PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI ...

173
PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI KELUARGA TERHADAP KEMATANGAN BERAGAMA LANSIA (Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa Buntu) Oleh SOFIA HASANAH FITRIANUR 21150110000009 PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Transcript of PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI ...

PENGARUH PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN FUNGSI KELUARGA

TERHADAP KEMATANGAN BERAGAMA LANSIA

(Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa Buntu)

Oleh

SOFIA HASANAH FITRIANUR

21150110000009

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019

LEMBAR mGESAEANTESIS ・

Tesis dengan judul“ Pengaruh Pembinaan Keagalnaan dan Fllngsi Keluarga terhadap

Kematangan Beragama Lansia(Jurallttangu Barat dall Rawa BuntuD"yang ditulis oleh

Sofla Hasallab Filtrianur dellgan NIM 21150110000009 tdab戯可ktt pada sidallg

Promosi Tesis o10h Fakultas IImu Tarbiyah dan Keguruan σITKb lIIN SyarifHidayatunah

Jakarta pada hari Rabu,02 Januari 2019 dan telah diperbaiki sesud saran― saran pentti

sebagai salah satu syarat untuk memperolch gelar Magister Pendidikan Ⅳ .Pd)pada

Pr03T'In Magister(S2b Pelldidi山 m Agalna lslam

Jak魏 15 Januan 2019

Kctua Progrttn Magiicr PAI

Nalna :Dr.H.Sapiudin Shidiq,NII.Ag.

NIP :19670328200003 1 001

PenguJl l

Nama IPro■ Dr.H.Ahmad Sya■ 'ic Nool,NII.A.

NIP l 19470902 196712 1 001

PcllguJ1 2

Nama lDr.H.Zailllmudin,M.Ag.

NIP :19590705199103 1 002

PcJgり 13

Nanla :Dr H.Sapiudin Shidiq,M.Ag.

NIP :19670328200003 1001

Dekall Faku Tarbiyah

Prof Dr.

Tanggal

Tanggal

M.A.NIP.19550421 1007

olch

Nama

NIM

Prodi

Judul Tesis

LEDIBAR PENGESAIIIAN PEMBIMBING TESIS

Sofia Hasanah Fitrianur

21 1501 10000009

Magister Pendidikan Agama Islam

Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan Fungsi Keluarga Terhadap

Kematangan Beragama Lansia

Menyatakan mahasiswa tersebut di atas surlah selesai penulisan Bab I , II, m, IV dan V

disetujui untuk mengikuti Ujian Promosi Tesis sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh

fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

Dosen Pembimbing I

J泳∬L24 September 2018

Dosen Pembimbing Ⅱ

Dr.Litt Kurniawati,MttPd.

197605212008012008Dr.Abdul Ⅳ【n'thio PIoEd.

NIP.19680902199311 1001

Saya yang bertanda tangan di

NamaTempat/Tgl LahirNIMJurusan/ProdiJudul Tesis

Dosen Pembimbing

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

bawah ini,

Sofia Hasanah FitrianurBogor, 22 September 19912l 1501 10000009Magister Pendidikan IslamKomparasi Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan FungsiKeluarga Terhadap Kematangan Beragama LansiaDr. AbdulMu'thi, M.Ed.Dr. Lia Kurniawati, M.Pd.

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dansaya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuatsebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd).

NIⅣl.21150110000009

i

ABSTRAK

Sofia Hasanah Fitrianur (21150110000009). Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan

Fungsi Keluarga Terhadap Kematangan Beragama Lansia (Kelurahan Jurangmangu

Barat dan Rawa Buntu).

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh pembinaan keagamaan dan

fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia dan menganalisis perbedaan

kematangan beragama lansia yang tinggal di rumah dan tinggal di panti sosial. Latar

belakang penelitian ini bersumber pada realitas sosial bertambahnya penduduk lansia

selain itu banyak lansia yang tidak tinggal bersama keluarga, melainkan dititipkan di panti-

panti sosial dan sejenisnya. Oleh karena itu tempat tinggal lansia menjadi berbeda-beda.

Masa tua identik dengan peningkatan aktivitas keagamaan, namun realita yang terjadi tidak

sedikit lansia yang masih tergolong rendah keberagamaanya. Penelitian ini menggunakan

teknik analisis regresi linier berganda dan komparasi uji-t dengan jenis data kuantitatif.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket dan wawancara, digunakan untuk

mengukur perbedaan kematangan beragama lansia melalui pembinaan keagamaan dan

fungsi keluarga antara lansia yang tinggal di rumah dan tinggal di panti sosial. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap

kematangan beragama lansia. (2) Terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia. (3) Terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

Hasil penelitian ini mendukung teori Suardiman (2011) yang menyatakan bahwa,

“kegiatan keagamaan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan diharapakan

dapat memberikan efek perasaan tenang, pasrah dan nyaman bagi lansia”. Mendukung

definisi keluarga menurut BKKBN yang menjelaskan bahwa, “keluarga adalah dua atau

lebih individu yang dibentuk berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi

kebutuhan spiritual dan materi yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan

yang seimbang antar anggota keluarga serta lingkungan masyarakat”, kemudian

mendukung hasil penelitian Ramdani (2015) yang menyatakan bahwa, “diperlukan

berbagai bentuk pelayanan kepada lansia dalam mencapai kepuasan hidupnya”, dan

mendukung hasil penelitian Wreksoatmodjo (2013) yang menemukan bahwa, “lansia yang

tinggal di panti kurang aktif berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan kurang

mengunjungi tempat ibadah dibandingkan dengan lansia yang tinggal di rumah, namun ada

satu penghuni panti yang aktivitasnya di masyarakat masih baik”. Implikasi dari penelitian

ini adalah keluarga merupakan institusi utama dalam pengasuhan lansia, hal tersebut

didasarkan pada landasan normatif yang memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua

serta landasan emipiris berdasarkan hasil penelitian ini kematangan beragama lansia yang

tinggal di rumah lebih baik dari lansia yang tinggal di panti sosial

Kata Kunci: Lansia, Pembinaan Keagamaan, Fungsi Keluarga, Kematangan

Beragama.

ii

ABSTRACT

Sofia Hasanah Fitrianur (21150110000009). The Effects of Religious Guidance and

Family Functions on Elderly Religious Maturity (Jurangmangu Barat Village and

Rawa Buntu Village).

This research is conducted to analyze the effect of religious guidance and family

function on religious maturity of the elderly and to analyze the differences in religious

maturity of elderly people who live at home and live in orphanage institutions.The

background of this research is based on the social reality of the increasing elderly

population besides that many elderly people are not cared for in the family, but are kept in

orphanage institutions. Therefore the residence of the elderly becomes different. The old

age is identical to the increase in religious activity, but the reality that occurs is not a few

elderly people who are still relatively less in religion. This study uses multiple linear

regression analysis techniques and comparison of t-test with quantitative data types. Data

collection techniques used were questionnaires and interviews, used to measure differences

in the maturity of religious elderly through religious guidance and family functions

between the elderly who lived at home and lived in orphanage institutions. The results of

this research indicate that (1) There is an correlation of religious guidance on religious

maturity of the elderly. (2) There is an correlation of family function on religious maturity

of the elderly. (3) There is an simultan correlation between religious guidance and family

functions towards religious maturity of the elderly.

The results of this research support the theory of Suardiman (2011) which states that,

"religious activities aim to get closer to God and are expected to have the effect of feeling

calm, resigned and comfortable for the elderly". Supporting the family definition according

to the BKKBN (State Ministry for Population) which explains that, "families are two or

more individuals formed based on legitimate marital ties, able to fulfill appropriate

spiritual and material needs, fear God, have a balanced relationship between family

members and the community", then supports the results of Ramdani's research (2015)

which states that "various forms of service are needed for the elderly in achieving life

satisfaction", and supported by the results of Wreksoatmodjo’s (2013) research which

found that "older people who live in homes are less active in community activities and less

visiting a place of worship compared to an elderly person who lives at home, but there is

one residents who have activities in the community that are still good ". The implication of

this study is that family is the main institution in caring for the elderly, it is based on a

normative foundation that instructs parents and emirate foundation based on the results of

this study the religious maturity of older people who live at home better than the elderly

who live in orphanage institutions.

Keywords: Elderly, Religious Guidance, Family Function, Religious Maturity.

iii

ملخص البحث

ر .(90001001111112)صايف حسنه فطراينور ين وأ األ سرأة ف استقرأار عبأادأة تأثي الت عليم الد (يف قرية جورنغ مانغو ابرت و راو بنتو) الشي وخ

ي خ الليمالدينوتليلتثيالت عباحثمالدىذهاصمق ي لتحليلجخةةو.رسةة ىارستقةا بباةةالي خ الذينىم ي ا اإلجتمال لخاقع ىابحثالمبدأورسةة.ب يتتتاىتمامالىوالابيسكنخن ىالدي خ وقليلالرسةة ىااإلجتمابي ي ي خ وذلكيسببب عضهملعائللىتمامابكث ةةجلةال ي ل

جتمابى ا اإل كلبامييسكن خن ىالب يتوب عضهم ىالد ييخ بزيةةجخةة.ب ةعباة ىالالقا نةومىي:طةي قةالباحثمال.وأماالطيةق ىىذه.نعباةةالي هتمخعأكث ةىم ىالخاق ىالوالباحثىذه ببا..وحللالاإل دا اخلطي ةواختبا الفةضيةبطةي قةاإلن .وطةي قةجعt)بى(مت عديانتولب ي ناتالا ي خ بذهالطةي قةن عةفجخةة.مقابالتالمستخدمة ىشكلاإلرستب ي ا ال ىالد

بلى:)باحثمالالرسةة.ونتيجةىذهتمامىىوالب يتتتااإلجتماب (أنالت عليمالدينبلىبدليي خ ي ي خ ي تأث ة ىارستقةا بباةةال ي ةالرسةة ىارست.)ال ي خ قةا بباةة(تثي ي (اإل ببا..)ال

ا اإلجتمابيوالب يتتتاىتمامالرسةة ىارستقةا ي خ ةاةببب يالتعليمالديني ىالد ي .ال ها"رسخا ةمان")رسنةباحثمالىذه ا.الدينيةخى(وب ؤكدالطةي قةالتي نظةإلي ي قخلإنالن

نان ىن ف ىالت قةيبمنهللاوتثياإلب هدفبل ي خ طمن ي نةالخطنيةلت نظيمالرسال ةة"ب نظة."اهلي كل ىا ببا.الزوجالقانخن.قاة ةبلىب لبيةاإلحتياجاتإلأنالرسةةى يبضخانأوأكث ةي تجتمابية.وب هدفبلىنظةنةاإلي لب رسةةواال.والت خافق ىيةوب قخىهللاكافاةيةالمالةيوحيةوال

ي خ دمةحوخلناخل(وىخي قخل:إن نانتاجإلأشكالمتلفةم۵۱۰۲" مضان")رسنة ي إلالدأن(إن۵۱۰۲حياةمطمننة.وب هدفبلىنظة"و يكرسؤتمخجخ)رسنة ي خ وي ي ا ال ىالد

طابلىأابجتماإل ا كة ىقلين ي خ سبةمعبدمننقليالديخخلإلالمجتمع.وأالم ي ب يتال ىالطا ىالدأحدىمأرسةة.وىتمامالتتا جتمابى.ا اإلجلن

. ة ادأ بأ ع ال ف ار رأ ق ت س ل , ا ة رأ س األ ة فأ ي ظ , وأ ن ي الد م ي ل ع , الت خ و ي : الش ة يأ س ي ء الر ات لمأ كأ ال

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ث

Ts Te dan Es ث

J Je ج

H He dengan garis bawah ح

Kh Ka dan Ha خ

D De د

Dz De dan Zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan Ye ش

S Es dengan garis bawah ص

D De dengan garis bawah ض

T Te dengan garis bawah ط

Z Zet dengan garis bawah ظ

Koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

GH Ge dan Ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

H Ha ه

W We

A Apostrof ء

Y Ye ي

B. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fathah ا

I Kasrah ا

U Dhammah ا

Ai A dan i أ ي

Au A dan u ا

v

C. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A A dengan Topi di atas ا

I I dengan Topi di atas ا ي

U U dengan Topi di atas ا

D. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال,

dialihaksarakan menjadi huruf (al), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

Qomariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf lansung yang mengikutinya

dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh al-Syamsu bukan asy-syamsu

dan al-zalzalah bukan az-zalzalah.

E. Syaddah/ Tasydid

Syadda/tasydid dalam tulisan Arab dilambangkan dengan , dalam alih aksara

dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syiddah. Akan tetapi,

hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah yang didahului kata sandang.

Misalnya kata م .tidak ditulis an-naumu melainkan al-naum الن

F. Ta Marbûtah

Ta marbutah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na‟at) dialihaksarakan

menjadi huruf (h). namun, jika huruf tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf

tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t). Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

Madrasah مدرست 1

Al-Jâmi‟iah al-islamiyyah الجامعتاإلسالميت 2

Wihdat al-Wujûd حدةالجد 3

G. Huruf capital

Meskipun dalam system tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini

huruf capital tersebut juga digunakan. Dengan mengikuti ketentuan yang berlaku

dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk

menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan

lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau

kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-

Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal

(bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cara cetak miring, maka

demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal

vi

dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-

Palimbânî; Nuruddin Al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

H. Cara penulisan kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara

terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam

bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

Dzahaba al-ustâdzu ذىةاألستاذ

Tsabata al-ajru ثبجاألجر

Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشيدأنالإلوإالهللا

Yu‟atstsirukum Allâh يؤثركمهللا

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. Dzat yang Maha „Alim yang telah

memberikan sedikit dari keilmuan-Nya yang sangat luas sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis yang berjudul “Komparasi Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan

Fungsi Keluarga Terhadap Kematangan Beragama Lansia” untuk memperoleh gelar

Magister Pendidikan Agama Islam pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada manusia yang menjadi pusat

keilmuan dunia-akhirat penuntun umat, Yakni Nabi Muhammad saw. Harapan dan doa

penulis semoga Tesis ini menjadi bagian dari khazanah keilmuan dalam ketegori

Pendidikan Agama Islam di masa mendatang.

Dengan selesainya Tesis ini, penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan

kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA. Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin dan motivasi untuk

melanjutkan studi pada program pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan dorongan untuk terus semangat menggarap tesis ini.

3. Dr. Abdul Mu‟thi, M.Ed. pembimbing dalam penulisan tesis yang telah

memberikan bimbingan dengan penuh keikhlasan dan kesabaran sehingga tesis

ini akhirnya bisa selesai.

4. Dr. Lia Kurniati, M.Pd. pembimbing dalam penulisan tesis ini yang telah

memberikan konsep metodologi yang baik sehingga alur dan metodologi dalam

tesis ini menjadi sistematis dan teruji secara statistik.

5. Dr. Sapiudin Shidiq, MA. Ketua Prodi Magister Pendidikan Agama Islam FITK

yang selalu memberikan semangat kepada penulis, agar dapat segera

menyelesaikan tesis ini.

6. Muslikh Amrullah, S.Pd. Staf Magister FITK yang telah membantu menyiapkan

segala keperluan persyaratan dalam menyeleasaikan tesis ini.

7. Orang tua dan keluarga. Ayahanda Muhammad Nawawi, Ibunda Halimatus

Sadiyah, Abi Mughni dan Almarhumah Nya Rosadah yang selalu memberikan

semangat, nasihat serta do‟a yang tak pernah lepas dari setiap sujudnya, demi

kelancaran terlaksananya tesis ini.

8. Muhammad Mustai‟n, S.Pd. Suami yang selalu ada menemani dalam

penyelesaian tesis ini serta membantu dan memberikan saran serta kritik yang

membangun.

9. Qisha Amelia Qorin putri tercinta yang selalu menemani setiap proses pembuatan

tesis ini sejak dalam kandungan hingga saat ini berusia sebelas bulan.

10. Romli guru yang turut serta membantu dan memberikan masukan dalam

pembuatan tesis ini.

11. Sholeh Aji, S.SOS selaku ketua yayasan yang telah memberikan izin untuk dapat

melakukan penelitian di Pondok Lansia Berdikari.

12. Adjma selaku ketua yayasan yang telah memberikan izin untuk dapat melakukan

penelitian di Pesantren Lansia.

viii

13. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan

dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah swt membalas amal kebaikan semua pihak terkait. Semoga karya

ilmiahini menjadi permulaan yang baik untuk pribadi penulis khususnya dan pembaca

umumnya untuk terus menuntut ilmu pengetahuan hingga akhir hayat.

Jakarta, 10 Oktober 2018

Sofia Hasanah Fitrianur

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ................................................................................................................. i

PEDOMAN TRANLITERASI ................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix

DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................................ 10

C. Pembatasan Masalah ........................................................................................... 11

D. Perumusan Masalah ............................................................................................ 11

E. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 11

F. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pembinaan Keagamaan ....................................................................................... 12

1. Pengertian Pembinaan Keagamaan ................................................................ 12

2. Pembinaan Keagamaan dalam Undang-undang ............................................ 13

3. Materi Pembinaan Keagamaan ...................................................................... 15

4. Media Pembinaan Keagamaan ...................................................................... 17

5. Metode Pembinaan Keagamaan ..................................................................... 17

6. Fungsi Pembinaan .......................................................................................... 18

7. Pembinaan Keagamaan Lansia di Panti Sosial .............................................. 18

B. Fungsi Keluarga .................................................................................................. 19

1. Definisi Fungsi Keluarga ............................................................................... 19

2. Fungsi Keluarga ............................................................................................. 19

3. Instrument Penilaian Fungsi Keluarga ........................................................... 21

4. Bentuk Keluarga ............................................................................................ 22

5. Siklus Kehidupan Keluarga ........................................................................... 22

6. Pembinaan Keagamaan Lansia dalam Keluarga ............................................ 23

C. Kematangan Beragama ....................................................................................... 27

1. Definisi Kematangan Beragama .................................................................... 27

2. Ciri-Ciri Kematangan Beragama ................................................................... 28

3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama .................................... 30

4. Perkembangan Keberagamaan ....................................................................... 31

5. Kematangan Beragama Lansia ...................................................................... 31

D. Lanjut Usia .......................................................................................................... 32

1. Definisi Lansia ............................................................................................... 33

2. Tipe Kepribadian Lansia ................................................................................ 34

3. Perubahan Pada lansia ................................................................................... 34

x

4. Sikap Manusia dalam Menerima Kedatangan Usia Lansia ........................... 38

5. Lansia dalam Undang-undang ....................................................................... 49

6. Perkembangan Manusia ................................................................................. 43

7. Kegiatan Keagamaan yang Dilakukan Lansia ............................................... 55

8. Ciri-ciri Keberagamaan pada Lansia ............................................................. 55

E. Penelitian yang Relevan ...................................................................................... 56

F. Kerangka Teori ................................................................................................... 58

G. Hipotesis Penelitian ............................................................................................ 60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian ............................................................................................... 61

B. Tempat & Waktu Penelitian ............................................................................... 62

C. Populasi dan Sampel ........................................................................................... 62

D. Sumber Data ....................................................................................................... 63

E. Operasional Variabel .......................................................................................... 63

F. Instrumen Penelitian ........................................................................................... 64

G. Validitas Instrumen ............................................................................................. 67

H. Reliabilitas Instrumen ......................................................................................... 67

I. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian .................................................................. 68

J. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................. 70

K. Teknik Analisis Data .......................................................................................... 71

L. Hipotesis Statistik ............................................................................................... 74

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian ................................................................. 76

B. Uji Prasyarat Analisis Data ................................................................................. 81

C. Uji Hipotesis ....................................................................................................... 90

D. Hasil Wawancara ................................................................................................ 96

E. Pembahasan Hasil Penelitian .............................................................................. 100

F. Diskusi Hasil ....................................................................................................... 103

G. Keterbatasan Penelitian ....................................................................................... 113

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 114

B. Saran ................................................................................................................... 115

C. Implikasi ............................................................................................................. 116

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 118

LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Rasio Ketergantungan Penduduk Lansia di Indonesia ............................. 1

Tabel 2.1 : Perkembangan motorik masa anak-anak .................................................. 47

Tabel 3.1 : Jumlah Lansia ........................................................................................... 63

Tabel 3.2 : Kisi-kisi Instrumen Pembinaan Keagamaan ............................................ 66

Tabel 3.3 : Kisi-kisi Instrumen Fungsi Keluarga ........................................................ 67

Tabel 3.4 : Kisi-kisi Instrumen Kematangan Beragama ............................................. 67

Tabel 3.5 : Hasil Uji Instrumen Pembinaan Keagamaan ............................................ 69

Tabel 3.6 : Hasil Uji Instrumen Kematangan Beragama ............................................ 70

Tabel 3.7 : Hasil Uji Reabilitas Pembinaan Keagamaan ............................................ 71

Tabel 3.8 : Hasil Uji Reabilitas Kematangan Beragaman .......................................... 71

Tabel 3.9 : Sumber Data dan Teknik Pengumpulan data ........................................... 72

Tabel 4.1 : Kegiatan Pembinaan Keagamaan ............................................................. 77

Tabel 4.2 : Luas Wilayah Jurangmangu Barat ........................................................... 79

Tabel 4.3 : Penduduk wilayah Jurangmangu Barat .................................................... 79

Tabel 4.4 : Penduduk Menurut Kelompok Usia ......................................................... 79

Tabel 4.5 : Jenis Institusi Sosial ................................................................................. 80

Tabel 4.6 : Luas Lahan ............................................................................................... 81

Tabel 4.7 : Letak Geografis ........................................................................................ 81

Tabel 4.8 : Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin ............................................. 81

Tabel 4.9 : Penduduk menurut Kelompok Usia ......................................................... 81

Tabel 4.10 : Komposisi Responden Lansia yang Tinggal di Rumah........................... 82

Tabel 4.11 : Hasil Deskriptif Variabel X1, X2, dan Y Lansia di rumah ....................... 83

Tabel 4.12 : Hasil Deskriptif Kematangan Beragama berdasarkan Gender ................ 84

Tabel 4.13 : Komposisi Responden yang Tinggal di Panti Sosial .............................. 85

Tabel 4.14 : Hasil Deskriptif Variabel X1, X2, dan Y Lansia di panti sosial .............. 86

Tabel 4.15 : Hasil Deskriptif Kematangan Beragama Berdasarkan Gender .............. 87

Tabel 4.16 : Hasil Uji Normalitas ............................................................................... 88

Tabel 4.17 : Kesimpulan Hasil Uji Normalitas .......................................................... 89

Tabel 4.18 : Hasil Uji Homogenitas ........................................................................... 89

Tabel 4.19 : Uji Linieritas X1 ke Y ............................................................................. 90

Tabel 4.20 : Uji Linieritas X2 ke Y ............................................................................ 90

Tabel 4.21 : Uji Multikolinieritas ............................................................................... 91

Tabel 4.22 : Pengaruh X1 terhadap Y ........................................................................ 91

Tabel 4.23 : interaksi Varibel X1 dan X2 terhadap Y .................................................. 92

Tabel 4.24 : Hasil Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda ................................... 92

Tabel 4.25 : Korelasi antara X1 dan Y ........................................................................ 93

Tabel 4.26 : Pengaruh X2 terhadap Y ......................................................................... 93

Tabel 4.27 : Interaksi Variabel X1 dan X2 terhadap Y ................................................ 94

Tabel 4.28 : Hasil Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda ......................................... 94

Tabel 4.29 : Korelasi antara X2 dan Y ....................................................................... 95

Tabel 4.30 : Peringkat Hubungan/Pengaruh ............................................................... 95

Tabel 4.31 : Rata-rata kematangan beragama Lansia di Rumah dan di Panti ............ 96

Tabel 4.32 : Perbedaan Kematagan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti ............ 96

Tabel 4.33 : Pengaruh Simultan X1 dan X2 terhadap Y ............................................... 97

Tabel 4.34 : Correlations ............................................................................................ 98

xii

Tabel 4.35 : Kontribusi Variabel X1 dan X2 terhadap Y ............................................ 98

Tabel 4.36 : Anova ..................................................................................................... 99

Tabel 4.37 : Perbedaan Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti ......... 99

Tabel 4.38 : Rata-rata Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti ........... 100

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Proyeksi Penduduk Indonesia ............................................................... 2

Gambar 1.2 : Dimensi Kota Ramah Lansia ................................................................ 4

Gambar 2.1 : Tahap-tahap Perkembangan Janin ........................................................ 40

Gambar 2.2 : Fase Perkembangan Janin ..................................................................... 40

Gambar 2.3 : ‘Alaqah ................................................................................................. 42

Gambar 2.4 : Mudhgah ............................................................................................... 42

Gambar 2.5 : ‘Idzaama ............................................................................................... 44

Gambar 2.6 : Janin di dalam Rahim ........................................................................... 47

Gambar 2.7 : Perkembangan Manusia ........................................................................ 50

Gambar 4.1 : Letak Pondok Lansia Berdikari ............................................................ 76

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Bukti Penelitian

Lampiran 2 : Kisi-kisi Angket Variabel X1

Lampiran 3 : Kisi-kisi Angket Variabel X2

Lampiran 4 : Kisi-kisi Angket Variabel Y

Lampiran 5: Angket

Lampiran 6 : Pedoman Wawancara

Lampiran 7 : Hasil Uji Validitas Instrumen

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia telah mengalami transisi demografi sejak tahun 1970-an yang telah

membawa perubahan-perubahan penting dalam hal struktur usia populasi negara ini.

Permasalahan demografi di Indonesia dikategorikan sebagai suatu masalah nasional

yang harus segera dipecahkan, permasalahan demografi tersebut mencakup tiga

aspek. Pertama jumlah penduduk yang besar hal tersebut terjadi karena angka natalitas

di Indonesia masih terbilang cukup tinggi. Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty

mengatakan, angka natalitas di Indonesia saat ini berada dikisaran 1,49% (Jpp.go.id:

2017).

Kedua komposisi demografi yaitu komposisi penduduk menurut kelompok umur

tertentu, komposisi umur dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Kelompok usia muda, yaitu mereka yang berumur di bawah 15 tahun (0-14).

2. Kelompok usia produktif, yaitu penduduk yang masuk dalam kategori umur 15-

59 tahun.

3. Kelompok usia lanjut, yaitu mereka yang berumur > 60tahun (Salim: 2015).

Komposisi demografi berdasarkan umur ini menjadi penting bagi pemerintah

dalam menentukan sebuah kebijakan kependudukan misalnya dengan mengetahui

jumlah penduduk lansia maka menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyediakan

layanan kesehatan serta mulai meninjau kembali peranan dan kontribusi apa yang

dapat diberikan oleh penduduk lansia.

Permasalahan demografi yang ketiga adalah jumlah penduduk lansia yang besar

merupakan dampak dari rendahnya tingkat mortalitas penduduk Indonesia, Mantra

(2015: 91) memaparkan bahwa, “tinggi rendahnya tingkat mortalitas mempengaruhi

pertumbuhan penduduk dan tinggi rendahnya tingkat kesehatan masyarakat”. Fakta ini

dapat diartikan sebagai berkah dan patut dibanggakan karena menunjukkan adanya

perbaikan kesejahteraan dan layanan kesehatan di Indonesia, namun juga dapat

diartikan sebagai beban sosial karena lansia masuk kepada kelompok usia tidak

produktif serta memerlukan layanan sosial yang memadai. Data menunjukkan bahwa

ketergantungan penduduk lansia diperkirakan pada setiap tahunnya mengalami

peningkatan, berikut peneliti paparkan dalam tabel 1.1:

Tabel 1.1

Rasio Ketergantungan Penduduk Lansia di Indonesia Tahun 1971-2035

(Kalbar.BKKBN.go.id: 2015)

Dependent Year

1961 1971 1980 1990 2000 2010 2015 2020 2025 2030 2035

Dependency

ratio of

older person

65+ years

4,9 4,7 5,8 5,3 7,2 7,6 8,0 9,2 11,0 13,2 15,6

Berdasarkan data demografi di Indonesia maka pertumbuhan penduduk lanjut

usia (lansia) diprediksi akan meningkat di masa yang akan datang terutama di negara-

negara berkembang. Data yang diperoleh menunjukkan, penduduk lanjut usia di

Indonesia terus mengalami peningkatan. Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara

populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia

2

sekitar 5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan tahun 2010 jumlah lansia

24.000.000 (9,77%) dari total populasi, dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah

lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari total populasi. Sedangkan di Indonesia

sendiri pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000. (Kementerian

Kesehatan RI: 2017, h. 1). Menurut UU RI No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia di atas 60 tahun.

Proyeksi penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2035 dipublikasikan pada 28

Januari 2014, yang dibuat berdasarkan data dari hasil Sensus Penduduk tahun 2010.

Publikasi proyeksi penduduk ini merupakan kerjasama yang dilaksanakan oleh

beberapa instansi, yaitu Badan Pusat Statistik, Bappenas, United Nations Population

Fund (UNFPA) serta para pakar demografi. Berikut gambaran dari proyeksi penduduk

Indonesia sampai dengan tahun 2035 (Heryanah: 2015, h. 6):

Gambar 1.1

Proyeksi Penduduk Indonesia

Tahun 2010 Tahun 2020

Tahun 2035

Dari komposisi jumlah penduduk tersebut, terlihat lebarnya di bagian penduduk

muda. Sementara lain hasil proyeksi untuk tahun 2020 tampak terjadi perubahan

struktur kependudukan yaitu kelompok usia 0-4 tahun mulai berkurang karena

penurunan jumlah kelahiran. Kelompok umur 5-9 tahun mengalami pembengkakan

3

karena jumlah kelahiran yang tinggi dari masa 10 tahun sebelumnya dan jumlah

penduduk kelompok usia 65 tahun ke atas mengalami kenaikan. Pada tahun 2035

diproyeksikan bagian tengah piramida mengalami pembengkakan yang artinya usia

produktif akan naik dan penduduk yang berusia 65 tahun ke atas juga mengalami

kenaikan yang siginifikan.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya diprediksi jumlah lansia

di Indonesia akan terus meningkat. Kepala Badan Pembangunan dan Penduduk PBB

Jose Miguel Guzman memaparkan bahwa, “peningkatakan jumlah lansia dipicu oleh

perbaikan gizi, kemajuan medis, layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan dan

kesejahteraan ekonomi”. (Guzman, 2012).

Ageing Population merupakan fenomena yang saat ini hampir terjadi di setiap

negara di dunia. Salah satu negara di kawasan Asia yang memiliki jumlah penduduk

lansia terbesar adalah Jepang, dapat dilihat dari persentase penduduk lansia yang

mencapai 30% dari total penduduk. Hal tersebut dikarenakan Jepang merupakan

negara dengan angka harapan hidup mencapai 83,5%.

Pemerintah Jepang mempertimbangkan hal tersebut untuk membuat berbagai

kebijakan dan program terkait lansia hal ini dilakukan untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan lansia karena jika pemasalahan lansia tidak ditangani dengan baik maka

akan menimbulkan permasalahan yang jauh lebih besar. Beberapa bentuk kebijakan

yang dibuat pemerintah Jepang antara lain didirikannya pusat fasilitas kesehatan dan

kesejahteraan lansia (silver center), panti werdha (rojin home) dan pelayanan

penitipan lansia harian (day care) (Lipi: 2015).

Selain Jepang negara di kawasan Asia yang mengalami ageing population adalah

Singapura, di Singapura penduduk lansia sudah mencapai 9% (Kumpulan Makalah &

Diskusi Lokakarya, 2013: h.3). Fenomena demografi ini yang membuat pemerintah

Singapura melahirkan beberapa kebijakan di antaranya dengan menetapkan usia

minimal pensiun pada usia 62 tahun kemudia ada opsi untuk melanjutkan pekerjaan

selama lima tahun berikutnya yaitu mencapi usia 67 tahun (Kompas: 2017).

Berdasarkan kebijakan tersebutlah tidak sedikit penduduk lansia di Singapura yang

masih produktif bekerja seperti menjadi sopir taksi, cleaning service di bandara dan

pekerja kereta listrik bawah tanah (Prokal.co: 2014)

Selain Asia negara yang mengalami ageing population adalah Eropa, hal tersebut

dapat dilihat pada tahun 2016 jumlah penduduk usia muda (0-14) tahun memberi

kontribusi sebanyak 15,6% dari keseluruhan populasi di 28 negara anggota Uni Eropa,

jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) berkontribusi 65,3% dan jumlah penduduk

usia tua (65 tahun ke atas) berkontribusi 19,2%. Peningkatan jumlah penduduk usia

tua mencapai 3,7% (European Commission: 2017).

Menghadapi fenomena demografi di atas, sejumlah lembaga pembangunan

internasional termasuk PBB dan WHO mengeluarkan barbagai rekomendasi dan

menciptakan berbagai tools sebagai alat untuk mengantisipasi dalam menghadapi

tantangan-tantangan yang ada. Di antaranya WHO menciptakan panduan asesmen

untuk kota ramah lansia (age friendly cities check list) yang mencakup 8 dimensi,

diantaranya adalah gedung dan ruang terbuka, transportasi, perumahan, partisipasi

sosial, penghormatan dan inklusi atau keterlibatan sosial, partisipasi sipil dan

pekerjaan, komunikasi dan informasi, dukungan masyarakat dan kesehatan.

(Suriastini: 2013, h. 4).

4

Gambar 1.2

Dimensi Kota Ramah Lansia

Sumber: https://www.caledon.ca/en/townhall/age-friendly-planning.asp

Pelayanan yang diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada lansia adalah

dengan menetapkan undang-undang lanjut usia yaitu The National Family Caregiver

Support Program (NFCSP), yaitu program yang bertujuan untuk memberikan bantuan

kepada anggota keluarga yang menjalankan peran perawatan kepada lansia di rumah

(Syamsuddin: 2011).

Program dan penanganan lansia dibeberapa negara di atas memperlihatkan

bahwa para lansia diberi kesempatan untuk tetap bekerja seperti menjadi tukang sapu,

petugas perpustakaan dan lain sebagainya serta tersedianya fasilitas kesehatan dan

kesejahteraan yang memadai.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk kesejahteraan, pemberdayaan dan

penanganan lansia sudah tinggi. Namun belum optimal dalam realisasinya.

Pemerintah sudah berupaya membuat Undang-undang, Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Rencana Aksi Nasional penanganan

lansia. Namun banyak faktor juga yang berkontribusi pada kurangnya implementasi

komitmen ini, di antaranya kurang dan lemahnya sosialisasi, kurangnya koordinasi

lintas sektoral dan tidak adanya data baik dalam kuantitas dan kualitas sebagai dasar

membuat kebijakan. (Suriastini: 2013, h. 6). Dan tidak sedikit para lansia yang

dianggap menjadi beban keluarga sehingga dititipkan di panti-panti sosial atau bahkan

telantar di jalan dan terdapat pula gejala lansia kurang mendapat perhatian keluarga.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan yang peneliti lakukan disalah satu panti

sosial yang berada di daaerah Tangerang Selatan, mayoritas lansia yang tinggal di

panti karena faktor dititipkan oleh pihak keluarga dengan kondisi kesehatan yang

terbilang memprihatinkan seperti sudah tidak bisa berjalan disebabkan karena struk

dan terdapat pula lansia yang sudah pikun. Jika diamati bersama kondisi tersebut

dapat terjadi dikarenakan terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi.

Pertama adanya pergeseran struktur keluarga (dari besar-kecil). Faturochman

(2001, h. 2) memaparkan bahwa, “pencapaian pendidikan yang tinggi dan masuk

dalam pasar kerja berarti mengubah siklus hidup dari orientasi tradisional ke modern”.

5

Pendidikan dan bekerja berati pula menunda usia perkawinan terutama bagi

perempuan hal ini berperan dalam penurunan fertilitas artinya ukuran keluarga

menjadi lebih kecil. Dengan rata-rata jumlah keluarga yang mengecil berakibat pada

bentuk keluarga luas (extended family) bergeser ke bentuk keluarga inti (nuclear

family) (Faturochma: 2001, h. 2).

Keluarga adalah kelompok yang mempunyai peranan yang amat penting dalam

mengembangkan, menjaga dan memperbaiki masalah kesehatan dalam keluarga.

Segala potensi yang dimiliki lansia dapat dijaga dan dirawat oleh keluarga sehingga

memungkinkan bagi lansia untuk dapat menikmati masa tuanya dengan penuh makna

dan membahagiakan. (Sutikno: 2011, h. 73 ).

Kedua faktor modernisasi, fakta dari modernisasi ini adalah terjadinya pergeseran

nilai-nilai keluarga di dalam merawat lansia, misalnya anak-anak mulai tinggal

berpisah dengan orangtuanya dikarenakan tuntutan pekerjaan dan menikah. Terdapat

studi terdahulu yang menemukan bahwa dari 34.831 lansia di pedesaan India,

sebanyak 11% tinggal hanya dengan pasangannya, 47% tinggal dengan pasangannya

beserta yang lainnya, sebanyak 33% tidak tinggal dengan pasangannya tetapi dengan

anak-anaknya dan 9% lansia tinggal sendirian (Mazumdar: 2009, h. 4). Studi lebih

lanjut yang dilakukan oleh Pradnyandari & Sri (2013: 9) menguatkan hasil penelitian

sebelumnya dengan hasil menunjukkan sekitar 8,6% kesedihan paling sering

dirasakan oleh lansia adalah merasa kurang diperhatikan dan merasa terabaikan. Fakta

ini menunjukkan bahwa pergeseran struktur keluarga akibat modernisasi memiliki

dampak yang nyata bagi lansia.

Kemudian faktor ketiga adanya pergeseran nilai yaitu menurunnya tanggung

jawab moral keluarga untuk menyediakan tempat bagi anggota atau kerabat lain dan

adanya rasa tidak ingin terbebani yang pada akhirnya akibat dari sikap tersebut

orangtua yang sudah lanjut usia di titipkan di panti sosial.

Faktor keempat yang melatarbelakangi fenomena ini pelayanan yang diberikan

oleh negara belum cukup memadai, dikarenakan kendala dana maupun petugas. Hal

tersebut dipertegas dengan adanya data yang menunjukkan bahwa lansia yang

tertangani melalui sistem panti maupun nonpanti kurang dari 2% yang berakibat

lansia mengalami berbagai keterlantaran (Puslitbang Kesos: 2017, h. 154).

Keempat faktor tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Philips (2000: 14)

yang mengatakan bahwa secara umum kondisi lansia terjepit karena tiga faktor utama,

“pertama kemampuan negara yang minim, kedua dukungan keluarga dan komunitas

yang tidak pasti, ketiga lingkungan sekitar yang tidak ramah”. Beragam faktor

tersebut dapat mempengaruhi kondisi lansia.

Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang penurunan kondisi yang dialami lansia

meliputi penurunan kemampuan baik jasmani, rohani dan sosial. Masalah-masalah

tersebut di antaranya adalah kondisi kesehatan yang semakin menurun, berkurangnya

intensitas sosial dengan teman sebayanya (sesama lansia), merasa kurang mendapat

perhatian keluarga, merasa kurang kuat imannya dan lain sebagainya. (Suhanah: 2009,

h. 62). Hal serupa diungkapkan oleh Suardiman (2011: 21) bahwa, “lansia

menghadapi tiga masalah utama yaitu, kesepian, merasa tidak berguna dan hilangnya

kemandirian”.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 34 ayat (2), “Negara

mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Lebih lanjut ditetapkan UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia,

6

pada Bab III pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa, “lanjut usia mempunyai

hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

Dengan demikian andil pemerintah dalam hal ini adalah dengan memberikan

perlindungan dan fasilitas kepada lansia melalui kebijakan serta program yang dapat

dimanfaatkan oleh para lansia.

Adapun kebijakan dan program yang diberikan kepada lansia merupakan salah

satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lansia. Salah satu

program yang diberikan adalah bidang pelayanan keagamaan atau mental spiritual.

(Kep. Mensos RI No. 15/HUK/2007)

Tindak lanjut dari keputusan menteri sosial adalah disusunya Pedoman

Pelayanan Sosial Lanjut Usia bagi Panti (No.4/PRS3/KPTS/2007) yang berisi tentang

pola-pola pembinaan bagi lansia di panti sosial. Adapun pola pembinaan yang

dimaksud berupa bimbingan mental spiritual dan kerohanian dengan menggunakan

metode ceramah, peragaan dan diskusi, juga bimbingan ibadah sehari-hari seperti,

shalat lima waktu, pengajian dan baca al-Qur’an.

Dengan melihat realitas kondisi lansia tersebut selain fungsi keluarga maka

diperlukan pula adanya upaya peningkatan pelayanan sosial dalam hal pemahaman

dan pengamalan ajaran agama untuk lansia. Pembinaan keagamaan pada lansia

bertujuan agar dapat meberikan efek ketenangan dan kepuasan batin dalam

berhubungan dengan sesama maupun dengan Allah. Salah satu upaya yang dibuat

pemerintah adalah menyiapkan suatu sarana untuk menampung lansia dalam sebuah

institusi. lembaga atau panti sosial yang mempunyai program untuk menangani

permasalahn-permasalah pada lansia guna memperbaiki kematangan keberagamaan

lansia.

Terdapat beberapa alasan lansia berada di panti sosial di antaranya, karena

dititipkan keluarganya, berdasarkan kemauan sendiri dan adapula yang karena

terlantar kemudia di antar oleh aparat ke panti sosial. Hal ini merujuk pada penelitian

yang dilakukan oleh Aisyah dan Hidir (2015: 10) yang menemukan beberapa faktor

lansia yang tinggal di panti sosial adalah, “ekonomi yang minim, adanya

kesalahpahaman dengan menantu, dan juga lansia yang tidak ingin menyusahkan

keluarganya”. Berbeda dengan Aisyah (2015) penyebab lansia berada di panti sosial

yang diungkapkan oleh Martiani, dkk (2012: 371) adalah karena meningkatkanya

bidang perekonomian membuat para masyarakat memilki mobilitas yang cukup tinggi

dan terkesan melalaikan kewajibannya untuk membina, merawat dan mengurus lansia.

Sedangkan lansia terlantar tercatat dalam kementerian sosial secara khusus mencapai

angka 1,8 juta orang (Times Indonesia: 2016).

Fenomena ini menunjukkan bahwa lokasi tempat tinggal lansia di Indonesia

menjadi berbeda beda, yaitu terdapat lansia yang tinggal di panti sosial dan lansia

yang tinggal di rumah. Perbedaan tempat tinggal lansia memicu adanya pro-kontra,

ada sebagian masyarakat setuju merawat lansia di rumah bersama keluarga dan ada

pula sebagian masyarakat menolak merawat lansia di rumah sehingga panti sosial

menjadi sebuah pilihan terakhir. Terdapat tiga alasan yang memicu polemik tersebut.

Pertama alasan teologis, alasan ini menekankan bahwa merawat dan mengurus

orang tua yang sudah lanjut usia merupakan kewajiban seorang anak. Banyak ayat al-

Qur’an yang menjelaskan bahwa merawat dan mengasuh lansia merupakan bentuk

bakti seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam Islam persoalan orang tua

merupakan persoalan penting dan harus diutamakan.

7

Kedua alasan budaya, terdapat budaya masyarakat yang memang ukuran dari

kebudayaan itu adalah bagaimana dia menghormati orang tuanya. Kokoh (2009: 167)

memaparkan bahwa mayoritas responden (84%) memilih untuk tetap tinggal di rumah

bersama keluarga. Mereka beranggapan bahwa mengirim lansia ke panti sosial adalah

tindakan yang tidak bisa dibenarkan secara budaya.

