NOMENKLATUR SISTEM HUKUM INDONESIA - Universitas ...

369
NOMENKLATUR SISTEM HUKUM INDONESIA Prof. DR. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S. Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum NKLATUR SISTEM HUKUM INDONESIA Pusat Studi Hukum, HAM dan Anti Korupsi UHO Fakultas Hukum UHO

Transcript of NOMENKLATUR SISTEM HUKUM INDONESIA - Universitas ...

NOMENKLATUR

SISTEM HUKUM

INDONESIA

Prof. DR. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S.

Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum

NKLATUR SISTEM HUKUM INDONESIA

Pusat Studi Hukum, HAM

dan Anti Korupsi UHO

Fakultas Hukum UHO

Membincangkan hukum dalam tata krama pergaulan

sosial masyarakat Indonesia memang sangat menarik.

Lebih menarik lagi bila dibincangkan dengan dua

perspektif berbeda yaitu perspektif normatif dan

perspektif empiris. Buku ini hadir mencoba meramu

dua perespektif tersebut, namun tetap konsisten dengan

prinsip dasar dari masing-masing perspektif yaitu

norrmatif dan empiris. Yang menjadi ciri khas buku ini

dibanding buku-buku hukum lainnya, yaitu terdapat

titik anjak bahasan yang mengurai secara detail

bagaimana seharusnya hukum disikapi bila berada pada

tempat secara sui generis tidak boleh diintervensi oleh

disiplin ilmu lainnya, serta bagaimana hukum

sesungguhnya bila ditingkahi oleh prilaku sosial dan

politik. Sebuah pembahasan yang menarik dengan

bahasa yang lugas dan sederhana sehingga isi buku ini

sangat mudah dipahami bagi mereka yang mula-mula

belajar ilmu hukum dalam konteks sistem hukum

Indonesia.

Pusat Studi Hukum, HAM

dan Anti Korupsi UHO

Fakultas Hukum UHO

Sanksi Pelanggaran Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

R.I. No.19 tahun 2002 Perubahan Undang-Undang Hak Cipta No.12 tahun

1997 Pasal 72:

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan

ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1

(satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta),

atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling

banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan ,

atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran

Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau

denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Nomenklatur Sistem Hukum

Indonesia

Prof. DR. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S.

Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum

Nomenklatur Sistem Hukum Indonesia Edisi Pertama

Copyright©2015

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

ISBN 978-602-98683-9-5

15X23 cm

xxxiii, 340 hlm

Cetakan ke-1, Oktober 2015

Penulis

Muhammad Jufri

Muhammad Sjaiful

Desain Cover

Tim Kreasi Komunika

Editor

M. Djufri Rachim

Percetakan

CV. Sejahtera Teknik Mandiri Indonesia

Penerbit

Komunika

Jl. Kendari Permai Y1/18 Kendari

Sulawesi Tenggara, Indonesia

Tlp. 0401-3139461

Email: [email protected]

Kerjasama

Pusat Studi Hukum, HAM dan Anti Korupsi UHO

Fakultas Hukum UHO

Kendari

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

SAMBUTAN PENULIS

Gagasan karya buku ini, berangkat dari keinginan penulis untuk

melengkapi khasanah kepustakaan yang secara spesifik

memperbincangkan sebuah sistem hukum dalam konteks kehidupan

sosial bernegara Indonesia. Memang telah banyak buku yang menulis

tentang Sistem Hukum Indonesia, tetapi buku yang ada ditangan

pembaca ini, paling tidak memberikan sentuhan lain yang mencoba

meramu pembahasan tentang nomenklatur hukum di Indonesia

sebagai satu sistem, antara pendekatan normatif dan pendekatan

empiris. Sangat disadari bahwa saat ini memang masih terjadi

dikotomi antara hukum dengan pendekatan normatif dan hukum

dengan pendekatan empiris. Untuk itu pula, buku ini sengja hadir guna

memperkenalkan hukum dalam konteks kehidupan masyarakat

Indonesia, baik pendekatan melalui normatif maupun pendekatan

empiris. Tentu saja, penulis tidak akan gegabah mencampuradukkan

pembahasan hukum secara normatif dan empiris. Karena memang

kedua pendekatan itu memiliki paradigma serta prinsip-prinsip dasar

yang sangat berbeda dan tidak boleh dicampurkadukkan dalam

mencermati hukum sebagai sebuah kajian ilmiah.

Buku ini sangat bermanfaat terutama bagi para pemula yang

hendak mempelajari hukum secara serius, sebab didalamnya

memudahkan pemahaman tentang eksistensi hukum apabila dikaji

pada dua pendekatan berbeda, yaitu pendekatan normatif dan empiris.

Sehingga sangat beralasan apabila buku ini penulis memberinya judul

Nomenklatur Sistem Hukum Indonesia. Artinya, keberadaan

hukum memang merupakan sebuah tatanan bersifat khas yang hadir

dalam bingkai sistem tertentu, yaitu sistem tata krama sosial bangsa

Indonesia. Adalah menarik, apabila cara mengkajinya tidak semata-

mata pada perspektif yang tunggal tetapi juga dengan perspektif yang

lain.

Isi buku ini, tentu saja masih belum terlalu sempurna. Untuk itu,

penulis membuka diri atas saran dan kritik demi perbaikan buku ini

pada edisi revisi terbitan selanjutnya.

Kendari, Awal September 2015

Penulis

PRAKATA

Cicero1 pernah menulis “dimana ada masyarakat maka disitu ada

hukum” yang dalam bahasa aslinya ibi societas ibi ius. Ini adalah

ungkapan cukup logis untuk mendeskripsikan signifikansi keberadaan

hukum sebagai salah satu instrumen sosial yang berfungsi untuk

mengatur tingkah laku setiap anggota warga masyarakat yang hidup

bersama-sama serta saling berinteraksi secara permanen dalam satu

komunitas tertentu.

1Cicero yang hidup pada masa kerajaan Romawi, adalah salah seorang

filosof terkenal pada masa itu. Pada masa-masa akhir Republik Romawi,

orang hebat seperti Julius Caesar dan Pompeius saling bersaing

memperebutkan kekuasaan atas Romawi. Cicero adalah salah satu orang

terakhir yang berusaha mempertahankan Republik, dan dia berupaya supaya

pemerintahan republik tetap berjalan. Selain sebagai salah seorang politisi

terkuat di Romawi, Cicero juga menulis beberapa buku mengenai filsafat.

Cicero hidup pada masa yang sama dengan Lucretius, tidak lama setelah

Romawi menaklukan Yunani, dan kedua membaca filsafat Yunani dan

menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin untuk dibaca oleh orang Romawi

lainnya. Dalam prosesnya, mereka juga memasukkan gagasan-gagasan

mereka sendiri. Lucretius mengikuti aliran Epikurean, sedangkan Cicero

mengikuti filsafat Stoik. Cicero ikut memberikan ide-idenya sendiri ke dalam

Stoik. Dalam bukunya, "Dalam Tugas", Dia adalah salah seorang filsuf

pertama yang mengeluarkan gagasan bahwa setiap orang memiliki tugas

moral untuk memberikan keadilan bagi semua orang - semua manusia - tidak

peduli apakah mereka orang Romawi atau bukan, dan tidak peduli apa yang

sedang terjadi. Gagasan penting Cicero adalah bahwa setiap orang memiliki

hak karena mereka mereka manusia. Pada tahun 75 SM, Cicero bertugas

mewakili Rpublik Romawi di Sisilia. ketika berada di sana, dia mengunjungi

makam Arkhimedes di Syrakusa, dan membersihkannya. Pada akhirnya

musuh Cicero, yaitu Marcus Antonius, dan sekutunya, Augustus, berhasil

mengambil alih kekuasaan atas Romawi, dan mereka menghukum mati

Cicero pada tahun 43 SM, hanya setahun setelah pembunuhan Julius Caesar.

Adapun pandangan cicero tentang ibi societas ibi ius, diperkenalkan oleh

Samuel Rachel (1628-1691).

Dalam konteks demikian, seseorang jika hendak melakukan

pengkajian secara serius dan mendalam berkenaan dengan ilmu-ilmu

kemasyarakatan (ilmu-ilmu sosial), maka aspek pendekatan hukum

tentu saja tidak boleh dilepaskan begitu saja sebagai alat analisisnya.

Sebab, keteraturan dan gerak masing-masing individu anggota

masyarakat, sangat ditentukan oleh keberadaan instrumen hukum itu

sendiri.

Hanya hukumlah satu-satunya instrumen sosial yang melahirkan

nilai-nilai (values) yang berisi perintah dan larangan serta apa yang

boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh masing-

masing anggota warga masyarakat tatkala hidup bersama dalam

sebuah komunitas. Hukum juga yang memberikan sanksi

(penjeraan/hukuman) kepada angota warga masyarakat yang

ditenggarai melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut. Tentu

saja keberadaan sanksi hukum, antara lain untuk menjaga harmonisasi

hak-hak dan kewajiban setiap anggota warga masyarakat yang sudah

ditetapkan oleh hukum.

Beranjak pada pandangan hukum sebagai nilai-nilai sosial, maka

sejatinya hukum memang tidak boleh dinafikan keberadaannya

apalagi termarjinalisasi dalam konteks kajian ilmu-ilmu sosial melalui

pendekatan apapun juga. Ambil contoh, dalam pengkajian sosiologi,

yaitu bidang ilmu yang secara spesifik mengkaji gejala serta prilaku

warga masyarakat. Bidang ilmu ini, meski secara mendalam hendak

mendiagnosa prilaku dan etika individu yang mengemuka di tengah-

tengah masyarakat sehingga antara lain memberikan pengaruh

terhadap dinamika sosial masyarakat. Namun harus diakui pula,

seorang sosiolog2 dalam telaahnya, harus menggunakan instrumen

hukum sebagai salah satu kerangka analisisnya tatkala hendak

2Istilah sosiolog yang penulis gunakan adalah merujuk kepada seseorang

yang memiliki minat untuk mengkaji secara spesifik sosiologi sebagai salah

satu cabang ilmu, secara konsisten dan berkesinambungan.

mengamati masyarakat sebagai sebuah gejala sosial3. Begitu pula,

dalam pengkajian politik, ekonomi, ilmu administrasi, dalam sudut

pandang sebagai prilaku sosial, tentu saja kita tidak bisa melepaskan

diri untuk menggunakan instrumen hukum sebagai salah satu “pisau”

analisisnya.

Paparan uraian sebagaimana ditulis sebelumnya, merupakan

landasan kerangka berpikir dalam mengkaji posisi hukum yang

bekerja dalam sebuah sistem sosial. Buku yang ditulis ini memang

hendak memberikan penjelasan kepada pembaca tentang apa dan

bagaimana hukum itu sesungguhnya jika dicermati dalam perspektif

ilmu sosial. Meski konsentrasi pengkajian buku ini, menempatkan

hukum dalam tataran sebagai ilmu sosial, namun itu tidak berarti

hukum harus dilihat apalagi menempatkan hukum itu sendiri secara

ekstrim dalam perspektif ilmu sosial an sich.

Sebab ada juga kalangan akademisi hukum, yang secara ekstrim

menolak untuk menempatkan hukum sebagai salah satu cabang atau

bidang dari ilmu-ilmu sosial, kelompok akademisi ini lebih cenderung

menempatkan hukum sebagai sebuah kajian yang bersifat dogmatik an

sich atau hukum adalah berada pada area kajian normatif yang

berbicara apa yang seharusnya maupun apa yang tidak seharusnya

(kajian bersifat preskriptif)4.

3Buku yang ditulis Lawrence M Friedman, berjudul The Legal System: A

Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fondation), merupakan

salah satu contoh literatur yang mengkaji hukum dalam sudut pandang ilmu

sosial. 4Antara lain Peter Mahmud Marzuki, Guru Besar Ilmu Hukum

Universitas Airlangga, dalam bukunya berjudul “Penelitian Hukum”, terbitan

Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm. 22-28, ia sangat keras

menolak untuk menempatkan ilmu hukum dalam rumpun ilmu-ilmu sosial.

Menurutnya ilmu hukum memiliki karakter keilmuan yang khas yang tidak

mungkin dapat dipelajari oleh disiplin ilmu lain yang objek kajiannya juga

adalah hukum.

Namun demikian, sangat perlu untuk diperhatikan, isi buku ini tidak

berkehendak menjerumuskan diri diantara dua kubu pemikiran hukum yang

saling bertentangan secara diametral. Artinya, buku ini tidak ditulis dengan

pretensi “hitam putih” dari dua pendapat yang bertentangan cukup tajam, yang

saat ini masih mewarnai literatur pemikiran hukum di Indonesia, yaitu pihak

yang “ngotot” secara vis a vis mendudukkan “hukum sebagai ilmu sosial”

dengan pihak lainnya yang hendak menempatkan hukum dalam bingkai sui

generis sebagai ilmu bersifat normatif-dogmatik.

Arus utama atau mainstream muatan buku ini, memang sengaja ditulis

bukan untuk alasan normatif semata, tetapi dalam khasanah lebih luas, buku ini

hendak menerangkan kepada pembaca wilayah pengkajian hukum jika ditilik

dalam kerangka empiris. Sebab, hukum juga merupakan bagian dari ilmu

perilaku sosial sebagaimana yang pernah ditulis oleh Satjipto Rahardjo5.

Namun sesungguhnya, titik uraian buku ini lebih terkonsentrasi membahas

hukum pada lingkup sistem kemasyarakatan Negara Indonesia, sehingga untuk

judul buku ini oleh penulis member judul “Nomenklatur Sistem Hukum

Indonesia”, guna merepresentasi bahwa topik perbincangannya adalah

berkenaan dengan tatanan hukum yang berlaku secara ajeg di wilayah Negara

Indonesia.

Buku ini ditulis dengan sasaran pembaca adalah kalangan mahasiswa dan

staf pengajar dari disiplin ilmu sosial manapun, seperti mahasiswa dan staf

pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ekonomi, Fakultas

Budaya, ataupun fakultas-fakultas lainnya yang serumpun. Termasuk juga,

fakultas-fakultas ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti alam), yang menempatkan

pembelajaran mata kuliah ilmu hukum dalam kurikulumnya. Buku ini juga

penting untuk menjadi pegangan sebagai bacaan tambahan bagi mahasiswa

yang duduk di Fakultas Hukum khususnya, tatkala mempelajari hukum dalam

spektrum lebih luas, yaitu hukum dalam konteks normatif dan empiris.

5Silahkan baca buku karya Satjipto Rahardjo berjudul “Ilmu Hukum”,

terbitan PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, pada bab berjudul Hukum

sebagai Institusi Sosial, hlm. 117-124.

BAB 1

PENDAHULUAN

Masyarakat dan Hukum Masyarakat dan hukum merupakan dua komponen yang saling

terkait secara integral dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibarat

dua sisi mata uang, masyarakat sangat membutuhkan hukum untuk

mengatur keteraturan interaksi sosial antara warga dalam masyarakat.

Sedangkan hukum hanya akan menjadi tulisan-tulisan mati jika tidak

diterapkan di tengah kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, maka

wajar jika ada pandangan yang menyatakan bahwa hukum

sesungguhnya juga merupakan norma sosial. Artinya, ia merupakan

sebuah instrumen yang ditaati guna menjaga kemapanan kehidupan

sosial masyarakat sebagai satu sistem1.

Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan

kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama

sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan mengganggap diri

mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang

dirumuskan secara jelas. Menurut Harold J. Lawski2:

Masyarakat adalah sekolompok manusia yang hidup bersama dan

bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan

mereka bersama.

Lebih lanjut Mac Iver dan Page3 mengemukakan bahwa :

Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan-kebiasaan dan tata

cara dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan

golongan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan

mereka.

Soerjono Soekanto4 dan Abdulsyani mengemukakan ciri-ciri

masyarakat itu yakni manusia yang hidup bersama, bercampur untuk

1 Soerjono Soekanto. 1986. “Ketertinggalan Kebudayaan”. PT Rajawali,

Jakarta, hlm. 9 2 Miriam Budiarjo. 1989. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT Gramedia,

Jakarta, hlm. 10 3 Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 49.

Bab 1 Pendahuluan

2

waktu yang lama, mereka sadar bahwa mereka mempunyai satu

kesatuan serta merupakan suatu sistem hidup bersama.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat

adalah sekolompok manusia yang telah hidup bersama, untuk waktu

yang cukup lama dan menciptakan peraturan diantara mereka, sistem

komunikasi dan sistem hubungan, norma-norma yang mengikat

masing-masing individu dan akhirnya menciptakan kebudayaan yang

mencerminkan kehidupan kelompok. Oleh karena itu sebagai makhluk

sosial dalam suatu kumpulan sosial dalam masyarakat, manusia

dimanapun berada akan menyelenggarakan dan melangsungkan serta

mempertahankan kehidupan dan keberadaannya. Dengan demikian

segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosialnya akan

ditanggapi dan dilaksanakan secara bersama-sama.

Manusia sebagai mahluk sosial, akan berinteraksi secara ajeg,

dengan motif-motif hendak mempertahankan eksistensinya serta

dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan naluriahnya, sebagai

mahluk ciptaan Tuhan. Dalam rangka untuk mempertahankan

eksistensinya itu, maka manusia memerlukan beberapa kebutuhan

pokok, antara lain kebutuhan primer, meliputi kebutuhan terhadap

makanan, minuman, keperluan terhadap pakaian dan tempat tinggal

Semua kebutuhan primer tersebut, diperlukan agar manusia dapat

mempertahankan hidupnya. Jika manusia tidak mampu memenuhi

kebutuhannya itu, maka tentu manusia akan mengalami penderitaan

fisik serta berakibat kepada kematian. Kebutuhan-kebutuhan yang

dimaksud ini, adalah yang berkaitan dengan kebutuhan jasmani.

Begitu pula kebutuhan manusia yang lain, yang tidak bersifat

jasmani yaitu kebutuhan naluriah. Kebutuhan naluriah ini juga pada

dasarnya harus dipenuhi. Sebab jika hasrat naluriahnya itu tidak

terpenuhi, maka manusia akan mengalami kegelisahan dalam

4 Soerjono Soekanto, loc.cit

Bab 1 Pendahuluan

3

hidupnya, meskipun tidak berakibat kepada kematian. Memang ada

perbedaan dalam hal rangsangan-rangsangan yang dapat

membangkitkan kebutuhan, baik yang bersifat jasmani maupun

kebutuhan yang bersifat naluriah. Kebutuhan jasmani merupakan

kebutuhan fisik manusia yang harus dipenuhi yang sifatnya datang

dari dalam diri manusia, misalnya rasa lapar, rasa haus, rasa ingin

buang air, perlindungan dari rasa panas dan dingin. Perasaan-

perasaan tersebut dituntut untuk dipenuhi segera, jika tidak maka akan

menimbulkan penderitaan fisik yang kemungkinan besar berakibat

kematian. Misalnya, rasa lapar harus dipenuhi dengan kebutuhan

untuk makan dengan segera. Sedangkan, kebutuhan naluriah

meskipun berasal dari dalam diri manusia, tetapi hanya akan

terbangkitkan bila terdapat rangsangan dari luar. Misalnya, naluri

seksual yang ada pada diri seorang laki-laki. Naluri ini, mungkin akan

terbangkitkan jika melihat kemolekan tubuh seorang wanita.

Terdapat beberapa jenis kebutuhan naluriah manusia yang harus

dipenuhi sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial.

Taqiyuddin An-Nabhani5, telah memperinci jenis-jenis naluriah

manusia, yang mencakup:

a) Kebutuhan naluriah untuk mempertahankan jenis atau

melestarikan keturunannya. Kebutuhan naluriah ini, menurut

Taqiyuddin an Nabhani diwujudkan dalam bentuk hasrat seksual

kepada lawan jenis, yaitu ketertarikan laki-laki kepada perempuan

maupun sebaliknya. Inilah yang disebut dengan insting seksual.

Insting seksual sebenarnya, menurut Taqiyuddin an-Nabhani tidak

hanya berwujud kepada keinginan melakukan hubungan badan

(persenggamaan) antara laki-laki dan perempuan tetapi juga

berwujud kepada rasa cinta dan kasih sayang antara seorang suami

5 Hafidz Abdurrahman. 2004. Diskursus Islam Politik Spiritual. Al Azhar

Press, Bogor, hlm. 52-57.

Bab 1 Pendahuluan

4

dengan isterinya, kecintaan orang tua kepada anak-anaknya, kasih

sayang anak kepada kedua ibu bapaknya, atau juga kasih sayang

seorang kakek kepada cucunya. Pada contoh kasus, seorang nenek

yang mengumpulkan anak-anak yatim piatu untuk diasuh dan

dibesarkan, juga merupakan salah satu wujud pemenuhan naluri

seksual. Dengan demikian, bila naluri untuk mempertahankan

jenis atau melestarikan keturunannya, bagi manusia tidak

terpenuhi, maka ia pasti akan mengalami kegelisahan dalam

jiwanya.

b) Kebutuhan naluri beragama. Kebutuhan ini merupakan wujud

naluriah manusia untuk mengagungkan sesuatu yang lebih besar

dari dirinya. Naluri ini umumnya terwujud dalam bentuk sikap

manusia melakukan penyembahan-penyembahan atau ibadah-

ibadah ritual kepada Tuhan Pencipta sesuai dengan persepsi dan

keyakinannya terhadap apa yang disebut sebagai Tuhan.

Misalnya, orang Islam yang melakukan ibadah penyembahan

kepada Allah SWT yang diyakininya sebagai Zat Maha Tunggal

yang menciptakan alam semesta ini. Begitu pula dengan pemeluk

agama lain seperti orang Kristen yang mengunjungi gereja, orang

Hindu memasuki kuil peribadatannya, atau orang Budha yang

memasuki klenteng peribadatannya. Semua pemeluk agama

tersebut mengunjungi rumah-rumah ibadahnya, merupakan

manifestasi memenuhi naluri beragamanya. Jadi sesungguhnya,

naluri beragama merupakan wujud pengkudusan seorang manusia

kepada sesuatu atau zat yang dianggap lebih kuat atau lebih agung

darinya. Baik zat atau sesuatu itu sifatnya gaib tidak dapat dicerap

oleh panca indera manusia maupun yang dapat dicerap oleh panca

indera manusia. Pada contoh kasus lain, seperti praktik-praktik

ritual pada masyarakat pedesaan atau masyarakat pesisir di

Indonesia, seperti menabur sesajen sebagai syarat untuk menolak

Bab 1 Pendahuluan

5

bala atau menghormati mahluk-mahluk gaib, atau juga pada

contoh kasus seseorang mengagumi atau menghormati ketokohan

terhadap seseorang yang dia anggap memiliki kehebatan-

kehebatan tertentu, seperti masyarakat Soviet Rusia dahulu yang

menghormati dan mengagungkan Lenin sebagai tokoh komunis,

maka ini juga dapat dikatakan contoh dari wujud naluri beragama

seseorang.

c) Kebutuhan naluri mempertahankan diri. Ini merupakan naluri

manusia yang bersifat survival instinct, yaitu naluri manusia utuk

menghindar dari rasa takut, mengalami penderitaan, atau

kesengsaraan. Naluri ini biasanya diekspresikan dalam bentuk rasa

marah, sedih, gembira, atau ketakutan akan kehilangan sesuatu.

Contoh dari penampakan naluriah ini, seseorang yang

menyaksikan saudara atau temannya yang meninggal dunia, yang

kalau orang tersebut adalah seorang muslim, maka ia akan teringat

akan kematian dan timbul rasa takut mati pada dirinya, sementara

dia merasa belum siap karena masih punya banyak dosa. Perasaan

ini lahir karena yang bersangkutan melihat realitas jenazah yang

dimandikan, dikafani, dishalati kemudian dikuburkan, lalu jenazah

tersebut ditinggalkan sendiri dalam kubur. Orang yang

menyaksikannya dapat membayangkan, bagaimana jika dia kelak

mati seperti jenazah itu.

Pemenuhan kebutuhan jasmani manusia serta kebutuhan

naluriahnya, merupakan sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Untuk

pemenuhan tersebut, tentu saja manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia

memerlukan ketergantungan satu sama lain dengan manusia lainnya

bahkan juga terhadap alam dimana dia berdomisili. Saling

ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya,

meniscayakan manusia untuk hidup berkelompok, membentuk sebuah

komunitas masyarakat. Melalui pembentukan komunitas masyarakat

Bab 1 Pendahuluan

6

tersebut, bertujuan untuk memenuhi kemaslahatan bersama dengan

berlandaskan kepada ideologi atau pandangan hidup yang menjadi

landasan tegaknya masyarakat itu sendiri.

Jadi pada dasarnya masyarakat adalah kumpulan manusia,

pemikiran, perasaan, dan sistem. Inilah realitas masyarakat sesuai

dengan karakternya sebagai komunitas manusia. Manusia secara fitrah

mempunyai kebutuhan jasmani dan naluri yang harus dipenuhi. Dari

sini, lahirlah kemaslahatan masing-masing orang yang menuntut untuk

diraih. Kemaslahatan disini tidak lain adalah manfaat yang hendak

diperoleh atau kemudharatan yang hendak dihindari oleh setiap orang.

Ketika masing-masing orang mempunyai kemaslahatan yang harus

diraih, maka terbentuklah interaksi satu sama lain. Hanya saja,

interaksi tersebut setelah masing-masing orang mempunyai kesamaan

kemaslahatan di antara mereka. Yang menentukan kesamaan

kemaslahatan itu tidak lain adalah kesamaan pemikiran dan perasaan

masing-masing dalam menyikapi kemaslahatan tersebut. Pada

akhirnya, mereka pun harus menyepakati suatu mekanisme atau aturan

main yang digunakan untuk mengatur kemaslahatan yang hendak

mereka raih. Dari sinilah, masing-masing orang tersebut

membutuhkan satu sistem (mekanisme atau aturan main) yang

digunakan untuk memenuhi kemaslahatan mereka6.

Dengan demikian, dalam masyarakat, akan senantiasa terjadi

interaksi antara sesama manusia, karena adanya kemaslahatan tertentu

yang hendak diwujudkan. Yang menentukan apakah sesuatu itu

merupakan kemaslahatan atau bukan dan apakah kemaslahatan

tersebut harus diraih ataukah tidak, semua itu bergantung pada

pemikiran dan perasaan masing-masing dalam menyikapi

kemaslahatan tersebut serta sistem yang digunakan untuk meraihnya.

6 Hafidz Abdurrahman, Majalah Al-Waie nomor 44 tanggal 4 Januari

2004 dalam tulisan judul Memasuki Masyarakat

Bab 1 Pendahuluan

7

Dengan kata lain, ia bergantung pada ideologi dan pemahaman yang

mereka terima. Pemahaman dan ideologi, yang berlaku di tengah-

tengah masyarakat tidak lain karena adanya entitas operasional yang

menerapkannya. Itulah kekuasaan politik, yang menjelma dalam

bentuk Negara7.

Dari penjelasan tentang masyarakat sebagai sistem, maka kita

dapat menyimpulkan bahwa manusia pada hakikatnya secara fitrah,

selalu ingin hidup berkelompok atau hidup bermasyarakat. Menurut

Peter Mahmud Marzuki8 dengan mengutip pandangan Richard D

Schawartz dan E.A. Hoebel, bahwa manusia tidak pernah hidup secara

soliter atau atomistis. Untuk itulah, maka manusia dalam hidup

berkelompok tersebut, memerlukan aturan bertingkah laku. Aturan

bertingkah laku inilah, menurut Peter Mahmud Marzuki, yang kelak

menjadi issue of dispute.

Untuk keperluan aturan bertingkah laku dalam suatu komunitas

masyarakat, Peter Mahmud Marzuki9 tidak sependapat dengan

pandangan Lawrence Friedmann, bahwa pada masyarakat yang tidak

mengenal organisasi formal tidak dikenal adanya hukum. Sanggahan

Peter Mahmud Marzuki, bahwa hukum akan tetap berlaku pada

bentuk dan jenis masyarakat manapun, meskipun komunitas

masyarakat yang dimaksud, tidak mengenal organisasi kenegaraan

“formal” sebagaimana masyarakat terdapat pada masyarakat moderen.

Untuk mendukung pendapatnya ini, Peter Mahmud Marzuki mengutip

pandangan Malinowski, sebagai berikut:

There must be in all societies a class of rules too practical to be

backed up religious sanctions, too burdensome to be left to mere

7 Hafidz Abdurrahman, ibid.

8 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi).

Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 47. 9 Ibid., hlm. 48.

Bab 1 Pendahuluan

8

good will, too personally vital to individuals to be enforced by any

abstract agency. This is the domain of legal rules and I venture to

foretell that reciprocity, systematic incidence, publicity and

ambition will be found to be the main factors in the binding

machinery of primitive law.

Pandangan Malinowski tersebut, kata Peter Mahmud Marzuki

adalah untuk menggugurkan pendapat Lawence Friedmann yang

mencermati kedudukan hukum akan berfungsi menjadi nilai normatif

bila ditransformasikan oleh kekuasaan kenegaraan yang bersifat

formal. Menurut Peter Mahmud Marzuki, memang ada anggapan

bahwa pada masyarakat primitif tidak dibutuhkan hukum, sebab

masyarakat primitif sudah dengan sendirinya dan secara otomatis taat

kepada aturan yang ada, yang disebut mores. Menurut anggapan

tersebut, mores dipandang sebagai gabungan antara kebiasaan, adat

istiadat, dan agama. Dalam situasi demikian tidak ada hukum, tidak

ada hak milik pribadi, tidak ada pelaksanaan hak yang dimiliki oleh

individu. Lalu apakah yang menjadi sarana pengikat masyarakat

primitif? Menurut mereka yang menegasikan eksistensi hukum dalam

masyarakat primitif, sarana pengikat kebersamaan masyarakat

primitif, adanya rasa ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui

atau ketakutan akan kekuatan gaib yang mungkin dapat menghukum

umat manusia. Apa yang dilakukan orang tanpa menimbulkan akibat

buruk, dilakukan lagi secara berulang-ulang. Oleh karena itu, mereka

tidak ingin merubahnya jika tidak ingin mendapat celaka yang

merupakan sanksi bersifat supranatural. Masyarakat primitif lalu tidak

memiliki keinginan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang telah

dilakukan. Dengan demikian, menurut penganut pandangan ini,

hukum yang mula-mula bersumber dari sanksi bersifat relijius,

ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui, dan adanya kekuatan

gaib yang hadir dimana-mana.

Bab 1 Pendahuluan

9

Sehubungan dengan, pandangan tersebut, Peter Mahmud Marzuki10

memberikan penjelasan tambahan bahwa suatu hal yang perlu

dikemukakan disini adalah perlunya sikap hati-hati melakukan

interpretasi terhadap praktik-praktik ataupun kebiasaan-kebiasaan

yang dilakukan oleh masyarakat primitif. Tidak dapat disangkal

bahwa dalam menginterpertasi aturan-aturan yang berkembang di

masyarakat primitif, para pengamat tersebut, kata Peter Mahmud,

yang berpendidikan barat dan moderen telah telah bersikap bias secara

kultural. Misalnya, Lawrence Friedmann yang keliru dalam

mengambil kesimpulan untuk menggambarkan keberadaan hukum

dalam masyarakat primitif.

Melalui studi antropolgis Malinowski, justeru menjelaskan bahwa

tidak semua kebiasaan mempunyai tingkatan yang sama. Beberapa

aturan tingkah laku diikuti karena memang dipilih untuk diikuti, baik

karena memang menyenangkan atau karena anggota-anggota

masyarakat memang tidak pernah berpikir untuk melakukan sesuatu

yang bertentangan dengan aturan itu. Akan tetapi, ada juga aturan-

aturan utuk hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Aturan semacam

inilah yang memerlukan mekanisme penerapan secara efektif.

Selanjutnya, Malinowski memberikan ilustrasi bahwa seorang anggota

masyarakat suatu ras tertentu yang berdiam di sebuah gubuk yang

berbentuk lingkaran mungkin tidak berkeinginan untuk membangun

gubuk berbentuk persegi. Apabila ia membangunnya juga dengan

bentuk persegi, keanehan itu tidak akan membahayakan kehidupan

masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena tidak diperlukan aturan

yang melarang hal semacam itu. Namun apabila terjadi perzinahan

atau perkosaan, aturan yang tegas akan tetap diterapkan. Berdasarkan

apa yang dikemukakan oleh Malinowski, tidak dapat disangkal bahwa

dalam masyarakat primitif juga telah ada norma yang bukan sekedar

10

Ibid.

Bab 1 Pendahuluan

10

norma kebiasaan atau mores semata-mata, melainkan suatu norma

yang disebut norma hukum11

.

Penjelasan Peter Mahmud, dengan mengadopsi pandangan

Malinowski, sebagai sanggahan terhadap penjelasan Lawrence

Friedmann, menurut penulis, pendapat Peter Mahmud tersebut,

memang ada benarnya bila kita hendak mendudukkan hukum sebagi

sebuah pranata sosial yang menjadi syarat integral dari terbentuknya

masyarakat apapun model, bentuk, maupun karakteristik masyarakat

itu sendiri. Sebab pada kenyataannya, perkembangan peradaban

masyarakat, selalu berjalan seiring dengan norma-norma hukum untuk

mengatur tingkah laku warga masyarakatnya itu sendiri. Memang

hukum sejatinya tidak harus bertumpu kepada bentukan masyarakat

yang melulu harus merupakan komunitas dalam wadah negara secara

formal, sebagaimana terlihat pada bentuk negara-negara moderen di

Eropa atau Amerika, yang berbentuk republik berbasis demokrasi.

Hukum juga akan tampak sebagai sebuah pranata sosial yang

sangat diperlukan tanpa harus mensyaratkan model masyarakat yang

hidup dalam bentuk negara formal moderen seperti pada realitas

negara-negara moderen yang mulai tumbuh sejak gagasan

nasionalisme demokrasi mengkooptasi lahirnya negara-negara

merdeka yang merambah Benua Asia dan Afrika memasuki abad ke-

19 Masehi. Artinya, hukum akan tetap eksis diterima sebagai sebuah

norma atau kaidah, meski itu dalam masyarakat yag sederhana atau

disebut sebagai masyarakat primitif sekalipun, sebagaimana pada

contoh masyarakat Arab di Kota Mekkah Pra-Islam.

Pada masyarakat Arab jahiliyah di Kota Mekkah, pranata hukum

sebagai norma sosial, tetap dipandang sebagai norma hukum yang

harus ditaati oleh suku-suku yang hidup berdampingan serta saling

berinteraksi pada masyarakat pra-Islam tersebut. Sebagai contoh,

11

Ibid., hlm. 49-50.

Bab 1 Pendahuluan

11

dalam masyarakat pra Islam di Kota Mekah, seorang budak dicabut

hak-hak keistimewaannya sebagai manusia yang merdeka dan

memiliki hak-hak menyatakan pendapat. Seorang budak dipandang

sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara bebas oleh

tuannya. Namun sejak kedatangan Islam, status perbudakan perlahan-

lahan dihapuskan. Islam menetapkan aturan yang datangnya dari

Tuhan Pencipta semesta alam, bahwa manusia memiliki hak-hak yang

sama didepan hukum syariah, tanpa memandang perbedaan status

manusia budak dan manusia merdeka. Contoh lain, masih dalam

konteks masyarakat Arab jahiliyah pra Islam. Berlaku ketentuan,

bahwa anak perempuan tidak berhak mendapat harta warisan dari

kedua orang tuanya. Ketentuan ini, telah menjadi norma hukum yang

berlaku di tengah masyarakat Arab jahiliyah dahulu sebelum

kedatangan Islam. Nanti, setelah kedatangan Islam yang telah

merubah secara revolusioner struktur masyarakat bangsa Arab

menjadi masyarakat yang tegak atas dasar ideologi Islam. Ketentuan

tentang pembagian harta warisan yang tidak memberikan porsi

(bagian) kepada anak perempuan, dihapuskan.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia dimana kita masih

dapati hidup berkembang suku-suku terasing, seperti Suku Badui,

Suku Dayak, Suku Bajo, Suku Kajang, dan beberapa suku yang ada di

Provinsi Papua. Semua suku yang dimaksud, meski masih terbentuk

sebagai komunitas masyarakat yang sederhana, tetapi ditengah

kehidupan masyarakatnya, telah memberlakukan norma-norma prilaku

sebagai norma hukum yang mengikat antar warga masyarakatnya.

Adapun dalam perspektif pandangan Lawrence Friedmann sebagai

seorang penganut mazhab positivisme, menurut pendapat penulis,

memang dapat dibenarkan pada perspektif tertentu, yaitu bila

pandangan Lawrence Friedmann tentang persyaratan formal yang

harus terdapat pada terbentuknya hukum sebagai norma, kita

Bab 1 Pendahuluan

12

elaborasikan dengan pernyataan bahwa hukum membutuhkan

kekuasaan formal. Maka tentu saja, hukum agar dapat memiliki daya

paksa, ia membutuhkan kekuatan berupa kekuasaan formal. Tentu

saja, model dan penerapan kekuasaan formal itu, dalam setiap

masyarakat berbeda tergantung dari karakteristik masyarakat itu

sendiri. Pada masyarakat primitif atau sederhana, kekuasaan formal

direpresentasikan oleh sosok seseorang yang dipandang memiliki

kekuatan magis atau kekuatan berupa keunggulan fisik serta

kemahiran bertarung yang tak terkalahkan. Seseorang yang dimaksud

itu, secara komunal akan diangkat oleh anggota masyarakatnya

sebagai pemimpin mereka.

Sebenarnya yang dimaksud kekuasaan formal, memang tidak harus

terwujud dalam bentuk adanya seremoni kenegaraan untuk

pengangkatan seorang pemimpin atau pemegang kekuasaan seperti

yang terdeskripsi pada negara republik atau keharusan adanya

pengangkatan formal oleh para elit politik seperti para wakil rakyat

yang duduk di parlemen. Kekuasaan formal juga sebetulnya dapat

terdeskripsi pada kehendak komunal kelompok masyarakat untuk

mengangkat pemimpin diantara mereka karena sang pemimpin itu

memiliki kharisma dan energi magis atau kekuatan supranatural.

Seperti pada contoh masyarakat yang sederhana dan primitif.

Pendekatan Analisis terhadap Hukum Pembahasan tentang pendekatan analisis terhadap hukum sebagai

ilmu normatif, maupun norma prilaku, memang masih terdapat

beragam pendapat dengan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Ada

yang bersikukuh bahwa pendekatan analisis terhadap hukum haruslah

ditinjau dengan menempatkan hukum sebagai ilmu yang bersifat sui

generis yang tidak boleh diintervensi oleh disiplin ilmu lainnya

seperti, seperti ilmu-ilmu empiris. Ada juga yang berargumentasi

Bab 1 Pendahuluan

13

bahwa hukum dengan analisis pendekatan sistem, juga mesti ditelaah

dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu, seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu

antropologi, psikologi, dan komunikasi.

Pada sub-pembahasan ini, penulis menguraikan beberapa

pendekatan analisis terhadap hukum, pada dua perspektif yaitu hukum

dengan pendekatan normatif dan hukum dengan pendekatan ilmu-ilmu

sosial, sebagai berikut:

1. Hukum dengan Pendekatan Normatif

Hukum dengan pendekatan normatif, adalah sebuah pendekatan

analisis yang hendak menempatkan ilmu hukum sebagai ilmu yang

bersifat sui generis, yaitu kedudukan hukum sebagai bidang ilmu yang

bersifat preskriptif, yaitu ilmu yang memiliki karakteristik sarat nilai.

Peter Mahmud Marzuki12

, berargumentasi bahwa ilmu hukum

memiliki sifat menganjurkan bukan hanya mengemukakan apa

adanya. Karena itu, ilmu hukum kata Peter Mahmud Marzuki tidak

tepat dimasukkan ke dalam bilangan ilmu empiris. Ilmu hukum

hendak mencari kebenaran koherensi bukan kebenaran korespondensi.

Ilmu hukum yang pada galibnya mencari kebenaran koherensi,

dalam perspektif menempatkannya sebagai bidang ilmu yang bersifat

preskriptif memang dapat dibenarkan sebab kebenaran koherensi

adalah sebuah model kebenaran yang merujuk kepada ide atau

gagasan yang bersifat a priori. Ide ini lahir dari akal budi manusia

yang bertumpu kepada rasionalitas, yang menghasilkan pernyataan-

pernyataan yang bersifat logis, analitis, dan matematis13

. Dari

pandangan inilah, maka hukum yang secara prinsip mengusung

kebenaran koherensi, tentu saja ilmu hukum sarat nilai, sehingga

12

Peter Mahmud Marzuki, ibid., hlm.8-9. 13

Widodo Dwi Putro. 2011. Kritik terhadap Paradigma Positivisme

Hukum. Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 237.

Bab 1 Pendahuluan

14

hukum tidak boleh didudukkan dalam konteks yang bebas nilai atau

bersifat apa adanya.

Dengan memahami karakteristik keilmuan hukum tersebut, maka

kata Peter Mahmud Marzuki, tidak tepat kalau ilmu hukum

dikategorikan sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebab ilmu sosial

masuk kedalam bilangan ilmu empiris yang bersifat deskriptif.

Kebenaran yang diperoleh ilmu sosial sebagai ilmu empiris, adalah

kebenaran korespondensi. Ilmu sosial bebas nilai. Selain itu, ilmu

sosial mempelajari prilaku (behaviour). Sebaliknya, ilmu hukum

bukan mempelajari prilaku, melainkan mempelajari tindakan atau

perbuatan (act) yang berkaitan dengan norma dan prinsip hukum.

Achmad Ali14

, juga memberikan uraian yang sama tentang hukum

dengan pendekatan normatif, bahwa pendekatan hukum normatif

memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakup

seperangkat asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan

hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Melalui pendekatan ini,

Achmad Ali berpandangan bahwa asas hukum yang melahirkan norma

hukum, kemudian norma hukum yang melahirkan aturan hukum. Dari

satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu norma hukum

sampai tak terhingga jumlahnya. Juga dari satu norma hukum dapat

melahirkan lebih dari satu aturan hukum. Untuk lebih jelasnya uraian

tersebut, berikut penulis paparkan melalui ragaan berikut ini:

14

Achmad Ali. 2011. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta,

hlm. 6.

Bab 1 Pendahuluan

15

Ragaan 1

Kristalisasi Asas Hukum ke Aturan Hukum

Dari ragaan 1 tampak bahwa asas hukum merupakan meta norma

yang memuat nilai-nilai tuntunan etis. Ia merupakan landasan bagi

tegaknya norma hukum secara konkrit. Sedangkan norma hukum

merupakan konsep-konsep hukum yang berisi kaidah-kaidah

berprilaku tentang apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya,

apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kristalisasi konkrit norma

hukum tersebut, akan dituangkan dalam bentuk produk hukum, baik

tertulis maupun tidak tertulis.

ASAS HUKUM Pengakuan Hak Milik

Individu

NORMA HUKUM

ATURAN

HUKUM

Tidak Boleh Mengambil

Milik Orang Lain

1. Pasal 362 KUHPidana Ancaman

Pidana Bagi Pelaku Pencurian.

2. Pasal 372 KUHPidana tentang

Ancaman Pidana Bagi Pelaku

Penggelapan

Bab 1 Pendahuluan

16

Adapun menyangkut definisi asas hukum, menurut Gemala Dewi,

dkk15

, istilah asas berasal dari bahasa Arab yaitu kata asasun yang

berarti dasar, basis, dan fondasi, sedangkan secara terminilogi

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar atau

sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. 16

Istilah

lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu

dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak,

dan sebagainya17

. Muhammad Daud Ali18

, mengartikan asas apabila

dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang

dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat,

terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.

Sehubungan dengan hal tersebut, dari segi etimologis (peristilahan)

asas hukum dan prinsip hukum menurut pendapat Agus Yudha

Hernoko19

, pada dasarnya merujuk kepada pengertian yang sama.

Terkait pengertian “asas” atau “prinsip” yang sering digunakan dalam

Bahasa Belanda, disebut beginsel atau principle (Bahasa Inggeris)

atau dalam Bahasa Latin disebut principum (primus artinya pertama

dan capere artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal

berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak

15

Gemala Dewi, dkk. 2013. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.

diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan

Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 30. 16

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 70 17

Ibid .,hlm. 896. 18

Muhammad Daud Ali. 2000. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum

dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, hlm. 114. 19

Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas

dalam Kontrak Komersial). Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 21.

Bab 1 Pendahuluan

17

atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan

sebagainya.

Menyangkut istilah prinsip, menurut Abd Shomad20

yang mengutip

Henry Campbell Black, mengartikan prinsip sebagai a fundamental

truth or doctrine, as a law, a comprehensive rule or doctrine which

finishes a basis or origin for others. Selanjutnya Abd Shomad dengan

mengutip Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas hukum

merupakan jantungnya peraturan hukum dan ia merupakan landasan

yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti

bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa

dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Bruggink21

mengartikan asas

atau prinsip hukum sebagai nilai-nilai yang melandasi norma hukum.

Selanjutnya dengan menyitir pendapat Paul Scholten22

bahwa asas

hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan

20

Abd Shomad. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam

Hukum Indonesia. Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, hlm. 58. 21

Dalam pandangan Bruggink, asas-asas hukum memiliki fungsi ganda,

yakni sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai alat uji kritis

terhadap sistem hukum positif tersebut. Ilustrasi dari fungsi ganda asas

hukum tersebut yang diberikan Bruggink berkenaan dengan perlindungan

lingkungan hidup pribadi (de persoonlijke levenssfeer) yang dihargai sangat

tinggi di dalam sistem hukum positif (Belanda). Tolok ukur dari asas hukum

dipertahankan sebagai cita-cita yang setiap kali harus direalisasikan. Karena

itu, menurut Bruggink, asas hukum sekalipun telah direalisasikan tetap dapat

difungsikan sebagai alat uji kritis terhadap sistem hukum positif, yakni

bilamana terjadi bahwa lingkungan hidup pribadi ternyata tidak atau kurang

mendapat perlindungan, dikutip dari Herlien Budiono. 2006. Asas

Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian

Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm. 306. 22

Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum.

Liberty, Yogyakarta, hlm. 33.

