PENERAPAN FUNGSI TREASURY DI SEKTOR PRIVAT PADA SEKTOR PEMERINTAHAN

39
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG SELATAN MAKALAH PENERAPAN FUNGSI TREASURY DI SEKTOR PRIVAT PADA SEKTOR PEMERINTAHAN Diajukan: TODO FILIPI ANDERSON NPM: 144060006153 Kelas 8/B, No. Absen.30

Transcript of PENERAPAN FUNGSI TREASURY DI SEKTOR PRIVAT PADA SEKTOR PEMERINTAHAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TANGERANG SELATAN

MAKALAH

PENERAPAN FUNGSI TREASURY DI SEKTOR PRIVAT PADA SEKTOR

PEMERINTAHAN

Diajukan:

TODO FILIPI ANDERSONNPM: 144060006153

Kelas 8/B, No. Absen.30

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Seminar Perbendaharaan Diploma IV Keuangan

Spesialisasi Akuntansi Kurikulum Reguler Semester VIII T.A.

2014/2015

I. PENDAHULUAN

Seperti yang telah dilansir oleh Assocation For Financial Professionals

(AFP) melalui Laporan hasil survey nya yang berjudul Strategc Role of

Treasury, dikemukakan bahwa dewasa ini peran treasury pada sektor privat

semakin berkembang, dan menjadi semakin krusial, terutama dalam

mendukung pengambilan keputusan perusahaan. Peran treasury akan

berkembang dari peran terdahulu yang hanya sebagai back-office menjadi

peran yang lebih jelas dan strategis. Beberapa perkembangan fungsi

treasury pada sektor privat menurut laporan hasil survey dari AFP

antara lain: bank relationship management, borrowing, investing, financial risk

management, counterparty risk analysis, working capital management, capital

planning/allocation, retirement plan management, leasing, enterprise risk management,

business continuity planning, investor relations, merger and acquisitions, accounting,

technology implementation.

Sejalan dengan apa yang dilakukan pada sektor privat, pada

sektor publik, treasury juga memiliki peran penting dalam proses tata

kelola pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya

Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang

merupakan salah satu dari paket undang-undang reformasi pengelolaan

keuangan negara. Terbitnya UU nomor 1 tahun 2004 juga menandakan

dimulainya peran dan perkembangan treasury pada sektor publik. Dalam

sektor pemerintahan saat ini, fungsi treasury tersebar ke tiga unit

eselon-1 dibawah Kementerian Keuangan, yaitu pada Direktorat

Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Direktorat Jenderal Pengelolaan

Utang/Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

(DJPU/DJPPR), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36 tahun 2014 tentang Cetak

Biru Program Transformasi Kelembagaan Keuangan Tahun 2014-2025,

terdapat delapan fungsi treasury yang saat ini telah dilakukan

pemerintah, kedelapan fungsi tersebut adalah: pengelolaan pencairan,

pengelolaan penerimaan, pengelolaan kas, pengelolaan utang,

pengelolaan risiko, pengelolaan aset, akuntansi dan pelaporan, special

missions.

Dengan perkembangan perekonomian global yang semakin meningkat,

maka dibutuhkan peran bagian treasury yang semakin kuat pula, baik

dalam sektor privat maupun pemerintahan. Dalam sektor pemerintahan

hal tersebut sudah tercermin dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

36 tahun 2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi Kelembagaan

Keuangan Tahun 2014-2025, dimana pada KMK tersebut salah satu fokus

transformasi fungsi Kementerian Keuangan terletak pada tranfsormasi

fungsi perbendaharaan. Hal lain juga terlihat pada visi Ditjen

Perbendaharaan yaitu “to be a world class state-treasury manager”, dimana

Ditjen Perbendaharaan pada khususnya dituntut untuk menerapkan

fungsi-fungsi perbendaharaan sesuai dengan best practices di tingkat

dunia. Best practices fungsi treasury di dunia sedikit banyak juga

mengadopsi fungsi treasury yang diterapkan pada sektor privat, dan

apabila menilik dari fungsi treasury pada sektor privat diatas,

terlihat bahwa masih terdapat beberapa fungsi treasury di sektor

privat yang masih bisa diadopsi di sektor pemerintahan guna

meningkatkan peran treasury dalam proses pengelolaan keuangan negara.

Selanjutnya makalah ini akan memaparkan mengenai fungsi treasury pada

sektor privat yang sudah diterapkan saat ini oleh pemerintah dan

yang masih bisa diadopsi oleh pemerintah.

II. PEMBAHASAN

Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan satu per satu

mengenai fungsi treasury pada sektor privat yang sudah diterapkan pada

sektor pemerintah dan juga fungsi lainnya yang masih dapat diadopsi.

A. Cash forecasting

Dalam sektor privat fungsi Cash forecasting diterapkan melalui

pengumpulan informasi dari sekitar perusahaan untuk menyusun

perkiraan kas kedepan. Informasi ini dapat berasal dari pencatatan

akuntansi, anggaran, anggaran belanja modal, board minutes (untuk

pembayaran dividen), dan bahkan CEO (untuk pengeluaran yang

berkaitan dengan akuisisi dan divestasi).

Dalam penerapannya pada sektor pemerintahan, perencanaan kas

pemerintah bertujuan untuk memastikan bahwa negara memiliki saldo

kas yang cukup untuk mebiayai kewajiban negara dalam rangka

pelaksanaan APBN atau menghindari terjadinya cash mismatch. Pengaturan

kebijakan terkait perencanaan kas menjadi tanggung jawab Direktorat

Jenderal Perbendaharaan (DJPB) dalam hal ini adalah Direktorat

Pengelolaan Kas Negara khususnya pada Subdirektorat Perencaan dan

Pengendalian Kas. Sebenarnya penerapan perencanaan kas ini telah

dilakukan pemerintah sejak lama, yang ditunjukkan melalui halaman 3

DIPA yang berisi rencana penarikan dana dan rencana penerimaan.

Tetapi hal tersebut belum dapat dilakukan secara optimal, mengingat

sangat terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di satuan kerja

dalam melakukan perencanaan kas.

Selanjutnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan

nomor 192/PMK.05/2009 tentang Perencanaan Kas. PMK tersebut

mengamanatkan kepada seluruh satuan kerja untuk menyampaikan

perkiraan penarikan dana nya secara periodik kepada KPPN baik

disusun secara bulanan, mingguan, dan juga harian, dalam PMK ini

juga dijelaskan bahwa satuan kerja yang tidak menyusun perkiraan

dana nya dan menyampaikannya ke KPPN, maka satker tersebut tidak

dapat melakukan pencairan dana. Sanksi terkait penundaan pencairan

belanja menjadi masalah sendiri dalam penerapan perencanaan kas ini,

karena dianggap menghambat realisasi belanja pemerintah. Perencanaan

kas seperti ini dianggap sangat menyulitkan bagi satker, khususnya

satker yang memiliki pagu besar, namun hanya memilki sumber daya

manusia yang sangat terbatas.

Selanjutnya Direktorat PKN mengeluarkan kebijakan baru dalam

perencanaan kas untuk menggantikan kebijakan sebelumnya, dimana

tidak seluruh satuan kerja yang menyampaikan perencanaan kas nya,

tetapi hanya satuan kerja yang memiliki belanja yang signifikan

berpengaruh terhadap penyediaan kas. Satker tersebut nantinya

dikelompokkan berdasarkan besaran belanja nya. Kebijakan perencanaan

kas seperti ini sedikit banyak meringankan satuan kerja, sehingga

satuan kerja tidak perlu menyampaikan perencanaan kas untuk

realisasi belanja yang berjumlah kecil, seperti belanja operasional

satker. Namun akurasi penarikan kas dibandingkan dengan

perencanaannya masih sangat rendah. Kedepannya KPPN dapat juga

berfokus dalam bimbingan tidak hanya terkait pelaksanaan anggaran

saja, tetapi juga perencanaannya.

Kegiatan perencanaan kas ini memang sulit untuk dilakukan,

mengingat banyaknya satuan kerja di Indonesia yang juga tidak

memiliki kemampuan SDM yang merata. Namun apabila perencanaan kas

ini dapat dilakukan dengan baik, manfaatnya akan sangat besar dalam

pelaksanaan anggaran yang lebih efektif dan efisien.