Ketiga alasan praksis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat keseharian.

Praksis yang dominan karena tidak ada waktu dan yang lebih memprihatinkan adalah

karena tidak bisa menerima harus mengurusi orang tua yang sudah tidak bisa hidup

mandiri lagi, dalam hal ini terdapat unsur tidak berbakti kepada orang tua dan ini yang

menjadi alasan kelompok yang menolak untuk merawat orang tua di panti . Terlepas

dari polemik di atas, terdapat pula lansia yang tinggal di panti atas dasar keinginannya

sendiri dengan alasan sosialisasi di mana lansia dapat berkumpul dengan teman

sebayanya serta dapat mengikuti kegiatan yang diadakan seperti, kegiatan keagamaan,

rekreasi, keterampilan dan pemeriksaan kesehatan, hal ini menurut kelompok yang

setuju merawat lansia di panti merupakan bentuk bakti kepada orang tuanya.

Berbagai fakta dan data di atas, menunjukkan kondisi lansia yang sangat beragam

baik dari segi jasmani, rohani maupun sosialnya maka fungsi keluarga dalam merawat

lansia tentu saja belum bisa dikatakan cukup oleh karena itu perlu diadakannya

pembinaan bagi lansia khususnya dalam bidang keagamaan.

Memperoleh pembinaan keagamaan merupakan salah satu hak yang harus

diperoleh lansia. Adapun yang menjadi landasan lansia berhak memperoleh

pembinaan di antaranya pertama Landasan normatif, ajaran Islam memberikan

perhatian khusus kepada lansia seperti mengajarkan untuk selalu memperlakukan

lansia dengan baik. Hal tersebut terlihat dari ayat-ayat yang terkandung dalam al-

Qur’an diantaranya perintah untuk taat kepada orang tua, mendo’akan orang tua,

berbakti kepada orang tua serta memberi nafkah kepada orang tua.

Kedua landasan yuridis, dalam Undang-undang RI No. 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia Bab III Pasal 5 ditetapkan bahwa (1) lansia mempunyai

hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (2) sebagai

penghormatan dan penghaargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial yang meliputi:

1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual

2. Pelayanan kesehatan

3. Pelayanan kesempatan kerja

4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan

5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum

6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum

7. Perlindungan sosial

Dengan ditetapkannya amanat UU No. 13 1998 diharapkan dapat mewujudkan

tujuan kebijakan khusus lansia yaitu memperpanjang usia harapan hidup (UHH) dan

masa produktif lansia (Depkes: 2013).

Ketiga landasan sosial, usaha pemerintah dalam mewujudkan lansia yang

sejahtera dengan mengadakan program atau kegiatan yang bekerjasama dengan

lembaga sosial maupun masyarakat. Pembinaan yang sudah berjalan saat ini adalah

dengan sistem panti sosial. Keterbatasan jumlah panti sosial yang memberikan

pembinaan kepada lansia menyebabkan sedikitnya target lansia yang memperoleh

pembinaan. Namun pada saat ini pembinaan lanjut usia semakin dikembangkan

dengan berbagai alternatif program seperti perawatan lanjut usia di rumah (home

8

care). Model pembinaan ini yang menjadi peran utamanya adalah anggota keluarga

lansia itu sendiri (Kemensos RI: 2014, h. 103).

Dalam kehidupan manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu

perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Menurut Jalaluddin (2016: 107)

“perkembangan jasmani dapat diukur berdasarkan umur kronologis sedangkan

perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas), tingkat

abilitas perkembangan rohani disebut dengan istilah kematangan (maturity)”. Dalam

ajaran Islam bergama merupakan fitrah yang ada sejak lahir, dengan demikian anak

yang baru lahir sudah memiliki potensi untuk menjadi manusia yang ber-Tuhan.

Manusia adalah makhluk yang beragama (homo religious), ia menjadikan agama

sebagai sandaran hidup karena adanya rasa bahwa yang Maha Kuasa adalah tempat

berlindung dan memohon pertolongan (Mustafa: 2016, h. 151). Agama dalam wujud

ritual ibadah seperti terdapat dalam rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa dan

haji), sedangkan dari sisi mu’amalah berkaitan dengan akhlak atau perilaku baik

dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Oleh karena itu beragama dalam kehidupan manusia dapat berfungsi sebagai

norma acuan dalam bersikap dan bertingkah laku yang mana norma tersebut

berpengaruh terhadap tingkah laku, berpikir serta bersikap, hal tersebut merupakan

ciri dari kematangan beragama. Jalaluddin (2016: 108) memaparkan bahwa

kematangan beragama terlihat dari “kemampuan seseorang untuk memahami,

menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama dalam kehidupan sehari-

hari”. Pernyataan di atas diperkuat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan

dan Rehabilitasi Sosial No. 28a/PRS-3/KEP/2009 tentang Pedoman Bimbingan Sosial

Psikososial di Panti Tresna Werdha dimensi religius dimaknai seputar keyakinan

akan Tuhan, harapan hidup, kedamaian hidup, makna hidup, tujuan hidup, semangat

hidup dan ketegaran iman ketika mendapat cobaan (Witono: 2015, h. 5).

Berdasarkan studi terdahulu Terkait tentang lansia, pada umumnya lansia

mengharapkan berumur panjang, semangat hidup, tetap berperan sosial, serta berharap

wafat dalam keadaan khusnul khotimah (Jannah: 2015, h. 361-363). Bertambahnya

usia dapat meningkatkan keberagamaan lansia. Menurut Fauziah (2015: 28) pada

masa ini, “lansia melihat agama sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

ketenangan dalam menjalani kehidupan”.

Masa tua identik dengan masa peningkatan aktifitas keagamaan. Pada

kenyataannya peningkatan tersebut juga bergantung pada kebiasaan yang telah

dilakukan lansia pada periode umur sebelumnya, sehingga tidak sedikit lansia yang

masih tergolong rendah keberagamaannya. Merujuk pada Jalaludin dan Ramayulis

(1993: 51) bahwa “keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dan

ketetapan kepercayaan, namun pada kenyataannya masih terdapat orang dewasa yang

berubah keyakinan ke arah acuh tak acuh terhadap agama”. Hal ini disetujui oleh

Nasution (2009: 2) yang memaparkan bahwa, “terdapat fakta yang menunjukkan

menurunnya keberagamaan pada lansia”.

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan diperoleh data dari hasil wawancara

terhadap 15 orang lansia, didapatkan bahwa 15 lansia selalu mengikuti kegiatan

keagamaan yang diselenggarakan oleh pihak panti wredha, akan tetapi dari 10 lansia

yang beragama Islam 7 di antaranya mengaku jarang melaksanakan ibadah shalat

wajib, 3 dari 5 lansia yang beragama Kristen atau Katolik mengatakan jarang

melakukan doa harian. Selain hal itu 9 dari 15 lansia mengatakan sulit untuk

memaafkan kesalahan orang lain. Hal tersebut menjadi salah satu faktor penyebab 9

9

dari 15 lansia menyatakan kurang merasa puas dan tenang dalam menjalani kehidupan

ini. (Ummah: 2016, h. 6).

Juga terdapat studi terdahulu yang dilakukan di Posyandu Lansia Matahari Senja

Surabaya diperoleh data terdapat 45 orang lansia yang berusia lebih dari 60 tahun,

hanya 20 orang lansia yang dapat membaca al-Qur’an. (Mustika, dkk, h. 2). Penelitian

lain yang dilakukan oleh Julianty pada tahun 2009, didapatkan hasil bahwa pada

golongan umur lebih dari 64 tahun persentase kualitas hidupnya buruk (75,3%).

(Julianty dkk: 2009, h. 7).

Lindenthal dan Star dalam buku Hawari sebagaimana dikutip oleh Handayani

(2016: h. 3) melakukan studi epidemiologik, diperoleh data yang menunjukkan

bahwa, “penduduk yang religius resiko untuk mengalami stress jauh lebih kecil

daripada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-hari”. Sejalan dengan

penelitian tersebut, penelitian Larson, dkk (2000 dalam Depkes 2008) menunjukkan

bahwa lansia yang kurang religius kurang tabah, kurang kuat dan kurang mampu

mengatasi stres dibandingkan dengan lansia yang religius sehingga mereka jarang

mengalami masalah atau gangguan kesehatan jiwa.

Teori perkembangan Erik Erikson memandang spiritualitas lansia akan

meningkat seiring datangnya penyakit, rasa terasing dan kecemasan akan kematian

sehingga mereka berupaya memaknai hidup, menemukan inspirasi dan mencari

dukungan sosial melalui komunitas agama (Nelson-Becker & Edward: 2008, h. 180).

Berdasarkan fenomena tersebut, pemberian pembinaan keagamaan menjadi

sangat penting sebagai media untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang

dialami oleh lansia. Pembinaan keagamaan ini bertujuan untuk memberikan efek

ketenangan dan kepuasan batin dalam berhubungan dengan sesama maupun dengan

Allah. Penelitian Indriana (2011) menunjukkan hasil bahwa “religiusitas memiliki

korelasi positif terhadap kesejahteraan lansia”. Oleh karena itu aspek agama memiliki

kontribusi bagi kesejahteraan lansia dan menjadi unsur penting dalam praktik

pelayanan atau pembinaan. Dr. Kartini Kartono menjelaskan sebagaimana dikutip

oleh (Mas’ud: 2009, h. 13) bahwa untuk mencapai kesehatan mental, lansia harus

memenuhi tuntutan-tuntutan moral, intelektual, sosial dan religius. Mental yang sehat

ditandai dengan adanya perpaduan antara pikiran, angan-angan, keinginan, dorongan,

emosi dan segenap tingkah laku.

Dan juga disepakati oleh Moberg dalam Indriana (2008) sebagaimana dikutip

oleh Indriana dan Febrianti (2010: 24) bahwa, “aktivitas religius berhubungan secara

positif dengan tingginya skor penyesuaian diri yang baik pada para lansia.

kebahagiaan berkorelasi dengan banyaknya ibadah dan ativitas religius seseorang.

Orang yang merasa bahagia adalah orang yang paling banyak melakukan ibadah”.

Oleh karena itu pembinaan keagamaan menjadi sangat penting di terapkan untuk

diarahkan pada kematangan beragama lansia, sehingga diharapkan kematangan

beragama pada lansia dapat memberikan efek pada kesehatan jiwa atau mental lansia.

Dalam ilmu kedokteran telah dibuktikkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

jiwa dan badan. Jika jiwa dalam kondisi kurang normal seperi merasa takut atau

cemas maka akan memberi dampak hilangnya nafsu makan dan susah buang air

(Ramayulis, 2013, h. 143). Juga sejumlah penelitian lain, misalnya hasil penelitian

dari Carel Gustav Jung sebagaimana dikutip oleh Ramayulis (2013: 144) yang

mengatakan bahwa, “di antara pasien saya yang setengah baya, tidak seorangpun

yang penyebab penyakit kejiwaannya yang tidak dilatarbelakangi oleh aspek agama”.

10

Juga disepakati oleh Kosalina (2018: 33) yang menyatakan bahwa, “banyak

lansia menemukan bahwa agama membantu para lansia dalam menghadapi masa sulit

dan mengatasi perubahan hidup”. Dan diperkuat oleh Koening, Geotge dan Siegler

dalam Pelmutter dan Hall (1992) sebgaimana dikutip oleh Kosalina (2018: 33) bahwa

apapun masalah yang dihadapi, hampir setengah dari lansia pada suatu kelompok

menyatakan mereka mengatasi masalah dengan meletakkan kepercayaan mereka

kepada Tuhan, dengan berdoa dan meminta pertolongan. Hal ini menunjukan

kematangan beragama menjadi penting dimiliki oleh para lansia, setidaknya dapat

memberikan dampak yang baik pada kesehatan lansia.

Salah satu kota yang ada di Indonesia yang banyak melakukan cara untuk

menghormati para lanjut usia salah satunya dengan menyediakan wadah yang disebut

kelompok kerja lansia adalah kota Tangsel. Lebih lanjut diperoleh data dari Dinas

Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrrasi (Dinsosnakertrans) bahawa angka harapan

hidup lansia di kota Tangsel meningkat sampai usia 70 tahun ke atas. (Dinkes: 2017).

Data tersebut diperkuat dengan adanya data BPS yang menunjukkan Angka Harapan

Hidup di kota Tangsel pada rentang tahun 2010-2015 selalu mengalami peningkatan

hingga mencapai 72,12%. (BPS: Banten).

Berdasarkan data yang diperoleh terkait angka harapan hidup di kota Tangsel

yang terus meningkat, apakah kematangan beragama menjadi salah satu faktor yang

melatarbelakangi peningkatan Angka Harapan Hidup di kota Tansel?. Oleh karena itu

Kota Tangerang Selatan menjadi hal yang menarik untuk diteliti, untuk menganalisis

bagaimana kematangan beragama para lansia. Bertolak belakang dari latar belakang

yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat komparasi

Pengaruh Pembinaan Keagamaan dan Fungsi Keluarga terhadap Kematangan

Beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.

B. Identifikasi Masalah

1. Bertambahnya jumlah lansia, maka akan bertambah pula beban pengelolaan dan

pengembangan kelembagaan sehingga diperlukan pelatihan-pelatihan untuk

pengelolan pelayanan terhadap lansia dengan tujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial lansia khususnya dalam bidang keagamaan.

2. Perbedaan tempat tinggal lansia menunjukkan bahwa terdapat lansia yang tetap

tinggal bersama keluarga dan adapula lansia yang tinggal di panti sosial dengan

pertimbangan pihak keluarga harus bekerja sehinnga tidak dapat mengurusi lansia

dengan baik. Dengan demikian terdapat kesulitan dalam pelayanan mengurus

lansia.

3. Pembinaan lansia dalam bidang keagamaan belum mencapai taraf optimal, yang

berakibat pemahaman keagamaan lansia yang masih kurang seperti:

a. masih terdapat lansia yang jarang melaksanakan shalat 5 waktu dan melakukan

do’a harian

b. Terdapat lansia yang belum bisa membaca al-Qur’an.

c. Lansia merasa tidak puas, tidak tenang dan merasa kesepian dalam menjalankan

kehidupannya.

d. Lansia yang sulit memaafkan kesalahan orang lain.

11

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Tempat penelitian ini dilaksanakan di Pondok Lansia Berdikari Serpong dan

Pesantren Lansia Jurangmangu Barat.

2. Beberapa para ahli telah mendefinisikan penggolongan lansia, dalam penelitian ini

lansia dibatasi pada umur 60 tahun ke atas sesuai dengan yang ditetapkan oleh

Undang-undang di Indonesia.

3. Problematika yang dialami oleh lansia sangat beragam baik dari segi fisik dan

psikisnya, oleh karena itu dalam penelitian ini dibatasi pada aspek kematangan

beragama lansia yang diukur melalui pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan

masalah di atas, maka penelitian ini akan mengkaji tiga permasalahan yaitu:

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap

kematangan beragama lansia?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia?

3. Apakah terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menguji pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama

lansia

2. Untuk menguji pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

3. Untuk menguji pengaruh yang simultan antara pembinaan keagamaan dan fungsi

keluarga terhadap kematangan beragama lansia

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti secara teoritis memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman

terkait fokus kajian.

2. Bagi peneliti secara praktis dapat menyelesaikan masalah secara teoritis.

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Pembinaan Keagamaan

1. Pengertian Pembinaan Keagamaan

Indonesia merupakan Negara yang memiliki ikatan kekeluargaan yang

mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa, yaitu menghormati dan

menghargai peran dan kedudukan lansia yang memiliki kearifan dan pengalaman

berharga yang dapat diteladani oleh generasi penerusnya ( UU RI No. 13 Tahun

1998). Oleh karena itu sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan perlu

adanya pemahaman terhadap kondisi lansia dari berbagai aspek melalui

pembinaan, yang bertujuan agar lansia dapat menjalani hidup dengan sehat,

menyenangkan, tenang dan mandiri. Pembinaan lanjut usia merupakan bentuk

kepedulian serta bentuk tanggung jawab baik keluarga, masyarakat dan

pemerintah.

Pembinaan berasal dari kata “bina” (bahasa Arab) yang berarti membangun.

(Yunus: 2010, h. 75). Membangun ialah mendirikan atau pembeharuan untuk

perbaikan. (Asry: 2009, h. 41). Pembinaan yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah membangun sebagai upaya perbaikan. Asry mengungkapkan bahwa

pembinaan keagamaan adalah, “suatu tatanan kehidupan menuju keadaan yang

lebih baik sesuai dengan ajaran agama”. Sedangkan dalam Undang-undang RI No.

13 Tahun 1998 pasal 21 dan 22 dijelaskan bahwa pemerintah, masyarakat dan

keluarga baik perseorangan maupun kelompok dapat melakukan pembinaan

terhadap lansia sebagai upaya peningkatan kesejahteraan lansia. Pembinaan yang

dimaksud pada pasal tersebut berupa penetapan kebijakan, koordinasi, penyuluhan,

bimbingan, pemberian bantuan, perizinan dan pengawasan.

Sementara Hadiawati (2008: 19) menyatakan bahwa pembinaan adalah

“proses perbuatan, pembaharuan, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan

secara terus menerus untuk memperoleh hasil yang lebih baik”. Dengan demikian

pembinaan keagamaan merupakan salah satu cara untuk mengembangkan

pertumbuhan spiritual dan moral pada lansia, dengan harapan dapat menguatkan

iman, akidah dan pengetahuannya terhadap Allah SWT. Langgulung (1988:35)

mengatakan, “pendidikan Islam diharapkan dapat membentuk keimanan yang kuat

kepada Allah sehingga membentuk pemahaman-pemahaman yang sadar terhadap

ajaran-ajaran agama sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari

dalam bentuk tingkah laku dalam berhubungan dengan Allah, dengan orang lain

dan dengan seluruh makhluk lain”.

Pembinaan keagamaan menjadi penting karena manusia secara umum

memiliki dua kebutuhan, pertama kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan material

(Alim, 2006, h. 47). Hal tersebut digambarkan oleh seorang ahli ilmu kedokteran

Karl Bang sebagaimana dikutip oleh Alim (2006: 48) yang membuktikan bahwa

agama berperan terhadap kesehatan jiwa manusia. Karl Bang berkata,” setiap

pasien yang berkonsultasi kepadaku semenjak 30 tahun yang lalu, menyatakan

bahwa penyebab mereka sakit adalah karena adanya kegelisahan. Mereka tidak

akan pernah sembuh kecuali setelah mengembalikan keimanannya yang telah

pudar”.

Hal ini membuktikan bahwa manusia termasuk di dalamnya lansia dalam

menjalani hidup memerlukan agama sebagai kebutuhan yang mendasar. Peraturan

13

pemerintah RI No. 43 Tahun 2004 mempertegas bahwa pembinaan keagamaan

dimaksudkan untuk memberikan tuntunan dan pegangan hidup serta ketenangan

bagi lansia di hari tuanya serta dapat memantapkan keyakinan sesusai aagama dan

kepercayaan masing-masing. Lebih lanjut terdapat hasil penelitian Robert H.

Thouless sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (1998: 102) bahwa “kondisi uzur

menyebabkan lansia senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tak berdaya dalam

menghadapi kematian dan rasa takut akan kematian ini akan semakin meningkat

pada masa usia tua”. Oleh karena itu untuk menetralisir atau menghilangkan

kecemasan batin ini, maka pembinaan sangat diperlukan oleh mereka yang berada

pada tingkat usia lanjut ini.

Berdasarkan penjelasan di atas pembinaan keagamaan merupakan proses

kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk membangun spiritual lansia yang

dibimbing oleh seorang fasilitator atau pembina keagamaan dengan memberi

materi pembinaan terkait materi akidah, ibadah dan akhlak. Materi disampaikan

dengan menggunakan beberapa metode seperti ceramah, tanya jawab dan praktik.

Hal tersebut dilakukan agar materi pembinaan yang disampaikan dapat diserap

dengan baik oleh lansia. Dengan harapan pembinaan tersebut dapat memberikan

dampak yang baik untuk lansia dalam menjalani kehidupannya.

2. Pembinaan Keagamaan dalam Undang-undang

Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat

adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945 telah menghasilkan

kondisi sosial masyarakat yang semakin membaik terlihat dari usia harapan hidup

semakin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia semakin bertambah. Walaupun

beberapa di antara lansia masih produktif dan dapat berperan aktif dalam

kehidupan bermasyarakat namun tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat pula lansia

yang memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosial dikarenakan faktor

usia.

Kesejahteraan sosial lanjut usia yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu

pada Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia yaitu pelestarian nilai-nilai keagamaan. Dalam UU RI

No. 13 Tahun 1998 Bab III pasal 5 ayat (2) dijelaskan lansi diberi hak untuk

meningkatka kesejahteraan sosialnya melalui:

1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual.

2. Pelayanan kesehatan.

3. Pelayanan kesempatan kerja.

4. Pelayanan pendidikan dan pelatihan.

5. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasaranan umum.

6. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum.

7. Perlindungan sosial.

8. Bantuan sosial.

Kemudian pada Bab IV pasal 7 dijelaskan bahwa pemerintah, masyarakat dan

keluarga bertugas mengarahkan dan membimbing dan menciptakan suasana yang

menunjang bagi terlaksananya upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia.

Terkait pelaksanaan UUD RI No. 13 Tahun 1998 pada Bab VI pasal 13 ayat (1)

dijelaskan bahwa pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi lansia

dimaksudkan untuk mempertebal rasa keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan

yang Maha Esa. Pada ayat (2) dijelaskan pelayanan keagamaan dan mental

14

spiritual yang dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui peningkatan kegiatan

keagamaan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.

Untuk menindak lanjuti ketentuan pasal 13 Undang-undang No. 13 Tahun

1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, maka ditetapkanlan Peraturan Pemerintah

RI No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejakteraan

Sosial Lanjut Usia, pada Bab I pasal 1 ayat (1) dijelaskan kesejahteraan sosial

adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual

yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang

memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan pemenuhan-

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-

baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak

asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.

Kemudian pada pasal 6 ayat (1) dijelaskan bahwa pelayanan keagamaan dan

mental spiritual bagi lansia dimaksudkan untuk mempertebal rasa keimanan dan

ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, ayat (2) pelayanan keagamaan dan

mental spiritual sebagaimana dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui

peningkatan kegiatan keagamaan, sesuai dengan agama dan keyakinan masing-

masing. Pada pasal 7 dijelaskan pelayanan keagamaan dan mental spiritual bagi

lansia meliputi bimbingan beragama, pembangunan sarana ibadah dengan

penyediaan aksesibilitas bagi lansia.

Mengingat adanya Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia maka ditetapkan Peraturan Menteri Sosial RI No. 19 Tahun 2012

tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia, pada pasal I ayat (4) pelayanan

sosial lanjut usia adalah upaya yang ditunjukkan untuk membantu lansia dalam

memulihkan dan mengembangkan fungsi sosialnya. Ayat (5) pelayanan sosial

lansia dalam panti adalah pelayanan sosial yang dilaksanakan melalui institusi atau

lembaga kesejahteraan sosial lansia dengan menggunakan sistem pengasramaan.

Ayat (6) pelayanan sosial lansia luar panti adalah pelayanan sosial yang

dilaksanakan dengan berbasiskan keluarga atau masyarakat dan tidak

menggunakan sistem pengasramaan.

Pada pasal 7 dijelaskan pelayanan dalam panti bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kualitas hidup lansia dan kesejahteraan lansia.

2. Terpenuhinya kebutuhan dasar lansia.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah

provinsi dan pemerintah daerah kota dalam melaksanakan maupun

menyediakan berbagai bentuk pelayanan sosial lansia.

Pada pasal 9 dijelaskan pelayanan yang diberikan dalam panti, meliputi:

1. Pemberian tempat tinggal yang layak.

2. Jaminan hidup berupa makan, pakaian, pemeliharaan kesehatan.

3. Pengisian waktu luang termasuk rekreasi.

4. Pembinaan mental, sosial, keterampilan dan agama.

5. Pengurusan pemakaman.

Pada pasal 11 dijelaskan pelayanan luar panti dilaksanakan dengan

menempatkan lansia dalam keluarga atau keluarga pengganti yang ada di

masyarakat. Dengan demikian ditetapkannya Undang-undang, Peraturan

Pemerintah serta Peraturan Menteri Sosial merupakan suatu bentuk upaya

pemerintah bersama masyarakat dan keluarga dalam memberdayakan lansia di

segala aspek kehidupan baik aspek jasmani, rohani maupun sosialnya. Serta untuk

15

mewujudkan kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dan peran lansia dalam

kehidupan sehari-hari.

3. Materi Pembinaan Keagamaan

Adapun materi pembinaan keagamaan yang disampaikan kepada lansia

meliputi: akidah, ibadah dan akhlak, serta belajar membaca al-Qur‟an, tahlil dan

shalawat. (Asry: 2009, h. 50). Hal serupa diungkapkan pula oleh Silawati (2011, h.

197) bahwa, “akidah, ibadah, akhlak” adalah materi pembinaan keagamaan yang

disampaikan kepada lansia. Mahmud Syaltout dalam Wiyani (2013: 72) membagi

pokok ajaran pembinaan keagamaan menjadi dua, yaitu akidah dan syari‟ah.

Akhlak tidak dibahas secara tersurat oleh Syaltout karena akhlak menurutnya

merupakan hasil dari aqidah dan syari‟ah.

Berdasarkan penjelasan di atas, materi pembinaan keagamaan yang akan

diajarkan kepada lansia antara satu materi dengan materi lainnya saling berkaitan

dan merupakan kerangka dasar ajaran Islam. Berikut peneliti paparkan lebih lanjut

terkait materi tersebut:

a. Akidah

Akidah dalam ajaran Islam berarti keimanan, keyakinan atau kepercayaan

seseorang terhadap Allah SWT. dan merupakan pokok ajaran Islam karena

akidah merupakan dasar keyakinan seseorang (Wiyani: 2013, h. 75). Jika Islam

diibaratkan seperti pohon maka akidah adalah akarnya. Akidah dalam islam

meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib

disembah, ucapan dengan lisan dengan menyebut dua kalimat syahadat dan

pebuatan dengan mengerjakan amal saleh (Alim: 2006, h. 125). Hal senada

diungkapkan oleh Yusuf al-Qardawi sebagaimana dikutip oleh Alim (2006:

125) bahwa iman kepercayaan yang meresap dalam hati sehingga memberi

pengaruh terhadap pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.

Dengan demikian akidah bukanlah sekedar keyakinan dalam hati, namun

menjadi acuan dasar untuk bertingkah laku yang pada akhirnya melahirkan

perbuatan baik.

Pada umumnya, materi akidah membahas tentang rukun iman yang enam

yaitu iman kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab, kepada hari akhir dan

kepada qada dan qadar. Hal demikian seperti dijelaskan dalam sebuah hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 10):

أنث د حو ببا بأنبركو ععي جبرحنبيىزوةبي قيل عنابنا انث د حيىزالةانكالقةري رىبأنعريرجنوبرمعنةبعرزبأنانعي حبانعيماىرب إنبيلعسإللبنؤمنتأالقانياالهللامولسريالقف لجرهتافاسلن الزرابموهللاملسو هيلع هللا ىلصي ولسر

)رواهاملسلم(يوملئكتووكتابوولقائوورسولووت ؤمنبلب عثاألخ

“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah

dan Zuhair bin Harb semuanya dari Ibnu Ulayyah, Zuhair berkata,

telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abu Hayyan

dari Abu Zu‟rah bin Amru bin Jarir dari Abu Hurairah dia berkata,

Rasulullah saw pada suatu hari berada di hadapan manusia, lalu

16

seorang laki-laki mendatanginya seraya berkata, Wahai Rasulullah

saw, apakah iman itu? Beliau menjawab: kamu beriman kepada Allah

SWT., malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman pada kejadian pertemuan

denganya, beriman kepada Rasul-Nya dan kamu beriman kepada hari

akhir”. (H.R. Muslim)

Adapun materi akidah yang diberikan kepada lansia lebih menekankan

pada meningkatkan ketaqwaan karena dengan itu akan membuat lanjut usia

merasa tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hal tersebut kemudia

telah diperkuat dengan hasil penelitian Lindenthal dan Star dalam buku Hawari

sebagaimana dikutip oleh Handayani (2016: h. 3) pada studi epidemiologik,

diperoleh data yang menunjukkan bahwa, “penduduk yang religius resiko untuk

mengalami stress jauh lebih kecil daripada mereka yang tidak religius dalam

kehidupan sehari-hari”. Berdasarkan teori dan data tersebut

b. Ibadah

Ibadah dalam kamus bahasa Arab berarti menyembah, mengabdi kepada

Allah SWT. (Yunus: 2009, h. 254). Alim (2006: 143) mengartikan ibadah

secara harfiah merupakan “bakti manusia kepada Allah SWT. karena didorong

dan dibangkitkan oleh akidah tauhid”. Dengan demikian secara umum ibadah

adalah perilaku yang dilakukan seseorang berdasarkan perintah Allah atau lebih

dikenal dengan sebutan ritual.

Materi ibadah yang diajarkan kepada lansia yang diutamakan adalah

terkait shalat, berwudhu serta melakukan dzikir dan doa harian.

c. Akhlak

Selain akidah dan ibdah, dalam materi ajaran Islam juga mencakup akhlak.

Dalam kamus bahasa Arab kata akhlak berasal dari kata khuluk yang berarti

perangai atau tingkah laku (Yunus: 2009, h. 122). Oleh karena itu istilah akhlak

ini berkaitan dengan sikap, budi pekerti, perangai dan tingkah laku seseorang

baik terhadap dirinya, sesame maupun dengan Tuhan-Nya. Kemudian Imam al-

Ghazali sebagaimana dikutip oleh Alim (2006: 151 ) menyatakan bahwa akhlak

adalah “gambaran tingkah laku dalam jiwa yang dari padanya lahir perbuatan-

perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

Dengan demikian akhlak merupakan acuan seseorang dalam berprilaku baik

terhadap diri sendiri, sesama dan kepada Allah SWT.

Adapun materi akhlak yang diajarkan kepada lansia seputar kisah para

Nabi dan para tokoh teladan. Suatu ilmu yang dipelajari karena terdapat

kegunaan yang dapat memberikan dampak terhadap seseorang yang

mempelajarinya, adapun kegunaan mempelajari akhlak adalah sebagai berikut:

a. Kemajuan rohaniah

b. Penuntun kebaikan

c. Kebutuhan primer dalam keluarga

d. Kerukunan antar tetangga (Alim: 2006, h. 160)

17

4. Media Pembinaan Keagamaan

`Munadi (2010: 6) dalam buku media pembelajaran memaparkan bahwa

“secara bahasa media berasal dari bahasa Arab wasail bentuk jama dari wasilah

sinonim dari kata wasath yang artinya tengah. Kata tengah berada dalam dua sisi,

maka dapat disebut pula sebagai perantara atau penghubung”. Sejalan dengan

Munadi (2010) Wulan (2018: 50) memaparkan bahwasannya media adalah

“perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan berupa benda

yang dapat diindrai khususnya penglihatan dan pendengaran atau lebih dikenal

dengan alat peraga yang digunakan sebagai alat bantu untuk menyampaikan

materi”. Dengan demikian media digunakan untuk mempermudah proses

penyampain materi pembinaan keagamaan kepada lansia.

Media yang digunakan antara lain microphone, sound system alat yang

digunakan pembina keagamaan dalam menyampaikan materi pembinaan

keagamaan dengan pertimbangan fungsi pendengaran lansia cenderung menurun.

Media gambar digunakan apabila pembina keagamaan menyampaikan materi yang

dapat didemontrasikan melalui gambar seperti materi shalat dan wudhu. (Iqbal:

2016, h.29). Dengan demikian dalam media pembinaan keagamaan untuk lansia

seyogyanya harus memperhatikan kondisi lansia sehingga lansia dapat menerima

materi pembinaan keagamaan dengan baik.

5. Metode Pembinaan Keagamaan

Metode pembinaan keagamaan untuk lansia menggunakan metode yang

berlaku secara umum dalam pengajian, seperti ceramah, tanya jawab, peragaan dan

praktik ibadah. (Khalikin: 2009, Silawati: 2009, & Asry: 2011) menyetujui metode

pembinaan keagamaan bagi lansia adalah, “metode ceramah, tanya jawab dan

praktik”.

Dalam melakukan pembinaan keagamaan selain menggunakan metode

pembinaan dibutuhkan pula “pendekatan-pendekatan kepada lansia”. Qomar

(2015) menjelaskan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan

pembinaan keagamaan yang dijalankan adapaun pendekatan-pendekatan tersebut

meliputi:

1. Pendekatan psikologis, pendekatan yang dilakukan dengan melihat

perkembangan jiwa lansia, sehingga metode pembinaan keagamaan yang

diberikan benar-benar sesuai dengan harapan mereka.

2. Pendekatan persuasif, melalui pendekatan ini pembinaan keagamaan

dilakukan dengan proses membujuk agar pembinaan yang sedang berlangsung

dapat diikuti dengan penuh kesadaran.

3. Pendekatan sosiologis, dengan pendekatan ini diharapkan pembinaan

keagamaan dapat membangun interaksi yang baik.

4. Pendekatan pedagogis, pendekatan ini berorientasi pada perkembangan

kemampuan yang dimiliki oleh lansia.

5. Pendekatan kultural, pembinaan keagamaan disajikan melalui budaya yang

mereka sukai misalnya melalui cerita-cerita wayang.

6. Pendekatan percontohan kasuistik, dalam menyampaikan pembinaan

keagamaan kepada lansia dengan memberikan contoh-contoh nyata. (h.447)

Dengan demikian pendekatan ini menjadi sangat penting dijadikan sebagai

acuan dalam kegiatan pembinaan agar proses pembinaan dapat berjalan secara

18

maksimal di mana kegiatan pembinaan tersebut disampaikan dengan memberikan

contoh nyata dan disajikan melalui budaya lansia serta melihat perkembangan jiwa

lansia sehingga lansia dapat mengikuti kegiatan pembinaan dengan penuh

kesadaran. Dengan demikian interaksi akan terjalin selama proses pembinaan

berlangsung sehingga tujuan pembinaan yang berorientasi pada perkembangan

kemampuan lansia dapat tercapai sesuai harapan.

6. Fungsi Pembinaan

Sudjana berpendapat sebagaimana dikutip oleh Latifah, dkk (2015) bahwa

pembinaan keagamaan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan Langsung

Pembinaan langsung terjadi apabila antara pihak Pembina dan pihak

yang dibina saling bertatap muka secara langsung. Pembinaan keagamaan

langsung ini dapat dilakukan dalam kegiatan-kegiatan diskusi, tausiyah,

kunjungan lapangan, kunjungan rumah dan lain sebagainya.

b. Pendekatan Tidak Langsung

Pendekatan tidak langsung ini terjadi apabila Pembina melakukan upaya

pembinaan keagamaan dengan pihak yang dibina melalui media masa seperti

melalui petunjuk tertulis, radio, kaset, televisi dan internet.(h. 138)

7. Pembinaan Keagamaan Lansia di Panti Sosial

Panti sosial adalah lembaga yang berada di bawah naungan dinas sosial

tersebar di seluruh Indonesia, hampir di setiap provinsi dan kota yang memiliki

kepedulian kemanusiaan lembaga tersebut dengan memberikan bantuan teknis,

keterampilan maupun pembinaan keagamaan. Pembinaan keagamaan yang

diberikan pada panti sosial harus memperhatikan kemampuan penghuni panti

sosial tersebut (Qomar: 2015, h.440).

Bagi panti sosial yang menampung orang-orang lanjut usia, dapat diberikan

materi pembinaan tentang akidah, ibadah, akhlak, dzikir dan membaca al-Qur‟an.

Materi akidah diarahkan pada peningkatan dan pemusatan iman kepada Allah

SWT., penumbuhan rasa syukur kepada Allah SWT atas pemberian umur panjang

dan penyadaran bahwa setiap orang pasti mengalami kematian.

Materi ibadah diarahkan pada upaya peningkatan ibadah baik shalat, zakat,

puasa dan sebagainya baik ibadah wajib maupun sunnah. Materi akhlak perlu

diarahkan pada upaya menghiasi amalan keseharian baik dalm berhubungan

dengan Allah SWT maupun sesama manusia dengan meniru akhlak Rasulullah

saw.

Materi dzikir diarahkan pada konsentrasi permohonan ampunan kepada Allah

SWT atas dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lalu, sebagai sarana intropeksi

dan menyadari kesalahan- kesalahan masa lalu guna mencapai ketenangan batin

dalam menghadapi masa tuanya. Sedangkan materi membaca al-Qur‟an diarahkan

pada pembiasaan dan pengisian waktu luang.

Adapun prinsip-prinsip yang harus ditanamkan dalam melakukan pembinaan

keagamaan di panti sosial menurut Qomar (2015) adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kemanusiaan, dimaksudkan dalam memberikan pembinaan keagamaan

didasarkan pada perasaan sesama manusia yang merasakan apa yang di alami

oleh lansia.

19

2. Prinsip kepedulian, dimaksudkan pemberian materi pembinaan keagamaan

semata-mata karena rasa peduli terhadap lansia.

3. Prinsip egaliterisme, prinsip kesamaan derajat di mata Allah.

4. Prinsip keramahan, dimaksudkan bahwa pemberian pembinaan keagamaan

dilakukan dengan sikap ramah.

5. Prinsip kesinambungan, dalam menyampaikan pembinaan keagamaan harus

dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan sehingga pembinaan tersebut

dapat memberikan efek rasa berkurangnya beban psikis yang mereka rasakan.

(h.444-447)

Merawat lansia tidaklah semudah seperti merawat anak kecil, oleh karena itu

prinsip dalam melakukan kegiatan perlu dipertimbangkan sehingga proses

pembinaan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Perasaan seseorang yang sudah

berusia lanjut akan menjadi lebih sensitif oleh karena itu menjadi sangat penting

dalam proses pembinaan menunjukkan sikap empati, peduli dan ramah sehingga

lansia merasa bahwa orang lain juga merasakan apa yang ia rasakan.

B. Fungsi Keluarga

1. Definisi Fungsi Keluarga

Menurut UU No. 10 Tahun 1992 keluarga adalah “unit terkecil dalam

masyarakat yang terdiri dari suami istri atau suami istri dan anaknya atau ayah

dengan anaknya atau ibu dengan anaknya”. Menurut Azwar (2007) dalam Sutikno

(2011, h. 74), “para anggota keluarga bersepakat untuk saling mengatur diri

sehingga memungkinkan berbagai tugas yang ada dalam keluarga dapat terlaksana

dengan baik. Pembagian tugas tersebut pada dasarnya merupakan salah satu faktor

yang menentukan baik tidaknya fungsi keluarga. Sedangkan fungsi keluarga

menurut Sil Kim dan Soo Kim (2008) dalam Setyaningrum (2012, h. 8)

merupakan hasil akhir atau akibat dari struktur keluarga. Dalam Islam, keluarga

tidaklah hanya suami, istri, anak-anak serta keturunan mereka. Tetapi juga

mencakup kakek, nenek, anak, cucu, paman dan juga bibi. Oleh karena itu

semuanya menjadi turut andil dalam membina keluarga. Dengan demikian

diharapkan agar hubungan yang terjalin senantiasa damai dan tentram (al-Syaibani:

1979, h. 203-204).

Fungsi keluarga tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994

yaitu: fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta dan kasih sayang, fungsi

perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi

dan fungsi lingkungan. (BKKBN: 2012, h. 7). Berbeda dengan fungsi keluarga

yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994, APGAR

keluarga (family APGAR) yang dikembangkan oleh Smilkstein membagi fungsi

keluarga menjadi lima fungsi yaitu, fungsi adaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih

sayang dan kebersamaan (Sutikno: 2011, h. 74). APGAR keluarga (the familiy

APGAR) sudah dikenal sejak 1978 sebagai instrumen untuk melihat fungsi

keluarga dengan lima item pernyataan (Smilkstein, dkk: 1982, h.303).

2. Fungsi Keluarga

Keluarga sejahtera dibentuk berdasarkan pernikahan yang sah, mampu

memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil. Keluarga sejahtera yang

dimaksud adalah keluarga yang dapat melaksanakan delapan fungsi keluarga,

20

berikut peneliti paparkan terkait delapan fungsi keluarga yang ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1994 (Sunartiningsih: 2017):

a. Fungsi keagamaan

Fungsi keagamaan bertujuan untuk mengembangkan keluarga dan

anggota-anggotanya agar semakin bertambah iman dan takwanya kepada

Tuhan yang Maha Esa (Sunartiningsih: 2017). Me nurut Peraturan Pemerintah

No. 21 Tahun 1994 fungsi keagamaan bertujuan untuk menjadikan keluarga

sebagai insan bangsa yang agamis, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan

yang Maha Esa. Terdapat 12 nilai dasar fungsi keagamaan yang harus

ditanamkan dalam keluarga, yaitu: iman, takwa, jujur, tenggangrasa, rajin,

shaleh, taat, suka membantu, disiplin, sopan santun, sabar serta ikhlas dan

kasih sayang (sunartiningsih: 2017).

b. Fungsi sosial budaya

Fungsi sosial budaya memberikan kesempatan kepada keluarga untuk

mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam (Perpu No.

21 Tahun 1994). Dalam fungsi sosial budaya terdapat 5 nilai dasar yang harus

ditanamkan dalam keluarga, yaitu: gotong royong, sopan santun, kerukunan,

kepedulian dan kebersamaan (Sunartiningsih: 2017).

c. Fungsi cinta kasih

Fungsi ini memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak

dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya dan hubungan

dengan anggota keluarga lainnya (perpu No. 21 Tahun 1994). Terdapat 8 nilai

dasar yang harus ditanamkan dalam keluarga, yaitu: empati, akrab, adil,

pemaaf, setia, suka menolong, pengorbanan dan tanggungjawab

(Sunartiningsih: 2017).

d. Fungsi melindungi

Fungsi ini dimaksudkan untuk menunbuhkan rasa aman dan kehangatan

(Perpu No. 21 Tahun 1994), sehingga anggota keluarga dapat merasa tentram

lahir batin tanpa ada rasa tekanan dari pihak manapun. Dalam fungsi ini

terdapat lima nilai dasar yang harus ditanamkan, yaitu: aman, pemaaf,

tanggap, tabah dan peduli (Sunartiningsih: 2017).

e. Fungsi reproduksi

Fungsi reproduksi merupakan mekanisme untuk merencanakan

keturunan (Perpu No. 21 Tahun 1994). Sehingga dapat membentuk keturunan

yang berkualitas serta memiliki keteguhan iman dan takwa. Dalam fungsi ii

terdapat tiga nilai dasar yang harus ditanamkan, yaitu: tanggungjawab, sehat

dan teguh (sunartiningsih: 2017).

f. Fungsi sosialisasi dan pendidikan

Fungsi ini memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik agar dapat

menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya (Perpu No. 21 Tahun

1994). Sehingga dapat menumbuhkan kembangkan kekuatan baik fisik,

mental sosial dan spiritual. Dalam fungsi ini terdapat tujuh nilai dasar, yaitu:

21

percaya diri, luwes, bangga, rajin, kreatif, tanggungjawab dan kerjasama

(Sunartiningsih: 2017).

g. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan

keluarga (Perpu No. 21 Tahun 1991). Sehingga tercapainya peningkatan

pendapatan keluarga yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan

keluarga. Dalam fungsi ini terdapat tiga nilai dasar yang harus ditanamkan

dalam keluarga, yaitu: kerja keras, kreatif dan hemat (sunartiningsih: 2017).

h. Fungsi pembinaan lingkungan

Fungsi pembinaan lingkungan memberikan anggota keluarga

kemampuan dalam menempatkan diri dan bersikap dinamis dengan

lingkungan sekitarnya (Perpu No. 21 Tahun 1994). Terdapat empat nilai dasar

yang harus ditanamkan dalam keluarga, yaitu: sehat, bersih, produktif dan

disiplin (Sunartiningsih: 2017).