Bab 1 Pendahuluan

18

dibelakang sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam

peraturan perundang-undangan serta putusan-putusan hakim, yang

berkenaan dengan ketentuan dan keputusan individual. Paton23

mengatakan bahwa a principle is the broad reason which lies at the

base of rule of law. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya

dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja

ada dan akan melahirkan peraturan selanjutnya. Asas hukum ini pula

yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga

menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan

belaka, karena asas mengandung nilai-nilai dan tuntunan-tuntunan

etis24

.

Asas hukum yang pada dasarnya mengandung sejumlah nilai serta

tuntunan etis, maka menurut Agus Yudha Hernoko25

, suatu aturan atau

norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis atau prinsip

sebagai ruhnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu

norma tidak memiliki dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip

dalam konteks operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis

serta pijakan asas, Agus Yudha Hernoko mengibaratkannya sebagai

manusia yang “buta” dan “lumpuh”.

Bila Achmad Ali, menjelaskan pendekatan hukum normatif,

dengan mempertautkan asas hukum, norma hukum, sampai

terkristalisasi dalam bentuk aturan hukum, maka bagi Sudikno

Mertokusumo, hukum dengan pendekatan normatif, dapat ditelaah

dengan menggunakan lapisan-lapisan ilmu dalam hukum, yang

mencakup lapisan pertama pada piramida puncak adalah filsafat

hukum, pada lapisan kedua adalah teori hukum, sedangkan pada

23

Paton dalam Chainur Arrasyid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar

Grafika, Jakarta, hlm. 36 24

Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 3. 25

Agus Yudha Hernoko, op.,cit., hlm. 21

Bab 1 Pendahuluan

19

lapisan terakhir adalah dogma hukum. Tiga lapisan hukum tersebut,

saling memberikan pengaruh satu sama lain, tetapi masing-masing

lapisan itu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.

Lapisan filsafat hukum, menjangkau pembahasan pada hal-hal yang

bersifat abstrak dan merupakan meta teori dimana lapisan filsafat

hukum selalu berada pada tataran yang bersifat idea atau gagasan. Ia

menyentuh hal-hal yang bersifat trasendental. Bagi Peter Mahmud

Marzuki26

, filsafat hukum sebenarnya lebih memberikan penjelasan

kepada asas-asas hukum yang menjadi dasar paradigmatik bagi

tegaknya sebuah aturan hukum, sehingga tentu saja asas-asas hukum

menyentuh pada hal-hal bersifat meta norma dimana asas hukum

tersebut akan sangat bermanfaat bagi pembentukan hukum, penerapan

hukum, dan pengembangan ilmu hukum.

Filsafat hukum pada prinsipnya merupakan sebuah kajian

pemikiran yang bermaksud mendalami apa yang menjadi nilai-nilai

hakiki yang terkandung di dalam sebuah produk hukum ataupun

sistem hukum tertentu. Pandangan tentang filsafat hukum sebagai

kajian pemikiran yang hendak mendalami hakikat dibalik hukum,

antara lain dapat disimak dari apa yang ditulis oleh Mr Soetiksno27

,

sebagai berikut:

Dapat dikatakan apa yang dikerjakan oleh seorang ahli fikir,

seorang filsuf hukum, dapat dibandingkan dengan apa yang

diperbuat oleh serang ahli kimia. Seorang filsuf hukum mencari

hakekat daripada hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada

dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam

26

Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Kencana Prenada

Media Grup, Jakarta, hlm.117-118. 27

Mr Soetiksno. 1988. Filsafat Hukum Bagian I, PT Pradnya Paramita,

Jakarta, hlm. 2.

Bab 1 Pendahuluan

20

hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai

pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai-nilai,

postulat-postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya

filsafat yang terakhir. Ia berusaha untuk mencapai akarnya dari

hukum.

Sudikno Mertokusumo28

, juga memiliki pandangan yang sama

tentang letak kajian filsafat hukum yang lebih bersifat perenungan

terhadap hakikat paling dalam mengenai hukum dengan sifatnya yang

umum dan radikal. Sudikno Mertokusumo, menguraikan lebih lanjut

dalam tulisannya sebagai berikut:

Dalam Bahasa Belanda filsafat hukum dikenal dengan istilah

wijsbegeerte van het recht yang berarti hasrat (begeerte) atau

keinginan yanag amat besar akan kearifan (wijs) atau kebijaksaan

tentang hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum ingin

mendalami sampai pada akar-akarnya mengenai hukum.

Disamping itu, dikenal istilah-istilah Rechtsphilosophie,

philosophy of law dan legal philosophy. Juga dikenal istilah-istilah

legal theory, jurisprudence, dan theory of justice.

Mengacu kepada definisi filsafat seperti yang dikemukakan diatas,

maka filsafat hukum adalah perenungan atau refleksi yang

sedalam-dalamnya sampai pada akar-akarnya (radikal) dalam

sifatnya yang umum (uberhaupt) mengenai segala sesuatu tentang

hukum.

Dengan demikian, filsafat hukum berusaha untuk mendalami sifat

khas hukum dalam pelbagai bentuknya, mencari das Ding an Sich

28

Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 69.

Bab 1 Pendahuluan

21

dari hukum, dan itu berarti hendak memahami hukum sebagai

manifestasi suatu prinsip yang ada didalamnya. Dengan perkataan

lain, filsafat hukum menanyakan tentang hakikat hukum

berdasarkan atas refleksi yang tidak dapat diuji secara empiris,

tetapi harus memenuhi persyaratan rasional tertentu dan tersusun

secara logis; suatu refleksi atas dasar-dasar kenyataan yuridis,

suatu bentuk berpikir sistematis yang hanya puas dengan yang

dihasilkan secara sistematis dan mencari hubungan yang

direfleksikan secara teoritis, yang gejala hukum dapat dipahami

dan dapat dipikirkan29

.

Filsafat hukum tidak bertujuan menguraikan, menafsirkan, atau

menjelaskan hukum positif, tetapi untuk memahami dan

menyelami hukum dengan sifat-sifatnya yang umum yang

iiberhaupt… yang ditanyakan oleh filsafat hukum adalah apa

hukum itu… .

Penjelasan Sudikno Mertokusumo tentang Filsafat Hukum tersebut

tampaknya sejalan dengan penjelasan Bernard Arif Sidharta30

dengan

mengutip pendapat D.H.M. Meuwissen yang mendudukkan filsafat

hukum sebagai sebuah kajian yang berusaha mengungkap hakikat

hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum

sejauh yang mampu dijangkau oleh akal manusia. Sehingga menurut

Sidharta, masalah pokok filsafat hukum adalah persoalan marjinal

yang berkenaan dengan hukum. Artinya, objek formal filsafat hukum

29

Uraian paragraf ini sebenarnya merupakan kutipan Soerjono Soekanto

di dalam Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtstheorie? Kluwer

Rechtswetenschappen, Antwerpen, Nederland, 1982, hlm. 83. 30

Bernard Arif Sidharta, Refleksi tentang Struktur Hukum (Sebuah

Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum

sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia.

Bab 1 Pendahuluan

22

adalah memandang hukum dari dua perspektif fundamental yang

saling berkaitan. Pertama, apa yang menjadi landasan kekuatan

mengikat dari hukum. Kedua, atas dasar apa hukum dapat dinilai

keadilannya. Dalam dua pertanyaan itu terkandung masalah tujuan

hukum, hubungan hukum dengan kekuasaan serta hubungan hukum

dengan moral. Dengan demikian, menurut Sidharta, objek formal

filsafat hukum adalah berfokus kepada landasan dan batas-batas

kaidah hukum. Jawaban terhadap dwi-pertanyaan fundamental

tersebut, akan ditentukan oleh pendirian yang dianut tentang eksistensi

manusia dan kedudukannya di alam semesta, yakni oleh pandangan

hidup31

yang meliputi keyakinan tentang hubungan antara manusia

dan alam, manusia dan sesamanya serta manusia dan Tuhan32

.

Merujuk penjelasan bahwa filsafat hukum sangat terkait pandangan

hidup yang meliputi keyakinan yang dianut manusia, maka dari titik

inilah akan tampak bahwa ideologi merupakan sebuah nilai yang

menjadi kemestian bagi pijakan analisis filsafat hukum itu sendiri.

Artinya, keterkaitan antara ideologi dengan filsafat hukum dapat

diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu

sama lain.

31

Tampaknya penjelasan Arif Sidharta tentang filsafat hukum yang

terkait dengan eksistensi manusia dan pandangan hidup, pada esensinya

sangat terkait dengan penjelasan untuk mendudukkan bahwa filsafat hukum

dengan ideologi secara bersamaan saling bertaut secara integralstik. Sebab

pada beberapa banyak kajian tentang ideologi, di dalamnya selalu tidak dapat

dipisahkan oleh keyakinan seseorang baik tentang kehidupan, alam semesta,

maupun tentang Tuhan sebagai pencipta. 32

Pandangan Sidharta tersebut adalah dinukilkan dari pendapat Soediman

Kartohadiprodjo yang menguraikan esensi filsafat dalam bukunya

Penglihatan Manusia tentang Tempat Individu dalam Oergaulan Hidup

(Suatu Masalah), Bandung, 1962, hlm. 14.

Bab 1 Pendahuluan

23

Filsafat Hukum sebagai sebuah kajian pemikiran yang hendak

menyingkap atau mengelaborasikan hakikat yang tersimpan dalam

suatu nilai, maka kebanyakan penulis barat berpandangan bahwa

filsafat hukum merupakan sebuah kajian filsafati yang tergolong

paling tua usianya. Meskipun merupakan kajian yang paling tua

usianya dalam panggung sejarah peradaban barat, untuk masa

sekarang kajian filsafat hukum masih merupakan sebagai kajian yang

kurang diminati terutama oleh para praktisi hukum. Terkecuali pada

kebanyakan kajian-kajian hukum akademik pada tingkat tinggi atau

pada tingkat doktoral, terutama di sekolah-sekolah hukum Indonesia,

kajian hukum pada tataran filosofis merupakan kajian yang paling

banyak diminati.

Sedangkan teori hukum, adalah berpretensi menjelaskan konsep-

konsep hukum secara konkrit yang diturunkan dari filsafat hukum.

Jadi teori hukum sesungguhnya merupakan suatu gagasan yang dapat

direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktivitas hidup masyarakat

secara tertib. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori hukum adalah

bangunan konsep yang dikenal secara luas dalam kehidupan

masyarakat. Sebagai sebuah bangunan konsep maka tentu saja teori

hukum yang merupakan gagasan konkrit haruslah bersesuaian dengan

fakta dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, teori tentang badan

hukum, pertanggungjawaban pidana, dan lain-lain33

.

Adapun mengenai dogmatik hukum, merupakan kristalisasi konkrit

dari filsafat hukum dan teori hukum yang diwujudkan dalam produk

hukum tertulis atau juga putusan hukum hakim yang berkekuatan

tetap, atau yang merupakan yurisprudensi. Menurut Sudikno

Mertokusumo, dengan mengutip pendapat Meijers, dogmatik hukum

merupakan pengolahan atau penggarapan peraturan-peraturan atau

asas-asas hukum secara ilmiah, semata-mata dengan bantuan logika

33

Ibid., hlm. 112.

Bab 1 Pendahuluan

24

(tidak hanya kegiatannya tetapi juga hasilnya). Bertitik tolak dari

materi hukum, maka dogmatik hukum berusaha tanpa menggunakan

pengetahuan empiris menyempurnakan hukum dan ilmu hukum

menurut bentuk dan isi. Kegiatan dogmatik hukum itu meliputi

konstruksi, definisi, dan pengembangan dialektis. Dengan demikian,

dogmatik hukum merupakan kegiatan ilmiah untuk mempelajari suatu

tatanan hukum positif tertentu dengan terkonsentrasi pada norma-

norma hukum positif tertentu, serta melepaskan diri dari pengetahuan

empiris34

. Artinya, dogmatik hukum, tidak lagi berpretensi kepada

penjelasan konseptual, sebagaimana yang menjadi wilayah kajian teori

hukum. Kajian dogmatik, lebih terkonsentrasi kepada konkretisasi

norma-norma yang termuat dalam produk hukum tertulis,

sebagaimana yang sudah disebutkan pada penjelasan sebelumnya.

Argumentasi ini, dapat disimak kepada kesimpulan pendapat Sudikno

Mertokusumo, bahwa dogmatik hukum merupakan cabang ilmu

hukum yang mempelajari hukum positif (hukum yang tertulis dan

tidak tertulis) serta penyelesaian atau pemecahan masalah-masalah

hukum (yurisprudensi). Pendekatannya selalu dihubungkan dengan

hukum positif yang berlaku, karena itu, analisis dan pemecahannya

tidak terlepas dari hukum positif. Jawaban permasalahan hukum selalu

merujuk kepada hukum positif.

Untuk memperjelas bangunan lapisan ilmu hukum, yang mencakup

filsafat hukum, teori hukum, dan dogma hukum, dalam perspektif

pendekatan hukum normatif, dapat dipaparkan melalui ragaan

piramida berikut ini:

34

Sudikno Mertokusumo. 2015. Teori Hukum. Universitas Atmajaya,

Yogyakarta, hlm. 37.

Bab 1 Pendahuluan

25

Ragaan 2

Lapisan Ilmu Hukum dalam Perspektif Normatif

Berdasarkan ragaan 2, lapisan segitiga pertama, menunjukkan

kedudukan filsafat hukum. Filsafat hukum merupakan kajian hukum

yang menitikberatkan kepada kajian hukum pada tataran nilai yang

bersifat ide yang lahir dari perenungan rasional atau intuisi. Pada

tataran ide, maka kajian filsafat ini murni merupakan kajian pemikiran

tentang hukum sebagai sebuah konsep ideal, yang mestinya sesuai

fitrah asasi manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa.

Misalnya, kajian tentang kebebasan berkontrak, dalam perspektif

filsafat hukum, apakah makna filosofs kebebasan berkontrak itu

sendiri. Bila pendekatan filosofis menurut cara pandang Eropa

Kontinental, maka tentu saja, makna filosofis kebebasan berkontrak

akan dirumuskan menurut cara pandang ideologi Eropa Kontinental

yang individualistik, bahwa kebebasan seorang manusia pada

hakikatnya adalah kebebasan individual secara mutlak sepanjang tidak

menggangu hak kebebasan orang lain. Dari makna filosofis tentang

“kebebasan berkontrak”, kemudian dintrodusir melalui teori hukum

tentang kebebasan berkontrak, maka melahirkan teori tentang

FILSAFAT

HUKUM

TEORI HUKUM

DOGMATIK

HUKUM

Bab 1 Pendahuluan

26

kebebasan berkontrak. Salah satu teori kebebasan berkontrak versi

klasik, antara lain, yang dikemukakan oleh Morton J Hortwitz35

,

bahwa kebebasan berkontrak adalah kehendak lahiriah para pihak

yang memasuki kontrak dimana kehendak tersebut bukan merupakan

kehendak yang lahir karena paksaan, sehingga dari kehendak itu

menjadi titik temu dari para pihak berkontrak yang melahirkan hak

dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Teori kebebasan berkontrak tersebut, kemudian dikristalisasi

secara konkrit melalui produk hukum tertulis, misalnya pada Pasal

1338 Ayat (1) BW, yang memberikan pengakuan terhadap kebebasan

berkontrak dengan menyatakan bahwa semua perjanjian yang dimuat

secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. Meski, Pasal

1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian, sebenarnya merupakan

pembatasan bagi asas kebebasan berkontrak tersebut, karena

perjanjian hanya sah apabila memenuhi kondisi persyaratan: (1).

Adanya kata sepakat para pihak; (2). Kecakapan para pihak untuk

membuat kontrak; (3). Adanya objek tertentu; (4). Adanya kausa yang

tidak bertentangan dengan hukum.

2. Hukum dengan Pendekatan Empiris

Hukum dengan pendekatan empiris memfokuskan kajiannya

dengan menempatkan hukum sebagai seperangkat realitas, tindakan,

dan prilaku sosial. Hukum dengan pendekatan empiris menurut Peter

Mahmud Marzuki dengan meminjam pandangan D.H.M. Meuwissen,

telah memisahkan secara tajam antara fakta dan norma, antara

pernyataan yang bersifat deskriptif dan normatif. Gejala hukum

dipandang sebagai gejala empiris yang murni faktual. Sebab gejala

hukum merupakan suatu fakta sosial yang dapat diamati. Artinya,

35

Ridwan Khairandy. 2013. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif

Perbandingan (Bagian Pertama). FH UII Pres, Yogyakarta, hlm. 101.

Bab 1 Pendahuluan

27

gejala hukum dipandang sebagai gejala empiris yang murni faktual.

Hal itu merupakan suatu fakta sosial yang dapat diamati. Gejala-gejala

ini harus dapat diamati dan diteliti dengan menggunakan metode

empiris.

Menurut pendapat penulis, telaah terhadap pendekatan hukum

normatif dan pendekatan hukum empiris, memang seharusnya

ditempatkan pada spektrum yang proporsional. Artinya, keduanya

tidak harus dilihat dalam posisi yang vis a vis saling berhadap-

hadapan yang paling memiliki otoritas untuk berbicara tentang hukum

sebagai objek kajiannya. Tentu saja, hukum normatif memiliki

wilayah kajian tersendiri yang tidak mungkin diintervensi oleh hukum

empiris. Sedangkan hukum empiris, juga memiliki wilayah kajian

lebih spesifik pada pendekatan prilaku sosial. Hukum normatif,

memang memiliki argumentasi rasional untuk mendudukkan hukum

sebagai bidang ilmu yang bersifat sui generis. Namun demikian,

hukum empiris, sebenarnya tidak salah ketika menempatkan objek

kajian hukum dalam kerangka sebagai bagian integral dari bangunan

sosial kemasyarakatan.

Hukum normatif, sejatinya merupakan satu kajian pemikiran yang

menitikberatkan kepada aspek-aspek yang berada dalam tataran ide

dan nilai. Karena titik berat objek kajian hukum normatif, adalah

tataran ide dan nilai, maka sangat wajar bila pengusung hukum

normatif berargumentasi, bahwa ilmu hukum merupakan salah satu

cabang ilmu yang tidak bebas nilai. Ilmu hukum merupakan salah satu

cabang ilmu yang sarat dengan nilai. Sesuai dengan karakteristiknya

yang sarat nilai itu, maka hukum dengan pendekatan normatif,

berupaya menghasilkan sebuah kesimpulan ilmiah, dengan tetap

bertumpu kepada argumentasi rasional, melalui kaidah berpikir

induksi deduksi maupun deduksi induksi. Yaitu menarik suatu

Bab 1 Pendahuluan

28

kesimpulan ilmiah, dari hal-hal yang bersifat khusus ke umum, atau

sebaliknya dari hal umum ke khusus.

Jadi metode ilmiah yang dibangun dalam kerangka analisis hukum

normatif adalah metode rasional argumentatif. Yaitu melakukan

penalaran hukum dengan keharusan bertumpu kepada rasionalitas

berpikir. Namun demikian, apakah yang seharusnya menjadi titik

tumpu berpikir sebagai landasan untuk membangun argumentasi

rasional tersebut? Pada titik ini, masih terjadi perdebatan dikalangan

pengusung hukum normatif. Perdebatan ini kemudian menghasilkan

mazhab-mazhab pemikiran hukum, yang paling menonjol antara lain

mazhab hukum kodrat (hukum alam), mazhab utilitarianisme, mazhab

hukum sosiologis, dan mazhab positivisme.

Hukum normatif, yang sifat kajiannya adalah pemikiran yang

hendak mengintrodusir nilai-nilai, ide-ide, ataupun norma-norma,

maka hukum normatif, selalu menghasilkan kesimpulan tentang apa

yang seharusnya (ought to be), apa yang boleh dan tidak boleh.

Dengan demikian, hukum normatif tidak akan berpretensi membahas

apa faktor-faktor seseorang tidak mau taat kepada hukum. Tetapi yang

menjadi pretensi bahasan hukum normatif, misalnya bahwa setiap

orang akan dikenakan sanksi pidana, apabila terbukti melakukan

tindak pidana.

Mengingat karakteristik hukum normatif yang demikian, maka

memang tepat kalau ilmu hukum seharusnya tidak dimasukkan

kedalam bilangan ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu prilaku. Sebab ilmu

hukum dalam perspektif normatif telah menempatkan objek kajiannya

pada hukum sebagai nilai-nilai yang membahas tentang moral,

keadilan, perintah, dan larangan. Hukum adalah kaidah prilaku

sebagai tuntutan etis, yang harus ditaati oleh warga masyarakat.

Hukum sebagai kaidah prilaku maka analisis kajian ilmu hukum

menurut perspektif hukum normatif tidak akan masuk kepada wilayah

Bab 1 Pendahuluan

29

kajian dengan menggunakan metode pengamatan prilaku masyarakat

terhadap hukum. Prilaku masyarakat terhadap hukum merupakan

sebuah fenomena sosial, yang memang sesungguhnya tidak berkaitan

dengan nilai-nilai etis atau moral yang masuk dalam tataran ide dan

pemikiran. Sebagai contoh untuk memperkuat argumentasi tersebut,

perbincangan tentang nilai-nilai itikad baik dalam pembuatan

perjanjian. Perbincangan tentang itikad baik tersebut merupakan topik

perbincangan yang masuk kedalam wilayah pemikiran dan ide,

sehingga ketika itikad baik dibicarakan bukan dibahas mengapa ada

orang yang tidak beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian, tetapi

yang dibicarakan adalah tentang hakekat dan makna itikad baik.

Begitu pula, ketika yang dibahas adalah mengambil barang milik

orang lain secara tidak sah atau melawan hukum, maka dalam

perspektif hukum normatif yang dibahas adalah yang manakah unsur-

unsur dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan mengambil barang

milik orang lain secara tidak sah atau melawan hukum.

Karena objek kajian hukum normatif adalah hukum dalam tataran

nilai dan etis, maka yang menjadi perdebatan adalah sumber inspirasi

lahirnya nilai-nilai moral dan nilai-nilai etis tersebut. Para pengusung

rasionalisme hukum berbasis logika berpikir bebas manusia, misalnya

mazhab hukum alam, akan memandang bahwa sumber inspirasi nilai-

nilai etis serta apapun yang menjadi turunannya, seperti nilai moral,

nilai keadilan, nilai etika, adalah pada akal budi manusia, sebagaimana

antara lain digagas oleh Hugo de Grotius penganut mazhab hukum

kodrat yang mengedepankan rasionalitas manusia. Akal budi manusia

itu, bisa berasal dari sabda atau titah pemegang otoritas kekuasaan

misalnya sabda raja, atau akal budi yang dimaksud bisa juga berasal

dari hasil kompromi pemikiran dari para elit politik yang berkumpul

di pusat-pusat kekuasaan, seperti di parlemen, yang menghasilkan

produk undang-undang tertulis. Mungkin akal budi yang dimaksud,

Bab 1 Pendahuluan

30

adalah pendapat dari para tokoh masyarakat atau tokoh adat, yang

pendapat tersebut kemudian terkristalisasi menjadi nilai-nilai yang

tumbuh berkembang yang akhirnya menjadi panutan nilai yang dianut

oleh warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut kemudian mewujud

sebagai hukum adat atau hukum kebiasaan yang harus mengikat

prilaku warga masyarakatsecara keseluruhan.

Sedangkan dalam konteks nilai-nilai hukum syariah yang

diintrodusir oleh ajaran Islam, tentu saja berbeda, bahwa nilai-nilai

hukum tidak boleh bersumber dari akal budi manusia semata-mata,

tetapi haruslah bersumber dari kewahyuan, yaitu firman Allah SWT,

dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Sebab dalam

perspektif hukum syariah, nilai-nilai hukum haruslah merupakan

wujud peribadatan seorang muslim kepada Tuhan yang

menciptakannya.

Mencermati objek kajian hukum normatif sebagaimana terpapar

sebelumnya, maka hukum empiris memiliki objek kajian yang tentu

saja berbeda. Hukum empiris, sesuai dengan namanya, memiliki objek

kajian yang menitikberatkan kepada prilaku masyarakat terhadap

hukum. Jadi sebenarnya yang ditelaah hukum empiris adalah prilaku

sosial, berupa sikap, pandangan, persepsi, dan tanggapan warga

masyarakat terhadap hukum. Dalam pembahasan lebih luas, juga

mencakup sikap dan prilaku aparat penegak hukum terhadap tegaknya

hukum, serta prilaku politisi terhadap hukum yang mulai dari proses

keterlibatan mereka dalam pembuatan hukum, termasuk bagaimana

hukum itu diberlakukan.

Dengan demikian, bila kita konsisten dengan objek kajian hukum

empiris, maka dapat dibenarkan hukum empiris merupakan bilangan

ilmu yang masuk dalam kelompok ilmu prilaku atau ilmu sosial.

Sebab sesungguhnya, hukum empiris memang membahas hukum

tidak sebagai nilai tetapi hukum dalam kedudukan sebagai fenomena

Bab 1 Pendahuluan

31

sosial atau gejala-gejala kemasyarakatan. Hukum adalah gejala sosial,

itulah postulat yang menjadi kesimpulan ilmiah para pengusung

hukum empiris. Sebagai gejala sosial, maka hukum diletakkan dalam

tataran apa adanya (bersifat deskriptif), kebenaran yang hendak

dicapai adalah kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran faktual,

pada senyatanya, sesuai dengan realitas yang tampak dalam kehidupan

sosial. Kebenaran korespondensi tidaklah berpretensi menguji nilai

atau kaidah tetapi hanya berpretensi pada sebuah realitas apakah nilai

atau kaidah itu diterima oleh masyarakat sebagai sebuah realitas.

Dari sinilah maka memang tepat kalau metode yang digunakan

oleh hukum empiris adalah metode pengamatan atau observasi.

Karena memang yang diamati adalah prilaku sosial warga masyarakat

pada setiap level terhadap hukum. Hanya memang keliru kalau

metode berpikir yang digunakan oleh hukum empiris, digunakan

sebagai alat analisis untuk memberikan kesimpulan untuk

memberikan penilaian yang bersifat preskriptif tentang nilai, ide

hukum, konsep hukum, dan asas hukum. Karena tataran preskriptif

(apa yang seharusnya), merupakan kesimpulan yang lahir dari hasil

kontemplasi manusia yang tentu saja masuk ke wilayah kajian

pemikiran. Hukum empiris, sesungguhnya hanya berpretensi

memberikan kesimpulan yang bersifat apa adanya (deskriptif).

Contohnya, pembahasan tentang tindak pidana pencurian, hukum

empiris hanya berpretensi menjelaskan faktor-faktor apakah yang

menyebabkan angka pencurian di suatu daerah semakin meningkat.

Contoh lain juga, pembahasan tentang efektif tidaknya pemberlakuan

undang-undang tindak pidana korupsi di Indonesia. Kedua contoh

kajian tersebut, masuk kedalam kajian hukum empiris, karena

kesimpulan yang hendak diambil adalah deskripsi tentang prilaku

pencurian dan keberadaan undang-undang tindak pidana korupsi

dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu metode yang

Bab 1 Pendahuluan

32

digunakan untuk menghasilkan kesimpulan tersebut, adalah

melakukan observasi atau pengamatan terhadap prilaku pelaku

pencurian atau prilaku pejabat negara dalam mengelola keuangan

negara.

Berbeda dengan metode analisis hukum normatif dalam membahas

tentang tindak pidana pencurian atau tindak pidana korupsi dalam

undang-undang korupsi. Hukum normatif dengan pendekatan kajian

pemikiran pada tataran ide atau norma, lebih berpretensi mengkaji

nilai keadilan atau nilai kemanfaatan hukum sesungguhnya yang

termuat dalam produk hukum yang mengatur tindak pidana pencurian

atau tindak pidana korupsi. Sungguh tepat bila dikatakan bahwa para

pengkaji hukum normatif, adalah mereka yang sudah belajar hukum

secara sistematis dan metodis serta mendapat gelar sarjana hukum.

Karena para sarjana hukum (yuris) itulah yang lebih memahami betul

keberadaan hukum sebagai sebuah nilai atau kaidah yang tidak

mungkin dimengerti oleh para sarjana sosial atau sarjana non-hukum

lainnya.

Sehubungan dengan uraian tersebut, yang menjadi pertanyaan

adalah apakah dimungkinkan melakukan titik temu antara hukum

dengan pendekatan normatif dan pendekatan empiris? Jawabannya,

memang sulit untuk melakukan titik temu antara kedua kajian hukum

tersebut, sebab keduanya memiliki titik pijak berbeda dalam

memandang hukum sebagai objek kajiannya. Hukum empiris

memandang hukum sebagai sebuah pranata sosial yang tidak mungkin

dilepaskan dari pengaruh variabel-variabel non-hukum, seperti

psikologi, sosiologi, antropologi, dan sejarah. Sebagaimana kata Peter

Mahmud Marzuki, bahwa para pengkaji hukum empiris tidak melihat

apa isi hukum yang menjadi substansinya, tetapi mencermati hukum

dilihat dari sisi eksternal. Sebaliknya, hukum normatif, memandang

hukum sebagai sebuah norma dan kaidah. Sehingga, hukum normatif

Bab 1 Pendahuluan

33

menilai hukum dari sisi internal hukum itu sendiri, sebab yang

dipersoalkan adalah isi dan substansi sebagai nilai moral atau nilai

etis.

Jadi apapun posisi kita dalam mendudukkan hukum dengan

pendekatan normatif dan pendekatan empiris, tidaklah menjadi soal,

yang terpenting adalah bagaimana secara proporsional kita

mendudukkan wilayah kajian masing-masing pendekatan hukum

tersebut. Misalnya, ketika kita membicangkan tentang proses

pembentukan suatu rancangan undang-undang serta bagaimana

penerapannya yang dikaitkan dengan persepsi masyarakat terhadap

rancangan undang-undang tersebut, termasuk juga faktor-faktor yang

mempengaruhi penegakannya, maka disinilah pendekatan hukum

empiris bekerja. Namun ketika yang dipersoalkan adalah muatan nilai

moral yang terkandung dalam produk undang-undang dimaksud atau

kelayakan nilai keadilan dan persamaan hukum sebagai suatu kaidah

yang seharusnya, pada tataran ini, hukum empiris tidak berpretensi

untuk itu, sebab ini sudah masuk kedalam pretensi kajian hukum

normatif. Menggabungkan keduanya, memang merupakan

kemustahilan, ibarat mencampurkan air dan minyak. Bila ada yang

mengkaji hukum dengan pendekatan normatif maka ia harus konsisten

dengan kenormatifannya. Demikian pula sebaliknya, bila seseorang

mengkaji hukum dengan pendekatan empiris, maka juga harus

konsisten dengan keempirisannya. Bagaimana dengan seseorang yang

misalnya melakukan pengkajian hukum dengan menggunakan dua

pendekatan tersebut, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan

empiris? Jawabannya, boleh saja sepanjang dalam pengkajian itu,

harus dibuat batasan demarkasi yang tajam, yang mana masuk ke

ranah normatif dan mana yang masuk ke ranah empiris. Seyogyanya

juga, pengkaji hukum normatif atau pengkaji hukum dengan

menggabungkan antara hukum normatif dan empiris, adalah berlatar

Bab 1 Pendahuluan

34

belakang ilmu hukum. Sangat ironis, kalau pengkaji hukum normatif

berasal dari latar belakang keilmuan non-hukum, misalnya sarjana

pendidikan, sarjana sosial, dan sarjana ilmu alam. Sebab sarjana non-

hukum tidak dibekali dengan pengetahuan bagaimana membangun

argumentasi hukum berdasarkan kaidah hukum atau dogmatik hukum.

Tujuan Mempelajari Sistem Hukum Indonesia Pada konteks pembahasan buku ini sebagaimana yang sedikit

diulas pada bab prakata, lebih terkonsentrasi kepada pembahasan

nomenklatur sistem hukum Indonesia. Berpijak kepada konsentrasi

pembahasan yang secara spesifik karakteristik sistem hukum

Indonesia, maka secara keseluruhan isi ulasan buku ini, memiliki

beberapa tujuan berkenaan dengan pembahasan terhadap sistem

hukum Indonesia, antara lain: Pertama, untuk mengetahui

pendeskripsian hukum sebagai sebuah realitas sosial (empiris) yang

berlaku secara ajek (mapan) dalam tata kehidupan masyarakat

Indonesia. Tujuan pendeskripsian ini adalah untuk memberikan

gambaran secara utuh tentang eksistensi hukum sebagai nilai-nilai

normatif dengan variabel prilaku sosial masyarakat Indonesia yang

mempengaruhi proses-proses hukum mulai dari pembentukannya

sampai kepada tataran penerapan. Deskripsi hukum dalam tatanan

masyarakat Indonesia ini, memang sejatinya harus ditinjau sebagai

sebuah fakta sosial, sebab kenyataannya nilai-nilai hukum akan

terkonfigurasi sebagai hukum yang dogmatik setelah ada kristalisasi

kehendak dari warga masyarakat Indonesia, baik warga masyarakat

tersebut yang berada pada level elit politik maupun pada level akar

rumput (grass root). Kristalisasi kehendak tersebut, sangat

dipengaruhi oleh keyakinan ideologis yang mempengaruhi corak

berpikir masyarakat Indonesia.

Bab 1 Pendahuluan

35

Kedua, untuk memberikan penegasan pemahaman bahwa hukum

sesungguhnya dalam tata krama kehidupan masyarakat Indonesia,

merupakan produk sosial. Sebab pada kenyataannya hukum Indonesia

juga sangat terkait dengan manifestasi prilaku sosial warga

masyarakat Indonesia sebagai keniscayaan dari masyarakatnya yang

majemuk dan plural. Oleh karena, hukum hadir sebagai prilaku sosial,

maka dalam konteks Indonesia, hukum tergagas untuk kepentingan-

kepentingan baik pada level elit politik maupun pada level masyarakat

akar rumput.

Ketiga, untuk mengetahui karakteristik sistem hukum Indonesia

yang didalamnya lebih didominasi kehendak kehendak kekuasaan

serta yang dalam bentukannya harus mendapat legitimasi kekuasaan.

Artinya, sistem hukum Indonesia dalam satu sisi bisa terwujud dalam

bentuk nilai-nilai hukum yang hidup dan tumbuh berkembang dalam

interaksi sosial masyarakat Indonesia, misalnya yang terwujud dalam

bentuk hukum adat atau hukum kebiasaan, tetapi nilai-nilai hukum

yang berwujud sebagai the living law tersebut, untuk berlaku secara

formal dalam tatanan hukum Indonesia, mesti diakui sebagai sebuah

prilaku yang kontinuitasnya berlangsung secara terus menerus sesuai

perkembangan masyarakat Indonesia dengan tetap berada pada prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang sudah diatur oleh

undang-undang nasional. Ketentuan ini, diatur dalam Pasal 18B Ayat

(2) dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 Amandemen ke-4.

Manfaat Mempelajari Sistem Hukum Indonesia Berpijak dari tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari

sistem hukum Indonesia, maka dalam konteks pembahasan ini,

manfaat yang dihasilkan dalam mempelajari sistem hukum Indonesia,

mencakup: Pertama, secara akademik, pembahasan ini setidaknya

dapat memberikan kontribusi pemikiran ilmiah untuk

Bab 1 Pendahuluan

36

mendeskripsikan hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan

masyarakat Indonesia, tidak dalam konteks normatif saja, tetapi juga

dalam konteks bagaimana hukum itu berlaku sebagai sebuah realitas

sosial.

Kedua, pembahasan ini juga hendak memberikan kontribusi

pemikiran akademik tentang bagaimana hukum yang seharusnya

(preskriptif) bertitik temu dengan hukum yang berlaku secara realitas

(deskriptif) dalam konteks sistem hukum Indonesia. Memang pada

galibnya, hukum dalam tataran preskriptif dengan hukum dalam

tataran deskriptif, merupakan dua kutub yang harus dikaji dalam

perspektif berbeda. Akan tetapi, konteks pembahasan buku ini justeru

memberikan manfaat bagi para pihak yang hendak mencoba

merumuskan titik temu antara hukum yang preskriptif dengan hukum

yang deskriptif dengan mengambil ilustrasi sistem hukum Indonesia.

Ketiga, pembahasan buku ini, secara praktis dapat menjadi salah

satu rujukan bagi siapa saja yang hendak mencari format baru arah

pembangunan hukum Indonesia menuju penegakan hukum yang dapat

menjamin persamaan hukum dan keadilan bagi seluruh warga

masyarakat Indonesia, dengan keharusan tetap mengedepankan

dimensi relijiusitas bukan pragmatisme. Sebab, pembukaan UUD

1945 telah menorehkan kata-kata atas berkat rahmat Tuhan...., dan

Pasal 29 UUD 1945 menetapkan Negara Berdasar Atas Ketuhanan

Yang Maha Esa. Maka tentu saja orientasi pembangunan nasional

Indonesia seharusnya merujuk kepada kedua kaidah hukum tersebut.

Bukan merujuk karena kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang

mengabaikan kemaslahatan rakyat pada umumnya.

BAB 2

KERANGKA PENGERTIAN SISTEM HUKUM

Pengertian Sistem Pada sub-pembahasan ini, penulis hendak memberikan penjelasan

tentang pengertian sistem itu sendiri. Tentunya pengertian sistem yang

terpapar dalam konteks uraian ini, adalah beranjak dari khasanah

pemikiran penulis sendiri yang didasarkan pada beberapa literatur

yang menjadi bacaan penulis.

Istilah sistem, secara terminologis diambil dari Bahasa Inggris

yakni system, kemudian dibakukan dalam Bahasa Indonesia menjadi

kata “sistem”. Dalam Kamus The Merriam-Webster Dictionary, istilah

system diuraikan dengan kata-kata sebagai berikut:

A group of units so combined as to form a whole and to operate in

unison; the body as a functioning whole; also; a group of bodily

organs that together carry on some vital function; a definite

scheme or method of procedure or classification; reguler method

or order.

Bila menilik pengertian sistem yang diadopsi menurut The

Merriam-Webster Dictionary1 maka tampak istilah sistem merupakan

sebuah kata yang merujuk pada pengertian terdapatnya sebuah

keseluruhan kerangka kerja dari kumpulan unit-unit.

Merujuk terminologi sistem yang diadopsi dari The Merriam-

Webster Dictionary, menurut pendapat penulis, sistem dapat

didefinisikan sebagai keseluruhan atau kesatuan yang di dalamnya

terdapat beberapa unsur atau unit yang saling berkaitan dan

berinteraksi satu sama lain yang secara bersama-sama bekerja untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu dimana masing-masing unsur atau

unit memiliki fungsi tertentu, yang setiap unit atau unsur tidak boleh

diabaikan sama sekali, karena mengabaikan salah satu unit atau unsur

dapat melemahkan atau menghancurkan sistem itu sendiri.

Jadi sistem adalah suatu keseluruhan atau kesatuan yang utuh yang

mengintegrasikan unit-unit fungsional dalam kerangka gugus tugas

1 The Merriam-Webster Dictionary. 1973. Published by Pocket Books

New York.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

38

tertentu. Sehingga membahas tentang sistem tentu saja sangat terkait

dengan deskripsi fungsionalisasi kerja beberapa unit yang saling

bersinergi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Untuk mengkonkritkan definisi sistem tersebut, dapat disimpulkan

seperti pada ragaan di bawah ini:

Ragaan 3

Unit-Unit Sistem

Untuk memperkuat pemahaman menyangkut pengertian sistem itu

sendiri, berikut penulis memberikan contoh-contoh sistem antara lain:

TUJUAN

YANG

HENDAK

DICAPAI

Keterangan:

Lingkaran kecil menerangkan unsur atau unit, sedangkan persegi empat

menunjukkan keseluruhan atau kesatuan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

39

tata surya yang terdapat di jagad alam semesta. Tata surya

sesungguhnya dapat disebut sebagai sebuah sistem sehingga layak

untuk dikatakan dengan sebutan sistem tata surya. Sebab, tata surya

itu sendiri mencakup beberapa unsur atau unit pembentuk sistem tata

surya, meliputi bulan, bintang-bintang, matahari, meteor, galaksi, dan

planet. Unsur-unsur pembentuk sistem tata surya tersebut menjalankan

fungsinya masing-masing guna menjaga kestabilan gerak tata surya

sebagai sebuah sistem. Apabila salah satu unsur atau unit pembentuk

sistem tata surya itu tidak menjalankan fungsinya atau misalkan bulan

dan bintang saling bertabrakan, maka dapat dipastikan tata surya

sebagai satu sistem bakal mengalami kehancuran, inilah yang disebut

terjadinya kiamat.

Pencernaan manusia juga merupakan salah satu contoh sistem,

sehingga dapat disebut sebagai sistem pencernaan manusia.

Alasannya, pencernaan sebagai satu sistem di dalamnya terdapat

beberapa unsur pembentuknya yang mencakup usus, lambung,

kerongkongan, kelenjar pankreas, dan anus tempat pembuangan sisa-

sisa makanan yang tidak dapat diserap oleh tubuh manusia. Sehingga

dalam kasus-kasus gangguan pencernaan seperti sakit perut, berarti

telah terjadi gangguan dari salah satu unsur-unsur pencernaan itu

sendiri, misalnya terjadi gangguan lambung.

Masih banyak lagi contoh-contoh sistem, yang barangkali tidak

perlu dijelaskan secara panjang lebar dalam uraian pembahasan ini.

Tetapi sekadar contoh untuk disebutkan satu per satu, antara lain

sistem mekanik mesin motor atau mobil, sistem pernafasan manusia

atau hewan, sistem respirasi yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan,

dan lain-lain.

Sehubungan dengan itu, apabila mengkaji ilmu-ilmu sosial, tentu

saja di dalamnya mencakup berbagai kajian ilmu tentang prilaku

manusia sebagai mahluk sosial, yang dalam kajian prilaku tersebut

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

40

akan sangat dipengaruhi oleh berbagai sistem kehidupan seperti sistem

ekonomi, sistem politik, sistem pergaulan, sistem hukum dan lain-lain.

Adapun penjelasan tentang hukum sebagai sistem nantinya diuraikan

pada pembahasan selanjutnya.

Berdasarkan penjelasan pengertian sistem dalam uraian paragraf

sebelumnya, maka secara teoritis pengertian sistem terbentuk oleh

beberapa unsur yang mencakup:

1. Merupakan satu kesatuan atau keseluruhan yang utuh dan bulat;

2. Terdiri dari beberapa unit atau komponen (unsur) yang tercakup

dalam lingkaran kesatuan atau keseluruhan tersebut;

3. Masing-masing unsur berinteraksi secara sinergis satu sama lain;

4. Untuk mencapai tujuan tertentu;

5. Tidak boleh mengabaikan masing-masing unsur karena dapat

melemahkan sistem.

Sebagai perbandingan dari apa yang penulis kemukakan tentang

pengertian sistem, maka pembahasan berikut, penulis memaparkan

penjelasan sistem yang ditulis oleh beberapa penulis.

Diantaranya penjelasan tentang sistem sebagaimana yang

dikemukakan oleh Dewey2, bahwa sistem merupakan suatu

keseluruhan (a whole) yang keseluruhannya (wholeness) terikat secara

mencolok dengan hubungan-hubungan timbal balik diantara bagian-

bagiannya, yang menurut Achmad Ali juga bahwa hubungan-

hubungan timbal balik di antara bagian-bagian yang terdapat dalam

satu sistem sebagai keseluruhan, yang menurut Talcott Parsons

2 Dewey dalam Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum (Rampai

Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum). Prenada Media Grup,

Jakarta, hlm. 250-251.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

41

sebagaimana dikutip Achmad Ali, hubungan-hubungan tersebut

dinamakan hubungan sibernetik3.

Pandangan Dewey4, yang meletakkan sistem sebagai suatu

keseluruhan, tidak berarti pengertian sistem itu sendiri sama dengan

pengertian agregat, kumpulan, dan inventaris. Begitu pula sistem

menurut Dewey jelas sangat berbeda dengan istilah organisme dan

totalitas. Sebab yang berbeda secara siginifikan dengan pengertian

sistem adalah di dalamnya terdapat bagian-bagian (unsur-unsur) yang

saling berhubungan satu sama lain.

Selain pengertian sistem yang penulis paparkan tersebut, Satjipto

Rahardjo5 juga telah menguraikan pengertian sistem sebagai berikut:

Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri

dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman

yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari

bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu

bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk

mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Apabila suatu

sistem itu ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian itu

maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya

adalah sebagai berikut:

3 Dalam pandangan Talcott Parsons, hukum merupakan bagian dari satu

sistem yang dapat diibaratkan sebagai tubuh manusia, karena hukum dapat

diibaratkan demikian, maka tak pelak hukum menurut Talcott Parsons sangat

dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya yang berimplikasi hukum sangat

ditentukan oleh sistem tersebut ketika diterapkan, yaitu sistem ekonomi dan

sistem politik. Dari pandangan inilah, maka keterkaitan hukum dengan

sistem-sistem lain seperti ekonomi, politik, dan budaya sangat kuat dalam

hubungan yang sifatnya timbal balik. 4 Achmad Ali, ibid., hlm. 250-251.

5 Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm. 48-49.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

42

1. Sistem itu berorientasi kepada tujuan;

2. Keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-

bagiannya (wholism);

3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu

lingkungannya (keterbukaan sistem);

4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu

yang berharga (trasformasi);

5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain

(keterhubungan);

6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme

kontrol).

Pemahaman sistem sebagai metode dikenal melalui cara-cara

pendekatan terhadap suatu masalah yang disebut pendekatan-

pendekatan sistem. Pendekatan ini mengisyaratkan kepada kita

agar menyadari kompleksitas dari masalah yang kita hadapi dengan

cara menghindari pendapat yang terlalu menyederhanakan

persoalan dan dengan demikian menghasilkan pendapat yang

keliru.

Sehubungan dengan pendapat Satjipto Rahardjo tersebut, penulis

sedikit berbeda pandangan, yaitu menyangkut pengertian sistem

dengan metode. Menurut penulis tidaklah sama pengertian “sistem”

dengan “metode”. Begitu pula pengertian “metode” tidak sama

dengan pengertian “cara”. Istilah metode itu sendiri, diadopsi dari kata

Bahasa Inggris yaitu kata method. Dalam Kamus The Merriam-

Webster Dictionary, method menguraikan secara deskriptif dengan

kata-kata a procedure or process for achieving an end.

Istilah “metode” juga bisa diadopsi dari Bahasa Arab yakni diambil

dari kata thariqah. Dengan menggunakan terminologi Bahasa Arab

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

43

kata thariqah sebagaimana dikutip dari Taqiyuddin An-Nabhani6,

bahwa thariqah dalam terminologi politik adalah metode operasional

yang ditempuh oleh suatu negara untuk menerapkan konsep

ideologinya dalam politik luar negeri.