B. Working capital monitoring

Working capital merupakan komponen kunci dalam penentuan arus kas

perusahaan, dimana pengelolaan inventory, piutang, dan utang merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan working capital. Dalam

sektor pemerintahan, faktor-faktor yang mempengaruhi working capital

mungkin dapat didefinisikan berbeda dari sektor privat, hal ini

tidak terlepas dari tujuan pemerintah yang berbeda dengan sektor

privat, dapat diambil contoh dalam penggolongan inventory sebagai

working capital, dimana pada pemerintahan persediaan sebagian besar

hanya digunakan sebagai barang habis pakai, sehingga kurang relevan

apabila persediaan digolongkan sebagai faktor yang termasuk working

capital dalam pemerintah. Untuk itu beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi working capital dalam pemerintahan antara lain adalah kas,

piutang, utang, dan aset tetap. Dari definisi dan faktor-faktor yang

mempengaruhi working capital, dapat disebutkan bahwa working capital

management juga serupa dengan asset and liability management, karena

pada dasarnya fokus pengelolaan adalah atas transaksi yang tertuang

pada neraca.

Dalam penerapan pengelolaan working capital di pemerintahan

terlihat bahwa pemerintah masih bertumpu pada kas sebagai dasar

modal kerja nya. Pemerintah masih kurang melakukan optimalisasi dari

sisi piutang dan utang dalam menentukan arus kas masa depan

pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari tersebarnya wewenang

pengelolaan working capital pada pemerintahan, dimana pengelolaan kas

berada pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), pengelolaan

utang berada pada Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan

Risiko (DJPPR), dan pengelolaan piutang dan aset tetap berada pada

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Tersebarnya tanggung

jawab pengelolaan dari working capital ini sedikit banyak menghambat

koordinasi dalam melakukan working capital management pemerintah.

Pengelolaan working capital pemerintah yang dapat diterapkan dijelaskan

sebagai berikut.

Kas

Dalam working paper yang diterbitkan oleh Kantor Akuntan Publik

Deloitte yang berjudul Make your Working capital Work For You: Strategies for

Optimizing Your Cash Management, disebutkan bahwa langkah awal dalam

mengoptimalkan working capital management yang optimal adalah dengan

menyusun suatu cash management culture yang mapan. Mu Yibin (2006)

mengemukakan bahwa terdapat dua model umum yang dilakukan dalam

manajemen saldo kas, yaitu yang pertama adalah simple cash balance

management dimana dengan model ini manajer keuangan tidak secara

aktif menginvestasikan saldo kasnya di pasar keuangan, namun akan

menempatkan saldonya pada bank sentral atau bank komersial pada saat

terjadi kelebihan kas. Model kedua adalah active cash balance management

dimana pada model ini manajer keuangan akan secara aktif

menginvestasikan kelebihan kas dan atau melakukan pinjaman untuk

mencapai target saldo kas pemerintah.

Pengelolaan kas pemerintah sejauh ini masih terfokus pada simple

cash management, atau dengan kata lain pemerintah masih mengandalkan

penempatan kas pada rekening BI yang selanjutnya mendapatkan bunga

dari penempatan kas tersebut, walaupun sebenarnya pemerintah juga

telah menuju pengelolaan kas secara active cash management, yang

ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3

tahun 2014 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum yang

diterapkan dengan pembuatan treasury dealing room, dimana nantinya

pemerintah juga dapat menempatkan kas nya dalam bank umum dan

mendapat profit dari penempat kas tersebut. Pada praktiknya

penerapan kebijakan ini masih mengalami beberapa hambatan dan

permasalahan, khususnya dalam kebijakan terkait pembebanan kerugian

atas penempatan kas tersebut, sehingga pemerintah belum dapat

menerapkan kebijakan ini secara optimal.

Untuk menerapkan model active cash management secara optimal,

pemerintah diharapkan untuk menetapkan tujuan investasi kas secara

memadai dan komprehensif, serta memastikan prudensi dari investasi

kas tersebut. Selanjutnya untuk mendapatkan return yang lebih besar

guna mendukung arus kas, pemerintah kedepannya dapat

menginvestasikan kelebihan kas tidak hanya melalui penempatan pada

bank umum saja, tetapi juga pada portofolio saham. Memang investasi

kas melalui portofolio saham dinilai memiliki risiko yang sangat

tinggi, tetapi hal ini dapat diatasi juga dengan melakukan proses

mitigasi risiko atas investasi secara menyeluruh.

Pemerintah juga dapat mengoptimalkan penggunaan instrumen valuta

asing sebagai pengelolaan likuiditas pemerintah. Kebijakan,

strategi, dan pedoman pengelolaan valuta asing jangka pendek yang

optimal sangat diperlukan dalam mendukung arus kas pemerintah,

selain itu koordinasi pemerintah dengan institusi lain seperti Bank

Indonesia terkait kebijakan dan target pengelolaan valuta asing juga

harus secara berkala dilakukan guna mendapatkan return yang optimal

dari pertukaran valuta asing tersebut.

Penerapan manajemen kas pemerintah tidak dapat berjalan dengan

baik apabila perencanaan kas yang dilakukan pemerintah masih belum

optimal. Pemerintah harus melakukan proses manajemen kas yang

bersifat end-to-end, yang diawali mulai dari perencanaan kas yang

optimal, penentuan target saldo kas pemerintah yang tepat, sampai

dengan koordinasi dengan institusi lain.

Piutang

Manajemen piutang merupakan salah satu fungsi kunci dari

manajemen perbendaharaan, dan memiliki dampak langsung terhadap

posisi keuangan organisasi apabila tidak dikelola secara baik. Tiap

keterlambatan dalam penagihan piutang dapat mengakibatkan kebutuhan

working capital organisasi akan berubah. Pengelolaan piutang yang baik

dapat memungkinkan organisasi untuk secara akurat meramalkan arus

kas masa depannya, yang selanjutnya akan mencitakan pengelolaan

likuiditas yang efektif. Dalam pemerintahan, piutang pemerintah

dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari penerusan pinjaman

pemerintah, piutang pajak, dan piutang PNBP. Pengelolaan piutang

pemerintah saat ini menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal

Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Permasalahan yang

terjadi pada pengelolaan piutang pemerintah adalah sulitnya untuk

melakukan penagihan piutang negara, hal ini tidak terlepas dari

debitur pemerintah yang sebagian besar adalah BUMN/D dan juga

masyarakat yang disalurkan melalui penerusan pinjaman dan kredit

program. Dari Neraca LKPP tahun 2013 terlihat bahwa saldo Penyisihan

Piutang Tidak Tertagih pemerintah mencapai angka

Rp159.689.806.285.608. Besaran tersebut menunjukkan bahwa

permasalahan kredit macet dalam piutang negara masih sulit untuk

diselesaikan.

Jumlah piutang negara yang cukup besar tersebut mempunyai

potensi yang besar dalam mendukung arus kas pemerintah, untuk itu

pemerintah harus mulai memberi perhatian dalam pengelolaan piutang

pemerintah. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah

dalam mengoptimalkan piutang negara, pertama adalah dengan cara

melakukan pengetatan syarat pemerintah daerah/BUMN dalam mengajukan

penerusan pinjaman kepada pemerintah. Institusi pemerintah yang

berwenang melakukan pemberian penerusan pinjaman adalah Direktorat

Jenderal Perbendaharaan pada Kementerian Keuangan. Selama ini,

analisa pemberian penerusan pinjaman dilakukan oleh Ditjen

Perbendaharaan pada tahap akhir, kedepannya analisa tersebut dapat

disajikan pada awal proses peminjaman, sehingga mitigasi risiko

dapat dilakukan lebih dahulu, salah satunya adalah risiko penerusan

pinjaman tersebut tidak terbayar oleh debitur.

Kedua adalah dengan melakukan monitoring penerusan pinjaman

secara berkala kepada BUMN/BUMD/Pemda. Monitoring tersebut dapat

dilakukan terkait dengan efektivitas penggunaan penerusan pinjaman,

identifikasi permasalahan atas pembayaran kembali pinjaman, dan

restrukturisasi pinjaman. Monitoring ini dilakukan oleh Ditjen

Perbendaharaan dengan memberikan kewenangan kepada Kantor Wilayah

Ditjen Perbendaharaan di tiap provinsi, mengingat debitur dari

penerusan pinjaman tersebar di seluruh Indonesia. Dengan

dilakukannya monitoring secara berkala, maka pemerintah dapat

mengantisipasi terlebih dahulu apabila ditemukan kemungkinan

kegagaln pelunasan penerusan pinjaman, dan mencari alternatif lain

dalam melunasinya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.05/2007

tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Naskah

Perjanjian Penerusan Pinjaman dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana

Investasi pada BUMN/PT, penyelesaian kredit macet pada BUMN/PT dapat

diselesaikan melalui empat metode, yaitu penjadwalan kembali,

perubahan persyaratan, penyertaan modal negara (PMN), dan

penghapusan. Mengingat instrumen pembiayaan pada prinsipnya adalah

mengatasi kesulitan kas jangka pendek (cash flow shortage) pada APBN,

maka prioritas penyelesaian kredit bermasalah harus lah berorientasi

pada tersedianya kas tunai yang dapat membantu membantu likuiditas

defisit APBN tahun berjalan. Untuk itu cara ketiga dalam

mengoptimalisasikan pelunasan piutang penerusan pinjaman adalah

dengan cara memprioritaskan penyelesaian kredit macet piutang

penerusan pinjaman melalui reschedulling piutang, sementara untuk opsi

PMN dan penghapusan dapat menjadi pilihan yang terakhir.

