BIBIT KRISAN (Dendranthema grandiflorum Kitam.) BEBAS ...

40
i LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING PERGURUAN TINGGI XVIII/2 TAHUN ANGGARAN 2011 PENYEDIAAN METODE SEROLOGI UNTUK SERTIFIKASI BIBIT KRISAN (Dendranthema grandiflorum Kitam.) BEBAS CHRYSANTHEMUM B CARLAVIRUS (CVB) Dr. Dr. Dr. Dr. Ir. I GEDE RAI MAY Ir. I GEDE RAI MAY Ir. I GEDE RAI MAY Ir. I GEDE RAI MAYA TEMAJA, MP TEMAJA, MP TEMAJA, MP TEMAJA, MP. Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS. Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS. Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS. Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS. Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc. Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc. Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc. Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc. Dibiayai dari Dana DIPA PNBP Universitas Udayana Tahun Anggaran 2011 dengan Surat Perjanjian Kontrak Nomor : 1696.A.10/UN14/KU.03.04/PERJANJIAN/2011, Tanggal 11 Mei 2011 FAKUL FAKUL FAKUL FAKULTAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI TAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI TAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI TAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR DENPASAR DENPASAR DENPASAR

Transcript of BIBIT KRISAN (Dendranthema grandiflorum Kitam.) BEBAS ...

i

LAPORAN PENELITIAN

HIBAH BERSAING PERGURUAN TINGGI XVIII/2

TAHUN ANGGARAN 2011

PENYEDIAAN METODE SEROLOGI UNTUK SERTIFIKASI BIBIT KRISAN (Dendranthema grandiflorum Kitam.) BEBAS CHRYSANTHEMUM B CARLAVIRUS (CVB)

Dr. Dr. Dr. Dr. Ir. I GEDE RAI MAYIr. I GEDE RAI MAYIr. I GEDE RAI MAYIr. I GEDE RAI MAYAAAA TEMAJA, MPTEMAJA, MPTEMAJA, MPTEMAJA, MP.... Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS.Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS.Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS.Prof. Dr. Ir. MADE SUDANA, MS. Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc.Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc.Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc.Dr. Ir. GEDE SUASTIKA, MSc.

Dibiayai dari Dana DIPA PNBP Universitas Udayana Tahun Anggaran 2011 dengan Surat Perjanjian Kontrak Nomor : 1696.A.10/UN14/KU.03.04/PERJANJIAN/2011,

Tanggal 11 Mei 2011

FAKULFAKULFAKULFAKULTAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGITAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGITAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGITAS PERTANIAN/PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASARDENPASARDENPASARDENPASAR

ii

HALAMAN PENGESAHAN

A. Judul Penelitian: Penyediaan Metode Serologi Untuk Sertifikasi Bibit Krisan

(Dendranthema grandiflorum Kitam.) Bebas Chrysanthemum B

Carlavirus (CVB)

B. Ketua Peneliti

a) Nama lengkap : Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP.

b) Jenis kelamin : Laki-laki

c) Bidang keahlian : Fitopatologi

d) Pangkat/Golongan/NIP : Pembina Tk.I/IVb/19621009 198803 1 002

e) Unit kerja : Fakultas Pertanian Uniersitas Udayana

C. Tim peneliti

No Nama dan Gelar

Akademik

Bidang

Keahlian

Instansi Alokasi Waktu

(Jam/Minggu)

1 Dr. Ir. I Gede Rai

Maya Temaja, MP.

Fitopatologi Fak. Pertanian UNUD 18

2 Prof.Dr.Ir.Made

Sudana, MS.

Bioteknologi Fak. Pertanian UNUD 10

3 Dr. Ir. Gede Suastika,

M.Sc.

Virologi Fak. Pertanian IPB 18

D. Pendanaan dan jangka waktu penelitian

Jangka waktu penelitian yang diusulkan : 2 (dua) tahun

Biaya total yang diusulkan : Rp. 79.880.000,-

Biaya yang disetujui tahun II : Rp. 46.000.000,-

Denpasar, 27 Oktober 2011

Mengetahui Ketua Peneliti,

Dekan Fakultas Pertanian UNUD,

(Prof.Dr.Ir. I Nyoman Rai, MS) ( Dr. Ir. I Gede Rai Maya Temaja, MP)

NIP : 19630515 198803 1 001 NIP : 19621009 198803 1 002

Menyetujui

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Universitas Udayana

(Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT.)

NIP. 19640717 198903 1 001

iii

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN

RINGKASAN

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) merupakan penyakit utama pada tanaman

krisan. Gejala yang ditimbulkan bervariasi dan sangat tergantung pada kultivar dan kondisi

lingkungan. Krisan terinfeksi CVB menunjukkan variasi gejala dari belang (mottle) ringan,

pemucatan tulang daun (vein-clearing) dan mosaik (mosaic) ringan pada daun; dan pecah

warna (color breaking) pada bunga. Penyakit ini terutama ditularkan melalui bahan

perbanyakan vegetatif tanaman, yaitu stek pucuk yang diambil dari tanaman induk

terinfeksi.

Dalam perdagangan internasional, sertifikasi bahan tanaman krisan bebas virus

adalah mutlak. Bahan tanaman krisan tersertifikasi untuk ekspor harus memenuhi

peraturan phytosanitary negara-negara pengimpor, terutama berkaitan dengan salah satu

organisme pengganggu tanaman karantina. Produksi tanaman krisan sehat membutuhkan

skrining bebas CVB untuk bahan tanaman krisan sebelum dipindahkan dari suatu negara

ke negara lainnya. Petunjuk sertiikasi krisan bebas CVB merekomendasikan infeksi CVB

dideterminasi dengan ELISA (serologi).

Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan mengidentifikasi

virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik seperti antiserum dengan

kualitas yang baik. Oleh sebab itu pada penelitian ini akan dilakukan kajian serologi CVB,

meliputi produksi antiserum dan pengujian metode serologi untuk deteksi sampel. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat antigenik siapan murni CVB isolat Indonesia

melalui immunisasi pada hewan mamalia dan menyediakan metode deteksi CVB berbasis

antiserum yang dapat digunakan untuk keperluan sertifikasi bibit krisan bebas virus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa imunisasi marmut menggunakan 150 µg

CVB murni dapat menghasilkan antiserum rata-rata 10,75 ml/ekor. Dengan metode

ELISA didapatkan bahwa titer antiserum tidak diserap, diserap dengan sap Nicotiana

benthamiana sehat dan antiserum murni adalah masing-masing 1/50.000, 1/50.000, dan

1/100.000.

Spesifisitas reaksi antiserum ditentukan dengan analisis Western blot dan

Immunosorbent electron microscopy (ISEM). Antiserum dengan pengenceran 1:1000

mampu mengkonfirmasi protein selubung CVB dengan ukuran pita sekitar 34 kDa, sesuai

dengan berat molekul protein selubung CVB yang digunakan untuk imunisasi pada

iv

hewan percobaan. Antiserum memberikan hasil dekorasi yang baik pada partikel CVB

yang diamati dibawah mikroskop elektron dengan metode ISEM.

Reaktivitas antiserum pada deteksi serologi diuji dengan I-ELISA dan TBIA.

Mendeteksi CVB dengan ELISA menunjukkan sensitifitas yang cukup tinggi dan virus

masih terdeteksi pada pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi 1/256. Pengenceran

sampel cairan perasan tanaman terinfeksi 1/16 menunjukkan reaksi yang kuat sampai pada

pengenceran antiserum 1000 kali dan masih menunjukkan reaksi positif sampai pada

pengenceran antiserum 100.000. Pada uji TBIA, reaksi positif masih nampak pada

pengenceran antiserum 10.000 kali. TBIA lebih menguntungkan dibandingkan dengan

teknik ELISA. Metode TBIA lebih mudah dan cepat, biayanya lebih murah karena hanya

diperlukan reagen yang lebih sedikit dan dapat menguji sampel lebih banyak. Metode ini

juga memungkinkan penyiapan (blotting) sampel dilakukan di lapangan, tanpa membawa

sampel ke laboratorium.

v

SUMMARY

Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) is important disease of the florist’s

chrysanthemum. The symptoms of CVB disease was variable and are highly depend on

both of cultivar and environmental conditions. Infected chrysanthemum of CVB exhibited

a variety of symptoms ranging from mild mottle, vein-clearing and mild mosaic of leaves;

and color breaking of flowers. The disease is mainly transmitted by propagation, when

cuttings have been taken from infected mother plants.

In international trade, certification of virus-free chrysanthemum material is

absolutely essential. Certified chrysanthemum materials for export should in any case

satisfy the phytosanitary regulation of importing countries, especially respect to any of the

pathogens quarantine pests. Production of healthy plants of chrysanthemum demands the

screening of chrysanthemum materials for CVB before they can be transported from one

country to another. Guidelines for CVB in a certification scheme recomended that CVB

infection checked by ELISA (serology).

The success and accuracy of serological techniques to detect and identify viruses is

dependent on the availability of diagnostic reagents such as antibody with good quality.

Therefore in this study will be conducted serological studies of CVB, including antibody

production and examination of serological methods for sampel detection. The objective of

this study is to determine the antigenic characteristics of pure preparations of CVB

Indonesian isolates through immunization in mammals and provide an antibody-based

detection method that can used for certification of chrysanthemum virus-free.

The result showed that guinea pig immunization using 150 µg of purified virus was

able to produce 10.75 ml of antiserum. Using ELISA, the titre of crude antiserum,

antiserum absorbed by healthy Nicotiana benthamiana sap, and of purified antiserum was

1/50.000, 1/50.000, and 1/100.000 respectively.

Specificity of antiserum was determined by Western blot and immunosorbent

electron microscopy (ISEM) analysis. Antiserum dilution 1:1000 able to confirm the CVB

coat protein which molecular weight around 34 kDa, corresponding to the molecular

weight of CVB coat protein that used for immunization in animal experiments. Antiserum

gave good results decoration on CVB particles were observed under the electron

microscope by ISEM.

