KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

32
KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh: Usman Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ABSTRAK Perang melawan terorisme tidak bisa dimenangkan hanya dengan pendekatan represif. Tetapi diperlukan juga perang gagasan yang menjadi sumber dari kekerasan dan terorisme, melalaui program deradikalisasi. Oleh krena itu Putusan Pengadilan tidak hanya menghukum yang bersangkutan, tapi juga memberikan ruang deradikalisasi. Persoalnnya, sejauhmana tentang deradikalisasi narapidana aterorisme telah diatur dalam hukum pidana yang berlaku saat ini. Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentang deradikalisasi narapdaian terorisme dalam sistem hukum pidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal dan sistematis terdapat beberapa peraturan yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan deradiklasi sasi narapidana terorisme. Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan menambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasi narapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan peraturan lebih lanjut tentang tata cara deradikalisasi narapidana terorisme. Kata Kunci: Terorisme, Radikalisme Deradikalisasi, Narapidana I. PENDAHULUAN Setiap kejahatan pada dasarnya merupakan ancaman terhadap hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

Transcript of KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME DALAM SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME DALAM

SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA

Oleh:Usman

Dosen Fakultas Hukum Universitas JambiMahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran

ABSTRAKPerang melawan terorisme tidak bisa dimenangkan hanyadengan pendekatan represif. Tetapi diperlukan juga peranggagasan yang menjadi sumber dari kekerasan dan terorisme,melalaui program deradikalisasi. Oleh krena ituPutusan Pengadilan tidak hanya menghukum yangbersangkutan, tapi juga memberikan ruang deradikalisasi.Persoalnnya, sejauhmana tentang deradikalisasi narapidanaaterorisme telah diatur dalam hukum pidana yang berlakusaat ini. Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentangderadikalisasi narapdaian terorisme dalam sistem hukumpidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal dansistematis terdapat beberapa peraturan yang dapatdijadikan dasar pelaksanaan deradiklasi sasi narapidanaterorisme.Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, denganmenambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasinarapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan peraturanlebih lanjut tentang tata cara deradikalisasi narapidanaterorisme.

Kata Kunci: Terorisme, Radikalisme Deradikalisasi, Narapidana

I. PENDAHULUAN

Setiap kejahatan pada dasarnya merupakan ancaman

terhadap hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan, namun terorisme merupakan kejahatan yang

memberikan ancaman sangat serius. Karena terorisme tidak

saja menimbulkan rasa takut yang luas, namun juga

memberikan dampak negatif pada kehidupan sosial, ekonomi,

politik, dan hubungan internasional. Bahkan terorisme

dapat mengancam keamanan dan kedaulatan suatu negara serta

perdamaian dunia.1 Karena itu terorisme tidak dapat

dikatakan sebagai kejahatan kekerasan biasa, akan tetapi

dapat dikatagorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” (extra

ordinary crime)2.

Seriusnya ancaman terorisme mengundang reaksi keras

masyarakat bangsa-bangsa di dunia dan menjadikan

terorisme sebagai isu bersama. Sebagai bentuk komitmen

masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas

terorisme telah disepakati beberapa konvensi internasional

yang menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui

pembentukan peraturan perundang-undangan nasional

negaranya.3 Dalam kaitan ini tercatat dua belas (12)

Konvensi Internasional, serta empat (4) Resolusi Dewan

Keamanan PBB yang terkait dengan Terorisme.4 Upaya

1Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 TentangPemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

2Muladi, “Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Kkhusus (ExtraOrdinary Crime)” Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, hlm.1-2.

3Penjelasan umum UU No. 15 Tahun 2003, Op. Cit. 4Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik

HukumNasional Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 2,2013, hlm. 82.

pemberantasan terorisme tersebut semakin menguat pasca

teror terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) Amerika

Serikat, pada 11 September Tahun 2001.5

Istilah “perang terhadap terorisme” yang populer

pasca serangan bom 11 September 2001,6 mengindikan bahwa

pendekatan kekerasan merupakan pilihan dalam menunjukkan

reaksi negara-negara di dunia terhadap terorisme.

Akibatnya upaya penanggulangan terorisme di lakukan

melalui tindakan represif, baik tindakkan dalam kerangka

penegakan hukum melalui mekanisme sistem peradilan pidana,

maupun dalam kasus tertentu dilakukan dengan tindakan

militer terhadap kelompok atau suatu negara yang dianggap

teroris atau mendukung terorisme. Sejumlah teroris

tewas, ditangkap dan dipenjarakan, bahkan razim yang

dianggap mendukung terorisme berhasil digulingkan.

Persoalannya, apakah tindakan tersebut efektif dalam

menekan terorisme global? Faktanya menunjukkan, bahwa

terorisme tetap ada dan menjadi ancaman bersama. Yang

terjadi justru rangkaian tindakan kekerasan yang dibalas

dengan kekerasan, sehingga menciptakan lingkaran teror

yang berkelanjutan. Hal ini telah menimbulkan kesadaran

bahwa perang melawan terorisme tidak bisa dimenangkan5Isu ini kemudian dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan

sekutunya dan berupaya meraih dukungan negara-negara di dunia. MelaluiPresidennya, George Walker Bush, dikenal ungkapan politik “stick andcarrot”. Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikandukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi. EdwinJHW, “Deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme”<http://www.setkab.go.id> Diunduh 15 Juni 2013.

6http://id.wikipedia.org/ wiki/ Serangan_11_September_2001# Teori_yang_bertentangan, diunduh 31 Agustus 2014.

hanya dengan membunuh dan menangkap teroris, mengumpulkan

intelijen atau mengamankan perbatasan. Tetapi diperlukan

juga perang gagasan yang menjadi sumber dari kekerasan

dan terorisme.7 Atau dengan kata lain, pendekatan kekerasan

saja tidak bisa menghapus ancaman terorisme, selama

radikalisme sebagai akar masalah yang mendorong terorisme

tidak dapat diselesaikan.

