tes merupakan
prosedur sistematis untuk melakukan pengamatan terhadap
perilaku seseorang dan mendiskripsikan perilaku tersebut
dengan bantuan skala angka atau suatu sistem penggolongan2.
Indikator perilaku yang diungkapkan oleh instrumen tes
bersifat kinerja maksimal (Maximum performance) karena suatu
tes dirancang untuk mengungkapkan kemampuan individu secara
maksimal. Yang termasuk dalam kelompok tes adalah tes
prestasi belajar, tes inteligensi, tes bakat, atau tes
kemampuan akademik.
Sementara itu, indikator perilaku yang diungkapkan oleh
instrumen yang berbentuk non tes bersifat Instrumen penilaian
kinerja (performance assesment) mencakup konten/konteks yang
dinilai berpatok pada pedoman/penuntun pemberian skor yang
memuat karakteristik kualitas Berdasarkan uraian diatas, maka
dapat dikatakan bahwa hakikat instrumen adalah alat ukur yang
dimiliki kualitas validitas dan reliabilitas yang baik dan
digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian.
Dalam penelitian ini Instrumen spriritualitas diperoleh
melalui prosedur pengembangan skala Thurstone. Penggunaan
skala Likert didasarkan pada pendapat Djaali bahwa skala
Likert dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat,
persepsi seseorang atau kelompok tentang suatu gejala atau1 Ibid., h. 127. 2 Lee J. Cronbrach, 1984. Essentials of Psychologocal Testing (New York:
Harper and Row Publishers, h. 26.
16
fenomena pendidikan.3 Sedangkan Seltiz menyatakan penggunaan
skala Likert lebih mudah dikonstruksi dari pada skala
Thurstone selain itu skala Likert memberikan koefisien
korelasi lebih tinggi dari pada skala Thurstone.4
1. Prosedur Pengembangan Instrumen Spritualitas
Bagan Alir Penyusunan Konstruk Instrumen Pengukuruan Spiritualitas dan Kisi-kisi
Identifikasi aspek
Spiritualitas
3 Djaali dan Pudjiono Muljono, op cit, h. 40.4 Lewis R. Aiken. 1997. Psychological Testing and Assessment. London: Allyn and
Bacon, h. 254.
17
Kajian Teori Tentang Konsep Variabel dan menyusun konstruk dari variabel
Tersebut
Pengembangan Dimensi dan Indikator
Membuat Kisi-kisi InstrumenPenilaian
Validasi Teoritik dan Validasiempirik
Evaluasi dan penilaian olehpakar
Revisi
Uji coba Evaluasi Revisi
2. Ujicoba Instrumen
Menurut Djaali untuk mengetahui apakah suatu instrumendianggap valid secara konseptual maka instrumen tersebutdiujicobakan pada sekelompok responden yang merupakan sampeluji coba. Dari respon sampel uji coba tersebut akandiperoleh data yang akan dianalisa untuk menguji validitasinternal. Analisa data hasil uji coba dimaksudkan untukmenguji validitas butir instrumen secara empiris, validitasyang akan diuji adalah validitas antara skor butir denganskor total.5
3. Kalibrasi
a. Validitas Instrumen
Dalam penelitian ujicoba untuk content validity padainstrumen pada skor butir kontinum yaitu pada variabel
5 Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., pp. 116.
18
Uji Coba Instrumen
Butir-butir Instrumen PenilaianSpiritualitas Hasil Uji Coba dan
Kisi-kisi
penilaian praktikum IPA digunakan rumus korelasi product
moment (r). Hal ini sesuai dengan pendapat Ferguson, jikaskor butir kontinum maka untuk menghitung skor butir denganskor total instrumen digunakan rumus koefisien korelasiproduct moment (r).6 Menurut Kaplan koefisien korelasi Pearsonproduct moment adalah perbandingan yang digunakan untukmembedakan tingkat variasi pada variabel tersebut dan jugamengestimasi variasi pada variabel yang lainnya. Koefisienkorelasinya dinyatakan dengan nilai dari –1,0 dan 1,0.7 danSudjana juga menyatakan bahwa rumus product moment Korelasilebih senang digunakan karena; (1) perhitungannya sederhanasementara besaran-besaran yang diperlukan bisa langsungdiperoleh dari besaran-besaran yang ada pada saat menentukanregresi Y atas X, (2) lebih terlihat dalam bentuk data asli,kekeliruan yang terjadi pada hasil akhir untuk r sangatkecil, (3) tanda r positif atau negatif bisa langsungdiperoleh, dan (4) mudah dibuat program perhitungan denganmneggunakan bantuan komputer.8
Kaplan juga menyatakan bahwa Validity didefinisikansebagai pencocokan skor test atau ukuran dengankualitas ukuran yang dapat dipercaya.9 SedangkanKerlinger secara epistemologi menyatakan definisi validitydalam bentuk pertanyaan sebagai berikut, apa yangdiukur dan bagaimana mengukurnya?10 Menurut Ghiselli
6 George A. Ferguson and Yoshio Takane, Statistical Analysis in Psychology and Education (New York: McGraw-Hill Book Company, 1989), p. 125.
7 Robert M. Kaplan, Basic Statistics For The Beavioral Sciences (Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1987) pp. 224.
8 Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi (Bandung: Tarsito, 1992), pp. 47-48.
9 Kaplan, op.cit., p. 254.10 Kerlinger, op.cit., p. 457.
19
ada tiga tipe validity, yaitu: (1) criterion-related Validity,(2) content Validity, dan (3) construct Validity.11
Construct validity mempermasalahkan seberapa jauh item-itemtes mampu mengukur apa yang harus diukur sesuai dengandefinisi konseptual yang telah ditetapkan.12 Menyusun sebuahconstruct validity harus dimulai dari definisi teori untukkonstruk, dengan memberikan beberapa teori tentang prilaku,dan teori khusus dengan cara: (1) tujuan konstruk, (2)bagaimana hubungan antara konstruk, dan (3) bagaimanahubungan dari prilaku khusus yang tampak.13 Kerlingermenyatakan bahwa criterion related validity adalah membandingkan tesatau skor dengan satu atau beberapa variabel eksternal ataukriteria14 sedangkan Ghiselli menyatakan bahwa The Criterion
related validity digambarkan secara kuantitatif yang ditampilkanberupa tingkat hubungan antara skor predictor dan skor criterion.Tingkat hubungan ini dihitung dengan menggunakan rumuskoefisien korelasi Pearson seperti point biserial, biserial, phi
atau tetrachoric. Koefisien yang digunakan untuk mengindikasikantingkat hubungan antara skor predictor dan criterion biasanyadisebut dengan koefisien validitas.15
b. Reliabilitas Instrumen
11 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 267.12 Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., p. 73.13 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 282.14 Kerlinger, op.cit., p. 459.15 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 269.
20
Reliabilitas berasal dari kata reliability berartisejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasilpengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapakalipelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama,diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama.16 Agarinstrumen dalam penelitian ini dapat dipercaya maka harusmempunyai reliabilitas yang memadai.
Ghiselli menyatakan bahwa, The reliability of measurement (or the
lack it) is the extent of unsystematic in the quantitative description of some
characteristic of an individual when the same individual is measured a number of
times”17 Definisi ini memberikan asumsi dengan mengukurberulang-ulang prilaku seseorang dengan cara membedakan skorseseorang, seperti membedakan skor masing-masing individumenunjukkan variasi yang tidak sistematis. SedangkanKerlinger menyatakan bahwa reliabilitas adalah ketepatan atauketelitian dalam mengukur instrumen18 dan Marlene menyatakanbahwa reliabilitas mengacu pada suatu tingkatan dimana hasil-hasil pengukuran bebas dari kesalahan-kesalahan yang tidakdapat diramalkan
Reliabilitas instrumen untuk mengukur variabelperhatian orang tua digunakan rumus Alpha Cronbach untukmengestimasi konsistensi internal dari instrumen yang itemnyabukan skor 0 atau 1 (benar atau salah).19 Koefisienreliabilitas variabel tersebut dihitung setelah butirpernyataan yang tidak valid dibuang. 16 Djaali, Pudji Muljono, Ramly, op.cit., p. 81.17 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 191.18 Kerlinger, op.cit., p. 443.19 Kaplan, op.cit., p. 252.
21
c. Validasi oleh Pakar/Tenaga Ahli
Instrumen dimaksudkan untuk mengukur tingkat spiritualitas
/ religiusitas yang diukur melalui aspek: (a) ideologis,
(b) konsekuensial, (c) eksperiensial, (d) intelektual,
dan (e) ritualistik. Validasi tenaga ahli dilakukan
melalui prosedur Thurstone.
Kriteria penilaian berdasarkan atas:
a. Kesesuaian antara pernyataan dengan variabelb. Kesesuaian antara pernyataan dengan indikatorc. Kesesuaian antara pernyataan dengan indikator dan
variabeld. Penulisan pernyataan menggunakan kaidah bahasa Indonesia
yang benare. Pernyataan tidak ambigu/bermakna ganda
22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan “Research and Development”. Menurut Borg
dan Gall (1979:626), “ Educational research and development (R&D) is
process used to develop and validate educational products.” Dalam kaitan
ini Borg dan Gall menjelaskan bahwa, yang dimaksud produk
dalam konteks penelitian dan pengembangan pendidikan tidak
hanya terbatas pada bahan-bahan material saja seperti buku
teks, film pendidikan dan sejenisnya, akan tetapi juga
berhubungan dengan prosedur dan proses seperti misalnya
metode mengajar atau metode pengorganisasian pembelajaran.
Proses pelaksanaan “Research and Development” membentuk
suatu siklus yang diawali dengan melakukan suatu studi
pendahuluan untuk menemukan suatu produk pendidikan, kemudian
produk tersebut dikembangkan dalam suatu situasi tertentu,
diuji, direvisi, dan dikaji kembali, sampai pada akhirnya
ditemukan produk akhir yang dianggap sempurna yang
selanjutnya produk tersebut diuji validasinya. Apabila sudah
teruji, diharapkan dapat diterapkan untuk memperbaiki proses
pendidikan dalam upaya menghasilkan lulusan (output) yang
lebih baik.
23
Secara rinci prosedur penelitian dan pengembangan
(Research and Development) menurut Borg dan Gall membagi kedalam
10 tahapan pokok, yaitu:
1. Riset dan pengumpulan informasi yang meliputi penelaahan
literature dan observasi lapangan;
2. Perencanaan, meliputi pendefinisian produk yang akan
dikembangkan, perumusan tujuan dan menentukan urutan
pelajaran;
3. Pengembangan produk awal termasuk mempersiapkan bahan-
bahan pembelajaran, buku pegangan dan alat penilaian;
4. Uji lapangan produk awal yang telah dikembangkan dalam
skala terbatas. Pada uji lapangan ini data dikumpulkan
melalui wawancara, observasi dan angket, selanjutnya data
tersebut dianalisis untuk menemukan berbagai kelemahan dan
kekurangan;
5. Revisi produk awal setelah ditemukan berbagai kelemahan
dan kekurangan, selanjutnya produk awal tersebut
dikembangkan menjadi menjadi produk yang lebih baik;
6. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang
lebih luas. Pada tahap ini, data secara kuantitatif dari
subyek penelitian (siswa) baik sebelum maupun sesudah
proses pengembangan dikumpulkan, hasilnya divalidasi dan
dibandingkan dengan kelompok lain;
7. Revisi produk yang telah diuji lapangan pada tahap 6;
8. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang
lebih luas lagi. Pada tahap ini dilakukan wawancara,
24
observasi dan penyebaran angket untuk mengumpulkan data,
yang selanjutnya data tersebut dianalisis;
9. Revisi akhir produk (final product revision). Revisi ini
dilakukan berdasarkan hasil iji lapangan pada langkah 8;
10. Desiminasi dan distribusi, yaitu langkah melaporkan
produk yang telah dihasilkan pada pertemuan ilmiah serta
dipublikasikan melalui jurnal.
B. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh melalui penelitian ini
mengacu pada model penelitian dan pengembangan seperti yang
dikemukakan oleh Borg dan Gall. Atas dasar pertimbangan
kondisi dan situasi lapangan serta rekomendasi pihak terkait
(jurusan Tadris IPA STAIN Cirebon, jumlah mahasiswa sebanyak
300 mahasiswa), yang tidak mungkin membawa siswa pada situasi
laboris seperti yang dilakukan Borg dan Gall, maka proses
penelitian dan pengembangan model melalui uji coba terbatas
dan uji coba yang lebih luas, dilakukan di kelas reguler.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya terjadi penyederhanaan
walaupun prosedur penelitian yang ditempuh tetap mengacu pada
model penelitian dan pengembangan seperti yang disarankan
Borg dan Gall. Langkah-langkah dan prosedur penelitian yang
digunakan adalah:
1. Melakukan Pra-survai
Pra-survai dilakukan untuk pengkajian literatur dan
pengkajian lapangan sebagai upaya untuk memahami model dan
kondisi pembelajaran sains dewasa ini. Pengkajian lapangan
25
dilakukan bukan hanya terhadap kinerja dosen dalam
pengelolaan pembelajaran sains di LPTK PTAI, akan tetapi juga
cara belajar mahasiswa baik di kampus (di dalam kelas) maupun
di luar kampus.
Studi mengenai kinerja guru dan siswa merupakan fokus
penelitian pertama yang dianggap penting untuk diteliti,
sebab guru dan siswa merupakan subyek dalam proses
pembelajaran. Di samping guru dan siswa, studi pendahuluan
juga dilakukan dengan menganalisis kondisi kampus yang bukan
saja tentang fasilitas termasuk media pembelajaran yang
tersedia serta pemanfaatannya oleh guru, akan tetapi juga
tentang iklim sosial dan iklim psikologis warga kampus
seperti pimpinan perguruan tinggi, guru, staf administrasi
kampus dan siswa.
2. Menyusun Rencana Awal Model
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hasil pra-survai,
langkah selanjutnya adalah menyusun rancangan atau desain
awal pembelajaran. Proses pelaksanaan dalam rancangan dan
pengembangan model awal ini dilakukan dengan kolaborasi
bersama dosen mata kuliah khususnya.
3. Mengadakan Uji Coba
Uji coba yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji coba
terbatas dan yang lebih luas. Uji coba terbatas difokuskan
kepada evaluasi proses pada satu mata kuliah yang melibatkan
dosen dan mahasiswa semester 5/6, sedangkan uji coba yang
lebih luas difokuskan kepada evaluasi proses, juga difokuskan
26
kepada evaluasi hasil yang melibatkan dosen dan mahasiswa
semester 5/6 pada beberapa mata kuliah yang berbeda. Desain
uji coba dalam skala yang lebih luas digunakan desain tes
awal-tes akhir atau kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim,
1989:35). Desain uji coba lebih luas digambarkan sebagai
berikut:
Tes awal Variabel
bebas
(Perlakuan)
Tes akhir
T1 X T2
Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses uji coba yang
lebih luas sesuai dengan desain di atas adalah sebagai
berikut:
a. Menentukan sekelompok subyek penelitian;
b. Mengadakan tes awal (T1);
c. Mencobakan model pembelajaran (X);
d. Mengadakan tes akhir (T2), setelah proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran;
e. Mencari rata-rata baik tes awal (T1) maupun tes akhir
(T2), membandingkan keduanya;
Dengan metoda statistika dicari selisih perbedaan antara
kedua rata-rata tersebut, untuk menentukan ada dan tidaknya
pengaruh yang signifikan dari penggunaan model pembelajaran.
Selain analisis nilai rata-rata, dalam pelaksanaan uji coba
27
ini juga dilakukan analisis proses untuk penyempurnaan model
yang dikembangkan.
4. Melakukan Pengujian Model
Pengujian (validasi) model dilakukan untuk melakukan
efektifitas model pembelajaran yang akan dikembangkan dengan
model pembelajaran yang selama ini digunakan dalam proses
pembelajaran sains. Desain eksperimen yang digunakan adalah
desain statis dua kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim, 1989:37).
Bagan disain tersebut adalah sebagai berikut:
Kelompok Perlakuan
(variabel
bebas)
Tes akhir
(variabel
terikat)E
(eksperimen
)
K (kontrol)
X
-
Y
Y
Berdasarkan disain di atas, maka langkah-langkah dalam uji validasi adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kelompok eksperimen (KE) dan kelompok kontrol(KK), yaitu 3 kelompok kampus yang dijadikan subyek padauji coba yang lebih luas;
2. Melakukan perlakuan (X) yaitu untuk KE, dan pada KK diberikan pelajaran dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan ;
3. Mengadakan tes akhir (Y) baik untuk KE maupun untuk KK;4. Membandingkan gain, (selisih antara hasil tes awal dan
tes akhir) antara KE dan KK;5. Menguji signifikansi secara statistik perbedaan
tersebut.
28
C. Lokasi Penelitian
Lokasi dan Subyek Penelitian Pra-survai
Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon, Prodi
Tadris IPA-Biologi
1. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Coba Terbatas
Di STAIN Cirebon, Prodi Tadris IPA-Biologi
2. Lokasi dan Subyek Penelitian Kegiatan Uji Coba yang Lebih
Luas
Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon Prodi Tadris
IPA-Biologi
3. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Validasi Model
Pembelajaran
Penelitian dilakukan di kampus: STAIN Cirebon pada
pembelajaran di Prodi Tadris IPA-Biologi Jurusan Tarbiyah.
D.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah (1) pengamatan (observasi), (2) wawancara dan
kuesioner, (3) analisis dokumen dan (4) tes).
1.Pengamatan (observasi)
Pengamatan (observasi) dilakukan pada setiap tahapan
penelitian, baik pada tahap pra-survai, tahap pengembangan
maupun pada tahap uji coba yang lebih luas. Pada tahap pra-
survai observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang
pola pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh dosen dan
mahasiswa di dalam kelas, serta fasilitas termasuk media
29
pembelajaran sains yang tersedia dan penggunaannya dalam
proses pembelajaran.
Pada tahap uji coba baik terbatas maupun yang lebih
luas, observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang
pola pembelajaran dosen sains serta cara belajar mahasiswa.
2.Wawancara dan Kuesioner
Wawancara dan kuesioner digunakan pada tahap pra-survai,
tahap pengembangan model dan tahap uji coba. Pada tahap pra-
survai wawncara dan kuesioner digunakan untuk memperoleh
informasi dari guru dan siswa. Pada tahap pengembangan uji
coba model untuk mendapatkan informasi dalam rangka
penyempurnaan model yang sedang dikembangkan digunakan
wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara tidak berstruktur atau wawancara yang
menghendaki jawaban terbuka. Hal ini dimaksudkan agar sumber
data dapat mengemukakan pandangannya sesuai dengan
pendapatnya secara bebas.
Demikian juga penggunaan kuesioner. Alat pengumpul data
ini disusun secara bervariasi. Artinya, selain diberi
kemungkinan jawaban juga disediakan tempat yang memungkinkan
responden untuk menjawab sesuai dengan pendapatnya. Bentuk
kuesioner semacam ini dianggap efektif untuk menjaring data
sesuai dengan pertanyaan penelitian.
3.Analisis Dokumen
30
Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan berbagai
informasi khususnya untuk melengkapi data dalam rangka studi
pendahuluan, yaitu untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
berhubungan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
sains yang selama ini berlangsung.
4.Tes
Tes dalam penelitian ini adalah alat ukur yang diberikan
kepada individu untuk mendapatkan jawaban yang diharapkan
secara tertulis. Tes digunakan untuk mengukur ada atau tidak
adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran terhadap
penguasaan materi pembelajaran serta untuk menguji
efektifitas penggunaan model yang telah dipilih dibandingkan
dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh
dosen dalam pembelajaran sains. Tes dalam penelitian ini
adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
dengan uji coba model yang lebih luas serta uji validasi
model.
Tes yang digunakan bukan dalam penelitian ini bukan tes
baku atau tes standar. Akan tetapi tes yang disusun oleh
dosen bersama peneliti. Hal ini didasarkan kepada
pertimbangan bahwa tes prestasi belajar yang disusun sendiri
dapat mengungkapkan keberhasilan model pembelajaran. Nana
Sudjana, Ibrahim (1989:101) mengemukakan bahwa, dalam
penelitian pendidikan, penyusunan tes prestasi belajar buatan
peneliti sebagai alat pengumpul data jauh lebih baik daripada
tes baku atau sekedar mengumpulkan data sekunder dari dokumen
31
hasil belajar yang telah ada, sebab instrumen yang dihasilkan
dapat dipandang sebagai hasil penelitian itu sendiri.
E. Penyusunan Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian disusun sesuai dengan alat
pengumpul data seperti yang telah dikemukakan di atas.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan instrumen
penelitian ini adalah:
1. Menyusun kisi-kisi atau lay out penelitian untuk
memudahkan dalam menentukan dan penyusunan alat
pengumpul data, sesuai dengan jenis data yang
diperlukan;
2. Membuat kerangka pertanyaan setiap alat pengumpul
data yang telah ditentukan berserta kemungkinan
jawabannya. Alat pengumpul data seperti tes, kerangka
pertanyaan ditentukan bersama dosen pengampu mata
kuliah. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa
terdisfungsikan hanya untuk kepentingan pra dan
pasca-tes yang digunakan untuk memperoleh keandalan
model yang dikembangkan;
3. Menguji coba instrumen setelah sebelumnya meminta
pendapat dan pertimbangan ahli tentang instrumen yang
telah disusun. Pertimbangan para ahli dimaksudkan
untuk menguji validitas isi dan validitas konstruk.
Sedangkan uji coba dilaksanakan untuk menguji
keterbacaan instrumen;
32
4. Merevisi instrumen setelah mempertimbangkan hasil
konsultasi dengan ahli dan memasukan hasil uji coba
keterbacaan. Beberapa revisi yang disarankan oleh
ahli diantaranya tentang bentuk pertanyaan yang
diajukan yang sebaiknya tidak menimbulkan kesan
seperti menguji, serta bentuk option yang tidak
terbatas kepada option tertutup akan tetapi harus
memberi kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka.
Sedangkan hasil uji coba keterbacaan adalah adanya
saran tentang penjelasan istilah yang dianggap sulit
khusunya untuk siswa seperti istilah” media
pembelajaran;
5. Memperbanyak instrumen sebanyak subyek penelitian.
F.Analisis Data
Pendekatan “Research and Development” yang digunakan
dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh asesmen model
pembelajaran dalam pembelajaran sains berbasis imtak yang
sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, yang dapat digunakan
untuk meningkatkan pembelajaran sains di LPTK PTAI. Sesuai
dengan penelitian ini maka ada dua jenis data yaitu data
kualitatif dan data kuantitatif.
Data kualitatif dihasilkan dari studi pendahuluan atau
kegiatan pra survey baik dalam studi literatur maupun studi
lapangan, serta proses pengembangan dan penemuan model itu
sendiri baik melalui uji coba terbatas maupun uji coba lebih
luas, khususnya dalam upaya melihat pengaruh model yang
33
dikembangkan terhadap peningkatan kepribadian siswa islami
yang diajukan. Analisis data kualitatif dilakukan melalui
penafsiran secara langsung untuk menyusun kesimpulan. Hal ini
seperti diungkapkan Nana Sudjana dan Ibrahim (1989:126) bahwa
data kualitatif bisa disusun dan langsung ditafsirkan untuk
menyusun kesimpulan penelitian melalui kategorisasi data
kualitatif berdasarkan masalah dan tujuan penelitian.
Dijelaskan pula bahwa peneliti tidak perlu melakukan
pengolahan data melalui perhitungan matematis sebab data
telah memiliki makna apa adanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka data kualitatif
yang diperoleh dalam setiap tahapan penelitian setelah
dilakukan katagorisasi secara langsung ditafsirkan oleh
peneliti untuk selanjutnya diambil kesimpulan.
Data kuantitatif dilakukan dalam proses uji coba dan uji
validasi. Dalam proses uji coba, analisis data kuantitatif
digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan model terhadap
penguasaan materi pembelajaran sains, dengan mencari selisih
(gains) antara hasil pra dan pasca-tes. Sedangkan, pengujian
validasi digunakan untuk melihat efektifitas model
pembelajaran sebagai hasil pengembangan dibandingkan dengan
model pembelajaran yang selam ini digunakan oleh guru. Proses
analisis data dilakukan menggunakan bantuan komputer dengan
program SPSS versi 15.0.
G. Agenda Rencana Penelitian
No KEGIATAN RENCANA
34
.1 Persiapan teknis:
Seminar proposal
Perbaikan proposal
Penetapan lokasi dan ijin
penelitian
Bulan 1
2. Penilaian dan uji coba
instrumen
Bulan ke 1 dan 2
3. Penelitian pra-survai Bulan ke 2 dan 34. Analisis Pendahuluan Bulan ke 2 dan 35. Penyusunan draf awal model dan
review
Bulan ke 3 dan 4
6. Uji coba terbatas dan
penyempurnaan
Bulan ke 4, 5
dan 67. Uji coba lebih luas dan
penyempurnaan hingga ditemukan
model final
Bulan ke 6, 7
dan 8
8. Pengujian validasi Bulan ke 8, 9
dan 109. Penyusunan laporan Bulan ke 11 dan
12
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengembangan Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak
35
Pada bagian pertama dari penelitian ini, peneliti
terlebih dahulu melakukan penelusuran literature untuk
menyusun sebuah model pembelajaran yang sesuai bagi
pembelajaran sains berbasis iman dan takwa. Pembentukan
model pembelajaran ini merupakan suatu rangkaian kegiatan
hingga terbentuknya sebuah model yang dianggap solid. Proses
pembentukan model pembelajaran sains berbasis iman dan takwa
ini diawali dengan merumuskan ide-ide atau konsep-konsep
model hipotetis kurikulum yang memadukan sains dan imtak yang
dianggap cocok untuk diterapkan di perkuliahan. Dari gagasan
atau konsepsi tersebut selanjutnya dikembangkan rancangan
atau desain tertulis, model implementasi dan evaluasi atas
hasil yang diharapkan oleh guru sains.
1. Gagasan/Konsepsi Sains Berbasis Imtak
Hakikat Sains
Untuk membahas hakikat sains, diperlukan sebuah kajian
kritis yang tentunya akan membawa konsekuensi pada cara
pandang manusia dalam menanggapi dan menghayati sains. Cara
pandang yang sempit tentang sains akan mempengaruhi warna
yang diberikan kepada para siswa dalam proses pendidikan dan
pembelajaran sains. Terlepas dari materi apa yang diajarkan,
model pendidikan dan pembelajaran sains akan sangat
dipengaruhi oleh persepsi para pendidik tentang sains itu
sendiri.
36
Untuk membahas hakikat sains, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan, sehingga para memungkinkan para pendidik
untuk memahami pengertian sains secara lebih luas.20
1. Sains sebagai kumpulan pengetahuan
Sebagai kumpulan pengetahuan, sains mengacu pada
berbagai konsepsi sains yang sangat luas. Sains
dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan
yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai
pengetahuan yang terkini dan terbaru. Pengetahuan
tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi
yang menjelaskan tentang alam semesta.
2. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigasi)
Sebagai suatu proses penelusuran, sains pada umumnya
merupakan suatu pandangan yang Menghubungkan gambaran
sains yang berhubungan erat dengan kegiatan laboratorium
beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai suatu
displin ilmu yang ketat dari kegiatan pengamatan,
inferensi, hipotesis dan percobaan tentang alam semesta.
3. Sains sebagai kumpulan nilai
Sebagai kumpulan nilai, sains berhubungan erat
dengan penekanan sains sebagai proses. Bagaimanapun
juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah
yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai
20 R. Rohandi, Memberdayakan Anak melalui Penddikan Sains, dalam Sumaji,Pendidikan Sains Yang Humanitis, Penerbit Kanisius. Jakarta. 1998. hal.113-115
37
kejujuran, rasa ingin tahu (curiousity), dan keterbukaan
akan berbagai fenomena yang baru sekalipun
4. Sains sebagai cara untuk mengenal dunia
Proses sains dipengaruhi oleh cara manusia memahami
kehidupan dan dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini,
Sains dipahami sebagai salah satu cara manusia mengerti
dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka.
Diyakini, bahwa sains merupakan hal sangat penting dan
karenanya dipandang sebagai suuatu cara untuk memahami
alams emesta. Namun demikian, disadari pula bahwa sians
memiliki keterbatasan sebagai suatu keumpulan pengetahuan
dan strategi untuk memahami dunia secara komprehensif.
5. Sains sebagai Institusi Sosial
Sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai
kumpulan para profesional dan ilmuwan, dimana para
melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi penghargaan
akan karya yang dihasilkannya, didanai, dan diatur dalam
masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah, bahkan
dipengaruhi dalam politik. Kenyataannya, saat ini banyak
para ilmuwan mengembangkan sains berkaitan dengan
kepentingan negara ataupun tendensi tertentu.
6. Sains sebagai Hasil Konstruksi Manusia
Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains
sebenarnya merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah
mengenai hakikat alam semesta yang tidak lain merupakan
akumulasi kebenaran yang diperoleh. Hal pokok dalam
38
pandangan ini adalah sains merupakan kontruksi pemikiran
manusia, yang karenanya apa yang dihasilkan bisa jadi
memiliki sifat bias dan sementara.
7. Sains sebagai Bagian dari Kehidupan Sehari-hari
Manusia menyadari bahwa apa yang dipakai dan
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat
dipengaruhi oleh sains. Hal ini tidak semata-mata dalam
wujud produk teknologi sebagai hasil dari metode ilmiah
dalam sains, tetapi juga berupa bagaimana cara manusia
berpikir mengenai situasi sehari-hari yang sangat kuat
dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah.
Kritik terhadap Sains Modern dan Urgensi Sains Islam
Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang
sangat besar baik di bidang sains maupun teknologi, menurut
terminologi mereka, sejak mereka memisahkan aspek metafisik
dari pemikiran dan kehidupan mereka. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi
tersebut diikuti pula oleh berbagai dampak negatif yang
semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metafisiknya.
Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern
yang ada sekarang ini menyebar karena dominasi Barat di
bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos atau
sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern
atau sains Barat tidak mungkin bersifat universal, netral dan
39
bebas nilai. Dalam kerangka ini, sains seringkali
dikembangkan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi,
untuk pengembangan militer dan perlengkapan-perlengkapan
perang, serta untuk dominasi suatu ras manusia terhadap ras
lainnya, sebagaiman juga untuk mendominasi dan
mengeksploitasi alam semesta. Sejauh mana sains modern
bersifat universal, tidak netral, dan bebas nilai, para
ilmuwan muslim sendiri masih memiliki keragaman pendapat.
Sementara itu, Sayid Hossein Nasr memandang bahwa
isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu
pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga
seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya.
Naquib Al-Attas mengidentifikasikan nilai-nilai zaman
pencerahan (Renaissance) sebagai nilai-nilai dari sains dan
teknologi modern. Dia mengakui bahwa Islam pada tahap awal
evolusinya telah memberikan kontribusi yang sangat penting
terhadap sains dan teknologi Barat, "tetapi ilmu pengetahuan
dan semangat ilmiahnya yang rasional telah disusun dan
dibentuk kembali untuk disesuaikan dengan wadah peradaban
Barat sehingga ia mengalami peleburan dan amalgamasi dengan
semua elemen-elemen lain yang membentuk karakater dan
personalitas peradaban Barat.21 Karenanya, Sardar memandang
perlu untuk merekontruksi sains dan membentuk apa yang
disebut dengan sains Islam.
21 Sardar, Jihad Intelektual, Risalah Gusti, Jakrata. 2000. hal. 124-125
40
Pro dan Kontra Seputar Sains Islam dan Islamisasi Sains
Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin
Sardar melaporkan hasil perjalanannya ke delapan negara
muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi, Pakistan,
dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci yang
mewakili pendapat dan sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia
Islam terhadap sains modern dan teknologi modern. Sardar
mengklasifikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan
dan sikap yang membentuk suatu spektrum luas sikap ilmuwan
muslim terhadap sains modern.22
Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat
universal, netral dan bebas nilai, karenanya hanya ada satu
sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan yang
dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan
Tunisia yang diwakili oleh Ali El-Hilli. Bahkan El-Hilli
mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan rasionalitas
dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita
kompromikan obyektivitas dan netralitas sains dengan nilai-
nilai dan etika Islam, maka kita akan menghancurkan landasan
terdasar dari sains itu sendiri. Pandangan ini juga dianut
oleh sebagian ilmuwan di Mesir, Syiria dan Turki
Pandangan kedua, banyak dianut di Iran dan di Arab Saudi,
seperti diungkap oleh Abdulah Umar Nassef, “Sains sekarang
adalah sains Barat yang tumbuh dengan akar-akar budaya, etos,22 Nurhadi, Krisis Metafisik Sains Modern. Makalah Seminar " Islamisasi Sains dan Ilmu Pengetahuan. t.t.
41
ilusi dan nilai-nilai Barat. Karenanya, harus direkontruksi
dengan sains Islami. Dalam Islam, Sains harus tunduk di
bawah tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan umat Islam adalah
mempererat persaudaraan, mengurangi konsumsi dan meningkatkan
kesadaran spiritual”. Jelas bahwa pendapat ini menghendaki
Islamisasi Sains bukan saja pada tujuan Sains tetapi juga
landasan filosofisnya.. Karenanya, Waqar S. Hussaini
mengungkapkan bahwa “sains Islami tidak dapat dipisahkan
secara ontologis maupun etimologis dari konsep Islam tentang
Tuhan. Sains Islam adalah sains untuk ummat dan bekerja di
dalam parameter-parameter konsep Islam tentang maslahat dan
memajukan serta menjaga “Dhoruriyyat al Khomsah”.
Diantara kedua kutub pendapat di atas terdapat dua
pendapat lain. Pendapat Ketiga, misalnya seperti diungkap dari
Ali Kattani, “Sains Islam tidak berbeda secara radikal
terhadap sains Barat. Hanya saja prioritas riset dan
penekanannya berbeda sehingga baik kuantitas maupun kualitas
isinya juga berbeda. Begitu pula tujuan-tujuan pemakaiannya.”
Pandangan Keempat, merupakan pandangan ilmuwan Pakistan
dan Malaysia yang menganggap isi sains bersifat bersifat
universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan
Islami.
Di samping itu, terdapat pula pandangan lain yang pada
prinsipnya lebih menitikberatkan pada sains natural (sains
alam), seperti diungkap oleh Maurice Bucaille23. Ia23 Pandangan ini dikenal dengan Bucaillisme, dimana upaya utama dari
pandangan ini adalah membuktikan kemukjizatan Al Qur’an secara ilmiah,
42
beranggapan bahwa sains modern sekarang ini sudah Islami
justru karena unversalitasnya. Buktinya, banyak penemuan-
penemuan sains modern sudah diisyaratkan oleh Al Qur’an.
Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat spektrum sudut
pandang yang cukup luas dimulai dari universalisme sains yang
konservatif, pandangan Islamisasi moderat yang tidak
menganggap perlu Islamisasi filsafat sains, universalisme
liberal yang mengizinkan Islamisasi tujuan penerapan sains,
dan akhirnya baik tujuan maupun landasan filsafatnya perlu
diislamisasikan, serta paham Bucaillisme yang lebih
menitikberatkan pembuktian sains dengan Al Qur’an.
Paradigma Sains Islam
Sains Islam, menurut Sardar, sebagaimana dibuktikan oleh
sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan
mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban
Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk
mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai.
Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya
pada kesatuan agama dan sains, pengetahuan dan nilai-nilai,
fisika dan metafisika. Sedangkan menurut Osman Bakar,
kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber semangat
ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan.
