Konsep Negara Terkait Hukum Islam dan Keterkaitannya Dengan Indonesia
Transcript of Konsep Negara Terkait Hukum Islam dan Keterkaitannya Dengan Indonesia
KONSEP NEGARA TERKAIT HUKUM ISLAM
dan
HUBUNGANNYA DENGAN INDONESIA
Tim Penulis:
Muhammad Adzkia Fatah - 1006709462
Muhammad Iqbal – 1006709494
Nabilah Karimah - 1006709544
FHUI 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, bahwa tim
penulis telah menyelesaikan tugas makalah kelompok mata kuliah
hukum Islam, dengan membahas Konsep Negara terkait Hukum Islam
dan Hubungannya dengan Indonesia.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan
yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat hasil diskusi
kelompok yang telah menuai berbagai masukan dari dalam maupun
dari luar kelompok, serta informasi dan referensi dari berbagai
sumber kepustakaan. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan YME akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi para pembaca yang membutuhkan, khususnya bagi
penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Terima
kasih.
DEPOK, MEI 2011
TIM PENULIS
ABSTRAK
Negara merupakan suatu organisasi yang terbentuk dari suatu
perjanjian masyarakat, dan hal ini berlaku bagi sebagian besar
Negara yang terbentuk di dunia menurut sejarahnya. Suatu negara
mempunyai banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan agar
susunan serta pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan negara berjalan
dengan baik dan lancar. Aspek-aspek inilah yang dipermasalahkan
oleh banyak sekali ahli dalam sejarah dunia, karena memang
kompleksitas daripadanya sangatlah tajam. Dalam hal ini, yang
dipertimbangkan pertama sekali tentunya adalah “konsep” dari
suatu negara. Kemudian di samping daripada hal tersebut, Islam
merupakan agama yang “sempurna” yang mengajarkan berbagai hal
mengenai kehidupan manusia sebagai “khalifah” di muka bumi, dan
hal mengenai ajaran Islam berbasis pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Termasuk diantaranya, ajaran mengenai bagaimana meregulasi suatu
koloni manusia dengan tatanan yang baik dalam rangka mencapai
Ridha Allah SWT. Maka dalam hal ini, Islam memperkenalkan
berbagai ajaran yang bersifat umum maupun khusus atau spesifik
mengenai hal pengaturan atau regulasi dalam membentuk, mengolah,
dan melaksanakan kegiatan bernegara.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangManusia sesungguhnya tidak dapat hidup sendiri, dan
memerlukan bantuan manusia lain, maka dari itu manusia
disebut pula zoon politicon, dan dalam hal memenuhi kebutuhan
manusia di muka bumi ini, manusia membentuk suatu koloni
untuk bahu-membahu dalam menyelesaikan segala urusan, dan di
antaranya, membentuk Negara.
Salah satu pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan
spiritual atau rohani, yang berlandaskan kepada suatu
kepercayaan akan kekuatan yang berada di luar kuasa manusia.
Kepercayaan ini menjadi pedoman dalam manusia menjalani
hidupnya, dan sebagian kepercayaan menjadi pedoman pula akan
kematiannya. Dalam hal kaitannya dengan makalah ini, ialah
agama Islam yang merupakan agama samawi, yaitu agama yang
diturunkan dari langit dan berasal dari Allah SWT. Agama
islam, sesuai dengan ajarannya, merupakan agama
“penyempurna” dari agama-agama samawi sebelumnya. Islam
senantiasa memandu umatnya untuk berbuat kebajikan dan
menjauhi keburukan. Dalam pengertiannya, Islam artinya
adalah “selamat”, maka muslim adalah orang-orang yang
terselamatkan.
Latar belakang dari penulisan makalah ini, berdasarkan pada
Hukum Islam yang merupakan salah satu Mata Kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan berbagai ilmu
pengetahuan lain dari berbagai sumber. Penulisan makalah ini
membahas mengenai kaitan antara Hukum Islam dengan Konsep
Negara yang dihubungkan dengan keadaan di Indonesia. Peran
serta kedudukan Hukum Islam akan dibahas dan langsung
dikaitkan dengan Konsep Negara dan berlanjut kepada
keadaannya di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari makalah ini, maka masalah
yang diangkat ialah:
1. Apa saja Konsep Negara dalam perkembangan sejarah dunia?
2. Apa pengertian Hukum Islam secara luas?
3. Hubungan kedua poin di atas dengan Indonesia
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah dari makalah ini, maka
tujuannya ialah:
1. Mengetahui Konsep Negara dan Hukum Islam,
2. Mengetahui hubungan antara Konsep Negara dan Hukum Islam
dengan Indonesia.
D. Metode Penulisan
Sesuai dengan masalah yang akan ditulis oleh penulis, metode
yang dilakukan oleh penulis adalah tinjauan pustaka.
Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah dengan membaca sumber-
sumber, seperti buku, teks bacaan, dan internet.