Terkait dengan dengan hal tersebut, menurut Edra

Wijaya, pemberantasan tindak pidana terorisme tidak hanya

dalam pengertian tindakan yang represif dan perlakuan

fisik. Tetapi juga memerlukan upaya lainnya yang kreatif

yang lebih “humanis”, seperti melalui program

deradikalisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka

Putusan Pengadilan tidak hanya menghukum yang

bersangkutan, tapi juga memberikan ruang deradikalisasi.8

Terkait dengan hal ini maka konsep deradikalisasi

seharusnya juga terintegrasi dalam bekerjanya sistem

peradilan pidana, kususnya dilakukan pada tahap

pelaksanaan pidana. Namun dari sisi asas legalitas,

adanya perumusan kebijakan tentang deradikalisasi tersebut

merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Karena hanya

dengan kebijakan tersbut maka dapat dijamin legalitas dari

kebijakan deradikalisasi narapidana terorisme. Sehubungan

dengan ini maka persoalnnya, sejauhmana tentang7Noor dan Shagufta Hayat, Deradicalization: Approaches and Models, Pakistasn:

Institute for Peace Studies (PIPS), 2009, hlm. 1.8Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan Dalam Program

Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia” Jurnal Yudisial, Vol.III/No-02/Agustus/2010, Hlm. 1.

deradikalisasi narapidana aterorisme telah diatur dalam

hukum pidana yang berlaku saat ini?

II. RADIKALISME, TERORISME DAN DERADIKALISASI

II.1. Relasi Radikalisme dan

Terorisme

Istilah “radikalisme” sering dikaitkan ketika

membicarakan tentang terorisme. Karena dianggap sebagai

bagian dari akar persoalan terorisme. Pandangan semacam

ini di dunia Barat terutama sejak ikrar perang terhadap

terorisme oleh Presiden George W Bush pasca serangan 11

September 2001. Mislanya, Brian Michael Jenkins, sebagai

pakar terorisme menyatakan, "Teroris tidak jatuh dari

langit, mereka muncul dari seperangkat keyakinan yang

dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka

menjadi teroris"9

Dengan pendekatan kajian psikologis, Fathali

Moghaddam, sebagaimana dukutip Ismail Hasani dan Bonar

Tigor Naipospos, menggambarkan bagaimana seseorang

mengalami transformasi menjadi teroris. Moghaddam

memperkenalkan konsep The Staircase to Terrorism. Meskipun tidak

menggambarkan secara utuh penganutan idiologis pada

masing-masing tahap atau tangga, Moghaddam telah

meyakinkan publik bahwa untuk menjadi teroris seseorang

tidak bisa serta merta. Ada tahapan dengan berbagai9Dalam Leila Ezzarqui, “De-Radicalization And Rehabilitation

Program:The Case Study Of Saudi Arabia”, School of Arts and Sciencesof Georgetown University, Washington DC, 2010, hlm. 5.

dinamika sosial dan psikologi individu masing-masing yang

harus dilalui. Pertama, individu mencari solusi tentang apa

yang dirasakan sebagai perlakuan yang tidak adil. Kedua,

individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi

atas persoalan tersebut dengan penyerangan yang dianggap

sebagai musuh. Pada tangga ketiga, individu

mengidentifikasi diri dengan mengadopsi nilai-nilai moral

dari kelompoknya. Keempat, setelah seseorang memasuki

organisasi teroris, hanya ada kemungkinan kecil atau

bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup.

Individu dalam tangga kelima ini secara psikologis,

menjadi siap dan termotivasi untuk melakukan kegiatan-

kegiatan terorisme.10

Terkait denga pendapat Fathali Moghaddam tersebut,

secara teoritik Afadlal menjelaskan bagaimana pergeseran

dari radikalisme menjadi terorisme yang bergerak dari

konsep fanatisme dan radikalisme. Dalam mengekspresikan

fanatisme dan radikalisasi bisa muncul dalam berbagai

bentuk. Tetapi pada umumnya berbanding lurus dengan reaksi

dan atau sikap dari kelompok lawan. Aksi dan reaksi antara

dua kelompok berhadapan mungkin berbeda, namun pada

umumnya mendekati derajat dan pola yang hampir sama.

Kekerasan akan dilawan dengan kekerasaan, dan salah satu

bentuknya bisa berwujud gerakan terorisme.11 Sejalan dengan

pendapat tersebut, menurut Mustofa, terorisme yang10Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Ismail Hasani dan

Bonar Tigor Naipospos (ed), Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa Barat:Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Jakarta: PustakaMasyarakat Stara, 2010, hlm .13.

bermotivasikan ideologi agama, tidak akan mudah

dihancurkan dengan tindakan militer, bahkan akan

memperkuat militansi. Upaya Amerika Serikat menangkap

hidup atau mati Osama bin Laden dengan melakukan pemboman

Afganistan, maupun menyebutkan adanya jaringan terorisme

internasional bernama Jamaah Islamiyah, justru memperkokoh

stereotipe yang dibangun terhadap Amerika Serikat sebagai

perwujudan dari "setan."12

Gambaran tersebut juga dapat menjelaskan fenomena

terorisme di Indonesia. Misalnya Irfan Idris, menyebutkan

bahwa salah satu akar terorisme di Indonesia adalah faham

radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk tindakan radikal

yang memaksakan kehendak.13 Demikian juga menurut Sarlito

Wirawan, bahwa para pelaku terorisme adalah orang-orang

biasa yang kebetulan memiliki ideologi yang berbeda, yang

sangat meyakini seolah-olah ideologi mereka yang paling

benar, di luar itu salah dan merusak umat manusia oleh

karena harus diperangi. Selain itu dalam sebuah wawancara

dengan majalah Tempo (21/3/2011), Arsyad Mbai menyatakan

bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme. Menurutnya,

ideologi radikal adalah penyebab dari maraknya aksi teror

di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme harus diikuti

oleh pemberantasan radikalisme. Secara spesifik, Mbai11Afadlal, Afadlal et all, Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta:

LIPPI Ress, 2005, hlm. 9.12Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif

Kriminologi”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. III Desember2002, hlm. 37.

