KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG SELATAN
MAKALAH
PENERAPAN FUNGSI TREASURY DI SEKTOR PRIVAT PADA SEKTOR
PEMERINTAHAN
Diajukan:
TODO FILIPI ANDERSONNPM: 144060006153
Kelas 8/B, No. Absen.30
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Seminar Perbendaharaan Diploma IV Keuangan
Spesialisasi Akuntansi Kurikulum Reguler Semester VIII T.A.
2014/2015
I. PENDAHULUAN
Seperti yang telah dilansir oleh Assocation For Financial Professionals
(AFP) melalui Laporan hasil survey nya yang berjudul Strategc Role of
Treasury, dikemukakan bahwa dewasa ini peran treasury pada sektor privat
semakin berkembang, dan menjadi semakin krusial, terutama dalam
mendukung pengambilan keputusan perusahaan. Peran treasury akan
berkembang dari peran terdahulu yang hanya sebagai back-office menjadi
peran yang lebih jelas dan strategis. Beberapa perkembangan fungsi
treasury pada sektor privat menurut laporan hasil survey dari AFP
antara lain: bank relationship management, borrowing, investing, financial risk
management, counterparty risk analysis, working capital management, capital
planning/allocation, retirement plan management, leasing, enterprise risk management,
business continuity planning, investor relations, merger and acquisitions, accounting,
technology implementation.
Sejalan dengan apa yang dilakukan pada sektor privat, pada
sektor publik, treasury juga memiliki peran penting dalam proses tata
kelola pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan dengan diterbitkannya
Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang
merupakan salah satu dari paket undang-undang reformasi pengelolaan
keuangan negara. Terbitnya UU nomor 1 tahun 2004 juga menandakan
dimulainya peran dan perkembangan treasury pada sektor publik. Dalam
sektor pemerintahan saat ini, fungsi treasury tersebar ke tiga unit
eselon-1 dibawah Kementerian Keuangan, yaitu pada Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang/Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
(DJPU/DJPPR), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36 tahun 2014 tentang Cetak
Biru Program Transformasi Kelembagaan Keuangan Tahun 2014-2025,
terdapat delapan fungsi treasury yang saat ini telah dilakukan
pemerintah, kedelapan fungsi tersebut adalah: pengelolaan pencairan,
pengelolaan penerimaan, pengelolaan kas, pengelolaan utang,
pengelolaan risiko, pengelolaan aset, akuntansi dan pelaporan, special
missions.
Dengan perkembangan perekonomian global yang semakin meningkat,
maka dibutuhkan peran bagian treasury yang semakin kuat pula, baik
dalam sektor privat maupun pemerintahan. Dalam sektor pemerintahan
hal tersebut sudah tercermin dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
36 tahun 2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi Kelembagaan
Keuangan Tahun 2014-2025, dimana pada KMK tersebut salah satu fokus
transformasi fungsi Kementerian Keuangan terletak pada tranfsormasi
fungsi perbendaharaan. Hal lain juga terlihat pada visi Ditjen
Perbendaharaan yaitu “to be a world class state-treasury manager”, dimana
Ditjen Perbendaharaan pada khususnya dituntut untuk menerapkan
fungsi-fungsi perbendaharaan sesuai dengan best practices di tingkat
dunia. Best practices fungsi treasury di dunia sedikit banyak juga
mengadopsi fungsi treasury yang diterapkan pada sektor privat, dan
apabila menilik dari fungsi treasury pada sektor privat diatas,
terlihat bahwa masih terdapat beberapa fungsi treasury di sektor
privat yang masih bisa diadopsi di sektor pemerintahan guna
meningkatkan peran treasury dalam proses pengelolaan keuangan negara.
Selanjutnya makalah ini akan memaparkan mengenai fungsi treasury pada
sektor privat yang sudah diterapkan saat ini oleh pemerintah dan
yang masih bisa diadopsi oleh pemerintah.
II. PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan ini akan dijelaskan satu per satu
mengenai fungsi treasury pada sektor privat yang sudah diterapkan pada
sektor pemerintah dan juga fungsi lainnya yang masih dapat diadopsi.
A. Cash forecasting
Dalam sektor privat fungsi Cash forecasting diterapkan melalui
pengumpulan informasi dari sekitar perusahaan untuk menyusun
perkiraan kas kedepan. Informasi ini dapat berasal dari pencatatan
akuntansi, anggaran, anggaran belanja modal, board minutes (untuk
pembayaran dividen), dan bahkan CEO (untuk pengeluaran yang
berkaitan dengan akuisisi dan divestasi).
Dalam penerapannya pada sektor pemerintahan, perencanaan kas
pemerintah bertujuan untuk memastikan bahwa negara memiliki saldo
kas yang cukup untuk mebiayai kewajiban negara dalam rangka
pelaksanaan APBN atau menghindari terjadinya cash mismatch. Pengaturan
kebijakan terkait perencanaan kas menjadi tanggung jawab Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPB) dalam hal ini adalah Direktorat
Pengelolaan Kas Negara khususnya pada Subdirektorat Perencaan dan
Pengendalian Kas. Sebenarnya penerapan perencanaan kas ini telah
dilakukan pemerintah sejak lama, yang ditunjukkan melalui halaman 3
DIPA yang berisi rencana penarikan dana dan rencana penerimaan.
Tetapi hal tersebut belum dapat dilakukan secara optimal, mengingat
sangat terbatasnya kemampuan sumber daya manusia di satuan kerja
dalam melakukan perencanaan kas.
Selanjutnya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
nomor 192/PMK.05/2009 tentang Perencanaan Kas. PMK tersebut
mengamanatkan kepada seluruh satuan kerja untuk menyampaikan
perkiraan penarikan dana nya secara periodik kepada KPPN baik
disusun secara bulanan, mingguan, dan juga harian, dalam PMK ini
juga dijelaskan bahwa satuan kerja yang tidak menyusun perkiraan
dana nya dan menyampaikannya ke KPPN, maka satker tersebut tidak
dapat melakukan pencairan dana. Sanksi terkait penundaan pencairan
belanja menjadi masalah sendiri dalam penerapan perencanaan kas ini,
karena dianggap menghambat realisasi belanja pemerintah. Perencanaan
kas seperti ini dianggap sangat menyulitkan bagi satker, khususnya
satker yang memiliki pagu besar, namun hanya memilki sumber daya
manusia yang sangat terbatas.
Selanjutnya Direktorat PKN mengeluarkan kebijakan baru dalam
perencanaan kas untuk menggantikan kebijakan sebelumnya, dimana
tidak seluruh satuan kerja yang menyampaikan perencanaan kas nya,
tetapi hanya satuan kerja yang memiliki belanja yang signifikan
berpengaruh terhadap penyediaan kas. Satker tersebut nantinya
dikelompokkan berdasarkan besaran belanja nya. Kebijakan perencanaan
kas seperti ini sedikit banyak meringankan satuan kerja, sehingga
satuan kerja tidak perlu menyampaikan perencanaan kas untuk
realisasi belanja yang berjumlah kecil, seperti belanja operasional
satker. Namun akurasi penarikan kas dibandingkan dengan
perencanaannya masih sangat rendah. Kedepannya KPPN dapat juga
berfokus dalam bimbingan tidak hanya terkait pelaksanaan anggaran
saja, tetapi juga perencanaannya.
Kegiatan perencanaan kas ini memang sulit untuk dilakukan,
mengingat banyaknya satuan kerja di Indonesia yang juga tidak
memiliki kemampuan SDM yang merata. Namun apabila perencanaan kas
ini dapat dilakukan dengan baik, manfaatnya akan sangat besar dalam
pelaksanaan anggaran yang lebih efektif dan efisien.
B. Working capital monitoring
Working capital merupakan komponen kunci dalam penentuan arus kas
perusahaan, dimana pengelolaan inventory, piutang, dan utang merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan working capital. Dalam
sektor pemerintahan, faktor-faktor yang mempengaruhi working capital
mungkin dapat didefinisikan berbeda dari sektor privat, hal ini
tidak terlepas dari tujuan pemerintah yang berbeda dengan sektor
privat, dapat diambil contoh dalam penggolongan inventory sebagai
working capital, dimana pada pemerintahan persediaan sebagian besar
hanya digunakan sebagai barang habis pakai, sehingga kurang relevan
apabila persediaan digolongkan sebagai faktor yang termasuk working
capital dalam pemerintah. Untuk itu beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi working capital dalam pemerintahan antara lain adalah kas,
piutang, utang, dan aset tetap. Dari definisi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi working capital, dapat disebutkan bahwa working capital
management juga serupa dengan asset and liability management, karena
pada dasarnya fokus pengelolaan adalah atas transaksi yang tertuang
pada neraca.
