sejarah perkembangan hukum islam di indonesia (1)
-
Upload
universitasnegeripadang -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of sejarah perkembangan hukum islam di indonesia (1)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada ALLAH SWT,
karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “SEJARAH
PERKEMBANGAN DAN KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM
NASIONAL DI INDONESIA”. Selanjutnya penulis kirimkan
salawat untuk Nabi Besar Muhammmad SAW, yang telah
membawa umat manusia dari alam kebodohan sampai kepada
alam yang penuh ilmu pengetahuan yang kita rasakan saat
ini. Tujuan utama penulis dalam membuat makalah ini
adalah memenuhi tugas mata kuliah HUKUM ISLAM.
Makalah ini dapat selesai karena adanya bimbingan,
dorongan dan semanagat dari berbgai pihak, oleh karena
itu selaku penulis ucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, serta kepada teman-teman yang telah memberi
dorongan dan semangat dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari dalam makalah ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Kepada semua pihak penullis
mohon saran dan tanggapan terhadap tugasi ini agar dapat
dijadikan alat yang berguna dalam pembelajaran
Padang, Maret
2014
PENULIS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia
1. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
2. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
3. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
4. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
5. Hukum Islam di Era Reformasi
B. Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional
C. Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional
D. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum
Nasional
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang
berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem
hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem
hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu
sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum
adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.
Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari
berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati
kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing,
sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara
penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama
Islam bersifat universal. Hukum Islam adalah bagian dari
agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada
hakikatnya hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat
pada setiap orang yang beragama Islam.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan
negara kekuasaan (machstaats) sebagaimana tertuang dalam
bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka menjadi
suatu kewajiban bahwa setiap penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya selalu berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Maka negara hukum yang dimaksud di
sini bukan hanya merupakan pengertian umum yang dapat
dikaitkan dengan berbagai konotasi. Maupun hanya
rechstaat dan rule of law sebagaimana dipraktikkan di
barat. Tapi juga nomokrasi Islam dan negara hukum
Pancasila yang dipraktikkan di Indonesia.
Namun, Indonesia juga bukan negara yang menganut
paham teokrasi berdasarkan penyelenggaraan negaranya pada
agama tertentu saja. Di mana, menurut paham teokrasi,
negara dan agama dipahami sebagai dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Yakni dijalankan berdasarkan firman-
firman Tuhan. Sehingga tata kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara dilakukan dengan titah Tuhan dalam kehidupan
umat manusia.
Pada tataran lain, negara Indonesia juga tidak
menganut negara sekuler yang mendisparitas agama atas
negara dan memisahkan secara diametral antara agama
dengan negara. Paham ini melahirkan konsep agama dan
negara yang merupakan dua entitas berbeda, dan satu sama
lain memiliki wilayah garapan masing-masing. Sehingga,
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama
lain melakukan intervensi.
Seiring berjalannya waktu, ada beberapa norma-norma
hukum Islam yang sudah menjadi hukum positif. Adalah,
apabila berkaitan dengan akuntabilitas publik atau
tanggung jawab public. Nah, berdasarkan uraian diatas,
perlu kiranya membahas mengenai bagaimana Kedudukan Hukum
Islam dalam Hukum Positif di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, muncul beberapa
pertanyaan, antara lain adalah :
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di
Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum
nasional?
3. Apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional?
4. Apa sajakah kontribusi hukum Islam terhadap
perkembangan hukum nasional?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum Islam di
Indonesia
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum nasional
3. Untuk mengetahui hukum Islam dalam pembinaan hukum
nasional
4. Untuk mengetahui kontribusi hukum Islam terhadap
perkembangan hukum nasional
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
1. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan
nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan
Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat
dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini
sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda
memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di
kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan
fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda
dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja
dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa
“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642
oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam
berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang
telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini
diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian
dikenal dengan Compendium Freijer.
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah
lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal
dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar).
Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan
dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung
bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas
Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun
(1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan
terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa
pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku
kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui
kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang
penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam
yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah
sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara
untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1)
menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2)
membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek
batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan
hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut :
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda
melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu
kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda.
Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van
Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan
penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang
terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan
dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam
di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh
Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau
ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam
memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia
belum diterima oleh hukum adat setempat).
Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal
134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya
sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang
intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu
telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan
lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga
menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah
Indonesia pada tahun 1942.
2. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa
syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan
Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang
menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala
kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja
berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan
Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan
memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk
pulau Jawa.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang
dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti
Muhammadiyah dan NU.
Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan
cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk
mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan
meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan
Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal
itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh
Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya
hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti
bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan
Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya
pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur
masalah-masalah keagamaan.
3. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak
pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun
pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah
strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat
mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia,
Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai
“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh
nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang
lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin
Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika
beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat
(Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)
kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei
1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya
11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar
itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah
badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,
meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota
badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga
dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI
kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan
Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam
Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini
menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler
dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah
implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-
undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para
pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan
dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada
Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan
Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat
informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut
Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun
Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang
yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal
tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu
perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan
Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur
lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat
sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam
tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian
mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam
sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut
rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat
Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi
Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama
hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan,
Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950).
Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,
Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari
beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa
wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-
negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik
Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian
dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah
Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi
Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD
1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara
Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit
untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung
aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya,
samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam
sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh
BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan
dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika
dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950
hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur,
dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat
Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian
dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya
untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya,
pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS
dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara
1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam,
perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan.
Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik
dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950,
kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal
29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha
Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap
penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada
pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam
urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD
Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk
merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-
undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102
UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan
oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan
undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun
1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan”
kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-
undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh
politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan
materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka
tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu
dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian
diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan
membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955.
Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik
oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun
delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis
ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan
pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan
hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah
konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta
tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan
“suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini
tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam
dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari
sekedar sebuah “dokumen historis”.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah
terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya
“bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling
fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh
Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya
telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14
Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia
melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan
Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap
wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda,
terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan
di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan
berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun
pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat
25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih
banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap
strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas
dasar apa yang mereka sebut dengan “kesadaran teologis-
politis”nya.
4. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa
Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis.
Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang
mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus
dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno,
dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI
di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima
Manipol Usdek-nya Soekarno bersama dengan PKI dan PNI
kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang
berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang
kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah
tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum
yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu
Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan
hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini
semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun
kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan
berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia
yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik
mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam
tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi
kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi
yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera
saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela
Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya
rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu
sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal
Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap
terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang
mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan
Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di
DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan
dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur
lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970,
yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan
peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU
ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam
telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin
jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama
ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha
intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-
bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada
bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima
hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan
penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
5. Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan
kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini
setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara
perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang
lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum
Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada
kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa
peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu
peraturan yang bersifat umum.
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin
jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam
wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil
yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe
Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor
11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka
peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk
memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita
dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan
pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan
sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai
norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional
kita.
B. KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan
ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dapat
berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik
Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan
hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi
pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem
hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum
Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi
sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di
samping hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan
berkembang dalam negara Republik Indonesia.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia dan telah
mendapat tempat konstitusional menurut Abdul Ghani
Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan
filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita
moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan
ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma
fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis.
Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia
menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum
bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang
berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang
dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada
pidatonya di upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum
Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981
hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan
bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan
ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai
muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam
bidang muamalah hanyalah prinsip – prinsipnya saja.
Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara
dan pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang
peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban
sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi
kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh
ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi
norma – norma hukum Islam ke dalam hukum nasional,
sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan
hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said, banyak asas
yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang
dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional.
Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam
berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum
nasional.
C. HUKUM ISLAM DALAM PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional
sekarang, menurut Daud Ali, yang diperlukan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang
merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang
adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum Islam dalam
segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus.
Umum adalah ketentuan – ketentuan umum mengenai peraturan
perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air kita,
sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum
perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas –
asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik,
perjanjian dan utang – piutang, asas – asas hukum pidana
Islam, asas – asas hukum tata negara dan administrasi
pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam Islam dan
lain – lain.
Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan
hukum nasional adalah merumuskan asas – asas dalam hukum
Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat
diterima oleh semua golongan di pelosok tanah air, bukan
hanya orang Islam saja. Tim pengkajian Hukum Islam
Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut
dan merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah untuk
dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional.