13Irfan Idris, “Deradikalisasi terorisme di Indonesia” <http://damailahindonesiaku. com.> diakses pada tanggl 12 Mei 2013.

melihat adanya ideologi tersebut dalam perilaku teror di

masyarakat sejak tahun 2000-an.14 Pendapat serupa juga

disampaikan oleh Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul

Ulama KH Hasyim Muzadi, bahwa fenomena terorisme yang

melanda Indonesia dalam 12 tahun terakhir dipengaruhi oleh

faktor mewabahnya faham radikalisme agama. "Terorisme

berkembang seiring dengan massifnya perkembangan faham

radikalisme agama. Maraknya gerakan radikalisme agama

menjadi ladang subur bagi terorisme."15 Pandangan tersebut

juga ditemukan dari hasil penelitian Stara Institut, bahwa

organisasi radikal dan teroris menunjukkan relasi yang

cukup dekat.16

Dari paparan tersebut menunjukkan bahwa terdapat

relasi kausal antara terorisem dan radikalisme. Meskipun

demikian perlu di catat bahwa pertama, pengertian

radikalisme di sini tidak terbatas pada radikalisme agama,

termasuk di dalamnya radikalisme politik yang berbasis

pada suku, rasa, kebangsaan atau radikalisme lainnya.

Kedua, tidak semua teror terjadi dilatarbelakangi oleh

radikalisme. Mislanya dalam kasus teror yang dilakukan

oleh negara (state terrorisme).

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa meskipun terdapat

keterkaitan antara terorisme dan radikalisme, namun

radikalisme agama sesungguhnya tidak lebih sebagai faktor

14Arsyad Mbai, “Radikalisme Adalah Akar Terorisme“<http://www.forumbebas. com>, diunduh 27 -2-2014.

15Republika.co.id, Kamis, 28 Juli 2011.16Ismail Hasaani dan Bonar Tigor N (ed), Op. Cit, hlm. 190.

pemicu terhadap berbagai persoalan dasar yang bersifat

kompleks. Oleh karena itu dalam upaya penanggulangannya

tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi, tetapi perlu

pendekatan yang komprehensip. Ini artinya penanggulangan

terorisme itu tidak cukup hanya melalui tindakan-tindakan

yang bersifat represif, di sisi lain pelu menyelesaikan

secara tuntas dan adil akar penyebab yang menimbulkan

fenomena terorisme itu.

II.2. Deradikalisasi dan

Upaya Penanggulangan Terorisme

Dalam pandangan International Crisis Group,

deradikalisasi adalah proses meyakinkan kelompok radikal

untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini juga

bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan yang

mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara

menanggapi “root causes” (akar-akar penyebab) yang mendorong

tumbuhnya gerakan-gerakan ini.17

Dalm koteks pemahaman agama, Muhammad Harfin Zuhdi

yang pendapatnya dapat dipandang menjembatani perbedaan

tersebut. Menurut Muhammad Harfin Zuhdi, untuk dapat

melihat persoalan secara jernih, maka harus dibedakan

antara agama dan pemikiran keagamaan serta bagaimana

aktualisasinya dalam sejarah peradaban manusia. Dalam

kasus Islam, pemikiran Islam mencakup sejumlah disiplin

ilmu dan mazhab pemikiran. Jadi sejarah dan pemikiran

17International Crisis Groeup, “Deradikalisasi dan LembagaPemasyarakatan di Indonesia,” Asia Report N°142 – 19 November 2007,Hlm. 1.

Islam adalah produk dari sebuah interaksi dan dialektika

yang panjang dan kompleks antara interpretasi manusiawi

dengan wahyu Ilahi. Berdasarkan pemikiran tersebut,

Muhammad Harfin Zuhdi melihat deradikalisasi dari sisi

pemahaman terhadap ajaran Islam. Dari sisi ini

deradikalisasi berarti upaya menghapuskan pemahaman yang

radikal terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, kkhususnya

ayat atau hadis yang berbicara tentang konsep jihad,

perang melawan kaum kafir dan seterusnya. Berdasarkan

pemaknaan tersebut maka deradikalisasi bukan dimaksudkan

sebagai upaya untuk menyampaikan “pemahaman baru” tentang

Islam, dan bukan pula pendangkalan akidah. Tetapi sebagai

upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman

tentang apa dan bagaimana Islam.18

Program apakah yang perlu dilakukan untuk merubah

agar sesorang atau kelompok radikal menjadi tidak radikal

atau tidak menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan

misinya? Inilah persoalan yang mendasar dalam pembicaraan

tentang deradikalisasi. Program deradikalisasi sebagai

suatu upaya untuk merubah pemahanan dan perilaku radikal

tentu harus berkesesuaian dengan orang, waktu dan tempat,

atau terhadap siapa dan di mana deradikalisasi itu

dilakukan. Oleh karena itu tidak mungkin diperlakukan

dengan metode yang sama di antara setiap kelompok sasaran

tersebut. Sehingga diperlukan program yang bervariatif.

18Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan UpayaDeradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis”, RELIGIA Vol.13, No. 1, April 2010, hlm. 91.

Menurut Leila Ezzarqui, Program De-radikalisasi

merupakan usaha untuk mengatasi tantangan ideologis dan

menggagalkan daya tarik militansi, mengubah sikap dan

berusaha untuk merehabilitasi individu ke dalam masyarakat

umum. Dibutuhkan pemahaman tentang hubungan yang kompleks

antara sikap, keyakinan dan perilaku. Untuk itu diperlukan

pendidikan ulang (reedukasi) dan program rehabilitasi

berbasis ideologis, antara lain mencakup reinterpretasi

argumen teologis untuk mendelegitimasi penggunaan

kekerasan terhadap negara dan masyarakat lainnya.19

Dalam upaya deradikalisasi, metode diskusi atau

dialog intensif dengan topik dari teks al-Qur'an, maupun

dari berbagai konteks sosial, ekonomi, politik dengan

melibatkan mantan teroris, ustadz dan psikolog, pernah

dilakukan dalam eksperimen yang pernah dilakukan Sarlito

Worawan Sarwono. Hasilnya ditemukan bahwa para mantan

pelaku teror bisa diubah sikapnya, walaupun usaha untuk

mengubah ideologi sangat tidak mudah, bahkan ada beberapa

yang menunjukkan penolakan mutlak. Sedangkan program

disengagement, yang dialakukan dalam bentuk pemberdayaan

dakwah yang bernuansa Islam rahmatan lil alamin, melalui

pelatihan dakwah non-kekerasan, yang disatukan dengan

kegiatan mereka sehari-hari, hasilnya sangat baik. Para

mantan teroris yang sebelumnya masih bicara keras,

19Leila Ezzarqui, Op. Cit, hlm. 7.