3. Instrumen Penilaian Fungsi Keluarga

Untuk mengukur fungsi keluarga dikembangkan instrumen penilaian yang

disebut APGAR keluarga (family APGAR). Instrumen ini menilai lima fungsi

pokok keluarga, di antaranya:

a. Adaptasi (adaptation)

Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang

diperlukannya dari anggota keluarga lainnya.

b. Kemitraan (partnership)

Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunikasi, musyawarah

dalam mengambil suatu keputusan atau menyelesaikan suatu masalah yang

sedang dihadapi.

c. Pertumbuhan (growth)

Tingkat kepuasaan anggota keluarga dalam mematangkan pertumbuhan

dan kedewasaan setiap anggota keluarga.

d. Kasih sayang (affection)

Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi

emosional yang berlangsung dalam keluarga.

e. Kebersamaan (resolve)

Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi

waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga. (Sutikno: 2011, h.74)

APGAR keluarga (the familiy APGAR) sudah dikenal sejak 1978 sebagai

instrumen untuk melihat fungsi keluarga dengan lima item pernyataan (Smilkstein,

dkk: 1982, h.303). Berdasarkan Perpu dan instrumen fungsi keluarga, fungsi

keluarga diklasifikasikan menjadi lima, pertama adaptasi, berkaitan dengan sikap

peduli dan dinamis. Kedua, Kemitraan memiliki unsur kerjasama, bertanggung

jawab dan rasa aman. Ketiga pertumbuhan berkaitan dengan kemandirian, kualitas

keluarga, iman dan takwa. Keempat Kasih sayang, memiliki sikap empati. Kelima,

Kebersamaan dengan meluangkan waktu sesama anggota keluarga.

22

4. Bentuk Keluarga

Goldenberg (1980) sebagaimana dikutip oleh Azwar (2007) membedakan

sembilan bentuk keluarga, yaitu:

a. Nuclear Family (Keluarga Inti)

Keluarga inti, keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang

diperoleh dari keturunannya atau adopsi dari keduanya. (Sutikno: 2011, h.74)

b. Extended Family (Keluarga Besar)

Keluarga besar, keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih

mempunyai hubungan darah, seperti kakek, nenek, paman, bibi dan

sebagainya. (Sutikno: 2011, h.74)

c. Blended Family

Keluarga yang dibentuk oleh duda atau janda yang menikah kembali dan

membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya. (Sutikno: 2011, h.74)

d. Common law Family

Keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan serta anak-anak tinggal

bersama tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. (Sutikno: 2011, h.74)

e. Single Parent Family

Keluarga yang hanya mempunyai satu orang tua sebagai akibat dari

perceraian atau kematian pasanganya dan anak-anaknya dapat tinggal di

rumah atau di luar rumah. (Sutikno: 2011, h.74)

f. Commune Family

Keluarga yang dalam satu rumah terdiri dari dua pasangan suami dan istri atau

lebih yang monogamy berikut anak-anaknya dan bersama-sama dalam

penyediaan fasilitas. (Sutikno: 2011, h.74)

g. Serial Family

Keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang telah menikah dan

mempunyai anak, kemudian mereka bercerai dan keduanya sudah menikah

lagi dan juga memiliki anak dan mereka menganggap sebagai satu keluarga.

(Sutikno: 2011, h.74)

h. Composite Famil

Keluarga dengan perkawinan poligami dan hidup secara bersama-sama dalam

satu rumah. (Sutikno: 2011, h.74)

i. Cohabitation Family

Keluarga dengan dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa

ikatan perkaminan. (Sutikno: 2011, h.74)

5. Siklus Kehidupan Keluarga

Duvall (1977) dalam Sutikno (2011) membagi siklus kehidupan keluarga

menjadi 8 tahap yaitu:

a. Tahap awal perkawinan

Pada tahap ini pasangan baru saja menikah dan belum mempunyai anak,

tugas perkembangan keluarga yang dihadapi biasanya adalah penyesuaian diri

dengan kehidupan keluarga yang baru dibentuk dan mempersiapkan diri untuk

kehamilan dan menjadi orang tua.

b. Tahap keluarga dengan bayi

Pada tahap ini keluarga telah mempunyai bayi. Tugas perkembangan

keluarga yang dihadapi adalah mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan

perkembangan bayinya, menyesuaikan penghasilan dan pengeluaran untuk

23

merawat bayinya, menyediakan rumah yang nyaman untuk orang tua dan

bayinya.

c. Tahap keluarga dengan anak usia prasekolah

Pada tahap ini keluarga telah mempunyai anak dengan usia pra sekolah.

Tugas perkembangan yang dihadapi adalah menyesuaian diri dengan

penghasilan dan pengeluaran untuk keperluan anaknya, menstimulasi

pertumbuhan dan perkembangan anaknya.

d. Tahap keluarga dengan anak usia sekolah

Pada tahap ini keluarga telah memiliki anak dengan usia sekolah. Tugas

perkembangan keluarga yang dihadapi adalah menyiapkan diri menjadi orang

tua yang baik, menyesuaikan penghasilan dan pengeluaran tambahan,

membesarkan anak, pengaturan pengembangan fisik, sosial dan emosional.

e. Tahap keluarga dengan anak usia remaja

Pada tahap ini keluarga telah memiliki anak usia remaja. Tugas

perkembangan keluarga yang dihadapi adalah menjadi orang tua yang baik,

menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab dan memelihara

keharmonisan keluarga.

f. Tahap keluarga dengan anak-anak yang meninggalkan keluarga

Pada tahap ini satu persatu anak meninggalkan keluarga. Dimulai dari

anak tertua dan diakhiri oleh anak yang terkecil. Tugas perkembangan

keluarga yang dihadapi adalah mempersiapkan diri untuk ditinggal anak-anak,

mempersiapkan diri untuk berkomunikasi dengan anak-anak sebagai orang

dewasa dan mempersiapkan diri untuk menjadi mertua, kakek dan nenek yang

baik.

g. Tahap orang tua usia menengah

Pada tahap ini semua anak telah meninggalkan keluarga, yang tinggal

hanya suami istri dengan usia menengah. Tugas perkembangan keluarga yang

harus dihadapi adalah mempersiapkan diri untuk memasuki usia pensiun dan

membangun kembali hubungan suami istri.

h. Tahap keluarga usia jompo

Pada tahap ini suami istri telah berusia lanjut sampai meniggal dunia.

Tugas perkembangan keluarga yang harus dihadapi adalah mempersiapkan

diri untuk hidup sendiri, mengisi masa pensiun dengan kegiatan yang

bermanfaat, mengatur pengeluaran sesuai dengan uang pensiun dan

mempersiapkan diri untuk perubahan-perubahan fungsi fisik yang akan

terjadi. (h. 28)

6. Pembinaan Keagamaan Lansia dalam Keluarga

Keluarga adalah orang terdekat lansia dalam kehidupannya. Orang tua yang

baik tidak akan mengabaikan perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak-

anaknya sejak kecil sampai usia dewasa, jika tugas dan tanggung jawab itu

dilaksanakan dengan baik sesuai dengan norma umum dan agama maka anak dan

keluarga terdekat akan membalas perbuatan baik tersebut ketika orang tua sudah

berusia lanjut (Direktorat BKL: 2012, h. 9).

Di lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi

kepada orang tua yang sudah tua adalah dengan menempatkan mereka di panti

sosial. Di panti ini para lansia mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya jika

lansia berada di lingkungan keluarga, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga

24

tak sempat untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia

dikarenakan faktor kesibukan (Jalaluddin: 1998, h. 102).

Jika dalam tradisi Barat umumnya menempatkan orang tua yang sudah usia

lanjut di panti sosial merupakan bentuk dari rasa kasih sayang anak kepada orang

tuanya, lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Islam

menganjurkan orang tua yang sudah berusia lanjut di rawat dan dibina secara

langsung oleh anak-anaknya, bukan pada badan atau panti sosial. Perlakuan

terhadap orang tua yang sudah berusia lanjut merupakan kewajiban keluarga untuk

memelihara dan menjaganya juga bersikap sopan dan lemah lembut kepada

mereka. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur‟an surat

al-Isra (17): 23:

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah

selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan

sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya

sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah

kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu

membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

(Q.S al-Israa (17) : 23).

Dalam surat al-Isra: 23, kata digunakan untuk mencerminkan

sikap berbuat baik kepada orang tua. Sedangkan dalam surat lain seperti

surat Maryam: 14, kata yang mencerminkan sikap berbuat baik atau

berbakti kepada orang tua menggunakan kata . Jika dicermati

adakah perbedaan antara makna atau maksud dari ihsanaa dan birrul

walidain?

Ar-Raghibi al-Isfahani menjelaskan perbedaan antara birr dan ihsanaa.

Menurut penjelasannya memiliki maksud " الحسان يف التوسع"إليهما yaitu memperbanyak pebuatan baik kepada kedua orang tua dan kata

الفعل" tersebut mengandung makna بر yakni dimaksudkan untuk "بستخدام

menunjukkan prilaku atau bentuk pengabdian. Sedangkan memiliki

maksud "عليو مما أكثر يعطي yaitu memberi lebih banyak dari sekedar "أن

„amal. (Sa‟id: 09 November 2007)

Berdasarkan penjelasan di atas, hal mendasar yang membedakan antara

birrul walidaian dan ihsanaa adalah pada bentuk pengabdiannya, jika birrul

walidain bentuk pengabdian kepada orang tua lebih menekankan pada

25

„amal. Sedangkan ihsanaa bentuk pengabdiannya lebih dari pengabdian

berupa amal, yaitu memadukan antara pengabdian berupa amal dengan rasa

seperti kasih sayang, do‟a dan lain-lain.

Allah berfirman dalam surah Luqman (31): 14-15:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang

ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang

bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah

kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah

kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan

aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah

kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,

dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-

Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu

kerjakan”.(Q.S. Luqman: 14-15)

Allah berfirman dalam surah al-Baqarah (2): 83

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):

janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada

ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta

ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan

tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali

sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.(Q.S. al-

Baqarah: 83)

Allah berfirman dalam surah Maryam (19): 12-14

26

“Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia

orang yang sombong lagi durhaka”. (Q.S. Maryam: 12-14)

Allah berfirman dalam surah an-nisa (4): 36:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga

yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan

membangga-banggakan diri”. (Q.S. an-Nisa: 36)

Ayat-ayat al-Qur‟an di atas menunjukkan bahwasannya ajaran Islam sangat

memberikan perhatian lebih kepada lansia. Kewajiban seorang anak terhadap

orang tuanya menempati kedudukan kedua setelah larangan menyekutukan Allah.

Dalam memenuhi kewajiban sebagai anak kepada orang tua yang sudah lanjut usia

dapat dilakukan dengan memberikan perlindungan serta pemenuhan kebutuhan

baik berupa kebutuhan fisik, kesehatan, sosial, ekonomi, hukum, transportasi,

pendidikan dan rohani seperti memberikan perhatian dan peningkatan pelayanan

keagamaan. Dalam Kitab Hadits Imam Bukhari tentang bab adab Rasulullah saw.

bersabda:

أبالو ث نا الوليدليدحد قال عبة ث نا بانبنحد الش ي عمرو عتأب س قال أخب رن زار عي اروأومأبيدهإلدارعبدهللاقالسألتالن بيب صلىهللا عليوي قولأخب رنصاحبىذهالد

الوالدينقالوسل أي؟قالبر إلهللا؟قالالص لةعلىوقتها.قالث ث م:أيالعملأحب (رواهالبخارى... (أي؟قالالهادفسبيلهللا

“Telah menceritakan kepada kami Al-Walid telah menceritakan kepada

kami Syu‟bah berkata: Al-Walid bin „Aizar telah mengabarkan kepadaku dia

berkata: Saya mendengar Abu „Amru Asy-Syaibaini berkata: telah

mengabarkan kepada kami pemilik rumah ini, sambil menunjuk ke rumah

Abdullah dia berkata: saya bertanya kepada Nabi saw.: amalan apakah

yang paling dicintai oleh Allah SWT. Beliau bersabda: Shalat tepat pada

waktunya. Dia bertanya lagi, Kemudia apa? Beliau menjawab: Berbakti

kepada kedua orang tua. Dia bertanya: kemudian apa lagi? Beliau

menjawab: Berjuang di jalan Allah.” (Imam Bukhari: 5513)

27

Dalam Hadist Imam Muslim dijelaskan:

ثنا ث حخورف بنانبي حد ث فنأغمرالملسو هيلع هللا ىلصقيبالن نعةري رىبأنعويبأنعليهسنعةانوعوب اأند لخديملاف هكلواأهدحأبكالدنعويوب أكردأنمالقهللالوسرينميلقفنأمغرث فنأمغر)رواهاملسلم(ةن ال

“Telah menceritakan kepada lami Syaiban bin Farrukh, telah menceritakan

kepada kami Abu Awanah dari Suhail dari Bapaknya dari Abu Hurairah dari

Nabi saw bersabda, “Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau

bertanya,”siapa yang celaka ya Rasulullah?” jawab Nabi saw, “Barang

siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut) atau salah satu

dari keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan berusaha

berbakti kepdanya dengan sebaik-baiknya)”. (H.R. Muslim, 4627)

Allah SWT telah memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua dalam

berbagai tempat di dalam al-Qur‟an dan hadist. Allah menyebutnya berbarengan

dengan pentauhidan-Nya. Perintah berbakti kepada orang tua lebih ditegaskan jika

usia kedua orang semakin tua dan lanjut hingga kondisi mereka melemah dan

sangat membutuhkan bantuan dan perhatian anggota keluarganya terutama anak-

anaknya.

Menurut Direktorat Bina Keluarga Lansia, terdapat beberapa peran keluarga

dalam membina lansia, di antaranya adalah:

a. Sebagaimana ajaran Islam yang memerintahkan seorang anak untuk berbakti

kepada orang tua khususnya yang sudah berusia lanjut, peran keluarga dalam

membina lansia adalah dengan tidak memasukkan lansia ke panti sosial.

b. Menjalin hubungan emosional dengan orang tua yang sudah berusia lanjut.

c. Mengurus lansia dengan penuh ketabahan dan kesabaran akan membentuk

suasana yang harmonis.

Berdasarkan uraian di atas maka agama berperan penting dalam kehidupan

keluarga dan sebaliknya pola asuh keagamaan yang diberikan kepada anggota

keluarga memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku keagamaan anggota

keluarga.

C. Kematangan Beragama

1. Definisi Kematangan Beragama

Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan jasmani

dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur

kronologis sedangkan perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat

kemampuan. Pencapaian tingkat kemampuan dalam perkembangan rohani disebut

dengan istilah kematangan.

Perkembangan tersebut dapat diumpamakan seperti ini, seorang anak yang

berusia tujuh tahun (perkembangan jasmani) umumnya usia tersebut sudah matang

untuk masuk sekolah dasar. Namun faktanya tidak jarang dijumpai anak-anak yang

sudah mencapai perkembangan jasmani namun belum mencapai perkembangan

rohani dan juga terdapat anak-anak yang perkembangan rohaninya berkembang

lebih cepat dari perkembangan jasmaninya (Jalaluddin: 2016, h. 107). Perumpaan

tersebut memperlihatkan bahwasannya perkembangan jasmani dan perkembangan

rohani adakalanya tidak berkembang secara bersamaan, secara fisik (jasmani)

28

mungkin sesorang sudah mencapai kedewasaan jasmani tetapi secara rohani

ternyata belum mencapai kematangan rohani.

Manusia adalah makhluk yang beragama (homo religious), ia menjadikan

agama sebagai sebuah kepercayaan yang diyakini dan diamalkan ajaran-ajaranya.

Dan manusia meyakini setelah memahami dan mengamalkan ajarannya maka ia

akan merasakan ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Kemampuan seseorang

untuk dapat memahami nilai agama kemudian menjadikan nilai tersebut sebagai

acuan untuk bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama (Hawi:

2014, h. 59). Pengertian tersebut dipertegas oleh Jalaluddin (2016: 108-109) yang

mengungkapkan bahwa kematangan beragama adalah kemampuan seseorang

untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam

kehidupan sehari-hari.

Tidak jauh berbeda dengan Jalaluddin, Allport (1953) sebagaimana dikutip

oleh Indirawati (2006: 74) memaparkan bahwa kematangan beragama adalah

“watak keberagamaan terbentuk melalui pengalaman. Jika keberagamaan

seseorang sudah matang maka kematangan tersebutlah yang akan mengarahkan

seseorang dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari”. Dengan demikian

kematangan beragama seseorang akan terlihat dari kemampuannya dalam bersikap

dan bertingkah laku seperti dekat dengan Tuhan, mudah memaafkan kesalahan

orang lain, tekun beribadah serta mampu menyikapi persoalan yang terjadi dalam

hidupnya sesuai dengan ketentuan ajaran agamanya yang kemudian akan tumbuh

rasa nyaman, tentram dan damai dalam menjalani kehidupannya.

2. Ciri-ciri Kematangan Beragama

Kematangan beragama merupakan salah satu pembahasan dari pertumbuhan

dan perkembangan beragama yang dialami oleh seseorang. Perkembangan dalam

konteks psikologi selalu mengarah pada hal yang positif. Oleh karena itu

kematangan beragama merupakan perkembangan beragama yang menjadi landasan

seseorang dalam berpikir dan bertingkah laku. Di bawah ini akan dijelaskan

beberapa pandangan para psikolog agama tentang ciri-ciri kematangan beragama.

a. William James

William James dikenal sebagai bapak Psikologi Agama, bukunya yang

terkenal The Varieties of Religious Experience. James memaparkan ciri-ciri

orang yang beragama matang sebagai berikut:

1) Orang yang beragama matang hatinya akan selalu terhubung dengan

Tuhan yang pada akhirnya akan melahirkan kedamaian dan ketentraman

batin yang mendalam.

2) Kematangan beragama akan membuat seseorang melaksanakan perintah

Tuhan berdasarkan kesadarannya dan tidak ada rasa terpaksa.

3) Orang yang beragama matang senantiasa merasa bahagia dalam

menjalani kehidupannya.

4) Orang yang beragama matang mengalami perubahan dari emosi menjadi

cinta dan harmoni, sehingga akan tumbuh perasaan tentram dan damai

(Ismail: 2007, h. 3-4).

29

b. Zakiyah Drajat

Drajat memaparkan tujuh ciri dari kematangan bergama di antaranya

adalah:

1) Pemahaman akidah yang baik, akidah merupakan landasan yang

mendasar dalam kehidupan beragama.

2) Memiliki tujuan hidup berdasarkan akidah, tujuan hidup orang-orang

yang beriman adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah yang

dimaksud adalah mematuhi segala perintah Allah SWT. serta

meninggalkan segala larangan-Nya.

3) Melaksanakan ajaran agama secara konsisten dan produktif.

4) Memiliki pandangan hidup yang komprehensif meliputi, melaksanakan

perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, selalu menuntut ilmu dan

tidak mengikuti praduga, selalu bersyukur dan pantang putus asa.

5) Memiliki differensiasi yang baik. Kata differensiasi berasal dari bahasa

Inggris yaitu “difference” yang artinya perbedaan. Sesuai dengan arti

secara bahasa, differensiasi dalam kematangan beragama di mana

seseorang yang mengimani kuat ajaran agama yang dianutnya dan di sisi

lain ia tetap mau belajar dengan siapapun termasuk kepada pemeluk

agama lain.

6) Memiliki pandangan hidup yang integral, yaitu landasan hidup yang

menyatukan fungsi kognitif, afektif, konatif atau psikomotorik. Integrasi

ini tercermin dalam pelaksanaan ajaran agama yaitu keterpaduan ikhsan,

iman dan peribadatan.

7) Memiliki semangat pengabdian kepada Tuhan (Hawi: 2014, h. 82-86).

c. Gordon Allport

Allport memberikan ciri-ciri kematangan beragama dengan beberapa

kriteria sebagai berikut:

1) Differensiasi yang baik, orang yang matang keagamaannya dalam ciri ini

ia mengimani kuat agama yang dianutnya tapi di sisi lain ia juga mau

belajar kepada siapapun termasuk kepada pemeluk agama lain.

2) Motivasi kehidupan yang dinamis, orang yang memiliki kematangan

beragama menjadikan agama sebagai tujuan dan kekuatan untuk

mengatasi setiap persoalan hidup.

3) Pelaksanaan secara konsisten dan produktif, orang yang beragama

matang akan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran agamanya secara

konsisten dalam kehidupan sehari-harinya.

4) Pandangan hidup yang komprehensif, orang yang memiliki kematangan

beragama maka ia mampu menerima perbedaan pemikiran dan pendapat

dengan orang lain. Dengan demikian jika terdapat konflik kekerasan

maka hal tersebut bukan bagian dari orang yang beragama matang.

5) Pandangan hidup yang integral, orang yang beragama matang senantiasa

menyatukan atau menyelaraskan antara ajaran agama dengan aspek lain

dalam kehidupannya

6) Heuristik, orang yang memiliki kematangan beragama akan selalu

berusaha untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan dalam

beragama. (Ismail, 2007: h. 4-5). Istilah heuristik biasanya digunakan

dalam psikologi belajar. Secara bahasa heuristik berasal dari bahasa

30

Yunani heuriskein yang berarti saya menemukan. Kemudian istilah ini

berkembang menjadi sebuah strategi pembelajaran yang menekankan

aktifitas siswa melalui proses berpikir kritis dan analitis untuk dapat

menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dipertanyakan. (Jayanti

dan Hidayati: 2015, h. 66) Berdasarkan hal tersebut maka orang yang

memiliki kematangan beragama akan selalu meningkatkan pemahaman

ajaran agamanya dengan tujuan dapat menyikapi persoalan yang ada

sesuai dengan perkembangan zamannya.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli mengenai kematangan beragama,

maka kematangan beragama dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pertama

yang berhubungan dengan akidah dan dekat dengan Tuhan, kedua ibadah, taat

beribadah, beribadah secara sukarela berdasarkan kesadaran bukan karena paksaan

hal ini lebih karena faktor internal, ketiga berhubungan dengan perilaku, tidak

mudah putus asa, senantiasa bersyukur, toleran, mudah memaafkan, terbuka dan

harmoni.

Dengan demikian lansia yang memiliki kematangan beragama senantiasa

menunjukkan perilaku yang baik yang kemudian dari perilaku yang baik tersebut

akan ada dampak yang dirasakan oleh lansia seperti memperoleh ketenangan batin,

lebih bisa mandiri tidak merengek, dapat menyesuaikan diri dan dapat menerima

kondisinya. Najati di dalam bukunya Psikologi dalam al-Qur‟an menyetujui

bahwasannya ketenangan, keamanan dan ketentraman jiwa dapat terwujud karena

kesungguhan keimanan seseorang kepada Allah SWT. dan direalisasikan dengan

tekun beribadah dengan harapan bahwa akan datang pertolongan dan perlindungan

dari Allah SWT. (Najati: 2005, h. 428).

3. Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Beragama Kematangan beragama seseorang dapat dipengaruhi oleh keluarga, latar

belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan

dan terpisah dari ikatan. Untuk lebih jelasnya, faktor-faktor penting tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Keluarga

Peran orang tua sangat menentukan perkembangan spiritual anak. Yang

penting bukan apa yang diajarkan oleh orang tua kepada anaknya tentang

Tuhan, akan tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dari

perilaku orang tua mereka. Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan

terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di

dunia ini.

b. Latar belakang etnik atau budaya

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan

sosial budaya. Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan

spiritual keluarga. (Syam: 2010, h.13)

c. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup, baik yang positif maupun pengalaman yang negatif

dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Seperti, ketika seseorang sedang

menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan dan kehilangan. Juga

dipengaruhi oleh bagaimana seseorang dalam memaknai kejadian yang pernah

ia alami. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu cobaan

31

yang diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya untuk menguji kekuatan

imannya. (Syam: 2010, h. 13).

4. Perkembangan Keberagamaan Mayoritas ahli jiwa sependapat bahwa keinginan dan kebutuhan manusia

tidaklah hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun

kenikmatan-kenikmatan lainnya, melainkan keinginan akan kebutuhan kodrati

berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan. (Jalaluddin: 1998, h. 53)

a. Keberagamaan masa anak

Tingkat keberagamaan pada tahap ini dimulai pada anak yang berusia

3-6 tahun. Pada tahap ini konsep mengenai Tuhan masih dipengaruhi oleh

fantasi dan emosi. Kemudian setelah anak mulai masuk Sekolah Dasar

hingga masa usia adolesense di mana mereka mulai mengenal konsep Tuhan

melalu lingkungan keluarga dan lembaga keagamaan yang mereka ikuti.

Dari sinilah mereka mulai belajar segala bentuk amal atau kegiatan

keagamaan. Selanjutnya pada tahap ini anak telah memiliki kepekaan emosi

yang tinggi, di mana konsep ke-Tuhanan dinyatakan dalam pandangan yang

bersifat personal. (Jalaluddin: 1998, h. 66-67)

b. Keberagamaan masa remaja

Pada tahap ini, dasar keyakinan beragama yang diterima remaja sejak

masa anak-anak sudah tidak begitu menarik bagi mereka dan sikap kritis

terhadap ajaran agama mulai timbul. Kemudian pada tahap ini kehidupan

religious akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kea rah hidup yang

lebih religious. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan

keagamaan akan lebih mudah didominasi oleh dorongan seks.

Pada tahap ini pula terjadi pertimbangan sosial, di mana remaja mulai

bingung dalam menentukan pilihan dan pada tahap ini remaja lebih

cenderung untuk bersikap materialistis. (Jalaluddin: 1998, h. 72-73)

c. Keberagamaan masa dewasa

Sikap keberagamaan pada orang dewasa mereka sudah memiliki

tanggung jawab pada apa yang mereka pilih atau dapat dikatakan sikap

keberagamaan pada masa dewasa sulit diubah, jika pun terjadi perubahan hal

tersebut berdasarkan pertimbangan yang matang. Pada masa dewasa ini

sikap keberagamaan mereka akan terlihat pada pola kehidupan mereka.

(Jalaluddin: 1998, h. 94)

d. Keberagamaan masa lanjut usia

Hasil penelitian psikologi agama menunjukkan adanya peningkatan

pada keberagamaan lansia. Temuan tersebut menunjukkan kecendrungan

untuk menerima pendapat keagamaan. (Jalaluddin: 1998, h. 98)

5. Kematangan Beragama Lansia Makhluk hidup merupakan media untuk mengakui bahwa Allah SWT. Maha

Kuasa untuk menciptakan, sehingga pondasi awal yang di upayakan dalam rukun

Islam adalah Syahadat. Allah berfirman dalam surah adz-Dzariyaat (51): 56:

32

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka

mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. adz-Dzariyaat: 56)

Aktualisasi dari syahadat adalah melalui kemampuan berpikir untuk

mengetahui alam semesta beserta fungsinya dan dalam bentuk perbuatan bisa

dalam bentuk kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan bertujuan untuk

mendekatakan diri kepada Allah SWT, mematuhi segala perintah-Nya dan

menjauhi segala larangan-Nya. Allah memerintahkan untuk selalu bersyukur dan

bertawakal. Karena dengan banyak bersyukur terhadap nikmat yang telah

diberikan merupakan manifestasi pengakuan bahwa di atas manusia ada yang

mengatur (Suardiman: 2010, h. 154).

Hampir seluruh ahli jiwa sependapat, bahwa kebutuhan manusia tidak hanya

terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kebutuhan lainnya.

Berdasarkan hasil riset dan observasi mereka mengambil kesimpulan bahwa dalam

diri manusia terdapat kebutuhan yang bersifat universal, yang mana kebutuhan ini

melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan

kodrati berupa kebutuhan untuk mencintai dan dicintain tuhan. Kebutuhan tersebut

dimiliki oleh setiap kelompok, golongan atau masyarakat manusia dari yang paling

primitive hingga yang paling modern (Jalaluddin: 1998, 53).

Oleh karena itu setiap fase usia manusia membutuhkan agama, seperti fase

usia tua atau lansia yang mulai mengalami kondisi keterbatasan karena adanya

penurunan fungsi sangatlah membutuhkan agama untuk mendapat ketenangan,

sehingga ia mampu menerima kondisi fisik dan psikis yang mulai mengalami

penurunan fungsi dengan tetap menjalankan kegiatan keagamaan. Kemampuan

lansia untuk mengatur dirinya agar tidak larut dalam kesedihan dan tidak meratapi

apapun yang luput darinya dan ia juga tidak merasa cemas merupakan manifestasi

dari kematangan beragama yang dimilikinya.

D. Lanjut Usia

Memiliki usia di atas 60 tahun merupakan anugerah namun juga merupakan

cobaan, mengapa demikian? Merupakan anugerah jika mereka yang diberi umur

panjang dapat menjalan dan memanfaatkan masa tuanya dengan benar dan sabar.

Namun alangkah ruginya jika diberi umur panjang, namun tidak menggunakan masa

tuanya dengan benar dan sabar. Masa tua harus dilalui dengan benar dan sabar karena

pada masa ini kondisi fisik maupun psikis mengalami penurunan fungsi.

Dalam buku Fikih Pendidikan (2008: 73) keadaan masa tua digambarkan dalam

al-Qur‟an sebagai berikut:

33

“Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang

dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi

sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi Ini kering,

Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan

suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah”.(Q.S

al-Haj (22): 5)

Dengan demikian gambaran lanjut usia yang dijelaskan dalam al-Qur‟an telah

dibuktikan secara empiris, bahwa seseorang yang sudah memasuki masa usia lanjut

akan mengalami penurunan daya ingat. Hal tersebut diperkuat oleh Wade dan Tarvis

(2007: 274) yang menyatakan bahwa, “beberapa aspek intelegnsi, ingatan dan bentuk-

bentuk lain dari fungsi mental menurun secara drastic seiring bertambahnya usia”.

1. Definisi Lansia

Proses menua atau aging adalah suatu proses alami pada semua makhluk

hidup. Laslett menyatakan sebagaimana dikutip oleh Suardiman (2011: h. 1)

bahwa, “menjadi tua merupakan proses perubahan biologis secara terus-menerus

yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia

lanjut adalah istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut”. Menurut

Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai

usia 60 tahun ke atas. (Depkes: 2014, h. 1).

Sedangkan lansia menurut Rochmah (2001, h. 222) adalah, “proses menua

merupakan suatu proses perkembangan yang dimulai sejak kehidupan janin,

brkembang ke kehidupan bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa

tua dan akhirnya proses menua ini akan sampai pada segmen akhir kehidupan.

Akhir kehidupan menurut Kra mer dan Schrier (1990) dalam Rochmah terbagi

menjadi tiga yaitu kelas young old umur antara 65-74 tahun, kelas aged (old) umur

antara 75-84 tahun, dan yang terakhir oldest old atau extreme aged ialah semua

yang berumur lebih dari 84 tahun. Berbeda dengan Hurlock (1980: 380) yang

membagi tahap usia lansia menjadi dua, yaitu usia lanjut dini antara usia 60-70

tahun, usia lanjut yaitu usia 70 sampai akhir kehidupannya.

Sementara itu penggolongan lansia menurut Direktorat Pengembangan

Ketahanan Keluarga BKKBN, dapat dibedakan:

a. Kelompok lansia awal (45-54 tahun) merupakan kelompok yang baru

memasuki lansia.

b. Kelompok pra lansia (55-59 tahun).

c. Kelompok lansia 60 tahun ke atas (menurut UU No. 23 tahun 1998 lansia di

Indonesia ditetapkan mulai usia tersebut).

Lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengelompokkan lansia menjadi

empat kategori yang meliputi:

a. Young Old (60-69 tahun)

b. Old (70-79 tahun ke atas)

c. Old old (80-89 tahun ke atas)

d. Very Old (90 tahun ke atas). (Nurcholifah, 2012, h.3).

Banyak definisi tentang kelompok lansia, tetapi pada umumnya tolak ukur

lanjut usia adalah mereka yang berumur 60 tahun ke atas sesuai dengan ketetapan

UU.

34

2. Tipe Kepribadian Lanjut Usia

Lanjut usia memiliki keadaan yang beragam baik dari sisi kepribadian

maupun sosial ekonomi. Hal ini tentunya menjadi penting untuk diperhatikan

sehingga dalam pembuatan program dan kebijakan bisa tepat sasaran. Kuntjoro

(2002) dalam Kartinah dan Sudaryanto (2013: 95) membagi tipe lansia dari sisi

psikologisnya yaitu:

a. Tipe kepribadian konstruktif

Lanjut usia ini memiliki integritas baik, menikmati hidupnya, toleransi

tinggi dan fleksibel, tenang dan mantap memasuki usia tua, bisa menerima

fakta proses menua dan menghadapi masa pensiun dengan bijaksana dan

menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan mental.

b. Tipe kepribadian mandiri

Tipe ini cenderung mengalami post power syndrome, apalagi jika di

masa tua tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi.

c. Tipe kepribadian tergantung

Lansia dengan tipe ini cenderung bergantung kepada keluarga, apabila

kehidupan keluarga selalu harmonis maka ketika kehilangan cenderung

mengalami kesedihan yang mendalam, cenderung tidak memiliki inisiatif,

pasif tetapi masih tahu diri dan masih bisa diterima oleh masyarakat.

d. Tipe kepribadian bermusuhan

Lansia dalam tipe ini cenderung tidak puas dengan kehidupannya ketika

memasuki masa tua, banyak memiliki keinginan yang tidak diperhitungkan

yang menyebabkan ekonominya menurun.

e. Tipe kepribadian kritik diri

Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perlakuannya

sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya sendiri,

selalu menyalahkan diri sendiri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari

keadaan.

Menurut Undang-undang dari sisi potensi ekonomi lansia dapat dikategorikan

menjadi 2 yaitu:

a. Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang

dapat menghasilkan barang atau jasa.

b. Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung

pada bantuan orang lain.

3. Perubahan pada lansia

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Proses alami di mana

seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, sosial secara bertahap. Oleh

karena itu masa usia lanjut merupakan masa untuk dapat mempertahankan

kehidupan dalam arti fisik berusaha menjaga kesehatan agar tidak sakit-sakitan

serta tidak menyulitkan atau membebani orang lain (Jannah: 2015, h. 360). Pada

masa itu memang terjadi suatu proses perubahan alami yang dirasakan oleh lansia.

Perubahan tersebut akan terjadi hampir pada semua sistem tubuh, namun tidak

semua sistem tubuh mengalami kemunduran fungsi pada waktu yang sama. Hal

tersebut merujuk pada pemaparan Kusumoputro (2006) sebagaimana dikutip oleh

35

Jannah (2015: 364) bahwa, “proses menua adalah proses alami yang disertai

penurunan fisik, psikologis maupun sosial”. Dan diperkuat oleh Bastable

(1995:121) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, begitu banyak

perubahan fisik yang terjadi. Indera penglihatan, pendengaran, perabaan,

pengecapan dan penciuman biasanya merupakan daerah penurunan fungsi yang

pertama kali diperhatikan oleh lansia.

Adapun Perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan adalah

sebagai berikut:

a. Perubahan Fisik

Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologis yang terdiri dari 3

fase, yaitu fase pertumbuhan, fase pematangan dan fase penurunan. Proses

menjadi tua ada dalam fase penurunan di mana menurunnya fungsi sel-sel

dalam tubuh karena telah lama berfungsi. Proses ini akan terus terjadi terus-

menerus pada tahap selanjutnya serta akan mempengaruhi fungsi dan

kemampuan fisik secara keseluruhan. Perubahan fisik meliputi perubahan

pada kerangka tubuh dengan gejala berupa: mudah merasa lelah, gerakan

menjadi lamban dan kurang lincah dan sistem syaraf pusat yang mulai

berkurang sehingga berakibat pada menurunnya kecepatan belajar dan

mengingat faktor ini pula yang mempengaruhi lansia menjadi mudah lupa.

(Suardiman: 2011, h. 36-37).

Hal serupa diungkapkan oleh Weeks (2008, h. 333) bahwa terdapat ciri-

ciri perubahan fisik pada lansia yang dapat kita lihat, yaitu “rambut beruban,

kulit berkerut, penurunan fungsi dan perubahan bentuk otot”. Hal ini menurut

Katari (1993) dalam Suardiman disebabkan oleh adalanya perubahan struktur

dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ. Kemudian diperkuat dengan

pernyataan Hurlock (1980: 399) yang menyatakan bahwa, “pada lansia fungsi

seluruh organ penginderaan kurang mempunyai sensitivitas dan efesiensi

kerja dibanding yang dimiliki oleh orang yang lebih muda”. Adapun

perubahan fisik dalam sistem indera di antaranya adalah:

1) Sistem penglihatan

Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya dengan

presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lemah,

ketajaman dan daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang,

penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik dapat digunakan.

2) Sistem pendengaran

Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya

kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap

bunyi suara dan nada-nada tinggi, suara yang tidak jelas dan kata-kata

yang sulit dimengerti, 50% terjadi pada usia di atas 60 tahun.

3) Sistem integumen

Pada lansia kulit mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan

berkerut. Kulit mengalami kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan

berbercak. Kekeringan kulit bisa terjadi karena atrofi glandula sebasea

dan glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit

dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit banyak dipengaruhi oleh

faktor lingkungan antara lain angin dan matahari, terutama sinar ultra

violet.

36

Oleh karena itu pada setiap lansia tentunya mengalami suatu proses

penurunan fungsi dalam tubuh baik secara anatomis seperti pengeroposan

tulang dan penyempitan otot, fisiologis penurunan kapasitas aerobik serta

kelenturan sendi. Dan biokomiawi terlihat pada peningkatan kadar kolesterol.

b. Perubahan Kognitif

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di panti werdha Mojokerto

sebagian lansia mengalami perubahan fungsi kognitif yaitu menjadi mudah

lupa sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. (Maryati, dkk: 2013, h. 2).

Lebih lanjut terdapat pendapat yang berkembang dalam masyarakat yang

perlu diuji kebenarannya bahwa kemampuan kognitif seperti belajar,

mengingat dan berpikir pada lansia mengalami penurunan. Hal tersebut

diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Wreksoatmodjo (2014, h.

173) diperoleh fungsi kognitif lansia seperti ingatan, perhatian, dan kecepatan

memproses mengalami kemunduran dengan data fungsi penurunan fungsi

kognitif di kelompok tidak sekolah 40,99%, di kelompok tidak tamat SD

33,3%, di kelompok tamat SD 40%, di kelompok tamat SMP 50% dan

dikelompok tamat SMA atau lebih 28,7%. Secara keseluruhan 37,8%

responden lansia mengalami fungsi penurunan kognitif.

Data tersebut menunjukkan bahwa memang benar adanya terjadi

perubahan penurunan fungsi kognitif pada lansia. Dan terdapat fakta yang

menunjukkan bahwa semakin tinggi latar belakang pendidikan lansia, maka

semakin sedikit penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada lansia.

Perubahan kognitif pada lansia mencakup 4 aspek di antaranya adalah:

1. Perubahan memori

Pada lanjut usia, daya ingat merupakan fungsi kognitif yang

seringkali paling awal mengalami penurunan. Ingatan jangka panjang

sering kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka pendek

atau seketika 0-10 menit memburuk. Lansia kesulitan dalam

mengungkapkan kembali cerita atau kejadian yang tidak begitu menarik

perhatiannya dan informasi baru seperti TV dan film. Oleh karena itu

pelayanan atau pembinaan terhadap lansia sangat diperlu dibuatkan

tanda-tanda atau simbol berupa tulisan atau gambar untuk membantu

daya ingat mereka.

2. Kemampuan belajar

Dalam kemampuan belajar, menurut Brocklehurst dan Allen (1987);

Darmojo & Martono (2004) dalam Suriastini, dkk (2013: 46) lanjut usia

yang sehat dan tidak mengalami dimensia masih memiliki kemampuan

belajar yang baik, bahkan di negara industri maju didirikan University Of

Third Age, sesuai dengan prinsip belajar seuumur hidup (life long

learning) bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar sejak

dilahirkan sampai akhir hayat. Oleh karena itu sangat baik para lanjut

usia tetap diberikan kesempatan untuk mengembangkan wawasan

berdasarkan pengalaman.

3. IQ

Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi matematika

dan perkataan verbal tetapi persepsi dan daya membayangkan (fantasi)

menurun.

37

4. Kemampuan pemahaman

Kemampuan pemahaman mengalami penurunan yang dipengaruhi

oleh konsentrasi dan fungsi pendengaran lansia yang mengalami

penurunan. (Suriastini, dkk, 2013: 46).

Adapun tugas-tugas perkembangan lansia menurut Havinghurst dalam

Hurlock (1980, h. 10) yaitu:

1) Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

2) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya pendapatan

keluarga.

3) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.

4) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia.

5) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

6) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

c. Perubahan Spiritual

Agama dan kepercayaan lansia semakin berintegrasi dalam kehidupannya

(Maslow, 1976 dan Sundeen, 1988) dalam Suriastini, dkk (2013: 47). Lansia

semakin teratur dalam kehidupan agamanya yang dapat dilihat dari cara

berpikir dan bertindak dalam sehari-hari.

d. Perubahan Sosio Emosional

Terdapat beberapa emosi dasar yang ada pada manusia, menurut Robert

(2003) dalam Suardiman (2011, h. 98) mengidentifikasi adanya 8 emosi dasar,

yaitu takut, keheranan, kesedihan, muak atau jijik, marah, mengharapkan,

gembira dan kepercayaan atau penerimaan.

Kemudian hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Annisa (2017, h.

58) mengungkapkan masalah psikososial yang sering dirasakan oleh lansia

adalah “kesepian, perasaan sedih, depresi dan kecemasan”. Hal tersebut

disetujui oleh Annisa dan Ifdil (2016, h. 98) bahwa, “cemas, merasa kesepian,

perasaan tidak berharga emosi meningkat dan ketidakmampuan dalam

menyesuaikan tugas perkembangan adalah perasaan yang sering dirasakan oleh

lansia”.

Berdasarkan hasil wawancara penelitian terdahulu pada tahun 2015

diperoleh data terdapat tiga orang lansia mengalami kecemasan secara fisik

seperti cemas terhadap penglihatan yang tidak berfungsi baik, pendengaran

menurun. Tiga orang lansia lainnya mengalami kecemasan kognitif seperti,

ingatan menurun sering lupa dan kesulitan mengingat nama-nama teman yang

ada di panti. Serta satu lansia yang mengalami kecemasan fisik seperti

penglihatan menurun dan kecemasan sosio emosional, yaitu merasa kesepian,

cemas sakit tidak ada yang mengurus dan merasa bersalah karena tidak bisa

megurus keluarga lagi. Terdapat juga tiga lansia yang tidak mengalami

kecemasan baik fisik, kognitif maupun sosio emosional. (Annisa, dkk: 2017, h.

58).

