PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI ...
PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI KELUARGA
TERHADAP KEMATANGAN BERAGAMA LANSIA
(Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa Buntu)
Oleh
SOFIA HASANAH FITRIANUR
21150110000009
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
LEMBAR mGESAEANTESIS ・
Tesis dengan judul“ Pengaruh Pembinaan Keagalnaan dan Fllngsi Keluarga terhadap
Kematangan Beragama Lansia(Jurallttangu Barat dall Rawa BuntuD"yang ditulis oleh
Sofla Hasallab Filtrianur dellgan NIM 21150110000009 tdab戯可ktt pada sidallg
Promosi Tesis o10h Fakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan σITKb lIIN SyarifHidayatunah
Jakarta pada hari Rabu,02 Januari 2019 dan telah diperbaiki sesud saran― saran pentti
sebagai salah satu syarat untuk memperolch gelar Magister Pendidikan Ⅳ .Pd)pada
Pr03T'In Magister(S2b Pelldidi山 m Agalna lslam
Jak魏 15 Januan 2019
Kctua Progrttn Magiicr PAI
Nalna :Dr.H.Sapiudin Shidiq,NII.Ag.
NIP :19670328200003 1 001
PenguJl l
Nama IPro■ Dr.H.Ahmad Sya■ 'ic Nool,NII.A.
NIP l 19470902 196712 1 001
PcllguJ1 2
Nama lDr.H.Zailllmudin,M.Ag.
NIP :19590705199103 1 002
PcJgり 13
Nanla :Dr H.Sapiudin Shidiq,M.Ag.
NIP :19670328200003 1001
Dekall Faku Tarbiyah
Prof Dr.
Tanggal
Tanggal
M.A.NIP.19550421 1007
olch
Nama
NIM
Prodi
Judul Tesis
LEDIBAR PENGESAIIIAN PEMBIMBING TESIS
Sofia Hasanah Fitrianur
21 1501 10000009
Magister Pendidikan Agama Islam
Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan Fungsi Keluarga Terhadap
Kematangan Beragama Lansia
Menyatakan mahasiswa tersebut di atas surlah selesai penulisan Bab I , II, m, IV dan V
disetujui untuk mengikuti Ujian Promosi Tesis sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh
fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Dosen Pembimbing I
J泳∬L24 September 2018
Dosen Pembimbing Ⅱ
Dr.Litt Kurniawati,MttPd.
197605212008012008Dr.Abdul Ⅳ【n'thio PIoEd.
NIP.19680902199311 1001
Saya yang bertanda tangan di
NamaTempat/Tgl LahirNIMJurusan/ProdiJudul Tesis
Dosen Pembimbing
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
bawah ini,
Sofia Hasanah FitrianurBogor, 22 September 19912l 1501 10000009Magister Pendidikan IslamKomparasi Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan FungsiKeluarga Terhadap Kematangan Beragama LansiaDr. AbdulMu'thi, M.Ed.Dr. Lia Kurniawati, M.Pd.
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dansaya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuatsebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd).
NIⅣl.21150110000009
i
ABSTRAK
Sofia Hasanah Fitrianur (21150110000009). Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan
Fungsi Keluarga Terhadap Kematangan Beragama Lansia (Kelurahan Jurangmangu
Barat dan Rawa Buntu).
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh pembinaan keagamaan dan
fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia dan menganalisis perbedaan
kematangan beragama lansia yang tinggal di rumah dan tinggal di panti sosial. Latar
belakang penelitian ini bersumber pada realitas sosial bertambahnya penduduk lansia
selain itu banyak lansia yang tidak tinggal bersama keluarga, melainkan dititipkan di panti-
panti sosial dan sejenisnya. Oleh karena itu tempat tinggal lansia menjadi berbeda-beda.
Masa tua identik dengan peningkatan aktivitas keagamaan, namun realita yang terjadi tidak
sedikit lansia yang masih tergolong rendah keberagamaanya. Penelitian ini menggunakan
teknik analisis regresi linier berganda dan komparasi uji-t dengan jenis data kuantitatif.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket dan wawancara, digunakan untuk
mengukur perbedaan kematangan beragama lansia melalui pembinaan keagamaan dan
fungsi keluarga antara lansia yang tinggal di rumah dan tinggal di panti sosial. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap
kematangan beragama lansia. (2) Terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia. (3) Terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
Hasil penelitian ini mendukung teori Suardiman (2011) yang menyatakan bahwa,
“kegiatan keagamaan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan diharapakan
dapat memberikan efek perasaan tenang, pasrah dan nyaman bagi lansia”. Mendukung
definisi keluarga menurut BKKBN yang menjelaskan bahwa, “keluarga adalah dua atau
lebih individu yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan spiritual dan materi yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan
yang seimbang antar anggota keluarga serta lingkungan masyarakat”, kemudian
mendukung hasil penelitian Ramdani (2015) yang menyatakan bahwa, “diperlukan
berbagai bentuk pelayanan kepada lansia dalam mencapai kepuasan hidupnya”, dan
mendukung hasil penelitian Wreksoatmodjo (2013) yang menemukan bahwa, “lansia yang
tinggal di panti kurang aktif berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan kurang
mengunjungi tempat ibadah dibandingkan dengan lansia yang tinggal di rumah, namun ada
satu penghuni panti yang aktivitasnya di masyarakat masih baik”. Implikasi dari penelitian
ini adalah keluarga merupakan institusi utama dalam pengasuhan lansia, hal tersebut
didasarkan pada landasan normatif yang memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua
serta landasan emipiris berdasarkan hasil penelitian ini kematangan beragama lansia yang
tinggal di rumah lebih baik dari lansia yang tinggal di panti sosial
Kata Kunci: Lansia, Pembinaan Keagamaan, Fungsi Keluarga, Kematangan
Beragama.
ii
ABSTRACT
Sofia Hasanah Fitrianur (21150110000009). The Effects of Religious Guidance and
Family Functions on Elderly Religious Maturity (Jurangmangu Barat Village and
Rawa Buntu Village).
This research is conducted to analyze the effect of religious guidance and family
function on religious maturity of the elderly and to analyze the differences in religious
maturity of elderly people who live at home and live in orphanage institutions.The
background of this research is based on the social reality of the increasing elderly
population besides that many elderly people are not cared for in the family, but are kept in
orphanage institutions. Therefore the residence of the elderly becomes different. The old
age is identical to the increase in religious activity, but the reality that occurs is not a few
elderly people who are still relatively less in religion. This study uses multiple linear
regression analysis techniques and comparison of t-test with quantitative data types. Data
collection techniques used were questionnaires and interviews, used to measure differences
in the maturity of religious elderly through religious guidance and family functions
between the elderly who lived at home and lived in orphanage institutions. The results of
this research indicate that (1) There is an correlation of religious guidance on religious
maturity of the elderly. (2) There is an correlation of family function on religious maturity
of the elderly. (3) There is an simultan correlation between religious guidance and family
functions towards religious maturity of the elderly.
The results of this research support the theory of Suardiman (2011) which states that,
"religious activities aim to get closer to God and are expected to have the effect of feeling
calm, resigned and comfortable for the elderly". Supporting the family definition according
to the BKKBN (State Ministry for Population) which explains that, "families are two or
more individuals formed based on legitimate marital ties, able to fulfill appropriate
spiritual and material needs, fear God, have a balanced relationship between family
members and the community", then supports the results of Ramdani's research (2015)
which states that "various forms of service are needed for the elderly in achieving life
satisfaction", and supported by the results of Wreksoatmodjo’s (2013) research which
found that "older people who live in homes are less active in community activities and less
visiting a place of worship compared to an elderly person who lives at home, but there is
one residents who have activities in the community that are still good ". The implication of
this study is that family is the main institution in caring for the elderly, it is based on a
normative foundation that instructs parents and emirate foundation based on the results of
this study the religious maturity of older people who live at home better than the elderly
who live in orphanage institutions.
Keywords: Elderly, Religious Guidance, Family Function, Religious Maturity.
iii
ملخص البحث
ر .(90001001111112)صايف حسنه فطراينور ين وأ األ سرأة ف استقرأار عبأادأة تأثي الت عليم الد (يف قرية جورنغ مانغو ابرت و راو بنتو) الشي وخ
ي خ الليمالدينوتليلتثيالت عباحثمالدىذهاصمق ي لتحليلجخةةو.رسةة ىارستقةا بباةةالي خ الذينىم ي ا اإلجتمال لخاقع ىابحثالمبدأورسةة.ب يتتتاىتمامالىوالابيسكنخن ىالدي خ وقليلالرسةة ىااإلجتمابي ي ي خ وذلكيسببب عضهملعائللىتمامابكث ةةجلةال ي ل
جتمابى ا اإل كلبامييسكن خن ىالب يتوب عضهم ىالد ييخ بزيةةجخةة.ب ةعباة ىالالقا نةومىي:طةي قةالباحثمال.وأماالطيةق ىىذه.نعباةةالي هتمخعأكث ةىم ىالخاق ىالوالباحثىذه ببا..وحللالاإل دا اخلطي ةواختبا الفةضيةبطةي قةاإلن .وطةي قةجعt)بى(مت عديانتولب ي ناتالا ي خ بذهالطةي قةن عةفجخةة.مقابالتالمستخدمة ىشكلاإلرستب ي ا ال ىالد
بلى:)باحثمالالرسةة.ونتيجةىذهتمامىىوالب يتتتااإلجتماب (أنالت عليمالدينبلىبدليي خ ي ي خ ي تأث ة ىارستقةا بباةةال ي ةالرسةة ىارست.)ال ي خ قةا بباةة(تثي ي (اإل ببا..)ال
ا اإلجتمابيوالب يتتتاىتمامالرسةة ىارستقةا ي خ ةاةببب يالتعليمالديني ىالد ي .ال ها"رسخا ةمان")رسنةباحثمالىذه ا.الدينيةخى(وب ؤكدالطةي قةالتي نظةإلي ي قخلإنالن
نان ىن ف ىالت قةيبمنهللاوتثياإلب هدفبل ي خ طمن ي نةالخطنيةلت نظيمالرسال ةة"ب نظة."اهلي كل ىا ببا.الزوجالقانخن.قاة ةبلىب لبيةاإلحتياجاتإلأنالرسةةى يبضخانأوأكث ةي تجتمابية.وب هدفبلىنظةنةاإلي لب رسةةواال.والت خافق ىيةوب قخىهللاكافاةيةالمالةيوحيةوال
ي خ دمةحوخلناخل(وىخي قخل:إن نانتاجإلأشكالمتلفةم۵۱۰۲" مضان")رسنة ي إلالدأن(إن۵۱۰۲حياةمطمننة.وب هدفبلىنظة"و يكرسؤتمخجخ)رسنة ي خ وي ي ا ال ىالد
طابلىأابجتماإل ا كة ىقلين ي خ سبةمعبدمننقليالديخخلإلالمجتمع.وأالم ي ب يتال ىالطا ىالدأحدىمأرسةة.وىتمامالتتا جتمابى.ا اإلجلن
. ة ادأ بأ ع ال ف ار رأ ق ت س ل , ا ة رأ س األ ة فأ ي ظ , وأ ن ي الد م ي ل ع , الت خ و ي : الش ة يأ س ي ء الر ات لمأ كأ ال
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts Te dan Es ث
J Je ج
H He dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan Zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis bawah ص
D De dengan garis bawah ض
T Te dengan garis bawah ط
Z Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
GH Ge dan Ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
H Ha ه
W We
A Apostrof ء
Y Ye ي
B. Vokal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ا
I Kasrah ا
U Dhammah ا
Ai A dan i أ ي
Au A dan u ا
v
C. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A A dengan Topi di atas ا
I I dengan Topi di atas ا ي
U U dengan Topi di atas ا
D. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال,
dialihaksarakan menjadi huruf (al), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
Qomariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf lansung yang mengikutinya
dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh al-Syamsu bukan asy-syamsu
dan al-zalzalah bukan az-zalzalah.
E. Syaddah/ Tasydid
Syadda/tasydid dalam tulisan Arab dilambangkan dengan , dalam alih aksara
dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syiddah. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah yang didahului kata sandang.
Misalnya kata م .tidak ditulis an-naumu melainkan al-naum الن
F. Ta Marbûtah
Ta marbutah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na‟at) dialihaksarakan
menjadi huruf (h). namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t). Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
Madrasah مدرست 1
Al-Jâmi‟iah al-islamiyyah الجامعتاإلسالميت 2
Wihdat al-Wujûd حدةالجد 3
G. Huruf capital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini
huruf capital tersebut juga digunakan. Dengan mengikuti ketentuan yang berlaku
dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau
kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal
(bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cara cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal
vi
dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-
Palimbânî; Nuruddin Al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
H. Cara penulisan kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara
terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam
bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذىةاألستاذ
Tsabata al-ajru ثبجاألجر
Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشيدأنالإلوإالهللا
Yu‟atstsirukum Allâh يؤثركمهللا
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. Dzat yang Maha „Alim yang telah
memberikan sedikit dari keilmuan-Nya yang sangat luas sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis yang berjudul “Komparasi Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan
Fungsi Keluarga Terhadap Kematangan Beragama Lansia” untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan Agama Islam pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada manusia yang menjadi pusat
keilmuan dunia-akhirat penuntun umat, Yakni Nabi Muhammad saw. Harapan dan doa
penulis semoga Tesis ini menjadi bagian dari khazanah keilmuan dalam ketegori
Pendidikan Agama Islam di masa mendatang.
Dengan selesainya Tesis ini, penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA. Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin dan motivasi untuk
melanjutkan studi pada program pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan dorongan untuk terus semangat menggarap tesis ini.
3. Dr. Abdul Mu‟thi, M.Ed. pembimbing dalam penulisan tesis yang telah
memberikan bimbingan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran sehingga tesis
ini akhirnya bisa selesai.
4. Dr. Lia Kurniati, M.Pd. pembimbing dalam penulisan tesis ini yang telah
memberikan konsep metodologi yang baik sehingga alur dan metodologi dalam
tesis ini menjadi sistematis dan teruji secara statistik.
5. Dr. Sapiudin Shidiq, MA. Ketua Prodi Magister Pendidikan Agama Islam FITK
yang selalu memberikan semangat kepada penulis, agar dapat segera
menyelesaikan tesis ini.
6. Muslikh Amrullah, S.Pd. Staf Magister FITK yang telah membantu menyiapkan
segala keperluan persyaratan dalam menyeleasaikan tesis ini.
7. Orang tua dan keluarga. Ayahanda Muhammad Nawawi, Ibunda Halimatus
Sadiyah, Abi Mughni dan Almarhumah Nya Rosadah yang selalu memberikan
semangat, nasihat serta do‟a yang tak pernah lepas dari setiap sujudnya, demi
kelancaran terlaksananya tesis ini.
8. Muhammad Mustai‟n, S.Pd. Suami yang selalu ada menemani dalam
penyelesaian tesis ini serta membantu dan memberikan saran serta kritik yang
membangun.
9. Qisha Amelia Qorin putri tercinta yang selalu menemani setiap proses pembuatan
tesis ini sejak dalam kandungan hingga saat ini berusia sebelas bulan.
10. Romli guru yang turut serta membantu dan memberikan masukan dalam
pembuatan tesis ini.
11. Sholeh Aji, S.SOS selaku ketua yayasan yang telah memberikan izin untuk dapat
melakukan penelitian di Pondok Lansia Berdikari.
12. Adjma selaku ketua yayasan yang telah memberikan izin untuk dapat melakukan
penelitian di Pesantren Lansia.
viii
13. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan
dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga Allah swt membalas amal kebaikan semua pihak terkait. Semoga karya
ilmiahini menjadi permulaan yang baik untuk pribadi penulis khususnya dan pembaca
umumnya untuk terus menuntut ilmu pengetahuan hingga akhir hayat.
Jakarta, 10 Oktober 2018
Sofia Hasanah Fitrianur
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................................. i
PEDOMAN TRANLITERASI ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 10
C. Pembatasan Masalah ........................................................................................... 11
D. Perumusan Masalah ............................................................................................ 11
E. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 11
F. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pembinaan Keagamaan ....................................................................................... 12
1. Pengertian Pembinaan Keagamaan ................................................................ 12
2. Pembinaan Keagamaan dalam Undang-undang ............................................ 13
3. Materi Pembinaan Keagamaan ...................................................................... 15
4. Media Pembinaan Keagamaan ...................................................................... 17
5. Metode Pembinaan Keagamaan ..................................................................... 17
6. Fungsi Pembinaan .......................................................................................... 18
7. Pembinaan Keagamaan Lansia di Panti Sosial .............................................. 18
B. Fungsi Keluarga .................................................................................................. 19
1. Definisi Fungsi Keluarga ............................................................................... 19
2. Fungsi Keluarga ............................................................................................. 19
3. Instrument Penilaian Fungsi Keluarga ........................................................... 21
4. Bentuk Keluarga ............................................................................................ 22
5. Siklus Kehidupan Keluarga ........................................................................... 22
6. Pembinaan Keagamaan Lansia dalam Keluarga ............................................ 23
C. Kematangan Beragama ....................................................................................... 27
1. Definisi Kematangan Beragama .................................................................... 27
2. Ciri-Ciri Kematangan Beragama ................................................................... 28
3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama .................................... 30
4. Perkembangan Keberagamaan ....................................................................... 31
5. Kematangan Beragama Lansia ...................................................................... 31
D. Lanjut Usia .......................................................................................................... 32
1. Definisi Lansia ............................................................................................... 33
2. Tipe Kepribadian Lansia ................................................................................ 34
3. Perubahan Pada lansia ................................................................................... 34
x
4. Sikap Manusia dalam Menerima Kedatangan Usia Lansia ........................... 38
5. Lansia dalam Undang-undang ....................................................................... 49
6. Perkembangan Manusia ................................................................................. 43
7. Kegiatan Keagamaan yang Dilakukan Lansia ............................................... 55
8. Ciri-ciri Keberagamaan pada Lansia ............................................................. 55
E. Penelitian yang Relevan ...................................................................................... 56
F. Kerangka Teori ................................................................................................... 58
G. Hipotesis Penelitian ............................................................................................ 60
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian ............................................................................................... 61
B. Tempat & Waktu Penelitian ............................................................................... 62
C. Populasi dan Sampel ........................................................................................... 62
D. Sumber Data ....................................................................................................... 63
E. Operasional Variabel .......................................................................................... 63
F. Instrumen Penelitian ........................................................................................... 64
G. Validitas Instrumen ............................................................................................. 67
H. Reliabilitas Instrumen ......................................................................................... 67
I. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian .................................................................. 68
J. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................. 70
K. Teknik Analisis Data .......................................................................................... 71
L. Hipotesis Statistik ............................................................................................... 74
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian ................................................................. 76
B. Uji Prasyarat Analisis Data ................................................................................. 81
C. Uji Hipotesis ....................................................................................................... 90
D. Hasil Wawancara ................................................................................................ 96
E. Pembahasan Hasil Penelitian .............................................................................. 100
F. Diskusi Hasil ....................................................................................................... 103
G. Keterbatasan Penelitian ....................................................................................... 113
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 114
B. Saran ................................................................................................................... 115
C. Implikasi ............................................................................................................. 116
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 118
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Rasio Ketergantungan Penduduk Lansia di Indonesia ............................. 1
Tabel 2.1 : Perkembangan motorik masa anak-anak .................................................. 47
Tabel 3.1 : Jumlah Lansia ........................................................................................... 63
Tabel 3.2 : Kisi-kisi Instrumen Pembinaan Keagamaan ............................................ 66
Tabel 3.3 : Kisi-kisi Instrumen Fungsi Keluarga ........................................................ 67
Tabel 3.4 : Kisi-kisi Instrumen Kematangan Beragama ............................................. 67
Tabel 3.5 : Hasil Uji Instrumen Pembinaan Keagamaan ............................................ 69
Tabel 3.6 : Hasil Uji Instrumen Kematangan Beragama ............................................ 70
Tabel 3.7 : Hasil Uji Reabilitas Pembinaan Keagamaan ............................................ 71
Tabel 3.8 : Hasil Uji Reabilitas Kematangan Beragaman .......................................... 71
Tabel 3.9 : Sumber Data dan Teknik Pengumpulan data ........................................... 72
Tabel 4.1 : Kegiatan Pembinaan Keagamaan ............................................................. 77
Tabel 4.2 : Luas Wilayah Jurangmangu Barat ........................................................... 79
Tabel 4.3 : Penduduk wilayah Jurangmangu Barat .................................................... 79
Tabel 4.4 : Penduduk Menurut Kelompok Usia ......................................................... 79
Tabel 4.5 : Jenis Institusi Sosial ................................................................................. 80
Tabel 4.6 : Luas Lahan ............................................................................................... 81
Tabel 4.7 : Letak Geografis ........................................................................................ 81
Tabel 4.8 : Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin ............................................. 81
Tabel 4.9 : Penduduk menurut Kelompok Usia ......................................................... 81
Tabel 4.10 : Komposisi Responden Lansia yang Tinggal di Rumah........................... 82
Tabel 4.11 : Hasil Deskriptif Variabel X1, X2, dan Y Lansia di rumah ....................... 83
Tabel 4.12 : Hasil Deskriptif Kematangan Beragama berdasarkan Gender ................ 84
Tabel 4.13 : Komposisi Responden yang Tinggal di Panti Sosial .............................. 85
Tabel 4.14 : Hasil Deskriptif Variabel X1, X2, dan Y Lansia di panti sosial .............. 86
Tabel 4.15 : Hasil Deskriptif Kematangan Beragama Berdasarkan Gender .............. 87
Tabel 4.16 : Hasil Uji Normalitas ............................................................................... 88
Tabel 4.17 : Kesimpulan Hasil Uji Normalitas .......................................................... 89
Tabel 4.18 : Hasil Uji Homogenitas ........................................................................... 89
Tabel 4.19 : Uji Linieritas X1 ke Y ............................................................................. 90
Tabel 4.20 : Uji Linieritas X2 ke Y ............................................................................ 90
Tabel 4.21 : Uji Multikolinieritas ............................................................................... 91
Tabel 4.22 : Pengaruh X1 terhadap Y ........................................................................ 91
Tabel 4.23 : interaksi Varibel X1 dan X2 terhadap Y .................................................. 92
Tabel 4.24 : Hasil Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda ................................... 92
Tabel 4.25 : Korelasi antara X1 dan Y ........................................................................ 93
Tabel 4.26 : Pengaruh X2 terhadap Y ......................................................................... 93
Tabel 4.27 : Interaksi Variabel X1 dan X2 terhadap Y ................................................ 94
Tabel 4.28 : Hasil Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda ......................................... 94
Tabel 4.29 : Korelasi antara X2 dan Y ....................................................................... 95
Tabel 4.30 : Peringkat Hubungan/Pengaruh ............................................................... 95
Tabel 4.31 : Rata-rata kematangan beragama Lansia di Rumah dan di Panti ............ 96
Tabel 4.32 : Perbedaan Kematagan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti ............ 96
Tabel 4.33 : Pengaruh Simultan X1 dan X2 terhadap Y ............................................... 97
Tabel 4.34 : Correlations ............................................................................................ 98
xii
Tabel 4.35 : Kontribusi Variabel X1 dan X2 terhadap Y ............................................ 98
Tabel 4.36 : Anova ..................................................................................................... 99
Tabel 4.37 : Perbedaan Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti ......... 99
Tabel 4.38 : Rata-rata Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti ........... 100
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 : Proyeksi Penduduk Indonesia ............................................................... 2
Gambar 1.2 : Dimensi Kota Ramah Lansia ................................................................ 4
Gambar 2.1 : Tahap-tahap Perkembangan Janin ........................................................ 40
Gambar 2.2 : Fase Perkembangan Janin ..................................................................... 40
Gambar 2.3 : ‘Alaqah ................................................................................................. 42
Gambar 2.4 : Mudhgah ............................................................................................... 42
Gambar 2.5 : ‘Idzaama ............................................................................................... 44
Gambar 2.6 : Janin di dalam Rahim ........................................................................... 47
Gambar 2.7 : Perkembangan Manusia ........................................................................ 50
Gambar 4.1 : Letak Pondok Lansia Berdikari ............................................................ 76
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Bukti Penelitian
Lampiran 2 : Kisi-kisi Angket Variabel X1
Lampiran 3 : Kisi-kisi Angket Variabel X2
Lampiran 4 : Kisi-kisi Angket Variabel Y
Lampiran 5: Angket
Lampiran 6 : Pedoman Wawancara
Lampiran 7 : Hasil Uji Validitas Instrumen
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia telah mengalami transisi demografi sejak tahun 1970-an yang telah
membawa perubahan-perubahan penting dalam hal struktur usia populasi negara ini.
Permasalahan demografi di Indonesia dikategorikan sebagai suatu masalah nasional
yang harus segera dipecahkan, permasalahan demografi tersebut mencakup tiga
aspek. Pertama jumlah penduduk yang besar hal tersebut terjadi karena angka natalitas
di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty
mengatakan, angka natalitas di Indonesia saat ini berada dikisaran 1,49% (Jpp.go.id:
2017).
Kedua komposisi demografi yaitu komposisi penduduk menurut kelompok umur
tertentu, komposisi umur dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1. Kelompok usia muda, yaitu mereka yang berumur di bawah 15 tahun (0-14).
2. Kelompok usia produktif, yaitu penduduk yang masuk dalam kategori umur 15-
59 tahun.
3. Kelompok usia lanjut, yaitu mereka yang berumur > 60tahun (Salim: 2015).
Komposisi demografi berdasarkan umur ini menjadi penting bagi pemerintah
dalam menentukan sebuah kebijakan kependudukan misalnya dengan mengetahui
jumlah penduduk lansia maka menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyediakan
layanan kesehatan serta mulai meninjau kembali peranan dan kontribusi apa yang
dapat diberikan oleh penduduk lansia.
Permasalahan demografi yang ketiga adalah jumlah penduduk lansia yang besar
merupakan dampak dari rendahnya tingkat mortalitas penduduk Indonesia, Mantra
(2015: 91) memaparkan bahwa, “tinggi rendahnya tingkat mortalitas mempengaruhi
pertumbuhan penduduk dan tinggi rendahnya tingkat kesehatan masyarakat”. Fakta ini
dapat diartikan sebagai berkah dan patut dibanggakan karena menunjukkan adanya
perbaikan kesejahteraan dan layanan kesehatan di Indonesia, namun juga dapat
diartikan sebagai beban sosial karena lansia masuk kepada kelompok usia tidak
produktif serta memerlukan layanan sosial yang memadai. Data menunjukkan bahwa
ketergantungan penduduk lansia diperkirakan pada setiap tahunnya mengalami
peningkatan, berikut peneliti paparkan dalam tabel 1.1:
Tabel 1.1
Rasio Ketergantungan Penduduk Lansia di Indonesia Tahun 1971-2035
(Kalbar.BKKBN.go.id: 2015)
Dependent Year
1961 1971 1980 1990 2000 2010 2015 2020 2025 2030 2035
Dependency
ratio of
older person
65+ years
4,9 4,7 5,8 5,3 7,2 7,6 8,0 9,2 11,0 13,2 15,6
Berdasarkan data demografi di Indonesia maka pertumbuhan penduduk lanjut
usia (lansia) diprediksi akan meningkat di masa yang akan datang terutama di negara-
negara berkembang. Data yang diperoleh menunjukkan, penduduk lanjut usia di
Indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara
populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia
2
sekitar 5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan tahun 2010 jumlah lansia
24.000.000 (9,77%) dari total populasi, dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah
lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia
sendiri pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000. (Kementerian
Kesehatan RI: 2017, h. 1). Menurut UU RI No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia di atas 60 tahun.
Proyeksi penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2035 dipublikasikan pada 28
Januari 2014, yang dibuat berdasarkan data dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010.
Publikasi proyeksi penduduk ini merupakan kerjasama yang dilaksanakan oleh
beberapa instansi, yaitu Badan Pusat Statistik, Bappenas, United Nations Population
Fund (UNFPA) serta para pakar demografi. Berikut gambaran dari proyeksi penduduk
Indonesia sampai dengan tahun 2035 (Heryanah: 2015, h. 6):
Gambar 1.1
Proyeksi Penduduk Indonesia
Tahun 2010 Tahun 2020
Tahun 2035
Dari komposisi jumlah penduduk tersebut, terlihat lebarnya di bagian penduduk
muda. Sementara lain hasil proyeksi untuk tahun 2020 tampak terjadi perubahan
struktur kependudukan yaitu kelompok usia 0-4 tahun mulai berkurang karena
penurunan jumlah kelahiran. Kelompok umur 5-9 tahun mengalami pembengkakan
3
karena jumlah kelahiran yang tinggi dari masa 10 tahun sebelumnya dan jumlah
penduduk kelompok usia 65 tahun ke atas mengalami kenaikan. Pada tahun 2035
diproyeksikan bagian tengah piramida mengalami pembengkakan yang artinya usia
produktif akan naik dan penduduk yang berusia 65 tahun ke atas juga mengalami
kenaikan yang siginifikan.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya diprediksi jumlah lansia
di Indonesia akan terus meningkat. Kepala Badan Pembangunan dan Penduduk PBB
Jose Miguel Guzman memaparkan bahwa, “peningkatakan jumlah lansia dipicu oleh
perbaikan gizi, kemajuan medis, layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan dan
kesejahteraan ekonomi”. (Guzman, 2012).
Ageing Population merupakan fenomena yang saat ini hampir terjadi di setiap
negara di dunia. Salah satu negara di kawasan Asia yang memiliki jumlah penduduk
lansia terbesar adalah Jepang, dapat dilihat dari persentase penduduk lansia yang
mencapai 30% dari total penduduk. Hal tersebut dikarenakan Jepang merupakan
negara dengan angka harapan hidup mencapai 83,5%.
Pemerintah Jepang mempertimbangkan hal tersebut untuk membuat berbagai
kebijakan dan program terkait lansia hal ini dilakukan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan lansia karena jika pemasalahan lansia tidak ditangani dengan baik maka
akan menimbulkan permasalahan yang jauh lebih besar. Beberapa bentuk kebijakan
yang dibuat pemerintah Jepang antara lain didirikannya pusat fasilitas kesehatan dan
kesejahteraan lansia (silver center), panti werdha (rojin home) dan pelayanan
penitipan lansia harian (day care) (Lipi: 2015).
Selain Jepang negara di kawasan Asia yang mengalami ageing population adalah
Singapura, di Singapura penduduk lansia sudah mencapai 9% (Kumpulan Makalah &
Diskusi Lokakarya, 2013: h.3). Fenomena demografi ini yang membuat pemerintah
Singapura melahirkan beberapa kebijakan di antaranya dengan menetapkan usia
minimal pensiun pada usia 62 tahun kemudia ada opsi untuk melanjutkan pekerjaan
selama lima tahun berikutnya yaitu mencapi usia 67 tahun (Kompas: 2017).
Berdasarkan kebijakan tersebutlah tidak sedikit penduduk lansia di Singapura yang
masih produktif bekerja seperti menjadi sopir taksi, cleaning service di bandara dan
pekerja kereta listrik bawah tanah (Prokal.co: 2014)
Selain Asia negara yang mengalami ageing population adalah Eropa, hal tersebut
dapat dilihat pada tahun 2016 jumlah penduduk usia muda (0-14) tahun memberi
kontribusi sebanyak 15,6% dari keseluruhan populasi di 28 negara anggota Uni Eropa,
jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) berkontribusi 65,3% dan jumlah penduduk
usia tua (65 tahun ke atas) berkontribusi 19,2%. Peningkatan jumlah penduduk usia
tua mencapai 3,7% (European Commission: 2017).
Menghadapi fenomena demografi di atas, sejumlah lembaga pembangunan
internasional termasuk PBB dan WHO mengeluarkan barbagai rekomendasi dan
menciptakan berbagai tools sebagai alat untuk mengantisipasi dalam menghadapi
tantangan-tantangan yang ada. Di antaranya WHO menciptakan panduan asesmen
untuk kota ramah lansia (age friendly cities check list) yang mencakup 8 dimensi,
diantaranya adalah gedung dan ruang terbuka, transportasi, perumahan, partisipasi
sosial, penghormatan dan inklusi atau keterlibatan sosial, partisipasi sipil dan
pekerjaan, komunikasi dan informasi, dukungan masyarakat dan kesehatan.
(Suriastini: 2013, h. 4).
4
Gambar 1.2
Dimensi Kota Ramah Lansia
Sumber: https://www.caledon.ca/en/townhall/age-friendly-planning.asp
Pelayanan yang diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada lansia adalah
dengan menetapkan undang-undang lanjut usia yaitu The National Family Caregiver
Support Program (NFCSP), yaitu program yang bertujuan untuk memberikan bantuan
kepada anggota keluarga yang menjalankan peran perawatan kepada lansia di rumah
(Syamsuddin: 2011).
Program dan penanganan lansia dibeberapa negara di atas memperlihatkan
bahwa para lansia diberi kesempatan untuk tetap bekerja seperti menjadi tukang sapu,
petugas perpustakaan dan lain sebagainya serta tersedianya fasilitas kesehatan dan
kesejahteraan yang memadai.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk kesejahteraan, pemberdayaan dan
penanganan lansia sudah tinggi. Namun belum optimal dalam realisasinya.
Pemerintah sudah berupaya membuat Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Rencana Aksi Nasional penanganan
lansia. Namun banyak faktor juga yang berkontribusi pada kurangnya implementasi
komitmen ini, di antaranya kurang dan lemahnya sosialisasi, kurangnya koordinasi
lintas sektoral dan tidak adanya data baik dalam kuantitas dan kualitas sebagai dasar
membuat kebijakan. (Suriastini: 2013, h. 6). Dan tidak sedikit para lansia yang
dianggap menjadi beban keluarga sehingga dititipkan di panti-panti sosial atau bahkan
telantar di jalan dan terdapat pula gejala lansia kurang mendapat perhatian keluarga.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan yang peneliti lakukan disalah satu panti
sosial yang berada di daaerah Tangerang Selatan, mayoritas lansia yang tinggal di
panti karena faktor dititipkan oleh pihak keluarga dengan kondisi kesehatan yang
terbilang memprihatinkan seperti sudah tidak bisa berjalan disebabkan karena struk
dan terdapat pula lansia yang sudah pikun. Jika diamati bersama kondisi tersebut
dapat terjadi dikarenakan terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi.
Pertama adanya pergeseran struktur keluarga (dari besar-kecil). Faturochman
(2001, h. 2) memaparkan bahwa, “pencapaian pendidikan yang tinggi dan masuk
dalam pasar kerja berarti mengubah siklus hidup dari orientasi tradisional ke modern”.
5
Pendidikan dan bekerja berati pula menunda usia perkawinan terutama bagi
perempuan hal ini berperan dalam penurunan fertilitas artinya ukuran keluarga
menjadi lebih kecil. Dengan rata-rata jumlah keluarga yang mengecil berakibat pada
bentuk keluarga luas (extended family) bergeser ke bentuk keluarga inti (nuclear
family) (Faturochma: 2001, h. 2).
Keluarga adalah kelompok yang mempunyai peranan yang amat penting dalam
mengembangkan, menjaga dan memperbaiki masalah kesehatan dalam keluarga.
Segala potensi yang dimiliki lansia dapat dijaga dan dirawat oleh keluarga sehingga
memungkinkan bagi lansia untuk dapat menikmati masa tuanya dengan penuh makna
dan membahagiakan. (Sutikno: 2011, h. 73 ).
Kedua faktor modernisasi, fakta dari modernisasi ini adalah terjadinya pergeseran
nilai-nilai keluarga di dalam merawat lansia, misalnya anak-anak mulai tinggal
berpisah dengan orangtuanya dikarenakan tuntutan pekerjaan dan menikah. Terdapat
studi terdahulu yang menemukan bahwa dari 34.831 lansia di pedesaan India,
sebanyak 11% tinggal hanya dengan pasangannya, 47% tinggal dengan pasangannya
beserta yang lainnya, sebanyak 33% tidak tinggal dengan pasangannya tetapi dengan
anak-anaknya dan 9% lansia tinggal sendirian (Mazumdar: 2009, h. 4). Studi lebih
lanjut yang dilakukan oleh Pradnyandari & Sri (2013: 9) menguatkan hasil penelitian
sebelumnya dengan hasil menunjukkan sekitar 8,6% kesedihan paling sering
dirasakan oleh lansia adalah merasa kurang diperhatikan dan merasa terabaikan. Fakta
ini menunjukkan bahwa pergeseran struktur keluarga akibat modernisasi memiliki
dampak yang nyata bagi lansia.
Kemudian faktor ketiga adanya pergeseran nilai yaitu menurunnya tanggung
jawab moral keluarga untuk menyediakan tempat bagi anggota atau kerabat lain dan
adanya rasa tidak ingin terbebani yang pada akhirnya akibat dari sikap tersebut
orangtua yang sudah lanjut usia di titipkan di panti sosial.
Faktor keempat yang melatarbelakangi fenomena ini pelayanan yang diberikan
oleh negara belum cukup memadai, dikarenakan kendala dana maupun petugas. Hal
tersebut dipertegas dengan adanya data yang menunjukkan bahwa lansia yang
tertangani melalui sistem panti maupun nonpanti kurang dari 2% yang berakibat
lansia mengalami berbagai keterlantaran (Puslitbang Kesos: 2017, h. 154).
Keempat faktor tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Philips (2000: 14)
yang mengatakan bahwa secara umum kondisi lansia terjepit karena tiga faktor utama,
“pertama kemampuan negara yang minim, kedua dukungan keluarga dan komunitas
yang tidak pasti, ketiga lingkungan sekitar yang tidak ramah”. Beragam faktor
tersebut dapat mempengaruhi kondisi lansia.
Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang penurunan kondisi yang dialami lansia
meliputi penurunan kemampuan baik jasmani, rohani dan sosial. Masalah-masalah
tersebut di antaranya adalah kondisi kesehatan yang semakin menurun, berkurangnya
intensitas sosial dengan teman sebayanya (sesama lansia), merasa kurang mendapat
perhatian keluarga, merasa kurang kuat imannya dan lain sebagainya. (Suhanah: 2009,
h. 62). Hal serupa diungkapkan oleh Suardiman (2011: 21) bahwa, “lansia
menghadapi tiga masalah utama yaitu, kesepian, merasa tidak berguna dan hilangnya
kemandirian”.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 34 ayat (2), “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Lebih lanjut ditetapkan UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia,
6
pada Bab III pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa, “lanjut usia mempunyai
hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Dengan demikian andil pemerintah dalam hal ini adalah dengan memberikan
perlindungan dan fasilitas kepada lansia melalui kebijakan serta program yang dapat
dimanfaatkan oleh para lansia.
Adapun kebijakan dan program yang diberikan kepada lansia merupakan salah
satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lansia. Salah satu
program yang diberikan adalah bidang pelayanan keagamaan atau mental spiritual.
(Kep. Mensos RI No. 15/HUK/2007)
Tindak lanjut dari keputusan menteri sosial adalah disusunya Pedoman
Pelayanan Sosial Lanjut Usia bagi Panti (No.4/PRS3/KPTS/2007) yang berisi tentang
pola-pola pembinaan bagi lansia di panti sosial. Adapun pola pembinaan yang
dimaksud berupa bimbingan mental spiritual dan kerohanian dengan menggunakan
metode ceramah, peragaan dan diskusi, juga bimbingan ibadah sehari-hari seperti,
shalat lima waktu, pengajian dan baca al-Qur’an.
Dengan melihat realitas kondisi lansia tersebut selain fungsi keluarga maka
diperlukan pula adanya upaya peningkatan pelayanan sosial dalam hal pemahaman
dan pengamalan ajaran agama untuk lansia. Pembinaan keagamaan pada lansia
bertujuan agar dapat meberikan efek ketenangan dan kepuasan batin dalam
berhubungan dengan sesama maupun dengan Allah. Salah satu upaya yang dibuat
pemerintah adalah menyiapkan suatu sarana untuk menampung lansia dalam sebuah
institusi. lembaga atau panti sosial yang mempunyai program untuk menangani
permasalahn-permasalah pada lansia guna memperbaiki kematangan keberagamaan
lansia.
Terdapat beberapa alasan lansia berada di panti sosial di antaranya, karena
dititipkan keluarganya, berdasarkan kemauan sendiri dan adapula yang karena
terlantar kemudia di antar oleh aparat ke panti sosial. Hal ini merujuk pada penelitian
yang dilakukan oleh Aisyah dan Hidir (2015: 10) yang menemukan beberapa faktor
lansia yang tinggal di panti sosial adalah, “ekonomi yang minim, adanya
kesalahpahaman dengan menantu, dan juga lansia yang tidak ingin menyusahkan
keluarganya”. Berbeda dengan Aisyah (2015) penyebab lansia berada di panti sosial
yang diungkapkan oleh Martiani, dkk (2012: 371) adalah karena meningkatkanya
bidang perekonomian membuat para masyarakat memilki mobilitas yang cukup tinggi
dan terkesan melalaikan kewajibannya untuk membina, merawat dan mengurus lansia.
Sedangkan lansia terlantar tercatat dalam kementerian sosial secara khusus mencapai
angka 1,8 juta orang (Times Indonesia: 2016).
Fenomena ini menunjukkan bahwa lokasi tempat tinggal lansia di Indonesia
menjadi berbeda beda, yaitu terdapat lansia yang tinggal di panti sosial dan lansia
yang tinggal di rumah. Perbedaan tempat tinggal lansia memicu adanya pro-kontra,
ada sebagian masyarakat setuju merawat lansia di rumah bersama keluarga dan ada
pula sebagian masyarakat menolak merawat lansia di rumah sehingga panti sosial
menjadi sebuah pilihan terakhir. Terdapat tiga alasan yang memicu polemik tersebut.
Pertama alasan teologis, alasan ini menekankan bahwa merawat dan mengurus
orang tua yang sudah lanjut usia merupakan kewajiban seorang anak. Banyak ayat al-
Qur’an yang menjelaskan bahwa merawat dan mengasuh lansia merupakan bentuk
bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam Islam persoalan orang tua
merupakan persoalan penting dan harus diutamakan.
7
Kedua alasan budaya, terdapat budaya masyarakat yang memang ukuran dari
kebudayaan itu adalah bagaimana dia menghormati orang tuanya. Kokoh (2009: 167)
memaparkan bahwa mayoritas responden (84%) memilih untuk tetap tinggal di rumah
bersama keluarga. Mereka beranggapan bahwa mengirim lansia ke panti sosial adalah
tindakan yang tidak bisa dibenarkan secara budaya.
Ketiga alasan praksis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keseharian.
Praksis yang dominan karena tidak ada waktu dan yang lebih memprihatinkan adalah
karena tidak bisa menerima harus mengurusi orang tua yang sudah tidak bisa hidup
mandiri lagi, dalam hal ini terdapat unsur tidak berbakti kepada orang tua dan ini yang
menjadi alasan kelompok yang menolak untuk merawat orang tua di panti . Terlepas
dari polemik di atas, terdapat pula lansia yang tinggal di panti atas dasar keinginannya
sendiri dengan alasan sosialisasi di mana lansia dapat berkumpul dengan teman
sebayanya serta dapat mengikuti kegiatan yang diadakan seperti, kegiatan keagamaan,
rekreasi, keterampilan dan pemeriksaan kesehatan, hal ini menurut kelompok yang
setuju merawat lansia di panti merupakan bentuk bakti kepada orang tuanya.
Berbagai fakta dan data di atas, menunjukkan kondisi lansia yang sangat beragam
baik dari segi jasmani, rohani maupun sosialnya maka fungsi keluarga dalam merawat
lansia tentu saja belum bisa dikatakan cukup oleh karena itu perlu diadakannya
pembinaan bagi lansia khususnya dalam bidang keagamaan.
Memperoleh pembinaan keagamaan merupakan salah satu hak yang harus
diperoleh lansia. Adapun yang menjadi landasan lansia berhak memperoleh
pembinaan di antaranya pertama Landasan normatif, ajaran Islam memberikan
perhatian khusus kepada lansia seperti mengajarkan untuk selalu memperlakukan
lansia dengan baik. Hal tersebut terlihat dari ayat-ayat yang terkandung dalam al-
Qur’an diantaranya perintah untuk taat kepada orang tua, mendo’akan orang tua,
berbakti kepada orang tua serta memberi nafkah kepada orang tua.
Kedua landasan yuridis, dalam Undang-undang RI No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia Bab III Pasal 5 ditetapkan bahwa (1) lansia mempunyai
hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (2) sebagai
penghormatan dan penghaargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial yang meliputi:
1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual
2. Pelayanan kesehatan
3. Pelayanan kesempatan kerja
4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan
5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum
6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum
7. Perlindungan sosial
Dengan ditetapkannya amanat UU No. 13 1998 diharapkan dapat mewujudkan
tujuan kebijakan khusus lansia yaitu memperpanjang usia harapan hidup (UHH) dan
masa produktif lansia (Depkes: 2013).
Ketiga landasan sosial, usaha pemerintah dalam mewujudkan lansia yang
sejahtera dengan mengadakan program atau kegiatan yang bekerjasama dengan
lembaga sosial maupun masyarakat. Pembinaan yang sudah berjalan saat ini adalah
dengan sistem panti sosial. Keterbatasan jumlah panti sosial yang memberikan
pembinaan kepada lansia menyebabkan sedikitnya target lansia yang memperoleh
pembinaan. Namun pada saat ini pembinaan lanjut usia semakin dikembangkan
dengan berbagai alternatif program seperti perawatan lanjut usia di rumah (home
8
care). Model pembinaan ini yang menjadi peran utamanya adalah anggota keluarga
lansia itu sendiri (Kemensos RI: 2014, h. 103).
Dalam kehidupan manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu
perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Menurut Jalaluddin (2016: 107)
“perkembangan jasmani dapat diukur berdasarkan umur kronologis sedangkan
perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas), tingkat
abilitas perkembangan rohani disebut dengan istilah kematangan (maturity)”. Dalam
ajaran Islam bergama merupakan fitrah yang ada sejak lahir, dengan demikian anak
yang baru lahir sudah memiliki potensi untuk menjadi manusia yang ber-Tuhan.
Manusia adalah makhluk yang beragama (homo religious), ia menjadikan agama
sebagai sandaran hidup karena adanya rasa bahwa yang Maha Kuasa adalah tempat
berlindung dan memohon pertolongan (Mustafa: 2016, h. 151). Agama dalam wujud
ritual ibadah seperti terdapat dalam rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa dan
haji), sedangkan dari sisi mu’amalah berkaitan dengan akhlak atau perilaku baik
dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Oleh karena itu beragama dalam kehidupan manusia dapat berfungsi sebagai
norma acuan dalam bersikap dan bertingkah laku yang mana norma tersebut
berpengaruh terhadap tingkah laku, berpikir serta bersikap, hal tersebut merupakan
ciri dari kematangan beragama. Jalaluddin (2016: 108) memaparkan bahwa
kematangan beragama terlihat dari “kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama dalam kehidupan sehari-
hari”. Pernyataan di atas diperkuat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan
dan Rehabilitasi Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial
Psikososial di Panti Tresna Werdha dimensi religius dimaknai seputar keyakinan
akan Tuhan, harapan hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat
hidup dan ketegaran iman ketika mendapat cobaan (Witono: 2015, h. 5).
Berdasarkan studi terdahulu Terkait tentang lansia, pada umumnya lansia
mengharapkan berumur panjang, semangat hidup, tetap berperan sosial, serta berharap
wafat dalam keadaan khusnul khotimah (Jannah: 2015, h. 361-363). Bertambahnya
usia dapat meningkatkan keberagamaan lansia. Menurut Fauziah (2015: 28) pada
masa ini, “lansia melihat agama sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
ketenangan dalam menjalani kehidupan”.
Masa tua identik dengan masa peningkatan aktifitas keagamaan. Pada
kenyataannya peningkatan tersebut juga bergantung pada kebiasaan yang telah
dilakukan lansia pada periode umur sebelumnya, sehingga tidak sedikit lansia yang
masih tergolong rendah keberagamaannya. Merujuk pada Jalaludin dan Ramayulis
(1993: 51) bahwa “keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dan
ketetapan kepercayaan, namun pada kenyataannya masih terdapat orang dewasa yang
berubah keyakinan ke arah acuh tak acuh terhadap agama”. Hal ini disetujui oleh
Nasution (2009: 2) yang memaparkan bahwa, “terdapat fakta yang menunjukkan
menurunnya keberagamaan pada lansia”.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan diperoleh data dari hasil wawancara
terhadap 15 orang lansia, didapatkan bahwa 15 lansia selalu mengikuti kegiatan
keagamaan yang diselenggarakan oleh pihak panti wredha, akan tetapi dari 10 lansia
yang beragama Islam 7 di antaranya mengaku jarang melaksanakan ibadah shalat
wajib, 3 dari 5 lansia yang beragama Kristen atau Katolik mengatakan jarang
melakukan doa harian. Selain hal itu 9 dari 15 lansia mengatakan sulit untuk
memaafkan kesalahan orang lain. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab 9
9
dari 15 lansia menyatakan kurang merasa puas dan tenang dalam menjalani kehidupan
ini. (Ummah: 2016, h. 6).
Juga terdapat studi terdahulu yang dilakukan di Posyandu Lansia Matahari Senja
Surabaya diperoleh data terdapat 45 orang lansia yang berusia lebih dari 60 tahun,
hanya 20 orang lansia yang dapat membaca al-Qur’an. (Mustika, dkk, h. 2). Penelitian
lain yang dilakukan oleh Julianty pada tahun 2009, didapatkan hasil bahwa pada
golongan umur lebih dari 64 tahun persentase kualitas hidupnya buruk (75,3%).
(Julianty dkk: 2009, h. 7).
Lindenthal dan Star dalam buku Hawari sebagaimana dikutip oleh Handayani
(2016: h. 3) melakukan studi epidemiologik, diperoleh data yang menunjukkan
bahwa, “penduduk yang religius resiko untuk mengalami stress jauh lebih kecil
daripada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-hari”. Sejalan dengan
penelitian tersebut, penelitian Larson, dkk (2000 dalam Depkes 2008) menunjukkan
bahwa lansia yang kurang religius kurang tabah, kurang kuat dan kurang mampu
mengatasi stres dibandingkan dengan lansia yang religius sehingga mereka jarang
mengalami masalah atau gangguan kesehatan jiwa.
Teori perkembangan Erik Erikson memandang spiritualitas lansia akan
meningkat seiring datangnya penyakit, rasa terasing dan kecemasan akan kematian
sehingga mereka berupaya memaknai hidup, menemukan inspirasi dan mencari
dukungan sosial melalui komunitas agama (Nelson-Becker & Edward: 2008, h. 180).
Berdasarkan fenomena tersebut, pemberian pembinaan keagamaan menjadi
sangat penting sebagai media untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
dialami oleh lansia. Pembinaan keagamaan ini bertujuan untuk memberikan efek
ketenangan dan kepuasan batin dalam berhubungan dengan sesama maupun dengan
Allah. Penelitian Indriana (2011) menunjukkan hasil bahwa “religiusitas memiliki
korelasi positif terhadap kesejahteraan lansia”. Oleh karena itu aspek agama memiliki
kontribusi bagi kesejahteraan lansia dan menjadi unsur penting dalam praktik
pelayanan atau pembinaan. Dr. Kartini Kartono menjelaskan sebagaimana dikutip
oleh (Mas’ud: 2009, h. 13) bahwa untuk mencapai kesehatan mental, lansia harus
memenuhi tuntutan-tuntutan moral, intelektual, sosial dan religius. Mental yang sehat
ditandai dengan adanya perpaduan antara pikiran, angan-angan, keinginan, dorongan,
emosi dan segenap tingkah laku.
Dan juga disepakati oleh Moberg dalam Indriana (2008) sebagaimana dikutip
oleh Indriana dan Febrianti (2010: 24) bahwa, “aktivitas religius berhubungan secara
positif dengan tingginya skor penyesuaian diri yang baik pada para lansia.
kebahagiaan berkorelasi dengan banyaknya ibadah dan ativitas religius seseorang.
Orang yang merasa bahagia adalah orang yang paling banyak melakukan ibadah”.
Oleh karena itu pembinaan keagamaan menjadi sangat penting di terapkan untuk
diarahkan pada kematangan beragama lansia, sehingga diharapkan kematangan
beragama pada lansia dapat memberikan efek pada kesehatan jiwa atau mental lansia.
Dalam ilmu kedokteran telah dibuktikkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
jiwa dan badan. Jika jiwa dalam kondisi kurang normal seperi merasa takut atau
cemas maka akan memberi dampak hilangnya nafsu makan dan susah buang air
(Ramayulis, 2013, h. 143). Juga sejumlah penelitian lain, misalnya hasil penelitian
dari Carel Gustav Jung sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2013: 144) yang
mengatakan bahwa, “di antara pasien saya yang setengah baya, tidak seorangpun
yang penyebab penyakit kejiwaannya yang tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.
10
Juga disepakati oleh Kosalina (2018: 33) yang menyatakan bahwa, “banyak
lansia menemukan bahwa agama membantu para lansia dalam menghadapi masa sulit
dan mengatasi perubahan hidup”. Dan diperkuat oleh Koening, Geotge dan Siegler
dalam Pelmutter dan Hall (1992) sebgaimana dikutip oleh Kosalina (2018: 33) bahwa
apapun masalah yang dihadapi, hampir setengah dari lansia pada suatu kelompok
menyatakan mereka mengatasi masalah dengan meletakkan kepercayaan mereka
kepada Tuhan, dengan berdoa dan meminta pertolongan. Hal ini menunjukan
kematangan beragama menjadi penting dimiliki oleh para lansia, setidaknya dapat
memberikan dampak yang baik pada kesehatan lansia.
Salah satu kota yang ada di Indonesia yang banyak melakukan cara untuk
menghormati para lanjut usia salah satunya dengan menyediakan wadah yang disebut
kelompok kerja lansia adalah kota Tangsel. Lebih lanjut diperoleh data dari Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrrasi (Dinsosnakertrans) bahawa angka harapan
hidup lansia di kota Tangsel meningkat sampai usia 70 tahun ke atas. (Dinkes: 2017).
Data tersebut diperkuat dengan adanya data BPS yang menunjukkan Angka Harapan
Hidup di kota Tangsel pada rentang tahun 2010-2015 selalu mengalami peningkatan
hingga mencapai 72,12%. (BPS: Banten).
Berdasarkan data yang diperoleh terkait angka harapan hidup di kota Tangsel
yang terus meningkat, apakah kematangan beragama menjadi salah satu faktor yang
melatarbelakangi peningkatan Angka Harapan Hidup di kota Tansel?. Oleh karena itu
Kota Tangerang Selatan menjadi hal yang menarik untuk diteliti, untuk menganalisis
bagaimana kematangan beragama para lansia. Bertolak belakang dari latar belakang
yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat komparasi
Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan Fungsi Keluarga terhadap Kematangan
Beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.
B. Identifikasi Masalah
1. Bertambahnya jumlah lansia, maka akan bertambah pula beban pengelolaan dan
pengembangan kelembagaan sehingga diperlukan pelatihan-pelatihan untuk
pengelolan pelayanan terhadap lansia dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial lansia khususnya dalam bidang keagamaan.
2. Perbedaan tempat tinggal lansia menunjukkan bahwa terdapat lansia yang tetap
tinggal bersama keluarga dan adapula lansia yang tinggal di panti sosial dengan
pertimbangan pihak keluarga harus bekerja sehinnga tidak dapat mengurusi lansia
dengan baik. Dengan demikian terdapat kesulitan dalam pelayanan mengurus
lansia.
3. Pembinaan lansia dalam bidang keagamaan belum mencapai taraf optimal, yang
berakibat pemahaman keagamaan lansia yang masih kurang seperti:
a. masih terdapat lansia yang jarang melaksanakan shalat 5 waktu dan melakukan
do’a harian
b. Terdapat lansia yang belum bisa membaca al-Qur’an.
c. Lansia merasa tidak puas, tidak tenang dan merasa kesepian dalam menjalankan
kehidupannya.
d. Lansia yang sulit memaafkan kesalahan orang lain.
11
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Tempat penelitian ini dilaksanakan di Pondok Lansia Berdikari Serpong dan
Pesantren Lansia Jurangmangu Barat.
2. Beberapa para ahli telah mendefinisikan penggolongan lansia, dalam penelitian ini
lansia dibatasi pada umur 60 tahun ke atas sesuai dengan yang ditetapkan oleh
Undang-undang di Indonesia.
3. Problematika yang dialami oleh lansia sangat beragam baik dari segi fisik dan
psikisnya, oleh karena itu dalam penelitian ini dibatasi pada aspek kematangan
beragama lansia yang diukur melalui pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah di atas, maka penelitian ini akan mengkaji tiga permasalahan yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap
kematangan beragama lansia?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia?
3. Apakah terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menguji pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama
lansia
2. Untuk menguji pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
3. Untuk menguji pengaruh yang simultan antara pembinaan keagamaan dan fungsi
keluarga terhadap kematangan beragama lansia
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti secara teoritis memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman
terkait fokus kajian.
2. Bagi peneliti secara praktis dapat menyelesaikan masalah secara teoritis.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Pembinaan Keagamaan
1. Pengertian Pembinaan Keagamaan
Indonesia merupakan Negara yang memiliki ikatan kekeluargaan yang
mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa, yaitu menghormati dan
menghargai peran dan kedudukan lansia yang memiliki kearifan dan pengalaman
berharga yang dapat diteladani oleh generasi penerusnya ( UU RI No. 13 Tahun
1998). Oleh karena itu sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan perlu
adanya pemahaman terhadap kondisi lansia dari berbagai aspek melalui
pembinaan, yang bertujuan agar lansia dapat menjalani hidup dengan sehat,
menyenangkan, tenang dan mandiri. Pembinaan lanjut usia merupakan bentuk
kepedulian serta bentuk tanggung jawab baik keluarga, masyarakat dan
pemerintah.
Pembinaan berasal dari kata “bina” (bahasa Arab) yang berarti membangun.
(Yunus: 2010, h. 75). Membangun ialah mendirikan atau pembeharuan untuk
perbaikan. (Asry: 2009, h. 41). Pembinaan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah membangun sebagai upaya perbaikan. Asry mengungkapkan bahwa
pembinaan keagamaan adalah, “suatu tatanan kehidupan menuju keadaan yang
lebih baik sesuai dengan ajaran agama”. Sedangkan dalam Undang-undang RI No.
13 Tahun 1998 pasal 21 dan 22 dijelaskan bahwa pemerintah, masyarakat dan
keluarga baik perseorangan maupun kelompok dapat melakukan pembinaan
terhadap lansia sebagai upaya peningkatan kesejahteraan lansia. Pembinaan yang
dimaksud pada pasal tersebut berupa penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan,
bimbingan, pemberian bantuan, perizinan dan pengawasan.
Sementara Hadiawati (2008: 19) menyatakan bahwa pembinaan adalah
“proses perbuatan, pembaharuan, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus untuk memperoleh hasil yang lebih baik”. Dengan demikian
pembinaan keagamaan merupakan salah satu cara untuk mengembangkan
pertumbuhan spiritual dan moral pada lansia, dengan harapan dapat menguatkan
iman, akidah dan pengetahuannya terhadap Allah SWT. Langgulung (1988:35)
mengatakan, “pendidikan Islam diharapkan dapat membentuk keimanan yang kuat
kepada Allah sehingga membentuk pemahaman-pemahaman yang sadar terhadap
ajaran-ajaran agama sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
dalam bentuk tingkah laku dalam berhubungan dengan Allah, dengan orang lain
dan dengan seluruh makhluk lain”.
Pembinaan keagamaan menjadi penting karena manusia secara umum
memiliki dua kebutuhan, pertama kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan material
(Alim, 2006, h. 47). Hal tersebut digambarkan oleh seorang ahli ilmu kedokteran
Karl Bang sebagaimana dikutip oleh Alim (2006: 48) yang membuktikan bahwa
agama berperan terhadap kesehatan jiwa manusia. Karl Bang berkata,” setiap
pasien yang berkonsultasi kepadaku semenjak 30 tahun yang lalu, menyatakan
bahwa penyebab mereka sakit adalah karena adanya kegelisahan. Mereka tidak
akan pernah sembuh kecuali setelah mengembalikan keimanannya yang telah
pudar”.
Hal ini membuktikan bahwa manusia termasuk di dalamnya lansia dalam
menjalani hidup memerlukan agama sebagai kebutuhan yang mendasar. Peraturan
13
pemerintah RI No. 43 Tahun 2004 mempertegas bahwa pembinaan keagamaan
dimaksudkan untuk memberikan tuntunan dan pegangan hidup serta ketenangan
bagi lansia di hari tuanya serta dapat memantapkan keyakinan sesusai aagama dan
kepercayaan masing-masing. Lebih lanjut terdapat hasil penelitian Robert H.
Thouless sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (1998: 102) bahwa “kondisi uzur
menyebabkan lansia senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tak berdaya dalam
menghadapi kematian dan rasa takut akan kematian ini akan semakin meningkat
pada masa usia tua”. Oleh karena itu untuk menetralisir atau menghilangkan
kecemasan batin ini, maka pembinaan sangat diperlukan oleh mereka yang berada
pada tingkat usia lanjut ini.
Berdasarkan penjelasan di atas pembinaan keagamaan merupakan proses
kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk membangun spiritual lansia yang
dibimbing oleh seorang fasilitator atau pembina keagamaan dengan memberi
materi pembinaan terkait materi akidah, ibadah dan akhlak. Materi disampaikan
dengan menggunakan beberapa metode seperti ceramah, tanya jawab dan praktik.
Hal tersebut dilakukan agar materi pembinaan yang disampaikan dapat diserap
dengan baik oleh lansia. Dengan harapan pembinaan tersebut dapat memberikan
dampak yang baik untuk lansia dalam menjalani kehidupannya.
2. Pembinaan Keagamaan dalam Undang-undang
Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat
adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945 telah menghasilkan
kondisi sosial masyarakat yang semakin membaik terlihat dari usia harapan hidup
semakin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia semakin bertambah. Walaupun
beberapa di antara lansia masih produktif dan dapat berperan aktif dalam
kehidupan bermasyarakat namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula lansia
yang memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosial dikarenakan faktor
usia.
Kesejahteraan sosial lanjut usia yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu
pada Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia yaitu pelestarian nilai-nilai keagamaan. Dalam UU RI
No. 13 Tahun 1998 Bab III pasal 5 ayat (2) dijelaskan lansi diberi hak untuk
meningkatka kesejahteraan sosialnya melalui:
1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual.
2. Pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan kesempatan kerja.
4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan.
5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasaranan umum.
6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum.
7. Perlindungan sosial.
8. Bantuan sosial.
Kemudian pada Bab IV pasal 7 dijelaskan bahwa pemerintah, masyarakat dan
keluarga bertugas mengarahkan dan membimbing dan menciptakan suasana yang
menunjang bagi terlaksananya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.
Terkait pelaksanaan UUD RI No. 13 Tahun 1998 pada Bab VI pasal 13 ayat (1)
dijelaskan bahwa pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi lansia
dimaksudkan untuk mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
yang Maha Esa. Pada ayat (2) dijelaskan pelayanan keagamaan dan mental
14
spiritual yang dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui peningkatan kegiatan
keagamaan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
Untuk menindak lanjuti ketentuan pasal 13 Undang-undang No. 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, maka ditetapkanlan Peraturan Pemerintah
RI No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejakteraan
Sosial Lanjut Usia, pada Bab I pasal 1 ayat (1) dijelaskan kesejahteraan sosial
adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang
memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan pemenuhan-
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-
baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak
asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.
Kemudian pada pasal 6 ayat (1) dijelaskan bahwa pelayanan keagamaan dan
mental spiritual bagi lansia dimaksudkan untuk mempertebal rasa keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, ayat (2) pelayanan keagamaan dan
mental spiritual sebagaimana dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui
peningkatan kegiatan keagamaan, sesuai dengan agama dan keyakinan masing-
masing. Pada pasal 7 dijelaskan pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi
lansia meliputi bimbingan beragama, pembangunan sarana ibadah dengan
penyediaan aksesibilitas bagi lansia.
Mengingat adanya Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia maka ditetapkan Peraturan Menteri Sosial RI No. 19 Tahun 2012
tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia, pada pasal I ayat (4) pelayanan
sosial lanjut usia adalah upaya yang ditunjukkan untuk membantu lansia dalam
memulihkan dan mengembangkan fungsi sosialnya. Ayat (5) pelayanan sosial
lansia dalam panti adalah pelayanan sosial yang dilaksanakan melalui institusi atau
lembaga kesejahteraan sosial lansia dengan menggunakan sistem pengasramaan.
Ayat (6) pelayanan sosial lansia luar panti adalah pelayanan sosial yang
dilaksanakan dengan berbasiskan keluarga atau masyarakat dan tidak
menggunakan sistem pengasramaan.
Pada pasal 7 dijelaskan pelayanan dalam panti bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kualitas hidup lansia dan kesejahteraan lansia.
2. Terpenuhinya kebutuhan dasar lansia.
3. Meningkatkan peran serta masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kota dalam melaksanakan maupun
menyediakan berbagai bentuk pelayanan sosial lansia.
Pada pasal 9 dijelaskan pelayanan yang diberikan dalam panti, meliputi:
1. Pemberian tempat tinggal yang layak.
2. Jaminan hidup berupa makan, pakaian, pemeliharaan kesehatan.
3. Pengisian waktu luang termasuk rekreasi.
4. Pembinaan mental, sosial, keterampilan dan agama.
5. Pengurusan pemakaman.
Pada pasal 11 dijelaskan pelayanan luar panti dilaksanakan dengan
menempatkan lansia dalam keluarga atau keluarga pengganti yang ada di
masyarakat. Dengan demikian ditetapkannya Undang-undang, Peraturan
Pemerintah serta Peraturan Menteri Sosial merupakan suatu bentuk upaya
pemerintah bersama masyarakat dan keluarga dalam memberdayakan lansia di
segala aspek kehidupan baik aspek jasmani, rohani maupun sosialnya. Serta untuk
15
mewujudkan kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dan peran lansia dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Materi Pembinaan Keagamaan
Adapun materi pembinaan keagamaan yang disampaikan kepada lansia
meliputi: akidah, ibadah dan akhlak, serta belajar membaca al-Qur‟an, tahlil dan
shalawat. (Asry: 2009, h. 50). Hal serupa diungkapkan pula oleh Silawati (2011, h.
197) bahwa, “akidah, ibadah, akhlak” adalah materi pembinaan keagamaan yang
disampaikan kepada lansia. Mahmud Syaltout dalam Wiyani (2013: 72) membagi
pokok ajaran pembinaan keagamaan menjadi dua, yaitu akidah dan syari‟ah.
Akhlak tidak dibahas secara tersurat oleh Syaltout karena akhlak menurutnya
merupakan hasil dari aqidah dan syari‟ah.
Berdasarkan penjelasan di atas, materi pembinaan keagamaan yang akan
diajarkan kepada lansia antara satu materi dengan materi lainnya saling berkaitan
dan merupakan kerangka dasar ajaran Islam. Berikut peneliti paparkan lebih lanjut
terkait materi tersebut:
a. Akidah
Akidah dalam ajaran Islam berarti keimanan, keyakinan atau kepercayaan
seseorang terhadap Allah SWT. dan merupakan pokok ajaran Islam karena
akidah merupakan dasar keyakinan seseorang (Wiyani: 2013, h. 75). Jika Islam
diibaratkan seperti pohon maka akidah adalah akarnya. Akidah dalam islam
meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib
disembah, ucapan dengan lisan dengan menyebut dua kalimat syahadat dan
pebuatan dengan mengerjakan amal saleh (Alim: 2006, h. 125). Hal senada
diungkapkan oleh Yusuf al-Qardawi sebagaimana dikutip oleh Alim (2006:
125) bahwa iman kepercayaan yang meresap dalam hati sehingga memberi
pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.
Dengan demikian akidah bukanlah sekedar keyakinan dalam hati, namun
menjadi acuan dasar untuk bertingkah laku yang pada akhirnya melahirkan
perbuatan baik.
Pada umumnya, materi akidah membahas tentang rukun iman yang enam
yaitu iman kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab, kepada hari akhir dan
kepada qada dan qadar. Hal demikian seperti dijelaskan dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 10):
أنث د حو ببا بأنبركو ععي جبرحنبيىزوةبي قيل عنابنا انث د حيىزالةانكالقةري رىبأنعريرجنوبرمعنةبعرزبأنانعي حبانعيماىرب إنبيلعسإللبنؤمنتأالقانياالهللامولسريالقف لجرهتافاسلن الزرابموهللاملسو هيلع هللا ىلصي ولسر
)رواهاملسلم(يوملئكتووكتابوولقائوورسولووت ؤمنبلب عثاألخ
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah
dan Zuhair bin Harb semuanya dari Ibnu Ulayyah, Zuhair berkata,
telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan
dari Abu Zu‟rah bin Amru bin Jarir dari Abu Hurairah dia berkata,
Rasulullah saw pada suatu hari berada di hadapan manusia, lalu
16
seorang laki-laki mendatanginya seraya berkata, Wahai Rasulullah
saw, apakah iman itu? Beliau menjawab: kamu beriman kepada Allah
SWT., malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman pada kejadian pertemuan
denganya, beriman kepada Rasul-Nya dan kamu beriman kepada hari
akhir”. (H.R. Muslim)
Adapun materi akidah yang diberikan kepada lansia lebih menekankan
pada meningkatkan ketaqwaan karena dengan itu akan membuat lanjut usia
merasa tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemudia
telah diperkuat dengan hasil penelitian Lindenthal dan Star dalam buku Hawari
sebagaimana dikutip oleh Handayani (2016: h. 3) pada studi epidemiologik,
diperoleh data yang menunjukkan bahwa, “penduduk yang religius resiko untuk
mengalami stress jauh lebih kecil daripada mereka yang tidak religius dalam
kehidupan sehari-hari”. Berdasarkan teori dan data tersebut
b. Ibadah
Ibadah dalam kamus bahasa Arab berarti menyembah, mengabdi kepada
Allah SWT. (Yunus: 2009, h. 254). Alim (2006: 143) mengartikan ibadah
secara harfiah merupakan “bakti manusia kepada Allah SWT. karena didorong
dan dibangkitkan oleh akidah tauhid”. Dengan demikian secara umum ibadah
adalah perilaku yang dilakukan seseorang berdasarkan perintah Allah atau lebih
dikenal dengan sebutan ritual.
Materi ibadah yang diajarkan kepada lansia yang diutamakan adalah
terkait shalat, berwudhu serta melakukan dzikir dan doa harian.
c. Akhlak
Selain akidah dan ibdah, dalam materi ajaran Islam juga mencakup akhlak.
Dalam kamus bahasa Arab kata akhlak berasal dari kata khuluk yang berarti
perangai atau tingkah laku (Yunus: 2009, h. 122). Oleh karena itu istilah akhlak
ini berkaitan dengan sikap, budi pekerti, perangai dan tingkah laku seseorang
baik terhadap dirinya, sesame maupun dengan Tuhan-Nya. Kemudian Imam al-
Ghazali sebagaimana dikutip oleh Alim (2006: 151 ) menyatakan bahwa akhlak
adalah “gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Dengan demikian akhlak merupakan acuan seseorang dalam berprilaku baik
terhadap diri sendiri, sesama dan kepada Allah SWT.
Adapun materi akhlak yang diajarkan kepada lansia seputar kisah para
Nabi dan para tokoh teladan. Suatu ilmu yang dipelajari karena terdapat
kegunaan yang dapat memberikan dampak terhadap seseorang yang
mempelajarinya, adapun kegunaan mempelajari akhlak adalah sebagai berikut:
a. Kemajuan rohaniah
b. Penuntun kebaikan
c. Kebutuhan primer dalam keluarga
d. Kerukunan antar tetangga (Alim: 2006, h. 160)
17
4. Media Pembinaan Keagamaan
`Munadi (2010: 6) dalam buku media pembelajaran memaparkan bahwa
“secara bahasa media berasal dari bahasa Arab wasail bentuk jama dari wasilah
sinonim dari kata wasath yang artinya tengah. Kata tengah berada dalam dua sisi,
maka dapat disebut pula sebagai perantara atau penghubung”. Sejalan dengan
Munadi (2010) Wulan (2018: 50) memaparkan bahwasannya media adalah
“perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan berupa benda
yang dapat diindrai khususnya penglihatan dan pendengaran atau lebih dikenal
dengan alat peraga yang digunakan sebagai alat bantu untuk menyampaikan
materi”. Dengan demikian media digunakan untuk mempermudah proses
penyampain materi pembinaan keagamaan kepada lansia.
Media yang digunakan antara lain microphone, sound system alat yang
digunakan pembina keagamaan dalam menyampaikan materi pembinaan
keagamaan dengan pertimbangan fungsi pendengaran lansia cenderung menurun.
Media gambar digunakan apabila pembina keagamaan menyampaikan materi yang
dapat didemontrasikan melalui gambar seperti materi shalat dan wudhu. (Iqbal:
2016, h.29). Dengan demikian dalam media pembinaan keagamaan untuk lansia
seyogyanya harus memperhatikan kondisi lansia sehingga lansia dapat menerima
materi pembinaan keagamaan dengan baik.
5. Metode Pembinaan Keagamaan
Metode pembinaan keagamaan untuk lansia menggunakan metode yang
berlaku secara umum dalam pengajian, seperti ceramah, tanya jawab, peragaan dan
praktik ibadah. (Khalikin: 2009, Silawati: 2009, & Asry: 2011) menyetujui metode
pembinaan keagamaan bagi lansia adalah, “metode ceramah, tanya jawab dan
praktik”.
Dalam melakukan pembinaan keagamaan selain menggunakan metode
pembinaan dibutuhkan pula “pendekatan-pendekatan kepada lansia”. Qomar
(2015) menjelaskan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan
pembinaan keagamaan yang dijalankan adapaun pendekatan-pendekatan tersebut
meliputi:
1. Pendekatan psikologis, pendekatan yang dilakukan dengan melihat
perkembangan jiwa lansia, sehingga metode pembinaan keagamaan yang
diberikan benar-benar sesuai dengan harapan mereka.
2. Pendekatan persuasif, melalui pendekatan ini pembinaan keagamaan
dilakukan dengan proses membujuk agar pembinaan yang sedang berlangsung
dapat diikuti dengan penuh kesadaran.
3. Pendekatan sosiologis, dengan pendekatan ini diharapkan pembinaan
keagamaan dapat membangun interaksi yang baik.
4. Pendekatan pedagogis, pendekatan ini berorientasi pada perkembangan
kemampuan yang dimiliki oleh lansia.
5. Pendekatan kultural, pembinaan keagamaan disajikan melalui budaya yang
mereka sukai misalnya melalui cerita-cerita wayang.
6. Pendekatan percontohan kasuistik, dalam menyampaikan pembinaan
keagamaan kepada lansia dengan memberikan contoh-contoh nyata. (h.447)
Dengan demikian pendekatan ini menjadi sangat penting dijadikan sebagai
acuan dalam kegiatan pembinaan agar proses pembinaan dapat berjalan secara
18
maksimal di mana kegiatan pembinaan tersebut disampaikan dengan memberikan
contoh nyata dan disajikan melalui budaya lansia serta melihat perkembangan jiwa
lansia sehingga lansia dapat mengikuti kegiatan pembinaan dengan penuh
kesadaran. Dengan demikian interaksi akan terjalin selama proses pembinaan
berlangsung sehingga tujuan pembinaan yang berorientasi pada perkembangan
kemampuan lansia dapat tercapai sesuai harapan.
6. Fungsi Pembinaan
Sudjana berpendapat sebagaimana dikutip oleh Latifah, dkk (2015) bahwa
pembinaan keagamaan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Langsung
Pembinaan langsung terjadi apabila antara pihak Pembina dan pihak
yang dibina saling bertatap muka secara langsung. Pembinaan keagamaan
langsung ini dapat dilakukan dalam kegiatan-kegiatan diskusi, tausiyah,
kunjungan lapangan, kunjungan rumah dan lain sebagainya.
b. Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan tidak langsung ini terjadi apabila Pembina melakukan upaya
pembinaan keagamaan dengan pihak yang dibina melalui media masa seperti
melalui petunjuk tertulis, radio, kaset, televisi dan internet.(h. 138)
7. Pembinaan Keagamaan Lansia di Panti Sosial
Panti sosial adalah lembaga yang berada di bawah naungan dinas sosial
tersebar di seluruh Indonesia, hampir di setiap provinsi dan kota yang memiliki
kepedulian kemanusiaan lembaga tersebut dengan memberikan bantuan teknis,
keterampilan maupun pembinaan keagamaan. Pembinaan keagamaan yang
diberikan pada panti sosial harus memperhatikan kemampuan penghuni panti
sosial tersebut (Qomar: 2015, h.440).
Bagi panti sosial yang menampung orang-orang lanjut usia, dapat diberikan
materi pembinaan tentang akidah, ibadah, akhlak, dzikir dan membaca al-Qur‟an.
Materi akidah diarahkan pada peningkatan dan pemusatan iman kepada Allah
SWT., penumbuhan rasa syukur kepada Allah SWT atas pemberian umur panjang
dan penyadaran bahwa setiap orang pasti mengalami kematian.
Materi ibadah diarahkan pada upaya peningkatan ibadah baik shalat, zakat,
puasa dan sebagainya baik ibadah wajib maupun sunnah. Materi akhlak perlu
diarahkan pada upaya menghiasi amalan keseharian baik dalm berhubungan
dengan Allah SWT maupun sesama manusia dengan meniru akhlak Rasulullah
saw.
Materi dzikir diarahkan pada konsentrasi permohonan ampunan kepada Allah
SWT atas dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lalu, sebagai sarana intropeksi
dan menyadari kesalahan- kesalahan masa lalu guna mencapai ketenangan batin
dalam menghadapi masa tuanya. Sedangkan materi membaca al-Qur‟an diarahkan
pada pembiasaan dan pengisian waktu luang.
Adapun prinsip-prinsip yang harus ditanamkan dalam melakukan pembinaan
keagamaan di panti sosial menurut Qomar (2015) adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kemanusiaan, dimaksudkan dalam memberikan pembinaan keagamaan
didasarkan pada perasaan sesama manusia yang merasakan apa yang di alami
oleh lansia.
19
2. Prinsip kepedulian, dimaksudkan pemberian materi pembinaan keagamaan
semata-mata karena rasa peduli terhadap lansia.
3. Prinsip egaliterisme, prinsip kesamaan derajat di mata Allah.
4. Prinsip keramahan, dimaksudkan bahwa pemberian pembinaan keagamaan
dilakukan dengan sikap ramah.
5. Prinsip kesinambungan, dalam menyampaikan pembinaan keagamaan harus
dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan sehingga pembinaan tersebut
dapat memberikan efek rasa berkurangnya beban psikis yang mereka rasakan.
(h.444-447)
Merawat lansia tidaklah semudah seperti merawat anak kecil, oleh karena itu
prinsip dalam melakukan kegiatan perlu dipertimbangkan sehingga proses
pembinaan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Perasaan seseorang yang sudah
berusia lanjut akan menjadi lebih sensitif oleh karena itu menjadi sangat penting
dalam proses pembinaan menunjukkan sikap empati, peduli dan ramah sehingga
lansia merasa bahwa orang lain juga merasakan apa yang ia rasakan.
B. Fungsi Keluarga
1. Definisi Fungsi Keluarga
Menurut UU No. 10 Tahun 1992 keluarga adalah “unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya atau ayah
dengan anaknya atau ibu dengan anaknya”. Menurut Azwar (2007) dalam Sutikno
(2011, h. 74), “para anggota keluarga bersepakat untuk saling mengatur diri
sehingga memungkinkan berbagai tugas yang ada dalam keluarga dapat terlaksana
dengan baik. Pembagian tugas tersebut pada dasarnya merupakan salah satu faktor
yang menentukan baik tidaknya fungsi keluarga. Sedangkan fungsi keluarga
menurut Sil Kim dan Soo Kim (2008) dalam Setyaningrum (2012, h. 8)
merupakan hasil akhir atau akibat dari struktur keluarga. Dalam Islam, keluarga
tidaklah hanya suami, istri, anak-anak serta keturunan mereka. Tetapi juga
mencakup kakek, nenek, anak, cucu, paman dan juga bibi. Oleh karena itu
semuanya menjadi turut andil dalam membina keluarga. Dengan demikian
diharapkan agar hubungan yang terjalin senantiasa damai dan tentram (al-Syaibani:
1979, h. 203-204).
Fungsi keluarga tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994
yaitu: fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta dan kasih sayang, fungsi
perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi
dan fungsi lingkungan. (BKKBN: 2012, h. 7). Berbeda dengan fungsi keluarga
yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994, APGAR
keluarga (family APGAR) yang dikembangkan oleh Smilkstein membagi fungsi
keluarga menjadi lima fungsi yaitu, fungsi adaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih
sayang dan kebersamaan (Sutikno: 2011, h. 74). APGAR keluarga (the familiy
APGAR) sudah dikenal sejak 1978 sebagai instrumen untuk melihat fungsi
keluarga dengan lima item pernyataan (Smilkstein, dkk: 1982, h.303).
2. Fungsi Keluarga
Keluarga sejahtera dibentuk berdasarkan pernikahan yang sah, mampu
memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil. Keluarga sejahtera yang
dimaksud adalah keluarga yang dapat melaksanakan delapan fungsi keluarga,
20
berikut peneliti paparkan terkait delapan fungsi keluarga yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994 (Sunartiningsih: 2017):
a. Fungsi keagamaan
Fungsi keagamaan bertujuan untuk mengembangkan keluarga dan
anggota-anggotanya agar semakin bertambah iman dan takwanya kepada
Tuhan yang Maha Esa (Sunartiningsih: 2017). Me nurut Peraturan Pemerintah
No. 21 Tahun 1994 fungsi keagamaan bertujuan untuk menjadikan keluarga
sebagai insan bangsa yang agamis, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan
yang Maha Esa. Terdapat 12 nilai dasar fungsi keagamaan yang harus
ditanamkan dalam keluarga, yaitu: iman, takwa, jujur, tenggangrasa, rajin,
shaleh, taat, suka membantu, disiplin, sopan santun, sabar serta ikhlas dan
kasih sayang (sunartiningsih: 2017).
b. Fungsi sosial budaya
Fungsi sosial budaya memberikan kesempatan kepada keluarga untuk
mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam (Perpu No.
21 Tahun 1994). Dalam fungsi sosial budaya terdapat 5 nilai dasar yang harus
ditanamkan dalam keluarga, yaitu: gotong royong, sopan santun, kerukunan,
kepedulian dan kebersamaan (Sunartiningsih: 2017).
c. Fungsi cinta kasih
Fungsi ini memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak
dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya dan hubungan
dengan anggota keluarga lainnya (perpu No. 21 Tahun 1994). Terdapat 8 nilai
dasar yang harus ditanamkan dalam keluarga, yaitu: empati, akrab, adil,
pemaaf, setia, suka menolong, pengorbanan dan tanggungjawab
(Sunartiningsih: 2017).
d. Fungsi melindungi
Fungsi ini dimaksudkan untuk menunbuhkan rasa aman dan kehangatan
(Perpu No. 21 Tahun 1994), sehingga anggota keluarga dapat merasa tentram
lahir batin tanpa ada rasa tekanan dari pihak manapun. Dalam fungsi ini
terdapat lima nilai dasar yang harus ditanamkan, yaitu: aman, pemaaf,
tanggap, tabah dan peduli (Sunartiningsih: 2017).
e. Fungsi reproduksi
Fungsi reproduksi merupakan mekanisme untuk merencanakan
keturunan (Perpu No. 21 Tahun 1994). Sehingga dapat membentuk keturunan
yang berkualitas serta memiliki keteguhan iman dan takwa. Dalam fungsi ii
terdapat tiga nilai dasar yang harus ditanamkan, yaitu: tanggungjawab, sehat
dan teguh (sunartiningsih: 2017).
f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan
Fungsi ini memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik agar dapat
menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya (Perpu No. 21 Tahun
1994). Sehingga dapat menumbuhkan kembangkan kekuatan baik fisik,
mental sosial dan spiritual. Dalam fungsi ini terdapat tujuh nilai dasar, yaitu:
21
percaya diri, luwes, bangga, rajin, kreatif, tanggungjawab dan kerjasama
(Sunartiningsih: 2017).
g. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan
keluarga (Perpu No. 21 Tahun 1991). Sehingga tercapainya peningkatan
pendapatan keluarga yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan
keluarga. Dalam fungsi ini terdapat tiga nilai dasar yang harus ditanamkan
dalam keluarga, yaitu: kerja keras, kreatif dan hemat (sunartiningsih: 2017).
h. Fungsi pembinaan lingkungan
Fungsi pembinaan lingkungan memberikan anggota keluarga
kemampuan dalam menempatkan diri dan bersikap dinamis dengan
lingkungan sekitarnya (Perpu No. 21 Tahun 1994). Terdapat empat nilai dasar
yang harus ditanamkan dalam keluarga, yaitu: sehat, bersih, produktif dan
disiplin (Sunartiningsih: 2017).
3. Instrumen Penilaian Fungsi Keluarga
Untuk mengukur fungsi keluarga dikembangkan instrumen penilaian yang
disebut APGAR keluarga (family APGAR). Instrumen ini menilai lima fungsi
pokok keluarga, di antaranya:
a. Adaptasi (adaptation)
Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang
diperlukannya dari anggota keluarga lainnya.
b. Kemitraan (partnership)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunikasi, musyawarah
dalam mengambil suatu keputusan atau menyelesaikan suatu masalah yang
sedang dihadapi.
c. Pertumbuhan (growth)
Tingkat kepuasaan anggota keluarga dalam mematangkan pertumbuhan
dan kedewasaan setiap anggota keluarga.
d. Kasih sayang (affection)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi
emosional yang berlangsung dalam keluarga.
e. Kebersamaan (resolve)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi
waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga. (Sutikno: 2011, h.74)
APGAR keluarga (the familiy APGAR) sudah dikenal sejak 1978 sebagai
instrumen untuk melihat fungsi keluarga dengan lima item pernyataan (Smilkstein,
dkk: 1982, h.303). Berdasarkan Perpu dan instrumen fungsi keluarga, fungsi
keluarga diklasifikasikan menjadi lima, pertama adaptasi, berkaitan dengan sikap
peduli dan dinamis. Kedua, Kemitraan memiliki unsur kerjasama, bertanggung
jawab dan rasa aman. Ketiga pertumbuhan berkaitan dengan kemandirian, kualitas
keluarga, iman dan takwa. Keempat Kasih sayang, memiliki sikap empati. Kelima,
Kebersamaan dengan meluangkan waktu sesama anggota keluarga.
22
4. Bentuk Keluarga
Goldenberg (1980) sebagaimana dikutip oleh Azwar (2007) membedakan
sembilan bentuk keluarga, yaitu:
a. Nuclear Family (Keluarga Inti)
Keluarga inti, keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang
diperoleh dari keturunannya atau adopsi dari keduanya. (Sutikno: 2011, h.74)
b. Extended Family (Keluarga Besar)
Keluarga besar, keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih
mempunyai hubungan darah, seperti kakek, nenek, paman, bibi dan
sebagainya. (Sutikno: 2011, h.74)
c. Blended Family
Keluarga yang dibentuk oleh duda atau janda yang menikah kembali dan
membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya. (Sutikno: 2011, h.74)
d. Common law Family
Keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan serta anak-anak tinggal
bersama tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. (Sutikno: 2011, h.74)
e. Single Parent Family
Keluarga yang hanya mempunyai satu orang tua sebagai akibat dari
perceraian atau kematian pasanganya dan anak-anaknya dapat tinggal di
rumah atau di luar rumah. (Sutikno: 2011, h.74)
f. Commune Family
Keluarga yang dalam satu rumah terdiri dari dua pasangan suami dan istri atau
lebih yang monogamy berikut anak-anaknya dan bersama-sama dalam
penyediaan fasilitas. (Sutikno: 2011, h.74)
g. Serial Family
Keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang telah menikah dan
mempunyai anak, kemudian mereka bercerai dan keduanya sudah menikah
lagi dan juga memiliki anak dan mereka menganggap sebagai satu keluarga.
(Sutikno: 2011, h.74)
h. Composite Famil
Keluarga dengan perkawinan poligami dan hidup secara bersama-sama dalam
satu rumah. (Sutikno: 2011, h.74)
i. Cohabitation Family
Keluarga dengan dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa
ikatan perkaminan. (Sutikno: 2011, h.74)
5. Siklus Kehidupan Keluarga
Duvall (1977) dalam Sutikno (2011) membagi siklus kehidupan keluarga
menjadi 8 tahap yaitu:
a. Tahap awal perkawinan
Pada tahap ini pasangan baru saja menikah dan belum mempunyai anak,
tugas perkembangan keluarga yang dihadapi biasanya adalah penyesuaian diri
dengan kehidupan keluarga yang baru dibentuk dan mempersiapkan diri untuk
kehamilan dan menjadi orang tua.
b. Tahap keluarga dengan bayi
Pada tahap ini keluarga telah mempunyai bayi. Tugas perkembangan
keluarga yang dihadapi adalah mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan
perkembangan bayinya, menyesuaikan penghasilan dan pengeluaran untuk
23
merawat bayinya, menyediakan rumah yang nyaman untuk orang tua dan
bayinya.
c. Tahap keluarga dengan anak usia prasekolah
Pada tahap ini keluarga telah mempunyai anak dengan usia pra sekolah.
Tugas perkembangan yang dihadapi adalah menyesuaian diri dengan
penghasilan dan pengeluaran untuk keperluan anaknya, menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
d. Tahap keluarga dengan anak usia sekolah
Pada tahap ini keluarga telah memiliki anak dengan usia sekolah. Tugas
perkembangan keluarga yang dihadapi adalah menyiapkan diri menjadi orang
tua yang baik, menyesuaikan penghasilan dan pengeluaran tambahan,
membesarkan anak, pengaturan pengembangan fisik, sosial dan emosional.
e. Tahap keluarga dengan anak usia remaja
Pada tahap ini keluarga telah memiliki anak usia remaja. Tugas
perkembangan keluarga yang dihadapi adalah menjadi orang tua yang baik,
menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab dan memelihara
keharmonisan keluarga.
f. Tahap keluarga dengan anak-anak yang meninggalkan keluarga
Pada tahap ini satu persatu anak meninggalkan keluarga. Dimulai dari
anak tertua dan diakhiri oleh anak yang terkecil. Tugas perkembangan
keluarga yang dihadapi adalah mempersiapkan diri untuk ditinggal anak-anak,
mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan anak-anak sebagai orang
dewasa dan mempersiapkan diri untuk menjadi mertua, kakek dan nenek yang
baik.
g. Tahap orang tua usia menengah
Pada tahap ini semua anak telah meninggalkan keluarga, yang tinggal
hanya suami istri dengan usia menengah. Tugas perkembangan keluarga yang
harus dihadapi adalah mempersiapkan diri untuk memasuki usia pensiun dan
membangun kembali hubungan suami istri.
h. Tahap keluarga usia jompo
Pada tahap ini suami istri telah berusia lanjut sampai meniggal dunia.
Tugas perkembangan keluarga yang harus dihadapi adalah mempersiapkan
diri untuk hidup sendiri, mengisi masa pensiun dengan kegiatan yang
bermanfaat, mengatur pengeluaran sesuai dengan uang pensiun dan
mempersiapkan diri untuk perubahan-perubahan fungsi fisik yang akan
terjadi. (h. 28)
6. Pembinaan Keagamaan Lansia dalam Keluarga
Keluarga adalah orang terdekat lansia dalam kehidupannya. Orang tua yang
baik tidak akan mengabaikan perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak-
anaknya sejak kecil sampai usia dewasa, jika tugas dan tanggung jawab itu
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan norma umum dan agama maka anak dan
keluarga terdekat akan membalas perbuatan baik tersebut ketika orang tua sudah
berusia lanjut (Direktorat BKL: 2012, h. 9).
Di lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi
kepada orang tua yang sudah tua adalah dengan menempatkan mereka di panti
sosial. Di panti ini para lansia mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya jika
lansia berada di lingkungan keluarga, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga
24
tak sempat untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia
dikarenakan faktor kesibukan (Jalaluddin: 1998, h. 102).
Jika dalam tradisi Barat umumnya menempatkan orang tua yang sudah usia
lanjut di panti sosial merupakan bentuk dari rasa kasih sayang anak kepada orang
tuanya, lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Islam
menganjurkan orang tua yang sudah berusia lanjut di rawat dan dibina secara
langsung oleh anak-anaknya, bukan pada badan atau panti sosial. Perlakuan
terhadap orang tua yang sudah berusia lanjut merupakan kewajiban keluarga untuk
memelihara dan menjaganya juga bersikap sopan dan lemah lembut kepada
mereka. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur‟an surat
al-Isra (17): 23:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
(Q.S al-Israa (17) : 23).
Dalam surat al-Isra: 23, kata digunakan untuk mencerminkan
sikap berbuat baik kepada orang tua. Sedangkan dalam surat lain seperti
surat Maryam: 14, kata yang mencerminkan sikap berbuat baik atau
berbakti kepada orang tua menggunakan kata . Jika dicermati
adakah perbedaan antara makna atau maksud dari ihsanaa dan birrul
walidain?
Ar-Raghibi al-Isfahani menjelaskan perbedaan antara birr dan ihsanaa.
Menurut penjelasannya memiliki maksud " الحسان يف التوسع"إليهما yaitu memperbanyak pebuatan baik kepada kedua orang tua dan kata
الفعل" tersebut mengandung makna بر yakni dimaksudkan untuk "بستخدام
menunjukkan prilaku atau bentuk pengabdian. Sedangkan memiliki
maksud "عليو مما أكثر يعطي yaitu memberi lebih banyak dari sekedar "أن
„amal. (Sa‟id: 09 November 2007)
Berdasarkan penjelasan di atas, hal mendasar yang membedakan antara
birrul walidaian dan ihsanaa adalah pada bentuk pengabdiannya, jika birrul
walidain bentuk pengabdian kepada orang tua lebih menekankan pada
25
„amal. Sedangkan ihsanaa bentuk pengabdiannya lebih dari pengabdian
berupa amal, yaitu memadukan antara pengabdian berupa amal dengan rasa
seperti kasih sayang, do‟a dan lain-lain.
Allah berfirman dalam surah Luqman (31): 14-15:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-
Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”.(Q.S. Luqman: 14-15)
Allah berfirman dalam surah al-Baqarah (2): 83
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada
ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.(Q.S. al-
Baqarah: 83)
Allah berfirman dalam surah Maryam (19): 12-14
26
“Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia
orang yang sombong lagi durhaka”. (Q.S. Maryam: 12-14)
Allah berfirman dalam surah an-nisa (4): 36:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri”. (Q.S. an-Nisa: 36)
Ayat-ayat al-Qur‟an di atas menunjukkan bahwasannya ajaran Islam sangat
memberikan perhatian lebih kepada lansia. Kewajiban seorang anak terhadap
orang tuanya menempati kedudukan kedua setelah larangan menyekutukan Allah.
Dalam memenuhi kewajiban sebagai anak kepada orang tua yang sudah lanjut usia
dapat dilakukan dengan memberikan perlindungan serta pemenuhan kebutuhan
baik berupa kebutuhan fisik, kesehatan, sosial, ekonomi, hukum, transportasi,
pendidikan dan rohani seperti memberikan perhatian dan peningkatan pelayanan
keagamaan. Dalam Kitab Hadits Imam Bukhari tentang bab adab Rasulullah saw.
bersabda:
أبالو ث نا الوليدليدحد قال عبة ث نا بانبنحد الش ي عمرو عتأب س قال أخب رن زار عي اروأومأبيدهإلدارعبدهللاقالسألتالن بيب صلىهللا عليوي قولأخب رنصاحبىذهالد
الوالدينقالوسل أي؟قالبر إلهللا؟قالالص لةعلىوقتها.قالث ث م:أيالعملأحب (رواهالبخارى... (أي؟قالالهادفسبيلهللا
“Telah menceritakan kepada kami Al-Walid telah menceritakan kepada
kami Syu‟bah berkata: Al-Walid bin „Aizar telah mengabarkan kepadaku dia
berkata: Saya mendengar Abu „Amru Asy-Syaibaini berkata: telah
mengabarkan kepada kami pemilik rumah ini, sambil menunjuk ke rumah
Abdullah dia berkata: saya bertanya kepada Nabi saw.: amalan apakah
yang paling dicintai oleh Allah SWT. Beliau bersabda: Shalat tepat pada
waktunya. Dia bertanya lagi, Kemudia apa? Beliau menjawab: Berbakti
kepada kedua orang tua. Dia bertanya: kemudian apa lagi? Beliau
menjawab: Berjuang di jalan Allah.” (Imam Bukhari: 5513)
27
Dalam Hadist Imam Muslim dijelaskan:
ثنا ث حخورف بنانبي حد ث فنأغمرالملسو هيلع هللا ىلصقيبالن نعةري رىبأنعويبأنعليهسنعةانوعوب اأند لخديملاف هكلواأهدحأبكالدنعويوب أكردأنمالقهللالوسرينميلقفنأمغرث فنأمغر)رواهاملسلم(ةن ال
“Telah menceritakan kepada lami Syaiban bin Farrukh, telah menceritakan
kepada kami Abu Awanah dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dari
Nabi saw bersabda, “Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau
bertanya,”siapa yang celaka ya Rasulullah?” jawab Nabi saw, “Barang
siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut) atau salah satu
dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha
berbakti kepdanya dengan sebaik-baiknya)”. (H.R. Muslim, 4627)
Allah SWT telah memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua dalam
berbagai tempat di dalam al-Qur‟an dan hadist. Allah menyebutnya berbarengan
dengan pentauhidan-Nya. Perintah berbakti kepada orang tua lebih ditegaskan jika
usia kedua orang semakin tua dan lanjut hingga kondisi mereka melemah dan
sangat membutuhkan bantuan dan perhatian anggota keluarganya terutama anak-
anaknya.
Menurut Direktorat Bina Keluarga Lansia, terdapat beberapa peran keluarga
dalam membina lansia, di antaranya adalah:
a. Sebagaimana ajaran Islam yang memerintahkan seorang anak untuk berbakti
kepada orang tua khususnya yang sudah berusia lanjut, peran keluarga dalam
membina lansia adalah dengan tidak memasukkan lansia ke panti sosial.
b. Menjalin hubungan emosional dengan orang tua yang sudah berusia lanjut.
c. Mengurus lansia dengan penuh ketabahan dan kesabaran akan membentuk
suasana yang harmonis.
Berdasarkan uraian di atas maka agama berperan penting dalam kehidupan
keluarga dan sebaliknya pola asuh keagamaan yang diberikan kepada anggota
keluarga memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku keagamaan anggota
keluarga.
C. Kematangan Beragama
1. Definisi Kematangan Beragama
Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan jasmani
dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur
kronologis sedangkan perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat
kemampuan. Pencapaian tingkat kemampuan dalam perkembangan rohani disebut
dengan istilah kematangan.
Perkembangan tersebut dapat diumpamakan seperti ini, seorang anak yang
berusia tujuh tahun (perkembangan jasmani) umumnya usia tersebut sudah matang
untuk masuk sekolah dasar. Namun faktanya tidak jarang dijumpai anak-anak yang
sudah mencapai perkembangan jasmani namun belum mencapai perkembangan
rohani dan juga terdapat anak-anak yang perkembangan rohaninya berkembang
lebih cepat dari perkembangan jasmaninya (Jalaluddin: 2016, h. 107). Perumpaan
tersebut memperlihatkan bahwasannya perkembangan jasmani dan perkembangan
rohani adakalanya tidak berkembang secara bersamaan, secara fisik (jasmani)
28
mungkin sesorang sudah mencapai kedewasaan jasmani tetapi secara rohani
ternyata belum mencapai kematangan rohani.
Manusia adalah makhluk yang beragama (homo religious), ia menjadikan
agama sebagai sebuah kepercayaan yang diyakini dan diamalkan ajaran-ajaranya.
Dan manusia meyakini setelah memahami dan mengamalkan ajarannya maka ia
akan merasakan ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Kemampuan seseorang
untuk dapat memahami nilai agama kemudian menjadikan nilai tersebut sebagai
acuan untuk bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama (Hawi:
2014, h. 59). Pengertian tersebut dipertegas oleh Jalaluddin (2016: 108-109) yang
mengungkapkan bahwa kematangan beragama adalah kemampuan seseorang
untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam
kehidupan sehari-hari.
Tidak jauh berbeda dengan Jalaluddin, Allport (1953) sebagaimana dikutip
oleh Indirawati (2006: 74) memaparkan bahwa kematangan beragama adalah
“watak keberagamaan terbentuk melalui pengalaman. Jika keberagamaan
seseorang sudah matang maka kematangan tersebutlah yang akan mengarahkan
seseorang dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari”. Dengan demikian
kematangan beragama seseorang akan terlihat dari kemampuannya dalam bersikap
dan bertingkah laku seperti dekat dengan Tuhan, mudah memaafkan kesalahan
orang lain, tekun beribadah serta mampu menyikapi persoalan yang terjadi dalam
hidupnya sesuai dengan ketentuan ajaran agamanya yang kemudian akan tumbuh
rasa nyaman, tentram dan damai dalam menjalani kehidupannya.
2. Ciri-ciri Kematangan Beragama
Kematangan beragama merupakan salah satu pembahasan dari pertumbuhan
dan perkembangan beragama yang dialami oleh seseorang. Perkembangan dalam
konteks psikologi selalu mengarah pada hal yang positif. Oleh karena itu
kematangan beragama merupakan perkembangan beragama yang menjadi landasan
seseorang dalam berpikir dan bertingkah laku. Di bawah ini akan dijelaskan
beberapa pandangan para psikolog agama tentang ciri-ciri kematangan beragama.
a. William James
William James dikenal sebagai bapak Psikologi Agama, bukunya yang
terkenal The Varieties of Religious Experience. James memaparkan ciri-ciri
orang yang beragama matang sebagai berikut:
1) Orang yang beragama matang hatinya akan selalu terhubung dengan
Tuhan yang pada akhirnya akan melahirkan kedamaian dan ketentraman
batin yang mendalam.
2) Kematangan beragama akan membuat seseorang melaksanakan perintah
Tuhan berdasarkan kesadarannya dan tidak ada rasa terpaksa.
3) Orang yang beragama matang senantiasa merasa bahagia dalam
menjalani kehidupannya.
4) Orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi menjadi
cinta dan harmoni, sehingga akan tumbuh perasaan tentram dan damai
(Ismail: 2007, h. 3-4).
29
b. Zakiyah Drajat
Drajat memaparkan tujuh ciri dari kematangan bergama di antaranya
adalah:
1) Pemahaman akidah yang baik, akidah merupakan landasan yang
mendasar dalam kehidupan beragama.
2) Memiliki tujuan hidup berdasarkan akidah, tujuan hidup orang-orang
yang beriman adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah yang
dimaksud adalah mematuhi segala perintah Allah SWT. serta
meninggalkan segala larangan-Nya.
3) Melaksanakan ajaran agama secara konsisten dan produktif.
4) Memiliki pandangan hidup yang komprehensif meliputi, melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, selalu menuntut ilmu dan
tidak mengikuti praduga, selalu bersyukur dan pantang putus asa.
5) Memiliki differensiasi yang baik. Kata differensiasi berasal dari bahasa
Inggris yaitu “difference” yang artinya perbedaan. Sesuai dengan arti
secara bahasa, differensiasi dalam kematangan beragama di mana
seseorang yang mengimani kuat ajaran agama yang dianutnya dan di sisi
lain ia tetap mau belajar dengan siapapun termasuk kepada pemeluk
agama lain.
6) Memiliki pandangan hidup yang integral, yaitu landasan hidup yang
menyatukan fungsi kognitif, afektif, konatif atau psikomotorik. Integrasi
ini tercermin dalam pelaksanaan ajaran agama yaitu keterpaduan ikhsan,
iman dan peribadatan.
7) Memiliki semangat pengabdian kepada Tuhan (Hawi: 2014, h. 82-86).
c. Gordon Allport
Allport memberikan ciri-ciri kematangan beragama dengan beberapa
kriteria sebagai berikut:
1) Differensiasi yang baik, orang yang matang keagamaannya dalam ciri ini
ia mengimani kuat agama yang dianutnya tapi di sisi lain ia juga mau
belajar kepada siapapun termasuk kepada pemeluk agama lain.
2) Motivasi kehidupan yang dinamis, orang yang memiliki kematangan
beragama menjadikan agama sebagai tujuan dan kekuatan untuk
mengatasi setiap persoalan hidup.
3) Pelaksanaan secara konsisten dan produktif, orang yang beragama
matang akan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya secara
konsisten dalam kehidupan sehari-harinya.
4) Pandangan hidup yang komprehensif, orang yang memiliki kematangan
beragama maka ia mampu menerima perbedaan pemikiran dan pendapat
dengan orang lain. Dengan demikian jika terdapat konflik kekerasan
maka hal tersebut bukan bagian dari orang yang beragama matang.
5) Pandangan hidup yang integral, orang yang beragama matang senantiasa
menyatukan atau menyelaraskan antara ajaran agama dengan aspek lain
dalam kehidupannya
6) Heuristik, orang yang memiliki kematangan beragama akan selalu
berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam
beragama. (Ismail, 2007: h. 4-5). Istilah heuristik biasanya digunakan
dalam psikologi belajar. Secara bahasa heuristik berasal dari bahasa
30
Yunani heuriskein yang berarti saya menemukan. Kemudian istilah ini
berkembang menjadi sebuah strategi pembelajaran yang menekankan
aktifitas siswa melalui proses berpikir kritis dan analitis untuk dapat
menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dipertanyakan. (Jayanti
dan Hidayati: 2015, h. 66) Berdasarkan hal tersebut maka orang yang
memiliki kematangan beragama akan selalu meningkatkan pemahaman
ajaran agamanya dengan tujuan dapat menyikapi persoalan yang ada
sesuai dengan perkembangan zamannya.
Berdasarkan beberapa pandangan para ahli mengenai kematangan beragama,
maka kematangan beragama dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pertama
yang berhubungan dengan akidah dan dekat dengan Tuhan, kedua ibadah, taat
beribadah, beribadah secara sukarela berdasarkan kesadaran bukan karena paksaan
hal ini lebih karena faktor internal, ketiga berhubungan dengan perilaku, tidak
mudah putus asa, senantiasa bersyukur, toleran, mudah memaafkan, terbuka dan
harmoni.
Dengan demikian lansia yang memiliki kematangan beragama senantiasa
menunjukkan perilaku yang baik yang kemudian dari perilaku yang baik tersebut
akan ada dampak yang dirasakan oleh lansia seperti memperoleh ketenangan batin,
lebih bisa mandiri tidak merengek, dapat menyesuaikan diri dan dapat menerima
kondisinya. Najati di dalam bukunya Psikologi dalam al-Qur‟an menyetujui
bahwasannya ketenangan, keamanan dan ketentraman jiwa dapat terwujud karena
kesungguhan keimanan seseorang kepada Allah SWT. dan direalisasikan dengan
tekun beribadah dengan harapan bahwa akan datang pertolongan dan perlindungan
dari Allah SWT. (Najati: 2005, h. 428).
3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama Kematangan beragama seseorang dapat dipengaruhi oleh keluarga, latar
belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan
dan terpisah dari ikatan. Untuk lebih jelasnya, faktor-faktor penting tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritual anak. Yang
penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang
Tuhan, akan tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dari
perilaku orang tua mereka. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan
terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di
dunia ini.
b. Latar belakang etnik atau budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan
sosial budaya. Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan
spiritual keluarga. (Syam: 2010, h.13)
c. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman yang negatif
dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Seperti, ketika seseorang sedang
menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan dan kehilangan. Juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang dalam memaknai kejadian yang pernah
ia alami. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu cobaan
31
yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya untuk menguji kekuatan
imannya. (Syam: 2010, h. 13).
4. Perkembangan Keberagamaan Mayoritas ahli jiwa sependapat bahwa keinginan dan kebutuhan manusia
tidaklah hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun
kenikmatan-kenikmatan lainnya, melainkan keinginan akan kebutuhan kodrati
berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan. (Jalaluddin: 1998, h. 53)
a. Keberagamaan masa anak
Tingkat keberagamaan pada tahap ini dimulai pada anak yang berusia
3-6 tahun. Pada tahap ini konsep mengenai Tuhan masih dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi. Kemudian setelah anak mulai masuk Sekolah Dasar
hingga masa usia adolesense di mana mereka mulai mengenal konsep Tuhan
melalu lingkungan keluarga dan lembaga keagamaan yang mereka ikuti.
Dari sinilah mereka mulai belajar segala bentuk amal atau kegiatan
keagamaan. Selanjutnya pada tahap ini anak telah memiliki kepekaan emosi
yang tinggi, di mana konsep ke-Tuhanan dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal. (Jalaluddin: 1998, h. 66-67)
b. Keberagamaan masa remaja
Pada tahap ini, dasar keyakinan beragama yang diterima remaja sejak
masa anak-anak sudah tidak begitu menarik bagi mereka dan sikap kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul. Kemudian pada tahap ini kehidupan
religious akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kea rah hidup yang
lebih religious. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan
keagamaan akan lebih mudah didominasi oleh dorongan seks.
Pada tahap ini pula terjadi pertimbangan sosial, di mana remaja mulai
bingung dalam menentukan pilihan dan pada tahap ini remaja lebih
cenderung untuk bersikap materialistis. (Jalaluddin: 1998, h. 72-73)
c. Keberagamaan masa dewasa
Sikap keberagamaan pada orang dewasa mereka sudah memiliki
tanggung jawab pada apa yang mereka pilih atau dapat dikatakan sikap
keberagamaan pada masa dewasa sulit diubah, jika pun terjadi perubahan hal
tersebut berdasarkan pertimbangan yang matang. Pada masa dewasa ini
sikap keberagamaan mereka akan terlihat pada pola kehidupan mereka.
(Jalaluddin: 1998, h. 94)
d. Keberagamaan masa lanjut usia
Hasil penelitian psikologi agama menunjukkan adanya peningkatan
pada keberagamaan lansia. Temuan tersebut menunjukkan kecendrungan
untuk menerima pendapat keagamaan. (Jalaluddin: 1998, h. 98)
5. Kematangan Beragama Lansia Makhluk hidup merupakan media untuk mengakui bahwa Allah SWT. Maha
Kuasa untuk menciptakan, sehingga pondasi awal yang di upayakan dalam rukun
Islam adalah Syahadat. Allah berfirman dalam surah adz-Dzariyaat (51): 56:
32
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzariyaat: 56)
Aktualisasi dari syahadat adalah melalui kemampuan berpikir untuk
mengetahui alam semesta beserta fungsinya dan dalam bentuk perbuatan bisa
dalam bentuk kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan bertujuan untuk
mendekatakan diri kepada Allah SWT, mematuhi segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Allah memerintahkan untuk selalu bersyukur dan
bertawakal. Karena dengan banyak bersyukur terhadap nikmat yang telah
diberikan merupakan manifestasi pengakuan bahwa di atas manusia ada yang
mengatur (Suardiman: 2010, h. 154).
Hampir seluruh ahli jiwa sependapat, bahwa kebutuhan manusia tidak hanya
terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kebutuhan lainnya.
Berdasarkan hasil riset dan observasi mereka mengambil kesimpulan bahwa dalam
diri manusia terdapat kebutuhan yang bersifat universal, yang mana kebutuhan ini
melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan
kodrati berupa kebutuhan untuk mencintai dan dicintain tuhan. Kebutuhan tersebut
dimiliki oleh setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang paling
primitive hingga yang paling modern (Jalaluddin: 1998, 53).
Oleh karena itu setiap fase usia manusia membutuhkan agama, seperti fase
usia tua atau lansia yang mulai mengalami kondisi keterbatasan karena adanya
penurunan fungsi sangatlah membutuhkan agama untuk mendapat ketenangan,
sehingga ia mampu menerima kondisi fisik dan psikis yang mulai mengalami
penurunan fungsi dengan tetap menjalankan kegiatan keagamaan. Kemampuan
lansia untuk mengatur dirinya agar tidak larut dalam kesedihan dan tidak meratapi
apapun yang luput darinya dan ia juga tidak merasa cemas merupakan manifestasi
dari kematangan beragama yang dimilikinya.
D. Lanjut Usia
Memiliki usia di atas 60 tahun merupakan anugerah namun juga merupakan
cobaan, mengapa demikian? Merupakan anugerah jika mereka yang diberi umur
panjang dapat menjalan dan memanfaatkan masa tuanya dengan benar dan sabar.
Namun alangkah ruginya jika diberi umur panjang, namun tidak menggunakan masa
tuanya dengan benar dan sabar. Masa tua harus dilalui dengan benar dan sabar karena
pada masa ini kondisi fisik maupun psikis mengalami penurunan fungsi.
Dalam buku Fikih Pendidikan (2008: 73) keadaan masa tua digambarkan dalam
al-Qur‟an sebagai berikut:
33
“Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering,
Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.(Q.S
al-Haj (22): 5)
Dengan demikian gambaran lanjut usia yang dijelaskan dalam al-Qur‟an telah
dibuktikan secara empiris, bahwa seseorang yang sudah memasuki masa usia lanjut
akan mengalami penurunan daya ingat. Hal tersebut diperkuat oleh Wade dan Tarvis
(2007: 274) yang menyatakan bahwa, “beberapa aspek intelegnsi, ingatan dan bentuk-
bentuk lain dari fungsi mental menurun secara drastic seiring bertambahnya usia”.
1. Definisi Lansia
Proses menua atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk
hidup. Laslett menyatakan sebagaimana dikutip oleh Suardiman (2011: h. 1)
bahwa, “menjadi tua merupakan proses perubahan biologis secara terus-menerus
yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia
lanjut adalah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut”. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. (Depkes: 2014, h. 1).
Sedangkan lansia menurut Rochmah (2001, h. 222) adalah, “proses menua
merupakan suatu proses perkembangan yang dimulai sejak kehidupan janin,
brkembang ke kehidupan bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa
tua dan akhirnya proses menua ini akan sampai pada segmen akhir kehidupan.
Akhir kehidupan menurut Kra mer dan Schrier (1990) dalam Rochmah terbagi
menjadi tiga yaitu kelas young old umur antara 65-74 tahun, kelas aged (old) umur
antara 75-84 tahun, dan yang terakhir oldest old atau extreme aged ialah semua
yang berumur lebih dari 84 tahun. Berbeda dengan Hurlock (1980: 380) yang
membagi tahap usia lansia menjadi dua, yaitu usia lanjut dini antara usia 60-70
tahun, usia lanjut yaitu usia 70 sampai akhir kehidupannya.
Sementara itu penggolongan lansia menurut Direktorat Pengembangan
Ketahanan Keluarga BKKBN, dapat dibedakan:
a. Kelompok lansia awal (45-54 tahun) merupakan kelompok yang baru
memasuki lansia.
b. Kelompok pra lansia (55-59 tahun).
c. Kelompok lansia 60 tahun ke atas (menurut UU No. 23 tahun 1998 lansia di
Indonesia ditetapkan mulai usia tersebut).
Lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengelompokkan lansia menjadi
empat kategori yang meliputi:
a. Young Old (60-69 tahun)
b. Old (70-79 tahun ke atas)
c. Old old (80-89 tahun ke atas)
d. Very Old (90 tahun ke atas). (Nurcholifah, 2012, h.3).
Banyak definisi tentang kelompok lansia, tetapi pada umumnya tolak ukur
lanjut usia adalah mereka yang berumur 60 tahun ke atas sesuai dengan ketetapan
UU.
34
2. Tipe Kepribadian Lanjut Usia
Lanjut usia memiliki keadaan yang beragam baik dari sisi kepribadian
maupun sosial ekonomi. Hal ini tentunya menjadi penting untuk diperhatikan
sehingga dalam pembuatan program dan kebijakan bisa tepat sasaran. Kuntjoro
(2002) dalam Kartinah dan Sudaryanto (2013: 95) membagi tipe lansia dari sisi
psikologisnya yaitu:
a. Tipe kepribadian konstruktif
Lanjut usia ini memiliki integritas baik, menikmati hidupnya, toleransi
tinggi dan fleksibel, tenang dan mantap memasuki usia tua, bisa menerima
fakta proses menua dan menghadapi masa pensiun dengan bijaksana dan
menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan mental.
b. Tipe kepribadian mandiri
Tipe ini cenderung mengalami post power syndrome, apalagi jika di
masa tua tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi.
c. Tipe kepribadian tergantung
Lansia dengan tipe ini cenderung bergantung kepada keluarga, apabila
kehidupan keluarga selalu harmonis maka ketika kehilangan cenderung
mengalami kesedihan yang mendalam, cenderung tidak memiliki inisiatif,
pasif tetapi masih tahu diri dan masih bisa diterima oleh masyarakat.
d. Tipe kepribadian bermusuhan
Lansia dalam tipe ini cenderung tidak puas dengan kehidupannya ketika
memasuki masa tua, banyak memiliki keinginan yang tidak diperhitungkan
yang menyebabkan ekonominya menurun.
e. Tipe kepribadian kritik diri
Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perlakuannya
sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya sendiri,
selalu menyalahkan diri sendiri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari
keadaan.
Menurut Undang-undang dari sisi potensi ekonomi lansia dapat dikategorikan
menjadi 2 yaitu:
a. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang
dapat menghasilkan barang atau jasa.
b. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain.
3. Perubahan pada lansia
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Proses alami di mana
seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, sosial secara bertahap. Oleh
karena itu masa usia lanjut merupakan masa untuk dapat mempertahankan
kehidupan dalam arti fisik berusaha menjaga kesehatan agar tidak sakit-sakitan
serta tidak menyulitkan atau membebani orang lain (Jannah: 2015, h. 360). Pada
masa itu memang terjadi suatu proses perubahan alami yang dirasakan oleh lansia.
Perubahan tersebut akan terjadi hampir pada semua sistem tubuh, namun tidak
semua sistem tubuh mengalami kemunduran fungsi pada waktu yang sama. Hal
tersebut merujuk pada pemaparan Kusumoputro (2006) sebagaimana dikutip oleh
35
Jannah (2015: 364) bahwa, “proses menua adalah proses alami yang disertai
penurunan fisik, psikologis maupun sosial”. Dan diperkuat oleh Bastable
(1995:121) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, begitu banyak
perubahan fisik yang terjadi. Indera penglihatan, pendengaran, perabaan,
pengecapan dan penciuman biasanya merupakan daerah penurunan fungsi yang
pertama kali diperhatikan oleh lansia.
Adapun Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan adalah
sebagai berikut:
a. Perubahan Fisik
Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologis yang terdiri dari 3
fase, yaitu fase pertumbuhan, fase pematangan dan fase penurunan. Proses
menjadi tua ada dalam fase penurunan di mana menurunnya fungsi sel-sel
dalam tubuh karena telah lama berfungsi. Proses ini akan terus terjadi terus-
menerus pada tahap selanjutnya serta akan mempengaruhi fungsi dan
kemampuan fisik secara keseluruhan. Perubahan fisik meliputi perubahan
pada kerangka tubuh dengan gejala berupa: mudah merasa lelah, gerakan
menjadi lamban dan kurang lincah dan sistem syaraf pusat yang mulai
berkurang sehingga berakibat pada menurunnya kecepatan belajar dan
mengingat faktor ini pula yang mempengaruhi lansia menjadi mudah lupa.
(Suardiman: 2011, h. 36-37).
Hal serupa diungkapkan oleh Weeks (2008, h. 333) bahwa terdapat ciri-
ciri perubahan fisik pada lansia yang dapat kita lihat, yaitu “rambut beruban,
kulit berkerut, penurunan fungsi dan perubahan bentuk otot”. Hal ini menurut
Katari (1993) dalam Suardiman disebabkan oleh adalanya perubahan struktur
dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ. Kemudian diperkuat dengan
pernyataan Hurlock (1980: 399) yang menyatakan bahwa, “pada lansia fungsi
seluruh organ penginderaan kurang mempunyai sensitivitas dan efesiensi
kerja dibanding yang dimiliki oleh orang yang lebih muda”. Adapun
perubahan fisik dalam sistem indera di antaranya adalah:
1) Sistem penglihatan
Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan
presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lemah,
ketajaman dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang,
penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat digunakan.
2) Sistem pendengaran
Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya
kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara dan nada-nada tinggi, suara yang tidak jelas dan kata-kata
yang sulit dimengerti, 50% terjadi pada usia di atas 60 tahun.
3) Sistem integumen
Pada lansia kulit mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan
berkerut. Kulit mengalami kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit bisa terjadi karena atrofi glandula sebasea
dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit
dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit banyak dipengaruhi oleh
faktor lingkungan antara lain angin dan matahari, terutama sinar ultra
violet.
36
Oleh karena itu pada setiap lansia tentunya mengalami suatu proses
penurunan fungsi dalam tubuh baik secara anatomis seperti pengeroposan
tulang dan penyempitan otot, fisiologis penurunan kapasitas aerobik serta
kelenturan sendi. Dan biokomiawi terlihat pada peningkatan kadar kolesterol.
b. Perubahan Kognitif
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di panti werdha Mojokerto
sebagian lansia mengalami perubahan fungsi kognitif yaitu menjadi mudah
lupa sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. (Maryati, dkk: 2013, h. 2).
Lebih lanjut terdapat pendapat yang berkembang dalam masyarakat yang
perlu diuji kebenarannya bahwa kemampuan kognitif seperti belajar,
mengingat dan berpikir pada lansia mengalami penurunan. Hal tersebut
diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Wreksoatmodjo (2014, h.
173) diperoleh fungsi kognitif lansia seperti ingatan, perhatian, dan kecepatan
memproses mengalami kemunduran dengan data fungsi penurunan fungsi
kognitif di kelompok tidak sekolah 40,99%, di kelompok tidak tamat SD
33,3%, di kelompok tamat SD 40%, di kelompok tamat SMP 50% dan
dikelompok tamat SMA atau lebih 28,7%. Secara keseluruhan 37,8%
responden lansia mengalami fungsi penurunan kognitif.
Data tersebut menunjukkan bahwa memang benar adanya terjadi
perubahan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Dan terdapat fakta yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi latar belakang pendidikan lansia, maka
semakin sedikit penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada lansia.
Perubahan kognitif pada lansia mencakup 4 aspek di antaranya adalah:
1. Perubahan memori
Pada lanjut usia, daya ingat merupakan fungsi kognitif yang
seringkali paling awal mengalami penurunan. Ingatan jangka panjang
sering kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka pendek
atau seketika 0-10 menit memburuk. Lansia kesulitan dalam
mengungkapkan kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik
perhatiannya dan informasi baru seperti TV dan film. Oleh karena itu
pelayanan atau pembinaan terhadap lansia sangat diperlu dibuatkan
tanda-tanda atau simbol berupa tulisan atau gambar untuk membantu
daya ingat mereka.
2. Kemampuan belajar
Dalam kemampuan belajar, menurut Brocklehurst dan Allen (1987);
Darmojo & Martono (2004) dalam Suriastini, dkk (2013: 46) lanjut usia
yang sehat dan tidak mengalami dimensia masih memiliki kemampuan
belajar yang baik, bahkan di negara industri maju didirikan University Of
Third Age, sesuai dengan prinsip belajar seuumur hidup (life long
learning) bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar sejak
dilahirkan sampai akhir hayat. Oleh karena itu sangat baik para lanjut
usia tetap diberikan kesempatan untuk mengembangkan wawasan
berdasarkan pengalaman.
3. IQ
Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi matematika
dan perkataan verbal tetapi persepsi dan daya membayangkan (fantasi)
menurun.
37
4. Kemampuan pemahaman
Kemampuan pemahaman mengalami penurunan yang dipengaruhi
oleh konsentrasi dan fungsi pendengaran lansia yang mengalami
penurunan. (Suriastini, dkk, 2013: 46).
Adapun tugas-tugas perkembangan lansia menurut Havinghurst dalam
Hurlock (1980, h. 10) yaitu:
1) Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.
2) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya pendapatan
keluarga.
3) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.
4) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia.
5) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.
6) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.
c. Perubahan Spiritual
Agama dan kepercayaan lansia semakin berintegrasi dalam kehidupannya
(Maslow, 1976 dan Sundeen, 1988) dalam Suriastini, dkk (2013: 47). Lansia
semakin teratur dalam kehidupan agamanya yang dapat dilihat dari cara
berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.
d. Perubahan Sosio Emosional
Terdapat beberapa emosi dasar yang ada pada manusia, menurut Robert
(2003) dalam Suardiman (2011, h. 98) mengidentifikasi adanya 8 emosi dasar,
yaitu takut, keheranan, kesedihan, muak atau jijik, marah, mengharapkan,
gembira dan kepercayaan atau penerimaan.
Kemudian hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Annisa (2017, h.
58) mengungkapkan masalah psikososial yang sering dirasakan oleh lansia
adalah “kesepian, perasaan sedih, depresi dan kecemasan”. Hal tersebut
disetujui oleh Annisa dan Ifdil (2016, h. 98) bahwa, “cemas, merasa kesepian,
perasaan tidak berharga emosi meningkat dan ketidakmampuan dalam
menyesuaikan tugas perkembangan adalah perasaan yang sering dirasakan oleh
lansia”.
Berdasarkan hasil wawancara penelitian terdahulu pada tahun 2015
diperoleh data terdapat tiga orang lansia mengalami kecemasan secara fisik
seperti cemas terhadap penglihatan yang tidak berfungsi baik, pendengaran
menurun. Tiga orang lansia lainnya mengalami kecemasan kognitif seperti,
ingatan menurun sering lupa dan kesulitan mengingat nama-nama teman yang
ada di panti. Serta satu lansia yang mengalami kecemasan fisik seperti
penglihatan menurun dan kecemasan sosio emosional, yaitu merasa kesepian,
cemas sakit tidak ada yang mengurus dan merasa bersalah karena tidak bisa
megurus keluarga lagi. Terdapat juga tiga lansia yang tidak mengalami
kecemasan baik fisik, kognitif maupun sosio emosional. (Annisa, dkk: 2017, h.
58).
Hasil penelitian yang berbeda yang diungkapkan oleh Malatesta dan
Kalnok (1984) dalam Suardiman (2011, h. 98) yang menyatakan bahwa ia tidak
menemukan adanya bukti yang menunjukkan gejala menurun secara nyata
emosi seseorang bersamaan dengan meningkatnya usia. Penelitian tersebut
38
disetujui oleh Diener dan Suh (1977) dalam suardiman (2011, h. 99) bahwa usia
lanjut hidup dalam kepuasaan yang lebih besar daripada usia muda.
Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan lansia jika dilihat dari
hasil penelitian terdahulu menjadi tergantung pada bagaimana lansia
membawakan dan menyikapi tugas-tugas perkembangan dalam hidupnya.
Dengan cara yang sehat ataukah dengan cara emosional.
e. Perubahan minat
Lansia mengalami perubahan minat, berkaitan dengan perubahan ini
Hurlock (1990) dalam Suriastini, dkk (2013: 49) mengatakan bahwa perubahan
yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi pola hidupnya. Perubahan
yang diminati oleh para lansia adalah perubahan yang berkaitan dengan
masalah peningkatan kesehatan, ekonomi atau pendapatan dan peran sosial.
f. Penurunan fungsi dan potensi seksual
Menurut kuntjoro (2002) dalam Suriastini, dkk (2013: 49) faktor
psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas, antara lain rasa
tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. sikap
keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat tradisi dan
budaya. Adanya kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya, pasangan hidup telah meninggal, dan disfungsi seksual karena
perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya yang mengakibatkan
fungsi dan potensi seksual pada lansia mengalami perubahan.
4. Sikap Manusia dalam Menerima Kedatangan Usia Lanjut
Terdapat beberapa sikap manusia dalam menerima datangnya masa usia tua
yaitu ada yang mengadakan perlawanan, ada pula yang menerimanya dengan
ketakutan dan ada juga yang menerimanya dengan lapang dada dan meyadari usia
tua merupakan takdir Allah SWT yang patut disyukuri.
Hal tersebut merujuk pada beberapa peristiwa masa kuno, misalnya seperti di
Eropa beberapa ratu ada yang mempraktikkan mandi darah perawan sebagai upaya
agar tetap awet muda. Kemudian Moe Zadong tokoh komunis China, percaya
bahwa dengan menyetubuhi 1000 orang perawan maka ia akan memperoleh
kehidupan yang abadi (Replita: 2014, h.68). Fenomena tersebut tidak hanya terjadi
pada masa lampau, pada masa modern seperti ini pun berdasarkan pengamatan
peneliti banyak orang yang mencari cara untuk bisa awet muda, misalnya banyak
orang yang mulai melakukan operasi plastik dan menggunakan berbagai macam
alat kecantikan untuk menutupi tanda-tanda penuaan yang sudah mulai ada.
Tentunya perbuatan tersebut tidak mencerminkan ajaran Islam, dalam
pandangan Islam usia sudah menjadi ketentuan Tuhan hal tersebut sudah
termaktub dalam al-Qur‟an surah al-An‟am ayat (6): 2:
39
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal
(kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia
sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang
berbangkit itu)”.(Q.S. al-An‟am: 2)
Demikian juga dalam surah al-Ankabut (29): 57:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada
kami kamu dikembalikan”.(Q.S. al-Ankabut: 2)
Juga dalam surah al-Baqarah (2): 96 Allah berfirman:
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba
kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang
musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun,
padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada
siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.(Q.S. al-Baqarah:
96)
Dengan demikian datangnya usia tua merupakan kodrat yang sudah pasti ada
dalam diri manusia. Ajaran Islam menganjurkan untuk menikmati dan menghayati
datangnya usia tua daripada terus berusaha untuk menghindarinya, karena dengan
menikmati dan menghayati maka manusia akan dapat lebih bisa mempersiapkan
diri dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT sampai ajal datang
menjemputnya.
5. Lansia dalam Undang-Undang
Keselarasan UU, PP dan PERMEN dengan delapan dimensi Kota Ramah Lanjut
Usia WHO, yaitu:
a. Gedung dan Ruang Terbuka
1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia:
Bab VI (pelaksanaan) pasal 17 (1): pelayanan untuk mendapatkan
kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasaranan umum
dimaksudkan sebagai perwujudan rasa hormat dan penghargaan kepada
lansia. Bab IV (pelaksanaan) pasal 17 (2): pelayanan untuk mendapatkan
kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum. Bab IV (pelaksanaan) pasal
17 (3): Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana
dan prasaranan umum dimaksudkan untuk memberikan aksebilitas terutama
di tempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lansia. Bab IX
40
(ketentuan pidanan dan sanksi administrasi) pasal 27 (1): setiap orang atau
badan organisasi atau lembaga yang dengan sengaja tidak menyediakan
aksebilitas bagi lansia sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (3) dapat
dikenakan saksi administrasi.
2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia
Pasal 17 ayat (1): pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam
penggunaan sarana dan prasarana umum dimaksudkan sebagai perwujudan
rasa hormat dan penghargaan kepada lansia. Pasal 17 ayat (2): pelayanan
untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum. Pasal 17
ayat (3): pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan
sarana dan prasarana umum dimaksudkan untuk memberikan aksebilitas
terutama ditempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lansia.
Pasal 21 ayat (1): pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas rekreasi
dan olahraga khusus kepada lansia.
Pasal 24: penyediaan aksebilitas bagi lansia pada sarana dan prasarana
umum dapat berbentuk fisik dan non fisik.
Pasal 25 ayat (1): penyediaan aksebilitas yang berbentuk fisik.
Pasal 26: aksebilitas pada bangunan umum.
Pasal 27: aksebilitas pada jalan umum.
Pasal 28: aksebilitas pada pertamanan dan tempat rekreasi.
3) PERMENDAGRI No. 60 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan
Komisi Daerah Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanganan
Lansia di Daerah
Bab IV (pemberdayaan) pasal 10 ayat (2) poin (d): sarana dan prasarana
milik masyarakat yaitu sarana dan prasarana seperti ruang pertemuan di
balai desa sebagai tempat musyawarah.
b. Transportasi
PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia: Pasal 20 ayat (1): pemerintah dan masyarakat
memberikan kemudahan dalam melakukan perjalanan kepada lansia. Pasal 29:
aksebilitas pada angkutan umum
c. Perumahan
UU RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman:
Bab IV (Permukiman) Pasal 18 ayat (2): Pembangunan kawasan
pemukiman. Ayat (3) satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang
lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan
dengan kawasan yang lain yang memberikan berbagai pelayanan dan
kesempatan kerja.
Bab V (Peran Serta Masyarakat) Pasal 29 ayat (1): setiap warga Negara
mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan
serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Ayat (2) pelaksanaan
peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama
41
d. Partisipasi Sosial
UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia
Bab II (Asas, arah dan tujuan) Pasal 3: upaya peningkatan
kesejahteraan social lansia diarahkan agar lansia tetap dapat diberdayakan
sehingga berperan dalam kegiatan pembangunan dengan memperhatikan
fungsi, kearifan pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia dan
kondisi fisiknya serta terselenggaranya pemeliharaan taraf hidup
kesejahteraan sosial lansia.
Bab V (Pemberdayaan) Pasal 9: pemberdayaan lansia dimaksudkan
agar lansia tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif
secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bab VII (Peran masyarakat) Pasal 23: lansia potensial dapat
membentuk organisasi lembaga sosial berdasarkan kebutuhan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Penghormatan dan Inklusi atau Keterlibatan Sosial
1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia
Bab III (Hak dan kewajiban) Pasal 5 ayat (2): sebagai penghormatan
dan penghargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial yang meliputi: a) pelayanan keagamaan dan mental
spiritual b) pelayanan kesehatan c) pelayanan kesempatan kerja d) pelayanan
pendidikan dan pelatihan e) kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana
dan prasarana umum f) kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum g)
perlindungan sosial h) bantuan sosial.
Bab VII (Peran masyarakat) Pasal 22 (1): masyarakat mempunyai hak
dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan sosial lansia.
2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia
Pasal 35 ayat (1): pemberian perlindungan sosial dimaksudkan untuk
memberikan pelayanan bagi lansia tidak potensial agar dapat mewujudkan
taraf hidup yang wajar. Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan melalui pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang
diselenggarakan baik di dalam maupun di luar panti. Lansia tidak potensial
terlantar yang meninggal dunia dimakamkan sesuai dengan agamanya dan
menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat.
f. Partisipasi sipil dan pekerjaan
1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia
Bab I (Ketentuan umum) Pasal 1: lansia potensial adalah lansia yang
masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan
barang atau jasa. Bab VI (Pelaksanaan) Pasal 15 (1): pelayanan kesempatan
kerja bagi lansia potensial dimaksudkan memberi peluang untuk
mendayagunakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, keterampilan dan
pengalaman yang dimilikinya. Bab VI (Pelaksanaan) Pasal 15 (2): pelayanan
kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada
42
sektor formal dan nonformal melalui perseorangan, kelompok atau
organisasi atau lembaga baik pemerintah maupun masyarakat.
2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia
Pasal 9 ayat (1): pelayanan kesempatan kerja bagi lansia potensial
dimaksudkan memberi peluang untuk mendayagunakan pengetahuan,
keahlian, kemampuan, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.
Pasal 9 ayat (2): pelayanan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan pada sektor formal dan nonformal, melalui
perseorangan, kelompok atau organisasi atau lembaga baik pemerintah
maupun masyarakat. Pasal 12: setiap pekerja atau buruh lansia potensial
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja lainnya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 14: dunia usaha
dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha
bagi lansia potensial. Pasal 15 (1): lansia potensial yang mempunyai
keterampilan atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau kelompok
usaha bersama dapat diberikan bantuan sosial.
3) PERMENDAGRI No. 60 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan
Komisi Daerah Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanganan
Lansia di Daerah
Bab IV pasal 10 ayat (2) point (e): pengetahuan masyarakat, yaitu
pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam bentuk komunikasi, informasi
dan edukasi yang dapat didayagunakan untuk kegiatan penanganan lansia
seperti lomba mengarang dan usaha ekonomi produktif (uep).
g. Komunikasi dan Informasi
PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia
Pasal 25 ayat (2): penyediaan aksebilitas yang berbentuk non fisik
meliputi: a) pelayanan informasi b) pelayanan khusus. Pasal 30: pelayanan
informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf a, dilaksanakan
dalam bentuk penyediaan dan penyebarluasan informasi yang menyangkut
segala bentuk pelayanan yang disediakan bagi lansia.
Pasal 31: pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2)
huruf b, dilaksanakan dalam bentuk: a) penyediaan tanda-tanda khusus, bunyi
dan gambar pada tempat-tempat khusus yang disediakan pada setiap sarana dan
prasarana pembangunan atau fasilitas umum b) penyediaan media massa
sebagai sumber informasi dan sarana komunikasi antar lansia.
h. Dukungan Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan
1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia
Bab V (Pemberdayaan) Pasal 11: upaya peningkatan kesejahteraan
sosial bagi lansia usia potensial meliputi: a) pelayanan keagamaan dan
mental spiritual b) pelayanan kesehatan c) pelayanan kesempatan kerja d)
pelayanan pendidikan dan pelatihan e) kemudahan dalam penggunaan
43
fasilitas, sarana dan prasarana umum f) kemudahan dalam layanan dan
bantuan hukum g) perlindungan sosial h) bantuan sosial.
2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia
Pasal 8 ayat (1): pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia agar kondisi
fisik, mental dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar. Pasal 8 ayat (2):
pelayanan kesehatan bagi lansia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui peningkatan: a) penyuluhan dan penyebarluasan
informasi kesehatan lansia b) upaya penyembuhan (kuratif), yang diperluas
pada bidang pelayanan geriatrik c) pengembangan lembaga perawatan lansia
yang menderita penyakit kronis atau terminal d) derita penyakit kronis dan
terminal.
3) PERMENDAGRI No. 60 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan
Komisi Daerah Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanganan
Lansia di Daerah. Bab IV pasal 10 ayat (2) point (c): dana masyarakat yaitu
dana-dana masyarakat seperti dana jaminan kesehatan masyarakat
(jamkesmas) yang digunakan bagi penanganan lansia.
6. Perkembangan manusia
Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi
dalam diri seseorang, di mana perubahan-perubahan tersebut terjadi secara
berangsur-angsur menuju tingkat kedewasaan atau kematangan secara sistematis
progresf dan berkesinambungan baik secara fisik maupun psikis sejak ia dilahirkan
sampai datang kematian. (Jannah, Yacob & Julianto: 2017, h. 98).
Asyafah (2009) membagi perkembangan manusia dalam tiga periode yaitu:
Pertama,sebelum membahas tentang kehidupan manusia di dalam rahim dan
dilahirkan ke dunia, ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan lebih awal yaitu
manusia di alam ruh (arwah). Asyafah (2009, h. 8) memaparkan
bahwa,”kehidupan manusia tidak hadir secara tiba-tiba, tanpa latar belakang, tanpa
tujuan dan maksud yang jelas dan tanpa proses. Tidak, karena setiap segala sesuatu
ada sebabnya. Allah berfirman dalam surah al-Isra‟(17): 85:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit".(Q.S. Al-Isra: 85)
Dalam kitab tafsir An-Nawawi dijelaskan bahwasannya ada Seorang yahudi
bertanya kepada kaum Quraisy, tanyakanlah kepada Muhammad tentang Ashabul
Kahfi, Dzulkarnain dan tentang ruh. Ruh adalah sesuatu yang menghidupkan
badan dengan cara ditiupkannya ruh ke dalam badan. Mereka bertanya bagaimana
44
hakikat ruh, bagaimana ruh bisa masuk ke dalam badan dan di mana letak ruh itu
di dalam badan. Dan hal itu adalah sesuatu yang tidak pernah Allah beritahu
kepada seorang pun dari golongan hamba-Nya. Ruh adalah ilmunya Allah dan
perbuatannya Allah yang tidak bisa dijelaskan prosesnya bagaimana. (Nawawi: Juz
1, h. 487).
Seluruh proses yang terjadi di alam ruh adalah hal yang haq (pasti benar) dan
pasti dialami oleh setiap manusia yang terlahir ke dunia ini. Asyafah (2009: 10)
memaparkan bahwasannya, “setiap jiwa yang berada di alam ruh dapat dipastikan
dapat berbicara dan menyaksikan Allah dan berinteraksi dengan-Nya”,
sebagaimana Firman Allah swt sebagai berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".(Q.S.
Al-A‟raf (7): 172).
Dalam kitab Tafsir Nawawi dijelaskan bahwasanya di alam ruh terjadi proses
perjanjian Allah swt dengan setiap jiwa yang akan dilahirkan ke dunia. Allah swt
meminta persaksian kepada diri mereka, “apakah Aku Tuhanmu?” mereka
menjawab, ya Engkau adalah Tuhan kami.(Nawawi: Juz 2, h. 304). Dengan
demikian ayat di atas menjelaskan tentang perjanjian ketuhanan yang menekankan
bahwa sebelum manusia terlahir kedunia mereka mereka mengakui bahwa
Tuhannya adalah Allah swt.
Kedua,setelah Allah membuat perjanjian pada ruh manusia, ketika berada di
alam ruh, kemudian dari setiap ruh tersebut diturunkan ke dunia melalui alam
rahim dan Allah tiupkan ruh-Nya pada janin (Asyafah: 2009, h. 13). Sebagaimana
firman-Nya berikut ini:
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud”. (Q.S. Al-Hijr: 29)
Dalam kitab Tafsir An-Nawawi dijelaskan bahwasannya kata sujud pada ayat
di atas bukanlah makna hakiki menyembah seperti dalam sehalat, tetapi kata sujud
tersebut diartikan sebagai penghormatan kepada Allah swt. (Nawawi: Juz 1, h. 29).
45
Allah telah menetapkan manusia yang terlahir ke dunia ini pasti melewati masa di
alam rahim. Asyafah (2009: 25) memaparkan bahwa “proses kejadian manusia
dalam rahim ibu itu ternyata bertingkat-tingkat”. Bertingkat-tingkat di sini
bermakna terdapat tahapan-tahapan misalnya jika kita amati pada mulanya perut
ibu normal kemudian membesar sedikit demi sedikit sampai batas maksimal
sampai beumur kurang lebih sembilan bulan.
Gambar 2.1
Tahapan-Tahapan perkembangan janin
Sedangkan fase perkembangan bayi setiap bulannya digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.2
Fase Perkembangan janin
Dalam al-Qur‟an surah Al-Mu‟minun (23):14 Allah menerangkan secara rinci
urutan tahapan-tahapan perkembangan janin di dalam rahim ibu:
46
“kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. (Q.S. Al-Mu‟minun (23): 14).
Ayat di atas menjelaskan secara rinci tahapan-tahapan proses perkembangan
manusia di dalam rahim ibu sebelum dilahirkan ke dunia. Adapun tahapan-
tahapannya adalah sebagai berikut:
a) Segumpal darah („alaqah)
Al-Qur‟an telah membahas proses perkembangan embriologis tahap
demi tahap pada periode ini.menurut al-Qur‟an tetesan (nutfah) kemudian
berkembang menjadi alaqah. „alaqah yang mengandung arti sesuatu yang
menggantung. (Purwakania: 2006, h. 80) Sperma yang bercampur mulai
terbagi hingga sel-selnya menjadi berlipat ganda. Sperma yang tercampur
bergerak di dalam saluran rahim yang mengarah ke rahim dan apabila sudah
sampai ke rahim akan menjadi segumpal sel yang bentuknya menyerupai buah
arbei . Ketika sperma yang bercampur itu sampai ke rahim, mak ia akan
bergantung pada dinding rahim. Pada saat itulah dimulai periode „alaqah.
(Najati: 2003, h. 206) Gambar berikut menunjukkan segumpal darah yang
menempel dalam Rahim ibu:
Gambar 2.3
‘Alaqah
Dengan demikian, penjelasan di atas membuktikan benarnya firman
Allah SWT berikut:
“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.(Q.S. al-Alaq
(96): 2)
47
....
“kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah...” (Q.S. al-
Mu‟minuun (23): 14)
b) Segumpal daging (mudhgah)
Salah satu bagian tulang belakang janin akan tampak tonjolan-tonjolan
pada hari ke-24 minggu ke-4 sampai minggu ke-6. Bentuk tulang janin mulai
melengkung karena adanya proses pertumbuhan dalam tubuh janin. (Asyafah:
2009, h. 28) Gambar berikut menunjukkan proses kejadian manusia pada
tahap mudhgah (segumpal daging):
Gambar 2.4
Mudhgah
Embrio manusia terlihat seperti segumpal daging yang terbungkus yang
melakukan pembelahan pada awal minggu ketiga kemudian pada akhir
minggu keempat mulai terlihat perluasan yang mirip cetakan gigi yang
nantinya akan berkembang menjadi organ dan anggota tubuh yang
lengkap.(Purwakania: 2006, h. 84) Sekali lagi hal ini membuktikan kebenaran
firman Allah dalam surah al-Mu‟minun (23): 14:
...
“Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging...”(Q.S. al-
Mu‟minuun (23): 14)
Kelengkapan anggota janin meliputi cikalbakal semua anggota tubuh
terjadi pada tahapan segumpal daging. Sebagian sel juga telah menemukan
bentuk khususnya. Proses ini pula dijelaskan dalam hadist nabi, Rasulullah
saw bersabda:
ث نادمحمبنعبدهللابنن ث ناأبومعاويةووقيعوحد بةحد ي ث ناأبوبكربنأب ي رحد ث نا هدانوالفظلوحد
ث نااألعمشعنزيدبنوىبعنعبدامل أبوأبومعاويةووقيعقالواحد
صدوقإن أحدكمومعخلقويفوىوالص ادقامل ث نارسولهللاصلىهللاعليووسلم هللاقالحد
وأربعي يكونيفذل مغةة...)رواهاملسلم(بطنأم يكونيفذل علقةمثلذل ث ي وماث
48
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu‟awiyah dan Waki‟ demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin „Abdullah bin Numair al-Mahdani dan lafadz ini miliknya.
Telah menceritakan kepada kami Bapakku dan Abu Mu‟awiyah dan Waki‟
mereka berkata, telah menceritakan kepada kami kami al-amasy dari Zaid bin
Wahib dari Abdullah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Rasulullah
saw yaitu Ash-Shadiq al-Mashduq (seorang yang jujur menyampaikan dan
berita yang disampaikan adalah benar): sesungguhnya seorang manusia
mulai diciptaan dalam perut ibunya setelah diproses selama empat puluh
hari. Kemudian menjadi segumpal darah pada empat puluh hari berikutnya
lelu menjadi segumpal daging…”(H.R. Muslim, No. 4781)
c) Tulang belulang („idzham)
Setelah fase pembentukan segumpal daging selesai, pada minggu ketujuh
mulai terjadi proses penciptaan tulang pada janin. Di sini kebenaran al-Qur‟an
kembali terlihat. Menurut Asyafah (2009: 30) huruf fa dalam sintaksis bahasa
Arab memiliki pengertian “berurutan tanpa terpisah oleh sesuatu”. Allah
berfirman dalam surah al-Mu‟minuun (23): 14 sebagai berikut:
...
“Kemudian segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang…”
Penciptaan tulang pada janin dimulai dari unsur tulang yang ada dalam
model selaput atau model tulang rawan yang secara bertahap berubah menjadi
tulang belulang (Asyafah: 2009, h. 30). Berikut gambaran „idzam:
Gambar 2.5
‘Idzaama
d) Penutupan tulang dengan daging (kasaunaal „idzhaama lahman)
Pada minggu kedelapan terjadi proses pembungkusan tulang dengan
daging. Al-Qur‟an mengungkapkan proses perkembangan janin pada tahap ini
dalam surah al-Mu‟minuun (23): 14:
...
49
“Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging…”(Q.S. al-
Mu‟minuun (23): 14)
Istilah membungkus dengan daging pada saat itu seperti badan seseorang
dibungkus dengan pakaian. Daging dan tulang tersebut terbentuk dari rangka-
rangka yang terdapat pada dua sisi cikal bakal tulang belakang. (Asyafah:
2009, h. 32) Pada awalnya para pakar embriologi berasumsi bahwa tulang
dan daging tumbuh pada saat yang sama, namun akhir-akhir ini asumsi
tersebut ternyata tidaklah tepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa apa yang
telah diinformasikan al-Qur‟an adalah benar adanya karena telah dibuktikan
secara empiris oleh pakar embriologi. (Purwakania: 2006, h. 84-85)
Ketiga, perkembangan manusia sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia.
Proses perkembangan pada periode ini memiliki beberapa fase, seperti yang
dijelaskan dalam al-Qur‟an surah al-Hajj (22): 5 sebagai berikut:
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah
kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula)
di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu
Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah”.(Q.S. Hajj: 5)
Ayat di atas menerangkan bahwasannya perkembangan manusia di dunia
terbagi menjadi tiga fase yaitu, Pertama, fase anak-anak atau fase di mana kondisi
50
seseorang masih lemah (karena bayi atau anak-anak). Kedua, fase baligh atau fase
di mana kondisi seseorang menjadi kuat dan dewasa. Ketiga, usia lanjut yang
secara psikologis ditandai dengan adanya kepikunan dan secara biologis ditandai
dengan rambut beruban dan kondisi tubuh yang lemah. (Jannah, Yacob & Julianto:
2017, h. 100).
Allah memperkuat dalam surah al-Ghafir (40): 67:
“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani,
sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai
seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada
masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara
kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya
kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu
memahami(nya)”.(Q.S. Ghafir: 67)
Dalam kitab Tafsir An-Nawawi dijelaskan bahwasannya semua manusia
adalah makhluk yang tercipta dari mani dan dia juga tercipta dari darah dan terlahir
dari bentuk saripati makanan dan tumbuhan. Kemudian Allah swt mengeluarkan
kalian dari perut-perut ibu kalian menjadi seorang bayi agar kalian menjadi
sempurna secara akal dan tenaga. Kemudian setelah melewati fase tersebut kalian
menjadi tua, dan sebagian kalian ada yang diwafatkan sebelum usia lanjut.
(Nawawi, Juz 2, h. 255).
Ayat di atas menggambarkan periodesasi perkembangan manusia, di
antaranya adalah:
a. Tahap perkembangan prakelahiran
Dalam al-Qur‟an dijelaskan bahwasannya manusia diciptakan dalam
perut ibunya, allah berfirman dalam surah az-Zummar (39): 6:
51
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor
yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam
perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat)
demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai
kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan?”
Para ilmuan membagi perkembangan prakelahiran menjadi tiga
periode, pertama tahap germinal (dari pembuahan sampai dua minggu),
kedua tahap embrio (dua sampai delapan minggu) dan ketiga tahap fetus
(dua sampai sembilan bulan).(Purwakania: 2006, h. 74)
Al-Qur‟an juga menggambarkan bahwa Allah menempatkan bayi
yang lemah pada awal perkembangannya di suatu tempat yang aman dan
kokoh, Allah berfirman dalam surah al-Mursalat (77): : 20-22:
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina. Kemudian Kami
letakkan Dia dalam tempat yang kokoh (rahim). Sampai waktu yang
ditentukan”.(Q.S. al-Mursalat: 20-22)
Rahim (uterus) merupakan ruang kosong yang terdapat di dalam perut
ibu, ia merupakan organ berotot dan kuat dengan berat sekitar 50 gram dan
akan terus mengalami perubahan selama masa kehamilan. Ukuran rahim
akan berkembang berangsur-angsur meningkat sampai 1.100 gram pada
akhir kehamilan. (Purwakania: 2006, h. 75)
Gambar 2.6
b. Tahap Perkembangan Anak
Al-Qur‟an menggambarkan perkembangan manusia dari lahir sampai
meninggal dalam siklus alamiah, hal ini dinyatakan dalam surah ar-Ruum
(30): 54:
52
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah,
kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu
menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha
Kuasa”.(Q.S. ar-Ruum: 54)
Dalam ayat ini, digambarkan empat kondisi fisik pertama tahap lemah
yang ditafsirkan terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Kedua tahap
menjadi kuat yang terjadi pada masa remaja dan dewasa. Ketiga masa
menjadi lemah kembali, terjadi penurunan kembali dari masa penuh
kekuatan. Keempat masa di mana orang sudah beruban atau masa tua.
Berikut perkembangan motorik masa anak-anak:
Tabel 2.1
Perkembangan Motorik Masa Anak-anak (Mar‟at:2009, h. 129)
Usia/Tahun Motorik Kasar Motorik Halus
2,5-3,5 Berjalan dengan baik,
berlari lurus ke depan,
melompat
Meniru sebuah lingkaran,
tulisan cakar ayam, makan
menggunakan sendok,
menyusun beberapa kotak
3,5-4,5 Berjalan dengan 80%
langkah orang dewasa,
berlari 1/3 kecepatan
orang dewasa, melempar
dan menangkap bola
besar tetapi lengan masih
kaku
Mengancingkan baju, meniru
bentuk sederhana, membuat
gambar sederhana
4,5-5,5 Menyeimbangkan badan
di atas satu kaki, berjalan
jauh tanpa jatuh dapat
berenang dalam air yang
dangkal
Menggunting, menggambar
orang, meniru angka dan
huruf sederhana, membuat
susunan yang kompleks
dengan kotak-kotak.
c. Remaja
Remaja dianggap sebagai periode sensitif yang memiliki pengaruh
yang sangat besar bagi kehidupan individu. Periode ini menandai
perpindahan dari tahap anak-anak menjadi tahap dewasa.(Purwakania:
2006, h. 109). Sebagaimana dinyatakan dalam hadist Imam Muslim:
ثنام :القرمعننابععفننهللاعدباعنث د حباأنث د حينهللابندبعنبدم حد موي ينضرعينووزملف ةنسةرشععبرأنبانأوالتلقاديفأحموهللاملسو هيلع هللا ىلصي لوسعرضينر
53
وىوعبدالعزيزنبرىعملف قدمتععفنال.قنازجأفةنسةرشعةسخنبانأواقدنالث تفي لخذئموي (...)رواهاملسلميكبالويةيالص دباحلذإن ىالقف ثيااحلدذوىةفحد
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin
Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan
kepada kami „Ubaidullah dari Nafi‟ dari Ibnu Umar dia
berkata,”Rasulullah saw memeriksaku ketika hendak berangkat
perang uhud, ketika itu saya baru berusia empat belas tahun,
sehingga beliau pun tidak membolehkan aku ikut pergi berperang.
Ketika hendak berangkat berangkat ke medan perang khondak beliau
memeriksakku pula. Ketika itu saya telah berusia lima belas tahun,
dan beliau membolehkanku ikut berperang”. Nafi‟ berkata, maka
saya mendatangi Umar bin Abdul Aziz ketika itu dia telah menjabat
sebagai khalifah, lalu saya menyampaikan kepadaya hadist tersebut,
dia berkata, sesungguhnya itu adalah batas antara usia kecil dan usia
dewasa”. (H.R. Muslim, No. 3473).
d. Dewasa
Periode ini dimulai pada saat usia manusia berada di atas 30-an
sampai 40-an. Usia 40 tahun dianggap sebagai tahap di mana kemampuan
fisik dan intelektual mencapai kematangan. (Purwakania: 2006, h. 112).
Dan diperkuat dengan pernyataan Mar‟at (2009: 234) yang menyatakan
bahwa, “masa dewasa kemampuan fisik mencapai puncaknya”.
Al-Qur‟an menggambarkan periode ini adalah periode pencapaian
kekuatan penuh, Allah berfirman dalam surah ar-Ruum (30): 54:
... ...
“…Kemudian Dia menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu
menjadi kuat…”.(Q.S. ar-Ruum (30): 54)
Dan dalam surah al-Mu‟min (40): 67 dijelaskan:
… ...
“… Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada
masa (dewasa yang penuh dengan kekuatan)…”(Q.S. al-Mu‟min: 67)
Dengan demikian periode ini merupakan tahap puncak dari kondisi
fisik, sehingga kondisi ini mendukung seseorang untuk dapat memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan kemampuan fisiknya yang
matag, mereka yang berada dalam fase ini juga diberi beban dan tanggung
jawab sebagaimana layaknya orang dewasa.
54
e. Lanjut Usia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Usia ini ditetapkan dalam UU mulai 60 tahun sampai
akhir kehidupan. Periode ini digambarkan dalam hadist sohih Muslim:
ثح ث حإب راىيمبنسعيدالوىريناد كاملأبالعلءعنأبصالحعناند عةعن دمحمبنربي سنة.قاأب لأبوعيسىىري رةقال:قالرسولهللاملسو هيلع هللا ىلصعمرأم يمنستيسنةإلسبعي
نأبىذاحديثحسنغريبمنحديثأبصالحعنأبىري رةوقدرويمنغيوجوع ىري رة)رواهالرتميذ(
“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa‟id al-Jauhari telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Rabi‟ah dari Kamil Abul
Ala‟ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda,”Umur ummatku berkisar antara enam
puluh sampai tujuh puluh tahun”. Abu Isa berkata: hadist ini hasan
gharib dari hadist Abu Shalih dari Abu Hurairah dan hadistini
diriwayatkan juga dari jalur sanad yang banyak dari Abu
Hurairah”.(H.R. at-Tirmidzi)
Periode lanjut usia merupakan periode terjadinya penurunan dan
perubahan degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-
paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya dan mereka lebih rentan terhadap
berbagai penyakit. (Purwakania: 2006, h. 117). Kemudian Havinghurst
(1984) menyatakan bahwa tugas-tugas perkembangan pada periode lanjut
usia hanya berbeda dalam satu hal yangpokok dari periode-periode yang
lain. Tugas-tugas itu lebih bersifat siasat bertahan, mempertahankan
kehidupan baik jasmaniah, kejiwaan dan ekonomi. (h. 201)
Al-Qur‟an menggambarkan periode ini sebagai periode di mana
manusia di panjangkan umurnya pada umur yang paling lemah, Allah
berfirman dalam surah an-Nahl (16): 70:
“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di
antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah
(pikun), supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah
diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Kuasa”.(Q.S. an-Nahl: 70)
Dengan demikian pada periode lanjut usia, berbagai penurunan terjadi
baik jasmani maupun daya ingat. Mereka lebih banyak mengingat masa
lalu dan sering kali melupakan apa yang baru diperbuatnya. Ayat di atas
mempertegas bahwasannya pada masa ini, mereka juga merasa telah
semakin mendekati akhir kehidupan.
55
Periodesasi perkembangan manusia dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.7
Perkembangan manusia
7. Kegiatan keagamaan yang dilakukan lansia
Kegiatan yang dilakukan lansia bisa berupa kegiatan fisik dan nonfisik.
Kegiaatan fisik perlu dilakukan untuk menjaga stamina dan kesehatan, sedangkan
kegiatan nonfisik dilakukan untuk mencegah kepikunan (Suardiman: 2011, h.
153). Kemudia hasil penelitian Muzamil, dkk. (2014: 205) menunjukkan bahwa
kegiatan fisik dapat mempertahankan aliran darah dan juga meningkatkan
penghantaran nutrisi ke otak. Lebih lanjut Suardiman (2011: 154) memaparkan
bahwa selain kegiatan fisik dan nonfisik terdapat kegiatan yang sifatnya lebih
menonjol yaitu “kegiatan keagamaan”.
Kegiatan keagamaan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
dan diharapakan dengan adanya kegiatan keagamaan dapat memberikan efek
perasaan tenang, pasrah, berserah diri dan nyaman bagi lansia (suardiman: 2011, h.
154). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Anam (2006:134) yang
menemukan bahwa kegiatan keagamaan yang dilakukan lansia memiliki peran
yang signifikan dalam meningkatkan kebahagiaan lansia.
Suardiman (2006: 155) memberikan beberapa contoh kegiatan keagamaan
yang dapat dilakukan oleh lansia, yaitu:
a. Shalat 5 waktu dan shalat yang lain
b. Berpuasa
c. Kegiatan yang berorientasi zakat
d. Ibadah haji
e. Mengikuti atau mengadakan pengajian
f. Melaksanakan anjuran dan menghindari larangan sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya
g. Membaca buku-buku keagamaan
h. Mengikuti acara TV tentang agama
i. Membantu anak yatim piatu
j. Mendalami isi al-Qur‟an
8. Ciri-ciri Keberagamaan pada Lansia
Kehidupan keagamaan pada lansia menurut hasil penelitian psikologi agama
ternyata meningkat, M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh
Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel berusia 60-100 tahun. Temuannya
menunjukkan adanya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang
semakin meningkat pada umur tersebut (Jalaluddin: 1998, h. 98). Namun terdapat
56
pula penelitian yang menyebutkan bahwa, masa tua identik dengan masa
peningkatan aktifits keagamaan. Pada kenyataanya peningkatan tersebut juga
bergantung pada kebiasaan yang telah dilakukan lansia pada periode umur
sebelumnya, sehingga tidak sedikit lansia yang masih tergolong rendah
keberagamaannya (Ramayulis: 1993, h. 51).
Adapun ciri-ciri keberagamaan pada lansia yang pada umumnya dijelaskan
dalam beberapa buku psikologi agama, yaitu:
a. kehidupan keagamaan pada lansia sudah mencapai tingkat kemantapan atau
kematangan beragama.
b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c. Mulai muncul pergaulan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara
lebih bersungguh-sungguh.
d. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara
sesama manusia serta sifat-sifat luhur.
e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan
pertambahan usia.
f. Perasaan takut kematian yang berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat (Replita: 2014, h. 71).
Ciri keberagamaan lansia pada umumnya telah mencapai kematangan beragama
yang dapat terlihat dari sikapnya yang cenderung dapat menerima pendapat
keagamaan, mulai mempersiapkan kehidupan akhirat secara sungguh-sungguh,
adanya kebutuhan saling cinta terhadap sesama, timbul rasa takut kepada kematian
dan meningkatnya sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat.
Hidayat (2009: 64) menyatakan bahwasanya, “semakin lanjut usia seseorang,
tujuan belajar terasa semakin ikhlas dan mendalam, yaitu untuk menemukan
wisdom of life”. Dalam bukunya berdamai dengan kematian, Hidayat (2009)
memaparkan bahwa seseorang yang sudah berusia lanjut dan sedang dalam kondisi
sakit berat harus tetap bersikap optimis, rasional dan rida menerima kondisi yang
sedang terjadi. Anggap saja sakit dan meninggal sebagai hukum alam atau
sunnatullah yang mesti diterima apa adanya dan jangan mengingkarinya. Karena
pengingkaran terhadap sakit dan datangnya hari tua tidaklah masuk akal dan justru
akan menimbulkan penyakit baru.
Dengan demikian, pada hakikatnya setiap manusia akan melalui proses
dilahirkan dan dimatikan kembali. Lanjut usia yang suka belajar dan akrab dengan
al-Qur‟an akan menjalani hari tuanya dengan tentram dan damai serta dapat
menerima sunnatullah yang akan terjadi pada dirinya.
E. Penelitian yang Relevan
1. Juliantika, Prabowo & Amigo
Penelitian dengan judul Perbedaan Tingkat Depresi Lansia Wanita yang
Tinggal Bersama Keluarga di Kelurahan Wirogunan dengan Tinggal di Panti
Wredha Hanna Yogyakarta pada tahun 2015. Dalam penelitian tersebut ditemukan
data 50% lansia yang tinggal di Panti Wredha Hanna mengalami depresi dengan
kategori ringan, sedang dan berat dan 27,3% lansia yang tinggal bersama keluarga
mengalami depresi dengan kategori ringan.
Perbedaan penelitian yang dilakukan terdahulu dengan penelitian yang
dilakukan peneliti terletak pada variabel penelitian, penelitian terdahulu
membandingkan tingkat depresi lansia wanita yang tinggal di rumah dan di panti.
57
Sedangkan variabel penelitian ini adalah pembinaan keagamaan, fungsi keluarga
dan kematangan beragama lansia.
2. Emma Indirawati
Penelitian dengan judul Hubungan antara Kematangan Beragama dengan
Kecenderungan Strategi Coping pada tahun 2006. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kecenderungan
strategi coping. Dengan koefisien determinasi kematangan beragama terhadap
kecenderungan strategi coping sebebsar 14,82%. Semakin tinggi kematangan
beragama semakin tinggi kecenderungan menggunakan problem Focused Coping.
Perbedaan antara peneliti terdahulu dan penelitian ini adalah penelitian
terdahulu mencoba melihat hubungan antara kematangan agama dengan
kecendrungan strategi coping, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mencoba
menganalisis pembinaan keagamaan yang diberikan kepada lansia terhadap
kematangan beragama lansia.
3. Mahoney, Pargament, Tarakeshwar dkk
Penelitian dengan judul Religion in the home in the 1980s and 1990s: A
Meta-Analytic Review and Conceptual Analysis of Links Between Religion,
Marriage and Parenting pada tahun 2001. Dalam penelitian tersebut para peneliti
terdahulu menelaah 94 penelitian tentang agama dan keluarga. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan, frekuensi kehadiran dalam ibadah dan
kegiatan keagamaan, keagamaan personal dan kesamaan religiusitas anggota
keluarga berhubungan secara positif dengan kepuasan pernikahan. Pengukuran
religiusitas juga berhubungan secara positif dengan komitmen pernikahan dan
berhubungan secara negatif dengan konflik rumah tangga dan angka perceraian.
Perbedaan antara peneliti terdahulu dan penelitian ini adalah penelitian
terdahulu menganalisis hubungan antara agama dengan keluarga baik dari sisi
keutuhan keluarga maupun perceraiannya. Sedangkan penelitian ini menganalisis
fungsi keluarga dalam melakukan pembinaan terhadap lansia.
4. Ibnu Hasan Muchtar
Penelitian dengan judul Kehidupan Beragama Lanjut Usia di PSTW Budhi
Dharma, Bekasi pada tahun 2009. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa
Undang-undang No. 13 Tahun 1998 belum memperoleh perhatian serius dari
pimpinan PSTW Budi Dharma Bekasi. Kebijakan Pemerintah dalam pembinaan
kehidupan beragama lansia masih bersifat penunjukan dengan surat tugas sebagai
penanggung jawab pembinaan keagamaan. Serta pola-pola pembinaan keagamaan
lansia dari pemerintah di panti belum ada.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian
terdahulu hanya meneliti pembinaan keagamaan lansia di panti serta menganalisis
implementasi kebijakan pemerintah. Sedangkan penelitian ini mencoba untuk
menganalisis perbedaan pembinaan keagamaan yang diberikan lansia dalam
keluarga dengan pembinaan keagamaan lansia di panti.
58
Lansia yang tinggal di rumah Lansia yang tinggal di panti
Pembinan Keagamaan
1. Akidah
2. Ibadah
3. Akhlak
Fungsi Keluarga
1. Adaptasi
2. Kemitraan
3. Pertumbuhan
4. Kasih sayang
5. Kebersamaan
Kematangan Beragama Lansia
1. Akidah
2. Ibadah
3. Perilaku
F. Kerangka Teori
Gambar 2.8
Kerangka Teori
Gambar 2.8 menjelaskan bahwasannya penuaan merupakan proses fisiologis
yang pasti dialami oleh setiap manusia. Masa lansia merupakan masa di mana
seseorang mengalami kemunduran fungsi baik secara fisik, psikologis maupun
sosial. Penurunan fisik pada umumnya dipengaruhi menurunnya fungsi pembuluh
darah, khususnya pembuluh dalah kapiler yang mengakibatkan jumlah darah yang
mengalir ke organ tubuh menjadi menurun, sehingga terjadi pengerutan organ
tubuh. Dampak yang terjadi pada otak adalah berkurangnya fungsi daya ingat atau
masyarakat umum lebih sering menggunakan istilah pelupa atau pikun. Secara
psikis perubahan yang terjadi timbulnya rasa cemas, kurang bersih dan gejala
paranoid seperti keras kepala, mudah tersinggung, mudah marah, curiga dan
gelisah (Zakiyah & Hasan: 2015, h. 3).
Kemunduran fungsi yang dialami oleh lansia tidaklah menjadi faktor
penghambat lansia untuk tetap beribadah. Salah satu ciri keberagamaan pada masa
usia lanjut adalah Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan hal tersebut disetujui oleh Zakiyah dan Hasan (2015:3) bahwasannya,
59
“lansia lebih tertarik pada aktivitas yang berhubungan dengan sosial keagamaan”.
Hal itu dikarenakan lansia sudah tidak dibebani lagi dengan tanggungan keluarga
dan pekerjaan. Agama menempati kedudukan penting dalam kehidupan lansia.
Hasil penelitian Parker, Roff, Klemmack dkk (2003) mereka yang memiliki
kematangan beragama lebih sedikit memiliki gejala depresi dan lebih baik
kesehatan mentalnya dibandingkan dengan mereka yang lebih rendah kematangan
beragamanya (Zakiyah & Hasan: 2017, h.101).
Masa tua identik dengan masa peningkatan aktifitas keagamaan. Namun pada
kenyataannya peningkatan tersebut juga bergantung pada kebiasaan yang telah
dilakukan lansia pada periode umur sebelumnya, sehingga tidak sedikit lansia yang
masih tergolong rendah keberagamaannya. Merujuk pada Jalaludin dan Ramayulis
(1993: 51) bahwa “keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dan
ketetapan kepercayaan, namun pada kenyataannya masih terdapat orang dewasa
yang berubah keyakinan ke arah acuh tak acuh terhadap agama”. Hal ini disetujui
oleh Nasution (2009: 2) yang memaparkan bahwa, “terdapat fakta yang
menunjukkan menurunnya keberagamaan pada lansia”. Dua fenomena tersebut
mengindikasi bahwasanya usia seseorang tidak dapat manjadi acuan untuk
mengukur kematangan beragama seseorang.
Oleh karena itu, pemberian pembinaan keagamaan kepada lansia dipandang
perlu untuk membantu kondisi lansia yang mulai mengalami berbagai penurunan
fungsi baik jasmani, rohani maupun sosialnya. Hal ini merujuk pada penelitian
yang dilakukan oleh Dosen Keperawatan Handayani (2016) hasil dari
penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan seperti dzikir dan do‟a
bisa dijadikan terapi untuk mengurangi tingkat stres pada lansia. Hasil
penelitiannya menunjukkan 18 orang lansia (100%) mengalami stres ringan dan
setelah melakukan dzikir dan do‟a persentase untuk stres ringan menjadi (66,7%)
yang dialami oleh 12 lansia dan 6 lansia tidak mengalami stres dengan persentase
(33,3%).
Fungsi keluarga merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang
dalam konteks keluarga. Fungsi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan lansia
sangatlah penting dalam kehidupan lansia sehari-hari, terutama fungsi keluarga
sebagai motivator, edukator dan fasilitator. Fungsi keluarga sebagai edukator
merupakan fungsi dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pada lansia, di antaranya
keluarga memberikan pengertian kepada lansia tentang berinteraksi dengan baik
kepada orang lain, keluarga yang memberikan arahan dan contoh kepada lansia
yang lupa dengan tata cara beribadah serta memberikan fasilitas untuk beribadah
seperti al-Qur‟an, buku-buku agama dan menyediakan waktu pada acara hari-hari
bersar bersama keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian, pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga dapat
memberikan dampak pada kematangan beragama lansia. Kematanan beragama
tersebut yang nantinya akan mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Semua
tingkah laku dalam kehidupannya yang akan berdampak pada kesehatannya jiwa
lansia.
60
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka teori, maka hipotesis penelitian yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
1 Terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama lansia
2 Terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
3 Terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan keagamaan dan
fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
61
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif, jenis data kuantitatif menurutu
Siregar (2015: 38) adalah “data berupa angka yang dapat diolah dan dianalisis dengan
menggunakan teknik perhitungan statistik”. Jenis data kuantitatif yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuantitatif non eksperimental dengan teknik analisis data
regresi linier berganda dan komparasi uji-t.
Penelitian komparatif menurut Nazir (2005) adalah sejenis penelitian deskriptif
yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab akibat dengan
menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena
tertentu. Tujuan dari penelitian komparatif ini adalah untuk menyelidiki hubungan
salah satu variabel dengan variabel lainnya dengan hanya menguji apakah nilai
variabel terikat dalam suatu kelompok berbeda dengan nilai variabel terikat dalam
kelompok lainnya. Dalam penelitian komparatif, sering digunakan teknik korelasi,
yaitu meneliti derajat ketergantungan dalam hubungan-hubungan antar variabel
dengan menggunakan koefisien korelasi (Saepul & Bahruddin: 2014, h. 7).
Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian komparatif menguji perbedaan-perbedaan
antara dua kelompok atau lebih.
Menurut Hasan (2009: 16) terdapat dua jenis komparatif, yaitu “komparatif
antara dua sampel dan komparatif k sampel (komparatif antara lebih dari dua
sampel)”. Dan model komparatif sampel terbagi menjadi dua jenis, yaitu sampel yang
berkorelasi (terkait) dan sampel yang tidak berkorelasi (independen).
Penelitian ini menggunakan penelitian komparatif antara dua sampel dengan
sampel yang tidak berkorelasi (independen). Peneliti akan membandingkan pengaruh
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama antara
lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.
Dalam penelitian ini tidak ada pengontrol variabel maupun manipulasi atau
perlakuan dari peneliti. Penelitian dilakukan secara alamiah, peneliti mengumpulkan
data dengan menggunakan instrumen yang bersifat mengukur. Hasilnya dianalisis
secara statistik untuk dicari perbedaan di antara variabel yang diteliti dengan dua
subyek yang berbeda. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu dua variabel
independent (variabel bebas) pembinaan keagamaan dalam keluarga (X1) dan
pembinaan keagamaan di panti sosial (X2). Sedangkan variabel dependent (terikat)
dalam penelitian ini adalah kematangan beragama lansia (Y). Berikut desain
penelitian dalam penelitian ini:
62
X1
X2
Y A
B
X1
X2
Y
Keterangan:
A = Lansia yang tinggal di rumah
B = Lansia yang tinggal di panti sosial
X1 = Pembinaan keagamaan
X2 = Fungsi keluarga
Y = Kematangan beragama
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di wilayah Tangerang Selatan. Tangerang Selatan
memiliki 48 Kelurahan, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti
terkait wilayah tersebut, di Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa Buntu terdapat
lansia muslim yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.
Adapun beberapa alasan utama pemilihan lokasi penelitian di kawasan Kelurahan
tersebut adalah sebagai berikut, kawasan Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa
Buntu termasuk wilayah Tangerang Selatan yang mana di wilayah tersebut terdapat
lansia muslim, baik lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga maupun lansia
yang tinggal di panti sosial.
Penelitian ini berlansung kurang lebih dua bulan selama periode Maret-April
2018.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Menurut Prasetyo (2011, h. 119) populasi adalah “keseluruhan gejala atau
satuan yang ingin diteliti”. Hal tersebut disetujui oleh Noor (2012: 147) bahwa
populasi digunakan “untuk menyebutkan seluruh elemen atau anggota dari suatu
wilayah yang menjadi sasaran penelitian atau merupakan keseluruhan dari objek
penelitian”. Sedangkan menurut Sujarweni dan Endrayanto (2012: 13) populasi
adalah “wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai
63
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Populasi target pada penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Tangerang
Selatan sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah lansia yang
tinggal di wilayah kelurahan Rawa Buntu dan Jurangmangu Barat. Dua Kelurahan
tersebut dipilih karena ada lansia muslim yang tinggal di rumah dan tinggal di
panti sosial.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Prasetyo: 2011, h. 119). Noor (2012: 147) mendefinisikan sampel
“sejumlah anggota yang dipilih dari populasi”. Sampel diperlukan bila penelitian
tidak bermaksud untuk meneliti seluruh populasi yang ada, sedangkan tujuan
penelitian adalah menemukan generalisasi yang berlaku untuk umum. Dalam
penelitian ini pengambilan sampel menggunakan pendekatan Purposive Sampling
di mana peneliti memilih sampel berdasarkan pertimbangan tertentu sedemikian
sehingga sampel yang diperoleh dapat mewakili populasi yang sedang diteliti
maupun memungkinkan untuk melakukan perbandingan-perbandingan. Adapun
kriteria sampel dalam penelitian ini, yaitu:
a. Umur > 60 (berdasarkan UU RI)
b. Lansia bersedia menjadi responden
c. Beragama Islam
d. Dapat berkomunikasi dengan baik
e. Tidak dalam keadaan sakit fisik berat serta sakit mental
f. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
g. Lansia yang tinggal di panti sosial
h. Lansia yang tinggal di lingkungan extended family (keluarga besar)
Berdasarkan kriteria sampel di atas, maka jumlah sampel ditetapkan sebanyak
31 orang untuk lansia yang tinggal di rumah dan 25 orang lansia yang tinggal di
panti sosial, dengan jumlah keseluruhan sampel 56 orang lansia.
D. Sumber Data
1. Data Primer adalah data yang diperoleh dari fakta-fakta yang dikelola oleh peneliti
lansung dari lapangan penelitian. Data tersebut diperoleh oleh peneliti melalui
jawaban responden, yaitu lansia yang tinggal bersama keluarga dan lansia yang
tinggal di panti sosial.
2. Data Sekunder adalah semua data yang tidak termasuk data primer. Data
pelengkap yang diperoleh baik dari hasil kajian kepustakaan yang terkait dengan
permasalahan penelitian dan data-data yang dibutuhkan untuk penguatan data
primer. Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara,
data-data BPS dan studi pustaka yang peneliti peroleh terkait penelitian ini.
E. Operasional Variabel
1. Pengertian Variabel
Variabel dalam penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu variabel
bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variabel). Variabel
bebas dalam penelititian kuantitatif merupakan variabel yang menjelaskan
64
terjadinya fokus atau topik penelitian, sedangkan variabel terikat variabel yang
dijelaskan dalam fokus penelitian. (Bambang: 2011, h. 67)
2. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
a. Pembinaan Keagamaan
1) Definisi Konseptual
Pembinaan keagamaan dalam penelitian ini adalah salah satu cara untuk
mengembangkan pertumbuhan spiritual dan moral pada lansia melalui
dimensi akidah ibadah dan akhlak dengan harapan setelah diberikannya
pembinaan keagamaan dapat memberikan tuntunan serta pegangan hidup
yang dapat memberikan dampak rasa tenang terhadap lansia dalam
menjalani kehidupannya.
2) Definisi Operasional
Pembinaan keagamaan dalam penelitian ini adalah skor total yang
diperoleh responden dalam menjawab pertanyaan berdasarkan
pengembangan kisi-kisi instrumen yang diukur melalui dimensi akidah,
ibadah, akhlak dan aktivitas pembinaan keagaman.
b. Fungsi Keluarga
1) Definisi Konseptual
Fungsi keluarga dalam penelitian ini merupakan hasil akhir atau akibat
dari struktur keluarga, yang terdiri dari lima dimensi, yaitu adaptasi,
kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan. Dengan harapan
agar terjalin hubungan yang senantiasa damai dan tentram.
2) Devinisi Operasional
Fungsi keluarga dalam penelitian ini adalah skor total yang diperoleh
dari jawaban responden berdasarkan angket yang diadopsi dan
dikembangkan melalui kisi-kisi instrumen fungsi keluarga (APGAR
Keluarg) yang dapat diukur melalui dimensi: adaptasi, kemitraan,
pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan.
c. Kematangan Beragama
1) Definisi Konseptual
Kematangan beragama dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu pertama yang berhubungan dengan akidah dan dekat dengan
Tuhan, kedua ibadah, taat beribadah dan beribadah secara sukarela
berdasarkan kesadaran bukan karena paksaan hal ini lebih karena faktor
internal, ketiga berhubungan dengan perilaku, tidak mudah putus asa,
senantiasa bersyukur, mudah memaafkan, toleran, terbuka dan harmoni.
2) Devinisi Operasional
Kematangan beragama dalam penelitian ini adalah skor total yang
diperoleh dari jawaban responden berdasarkan pada pengembangan kisi-kisi
instrumen kematangan beragama yang dapat diukur melalui dimensi:
akidah, ibadah dan perilaku.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini terdiri atas tiga jenis instrumen yaitu untuk mengukur
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
65
baik lansia yang berada di lingkungan keluarga maupun lansia yang berada di panti
sosial. Ketiga jenis instumen tersebut berbentuk angket (kuesioner) dengan
menggunakan skala likert. Penjelasan instrumen sebagai berikut:
1. Kisi-kisi instrumen pembinaan keagamaan
Pernyataan-pernyataan dalam mengukur pembinaan keagamaan menggunakan
skala likert dengan alternatif pilihan yaitu Selalu, Sering, Kadang-kadang, Tidak
Pernah. Masing-masing pernyataan diberi skor satu sampai tiga. Untuk pernyataan
yang bersifat positif kemungkinan jawaban diberi skor sebagai berikut: Selalu = 4,
Sering = 3, Kadang-kadang = 2, dan Tidak Pernah = 1. Sedangakan untuk
pernyataan negatif diberi skor sebagai berikut: Selalu = 1, Sering = 2, Kadang-
Kadang = 3 dan Tidak Pernah = 4. Kisi-kisi instrumen penelitian variabel
pembinaan keagamaan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Pembinaan Keagamaan
Variabel Dimensi Indikator No Item
Total Positif Negatif
Pembinaan
Keagamaan
Akidah 1. Menanamkan nilai-nilai
ketaqwaan kepada Lansia.
2. Merefleksikan nilai-nilai
ketaqwaan dengan
kehidupan sehari-hari.
2,9 12 3
Ibadah 1. Membina lansia untuk
beribadah kepada Allah.
2. Membiasakan lansia
untuk melaksanakan
shalat, puasa, dzikir serta
melakukan do’a harian.
3. Memberikan informasi
terkait manfaat ritual
ibadah terhadap
kesehatan lansia.
4,6,15,19 14,16,10 6
Akhlak 1. Membina lansia untuk
senantiasa berprilaku
baik.
2. Membina lansia untuk
dapat memaafkan.
3. Menceritakan kisah Nabi
dan para tokoh teladan
5,11,17 3 4
Aktivitas
Keagamaan
Memotivasi lansia untuk
berpartisipasi mengikuti
kegiatan pengajian atau
penyuluhan keagamaan yang
diadakan di lingkungan
sekitar.
8,13,20 1,7,18 6
Total 12 8 20
66
2. Kisi-kisi Instrumen Fungsi keluarga
Fungsi keluarga dalam penelitian ini mengadopsi dan mengembangkan
kuesioner dari Family APGAR (Smilkstein, dkk: 1962, h. 304). Dalam kuesioner
ini terdapat 5 butir pernyataan positif dengan menggunakan pengukuran skala
likert. Jawaban Selalu (S) = 3, Kadang-kadang (KK) = 2 dan Tidak Pernah (TP) =
2. Kisi-kisi instrumen penelitian variabel fungsi keluarga dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Fungsi Keluarga
Variabel Dimensi Indikator No Item
Total Positif Negatif
Fungsi
Keluarga
Adaptasi 1. Peduli
2. Dinamis 1 1
Kemitraan 1. Kerjasama
2. Bertanggung jawab
3. Rasa aman
2 1
Pertumbuhan 1. Iman dan takwa
2. Kemandirian
3. Kualitas keluarga
3 1
Kasih sayang Sikap empati 4 1
Kebersamaan Meluangkan waktu 5 1
Total 5 5
3. Kisi-kisi Instrumen kematangan beragama lansia
Penyataan-pernyataan yang mengukur kematangan beragama lansia
menggunakan skala likert dengan alternatif pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Masing-masing
pernyataan yang bersifat positif kemungkinan jawaban diberi skor sebagai berikut:
SS = 4, S = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif diberi
skor sebagai berikut: SS = 1, S = 2, TS = 3 dan STS = 4. Kisi-kisi instrumen
penelitian variabel kematangan beragama lansia dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Kematangan Beragama
Variabel Dimensi Indikator No Item
Total Positif Negatif
Kematangan
Beragama
Akidah 1. Pemahaman
akidah
2. Tujuan
berdasarkan
akidah
1,4,6,10,14,22 5,8,17 9
Ibadah 1. Taat
beribadah
2. Beribadah
berdasarkan
sukarela
2,9,12,16,20,21 18,7 8
Perilaku 1. Tidak putus
asa
13,19,23,24,25,27
,29
3,11,15,
26,28 12
67
2. Senantiasa
bersyukur
3. Toleran
4. Harmoni
Total 19 10 29
G. Validitas Instrumen
Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu
mengukur apa yang ingin diukur. (Siregar: 2015, h. 77). Suatu instrumen pengukuran
dapat dikatakan valid jika instrumen tersebut dapat mengukur sesuatu dengan tepat.
Adapun rumus yang digunakan untuk uji validitas adalah: (Muhidin: 2007, h. 31)
Rumus yang digunakan sebagai berikut:
= ∑ (∑ ) (∑ )
√[ ∑ (∑ ) ][ ∑ (∑ ) ]
Keterangan:
= Koefisien korelasi antar item instrumen yang akan digunakan
dengan variabel yang bersangkutan
= Jumlah responden uji coba
X = Skor item instrumen yang akan digunakan
Y = Skor semua item instrumen dalam variabel tersebut
Siregar (2013: 77) mengatakan suatu instrumen penelitian dikatakan valid, apabila:
1. Koefisien korelasi product moment melebihi 0,3
2. Koefisien korelasi product moment > r-tabel (α ; n-2) n= jumlah sampel
3. Nilai sig ≤ α
H. Reliabilitas Instrumen
Reabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap
konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang
sama dengan menggunakan alat pengukur yang sama pula. (Siregar: 2013, h. 87).
Validitas butir pernyataan selanjutnya dihitung reliabilitasnya, yaitu untuk
mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat ukur, sehingga suatu hasil
pengukuran dapat dipercaya. (Muhidin: 2007, h. 37).
Formula yang dipergunakan untuk menguji reliabilitas instrumen dalam penelitian
ini menggunakan rumus Alfa Cronbach yang digunakan sebagai berikut:
r11 = (
) (
∑
)
Keterangan:
r11 = Reliabilitas instrumen atau koefisien alpha
K = Banyaknya bulir soal
68
∑ = jumlah varians bulir
= varians total
N = Jumlah responden
Keputusan pengujian reliabilitas dengan menggunakan tingkat kepercayaan (α) =
5% adalah sebaga berikut:
1. Item pertanyaan atau pernyataan kuesioner penelitian dikatakan reliabel jika thitung
> 0,6.
2. Item pertanyaan atau pernyataan kuesioner penelitian dikatakan tidak reliabel jika
thitung < 0,6. (Siregar: 2013, h. 90).
I. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
Pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan untuk uji validitas adalah
30 orang. Siregar (2013: 77) mengatakan suatu instrumen penelitian dikatakan
valid, apabila: Koefisien korelasi product moment melebihi 0,3 Koefisien korelasi
product moment > r-tabel. Adapun rumus untuk mencari r-tabel pada uji instrumen
ini adalah sebagai berikut:
df = n-2
diketahui:
n = jumlah responden
Standar kemaknaan r tabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5%
maka diketahui df dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:
df = 30-2 = 28
maka dengan demikian, r-tabel pada penelitian ini yang mengacu pada standar
rumusan adalah 0,361. Adapun hasil uji validitas yang telah dihitung oleh peneliti
menggunakan aplikasi SPSS. 20 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5 Hasil Uji Instrumen Pembinaan Keagamaan (X1)
No r-hitung r-tabel Keterangan
1 0,464 0,361 Valid
2 0,399 0,361 Valid
3 0,290 0,361 Tidak Valid
4 0,756 0,361 Valid
5 0,767 0,361 Valid
6 0,695 0,361 Valid
7 0,116 0,361 Tidak Valid
8 0,645 0,361 Valid
9 0,297 0,361 Tidak Valid
10 0,497 0,361 Valid
11 0,444 0,361 Valid
69
12 0,211 0,361 Tidak Valid
13 0,428 0,361 Valid
14 0,447 0,361 Valid
15 0,419 0,361 Valid
16 0,527 0,361 Valid
17 0,618 0,361 Valid
18 0,599 0,361 Valid
19 0,664 0,361 Valid
20 0,538 0,361 Valid
Tabel 3.6 Hasil Uji Instrumen Kematangan Beragama (Y)
No r-hitung r-tabel Keterangan
1 0,455 0,361 Valid
2 0,357 0,361 Tidak Valid
3 0,440 0,361 Valid
4 0,431 0,361 Valid
5 0,440 0,361 Valid
6 0,285 0,361 Tidak Valid
7 0,319 0,361 Tidak Valid
8 0,369 0,361 Valid
9 0,420 0,361 Valid
10 0,590 0,361 Valid
11 0,520 0,361 Valid
12 0,630 0,361 Valid
13 0,404 0,361 Valid
14 0,630 0,361 Valid
15 0,429 0,361 Valid
16 0,274 0,361 Tidak Valid
17 0,170 0,361 Tidak Valid
18 0,343 0,361 Tidak Valid
19 0,230 0,361 Tidak Valid
20 0,481 0,361 Valid
21 0,723 0,361 Valid
70
22 0,419 0,361 Valid
23 0,161 0,361 Tidak Valid
24 0,175 0,361 Tidak Valid
25 0,475 0,361 Valid
26 0,289 0,361 Tidak Valid
27 0,638 0,361 Valid
28 0,219 0,361 Tidak Valid
29 -0,089 0,361 Tidak Valid
2. Uji Reliabilitas
Keputusan pengujian reliabilitas dengan menggunakan tingkat kepercayaan
(α) = 5% adalah sebaga berikut: Item pertanyaan atau pernyataan kuesioner
penelitian dikatakan reliabel jika thitung > 0,6. Berdasarkan hasil perhitungan
menggunakan aplikasi SPSS.20 diperoleh hasi sebagai berikut:
Tabel 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Pembinaan Keagamaan (X1)
Berdasarkan hasil reliabelitas di atas, diketahui nilai Cronbach Alpha sebesar
0,833 > 0,6. Oleh karena itu instrument pembinaan keagamaan dapat dikatakan
reliabel.
Tabel 3.8 Hasil Uji Reliabilitas Kematangan Beragama (Y)
Berdasarkan hasil reliabelitas di atas, diketahui nilai Cronbach Alpha sebesar
0,772 > 0,6. Oleh karena itu instrument pembinaan keagamaan dapat dikatakan
reliabel.
J. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
data yang diperlukan dalam penelitian. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
N of Items
,833 20
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
N of Items
,772 29
71
dalam penelitian ini, teknik yang digunakan angket/kuesioner dan wawancara. Teknik
kuesioner ini digunakan untuk menggali data dengan membagikan lembar pernyataan
yang bersifat tertutup kepada lansia yang telah dijadikan sampel dalam penelitian ini.
Data yang dianalisis dengan teknik pengumpulan data ini adalah tentang pengaruh
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama antara
lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.
Teknik pengumpulan data dengan wawancara digunakan sebagai pelengkap data
yang belum diperoleh sepenuhya melalui angket, yaitu dengan cara mengadakan tanya
jawab langsung dengan informan.
Tabel 3.9 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
No Data Sumber Data Teknik Pengumpulan
Data
1 Data Pokok
a. Data tentang pembinaan
keagamaan lansia dalam
keluarga
b. Data tentang pembinaan
keagamaan lansia dalam panti
c. Data tentang kematangan
beragama lansia yang tinggal
bersama keluarga dan tinggal
di panti sosial
Lansia
Lansia
Lansia
Angket
Angket
Angket
2 Data Penunjang
Membina lansia di rumah dan di
panti sosial
Keluarga lansia
dan pengurus
panti sosial
Wawancara
K. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik statistik inferensial, statistik inferensial
menurut Kadir (2015:5) adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan hasil
pengujian hipotesis menggunakan data sampel. Sifatnya lebih umum berupa
generalisasi atau prediksi berdasarkan data sampel representatif yang menggambarkan
karakteristik populasi. Teknik analisis komparasional adalah salah satu teknik analisis
kuantitatif yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis mengenai ada tidaknya
perbedaan antar variabel yang sedang diteliti. Jika perbedaan itu ada, apakah
perbedaan itu merupakan perbedaan yang signifikan atau hanya kebetulan saja.
Analisis data untuk menguji hipotesis komparatif adalah dengan statistik uji-t.
Adapun persyaratan analisis untuk berlakunya uji-t, yaitu: penempatan subjek dalam
kelompok-kelompok yang akan diuji harus dipilih secara acak, datanya harus normal
dan homogen. Analisis tentang perbedaan dua parameter rata-rata dapat digolongkan
menjadi tiga jenis, yaitu: analisis perbedaan dua parameter rata-rata sampel bebas, dua
sampel tak bebas dan dua sampel yang tak homogen (Kadir: 2015, h. 295). Dalam
penelitian ini menggunakan uji analisis perbedaan dua parameter rata-rata sampel
bebas yaitu sampel yang keberadaannya tidak saling memengaruhi. Adapun kedua
sampel yang tidak mempengaruhi tersebut adalah pengaruh pembinaan keagamaan
72
dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia yang tinggal di rumah dan
tinggal di panti sosial.
Analisis data untuk melihat pengaruh pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga
terhadap kematangan beragama lansia menggunakan regresi linier berganda, yaitu bila
topik permasalahan terdiri dari satu variabel tak bebas (dependent) dan dua variabel
bebas (independent).Dengan tahapan analisis data sebagai berikut:
1. Regresi linear ganda
a. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dilakukan untuk mencari harga rata-rata, varians,
simpangan baku, distribusi frekuensi, modus, mean, median.
b. Uji persyaratan analisis data
Uji persyaratan analisis dengan melakukan:
1) Uji normalitas
Uji normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data
sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. (Supranto: 2013, h.
152). Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah dengan uji
kolmogorov-smirnov dan untuk pengujiannya dengan menggunakan SPSS.
Keputusan pengujian normalitas dengan menggunakan taraf
signifikansi 5% adalah sebaga berikut (Kadir: 2015, h. 157):
a) Distribusi populasi normal, jika probabilitas > 0,05
b) Distribusi populasi tidak normal, jika probabilitas ≤ 0,05
2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dua atau
lebih kelompok sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang
sama. (Supranto: 2013, h. 155). Dalam penelitian ini pengujian
homogenitas menggunakan SPSS.
Keputusan pengujian homogenitas dengan menggunakan taraf
signifikansi uji α = 0,05 adalah sebagai berikut (Supranto: 2013, h. 157):
a) Jika signifikansi yang diperoleh > α maka variansi setiap sampel sama
(homogen).
b) Jika signifikansi yang diperoleh < α maka variansi setiap sampel tidak
sama (tidak homogen).
3) Linieritas
Uji linieritas dilakukan dengan mencari persamaan regresi variabel
bebas X terhadap variabel Y (Supranto: 2013, h. 157). Dalam penelitian ini
uji linieritas memanfaatkan SPSS. Interpretasi hasil analisis dilakukan
dengan:
a) Menetapkan taraf signifikansi 0,05
b) Membandingkan signifikansi yang ditetapkan dengan signifikansi yang
diperoleh dari analisis (sig.), yaitu:
a) Bila α < Sig., berarti regresi linier
b) Bila α > Sig., berarti regresi tidak linier
73
4) Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antar variabel bebas. Cara menginterpretasikan data
multikolinieritas adalah dengan melihat nilai tolerance dan VIF (variance
inflanion facktor). Jika nilai tolerance > dari 0,01 maka dapat dikatakan
tidak terjadi multikolinieritas atau jika nilai VIF < 10 maka dapat
dikatakan tidak terjadi multikolinieritas juga.
c. Pengujian statistik
Pengujian statistik dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi
ganda. Menurut Muhiddin (2011, h. 198) analisis regresi ganda adalah “alat
untuk meramalkan nilai pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap satu
variabel terikat untuk membuktikan ada tidaknya hubungan fungsional atau
hubungan kausal antara dua atau lebih variabel bebas terhadap variabel Y”.
Dalam penelitian ini, perhitungan analisis regresi ganda menggunakan
aplikasi SPSS dengan tahapan analisis sebagai berikut (Kadir: 2015, h. 198):
1) Persamaan linear ganda dan uji signifikansi koefisien persamaan regresi
Hipotesis H0 = β1 < 0
H1 = β1 > 0
Hipotesis H0 = β2 < 0
H1 = β2 > 0
Untuk melihat apakah variabel X1 (pembinaan keagamaan) berpengaruh
terhadap variabel Y (kematangan beragama lansia) dan apakah variabel X2
(fungsi keluarga) berpengaruh terhadap varibel Y (kematangan beragama
lansia).
2) Uji signifikansi persamaan regresi ganda
Hipotesis H0 = β1 = β2
H1 = β1 ≠ β2
Untuk melihat apakah terdapat pengaruh linear variabel pembinaan
keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) dengan kematangan beragama
lansia (Y). Hal ini juga bermakna terdapat pengaruh secara bersama-sama
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia.
3) Uji signifikansi koefisien korelasi ganda
Hipotesis H0 = ρy.12 ≤ 0
H1 = ρy.12 > 0
Untuk melihat varibel X1 dan X2 secara bersama-sama memberikan
pengaruh terhadap variabel Y
2. Uji-t
Pengujian statistik uji-t untuk sampel independen dengan aplikasi SPSS.
Adapun langkah-langkah analisis adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan hipotesis
H0 : µ1 = µ2
74
H1 : µ1 ≠ µ2
Artinya:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang
tinggal di rumah dan tinggal di panti
H1 : Terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang tinggal di
rumah dan tinggal dipanti
b. Menghitung harga “t” observasi ditulis “t0 atau thitung”
c. Menentukan harga “ttabel” berdasarkan derajat bebas (db) yaitu db = n1 + n2 – 2
(n1 dan n2 jumlah data kelompok 1 dan 2)
d. Membandingkan harga t0 dan ttabel dengan dua kriteria:
Jika t0 ≤ ttabel maka hipotesis nihil (H0) diterima
Jika t0 > ttabel maka hipotesis nihil (H0) ditolak
e. Kesimpulan pengujian
Jika H0 diterima, berarti tidak ada perbedaan parameter rata-rata populasi
Jika H0 ditolak, berarti ada perbedaan parameter rata-rata populasi.
L. Hipotesis Statistik
Berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan di atas, maka hipotesis statistik
dalam penelitian ini adalah:
1. H0 : β1< 0
H1 : β1 > 0
Artinya:
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap
kematangan beragama lansia.
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap
kematangan beragama lansia.
2. H0 : β2 < 0
H1 : β2 > 0
Artinya:
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia.
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia.
3. H0 : β3 < 0
H1 : β3 > 0
Artinya:
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
H1 : Terdapat pengaruh yang simultan antara pembinaan keagamaan dan fungsi
keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
75
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Dalam bagian ini, akan dideskripsikan tentang, Pondok Lansia Berdikari,
Pesantren Lansia, wilayah Kelurahan Jurangmangu Barat, wilayah Keluarahan
Serpong secara umum, meliputi profil tempat penelitian, visi, misi dan kegiatan yang
ada di tempat penelitian ini. Gambaran umum tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1. Profil Panti
Pondok Lansia Berdikari merupakan salah satu panti sosial dikelola oleh
pihak swasta yang berada di daerah BSD Griya Loka Sektor 1.6 Jl. Kubis Blok
A3/10, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten. Hal tersebut dapat dilihat
sebagai berikut:
Gambar 4.1
Letak Pondok Lansia Berdikari
Dari gambar 4.1 dapat diketahui bahwasanya Pondok Lansia Berdikari berada
di wilayah Kelurahan Serpong dan letaknya yang jauh dari kebisingan jalan raya,
membuat suasana panti menjadi tenang. Pondok Lansia Berdikari ini termasuk
panti sosial swasta yang tidak hanya menerima lansia yang berbayar saja, tetapi
menerima yang tidak berbayar juga. (Hasil Wawancara dengan Ketua Panti)
2. Sejarah Pondok Lansia Berdikari
Pondok lansia berdikari berdiri secara resmi lembaga pada tanggal 22 Mei
2013 yang berlokasi di daerah BSD Griya Loka Sektor 1.6 Jl. Kubis Blok A3/10,
Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, sedangkan wacana pembentukkannya
pada akhir Desember 2012. Awal mula perkembangan panti dimulai dari kegiatan
bakti sosial yang diadakan dan jumlah lansia yang tinggal di panti berjumlah enam
orang, fluktuatif jumlahnya karena faktor usia dan sampai sekarang jumlahnya ada
25 orang. Pondok lansia berdikari masih menggunakan rumah sewa dan sekarang
sedang proses pembangunan gedung evaluasi di Tigaraksa Tangerang, dengan
wacana gedung keselamatan lansia, yaitu selamat dari api, listrik, kamar mandi dan
obat-obatan.
76
3. Visi Misi
Visi Misi didirikannya Pondok Lansia Berdikari adalah untuk menyayangi
lansia sepanjang masa dan menjadi tempat asah, asih, asuh lansia dengan dasar
peduli sosial.
4. Kegiatan Panti
a. Pemeriksaan kesehatan rutin
b. Kegiatan Pembinaan keagamaan
c. Berkumpul dan bergaul
Kegiatan pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh tenaga medis dan
terkadang dari pihak mahasiswa kedokteran ada yang turut serta memberikan
bantuan pemeriksaan kesehatan kepada para lansia yang ada di Pondok Lansia
Berdikari. Selain pemeriksaan kesehatan, banyak kegiatan-kegiatan bakti sosial
yang dilakukan baik oleh para mahasiswa, maupun ibu –ibu pengajian yang turut
serta menghibur, berkumpul dan bergaul dengan para lansia dan dari kegiatan ini
membuat para lansia sangat terhibur. (hasil wawancara dengan Ketua Panti)
5. Pesantren Lansia
a. Sejarah Singkat
Pesantren lansia berada di bawah naungan Yayasan Adjhis yang berlokasi
di daerah Tangerang Selatan tepatnya di Jl. Flamboyan I Blok D7/5 RT 010/015
Pd. Safari Indah Jurangmangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Sejarah
berdirinya pesantren lansia berawal dari pemikiran tentang jumlah panti jompo
yang banyak, namun panti jompo yang bertujuan untuk mendekatkan lansia
kepada Allah serta dapat menjadikan lansia yang berpulang ke rumah Allah
dengan husnul khotimah masih terbilang jarang. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh ketua panti, di Indonesia jumlah pesantren lansia hanya
ada lima, oleh karena hal tersebut makan Yayasan Adjhis membuat terobosan
baru dengan mendirikan pesantren lansia ini.
b. Visi Misi
Visi Misi didirikannya Pesantren Lansia adalah untuk meraih masa depan
dengan predikat husnul khotimah, menghindari kepikunan dan kejenuhan
dengan adanya kegitan yang bermanfaat serta mewujudkan bakti kepada orang
tua, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Kegiatan Pembinaan
Tabel 4.1
Kegitan Pembinaan Keagamaan
Hari Jam Kegiatan Keterangan
Senin-Kamis 06.00-11.00
- Tahsin atau tilawah al-
Qur‟an
- Do‟a pagi dan petang
- Shalat dhuha
- Latihan kultum
Busana
Muslim-
Muslimah dan
membawa
peralatan
77
13.30-15.00
- Kajian Quran
shalat
Jum‟at 06.00-11.00
13.30-15.00
- Tahsin atau tilawah
al-Qur‟an
- Do‟a pagi dan petang
- Sholat dhuha
- Tasmi‟ dan hafal
Qur‟an
- Kajian Qur‟an
Sabtu 06.00-11.00
13.30-15.00
- Tahsin atau tilawah
al-Qur‟an
- Do‟a pagi dan petang
- Shalat dhuha
- Tausiyah dan tanya
jawab
- Kajian Qur‟an
Ahad 06.00-11.00
13.30-15.00
- Olahraga
- Tahsin atau tilawah al-
Qur‟an
- Do‟a pagi dan petang
- Shalat dhuha
- Putar film islami
- Kajian Qur‟an
Sumber: Wawancara dengan Ketua Yayasan Pesantren Lansia
Pada table 4.1 dijelaskan tentang kegiatan yang dilaksanakan di Pesantren
lansia pada setiap minggunya. Walaupun terkadang proses pembinaan kurang
berjalan dengan baik dikarenakan kondisi lansia yang tidak memungkinkan
untuk mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan. (Hasil wawancara dengan
ketua Pesantren Lansia) Materi tahsin dan tilawah al-Qur‟an dilakukan
perorangan, di mana lansia mengaji di pandu oleh Pembina keagamaan.
Kegiatan latihan kultum dilakukan dengan mengadakan acara seperti tablig
akbar dan para lansia yang menjadi penceramahnya. Untuk kegiatan olahraga
bersifat kondisional saja, melihat kondisi lansia dan bersifat sukarela tidak ada
paksaan bagi lansia yang tidak mau mengikuti kegiatan olahraga.
d. Klasifikasi dan Kategori Lansia
1) Kelas Elementary = Lansia muallaf
2) Kelas Intermediate = Lansia mukallaf yang ingin memperdalam ilmu
3) Kelas Advance = Lansia yang ingin kebahagiaan dunia & akhirat
Berdasarkan penjelasa Bapak Adjma (selaku ketua Pesantren Lansia), beliau
mengklasifikasikan lansia yang datang ke pesantren lansia menjadi tiga kategori,
yaitu pertama lansia muallaf, pada suatu ketika ada seorang lansia mantan pendeta
yang datang dan ingin belajar agama Islam di Pesantren Lansia, kedua lansia yang
78
mukallaf, yaitu lansia yang pada dasarnya sudah memahami Islam dengan baik.
Seperti ada lansia yang dahulunya bekerja di kementrian agama datang ke
pesantren lansia, oleh karena itu di sini disediakan juga perpustakaan mini untuk
sarana para lansia yang ingin membaca. Kategori ketiga lansia kelas advance di
peruntukan untuk semua lansia yang tinggal di Pesantren Lansia yang sama-sama
memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
6. Kelurahan Jurangmangu Barat
Kelurahan Jurangmangu Barat terletak di sebelah Timur Kabupaten
Tangerang dengan luas wilayah 369,90 Ha, yang terdiri dari 96 RT dan 15 RW.
Adapun batasan-batasan wilayah Kelurahan Jurangmangu Barat terdapat 4 (empat)
bagian yaitu (Kecamatan Pondok Aren dalam angka 2017):
a. Utara berbatasan dengan = Kelurahan Peninggilan
b. Timur berbatasan dengan = Kelurahan Jurangmangu Timur
c. Barat berbatasan dengan = Kelurahan Pondok Ranji
d. Barat berbatasan dengan = Kelurahan Pondok Aren dan Kelurahan Pondok
Jaya
Tabel 4.2
Luas Wilayah Jurangmangu Barat
Luas
Wilayah
Luas Lahan Letak Geografis
Sawah Darat Pantai Lembah Lereng Dataran
369,90Ha - 24 529 Km2 - - - √
Pada tabel 4.2 Kelurahan Jurangmangu Barat hanya terdiri dari lahan darat
saja, tidak terdapat sawah. Dan berdasarkan letak geografisnya tidak terdapat
pantai, lembah dan lereng hanya ada dataran saja. (BPS Tangsel 2017)
Tabel 4.3
Penduduk Wilayah Jurangmangu Barat
Penduduk Jumlah Rumah Tangga
Laki-laki Perempuan
26 262 25374 13,091
Pada tabel 4.3 berdasarkan data BPS Tangsel tahun 2017 dijelaskan
bahwasannya penduduk wilayah Jurangmangu Barat terdiri dari penduduk laki-laki
dan perempuan dengan jumlah rumah tangga 13,091. (BPS Tangsel 2017)
Tabel 4.4
Penduduk Menurut Kelompok Usia
No Usia Jumlah
1 0-4 4902
2 5-9 4512
79
3 10-14 3722
4 15-19 4235
5 20-24 4451
6 25-29 4962
7 30-34 4917
8 35-39 4700
9 40-44 4342
10 45-49 3713
11 50-54 2857
12 55-59 1891
13 60-64 1156
14 65+ 1276
Jumlah 51636
Berdasarkan data BPS 2017 jumlah penduduk yang tinggal di Kelurahan
Jurangmangu Barat sebesar 51636 jiwa. Pada Tabel 4.4 di uraikan jumlah
penduduk berdasarkan usia diketahui bahwa penduduk lansia berusia 60-65+ yang
tinggal di kelurahan Jurangmangu Barat sebesar 4,8% dari Jumlah penduduk yang
tinggal di Kelurahan Jurangmangu Barat.(BPS Tangsel 2017)
Tabel 4.5
Jenis Institusi Sosial
Karang Taruna Panti Asuhan Panti Jompo
Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak
√ - √ - √ -
Pada tabel 4.5 dijelaskan bahwasannya di wilayah Jurangmangu Barat
terdapat beberapa institusi sosial di antaranya adalah karang taruna dan panti
jompo.(BPS Tangsel 2017) Karang Taruna merupakan wadah untuk
mengembangkan generasi muda yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sebagai
wujud kepedulian sosial. Karang Taruna di kelurahan Jurangmangu Barat sudah
melalui proses pelantikan yang dihadiri oleh anggota DPRD Banten, Aparatur
Kecamatan Pondok Aren dan para tokoh masyarakat. (Korang Tangerang, 8
Januari 2017) Terdapat panti jompo di kelurahan Jurangmangu Barat yaitu
pesantren lansia yang dikelola oleh yayasan adhjis. (BPS Tangsel 2017)
7. Kelurahan Rawa Buntu
Kelurahan Rawa Buntu memiliki luas wilayah 3,28 Km2, yang terdiri dari 104
RT dan 19 RW. Adapun batasan-batasan wilayah Kelurahan Jurangmangu Barat
terdapat 4 (empat) bagian yaitu (Kecamatan Serpong dalam angka 2017):
a. Utara berbatasan dengan kelurahan Lekong Gudang Timur.
80
b. Timur berbatasan dengan kelurahan Rawa Mekar Jaya.
c. Selatan berbatasan dengan Kelurahan Ciater.
d. Barat berbatasan dengan Kelurahan Serpong dan Kelurahan Cilenggang.