Dalam penerapan pengelolaan working capital di pemerintahan
terlihat bahwa pemerintah masih bertumpu pada kas sebagai dasar
modal kerja nya. Pemerintah masih kurang melakukan optimalisasi dari
sisi piutang dan utang dalam menentukan arus kas masa depan
pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari tersebarnya wewenang
pengelolaan working capital pada pemerintahan, dimana pengelolaan kas
berada pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), pengelolaan
utang berada pada Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan
Risiko (DJPPR), dan pengelolaan piutang dan aset tetap berada pada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Tersebarnya tanggung
jawab pengelolaan dari working capital ini sedikit banyak menghambat
koordinasi dalam melakukan working capital management pemerintah.
Pengelolaan working capital pemerintah yang dapat diterapkan dijelaskan
sebagai berikut.
Kas
Dalam working paper yang diterbitkan oleh Kantor Akuntan Publik
Deloitte yang berjudul Make your Working capital Work For You: Strategies for
Optimizing Your Cash Management, disebutkan bahwa langkah awal dalam
mengoptimalkan working capital management yang optimal adalah dengan
menyusun suatu cash management culture yang mapan. Mu Yibin (2006)
mengemukakan bahwa terdapat dua model umum yang dilakukan dalam
manajemen saldo kas, yaitu yang pertama adalah simple cash balance
management dimana dengan model ini manajer keuangan tidak secara
aktif menginvestasikan saldo kasnya di pasar keuangan, namun akan
menempatkan saldonya pada bank sentral atau bank komersial pada saat
terjadi kelebihan kas. Model kedua adalah active cash balance management
dimana pada model ini manajer keuangan akan secara aktif
menginvestasikan kelebihan kas dan atau melakukan pinjaman untuk
mencapai target saldo kas pemerintah.
Pengelolaan kas pemerintah sejauh ini masih terfokus pada simple
cash management, atau dengan kata lain pemerintah masih mengandalkan
penempatan kas pada rekening BI yang selanjutnya mendapatkan bunga
dari penempatan kas tersebut, walaupun sebenarnya pemerintah juga
telah menuju pengelolaan kas secara active cash management, yang
ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3
tahun 2014 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum yang
diterapkan dengan pembuatan treasury dealing room, dimana nantinya
pemerintah juga dapat menempatkan kas nya dalam bank umum dan
mendapat profit dari penempat kas tersebut. Pada praktiknya
penerapan kebijakan ini masih mengalami beberapa hambatan dan
permasalahan, khususnya dalam kebijakan terkait pembebanan kerugian
atas penempatan kas tersebut, sehingga pemerintah belum dapat
menerapkan kebijakan ini secara optimal.
Untuk menerapkan model active cash management secara optimal,
pemerintah diharapkan untuk menetapkan tujuan investasi kas secara
memadai dan komprehensif, serta memastikan prudensi dari investasi
kas tersebut. Selanjutnya untuk mendapatkan return yang lebih besar
guna mendukung arus kas, pemerintah kedepannya dapat
menginvestasikan kelebihan kas tidak hanya melalui penempatan pada
bank umum saja, tetapi juga pada portofolio saham. Memang investasi
kas melalui portofolio saham dinilai memiliki risiko yang sangat
tinggi, tetapi hal ini dapat diatasi juga dengan melakukan proses
mitigasi risiko atas investasi secara menyeluruh.
Pemerintah juga dapat mengoptimalkan penggunaan instrumen valuta
asing sebagai pengelolaan likuiditas pemerintah. Kebijakan,
strategi, dan pedoman pengelolaan valuta asing jangka pendek yang
optimal sangat diperlukan dalam mendukung arus kas pemerintah,
selain itu koordinasi pemerintah dengan institusi lain seperti Bank
Indonesia terkait kebijakan dan target pengelolaan valuta asing juga
harus secara berkala dilakukan guna mendapatkan return yang optimal
dari pertukaran valuta asing tersebut.
Penerapan manajemen kas pemerintah tidak dapat berjalan dengan
baik apabila perencanaan kas yang dilakukan pemerintah masih belum
optimal. Pemerintah harus melakukan proses manajemen kas yang
bersifat end-to-end, yang diawali mulai dari perencanaan kas yang
optimal, penentuan target saldo kas pemerintah yang tepat, sampai
dengan koordinasi dengan institusi lain.
Piutang
Manajemen piutang merupakan salah satu fungsi kunci dari
manajemen perbendaharaan, dan memiliki dampak langsung terhadap
posisi keuangan organisasi apabila tidak dikelola secara baik. Tiap
keterlambatan dalam penagihan piutang dapat mengakibatkan kebutuhan
working capital organisasi akan berubah. Pengelolaan piutang yang baik
dapat memungkinkan organisasi untuk secara akurat meramalkan arus
kas masa depannya, yang selanjutnya akan mencitakan pengelolaan
likuiditas yang efektif. Dalam pemerintahan, piutang pemerintah
dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari penerusan pinjaman
pemerintah, piutang pajak, dan piutang PNBP. Pengelolaan piutang
pemerintah saat ini menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Permasalahan yang
terjadi pada pengelolaan piutang pemerintah adalah sulitnya untuk
melakukan penagihan piutang negara, hal ini tidak terlepas dari
debitur pemerintah yang sebagian besar adalah BUMN/D dan juga
masyarakat yang disalurkan melalui penerusan pinjaman dan kredit
program. Dari Neraca LKPP tahun 2013 terlihat bahwa saldo Penyisihan
Piutang Tidak Tertagih pemerintah mencapai angka
Rp159.689.806.285.608. Besaran tersebut menunjukkan bahwa
permasalahan kredit macet dalam piutang negara masih sulit untuk
diselesaikan.
Jumlah piutang negara yang cukup besar tersebut mempunyai
potensi yang besar dalam mendukung arus kas pemerintah, untuk itu
pemerintah harus mulai memberi perhatian dalam pengelolaan piutang
pemerintah. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah
dalam mengoptimalkan piutang negara, pertama adalah dengan cara
melakukan pengetatan syarat pemerintah daerah/BUMN dalam mengajukan
penerusan pinjaman kepada pemerintah. Institusi pemerintah yang
berwenang melakukan pemberian penerusan pinjaman adalah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan pada Kementerian Keuangan. Selama ini,
analisa pemberian penerusan pinjaman dilakukan oleh Ditjen
Perbendaharaan pada tahap akhir, kedepannya analisa tersebut dapat
disajikan pada awal proses peminjaman, sehingga mitigasi risiko
dapat dilakukan lebih dahulu, salah satunya adalah risiko penerusan
pinjaman tersebut tidak terbayar oleh debitur.
Kedua adalah dengan melakukan monitoring penerusan pinjaman
secara berkala kepada BUMN/BUMD/Pemda. Monitoring tersebut dapat
dilakukan terkait dengan efektivitas penggunaan penerusan pinjaman,
identifikasi permasalahan atas pembayaran kembali pinjaman, dan
restrukturisasi pinjaman. Monitoring ini dilakukan oleh Ditjen
Perbendaharaan dengan memberikan kewenangan kepada Kantor Wilayah
Ditjen Perbendaharaan di tiap provinsi, mengingat debitur dari
penerusan pinjaman tersebar di seluruh Indonesia. Dengan
dilakukannya monitoring secara berkala, maka pemerintah dapat
mengantisipasi terlebih dahulu apabila ditemukan kemungkinan
kegagaln pelunasan penerusan pinjaman, dan mencari alternatif lain
dalam melunasinya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.05/2007
tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Naskah
Perjanjian Penerusan Pinjaman dan Perjanjian Pinjaman Rekening Dana
Investasi pada BUMN/PT, penyelesaian kredit macet pada BUMN/PT dapat
diselesaikan melalui empat metode, yaitu penjadwalan kembali,
perubahan persyaratan, penyertaan modal negara (PMN), dan
penghapusan. Mengingat instrumen pembiayaan pada prinsipnya adalah
mengatasi kesulitan kas jangka pendek (cash flow shortage) pada APBN,
maka prioritas penyelesaian kredit bermasalah harus lah berorientasi
pada tersedianya kas tunai yang dapat membantu membantu likuiditas
defisit APBN tahun berjalan. Untuk itu cara ketiga dalam
mengoptimalisasikan pelunasan piutang penerusan pinjaman adalah
dengan cara memprioritaskan penyelesaian kredit macet piutang
penerusan pinjaman melalui reschedulling piutang, sementara untuk opsi
PMN dan penghapusan dapat menjadi pilihan yang terakhir.