Dengan demikian, metode merupakan sebuah prosedur tetap yang

bersifat baku (permanen) yang ditempuh dalam rangka mencapai

tujuan tertentu atau cita-cita tertentu. Metode merupakan langkah yang

dijalankan dengan sifat-sifatnya yang khas dan unik serta permanen.

Karena sifatnya demikian maka ia tidak akan mengalami perubahan

dalam kondisi bagaimanapun. Metode senantiasa berpijak berdasarkan

dalil-dalil dan pedoman-pedoman tertentu.

Penjelasan yang diungkap tersebut, sekaligus untuk membedakan

dengan istilah “cara”. Istilah cara merupakan istilah yang merujuk

pada pengertian segala langkah yang ditempuh yang sifatnya tidak

tetap serta cenderung berubah. “Cara” senantiasa mengikut pada

karakteristik metode itu sendiri. Artinya, “cara” hakekatnya tidak

memiliki pijakan dalil atau pedoman-pedoman tertentu yang bersifat

baku (permanen). Dengan demikian “cara” bisa bermetamorfosis

dalam berbagai ragam bentuk atau mungkin memiliki wajah yang

cukup variatif.

Pada hakekatnya “Cara” merupakan upaya atau langkah yang

ditempuh untuk menyiapkan atau mengakses secara mudah aktivitas-

aktivitas yang berangkaian dengan metode. Pada dasarnya penegakan

metode sangat membutuhkan “cara” karena “cara” dapat diibaratkan

sebagai jembatan untuk memuluskan perjalanan “metode” guna

mencapai tujuan-tujuan tertentu.

6 An-Nabhani dalam Majalah al-Wai‟e Nomor 34 Terbitan Nomor 34

Tahun III, tanggal 1-30 Juni 2003 dalam tajuk tulisan berjudul Khiththah

Siyasi dan Uslub Siyasi, hlm 52.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

44

Untuk memudahkan pemahaman ini, penulis memberikan

kerangka pemikiran berikut. Katakanlah sistem adalah tujuan yang

hendak dicapai. Namun untuk mewujudkan atau menegakkan sistem

itu sendiri perlu metode tertentu yang harus dijalankan, namun metode

hanya bisa dengan mudah dilaksanakan apabila ditopang oleh cara

yang sifatnya strategis.

Untuk lebih mempermudah lagi pemahaman secara konkrit

berkenaan dengan perbedaan “metode” dengan “sistem”, penulis

mendeskripsikannya melalui ragaan berikut ini:

Ragaan 4

Antara Metode dan Cara

Dari ragaan di atas, sekaligus untuk mendekatkan pemahaman

tentang metode dan cara, berikut penulis hendak memberikan ilustrasi

pada upaya untuk membentuk atau mendirikan sebuah cita-cita yaitu

negara, dimana negara dapat disebut sebagai sebuah sistem.

SISTEM METODE

CARA

CARA

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

45

Negara adalah sebuah sistem sebab format pembentukan negara di

dalamnya harus mencakup beberapa unsur, seperti unsur wilayah,

pemerintahan, rakyat, serta kemampuan untuk menjaga kedaulatannya

dan kemampuan melakukan hubungan politik secara mandiri dengan

negara atau wilayah lain7. Sehingga apabila negara merupakan sistem,

maka metode yang hendak dicapai untuk mendirikan sebuah negara,

tentunya harus menggunakan metode yang sifatnya tetap (permanen).

Maksudnya, langkah-langkah yang ditempuh sebagai kemestian untuk

berdirinya negara, tentu berupa langkah-langkah yang dikemas dalam

bentuk metode yang sifatnya baku dan tidak berubah.

Secara teoritik dan praktis, langkah-langkah metodik yang

diperlukan sebagai prasyarat berdirinya negara, antara lain adalah (1)

Membangun opini masyarakat guna mewujudkan kesadaran politik

kolektif tentang pentingnya pendirian sebuah negara sebagai institusi

untuk mengatur kehidupan bersama; (2) Adanya komitmen bersama

dari para tokoh masyarakat sebagai pemegang kunci untuk

memberikan perlindungan serta dukungan secara politik terhadap

pendirian sebuah negara; dan (3) Terdapatnya wilayah tertentu yang

kelak menjadi titik tolak utama sebagai pijakan bagi berdirinya suatu

negara.

Tiga langkah yang penulis sebutkan sebagai prasyarat utama bagi

berdirinya sebuah negara merupakan metode praktis yang sifatnya

baku dan harus ditempuh dalam rangka berdirinya sebuah negara

sebagai cita-cita. Diabaikannya salah satu unsur yang merupakan

7 Dalam Konvensi Montevideo 1933, disebutkan bahwa terbentuknya

negara harus memiliki beberapa unsur yaitu: (1). Memiliki wilayah; (2).

Memiliki pemerintahan; (3) memiliki rakyat; (4) kemampuan untuk

melakukan hubungan politik secara berdaulat dengan negara-negara lain.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

46

bahagian metode pendirian negara, maka dapat dipastikan

menghasilkan kegagalan berdirinya sebuah negara.

Adapun mengenai “cara” yang berangkai dengan pendirian sebuah

negara, tentu saja berupa langkah-langkah praktis yang sifatnya tidak

tetap serta bisa berubah sesuai dengan kondisi tertentu untuk

mewujudkan metode. Sebagai misal, membangun opini masyarakat

sebagai salah satu metode berdirinya negara. Maka ada berbagai cara

yang bisa digunakan untuk membangun opini masyarakat tersebut,

antara lain dengan menggunakan sarana penyebaran pamflet yang

berisi seruan kepada masyarakat tentang pentingnya mendirikan

negara, ataukah cara lain yang bisa digunakan, antara lain berjumpa

dengan warga masyarakat secara individu per individu melakukan

dialog atau mendiskusikannya secara intens tentang perlunya

mendirikan sebuah negara.

Semua cara yang ditempuh tersebut, tidak lain adalah untuk dan

dalam rangka membangun opini kesadaran masyarakat mengenai

perlunya berdiri sebuah negara. Jadi dengan menggunakan contoh

mendirikan negara, sebetulnya kita sudah bisa membedakan apa yang

disebut “metode” dengan “cara”. Secara konkrit, uraian penjelasan

tersebut, dapat dideskripsikan dalam bentuk ragaan berikut:

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

47

Ragaan 5

Metode dan Cara Mendirikan Negara

NEGARA

SEBAGAI

SISTEM

MEMBANGUN

OPINI

MASYARAKAT

DUKUNGAN

POLITIK

TOKOH

MASYARAKAT

DAN MILITER

SEBAGAI

PEMEGANG

SIMPUL

KEKUASAAN

WILAYAH

SEBAGAI

TITIK

TOLAK

NEGARA

METODE

CARA:

PENYEBARAN

PAMFLET, PIDATO

PROPAGANDA, dll

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

48

Berdasarkan deskripsi ragaan tentang pembentukan negara, maka

metode adalah upaya-upaya praktis sifatnya baku (tetap) yang tidak

akan pernah berubah dalam rangka merealisasikan terwujudnya

sebuah ide (gagasan), sedangkan “cara” merupakan salah satu langkah

yang merupakan bahagian dari upaya memudahkan terlaksananya

metode. “Cara” tidak menentu sifatnya dan dapat berubah setiap saat

tergantung situasi dan kondisi, sehingga dapat dikatakan “cara” tidak

memiliki pijakan pedoman tertentu. Ia sesungguhnya tidak lain

merupakan alat (sarana) saja demi terlaksananya metode yang lebih

baik.

Definisi Hukum

1. Pengambilan Istilah Hukum

Terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia sesungguhnya secara

etimologis berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu yang ح ك م

mendapat imbuhan ا dan ل sehingga menjadi الحكم bentuk masdar dari

يحكم, حكم . Selain itu الحكم merupakan bentuk tunggal dan bentuk

jamaknya adalah األحكام

Dari akar kata tersebut, melahirkan kata الحكمة artinya

kebijaksanaan atau mengetahui yang benar. Maksudnya, orang yang

memahami hukum lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-

harinya dianggap sebagai orang bijaksana. Selain itu, akar kata ح ك م

dapat dapat melahirkan الحكمة artinya kendali atau kekang kuda, yaitu

hukum dapat mengedalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal

yang sebenarnya dilarang oleh agama,

Dari akar kata tersebut Hukum mengandung makna mencegah atau

menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kezaliman,

mencegah penganiayaan dan menolak bentuk kemafsadatan lainnya.

Atau “ menetapkan sesuatu, dan meniadakan sesuatu atas sesuatu”.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

49

Secara ringkas berarti “ketetapan”. Hukum Islam sumbernya dari

Allah disebut “hukmullah”, berarti ketetapan Allah. Dengan demikian

secara istilah yang dimaksud dengan hukmullah adalah hukum syara‟8

Terminologi hukum dalam bahasa Inggris adalah menggunakan

kata legal yang berakar dari kata lex. Juga dalam Bahasa Inggris

terminologi hukum menggunakan kata law yang mempunyai dua

pengertian, pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa

yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan, dan kedua

merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk mencapai ketertiban

masyarakat9.

Menurut Peter Mahmud Marzuki10

, harus bisa dibedakan kata legal

dan kata law yang digunakan dalam Bahasa Inggris. Kata Peter

Mahmud Marzuki, law dalam Bahasa Latin disebut ius, dalam Bahasa

Perancis droit, dalam Bahasa Belanda dan Jerman menggunakan

istilah yang sama yaitu recht, dan dalam Bahasa Indonesia, inilah

yang dikenal dengan kata “hukum”. Sedangkan kata legal dalam

Bahasa Latin disebut lex, Bahasa Perancis loi, Bahasa Belanda wet,

Bahasa Jerman gezetz dan dalam Bahasa Indonesia tepatnya

diterjemahkan dengan kata undang-undang.

Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa kata legal dalam

Bahasa Inggris adalah diadopsi dari kata lagu yang berarti aturan-

aturan yang dibuat oleh raja-raja Anglo-Saxon yang telah

dikodifikasikan. Jadi menurut Peter, kata lagu sesungguhnya berada

8 Uraian ini penulis kutip dari Makalah Hasbullah bertajuk Politik Hukum

dalam Islam Menurut Tinjauan Sejarah dan Fiqh, yang merupakan tugas

mata kuliah Politik Hukum pada Sekolah Pascasarjana Program Magister

Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2011, hlm. 10. 9 Dikutip dari Peter Mahmud Marzuki. 2010. “Penelitian Hukum”.

Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 18 10

Peter Mahmud Marzuki, ibid., hlm. 18

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

50

dalam garis lex bukan ius, sehingga bila diikuti berdasarkan akar

katanya maka legal lebih tepat diartikan sebagai undang-undang. Dari

penjelasan istilah hukum, yang dalam Bahasa Inggris menggunakan

istilah law dan Bahasa Latin ius, maka istilah hukum secara sederhana

dapat diartikan sebagai sekumpulan preskripsi nilai untuk mengatur

perilaku tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.

Lain lagi pendapat Achmad Ali, istilah hukum, menurutnya banyak

ditemukan dalam literatur hukum berbahasa Inggris, seperti law, laws,

a law, the law, dan legal11

. Dan penjelasan terperinci Achmad Ali

tentang beberapa istilah tersebut sesungguhnya merupakan

rekonstruksi paparan yang dikutip dari tulisan L.B. Curzon.

2. Pengertian Hukum

Berdasarkan paparan pengertian hukum secara etimologis tersebut,

maka berikutnya, penulis menyajikan beberapa pengertian hukum,

yang ditulis oleh beberapa penulis hukum:

a) Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam De Legibus, hukum

adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri

manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak

boleh dilakukan.

b) Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam De Jure Belli Pacis (Hukum

Perang dan Damai) bahwa hukum adalah aturan tentang tindakan

moral yang mewajibkan apa yang benar.

c) J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto menulis

bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,

11

Baca juga uraian Achmad Ali. 2009. “Menguak Teori Hukum (Legal

Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)”. Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, hlm. 25-27.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

51

yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan

masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib

d) Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651): hukum adalah perintah-

perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah

dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.

e) Rudolf von Jhering dalam Der Zweck Im Recht (1877-1882):

hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku

dalam suatu negara

f) Plato bahwa hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur

dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.

g) Aristoteles mendefinisikan hukum sebagai kumpulan peraturan

yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

h) E. Utrecht hukum merupakan himpunan petunjuk hidup, perintah

dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat

yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh

karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan

tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.

i) R. Soeroso hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh

yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan

bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang

serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi

hukuman bagi yang melanggarnya.

j) Abdulkadir Muhammad, hukum adalah segala peraturan tertulis

dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap

pelanggarnya.

k) Mochtar Kusumaatmadja menulis pengertian hukum sebagai suatu

perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia

dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi)

dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam

kenyataan.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

52

l) Mayers menjelaskan bahwa hukum adalah semua aturan yang

menyangkut kesusilaan dan ditujukan terhadap tingkah laku

manusia dalam masyarakat serta sebagai pedoman bagi penguasa

Negara dalam melaksanakan tugasnya.

m) Simorangkir mengatakan bahwa hukum adalah peraturan yang

bersifat memaksa dan sebagai pedoman tingkah laku manusia

dalam masyarakat yang dibuat oleh lembaga berwenang serta bagi

sapa saja yang melanggarnya akan mendapat hukuman.

n) Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hukum adalah

sekumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama,

keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam

kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan

suatu sanksi.

o) Achmad Ali menyatakan hukum adalah seperangkat norma tentang

apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui

eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan

tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan

sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan

dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut.

Dari berbagai definisi tentang hukum yang sudah dikutip, penulis

juga memberikan pengertian hukum sebagai berikut, hukum

merupakan seperangkat kaidah atau norma yang berisi perintah

dan larangan, hak serta kewajiban, apa yang boleh dilakukan dan

apa yang tidak boleh dilakukan, yang diberlakukan untuk

menjamin keteraturan pergaulan hidup masyarakat yang saling

berinteraksi dalam satu sistem kehidupan yang berdasarkan pada

satu kerangka ideologi tertentu, yang untuk menjamin

keteraturan tersebut, diperlukan adanya jaminan sanksi

(penjeraan) bagi siapa saja yang dianggap melakukan

pelanggaran terhadap kaidah atau norma-norma itu sendiri.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

53

Dari beragam definisi hukum termasuk definisi hukum yang

dikemukakan oleh penulis sendiri, maka definisi hukum dalam tataran

normatif, setidaknya di dalamnya melekat unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Merupakan seperangkat kaidah atau norma. Hukum pada

galibnya memang berisi rumusan kaidah-kaidah atau norma-

norma, sebab kaidah atau norma itulah yang mendeterminasikan

apa saja unsur-unsur dalam bertingkah laku sebagai sesuatu yang

seharusnya (preskriptif) bagi masing-masing individu dalam

kehidupan bermasyarakat.

b. Berisi unsur perintah dan larangan, hak dan kewajiban, apa yang

boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pada

dasarnya hukum berisi paket aturan bertingkah laku yang

memiliki sifat “hitam” dan “putih”, sesuatu yang sudah dianggap

pakem, yaitu misalnya apa yang menjadi larangan yang tidak

boleh dilakukan oleh masing-masing anggota masyarakat.

Contohnya, dilarang mencuri, berarti mengambil barang dengan

cara melawan hak merupakan sebuah tindakan yang tidak boleh

dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum merupakan

sebuah obligasi.

c. Berdasarkan ideologi tertentu. Hukum sebagai seperangkat

kaidah atau norma tentu memiliki karakter tertentu. Untuk

mengidentifikasi karakter hukum dimaksud, akan sangat mudah

dengan mencermati apa yang menjadi landasan ideologi bagi

tegaknya hukum sebagai suatu kaidah atau norma.

d. Adanya jaminan sanksi. Suatu instrumen hukum apapun bentuk

dan karakternya, maka di dalamnya harus mengandung sanksi

atau yang disebut penjeraan (hukuman). Sanksi inilah yang bisa

memberikan jaminan agar hukum itu sendiri dapat tegak dan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

54

berjalan sesuai apa yang menjadi tujuan yang diharapkan oleh

hukum itu sendiri.

e. Menjamin keteraturan pergaulan hidup damai. Esensi yang

menjadi tujuan hukum12

itu sendiri tidak lain untuk menciptakan

ketertiban serta keteraturan dalam hidup pergaulan masyarakat,

karena memang tujuan alamiah diadakannya hukum tidak lain

adalah untuk menjamin harmonisasi interaksi pergaulan hidup dari

masing-masing anggota masyarakat yang hidup dalam satu sistem.

Definisi hukum yang penulis urai diatas, adalah definisi hukum

yang bisa dicermati dalam perspektif yang normatif yang tentu saja

titik anjak pengamatannya memandang hukum pada sudut yang

bersifat preskriptif dan dogmatik.

Pengertian Hukum dalam Sudut Pandang Sosiologis Hukum dalam sudut pandang sosiologis, tentu saja berbeda dengan

mengamati hukum itu dalam sudut pandang normatif-dogmatik.

Hukum dalam sudut pandang normatif-dogmatik itu sendiri, adalah

memandang hukum dari sisi internalnya yaitu hukum semata-mata

diletakkan dalam bingkai yang bersifat sui generis, yang berarti

hukum dalam konteks demikian ia adalah sebagai norma-norma atau

kaidah yang harus dilihat dari sisi yang sifatnya independen terlepas

dari unsur-unsur pengaruh lainnya.

12

Para penulis hukum, baik yang konservatif maupun yang kontemporer,

secara mendasar telah menulis tujuan hukum dalam perspektif yang berbeda,

antara lain, Professor Peter Mahmud Marzuki, Guru Besar Universitas

Airlangga, menulis tujuan hukum adalah untuk mencapai kehidupan damai

sejahtera, sedangkan menurut Professor Mr. L.J. Van Apeldoorn. 2011.

Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan). Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta,

menulis tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup damai, sebab

menurutnya hukum menghendaki perdamaian.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

55

Hukum dalam perbincangan normatif-dogmatik, adalah

memandang hukum sebagai kajian teoritis murni keilmuan yang

sifatnya terapan (preskriptif), seperti halnya belajar ilmu kedokteran

yang juga meletakkan dirinya sebagai ilmu murni yang sifatnya

terapan untuk bidang medis dan pengobatan.

Tentu berbeda halnya bila menempatkan hukum dalam sudut

pandang sosiologis, pada tataran demikian hukum akan diletakkan

dalam kerangka yang dilihat dari sisi eksternal berbagai aspek dan

faktor-faktor prilaku sosial setiap anggota masyarakat yang

mempengaruhi hukum. Tidak hanya itu, hukum dalam perspektif

ilmu-ilmu sosial, akan selalu menempatkan hukum bukan sebagai

variabel yang sifatnya independen, tetapi malahan hukum ditempatkan

sebagai variabel yang mendapat pengaruh baik secara langsung

maupun tidak langsung oleh variabel sosial lainnya, seperti prilaku

warga masyarakat, sentimen politik, kepentingan ekonomi, budaya

masyarakat, dan lain-lain.

Dengan demikian, hukum dalam perspektif ilmu sosial dapat

dirumuskan sebagai realitas tingkah laku warga masyarakat yang

diatur oleh kaidah atau norma yang ditetapkan oleh pemegang otoritas

tertinggi yang sifatnya dipaksakan. Hukum dalam perspektif

sosiologis tersebut, akan dengan mudah juga dapat dicermati dalam

bentuk realitas prilaku warga masyarakat yang memberikan persepsi

terhadap kaidah-kaidah hukum yang diberlakukan, baik itu dalam

bentuk produk hukum yang diberlakukan oleh penguasa, misalnya

konstitusi, undang-undang tertulis, peraturan pemerintah, peraturan

daerah, maupun dalam bentuk produk hukum tidak tertulis yang

mewujud dalam bentuk hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan yang

berlaku sebagai hukum tidak tertulis di tengah masyarakat.

Begitu pula hukum dalam perspektif sosiologis, akan tampak

dalam realitas prilaku para aparat penegak hukum, seperti polisi,

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

56

jaksa, hakim, dan pengacara ketika mereka masing-masing baik secara

bersama-sama maupun sendiri-sendiri memainkan peranannya dalam

menegakan hukum.

Disinilah yang paling menonjol adalah tatkala hukum itu bekerja

dalam ruang kehidupan sosial dimana keberadaan hukum akan sangat

tergantung pada fenomena prilaku warga masyarakat yang menyikapi

hukum. Pada sudut pandang demikian, hukum tidak lagi dicermati

sebagai kaidah atau aturan bertingkah laku yang bersifat dogmatis

namun ia justeru dicermati sebagai sebuah pranata sosial yang

ditingkahi berdasarkan persepsi setiap warga masyarakat dimana

hukum itu diberlakukan.

Keberadaan hukum dalam ruang kehidupan sosial sebetulnya

sangat tergantung dari persepsi berpikir masyarakat yang menerima

hukum itu sebagai sebuah kaidah aturan yang mengikat. Sedangkan

persepsi berpikir masyarakat juga akan sangat dipengaruhi oleh

konsepsi ideologi yang menjadi fondasi tegaknya kehidupan

masyarakat tersebut. Sebagai contoh, kehidupan masyarakat yang

ditegakkan atas dasar ideologi kapitalisme-sekuler, maka tentu

persepsi berpikir masyarakatnya didominasi oleh cara pandang

kapitalisme-sekuler. Sehingga dalam kondisi kehidupan masyarakat

demikian, tatanan kehidupan hukum yang berlangsung adalah tatanan

kehidupan hukum yang tegak atas dasar ideologi kapitalisme sekuler.

Begitu pula dalam tatanan kehidupan masyarakat yang tegak atas

dasar ideologi sosialisme, maka dapat dipastikan karakter tatanan

hukumnya mencirikan hukum yang sosialis. Kalau misalnya juga,

tatanan kehidupan masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara yang

tegak atas dasar ideologi Islam maka hal yang sama akan diberlakukan

instrumen hukum yang berkarakter Syariat Islam.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

57

Untuk penjelasan lebih detail tentang pengaruh ideologi terhadap

hukum yang berlaku dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, maka

penulis akan menempatkannya dalam pembahasan tersendiri buku ini.

Namun demikian, yang perlu dipahami berkenaan keberadaan

hukum dalam ruang kehidupan sosial, yaitu bahwa hukum merupakan

salah satu pranata sosial yang berdiri dalam kerangka untuk

melakukan harmonisasi berbagai prilaku setiap individu yang saling

berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan masyarakat sebagai

sebuah sistem sosial yang tegak atas dasar ideologi tertentu.

Sehubungan dengan itu, maka keberadaan hukum dalam perspektif

ilmu sosial, selalu meniscayakan keterkaitan hukum dengan

masyarakat, dengan berpijak pada suatu argumentasi bahwa tiada

masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat. Hukum

diadakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Sehingga terjalin

hubungan integralistik bersifat timbal balik antara hukum dengan

masyarakat demikian sebaliknya masyarakat dengan hukum.

Lili Rasyidi13

ketika menggambarkan hubungan antara hukum

dengn masyarakat, ia mulai berpijak dari anggapan menempatkan

hakikat masyarakat hukum yang di dalamnya terdiri dari sekumpulan

individu, yang setiap individu memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Kepentingan itu ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Kedua

jenis kepentingan tersebut, dapat menjadi pemicu terjadinya sengketa.

Sengketa antar individu dapat timbul dari kepentingan yang sama

terhadap sumber pemenuhan kebutuhan yang terbatas. Untuk

mengatur kepentingan itu dan untuk menghindari sengketa, maka

manusia menciptakan aturan yang mereka bentuk sendiri, dan mereka

berlakukan dalam interaksi pergaulan sosialnya.

13

Lili Rasyidi. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem. Mandar Maju,

Bandung, hlm. 147.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

58

Deskripsi tentang hubungan hukum dengan masyarakat yang

diuraikan oleh Lili Rasyidi tersebut sebetulnya merupakan gambaran

masyarakat yang saling berinteraksi dengan tujuan pragmatis dan

serba permisif (serba boleh). Masyarakat pragmatis adalah ciri

masyarakat yang berinteraksi untuk mencapai kebahagiaan

materialistik bersifat jasadiyah. Masyarakat demikian, dengan

meminjam pendapat Jeremy Bentham, adalah masyarakat yang

memiliki keinginan untuk hidup memperoleh kesenangan yang

sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan yang dialaminya.

Jeremy Bentham percaya bahwa masyarakat sesungguhnya

berkeinginan hidup untuk meningkatkan kebahagiaan serta

memperbesar kesenangannya. Berpijak dari pandangan inilah maka

Jeremy Bentham, menganjurkan sebuah konsep hukum sebagai alat

untuk mencapai kebahagiaan dengan apa yang disebutnya dengan

utilitarianisme14

. Utility menurut Jeremy Bentham adalah prinsip-

prinsip yang menyetujui setiap hal yang memberikan kesenangan atau

menolak setiap tindakan apapun yang dapat membawa kepada

kesengsaraan atau penderitaan jasmani.

Dengan demikian prinsip utilitarianisme apabila dikaitkan dengan

tipologi masyarakat pragmatis maka akan terlihat sebuah kumpulan

14

Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana

Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 119. Menurut Peter, meskipun Jeremy

Bentham dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan ajaran utilitarianisme.

Tetapi akar dari ajaran ini sebenarnya terlihat dari tulisan David Hume (1711-

1776). Penekanan ajaran utilitarianisme sebagaimana yang dikembangkan

oleh Bentham, bahwa alam telah menempatkan manusia di bawah perintah

dua tuan yang berkuasa yaitu kesengsaraan dan kesenangan. Kedua hal itulah

yang membimbing manusia mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa

yang harus dihindari. Sesuatu yang baik atau jahat dari suatu tindakan harus

diukur dari kuantitas kesukaan atau sengsara yang ditimbulkan oleh

perbuatan tersebut.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

59

individu yang berkumpul bersama melakukan kesepakatan untuk

membuat hukum yang dapat dijadikan sebagai pranata untuk mengikat

interaksi pergaulan sosial masing-masing individu, sesuai dengan

keinginan bersama.

Namun tentu saja, keinginan bersama masyarakat tersebut, tidak

selamanya mencerminkan keinginan kolektivitas mayoritas individu.

Keinginan bersama tersebut, pada umum selalu tergantung kepada

para elit politik yang duduk di sentra-sentra kekuasaan ataupun tokoh

sentral yang memegang kunci kekuasaan.

Pengertian Sistem Hukum yang Digunakan Setelah dijelaskan pengertian sistem dan pengertian hukum pada

paragraf sebelumnya, maka pembahasan sub-bab ini dikonsentrasikan

kepada segi-segi pengertian Sistem Hukum itu sendiri.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud sistem adalah

suatu keseluruhan atau kesatuan bulat yang utuh yang

mengintegrasikan unit-unit fungsional dalam kerangka gugus tugas

tertentu, sedangkan pengertian hukum adalah seperangkat kaidah atau

aturan yang diberlakukan di tengah kehidupan masyarakat sebagai

satu sistem.

Berdasarkan padanan dua istilah tersebut, apabila digabungkan

menjadi satu istilah tertentu yaitu istilah sistem hukum, maka menurut

penulis bahwa sistem hukum dapat dirumuskan sebagai kesatuan unit

yang menjadi pembentuk unsur-unsur kaidah atau norma yang

terkristalisasi dalam satu produk aturan hukum untuk dapat

diberlakukan pada sebuah sistem kehidupan masyarakat yang

bersifat khas dan unik dengan berbasis ideologi tertentu.

Jadi hukum pada esensinya merupakan satu sistem tertentu

sebagaimana halnya pranata ekonomi atau politik yang dapat

dipandang sebagai satu sistem yaitu yang disebut sistem ekonomi dan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

60

sistem politik. Argumentasi untuk menunjukkan pranata hukum

sebagai satu sistem, adalah beranjak kepada titik pandang pemikiran

bahwa hukum bukan hanya seperangkat aturan tetapi lebih dari itu ia

juga merupakan sekumpulan nilai yang didalamnya mengandung daya

paksa yang sifatnya mengikat semua tingkah laku warga masyarakat

dalam hidup berinteraksi satu sama lain.

Sebagai sekumpulan nilai yang memiliki daya paksa maka pranata

hukum secara integral memadukan keterlibatan berbagai lembaga atau

institusi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi

menerapkan hukum tersebut ke dalam kehidupan masyarakat.

Lembaga atau institusi yang dimaksud dalam praktek kehidupan sosial

yang bisa dilihat, seperti kejaksaan, lembaga peradilan, institusi

kepolisian, lembaga-lembaga adat, dan lain-lain.

Dalam konteks mendudukkan pengertian sistem hukum dalam

tataran empiris, maka tentu saja pencermatannya adalah dengan

mendudukkan hukum itu sendiri tidak dalam kerangka yang semata

bersifat dogmatik-normatif tetapi juga kepada seputar berbagai aspek

non-hukum yang mempengaruhi karakteristik hukum itu baik dari segi

prosesnya, pemberlakuannya, termasuk upaya-upaya penegakannya.

Aspek non-hukum yang mempengaruhi sistem hukum tersebut,

sebagaimana yang bisa terlihat antara lain prilaku masyarakat, prilaku

politik, orientasi politik para elit terhadap keberlakuan hukum,

termasuk juga kepentingan ekonomi dari kelompok-kelompok

tertentu.

Sebagai perbandingan penjelasan berikut, penulis mengetengahkan

uraian Satjipto Rahardjo15

yang memperkuat argumentasi keberadaan

hukum sebagai sebuah sistem yang mendapat pengaruh dari aspek-

aspek non-hukum:

15

Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm. 50-52.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

61

Beberapa alasan untuk mempertangggungjawabkan, bahwa hukum

itu merupakan satu sistem adalah sebagai berikut. Pertama, suatu

sistem hukum itu bisa disebut demikian karena ia bukan sekedar

merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang

mempersatukannya sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian

itu adalah masalah keabsahannya. Peraturan-peraturan itu diterima

sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber atau sumber-sumber

yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi dan kebiasaan.

Sumber-sumber yang demikian itu dengan sendirinya melibatkan

kelembagaan seperti pengadilan dan pembuat undang-undang.

Ikatan sistem itu tercipta pula melalui praktek penerapan peraturan-

peraturan hukum itu. Praktek ini menjamin terciptanya susunan

kesatuan dari peraturan-peraturan tersebut dalam dimensi waktu.

Sarana-sarana yang dipakai untuk menjalankan praktek itu, seperti

penafsiran atau pola-pola penafsiran yang seragam menyebabkan

terciptanya ikatan sistem tersebut.

Selanjutnya Satjipto Rahardjo16

, mengutip pendapat Fuller tentang

penjelasan hukum sebagai sistem, sebagai berikut:

Untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara

mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut

diletakkannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of

legality, yaitu:

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.

Yang dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh

mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad

hoc.

16

Satjipto Rahardjo, Ibid.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

62

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus

diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena

apabila yang demikian itu tidak ditolak maka peraturan itu

tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku.

Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti

merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku

bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang

bisa dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan

yang bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan

yang melebihi apa yang dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah

peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan

kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan

dengan pelaksanaaannya sehari-hari.

Menurut Satjipto Rahardjo bahwa apa yang diajukan Fuller

tentang delapan asas yang menjadi atribut dari sistem hukum

sebetulnya merupakan suatu persyaratan bagi adanya suatu sistem

hukum. Namun demikian, penulis menambahkan bahwa keberadaan

delapan asas tersebut sejatinya masih merupakan sebuah konsepsi

logis yang melekat sebagai atribut dalam sistem hukum pada

umumnya. Artinya, menurut penulis, delapan asas dimaksud bukanlah

merupakan parameter untuk menunjukkan baik atau buruknya sistem

hukum itu sendiri, sebab menurut penulis baik dan buruknya sebuah

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

63

sistem termasuk antara lain sistem hukum adalah tergantung ideologi

yang menjadi penyangga sistem tersebut.

Jadi sistem hukum dalam konteks studi empiris, tentu saja

mencermati hukum sebagai sebuah pranata yang hadir dalam realitas

kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan

melalui beberapa faktor non hukum yang memengaruhinya. Terutama

terlihat pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kemapanan

sistem hukum itu sendiri.

Hal itulah yang tampaknya seringkali dijelaskan oleh kalangan

ilmuwan sosial tertentu, yang ketika mendudukkan hukum sejatinya

bukanlah sekedar “menara gading” yang tidak terpengaruh oleh

variabel-variabel sosial lainnya seperti kepentingan ekonomi dan

kekuasaan. Artinya, bagi kalangan ilmuwan sosial, pranata hukum tak

ubahnya merupakan sebuah instrumen yang harus ada dalam kerangka

eksistensi masyarakat yang tugas hukum itu sendiri adalah untuk

mengikat interaksi kehidupan manusia satu sama lain agar terjadi

harmonisasi dalam masyarakat. Sehingga tatkala hukum itu berlaku, ia

senantiasa tidak bisa berlepas diri dari berbagai variabel yang ikut

mempengaruhinya. Variabel-variabel yang penulis maksudkan

tentunya adalah terkait erat dengan faktor-faktor eksternal yang

mempengaruhi hukum, sebagaimana yang sudah diutarakan pada

paragraf sebelumnya, yaitu faktor ekonomi, faktor politik, faktor

sosial dan prilaku masyarakat.

Adapun dalam pandangan Meuwissen17

, hukum sebagai sistem,

dapat dikonstruksikan melalui pelbagai norma atau kaidah hukum

yang dipikirkan dalam suatu hubungan logis-konsisten menjadi satu

kesatuan tertentu. Pandangan Meuwissen ini tampaknya

17

Titon Slamet Kurnia. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia.

Alumni, Bandung, hlm. 11.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

64

mendudukkan hukum sebagai satu sistem dalam kerangka yang

normatif-dogmatik. Konteks pandangan Meuwissen, sebenarnya

hendak mendudukkan hukum sebagai cabang ilmu yang bersifat sui

generis, yaitu hukum memiliki karakteristik tersendiri yang tidak

dapat dibandingkan dengan bentuk ilmu lain manapun, sebab hukum

sebagai ilmu pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri18

.

Kendati Meuwissen, dalam tulisannya telah mendudukkan hukum

pada konteks normatif-dogmatik, mengingat karakteristik ilmu hukum

itu sendiri yang bersifat sui generis. Akan tetapi, Meuwessin

menyadari keberadaan hukum yang secara praktis, masih tersentuh

oleh dinamika sosial dimana hukum tersebut diberlakukan. Sentuhan

empiris terhadap hukum dogmatik, kata Meuwissen, adalah tampak

ketika gejala-gejala hukum yang ada, dipandang sebagai gejala-gejala

empirik yang murni. Dari sinilah kemudian, hukum empiris

membedakan secara tajam antara fakta dan norma, antara keputusan

yang bersifat memaparkan (deskriptif) dan yang bersifat normatif

(preskriptif). Sebab menurut Meuwissen, fakta-fakta hukum

merupakan fakta-fakta kemasyarakatan yang dapat diamati secara

inderawi (baca secara empiris).

Dari paparan Meuwissen tentang hukum, maka hukum sebagai

sistem dapat ditempatkan dalam kerangka yang tepatnya sebagai apa

yang disebut oleh August Comte dan John Austin merupakan hukum

yang positivistik. Kerangka hukum sebagai sistem dalam perspektif

postivisme, adalah tatkala hukum itu berupa fakta yang dapat

diwujudkan melalui prilaku politik penguasa dengan dukungan semua

infra-struktur politik yang dimilikinya, baik dalam bentuk dukungan

18

Arief Sidharta. 2009. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu

Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. PT. Refika Aditama, Bandung,

hlm.55.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

65

kelompok elitis di sekitar sentra-sentra kekuasaan, basis massa yang

kuat, dan sokongan kekuatan milter yang cukup efektif. Hukum yang

demikian, seperti kata John Austin, adalah representasi perintah

kekuasaan yang berdaulat.

Klaim positivisme terhadap hukum dengan mengutip pendapat De

Wild19

, merupakan bentuk prilaku individu yang dapat diamati.

Prilaku individu yang dimaksudkan, tentu saja adalah prilaku

penguasa atau orang-orang di sekitar kekuasaan dalam

memberlakukan hukum sebagai sebuah perintah yang harus ditaati

oleh warga masyarakatnya. Penjelasan positivisme mengenai

keberadaan hukum sebagai sebuah realitas sosial, tentu tidak dapat

disamakan dengan hukum dalam perspektif normatif dogmatik. Sebab

hukum dalam perspektif dogmatik mengkaji hukum dalam posisi

postulat nilai, prinsip, atau asas sebagai aksioma dalam bertindak dan

berperilaku sebagai sesuatu yang bersifat obligasi atau seharusnya

(preskriptif), sedangkan positivisme, cocoknya mempelajari prilaku

kekuasaan terhadap hukum sebagai suatu realitas sosial.

Sehubungan dengan itu, konteks pengertian sistem hukum yang

digunakan dalam pembahasan ini, yaitu menempatkan hukum sebagai

bagian dari bangunan sosial kemasyarakatan, dengan titik pandang

bahwa sistem hukum dalam perspektif empiris (ilmu sosial), tidaklah

berpretensi untuk untuk memberikan penilaian, ia bersifat deskriptif

yang menggambarkan hukum sebagai prilaku sosial yang bersifat apa

adanya. Peter Mahmud Marzuki20

, menjelaskan secara rinci tentang

karakteristik hukum empiris, yang memisahkan antara fakta dan

19

Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi).

Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 38. 20

Ibid.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

66

norma, antara pernyataan bersifat deskriptif dan preskriptif, sebagai

berikut:

Ilmu hukum empiris, memisahka secara tajam antara fakta dan

norma, antara pernyataan yang bersifat deskriptif dan normatif.

Gejala hukum dipandang sebagai gejala empiris yang murni

faktual. Hal itu merupakan fakta sosial yang dapat diamati. Gejala-

gejala ini harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode

empiris dengan meminjam pola yang standar. Melalui cara tersebut

hukum dideskripsikan, dianalisis, dan diterangkan. Ilmu hukum

empiris dengan demikian melakukan telaah yang bersifat deskriptif

terhadap gejala-gejala hukum, yang sebagian sebenarnya

merupakan pernyataan preskriptif. Penelitian yang bersifat empiris

faktual tentang isi hukum dan perilaku masyarakat yang berkaitan

dengan hukum menduduki posisi utama. Dengan demikian, ilmu

hukum empiris bersifat bebas nilai dan netral”.

Berpijak dari pendapat Peter Mahmud Marzuki tersebut,

pandangan positivisme hukum, mendudukkan hukum dalam tataran

empiris. Sebab, kaum positivis, selalu memandang hukum sebagai

suatu fakta yang dapat ditentukan. Sehingga apabila mempelajarinya

secara mendalam, haruslah melepaskan diri dari penilaian atau

penormaan. Hukum empiris yang memang sejatinya tidak berpretensi

memberikan apresiasi nilai terhadap hukum, akan tetap konsisten

memberikan gambaran hukum yang berlaku dalam suatu sistem sosial

sebagai yang apa adanya. Keberadaan hukum sebagai sesuatu yang

apa adanya, menurut perspektif empiris, sekaligus juga hendak

menjelaskan kenyataan hukum masyarakat yang sudah dapat

dipastikan mendapat pengaruh ideologi tertentu yang mengkooptasi

cara berpikir masyarakat dimana hukum itu diterapkan.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

67

Unsur-Unsur Yang Mempengaruhi Sistem Hukum Hukum sebagai suatu sistem dalam perspektif ilmu sosial

(empiris), tentu harus dipandang bahwa hukum merupakan sebuah

pranata nilai (norma) yang diberlakukan di tengah masyarakat guna

mengatur prilaku sosial warga masyarakatnya baik sebagai individu

maupun sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Konteks sistem

hukum dalam perspektif empiris, tentu keberadaannya sangat

dipengaruhi oleh beberapa unsur, sehingga menjadikan nomenklatur

hukum memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem lainnya,

seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem budaya, dan sistem

pemerintahan. Meskipun sebenarnya, semua sistem yang disebutkan

itu, tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang akan menjadi

bangunan aturan bagi dijalankannya sistem-sistem tersebut. Misalnya,

sistem ekonomi. Ia adalah sebuah sistem yang mendeskripsikan

kerangka hubungan transaksional yang berkaitan dengan kegiatan

mengatur urusan harta kekayaan, baik menyangkut kegiatan

memperbanyak jumlah kekayaan serta menjamin pengadaannya.

Sistem ekonomi, juga akan membahas tentang cara-cara pemenuhan

kebutuhan manusia, baik yang bersifat primer (kebutuhan dasar)

maupun bersifat sekunder (kebutuhan pelengkap)21

.

Sistem ekonomi hanya dapat berjalan secara ajeg, apabila dilandasi

oleh sebuah sistem aturan hukum yang baku. Aturan hukum inilah

yang menjamin keberlangsungan sistem ekonomi dalam tataran

praktis di tengah kehidupan masyarakat. Karena bagaimana mungkin,

sebuah transaksi ekonomi, misalnya jual beli dapat berlangsung, kalau

tata krama jual beli tersebut tidak diregulasi oleh pemerintah secara

permanen. Produk aturan hukum tentang tata krama jual beli dalam

21

Taqiyuddin An Nabhani. 2010. Sistem Ekonomi Islam (terjemahan

Hafidz Abdurrahman), HTI Press, Jakarta Selatan, hlm. 63.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

68

konteks masyarakat negara, sejatinya untuk menjamin kondusivitas

aktifitas jual beli itu sendiri. Begitu pula dengan keberlangsungan

sistem-sistem lain, akan sangat membutuhkan produk aturan hukum

sebagai instrumen penting yang menjamin keteraturan sistem-sistem

tersebut.

Perbincangan tentang hukum sebagai sistem, tentu tidak akan

lengkap bila tidak disertai dengan diskusi tentang unsur-unsur apa saja

yang mempengaruhi bangunan sebuah sistem hukum. Sebab

bagaimanapun juga, nomenklatur sistem hukum pada masing-masing

negara pasti berbeda, sangat tergantung dari unsur-unsur yang

mempengaruhi sistem hukum negara tersebut. Misalnya, nomenklatur

sistem hukum Indonesia pasti berbeda dengan nomenklatur sistem

hukum yang terdapat pada beberapa negara lainnya. Artinya, sistem

hukum Indonesia tidak akan sama dengan sistem hukum yang berlaku

di negara-negara barat, Amerika Serikat misalnya.

Perbedaan nomenklatur sistem hukum masing-masing negara,

sejatinya memang bisa tampak, apabila analisis cara pandang dengan

menggunakan pendekatan empiris. Ada perbedaan prilaku sosial

masyarakat barat dalam menempatkan hukum sebagai bagian integral

dalam mengatur prilaku kehidupan sehari-hari mereka, dengan

masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim

dengan kekentalan budaya relijius.

Sistem hukum yang apapun model dan nomenklaturnya, sangat

dipengaruhi oleh beberapa unsur, yang penulis dapat perincikan

sebagai berikut:

1. Ideologi Hukum

Ideologi secara etimologis berasal dari kata idea yang berarti

“gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita” dan logos yang berarti

“ilmu”. Kata idea diambil dari kata bahasa Yunani yaitu eidos yang

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

69

berarti bentuk. Selain itu dari kata idein yang artinya melihat. Maka

secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar.

Menurut Destut de Tracy, seorang pemikir barat akhir abad ke-18,

bahwa ideologi sesungguhnya dapat dipandang sebagai visi yang

komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, yang di

dalamnya merupakan kumpulan idea atau gagasan yang bersifat khas

atau unik. Dari konsepsi inilah, maka Destut de Tracy menyimpulkan

ideologi sebagai studi terhadap ide-ide pemikiran tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah

kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian)

yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup manusia.

Sebagai perbandingan, pada bahagian berikut, penulis mengemukakan

beberapa definisi ideologi yang dikemukakan oleh beberapa filosof

barat:

Descartes:

Ideologi adalah studi terhadap ide-ide/pemikiran tertentu

Machiavelli:

Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh

penguasa

Thomas Hobbes:

Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan

pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya

Francis Bacon:

Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep

hidup

Karl Marx:

Ideologi adalah alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan

bersama dalam masyarakat.

Napoleon:

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

70

Ideologi adalah keseluruhan pemikiran politik dari rival-rivalnya.

Wikipedia Indonesia:

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqliyyah (akidah

yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-

aturan dalam kehidupan.

Bila menilik dalam khasanah pemikiran Islam, terminologi

ideologi, disebut dengan mabda’, yang secara etimologis adalah

mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang

berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar

yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran cabang. Dari istilah

mabda’ untuk ideologi tersebut, maka beberapa definisi ideologi yang

dikemukakan oleh beberapa pemikir Islam terpapar berikut ini:

Muhammad Ismail:

Ideologi (mabda’) adalah al-Fikru al asasi al ladzi hubna

qablahu fikrun akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali

tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran-pemikiran

yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi

jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa, dan mau

kemana alam, manusia, dan kehidupan ini yang dihubungkan

dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan

setelahnya22

.

Hafidh Saleh:

Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide

berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah) yang meliputi

akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia.

Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi

22

Muhammad Ismail. 2011. Fikrul Islam (Bunga Rampai Pemikiran

Islam). Al-Azhar Press, Bogor, hlm. 18.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

71

metode untuk meangaktualisasikan ide dan solusi tersebut,

metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya

keseluruh dunia23

.

Taqyuddin An-Nabhani:

Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyyah yang melahirkan

peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang

menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan,

serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan,

disamping hubungannya dengan zat yang ada sebelum dan

seseudah alam kehidupan di dunia ini. Atau mabda’ adalah

suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta,

manusia dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu fikrah dan

thariqah24

.

Berdasarkan rumusan pemikiran tentang ideologi yang telah

dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ideologi

berdasarkan terminologi politik merupakan sistem ide yang

menyangkut filsafat, ekonomi, politik, kepercayaan sosial dan ide-ide.

Atau ideologi juga merupakan pemikiran yang mendasar, yang tidak

dibangun berdasarkan pemikiran lain (ushûl bukan furû„) atau

merupakan akidah rasional yang mampu melahirkan sistem peraturan

kehidupan.

Penjelasan tentang ideologi pada paparan sebelumnya, sekaligus

untuk memberikan argumentasi bahwa antara hukum dan ideologi

merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diibaratkan

23

Hafidh Shalih. 2003. Falsafah Kebangkitan (Dari Ide Hingga Metode).

Terjemahan Oleh Yayat Rohiyatna dari kitab berjudul An-Nahdhah. CV Idea

Pustaka Utama, Bogor, hlm. 77-78 24

Arief B Iskandar. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Al-Azhar Press, Bogor,

hlm. 9

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

72

sebagai dua sisi mata uang, yang keduanya berkelindan saling

mempengaruhi satu dengan yang lain. Sehingga dari kedua komponen

tersebut, antara hukum dan ideologi bisa saling melebur pada titik

singgung yang sama. Untuk itulah, penulis menggunakan istilah

ideologi hukum, sesuai konteks pembahasan bab ini.

Jadi pembahasan hukum juga akan selalu berkaitan dengan

ideologi yang menjadi paradigma dasar tegaknya hukum itu sendiri.

Demikian pula sebaliknya, pembahasan ideologi selalu terkait dengan

aturan hukum yang mana perbincangan tentang hukum selalu

merupakan instrumen yuridis untuk mengejawentahkan penerapan

hukum dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, sangat cocok

menurut pendapat penulis untuk menggunakan istilah ideologi hukum

guna mendeskripsikan pengaruhnya terhadap nomenklatur sistem

hukum sutu negara.

Kuatnya pengaruh ideologi hukum terhadap suatu produk hukum

juga disinggung oleh C.K.L. Bello25

dalam tulisannya bahwa hukum

merupakan situs pertarungan ideologi. Ideologi yang dominan pada

akhirnya akan masuk kedalam hukum dan pada akhirnya hukum itu

sendiri akan semakin memperkuat kekuatan ideologi di tengah

masyarakat. Sehingga, peranan hukum dapat memperkuat ideologi

yang berlaku di masyarakat tertentu. Bello menambahkan bahwa Dari

sini terlihat bahwa hukum dan ideologi memiliki hubungan timbal

balik. Hukum bukan hanya ideologi yang disokong oleh kekuatan

sosial yang terlembaga. Melainkan juga kekuatan sosial yang

terlembaga yang diartikulasikan dalam dan diperkuat oleh ideologi.

Dengan kata lain, ideologi menentukan produk hukum dan produk

hukum akan mengokohkan ideologi yang berlaku… Uraian mengenai

25

Lihat C.K.L. Bello. 2013. Ideologi Hukum (Refleksi Filsafat atas

Ideologi Di Balik Hukum), Insan Merdeka, Bogor, hlm. 33.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

73

hubungan hukum dan ideologi di atas mengantarkan kita pada suatu

kesimpulan bahwa hukum itu ideologis. Artinya, hukum selalu

memuat ideologi-ideologi dari kelompok dimana hukum itu

dipraktikkan atau dibuat.

Pada konteks pembahasan sistem hukum, mencakup unsur-unsur

yang mempengaruhinya, maka ideologi hukum merupakan salah satu

unsur terpenting bahkan sangat utama dalam memberikan pengaruh

karakteristik nomenklatur sistem hukum tertentu. Sebab sistem

hukum, bukanlah ruang hampa yang bebas nilai. Realitas sosial

menunjukkan bahwa karakteristik sebuah sistem hukum dapat dibaca

melalui ideologi hukum yang mempengaruhinya.

Sistem hukum di negara-negara yang menganut sistem Anglo

Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggeris, serta di negara-negara

yang menganut sistem Eropa Kontinental, seperti Belanda dan

Portugis, senantiasa dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Berbeda

dengan negara-negara sosialis dahulu seperti Uni Soviet sebelum

runtuh tahun 1991, sistem hukum negara tersebut sudah pasti

dipengaruhi oleh ideologi sosialis. Juga berbeda dengan negara-negara

muslim yang menata kehidupan masyarakatnya dengan sistem hukum

Islam, maka sudah tentu sistem hukum negara tersebut dipengaruhi

oleh ideologi hukum berbasis Islam.

Pada galibnya ideologi hukum merupakan sebuah pemikiran

terwujud dalam bentuk kesadaran masyarakat yang terkonfigurasi

melalui kesadaran berpikir mereka bagaimana seharusnya bertindak

dan berbuat. Sehingga ideologi hukum bukanlah merupakan sebuah

doktrin hukum. Karena doktrin hukum itu sendiri merupakan wujud

konkrit norma tentang kesadaran bertingkah laku sosial. Perbedaan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

74

mendasar antara ideologi hukum dan doktrin hukum, diuraikan oleh

Roger Cotterrell26

, berikut ini:

Legal ideology ca be thought of, then, not as legal doctrine itself

but as the forms of social consciousness reflected in and expressed

through legal doctrine. The task of an anlysis of legal ideology is

to explain its ature, sourcess and effects in particular society

Apa yang dijelaskan Roger Cotterell, ia hendak memberikan

pemahaman bahwa ideologi hukum masuk ke ranah kesadaran

berpikir secara sosial sedangkan doktrin hukum, merupakan rumusan

dari penjelasan konkrit norma-norma hukum untuk diterapkan dalam

kehidupan sosial masyarakat. Bila ideologi hukum merupakan sebuah

konsep yang bersifat umum dan abstrak maka doktrin hukum

merupakan konsep yang bersifat khusus serta merupakan turunan

penjelasan dari apa yang dikehendaki oleh ideologi hukum.

Namun demikian, yang perlu dibahas dalam konteks pengaruh

ideologi terhadap hukum, yang manakah ideologi sahih dapat

menjamin keberlangsungan kehidupan umat manusia dalam tataran

yang dapat menjamin keadilan dan persamaan hukum? Menjawab

pertanyaan ini memang tidak mudah, apalagi tinjauannya adalah

perspektif ideologi yang setiap orang secara subjektif tidak sama.

Namun yang jelas, menurut penulis takaran ideologi yang hendak

dijadikan sebagai timbangan untuk itu, mestinya sebuah ideologi yang

dapat memuaskan rasionalitas berpikir manusia dan sesuai dengan

fitrah setiap orang.

26

Roger Cotterell. 1984. Sociology of Law: An Introduction.

Butterworths, London, p. 120.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

75

2. Politik Hukum

Pada faktanya, politik dan hukum adalah dua unsur yang tidak bisa

dipisahkan satu sama lain. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya saling

memberikan pengaruh cukup signifikan. Politik dalam determinasi

yang pragmatis, tidak lain merupakan sebuah kebijakan strategis yang

hendak dijalankan oleh para elit politik yang duduk di sentra-sentra

kekuasaan. Sedangkan hukum merupakan instrumen yang dilahirkan

dalam kerangka melegitimasikan kebijakan strategis yang hendak

dimanifestasikan kelompok elit politik yang duduk di sentra-sentra

kekuasaan.

Pengertian politik hukum menurut pendapat penulis, dengan

berdasarkan kepada pendekatan teoritis secara umum, adalah

kebijakan pada level kekuasaan (politik) dalam kerangka

pelayanan urusan masyarakat (rakyat) dibidang penegakan

hukum dengan segala prosedurnya. Sedangkan politik hukum,

dengan merujuk pendekatan faktual, dengan mengambil ilustrasi pada

konfigurasi sistem politik Indonesia, dapat dirumuskan sebagai proses

kebijakan politik yang ditempuh oleh para elit pemegang

kekuasaan dalam rangka menyusun produk hukum tertulis untuk

diberlakukan, serta kebijakan pada tataran ketika produk hukum

tersebut diberlakukan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Dengan mencermati rumusan politik hukum yang telah

dikembangkan oleh penulis, maka unsur-unsur pembentuk politik

hukum, selalu terdiri dari proses kebijakan politik, penyusunan produk

hukum tertulis, serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

penegakan hukum tersebut. Determinasi pengertian politik hukum

dimaksud, termasuk unsur-unsur yang terkait dengannya, maka

dapatlah dipahami apabila politik hukum secara prinsip merupakan

wilayah pengkajian politik bukan pengkajian hukum. Dengan asumsi

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

76

dasar, bahwasanya politik hukum selalu berkutat pada ranah kebijakan

serta faktor-faktor dibalik kebijakan politik yang mempengaruhi

penerapan hukum. Ungkapan demikian dapat dijelaskan secara rinci

sebagai berikut. Pertama, wilayah pengkajian politik hukum selalu

berkonsentrasi pada proses kebijakan yang menjadi dasar

pertimbangan bagi para elit pemegang kekuasaan untuk mengeluarkan

suatu produk hukum.

Pengaruh politik hukum terhadap nomenklatur sistem hukum suatu

negara memang cukup signifikan. Apalagi realitas masyarakat dalam

sistem hukum suatu negara merupakan realitas masyarakat pragmatis

dan serba permisif dimana peran elit politik memegang kunci strategis

untuk menentukan arah kebijakan hukum negaranya. Argumentasi ini,

dapat dipahami dengan melihat pada realitas yang memotivasi

lahirnya sebuah produk undang-undang tertulis, yang pada galibnya,

motivasi kelahiran produk hukum tertulis, kerap berlatar pada

kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai (goal pursuance) dari

para elit politiknya.

Memang nuansa produk hukum tertulis, dalam konteks masyarakat

pragmatis, selalu digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi

setiap kebijakan yang hendak diterapkan di tengah-tengah masyarakat

secara keseluruhan. Pada titik inilah kemudian wilayah pengaruh

politik hukum akan selalu tampak pada proses-proses kebijakan yang

berkelindan seputar kepentingan-kepentingan politik yang sedang

dirancang oleh para elit politik, ketika hendak mengeluarkan suatu

produk hukum tertulis, baik itu undang-undang, peraturan pemerintah,

peraturan daerah, dan lain-lain.

3. Prilaku Hukum Masyarakat

Prilaku hukum selalu merujuk kepada pengertian sikap dan

persepsi masyarakat terhadap hukum yang diberlakukan. Sikap dan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

77

persepsi masyarakat tersebut umumnya terkonkretisasi dalam bentuk

sikap menerima atau menolak sebuah kebijakan hukum yang

diberlakukan. Sejatinya, prilaku hukum warga masyarakat memang

memberikan pengaruh terhadap nomenklatur sebuah sistem hukum

tetapi pengaruh itu umumnya tidak begitu signifikan. Prilaku hukum

warga masyarakat, boleh jadi memberikan pengaruh cukup signifikan

bila prilaku hukum warga masyarakat itu mendapat dukungan kuat

dari simpul-simpul kekuatan politik yang menjadi penopang bangunan

sosial masyarakat.

Maksud penulis, status quo sistem hukum suatu negara, apabila

dikaitkan dengan penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum

tersebut, maka status quo sistem hukum dimaksud, runtuh dan

bangkitnya juga sangat dipengaruhi oleh prilaku penerimaan

masyarakat. Untuk memperkuat argumentasi ini, penulis memberikan

contoh pada peralihan kekuasaan dari Kolonialisme Belanda kepada

Bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan itu, sekaligus menandai

terjadinya perubahan sistem hukum secara revolusioner.

Melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, seluruh warga masyarakat

Indonesia, menyambut gembira Kemerdekaan Indonesia lepas dari

cengkraman penjajahan Kolonial Belanda. Sebab, proklamasi

merupakan titik kulminasi penolakan seluruh masyarakat Indonesia

terhadap sistem hukum Kolonial Belanda beserta segala infrastruktur

politiknya yang menindas rakyat Indonesia. Dengan tergantikannya

system hukum Kolonial Belanda kepada Sistem Hukum Nasional

yang sesuai jiwa Bangsa Indonesia, tentu saja disambut gembira oleh

seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa prilaku

hukum masyarakat Indonesia, memang sejatinya, sangat menolak

keberadaan sistem hukum Kolonial Belanda yang dianggap sangat

diskriminatif dan tidak adil terhadap rakyat Indonesia.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

78

Pengaruh prilaku hukum warga masyarakat terhadap nomenklatur

sistem hukum suatu negara, bisa dilihat dalam dua konteks, yaitu

konteks makro dan konteks mikro. Konteks makro adalah berkaitan

dengan perubahan revolusioner sistem hukum suatu negara. Misalnya,

perubahan sistem hukum dari sistem kolonial menuju sistem hukum

berbasis kemerdekaan. Sedangkan, konteks mikro tidak berkaitan

dengan revolusi perubahan sistem hukum suatu negara tetapi terkait

dengan kelahiran beberapa produk hukum tertulis oleh pemegang

kekuasaan, yang dipandang tidak memberikan jaminan keadilan dan

kemanfaatan hukum warga masyarakat. Contoh, kelahiran undang-

undang yang menindas rakyat. Undang-undang tersebut, tidak

mendapat respon baik dari warga masyarakat, sehingga menimbulkan

berbagai aksi penolakan. Berbagai aksi penolakan warga masyarakat,

bisa terlihat pada realitas maraknya aksi demonstrasi, pemogokan

massal, protes sosial, sampai gugatan kepada pemerintah melalui

jalur pengadilan formal seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah

Konstitusi, termasuk melakukan mosi tidak percaya kepada parlemen.

Tujuan dan Fungsi Hukum dalam Sistem Hukum

Indonesia

1. Tujuan Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia

Pembahasan tentang tujuan hukum, dalam beberapa literatur

hukum, masih terdapat beragam pendapat. Perbedaan itu, sangat

mungkin disebabkan oleh perspektif, pola pandang, dan cara pandang

ideologis para penulisnya. Bagi Mr. L.J. van Apeldoorn27

, tujuan

hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup damai. Pendapat

tentang tujuan hukum ini, dikutip oleh van Apeldoorn, yang

27

Mr. L.J. van Apeldoorn. 2011. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan).

PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 10-11.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

79

diucapkan dalam salah satu prolog hukum rakyat, franka salis, yaitu

lex salica (sekitar 500 tahun sebelum masehi, zaman ini menurut van

Apeldoorn sangat mempengaruhi pandangan hidup bangsa-bangsa

Germania. Tujuan hukum untuk mengatur pergaulan hidup damai,

menurut van Apeldoorn, adalah hal yang sangat penting, mengingat

perdamaian antar manusia harus dipertahankan melalui pranata

hukum. Perdamaian merupakan hal yang sangat diperlukan, tidak lain

untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam hal

kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda, dan sebagainya, serta

terhadap apa-apa saja yang merugikan kepentingan manusia tersebut.

Dalam pandangan van Apeldoorn tersebut, pergaulan hidup damai

merupakan fokus utama dari tujuan hukum itu sendiri, karena

menurutnya, setiap warga dalam hidup bermasyarakat terkadang

terjadi konflik kepentingan satu dengan yang lainnya. Untuk

menghindari konflik atau pertikaian berkepanjangan tersebut, maka

hukum tampil untuk menengahi pertikaian dengan tujuan

menyeimbangkan harmonisasi antara warga masyarakat yang saling

bertikai sehingga tujuan pergaulan hidup damai di tengah masyarakat

dapat tercapai. Dari sinilah hukum, menurut van Apeldoorn, berperan

menimbang kepentingan-kepentingan dari setiap warga masyarakat.

Adapun bagi Peter Mahmud Marzuki, penganut mazhab hukum

normatif, bahwa perbincangan tentang tujuan hukum, mula pertama

kali digagas oleh pengusung hukum alam. Sebab tujuan hukum,

merupakan perbincangan yang masuk dalam tataran ide yang bersifat

abstrak dan umum. Berpijak dari pandangan mazhab hukum alam,

maka tujuan hukum sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh

Aristoteles, adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum kemudian diadopsi oleh

Thomas Aquinas, lalu diterjemahkan kembali oleh Thomas Aquinas,

dengan merevisinya melalui dogma Kristen. Maka bagi Thomas

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

80

Aquinas, tujuan hukum adalah untuk mencapai kesejahteraan dan

sentosa masyarakat secara keseluruhan.

Akan tetapi, bagi Peter Mahmud Marzuki sebagai penganut

mazhab hukum normatif, dengan meminjam pendapat Lon Fuller,

tujuan hukum tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai moral sebagai

landasan paradigmatik dari tujuan hukum itu sendiri. Melalui landasan

paradigma moral inilah, kata Peter Mahmud Marzuki, pada tujuan

pembentukan udang-undang misalnya, haruslah mencerminkan nilai-

nilai moralitas tersebut. Namun secara konkrit, apabila dikaitkan

dengan tujuan hukum, menurut Peter Mahmud Marzuki28

, tujuan

hukum adalah damai sejahtera:

Hukum harus dapat menciptakan damai sejahtera, bukan

ketertiban. Damai sejahtera inilah yang merupakan tujuan hukum.

Dalam situasi damai sejahtera, hukum melindungi kepentingan

manusia baik secara materil maupun immateril dari perbuatan-

perbuatan yang merugikan.

Tampak pandangan Peter Mahmud Marzuki, memisahkan antara

damai sejahtera dengan ketertiban. Pandangan ini juga sejalan dengan

van Apeldoorn, bahwa ketertiban sebagai wujud keteraturan dalam

masyarakat sudah mencakup damai sejahtera. Namun hukum juga

tampak berlaku dalam kondisi yang tidak tertib, sebagaimana ditulis

oleh Hugo de Grotius misalnya dalam kondisi peperangan yang

melanda suatu negara.

Berbeda dengan Achmad Ali, sebagai penganut hukum empiris, ia

mengemukakan tujuan hukum, ada tiga: (1). Untuk mencapai

kepastian hukum; (2). Untuk mencapai kemanfaatan hukum; dan (3).

28

Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 128-129.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

81

Untuk mencapai keadilan. Dari tujuan hukum itu, menurut Achmad

Ali, dapat diklasifikasikan berdasarkan ajarannya, yaitu ajaran etis,

ajaran utilistis, dan ajaran normatif-dogmatik. Ajaran etis, berbicara

tujuan hukum untuk keadilan; ajaran utilistis berbicara tujuan hukum

untuk kemanfaatan hukum; dan ajaran normatif-dogmatik, berbicara

tujuan hukum untuk kepastian hukum.

Bila menyimak, uraian Achmad Ali, tentang tujuan hukum, yaitu

untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka

tujuan hukum juga untuk menciptakan tata tertib masyarakat yang

damai dan adil. Dari tujuan hukum ini, menurut van Apeldoorn,

hukum juga pada hakekatnya, tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai

keadilan, sebab bila nilai keadilan dilepaskan dari hakekat hukum

tersebut, sama saja menyamakan hukum itu dengan kekuasaan yang

sewenang-wenang, tirani, serta kezhaliman. Dengan tujuan hukum

untuk menciptakan keadilan, maka hukum sesungguhnya

membicangkan masalah nilai-nilai etis dan moral sebagai sebuah

tataran ide yang masuk dalam wilayah pemikiran dan rasionalitas.

Penjelasan ini, tentu saja semakin memperkuat argumentasi

pandangan hukum normatif, yang menempatkan hukum sebagai sui

generis. Sedangkan konteks pembahasan hukum empiris dalam

membicangkan keadilan sebenarnya tidaklah dalam tataran nilai atau

ide tetapi seputar persepsi dan sikap masyarakat terhadap

pemberlakuan nilai-nilai hukum, apakah itu memberikan keadilan atau

justeru mengakibatkan ketidakadilan bagi warga masyarakat.

Sehingga dalam konteks pembahasan tentang keadilan, terdapat

perbedaan perspektif antara hukum normatif dengan hukum empiris.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

82

Hukum normatif memandang hukum dalam tataran legal justice

sedangkan hukum empiris memandang hukum sebagai social justice29

.

Pada pembahasan tujuan hukum dalam konteks sistem hukum

Indonesia, dapat diterjemahkan dengan mencermati tujuan negara

Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD

1945, yaitu: (1). Melindungi segenap tumpah darah Indonesia; (2).

Memajukan kesejahteraan umum; (3). Mencerdaskan kehidupan

bangsa; dan (4) Ikut serta menjaga ketertiban dunia. Berdasarkan

empat tujuan negara Indonesia, maka dalam konteks tujuan

hukumnya, adalah Pertama, untuk memberikan rasa aman bagi

seluruh warga masyarakat Indonesia; Kedua, menjamin kepentingan-

kepentingan rakyat Indonesia agar mendapatkan penghidupan yang

lebih layak dan standar kesejahteraan yang memadai; Ketiga, untuk

menjaga ketertiban dunia dimana bangsa Indonesia termasuk salah

satu bagian dari masyarakat dunia.

Tujuan hukum pertama dalam konteks tatanan hukum Indonesia,

adalah untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat Indonesia

tatkala melangsungkan interaksi sosialnya satu sama lain.

Perlindungan tersebut, adalah sangat diperlukan sebagai jaminan rasa

aman, mendapatkan keadilan, dan kepastian hukum dengan tetap

bertumpu kepada pada asas semua orang sama di depan hukum.

Sedangkan tujuan kedua hukum dalam sistem hukum Indonesia,

adalah untuk memberikan perlindungan mendapatkan akses yang

sama dalam memanfaatkan sumber-sumber ekonomi, termasuk

29

Penjelasan tentang keadilan dalam konteks sosiologi juga dibahas oleh

Roscoe Pound, bahwa keadilan merupakan keselarasan antara hubungan antar

manusia dalam masyarakat dan antara manusia dengan masyarakat yang

sesuai dengan moral yang berlaku didalam masyarakat. Lihat Umar

Sholehuddin. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat Perspektif Sosiologi

Hukum. Setara Press, Malang, hlm. 22.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

83

jaminan untuk mendapatkan akses pelayanan publik yang lebih

memadai, seperti pelayanan pendidikan yang sama, pelayanan

kesehatan, dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak.

Adapun tujuan hukum ketiga, dalam tatanan kehidupan negara

Indonesia, adalah untuk menjaga kedaulatan negara Indonesia dari

berbagai ancaman atau rongrongan dari pihak asing manapun

termasuk juga menjaga kehormatan bangsa-bangsa lain dari segala

bentuk penjajahan dan kezaliman oleh negara lain, karena bagi bangsa

Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak

semua bangsa.

2. Fungsi Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia

Pembahasan tentang fungsi hukum dengan tujuan hukum memang

berbeda. Meski terlihat kesamaan antara tujuan hukum dan fungsi

hukum. Tujuan hukum pada dasarnya membahas tentang orientasi

atau keinginan yang dikehendaki, sedangkan fungsi hukum membahas

tentang manfaat yang hendak dicapai. Artinya, fungsi hukum lebih

terkonsentrasi kepada kegunaan yang hendak dicapai. Namun

demikian, antara tujuan hukum dan fungsi hukum dalam suatu negara

atau sistem hukum tertentu, merupakan dua irisan yang tidak bisa

dipisahkan satu sama lain. Pembahasan fungsi hukum, sudah pasti

sangat terkait erat dengan tujuan hukum. Seseorang tidak akan bisa

membahas tentang fungsi hukum kalau tidak mengetahui apakah

tujuan hukum itu sendiri.

Secara umum, seperti halnya tujuan hukum, pembahasan tentang

fungsi hukum, masih terdapat beragam pendapat diantara para penulis

hukum, yang tentu saja sangat tergantung dari perspektif dan ideologi

hukum dari masing-masing penulis hukum tersebut. Fungsi hukum

menurut penulis hukum berpaham kapitalisme tentu berbeda dengan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

84

penulis hukum yang berpaham sosialisme. Begitu juga, berbeda

dengan pandangan hukum syariah tentang fungsi hukum hukum yang

secara spesifik merujuk kepada kewahyuan, yaitu yang termaktub

dalam Al-Qur‟an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Dalam pembahasan tentang fungsi hukum, penulis menggunakan

pendapat Joseph Raz30

, yang menempatkan fungsi hukum dalam

perspektif sosial, yang mencakup:

1. Fungsi Langsung, yang terbagi menjadi dua:

a. Fungsi Langsung yang bersifat primer, mencakup:

1) Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong

dilakukannya perbuatan tertentu;

2) Penyediaaan fasilitas untuk kepentingan hukum yang

bersifat keperdataan;

3) Penyediaan pelayanan dan pendistribusian kembali

barang-barang kebutuhan manusia;

4) Penyediaan fasilitas untuk menyelesaikan sengketa di luar

jalur pengadilan.

b. Fungsi Langsung yang bersifat sekunder, mencakup:

1) Sebagai sarana bagi perbaikan lembaga-lembaga hukum

dan legislatif, yang meliputi lembaga-lembaga negara

sebagai penjaga hukum, parlemen sebagai lembaga

legislatif, perbaikan pranata pengadilan, dan lembaga adat

yang ada di tengah masyarakat;

2) Sebagai instrumen bagi perbaikan penegakan hukum

dengan segala prosedurnya.

2. Fungsi Tidak Langsung, meliputi:

30

Joseph Raz. 1983. The Authority of Law.Oxford; Clarendon Pers,

London, p. 163-177.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

85

Termasuk fungsi hukum tidak langsung menurut Joseph Raz

adalah berguna untuk memperkuat atau meperlemah nilai-nilai

moral terentu, misalnya nilai moral yang berkaitan dengan

kesucian hidup, penguatan terhadap otoritas umum (kekuasaan),

dan untuk memperkuat perasaan kesatuan kebangsaan (nasional).

Dalam pandangan Achmad Ali31

, hukum memiliki beberapa fungsi,

yang mencakup:

1. Fungsi hukum sebagai a tool of social control, yaitu hukum

sebagai alat pengendali sosial untuk menetapkan tingkah laku

yang dianggap sebagai perintah dari wujud aturan hukum. Melalui

fungsi sebagai alat pengendali sosial tersebut, maka hukum akan

menetapkan sanksi kepada warga masyarakat bila terbukti

melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum yang berlaku;

2. Fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, untuk istilah

ini Achmad Ali, sepakat bila diterjemahkan dengan kata-kata

hukum sebagai alat perekayasa sosial, dengan fungsi ini hukum

menjalankan perannya sebagai alat bagi terjadinya perubahan

sosial. Artinya, hukum ditempatkan dalam kerangka sebagai alat

rekayasa sosial untuk mengubah masyarakat. Hukum tidak lain

ditempatkan sebagai motor penggerak yang nantinya akan

menyebarkan dan menggerakkan ide-ide yang ingin diwujudkan

oleh hukum tersebut. Dalam perspektif ini, bekerjanya hukum

bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka,

melainkan juga aktivitas birokrasi pelaksanaannya.

3. Fungsi hukum sebagai simbol, yaitu hukum bertindak sebagai

instrumen yang bersifat simbolik, yang mencakup proses-proses

penerjemahan atau penggambaran untuk mengartikulasikan suatu

istilah yang sederhana tentang hubungan sosial serta fenomena-

31

Achmad Ali, op.cit., hlm. 71-83.

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

86

fenomena lainnya yang lahir sebagai konsekuensi dari adanya

interaksi antara warga masyarakat.

4. Fungsi hukum sebagai a political instrument, yaitu hukum

berjalan sebagai alat untuk memfasilitasi kekuasaan politik

dimana kekuasaan politik untuk dapat diterapkan di tengah

masyarakat, maka legitimasi hukum sangat diperlukan.

5. Fungsi hukum sebagai integrator, yaitu hukum menempatkan

dirinya sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap

berbagai kepentingan anggota masyarakat, baik pada saat

terjadinya konflik maupun pada saat sebelum terjadinya konflik.

Fungsi hukum sebagai integrator, adalah dalam rangka untuk

menyelaraskan berbagai kepentingan antar warga masyarakat.

Dengan mencermati pembahasan teoritis fungsi hukum dari

beberapa penulis hukum, maka pada pembahasan ini, fungsi hukum

dalam sistem hukum Indonesia, juga tidak bisa dilepaskan dari tujuan

hukum Indonesia sebagaimana yang sudah dipapar pada sub-bab

pembahasan sebelumnya. Sehubungan dengan itu, fungsi hukum

dalam sistem hukum Indonesia, dapat diperincikan sebagai berikut:

1. Hukum dalam sistem hukum Indonesia berfungsi menjaga

identitas nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di

tengah masyarakat Indonesia. Menurut penulis, penjabaran fungsi

hukum ini seharusnya lebih mengintrodusir nilai-nilai hukum

yang transendental-spiritualistik, mengingat mayoritas warga

masyarakat bangsa ini masih berpegang teguh nilai-nilai agamis,

yang sudah berkembang sejak dahulu sebelum kedatangan

Kolonialisme Belanda.

2. Hukum dalam sistem hukum Indonesia berfungsi sebagai

instrumen politik untuk melegitimasi setiap kebijakan politik yang

hendak dilaksanakan di tengah masyarakat Indonesia. Baik

kebijakan politik oleh lembaga eksekutif maupun kebijakan

Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum

87

politik oleh lembaga legislatif. Dimensi kepentingan politik ini,

semestinya untuk keberpihakan bagi perlindungan hak-hak rakyat

Indonesia secara keseluruhan.

3. Hukum dalam sistem hukum Indonesia berfungsi untuk

memberikan perlindungan hak-hak warga negara Indonesia,

terutama dalam hal untuk mendapatkan jaminan hak-hak ekonomi,

hak-hak politik, hak-hak memperoleh fasilitas pendidikan secara

mudah, hak-hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih

baik, hak-hak mendapatkan rasa aman dari setiap gangguan

tindakan kriminal atau kejahatan, dan hak mendapatkan kehidupan

yang lebih baik.

Tiga fungsi hukum dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana

yang sudah dipaparkan tersebut, merupakan fungsi-fungsi hukum

yang sejalan dengan tujuan-tujuan hukum yaitu untuk menjaga nilai-

nilai keadilan. Nilai keadilan yang dimaksud adalah keadilan

ekonomi, keadilan mendapatkan penghidupan lebih baik, dan keadilan

politik. Selain nilai keadilan, juga nilai kemanfaatan hukum, yaitu

hukum memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat

Indonesia, termasuk nilai kepastian hukum dimana setiap warga

negara Indonesia diperlakukan sama di depan hukum tanpa

memandang status sosial dan status ekonomi. Tiga fungsi hukum ini,

diintrodusir oleh penulis dengan mengkaitkan tujuan hukum, yang

merupakan manifestasi dari tujuan negara Indonesia sebagaimana

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

BAB 3

KARAKTERISTIK SISTEM HUKUM

INDONESIA DAN BEBERAPA UNSUR YANG

MEMPENGARUHINYA

Pengertian Sistem Hukum Indonesia Beranjak pada rumusan sistem hukum sebagaimana terpapar pada

pembahasan sebelumnya, maka Sistem Hukum Indonesia dapat

didefinisikan sebagai seperangkat kaidah atau aturan yang

diberlakukan pada batas-batas sistem kehidupan masyarakat

Indonesia yang bernaung di bawah entitas politik Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berlandaskan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 beserta beberapa

unsur yang mempengaruhi penegakannya sebagai satu kesatuan

yang utuh.

Pengertian sistem hukum Indonesia tersebut, memberikan deskripsi

tentang realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang diatur menurut

kaidah atau norma dengan segala turunannya yang harus merujuk

kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber

hukum tertinggi. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa

Pancasila merupakan landasan ideal yang menjadi dasar pandangan

bagi pembuatan aturan hukum di wilayah Indonesia. Sedangkan

Undang-Undang Dasar 1945, dipandang sebagai landasan operasional

dan pijakan asas yang secara hirarkis tidak boleh bertentangan dengan

segala produk hukum tertulis dibawahnya, yang diberlakukan di

negara ini.

Dengan berpijak asas lex superior derogat legi inferior, yaitu

aturan hukum lebih tinggi tidak boleh bertentangan dengan aturan

hukum lebih rendah di bawahnya, maka Undang-Undang Dasar 1945

sebagai konstitusi yang merupakan sumber hukum tertulis tertinggi di

negara ini, memiliki posisi sebagai lex superior. Sehingga aturan

hukum tertulis lainnya, yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia,

seperti undang-undang, peraturan pengganti undang-undang,

peraturan pemerintah, peraturan daerah, didudukkan dalam posisi

sebagai lex inferior yaitu aturan hukum yang lebih rendah dibawah

konstitusi.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

89

Mengingat kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai lex

superior maka segala produk hukum yang berada lebih rendah

tingkatan dibawahnya, tidak boleh bertentangan dengan muatan

substansi pasal-pasal dari Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 itu

sendiri. Dalam sistem hukum Indonesia, sekarang ini hirarki peraturan

perUndang-Undangan di Indonesia menurut ketentuan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden;

6) Peraturan Daerah Provinsi; dan

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka

Undang-Undang Dasar 1945 dapat diletakkan sebagai Grundnorm1

atau yang menjadi dogma hukum tertinggi dalam tata urutan hirarkis

perUndang-Undangan di Indonesia. Menurut Hans Kelsen, sebagai

1 Penjelasan yang utuh tentang teori Grundnorm ini dapat dilihat dari

ulasan Jazim Hamidi bahwa grundnorm yang dimaksud Kelsen adalah

sesuatu yang diasumsikan sangat abstrak dan bermuatan perintah bahwa

seseorang itu seyogyanya bertingkah laku sebagaimana yang ditetapkan oleh

konstitusi. Grundnorm itu berada di luar dan menjadi landasan fondasi tata

berlakunya hukum positif atau sebuatan lain sebagai meta juristic. Lihat

Jazim Hamidi. 2006. Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan

Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem

Ketatanegaraan RI. Kerjasama Konstitusi Press dan Citra Media,

Yogyakarta, hlm. 17.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

90

penggagas teori grundnorm bahwa seseorang seharusnya mentaati

sebagaimana yang ditetapkan dalam konstituti. Begitu juga, seseorang

seharusnya berperilaku sebagaimana makna subjektif dari tindakan

atau kehendak kemauan yang membentuk kostitusi.

Pengertian sistem hukum Indonesia, sebagaimana yang disebutkan

juga menegaskan tentang keberadaan subjek hukum yang diatur hanya

kepada warga masyarakat yang hidup secara sosial atau berinteraksi

dalam batas-batas wilayah negara Republik Indonesia. Dalam

perspektif empiris, sebenarnya yang dimaksud dalam kategori warga

masyarakat Indonesia, tidak hanya mencakup penduduk asli (pribumi)

Indonesia, atau warga negara2 yang mendapat pengakuan naturalisasi.

Tetapi juga, warga masyarakat yang bukan warga negara Indonesia,

seperti warga negara asing ataupun badan hukum asing lainnya yang

berdomisili atau melakukan interaksi sosial dalam batas-batas wilayah

kedaulatan negara Republik Indonesia sepanjang interaksi sosial

tersebut berkaitan erat dengan kepentingan nasional Republik

Indonesia.

Selain itu, konteks ketundukan hukum dari subjek hukum dalam

sistem hukum Indonesia, juga meliputi badan hukum yang melakukan

aktivitas hubungan hukum dalam batas-batas wilayah Republik

Indonesia. Badan hukum yang dimaksud adalah baik badan hukum

swasta maupun badan hukum milik negara. Juga badan hukum milik

pribumi atau milik warga negara asing. Badan hukum ini, pada

faktanya adalah sekumpulan individu yang melakukan kegiatan usaha

2 Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaaan Indonesia disebutkan bahwa yang menjadi Warga Negara

Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa

lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

91

tertentu bersifat komersil yang tergabung dalam sebuah korporasi

dengan menggunakan nama tertentu.

Jadi sistem hukum Indonesia, dari segi wilayah pemberlakuan

kaidah dan aturan-aturan hukum, yaitu mencakup batas-batas wilayah

kedaulatan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan atau bagian dari

entitas politik. Kedaulatan negara Indonesia dalam perspektif empiris,

adalah terlihat pada fakta kekuatan politik serta kekuatan militer yang

menjangkau pada batas wilayah dari Sabang sampai Merauke, yaitu

dari ujung Pulau Sumatera sampai pada ujung Pulau Papua yang

berbatasan secara geografis dengan Negara Papua New Genuine (baca

Papua Nugini).

Adapun batas-batas geografis wilayah Indonesia, yaitu terletak di

antara 6‟ LU-11” LS dan 95‟ BT-141‟BT, antara Lautan Pasifik dan

Lautan Hindi, antara Benua Asia dan Benua Australia, dan pada

pertemuan dua rangkaian pegunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan

Sirkum Mediteranian. Indonesia merupakan negara kepulauan yang

berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia

memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan

1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km

2 Berdasarkan posisi

geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas: Utara - Negara

Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara

Australia, Samudera Hindia. Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara

Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik. Posisi geografis

Indonesia terdiri atas letak astronomis dan letak geografis yang

berbeda pengertian dan pandangannya.

1. Letak Astronomis

Letak astronomis suatu negara adalah posisi letak yang

berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Garis lintang adalah garis

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

92

khayal yang melingkari permukaan bumi secara horizontal, sedangkan

garis bujur adalah garis khayal yang menghubungkan Kutub Utara dan

Kutub Selatan. Letak astronomis Indonesia Terletak di antara 6oLU –

11oLS dan 95

oBT – 141

oBT Berdasarkan letak astronomisnya

Indonesia dilalui oleh garis equator, yaitu garis khayal pada peta yang

membagi bumi menjadi dua bagian sama besarnya. Garis equator atau

garis khatulistiwa terletak pada garis lintang 0o.

2. Letak geografis

Letak geografis adalah letak suatu daerah atau wilayah dilihat dari

kenyataan di permukaan bumi. Berdasarkan letak geografisnya,

kepulauan Indonesia di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta

di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan demikian,

wilayah Indonesia berada pada posisi silang, yang mempunyai arti

penting dalam kaitannya dengan iklim dan perekonomian.

3. Letak Geologis

Letak geologis adalah letak suatu wilayah dilihat dari jenis batuan

yang ada di permukaan bumi. Secara geologis wilayah Indonesia

dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan

Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di

sebelah timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan

Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif dan rawan

terjadinya gempa bumi.

PETA WILAYAH INDONESIA

90

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

93

Dari segi kedaulatan politik, pada fakta politik dalam sistem

kehidupan masyarakat Indonesia, adalah terlihat pada kemampuan

bangsa Indonesia menjaga batas-batas wilayah kedaulatannya secara

militer dari serangan luar yang dapat mengancam entitas politik

wilayah Indonesia. Kedaulatan politik, juga tampak dari kemandirian

Bangsa Indonesia3, untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara

otonom tanpa intervensi dari negara lain. Seperti menyelenggarakan

pemilihan umum secara bebas, menata keuangan negara, dan

3 Kendati secara de jure, Negara Indonesia telah memiliki kedaulatan

politik sejak pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Akan tetapi,

masih ada beberapa pengamat sosial yang menyangsikan kedaulatan politik

Indonesia, sebagaimana ditulis Slamet judul Kemerdekaan Tanpa

Kedaulatan: Sebuah Refleksi, artikel dimuat di Harian Satelit Pos, 18

Agustus 2014, hlm. 7. Isi tulisannya menyatakan: ”Pada hakikatnya,

kemerdekaan haruslah berdampingan dengan kedaulatan sebagaimana yang

dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Kemerdekaan berarti terbebasnya

bangsa Indonesia dari penjajahan, sedangkan kedaulatan berarti hak

kekuasaan pemerintahan untuk mengatur urusan dalam negerinya sendiri

dalam segala aspek tanpa campur tangan asing. Kedaulatan yang dimaksud

mencakup kedaulatan politik-ekonomi, budaya, pangan, teknologi, dan

sebagainya. Namun realitasnya masih jauh dari angan-angan. Bahkan sampai

detik ini, Indonesia masih jauh dari kata berdaulat. Kenyataan ini tidak bisa

dibantah, mengingat fakta yang masih menunjukkan betapa “lemahnya”

bangsa Indonesia untuk menyebut dirinya sebagai bangsa yang berdaulat.

Jika diamati, hampir semua kebutuhan yang ada di Indonesia masih sangat

tergantung asing. Mulai dari kebutuhan pangan dan teknologi hingga urusan

politik-ekonomi dan budaya. Sekali lagi, semuanya masih tergantung pada

asing. Alhasil, Indonesia yang memiliki khasanah budaya yang begitu

kayapun perlahan-lahan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang

berbudaya. Semua berawal dari ketidakberdaulatan Indonesia atas urusan

dalam negerinya”.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

94

membentuk secara mandiri format birokrasi kabinet dan pemerintahan

daerah tanpa harus meminta intervensi politik secara langsung dari

negara lain4. Kedaulatan politik juga dapat diartikan sebagai

kedaulatan untuk melakukan penatakelolaan ekonomi bangsa dan

negara Indonesia, mencakup pengelolaan secara mandiri sumber daya

alam serta kemampuan menjaga ketahanan pangan secara mandiri

serta menentukan sendiri nomenklatur moneter dan lalu lintas devisa

Negara Indonesia.

Karakteristik Sistem Hukum Indonesia Realitas pergaulan hukum dalam sistem kehidupan masyarakat

Indonesia merupakan sebuah pergaulan hukum yang boleh dibilang

cukup unik. Sebab, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang

majemuk dan beragam dengan ditandai keanekaragaman adat istiadat,

agama, dan kepercayaan, yang saling berinteraksi satu sama lain,

sehingga praktis pula didalam kehidupan masyarakat Indonesia

tercipta hubungan pergaulan hukum berdasarkan ketundukan hukum

yang berbeda. Antara lain, bisa kita temukan komunitas masyarakat

Indonesia yang tunduk kepada Hukum Adat, ditemukan juga

4 Istilah kedaulatan politik yang penulis gunakan disini, dapat juga

merujuk kepada pengertian secara teoritis yaitu sebagai kekuasaan tertinggi

dalam suatu negara atau kekuasaan tidak terletak di bawah kekuasaan lain,

kecuali kekuasaan yang satu adalah kekuasaan Tuhan. Dengan demikian,

pengertian kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

Adapun tentang istilah kekuasaan itu sendiri, menurut Max Weber,

sebagaimana dikutip Miriam Budiarjo, adalah kemampuan untuk, dalam

suatu hungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami

perlawanan, dan apun dasar kemampuan ini. Lihat Miriam Budiardjo. 2010.

Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta, hlm. 60.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

95

komunitas masyarakat yang tunduk kepada Hukum Islam untuk

bidang-bidang hukum keluarga dan perkawinan, dan yang lainnya ada

yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat sebagai peninggalan

Kolonialisme Belanda.

Kendati demikian, untuk bidang-bidang hukum publik seperti

hukum pidana dan hukum tata negara, sistem kehidupan masyarakat

Indonesia masih tunduk kepada produk hukum yang merupakan

peninggalan Kolonialisme Belanda. Untuk hukum pidana, Bangsa

Indonesia masih menggunakan Wetboek van Strafrecht yang

dikodifikasikan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sedangkan untuk bidang-bidang hukum ketatanegaraan dan hukum

administrasi, Bangsa Indonesia masih menggunakan produk aturan

yang landasan filosofis perancangannya berkiblat kepada model

hukum barat, yang dalam hal ini bertumpu kepada model

ketatanegaraan berbasis demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Memang galibnya, untuk bidang-bidang hukum privat, ketundukan

hukum setiap warga negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia,

cukup beragam tergantung dari keyakinan serta kepercayaan yang

dianut oleh masing-masing warga negara tersebut, misalnya kalau

warga negara tersebut muslim maka ia menyatakan dirinya tunduk

kepada hukum perdata Islam namun kalau dia non-muslim maka dia

menyatakan dirinya tunduk kepada hukum perdata barat yang dalam

hal ini adalah Burgelijke Wetboek yang merupakan peninggalan

Kolonialisme Belanda. Dan tidak tertutup kemungkinan ada juga yang

menyatakan dirinya tunduk kepada hukum adat.

Akan tetapi, untuk pengaturan hukum bidang kehidupan publik,

otoritas pemegang kekuasaan di negara Indonesia masih

mendedikasikan untuk mengambil tata cara pandang hukum yang

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

96

diadopsi dari hukum-hukum barat yang meletakkan kerangka pandang

hukum berbasis demokrasi, nasionalisme, kedaulatan rakyat,

kapitalisme, dan sekulerisme. Pengadopsian hukum barat dalam

sistem hukum Indonesia, merupakan konsekuensi logis dari latar

belakang historis negara Indonesia, yang pernah dicengkram oleh

Kolonialisme Belanda selama 350 tahun.

Pengalaman dijajah Kolonialisme Belanda selama 350 tahun, pada

akhirnya kita mendapati karakteristik sistem hukum Indonesia

mengalami kedekatan dengan sistem civil law. Kuatnya kedekatan

sistem hukum Indonesia dengan sistem civil law, sangat tampak ketika

pendiri negara ini, memberikan tempat bagi pemberlakuan hukum

Kolonial Belanda, yang memang dekat dengan keluarga sistem civil

law, yaitu melalui justifikasi Pasal II Aturan Peralihan Undang-

Undang Dasar 1945 (melalui Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,

rumusan Pasal II tersebut secara substantif dialihkan menjadi rumusan

Pasal I Aturan Peralihan).

Kendati, karakteristik Sistem Hukum Indonesia kental dengan

keluarga sistem civil law, tetapi oleh kebanyakan penulis hukum saat

ini, berargumentasi kalau sistem hukum Indonesia sudah tidak murni

lagi dipengaruhi oleh sistem civil law, tetapi juga dipengaruhi oleh

keluarga sistem common law5. Pengaruh sistem common law terhadap

sistem hukum Indonesia, tampak pada beberapa transaksi bisnis yang

5 Pendapat bahwa sistem hukum Indonesia, juga telah mendapat pengaruh

sistem common law, dijelaskan oleh Sidharta. 2013. Hukum Penalaran dan

Penalaran Hukum, Buku 1 Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta,

hlm. 227-255. Di buku ini, Sidharta menjelaskan tentang karakteristik sistem

hukum Indonesia dengan kompleksitas norma hukum yang

mempengaruhinya, seperti pengaruh hukum Islam, pengaruh Hukum Adat,

dan pengaruh hukum Hindu Budha.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

97

berlangsung di Indonesia, dimana pengaruh ekonomi perusahaan-

perusahaan Amerika Serikat yang telah merambah pasar bisnis di

Indonesia. Peter Mahmud Marzuki6, mengungkap tentang pengaruh

sistem common law dalam hukum bisnis di Indonesia, sebagai berikut:

Since Indonesia was a Dutch Colony, the Indonesian legal system

belongs to civil law system. Just as continental legal system, which

does not apply the doctrine of stare decisis, the Indonesian judge is

not bound to the case law. It is strongly recommended, however,

that the judge apply apply landmark decision. Despite the fact that

Indonesia belongs to civil law system, since 1967 the time when

market economy began taking place, there have been substantive

laws much influenced by the American Laws. This, Nevertheless,

does not shift the system from civil law to common law system.

Penjelasan Peter Mahmud Marzuki tersebut, menegaskan tentang

karakteristik sistem hukum Indonesia dengan penonjolan sistem civil

law yang mempengaruhinya secara kuat. Indikasi kuatnya pengaruh

civil law terhadap sistem hukum Indonesia, tampak dari putusan

hakim di Indonesia yang tidak mengikuti putusan hakim sebelumnya

(stare decisis). Namun demikian, kata Peter Mahmud Marzuki, sejak

1967, pasar global Amerika telah merambah masuk mempengaruhi

tata ekonomi Indonesia, yang juga berdampak pada memberikan

pengaruh kiblat hukum Indonesia yang ke sistem common law.

Namun perlu pula digarisbawahi menyangkut kerangka sistem

hukum Indonesia yang bila dilihat dalam perspektif realitas

6 Peter Mahmud Marzuki. 2011. An Introduction to Indonesian Law,

Setara Press, Malang, p. 27.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

98

pemberlakuan hukum tampak melulu bertumpu pada apa yang

menjadi kehendak dari pemegang otoritas kekuasaan ataupun para

pihak yang berada di seputar sentra-sentra kekuasaan. Sehingga tidak

dapat dipungkiri bahwa postur hukum yang berlaku di Indonesia sejak

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai pada masa

Pemerintahan era reformasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

adalah postur hukum beberapa diantaranya yang sedikit banyak

berwatak hanya untuk kepentingan kekuasaan. Kentalnya postur

hukum berwatak semata kepentingan kekuasaan tersebut, terlihat dari

beberapa produk hukum tertulis yang diformalisasikan hanya

berdasarkan kepada apa yang menjadi kehendak politik kelompok

elitis baik yang berada pada level legislatif maupun pada level

eksekutif. Sehingga nyaris beberapa produk Undang-Undang tertulis

misalnya yang keluar, lebih mengapresiasikan kepada kepentingan

para pemegang kekuasaan ataupun pihak-pihak yang berada di

lingkaran kekuasaan.

Moh Mahfud MD7 menulis dengan baik salah satu contoh produk

Undang-Undang yang pernah dikeluarkan rezim Orde Baru yang

nyaris bernafaskan otoritarian. Yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974 tentang Otonomi Daerah, menurut Mahfud, tampak substansi

undang-undang otonomi daerah versi Orde Baru, lebih mencerminkan

pengaturan penyelenggaraan daerah demi kepentingan kehendak

penguasa di tingkat pusat, sehingga kelihatan kalau undang-undang

dimaksud merupakan upaya sistematis penguasa di tingkat pusat kala

itu untuk mengkerangkeng aspirasi masyarakat di tingkat daerah yang

7 Moh Mahfud MD. 1999. “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”. Gama

Media, Yogyakarta, hlm. 281-282.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

99

harus menurut saja kepada apa yang telah menjadi kebijakan pusat.

Lebih jelasnya Mahfud menulis dengan uraian sebagai berikut:

Sejalan dengan konfigurasi politik yang otoriter itu Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1974 sebagai pengganti Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1965, merupakan produk hukum yang cenderung

berkarakter konservatif. Di dalam Undang-Undang tersebut istilah

otonomi nyata dan seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan dan

digantikan dengan otonomi nyata dan bertanggungjawab.

Dominasi pusat atas daerah terlihat pada ketentuan yang

memberikan kekuasaan kepada pusat untuk menentukan Kepala

Daerah/Kepala Wilayah tanpa terikat pada peringkat hasil

pemilihan di DPRD. Disamping sebagai organ daerah otonom,

Kepala Daerah adalah alat pusat di daerah dengan sebutan Kepala

Wilayah. Dalam kedudukannya sebagai alat pusat itu Kepala

Wilayah merupakan penguasa tunggal di daerah. Kontrol pusat atas

daerah masih dilakukan melalui mekanisme pengawasan

preventif, pengawasan represif, dan pengawasan umum.

Tentu saja apa yang ditulis oleh Mahfud tersebut, merupakan salah

satu ilustrasi kuatnya dinamika kekuasaan yang mengkarakter dalam

pembuatan produk undang-undang di tanah air. Tampaknya bandul

kekuasaan telah memberikan pengaruh cukup kuat terhadap

karakteristik sistem hukum Indonesia, terutama berkaitan dengan

perancangan produk hukum tertulis yang hendak dibelakukan.

Pada perjalanan beberapa rezim di Indonesia selanjutnya, ternyata

juga masih menyimpan beberapa produk hukum tertulis yang

mengkarakter kepentingan kekuasaan serta pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap kekuasaan. Seperti antara lain pemberlakuan

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

100

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang berlaku semasa

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Undang-Undang Minyak

dan Gas Bumi yang berlaku pada masa pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri, kuat dugaan bahwa pemberlakuan kedua

produk Undang-Undang tertulis tersebut sarat dengan kepentingan

para pemilik modal8.

Kuatnya konfigurasi kekuasaan yang mematroni sebahagian besar

produk hukum tertulis yang berlaku di Indonesia, menurut Satjipto

8 Misalnya, kehadiran Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang

sejak awal ditentang dengan keras karena diyakini adanya nuansa neo

liberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai

penanggungjawab upaya mencerdaskan bangsa dengan menyediakan fasilitas

pendidikan berkualitas dan murah. Dikuatirkan privatisasi akan membuat

lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha mencari

keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses

pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan

pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, dimana

pemilik yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi dalam lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi

pemangku kepentingan yang lazim disebut Majelis Wali Amanah. Akhirnya

pada April 2010 undang-undang ini dibatalkan MK dengan alasan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar1945 yang mengamanatkan agar

pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat,

pertama karena secara yuridis undang-undang BHP tidak sejalan dengan

undang-undang lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua undang-

undang BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan

kualitas peserta didik dan ketiga undang-undang BHP melakukan

penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan

hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan,

perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

101

Rahardjo9 adalah tampak ketika kekuasaan mencoba menjabarkan

kepentingan pemangku kebijakan meskipun buruk dalam pandangan

masyarakat dengan cara mengorganisasikannya dalam format hukum

tertentu, dengan maksud menyembunyikan maksud sebenarnya

kebijakan tersebut, sehingga tidak tampak keburukannya secara kasat

mata, padahal maksud sesungguhnya produk hukum tertulis tersebut,

sejatinya mengkerangkeng hak-hak rakyat untuk mendapatkan

kesejahteraan serta akses kemudahan menikmati hasil-hasil yang

diperoleh dari sektor publik.

Untuk mendeskripsikan karakteristik sistem hukum Indonesia,

yang tak kalah penting adalah pengaruh kekuatan ekonomi yang

seringkali mendominasi produk hukum publik yang berkaitan erat

dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga bandul politik

(kekuasaan) yang bermain dalam skenario pembuatan rancangan

undang-undang sebetulnya tidak terlepas dari besarnya pengaruh

kekuatan ekonomi. Misalnya pada regulasi tentang Ketenagalistrikan,

yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, kuat dugaan kalau

pengelolaan sumber daya alam tersebut, sangat kental dengan aroma

kepentingan ekonomi para elit politik10

.

9 Satjipto Rahardjo. 2006. Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Penerbit

Buku Kompas, Jakarta, hlm. 72. 10

Kuatnya kepentingan ekonomi dari penyusunan beberapa produk

Undang-Undang yang menguasai hajat hidup orang banyak bukannya tanpa

dasar. Realitas menunjukkan beberapa Undang-Undang terkait seperti

Undang-Undang tentang sistem lalu lintas devisa, penanaman modal dan

ketenagalistrikan mengarah pada paham liberalisme yang dapat merugikan

masyarakat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pernyataan ini dikemukakan oleh Din Syamsuddin, Ketua Umum PP

Muhammadiyah, dalam konferensi pers bertemakan "Jihad Konstitusi

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

102

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, pendeskripsian

karakteristik sistem hukum Indonesia, dengan penonjolan pengaruh

kekuatan ekonomi dan politik, akan tersimpul secara teoritis melalui

rujukan teori sibernetik yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons.

Kerangka bangun teori Talcott Parsons, menempatkan masyarakat

sebagai sebuah sistem yang mana bentukan sistem masyarakat itu,

selalu dipengaruhi oleh empat sub-sistem, yaitu sub-sistem ekonomi,

sub-sistem politik, sub-sistem sosial (di dalamnya termasuk hukum),

dan sub-sistem budaya.

Sidharta telah menggambarkan urutan sub-sistem tersebut dengan

menempatkan sub-sistem budaya pada urutan pertama. Kedudukan

budaya yang digambarkan Shidarta secara skematis, dengan mengutip

pendapat Talcott Parsons, adalah yang merumuskan kebenaran jati,

yakni nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sedangkan sub-sistem

ekonomi, berada pada sudut yang kaya dengan energi. Sistem budaya

akan mengalirkan arus informasi (nilai-nilai) kepada sistem sosial

(hukum), sehingga norma-norma yang dirumuskan oleh hukum

sesungguhnya mengambil nilai-nilai yang disuplai oleh budaya. Dari

Luruskan Kiblat Bangsa", Jakarta, Rabu (15/4/2015). Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP

Muhammadiyah Dr Saiful Bakhri mengatakan Undang-Undang itu telah

diteliti dan bertentangan secara diametral dengan putusan-putusan konstitusi,

misalnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

"Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan itu pernah dibatalkan secara

keseluruhan tetapi kemudian hidup lagi norma-norma itu di dalam undang-

undang baru. Padahal menurut doktrin di Mahkamah Konstitusi, undang-

undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, pembuat undang-

undang tidak boleh lagi (membuatnya)," kata Rektor Universitas

Muhammadiyah Jakarta itu.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

103

konteks ini, hukum adalah produk budaya. Selanjutnya, nilai-nilai ini

dialirkan oleh sistem hukum kepada sistem politik, sehingga prosedur

kerja sistem politik, dapat dijalankan dengan baik menurut mekanisme

yang ditata oleh hukum. Sistem politik kemudian mengalirkan nilai-

nilai tadi kepada sistem ekonomi, sehingga sistem ekonomi dapat

berjalan menurut kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa

politik11

.

Menurut Sidharta12

, sistem ekonomi adalah tatanan yang kaya

energi, tetapi miskin nilai-nilai. Sistem ini mengalirkan arus energinya

kepada sistem politik, sehingga sistem politik mempunyai kemampuan

utuk menetapkan dan merealisasikan tujuan-tujuan kekuasaan. Energi

dari sistem politik ini disalurkan kepada sistem hukum, antara lain

guna memfungsikan hukum sebagai instrumen social order, sistem

hukumpun memanfaatkan energi tadi juga untuk mempengaruhi

sistem budaya, sehingga nilai-nilai budaya pun dapat diubah melalui

fungsi hukum sebagai social engineering. Apa yang dijelaskan oleh

Sidharta tentang hubungan antara sub-sistem tersebut, diuraikan pada

ragaan berikut:

11

Sidharta, op.cit, hlm 229-230. 12

Ibid.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

104

RAGAAN 6

Hubungan Antara Sub-Sistem

Arus Informasi (nilai-nilai)

KEBENARAN JATI (ULTIMATE REALITY)

Fungsi Primer

DUNIA FISIK ORGANIS

Arus Energi

BUDAYA

SOSIAL

(Termasuk Hukum)

POLITIK

EKONOMI

Mempertahankan

sistem nilai yang

dipilih (latency)

Memelihara

ketertiban dalam

interaksi sosial

(integration)

Menetapkan tujuan dan

strategi pencapaian

(goal)

Menyesuaikan diri agar

dapat eksis/ bertahan

(adaptation)

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

105

Paparan Sidharta tersebut, memberikan gambaran tentang

keberadaan sub-sistem hukum yang mempunyai fungsi primer yaitu

untuk memelihara ketertiban dalam integrasi sosial (integration).

Penggunaan teori sibernetik Talcott Parsons dalam menjelaskan

karakteristik sistem hukum Indonesia menurut tafsiran Sidharta,

bahwa pola hubungan sibernetis antara sub-sistem tersebut, dapat

dicermati pada sistem hukum di Indonesia Deskripsinya sebagai

berikut: dari sudut arus informasi (nilai-nilai) merupakan produk

sistem budayanya. Sementara dari sudut arus energi, adalah produk

sistem politik. Perjalanan sistem hukum di Indonesia, baik dari unsur

substansi, struktur hukum, maupun budaya hukum, adalah hasil

kompromi dari desakan-desakan arus nilai dan energi tersebut.

Tafsiran sosial Sidharta terhadap karakteristik sistem hukum

Indonesia, dengan menggunakan rujukan teori sibernetik, sebenarnya

bertumpu pada asumsi melihat hukum di Indonesia sebagai produk

budaya yang mana tugas politik adalah mengintegrasikan nilai-nilai

tersebut, untuk berwujud sebagai aturan guna mengatur tata krama

pergaulan warga masyarakat Indonesia.

Dasar tafsiran Sidharta, dalam menerjemahkan tata hukum bangsa

Indonesia sebagai produk budaya, adalah merujuk kepada pendapat

Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa arus nilai-nilai budaya Indonesia

mengejawentah menjadi nilai-nilai tertentu yang hidup dalam sistem-

sistem budaya, politik, dan ekonomi. Ditinjau dari sudut nilai-nilai

tersebut, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, sistem budaya Indonesia

sebenarnya telah mengakumulasikan nilai teori, nilai ekonomi, nilai

agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Semua nilai

dimaksud, sangat berguna untuk memperjelas unsur-unsur dalam

sistem hukum Indonesia. Sebab, kompleksitas sistem hukum

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

106

Indonesia, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, dibentuk oleh

perjalanan sejarah, sehingga melahirkan sub-sistem adat, Islam, dan

barat. Alisjahbana melihat adanya lapisan-lapisan kebudayaan di

Indonesia yang hadir secara kronologis. Lapisan-lapisan tersebut,

sangat relevan untuk menjelaskan karakteristik sub-sistem hukum

yang ada dalam sistem hukum Indonesia.

Menurut Ali Sjahbana, pertama kali kebudayaan yang muncul

adalah Kebudayaan Indonesia asli. Hukum sebagai produk

kebudayaan Indonesia asli ini adalah hukum-hukum adat. Kebudayaan

asli Indonesia berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India.

Selanjutnya, kita memasuki masa pengaruh kebudayaan India

(Hindu). Selanjutnya, abad ke-13 sampai dengan abad ke-14, masuk

pengaruh Islam. Sejak saat itu, hukum Islam berkembang dan

memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-

17, kemudian masuk kebudayaan Eropa-Amerika yang bermula di

Eropa Barat dengan zaman Renaissance-nya. Akhirnya, pada kondisi

sekarang ini, menurut Sutan Takdir Ali Sjahbana, Indonesia

mengalami suatu kebudayaan yang disebut kebudayaan bhinneka

tunggal ika13

.

Lain perspektif maka tentu juga lain penafsiran. Satjipto

Rahardjo14

, dalam menerjemahkan karakteristik sebuah sistem hukum,

dengan menggunakan teori sibernetik versi Talcott Parsons, telah

memahami teori sibernetik tersebut, dengan memposisikan hukum

sebagai institusi sosial melalui pengadilan sebagai pusat kegiatannya.

Bagi Satjipto Rahardjo, ia sepaham dengan Harry C Bredemeier, yang

13

Ibid, 230-231. 14

Sajipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Pt Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm. 143-144.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

107

menerjemahkan teori sibernetik Talcott Parsons, terhadap posisi

hukum sebagai sub-sistem yang mengintegrasikan semua proses dari

beberapa sub-sistem dalam masyarakat, seperti sub-sistem ekonomi

yang memainkan proses adaptif, sub-sistem politik yang memainka

proses pencapaian tujuan, dan sub-sistem budaya yang memainkan

proses mempertahankan pola.

Dalam kedudukannya sebagai institusi yang melakukan

pengintegrasian terhadap terhadap proses-proses yang berlangsung

dalam masyarakat, hukum menerima asupan-asupan dari bidang

ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolahnya menjadi

keluaran-keluaran yang dikembalikan ke dalam masyarakat. Pada

waktu bahan yang harus diolah itu masuk, yaitu dalam bentuk asupan

itu tadi, wujudnya berupa sengketa atau konflik. Hukum dengan

perlengkapan dan otoritas yang ada padanya, menyelesaikan sengketa

itu tadi sehingga muncullah suatu struktur baru yang kemudian

dikembalikan ke dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, Satjipto

Rahardjo15

, mendeskripsikan fungsi hukum sebagai alat pegintegrasi

sosial versi Harry C Bredemeier, sebagai berikut:

15

Ibid.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

108

Ragaan 7

Hukum sebagai Alat Pengintegrasi versi Harry C Bredemeier

Berdasarkan ragaan tersebut, Satjipto Rahardjo mencatat bahwa

jika institusi hukum benar-benar hendak berfungsi sebagai sarana

pengintegrasi masyarakat, maka ia harus diterima oleh masyarakat

untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti, bahwa para anggota

masyarakat harus mengakui keberadaan institusi hukum sebagai

tempat dimana pengintegrasian dilakukan dan setiap warga

masyarakat harus bersedia untuk menggunakan dan

memanfaatkannya. Artinya, rakyat harus dapat dimotivasi untuk

menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik-

konfliknya.

Proses Adaptif

(Ekonomi)

Proses

Pencapaian

Tujuan (Politik)

Proses

Mempertahank

an Pola

(Budaya)

Hukum

(Mengintegrasi

kan,

Mengkoordinasi

kan)

Organisasi

yang

Efisien

Legitimasi

Keadilan

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

109

Baik Sidharta yang mengadopsi pandangan Sutan Takdir Ali

Sjahbana maupun Satjipto Rahardjo yang mengadopsi pandangan

Harry C Bredemeier, dalam mendudukkan hukum sebagai alat

pengintegrasi sosial dalam kerangka pandang Talcott Parsons,

sebenarnya kedua orang tersebut, memiliki titik pandang sama dalam

memposisikan hukum yang mengintrodusir nilai-nilai ekonomi,

politik, dan budaya untuk mengejawentah sebagai nilai yang

menjamin ketertiban dan keadilan di tengah masyarakat. Akan tetapi,

menurut pendapat penulis, posisi hukum pada fakta masyarakat

Indonesia terutama sejak era reformasi pasca tumbangnya rezim Orde

Baru, posisi hukum tidaklah sesederhana yang dipikirkan oleh

Sidharta sekedar sebuah nilai yang mereduksi atau mengintrodusir

nilai-nilai budaya, atau sebagaimana yang diargumentasikan Satjipto

Rahardjo, bahwa hukum sebagai sarana pengintegrasi masyarakat

melalui penguatan fungsi-fungsi pengadilan.

Menurut penulis, gambaran Talcott Parsons tentang struktur

masyarakat sebagai sebuah sistem dengan empat sub-sistem (ekonomi,

politik, sosial-hukum, dan budaya) sebagai alat kelengkapannya,

memang dapat diterima dalam konteks masyarakat pragmatis dan

permisif. Pada kondisi demikian, masyarakat pragmatis dengan basis

ideologi materialisme sebagai landasan kehidupan sosial, maka

sejatinya, telah menempatkan kepentingan ekonomi sebagai arus

utama yang dominan mempengaruhi interaksi sosial antar warga

masyarakatnya. Konteks masyarakat demikian, menempatkan manusia

sebagai “binatang ekonomi”, sehingga kepentingan politik dengan

arus utama tujuannya, adalah dedikasikan untuk kepentingan-

kepentingan ekonomi dan pasar.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

110

Penggunaan teori sibernetik versi Talcott Parsons, dalam

mensifatkan sistem hukum Indonesia, terutama sejak era reformasi,

memang bisa diterima tatkala kita mengamatinya secara empirik, yang

mengindikasikan semua proses dan dinamika hukum bangsa

Indonesia, telah berlangsung sistemik-linear untuk dan demi

kepentingan-kepentingan ekonomi. Apalagi dinamika politik hukum

negara ini sejatinya didedikasikan demi kepentingan para pemilik

modal, broker, trader, dan para pemilik kepentingan di sentra-sentra

ekonomi. Argumetasi ini, dapat diperkuat melalui beberapa contoh

produk undang-undang yang lahir, sejatinya beraroma demi

kepentingan liberalisme ekonomi. Proses penegakan hukum untuk

meringkus para koruptor kelas kakap terkesan setengah hati. Sebab

diduga para koruptor kelas kakap masih punya akses kuat dengan para

pemilik kepentingan di sentra-sentra kekuasaan dan jaringan bisnis

yang memegang kunci strategis perekonomian nasional.

Dalam proses pengadilan kita sekarang, kekuatan modal

tampaknya memang harus bicara. Para pihak yang berperkara yang

memiliki “kocek” yang tebal, sejatinya bisa memiliki akses

memperjuangkan hak-hak hukum dan keadilan. Sementara, kalangan

yang miskin, lemah, tak punya akses politik dan ekonomi, sangat sulit

berkompetesi di pengadilan memperjuangkan hak-hak hukum dan

keadilan. Apalagi salah satu asas beracara di Indonesia, bahwa

Berperkara Harus Dikenakan Biaya, seolah menjadi justifikasi bagi

sebahagian pengadilan di tanah air, untuk mengambil pungutan

kepada pihak berperkara dengan harga yang berlipat. Peluang ini pula

yang dimanfaatkan oknum-oknum di pengadilan untuk memeras para

pihak yang berperkara. Belum lagi, mafia peradilan dengan modus

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

111

memalak para pihak berperkara, telah menjadi fenomena yang

menggelayut lembaga peradilan Indonesia.

Carut marutnya lembaga peradilan Indonesia, yang beraroma suap,

salah satu diantaranya yang paling fenomenal adalah kasus Akil

Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, yang terlibat kasus

suap dalam sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah di tanah air.

Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil terbukti

menerima suap sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait

penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar),

Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1

miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS),

dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar). Hakim juga

menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap sebagaimana

dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1

miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten

Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian

terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).

Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta

dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem.

Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke,

Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan

Kabupaten Nduga. Sejumlah kepala daerah dan juga pihak swasta

turut terseret dalam pusaran kasus Akil. Sebut saja, Gubernur Banten

Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.

Keduanya terbukti menyuap Akil terkait sengketa Pilkada Lebak.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

112

Yang keduanya telah divonis penjara, empat tahun untuk Atut dan

lima tahun untuk Wawan kerabat dekat Atut16

.

Deskripsi berita yang dikutip penulis dari web site Berita Nasional

Kompas menyangkut carut marutnya dunia peradilan kita,

sesungguhnya untuk membuktikan secara empiris bila karakteristik

sistem hukum Indonesia sejak era reformasi, masih terkooptasi oleh

kepentingan-kepentingan ekonomi yang liberalistik. Sekaligus juga,

membuktikan bahwa pengintegrasian hukum dalam praktik empiris

lembaga peradilan Indonesia, pada beberapa segi masih terjebak oleh

pusaran untuk memperkuat atau memperbesar sumber-sumber

ekonomi.

Pada bahagian berikut, penulis mendeskripsikan secara skematis,

karakteristik sistem hukum Indonesia dengan mengadopsi teori

sibernetik Talcott Parsons, namun dengan sedikit beberapa revisi, agar

sesuai dengan realitas empirik masyarakat Indonesia, terutama sejak

era reformasi.

16

Dikutip dari Kompas.com, 27 Desember 2014, Judul Berita Kasus Suap

Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mukhtar yang Menggurita. Diakses 13

Mei 2015.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

113

Ragaan 8

Pendekatan Empiris Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

dengan Beberapa Sub-Sistem yang Mempengaruhi

Berdasarkan ragaan, penulis sedikit menjelaskan karakteristik sistem

hukum Indonesia dengan merujuk teori sibernetik Talcott Parsons,

melalui pendekatan beberapa sub-sistem yang turut mempengaruhi

karakteristik sistem hukum Indonesia tersebut. Sehingga, merujuk

teori sibernetik dengan sedikit modifikasi penulis, karakteristik sistem

hukum Indonesia, terutama pada era reformasi, sangat kental dengan

kepentingan ekonomi. Pada ragaan tersebut, variabel ekonomi sangat

mempengaruhi bekerjanya politik yang pada beberapa segi

Ekonomi

Budaya

Hukum

Politik

Untuk kepentingan

penguatan sumber-

sumber ekonomi

Alat kekuasaan

melindungi sumber-

sumber ekonomi Mengintegrasikan

kepentingan

kekuasaan atau

aparat hukum guna

melindungi atau

memperoleh akses

sumber-sumber

ekonomi

Mempertahankan

nilai-nilai

kehidupan yang

ditransformasikan

guna

mengumpulkan atau

mempertahankan

sumber ekonomi

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

114

berkepentingan untuk melindungi sumber-sumber ekonomi. Sehingga

untuk menjustifikasi kepentingan politik itu, hukum diperlukan utuk

mengintegrasikan kepentingan kekuasaan itu.

Kuatnya pengaruh ekonomi, yang mengkooptasi cara berpikir

sebahagian besar masyarakat Indonesia, yang dulunya sangat

memegang nilai-nilai relijiusitas dan hal-hal yang sifatnya mistis, tak

pelak mengalami transformasi radikal, sebagai dampak dari

globalisasi dan gurita liberalisme ekonomi serta gaya hidup hedonis,

yaitu nilai-nilai budaya transendental berubah kepada paradigma nilai-

nilai budaya kepentingan ekonomi an sich. Kepentingan ekonomi

menjadi mainstream nilai yang mengkarakter kuat dinamika hukum

bangsa Indonesia dengan segala pernak-perniknya.

Sekali lagi, penjelasan karakteristik sistem hukum Indonesia

tersebut, adalah gambaran karakteristik pada era reformasi yang

memang sangat kental dengan pengaruh sub-sistem ekonomi, dimana

budaya materialistik begitu kuat menjadi orientasi hidup masyarakat

Indonesia, sehingga berdampak pada semua proses hukum dan

dinamikanya, yang berjalan atas dasar pengaruh ekonomi. Seperti,

pada level elitis dengan mengambil contoh perancangan perda di

beberapa daerah provinsi, kota, dan kabupaten, ditenggarai berpihak

untuk memenuhi hasrat para pihak yang berkepentingan secara

ekonomi. Nilai-nilai budaya yang dulunya memegang teguh aspek

transendental, menjadi tergerus oleh nilai-nilai pragmatis-

materialistik.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

115

Unsur-Unsur Yang Mempengaruhi Sistem Hukum

Indonesia Hukum Indonesia sebagai sebuah sistem, bukanlah merupakan

nilai-nilai yang berkelindan dan berproses di ruang hampa bak menara

gading. Sistem hukum Indonesia sejatinya memiliki karakteristik

tersendiri, dengan berbagai unsur yang mempengaruhinya. Penjelasan

tentang unsur-unsur yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia,

pada konteks pembahasan ini, adalah berpijak pada teori yang digagas

oleh Lawrence Meier Friedmann, yaitu the Legal System.

Lawrence Meier Friedmann, berpendapat bahwa sistem hukum

suatu negara, paling tidak dipengaruhi oleh 3 (tiga) unsur, mencakup:

(1) Substansi Hukum; (2) Struktur Hukum; dan (3) Budaya Hukum.

Penjelasan rinci ketika unsur tersebut, sebagai berikut:

1. Substansi Hukum

Substansi hukum menurut Lawrence Meier Friedmann, the

substance is composed of substantive rules and rules about how

instittutions should be have. Yang dimaksud substansi hukum menurut

Friedmann, adalah aturan, norma, dan prilaku nyata manusia yang

berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan

oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup

keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.

Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), bukan

hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books)17

.

Substansi hukum, menurut Friedmann yang mengutip pendapat

H.L.A. Hart, merupakan sekumpulan peraturan yang berisi pedoman

17

Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan

Solusinya). Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. .

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

116

bertingkah laku dan perintah yang dikompilasikan sedemikian rupa

atau yang sudah dikodifikasikan yang mencakup peraturan-peraturan

bersifat primer dan peraturan-peraturan bersifat sekunder. Peraturan

primer, adalah norma-norma bertingkah laku, sedangkan norma-

norma sekunder adalah bagaimana peraturan primer tersebut

dijalankan18

.

Menurut penulis, peraturan primer, merupakan produk hukum

tertulis yang mengatur tentang kaidah-kaidah hukum bersifat umum,

yang diatur biasanya tidak bersifat operasional. Mengatur tentang hak,

kewajiban, dan sanksi hukum. Contoh peraturan primer, antara lain:

konstitusi, undang-undang, peraturan pengganti Undang-Undang, dan

peraturan daerah. Sedangkan peraturan sekunder, biasanya mengatur

tentang hal-hal bersifat operasional, sangat spesifik, atau merupakan

petunjuk pelaksanaan dari aturan-aturan bersifat umum sebagaimana

yang diatur dalam Undang-Undang atau peraturan pengganti Undang-

Undang. Contoh untuk ini, antara lain: peraturan pemerintah, instruksi

presiden, keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan gubernur,

keputusan walikota atau bupati.

Bagi Achmad Ali19

, yang memperluas lingkup substansi hukum,

tidak hanya mencakup produk hukum tertulis seperti undang-undang

atau peraturan pemerintah, dan yang semisalnya. Juga termasuk,

hukum yang hidup ditengah masyarakat (the livng law), contohnya,

hukum adat atau hukum kebiasaan. Hukum yang hidup di tengah

masyarakat, dipandang sebagai suatu kaidah hukum yang mengikat

tingkah laku warga masyarakat, adalah bertumpu pada pandangan

18

Lawrence Friedmann. 2011. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial

(Terjemahan oleh M Khozim). Nusa Media, Bandung, hlm. 16. 19

Achmad Ali, loc.cit.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

117

Von Savigny, bahwa hukum pada hakekatnya merupakan jiwa suatu

bangsa. Pandangan Von Savigny coba membuat sebuah antitesa

bahwa hukum itu pada dasarnya tidak dibuat (misalnya oleh

legislator) melainkan hidup dan berkembang di masyarakat. Hukum

lebih dilihat sebagai organis adanya. Artinya, hukum bukanlah realitas

yang statis melainkan senantiasa mengalami perubahan seiring dengan

perubahan tatanan, struktur, dan nilai-nilai di masyarakat itu sendiri.

Argumentasi ini, menurut M. Natsir Asnawi20

, juga didasari oleh

keprihatinan Von Savigny bahwa eksistensi undang-undang sebagai

elemen “premium” dalam hukum telah jauh meninggalkan akar

sosiologisnya, yaitu masyarakat yang dibuktikan dengan

ketidakberdayaan hukum dalam mengawal proses-proses sosial yang

memiliki implikasi hukum.

Substansi hukum dalam konteks sistem hukum Indonesia, adalah

segenap sumber hukum yang diberlakukan dalam tatanan hukum

masyarakat Indonesia, baik bersifat tertulis maupun yang bersifat

tidak tertulis. Tertulis dalam pengertian ini adalah produk hukum yang

dijustifikasi oleh kepala pemerintahan yang diumumkan dalam

lembaran negara. Contohnya, adalah undang-undang tertulis.

Sedangkan sumber hukum tidak tertulis, adalah segenap nilai-nilai

atau kaidah yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat,

kemudian nilai-nilai itu menjadi sebuah kelaziman yang berlangsung

terus menerus, yang akhirnya menjadi sebuah kaidah hukum yang

mengikat setiap warga masyarakat, setelah mendapat pengakuan

20

M. Natsir Asnawi. 2010. Mazhab Sejarah Hukum: Volksgeist dan

Dekonstruksi Hukum Nasional. Diakses dari natsirasnawi.blogspot.com, Mei

2015.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

118

sebagai nilai-nilai hukum oleh para tokoh masyarakat atau tokoh adat.

Contoh, hukum adat dan hukum kebiasaan.

Substansi hukum dalam konteks sistem hukum Indonesia,

merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi sistem hukum

Indonesia secara keseluruhan, sebab substansi hukum ini juga akan

menentukan kualitas penegakan hukum dalam konteks sistem hukum

Indonesia. Baik dan buruknya sistem hukum Indonesia, adalah akan

sangat ditentukan oleh muatan nilai yang terdapat dalam produk

hukum yang diberlakukan. Bila muatan nilai yang termaktub

didalamnya, adalah nilai-nilai yang mencerminkan ketidakadilan,

kezaliman, dan merugikan kemaslahatan masyarakat serta pada aspek

tertentu, sangat bertentangan dengan karakter nasional bangsa

Indonesia, maka dapat dipastikan produk hukum yang dilahirkan

tersebut, adalah produk hukum yang mencerminkan wajah buruk

sistem hukum Indonesia.

Begitu pula, jika produk hukum yang diberlakukan lebih

mencerminkan otoritarianisme politik penguasa atau kehendak politik

kekuasaan yang hanya untuk kepentingan para kroni, maka juga

dapat dipastikan melahirkan produk hukum despotis, tidak memihak

kepentingan rakyat, tidak egaliter, sewenang-wenang, dan kurang

memberikan keadilan bagi seluruh rakyat.

Begitu pentingnya substansi hukum sebagai salah satu unsur bagi

perbaikan sistem hukum Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan,

maka tentu saja muatan substansi suatu produk hukum, mestinya

menjadi titik perhatian utama para pemangku kebijakan di Indonesia,

sebab produk hukum merupakan bahagian integral yang tidak dapat

dipisahkan dari bangunan sistem hukum itu sendiri. Substansi hukum

bukan merupakan sesuatu yang terpisah secara parsial dari bangunan

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

119

sistem hukum suatu negara. Sebab substansi hukum menjadi

instrumen ruh bagi bergeraknya sistem hukum tersebut. Bila sistem

hukum kita ibaratkan sebagai sebuah kincir angin yang berputar maka

bahan bakar yang menghasilkan energi untuk menggerakkan kincir

angin tersebut, dapat diibaratkan sebagai substansi hukumnya. Dalam

hal ini Achmad Ali21

, pernah menulis:

Seyogyanya kita senantiasa memandang hukum sebagai satu

sistem yang utuh. Peraturan-peraturan dalam sistem hukum

Indonesia tidak boleh dipandang secara terkotak-kotak. Perbedaan

antara pandangan “seorang pokrol bambu” dan seorang akademisi

hukum adalah bahwa “sang pokrol bambu” hanya memandang

pasal-pasal undang-undang sebagai pasal yang berdiri sendiri,

terpisah dari sistem hukumnya, terpisah dari asas hukumnya,

terpisah dari aturan hukum lain dan terpisah dari rasa keadilan

masyarakat...”

Penjelasan Achmad Ali tersebut, adalah untuk mendeskripsikan

sebuah sistem hukum yang mesti dilengkapi substansi hukum,

misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lengkap

dengan sistematika dan asas-asas hukum yang tidak boleh terpisahkan

satu sama lain. Asas-asas hukum dalam peraturan perundang-

undangan, sebagai kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari spirit

undang-undang itu sendiri. Spirit undang-undang, mesti mewujudkan

keadilan, persamaan hukum, dan kepastian hukum yang sesuai fitrah

hukum warga masyarakat.

21

Achmad Ali, op.cit., hlm. 4.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

120

2. Struktur Hukum

Struktur hukum menurut Lawrence Friedmann, adalah the

structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent

shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that

keep the process flowing within bounds...”. Friedmann menjelaskan

bahwa struktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya, bagian

yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan

batasan terhadap keseluruhan dari sebuah sistem hukum22

. Kalau kita

mengibaratkan seperti kincir angin sebagaimana contoh sebelumnya,

maka orang yang menggerakkan kincir angin itu, dibaratkan sebagai

struktur hukum. Atau dalam pandangan Friedmann, struktur hukum

dapat diibaratkan sebagai kerangka yang menjadi tonggak bagi

pelaksanaan hukum dalam sebuah sistem. Struktur hukum, adalah

terdiri dari para aparat hukum yang diberikan tugas menjalankan

hukum untuk diterapkan secara paksa di tengah masyarakat. Mereka

ini dalam konteks sistem hukum Indonesia, umumnya terdiri dari

institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan

pengadilan. Misalnya kita berbicara tentang hirarki peradilan umum di

Indonesia, mulai dari yang terendah adalah pengadilan negeri hingga

yang terpuncak adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Juga

termasuk unsur struktur adalah jumlah dan jenis pengadilan serta

yurisdiksinya serta jumlah hakim agung dan hakim lainnya. Termasuk

juga para pengacara (penasihat hukum/advokat), dan notaris. Jelasnya,

struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still

photograph which freezes the action)23

.

22

Achmad Ali, op.cit., hlm. 1 23

Ibid., hlm. 4.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

121

Struktur hukum pada dasarnya juga merupakan variabel (unsur)

yang ikut mempengaruhi sistem hukum Indonesia, sebab di dalam

struktur hukum tercakup para pelaku hukum yang berperan penting

untuk menegakkan hukum. Bila para pelaku hukum tidak menjalankan

tugas pokok dan fungsinya secara profesional maka dapat dipastikan

berdampak pada kualitas penegakan hukum di Indonesia. Misalnya

para penegak hukum tersebut, menjalankan hukum, dengan mental

yang keropos yaitu karena mengharapkan imbalan materi, sehingga

berperilaku buruk menerima sogok, memenangkan suatu perkara yang

sudah jelas secara hukum salah.

Berpijak dari uraian tersebut, struktur hukum memang sejatinya,

juga harus mendapat perhatian penting. Sebab bila para aparat

penegak hukum dimaksud masih terlibat mafia perkara atau mafia

peradilan24

, tentu harapan pencari keadilan negeri ini terhadap proses

24

Istilah mafia peradilan yang penulis gunakan dalam pembahasan ini

adalah merujuk kepada pengertian yang umum digunakan dalam bahasa

komunikasi media massa dan media sosial lainnya, yaitu prilaku hakim,

polisi, atau jaksa, termasuk juga para pegacara yang mempermainkan hukum

atau memperjualbelikan pasal-pasal dengan cara menerima sogokan (uang

suap) dari salah satu pihak berperkara, yang tujuannya memenangkan perkara

dari pihak-pihak yang berkepentingan. Mafia peradilan dalam pengertian

dogmatik juga berarti "perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif,

kolektif dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak

hukum dan pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui

penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan

hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga

menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan "

(Definisi KP2KKN, tahun 2006). Penyalahgunaan wewenang sendiri

sebagaimana dimaksud, menurut Undang-Undang No 3/1971 yang telah

diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 31/ 1999 jo Undang-Undang No20/

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

122

penegakan hukumnya, akan semakin jauh, seperti pada contoh kasus

yang menimpa Akil Mochtar25

, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi

yang terlibat kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah yang

ditanganinya, selama menjadi hakim konstitusi. Sehingga, sangat

tragis bila para penegak hukum yang ditugaskan mengawal jalannya

proses penegakan hukum, tetapi pada faktanya masih ditemukan

oknum penegak hukum yang rela mempermainkan hukum hanya

untuk kepentingan materialistik atau untuk memperkaya diri sendiri.

Fakta masih kuatnya mafia peradilan yang marak berlangsung

dalam dunia peradilan Indonesia, antara lain pernah diungkap oleh

Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan

Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta pada 3 Juli

2014, bahwa ICW telah melaporkan ada 6 hakim Pengadilan Tipikor

yang tersangkut kasus korupsi yakni Asmadinata (Hakim Ad Hoc

Pengadilan Tipikor Palu), Heru Kisbandono (Hakim Ad Hoc

Pengadilan Tipikor Pontianak). Selain itu, Pragsono (Hakim

2001 termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Ada juga yang

memberikan pengertian mafia sebagai kekuatan terselubung (relasi antar

aktor yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses penegakan/implementasi

hukum hingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM. Sehingga dari dua

definisi tersebut mafia peradilan dapat diartikan sebagai kekuatan

terselubung (relasi antar aktor yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses

penegakan/implementasi hukum hingga mendorong terjadinya pelanggaran

HAM. 25

Akil Mochtar dinyatakan terbukti bersalah menerima hadiah dan tindak

pidana pencucian uang terkait kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah

(Pilkada) di Mahkamah Konstitusi. Hakim, menyatakan terdakwa Akil

Mochtar bersalah, dan ia dijatuhkan hukuman pidana seumur hidup,

demikian amar putusan Ketua Majelis Hakim, Suwidya di Pengadilan tindak

pidana korupsi, Jakarta, pada Senin 30 Juni 2014 malam.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

123

Pengadilan Tipikor Semarang), Setyabudi Tejocahyo (Hakim

Pengadilan Tipikor Bandung), Ramlan Comel (Hakim Ad Hoc

Pengadilan Tipikor Bandung) dan Kartini Marpaung (Hakim Ad Hoc

Pengadilan Tipikor Semarang). Tentu boleh jadi, data tentang

bobroknya dunia peradilan kita, telah merambah di beberapa wilayah

hukum pengadilan kita, yang tidak sempat ditulis dalam pembahasan

ini. Tetapi, data dan fakta tersebut, sudah merepresentasikan fenomena

struktur hukum di Indonesia yang semakin melemah dan keropos.

Ibarat fenomena gunung es, boleh jadi angka mafia peradilan di

negara ini, yang belum terdeksi lebih besar lagi dibanding yang sudah

terlacak baik oleh KPK maupun lembaga nirlaba anti korupsi seperti

Indonesia Corruption Watch (ICW)26

.

Mafia peradilan yang menyengat struktur hukum kita, sebagaimana

yang telah dideskripsikan oleh beberapa sumber, tidak hanya

26

Satu lagi contoh mafia peradilan di Indonesia, sebagaimana yang

dikutip dari website Tempo.com, berita tanggal 9 Desember 2014. Yang

diakses pada 10 Mei 2015, Dugaan mafia peradilan tersebut muncul setelah

ditemukannya tiga salinan putusan PN Mojokerto dengan amar yang

berbeda-beda padahal masih satu perkara bernomor 18/Pdt.G/2013/PN.Mkt.

Perkara tersebut adalah perkara perdata sengketa aset tanah negara beserta

bangunan diatasnya antara seorang advokat asal Surabaya, Tjandra Sridjaja

Pradjonggo, sebagai penggugat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto

sebagai tergugat I. Perkara ini sudah diputus di PN Mojokerto 12 Desember

2013 dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur 28 April 2014 dan Pemkot

Mojokerto tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sengketa

tiga bidang tanah dengan luas total sekitar 4.750 meter persegi beserta

bangunan diatasnya itu sangat berharga sebab jika dihitung nilainya mencapai

ratusan milyar. Oleh Pemkot Mojokerto tiga bidang tanah itu masih

digunakan untuk sekolah, kantor Inspektorat, dan Pusat Kegiatan Belajar

Masyarakat (PKBM)..

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

124

berwujud dalam bentuk prilaku suap yang berlangsung di dunia

peradilan tetapi juga dalam sepuluh tahun terakhir sejak era reformasi,

berbagai jajak pendapat oleh media massa masih menunjukkan

ketidakpuasan masyarakat yang cukup tinggi terhadap kinerja aparat

penegakan hukum, dari kepolisian, kejaksaan, hakim; bahkan terhadap

pengacara/advokat. Akuntabilitas penegakan hukum menjadi sorotan

banyak kalangan, terutama karena masih terjadi banyak keanehan dan

penyelewengan dalam proses penegakan hukum itu sendiri27

.

Carut-marutnya struktur hukum kita, tampak juga dari proses

peradilan pidana sering diwarnai berbagai praktik seperti ini:

penangkapan atau penahanan yang berkepanjangan, tetapi orang

dan berkas perkaranya tak kunjung sampai di pengadilan; berkas

perkara sudah bertahun-tahun dilimpahkan ke pengadilan, namun

perkaranya dibiarkan tanpa disidangkan dan terdakwa sudah kurus

kering mendekam sekian tahun dalam tahanan; penangkapan atau

penahanan tanpa surat perintah dan penjelasan kejahatan yang

disangkakan dan didakwakan; kekerasan dan penyiksaan dalam

penyidikan maupun penuntutan. Belakangan, untuk melunakkan

dampak diskresi dan penyalahgunaan wewenang aparat penegak

hukum tersebut, negosiasi dan mafia peradilan juga berkembang28

.

3. Budaya Hukum

Budaya hukum sebagai sebagai salah satu unsur yang

mempengaruhi sistem hukum Indonesia, juga merupakan salah satu

27

Mohammad Fajrul Falakh. 2009. Akar-Akar Mafia Peradilan Di

Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum). Komisi Hukum

Nasional Republik Indonesia, hlm. 46-48. 28

Ibid.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

125

titik perhatian utama yang tidak boleh dinafikan begitu saja.

Mengingat budaya hukum ikut mengambil peran strategis dalam

rangka memperkokoh bangunan sistem hukum Indonesia itu sendiri.

Menurut Achmad Ali29

, dengan mengutip pendapat Friedmann,

budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem

hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum

ini juga dapat didefinisikan sebagai ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-

kepercayaan, harapan-harapan, dan opni-opini tentang hukum.

Artinya, menurut Lawrence Friedmann bahwa Legal culture refers,

then to those parts of general culture-costums, opnions, ways of doing

and thinking-that bend social forces toward from the law and

inparticular ways. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi

penentu jalannya proses hukum. Kultur hukum, menurut Achmad Ali,

adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan

bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa

kultur hukum, kata Achmad Ali, maka sistem hukum itu sendiri tidak

berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti

ikan hidup yang berenang di laut.

Bila menerjemahkan pendapat Lawrence Friedmann, kultur hukum

dapat berwujud dalam bentuk sikap-sikap dan pemikiran hukum

masyarakat terhadap hukum yang mencakup kesadaran hukum,

persepsi warga masyarakat terhadap pemberlakuan produk hukum

tertulis tertentu, atau juga penerimaan atau penolakan warga

masyarakat terhadap hukum yang sedang maupun akan diberlakukan.

Semua sikap dan pemikiran hukum masyarakat tersebut, lahir karena

dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu, antara lain motif politik,

29

Achmad Ali, op.cit., hlm. 2.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

126

motif ideologi, motif ekonomi dan motif psikologis. Tapi yang paling

kuat diantara semua motif tersebut, adalah motif ideologi.

Berdasarkan uraian tersebut, ketiga unsur sistem hukum, dapat

dideskripsikan, secara singkat berikut ini:

a. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin;

b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh

mesin itu.

c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan

untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan

bagaimana mesin itu digunakan.