Antiserum reactivity in the serological detection tested using I-ELISA and TBIA

methods. Detecting by ELISA showed a fairly high sensitivity and the virus is still

vi

detectable at sap of infected plant dilutions 1/256. Sap of infected plant dilutions 1/16

showed a strong reaction to the antiserum dilution 1/1000 and still showed a positive

reaction to the antiserum dilution 1/100 000. In TBIA test, positive reaction was still

visible at antiserum dilution 1/10 000 times. TBIA more profitable than the ELISA

technique. TBIA prosedure is easier, faster, and less cost than ELISA. This method also

allows the samples blotting were conducted in the field, without bringing to the laboratory.

vii

PRAKATA

Krisan (Dendranthema grandiflorum Kitam.) merupakan salah satu jenis tanaman

hias bunga yang sangat diminati dan memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi di

Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah, baik itu pasar domestik maupun

ekspor. Kendala utama yang dihadapi petani dan pengusaha krisan adalah serangan

chrysanthemum B carlavirus (CVB) yang seringkali menjadi ganjalan ekspor bahan

tananam krisan, karena negara-negara pengimpor krisan mensyaratkan semua bahan

tanaman krisan yang diekspor harus sudah disertifikasi bebas CVB. Kendala ini semata-

mata muncul karena belum tersedianya metode deteksi yang handal untuk patogen ini.

Perlu dikaji metode deteksi CVB berbasis serologi yang memenuhi persyaratan sensitif,

massal dan ekonomis sehingga dapat diterapkan untuk pemenuhan kebutuhan sertifikasi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,

Kementerian Pendidikan Nasional dan Rektor Universitas Udayana yang telah berkenan

memberikan dukungan dana penelitian untuk melakukan kajian penyediaan metode

serologi untuk sertifikasi bibit krisan bebas CVB. Penulis berharap keluaran penelitian ini

bermanfaat dalam program sertifikasi bibit krisan di Indonesia; sebagai perangkat

penunjang yang handal dalam menjalankan peraturan karantina internasional untuk

mencegah masuknya CVB isolat luar negeri yang mungkin terbawa dalam bahan tanaman

krisan yang diimpor ke dalam wilayah Indonesia; dan sebagai sumbangan pada

pengkayaan ilmu pengetahuan.

Denpasar, Oktober 2011

Ketua Pelaksana Kegiatan

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii

A. LAPORAN HASIL PENELITIAN ............................................................. iii

RINGKASAN ............................................................................................... iii

SUMMARY .................................................................................................. v

PRAKATA ................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ........................................... 2

III. STUDI PUSTAKA ................................................................................. 3

IV. METODE PENELITIAN ....................................................................... 8

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 15

VI. KESIMPULAN ...................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 29

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Hasil pemurnian virus dengan pemisahan virus melalui ultrasenrifugasi

dengan gradien kepekatan sesium sulfat ....................................................

15

2. Profil spektrofotometri siapan virus murni ................................................... 16

3. Jumlah tanaman N. benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White

Burley, N. tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C.

quinoa yang menunjukkan titer virus tinggi ................................................

17

4. Bentuk partikel CVB pada mikroskop elektron ........................................... 18

5. Hasil analisis SDS-PAGE (A) dan Western blot (B) protein selubung CVB

isolat Indonesia .............................................................................................

19

6. Nilai absorbansi antiserum pada panjang gelombang 280 ........................... 20

7. Titer antiserum tidak diserap (As K), antserum diserap (As S) dan

antiserum murni (As M) berdasarkan ELISA. I .........................................

22

8. Nilai absorbansi antiserum tidak diserap, diserap dan antiserum murni

pada uji ELISA terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi (Cianjur,

Medan, Malang dan Bali) ............................................................................

23

9. Hasil analisis western blot protein selubung CVB menggunakan

antiserum yang diproduksi ..........................................................................

24

10. Partikel CVB pada pengamatan dengan mikroskop elektron ..................... 24

11. Reaktivitas antiserum pada pengenceran 1/100, 1/500, 1/1000, 1/5000

dan 1/10.000 terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi pada uji serologi

dengan TBIA ................................................................................................

26

12. Deteksi serologis CVB pada tanaman krisan dengan teknik TBIA dengan

pengenceran antiserum 1/10.000 ................................................................

27

1

I. PENDAHULUAN

Krisan (Dendranthema grandiflorum Kitam.) adalah salah satu jenis bunga yang

banyak diminati oleh masyarakat dunia karena daya tarik warna, bentuk, dan ukurannya

yang beranekaragam. Di Indonesia, krisan banyak dibudidayakan oleh petani dalam skala

kecil maupun dalam skala besar oleh perusahaan agribisnis terutama di daerah sejuk seperti

Bogor, Bandung, Sumatera Utara dan daerah lain. Disamping untuk memenuhi kebutuhan

dalam negeri, krisan diproduksi terutama untuk memenuhi kebutuhan luar negeri seperti

negara-negara Eropa, Jepang, dan negara Asia lainnya. Ekspor bisa dalam bentuk bunga

potong, tetapi yang lebih banyak adalah ekspor dalam bentuk stek batang (PT. Saung

Mirwan, komunikasi pribadi).

Dalam budidaya tanaman krisan, banyak kendala yang dihadapi oleh para petani

dan pengusaha. Salah satu kendala tersebut adalah serangan chrysanthemum B Carlavirus

(CVB) (Verma et al. 2003). Infeksi CVB pada tanaman krisan dapat bermanifestasi dalam

berbagai gejala. Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (stunting) dengan perakaran

yang terbatas. Daun-daun berukuran kecil dan berwarna hijau pucat. Kandungan

anthocyanin pada batang sangat rendah. Pembungaan lebih cepat (beberapa hari)

dibandingkan dengan yang sehat. Bunga yang dihasilkan berukuran sangat kecil dengan

warna lebih pudar. Akibat infeksi virus yang sangat fatal ini mendorong negara-negara

pengimpor krisan menerapkan peraturan Karantina Internasional secara ketat.

Implikasinya adalah semua bahan tanaman krisan yang diekspor harus sudah disertifikasi

bebas CVB.

Indonesia yang mempunyai potensi luar biasa dalam mengembangkan produksi

krisan seringkali terganjal ekspornya akibat keberadaan CVB dalam jaringan tanaman (PT.

Saung Mirwan, komunikasi pribadi). Kendala ini semata-mata muncul karena belum

tersedianya metode deteksi CVB yang handal yang dapat digunakan dalam sertifikasi.

Metode berbasis serologi yang akan dikembangkan dalam penelitian ini diharapkan dapat

menjawab kebutuhan yang sangat urgen ini.

2

II. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

2.1 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sifat antigenik siapan murni CVB isolat

Indonesia melalui immunisasi pada hewan mamalia dan menyediakan metode deteksi CVB

berbasis antiserum yang dapat digunakan untuk keperluan sertifikasi bibit krisan bebas

virus.

2.2 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pengkayaan

ilmu pengetahuan dan teknologi antara lain melalui penyediaan metode deteksi CVB

secara serologis yang handal dan dapat diterapkan dalam program sertifikasi bibit

krisan di Indonesia. Metode deteksi CVB yang akan dikembangkan dalam penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai perangkat penunjang yang handal dalam menjalankan

peraturan karantina internasional, yakni mencegah masuknya CVB isolat luar negeri yang

mungkin terbawa dalam bahan tanaman krisan yang diimpor ke dalam wilayah Indonesia.

Demikian juga sebaliknya dapat mencegah peristiwa ditolaknya ekspor bibit krisan

Indonesia karena sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan/deteksi yang memadai melalui

metode serologi yang akan dihasilkan dalam penelitian ini. Sumbangan pada pengkayaan

ilmu pengetahuan yang lain adalah publikasi hasil penelitian yang diusulkan pada jurnal

ilmiah nasional maupun internasional.

3

III. STUDI PUSTAKA

3.1 Kisaran Inang dan Gejala Infeksi CVB

Chrysanthemum B carlavirus (CVB), atau nama lainnya adalah chrysanthemum

mild mosaic virus, chrysanthemum virus B, chrysanthemum Q virus, chrysanthemum dwarf

mottle, chrysanthemum necrotic mottle, gynura latent virus, dan chrysanthemum vein

mottle virus adalah virus dari genus carlavirus (Hollings & Stone, 1972; Hakkart & Maat,

1974).

CVB mempunyai kisaran inang yang sempit, menginfeksi tanaman krisan dan

sekitar 10 spesies pada 5 famili dikotiledon (Hollings, 1957). Pada penelitian Verma et al.

(2003), dari 22 spesies tanaman yang diinokulasi untuk uji kisaran inang, hanya 5 spesies

yang terinfeksi, yaitu Nicotiana clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, Petunia hybrida dan

Vicia faba. Sedangkan penelitian Suastika et al. (1997) menemukan bahwa CVB mampu

menginfeksi tanaman G. savateri, N. clevelandii, N. benthamiana, N. occidentalis, Petunia

hybrida, Helichrysum bracteatum, Zinnia elegans, Chenopodium amaranticolor, C. quinoa,

Sesamum indicum dan Tetragonia expansa. Sedangkan 13 spesies tanaman lainnya dari 7

famili yang diuji, tidak terinfeksi.

Moran (1987) melaporkan bahwa beberapa spesies tanaman yang sesuai untuk

penyebaran CVB antara lain Aster amellus, Chrysanthemum carinatum, C. morifolium, N.

clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, N. affinis. Sedangkan yang bukan inang CVB antara

laian Datura stramonium, C. amaranticolor, C. quinoa, Gompphera globosa, Capsicum

annuum, Cucumis sativus, Licopersicon esculentum.

Walaupun memiliki inang yang terbatas, tetapi dilaporkan CVB tersebar pada

pertanaman krisan di seluruh dunia. Infeksi virus ini pada tanaman krisan menyebabkan

perubahan fisiologi tanaman, yang berakibat gejala motling daun atau vein-clearing yang

sangat mild pada beberapa kultivar, dapat juga berkembang gejala brown necrotic streak.

Namun demikian tidak jarang kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala

(symptomless) (Hollings & Stone, 1972). Beberapa varietas terinfeksi menunjukkan

penurunan kualitas bunga dibandingkan dengan tanaman yang bebas virus. Penurunan

kualitas bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi warna mahkota bunga terputus-

putus (flower breaks), mengalami distorsi dan kerdil. Kadang-kadang pada krisan

terinfeksi CVB berkembang brown necrotic streaks pada floret (Hollings & Stones, 1972;

Moran, 1987).

4

Survey Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan bahwa

tanaman krisan diserang CVB dengan gejala vein banding, mosaic, mottling, dan vein

clearing yang lemah. Pada tanaman dengan daun menunjukkan gejala mosaic yang keras,

bunganya juga mengalami malformasi.

3.2 Penularan CVB

Semua anggota genus Carlavirus diketahui dapat ditularkan secara mekanis, dan

sebagian besar juga ditularkan secara non persisten melalui kutudaun (Foster, 1992),

walaupun ada yang ditularkan oleh kutu kebul (Bemisia tabaci) yaitu cowpea mild mottle

virus (CPMMV) (Badge et al.1996; Hull, 2002). CPMMV juga dapat ditularkan melalui

benih, seperti halnya pea strike virus (PeSV) dan red clover vein mosaic virus (RCVMV)

(Hull, 2002).

CVB bisa ditularkan secara non persisten oleh kutudaun, melalui penyambungan

dan secara mekanik dengan cairan perasan tanaman sakit, tetapi tidak dapat ditularkan

melalui kontak antar tanaman dan melalui benih. Di lapangan virus ini dapat ditularkan

oleh kutudaun Myzus persicae, Macrosiphum euphorbiae, Aulacorthum solani, Coloradoa

rufomaculata, dan Macrosiphoniella sanborni (Hollings & Stone, 1972; Moran, 1987).

Hollings & Stone (1972) melaporkan bahwa periode makan akuisisi kutudaun 30-

45 menit dan periode puasanya hingga 1 jam. Frekuensi penularan virus meningkat setelah

serangga dilaparkan 3 jam sebelum periode makan akuisisi.

3.3 Morfologi dan taksonomi CVB

CVB adalah virus yang mempunyai partikel berbentuk batang agak lurus dan

flexuous, dengan ukuran 680-685 nm x 12-13 nm. Partikel lebih lurus dan kelihatan kurang

flexuous dibandingkan Carnation latent virus, dan cenderung terputus-putus bila dilakukan

pengecatan dengan phosphotungstate (Hollings & Stone, 1972; Suastika et al. 1997; Foster,

1992; Verma et al. 2003).

Menurut Hull (2002), CVB termasuk ke dalam genus mengambang (floating

genera), karena genus-genus pada kelompok ini tidak bisa dimasukkan dalam famili.

Sampai saat ini ada 20 genus virus tanaman yang dimasukkan dalam floating genera ini

dengan karakterisasi mempunyai asam nukleat ribonukleat dalam bentuk utas tunggal

(single strand (ss) RNA) positive-sense dan tidak memenuhi syarat untuk dikelompokkan

pada familia tertentu.

5

Salah satu genus virus yang masuk dalam kelompok floating genera adalah

Carlavirus yang anggota jenisnya dicirikan dengan tipe Carnation latent virus (CLV),

mempunyai partikel bentuk batang agak flexuous dengan ukuran panjang 610-700 nm dan

diameter 12-15 nm. Virion mengandung molekul RNA tunggal linier dalam bentuk

positive-sense utas tunggal (positive-sense ssRNA), panjangnya 7,4-8,5 nm, dan memiliki

poly (A) pada ujung 3’. Asam nukleatnya diselubungi oleh coat protein tunggal dengan

berat 31-36 kDa (Hull, 2002; Lee et al. 2003; Zavriev et al. 1991; Foster, 1992; Lawrence

et al. 1995).

Lebih dari 35 spesies virus tergolong dalam genus Carlavirus, enam diantaranya

sudah dilaporkan sekuen lengkap nukleotidanya yaitu Actonitum latent virus (AcoLV),

Blueberry scorch virus (BlScV), Garlic latent virus (GarLV), Hop latent virus (HpLV),

Lily symptomless virus (LSV), dan Potato virus M (PVM) (Cohen et al. 2000; Chen et al.

2002; Fuji et al. 2002; Hataya et al. 2000; Zavriev et al. 1991). Beberapa spesies dari

carlavirus sudah disekuensing pada daerah terminal 3’nya, termasuk diantaranya PVS,

HeLVS, CLV, LSV, CVB, dan CPMMV (Badge et al. 1996; Foster & Mills, 1992).

Semuanya menunjukkan organisasi genom yang mirip, dengan kemiripan ukuran open

reading frame (ORF), dan tingkat homologi yang tinggi pada sekuen asam amino diantara

protein berkorespondensi.

RNA dengan poly A pada ujung 3’, memiliki 6 ORF yaitu ORF1 menyandi

polipeptida (223 kDa) yang merupakan replikase virus; ORF2 (25 kDa), ORF3 (12 kDa)

dan ORF4 (7 kDa) membentuk triple gene block (TGB) yang berperan dalam pergerakan

virus dari sel ke sel; ORF5 menyandi protein selubung (34 kDa) dan ORF6 (11-16 kDa)

menyandi protein cystein-rich yang belum diketahui fungsinya.

3.4 Identifikasi dan Deteksi CVB

Identifikasi virus secara biologis dapat dilakukan melalui uji kisaran inang dan

atau melalui uji hubungan virus dan serangga vektornya. Cara tersebut telah dilakukan

untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CVB (Hollings & Stones, 1972; Moran, 1987;

Ram et al. 2005; Verma et al. 2003; Suastika et al. 1997).

Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan ector y merupakan cara

lain dalam mengidentifikasi virus penyebab penyakit tumbuhan. Kegunaan yang lain dari

uji serologi ini adalah mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi

virus tumbuhan dalam tubuh serangga ector dan untuk mengetahui hubungan

kekerabatan antar virus (Agrios, 1997). Deteksi dan identifikasi secara serologi sudah

6

umum diaplikasikan untuk berbagai virus. Ada beberapa cara yang digunakan untuk

deteksi serologi antara lain ISEM, immunoflourescent staining (Hampton et al. 1990),

presipitasi dalam tabung, aglutinasi kloroplas, flokulasi lateks, gel double-diffusion test,

DIBA, immunoblotting atau western blotting, dan ELISA (Harlow & Lane 1999).

Metode serologi yang telah berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus

tumbuhan diantaranya yaitu metode DIBA digunakan untuk mendeteksi ZYMV

(Somowiyarjo et al. 1989). Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western

blotting untuk mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus.

Bentuk partikel TYLCV telah berhasil dideteksi dan diidentifikasi oleh Attathom et al.

(1990) dengan menggunakan metode ISEM. Deteksi partikel virus menggunakan

antiserum dengan metode Immune Electron Microscopy (IEM) dilakukan oleh Sharma et

al. (2005) terhadap virus Cucumber mosaic virus (CMV), Lily mottle virus (LmoV) dan

Lily symptomless virus (LSV) pada tanaman lily. Deteksi dengan metode

immunoflourescent staining juga telah berhasil dilakukan oleh Sudarshana et al. (1997)

untuk mengetahui dinamika pergerakan Bean dwarf mosaic geminivirus (BDMV) dari sel

ke sel pada Phaseolus vulgaris. Pengujian presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi

antara antigen dan antibodi telah berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk

mendeteksi Wheat streak mosaic tritimovirus (WSMV).

Deteksi CVB secara serologis menggunakan antiserum spesifik dilaporkan telah

dipakai untuk mendeteksi CVB pada tanaman krisan dengan metode double antibody

sandwich-enzyme linked immunosorbent assay (DAS-ELISA) (Ram et al. 2005; Verma et

al. 2003). Verma et al. (2003) juga menggunakan antiserum CVB untuk melihat partikel

virus pada kajian IEM. Pada tanaman Gymnaster savatieri antiserum CVB digunakan

untuk deteksi virus secara serologis dengan metode indirect-enzyme linked immunosorbent

assay (I-ELISA) dan untuk Immunosorbent electron microscopy (ISEM) (Suastika et al.

1997).

Sekarang ini, metode deteksi yang didasarkan pada analisis asam nukleat virus

mulai digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus. Sebagai contoh teknik

reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dengan menggunakan primer

terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi CMV, LmoV, LSV dan

Strawberry latent ringspot virus (SLRSV) pada tanaman lily (Sharma et al. 2005; Choi &

Ryu, 2003). Identifikasi molekuler dengan teknik RT-PCR juga telah digunakan untuk

mengkarakterisasi Daphne virus S (DVS) pada tanaman Daphne spp. (Lee et al. 2003);

Garlic Latent Virus (GarLV), Onion yellow dwarf virus (OYDV) dan Leek yellow stripe

7

virus (LYSV) pada tanaman bawang putih; Shallot yellow stripe virus (SYSV) pada

tanaman Allium fistulosum var. Caespitosum; dan LmoV pada tanaman lily (Chen et al.

2002).

Analisis asam nukleat CVB dengan teknik RT-PCR dilakukan oleh Levay dan

Zavriev pada tahun 1991. Ram et al. (2005) pada penelitiannya memproduksi tanaman

krisan bebas CVB menggunakan teknik RT-PCR untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi

CVB dari tanaman yang berbeda dan tempat yang berbeda.

Metode ELISA dan RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih

sensitif sebagai metode pendeteksi virus atau indexing, dibandingkan dengan kajian

biologis. Sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi pada kajian biologis, tetapi

menunjukkan hasil posistif dengan metode ELISA dan RT-PCR yang dapat mendeteksi

virus pada konsentrasi rendah (Ram et al. 2005).

8

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Perbanyakan Isolat CVB

Tanaman krisan terinfeksi CVB (diverifikasi melalui ELISA) yang telah dikoleksi

dari Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Hias di Segunung, Cianjur, Jawa Barat

digunakan sebagai bahan penelitian (sumber inokulum). Isolat CVB ini kemudian

diperbanyak pada tanaman tembakau (Nicotiana benthamiana). Bibit N. benthamiana

ditanam dari biji yang sehat. Tanaman umur tiga minggu diinokulasi secara mekanis

dengan cairan perasan tanaman N. benthamiana terinfeksi CVB. Sampel daun terinfeksi

digerus dan ditambahkan larutan bufer fosfat 0,01 M, pH 7,0 ditambahkan dengan

perbandingan 1 g daun per 5 ml larutan bufer fosfat (1:5 b/v). Cairan perasan inokulum ini

segera diinokulasikan ke bagian daun tanaman inang perbanyakan. Sebelum diinokulasi,

permukaan daun ditaburi dengan dioleskan karborundum 600 mesh, kemudian cairan

perasan inokulum dioleskan dengan cotton bud pada permukaan daun yang dilakukan

searah tulang daun tanpa digosok berlawanan arah. Setelah pengolesan inokulum,

dilakukan pembilasan sisa-sisa karborundum yang masih melekat pada permukaan daun

tanaman uji dengan akuades. Setelah 17 hari dari saat inokulasi, daun dan ranting

tanaman dipanen dan tunas-tunas yang tumbuh dibiarkan untuk dapat dipanen pada periode

panen berikutnya Daun dan ranting hasil panen digunakan sebagai bahan untuk pemurnian

virus.

4.2 Purifikasi CVB

Metode pemurnian CVB dilakukan sesuai dengan prosedur dari Foster (1998).

Daun tanaman N. benthamiana terinfeksi (200 g) digerus dan dibantu dengan penambahan

nitrogen cair. Serbuk hasil gerusan tersebut kemudian ditambah bufer borat 0,5 M, pH 7,8

(bufer borat 0,5M mengandung EDTA 0,005 M; driselase 0,5% w/v dan β-2

mercaptoethanol 1% v/v) dengan rasio 1:3 (w/v). Dipindahkan ke dalam gelas beaker dan

ditambahkan chloroform 15% (v/v), selanjutnya diaduk menggunakan mesin pengaduk

bermagnit (magnetic stirrer). Disentrifugasi pada 5000 g selama 20 menit (pada suhu 4oC).

Supernatan diambil ditambahkan polyethyleneglycol (PEG) 6% (w/v), diaduk pada 4oC

semalam. Ambil presipitat yang dihasilkan dengan sentrifugasi pada 10.000 g selama 15

menit dan diresuspensi pada bufer borat 0,5 M yang mengandung Triton X-100 0,5% (w/v).

Sentrifugasi pada kecepatan rendah (10.000 g selama 15 menit) dan pindahkan supernatan

9

ke tabung baru. Virus diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan tinggi (30.000 g

selama 90 menit) dan pelet yang dihasilkan diresuspensi pada bufer borat 0,05 M yang

mengandung Triton-X 1% (w/v). Virus dimurnikan dengan sentrifugasi pada cesium

chloride (0,439 g/ml), sentrifugasi pada 110.000 g selama 20 jam pada suhu 5oC. Pita

virus diambil dari gradien cesium dan dilarutkan pada bufer borat 0,005 M (volume bufer

minimal dua kali). Virus dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 40.000 g selama 90 menit

dan pelet diresuspensi dalam 0,5 ml akuades steril. Virus segera dapat digunakan, simpan

pada suhu 4oC selama 1-2 hari atau tempatkan pada suhu -20

oC untuk penyimpanan lama.

Tingkat kemurnian virus diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang

gelombang 260 nm (A260) dan 280 nm (A280). Perbandingan antara nilai A260/A280 dapat

digunakan untuk mengetahui tingkat kemurnian virus (Dijkstra & de Jager, 1998).

Konsentrasi virus dihitung berdasarkan nilai A260 dan extinction coefficient (E%1.0

260.1 nmcm ) ,

dengan formulasi:

Keterangan:

C : konsentrasi virus (mg/ml)

A260 : nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm

E %1.0

260.1 nmcm : nilai extinction coefficient

4.3 Produksi Antiserum CVB.

Antiserum diproduksi dengan melakukan imunisasi terhadap marmut jantan

berumur sekitar 6 bulan. Imunisasi dilakukan dengan menginjeksikan virus murni beserta

larutan adjuvant. Injeksi dilakukan di bawah kulit (sub cutaneous) 5 kali dengan interval

waktu 2 minggu. Injeksi pertama dengan dosis 50 µg virus murni yang ditambah

complete adjuvant dengan perbandingan 1:1. Injeksi selanjutnya dengan dosis 25 µg virus

murni yang ditambah incomplete adjuvant dengan perbandingan 1:1. Sepuluh hari setelah

penyuntikan terakhir, dilakukan panen darah dengan cara mengambil darah melalui jantung

dan disembelih. Butir darah merah dibiarkan mengendap dan disimpan dalam suhu 4oC

selama 12 jam. Cairan bening diambil dengan hati-hati kemudian disentrifugasi pada

kecepatan 8.000 g (rotor TMA-5, Tomy) selama 20 menit, selanjutnya antiserum yang

C = A260

E %1.0

260.1 nmcm

10

dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pengujian serologi atau disimpan pada suhu – 20oC

dengan ditambah sodium azide 1%.

Antiserum yang dihasilkan bisa langsung digunakan untuk pengujian, dan untuk

meningkatkan kualitas dilakukan penyerapan menggunakan cairan perasan tanaman N.

benthamiana sehat serta pemurnian gamma-globulin menggunakan amonium sulfat.

Konsentrasi antiserum semua jenis antiserum (tidak diserap, diserap dan murni) diukur

berdasarkan nilai absorbansi 1,4 pada panjang gelombang 280 (A280) setara dengan

konsentrasi 1 mg/ml.

4.4 Penyerapan Antiserum Menggunakan Cairan Perasan Tanaman N. benthamiana

Sehat

Penyerapan antiserum dilakukan berdasarkan metode Dijkstra & de Jager (1998),

yaitu antiserum diserap dengan cairan perasan N. benthamiana sehat untuk menghindari

terjadinya reaksi silang. Daun N. benthamiana sehat digerus dalam larutan PBST dengan

perbandingan 1:20 (b/v), sehingga diperoleh cairan perasan tanaman. Antiserum dicampur

dengan cairan perasan tanaman tersebut degan perbandingan 1 : 1, digoyang dengan shaker

kemudian diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 2 jam, dan pada suhu 4

oC selama 1 jam.

Campuran disentrifugasi pada 8.000 g (rotor TMA-5, Tomy) selama 15 menit, supernatan

diambil dan disimpan dalam suhu 4 oC selama 6 jam. Selanjutnya larutan disentrifugasi

pada 8000 g (rotor TMA-5, Tomy) selama 15 menit. Supernatan diambil dan siap

digunakan untuk uji serologi.

4.5 Isolasi Gamma-globulin Menggunakan Amonium Sulfat

Antiserum yang dihasilkan dimurnikan menggunakan metode presipitasi dengan

amonium sulfat jenuh menurut metode Clarck & Adams (1977). Satu ml antiserum

diencerkan dengan 9 ml akuades, kemudian ditambah 10 ml amonium sulfat jenuh secara

perlahan. Setelah diinkubasi selama 30 menit kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm

selama 15 menit. Hasil presipitat ditambah 2 ml PBS 0,01 M, pH 7,4 yang mengandung

sodium azide 0,01%. Campuran kemudian didialisis dalam 500 ml PBS 0,01M, pH 7,4

pada suhu 4 oC dengan 3 kali penggantian larutan penyangga setiap 8 jam.

11

4.6 Spesifisitas Antiserum

Spesifisitas antiserum yang diproduksi pada penelitian ini diamati dengan analisis

Western blot dan Immunosorbent electron microscopy (ISEM) .

Analisis Western Blot. Pengujian Western blot dilakukan berdasarkan metode

Towbin et al. (1979) menggunakan antiserum CVB. Siapan suspensi virus murni, protein

tanaman yang terinfeksi CVB dan tanaman sehat dielektroforesis pada 10% gel SDS-

PAGE, kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa (Amersham Hybond-P PVDF

membrane, GE Health Care, UK). Membran diinkubasi dalam antiserum dengan

pengenceran 1:500 dalam tris buffer saline (TBS) (50 mM Tris-HCl, 50 mM NaCl, pH 7,5)

selama 1-2 jam. Membran dicuci dengan TBST (TBS + 0,5% Tween 20) selama 10 menit

sebanyak 3 kali. Setelah pencucian, membran diinkubasi dalam konjugat alkaline

phosphatase (Sigma Chemical Co., USA) pada pengenceran 1:1000 dalam TBS selama 2-3

jam. Kemudian dilakukan pencucian sebagaimana di atas, dan diwarnai dengan substrat

BCIP/NBT (Sigma Chemical Co.,USA). Semua tahapan pengujian ini dilakukan pada suhu

ruang. Reaksi positif ditunjukkan dengan perubahan warna ungu pada membran. Reaksi

pewarnaan dihentikan dengan mencuci membran dengan akuabides dan dikeringanginkan.

SDS-PAGE dilakukan menurut metode Leammli (Gall et al. 1980). Analisis

dilakukan terhadap siapan virus murni, protein tanaman yang terinfeksi CVB dan tanaman

sehat. Ekstraksi protein tanaman dilakukan dengan menggerus 0,2 g jaringan daun muda

tanaman uji dalam nitrogen cair hingga halus. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung

mikro ukuran 2 ml dan ditambahkan dua kali volume bufer ekstraksi (sucrose 30%, SDS

2%, 2-mercaptoethanol 1% dan Tris-HCl 60 mM, pH 6,8). Selanjutnya larutan tersebut

disentrifugasi pada kecepatan 13.000 g (rotor TMA-5, Tomy) selama 5 menit. Supernatan

dipisahkan dan digunakan sebagai sampel uji. Virus murni dan protein tanaman total

masing-masing ditambah loading dye (SDS 4%, 2-mercaptoethanol 2%, bromophenol blue

0,001%, glycerol 2% dan Tris-HCl 0,1 M, pH 8,8) dengan perbandingan 1:4 (v/v).

Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 100 oC selama 10 menit dan masing-

masing 15 µl campuran dimasukkan ke dalam sumuran gel polyacrylamide 12%. Marker

protein yang digunakan adalah Low Molecular Weight (LMW) (Amersham Biosciences,

UK) yang mengandung phosphorilase b (97 kDa), albumin (66 kDa), ovalbumin (45 kDa),

carbonic anhydrase (30 kDa), trypsin inhibitor (20,1 kDa), α-lactabumin (14,4 kDa).