Aset Tetap
Walaupun tujuan utama dari pengelolaan aset tetap di pemerintah
adalah untuk mendukung kelancaran tujuan dan fungsi pemerintah,
tetapi aset tetap pemerintah juga memiliki potensi untuk
berkontribusi dalam menghasilkan arus kas bagi pemerintah. Namun hal
tersebut belum dapat dilakukan secara optimal oleh pemerintah,
mengingat masih terdapat banyak hambatan dalam pengelolaan aset
tetap pemerintah. Beberapa masalah yang dihadapi pemerintah dalam
pengelolaan aset tetap adalah masih banyaknya aset tetap pemerintah
yang idle namun belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga aset
tetap tersebut tidak dapat memberikan nilai tambah apapun bagi
pemerintah. Selain itu identifikasi dan kepemilikan aset juga masih
menjadi masalah pengelolaan aset tetap pemerintah, hal ini terlihat
dari permasalahan legalitas dokumen kepemilikan aset pemerintah,
dimana sebagian besar telah habis masa berlakunya, sehingga
berpotensi akan menimbulkan permasalahan hukum apabila tetap
dilaksanakan penjualan aset tersebut.
Dalam mengatasi permasalahan pengelolaan aset tetap pemerintah
yang idle, pemerintah dapat menerapkan kebijakan pengelolaan aset
tetap secara aktif, hal ini sebenarnya sudah dicanangkan pemerintah
melalui rencana pembentukan badan layanan umum yang menangani
masalah pengelolaan aset pemerintah yang idle, hanya saja, sampai
dengan saat ini badan layanan umum tersebut belum juga terbentuk.
Kedepannya pemerintah harus mengoptimalkan kinerja dari badan
layanan umum tersebut dalam melakukan pengelolaan aset tetap
pemerintah yang idle, dengan tahap awal adalah melakukan perencanaan
strategis atas pengelolaan aset tetap pemerintah, selanjutnya
pemerintah dapat melakukan rekonstruksi aset tetap pemerintah yang
idle sehingga layak untuk digunakan oleh pihak luar dengan tujuan
mendapatkan return yang memadai. Return dari penggunaan aset tetap
pemerintah oleh pihak luar tersebut selanjutnya dapat digunakan
pemerintah menjadi salah satu sumber PNBP yang potensial, sehingga
dapat berkontribusi dalam arus kas pemerintah. Pemerintah kedepannya
juga dapat melakukan kajian portofolio aset secara berkala untuk
memastikan portofolio aset pemerintah teroptimalkan.
Terkait dengan permasalahan identifikasi dan kepemilikan aset
tetap, pemerintah diharapkan untuk melakukan tinjauan atas seluruh
aset yang berada dibawah pengelolaannya, termasuk aset yang termasuk
dalam item off balance sheet, seperti aset eks-BPPN. Dengan
teridentifikasinya aset tetap tersebut, pemerintah dapat mengambil
langkah untuk melakukan pengelolaan selanjutnya.
Utang
Dalam pengelolaan utang, pemerintah dihadapkan dengan masih
adanya ketergantungan pemerintah atas utang dalam membiayai kegiatan
non infrastruktur, atau tidak menghasilkan nilai tambah bagi
pemerintah. Hal ini dapat terlihat pada tahun 2014 dimana pada saat
itu pemerintah mengalami apa yang disebut cash flow shortage, atau
kekurangan kas jangka pendek, sementara penerimaan perpajakan juga
tidak mencukupi untuk membiayai operasional pemerintah, atas masalah
tersebut pemerintah akhirnya melakukan pinjaman untuk membiayai
operasional pemerintah. Selain itu pemerintah juga masih dihadapkan
dengan ketergantungan akan pinjaman luar negeri dalam membiayai
defisitnya.
Dalam pengelolaan utang, pemerintah diharapkan menyusun suatu
undang-undang utang negara, sehingga dalam melakukan pinjaman
pemerintah tidak hanya diatur mengenai kuantitas nya saja (3% dari
PDB), tetapi juga kualitas dari pinjaman tersebut, sehingga
pemerintah tidak melakukan pinjaman hanya sekedar untuk membiayai
operasional pemerintah, tetapi difokuskan dalam pembangunan
infrastruktur pemerintah yang memberikan nilai tambah.
Pemerintah juga diharapkan dapat membangun pasar obligasi dalam
negeri yang likuid, sehingga akan membanu pemerintah dalam menjamin
permintaan terhadap surat berharga negara yang cepat dan segera.
Kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dapat membantu
pemerintah dalam membangun pasar obligasi dalam negeri. Dengan
berkembangnya pasar obligasi dalam negeri, maka diharapkan membantu
pemerintah dalam menutup kekurangan kas jangka pendek dan yang
terjadi secara tiba-tiba.
Selain itu pemerintah juga dapat memperkuat hubungan dengan
kreditur pemerintah. Hal ini dilakukan agar pemerintah memiliki
kesempatan untuk melakukan debt swap ataupun restructure debt atas utang
pemerintah. Sehingga pemerintah tidak dihadapkan dengan kesulitan
dalam melakukan pembayaran kembali atas utang pemerintah.
Komite Koordinasi
Dalam melakukan working capital management yang optimal, diperlukan
adanya suatu komite koordinasi yang bertugas untuk mejembatani
kebutuhan atas tiap-tiap fungsi dalam organisasi. Pada sektor swasta
lazim dibentuk suatu working capital management, yang biasanya terdiri
dari treasurer, dan beberapa direktur, dimana working capital management
ini akan melakukan rapat secara bulanan untuk membahas pemenuhan dan
kebutuhan working capital perusahaan. Pada pemerintahan di Indonesia,
hal ini juga telah diterapkan, yaitu dengan membentuk Komite
Pengelolaan Aset dan Liabilitas (Asset and Liability Management
Committee, ALMC) pada bulan Februari 2013. ALMC diketuai oleh
Menteri Keuangan, dengan Wakil Menteri Keuangan sebagai Wakil Ketua.
Anggota ALMC terdiri atas Dirjen Pengelolaan Utang (Sekretaris),
Sekretaris Jenderal, Kepala BKF, Staf Ahli Kementerian Keuangan,
Dirjen Perbendaharaan, Dirjen Anggaran, Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan
Cukai, Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Dirjen Kekayaan Negara (para
anggota). Tugas Ditjen Perbendaharaan pada ALMC adalah bertanggung
jawab atas penyediaan informasi terkini kondisi pasar uang dan atas
penyusunan perkiraan mingguan dan bulanan dari defisit/surplus kas
berdasarkan perkiraan penerimaan dan pengeluaran. Ditjen ini juga
bertanggung jawab atas penetapan kebijakan pengelolaan kas. Selain
itu untuk meningkatkan akurasi perkiraan kas bulanan, dibentuklah
sebuah komite antar direktorat yang disebut Jaringan Informasi
Perencanaan Kas (Cash Planning Information Network, CPIN). Anggota
CPIN adalah pegawai teknis dari berbagai Ditjen dan Direktorat
(Ditjen Anggaran, Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pengelolaan Utang,
BKF, dan lain-lain). CPIN mengadakan diskusi secara berkala dan
menerbitkan laporan perkiraan kas bulanan bagi Kementerian Keuangan.
Komite ini bertemu sedikitnya sekali dalam sebulan atau lebih, jika
diperlukan. Komite tersebut menggunakan data riwayat penerimaan,
serta data dan asumsi terkini mengenai ekonomi makro dan indikator
moneter. Pertemuan CPIN – pertemuan rutin pejabat operasional
Kementerian Keuangan dan beberapa kementerian lain untuk melakukan
fungsi pengawasan terhadap satker yang memiliki alokasi anggaran
belanja besar.
Agar penerapan working capital monitoring lebih optimal, diharapkan kedua
komite yang dibentuk pemerintah ini agar dijadikan suatu lembaga
yang mempunyai payung hukum sendiri, sehingga pengawasan akan working
capital pemerintah dapat dilakukan secara berkala, dan tidak terbatas
hanya tugas insidentil. Dengan adanya pengawasan yang berkelanjutan,
diharapkan working capital management pemerintah dapat dilakukan secara
optimal guna mendukung tercapainya arus kas pemerintah yang tepat.