sesudang mengikuti programbisa bicara di TV dengan membawa

misi damai, malah mendukung NKRI.20

Menyimak konsep deardikalisasi yang dilakukan di

beberapa Negara, ternyata cukup beragam. Yaman yang

dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi, yang

menjalankan program deradikalisasi sejak tahun 2002,

dilakukan dengan membentuk Komite untuk Dialog (Committee for

Dialogue). Program ini memprioritaskan dialog dan debat

intelektual, dan bertujuan untuk meyakinkan kepada para

aktivis kekerasan atau mereka yang tersangkut terorisme

bahwa pemahaman yang mereka miliki adalah salah.21 Program

deradikalisasi Pemerintah Arab Saudi dilakukan dengan

konsep PRAC (Prevention, Rehabilitation and After Care) (pencegahan,

rehabilitasi dan perawatan pasca program). Selain dialog

teologis seperti ceramah anti-terorisme yang dilakukan

oleh ulama-ulama terkemuka Arab Saudi, juga dilakukan

melalui program konseling psikologis serta pembinaan

terpadu melalui Care Center, dan bantuan sosial serta

finansial sebagai modal usaha.22

Program deradikalisasi melalui dialog teologis,

dengan tujuan meruntuhkan persepsi teroris yang salah dan

melakukan konstruksi ulang ideologi yang mendasari

tindakan radikal, juga dilakukan oleh Pemerintah Mesir

20Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi,Jakarta : Pustaka Alvabet dan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian(LAKIP), 2012, hlm. 133.

21http://www.eramuslim.com , “Deradikalisasi di Beberapa Negara”,Diunduh 17 juni 2013. hlm.2.

22Ismail Hasani dan Bonar TN, at all, Op. Cit, hlm. 171.

dengan memfasilitasi pertemuan di antara para tokoh JI

Mesir dengan melibatkan ulama-ulama Al-Azhar.23 Di

Singapura program deradikalisasi yang dilakukan sejak

tahun 2002, dilakukan melalui sesi bersama psikolog, sesi

konseling yang melibatkan para tahanan dan keluarganya,

dan juga program rehabilitasi agama, yang merupakan

komponen utama dalam program ini.24

Di Indonesia, sebagaimana desebutkan oleh Irfan

Idris, bahwa desain deradikalisasi memiliki yaitu

reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi.

Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan

kepada masyarakat tentang paham radikal, sehingga tidak

terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Sedangkan

bagi narapidana terorisme, reedukasi dilakukan dengan

memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin

menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka

sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri

bukanlah jihad yang diidentikkan dengan aksi terorisme.

Adapun rehabilitasi memiliki dua makna, yaitu pembinaan

kemandirian dan pembinaan kepribadian, pembinaan

kemandirian adalah melatih dan membina para mantan napi

mempersiapkan keterampilan dan keahlian, gunanya adalah

agar setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan,

mereka sudah memiliki keahlian dan bisa membuka lapangan

23Hasibullah Satrawi, “Deradikalisasi BerbasisIdeologi,”http://budisansblog.blogspot.com, diunduh 30 Oktober 2011, hlm. 1-2.

24http://www.eramuslim.com , “Deradikalisasi di Beberapa Negara”,Op. Cit, hlm. 3.

pekerjaan. Sedangkan pembinaan kepribadian adalah

melakukan pendekatan dengan berdialog kepada para napi

teroris agar mind set mereka bisa diluruskan serta memiliki

pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak

yang berbeda dengan mereka. Proses rehabilitasi dilakukan

dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti polisi,

Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokesra,

ormas, dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan

memberikan bekal bagi mereka dalam menjalani kehidupan

setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selain program

terebut, untuk memudahkan mantan narapidana dan narapidana

teroris kembali dan berbaur ke tengah masyarakat, BNPT

juga mendesain program resosialisasi dan reintegrasi, dengan cara

membimbing mereka dalam bersosialisasi dan menyatu kembali

dengan masyarakat. Selain itu deradikalisasi juga

dilakukan melalui jalur pendidikan dengan melibatkan

perguruan tinggi, melalui serangkaian kegiatan seperti

public lecture, workshop, dan lainnya, mahasiswa diajak untuk

berfikir kritis dan memperkuat nasionalisme sehingga tidak

mudah menerima doktrin yang destruktif.25

Dari uraian tentang program deradikalisasi tersebut,

menunjukkan bahwa deradikalisasi pada dasarnya merupakan

upaya perang pemikiran terhadap paham radikal, oleh karena

itu dialog teologis merupakan yang utama. Meskipun

demkikian tidak cukup hanya dilakukan melalui debat

pemahaman agama saja. Selain itu perlu didukung dengan

25Irfan Idris, Ibid, hlm. 2-3.

program lainnya seperti pembinaan psikologis,

intelektualnya serta keterampilan. Selain itu keterlibatan

masyarkat, terutama keluarga diperlukan untuk mendukung

agar narapidana terorisme dapat bersosialisasi dan

berintegrasi dalam masyarakat umum dengan baik.

III. KONSEP HUKUM DERADIKALISASI NARAPIDANA TERORISME

Dalam kerangka sistem peradilan pidana,

deradikalisasi narapidana terorisme pada dasarnya

merupakan suatu proses yang terkait dengan tahap eksekusi

atau pelaksanaan pidana penjara di Lembaga pemasyarakatan.

Meskipun demikian sebagai bagian dari bekerjanya sistem

peradilan pidana, maka proses deradikalisasai tidak

terlepas dari tahapan sistem yang berjalan sebelumnya,

yaitu dimulai dari penetapan kebijakan formulasi oleh

pembentuk undang-undang, dan tahap aplikasi mulai dari

penyidikan oleh penyidik, tahap penuntutan oleh penuntut

umum, dan tahap mengadili/menjatuhkan putusan oleh hakim.

