Pemberlakuan Hukum di Indonesia

32
PEMBERLAKUAN HUKUM DI INDONESIA MAKALAH Ditujukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur Matakuliah PIH Dosen Pembimbing Neng Yani S.H., M.H. Oleh : Nurodin 1143050124 Ilmu Hukum-C Perima Wardana 1143050125 Ilmu Hukum-C Pingkan Agatha 1143050126 Ilmu Hukum-C Pinkan Santika 1143050127 Ilmu Hukum-C ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2014

Transcript of Pemberlakuan Hukum di Indonesia

PEMBERLAKUAN HUKUM DI INDONESIA

MAKALAH

Ditujukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur Matakuliah PIH

Dosen Pembimbing Neng Yani S.H., M.H.

Oleh :

Nurodin 1143050124 Ilmu Hukum-C

Perima Wardana 1143050125 Ilmu Hukum-C

Pingkan Agatha 1143050126 Ilmu Hukum-C

Pinkan Santika 1143050127 Ilmu Hukum-C

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2014

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT., berkat rahmat dan karunia-Nya

penyusun dapat menylesaikan makalah ini. Shalawat serta salam selalu

tercurahkan kepada Rasulullah SAW., kepada keluarganya, sahabatnya sampai

kepada kita selaku umatnya. Amiin.

Kehidupan manusia tentu tidak terlepas dari sesuatu yang disebut dengan

hukum. Dengan adanya hukum, pola kehidupan manusia menjadi lebih teratur dan

terciptanya kehidupan yang aman, damai dan tenteram. Namun, dalam

pelaksanaannya sering kali hukum berbenturan dengan kedudukan atau kekuasaan

seseorang sehingga banyak anggapan bahwa hukum itu semakin ke bawah

semakin runcing dan semakin tumpullah ke atas. Di sini kami membatasi

pembahasan makalah ini hanya pada bagaimana hukum itu berlaku di Indonesia.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmunya khususnya

tentang pemberlakuan hukum di Indonesia. Semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat bagi pembaca. Namun apabila terdapat kekurangan dalam

penyusunan makalah ini, dengan rendah hati kami mengharapkan kritik dan saran

agar makalah ini semakin sempurna.

Bandung, 22 Nopember 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................2

BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM

A. Definisi Pemberlakuan Hukum.................................................................3

B. Teori Berlakunya Hukum..........................................................................4

1. Teori Filosofis.....................................................................................4

2. Teori Sosiologis...................................................................................5

3. Teori Yuridis.......................................................................................6

BAB III PEMBAHASAN

A. Asas-asas Pemberlakuan Hukum..............................................................8

B. Tempat dan Waktu Berlakunya Hukum....................................................10

1. Tempat Berlakunya Hukum................................................................10

2. Waktu Berlakunya Hukum..................................................................12

C. Pemberlakuan Hukum di Indonesia...........................................................13

1. Hukum Islam di Indonesia...................................................................13

2. Hukum Adat di Indonesia....................................................................19

3. Hukum Waris di Indonesia..................................................................23

4. Hukum Pidana di Indonesia.................................................................24

5. Hukum Perdata di Indonesia...............................................................30

BAB IV SIMPULAN...........................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan masayarakat

sekarang ini, lahirlah gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi

manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang

sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara hukum.

Dalam pemberlakuan suatu hukum pastilah ada sejarahnya, darimana hukum

tersebut mendapatkan suatu landasan yang tepat untuk di berlakuakan di suatu

negara. Hukum yang ada saat ini tidak terlepas dari keberadaan masyarakat

dan budayanya, karena pada umumnya hukum di masyarakat itu berlaku

karena ada peran budaya di dalamnya.

Hukum ada pada setiap manusia di manapun juga di muka bumi ini.

Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat

pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan hukum sifatnya

universal, hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, justru mempunyai

hubungan timbal balik. Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada

dalam kandungan sampai meninggal dunia1. Bahkan kehendak terakhir dari

seorang ayah telah meninggal dunia masih diatur oleh hukum. Hukum

mengatur semua aspek kehidupan manusia yang tidak ada satu pun segi

kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum.

Pada dasarnya hukum berlaku di masyarakat karena ada tuntutan dari

masyarakat itu sendiri. Hukum di masyarakat berawal dari kasus-kasus yang

mereka alami sehingga memaksa mereka untuk memutuskan bagaimana

mengatasi kasus-kasus tersebut. Lahirlah gagasan-gagasan dari masyarakat itu

yang kemudian disebut dengan hukum tidak tertulis/hukum adat. Selain

hukum adat, hukum di Indonesia merupakan pengembangan-pengembangan

dari beberapa hukum yang ada, khususnya hukum Islam dan hukum Belanda.

1 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hal. 23

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud pemberlakuan hukum?

2. Bagaimana asas-asas pemberlakuan hukum?

3. Bagaimana tempat dan waktu berlakunya hukum?

4. Bagaimana hukum itu berlaku di masyarakat?

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Pemberlakuan Hukum

Pemberlakuan hukum adalah cara atau proses atau perbuatan

memberlakukan hukum2. Sebelum hukum itu berlaku di masyarakat tentunya

hukum itu dibuat terlebih dahulu oleh masyarakat itu sendiri. Dalam

menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum

harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas

dengan kualitas yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya, aktivitas tersebut

berupa pembuatan hukum dan penegakkan hukum.

Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya prses pengaturan

tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum

dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Sebagai contoh adalah pembentukan

hukum di Inggris yang sampai saat ini masih berpegang pada hukum

kebiasaan. Hukum di Inggris berasal dari kebiasaan masyarakat yang

dikembangkan oleh pengadilan. Hukum ini dinamakan Common-law.

Perkembangan ini dimulai pada tahun 1066 ketika Inggris dijajah bangsa

Normandi dengan rajanya yang terkenal William the Qongruer.

Di samping mengatur tata pemerintahan masalah peradilan diatur juga.

Kerapkali penguasa kerajaan yang berperan sebagai hakim. Mereka ini

keliling dari satu daerah ke daerah lain. Dari keputusan-keputusan hakim ini

tumbuhlah yang dinamakan Common-law. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa Inggris yang menggunakan sistem common-law, hukumnya terjadi dari

kebiasaan yurisprudensi pengadilan dan perundang-undangan kemudian

diberlakukan bagi warga negaranya. Dari contoh tersebut dapat dikatakan

bahwa setelah hukum itu dibuat kemudian disepakati oleh masyarakat

2 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.

tersebut, barulah hukum itu mulai berlaku di masyarakat yang

menyepakatinya.

B. Teori Berlakunya Hukum

1. Secara Filosofis

Keadilan menjadi bahan pertimbangan, di mana keadilan merupakan

tujuan dari pembuatan hukum.Penyebab orang menaati hukum

a. Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)

Di dunia barat sebelum zaman Renaissance, orang menganggap bahwa

hukum itu merupakan kemauan Tuhan, dimana hukum ini berlaku atas

kehendak Tuhan.

b. Teori Perjanjian

Pada zaman Renaissance, orang beranggapan bahwa dasar hukum

adalah rasio (akal) manusia, di mana pada abad hukum yang

rasionalitas negara merupakan organisasi yang terbentuk karena ada

suatu perjanjian yang diadakan dengan sukarela antara orang yang satu

dengan orang yang lain.

c. Teori Kedaulatan Negara

Pada abad ke-19, hukum adalah kehendak Negara dan Negara

mempunyai kekuatan yang tidak terbatas. Menurut Hans Kelsen

(Reine Rechtslehre) dan Wiener Rechtsshule, hukum sebagai “Wille

des Staates” yang artinya bahwa hukum adalah “Kemauan Negara”.

Menurut Kelsen orang tidak menaati hukum sebab Negara

menghendakinya, orang taat pada hukum karena ia merasa wajib

menaatinya sebagai perintah Negara.

Teori ini mendapat pembelaan dari Kranenburg yang beranggapan

bahwa sungguh-sungguh hukum itu berfungsi menurut suatu hukum

yang real dengan menggunakan metode empiris-analitis.

BAB III

ASAS-ASAS PEMBERLAKUAN HUKUM

A. Asas-asas Pemberlakuan Hukum

Asas pemberlakuan hukum merupakan prinsip dasar atau aturan dasar

dalam pemberlakuan hukum. Apabila dalam sistem hukum terdapat

pertentangan, maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi pertentangan

tersebut. Untuk lebih mendalami substansi asas hukum, di bawah ini akan

dikemukakan beberapa asas hukum yang sering digunakan dalam teori hukum,

yaitu sebagai berikut3 :

1. Nullum dellictum noella poena sine praevia lege poenalli yaitu tidak ada

suatu perbuatan yang dapat dihukum sebelum didahului oleh suatu

perbuatan.

2. Eideren wordt geacht de wette kennen yaitu setiap orang dianggap

mengetahui hukum. Artinya apabila suatu undang-undang telah

dilembarnegarakan, maka undang-undang itu dianggap telah diketahui

oleh warga masyarakat sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya

bahwa undang-undang itu belum diketahui berlakunya.

3. Lex sperior derogat legi inferiori bahwa hukum yang lebih tinggi lebih

diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang lebih rendah

4. Lex specialist derogat legi generalis yaitu hukum yang khusus lebih

diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang umum. Artinya suatu

ketentuan yang bersifat mengatur secara umumdapat dikesampingkan oleh

ketentuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama.

5. Lex posteriori derogat legi priori yaitu peraturan yang baru didahulukan

daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru diutamakan

pelaksanaannya daripada undang-undang yang lama.

6. Lex dura, sed temen scripta bahwa peraturan hukum itu keras, karena

wataknya memang demikian.

3 ibid, hal.113-116

7. Summun ius summa iniuria yaitu kepastian hukum yang tertinggi adalah

keadilan yang tertinggi.

8. Ius curia novit bahwa hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya hakim

tidak boleh menolak mengadili dan memutus perkara yang diajukan

kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya.

9. Presumption of innosence (praduga tak bersalah) yaitu seseorang tidak

disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan hakim

yang berkekuatan hukum tetap.

10. Res judicata proveri tate habetur bahwa setiap putusan pengadilan adalah

sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

11. Unus testis nullus testis bahwa hakim harus melihat suatu persoalan secara

objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang, dengan

keterangan yang tidak saling kontradiksi.

12. Audit et atteran partem yaitu hakim haruslah mendengarkan para pihak

secara seimbang sebelum menjatuhkan putuannya.

13. In dubio prorev bahwa apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa,

hakim harus menjtuhkan putusannya yang menguntungkan terdakwa.

14. Fair rial atau self incrimination yaitu pemeriksaan yang tidak memihak,

atau memberatkan salah satu pihak atau terdakwa.

15. Speedy administration of justice yaitu peradilan yang cepat. Artinya,

seseorang berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi terwujudnya

kepastian hukum bagi mereka.