C. Cash concentration
Menurut wikipedia, cash concentration adalah penyaluran sejumlah
dana dari beberapa rekening ke dalam satu rekening tunggal untuk
meningkatkan efisiensi dari manajemen kas. Sedangkan menurut halaman
situs www.accountingtools.com mendefinsikan cash concentration adalah
proses dalam menggabungkan saldo kas di beberapa rekening ke dalam
satu rekening tunggal, sehingga dana yang berasal dari saldo kas
tersebut dapat secara mudah diinvestasikan atau digunakan untuk
pembayaran. Selain itu cash concentration juga dilakukan untuk
mengurangi biaya adminsitratif bank ketika tingkat pengembalian dari
investasi meningkat. Beberapa cara dalam melaksanakan cash concentration
adalah melalui notional pooling dan cash sweeps. Notional pooling adalah
sistem dari cash concentration yang memungkinkan kas berada pada
rekeningnya dibawah pengendalian lokal, tetapi bank mencatatnya
seolah-olah telah terpusat. Cash sweeping adalah suatu sistem yang
didesain untuk memindahkan kas dari beberapa rekening ke dalam satu
rekening terpusat sehingga mudah untuk diinvestasikan. Penerapan
cash concentration ini nantinya juga berhubungan dengan fungsi treasury
lainnya, seperti bank relations, financial risk management, dan working capital
management.
Dalam sektor pemerintahan sendiri, fungsi cash concentration ini
juga sudah diterapkan melalui penerapan Treasury Single Account (TSA) dan
Treasury Notional Pooling (TNP). TSA di pemerintahan pertama kali
diterapkan untuk rekening pengeluaran secara bertahap, atau sering
disebut TSA Pengeluaran, yang dilakukan dimulai dengan
diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor PER-
59/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Rekening Pengeluaran KPPN
Bersaldo Nihil dalam Rangka Penerapan TSA. TSA Pengeluaran
diterapkan melalui penihilan saldo rekening pengeluaran setiap
harinya. Pelaksanaan TSA Pengeluaran digambarkan pada bagan dibawah
ini.
TSA Pengeluaran
Setelah diterapkannya TSA Pengeluaran, selanjutnya pemerintah
menerapkan TSA Penerimaan, yang ditandai dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Keuangan nomor 161/PMK.05/2008 tentang Pelaksanaan
Uji Coba Pelimpahan Rekening Penerimaan pada Bank Persepsi/Devisa
Persepsi/Pos Persepsi pada Hari Kerja Berikutnya. TSA Penerimaan
dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat penerimaan, yaitu melalui
pelimpahan seluruh penerimaan ke rekening kas umum negara pada hari
kapan penerimaan tersebut diterima. Pelaksanaan TSA Penerimaan
digambarkan pada bagan berikut.
TSA Penerimaan
Walaupun pemerintah telah menerapkan TSA secara keseleruhan,
tetapi masiht terdapat beberapa hal yang masih bisa dilakukan
pemerintah dalam mengoptimalkan penerapan TSA, salah satu nya adalah
dengan memperluas jangkauan TSA ke rekening lainnya yang dimiliki
pemerintah yang belum termuat dalam TSA, misalnya rekening pada BLU,
rekening SAL, rekening hibah, dan rekening escrow. Dengan luasnya
jangkauan rekening TSA maka diharapkan peluang pemerintah untuk
menginvestasikan kas yang idle pada rekening tersebut lebih besar
lagi.
Langkah pemerintah selanjutnya dalam menerapkan fungsi cash
concentration adalah melalui penerapan Treasury Notional Pooling (TNP), yang
diterapkan pada rekening bendahara penerimaan dan rekening bendahara
pengeluaran yang dimiliki satker di bank komersial. Menurut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.05/2009 tentang Penerapan
Treasury Notional Pooling pada Rekening Bendahara Pengeluaran, TNP pada
pemerintah diartikan sebagai sistem yang digunakan untuk mengetahui
posisi saldo konsolidasi dari seluruh rekening bendahara pengeluaran
yang terdapat pada seluruh Kantor Cabang Bank Umum yang bersangkutan
tanpa harus melakukan perpindahan dana antar rekening. Penerapan TNP
di pemerintah selanjutnya dilaksanakan pada rekening bendahara
penerimaan, yang ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 126/PMK.05/2009 tentang Penerapan Pelaksanaan TNP
Treasury Notional Pooling pada Rekening Bendahara Penerimaan. Terakhir
pemerintah menerapkan TNP pada rekening pemerintah lainnya,
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.05/2011 tentang
Penerapan Treasury Notional Pooling pada Rekening Lainnya. TNP
memungkinkan pemerintah untuk dapat memonitor seluruh rekening
bendahara pengeluaran, bendahara penerimaan, dan rekening lainnya.
Tantangan kedepannya dalam penerapan TNP di pemerintahan adalah
dengan mengurangi saldo agregat yang ada di rekening-rekening
bendahara, dengan menyalurkan kas di rekening bendahara yang idle tiap
harinya ke dalam rekening tunggal untuk selanjutnya dapat
diinvestasikan dalam investasi jangka pendek. Sebelum diterapkan,
dibutuhkan analisis mendalam terkait manfaat, biaya, dan risiko atas
opsi ini.
D. Investasi
Investment pada sektor privat diartikan sebagai kebijakan dalam
mengalokasikan kelebihan kas ke dalam beragam jenis investasi,
tergantung dari tingkat pengembalian investasi tersebut dan juga
seberapa cepat investasi tersebut dapat dikonversi menjadi kas.
Dalam penerapannya di sektor pemerintahan, penerapan investasi atas
kelebihan kas tersebar di dua eselon-1 Kementerian Keuangan, yaitu
pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Investasi kelebihan kas
pemerintah ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 170/PMK.08/2008 tentang Transaksi Surat Utang Negara Secara
Langsung yang terakhir diubah dengan PMK Nomor 95/PMK.08/2014 yang
juga menandai dibentuknya Dealing Room pada DJPU dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 03/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Kelebihan dan
Kekurangan Kas yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 03/PMK.05/2014 tentang Penempatan Uang Negara Pada
Bank Umum yang menandai dibentuknya Dealing Room pada DJPB atau lebih
dikenal dengan Treasury Dealing Room. Tabel dibawah ini menjelaskan
perbedaan tujuan dan fungsi Dealing Room pada DJPU dan DJPB.
Fungsi Dealing Room DJPPR (DJPU) dan DJPB
Jenis investasi kelebihan kas yang dapat dilakukan pemerintah
berupa:
Penempatan kas negara di bank sentral;
Penempatan kas negara di bank komersial;
- pada deposito overnight (1-3 hari);
- pada Deposit on Call yang dapat ditarik sewaktu-waktu dengan
pemberitahuan di awal;
- pada Deposito Berjangka yang dapat ditarik pada tanggal
jatuh tempo;
Pembelian obligasi pemerintah dari pasar sekunder;
dan/atau
Repo/Reverse Repo
Dalam pengelolaan investasi kelebihan kas, DJPPR hanya bertindak
sebagai operator dalam transaksi pembelian Surat Utang Negara dan
DJPB sebagai decision maker, yang mengandung arti bahwa DJPPR hanya
akan melakukan transaksi pembelian SUN apabila terdapat permintaan
dari DJPB. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 10 PMK
Nomor 95/PMK.08/2014.
Selanjutnya untuk investasi jangka panjang pemerintah diterapkan
melalui penyertaan modal negara (PMN) yang dikelola oleh Direktorat
Kekayaan Negara pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN),
investasi pada portofolio saham yang dikelola oleh Pusat Investasi
Pemerintah (PIP) yang saat ini telah dilebur kedalam PT.Sarana Multi
Infrastruktur (SMI), dan investasi melalui penerusan pinjaman maupun
kredit program yang dikelola oleh Direktorat Sistem Manajemen
Investasi pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB).
Selain itu pada Kementerian Keuangan juga terdapat fungsi Special
Missions yang tersebar di beberapa Eselon-1 Kementerian Keuangan.
Fungsi Special Missions ini bertugas untuk mengelola investasi di
beberapa sektor. Hanya saja terdapat beberapa masalah dalam
penerapan fungsi special missions ini, yaitu belum jelasnya mandat dan
strategi dari setiap unit, sehingga kinerjanya belum optimal.
E. Grant credit
Fungsi grand credit pada sektor swasta dilakukan dengan
menerbitkan kredit kepada pelanggan, yang melibatkan pengelolaan
kebijakan persyaratan kredit yang diberikan.
Dalam sektor pemerintahan, fungsi grant credit dilakukan oleh
Direktorat Sistem Manajemen Investasi (SMI) pada Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPB). Adapun customer dari pemberian kredit yang
dilakukan pemerintah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Pemerintah Daerah melalui pemberian
penerusan pinjaman, dan masyarakat melalui pemberian kredit program.
Pada Direktorat SMI, kebijakan mengenai pemberian kredit ini
dikelola oleh tiga subdirektorat, yaitu Subdirektorat Pinjaman Badan
Usaha Milik Negara, Subdirektorat Pelaksanaan Penerusan Pinjaman dan
Pemberian Pinjaman Daerah, dan Subdirektorat Kredit Program.