12

Analisis SDS-PAGE membutuhkan dua jenis gel yaitu separating gel dan stacking

gel. Separating gel dibuat dengan cara mencampur acrylamide 10% (1,8 ml) dengan bis-

acrylamide 0,25% (1,5 ml), Tris-HCl 0,375 M pH 8,8 (2,5 ml), SDS 0,1% (0,005 ml),

TEMED 0,025% (0,006 ml), APS (amonium persulphate) 0,025% (0,17 ml), dan 4 ml air.

Campuran dimasukkan ke dalam pelat gelas ukuran 10 x 7,2 cm yang telah dipasang pada

gel stand. Stacking gel dibuat dengan cara mencampur acrylamide 3% (0,06 ml) dengan

bisacrylamide 0,08% (0,04 ml), Tris-HCl 0,125 M (2,5 ml) pH 6,8, SDS 0,1% (0,1 ml),

TEMED 0,025% (0,006 ml), APS 0,025% (0,1 ml), dan 6,3 ml air. Campuran dituang di

atas separating gel, kemudian dipasang sisir dan setelah gel membeku sisir dicabut dan gel

siap digunakan. Marker protein, virus murni, dan protein tanaman total dimasukkan ke

sumuran yang telah dicetak oleh sisir pencetak, kemudian dielektroforesis pada 80 V

selama 3 jam.

Setelah dielektroforesis, protein divisualisasi dengan pewarnaan Coomassie blue

(Bio-Rad Laboratories, USA). Gel direndam dalam asam asetat glasial 12,5% selama 5

menit kemudian direndam dalam larutan Coomassie blue 0,25% dan diinkubasi selama 12

jam sambil digoyang. Gel dicuci menggunakan larutan penghilang warna yang terdiri atas

metanol 50% dan larutan asam asetat 10% sebanyak 3 kali masing-masing 10 menit.

Pengujian Western blot dilakukan berdasarkan metode Towbin et al. (1979)

menggunakan antiserum CVB. Siapan suspensi virus murni, protein tanaman yang

terinfeksi CVB dan tanaman sehat dielektroforesis pada 10% gel SDS-PAGE, kemudian

ditransfer ke membran nitroselulosa (Amersham Hybond-P PVDF membrane, GE Health

Care, UK). Membran diinkubasi dalam antiserum dengan pengenceran 1:500 dalam tris

buffer saline (TBS) (50 mM Tris-HCl, 50 mM NaCl, pH 7,5) selama 1-2 jam. Membran

dicuci dengan TBST (TBS + 0,5% Tween 20) selama 10 menit sebanyak 3 kali. Setelah

pencucian, membran diinkubasi dalam konjugat alkaline phosphatase (Sigma Chemical

Co., USA) pada pengenceran 1:1000 dalam TBS selama 2-3 jam. Kemudian dilakukan

pencucian sebagaimana di atas, dan diwarnai dengan substrat BCIP/NBT (Sigma Chemical

Co.,USA). Semua tahapan pengujian ini dilakukan pada suhu ruang. Reaksi positif

ditunjukkan dengan perubahan warna ungu pada membran. Reaksi pewarnaan dihentikan

dengan mencuci membran dengan akuabides dan dikeringanginkan.

Immunosorbent electron microscopy (ISEM). Teknik ISEM dilakukan

berdasarkan metode Dykstra (1992). Satu tetes suspensi antiserum diteteskan pada cawan

Petri yang sudah dilapisi membran parafilm. Grid yang sudah dilapisi colodion dan

13

dikarbonisasi diletakkan secara perlahan pada tetesan suspensi antiserum. Bagian grid

yang terlapisi dibuat menempel pada suspensi dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu

25oC. Grid dicuci dengan sepuluh tetes PBS. Siapan virus murni diteteskan pada bagian

lain di atas parafilm dan grid diletakan pada tetesan siapan virus murni tersebut, kemudian

diinkubasikan selama 15 menit. Grid dicuci sebagaimana pencucian sebelumnya. Grid

dikeringkan, dan segera setelah itu bagian grid yang terlapisi diletakkan pada cairan

pewarna. Grid dikeringkan dengan kertas saring dan diamati dengan mikroskop elektron

transmisi model JEOL 1010 yang dioperasikan pada 80 kV. Siapan virus murni tanpa

didekorasi dengan antiserum dipakai sebagai kontrol.

4.7 Reaktivitas Antiserum

Reaktivitas antiserum yang dihasilkan dikaji dengan uji serologi yaitu Enzyme-

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Tissue Immunobinding Assay (TIBA).

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Metode ELISA dilakukan

berdasarkan metode Stack & Macmillan (2005). Sampel tanaman terinfeksi CVB digerus

dalam sample extraction buffer dengan perbandingan 1:5 (b/v). Sampel tersebut

dimasukkan ke dalam masing-masing sumuran pada plat mikrotiter ELISA sebanyak 100

µl dan diinkubasi pada suhu 4 oC selama semalam. Selanjutnya masing-masing sumuran

plat mikrotiter dicuci sebanyak 6 kali dengan PBST (8 g sodium chloride, 0,2 g monobasic

potassium phosphate, 1,15 g dibasic sodium phosphate, 0,2 g potassium chloride, 0,2 g

sodium azide dan 0,5 g Tween-20 yang dilarutkan dalam 1000 ml H2O, pH 7,4). Sumuran

plat mikrotiter diisi dengan 100 µl antiserum yang telah dilarutkan dalam bufer ECI (0,2 g

bovine serum albumin, 2 g polyvinylpyrrolidone, 0,02 g sodium azide dan dilarutkan dalam

100 ml PBST, pH 7,4) dan kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 jam. Masing-

masing sumuran dicuci kembali dengan PBST dan diisi 100 µl konjugat (anti rabbit-IgG,

Sigma, USA) yang dilarutkan dalam bufer ECI (1:1.000) dan diinkubasi pada suhu ruang

selama 2 jam. Sumuran plat mikrotiter dicuci dengan PBST, kemudian diisi dengan 100

µl substrat PNP yang dilarutkan dalam bufer PNP (97 ml diethanolamine, 600 ml H2O, 0,2

g sodium azide dilarutkan dalam 1000 ml H2O, pH 9,8). Setelah diinkubasi pada suhu

ruang selama 30 menit dilakukan pengamatan secara kuantitatif dengan menggunakan

ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Reaksi dihentikan dengan cara

menambahkan larutan NaOH 3 M sebanyak 50 µl ke dalam masing-masing sumuran.

Kontrol negatif yang digunakan adalah tanaman sehat dan bufer.

14

Tissue Immunobinding Assay (TIBA). Pengujian TBIA dilakukan berdasarkan

metode Lin et al. (1990). Sampel daun dipotong melintang pada bagian pangkal daun yang

masih putih dan dibuat tepi potongan yang rata. Potongan ini kemudian ditempelkan pada

membran nitroselulosa (Amersham Hybond-P PVDF membrane, GE Health Care, UK)

selama 1 menit. Sebelumnya membran diperlakukan dengan dicelup pada metanol absolut

selama 10 detik, kemudian dicuci masing-masing 5 menit di dalam akuabides dan

phosphate buffer saline (PBS) (137 mM NaCl, 1,5 mM KH2PO4, 8,0 mM Na2HPO4, 2,7

mM KCl, 3,0 mM NaN3, pH 7,4) dan dikeringanginkan di atas kertas saring yang telah

dicelup ke dalam PBS. Membran yang telah diblot ditempatkan dalam wadah plastik dan

diblocking dengan susu skim 2% (w/v) yang dilarutkan dalam PBS selama 60 menit pada

suhu ruang. Membran diinkubasikan dengan antiserum pada suhu ruang selama 1-2 jam,

atau pada suhu 4°C semalam. Antiserum diencerkan dalam PBS dengan seri pengenceran

sesuai perlakuan. Membran dicuci dengan PBST selama 10 menit sebanyak 3 kali pada

suhu ruang. Membran kemudian diinkubasikan dengan konjugat anti guinea pig-IgG

(Sigma Chemical Co. St. Louise, USA) pada pengenceran 1:1000 dalam PBS selama 2-3

jam pada suhu ruang. Membran dicuci sebagaimana di atas, dan diwarnai dengan substrat

5-bromo-4-chloro-3-indolyl phosphate/nitro blue tetrazolium (BCIP/NBT) (Sigma

Chemical Co., USA) dalam bufer alkaline phosphate (AP) (0,1 M Tris Base, 0,1 M NaCl,

5,0 mM MgCl2.6H2O, pH 9,5). Reaksi positif ditunjukkan dengan perubahan warna ungu

pada tissue blot. Reaksi pewarnaan dihentikan dengan mencuci membran dengan

akuabides dan dikeringanginkan.

15

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Virus Murni

Pemurnian CVB menggunakan metode pemisahan virus dengan cara

ultrasentrifugasi dengan gradien kepekatan sesium sulfat berhasil memperoleh zona virus

yang membentuk suatu pita yang berbatas tegas yang mencerminkan lokasi virus berada

(Gambar 1).

Spektrofotometri terhadap suspensi virus murni pada panjang gelombang 260 nm

(A260) dan 280 nm (A280) menghasilkan nilai absorbansi berturut-turut 1,449 dan 1,183

(Gambar 2). Tingkat kemurnian virus dapat dihitung dari nisbah A260/A280 yaitu 1,22. Nilai

nisbah ini menunjukkan suspensi virus murni hasil purifikasi pada penelitan ini

mempunyai tingkat kemurnian yang cukup tinggi. Dijkstra & de Jager (1998) menyatakan

bahwa virus dengan bentuk partikel memanjang memiliki nilai A260/A280 sekitar 1,2;

sedangkan virus dengan partikel berbentuk isometrik memiliki nilai A260/A280 sekitar 1,7.

Gambar 1. Hasil pemurnian virus dengan pemisahan virus melalui ultrasenrifugasi dengan

gradien kepekatan sesium sulfat. Zona virus murni membentuk pita yang

berbatas tegas.