Berbagai asas dapat dikembangkan melalui jurisprudensi
peradilan agama, karena asas – asas ini dirumuskan dari
keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih
mudah diterima.
Konsep pengembangan hukum Islam, secara kuantitatif
begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik
dan hukum dalam masyarakat. Kemudian, konsep tersebut
lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif
diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang
dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara.
Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut
sebagai usaha transformasi hukum Islam ke dalam bentuk
perundang – undangan.
Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional
terjadi juga di beberapa negara muslim seperti Mesir,
Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah
kadar unsur – unsur hukum Islam dalam hukum nasional
negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara
tersebut, hukum nasional mereka merupakan percampuran
antara hukum barat dan hukum Islam, sementara di
Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan
merupakan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan
hukum eks-Barat.
D. KONTRIBUSI HUKUM ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM
NASIONAL
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa sistem
hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia
selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh
tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum
adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-
sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial
Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia.
Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum
nasional kita. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk
dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami
dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat
Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan
sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan
yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-
Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan
ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala
sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem
hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial
Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi,
seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif
dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih
berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum
nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan
hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah
tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia,
sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih
yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga
harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah
sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat
besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa
pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi
rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini
seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU
Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat
dan UU Otonomi Khusus nanggroe Aceh Darussalam serta
beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun
tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor
10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui
keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip
syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang semakin memperluas
kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang
90 persen beragama Islam akan memberikan
pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi
kepentingannya.
3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-
hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang
terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran
mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam,
seperti pembagian zakat dan waris.
4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah
dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya
kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat
bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata
hukum di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah hukum Islam
bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang
beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh
karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat Islam
di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam
hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus
disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan
Undang – Undang Dasar 1945.
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang
surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan
yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi
hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah
produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa
kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang
menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah
menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum
yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional.
Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat
kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan
adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang
memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia
pun memiliki landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah
– masalah perdata.
Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa prospek penerapan hukum Islam di
Indonesia cukup cerah.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada berbagai
kenyataan positif, antara lain:
1. Berbagai kebijakan dan kebijaksanaan pemerintah
selaku penyelenggara Negara yang memberi peluang
bagi berperannya hukum Islam.
2. Telah terwujudnya berbagai peraturan dan perundang-
undangan yang membuat hukum Islam menjadi lebih
eksis sebagai sub sistem dalam sistem hukum
nasional.
3. Adanya upaya yang cukup maksimal dari kalangan umat
Islam dan pakar hukum Islam melalui dakwah dan
pendidikan, sehingga selain dapat lebih meningkatkan
kualitas iman juga kesadaran untuk melaksanakan
secara hukum secara maksimal..
B. SARAN
Semoga isi makalah ini dapat dimengerti dan dipahami
oleh setiap pembaca. Disamping itu penulis membutuhkan
kritik dan sarannya untuk penyempurnaan dalam penyusunan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud, Penerapan Hukum Islam dalam Negara Republik
Indonesia, Makalah disampaikan pada Pendidikan Kader Ulama
di Jakarta, tanggal 17 Mei 1995.
_________________, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di
Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984).
_________________, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum
Islam di Indonesia. Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali
Press, 1998).
_________________, Hukum Islam dan Peradilan Agama. (Jakarta:
Rajawali
Press, 1997).
Asnawi, Muhammad, 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang :
Aneka Ilmu.
Daud, Mohammad Ali. 2007. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Didi Kusnadi. 2010. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran,
Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook.
Dirjen Bimbingan Islam. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam.
Jakarta : Depag.
M. Arfin Hamid. 2011. Hukum Islam Perspektif Keindonesiaan (Sebuah
Pengantar dalam Memahami Realitasnya di Indonesia).
Makassar : PT. UMITOHA.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia (Cet I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995)
Rasdiyanah, Andi, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum
Pidana Nasional, Makalah Disampaikan pada upacara
Pembukaan Seminar Nasional tentang Kontribusi Hukum
Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa
Kebangsaan, UII-Yogyakarta, 2 Desember 1995.
Speyoeti, Zarkowi, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum
Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Konsep Keadilan
dalam Perspektif Hukum, IAIN Sunan Ampel Gunungjati-
Bandung, 16 Mei 1994.
MAKALAH HUKUM ISLAMSEJARAH PERKEMBANGAN DAN KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM
SISTEM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA