PENGARUH MACAM DAN KONSENTRASI BAHAN ORGANIK SEBAGAI SUMBER ZAT PENGATUR TUMBUH ALAMI TERHADAP...

99
PENGARUH MACAM DAN KONSENTRASI BAHAN ORGANIK SEBAGAI SUMBER ZAT PENGATUR TUMBUH ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH HELENA LEOVICI 09/281768/PN/11591 FAKULTAS PERTANIAN 0

Transcript of PENGARUH MACAM DAN KONSENTRASI BAHAN ORGANIK SEBAGAI SUMBER ZAT PENGATUR TUMBUH ALAMI TERHADAP...

PENGARUH MACAM DAN KONSENTRASI BAHAN ORGANIKSEBAGAI SUMBER ZAT PENGATUR TUMBUH ALAMITERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT TEBU (Saccharum

officinarum L.)

SKRIPSI

OLEHHELENA LEOVICI

09/281768/PN/11591

FAKULTAS PERTANIAN0

UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA

2013

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Arifin (2008), gula merupakan salah satu

komoditas khusus di bidang pertanian yang telah

ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan Organisasi

Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan beras, jagung,

dan juga kedelai. Bahan baku industri gula yang merupakan

komoditas unggulan dan dibudidayakan di Indonesia yakni

tebu (Saccharum officinarum L).

Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami

penurunan produksi hingga mencapai titik nadir sebesar

1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun

2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan

konsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton, sehingga

mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton. Defisit yang

sangat besar tersebut dapat dicukupi oleh masuknya gula

impor dengan mudah dan harga yang kompetitif, walaupun

pendapatan petani terancam menurun karena daya saing

produk gula lokal lemah. Penurunan produktivitas selama

27 tahun (1975-2002) terutama dicerminkan

penurunan rendemen, sementara produktivitas tanaman

alternatif mengalami kenaikan. Agar tebu memiliki daya

saing terhadap tanaman alternatif, maka kinerjanya harus

ditingkatkan agar mendapatkan hasil yang mendekati

2

potensi hasil dengan penerapan baku teknis pengelolaan

usahatani dan prosesing gula (Anonim, 2008).

Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi gula

menjadi suatu masalah yang hendaknya segera diatasi.

Beberapa upaya dapat dilakukan dengan cara melakukan

perbaikan terhadap lahan-lahan pertanaman tebu, mulai

dari bibit yang digunakan, tanah yang dipakai sebagai

media tanam, pemeliharaan, hingga penanganan pascapanen.

Produktivitas tebu dapat mencapai optimal apabila upaya

perbaikan tersebut dilakukan dengan baik. Rendemen tebu

yang dihasilkan sangat dimungkinkan akan meningkat dengan

produktivitas tebu yang optimal. Hal ini berpengaruh pada

kualitas dan kuantitas gula yang diproduksi. Selain

perbaikan pada lahan pertanaman tebu, upaya lain yang

mungkin dapat dilakukan adalah perluasan lahan.

Perluasan lahan kini tidak lagi terpaku pada lahan-

lahan subur saja karena dewasa ini lahan subur sudah

semakin sulit ditemukan akibat pertambahan penduduk yang

semakin tinggi dan kegiatan perekonomian yang memacu alih

fungsi lahan. Oleh sebab itu, kegiatan pertanian saat ini

sudah mulai dikembangkan di lahan marginal yang mempunyai

karakteristik keterbatasan dalam sesuatu hal, baik

keterbatasan satu unsur/komponen maupun lebih dari satu

unsur/komponen (Gunadi, 2002). Salah satu lahan marginal

yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian

ialah lahan pasir pantai.

3

Di Indonesia terdapat ± 1.060.000 ha lahan pasir

pantai. Kendala umum lahan ini bagi pertanian adalah

tekstur kasar, daya simpan air/zat hara rendah, kandungan

bahan organik rendah, kemampuan menukar kation yang

rendah, daya meluluskan air dan udara tinggi, suhu tanah

dan udara pada siang hari sangat tinggi, kecepatan angin

sangat tinggi, angin mengandung partikel garam, dan mudah

tererosi oleh angin (Kertonogero et al., 2009).

Keterbatasan lahan pasir pantai perlu diatasi supaya

mampu menjadi tempat tumbuh tanaman yang baik.

Lahan pasir pantai memungkinkan bagi tebu untuk

tumbuh dengan baik. Menurut Elawad et al. (1982), tebu

termasuk kelompok tanaman C¬4 yang memiliki sifat antara

lain dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang

terik (panas) dan bersuhu tinggi, fotorespirasinya rendah

dimana sangat efisien dalam menggunakan air serta toleran

terhadap lingkungan yang mengandung garam.

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik

bukan hara (nutrien) tetapi dapat merubah proses

fisiologis tumbuhan. Menurut Gardner et al. (1991),

seringkali pemasokan zat pengatur tumbuh secara alami itu

di bawah optimal, dan dibutuhkan sumber dari luar untuk

menghasilkan respon yang dikehendaki. Pada tahapan

pembibitan secara vegetatif (metode stek), aplikasi zat

pengatur tumbuh atau hormon tumbuh secara langsung dapat

meningkatkan kualitas bibit serta mengurangi jumlah bibit

yang pertumbuhannya abnormal. Zat pengatur tumbuh

4

memiliki potensi untuk meningkatkan persentase

keberhasilan pembibitan dan dapat mempercepat pembentukan

serta pertumbuhan akar dan tunas dari bahan stek. Terkait

dengan aplikasi ZPT eksternal untuk penyetekan, beberapa

faktor seperti macam dan konsentrasi perlu diperhatikan.

Penggunaan tidak boleh sembarangan karena penggunaan ZPT

eksternal yang berlebihan justru dapat menghambat

pertumbuhan.

Berdasarkan sumbernya, ZPT dapat diperoleh baik

secara alami maupun sintetik. Zat pengatur tumbuh alami

umumnya langsung tersedia di alam dan berasal dari bahan

organik, contohnya air kelapa, urin sapi, dan ekstraksi

dari bagian tanaman. Zat pengatur tumbuh sintetik didapat

melalui proses sintesa oleh manusia dan sudah dapat

dipastikan rumus kimianya (Shahab et al., 2009; Zhao, 2010).

Zat pengatur tumbuh bersumber bahan organik lebih

bersifat ramah lingkungan, mudah didapat, aman digunakan,

dan lebih murah.

Aplikasi bahan organik sebagai sumber ZPT alami

diharapkan dapat mempercepat pembentukan serta

pertumbuhan akar dan tajuk bibit tebu di media pasir

pantai. Selain itu, dapat menunjukkan pula macam dan

konsentrasi bahan organik yang paling optimum sebagai

sumber ZPT alami bagi pertumbuhan bibit tebu. Hal ini

dapat dijadikan sebagai rujukan bagi usahatani ataupun

perkebunan tebu supaya dalam melakukan pembibitan dapat

lebih efektif, efisien, aman, dan ramah lingkungan.

5

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh macam dan konsentrasi bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

terhadap pertumbuhan bibit tebu.

2. Menentukan konsentrasi optimum beberapa macam bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami bagi

pertumbuhan bibit tebu.

C. Kegunaan

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi acuan

pemanfaatan bahan organik sebagai sumber zat pengatur

tumbuh yang bermanfaat bagi pertumbuhan tebu.

2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi rujukan

bagi usahatani ataupun perkebunan tebu supaya dalam

melakukan pembibitan dapat lebih efektif, efisien,

aman, dan ramah lingkungan.

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tebu (Saccharum officinarum L.)

Tebu merupakan tanaman yang berasal dari India.

Namun, banyak juga literatur yang menyatakan bahwa tebu

berasal dari Polynesia. Meski demikian, menurut Nikolai

Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, yang telah

melakukan ekspedisi pada 1887-1942 ke beberapa daerah di

Asia, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, dan seluruh Uni

Soviet, memastikan bahwa sentrum utama asal tanaman ini

adalah India dan Indo-Malaya yang meliputi Indo-China,

Malaysia, Philipina, dan Indonesia (Ahira, 2009).

Berikut merupakan klasifikasi botani tanamaan tebu

(Plantamor, 2012):

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan

berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta

(menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu/monokotil)

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

7

Tanaman tebu memiliki morfologi yang tidak jauh

berbeda dengan tumbuhan yang berasal dari famili rumput-

rumputan. Tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 2-5

meter. Menurut Nadia (2012), morfologi tanaman tebu

secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian,

yaitu:

a. Akar: berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih

b. Batang: berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh

buku-buku, penampang melintang agak pipih, berwarna

hijau kekuningan

c. Daun: berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8

cm, permukaan kasar dan berbulu, berwarna hijau

kekuningan hingga hijau tua

d. Bunga: berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar

30 cm.

Pada bagian pangkal sampai pertengahan batang

memiliki ruas yang panjang, sedangkan pada bagian pucuk

memiliki ruas yang pendek. Pada bagian pucuk batang

terdapat titik tumbuh terdapat titik tumbuh yang penting

untuk pertumbuhan meninggi. Selain itu juga terdapat

lapisan berlilin di bagian bawah ruas dan pada ruas di

bagian pucuk batang. Daun tanaman tebu merupakan jenis

daun tidak lengkap, karena terdiri dari helai daun dan

pelepah daun saja. Sendi segitiga terdapat di antara

pelepah daun dan helaian daun. Pada bagian sisi dalamnya,

terdapat lidah daun yang membatasi antara helaian daun

dan pelepah daun. dalamnya terdapat lidah daun yang

8

membatasi helaian dan pelepah daun. Warna daun tebu

bermacam-macam ada yang hijau tua, hijau kekuningan,

merah keunguan dan lain-lain. Ujung daun tebu meruncing

dan tepinya bergerigi. Bunga tebu merupakan malai yang

berbentuk piramida yang terdiri dari 3 helai daun tajuk

bunga, 1 bakal buah, dan 3 benang sari. Kepala putiknya

berbentuk bulu (Putri et al., 2010).

Menurut James (2004), tanaman tebu memiliki perakaran

serabut, yang dapat dibedakan menjadi akar primer dan

akar sekundar. Akar primer adalah akar yang tumbuh dari

mata akar buku tunas stek batang bibit. Karakteristik

akar primer yaitu halus dan bercabang banyak, sedangkan

akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari mata akar

dalam buku tunas yang tumbuh dari stek bibit, bentuknya

lebih besar, lunak, dan sedikit bercabang.

Tebu merupakan tanaman asli tropika basah. Tanaman

ini tumbuh baik di daerah beriklim tropis. Umur tanaman

sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1

tahun. Tebu tergolong tanaman perkebunan semusim yang

memiliki zat gula di dalam batangnya (Supriyadi, 1992).

Tebu juga termasuk kelompok tanaman C¬4 yang memiliki

sifat antara lain dapat beradaptasi terhadap kondisi

lingkungan yang terik (panas) dan bersuhu tinggi,

fotorespirasinya rendah dimana sangat efisien dalam

menggunakan air serta toleran terhadap lingkungan yang

mengandung garam (Elawad et al., 1982).

9

Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan

tanaman tebu adalah 24 °C dan maksimum adalah 34 °C,

sedangkan suhu optimum adalah 30 °C. Pertumbuhan tanaman

akan terhenti apabila suhu dibawah 15 °C. Sinar matahari

yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman ditentukan oleh

lamanya penyinaran dan intensitas penyinaran. Tanaman

tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan penyinaran

12-14 jam tiap harinya. Angin dengan kecepatan kurang

lebih 10 km/jam di siang hari berdampak positif bagi

pertumbuhan tebu. Kelembaban yang rendah (45-65 %) sangat

baik untuk pemasakan karena tebu sangat cepat kering.

Kelembaban tinggi dapat mempengaruhi fotosintesis dengan

akibat pembentukan gula juga terlambat. Tanaman tebu

memerlukan curah hujan yang berkisar antara 1.000-1.300

mm/tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Curah

hujan yang ideal adalah selama 5-6 bulan dengan rata-rata

curah hujan 200 mm, curah hujan yang tinggi diperlukan

untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi perkembangan

anakan, tinggi dan besar batang. Periode selanjutnya

selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan 4-5 bulan

berkaitan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang

merupakan periode kering. Pada periode ini merupakan

pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu (Kuntohartono,

1982). Menurut Soepardiman (1996), bila musim kering tiba

sebelum pertumbuhan vegetatif berakhir, maka tanaman tebu

yang tidak diairi akan mati sebelum mencapai tingkat

masak, sebaliknya bila hujan turun terus-menerus maka

10

pertumbuhan vegetatif tebu tetap giat, sehingga tidak

mencapai kadar gula tertinggi.

Menurut Sudiatso (1999), tebu menghendaki tanah yang

gembur sehingga aerasi udara dan perakaran berkembang

sempurna. Tekstur tanah ringan sampai agak berat dengan

berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30 %

merupakan tekstur tanah yang ideal bagi pertumbumbuhan

tanaman tebu. Kedalaman (solum) tanah untuk pertumbuhan

tanaman tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap

air dan permukaan air 40 cm. Tanaman ini membutuhkan

banyak nutrisi dan memerlukan tanah subur. Tanaman tebu

juga mampu tumbuh di pantai sampai dataran tinggi antara

0-1.400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian

1.200 m di atas permukaan laut pertumbuhan tanaman

relatif lambat. Bentuk lahan sebaiknya bergelombang

antara 0-15 %. Lahan terbaik bagi tanaman tebu di lahan

tegalan adalah lahan dengan kemiringan kurang dari 8 %,

kemiringan sampai 10 % dapat juga digunakan untuk areal

yang dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng

panjang, rata dan melandai sampai 2 % apabila tanahnya

ringan dan sampai 5 % apabila tanahnya lebih berat.

Sutardjo (2002) menyatakan bahwa tebu dapat ditanam

pada tanah dengan kisaran pH 5,5-7,0. Pada pH di bawah

5,5 dapat menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat

menyerap air, sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah

dengan pH di atas 7 tanaman akan sering kekurangan unsur

fosfor. Menurut Kuntohartono (1982), tanah dengan

11

kapasitas penukaran kation yang tinggi dapat memberikan

hara yang baik. Pada pH netral efisiensi pemupukan NPK

lebih tinggi, sedangkan pada pH kurang dari 5 dapat

menyebabkan tersedianya unsur P untuk Al dan Fe. Unsur

Cl, Fe, dan Al merupakan bahan racun utama dalam tanah.

Tanah yang airnya buruk dapat menimbulkan keracunan Fe,

Al, dan sulfat (SO4-). Kadar Cl 0,06-0,10 % telah

bersifat racun bagi akar tanaman. Keracunan unsur Fe dan

Al dapat dikurangi dengan bantuan kapur fiksasi. Oleh

karena itu, tanah masam dengan pH di bawah 5 perlu

diberikan kapur fiksasi (CaCO3). B. Zat Pengatur Tumbuh

Hormon tumbuhan atau fitohormon sering dikenal dengan

sebutan zat pengatur tumbuh (plant growth regulator) untuk

membedakanya dengan hormon pada hewan. Ada lima kelompok

utama ZPT yaitu auksin (auxins), sitokinin (cytokinins),

giberelin (gibberellins, GAs), etilena (etena, ETH), dan

asam absisat (abscisic acid, ABA).  Auksin, sitokinin, dan

giberelin termasuk hormon yang bersifat positif bagi

pertumbuhan tanaman pada konsentrasi fisiologis. Etilena

dapat mendukung maupun menghambat pertumbuhan. Asam

absisat merupakan penghambat (inhibitor) pertumbuhan (Dinas

Pertanian dan Tanaman Pangan, 2012).

Zat pengatur tumbuh sangat memengaruhi pertumbuhan

suatu tanaman. Zat pengatur tumbuh berbeda dengan pupuk

karena sama sekali tidak memberikan hara kepada tanaman.

12

Zat pengatur tumbuh dalam kadar sangat kecil dapat

mendorong, menghambat, atau mengubah pertumbuhan,

perkembangan, dan atau pergerakan tumbuhan. Menurut

Djamal (2012), pertumbuhan tanaman ditentukan oleh

pupuknya, sementara arah dan kualitas dari pertumbuhan

dan perkembangan sangat ditentukan oleh hormon atau zat

pengatur tumbuh. Pemberian hormon yang tepat, baik

komposisi dan konsentrasinya, dapat mengarahkan

pertumbuhan dan perkembangan tanaman apapun. Kusumo

(1984) menambahkan bahwa tanggapan tanaman terhadap

pemberian zat pengatur tumbuh sangat bervariasi

tergantung pada fase perkembangan tumbuhan, konsentrasi

zat pengatur tumbuh yang diberikan, dan umur tanaman.

Pada dasarnya ZPT dihasilkan oleh tanaman secara alami.

Bahan ini mampu mengurangi hambatan biologis yang

terdapat dalam tanaman, sehingga penggunaannya sering

dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman.

Berdasarkan keberadaannya pada tanaman, ZPT

digolongkan menjadi ZPT endogen dan ZPT eksogen. Zat

pengatur tumbuh endogen merupakan ZPT yang diproduksi di

dalam tubuh tanaman, sedangkan zat pengatur tumbuh

eksogen adalah ZPT yang ditambahkan/diaplikasikan pada

tanaman. Dalam penyetekan, keberadaan keduanya penting

untuk diperhatikan. Jika di dalam bahan setek sudah cukup

terdapat ZPT endogen, maka penambahan ZPT eksogen tidak

diperlukan. Sebaliknya, jika bahan setek berada dalam

kondisi kurang ZPT endogen, maka keberhasilan penyetekan

13

sangat ditentukan oleh penambahan ZPT eksogen (Harsanto,

1997).

Zat pengatur tumbuh eksogen dapat berupa ZPT alami

atau ZPT sintetis. Zat pengatur tumbuh alami merupakan

ZPT yang langsung tersedia di alam dan biasanya banyak

terdapat di sekitar kita dengan harga yang murah,

contohnya: air kelapa, urin sapi, ekstraksi dari bagian

tanaman, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh sintetis

merupakan ZPT tiruan yang disintesa oleh manusia dan

sudah dapat dipastikan rumus kimianya. Keuntungan dari

penggunaan ZPT sintetis adalah kemudahan penggunaan dalam

dosis yang tepat, tetapi biasanya tersedia dengan harga

yang mahal. Kelemahan dari ZPT alami adalah kondisinya

yang bervariasi akibat pengaruh lingkungan maupun

fisiologis mahluk hidup yang memproduksinya. Hal yang

penting diperhatikan dalam penggunaan ZPT alami yaitu

ketepatan kondisi dan dosis yang dipakai. Meskipun

demikian, usaha ini akan memberikan kemudahan introduksi

pada petani-petani kecil karena aplikasinya tidak

membutuhkan biaya besar. Apabila bahan-bahan asli (alami)

maupun tiruannya diberikan pada tanaman, maka tanaman

akan menerima pengaruhnya sebagaimana pengaruh dari zat

pengaruh tumbuh sejenis yang dihasilkan oleh tanaman itu

sendiri (Harsanto, 1997; Prayoga, 2013).

C. Bahan Organik sebagai Sumber Zat Pengatur Tumbuh

a. Air Kelapa

14

Pada umumnya, buah kelapa yang masih muda berisi

air kelapa sekitar setengah liter. Jumlah air kelapa

semakin berkurang seiring dengan pertambahan umur buah.

Air kelapa mengandung karbohidrat, lemak, protein,

vitamin, dan sejumlah bahan anorganik yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan (Grimwood, 1975).

Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh

Dwidjoseputro (1989) menunjukkan bahwa selain

mengandung kalori, protein, dan mineral, air kelapa

muda mengandung sitokinin yaitu zat pengatur tumbuh

yang mempercepat pembelahan sel. Sitokinin berpengaruh

pada pertumbuhan tunas-tunas dan akar.

Air kelapa merupakan salah satu sumber alami hormon

tumbuh yang dapat digunakan untuk memacu pembelahan sel

dan merangsang pertumbuhan tanaman. Endosperm cair buah

kelapa yang belum matang mengandung senyawa yang dapat

memacu sitokinesis (Salisbury dan Ross, 1995). Air

kelapa mengandung zeatin yang termasuk kelompok

sitokinin (Taiz dan Zeiger, 1998). Sama halnya seperti

yang dinyatakan oleh George dan Sherington (1984) yaitu

bahwa zat pengatur tumbuh utama yang terdapat dalam air

kelapa adalah sitokinin. Menurut Salisbury dan Ross

(1995), sitokinin yang terdapat dalam air kelapa

terbukti mampu mendorong pembelahan sel pada jaringan

akar wortel.

Tabel 2.1. Kandungan zat yang terdapat dalam air kelapamudaKandungan Air Kelapa Muda mg/l

15

IAAKinetinZeatinGA3

GA5

GA7

0,240,440,250,460,260,05

Vitamin CRiboflavinVitamin B5InositolBiotinPiridoksinThiaminNPKMgFeNaZnCaSukrosa

mg/100 ml8,590,260,602,30

20,520,030,02

43,0013,1714,119,110,25

21,071,05

24,674,89

Sumber: Savitri (2005); Kristina dan Syahid (2012)

Menurut Abidin (1998), sitokinin dapat memacu

terjadinya organogenesis yang dapat mempercepat

pertumbuhan daun. Selain berfungsi sebagai diferensiasi

tunas adventif dan organ, juga berfungsi dalam sintesis

protein dan pembelahan sel. Dengan adanya sitokinin

maka bobot basah tanaman semakin bertambah. Hormon

auksin berfungsi untuk merangsang pembesaran sel,

sintesis DNA kromosom, serta pertumbuhan aksis

longitudinal dan juga untuk merangsang pertumbuhan akar

pada setekan atau cangkokan. Giberelin atau sering

disebut asam giberelat (GA) merupakan hormon perangsang

16

pertumbuhan tanaman yang diperoleh dari Gibberella

fujikuroi, aplikasi untuk memicu munculnya bunga.

Penelitian Murniati dan Zuhri (2002) mengungkapkan

bahwa giberelin mampu mempercepat pertumbuhan biji

kopi. Giberelin merupakan senyawa organik yang berperan

dalam proses perkecambahan karena dapat mengaktifkan

reaksi enzimatik di dalam benih (Wilkins, 1989).

Air kelapa mempunyai aktivitas sitokinin yang

tinggi dengan kehadiran dari zeatin, zeatin glukosida,

ribosida, dan 1,3-difenilurea (Wattimena et al., 2003).

Sitokinin memperlambat proses penghancuran butir-butir

klorofil pada daun-daun yang terlepas pada tanaman dan

memperlambat proses senesen pada daun, buah, dan organ-

organ lainnya (Wattimena, 1988). Selain itu, air kelapa

juga mengandung IAA (Mandang, 1993) yang mempengaruhi

pembesaran sel, mencegah absisi (pengguguran daun),

pertumbuhan akar yaitu mendorong pembesaran sel-sel

akar, dimana selang konsentrasi yang mendorong

pembesaran sel-sel akar adalah sangat rendah

(Wattimena, 1988).

Hasil penelitian Katuuk (2000) menyatakan bahwa

pemberian 250 ml/l air kelapa menunjukkan waktu yang

paling cepat dalam perkecambahan biji anggrek macan

(Grammatohyllum scriptum). Air kelapa sebagai zat pengatur

tumbuh juga telah diteliti oleh Zamroni dan Darini

(2009) untuk melihat pengaruhnya pada tanaman cabe

jamu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan

17

air kelapa 25 % berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan

setek tanaman cabe jamu.

b. Urin Sapi

Urin berasal dari metabolisme nitrogen dalam tubuh

(urea, asam urat, dan kreatin) serta 90 % terdiri dari

air. Urin yang dihasilkan ternak dipengaruhi oleh

makanan, aktivitas ternak, suhu eksternal, konsumsi

air, musim, dan lain sebagainya. Banyaknya urin dan

feses yang dihasilkan adalah sebesar 10 % dari berat

ternak. Besarnya rasio urin dan feses yang dihasilkan

oleh sapi perah yaitu 1:2,2 (31 % urin, 69 % feses)

(Taiganides, 1978). Menurut Sauer et al. (1999), sekitar

60-90 % nutrien yang dimakan ternak akan dieksresikan

kembali melalui feses dan urin. Di dalam urin, unsur

hara yang paling dominan adalah K, N, dan NH4-N. Urin

sapi berpotensi menjadi produk yang lebih bernilai

tinggi. Urin memiliki keunggulan yaitu mengandung kadar

N dan K sangat tinggi, mudah diserap tanaman dan

mengandung hormon pertumbuhan tanaman.

Menurut Dukes (1955), rata-rata jumlah urin yang

dihasilkan sapi per hari sebanyak 14,2 liter. Urin yang

normal mengandung air, urea, kraetinin, purin (asam

urat, kantin, hipoksantin), allantion, asam hipurik,

ammonia, asam amino, sulfat, sulfur, garam anorganik,

pigmen urokrom, dan urobilin. Menurut Danarto (2008),

urin sapi perah mengandung hormon yang bisa memacu

18

pertumbuhan tanaman, seperti giberelin, sitokinin, dan

auksin. Sapi perah memakan lebih banyak hijauan

daripada sapi potong sehingga kandungan auksin hijauan

dapat disekresikan lewat urin. Menurut Prawoto dan

Suprijadji (1992), ternak yang banyak makan rumput

serta hijauan lainnya mengeluarkan air seni yang

cenderung banyak mengandung auksin dan GA. Kadar auksin

urin sapi betina lebih tinggi daripada sapi jantan

(Supriadji, 1985).

Abdian dan Muniarti (2007) mengatakan bahwa urin

sapi mengandung hormon dari golongan auksin (IAA),

giberelin (GA), dan sitokinin. Fungsi utama auksin

adalah mempengaruhi pertambahan panjang batang,

pertumbuhan, diferensiasi, percabangan akar,

perkembangan buah, dominansi apikal, fototropisme, dan

geotropisme. Fungsi auksin yang paling menonjol adalah

meningkatkan pembesaran sel (Widyastuti dan

Tjokrokusumo, 2007). Auksin berkapasitas tinggi untuk

mempengaruhi pertumbuhan. Hal ini terbukti dari

beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa auksin

memiliki peranan penting dalam mengatur struktur dan

fungsi organ tanaman (William et al., 2006). Menurut Kevin

et al. (2007), berbagai jaringan pada tanaman memiliki

respon yang berbeda terhadap auksin.

Tabel 2.2. Kandungan zat yang terdapat dalam urin sapi perah

Kandungan Urin Sapi %19

PerahN 1,00P 0,20K 1,35H20 92,00

mg/lIAAGAN-totalP-totalKMgNH4-NNO3-N

1852,0291,09195,0181,07815,089,6

7428,00,2

pH 8,9Sumber: Sutejo (1994); Sauer et al.

(1999); Prawoto dan Suprijadji(1992)

c. Ekstrak Kecambah Kacang Hijau

Kecambah memiliki bagian putih dengan panjang

hingga tiga sentimeter. Kecambah berasal dari biji-

bijian, seperti kacang hijau. Kacang hijau termasuk

dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilonaceae. Bentuk

kecambah diperolah setelah biji diproses selama

beberapa hari. Menurut Soeprapto (1992), komponen air

pada kecambah kacang hijau (tauge) merupakan bagian

yang terbesar bila dibandingkan dengan komponen

lainnya. Gula kacang hijau didapatkan dalam bentuk

sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Asam amino esensial

yang terkandung dalam protein kacang hijau antara lain

triptofan 1,35 %, treonin 4,50 %, fenilalanin 7,07 %,

metionin 0,84 %, lisin 7,94 %, leusin 12,90 %,

20

isoleusin 6,95 %, valin 6,25 %. Selain itu, terdapat

pula sistein, tirosin, arginin, histidin, alanin,

glisin, prolin, serta serin. Menurut Rismunandar

(1992), triptofan merupakan bahan baku sintesis IAA.

Kecambah kacang hijau (tauge) mengandung vitamin

dalam jumlah yang bermakna. Vitamin tersebut antara

lain vitamin C, thiamin, riboflavin, niasin, asam

pantothenic, vitamin B6, folat, kolin, β-karoten,

vitamin A, vitamin E (α-tokoferol), dan vitamin

K. Mineral yang ditemukan dalam jumlah bermakna dalam

tauge adalah kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium (Mg),

fosfor (P), potasium (K), sodium (Na), zinc (Zn),

tembaga (Cu), mangan (Mn), dan selenium (Se). Ada pula

kandungan beberapa antioksidan dan zat yang berhubungan

dengan antioksidan. Kadar terbanyak dari kandungan

tersebut dalam tauge adalah fitosterol dan vitamin E,

walaupun fenol dan beberapa mineral (selenium, mangan,

tembaga, zinc, dan besi) juga memiliki jumlah yang

cukup bermakna (Amilah dan Astuti, 2006; USDA, 2009;

Astawan, 2005).

Tabel 2.3. Kandungan zat yang terdapat dalam kecambah kacang hijau

Kandungan Kecambah KacangHijau

mg/100 g

FosforKalsiumBesiVitamin B1Vitamin CFitosterolVitamin E

69,0029,000,800,07

15,0023,0015,30

21

ProteinLemakAirTriptofanTreoninFenilalaninMetioninLisinLeusinIsoleusinValin

%2,900,20

92,401,354,507,070,847,94

12,906,956,25

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatandalam Amilah dan Astuti (2006)

Menurut Sandra (2011), ekstraksi senyawa bioaktif

dapat dilakukan pada kecambah kacang hijau yang

mengandung auksin. Penelitian yang dilakukan Mahanani

(2003) membuktikan bahwa pemberian ekstrak kecambah

kacang hijau pada tanaman kentang varietas granola yang

diberikan dua kali menunjukkan pertumbuhan dan hasil

yang terbaik dibandingkan dengan zat pengatur tumbuh

alami lain atau tanpa zat pengatur tumbuh. Perlakuan

frekuensi pemberian yang terbaik adalah dua kali, yaitu

pada 24 hst dan 31 hst.

Lakitan (1995) menyatakan bahwa giberelin banyak

terdapat pada organ tanaman yang masih muda seperti

akar, daun, biji, dan kecambah. Giberelin yang berasal

dari organ tanaman ini dapat digunakan sebagai

giberelin eksogen untuk mengoptimalkan giberelin

endogen dan ini merupakan ZPT alternatif yang mudah

didapat, aman dipakai, dan efektif. Hal ini dibuktikan

22

oleh Gardner et al. (1991) bahwa tanaman yang

diperlakukan dengan bahan yang diekstrak dari biji

kacang-kacangan tumbuhnya lebih tinggi dari tanaman

yang tidak diperlakukan. Penelitian yang dilakukan oleh

Murniati et al. (2007) juga menunjukkan bahwa perlakuan

ekstrak kecambah kacang hijau dapat meningkatkan tinggi

bibit nanas sebesar 71,45 % dan berat bibit sebesar

33,93 % dibandingkan dengan perlakuan giberelin

sintetik (GA3).

E. Hipotesis

Air kelapa muda dengan konsentrasi 25 % sebagai

sumber zat pengatur tumbuh alamiah memiliki kemampuan

lebih baik dalam memacu pertumbuhan bibit tebu jika

dibandingkan dengan urin sapi maupun ekstrak kecambah

kacang hijau.

23

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 –

April 2013 di Kebun Tridharma milik Jurusan Budidaya

Pertanian Fakultas Pertanian UGM, Banguntapan, Bantul, D.

I. Yogyakarta.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

klon tebu varietas Kidang Kencana yang berasal dari PT

Madubaru, tanah pasir dari daerah pantai selatan

Yogyakarta, pupuk urea, SP-36, KCl, air murni, air kelapa

(mengandung sitokinin, auksin, dan giberelin organik),

urin sapi (mengandung sitokinin, auksin, dan giberelin

organik), ekstrak kecambah (mengandung auksin dan

giberelin organik), dan kompos. Secara spesifik, air

kelapa yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dari buah kelapa yang masih muda (“degan”), urin sapi

diperoleh dari jenis sapi perah, dan ekstrak kecambah

diperoleh dari jenis kecambah kacang hijau (Vigna radiata).

Alat yang diperlukan yakni polibag ukuran

45 cm x 45 cm, penggaris atau meteran, gelas ukur,

gembor, timbangan, kantong plastik, gunting, luxmeter,

thermo-hygrometer, oven, alat-alat pertanian seperti cangkul

dan alat bantu lainnya, serta alat tulis.

24

C. Rancangan Percobaan

Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Kelompok

Lengkap (RAKL) satu faktor dengan 5 blok sebagai ulangan.

Beberapa perlakuan yang terdapat dalam percobaan ini

antara lain perlakuan air kelapa muda 25 % (Z1), air

kelapa muda 50 % (Z2), air kelapa muda 75 % (Z3),

urin sapi perah 25 % (Z4), urin sapi perah 50 % (Z5),

urin sapi perah 75 % (Z6), ekstrak kecambah kacang hijau

25 % (Z7), ekstrak kecambah kacang hijau 50 % (Z8),

ekstrak kecambah kacang hijau 75 % (Z9), dan

kontrol/tanpa bahan organik (Z0) sebagai pembanding.