Aset Tetap

Walaupun tujuan utama dari pengelolaan aset tetap di pemerintah

adalah untuk mendukung kelancaran tujuan dan fungsi pemerintah,

tetapi aset tetap pemerintah juga memiliki potensi untuk

berkontribusi dalam menghasilkan arus kas bagi pemerintah. Namun hal

tersebut belum dapat dilakukan secara optimal oleh pemerintah,

mengingat masih terdapat banyak hambatan dalam pengelolaan aset

tetap pemerintah. Beberapa masalah yang dihadapi pemerintah dalam

pengelolaan aset tetap adalah masih banyaknya aset tetap pemerintah

yang idle namun belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga aset

tetap tersebut tidak dapat memberikan nilai tambah apapun bagi

pemerintah. Selain itu identifikasi dan kepemilikan aset juga masih

menjadi masalah pengelolaan aset tetap pemerintah, hal ini terlihat

dari permasalahan legalitas dokumen kepemilikan aset pemerintah,

dimana sebagian besar telah habis masa berlakunya, sehingga

berpotensi akan menimbulkan permasalahan hukum apabila tetap

dilaksanakan penjualan aset tersebut.

Dalam mengatasi permasalahan pengelolaan aset tetap pemerintah

yang idle, pemerintah dapat menerapkan kebijakan pengelolaan aset

tetap secara aktif, hal ini sebenarnya sudah dicanangkan pemerintah

melalui rencana pembentukan badan layanan umum yang menangani

masalah pengelolaan aset pemerintah yang idle, hanya saja, sampai

dengan saat ini badan layanan umum tersebut belum juga terbentuk.

Kedepannya pemerintah harus mengoptimalkan kinerja dari badan

layanan umum tersebut dalam melakukan pengelolaan aset tetap

pemerintah yang idle, dengan tahap awal adalah melakukan perencanaan

strategis atas pengelolaan aset tetap pemerintah, selanjutnya

pemerintah dapat melakukan rekonstruksi aset tetap pemerintah yang

idle sehingga layak untuk digunakan oleh pihak luar dengan tujuan

mendapatkan return yang memadai. Return dari penggunaan aset tetap

pemerintah oleh pihak luar tersebut selanjutnya dapat digunakan

pemerintah menjadi salah satu sumber PNBP yang potensial, sehingga

dapat berkontribusi dalam arus kas pemerintah. Pemerintah kedepannya

juga dapat melakukan kajian portofolio aset secara berkala untuk

memastikan portofolio aset pemerintah teroptimalkan.

Terkait dengan permasalahan identifikasi dan kepemilikan aset

tetap, pemerintah diharapkan untuk melakukan tinjauan atas seluruh

aset yang berada dibawah pengelolaannya, termasuk aset yang termasuk

dalam item off balance sheet, seperti aset eks-BPPN. Dengan

teridentifikasinya aset tetap tersebut, pemerintah dapat mengambil

langkah untuk melakukan pengelolaan selanjutnya.

Utang

Dalam pengelolaan utang, pemerintah dihadapkan dengan masih

adanya ketergantungan pemerintah atas utang dalam membiayai kegiatan

non infrastruktur, atau tidak menghasilkan nilai tambah bagi

pemerintah. Hal ini dapat terlihat pada tahun 2014 dimana pada saat

itu pemerintah mengalami apa yang disebut cash flow shortage, atau

kekurangan kas jangka pendek, sementara penerimaan perpajakan juga

tidak mencukupi untuk membiayai operasional pemerintah, atas masalah

tersebut pemerintah akhirnya melakukan pinjaman untuk membiayai

operasional pemerintah. Selain itu pemerintah juga masih dihadapkan

dengan ketergantungan akan pinjaman luar negeri dalam membiayai

defisitnya.

Dalam pengelolaan utang, pemerintah diharapkan menyusun suatu

undang-undang utang negara, sehingga dalam melakukan pinjaman

pemerintah tidak hanya diatur mengenai kuantitas nya saja (3% dari

PDB), tetapi juga kualitas dari pinjaman tersebut, sehingga

pemerintah tidak melakukan pinjaman hanya sekedar untuk membiayai

operasional pemerintah, tetapi difokuskan dalam pembangunan

infrastruktur pemerintah yang memberikan nilai tambah.

Pemerintah juga diharapkan dapat membangun pasar obligasi dalam

negeri yang likuid, sehingga akan membanu pemerintah dalam menjamin

permintaan terhadap surat berharga negara yang cepat dan segera.

Kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dapat membantu

pemerintah dalam membangun pasar obligasi dalam negeri. Dengan

berkembangnya pasar obligasi dalam negeri, maka diharapkan membantu

pemerintah dalam menutup kekurangan kas jangka pendek dan yang

terjadi secara tiba-tiba.

Selain itu pemerintah juga dapat memperkuat hubungan dengan

kreditur pemerintah. Hal ini dilakukan agar pemerintah memiliki

kesempatan untuk melakukan debt swap ataupun restructure debt atas utang

pemerintah. Sehingga pemerintah tidak dihadapkan dengan kesulitan

dalam melakukan pembayaran kembali atas utang pemerintah.

Komite Koordinasi

Dalam melakukan working capital management yang optimal, diperlukan

adanya suatu komite koordinasi yang bertugas untuk mejembatani

kebutuhan atas tiap-tiap fungsi dalam organisasi. Pada sektor swasta

lazim dibentuk suatu working capital management, yang biasanya terdiri

dari treasurer, dan beberapa direktur, dimana working capital management

ini akan melakukan rapat secara bulanan untuk membahas pemenuhan dan

kebutuhan working capital perusahaan. Pada pemerintahan di Indonesia,

hal ini juga telah diterapkan, yaitu dengan membentuk Komite

Pengelolaan Aset dan Liabilitas (Asset and Liability Management

Committee, ALMC) pada bulan Februari 2013. ALMC diketuai oleh

Menteri Keuangan, dengan Wakil Menteri Keuangan sebagai Wakil Ketua.

Anggota ALMC terdiri atas Dirjen Pengelolaan Utang (Sekretaris),

Sekretaris Jenderal, Kepala BKF, Staf Ahli Kementerian Keuangan,

Dirjen Perbendaharaan, Dirjen Anggaran, Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan

Cukai, Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Dirjen Kekayaan Negara (para

anggota). Tugas Ditjen Perbendaharaan pada ALMC adalah bertanggung

jawab atas penyediaan informasi terkini kondisi pasar uang dan atas

penyusunan perkiraan mingguan dan bulanan dari defisit/surplus kas

berdasarkan perkiraan penerimaan dan pengeluaran. Ditjen ini juga

bertanggung jawab atas penetapan kebijakan pengelolaan kas. Selain

itu untuk meningkatkan akurasi perkiraan kas bulanan, dibentuklah

sebuah komite antar direktorat yang disebut Jaringan Informasi

Perencanaan Kas (Cash Planning Information Network, CPIN). Anggota

CPIN adalah pegawai teknis dari berbagai Ditjen dan Direktorat

(Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pengelolaan Utang,

BKF, dan lain-lain). CPIN mengadakan diskusi secara berkala dan

menerbitkan laporan perkiraan kas bulanan bagi Kementerian Keuangan.

Komite ini bertemu sedikitnya sekali dalam sebulan atau lebih, jika

diperlukan. Komite tersebut menggunakan data riwayat penerimaan,

serta data dan asumsi terkini mengenai ekonomi makro dan indikator

moneter. Pertemuan CPIN – pertemuan rutin pejabat operasional

Kementerian Keuangan dan beberapa kementerian lain untuk melakukan

fungsi pengawasan terhadap satker yang memiliki alokasi anggaran

belanja besar.

Agar penerapan working capital monitoring lebih optimal, diharapkan kedua

komite yang dibentuk pemerintah ini agar dijadikan suatu lembaga

yang mempunyai payung hukum sendiri, sehingga pengawasan akan working

capital pemerintah dapat dilakukan secara berkala, dan tidak terbatas

hanya tugas insidentil. Dengan adanya pengawasan yang berkelanjutan,

diharapkan working capital management pemerintah dapat dilakukan secara

optimal guna mendukung tercapainya arus kas pemerintah yang tepat.