Namun, yang sangat disayangkan menurut Achmad Ali30

, adalah

fakta bahwa ketiga unsur sistem hukum Indonesia mengalami

keterpurukan yang luar biasa. Keterpurukan inilah yang berdampak

melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan

hukum di Indonesia. Karena itu, Achmad Ali, pernah menyindir

penegakan hukum Indonesia, yang tampak terjerumus oleh budaya

materialistik dan pragmatis:

Oleh karena itu, tidak mustahil kelak muncul seuntai syair bagi

para penegak hukum yang juga bernada menggeneralisasi yang

bunyinya: “Mereka tak mempraktikkan hukum, tetapi mereka

hanya bersembunyi dibelakangnya. Mereka menggunakannya

sebagai palu untuk melindungi para koruptor dan pelanggar HAM

yang punya duit besar dan kekuasaan. Mereka tak tertarik kepada

hukum, tetapi hanya mau menang. Sebab kemenangan di

pengadilan memuaskan ego mereka dan mengisi kantong mereka.

Demi uang mereka serahkan integritas mereka. Demi uang,

membuat keadilan menjadi frustasi...”

30

Ibid.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

127

Mencermati pandangan Achmad Ali tentang fenomena

keterpurukan hukum Indonesia, maka untuk menelisik secara

mendalam faktor-faktor penyebabnya, lebih tepat menggunakan

analisis dengan pendekatan sistem versi Lawrence Friedmann,

sebagaimana teori sistem ini, dielaborasi lebih lanjut oleh Achmad

Ali. Dalam perspektif pendekatan sistem tersebut, keduanya, sama

memandang bahwa penegakan hukum suatu negara, termasuk

Indonesia, tidak boleh abai, untuk memperhatikan unsur substansi

hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur ini

berkelindan satu sama lain saling mempengaruhi. Siapapun juga, tidak

boleh mengabaikan salah satu unsur tersebut, sebab mengabaikan

salah satu unsur, dapat mengakibatkan kepincangan berjalannya

sebuah sistem hukum pada suatu negara. Kepincangan sistem hukum,

justeru membuat warga masyarakat semakin frustasi untuk berharap

mendapatkan jaminan keadilan dan kepastian hukum.

Pergulatan Nilai Hukum Relijiuisme dan Liberalisme

terhadap Karakteristik Sistem Hukum Indonesia Salah satu faktor penting yang juga sangat mempengaruhi

karakteristik sistem hukum Indonesia adalah nilai hukum. Sebab nilai

hukum, secara prinsip, merupakan suatu postulat nilai yang secara

konkrit dibelakukan untuk mengatur perikehidupan atau interaksi

sosial masing-masing individu dalam kehidupan masyarakat. Hukum

sebagai postulat nilai, apabila ditelisik lebih jauh dan mendalam,

sejatinya digali dari sebuah perspektif berpikir yang mempengaruhi

cara pandang manusia terhadap kehidupan. Lebih jauh lagi, cara

pandang manusia terhadap kehidupan, tidak pernah terlepas dari tiga

persoalan pokok, yaitu Asal Manusia, Tujuan Hidup Manusia, dan

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

128

Akhir Kehidupan Manusia. Inilah tiga simpul pokok yang

mempengaruhi postulat nilai hukum tersebut. Secara garis besarnya,

tiga simpul pokok tersebut penulis ketengahkan pada ragaan berikut

ini:

Ragaan 9

Tiga Simpul Pokok Landasan Postulat Nilai Hukum

Terhadap tiga simpul pokok yang dihadapi sebagai problematika

mendasar yang dihadapi umat manusia, maka tiga ideologi besar

memberikan jawaban yang berbeda secara ekstrim satu sama lain.

Yaitu Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Kapitalisme yang

mengusung sekulerisme sebagai titik pijak postulat nilainya,

memandang bahwa asal manusia memang diciptakan oleh Tuhan yang

mana pandangan tentang Ketuhanan itu diserahkan kepada hak

individual masing-masing warga masyarakat. Namun pada tataran

untuk menjawab apa tujuan hidup manusia, kapitalisme melalui ajaran

sekuleristiknya, menjelaskan bahwa manusia hidup adalah untuk

mencapai kesenangan dunia yang bersifat jasadiyah yang sebesar-

besarnya. Untuk mencapai tujuan kesenangan dunia tersebut, menurut

kapitalisme, manusia memerlukan materi atau modal sebagai alat

tukarnya. Maka jadilah karakter manusia kapitalistik sebagai pemburu

ASAL

KEHIDUPAN

MANUSIA

TUJUAN

HIDUP

MANUSIA

AKHIR

KEHIDUPAN

MANUSIA

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

129

materi, uang, atau modal yang sebanyak-banyaknya. Peran Tuhan atau

Agama dalam konteks pemahaman kapitalistik, adalah diabaikan

sebagai pembuat aturan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia.

Nilai-nilai Agama diabaikan sebagai norma terapan untuk menjadi

landasan bagi pengaturan pergaulan hidup sosial masyarakat. Agama

dipinggirkan sekedar sebagai ritual di rumah-rumah ibadah. Hukum

hanya boleh lahir hasil berpikir logis manusia. Inilah yang disebut

sekulerisme, yaitu pemisahan antara Agama dengan kehidupan sosial

dunia.

Berbeda dengan sosialisme yang menghasilkan ajaran komunisme,

titik pijak postulat nilai yang dianutnya adalah pada ketidakpercayaan

Agama atau keberadaan Tuhan sebagai pencipta. Pemahaman

demikian, kemudian meniscayakan ketiadaan pencipta alam semesta,

yang bagi penganut sosialisme-komunisme sejati sebagaimana yang

dikembangkan terutama oleh Karl Marx, bahwa alam semesta dan

mahluk hidup yang terdapat di dalamnya, ada dan tiada karena terjadi

dengan sendirinya melalui sebuah siklus apa yang disebut sebagai

evolusi materi. Dari sinilah berkembang pandangan dialektika

materialisme yang menjadi arus utama pemikiran sosialisme.

Sehingga hukum dalam pandangan sosialisme, merupakan sebuah

postulat nilai yang tidak boleh keluar dari koridor dialektika

materialisme, yang keberadaannya dinetralisir melalui otoritarianisme

kekuasaan.

Adapun Islam sebagai dien yang merupakan risalah dari langit

yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan, tentu

saja memiliki pandangan yang sangat berbeda secara diametral dengan

kapitalisme dan sosialisme. Islam berpandangan bahwa manusia

diciptakan oleh Tuhan yang Esa yaitu Allah SWT, dengan tujuan

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

130

hidup didunia adalah memanifestasikan peribadatan kepada Allah

SWT dengan cara menerapkan syariah Islam dalam semua aspek

kehidupan karena Islam menetapkan ada kehidupan akhirat dimana

manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang pernah

dilakukannya selama hidup di dunia.

Jadi sesungguhnya apabila menilisik landasan kefilsafatan postulat

nilai dari hukum itu sendiri, maka ia sesungguhnya tidak pernah

terlepas dari persoalan problematika umat manusia yang antara lain

adalah problematika tentang tujuan hidup manusia. Keberadaan

hukum memang diadakan untuk mengatur kehidupan manusia dalam

mencapai tujuan-tujuannya. Dari situ juga berkembang perspektif

tentang apa yang dimaksud keadilan, persamaan hukum, kepastian

hukum yang tentu saja penafsiran dan penerjemahannya sesuai dengan

pengaruh ideologi hukum yang mengkooptasi perspektif berfikir

masyarakat tentang kehidupan.

Menelisik perjalanan dinamika hukum di Indonesia sebagai satu

sistem, meskipun bangunan sistem hukum Indonesia sangat kental

dengan nuansa kemajemukan (pluralistik), namun pergulatan nilai

hukum relijiustik dan liberalistik, masih tetap merupakan medan yang

saling bergulat dan berebut pengaruh satu sama lain. Pergulatan ini

merupakan konsekuensi logis, pengaruh sistemik nilai hukum yang

mengakar kuat dalam interaksi sosial masyarakat kita dari masa ke

masa sampai saat ini. Yaitu nilai hukum relijiustik yang

direpresentasikan oleh hukum syariah sebagai bahagian dari

pandangan hidup hukum mayoritas bangsa Indonesia, agama Islam.

Dan nilai hukum liberalisme yang direpresentasikan melalui

pengadopsian nilai-nilai hukum barat yang kapitalistik-sekuler.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

131

Sebenarnya, bila kita melacak telusur nilai hukum relijiustik yang

mengakar kuat dalam realitas kehidupan hukum masyarakat

Indonesia, telah bermula sejak masuknya Islam di nusantara. Artinya,

ketika Islam masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad pertama

hijriyah atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi31

. Secara

otomatis Islam diterima tidak sekedar sebagai agama ritual tetapi

Islam juga diterima sebagai nilai hukum yang mengatur interaksi

sosial masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Argumentasi bahwa

nilai hukum Islam telah mengkarakter kuat dalam sistem hukum

Indonesia, sejak masa Kesultanan Islam di Nusantara, juga diakui oleh

ahli hukum Islam berkebangsaan Belanda, Professor Mr Lodewijk

Willem Christian van den Berg (1845-1927), ia pernah tinggal di

Indonesia antara 1870-1887. Sebagai pemerhati hukum Islam di

Nusantara, Christian van den Berg, ia mengeluarkan teori yang sangat

terkenal yaitu teori receptie in complexu. Berdasarkan teorinya ini,

Christian van den Berg, berpendapat bahwa bagi orang Islam di

Nusantara telah memberlakukan penuh hukum Islam dalam interaksi

kehidupan sosial, sebab orang Islam di Nusantara telah memeluk

agamanya, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa

31

Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat. 2005. Kedudukan

Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam

Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas

Indonesia, Jakarta, hlm. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan

bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13

dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada

fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran

waktu tersebut. Lihat. Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara;

Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Paramadina,

Jakarta, hlm. 21.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

132

penyimpangan, tetapi orang Islam di Nusantara sebelum Belanda

datang, dengan misi dagang VOC, telah didapati banyak kerajaan

Islam yang memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dalam

setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Mazhab hukum yang dianut

kerajaan Islam Nusantara, lebih didominasi oleh Mazhab Syafi‟i.

Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara tersebut telah menerapkan nilai-

nilai hukum Islam sebagai satu-satuya norma yang mengatur

perikehidupan warga masyarakatnya dan masyarakat menerima penuh

nilai-nilai hukum Islam yang diberlakukan tersebut.

Jadi nilai hukum relijiusitas yang direpresentasikan oleh penerapan

hukum Islam di Indonesia, merupakan potret sosial, yang

mengkarakteristik sistem hukum Indonesia. Namun dengan masuknya

nilai hukum liberalisme, yang coba dipaksakan pemberlakuannya oleh

Kolonialisme Belanda, akhirnya menandai pergulatan nilai hukum

yaitu nilai hukum relijiusitas versus nilai hukum liberalisme.

Pergulatan ini mencapai titik kulminasi setelah Kolonialisme Belanda

melakukan pemberlakuan penggolongan penduduk dengan

menerapkan Pasal 131 Indische Staatsregeling jo 163 I.S. Yaitu:

1. Bagi golongan bumi putera berlaku hukum adat;

2. Bagi golongan Eropa berlaku hukum Eropa;

3. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa berlaku hukum Eropa

kecuali untuk beberapa hal;

4. Bagi Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, berlaku sebahagian

hukum perdata Eropa, kecuali untuk masalah keluarga.

Tujuan pemberlakuan penggolongan penduduk tersebut,

sebenarnya untuk meminggirkan Islam sebagai aturan (hukum) dalam

tatanan kehidupan masyarakat Islam di Nusantara, karena Islam

dipandang sebagai arus utama penghambat Kolonialisme Belanda.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

133

Apalagi setelah Christian Snouck Hourgronye menentang teori

Receptio in Complexu, dan berpendapat bahwa hukum yang berlaku

bagi orang Islam bukanlah hukum Islam tetapi hukum Adat. Dalam

Hukum Adat telah masuk pengaruh hukum Islam tetapi pengaruh itu

baru mempunyai kekuatan hukum bila telah benar-benar diterima oleh

Hukum Adat (Berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo).

Pendapat ini dengan Theorie Receptie yang kemudian diikuti oleh

Cornelius van Vollenhoven dan Bertrand Ter Haar. Melalui Theorie

Receptie ini Belanda mulai membiasakan penggunaan hukum Belanda

di Indonesia terutama bidang hukum perikatan, dengan jalan

menghapus pemberlakuan hukum Islam pada bidang perikatan dari

aktivitas perdagangan karena dianggap tidak berlaku lagi di

Indonesia.”

Semenjak Kolonialisme Belanda mencengkramkan penjajahannya

di Nusantara berbarengan dengan itu pula cengkraman nilai hukum

liberalisme mulai mengkarakter sistem hukum Indonesia. Genderang

perang, pergulatan nilai hukum relijiusitas dan nilai hukum

liberalisme, mulai ditabuh. Pergulatan tersebut, terutama

dilatarbelakangi oleh kepentingan ideologi dan kepentingan politik.

Kolonialisme Belanda berkepentingan secara ideologi politik, untuk

menguras sumber-sumber kekayaan alam Indonesia atas nama

kepentingan Kerajaan Belanda. Sedangkan, masyarakat Islam

Nusantara berkepentingan untuk mempertahankan keyakinan

ideologis mereka, yaitu Islam sebagai keyakinan yang sudah tumbuh

dalam sanubari mereka serta telah menjadi hukum yang hidup (the

living law) dalam interaksi sosial antar warga masyarakat di

Nusantara.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

134

Titik kulminasi pergulatan nilai hukum relijiusits dan nilai hukum

yang condong liberalistik, kembali mewarnai panggung sejarah

Indonesia, saat perdebatan seru antara the founding fathers Negara

Indonesia Merdeka di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang merupakan bentukan Jepang

pada tahun 1945, tentang apa yang menjadi dasar negara Indonesia,

bila Indonesia telah berdiri sebagai negara merdeka yang berdaulat.

Perdebatan berlangsung seru antara kelompok yang mewakili Islam

Nasionalis dengan kelompok Nasionalis Sekuler. Kelompok Islam

Nasionalis, berkeinginan agar dasar negara Indonesia tetap bertumpu

pada nilai-nilai hukum relijiusitas berbasis syariah Islam, karena

alasan mayoritas penduduk Indonesia, adalah muslim dan karena

alasan historis bahwa sejak dulu suku-suku bangsa di nusantara sudah

menerapkan syariat Islam dalam interaksi kehidupan sosial politiknya.

Sedangkan, kelompok Nasionalis Sekuler, menolak usulan kelompok

Nasionalis Sekuler karena alasan realitas kehidupan masyarakat

Indonesia, adalah majemuk dan beragam dimana di wilayah Indonesia

tidak hanya berdomisili warga muslim tetapi juga warga non-muslim

lainnya.

Perseteruan antara kelompok Islam Nasionalis dengan kelompok

Nasionalis Sekuler, akhirnya ditengahi dengan kesepakatan yang

dituangkan dalam Dokumen Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,

yang pada diktum pertama memuat kata-kata “Ketuhanan Yang

Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi

Pemeluk-Pemeluknya”. Sejumlah ahli hukum dan intelektual waktu

itu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Piagam Jakarta ini.

Professor Soepomo menyatakan bahwa Piagam Jakarta merupakan

perjanjian luhur. Doktor Sukiman menyebutnya: Gentleman

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

135

Agreement dan Mr . Muhammad Yamin menamakan Jakarta Charter.

Sedangkan Prof. Dr. Drs. Notonagoro SH menjulukinya; Suatu

perjanjian moril yang sangat luhur.

Tarik menarik nilai hukum relijiusitas dengan nilai hukum

liberalisme, tampaknya menjadi sebuah keniscayaan yang mewarnai

realitas kehidupan hukum masyarakat Indonesia dari masa ke masa.

Tarik menarik tersebut mengalami pergulatan di tengah jalan

peradaban bangsa ini, yang satu sama lain berebut pengaruh untuk

mendominasi interaksi sosial bangsa Indonesia. Dan tampaknya nilai

hukum liberalisme masih menjadi variabel berpengaruh sangat

signifikan terhadap sistem hukum Indonesia. Kuatnya nilai hukum

liberalisme, tampak pada pemberlakuan BW produk Kolonial Belanda

dalam sistem hukum keperdataan di Indonesia. Sudah dapat dipastikan

BW merupakan kodifikasi hukum bidang keperdataan yang

sekuleristik dengan paradigma liberalisme hukum yang menjadi

penopangnya.

Nilai-nilai sekulerisme yang mengkarakter kuat dalam BW yang

berlaku dalam sistem hukum Indonesia, memang dapat dikatakan

sangat beralasan, sebab jejak historis BW dari sudut pandang

kelahirannya, adalah berasal dari negeri Belanda yang dikodifikasikan

tahun 1838 yang diberlakukan berdasarkan asas konkrdansi.

Sedangkan BW Belanda mengikuti Code Civil Perancis yang terkenal

dengan nama code Napoleon yang mulai diberlakukan tahun 180732

.

Sehubungan dengan itu, Menurut Afdol33

, sekulerisme adalah paham

32

Afdol. 2009. Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam Di Indonesia.

Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 9. 33

Ibid., hlm. 1-2.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

136

yang berusaha membebaskan diri dari ajaran-ajaran agama dan merasa

cukup dengan membuat aturan-aturan hukum berdasarkan

pertimbangan rasional belaka sebagai contoh, berjudi dan menenggak

minuman keras merupakan perbuatan yang dilarang. Namun apabila

perbuatan termasuk menurut pertimbangan rasionalitas tidak

merugikan atau melanggar hak orang lain, yang dalam pengertian

lebih luas tidak sampai mengganggu Hak Asasi Manusia (HAM),

maka menurut sekulerisme judi dan mabuk-mabukan bukanlah

sesuatu yang melanggar hukum. Apa yang dikemukakan oleh Afdol,

sekaligus memberikan gambaran kepada kita tentang karakteristik

nilai-nilai Hukum Eropa yang tidak bisa dilepaskan dari ideologi

sekulerisme yang menyangganya sehingga dapat dikatakan bahwa

penormaan nilai-nilai Hukum Eropa senantiasa mengadopsi

rasionalisme dalam pengertian pijakan rasional yang tidak

mengkarakterkan nilai-nilai spiritualisme (agama).

Nilai-nilai hukum relijiusitas sekali lagi hendak memperkuat

eksistensinya dalam tatanan sistem hukum Indonesia, yakni tatkala

pemegang otoritas kekuasan di Indonesia telah menggaransi

kehidupan hukum bagi masyarakat Islam Indonesia melalui legalisasi

beberapa nilai-nilai hukum, terutama berkaitan dengan bidang-bidang

hukum privat termasuk bidang hukum munakahat ke dalam produk

Undang-Undang nasional, misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun

1974; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam

Lembaran Negara RI Nomor 159 Tahun 2004; Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Lembaran Negara RI

Nomor 22 Tahun 2006; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

137

tentang Perbankan Syariah dalam Lembaran Negara RI Nomor 94

Tahun 2008; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Presiden RI pada

tanggal 10 Juni 1991; dan Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 10

September 2008, serta masih banyak lagi peraturan hukum tertulis

lainnya yang mengatur tentang bidang-bidang keperdataan yang

tunduk berdasarkan dogma hukum Islam.

Mencermati berbagai produk hukum tertulis yang mengatur

berbagai hubungan hukum privat bagi masyarakat muslim di

Indonesia tersebut, semakin menunjukkan bahwa masyarakat muslim

Indonesia telah mendapat legalitas untuk mengatur hubungan-

hubungan hukum privat mereka dengan berbasis kepada Syariah

Islam, mulai dari hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris,

bahkan juga untuk bidang-bidang transaksi keuangan lainnya.

Namun demikian, pergulatan nilai hukum relijiusitas dan nilai

hukum liberalisme dalam tatanan sistem hukum Indonesia bakal terus

berlangsung sebagai sebuah dinamika hukum yang saling tolak

menolak. Apalagi memasuki era reformasi, sebagaimana ditulis oleh

Muchtar Effendi Harahap dan Muhammad Sutopo34

, dalam menyoroti

kegagalan rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,

kebanyakan peraturan per-undang-undangan (Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, termasuk Peraturan Daerah), terbit dalam

pengaruh kepentingan/motif kelompok usaha bisnis/kapital, atau

pengaruh lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, bukan

34

Muchtar Effendi Harahap dan Muhammad Sutopo. 2010. Kegagalan

SBY dalam Fakta dan Angka. Pustaka Fahima, Yogyakarta, hlm.109.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

138

memihak negara dan rakyat. Indikasi Undang-Undang yang lebih

berpihak pada kepentingan korporasi asing dapat ditemukan di

sejumlah Undang-Undang seperti:

a. Undang-Undang Minyak dan Gas.

b. Undang-Undang Privatisasi Air.

c. Undang-Undang Privatisasi BUMN.

d. Undang-Undang Penanaman Modal.

e. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil.

f. Undang-Undang Pelayaran.

Kuatnya nuansa neo-liberal yang tampak pada karakter politik

hukum rezim Susilo Bambang Yudhoyono, malah sampai

menggerogoti lembaga pendidikan tinggi, misalnya terlihat pada

penggodokan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Keberadaan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,

sejak awal ditentang dengan keras banyak kalangan karena diyakini

adanya nuansa neo liberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban

pemerintah sebagai penanggungjawab dalam upaya mencerdaskan

bangsa dengan menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas dan

murah. Padahal sangat dikuatirkan apabila Undang-Undang Badan

Hukum Pendidikan menjadi jalan lempang menuju privatisasi

pendidikan yang akan membuat lembaga pendidikan dikelola dengan

menggunakan model perusahaan yang akan berusaha mencari

keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses

pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah.

Pada April 2010 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ini

dibatalkan Mahkamah Konstitusi RI dengan alasan bertentangan

Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

139

dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat.

Alasan Mahkamah Konstitusi. Pertama, secara yuridis Undang-

Undang Badan Hukum Pendidikan tidak sejalan dengan undang-

undang level pendidikan lainnya, dan subtansinya saling bertabrakan;

Kedua, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, tidak memberikan

dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik; Ketiga,

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, melakukan

penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh

badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti

yayasan, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.

Penampilan contoh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,

yang diduga bernuansa neo-liberal, adalah untuk membuktikan

argumentasi bahwa nilai-nilai hukum liberalisme masih mengkarakter

kuat dalam sistem hukum Indonesia, terutama pada era reformasi

dengan mengambil studi rezim pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono. Sehingga tatanan sistem hukum Indonesia yang

diharapkan mampu memberikan keadilan serta kemanfaatan hukum

yang berpihak kesejahteraan dan rasa tentram masyarakat nyaris

tinggal angan-angan.

BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

140

BAB 4

SUMBER-SUMBER HUKUM DALAM SISTEM

HUKUM INDONESIA

Pengertian Sumber Hukum Pembahasan tentang sumber hukum dalam pembelajaran ilmu

hukum merupakan sesuatu yang sangat penting, terutama jika

pendekatan pembahasan tersebut menggunakan analisis hukum

normatif. Bagi kalangan yuris dan para sarjana hukum, pembahasan

sumber hukum, menjadi salah satu dasar untuk menghasilkan sebuah

argumentasi hukum terhadap suatu isu hukum yang sedang dihadapi.

Sumber hukum ini pula yang menjadi titik anjak bagi para profesional

hukum, seperti hakim, jaksa, advokat, notaris, konsultan hukum,

polisi, dalam memecahkan kasus-kasus hukum yang mereka hadapi.

Sumber hukum ini pula yang memberikan karakteristik ilmu hukum

sebagai sesuatu yang sifatnya hitam dan putih. Sebab hukum memang

pada hakekatnya berbicara tentang sebuah nilai yang merumuskan ide

menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Inilah yang dimaksud bahwa hukum membawa sifat hitam dan putih.

Mengenai pengertian sumber hukum, beberapa penulis hukum

memberikan pengertian yang beragam. Antara lain, Peter Mahmud

Marzuki1, mengartikan sumber hukum sebagai bahan-bahan yang

digunakan untuk menjadi dasar bagi pengadilan dalam memutuskan

perkara. Istilah sumber hukum, kata Peter Mahmud Marzuki dengan

mengutip pendapat Paton, mengandung banyak pengertian, yang dapat

dilihat dari sudut pandang historis, sosiologis, filosofis, dan ilmu

hukum. Masing-masing disiplin mengartikan sumber hukum dari

sudut pandangnya masing-masing. Bagi sejarawan dan sosiologi, kata

Peter Mahmud Marzuki, sumber hukum tidak lebih sekedar dari gejala

sosial sehingga harus didekati secara empiris. Filosof dan yuris,

sebaliknya, memandang sumber hukum sebagai keseluruhan aturan

tingkah laku dan sistem nilai. Namun demikian, pandangan Peter

Mahmud Marzuki, tentang sumber hukum secara umum, ia merujuk

kepada pemikiran normatif-dogmatik, sebagaimana yang

1 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana

Prenada Media Grup, Jakarta, hlm.255.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

141

dikemukakannya bahwa sumber hukum haruslah memuat nilai-nilai

yang dapat menjamin eksistensi manusia.

Achmad Ali2, memberikan pendapat sumber hukum adalah tempat

dimana hukum itu ditemukan. Dalam pandangan Achmad Ali, sumber

hukum kerapkali juga disebut dengan hukum, ia mengambil contoh

putusan hakim di pengadilan. Artinya, putusan hakim sebagai sumber

hukum ia akan menjadi yurisprudensi, sedangkan putusan hakim

sebagai hukum berarti, putusan hakim itu akan menjadi norma yang

mengikat bagi pihak yang disebutkan dalam putusan hakim tersebut.

Namun demikian bagi Achmad Ali, sebuah sumber hukum haruslah

memuat nilai-nilai sosial yang tumbuh berkembang di tengah

masyarakat, karena sebuah sumber hukum sejatinya harus sesuai

dengan jiwa hukum masyarakat itu sendiri.

Dari pengertian sumber hukum tersebut, maka menurut penulis,

sumber hukum dapat diartikan sebagai tempat dimana dalil-dalil

atau kaidah-kaidah penormaan hukum dapat digali atau

ditemukan untuk menjadi dasar bagi penetapan suatu peristiwa

atau perbuatan manusia, yang terumus menjadi postulat nilai,

yang ditetapkan sebagai sesuatu yang tercela, baik, buruk,

perintah, larangan, yang boleh dilakukan dan tidak boleh

dilakukan, serta sebagai sesuatu yang bersifat pengaturan yang

harus ditaati.

Menurut penulis, pengertian sumber hukum yang mencerminkan

muatan nilai-nilai, adalah sudah tepat, karena sumber hukum akan

menjadi landasan argumentasi bagi para yuris dalam merumuskan

suatu perbuatan atau peristiwa yang masuk dalam ranah hukum.

Artinya, sumber hukum menjadi landasan argumentasi bagi para

2 Achmad Ali. 2008. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia, Bogor,

hlm.84.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

142

sarjana hukum dalam menetapkan sebagai sesuatu dalam perspektif

nilai etis. Sekaligus, ini membedakan titik pijak berpikir kalangan

diluar hukum. Contoh, ahli politik, menetapkan nilai suatu perbuatan,

akan melihatnya dari sudut pandang kepentingan kekuasaan. Begitu

pula, ahli ekonomi, akan melihatnya dari sudut pandang apakah

memberikan keuntungan atau mendatangkan kerugian. Misalnya,

mencuri merupakan perbuatan jahat (tercela), menurut pandangan

yuris (ahli hukum), karena perbuatan itu merampas hak milik orang

lain, atau karena bertentangan dengan nilai-nilai etis menyangkut cara

memperoleh kepemilikan, sebagaimana yang didalilkan dalam

undang-undang tertulis sebagai sumber hukum. Bagi ahli ekonomi,

perbuatan mencuri, dapat dianggap perbuatan tercela apabila

berdampak merugikan orang lain dari segi mengurangi nilai modal.

Sedangkan, ahli politik menganggap tindakan pencurian merupakan

perbuatan tercela bila perbuatan dimaksud memberikan citra yang

merusak kredibilitas status quo pemegang kekuasaan. Tentu saja

takaran nilai suatu tindakan dapat disebut tercela atau tidak, baik

menurut hukum ataupun yang non-hukum, sangat tergantung dari

perspektif ideologis yang menjadi landasan penyangganya. Misalnya,

perzinahan sebagai sebuah tindakan tercela. Terdapat sudut pandang

ideologi berbeda menurut hukum syariah dan hukum civil law. Hukum

syariah menetapkan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita

dewasa apabila tidak didasari oleh pernikahan yang sah, apapun

motivasi dan alasannya, maka perbuatan perzinahan tersebut tetap

dianggap sebagai tindak kriminal. Sedangkan, dalam pandangan

hukum civil law, meskipun hubungan seksual dilakukan diluar

hubungan perkawinan yang sah, belum dapat disebut sebagai

perbuatan kriminal, kalau tidak memenuhi unsur yaitu salah satu

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

143

pelakunya atau antara keduanya terikat pernikahan yang sah dengan

pihak lain3. Jadi ada perbedaan ideologis antara kedua pandangan

hukum tersebut dalam menetapkan suatu perbuatan yang disebut

tercela atau tidak. Pandangan hukum syariah mendasarkan kepada

kewahyuan sedangkan pandangan hukum civil law mendasarkan

kepada sekulerisme, yaitu menafikan nilai-nilai relijiusitas (pandangan

agama) terhadap apa yang disebut sebagai nilai-nilai etis atau

moralitas.

Beberapa penulis hukum, mengkategorikan sumber hukum dalam

dua bentuk yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materil.

Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang diakui

keberadaannya sebagai hukum positif. Sumber hukum formal ini

senantiasa merujuk kepada segala sumber hukum yang telah mendapat

pengakuan negara secara formal atau keberadaan sumber hukum

tersebut telah memperoleh pengakuan legalitas oleh negara. Sehingga

sumber hukum formal ini, biasanya tersedia dalam formulasi-

formulasi resmi tekstual berupa dokumen-dokumen resmi negara,

seperti yang tampak dalam sistem hukum Indonesia, bentukan sumber

hukum formal tersebut, telah diundangkan secara resmi dalam

lembaran negara ataupun lembaran pemerintahan daerah.

Memang ada perbedaan pendapat, dalam menjelaskan sumber

hukum formal antara yuris yang menganut pola pikir anglo saxon

dengan para yuris yang menganut pola pikir civil law (Eropa

Kontinental). Misalnya Bodenheimer dan Salmond, yang menganut

pola pikir anglo saxon, bagi mereka sumber hukum formal adalah

sumber hukum yang dibuat oleh negara atau apa saja sumber hukum

3 Pasal 285 KUHPidana Indonesia yang merupakan kodifikasi dari hukum

pidana Kolonial Belanda yaitu Wetboek van Straftrecht menetapkan bahwa

perzinahan dipandang sebagai sebuah perbuatan kriminal jikasalah satu

pelaku atau antara keduanya terikat perkawinan sah dengan orang lain.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

144

yang didokumentasikan oleh negara maka itu dapat dikategorikan

sebagai sumber hukum formal. Sedangkan sumber hukum materil

menurut mereka adalah segala sumber hukum yang tidak dibuat oleh

negara seperti kebiasaan dan lain-lain. Termasuk juga segala nilai-

nilai dan substansi norma yang mendapat pengakuan masyarakat, para

penganut pola pikir anglo saxon menyebutnya sebagai sumber hukum

dalam arti non-formal atau sumber hukum dalam arti materil.

Berbeda dengan para yuris yang menganut pola pikir civil law,

mereka umumnya memandang sumber hukum formal, sebagai sumber

hukum yang mendapat pengakuan secara formal maupun oleh para

penegak hukum itu sendiri misalnya hakim. Sehingga tentu saja,

menurut perspektif penganut civil law sumber hukum tidak hanya

dalam bentuk undang-undang atau dokumen-dokumen tertulis yang

mendapat pengakuan formal oleh negara, tetapi sumber hukum juga

dapat berupa hukum kebiasaan ataupun yurisprudensi. Sehingga,

sumber hukum formal dalam pandangan civil law itu, akan sangat

cocok dengan pandangan positivisme hukum bahwa sumber hkum

formal akan selalu dikaitkan dengan kehendak kekuasaan yang mana

hukum itu dibentuk oleh kekuasaan yang secara langsung mengikat

masyarakat, yang menurut pandangan Achmad Ali, dalam konteks

demikian sumber hukum formal itu tidak lagi mempersoalkan isi

hukum dan asal-usul hukum itu sendiri.

Klasifikasi Sumber-Sumber Hukum Berdasarkan pengertian sumber hukum yang sudah dipaparkan,

berikut ini diuraikan klasifikasi sumber-sumber hukum, meliputi:

1. Sumber Hukum Berdasarkan Isinya

Klasifikasi sumber hukum berdasarkan berdasarkan isinya,

menurut pendapat beberapa penulis hukum, dapat diklasifikasikan atas

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

145

dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil, yang

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Sumber Hukum Formal

Sumber hukum formal adalah sumber hukum tempat dimana secara

langsung hukum dibentuk, yang akan mengikat anggota masyarakat.

Disebut hukum formal karena semata-mata dilihat dalam bentuk

kelahirannya sebagai hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan

asal usul dari aturan-aturan hukum tersebut. Sumber hukum formal

ini, akan membentuk pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum

dan membentuk hukum menjadi kekuasaan yang mengikat. Sumber

hukum formal ini menjadi sebab dari berlakunya aturan-aturan

hukum4.

Dalam pola pikir sistem hukum Eropa Kontinental, sumber hukum

formal lebih bersifat operasional sebab berhubungan langsung denga

penerapan sebuah produk hukum. Artinya, dalam pemikiran Eropa

Kontinental, sumber hukum dalam arti formal tidak sekedar sebuah

produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif sebagai sebuah

proses hukum yang menghasilkan dokumen-dokumen resmi. Tetapi,

sumber hukum formal juga berkaitan dengan proses terjadinya hukum

yang dapat mengikat anggota masyarakat serta adanya penerimaan

masyarakat terhadap aturan tersebut. Dalam konteks ini, sumber

hukum formal, dikaitkan dengan aspek bekerjanya hukum untuk

keperluan praktis. Sehingga, sumber hukum formal, penerimaan dan

pengakuan substansi aturan hukum oleh masyarakat merupakan

elemen kunci bagi sumber-sumber hukum dalam arti formal. Karena

itu, sumber-sumber hukum formal dalam sistem hukum Eropa

Kontinental (civil law), selalu berupa peraturan perundang-undangan,

kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.

4 Achmad Ali, op.cit., hlm. 86.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

146

Beda pemaknaan sumber hukum formal menurut pola pikir sistem

hukum Anglo American (Anglo Saxon/Common Law), yang menurut

sistem hukum ini, sumber hukum formal adalah sumber hukum yang

tersedia dalam formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen

resmi. Karena itulah, sumber hukum formal selalu merupakan sebuah

produk hukum yang dihasilkan oleh organ-organ negara. Contoh

untuk ini, undang-undang, kebiasaan-kebiasaan dan perjanjian-

perjanjian.

Mencermati pengertian sumber hukum formal tersebut, baik yang

dikemukakan oleh para pakar maupun yang terdapat dalam sistem

hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo-American, maka

menurut pendapat penulis, sumber hukum formal dapat diartikan

sebagai sumber-sumber hukum yang keberadaannya telah mendapat

legitimasi oleh kekuasaan formal melalui konvensi ketatanegaraan

yang diakui para elit politik.

Dari pengertian sumber-sumber hukum formal yang dikemukakan

menurut perspektif penulis, maka sumber hukum formal selalu

merupakan wujud produk hukum yang harus mendapat pengakuan

formal oleh suatu rezim pemerintahan yang keberlakuannya

diterapkan secara paksa yang mana produk hukum itu diformulasikan

secara tekstual melalui dokumen resmi kenegaraan. Contoh yang

paling tepat untuk ini, adalah undang-undang tertulis, sebagai salah

satu produk sumber-sumber hukum formal. Karena sumber hukum

formal pada galibnya mensyaratkan pengakuan formal, maka pada

titik ini, sumber hukum formal memiliki irisan pembahasan yang

relevan dengan argumentasi pembahasan mazhab positivisme yang

meletakkan hukum sebagai nilai-nilai idealitas yang terkristalisasi

dalam bentuk kehendak kekuasaan. Argumentasi ini menurut penulis,

akan sangat relevan bila kita mendudukkan sumber-sumber hukum

formal sebagai wujud formal dari kehendak kekuasaan dalam

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

147

mengatur serta mengontrol interaksi kehidupan masyarakat secara

menyeluruh.

Sehubungan dengan penjelasan tentang sumber-sumber hukum

formal, berikut ini diberikan contoh produk hukum yang termasuk

kedalam sumber-sumber hukum formal, yang mencakup:

1) Undang-undang;

2) Kebiasaan;

3) Traktat atau Perjanjian Internasional

4) Yurisprudensi; dan

5) Doktrin.

Urutan hirarkis contoh produk hukum dalam sumber-sumber

hukum formal, tergantung dari sudut pandang setiap sistem hukum.

Bagi sistem hukum civil law, undang-undang menempati prioritas

dalam memecahkan kasus-kasus hukum yang ada, sedangkan sistem

hukum common law, menempatkan yurisprudensi sebagai instrumen

hukum yang sangat penting dalam memecahkan kasus-kasus hukum

yang dihadapi.

Secara ringkas, penjelasan tentang produk hukum yang masuk

kategori sumber-sumber hukum formal, mencakup:

1) Undang-undang

Undang-undang identik dengan hukum tertulis (ius scripta) sebagai

lawan dari hukum tidak tertulis (ius non scripta). Undang-undang

pada galibnya selalu merupakan sebuah produk yang lahir dari

kesepakatan antara para elit politik, yaitu antara anggota-anggota

parlemen dengan pihak pemerintah, bisa dikatakan merupakan hasil

kompromi antara legislatif dengan eksekutif. Pada beberapa negara,

produk undang-undang bisa lahir karena inisiatif dari pihak

pemerintah (eksekutif) saja atau bisa dari pihak legislatif saja.

Kerapkali juga, dalam sistem hukum suatu negara dibuat produk

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

148

hukum tertulis yang lebih rendah tingkatannya dengan undang-

undang, tetapi kekuatan mengikatnya baik secara formil maupun

secara materil memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan

undang-undang tetapi pada level pengaturan yang lebih rendah atau

lebih bersifat spesifik. Misalnya, pada contoh produk peraturan daerah

di Indonesia. Ada juga undang-undang, yang ditempatkan pada level

tertinggi dalam sistem hukum suatu negara, yaitu yang disebut sebagai

konstitusi tertulis.

Konstitusi yang diberlakukan di suatu negara, pada dasarnya

merupakan hukum dasar tertulis tertinggi. Ia selalu ditempatkan

sebagai sumber dari segala sumber hukum tertulis yang tertinggi.

Umumnya negara-negara di dunia, akan menempatkan konstitusi

sebagai rujukan utama dan tertinggi bagi setiap produk hukum tertulis

yang hendak diberlakukan. Sebagai hukum dasar tertulis yang

tertinggi maka keberadaan konstitusi dalam sebuah negara, akan dapat

menjadi pembatasan kekuasaan politik. Sehubungan dengan itu Peter

Mahmud Marzuki5 menulis sebagai berikut:

Sebagai suatu hukum dasar, konstitusi dirancang antara untuk

menyeimbangkan hak-hak rakyat dan alokasi kekuasaan lembaga-

lembaga negara sehingga sehingga negara dapat berfungsi secara

layak. Oleh karena itulah, isi konstitusi harus berkaitan dengan

perlindungan hak-hak asasi manusia dan struktur fundamental

pemerintahan. Oleh karena itulah, beralasan kalau konstitusi

ditempatkan pada urutan pertama dari hirarki perundang-undangan.

Apa yang ditulis oleh Peter Mahmud Marzuki, sekaligus

menunjukkan bahwa perbincangan perundang-undangan sebagai

5 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 261.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

149

sumber hukum formal, adalah tidak mungkin dapat dilepaskan dengan

perbincangan mengenai hirarki perundang-undangan yang mana

dalam hirarki perundang-undangan itu sendiri, konstitusi menempati

urutan pertama dan terpenting yang berada diatas undang-undang

lainnya. Pada banyak negara yang menganut sistem hukum civil law

(Eropa Kontinental) seperti Indonesia, asas hirarki perundang-

undangan telah menempati fokus pengkajian yang sangat penting.

Menurut Peter Mahmud Marzuki6, hirarki merujuk kepada tata urutan

peraturan perundang-undangan yang berarti bahwa isi peraturan

perundang-undangan yang berada pada urutan lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tingkatannya. Apabila diperhadapkan produk undang-

undang yang lebih tinggi tingkatannya dengan yang lebih rendah

tingkatannya maka berlakulah asas lex superior derogate legi

inferiori, artinya undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya

seperti konstitusi, misalnya, mengalahkan undang-undang yang berada

di bawahnya.

Begitu juga, peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas

preferensi. Maksudnya, apabila dua produk undang-undang memiliki

tingkatan yang sama, mengatur hal yang sama, namun berbeda dalam

hal tanggal pengundangannya dalam lembaran negara. Maka untuk

persoalan ini berlakulah asas Lex posterior derogate legis priori, yang

berarti undang-undang yang terdahulu dihapuskan oleh undang-

undang yang berlaku kemudian. Atau terhadap dua produk undang-

undang, berada dalam urutan yang sama serta mengatur hal yang

sama, tetapi undang-undang yang satu mengatur hal yang umum

sedang yang lain mengatur hal yang khusus, sehingga bila berhadapan

undang-undang yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum,

6 Ibid.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

150

berlakulah asas lex specialis derogate legi generali yang berarti

hukum khusus mengalahkan hukum umum. Menyangkut penerapan

dari salah satu asas perundang-undangan tersebut, Peter Mahmud

Marzuki7 menulis sebagai berikut:

Berdasarkan asas ini apabila terdapat dua undang-undang mengatur

hal yang sama dan pada undang-undang baru tidak secara jelas-

jelas dituangkan ketentuan yang mencabut undang-undang lama

tersebut, yang harus diberlakukan adalah undang-undang baru.

Adapun terhadap dua peraturan yang berada dalam urutan yang

sama dan mengenai hal yang sama tetapi yang satu lebih bersifat

khusus dan yang lain bersifat umum, Papinianus mengemukakan

adagium lex specialis derogate legi generali, yang artinya apabila

dalam suatu sengketa atau masalah terdapat dua undang-undang

yang dapat diterapkan, yang harus diterapkan adalah undang-

undang yang secara khusus mengatur perkara itu. Sebagai contoh

yang dapat dikemukakan, misalnya terjadi penipuan dalam

perdagangan saham di bursa efek, yang diterapkan seyogyanya

Pasal 90 sampai dengan Pasal 93 UU Nomor 8 tahun 1995 tentang

Pasar Modal bukan Pasal 378 KUHPidana karena Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal adalah lex spesialis

yang mengatur khusus tentang penipuan dalam transaksi pasar

modal, sedangkan Pasal 378 KUHPidana merupakan lex generalis

karena mengatur penipuan pada umumnya.

Dengan demikian fungsi asas dalam konteks penempatan dua

produk undang-undang yang saling tumpang tindih baik karena

kesederajatan tingkatannya maupun karena substansi yang diaturnya

7 Ibid., hlm. 258.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

151

adalah untuk mengatasi konflik penerapan dari dua undang-undang

dimaksud, yaitu yang manakah harus diterapkan dari salah satu

undang-undang tersebut.

Pada pembahasan ini, perlu juga diurai tentang karakteristik

undang-undang. Hal ini penting, adalah untuk mengetahui sampai

sejauhmana keberlakuan serta segi kekuatan mengikat dari sebuah

produk undang-undang. Adapun penjelasan tentang ini, Peter

Mahmud Marzuki mengurai bahwa undang-undang memiliki dua

karakteristik, yaitu bersifat umum dan isinya bersifat mengikat keluar.

Karakteristik undang-undang yang bersifat umum inilah yang

memberikan pembedaan antara undang-undang dengan penetapan.

Penetapan atau yang dalam Bahasa Belanda disebut beschikking atau

Bahasa Inggeris decree, adalah berlaku secara individual dan harus

dihormati oleh orang lain. Contoh penetapan antara lain pemberian

grasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui suatu keputusan

presiden (kepres) kepada seorang terpidana yang putusan

pemidanaannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Begitu pula

putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan penetapan status

atau fungsi seseorang, misalnya, untuk diangkat menjadi notaris

pengganti, merupakan suatu penetapan bukan vonis. Penetapan oleh

pengadilan terjadi karena permohonan, artinya yurisdiksi pengadilan

dalam menagani perkara permohonan itu bersifat voluntaire bukan

contentieux artinya bukan karena adanya sengketa. Vonis dijatuhkan

manakala terjadi sengketa (contentieux jurisdiction)8.

Dalam pandangan Achmad Ali, produk undang-undang sebagai

bagian dari sumber hukum formal, dilihat dari bentuknya dapat

dibedakan pada dua jenis yaitu undang-undang dalam arti formal dan

undang-undang dalam arti materil. Yang pertama kali melakukan

8 Ibid., hlm. 259.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

152

pembedaan antara undang-undang formal dengan undang-undang

materil adalah Paul Laband dalam bukunya Das Staatsrecht des

Deutsches, yang terbit tahun 1911. Menurut Paul Laband, ada dua

syarat yang harus terpenuhi agar suatu undang-undang dapat menjadi

undang-undang dalam arti materil yaitu:

1) Adanya anordnung, yaitu penetapan kaidah dengan tegas

sehingga menjadi hukum yang mengikat;

2) Adanya rechtssatz yaitu peraturan (kaidah) hukum itu dapat

menjadi kekuatan mengikat secara langsung dan terus menerus

bagi warga masyarakat dimana undang-undang tersebut

diberlakukan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka undang-undang dalam arti

formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara

terjadinya sehingga disebut undang-undang. Sehingga undang-undang

dalam arti formal merupakan ketetapan penguasa yang mendapat

sebutan undang-undang karena cara pembentukannya. Jadi undang-

undang dalam arti formal merupakan setiap peraturan tertulis yang

terbentuk karena proses terjadinya. Contohnya, untuk mempermudah

pemahaman ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, adalah bentuk undang-undang dalam arti formal, sebab

undang-undang ini terbentuk melalui prosedur yang formal yaitu dari

pemerintah kemudian mendapat persetujuan dari DPR. Jadi dalam

konteks sistem hukum Indonesia, undang-undang dalam arti formal

adalah produk hukum tertulis yang lahir karena merupakan inisiatif

dari eksekutif, maupun inisiatif legislatif, atau bisa jadi inisiatif dari

eksekutif dan legislatif secara bersamaan.