E. Sistematika Penyajian
Sistematikan penulisan makalah ini adalah
Bab I Pendahuluan, terdiri dari:
a. Latar Belakang
b. Perumusan Masalah
c. Tujuan Penulisan
d. Metode Penulisan
Bab II Isi, terdiri dari:
a. Definisi negara menurut para ahli
b. Konsep Negara menurut pendekatan Barat
c. Tujuan Negara
d. Pengertian Hukum Islam
e. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks
metodologi
f. Hukum Islam di Indonesia
Bab III Penutup, terdiri dari :
a. Kesimpulan
b. Saran
Daftar Pustaka
BAB II
ISI
A. Definisi negara menurut para ahli:
1. Roger H. Soltau:
"Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama,
atas nama masyarakat" (The state is agency or authority
managing and controlling these (common) affairs on behalf of
and in the name of the community).
2. Harold J. Laski:
"Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena
mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah
lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan
bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok
manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat
merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik
oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan
oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat".
(The state is society which is integrated by possessing a
coercive authority legally supreme over any individual or
group which is part of the society. A society is a group of
human beings living together and working together for the
satisfactions of their mutual wants. Such a society is a
state when the way of life to which both inviduals and
associations must conform is difined by coercive authority
binding upon them all).
3. Max Weber:
"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli
dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah" (The state is human society that (successfully)
claims the monopoly of the legitimate use of physical force
within a given territory).
4. Rober M. MacIver:
"Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di
dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu
pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan
memaksa" (The state is an association which, acting through
law as promulgated by a government endowed to this end with
coercive power, maintains within a community territorially
demarcated the external conditions of order).
B. Konsep Negara menurut pendekatan Barat:
1. Zaman Pertengahan
Augustinus (354-430)
Augustinus, seorang Kristiani, mengemukakakn suatu ajaran
yang sifatnya sangat teokratis. Dalam bukunya De Civitas
Dei, Agustinus menyebutkan adanya dua macam negara, yaitu:
a. Civitas Dei, atau negara Tuhan, merupakan negara yang
terpuji karena merupakan negara yang dicita-citakan oleh
agama. Civitas Dei akan membawa keamanan dan
kesejahteraan bagi umat manusia karena mendapatkan
bimbingan serta pimpinan dari Tuhan.
b. Civitas Terena, atau Civitas Diabolis/Negara Iblis,
merupakan negara duniawi yang sangat dikecam oleh
Agustinus. Civitas Terena akan membawa kelaliman,
kekacauan, serta kesengsaraan bagi manusia karena berada
di luar pimpinan Tuhan.
Menurut Agustinus, agama memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari negara dan saling terkait, tetapi negara hanya
sebagai alat bagi Gereja untuk melenyapkan musuh-musuhnya.
Thomas Van Aquino (1225-1274)
Sedangkan Thomas Van Aquino mengemukakan teori Dua Pedang,
yaitu Pedang Rohaniah berada pada organisasi gereja yang
dipimpin oleh Paus, dan Pedang Duniawiah, yang diserahkan
oleh Paus pada organisasi negara yang dipimpin oleh
raja/kaisar. Dalam teorinya, Thomas Van Aquino berusaha
memisahkan soal-soal duniawi dan soal-soal agama, sehingga
menimbulkan ajaran sekularisme.
Marsilius Padua (1270-1340) dan Willian Occam (1280-1317)
Negara itu ialah suatu badan yang hidup dan bebas, yang
mempunyai sebagai tujuan tertinggi ialah mempertahankan
perdamaian. Tujuan itu dulu-dulunya juga sudah dipikirkan,
akan tetapi tidak sebagai tujuan pertama dan tertinggi,
melainkan untuk kepentingan gereja dan cita-citanya, yakni
cita-cita yang lebih tinggi lagi. Negara itu seharusnya
memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan pada anggota-
anggotanya untuk mengembangkan dirinya secara bebas. Gereja
dibawahkan pada negara. Menurut Marsilius kedudukan negara
lebih tinggi daripada kedudukan Gereja dan terdapat
pemisahan yang tegas antara negara dan Gereja.
2. Abad Keenambelas (Renaissance)
Niccolo Machiavelli (1469-1527)
Ajaran Niccolo Machiavelli, pada hakekatnya merupakan
pencerminan dari apa yang dikenalnya dalam praktek sebagai
ahli negara dan apa yang telah dijalankannya, karena
dianggapnya perlu sekali untuk menyelenggarakan kepentingan-
kepentingan negara, diangkatnya menjadi teori umum mengenai
praktek ketatanegaraan dengan cara yang gagah berani. Dengan
berbuat demikian, ia menganjurkan pada ahli negara suatu
sikap yang menolak sama sekali ajaran kesusilaan dari
pandangan hidup Kristen.
3. Abad Ketujuhbelas (Natural Law)
Hugo de Groot (1583-1645)
Dalam menetapkan dasar-dasar modern untuk pikiran tentang
negara dan hukum, Hugo de Groot berpokok pangkal pada
pendapat Aristoteles yang terkenal, ialah bahwa manusia
dalah makhluk sosial sehingga karena itu ingin hidup
bersama-sama dengan orang lain. Negara lahir karena adanya
perjanjian, tetapi perjanjian itu tidak diilhami oleh Tuhan,
melainkan karena dorongan rasio manusia sebagai dasar hukum
alam. Natural law adalah suatu peraturan dari akal murni
yang berdiri sendiri tanpa ada kaitan sama sekali dengan
Sang Pencipta sebagai sumber dari hukum alam dan rasio
manusia
4. Abad Kedelapanbelas
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu memang berpendapat bahwa asas-asas hukum
terletak di dalam alam, akan tetapi hal ini belum berarti
bahwa asas-asas itu dapat ditemukan dengan jalan mengamati
dan mengusut kejadian-kejadian tersebut. Jadinya ia tidak
menyukai suatu hukum alam yang mencoba menemukan hukum yang
sempurna dengan melalui jalan abstrak. Menurut Montesquieu,
fungsi negara hukum harus dipisahkan dalam 3 kekuasaan
lembaga negara, yaitu:
a. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang
b. Kekuasaan yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas
kejahatan dan yang memberikan putusan apabila terjadi
perselisihan antara para warga
c. Kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang,
memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan negara-
negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan
dan lain-lain.
C. Tujuan Negara
Suatu negara ialah berarti suatu organisasi, yang mana
tentunya suatu organisasi haruslah mempunyai patokan yang
hendak dituju, sehingga adanya kejelasan dan tidak adanya
simpang siur dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Tujuan
negara dapat berbeda-beda pada tiap negara, hal ini tergantung
dari sudut mana seseorang memandang kehidupan. Perbedaan
filosofi, sosiologis, dan historis dapat menyebabkan perbedaan
dalam mengkonstruksi dan menjalankan negara, termasuk cara
mengkonstruksi sistim hukumnya (aspek yuridis). Adapun
perlunya pembedaan antara tujuan negara dengan fungsi negara
dikarenakan fungsi ialah pelaksanaan lebih lanjut dari tujuan.
George Wilhelm Friedrich Hegel menyatakan bahwa tujuan negara
adalah negara itu sendiri, negara adalah “person” yang
mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan “ide” umum,
negara dapat menyempurnakan dirinya sendiri, maka kewajiban
tertinggi manusia adalah menjadi warga suatu negara dengan
baik.1
Pendapat dari Hegel banyak ditentang, negara tetap harus
memilik suatu tujuan yang nyata, karena negara merupakan suatu
alat/organisasi manusia untuk mencapai tujuan tertinggi.
Secara umum tujuan negara dapat digolongkan kedalam tiga
tujuan:
1 Ilmu Negara FHUI 2010, hal 68
1. Tujuan negara yang dihubungkan dengan tujuan akhir hidup
manusia
Dalam hal ini, tujuan negara sangatlah erat kaitannya dengan
hal-hal yang bersifat teologis atau keagamaan. Banyak sekali
unsur-unsur kerohanian, spiritual, dan eskatologis atau
keakhiratan yang terkandung dalam setiap elemen-elemen suatu
negara. Hal ini dikarenakan dalam setiap agama pastinya
membahas mengenai, apa itu tujuan sebenarnya dari hidup
seorang manusia, yang mana setiap agama mempunyai hakikatnya
masing-masing. Augustinus seorang tokoh filsafat dan teolog
Kristen memperkenalkan teorinya Civitas Dei (unsur Tuhan) dan
Civitas Terrena (unsur dunia). Nilai-nilai duniawi
dipergunakan untuk mencapai tujuan utama manusida yaitu cinta
kepada Allah. Kemudian ada pula Ibnu Taimiyah, seorang filosof
dan teolog Islam menegaskan bahwa negara adalah sarana untuk
mewujudkan syari’ah atau hukum-hukum Tuhan. Ia mengutip dari
ajaran agama Islam dan dapat diambil kesimpulan bahwa negara
yang dituju oleh ajaran Islam adalah negara yang adil dan
makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa (Baldatun
Thoyibatun Warobbun Ghofur).2 Sebagai kesimpulan dari poin ini,
tujuan negara ialah untuk menjadi suatu fasilitas untuk para
rakyatnya melakukan penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan senantiasa menyelaraskan segala sesuatu dengan keagamaan.
2. Tujuan negara yang dihubungkan dengan pencapaian kekuasaan
2 Ilmu Negara FHUi 2010, hal 70
Dalam teori ini ada 2 teori khusus dan 1 teori umum yang dapat
dijadikan pembahasan, yaitu [1] teori dari Lord Shang Yang,
yang mencari kekuasaan semata, menganggap bahwa penguasa
haruslah kuat dan rakyat haruslah lemah dan bodoh. Ia
berpendapat bahwa dengan menghancurkan kebudayaan maka raja
akan dapat mengendalikan rakyat dengan lebih mudah dan negara
akan menjadi kuat. [2] teori dari Nicolo Machiavelli yang
mencari kekuasaan untuk mempersatukan italia yang saat itu
terpecah belah. Ia berpendapat bahwa penguasa harus memiliki
sifat seperti serigala dan singa, ia juga tidak menghendaki
adanya kebudayaan, agama, moral, dan sebagainya, karena hal
tersebut akan melemahkan raja dalam memerintah negaranya.
Machiavelli sangat mengusahakan terselenggaranya ketertiban,
keamanan dan ketentraman. [3] negara kekuasaan, suatu negara
kekuasaan biasanya hanya dilandaskan pada kepentingan politik
kekuasaan. Pengumpulan kekuasaan yang sebesar-besarnya
biasanya dilakukan oleh elit-elit politik kekuasaan untuk
mempertahankan kekuasaan demi kepentingan diri dan kelompoknya
sendiri. Pendekatan yang dilakukanpun biasanya dengan
pendekatan kekuasaan, yang artinya lebih dekat pada politik
kekerasan, pemaksaan, monopoli pendapat dan berlanjut pada
pola-pola penguasaan ekonomi yang sentralistik dan
pemerintahan yang oligarkis.
3. Tujuan negara yang dihubungkan dengan kemakmuran rakyat
“Kepentingan umum mengatasi segala-galanya”, hal inilah yang
mendasarkan teori pada poin ini, dan yang menentukan
kepentingan umum ini ialah penguasa. Terdapat beberapa tipe
negara yang mengkonsentrasikan tujuannya pada kemakmuran
rakyat, yaitu: [1] tipe negara kekuasaan absolute atau polizei
staat (tujuan kemakmuran negara), menganut prinsip prince legibus
solutes est (raja membuat undang-undang untuk negara), artinya
raja membuat undang-undang yang diartikan sebagai kepentingan
umum yang ditafsirkan sepihak oleh penguasa. Tipe negara ini
sangatlah memakmurkan negara dan rakyat berikap pasif dalam
masalah kemakmuran, hanya menunggu piring kemakmuran raja
penuh, lalu tumpah menjadi bagian rakyat. [2] tipe negara
hukum liberal (tujuan kemakmuran individu), merupakan reaksi
dari kondisi yang dialami suatu negara kekuasaan absolute atau
polizei staat. Dalam polizei staat peran penguasa sangatn besar.
Status yang mendudukkan pemerintah negara secara dominan
menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan rakyat adalah status
positif. Sementara itu golongan pengusaha kaya mendesak raja
dan golongan bangsawan untuk tidak ikut campur terlalu banyak
dalam urusan bisnis mereka dalam ikut berupaya memakmurkan
rakyat. Desakan yang menginginkan status negative bagi negara
itu diprakarsai oleh orang-orang yang berpikiran bebas atau
beraliran liberal, disebut kelompok borjuis dan merupakan
kelompok yang besar dalam negara. Akan tetapi kelompok borjuis
tetap tidak dapat masuk dalam kelompok penguasa negara, karena
sudah dikuasai oleh kelompok bangsawan dan gereja. Mereka
kemudian menuntut pemeruntah agar tidak turut campur dalam
masalah kebebasan rakyat untuk mencari kemakmuran. Kebebasan
dalam mencari kemakmuran harus dijamin dengan hukum sebagai
bentuk perlindungan hak asasi. Paham liberal ini bisa
dikaitkan dengan teori Kant menimbulkan tipe negara hukum
liberal dengan pola perekonomian kapitalisme. Menurut Kant,
tujuan negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum sedang
tujuan hukum adalah menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
[3] tipe negara hukum formil, perkembangan dari negara
liberalis. Negara hukum telah menjadi istilah tehnis
kenegaraan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pandangan
liberal yang ingin mendudukkan negara hanya sebagai pemegang
tata tertib saja tentu menimbulkan konsekuensi bahwa negara
membutuhkan biaya untuk menjalankan tugasnya. Pendapatan
negara yang terbesar dapat diraih dari penarikan pajak.
Penarikan pajak memerlukan persetujuan dari rakyat. Untuk
resminya, penguasa kemudian mengadakan peraturan-peraturan
tentang pajak, peraturan peraturan itu tertulis, dan lama-
kelamaan menimbulkan undang-undang atau hukum tertulis secara
formil. Kemudian lahirlah negara hukum formil karena dalam
segala tindakan-tindakannya penguasa itu memerlukan bentuk
hukum tertentu, dan formalitasnya ini adalah bentuk undang-
undang. [4] negara hukum materiil (negara
kesejahteraan/kemakmuran), pada tipe negara ini tidak lagi
dipentingkan bentuk dari suatu peraturan, melainkan isinya,
yaitu kemakmuran rakyat. Penguasa tidak harus terpaku pada
suatu aturan formil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya,
melainkan hanya memperhatikan materinya untuk memakmurkan
rakyat saja sudah cukup.3
D. Pengertian Hukum Islam
Pengertian hukum islam adalah hukum yang bersumber kepada
nilai – nilai keislaman. Yang dibentuk dari sumber dalil –
dalil agama islam. Hukum itu bisa berarti ketetapan,
kesepakatan, anjuran, larangan, dan sebagainya.