Tabel 4.6
Luas Lahan
Luas Lahan
Sawah Bukan Sawah Non Pertania
- 0,13 3,60
Pada tabel 4.6 dijelaskan bahwasannya luas lahan di wilayah kelurahan
Serpong yang bukan lahan sawah adalah 0,13 dan luas lahan non pertanian 3,60
data tersebut peneliti peroleh dari data (BPS Tangsel 2017).
Tabel 4.7
Letak Geografis
Pantai Bukan Pantai
Lembah Lereng Dataran
- - - √
Pada tabel 4.7 dijelaskan bahwasannya secara geografis wilayah kelurahan
serpong tidak terdapat pantai, lembah, lereng hanya terdapat dataran saja. (BPS
Tangsel 2017)
Tabel 4.8
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
Penduduk Jumlah Rumah
Tangga Laki-laki Perempuan
16 421 17 347 8 014
Pada tabel 4.8 dijelaskan bahwasanya di wilayah kelurahan Serpong terdapat
penduduk laki-laki dan perempuan dengan jumlah rumah tangga 8014. (BPS
Tangsel 2017)
Tabel 4.9
Penduduk Menurut Kelompok Usia
No Usia Jumlah
1 0-4 2870
2 5-9 2749
3 10-14 2690
81
4 15-19 2940
5 20-24 2875
6 25-29 2749
7 30-34 2919
8 35-39 3244
9 40-44 3196
10 45-49 2720
11 50-54 1842
12 55-59 1139
13 60-64 717
14 65+ 1208
Jumlah 33858
Berdasarkan data BPS 2017 jumlah penduduk yang tinggal di Rawa Buntu
sebesar 33856 jiwa. Pada Tabel 4.9 di uraikan jumlah penduduk berdasarkan usia
diketahui bahwa penduduk lansia berusia 60-65+ yang tinggal di kelurahan Rawa
Buntu sebesar 5,7% dari Jumlah penduduk yang tinggal di Kelurahan Rawa
Buntu. (BPS Tangsel 2017)
B. Uji Prasyarat Analisis Data
1. Analsisi Deskripsi Data
a) Lansia di rumah
Tabel 4.10
Komposisi Responden
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari table di atas, terlihat responden lansia yang tinggal di rumah berjumlah
31 orang dengan rincian laki-laki berjumlah 11 orang lansia dan perempuan
82
berjumlah 20 orang lansia. Dengan latar belakang pendidikan SD berjumlah 24
orang, SMP 5 orang, SMA 1 orang dan S1 1 orang.
Tabel 4.11 Hasil Deskriptif Variabel X1, X2 dan Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Mean atau rata-rata variable X1 adalah 41,69 dengan standar error sebesar
0,785. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat
kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (41,69 ±
1,96 x 0,785) = (41,69 ± 1,539) = (40,151- 43,23). Angka 1.96 adalah Z untuk
tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%
rata-rata sampel variable X1 sebesar 41,69 mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran 40,151 sampai 43,23.
Mean atau rata-rata X2 adalah 12,25 dengan standar error sebesar 0,415.
Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat
kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (12,25 ±
1,96 x 0,415) = (12,25 ± 0,8134) = (11,437- 13,063). Angka 1.96 adalah Z untuk
tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%
rata-rata sampel variable X1 sebesar 12,25 mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran 11,437 sampai 13,063.
Mean atau rata-rata variable Y adalah 31,83 dengan standar error sebesar
0,717. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat
kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (31,83 ±
1,96 x 0,717) = (31,83 ± 1,405) = (30,42 – 33,23). Angka 1.96 adalah Z untuk
tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%
rata-rata sampel variable X1 sebesar 12,25 mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran 11,437 sampai 13,063.
Nilai median sebesar 31,50 mengandung arti 50% sampel mempunyai
kematangan beragama 31,50 ke atas dan 50% mempunyai kematangan beragama
31,50% ke bawah.
83
Data pembinaan keagamaan yang paling sering muncul adalah 41 dan data
fungsi keluarga 15 sedangkan kematangan beragama 30.
Standar deviasi adalah 3,991 dan varians adalah 15,930 menunjukkan tingkat
keragaman data. Dengan standar deviasi sebesar 3,991 dan tingkat kepercayaan
95% maka rata-rata kematangan beragama lansia pada sampel menjadi (rata-rata
± 1,96 standard deviation). Dengan demikian (31,83 ± 1,96 x 3,991) = (31,83 ±
7,82) = (24,00- 39,7) atau kematangan beragama 31 orang lansia berkisar antara
24,00 sampai 39,7.
Ukuran skewness adalah -0,440. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-
skewness dengan rumus: (rs)
=
= 1,05. Jika rasio
skewness berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.
Rasio skewness 1,05 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan
beragama diasumsikan berdistribusi normal. Karena data kematangan beragama
berdistribusi normal, maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data
dengan uji parametrik.
Ukuran kurtosis adalah 0,280. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-
kurtosis dengan rumus: (rk)
=
= 0,341. Jika rasio
kurtosis berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.
Rasio kurtosis 1,05 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan beragama
diasumsikan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal, maka data
tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.
Data minimum adalah 29, 6 dan 21 sedangkan data maksimum adalah 47, 15
dan 40. Sehingga (47-29) = 18, (15-6) = 9 dan (40-21) = 19, dalam praktik
semakin besar range semakin bervariasi suatu data.
Tabel 4.12
Hasil Deskriptif Kematangan Beragama Berdasarkan Gender
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
84
Rata-rata kematangan beragama lansia laki-laki 32,13 dengan tingkat
kepercayaan 95% rata-rata tersebut dapat mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran antara 28,64 sampai 35,61. Sedangkan rata-rata untuk lansia perempuan
sebesar 31,67 data mengestimasi rata-rata populasi pada kisaran 30,12 sampai
33,22.
Rasio skewness dan kurtosis, diperoleh: skewness pria = -0,761/0,661 = 1,151
dan skewness lansia perempuan = -0,87/0,512 = 1,7. Karena kedua hasil tersebut
tidak di bawah -2 dapat diasumsikan bahwa data kematangan beragama baik lansia
laki-laki dan perempuan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal,
maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.
b) Lansia di Panti Tabel 4.13
Komposisi Responden
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari table 4.13, terlihat responden lansia yang tinggal di panti berjumlah 25
orang dengan rincian laki-laki berjumlah 11 orang lansia dan perempuan
berjumlah 14 orang lansia. Dengan latar belakang pendidikan SD berjumlah 9
orang, SMP 9 orang, SMA 4 orang dan S1 3 orang. Untuk rentang usia 60-65
tahun berjumlah 8 orang, 66-75 berjumlah 14 orang, 78-85 berjumlah 2 orang dan
usia > 86 tahun hanya 1 orang.
85
Tabel 4.14
Hasil Deskriptif Variabel X1, X2 dan Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Mean atau rata-rata variable X1 adalah 39,91 dengan standar error sebesar
1,094. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat
kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (39,91 ±
1,96 x 1,094) = (39,91 ± 2,14) = (37,77- 42,05). Angka 1.96 adalah Z untuk tingkat
kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95% rata-rata
sampel variable X1 sebesar 39,91 mengestimasi rata-rata populasi pada kisaran
37,77sampai 42,05.
Mean atau rata-rata variable X2 adalah 10,86 dengan standar error sebesar
0,535. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat
kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (10,86 ±
1,96 x 0,535) = (10,86 ± 1,047) = (9,813- 11,907). Angka 1.96 adalah Z untuk
tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%
rata-rata sampel variable X1 sebesar 10,86 mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran 9,813 sampai 11,907.
Mean atau rata-rata variable Y adalah 30,77 dengan standar error sebesar
1,390. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat
kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (30,77 ±
1,96 x 1,390) = (30,77 ± 2,724) = (28,046 – 33,50). Angka 1.96 adalah Z untuk
tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%
rata-rata sampel variable X1 sebesar 30,77 mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran 28,046 sampai 33,50.
Nilai median sebesar 31,99 mengandung arti 50% sampel mempunyai
kematangan beragama 31,99 ke atas dan 50% mempunyai kematangan beragama
31,99% ke bawah.
86
Data pembinaan keagamaan yang paling sering muncul adalah 34 dan data
fungsi keluarga 14 sedangkan kematangan beragama 21.
Standar deviasi adalah 6,951 dan varians adalah 48,310 menunjukkan tingkat
keragaman data. Dengan standar deviasi sebesar 6,951 dan tingkat kepercayaan
95% maka rata-rata kematangan beragama lansia pada sampel menjadi (rata-rata
± 1,96 standard deviation). Dengan demikian (30,77 ± 1,96 x 6,951) = (30,77 ±
13,623) = (17,150 – 44,37) atau kematangan beragama 25 orang lansia berkisar
antara 17,150 sampai 44,37.
Ukuran skewness adalah -0,440. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-
skewness dengan rumus: (rs)
=
= 0,97. Jika rasio
skewness berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.
Rasio skewness 0,97 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan
beragama diasumsikan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal,
maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.
Ukuran kurtosis adalah 0,280. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-
kurtosis dengan rumus: (rk)
=
= 1,421. Jika rasio
kurtosis berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.
Rasio kurtosis 1,421 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan
beragama diasumsikan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal,
maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.
Data minimum adalah 31, 6 dan 21 sedangkan data maksimum adalah 51, 14
dan 42. Sehingga (51-31) = 20, (14-6) = 8 dan (42-21) = 21, dalam praktik
semakin besar range semakin bervariasi suatu data.
Tabel 4.15
Hasil Deskriptif Kematangan Beragama Berdasarkan Gender
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
87
Rata-rata kematangan beragama lansia laki-laki 29,56 dengan tingkat
kepercayaan 95% rata-rata tersebut dapat mengestimasi rata-rata populasi pada
kisaran antara 24,46 sampai 34,66. Sedangkan rata-rata untuk lansia perempuan
sebesar 31,73 data mengestimasi rata-rata populasi pada kisaran 27,95 sampai
35,50.
Rasio skewness dan kurtosis, diperoleh: skewness laki-laki = -0,400/0,661 =
0,605 dan skewness lansia perempuan = -0,468/0,597 = 0,784. Karena kedua hasil
tersebut tidak di bawah -2 dapat diasumsikan bahwa data kematangan beragama
baik lansia laki-laki dan perempuan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi
normal, maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji
parametrik.
2. Uji Normalitas
Dalam penelitian ini, rumusan uji normalitas yang digunakan adalah
Kolmogrov-Smirnov. Uji normalitas dilakukan untuk memerikasa apakah populasi
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas perlu dicek keberlakuannya agar
langkah-langkah selanjutnya dapat dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan aplikasi SPSS. 20 diperoleh
hasil uji normalitas sebagai berikut:
Tabel 4.16
Hasil Uji Normalitas
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Hipotesis yang akan diuji dalam kasus ini adalah: H0 = Distribusi populasi normal, jika probabilitas > 0,05, H0 diterima.
H1 = Distribusi populasi tidak normal, jika probabilitas ≤ 0,05, H0 ditolak.
Dari output Tabel 4.16, diperoleh Test Statistic sebesar 0,394 (X1) 1,076 (X2)
dan 0,849 (Y) dan pada baris Asymp. Sig (2-tailed) sebesar 0,998 (X1), 0,197 (X2)
dan 0,467 (Y). Berikut ini rangkuman hasil uji normalitas data variabel penelitian,
sebagaimana tertera pada Tabel 4.17:
88
Tabel 4.17
Kesimpulan Hasil Uji Normalitas
No Variabel Nilai
Probabilitas Nilai α Kesimpulan
1 Pembinaan Keagamaan 0,998 0,05 Normal
2 Fungsi Keluarga 0,197 0,05 Normal
3 kematangan Beragama 0,467 0,05 Normal
3. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah objek (tiga sampel atau
lebih) yang diteliti mempunyai varian yang sama. Berikut hasil perhitungan
menggunakan aplikasi SPSS. 20.
Tabel 4.18
Hasil Uji Homogenitas
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari hasil analisis pada Tabel 4.18, diperoleh signifikansi sebesar 0, 216 >
0,05 dan 0,315 > 0,05, maka dapat disimpulkan variabel X1 dan X2 mempunyai
varian yang sama. Sedangkan variabel Y 0,001 < 0,05. Karena populasi kedua
kelompok heterogen maka akan dipilih kolom Equal variances not assumed.
4. Uji Linearitas
Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui garis hubungan antara variabel
dependen dan variabel independen. Uji linieritas dalam penelitian ini
menggunakan aplikasi SPSS. 20, jika nilai Sig. > 0,05 berarti data tersebut
berkolerasi linier. Berikut hasil pengujian linieritas:
89
Tabel 4.19
Uji Linieritas X1 ke Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Uji linieritas pada Tabel 4.19, menunjukkan nilai Sig. 0,461 > 0,05 nilai
tersebut menandakan bahwa antara pembinaan keagamaan dengan kematangan
beragama lansia mempunyai hubungan yang linier.
Tabel 4.20
Uji Linieritas X2 ke Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Uji linieritas pada Tabel 4.20, menunjukkan nilai Sig. 0,139 > 0,05 nilai
tersebut menandakan bahwa antara fungsi keluarga dengan kematangan beragama
lansia mempunyai hubungan yang linier.
5. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk melihat apakah setiap variabel bebas
berkorelasi tinggi satu sama lain atau tidak. Cara menginterpretasikan data
multikolinieritas adalah dengan melihat nilai tolerance dan VIF (variance
inflanion facktor). Jika nilai tolerance > dari 0,01 maka dapat dikatakan tidak
terjadi multikolinieritas, atau jika nilai VIF < dari 10 maka dapat dikatakan tidak
terjadi multikolinieritas juga. Berikut hasil perhitungan dengan SPSS. 20 pada
pengujian multikolinieritas:
90
Tabel 4.21
Uji Multikolinieritas
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Berdasarkan output pada Tabel 4.21, diketahui nilai tolerance pembinaan
keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) adalah 0,994 > dari 0,10. Sementara nilai
VIF variabel X1 dan X2 adalah 1,006 < dari 10,00 sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak terjadi multikolinieritas. Dengan demikian proses pengujian hipotesis
dapat dilakukan.
C. Uji Hipotesis
Hipotesis dapat dikatakan sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang
dirumuskan, maka dari itu pengujian hipotesis diperlukan untuk menjawab kebenaran
tersebut secara empirik.
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan uji-t dan teknik
regresi linier berganda.
1. Hipotesis Pertama
Pengujian hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Merumuskan Hipotesis statistik:
H0 : β1< 0
H1 : β1 > 0
Artinya:
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap
kematangan beragama lansia.
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap
kematangan beragama lansia.
b. Persamaan linear ganda dan uji signifikansi koefisien persamaan regresi
Tabel 4.22
Pengaruh X1 Terhadap Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
91
Dari Tabel 4.22, pada kolom B diperoleh konstanta b0 = 11,539, koefisien
regresi b1 = 0,337 dan b2 = 0,518. Sehingga persamaan regresi linear ganda
adalah Ŷ = 0,539 + 0,337X1 + 0,518X2.
Dari hasil analisis seperti disarikan pada Tabel 4.22, menunjukkan harga
statistik untuk koefisien variabel X1 (pembinaan Keagamaan) yaitu thit = 2,405
dan p-value = 0,020/2 = 0,01< 0,05 H0 ditolak, yang bermakna terdapat
pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap kematangan
beragama lansia.
c. Uji signifikansi regresi ganda
Tabel 4.23
Interaksi Variabel X1 dan X2 Terhadap Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari hasil analisis yang disarikan pada Tabel 4.23 diperoleh, harga statistik
F kolom ke-5 yaitu Fhit = 5,112 dan p-value = 0,009/2 = 0,0045 < 0,05 atau hal
ini berarti H0 ditolak. Artinya terdapat pengaruh linear variabel pembinaan
keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) dengan kematangan beragama lansia
(Y). Hal ini juga bermakna terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan)
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama
lansia.
d. Uji signifikansi koefisien korelasi ganda
Tabel 4.24
Hasil Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Uji signifikansi koefisien korelasi ganda diperoleh dari Tabel 4.24 terlihat
bahwa koefisien korelasi ganda (Ry.12) = 0,301 dan Fhit (Fchange) = 5,112, serta p-
value = 0,009 < 0,05 atau H0 ditolak. Dengan demikian, koefisien korelasi
ganda antara X1 dan X2 dengan Y adalah signifikan. Sedangkan koefisien
determinasi ditunjukkan oleh R Square = 0,162, yang mengandung makna
bahwa 16,2% variabilitas variabel kematangan beragama lansia (Y) dapat
dijelaskan oleh pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2), sehingga
92
dapat disimpulkan bahwa pengaruh pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga
secara bersama-sama terhadap kemtangan beragama lansia sebesar 16,2%.
e. Uji signifikansi koefisien korelasi parsial
Tabel 4.25
Korelasi antara X1 dan Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari hasil analisis pada Tabel 4.25 diperoleh (ry1.2) = 0,314 dan p-value =
0,020 < 0,05 atau H0 ditolak. Dengan demikian, koefisien korelasi antara
pembinaan keagamaan (X1) dan kematangan beragama (Y) dengan mengontrol
variabel fungsi keluarga (X2) adalah signifikan.
2. Hipotesis Kedua a. Merumuskan hipotesis statistik
H0 : β2 < 0
H1 : β2 > 0
Artinya:
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia.
H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan
beragama lansia.
b. Persamaan linear ganda dan uji signifikansi koefisien persamaan regresi
Tabel 4.26
Pengaruh X2 Terhadap Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
93
Dari Tabel 4.26, pada kolom B diperoleh konstanta b0 = 11,539, koefisien
regresi b1 = 0,337 dan b2 = 0,518. Sehingga persamaan regresi linear ganda
adalah Ŷ = 0,539 + 0,337X1 + 0,518X2.
Dari hasil analisis seperti disarikan pada Tabel 4.26, menunjukkan harga
statistik untuk koefisien variabel fungsi keluarga (X2) yaitu thit = 1,912 dan p-
value = 0,061/2 = 0,030 < 0,05 atau H0 ditolak, yang bermakna terdapat
pengaruh yang signifikan fungsi keluarga (X2) terhadap kematangan beragama
lansia (Y).
c. Uji signifikansi regresi ganda
Tabel 4.27
Interaksi Variabel X1 dan X2 Terhadap Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari hasil analisis yang disarikan pada Tabel 4.27 diperoleh, harga statistik
F kolom ke-5 yaitu Fhit = 5,112 dan p-value = 0,009 < 0,05 atau hal ini berarti
H0 ditolak. Artinya terdapat pengaruh linear variabel pembinaan keagamaan
dan fungsi keluarga dengan kematangan beragama lansia. Hal ini juga
bermakna terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan) pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
d. Uji signifikansi koefisien korelasi ganda
Tabel 4.28
Hasil Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Uji signifikansi koefisien korelasi ganda diperoleh dari Tabel 4.28 terlihat
bahwa koefisien korelasi ganda (Ry.12) = 0,301 dan Fhit (Fchange) = 5,112, serta p-
value = 0,009/2 = 0,0045 < 0,05 atau H0 ditolak. Dengan demikian, koefisien
korelasi ganda antara X1 dan X2 dengan Y adalah signifikan. Sedangkan
koefisien determinasi ditunjukkan oleh R Square = 0,162, yang mengandung
makna bahwa 16,2% variabilitas variabel kematangan beragama lansia (Y)
dapat dijelaskan oleh pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2),
94
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh pembinaan keagamaan dan fungsi
keluarga secara bersama-sama terhadap kemtangan beragama lansia sebesar
16,2%.
e. Uji signifikansi koefisien korelasi parsial
Tabel 4.29
Korelasi antara X2 dan Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari hasil analisis pada Tabel 4.29 diperoleh (ry2.1) = 0,254 dan p-value =
0,061 > 0,05 atau H0 diterima. Dengan demikian, koefisien korelasi X2 dan Y
dengan mengontrol variabel X1 adalah tidak signifikan.
Koefisien korelasi yang lebih besar akan memberikan pengaruh yang lebih
besar terhadap kriterion. Untuk mempermudah urutan peringkat keeratan
hubungan atau pengaruh antara variabel bebas dengan terikat, disajika koefisien
korelasi parsial pada Tabel berikut:
Tabel 4.30
Peringkat hubungan/pengaruh
Koefisien Korelasi
Parsial
N thitung Peringkat
(ry1.2) = 0,293
(ry2.1) = 0,098
31
31
2,405
1,912
Pertama
Kedua
Dari hasil analisis pada Tabel 4.30, menunjukkan bahwa peringkat pertama
keeratan hubungan/pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat dimiliki
oleh variabel pembinaan keagamaan (X1) dan peringkat kedua fungsi keluarga
(X2). Hal ini berimplikasi bahwa apabila variabel kematangan beragama (Y)
lansia ingin ditingkatkan maka faktor pertama yang perlu diperbaiki adalah
variabel pembinaan keagamaan (X1) untuk lansia kemudian yang kedua adalah
variabel fungsi keluarganya (X2).
f. Uji-t
Uji-t dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan
kematangan beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang
tinggal di panti sosial. Pada asumsi tersebut, hipotesisnya adalah:
95
a. Menentukan hipotesis statistik
H0 : µ1 = µ2
H1 : µ1 ≠ µ2
Artinya:
H0 : Tidak terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang tinggal
di rumah dan tinggal di panti
H1 : Terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang tinggal di
rumah dan tinggal dipanti sosial.
b. Pengambilan keputusan
Uji hipotesis yang pertama, dihitung dengan bantuan aplikasi SPSS. 20,
adapun hasil perhitungan uji-t akan dipaparkan pada Tabel di bawah ini:
Tabel 4.31
Rata-rata Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Pada Tabel 4.31 terlihat rata-rata kematangan beragama lansia yang
tinggal di rumah sebesar 31,38 dan standar deviasi 3,991 serta kematangan
beragama lansia yang tinggal di panti sosial sebesar 30,77 dan standar deviasi
6,945. Hal ini berarti secara deskriptif kematangan beragama lansia yang tinggal di
rumah lebih besar daripada kematangan beragama lansia yang tinggal di panti
sosial.
Tabel 4.32
Perbedaan Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Pada Tabel 4.32 kolom equal variances assumed, dan baris Levene‟s Test
For Equality Variances diperoleh F 13,159 dengan angka sig. Atau p-value =
0,001 < 0,05 yang berarti varians populasi kedua kelompok heterogen.
Karena varians data heterogen, maka akan dipilih kolom Equal Variances
not assumed, dan pada baris t-test for Equality Means diperoleh harga t =
0,678, db = 54 dan sig. (2 tailed) atau p-value = 0,502/2 = 0,251 > 0,05 atau H0
96
diterima. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan kematangan beragama
antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.
3. Hipotesis Ketiga
a. Merumuskan hipotesis statistik
H0 : β3 < 0
H1 : β3 > 0
Artinya:
H0 : Tidak terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
H1 : Terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
b. Kaidah pengujian
Jika, FTabel ≤ Fhitung maka terima H0
Jika FTabel > Fhitung maka Tolak H0
c. Membandingkan antara FTabel dan Fhitung
Tabel 4.33
Pengaruh Simultan X1 dan X2 Terhadap Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Dari Tabel 4.33 diperoleh nilai Fhitung = 5,112 sedangkan nilai FTabel dapat dicari
dengan menggunakan Tabel F dengan cara:
FTabel = ( ) ( ) ( )
Di mana:
M = 2, n = 56, α = 0,05
Dk = 56-2-1 = 53
FTabel = ( ) ( ) = 3,17
Ternyata Fhitung = 5,112 > FTabel = 3,17 sehingga H0 di tolak. Berdasarkan
perhitungan di atas dapat diketahui terdapat pengaruh yang simultan (bersama-
sama) antara pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) terhadap
kematangan beragama lansia (Y).
D. Hasil Wawancara
1. Pondok Lansia Berdikari
a. Data umum
Nama Informan : M. Sholeh, S.SOSIO
Jabatan : Ketua Panti Lansia Berdikari
Tanggal Wawancara : Minggu, 29 April 2018
97
b. Sintesis hasil wawancara
1) Bagaimana letak dan keadaan geografis panti?
Jawab: Pondok Lansia Berdikari berlokasi di daerah BSD Griya Loka Sektor
1.6 Jl. Kubis Blok A3 No.10 Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangerang
Selatan, Banten.
2) Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan panti?
Jawab: Panti itu berdiri 22 Mei 2013 secara resmi lembaga kalau wacana
pembentukkannya Desember 2012. Perkembangannya dimulai dari enam
orang lansia, fluktuatif jumlahnya sampai sekarang ada 30 orang karena
faktor usia. Awal mula saya sendiri yang mengurusi, sekarang sudah ada
sembilan orang kerja dan untuk rumahnya masih rumah sewa dan
alhamdulillah sekarang sedang dalam tahap pembangunan gedung sendiri di
Tiga Raksa Tangerang. Gedung ini dirancang untuk gedung keselamatan
lansia seperti selamat api, listrik, kamar mandi, ranjang dan obat-obatan
disertai riwayat kesehatan perkembangan dan penurunan kondisi lansia dari
hari kehari.
3) Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya panti?
Jawab: Visi, Misi kita menyayangi lansia dan menjadi tempat asah, asih dan
suh lansia, di mana lansia bisa bermain dengan lansia, nyambung ga
nyambung yang penting ngobrol dan peduli sosial. Panti kita masih input
data lansia yang tidak berbayar kalau di panti lain yang tidak berbayar tidak
diinput datanya.
4) Bagaimana keadaan pembinaan keagamaan, pegawai panti dan lansia?
Jawab: kegiatan pembinaan keagamaan di sini biasanya kita mendengarkan
tausiah dari pembina keagamaan dan baca yasin tahlil. Pegawai yang bisa
melakukan standar perawatan lansia seperti, mandi, makan. Untuk kondisi
lansia mayoritas lansia yang ada di sini kondisinya dalam keadaan sakit.
5) Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?
Jawab: Untuk sarana prasarana masih memakai rumah sewa, karena awal
berdiri panti ini dari kegiatan-kegiatan baksos.
6) Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?
Jawab: pembinaan keagamaan di panti ini penekanannya lebih kepada
ibadah sehari-hari seperti shalat, do‟a, dzikir, yasin, tahlil
7) Adakah dukungan pihak kementrian sosial? Jika ada, bagaimana bentuk
dukungan tersebut?
Jawab: Dukungan Kementrian Sosial ada, misalnya bantuan sapras, asistansi
lansia, pengembangan panti, bantuan kurir untuk lansia yang masih kerja di
luar panti meskipun bantuanya hanya satu tahun sekali, kalau mengajukan
pasti sembilan panti di Banten itu dapet.
98
2. Pesantren Lansia
a. Data umum
Nama Informan : Adjma, SE, MM.
Jabatan : Ketua Pesantren Lansia
Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018
b. Sintesis hasil wawancara
1) Bagaimana letak dan keadaan geografis panti?
Jawab: Pesantren lansia berlokasi di daerah Tangerang Selatan tepatnya
di Jl. Flamboyan I Blok D7/5 RT 010/015 Pd. Safari Indah
Jurangmangu Barat, Pondok Aren.
2) Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan panti?
Jawab: Panti jompo kan banyak, tetapi panti jompo yang punya misi
untuk mendekatkan lansia kepada Allah SWT dan menjadikan lansia
bisa bertahan hidup dan dapat mempersiapkan diri untuk menghadap
Allah terbilang masih jarang. Saya mengamati di Indnesiapesantren
lansia baru ada lima oleh karena itu kami membuat trobosan baru
dengan mendirikan pesantren lansia ini.
3) Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya panti?
Jawab: visi, misinya mardhotillah untuk memperoleh ridho Allah SWT.
4) Bagaimana keadaan pembinaan keagamaan, pegawai panti dan lansia?
Jawab: saya masih merangkap menjadi pembina keagamaan,
dikarenakan pembina yang dulu pindah domisili. Untuk pegawai panti
kami selalu melakukan briefing terkait tahapan apa yang harus
dilakukan untuk menghadapi lansia. Mengenai kondisi lansia, ada
lansia yang bisa melakukan mobilitas dengan bak dan aa juga lansia
yang sudah pikun.
5) Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?
Jawab: sarana dan prasarana di sini menyesuaikan dengan kebutuhan
lansia misalnya kami menggunakan toilet duduk dan jongkok, untuk al-
Qur‟an kami gunakan yang besa dan ada juga perpustakaan tempat
untuk lansia membaca.
6) Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?
Jawab: pembinaan keagamaan yang diadakan penekanannya lebih
kepada ibadah sehari-hari misalnya shlat, do‟a, dzikir dan membaca al-
Qur‟an. Untuk al-Qur‟an ada yang sudah lancar dan ada juga yang baru
mulai belajar membaca al-Qur‟an.
7) Adakah dukungan pihak kementrian sosial? Jika ada, bagaimana bentuk
dukungan tersebut?
Jawab: belum ada bantuan dari pihak Kementrian Sosial, selama ini
bantuan yang datang dari masyarakat sekitar dan ada biaya operasional
dari pihak keluarga lansia.
99
3. Pembina Keagamaan
a. Data umum
Nama Informan : Adjma, SE, MM.
Jabatan : Pembina Keagamaan
Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018
b. Sintesis hasil wawancara
1) Hari apa pembinaan keagamaan dilaksanakan?
Jawab: Setiap hari ada pembinaan keagamaan yang dilaksanakan pada
pukul 06-11.00 dan di lanjutkan kembali pada pukul 13.30-15.00
2) Bagaimana kondisi ruangan ketika pelaksanaan pembinaan keagamaan
berlangsung?
Jawab: Kegiatan pembinaan dilaksanakan di aula pesantren
3) Apakah lansia dapat mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dengan
baik?
Jawab: Ada sebagian yang bisa ikut pembinaan dan ada yang tidak bisa,
misalnya karena sedang sakit dan sudah pikun.
4) Materi apa saja yang disampaikan kepada lansia saat pembinaan
keagamaan?
Jawab: Materi tentang ibadah harian seperti, shalat, do‟a, dzikir dan
membaca al-Qur‟an. Kami juga mengadakan tabligh akbar dengan
mengundang masyarakat sebagai sarana lansia untuk latihan pidato,
memimpin do‟a dan kultum.
5) Adakah metode khusus yang digunakan saat menyampaikan materi
pembinaan keagamaan pada lansia?
Jawab: Metode yang digunakan mengulang-ngulang, ceramah atau
tausiyah, diingatkan masa nostalgia, mengangkat dia mengingat masa
jaya dia dimasa muda.
6) Apakah pelaksanaan pembinaan keagamaan berjalan sesuai dengan
yang diharapkan?
Jawab: Pembinaan yang dilaksanakan, berjalan sesuai harapan ada, dia
keluar dari panti bisa mengaji dan insya allah husnul khotimah tiba-tiba
meninggal yang pada awalnya tidak bisa baca al-Quran.
7) Apakah setelah mengikuti pembinaan keagamaan, lansia bersemangat
untuk melaksananakan shalat, membaca al-Qur‟an dan melakukan doa
harian?
Jawab: Ya, ada yang bersemangat. Adapula yang sudah udzur.
8) Apa saja yang menjadi fakor pendukung dan penghambat selama proses
pelaksanaan pembinaan keagamaan? Baik yang berkenaan dengan
kondisi fisik maupun psikis lansia?
100
Jawab: Faktor pendukung yang paling utama kesehatan lansia, kalau
dia sehat bisa mengikuti, kalau dia sakit tidak bisa, yang pentik
kondisinya sehat.
4. Keluarga Lansia
a. Data umum
Nama Informan : Thayyibah, S.Ag.
Jabatan : Anak Ke-2
Tanggal Wawancara : Senin, 19 Maret 2018
b. Sintesis hasil wawancara
1) Bagaimana Bapak/Ibu merawat anggota keluarga yang sudah berusia
lanjut?
Jawab: Dengan memperhatikan pola makan, karena orang tua kami
hanya bisa berbaring di tempat tidur cara kami merawat beliau dengan
membuat jadwal piket pada setiap hariya disesuaikan dengan jumlah
anak yang ada.
2) Apakah alasan Bapak/Ibu tetap mengurus lansia di lingkungan
keluarga?
Jawab: Mengurus orang tua yang sudah berusia lanjut memang sudah
menjadi kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.
3) Apakah Bapak/Ibu mengajak lansia untuk tetap melakukan ibadah
harian, seperti shalat, puasa, berdoa dan membaca al-Qur‟an?
Jawab: Untuk shalat ya, walaupun hanya dua waktu saja subuh dan
ashar. Untuk puasa sudah tidak kuat lagi dan digantikan dengan
membayar fidyah.
4) Apakah lansia (sebutkan nama) ikut berpartisipasi mengikuti
pembinaan keagamaan, seperti mengikuti pengajian atau majelis ta‟lim
dalam setiap minggunya?
Jawab: Ikut pengajian di hari selasa walaupun sudah jarang, dengan
menggunkan kursi roda.
5) Apakah Bapak/Ibu melihat adanya perubahan sikap (seperti;
bersemangat untuk beribadah) setelah lansia mengikuti pembinaan
keagamaan ?
Jawab: Ya, bersemangat. Walaupun hanya melakukan shalat pada dua
waktu saja.
E. Pembahasan Hasil Penelitian
Temuan dan pembahasan hasil penelitian merupakan hasil dari penelitian yang
peneliti lakukan di lapangan kemudian dikaji dan ditelaah dengan sedemikian rupa.
Dalam hal ini penelitian yang dilakukan terkait dengan komparasi pengaruh
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia,
telah mendapat beberapa temuan penelitian. Data tentang temuan penelitian tersebut
101
diperoleh melalui uji-t dan regresi ganda dengan teknik pengumpulan data yakni
kuesioner dan wawancara. Secara rinci akan diuraikan sebagai berikut:
Tabel 4.34
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Hasil perhitungan korelasi antara variabel pembinaan keagamaan (X1) dengan
kematangan beragama (Y) diperoleh nilai sebesar r = 0,322. Nilai ini menunjukkan
pengaruh yang lemah positif. Maksud lemah positif di sini adalah terjadi pengaruh
yang searah antara pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama. Artinya
semakin sering mengikuti pembinaan keagamaan maka semakin meningkat
kematangan beragama lansia. Kontribusi yang diberikan oleh variabel ini terhadap
variabel Y adalah: KP = (r)2 X 100% = (0,322)
2 X 100% = 10,3%.
Hasil perhitungan korelasi antara variabel fungsi keluarga (X2) dengan
kematangan beragama (Y) diperoleh nilai sebesar r = 0,265. Nilai ini menunjukkan
pengaruh yang lemah positif. Maksud lemah positif di sini adalah terjadi pengaruh
yang searah antara fungsi keluarga terhadap kematangan beragama. Artinya fungsi
keluarga naik, maka akan meningkatkan kematangan beragama lansia. Kontribusi
yang diberikan oleh variabel ini terhadap variabel Y adalah: KP = (r)2
X 100% =
(0,265)2 X 100% = 7%
Tabel 4.35
Kontribusi Variabel X1 dan X2 Terhadap Y
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Hasil korelasi (R) yang secara simultan (bersama-sama) antara vaiabel
pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) terhadap kematangan beragama
lansia (Y) diperoleh nilai sebesar r = 0,402. Kontribusi yang diberikan oleh kedua
variabel ini terhadap variabel (Y). KP = (rx1,x2,Y) x 100% = (0,402)2
x 100% = 16,2%
sehingga masih terdapat 83,8% variabel lain yang mempengaruhi kematangan
beragama lansia seperti latar belakang pendidikan, gender dan lain-lain.
102
Tabel 4.36
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Tabel 4.36 dapat dianalisis dengan membuat hipotesis dalam uraian kalimat
H0 = Model regresi linier berganda tidak dapat digunakan untuk
memprediksi kematangan beragama lansia yang dipengaruhi oleh
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga
H1 = Model regresi linier berganda dapat digunakan untuk memprediksi
kematangan beragama lansia yang dipengaruhi oleh pembinaan
keagamaan dan fungsi keluarga
Perbandingan keputusan diambil berdasarkan Fhitung dan FTabel. Berdasarkan
Tabel 4.36 diketahui nilai Fhitung 5,112 > nilai FTabel 3,17. Artinya model regresi linier
berganda dapat digunakan untuk memprediksi kematangan beragama lansia yang
dipengaruhi oleh pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga. Juga dapat diartikan
terdapat pengaruh linear variabel pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2)
dengan kematangan beragama lansia. Hal ini juga bermakna terdapat pengaruh secara
bersama-sama (simultan) pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap
kematangan beragama lansia.
Tabel 4.37
Perbedaan kematangan beragama Lansia di rumah dan di panti sosial
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Diperoleh harga t = 0,678, db = 54 dan sig. (2 tailed) atau p-value = 0,502/2 =
0,251 > 0,05 atau hipotesis ditolak. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan
kematangan beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal
di panti sosial. Sedangkan jika dilihat berdasarkan rata-rata kematangan beragama
103
yang terdapat pada Tabel 4.37 menunjukkan nilai rata-rata lansia yang tinggal di
rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti sosial.
Tabel 4.38
Rata-Rata Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti
Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai mean kematangan beragama
lansia yang tinggal di panti 30,77. Data tersebut menunjukkan bahwa pada saat
dilakukan penelitian, tingkat kematangan beragama lansia yang tinggal di panti
lebih rendah daripada kematangan beragama lansia yang tinggal di rumah bersama
keluarga yang memperoleh mean empiris sebesar 31,83.
F. Diskusi Hasil
Pembahasan ini akan mendiskusikan hasil penelitian yang sudah peneliti peroleh
dengan apa yang sudah didapat oleh peneliti lain yang telah terlebih dahulu meneliti
seputar judul yang peneliti bahas dengan pendekatan pendidikan agama Islam.
Pertama, terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan
beragama lansia. Besarnya pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan
beragama lansia sebesar 10,3%. Ini artinya masih terdapat 89,7% variabel lain yang
dapat memberikan kontribusi pada variabel kematangan beragama seperti, latar
belakang pendidikan lansia, gender, kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup
sebelumnya. Variabel-variabel ini perlu didalami dan diteliti lebih lanjut untuk diuji
apakah dapat memberikan pengaruh terhadap kematangan beragama lansia. Lansia
yang sebelumnya kurang memahami tata cara shalat bahkan ada yang semasa
mudanya jarang melaksanakan shalat, adapula yang belum bisa mengaji dan adapula
lansia yang menyatakan bahwa semasa mudanya beberapakali ia mengambil
keputusan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian memasuki usia lanjut
para lansia ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi dalam beragama dengan
mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan yang di adakan, terlihat adanya perubahan
perilaku walaupun dengan kondisi fisik yang sudah tidak sekuat dahulu, hal tersebut
dilakukan untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri dan ada keinginan agar dapat
kembali kepada Allah dalam keadaan khusnul khotimah.
Hal tersebut sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa pembinaan
keagamaaan bagi lansia dimaksudkan untuk mempertebal keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tertuang dalam UUD RI No. 13 Tahun 1998 pada
Bab VI pasal 13 ayat (1). Dan disetujui oleh Langgulung (1988:35) yang menyatakan
bahwa pendidikan Islam diharapkan dapat membentuk keimanan yang kuat kepada
Allah sehingga membentuk pemahaman-pemahaman yang sadar serta dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk tingkah laku baik
berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama
Dan diperkuat dengan penelitian terdahulu jurnal karya Siti Rahmah yang
menyatakan bahwa pembinaan keagamaan merupakan proses untuk membantu lansia
memelihara dan menigkatkan kondisi mental-spiritual dan kerohanian para lanjut usia,
104
khususnya dalam melaksanakan ibadah sehari-hari. Pembinaan ini dapat diwujudkan
melalui pelaksanaan ibadah, etika pergaulan, penanaman budi pekerti dan sikap yang
normatif. Dengan tujuan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi
mental spiritual, meningkatkan kesadaran dan kematangan beragama lansia.
Selanjutnya diperkuat penelitian terdahulu jurnal karya Zakiyah dan Ibnu Hasan
yang menyatakan lansia yang ikut serta mengikuti pembinaan keagamaan memiliki
religiusitas dalam kategori baik hal tersebut terlihat dari keyakinan lansia yang kuat
akan adanya Allah swt., lansia menjalakan ritual ibadah terutama shalat, mereka
merasa tenang setelah melaksanakan ibadah dan merasa berdosa ketika melakukan
kesalahan. Kemudian diperkuat dengan hasil wawancara yang peneliti peroleh dari
dua informan, yaitu:
Petama, Ketua Pesantren Lansia merangkap menjadi pembina keagamaan, Bapak
Adjma.
“Beliau menjelaskan bahwa: kondisi awal lansia ketika belum mengikuti
pembinaan keagamaan sebagian lansia ada yang tidak bisa shalat,
berwudhu. Penekanan kegiatan pembinaan keagamaan pada kegiatan
ibadah harian seperti shalat, puasa, dzikir dan do‟a harian. Sebagian
lansia ada yang bisa mengikuti pembinaan dan ada yang tidak bisa
misalnya karena sedang sakit. Dalam menyampaikan materi pembinaan
keagamaan kepada lansia tentunya harus menggunakan metode
pengulangan, ceramah dan diingatkan kembali tentang masa-masa
nostalgia ketika masih muda dulu. Tujuannya adalah walaupun kondisi
lansia sudah mengalami penurunan fungsi baik fisik, psikis dan daya
ingat tetapi lansia tetap dapat beribadah dan terus mendekatkan diri
kepada Allah swt.”
Kedua, Ketua Pondok Lansia Berdikari, Bapak sholeh.
“pembinaan keagamaan yang disampaikan kepada lansia sifatnya
mengingatkan dan disampaikan secara berulang, kenapa pengulangan
perlu dilakukan? karena kita melihat dasar kognitif lansia, di mana
kondisi daya ingat mereka yang mulai menurun bahkan ada kecendrungan
dimensia. Harapan ketika mereka mendengar terus menerus mereka bisa
tergugah dan tetap bisa melaksanakan ibadah harian dengan keterbatasan
fisik yang mereka alami.”
Hasil wawancara yang diperoleh memperkuat data dan teori yanng ada yaitu
terdapat dua kasus yang peneliti peroleh pertama, ada lansia seorang pendeta yang
sudah masuk islam, kemudian ia mengikuti pembinaan keagamaan kurang lebih
selama satu tahun di pesantren lansia. Dan saat ini beliau sudah bisa mandiri bahkan
dapat mengamalkan ilmu agama Islam yang telah diperoleh kepada masyarakat luas.