16. The rule of law bahwa semua manusia sama kedudukannya di hadapan

hukum atau persamaan memperoleh keadilan/perlindungan hukum.

17. Unus testis nullus tetis bahwa satu saksi bukanlah saksi. Artinya,

keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus tidak dapat

dinilai sebagai saksi.

18. Nemo judex indoneus in proparia bahwa tidak seorangpun dapat menjadi

hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Artinya, seorang hakim

dianggap tidak mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya

sendiri atau keluarganya sehingga tidak dibenarkan bertindak untuk

mengadilinya.

19. The binding forse of presedent atau staro decises et quieta nonmovere

bahwa putusan hakim terdahulu, mengikat hakim-hakim yang lain pada

peristiwa yang sama (asas ini dianut negara-negara yang menganut sistem

hukum anglo sakson).

20. Cogatitionis poenam nemo patitur bahwa tidak seorangpun dapat dihukum

karena apa yang dipikirkan atau yang ada di hatinya. Artinya, pikiran atau

niat yang ada di hati seseorang untuk melakukan kejahatan, tetapi tidak

dilaksanakan atau diwujudkan maka ia tidak boleh dihukum.

21. Restutio in tegram yaitu kekacauan dalam masyarakat haruslah dipulihkan

pada keadaan semula. Artinya, hukum harus memerankan fungsinya

sebagai “sarana penyelesaian konflik”.

B. Tempat dan Waktu Berlakunya Hukum4

1. Tempat Berlakunya Hukum

a. Nasional

Dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga ketertiban warga,

pemerintah menetapkan beberapa aturan yang harus ditaati oleh

warganya. Dalam hal ini, hukum hanya berlaku dalam skala nasional

dan jika objek hukum telah keluar dari wilayah hukum tersebut, maka

aturan-aturan tadi tidak lagi mengikat.

b. Internasional

Dalam melaksanakan berbagai kegiatannya, seorang individu atau

kelompok selalu berhubungan dengan pihak lainnya, termasuk pihak

dari negara lain (pihak asing). Oleh karena itu hukum sebagai alat

untuk menjaga kepetingan dan menjaga perlindungan, bukan hanya

diperlukan untuk wilayah suatu negara saja tetapi juga harus

diterapkan dalam ranah internasional.

4 ibid, hal. 81-82.

Hukum internasional dapat diperoleh dengan melakukan hubungan

bilateral kemudian menempatkan diplomat sebagai perantara di negara

yang menjadi partner maupun dengan melakukan perjanjian

multilateral kemudian menempatkan diplomat-diplomat pada

organisasi-organisasi internasional. Van Khan dan J. H. Beekhuis

(1983:106) menerangkan bahwa hubungan hukum antara dua negara

akan bersifat tertutup karena kemungkinan negara lain bergabung

sangat kecil atau bahkan tidak mungkin sama sekali, maka hubungan

ini dinamakan hubungan antarnegara khusus. Sedangkan perjanjian

multilateral akan lebih bersifat terbuka dan dapat menerima negara lain

untuk ikut ke-dalamnya. Hubungan ini dinamakan hubungan

antarnegara umum (Volkenrecht).

Seringkali hukum internasional tidak memiliki sanksi yang tegas bagi

anggotanya yang melanggar. Hal ini terjadi karena hukum

internasional juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dari negara-

negara yang melakukan perjanjian tersebut.

c. Asing

Adanya hubungan antarnegara merupakan faktor kunci

dilaksanakannya hukum asing di dalam sebuah negara. Yang dimaksud

dengan hukum asing adalah sebuah keadaan yang memberlakukan

hukum suatu negara di negara lain. Hukum asing diantaranya

digunakan di lingkungan kedutaan besar negara tertentu. Misalnya,

kedutaan besar Republik Indonesia di Iran akan tetap memberlakukan

hukum Indonesia karena secara yuridis wilayah tersebut adalah

wilayah teritorial istimewa Republik Indonesia.

Keadaan lain yang melegalkan hukum asing adalah jika dalam

perjanjian antarnegara terdapat klausul untuk dapat menggunakan

hukum negara tersebut di wilayah negara lain. Misalnya warga negara

Indonesia di Hongkong akan terikat dengan hukum yang berlaku di

Indonesia karena dalam perjanjian kedua negara tersebut terdapat

klausul yang melegalkan penggunaan hukum Indonesia di Hongkong.

d. Gereja

Hukum gereja adalah hukum yang berlaku secara khusus untuk

persekutuan gereja yang memaksa, mengatur dan mengikat jemaatnya.

Aturan gereja dapat dianggap sebagai hukum karena apabila dilihat

secara yuridis merupakan sebuah lembaga (zledelijklichaam) atau

badan hukum (rechtperson). Jadi, yang dimaksud di sini bukan hanya

umat kristiani saja yang memiliki gereja tetapi secara umum dapat

dipandang sebagai umat beragama, karena setiap agama memiliki

hukum yang berbeda namun memilikin tujuan akhir yang sama.