Hukum Islam hanya ditujukkan kepada orang – orang yang
beragama Islam dan tidak ditunjukkan kepada orang yang non-
Islam. Jika ada orang Islam yang melanggar hukum Islam, orang
itu harus diadili sesuai dengan ketentuan dalil-dalil agama
Islam. Ada beberapa sumber yang menjadi landasan dalam membuat
ketetapan hukum Islam. Sumber-sember tersebut adalah sebagai
berikut.
1. Al Quran
Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut
diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW
melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat banyak sekali
kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah,
larangan, anjuran, ketentuan dan sebagainya. Al quran
3 Ilmu Negara FHUI 2010, hal 76-78
menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia
menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang
madani. Maka dari itu, ayat-ayat Al quran inilah yang
menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum.
2. Hadis
Hadis adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada
Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku,
persetujuan, dan sifat beliau. Hadis menjadi landasan sumber
yang paling kuat setelah Al quran. Nabi Muhammad menjadi
sosok yang paling sentral bagi umat Islam karena umat Islam
meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak sedikit pun
yang bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari
kesalahan.
3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil
simpulan berdasarkan dalil-dalil Al quran atau hadis. Para
ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran ataupun hadis
tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang
terjadi pada masa itu atau kini. Dengan demikian, para ulama
mengadakan rapat dan membuat kesepakatan sehingga hasil
rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum.
Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun
hadist.
4. Qiyas
Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil
nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara
membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak
diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran
dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram
hukumnya. Al quran tidak menjelaskan bahwa arak haram,
sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan
demikian, kita akan mengambil qiyas bahwa arak haram
hukumnya karena memabukkan. Itulah sumber-sumber utama yang
menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam.
E. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks
metodologi:
1. Ajaran normatif: prinsip-prinsip dasar
Sebuah definisi sederhana tentang negara mengatakan bahwa
negara adalah semacam bentuk ikatan antarmanusia, semacam
bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat menggunakan paksaan
terhadap anggota-anggotanya. Lembaga pengelolaan negara
tersebut bisa disebut sebagai pemerintahan (al-hukm), yang
sehari-hari dijalankan oleh pemerintah yang menurut al-Quran
adalah segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.
Tujuan dasar dari terwujudnya negara adalah untuk mencapai
kebahagiaan hidup yang sempurna yang di dalam al-Quran
disebut dengan baldah thayyibah wa rabbun ghafur. Secara
normatif,al-Quran telah menggariskan sejumlah prinsip, dan
prinsip yang utama adalah ajaran tauhid yang menetapkan
pentingnya prinsip kesatuan yang disimbolkan melalui kalimat
syahadah la ilaha illa Allah. Pada dasarnya ajaran Islam bagaikan
piramid dengan satu titik di atas yaitu Allah. Hal ini
terlihat pada konsep umat yang menurut al-Quran merupakan
satu kesatuan bagaikan bangunan yang kokoh. Prinsip ini juga
terefleksi pada ajaran Islam tentang negara dan pemerintahan
yang oleh Abd Razzaq al-Sanhuri disebut dengan sulthah
markaziyyah islamiyyah, yakni satu kekuasaan yang bersifat
sentralistik, yang tersimbolkan melalui figur pemimpin
negara dan pemerintahan yang dikenal dengan imam, amir,
sulthan, atau khalifah. Agar prinsip tauhid dalam Islam
dapat berjalan dengan baik, maka perlu ditegakkan prinsip-
prinsip lain, di antaranya:
a. Antara warga negara dan pemerintah
Al-Quran menegaskan bahwa hubungan warga negara dengan
pengelola negara harus didasarkan pada prinsip ketaatan
pada Allah,Nabi, dan penguasa (ulil amri). Hal ini paling
tidak mempunyai tiga implikasi. Pertama, pentingnya
penegakan ajaran Allah dan mereka yang berpaling darinya
akan mendapat hukuman bahkan dipandang keluar dari Islam
(kafir). Kedua, ketaatan seorang muslimbukan hanya kepada
Allah dan Nabi tetapi juga kepada penguasa negara dan
pemerintah. Namun, seperti diingatkan dalam hadits Nabi,
ketaatan itu berlangsung sejauh mereka tidak menentukan
peraturan yang justru menyalahi syariah Islam. Ketiga,
karena ajaran-ajaran al-Quran dan al-Hadis sangat
terbatas maka umat Islam dituntut untuk mampu merumuskan
aturan-aturan lebih rinci sesuai dengan tuntutan masa dan
tempat.