Subdirektorat Pinjaman Badan Usaha Milik Negara mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, analisis,
pelaksanaan, monitoring, evaluasi pinjaman pemerintah dan penerusan
pinjaman serta penyelesaian piutang negara pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jasa Keuangan
Bank. Subdirektorat Pinjaman Badan Usaha Milik Negara memiliki
fungsi:
a.penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis penyediaan dan
penyaluran dana pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman kepada
BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;
b.penyiapan bahan perumusan kebijakan pemberian pinjaman pemerintah
dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang negara kepada
BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;
c.penelitian dan penyiapan rencana penyediaan dan penyaluran dana
pinjaman pemerintah dan/atau penerusan pinjaman kepada BUMN dan
BUMD Jasa Keuangan Bank;
d.penelitian dan penyiapan rencana penyelesaian piutang negara pada
BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;
e.pelaksanaan analisis dan evaluasi terhadap permohonan pinjaman
pemerintah dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang
negara pada BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank;
f.pelaksanaan pemberian pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman
serta penyelesaian piutang negara pada BUMN dan BUMD Jasa Keuangan
Bank; dan
g.pelaksanaan monitoring, dan evaluasi atas pemberian pinjaman
pemerintah dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang
negara pada BUMN dan BUMD Jasa Keuangan Bank.
Subdirektorat Pelaksanaan Penerusan Pinjaman dan Pemberian
Pinjaman Daerah mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan
kebijakan teknis, analisis kelayakan finansial, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan serta penyelesaian masalah
piutang yang berasal dari pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman
pada Pemerintah Daerah dan BUMD. Subdirektorat Pelaksanaan Penerusan
Pinjaman dan Pemberian Pinjaman Daerah memiliki fungsi:
a.penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis penyediaan dan
penyaluran dana pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman kepada
Pemerintah Daerah dan BUMD;
b.penyiapan bahan perumusan kebijakan pemberian dan penyelesaian
piutang negara yang bersumber dari pinjaman pemerintah dan
penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah dan BUMD;
c.penelitian dan penyiapan rencana penyediaan dan penyaluran dana
pinjaman pemerintah dan/atau penerusan pinjaman kepada Pemerintah
Daerah dan BUMD;
d.penelitian dan penyiapan rencana penyelesaian piutang negara yang
bersumber dari pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman kepada
Pemerintah Daerah dan BUMD;
e.pelaksanaan analisis kelayakan finansial, evaluasi terhadap
permohonan dan perumusan persetujuan dan persyaratan pinjaman
serta penyelesaian piutang negara yang bersumber dari pinjaman
pemerintah dan penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah dan
BUMD;
f.pelaksanaan pemberian pinjaman dan penyelesaian piutang negara
yang bersumber dari pinjaman pemerintah dan penerusan pinjaman
kepada Pemerintah Daerah dan BUMD; dan
g.pelaksanaan monitoring, dan evaluasi atas pemberian pinjaman
pemerintah dan penerusan pinjaman serta penyelesaian piutang
negara pada Pemerintah Daerah dan BUMD.
Subdirektorat Kredit Program mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan kebijakan pendanaan, penatausahaan,
monitoring, dan evaluasi pelaporan, restrukturisasi, hapus buku dan
hapus tagih, serta perhitungan serta penyelesaian hak dan kewajiban
keuangan pemerintah dalam rangka penyediaan kredit program.
Subdirektorat Kredit Program memiliki fungsi:
a.penelitian dan penyiapan bahan rumusan kebijakan dan peraturan
kredit program;
b.penyiapan dan pengkajian alternatif sumber dan skema pendanaan
kredit program;
c.penyusunan konsep perjanjian/perubahan perjanjian pinjaman atau
kerjasama pendanaan kredit program;
d.penatausahaan dan pemantauan penyaluran kredit program;
e.pengumpulan dan pengolahan data dan informasi dalam rangka
penyiapan bahan pelaporan serta pengkajian dan evaluasi
penyelenggaraan kredit program;
f.perhitungan dan penyelesaian hak dan kewajiban keuangan pemerintah
dalam rangka kredit program; dan
g.penelitian dan penyiapan perumusan restrukturisasi serta hapus
buku dan hapus tagih kredit program.
Tantangan paling utama yang dihadapi pemerintah dalam penyaluran
kredit ini adalah terkait dengan penagihan pembayaran atas kredit
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan besarnya saldo piutang
pemerintah yang berasal dari penerusan pinjaman. Kedepannya
pemerintah diharapkan untuk memperketat syarat pemberian kredit, dan
juga monitoring yang berkelanjutan dalam melakukan penagihan piutang
tersebut.
F. Fund raising
Fungsi fund raising berkaitan dengan penentuan kapan kas tambahan
diperlukan, dan mengumpulkan dana melalui pembelian/akuisisi utang,
penjualan saham, atau perubahan kebijakan perusahaan yang
mempengaruhi modal kerja yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis
dan mempertahankan hubungan baik dengan komunitas investasi untuk
tujuan penggalangan dana.
Dalam sektor pemerintahan, cara fund raising yang paling sering
dilakukan pemerintah adalah melalui penerbitan utang, baik untuk
membiayai defisit APBN pemerintah, maupun untuk membiayai apabila
terjadi cashflow shortage yang sempat terjadi di tahun 2014. Dalam
fungsi fund raising ini dibutuhkan kerja sama dan sinergi yang baik
antara DJPB yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan manajemen kas,
dan DJPPR yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan manajemen utang.
Kerja sama tersebut sangat dibutuhkan dalam menentukan kapan
pemerintah melakukan pinjaman.
Pada DJPB, pengelolaan kas dilaksanakan oleh Direktorat
Pengelolaan Kas Negara, yang berada pada Subdirektorat Perencanaan
dan Pengendalian Kas,dimana salah satu tugas subdirektorat ini
adalah penyusunan strategi pengelolaan kas dan penyediaan dana.
Sedangkan pada DJPPR, pengelolaan strategi utang dilaksanakan oleh
Direktorat Strategi dan Portofolio utang, khususnya pada
Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Utang, yang mempunyai tugas
melaksanakan perumusan, evaluasi, analisis, dan rekomendasi strategi
pengelolaan utang jangka menengah, penyusunan rekomendasi
perencanaan pembiayaan APBN melalui utang dan koordinasi dan
pembinaan hubungan dengan pihak terkait dalam rangka pengelolaan
utang.
Selain melalui penerbitan utang, fund raising dalam pemerintah juga
dilakukan melalui beberapa cara, misalnya melalui penggunaan dana
Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 206/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Saldo Anggaran
Lebih yang terakhir diubah melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor
203/PMK.05/2013. Pemerintah juga dapat melakukan fund raising lainnya
melalui pengelolaan aset tetap pemerintah maupun penagihan piutang
pemerintah, yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam pengelolaan fund raising
ini adalah risiko terhambatnya koordinasi dalam melakukan fund raising
dalam bentuk utang, karena terpisahnya institusi yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan manajemen kas dan manajemen utang. Selain
itu terkait terpisahnya wewenang tersebut juga dapat menimbulkan lag
waktu dalam melakukan pengambilan keputusan, karena harus melalui
birokrasi di lebih dari satu institusi, sehingga pengambilan
keputusan sulit untuk dilakukan secara cepat. Masalah lain dalam
fund raising pemerintah adalah belum optimalnya fund raising pemerintah
non-utang. Hal ini disebabkan terbatasnya sumber daya dalam
pendanaan non-utang pemerintah.
G. Risk management
Penerapan Manajemen Risiko pada sektor privat diterapkan dengan
menggunakan berbagai strategi lindung nilai dan netting untuk
mengurangi risiko yang terkait dengan perubahan nilai aset, tingkat
suku bunga, dan kepemilikan mata uang asing. Beberapa cara atau
prosedur yang dapat dilakukan terkait dengan manajemen risiko
adalah:
a.Locate risks
Melakukan reviu terkait seluruh kontrak, regulasi, dan investasi
untuk menentukan risiko yang dapat berkaitan dengan perusahaan.
b.Mitigate risks
Merancang strategi pengendalian risiko untuk tiap-tiap risiko yang
sudah teridentifikasi sebelumnya.
c.Implement changes
Hal ini berkaitan dengan perubahan yang harus dilakukan perusahaan
atas kegiatan mitigasi risiko sebelumnya. Perubahan ini
membutuhkan anggaran untuk sistem yang baru, ataupun prosedur yang
baru.
d.Pick a broker
Terkait dengan pembelian investasi maupun asuransi. Broker yang
berpengalaman biasanya memiliki pengetahuan yang lebih luas
terkait risiko dalam invetasi maupun asuransi tersebut.
e.Buy insurance
Asuransi dapat melindungi risiko yang terdapat di perusahaan.