Berdasarkan asumsi bahwa extinction coefficient (E%1.0

260.1 nmcm ) carlavirus adalah 2,3

(Koenig, 1982), maka konsentrasi virus pada suspensi virus murni tersebut adalah 0,630

mg/ml. Dengan demikian total virus yang dihasilkan dari 200 g daun segar N.

benthamiana adalah 6,250 mg.

zona virus murni

16

Gambar 2. Profil spektrofotometri siapan virus murni

Hasil pemurnian CVB telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Suastika

et al. (1997) memperoleh nilai A260/A280 sebesar 1,3 dan 12 mg virus murni per 100 g daun

segar ketika melakukan pemurnian CVB menggunakan N. clevelandii sebagai sumber

virus dan metode sentrifugasi gradien sukrose. Sedangkan Hollings & Stone (1972)

melaporkan bahwa nilai A260/A280 CVB adalah 1,55.

Pemurnian virus dari kelompok carlavirus yang lain dilaporkan dari penelitian Van

Lent et al. (1980) yang memurnikan Elderberry carlavirus (ECV). Purifikasi dilakukan

dengan metode klarifikasi melalui presipitasi dengan garam, konsentrasi melalui presipitasi

dengan PEG dan disentrifugasi dengan gradien sukrose didapatkan bahwa virus murni

memiliki nilai A260/A280 = 1,17 dan dari 100 g daun Sambucus segar diperoleh 2-3 mg

virus. Sharma et al. (2005) yang melakukan purifikasi terhadap LSV menggunakan gradien

sesium sulfat memperloleh virus murni dengan nilai A260/A280 = 1,4.

Tingkat kemurnian virus yang dihasilkan dari penelitian ini relatif tinggi yaitu di atas

rata-rata untuk virus yang partikelnya berbentuk memanjang yang memiliki rata-rata nilai

A260/A280 sekitar 1,2 (Dijkstra & de Jager, 1998). Keberhasilan pemurnian tersebut

mungkin disebabkan oleh 2 faktor, yaitu metode pemurnian dan tanaman inang sumber

virus yang digunakan. Metode pemurnian yang digunakan sesuai dengan prosedur dari

Foster (1998), yaitu meliputi ekstraksi daun (memisahkan molekul makro tanaman)

dengan kloroform yang ditambahkan enzim untuk maserasi jaringan (driselase), pencegah

oksidasi (β-2 mercaptoehtanol), agen kelasi (EDTA) dan detergen pemecah membran sel

(Triton X-100); klarifikasi ekstrak daun dengan sentrifugasi 5.000 g selama 20 menit;

mengkonsentrasikan virus dan memisahkan dari material tumbuhan yang bermolekul kecil

dengan PEG dan sentrifugasi pada 10.000 g selama 15 menit; sedimentasi dengan

1,449

1,183

17

sentrifugasi kecepatan tinggi (30.000 g selama 90 menit); dan pemurnian dengan

sentrifugasi pada cesium chloride, sentrifugasi pada 110.000 g selama 20 jam. Metode

tersebut relatif lebih sederhana dan mudah dilakukan sehingga memperkecil terjadinya

proses oksidasi. Terjadinya proses oksidasi sering menjadi kendala dalam setiap proses

pemurnian virus tumbuhan, karena proses oksidasi mengakibatkan degradasi virus.

Perbanyakan virus pada penelitian ini menggunakan tanaman N. benthamiana.

Semua tanaman (10 tanaman) N. benthamiana yang dipakai pada pengujian kisaran inang

menunjukkan titer virus yang tinggi. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan tanaman-

tanaman inang CVB lainnya seperti N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley, N.

tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C. quinoa yang menunjukkan titer

virus tinggi berturut-turut pada 8 tanaman, 3 tanaman, 5 tanaman, 6 tanaman, 3 tanaman,

dan 4 tanaman (Gambar 3). Titer virus tinggi ditandai dengan nilai absorbansi sampel

pada panjang gelombang 405 nm sama atau melebihi 6 kali nilai absorbansi pada kontrol

negatif, pada ELISA. Dari sedikit inang CVB tersebut, N. benthamiana adalah tanaman

yang paling prospektif digunakan sebagai inang perbanyakan CVB. Di samping memiliki

titer virus tinggi pada tanamn terinfeksi, biji tanaman tersebut banyak dan mudah

diperoleh, mudah ditanam dan dipelihara. Sifat batang N. benthamiana yang sukulen

sangat menguntungkan karena semua bagian tanaman dapat digunakan sebagai bahan

pemurnian dan akan mempermudah ekstraksinya, sehingga proses pemurnian dapat lebih

mudah, cepat dan menurunkan resiko terjadinya proses oksidasi.

Gambar 3. Jumlah tanaman N. benthamiana, N. clevelandii, N. tabacum var. White Burley,

N. tabacum var. Havana, P. hybrida, C. amaranticolor dan C. quinoa yang

menunjukkan titer virus tinggi.

0

2

4

6

8

10

12

Jum

lah

ta

na

ma

n d

en

ga

n t

ite

r v

iru

s

tin

gg

i

Jenis tanaman

18

5.2 Morfologi dan Ukuran Partikel Virus

Hasil pengamatan dengan mikroskop elektron terhadap siapan virus murni

menunjukkan adanya partikel virus yang berbentuk batang agak lurus dan lentur dengan

ukuran panjang 685 nm dan lebar 12 nm (Gambar 4).

Gambar 4. Bentuk partikel CVB pada mikroskop elektron (pembesaran 40.000 kali).

A : siapan perasan tanaman terifeksi CVB. B : siapan virus murni.

Bentuk dan ukuran partikel virus ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh peneliti

terdahulu. Hollings & Stone (1972) mendapatkan bentuk dan ukuran partikel CVB yang

sama dengan hasil pengamatan pada penelitian ini. Suastika et al. (1997) pada pengamatan

siapan murni CVB menemukan partikel virus berbentuk panjang agak lentur dengan

ukuran panjang 650-700 nm dan lebar 13 nm; dan pengamatan Verma et al. (2003) juga

mendapatkan bentuk partikel lentur dengan ukuran 680x12 nm.

5.3 Ukuran Protein Selubung Virus

Ukuran protein selubung ditentukan dengan SDS – PAGE dan Western blot.

Analisis SDS-PAGE menunjukkan adanya pita yang sama pada sampel daun N.

benthamiana terinfeksi CVB dan virus murni yaitu pita protein berukuran sekitar 34 kDa

(Gambar 5A), dan pita tersebut tidak nampak pada sampel daun N. benthamiana sehat. Hal

ini menunjukkan bahwa pita tersebut kemungkinan merupakan protein selubung dari virus.

Konfirmasi dengan analisis Western blot terhadap protein selubung virus menggunakan

antiserum CVB menunjukkan bahwa pita protein berukuran 34 kDa bereaksi positif

dengan antiserum CVB (Gambar 5B). Ini berarti bahwa memang benar pita dengan berat

molekul 34 kDa tersebut adalah protein selubung CVB. Hasil pengamatan morfologi virus

A B 200 nm 200 nm

19

dan ukuran protein selubung mendukung peneliti sebelumnya yang menemukan bentuk

dan ukuran partikel serta berat molekul protein selubung CVB yang sama (Suastika et al.

1997; Hollings & Stone,1972). Hull (2002) dan Lee et al. (2003) juga menyatakan bahwa

virus anggota kelompok carlavirus memiliki protein selubung tunggal dengan berat

molekul 31-36 kDa.

Gambar 5. Hasil analisis SDS-PAGE (A) dan Western blot (B) protein selubung CVB

isolat Indonesia. M : Marker. H : daun N. benthamiana sehat. I : daun N.

benthamiana terinfeksi CVB. C : virus murni.

5.4 Produksi Antiserum CVB

Konsentrasi antiserum. Antiserum diproduksi dengan melakukan imunisasi

terhadap marmut yaitu dengan menginjeksikan siapan virus murni CVB ke dalam tubuh

marmut. Masing-masing marmut menghasilkan antiserum rata-rata 10,75 ml. Nilai

absorbansi dari antiserum tidak diserap, antiserum yang sudah diserap menggunakan cairan

perasan N. benthamiana sehat serta antiserum murni (gamma globulin) yang dihasilkan

disajikan pada Gambar 6.

Absorbansi pada panjang gelombang 280 dari ketiga jenis antiserum diukur

menggunakan spektrofotometer untuk penentuan konsentrasi proteinnya. Setelah masing-

masing diencerkan sepuluh kali, untuk antiserum kasar, antiserum yang diserap dan

antiserum murni mempunyai nilai A 280 berturut-turut 1,569, 0,938 dan 0,667.

Berdasarkan asumsi bahwa nilai absorbansi 1,4 pada A 280 setara dengan konsentrasi 1

mg/ml, maka dapat dihitung konsentrasi antiserum kasar, antiserum yang diserap dan

antiserum murni berturut-turut 1,121 mg/ml, 0,670 mg/ml dan 0,476 mg/ml.

A B

34 kDa

34 kDa

20

Gambar 6. Nilai absorbansi antiserum pada panjang gelombang 280.

A : antiserum tidak diserap; B : antiserum yang diserap menggunakan cairan

perasan N. benthamiana sehat ; C : antiserum murni (gamma globulin)

A

B

C

1,569

0,938

0,667

21

Konsentrasi protein antiserum murni yang dipresipitasi menggunakan amonium

sulfat lebih kecil dibandingkan dengan antiserum yang tidak diserap maupun yang diserap.

Namun demikian, reaktivitasnya terhadap antigen paling tinggi dibandingkan dengan

antiserum lainnya. Menggunakan antiserum murni yang sudah dipisahkan dari protein lain

yang terdapat dalam suatu antiserum dapat meningkatkan akurasi dan spesifitasnya dalam

uji serologi. Gamma globulin murni juga dapat dilabel (konjugasi) dengan enzim tertentu

untuk pengujian secara DAS-ELISA, atau dilabel dengan unsur radioaktif untuk pengujian

dengan radio immuno assay.

Titer antiserum. Titer antiserum ditentukan dengan metode ELISA yaitu melalui

pengujian beberapa perlakuan pengenceran antiserum (100, 500, 1000, 5000, 10.000,

50.000, 100.000, 500.000 dan 1.000.000 kali). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

antiserum yang tidak diserap maupun yang diserap mempunyai titer 1/50.000, sedangkan

antiserum murni mempunyai titer 1/100.000 (Gambar 7).