Oleh karena itu dilihat dari kerangka sistem hukum pidana,

maka deradikalisasi narapidana terorisme tidak hanya

terkait dengan hukum pelaksanaan pidana, tetapi juga

merupakan fungsi dari hukum pidana materiel dan hukum

pidana formil sebagai satu kesatuan.26

Terkait dengan hukum pidana metriel, maka

deradikalisasi narapidana terorisme terkait dengan pilihan

jenis pidana apa yang dirumuskan di dalam undang-undang

tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Karena

hanya jenis pidana penjara yang memungkinkan untuk

nantinya dapat dilakukan deradikalisasi narapidana

teorisme. Sendangkan untuk jenis pidana lainnya tidak

memungkinkan untuk adanya deradikalisasi narapidana

teorisme. Demikian pula terkait dengan hukum pidana

formil. Hanya dengan penjatuhan pidana penjara yang

memungkinkan untuk dilakukan deradikalisasi narapidana

teorisme. Sedangkan apabila hakim menjatuhkan pidana

selain pidana penjara maka tidak memungkinkan untuk adanya

deradikalisasi narapidana teorisme. Selain itu adanya

ketetapan dari pengadilan yang mengharuskan terpidana

menjadi dradikalisasi juga dapat menjadi jaminan bagi

pelaksanaan deradikalisasi.

1. Analisis Ketentuan Tentang Deradikalisasi Narapidana

Terorisme Dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme merupakan undang-undang yang bersifat

khusus. Di dalamnya tidak saja memuat ketentuan tentang

26Tentang sistem hukum pidana lihat Barda Arief Nawai, RUU KUHPSebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang: PustakaMagister, 2007, hlm. 4.

hukum pidana materil, terkait dengan rumusan tindak

pidana, pidana dan pertangunggungjawaban pidana,

sebagaimana dirumuskan dalam BAB III Pasal 6 sampai dengan

Pasal 18, dan BAB IV Pasal 20 sampai dengan Pasal 24.

Tetapi undang-undang ini juga dimuat materi tentang hukum

acara pidana yang bersifat khusus, yang berlainan dengan

ketentuan di dalam KUHAP, terkait dengan penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam

perkara tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam

BAB V. Meskipun demikian ternyata di dalam undang-undang

tidak ditemui ketentuan khusus terkait dengan

pelaksansaan pidana, maupun tentang dradikalisasi.

Meskipun demikian bukan berarti tidak artinya terkapa lagi

tentang deradikalisasi.

Dari sisi sanksi, dari sejumlah 33 rumusan tindak

pidana dalam UU No 15 Tahun 2003, terdapat 21 rumusan

tindak pidana diancam dengan maksimal pidana mati.

Sedangkan sisanya diancam dengan pidana penjara, pidana

kurungan dan pidana denda untuk tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi. Ancaman maksimal pidana mati

ditemui dalam beberapa pasal, yaitu Pasal 6, Pasal 8,

Pasal 9, pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16. Ancaman

pidana mati selalu dirumuskan secara alternatif, dengan

pidana penjara. Lamanya pidana penjara sebagai alternatif

ancaman pidana mati adalah penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling lama 20 tahun. Sedangkan ancaman

pidana mimalnya antara 3 sampai 4 ahun. Sedangkan acaman

pidana penjara dirumuskan secara beragam seasui dengan

bobot tindak pidana terorisme. Ancaman pidana penjara

seumur hidup hanya ditemui dalam Pasal 7. Ancaman

maksimal pidana penjara 15 tahun dirumuskan dalam Pasal

11 Pasal 12, Pasal 13, pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan

Pasal 21.

Dalam Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, selain perumusan pasal 7 digunakan

sistem perumusan ancaman pidana maksimum-minimum. Artinya

undang-undang memberikan batas maksimal dan minimal yang

dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Lama ancaman pidana minimal untuk pidana penjara

dirumuskan sesua dengan bobot tindak pidana terorisme

berkisar antara 2 sampai 3 tahun.

Meskipun acaman pidana mati cukup banyak digunakan

sebagai ancaman tindak pidana terorise dalam UU No 15

Tahun 2003, namun ancaman pidana yang lebih banyak

digunakan adalah pidana penjara. Demikian juga dalam

praktiknya sebagian besar pelaku tindak pidana terorisme

dikenakan pidana penjara. Dikaitkan dengan pengaturan

tentang deradikalisasi narapidana terorisme, sebagaimana

disebutkan sebelumnya bahwa hanya jenis pidana penjara

yang memungkinkan untuk dilakukan deradikalisasi, maka

dengan ancaman pidana penjara ini merupakan dasar untuk

penjatuhan pidana penjara. Dengan dijatuhkannya pidana

penjara tersebut maka dalam pelaksanaannya dapat dilakukan

deradikalisasi terhadap narapidana terorisme.

Dari analisis tersebut, meskipun UU No 15 Tahun 2003

merupakan undang-undang khusus, yang di dalamnya mengatur

baik hukum materiel maupun hukum formil, tetapi ternyata

belum mengatur ketetnuan tentang pelaksanaan pidana.

Karena deradaikalisasi narapidana terorisme termasuk ke

dalam pelaksanaan pidana, maka jelas ketentuan tentang

deradikalisasi narapidana terorisme belum dimuat di dalam

undang-undang tersebut. Meskipun demikian jika ditilik

dari jenis sanksi pidana yang digunakan, di mana ancaman

pidana penjara cukup dominan maka secara tidak langsung

dengan dijatuhkannya pidana penjara maka dapat dilakukan

deradikalisasi narapidana terorisme. Atau dengan kata lain

dapat dikatakan, bahwa dalam kerangka sistem peradilan

pidan, ancaman pidana penjara di dalam hukum pidana

materiil merupakan tahap awal dari kebijakan

deradikalaisasi narapidana terorisme.

2. Analisis ketentuan tentang deradikalisasi narapidana

terorisme dalam KUHAP dan Putusan Pengadilan

Dalam melaksanakan putusaan pengadilan, lembaga

pemasyarakatan pada dasarnya hanya melaksanaan pidana

sesuai dengan putusan pengadilan. Berkenaan dengan

deradikalisasi terhadap narapidana terorisme, persoalannya

sejauh mana KUHAP mengatur tentang hal tersebut?

Di dalam KUHAP tentang pelaksanaan putusan pengadilan

diatur dalam BAB XIX. Mulai dari Pasal 270 sampai dengan

Pasal 276. Terkait dengan pelaksanaan pidana penjara KUHAP

tidak mengatur secara rinci bagaimana pelaksanaan putusan

pengdilana tersebut. Pasal 270 hanya menentukan,

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu

panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya.”

Terkait dengan pelaksanaan pidana penjara KUHAP hanya

mengatur terkait dengan pengawasan dan pengamatan

pelaksanaan putusan pengadilan. Pasal 277 ayat (1)

menentukan, “Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang

diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan

pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang

menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.”

Berdasarkan Pasal 280 dan Pasal 282, pengawasan dan

pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan untuk:

a) memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan

dilaksanakan sebagaimana mestinya; b) bahan penelitian

demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan; dan c)

menetukan cara pembinaan narapidana tertentu.

Meskipun KUHAP tidak secara tegas mengatur tentang

pelaksanaan pidana, namun dari ketentuan Pasal 280 dan

Pasal 282 terdapat ketentuan yang mengarahkan cara

pelaksanaan pidana dan pembinaan yang tepat terhadap

narapidana tertentu, termasuk di dalamnya narapidana

teerorisme, sebagai narapidana yang bersifat khusus, namun

bagaimana ketentean lebih lanjut tentang cara pembinaan

narapidana tersebut, tidak diatur di dalam KUHAP. Demikian

juga di dalam putsan pengadilan, sebagaimana diatur dalam

Pasal 197 ayat (1) KUHAP, jelas tidak terdapat ketentuan

yang mewajibkan untuk mencantumkan ketetapan mengenai

bagaimana putusan pengadilan itu harus dilaksanakan. Hal

ini sudah tepat, karena KUHAP merupakan ketentuan hukum

acara pidana yang bersifat umum. Yang berlaku untuk setiap

tindak pidana. dalam hal terdapat ketentuan yang

menyimpang dari KUHAP, maka hal itu seharusnya dimuat

dalam undang-undang yang bersifat khusus. Dalam hal ini

adalah UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Terorisme. Sehingga sebelum adanya ketentuan tersebut,

maka tidak akan ditemui ketetetapan tentang cara

pelaksanaan putusan pengadilan.

Menyikapi permasalahan tersebut, berdasarkan pada asas

1ex specialis derogat lex generalis, tindak pidana terorisme sebagai

tindak pidana yang bersifat khusus, sangat mungkin untuk

menyimpang dari ketentuan tentang muatan putusan

pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1)

KUHAP. Meskipun demikian sesuai dengan asas legalitas

penyimpangan tersebut harus dinyatakan dalam undang-undang

tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Model

pengaturan seperti ini sesungguhnya telah digunakan di

Indonesia, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 103

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika, bahwa:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotikadapat:a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan

menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebutterbukti bersalah melakukan tindak pidanaNarkotika; atau

b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutanmenjalani pengobatan dan/atau perawatan melaluirehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebuttidak terbukti bersalah melakukan tindak pidanaNarkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatanbagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masamenjalani hukuman.

Ketentuan mengenai putusan pengadilan tersebut berlaku

untuk tindak pidana narkotika. Persoalannya apakah model

perumusan ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 cocok untuk digunakan di dalam undang-

undang pemberantasan tindak pidana terorisme? Tindak

pidana terorisme memang berbeda dengan tindak pidana

narkotika. Karena di dalam kasus pecandu narkotka, pelaku

mengalami ketergantungan biologis. Sedangkan di dalam

kasus terorisme yang dipicu oleh radikalisme, pelaku

mengalami ketergantungan mental dan ideologis. Meskipun

demikian jika dicermati antara pelaku tindak pidana

narkotika dan pelaku tindak pidana terorisme terdapat

titik persamaannya, yaitu sama-sama mengalami

ketergantungan oleh karena itu kedua-duanya membutuhkan

perawatan dan pembinaan yang bersifat khsusus.

Dengan menggunakan metode penafsiran sistematis, model

pengaturan yang dirumuskan di dalam Pasal 103 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika tersebut sesungguhnya dapat diterapkan dalam

undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana

terorisme. Dengan mengadobsi model perumusan tersbut maka

hakim dapat memutus untuk memerintahkan terpidana

terorisme dalam pelaksanaan pidanyanya wajib menjalani

program deradikalisasi, dan masa menjalani deradikalisasi

diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Sebagai konsekuensi dari penggunaan model perumusan

Pasal 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika dalam kasus tindak pidana

terorisme, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, dengan menambahkan ketentuan terkait dengan

derdikalisasi. Model perumusan yang disarankan adalah

sebagai berikut:

Pasal ….(1) Hakim yang memeriksa perkara terorisme dapat

memutus untuk memerintahkan yang bersangkutanmenjalani deradiklasisasi jika terbukti yangbersangkutan melakukan tindak pidana karena dirongatau dipengaruhi oleh paham radikalisme.

(2) Deradikaliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)di lakukan di Lapas khusus atau Lapas lainnya yangmemiliki fasilitas dan sumberdaya manusia untukmenyelenggarakan deradikalisasi.

(3) Masa menjalani deradikalisasi sebagaimanadimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai masamenjalani hukuman.

Dengan adanya ketetuan tentang tatacara pelaksanaan

pidana teresebut, maka terdapat dasar hukum yang jelas

bagi hakim untuk memutuskan untuk memerintahkan terpidana

tidak pidana terorisme untuk menjalani deradiklasisasi

jika terbukti yang bersangkutan melakukan tindak pidana

karena dirong atau dipengaruhi oleh paham radikalisme.

Konsekuensi dari kebijakan tersebut, maka pada tahap

impelementasinya diperlukan adanya lembaga pemasyaraktan

khusus yang menanganai perawatan dan pembinaan narapidana

terorisme. Atau paling tidak diperlukan lembaga

pemasyarakatan umum yang di dalamnya tersedia fasilitas

dan sumberdaya manusia untuk menyelenggarakan

deradikalisasi.

3. Analisis ketentuan tentang deradikalisasi narapidana

terorisme dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 dan Peraturan

Pelaksanaannya

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, ketentuan

tentang pelakasanaan pidana penjara diatur di dalam UU

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan peraturan

pelaksanaannya. Persoalnnya apakah di dalam peraturan

perundang-undangan tersebut telah mengatur, atau paling

tidak terdapat ketentuan yang dapat dijadikan sebagai

dasar hukum dalam pelaksanaan deradikalisasi narapidana

terorisme?

Di dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 secara eksplisit

tidak ditemui ketentuan tentang deradikalisasi narapidana

terorisme. Meskipun demikian terkait dengan dengan

pembinaan narapidana, Pasal 12 ayat (1), UU Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan membuat klasifikasi

atau penggolongan yang didsarkan atas dasar:

a. umur;

b. jenis kelamin;

c. lama pidana yang dijatuhkan;

d. jenis kejahatan; dan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau

perkembangan pembinaan

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf d, maka secara

gramatikal27 dapat ditafsirkan, bahwa dalam hal jenis

kejahatannya adalah terorisme, maka digolongkan ke dalam

narapidana terorisme. Setelah dilakukan pengolongan

tersebut persoalnnya bagaimanakah konsep dan cara

pembinaannya? Dalam kaitan ini Pasal 2 ayat (1) PP Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan, menentukan bahwa : “Program

pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan

pembimbingan kepribadian dan kemandirian.” Selanjutnya

menurut Pasal 3 Pembinaan dan pembimbingan kepribadian

dan kemandirian tersebut meliputi hal-hal yang berkaitan

dengan:

a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. kesadaran berbangsa dan bernegara; c. intelektual; d. sikap dan perilaku;

27 Interprestasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalamundang-undang sesuai kaedah bahasa, kaedah hukum tata bahasan. TeguhPrastyo, “ Metode Penemuah Hukum Dalam Perkembangan Teori dan Praktik Pengadilandi Indonesia, dalam Idris at all,(ed) Penemuan Hukum Nasinal danInternasional, Bandung: Fikahati Aneska bekerja sama dengan BagianHukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012, hlm.628.

e. kesehatan jasmani dan rohani; f. kesadaran hukum; g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. keterampilan kerja; dan i. latihan kerja dan produksi. Ketentuan tersebut pada dasarnya hanya mengatur

tentang pola pembinaan narapidana secara umum, yaitu

digolongkan ke dalam dua jenis pembinaan, meliputi

pembinaan kepribadian dengan rincian program dan kegiatan

terkait dengan poin a sampai dengan g, dan pembinaan

kemandirian dengan rincian program dan kegiatan terkait

dengan poin h dan i.

Pola dan program kegaitan tersebut pada dasarnya juga

terkait dengan program deradikalisasi, namun program

derdaikalisasi narapidana terorisme tentunya tidak

terbatas pada program dan kegiatan tersebut. Selain itu

masih dibutuhkan program yang spesifik lainnya. Satu hal

yang paling mendasar adalah program reedukasi terkait

dengan pemahaman ideology radikal. Hal ini berarti baik UU

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan maupun PP Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga

Binaan Pemasyarakatan, meskipun terdapat beberapa

ketetnuan yang secara umum memberrikan arahan terkait

dengan deradikalisasi narapidana terorisme, namun belum

secara sepsifik mengatur tentang deradikalisasi narapidana

terorisme. Ketentuan tesebut justru itemui di dalam

peraturan pelaksanaannya, yaitu PP Nomor 32 Tahun 1999

Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan, sebagaimana diubah dengan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga

Binaan Pemasyarakatan.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, terkait dengan

hak-hak narapidana tindak pidana terorisme terdapat

beberapa hak yang diatur secara khusus, yaitu: hak

remisi; hak asimilasi; hak cuti mengunjungi keluarga; hak

cuti menjelang bebas; hak pembebasan bersyarat. Bagi

narapidana teorisme, selain harus memenuhi persyaratan

umum, yang juga berlaku untuk setiap narapidana juga

harus memenuhi persyaratan khusus sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 34A PP Nomor 32 Tahun 1999, yaitu:

a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu

membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah “mengikuti program deradikalisasi” yang

diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:

1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia

secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara

Indonesia, atau

2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana

terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga

Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak

pidana terorisme.

Demikian halnya dalam mendapatkan asimilasi. Selain

harus memenuhi persyaratan umum, berdasarkan Pasal 38A

PP Nomor 32 Tahun 1999 , Asimilasi untuk Narapidana

terorisme diberikan dalam bentuk kerja sosial pada lembaga

sosial. Dengan syarat setelah:

a. selesai mengikuti program deradikalisasi yang

diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional

Penanggulangan Terorisme, dan

b. menyatakan ikrar:

1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia

secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara

Indonesia, atau

2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana

terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga

Negara Asing.

Berdasarkan rumusan peraturan pemerintah tersebut,

program deradikalisasi merupakan syarat penting dalam

pembinaan narapidana terorisme. Karena untuk memperoleh

remisi dan asimilasi, narapidana terorisme harus telah

mengikuti program deradikalisasi. Dengan adanya

persyaratan ini, maka sudah seharusnya pada setiap

lemabaga pemasyarakatan yang di dalamnya melakukan

pembinaan terhadap narapidana terorisme wajib

menyelenggarakan program deradikalisasi. Jika tidak,

bagaimana mungkin narapidana terorisme dapat memenuhi

syarat untuk mendapatkan remisi maupun asimilasi.

Persoalnnya, apakah ketentuan tersebut berarti menjadi

norma atau dasar hukum yang mewajibkan adanya program

deradikalisasi bagi setiap narapaidana terorisme?

Sehubungan dengan persoalan tersebut, dapat

ditafsirkan menjadi dua versi. Pertama, berdsarkan

penafsiran secara gramatikal,28 ketentuan tersebut hanya

merupakan syarat saja bagi narapidana untuk dapat

mengajukan remisi dan asimilasi. Terlepas dari apakah

lembaga pemasyarakatan atau pihak terkait lainnya wajib

menyelenggarakan atau tidak program deradikalisi dalam

lembaga tersebut. Jika terdapat program deradikalisasi dan

narapidana mengikuti, maka hal tersebut dapat dijadikan

syarat untuk mendapatkan remisi dan asimilasi. Namun jika

di dalam lembaga tesebut tidak diselenggarakan program

deradikalisasi, maka hak untuk mendapat remisi dan

asimilasi bagi narapidana terorisme tidak dapat diajukan

kaena tidak dapat memenuhi syarat terlah mengikuti

deradikalisasi. Selain penafsiran tersebut, kedua dapat

ditafsirkan seecara sistematis,29 dengan adanya persyaratan

tersebut, maka menjadi kewajiban pada setiap lembaga

pemasyarakatan yang di dalamnya melakukan pembinaan

terhadap narapidana terorisme untuk menyelenggarakan

program deradikalisasi. Karena tanpa adanya kewajiban

tersebut maka ketetentuan tentang persyaratan remisi dan

asimilasi bagai narapidana terorisme tidak akan ada

artinya.

Jika penafsiran yang kedua tersebut dapat disepakati,28 Ibid.29Interprestasi sistematis yaitu menafsirkan undang-undang sebagai

bagian dari keseluruhan perundang-undangan. Ibid. Jadi keseluruhanpeerundang-undangan dalam suatu Negara diangap seabgai usatu sistemyang utuh. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: GhaliaIndonesia, 2008, hlm. 132.

maka dapat dikatakan telah ada dasar hukum derdikalisasi

narapidana teorisme. Meskipun demikian hal tersebut baru

terbatas pada kewajiban menyelenggarakan program

deradikalisasi. Persoalnnya bagaimana konsep hukum dan

tata cara atau teknis deradikalisasi narapidana terorisme

tersebut juga belum jelas. Oleh karean itu ke depan

diperlukan perat teknis yang mengatur tentang konsep hukum

dan tata cara atau teknis deradikalisasi narapidana

terorisme.

IV.PENUTUP

1. Terorisme merupakan tindak pidana yang kompleks,

berbeda dari bentuk kejahatan kekerasan lainnya. Satu

hal yang membedakan adalah adanya keterkaitan dengan

ideologi radikal. Oleh karena itu deradikalisasi sebagai

program yang diupayakan untuk menghapuskan radikalisme

merupakan hal yang penting dalam proses peradilan pidana

tidak pidana terorisme.

2. Meskipun belum terdapat ketentuan khusus tentang

deradikalisasi narapdaian terorisme dalam sistem hukum

pidana Indoesia, melalui metode penafsiran, gratikal dan

sistematis terdapat beberapa peraturan yang dapat

dijadikan dasar pelaksanaan deradiklasi sasi narapidana

terorisme.

3. Diperlukan perubahan peraturan UU Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan

menambahkan ketentuan terkait dengan derdikalisasi

narapidana terorisme. Selain itu juga diperlukan

peraturan lebih lanjut tentang tata cara deradikalisasi

narapidana terorisme.

Daftar Pustaka

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: GhaliaIndonesia, 2008.

Afadlal, Afadlal et all, Islam dan Radikalisme di Indonesia,Jakarta: LIPPI Ress, 2005.

Arsyad Mbai, “Radikalisme Adalah AkarTerorisme“<http://www. forumbebas. com>, diunduh 27 -2-2014.

Barda Arief Nawai, RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/RekonstruksiSistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Pustaka Magister,2007.

Edwin JHW, “Deradikalisasi Sebagai Upaya Mencegah Aksi-Aksi Terorisme” <http://www.setkab.go.id> Diunduh 15Juni 2013.

Endra Wijaya, “Peranan Putusan Pengadilan Dalam ProgramDeradikalisasi Terorisme Di Indonesia” JurnalYudisial, Vol.III/No-02/Agustus/2010.

Hasibullah Satrawi, “Deradikalisasi BerbasisIdeologi,”http://budisansblog.blogspot.com, diunduh 30 Oktober2011.

http://id.wikipedia.org/ wiki/ Serangan_11_September_2001#Teori_yang_bertentangan, diunduh 31 Agustus 2014.

http://www.eramuslim.com, “Deradikalisasi di BeberapaNegara”, Diunduh 17 juni 2013.

International Crisis Groeup, “Deradikalisasi dan LembagaPemasyarakatan di Indonesia,” Asia Report N°142 – 19November 2007.

Irfan Idris, “Deradikalisasi terorisme di Indonesia”<http: //damailahindonesiaku. com.> diakses padatanggl 12 Mei 2013.

Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Ismail Hasanidan Bonar Tigor Naipospos (ed), Radikalisme Agama diJabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan KebebasanBeragama/ Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka MasyarakatStara, 2010.

Leila Ezzarqui, “De-Radicalization And RehabilitationProgram:The Case Study Of Saudi Arabia”, School ofArts and Sciences of Georgetown University,Washington DC, 2010.

Mardenis, Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan PolitikHukumNasional Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,Cetakan ke 2, 2013.

Muhammad Harfin Zuhdi, “Fundamentalisme dan UpayaDeradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an Dan Hadis”, RELIGIAVol. 13, No. 1, April 2010.

Muhammad Mustofa, “Memahami Terorisme: Suatu PerspektifKriminologi”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No.III Desember 2002.

Muladi, “Penanganan Terorisme Sebagai Tindak PidanaKkhusus (Extra Ordinary Crime)” Materi Seminar di Hotel AmbaraJakarta, 28 Juni 2004.

Noor dan Shagufta Hayat, Deradicalization: Approaches and Models,Pakistasn: Institute for Peace Studies (PIPS), 2009.

Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam TinjauanPsikologi, Jakarta : Pustaka Alvabet dan Lembaga KajianIslam dan Perdamaian (LAKIP), 2012.

Teguh Prastyo, “ Metode Penemuah Hukum Dalam Perkembangan Teoridan Praktik Pengadilan di Indonesia, dalam Idris at all,(ed)Penemuan Hukum Nasinal dan Internasional, Bandung:Fikahati Aneska bekerja sama dengan Bagian HukumInternasional Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,2012,