Hasil penelitian yang berbeda yang diungkapkan oleh Malatesta dan

Kalnok (1984) dalam Suardiman (2011, h. 98) yang menyatakan bahwa ia tidak

menemukan adanya bukti yang menunjukkan gejala menurun secara nyata

emosi seseorang bersamaan dengan meningkatnya usia. Penelitian tersebut

38

disetujui oleh Diener dan Suh (1977) dalam suardiman (2011, h. 99) bahwa usia

lanjut hidup dalam kepuasaan yang lebih besar daripada usia muda.

Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan lansia jika dilihat dari

hasil penelitian terdahulu menjadi tergantung pada bagaimana lansia

membawakan dan menyikapi tugas-tugas perkembangan dalam hidupnya.

Dengan cara yang sehat ataukah dengan cara emosional.

e. Perubahan minat

Lansia mengalami perubahan minat, berkaitan dengan perubahan ini

Hurlock (1990) dalam Suriastini, dkk (2013: 49) mengatakan bahwa perubahan

yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi pola hidupnya. Perubahan

yang diminati oleh para lansia adalah perubahan yang berkaitan dengan

masalah peningkatan kesehatan, ekonomi atau pendapatan dan peran sosial.

f. Penurunan fungsi dan potensi seksual

Menurut kuntjoro (2002) dalam Suriastini, dkk (2013: 49) faktor

psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan seksualitas, antara lain rasa

tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. sikap

keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat tradisi dan

budaya. Adanya kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam

kehidupannya, pasangan hidup telah meninggal, dan disfungsi seksual karena

perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya yang mengakibatkan

fungsi dan potensi seksual pada lansia mengalami perubahan.

4. Sikap Manusia dalam Menerima Kedatangan Usia Lanjut

Terdapat beberapa sikap manusia dalam menerima datangnya masa usia tua

yaitu ada yang mengadakan perlawanan, ada pula yang menerimanya dengan

ketakutan dan ada juga yang menerimanya dengan lapang dada dan meyadari usia

tua merupakan takdir Allah SWT yang patut disyukuri.

Hal tersebut merujuk pada beberapa peristiwa masa kuno, misalnya seperti di

Eropa beberapa ratu ada yang mempraktikkan mandi darah perawan sebagai upaya

agar tetap awet muda. Kemudian Moe Zadong tokoh komunis China, percaya

bahwa dengan menyetubuhi 1000 orang perawan maka ia akan memperoleh

kehidupan yang abadi (Replita: 2014, h.68). Fenomena tersebut tidak hanya terjadi

pada masa lampau, pada masa modern seperti ini pun berdasarkan pengamatan

peneliti banyak orang yang mencari cara untuk bisa awet muda, misalnya banyak

orang yang mulai melakukan operasi plastik dan menggunakan berbagai macam

alat kecantikan untuk menutupi tanda-tanda penuaan yang sudah mulai ada.

Tentunya perbuatan tersebut tidak mencerminkan ajaran Islam, dalam

pandangan Islam usia sudah menjadi ketentuan Tuhan hal tersebut sudah

termaktub dalam al-Qur‟an surah al-An‟am ayat (6): 2:

39

“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal

(kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang dia

sendirilah mengetahuinya), Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang

berbangkit itu)”.(Q.S. al-An‟am: 2)

Demikian juga dalam surah al-Ankabut (29): 57:

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada

kami kamu dikembalikan”.(Q.S. al-Ankabut: 2)

Juga dalam surah al-Baqarah (2): 96 Allah berfirman:

“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba

kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang

musyrik. masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun,

padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada

siksa. Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”.(Q.S. al-Baqarah:

96)

Dengan demikian datangnya usia tua merupakan kodrat yang sudah pasti ada

dalam diri manusia. Ajaran Islam menganjurkan untuk menikmati dan menghayati

datangnya usia tua daripada terus berusaha untuk menghindarinya, karena dengan

menikmati dan menghayati maka manusia akan dapat lebih bisa mempersiapkan

diri dan terus mendekatkan diri kepada Allah SWT sampai ajal datang

menjemputnya.

5. Lansia dalam Undang-Undang

Keselarasan UU, PP dan PERMEN dengan delapan dimensi Kota Ramah Lanjut

Usia WHO, yaitu:

a. Gedung dan Ruang Terbuka

1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia:

Bab VI (pelaksanaan) pasal 17 (1): pelayanan untuk mendapatkan

kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana dan prasaranan umum

dimaksudkan sebagai perwujudan rasa hormat dan penghargaan kepada

lansia. Bab IV (pelaksanaan) pasal 17 (2): pelayanan untuk mendapatkan

kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum. Bab IV (pelaksanaan) pasal

17 (3): Pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan sarana

dan prasaranan umum dimaksudkan untuk memberikan aksebilitas terutama

di tempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lansia. Bab IX

40

(ketentuan pidanan dan sanksi administrasi) pasal 27 (1): setiap orang atau

badan organisasi atau lembaga yang dengan sengaja tidak menyediakan

aksebilitas bagi lansia sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (3) dapat

dikenakan saksi administrasi.

2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lansia

Pasal 17 ayat (1): pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam

penggunaan sarana dan prasarana umum dimaksudkan sebagai perwujudan

rasa hormat dan penghargaan kepada lansia. Pasal 17 ayat (2): pelayanan

untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum. Pasal 17

ayat (3): pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan

sarana dan prasarana umum dimaksudkan untuk memberikan aksebilitas

terutama ditempat-tempat umum yang dapat menghambat mobilitas lansia.

Pasal 21 ayat (1): pemerintah dan masyarakat menyediakan fasilitas rekreasi

dan olahraga khusus kepada lansia.

Pasal 24: penyediaan aksebilitas bagi lansia pada sarana dan prasarana

umum dapat berbentuk fisik dan non fisik.

Pasal 25 ayat (1): penyediaan aksebilitas yang berbentuk fisik.

Pasal 26: aksebilitas pada bangunan umum.

Pasal 27: aksebilitas pada jalan umum.

Pasal 28: aksebilitas pada pertamanan dan tempat rekreasi.

3) PERMENDAGRI No. 60 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan

Komisi Daerah Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanganan

Lansia di Daerah

Bab IV (pemberdayaan) pasal 10 ayat (2) poin (d): sarana dan prasarana

milik masyarakat yaitu sarana dan prasarana seperti ruang pertemuan di

balai desa sebagai tempat musyawarah.

b. Transportasi

PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lansia: Pasal 20 ayat (1): pemerintah dan masyarakat

memberikan kemudahan dalam melakukan perjalanan kepada lansia. Pasal 29:

aksebilitas pada angkutan umum

c. Perumahan

UU RI No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman:

Bab IV (Permukiman) Pasal 18 ayat (2): Pembangunan kawasan

pemukiman. Ayat (3) satuan-satuan lingkungan permukiman satu dengan yang

lain saling dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai dengan kebutuhan

dengan kawasan yang lain yang memberikan berbagai pelayanan dan

kesempatan kerja.

Bab V (Peran Serta Masyarakat) Pasal 29 ayat (1): setiap warga Negara

mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan

serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Ayat (2) pelaksanaan

peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan

secara perseorangan atau dalam bentuk usaha bersama

41

d. Partisipasi Sosial

UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia

Bab II (Asas, arah dan tujuan) Pasal 3: upaya peningkatan

kesejahteraan social lansia diarahkan agar lansia tetap dapat diberdayakan

sehingga berperan dalam kegiatan pembangunan dengan memperhatikan

fungsi, kearifan pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia dan

kondisi fisiknya serta terselenggaranya pemeliharaan taraf hidup

kesejahteraan sosial lansia.

Bab V (Pemberdayaan) Pasal 9: pemberdayaan lansia dimaksudkan

agar lansia tetap dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan berperan aktif

secara wajar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bab VII (Peran masyarakat) Pasal 23: lansia potensial dapat

membentuk organisasi lembaga sosial berdasarkan kebutuhan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Penghormatan dan Inklusi atau Keterlibatan Sosial

1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia

Bab III (Hak dan kewajiban) Pasal 5 ayat (2): sebagai penghormatan

dan penghargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial yang meliputi: a) pelayanan keagamaan dan mental

spiritual b) pelayanan kesehatan c) pelayanan kesempatan kerja d) pelayanan

pendidikan dan pelatihan e) kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana

dan prasarana umum f) kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum g)

perlindungan sosial h) bantuan sosial.

Bab VII (Peran masyarakat) Pasal 22 (1): masyarakat mempunyai hak

dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam upaya

peningkatan kesejahteraan sosial lansia.

2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lansia

Pasal 35 ayat (1): pemberian perlindungan sosial dimaksudkan untuk

memberikan pelayanan bagi lansia tidak potensial agar dapat mewujudkan

taraf hidup yang wajar. Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilaksanakan melalui pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial yang

diselenggarakan baik di dalam maupun di luar panti. Lansia tidak potensial

terlantar yang meninggal dunia dimakamkan sesuai dengan agamanya dan

menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat.

f. Partisipasi sipil dan pekerjaan

1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia

Bab I (Ketentuan umum) Pasal 1: lansia potensial adalah lansia yang

masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan

barang atau jasa. Bab VI (Pelaksanaan) Pasal 15 (1): pelayanan kesempatan

kerja bagi lansia potensial dimaksudkan memberi peluang untuk

mendayagunakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, keterampilan dan

pengalaman yang dimilikinya. Bab VI (Pelaksanaan) Pasal 15 (2): pelayanan

kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada

42

sektor formal dan nonformal melalui perseorangan, kelompok atau

organisasi atau lembaga baik pemerintah maupun masyarakat.

2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lansia

Pasal 9 ayat (1): pelayanan kesempatan kerja bagi lansia potensial

dimaksudkan memberi peluang untuk mendayagunakan pengetahuan,

keahlian, kemampuan, keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya.

Pasal 9 ayat (2): pelayanan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilaksanakan pada sektor formal dan nonformal, melalui

perseorangan, kelompok atau organisasi atau lembaga baik pemerintah

maupun masyarakat. Pasal 12: setiap pekerja atau buruh lansia potensial

mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja lainnya sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 14: dunia usaha

dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam menumbuhkan iklim usaha

bagi lansia potensial. Pasal 15 (1): lansia potensial yang mempunyai

keterampilan atau keahlian untuk melakukan usaha sendiri atau kelompok

usaha bersama dapat diberikan bantuan sosial.

3) PERMENDAGRI No. 60 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan

Komisi Daerah Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanganan

Lansia di Daerah

Bab IV pasal 10 ayat (2) point (e): pengetahuan masyarakat, yaitu

pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam bentuk komunikasi, informasi

dan edukasi yang dapat didayagunakan untuk kegiatan penanganan lansia

seperti lomba mengarang dan usaha ekonomi produktif (uep).

g. Komunikasi dan Informasi

PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lansia

Pasal 25 ayat (2): penyediaan aksebilitas yang berbentuk non fisik

meliputi: a) pelayanan informasi b) pelayanan khusus. Pasal 30: pelayanan

informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf a, dilaksanakan

dalam bentuk penyediaan dan penyebarluasan informasi yang menyangkut

segala bentuk pelayanan yang disediakan bagi lansia.

Pasal 31: pelayanan khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2)

huruf b, dilaksanakan dalam bentuk: a) penyediaan tanda-tanda khusus, bunyi

dan gambar pada tempat-tempat khusus yang disediakan pada setiap sarana dan

prasarana pembangunan atau fasilitas umum b) penyediaan media massa

sebagai sumber informasi dan sarana komunikasi antar lansia.

h. Dukungan Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan

1) UU RI No. 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia

Bab V (Pemberdayaan) Pasal 11: upaya peningkatan kesejahteraan

sosial bagi lansia usia potensial meliputi: a) pelayanan keagamaan dan

mental spiritual b) pelayanan kesehatan c) pelayanan kesempatan kerja d)

pelayanan pendidikan dan pelatihan e) kemudahan dalam penggunaan

43

fasilitas, sarana dan prasarana umum f) kemudahan dalam layanan dan

bantuan hukum g) perlindungan sosial h) bantuan sosial.

2) PP RI No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lansia

Pasal 8 ayat (1): pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara

dan meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan lansia agar kondisi

fisik, mental dan sosialnya dapat berfungsi secara wajar. Pasal 8 ayat (2):

pelayanan kesehatan bagi lansia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilaksanakan melalui peningkatan: a) penyuluhan dan penyebarluasan

informasi kesehatan lansia b) upaya penyembuhan (kuratif), yang diperluas

pada bidang pelayanan geriatrik c) pengembangan lembaga perawatan lansia

yang menderita penyakit kronis atau terminal d) derita penyakit kronis dan

terminal.

3) PERMENDAGRI No. 60 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembentukan

Komisi Daerah Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanganan

Lansia di Daerah. Bab IV pasal 10 ayat (2) point (c): dana masyarakat yaitu

dana-dana masyarakat seperti dana jaminan kesehatan masyarakat

(jamkesmas) yang digunakan bagi penanganan lansia.

6. Perkembangan manusia

Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan yang terjadi

dalam diri seseorang, di mana perubahan-perubahan tersebut terjadi secara

berangsur-angsur menuju tingkat kedewasaan atau kematangan secara sistematis

progresf dan berkesinambungan baik secara fisik maupun psikis sejak ia dilahirkan

sampai datang kematian. (Jannah, Yacob & Julianto: 2017, h. 98).

Asyafah (2009) membagi perkembangan manusia dalam tiga periode yaitu:

Pertama,sebelum membahas tentang kehidupan manusia di dalam rahim dan

dilahirkan ke dunia, ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan lebih awal yaitu

manusia di alam ruh (arwah). Asyafah (2009, h. 8) memaparkan

bahwa,”kehidupan manusia tidak hadir secara tiba-tiba, tanpa latar belakang, tanpa

tujuan dan maksud yang jelas dan tanpa proses. Tidak, karena setiap segala sesuatu

ada sebabnya. Allah berfirman dalam surah al-Isra‟(17): 85:

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu

Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan

melainkan sedikit".(Q.S. Al-Isra: 85)

Dalam kitab tafsir An-Nawawi dijelaskan bahwasannya ada Seorang yahudi

bertanya kepada kaum Quraisy, tanyakanlah kepada Muhammad tentang Ashabul

Kahfi, Dzulkarnain dan tentang ruh. Ruh adalah sesuatu yang menghidupkan

badan dengan cara ditiupkannya ruh ke dalam badan. Mereka bertanya bagaimana

44

hakikat ruh, bagaimana ruh bisa masuk ke dalam badan dan di mana letak ruh itu

di dalam badan. Dan hal itu adalah sesuatu yang tidak pernah Allah beritahu

kepada seorang pun dari golongan hamba-Nya. Ruh adalah ilmunya Allah dan

perbuatannya Allah yang tidak bisa dijelaskan prosesnya bagaimana. (Nawawi: Juz

1, h. 487).

Seluruh proses yang terjadi di alam ruh adalah hal yang haq (pasti benar) dan

pasti dialami oleh setiap manusia yang terlahir ke dunia ini. Asyafah (2009: 10)

memaparkan bahwasannya, “setiap jiwa yang berada di alam ruh dapat dipastikan

dapat berbicara dan menyaksikan Allah dan berinteraksi dengan-Nya”,

sebagaimana Firman Allah swt sebagai berikut:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam

dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka

(seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul

(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian

itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani

Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".(Q.S.

Al-A‟raf (7): 172).

Dalam kitab Tafsir Nawawi dijelaskan bahwasanya di alam ruh terjadi proses

perjanjian Allah swt dengan setiap jiwa yang akan dilahirkan ke dunia. Allah swt

meminta persaksian kepada diri mereka, “apakah Aku Tuhanmu?” mereka

menjawab, ya Engkau adalah Tuhan kami.(Nawawi: Juz 2, h. 304). Dengan

demikian ayat di atas menjelaskan tentang perjanjian ketuhanan yang menekankan

bahwa sebelum manusia terlahir kedunia mereka mereka mengakui bahwa

Tuhannya adalah Allah swt.

Kedua,setelah Allah membuat perjanjian pada ruh manusia, ketika berada di

alam ruh, kemudian dari setiap ruh tersebut diturunkan ke dunia melalui alam

rahim dan Allah tiupkan ruh-Nya pada janin (Asyafah: 2009, h. 13). Sebagaimana

firman-Nya berikut ini:

“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup

kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan

bersujud”. (Q.S. Al-Hijr: 29)

Dalam kitab Tafsir An-Nawawi dijelaskan bahwasannya kata sujud pada ayat

di atas bukanlah makna hakiki menyembah seperti dalam sehalat, tetapi kata sujud

tersebut diartikan sebagai penghormatan kepada Allah swt. (Nawawi: Juz 1, h. 29).

45

Allah telah menetapkan manusia yang terlahir ke dunia ini pasti melewati masa di

alam rahim. Asyafah (2009: 25) memaparkan bahwa “proses kejadian manusia

dalam rahim ibu itu ternyata bertingkat-tingkat”. Bertingkat-tingkat di sini

bermakna terdapat tahapan-tahapan misalnya jika kita amati pada mulanya perut

ibu normal kemudian membesar sedikit demi sedikit sampai batas maksimal

sampai beumur kurang lebih sembilan bulan.

Gambar 2.1

Tahapan-Tahapan perkembangan janin

Sedangkan fase perkembangan bayi setiap bulannya digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 2.2

Fase Perkembangan janin

Dalam al-Qur‟an surah Al-Mu‟minun (23):14 Allah menerangkan secara rinci

urutan tahapan-tahapan perkembangan janin di dalam rahim ibu:

46

“kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah

itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan

tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.

kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha

sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”. (Q.S. Al-Mu‟minun (23): 14).

Ayat di atas menjelaskan secara rinci tahapan-tahapan proses perkembangan

manusia di dalam rahim ibu sebelum dilahirkan ke dunia. Adapun tahapan-

tahapannya adalah sebagai berikut:

a) Segumpal darah („alaqah)

Al-Qur‟an telah membahas proses perkembangan embriologis tahap

demi tahap pada periode ini.menurut al-Qur‟an tetesan (nutfah) kemudian

berkembang menjadi alaqah. „alaqah yang mengandung arti sesuatu yang

menggantung. (Purwakania: 2006, h. 80) Sperma yang bercampur mulai

terbagi hingga sel-selnya menjadi berlipat ganda. Sperma yang tercampur

bergerak di dalam saluran rahim yang mengarah ke rahim dan apabila sudah

sampai ke rahim akan menjadi segumpal sel yang bentuknya menyerupai buah

arbei . Ketika sperma yang bercampur itu sampai ke rahim, mak ia akan

bergantung pada dinding rahim. Pada saat itulah dimulai periode „alaqah.

(Najati: 2003, h. 206) Gambar berikut menunjukkan segumpal darah yang

menempel dalam Rahim ibu:

Gambar 2.3

‘Alaqah

Dengan demikian, penjelasan di atas membuktikan benarnya firman

Allah SWT berikut:

“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”.(Q.S. al-Alaq

(96): 2)

47

....

“kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah...” (Q.S. al-

Mu‟minuun (23): 14)

b) Segumpal daging (mudhgah)

Salah satu bagian tulang belakang janin akan tampak tonjolan-tonjolan

pada hari ke-24 minggu ke-4 sampai minggu ke-6. Bentuk tulang janin mulai

melengkung karena adanya proses pertumbuhan dalam tubuh janin. (Asyafah:

2009, h. 28) Gambar berikut menunjukkan proses kejadian manusia pada

tahap mudhgah (segumpal daging):

Gambar 2.4

Mudhgah

Embrio manusia terlihat seperti segumpal daging yang terbungkus yang

melakukan pembelahan pada awal minggu ketiga kemudian pada akhir

minggu keempat mulai terlihat perluasan yang mirip cetakan gigi yang

nantinya akan berkembang menjadi organ dan anggota tubuh yang

lengkap.(Purwakania: 2006, h. 84) Sekali lagi hal ini membuktikan kebenaran

firman Allah dalam surah al-Mu‟minun (23): 14:

...

“Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging...”(Q.S. al-

Mu‟minuun (23): 14)

Kelengkapan anggota janin meliputi cikalbakal semua anggota tubuh

terjadi pada tahapan segumpal daging. Sebagian sel juga telah menemukan

bentuk khususnya. Proses ini pula dijelaskan dalam hadist nabi, Rasulullah

saw bersabda:

ث نادمحمبنعبدهللابنن ث ناأبومعاويةووقيعوحد بةحد ي ث ناأبوبكربنأب ي رحد ث نا هدانوالفظلوحد

ث نااألعمشعنزيدبنوىبعنعبدامل أبوأبومعاويةووقيعقالواحد

صدوقإن أحدكمومعخلقويفوىوالص ادقامل ث نارسولهللاصلىهللاعليووسلم هللاقالحد

وأربعي يكونيفذل مغةة...)رواهاملسلم(بطنأم يكونيفذل علقةمثلذل ث ي وماث

48

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, telah

menceritakan kepada kami Abu Mu‟awiyah dan Waki‟ demikian juga

diriwayatkan dari jalur lainnya dan telah menceritakan kepada kami

Muhammad bin „Abdullah bin Numair al-Mahdani dan lafadz ini miliknya.

Telah menceritakan kepada kami Bapakku dan Abu Mu‟awiyah dan Waki‟

mereka berkata, telah menceritakan kepada kami kami al-amasy dari Zaid bin

Wahib dari Abdullah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Rasulullah

saw yaitu Ash-Shadiq al-Mashduq (seorang yang jujur menyampaikan dan

berita yang disampaikan adalah benar): sesungguhnya seorang manusia

mulai diciptaan dalam perut ibunya setelah diproses selama empat puluh

hari. Kemudian menjadi segumpal darah pada empat puluh hari berikutnya

lelu menjadi segumpal daging…”(H.R. Muslim, No. 4781)

c) Tulang belulang („idzham)

Setelah fase pembentukan segumpal daging selesai, pada minggu ketujuh

mulai terjadi proses penciptaan tulang pada janin. Di sini kebenaran al-Qur‟an

kembali terlihat. Menurut Asyafah (2009: 30) huruf fa dalam sintaksis bahasa

Arab memiliki pengertian “berurutan tanpa terpisah oleh sesuatu”. Allah

berfirman dalam surah al-Mu‟minuun (23): 14 sebagai berikut:

...

“Kemudian segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang…”

Penciptaan tulang pada janin dimulai dari unsur tulang yang ada dalam

model selaput atau model tulang rawan yang secara bertahap berubah menjadi

tulang belulang (Asyafah: 2009, h. 30). Berikut gambaran „idzam:

Gambar 2.5

‘Idzaama

d) Penutupan tulang dengan daging (kasaunaal „idzhaama lahman)

Pada minggu kedelapan terjadi proses pembungkusan tulang dengan

daging. Al-Qur‟an mengungkapkan proses perkembangan janin pada tahap ini

dalam surah al-Mu‟minuun (23): 14:

...

49

“Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging…”(Q.S. al-

Mu‟minuun (23): 14)

Istilah membungkus dengan daging pada saat itu seperti badan seseorang

dibungkus dengan pakaian. Daging dan tulang tersebut terbentuk dari rangka-

rangka yang terdapat pada dua sisi cikal bakal tulang belakang. (Asyafah:

2009, h. 32) Pada awalnya para pakar embriologi berasumsi bahwa tulang

dan daging tumbuh pada saat yang sama, namun akhir-akhir ini asumsi

tersebut ternyata tidaklah tepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa apa yang

telah diinformasikan al-Qur‟an adalah benar adanya karena telah dibuktikan

secara empiris oleh pakar embriologi. (Purwakania: 2006, h. 84-85)

Ketiga, perkembangan manusia sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia.

Proses perkembangan pada periode ini memiliki beberapa fase, seperti yang

dijelaskan dalam al-Qur‟an surah al-Hajj (22): 5 sebagai berikut:

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),

Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,

kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari

segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar

Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami

kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan

kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah

kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula)

di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak

mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu

Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,

hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-

tumbuhan yang indah”.(Q.S. Hajj: 5)

Ayat di atas menerangkan bahwasannya perkembangan manusia di dunia

terbagi menjadi tiga fase yaitu, Pertama, fase anak-anak atau fase di mana kondisi

50

seseorang masih lemah (karena bayi atau anak-anak). Kedua, fase baligh atau fase

di mana kondisi seseorang menjadi kuat dan dewasa. Ketiga, usia lanjut yang

secara psikologis ditandai dengan adanya kepikunan dan secara biologis ditandai

dengan rambut beruban dan kondisi tubuh yang lemah. (Jannah, Yacob & Julianto:

2017, h. 100).

Allah memperkuat dalam surah al-Ghafir (40): 67:

“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani,

sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai

seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada

masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara

kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya

kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu

memahami(nya)”.(Q.S. Ghafir: 67)

Dalam kitab Tafsir An-Nawawi dijelaskan bahwasannya semua manusia

adalah makhluk yang tercipta dari mani dan dia juga tercipta dari darah dan terlahir

dari bentuk saripati makanan dan tumbuhan. Kemudian Allah swt mengeluarkan

kalian dari perut-perut ibu kalian menjadi seorang bayi agar kalian menjadi

sempurna secara akal dan tenaga. Kemudian setelah melewati fase tersebut kalian

menjadi tua, dan sebagian kalian ada yang diwafatkan sebelum usia lanjut.

(Nawawi, Juz 2, h. 255).

Ayat di atas menggambarkan periodesasi perkembangan manusia, di

antaranya adalah:

a. Tahap perkembangan prakelahiran

Dalam al-Qur‟an dijelaskan bahwasannya manusia diciptakan dalam

perut ibunya, allah berfirman dalam surah az-Zummar (39): 6:

51

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor

yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam

perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat)

demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai

kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat

dipalingkan?”

Para ilmuan membagi perkembangan prakelahiran menjadi tiga

periode, pertama tahap germinal (dari pembuahan sampai dua minggu),

kedua tahap embrio (dua sampai delapan minggu) dan ketiga tahap fetus

(dua sampai sembilan bulan).(Purwakania: 2006, h. 74)

Al-Qur‟an juga menggambarkan bahwa Allah menempatkan bayi

yang lemah pada awal perkembangannya di suatu tempat yang aman dan

kokoh, Allah berfirman dalam surah al-Mursalat (77): : 20-22:

“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina. Kemudian Kami

letakkan Dia dalam tempat yang kokoh (rahim). Sampai waktu yang

ditentukan”.(Q.S. al-Mursalat: 20-22)

Rahim (uterus) merupakan ruang kosong yang terdapat di dalam perut

ibu, ia merupakan organ berotot dan kuat dengan berat sekitar 50 gram dan

akan terus mengalami perubahan selama masa kehamilan. Ukuran rahim

akan berkembang berangsur-angsur meningkat sampai 1.100 gram pada

akhir kehamilan. (Purwakania: 2006, h. 75)

Gambar 2.6

b. Tahap Perkembangan Anak

Al-Qur‟an menggambarkan perkembangan manusia dari lahir sampai

meninggal dalam siklus alamiah, hal ini dinyatakan dalam surah ar-Ruum

(30): 54:

52

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah,

kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu

menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu

lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang

dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha

Kuasa”.(Q.S. ar-Ruum: 54)

Dalam ayat ini, digambarkan empat kondisi fisik pertama tahap lemah

yang ditafsirkan terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Kedua tahap

menjadi kuat yang terjadi pada masa remaja dan dewasa. Ketiga masa

menjadi lemah kembali, terjadi penurunan kembali dari masa penuh

kekuatan. Keempat masa di mana orang sudah beruban atau masa tua.

Berikut perkembangan motorik masa anak-anak:

Tabel 2.1

Perkembangan Motorik Masa Anak-anak (Mar‟at:2009, h. 129)

Usia/Tahun Motorik Kasar Motorik Halus

2,5-3,5 Berjalan dengan baik,

berlari lurus ke depan,

melompat

Meniru sebuah lingkaran,

tulisan cakar ayam, makan

menggunakan sendok,

menyusun beberapa kotak

3,5-4,5 Berjalan dengan 80%

langkah orang dewasa,

berlari 1/3 kecepatan

orang dewasa, melempar

dan menangkap bola

besar tetapi lengan masih

kaku

Mengancingkan baju, meniru

bentuk sederhana, membuat

gambar sederhana

4,5-5,5 Menyeimbangkan badan

di atas satu kaki, berjalan

jauh tanpa jatuh dapat

berenang dalam air yang

dangkal

Menggunting, menggambar

orang, meniru angka dan

huruf sederhana, membuat

susunan yang kompleks

dengan kotak-kotak.

c. Remaja

Remaja dianggap sebagai periode sensitif yang memiliki pengaruh

yang sangat besar bagi kehidupan individu. Periode ini menandai

perpindahan dari tahap anak-anak menjadi tahap dewasa.(Purwakania:

2006, h. 109). Sebagaimana dinyatakan dalam hadist Imam Muslim:

ثنام :القرمعننابععفننهللاعدباعنث د حباأنث د حينهللابندبعنبدم حد موي ينضرعينووزملف ةنسةرشععبرأنبانأوالتلقاديفأحموهللاملسو هيلع هللا ىلصي لوسعرضينر

53

وىوعبدالعزيزنبرىعملف قدمتععفنال.قنازجأفةنسةرشعةسخنبانأواقدنالث تفي لخذئموي (...)رواهاملسلميكبالويةيالص دباحلذإن ىالقف ثيااحلدذوىةفحد

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin

Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan

kepada kami „Ubaidullah dari Nafi‟ dari Ibnu Umar dia

berkata,”Rasulullah saw memeriksaku ketika hendak berangkat

perang uhud, ketika itu saya baru berusia empat belas tahun,

sehingga beliau pun tidak membolehkan aku ikut pergi berperang.

Ketika hendak berangkat berangkat ke medan perang khondak beliau

memeriksakku pula. Ketika itu saya telah berusia lima belas tahun,

dan beliau membolehkanku ikut berperang”. Nafi‟ berkata, maka

saya mendatangi Umar bin Abdul Aziz ketika itu dia telah menjabat

sebagai khalifah, lalu saya menyampaikan kepadaya hadist tersebut,

dia berkata, sesungguhnya itu adalah batas antara usia kecil dan usia

dewasa”. (H.R. Muslim, No. 3473).

d. Dewasa

Periode ini dimulai pada saat usia manusia berada di atas 30-an

sampai 40-an. Usia 40 tahun dianggap sebagai tahap di mana kemampuan

fisik dan intelektual mencapai kematangan. (Purwakania: 2006, h. 112).

Dan diperkuat dengan pernyataan Mar‟at (2009: 234) yang menyatakan

bahwa, “masa dewasa kemampuan fisik mencapai puncaknya”.

Al-Qur‟an menggambarkan periode ini adalah periode pencapaian

kekuatan penuh, Allah berfirman dalam surah ar-Ruum (30): 54:

... ...

“…Kemudian Dia menjadikan kamu sesudah keadaan lemah itu

menjadi kuat…”.(Q.S. ar-Ruum (30): 54)

Dan dalam surah al-Mu‟min (40): 67 dijelaskan:

… ...

“… Kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada

masa (dewasa yang penuh dengan kekuatan)…”(Q.S. al-Mu‟min: 67)

Dengan demikian periode ini merupakan tahap puncak dari kondisi

fisik, sehingga kondisi ini mendukung seseorang untuk dapat memenuhi

segala kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan kemampuan fisiknya yang

matag, mereka yang berada dalam fase ini juga diberi beban dan tanggung

jawab sebagaimana layaknya orang dewasa.

54

e. Lanjut Usia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan

manusia di dunia. Usia ini ditetapkan dalam UU mulai 60 tahun sampai

akhir kehidupan. Periode ini digambarkan dalam hadist sohih Muslim:

ثح ث حإب راىيمبنسعيدالوىريناد كاملأبالعلءعنأبصالحعناند عةعن دمحمبنربي سنة.قاأب لأبوعيسىىري رةقال:قالرسولهللاملسو هيلع هللا ىلصعمرأم يمنستيسنةإلسبعي

نأبىذاحديثحسنغريبمنحديثأبصالحعنأبىري رةوقدرويمنغيوجوع ىري رة)رواهالرتميذ(

“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa‟id al-Jauhari telah

menceritakan kepada kami Muhammad bin Rabi‟ah dari Kamil Abul

Ala‟ dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata bahwa

Rasulullah saw bersabda,”Umur ummatku berkisar antara enam

puluh sampai tujuh puluh tahun”. Abu Isa berkata: hadist ini hasan

gharib dari hadist Abu Shalih dari Abu Hurairah dan hadistini

diriwayatkan juga dari jalur sanad yang banyak dari Abu

Hurairah”.(H.R. at-Tirmidzi)

Periode lanjut usia merupakan periode terjadinya penurunan dan

perubahan degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-

paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya dan mereka lebih rentan terhadap

berbagai penyakit. (Purwakania: 2006, h. 117). Kemudian Havinghurst

(1984) menyatakan bahwa tugas-tugas perkembangan pada periode lanjut

usia hanya berbeda dalam satu hal yangpokok dari periode-periode yang

lain. Tugas-tugas itu lebih bersifat siasat bertahan, mempertahankan

kehidupan baik jasmaniah, kejiwaan dan ekonomi. (h. 201)

Al-Qur‟an menggambarkan periode ini sebagai periode di mana

manusia di panjangkan umurnya pada umur yang paling lemah, Allah

berfirman dalam surah an-Nahl (16): 70:

“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di

antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah

(pikun), supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah

diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha

Kuasa”.(Q.S. an-Nahl: 70)

Dengan demikian pada periode lanjut usia, berbagai penurunan terjadi

baik jasmani maupun daya ingat. Mereka lebih banyak mengingat masa

lalu dan sering kali melupakan apa yang baru diperbuatnya. Ayat di atas

mempertegas bahwasannya pada masa ini, mereka juga merasa telah

semakin mendekati akhir kehidupan.

55

Periodesasi perkembangan manusia dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.7

Perkembangan manusia

7. Kegiatan keagamaan yang dilakukan lansia

Kegiatan yang dilakukan lansia bisa berupa kegiatan fisik dan nonfisik.

Kegiaatan fisik perlu dilakukan untuk menjaga stamina dan kesehatan, sedangkan

kegiatan nonfisik dilakukan untuk mencegah kepikunan (Suardiman: 2011, h.

153). Kemudia hasil penelitian Muzamil, dkk. (2014: 205) menunjukkan bahwa

kegiatan fisik dapat mempertahankan aliran darah dan juga meningkatkan

penghantaran nutrisi ke otak. Lebih lanjut Suardiman (2011: 154) memaparkan

bahwa selain kegiatan fisik dan nonfisik terdapat kegiatan yang sifatnya lebih

menonjol yaitu “kegiatan keagamaan”.

Kegiatan keagamaan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT

dan diharapakan dengan adanya kegiatan keagamaan dapat memberikan efek

perasaan tenang, pasrah, berserah diri dan nyaman bagi lansia (suardiman: 2011, h.

154). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Anam (2006:134) yang

menemukan bahwa kegiatan keagamaan yang dilakukan lansia memiliki peran

yang signifikan dalam meningkatkan kebahagiaan lansia.

Suardiman (2006: 155) memberikan beberapa contoh kegiatan keagamaan

yang dapat dilakukan oleh lansia, yaitu:

a. Shalat 5 waktu dan shalat yang lain

b. Berpuasa

c. Kegiatan yang berorientasi zakat

d. Ibadah haji

e. Mengikuti atau mengadakan pengajian

f. Melaksanakan anjuran dan menghindari larangan sesuai dengan ajaran agama

yang dianutnya

g. Membaca buku-buku keagamaan

h. Mengikuti acara TV tentang agama

i. Membantu anak yatim piatu

j. Mendalami isi al-Qur‟an

8. Ciri-ciri Keberagamaan pada Lansia

Kehidupan keagamaan pada lansia menurut hasil penelitian psikologi agama

ternyata meningkat, M. Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan oleh

Cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel berusia 60-100 tahun. Temuannya

menunjukkan adanya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang

semakin meningkat pada umur tersebut (Jalaluddin: 1998, h. 98). Namun terdapat

56

pula penelitian yang menyebutkan bahwa, masa tua identik dengan masa

peningkatan aktifits keagamaan. Pada kenyataanya peningkatan tersebut juga

bergantung pada kebiasaan yang telah dilakukan lansia pada periode umur

sebelumnya, sehingga tidak sedikit lansia yang masih tergolong rendah

keberagamaannya (Ramayulis: 1993, h. 51).

Adapun ciri-ciri keberagamaan pada lansia yang pada umumnya dijelaskan

dalam beberapa buku psikologi agama, yaitu:

a. kehidupan keagamaan pada lansia sudah mencapai tingkat kemantapan atau

kematangan beragama.

b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.

c. Mulai muncul pergaulan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara

lebih bersungguh-sungguh.

d. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara

sesama manusia serta sifat-sifat luhur.

e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan

pertambahan usia.

f. Perasaan takut kematian yang berdampak pada peningkatan pembentukan sikap

keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat (Replita: 2014, h. 71).

Ciri keberagamaan lansia pada umumnya telah mencapai kematangan beragama

yang dapat terlihat dari sikapnya yang cenderung dapat menerima pendapat

keagamaan, mulai mempersiapkan kehidupan akhirat secara sungguh-sungguh,

adanya kebutuhan saling cinta terhadap sesama, timbul rasa takut kepada kematian

dan meningkatnya sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat.

Hidayat (2009: 64) menyatakan bahwasanya, “semakin lanjut usia seseorang,

tujuan belajar terasa semakin ikhlas dan mendalam, yaitu untuk menemukan

wisdom of life”. Dalam bukunya berdamai dengan kematian, Hidayat (2009)

memaparkan bahwa seseorang yang sudah berusia lanjut dan sedang dalam kondisi

sakit berat harus tetap bersikap optimis, rasional dan rida menerima kondisi yang

sedang terjadi. Anggap saja sakit dan meninggal sebagai hukum alam atau

sunnatullah yang mesti diterima apa adanya dan jangan mengingkarinya. Karena

pengingkaran terhadap sakit dan datangnya hari tua tidaklah masuk akal dan justru

akan menimbulkan penyakit baru.

Dengan demikian, pada hakikatnya setiap manusia akan melalui proses

dilahirkan dan dimatikan kembali. Lanjut usia yang suka belajar dan akrab dengan

al-Qur‟an akan menjalani hari tuanya dengan tentram dan damai serta dapat

menerima sunnatullah yang akan terjadi pada dirinya.

E. Penelitian yang Relevan

1. Juliantika, Prabowo & Amigo

Penelitian dengan judul Perbedaan Tingkat Depresi Lansia Wanita yang

Tinggal Bersama Keluarga di Kelurahan Wirogunan dengan Tinggal di Panti

Wredha Hanna Yogyakarta pada tahun 2015. Dalam penelitian tersebut ditemukan

data 50% lansia yang tinggal di Panti Wredha Hanna mengalami depresi dengan

kategori ringan, sedang dan berat dan 27,3% lansia yang tinggal bersama keluarga

mengalami depresi dengan kategori ringan.

Perbedaan penelitian yang dilakukan terdahulu dengan penelitian yang

dilakukan peneliti terletak pada variabel penelitian, penelitian terdahulu

membandingkan tingkat depresi lansia wanita yang tinggal di rumah dan di panti.

57

Sedangkan variabel penelitian ini adalah pembinaan keagamaan, fungsi keluarga

dan kematangan beragama lansia.

2. Emma Indirawati

Penelitian dengan judul Hubungan antara Kematangan Beragama dengan

Kecenderungan Strategi Coping pada tahun 2006. Dalam penelitian tersebut

ditemukan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kecenderungan

strategi coping. Dengan koefisien determinasi kematangan beragama terhadap

kecenderungan strategi coping sebebsar 14,82%. Semakin tinggi kematangan

beragama semakin tinggi kecenderungan menggunakan problem Focused Coping.

Perbedaan antara peneliti terdahulu dan penelitian ini adalah penelitian

terdahulu mencoba melihat hubungan antara kematangan agama dengan

kecendrungan strategi coping, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mencoba

menganalisis pembinaan keagamaan yang diberikan kepada lansia terhadap

kematangan beragama lansia.

3. Mahoney, Pargament, Tarakeshwar dkk

Penelitian dengan judul Religion in the home in the 1980s and 1990s: A

Meta-Analytic Review and Conceptual Analysis of Links Between Religion,

Marriage and Parenting pada tahun 2001. Dalam penelitian tersebut para peneliti

terdahulu menelaah 94 penelitian tentang agama dan keluarga. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa afiliasi keagamaan, frekuensi kehadiran dalam ibadah dan

kegiatan keagamaan, keagamaan personal dan kesamaan religiusitas anggota

keluarga berhubungan secara positif dengan kepuasan pernikahan. Pengukuran

religiusitas juga berhubungan secara positif dengan komitmen pernikahan dan

berhubungan secara negatif dengan konflik rumah tangga dan angka perceraian.

Perbedaan antara peneliti terdahulu dan penelitian ini adalah penelitian

terdahulu menganalisis hubungan antara agama dengan keluarga baik dari sisi

keutuhan keluarga maupun perceraiannya. Sedangkan penelitian ini menganalisis

fungsi keluarga dalam melakukan pembinaan terhadap lansia.

4. Ibnu Hasan Muchtar

Penelitian dengan judul Kehidupan Beragama Lanjut Usia di PSTW Budhi

Dharma, Bekasi pada tahun 2009. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa

Undang-undang No. 13 Tahun 1998 belum memperoleh perhatian serius dari

pimpinan PSTW Budi Dharma Bekasi. Kebijakan Pemerintah dalam pembinaan

kehidupan beragama lansia masih bersifat penunjukan dengan surat tugas sebagai

penanggung jawab pembinaan keagamaan. Serta pola-pola pembinaan keagamaan

lansia dari pemerintah di panti belum ada.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah penelitian

terdahulu hanya meneliti pembinaan keagamaan lansia di panti serta menganalisis

implementasi kebijakan pemerintah. Sedangkan penelitian ini mencoba untuk

menganalisis perbedaan pembinaan keagamaan yang diberikan lansia dalam

keluarga dengan pembinaan keagamaan lansia di panti.

58

Lansia yang tinggal di rumah Lansia yang tinggal di panti

Pembinan Keagamaan

1. Akidah

2. Ibadah

3. Akhlak

Fungsi Keluarga

1. Adaptasi

2. Kemitraan

3. Pertumbuhan

4. Kasih sayang

5. Kebersamaan

Kematangan Beragama Lansia

1. Akidah

2. Ibadah

3. Perilaku

F. Kerangka Teori

Gambar 2.8

Kerangka Teori

Gambar 2.8 menjelaskan bahwasannya penuaan merupakan proses fisiologis

yang pasti dialami oleh setiap manusia. Masa lansia merupakan masa di mana

seseorang mengalami kemunduran fungsi baik secara fisik, psikologis maupun

sosial. Penurunan fisik pada umumnya dipengaruhi menurunnya fungsi pembuluh

darah, khususnya pembuluh dalah kapiler yang mengakibatkan jumlah darah yang

mengalir ke organ tubuh menjadi menurun, sehingga terjadi pengerutan organ

tubuh. Dampak yang terjadi pada otak adalah berkurangnya fungsi daya ingat atau

masyarakat umum lebih sering menggunakan istilah pelupa atau pikun. Secara

psikis perubahan yang terjadi timbulnya rasa cemas, kurang bersih dan gejala

paranoid seperti keras kepala, mudah tersinggung, mudah marah, curiga dan

gelisah (Zakiyah & Hasan: 2015, h. 3).

Kemunduran fungsi yang dialami oleh lansia tidaklah menjadi faktor

penghambat lansia untuk tetap beribadah. Salah satu ciri keberagamaan pada masa

usia lanjut adalah Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat

keagamaan hal tersebut disetujui oleh Zakiyah dan Hasan (2015:3) bahwasannya,

59

“lansia lebih tertarik pada aktivitas yang berhubungan dengan sosial keagamaan”.

Hal itu dikarenakan lansia sudah tidak dibebani lagi dengan tanggungan keluarga

dan pekerjaan. Agama menempati kedudukan penting dalam kehidupan lansia.

Hasil penelitian Parker, Roff, Klemmack dkk (2003) mereka yang memiliki

kematangan beragama lebih sedikit memiliki gejala depresi dan lebih baik

kesehatan mentalnya dibandingkan dengan mereka yang lebih rendah kematangan

beragamanya (Zakiyah & Hasan: 2017, h.101).

Masa tua identik dengan masa peningkatan aktifitas keagamaan. Namun pada

kenyataannya peningkatan tersebut juga bergantung pada kebiasaan yang telah

dilakukan lansia pada periode umur sebelumnya, sehingga tidak sedikit lansia yang

masih tergolong rendah keberagamaannya. Merujuk pada Jalaludin dan Ramayulis

(1993: 51) bahwa “keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dan

ketetapan kepercayaan, namun pada kenyataannya masih terdapat orang dewasa

yang berubah keyakinan ke arah acuh tak acuh terhadap agama”. Hal ini disetujui

oleh Nasution (2009: 2) yang memaparkan bahwa, “terdapat fakta yang

menunjukkan menurunnya keberagamaan pada lansia”. Dua fenomena tersebut

mengindikasi bahwasanya usia seseorang tidak dapat manjadi acuan untuk

mengukur kematangan beragama seseorang.

Oleh karena itu, pemberian pembinaan keagamaan kepada lansia dipandang

perlu untuk membantu kondisi lansia yang mulai mengalami berbagai penurunan

fungsi baik jasmani, rohani maupun sosialnya. Hal ini merujuk pada penelitian

yang dilakukan oleh Dosen Keperawatan Handayani (2016) hasil dari

penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan seperti dzikir dan do‟a

bisa dijadikan terapi untuk mengurangi tingkat stres pada lansia. Hasil

penelitiannya menunjukkan 18 orang lansia (100%) mengalami stres ringan dan

setelah melakukan dzikir dan do‟a persentase untuk stres ringan menjadi (66,7%)

yang dialami oleh 12 lansia dan 6 lansia tidak mengalami stres dengan persentase

(33,3%).

Fungsi keluarga merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang

dalam konteks keluarga. Fungsi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan lansia

sangatlah penting dalam kehidupan lansia sehari-hari, terutama fungsi keluarga

sebagai motivator, edukator dan fasilitator. Fungsi keluarga sebagai edukator

merupakan fungsi dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pada lansia, di antaranya

keluarga memberikan pengertian kepada lansia tentang berinteraksi dengan baik

kepada orang lain, keluarga yang memberikan arahan dan contoh kepada lansia

yang lupa dengan tata cara beribadah serta memberikan fasilitas untuk beribadah

seperti al-Qur‟an, buku-buku agama dan menyediakan waktu pada acara hari-hari

bersar bersama keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian, pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga dapat

memberikan dampak pada kematangan beragama lansia. Kematanan beragama

tersebut yang nantinya akan mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Semua

tingkah laku dalam kehidupannya yang akan berdampak pada kesehatannya jiwa

lansia.

60

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka teori, maka hipotesis penelitian yang

diajukan dalam penelitian ini adalah:

1 Terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama lansia

2 Terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

3 Terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan keagamaan dan

fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

61

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis data kuantitatif, jenis data kuantitatif menurutu

Siregar (2015: 38) adalah “data berupa angka yang dapat diolah dan dianalisis dengan

menggunakan teknik perhitungan statistik”. Jenis data kuantitatif yang digunakan

dalam penelitian ini adalah kuantitatif non eksperimental dengan teknik analisis data

regresi linier berganda dan komparasi uji-t.

Penelitian komparatif menurut Nazir (2005) adalah sejenis penelitian deskriptif

yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab akibat dengan

menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena

tertentu. Tujuan dari penelitian komparatif ini adalah untuk menyelidiki hubungan

salah satu variabel dengan variabel lainnya dengan hanya menguji apakah nilai

variabel terikat dalam suatu kelompok berbeda dengan nilai variabel terikat dalam

kelompok lainnya. Dalam penelitian komparatif, sering digunakan teknik korelasi,

yaitu meneliti derajat ketergantungan dalam hubungan-hubungan antar variabel

dengan menggunakan koefisien korelasi (Saepul & Bahruddin: 2014, h. 7).

Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian komparatif menguji perbedaan-perbedaan

antara dua kelompok atau lebih.

Menurut Hasan (2009: 16) terdapat dua jenis komparatif, yaitu “komparatif

antara dua sampel dan komparatif k sampel (komparatif antara lebih dari dua

sampel)”. Dan model komparatif sampel terbagi menjadi dua jenis, yaitu sampel yang

berkorelasi (terkait) dan sampel yang tidak berkorelasi (independen).

Penelitian ini menggunakan penelitian komparatif antara dua sampel dengan

sampel yang tidak berkorelasi (independen). Peneliti akan membandingkan pengaruh

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama antara

lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.

Dalam penelitian ini tidak ada pengontrol variabel maupun manipulasi atau

perlakuan dari peneliti. Penelitian dilakukan secara alamiah, peneliti mengumpulkan

data dengan menggunakan instrumen yang bersifat mengukur. Hasilnya dianalisis

secara statistik untuk dicari perbedaan di antara variabel yang diteliti dengan dua

subyek yang berbeda. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu dua variabel

independent (variabel bebas) pembinaan keagamaan dalam keluarga (X1) dan

pembinaan keagamaan di panti sosial (X2). Sedangkan variabel dependent (terikat)

dalam penelitian ini adalah kematangan beragama lansia (Y). Berikut desain

penelitian dalam penelitian ini:

62

X1

X2

Y A

B

X1

X2

Y

Keterangan:

A = Lansia yang tinggal di rumah

B = Lansia yang tinggal di panti sosial

X1 = Pembinaan keagamaan

X2 = Fungsi keluarga

Y = Kematangan beragama

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di wilayah Tangerang Selatan. Tangerang Selatan

memiliki 48 Kelurahan, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti

terkait wilayah tersebut, di Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa Buntu terdapat

lansia muslim yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.

Adapun beberapa alasan utama pemilihan lokasi penelitian di kawasan Kelurahan

tersebut adalah sebagai berikut, kawasan Kelurahan Jurangmangu Barat dan Rawa

Buntu termasuk wilayah Tangerang Selatan yang mana di wilayah tersebut terdapat

lansia muslim, baik lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga maupun lansia

yang tinggal di panti sosial.

Penelitian ini berlansung kurang lebih dua bulan selama periode Maret-April

2018.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Prasetyo (2011, h. 119) populasi adalah “keseluruhan gejala atau

satuan yang ingin diteliti”. Hal tersebut disetujui oleh Noor (2012: 147) bahwa

populasi digunakan “untuk menyebutkan seluruh elemen atau anggota dari suatu

wilayah yang menjadi sasaran penelitian atau merupakan keseluruhan dari objek

penelitian”. Sedangkan menurut Sujarweni dan Endrayanto (2012: 13) populasi

adalah “wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai

63

kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

dan kemudian ditarik kesimpulannya”.

Populasi target pada penelitian ini adalah lansia yang tinggal di Tangerang

Selatan sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah lansia yang

tinggal di wilayah kelurahan Rawa Buntu dan Jurangmangu Barat. Dua Kelurahan

tersebut dipilih karena ada lansia muslim yang tinggal di rumah dan tinggal di

panti sosial.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi (Prasetyo: 2011, h. 119). Noor (2012: 147) mendefinisikan sampel

“sejumlah anggota yang dipilih dari populasi”. Sampel diperlukan bila penelitian

tidak bermaksud untuk meneliti seluruh populasi yang ada, sedangkan tujuan

penelitian adalah menemukan generalisasi yang berlaku untuk umum. Dalam

penelitian ini pengambilan sampel menggunakan pendekatan Purposive Sampling

di mana peneliti memilih sampel berdasarkan pertimbangan tertentu sedemikian

sehingga sampel yang diperoleh dapat mewakili populasi yang sedang diteliti

maupun memungkinkan untuk melakukan perbandingan-perbandingan. Adapun

kriteria sampel dalam penelitian ini, yaitu:

a. Umur > 60 (berdasarkan UU RI)

b. Lansia bersedia menjadi responden

c. Beragama Islam

d. Dapat berkomunikasi dengan baik

e. Tidak dalam keadaan sakit fisik berat serta sakit mental

f. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan

g. Lansia yang tinggal di panti sosial

h. Lansia yang tinggal di lingkungan extended family (keluarga besar)

Berdasarkan kriteria sampel di atas, maka jumlah sampel ditetapkan sebanyak

31 orang untuk lansia yang tinggal di rumah dan 25 orang lansia yang tinggal di

panti sosial, dengan jumlah keseluruhan sampel 56 orang lansia.

D. Sumber Data

1. Data Primer adalah data yang diperoleh dari fakta-fakta yang dikelola oleh peneliti

lansung dari lapangan penelitian. Data tersebut diperoleh oleh peneliti melalui

jawaban responden, yaitu lansia yang tinggal bersama keluarga dan lansia yang

tinggal di panti sosial.

2. Data Sekunder adalah semua data yang tidak termasuk data primer. Data

pelengkap yang diperoleh baik dari hasil kajian kepustakaan yang terkait dengan

permasalahan penelitian dan data-data yang dibutuhkan untuk penguatan data

primer. Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara,

data-data BPS dan studi pustaka yang peneliti peroleh terkait penelitian ini.

E. Operasional Variabel

1. Pengertian Variabel

Variabel dalam penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu variabel

bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variabel). Variabel

bebas dalam penelititian kuantitatif merupakan variabel yang menjelaskan

64

terjadinya fokus atau topik penelitian, sedangkan variabel terikat variabel yang

dijelaskan dalam fokus penelitian. (Bambang: 2011, h. 67)

2. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel

a. Pembinaan Keagamaan

1) Definisi Konseptual

Pembinaan keagamaan dalam penelitian ini adalah salah satu cara untuk

mengembangkan pertumbuhan spiritual dan moral pada lansia melalui

dimensi akidah ibadah dan akhlak dengan harapan setelah diberikannya

pembinaan keagamaan dapat memberikan tuntunan serta pegangan hidup

yang dapat memberikan dampak rasa tenang terhadap lansia dalam

menjalani kehidupannya.

2) Definisi Operasional

Pembinaan keagamaan dalam penelitian ini adalah skor total yang

diperoleh responden dalam menjawab pertanyaan berdasarkan

pengembangan kisi-kisi instrumen yang diukur melalui dimensi akidah,

ibadah, akhlak dan aktivitas pembinaan keagaman.

b. Fungsi Keluarga

1) Definisi Konseptual

Fungsi keluarga dalam penelitian ini merupakan hasil akhir atau akibat

dari struktur keluarga, yang terdiri dari lima dimensi, yaitu adaptasi,

kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan. Dengan harapan

agar terjalin hubungan yang senantiasa damai dan tentram.

2) Devinisi Operasional

Fungsi keluarga dalam penelitian ini adalah skor total yang diperoleh

dari jawaban responden berdasarkan angket yang diadopsi dan

dikembangkan melalui kisi-kisi instrumen fungsi keluarga (APGAR

Keluarg) yang dapat diukur melalui dimensi: adaptasi, kemitraan,

pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan.

c. Kematangan Beragama

1) Definisi Konseptual

Kematangan beragama dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi

tiga, yaitu pertama yang berhubungan dengan akidah dan dekat dengan

Tuhan, kedua ibadah, taat beribadah dan beribadah secara sukarela

berdasarkan kesadaran bukan karena paksaan hal ini lebih karena faktor

internal, ketiga berhubungan dengan perilaku, tidak mudah putus asa,

senantiasa bersyukur, mudah memaafkan, toleran, terbuka dan harmoni.

2) Devinisi Operasional

Kematangan beragama dalam penelitian ini adalah skor total yang

diperoleh dari jawaban responden berdasarkan pada pengembangan kisi-kisi

instrumen kematangan beragama yang dapat diukur melalui dimensi:

akidah, ibadah dan perilaku.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini terdiri atas tiga jenis instrumen yaitu untuk mengukur

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

65

baik lansia yang berada di lingkungan keluarga maupun lansia yang berada di panti

sosial. Ketiga jenis instumen tersebut berbentuk angket (kuesioner) dengan

menggunakan skala likert. Penjelasan instrumen sebagai berikut:

1. Kisi-kisi instrumen pembinaan keagamaan

Pernyataan-pernyataan dalam mengukur pembinaan keagamaan menggunakan

skala likert dengan alternatif pilihan yaitu Selalu, Sering, Kadang-kadang, Tidak

Pernah. Masing-masing pernyataan diberi skor satu sampai tiga. Untuk pernyataan

yang bersifat positif kemungkinan jawaban diberi skor sebagai berikut: Selalu = 4,

Sering = 3, Kadang-kadang = 2, dan Tidak Pernah = 1. Sedangakan untuk

pernyataan negatif diberi skor sebagai berikut: Selalu = 1, Sering = 2, Kadang-

Kadang = 3 dan Tidak Pernah = 4. Kisi-kisi instrumen penelitian variabel

pembinaan keagamaan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Pembinaan Keagamaan

Variabel Dimensi Indikator No Item

Total Positif Negatif

Pembinaan

Keagamaan

Akidah 1. Menanamkan nilai-nilai

ketaqwaan kepada Lansia.

2. Merefleksikan nilai-nilai

ketaqwaan dengan

kehidupan sehari-hari.

2,9 12 3

Ibadah 1. Membina lansia untuk

beribadah kepada Allah.

2. Membiasakan lansia

untuk melaksanakan

shalat, puasa, dzikir serta

melakukan do’a harian.

3. Memberikan informasi

terkait manfaat ritual

ibadah terhadap

kesehatan lansia.

4,6,15,19 14,16,10 6

Akhlak 1. Membina lansia untuk

senantiasa berprilaku

baik.

2. Membina lansia untuk

dapat memaafkan.

3. Menceritakan kisah Nabi

dan para tokoh teladan

5,11,17 3 4

Aktivitas

Keagamaan

Memotivasi lansia untuk

berpartisipasi mengikuti

kegiatan pengajian atau

penyuluhan keagamaan yang

diadakan di lingkungan

sekitar.

8,13,20 1,7,18 6

Total 12 8 20

66

2. Kisi-kisi Instrumen Fungsi keluarga

Fungsi keluarga dalam penelitian ini mengadopsi dan mengembangkan

kuesioner dari Family APGAR (Smilkstein, dkk: 1962, h. 304). Dalam kuesioner

ini terdapat 5 butir pernyataan positif dengan menggunakan pengukuran skala

likert. Jawaban Selalu (S) = 3, Kadang-kadang (KK) = 2 dan Tidak Pernah (TP) =

2. Kisi-kisi instrumen penelitian variabel fungsi keluarga dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 3.3 Kisi-kisi Instrumen Fungsi Keluarga

Variabel Dimensi Indikator No Item

Total Positif Negatif

Fungsi

Keluarga

Adaptasi 1. Peduli

2. Dinamis 1 1

Kemitraan 1. Kerjasama

2. Bertanggung jawab

3. Rasa aman

2 1

Pertumbuhan 1. Iman dan takwa

2. Kemandirian

3. Kualitas keluarga

3 1

Kasih sayang Sikap empati 4 1

Kebersamaan Meluangkan waktu 5 1

Total 5 5

3. Kisi-kisi Instrumen kematangan beragama lansia

Penyataan-pernyataan yang mengukur kematangan beragama lansia

menggunakan skala likert dengan alternatif pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Masing-masing

pernyataan yang bersifat positif kemungkinan jawaban diberi skor sebagai berikut:

SS = 4, S = 3, TS = 2 dan STS = 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif diberi

skor sebagai berikut: SS = 1, S = 2, TS = 3 dan STS = 4. Kisi-kisi instrumen

penelitian variabel kematangan beragama lansia dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.4 Kisi-kisi Instrumen Kematangan Beragama

Variabel Dimensi Indikator No Item

Total Positif Negatif

Kematangan

Beragama

Akidah 1. Pemahaman

akidah

2. Tujuan

berdasarkan

akidah

1,4,6,10,14,22 5,8,17 9

Ibadah 1. Taat

beribadah

2. Beribadah

berdasarkan

sukarela

2,9,12,16,20,21 18,7 8

Perilaku 1. Tidak putus

asa

13,19,23,24,25,27

,29

3,11,15,

26,28 12

67

2. Senantiasa

bersyukur

3. Toleran

4. Harmoni

Total 19 10 29

G. Validitas Instrumen

Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu

mengukur apa yang ingin diukur. (Siregar: 2015, h. 77). Suatu instrumen pengukuran

dapat dikatakan valid jika instrumen tersebut dapat mengukur sesuatu dengan tepat.

Adapun rumus yang digunakan untuk uji validitas adalah: (Muhidin: 2007, h. 31)

Rumus yang digunakan sebagai berikut:

= ∑ (∑ ) (∑ )

√[ ∑ (∑ ) ][ ∑ (∑ ) ]

Keterangan:

= Koefisien korelasi antar item instrumen yang akan digunakan

dengan variabel yang bersangkutan

= Jumlah responden uji coba

X = Skor item instrumen yang akan digunakan

Y = Skor semua item instrumen dalam variabel tersebut

Siregar (2013: 77) mengatakan suatu instrumen penelitian dikatakan valid, apabila:

1. Koefisien korelasi product moment melebihi 0,3

2. Koefisien korelasi product moment > r-tabel (α ; n-2) n= jumlah sampel

3. Nilai sig ≤ α

H. Reliabilitas Instrumen

Reabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap

konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang

sama dengan menggunakan alat pengukur yang sama pula. (Siregar: 2013, h. 87).

Validitas butir pernyataan selanjutnya dihitung reliabilitasnya, yaitu untuk

mengetahui konsistensi dari instrumen sebagai alat ukur, sehingga suatu hasil

pengukuran dapat dipercaya. (Muhidin: 2007, h. 37).

Formula yang dipergunakan untuk menguji reliabilitas instrumen dalam penelitian

ini menggunakan rumus Alfa Cronbach yang digunakan sebagai berikut:

r11 = (

) (

)

Keterangan:

r11 = Reliabilitas instrumen atau koefisien alpha

K = Banyaknya bulir soal

68

∑ = jumlah varians bulir

= varians total

N = Jumlah responden

Keputusan pengujian reliabilitas dengan menggunakan tingkat kepercayaan (α) =

5% adalah sebaga berikut:

1. Item pertanyaan atau pernyataan kuesioner penelitian dikatakan reliabel jika thitung

> 0,6.

2. Item pertanyaan atau pernyataan kuesioner penelitian dikatakan tidak reliabel jika

thitung < 0,6. (Siregar: 2013, h. 90).

I. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian

1. Uji Validitas

Pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan untuk uji validitas adalah

30 orang. Siregar (2013: 77) mengatakan suatu instrumen penelitian dikatakan

valid, apabila: Koefisien korelasi product moment melebihi 0,3 Koefisien korelasi

product moment > r-tabel. Adapun rumus untuk mencari r-tabel pada uji instrumen

ini adalah sebagai berikut:

df = n-2

diketahui:

n = jumlah responden

Standar kemaknaan r tabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5%

maka diketahui df dari sampel penelitian adalah sebagai berikut:

df = 30-2 = 28

maka dengan demikian, r-tabel pada penelitian ini yang mengacu pada standar

rumusan adalah 0,361. Adapun hasil uji validitas yang telah dihitung oleh peneliti

menggunakan aplikasi SPSS. 20 adalah sebagai berikut:

Tabel 3.5 Hasil Uji Instrumen Pembinaan Keagamaan (X1)

No r-hitung r-tabel Keterangan

1 0,464 0,361 Valid

2 0,399 0,361 Valid

3 0,290 0,361 Tidak Valid

4 0,756 0,361 Valid

5 0,767 0,361 Valid

6 0,695 0,361 Valid

7 0,116 0,361 Tidak Valid

8 0,645 0,361 Valid

9 0,297 0,361 Tidak Valid

10 0,497 0,361 Valid

11 0,444 0,361 Valid

69

12 0,211 0,361 Tidak Valid

13 0,428 0,361 Valid

14 0,447 0,361 Valid

15 0,419 0,361 Valid

16 0,527 0,361 Valid

17 0,618 0,361 Valid

18 0,599 0,361 Valid

19 0,664 0,361 Valid

20 0,538 0,361 Valid

Tabel 3.6 Hasil Uji Instrumen Kematangan Beragama (Y)

No r-hitung r-tabel Keterangan

1 0,455 0,361 Valid

2 0,357 0,361 Tidak Valid

3 0,440 0,361 Valid

4 0,431 0,361 Valid

5 0,440 0,361 Valid

6 0,285 0,361 Tidak Valid

7 0,319 0,361 Tidak Valid

8 0,369 0,361 Valid

9 0,420 0,361 Valid

10 0,590 0,361 Valid

11 0,520 0,361 Valid

12 0,630 0,361 Valid

13 0,404 0,361 Valid

14 0,630 0,361 Valid

15 0,429 0,361 Valid

16 0,274 0,361 Tidak Valid

17 0,170 0,361 Tidak Valid

18 0,343 0,361 Tidak Valid

19 0,230 0,361 Tidak Valid

20 0,481 0,361 Valid

21 0,723 0,361 Valid

70

22 0,419 0,361 Valid

23 0,161 0,361 Tidak Valid

24 0,175 0,361 Tidak Valid

25 0,475 0,361 Valid

26 0,289 0,361 Tidak Valid

27 0,638 0,361 Valid

28 0,219 0,361 Tidak Valid

29 -0,089 0,361 Tidak Valid

2. Uji Reliabilitas

Keputusan pengujian reliabilitas dengan menggunakan tingkat kepercayaan

(α) = 5% adalah sebaga berikut: Item pertanyaan atau pernyataan kuesioner

penelitian dikatakan reliabel jika thitung > 0,6. Berdasarkan hasil perhitungan

menggunakan aplikasi SPSS.20 diperoleh hasi sebagai berikut:

Tabel 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Pembinaan Keagamaan (X1)

Berdasarkan hasil reliabelitas di atas, diketahui nilai Cronbach Alpha sebesar

0,833 > 0,6. Oleh karena itu instrument pembinaan keagamaan dapat dikatakan

reliabel.

Tabel 3.8 Hasil Uji Reliabilitas Kematangan Beragama (Y)

Berdasarkan hasil reliabelitas di atas, diketahui nilai Cronbach Alpha sebesar

0,772 > 0,6. Oleh karena itu instrument pembinaan keagamaan dapat dikatakan

reliabel.

J. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh

data yang diperlukan dalam penelitian. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

N of Items

,833 20

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

N of Items

,772 29

71

dalam penelitian ini, teknik yang digunakan angket/kuesioner dan wawancara. Teknik

kuesioner ini digunakan untuk menggali data dengan membagikan lembar pernyataan

yang bersifat tertutup kepada lansia yang telah dijadikan sampel dalam penelitian ini.

Data yang dianalisis dengan teknik pengumpulan data ini adalah tentang pengaruh

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama antara

lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.

Teknik pengumpulan data dengan wawancara digunakan sebagai pelengkap data

yang belum diperoleh sepenuhya melalui angket, yaitu dengan cara mengadakan tanya

jawab langsung dengan informan.

Tabel 3.9 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

No Data Sumber Data Teknik Pengumpulan

Data

1 Data Pokok

a. Data tentang pembinaan

keagamaan lansia dalam

keluarga

b. Data tentang pembinaan

keagamaan lansia dalam panti

c. Data tentang kematangan

beragama lansia yang tinggal

bersama keluarga dan tinggal

di panti sosial

Lansia

Lansia

Lansia

Angket

Angket

Angket

2 Data Penunjang

Membina lansia di rumah dan di

panti sosial

Keluarga lansia

dan pengurus

panti sosial

Wawancara

K. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik statistik inferensial, statistik inferensial

menurut Kadir (2015:5) adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan hasil

pengujian hipotesis menggunakan data sampel. Sifatnya lebih umum berupa

generalisasi atau prediksi berdasarkan data sampel representatif yang menggambarkan

karakteristik populasi. Teknik analisis komparasional adalah salah satu teknik analisis

kuantitatif yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis mengenai ada tidaknya

perbedaan antar variabel yang sedang diteliti. Jika perbedaan itu ada, apakah

perbedaan itu merupakan perbedaan yang signifikan atau hanya kebetulan saja.

Analisis data untuk menguji hipotesis komparatif adalah dengan statistik uji-t.

Adapun persyaratan analisis untuk berlakunya uji-t, yaitu: penempatan subjek dalam

kelompok-kelompok yang akan diuji harus dipilih secara acak, datanya harus normal

dan homogen. Analisis tentang perbedaan dua parameter rata-rata dapat digolongkan

menjadi tiga jenis, yaitu: analisis perbedaan dua parameter rata-rata sampel bebas, dua

sampel tak bebas dan dua sampel yang tak homogen (Kadir: 2015, h. 295). Dalam

penelitian ini menggunakan uji analisis perbedaan dua parameter rata-rata sampel

bebas yaitu sampel yang keberadaannya tidak saling memengaruhi. Adapun kedua

sampel yang tidak mempengaruhi tersebut adalah pengaruh pembinaan keagamaan

72

dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia yang tinggal di rumah dan

tinggal di panti sosial.

Analisis data untuk melihat pengaruh pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga

terhadap kematangan beragama lansia menggunakan regresi linier berganda, yaitu bila

topik permasalahan terdiri dari satu variabel tak bebas (dependent) dan dua variabel

bebas (independent).Dengan tahapan analisis data sebagai berikut:

1. Regresi linear ganda

a. Analisis deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk mencari harga rata-rata, varians,

simpangan baku, distribusi frekuensi, modus, mean, median.

b. Uji persyaratan analisis data

Uji persyaratan analisis dengan melakukan:

1) Uji normalitas

Uji normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data

sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. (Supranto: 2013, h.

152). Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah dengan uji

kolmogorov-smirnov dan untuk pengujiannya dengan menggunakan SPSS.

Keputusan pengujian normalitas dengan menggunakan taraf

signifikansi 5% adalah sebaga berikut (Kadir: 2015, h. 157):

a) Distribusi populasi normal, jika probabilitas > 0,05

b) Distribusi populasi tidak normal, jika probabilitas ≤ 0,05

2) Uji Homogenitas

Uji homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dua atau

lebih kelompok sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang

sama. (Supranto: 2013, h. 155). Dalam penelitian ini pengujian

homogenitas menggunakan SPSS.

Keputusan pengujian homogenitas dengan menggunakan taraf

signifikansi uji α = 0,05 adalah sebagai berikut (Supranto: 2013, h. 157):

a) Jika signifikansi yang diperoleh > α maka variansi setiap sampel sama

(homogen).

b) Jika signifikansi yang diperoleh < α maka variansi setiap sampel tidak

sama (tidak homogen).

3) Linieritas

Uji linieritas dilakukan dengan mencari persamaan regresi variabel

bebas X terhadap variabel Y (Supranto: 2013, h. 157). Dalam penelitian ini

uji linieritas memanfaatkan SPSS. Interpretasi hasil analisis dilakukan

dengan:

a) Menetapkan taraf signifikansi 0,05

b) Membandingkan signifikansi yang ditetapkan dengan signifikansi yang

diperoleh dari analisis (sig.), yaitu:

a) Bila α < Sig., berarti regresi linier

b) Bila α > Sig., berarti regresi tidak linier

73

4) Multikolinieritas

Uji multikolinieritas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan antar variabel bebas. Cara menginterpretasikan data

multikolinieritas adalah dengan melihat nilai tolerance dan VIF (variance

inflanion facktor). Jika nilai tolerance > dari 0,01 maka dapat dikatakan

tidak terjadi multikolinieritas atau jika nilai VIF < 10 maka dapat

dikatakan tidak terjadi multikolinieritas juga.

c. Pengujian statistik

Pengujian statistik dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi

ganda. Menurut Muhiddin (2011, h. 198) analisis regresi ganda adalah “alat

untuk meramalkan nilai pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap satu

variabel terikat untuk membuktikan ada tidaknya hubungan fungsional atau

hubungan kausal antara dua atau lebih variabel bebas terhadap variabel Y”.

Dalam penelitian ini, perhitungan analisis regresi ganda menggunakan

aplikasi SPSS dengan tahapan analisis sebagai berikut (Kadir: 2015, h. 198):

1) Persamaan linear ganda dan uji signifikansi koefisien persamaan regresi

Hipotesis H0 = β1 < 0

H1 = β1 > 0

Hipotesis H0 = β2 < 0

H1 = β2 > 0

Untuk melihat apakah variabel X1 (pembinaan keagamaan) berpengaruh

terhadap variabel Y (kematangan beragama lansia) dan apakah variabel X2

(fungsi keluarga) berpengaruh terhadap varibel Y (kematangan beragama

lansia).

2) Uji signifikansi persamaan regresi ganda

Hipotesis H0 = β1 = β2

H1 = β1 ≠ β2

Untuk melihat apakah terdapat pengaruh linear variabel pembinaan

keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) dengan kematangan beragama

lansia (Y). Hal ini juga bermakna terdapat pengaruh secara bersama-sama

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia.

3) Uji signifikansi koefisien korelasi ganda

Hipotesis H0 = ρy.12 ≤ 0

H1 = ρy.12 > 0

Untuk melihat varibel X1 dan X2 secara bersama-sama memberikan

pengaruh terhadap variabel Y

2. Uji-t

Pengujian statistik uji-t untuk sampel independen dengan aplikasi SPSS.

Adapun langkah-langkah analisis adalah sebagai berikut:

a. Merumuskan hipotesis

H0 : µ1 = µ2

74

H1 : µ1 ≠ µ2

Artinya:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang

tinggal di rumah dan tinggal di panti

H1 : Terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang tinggal di

rumah dan tinggal dipanti

b. Menghitung harga “t” observasi ditulis “t0 atau thitung”

c. Menentukan harga “ttabel” berdasarkan derajat bebas (db) yaitu db = n1 + n2 – 2

(n1 dan n2 jumlah data kelompok 1 dan 2)

d. Membandingkan harga t0 dan ttabel dengan dua kriteria:

Jika t0 ≤ ttabel maka hipotesis nihil (H0) diterima

Jika t0 > ttabel maka hipotesis nihil (H0) ditolak

e. Kesimpulan pengujian

Jika H0 diterima, berarti tidak ada perbedaan parameter rata-rata populasi

Jika H0 ditolak, berarti ada perbedaan parameter rata-rata populasi.

L. Hipotesis Statistik

Berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan di atas, maka hipotesis statistik

dalam penelitian ini adalah:

1. H0 : β1< 0

H1 : β1 > 0

Artinya:

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap

kematangan beragama lansia.

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap

kematangan beragama lansia.

2. H0 : β2 < 0

H1 : β2 > 0

Artinya:

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia.

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia.

3. H0 : β3 < 0

H1 : β3 > 0

Artinya:

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

H1 : Terdapat pengaruh yang simultan antara pembinaan keagamaan dan fungsi

keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

75

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Dalam bagian ini, akan dideskripsikan tentang, Pondok Lansia Berdikari,

Pesantren Lansia, wilayah Kelurahan Jurangmangu Barat, wilayah Keluarahan

Serpong secara umum, meliputi profil tempat penelitian, visi, misi dan kegiatan yang

ada di tempat penelitian ini. Gambaran umum tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

1. Profil Panti

Pondok Lansia Berdikari merupakan salah satu panti sosial dikelola oleh

pihak swasta yang berada di daerah BSD Griya Loka Sektor 1.6 Jl. Kubis Blok

A3/10, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten. Hal tersebut dapat dilihat

sebagai berikut:

Gambar 4.1

Letak Pondok Lansia Berdikari

Dari gambar 4.1 dapat diketahui bahwasanya Pondok Lansia Berdikari berada

di wilayah Kelurahan Serpong dan letaknya yang jauh dari kebisingan jalan raya,

membuat suasana panti menjadi tenang. Pondok Lansia Berdikari ini termasuk

panti sosial swasta yang tidak hanya menerima lansia yang berbayar saja, tetapi

menerima yang tidak berbayar juga. (Hasil Wawancara dengan Ketua Panti)

2. Sejarah Pondok Lansia Berdikari

Pondok lansia berdikari berdiri secara resmi lembaga pada tanggal 22 Mei

2013 yang berlokasi di daerah BSD Griya Loka Sektor 1.6 Jl. Kubis Blok A3/10,

Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, sedangkan wacana pembentukkannya

pada akhir Desember 2012. Awal mula perkembangan panti dimulai dari kegiatan

bakti sosial yang diadakan dan jumlah lansia yang tinggal di panti berjumlah enam

orang, fluktuatif jumlahnya karena faktor usia dan sampai sekarang jumlahnya ada

25 orang. Pondok lansia berdikari masih menggunakan rumah sewa dan sekarang

sedang proses pembangunan gedung evaluasi di Tigaraksa Tangerang, dengan

wacana gedung keselamatan lansia, yaitu selamat dari api, listrik, kamar mandi dan

obat-obatan.

76

3. Visi Misi

Visi Misi didirikannya Pondok Lansia Berdikari adalah untuk menyayangi

lansia sepanjang masa dan menjadi tempat asah, asih, asuh lansia dengan dasar

peduli sosial.

4. Kegiatan Panti

a. Pemeriksaan kesehatan rutin

b. Kegiatan Pembinaan keagamaan

c. Berkumpul dan bergaul

Kegiatan pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh tenaga medis dan

terkadang dari pihak mahasiswa kedokteran ada yang turut serta memberikan

bantuan pemeriksaan kesehatan kepada para lansia yang ada di Pondok Lansia

Berdikari. Selain pemeriksaan kesehatan, banyak kegiatan-kegiatan bakti sosial

yang dilakukan baik oleh para mahasiswa, maupun ibu –ibu pengajian yang turut

serta menghibur, berkumpul dan bergaul dengan para lansia dan dari kegiatan ini

membuat para lansia sangat terhibur. (hasil wawancara dengan Ketua Panti)

5. Pesantren Lansia

a. Sejarah Singkat

Pesantren lansia berada di bawah naungan Yayasan Adjhis yang berlokasi

di daerah Tangerang Selatan tepatnya di Jl. Flamboyan I Blok D7/5 RT 010/015

Pd. Safari Indah Jurangmangu Barat, Pondok Aren, Tangerang Selatan. Sejarah

berdirinya pesantren lansia berawal dari pemikiran tentang jumlah panti jompo

yang banyak, namun panti jompo yang bertujuan untuk mendekatkan lansia

kepada Allah serta dapat menjadikan lansia yang berpulang ke rumah Allah

dengan husnul khotimah masih terbilang jarang. Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan oleh ketua panti, di Indonesia jumlah pesantren lansia hanya

ada lima, oleh karena hal tersebut makan Yayasan Adjhis membuat terobosan

baru dengan mendirikan pesantren lansia ini.

b. Visi Misi

Visi Misi didirikannya Pesantren Lansia adalah untuk meraih masa depan

dengan predikat husnul khotimah, menghindari kepikunan dan kejenuhan

dengan adanya kegitan yang bermanfaat serta mewujudkan bakti kepada orang

tua, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

c. Kegiatan Pembinaan

Tabel 4.1

Kegitan Pembinaan Keagamaan

Hari Jam Kegiatan Keterangan

Senin-Kamis 06.00-11.00

- Tahsin atau tilawah al-

Qur‟an

- Do‟a pagi dan petang

- Shalat dhuha

- Latihan kultum

Busana

Muslim-

Muslimah dan

membawa

peralatan

77

13.30-15.00

- Kajian Quran

shalat

Jum‟at 06.00-11.00

13.30-15.00

- Tahsin atau tilawah

al-Qur‟an

- Do‟a pagi dan petang

- Sholat dhuha

- Tasmi‟ dan hafal

Qur‟an

- Kajian Qur‟an

Sabtu 06.00-11.00

13.30-15.00

- Tahsin atau tilawah

al-Qur‟an

- Do‟a pagi dan petang

- Shalat dhuha

- Tausiyah dan tanya

jawab

- Kajian Qur‟an

Ahad 06.00-11.00

13.30-15.00

- Olahraga

- Tahsin atau tilawah al-

Qur‟an

- Do‟a pagi dan petang

- Shalat dhuha

- Putar film islami

- Kajian Qur‟an

Sumber: Wawancara dengan Ketua Yayasan Pesantren Lansia

Pada table 4.1 dijelaskan tentang kegiatan yang dilaksanakan di Pesantren

lansia pada setiap minggunya. Walaupun terkadang proses pembinaan kurang

berjalan dengan baik dikarenakan kondisi lansia yang tidak memungkinkan

untuk mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan. (Hasil wawancara dengan

ketua Pesantren Lansia) Materi tahsin dan tilawah al-Qur‟an dilakukan

perorangan, di mana lansia mengaji di pandu oleh Pembina keagamaan.

Kegiatan latihan kultum dilakukan dengan mengadakan acara seperti tablig

akbar dan para lansia yang menjadi penceramahnya. Untuk kegiatan olahraga

bersifat kondisional saja, melihat kondisi lansia dan bersifat sukarela tidak ada

paksaan bagi lansia yang tidak mau mengikuti kegiatan olahraga.

d. Klasifikasi dan Kategori Lansia

1) Kelas Elementary = Lansia muallaf

2) Kelas Intermediate = Lansia mukallaf yang ingin memperdalam ilmu

3) Kelas Advance = Lansia yang ingin kebahagiaan dunia & akhirat

Berdasarkan penjelasa Bapak Adjma (selaku ketua Pesantren Lansia), beliau

mengklasifikasikan lansia yang datang ke pesantren lansia menjadi tiga kategori,

yaitu pertama lansia muallaf, pada suatu ketika ada seorang lansia mantan pendeta

yang datang dan ingin belajar agama Islam di Pesantren Lansia, kedua lansia yang

78

mukallaf, yaitu lansia yang pada dasarnya sudah memahami Islam dengan baik.

Seperti ada lansia yang dahulunya bekerja di kementrian agama datang ke

pesantren lansia, oleh karena itu di sini disediakan juga perpustakaan mini untuk

sarana para lansia yang ingin membaca. Kategori ketiga lansia kelas advance di

peruntukan untuk semua lansia yang tinggal di Pesantren Lansia yang sama-sama

memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

6. Kelurahan Jurangmangu Barat

Kelurahan Jurangmangu Barat terletak di sebelah Timur Kabupaten

Tangerang dengan luas wilayah 369,90 Ha, yang terdiri dari 96 RT dan 15 RW.

Adapun batasan-batasan wilayah Kelurahan Jurangmangu Barat terdapat 4 (empat)

bagian yaitu (Kecamatan Pondok Aren dalam angka 2017):

a. Utara berbatasan dengan = Kelurahan Peninggilan

b. Timur berbatasan dengan = Kelurahan Jurangmangu Timur

c. Barat berbatasan dengan = Kelurahan Pondok Ranji

d. Barat berbatasan dengan = Kelurahan Pondok Aren dan Kelurahan Pondok

Jaya

Tabel 4.2

Luas Wilayah Jurangmangu Barat

Luas

Wilayah

Luas Lahan Letak Geografis

Sawah Darat Pantai Lembah Lereng Dataran

369,90Ha - 24 529 Km2 - - - √

Pada tabel 4.2 Kelurahan Jurangmangu Barat hanya terdiri dari lahan darat

saja, tidak terdapat sawah. Dan berdasarkan letak geografisnya tidak terdapat

pantai, lembah dan lereng hanya ada dataran saja. (BPS Tangsel 2017)

Tabel 4.3

Penduduk Wilayah Jurangmangu Barat

Penduduk Jumlah Rumah Tangga

Laki-laki Perempuan

26 262 25374 13,091

Pada tabel 4.3 berdasarkan data BPS Tangsel tahun 2017 dijelaskan

bahwasannya penduduk wilayah Jurangmangu Barat terdiri dari penduduk laki-laki

dan perempuan dengan jumlah rumah tangga 13,091. (BPS Tangsel 2017)

Tabel 4.4

Penduduk Menurut Kelompok Usia

No Usia Jumlah

1 0-4 4902

2 5-9 4512

79

3 10-14 3722

4 15-19 4235

5 20-24 4451

6 25-29 4962

7 30-34 4917

8 35-39 4700

9 40-44 4342

10 45-49 3713

11 50-54 2857

12 55-59 1891

13 60-64 1156

14 65+ 1276

Jumlah 51636

Berdasarkan data BPS 2017 jumlah penduduk yang tinggal di Kelurahan

Jurangmangu Barat sebesar 51636 jiwa. Pada Tabel 4.4 di uraikan jumlah

penduduk berdasarkan usia diketahui bahwa penduduk lansia berusia 60-65+ yang

tinggal di kelurahan Jurangmangu Barat sebesar 4,8% dari Jumlah penduduk yang

tinggal di Kelurahan Jurangmangu Barat.(BPS Tangsel 2017)

Tabel 4.5

Jenis Institusi Sosial

Karang Taruna Panti Asuhan Panti Jompo

Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak

√ - √ - √ -

Pada tabel 4.5 dijelaskan bahwasannya di wilayah Jurangmangu Barat

terdapat beberapa institusi sosial di antaranya adalah karang taruna dan panti

jompo.(BPS Tangsel 2017) Karang Taruna merupakan wadah untuk

mengembangkan generasi muda yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sebagai

wujud kepedulian sosial. Karang Taruna di kelurahan Jurangmangu Barat sudah

melalui proses pelantikan yang dihadiri oleh anggota DPRD Banten, Aparatur

Kecamatan Pondok Aren dan para tokoh masyarakat. (Korang Tangerang, 8

Januari 2017) Terdapat panti jompo di kelurahan Jurangmangu Barat yaitu

pesantren lansia yang dikelola oleh yayasan adhjis. (BPS Tangsel 2017)

7. Kelurahan Rawa Buntu

Kelurahan Rawa Buntu memiliki luas wilayah 3,28 Km2, yang terdiri dari 104

RT dan 19 RW. Adapun batasan-batasan wilayah Kelurahan Jurangmangu Barat

terdapat 4 (empat) bagian yaitu (Kecamatan Serpong dalam angka 2017):

a. Utara berbatasan dengan kelurahan Lekong Gudang Timur.

80

b. Timur berbatasan dengan kelurahan Rawa Mekar Jaya.

c. Selatan berbatasan dengan Kelurahan Ciater.

d. Barat berbatasan dengan Kelurahan Serpong dan Kelurahan Cilenggang.

Tabel 4.6

Luas Lahan

Luas Lahan

Sawah Bukan Sawah Non Pertania

- 0,13 3,60

Pada tabel 4.6 dijelaskan bahwasannya luas lahan di wilayah kelurahan

Serpong yang bukan lahan sawah adalah 0,13 dan luas lahan non pertanian 3,60

data tersebut peneliti peroleh dari data (BPS Tangsel 2017).