Pengambilan tanaman korban dilakukan sebanyak 3 kali, di

luar itu adalah tanaman sampel yang diamati setiap

minggu. Jadi, jumlah unit percobaan adalah 10 x 5 x 4 =

200 tanaman.

D. Tata Laksana Penelitian

1. Persiapan media tanam

Media tanam yang digunakan berupa tanah pasir pantai

yang diambil dari salah satu pantai di daerah selatan

Yogyakarta. Pada tahap ini media pasir pantai dicampur

kompos dengan takaran 20 ton/ha kompos. Kemudian

campuran tersebut dimasukkan ke dalam polibag dengan

volume yang sama. Polibag yang berisi media tanam

tersebut kemudian diletakkan dan ditata di lahan sesuai

dengan rancangan percobaan yang digunakan.

2. Persiapan bahan tanam25

Bahan tanam yang digunakan berupa budset dengan panjang

± 3 cm dan satu mata tunas.

3. Persiapan larutan bahan organik sebagai sumber ZPT

alami

Larutan bahan organik sebagai sumber ZPT alami

disiapkan dengan prosedur sebagai berikut: 1) larutan

air kelapa 25 % dibuat dengan melarutkan 250 ml air

kelapa ke dalam akuades hingga volume total larutan

menjadi 1 l, 2) larutan air kelapa 50 % dibuat dengan

melarutkan 500 ml air kelapa ke dalam akuades hingga

volume total larutan menjadi 1 l, 3) larutan air kelapa

75 % dibuat dengan melarutkan 750 ml air kelapa ke

dalam akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l,

4) larutan urin sapi 25 % dibuat dengan melarutkan 250

ml urin sapi ke dalam akuades hingga volume total

larutan menjadi 1 l, 5) larutan urin sapi 50 %

dibuat dengan melarutkan 500 ml urin sapi ke dalam

akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l, 6)

larutan urin sapi 75 % dibuat dengan melarutkan 750

ml air kelapa ke dalam akuades hingga volume total

larutan menjadi 1 l, 7) larutan ekstrak kecambah

kacang hijau 25 % dibuat dengan melarutkan 250 ml

ekstrak kecambah kacang hijau ke dalam akuades hingga

volume total larutan menjadi 1 l, 8) larutan ekstrak

kecambah kacang hijau 50 % dibuat dengan melarutkan 500

ml ekstrak kecambah kacang hijau ke dalam akuades

hingga volume total larutan menjadi 1 l, dan 9) larutan

26

ekstrak kecambah kacang hijau 75 % dibuat dengan

melarutkan 750 ml ekstrak kecambah kacang hijau ke

dalam akuades hingga volume total larutan menjadi 1 l,

dan 10) air murni 100 % (tanpa bahan organik) digunakan

untuk perlakuan kontrol.

4. Aplikasi bahan organik sebelum tanam

Sebelum ditanam, masing-masing bahan tanam (sesuai

dengan perlakuannya) terlebih dahulu direndam selama 2

jam dalam larutan bahan organik yang telah disediakan

sebagai sumber ZPT alami dan telah dicampur dithane.

5. Pemupukan

Pemupukan dasar dilakukan sebelum penanaman bibit.

Takaran pupuk yang diberikan adalah Urea 300 kg/ha, SP-

36 300 kg/ha, dan KCl 200 kg/ha. Pemupukan susulan

dilaksanakan pada umur 60 hari setelah tanam (hst)

dengan dosis pupuk Urea 200 kg/ha.

6. Penanaman

Bahan tanam berupa budset ditanam pada media pasir

pantai di polibag sesuai perlakuan dengan kedalaman ± 5

cm. Masing-masing polibag ditanami 1 bahan tanam (1

mata tunas). Kemudian dilakukan penyiraman hingga

kapasitas lapangan.

7. Penyiraman

Penyiraman dilakukan sewaktu-waktu sesuai kebutuhan

tanaman. Penyiraman dilakukan sampai kapasitas

lapangan.

27

8. Aplikasi bahan organik setelah tanam

Aplikasi selanjutnya dilakukan saat tunas sudah mulai

muncul (1-2 minggu setelah tanam). Pemberian bahan

organik sebagai sumber ZPT alami disesuaikan dengan

perlakuannya masing-masing. Aplikasi dilakukan dengan

cara penyemprotan di seluruh permukaan tajuk bibit

dengan menggunakan hand sprayer, dilakukan secara rutin

setiap 2 minggu sekali. Penyemprotan bahan organik

sebagai sumber ZPT alami pada bibit dilakukan secara

adil hingga seluruh permukaan tajuk terbasahi.

9. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)

Pengendalian gulma dilakukan secara manual, yaitu

dengan mencabut gulma yang berada dalam polibag.

Pengandalian terhadap hama dan patogen dilakukan dengan

pestisida sesuai prosedur yang berlaku dan terutama

harus disesuaikan dengan jenis jasad pengganggu.

10. Panen

Panen dilakukan setelah tebu berumur 120 hari setelah

tanam (hst). Pemanenan dilakukan secara hati-hati

sampai semua organ dapat dipanen termasuk semua akar.

E. Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap lingkungan tempat

penelitian dan pertumbuhan bibit tebu. Pengamatan

pertumbuhan tebu dilakukan pada tanaman sampel dan

28

tanaman korban. Tanaman sampel terdiri dari 5 tanaman

pada setiap kombinasi perlakuan. Pengamatan tanaman

sampel dilakukan secara rutin setiap seminggu sekali.

Pengamatan rutin dilakukan untuk mengetahui respon

tanaman terhadap pemberian bahan organik yang berbeda

sebagai sumber ZPT alami. Pengamatan tanaman korban

dilakukan pada umur 40, 80, dan 120 hst atau saat panen.

a. Pengamatan lingkungan

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman. Pengamatan lingkungan bertujuan

untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap

perlakuan aplikasi bahan organik sebagai sumber ZPT

alami. Variabel pengamatan lingkungan meliputi:

a. Suhu udara

Suhu udara diukur menggunakan thermometer. Satuan yang

digunakan adalah ºC (derajat celcius). Pengamatan

dilakukan seminggu sekali sekitar pukul 08.00, 12.00,

dan 16.00 WIB sampai pada minggu ke-17.

b. Kelembaban

Kelembaban udara diukur menggunakan hygrometer dalam

satuan %. Pengamatan dilakukan seminggu sekali

sekitar pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB sampai pada

minggu ke-17.

c. Intensitas cahaya

Pengukuran intensitas cahaya menggunakan luxmeter.

Pengamatan dilakukan seminggu sekali sekitar pukul

08.00, 12.00, dan 16.00 WIB sampai pada minggu ke-17.

29

d. Curah hujan

Data curah hujan selama berlangsungnya penelitian

dapat diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi

dan Geofisika (BMKG) setempat setelah akhir masa

tanam.

b. Variabel pengamatan tanaman sampel

a. Waktu muncul tunas

Waktu muncul tunas diketahui dengan mengamati waktu

munculnya tunas ke atas permukaan tanah pada awal

masa tanam.

b. Tinggi tunas

Tinggi tunas diukur menggunakan meteran atau

penggaris. Tinggi tunas diukur dari permukaan tanah

hingga ujung daun tertinggi.

c. Jumlah daun pada tunas

Jumlah daun diamati dengan menghitung daun yang

telah membuka sempurna.

d. Diameter tunas

Pengukuran diameter tunas menggunakan jangka sorong

pada nodia terbawah, nodia tengah dan nodia teratas

kemudian dibuat reratanya.

e. Jumlah ruas (internodia) pada tunas

Jumlah ruas pada tunas diketahui dengan menghitung

seluruh ruas yang terdapat pada tunas dari dasar

hingga ujung.

30

f. Panjang ruas (internodia) pada tunas

Panjang internodia pada tunas diukur dari tiga

internodia yang letaknya di atas, tengah, dan bawah,

kemudian dibuat reratanya.

c. Variabel pengamatan tanaman korban

a. Luas daun

Pengukuran luas daun dilakukan dengan menggunakan

metode Gravimetri. Metode ini dilakukan dengan cara

membuat pola daun pada selembar kertas yang seragam.

Luas daun diperoleh dari perbandingan antara berat

pola daun dan berat kertas yang telah diketahui

luasnya.

Rumus perhitungan adalah sebagai berikut:

Ld=LkBkxBd

Keterangan: Ld = Luas pola daun (cm2)

Lk = Luas kertas pembanding (cm2)

Bd = Berat pola daun (g)

Bk = Berat kertas pembanding (g)

b. Panjang akar utama

Panjang akar utama diukur dari pangkal batang sampai

ujung akar utama dengan menggunakan penggaris atau

meteran.

c. Volume akar

31

Volume akar diketahui dengan memasukkan semua akar

ke dalam gelas piala yang telah diisi air dan

dilihat pertambahan volume yang terjadi. Selisih

antara volume air awal dan volume air akhir

merupakan nilai dari volume akar yang dinyatakan

dalam ml.

d. Bobot segar total

Berat segar total diperoleh dengan menimbang seluruh

bagian tanaman. Berat segar total dinyatakan dalam

gram.

e. Bobot segar tajuk

Berat segar tajuk diperoleh dengan membagi tanaman

menjadi dua bagian tajuk dan akar. Bagian tajuk

kemudian ditimbang dan dinyatakan dalam gram.

f. Bobot segar akar

Berat segar akar diukur menggunakan timbangan dengan

ketelitian dua angka di belakang koma.

g. Bobot kering total

Seluruh bagian tanaman di oven dengan suhu 90-105 ºC

selama 48 jam kemudian dilakukan penimbangan yang

pertama. Setelah itu tanaman dimasukkan lagi ke oven

dan ditimbang setiap 3 jam sekali sampai bobot

kering konstan. Bobot kering konstan diketahui

apabila bobot hasil pengukuran sudah sama dengan

bobot pengukuran sebelumnya.

h. Bobot kering tajuk

32

Bobot kering tajuk dilakukan dengan menimbang tajuk

yang bobot keringnya telah konstan.

i. Bobot kering akar

Bobot kering akar diukur dengan cara yang sama

dengan bobot kering total akan tetapi hanya bagian

akar saja yang ditimbang.

j. Nisbah akar tajuk

Nisbah akar tajuk adalah perbandingan antara bobot

kering akar dan bobot kering tajuk.

d. Analisis Pertumbuhan

Analisis pertumbuhan dilakukan terhadap variabel

sebagai berikut:

a. Laju Asimilasi Bersih (LAB)

Laju asimilasi bersih merupakan kemampuan tanaman

menghasilkan bahan kering hasil asimilasi tiap

satuan luas daun tiap satuan waktu. Rumus

perhitungan adalah sebagai berikut:

LAB=W2−W1T2−T1

xln La2−ln La1La2−La1 g/cm2/minggu

b. Laju Pertumbuhan Nisbi (LPN)

Laju pertumbuhan nisbi merupakan kemampuan tanaman

menghasilkan bahan kering hasil asimilasi tiap

satuan bobot kering awal tiap satuan waktu.

Rumus perhitungan adalah sebagai berikut:

LPN=ln W2−lnW1T2−T1 g/g/minggu

33

Keterangan:

La = Luas daun (cm2)

La1 = Luas daun awal (cm2)

La2 = Luas daun akhir (cm2)

W1 = Bobot kering awal (g)

W2 = Bobot kering akhir (g)

T1 = Waktu awal (minggu)

T2 = Waktu akhir (minggu)

F. Analisis Data

Data yang akan diperoleh dari hasil pengamatan

dianalisis dengan menggunakan analisis varian (Anova)

taraf 5 %. Apabila terdapat beda nyata antar perlakuan,

dilanjutkan dengan uji Dunnet dengan taraf 5 %. Penentuan

konsentrasi yang optimal untuk masing-masing zat pengatur

tumbuh bersumber bahan organik dilakukan dengan

menggunakan analisis regresi, sedangkan hubungan antar

variabel pengamatan ditentukan dengan analisis korelasi.

34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Lingkungan

Penelitian ini dilakukan di Banguntapan selama musim

penghujan, yaitu pada bulan Desember 2012 sampai April

2013. Berdasarkan data yang diperoleh dari BMKG (2013),

curah hujan yang terjadi di daerah penelitian mencapai

409 mm pada bulan Desember, 366 mm pada bulan Januari,

268 mm pada bulan Februari, 160 mm pada bulan Maret, dan

155 mm pada bulan April. Kondisi curah hujan yang tinggi

selama penelitian mampu mendukung terjadinya pertunasan

dan pertumbuhan vegetatif tebu yang meliputi tinggi dan

besar batang. Menurut Kuntohartono (1982), curah hujan

yang ideal bagi pertumbuhan awal tebu adalah sekitar 200

mm selama 5-6 bulan. Menurut Soepardiman (1996), apabila

musim kering tiba sebelum pertumbuhan vegetatif berakhir,

maka tanaman tebu yang tidak diairi akan mati sebelum

mencapai tingkat masak.

Faktor lingkungan lain yang diamati selama penelitian

yaitu suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, dan

intensitas cahaya. Hasil rata-rata suhu yang dicapai

sekitar 33,5 C, kelembaban udara sekitar 87,62 %,

kecepatan angin sekitar 12,37 km/jam, dan

intensitas cahaya sekitar 625,6 lux. Hal ini masih sesuai

dengan syarat tumbuh tebu, terutama pada fase vegetatif.

Kuntohartono (1982) menyatakan bahwa suhu udara minimum

35

yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah 24

°C, suhu maksimum adalah 34 °C, dan suhu optimum adalah

30 °C. Apabila suhu dibawah 15 °C, pertumbuhan tanaman

akan terhenti. Angin dengan kecepatan kurang lebih 10

km/jam di siang hari berdampak positif bagi pertumbuhan

tebu. Suhu udara, intensitas cahaya, dan kelembaban yang

tinggi dapat meningkatkan laju fotosintesis (Salisbury

and Ross, 1995).

Penelitian ini menggunakan media pasir pantai. Media

ini memiliki porositas yang besar dan laju evaporasi yang

tinggi. Suhu udara, intensitas cahaya, dan kecepatan

angin yang tinggi di tempat penelitian berpotensi

meningkatkan kehilangan lengas dalam tanah, terutama pada

jenis tanah pasir. Hal ini dapat menyebabkan cekaman

kekeringan pada tanaman. Tingginya curah hujan dan

dilakukannya kegiatan penyiraman selama penelitian dapat

mengurangi kondisi tersebut sehingga tebu masih dapat

tumbuh dengan baik. Penggunaan bahan organik berupa

kompos yang dicampurkan ke dalam media tanam juga dapat

meningkatkan daya simpan air bagi tanaman.

B. Pengaruh Macam dan Konsentrasi Bahan Organik sebagaiSumber Zat Pengatur Tumbuh Alami terhadap PertumbuhanBibit Tebu

1. Panjang Akar Utama

Tabel 4.1.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap panjang akar utama bibit tebu

36

Perlakuan Panjang Akar Utama (cm)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 41,02 68,46 184,03

Air kelapa muda 25 % 59,00 ns

75,90 ns

206,21 ns

Air kelapa muda 50 % 55,70 ns

69,40 ns

180,36 ns

Air kelapa muda 75 % 53,50 ns

64,16 ns

171,17 ns

Urin sapi perah 25 % 52,92 ns

77,74 ns

201,15 ns

Urin sapi perah 50 % 36,06 ns

69,01 ns

180,36 ns

Urin sapi perah 75 % 29,89 ns

64,16 ns

168,99 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

43,20 ns

74,64 ns

198,76 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

37,20 ns

61,50 ns

164,72 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

32,26 ns

58,37 ns

155,20 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Berdasarkan analisis varian, terdapat perbedaan

nyata pada perlakuan macam dan konsentrasi bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

terhadap panjang akar utama bibit tebu pada umur 40

hst, namun uji lanjut Dunnet memberikan hasil yang

tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan jika

dibandingkan dengan kontrol. Pada umur tebu 80 dan 120

hst, tidak terdapat beda nyata berdasarkan analisis

varian. Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa perlakuan macam

dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami tidak berpengaruh nyata terhadap

variabel panjang akar utama bibit tebu baik pada umur

37

40, 80, ataupun 120 hst bila dibandingkan dengan

kontrol. Perlakuan air kelapa muda 25 %, air kelapa

muda 50 %, air kelapa muda 75 %, urin sapi perah 25 %,

urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

secara signifikan tidak mampu meningkatkan panjang

akar utama bibit tebu apabila dibandingkan dengan

perlakuan tanpa bahan organik. Panjang akar bibit tebu

pada umur 40 hst rata-rata berkisar 29-59 cm.

Panjang akar bibit tebu pada umur 80 hst rata-rata

berkisar 58-77 cm, sedangkan panjang ruas bibit tebu

pada umur 120 hst rata-rata berkisar 155-206

cm.

Hasil yang tidak berbeda nyata pada variabel

panjang akar utama diduga dapat terjadi karena

perakaran yang terdapat pada tebu merupakan perakaran

serabut. Pada perakaran serabut, akar primer tidak

dapat bertahan lama dalam pertumbuhan tanaman dan

segera mengering, lalu dari pangkal akar tersebut akan

muncul akar baru yang disebut akar adventif. Akar-akar

adventif ini yang mempengaruhi besar kecilnya volume

akar.

2. Volume Akar

Tabel 4.2.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap volume akar bibit tebu

38

Perlakuan Volume Akar (ml)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 8,00 135,30 379,50

Air kelapa muda 25 % 38,00 *

302,00 *

3678,80 *

Air kelapa muda 50 % 30,40 *

230,00 ns

2485,20 *

Air kelapa muda 75 % 24,30 ns

194,00 ns

1507,00 ns

Urin sapi perah 25 % 25,30 ns

278,00 *

1173,80 ns

Urin sapi perah 50 % 11,50 ns

223,78 ns

609,00ns

Urin sapi perah 75 % 9,66ns

136,00 ns

341,90ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

11,20 ns

218,89 ns

533,50ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

7,50ns

128,00 ns

488,10ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

5,90ns

110,00 ns

253,30ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Perlakuan macam dan konsentrasi bahan organik

sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami berpengaruh

nyata terhadap variabel volume akar berdasarkan

analisis varian. Berdasarkan uji lanjut Dunnet (Tabel

4.2), hasilnya berbeda nyata baik pada umur tebu 40,

80, ataupun 120 hst. Pada umur tebu 40 dan 120

hst, pemberian air kelapa muda 25 dan 50 % mampu

menghasilkan volume akar yang lebih besar dibandingkan

dengan kontrol (tanpa bahan organik). Peningkatan

konsentrasi air kelapa muda hingga 75 % justru

menghasilkan volume akar yang lebih kecil dan tidak

berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan organik),

39

sedangkan untuk perlakuan urin sapi perah 50 %, urin

sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25 %,

ekstrak kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak

kecambah kacang hijau 75 %, nilai volume akar bibit

tebu yang dihasilkan tidak berbeda nyata jika

dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan organik)

walaupun terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai

volume akar seiring dengan penambahan konsentrasi pada

masing-masing bahan organik.

Pada umur tebu 80 hst, pemberian air kelapa muda

25 % secara nyata mampu menghasilkan volume akar bibit

tebu yang lebih besar dibandingkan kontrol (tanpa

bahan organik). Penambahan konsentrasi air kelapa muda

hingga 50-75 % justru menurunkan nilai volume akar

bibit tebu dan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik). Sama halnya dengan perlakuan

urin sapi perah dan ekstrak kecambah kacang hijau baik

pada konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %, volume akar

yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik) walaupun terlihat adanya

kecenderungan penurunan nilai volume akar seiring

dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

3. Jumlah Daun

Tabel 4.3.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap jumlah daun bibit tebu

40

Perlakuan Jumlah Daun6 mst 12 mst 17 mst

Kontrol 8,00 13,40 19,20Air kelapa muda 25 % 9,40 * 14,80 ns 21,40 nsAir kelapa muda 50 % 8,40 ns 14,40 ns 20,80 nsAir kelapa muda 75 % 8,40 ns 14,00 ns 20,20 nsUrin sapi perah 25 % 8,40 ns 13,80 ns 20,00 nsUrin sapi perah 50 % 8,20 ns 13,60 ns 19,60 nsUrin sapi perah 75 % 7,60 ns 13,00 ns 18,80 nsEkstrak kecambah kacang hijau 25 % 7,80 ns 13,60 ns 19,60 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 % 7,40 ns 13,20 ns 19,00 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 % 7,20 ns 12,60 ns 18,20 nsKeterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =

berbeda nyata dengan kontrol

Pemberian bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami berpengaruh nyata terhadap

variabel jumlah daun berdasarkan analisis varian baik

pada umur tebu 6, 12, maupun 17 mst. Berdasarkan uji

lanjut Dunnet (Tabel 4.3), perbedaan nyata hanya

nampak pada umur tebu 6 mst. Pada umur tebu 6 mst,

pemberian air kelapa muda 25 % secara nyata mampu

menghasilkan bibit tebu dengan jumlah daun lebih

banyak dibandingkan kontrol (tanpa bahan organik).

Penambahan konsentrasi air kelapa muda hingga 50-75 %

justru menurunkan nilai jumlah daun bibit tebu dan

tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan

organik). Sama halnya dengan perlakuan urin sapi perah

dan ekstrak kecambah kacang hijau baik pada

konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %, jumlah daun bibit

tebu yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan

41

kontrol (tanpa bahan organik) walaupun terlihat adanya

kecenderungan penurunan nilai jumlah daun seiring

dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

Pada umur 12 dan 17 mst, tidak nampak adanya beda

nyata berdasarkan uji lanjut Dunnet. Pada umur

tersebut, pemberian air kelapa muda 25 %, air kelapa

muda 50 %, air kelapa muda 75 %, urin sapi perah 25 %,

urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

diketahui tidak berpengaruh nyata terhadap variabel

jumlah daun jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa

bahan organik).

4. Luas Daun

Pada tanaman tingkat tinggi, daun berfungsi

sebagai organ utama fotosintesis. Jaringan

fotosintesis yang hijau pada daun ini secara efisien

dapat menyerap radiasi matahari yang dibutuhkan oleh

tanaman. Tanaman cenderung menginvestasikan sebagian

besar awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas

daun (Gardner et al., 1991).

Tabel 4.4 menunjukkan adanya pengaruh yang nyata

pada perlakuan macam dan konsentrasi bahan organik

sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami terhadap luas

daun bibit tebu baik pada umur 40, 80, maupun 120 hst

42

apabila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian

perlakuan air kelapa muda 25 dan 50 % secara nyata

mampu menghasilkan daun yang lebih luas dibandingkan

dengan perlakuan tanpa bahan organik pada umur tebu

40, 80, dan 120 hst. Peningkatan konsentrasi air

kelapa muda hingga 75 % justru menghasilkan daun yang

lebih sempit dan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik). Meskipun terlihat adanya

kecenderungan penurunan nilai luas daun seiring dengan

penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik, baik perlakuan urin sapi perah 25 %, urin

sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, ataupun ekstrak kecambah kacang hijau 75

%, nilai luas daun bibit tebu yang dihasilkan tidak

berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa

bahan organik.

Tabel 4.4.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap luas daun bibit tebu

Perlakuan Luas Daun (cm2)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 349,30 1572,70 4246,40

Air kelapa muda 25 % 961,10 *

2420,90*

6519,90*

Air kelapa muda 50 % 744,50 *

2407,10*

6459,60*

Air kelapa muda 75 % 726,50 ns

1960,60ns

5564,60ns

Urin sapi perah 25 % 719,70 ns

2113,60ns

5677,50ns

Urin sapi perah 50 % 558,00 ns

1830,90ns

5265,00ns

43

Urin sapi perah 75 % 436,60 ns

1667,30ns

4942,30ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

421,70 ns

2059,30ns

4679,60ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

411,20 ns

1744,80ns

4504,30ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

280,80 ns

1306,20ns

3527,70ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

5. Laju Asimilasi Bersih (LAB)

Laju asimilasi bersih merupakan laju pertambahan

bobot kering total tanaman per satuan luas daun per

satuan waktu selama periode tertentu. Berdasarkan

analisis varian, tidak terdapat pengaruh yang

signifikan pada perlakuan macam dan konsentrasi bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

terhadap laju asimilasi bersih bibit tebu pada umur

40-80 dan 80-120 hst. Pada umur-umur tersebut,

perlakuan air kelapa muda 25 %, air kelapa muda 50 %,

air kelapa muda 75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi

perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah

kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang hijau 50 %,

dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 % tidak

berpengaruh secara nyata terhadap laju asimilasi

bersih bibit tebu.

Tabel 4.5.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap LAB bibit tebuPerlakuan LAB (g/cm2/minggu)

44

40-80 hst 80-120 hstKontrol 0,019 0,017Air kelapa muda 25 % 0,025 ns 0,031 nsAir kelapa muda 50 % 0,019 ns 0,020 nsAir kelapa muda 75 % 0,017 ns 0,018 nsUrin sapi perah 25 % 0,024 ns 0,028 nsUrin sapi perah 50 % 0,018 ns 0,017 nsUrin sapi perah 75 % 0,017 ns 0,015 nsEkstrak kecambah kacang hijau 25 % 0,027 ns 0,026 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 % 0,025 ns 0,024 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 % 0,015 ns 0,013 nsKeterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =

berbeda nyata dengan kontrol

Nilai LAB nampak mengalami perubahan seiring

dengan pertambahan umur tanaman. Perubahan nilai LAB

ini diduga berkaitan dengan peningkatan luas daun.

Apabila penyerapan radiasi matahari menjadi tidak

efisien akibat adanya peningkatan luas daun dan

rapatnya jarak antar tanaman yang dapat menyebabkan

daun menjadi saling naung, maka LAB akan menurun

seiring dengan menurunnya kemampuan berfotosintesis.

Namun apabila peningkatan luas daun sebanding dengan

keefisienannya dalam menyerap radiasi matahari, maka

nilai LAB justru akan semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya kemampuan berfotosintesis. Seperti yang

diungkapkan oleh Hunt (1978), LAB itu tidak konstan

terhadap waktu, tetapi menunjukkan suatu kecenderungan

penurunan ontogenetik seiring dengan usia tanaman.

Kecenderungan ini dipercepat oleh adanya lingkungan

yang tidak menguntungkan. Perolehan bobot kering per45

satuan permukaan daun menurun dengan bertambahnya daun

baru, karena adanya saling menaungi.

6. Laju Pertumbuhan Nisbi (LPN)

Laju pertumbuhan nisbi merupakan peningkatan bobot

kering total dalam satuan interval waktu dalam

hubungannya dengan berat awal (Gardner et al., 1991).

Analisis varian menunjukkan hasil yang tidak berbeda

nyata pada perlakuan macam dan konsentrasi bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

terhadap variabel laju pertumbuhan nisbi bibit tebu

pada umur 40-80 hst, sedangkan hasil yang berbeda

nyata ditunjukkan pada bibit tebu berumur 80-120 hst.

Berdasarkan uji lanjut Dunnet pada umur tebu 80-120

hst, didapatkan pula hasil yang tidak berbeda nyata

pada seluruh perlakuan yang dibandingkan dengan

kontrol.

Tabel 4.6.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap LPN bibit tebu

Perlakuan LPN (g/g/minggu)40-80 hst 80-120 hst

Kontrol 0,584 0,240Air kelapa muda 25 % 0,513 ns 0,242 nsAir kelapa muda 50 % 0,508 ns 0,245 nsAir kelapa muda 75 % 0,471 ns 0,241 nsUrin sapi perah 25 % 0,554 ns 0,242 ns

46

Urin sapi perah 50 % 0,555 ns 0,225 nsUrin sapi perah 75 % 0,585 ns 0,232 nsEkstrak kecambah kacang hijau 25 % 0,658 ns 0,242 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 % 0,658 ns 0,244 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 % 0,544 ns 0,234 nsKeterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =

berbeda nyata dengan kontrol

Pada umur 40, 80, dan 120 hst, terlihat bahwa

perlakuan air kelapa muda 25 %, air kelapa muda 50 %,

air kelapa muda 75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi

perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah

kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang hijau 50 %,

dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 % tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap laju

pertumbuhan nisbi bibit tebu apabila dibandingkan

dengan perlakuan tanpa bahan organik (Tabel 4.6).

Rerata LPN bibit tebu pada umur 40-80 hst adalah

sekitar 0,47-0,66 g/g/minggu, sedangkan rerata LPN

bibit tebu pada saat umur 80-120 hst adalah sekitar

0,22-0,24 g/g/minggu.

7. Waktu Muncul Tunas

Tabel 4.7.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap waktu mucul tunas tebu

Perlakuan Waktu Muncul Tunas (hst)Kontrol 7,40Air kelapa muda 25 % 4,60 nsAir kelapa muda 50 % 4,80 nsAir kelapa muda 75 % 5,60 ns

47

Urin sapi perah 25 % 6,60 nsUrin sapi perah 50 % 7,00 nsUrin sapi perah 75 % 7,40 nsEkstrak kecambah kacang hijau 25 % 7,00 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 % 7,60 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 % 8,40 nsKeterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =

berbeda nyata dengan kontrol

Waktu muncul tunas diketahui dengan cara mengamati

waktu kemunculan tunas tebu ke atas permukaan tanah

dalam hitungan hari setelah tanam. Hasil analisis

varian menunjukkan bahwa perlakuan macam dan

konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat pengatur

tumbuh alami berpengaruh nyata terhadap waktu muncul

tunas, tetapi uji lanjut Dunnet menunjukkan hasil yang

tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan pada analisis

varian hasil rerata masing-masing perlakuan

dibandingkan satu sama lain, sedangkan pada uji lanjut

Dunnet hasil rerata perlakuan macam dan konsentrasi

bahan organik hanya dibandingkan dengan kontrol.

Seperti yang terdapat pada Tabel 4.7, aplikasi ketiga

macam bahan organik (air kelapa muda, urin sapi perah,

dan ekstrak kecambah kacang hijau) baik pada

konsentrasi 25, 50, ataupun 75 % menghasilkan waktu

muncul tunas yang tidak berbeda dengan perlakuan

kontrol (tanpa bahan organik). Perendaman bahan tanam

dalam bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh

alami tersebut selama 2 jam sebelum penanaman tidak

48

berpengaruh secara nyata terhadap waktu muncul tunas

tebu. Waktu muncul tunas rata-rata berkisar 4-8 hst.

8. Bobot Segar Akar

Tabel 4.8.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap bobot segar akar bibit tebu

Perlakuan Bobot Segar Akar (g)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 5,66 119,82 318,44

Air kelapa muda 25 % 32,25 * 298,58 * 793,54

*

Air kelapa muda 50 % 24,90 * 219,14 * 582,42

*

Air kelapa muda 75 % 18,98 ns

179,14 ns

476,10 ns

Urin sapi perah 25 % 18,19 ns

211,44 ns

566,50 ns

Urin sapi perah 50 % 11,11 ns

182,10 ns

483,97 ns

Urin sapi perah 75 % 6,99ns

135,76 ns

416,24 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

9,98ns

181,88 ns

483,38 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

5,97ns

156,62 ns

360,82 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

4,45ns

114,27 ns

303,69 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Berdasarkan analisis varian, pemberian bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

berpengaruh nyata terhadap variabel bobot segar akar.49

Berdasarkan uji lanjut Dunnet (Tabel 4.8), perbedaan

nyata ditunjukkan baik pada umur tebu 40, 80, maupun

120 hst. Pada umur-umur tersebut, pemberian air kelapa

muda 25 % dan 50 % secara nyata mampu menghasilkan

nilai bobot segar akar bibit tebu yang lebih tinggi

dibandingkan kontrol (tanpa bahan organik). Penambahan

konsentrasi air kelapa muda hingga 75 % justru

menurunkan nilai bobot segar akar bibit tebu dan tidak

berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan organik).

