sejarah perkembangan hukum islam di indonesia (1)

33
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis sampaikan kepada ALLAH SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA”. Selanjutnya penulis kirimkan salawat untuk Nabi Besar Muhammmad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan sampai kepada alam yang penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan saat ini. Tujuan utama penulis dalam membuat makalah ini adalah memenuhi tugas mata kuliah HUKUM ISLAM. Makalah ini dapat selesai karena adanya bimbingan, dorongan dan semanagat dari berbgai pihak, oleh karena itu selaku penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, serta kepada teman-teman yang telah memberi dorongan dan semangat dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Kepada semua pihak penullis mohon saran dan tanggapan terhadap tugasi ini agar dapat dijadikan alat yang berguna dalam pembelajaran

Transcript of sejarah perkembangan hukum islam di indonesia (1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada ALLAH SWT,

karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan makalah ini yang berjudul “SEJARAH

PERKEMBANGAN DAN KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM

NASIONAL DI INDONESIA”. Selanjutnya penulis kirimkan

salawat untuk Nabi Besar Muhammmad SAW, yang telah

membawa umat manusia dari alam kebodohan sampai kepada

alam yang penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan saat

ini. Tujuan utama penulis dalam membuat makalah ini

adalah memenuhi tugas mata kuliah HUKUM ISLAM.

Makalah ini dapat selesai karena adanya bimbingan,

dorongan dan semanagat dari berbgai pihak, oleh karena

itu selaku penulis ucapkan terima kasih kepada dosen

pembimbing, serta kepada teman-teman yang telah memberi

dorongan dan semangat dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak

kekurangan dan kesalahan. Kepada semua pihak penullis

mohon saran dan tanggapan terhadap tugasi ini agar dapat

dijadikan alat yang berguna dalam pembelajaran

Padang, Maret

2014

PENULIS

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia

1. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

2. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

3. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

4. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

5. Hukum Islam di Era Reformasi

B. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional

C. Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional

D. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum

Nasional

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang

berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem

hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem

hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu

sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum

adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.

Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari

berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati

kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing,

sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara

penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas

penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama

Islam bersifat universal. Hukum Islam adalah bagian dari

agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada

hakikatnya hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat

pada setiap orang yang beragama Islam.

Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan

negara kekuasaan (machstaats) sebagaimana tertuang dalam

bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia

adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka menjadi

suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan

pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan. Maka negara hukum yang dimaksud di

sini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat

dikaitkan dengan berbagai konotasi. Maupun hanya

rechstaat dan rule of law sebagaimana dipraktikkan di

barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara hukum

Pancasila yang dipraktikkan di Indonesia.

Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut

paham teokrasi berdasarkan penyelenggaraan negaranya pada

agama tertentu saja. Di mana, menurut paham teokrasi,

negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak

dapat dipisahkan. Yakni dijalankan berdasarkan firman-

firman Tuhan. Sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa,

dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan

umat manusia.

Pada tataran lain, negara Indonesia juga tidak

menganut negara sekuler yang mendisparitas agama atas

negara dan memisahkan secara diametral antara agama

dengan negara. Paham ini melahirkan konsep agama dan

negara yang merupakan dua entitas berbeda, dan satu sama

lain memiliki wilayah garapan masing-masing. Sehingga,

keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama

lain melakukan intervensi.

Seiring berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma

hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif. Adalah,

apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau

tanggung jawab public. Nah, berdasarkan uraian diatas,

perlu kiranya membahas mengenai bagaimana Kedudukan Hukum

Islam dalam Hukum Positif di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa

pertanyaan, antara lain adalah :

1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di

Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum

nasional?

3. Apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum

nasional?

4. Apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap

perkembangan hukum nasional?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum Islam di

Indonesia

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum Islam dalam sistem

hukum nasional

3. Untuk mengetahui hukum Islam dalam pembinaan hukum

nasional

4. Untuk mengetahui kontribusi hukum Islam terhadap

perkembangan hukum nasional

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan

nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan

Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal

dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat

dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini

sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda

memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di

kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan

fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda

dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja

dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa

“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642

oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam

berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang

telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini

diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian

dikenal dengan Compendium Freijer.

Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah

lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal

dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar).

Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan

dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat

kaidah-kaidah hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung

bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan

Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas

Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun

(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan

terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa

pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku

kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui

kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang

penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam

yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah

sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara

untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1)

menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2)

membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek

batiniah (spiritual) saja.

Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan

hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara

kronologis adalah sebagai berikut :

Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda

melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu

kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan

mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum

Belanda.

Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van

Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan

penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan

kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang

terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan

dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.

Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam

di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh

Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada

tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau

ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam

memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia

belum diterima oleh hukum adat setempat).

Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal

134 ayat 2 Indische Staatsregeling  (yang isinya

sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang

intinya perkara perdata sesama muslim akan

diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu

telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan

lain oleh sesuatu ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga

menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah

Indonesia pada tahun 1942.

2. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa

syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan

Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah

Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu

diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang

menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala

kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral

Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja

berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam

sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan 

Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap

melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat

Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan

memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk

pulau Jawa.

Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang

dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.

Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti

Muhammadiyah dan NU.

Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin

Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan

cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk

mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan

meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan

Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal

itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh

Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya

hingga Indonesia merdeka

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti

bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di

Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan

Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya

pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur

masalah-masalah keagamaan.

3. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak

pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun

pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah

strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat

mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia,

Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai

“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh

nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang

lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin

Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika

beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat

(Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)

kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei

1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya

11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar

itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah

badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,

meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota

badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga

dalam masyarakat Indonesia”.

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI

kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan

Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam

Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas

Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini

menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler

dan bukan pula negara Islam.

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah

implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-

undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para

pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu

akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal

18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan

dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada

Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan

Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat

informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut

Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun

Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang

yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal

tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang

menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu

perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan

Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur

lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat

sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam

tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian

mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam

sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut

rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat

Islam.

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi

Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama

hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan,

Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950).

Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,

Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari

beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa

wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-

negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik

Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian

dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah

Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi

Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD

1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik

Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara

Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit

untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung

aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya,

samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam

sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh

BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan

dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika

dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950

hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur,

dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat

Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian

dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya

untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya,

pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk

kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS

dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara

1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam,

perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan.

Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik

dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950,

kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal

29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha

Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap

penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada

pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam

urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD

Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk

merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-

undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102

UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan

oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan

undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun

1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan”

kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-

undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh

politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan

materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka

tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu

dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian

diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan

membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.

Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik

oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun

delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis

ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan

pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan

hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah

konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta

tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan

“suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini

tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam

dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari

sekedar sebuah “dokumen historis”.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah

terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya

“bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling

fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh

Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya

telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14

Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi

kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia

melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan

Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap

wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda,

terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan

di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan

berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun

pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat

25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih

banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap

strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri

dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas

dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-

politis”nya.

4. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa

Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis.

Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk

dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang

mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus

dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno,

dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI

di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima

Manipol Usdek-nya Soekarno bersama dengan PKI dan PNI

kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang

berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang

kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah

tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan

kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum

yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu

Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan

hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi

ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini

semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun

kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan

berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia

yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik

mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam

tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi

kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi

yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera

saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela

Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto

menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya

rehabilitasi kembali partai Masyumi.

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu

sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal

Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap

terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad

Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang

mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan

Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di

DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan

dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur

lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini

kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970,

yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan

peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU

ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam

telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri

sendiri.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin

jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama

ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha

intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-

bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada

bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima

hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan

penyebarluasannya kepada Menteri Agama.

5. Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan

kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini

setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara

perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang

lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum

Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan

ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada

kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa

peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu

peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin

jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam

wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil

yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe

Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor

11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka

peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk

memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita

dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan

pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan

sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai

norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional

kita.

B. KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan

ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dapat

berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik

Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan

hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi

pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem

hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum

Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi

sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di

samping hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan

berkembang dalam negara Republik Indonesia.

Berlakunya hukum Islam di Indonesia dan telah

mendapat tempat konstitusional menurut Abdul Ghani

Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan

filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita

moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan

ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma

fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis.

Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia

menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum

bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang

berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang

dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi

keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.

Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada

pidatonya di upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum

Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981

hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan

bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan

ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai

muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam

bidang muamalah hanyalah prinsip – prinsipnya saja.

Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip tersebut

diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara

dan pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang

peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban

sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi

kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh

ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi

norma – norma hukum Islam ke dalam hukum nasional,

sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan

Undang – Undang Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan

hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said, banyak asas

yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang

dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional.

Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam

berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum

nasional.

C. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional

sekarang, menurut Daud Ali, yang diperlukan oleh Badan

Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang

merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang

adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum Islam dalam

segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus.

Umum adalah ketentuan – ketentuan umum mengenai peraturan

perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air kita,

sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum

perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas –

asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik,

perjanjian dan utang – piutang, asas – asas hukum pidana

Islam, asas – asas hukum tata negara dan administrasi

pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam Islam dan

lain – lain.

Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan

hukum nasional adalah merumuskan asas – asas dalam hukum

Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat

diterima oleh semua golongan di pelosok tanah air, bukan

hanya orang Islam saja. Tim pengkajian Hukum Islam

Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut

dan merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah untuk

dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional.

Berbagai asas dapat dikembangkan melalui jurisprudensi

peradilan agama, karena asas – asas ini dirumuskan dari

keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih

mudah diterima.

Konsep pengembangan hukum Islam, secara kuantitatif

begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik

dan hukum dalam masyarakat. Kemudian, konsep tersebut

lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif

diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang

dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.

Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut

sebagai usaha transformasi hukum Islam ke dalam bentuk

perundang – undangan.

Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional

terjadi juga di beberapa negara muslim seperti Mesir,

Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah

kadar unsur – unsur hukum Islam dalam hukum nasional

negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara

tersebut, hukum nasional mereka merupakan percampuran

antara hukum barat dan hukum Islam, sementara di

Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan

merupakan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan

hukum eks-Barat.

D. KONTRIBUSI HUKUM ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM

NASIONAL

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem

hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia

selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh

tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum

adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-

sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.

Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial

Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia.

Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum

nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas

dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk

dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami

dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat

Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan

sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan

yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-

Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan

ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala

sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem

hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial

Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,

seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No.

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif

dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih

berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum

nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia

beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan

hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah

tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia,

sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih

yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga

harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah

sumbangsih hukurn Islam.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat

besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa

pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi

rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:

1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini

seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU

Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat

dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta

beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun

tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor

10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui

keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip

syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang

Peradilan Agama yang semakin memperluas

kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah.

2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang

90 persen beragama Islam akan memberikan

pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi

kepentingannya.

3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-

hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang

terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran

mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam,

seperti pembagian zakat dan waris.

4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah

dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya

kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat

bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata

hukum di Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah hukum Islam

bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang

beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh

karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat Islam

di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam

hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus

disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan

Undang – Undang Dasar 1945.

Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang

surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh

pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan

yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi

hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah

produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa

kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang

menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah

menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.

Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum

yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional.

Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat

kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan

adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang

memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia

pun memiliki landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah

– masalah perdata.

Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa prospek penerapan hukum Islam di

Indonesia cukup cerah.

Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai

kenyataan positif, antara lain:

1. Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah

selaku penyelenggara Negara yang memberi peluang

bagi berperannya hukum Islam.

2. Telah terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-

undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih

eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum

nasional.

3. Adanya upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat

Islam dan pakar hukum Islam melalui dakwah dan

pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan

kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan

secara hukum secara maksimal..

B. SARAN

Semoga isi makalah ini dapat dimengerti dan dipahami

oleh setiap pembaca. Disamping itu penulis membutuhkan

kritik dan sarannya untuk penyempurnaan dalam penyusunan

makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik

Indonesia, Makalah disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama

di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.

_________________, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di

Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984).

_________________, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum

Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali

Press, 1998).

_________________, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta:

Rajawali

Press, 1997).

Asnawi, Muhammad, 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang :

Aneka Ilmu.

Daud, Mohammad Ali. 2007. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Didi Kusnadi. 2010. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran,

Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook.

Dirjen Bimbingan Islam. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam.

Jakarta : Depag.

M. Arfin Hamid. 2011. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah

Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia).

Makassar : PT. UMITOHA.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1995)

Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum

Pidana Nasional, Makalah Disampaikan pada upacara

Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum

Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa

Kebangsaan, UII-Yogyakarta, 2 Desember 1995.

Speyoeti, Zarkowi, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum

Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Konsep Keadilan

dalam Perspektif Hukum, IAIN Sunan Ampel Gunungjati-

Bandung, 16 Mei 1994.

MAKALAH HUKUM ISLAMSEJARAH PERKEMBANGAN DAN KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM

SISTEM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA

OLEH :

FAJRI

1201784

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2014