Tabel 4.7

Letak Geografis

Pantai Bukan Pantai

Lembah Lereng Dataran

- - - √

Pada tabel 4.7 dijelaskan bahwasannya secara geografis wilayah kelurahan

serpong tidak terdapat pantai, lembah, lereng hanya terdapat dataran saja. (BPS

Tangsel 2017)

Tabel 4.8

Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin

Penduduk Jumlah Rumah

Tangga Laki-laki Perempuan

16 421 17 347 8 014

Pada tabel 4.8 dijelaskan bahwasanya di wilayah kelurahan Serpong terdapat

penduduk laki-laki dan perempuan dengan jumlah rumah tangga 8014. (BPS

Tangsel 2017)

Tabel 4.9

Penduduk Menurut Kelompok Usia

No Usia Jumlah

1 0-4 2870

2 5-9 2749

3 10-14 2690

81

4 15-19 2940

5 20-24 2875

6 25-29 2749

7 30-34 2919

8 35-39 3244

9 40-44 3196

10 45-49 2720

11 50-54 1842

12 55-59 1139

13 60-64 717

14 65+ 1208

Jumlah 33858

Berdasarkan data BPS 2017 jumlah penduduk yang tinggal di Rawa Buntu

sebesar 33856 jiwa. Pada Tabel 4.9 di uraikan jumlah penduduk berdasarkan usia

diketahui bahwa penduduk lansia berusia 60-65+ yang tinggal di kelurahan Rawa

Buntu sebesar 5,7% dari Jumlah penduduk yang tinggal di Kelurahan Rawa

Buntu. (BPS Tangsel 2017)

B. Uji Prasyarat Analisis Data

1. Analsisi Deskripsi Data

a) Lansia di rumah

Tabel 4.10

Komposisi Responden

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari table di atas, terlihat responden lansia yang tinggal di rumah berjumlah

31 orang dengan rincian laki-laki berjumlah 11 orang lansia dan perempuan

82

berjumlah 20 orang lansia. Dengan latar belakang pendidikan SD berjumlah 24

orang, SMP 5 orang, SMA 1 orang dan S1 1 orang.

Tabel 4.11 Hasil Deskriptif Variabel X1, X2 dan Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Mean atau rata-rata variable X1 adalah 41,69 dengan standar error sebesar

0,785. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat

kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (41,69 ±

1,96 x 0,785) = (41,69 ± 1,539) = (40,151- 43,23). Angka 1.96 adalah Z untuk

tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%

rata-rata sampel variable X1 sebesar 41,69 mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran 40,151 sampai 43,23.

Mean atau rata-rata X2 adalah 12,25 dengan standar error sebesar 0,415.

Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat

kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (12,25 ±

1,96 x 0,415) = (12,25 ± 0,8134) = (11,437- 13,063). Angka 1.96 adalah Z untuk

tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%

rata-rata sampel variable X1 sebesar 12,25 mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran 11,437 sampai 13,063.

Mean atau rata-rata variable Y adalah 31,83 dengan standar error sebesar

0,717. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat

kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (31,83 ±

1,96 x 0,717) = (31,83 ± 1,405) = (30,42 – 33,23). Angka 1.96 adalah Z untuk

tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%

rata-rata sampel variable X1 sebesar 12,25 mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran 11,437 sampai 13,063.

Nilai median sebesar 31,50 mengandung arti 50% sampel mempunyai

kematangan beragama 31,50 ke atas dan 50% mempunyai kematangan beragama

31,50% ke bawah.

83

Data pembinaan keagamaan yang paling sering muncul adalah 41 dan data

fungsi keluarga 15 sedangkan kematangan beragama 30.

Standar deviasi adalah 3,991 dan varians adalah 15,930 menunjukkan tingkat

keragaman data. Dengan standar deviasi sebesar 3,991 dan tingkat kepercayaan

95% maka rata-rata kematangan beragama lansia pada sampel menjadi (rata-rata

± 1,96 standard deviation). Dengan demikian (31,83 ± 1,96 x 3,991) = (31,83 ±

7,82) = (24,00- 39,7) atau kematangan beragama 31 orang lansia berkisar antara

24,00 sampai 39,7.

Ukuran skewness adalah -0,440. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-

skewness dengan rumus: (rs)

=

= 1,05. Jika rasio

skewness berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.

Rasio skewness 1,05 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan

beragama diasumsikan berdistribusi normal. Karena data kematangan beragama

berdistribusi normal, maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data

dengan uji parametrik.

Ukuran kurtosis adalah 0,280. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-

kurtosis dengan rumus: (rk)

=

= 0,341. Jika rasio

kurtosis berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.

Rasio kurtosis 1,05 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan beragama

diasumsikan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal, maka data

tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.

Data minimum adalah 29, 6 dan 21 sedangkan data maksimum adalah 47, 15

dan 40. Sehingga (47-29) = 18, (15-6) = 9 dan (40-21) = 19, dalam praktik

semakin besar range semakin bervariasi suatu data.

Tabel 4.12

Hasil Deskriptif Kematangan Beragama Berdasarkan Gender

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

84

Rata-rata kematangan beragama lansia laki-laki 32,13 dengan tingkat

kepercayaan 95% rata-rata tersebut dapat mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran antara 28,64 sampai 35,61. Sedangkan rata-rata untuk lansia perempuan

sebesar 31,67 data mengestimasi rata-rata populasi pada kisaran 30,12 sampai

33,22.

Rasio skewness dan kurtosis, diperoleh: skewness pria = -0,761/0,661 = 1,151

dan skewness lansia perempuan = -0,87/0,512 = 1,7. Karena kedua hasil tersebut

tidak di bawah -2 dapat diasumsikan bahwa data kematangan beragama baik lansia

laki-laki dan perempuan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal,

maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.

b) Lansia di Panti Tabel 4.13

Komposisi Responden

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari table 4.13, terlihat responden lansia yang tinggal di panti berjumlah 25

orang dengan rincian laki-laki berjumlah 11 orang lansia dan perempuan

berjumlah 14 orang lansia. Dengan latar belakang pendidikan SD berjumlah 9

orang, SMP 9 orang, SMA 4 orang dan S1 3 orang. Untuk rentang usia 60-65

tahun berjumlah 8 orang, 66-75 berjumlah 14 orang, 78-85 berjumlah 2 orang dan

usia > 86 tahun hanya 1 orang.

85

Tabel 4.14

Hasil Deskriptif Variabel X1, X2 dan Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Mean atau rata-rata variable X1 adalah 39,91 dengan standar error sebesar

1,094. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat

kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (39,91 ±

1,96 x 1,094) = (39,91 ± 2,14) = (37,77- 42,05). Angka 1.96 adalah Z untuk tingkat

kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95% rata-rata

sampel variable X1 sebesar 39,91 mengestimasi rata-rata populasi pada kisaran

37,77sampai 42,05.

Mean atau rata-rata variable X2 adalah 10,86 dengan standar error sebesar

0,535. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat

kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (10,86 ±

1,96 x 0,535) = (10,86 ± 1,047) = (9,813- 11,907). Angka 1.96 adalah Z untuk

tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%

rata-rata sampel variable X1 sebesar 10,86 mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran 9,813 sampai 11,907.

Mean atau rata-rata variable Y adalah 30,77 dengan standar error sebesar

1,390. Sehingga estimasi rata-rata populasi terhadap data sampel pada tingkat

kepercayaan 95% adalah (rata-rata ± 1,96 standard error mean) atau (30,77 ±

1,96 x 1,390) = (30,77 ± 2,724) = (28,046 – 33,50). Angka 1.96 adalah Z untuk

tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dengan tingkat kepercayaan 95%

rata-rata sampel variable X1 sebesar 30,77 mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran 28,046 sampai 33,50.

Nilai median sebesar 31,99 mengandung arti 50% sampel mempunyai

kematangan beragama 31,99 ke atas dan 50% mempunyai kematangan beragama

31,99% ke bawah.

86

Data pembinaan keagamaan yang paling sering muncul adalah 34 dan data

fungsi keluarga 14 sedangkan kematangan beragama 21.

Standar deviasi adalah 6,951 dan varians adalah 48,310 menunjukkan tingkat

keragaman data. Dengan standar deviasi sebesar 6,951 dan tingkat kepercayaan

95% maka rata-rata kematangan beragama lansia pada sampel menjadi (rata-rata

± 1,96 standard deviation). Dengan demikian (30,77 ± 1,96 x 6,951) = (30,77 ±

13,623) = (17,150 – 44,37) atau kematangan beragama 25 orang lansia berkisar

antara 17,150 sampai 44,37.

Ukuran skewness adalah -0,440. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-

skewness dengan rumus: (rs)

=

= 0,97. Jika rasio

skewness berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.

Rasio skewness 0,97 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan

beragama diasumsikan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal,

maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.

Ukuran kurtosis adalah 0,280. Ukuran tersebut dapat diubah menjadi rasio-

kurtosis dengan rumus: (rk)

=

= 1,421. Jika rasio

kurtosis berada pada kisaran -2 sampai + 2 maka distribusi data adalah normal.

Rasio kurtosis 1,421 berada pada kisaran tersebut, maka data kematangan

beragama diasumsikan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi normal,

maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji parametrik.

Data minimum adalah 31, 6 dan 21 sedangkan data maksimum adalah 51, 14

dan 42. Sehingga (51-31) = 20, (14-6) = 8 dan (42-21) = 21, dalam praktik

semakin besar range semakin bervariasi suatu data.

Tabel 4.15

Hasil Deskriptif Kematangan Beragama Berdasarkan Gender

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

87

Rata-rata kematangan beragama lansia laki-laki 29,56 dengan tingkat

kepercayaan 95% rata-rata tersebut dapat mengestimasi rata-rata populasi pada

kisaran antara 24,46 sampai 34,66. Sedangkan rata-rata untuk lansia perempuan

sebesar 31,73 data mengestimasi rata-rata populasi pada kisaran 27,95 sampai

35,50.

Rasio skewness dan kurtosis, diperoleh: skewness laki-laki = -0,400/0,661 =

0,605 dan skewness lansia perempuan = -0,468/0,597 = 0,784. Karena kedua hasil

tersebut tidak di bawah -2 dapat diasumsikan bahwa data kematangan beragama

baik lansia laki-laki dan perempuan berdistribusi normal. Karena data berdistribusi

normal, maka data tersebut memenuhi syarat untuk dinalisis data dengan uji

parametrik.

2. Uji Normalitas

Dalam penelitian ini, rumusan uji normalitas yang digunakan adalah

Kolmogrov-Smirnov. Uji normalitas dilakukan untuk memerikasa apakah populasi

berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas perlu dicek keberlakuannya agar

langkah-langkah selanjutnya dapat dipertanggung jawabkan.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan aplikasi SPSS. 20 diperoleh

hasil uji normalitas sebagai berikut:

Tabel 4.16

Hasil Uji Normalitas

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Hipotesis yang akan diuji dalam kasus ini adalah: H0 = Distribusi populasi normal, jika probabilitas > 0,05, H0 diterima.

H1 = Distribusi populasi tidak normal, jika probabilitas ≤ 0,05, H0 ditolak.

Dari output Tabel 4.16, diperoleh Test Statistic sebesar 0,394 (X1) 1,076 (X2)

dan 0,849 (Y) dan pada baris Asymp. Sig (2-tailed) sebesar 0,998 (X1), 0,197 (X2)

dan 0,467 (Y). Berikut ini rangkuman hasil uji normalitas data variabel penelitian,

sebagaimana tertera pada Tabel 4.17:

88

Tabel 4.17

Kesimpulan Hasil Uji Normalitas

No Variabel Nilai

Probabilitas Nilai α Kesimpulan

1 Pembinaan Keagamaan 0,998 0,05 Normal

2 Fungsi Keluarga 0,197 0,05 Normal

3 kematangan Beragama 0,467 0,05 Normal

3. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah objek (tiga sampel atau

lebih) yang diteliti mempunyai varian yang sama. Berikut hasil perhitungan

menggunakan aplikasi SPSS. 20.

Tabel 4.18

Hasil Uji Homogenitas

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari hasil analisis pada Tabel 4.18, diperoleh signifikansi sebesar 0, 216 >

0,05 dan 0,315 > 0,05, maka dapat disimpulkan variabel X1 dan X2 mempunyai

varian yang sama. Sedangkan variabel Y 0,001 < 0,05. Karena populasi kedua

kelompok heterogen maka akan dipilih kolom Equal variances not assumed.

4. Uji Linearitas

Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui garis hubungan antara variabel

dependen dan variabel independen. Uji linieritas dalam penelitian ini

menggunakan aplikasi SPSS. 20, jika nilai Sig. > 0,05 berarti data tersebut

berkolerasi linier. Berikut hasil pengujian linieritas:

89

Tabel 4.19

Uji Linieritas X1 ke Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Uji linieritas pada Tabel 4.19, menunjukkan nilai Sig. 0,461 > 0,05 nilai

tersebut menandakan bahwa antara pembinaan keagamaan dengan kematangan

beragama lansia mempunyai hubungan yang linier.

Tabel 4.20

Uji Linieritas X2 ke Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Uji linieritas pada Tabel 4.20, menunjukkan nilai Sig. 0,139 > 0,05 nilai

tersebut menandakan bahwa antara fungsi keluarga dengan kematangan beragama

lansia mempunyai hubungan yang linier.

5. Uji Multikolinieritas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk melihat apakah setiap variabel bebas

berkorelasi tinggi satu sama lain atau tidak. Cara menginterpretasikan data

multikolinieritas adalah dengan melihat nilai tolerance dan VIF (variance

inflanion facktor). Jika nilai tolerance > dari 0,01 maka dapat dikatakan tidak

terjadi multikolinieritas, atau jika nilai VIF < dari 10 maka dapat dikatakan tidak

terjadi multikolinieritas juga. Berikut hasil perhitungan dengan SPSS. 20 pada

pengujian multikolinieritas:

90

Tabel 4.21

Uji Multikolinieritas

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Berdasarkan output pada Tabel 4.21, diketahui nilai tolerance pembinaan

keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) adalah 0,994 > dari 0,10. Sementara nilai

VIF variabel X1 dan X2 adalah 1,006 < dari 10,00 sehingga dapat disimpulkan

bahwa tidak terjadi multikolinieritas. Dengan demikian proses pengujian hipotesis

dapat dilakukan.

C. Uji Hipotesis

Hipotesis dapat dikatakan sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang

dirumuskan, maka dari itu pengujian hipotesis diperlukan untuk menjawab kebenaran

tersebut secara empirik.

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan uji-t dan teknik

regresi linier berganda.

1. Hipotesis Pertama

Pengujian hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini mengikuti

langkah-langkah sebagai berikut:

a. Merumuskan Hipotesis statistik:

H0 : β1< 0

H1 : β1 > 0

Artinya:

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap

kematangan beragama lansia.

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap

kematangan beragama lansia.

b. Persamaan linear ganda dan uji signifikansi koefisien persamaan regresi

Tabel 4.22

Pengaruh X1 Terhadap Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

91

Dari Tabel 4.22, pada kolom B diperoleh konstanta b0 = 11,539, koefisien

regresi b1 = 0,337 dan b2 = 0,518. Sehingga persamaan regresi linear ganda

adalah Ŷ = 0,539 + 0,337X1 + 0,518X2.

Dari hasil analisis seperti disarikan pada Tabel 4.22, menunjukkan harga

statistik untuk koefisien variabel X1 (pembinaan Keagamaan) yaitu thit = 2,405

dan p-value = 0,020/2 = 0,01< 0,05 H0 ditolak, yang bermakna terdapat

pengaruh yang signifikan pembinaan keagamaan terhadap kematangan

beragama lansia.

c. Uji signifikansi regresi ganda

Tabel 4.23

Interaksi Variabel X1 dan X2 Terhadap Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari hasil analisis yang disarikan pada Tabel 4.23 diperoleh, harga statistik

F kolom ke-5 yaitu Fhit = 5,112 dan p-value = 0,009/2 = 0,0045 < 0,05 atau hal

ini berarti H0 ditolak. Artinya terdapat pengaruh linear variabel pembinaan

keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) dengan kematangan beragama lansia

(Y). Hal ini juga bermakna terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan)

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama

lansia.

d. Uji signifikansi koefisien korelasi ganda

Tabel 4.24

Hasil Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Uji signifikansi koefisien korelasi ganda diperoleh dari Tabel 4.24 terlihat

bahwa koefisien korelasi ganda (Ry.12) = 0,301 dan Fhit (Fchange) = 5,112, serta p-

value = 0,009 < 0,05 atau H0 ditolak. Dengan demikian, koefisien korelasi

ganda antara X1 dan X2 dengan Y adalah signifikan. Sedangkan koefisien

determinasi ditunjukkan oleh R Square = 0,162, yang mengandung makna

bahwa 16,2% variabilitas variabel kematangan beragama lansia (Y) dapat

dijelaskan oleh pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2), sehingga

92

dapat disimpulkan bahwa pengaruh pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga

secara bersama-sama terhadap kemtangan beragama lansia sebesar 16,2%.

e. Uji signifikansi koefisien korelasi parsial

Tabel 4.25

Korelasi antara X1 dan Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari hasil analisis pada Tabel 4.25 diperoleh (ry1.2) = 0,314 dan p-value =

0,020 < 0,05 atau H0 ditolak. Dengan demikian, koefisien korelasi antara

pembinaan keagamaan (X1) dan kematangan beragama (Y) dengan mengontrol

variabel fungsi keluarga (X2) adalah signifikan.

2. Hipotesis Kedua a. Merumuskan hipotesis statistik

H0 : β2 < 0

H1 : β2 > 0

Artinya:

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia.

H1 : Terdapat pengaruh yang signifikan fungsi keluarga terhadap kematangan

beragama lansia.

b. Persamaan linear ganda dan uji signifikansi koefisien persamaan regresi

Tabel 4.26

Pengaruh X2 Terhadap Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

93

Dari Tabel 4.26, pada kolom B diperoleh konstanta b0 = 11,539, koefisien

regresi b1 = 0,337 dan b2 = 0,518. Sehingga persamaan regresi linear ganda

adalah Ŷ = 0,539 + 0,337X1 + 0,518X2.

Dari hasil analisis seperti disarikan pada Tabel 4.26, menunjukkan harga

statistik untuk koefisien variabel fungsi keluarga (X2) yaitu thit = 1,912 dan p-

value = 0,061/2 = 0,030 < 0,05 atau H0 ditolak, yang bermakna terdapat

pengaruh yang signifikan fungsi keluarga (X2) terhadap kematangan beragama

lansia (Y).

c. Uji signifikansi regresi ganda

Tabel 4.27

Interaksi Variabel X1 dan X2 Terhadap Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari hasil analisis yang disarikan pada Tabel 4.27 diperoleh, harga statistik

F kolom ke-5 yaitu Fhit = 5,112 dan p-value = 0,009 < 0,05 atau hal ini berarti

H0 ditolak. Artinya terdapat pengaruh linear variabel pembinaan keagamaan

dan fungsi keluarga dengan kematangan beragama lansia. Hal ini juga

bermakna terdapat pengaruh secara bersama-sama (simultan) pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

d. Uji signifikansi koefisien korelasi ganda

Tabel 4.28

Hasil Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Uji signifikansi koefisien korelasi ganda diperoleh dari Tabel 4.28 terlihat

bahwa koefisien korelasi ganda (Ry.12) = 0,301 dan Fhit (Fchange) = 5,112, serta p-

value = 0,009/2 = 0,0045 < 0,05 atau H0 ditolak. Dengan demikian, koefisien

korelasi ganda antara X1 dan X2 dengan Y adalah signifikan. Sedangkan

koefisien determinasi ditunjukkan oleh R Square = 0,162, yang mengandung

makna bahwa 16,2% variabilitas variabel kematangan beragama lansia (Y)

dapat dijelaskan oleh pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2),

94

sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh pembinaan keagamaan dan fungsi

keluarga secara bersama-sama terhadap kemtangan beragama lansia sebesar

16,2%.

e. Uji signifikansi koefisien korelasi parsial

Tabel 4.29

Korelasi antara X2 dan Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari hasil analisis pada Tabel 4.29 diperoleh (ry2.1) = 0,254 dan p-value =

0,061 > 0,05 atau H0 diterima. Dengan demikian, koefisien korelasi X2 dan Y

dengan mengontrol variabel X1 adalah tidak signifikan.

Koefisien korelasi yang lebih besar akan memberikan pengaruh yang lebih

besar terhadap kriterion. Untuk mempermudah urutan peringkat keeratan

hubungan atau pengaruh antara variabel bebas dengan terikat, disajika koefisien

korelasi parsial pada Tabel berikut:

Tabel 4.30

Peringkat hubungan/pengaruh

Koefisien Korelasi

Parsial

N thitung Peringkat

(ry1.2) = 0,293

(ry2.1) = 0,098

31

31

2,405

1,912

Pertama

Kedua

Dari hasil analisis pada Tabel 4.30, menunjukkan bahwa peringkat pertama

keeratan hubungan/pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat dimiliki

oleh variabel pembinaan keagamaan (X1) dan peringkat kedua fungsi keluarga

(X2). Hal ini berimplikasi bahwa apabila variabel kematangan beragama (Y)

lansia ingin ditingkatkan maka faktor pertama yang perlu diperbaiki adalah

variabel pembinaan keagamaan (X1) untuk lansia kemudian yang kedua adalah

variabel fungsi keluarganya (X2).

f. Uji-t

Uji-t dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada perbedaan

kematangan beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang

tinggal di panti sosial. Pada asumsi tersebut, hipotesisnya adalah:

95

a. Menentukan hipotesis statistik

H0 : µ1 = µ2

H1 : µ1 ≠ µ2

Artinya:

H0 : Tidak terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang tinggal

di rumah dan tinggal di panti

H1 : Terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang tinggal di

rumah dan tinggal dipanti sosial.

b. Pengambilan keputusan

Uji hipotesis yang pertama, dihitung dengan bantuan aplikasi SPSS. 20,

adapun hasil perhitungan uji-t akan dipaparkan pada Tabel di bawah ini:

Tabel 4.31

Rata-rata Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Pada Tabel 4.31 terlihat rata-rata kematangan beragama lansia yang

tinggal di rumah sebesar 31,38 dan standar deviasi 3,991 serta kematangan

beragama lansia yang tinggal di panti sosial sebesar 30,77 dan standar deviasi

6,945. Hal ini berarti secara deskriptif kematangan beragama lansia yang tinggal di

rumah lebih besar daripada kematangan beragama lansia yang tinggal di panti

sosial.

Tabel 4.32

Perbedaan Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Pada Tabel 4.32 kolom equal variances assumed, dan baris Levene‟s Test

For Equality Variances diperoleh F 13,159 dengan angka sig. Atau p-value =

0,001 < 0,05 yang berarti varians populasi kedua kelompok heterogen.

Karena varians data heterogen, maka akan dipilih kolom Equal Variances

not assumed, dan pada baris t-test for Equality Means diperoleh harga t =

0,678, db = 54 dan sig. (2 tailed) atau p-value = 0,502/2 = 0,251 > 0,05 atau H0

96

diterima. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan kematangan beragama

antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial.

3. Hipotesis Ketiga

a. Merumuskan hipotesis statistik

H0 : β3 < 0

H1 : β3 > 0

Artinya:

H0 : Tidak terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

H1 : Terdapat pengaruh yang simultan (bersama-sama) antara pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

b. Kaidah pengujian

Jika, FTabel ≤ Fhitung maka terima H0

Jika FTabel > Fhitung maka Tolak H0

c. Membandingkan antara FTabel dan Fhitung

Tabel 4.33

Pengaruh Simultan X1 dan X2 Terhadap Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Dari Tabel 4.33 diperoleh nilai Fhitung = 5,112 sedangkan nilai FTabel dapat dicari

dengan menggunakan Tabel F dengan cara:

FTabel = ( ) ( ) ( )

Di mana:

M = 2, n = 56, α = 0,05

Dk = 56-2-1 = 53

FTabel = ( ) ( ) = 3,17

Ternyata Fhitung = 5,112 > FTabel = 3,17 sehingga H0 di tolak. Berdasarkan

perhitungan di atas dapat diketahui terdapat pengaruh yang simultan (bersama-

sama) antara pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) terhadap

kematangan beragama lansia (Y).

D. Hasil Wawancara

1. Pondok Lansia Berdikari

a. Data umum

Nama Informan : M. Sholeh, S.SOSIO

Jabatan : Ketua Panti Lansia Berdikari

Tanggal Wawancara : Minggu, 29 April 2018

97

b. Sintesis hasil wawancara

1) Bagaimana letak dan keadaan geografis panti?

Jawab: Pondok Lansia Berdikari berlokasi di daerah BSD Griya Loka Sektor

1.6 Jl. Kubis Blok A3 No.10 Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangerang

Selatan, Banten.

2) Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan panti?

Jawab: Panti itu berdiri 22 Mei 2013 secara resmi lembaga kalau wacana

pembentukkannya Desember 2012. Perkembangannya dimulai dari enam

orang lansia, fluktuatif jumlahnya sampai sekarang ada 30 orang karena

faktor usia. Awal mula saya sendiri yang mengurusi, sekarang sudah ada

sembilan orang kerja dan untuk rumahnya masih rumah sewa dan

alhamdulillah sekarang sedang dalam tahap pembangunan gedung sendiri di

Tiga Raksa Tangerang. Gedung ini dirancang untuk gedung keselamatan

lansia seperti selamat api, listrik, kamar mandi, ranjang dan obat-obatan

disertai riwayat kesehatan perkembangan dan penurunan kondisi lansia dari

hari kehari.

3) Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya panti?

Jawab: Visi, Misi kita menyayangi lansia dan menjadi tempat asah, asih dan

suh lansia, di mana lansia bisa bermain dengan lansia, nyambung ga

nyambung yang penting ngobrol dan peduli sosial. Panti kita masih input

data lansia yang tidak berbayar kalau di panti lain yang tidak berbayar tidak

diinput datanya.

4) Bagaimana keadaan pembinaan keagamaan, pegawai panti dan lansia?

Jawab: kegiatan pembinaan keagamaan di sini biasanya kita mendengarkan

tausiah dari pembina keagamaan dan baca yasin tahlil. Pegawai yang bisa

melakukan standar perawatan lansia seperti, mandi, makan. Untuk kondisi

lansia mayoritas lansia yang ada di sini kondisinya dalam keadaan sakit.

5) Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?

Jawab: Untuk sarana prasarana masih memakai rumah sewa, karena awal

berdiri panti ini dari kegiatan-kegiatan baksos.

6) Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?

Jawab: pembinaan keagamaan di panti ini penekanannya lebih kepada

ibadah sehari-hari seperti shalat, do‟a, dzikir, yasin, tahlil

7) Adakah dukungan pihak kementrian sosial? Jika ada, bagaimana bentuk

dukungan tersebut?

Jawab: Dukungan Kementrian Sosial ada, misalnya bantuan sapras, asistansi

lansia, pengembangan panti, bantuan kurir untuk lansia yang masih kerja di

luar panti meskipun bantuanya hanya satu tahun sekali, kalau mengajukan

pasti sembilan panti di Banten itu dapet.

98

2. Pesantren Lansia

a. Data umum

Nama Informan : Adjma, SE, MM.

Jabatan : Ketua Pesantren Lansia

Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018

b. Sintesis hasil wawancara

1) Bagaimana letak dan keadaan geografis panti?

Jawab: Pesantren lansia berlokasi di daerah Tangerang Selatan tepatnya

di Jl. Flamboyan I Blok D7/5 RT 010/015 Pd. Safari Indah

Jurangmangu Barat, Pondok Aren.

2) Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan panti?

Jawab: Panti jompo kan banyak, tetapi panti jompo yang punya misi

untuk mendekatkan lansia kepada Allah SWT dan menjadikan lansia

bisa bertahan hidup dan dapat mempersiapkan diri untuk menghadap

Allah terbilang masih jarang. Saya mengamati di Indnesiapesantren

lansia baru ada lima oleh karena itu kami membuat trobosan baru

dengan mendirikan pesantren lansia ini.

3) Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya panti?

Jawab: visi, misinya mardhotillah untuk memperoleh ridho Allah SWT.

4) Bagaimana keadaan pembinaan keagamaan, pegawai panti dan lansia?

Jawab: saya masih merangkap menjadi pembina keagamaan,

dikarenakan pembina yang dulu pindah domisili. Untuk pegawai panti

kami selalu melakukan briefing terkait tahapan apa yang harus

dilakukan untuk menghadapi lansia. Mengenai kondisi lansia, ada

lansia yang bisa melakukan mobilitas dengan bak dan aa juga lansia

yang sudah pikun.

5) Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?

Jawab: sarana dan prasarana di sini menyesuaikan dengan kebutuhan

lansia misalnya kami menggunakan toilet duduk dan jongkok, untuk al-

Qur‟an kami gunakan yang besa dan ada juga perpustakaan tempat

untuk lansia membaca.

6) Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?

Jawab: pembinaan keagamaan yang diadakan penekanannya lebih

kepada ibadah sehari-hari misalnya shlat, do‟a, dzikir dan membaca al-

Qur‟an. Untuk al-Qur‟an ada yang sudah lancar dan ada juga yang baru

mulai belajar membaca al-Qur‟an.

7) Adakah dukungan pihak kementrian sosial? Jika ada, bagaimana bentuk

dukungan tersebut?

Jawab: belum ada bantuan dari pihak Kementrian Sosial, selama ini

bantuan yang datang dari masyarakat sekitar dan ada biaya operasional

dari pihak keluarga lansia.

99

3. Pembina Keagamaan

a. Data umum

Nama Informan : Adjma, SE, MM.

Jabatan : Pembina Keagamaan

Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018

b. Sintesis hasil wawancara

1) Hari apa pembinaan keagamaan dilaksanakan?

Jawab: Setiap hari ada pembinaan keagamaan yang dilaksanakan pada

pukul 06-11.00 dan di lanjutkan kembali pada pukul 13.30-15.00

2) Bagaimana kondisi ruangan ketika pelaksanaan pembinaan keagamaan

berlangsung?

Jawab: Kegiatan pembinaan dilaksanakan di aula pesantren

3) Apakah lansia dapat mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dengan

baik?

Jawab: Ada sebagian yang bisa ikut pembinaan dan ada yang tidak bisa,

misalnya karena sedang sakit dan sudah pikun.

4) Materi apa saja yang disampaikan kepada lansia saat pembinaan

keagamaan?

Jawab: Materi tentang ibadah harian seperti, shalat, do‟a, dzikir dan

membaca al-Qur‟an. Kami juga mengadakan tabligh akbar dengan

mengundang masyarakat sebagai sarana lansia untuk latihan pidato,

memimpin do‟a dan kultum.

5) Adakah metode khusus yang digunakan saat menyampaikan materi

pembinaan keagamaan pada lansia?

Jawab: Metode yang digunakan mengulang-ngulang, ceramah atau

tausiyah, diingatkan masa nostalgia, mengangkat dia mengingat masa

jaya dia dimasa muda.

6) Apakah pelaksanaan pembinaan keagamaan berjalan sesuai dengan

yang diharapkan?

Jawab: Pembinaan yang dilaksanakan, berjalan sesuai harapan ada, dia

keluar dari panti bisa mengaji dan insya allah husnul khotimah tiba-tiba

meninggal yang pada awalnya tidak bisa baca al-Quran.

7) Apakah setelah mengikuti pembinaan keagamaan, lansia bersemangat

untuk melaksananakan shalat, membaca al-Qur‟an dan melakukan doa

harian?

Jawab: Ya, ada yang bersemangat. Adapula yang sudah udzur.

8) Apa saja yang menjadi fakor pendukung dan penghambat selama proses

pelaksanaan pembinaan keagamaan? Baik yang berkenaan dengan

kondisi fisik maupun psikis lansia?

100

Jawab: Faktor pendukung yang paling utama kesehatan lansia, kalau

dia sehat bisa mengikuti, kalau dia sakit tidak bisa, yang pentik

kondisinya sehat.

4. Keluarga Lansia

a. Data umum

Nama Informan : Thayyibah, S.Ag.

Jabatan : Anak Ke-2

Tanggal Wawancara : Senin, 19 Maret 2018

b. Sintesis hasil wawancara

1) Bagaimana Bapak/Ibu merawat anggota keluarga yang sudah berusia

lanjut?

Jawab: Dengan memperhatikan pola makan, karena orang tua kami

hanya bisa berbaring di tempat tidur cara kami merawat beliau dengan

membuat jadwal piket pada setiap hariya disesuaikan dengan jumlah

anak yang ada.

2) Apakah alasan Bapak/Ibu tetap mengurus lansia di lingkungan

keluarga?

Jawab: Mengurus orang tua yang sudah berusia lanjut memang sudah

menjadi kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.

3) Apakah Bapak/Ibu mengajak lansia untuk tetap melakukan ibadah

harian, seperti shalat, puasa, berdoa dan membaca al-Qur‟an?

Jawab: Untuk shalat ya, walaupun hanya dua waktu saja subuh dan

ashar. Untuk puasa sudah tidak kuat lagi dan digantikan dengan

membayar fidyah.

4) Apakah lansia (sebutkan nama) ikut berpartisipasi mengikuti

pembinaan keagamaan, seperti mengikuti pengajian atau majelis ta‟lim

dalam setiap minggunya?

Jawab: Ikut pengajian di hari selasa walaupun sudah jarang, dengan

menggunkan kursi roda.

5) Apakah Bapak/Ibu melihat adanya perubahan sikap (seperti;

bersemangat untuk beribadah) setelah lansia mengikuti pembinaan

keagamaan ?

Jawab: Ya, bersemangat. Walaupun hanya melakukan shalat pada dua

waktu saja.

E. Pembahasan Hasil Penelitian

Temuan dan pembahasan hasil penelitian merupakan hasil dari penelitian yang

peneliti lakukan di lapangan kemudian dikaji dan ditelaah dengan sedemikian rupa.

Dalam hal ini penelitian yang dilakukan terkait dengan komparasi pengaruh

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia,

telah mendapat beberapa temuan penelitian. Data tentang temuan penelitian tersebut

101

diperoleh melalui uji-t dan regresi ganda dengan teknik pengumpulan data yakni

kuesioner dan wawancara. Secara rinci akan diuraikan sebagai berikut:

Tabel 4.34

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Hasil perhitungan korelasi antara variabel pembinaan keagamaan (X1) dengan

kematangan beragama (Y) diperoleh nilai sebesar r = 0,322. Nilai ini menunjukkan

pengaruh yang lemah positif. Maksud lemah positif di sini adalah terjadi pengaruh

yang searah antara pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama. Artinya

semakin sering mengikuti pembinaan keagamaan maka semakin meningkat

kematangan beragama lansia. Kontribusi yang diberikan oleh variabel ini terhadap

variabel Y adalah: KP = (r)2 X 100% = (0,322)

2 X 100% = 10,3%.

Hasil perhitungan korelasi antara variabel fungsi keluarga (X2) dengan

kematangan beragama (Y) diperoleh nilai sebesar r = 0,265. Nilai ini menunjukkan

pengaruh yang lemah positif. Maksud lemah positif di sini adalah terjadi pengaruh

yang searah antara fungsi keluarga terhadap kematangan beragama. Artinya fungsi

keluarga naik, maka akan meningkatkan kematangan beragama lansia. Kontribusi

yang diberikan oleh variabel ini terhadap variabel Y adalah: KP = (r)2

X 100% =

(0,265)2 X 100% = 7%

Tabel 4.35

Kontribusi Variabel X1 dan X2 Terhadap Y

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Hasil korelasi (R) yang secara simultan (bersama-sama) antara vaiabel

pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) terhadap kematangan beragama

lansia (Y) diperoleh nilai sebesar r = 0,402. Kontribusi yang diberikan oleh kedua

variabel ini terhadap variabel (Y). KP = (rx1,x2,Y) x 100% = (0,402)2

x 100% = 16,2%

sehingga masih terdapat 83,8% variabel lain yang mempengaruhi kematangan

beragama lansia seperti latar belakang pendidikan, gender dan lain-lain.

102

Tabel 4.36

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Tabel 4.36 dapat dianalisis dengan membuat hipotesis dalam uraian kalimat

H0 = Model regresi linier berganda tidak dapat digunakan untuk

memprediksi kematangan beragama lansia yang dipengaruhi oleh

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga

H1 = Model regresi linier berganda dapat digunakan untuk memprediksi

kematangan beragama lansia yang dipengaruhi oleh pembinaan

keagamaan dan fungsi keluarga

Perbandingan keputusan diambil berdasarkan Fhitung dan FTabel. Berdasarkan

Tabel 4.36 diketahui nilai Fhitung 5,112 > nilai FTabel 3,17. Artinya model regresi linier

berganda dapat digunakan untuk memprediksi kematangan beragama lansia yang

dipengaruhi oleh pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga. Juga dapat diartikan

terdapat pengaruh linear variabel pembinaan keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2)

dengan kematangan beragama lansia. Hal ini juga bermakna terdapat pengaruh secara

bersama-sama (simultan) pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga terhadap

kematangan beragama lansia.

Tabel 4.37

Perbedaan kematangan beragama Lansia di rumah dan di panti sosial

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Diperoleh harga t = 0,678, db = 54 dan sig. (2 tailed) atau p-value = 0,502/2 =

0,251 > 0,05 atau hipotesis ditolak. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan

kematangan beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal

di panti sosial. Sedangkan jika dilihat berdasarkan rata-rata kematangan beragama

103

yang terdapat pada Tabel 4.37 menunjukkan nilai rata-rata lansia yang tinggal di

rumah lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti sosial.

Tabel 4.38

Rata-Rata Kematangan Beragama Lansia di Rumah dan di Panti

Sumber: Data Primer diolah dengan aplikasi SPSS 20, tanggal: 22 Juni 2018

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai mean kematangan beragama

lansia yang tinggal di panti 30,77. Data tersebut menunjukkan bahwa pada saat

dilakukan penelitian, tingkat kematangan beragama lansia yang tinggal di panti

lebih rendah daripada kematangan beragama lansia yang tinggal di rumah bersama

keluarga yang memperoleh mean empiris sebesar 31,83.

F. Diskusi Hasil

Pembahasan ini akan mendiskusikan hasil penelitian yang sudah peneliti peroleh

dengan apa yang sudah didapat oleh peneliti lain yang telah terlebih dahulu meneliti

seputar judul yang peneliti bahas dengan pendekatan pendidikan agama Islam.

Pertama, terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan

beragama lansia. Besarnya pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan

beragama lansia sebesar 10,3%. Ini artinya masih terdapat 89,7% variabel lain yang

dapat memberikan kontribusi pada variabel kematangan beragama seperti, latar

belakang pendidikan lansia, gender, kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup

sebelumnya. Variabel-variabel ini perlu didalami dan diteliti lebih lanjut untuk diuji

apakah dapat memberikan pengaruh terhadap kematangan beragama lansia. Lansia

yang sebelumnya kurang memahami tata cara shalat bahkan ada yang semasa

mudanya jarang melaksanakan shalat, adapula yang belum bisa mengaji dan adapula

lansia yang menyatakan bahwa semasa mudanya beberapakali ia mengambil

keputusan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian memasuki usia lanjut

para lansia ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik lagi dalam beragama dengan

mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan yang di adakan, terlihat adanya perubahan

perilaku walaupun dengan kondisi fisik yang sudah tidak sekuat dahulu, hal tersebut

dilakukan untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri dan ada keinginan agar dapat

kembali kepada Allah dalam keadaan khusnul khotimah.

Hal tersebut sejalan dengan teori yang menyebutkan bahwa pembinaan

keagamaaan bagi lansia dimaksudkan untuk mempertebal keimanan dan ketakwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tertuang dalam UUD RI No. 13 Tahun 1998 pada

Bab VI pasal 13 ayat (1). Dan disetujui oleh Langgulung (1988:35) yang menyatakan

bahwa pendidikan Islam diharapkan dapat membentuk keimanan yang kuat kepada

Allah sehingga membentuk pemahaman-pemahaman yang sadar serta dapat

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk tingkah laku baik

berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama

Dan diperkuat dengan penelitian terdahulu jurnal karya Siti Rahmah yang

menyatakan bahwa pembinaan keagamaan merupakan proses untuk membantu lansia

memelihara dan menigkatkan kondisi mental-spiritual dan kerohanian para lanjut usia,

104

khususnya dalam melaksanakan ibadah sehari-hari. Pembinaan ini dapat diwujudkan

melalui pelaksanaan ibadah, etika pergaulan, penanaman budi pekerti dan sikap yang

normatif. Dengan tujuan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi

mental spiritual, meningkatkan kesadaran dan kematangan beragama lansia.

Selanjutnya diperkuat penelitian terdahulu jurnal karya Zakiyah dan Ibnu Hasan

yang menyatakan lansia yang ikut serta mengikuti pembinaan keagamaan memiliki

religiusitas dalam kategori baik hal tersebut terlihat dari keyakinan lansia yang kuat

akan adanya Allah swt., lansia menjalakan ritual ibadah terutama shalat, mereka

merasa tenang setelah melaksanakan ibadah dan merasa berdosa ketika melakukan

kesalahan. Kemudian diperkuat dengan hasil wawancara yang peneliti peroleh dari

dua informan, yaitu:

Petama, Ketua Pesantren Lansia merangkap menjadi pembina keagamaan, Bapak

Adjma.

“Beliau menjelaskan bahwa: kondisi awal lansia ketika belum mengikuti

pembinaan keagamaan sebagian lansia ada yang tidak bisa shalat,

berwudhu. Penekanan kegiatan pembinaan keagamaan pada kegiatan

ibadah harian seperti shalat, puasa, dzikir dan do‟a harian. Sebagian

lansia ada yang bisa mengikuti pembinaan dan ada yang tidak bisa

misalnya karena sedang sakit. Dalam menyampaikan materi pembinaan

keagamaan kepada lansia tentunya harus menggunakan metode

pengulangan, ceramah dan diingatkan kembali tentang masa-masa

nostalgia ketika masih muda dulu. Tujuannya adalah walaupun kondisi

lansia sudah mengalami penurunan fungsi baik fisik, psikis dan daya

ingat tetapi lansia tetap dapat beribadah dan terus mendekatkan diri

kepada Allah swt.”

Kedua, Ketua Pondok Lansia Berdikari, Bapak sholeh.

“pembinaan keagamaan yang disampaikan kepada lansia sifatnya

mengingatkan dan disampaikan secara berulang, kenapa pengulangan

perlu dilakukan? karena kita melihat dasar kognitif lansia, di mana

kondisi daya ingat mereka yang mulai menurun bahkan ada kecendrungan

dimensia. Harapan ketika mereka mendengar terus menerus mereka bisa

tergugah dan tetap bisa melaksanakan ibadah harian dengan keterbatasan

fisik yang mereka alami.”

Hasil wawancara yang diperoleh memperkuat data dan teori yanng ada yaitu

terdapat dua kasus yang peneliti peroleh pertama, ada lansia seorang pendeta yang

sudah masuk islam, kemudian ia mengikuti pembinaan keagamaan kurang lebih

selama satu tahun di pesantren lansia. Dan saat ini beliau sudah bisa mandiri bahkan

dapat mengamalkan ilmu agama Islam yang telah diperoleh kepada masyarakat luas.

Sedangkan di Pondok Lansia Berdikari ada seorang lansia yang semasa hidupnya

beragama Budha, karena sering mendengarkan pembinaan keagamaan yang diadakan

oleh pihak panti ketika beliau menghadapi sakaratul maut beliau menyebut-nyebut

Allah swt.