Titer antiserum untuk serum tidak diserap dan diserap yang diproduksi pada

penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok virus lain. Penelitian

Sulandari et al. (2004) pada produksi antiserum geminivirus mendapatkan bahwa

antiserum yang tidak diserap maupun yang diserap mempunyai titer 1/10.000, dan gamma

globulin mempunyai titer 1/100.000; sedangkan produksi antiserum geminivirus yang

dilakukan Haryadi (2006) menemukan titer antiserum yaitu 1/16.384. Titer antiserum

antara lain dipengaruhi oleh jenis virus dan hewan percobaan yang dipakai dalam produksi

antiserum. Makin besar berat molekul antigen, makin efektif berperan sebagai zat

imunogen untuk menstimulasi antiserum (Hull, 2002). Kemungkinan CVB yang memiliki

berat molekul protein selubung 34 kDa lebih imunogenik dibandingkan dengan

geminivirus pada penelitian Sulandari et al. (2004) yang memiliki berat molekul protein

selubung 29 kDa, sehingga CVB menstimulasi antiserum dengan titer yang relatif lebih

tinggi. Di samping itu, marmut yang dipakai sebagai hewan percobaan dalam produksi

antiserum ini menghasilkan antiserum berkualitas baik. Menurut Rollin & Kesel (1995),

marmut adalah sumber komplemen serum yang sangat baik; dan sering menjadi hewan

pilihan dalam produksi antiserum karena hanya memerlukan sedikit antigen untuk

imunisasi, volume serumnya relatif banyak, mudah pemeliharaannya, dan menghasilkan

antiserum yang baik kualitasnya.

22

Gambar 7. Titer antiserum tidak diserap (As K), antserum diserap (As S) dan antiserum

murni (As M) berdasarkan ELISA. I : sampel tanaman terinfeksi CVB.

S : sampel tanaman sehat

Reaktivitas ketiga siapan antiserum terhadap antigen sangat kuat dan dapat

dibedakan dengan jelas antara sampel tanaman sakit dengan tanaman yang sehat. Sampel

tanaman sakit yang berasal dari Cianjur, Medan, Malang dan Bali dapat dideteksi dengan

baik menggunakan tiga macam antiserum (Gambar 8). Antiserum yang sudah dimurnikan

(gamma-globulin) ternyata reaktivitasnya paling baik dibandingkan dengan antiserum tidak

diserap ataupun yang sudah diserap. Nisbah nilai absorbansi pada sampel tanaman krisan

sakit dibandingkan dengan sampel sehat lebih tinggi pada sampel menggunakan antiserum

murni dibandingkan dengan antiserum kasar dan yang diserap.

Spesifitas dan akurasi uji serologi sangat dipengaruhi oleh tingkat kemurnian

antiserum yang digunakan. Gamma-globulin merupakan protein spesifik yang sudah

dipisahkan dari protein lain yang terdapat dalam suatu antiserum. Protein tersebut akan

bereaksi dengan antigen tertentu sehingga spesifitas dan akurasinya lebih tinggi

dibandingkan antiserum kasar ataupun yang sudah diserap yang keduanya masih tercampur

dengan protein lain.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

100

500

1000

5000

1000

0

5000

0

1000

00

5000

00

1000

000

Pengenceran antiserum

Nilai ab

so

rban

si p

ad

a A

405 n

m

I-As K

I-As S

I-As M

S-As K

S-As-S

S-As M

23

Gambar 8. Nilai absorbansi antiserum tidak diserap, diserap dan antiserum murni pada uji

ELISA terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi (Cianjur, Medan, Malang dan

Bali)

5.5 Spesifisitas Antiserum

Antiserum yang diproduksi pada penelitian ini juga diuji untuk analisis Western

blot dan Immunosorbent electron microscopy (ISEM), untuk melihat spesifisitas reaksi

antiserum dengan protein selubung CVB. Menggunakan antiserum yang sudah dimurnikan

dapat mendeteksi adanya pita dengan ukuran sekitar 34 kDa (Gambar 9) sesuai dengan

ukuran protein selubung yang didapatkan pada uji SDS-PAGE. Antiserum dengan

pengenceran 1:1000 mampu mengkonfirmasi protein selubung CVB pada uji ini.

Protein 34 kDa yang terdeteksi pada analisis Western blot sesuai dengan berat

molekul protein selubung CVB yang digunakan untuk imunisasi pada hewan percobaan.

Hal ini membuktikan bahwa antiserum yang dihasilkan berasal dari virus murni yang

digunakan sebagai imunogen dan bukan dari antigen lain. Analisis Western blot juga

membuktikan tidak adanya background atau reaksi positif antiserum terhadap komponen

tanaman. Ini dapat dilihat dari bersihnya lajur sampel daun tanaman N. benthamiana sehat.

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Tidak diserap Diserap Murni

Jenis antiserum

Nil

ai

ab

so

rban

si

pad

a A

405 n

m

Cianjur

Medan

Malang

Bali

Sehat

Bufer

24

Gambar 9. Hasil analisis western blot protein selubung CVB menggunakan antiserum

yang diproduksi. M : Marker. H : daun N. benthamiana sehat. I : daun N.

benthamiana terinfeksi CVB. C : virus murni.

Pengamatan partikel CVB pada mikroskop elektron dengan metode ISEM

menggunakan antiserum yang diproduksi pada penelitian ini memberikan hasil dekorasi

yang baik. Partikel virus berbentuk panjang agak lentur nampak lebih jelas pada grid yang

sebelumnya dicelupkan pada suspensi antiserum dibandingkan dengan siapan murni tanpa

antiserum (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa antiserum yang dihasilkan

memberikan reaksi yang spesifik terhadap protein selubung virus.

Gambar 10. Partikel CVB pada pengamatan dengan mikroskop elektron (pembesaran

40.000 kali). Partikel virus berbentuk panjang agak lentur nampak lebih jelas

pada siapan virus murni didekorasi dengan antiserum (A), dibandingkan

dengan siapan virus murni tanpa antiserum (B)

A B 200 nm 200 nm

34 kDa

25

5.6 Pengujian Metode Deteksi Serologi

Melihat reaktivitas antiserum pada deteksi serologi, dilakukan pengujian dua

metode deteksi yaitu I-ELISA dan TBIA. Pada kedua metode ini dibuat pengenceran

antiserum 100, 500, 1000, 5000, 10.000, 50.000, 100.000, 500.000 dan 1.000.000 kali dan

pada ELISA juga dibuat pengenceran cairan perasan tanaman sakit : bufer (b/v) yaitu ½, ¼,

1/8, 1/16, 1/32, 1/64, 1/128, 1/256 dan 1/512.

Uji serologi dengan ELISA menunjukkan bahwa semakin tinggi pengenceran

antiserum semakin lemah reaksi yang terjadi, atau semakin kecil nilai nisbah absorbansi

pada sampel dengan nilai absorbansi pada kontrol negatif. Demikian pula semakin tinggi

pengenceran sampel menunjukkan reaksi yang semakin lemah. Sensitifitas ELISA dalam

mendeteksi CVB cukup tinggi dan virus masih terdeteksi pada pengenceran cairan perasan

tanaman terinfeksi 1/256. Pengenceran sampel cairan perasan tanaman terinfeksi 1/16

menunjukkan reaksi yang kuat sampai pada pengenceran antiserum 1000 kali dan masih

menunjukkan reaksi positif sampai pada pengenceran antiserum 100.000 (Tabel 1).

Tabel 1. Reaksi antiserum terhadap cairan perasan tanaman terinfeksi CVB pada berbagai

seri pengenceran melalui metode I-ELISA

Pengenceran antiserum

Reaksi antiserum terhadap sampel

Bufer Tanaman Sehat*

Pengenceran cairan perasan tanaman terinfeksi CVB

1/2 1/4 1/8 1/16 1/32 1/64 1/128 1/256 1/512

100 - - +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ + -

500 - - +++ +++ +++ +++ +++ ++ ++ + -

1000 - - +++ +++ +++ +++ ++ + + + -

5000 - - +++ +++ +++ ++ + + + + -

10.000 - - +++ +++ ++ + - + - - -

50.000 - - ++ ++ ++ + - - - - -

100.000 - - ++ ++ + + - - - - -

500.000 - - + + + - - - - - -

1.000.000 - - - - - - - - - - -

Keterangan : Reaksi positif jika nilai absorbansi (405 nm) 3 kali nilai kontrol negatif

(Verma et al. 2003).

* Tanaman krisan sehat sebagai kontrol negatif

+++ Reaksi kuat bila nilai absorbansi > 6 kali nilai kontrol negatif

++ Reaksi sedang bila nilai absorbansi (4,5< ⊕ <6) kali nilai

kontrol negatif

+ Reaksi lemah bila nilai absorbansi < 4,5 atau > 3 kali nilai

kontrol negatif

- Reaksi negatif

26

Uji laboratorium menunjukkan bahwa TBIA terbukti cukup sensitif untuk

mendeteksi keberadaan CVB pada tanaman krisan. Reaksi positif pada pengujian TBIA,

yang ditunjukkan dengan perubahan warna ungu pada tissue blot setelah pemberian

substrat BCIP/NBT, masih nampak pada pengenceran antiserum 10.000 kali (Gambar 11).

Sampel tanaman sehat (kontrol) bersih, menandakan kespesifikan antiserum terhadap CVB.

Melalui I-ELISA dan TBIA diketahui bahwa antiserum yang dihasilkan dapat

mengidentifikasi CVB yang menginfeksi krisan dari berbagai lokasi (Cianjur, Medan,

Malang dan Bali). Reaktivitas antiserum ternyata sama terhadap sampel yang berasal dari

berbagai lokasi yang berbeda. Reaktivitas yang sama pada isolat yang berbeda tersebut

disebabkan keempat isolat memiliki hubungan yang sangat dekat dengan susunan asam

amino protein selubung yang memiliki tngkat homologi tinggi (95-99%) (Temaja, 2008).