Sama halnya dengan perlakuan urin sapi perah 25 %,

urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %,

hasilnya tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa

bahan organik) walaupun terlihat adanya kecenderungan

penurunan nilai bobot segar akar seiring dengan

penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

9. Bobot Segar Tajuk

Tabel 4.9.Pengaruh macam dan konsentrasi bahan organiksebagai sumber zat pengatur tumbuh alamiterhadap bobot segar tajuk bibit tebuPerlakuan Bobot Segar Tajuk (g)

50

40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 21,62 157,63 625,00

Air kelapa muda 25 % 66,43 * 317,48 * 1256,20

*

Air kelapa muda 50 % 45,27 ns 308,06 * 1221,10

*

Air kelapa muda 75 % 43,58 ns

206,41 ns

816,70 ns

Urin sapi perah 25 % 44,60 ns

264,12 ns

1046,30ns

Urin sapi perah 50 % 29,03 ns

221,28 ns

798,80 ns

Urin sapi perah 75 % 28,43 ns

201,50 ns

877,70 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

26,95 ns

250,55 ns

997,60 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

24,36 ns

180,51 ns

716,20 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

15,64 ns

124,09 ns

492,10 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Pemberian bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami berpengaruh nyata terhadap

variabel bobot segar tajuk bibit tebu berdasarkan

analisis varian. Uji lanjut Dunnet (Tabel 4.9) juga

memberikan hasil yang berbeda nyata baik pada umur

tebu 40, 80, maupun 120 hst. Pada umur tebu 40

hst, perlakuan air kelapa muda 25 % mampu menghasilkan

nilai bobot segar tajuk yang lebih tinggi dibandingkan

51

dengan kontrol (tanpa bahan organik). Peningkatan

konsentrasi air kelapa muda hingga 50-75 % justru

menghasilkan nilai bobot segar tajuk yang lebih rendah

dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan

organik). Begitu juga dengan perlakuan lainnya, yaitu

perlakuan urin sapi perah dan ekstrak kecambah kacang

hijau baik pada konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %,

hasilnya tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa

bahan organik). Jadi, dapat dikatakan bahwa perlakuan

air kelapa muda 50 %, air kelapa muda 75 %, urin sapi

perah 25 %, urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75

%, ekstrak kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak kecambah

kacang hijau 75 % pada umur 40 hst secara signifikan

tidak mampu meningkatkan nilai bobot segar tajuk bibit

tebu bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan

organik) meskipun terlihat adanya kecenderungan

penurunan nilai bobot segar tajuk seiring dengan

penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

Pada umur tebu 80 dan 120 hst, pemberian air

kelapa muda 25 % dan 50 % secara nyata mampu

menghasilkan nilai bobot segar tajuk yang lebih tinggi

dibandingkan kontrol (tanpa bahan organik). Penambahan

konsentrasi air kelapa muda hingga 75 % justru

menurunkan nilai bobot segar tajuk bibit tebu dan

tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan

52

organik). Sama halnya dengan perlakuan urin sapi perah

dan ekstrak kecambah kacang hijau baik pada

konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %, bobot segar tajuk

yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik).

10.Bobot Segar Total

Tabel 4.10. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap bobot segar total bibit tebu

Perlakuan Bobot Segar Total (g)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 27,28 277,44 943,50

Air kelapa muda 25 % 98,68 *

616,05 *

2049,80 *

Air kelapa muda 50 % 70,16 ns

527,20 *

1803,50 *

Air kelapa muda 75 % 62,55 ns

385,55 ns

1292,80 ns

Urin sapi perah 25 % 62,79 ns

475,56 *

1612,80 ns

Urin sapi perah 50 % 40,13 ns

403,38 ns

1282,70 ns

Urin sapi perah 75 % 35,41 ns

337,26 ns

1294,00 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

36,93 ns

432,42 ns

1480,90 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

30,33 ns

337,12 ns

1077,00 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

20,08 ns

238,36 ns

795,80ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Bobot segar total merupakan penjumlahan dari bobot

segar akar dan bobot segar tajuk. Hasil analisis

varian menunjukkan bahwa perlakuan macam dan53

konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat pengatur

tumbuh alami berpengaruh nyata terhadap variabel bobot

segar total. Berdasarkan uji lanjut Dunnet (Tabel

4.10), hasilnya juga berbeda nyata baik pada umur tebu

40, 80, ataupun 120 hst. Pada umur tebu 40 hst,

pemberian air kelapa muda 25 % mampu menghasilkan

nilai bobot segar total yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kontrol (tanpa bahan organik). Peningkatan

konsentrasi air kelapa muda hingga 50-75 % justru

menghasilkan nilai bobot segar total yang lebih rendah

dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan

organik), sedangkan untuk perlakuan urin sapi perah 25

%, urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %,

nilai bobot segar total bibit tebu yang dihasilkan

tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol

(tanpa bahan organik) walaupun nampak adanya

kecenderungan penurunan nilai bobot segar total

seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-

masing bahan organik.

Pada umur tebu 80 hst, nilai bobot segar total

yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan

perlakuan tanpa bahan organik terdapat pada perlakuan

air kelapa muda 25 %, air kelapa muda 50 %, dan urin

sapi perah 25 %. Perlakuan air kelapa muda 75 %, urin

sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

54

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel bobot segar

total jika dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan

konsentrasi pada masing-masing bahan organik cenderung

menghasilkan nilai bobot segar total bibit tebu yang

lebih rendah.

Pada umur tebu 120 hst, pemberian air kelapa muda

25 % dan 50 % secara nyata mampu menghasilkan nilai

bobot segar total yang lebih tinggi dibandingkan

kontrol (tanpa bahan organik). Penambahan konsentrasi

air kelapa muda hingga 75 % justru menurunkan nilai

bobot segar total bibit tebu dan tidak berbeda nyata

dengan kontrol (tanpa bahan organik). Sama halnya

dengan perlakuan urin sapi perah dan ekstrak kecambah

kacang hijau baik pada konsentrasi 25, 50, ataupun 75

%, bobot segar total yang dihasilkan tidak berbeda

nyata dengan kontrol walau nampak adanya kecenderungan

penurunan nilai bobot segar total seiring dengan

penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

11.Bobot Kering Akar

Tabel 4.11 menunjukkan adanya pengaruh yang

signifikan pada perlakuan macam dan konsentrasi bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

terhadap bobot kering akar baik pada umur 40, 80,

55

maupun 120 hst jika dibandingkan dengan kontrol.

Pemberian perlakuan air kelapa muda 25 % secara nyata

mampu menghasilkan nilai bobot kering akar yang lebih

tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa bahan

organik pada umur tebu 40, 80, dan 120 hst.

Peningkatan konsentrasi air kelapa muda hingga 50-75 %

justru menghasilkan nilai bobot kering akar yang lebih

rendah dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa

bahan organik). Meskipun terlihat adanya kecenderungan

penurunan nilai bobot kering akar seiring dengan

penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik, baik perlakuan urin sapi perah 25 %, urin

sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, ataupun ekstrak kecambah kacang hijau 75

%, nilai bobot kering akar bibit tebu yang dihasilkan

tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan

tanpa bahan organik.

Tabel 4.11. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap bobot kering akar bibit tebu

Perlakuan Bobot Kering Akar (g)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 0,64 32,09 180,21

Air kelapa muda 25 % 4,67 * 90,90 * 510,16 *

Air kelapa muda 50 % 2,84 ns

68,11 ns

382,35 ns

Air kelapa muda 75 % 2,68 ns

48,06 ns

269,73 ns

Urin sapi perah 25 % 2,13 ns

75,96 ns

426,48 ns

56

Urin sapi perah 50 % 1,20 ns

33,30 ns

186,98 ns

Urin sapi perah 75 % 0,77 ns

31,19 ns

175,10 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

0,73 ns

64,46 ns

363,97 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

0,50 ns

55,63 ns

312,47 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

0,38 ns

20,82 ns

116,92 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

12.Bobot Kering Tajuk

Adanya pengaruh yang signifikan pada perlakuan

macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami terhadap bobot kering tajuk baik

pada umur 40, 80, maupun 120 hst jika dibandingkan

dengan kontrol ditunjukkan pada Tabel 4.12. Pada umur

tebu 40 hst, pemberian air kelapa muda 25 %, air

kelapa muda 50 %, dan urin sapi perah 25 % secara

nyata mampu menghasilkan nilai bobot kering tajuk yang

lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa bahan

organik). Penambahan konsentrasi air kelapa muda

hingga 75 % dan urin kelapa muda hingga 50-75 % justru

menurunkan nilai bobot kering tajuk bibit tebu dan

tidak berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan

organik). Perlakuan urin sapi perah dan ekstrak

kecambah kacang hijau baik pada konsentrasi 25, 50,

ataupun 75 %, bobot kering tajuk yang dihasilkan tidak

berbeda nyata dengan kontrol meski terlihat adanya

57

kecenderungan penurunan nilai bobot kering tajuk

seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-

masing bahan organik.

Tabel 4.12. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap bobot kering tajuk bibit tebu

Perlakuan Bobot Kering Tajuk (g)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 2,40 52,60 149,62

Air kelapa muda 25 % 7,01 *

132,32 *

375,81 *

Air kelapa muda 50 % 5,72 *

85,04ns

241,05 ns

Air kelapa muda 75 % 4,62 ns

72,00ns

204,15 ns

Urin sapi perah 25 % 5,14 *

113,28 ns

322,86 ns

Urin sapi perah 50 % 3,17 ns

77,53ns

219,79 ns

Urin sapi perah 75 % 3,01 ns

60,08ns

171,00 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

3,05 ns

86,77ns

237,36 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

2,55 ns

73,66ns

209,53 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

2,24 ns

38,25ns

108,42 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Pada umur tebu 80 dan 120 hst, perlakuan air

kelapa muda 25 % mampu menghasilkan nilai bobot kering

tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol

(tanpa bahan organik). Peningkatan konsentrasi air

kelapa muda hingga 50-75 % justru menghasilkan nilai

bobot kering tajuk yang lebih rendah dan tidak berbeda

nyata dengan kontrol (tanpa bahan organik). Begitu

58

juga dengan perlakuan lainnya, yaitu perlakuan urin

sapi perah dan ekstrak kecambah kacang hijau baik pada

konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %, hasilnya tidak

berbeda nyata dengan kontrol (tanpa bahan organik).

Jadi, dapat dikatakan bahwa perlakuan air kelapa muda

50 %, air kelapa muda 75 %, urin sapi perah 25 %, urin

sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak

kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

pada umur tebu 80 dan 120 hst secara signifikan tidak

mampu meningkatkan nilai bobot kering tajuk bibit tebu

bila dibandingkan dengan kontrol.

13.Bobot Kering Total

Tabel 4.13. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap bobot kering total bibit tebu

Perlakuan Bobot Kering Total (g)40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 3,03 84,69 329,80

Air kelapa muda 25 % 11,68 *

223,22 *

886,00 *

Air kelapa muda 50 % 8,56*

153,16 ns

623,40 ns

Air kelapa muda 75 % 7,29*

120,06 ns

473,90 ns

Urin sapi perah 25 % 7,27*

189,24 *

749,30 *

Urin sapi perah 50 % 4,36ns

110,83 ns

406,80 ns

Urin sapi perah 75 % 3,78ns

91,27ns

346,10 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

3,79ns

151,23 ns

601,30 ns

59

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

3,05ns

129,29 ns

522,00 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

2,61ns

59,07ns

225,30 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Bobot kering total diperoleh dari penjumlahan

bobot kering tajuk dengan bobot kering akar. Bobot

kering total ini merupakan hasil penimbunan hasil

bersih asimilat sepanjang pertumbuhan tanaman. Hasil

bersih asimilat umumnya ditranslokasikan ke seluruh

tubuh tanaman untuk pertumbuhan, perkembangan,

cadangan makanan, dan pengelolaan sel (Gardner et al.,

1991).

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa perlakuan

macam dan konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami berpengaruh nyata terhadap

variabel bobot kering total. Berdasarkan uji lanjut

Dunnet (Tabel 4.13), hasilnya juga berbeda nyata baik

pada umur tebu 40, 80, ataupun 120 hst. Pada umur tebu

40 hst, pemberian air kelapa muda 25 %, air kelapa

muda 50 %, air kelapa muda 75 %, dan urin sapi perah

25 % mampu menghasilkan nilai bobot kering total yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan

organik). Peningkatan konsentrasi urin sapi perah

hingga 50-75 % justru menghasilkan nilai bobot kering

total yang lebih rendah dan tidak berbeda nyata dengan

kontrol (tanpa bahan organik), sedangkan untuk

perlakuan ekstrak kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak

60

kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak kecambah

kacang hijau 75 %, nilai bobot kering total bibit tebu

yang dihasilkan tidak berbeda nyata jika dibandingkan

dengan kontrol (tanpa bahan organik) walaupun terlihat

adanya kecenderungan penurunan nilai bobot kering

total seiring dengan penambahan konsentrasi pada

masing-masing bahan organik.

Pada umur tebu 80 dan 120 hst, pemberian air

kelapa muda 25 % dan urin sapi perah 25 % secara nyata

mampu menghasilkan nilai bobot kering total yang lebih

tinggi dibandingkan kontrol (tanpa bahan organik).

Penambahan konsentrasi air kelapa muda dan urin sapi

perah hingga 50-75 % justru menurunkan nilai bobot

kering total bibit tebu dan tidak berbeda nyata dengan

kontrol (tanpa bahan organik). Sama halnya dengan

perlakuan ekstrak kecambah kacang hijau baik pada

konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %, bobot kering total

yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan

tanpa bahan organik.

14.Nisbah Akar Tajuk

Tabel 4.14. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap nisbah akar tajuk bibit tebu

Perlakuan Nisbah Akar Tajuk40 hst 80 hst 120 hst

Kontrol 0,37 0,72 1,43

Air kelapa muda 25 % 0,69 ns

0,72 ns

1,42 ns

Air kelapa muda 50 % 0,57 0,80 1,58 61

ns ns ns

Air kelapa muda 75 % 0,95 ns

0,73 ns

1,44 ns

Urin sapi perah 25 % 0,40 ns

1,01 ns

1,98 ns

Urin sapi perah 50 % 1,00 ns

0,47 ns

0,93 ns

Urin sapi perah 75 % 0,21 ns

0,62 ns

1,23 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

0,47 ns

0,79 ns

1,61 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

0,19 ns

0,93 ns

1,85 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

0,20 ns

0,59 ns

1,17 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Nisbah akar tajuk merupakan perbandingan antara

bobot kering akar dan bobot kering tajuk. Apabila

angka yang dihasilkan lebih dari satu berarti akar

memiliki bobot kering yang lebih berat dibandingkan

tajuk. Sebaliknya, apabila angka yang dihasilkan

kurang dari satu berarti tajuk memiliki bobot kering

yang lebih berat daripada akar. Jika angka yang

dihasilkan sama dengan satu artinya tajuk dan akar

memiliki bobot kering yang seimbang. Nisbah akar tajuk

memiliki kepentingan fisiologis karena dapat

menggambarkan salah satu tipe dari kekeringan.

Meskipun nisbah akar tajuk dikendalikan secara

genetis, nisbah akar tajuk juga sangat dipengaruhi

oleh lingkungan yang kuat (Gardner et al., 1991).

Analisis varian menunjukkan hasil yang tidak

berbeda nyata pada perlakuan macam dan konsentrasi

62

bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

terhadap nisbah akar tajuk bibit tebu baik pada umur

40, 80, ataupun 120 hst (Tabel 4.14). Perlakuan air

kelapa muda 25 %, air kelapa muda 50 %, air kelapa

muda 75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi perah 50 %,

urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25

%, ekstrak kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak

kecambah kacang hijau 75 % tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel nisbah akar tajuk bibit

tebu.

15.Jumlah Ruas

Tabel 4.15. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap jumlah ruas bibit tebu

Perlakuan Jumlah Ruas12 mst 17 mst

Kontrol 2,40 3,60Air kelapa muda 25 % 3,00 ns 4,60 nsAir kelapa muda 50 % 2,80 ns 4,00 nsAir kelapa muda 75 % 2,80 ns 3,80 nsUrin sapi perah 25 % 2,80 ns 4,00 nsUrin sapi perah 50 % 2,60 ns 3,80 nsUrin sapi perah 75 % 2,60 ns 3,60 nsEkstrak kecambah kacang hijau 25 % 2,80 ns 3,80 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 % 2,60 ns 3,60 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 % 2,40 ns 3,60 nsKeterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =

berbeda nyata dengan kontrol

Jumlah ruas tunas diketahui dengan menghitung

seluruh ruas tunas dari dasar hingga ujung.63

Berdasarkan hasil analisis varian (Tabel 4.15),

diketahui bahwa perlakuan macam dan konsentrasi bahan

organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami tidak

berpengaruh secara nyata terhadap jumlah ruas bibit

tebu baik pada umur 6, 12, maupun 17 mst. Pada umur 6

mst, ruas tebu belum terbentuk. Hal ini sesuai dengan

yang dikatakan Lukito (2008), yaitu bahwa pembentukan

ruas tebu berlangsung pada umur tanaman antara 3-9

bulan.