Lansia yang tinggal di rumah merasa lebih bersemangat lagi untuk melaksanakan

ibadah seperti shalat, dan mengaji serta memiliki keinginan yang kuat untuk terus

beribadah. Dan para lansia berharap dapat terhindar dari pikun sehingga dapat terus

beribadah memperbaiki diri hingga menutup mata dalam keadaan khusnul khotimah.

105

Hal ini menunjukkan semakin sering lansia mengikuti pembinaan keagamaan

maka kematangan beragamanya pun akan semakin baik. Hal tersebut diperkuat

dengan dalil agaman bahwa kebiasaan dan pembiasaan mengikuti pembinaan

keagamaan dapat membantu lansia untuk lebih mengenal Allah swt dan merasa bahwa

masih ada tempat bergantung untuk segala permasalahan hidup dan mendekatkan diri

kepada Allah swt. adalah salah satu jalan agar ketentraman jiwa tercapai. Allah

berfirman dalam Q.S. Ar-Ra‟du ayat 28-29 yang berbunyi:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan

mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi

tenteram. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka

kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. (Q.S. Ar-Ra‟du 28-29).

Penyampaian pembinaan keagamaan kepada lansia tentunya lebih sedikit berbeda

jika dibandingkan dengan pembinaan keagamaan pada umumnya karena harus

menyesuaikan keadaan lansia. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti peroleh

dari dua orang responden di atas bahwa materi pembinaan keagamaan yang

disampaikan berkaitan dengan ibadah harian seperti shalat, puasa, membaca al-

Qur‟an, dzikir dan do‟a harian juga terkait keseharian lansia. Materi yang diberikan

hanya yang berbobot ringat sebatas para lansia dapat menangkap dan memahaminya.

Karena daya pikir lansia yang telah menurun. Materi pembinaan keagamaan aspek

akidah meliputi keEsaan Allah swt dan Kekuasaan Allah swt.

Materi pembinaan keagaam aspek ibadah meliputi wudhu, shalat, pahala, puasa,

syahadat dan berdo‟a. Materi pembinaan keaagamaan aspek akhlak meliputi saling

menghormati antar sesama, materi ini diberikan dikarenakan sangat penting bagi

kehidupan lansia sehari-hari, emosi lansia yang kurang stabil dan mudah terbawa

suasana. Sehingga diharapkan dengan adanya materi ini para lansia dapat menjalin

hubungan antar sesama dengan baik.

Adapun metode yang sering digunakan adalah dengan cara pegulangan, tausiyah

berupa ceramah agama dan juga melalui radio. Dan materi yang diberikan kepada

lansia melihat kadar kemampuan yang dimiliki oleh lansia. Penyampaian pembinaan

keagamaan diberikan sama rata kepada lansia, yang berbeda hanya pada lansia yang

sudah mengalami pikun, pendekatan personal lebih ditekankan.

Waktu pembinaan keagamaan bagi lansia yang tinggal di rumah dalam satu

minggu bisa mengikuti 2-3 kali pembinaan yang diadakan dilingkungan sekitar juga

melihat ceramah agama di televisi maupun mendengarkan radio. Untuk lansia yang

tinggal di pesantren lansia senin-minggu pukul 06.00-11.00 dilanjutkan kembali pukul

13.30-15.00. Adapun untuk lansia yang tinggal di pondok lansia berdikari jadawal

pembinaan senin-kamis untuk waktu opsional melihat kondisi lansia.

Adapun hambatan yang dihadapi saat pembinaan keagamaan adalah penurunan

daya ingat pada lansia yang berdampak lupa pada materi yang sudah disampaikan,

kondisi lansia itu sendiri, seperti lansia yang sedang sakit juga penurunan fungsi

106

penglihatan dan pendengaran. Adapun faktor pendukung pembinaan keagamaan yang

paling utama adalah kondisi kesehatan lansia itu sendiri. Dan faktor pendukung yang

lain adanya bantuan dari kementrian sosial baik bantuan berupa dana, sapras, asistansi

lansia, pengembangan panti dan bantuan kurir untuk lansia yang masih kerja di luar

panti meskipun bantuanya terkadang hanya satu tahun sekali.

Kedua, terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

Besarnya pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia adalah 7%.

Ini artinya masih terdapat 93% variabel lain yang dapat memberikan kontribusi pada

variabel kematangan beragama lansia seperti latar belakang pendidikan lansia, gender,

kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup sebelumnya. Fungsi keluarga yang

dimaksudkan bagaimana keluarga dapat membina norma-norma ajaran agama sebagai

dasar tujuan hidup, sehingga norma agama tersebut dapat tercermin ke dalam tingkah

laku dalam menjadi kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga

merupakan tempat utama di mana seseorang tumbuh, berkembang hingga anggota

keluarga tersebut memasuki fase lanjut usia.

Pada fase lanjut usia di mana berbagai perubahan yang dialami akan

menimbulkan berbagai pengaruh dalam kesehatan fisiknya ataupun mental

psikologisnya. Tidak jarang kerena adanya penurunan fungsi fisik berdampak pula

pada keterbatasan lansia melakukan ritual ibadah harian seperti shalat. Oleh karena

kondisi yang seperti inilah maka keluarga menjadi tempat petama bagi lansia untuk

dapat memasuki proses penerimaan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

Hal inilah sebabnya dukungan keluarga sangat dibutuhkan, baik dukungan adaptasi,

kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan. Allah berfirman dalam surah

al-ahqaf (46): 15:

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu

bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya

dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga

puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat

puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat

Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya

aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan

kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku

bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang

berserah diri". (Q.S. al-Ahqaf (46): 15)

107

Ayat di atas menjelaskan perintah Allah untuk berbakti kepada orang tua, karena

banyak pengorbanan besar sejak dalam kandungan hingga dibesarkan dengan sebaik-

baiknya. Dan dalam surah al-„ankabuut (29): 8 Allah SWT berfirman:

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-

bapaknya…”. (Q.S. al-„Ankabuut (29): 8)

Allah SWT juga berfirman dalam surah Maryam (19): 32

“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang

sombong lagi”. (Q.S. Maryam (19): 32)

Allah SWT berfirman dalam surah al-An‟am (6): 151:

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh

Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat

baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-

anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan

kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,

baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu

membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan

sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya

kamu memahami(nya)”.(Q.S. al-An‟am (19): 32)

Ayat di atas menjelaskan bahwasannya perintah untuk berbakti kepada orang tua

terletak setelah perintah untuk tidak menyekutukan Allah, hal ini menunjukkan

bahwasannya berbakti kepada orang tua merupakan perintah yang harus

dikerjakanoleh setiap umat manusia yang ada di dunia ini. Allah juga berfirman dalam

surah al-Baqarah (2): 83:

108

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah

kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum

kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata

yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian

kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu

selalu berpaling”.(Q.S. al-Baqarah (2): 83)

ayat-ayat al-Qur‟an di atas menunjukkan bahwasannya perintah berbakti kepada

kedua orang tua merupakan kewajiban yang mutlak bagi seorang anak karena Allah

SWT menyebutnya beberapa kali di dalam al-Qur‟an. Selain ayat al-Qur‟an, terdapat

hadist nabi yang menjelaskan tentang berbakti kepada orang tua, di antaranya sebagai

berikut:

ث ح ث ح دد س ام ن د ح ق ة ب عحش و ان ي فحس نحع ي اي حن د ث اال ث ح و ال ق ب يحب اح ن د نحانع ي فحس ن ر ب خحأ يحرث ك دمحمبن نا دأ نحع بريحب ح ل ج ر ل قا ررمحع هللابن د بحع نحع اس ب ع لحب ال ق محع ن ال ق لن و ب أ ك ه لحل قا د اه ج ملسو هيلع هللا ىلصل لنب ()رولهلبخارىت اه د ام ه يحف ف

“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami

Yahya dari Sufyan dari Syu‟bah keduanya berkata, telah menceritakan kepada

kami Habib dia berkata dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan

kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dan

Habib dari Abu al-Abbas dari Abdullah bin „Amru dia berkata, “seorang laki-laki

berkata kepada Nabi saw, saya hendak ikut berjihad”. Beliau lalu

bersabda,”apakah kamu memiliki kedua orang tua?” dia menjawab, “ya masih”.

Beliau bersabda,” kepada keduanyalah kamu berjihad”. (H.R. Bukhari, 5515).

Ayat dan Hadist di atas memperkuat teori yang menyatakan bahwa keluarga

adalah orang terdekat lansia, fungsi keluarga adalah menjaga, merawat kesehatan

lansia, memberi dukungan serta menguatkan mental lansia, meluangkan waktu

bersama dan memenuhi kebutuhan spiritual lansia agar semakin bertambah iman dan

takwanya kepada Allah Yang Maha Esa.

Pola asuh keagamaan yang diberikan kepada anggota keluarga akan memberikan

pengaruh pada sikap dan perilaku keagamaan anggota keluarga, oleh karena itu

keluarga dalam hal ini berfungsi untuk memfasilitasi kebutuhan keagamaan lansia

dengan harapan dapat meningkatkan kematangan beragama lansia. Berikut peneliti

paparkan hasil wawancara dengan keluarga lansia.

Keluarga lansia, Ibu Thoibah:

“merawat anggota keluarga yang sudah lanjut usia dengan kondisi lansia yang

sudah tidak bisa mandiri lagi, seperti harus dimandikan disuapi karena hanya

109

bisa berbaring saja ditempat tidur, tentu rasanya berbeda dengan merawat

seorang bayi. Tidak dapat dipungkiri ada rasa jenuh untuk merawatnya setiap

hari dengan kondisi seperti itu. Tetapi lagi-lagi perasaan seperti itu harus

segera ditepis karena merawat orang tua menurut ajaran agama adalah

kewajiban seorang anak. Sebagai seorang anak, Islam mengajarkan kita untuk

berbakti kepada orang tua dengan memfasilitasi segala kebutuhan yang

diperlukan, seperti menemaninya untuk berwudhu, memakaikan mukena dan

terkadang memdiktekan bacaan doa atau niat karena lupa lafadznya. Hal itu

dilakukan karena melihat semangatnya yang tidak padam walaupun dalam

kondisi yang sudah udzur ingin tetap beribadah dan mendekatkan diri kepada

Allah swt. ”

Data yang diperoleh dan teori yang ada sejalan dengan dalil agama yang

menyerukan untuk berbakti kepada orang tua. Sebagaimana termaktub di dalam al-

Qur‟an surah Luqman (14):

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-

bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang

bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah

kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah

kembalimu”.

Lafadz wasiat di atas menunjukkan hal yang harus dan sangat penting untuk

dikerjakan, dalam artian perintah tersebut tidak boleh tidak dikerjakan. Hal ini berarti

perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan perintah

yang mutlak yang harus dilakukan oleh setiap anak kepada orang tuanya. Oleh karena

itu, para lansia harus diberikan perlindungan, baik secara fisik, kesehaan, sosial,

ekonomi, pendidikan maupun kebutuhan keagamaan.

Paparan di atas juga diperkuat dengan teori bahwa salah satu dari delapan fungsi

keluarga adalah fungsi keagamaan yang bertujuan untuk mengembangkan keluarga

dan anggota-anggotanya agar semakin bertambah iman dan takwanya kepada Allah

Yang Maha Esa (Sunartiningsih:2017) dan didukung oleh hasil penelitian jurnal karya

Agustin Soewitomo Putri yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh dukungan

keluarga terhadap keterlibatan jemaat lansia dalam melayani di Gereja Bethel Injil

Sepenuh Kepunton Surakarta yang berada pada kategori sedang. Kemudian diperkuat

dengan data yang peneliti peroleh dari lapangan.

Kesimpulan ini diperkuat dengan hasil penelitian terdahulu jurnal karya Agustin

Soewitomo Putri yang menyatakan bahwa dukungan keluarga berpengaruh terhadap

keterlibatan jemaat lansia dalam melayani di Gereja Bethel Injil. Mengimplikasikan

bahwa setiap anggota keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia agar

memberikan dukungan serta dorongan agar anggota keluarga lansia dapat ikut terlibat

melayani.

Bagi lansia yang tinggal di panti sosial dengan pertimbangan pihak keluarga

harus bekerja dan tidak dapat mengurusi lansia dengan baik yang artinya terdapat

110

kesulitan dalam pelayanan mengurus lansia. Bentuk tanggung jawab mereka adalah

dengan menitipkan orangtua ke panti sosial dengan mempertimbangkan maslahah

yang lebih besar jika orangtua tinggal di panti sosial. Selain itu ada tanggung jawab

lain yang harus tetap diingat dan dijalankan seperti memperhatikan intensitas

pertemuan dengan orangtua di panti sosial, sehingga orangtua tetap merasakan

kehadiran keluarga.

Ketiga, terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan

keagamaan (X1) dan fungsi keluarga (X2) terhadap kematangan beragama lansia (Y).

Berdasarkan hasil uji hipotesis secara simultan menunjukkan hasil yang menyatakan

pengaruh antara pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga secara bersama-sama

memberikan kontribusi yang signifikan pada kematangan beragama lansia.

Keempat, tidak terdapat perbedaan kematangan beragama antara lansia yang

tinggal di rumah dan tinggal di panti. Perbedaan tempat tinggal ternyata tidak

berpengaruh terhadap kematangan beragama lansia. Terdapat tiga indikator yang

mendeskripsikan kematangan beragama lansia, baik yang tinggal di rumah bersama

keluarga maupun yang tinggal di panti sosial.

Pertama akidah, semua responden yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di

panti menyatakan setuju meyakini bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan percaya

bahwa Islam adalah ajaran yang sempurna. Merasa bersyukur karena telah diberikan

umur yang panjang oleh Allah swt, sehingga rasa syukur yang dipanjatkan

menimbulkan rasa tenang dan senang dalam diri mereka. Hal tersebut didukung hasil

analisis penelitian Diponegoro & Mulyono (2015:17) yang menyatakan bahwa,

bersukur kepada Tuhan diwujudkan dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada

Tuhan sehingga berdampak pada kehidupan yang tenang.

Allah pun menegaskan dalam al-Qur‟an surah Ibrahim ayat 7 tentang perintah

untuk tidak berhenti bersyukur:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika

kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika

kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Kedua ibadah, menurut responden baik yang tinggal di rumah bersama keluarga

maupun lansia yang tinggal di panti sosial terdapat kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh setiap muslim, kewajiban itu adalah melaksanakan shalat 5 waktu

yaitu sholat Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Responden mengatakan mereka

akan diingatkan jika belum melaksanakan shalat baik oleh pihak keluarga maupun

oleh pihak panti. Walaupun terkadang karena faktor usia dan menurunnya fungsi fisik

membuat mereka terpaksa tidak melaksanakan shalat. Ritual ibadah yang mereka

lakukan berdasarkan sukarela bukan karena paksaan orang lain ataupun karena ingin

dilihat oleh orang lain.

Lansia yang tinggal di rumah dan di panti sosial, mereka selalu berdo‟a dan

memohon kepada Allah agar diberikan umur panjang, dan dihindarkan dari penyakit

111

pikun dan mereka juga menyatakan merasakan adanya rasa damai dan tenang setelah

mereka berdo‟a.

Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Benson (2000) sebagaimana dikutip

oleh Naftali, dkk (2017:128) bahwa doa yang dilakukan berulang-ulang (repetitive

prayer) akan membawa berbagai perubahan fisiologis seperti, berkurangnya

kecepatan detak jantung, menurunnya kecepatan nafas, menurunnya tekanan darah,

melambatnya gelombang otak dan pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme.

Kondisi ini disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response).

Lansia yang tinggal di rumah dan di panti sosial menyatakan setuju bahwa

mereka tetap membaca atau hanya mendengarkan saja bacaan al-Qur‟an. Walaupun

ada beberapa lansia yang tinggal di panti sosial menyatakan baru saja ingin belajar

shalat dan membaca al-Qur‟an.

Ketiga perilaku, semua responden baik yang tinggal di rumah maupun di panti

sosial menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Mereka yang

tinggal di rumah merasa senang tinggal satu rumah dengan keluarganya karena

merasa ada yang mengurus dan memenuhi kebutuhan di masa tua mereka, dan lansia

yang tinggal di panti mengaku memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka

walaupun keluarganya jarang datang menjenguk ke panti sosial.

Konteks ini sejalan dengan yang disebutkan oleh Baroroh & Irafayani (2012:

142) bahwa keluarga memegang peranan penting untuk memberikan perawatan,

bantuan serta memenuhi kebutuhan lansia. Dengan adanya pemenuhan dukungan

yang diberikan keluarga secara emosional akan menimbulkan perasaan yang bahagia

pada lansia.

Bagi lansia yang tinggal di panti sosial, mereka tidak tinggal bersama dengan

keluarganya. Namun, sebagaimana menurut Sarafino (1998) yang dikutip oleh Naftali,

dkk (2017:128) dukungan atau bantuan yang dibutuhkan lansia yang tinggal di panti

diperoleh dari berbagai sumber, sehingga lansia yang tinggal di panti sosial mendapat

dukungan dari sesama teman, pengurus panti, dokter, pengungjung maupun perawat

yang disediakan oleh pihak panti. Berdasarkan hasil pengamaatan peneliti lansia yang

tinggal di panti sosial memperoleh bantuan berupa perawatan, kunjungan dari

kegiatan bakti sosial yang datang ke panti, juga adanya kunjungan kesehatan dan

tentunya ada bantuan dari pihak kementrian.

Selain menjalin hubungan yang baik dengan keluarga, responden yang tinggal di

rumah memiliki hubungan yang baik dengan tetangga yang ada dilingkungan sekitar,

mereka menyatakan setuju tidak pernah merasa sulit untuk memaafkan kesalahan

orang lain dan juga bersedia membantu orang yang sedang membutuhkan. Namun,

ada beberapa lansia yang tinggal di rumah menyatakan bersikap pelit bukan karena

takut uang mereka habis, tetapi karena kondisi keuangan mereka yang tidak

memungkinkan untuk mereka berikan kepada orang lain.

Bagi lansia yang tinggal di panti, tidak semua responden memiliki relasi di

sekitar panti. Hal ini terjadi karena keterbatasan lansia, seperti tidak tahu jalan karena

lingkungan panti merupakan lingkungan baru bagi mereka ataupun karena keterbatan

fisik yang sulit untuk berjalan. Hubungan antar sesama yang tinggal di panti, lansia

laki-laki memiliki hubungan yang baik, sedikit berbeda dengan lansia perempuan

yang terkadang karena satu dan lain hal mereka bertengkar. Namun, hal itu tidak

berlangsung lama setelah pihak panti melerai keadaan sudah kembali membaik lagi.

Selain itu responden yang tinggal di panti pun setuju tidak sulit untuk memaafkan

kesalahan orang dan bersedia membantu antar teman sesama panti.

112

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Marwanti (1997) yang dikutip oleh Naftali,

dkk (2017:129) mengenai kondisi kehidupan lanjut usia di Panti Werdha Karitas dan

Nazaret Bandung, bahwa hubungan sosial yang terjalin di panti kurang baik. Salah

satu faktor yang memengaruhi adalah latar belakang lansia yang beragam. Meskipun

demikian secara ideal, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiti (2007)

sebagaimana dikutip oleh Naftali, dkk (2017:2019) kebutuhan sosial merupakan

kebutuhan lansia yang dapat memengaruhi emosional lansia. Setiti menjelaskan

bahwa lansia membutuhkan orang-orang dalam berinteraksi secara sosial, mereka

membutuhkan teman bicara.

Kesimpulan tersebut sejalan dengan laporan penelitian terdahulu karya Dr.

Yeniar dan Ika Febrianti tidak terdapat perbedaan religiositas antara lansia yang

tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti sosial. Religiositas seseorang tidak

hanya dapat dilihat dari satu aspek saja yaitu tempat tinggal, namun dapat diukur

melalui beberapa dimensi di antaranya yaitu dimensi pengalaman, dimensi ideologis,

dimensi ritualistik, dimensi intelektual dan dimensi konsekuensi.

Berdasarkan teori, hasil penelitian terdahulu dan hasil penelitian lapangan

menunjukkan tidak terdapat perbedaan kematangan beragama yang signifikan antara

lansia yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di panti sosial. Namun berdasarkan

hasil perhitungan pada Tabel 4.39 menunjukkan nilai rata-rata kematangan beragama

lansia yang tinggal di rumah lebih besar dari lansia yang tinggal di panti sosial

kemudia diperkuat dengan pengamatan peneliti selama proses penelitian, di antaranya

lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga mayoritas responden memiliki

kemandirian dan mobilitas yang terbilang lebih baik sehingga masih bisa

melaksanakan shalat 5 waktu dengan cara berdiri. Terdapat pula lansia hanya bisa

beraktifitas di tempat tidur setelah terjatuh dari kamar mandi, karena keinginan diri

yang kuat disertai adanya dukungan keluarga untuk membantu lansia tersebut tetap

melaksanakan shalat di tempat tidur.

Berbeda dengan lansia yang tinggal di panti sosial tidak semua lansia dalam

kondisi sehat jasmani, ada beberapa orang yag sudah mengalami penyakit-penyakit

tua seperti pikun, rabun, pendengaran berkurang dan struk sehingga hanya sekitar

40% dari responden yang tinggal di panti yang melaksanakan shalat dengan berdiri.

Dan 60% dari responden karena kondisi yang memang sudah udzur dan pengurus

panti yang terbatas sehingga mereka terkadang tidak melaksanakan shalat.

Kondisi kesehatan yang terjadi pada lansia yang ada di panti sosial dan di rumah

pada kenyataannya seperti kondisi lansia pada umumnya, di antaranya:

a. Kulit mengendur dan wajah mulai timbul keriput serta garis-garis menetap.

b. Rambut kepala mulai beruban.

c. Gigi mulai ompong.

d. Berat badan cenderung menurun.

e. Penglihatan dan pendengaran berkurang.

f. Untuk kemampuan kognitifnya juga mengalami penurunan, yaitu ingatan tidak

berfungsi dengan baik bahkan cenderung dimensia.

g. Karena sitem keseimbangannya menurun maka berpengaruh pada kemampuan

motoriknya seperti mudah lelah, jatuh, gerakan menjadi lamban.

h. Segi afektifnya, lansia lebih mudah tersinggung yang pada akhirnya

menimbulkan pertengkaran dengan teman sesama panti sosial.

113

Kondisi-kondisi di atas dialami oleh lansia baik yang tinggal di rumah maupun di

panti sosial, namun lansia yang tinggal di panti memiliki kecendrungan yang lebih

tinggi terhadap kondisi-kondisi di atas. Sehingga mobilitas lansia yang tinggal di panti

lebih terbatas yang berdampak lansia kesulitan untuk beribadah secara mandiri.

Hal ini menunjukkan dalil agama adalah benar dapat dibuktikan secara

empiris bahwa tanggung jawab pendidikan agama dan tanggung jawab mengurus

oranguta merupakan kewajiban anak bukan pada yang lainnya. Allah berfirman

dalam surah al-Isra: 23:

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia

dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika

salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut

dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada

keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah

kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S al-Israa‟: 23).

G. Keterbatasan Penelitian

Upaya pengawasan dan pengontrolan dalam pelaksanaan penelitian ini telah

dilakukan, agar hasil dari penelitian dapat diterima kebenarannya, teruji secara klinis

dan ilmiah sesuai dengan prosedur dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Oleh

karena itu telah dilakukan berbagai prosedur penelitian mulai dari populasi, penentuan

sampel, penyusunan instrument penelitian, uji instrument penelitian, pengambilan

data, analisis data dan deskripsi hasil. Namun upaya-upaya yang telah dilakukan tidak

terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan, walaupun peneliti telah berusaha

untuk meminimalisirnya.

Adapun keterbatasan dan kekurangan yang peneliti sadari dan rasakan dari

penelitian ini di antaranya:

1. Penelitian ini belum menunjukkan perbedaan kematangan beragama berdasarkan

gender.

2. Dalam penelitian ini variabel kematangan beragama hanya di kontrol oleh variabel

pembinaan keagamaan dan fungsi keluarga saja, sehingga tidak tertutup

kemungkinan adanya pengaruh variabel-variabel lain yang mempengaruhi

kematangan beragama lansia, seperti tingkat pendidikan, latar belakang kehidupan

lansia, dan lain-lain.

3. Responden yang sudah berusia lanjut secara umum sulit untuk berkomunikasi

dengan lancar, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menjelaskan

beberapa hal mengenai penelitian ini.

114

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pembinaan keagamaan dan

fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia dan tidak terdapat perbedaan

kematangan beragama antara lansia yang tinggal di rumah dan tinggal di panti sosial.

1. Terdapat pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama lansia

Artinya hipotesis pertama diterima di mana pembinaan keagamaan bagi lansia

merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk meningkatkan kematangan

beragama lansia. Semakin sering lansia mengikuti pembinaan keagamaan maka

kematangan beragamanya pun akan semakin baik, seperti bertambahnya semangat

untuk beribadah juga terlihat adanya perubahan perilaku dalam menjalani hidup

merasa lebih tenang dan damai.

Besarnya pengaruh pembinaan keagamaan terhadap kematangan beragama

lansia sebesar 10,3%. Ini artinya masih terdapat 89,7% variabel lain yang dapat

memberikan kontribusi pada variabel kematangan beragama lansia seperti, latar

belakang pendidikan lansia, gender, kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup

sebelumnya. Variabel-variabel ini perlu didalami dan diteliti lebih lanjut untuk

dianalisis apakah dapat memberikan pengaruh terhadap kematangan beragama

lansia.

2. Terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

Artinya hipotesis kedua diterima di mana kematangan beragama lansia dapat

ditingkatkan dengan fungsi keluarga. Ketika seorang lansia sudah tidak dapat

hidup mandiri seperti sedia kala. Maka hadirnya keluarga sangatlah dibutuhkan

lansia sebagai bukti bakti seorang anak terhadap kedua orangtuanya. Dengan

demikian terdapat pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia.

Besarnya pengaruh fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

adalah 7%. Ini artinya maasih terdapa 93% variabel lain yang dapat memberikan

kontribusi pada variabel kematangan beragama lansia seperti, latar belakang

pendidikan lansia, gender, kesehatan fisik lansia dan pengalaman hidup

sebelumnya. Variabel-variabel ini perlu didalami dan diteliti lebih lanjut untuk

dianalisis apakah dapat memberikan pengaruh terhadap kematangan beragama

lansia.

3. Terdapat pengaruh simultan (bersama-sama) antara pembinaan keagamaan dan

fungsi keluarga terhadap kematangan beragama lansia

Artinya hipotesis ketiga diterima di mana antara pembinaan keagamaan (X1)

dan fungsi keluarga (X2) keduanya berpengaruh simultan terhadap kematangan

beragama lansia (Y). Dengan besaran pengaruh yang diberikan adalah 16,2% dan

sisanya 83,8 dipengaruhi oleh variabel lain. Peningkatan pembinaan keagamaan

dapat meningkatkan kematangan beragama lansia. Hal yang sama terjadi pula pada

fungsi keluarga, dengan meningkatnya fungsi keluarga maka akan meningkatkan

kematangan beragama lansia.

Indikator akidah, ibadah dan perilaku yang dapat mendeskripsikan

kematangan beragama pada lansia. Kematangan beragama atara lansia yang

tinggal di rumah maupun yang tinggal di panti sosial tidak berbeda. Tetapi, para

lansia yang tinggal di panti kemandirian dan mobilitasnya terbilang kurang jika

dibandingkan dengan para lansia yang tinggal di rumah sehingga lansia yang

115

tinggal di rumah masih bisa melaksanakan ibadah seperti shalat 5 waktu dengan

cara berdiri sedangkan dari 25 responden lansia yang tinggal di panti sosial, hanya

40% saja yang melaksanakan shalat dengan berdiri dan 60% lansia lainnya dalam

kondisi udzur. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Wreksoatmodjo

(2013) yang menemukan bahwa “lansia yang tinggal di panti kurang aktif

berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan kurang mengunjugi tempat ibadah

dibandingkan dengan lansia yang tinggal di rumah. Namun ada satu penghuni

panti yang aktivitasnya di masyarakat masih baik”.

4. Korelasi hasil penelitian dengan teori

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang di ungkapkan oleh Suardiman

(2011) dalam buku psikologi lansia yang menyatakan bahwa “kegiatan keagamaan

bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan diharapkan dapat

memberikan efek perasaan tenang, pasrah dan nyaman bagi lansia”. Dan juga

secara empiris diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anam (2006)

yang menemukan bahwa “kegiatan keagamaan yang dilakukan lansia memiliki

peran yang signifikan dalam meningkatkan kebahagian lansia”. Kemudian

diperkuat dengan hasil penelitian Handayani (2016) yang menemukan bahwa “18

orang lansia (100%) mengalami stres ringan dan setelah melakukan dzikir dan do’a

persentase stres ringan menjadi (66,7%) dan (33,3%) tidak mengalami stres”.

Hasil penelitian ini sejalan dengan norma agama yang menganjurkan untuk

berbakti kepada kedua orang tua serta disejalan dengan teori Friedman (1998) yang

menyatakan bahwa “keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi

anggotanya. Dukungan keluarga merupakan bentuk perilaku melayani yang

dilakukan oleh keluarga dalam berbagai bentuk”. Kemudia diperkuat dengan hasil

penelitian Center for Populatioan and Policy Studies Universitas Gadjah Mada

(1999) yang menggambarkan bahwa “merawat orang tua merupakan suatu

kewajiban dan perwujudan bakti anak”.

Hasil penelitian ini mendukung BKKBN tentang definisi keluarga yang

menjelaskan bahwa “keluarga adalah dua atau lebih individu yang dibentuk

berdasarkan ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual

dan materi yang layak, bertakwa kepada Tuhan, memiliki hubungan dan seimbang

antar anggota keluarga serta lingkungan masyarakat”. Dan mendukung hasil

penelitian yang dilakukan oleh Ramdani (2015) yang menyatakan bahwa

“diperlukan berbagai bentuk pelayanan kepada lansia dalam mencapai kepuasan

hidupnya”.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Bagi instansi pemerintah, diharapkan pembinaan keagamaan dapat ditingkatkan

karena selama ini masih kurang dalam implementasinya. Sehingga instansi

pemerintahan diharapkan dapat meninjau ulang kebijakan terkait tentang

pembinaan keagamaan bagi lansia. Sehingga proses pelaksanaan pembinaan

dapat terstandar dengan baik dan juga dapat menyesuaikan kondisi dan

kebutuhan lansia dan Perlu ada regulasi dan supervisi Undang-undang karena ada

gejala komodifikasi panti lansia.

116

2. Bagi keluarga dan masyarakat, diharapkan dapat mengikuti pelatihan

pendampingan pelayanan sosial. Dengan harapan keluarga atau masyarakat

memperoleh pendidikan tentang pendampingan dan perawatan lansia juga dapat

lebih memperhatikan kondisi lansia sehingga lansia dapat menikmati masa

tuanya dengan tenang dan damai baik kondisi kesehatan fisik, psikis maupun

rohaninya.

3. Bagi lembaga, diharapkan untuk dapat meninjau ulang program pembinaan

keagamaan sehingga proses pembinaan keagamaan bisa lebih efektif lagi.

Pemilihan metode pembinaan harus sesuai dengan kondisi lansia. petugas panti

sosial dapat memberikan motiasi kepada lansia dengan melakukan upaya-upaya

preventif dan rehabilitasi dalam mengurangi terjadinya pikun, dimensia dan

penurunan fungsi kognitif lainnya.

4. Bagi lansia, diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan semangat

beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, juga diharapkan dapat lebih

banyak mencari informasi tentang masalah kesehatan yang sering terjadi pada

lansia.

5. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian pada aspek

yang lebih luas lagi, serta mengembangkan variabel-variabel yang sebelumnya

belum diteliti sehingga dapat menjadi bahan referensi dalam melakukan

penelitian.

6. Bagi institusi pendidikan, diharapkan untuk dapat memasukkan lanjut usia dalam

mata ajar. Hal ini sangat membantu peserta didik pada saat memasuki masyarakat

luas, di mana terjadi banyaknya interaksi dengan lansia, sehingga intervensi

pembinaan keagamaan yang akan diberikan dapat tercapai secara holistik.

C. Implikasi

Pertama, penguatan fungsi keluarga dalam pengasuhan lansia menjadi sangat

penting karena norma agama dan budaya menganjurkan untuk berbakti kepada kedua

orang tua. Penguatan fungsi keluarga dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan-

pelatihan terkait pengasuhan lansia, pemerintah bisa membuat layanan seperti Social

family visit seperti yang dilakukan MSC (Muhamadiyah Senior Club) di mana

kelompok ini secara rutin bertemu.

Kedua, istilah lansia yang populer tidak terlalu tepat dengan alasan Istilah lansia

mengandung arti seakan-akan mereka para usia lanjut hanya menghabiskan sisa

hidup, menghabiskan sisa hidup kecendrungannya hanya menunggu kematian saja.

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa umur manusa itu ada sejak alam arwah, alam

rahim dan ketika ia dilahirkan ke dunia. Ketika ia dilahirkan ke dunia terdapat dua

istilah yang dijelaskan di dalam al-Qur’an surah Ghafir ayat 67 “umur manusia itu waminkum man yutawaffa min qablu (ada yang meninggal usia muda) dan litakuunu

Syuyuukhan (ada yang sampai usia tua). Al-Qur’an mendeskripsikan lanjut usia

adalah dia yang mulai lemah dan mulai lupa. Kemudian dijelaskan dalam hadist

bahwasanya usia umat nabi berkisar 60-70 tahun dan mereka yang melewati usia

tersebut dikatakan sebagai lanjut usia. Hal ini menggambarkan seakan-akan hidup

mereka hanyalah sekedar bonus saja. Realita yang ada saat ini di Indonesia ada

117

peningkatan tingkat harapan hidup dan mereka yang berusia di atas 60 tahun masih

produktif. Oleh karena itu peneliti merekomendasi untuk mengoreksi istilah lansia dan

menggantinya dengan istilah senior. Sedangkan istilah senior mengandung arti

apresiasi bahwa mereka sudah berusia lebih dan dalam hadist dijelaskan orang yang

baik adalah orang berusia panjang dan berbuat baik. Di samping itu istilah senior juga

sudah digunakan dalam internasional.

Ketiga, memperkuat dan meningkatkan layanan-layanan sosial yang kurang

berkembang seperti posyandu, Social Family visit dan lain-lain. Sebagai upaya untuk

meningkatkan kesejahteraan lansia.

Keempat, penguatan keluarga sebagai isntitusi utama dalam pengasuhan lansia,

berdasarkan landasan normatif dan empiris yang menunjukkan kematangan beragama

lansia yang tinggal di rumah lebih baik dari lansia yang tinggal di panti sosial.

118

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Alim, Muhammad. (2006). Pendidikan Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan

Kepribadian Muslim, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

al-Syaibany Mohammad, Omar al-Toumy. (1979). Falsafah Pendidikan Islam,

Jakarta: Bulan Bintang.

Ardy Wiyani, N. (2013). Pendidikan Agama Islam Berbasis Pendidikan Karakter,

Bandung: Alfabeta.

Asyafah, Abas. (2009). Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensinya,

Bandung: Alfabeta.

Hasan, Iqbal. (2009). Analisis Data Penelitian dengan Statistik, Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Havighurst, Robert, J. (1984). Perkembangan Manusia dan Pendidikan, Bandung: CV

Jemmers.

Hawi, Akmal. (2014). Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Hidayat, Komaruddin. (2009). Berdamai dengan Kematian, Jakarta: PT Mizan

Publika.

Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Jalaluddin (2016). Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan

Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jalaluddin dan Ramayulis. (1993). Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam

Mulia.

Jalaluddin. (1998). Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Jauhari Muchtar, Heri. (2008). Fikih Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kadir. (2015). Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan Program

SPSS/Lisrel dalam Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Kumpulan Makalah dan Diskusi Lokakarya. (2013). Memanusiakan Lanjut Usia:

Penuaan Penduduk dan Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta: SurveyMeter.

Langgulung, Hasan. (1988). Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna.

119

Mantra, Ida Bagoes. (2015). Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mar’at, Samsunuwiyati. (2009). Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Muhidin, S.A., Maman, A. (2011). Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam

Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia.

Munadi, Yudhi. (2010). Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada Press.

Najati, M. Usman. (2003). Al-Qur’an dan Psikologi, Jakarta: Aras Pustaka.

..., Muhammad Ustman. (2005). Psikologi dalam al-Qur’an (Terapi Qur’ani dalam

Penyembuhan Gangguan Jiwa). Bandung: CV Pustaka Setia.

Narwoko, Dwi., B. Suyanto. (2007). Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Nawawi al-Jawi, al-Syaikh Muhammad, Tafsir an-Nawawi, Surabaya: Pustaka

Hidayah.

Noor, Juliansya. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya

Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Prasetyo, Bambang., Lina M.J. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Purwakania Hasan, Aliah B. (2006). Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.

Qomar. 2015. Dimensi Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga.

Ramayulis. (2013). Psikologi Agama, Jakarta: Kalam mulia.

Siregar, Sofyan. (2015). Statistika Parametrik Untuk Penelitian Kuantitatif, Jakarta:

Bumi Aksara.

Suardiman, Siti Partini. (2011). Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Sujarweni, W., Poly, E. (2012). Statistika untuk Penelitian, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Supranto., Nandan, L. (2013). Petunjuk Praktis Penelitian Ilmiah untuk Menyusun

Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

120

Suriastini, Ni Wayan, dkk. (2013). Satu Langkah Menuju Impian Lanjut Usia, Kota

Ramah Lanjut Usia 2030, Yogyakarta: Survey Meter.

Yunus, Mahmud. (2010). Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Mahmud Yunus wa

Dzurriyyah.

B. Jurnal, Thesis & Disertasi Aisyah, Siti dan A. Hidir. (2015). Kehidupan Lansia yang Dititipkan Keluarga di

Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru, diakses dari:

Portalgaruda.org.

Anam, Choirul. (2006). Peran Kegiatan Keagamaan dalam Kebahagiaan Wanita

Lansia Pasca Gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Humanitas, Vol 3,

No. 2, diakses dari: Portalgaruda.org.

Annisa, D.F., Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia).

Jurnal Konselor volume 5, No. 2. Issn: 1412-9760.

Annisa, D.F., Yulidar, I,. Ifdil. (2017). Kondisi Kecemasan Lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin, Jurnal Fokus Konseling volume 3,

No. 1, P.57-66. Issn: 2356-2099.

Asry, M.Y. (2009). Pembinaan Keagamaan Lanjut Usia di PSTW Bhakti Yuswa,

Lampung: Partisipasi dan Koordinasi. Puslitbang Jurnal Multikultural dan

Multireligius volume 8, No. 29. Diakses dari: Jurnal.balitbangdiklat.kemenag.

BKKBN. 2012. Penanaman dan Penerapan Nilai-nilai Moral melalui Delapan Fungsi

Keluarga. Diakses dari: Kependudukanjambi.org.

Depkes RI. (2013). Triple Burden Ancaman Lansia. Diakses dari: Depkes.go.id.

Dolvie, JR. L. (2014). Singapura Serba Disiplin, Manula Diberdayakan. Prokal.co,

diakses dari: Balikpapan.prokal.

E. Salim. (2015). Komposisi Umur Penduduk: Munculnya Bonus Demografi dan

Penduduk Menua, diakses dari: Kalbar.bkkbn.go.id..

European Commission.(2017, juni). Population Structure and Ageing, diakses dari:

Ec.europa.eu.

Faturochman. (2001). Revitalisasi Peran Keluarga. Jurnal Buletin Psikologi, IX, no. 2,

pp. 39-47. Diakses dari: Jurnal ugm.

Fauziah. (2015). Bimbingan Spiritual pada Usia Lanjut (Lansia). Jurnal IAIN

Pontianak. Diakses dari: Jurnaliainpontianak.or.id.

Guzman, Jose Miguel. (2012, November 7). PBB: 30 Persen Warga di 64 Negara

Tergolong Lansia Tahun 2050. VOA. Diakses dari: voaindonesia.com.

121

Handayani, Sri. (2016). Efektivitas Terapi Religi terhadap Penurunan Tingkat Stress

pada Lansia Janda. Junal Stikes. Diakses dari: Ejournal.stikesmukla.ac.id..

Heryanah. (2015). Ageing Population dan Bonus Demografi Kedua di Indonesia.

Jurnal UGM volume 23, no. 2, (2015): 1-16. Diakses dari: Jurnal.ugm.ac.id.

Indirawati, Emma. (2006). Hubungan Antara Kematangan Beragama dengan

Kecendrungan Strategi Coping. Jurnal Psikologi Undip, Vol 3, No. 2.

Indriana, Y., Dinie, R.S & Ika, F.K. (2011). Religiositas, Keberadaan Pasangan dan

Kesejahteraan Sosial (Social Well Being) pada Lansia Binaan PMI Cabang

Semarang, jurnal Psikologi UNDIP, Vol 10, No. 2, p. 183-184.

Iqbal, Muhammad. (2016). Pembelajaran Agama Islam Terhadap Wanita Lanjut Usia

di Panti Sosial. JIPSA, Vol. 16, N. 20. Diakses dari: Jurnal.umuslim.ac.id.

Ismail, Roni. (2007). Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama (Tinjauan

Kematangan Beragama), Jurnal Religi, Vol VIII, No. 1. Diakses dari: Uin-

suka.ac.id.

Jannah, M., Yacob, F., Julianto. (2017). Rentang Kehidupan Manusia (Life Span

Development) dalam Islam. International Journal of Child and Gender Studies,

Vol III, No. 1.

Jannah, Noor. (2015). Bimbingan Konseling Keagamaan bagi Kesehatan Mental

Lansia. Jurnal Bimbingan Konseling Islam Vol 6, No. 2, diakses dari:

Portalgaruda.org.

Jayanti, Fitri., Hidayati. (2015). Penerapan Strategi Heuristik pada Pembelajaran

Fisika terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa di Kelas X SMAN 9 Padang. Jurnal

Riset Fisika Edukasi dan Sains, Vol. 1, No. 2, E-ISSN: 2503-3425. Diakses

dari: Ejournal.stkip.

Julianty, P., Dwi, H., Puti, S. (2009). Kualitas Hidup Penduduk Indonesia menurut

International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) dan

Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Analisis Lanjut Data RISKESDAS

2007). Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status

Kesehatan Jakarta. Diakses dari: Ejournal.litbang.depkes.go.id.

Kartinah dan Agus Sudaryanto. (2008). Masalah Psikososial pada Lanjut Usia, Berita

Ilmu Keperawatan, ISSN 1979-2697, Vol I, No. 1. Diakses dari: Ums.ac.id.

Kemensos RI. (2014). Modul Pendampingan Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Diakses

dari: Kemsos.go.id.

Kosalina, Novi. (2018). Gambaran Kesejahteraan Subjektif Lansia yang Aktif dalam

Kegiatan Religius, Jurnal Psibernetika Vol 11, E-ISSN: 2581-0871.

122

Latifah. Y, Fakhruddin. A, Suresman. E. (2015). Pembinaan Keagamaan Siswa SMP

di Pondok Pesantren Daarut Tauhid Bandung. Jurnal Tarbawy, Vol. II, No. 2.

Diakses dari: Ejournal.upi.

Martiani, ER., Yulanda, R dan Bambang. (2012). GRHA Lansia di Tangerang, Jurnal

Imaji, Vol 1, 2013, diakses dari: Portalgaruda.org.

Mazumdar, P.G., Sumit, M. (2009). Dynamic of Family Support for the Elderly in

Rural India: The Influence of Co-Residence with Children, diakses dari:

Iussp2009.princeton.edu.