Sedangkan di Pondok Lansia Berdikari ada seorang lansia yang semasa hidupnya
beragama Budha, karena sering mendengarkan pembinaan keagamaan yang diadakan
oleh pihak panti ketika beliau menghadapi sakaratul maut beliau menyebut-nyebut
Allah swt.
Lansia yang tinggal di rumah merasa lebih bersemangat lagi untuk melaksanakan
ibadah seperti shalat, dan mengaji serta memiliki keinginan yang kuat untuk terus
beribadah. Dan para lansia berharap dapat terhindar dari pikun sehingga dapat terus
beribadah memperbaiki diri hingga menutup mata dalam keadaan khusnul khotimah.
105
Hal ini menunjukkan semakin sering lansia mengikuti pembinaan keagamaan
maka kematangan beragamanya pun akan semakin baik. Hal tersebut diperkuat
dengan dalil agaman bahwa kebiasaan dan pembiasaan mengikuti pembinaan
keagamaan dapat membantu lansia untuk lebih mengenal Allah swt dan merasa bahwa
masih ada tempat bergantung untuk segala permasalahan hidup dan mendekatkan diri
kepada Allah swt. adalah salah satu jalan agar ketentraman jiwa tercapai. Allah
berfirman dalam Q.S. Ar-Ra‟du ayat 28-29 yang berbunyi:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka
kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (Q.S. Ar-Ra‟du 28-29).
Penyampaian pembinaan keagamaan kepada lansia tentunya lebih sedikit berbeda
jika dibandingkan dengan pembinaan keagamaan pada umumnya karena harus
menyesuaikan keadaan lansia. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti peroleh
dari dua orang responden di atas bahwa materi pembinaan keagamaan yang
disampaikan berkaitan dengan ibadah harian seperti shalat, puasa, membaca al-
Qur‟an, dzikir dan do‟a harian juga terkait keseharian lansia. Materi yang diberikan
hanya yang berbobot ringat sebatas para lansia dapat menangkap dan memahaminya.
Karena daya pikir lansia yang telah menurun. Materi pembinaan keagamaan aspek
akidah meliputi keEsaan Allah swt dan Kekuasaan Allah swt.
Materi pembinaan keagaam aspek ibadah meliputi wudhu, shalat, pahala, puasa,
syahadat dan berdo‟a. Materi pembinaan keaagamaan aspek akhlak meliputi saling
menghormati antar sesama, materi ini diberikan dikarenakan sangat penting bagi
kehidupan lansia sehari-hari, emosi lansia yang kurang stabil dan mudah terbawa
suasana. Sehingga diharapkan dengan adanya materi ini para lansia dapat menjalin
hubungan antar sesama dengan baik.
Adapun metode yang sering digunakan adalah dengan cara pegulangan, tausiyah
berupa ceramah agama dan juga melalui radio. Dan materi yang diberikan kepada
lansia melihat kadar kemampuan yang dimiliki oleh lansia. Penyampaian pembinaan
keagamaan diberikan sama rata kepada lansia, yang berbeda hanya pada lansia yang
sudah mengalami pikun, pendekatan personal lebih ditekankan.
Waktu pembinaan keagamaan bagi lansia yang tinggal di rumah dalam satu
minggu bisa mengikuti 2-3 kali pembinaan yang diadakan dilingkungan sekitar juga
melihat ceramah agama di televisi maupun mendengarkan radio. Untuk lansia yang
tinggal di pesantren lansia senin-minggu pukul 06.00-11.00 dilanjutkan kembali pukul
13.30-15.00. Adapun untuk lansia yang tinggal di pondok lansia berdikari jadawal
pembinaan senin-kamis untuk waktu opsional melihat kondisi lansia.
Adapun hambatan yang dihadapi saat pembinaan keagamaan adalah penurunan
daya ingat pada lansia yang berdampak lupa pada materi yang sudah disampaikan,
kondisi lansia itu sendiri, seperti lansia yang sedang sakit juga penurunan fungsi
106
penglihatan dan pendengaran. Adapun faktor pendukung pembinaan keagamaan yang
paling utama adalah kondisi kesehatan lansia itu sendiri. Dan faktor pendukung yang
lain adanya bantuan dari kementrian sosial baik bantuan berupa dana, sapras, asistansi
lansia, pengembangan panti dan bantuan kurir untuk lansia yang masih kerja di luar
panti meskipun bantuanya terkadang hanya satu tahun sekali.
Kedua, terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
Besarnya pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia adalah 7%.
Ini artinya masih terdapat 93% variabel lain yang dapat memberikan kontribusi pada
variabel kematangan beragama lansia seperti latar belakang pendidikan lansia, gender,
kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup sebelumnya. Fungsi keluarga yang
dimaksudkan bagaimana keluarga dapat membina norma-norma ajaran agama sebagai
dasar tujuan hidup, sehingga norma agama tersebut dapat tercermin ke dalam tingkah
laku dalam menjadi kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga
merupakan tempat utama di mana seseorang tumbuh, berkembang hingga anggota
keluarga tersebut memasuki fase lanjut usia.
Pada fase lanjut usia di mana berbagai perubahan yang dialami akan
menimbulkan berbagai pengaruh dalam kesehatan fisiknya ataupun mental
psikologisnya. Tidak jarang kerena adanya penurunan fungsi fisik berdampak pula
pada keterbatasan lansia melakukan ritual ibadah harian seperti shalat. Oleh karena
kondisi yang seperti inilah maka keluarga menjadi tempat petama bagi lansia untuk
dapat memasuki proses penerimaan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.
Hal inilah sebabnya dukungan keluarga sangat dibutuhkan, baik dukungan adaptasi,
kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan. Allah berfirman dalam surah
al-ahqaf (46): 15:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat
Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya
aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang
berserah diri". (Q.S. al-Ahqaf (46): 15)
107
Ayat di atas menjelaskan perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua, karena
banyak pengorbanan besar sejak dalam kandungan hingga dibesarkan dengan sebaik-
baiknya. Dan dalam surah al-„ankabuut (29): 8 Allah SWT berfirman:
…
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-
bapaknya…”. (Q.S. al-„Ankabuut (29): 8)
Allah SWT juga berfirman dalam surah Maryam (19): 32
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi”. (Q.S. Maryam (19): 32)
Allah SWT berfirman dalam surah al-An‟am (6): 151:
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-
anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan
kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,
baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya
kamu memahami(nya)”.(Q.S. al-An‟am (19): 32)
Ayat di atas menjelaskan bahwasannya perintah untuk berbakti kepada orang tua
terletak setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah, hal ini menunjukkan
bahwasannya berbakti kepada orang tua merupakan perintah yang harus
dikerjakanoleh setiap umat manusia yang ada di dunia ini. Allah juga berfirman dalam
surah al-Baqarah (2): 83:
108
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu
selalu berpaling”.(Q.S. al-Baqarah (2): 83)
ayat-ayat al-Qur‟an di atas menunjukkan bahwasannya perintah berbakti kepada
kedua orang tua merupakan kewajiban yang mutlak bagi seorang anak karena Allah
SWT menyebutnya beberapa kali di dalam al-Qur‟an. Selain ayat al-Qur‟an, terdapat
hadist nabi yang menjelaskan tentang berbakti kepada orang tua, di antaranya sebagai
berikut:
ث ح ث ح دد س ام ن د ح ق ة ب عحش و ان ي فحس نحع ي اي حن د ث اال ث ح و ال ق ب يحب اح ن د نحانع ي فحس ن ر ب خحأ يحرث ك دمحمبن نا دأ نحع بريحب ح ل ج ر ل قا ررمحع هللابن د بحع نحع اس ب ع لحب ال ق محع ن ال ق لن و ب أ ك ه لحل قا د اه ج ملسو هيلع هللا ىلصل لنب ()رولهلبخارىت اه د ام ه يحف ف
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami
Yahya dari Sufyan dari Syu‟bah keduanya berkata, telah menceritakan kepada
kami Habib dia berkata dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dan
Habib dari Abu al-Abbas dari Abdullah bin „Amru dia berkata, “seorang laki-laki
berkata kepada Nabi saw, saya hendak ikut berjihad”. Beliau lalu
bersabda,”apakah kamu memiliki kedua orang tua?” dia menjawab, “ya masih”.
Beliau bersabda,” kepada keduanyalah kamu berjihad”. (H.R. Bukhari, 5515).
Ayat dan Hadist di atas memperkuat teori yang menyatakan bahwa keluarga
adalah orang terdekat lansia, fungsi keluarga adalah menjaga, merawat kesehatan
lansia, memberi dukungan serta menguatkan mental lansia, meluangkan waktu
bersama dan memenuhi kebutuhan spiritual lansia agar semakin bertambah iman dan
takwanya kepada Allah Yang Maha Esa.
Pola asuh keagamaan yang diberikan kepada anggota keluarga akan memberikan
pengaruh pada sikap dan perilaku keagamaan anggota keluarga, oleh karena itu
keluarga dalam hal ini berfungsi untuk memfasilitasi kebutuhan keagamaan lansia
dengan harapan dapat meningkatkan kematangan beragama lansia. Berikut peneliti
paparkan hasil wawancara dengan keluarga lansia.
Keluarga lansia, Ibu Thoibah:
“merawat anggota keluarga yang sudah lanjut usia dengan kondisi lansia yang
sudah tidak bisa mandiri lagi, seperti harus dimandikan disuapi karena hanya
109
bisa berbaring saja ditempat tidur, tentu rasanya berbeda dengan merawat
seorang bayi. Tidak dapat dipungkiri ada rasa jenuh untuk merawatnya setiap
hari dengan kondisi seperti itu. Tetapi lagi-lagi perasaan seperti itu harus
segera ditepis karena merawat orang tua menurut ajaran agama adalah
kewajiban seorang anak. Sebagai seorang anak, Islam mengajarkan kita untuk
berbakti kepada orang tua dengan memfasilitasi segala kebutuhan yang
diperlukan, seperti menemaninya untuk berwudhu, memakaikan mukena dan
terkadang memdiktekan bacaan doa atau niat karena lupa lafadznya. Hal itu
dilakukan karena melihat semangatnya yang tidak padam walaupun dalam
kondisi yang sudah udzur ingin tetap beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah swt. ”
Data yang diperoleh dan teori yang ada sejalan dengan dalil agama yang
menyerukan untuk berbakti kepada orang tua. Sebagaimana termaktub di dalam al-
Qur‟an surah Luqman (14):
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.
Lafadz wasiat di atas menunjukkan hal yang harus dan sangat penting untuk
dikerjakan, dalam artian perintah tersebut tidak boleh tidak dikerjakan. Hal ini berarti
perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan perintah
yang mutlak yang harus dilakukan oleh setiap anak kepada orang tuanya. Oleh karena
itu, para lansia harus diberikan perlindungan, baik secara fisik, kesehaan, sosial,
ekonomi, pendidikan maupun kebutuhan keagamaan.
Paparan di atas juga diperkuat dengan teori bahwa salah satu dari delapan fungsi
keluarga adalah fungsi keagamaan yang bertujuan untuk mengembangkan keluarga
dan anggota-anggotanya agar semakin bertambah iman dan takwanya kepada Allah
Yang Maha Esa (Sunartiningsih:2017) dan didukung oleh hasil penelitian jurnal karya
Agustin Soewitomo Putri yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh dukungan
keluarga terhadap keterlibatan jemaat lansia dalam melayani di Gereja Bethel Injil
Sepenuh Kepunton Surakarta yang berada pada kategori sedang. Kemudian diperkuat
dengan data yang peneliti peroleh dari lapangan.
Kesimpulan ini diperkuat dengan hasil penelitian terdahulu jurnal karya Agustin
Soewitomo Putri yang menyatakan bahwa dukungan keluarga berpengaruh terhadap
keterlibatan jemaat lansia dalam melayani di Gereja Bethel Injil. Mengimplikasikan
bahwa setiap anggota keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia agar
memberikan dukungan serta dorongan agar anggota keluarga lansia dapat ikut terlibat
melayani.
Bagi lansia yang tinggal di panti sosial dengan pertimbangan pihak keluarga
harus bekerja dan tidak dapat mengurusi lansia dengan baik yang artinya terdapat
110
kesulitan dalam pelayanan mengurus lansia. Bentuk tanggung jawab mereka adalah
dengan menitipkan orangtua ke panti sosial dengan mempertimbangkan maslahah
yang lebih besar jika orangtua tinggal di panti sosial. Selain itu ada tanggung jawab
lain yang harus tetap diingat dan dijalankan seperti memperhatikan intensitas
pertemuan dengan orangtua di panti sosial, sehingga orangtua tetap merasakan
kehadiran keluarga.
Ketiga, terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan
keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) terhadap kematangan beragama lansia (Y).
Berdasarkan hasil uji hipotesis secara simultan menunjukkan hasil yang menyatakan
pengaruh antara pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga secara bersama-sama
memberikan kontribusi yang signifikan pada kematangan beragama lansia.
Keempat, tidak terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang
tinggal di rumah dan tinggal di panti. Perbedaan tempat tinggal ternyata tidak
berpengaruh terhadap kematangan beragama lansia. Terdapat tiga indikator yang
mendeskripsikan kematangan beragama lansia, baik yang tinggal di rumah bersama
keluarga maupun yang tinggal di panti sosial.
Pertama akidah, semua responden yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di
panti menyatakan setuju meyakini bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan percaya
bahwa Islam adalah ajaran yang sempurna. Merasa bersyukur karena telah diberikan
umur yang panjang oleh Allah swt, sehingga rasa syukur yang dipanjatkan
menimbulkan rasa tenang dan senang dalam diri mereka. Hal tersebut didukung hasil
analisis penelitian Diponegoro & Mulyono (2015:17) yang menyatakan bahwa,
bersukur kepada Tuhan diwujudkan dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada
Tuhan sehingga berdampak pada kehidupan yang tenang.
Allah pun menegaskan dalam al-Qur‟an surah Ibrahim ayat 7 tentang perintah
untuk tidak berhenti bersyukur:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
Kedua ibadah, menurut responden baik yang tinggal di rumah bersama keluarga
maupun lansia yang tinggal di panti sosial terdapat kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim, kewajiban itu adalah melaksanakan shalat 5 waktu
yaitu sholat Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Responden mengatakan mereka
akan diingatkan jika belum melaksanakan shalat baik oleh pihak keluarga maupun
oleh pihak panti. Walaupun terkadang karena faktor usia dan menurunnya fungsi fisik
membuat mereka terpaksa tidak melaksanakan shalat. Ritual ibadah yang mereka
lakukan berdasarkan sukarela bukan karena paksaan orang lain ataupun karena ingin
dilihat oleh orang lain.
Lansia yang tinggal di rumah dan di panti sosial, mereka selalu berdo‟a dan
memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang, dan dihindarkan dari penyakit
111
pikun dan mereka juga menyatakan merasakan adanya rasa damai dan tenang setelah
mereka berdo‟a.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Benson (2000) sebagaimana dikutip
oleh Naftali, dkk (2017:128) bahwa doa yang dilakukan berulang-ulang (repetitive
prayer) akan membawa berbagai perubahan fisiologis seperti, berkurangnya
kecepatan detak jantung, menurunnya kecepatan nafas, menurunnya tekanan darah,
melambatnya gelombang otak dan pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme.
Kondisi ini disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response).
Lansia yang tinggal di rumah dan di panti sosial menyatakan setuju bahwa
mereka tetap membaca atau hanya mendengarkan saja bacaan al-Qur‟an. Walaupun
ada beberapa lansia yang tinggal di panti sosial menyatakan baru saja ingin belajar
shalat dan membaca al-Qur‟an.
Ketiga perilaku, semua responden baik yang tinggal di rumah maupun di panti
sosial menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Mereka yang
tinggal di rumah merasa senang tinggal satu rumah dengan keluarganya karena
merasa ada yang mengurus dan memenuhi kebutuhan di masa tua mereka, dan lansia
yang tinggal di panti mengaku memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka
walaupun keluarganya jarang datang menjenguk ke panti sosial.
Konteks ini sejalan dengan yang disebutkan oleh Baroroh & Irafayani (2012:
142) bahwa keluarga memegang peranan penting untuk memberikan perawatan,
bantuan serta memenuhi kebutuhan lansia. Dengan adanya pemenuhan dukungan
yang diberikan keluarga secara emosional akan menimbulkan perasaan yang bahagia
pada lansia.
Bagi lansia yang tinggal di panti sosial, mereka tidak tinggal bersama dengan
keluarganya. Namun, sebagaimana menurut Sarafino (1998) yang dikutip oleh Naftali,
dkk (2017:128) dukungan atau bantuan yang dibutuhkan lansia yang tinggal di panti
diperoleh dari berbagai sumber, sehingga lansia yang tinggal di panti sosial mendapat
dukungan dari sesama teman, pengurus panti, dokter, pengungjung maupun perawat
yang disediakan oleh pihak panti. Berdasarkan hasil pengamaatan peneliti lansia yang
tinggal di panti sosial memperoleh bantuan berupa perawatan, kunjungan dari
kegiatan bakti sosial yang datang ke panti, juga adanya kunjungan kesehatan dan
tentunya ada bantuan dari pihak kementrian.
Selain menjalin hubungan yang baik dengan keluarga, responden yang tinggal di
rumah memiliki hubungan yang baik dengan tetangga yang ada dilingkungan sekitar,
mereka menyatakan setuju tidak pernah merasa sulit untuk memaafkan kesalahan
orang lain dan juga bersedia membantu orang yang sedang membutuhkan. Namun,
ada beberapa lansia yang tinggal di rumah menyatakan bersikap pelit bukan karena
takut uang mereka habis, tetapi karena kondisi keuangan mereka yang tidak
memungkinkan untuk mereka berikan kepada orang lain.
Bagi lansia yang tinggal di panti, tidak semua responden memiliki relasi di
sekitar panti. Hal ini terjadi karena keterbatasan lansia, seperti tidak tahu jalan karena
lingkungan panti merupakan lingkungan baru bagi mereka ataupun karena keterbatan
fisik yang sulit untuk berjalan. Hubungan antar sesama yang tinggal di panti, lansia
laki-laki memiliki hubungan yang baik, sedikit berbeda dengan lansia perempuan
yang terkadang karena satu dan lain hal mereka bertengkar. Namun, hal itu tidak
berlangsung lama setelah pihak panti melerai keadaan sudah kembali membaik lagi.
Selain itu responden yang tinggal di panti pun setuju tidak sulit untuk memaafkan
kesalahan orang dan bersedia membantu antar teman sesama panti.
112
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Marwanti (1997) yang dikutip oleh Naftali,
dkk (2017:129) mengenai kondisi kehidupan lanjut usia di Panti Werdha Karitas dan
Nazaret Bandung, bahwa hubungan sosial yang terjalin di panti kurang baik. Salah
satu faktor yang memengaruhi adalah latar belakang lansia yang beragam. Meskipun
demikian secara ideal, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiti (2007)
sebagaimana dikutip oleh Naftali, dkk (2017:2019) kebutuhan sosial merupakan
kebutuhan lansia yang dapat memengaruhi emosional lansia. Setiti menjelaskan
bahwa lansia membutuhkan orang-orang dalam berinteraksi secara sosial, mereka
membutuhkan teman bicara.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan laporan penelitian terdahulu karya Dr.
Yeniar dan Ika Febrianti tidak terdapat perbedaan religiositas antara lansia yang
tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial. Religiositas seseorang tidak
hanya dapat dilihat dari satu aspek saja yaitu tempat tinggal, namun dapat diukur
melalui beberapa dimensi di antaranya yaitu dimensi pengalaman, dimensi ideologis,
dimensi ritualistik, dimensi intelektual dan dimensi konsekuensi.
Berdasarkan teori, hasil penelitian terdahulu dan hasil penelitian lapangan
menunjukkan tidak terdapat perbedaan kematangan beragama yang signifikan antara
lansia yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di panti sosial. Namun berdasarkan
hasil perhitungan pada Tabel 4.39 menunjukkan nilai rata-rata kematangan beragama
lansia yang tinggal di rumah lebih besar dari lansia yang tinggal di panti sosial
kemudia diperkuat dengan pengamatan peneliti selama proses penelitian, di antaranya
lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga mayoritas responden memiliki
kemandirian dan mobilitas yang terbilang lebih baik sehingga masih bisa
melaksanakan shalat 5 waktu dengan cara berdiri. Terdapat pula lansia hanya bisa
beraktifitas di tempat tidur setelah terjatuh dari kamar mandi, karena keinginan diri
yang kuat disertai adanya dukungan keluarga untuk membantu lansia tersebut tetap
melaksanakan shalat di tempat tidur.
Berbeda dengan lansia yang tinggal di panti sosial tidak semua lansia dalam
kondisi sehat jasmani, ada beberapa orang yag sudah mengalami penyakit-penyakit
tua seperti pikun, rabun, pendengaran berkurang dan struk sehingga hanya sekitar
40% dari responden yang tinggal di panti yang melaksanakan shalat dengan berdiri.
Dan 60% dari responden karena kondisi yang memang sudah udzur dan pengurus
panti yang terbatas sehingga mereka terkadang tidak melaksanakan shalat.
Kondisi kesehatan yang terjadi pada lansia yang ada di panti sosial dan di rumah
pada kenyataannya seperti kondisi lansia pada umumnya, di antaranya:
a. Kulit mengendur dan wajah mulai timbul keriput serta garis-garis menetap.
b. Rambut kepala mulai beruban.
c. Gigi mulai ompong.
d. Berat badan cenderung menurun.
e. Penglihatan dan pendengaran berkurang.
f. Untuk kemampuan kognitifnya juga mengalami penurunan, yaitu ingatan tidak
berfungsi dengan baik bahkan cenderung dimensia.
g. Karena sitem keseimbangannya menurun maka berpengaruh pada kemampuan
motoriknya seperti mudah lelah, jatuh, gerakan menjadi lamban.
h. Segi afektifnya, lansia lebih mudah tersinggung yang pada akhirnya
menimbulkan pertengkaran dengan teman sesama panti sosial.
113
Kondisi-kondisi di atas dialami oleh lansia baik yang tinggal di rumah maupun di
panti sosial, namun lansia yang tinggal di panti memiliki kecendrungan yang lebih
tinggi terhadap kondisi-kondisi di atas. Sehingga mobilitas lansia yang tinggal di panti
lebih terbatas yang berdampak lansia kesulitan untuk beribadah secara mandiri.
Hal ini menunjukkan dalil agama adalah benar dapat dibuktikan secara
empiris bahwa tanggung jawab pendidikan agama dan tanggung jawab mengurus
oranguta merupakan kewajiban anak bukan pada yang lainnya. Allah berfirman
dalam surah al-Isra: 23:
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S al-Israa‟: 23).
G. Keterbatasan Penelitian
Upaya pengawasan dan pengontrolan dalam pelaksanaan penelitian ini telah
dilakukan, agar hasil dari penelitian dapat diterima kebenarannya, teruji secara klinis
dan ilmiah sesuai dengan prosedur dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Oleh
karena itu telah dilakukan berbagai prosedur penelitian mulai dari populasi, penentuan
sampel, penyusunan instrument penelitian, uji instrument penelitian, pengambilan
data, analisis data dan deskripsi hasil. Namun upaya-upaya yang telah dilakukan tidak
terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan, walaupun peneliti telah berusaha
untuk meminimalisirnya.
Adapun keterbatasan dan kekurangan yang peneliti sadari dan rasakan dari
penelitian ini di antaranya:
1. Penelitian ini belum menunjukkan perbedaan kematangan beragama berdasarkan
gender.
2. Dalam penelitian ini variabel kematangan beragama hanya di kontrol oleh variabel
pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga saja, sehingga tidak tertutup
kemungkinan adanya pengaruh variabel-variabel lain yang mempengaruhi
kematangan beragama lansia, seperti tingkat pendidikan, latar belakang kehidupan
lansia, dan lain-lain.
3. Responden yang sudah berusia lanjut secara umum sulit untuk berkomunikasi
dengan lancar, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menjelaskan
beberapa hal mengenai penelitian ini.
114
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pembinaan keagamaan dan
fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia dan tidak terdapat perbedaan
kematangan beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan tinggal di panti sosial.
1. Terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama lansia
Artinya hipotesis pertama diterima di mana pembinaan keagamaan bagi lansia
merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk meningkatkan kematangan
beragama lansia. Semakin sering lansia mengikuti pembinaan keagamaan maka
kematangan beragamanya pun akan semakin baik, seperti bertambahnya semangat
untuk beribadah juga terlihat adanya perubahan perilaku dalam menjalani hidup
merasa lebih tenang dan damai.
Besarnya pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama
lansia sebesar 10,3%. Ini artinya masih terdapat 89,7% variabel lain yang dapat
memberikan kontribusi pada variabel kematangan beragama lansia seperti, latar
belakang pendidikan lansia, gender, kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup
sebelumnya. Variabel-variabel ini perlu didalami dan diteliti lebih lanjut untuk
dianalisis apakah dapat memberikan pengaruh terhadap kematangan beragama
lansia.
2. Terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
Artinya hipotesis kedua diterima di mana kematangan beragama lansia dapat
ditingkatkan dengan fungsi keluarga. Ketika seorang lansia sudah tidak dapat
hidup mandiri seperti sedia kala. Maka hadirnya keluarga sangatlah dibutuhkan
lansia sebagai bukti bakti seorang anak terhadap kedua orangtuanya. Dengan
demikian terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.
Besarnya pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
adalah 7%. Ini artinya maasih terdapa 93% variabel lain yang dapat memberikan
kontribusi pada variabel kematangan beragama lansia seperti, latar belakang
pendidikan lansia, gender, kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup
sebelumnya. Variabel-variabel ini perlu didalami dan diteliti lebih lanjut untuk
dianalisis apakah dapat memberikan pengaruh terhadap kematangan beragama
lansia.
3. Terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan keagamaan dan
fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia
Artinya hipotesis ketiga diterima di mana antara pembinaan keagamaan (X1)
dan fungsi keluarga (X2) keduanya berpengaruh simultan terhadap kematangan
beragama lansia (Y). Dengan besaran pengaruh yang diberikan adalah 16,2% dan
sisanya 83,8 dipengaruhi oleh variabel lain. Peningkatan pembinaan keagamaan
dapat meningkatkan kematangan beragama lansia. Hal yang sama terjadi pula pada
fungsi keluarga, dengan meningkatnya fungsi keluarga maka akan meningkatkan
kematangan beragama lansia.
Indikator akidah, ibadah dan perilaku yang dapat mendeskripsikan
kematangan beragama pada lansia. Kematangan beragama atara lansia yang
tinggal di rumah maupun yang tinggal di panti sosial tidak berbeda. Tetapi, para
lansia yang tinggal di panti kemandirian dan mobilitasnya terbilang kurang jika
dibandingkan dengan para lansia yang tinggal di rumah sehingga lansia yang
115
tinggal di rumah masih bisa melaksanakan ibadah seperti shalat 5 waktu dengan
cara berdiri sedangkan dari 25 responden lansia yang tinggal di panti sosial, hanya
40% saja yang melaksanakan shalat dengan berdiri dan 60% lansia lainnya dalam
kondisi udzur. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Wreksoatmodjo
(2013) yang menemukan bahwa “lansia yang tinggal di panti kurang aktif
berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan kurang mengunjugi tempat ibadah
dibandingkan dengan lansia yang tinggal di rumah. Namun ada satu penghuni
panti yang aktivitasnya di masyarakat masih baik”.
4. Korelasi hasil penelitian dengan teori
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang di ungkapkan oleh Suardiman
(2011) dalam buku psikologi lansia yang menyatakan bahwa “kegiatan keagamaan
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan diharapkan dapat
memberikan efek perasaan tenang, pasrah dan nyaman bagi lansia”. Dan juga
secara empiris diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anam (2006)
yang menemukan bahwa “kegiatan keagamaan yang dilakukan lansia memiliki
peran yang signifikan dalam meningkatkan kebahagian lansia”. Kemudian
diperkuat dengan hasil penelitian Handayani (2016) yang menemukan bahwa “18
orang lansia (100%) mengalami stres ringan dan setelah melakukan dzikir dan do’a
persentase stres ringan menjadi (66,7%) dan (33,3%) tidak mengalami stres”.
Hasil penelitian ini sejalan dengan norma agama yang menganjurkan untuk
berbakti kepada kedua orang tua serta disejalan dengan teori Friedman (1998) yang
menyatakan bahwa “keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi
anggotanya. Dukungan keluarga merupakan bentuk perilaku melayani yang
dilakukan oleh keluarga dalam berbagai bentuk”. Kemudia diperkuat dengan hasil
penelitian Center for Populatioan and Policy Studies Universitas Gadjah Mada
(1999) yang menggambarkan bahwa “merawat orang tua merupakan suatu
kewajiban dan perwujudan bakti anak”.
Hasil penelitian ini mendukung BKKBN tentang definisi keluarga yang
menjelaskan bahwa “keluarga adalah dua atau lebih individu yang dibentuk
berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual
dan materi yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan dan seimbang
antar anggota keluarga serta lingkungan masyarakat”. Dan mendukung hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ramdani (2015) yang menyatakan bahwa
“diperlukan berbagai bentuk pelayanan kepada lansia dalam mencapai kepuasan
hidupnya”.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Bagi instansi pemerintah, diharapkan pembinaan keagamaan dapat ditingkatkan
karena selama ini masih kurang dalam implementasinya. Sehingga instansi
pemerintahan diharapkan dapat meninjau ulang kebijakan terkait tentang
pembinaan keagamaan bagi lansia. Sehingga proses pelaksanaan pembinaan
dapat terstandar dengan baik dan juga dapat menyesuaikan kondisi dan
kebutuhan lansia dan Perlu ada regulasi dan supervisi Undang-undang karena ada
gejala komodifikasi panti lansia.
116
2. Bagi keluarga dan masyarakat, diharapkan dapat mengikuti pelatihan
pendampingan pelayanan sosial. Dengan harapan keluarga atau masyarakat
memperoleh pendidikan tentang pendampingan dan perawatan lansia juga dapat
lebih memperhatikan kondisi lansia sehingga lansia dapat menikmati masa
tuanya dengan tenang dan damai baik kondisi kesehatan fisik, psikis maupun
rohaninya.
3. Bagi lembaga, diharapkan untuk dapat meninjau ulang program pembinaan
keagamaan sehingga proses pembinaan keagamaan bisa lebih efektif lagi.
Pemilihan metode pembinaan harus sesuai dengan kondisi lansia. petugas panti
sosial dapat memberikan motiasi kepada lansia dengan melakukan upaya-upaya
preventif dan rehabilitasi dalam mengurangi terjadinya pikun, dimensia dan
penurunan fungsi kognitif lainnya.
4. Bagi lansia, diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan semangat
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, juga diharapkan dapat lebih
banyak mencari informasi tentang masalah kesehatan yang sering terjadi pada
lansia.
5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian pada aspek
yang lebih luas lagi, serta mengembangkan variabel-variabel yang sebelumnya
belum diteliti sehingga dapat menjadi bahan referensi dalam melakukan
penelitian.
6. Bagi institusi pendidikan, diharapkan untuk dapat memasukkan lanjut usia dalam
mata ajar. Hal ini sangat membantu peserta didik pada saat memasuki masyarakat
luas, di mana terjadi banyaknya interaksi dengan lansia, sehingga intervensi
pembinaan keagamaan yang akan diberikan dapat tercapai secara holistik.
C. Implikasi
Pertama, penguatan fungsi keluarga dalam pengasuhan lansia menjadi sangat
penting karena norma agama dan budaya menganjurkan untuk berbakti kepada kedua
orang tua. Penguatan fungsi keluarga dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan-
pelatihan terkait pengasuhan lansia, pemerintah bisa membuat layanan seperti Social
family visit seperti yang dilakukan MSC (Muhamadiyah Senior Club) di mana
kelompok ini secara rutin bertemu.
Kedua, istilah lansia yang populer tidak terlalu tepat dengan alasan Istilah lansia
mengandung arti seakan-akan mereka para usia lanjut hanya menghabiskan sisa
hidup, menghabiskan sisa hidup kecendrungannya hanya menunggu kematian saja.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa umur manusa itu ada sejak alam arwah, alam
rahim dan ketika ia dilahirkan ke dunia. Ketika ia dilahirkan ke dunia terdapat dua
istilah yang dijelaskan di dalam al-Qur’an surah Ghafir ayat 67 “umur manusia itu waminkum man yutawaffa min qablu (ada yang meninggal usia muda) dan litakuunu
Syuyuukhan (ada yang sampai usia tua). Al-Qur’an mendeskripsikan lanjut usia
adalah dia yang mulai lemah dan mulai lupa. Kemudian dijelaskan dalam hadist
bahwasanya usia umat nabi berkisar 60-70 tahun dan mereka yang melewati usia
tersebut dikatakan sebagai lanjut usia. Hal ini menggambarkan seakan-akan hidup
mereka hanyalah sekedar bonus saja. Realita yang ada saat ini di Indonesia ada
117
peningkatan tingkat harapan hidup dan mereka yang berusia di atas 60 tahun masih
produktif. Oleh karena itu peneliti merekomendasi untuk mengoreksi istilah lansia dan
menggantinya dengan istilah senior. Sedangkan istilah senior mengandung arti
apresiasi bahwa mereka sudah berusia lebih dan dalam hadist dijelaskan orang yang
baik adalah orang berusia panjang dan berbuat baik. Di samping itu istilah senior juga
sudah digunakan dalam internasional.
Ketiga, memperkuat dan meningkatkan layanan-layanan sosial yang kurang
berkembang seperti posyandu, Social Family visit dan lain-lain. Sebagai upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan lansia.
Keempat, penguatan keluarga sebagai isntitusi utama dalam pengasuhan lansia,
berdasarkan landasan normatif dan empiris yang menunjukkan kematangan beragama
lansia yang tinggal di rumah lebih baik dari lansia yang tinggal di panti sosial.
118
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alim, Muhammad. (2006). Pendidikan Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
al-Syaibany Mohammad, Omar al-Toumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bulan Bintang.
Ardy Wiyani, N. (2013). Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter,
Bandung: Alfabeta.
Asyafah, Abas. (2009). Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensinya,
Bandung: Alfabeta.
Hasan, Iqbal. (2009). Analisis Data Penelitian dengan Statistik, Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Havighurst, Robert, J. (1984). Perkembangan Manusia dan Pendidikan, Bandung: CV
Jemmers.
Hawi, Akmal. (2014). Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Hidayat, Komaruddin. (2009). Berdamai dengan Kematian, Jakarta: PT Mizan
Publika.
Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Jalaluddin (2016). Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan
Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin dan Ramayulis. (1993). Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam
Mulia.
Jalaluddin. (1998). Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jauhari Muchtar, Heri. (2008). Fikih Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kadir. (2015). Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program
SPSS/Lisrel dalam Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kumpulan Makalah dan Diskusi Lokakarya. (2013). Memanusiakan Lanjut Usia:
Penuaan Penduduk dan Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: SurveyMeter.
Langgulung, Hasan. (1988). Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna.
119
Mantra, Ida Bagoes. (2015). Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar’at, Samsunuwiyati. (2009). Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhidin, S.A., Maman, A. (2011). Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam
Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia.
Munadi, Yudhi. (2010). Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.
Najati, M. Usman. (2003). Al-Qur’an dan Psikologi, Jakarta: Aras Pustaka.
..., Muhammad Ustman. (2005). Psikologi dalam al-Qur’an (Terapi Qur’ani dalam
Penyembuhan Gangguan Jiwa). Bandung: CV Pustaka Setia.
Narwoko, Dwi., B. Suyanto. (2007). Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Nawawi al-Jawi, al-Syaikh Muhammad, Tafsir an-Nawawi, Surabaya: Pustaka
Hidayah.
Noor, Juliansya. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Prasetyo, Bambang., Lina M.J. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Purwakania Hasan, Aliah B. (2006). Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Qomar. 2015. Dimensi Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.
Ramayulis. (2013). Psikologi Agama, Jakarta: Kalam mulia.
Siregar, Sofyan. (2015). Statistika Parametrik Untuk Penelitian Kuantitatif, Jakarta:
Bumi Aksara.
Suardiman, Siti Partini. (2011). Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sujarweni, W., Poly, E. (2012). Statistika untuk Penelitian, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Supranto., Nandan, L. (2013). Petunjuk Praktis Penelitian Ilmiah untuk Menyusun
Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
120
Suriastini, Ni Wayan, dkk. (2013). Satu Langkah Menuju Impian Lanjut Usia, Kota
Ramah Lanjut Usia 2030, Yogyakarta: Survey Meter.
Yunus, Mahmud. (2010). Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus wa
Dzurriyyah.
B. Jurnal, Thesis & Disertasi Aisyah, Siti dan A. Hidir. (2015). Kehidupan Lansia yang Dititipkan Keluarga di
Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru, diakses dari:
Portalgaruda.org.
Anam, Choirul. (2006). Peran Kegiatan Keagamaan dalam Kebahagiaan Wanita
Lansia Pasca Gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Humanitas, Vol 3,
No. 2, diakses dari: Portalgaruda.org.
Annisa, D.F., Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia).
Jurnal Konselor volume 5, No. 2. Issn: 1412-9760.
Annisa, D.F., Yulidar, I,. Ifdil. (2017). Kondisi Kecemasan Lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin, Jurnal Fokus Konseling volume 3,
No. 1, P.57-66. Issn: 2356-2099.
Asry, M.Y. (2009). Pembinaan Keagamaan Lanjut Usia di PSTW Bhakti Yuswa,
Lampung: Partisipasi dan Koordinasi. Puslitbang Jurnal Multikultural dan
Multireligius volume 8, No. 29. Diakses dari: Jurnal.balitbangdiklat.kemenag.
BKKBN. 2012. Penanaman dan Penerapan Nilai-nilai Moral melalui Delapan Fungsi
Keluarga. Diakses dari: Kependudukanjambi.org.
Depkes RI. (2013). Triple Burden Ancaman Lansia. Diakses dari: Depkes.go.id.
Dolvie, JR. L. (2014). Singapura Serba Disiplin, Manula Diberdayakan. Prokal.co,
diakses dari: Balikpapan.prokal.
E. Salim. (2015). Komposisi Umur Penduduk: Munculnya Bonus Demografi dan
Penduduk Menua, diakses dari: Kalbar.bkkbn.go.id..
European Commission.(2017, juni). Population Structure and Ageing, diakses dari:
Ec.europa.eu.
Faturochman. (2001). Revitalisasi Peran Keluarga. Jurnal Buletin Psikologi, IX, no. 2,
pp. 39-47. Diakses dari: Jurnal ugm.
Fauziah. (2015). Bimbingan Spiritual pada Usia Lanjut (Lansia). Jurnal IAIN
Pontianak. Diakses dari: Jurnaliainpontianak.or.id.
Guzman, Jose Miguel. (2012, November 7). PBB: 30 Persen Warga di 64 Negara
Tergolong Lansia Tahun 2050. VOA. Diakses dari: voaindonesia.com.
121
Handayani, Sri. (2016). Efektivitas Terapi Religi terhadap Penurunan Tingkat Stress
pada Lansia Janda. Junal Stikes. Diakses dari: Ejournal.stikesmukla.ac.id..
Heryanah. (2015). Ageing Population dan Bonus Demografi Kedua di Indonesia.
Jurnal UGM volume 23, no. 2, (2015): 1-16. Diakses dari: Jurnal.ugm.ac.id.
Indirawati, Emma. (2006). Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan
Kecendrungan Strategi Coping. Jurnal Psikologi Undip, Vol 3, No. 2.
Indriana, Y., Dinie, R.S & Ika, F.K. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan
Kesejahteraan Sosial (Social Well Being) pada Lansia Binaan PMI Cabang
Semarang, jurnal Psikologi UNDIP, Vol 10, No. 2, p. 183-184.
Iqbal, Muhammad. (2016). Pembelajaran Agama Islam Terhadap Wanita Lanjut Usia
di Panti Sosial. JIPSA, Vol. 16, N. 20. Diakses dari: Jurnal.umuslim.ac.id.
Ismail, Roni. (2007). Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan
Kematangan Beragama), Jurnal Religi, Vol VIII, No. 1. Diakses dari: Uin-
suka.ac.id.
Jannah, M., Yacob, F., Julianto. (2017). Rentang Kehidupan Manusia (Life Span
Development) dalam Islam. International Journal of Child and Gender Studies,
Vol III, No. 1.
Jannah, Noor. (2015). Bimbingan Konseling Keagamaan bagi Kesehatan Mental
Lansia. Jurnal Bimbingan Konseling Islam Vol 6, No. 2, diakses dari:
Portalgaruda.org.
Jayanti, Fitri., Hidayati. (2015). Penerapan Strategi Heuristik pada Pembelajaran
Fisika terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa di Kelas X SMAN 9 Padang. Jurnal
Riset Fisika Edukasi dan Sains, Vol. 1, No. 2, E-ISSN: 2503-3425. Diakses
dari: Ejournal.stkip.
Julianty, P., Dwi, H., Puti, S. (2009). Kualitas Hidup Penduduk Indonesia menurut
International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Analisis Lanjut Data RISKESDAS
2007). Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status
Kesehatan Jakarta. Diakses dari: Ejournal.litbang.depkes.go.id.
Kartinah dan Agus Sudaryanto. (2008). Masalah Psikososial pada Lanjut Usia, Berita
Ilmu Keperawatan, ISSN 1979-2697, Vol I, No. 1. Diakses dari: Ums.ac.id.
Kemensos RI. (2014). Modul Pendampingan Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Diakses
dari: Kemsos.go.id.
Kosalina, Novi. (2018). Gambaran Kesejahteraan Subjektif Lansia yang Aktif dalam
Kegiatan Religius, Jurnal Psibernetika Vol 11, E-ISSN: 2581-0871.
122
Latifah. Y, Fakhruddin. A, Suresman. E. (2015). Pembinaan Keagamaan Siswa SMP
di Pondok Pesantren Daarut Tauhid Bandung. Jurnal Tarbawy, Vol. II, No. 2.
Diakses dari: Ejournal.upi.