16.Diameter Tunas

Tabel 4.16. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap diameter tunas bibit tebu

Perlakuan Diameter Tunas (cm)6 mst 12 mst 17 mst

Kontrol 0,77 2,38 3,58Air kelapa muda 25 % 1,18 * 2,83 * 4,25 *

Air kelapa muda 50 % 1,04 * 2,61 ns

3,93 ns

Air kelapa muda 75 % 1,01 * 2,46 ns

3,70 ns

Urin sapi perah 25 % 0,95 ns

2,53 ns

3,81 ns

Urin sapi perah 50 % 0,91 ns

2,35 ns

3,54 ns

Urin sapi perah 75 % 0,88 ns

2,23 ns

3,36 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

0,89 ns

2,53 ns

3,80 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

0,71 ns

2,37 ns

3,56 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

0,58 ns

2,17 ns

3,26 ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

64

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa pemberian

bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

berpengaruh nyata terhadap variabel diameter tunas.

Berdasarkan uji lanjut Dunnet (Tabel 4.16), perbedaan

nyata ditunjukkan baik pada umur tebu 6, 12, maupun 17

mst. Pada umur tebu 6 mst, pemberian air kelapa muda

25, 50, dan 75 % secara nyata mampu menghasilkan

diameter tunas bibit tebu yang lebih besar

dibandingkan kontrol (tanpa bahan organik) walaupun

terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai diameter

tunas seiring dengan penambahan konsentrasi air kelapa

muda, sedangkan untuk perlakuan urin sapi perah dan

ekstrak kecambah kacang hijau baik pada konsentrasi

25, 50, ataupun 75 %, hasilnya tidak berbeda nyata

dengan kontrol (tanpa bahan organik) walaupun terlihat

adanya kecenderungan penurunan nilai diameter tunas

seiring dengan penambahan konsentrasi pada masing-

masing bahan organik.

Pada umur tebu 12 dan 17 mst, perlakuan air kelapa

muda 25 % mampu menghasilkan diameter tunas yang lebih

besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa bahan

organik. Peningkatan konsentrasi air kelapa muda

hingga 50-75 % justru menghasilkan diameter tunas yang

lebih kecil dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan

tanpa bahan organik. Begitu juga dengan perlakuan

lainnya, yaitu perlakuan urin sapi perah dan ekstrak

kecambah kacang hijau baik pada konsentrasi 25, 50,65

ataupun 75 %, hasilnya tidak berbeda nyata dengan

perlakuan tanpa bahan organik. Meski nampak adanya

kecenderungan penurunan nilai diameter tunas seiring

dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik, pemberian air kelapa muda 50 %, air kelapa

muda 75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi perah 50 %,

urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25

%, ekstrak kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak

kecambah kacang hijau 75 % secara signifikan tidak

mampu meningkatkan nilai diameter tunas bibit tebu

jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa bahan

organik.

17.Panjang Ruas

Tabel 4.17. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap panjang ruas bibit tebu

Perlakuan Panjang Ruas (cm)12 mst 17 mst

Kontrol 9,81 13,90Air kelapa muda 25 % 12,00 ns 17,01 nsAir kelapa muda 50 % 11,77 ns 16,67 nsAir kelapa muda 75 % 11,53 ns 16,34 nsUrin sapi perah 25 % 10,83 ns 15,34 nsUrin sapi perah 50 % 10,54 ns 14,94 ns

Urin sapi perah 75 % 9,47 ns 13,41 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 % 10,30 ns 14,59 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 % 10,07 ns 14,26 ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

9,02 ns 12,78 ns

66

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Hasil analisis varian menunjukkan tidak terdapat

pengaruh yang signifikan pada perlakuan macam dan

konsentrasi bahan organik sebagai sumber zat pengatur

tumbuh alami terhadap panjang ruas tebu baik pada umur

6, 12, ataupun 17 mst (Tabel 4.17). Panjang ruas tebu

pada umur 12 mst rata-rata berkisar 9-12 cm, sedangkan

panjang ruas tebu pada umur 17 mst rata-rata berkisar

12-17 cm.

Pada umur 6 mst, ruas tebu belum terbentuk. Proses

pemanjangan batang adalah proses yang paling dominan

pada fase pertumbuhan tebu. Selama fase ini

berlangsung, pembentukan ruas tebu terjadi sebanyak 3-

4 ruas per bulan dan jumlah ini akan menurun dengan

bertambahnya umur (tua). Fase ini berlangsung pada

umur tanaman antara 3-9 bulan (Lukito, 2008).

18.Tinggi Tunas

Tabel 4.18. Pengaruh macam dan konsentrasi bahanorganik sebagai sumber zat pengatur tumbuhalami terhadap tinggi tunas bibit tebu

Perlakuan Tinggi tunas (cm)6 mst 12 mst 17 mst

Kontrol 119,00 175,54 207,44

Air kelapa muda 25 % 150,00 *

197,86 *

233,86*

Air kelapa muda 50 % 146,26 *

191,02 ns

225,78ns

Air kelapa muda 75 % 138,32 ns

184,40 ns

217,94ns

67

Urin sapi perah 25 % 129,20 ns

186,16 ns

220,02ns

Urin sapi perah 50 % 131,14 ns

177,28 ns

209,56ns

Urin sapi perah 75 % 117,04 ns

174,22 ns

205,90ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 25 %

127,10 ns

183,76 ns

217,20ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 50 %

114,60 ns

176,14 ns

208,20ns

Ekstrak kecambah kacang hijau 75 %

102,20 ns

172,06 ns

203,40ns

Keterangan: ns = tidak berbeda nyata dengan kontrol, * =berbeda nyata dengan kontrol

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa pemberian

bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

berpengaruh nyata terhadap variabel tinggi tunas.

Berdasarkan uji lanjut Dunnet (Tabel 4.18), hasilnya

juga berbeda nyata baik pada umur tebu 6, 12, maupun

17 mst. Pada umur tebu 6 mst, pemberian air kelapa

muda 25 % dan 50 % secara nyata mampu menghasilkan

tunas tebu yang lebih tinggi dibandingkan kontrol

(tanpa bahan organik). Penambahan konsentrasi air

kelapa muda hingga 75 % justru menurunkan nilai tinggi

tunas bibit dan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik). Sama halnya dengan perlakuan

urin sapi perah dan ekstrak kecambah kacang hijau baik

pada konsentrasi 25, 50, ataupun 75 %, tinggi tunas

yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik) walaupun terlihat adanya

kecenderungan penurunan nilai tinggi tunas seiring

68

dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

Pada umur tebu 12 dan 17 mst, perlakuan air kelapa

muda 25 % juga mampu menghasilkan tanaman yang lebih

tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan

organik). Peningkatan konsentrasi air kelapa muda

hingga 50-75 % justru menghasilkan tunas tebu yang

lebih pendek dan tidak berbeda nyata dengan kontrol

(tanpa bahan organik). Begitu juga dengan perlakuan

lainnya, yaitu perlakuan urin sapi perah dan ekstrak

kecambah kacang hijau baik pada konsentrasi 25, 50,

ataupun 75 %, hasilnya tidak berbeda nyata dengan

kontrol (tanpa bahan organik). Jadi, dapat dikatakan

bahwa perlakuan air kelapa muda 50 %, air kelapa muda

75 %, urin sapi perah 25 %, urin sapi perah 50 %, urin

sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang hijau 25 %,

ekstrak kecambah kacang hijau 50 %, dan ekstrak

kecambah kacang hijau 75 % baik pada umur 12 maupun

17 mst secara signifikan tidak mampu meningkatkan

nilai tinggi tunas bibit tebu bila dibandingkan dengan

kontrol (tanpa bahan organik) walaupun terlihat adanya

kecenderungan penurunan nilai tinggi tunas seiring

dengan penambahan konsentrasi pada masing-masing bahan

organik.

C. Pembahasan Umum

69

Zat pengatur tumbuh dengan macam dan konsentrasi yang

sesuai berpotensi untuk meningkatkan persentase

keberhasilan pembibitan. Selain itu, dapat juga

mempercepat pembentukan dan pertumbuhan akar serta tunas

yang berasal dari bahan stek. Proses pertunasan tebu

biasanya diawali dengan aktivitas imbibisi, yaitu

aktivitas masuk dan terserapnya (absorpsi) air ke dalam

bahan tanam. Kelembaban tanah pada kapasitas lapangan

sangat mendukung proses ini. Menurut Gardner (1991),

hidrasi jaringan akan terjadi setelah aktivitas imbibisi

berlangsung. Selanjutnya akan terjadi absorpsi oksigen,

pengaktifan dan reaksi enzim, transpor molekul yang

terhidrolisis, peningkatan respirasi dan asimilasi,

inisiasi pembelahan dan pembesaran sel, dan akhirnya

terjadi pemunculan tunas. Menurut Leopold (1955), mata

tunas pada stek sangat diperlukan untuk mendorong

terjadinya perakaran stek. Pembentukan akar tidak akan

terjadi bila mata tunas dihilangkan atau dalam keadaan

dorman. Hal ini terjadi karena tunas berperan sebagai

sumber auksin yang menstimulir pembentukan akar, terutama

bila mata tunas mulai tumbuh. Menurut Hartmann dan Kester

(1975), IAA diidentifikasikan sebagai senyawa alami yang

menunjukkan aktivitas auksin yang mendorong pembentukan

akar adventif.

Setiap variabel pengamatan dinyatakan saling

berkorelasi satu sama lain jika sifatnya nyata. Korelasi

dapat bersifat positif ataupun negatif. Tabel 4.19

70

memberi informasi bahwa volume akar berkorelasi positif

dengan jumlah dan luas daun secara sangat nyata. Volume

akar bibit tebu yang semakin besar secara sangat nyata

akan diikuti oleh pertambahan jumlah dan luas daun pada

bibit tebu tersebut. Namun, pertambahan nilai pada

variabel panjang akar utama tidak diikuti oleh

pertambahan nilai pada variabel volume akar, jumlah daun,

dan luas daun bibit tebu. Hal ini diduga terjadi karena

perakaran yang terdapat pada tebu merupakan perakaran

serabut. Pada perakaran serabut, akar primer tidak dapat

bertahan lama dalam pertumbuhan tanaman dan segera

mengering, lalu dari pangkal akar tersebut akan muncul

akar baru yang disebut akar adventif.

Tabel 4.19. Nilai koefisien korelasi antara variabelpanjang akar utama, volume akar, jumlah daun, danluas daun bibit tebu

VariabelPanjangAkarUtama

Volume Akar

Jumlah Daun

Luas Daun

Panjang Akar Utama 1

Volume Akar 0,160 1Jumlah Daun 0,063 0,376 ** 1Luas Daun 0,119 0,446 ** 0,458 ** 1Keterangan: Tanda (*) menunjukkan adanya korelasi yang nyata

antar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.Tanda (**) menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.

Secara umum, stek tebu yang mendapatkan perlakuan air

kelapa muda 25 % volume akarnya lebih besar daripada

perlakuan lainnya. Volume akar yang lebih besar

menyebabkan kapasitas akar dalam menyerap air dan nutrisi

71

juga lebih kuat sehingga jumlah air dan nutrisi yang

ditranslokasikan menuju daun lebih banyak, terutama pada

bibit tebu yang mendapatkan perlakuan air kelapa muda 25

%. Akar-akar adventif ini yang mempengaruhi nilai volume

akar. Pasokan air dan nutrisi tanaman yang lebih kuat

menyebabkan daun pada stek tebu yang mendapatkan

perlakuan air kelapa muda 25 % jumlahnya lebih banyak

serta lebih luas jika dibandingkan dengan stek tebu yang

mendapatkan perlakuan lainnya.

Pada Tabel 4.19, nampak bahwa jumlah daun berkorelasi

positif secara sangat nyata dengan luas daun. Jumlah daun

yang semakin bertambah akan menyebabkan luas daun yang

semakin bertambah pula. Jumlah daun yang lebih banyak

dengan luasan per daun yang sama besar merupakan penyebab

utama lebih luasnya daun per bibit tebu. Berdasarkan

penelitian, bibit tebu yang mendapatkan perlakuan air

kelapa muda 25 % daunnya lebih luas daripada perlakuan

lainnya. Menurut Gardner et al. (1991), tanaman cenderung

menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan dalam

bentuk penambahan luas daun.

Akar berperan dalam penyerapan air dan hara dari

dalam tanah. Semakin besar nilai volume akar, maka

semakin terpenuhi kebutuhan hara dan air bagi tanaman

karena meningkatnya kapasitas akar dalam penyerapan air

maupun hara. Apabila kebutuhan air dan hara bagi tanaman

tercukupi dengan optimal maka proses fotosintesis dapat

berjalan dengan baik. Hasil fotosintesis tersebut

72

selanjutnya ditranslokasikan ke seluruh organ tanaman,

termasuk daun, untuk menunjang aktivitas pertumbuhan

daun. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Rogomulyo

(1992), yaitu bahwa akar merupakan organ yang menentukan

kelangsungan hidup suatu tanaman. Semakin cepat dan

banyak akar terbentuk, maka semakin besar kemungkinan

bibit tumbuh sehat dan kuat.

Tabel 4.20. Nilai koefisien korelasi antara variabelluas daun dan laju asimilasi bersih bibit tebu

Variabel Luas Daun Laju AsimilasiBersih

Luas Daun 1Laju Asimilasi Bersih 0,460 ** 1Keterangan: Tanda (*) menunjukkan adanya korelasi yang nyata

antar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.Tanda (**) menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.

Pada Tabel 4.20, luas daun diketahui berkorelasi

positif secara sangat nyata dengan laju asimilasi bersih

per luas daun total. Artinya bahwa pertambahan luas daun

akan selalu diikuti oleh peningkatan laju asimilasi

bersih per luas daun total. Laju asimilasi bersih

merupakan ukuran efisiensi daun dalam menghasilkan bahan

kering dan secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan

daun dalam menyerap radiasi matahari dan hara. Daun

berfungsi sebagai organ utama fotosintesis. Jaringan

fotosintesis yang hijau (klorofil) pada daun secara

efisien dapat menyerap radiasi matahari yang dibutuhkan

oleh tanaman (Gardner et al., 1991). Semakin besar nilai

luas daun, maka akan semakin meningkat pula kapasitas73

daun untuk melakukan fotosintesis. Apabila semakin banyak

daun yang dapat melakukan fotosintesis dengan baik, maka

akan semakin banyak pula fotosintat yang dihasilkan.

Fotosintat ini selanjutnya ditranslokasikan ke seluruh

organ tanaman untuk dimanfaatkan dalam proses pertumbuhan

dan perkembangan sesuai dengan fase pertumbuhannya.

Berdasarkan hasil penelitian, bibit tebu yang mendapatkan

perlakuan air kelapa muda 25 % daunnya lebih luas jika

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Daun yang lebih

luas dengan laju asimilasi bersih per satuan luas daun

yang sama besar merupakan penyebab utama lebih besarnya

nilai laju asimilasi bersih per luas daun total suatu

bibit tebu.

Tabel 4.21. Nilai koefisien korelasi antara variabellaju asimilasi bersih dan laju pertumbuhan nisbibibit tebu

Variabel Laju AsimilasiBersih

Laju PertumbuhanNisbi

Laju Asimilasi Bersih 1

Laju Pertumbuhan Nisbi 0,452 ** 1Keterangan: Tanda (*) menunjukkan adanya korelasi yang nyata

antar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.Tanda (**) menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.

Tabel 4.21 menunjukkan adanya korelasi positif secara

sangat nyata antara laju asimilasi bersih dengan laju

pertumbuhan nisbi. Semakin tinggi laju asimilasi bersih,

maka secara sangat nyata akan semakin tinggi juga laju

pertumbuhan nisbi. Keduanya memang berperan dalam

74

pembentukan bobot kering tanaman. Laju asimilasi bersih

menunjukkan kemampuan tanaman untuk menyediakan asimilat

melalui proses fotosintesis selama pertumbuhannya

ditentukan oleh kemampuan per satuan luas daun dan luas

daun total. Nilai laju asimilasi bersih yang tinggi

menunjukkan bahwa sebagian besar daun mampu menyerap

radiasi matahari dan hara untuk berfotosintesis secara

optimal. Semakin tinggi hasil fotosintesis, berarti

semakin besar pertambahan bahan kering tanaman.

Pertambahan bahan kering tanaman ini yang biasanya

disebut dengan laju pertumbuhan nisbi.