C. Cash concentration

Menurut wikipedia, cash concentration adalah penyaluran sejumlah

dana dari beberapa rekening ke dalam satu rekening tunggal untuk

meningkatkan efisiensi dari manajemen kas. Sedangkan menurut halaman

situs www.accountingtools.com mendefinsikan cash concentration adalah

proses dalam menggabungkan saldo kas di beberapa rekening ke dalam

satu rekening tunggal, sehingga dana yang berasal dari saldo kas

tersebut dapat secara mudah diinvestasikan atau digunakan untuk

pembayaran. Selain itu cash concentration juga dilakukan untuk

mengurangi biaya adminsitratif bank ketika tingkat pengembalian dari

investasi meningkat. Beberapa cara dalam melaksanakan cash concentration

adalah melalui notional pooling dan cash sweeps. Notional pooling adalah

sistem dari cash concentration yang memungkinkan kas berada pada

rekeningnya dibawah pengendalian lokal, tetapi bank mencatatnya

seolah-olah telah terpusat. Cash sweeping adalah suatu sistem yang

didesain untuk memindahkan kas dari beberapa rekening ke dalam satu

rekening terpusat sehingga mudah untuk diinvestasikan. Penerapan

cash concentration ini nantinya juga berhubungan dengan fungsi treasury

lainnya, seperti bank relations, financial risk management, dan working capital

management.

Dalam sektor pemerintahan sendiri, fungsi cash concentration ini

juga sudah diterapkan melalui penerapan Treasury Single Account (TSA) dan

Treasury Notional Pooling (TNP). TSA di pemerintahan pertama kali

diterapkan untuk rekening pengeluaran secara bertahap, atau sering

disebut TSA Pengeluaran, yang dilakukan dimulai dengan

diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-

59/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Rekening Pengeluaran KPPN

Bersaldo Nihil dalam Rangka Penerapan TSA. TSA Pengeluaran

diterapkan melalui penihilan saldo rekening pengeluaran setiap

harinya. Pelaksanaan TSA Pengeluaran digambarkan pada bagan dibawah

ini.

TSA Pengeluaran

Setelah diterapkannya TSA Pengeluaran, selanjutnya pemerintah

menerapkan TSA Penerimaan, yang ditandai dengan diterbitkannya

Peraturan Menteri Keuangan nomor 161/PMK.05/2008 tentang Pelaksanaan

Uji Coba Pelimpahan Rekening Penerimaan pada Bank Persepsi/Devisa

Persepsi/Pos Persepsi pada Hari Kerja Berikutnya. TSA Penerimaan

dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat penerimaan, yaitu melalui

pelimpahan seluruh penerimaan ke rekening kas umum negara pada hari

kapan penerimaan tersebut diterima. Pelaksanaan TSA Penerimaan

digambarkan pada bagan berikut.

TSA Penerimaan

Walaupun pemerintah telah menerapkan TSA secara keseleruhan,

tetapi masiht terdapat beberapa hal yang masih bisa dilakukan

pemerintah dalam mengoptimalkan penerapan TSA, salah satu nya adalah

dengan memperluas jangkauan TSA ke rekening lainnya yang dimiliki

pemerintah yang belum termuat dalam TSA, misalnya rekening pada BLU,

rekening SAL, rekening hibah, dan rekening escrow. Dengan luasnya

jangkauan rekening TSA maka diharapkan peluang pemerintah untuk

menginvestasikan kas yang idle pada rekening tersebut lebih besar

lagi.

Langkah pemerintah selanjutnya dalam menerapkan fungsi cash

concentration adalah melalui penerapan Treasury Notional Pooling (TNP), yang

diterapkan pada rekening bendahara penerimaan dan rekening bendahara

pengeluaran yang dimiliki satker di bank komersial. Menurut

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.05/2009 tentang Penerapan

Treasury Notional Pooling pada Rekening Bendahara Pengeluaran, TNP pada

pemerintah diartikan sebagai sistem yang digunakan untuk mengetahui

posisi saldo konsolidasi dari seluruh rekening bendahara pengeluaran

yang terdapat pada seluruh Kantor Cabang Bank Umum yang bersangkutan

tanpa harus melakukan perpindahan dana antar rekening. Penerapan TNP

di pemerintah selanjutnya dilaksanakan pada rekening bendahara

penerimaan, yang ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 126/PMK.05/2009 tentang Penerapan Pelaksanaan TNP

Treasury Notional Pooling pada Rekening Bendahara Penerimaan. Terakhir

pemerintah menerapkan TNP pada rekening pemerintah lainnya,

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.05/2011 tentang

Penerapan Treasury Notional Pooling pada Rekening Lainnya. TNP

memungkinkan pemerintah untuk dapat memonitor seluruh rekening

bendahara pengeluaran, bendahara penerimaan, dan rekening lainnya.

Tantangan kedepannya dalam penerapan TNP di pemerintahan adalah

dengan mengurangi saldo agregat yang ada di rekening-rekening

bendahara, dengan menyalurkan kas di rekening bendahara yang idle tiap

harinya ke dalam rekening tunggal untuk selanjutnya dapat

diinvestasikan dalam investasi jangka pendek. Sebelum diterapkan,

dibutuhkan analisis mendalam terkait manfaat, biaya, dan risiko atas

opsi ini.

D. Investasi

Investment pada sektor privat diartikan sebagai kebijakan dalam

mengalokasikan kelebihan kas ke dalam beragam jenis investasi,

tergantung dari tingkat pengembalian investasi tersebut dan juga

seberapa cepat investasi tersebut dapat dikonversi menjadi kas.

Dalam penerapannya di sektor pemerintahan, penerapan investasi atas

kelebihan kas tersebar di dua eselon-1 Kementerian Keuangan, yaitu

pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal

Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Investasi kelebihan kas

pemerintah ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 170/PMK.08/2008 tentang Transaksi Surat Utang Negara Secara

Langsung yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 95/PMK.08/2014 yang

juga menandai dibentuknya Dealing Room pada DJPU dan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 03/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Kelebihan dan

Kekurangan Kas yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 03/PMK.05/2014 tentang Penempatan Uang Negara Pada

Bank Umum yang menandai dibentuknya Dealing Room pada DJPB atau lebih

dikenal dengan Treasury Dealing Room. Tabel dibawah ini menjelaskan

perbedaan tujuan dan fungsi Dealing Room pada DJPU dan DJPB.

Fungsi Dealing Room DJPPR (DJPU) dan DJPB

Jenis investasi kelebihan kas yang dapat dilakukan pemerintah

berupa:

Penempatan kas negara di bank sentral;

Penempatan kas negara di bank komersial;

- pada deposito overnight (1-3 hari);

- pada Deposit on Call yang dapat ditarik sewaktu-waktu dengan

pemberitahuan di awal;

- pada Deposito Berjangka yang dapat ditarik pada tanggal

jatuh tempo;

Pembelian obligasi pemerintah dari pasar sekunder;

dan/atau

Repo/Reverse Repo

Dalam pengelolaan investasi kelebihan kas, DJPPR hanya bertindak

sebagai operator dalam transaksi pembelian Surat Utang Negara dan

DJPB sebagai decision maker, yang mengandung arti bahwa DJPPR hanya

akan melakukan transaksi pembelian SUN apabila terdapat permintaan

dari DJPB. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 10 PMK

Nomor 95/PMK.08/2014.

Selanjutnya untuk investasi jangka panjang pemerintah diterapkan

melalui penyertaan modal negara (PMN) yang dikelola oleh Direktorat

Kekayaan Negara pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN),

investasi pada portofolio saham yang dikelola oleh Pusat Investasi

Pemerintah (PIP) yang saat ini telah dilebur kedalam PT.Sarana Multi

Infrastruktur (SMI), dan investasi melalui penerusan pinjaman maupun

kredit program yang dikelola oleh Direktorat Sistem Manajemen

Investasi pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB).

Selain itu pada Kementerian Keuangan juga terdapat fungsi Special

Missions yang tersebar di beberapa Eselon-1 Kementerian Keuangan.

Fungsi Special Missions ini bertugas untuk mengelola investasi di

beberapa sektor. Hanya saja terdapat beberapa masalah dalam

penerapan fungsi special missions ini, yaitu belum jelasnya mandat dan

strategi dari setiap unit, sehingga kinerjanya belum optimal.

E. Grant credit

Fungsi grand credit pada sektor swasta dilakukan dengan

menerbitkan kredit kepada pelanggan, yang melibatkan pengelolaan

kebijakan persyaratan kredit yang diberikan.

Dalam sektor pemerintahan, fungsi grant credit dilakukan oleh

Direktorat Sistem Manajemen Investasi (SMI) pada Direktorat Jenderal

Perbendaharaan (DJPB). Adapun customer dari pemberian kredit yang

dilakukan pemerintah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan

Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Pemerintah Daerah melalui pemberian

penerusan pinjaman, dan masyarakat melalui pemberian kredit program.

Pada Direktorat SMI, kebijakan mengenai pemberian kredit ini

dikelola oleh tiga subdirektorat, yaitu Subdirektorat Pinjaman Badan

Usaha Milik Negara, Subdirektorat Pelaksanaan Penerusan Pinjaman dan

Pemberian Pinjaman Daerah, dan Subdirektorat Kredit Program.

Subdirektorat Pinjaman Badan Usaha Milik Negara mempunyai tugas

melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, analisis,

pelaksanaan, monitoring, evaluasi pinjaman pemerintah dan penerusan

pinjaman serta penyelesaian piutang negara pada Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jasa Keuangan

Bank. Subdirektorat Pinjaman Badan Usaha Milik Negara memiliki

fungsi:

a.penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis penyediaan dan

penyaluran dana pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman kepada

BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;

b.penyiapan bahan perumusan kebijakan pemberian pinjaman pemerintah

dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang negara kepada

BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;

c.penelitian dan penyiapan rencana penyediaan dan penyaluran dana

pinjaman pemerintah dan/atau penerusan pinjaman kepada BUMN dan

BUMD Jasa Keuangan Bank;

d.penelitian dan penyiapan rencana penyelesaian piutang negara pada

BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;

e.pelaksanaan analisis dan evaluasi terhadap permohonan pinjaman

pemerintah dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang

negara pada BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;

f.pelaksanaan pemberian pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman

serta penyelesaian piutang negara pada BUMN dan BUMD Jasa Keuangan

Bank; dan

g.pelaksanaan monitoring, dan evaluasi atas pemberian pinjaman

pemerintah dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang

negara pada BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank.

Subdirektorat Pelaksanaan Penerusan Pinjaman dan Pemberian

Pinjaman Daerah mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan

kebijakan teknis, analisis kelayakan finansial, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi pelaksanaan serta penyelesaian masalah

piutang yang berasal dari pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman

pada Pemerintah Daerah dan BUMD. Subdirektorat Pelaksanaan Penerusan

Pinjaman dan Pemberian Pinjaman Daerah memiliki fungsi:

a.penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis penyediaan dan

penyaluran dana pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman kepada

Pemerintah Daerah dan BUMD;

b.penyiapan bahan perumusan kebijakan pemberian dan penyelesaian

piutang negara yang bersumber dari pinjaman pemerintah dan

penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah dan BUMD;

c.penelitian dan penyiapan rencana penyediaan dan penyaluran dana

pinjaman pemerintah dan/atau penerusan pinjaman kepada Pemerintah

Daerah dan BUMD;

d.penelitian dan penyiapan rencana penyelesaian piutang negara yang

bersumber dari pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman kepada

Pemerintah Daerah dan BUMD;

e.pelaksanaan analisis kelayakan finansial, evaluasi terhadap

permohonan dan perumusan persetujuan dan persyaratan pinjaman

serta penyelesaian piutang negara yang bersumber dari pinjaman

pemerintah dan penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah dan

BUMD;

f.pelaksanaan pemberian pinjaman dan penyelesaian piutang negara

yang bersumber dari pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman

kepada Pemerintah Daerah dan BUMD; dan

g.pelaksanaan monitoring, dan evaluasi atas pemberian pinjaman

pemerintah dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang

negara pada Pemerintah Daerah dan BUMD.

Subdirektorat Kredit Program mempunyai tugas melaksanakan

penyiapan bahan perumusan kebijakan pendanaan, penatausahaan,

monitoring, dan evaluasi pelaporan, restrukturisasi, hapus buku dan

hapus tagih, serta perhitungan serta penyelesaian hak dan kewajiban

keuangan pemerintah dalam rangka penyediaan kredit program.

Subdirektorat Kredit Program memiliki fungsi:

a.penelitian dan penyiapan bahan rumusan kebijakan dan peraturan

kredit program;

b.penyiapan dan pengkajian alternatif sumber dan skema pendanaan

kredit program;

c.penyusunan konsep perjanjian/perubahan perjanjian pinjaman atau

kerjasama pendanaan kredit program;

d.penatausahaan dan pemantauan penyaluran kredit program;

e.pengumpulan dan pengolahan data dan informasi dalam rangka

penyiapan bahan pelaporan serta pengkajian dan evaluasi

penyelenggaraan kredit program;

f.perhitungan dan penyelesaian hak dan kewajiban keuangan pemerintah

dalam rangka kredit program; dan

g.penelitian dan penyiapan perumusan restrukturisasi serta hapus

buku dan hapus tagih kredit program.

Tantangan paling utama yang dihadapi pemerintah dalam penyaluran

kredit ini adalah terkait dengan penagihan pembayaran atas kredit

tersebut. Hal ini dibuktikan dengan besarnya saldo piutang

pemerintah yang berasal dari penerusan pinjaman. Kedepannya

pemerintah diharapkan untuk memperketat syarat pemberian kredit, dan

juga monitoring yang berkelanjutan dalam melakukan penagihan piutang

tersebut.

F. Fund raising

Fungsi fund raising berkaitan dengan penentuan kapan kas tambahan

diperlukan, dan mengumpulkan dana melalui pembelian/akuisisi utang,

penjualan saham, atau perubahan kebijakan perusahaan yang

mempengaruhi modal kerja yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis

dan mempertahankan hubungan baik dengan komunitas investasi untuk

tujuan penggalangan dana.

Dalam sektor pemerintahan, cara fund raising yang paling sering

dilakukan pemerintah adalah melalui penerbitan utang, baik untuk

membiayai defisit APBN pemerintah, maupun untuk membiayai apabila

terjadi cashflow shortage yang sempat terjadi di tahun 2014. Dalam

fungsi fund raising ini dibutuhkan kerja sama dan sinergi yang baik

antara DJPB yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan manajemen kas,

dan DJPPR yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan manajemen utang.

Kerja sama tersebut sangat dibutuhkan dalam menentukan kapan

pemerintah melakukan pinjaman.

Pada DJPB, pengelolaan kas dilaksanakan oleh Direktorat

Pengelolaan Kas Negara, yang berada pada Subdirektorat Perencanaan

dan Pengendalian Kas,dimana salah satu tugas subdirektorat ini

adalah penyusunan strategi pengelolaan kas dan penyediaan dana.

Sedangkan pada DJPPR, pengelolaan strategi utang dilaksanakan oleh

Direktorat Strategi dan Portofolio utang, khususnya pada

Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Utang, yang mempunyai tugas

melaksanakan perumusan, evaluasi, analisis, dan rekomendasi strategi

pengelolaan utang jangka menengah, penyusunan rekomendasi

perencanaan pembiayaan APBN melalui utang dan koordinasi dan

pembinaan hubungan dengan pihak terkait dalam rangka pengelolaan

utang.

Selain melalui penerbitan utang, fund raising dalam pemerintah juga

dilakukan melalui beberapa cara, misalnya melalui penggunaan dana

Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang diatur dalam Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 206/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran

Lebih yang terakhir diubah melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor

203/PMK.05/2013. Pemerintah juga dapat melakukan fund raising lainnya

melalui pengelolaan aset tetap pemerintah maupun penagihan piutang

pemerintah, yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pengelolaan fund raising

ini adalah risiko terhambatnya koordinasi dalam melakukan fund raising

dalam bentuk utang, karena terpisahnya institusi yang bertanggung

jawab dalam pelaksanaan manajemen kas dan manajemen utang. Selain

itu terkait terpisahnya wewenang tersebut juga dapat menimbulkan lag

waktu dalam melakukan pengambilan keputusan, karena harus melalui

birokrasi di lebih dari satu institusi, sehingga pengambilan

keputusan sulit untuk dilakukan secara cepat. Masalah lain dalam

fund raising pemerintah adalah belum optimalnya fund raising pemerintah

non-utang. Hal ini disebabkan terbatasnya sumber daya dalam

pendanaan non-utang pemerintah.

G. Risk management

Penerapan Manajemen Risiko pada sektor privat diterapkan dengan

menggunakan berbagai strategi lindung nilai dan netting untuk

mengurangi risiko yang terkait dengan perubahan nilai aset, tingkat

suku bunga, dan kepemilikan mata uang asing. Beberapa cara atau

prosedur yang dapat dilakukan terkait dengan manajemen risiko

adalah:

a.Locate risks

Melakukan reviu terkait seluruh kontrak, regulasi, dan investasi

untuk menentukan risiko yang dapat berkaitan dengan perusahaan.

b.Mitigate risks

Merancang strategi pengendalian risiko untuk tiap-tiap risiko yang

sudah teridentifikasi sebelumnya.

c.Implement changes

Hal ini berkaitan dengan perubahan yang harus dilakukan perusahaan

atas kegiatan mitigasi risiko sebelumnya. Perubahan ini

membutuhkan anggaran untuk sistem yang baru, ataupun prosedur yang

baru.

d.Pick a broker

Terkait dengan pembelian investasi maupun asuransi. Broker yang

berpengalaman biasanya memiliki pengetahuan yang lebih luas

terkait risiko dalam invetasi maupun asuransi tersebut.

e.Buy insurance

Asuransi dapat melindungi risiko yang terdapat di perusahaan.

Beberapa titik yang dapat diasuransikan semisal mesin, properti,

kewajiban, keamanan perusahaan, dan terkait kompensasi pegawai.

Dalam sektor pemerintah risiko utama khususnya terjadi pada

sektor aset dan kewajiban (balance sheet approach). Risiko tersebut

dapat berupa risiko pada aset, investasi, dan utang. Terkait dengan

risiko pada aset, dapat terbagi menjadi risiko pada penyimpanan kas

dan juga risiko pada aset tetap. Untuk risiko penyimpanan kas,

pemerintah telah menerapkan TSA, sehingga saldo kas pada bank

komersial selalu nihil tiap harinya. Selain itu terkait dengan saldo

kas bendahara, pemerintah juga mempertimbangkan opsi untuk

mengurangi saldo agregat yang ada di rekening bendara, misalnya

melalui penggunaan kartu debit (dalam limit yang sudah ditentukan

Direktorat Jenderal Perbendaharan). Untuk risiko dalam aset tetap

menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Risiko tersebut dapat berupa terdapatnya set-aset idle pemerintah,

yang sudah diatas pemerintah melalui pembentukan BLU Manajemen Aset

yang berfungsi dalam pengelolaan aset pemerintah yang idle, selain

itu dalam mengurangi risiko dalam pengelolaan aset tetap, DJKN juga

sudah mulai mempertimbangkan dalam mengasuransikan aset tetap

pemerintah.

Terkait risiko dalam investasi pemerintah, salah satunya

terdapat dalam investasi jangka pendek pemerintah pada investasi

kelebihan kas melalui TDR. Beberapa risiko dari TDR adalah liquidity

risk, foreign exchange risk, dan lainnya. Beberapa cara pemerintah dalam

mengurangi risiko tersebut adalah melalui in house pada TDR untuk

jangka pendek dan menengah, dan pemerintah juga dapat

mempertimbangkan outsourcing pengelolaan TDR untuk jangka panjang. Hal

ini sejalan dengan prosedur mengatasi risiko yang dilakukan di

sektor privat, yaitu melalui perantara broker.

Untuk risiko dalam pengelolaan utang, dikelola oleh Direktorat

Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), dimana risiko

tersebut tersebar di berbagai instrumen utang seperti SUN, utang

luar negeri, dan pembiayaan syariah, yang mana pengelolaan risiko

tersebut juga dibagi ke dalam seluruh direktorat yang terdapat pada

DJPPR.

Selain pengelolaan risiko terkait utang, dengan terbitnya

Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2014 tentang Perubahan Kelima Atas

Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan

Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas,dan Fungsi

Eselon 1 Kementerian Negara, DJPPR juga mendapatkan tugas baru

sebagai pengelola sovereign risks keuangan negara. Hal ini ditunjukkan

dengan dibentukanya direktorat baru pada DJPPR, yaitu Direktorat

Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. Dengan dibentuknya direktorat

ini, diharapkan pemerintah dapat menerapkan manajemen risiko melalui

enterprise risk management (ERM) yang sudah biasa dilakukan pada sektor

privat.

Secara keseluruhan, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 36 tahun 2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi

Kelembagaan Keuangan Tahun 2014-2025, berikut adalah beberapa

prosedur pengendalian risiko utama keuangan, yaitu:

a.Mengasuransikan aset-aset fisik pemerintah

b.Menginisiasi pengelolaan risiko pada sumber daya alam utama

c.Mengkaji dan memonitoring kewajiban pensiun

d.Menganalisis pilihan skema pensiun dan memberikan rekomendasi

skema pensiun baru.

e.Mengkaji BUMN tertentu yang memiliki dampak fiskal signifikan dan

merekomendasikan cara terbaik untuk mengelola risiko mereka.

f.Mengkaji “special missions” terpilih, misalnya :dana insrasturktur,

unit PPP, dan lain-lain, merekomendasikan cara terbaik untuk

mengelola risiko mereka.

g.Meningkatkan proyeksi pendapatan dan belanja jangka menengah untuk

menghitung present value dari porsi fiskal aset dan kewajiban.

h.Mengkaji kewajiban bantuan sosial.

i.Penyusunan Kerangka Kerja Kesinambungan Utang.

j.Memulai komunikasi mengenai komposisi cadangan devisa/portofolio

utang antara Kemenkeu/Bank Indonesia.

H. Credit rating agency relations/Investor relations

Credit Rating Agency adalah sebuah institusi yang bertugas mereviu

kelayakan kredit sebuah perusahaan yang sedang dalam proses maupun

yang telah menerbitkan pinjaman. Apabila credit rating agency

mengeluarkan nilai tinggi pada kredit, investor akan cenderung

menerima effective interest rate yang lebih rendah pada utang tersebut.

Terkait dengan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan penerbit

utang kepada credit rating agency, maka bisa saja timbul conflict of interest

atas pemberian nilai kredit tersebut. Selanjutnya credit rating agency

relations sendiri adalah penerapan pada sektor privat dengan menjada

hubungan dengan credit rating agency dalam menginformasikan kinerja dan

kondisi keuangan perusahaan, jika perusahaan tersebut juga

menyediakan nilai kredit atas pinjaman yang diterbitkan perusahaan.

Pada dasarnya rating merupakan penilaian creditworthiness

(kemampuan suatu institusi untuk melunasi kreditnya) suatu institusi

baik pemerintah/negara (sovereign) maupun perusahaan swasta. Semakin

baik rating suatu institusi, maka institusi tersebut dianggap

memiliki risiko pengembalian utang paling rendah, sehingga kualitas

instrumen surat berharga yang diterbitkannya semakin baik dan akan

semakin diminati oleh investor, yang akan berujung pada biaya

pengembalian modal (cost of capital) yang semakin rendah. Dalam

penerapannya pada sektor pemerintahan, semakin baik posisi rating

suatu negara, dapat membuat negara tersebut menjadi lebih atraktif

bagi investor, bukan hanya pada investasi portofolio, namun juga

investasi langsung karena negara tersebut dinilai memiliki

perekonomian yang lebih sehat. Hal ini tentunya akan memberikan

manfaat yang sangat besar bagi negara tersebut, di mana investasi

yang tinggi bisa memberikan multiplier effect pada penurunan

pengangguran dan kemiskinan. Tiga lembaga pemeringkat dunia yang

memberikan rating atas kredit adalah Standard & Poors’ (S&P),

Moody’s, dan Fitch. Dalam mempertahankan dan bahkan meningkatkan

credit rating nya, pemerintah diharapkan juga untuk memiliki hubungan

yang baik dengan lembaga pemeringkat kredit. Hal ini diterapkan

pemerintah melalui pogram Hubungan Dedikasi Investor yang

dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal. Kegiatan hubungan dedikasi

investor ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan

lembaga pemeringkat utang. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam

program hubungan dedikasi investor ini adalah:

a.Menjadi bagian dari Investor Relation Unit (IRU) pemerintah.

b.Melaksanakan pertemuan secara rutin antara pejabat tinggi

pemerintah dengan rating committee pada agenda kegiatan-kegiatan

internasional, diantaranya IMF Spring Meeting, ADB Meeting, dst.

c.Mengundang lembaga pemeringkat utang ke Indonesia untuk

menyampaikan update perekonomian dan kebijakan terkini serta

memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Indonesia.

d.Melakukan pertemuan reguler dengan investor, analis, maupun para

ekonom.

e.Melakukan kunjungan ke analyst rating, diantaranya Singapura dan

Hongkong.

f.Menyampaikan data dan informasi terkini secara rutin kepada rating

analyst, OECD dan think-thank agencies, diantaranya update perekonomian,

perkembangan pembangunan infrasturktur, kebijakan subsidi, pasar

modal, dan hukum perburuhan.

g.Melaksanakan kegiatan dedicated team meeting secara rutin dalam rangka

update informasi serta kesamaan pandangan atas isu utama lembaga

rating.

h.Melaksanakan advance-trip untuk meninjau progress pelaksanaan

infrasturktur di daerah.

Dengan semakin kuatnya hubungan antara pemerintah dengan para

investor dan para lembaga pemeringkat kredit, diharapkan peningkatan

peringkat kredit Indonesia akan tercapai.

I. Bank relations

Penerapan Bank relations pada sektor privat dilaksanakan melalui

pertemuan antara treasurer perusahaan dengan perwakilan dari setiap

bank yang digunakan oleh perusahaan dimana bankir perusahaan

memberitahu tentang kondisi keuangan dan proyeksi perusahaan, serta

perubahan yang akan datang yang membutuhkan peminjaman dana. Juga

dapat diskusi ke berbagai layanan yang disediakan oleh bank kepada

perusahaan, seperti lockboxes, wire transfer, pembayaran ACH, dan

sebagainya.

Pada sektor pemerintahan, bank relations diterapkan dalam dua hal,

yaitu hubungan dengan bank sentral, dalam hal ini adalah Bank

Indonesia, dan juga hubungan dengan bank komersial. Hubungan dengan

bank sentral dilakukan dalam kaitannya dengan pengelolaan uang

negara dan dukungan dalam pengelolaan utang. Dalam hal pengelolaan

uang negara, hubungan ini dilaksanakan dengan kerjasama antara Bank

Indonesia dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Hubungan

tersebut bukanlah sesuatu yang baru, mengingat Rekening Kas Umum

Negara (RKUN) yang berfungsi untuk menampung penerimaan negara dan

membayar segala kewajiban yang jatuh tempo berada di Bank Indonesia

(BI). Dari hasil penempatan uang negara tersebut, negara mendapatkan

remunerasi dari BI. Dengan adanya kerja sama ini, pemerintah

mengharapkan adanya hasil yang maksimal dari penempatan uang

pemerintah. Kerja sama selanjutnya yang dijalin pemerintah dengan BI

adalah dalam hal penerapan TSA, khususnya dalam masa implementasi

awal TSA, dimana pemerintah juga memperoleh masukan terkait risiko

dan penerapan TSA. Dalam melakukan penempatan kelebihan kas

pemerintah pada bank umum, pemerintah juga senantiasa

mempertimbangkan masukan dari BI. Dengan dioperasikannya TDR pada

DJPB, diharapkan koordinasi dengan BI lebih penting, agar kegiatan

perbendaharaan tidak berdampak negatif terhadap operasi moneter.

Dalam hal pengelolaan utang, untuk memenuhi azas transparansi

dan akuntabilitas pengelolaan data utang sektor publik, Bank

Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal

Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, menerbitkan publikasi bersama

(joint publication) Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI), yang

terdiri dari data utang pemerintah, Bank Indonesia, dan BUMN, baik

utang domestik maupun utang luar negeri. Selain itu BI juga

senantiasa memberi masukan dalam hal pemerintah ingin menerbitkan

Surat Utang Negara, dimana penerbitan SUN juga berpatokan pada BI

rate pada saat itu.

Selanjutnya hubungan pemerintah dengan bank komersil diterapkan

dalam hal penerimaan dan pengeluaran, yang dilakukan oleh Direktorat

Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Kerja sama dalam hal penerimaan

negara melalui penunjukkan bank umum sebagai bank persepsi, atau

bank yang dapat menerima setoran negara. Penunjukkan dan monitoring

bank persepsi ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Kerja sama dalam hal penerimaan juga dilakukan dalam penerapan Modul

Penerimaan Negara (MPN), dimana DJPB berwenang dalam melakukan

monitoring terkait kesiapan bank umum dalam menerapkan sistem MPN,

baik kesiapan infrastruktur IT maupun SDM.

Terkait dengan pengeluaran, kerja sama pemerintah salah satunya

ditandai dengan penunjukkan empat bank BUMN sebagai Bank Operasional

I, atau bank yang memiliki tanggung jawab dalam menyalurkan dana

Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Keempat bank umum tersebut

adalah Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN. Dengan telah diterapkannya

Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), pola hubungan DJPB

dengan perbankan mulai berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana

pola hubungan yang dibangun lebih kepada kemitraan dalam rangka

bersinergi menyempurnakan implementasi SPAN.

J. IT systems

Pada sektor privat, fungsi IT systems dilakukan dengan

mempertahankan perangkat kerja pada bagian treasury dalam menyediakan

informasi tentang kepemilikan kas, proyeksi, kondisi pasar, dan

informasi serupa lainnya.

Dalam penerapan di sektor pemerintahan, dukungan IT sangat

berperan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi perbendaharaan. Dukungan

IT dalam proses perbendaharaan berasal dari beberapa cara perolehan,

baik melalui kerja sama dengan lembaga lain seperti BI dan bank

umum, kerja sama dengan unit lain pada Kementerian Keuangan, seperti

Pusat Informasi dan Teknologi (PUSINTEK), dan melalui pengembangan

sendiri. Beberapa contoh penerapan IT dalam proses bisnis

perbendaharaan adalah:

a.BI Government Electronic Banking (BIG-eB), yaitu suatu sistem hasil

kerja sama dengan BI yang memberikan koneksi kepada DJPB untuk

memonitor saldo kasi pada rekening yang terdapat di BI.

b.Cash Management System (CMS) Bank Umum adalah suatu sistem yang

biasanya disediakan oleh bank umum selaku bank operasional KPPN

(sebelum penerapan SPAN) yang berfungsi untuk memonitor pelimpahan

dana yang dilakukan bank tiap harinya dalam rangka penerapan TSA.

c.Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), merupakan suatu

sistem hasil kerja sama dengan Direktorat Jenderal Anggaran dan

PUSINTEK. Aplikasi SPAN merupakan sebuah aplikasi terintegrasi

mulai dari proses penganggaran, penerimaan, dan pengeluaran,

dimana hanya terdapat satu database tunggal. SPAN terdiri dari

beberapa modul, yaitu Modul Penyusunan Anggaran, Modul Manajemen

DIPA, Modul Manajemen Komitmen, Modul Manajemen Pembayaran, Modul

Penerimaan Negara, Modul Manajemen Kas, Modul Buku Besar dan Bagan

Akun Standar, dan Modul Pelaporan.

d.Aplikasi Online Monitoring SPAN, yaitu aplikasi yang awalnya

berbasis web yang diciptakan oleh Direktorat Transformasi

Perbendaharaan (DTP) DJPB, yang berfungsi bagi KPPN maupun satuan

kerja dalam melakukan pemantauan terhadap pencairandana yang telah

dilakukan melalui aplikasi SPAN. Selanjutnya aplikasi ini juga

tersedia dalam perangkat android.

e.Aplikasi yang dikembangkan sendiri oleh DJPB dalam hal ini

Direktorat Sistem Perbendaharaan (DSP) yang mendukung

terlaksananya proses pelaksanaan anggaran, baik yang ditujukan

kepada proses bisnis pada KPPN maupun proses bisnis pada satuan

kerja. Contoh aplikasi ini adalah Aplikasi SP2D, Aplikasi SPM,

Aplikasi SAS, Aplikasi Vera, Aplikasi SAKPA, Aplikasi SAIBA,

Aplikasi Bendum, dan lainnya.

Tantangan kedepannya dalam pengembangan IT ini, pemerintah

hendaknya memberikan fokus yang lebih lagi dalam investasi IT,

terlebih dengan meningkatnya penetrasi internet dan smartphone secara

pesar, sehingga pemerintah juga harus berinvestasi secara besar pada

IT untuk memenuhi perubahan kebutuhan pada populasi. Investasi ini

juga dilakukan dengan pertimbangan masih rendahnya anggaran

Kementerian Keuangan dalam hal investasi IT, yaitu dalam Anggaran

Perubahan hanya berjumlah 210 milyar rupiah, atau lebih kecildari

anggaran bank ukuran menengah di Indonesia. Dengan meningkatnya

kualitas IT, diharapkan akan tercipta pengelolaan keuangan yang

lebih akuntabel, efisien, dan transparan.

K. Reporting

Fungsi reporting pada sektor privat diterapkan melalui penyediaan

informasi kepada pada Direksi oleh treasurer mengenai laporan

kondisi pasar, masalah pendanaan, pengembalian investasi, terkait

risiko kas, dan topik serupa lainnya.

Dalam sektor pemerintahan, terlebih setelah diimplementasikannya

SPAN, maka para senior management, dalam hal ini adalah Presiden,

Menteri Keuangan, atau Direktur Jenderal, dapat memperoleh informasi

keuangan secara real time. Hal ini dimungkinkan karena SPAN memiliki

sistem database tunggal. Dalam SPAN fungsi pelaporan dilakukan pada

Modul Reporting, yang berkaitan langsung dengan Modul General Ledger dan

Chart of Account. Pada Modul Reporting di SPAN telah menggunakan basis

akrual sebagai basis akuntansinya. Dengan diterapkannya basis

akrual, maka diharapkan informasi yang diperoleh lebih berkualitas,

karena tidak hanya mencakup transaksi yang telah diterima atau

dikeluarkan secara kas oleh pemerintah, sehingga dapat lebih

membantu dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam fungsi reporting, pemerintah juga mulai menerapkan pelaporan

dengan mengacu pada Government Financial Statistics (GFS) sesuai dengan

standar yang diterapkan di tingkat dunia. GFS dikategorikan sebagai

pelaporan dengan tujuan khusus (special purpose reporting) yang disusun

dalam rangka pengambilan kebijakan ekonomi baik fiskal maupun

moneter, sehingga fokus GFS adalah menyampaikan informasi yang

sesuai dengan kebutuhan pengguna tertentu saja, yaitu para pengambil

kebijakan fiskal dan makro ekonomi. GFS menyediakan data yang

komprehensif atas aktivitas ekonomi dan keuangan pemerintah yang

dapat digunakan untuk analisis serta evaluasi kebijakan fiskal dan

makro ekonomi. GFS dapat menghasilkan antara lain, informasi kinerja

keuangan, posisi keuangan, dan likuiditas pemerintah dengan cakupan

yang lebih luas dan terkonsolidasi. GFS juga didesain sebagai

jembatan antara data akuntansi dengan kebutuhan analisis pemerintah.

Hal ini dimungkinkan karena GFS telah dikembangkan sejalan dengan

standar yang digunakan dalam bidang akuntansi, maupun ekonomi, dan

statistik. Hubungan GFS dengan akuntansi, ekonomi, dan statistik

digambarkan pada bagan berikut.

Bagan Hubungan Antara Akuntansi, Ekonomi, dan Statistik pada GFS

Dengan informasi yang memadai, maka diharapkan pemerintah dapat

membantu pemerintah dalam melakukan pengambilan keputusan yang lebih

berkualitas.

L. Merger and Acquisitions

Fungsi merger and acquisition (M&A) pada sektor privat yaitu

terletak pada masukan yang diberikan oleh bagian treasury terkait

kegiatan akuisisi perusahaan, dan juga dapat dipanggil sewaktu-waktu

dalam mengintegrasikan fungsi treasury dari entitas yang diakuisisi.

Fungsi M&A pada pemerintahan bisa dikatakan belum diterapkan.

Pada DJPB, masukan terkait penggabungan entitas baru dilaksanakan

sebatas penggabungan atau pembentukan untuk unit dalam internal

DJPB. Hal ini sebenarnya dapat menjadi salah satu fungsi strategis

DJPB sebagai analis keuangan dalam hal terjadinya penggabungan atau

pengakuisisian entitas pemerintah. Dapat diambil contoh masalah yang

menimpa beberapa kementerian yang pada era pemerintahan Presiden

Joko Widodo, digabungkan ataupun diubah nomenklaturnya. Masalah yang

terjadi adalah pada saat pelaksanaan anggaran, dimana pada DIPA

kementerian yang bersangkutan masih tercatat menggunakan nomenklatur

lama kementerian tersebut. Hal ini mengakibatkan beberapa

kementerian tersebut mengalami keterlambatan dalam merealisasikan

belanja nya, karena harus menunggu proses revisi DIPA terkait

nomenklatur kementerian. DJPB sebagai institusi yang bertanggung

jawab dalam pembuatan kebijakan pelaksanaan anggaran dapat memberi

masukan terkait dampak dari dilakukannya suatu penggabungan atau

akuisisi entitas dalam ranah pelaksanaan anggaran, sehingga masalah

yang disebutkan dapat dihindarkan, dan pencairan belanja di

kementerian dapat berjalan dengan baik.

Lebih lanjut lagi, DJPB juga dapat ikut memberi masukan dalam

hal pemekaran kabupaten/kota atau provinsi dalam ranah pelaksanaan

anggarannya. Sehingga sudah dapat diprediksi sebelumnya dampak

keuangan yang terjadi akibat pemekaran daerah tersebut, sehingga

dapat dicari solusi dari masalah tersebut dengan cepat.

III. KESIMPULAN

Untuk mewujudkan visi Ditjen Perbendaharaan sebagai “world class

state-treasury manager” maka diperlukan penerapan fungsi treasury yang

unggul, salah satu nya adalah dengan mengadopsi fungsi treasury pada

sektor privat. Fungsi treasury pada sektor privat antara lain Fungsi

treasury pada sektor swasta antara lain : cash forecasting, working capital

monitoring, cash concentration, investments, grant credit, fund raising, risk management,

credit rating agency relations, bank relations, IT systems, reporting, dan merger and

acquisitions.

Pada dasarnya fungsi treasury pada sektor privat sebagian besar

juga telah diterapkan pada sektor pemerintahan yang tersebar ke

beberapa eselon 1 Kementerian Keuangan, diantaranya adalah

Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pengelolaan

Pembiayaan dan Risiko, dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara,

namun masih dibutuhkan penajaman atas tiap-tiap fungsi tersebut.

Selain itu juga terdapat beberapa fungsi treasury yang dilakukan

oleh institusi Kementerian Keuangan lain diluar tiga eselon 1 yang

memiliki fungsi perbendaharaan, yaitu pada fungsi credit agency relaitons,

yang mana fungsi tersebut dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal.

Lalu juga terdapat fungsi treasury pada sektor privat yang belum

diterapkan dalam sektor pemerintahan seperti Merger and Acquisitions.

Dengan penajaman fungsi treasury dan adopsi fungsi treasury dari

sektor privat, diharapkan pemerintah dalam hal ini DJPB dapat

menjadi pengelola perbendaharaan yang unggul di tingkat dunia, demi

terciptanya pengelolaan keuangan yang lebih akuntabel, efisien, dan

transparan.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Keuangan. 2009. Modul Manajemen Kas. Badan Pendidikan danPelatihan Keuangan. Jakarta.

___________________. 2012. Laporan Hubungan Dedikasi Investor. BadanKebijakan Fiskal. Jakarta.

___________________. 2014. Reformasi Pengelolaan Kas di Indonesia: DariAdministrasi Kas Menuju Pengelolaan Kas Secara Aktif. Direktorat JenderalPerbendaharaan. Jakarta.

KPMG. 2009. Finance and Treasury Management. KPMG. Hongkong

Infosys. 2011. White Paper-Treasury Operation:Best Practices in Receivables &Disbursement Functions. Infosys. Bangalore

KPMG. 2013. Treasury’s Role is Changing. KPMG. Stockholm

Association for Financial Professionals. 2014. Strategic Role of Treasury.Oliver Wyman.

Indah, P. 2014. Penerapan Fungsi-fungsi Treasury Sektor Privat padaDitjen Perbendaharaan. Tugas Paper Mata Kuliah Seminar Perbendaharaan.

Anderson, T. F. 2015. Optimalisasi Pembiayaan Defisit AnggaranMelalui Pembiayaan Non-utang Sebagai Alternatif DalamMengurangi Stok Utang Pemerintah. Tugas Paper UAS Mata Kuliah SeminarKeuangan Publik.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.05/2009. Perencanaan Kas.Jakarta

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.05/2010. Organisasi dan TataKerja Kementerian Keuangan. Jakarta

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.05/2013. Perubahan AtasPeraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.05/2010 Tentang Pengelolaan SaldoAnggaran Lebih. 30 Desember 2013. Berita Negara RepublikIndonesia Tahun 2013 Nomor 1571. Jakarta

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.05/2014. Penempatan UangNegara Pada Bank Umum. Jakarta

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.08/2014. Transaksi Surat UtangNegara Secara Langsung. Jakarta

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/KMK.01/2014. Cetak Biru ProgramTransformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2015. 5Februari 2014.

Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2007.Petunjuk Pelaksanaan Rekening Pengeluaran KPPN Bersaldo Nihil dalam RangkaPenerapan TSA. Jakarta

http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=hal&id=42 diakses padatanggal 23 Juni 2015 pukul 01.54

http://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-dpr/Documents/Buku%20Triwulan%20IV-2013%20d an%20Tahun%202013.pdf diakses padatanggal 23 Juni 2015 pukul 01.50

http://support. treasury view.com/kb/ treasury / treasury -function-overview diakses pada tanggal 23 Juni pukul 01.00

http://www.span.depkeu.go.id/content/single-probis-manajemen-dipa diakses pada tanggal 23 Juni 2014 pukul 00.37

http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2176 diakses pada tanggal 22 Juni pukul 22.53

http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=news&aksi=lihat&id=3075 diakses pada tanggal 22 Juni pukul 22.52

http://www.accountingtools.com/ diakses pada tanggal 22 Juni pukul 18.02

https://en.wikipedia.org/wiki/Cash_concentration diakses pada tanggal 22 Juni pukul 15.32