b. Lembaga Musyawarah
Agara negara dan pemerintahan berjalan menurut yang
semestinya maka al-Quran menggariskan prinsip kedua
berupa pentingnya lembaga musyawarah (majlis syura). Anggota
lembaga ini merupakan hasil pemilihan rakyat melalui
proses pemilihan umum dan mereka bisa disebut sebagai
ahlal-syura, yakni satu lembaga yang bertanggung jawab
penuh atas segala proses berlangsungnya negara dan
pemerintahan. Pimpinan majlis syura dipilih dari anggota-
anggota majlis dan dalam sejarah antara lain dikenal
dengan imam, amir, sulthan, atau khalifah.
c. Supremasi Hukum
Al-Quran menggariskan bahwa salah satu ciri pokok dari
seorang muslim dan/atau masyarakat Islam adalah kesiapan
untuk menjalankan hukum Allah (syariah). Mengingat begitu
pentingnya posisi hukum ini, maka bisa dipahami ketika
Sam’ani dalam kitabnya Qawati’ al-Adillah menegaskan
bahwa ilmu hukum Islam adalah ilmu yang paling penting
dalam Islam, sebab ilmu tersebut membahas peristiwa-
peristiwa yang selalu muncul, berubah, berkembang, dan
tidak pernah berhenti serta tidak ada batasnya.
Konsekuensinya, pengetahuan yang dituntut untuk menangani
persoalan tersebut juga tidak terbatas dan selalu
menuntut pengembangan. Ada konsekuensi lain dari prinsip
di atas. Hukum seperti terelaborasi pada sumber pokok
Islam, al-Quran, menuntut ketundukan dari semua pihak
baik rakyat, penguasa, bahkan Nabi Muhammad sekalipun.
Walaupun sunnah Nabi pada masa berikutnya menjadi sumber
pokok, tetapi kedudukannya menempati posisi kedua setelah
al-Quran. Dengan demikian, Nabi Muhammad yang secara
sosial dan politik dapat dikatakan sebagai pemimpin
tertinggi dalam negara dan pemerintahan Islam, juga harus
tunduk dan patuh atas ketentuan-ketentuan hukum al-Quran.
Ini berarti bahwa supremasi hukum merupakan sifat alami
yang melekat dalam ajaran Islam dan harus ditegakkan
untuk siapa saja termasuk penguasa, bahkan Nabi
sekalipun.
2. Studi Empiris
a. Fiqh Siyasah
Secara umum, istilah siyasa dipahami sebagai politik dan
juga ilmu tata pemerintahan (statecraft), atau satu istilah
yang lebih mengarah kepada keahlian atau kecakapan dan
bukan sebuah doktrin atau filsafat. Fauzi M. Najjar
mengatakan bahwa siyasah adalah satu kebijakan atau satu
organisasi yang dengan rakyatnya diorganisasi atau
diarahkan dengan cara-cara tertentu untuk kehidupan yang
baik. Jika dikaitkan dengan orang atau kota, siyasah
menjadi sesuatu yang terkait dengan seni memerintah yang
digunakan untuk kepentingan orang banyak baik menyangkut
fisik, spiritual, maupun intelektual. Juga bisa dikatakan
sebagai seni mengurus sebuah kota berdasarkan prinsip-
prinsip atau tujuan-tujuan tertentu. Fiqh siyasah merupakan
upaya pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam yang
terkait dengan negara dan pemerintahan dan segala sesuatu
yang terkait dengannya. Penjelasan tentang siyasah ini
sekaligus menggambarkan bahwa persoalan negara, politik,
pemerintahan, dan segala yang terkait dengannya sudah
menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dengan Islam
sebagai sebuah agama. Data sejarah tentang fiqh siyasah
seringkali tidak mendapat perhatian kalangan sekuler yang
menganut paham pemisahan agama dari negara.
b. Antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara)
Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan
agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat
Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal
ini berlangsung terus hingga masa al-Khulafa’ al-Rashidun.
Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang
kekuasaan baik menyangkut kekuasaan agama (ulama’) ataupun
politik (umara’). Pada saat itu, kekuasaan untuk
mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut
ajaran syariah (sebagai ulama’) berada di tangan para
khalifah. Begitu pula, kekuasaan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi
Islam yang telah dilakukan oleh Nabi (sebagai umara’),
semuanya berada di tangan khalifah.
Pada masa modern terlihat ketegangan antara ulama’ dan
umara’, misalnya, pada pemikiran Rasyid Ridha yang
dikenal sebagai salafiyah yang konservatif dan pemikiran
Ahmad Safwat dan Ali Abd Raziq yang liberal. Pada
dasarnya, Rasyid Ridha berpendapat bahwa sistem khilafah
yang telah dihancurkan dan diganti dengan sistem republik
oleh penguasa Turki harus dihidupkan kembali. Hal ini
penting untuk menyatukan kembali umat Islam dalam satu
kepemimpinan khalifah. Rasyid Ridha menolak secara tegas
pemisahan agama (ulama’) dan negara (umara’).