Mustafa. (2016). Perkembangan Jiwa Beragama pada Masa Dewasa. Jurnal Edukasi,

E-ISSN 2460-5794.

Muzamil, M.S., Afriwardi, dan Rose D.M. (2014). Hubungan antara Tingkat Aktivitas

Fisik dengan Fungsi Kognitif pada Usila di Kelurahan Jati Kecamatan Padang

Timur. Jurnal Kesehatan Andalas, diakses dari: Jurnal.fk.unand.ac.id.

Naftali, Ruth., Yulius Y.R., dan Aziz, A. (2017). Kesehatan Spiritual dan Kesiapan

Lansia dalam Menghadapi Kematian, Buletin Psikologi. DOI:

10.22146/buletinpsikologi.28992. Diakses dari: Jurnal.ugm.ac.id.

Nasution, Fauziah. (2009). Perilaku Beragama Usia Lanjut. Jurnal Medan Aagama.

Diakses dari: Jurnal.medanagama.

Nelson-Becker, H., Edward, R.C. (2008). Spirituality, Religion and Aging Research in

Social Work: State of The Art and Future Possibilities. Journal of Religion,

Spirituality and Aging, Vol 20 (3), diakses dari: Researchgate.

Nuraini. (2017, 15 Maret). Hasil Survei Kependudukan 2017 diharapkan Tunjukkan

Penurunan Kelahiran, diakses dari: Jpp.go.id.

Nurcholifah, siti. 2012. Keperawatan Gerontik, Badan Pengembangan dan

Pemberdayaan Sumber daya Manusia Kesehatan. Diakses dari:

Bppsdmk.kemkes.go.id.

Pradnyandari, D., Sri, D. (2013). Perbandingan Kejadian dan Status Depresi Lansia

yang Tinggal Bersama Keluarga dengan yang Tinggal Di Panti Sosial Tresna

Werdha Wana Seraya Denpasar Bali, diakses dari: Ojs.unud.ac.id.

Pusat Penelitian Kependudukan. (2015). Fasilitas Kesejahteraan bagi Penduduk

Lansia: Sebuah Catatan Perjalanan di Sendai, Jepang, diakses dari:

Kependudukan.lipi.go.id.

Replita. (2014). Kondisi Keberagamaan Pada Manusia Usia Lanjut (sebuah

Pendidikan dan Pembelajaran pada Generasi Muda), Jurnal Hikmah, Vol. VIII,

No. 2.

123

Rochmah, W dan Soedjono, A. (2001). Tua dan Proses Menua. Jurnal Berkala Ilmu

Kedokteran Volume 33, No. 4. Diakses dari: Portalgaruda.org.

Sa’id, Musthofa. 2007. Birran bilwaalidaini am Ihsaanan Ilaihimaa. 09 November

2007. Diakses dari: Tafsir Multaqa ahli at-tafsir

Sakina Rakhma Diah Setiawan. (2017, 8 Maret). Mengapa Banyak Manula Masih

Bekeja di Singapura?, diakses dari: kompas.com.

Setiti, SG. (2017) Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan: Studi Kasus Pada

Lima Wilayah di Indonesia. Puslitbang Kemsos, diakses dari:

Puslit.kemsos.go.id.

Setyaningrum, D.A., Nita F., Taty H. 2012. Gambaran Fungsi Keluarga pada Warga

Binaan Remaja di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Bandung. Jurnal Unpad.

Diakses dari: Jurnal.unpad.

Silawati. (2011). Pembinaan Keagamaan Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha

Khusnul Khotimah Pekanbaru Riau. Diakses dari: .Portalgaruda.org

Smilkstein, G., Clark, A., Montano. (1982). Validity and Reliability of the Family

APGAR as a Test of Family Function. The Journal of Family Practice, Vol 15,

No. 2. Diakses dari: Researchgate.

Suhanah. (2009). Pembinaan Kehidupan Beragama Lanjut Usia di Panti Sosial Syekh

Burhanuddin Kapubaten Padang Pariaman. Jurnal Multikultural dan

Multireligius Volume 8, No. 29.

Sunartiningsih. (2017, 11 Agustus). Menghidupkan 8 Fungsi Keluarga Menuju

Keluarga Sejahtera. Diakses dari: Yogya.bkkbn.go.id.

Sutikno, Ekawati. (2011). Hubungan antara Fungsi Keluarga dan Kualitas Hidup

Lansia. Jurnal Kedokteran Indonesia, Vol. II, No. 1. Diakses dari: Eprints.uns.

Syam, Amir. (2010). Hubungan antara Kesehatan Spiritual dengan Kesehatan Jiwa

pada Lansia Muslim Sasana Tresna Werdha KBRP Jakarta Timur, thesis

Universitas Indonesia.

Syamsuddin. (2011, 20 Mei). Program Layanan Sosial Lanjut Usia dibeberapa

Negara, diakses dari: Gaumabaji.kemsos.go.id

Times Indonesia. (2016, 21 Agustus). Mensos: Ada 1,8 Juta Lansia Terlantar di

Indonesia. Diakses dari: Timesindonesia.co.id

Witono, Toton. (2015). Spiritual Untuk Kesehatan Mental Lanjut Usia dalam Lonteks

Pelayanan Sosial (Disertasi S-3 Universitas Indonesia), diakses dari:

Lib.ui.ac.id.

124

Wulan, Rayung., Eddy. S., Haries. A. (2018). Pengembangan Metode Cepat Membaca

Huruf Hijaiyah Berbasis Multimedia dalam Rangka Pemberantasan Buta Huruf

Pada Lansia. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 01, No. 01. e-ISSN

2615-4749. Diakses dari: Journal.Ippmunindra.ac.id.

Zakiyah & Ibnu, Hasan. (2015). Kondisi Intensitas Pengajian dan Peningkatan

Religiusitas pada Lansia Aisyiyah Daerah Banyumas. Jurnal Islamadina, Vol.

XVIII, No. 1, p. 93-109. Diakses dari: Jurnalnasional.ump.

Zakiyah & Ibnu, Hasan. (2015). Studi Religiusitas Lansia Terhadap Perilaku

Keagamaan pada Lansia Perumahan Tegal Sari Ledug Kembaran Banyumas.

Jurnal Islamadina, Vol. XV, No. 2, P. 1-16. Diakses dari: Jurnalnasional.ump.

Lampiran 1

Lampiran 2

Kisi-kisi Angket Variabel X1 (Pembinaan Keagamaan)

Variabel Dimensi Indikator No Item

Total Positif Negatif

Pembinaan

Keagamaan

Akidah 1. Menanamkan nilai-nilai

ketaqwaan kepada Lansia.

2. Merefleksikan nilai-nilai

ketaqwaan dengan

kehidupan sehari-hari.

2,9 12 3

Ibadah 1. Membina lansia untuk

beribadah kepada Allah.

2. Membiasakan lansia

untuk melaksanakan

shalat, puasa, dzikir serta

melakukan do’a harian.

3. Memberikan informasi

terkait manfaat ritual

ibadah terhadap

kesehatan lansia.

4,6,15,19 14,16,10 6

Akhlak 1. Membina lansia untuk

senantiasa berprilaku

baik.

2. Membina lansia untuk

dapat memaafkan.

3. Menceritakan kisah Nabi

dan para tokoh teladan

5,11,17 3 4

Aktivitas

Keagamaan

Memotivasi lansia untuk

berpartisipasi mengikuti

kegiatan pengajian atau

penyuluhan keagamaan yang

diadakan di lingkungan

sekitar.

8,13,20 1,7,18 6

Total 12 8 20

Lampiran 3

Kisi-kisi Angket Variabel X2 (Fungsi Keluarga)

Variabel Dimensi Indikator No Item

Total Positif Negatif

Fungsi

Keluarga

Adaptasi 1. Peduli

2. Dinamis 1 1

Kemitraan 1. Kerjasama

2. Bertanggung jawab

3. Rasa aman

2 1

Pertumbuhan 1. Iman dan takwa

2. Kemandirian

3. Kualitas keluarga

3 1

Kasih sayang Sikap empati 4 1

Kebersamaan Meluangkan waktu 5 1

Total 5 5

Lampiran 4

Kisi-kisi Angket Variabel Y (Kematangan Beragama)

Variabel Dimensi Indikator No Item

Total Positif Negatif

Kematangan

Beragama

Akidah 1. Pemahaman

akidah

2. Tujuan

berdasarkan

akidah

1,4,6,10,14,22 5,8,17 9

Ibadah 1. Taat

beribadah

2. Beribadah

berdasarkan

sukarela

2,9,12,16,20,21 18,7 8

Perilaku 1. Tidak putus

asa

2. Senantiasa

bersyukur

3. Toleran

4. Harmoni

13,19,23,24,25,27

,29

3,11,15,

26,28 12

Total 19 10 29

Lampiran 5

KUESIONER PENELITIAN

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Selamat pagi/siang/sore

Saya mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Pendidikan

Agama Islam Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan partisipasi

Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini. Jawaban Bapak/Ibu akan menjadi masukan yang

sangat berharga bagi penelitian ini.

Penelitian ini mengenai Tingkat Kematangan Beragama Lansia yang Memperoleh

Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga dan di Panti Sosial. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran kematangan beragama lansia dan pembinaan keagamaan yang

diberikan kepada lansia baik yang tinggal dengan keluarga maupun yang tinggal di panti

sosial.

Jawaban Bapak/Ibu tidak dinilai benar atau salah. Kami mengharapkan kejujuran

dalam menjawab setiap pernyataan, karena kevalidan penelitian ini berdasarkan jawaban

yang Bapak/Ibu berikan.

Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu sebagai responden akan dijaga. Atas partisipasi

Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.

Hormat Saya,

Sofia Hasanah F

FORMAT KUESIONER

Berilah tanda Cek ( √ ) pada jawaban yang dianggap paling sesuai dengan keadaan dan

situasi Bapak/Ibu sekrang ini:

A. Karekteristik Responden

1. Jenis Kelamin

2. Usia

3. Pendidikan Terakhir

Lainnya:

B. Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom

yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.

Keterangan Pengisian Kuesioner:

1. Selalu (SL)

2. Sering (S)

3. Kadang-kadang (KK)

4. Tidak Pernah (TP)

1. Laki-laki 2. Perempuan

1. 60-65 tahun

2. 66-75 tahun

3. 76-85 tahun

4. > 86 tahun

1. SD

2. SMP

3. SMA

4. S1

Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pernyataan Jawaban

SL S KK TP

1 Saya malas mengikuti pembinaan keagamaan yang

diadakan di lingkungan sekitar saya

2

Mempelajari takdir Allah, membuat saya merasa tenang

menjalani hidup, karena hidup dan mati seseorang sudah

menjadi ketentuan Allah

3 Saya melakukan shalat, puasa, dzikir dan do’a harian

karena saya tahu manfaatnya bagi kesehatan saya

4 Keluarga memotivasi saya untuk bisa memaafkan keselahan

orang lain kepada saya

5 Keluarga mengingatkan saya melaksanakan shalat 5 waktu

6 Saya mengikuti pembinaan keagamaan dalam setiap

minggunya

7 Keluarga membiarkan saya, ketika saya lupa tentang tata

cara berwudhu, shalat dan membaca al-Qur’an

8 Keluarga memberi contoh keteladanan kepada saya

9 Setelah materi pembinaan keagamaan disampaikan, saya

merasa tergugah dan lebih bersemangat untuk beribadah

10 Saya bersikap pelit, karena takut uang saya akan habis

11 keluarga mengajarkan saya membaca al-Qur’an dengan

baik dan benar

12 Keluarga membiarkan saya, ketika saya belum

melaksanakan shalat

13 Keluarga menguatkan dan mengingatkan saya, untuk

bersyukur atas umur panjang yang diberikan kepada saya

14 Saya merasa pembinaan keagamaan yang diadakan sia-sia

saja bagi saya

15 Keluarga mengajak saya untuk berpuasa ramadhan

16 Saya mengikuti pembinaan keagamaan karena keinginan

saya sendiri

C. Fungsi Keluarga

Jawablah pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom

yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.

Keterangan Pengisian Kuesioner:

1. Selalu (S) = Jika pernyataan selalu Bapak/Ibu rasakan

2. Kadang-kadang (KK) = Jika pernyataan kadang-kadang Bapak/Ibu rasakan

3. Tidak Pernah (TP) = Jika pernyataan tidak pernah Bapak/Ibu rasakan

Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pernyataan Jawaban

S KK TP

1 Saya merasa puas jika keluarga dapat membantu saya dalam

memecahkan masalah yang sedang saya hadapi

2 Saya merasa puas atas cara keluarga bermusyawarah untuk

menyelesaikan masalah

3 Saya merasa puas dengan cara keluarga mendukung saya untuk

melakukan aktivitas baru

4 Saya merasa puas dengan cara keluarga berbagi rasa seperti

bahagia dan sedih

5 Saya puas dengan cara keluarga meluangkan waktu bersama

D. Kematangan Beragama

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom

yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.

Keterangan Pengisian Kuesioner

1. Sangat Setuju (SS)

2. Setuju (S)

3. Tidak Setuju (TS)

4. Sangat Tidak Setuju (STS)

Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pernyataan Jawaban

SS S TS STS

1 Saya meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang

sempurna

2 Saya merasa putus asa dalam menjalani kehidupan

ini

3 Saya merasa tenang setelah melaksanakan shalat,

dzikir dan berdo’a

4 Terkadang saya merasa Allah pilih kasih dengan

saya

5 Saya merasa tenang ketika malas melaksanakan

shalat, dzikir dan berdo’a

6

Saya merasa tenang menjalani kehidupan masa

tua, karena saya tahu bahwa hidup dan mati telah

ditentukan oleh Allah

7

Saya cuek pada perbuatan yang saya lakukan,

tanpa pertimbangan apakah sudah sesuai dengan

ajaran agama saya

8 Saya berusaha untuk memperbaiki ibadah saya

9 Saya merasa bersyukur kepada Allah atas keadaan

saya sekarang

10 Saya menyerahkan sepenuhnya masalah yang

saya hadapi kepada Allah setelah saya berusaha

11 Saya sulit memaafkan kesalahan orang lain

terhadap saya

12 Saya tetap membaca al-Qur’an, meskipun fungsi

penglihatan saya sudah menurun

13 Saya ingin lebih baik lagi dalam beragama

14 Saya masih sempat mengingat Allah, meskipun

kondisi saya sudah tua

15 Saya suka menolong orang yang membutuhkan

pertolongan saya

16 Saya berusaha menjadi manusia yang baik, karena

ajaran agama saya mengajarkan demikian

KUESIONER PENELITIAN

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Selamat pagi/siang/sore

Saya mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Pendidikan

Agama Islam Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan partisipasi

Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini. Jawaban Bapak/Ibu akan menjadi masukan yang

sangat berharga bagi penelitian ini.

Penelitian ini mengenai Tingkat Kematangan Beragama Lansia yang Memperoleh

Pembinaan Keagamaan dalam Keluarga dan di Panti Sosial. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran kematangan beragama lansia dan pembinaan keagamaan yang

diberikan kepada lansia baik yang tinggal dengan keluarga maupun yang tinggal di panti

sosial.

Jawaban Bapak/Ibu tidak dinilai benar atau salah. Kami mengharapkan kejujuran

dalam menjawab setiap pernyataan, karena kevalidan penelitian ini berdasarkan jawaban

yang Bapak/Ibu berikan.

Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu sebagai responden akan dijaga. Atas partisipasi

Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.

Hormat Saya,

Sofia Hasanah F

FORMAT KUESIONER

Berilah tanda Cek ( √ ) pada jawaban yang dianggap paling sesuai dengan keadaan dan

situasi Bapak/Ibu sekrang ini:

E. Karekteristik Responden

4. Jenis Kelamin

5. Usia

6. Pendidikan Terakhir

Lainnya:

F. Pembinaan Keagamaan di Panti Sosial

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom

yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.

Keterangan Pengisian Kuesioner

5. Selalu (SL)

6. Sering (S)

7. Kadang-kadang (KK)

8. Tidak Pernah (TP)

1. Laki-laki 2. Perempuan

1. 60-65 tahun

2. 66-75 tahun

3. 76-85 tahun

4. > 86 tahun

1. SD

2. SMP

3. SMA

4. S1

Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pernyataan Jawaban

SL S KK TP

1 Saya malas mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan yang

diadakan pihak panti

2

Mempelajari takdir Allah, membuat saya merasa tenang

menjalani hidup, karena hidup dan mati seseorang sudah

menjadi ketentuan Allah

3 Saya melakukan shalat, puasa, dzikir dan do’a harian

karena saya tahu manfaatnya bagi kesehatan saya

4 Pihak panti memotivasi saya untuk bisa memaafkan

keselahan orang lain kepada saya

5 Pihak panti menganjurkan saya melaksanakan shalat 5

waktu

6 Saya mengikuti setiap pembinaan keagamaan yang

diadakan pihak panti

7 Pihak panti membiarkan saya, ketika saya lupa tentang tata

cara berwudhu, shalat dan membaca al-Qur’an

8 Pihak panti memberi contoh keteladanan kepada saya

9 Setelah materi pembinaan keagamaan disampaikan, saya

merasa tergugah dan lebih bersemangat untuk beribadah

10 Saya bersikap pelit, karena takut uang saya akan habis

11 Pihak panti mengajarkan saya membaca al-Qur’an dengan

baik dan benar

12 Pihak panti membiarkan saya, ketika saya belum

melaksanakan shalat

13

Materi pembinaan keagamaan yang disampaikan pihak

panti, membuat saya lebih bersyukur atas umur panjang

yang diberikan kepada saya

14 Saya merasa pembinaan keagamaan yang diadakan sia-sia

saja bagi saya

15 Pihak panti mengajak saya untuk berpuasa ramadhan

16 Saya mengikuti pembinaan keagamaan karena keinginan

saya sendiri

G. Fungsi Keluarga

Jawablah pernyataan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom

yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.

Keterangan Pengisian Kuesioner:

4. Selalu (S) = Jika pernyataan selalu Bapak/Ibu rasakan

5. Kadang-kadang (KK) = Jika pernyataan kadang-kadang Bapak/Ibu rasakan

6. Tidak Pernah (TP) = Jika pernyataan tidak pernah Bapak/Ibu rasakan

Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pernyataan Jawaban

S KK TP

1 Saya merasa puas jika keluarga dapat membantu saya dalam

memecahkan masalah yang sedang saya hadapi

2 Saya merasa puas atas cara keluarga bermusyawarah untuk

menyelesaikan masalah

3 Saya merasa puas dengan cara keluarga mendukung saya untuk

melakukan aktivitas baru

4 Saya merasa puas dengan cara keluarga berbagi rasa seperti

bahagia dan sedih

5 Saya puas dengan cara keluarga meluangkan waktu bersama

H. Kematangan Beragama

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan memberikan tanda Cek ( √ ) pada kolom

yang telah disediakan, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu saat ini.

Keterangan Pengisian Kuesioner

5. Sangat Setuju (SS)

6. Setuju (S)

7. Tidak Setuju (TS)

8. Sangat Tidak Setuju (STS)

Bapak/Ibu diminta untuk mengisi kolom jawaban sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Pernyataan Jawaban

SS S TS STS

1 Saya meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang

sempurna

2 Saya merasa putus asa dalam menjalani kehidupan

ini

3 Saya merasa tenang setelah melaksanakan shalat,

dzikir dan berdo’a

4 Terkadang saya merasa Allah pilih kasih dengan saya

5 Saya merasa tenang ketika malas melaksanakan

shalat, dzikir dan berdo’a

6

Saya merasa tenang menjalani kehidupan masa tua,

karena saya tahu bahwa hidup dan mati telah

ditentukan oleh Allah

7

Saya cuek pada perbuatan yang saya lakukan, tanpa

pertimbangan apakah sudah sesuai dengan ajaran

agama saya

8 Saya berusaha untuk memperbaiki ibadah saya

9 Saya merasa bersyukur kepada Allah atas keadaan

saya sekarang

10 Saya menyerahkan sepenuhnya masalah yang saya

hadapi kepada Allah setelah saya berusaha

11 Saya sulit memaafkan kesalahan orang lain terhadap

saya

12 Saya tetap membaca al-Qur’an, meskipun fungsi

penglihatan saya sudah menurun

13 Saya ingin lebih baik lagi dalam beragama

14 Saya masih sempat mengingat Allah, meskipun

kondisi saya sudah tua

15 Saya suka menolong orang yang membutuhkan

pertolongan saya

16 Saya berusaha menjadi manusia yang baik, karena

ajaran agama saya mengajarkan demikian

Lampiran 6

WAWANCARA PENELITIAN

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PEDOMAN WAWANCARA

(Ketua Pesantren Lansia)

Petunjuk Wawancara:

1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.

2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.

3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau

saran yang berkaitan dengan topik wawancara.

4. Catat seluruh pembicaraan.

5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.

Data Umum

1. Nama Informan : Adjma, SE, MM.

2. Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018

Pertanyaan Wawancara

1. Bagaimana letak dan keadaan geografis?

Jawab: Pesantren lansia berlokasi di daerah Tangerang Selatan tepatnya di Jl.

Flamboyan I Blok D7/5 RT 010/015 Pd. Safari Indah Jurangmangu Barat, Pondok

Aren, Tangerang Selatan.

2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan?

Jawab: Sejarah berdirinya pesantren lansia berawal dari pemikiran tentang jumlah

panti jompo yang banyak, namun panti jompo yang bertujuan untuk mendekatkan

lansia kepada Allah serta dapat menjadikan lansia yang berpulang ke rumah Allah

dengan husnul khotimah masih terbilang jarang. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh ketua panti, di Indonesia jumlah pesantren lansia hanya ada lima,

oleh karena hal tersebut makan Yayasan Adjhis membuat terobosan baru dengan

mendirikan pesantren lansia ini.

3. Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya?

Jawab: Visi Misi didirikannya Pesantren Lansia adalah untuk meraih masa depan

dengan predikat husnul khotimah, menghindari kepikunan dan kejenuhan dengan

adanya kegitan yang bermanfaat serta mewujudkan bakti kepada orang tua, untuk

mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

4. Bagaimana keadaan pembina keagamaan, pegawai panti dan lansia?

Jawab: Saya masih merangkap menjadi pembina keagamaan, dikarenakan pembina

yang dulu pindah domisili, untuk pegawai panti kami selalu melakukan briefing

terkait tahapan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi lansia.

Untuk kondisi lansia, ada yang masih bisa melakukan mobilitas dengan baik dan

ada juga lansia yang sudah pikun.

5. Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?

Jawab: Sarana dan prasana di sini dilengkapi sesuai dengan kebutuhan lansia,

misalnya kami menggunakan toilet duduk dan jongkok, untuk al-Qur’an kami

gunakan yang besar dan adapula perpustakaan tempat untuk lansia membaca.

6. Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?

Jawab: Pembinaan keagamaan yang diadakan penekanannya lebih kepada ibadah

sehari-hari seperti shalat, do’a, dzikir dan membaca al-Qur’an. Untuk al-Qur’an

sendiri ada yang sudah lancar dan ada pula yang baru mulai belajar al-Qur’an.

7. Adakah dukungan pihak Kementrian Sosial? Jika ada, bagaimana bentuk

dukungan tersebut?

Jawab: bantuan dari Kementrian Sosial belum ada, selama ini bantuan yang datang

itu dari masyarakat sekitar dan ada biaya operasional dari pihak keluarga lansia.

PEDOMAN WAWANCARA

(PEMBINA KEAGAMAAN)

Petunjuk Wawancara:

1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.

2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.

3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau

saran yang berkaitan dengan topik wawancara.

4. Catat seluruh pembicaraan.

5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.

Data Umum

1. Nama Informan : Adjma, SE, MM.

2. Tanggal Wawancara : Minggu, 18 Maret 2018

Pertanyaan Wawancara

1. Hari apa pembinaan keagamaan dilaksanakan?

Jawab: Setiap hari ada pembinaan keagamaan yang dilaksanakan pada pukul 06-

11.00 dan di lanjutkan kembali pada pukul 13.30-15.00

2. Bagaimana kondisi ruangan ketika pelaksanaan pembinaan keagamaan

berlangsung?

Jawab: Kegiatan pembinaan dilaksanakan di aula pesantren

3. Apakah lansia dapat mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan dengan baik?

Jawab: Ada sebagian yang bisa ikut pembinaan dan ada yang tidak bisa, misalnya

karena sedang sakit dan sudah pikun.

4. Materi apa saja yang disampaikan kepada lansia saat pembinaan keagamaan?

Jawab: Materi tentang ibadah harian seperti, shalat, do’a, dzikir dan membaca al-

Qur’an. Kami juga mengadakan tabligh akbar dengan mengundang masyarakat

sebagai sarana lansia untuk latihan pidato, memimpin do’a dan kultum.

5. Adakah metode khusus yang digunakan saat menyampaikan materi pembinaan

keagamaan pada lansia?

Jawab: Metode yang digunakan mengulang-ngulang, ceramah atau tausiyah,

diingatkan masa nostalgia, mengangkat dia mengingat masa jaya dia dimasa muda.

6. Apakah pelaksanaan pembinaan keagamaan berjalan sesuai dengan yang

diharapkan?

Jawab: Pembinaan yang dilaksanakan, berjalan sesuai harapan ada, dia keluar dari

panti bisa mengaji dan insya allah husnul khotimah tiba-tiba meninggal yang pada

awalnya tidak bisa baca al-Quran.

7. Apakah setelah mengikuti pembinaan keagamaan, lansia bersemangat untuk

melaksananakan shalat, membaca al-Qur’an dan melakukan doa harian?

Jawab: Ya, ada yang bersemangat. Adapula yang sudah udzur.

8. Apa saja yang menjadi fakor pendukung dan penghambat selama proses

pelaksanaan pembinaan keagamaan? Baik yang berkenaan dengan kondisi fisik

maupun psikis lansia?

Jawab: Faktor pendukung yang paling utama kesehatan lansia, kalau dia sehat bisa

mengikuti, kalau dia sakit tidak bisa, yang pentik kondisinya sehat.

WAWANCARA PENELITIAN

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PEDOMAN WAWANCARA

(Ketua Pondok Lansia Berdikari)

Petunjuk Wawancara:

1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.

2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.

3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau

saran yang berkaitan dengan topik wawancara.

4. Catat seluruh pembicaraan.

5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.

Data Umum

1. Nama Informan : M. Sholeh, S.SOSIO

2. Tanggal Wawancara : Minggu, 29 April 2018

Pertanyaan Wawancara

1. Bagaimana letak dan keadaan geografis?

Jawab: berlokasi di daerah BSD Griya Loka Sektor 1.6 Jl. Kubis Blok A3/10,

Rawa Buntu, Serpong, Kota Tangerang Selatan.

2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan?

Jawab: Wacana pembentukkannya pada akhir Desember 2012. Awal mula

perkembangan panti dimulai dari kegiatan bakti sosial yang diadakan dan jumlah

lansia yang tinggal di panti berjumlah enam orang, fluktuatif jumlahnya karena

faktor usia dan sampai sekarang jumlahnya ada 25 orang. Pondok lansia berdikari

masih menggunakan rumah sewa dan sekarang sedang proses pembangunan

gedung evaluasi di Tigaraksa Tangerang, dengan wacana gedung keselamatan

lansia, yaitu selamat dari api, listrik, kamar mandi dan obat-obatan.

3. Bagaimana visi, misi dan tujuan didirikannya?

Jawab: Visi Misi didirikannya Pondok Lansia Berdikari adalah untuk menyayangi

lansia sepanjang masa dan menjadi tempat asah, asih, asuh lansia dengan dasar

peduli sosial.

4. Bagaimana keadaan pembina keagamaan, pegawai panti dan lansia?

Jawab: Pegawai yang bisa melakukan standar perawatan lansia seperti, mandi,

menyediakan makan. Untuk kondisi lansia mayoritas lansia yang ada di panti ini

kondisinya dalam keadaan sakit.

5. Bagaimana keadaan sarana dan prasarana?

Jawab: Saprasnya rumah sewa, karena awal berdiri panti ini dari kegiatan-kegiatan

baksos yang diadakan.

6. Apa sajakah program pembinaan keagamaan yang diadakan?

Jawab: Pembinaan keagamaan yang diadakan penekanannya lebih kepada ibadah

sehari-hari seperti shalat, do’a, dzikir, yasin dan tahlil.

7. Adakah dukungan pihak Kementrian Sosial? Jika ada, bagaimana bentuk

dukungan tersebut?

Jawab: Dukungan kementrian sosial ada, seperti bantuan sapras, asistansi lansi,

pengembangan panti, bantuan kurir untuk lansia yang masih kerja diluar panti,

meskipun hanya 1 tahun sekali, kalau mengajukan pasti 9 panti di banten itu

dapat.

PEDOMAN WAWANCARA

(KELUARGA LANSIA)

Petunjuk Wawancara:

1. Ucapan terimakasih kepada informan atas kesediaannya diwawancarai.

2. Perkenalkan diri dan jelaskan topik wawancara serta tujuan wawancara dilakukan.

3. Jelaskan bahwa informan bebas menyampaikan pendapat, pengalaman, harapan atau

saran yang berkaitan dengan topik wawancara.

4. Catat seluruh pembicaraan.

5. Mintalah waktu lain jika informan hanya memiliki waktu yang terbatas.

Data Umum

1. Nama Informan : Thayyibah, S.Ag.

2. Tanggal Wawancara : Senin, 19 Maret 2018

Pertanyaan Wawancara

1. Bagaimana Bapak/Ibu merawat anggota keluarga yang sudah berusia lanjut?

Jawab: Dengan memperhatikan pola makan, karena orang tua kami hanya bisa

berbaring di tempat tidur cara kami merawat beliau dengan membuat jadwal piket

pada setiap hariya disesuaikan dengan jumlah anak yang ada.

2. Apakah alasan Bapak/Ibu tetap mengurus lansia di lingkungan keluarga?

Jawab: Mengurus orang tua yang sudah berusia lanjut memang sudah menjadi

kewajiban seorang anak kepada orang tuanya.

3. Apakah Bapak/Ibu mengajak lansia untuk tetap melakukan ibadah harian, seperti

shalat, puasa, berdoa dan membaca al-Qur’an?

Jawab: Untuk shalat ya, walaupun hanya dua waktu saja subuh dan ashar. Untuk

puasa sudah tidak kuat lagi dan digantikan dengan membayar fidyah.

4. Apakah lansia (sebutkan nama) ikut berpartisipasi mengikuti pembinaan

keagamaan, seperti mengikuti pengajian atau majelis ta’lim dalam setiap

minggunya?

Jawab: Ikut pengajian di hari selasa walaupun sudah jarang, dengan menggunkan

kursi roda.

5. Apakah Bapak/Ibu melihat adanya perubahan sikap (seperti; bersemangat untuk

beribadah) setelah lansia mengikuti pembinaan keagamaan ?

Jawab: Ya, bersemangat. Walaupun hanya melakukan shalat pada dua waktu saja.

Lampiran 7

Hasil Uji Validitas Variabel X1

Responden No. Soal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 3 4 4 4 3 4 4 3 3 2 2

2 4 3 4 3 3 2 3 2 3 3 3

3 4 4 3 4 4 3 4 3 2 4 3

4 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3

5 3 4 4 3 3 3 4 3 4 3 4

6 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3 2

7 4 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3

8 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4

9 4 4 4 3 3 3 4 3 3 4 2

10 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 3

11 4 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3

12 3 4 3 3 2 2 4 3 3 2 3

13 4 2 4 4 3 4 3 4 2 4 2

14 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4

15 3 3 4 3 3 3 4 3 3 4 3

16 3 3 3 3 4 3 4 4 3 4 2

17 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3

18 3 4 4 4 4 4 3 3 4 3 4

19 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3

20 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4

21 3 4 4 4 4 4 4 2 2 4 3

22 3 4 4 4 3 3 3 3 3 4 4

23 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3

24 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3

25 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3

26 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3

27 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 4

28 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 4

29 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4

30 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 4

Rhitung 0,464 0,399 0,290 0,756 0,767 0,695 0,116 0,645 0,297 0,497 0,444

Rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361

Responden No. Soal

12 13 14 15 16 17 18 19 20 Skor Total

1 4 3 4 3 3 3 4 3 4 67

2 3 3 3 3 2 2 3 3 3 58

3 4 4 4 4 4 3 4 4 3 72

4 3 4 4 3 3 4 3 3 4 68

5 3 4 3 3 3 3 3 4 3 67

6 4 4 4 3 2 3 3 3 3 64

7 4 3 3 3 4 3 4 4 4 66

8 3 4 4 4 3 4 3 3 3 73

9 4 3 3 3 3 4 4 4 4 69

10 3 4 4 3 4 3 3 3 3 65

11 3 4 4 3 4 4 4 4 4 71

12 4 3 3 3 4 3 4 3 4 63

13 4 4 4 4 4 4 4 4 4 72

14 4 4 3 4 4 4 4 4 4 77

15 4 3 3 4 3 3 3 3 3 65

16 4 4 4 3 4 4 4 3 4 70

17 4 3 4 3 4 3 4 4 4 75

18 4 4 3 4 4 4 4 4 4 75

19 4 4 4 3 4 4 4 4 4 77

20 3 4 4 4 4 3 4 4 4 77

21 4 3 4 3 4 3 4 3 4 70

22 3 4 4 3 4 4 4 4 4 72

23 4 4 4 3 4 4 4 4 4 77

24 4 4 4 3 4 4 4 3 4 72

25 3 4 4 3 3 4 4 4 4 76

26 4 4 4 4 3 4 4 4 4 77

27 4 3 4 4 4 4 4 4 4 76

28 4 4 4 3 4 3 4 4 4 76

29 4 4 4 4 4 4 4 4 4 80

30 4 3 4 3 4 3 4 4 4 73

Rhitung 0,211 0,428 0,447 0,419 0,527 0,618 0,599 0,664 0,538

Rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361

Hasil Uji Validitas Variabel Y

Responden No. Soal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 4 4 3 3 3 3 3 2 2 3 3

2 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 4

3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3 3

4 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 4

5 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4

6 4 3 4 4 3 3 3 4 4 4 4

7 3 3 3 3 4 3 3 1 3 3 3

8 3 4 4 3 3 3 3 4 3 3 3

9 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3

10 3 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3

11 4 4 3 3 4 3 4 3 3 3 4

12 4 4 3 3 4 3 3 2 4 4 3

13 4 3 4 4 3 3 3 2 2 3 4

14 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 3

15 4 4 3 3 4 3 3 2 3 4 4

16 4 4 4 4 4 3 4 4 2 3 4

17 4 3 4 3 3 3 4 2 3 3 3

18 4 4 4 4 4 4 4 2 2 4 3

19 4 4 3 3 4 3 3 2 3 3 3

20 4 3 4 4 4 4 2 4 2 4 3

21 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3

22 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3

23 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

24 4 3 4 4 4 4 2 2 2 3 3

25 4 4 4 4 3 3 3 2 3 3 3

26 3 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3

27 4 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3

28 4 3 3 4 3 3 3 2 3 3 3

29 4 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3

30 4 3 4 4 4 3 3 2 2 3 3

rhitung 0,455 0,357 0,440 0,431 0,440 0,285 0,319 0,369 0,420 0,590 0,520

Rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361

Responden No. Soal

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2

2 3 3 4 3 4 3 4 4 3 3

3 3 3 3 3 4 3 3 2 3 3

4 3 3 4 3 3 4 4 3 3 3

5 3 4 4 3 3 4 3 3 3 3

6 3 3 4 4 4 4 3 3 4 4

7 4 4 3 3 4 2 3 2 4 4

8 3 3 3 3 4 4 4 2 3 3

9 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3

10 4 3 3 3 4 3 4 2 3 4

11 4 4 4 3 4 3 4 2 4 4

12 4 3 3 3 3 3 4 3 4 4

13 4 4 3 4 3 3 3 3 3 4

14 3 4 3 2 4 3 3 3 3 3

15 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4

16 4 4 4 4 4 3 3 4 4 4

17 3 4 3 4 3 3 3 2 3 4

18 4 4 4 3 4 3 4 3 3 4

19 3 4 3 3 4 3 3 2 3 3

20 3 3 4 3 4 3 3 3 3 4

21 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3

22 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

23 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

24 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3

25 4 4 4 3 3 3 3 2 4 4

26 3 3 3 3 4 4 3 3 3 3

27 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3

28 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

29 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4

30 3 3 3 3 4 3 4 2 3 3

rhitung 0,630 0,404 0,630 0,429 0,274 0,170 0,343 0,230 0,481 0,723

rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361

Responden No. Soal

22 23 24 25 26 27 28 29 Skor Total

1 3 3 3 3 3 3 3 2 85

2 4 2 3 3 3 3 3 3 92

3 3 3 3 3 3 3 3 3 87

4 4 2 3 3 3 3 3 3 91

5 4 3 3 3 3 3 3 3 93

6 3 3 4 3 4 3 2 2 100

7 3 2 2 3 3 3 3 3 87

8 3 2 2 3 3 3 3 3 90

9 3 3 3 3 3 3 3 3 87

10 3 3 2 3 3 4 4 3 94

11 4 2 3 4 3 4 3 3 100

12 4 3 3 4 3 4 4 3 99

13 3 3 3 3 4 4 4 2 95

14 3 3 3 3 3 3 3 3 90

15 3 3 3 3 3 3 4 3 97

16 3 3 3 3 3 4 3 3 103

17 3 2 2 4 3 3 4 3 91

18 4 3 3 4 3 4 3 3 102

19 3 2 3 3 3 3 4 3 90

20 4 3 3 3 3 3 3 3 96

21 3 3 3 3 3 3 3 3 87

22 3 3 3 3 3 3 3 3 85

23 3 3 3 3 3 3 2 3 86

24 3 3 3 3 3 3 3 3 91

25 4 2 2 4 3 4 3 3 95

26 3 3 3 3 3 3 3 3 92

27 3 2 3 3 3 3 3 3 86

28 3 2 3 3 3 3 2 3 86

29 4 3 2 3 3 3 3 3 91

30 4 3 2 3 3 4 3 3 91

rhitung 0,419 0,161 0,175 0,475 0,289 0,638 0,219 -0,89

rtabel 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361

ξ o l 『 D 諄 一t 8 一   一   “ 9 ヨ 生   ツ ト     )

Z 9 3 o       一  〇 O L   や こ 「   げ 9 ¨ R {

ど 量   訂 . 颯 ご 』 。鰤 h

本 誕 「。 .。 ∽ .∽ヽ 増 一 孔 r い 計 聾 ヽ ″.  )

c a ⊆ 一     一一 ● t F りヽ ァ   〕 a お ? η に よ   二 q じ に o つ 「 辞 気 弯

ヽ ヽ o 、 ヽ o い ,

C 』 一 ● D 「 ぢ ョ o L 「 0 0 「 Q     ゃ   一 ρ げ 、 C ,、     マ ュ い       )

Z ● 3 ●        ,

コ ζ   い ユ   i 〓 こ つ 」 o 針

監 L 聴 幹 「 巽 勉 ギ 韓

゛ 曾 下 o す c 曹 て ヽ r   ア ζ ど い ( い r ″ L お,

翼 ・聯 〕ジ ー下

,  ゝ い 7   ヽ R S ヽ き c

,a t,

』 ヌ ヽ 澤 お ヽ ■

゛ お 沐,ス

」 ∝ つ 鷲 R お 5 p p,

ょヽ 諄 D ” ぃ ゃ ァ 、 、 t

、 ミ ♪ ■ ぜ ,   ヽ ゝ 】   卜 「   3 2   ■ ミ p π D   。 、 卜 3 鳴

ス 0 E ω 「 ① ⊃ O C 一 一

層 レ 仁 暮

【 ン ” ゴ 』 堕 雹 諷 目 冒 静 カ

『 ¨ 〇 〇 ” い 場 〓 F ” ∩ 昴 日 串 ”

Z > ヨ > 一,い o R ツ 万 「 ■ ヽ 一 つ っ F 「

z ヨ                 ¨ い 三 い 0 〓 o も ヽ ヽ 、 も 0

男 O 〇 一         一 ヌ ■ 【

「 > 工 C Z ≧ O P O m ζ 一 バ       一   ヽ へ ヽ いヽ

、や o き い

「 3ヽ 卜ヽ   o  ヽ ヽ ヽ ヽ 「

「 刀 〇 〇 刀 > 〓 三 > 〇 一 ∽ 「 m 刀

「 > バ ⊂ F J p ∽ 一 F 三 ⊂ 「 > 力 ∞ 一 ≪ ≧ ⊥ ∪ > Z ^ m O ⊂ 刀 ⊂ > z

⊂ 一 Z ∽ く ≧ 力 一 「 工 一 ∪ > ≪ > ∃ 」 F げ P 工 ⊂ > 六 > 刀 「 >

い o い ヽ 三 ヽ ユ ヽ c o 工

∽ N

バ > 力 ↓ C い [ 〓 巨 > カ

『 力 O ① ” レ 宝 ¨ 〓 「 ● 】 φ [ 自 カ

ξ o 毛 § o ∽ 9 一 「 8 一∽ ( 「 q も ェ 「 ♀ ミ ゝ   む ぎ 二

z D 3 9         一  r に,  o p ● こ

,  や

,、 P 2 3 、

c c 2 一         丙 0 3 さ 0 ● やヽ P ぃ   、 」 と,  L ヽ 」 や ヽ

「 S 警 ト メ P ′   ‐> 0 う

,ヽ   ヽ ヽ R う 、 3ヽ 1

ヽ P d ゃ い   、,ど P 、 も

ス ① 一 C D 「 の う 0 こ 」 一

一一粋 「8 8 一 一 ] 一 一 一沖 一 一 い い い⊇ 「 〕 」 一い 」   「ヽ こ }            ス。一8 コ0〓

ヲ 澤 o し  ヽ ご,ご ぎ う   い o C e Rヽ

( 、 マ 3 ,       p r F 踵 r 医 ほ ぽ F ■ ♪

p 瞼 ド P に F 』 睦 い に 旧 い ド 睦 IT 』 は い い ド ト に ぼ ほ ― ・ド 麻 ぬ H I 陣 楡 ド ド 朦 け L は ほ R I L 偲 卜 に r l

⊂ 一 ご コ バ O ∃ 0 「 o コ ① コ L 「 ⌒ 「 9   や^ ミ     「 。 ぃ 、ヽ 、 、 当       ぃ も ヽヽ         )

2 S 〇     一 デ   3 ミ   R ゝ 、       ヽ

」 ⊂ a cⅨ ゝ L レ

⊂ 一 ご ⊃ バ O ∃ ロ

Z D ヨ ω           一

」 ⊂ Q C 一           一

卒 評 「 3 .∽ ・絹 一 一 〔ア 『〆 ダ 議 ∝ 訥 F   )

c a c 一       一 ヨ ′ 0 で F ク o ュ ‘ 「   ヴ ● ■ t S p   ぃ て 」 o L

う O o 針,0   い ■ 「ヽ き ● 6 」 ミ ‘ 0 「ヽ 3

,´ 。 c

疑 議 』 轄 嗜 沌 嘔 軍 護 ド 「 。 ま こ

て 言 ョ 弊 』 手 ヽ 「 o ″ 「 c a ざ 6   )

Z o B ∞ 0 」 星 o τ

冒 薩 γ 輝 諄

ヽ も ,

い い ヽ い   ス ・ c い

バ C C の 「 「 0 0 「 0 「 ´

口 ヽ η ま 「 一 日 く 三 D 」

Z 一 つ 一 8 0 0 2 〓 毬 9 8 N o 2