2. Waktu Berlakunya Hukum

a. Ius Constitutum

Yang dimaksud dengan ius constitutum (hukum positif) adalah hukum

yang berlaku saat tertentu, oleh masyarakat tertentu dan dalam suatu

wilayah tertentu. Artinya hukum tersebut merupakan segala sesuatu

yang dianggap baik oleh masyarakat dalam suatu masa dan tempat

tertentu. Hal tersebut mungkin sudah tidak dianggap baik lagi jika

dilakukan di tempat, waktu ataupun masyarakat yang berbeda.

b. Ius Constituendum

Ius Constituendum merupakan hukum yang diharapkan masih berlaku

pada waktu yang akan datang. Idealnya, hukum memang harus berlaku

dalam jangka waktu yang lama dan diterima oleh semua golongan

masyarakat.

c. Hukum Asasi

Hukum asasi atau hukum alam adalah hukum yang berlaku selama-

lamanya tanpa mengenal batasan waktu, tempat ataupun golongan

masyarakat.

C. Pemberlakuan Hukum di Indonesia

1. Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam

ke Indonesia5, yang menurut sebagian kalangan telah berlangsung sejak

abad VII atau VIII M. Sementara hukum Barat baru diperkenalkan oleh

VOC pada awal abad XVII M. Sebelum masuknya hukum Islam, rakyat

Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan

sangat majemuk sifatnya. Hal ini karena pengaruh agama Hindu dan

Budha diduga sangat kuat terhadap kehidupan masyarakat pada zaman itu.

Dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, hukum agama (Hukum

Islam) menjadi dasar yang paling dominan, dimana hukum Islam sangat

berperan dalam membentuk perilaku manusia Indonesia. Oleh karenanya

hukum Islam menjadi unsur mutlak bagi pembangunan hukum nasional

Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa hukum Islam (Syara') lebih bersifat

teokratis, yaitu bahwa hukum itu datang dari Tuhan, bukan datang dari

kesadaran hukum masyarakat dan bukan pula datang dari kekuasaan,

kewenangan, dan kedaulatan negara. Oleh karena itu al-hukmu menurut

ushul fiqh berarti kitabullah (Titah Allah) yang mengatur perbuatan

manusia, baik yang berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu perbuatan,

maupun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan. Terhadap orang-

orang Islam, hukum Islam (Syara') itu sangat penting, karena bukan saja ia

memberikan petunjuk-petunjuk dalam menghadapi masalah-masalah

kehidupan, juga karena kebutuhan kepadanya dianggap sebagai bagian

dari ketaatan kepada Tuhan.

Di samping itu hukum Islam juga merupakan suatu hal yang sangat

berpengaruh dalam membangun tatanan sosial dan kehidupan

kemasyarakatan umat Islam. Maksud hukum Islam sebagai tatanan hukum

yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah bahwa hukum yang

telah hidup dalam masyarakat merupakan kesadaran hukum mayoritas 5 Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Setia, 2012, hal. 223.

rakyat Indonesia, oleh sebab itu, pembicaraan mengenai pemberlakuan

teori-teori hukum Islam menjadi penting.

Pembicaraan mengenai pemberlakuan hukum Islam di Indonesia,

Ismail Suny membagi menjadi dua tahap, yaitu masa Hindia Belanda dan

Masa Republik Indonesia. Pada masa Hindia Belanda menempatkan

hukum Islam pada dua keadaan dalam dua periode, yakni periode

penerimaan hukum Islam secara penuh (Receptie In Complexu), dan

periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (Receptie).

a. Periode Penerimaan Hukum Islam secara Penuh

Periode pernerimaan hukum Islam secara penuh (Receptio in

complexu) adalah periode dimana hukum Islam diberlakukan

sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai pegangan dalam

kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, hukum

Islam telah banyak juga didirikan lembaga-lembaga peradilan agama

dengan berbagai nama yang ada. Lembaga-lembaga peradilan agama

ini didirikan ditengah-tengah kerajaan atau kesultanan dalam rangka

membantu dalam penyelesaian maalah-masalah yang ada hubungannya

dengan hukum Islam, dimana waktu itu hukum perkawinan dan hukum

kewarisan Islam telah menjadi hukum yang hidup dan berlaku di

Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau Badan Peradilan Agama

telah secara tetap dan mantap dapat menyelesaikan perkara-perkara

perkawinan dan kewarisan orang-orang Islam.

Walaupun bangsa Belanda mulai menguasai sebagian wilayah

nusantara di Indonesia, akan tetapi hukum Islam (Hukum Perkawinan

dan Hukum Kewarisan) tetap berjalan dan diakui oleh Bangsa

Belanda, bahkan oleh Belanda dibuatlah berbagai kumpulan hukum

sebagai pedoman bagi para pejabat dalam menyelesaikan masalah-

masalah hukum rakyat pribumi. Sehingga tidaklah heran kalau mereka

tetap mengakui dan melaksanakan hukum perkawinan dan hukum

kewarisan Islam melalui peraturan "Resulitie Der Indersche

Regeering", tanggal 25 Mei 1970, yang merupakan kumpulan aturan

hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan

Belanda, yang terkenal sebagai Compedium Freijher. Dengan

demikian nyatalah bahwa posisi hukum Islam pada saat itu sangat kuat

dan berlangsung kira-kira mulai tahun 1602 sampai 1800. Adapun

setelah pemerintah Hindia Belanda benar-benar menguasai wilayah

nusantara, hukum Islam mulai mengalami pergeseran. Secara

berangsur-angsur posisi hukum Islam mulai lemah.

Pada abad ke-19 terjadi gerakan dikalangan banyak orang Belanda

yang berusaha menghilangkan pengaruh hukum Islam, dengan jalan

antara lain adanya krestenisasi. Karena kalau berhasil menarik banyak

penduduk pribumi untuk masuk agama Kristen, akan sangat

menguntungkan kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Dengan

asumsi bahwa yang telah menganut agama Kristen akan menjadi

warganegara yang loyal dan patuh kepada pemerintah Kolonial

Belanda.

Kemudian pada tahun 1882 dibentuklah pengadilan agama ditempat-

tempat yang terdapat pengadilan negeri, yakni Pengadilan Agama

berkompeten menyelesaikan perkara-perkata dikalangan umat Islam

yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.

Sehingga dengan demikian hukum Islam mendapat pengakuan resmi

dan pengukuhan dari pemerintah Belanda sejak didirikannya

pengadilan agama tahun 1882 itu.

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lodewijk Willen

Christiaan Van Den Breg (1845-1927) yang tinggal di Indonesia

menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya telah

menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka

sadari, bagi orang Islam nerlaku penuh hukum Islam, sebab mereka

telah memeluk agama Islam walaupun dalam prakteknya terjadi

penyimpangan-penyimpangan.Periode penerimaan hukum Islam oleh

hukum adat (Teori Receptie).

b. Periode Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat.

Dikenal dengan teori Receptie, adalah periode di mana hukum Islam

baru diberlakukan apabila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menentang teori yang telah

berlaku sebelumnya, yaitu teori Receptie In Complexu. Teori ini

dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936). Yakni

penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam Urusan Islam dan bukan

dan Bumi Putera. Menurut Snouck hukum Islam dapat diterapkan jika

telah menjadi bagian dari hukum adat. Bagi Snouck sikap pemerintah

Hindia Belanda sebelumnya menerima teori Receptie In Compexu

bersumber dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi,

khususnya masyarakat muslim. la berpendapat bahwa sikap terhadaap

umat Islam selama ini merugikan pemerintah Jajaran sendiri,

disamping itu snock berharap situasi agar orang-orang pribumi rakyat

pada umumnya rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang agama

Islam, sebab pada umumnya orang yang kuat memegang agama Islam

(Hukum Islam) tidak mudah mempengaruhi orang peradapan barat.

Sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, Snouck memberikan

nasehat yang terkenal denan sebutan "Islam Policy". Beliau

merumuskan nasehatnya pada pemerintah Belanda dalam mengurus

umat Islam di Indonesia dengan usaha menarik rakyat peibumi agar

lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia

Belanda. Nasehat ini berintikan bahwa masalah yang menyangkut

ibadah umat Islam harus diberikan kebebasan sepenuhnya, dengan

harapan dalam lapangan kemasyarakatan pemerintah Hindia Belanda

harus menghormati adanya adar istiadat dan kebiasaan rakyat yang

berlaku, dengan cara mengalakkan agar mendekati pemerintah Hindia

Belanda. Sedangkan dalam lapangan ketatanegaraan, pemerintah

Hindia Belanda tidak boleh memberikan kesempatan, dan harus

mencegah hal-hal yang bisa membantu adanya gerakan Pan Islamisme.

Kemudian teori resepsi ini oleh Snouck diberi dasar hukum dalam

Undang-Undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR

yang disebut Wet Op De Staat Snrichting Van Nederlands Indie, yang

disingkat Indische Staat Regeering (IS) yang diundangkan pada tahun

1929. lebih lanjut disebutkan pada pasal 134 ayat 2, yang berbunyi

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam

diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka

menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu

ordonansi". Tetapi pada kenyataannya, kebijaksanaan pemerintah

Belanda ini sebenarnya justru ingin meruntuhkan dan menghambat

pelaksanaan hukum Islam, diantaranya dengan cara; Mereka sama

sekali tidak memasukkan hukuman hudud dan qisas dalam lapangan

hukum pidana, ajaran Islam yang menyangkut hukum perkawinan dan

kewarisan mulai dipersempit dan lain sebagainya.

Peranan hukum Islam dalam tata hukum Republik Indonesia mulai

baik kembali yakni pada saat terbentuknya Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana pemimpin-

pemimpin Islam memperjuangkan berlakunya kembali hukum Islam

dengan kekuatan hukum Islam sendiri tanpa adanya hubungan dengan

hukum adat. Panitia sembilan dari BPUPKI berhasil mencetuskan satu

rumusan untuk Preambule UUD yang kemudian disebut dengan nama

"Piagam Jakarta" tanggal 22 Juni 1945. Di dalamnya berisi dasar-dasar

falsafah negara yang antara lain berdasarkan pada "Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Dengan pertimbangan untuk mewujudkan kesatuan bangsa Indonesia

dan menghindari terjadinya diskriminasi hukum yang berlaku,

akhirnya rumusan ini mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus

1945, yakni sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Perubahan itu berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa", rumusan ini

oleh Moh. Hatta dijelaskan bahwa walaupun bunyi berbeda namun

isinya tidak berubah, jiwa Piagam Jakarta masih tetap meskipun tanpa

dinyatakan secara jelas. Dengan dasar Proklamasi Kemerdekaan 17

Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945, maka teori resepsi ini telah

kehilangan dasar hukumnya.

Hazairin mengemukakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan UUD

1945 sebagai dasar negara, maka meskipun aturan peralihan

menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku, selama jiwanya

tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundangan

pemerintah Belanda yang berdasarkan teori resepsi tidak berlaku lagi

karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.

c. Peranan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional

Hal yang perlu mendapat kejelasan adalah peranan hukum Islam dalam

pembangunan hukum nasional di Indonesia. Adapaun peranan hukum

Islam di dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia terdapat

beberapa bentuk, diantaranya:

1) Sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.