Tabel 4.22. Nilai koefisien korelasi antara variabellaju pertumbuhan nisbi, bobot kering akar, bobotkering tajuk, dan bobot kering total bibit tebu

Variabel

LajuPertumbu

hanNisbi

BobotKeringAkar

BobotKeringTajuk

BobotKeringTotal

Laju Pertumbuhan Nisbi 1

Bobot Kering Akar 0,337 * 1

Bobot Kering Tajuk 0,146 0,412

** 1

Bobot Kering Total

0,299 *

0,901** 0,803 ** 1

Keterangan: Tanda (*) menunjukkan adanya korelasi yang nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.Tanda (**) menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.

Berdasarkan nilai koefisien korelasi pada Tabel 4.22,

diketahui bahwa terdapat korelasi positif yang nyata pada

variabel laju pertumbuhan nisbi dengan bobot kering akar

75

dan bobot kering total. Korelasi positif secara sangat

nyata terdapat pada variabel bobot kering tajuk dengan

bobot kering total, bobot kering akar dengan bobot kering

tajuk, dan bobot kering akar dengan bobot kering total.

Hal ini berarti pertambahan nilai pada variabel bobot

kering akar secara sangat nyata akan diikuti oleh

pertambahan nilai pada variabel bobot kering tajuk dan

bobot kering total. Pertambahan nilai pada variabel bobot

kering tajuk secara sangat nyata akan diikuti oleh

pertambahan nilai pada variabel bobot kering total.

Begitu juga untuk pertambahan nilai pada variabel laju

pertumbuhan nisbi, secara nyata akan diikuti dengan

pertambahan nilai pada variabel bobot kering akar dan

bobot kering total. Berdasarkan nilai koefisien korelasi

antara variabel laju pertumbuhan nisbi dan bobot kering

tajuk, diketahui bahwa tidak ada korelasi nyata antar

keduanya. Artinya bahwa peningkatan laju pertumbuhan

nisbi tidak selalu diikuti dengan peningkatan bobot

kering tajuk. Hal ini diduga terjadi karena kecepatan

pertambahan luas daun lebih tinggi dibandingkan dengan

kecepatan pertambahan bobot kering, atau dapat juga

terjadi karena hasil bersih asimilat pada umur tertentu

cenderung lebih banyak disebarkan ke akar untuk

pertumbuhan dan perkembangannya.

Bobot kering total dipengaruhi oleh laju pertumbuhan

nisbi. Laju pertumbuhan nisbi merupakan pertambahan bahan

kering tanaman. Semakin tinggi pertambahan bahan kering

76

tanaman sebagai hasil bersih dari proses fotosintesis,

maka akan semakin besar bobot kering total tanaman.

Berdasarkan Tabel 4.13, bibit tebu yang diberi perlakuan

air kelapa muda 25 % memiliki bobot kering total yang

lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya,

kecuali perlakuan urin sapi perah 25 %. Bobot kering

total yang lebih besar ini menggambarkan lebih banyaknya

hasil bersih asimilat yang ditranslokasikan ke seluruh

tubuh tanaman untuk pertumbuhan, perkembangan, cadangan

makanan, dan pengelolaan sel.

Gambar 4.1 menunjukkan hubungan antara konsentrasi

air kelapa muda dan bobot kering total bibit tebu.

Berdasarkan analisis regresi, diketahui bahwa konsentrasi

optimum dari air kelapa muda berada sekitar 38,70 %. Hal

ini berarti peningkatan konsentrasi air kelapa muda

hingga sekitar 38,70 % mampu meningkatkan bobot kering

total bibit tebu. Apabila konsentrasi optimum ini terus

dinaikkan, maka bobot kering total tanaman bibit tebu

justru akan semakin menurun. Nilai koefisien determinasi

(R2) adalah 0,7436. Artinya bahwa peningkatan konsentrasi

bahan organik sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami

berpengaruh cukup besar terhadap peningkatan bobot kering

total bibit tebu.

77

Gambar 4.1. Grafik regresi antarakonsentrasi air kelapa muda dan bobotkering total bibit tebu berumur 120 hst

Grafik regresi antara konsentrasi urin sapi perah dan

bobot kering total bibit tebu berumur 120 hst (Gambar

4.2) menunjukkan bahwa konsentrasi optimum dari urin sapi

perah berada pada sekitar angka 34,44 berdasarkan

analisis regresi. Artinya bahwa peningkatan konsentrasi

urin sapi perah hingga sekitar 34,44 % mampu meningkatkan

bobot kering total bibit tebu. Bobot kering total bibit

tebu akan semakin menurun jika konsentrasi optimum ini

terus ditingkatkan. Pada grafik terlihat nilai koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,532. Hal ini berarti

peningkatan nilai bobot kering total bibit tebu cukup

dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi bahan organik

sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami.

78

Gambar 4.2. Grafik regresi antarakonsentrasi urin sapi perah dan bobot

kering total bibit tebu berumur 120 hst

Pada Tabel 4.23, terlihat bahwa variabel bobot kering

tajuk berkorelasi positif secara nyata dengan variabel

panjang ruas. Artinya bahwa secara nyata peningkatan

nilai bobot kering tajuk akan diikuti oleh peningkatan

nilai pada variabel panjang ruas. Tabel 4.23 juga

menunjukkan adanya korelasi positif yang sangat nyata

pada variabel bobot kering tajuk dengan variabel diameter

dan tinggi tunas. Hal ini berarti bahwa peningkatan bobot

kering tajuk akan diikuti oleh pertambahan diameter dan

tinggi tunas secara sangat nyata. Pada variabel diameter

tunas, secara sangat nyata pertambahan nilainya akan

diikuti dengan pertambahan nilai pada variabel panjang

ruas dan tinggi tunas. Sama halnya dengan variabel

panjang ruas dan tinggi tunas, tingginya tunas

dipengaruhi secara sangat nyata oleh panjangnya ruas.

79

Bobot kering tajuk merupakan hasil bersih asimilat

yang ditranslokasikan ke bagian tajuk bibit untuk

menunjang aktivitas pertumbuhan tajuk (tunas dan daun).

Pada hasil penelitian, diketahui bahwa bibit tebu yang

diberi perlakuan air kelapa muda 25 % memiliki diameter

tunas dan panjang ruas yang nilainya lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tunas yang

diameternya lebih besar dan ruasnya lebih panjang ini

menggambarkan banyaknya hasil bersih asimilat yang

ditranslokasikan ke bagian tersebut. Panjangnya ruas pada

tunas dapat menyebabkan tunas bibit tebu menjadi semakin

tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa tunas yang lebih tinggi juga dimiliki

oleh bibit tebu yang diberi perlakuan air kelapa muda 25

% (Tabel 4.18).

Tabel 4.23. Nilai koefisien korelasi antara variabelbobot kering tajuk, diameter tunas, panjang ruas,dan tinggi tunas bibit tebu

VariabelBobotKeringTajuk

DiameterTunas

PanjangRuas

TinggiTunas

Bobot Kering Tajuk 1

Diameter Tunas 0,521 ** 1

Panjang Ruas 0,315 * 0,597 ** 1

Tinggi Tunas 0,451 ** 0,559 ** 0,558 ** 1

Keterangan: Tanda (*) menunjukkan adanya korelasi yang nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.Tanda (**) menunjukkan adanya korelasi yang sangat nyataantar variabel pengamatan pada tingkat kepercayaan 5%.

80

Grafik regresi antara konsentrasi air kelapa muda dan

tinggi tunas bibit tebu berumur 17 mst (Gambar 4.3)

menunjukkan bahwa konsentrasi optimum dari air kelapa

muda berada sekitar 40,89 % berdasarkan analisis regresi.

Hal ini berarti peningkatan konsentrasi air kelapa muda

hingga sekitar 40,89 % mampu meningkatkan tinggi tunas

bibit tebu. Apabila konsentrasi optimum ini terus

dinaikkan, maka tinggi tunas bibit tebu justru akan

semakin menurun. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah

0,841. Jadi, peningkatan konsentrasi bahan organik

sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami cukup

berpengaruh besar terhadap peningkatan tinggi tunas bibit

tebu.

Gambar 4.3. Hubungan regresi antarakonsentrasi air kelapa muda dengan tinggi

tunas bibit tebu berumur 17 mst

Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan air kelapa

muda 25 % mampu meningkatkan tinggi tunas, jumlah daun,

81

diameter tunas, bobot segar akar, bobot segar tajuk,

bobot segar total, bobot kering akar, bobot kering tajuk,

bobot kering total, volume akar, dan luas daun bibit tebu

jika dibandingkan dengan kontrol (tanpa bahan organik).

Berdasarkan hasil tersebut, diduga dalam air kelapa muda

terkandung sitokinin yang berperan dalam pembelahan sel.

Hal ini didukung oleh pendapat Rineksane (2000) yang

menyatakan bahwa cairan endosperma dari buah kelapa

diyakini mampu menyediakan sitokinin alami yang aktif.

Zat ini disinyalir mampu menginduksi pembentukan akar dan

tunas dengan cara meningkatkan metabolisme asam nukleik

dan sintesis protein.

Pada dasarnya, sitokinin tidak mampu menjalankan

fungsinya dengan baik secara tunggal. Sitokinin dapat

berperan secara aktif dalam proses pembentukan tunas

apabila bekerja sama dengan auksin. Seperti yang

diungkapkan Widiastoety et al. (1997), yaitu bahwa

pembentukan tunas dan diferensiasi berlangsung jika

terdapat interaksi antara auksin dan sitokinin, dengan

konsentrasi sitokinin yang lebih besar. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2005), terdapat

kandungan auksin (0,237 ppm IAA), sitokinin (0,441 ppm

kinetin dan 0,247 ppm zeatin), dan giberelin (0,460 ppm

GA3; 0,255 ppm GA5; 0,053 ppm GA7) dalam air kelapa muda.

Angka-angka tersebut memberikan pengaruh yang baik bagi

pembentukan dan pertumbuhan tunas tebu.

82

Berdasarkan fungsinya, auksin berperan dalam

pembesaran dan pemanjangan sel. Di dalam sel, auksin

memacu protein tertentu yang ada di membran plasma untuk

memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ ini mengaktifkan

enzim tertentu, sehingga memutuskan beberapa ikatan

silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding

sel. Hal ini mengakibatkan dinding sel melunak dan

permeabilitasnya meningkat karena substansi pektin telah

dilemahkan, sehingga akan memudahkan masuknya air ke

dalam sel (imbibisi) yang merupakan aktivitas awal dari

proses pertunasan. Walaupun telah dilemahkan, sel ini

tidak akan rusak karena sel ini akan terus tumbuh dengan

mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma,

sedangkan untuk proses pengaktifan enzim yang

mengakibatkan terjadinya reaksi enzimatik di dalam bahan

tanam, diperankan oleh giberelin (Wilkins, 1989). Reaksi

enzimatik ini berkaitan dengan proses perombakan cadangan

makanan, seperti karbohidrat dan protein, yang diperlukan

untuk pembentukan tunas.

Menurut Danarto (2008), urin sapi perah mengandung

hormon yang bisa memacu pertumbuhan tanaman, seperti

auksin (IAA), sitokinin (kinetin), dan giberelin (GA).

Sapi perah memakan lebih banyak hijauan daripada sapi

potong sehingga kandungan auksin hijauan dapat

disekresikan lewat urin. Secara umum, kandungan auksin

pada urin sapi lebih besar daripada kandungan auksin pada

air kelapa muda. Auksin yang terkandung dalam urin sapi

83

betina sekitar 1852 ppm, sedangkan kandungan auksin pada

air kelapa muda hanya sekitar 0,237 ppm. Namun pada

sebagian besar variabel pertumbuhan, kandungan ini tidak

membuat perlakuan urin sapi perah menjadi lebih baik

dibandingkan perlakuan air kelapa muda, terutama pada

konsentrasi tinggi. Seperti yang terdapat pada variabel

waktu muncul tunas, perlakuan ini cenderung menghasilkan

waktu pertunasan yang lebih lama dibandingkan dengan

perlakuan air kelapa muda baik pada konsentrasi 25, 50,

ataupun 75 % (Tabel 4.1). Menurut Sriyanti (2000), auksin

dapat merangsang pertumbuhan akar pada konsentrasi rendah

(sesuai kebutuhan tanaman), sedangkan pada konsentrasi

tinggi, justru akan menghambat laju pemanjangan koleoptil

(ujung akar) dan batang akibat mulai hilangnya tekanan

turgor pada dinding sel. Selain itu, hasil yang tidak

lebih baik juga dapat terjadi karena diduga kandungan

auksin eksogen yang tinggi belum mampu merangsang kinerja

auksin endogen dengan baik akibat terjadinya persaingan

pada tempat kedudukan penerima. Gardner et al. (2008)

mengatakan bahwa kandungan yang tinggi memungkinkan

terjadinya penempatan molekul yang hanya melekat sebagian

pada tempat kedudukan penerima. Hal ini mengakibatkan

kurang efektifnya gabungan tersebut.

Apabila ditilik secara keseluruhan, terdapat pengaruh

nyata pada perlakuan macam dan konsentrasi bahan organik

sebagai sumber zat pengatur tumbuh alami terhadap

sebagian besar variabel pertumbuhan bibit tebu, seperti

84

tinggi tunas, jumlah daun, diameter tunas, bobot segar

akar, bobot segar tajuk, bobot segar total, bobot kering

akar, bobot kering tajuk, bobot kering total, volume

akar, dan luas daun. Nilai tertinggi sebagian besar

variabel pengamatan tersebut secara signifikan terdapat

pada perlakuan air kelapa muda 25 % yang cenderung tidak

berbeda nyata dengan perlakuan air kelapa muda 50 % dan

urin sapi perah 25 %, sedangkan untuk perlakuan urin sapi

perah 50 %, urin sapi perah 75 %, ekstrak kecambah kacang

hijau 25 %, ekstrak kecambah kacang hijau 50 %, dan

ekstrak kecambah kacang hijau 75 %, tidak terdapat

perbedaan yang nyata pada setiap variabel pertumbuhan

bibit tebu jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa bahan

organik. Perlakuan air kelapa muda 75 % yang berbeda

nyata dan lebih baik daripada kontrol hanya nampak pada

variabel bobot kering total bibit tebu pada umur 40 hst.

Pada variabel dan umur tebu lainnya, perlakuan air kelapa

muda 75 % tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini

dapat terjadi diduga karena konsentrasi air kelapa muda

yang digunakan terlalu tinggi. Menurut Fauzi et al. (1989),

penggunaan zat pengatur tumbuh yang berlebihan akan

bersifat meracun yang mengakibatkan pertumbuhan stek

terhambat, bahkan mengakibatkan kegagalan tumbuhnya stek.

Hormon dengan konsentrasi rendah dapat menggiatkan

pertumbuhan bibit, tetapi jika konsentrasinya semakin

tinggi justru akan menghambat pertumbuhan bibit.

85

Kecenderungan kontrol dalam menghasilkan nilai

variabel yang tidak lebih baik dibandingkan perlakuan

bahan organik berupa air kelapa muda dengan konsentrasi

25 % diduga disebabkan karena aktivitas kandungan hormon

endogen yang lambat sehingga kurang efektif. Seperti yang

diungkapkan oleh Gardner et al. (1991), seringkali

kandungan zat pengatur tumbuh endogen itu berada di bawah

titik optimal. Dengan demikian dibutuhkan sumber dari

luar untuk menghasilkan respon yang dikehendaki.

Nilai variabel pertumbuhan bibit tebu yang dihasilkan

oleh perlakuan ekstrak kecambah kacang hijau baik pada

konsentrasi 25, 50, ataupun 75 % seluruhnya tidak berbeda

nyata dengan kontrol. Hal ini diduga dapat terjadi akibat

kandungan dari ekstrak kecambah kacang hijau yang lebih

didominasi oleh auksin dan sedikit giberelin. Menurut

Soeprapto (1992), kecambah kacang hijau mengandung asam

amino triptofan. Triptofan merupakan bahan baku sintesis

IAA (Rismunandar, 1992). Menurut Salisbury dan Ross

(1995), giberelin yang terdapat pada ekstrak kecambah

kacang hijau telah berkurang kandungannya seiring dengan

penggunaan cadangannya (giberelin yang terikat dengan

glukosa) dalam proses pengaktifan enzim amilase. Proses

pengaktifan enzim amilase ini berkaitan dengan proses

perkecambahan biji kacang hijau. Selain itu, adanya

endapan tepung halus sebagai hasil sampingan dari

ekstraksi kecambah kacang hijau juga dapat mengganggu

86

proses metabolisme tanaman yang berlangsung di daun

karena bahan organik diaplikasikan melalui daun tebu.