Beberapa titik yang dapat diasuransikan semisal mesin, properti,
kewajiban, keamanan perusahaan, dan terkait kompensasi pegawai.
Dalam sektor pemerintah risiko utama khususnya terjadi pada
sektor aset dan kewajiban (balance sheet approach). Risiko tersebut
dapat berupa risiko pada aset, investasi, dan utang. Terkait dengan
risiko pada aset, dapat terbagi menjadi risiko pada penyimpanan kas
dan juga risiko pada aset tetap. Untuk risiko penyimpanan kas,
pemerintah telah menerapkan TSA, sehingga saldo kas pada bank
komersial selalu nihil tiap harinya. Selain itu terkait dengan saldo
kas bendahara, pemerintah juga mempertimbangkan opsi untuk
mengurangi saldo agregat yang ada di rekening bendara, misalnya
melalui penggunaan kartu debit (dalam limit yang sudah ditentukan
Direktorat Jenderal Perbendaharan). Untuk risiko dalam aset tetap
menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Risiko tersebut dapat berupa terdapatnya set-aset idle pemerintah,
yang sudah diatas pemerintah melalui pembentukan BLU Manajemen Aset
yang berfungsi dalam pengelolaan aset pemerintah yang idle, selain
itu dalam mengurangi risiko dalam pengelolaan aset tetap, DJKN juga
sudah mulai mempertimbangkan dalam mengasuransikan aset tetap
pemerintah.
Terkait risiko dalam investasi pemerintah, salah satunya
terdapat dalam investasi jangka pendek pemerintah pada investasi
kelebihan kas melalui TDR. Beberapa risiko dari TDR adalah liquidity
risk, foreign exchange risk, dan lainnya. Beberapa cara pemerintah dalam
mengurangi risiko tersebut adalah melalui in house pada TDR untuk
jangka pendek dan menengah, dan pemerintah juga dapat
mempertimbangkan outsourcing pengelolaan TDR untuk jangka panjang. Hal
ini sejalan dengan prosedur mengatasi risiko yang dilakukan di
sektor privat, yaitu melalui perantara broker.
Untuk risiko dalam pengelolaan utang, dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), dimana risiko
tersebut tersebar di berbagai instrumen utang seperti SUN, utang
luar negeri, dan pembiayaan syariah, yang mana pengelolaan risiko
tersebut juga dibagi ke dalam seluruh direktorat yang terdapat pada
DJPPR.
Selain pengelolaan risiko terkait utang, dengan terbitnya
Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2014 tentang Perubahan Kelima Atas
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan
Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas,dan Fungsi
Eselon 1 Kementerian Negara, DJPPR juga mendapatkan tugas baru
sebagai pengelola sovereign risks keuangan negara. Hal ini ditunjukkan
dengan dibentukanya direktorat baru pada DJPPR, yaitu Direktorat
Pengelolaan Risiko Keuangan Negara. Dengan dibentuknya direktorat
ini, diharapkan pemerintah dapat menerapkan manajemen risiko melalui
enterprise risk management (ERM) yang sudah biasa dilakukan pada sektor
privat.
Secara keseluruhan, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 36 tahun 2014 tentang Cetak Biru Program Transformasi
Kelembagaan Keuangan Tahun 2014-2025, berikut adalah beberapa
prosedur pengendalian risiko utama keuangan, yaitu:
a.Mengasuransikan aset-aset fisik pemerintah
b.Menginisiasi pengelolaan risiko pada sumber daya alam utama
c.Mengkaji dan memonitoring kewajiban pensiun
d.Menganalisis pilihan skema pensiun dan memberikan rekomendasi
skema pensiun baru.
e.Mengkaji BUMN tertentu yang memiliki dampak fiskal signifikan dan
merekomendasikan cara terbaik untuk mengelola risiko mereka.
f.Mengkaji “special missions” terpilih, misalnya :dana insrasturktur,
unit PPP, dan lain-lain, merekomendasikan cara terbaik untuk
mengelola risiko mereka.
g.Meningkatkan proyeksi pendapatan dan belanja jangka menengah untuk
menghitung present value dari porsi fiskal aset dan kewajiban.
h.Mengkaji kewajiban bantuan sosial.
i.Penyusunan Kerangka Kerja Kesinambungan Utang.
j.Memulai komunikasi mengenai komposisi cadangan devisa/portofolio
utang antara Kemenkeu/Bank Indonesia.
H. Credit rating agency relations/Investor relations
Credit Rating Agency adalah sebuah institusi yang bertugas mereviu
kelayakan kredit sebuah perusahaan yang sedang dalam proses maupun
yang telah menerbitkan pinjaman. Apabila credit rating agency
mengeluarkan nilai tinggi pada kredit, investor akan cenderung
menerima effective interest rate yang lebih rendah pada utang tersebut.
Terkait dengan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan penerbit
utang kepada credit rating agency, maka bisa saja timbul conflict of interest
atas pemberian nilai kredit tersebut. Selanjutnya credit rating agency
relations sendiri adalah penerapan pada sektor privat dengan menjada
hubungan dengan credit rating agency dalam menginformasikan kinerja dan
kondisi keuangan perusahaan, jika perusahaan tersebut juga
menyediakan nilai kredit atas pinjaman yang diterbitkan perusahaan.
Pada dasarnya rating merupakan penilaian creditworthiness
(kemampuan suatu institusi untuk melunasi kreditnya) suatu institusi
baik pemerintah/negara (sovereign) maupun perusahaan swasta. Semakin
baik rating suatu institusi, maka institusi tersebut dianggap
memiliki risiko pengembalian utang paling rendah, sehingga kualitas
instrumen surat berharga yang diterbitkannya semakin baik dan akan
semakin diminati oleh investor, yang akan berujung pada biaya
pengembalian modal (cost of capital) yang semakin rendah. Dalam
penerapannya pada sektor pemerintahan, semakin baik posisi rating
suatu negara, dapat membuat negara tersebut menjadi lebih atraktif
bagi investor, bukan hanya pada investasi portofolio, namun juga
investasi langsung karena negara tersebut dinilai memiliki
perekonomian yang lebih sehat. Hal ini tentunya akan memberikan
manfaat yang sangat besar bagi negara tersebut, di mana investasi
yang tinggi bisa memberikan multiplier effect pada penurunan
pengangguran dan kemiskinan. Tiga lembaga pemeringkat dunia yang
memberikan rating atas kredit adalah Standard & Poors’ (S&P),
Moody’s, dan Fitch. Dalam mempertahankan dan bahkan meningkatkan
credit rating nya, pemerintah diharapkan juga untuk memiliki hubungan
yang baik dengan lembaga pemeringkat kredit. Hal ini diterapkan
pemerintah melalui pogram Hubungan Dedikasi Investor yang
dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal. Kegiatan hubungan dedikasi
investor ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan
lembaga pemeringkat utang. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam
program hubungan dedikasi investor ini adalah:
a.Menjadi bagian dari Investor Relation Unit (IRU) pemerintah.
b.Melaksanakan pertemuan secara rutin antara pejabat tinggi
pemerintah dengan rating committee pada agenda kegiatan-kegiatan
internasional, diantaranya IMF Spring Meeting, ADB Meeting, dst.
c.Mengundang lembaga pemeringkat utang ke Indonesia untuk
menyampaikan update perekonomian dan kebijakan terkini serta
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang Indonesia.
d.Melakukan pertemuan reguler dengan investor, analis, maupun para
ekonom.
e.Melakukan kunjungan ke analyst rating, diantaranya Singapura dan
Hongkong.
f.Menyampaikan data dan informasi terkini secara rutin kepada rating
analyst, OECD dan think-thank agencies, diantaranya update perekonomian,
perkembangan pembangunan infrasturktur, kebijakan subsidi, pasar
modal, dan hukum perburuhan.
g.Melaksanakan kegiatan dedicated team meeting secara rutin dalam rangka
update informasi serta kesamaan pandangan atas isu utama lembaga
rating.
h.Melaksanakan advance-trip untuk meninjau progress pelaksanaan
infrasturktur di daerah.
Dengan semakin kuatnya hubungan antara pemerintah dengan para
investor dan para lembaga pemeringkat kredit, diharapkan peningkatan
peringkat kredit Indonesia akan tercapai.