2) Ada dalam arti adanya dengan kemandirian yang diakui adanya dan

kekuatan serta wibawanya oleh kaum nasional dan diberi status

hukum nasional.

3) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma-norma hukum Islam

yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional

Indonesia.

4) Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional

Indonesia.

2. Pemberlakuan Hukum Adat di Indonesia6

a. Dasar Pemberlakuan Hukum Adat

1) Dasar filosofis

Sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan

bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai

contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan

6 Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Setia, 2012, hal. 223

keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari

Hukum Adat.

Hukum  Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang  di  indonesia

bersifat  luwes,  fleksibel   sesuai  dengan nilai-nilai Pancasila

seperti yang tertuang  dalam pembukaan UUD 1945.

UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang 

meliputi  suasana kebatinan  dari UUD RI. Pokok pokok pikiran

tersebut menjiwai cita-cita hukum  meliputi hukum negara  baik

yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Penegasan   Pancasila

sebagai  sumber tertib  hukum  sangat berarti bagi  Hukum Adat

karena Hukum  Adat berakar  pada  kebudayaan  rakyat  sehingga

dapat    menjelmakan  perasaan  hukum   yang  nyata  dan hidup  di

kalangan  rakyat  dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan

bangsa Indonesia7

Dengan demikian hukum adat  secara  filosofis merupakan  hukum

yang berlaku sesuai Pancasila sebagai  pandangan hidup atau

falsafah hidup bangsa Indonesia.

2) Dasar Sosiologis

Hukum  yang berlaku di suatu negara merupakan  suatu  sistem.

Artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu

kesatuan  yang utuh yang  terdiri dari bagian-bagian  atau  unsur-

unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya8. Dengan  kata lain

bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan   yang terdiri  dari

unsur-unsur  yang mempunyai  interaksi satu  sama lainnya dan

bekerja bersama untuk mencapai tujuan.  Keseluruhan   tata hukum

nasional yang berlaku di  Indonesia dapat disebut sebagai sistem

hukum nasional. Sistem hukum berkembang  sesuai dengan

perkembangan hukum. Selain itu  sistem  hukum  mempunyai sifat

yang berkesinambungan, kontinyuitas dan  lengkap. 

7 Wignjodipoero, (l983:14).8 Mertokusumo, (l986:100).

Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak  memerlukan

prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat  berlaku dalam

arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela   karena

memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living

law karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan

ditaati oleh  rakyat  tanpa  harus melalui  prosedur  pengundangan

dalam lembaran negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum

yang  tidak  tertulis sebagai  the living law yaitu (People law,

Indegenous  law,  unwritten law, common law, customary law dan

sebagainya).

3) Dasar Yuridis

Dasar berlakunya Hukum Adat ditinjau secara yuridis

dalam  berbagai Peraturan Perundang-undangan mempelajari segi

yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari  dasar

hukum  berlakunya  Hukum  Adat  di  Indonesia9

Dalam pasal 18 b ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara

mengakui dan menghormati  kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai den gan 

perkembangan masyarakat  dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.

Beberapa  ketentuan  peraturan  perundang-undangan  nasional  yang

memperkuat berlakunya hukum adat  di Indonesia pada saat  ini antara lain

1) UU Drt nomor 1 tahun 1951

Tentang tindakan sementara  untuk menyelenggarakan  kesatuan

susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat 2 UU drt 1

tahun 1951:  secara berangsur-angsurakan ditentukan oleh menteri

kehakiman, dihapus:

a) Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara    

Sumatera Timur dahulu,    Kalimantan Barat dan negara

Indonesia     Timur dahulu.

9 Saragih, (l984:15).

b) Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat  3

UU drt nomor 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan. 

2) UU nomor 5 tahun 1960

Tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang  pelimpahan   

wewenang kembali kepada  masyarakat hukum adat   untuk

melaksanakan  hak menguasai   atas tanah, sehingga masyarakat

hukum adat  merupakan aparat pelaksana   dari hak menguasai negara

atas untuk mengelola tanah tanah tyang ada di wilayahnya. Pasal  3

UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat  hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya  harus sedikikan  rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan ansional  dan negara, berdadasakan

persatuan  bangsa dabn tidak boleh bertentangan  dengan UU atau

peraturan yang lebih tinggi.

3) Nomor 41 tahun l999

UU Pokok Kehutanan menegaskan  bahwa  pelaksanaan hak-hak

masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta  hak-hak

persseorangan  untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara

langsung  atau tidak langsung didasarkan pada  suatu  peraturan  yang

demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.

4) PP nomor  21  tahun 1971

Tentang  HPH  dan hak pemungutan hasil Hutan. Pasal 6 ayat (1) PP

nomor  21 tahun 1971 menyebutkan  bahwa   Hak-hak  masyarakat

hukum  adat  dan anggota-anggotanya  untuk memungut  hasil  hutan

didasarkan atas peraturan hukum adat sepanjang kenyataannya masih

ada,  pelaksanaannya  masih  perlu  ditertibkan   sehingga  tidak

menggangu HPH Ayat (2) Pasal 6 PP no. 21 tahun 1971 Pelaksanaan

pasal  1 harus  seijin  pemegang HPH yang diwajibkan meluluskan   

pelaksanaan  Hak tsb dan diatur dengan tata tertib sebagai hasil

musyawarah  antara pemegang HPH musyawarah adat  dengan

bimbingan  dan pengawasan dinas kehutanan. Ayat ( 3) Demi

keselamatan umum dalam areal hutan yang  sedang  dalam rangka

penmgusahaan hutan  maka pelaksanaan hak-hak  rakyat  untuk

memungut hasil hutan  dibekukan.