Dalam pandangan Islam, cakupan sains tidaklah terbatas
pada aspek material yang bertebaran di jagat raya,
seperti terdapat pada karya utamanya Bible, Qur’an dan Sains Modern
43
sebagaimana pandangan Barat selama ini. Islam memberikan
ruang lingkup yang lebih luas terhadap sains yang meliputi
tiga aspek. Pertama, aspek metafisik yang dibawa oleh
wahyu. Aspek ini menjawab pertanyaan-pertanyaan abadi yang
selalu muncul dalam jiwa manusia, yaitu dari mana, ke mana,
dan bagaimana. Dengan memahami jawaban pertanyaan-pertanyaan
ini menjadikan manusia tahu akan dirinya, tahu perjalanan dan
misinya, dan tahu pula akan Tuhannya. Menurut Islam, ilmu
inilah yang menempati tempat tertinggi. Kedua, aspek
humaniora, dan studi-studi yang berkaitan dengannya, meliputi
pembahasan mengenai kehidupan manusia, psikologi, sosiologi,
ekonomi, politik, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan
dengan kebutuhan manusia. Ketiga, aspek material, yang
mencakup ilmu matematika dan ilmu alam, ilmu falak,
kedokteran, teknik, dan lain-lain. Tegasnya segala ilmu yang
dibangun di atas observasi dan eksperimen. Ketiga aspek ini,
menurut Islam tidak boleh dipisahkan satu dengan yang
lainnya, karena disinilah letak kekuatan dan kesatuan ilmu
dalam Islam seperti diisyaratkan Al Qur’an dalam surat
Fusshilat ayat 53 berikut :
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda(kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada mereka sendiri,sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnyaDia menyaksikan segala sesuatu.”
Dalam upaya mendefinisikan nilai-nilai pijakan sains
Islam, sebuah seminar tentang "Science and Values" telah
44
Ibadah
Khilafah
Zhulm
Dhiya'
Haram
Tauhid
'Ilm
'Adl
Istishlah
Halal
dilaksanakan pada September 1981 di Stockholm. Para peserta
seminar merekomendasikan bahwa realisasi kontemporer dari
sains Islam harus didasari oleh kerangka nilai yang merupakan
karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam. Kerangka
nilai tersebut terdiri atas sepeuluh konsep islami yang
secara bersama-sama membentuk kerangka nilai Islam.
Kesepuluh nilai tersebut adalah Tauhid, Khilafah, Ibadah, 'Ilm, Halal
dan Haram, 'Adl (keadilan sosial), Zhulm (kezaliman), Istishlah
(kemaslahatan umum), dan Dhiya' (kecerobohan), yang secara
diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut :24
Sebuah definisi mengenai sains Islam kini bisa
diformulasikan dalam terma kerangka nilai-nilai Qur'ani.
Paradigma-paradigma sains Islam adalah konsep-konsep Tauhid,
khilafah, ibadah. D idalam paradigma-paradigma ini, sains
24 Butt, op.cit. hal. 71
45
islam bekerja melalui perantaraan 'ilm untuk memajukan keadilan
sosial ('adl) dan kepentingan umum (istishlah). Oleh karena itu,
sains Islam bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran
ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu
pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian
maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas
ilmu pengetahuan obyektif. Berbeda dengan sains Barat yang
berupaya memperkembangkan nilai-nilai kebudayaan Barat dan
peradaban Barat, sains Islam mengembangkan nilai-nilai
pandangan dunia Islam.
Dari definisi mengenai Sains Islam di atas, dapatlah
dilihat bahwa tidak semua sains Barat berada di luar kerangka
nilai-nilai Islam. Sebagai contoh, dapat diungkap bahwa
gagasan tentang teknologi tepat guna, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, semuanya
cukup sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan sains Islam.
Lebih dari itu, semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk
memajukan keadilan sosial dan kemaslahatan, seperti misalnya
penelitian kedokteran untuk mengurangi rasa sakit dan
penderitaan manusia, penelitian dan pengembangan pertanian
untuk menanggulangi kelaparan dunia, konservasi alam dan
lingkungan, serta upaya-upaya untuk mengantisipasi dampak
negatif teknologi, secara otomatis akan membentuk sebagian
dari sains Islam.25
25 Sardar, op.cit, hal. 130
46
Hakikat Pendidikan Sains
Sains dari aspek dan epistemologi, didefinisikan sebagai
“Suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan
satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi
dan observasi, serta berguna untuk diamati dan
dieksprementasikan lebih lanjut”. Sebagai disiplin ilmu,
sains diidentikkan dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang
terediri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical
sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi,
mineralogi, meteorologi, dan fisika. Sedangkan life sciences
meliputi biologi, zoologi, dan fisiologi. Hal ini sejalan
dengan pendefinisian yang diberikan dalam Encyclopaedia of
Knowledge, 1993, dimana Sains / IPA didefinisikan sebagai
pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan positif
yang berkaitan dengan alam semesta. Perkembangan IPA
ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta saja, melainkan
juga oleh timbulnya metode ilmiah (scientific method) dan sikap
ilmiah (scientific attitude).26
Sementara itu, A.N. Whitehead menyatakan bahwa sains
dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman, yaitu orde
observasi yang didiasarkan pada hasil observasi terhadap
26 Abu Su’ud, 1993. Peranan Program MKDU dalam Upaya Memadukan Konsep-konsep IPA dan IPS di Perguruan Tinggi. Mimbar Pendidikan. No. 4/XII.IKIP Bandung. Bandung. hal. 18-19
47
gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada
konsep manusia mengenai alam semesta.27
Dengan demikian, Sains berupaya membangkitkan minat
manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahaman
tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak
habis-habisnya, yang pada akhirnya akan memperdekat rentang
jarak antara sains dengan teknologi sebagai terapannya.
Pendidikan Sains tentunya berbeda dengan sains itu
sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat. Bila
Sains ditujukan untuk mengembangkan Sains itu sendiri,
tetapi pendidikan sains ditujukan agar manusia mengerti dan
mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains. Lain
halnya dengan para saintis (ilmuwan), para praktisi dalam
pendidikan sains dituntut harus memperhatikan aspek-aspek
psikologis, sosial dan kultural.28
Meskipun pendidikan sains seringkali disamakan dengan
pengajaran sains, namun pendidikan sains dapat dibedakan
lebih jauh dari pengajaran sains. Dalam pengajaran sains,
para siswa terutama dilatih untuk memahami hubungan antar
(dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa
alam, serta kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak
terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu. Sementara
itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan,
27 Sumaji, Dimensi Pendidikan IPA dan Pengembangannya sebagai Disiplin Ilmu dalamSumaji, dkk. Pendidikan Yang Humanitis, Kanisius, . Jakarta, 1998. hal.31-32
28 Y. Marpaung,. Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji, Pendidikan Sains Yang Humanitis , 1998. hal.248-249
48
Psikologi
Sains
Pendidikan Sains
Pedagogi
Dll
menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan
serta sikap moral etis. Dengan demikian, pendidikan sains
lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif, dan
pengajaran sains lebih terfokus pada segi-segi kognitif dan
psikomotorik.29
Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains (dan
matematika) dapat dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan)
dengan ilmu-ilmu lain dimana, sains itu sendiri merupakan
disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan
sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi,
epistemologi, sosiologi, antropologi, bahasa dan lain-lain.30
Hubungan erat antar disiplin ilmu sebagaimana dimaksud
tersebut, dapat dilukiskan seperti pada diagram berikut :
Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Sains dengan
Disiplin ilmu lain
29 Liek Wilardjo, Secercah Pandangan tentang Pengajaran Sains , dalam Sumaji, Pendidikan Yang Humanitis, hal. 50-53
30 Y. Marpaung, Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji dkk, Pendidikan Sains Yang Humanitis, hal. 248-249
49
Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin ilmu
lainnya dalam Pendidikan Sains, berimplikasi pada
pengembangannya sebagai disiplin ilmu yang relatif masih
berkembang ini. Dimensi Pendidikan Sains, dengan sendirinya,
sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai sosial budaya,
etika moral dan agama.31
Perkembangan Konsepsi Pendidikan Sains
Sebagai disiplin ilmu tersendiri Pendidikan sains
relatif masih berusia muda. Sebagai gambaran, berikut ini
diberikan gambaran perkembangan sains di negara lain, Amerika
Serikat. Sampai tahun 1950, pengajaran sains di Amerika
Serikat sangat menekankan pada segi-segi praktis, vokasional,
dan aspek-aspek humanitarian dari sains. Sebagai illustrasi,
pengajaran Biologi pada masa tersebut tidak terlalu teoretis,
memberikan penekanan pada aspek-aspek praktis, ekologis,
ekonomis, dan hubungannya dengan kesejaheteraan ummat
manusia. Sehingga topik-topik yang berkembang adalah
disekitar masalah-lingkungan hidup, pencegahan penyakit,
higiene, dan pertanian. Begitu pula, pengajaran fisika
dipenuhi dengan persoalan-persoalan praktis dan illustrasi
penerapan fisika dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga
biasa dijumpai dalam pelajaran fisika masa itu, pokok bahasan
tentang listrik berisi pembahasan cara kerja telepon,
seterika listrik, rangkaian listrik dalam rumah, sekering dan
31 Sumaji, op.cit. hal. 37-39
50
cara kerja berbagai peralatan rumah tangga. Demikian pula,
dalam pokok bahasan fluida dibahas sistem aliran air di dalam
kota, rem hidrolik, dan hal lain sejenisnya.
Pada tahun 1950-an terjadi suatu reformasi pendidikan
sains di Amerika Serikat yangdipicu oleh oleh hasil
penelitian bahwa jumlah mahasiswa yang memasuki bidang-bidang
sains dan matematika semakin berkurang. Upaya reformasi itu
diperkuat oleh peristiwa peluncuran Sputnik oleh Uni Soviet,
yang membuat bangsa Amerika merasa tertinggal dalam hal sains
dari Rusia dan berusaha mengejar ketertinggalan tersebut.
Situasi ini mendorong para akademisi, ilmuwan dan para
profesional merancang reformasi pendidikan sains yang lebih
ke arah akademik. Hasilnya adalah rumusan pengajaran sains
yang lebih teoretis, lebih menekankan pada struktur keilmuan.
Periode ditandai dengan diterbitkannya buku Physical Science
Study Committee (PSSC) yang disusun oleh sekelompok fisikawan
dari Massachussets Institute of Technology. Buku yang
dijadikan sebagai buku standar di Amerika Serikat dan dipakai
juga di banyak negara di dunia termasuk di Indonesia
tersebut, memfokuskan pada struktur konsep-konsep fisika, dan
menyampaikannya sebagai suatu ilmu, sehingga aspek terapan
hampir tidak ada.32
Sementara itu, bersamaan dengan bekerjanya PSSC, begitu
juga halnya dengan kelompok ilmuwan bidang studi lain. Dalam32 T. Sarkim, Humaniora dalam Pendidikan Sains, dalam Sumaji dkk, Pendidikan
Sains Yang Humanitis, hal. 135-137. Sebagai bahan perbandingan lihatjuga, Anna Poedjiadi, Pembaharuan Pandangan dalam Pendidikan Sains, MimbarPendidikan No. 4/XIII/1994
51
bidang Biologi juga terdapat upaya serupa dengan dibentuknya
Biological Science Curriculum Study (BSSC) dari American Institute of
Biological Science. Dalam bidang Kimia juga terdapat The Chemical
Education Material Study dari Harvey Mudd College and University of
California, sedangkan dalam Matematika terdapat School Mathematics
Study Group dari Yale University.33
Pada tahun 1980-an terjadi perubahan strategi pendidikan
sains yang ditandai dengan dipromosikannya konsep Scientific
Literacy yang menyangkut pandangan terintegrasi sains dengan
teknologi, masyarakat, nilai dan etika. Pembaruan ini terus
berlanjut dengan pencanangan “toward scientifically literate society”
dengan menggunakan pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat /
STM (Science-Technology-Society / STS). Pendekatan ini
dipilih sebagai pendekatan dipandang yang cocok untuk
mengajarkan sains yang terarah pada pengembangan masyarakat
yang scientifically literate.34
Beberapa Prinsip Dasar Pendidikan Sains Islam
Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, pengembangan
Pendidikan Sains juga dapat dilakukan dengan memperhatikan
perspektif Islam tentang Pendidikan dan Sains. Sebagai acuan
dasar bagi pengembangan Pendidikan Sains dalam perspektif
33 Uraian lebih lengkap dapat dilihat pada Sukarno dkk, Dasar-dasar Pendidikan Sains, Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 1981. hal. 91-124
34 T. Sarkim, op.cit. hal. 138 dan Anna Poedjiadi, op.cit, hal 57
52
Islam tersebut, Nasim Butt mengajukan 3 prinsip dasar
sebagai berikut :35
1. Iman dan Nilai dalam Pendidikan Sains
Iman dan nilai tidak dapat diabaikan begitu saja, dan
sudah semestinya diberi kedudukan sentral dalam sistem
pendidikan. Dalam pendidikan sains, terdapat berbagai
pokok pembahasan yang sarat nilai. Antara lain,
topik-topik yang berkaitan dengan penerapan analisa
lingkungan, rekayasa genetika, seksualitas, tenaga
nuklir, dan perosalan-persoalan yang berkaitan dengan
permulaan dan akhir dari kehidupan. Disamping itu, juga
terdapat topik-topik kontroversial lain yang membutuhkan
pembahasan dari perspektif nilai dan moral agama,
seperti teori evolusi, kontroversi pemanfaatan
teknologi, dan hukum-hukum kekekalan energi dan materi.
Karenanya, reformasi pendidikan sains juga mensyaratkan
upaya mengintegrasikannya dengan nilai moral dan
keimanan.
Satu hal terpenting yang dilakukan Kuhn adalah
membawa konsep nilai ke dalam tubuh sains. Pasca
aliran Kuhn, sudah tidak relevan lagi untuk berpendapat
bahwa pendidikan sains benar-benar bebas nilai dan
obyektif. Sekalipun obyektifitas adalah tujuan utama
sains modern, tak urung keseluruhan faktor subyektif35 Pembahasan secara luas tentang 3 prinsip dasar ini dapat dilihat pada
Naim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, hal. 127-151
53
akan selalu mempengaruhi persepsi, teori, seleksi dan
proses pengolahan data. Sebaliknya, iman dan nilai
bukanlah merupakan persoalan pilihan pribadi yang
sederhana, akan tetapi memiliki satu realitas di luar
individu dalam mengikat masyarakat dengan sekat moral
yang akan memperkuat landasan etikanya. Sementara itu,
sebuah sistem pendidikan sekuler tidak memiliki sikap
yang holistik pada kehidupan dan hanya memberi sedikit
perhatian pada upaya peningkatan nilai-nilai positif
Ketuhanan dan Kesucian. Pemahaman akan pentingnya iman
dan nilai inilah yang mendorong para ilmuwan dan
cendekiawan muslim untuk memasukkan semangat nilai-nilai
Islam sebagai pandangan dunia dan peradaban Islam ke
dalam sains.
2. Memanusiawikan Sains Dalam Kelas
Dimensi manusia harus menjadi bagian yag terpadu
dengan pengajaran sains, karena proses penemuan sains
adalah satu hal yang menyeluruh. Dalam rangka
memanusiawikan sains dalam ruang kelas, sains harus
diajarkan pada siswa dengan cara yang yang sesuai dengan
konteks masyarakat dan budaya.
3. Menyatukan Agama dan Sains di Sekolah
Ide bahwa ilmu pengetahuan sains dan pengetahuan
agama adalah saling berdiri sendiri merupakan cara
pandang ilmu pengetahuan barat yang sekuler yang
menekankan bahwa tidak ada relevansi santara sains
54
dengan agama. Tanpa adanya pegajaran yang terpadu dan
terencana, siswa dengan sendirinya akan menerapkan
bentukan pemikiran sekuler yang berlaku selama ini, dan
menerima adanya pertentangan antara sains dan agama,
baik disadari ataupun tidak.
Sehubungan dengan upaya untuk menjabarkan upaya praktis
dalam pendidikan sains Islam, Zaghlul Al-Najjar, mengajukan
beberapa langkah berupa Garis-garis Besar Upaya Penulisan
Ulang dan Pengajaran Sains dalam Perspektif Islam yang antara
lain dapat digambarkan sebagai berikut :36
1. Menekankan pentingnya Sains dan Penyelidikan ilmiah
dalam Islam
2. Menunjukkan bahwa Alam semesta yang sedemikian
rumit dan luasnya, tidak mungkin terjadi dengan dengan
sendirinya, melainkan dengan campur tangan Sang
Pencipta (Al-Khaliq)
3. Menegaskan bahwa alam semesta dibangun diatas basis
yang sama, baik dari unit terkecil sampai dengan yang
terbesar, yang kesemuanya saling berubah dan
berhubungan.
4. Menegaskan bahwa alam semesta tidaklah abadi; yang
dengan demikian, dalam perspektif Islam tidak dikenal
adanya konsep kekalan energi dan materi.
36 Al-Najjar, Zaghlul, Islamizing The Teaching of Science : A Model in Challenge andResponse, dalam Islam : Source and Purpose of Knowledge, IIIT, hal 146-149
55
5. Menunjukkan bahwa sains, dalam pengertian
terbatas, merupakan upaya manusia untuk mengeksplorasi
alam semesta ciptaan Allah SWT, hukum-hukum
keteraturan yang mengaturnya.
6. Memberikan penegasan bahwa eksperimentasi sains
adalah sebagian dari metode untuk memperoleh
pengetahuan, di antaranya metode lainnya, tanpa
terlepas dari wahyu ilahi.
7. Menekankan fakta bahwa eksperimentasi sains akan
dapat membawa pada pembuktian eksistensi yang ghaib
8. Menunjukkan fakta bahwa eksperimentasi sains pada
hakikatnya tidaklah dapat mengenali esensi kehidupan,
akan tetapi hanya mempelajari fenomena kehidupan.
Yang kita ketahui sampai saat ini diantaranya, detail
komposisi kimiawi dari sel hidup, akan tetapi kita
tidak dapat membuatnya.
9. Menunjukkan bahwa ayat-ayat Al Qur'an mengandung
isyarat-isyarat ilmiah tentang sains. Tidak kurang
dari 750 ayat berfungsi sebaai isyarat sains dan
kealaman, meskipun Al Qur'an bukanlah buku teks sains.
10. Memberikan penekanan bahwa otak manusia, naluri dan
berbagai bagian tubuh lainnya yang dapat menjadi
penghantar kepada sains, merupakan anugerah ilahi yang
selayaknya didayagunakan secara semestinya.
56
11. Menunjukkan kontribusi para ilmuwan muslim dalam
berbagai bidang sains, yang seringkali dikaburkan dan
dihilangkan dari sejarah perkembangan sains.
Dalam kaitan operasionalisasi dari upaya-upaya
islamisasi dalam pendidikan sains, sebagaimana ditunjukkan
pada Garis-garis besar diatas, maka Al Najjar lebih lanjut
merekomendasikan, antara lain : Revisi terhadap buku-buku
teks sains, terutama untuk sekolah dasar, menengah dan
program sarjana; Restrukturisasi kurikulum dan silabus yang
dipergunakan dalam pendidikan dan pengajaran sains.
2. Draft Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak
Berdasarkan telaah terhadap berbagai gagasan dan konsep
di atas, penulis mencoba merumuskan sebuah model pembelajaran
sains berbasis imtak, yang secara ringkas dapat diuraikan
sebagai berikut:
Lang-kah
Bentuk Kegiatan Kegiatan Dosen KegiatanMahasiswa
1 PendahuluanKlarifikasi tujuanpembelajaranMenjelaskan kegiatanpembelajaranMemotivasi danmenginterasikannilai imtak
Dosenmenjelaskantujuanperkuliahan
Menyimak,merespon
2 Penjelasan materiperkuliahan
Dosenmenjelaskan
Mahasiswamerespons dan
57
danmelaksanakankegiatanpembelajaran,baik ituberupaperkuliahanataupunpraktikum
berinteraksidalam kegiatanpembelajaran;menggalisumberbelajar, untukbahan diskusi
3 Kegiatan di luarperkuliahan (antarapertemuan satudengan pertemuanberikutnya) Eksplorasi materiperkuliahan
Dosenmemberikanarahan danbimbingandalam materisains danimtak sertamemberikanbimbingandalam diskusikelompok danpembuatanlaporan
Melakukaneskplorasimateriberdasarkanlembar kerja,diskusikelompok danmembuatlaporan
4 Penyampaian laporanhasil eksplorasi /diskusi kelompok
Dosenmemberikanarahan diskusidanklarifikasi
Menyampaikanlaporan,mendiskusikandanklarifikasi
Model pembelajaran yang terdiri dari empat sintaks
pembelajaran tersebut dapat disinergikan dengan berbagai
strategi dan teknik pembelajaran sains, tentu saja dengan
dengan penyesuaian tertentu tanpa merubah sintaks
pembelajaran tersebut secara umum.
3. Draf Awal Instrumen Asesmen Spiritualitas Mahasiswa
58
Untuk mengembangkan instrument spiritualitas, peneliti
menggunakan memodifikasi konsep religiusitas sebagaimana
dikembangkan oleh Glock & Stark (dalam Ancok,1985; Turmudhi,
1991; Safaria, 1999). Dalam hal ini, dengan demikian
spiritualitas dapat diartikan terdiri dari 5 dimensi, yaitu
1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang
menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap
kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran
fundamental atau dogma
2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi
yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam
mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di
dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan
kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah,
sembahyan, puasa, dll
3. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau
experiental dimension), yaitu yang menunjukkan seberapa
jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami
perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman
religiusnya. Misalnya seberapa besar seseorang merasakan
kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya
terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan
pertolongan
4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang
menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang
terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat
59
dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya,
apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat,
bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa
yang benar, dll.
5. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang
menunjukkan tingkatan seseorang dalam berprilaku yang
dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh
seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku
hidupnya sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamanya
mengajarkan untuk beramal, maka dengan senang hati
mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang
oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohong atau
memakai narkoba.
Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut, peneliti
mengembangkan indikator-indikator sebagai berikut:
NO Dimensi Indikator1 Ideologis a. Keyakinan pada tuhan
b. Keyakinan pada kebenaran agama
c. Keyakinan pada ajaran agama
Nya
d. Keyakinan pada anugerahNya
e. Keyakinan pada Keadilan NYa
f. Keyakinan pada pertolonganNya2 Eksperiensial a. Pengaruh Tuhan dalam
kehidupan
60
b. Kedekatan pada Tuhan
c. Kehidupan spiritual
d. Kebersamaan Tuhan dalam
kehidupan3 Konsekuensial a. Pengamalan ajaran agama
b. Kepedulian pada agama
c. Kepedulian pada sesama4 Intelektual a. Pemahaman akan hakekat Tuhan
b. Pemahaman akan ajaran agama
c. Pemahaman akan spiritualitas
5 Ritualistik a. Prilaku ibadah ritual
b. Prilaku ibadah sosial
Berdasarkan indikator-indikator tersebut, penulis
mengembangkan butir- butir pernyataan yang akan digunakan
sebagai instrument spiritualitas. Butir-butir tersebut
adalah sebagai berikut:NO PernyataanA Ideologis1 Saya bosan dengan ajaran agama2 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam3 Keadilan tuhan tidak perlu saya pertanyakan4 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas5 Ketika menghadapi masalah, saya yakin bahwa Tuhan akan membantu
saya6 Saya tidak memahami hakekat tuhan7 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari
61
Tuhan8 Dalam kehidupan, saya tidak butuh petunjuk tuhan9 Saya tidak meyakini bahwa Tuhan ada dalam kehidupan saya10 Saya meyakini tuhan ada dalam kehidupan saya11 Ketika dalam kesusahan, saya meyakini bahwa Allah SWT akan
memberikan jalan terbaiknya12 Saya menggantungkan harapan-harapan saya kepada kasih sayang
Allah SWT13 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh makhluk
Nya14 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam15 Kebenaran agama menurut saya sangat relative16 Agama saya adalah agama yang kebenarannya mutlakB Eksperiensial17 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna18 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja19 Saya merasa spiritualitas saya kering dan gersang20 Secara umum, saya merasa dekat dengan Allah SWT21 Saya tidak tahu apakah saya merasa dekat dengan Allah SWT22 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan
dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari23 Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya24 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan
dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari25 Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya26 Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT27 Saya sulit merasakan seberapa dekat saya dengan allah28 Saya cenderung tidak mau tahu tentang kehidupan spiritual saya29 Saya merasa Tuhan telah berlaku tidak adil dalam kehidupan saya30 Saya tidak merakasan bantuan tuhan dalam permasalahan yang saya
hadapi31 Bagiku, doa-doa yang saya panjatkan memberikan kekuatan
62
tersendiri bagi hidup saya32 Saya merasa Tuhan menyertai langkah-langkah hidup saya33 Saya tidak merasakan tuhan menyertai langkah hidup saya34 Saya merasa hidup saya penuh dosa35 Kedekatan saya dengan Tuhan telah memberikan banyak pencerahan
dalam hidup saya36 Kehidupan spiritual saya terasa gersang37 Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan kebaikan
untuk orang tersebutC Konsekuensial38 Saya tidak peduli dengan ajaran-ajaran Islam39 Saya tidak dapat menghayati kegiatan ibadah saya sendiri40 Saya cenderung apatis terhadap spiritualitas41 Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya sehari-
hari42 Saya mengamalkan ajaran islam yang saya perlukan saja43 Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara konsisten44 Saya mengamalkan ajaran agama semampu saya45 Saya tidak perduli dengan ajaran agama46 Ajaran agama tidak berpengaruh apa-apa bagi saya47 Saya tidak biasa memanjatkan doa48 Bagi saya, kasih sayang harus diberikan kepada setiap manusia49 Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap saya50 Saya berusaha banyak berbuat kebajikan dalam hidup sayaD Intelektual51 Saya memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan
spiritual saya52 Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri53 Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan54 Saya memahami ajaran agama saya55 Saya kurang memahami tata cara ibadahE Ritualistik
63
56 Saya selalu melaksanakan shalat fardlu57 Saya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib58 Saya terbiasa melaksanakan shalat dluha59 Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud60 Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan61 Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah62 Saya terbiasa membaca alquran63 Saya terbiasa membaca buku agama64 Saya terbiasa berinfak/sedekah65 Saya selalu melaksanakan silaturahmi
Berdasarkan hasil pengembangan kisi-kisi tersebut,
peneliti kemudian mengembangkan dua macam instrument
spiritualitas, yaitu instrument skala Thurstone dan
instrument skala Likert.
4. Validasi Instrumen Spiritualitas Skala Thurstone
Spiritualitas dalam pandangan Glock dan Stark (2008:53)
dapat diindikasikan dari lima aspek, yakni dimensi ideologis,
dimensi ekperiensial, dimensi konsekuensial, dimensi
intelektual dan dimensi ritualistik.
Instrumen pengukur spiritualitas mahasiswa ini
dikembangkan dengan memakai skala Thurstone (metode equal
appearing interval). Pertama-tama dilakukan kajian teoretik yang
mendalam tentang sikap ilmiah mahasiswa untuk dapat menyusun
definisi konseptual. Dari sini kemudian diturunkan pernyataan
pernyataan yang mencerminkan definisi operasional berdasarkan
patokan kawasan. Jumlah pernyataan yang dikembangkan dengan
cara ini adalah 65 butir, dengan catatan bahwa diusahakan
64
agar pernyataan-pernyataan tersebut berbobot dari 1 sampai 11
(sangat negatif sampai sangat positif). Kesemua pernyataan
tersebut diberikan kepada 6 orang penilai (dosen sains yang
juga merupakan mahasiswa program doktor penelitian dan
evaluasi pendidikan) untuk menentukan bobot masing-masing
pernyataan. Berdasarkan respons yang diberikan oleh para
penilai kemudian ditentukan nilai skala (S) dan rentangan
kuartil (Q) setiap pernyataan. Frekuensi pernyataan respons,
nilai S, dan nilai Q untuk setiap pernyataan dapat dilihat
dari lampiran. Kesemua pernyataan tersebut diurutkan kembali
berdasarkan nilai S yang diperoleh. Setelah itu dilakukan
pemilihan pernyataan. Dalam hal terdapat dua pernyataan yang
ternyata mempunyai nilai S sama, maka dipilih pernyataan yang
mempunyai rentangan Q terkecil. Pernyataan-pernyataan yang
terpilih kemudian disusun secara acak.
NomorButir
Interval Nilai
Skala
NilaiQ
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
3
f 1 1 2 2
9.00 2.75
p 0 0 0 0 0 00.167
0.167
0.333 0
0.333
pk 0 0 0 0 0 0
0.167
0.333
0.667
0.667 1
1
f 1 2 1 2
2.50 2.00
p0.167
0.333
0.167
0.333 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.167 0.5
0.667 1 1 1 1 1 1 1 1
2
f 2 3 1
2.83 1.08
p 00.333 0.5
0.167 0 0 0 0 0 0 0
pk 0
0.333
0.833 1 1 1 1 1 1 1 1
5 f 3 1 2 8.50 1.7
65
5p 0 0 0 0 0 0 0 0.5
0.167
0.333 0
pk 0 0 0 0 0 0 0 0.5
0.667 1 1
4
f 3 2 1
9.50 1.25
p 0 0 0 0 0 0 0 0 0.50.333
0.167
pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5
0.833 1
10
f 1 1 2 2
9.00 2.75
p 0 0 0 0 00.167
0.167 0
0.333
0.333 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333
0.333
0.667 1 1
6
f 2 3 1
1.83 1.08
p0.333 0.5
0.167 0 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.333
0.833 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7
f 3 3
1.50 1.00
p 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0pk 0.5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8
f 1 2 1 1 1
3.50 2.25
p 00.167
0.333
0.167
0.167 0 0
0.167 0 0 0
pk 0
0.167 0.5
0.667
0.833
0.833
0.833 1 1 1 1
9
f 1 1 1 2 1
4.50 3.25
p0.167
0.167 0
0.167
0.333 0
0.167 0 0 0 0
pk
0.167
0.333
0.333 0.5
0.833
0.833 1 1 1 1 1
21
f 1 3 1 1
3.17 3.33
p 00.167 0.5 0 0
0.167
0.167 0 0 0 0
pk 0
0.167
0.667
0.667
0.667
0.833 1 1 1 1 1
26
f 1 2 2 1
4.50 1.50
p0.167 0 0
0.333
0.333
0.167 0 0 0 0 0
pk
0.167
0.167
0.167 0.5
0.833 1 1 1 1 1 1
11
f 1 2 1 2
8.50 2.00
p 0 0 0 0 0 00.167
0.333
0.167
0.333 0
pk 0 0 0 0 0 0
0.167 0.5
0.667 1 1
12 f 1 1 1 1 2 8.50 2.7
66
5p 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.167
0.167
0.333 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333 0.5
0.667 1 1
13
f 1 2 2 1
8.50 1.50
p 0 0 0 0 00.167 0
0.333
0.333
0.167 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.167 0.5
0.833 1 1
18
f 2 1 2 1
7.50 3.00
p 0 0 0 0 00.333
0.167 0
0.333
0.167 0
pk 0 0 0 0 0
0.333 0.5 0.5
0.833 1 1
17
f 1 1 3 1
8.83 2.33
p 0 0 0 0 00.167
0.167 0 0.5
0.167 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333
0.333
0.833 1 1
23
f 2 1 1 1 1
3.50 2.75
p 00.333
0.167
0.167
0.167
0.167 0 0 0 0 0
pk 0
0.333 0.5
0.667
0.833 1 1 1 1 1 1
15
f 1 3 2
3.17 1.08
p0.167 0 0.5
0.333 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.167
0.167
0.667 1 1 1 1 1 1 1 1
14
f 1 1 4
8.75 1.13
p 0 0 0 0 00.167 0
0.167
0.667 0 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.333 1 1 1
19
f 1 1 1 2 1
3.50 2.25
p0.167
0.167
0.167
0.333
0.167 0 0 0 0 0 0
pk
0.167
0.333 0.5
0.833 1 1 1 1 1 1 1
16
f 1 3 2
10.17
2.08
p 0 0 0 0 0 0 00.167 0 0.5
0.333
pk 0 0 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.667 1
20
f 1 1 3 1
9.83 1.33
p 0 0 0 0 0 00.167 0
0.167 0.5
0.167
pk 0 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.333
0.833 1
67
22
f 2 1 3
9.50 2.75
p 0 0 0 0 0 00.333 0
0.167 0.5 0
pk 0 0 0 0 0 0
0.333
0.333 0.5 1 1
25
f 2 2 2
3.00 1.50
p 00.333
0.333
0.333 0 0 0 0 0 0 0
pk 0
0.333
0.667 1 1 1 1 1 1 1 1
24
f 1 2 2 1
8.50 1.50
p 0 0 0 00.167 0 0
0.333
0.333
0.167 0
pk 0 0 0 0
0.167
0.167
0.167 0.5
0.833 1 1
27
f 3 2 1
3.50 1.25
p 0 0 0.50.333
0.167 0 0 0 0 0 0
pk 0 0 0.5
0.833 1 1 1 1 1 1 1
31
f 2 1 1 2
8.50 2.75
p 0 0 0 0 0 00.333
0.167
0.167
0.333 0
pk 0 0 0 0 0 0
0.333 0.5
0.667 1 1
f 1 1 1 2 1
7.50 2.25
p 0 0 0 00.167
0.167
0.167
0.333
0.167 0 0
pk 0 0 0 0
0.167
0.333 0.5
0.833 1 1 1
f 1 1 2 2
8.00 1.75
p 0 0 0 0 00.167
0.167
0.333
0.333 0 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333
0.667 1 1 1
32
f 1 2 1 2
9.50 2.00
p 0 0 0 0 00.167 0 0
0.333
0.167
0.333
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.167 0.5
0.667 1
28
f 2 1 1 2
3.50 2.50
p 00.333
0.167
0.167
0.333 0 0 0 0 0 0
pk 0
0.333 0.5
0.667 1 1 1 1 1 1 1
35 f 1 3 1 1 9.17 1.33
p 0 0 0 0 00.167 0 0 0.5
0.167
0.167
p 0 0 0 0 0 0.167
0.167
0.167
0.667
0.833
1
68
k
34
f 1 2 1 2
9.50 2.00
p 0 0 0 0 00.167 0 0
0.333
0.167
0.333
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.167 0.5
0.667 1
29
f 3 1 1 1
1.50 2.00
p 0.50.167
0.167 0
0.167 0 0 0 0 0 0
pk 0.5
0.667
0.833
0.833 1 1 1 1 1 1 1
64
f 1 2 3
10.50
1.25
p 0 0 0 0 0 00.167 0 0
0.333 0.5
pk 0 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.167 0.5 1
37
f 2 1 1 2
6.50 2.50
p 0 0 0 00.333
0.167
0.167
0.333 0 0 0
pk 0 0 0 0
0.333 0.5
0.667 1 1 1 1
30
f 1 1 1 2 1
3.50 2.25
p0.167
0.167
0.167
0.333
0.167 0 0 0 0 0 0
pk
0.167
0.333 0.5
0.833 1 1 1 1 1 1 1
33
f 3 1 2
1.50 1.75
p 0.50.167
0.333 0 0 0 0 0 0 0 0
pk 0.5
0.667 1 1 1 1 1 1 1 1 1
65
f 1 2 1 2
9.50 2.00
p 0 0 0 0 0 0 00.167
0.333
0.167
0.333
pk 0 0 0 0 0 0 0
0.167 0.5
0.667 1
42
f 1 1 2 1 1
8.00 3.00
p 0 0 0 00.167
0.167 0
0.333
0.167
0.167 0
pk 0 0 0 0
0.167
0.333
0.333
0.667
0.833 1 1
36
f 4 1 1
1.25 1.13
p0.667
0.167
0.167 0 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.667
0.833 1 1 1 1 1 1 1 1 1
41 f 1 2 2 1 8.50 1.50p 0 0 0 0 0 0.1
670 0.3
330.333
0.167
0
69
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.167 0.5
0.833 1 1
44
f 1 1 1 1 2
8.50 2.75
p 0 0 0 0 00.167
0.167
0.167
0.167
0.333 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333 0.5
0.667 1 1
38
f 2 1 1 1 1
2.50 2.75
p0.333
0.167
0.167
0.167
0.167 0 0 0 0 0 0
pk
0.333 0.5
0.667
0.833 1 1 1 1 1 1 1
42
f 1 1 1 1 1 1
6.50 4.00
p 00.167 0 0
0.167
0.167
0.167 0
0.167
0.167 0
pk 0
0.167
0.167
0.167
0.333 0.5
0.667
0.667
0.833 1 1
43
f 4 2
9.25 0.88
p 0 0 0 0 0 0 0 00.667
0.333 0
pk 0 0 0 0 0 0 0 0
0.667 1 1
39
f 1 1 2 1 1
3.00 2.00
p0.167
0.167
0.333
0.167
0.167 0 0 0 0 0 0
pk
0.167
0.333
0.667
0.833 1 1 1 1 1 1 1
51
f 1 1 1 1 2
9.50 3.75
p 0 0 0 0 00.167
0.167 0
0.167
0.167
0.333
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333
0.333 0.5
0.667 1
40
f 2 2 2
3.00 2.50
p0.333 0
0.333
0.333 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.333
0.333
0.667 1 1 1 1 1 1 1 1
49
f 1 2 1 2
7.50 3.00
p 0 0 0 0 00.167
0.333 0
0.167
0.333 0
pk 0 0 0 0 0
0.167 0.5 0.5
0.667 1 1
50
f 1 1 1 2 1
8.50 2.00
p 0 0 0 0 00.167
0.167
0.167
0.333
0.167 0
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.333 0.5
0.833 1 1
45 f 2 1 1 2 2.50 2.50p 0.3 0.1 0.1 0.3 0 0 0 0 0 0 0
70
33 67 67 33pk
0.333 0.5
0.667 1 1 1 1 1 1 1 1
46
f 2 3 1
2.83 2.08
p0.333 0 0.5
0.167 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.333
0.333
0.833 1 1 1 1 1 1 1 1
48
f 1 1 2 1 1
9.00 2.00
p 0 0 0 0 0 00.167
0.167
0.333
0.167
0.167
pk 0 0 0 0 0 0
0.167
0.333
0.667
0.833 1
47
f 1 2 1 1 1
3.50 3.25
p0.167 0
0.333
0.167 0
0.167 0 0 0
0.167 0
pk
0.167
0.167 0.5
0.667
0.667
0.833
0.833
0.833
0.833 1 1
63
f 1 1 4
8.75 2.13
p 0 0 0 00.167 0
0.167 0
0.667 0 0
pk 0 0 0 0
0.167
0.167
0.333
0.333 1 1 1
58
f 1 2 1 2
9.50 2.00
p 0 0 0 0 00.167 0 0
0.333
0.167
0.333
pk 0 0 0 0 0
0.167
0.167
0.167 0.5
0.667 1
59
f 1 3 2
10.17
1.08
p 0 0 0 0 0 0 0 00.167 0.5
0.333
pk 0 0 0 0 0 0 0 0
0.167
0.667 1
65
f 2 4
10.75
0.88
p 0 0 0 0 0 0 0 0 00.333
0.667
pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.333 1
61
f 2 3 1
9.83 1.08
p 0 0 0 0 0 0 0 00.333 0.5
0.167
pk 0 0 0 0 0 0 0 0
0.333
0.833 1
56
f 3 2 1
9.50 1.25
p 0 0 0 0 0 0 0 0 0.50.333
0.167
pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5
0.833 1
60 f 1 3 2 10.1 1.0
71
7 8p 0 0 0 0 0 0 0 0
0.167 0.5
0.333
pk 0 0 0 0 0 0 0 0
0.167
0.667 1
55
f 2 4
10.75
0.88
p 0 0 0 0 0 0 0 0 00.333
0.667
pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.333 1
62
f 3 2 1
8.50 1.00
p 0 0 0 0 0 0 0 0.50.333
0.167 0
pk 0 0 0 0 0 0 0 0.5
0.833 1 1
53
f 1 3 2
9.17 1.08
p 0 0 0 0 0 0 00.167 0.5
0.333 0
pk 0 0 0 0 0 0 0
0.167
0.667 1 1
52
f 1 4 1
3.00 0.75
p 00.167
0.667 0
0.167 0 0 0 0 0 0
pk 0
0.167
0.833
0.833 1 1 1 1 1 1 1
57
f 1 4 1
2.00 0.75
p0.167
0.667
0.167 0 0 0 0 0 0 0 0
pk
0.167
0.833 1 1 1 1 1 1 1 1 1
63
f 1 3 1 1
9.17 1.33
p 0 0 0 0 0 0 00.167 0.5
0.167
0.167
pk 0 0 0 0 0 0 0
0.167
0.667
0.833 1
64
f 5 1
10.10
0.60
p 0 0 0 0 0 0 0 0 00.833
0.167
pk 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.833 1
Berdasarkan validasi instrumen menggunakan skala
Thurstone (tabel terlampir), diperoleh instrumen
spiritualitas dengan skala Thurstone sebagai berikut:
72
Skala Thurstone untuk Instrumen SpiritualitasNO Pernyataan Nila
i Skala
1 Dalam kehidupan, saya tidak membutuhkan petunjuk tuhan 2.502 Kebenaran agama menurut saya sangat relatif 2.833 Kedekatan saya dengan Tuhan telah memberikan banyak
pencerahan dalam hidup saya
9.50
4 Kehidupan spiritual saya terasa gersang 1.835 Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya
sehari-hari
8,83
6 Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan
kebaikan untuk orang tersebut
8.50
7 Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara
konsisten
8.75
8 Saya bosan dengan ajaran agama 3.179 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam 3,0010 Saya kurang memahami tata cara ibadah 1.5011 Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap saya 8.5012 Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan 7.5013 Saya mengamalkan ajaran islam yang saya perlukan saja 3.5014 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh
makhluk Nya
9.50
15 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja 2,5016 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan
dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari
9,17
17 Saya merasa Tuhan menyertai langkah-langkah hidup saya 6.5018 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam 8.5019 Saya selalu melaksanakan shalat fardlu 8.00
73
20 Saya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib 9.2521 Saya selalu melaksanakan silaturahmi 9.0022 Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri 1,2523 Saya sulit merasakan seberapa dekat saya dengan allah 3.0024 Saya terbiasa berinfak/sedekah 9.1725 Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan 10.7526 Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah 9.5027 Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud 7,5028 Saya terbiasa membaca alquran 10.1729 Saya terbiasa membaca buku agama 10.1030 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari
Tuhan
9.83
31 Saya tidak memahami hakekat tuhan 2,0032 Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT 1,2533 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas 10.5034 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna 10.75
74
INSTRUMEN SPIRITUALITASBerilah tanda checklist pada kolom checklist berikut bila butir pernyataan sesuai dengan kondisi andaNO Pernyataan Checkli
st
1 Dalam kehidupan, saya tidak membutuhkan petunjuk tuhan …………2 Kebenaran agama menurut saya sangat relative …………3 Kedekatan dengan Tuhan telah memberikan banyak
pencerahan dalam hidup saya
…………
4 Kehidupan spiritual saya terasa gersang …………5 Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya
sehari-hari
…………
6 Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan
kebaikan untuk orang tersebut
…………
7 Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara
konsisten
…………
8 Saya bosan dengan ajaran agama …………9 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam …………10 Saya kurang memahami tata cara ibadah …………11 Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap
saya
…………
12 Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan …………13 Saya mengamalkan ajaran islam yang saya perlukan saja …………14 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh
makhluk Nya
…………
15 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja …………16 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan
kekuatan dan dukungan dalam kehidupan sehari-hari
…………
17 Saya merasa Tuhan menyertai langkah-langkah hidup saya …………18 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam …………19 Saya selalu melaksanakan shalat fardlu …………
75
20 Saya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib …………21 Saya selalu melaksanakan silaturahmi …………22 Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri …………23 Saya sulit merasakan seberapa dekat saya dengan allah …………24 Saya terbiasa berinfak/sedekah …………25 Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan …………26 Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah …………27 Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud …………28 Saya terbiasa membaca alquran …………29 Saya terbiasa membaca buku agama …………30 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk
dari Tuhan
…………
31 Saya tidak memahami hakekat tuhan …………32 Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT …………33 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas …………34 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna …………
5. Validasi Skala Instrumen Skala Likert
Adapun untuk Instrumen spiritualitas dengan skala
likert, diperoleh melalui validasi skala melalui penilaian
para ahli yang juga melibatkan 6 orang ahli (dosen sains,
mahasiswa program doktor penelitian dan evaluasi pendidikan),
sebelum diujikan pada sejumlah mahasiswa. Berdasarkan
Validasi Skala, maka diperoleh bahwa sebagian besar skala
pada instrument spiritualitas telah dapat digunakan untuk
mengukur spiritualitas mahasiswa (tabel validasi skala
terlampir). Adapun instrument yang divalidasi tersebut
adalah sebagai berikut:
76
Validasi Skala Sikap SpiritualitasNO Dimensi Pernyataan Skala SikapA Ideologis1 Ideologis Saya bosan dengan
ajaran agama SS S R TS STS
2 Ideologis Saya jenuh denganajaran-ajaran Islam
SS S R TS STS
3 Ideologis Keadilan tuhan tidak perlu saya pertanyakan
SS S R TS STS
4 Ideologis Saya yakin bahwa karunia Allah SWTamat luas
SS S R TS STS
5 Ideologis Ketika menghadapimasalah, saya yakin bahwa Tuhanakan membantu saya
SS S R TS STS
6 Ideologis Saya tidak memahami hakekat tuhan
SS S R TS STS
7 Ideologis Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari Tuhan
SS S R TS STS
8 Ideologis Dalam kehidupan, saya tidak butuh petunjuk tuhan
SS S R TS STS
9 Ideologis Saya tidak meyakini bahwa Tuhan ada dalam kehidupan saya
SS S R TS STS
10 Ideologis Saya meyakini tuhan ada dalam kehidupan saya
SS S R TS STS
77
11 Ideologis Ketika dalam kesusahan, saya meyakini bahwa Allah SWT akan memberikan jalan terbaiknya
SS S R TS STS
12 Ideologis Saya menggantungkan harapan-harapan saya kepada kasihsayang Allah SWT
SS S R TS STS
13 Ideologis Saya merasa bahwakasih sayang Allah menyertai seluruh makhluk Nya
SS S R TS STS
14 Ideologis Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam
SS S R TS STS
15 Ideologis Kebenaran agama menurut saya sangat relative
SS S R TS STS
16 Ideologis Agama saya adalahagama yang kebenarannya mutlak
SS S R TS STS
B Eksperiensial
17 Eksperiensial
Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna
SS S R TS STS
18 Eksperiensial
Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja
SS S R TS STS
19 Eksperiensial
Saya merasa spiritualitas
SS S R TS STS
78
saya kering dan gersang
20 Eksperiensial
Secara umum, sayamerasa dekat dengan Allah SWT
SS S R TS STS
21 Eksperiensial
Saya tidak tahu apakah saya merasa dekat dengan Allah SWT
SS S R TS STS
22 Eksperiensial
Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari
SS S R TS STS
23 Eksperiensial
Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya
SS S R TS STS
24 Eksperiensial
Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari
SS S R TS STS
25 Eksperiensial
Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya
SS S R TS STS
26 eksperiensial
Saya tidak yakin dengan kedekatan Allah SWT
SS S R TS STS
27 Eksperiensial
Saya sulit merasakan
SS S R TS STS
79
seberapa dekat saya dengan allah
28 Eksperiensial
Saya cenderung tidak mau tahu tentang kehidupanspiritual saya
SS S R TS STS
29 Eksperiensial
Saya merasa Tuhantelah berlaku tidak adil dalam kehidupan saya
SS S R TS STS
30 Eksperiensial
Saya tidak merakasan bantuantuhan dalam permasalahan yangsaya hadapi
SS S R TS STS
31 Eksperiensial
Bagiku, doa-doa yang saya panjatkan memberikan kekuatan tersendiri bagi hidup saya
SS S R TS STS
32 Eksperiensial
Saya merasa Tuhanmenyertai langkah-langkah hidup saya
SS S R TS STS
33 Eksperiensial
Saya tidak merasakan tuhan menyertai langkahhidup saya
SS S R TS STS
34 Eksperiensial
Saya merasa hidupsaya penuh dosa
SS S R TS STS
35 Eksperiensial
Kedekatan saya dengan Tuhan telah memberikan banyak pencerahandalam hidup saya
SS S R TS STS
36 Eksperien Kehidupan SS S R
80
sial spiritual saya terasa gersang
TS STS
37 Eksperiensial
Ketika disakiti orang lain, saya biasanya mendoakan kebaikan untuk orang tersebut
SS S R TS STS
C Konsekuensial38 Konsekuen
sialSaya tidak pedulidengan ajaran-ajaran Islam
SS S R TS STS
39 Konsekuensial
Saya tidak dapat menghayati kegiatan ibadah saya sendiri
SS S R TS STS
40 Konsekuensial
Saya cenderung apatis terhadap spiritualitas
SS S R TS STS
41 Konsekuensial
Kehidupan spritual saya banyak mewanai kehidupan saya sehari-hari
SS S R TS STS
42 Konsekuensial
Saya mengamalkan ajaran islam yangsaya perlukan saja
SS S R TS STS
43 Konsekuensial
Saya berusaha mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara konsisten
SS S R TS STS
44 Konsekuensial
Saya mengamalkan ajaran agama semampu saya
SS S R TS STS
45 Konsekuensial
Saya tidak perduli dengan
SS S R TS STS
81
ajaran agama46 Konsekuen
sialAjaran agama tidak berpengaruhapa-apa bagi saya
SS S R TS STS
47 Konsekuensial
Saya tidak biasa memanjatkan doa
SS S R TS STS
48 Konsekuensial
Bagi saya, kasih sayang harus diberikan kepada setiap manusia
SS S R TS STS
49 konsekuensial
Saya mampu memaafkan kesalahan orang lain terhadap saya
SS S R TS STS
50 Konsekuensial
Saya berusaha banyak berbuat kebajikan dalam hidup saya
SS S R TS STS
D Intelektual
51 Intelektual
Saya memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan spiritual saya
SS S R TS STS
52 Intelektual
Saya sulit memahami sipiritualitas saya sendiri
SS S R TS STS
53 Intelektual
Saya memahami cukup baik tentang hakekat Tuhan
SS S R TS STS
E Ritualistik
54 Ritualistik
Saya selalu melaksanakan
SS S R TS STS
82
shalat fardlu55 Ritualist
ikSaya selalu melaksanakan shalat sunnah rawatib
SS S R TS STS
56 Ritualistik
Saya terbiasa melaksanakan shalat dluha
SS S R TS STS
57 Ritualistik
Saya terbiasa melaksanakan shalat tahajjud
SS S R TS STS
58 Ritualistik
Saya terbiasa melaksanakan puasa Ramadlan
SS S R TS STS
59 Ritualistik
Saya terbiasa melaksanakan puasa sunnah
SS S R TS STS
60 Ritualistik
Saya terbiasa membaca alquran
SS S R TS STS
61 Ritualistik
Saya terbiasa membaca buku agama
SS S R TS STS
62 Ritualistik
Saya terbiasa berinfak/sedekah
SS S R TS STS
63 Ritualistik
Saya selalu melaksanakan silaturahmi
SS S R TS STS
6. Uji Coba Instrumen Spiritualitas Skala Thurstone
Berdasarkan hasil validasi skala yang telah dilakukan
sebelumnya, maka butir-butir pernyataaan yang telah
divalidasi tersebut kemudian diacak dan disusun ulang untuk
diujicoba pada sejumlah mahasiswa. Hasil uji coba terhadap
40 mahasiswa dari 2 kelas yang diasumsikan memiliki kondisi
83
setara menunjukkan bahwa instumen tersebut valid dan reliable
(r=0,757).
Keterbatasan dan Kelemahan Instrumen Yang Dikembangkan
Dalam upaya mengembangkan instrument spiritualitas yang
akan digunakan pada asesmen pembelajaran sains berbasis
imtak, diakui adanya beberapa kelemahana, antara lain:
1. Cara-cara yang digunakan untuk menentukan validitas
dan reliabilitas hasil pengukuran instrument
didasarkan pada respon yang diberikan oleh sampel
uji coba terhadap kuesioner, yang mungkin saja
respons yang diberikan belum dapat secara mutlak
dapat dipercaya sepenuhnya. Asumsi yang diambil
oleh peneliti adalah bahwa responden telah mau dan
mampu memberikan respons secara terbuka sehingga
orang lain dapat mengetahui perasaan dan kondisi
responden yang sebenarnya. Akan lebih baik lagi,
bila pengukuran dengan kuesioner ini dilengkapi
lagi dengan suatu observasi.
2. Uji coba instrument baru dilakukan sekali. Untuk
memantapkan validitas dan reliabilitas hasil
pengukuran yang diperoleh, diperlukan replikasi/uji
coba yang lebih luas.
84
BAB VKESIMPULAN
Karena berbagai keterbatasan, penelitian ini baru
menyelesaikan tahap pengembangan instrumen dan uji coba
terbatas asesmen pembelajaran sains berbasis imtak. Dari
tahapan penelitian tersebut diperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
Model pembelajaran sains berbasis imtak yang memadukan sains
dengan imtak, unsur afektif dan humanis dalam pembelajaran,
yang terdiri dari empat sintaks pembelajaran yang perlu
diujicoba lebih luas.
Asesmen spiritualitas dalam pembelajaran sains berupa
instrument spiritualitas yang terdiri instrument bentuk skala
Thurstone dan instrumen bentuk Skala Likert. Kedua bentuk
instrument tersebut telah melalui proses validasi teoretik
dan empirik. Dimensi spiritualitas dimaksud terdiri dari
dimensi ideologis, eksperiensial, konsekuensial, intelektual
dan ritualistik.
Diperlukan ujicoba empirik yang lebih luas terhadap model
pembelajaran dan bentuk asesmen spiritualitas yang diperlukan
dalam pembelajaran sains berbasis imtak bagi mahasiswa calon
guru biologi.
85
DAFTAR PUSTAKA
Angelo, PA & Cross, M. 1993. Classroom Assessment Techniques:
Handbook Of Strategies in Higher Education. Joey Bass. San
Fransisco
Aiken, Lewis R. (1996). Rating Scales & Checklists: Evaluating Behavior,
Personality & Attitudes. New York: John Wiley & Sons Inc
Arends, Richard I. (2007). Learning to Teach. 7th Edition. Boston:
McGraw-Hill
Azra, A. (2006). Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan
Demokratisasi. Cet: 1. Jakarta: Kompas.
Barry K Beyer. Practical Strategies for Teaching of Thingking. Allyn &
Bacon. New York.
Berman, Sally. 1997. Teach Them thinking in Science: A Handbook of
Classrom Strategies.IRI Skylight
Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1996). Qualitative Research for
Education: An Introductory To Theory & Methods. Boston: Allyn &
Bacon
Crocker, L & Algina, J. (1986). Introduction to Classical & Modern
Test Theory. New York: Holt, Reinhar & Winston Inc..
Fraenkel, R.K. (1997). How To Teach About Values. London:
Prentice-Hall International Inc.
Gall, Gall dan Borg (2003 ). Educational Research An Introduction.
7th Edition. Botson: New York San Francisco.
86
--------------- (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidkan Nasional. Jakarta. Depdagri.
Hamid Hasan, S. H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: Departmen
Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Pendidikan.
Hammerman, E. 1998. Classroom 2061: Activity Based Assessment in
Science. New York: IRI Skylight.
Hurlock, B.E. (t.t). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Indrajit, Jokopranoto. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi Modern.
Yogyakarta: Andi.
Johnson, Elaine B (2002). Contextual Teaching and Learning.
California:Corwin Press Inc.
Lawson, Anton E. (1995). Science Teaching & the Development of
Thinking. California: Wadsworth
Lasley, Thomas J. et.al. (2002). Instructional Models. Second
Edition. Wadsworth: United State America.
Mardapi, D. (2004). Pedoman Khusus Pengembangan Instrumen dan
Penilaian Ranah Afektif. Jakarta: Depdiknas.
McMillan, James H & Schumacher, Sally. (2001). Research in
Education: A Conceptual Introduction. 5th Edition. New York: Longman
McNeil, J. (1990). Curriculum Comprehensive Introduction. Botson:
Little Brown&Co, Inc.
Ozman, H. dan Craver, S. (1990). Philosophical Foundation Of
Education. London: Merril Publishing Company.
87
Popham, M.J. (1995). Classroom Assessment: What Teachers Need To
Know. Boston: Allyn & Bacon
Pollard, A. (2005). Reflective Teaching. 2 nd Edition. London:
British Library.
Nasution, S. (1989). Kurikulum Dan Pengajaran. Cet:I. Jakarta:
Bina Aksara.
Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. 2end ed.
Autraalia: Allen & Unwin.
Shihab, M.Q. (2007). Membumikan Al-Qur’an. Cet: XXXI. Jakarta:
Mizan Pustaka.
Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Cet:1. Jakarta: Perdana
Media.
Sardar, Ziauddin. 1998. Jihad Intelektual : Merumuskan Parameter-
parameter Sains Islam. terj. AE Priyono. Risalah Gusti.
Surabaya.
Simon, S.B, et.al. 1973. Values Clarification : A Handbook of Practical
Strategies for Teachers & Students. Hart Publishing. New York
Stiggins, R.C. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New
York: Merill
Sukmadinata Nana, S. (2005). Pengembangan Kurikulum Teori Dan
Praktek. Cet: VII. Bandung: Roda.
Surapranata, Sumarna & M. Hatta. 2004. Penilaian Portofolio:
Implementasi Kurikulum 2004. Rosda Karya. Bandung.
Suparno, S. (1977). Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Kanisius.
88
Wulan, Ana Ratna. (2007). Pembekalan Kemampuan Performance
Assessment Kepada Calon Guru Biologi dalam Menilai Kemampuan
Inquiry. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Zainul, Asmawi. 1999. Asessmen Alternatif. Dikti. Jakarta.
89
Anggaran Penelitian
No.
Keterangan Biaya
1.Persiapan Penelitiana. Proposalb. Studi Pendahuluan Rp
.500.000,
-
2. Pembuatan instrumen penelitian Rp.
250.000,-
3. Perbanyakan insturemen awal (10 lbr x 300exp)
Rp.
50.000,-
4. Revisi instrumen Rp.
200.000,-
5. Pengadaan linteratur jurnal penelitian Rp.
500.000,-
6. Uji coba instrumen (3 kelas x 50 mhs x Rp5000)
Rp.
750.000,-
7. Perbanyakan instrumen uji coba Rp.
50.000,-
8. Pengembangan instrumen hasil uji coba Rp.
200.000,-
9. Implementasi Instrumen (2 x 3 kelas x 50 mhs x Rp 5000)
Rp.
1.500.000,-
10.
Honor Peneliti Rp.
500.000,-
11.
Pembuatan laporan (10 exp x Rp 50.000) Rp.
500.000,-
12.
Narasumber Penelitian (2 x Rp 150.000) Rp.
300.000,-
13.
Diseminasi Hasil Penelitian ( 25 0rang x Rp 20.000)
Rp.
500.000,-
14.
Lain-lain Rp.
200.000,-
Total Rp.
5.500.000,-
90
PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS
PADA PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS IMTAK
BAGI MAHASISWA CALON GURU
Laporan Penelitian
Oleh:
EDY CHANDRA
NIP 150 300 932
91
Top Related