I. Bank relations
Penerapan Bank relations pada sektor privat dilaksanakan melalui
pertemuan antara treasurer perusahaan dengan perwakilan dari setiap
bank yang digunakan oleh perusahaan dimana bankir perusahaan
memberitahu tentang kondisi keuangan dan proyeksi perusahaan, serta
perubahan yang akan datang yang membutuhkan peminjaman dana. Juga
dapat diskusi ke berbagai layanan yang disediakan oleh bank kepada
perusahaan, seperti lockboxes, wire transfer, pembayaran ACH, dan
sebagainya.
Pada sektor pemerintahan, bank relations diterapkan dalam dua hal,
yaitu hubungan dengan bank sentral, dalam hal ini adalah Bank
Indonesia, dan juga hubungan dengan bank komersial. Hubungan dengan
bank sentral dilakukan dalam kaitannya dengan pengelolaan uang
negara dan dukungan dalam pengelolaan utang. Dalam hal pengelolaan
uang negara, hubungan ini dilaksanakan dengan kerjasama antara Bank
Indonesia dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Hubungan
tersebut bukanlah sesuatu yang baru, mengingat Rekening Kas Umum
Negara (RKUN) yang berfungsi untuk menampung penerimaan negara dan
membayar segala kewajiban yang jatuh tempo berada di Bank Indonesia
(BI). Dari hasil penempatan uang negara tersebut, negara mendapatkan
remunerasi dari BI. Dengan adanya kerja sama ini, pemerintah
mengharapkan adanya hasil yang maksimal dari penempatan uang
pemerintah. Kerja sama selanjutnya yang dijalin pemerintah dengan BI
adalah dalam hal penerapan TSA, khususnya dalam masa implementasi
awal TSA, dimana pemerintah juga memperoleh masukan terkait risiko
dan penerapan TSA. Dalam melakukan penempatan kelebihan kas
pemerintah pada bank umum, pemerintah juga senantiasa
mempertimbangkan masukan dari BI. Dengan dioperasikannya TDR pada
DJPB, diharapkan koordinasi dengan BI lebih penting, agar kegiatan
perbendaharaan tidak berdampak negatif terhadap operasi moneter.
Dalam hal pengelolaan utang, untuk memenuhi azas transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan data utang sektor publik, Bank
Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, menerbitkan publikasi bersama
(joint publication) Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI), yang
terdiri dari data utang pemerintah, Bank Indonesia, dan BUMN, baik
utang domestik maupun utang luar negeri. Selain itu BI juga
senantiasa memberi masukan dalam hal pemerintah ingin menerbitkan
Surat Utang Negara, dimana penerbitan SUN juga berpatokan pada BI
rate pada saat itu.
Selanjutnya hubungan pemerintah dengan bank komersil diterapkan
dalam hal penerimaan dan pengeluaran, yang dilakukan oleh Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPB). Kerja sama dalam hal penerimaan
negara melalui penunjukkan bank umum sebagai bank persepsi, atau
bank yang dapat menerima setoran negara. Penunjukkan dan monitoring
bank persepsi ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Kerja sama dalam hal penerimaan juga dilakukan dalam penerapan Modul
Penerimaan Negara (MPN), dimana DJPB berwenang dalam melakukan
monitoring terkait kesiapan bank umum dalam menerapkan sistem MPN,
baik kesiapan infrastruktur IT maupun SDM.
Terkait dengan pengeluaran, kerja sama pemerintah salah satunya
ditandai dengan penunjukkan empat bank BUMN sebagai Bank Operasional
I, atau bank yang memiliki tanggung jawab dalam menyalurkan dana
Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Keempat bank umum tersebut
adalah Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN. Dengan telah diterapkannya
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), pola hubungan DJPB
dengan perbankan mulai berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana
pola hubungan yang dibangun lebih kepada kemitraan dalam rangka
bersinergi menyempurnakan implementasi SPAN.
J. IT systems
Pada sektor privat, fungsi IT systems dilakukan dengan
mempertahankan perangkat kerja pada bagian treasury dalam menyediakan
informasi tentang kepemilikan kas, proyeksi, kondisi pasar, dan
informasi serupa lainnya.
Dalam penerapan di sektor pemerintahan, dukungan IT sangat
berperan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi perbendaharaan. Dukungan
IT dalam proses perbendaharaan berasal dari beberapa cara perolehan,
baik melalui kerja sama dengan lembaga lain seperti BI dan bank
umum, kerja sama dengan unit lain pada Kementerian Keuangan, seperti
Pusat Informasi dan Teknologi (PUSINTEK), dan melalui pengembangan
sendiri. Beberapa contoh penerapan IT dalam proses bisnis
perbendaharaan adalah:
a.BI Government Electronic Banking (BIG-eB), yaitu suatu sistem hasil
kerja sama dengan BI yang memberikan koneksi kepada DJPB untuk
memonitor saldo kasi pada rekening yang terdapat di BI.
b.Cash Management System (CMS) Bank Umum adalah suatu sistem yang
biasanya disediakan oleh bank umum selaku bank operasional KPPN
(sebelum penerapan SPAN) yang berfungsi untuk memonitor pelimpahan
dana yang dilakukan bank tiap harinya dalam rangka penerapan TSA.
c.Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), merupakan suatu
sistem hasil kerja sama dengan Direktorat Jenderal Anggaran dan
PUSINTEK. Aplikasi SPAN merupakan sebuah aplikasi terintegrasi
mulai dari proses penganggaran, penerimaan, dan pengeluaran,
dimana hanya terdapat satu database tunggal. SPAN terdiri dari
beberapa modul, yaitu Modul Penyusunan Anggaran, Modul Manajemen
DIPA, Modul Manajemen Komitmen, Modul Manajemen Pembayaran, Modul
Penerimaan Negara, Modul Manajemen Kas, Modul Buku Besar dan Bagan
Akun Standar, dan Modul Pelaporan.
d.Aplikasi Online Monitoring SPAN, yaitu aplikasi yang awalnya
berbasis web yang diciptakan oleh Direktorat Transformasi
Perbendaharaan (DTP) DJPB, yang berfungsi bagi KPPN maupun satuan
kerja dalam melakukan pemantauan terhadap pencairandana yang telah
dilakukan melalui aplikasi SPAN. Selanjutnya aplikasi ini juga
tersedia dalam perangkat android.
e.Aplikasi yang dikembangkan sendiri oleh DJPB dalam hal ini
Direktorat Sistem Perbendaharaan (DSP) yang mendukung
terlaksananya proses pelaksanaan anggaran, baik yang ditujukan
kepada proses bisnis pada KPPN maupun proses bisnis pada satuan
kerja. Contoh aplikasi ini adalah Aplikasi SP2D, Aplikasi SPM,
Aplikasi SAS, Aplikasi Vera, Aplikasi SAKPA, Aplikasi SAIBA,
Aplikasi Bendum, dan lainnya.
Tantangan kedepannya dalam pengembangan IT ini, pemerintah
hendaknya memberikan fokus yang lebih lagi dalam investasi IT,
terlebih dengan meningkatnya penetrasi internet dan smartphone secara
pesar, sehingga pemerintah juga harus berinvestasi secara besar pada
IT untuk memenuhi perubahan kebutuhan pada populasi. Investasi ini
juga dilakukan dengan pertimbangan masih rendahnya anggaran
Kementerian Keuangan dalam hal investasi IT, yaitu dalam Anggaran
Perubahan hanya berjumlah 210 milyar rupiah, atau lebih kecildari
anggaran bank ukuran menengah di Indonesia. Dengan meningkatnya
kualitas IT, diharapkan akan tercipta pengelolaan keuangan yang
lebih akuntabel, efisien, dan transparan.
K. Reporting
Fungsi reporting pada sektor privat diterapkan melalui penyediaan
informasi kepada pada Direksi oleh treasurer mengenai laporan
kondisi pasar, masalah pendanaan, pengembalian investasi, terkait
risiko kas, dan topik serupa lainnya.