Menurut Djamhari (2010), zat pengatur tumbuh eksogen

yang diaplikasikan pada tanaman berfungsi untuk memacu

pembentukan fitohormon. Hormon dapat mendorong suatu

aktivitas biokimia. Fitohormon sebagai senyawa organik

yang bekerja aktif dalam jumlah sedikit biasanya

ditransformasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga

dapat memengaruhi pertumbuhan atau proses-proses

fisiologi tanaman. Hal ini didukung oleh pendapat

Anwaruddin et al. (1996) yang menyatakan bahwa penggunaan

hormon tumbuh eksogen hanya dapat berpengaruh terhadap

fisiologi tanaman jika kandungan hormon di dalam jaringan

tanaman belum mencukupi sehingga menjadi faktor pembatas.

87

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perlakuan air kelapa muda 25 % mampu meningkatkan

tinggi tunas, jumlah daun, diameter tunas, bobot segar

akar, bobot segar tajuk, bobot segar total, bobot

kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering total,

volume akar, dan luas daun bibit tebu jika dibandingkan

dengan kontrol (tanpa bahan organik).

2. Perlakuan urin sapi perah 50 %, urin sapi perah 75 %,

ekstrak kecambah kacang hijau 25 %, ekstrak kecambah

kacang hijau 50 %, dan ekstrak kecambah kacang hijau 75

% memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan

perlakuan tanpa bahan organik pada semua variabel

pertumbuhan bibit bibit tebu.

3. Konsentrasi air kelapa muda yang optimum bagi

pertumbuhan bibit bibit tebu adalah sekitar 39,80 % dan

konsentrasi urin sapi perah yang optimum bagi

pertumbuhan bibit bibit tebu adalah sekitar 34,44 %.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

interval pemberian bahan organik sebagai sumber zat

pengatur tumbuh alami yang efektif bagi pertumbuhan

bibit tebu.

88

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

kandungan zat pengatur tumbuh alami yang terdapat dalam

bahan organik.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

pengaruh macam dan konsentrasi bahan organik sebagai

sumber zat pengatur tumbuh alami pada umur tebu yang

lebih lama.

89

DAFTAR PUSTAKA

Abdian dan Murniati. 2007. Pemanfaatan urin sapi pada setekbatang tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). JurnalSains dan Teknologi 6: 1-8.

Abidin, Z. 1985. Dasar–Dasar Pengetahuan tentang ZatPengatur Tumbuh. Angkasa Raya, Bandung.

Ahira, A. 2009. Berkenalan dengan Tanaman Tebu.<http://www.anneahira.com/tanaman-tebu.htm>. Diaksespada tanggal 22 November 2012.

Amilah, Astuti Y. 2006. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Taogedan Kacang Hijau pada Media Vacin dan Went (VW)terhadap Pertumbuhan Kecambah Anggrek Bulan(Phalaenopsis amabilis L.).<http://www.scribd.com/doc/25831070/PengaruhKonsentrasiEkstrak-Taoge>. Diakses pada tanggal 6April 2013.

Anonim. 2002. Aplikasi Unit Percontohan Agribisnis Terpadudi Lahan Pasirpinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DinasPertanian Tanaman Pangan Propinsi DIY dengan FakultasPertanian UGM, Yogyakarta.

Anonim. 2005. Bercocok Tanam di Lahan Berpasir.<http://eprints.uny.ac.id/8190/2/bab%201%20-%2005308141009.pdf>. Diakses pada tanggal 2 April2013.

Anonim. 2008. Konsep Peningkatan Rendeman Tebu untukMendukung Proses Akselerasi Industri Gula Nasional.<http://p3gi.net/images/opini/Konsep%20Peningkatan%Rendemen.pdf>. Diakses tanggal 2 Oktober 2012.

Anwaruddin, M. J., N. L. P. Indrayani, S. Hardianti, dan E.Mansyah. 1996. Pengaruh konsentrasi asam giberelat dan

90

lama perendaman terhadap perkecambahan dan pertumbuhanbiji manggis. Jurnal Hortikultura 6: 1-5.

Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia.Economic Review.

Astawan, M. 2005. Kacang Hijau, Antioksidan yang MembantuKesuburan Pria.<http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_kacanghijau.php>. Diakses pada tanggal 6 April 2013.

BMKG. 2013. Data Meteorologi Harian dari PengamatanSinoptik di Stasiun Geofisika Yogyakarta. BadanMeteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Yogyakarta.

Buckman, H. O. dan N. Brasy. 1982. Ilmu Tanah. Bharatakarya Aksara, Jakarta.

Danarto. 2008. Urin Sapi, Potensi yang Terbuang. ArtikelMajalah TROBOS edisi Oktober. PT Permata WacanaLestari, Jakarta.

Darmawijaya, M. I. 1980. Klasifikasi Tanah. BalaiPenelitian Teh dan Kina, Gambung.

Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan. 2012.<http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/artikel/detailartikel/245>. Diakses padatanggal 3 April 2013.

Djamal, A. 2012. Pembuatan Produk Hormon Tumbuhan Komersialdan Pemanfaatan Hormon untuk Berbagai Tujuan.<http://www.jasakonsultan.com/pembuatan-product-hormon-tumbuhan-komersial-dan-pemanfaatan-hormon-untuk-berbagai-tujuan>. Diakses pada tanggal 5 April2013.

Djamhari, S. 2010. Memecah dormansi rimpang temulawak(Curcuma xanthorriza R.) menggunakan larutan atonik danstimulasi perakaran dengan aplikasi auksin. JurnalSains dan Teknologi Indonesia 12: 66-70.

91

Dukes, H. H. 1955. The Physiology of Domestic Animal. ComstockPublishing Associates, New York.

Dwidjoseputro, D. 1989. Pengantar Fisiologi Tumbuhan.Gramedia, Jakarta.

Elawad, S. H., L. H. Allen Jr., and G. J. Gascho. 1982.Response of sugarcane to silicate source and rate: I. Growth and yield. II.Leaf freckling and nutrition. Agronomy Journal 74: 481-484.

Fauzi, A., Y. Sugito, dan S. Soekartomo. 2003. Pengaruhkonsentrasi air kelapa dan nomor ruas terhadappertumbuhan stek kopi arabika Robusta (HEVAII). JurnalHabitat 14: 108-114.

Gardner, F. P., R. B. Pearce, dan R. L. Mitchell. 1991.Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press, Jakarta.

George, E. F. dan P. D. Sherington. 1984. Plant Propagation byTissue Culture. Exegetis Limited, England.

Grimwood, B. E. 1975. Coconut Pala Product, Food, and Agriculture.Organization of the United Nation, Roma.

Gunadi, S. 2002. Teknologi pemanfaatan lahan marginalkawasan pesisir. Jurnal Teknologi Lingkungan 3: 232-236.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Harsanto, B. 1997. Pengaruh pemberian hara NPK dan airkelapa dalam memacu pertumbuhan bibit lada perdu (Pipernigrum L.). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian,Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartmann, H. T. and Kester F. D. 1975. Plant PropagationPrinciples and Practice. Eagle Wood Cliffs, New Jersey.

Heddy, Suwasono. 1989. Hormon Tumbuhan. Rajawali, Jakarta.

Hunt, R. 1978. Plant Growth Analysis. Edward Arnold, London.92

Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air, danTanaman. IKIP Semarang Press, Semarang.

James. 2004. Sugarcane Second Edition. Blackwell Publishing Company,England.

Katuuk, J. R. P. 2000. Aplikasi mikropropagasianggrek macan (Grammatohyllum sciptum) denganmenggunakan air kelapa. Jurnal Penelitian IKIP Manado1: 290-298.

Kertonegoro, B. A., Dja’far, Sulakhudin., dan Ai Dariah.2009. Optimalisasi Lahan Pasir Pantai Bugel.<http://tanahdanlingkungan.blogspot.com/2009/05/optimalisasi-lahan-pasir-pantai-bugel.html>. Diakses tanggal14 November 2012.

Kevin B., K. Dean, and E. Riechers. 2007. Recent developmentsin auxin biology and new opportunities for auxinic herbicide research.Pesticide Biochemistry and Physiology 89 : 1-11.

Kikky. 2012. Fungsi Hormon Auksin, Sitokinin, Giberelin,dan Asam Absisat.<http://rumahhujau.wordpress.com/2012/05/08/fungsi-hormone-auksin-sitokinin-giberelin-dan-asam-absisat/>.Diakses pada tanggal 2 April 2013.

Kristina, N. N. dan S. F. Syahid. 2012. Pengaruh air kelapaterhadap multiplikasi tunas in vitro, produksirimpang, dan kandungan xanthorrhizol temulawak dilapangan. Jurnal Littri 18: 125-134.

Kuntohartono, T. 1982. Pedoman Budidaya Tebu Lahan Kering.Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta.

Kusumo, S. S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PTSoeroengan, Jakarta.

Lakitan, B. 1995. Fisiologi Pertumbuhan dan PerkembanganTanaman. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

93

Leopold, A. L. 1955. Auxins and Plant Growth. University of CaliforniaPress, Barkeley, Los Angeles.

Lukito, A. 2008. Tebu–Sugarcane.<http://arluki.wordpress.com/2008/10/14/tebu-sugarcane/>. Diakses 23 Juli 2013.

Mahanani, Ayu. 2003. Pengaruh Macam Sumber ZPT Alami danFrekuensi Pemberiannya terhadap Pertumbuhan dan HasilKentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Granola.

Mandang, J. P. 1993. Peranan air kelapa dalam kulturjaringan tanaman krisan (Chrysanthemum morifolium RAMAT).Disertasi. Program Pascasarjana, Institut PertanianBogor, Bogor.

Murniati dan E. Zuhry. 2002. Peranan giberelin terhadapperkecambahan benih kopi robusta tanpa kulit. JurnalSAGU 1: 1-5.

Murniati, E. Elita, dan F. Silvina. 2007. Aplikasi organtanaman sebagai sumber giberelin untuk mengaktifkantunas dorman batang nenas bagian tengah. Jurnal SAGU1: 6-9.

Nadia. 2012. Tebu.<http://xa.yimg.com/kq/groups/25896088/44199564/name/Tebu.doc>. Diakses pada tanggal 21 November 2012.

P3GI. 2008. Deskripsi Tebu Varietas Kidang Kencana. PusatPenelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan.

Plantamor. 2012. Informasi Spesies Tomat.<http://www.plantamor.com/index.php?plant= 1165>.Diakses pada tanggal 21 November 2012.

Pramudihasan, A. 2012. Peran Hormon (Auksin, Giberelin,Sitokinin, Asam Absisat, Gas Etilen, dan Kalin) padaPertumbuhan.<http://aghnanisme.blogspot.com/2012/08/peran-hormon-

94

auksin-giberlin-sitokinin.html>. Diakses pada tanggal2 April 2013.

Prawoto, A. A. dan G. Suprijadji. 1992. Kandungan hormondalam air seni beberapa jenis ternak. PelitaPerkebunan 7: 79-84.

Putri, Renata S., Junaidi T. Nurhidayati, Wiwit Budi W.2010. Uji ketahanan tanaman tebu hasil persilangan(Saccharum spp. hybrid) pada kondisi lingkungan cekamangaram (NaCl). Tesis. Institut Teknologi SepuluhNopember, Surabaya.

Rajiman. 2012. Pengelolaan Lahan Pasir Pantai.<http://stppyogyakarta.com/wp-content/uploads/2012/08/4-PENGELOLAAN-LAHAN-PASIR-PANTAI-Rajiman.pdf>. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012.

Rineksane, I. A. 2000. Perbanyakan tanaman manggis secarain vitro dengan perlakuan kadar BAP, air kelapa, danarang aktif. Tesis. Jurusan Budidaya Pertanian,Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Rismunandar. 1992. Hormon Tanaman dan Ternak. PenebarSwadaya, Jakarta.

Rogomulyo, R. 1992. Pengaruh IBA pada Setek Tanaman Nilam(Pogostemon cablin Benth). Fakultas Pertanian,Yogyakarta.

Salisbury, Frank B. dan Cleon W. Ross. 1992. FisiologiTumbuhan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Salisbury, Frank B. dan Cleon W. Ross. 1995. FisiologiTumbuhan, Perkembangan Tumbuhan, dan FisiologiLingkungan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Sandra, Edhi. 2011. Hormon dan Pertumbuhan Tanaman.<http://eshaflora.blogspot.com/2011/04/hormon-dan-pertumbuhan-tanaman.html?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Fee

95

d%3A+KulturJaringanEshaFlora+%28Kultur+Jaringan+Esha+Flora%29>. Diakses padatanggal 5 April 2013.

Savitri, S. V. H. 2005. Induksi akar stek batang SambungNyawa (Gynura drocumbens (Lour) Merr.) menggunakan airkelapa. Skripsi. Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sauer, T. J., T. C. Daniel, P. A. More, K. P. Coffey, D. J.Nicholas, and C. P. West. 1999. Poultry litter and grazinganimal waste effects on runoff water quality. Journal of EnvironmentalQuality 28: 860-865.

Septiningsih, E. 2007. Peningkatan produktivitas tanahpasir untuk pertumbuhan tanaman kedelai denganinokulasi mikorhiza dan rhizobium. BIOMA 2: 58 – 61.

Shahab, S., N. Ahmed, and N. S. Khan. 2009. Indole acetic acidproduction and enhanced plant growth promotion by indigenous PSBs.African Journal of Agricultural Research 4: 1312-1316.

Siradz, S. A. dan S. Kabirun. 2007. Pengembangan lahanmarginal pesisir pantai dengan bioteknologi masukanrendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 83-92.

Slem. 2010. Hormon Tumbuhan.<http://slemgaul.wordpress.com/2010/12/03/hormon-tumbuhan/>. Diakses pada tanggal 3 April 2013.

Soepardiman. 1996. Bercocok Tanam Tebu. LPP, Yogyakarta.

Soeprapto, H. S. 1992. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sriyanti, D. H. 2000. Pembibitan Anggrek dalam Botol.Kanisius, Yogyakarta.

Sudiatso, S. 1983. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi.Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

96

Supriadji, G. 1985. Air kemih sapi sebagai perangsang setekkopi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 7:11-12.

Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu Liku-Liku Permasalahannya. Kanisius, Jakarta.

Sutardjo, E. R. M. 2002. Budidaya Tanaman Tebu. BumiAksara, Jakarta.

Sutejo, M. M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta,Jakarta.

Taiganides, E. P. 1978. Animal Waste Management and Waste WaterTreatment. Elsevler Science Publisher B. V., Amsterdam.

Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiology. Sinnuer Associates,Massachuset.

Tanner, C. D. 1968. Evapotranspiration of Water from Plant and Soil.Academic Press, New York.

USDA. 2009. Proteins and Nutrients from Other Beneficial Legumes (Beans):Mung Beans, Mature Seeds, Raw.<http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl>. Diakses pada tanggal 6 April 2013.

Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. PAUIPB dan Sumberdaya Informasi IPB, Bogor.

Wattimena, G. A., Dinarti D., Rahayu M. S., and Dahniar N.2003. Preliminary Study on the Effect of Coconut Water and Aspirin onIn Vitro Conservation of Sweet Potato (Ipomoea batatas L.) cv.Sukuh. Organized Jointly by Departement of Agronomy, Faculty ofAgriculture Bogor Agricultural University and International Potato CenterRegional Officer far East Asia and the Pacific (CIP-ESEAP), Bogor.

Widiastoety, D., S. Kusumo, dan Syafni. 1997. Pengaruhtingkat ketuaan air kelapa dan jenis kelapa terhadappertumbuhan plantet anggrek Dendrobium. JurnalHortikultura 7: 768-772.

97

Widyastuti, N. dan D. Tjokrokusumo. 2007. Peranan beberapazat pengatur tumbuh tanaman pada kultur in vitro.Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia 3: 55-63.

Wilkins, Malmcom B. 1989. Fisiologi Tanaman. Bina Aksara,

Jakarta.

William, D., A. Teale, I. Paponov, and K. Palme. 2006. Auxinin action: signalling, transport and the control of plant growth anddevelopment. Journal of Molecular Cell Biology 7: 847-859.

Yong, J. W. H., Ge L., dan Y. F. Ng. 2009. The ChemicalComposition and Biological Properties of Coconut (Cocos nucifera L.)Water. Natural Sciences and Science Education Academic Group,Nanyang Technological University, I Nanyang Walk, Singapore.

Yuwono, N. W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahanmarginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 137-141.

Zamroni dan Darini. 2009. Pengaruh Zat Pengatur TumbuhAlami dan Defoliasi Daun pada Pertumbuhan Setek CabeJamu. Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa,Yogyakarta.

Zhao, Y. 2010. Auxin biosynthesis and its role in plant development. Annu.Rev. Plant Biol. 61: 49-64.

98