Martiani, ER., Yulanda, R dan Bambang. (2012). GRHA Lansia di Tangerang, Jurnal
Imaji, Vol 1, 2013, diakses dari: Portalgaruda.org.
Mazumdar, P.G., Sumit, M. (2009). Dynamic of Family Support for the Elderly in
Rural India: The Influence of Co-Residence with Children, diakses dari:
Iussp2009.princeton.edu.
Mustafa. (2016). Perkembangan Jiwa Beragama pada Masa Dewasa. Jurnal Edukasi,
E-ISSN 2460-5794.
Muzamil, M.S., Afriwardi, dan Rose D.M. (2014). Hubungan antara Tingkat Aktivitas
Fisik dengan Fungsi Kognitif pada Usila di Kelurahan Jati Kecamatan Padang
Timur. Jurnal Kesehatan Andalas, diakses dari: Jurnal.fk.unand.ac.id.
Naftali, Ruth., Yulius Y.R., dan Aziz, A. (2017). Kesehatan Spiritual dan Kesiapan
Lansia dalam Menghadapi Kematian, Buletin Psikologi. DOI:
10.22146/buletinpsikologi.28992. Diakses dari: Jurnal.ugm.ac.id.
Nasution, Fauziah. (2009). Perilaku Beragama Usia Lanjut. Jurnal Medan Aagama.
Diakses dari: Jurnal.medanagama.
Nelson-Becker, H., Edward, R.C. (2008). Spirituality, Religion and Aging Research in
Social Work: State of The Art and Future Possibilities. Journal of Religion,
Spirituality and Aging, Vol 20 (3), diakses dari: Researchgate.
Nuraini. (2017, 15 Maret). Hasil Survei Kependudukan 2017 diharapkan Tunjukkan
Penurunan Kelahiran, diakses dari: Jpp.go.id.
Nurcholifah, siti. 2012. Keperawatan Gerontik, Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber daya Manusia Kesehatan. Diakses dari:
Bppsdmk.kemkes.go.id.
Pradnyandari, D., Sri, D. (2013). Perbandingan Kejadian dan Status Depresi Lansia
yang Tinggal Bersama Keluarga dengan yang Tinggal Di Panti Sosial Tresna
Werdha Wana Seraya Denpasar Bali, diakses dari: Ojs.unud.ac.id.
Pusat Penelitian Kependudukan. (2015). Fasilitas Kesejahteraan bagi Penduduk
Lansia: Sebuah Catatan Perjalanan di Sendai, Jepang, diakses dari:
Kependudukan.lipi.go.id.
Replita. (2014). Kondisi Keberagamaan Pada Manusia Usia Lanjut (sebuah
Pendidikan dan Pembelajaran pada Generasi Muda), Jurnal Hikmah, Vol. VIII,
No. 2.
123
Rochmah, W dan Soedjono, A. (2001). Tua dan Proses Menua. Jurnal Berkala Ilmu
Kedokteran Volume 33, No. 4. Diakses dari: Portalgaruda.org.
Sa’id, Musthofa. 2007. Birran bilwaalidaini am Ihsaanan Ilaihimaa. 09 November
2007. Diakses dari: Tafsir Multaqa ahli at-tafsir
Sakina Rakhma Diah Setiawan. (2017, 8 Maret). Mengapa Banyak Manula Masih
Bekeja di Singapura?, diakses dari: kompas.com.
Setiti, SG. (2017) Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan: Studi Kasus Pada
Lima Wilayah di Indonesia. Puslitbang Kemsos, diakses dari:
Puslit.kemsos.go.id.
Setyaningrum, D.A., Nita F., Taty H. 2012. Gambaran Fungsi Keluarga pada Warga
Binaan Remaja di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Bandung. Jurnal Unpad.
Diakses dari: Jurnal.unpad.
Silawati. (2011). Pembinaan Keagamaan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha
Khusnul Khotimah Pekanbaru Riau. Diakses dari: .Portalgaruda.org
Smilkstein, G., Clark, A., Montano. (1982). Validity and Reliability of the Family
APGAR as a Test of Family Function. The Journal of Family Practice, Vol 15,
No. 2. Diakses dari: Researchgate.
Suhanah. (2009). Pembinaan Kehidupan Beragama Lanjut Usia di Panti Sosial Syekh
Burhanuddin Kapubaten Padang Pariaman. Jurnal Multikultural dan
Multireligius Volume 8, No. 29.
Sunartiningsih. (2017, 11 Agustus). Menghidupkan 8 Fungsi Keluarga Menuju
Keluarga Sejahtera. Diakses dari: Yogya.bkkbn.go.id.
Sutikno, Ekawati. (2011). Hubungan antara Fungsi Keluarga dan Kualitas Hidup
Lansia. Jurnal Kedokteran Indonesia, Vol. II, No. 1. Diakses dari: Eprints.uns.
Syam, Amir. (2010). Hubungan antara Kesehatan Spiritual dengan Kesehatan Jiwa
pada Lansia Muslim Sasana Tresna Werdha KBRP Jakarta Timur, thesis
Universitas Indonesia.
Syamsuddin. (2011, 20 Mei). Program Layanan Sosial Lanjut Usia dibeberapa
Negara, diakses dari: Gaumabaji.kemsos.go.id
Times Indonesia. (2016, 21 Agustus). Mensos: Ada 1,8 Juta Lansia Terlantar di
Indonesia. Diakses dari: Timesindonesia.co.id
Witono, Toton. (2015). Spiritual Untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Lonteks
Pelayanan Sosial (Disertasi S-3 Universitas Indonesia), diakses dari:
Lib.ui.ac.id.
124
Wulan, Rayung., Eddy. S., Haries. A. (2018). Pengembangan Metode Cepat Membaca
Huruf Hijaiyah Berbasis Multimedia dalam Rangka Pemberantasan Buta Huruf
Pada Lansia. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 01, No. 01. e-ISSN
2615-4749. Diakses dari: Journal.Ippmunindra.ac.id.
Zakiyah & Ibnu, Hasan. (2015). Kondisi Intensitas Pengajian dan Peningkatan
Religiusitas pada Lansia Aisyiyah Daerah Banyumas. Jurnal Islamadina, Vol.
XVIII, No. 1, p. 93-109. Diakses dari: Jurnalnasional.ump.
Zakiyah & Ibnu, Hasan. (2015). Studi Religiusitas Lansia Terhadap Perilaku
Keagamaan pada Lansia Perumahan Tegal Sari Ledug Kembaran Banyumas.
Jurnal Islamadina, Vol. XV, No. 2, P. 1-16. Diakses dari: Jurnalnasional.ump.
Lampiran 2
Kisi-kisi Angket Variabel X1 (Pembinaan Keagamaan)
Variabel Dimensi Indikator No Item
Total Positif Negatif
Pembinaan
Keagamaan
Akidah 1. Menanamkan nilai-nilai
ketaqwaan kepada Lansia.
2. Merefleksikan nilai-nilai
ketaqwaan dengan
kehidupan sehari-hari.
2,9 12 3
Ibadah 1. Membina lansia untuk
beribadah kepada Allah.
2. Membiasakan lansia
untuk melaksanakan
shalat, puasa, dzikir serta
melakukan do’a harian.
3. Memberikan informasi
terkait manfaat ritual
ibadah terhadap
kesehatan lansia.
4,6,15,19 14,16,10 6
Akhlak 1. Membina lansia untuk
senantiasa berprilaku
baik.
2. Membina lansia untuk
dapat memaafkan.
3. Menceritakan kisah Nabi
dan para tokoh teladan
5,11,17 3 4
Aktivitas
Keagamaan
Memotivasi lansia untuk
berpartisipasi mengikuti
kegiatan pengajian atau
penyuluhan keagamaan yang
diadakan di lingkungan
sekitar.
8,13,20 1,7,18 6
Total 12 8 20
Lampiran 3
Kisi-kisi Angket Variabel X2 (Fungsi Keluarga)
Variabel Dimensi Indikator No Item
Total Positif Negatif
Fungsi
Keluarga
Adaptasi 1. Peduli
2. Dinamis 1 1
Kemitraan 1. Kerjasama
2. Bertanggung jawab
3. Rasa aman
2 1
Pertumbuhan 1. Iman dan takwa
2. Kemandirian
3. Kualitas keluarga
3 1
Kasih sayang Sikap empati 4 1
Kebersamaan Meluangkan waktu 5 1
Total 5 5
Lampiran 4
Kisi-kisi Angket Variabel Y (Kematangan Beragama)
Variabel Dimensi Indikator No Item
Total Positif Negatif
Kematangan
Beragama
Akidah 1. Pemahaman
akidah
2. Tujuan
berdasarkan
akidah
1,4,6,10,14,22 5,8,17 9
Ibadah 1. Taat
beribadah
2. Beribadah
berdasarkan
sukarela
2,9,12,16,20,21 18,7 8
Perilaku 1. Tidak putus
asa
2. Senantiasa
bersyukur
3. Toleran
4. Harmoni
13,19,23,24,25,27
,29
3,11,15,
26,28 12
Total 19 10 29
Lampiran 5
KUESIONER PENELITIAN
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Selamat pagi/siang/sore
Saya mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Pendidikan
Agama Islam Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan partisipasi
Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini. Jawaban Bapak/Ibu akan menjadi masukan yang
sangat berharga bagi penelitian ini.
Penelitian ini mengenai Tingkat Kematangan Beragama Lansia yang Memperoleh
Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga dan di Panti Sosial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran kematangan beragama lansia dan pembinaan keagamaan yang
diberikan kepada lansia baik yang tinggal dengan keluarga maupun yang tinggal di panti
sosial.
Jawaban Bapak/Ibu tidak dinilai benar atau salah. Kami mengharapkan kejujuran
dalam menjawab setiap pernyataan, karena kevalidan penelitian ini berdasarkan jawaban
yang Bapak/Ibu berikan.
Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu sebagai responden akan dijaga. Atas partisipasi
Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.
Hormat Saya,
Sofia Hasanah F
FORMAT KUESIONER
Berilah tanda Cek ( √ ) pada jawaban yang dianggap paling sesuai dengan keadaan dan
situasi Bapak/Ibu sekrang ini:
A. Karekteristik Responden
1. Jenis Kelamin
2. Usia
3. Pendidikan Terakhir
Lainnya:
B. Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom
yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.
Keterangan Pengisian Kuesioner:
1. Selalu (SL)
2. Sering (S)
3. Kadang-kadang (KK)
4. Tidak Pernah (TP)
1. Laki-laki 2. Perempuan
1. 60-65 tahun
2. 66-75 tahun
3. 76-85 tahun
4. > 86 tahun
1. SD
2. SMP
3. SMA
4. S1
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pernyataan Jawaban
SL S KK TP
1 Saya malas mengikuti pembinaan keagamaan yang
diadakan di lingkungan sekitar saya
2
Mempelajari takdir Allah, membuat saya merasa tenang
menjalani hidup, karena hidup dan mati seseorang sudah
menjadi ketentuan Allah
3 Saya melakukan shalat, puasa, dzikir dan do’a harian
karena saya tahu manfaatnya bagi kesehatan saya
4 Keluarga memotivasi saya untuk bisa memaafkan keselahan
orang lain kepada saya
5 Keluarga mengingatkan saya melaksanakan shalat 5 waktu
6 Saya mengikuti pembinaan keagamaan dalam setiap
minggunya
7 Keluarga membiarkan saya, ketika saya lupa tentang tata
cara berwudhu, shalat dan membaca al-Qur’an
8 Keluarga memberi contoh keteladanan kepada saya
9 Setelah materi pembinaan keagamaan disampaikan, saya
merasa tergugah dan lebih bersemangat untuk beribadah
10 Saya bersikap pelit, karena takut uang saya akan habis
11 keluarga mengajarkan saya membaca al-Qur’an dengan
baik dan benar
12 Keluarga membiarkan saya, ketika saya belum
melaksanakan shalat
13 Keluarga menguatkan dan mengingatkan saya, untuk
bersyukur atas umur panjang yang diberikan kepada saya
14 Saya merasa pembinaan keagamaan yang diadakan sia-sia
saja bagi saya
15 Keluarga mengajak saya untuk berpuasa ramadhan
16 Saya mengikuti pembinaan keagamaan karena keinginan
saya sendiri
C. Fungsi Keluarga
Jawablah pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom
yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.
Keterangan Pengisian Kuesioner:
1. Selalu (S) = Jika pernyataan selalu Bapak/Ibu rasakan
2. Kadang-kadang (KK) = Jika pernyataan kadang-kadang Bapak/Ibu rasakan
3. Tidak Pernah (TP) = Jika pernyataan tidak pernah Bapak/Ibu rasakan
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pernyataan Jawaban
S KK TP
1 Saya merasa puas jika keluarga dapat membantu saya dalam
memecahkan masalah yang sedang saya hadapi
2 Saya merasa puas atas cara keluarga bermusyawarah untuk
menyelesaikan masalah
3 Saya merasa puas dengan cara keluarga mendukung saya untuk
melakukan aktivitas baru
4 Saya merasa puas dengan cara keluarga berbagi rasa seperti
bahagia dan sedih
5 Saya puas dengan cara keluarga meluangkan waktu bersama
D. Kematangan Beragama
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom
yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.
Keterangan Pengisian Kuesioner
1. Sangat Setuju (SS)
2. Setuju (S)
3. Tidak Setuju (TS)
4. Sangat Tidak Setuju (STS)
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pernyataan Jawaban
SS S TS STS
1 Saya meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang
sempurna
2 Saya merasa putus asa dalam menjalani kehidupan
ini
3 Saya merasa tenang setelah melaksanakan shalat,
dzikir dan berdo’a
4 Terkadang saya merasa Allah pilih kasih dengan
saya
5 Saya merasa tenang ketika malas melaksanakan
shalat, dzikir dan berdo’a
6
Saya merasa tenang menjalani kehidupan masa
tua, karena saya tahu bahwa hidup dan mati telah
ditentukan oleh Allah
7
Saya cuek pada perbuatan yang saya lakukan,
tanpa pertimbangan apakah sudah sesuai dengan
ajaran agama saya
8 Saya berusaha untuk memperbaiki ibadah saya
9 Saya merasa bersyukur kepada Allah atas keadaan
saya sekarang
10 Saya menyerahkan sepenuhnya masalah yang
saya hadapi kepada Allah setelah saya berusaha
11 Saya sulit memaafkan kesalahan orang lain
terhadap saya
12 Saya tetap membaca al-Qur’an, meskipun fungsi
penglihatan saya sudah menurun
13 Saya ingin lebih baik lagi dalam beragama
14 Saya masih sempat mengingat Allah, meskipun
kondisi saya sudah tua
15 Saya suka menolong orang yang membutuhkan
pertolongan saya
16 Saya berusaha menjadi manusia yang baik, karena
ajaran agama saya mengajarkan demikian
KUESIONER PENELITIAN
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Selamat pagi/siang/sore
Saya mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Pendidikan
Agama Islam Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan partisipasi
Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini. Jawaban Bapak/Ibu akan menjadi masukan yang
sangat berharga bagi penelitian ini.
Penelitian ini mengenai Tingkat Kematangan Beragama Lansia yang Memperoleh
Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga dan di Panti Sosial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran kematangan beragama lansia dan pembinaan keagamaan yang
diberikan kepada lansia baik yang tinggal dengan keluarga maupun yang tinggal di panti
sosial.
Jawaban Bapak/Ibu tidak dinilai benar atau salah. Kami mengharapkan kejujuran
dalam menjawab setiap pernyataan, karena kevalidan penelitian ini berdasarkan jawaban
yang Bapak/Ibu berikan.
Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu sebagai responden akan dijaga. Atas partisipasi
Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.
Hormat Saya,
Sofia Hasanah F
FORMAT KUESIONER
Berilah tanda Cek ( √ ) pada jawaban yang dianggap paling sesuai dengan keadaan dan
situasi Bapak/Ibu sekrang ini:
E. Karekteristik Responden
4. Jenis Kelamin
5. Usia
6. Pendidikan Terakhir
Lainnya:
F. Pembinaan Keagamaan di Panti Sosial
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom
yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.
Keterangan Pengisian Kuesioner
5. Selalu (SL)
6. Sering (S)
7. Kadang-kadang (KK)
8. Tidak Pernah (TP)
1. Laki-laki 2. Perempuan
1. 60-65 tahun
2. 66-75 tahun
3. 76-85 tahun
4. > 86 tahun
1. SD
2. SMP
3. SMA
4. S1
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pernyataan Jawaban
SL S KK TP
1 Saya malas mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan yang
diadakan pihak panti
2
Mempelajari takdir Allah, membuat saya merasa tenang
menjalani hidup, karena hidup dan mati seseorang sudah
menjadi ketentuan Allah
3 Saya melakukan shalat, puasa, dzikir dan do’a harian
karena saya tahu manfaatnya bagi kesehatan saya
4 Pihak panti memotivasi saya untuk bisa memaafkan
keselahan orang lain kepada saya
5 Pihak panti menganjurkan saya melaksanakan shalat 5
waktu
6 Saya mengikuti setiap pembinaan keagamaan yang
diadakan pihak panti
7 Pihak panti membiarkan saya, ketika saya lupa tentang tata
cara berwudhu, shalat dan membaca al-Qur’an
8 Pihak panti memberi contoh keteladanan kepada saya
9 Setelah materi pembinaan keagamaan disampaikan, saya
merasa tergugah dan lebih bersemangat untuk beribadah
10 Saya bersikap pelit, karena takut uang saya akan habis
11 Pihak panti mengajarkan saya membaca al-Qur’an dengan
baik dan benar
12 Pihak panti membiarkan saya, ketika saya belum
melaksanakan shalat
13
Materi pembinaan keagamaan yang disampaikan pihak
panti, membuat saya lebih bersyukur atas umur panjang
yang diberikan kepada saya
14 Saya merasa pembinaan keagamaan yang diadakan sia-sia
saja bagi saya
15 Pihak panti mengajak saya untuk berpuasa ramadhan
16 Saya mengikuti pembinaan keagamaan karena keinginan
saya sendiri
G. Fungsi Keluarga
Jawablah pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom
yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.
Keterangan Pengisian Kuesioner:
4. Selalu (S) = Jika pernyataan selalu Bapak/Ibu rasakan
5. Kadang-kadang (KK) = Jika pernyataan kadang-kadang Bapak/Ibu rasakan
6. Tidak Pernah (TP) = Jika pernyataan tidak pernah Bapak/Ibu rasakan
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pernyataan Jawaban
S KK TP
1 Saya merasa puas jika keluarga dapat membantu saya dalam
memecahkan masalah yang sedang saya hadapi
2 Saya merasa puas atas cara keluarga bermusyawarah untuk
menyelesaikan masalah
3 Saya merasa puas dengan cara keluarga mendukung saya untuk
melakukan aktivitas baru
4 Saya merasa puas dengan cara keluarga berbagi rasa seperti
bahagia dan sedih
5 Saya puas dengan cara keluarga meluangkan waktu bersama
H. Kematangan Beragama
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom
yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.
Keterangan Pengisian Kuesioner
5. Sangat Setuju (SS)
6. Setuju (S)
7. Tidak Setuju (TS)
8. Sangat Tidak Setuju (STS)
Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pernyataan Jawaban
SS S TS STS
1 Saya meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang
sempurna
2 Saya merasa putus asa dalam menjalani kehidupan
ini
3 Saya merasa tenang setelah melaksanakan shalat,
dzikir dan berdo’a
4 Terkadang saya merasa Allah pilih kasih dengan saya
5 Saya merasa tenang ketika malas melaksanakan
shalat, dzikir dan berdo’a
6
Saya merasa tenang menjalani kehidupan masa tua,
karena saya tahu bahwa hidup dan mati telah
ditentukan oleh Allah
7
Saya cuek pada perbuatan yang saya lakukan, tanpa
pertimbangan apakah sudah sesuai dengan ajaran
agama saya
8 Saya berusaha untuk memperbaiki ibadah saya
9 Saya merasa bersyukur kepada Allah atas keadaan
saya sekarang
10 Saya menyerahkan sepenuhnya masalah yang saya
hadapi kepada Allah setelah saya berusaha
11 Saya sulit memaafkan kesalahan orang lain terhadap
saya
12 Saya tetap membaca al-Qur’an, meskipun fungsi
penglihatan saya sudah menurun
13 Saya ingin lebih baik lagi dalam beragama
14 Saya masih sempat mengingat Allah, meskipun
kondisi saya sudah tua
15 Saya suka menolong orang yang membutuhkan
pertolongan saya
16 Saya berusaha menjadi manusia yang baik, karena
ajaran agama saya mengajarkan demikian
Lampiran 6
WAWANCARA PENELITIAN
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PEDOMAN WAWANCARA
(Ketua Pesantren Lansia)
Petunjuk Wawancara:
1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.
2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.
3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau
saran yang berkaitan dengan topik wawancara.
4. Catat seluruh pembicaraan.
5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.
Data Umum
1. Nama Informan : Adjma, SE, MM.
2. Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018
Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana letak dan keadaan geografis?
Jawab: Pesantren lansia berlokasi di daerah Tangerang Selatan tepatnya di Jl.
Flamboyan I Blok D7/5 RT 010/015 Pd. Safari Indah Jurangmangu Barat, Pondok
Aren, Tangerang Selatan.
2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan?
Jawab: Sejarah berdirinya pesantren lansia berawal dari pemikiran tentang jumlah
panti jompo yang banyak, namun panti jompo yang bertujuan untuk mendekatkan
lansia kepada Allah serta dapat menjadikan lansia yang berpulang ke rumah Allah
dengan husnul khotimah masih terbilang jarang. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh ketua panti, di Indonesia jumlah pesantren lansia hanya ada lima,
oleh karena hal tersebut makan Yayasan Adjhis membuat terobosan baru dengan
mendirikan pesantren lansia ini.
3. Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya?
Jawab: Visi Misi didirikannya Pesantren Lansia adalah untuk meraih masa depan
dengan predikat husnul khotimah, menghindari kepikunan dan kejenuhan dengan
adanya kegitan yang bermanfaat serta mewujudkan bakti kepada orang tua, untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
4. Bagaimana keadaan pembina keagamaan, pegawai panti dan lansia?
Jawab: Saya masih merangkap menjadi pembina keagamaan, dikarenakan pembina
yang dulu pindah domisili, untuk pegawai panti kami selalu melakukan briefing
terkait tahapan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi lansia.
Untuk kondisi lansia, ada yang masih bisa melakukan mobilitas dengan baik dan
ada juga lansia yang sudah pikun.
5. Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?
Jawab: Sarana dan prasana di sini dilengkapi sesuai dengan kebutuhan lansia,
misalnya kami menggunakan toilet duduk dan jongkok, untuk al-Qur’an kami
gunakan yang besar dan adapula perpustakaan tempat untuk lansia membaca.
6. Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?
Jawab: Pembinaan keagamaan yang diadakan penekanannya lebih kepada ibadah
sehari-hari seperti shalat, do’a, dzikir dan membaca al-Qur’an. Untuk al-Qur’an
sendiri ada yang sudah lancar dan ada pula yang baru mulai belajar al-Qur’an.
7. Adakah dukungan pihak Kementrian Sosial? Jika ada, bagaimana bentuk
dukungan tersebut?
Jawab: bantuan dari Kementrian Sosial belum ada, selama ini bantuan yang datang
itu dari masyarakat sekitar dan ada biaya operasional dari pihak keluarga lansia.
PEDOMAN WAWANCARA
(PEMBINA KEAGAMAAN)
Petunjuk Wawancara:
1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.
2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.
3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau
saran yang berkaitan dengan topik wawancara.
4. Catat seluruh pembicaraan.
5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.
Data Umum
1. Nama Informan : Adjma, SE, MM.
2. Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018
Pertanyaan Wawancara
1. Hari apa pembinaan keagamaan dilaksanakan?
Jawab: Setiap hari ada pembinaan keagamaan yang dilaksanakan pada pukul 06-
11.00 dan di lanjutkan kembali pada pukul 13.30-15.00
2. Bagaimana kondisi ruangan ketika pelaksanaan pembinaan keagamaan
berlangsung?
Jawab: Kegiatan pembinaan dilaksanakan di aula pesantren
3. Apakah lansia dapat mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dengan baik?
Jawab: Ada sebagian yang bisa ikut pembinaan dan ada yang tidak bisa, misalnya
karena sedang sakit dan sudah pikun.
4. Materi apa saja yang disampaikan kepada lansia saat pembinaan keagamaan?
Jawab: Materi tentang ibadah harian seperti, shalat, do’a, dzikir dan membaca al-
Qur’an. Kami juga mengadakan tabligh akbar dengan mengundang masyarakat
sebagai sarana lansia untuk latihan pidato, memimpin do’a dan kultum.
5. Adakah metode khusus yang digunakan saat menyampaikan materi pembinaan
keagamaan pada lansia?
Jawab: Metode yang digunakan mengulang-ngulang, ceramah atau tausiyah,
diingatkan masa nostalgia, mengangkat dia mengingat masa jaya dia dimasa muda.
6. Apakah pelaksanaan pembinaan keagamaan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan?
Jawab: Pembinaan yang dilaksanakan, berjalan sesuai harapan ada, dia keluar dari
panti bisa mengaji dan insya allah husnul khotimah tiba-tiba meninggal yang pada
awalnya tidak bisa baca al-Quran.
7. Apakah setelah mengikuti pembinaan keagamaan, lansia bersemangat untuk
melaksananakan shalat, membaca al-Qur’an dan melakukan doa harian?
Jawab: Ya, ada yang bersemangat. Adapula yang sudah udzur.
8. Apa saja yang menjadi fakor pendukung dan penghambat selama proses
pelaksanaan pembinaan keagamaan? Baik yang berkenaan dengan kondisi fisik
maupun psikis lansia?
Jawab: Faktor pendukung yang paling utama kesehatan lansia, kalau dia sehat bisa
mengikuti, kalau dia sakit tidak bisa, yang pentik kondisinya sehat.
WAWANCARA PENELITIAN
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PEDOMAN WAWANCARA
(Ketua Pondok Lansia Berdikari)
Petunjuk Wawancara:
1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.
2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.
3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau
saran yang berkaitan dengan topik wawancara.
4. Catat seluruh pembicaraan.
5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.
Data Umum
1. Nama Informan : M. Sholeh, S.SOSIO
2. Tanggal Wawancara : Minggu, 29 April 2018
Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana letak dan keadaan geografis?
Jawab: berlokasi di daerah BSD Griya Loka Sektor 1.6 Jl. Kubis Blok A3/10,
Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangerang Selatan.
2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan?
Jawab: Wacana pembentukkannya pada akhir Desember 2012. Awal mula
perkembangan panti dimulai dari kegiatan bakti sosial yang diadakan dan jumlah
lansia yang tinggal di panti berjumlah enam orang, fluktuatif jumlahnya karena
faktor usia dan sampai sekarang jumlahnya ada 25 orang. Pondok lansia berdikari
masih menggunakan rumah sewa dan sekarang sedang proses pembangunan
gedung evaluasi di Tigaraksa Tangerang, dengan wacana gedung keselamatan
lansia, yaitu selamat dari api, listrik, kamar mandi dan obat-obatan.
3. Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya?
Jawab: Visi Misi didirikannya Pondok Lansia Berdikari adalah untuk menyayangi
lansia sepanjang masa dan menjadi tempat asah, asih, asuh lansia dengan dasar
peduli sosial.
4. Bagaimana keadaan pembina keagamaan, pegawai panti dan lansia?
Jawab: Pegawai yang bisa melakukan standar perawatan lansia seperti, mandi,
menyediakan makan. Untuk kondisi lansia mayoritas lansia yang ada di panti ini
kondisinya dalam keadaan sakit.
5. Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?
Jawab: Saprasnya rumah sewa, karena awal berdiri panti ini dari kegiatan-kegiatan
baksos yang diadakan.
6. Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?
Jawab: Pembinaan keagamaan yang diadakan penekanannya lebih kepada ibadah
sehari-hari seperti shalat, do’a, dzikir, yasin dan tahlil.
7. Adakah dukungan pihak Kementrian Sosial? Jika ada, bagaimana bentuk
dukungan tersebut?
Jawab: Dukungan kementrian sosial ada, seperti bantuan sapras, asistansi lansi,
pengembangan panti, bantuan kurir untuk lansia yang masih kerja diluar panti,
meskipun hanya 1 tahun sekali, kalau mengajukan pasti 9 panti di banten itu
dapat.
PEDOMAN WAWANCARA
(KELUARGA LANSIA)
Petunjuk Wawancara:
1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.
2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.
3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau
saran yang berkaitan dengan topik wawancara.
4. Catat seluruh pembicaraan.
5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.
Data Umum
1. Nama Informan : Thayyibah, S.Ag.
2. Tanggal Wawancara : Senin, 19 Maret 2018
Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana Bapak/Ibu merawat anggota keluarga yang sudah berusia lanjut?
Jawab: Dengan memperhatikan pola makan, karena orang tua kami hanya bisa
berbaring di tempat tidur cara kami merawat beliau dengan membuat jadwal piket
pada setiap hariya disesuaikan dengan jumlah anak yang ada.
2. Apakah alasan Bapak/Ibu tetap mengurus lansia di lingkungan keluarga?
Jawab: Mengurus orang tua yang sudah berusia lanjut memang sudah menjadi
kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.
3. Apakah Bapak/Ibu mengajak lansia untuk tetap melakukan ibadah harian, seperti
shalat, puasa, berdoa dan membaca al-Qur’an?
Jawab: Untuk shalat ya, walaupun hanya dua waktu saja subuh dan ashar. Untuk
puasa sudah tidak kuat lagi dan digantikan dengan membayar fidyah.
4. Apakah lansia (sebutkan nama) ikut berpartisipasi mengikuti pembinaan
keagamaan, seperti mengikuti pengajian atau majelis ta’lim dalam setiap
minggunya?
Jawab: Ikut pengajian di hari selasa walaupun sudah jarang, dengan menggunkan
kursi roda.
5. Apakah Bapak/Ibu melihat adanya perubahan sikap (seperti; bersemangat untuk
beribadah) setelah lansia mengikuti pembinaan keagamaan ?
Lampiran 7
Hasil Uji Validitas Variabel X1
Responden No. Soal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 3 4 4 4 3 4 4 3 3 2 2
2 4 3 4 3 3 2 3 2 3 3 3
3 4 4 3 4 4 3 4 3 2 4 3
4 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3
5 3 4 4 3 3 3 4 3 4 3 4
6 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3 2
7 4 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3
8 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4
9 4 4 4 3 3 3 4 3 3 4 2
10 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3
11 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3
12 3 4 3 3 2 2 4 3 3 2 3
13 4 2 4 4 3 4 3 4 2 4 2
14 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4
15 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 3
16 3 3 3 3 4 3 4 4 3 4 2
17 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3
18 3 4 4 4 4 4 3 3 4 3 4
19 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3
20 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4
21 3 4 4 4 4 4 4 2 2 4 3
22 3 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4
23 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3
24 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3
25 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3
26 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3
27 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 4
28 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4
29 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
30 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 4
Rhitung 0,464 0,399 0,290 0,756 0,767 0,695 0,116 0,645 0,297 0,497 0,444
Rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361
Responden No. Soal
12 13 14 15 16 17 18 19 20 Skor Total
1 4 3 4 3 3 3 4 3 4 67
2 3 3 3 3 2 2 3 3 3 58
3 4 4 4 4 4 3 4 4 3 72
4 3 4 4 3 3 4 3 3 4 68
5 3 4 3 3 3 3 3 4 3 67
6 4 4 4 3 2 3 3 3 3 64
7 4 3 3 3 4 3 4 4 4 66
8 3 4 4 4 3 4 3 3 3 73
9 4 3 3 3 3 4 4 4 4 69
10 3 4 4 3 4 3 3 3 3 65
11 3 4 4 3 4 4 4 4 4 71
12 4 3 3 3 4 3 4 3 4 63
13 4 4 4 4 4 4 4 4 4 72
14 4 4 3 4 4 4 4 4 4 77
15 4 3 3 4 3 3 3 3 3 65
16 4 4 4 3 4 4 4 3 4 70
17 4 3 4 3 4 3 4 4 4 75
18 4 4 3 4 4 4 4 4 4 75
19 4 4 4 3 4 4 4 4 4 77
20 3 4 4 4 4 3 4 4 4 77
21 4 3 4 3 4 3 4 3 4 70
22 3 4 4 3 4 4 4 4 4 72
23 4 4 4 3 4 4 4 4 4 77
24 4 4 4 3 4 4 4 3 4 72
25 3 4 4 3 3 4 4 4 4 76
26 4 4 4 4 3 4 4 4 4 77
27 4 3 4 4 4 4 4 4 4 76
28 4 4 4 3 4 3 4 4 4 76
29 4 4 4 4 4 4 4 4 4 80
30 4 3 4 3 4 3 4 4 4 73
Rhitung 0,211 0,428 0,447 0,419 0,527 0,618 0,599 0,664 0,538
Rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361
Hasil Uji Validitas Variabel Y
Responden No. Soal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 4 4 3 3 3 3 3 2 2 3 3
2 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 4
3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3 3
4 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 4
5 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4
6 4 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4
7 3 3 3 3 4 3 3 1 3 3 3
8 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 3
9 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3
10 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3
11 4 4 3 3 4 3 4 3 3 3 4
12 4 4 3 3 4 3 3 2 4 4 3
13 4 3 4 4 3 3 3 2 2 3 4
14 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3
15 4 4 3 3 4 3 3 2 3 4 4
16 4 4 4 4 4 3 4 4 2 3 4
17 4 3 4 3 3 3 4 2 3 3 3
18 4 4 4 4 4 4 4 2 2 4 3
19 4 4 3 3 4 3 3 2 3 3 3
20 4 3 4 4 4 4 2 4 2 4 3
21 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3
22 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3
23 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
24 4 3 4 4 4 4 2 2 2 3 3
25 4 4 4 4 3 3 3 2 3 3 3
26 3 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3
27 4 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3
28 4 3 3 4 3 3 3 2 3 3 3
29 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3
30 4 3 4 4 4 3 3 2 2 3 3
rhitung 0,455 0,357 0,440 0,431 0,440 0,285 0,319 0,369 0,420 0,590 0,520
Rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361
Responden No. Soal
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2
2 3 3 4 3 4 3 4 4 3 3
3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3
4 3 3 4 3 3 4 4 3 3 3
5 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3
6 3 3 4 4 4 4 3 3 4 4
7 4 4 3 3 4 2 3 2 4 4
8 3 3 3 3 4 4 4 2 3 3
9 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3
10 4 3 3 3 4 3 4 2 3 4
11 4 4 4 3 4 3 4 2 4 4
12 4 3 3 3 3 3 4 3 4 4
13 4 4 3 4 3 3 3 3 3 4
14 3 4 3 2 4 3 3 3 3 3
15 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4
16 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4
17 3 4 3 4 3 3 3 2 3 4
18 4 4 4 3 4 3 4 3 3 4
19 3 4 3 3 4 3 3 2 3 3
20 3 3 4 3 4 3 3 3 3 4
21 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3
22 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
23 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
24 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3
25 4 4 4 3 3 3 3 2 4 4
26 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3
27 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3
28 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
29 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4
30 3 3 3 3 4 3 4 2 3 3
rhitung 0,630 0,404 0,630 0,429 0,274 0,170 0,343 0,230 0,481 0,723
rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361
Responden No. Soal
22 23 24 25 26 27 28 29 Skor Total
1 3 3 3 3 3 3 3 2 85
2 4 2 3 3 3 3 3 3 92
3 3 3 3 3 3 3 3 3 87
4 4 2 3 3 3 3 3 3 91
5 4 3 3 3 3 3 3 3 93
6 3 3 4 3 4 3 2 2 100
7 3 2 2 3 3 3 3 3 87
8 3 2 2 3 3 3 3 3 90
9 3 3 3 3 3 3 3 3 87
10 3 3 2 3 3 4 4 3 94
11 4 2 3 4 3 4 3 3 100
12 4 3 3 4 3 4 4 3 99
13 3 3 3 3 4 4 4 2 95
14 3 3 3 3 3 3 3 3 90
15 3 3 3 3 3 3 4 3 97
16 3 3 3 3 3 4 3 3 103
17 3 2 2 4 3 3 4 3 91
18 4 3 3 4 3 4 3 3 102
19 3 2 3 3 3 3 4 3 90
20 4 3 3 3 3 3 3 3 96
21 3 3 3 3 3 3 3 3 87
22 3 3 3 3 3 3 3 3 85
23 3 3 3 3 3 3 2 3 86
24 3 3 3 3 3 3 3 3 91
25 4 2 2 4 3 4 3 3 95
26 3 3 3 3 3 3 3 3 92
27 3 2 3 3 3 3 3 3 86
28 3 2 3 3 3 3 2 3 86
29 4 3 2 3 3 3 3 3 91
30 4 3 2 3 3 4 3 3 91
rhitung 0,419 0,161 0,175 0,475 0,289 0,638 0,219 -0,89
rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361
「
ξ o l 『 D 諄 一t 8 一 一 “ 9 ヨ 生 ツ ト )
Z 9 3 o 一 〇 O L や こ 「 げ 9 ¨ R {
ど 量 訂 . 颯 ご 』 。鰤 h
本 誕 「。 .。 ∽ .∽ヽ 増 一 孔 r い 計 聾 ヽ ″. )
c a ⊆ 一 一一 ● t F りヽ ァ 〕 a お ? η に よ 二 q じ に o つ 「 辞 気 弯
ヽ ヽ o 、 ヽ o い ,
C 』 一 ● D 「 ぢ ョ o L 「 0 0 「 Q ゃ 一 ρ げ 、 C ,、 マ ュ い )
Z ● 3 ● ,
コ ζ い ユ i 〓 こ つ 」 o 針
監 L 聴 幹 「 巽 勉 ギ 韓
゛ 曾 下 o す c 曹 て ヽ r ア ζ ど い ( い r ″ L お,
翼 ・聯 〕ジ ー下
, ゝ い 7 ヽ R S ヽ き c
,a t,
』 ヌ ヽ 澤 お ヽ ■
゛ お 沐,ス
」 ∝ つ 鷲 R お 5 p p,
ょヽ 諄 D ” ぃ ゃ ァ 、 、 t
、 ミ ♪ ■ ぜ , ヽ ゝ 】 卜 「 3 2 ■ ミ p π D 。 、 卜 3 鳴
ス 0 E ω 「 ① ⊃ O C 一 一
層 レ 仁 暮
【 ン ” ゴ 』 堕 雹 諷 目 冒 静 カ
『 ¨ 〇 〇 ” い 場 〓 F ” ∩ 昴 日 串 ”
Z > ヨ > 一,い o R ツ 万 「 ■ ヽ 一 つ っ F 「
z ヨ ¨ い 三 い 0 〓 o も ヽ ヽ 、 も 0
男 O 〇 一 一 ヌ ■ 【
「 > 工 C Z ≧ O P O m ζ 一 バ 一 ヽ へ ヽ いヽ
、や o き い
「 3ヽ 卜ヽ o ヽ ヽ ヽ ヽ 「
「 刀 〇 〇 刀 > 〓 三 > 〇 一 ∽ 「 m 刀
「 > バ ⊂ F J p ∽ 一 F 三 ⊂ 「 > 力 ∞ 一 ≪ ≧ ⊥ ∪ > Z ^ m O ⊂ 刀 ⊂ > z
⊂ 一 Z ∽ く ≧ 力 一 「 工 一 ∪ > ≪ > ∃ 」 F げ P 工 ⊂ > 六 > 刀 「 >
い o い ヽ 三 ヽ ユ ヽ c o 工
∽ N
バ > 力 ↓ C い [ 〓 巨 > カ
『 力 O ① ” レ 宝 ¨ 〓 「 ● 】 φ [ 自 カ
ξ o 毛 § o ∽ 9 一 「 8 一∽ ( 「 q も ェ 「 ♀ ミ ゝ む ぎ 二
z D 3 9 一 r に, o p ● こ
, や
,、 P 2 3 、
c c 2 一 丙 0 3 さ 0 ● やヽ P ぃ 、 」 と, L ヽ 」 や ヽ
「 S 警 ト メ P ′ ‐> 0 う
,ヽ ヽ ヽ R う 、 3ヽ 1
ヽ P d ゃ い 、,ど P 、 も
ス ① 一 C D 「 の う 0 こ 」 一
一一粋 「8 8 一 一 ] 一 一 一沖 一 一 い い い⊇ 「 〕 」 一い 」 「ヽ こ } ス。一8 コ0〓
ヲ 澤 o し ヽ ご,ご ぎ う い o C e Rヽ
,
( 、 マ 3 , p r F 踵 r 医 ほ ぽ F ■ ♪
p 瞼 ド P に F 』 睦 い に 旧 い ド 睦 IT 』 は い い ド ト に ぼ ほ ― ・ド 麻 ぬ H I 陣 楡 ド ド 朦 け L は ほ R I L 偲 卜 に r l
⊂ 一 ご コ バ O ∃ 0 「 o コ ① コ L 「 ⌒ 「 9 や^ ミ 「 。 ぃ 、ヽ 、 、 当 ぃ も ヽヽ )
2 S 〇 一 デ 3 ミ R ゝ 、 ヽ
」 ⊂ a cⅨ ゝ L レ
/
⊂ 一 ご ⊃ バ O ∃ ロ
Z D ヨ ω 一
」 ⊂ Q C 一 一
卒 評 「 3 .∽ ・絹 一 一 〔ア 『〆 ダ 議 ∝ 訥 F )
c a c 一 一 ヨ ′ 0 で F ク o ュ ‘ 「 ヴ ● ■ t S p ぃ て 」 o L
う O o 針,0 い ■ 「ヽ き ● 6 」 ミ ‘ 0 「ヽ 3
,´ 。 c
疑 議 』 轄 嗜 沌 嘔 軍 護 ド 「 。 ま こ
て 言 ョ 弊 』 手 ヽ 「 o ″ 「 c a ざ 6 )
Z o B ∞ 0 」 星 o τ
冒 薩 γ 輝 諄
ヽ も ,
い い ヽ い ス ・ c い
バ C C の 「 「 0 0 「 0 「 ´
口 ヽ η ま 「 一 日 く 三 D 」
Z 一 つ 一 8 0 0 2 〓 毬 9 8 N o 2