Dalam sektor pemerintahan, terlebih setelah diimplementasikannya
SPAN, maka para senior management, dalam hal ini adalah Presiden,
Menteri Keuangan, atau Direktur Jenderal, dapat memperoleh informasi
keuangan secara real time. Hal ini dimungkinkan karena SPAN memiliki
sistem database tunggal. Dalam SPAN fungsi pelaporan dilakukan pada
Modul Reporting, yang berkaitan langsung dengan Modul General Ledger dan
Chart of Account. Pada Modul Reporting di SPAN telah menggunakan basis
akrual sebagai basis akuntansinya. Dengan diterapkannya basis
akrual, maka diharapkan informasi yang diperoleh lebih berkualitas,
karena tidak hanya mencakup transaksi yang telah diterima atau
dikeluarkan secara kas oleh pemerintah, sehingga dapat lebih
membantu dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam fungsi reporting, pemerintah juga mulai menerapkan pelaporan
dengan mengacu pada Government Financial Statistics (GFS) sesuai dengan
standar yang diterapkan di tingkat dunia. GFS dikategorikan sebagai
pelaporan dengan tujuan khusus (special purpose reporting) yang disusun
dalam rangka pengambilan kebijakan ekonomi baik fiskal maupun
moneter, sehingga fokus GFS adalah menyampaikan informasi yang
sesuai dengan kebutuhan pengguna tertentu saja, yaitu para pengambil
kebijakan fiskal dan makro ekonomi. GFS menyediakan data yang
komprehensif atas aktivitas ekonomi dan keuangan pemerintah yang
dapat digunakan untuk analisis serta evaluasi kebijakan fiskal dan
makro ekonomi. GFS dapat menghasilkan antara lain, informasi kinerja
keuangan, posisi keuangan, dan likuiditas pemerintah dengan cakupan
yang lebih luas dan terkonsolidasi. GFS juga didesain sebagai
jembatan antara data akuntansi dengan kebutuhan analisis pemerintah.
Hal ini dimungkinkan karena GFS telah dikembangkan sejalan dengan
standar yang digunakan dalam bidang akuntansi, maupun ekonomi, dan
statistik. Hubungan GFS dengan akuntansi, ekonomi, dan statistik
digambarkan pada bagan berikut.
Bagan Hubungan Antara Akuntansi, Ekonomi, dan Statistik pada GFS
Dengan informasi yang memadai, maka diharapkan pemerintah dapat
membantu pemerintah dalam melakukan pengambilan keputusan yang lebih
berkualitas.
L. Merger and Acquisitions
Fungsi merger and acquisition (M&A) pada sektor privat yaitu
terletak pada masukan yang diberikan oleh bagian treasury terkait
kegiatan akuisisi perusahaan, dan juga dapat dipanggil sewaktu-waktu
dalam mengintegrasikan fungsi treasury dari entitas yang diakuisisi.
Fungsi M&A pada pemerintahan bisa dikatakan belum diterapkan.
Pada DJPB, masukan terkait penggabungan entitas baru dilaksanakan
sebatas penggabungan atau pembentukan untuk unit dalam internal
DJPB. Hal ini sebenarnya dapat menjadi salah satu fungsi strategis
DJPB sebagai analis keuangan dalam hal terjadinya penggabungan atau
pengakuisisian entitas pemerintah. Dapat diambil contoh masalah yang
menimpa beberapa kementerian yang pada era pemerintahan Presiden
Joko Widodo, digabungkan ataupun diubah nomenklaturnya. Masalah yang
terjadi adalah pada saat pelaksanaan anggaran, dimana pada DIPA
kementerian yang bersangkutan masih tercatat menggunakan nomenklatur
lama kementerian tersebut. Hal ini mengakibatkan beberapa
kementerian tersebut mengalami keterlambatan dalam merealisasikan
belanja nya, karena harus menunggu proses revisi DIPA terkait
nomenklatur kementerian. DJPB sebagai institusi yang bertanggung
jawab dalam pembuatan kebijakan pelaksanaan anggaran dapat memberi
masukan terkait dampak dari dilakukannya suatu penggabungan atau
akuisisi entitas dalam ranah pelaksanaan anggaran, sehingga masalah
yang disebutkan dapat dihindarkan, dan pencairan belanja di
kementerian dapat berjalan dengan baik.
Lebih lanjut lagi, DJPB juga dapat ikut memberi masukan dalam
hal pemekaran kabupaten/kota atau provinsi dalam ranah pelaksanaan
anggarannya. Sehingga sudah dapat diprediksi sebelumnya dampak
keuangan yang terjadi akibat pemekaran daerah tersebut, sehingga
dapat dicari solusi dari masalah tersebut dengan cepat.
III. KESIMPULAN
Untuk mewujudkan visi Ditjen Perbendaharaan sebagai “world class
state-treasury manager” maka diperlukan penerapan fungsi treasury yang
unggul, salah satu nya adalah dengan mengadopsi fungsi treasury pada
sektor privat. Fungsi treasury pada sektor privat antara lain Fungsi
treasury pada sektor swasta antara lain : cash forecasting, working capital
monitoring, cash concentration, investments, grant credit, fund raising, risk management,
credit rating agency relations, bank relations, IT systems, reporting, dan merger and
acquisitions.
Pada dasarnya fungsi treasury pada sektor privat sebagian besar
juga telah diterapkan pada sektor pemerintahan yang tersebar ke
beberapa eselon 1 Kementerian Keuangan, diantaranya adalah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Risiko, dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara,
namun masih dibutuhkan penajaman atas tiap-tiap fungsi tersebut.
Selain itu juga terdapat beberapa fungsi treasury yang dilakukan
oleh institusi Kementerian Keuangan lain diluar tiga eselon 1 yang
memiliki fungsi perbendaharaan, yaitu pada fungsi credit agency relaitons,
yang mana fungsi tersebut dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal.
Lalu juga terdapat fungsi treasury pada sektor privat yang belum
diterapkan dalam sektor pemerintahan seperti Merger and Acquisitions.
Dengan penajaman fungsi treasury dan adopsi fungsi treasury dari
sektor privat, diharapkan pemerintah dalam hal ini DJPB dapat
menjadi pengelola perbendaharaan yang unggul di tingkat dunia, demi
terciptanya pengelolaan keuangan yang lebih akuntabel, efisien, dan
transparan.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Keuangan. 2009. Modul Manajemen Kas. Badan Pendidikan danPelatihan Keuangan. Jakarta.
___________________. 2012. Laporan Hubungan Dedikasi Investor. BadanKebijakan Fiskal. Jakarta.
___________________. 2014. Reformasi Pengelolaan Kas di Indonesia: DariAdministrasi Kas Menuju Pengelolaan Kas Secara Aktif. Direktorat JenderalPerbendaharaan. Jakarta.
KPMG. 2009. Finance and Treasury Management. KPMG. Hongkong
Infosys. 2011. White Paper-Treasury Operation:Best Practices in Receivables &Disbursement Functions. Infosys. Bangalore
KPMG. 2013. Treasury’s Role is Changing. KPMG. Stockholm
Association for Financial Professionals. 2014. Strategic Role of Treasury.Oliver Wyman.
Indah, P. 2014. Penerapan Fungsi-fungsi Treasury Sektor Privat padaDitjen Perbendaharaan. Tugas Paper Mata Kuliah Seminar Perbendaharaan.
Anderson, T. F. 2015. Optimalisasi Pembiayaan Defisit AnggaranMelalui Pembiayaan Non-utang Sebagai Alternatif DalamMengurangi Stok Utang Pemerintah. Tugas Paper UAS Mata Kuliah SeminarKeuangan Publik.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.05/2009. Perencanaan Kas.Jakarta
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.05/2010. Organisasi dan TataKerja Kementerian Keuangan. Jakarta
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.05/2013. Perubahan AtasPeraturan Menteri Keuangan Nomor 206/PMK.05/2010 Tentang Pengelolaan SaldoAnggaran Lebih. 30 Desember 2013. Berita Negara RepublikIndonesia Tahun 2013 Nomor 1571. Jakarta
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.05/2014. Penempatan UangNegara Pada Bank Umum. Jakarta
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.08/2014. Transaksi Surat UtangNegara Secara Langsung. Jakarta
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 36/KMK.01/2014. Cetak Biru ProgramTransformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2015. 5Februari 2014.
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2007.Petunjuk Pelaksanaan Rekening Pengeluaran KPPN Bersaldo Nihil dalam RangkaPenerapan TSA. Jakarta
http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=hal&id=42 diakses padatanggal 23 Juni 2015 pukul 01.54
http://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-dpr/Documents/Buku%20Triwulan%20IV-2013%20d an%20Tahun%202013.pdf diakses padatanggal 23 Juni 2015 pukul 01.50
http://support. treasury view.com/kb/ treasury / treasury -function-overview diakses pada tanggal 23 Juni pukul 01.00
http://www.span.depkeu.go.id/content/single-probis-manajemen-dipa diakses pada tanggal 23 Juni 2014 pukul 00.37
http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2176 diakses pada tanggal 22 Juni pukul 22.53
http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=news&aksi=lihat&id=3075 diakses pada tanggal 22 Juni pukul 22.52
http://www.accountingtools.com/ diakses pada tanggal 22 Juni pukul 18.02
https://en.wikipedia.org/wiki/Cash_concentration diakses pada tanggal 22 Juni pukul 15.32
Top Related