Sedangkan undang-undang dalam arti materil adalah keputusan

atau ketetapan penguasa yang dilihat dari segi isi dan substansinya

mengikat setiap orang secara umum. Artinya, undang-undang dalam

pengertian materil merupakan persoalan isi dari sebuah undang-

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

153

undang yang menjadi kaidah atau norma-norma yang dapat mengikat

setiap warga negara. Sehingga, undang-undang dalam arti materil

selalu mempersoalkan isi kekuatan mengikat dari sebuah produk

undang-undang yang diberlakukan. Untuk mempermudah pemahaman

ini, misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, bahwa undang-undang perkawinan ini memiliki arti

materil dapat dilihat dari kaidah atau norma yang ditetapkan dalam

undang-undang ini bahwa setiap warga negara Indonesia yang hendak

melangsungkan perkawinan haruslah mengikuti tata cara perkawinan

menurut keyakinan agama yang dianutnya, sehingga bila merujuk

undang-undang perkawinan ini, apabila ada warga negara Indonesia

yang melangsungkan perkawinan tidak sesuai dengan syarat dan tata

cara berdasarkan agama yang dianutnya maka dengan sendirinya

perkawinannya tersebut tidak sah secara hukum.

Berdasarkan contoh tersebut, maka sebuah produk undang-undang

dapat saja dikatakan memiliki arti sebagai undang-undang dalam arti

formal dan undang-undang dalam artil materil seperti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian ada

undang-undang yang hanya memiliki arti formal tetapi tidak bisa

ditempatkan dalam arti materil, contohnya Undang-Undang

Naturalisasi. Undang-undang ini merupakan produk undang-undang

dalam arti formal karena pembentukannya mengikuti prosedur formal

sedangkan sedangkan isinya tidak mengikat seluruh rakyat Indonesia,

tetapi hanya mengikat bagi warga asing.

Menyangkut kekuatan berlakunya undang-undang, sebahagian

besar penulis hukum Indonesia, seperti Achmad Ali, berpendapat

bahwa undang-undang memiliki kekuatan mengikat sejak

diundangkannya didalam lembaran negara. Bagi Sudikno

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

154

Mertokusumo sebagaimana dikutip Achmad Ali9, bahwa ada 3 macam

kekuatan berlakunya undang-undang, yaitu:

a) Kekuatan berlaku yuridis (juristische geltung)

Setiap undang-undang secara langsung memiliki kekuatan berlaku

secara yuridis, jika seluruh persyaratan formal untuk terbentuknya

suatu undang-undang telah terpenuhi;

b) Kekuatan berlaku sosiologis (seziologische geltung)

Berlakunya undang-undang secara sosiologis, artinya keberlakuan

undang-undang itu merupakan kenyataan di tengah masyarakat.

Jadi meskipun, terdapat undang-undang telah dinyatakan berlaku

secara yuridis tetapi belum mendapat pengakuan secara sosiologis,

berarti undang-undang itu belum mendapat pengakuan secara

sosiologis. Contoh, Pasal 283 Ayat 1 KUHPidana yang

mengancam sanksi pidana bagi siapa saja yang melakukan jual

beli alat kontrasepsi (alat pencegah kehamilan), tetapi realitas

ditengah masyarakat pasal ini tidak berlaku. Malahan justeru jual

beli alat kontrasepsi makin marak di tengah masyarakat, apalagi

pemerintah Indonesia tengah menggalakkan program keluarga

berencana (KB), jual beli alat kontrasepsi ini semakin mendapat

dukungan dari pemerintah Indonesia.

c) Kekuatan berlaku filosofis

Undang-undang baru memiliki kekuatan berlaku secara filosofis

jika kaidah hukum yang tercantum didalam undang-undang itu

sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsdee), sebagai nilai positif

hukum tertinggi (uberpositiven weste) serta cita-cita menuju

masyarakat adil dan makmur.

Dalam konteks empiris, sebagaimana dicatat oleh Sudikno

Mertokusumo, suatu produk undang-undang mempunyai kekuatan

9 Achmad Ali, op.cit., hlm. 91.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

155

berlaku, apabila secara sosiologis undang-undang itu, memenuhi

unsur sebagai berikut: Pertama, undang-undang tersebut dipaksakan

pemberlakuannya oleh pemegang tertinggi otoritas kekuasaan politik,

terlepas undang-undang itu disetujui atau tidak oleh warga

masyarakat; Kedua, apabila undang-undang itu mendapat pengakuan

atau diterima oleh seluruh warga masyarakat dimana undang-undang

tersebut diberlakukan.

2) Hukum Kebiasaan

Perbincangan tentang hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber

hukum formal, memang telah mendapat perhatian cukup penting dari

para yuris atau penulis hukum lainnya. Berbagai kajian tentang hukum

kebiasaan telah hampir mewarnai berbagai literatur hukum yang ada

dengan pendekatan yang juga cukup beragam. Bagi sebahagian besar

penulis hukum atau akademisi hukum, berpandangan bahwa harus

dibedakan antara kebiasaan dan hukum kebiasaan. Kebiasaan itu

sendiri belumlah dapat dikatakan sebagai kaidah-kaidah normatif

(hukum) untuk mengikat tingkah laku warga masyarakat. Harus

terdapat beberapa unsur terpenuhi agar kebiasaan dimaksud

berangsur-angsur menjadi hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber

hukum formal yang berlaku ditengah kehidupan sosial masyarakat.

Unsur-unsur dimaksud yang harus terpenuhi, agar kebiasaan dapat

menjelma menjadi hukum kebiasaan, yakni: pertama, kebiasaan yang

berlaku ditengah masyarakat itu harus menjadi prilaku kebiasaan yang

berlangsung secara terus menerus (usus) atau dilakukan secara

berulang-ulang; kedua, ada unsur psikologis atau pengakuan dari

masyarakat bahwa apa yang telah menjadi kebiasaan yang berulang

dan berlangsung secara terus menerus itu diterima sebagai hukum

yang mengikat. Ada kewajiban hukum bahwa apa yang terkandung

dalam kebiasaan yang berlangsung terus menerus itu harus ditaati oleh

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

156

setiap anggota masyarakat. Sehingga apabila warga masyarakat tidak

mematuhi apa yang menjadi kewajiban hukum yang terwujud dalam

kebiasaan itu maka tentu saja akan dikenakan sanksi hukum sebagai

konsekuensi logisnya.

Tentu juga, kebiasaan yang berlangsung terus menerus itu,

haruslah merupakan kebiasaan yang terefleksi dalam bentuk prilaku

yang dapat diamati secara lahiriah. Prilaku inilah yang kemudian

menjadi unsur psikologis yang dapat diterima oleh warga masyarakat

sebagai tatanan nilai hukum yang harus ditaati, inilah yang disebut

dalam Bahasa Latin opinion neccessitatis. Jadi unsur psikologis yang

dimaksud ini, sebagaimana yang diungkap oleh Peter Mahmud

Marzuki adalah karena ada relevansi yuridis bukan sekedar prilaku

kebiasaan yang berlangsung secara terus menerus. Artinya,

melahirkan persepsi (pendapat) di tengah masyarakat bahwa setiap

warga masyarakat harus bertindak berdasarkan norma yang berlaku

sebab memang ada kewajiban hukum yang terkandung didalamnya.

Atas dasar itulah, sebahagian besar penulis hukum menempatkan

hukum kebiasaan tersebut dalam bentuknya sebagai hukum yang tidak

tertulis (unwritten law). Meskipun hukum kebiasaan dalam bentuknya

yang tidak tertulis, tetapi sebahagian penulis hukum Indonesia,

berpendapat bahwa hukum kebiasaan tidaklah sama dengan hukum

adat yang berlaku di Indonesia. Malah beberapa penulis hukum seperti

Achmad Ali, tidak sependapat bila hukum adat disamakan dengan

hukum kebiasaan. Achmad Ali sendiri, misalnya, secara ekstrim

menolak dengan tegas untuk mensejajarkan hukum adat dengan

hukum kebiasaan, karena menurut dia, hukum kebiasaan yang

berlangsung ditengah masyarakat yang baru muncul kemudian

bukanlah berasal dari hukum adat. Ia mencontohkan seperti

penggunaan kartu kredit atau penggunaan akta dalam perjanjian

bukanlah merupakan praktek kebiasaan yang berasal dari hukum adat.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

157

Bahkan lebih ekstrim lagi, Achmad Ali mengingkari keberadaan

hukum adat yang diklaim sebagai hukum yang berlangsung di

Indonesia saat ini. Bagi Achmad Ali, apa yang diklaim sebagai hukum

adat oleh sebahagian besar orang, pada hakikatnya bukanlah hukum

tetapi ia hanya merupakan adat istiadat sebagai sebuah tradisi yang

berlangsung ditengah masyarakat adat. Untuk menegaskan kembali

pendapat Achmad Ali10

tentang ketidaksetujuannya terhadap hukum

10

Professor Achmad Ali, adalah Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, ia wafat pada tanggal 17 Juni 2012. Sebagai

seorang guru besar hukum Unhas, ia telah menulis 17 buku hukum dan

menulis ribuan artikel di beberapa media massa nasional. Almarhum

Professor Achmad Ali, yang pernah dicalonkan Jaksa Agung RI semasa

Presiden Megawati Soekarno Putri, menurut pendapat penulis, adalah

seorang realis hukum. Sebab konsentrasi pemikiran hukumnya lebih

mengelaborasi kepada hukum dalam perspektif sosiologis. Yaitu pemikiran

hukum yang mencermati hukum dalam tataran prilaku masyarakat serta

faktor-faktor sosial lainnya yang mempengaruhi penegakan hukum terutama

dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsistensi almarhum sebagai seorang

realis hukum begitu kukuh, sehingga tatkala menjadi anggota Komnas HAM

RI periode 2001-2007, ia begitu getol menyuarakan perang terhadap korupsi,

yang menurutnya baik secara langsung maupun tidak langsung, korupsi

adalah malapetaka terbesar negeri ini yang sama bahayanya dengan

penyalahgunaan narkoba. Saking getolnya almarhum semasa hidupnya

menyatakan perang terhadap korupsi, ia pernah mengusulkan hukuman mati

bagi para koruptor kelas kakap. Suatu ketika almarhum pernah ditanya

tentang hukum pidana Islam oleh salah satu tabloid mingguan nasional,

almarhum serta merta menyatakan respektasinya yang tinggi kepada sanksi

pidana dalam hukum Islam, sebab menurutnya ketegasan dan kekerasan

sanksi dalam hukum pidana Islam, seperti para pencuri dipotong tangannya

atau para koruptor kelas kakap yang harus dibuang jauh alias diasingkan ke

suatu tempat tertentu, sangat menjamin keampuhan hukum serta membuat

jera bagi setiap para pelanggar hukum. Demikian beberapa pemikiran

Professor Achmad Ali, yang telah pergi meninggalkan dunia ini, dalam usia

59 tahun lebih, ia pergi untuk menghadap Sang Khalik Pencipta semesta

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

158

adat, penulis mengutip pendapat Guru Besar Ilmu Hukum Universitas

Hasanuddin tersebut sebagai berikut:

Bagi penulis, hukum adat sudah harus kita tinggalkan karena tidak

sesuai lagi dengan realitas masyarakat dewasa ini. Kita harus tahu

bahwa hukum adat memiliki ciri-ciri khas yang bertentangan

dengan iklim masyarakat modern. Sebagai contoh, hukum adat

memiliki sifat atau ciri, yaitu: a) konkret; b) magis reljius; c)

kontan; dan d) lokal. Bagaimana mungkin kita menerapkan metode

bisnis dengan cara “hukum” adat yang konkret itu, seperti kerbau

dibarter dengan 3 kambing? Juga tidak mungkin kita menggunakan

kekuatan mantera yang magis dalam melaksanakan transaksi

miliaran rupiah. Bagaimana mungkin kita merumuskan satu sistem

hukum nasional (artinya tidak lokal) dengan berdasar pada hukum

lokal? Kalau ada kalangan yuris yang menyatakan hukum adat

modern sudah tidak berciri demikian, itu artinya “hukum adat”

yang sebenarnya sudah tidak ada lagi. Dengan hilangnya ciri yang

mereka tentukan sebagai ciri hukum adat, secara logis berarti

alam. Menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pendidikan

Makassar, ia terkena penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya.

Almarhum Professor Achmad Ali, semasa hidupnya sangat bersahaja dengan

kehidupan yang sederhana, ia tidak punya harta melimpah, konon mobil pun

yang ia miliki hanyalah mobil dinas dekan ketika menjabat dekan Fakultas

Hukum Unhas selama dua periode. Selepas menjabat dekan, ia tidak punya

mobil lagi. Kata orang dekatnya, almarhum hanya meninggalkan rumah

sederhana yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas, serta

sebidang tanah 1 hektar yang dihibahkan rektor Unhas kepada almarhum.

Konon tanah tersebut dibiarkan begitu saja lantaran almarhum tidak punya

cukup uang untuk memagarinya serta membeli bibit tanaman untuk diolah.

Tampaknya Almarhum Professor Achmad Ali, begitu menikmati sebagai

seorang idealis dan ilmuwan hukum.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

159

hilang pula hukum adat yang dicirikan tersebut. Sebenarnya kita

harus berjiwa besar untuk mengakui bahwa sudah saatnya hukum

di Indonesia dinasionalkan dengan menghilangkan unsur-unsur

lokalnya, dan karenanya sulit mengandalkan adat yang lokal untuk

tujuan besar tersebut11

.

Pendapat Achmad Ali yang tidak menyetujui disepadankan antara

hukum adat dengan hukum kebiasaan sekaligus eksistensi hukum adat

sebagai hukum dalam kerangka sistem hukum Indonesia, sebetulnya

adalah berpijak pada pandangan legisme yang menempatkan hukum

sebagai produk yang dapat diberlakukan, jika hukum itu sendiri

mendapat pengakuan dari pemegang otoritas tertinggi yang

diberlakukan sebagai satu keseluruhan dalam sebuah sistem sosial.

Apalagi hukum adat yang ada sekarang tidaklah menampung seluruh

tingkah laku warga masyarakat adat karena sejatinya apa yang diklaim

sebagai hukum adat hanya merupakan seperangkat tradisi yang

diberlakukan ditengah masyarakat adat, seperti tradisi perkawinan di

masyarakat Batak atau tradisi ngaben pada masyarakat adat di Pulau

Bali. Bila merujuk kepada pendapat Achmad Ali tersebut, dengan

mencermati sanksi adat yang diberlakukan ditengah masyarakat adat,

apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran adat, semisal kawin lari,

perzinahan, pencurian hewan ternak, maka sanksi yang diberlakukan

tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial secara mutlak yang

dapat diterapkan begitu saja kepada warga adat yang melakukan

pelanggaran. Sebab eksistensi sanksi itu tidak dijaga oleh pemegang

otoritas kekuasaan. Kalau mencermati kembali definisi hukum yang

dikemukakan oleh Achmad Ali, secara jelas telah meletakkan

pandangannya bahwa untuk dapat disebut sebagai hukum maka

11

Ibid., hlm. 92.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

160

didalamnya harus terdapat kekuatan sanksi yang dijaga oleh

pemegang otoritas kekuasaan.

Pada pembahasan tentang keberlakuan hukum kebiasaan sebagai

norma yang mengikat warga masyarakat, menurut penganut aliran

legisme, bahwa hukum kebiasaan haruslah mendapat pengakuan

dalam perundang-undangan yang ada. Bagi penganut legisme sumber

hukum sejatinya hanyalah undang-undang. Penganut legisme,

beranjak pada suatu pandangan bahwa semua hukum berasal dari

penguasa, yaitu kehendak pembuat undang-undang. Dalam pemikiran

ini, undang-undang dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum.

Apabila dalam kenyataannya hukum kebiasaan memang ada, maka

menurut penganut legisme, keberadaan hukum kebiasaan akan tetap

ada dan diakui sepanjang hukum kebiasaan itu memang dibolehkan

oleh undang-undang.

Namun demikian, dalam hal keterkaitan antara undang-undang

dengan hukum kebiasaan, Peter Mahmud Marzuki12

berpendapat

bahwa hal yang perlu mendapat perhatian adalah keterkaitan antara

undang-undang dengan hukum kebiasaan. Sekilas, diantara keduanya

terdapat perbedaan yang tajam. Undang-undang merupakan aturan

hukum yang dibuat oleh penguasa untuk diterapkan di tengah

masyarakat, sedangkan kebiasaan itu sendiri dikembangkan oleh

masyarakat. Perbedaannya, undang-undang diformulasi oleh pembuat

undang-undang sedangkan hukum kebiasaan dirumuskan oleh

masyarakat sendiri.

Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hukum kebiasaan akan

mendapat tempat apabila dirujuk oleh undang-undang yang

mengaturnya. Atas pandangan ini, Sudikno Mertokusumo

mengemukakan pandangannya bahwa berlakunya hukum kebiasaan di

12

Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 275.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

161

Indonesia, adalah berdasarkan kepada Pasal 15 AB yang menetapkan

“selain pengecualian-pengecualian yang ditetapkan mengenai orang-

orang Indonesia dan orang-orang yang dipersamakan, maka kebiasaan

tidak merupakan hukum kecuali apabila undang-undang menetapkan

demikian. Pasal ini, menurut Sudikno Mertokusumo mengandung

makna bahwa hukum kebiasaan diakui sepanjang ada undang-undang

yang mengaturnya, tetapi sepanjang tidak ada undang-undang yang

mengaturnya maka hakim tidak perlu memberlakukannya. Demikian

pula, Pasal 1339 BW yang menetapkan bahwa “perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,

tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya

diharuskan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang. Kebiasaan

dalam seluruh hukum perjanjian diberi kekuatan yang bersifat

kontrak. Di dalam hukum dagang, kebiasaan (usance) memegang

peranan yang penting juga”.

Selain dua pasal yang menjadi rujukan bagi pemberlakuan hukum

kebiasaan dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana yang

ditunjukkan oleh Sudikno Mertokusumo, juga Pasal 5 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Tentunya pengungkapan

makna hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup di

masyarakat berarti pengakuan terhadap hukum kebiasaan sebagai

hukum yang hidup (the living law) ditengah masyarakat merupakan

rujukan yang harus dipedomani oleh hakim dalam mengadili suatu

perkara selain undang-undang yang berlaku.

3) Traktat atau Perjanjian Internasional

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

162

Traktat atau perjanjian internasional oleh beberapa penulis hukum

memasukkannya sebagai salah satu sumber hukum formal. Alasannya,

karena perjanjian internasional merupakan kesepakatan tertulis antar

negara yang memiliki akibat hukum, yang sebagai kesepakatan

tertulis, perjanjian internasional dalam bentukannya harus memenuhi

beberapa prosedur formal, agar dapat diterima sebagai perjanjian

internasional yang mengikat secara hukum antar negara. Adapun

prosedur formal dan tahapan pembuatan perjanjian internasional,

untuk saat ini masih merujuk kepada Konvensi Wina 1969 tentang

Hukum Perjanjian Internasional, yakni pada Bahagian II Seksi I Pasal

6-10. Ketentuan inilah yang merupakan dasar yuridis bagi setiap

negara-negara untuk membentuk perjanjian internasional.

Merujuk kepada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian

Internasional, setidaknya ada tiga tahap yang harus dilalui dalam

pembentukan perjanjian internasional, yaitu:

a) Tahap Perundingan (negotiation):

b) Tahap Penerimaan dan Pengesahan Bunyi Naskah

c) Tahap Pengikatan diri terhadap Perjanjian Internasional.

Pada saat dimulai pembentukan perjanjian internasional, maka

tahap pertama yang mesti ditempuh adalah tahap perundingan. Pada

tahap perundingan ini, yang dipersoalkan adalah status negara peserta,

yang akan menghadiri perundingan pembentukan perjanjian

internasional. Negara peserta yang akan menghadiri perundingan

tentunya adalah setiap negara yang bekedudukan sebagai subjek

hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan

perjanjian internasional. Hanya negara berdaulatlah yang memiliki

kemampuan untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain secara

independen.

Timbul pertanyaan apakah negara bagian dari suatu negara federasi

diperkenankan ikut dalam perundingan pembentukan perjanjian

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

163

internasional? Persoalan boleh tidaknya negara bagian dari suatu

negara federasi, turut serta dalam perundingan pembentukan

perjanjian nternasional, adalah sangat tergantung dari konstitusi

negara federalnya, kalau konstitusi negara federal mengatur untuk

membolehkan negara bagian turut serta dalam perundingan-

perundingan internasional, maka negara bagian bersangkutan bisa

diikutsertakan dalam perundingan tersebut, namun apabila konstitusi

negara federal tidak mengatur hal tentang keikutsertaan negara bagian

dalam perundingan internasional, maka negara bagian tidak

mempunyai kewenangan untuk itu.

Ada contoh yang bisa dikemukakan tentang keikutsertaan negara

bagian mengikuti perundingan internasional, yaitu Byelo Russian dan

Ukraina yang keduanya merupakan negara bagian Uni Soviet, turut

serta di dalam perundingan-perundingan pada Konprensi Jenewa

Tahun 1958 tentang Hukum Laut, dimana keduanya menjadi peserta

yang terpisah dan berdiri sendiri dari Uni Soviet, serta turut pula

menandatangani konvensi-konvensi yang dihasilkan konperensi

tersebut.

Pada prakteknya, setiap negara yang menghadiri perundingan

internasional tentunya diwakili oleh wakilnya masing-masing, yang

ditunjuk oleh pernerintah negaranya serta bertindak untuk atas nama

negaranya. Untuk menjaga agar tidak ada orang yang serta merta

dalam konperensi yang mengatas namakan suatu negara, namun

bukan wakil yang sah dari negara itu, maka hukum internasional

menetapkan perlunya seorang peserta dilengkapi dengan full powers

(kuasa penuh) dari pemerintah negaranya, sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 Konvensi Wina Tahun 1969.

Menurut ketentuan pasal 7 tersebut, seseorang hanya dapat

dianggap mewakili negaranya secara sah dalam perundingan

pembuatan perjanjian internasional, apabila ia dapat menunjukkan

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

164

surat-surat kuasa penuh (full powers atau credentials), kecuali jika

sejak semula peserta perundingan internasional sudah menentukan

bahwa surat-surat kuasa penuh tersebut tidak diperlukan.

Surat-surat kuasa penuh yang dimaksud, merupakan dokumen yang

sangat resmi bentuknya, dan yang memeriksa keabsahan surat-surat

kuasa itu biasanya adalah panitia pemeriksa surat-surat kuasa penuh

(credentials committee), yang dibentuk oleh tim verifikasi konperensi

internasional sebelumnya. Namun, keharusan untuk menunjukkan

surat-surat kuasa penuh, menurut hukum internasional, adalah tidak

berlaku bagi kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri),

menteri luar negeri yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili

negaranya secara sah serta dapat melakukan segala tindakan untuk

mengikat negaranya pada perjanjian internasional yang diadakan.

Demikian juga kepala perwakilan diplomatik (kepala misi

diplomatik), tidak usah menunjukkan surat-surat kuasa penuh, karena

secara resmi dianggap dapat mewakili negara yang mengirimnya.

Begitu juga wakil-wakil suatu negara yang dikirimkan secara khusus

ke suatu konperensi internasional, ataupun wakil-wakil suatu

organisasi internasional atau dari badan-badan organisasi internasional

bersangkutan, tidak perlu memperlihatkan surat-surat kuasa penuh

demikian (Pasal 7 Ayat 2 Konvensi Wina 1969).

Ada kalanya surat kuasa penuh secara sementara diberikan melalui

kawat (telegram atau telex) yang ditujukan kepada sekretariat atau

ketua panitia konperensi. Namun Hukum Internasional juga mengatur

bahwa surat kuasa penuh (full powers) bisa dikesampingkan tanpa

mendapat kuasa penuh secara formal dari negaranya. Seseorang bisa

saja dipandang bertindak mewakili negaranya, apabila praktek negara

yang bersangkutan menganggap orang tersebut dapat mewakili

negaranya dalam pembuatan dan perumusan perjanjian internasional

(Pasal 7 Ayat 1 Konvensi Wina 1969). Atau bisa juga orang tersebut,

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

165

sebelumnya telah mendapat pengesahan dari pihak yang berwenang

negaranya. Tanpa pengesahan itu, maka segala tindakan yang

dilakukan oleh orang yang tidak dilengkapi surat kuasa penuh,

dipandang tidak sah.

Setelah wakil-wakil negara peserta dalam tahap perundingan

mencapai kata sepakat mengenai isi dan rumusan naskah perjanjian,

maka kesepakatan itu harus dinyatakan dan diformulasikan secara

resmi atau formal. Tahap inilah yang disebut tahap pengadopsian

naskah perjanjian (adoption of the text), sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 9 Ayat 1 Konvensi Wina 1969. Untuk perjanjian-

perjanjian yang diadakan melalui konperensi internasional

multilateral, pengadopsian (penerimaan) naskah perjanjian tersebut

dilakukan melalui pernungutan suara (voting). Pengadopsian

(penerimaan) naskah perjanjian barulah sah, apabila misalnya

disepakati oleh 2/3 dari negara-negara yang hadir dan mernberikan

suaranya. Tentu saja negara-negara peserta konprensi tersebut, dapat

menentukan cara atau aturan lain (Pasal 9 Ayat 2 Konvensi Wina

1969). Naskah perjanjian yang sudah diadopsi (diterima) oleh para

peserta perunding, dan isinya sudah tidak perlu dipersoalkan lagi

maka apabila penyempurnaan itu sudah selesai serta tidak ada lagi

masalah yang prinsip, maka tindakan selanjutnya adalah menetapkan

naskah perjanjian itu sebagai naskah yang otentik atau sebagai naskah

asli Langkah inilah yang disebut dengan tahap pengesahan atau

pengotentikan naskah perjanjian (authentication of the text).

Mengenai cara pengesahan atau pengotentikan naskah perjanjian

tersebut, ditempuh berdasarkan prosedur yang ditentukan sendiri di

dalam salah satu pasal dari naskah perjanjian. Apabila tidak diatur

atau ditegaskan di dalam naskah perjanjian tadi, maka negara-negara

yang berpartisipasi dalam proses pembuatan perjanjian, dapat

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

166

menentukan cara lain yang mereka sepakati bersama. Penegasan ini

dapat di jumpai dalam Pasal 10 a Konvensi Wina 1969.

Sebaliknya didalam pasal 10b konvensi, ditegaskan bahwa apabila

prosedur tersebut tidak berhasil, maka pengesahan atau pengotentikan

naskah perjanjian dapat juga dilakukan oleh wakil-wakil dari negara-

negara peserta perjanjian, dengan salah satu cara seperti

penandatanganan (signature), penandatanganan dan referendum

(signature and referendum) dan pemarafan (initialling).

Setelah naskah perjanjian internasional tersebut berhasil disahkan

atau disetujui sebagai naskah otentik, akhirnya ditempuh tahap

selanjutnya, yaitu pengikatan diri, pada perjanjian (consent to be

bound by a treaty). Adapun mengenai cara pengikatan diri atau cara

menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian, diatur di dalam

salah satu pasal dalam Konvensi Wina 1969.

Berdasarkan praktek negara-negara yang sudah berkembang sejak

lama dan yang juga sudah dikukuhkan dalam Konvensi Wina 1969

Pasal 11, dikenal beberapa cara menyatakan persetujuan untuk terikat

pada perjanjian internasional. Cara-cara tersebut, adalah:

a) Penandatanganan (signature);

b) Pertukaran instrumen-instrumen yang melahirkan perjanjian itu

(exchange of instruments constituting a treaty);

c) Ratifikasi atau pengesahan (ratification);

d) Penerimaan atau akseptasi (acceptance);

e) Persetujuan (approval);

f) Penambahan;

g) Pelekatan (accession);

h) Cara-cara lain yang disetujui oleh para pihak (any other means if

so agreed).

Untuk semua cara tersebut, negara peserta itu sendirilah yang

menetapkan cara mana yang dipilih dalam menyatakan persetujuan

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

167

untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty). Jadi

boleh dikatakan, tidak ada kriteria yang umum dan objektif untuk

memilih dan menetapkan masing-masing cara tersebut. Namun pada

prakteknya, persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian, cara

yang lebih sering digunakan adalah penandatanganan dan pengesahan

(ratifikasi). Penandatanganan merupakan suatu tindakan terakhir dari

wakil negara peserta perjanjian yang menyatakan mengikatkan diri

secara definitif pada perjanjian setelah melakukan penandatanganan

tanpa harus terlebih dahulu menunggu pengesahan (ratifikasi) dan

pemerintahnya.

Adapun ratifikasi (pengesahan) adalah pernyataan mengikatkan

diri suatu negara terhadap perjanjian internasional, dengan syarat

pernyataan persetujuan mengikatkan diri harus disahkan atau

dikuatkan oleh badan berwenang di negaranya. Jadi penandatanganan

yang diberikan oleh wakil negara peserta perjanjian tersebut, bersifat

sementara clan masih harus disahkan. Pengesahan atau pemguatan

tanda tangan itulah yang disebut ratifikasi. Praktek nasional negara-

negara berkenaan dengan ratifikasi perjanjian internasional, dapat

dikategorikan atas 3 sistem peratifikasian yaitu:

a. Sistem ratifikasi, yang semata-mata dilakukan oleh badan

eksekutif;

b. sistem ratifikasi, yang semata-mata dilakukan oleh badan

legisiatif;

c. Sistern campuran dimana baik eksekutif dan legislatif

mernainkan peranan dalam proses ratifikasi;

Adapun praktek ratifikasi di Indonesia, saat ini (pada saat buku ini

ditulis), adalah merujuk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, pada pasal 4 Ayat (2) undang-

undang ini disebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian

internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

168

kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan

kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum

nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Selain undang-

undang ini, Konstitusi UUD 1945 Perubahan ke-4, juga mengatur

tentang prosedur yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk

membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Ketentan itu,

tercantum dalam Pasal 11 UUD 1945, Ayat (1) Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat

perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain, selanjutnya ayat (2)

Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat

yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/ atau mengharuskan

perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Ada persoalan yang timbul menyangkut persetujuan untuk untuk

terikat pada perjanjian, yaitu dalam perjanjian internasional

multilateral dimana ditemukan pada prakteknya, sering suatu negara

menolak untuk menerima atau terikat pada pasal-pasal tertentu dalam

perjanjian tersebut. Inilah yang dikenal dengan istilah persyaratan

(reservation), yaitu suatu negara hanya mau terikat pada suatu

perjanjian yang dianggap tidak membahayakan. kepentingan

nasionalnya.

Menurut Wayan Parthiana13

, yang dimaksud persyaratan adalah

pernyataan sepihak yang diajukan oleh suatu negara pada waktu

menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian internasional

bahwa negara itu menyetujui untuk terikat pada perjanjian

internasional, tetapi tidak mau terikat pada pasal-pasal tertentu dari

13

Wayan Parthiana. 1990. Pengantar Hukum Internasional, Mandar

Maju, Jakarta, hlm. 178-179.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

169

perjanjian itu, atau negara bersangkutan mernberikan pengertian lain

atas isi dari pasal atau pasal-pasal tertentu dari perjanjian tersebut.

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan tersebut, maka

pelbagai aspek dari persyaratan yang dapat dikemukakan antara lain:

Pertama, persyaratan harus diajukan bersamaan pada waktu

menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Kedua,

persyaratan mengandung dua makna yakni ada yang berupa penolakan

sepenuhnya atas isi pasal-pasal tertentu dari perjanjian serta ada pula

yang berupa pemberian arti atau penafsiran tersendiri terhadap pasal-

pasal tertentu perjanjian. Yang jelas, persyaratan dalam perjanjian,

diajukan oleh setiap negara peserta, bersandar kepentingan nasional

negaranya. Sehingga tidak mengherankan bila dalam setiap perjanjian

internasional yang sedang dirancang, dominan dipengaruhi

kepentingan nasional dibandingkan isi perjanjian yang harus

menghormati prinsip-prinsip hukum dan keadilan.

4) Yurisprudensi

Kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum formal, juga

banyak dibahas oleh sebahagian penulis hukum atau kalangan yuris.

Berdasarkan pelacakan literatur, tentang istilah yurisprudensi, maka

kata yurisprudensi berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu

jurispudentia yang berarti pengetahuan hukum. Sedangkan dalam

bahasa Inggris, dikenal dengan nama jurisprudence yang berarti ilmu

hukum atau ajaran hukum atau teori hukum umum. Di Indonesia, kata

Yurisprudensi diambil dari Bahasa Belanda yaitu Jurisprudentia.

Sehingga, kata yurisprudensi sebagai istilah teknis hukum Indonesia,

sama artinya dengan Jurisprudentia dalam Bahasa Belanda dan

Jurisprudence dalam bahasa perancis yang berarti peradilan tetap atau

hukum pengadilan. Di Inggris dan Amerika Serikat yang menganut

sistem hukum common law, untuk pengertian yurisprudensi yang

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

170

merujuk kepada putusan pengadilan, umumnya menggunakan istilah

case law atau judge made law. Biasanya juga di negara-negara yang

menganut sistem common law, putusan hakim disebut dengan

preseden. Dengan demikian dalam konteks pembahasan kita ini,

pengertian yurisprudensi sebagai sumber hukum formal adalah

keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

dan bersifat mengikat, yang diikuti atau dipergunakan oleh hakim

berikutnya sebagai sumber hukum untuk memutus perkara yang

serupa atau sama. Apabila putusan hakim terdahulu diikuti oleh hakim

dibawahnya atau hakim setelahnya, maka putusan hakim terdahulu itu

merupakan putusan peradilan tetap atau disebut “yurisprudensi” yang

menjadi sumber hukum formal.

Keberadaan yurisprudensi sebagai sumber hukum formal yang

menciptakan hukum, dalam sistem hukum Indonesia, adalah

didasarkan pada pasal 22 AB dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan bahwa

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan

mengadilinya”. Dalam keadaan demikian, hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup

dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) Nomor 48 Tahun 2009. Hal ini

juga sesuai dengan asas Ius curia novit yang artinya hakim dianggap

mengetahui hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya kita bisa

membedakan yurisprudensi sebagai bentuk produk hukum yang

dikeluarkan oleh hakim dengan undang-undang sebagai produk

hukum yang dikeluarkan oleh lembaga negara. Perbedaannya, hukum

yang diciptakan oleh hakim yang dalam bentuk keputusan disebut

hukum in concreto yang secara nyata menghasilkan hukum yang

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

171

berlakunya terbatas mengikat pihak-pihak tertentu yang berperkara.

Sedangkan, hukum yang diciptakan oleh badan yang berwenang

membentuk undang-undang disebut hukum in abstraco yang mengikat

secara umum (undang-undang).

Yurisprudensi dalam arti luas sebagai putusan hakim atau juga

hukum yang dibuat oleh pengadilan terdiri atas 4 jenis, yaitu:

a) Yurisprudensi tetap, yaitu putusan hakim yang terjadi karena

rangkaian putusan yang serupa atau sama dan dijadikan dasar bagi

pengadilan (standard arresten) untuk memutus suatu perkara.

b) Yurisprudensi tidak tetap, yaitu putusan hakim terdahulu yang

tidak dijadikan dasar bagi pengadilan.

c) Yurisprudensi semi yuridis, yaitu semua penetapan pengadilan

berdasarkan permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya

pada pemohon. Misalnya penetapan pengangkatan anak,

penetapan penggantian nama, dan sebagainya. Jenis yurisprudensi

ini sifatnya penetapan bukan putusan sebab putusan dikeluarkan

adalah untuk menyelesaikan sengketa sedangkan penetapan

dikeluarkan hanya berdasarkan permohonan dari para pihak demi

mendapatkan status hukum tertentu.

d) Yurisprudensi administratif, yaitu Surat Edaran Mahkamah

Agung (SEMA) yang hanya berlaku secara administratif dan

mengikat intern dalam lingkup pengadilan.

Perlu kita ketahui, beberapa alasan mengapa hakim menciptakan

hukum, yaitu:

a) Karena undang-undangnya tidak jelas atau kabur sehingga

memerlukan penafsiran hukum yang komprehensif.

b) Undang-undang yang ada sudah tertinggal dengan perkembangan

masyarakat atau tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan

kesadaran hukum masyarakat.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

172

c) Undang-undangnya tidak mengatur perbuatan hukum yang

diajukan kepada pengadilan.

Ada dua asas yurisprudensi, yaitu:

a) Asas precedent, artinya bahwa hakim terikat dan tidak boleh

menyimpang dari putusan-putusan hakim terdahulu atau hakim

yang lebih tinggi atau sederajat dalam tingkatannya dalam perkara

serupa. Asas ini dikenal di negara-negara yang menggunakan

sistem hukum anglo saxon.

b) Asas bebas, artinya bahwa hakim tidak terikat pada putusan-

putusan hakim yang lebih tinggi ataupun sederajat tingkatannya.

Asas bebas ini dikenal di negara yang menggunakan sistem

hukum Eropa Kontinental seperti Belanda dan Perancis maupun

jajahan Belanda dan Perancis seperti Indonesia dan sebagainya.

Akan tetapi, sebagaimana yang ditulis Peter Mahmud Marzuki,

keberadaan yurisprudensi sebagai sumber hukum di negara-negara

yang menganut sistem civil law seperti Indonesia tidak serta merta

hakim terikat kepada preseden. Yurisprudensi negara-negara yang

menganut sistem civil law, tidak sekuat kedudukannya dengan negara-

negara yang menganut sistem common law. Di negara yang menganut

sistem civil law seperti Indonesia, hakim di pengadilan yang

memutuskan perkara, selalu lebih mengutamakan undang-undang

sebagai rujukan atau pertimbangan hukumnya. Biasanya yurisprudensi

hanya diletakkan sebagai komponen sekunder atau rujukan tambahan

disamping undang-undang dalam setiap putusan hukum yang

dikeluarkannya.

5) Doktrin

Istilah doktrin oleh beberapa penulis hukum ada yang

menyebutnya dengan istilah legal doctrine, Dalam ilmu hukum, legal

doctrine diartikan sebagai “analytical study of law” atau “doctrinal

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

173

study of law”. Adakalanya legal doctrine disebut juga dengan “legal

dogmatics” atau dalam bahasa Belanda digunakan istilah

rechtsdogmatik. Dalam beberapa literatur hukum, istilah yang sering

dipakai adalah doktrin tetapi adakalanya juga ada yang

menerjemahkannya dengan istilah ajaran hukum. Menurut Bernard

Arief Sidharta mengartikan doktrin sebagai pendapat ilmuwan hukum

dalam masalah hukum tertentu yang dapat dijadikan kaidah hukum.

Legal doctrine dihasilkan melalui sejumlah akivitas yang dilakukan

oleh ilmuwan hukum dengan mempelajari sejumlah literatur hukum,

dan sejumlah riset dengan menggunakan sejumlah metode hukum.

Pada umumnya legal doctrine ini diperlukan oleh hakim karena

seringkali hakim tidak memiliki waktu yang cukup dalam

mempersiapkan justifikasi sebuah putusan secara mendalam.

Meskipun adakalanya putusan yang dibuat oleh seorang hakim

merupakan hasil dari kompromi dengan hakim lain maupun kompromi

dengan hukum positif lainnya. Legal doctrine yang dihasilkan oleh

ilmuwan hukum tidak memiliki kekuatan untuk diterapkan, karena itu,

apa yang dihasilkan oleh ilmuwan hukum dalam bentuk kaidah hukum

sangat ditentukan oleh hakim, apakah dia menggunakannya atau tidak.

Kebanyakan ajaran atau doktrin yang dihasilkan oleh ilmuwan hukum

bersifat abstrak meskipun contoh-contoh kasus yang diberikan oleh

ilmuwan hukum adakalanya adalah kasus yang aktual namun

kadangkala kasus yang hipotetis. Karena sebagian legal doctrine itu

masih abstrak, maka hakim akan mengkongkretkannya dalam bentuk

putusan atas kasus hukum tertentu.

Dengan demikian, doktrin adalah pendapat dari para ahli hukum

yang diakui kepakarannya. Hakim dalam memutuskan perkara atau

dalam pertimbangan hukumnya juga biasanya memuat pendapat dari

para ahli hukum untuk memperkuat argumentasi keputusannya.

Namun demikian, kedudukan doktrin sebagai sumber hukum tidaklah

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

174

begitu kuat seperti undang-undang, hukum kebiasaan, maupun

yurisprudensi. Umumnya doktrin sebagaimana yang biasa kita jumpai

dalam setiap pertimbangan hukum hakim di beberapa pengadilan di

Indonesia, hanyalah menjadi label untuk memperkuat wibawa hukum

dari setiap putusan pengadilan. Menurut pandangan Achmad Ali,

doktrin yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh hakim di

pengadilan bukan sembarang pendapat dari sarjana hukum tetapi yang

dimaksud disini adalah sarjana hukum yang memiliki kualifikasi

tertentu. Yaitu yang diakui kepakaran pada bidangnya. Biasanya

mereka itu adalah para pakar hukum yang senior yang telah memiliki

buku karya hukum sebagai rujukan akademik yang sering digunakan

di setiap lembaga pendidikan hukum di Indonesia. Para pakar hukum

yang memiliki kharisma dibidangnya, entah karena ia seorang guru

besar ataupun bisa juga bukan guru besar tetapi gagasan hukumnya

sering menjadi rujukan oleh masyarakat pada umumnya.

b. Sumber Hukum Materil

Sumber hukum materil pada dasarnya merujuk kepada dua

pengertian. Pertama, istilah itu menunjuk kepada faktor-faktor yang

mempengaruhi isi reglementasi hukum, substansi hukum, unsur-unsur

yang memberi inspirasi kepada pembuat hukum, serta segala sesuatu

yang mempengaruhi isi dan pembuatan hukum itu sendiri, seperti

sejarah, perilaku masyarakat, peta hubungan kekuatan-kekuatan

sosial, lingkungan alam dan sebagainya. Kedua, istilah sumber hukum

materil tersebut juga mengacu pada dasar berbagai norma hukum,

yang memberi pembenaran, yang memberi nilai atau validitas. Cicero

mengatakan, sumber pendasaran moral dan hukum adalah rasio

(logos).

Dari berbagai pelacakan literatur hukum yang dilakukan penulis,

tampaknya para pakar hukum, memiliki pandangan yang sama tentang

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

175

apa yang dimaksud sumber hukum materil, meskipun dengan

ungkapan yang berbeda. Para pakar hukum, umumnya berpandangan

bahwa sumber hukum materil adalah segenap faktor yang berpengaruh

kuat yang mempengaruhi seluruh isi dari produk hukum formal.

Faktor yang mempengaruhi itu antara laian kesadaran hukum

masyarakat, keyakinan hukum masyarakat, dan faktor-faktor politik

yang mempengaruhi isi dan bentukan produk hukum yang

diberlakukan secara formal. Menurut pendapat penulis, sebenarnya

yang paling dominan mempengaruhi isi dan konfigurasi dari produk

hukum yang diberlakukan adalah faktor ideologi hukum yang

mengkooptasi keyakinan hukum serta cara pandang hidup masyarakat

dimana hukum itu diberlakukan. Sebab bagaimanapun juga

sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa

masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang didalamnya mencakup

sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain untuk

tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja dalam interaksi tersebut, harus ada

aturan hukum yang mengikat untuk menjaga kesinambungan dan

keajegan interaksi itu sendiri. Lazimnya, aturan hukum yang

diberlakukan, isi dan substansinya selalu memuat nilai-nilai

pandangan hidup yang dianut anggota masyarakat secara keseluruhan.

2. Sumber Hukum Berdasarkan Proses Pengambilannya

Pada sub-pembahasan ini, penulis menguraikan tentang bentuk-

bentuk sumber hukum berdasarkan proses pengambilannya. Ini juga

penting untuk diketahui guna memperkuat pemahaman kita tentang

karakteristik beberapa sumber hukum yang kerap kali mengalami

perubahan dan perkembangan seiring dengan dinamika politik yang

terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Apabila mencermati bentuk-bentuk sumber hukum yang ada pada

beberapa sistem hukum, maka kita dapat memahami bahwa diantara

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

176

sumber-sumber hukum itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri

dengan berdasarkan kepada proses pengambilannya. Pada bahagian ini

penulis mengidentifikasi sumber-sumber hukum berdasarkan proses

pengambilannya, sebagai berikut:

a. Sumber Hukum berdasarkan Proses Kewahyuan

Sumber hukum berdasarkan proses kewahyuan, maksudnya

segenap sumber hukum yang diambil adalah merujuk kepada wahyu

Allah SWT. Jenis sumber hukum ini memang datangnya dari Sang

Pencipta alam semesta yang disampaikan dalam bentuk wahyu

melalui perantaraan malaikat Jibril as kepada para nabi dan rasul.

Dalam konteks abad ini, yaitu akhir zaman, sumber hukum yang

berdasarkan proses kewahyuan adalah Alqur’an dan Hadits Nabi

Muhammad SAW. Alqur’an adalah kitab suci yang berisi segenap

firman Allah SWT yang bahasa dan penuturannya langsung dari Sang

Pencipta disampaikan langsung dalam bahasa Arab melalui malaikat

Jibril as kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Hadits Nabi

Muhammad SAW, adalah segenap perkataan nabi, perbuatan nabi,

dan bahkan diamnya nabi yang mengandung nilai hukum yang harus

dipatuhi.

Jenis sumber hukum yang diambil berdasarkan proses kewahyuan

ini, yaitu Alqur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, kaum

muslimin biasa menyebutnya Syariah Islam atau bisa juga disebut

Hukum Syariah. Kedudukan Syariah Islam adalah risalah langit yang

diturunkan oleh Allah SWT melalui utusannya Nabi Muhammad

SAW, yang keberadaannya dipandang sebagai sebagai norma

petunjuk untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Dengan

demikian, Syariah Islam dalam kedudukan sebagai rahmat bagi

seluruh alam, adalah memiliki makna sebagai ajaran yang secara

otoritatif tidak hanya mengatur pergaulan hidup masyarakat muslim

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

177

tetap lebih dari itu juga aspek jangkauan pengaturan Syariah Islam

juga mengatur bidang-bidang sosial kemasyarakatan yang didalamnya

mencakup interaksi dengan orang-orang non-muslim itu sendiri.