3. Pemberlakuan Hukum Waris di Indonesia

Terdapat macam-macam hukum waris yang berlaku bagi warga negara

Indonesia, yaitu sebagai berikut:10

a. Hukum Waris Barat

Hukum waris ini berlaku bagi warga negara non-muslim dan diatur

dalam Buku Kedua tentang kebendaan KUHPerdata. KUHPerdata

telah menggolongkan ahli waris itu ke dalam tiga golongan, yaitu :

1) Golongan pertama : anak dan isteri/suami,

2) Golongan kedua : orang tua dan saudara

3) Golongan ketiga : paman/bibi atau saudara saudara sepupu

lainnya.

Asas hukum waris ini adalah apabila ada waris golongan pertama,

maka tertutuplah waris-waris yang lain. Namun apabila tidak ada ahli

waris golongan pertama, maka dolongan ahli waris kedua mendapat

warisan, begitupun seterusnya. Prinsip pembagian dalam hukum waris

barat ini adalah dibagi rata di antara para waris.

b. Hukum Waris Islam

Hukum Waris ini berlaku bagi umat Islam dan diatur dalam pasal 171-

214 dalam Kompilasi Hukum Islam. Penggolongan ahli waris di dalam

hukum Islam dibagi ke dalam :

1) Menurut hubungan darah :

a) Golongan laki-laki : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki,

paman, kakek.

b) Golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara

perempuan, nenek.

2) Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari janda atau duda.

c. Hukum Waris Adat

10 Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Setia, 2012, hal. 217

Hukum waris adat di Indonesia berbeda di masing-masing daerah,

karena adat istiadatnya pun berbeda.

Mengenai manakah jenis hukum yang akan digunakan, diberikan

kebebasan kepada warga negara untuk memilihnya. Namun, jika ada sengketa

waris maka jalur yang diutamakan adalah jalur musyawarah. Apabila warisan

tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka para ahli waris dapat

mengajukan ke pengadilan sesuai dengan hukum yang dipilihnya.

Bagi yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan fatwa waris

ke Pengadilan Agama.fatwa waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama

dapat digunakan dalam mengurus administrasi pada budel waris dan atau

dapat digunakan sebagai persyaratan peralihan hak. Namun bagi yang non-

muslim, jika para ahli waris sepakat dan hanya membutuhkan untuk

menentukan bagiannya masing-masing, para ahli waris cukup menghadap

notaris yang kemudian akan dikeluarkan surat keterangan waris. Jika terjadi

sengketa antara ahli waris, maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri.

4. Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia11

a. Zaman VOC

Zaman pemberlakuan hukum pidana di Indonesia dimulai ketika

datangnya Hindia Belanda ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai

dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC

(Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah

kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di

Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC

berbentuk hak Octrooi  Staten General yang meliputi monopoli

pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan

perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak

uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC

memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam

11 ibid, hal. 221.

usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-

aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.

Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakat,

tetapi pengumuman itu tidak disimpan dalam arsip. Sesudah

diumumkan, plakat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan

sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan

yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan

keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.

Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van

Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.

Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan

Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik

bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai

kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain.

Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun

belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun

secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur

jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk

memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.

Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat disebabkan

beberapa hal berikut12 :

1) Sistem pemidanaan hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat

memaksakan kepada penduduknya untuk mentaati peraturan-

peraturan;

2) Adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan

pelanggaran antara Hukum Pidana adat dengan Hukum Pidana

yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang

menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan,

namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap

kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur

12 ibid, hal. 221

tangan VOC dalam Hukum Pidana adat adalah terbentuknya

Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan

pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai

sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain

sebagainya.

Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab

Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan Hukum Pidana Islam.

Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische

Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan

wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal

Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam

sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-

perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan

dianggap sangat menghormati hukum adat.

b. Zaman Hindia Belanda

Zaman ini dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di

Negara Belanda, dari monarkhi konstitusi menjadi monarkhi

parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya

perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini

mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja.

Maka dengan begitu kekuasaan Raja Belanda terhadap daerah jajahan

di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah

jajahan tidak semata-mata di tetapkan raja dengan Koninklijk

Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan

ditingkat parlemen.

Indische Staatregeling ( IS ) adalah pembaharuan dari RR yang mulai

berlaku sejak 1 januari 1926 dengan diundangkannya melalui staatblad

Nomor 415 tahun 1925. Pada zaman ini, sistem hukum di Indonesia

semakin jelas khususnya dalam pasal 131 Jo. Pasal 163 IS yang

menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum

yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek

van Strafrecht voor Netherlands Indie) tetap diberlakukan kepada

seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 Jo. Pasal 163 IS ini

mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak di

berlakukan 1 januari 1918.

c. Zaman Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945

Pada zaman pendudukan Jepang selama 3,5 (tiga koma lima) tahun,

pada hakekatnya Hukum Pidana yang berlaku di wilayah Indonesia

tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara

Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman

Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.

Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei

Nomor 1 Tahun 1942.

Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan

pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari

pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan

tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini

maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan

lain-lain, termasuk Hukum Pidananya, masih tetap menggunakan

Hukum Pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 dan Pasal 163

Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang

diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan

dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan

penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk

melengkapi Hukum Pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan

militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa

1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14

Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu

Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang Hukum Pidana umum dan

Hukum Pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942

mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.

d. Zaman Setelah Kemerdekaan Indonesia

Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang

hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami

zaman penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung

mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini, khususnya

hukum pidana. Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP ini

mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch

Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali

dengan Koninklijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915

dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah

keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan

diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI

merupakan turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah

kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi ( penyesuaian )

bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di

hapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme

Belanda atas wilayah Indonesia.

Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat

perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan

pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini

disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland.

Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah

Belanda dan memberlakukan Code Penal ( kodifikasi hukum pidana )

yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa

Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda.

Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal

itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek

van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.

Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha

pembaharuan hukum pidananya ( code penal )selama kurang lebih 68

tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama  usaha pembaharuan hukum

pidana itu, Code Penalmengalami beberapa perubahan terutama pada

ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang

ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang

lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya

yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai penganti Code

Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu

pada tahun 1886.

Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van

Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886,

diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah

diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen ( Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Eropa ) dengan Staatblad tahun 1866

Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi

masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor

Inlender ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan

Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari

1873.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada zaman itu terdapat

juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa

dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini

dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien )sebagai perzamanlahan

yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha

pada tahun 1915 keluarlahKoninlijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15

Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech voor

Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1

januari 1918.

Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945,

untuk mengisi kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di

Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945,

WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum

pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946

tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-

undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van

Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van

Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”.

Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali

peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret

1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh

panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.

Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun

1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada

tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang

memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh

wilayah Republik Indonesia.

5. Pemberlakuan Hukum Perdata di Indonesia13

Tahun 1839, satu tahun sejak berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di

Belanda, Raja Belanda membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. Paul

Scholten seorang sarjana hukum Belanda, untuk memikirkan bagaimana

caranya agar kodifikasi di negara Belanda dapat pula dipakai untuk daerah

jajahan, yaitu Indonesia

Setelah panitia Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH)

atau MA di Hindia Belanda, waktu itu Mr. H.L. Wichers, ditugaskan

membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberlakukan

Kitab Hukum yang baru itu, sambil memikirkan pasal-pasal yang mungkin

masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut

kemudian dengan Pengumuman Gubjen Hindia Belanda tanggal 3

Desember 1847, dinyatakan berlaku mulai pada 1 Mei 1848 di Indonesia.

Pemberlakuan tersebut berdasarkan azas konkordansi (concordantie

beginsel) yang diatur dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) S.

1925-557, yang mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropa yang ada

di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Belanda.

13 ibid, hal. 219

Berdasarkan Staatblaad 1847 - 23, BW (KUH Perdata) di Indonesia

hanya berlaku terhadap :

a. Orang-orang Eropa, yang meliputi : orang Belanda; orang yang berasal

dari Eropa lainnya beserta anak-anak mereka;b. Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni

mereka yang pada saat BW berlaku memeluk agama Kristen;c. Orang-orang Bumiputera turunan Eropa.

Kemudian berdasarkan Staatblad 1917 - 12 (mulai berlaku tanggal 1

Oktober 1917) kepada golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing,

dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW (dan KUH

Dagang) baik sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan azas

konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi

kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.

BW di negara Belanda sendiri sejak tahun 1838, telah beberapa kali

mengalami perubahan dan saat ini BW yang berlaku di negara Belanda

sendiri adalah BW yang baru (telah diperbaharui). Pada zaman Jepang

dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 atau 2602 Pasal 3

disebutkan bahwa : "Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,

hukum, dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat

sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah

bala tentara Jepang".

Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia

memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka

berlakulah tatanan hukum negara RI, walaupun tatanan tersebut sebagian

besar masih merupakan peninggalan Hindia Belanda. Berlakunya tatanan

seperti itu adalah berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

yang menentukan : "Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia

merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut

Undang-undang ini". Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan

Pemerintah nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Kemudian

diikuti Pasal 192 Konstitusi RIS, dan Pasal 142 UUDS 1950.

BW yang berlaku di Indonesia sejak 1848 itu merupakan produk

pemerintah kolonial Belanda, karena itu sudah barang tentu dibuat

berdasarkan azas-azas dan kepentingan Belanda sendiri. Apabila ada azas-

azas dalam BW itu yang berbeda dengan asas dan kepentingan bangsa

Indonesia sendiri, maka hal itu sudah sepantasnyaDewasa ini kedudukan

KUH Perdata di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum),

bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Oleh karenanya,

berlakunya KUH Perdata hanya sebagai pedoman saja. Sehingga biasa

juga dikatakan KUH Perdata itu hanya suatu ketentuan yang tidak tertulis

tetapi tertulis. Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman

(mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu

secara a priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht).

Namun apabila ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap

sebagai hukum positip karena sampai pada saat ini belum ada undang-

undang dan peraturan resmi mencabutnya.menjadi identitas dirinya, yakni

hukum adat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Zaeni Asyhadie, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012.

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012.

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995.

Wawan Muhwan Hariri, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012.

Media Elektronik : Acoel Arifin, Pemberlakuan Hukum Waris di Indonesia, melalui :

<http://student-movement.blogspot.com/2013/10/pemberlakuan-hukum-waris-di-negara.html> data diunduh 24/10/2014, pukul 18:45.

Iis Mardeli, Dasar Berlakunya Hukum Adat, melalui :<http://iismardeli30aia.wordpress.com/2013/12/02/sepenggal-cerita-di-desa-umutnana-ntt/> data diunduh 24/10/2014, pukul 19:10.