Pandangan Ali Abd Raziq amat berbeda dengan pikiran
Rasyid Ridha. Berdasarkan semangat ajaran Abduh, Raziq
menformulasikan pikiran kenegaraannya melalui karyanya
yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan
Dasar-dasar Pemerintahan). Ia, antara lain, menegaskan
bahwa masalah negara tidak termasuk bahkan harus
dipisahkan dari agama. Ulama’ dan umara’ secara tegas
berbeda misinya. Karena pendapatnya ini, ia dipandang
sebagai penganut paham sekuler. Di antara alasan penting
yang dijadikan argumen pemikir sekuler untuk menolak
kehadiran negara Islam adalah tidak adanya ayat al-Quran
tentang hal itu. Namun, Muhammad al-Ghazali setuju dengan
pemikiran Rasyid Ridha. Ia melanjutkan pemikiran Rasyid
Ridha tentang pentingnya penyatuan kekuasaan agama
(ulama’) dan politik (umara’) di tangan pemimpin umat
(khalifah). Pemisahan antara keduanya, tegas al-Ghazali,
adalah bid’ah. Ia menolak pendapat bahwa Islam adalah din
la dawlah (agama dan bukan negara) dan menegaskan tentang
perlunya ditegakkan hukm islami la qawmi, pemerintahan Islam
dan bukan pemerintahan nasionalis.
Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa secara normatif maupun empiris, pemikiran
maupun praktek menyangkut negara, pemerintahan, maupun politik
pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam
hingga kini. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau
pemisahan antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara) lebih
menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan
kata lain, pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa
politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian mendapat
tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap
berada pada jalur ajaran syariah.
Agama dan negara memiliki pertalian yang erat. Pertalian ini
didasarkan pada prinsip hablun min Allah wa hablun min al nas. Sehingga
sesungguhnya agama dan negara adalah dua hal yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.
F. Hukum Islam di Indonesia
Pembicaraan mengenai kedudukan Hukum Islam di Indonesia sangat
memerlukan kajian mengenai sistem hukum yang berlaku di
Indonesia sekarang ini, yang mana bersifat majemuk. Hal ini
dikarenakan ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia,
yaitu Hukum dari Eropa Kontinental, Hukum Adat, dan Hukum
Islam. Ketiga sistem hukum tersebut telah berlaku di Indonesia
walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama.
Hukum Adat merupakan yang paling pertama berlaku di Indonesia,
disusul dengan Hukum Islam dan kemudian Hukum Eropa
Kontinental. Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah
agama Islam disebarkan di tanah air kita. Waktu persis
kedatangannya belum diketahui sampai sekarang, banyak
perbedaan pendapat tentang masalah ini, namun yang pasti ialah
Hukum Islam berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk agama
Islam di manapun ia berada. Setelah Belanda menjajah
Indonesia, perkembangan hukum Islam “dikendalikan” dan sesudah
tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan
perundang-undangan (IS 1925, 1929), menurut Prof. Hazairin,
perkembangan Hukum Islam dihambat di tanah air kita4.
Pengkaitan antara Hukum Islam dengan konsep Negara Indonesia
tentunya berlandaskan kepada pertama yaitu Grund Norm atau
norma dasar yang berlaku di Indonesia, yaitu Pancasila.
Mengingat sila kesatu dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa” sudah jelas bahwa disini dapat ditafsirkan bahwa
segi-segi teologis sangatlah dikedepankan dalam menjalani
kegiatan kenegaraan. Konsep negara menurut ajaran agama Islam
haruslah bertujuan baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang artinya
negara yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha
Kuasa, dan tentunya dengan didasarkan pada hukum Islam-lah hal
ini dapat terwujud.
Mengilas balik kepada bahasan “negara dan pemerintahan dalam
islam dalam konteks metodologi” dan menjadikannya sebagai
salah satu bahan acuan pada penerapan hukum islam pada suatu
konsep bernegara, tentunya sangat banyak yang dapat diambil
untuk menghias konspe negara Indonesia, karena tentunya agama
4 Hukum Islam, M. Daud Ali, hal 210
Islam menjungjung tinggi segala kebajikan untuk seluruh umat.
Poin pertama berbicara mengenai ajaran normatif, yaitu
prinsip-prinsip dasar daripada suatu negara, konsep yang
diajarkan berdasarkan kepada tauhid yang bersandar pada
kalimat syahadat. Negara Republik Indonesia, pada saat
penyusunan Pancasila, pada awal mulanya sila pertama berbicara
secara langsung tentang negara yang didasarkan pada syari’at
Islam, namun tentunya hal ini dipandang tidak memungkinkan
untuk terwujud, mengingat keberagaman dan kemajemukan
keyakinan serta kepercayaan yang dianut oleh penduduk
Indonesia. Maka dari itu, tentunya konsep negara Indonesia
tidak dapat berlangsung dengan sistem teokrasi yang secara
terang menegaskan prinsip-prinsip ketuhanan dalam bernegara.