Di samping itu antiserum yang digunakan dalam pengujian adalah antiserum poliklonal

sehingga mampu mengenali berbagai epitop dari protein selubung virus. Jenis epitop yang

ada sangat dipengaruhi oleh jenis protein yang tersusun dari beberapa macam asam

amino. Gen penyandi protein selubung dari genus carlavirus diketahui mempunyai

runutan susunan DNA dengan derajat kesamaan yang tinggi (conserved) antar anggotanya.

Gambar 11. Reaktivitas antiserum pada pengenceran 1/100, 1/500, 1/1000, 1/5000 dan

1/10.000 terhadap isolat CVB dari berbagai lokasi pada uji serologi dengan

TBIA. S : sampel terinfeksi; K : kontrol negatif

Uji serologi secara TBIA lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknik

ELISA. Metode TBIA lebih mudah dan cepat, biayanya lebih murah karena hanya

diperlukan reagen yang lebih sedikit dan dapat menguji sampel lebih banyak. Pada

selembar membran nitroselulosa yang berukuran 7 cm x 4 cm dapat menampung 96

Cianjur

Medan

Malang

Bali

1/100 1/500 1/1.000 1/5.000 1/10.000

S K S K S K S K S K

27

sampel, dengan jarak antar sampel sekitar 5 mm (Gambar 12). Hal ini penting untuk

deteksi massal terhadap bahan tanaman krisan terinfeksi CVB, terutama pada perusahaan

eksportir bahan tanaman krisan dan Karantina Tumbuhan yang memerlukan pengujian

sampel dalam jumlah besar. Pengujian secara massal sampel dapat mengurangi

pengeluaran untuk pengujian karena lebih efisien memanfaatkan reagen dan di samping itu

dapat dikerjakan lebih cepat.

Metode ini juga memungkinkan penyiapan (blotting) sampel dilakukan di lapangan,

kemudian membran disimpan untuk proses selanjutnya di laboratorium. Penelitian ini

mencoba mengerjakan blotting sampel di laboratorium dan di lapangan. Sampel dari

Cianjur diblot di laboratorium (Gambar 12), sedangkan sampel Bali diblot di tempat

pengambilan sampel (Gambar 12). Proses TBIA selanjutnya dilakukan setelah 7 hari.

Kedua cara tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda pada hasil TBIA.

Gambar 12. Deteksi serologis CVB pada tanaman krisan dengan teknik TBIA dengan

pengenceran antiserum 1/10.000. Kiri : sampel dari Cianjur. Kanan : sampel

dari Bali. 1a dan 1b : kontrol negatif. 1c dan 1d : kontrol positif.

A B

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

a b c d e f g h a b c d e f

Cianjur Bali

4 cm 3 cm

7 cm

28

VI. KESIMPULAN

1. N. benthamiana adalah tanaman yang paling prospektif digunakan sebagai inang

perbanyakan CVB. Total virus yang dihasilkan dari 200 g daun segar N. benthamiana

adalah 6,250 mg.

2. Imunisasi marmut menggunakan 150 µg CVB murni dapat menghasilkan antiserum

yang cukup baik kualitasnya. Antiserum yang dihasilkan rata-rata 10,75 ml/ekor.

3. Dengan metode ELISA didapatkan bahwa titer antiserum adalah 1/100.000.

4. Reaktivitas antiserum terhadap antigen sangat kuat dan dapat dibedakan dengan jelas

antara sampel tanaman sakit dengan tanaman yang sehat.

5. TBIA merupakan metode deteksi CVB pada tanaman krisan yang memenuhi

persyaratan sensitifitas, massal dan ekonomis.

29

DAFTAR PUSTAKA

Abouzid AM, Freitas-Astua J, Purcifull DE, Polston JE, Beckham KA, Crawford WE,

Petersen MA, Peyser B, Patte C, Hiebert E. 2002. Serological studies using

polyclonal antisera prepared against the viral coat protein of four Begomovirus

expressed in Escherichia coli. Plant Dis 86:1109-1114.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. 4 th ed. California : Academic Press, Inc.

Attathom S, Chiemsombat P, Sutabutra T, and Pongpanitanond R. 1990. Characterization

of nucleic acid of Tomato yellow leaf curl virus. Kasetsart J. Nat. Sci. 24:1-5.

Badge J, Brunt A, Carson R, Dagless E, Karamagioli M, Phillips S, Seal S, Turner R,

Foster G D. 1996. A carlavirus-specitic PCR primer and partial rnicleotidc sequence

provides further evidence for the recognition of cowpea mild mottle virus as a

whitefly-transmitted carlavirus. Eur. J. Plant Pathol. 102: 305-310.

Chen J, Chen JP, Adam MJ. 2002. Characterization of some carla- and potyvirus from bulb

in China. Arch. Virol. 147:419-428.

Choi SH, Ryu KH. 2003. The complete nucleotide sequence of the genom RNA Lily

symtompless virus and its compariron with that of the other carlaviruses. Arch.

Virol. 148:1943-1955.

Clark MF, Adams AN, 1977. Characteristics of the microplate method of enzyme-linked

immunosorbent assay for the detection of plant viruses. J. Virol. Methods 34,

475-483.

Cohen, J., Zeidan, M., Rosner, A., Gera, A. 2000. Biological and molecular characterization

of a new carlavirus isolated from an Aconitum sp. Phytopathology 90:340-344.

Dijkstra J, de Jager CP. 1998. Pratical Plant Virology. Protocol and Exercises. New

York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Foster, G. D. 1992. The structure and expression of the genome of Carlaviruses. Res.

Virol. 143: 103-112.

Foster GD. 1998. Carlavirus isolation and RNA extraction. In: Foster GD, Taylor SC.

(Eds.), Plant Virology Protocols, from Virus Isolation to Transgenic Resistance.

Totowa : Humans Press. pp. 145-150.

Foster GD, Mills PR. 1992. The 3'-Nucleotide Sequence of an Ordinary Strain of Potato

Virus S. Virus Gene 6(3): 213-220.

Fuji S, Yamamoto H, Inoue M, Yamashita K, Fukui Y, Furuya H, Naito H. 2002. Complete

nucleotide sequence of the genomic RNA of Aconitum latent virus (genus

Carlavirus) isolated from Delphinium sp. Arch Virol 147: 865-870.

Hakkaart, F.A., Maat, D.Z., 1974. Variation of chrysanthemum virus B. Netherland J.

Plant Pathol. 80, 97-103.

30

Harlow, Lane D. 1999. Using Antibodies. A Laboratorium Manual. New York: Cold

Springer Harbor Laboratory Press.

Haryadi D. 2006. Produksi antibodi poliklonal geminivirus penyebab penyakit daun

keriting kuning cabai,dan kajian serologinya. [tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB.

Hataya T, Uchino K, Arimoto R, Suda N, Sano T, Shikata E, Uyeda I. 2000. Molecular

characterization of Hop latent virus and phylogenetic relationships among viruses

closely related to carlaviruses. Arch Virol. 145: 2503–2524.

Hollings, M. 1957. Investigation of chrysanthemum viruses. II. Virus B (mild mosaic) and

chrysanthemum latent virus. Ann. Appl. Biol. 45:589-602.

Hollings, M., Stone OM. 1972. Chrysanthemum virus B. CMI/AAB Description of Plant

Viruses No. 110.

Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Fourth Ed. San Diego : Academic Press.

Koenig R. 1982. Carlavirus group. CMI/AAB. Descriptions of Plant Viruses No. 259.

Lawrence D.M., M.N. Rozanov, B.I. Hillman. 1995. Autocatalytic processing of the 223

kDa protein of blueberry scorch carlavirus by papain-like proteinase. Virology 207:

127-135.

Lee BY, Choi SH, Ryu KH. 2003. Characterization of the 3’-terminal nucleotide sequence

of two Korean isolates of Daphne virus S support its placement as a distinct species

of the genus Carlavirus. Arch. Virol. 148:1915-1924.

Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological procedures for

rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a single wheat curl mite.

Plant Dis 81:250-253.

Moran, J.R. 1987. Chrysanthemum B carlavirus. Cite this publication as : Brunt, A.A.,

Crabtree, K., Dallwitz, M.J., Watson, L. and Zurcher, E.J. (eds) (1996 onwards).

'Plant Viruses Online Descriptions and Lists from the VIDE Database. Version :

20th

August 1996.

Ram R, Verma N, Singh AK, Singh L, Hallan V, Zaidi AA. 2005. Indexing and production

of virus-free chrysanthemums. Biologia Plantarum 49(1):149-152.

Sharma A, Mahinghara BK, Singh AK, Kulshretha S, Raikhy G, Singh L, Verma N,

Hallan V, Ram R, Zaidi AA. 2005. Identification, detection and frequency of lily

viruses in Northern India. Scientia Horticulturae 106: 213-227.

Somowiyarjo S, Sako N, Nonaka F. 1989. Dot-immunobinding assay for Zucchini yellow

mosaic virus using polyclonal and monoclonal antibodies. Ann Phytopathol Soc

55:56-63.

31

Suastika G, Kurihara J, Natsuaki KT, Tomaru K. 1997. A strain of Chrysanthemum B

carlavirus causing flower colour breaking on Gymnaster savatieri (Makino)

Kitamura. Ann. Phytopathol. Soc. Jpn. 63:1-7.

Sudarshana MR, Wang HL, Lucas WJ, Gilbertson RL. 1997. Dynamics of Bean -

dwarf mosaic geminivirus cell-to-cell and long distance movement in Phaseolus

vulgaris revealed, using the green fluorescent protein. MPMI 4:277-291.

Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Sosromarsono S, Harjosudarmo J. 2004.

Pembuatan antiserum dan kajian serologi virus penyebab penyakit daun

keriting kuning cabai. J Perlind Tan Ind 10(1):42-52.

Van Lent JWM, Wit AJ, Dijkstra J. 1980. Characterization of carlavirus in elderberry

(Sambucus spp.). Neth. J. Plant Pathol. 86:117-134.

Verma N, Sharma A, Ram R, Hallan V, Zaidi AA, Garg ID. 2003. Detection, identification

and incidence of Chrysanthemum B carlavirus in chrysanthemum in India. Crop

Protect. 22:415-429.

Zavriev SK, Kanyuka KV, Levay KE. 1991. The genome organization of potato virus

M RNA. J Gen Virol 72: 9-14.