Namun hal ini bukan menjadi alasan untuk mengenyampingkan
hukum Islam dan membiarkannya hanya sekedar menjadi kiasan
belaka dalam kehidupan, karena nyatanya banyak sekali yang
dapat dipandang perlu karena member manfaat yang sangat baik,
misalnya prinsip-prinsip ketauhidan, kerukunan antar umat,
supremasi hukum yang selalu ditekankan dan dijunjung tingginya
keadilan. Tentunya banyak sekali hal yang tidak disadari
maupun dikesampingkan oleh manusia mengenai fakta bahwa ajaran
agama Islam mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam
berbagai bidang. Poin kedua, studi empiris mengisahkan betapa
disayangkannya apabila terjadi instabilitas dalam negara yaitu
instabilitas antara politik dengan pemerintahannya,
penyimpangan-penyimpangan dan perseteruan antara ulama’ dan
umara’ menimbulkan berbagai “penyakit” dan hal ini disebabkan
kurangnya perhatian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Dalam penerapannya, hal ini
terlihat pada pemerintahan Indonesia yang cenderung korup dan
sudah sangat menyimpang dari sesuatu yang dikehendaki oleh
Allah SWT, kemakmuran rakyat tidak lagi menjadi tujuan utama
dari kebijakan pemerintah, melainkan kemakmuran individual
atau kelompoknya sendiri.
Semakin jauhnya “kedudukan” hukum Islam di Indonesia dari
peringkat prioritas, kini menjadi sangat memprihatinkan,
konsep negara Indonesia yang memang semula bertujuan untuk
menjunjung tinggi keagamaan dalam mengendalikan arah negara
kea rah yang lebih baik, tampaknya diabaikan dan hanya
dijadikan kiasan belaka. Hukum Islam sudah seharusnya mendapat
posisi prioritas dalam menentukan segala kebijakan dan
peraturan yang dibuat oleh pemerintah, dan mengingat
kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia, hal ini harus
disusun dengan se-adil mungkin dan menghindari cacat sekecil
mungkin, agar tidak terjadi prasangka dan perpecahan antar
umat beragama di Indonesia, serta tidak menjadikan suatu
peraturan bagai “pisau bermata dua” alias dapat merugikan
pihak pemerintah pada akhirnya.
Berdasarkan hasil pengumpulan sumber dan hasil pembahasan
dari sumber, maka kesimpulan yang dapat ditarik untuk
makalah ini ialah: [1] bahwa Konsep Negara terkait dengan
Hukum Islam, adalah suatu ikatan yang dapat dikatakan hampir
sempurna. Hal ini dikarenakan oleh susunan dari pemikiran
para ahli yang digabungkan dengan ajaran Islam yang
sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
bertujuan untuk mensejahterakan ummat, Baldatun Thoyibatun
Warobbun Ghofur. Dalam kesimpulan ini, terkait pula dengan
tujuan negara, dan negara dan pemerintahan dengan konteks
metodologi Islam; [2] Hubungan antara hal tersebut dengan
Indonesia adalah, ketika Hukum Islam dikaitkan dengan Konsep
Negara yang dianut oleh Indonesia, maka sesungguhnya
kestabilan bernegara sangatlah memungkinkan untuk terjadi.
Terkait dengan Pancasila, yang menjunjung tinggi ketuhanan
Yang Maha Esa, maka Hukum Islam seharusnya mendapat
prioritas tinggi dalam pengkaitan dengan Konsep Negara
Indonesia, yang mana akan membawa kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang penulis tarik dari makalah ini,
maka saran yang dapat disampaikan adalah, [1] Kepada seluruh
rakyat Indonesia agar senantiasa mengamalkan isi dari
Pancasila sebagai dasar dari kehidupan bernegara; [2] Kepada
seluruh umat muslim di Indonesia, agar senantiasa mematuhi
dan mengamalkan apa-apa yang menjadi ajaran agama Islam,
karena pada asasnya keimanan merupakan nikmat tertinggi dari
Allah SWT, dan ingatlah bahwa janji Allah akan datang.
Negara Indonesia adalah Negara dengan kekayaan alam yang
berlimpah, dan merupakan karunia Allah SWT, dan menjadi
tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mengolah dan
melestarikannya, berdasarkan apa-apa yang menjadi dasar
kehidupan bernegara dan beragama, yaitu tentunya hal ini
terkait dengan kesimpulan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi, Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, Mizan, Jakarta, 2001
Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1978
Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis,
Yayasan Indonesiatera, Jakarta, 2001
Schmid, Von, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT
Pembangunan, Jakarta, 1988