Ungkapan Syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat

dimaknakan dalam kerangka pemahaman sebagai berikut bahwa

kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, tentu saja

merupakan seperangkat aturan kehidupan yang datangnya dari Allah

SWT Sang Maha Pencipta, yang dapat memberikan perlindungan,

keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, dan perlakuan yang sama

tanpa memandang ras, warna kulit, dan keyakinan spiritualnya, dalam

konteks kalau hal itu menyangkut pengaturan sosial kemasyarakatan

dan hukum (muamalah).

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, sekaligus untuk menepis

anggapan yang cenderung ekstrim dan mendeskreditkan risalah Islam

yang bersifat eksklusif terkungkung sebagai aturan normatif yang

diberlakukan bagi kaum muslim yang tidak mampu memberikan

jaminan keadilan dan perlindungan hukum bagi kelompok non-

muslim. Padahal fakta historis, menunjukkan pada masa

kepemimpinan Rasulullah dan para Khulufaur Rasyidin (empat

sahabat Nabi Muhammad SAW), hukum Islam sebagai sebuah sistem

telah memperlakukan begitu adil kelompok-kelompok non-muslim

dalam berbagai bidang aspek kehidupan sosial, seperti aspek hukum,

ekonomi, dan politik.

Syariah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, sekaligus

memberikan makna penting dan mendasar mengenai substansi Islam

sebagai norma hukum, yang sesungguhnya tidak hanya mengatur

bidang atau aspek bersifat ritual atau peribadatan tetapi juga mengatur

seluruh urusan kehidupan manusia, mulai yang bersifat duniawi

hingga ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan mansia dengan

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

178

Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga

persoalan personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri)14

.

Semua yang diatur oleh Islam tersebut, adalah untuk menunjukkan

komprehensivitas serta universalitas risalah Islam sebagai aturan atau

norma untuk mengatur interaksi pergaulan hidup manusia baik sebagai

mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Namun demikian apa

yang diatur oleh Islam itu sendiri, tentu saja harus berdasarkan kepada

wahyu yang datangnya dari Allah SWT sebagai pencipta, serta Hadits

Nabi Muhammad SAW.

Sehubungan dengan itu, Abd Shomad15

, telah menjelaskan secara

baik tentang universalitas hukum Islam sebagai aturan dari Sang

Pencipta:

..., maka dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan hukum Islam

adalah nama bagi segala ketentuan Allah dan utusan-Nya yang

mengandung larangan, pilihan, atau menyatakan syarat, sebab, dan

halangan untuk suatu perbuatan hukum. Hukum Islam mempunyai

sifat universal, yang mengatur hubungan manusia dengan

penciptanya, manusia dengan masyarakat dimana ia hidup dan

manusia dengan alam lingkungannya, disegala waktu dan segala

tempat, mencakup aspek kehidupan manusia dan segala

permasalahan.

Apa yang ditulis oleh Abd Shomad, sekaligus memperkuat

argumentasi tentang keuniversalan hukum Islam sebagai norma yang

datangnya dari Allah SWT, yang mestinya dapat diterapkan dalam

14

Tim Penulis Hizbut Tahrir Indonesia. 2011. Menegakkan Syariat Islam,

Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta. 15

Abd. Shomad. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam

Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, hlm. 29.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

179

segala aspek kehidupan manusia dengan segala problematika

kehidupannya.

Secara pokok dalam konteks amaliah (implementasinya), hukum

Islam dapat dikategorikan atas dua cabang hukum utama yaitu

berkaitan dengan ibadah dan muamalah. Namun menurut Abd

Shomad16

, Ada juga ahli yang membaginya menjadi tiga bagian

utama, yakni ibadat, uqubat, dan muamalah. Hukum ibadah adalah

hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti

shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang

mempunyai arti mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.

Hukum muamalah, adalah hukum yang mengatur hubungan

manusia dengan sesamanya, baik dilakukan secara perorangan, atau

secara kelompok antara bangsa dan kelompok antara jamaah, seperti

akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain.17

Kendati hukum

Islam telah melakukan pengkategoriannya dalam konteks amaliah

yaitu bidang ibadah dan muamalah, namun dalam konteks hukum

amaliah sesungguhnya tidak ada perbedaan yang cukup tajam

sebagaimana yang kita dapati dalam sistem hukum barat, yaitu

melakukan pembedaan antara hukum privat dan hukum publik, sebab

hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang memiliki ciri khas

yang membedakannya dengan sistem-sistem hukum lainnya yang ada

di dunia. Ciri khas hukum Islam itu menurut Abdul Mutholib

sebagaimana yang dikutip dalam Abd Shomad18

, sebagai berikut:

1. Hukum Islam adalah hukum agama Islam;

2. Hukum Islam mengandung watak universal;

16

Abd Shomad, loc. cit. 17

Ibid., h. 29-30. 18

Ibid.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

180

3. Hukum Islam dalam bidang ubudiyah halnya telah diatur

sedemikian rupa dalam Al-Qur’an dan As-Sunah;

4. Hukum Islam dalam bidang muamalah cocok insan kamil

manusia, perasaan hukum, kesadaran hukum masyarakat dapat

dikembangkan dan senantiasa tumbuh menurut kebutuhan dan

pandangan hidup masyarakat dilandasi Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Apa yang dikemukakan Abdul Mutholib tentang karakteristik hukum

Islam tersebut, adalah untuk memperkuat pandangan bahwa hukum

Islam pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan

sistem hukum lainnya yang ada di dunia saat ini. Karakteristik yang

paling menonjol hukum Islam yaitu bersifat kewahyuan yang telah

diatur secara khas dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad

SAW.

Kendatipun hukum Islam tidak mengenal adanya kategorisasi

pembidangan hukum publik dan hukum privat sebagaimana yang

dikenal dalam hukum barat pada umumnya, namun oleh Abd

Shomad19

telah mendeskripsikan susunan hukum muamalah dalam arti

luas sebagai berikut:

a. Hukum Perdata

1. Munakahat, hukum perkawinan.

2. Wirasah, atau hukum fara’id, Hukum Kewarisan.

3. Muamalat dalam arti khusus, hukum benda; hukum

perjanjian; mengatur masalah-masalah kebendaan dan

hak-hak atas benda, jual beli, sewa-menyewa, pinjam

meminjam.

b. Hukum Publik

1. Jinayat, hukum pidana

19

Ibid., h. 30.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

181

2. Al-Ahkam As Sulthaniyah, hukum tata negara dan hukum

administrasi.

3. Siyar, hukum internasional

4. Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan

hukum acara.

Pembidangan hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh

Abd Shomad tersebut, menurut penulis sekadar untuk memberikan

kategorisasi kemudahan dalam mencermati bidang-bidang pengaturan

hukum dalam Islam dengan melihat pada kategorisasi hukum yang

dilakukan oleh hukum barat pada umumnya, yang melakukan

pembedaan secara tajam antara lingkup pengaturan hukum publik

dengan hukum privat.

Adapun menyangkut ketundukan hukum terhadap hukum Islam,

maka bagi seorang muslim, secara prinsip merupakan kewajiban bagi

dirinya untuk senantiasa tunduk kepada aturan Allah SWT. Pijakan

prinsip bahwa seorang muslim tidak boleh meninggalkan prinsip-

prinsip syariah dalam menjalankan hubungan-hubungan hukumnya

merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan perintah Allah SWT

yang sudah pakem sebagaimana tercantum dalam Al-Quran Surah Al-

Hasyr Ayat 7 sebagai berikut:

Apa-apa yang didatangkan oleh Rasulullah ambillah, dan apa-apa

yang dilarang berhentilah20

Begitu pula Sabda Rasulullah SAW berkaitan dengan perbuatan

seorang muslim yang mestinya berlandaskan prinsip syariah sebagai

berikut:

20

Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama RI,

PT Syaamil Cipta Media, Jakarta.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

182

Tidaklah beriman salah seorang diantara kamu sehingga

menjadikan (cara berpikirnya) hawa nafsunya mengikuti apa

(Islam) yang kubawa ini21

Penjelasan tersebut, merupakan dalil normatif dalam perspektif

syariah yang memperkuat bahwa seorang muslim dalam menjalankan

aktivitas hubungan hukumnya mesti tidak boleh keluar dari apa yang

sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad

SAW22

. Maka dalam konteks ketundukan hukum itulah, mutlak bagi

seorang muslim yang meyakini Islam sebagai aqidahnya, harus

melandasi cara berpikirnya berdasarkan aqidah Islam, termasuk juga

warga muslim yang ada di Indonesia ketika hendak melangsungkan

hubungan transaksionalnya secara hukum, yang semestinya tidak

boleh keluar dari pijakan mainstream prinsip-prinsip syariah.

Sehubungan dengan itu, dalam konteks masyarakat Indonesia

yang mayoritas penduduknya menganut Islam, salah satu

kebersyukuran dari umat Islam tersebut, yakni pemegang otoritas

kekuasan di Indonesia telah menggaransi kehidupan hukum bagi

masyarakat Islam Indonesia melalui legalisasi beberapa nilai-nilai

hukum terutama berkaitan dengan bidang-bidang hukum privat

termasuk bidang hukum munakahat ke dalam produk undang-undang

nasional, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 194,

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam

Lembaran Negara RI Nomor 159 Tahun 2004, Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Lembaran Negara RI

21

HR. Imam Nawawi dalam kitab Al Arba’in An Nawawi 22

Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma.

2002. Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, hlm. 19.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

183

Nomor 22 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah dalam Lembaran Negara RI Nomor 94

Tahun 2008, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Presiden RI pada

tanggal 10 Juni 1991, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 10

September 2008, serta masih banyak lagi peraturan hukum tertulis

lainnya yang mengatur tentang bidang-bidang keperdataan yang

tunduk berdasarkan dogma hukum Islam.

Mencermati berbagai produk hukum tertulis yang mengatur

berbagai hubungan hukum privat bagi masyarakat muslim di

Indonesia, semakin menunjukkan bahwa masyarakat muslim

Indonesia telah mendapat legalitas untuk mengatur hubungan-

hubungan hukum privat mereka dengan berbasis kepada Syariah

Islam, mulai dari hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris,

bahkan juga untuk bidang-bidang transaksi keuangan.

Adapun untuk bidang-bidang transaksi keuangan, masyarakat

muslim di Indonesia, sudah bisa menyaksikan kehadiran berbagai

lembaga keuangan yang mengakomodir kepentingan mereka dengan

tetap berpijak kepada sebuah hubungan transaksi yang berlandaskan

hukum ekonomi menurut prinsip-prinsip syariah. Sebagai contoh

untuk memperkuat argumentasi ini adalah dengan menyemaraknya

kehadiran perbankan syariah, kemudian ada yang disebut asuransi

syariah, dan terakhir yang dapat kita amati adalah kehadiran

pegadaian syariah.23

23

Mohammad Rosyidi Azis (et.all). 2010. Pokok-Pokok Panduan

Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu Syariah,

Bogor, hlm. 52.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

184

Namun demikian yang perlu dijadikan patokan penting sekali lagi,

bahwa dalam hubungan transaksi keuangan berbasis hukum syariah

antara warga muslim Indonesia, tentu saja tidak boleh menyimpang

dari asas-asas akad yang menjadi dasar tegaknya hubungan hukum

perjanjian tersebut, antara lain: (1). Asas Ikhtiyari; (2). Asas Amanah;

(3). Asas Ikhtiyati; (4). Asas Luzum; (5). Asas Saling

Menguntungkan; dan (7) Asas Sebab Yang Halal. Aturan tentang

keharusan menempatkan asas-asas akad tersebut dalam setiap

hubungan perjanjian syariah dalam transaksi keuangan, telah

ditetapkan secara normatif dalam Bab II Pasal 21 Peraturan

Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi

Hukum Ekonomi Syariah. Dalam Perma ditegaskan bahwa bagi setiap

transaksi syariah di Indonesia haruslah berpedoman kepada asas-asas

syariah sebagaimana yang menjadi landasan aqidah bagi setiap

muslim dalam menjalankan interasi sosialnya satu sama lain

(muamalah).

b. Sumber Hukum berdasarkan Proses Kompromi Politik

Perbincangan tentang sumber hukum berdasarkan proses

kompromi politik memang menarik. Sebab jenis sumber hukum ini

sangat dekat dengan fakta kehidupan bernegara saat ini, termasuk

dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Jenis sumber hukum ini

juga yang paling banyak diberlakukan disebahagian besar negara di

dunia sekarang.

Sumber hukum yang lahir dari sebuah proses kompromi politik,

sesuai dengan karakteristiknya, merupakan produk hukum yang pada

umumnya dibidani karena dibelakangnya ada kepentingan politik

maupun motivasi-motivasi politik tertentu. Biasanya jenis sumber

hukum ini bersifat pragmatis dan untuk kepentingan para elit politik

dibalik proses kelahirannya. Kepentingan para elit politik ini yang

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

185

dilegitimasi melalui sebuah produk hukum yang diberlakukan

ditengah masyarakat.

Pada fakta kehidupan kenegaraan di Indonesia, jenis sumber

hukum ini umumnya dirancang terlebih dahulu melalui kompromi-

kompromi politik dari para elit politik yang ada di sentra-sentra

kekuasaan. Yaitu kompromi politik antara anggota legislatif yang

duduk di DPR dengan pihak ekeskutif yang duduk dijajaran

pemerintahan. Masing-masing kelompok elit politik ini, yaitu pihak

legislatif dan eksekutif mengajukan inisiatif rancangan produk hukum

tertulis untuk bersama-sama dibicarakan atau disepakati hingga

menjadi sebuah kompromi politik untuk disahkan menjadi sebuah

produk hukum tertulis sebagai aturan baku untuk diberlakukan

ditengah kehidupan masyarakat. Inisiatif rancangan produk hukum,

bisa datangnya dari pihak DPR atau dari pihak pemerintah saja, atau

kedua-duanya mengajukan inisiatif untuk mengajukan rancangan

produk hukum yang didasarkan kepada pertimbangan politik dan

motivasi-motivasi politik tertentu.

Contoh yang paling jelas, hasil produk sumber hukum yang lahir

dari kompromi-kompromi politik adalah undang-undang tertulis.

Sebelum diberlakukan menjadi undang-undang, lebih dahulu baik

pihak legislatif maupun eksekutif ataupun kedua pihak, mengajukan

rancangan undang-undang. Rancangan undang-undang ini,

dikompromikan melalui deal-deal politik, yang akhirnya ditetapkan

dan disahkan oleh pemerintah untuk diberlakukan menjadi undang-

undang tertulis, yang pada faktanya undang-undang ini merupakan

produk pemerintah pusat sedangkan pada level daerah di Indonesia

seperti propinsi dan kabupaten atau kota, produk hukum tertulis yang

dilahirkannya, dinamakan Peraturan daerah.

Namun ada juga produk hukum yang lahir dari kompromi politik

tetapi bukan dari hasil kontestasi antara legislatif dan eksekutif. Jenis

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

186

produk hukum ini, biasanya lahir secara sepihak dari kebijakan politik

pihak eksekutif yang menjalankan pemerintahan, seperti presiden,

menteri, gubernur, dan bupati atau walikota. Produk hukum ini lahir

biasanya untuk menjaga legitimasi kebijakan-kebijakan politik.

Contoh untuk itu yang bisa diambil, misalnya Keputusan Presiden

(Keppres), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Pengganti Undang-

Undang (Perpu), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri,

Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota dan

Keputusan Bupati. Tentu saja, contoh produk hukum tersebut,

dikeluarkan biasanya untuk keperluan praktis dan teknis dalam rangka

menjalankan kebijakan politik berdasarkan visi dan misi pemerintahan

masing-masing kepala daerah, menteri, atau presiden. Atau juga,

sebagai petunjuk pelaksanaan untuk mengimplementasikan perintah

undang-undang atau peraturan daerah.

Sehubungan dengan keberadaan undang-undang yang lahir dari

suatu kontestasi politik antara legislatif dan eksekutif maka tidak

mengherankan kebanyakan produk undang-undang atau produk

peraturan daerah tidak mampu memberikan keadilan, kemanfaatan

hukum serta kepastian hukum terutama dalam realitas masyarakat

Indonesia. Artinya, kita sebetulnya dapat dengan mudah memahami

mengapa produk undang-undang di Indonesia baik sebagai produk

sosial maupun sebagai produk yang lahir dari hasil kompromi politik

para elit yang duduk di sentra-sentra kekuasaan, kerap kali tidak tegas

dan kurang dapat menjamin kepastian hukum, menegakkan hak-hak

rakyat, atau lebih bisa memberikan jaminan keadilan bagi masyarakat

Indonesia secara keseluruhan.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

187

Moh Mahfud MD24

sendiri juga mengakui banyak sekali produk

produk undang-undang yang “tumpul”, tidak mempan memotong

kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan, serta

tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti

dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab

oleh hukum. Bahkan banyak undang-undang yang lebih cenderung

sarat oleh kepentingan-kepentingan politik para elit politik.

Apa yang diargumentasikan oleh Mahfud tersebut, sekaligus

memperbenar sinyalemen tentang postur sebuah produk undang-

undang dalam konteks masyarakat cenderung pragmatis-materialistik

yang senantiasa tidak berada dalam spektrum yang tunggal. Produk

undang-undang bukanlah berada pada sebuah ruang hampa. Justeru ia

akan lebih banyak dipengaruhi berbagai kepentingan politik yang

boleh jadi merupakan penentu bagi penerapan undang-undang itu

sendiri.

Mencermati keberadaan undang-undang sebagai salah satu sumber

hukum yang lahir dari kompromi politik, yaitu sebuah kesepakatan

antara para elit politik maka dapat diduga bila undang-undang yang

lahir tidak selamanya permanen diberlakukan. Undang-undang

senantiasa mengalami perubahan seiring dengan dinamika

perkembangan dan kepentingan politik yang ada. Artinya, boleh jadi

undang-undang yang berlaku dahulu karena sudah tidak sesuai

dengan kepentingan politik dan perkembangan masyarakatnya

kemudian, maka oleh para elit politik undang-undang itu diganti atau

dihapus dengan undang-undang yang baru. Bisa juga, undang-undang

yang berlaku dahulu itu beberapa isi pasalnya diubah atau diganti

sesuai dengan kepentingan dan dinamika politik yang mengiringinya.

24

Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. PT Pustaka

LP3ES Indonesia, Jakarta, hlm. 1

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

188

Ambil contoh, Konstitusi UUD 1945, semenjak Orde Lama

dibawah pemerintahan Presiden Soekarno dan Orde Lama dibawah

kepemimpinan Presiden Soeharto, tidak pernah mengalami perubahan.

Malah pada masa Presiden Soeharto, upaya-upaya yang dilakukan

untuk merubah UUD 1945 atau menggantinya dengan konstitusi lain,

dianggap sebagai makar terhadap negara atau dianggap mengancam

kesatuan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan

waktu, jatuhnya rezim Orde Baru dari panggung kekuasan Negara

Indonesia, pada tahun 1998, yang ditandai dengan kemunduran

Jenderal Soeharto sebagai presiden, bandul perpolitikan Indonesia

mengalami perubahan drastis, semuanya menjadi berubah termasuk

tatanan politik bangsa ini, yang ditandai dengan masuknya era baru

dinamika politik negara Indonesia, yang berubah nama menjadi Era

Reformasi. Pada era reformasi ini, bandul kebebasan politik menjadi

berubah, termasuk juga tatanan kenegaraan bangsa ini dimana

dahulunya UUD 1945 dipandang sebagai konstitusi yang sakral tidak

boleh digugat, akhirnya para elit politik Indonesia yang duduk di

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan perubahan

terhadap UUD 1945, yang telah mengalami empat kali perubahan

(amandemen).

Empat kali amandemen UUD 1945, secara berturut-turut adalah

Amandemen I yaitu amandemen yang pertama kali dilakukan yang

disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 melalui Sidang Umum MPR

14-21 Oktober 1999. Amandemen ini meliputi sembilan pasal, yakni

Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal

20, dan Pasal 21. Pada amanden pertama ini, yang hendak diubah

adalah kekuasaan presiden yang menurut para elit politik di MPR

yang terlalu luas, sehingga perlu ada pembatasan melalui persetujuan

DPR.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

189

Setelah Amandemen I UUD 1945, kemudian dilakukan

Amandemen II, yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan

disahkan melalui Sidang Umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen

dilakukan pada 5 Bab dan 25 Pasal. Berikut ini rincian perubahan

yang dilakukan pada amandemen kedua, meliputi Pasal 18, Pasal 18A,

Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B,

Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal

28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I,

Pasal 28J, Pasal 30, Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C. Kemudian

BAB IXA, BAB X, BAB XA, BAB XII, dan BAB XV. Amandemen

kedua ini yaitu seputar Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya,

Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.

Pada Amandemen III UUD 1945, disahkan pada tanggal 10

November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November

2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari

3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini rincian dari amandemen ketiga,

mencakup Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B,

Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal

22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G,

Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C. Termasuk BAB VIIA,

BAB VIIB, dan BAB VIIIA. Pada amandemen ketiga ini, adalah

seputar Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR,

Kepresidenan, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.

Perjalanan terakhir Amandemen IV UUD 1945, disahkan pada

tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus

2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2

Bab dan 13 Pasal. Lalu Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal16,

Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,

Pasal 37. Kemudian dilakukan amandemen terhadap BAB XIII

dan BAB XIV. Inti perubahan amandemen ini, yaitu DPD sebagai

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

190

bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian

dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan,

perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, dan perubahan UUD.

Demikianlah deskripsi produk undang-undang sebagai sumber

hukum yang dalam pengambilannya melulu berdasarkan kepada

kekuatan politik pada sentra-sentra kekuasaan. Sehingga dapat

dipastikan sumber hukum yang proses pengambilannya berdasarkan

kepada kompromi-kompromi politik selalu lekang oleh zaman sesuai

dengan perkembangan dan perubahan dinamika kepentingan politik

pemegang kekuasaan itu sendiri.

c. Sumber Hukum Berdasarkan Pengambilan Nilai-Nilai

Kebiasaan Masyarakat

Sumber hukum selanjutnya yang penting untuk diperbincangkan

adalah sumber hukum yang proses pengambilannya diambil dari

kebiasaan, tradisi, adat istiadat, serta nilai-nilai yang tumbuh dan

berkembang sebagai suatu pandangan hidup di tengah masyarakat.

Jenis sumber hukum ini, merupakan suatu nilai yang diintrodusir

menjadi hukum yang mengikat para anggota masyarakat. Dalam

konteks sistem hukum Indonesia, nilai-nilai dimaksud, biasanya

berupa adat istidat yang berlaku pada masyarakat adat ataupun

kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkembang menjadi hukum

kebiasaan. Untuk hukum adat di Indonesia, eksistensinya dijaga oleh

para tokoh adat sebagai sosok yang dihormati dan dihargai dalam

komunitas masyarakat adat.

Menurut pendapat penulis sejalan dengan pandangan Achmad Ali,

maka kita seharusnya bisa membedakan antara hukum adat dan

hukum kebiasaan. Tidaklah sama sebetulnya antara hukum adat dan

hukum kebiasaan walaupun dari segi karakteristiknya sama yaitu

merupakan hukum tidak tertulis. Namun pada bentukannya hukum

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

191

adat dan hukum kebiasaan memilik posisi yang memang berbeda

secara diametral. Hukum adat dengan mencontoh realitas masyarakat

Indonesia, yang paling menonjol adalah bersifat lokal dan

mengandung nilai magis. Lingkup pemberlakuannya terbatas hanya

pada komunitas masyarakat adat tertentu serta dijaga keberadaannya

oleh tokoh adat serta lembaga adat yang dihormati oleh masyarakat

adat. Sedangkan hukum kebiasaan, merupakan nilai-nilai kebiasaan

yang berlangsung secara terus menerus ditengah kehidupan

masyarakat kemudian kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung terus

menerus itu menjadi opini atau pendapat umum yang pada akhirnya

diterima sebagai konsensus (menjadi kesepakatan) warga masyarakat

secara keseluruhan sebagai norma hukum yang mengikat. Sehingga

bila kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung ditengah masyarakat itu

hanya merupakan kebiasaan belaka tetapi belum menjelma sebagai

norma hukum yang mengikat maka kebiasaan tadi belumlah dapat

diklaim sebagai hukum kebiasaan.

Untuk memperkuat pemahaman tersebut, yaitu pada contoh hukum

kebiasaan, misalnya penggunaan kartu kredit atau kartu debit ATM

dalam setiap transaksi keuangan. Masyarakat Indonesia sekarang

sudah familiar dengan penggunaan kartu kredit dan kartu debit ATM.

Setiap transaksi yang dilakukan melalui penggunaan kartu kredit dan

kartu debit ATM sudah dianggap sebagai sah secara hukum. Kertas

struk debit ATM yang lahir dari transaksi tersebut dipandang sebagai

alat bukti transaksi yang sah. Contoh lain hukum kebiasaan, saat ini

marak dengan transaksi jual beli on line padahal antara penjual dan

pembeli tidak saling mengenal secara fisik atau bertransaksi secara

langsung. Tetapi karena transaksi on line sudah menjadi kebiasaan

ditengah masyarakat Indonesia, maka hubungan transaksi tersebut

dipandang sebagai hubungan jual beli yang diterima oleh masyarakat

Indonesia sebagai sah secara hukum

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

192

Adapun contoh kebiasaan yang tidak bisa dianggap sebagai hukum

kebiasaan antara lain menghadiri acara aqiqah menyambut kelahiran.

Ada beberapa kebiasaan masyarakat Indonesia ketika menghadiri

acara aqiqah seorang sahabat, yang bersangkutan biasanya

menyelipkan amplop berisi uang atau memberikan hadiah kado

kepada tuan rumah penyelenggara acara aqiqah. Ini merupakan sebuah

kebiasaan yang berlangsung ditengah masyarakat Indonesia tetapi

tidak dikategorikan sebagai hukum yang mengikat bahwa wajib bagi

tamu undangan aqiqah untuk menyerahan amplop berisi uang kepada

penyelenggara aqiqah.

Dalam perkembangannya, hukum kebiasaan dan hukum adat yang

diadopsi dari tradisi serta kebiasaan yang berlangsung secara terus

menerus dalam masyarakat tidaklah bisa bertahan secara ajeg dan

permanen. Pada faktanya, hukum adat dan hukum kebiasaan itu

senantiasa mengalami perubahan seiring dengan tuntutan kebutuhan

masyarakat serta pengaruh semakin majunya perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Begitu pula dengan nilai-nilai tradisi dan adat istiadat yang diklaim

sebahagian pakar hukum di Indonesia sebagai bentuk atau produk

hukum adat tidaklah lagi berjalan sebagaimana mestinya sebagai nilai-

nilai yang bersifat memaksa. Hukum adat contohnya hanyalah

berlangsung sebagai tradisi atau bertahan pada prosesi-prosesi adat,

seperti pada upacara perkawinan, kematian, menyambut kelahiran,

atau pertunangan. Begitu pula pada sengketa antara masyarakat adat

misalnya pada masalah waris, pencurian ternak, masalah keluarga, dan

lain-lain, tidaklah lagi diselesaikan melalui mekanisme hukum adat

atau penjatuhan sanksi adat sudah tidak efektif lagi dalam menangani

berbagai sengketa atau perkara yang berlangsung ditengah masyarakat

adat. Beberapa warga masyarakat adat sekarang ini lebih banyak

memilih menyelesaiakan sengketa mereka dengan menggunakan

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

193

lembaga peradilan yang ada. Untuk masalah keluargapun tampaknya

warga masyarakat adat lebih memilih pengadilan agama atau

pengadilan umum guna menyelesaikan sengketannya itu.

Fenomena keberadaan lembaga-lembaga adat yang ada di tanah air

sebetulnya hanyalah hadir sebagai sebuah lembaga non-formal dalam

rangka untuk menjaga atau mengawasi keberlangsungan tradisi dan

budaya yang diwariskan nenek moyang masyarakat adat secara turun

temurun seperti tradisi adat budaya ketika hendak melangsungkan

perkawinan, prosesi kematian dan memperingati hari kematian, serta

upacara budaya menyambut kelahiran seorang bayi. Sehingga

memang tepat pandangan dari sebahagian besar pakar hukum bahwa

hukum adat di Indonesia sudah tergerus oleh zaman alias “mati suri”.

Yang diklaim sebagai hukum adat tidaklah lagi mengejawentah

sebagai nilai-nilai normatif yang bemuatan kaidah perintah dan

larangan, hak dan kewajiban, serta beban sanksi yang harus dikenakan

bila ada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai

kaidah yang terkandung dalam hukum adat tersebut. Pada faktanya,

apa yang diklaim sebagai nilai dari hukum adat, hanyalah terpatri

secara abstrak lewat simbol-simbol tertentu serta hanya berhenti pada

sebatas tutur kata dan lisan para tokoh adat.

Tata Urutan Perundang-Undangan dalam Sistem

Hukum Indonesia Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum cvil law,

telah menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum primer

dalam mengatur hubungan hukum antara warga negara serta sebagai

rujukan bagi penyelesaian berbagai sengketa hukum. Begitu

pentingnya kedudukan undang-undang dalam sistem hukum Indonesia

maka bagi para pakar hukum dan aparat penegak hukum lainnya,

selalu menjadikan undang-undang tertentu sebagai rujukan diskusi

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

194

atau menetapkan isu-isu hukum tertentu. Memang sistem hukum

Indonesia masih menempatkan putusan pengadilan (yurisprudensi)

dan hukum kebiasaan sebagai sumber hukum. Tetapi, keduanya selalu

dikaitkan dengan produk undang-undang berlaku. Apalagi kerangka

berpikir hukum yang mengkooptasi dalam setiap kurikulum

pendidikan hukum di Indonesia serta juga pandangan para pakar

hukum lainnya adalah dominan menganut aliran legisme. Maka tak

pelak lagi, setiap diskusi mengenai isu-isu hukum tertentu, akan selalu

merujuk kepada produk hukum tertulis yang mengaturnya.

Sehubungan dengan itulah, maka Peraturan perundang-undangan,

dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang

dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat

secara umum. Untuk itulah, berikut ini penulis menjabarkan dinamika

tata urutan perundang-undangan di Indonesia sejak Orde Lama sampai

Era Reformasi.

Secara berturut sesuai perjalanan beberapa rezim pemerintahan di

Indonesia, tata urutan perundang-undangan dapat dicermati sebagai

berikut:

1. Berdasarkan Surat Presiden No.3639/Hk/59 Tanggal 26

November 1959

Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun

waktu 5 juli 1959 sampai dengan 1966 atau masa orde lama, Presiden

Soekarno dalam suratnya kepada Ketua DPR No. 2262/HK/59

Tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan dengan surat

Presiden No.3639/HK/59 Tanggal 26 November 1959, menyebutkan

bentuk-bentuk peraturan negara setelah Undang-Udang Dasar adalah:

a) Undang-Undang

b) Peraturan pemerintah

c) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

195

d) Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden tanggal 5

Juli 1959

e) Peraturan presiden didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945,

untuk melaksanakan penetapan Presiden

f) Peraturan pemerintah untuk melaksanakan peraturan presiden (ini

lain daripada peraturan pemerintah ex Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)

g) Keputusan presiden untuk melaksanakan pengangkatan

h) Peraturan/keputusan Menteri.

Pada tata uratan perundang-undangan tersebut, tidak dicantumkan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai bentuk peraturan

perundang-undangan karena menganggap Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat merupakan perwujudan dari Undang-

Undang Dasar.

2. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara No. XX/MPRS/1966

Pada saat berakhirnya masa pemerintahan Orde lama dan

memasuki masa Orde Baru, Presiden Soekarno menyurati Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) untuk perubahan tata

urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian, dikembangkan oleh

DPR-GR dan hasilnya di awal Orde Baru dengan dikeluarkannya

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP

MPRSNo.XX/MPRS/1966. Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA)

TAP MPRS tersebut disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

Dasar 1945 :

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

196

a) Undang-undang Dasar 1945 peraturan perundang-undangan yang

tertinggi, yang pelaksanaannya dengan ketetepan MPR, atau

keputusan presiden

b) Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR No. I/MPR/1973 tentang

Tata Tertib MPR, bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu

TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif

yang dilaksanakan dengan undang-undang dan TAP MPR yang

memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang

dilaksanakan dengan keputusan presiden.

c) Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

untuk melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan

yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan sebagai

pengganti undang-undang. Peraturan ini harus mendapat

persetujuan DPR. (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945)

d) Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk

melaksanakan undang-undang

e) Keputusan Presiden. Ini merupakan keputusan yang bersifat

khusus untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP

MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah

f) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:

1) Peraturan Menteri;

2) Instruksi Menteri;

3) Dan lain-lain-nya.

Bentuk/ jenis peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam TAP

MPRS No.XX/MPRS/1966 diilhami oleh tulisan Mohammad Yamin

dalam bukunya yang berjudul: Naskah Persiapan Undang-undang

Dasar, Mohammad Yamin mengatakan bahwa bentuk-bentuk

peraturan Negara adalah sebagai berikut:

a) UUD 1945

b) Dekrit Presiden 5 Juli 1959

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

197

c) Putusan MPR

d) Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit 5 Juli1959

e) Peraturan Presiden, peraturan tertulis untuk mengatur kekuasaan

presiden berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945

f) Keputusan Presiden, peraturan tertulis untuk menjalankan

Peraturan Presiden atau Undang-Undang di bidang

pengangkatan/pemberhentian personalia

g) Surat keputusan presiden, penentuan tugas pegawai

h) Undang-Undang

i) Peraturan pemerintah untuk melaksanakan Penetapan Presiden

j) Peraturan pemerintah untuk pengganti Undang-Undang

k) Peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang

l) Peraturan dan keputusan penguasa Perang

m) Peraturan dan keputusan Pemerintah Daerah

n) Peraturan tata tertib dewan dan peraturan/keputusan dewan. Yang

di maksud dengan Dewan misalnya MPR, DPR, Dewan Menteri,

DPA, dan Dewan Perancang Nasional.

o) Peraturan dan keputusan Menteri, yang di terbitkan atas

tanggungan seorang atau bersama Menteri.

Apa yang disebutkan Mohammad Yamin, menempatkan Putusan

Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) berada diurutan

ketiga setelah UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maka dari

inilah awal mulanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

yang kemudian dicantumkan kedalam Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966.

3. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

No.III/MPR/ 2000

Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No

III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan peraturan perundang-

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

198

undangan menempatkan kedudukan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat berada diurutan kedua setelah UUD 1945.

Ketetapan tersebut merupakan perubahan dari Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966, yang

menyebutkan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila.

4. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak lagi menempatkan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7

dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga

dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus

dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas. Adanya

ketidakpastian terhadap eksistensi ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih

berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui pemerintah dan

Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat

cenderung mengabaikan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

yang masih berlaku tersebut baik dalam proses pembentukan undang-

undang maupun dalam perumusan kebijakan negara. Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 telah mengandung kesalahan yang sangat

mendasar. Akibat kesalahan ini maka Ketetapan MPR RI No

I/MPR/2003 menjadi tidak jelas statusnya. Di masa dulu, pelanggaran

terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa

mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada

impeachment, tetapi pasca amandemen UUD 1945 langkah politik

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

199

semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945

menyatakan bahwa impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil

Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil

Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal

ada 11 (sebelas) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang

sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi dilanggar. Disana

ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP

MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Pengaturan, Pembagian, dan Pemamfaatan Sumber Daya Nasional

yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah

dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang Visi

Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR

No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP

MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak

ada sanksi dan konsekuensi apapun baik secara hukum, politik,

maupun manakala dilanggar. Seperti halnya Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi yang tidak jadi dibentuk sehingga pelanggaran HAM

seperti Kasus 1965, Tanjung Priok, Lampung, Kasus Orang Hilang,

dan sebagainya kehilangan modus dan instrumennya untuk

menyelesaikannya. Sebab, modus dan instrument yang sangat bijak

seperti yang diamanatkan oleh TAP MPR No V/MPR/2000 diabaikan.

Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi tidak jelas. Karena dalam

undang-undang ini posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

200

Nasib Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah

139 buah menjadi tidak jelas status hukumnya. Namun, kondisi ini

berakhir setelah DPR dan Pemerintah telah sepakat memasukkan

kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam hirarki

peraturan perundang-undangan. Hal ini terungkap dalam Rapat Panitia

Khusus revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga dari

rapat tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibahas

kembali dalam sidang DPR sehingga direvisi menjadi Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil revisi ini

Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkan dalam tata urut peraturan

perundangan Indonesia.

5. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang

ketentuan baru, yakni masuknya kembali Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam peraturan perundang-

undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hirarki peraturan

perundang-undangan terdiri dari:

a) UUD 1945

b) Ketetapan MPR

c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu)

d) Peraturan pemerintah

e) Peraturan Presiden

f) Peraturan Daerah Propinsi dan

g) Peraturan Daerah Kabupaten.

Dari pasal di atas, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

menduduki posisinya sebagai sumber hukum tertulis dalam sistem

hukum di Indonesia dan kembali menjadi sumber hukum formal dan

BAB 4 Sumber-Sumber Hukum

201

material. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan

kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945

bukan hanya dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia,

melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik

lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan

ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih

berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-

undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

BAB 5

PEMBIDANGAN HUKUM PUBLIK DALAM

SISTEM HUKUM INDONESIA

Hukum Publik dan Hukum Privat Sistem hukum Indonesia menganut sistem civil law, karena

berdasarkan alasan historis, Indonesia telah dijajah selama 350 tahun

oleh Kolonial Belanda yang mewariskan sistem politik dan hukum

nilai-nilai peradaban barat. Kolonial Belanda yang sistem hukumnya

menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law, tentu saja

mewariskan sistem hukumnya ke tanah jajahan Hindia Belanda

(sebelum wilayah nusantara menggunakan nama Indonesia). Jejak

pengaruh sistem civil law peninggalan Kolonial Belanda terhadap

sistem hukum Indonesia, adalah tampak pada prosedur beracara di

setiap pengadilan di Indonesia yang berkiblat dengan model beracara

versi Eropa Kontinental yang berkarakter civil law. Karakteristik lain

yang menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih berkiblat

civil law system, yaitu sistem hukum di Indonesia masih menganut

adanya kodifikasi dimana hakim tidak terikat kepada preseden

(yurisprudensi) sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang

utama.

Sebagaimana yang banyak dibahas pada beberapa literatur hukum,

sistem hukum civil law dengan sistem hukum Anglo Saxon adalah

berasal dari rumpun keluarga yang sama. Keduanya sistem hukum itu

menurut penuturan Peter Mahmud Marzuki, sama-sama berasal dari

rumpun hukum Jerman. Nanti satu abad kemudian, menurut Peter

Mahmud Marzuki, terjadi perubahan situasi, hukum Romawi

merambahkan pengaruhnya terhadap sistem hukum di daratan Eropa

kecuali Kerajaan Inggris yang luput dari pengaruh tersebut dimana

rakyat Inggris ketika itu masih memberlakukan nilai-nilai hukum

kebiasaan yang berlangsung ditengah kehidupan sosial orang-orang

Inggris.

Sistem hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental itu, disebut

sistem civil law karena pengaruh dari hukum Romawi terhadap sistem

hukum negara-negara Eropa Kontinental yang sebetulnya berasal dari

hasil pemikiran karya seorang Kaisar Romawi Iustinianus yang

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

203

menulis kitab hukum berjudul Corpus Iuris Civilis. Kitab hukum

inilah yang kemudian menjadi hukum tertulis yang diberlakukan

kepada rakyat Romawi. Sedangkan sistem hukum common law yang

merupakan sistem hukum yang dikembangkan di Inggeris karena

didasarkan atas hukum asli rakyat Inggeris. Sistem common law ini

dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebahagian

besar wilayah Inggeris, sehingga sistem common law ini, disebut juga

sistem Anglo-Saxon1.

Ada satu hal yang menjadi karakteristik sistem hukum civil law

(Eropa Kontinental) dibandingkan sistem hukum common law (Anglo-

Saxon), yaitu civil law melakukan pemisahan dalam hal pembidangan

pengaturan hukum yaitu yang disebut hukum publik dan hukum

privat. Hukum publik adalah pengaturan hukum yang berkaitan

dengan kepentingan negara sedangkan hukum privat adalah berkaitan

dengan kepentingan individu. Terjadinya pemisahan antara hukum

publik dan hukum privat tersebut, menurut pendapat penulis,

disebabkan oleh pengaruh sekulerisme yang sudah mempengaruhi

peradaban masyarakat daratan Eropa (Eropa Kontinental) secara

umum. Sekulerisme ini muncul sebagai reaksi dari masyarakat Eropa

yang menolak intervensi gereja terhadap tata kehidupan sosial atau

kehidupan negara. Paham ini kemudian mengerucut menjadi paham

yang memisahkan antara agama dengan kehidupan sosial2.

1 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana

Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 223-224. 2 Sejarah munculnya sekulerisme di Eropa muncul ketika pada abad

pertengahan Benua Eropa, ternyata penuh dengan penyimpangan dan

penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu

pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Abad Pertengahan

pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan

Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w.

1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai

dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti

Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592). Mereka menentang

dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

204

Paham sekulerisme yang memisahkan antara kehidupan agama

dengan kehidupan sosial politik, boleh jadi juga berdampak kepada

terjadinya pengaturan hukum bagi masyarakat Eropa. Sekulerisme

yang menghasilkan paham kebebasan individu yang sebesar-besarnya

atau yang disebut liberalisme. Ini jugalah yang memberikan inspirasi

bagi masyarakat Eropa terhadap pengaturan hukum, yang membatasi

peran negara yang tidak lagi diperkenankan untuk mengintervensi

persoalan-persoalan yang bersifat individual. Atas dasar pemikiran

inilah maka peran negara hanya boleh mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan publik (masyarakat),

sedangkan untuk hal-hal yang menyangkut kepercayaan, keyakinan

agama, persoalan keluarga, termasuk pengelolaan ekonomi dianggap

sebagai persoalan individual (privacy), negara tidak boleh

mengintervensinya pada batas-batas tertentu. Untuk persoalan privat

tersebut, negara hanya diperbolehkan melakukan pengawasan terbatas,

guna menekan agar persoalan-persoalan privat tersebut jangan sampai

mengganggu ketenangan kehidupan publik.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, yang pertama kali menggagas

pemisahan antara hukum publik dengan hukum privat adalah

Ulpianus3. Ia adalah seorang penulis hukum yang hidup pada masa

kekaisaran Romawi, dalam salah satu tulisannya, Ulpianus

menyatakan bahwa hukum publik ialah hukum yang mengatur

menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad

XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin

mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan

Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi

Prancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari

masyarakat, negara, dan politik. Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme

yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat. 3 Nama lengkapnya Domituius Ulpianus, lahir di Tyre,Phoenicia, nama

wilayah yang merupakan kekuasaan Kerajaan Romawi dahulu, ia meninggal

pada 228 SM. Lebih dikenal sebagai seorang ahli hukum bangsa Romawi.

Tulisan-tulisannya banyak menginspirasi kitab hukum yang ditulis oleh

Kaisar Roma, yaitu Kaisar Justinian yang menulis Digest dan Pandecta.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

205

kesejahteraan negara Romawi, sedangkan hukum perdata ialah hukum

yang mengatur kepentingan orang perseorangan. Menurut penjelasan

Peter Mahmud Marzuki, pembedaan hukum publik dan hukum privat

adalah berkaitan dengan kepentingan yang diaturnya. Selanjutnya,

Peter Mahmud menguraikan bahwa hukum publik berkaitan dengan

fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan

individu. Alasan diadakan pembedaan tersebut adalah karena negara

berfungsi untuk melaksanakan kehendak rakyatnya, negara bertindak

sebagai fasilitator dalam kehidupan berbangsa. Dalam melaksanakan

fungsi tersebut, diperlukan aturan-aturan hukum. (alasan ontologis

eksistensi hukum publik) Alasan lain adalah mengenai hubungan

kepentingan yang diaturnya. Kepentingan yang diatur oleh hukum

dibedakan menjadi kepentingan umum dan kepentingan khusus.

Kepentingan umum berkaitan dengan kebersamaan dalam hidup

bermasyarakat (penguasa melalui hukum publik harus memelihara

kepentingan umum) Kepentingan khusus berkaitan dengan hubungan

masyarakat di antara sesamanya (dalam pemeliharaan hubungan

tersebut diadakan hukum privat). Penentuan mana yang merupakan

kepentingan umum sehingga masuk ke wilayah hukum publik dan

yang mana yang merupakan kepentingan khusus sehingga masuk ke

dalam wilayah hukum privat bergantung kepada pembuat undang-

undang yang dipengaruhi oleh factor” ekonomi, sosial, politik dan

nilai” yang hidup dalam masyarakat.

Dengan demikian, untuk membedakan hukum publik dengan

hukum privat, adalah melalui pencermatan terhadap muatan norma

yang termuat dalam aturan-aturan hukum. Apabila substansi norma

yang termuat dalam suatu produk hukum atau bidang kajian hukum

tertentu mengatur segi-segi fungsi negara serta sangat terkait

keamanan umum masyarakat maka bidang itu termasuk kedalam

hukum publik. Akan tetapi, bila substansi norma yang termaktub

dalam sebuah produk hukum atau bidang kajian hukum dimaksud

menyentuh hal-hal yang berkenaan dengan kentingan indivudu atau

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

206

kepentingan perseorangan maka bidang hukum itu masuk kedalam

bidang hukum privat.

Yang menjadi titik perhatian kita adalah manakah yang dimaksud

kepentingan umum (negara) dan yang manakah kepentingan individu.

Untuk menjawabnya, kita terlebih dahulu melakukan pencermatan

terhadap hubungan hukum yang diatur dalam sebuah produk hukum.

Bila hubungan hukum itu adalah dominan mengatur tentang

bekerjanya alat-alat negara termasuk lembaga-lembaga negara,

koordinasi antara lembaga negara yang satu dengan yang lain, status

dan kewenangan lembaga negara atau alat-alat negara, maka produk

hukum yang mengatur semua itu masuk kategori bidang hukum

publik. Begitu pula, apabila produk hukum yang diberlakukan sangat

menitikberatkan perhatian kepada hal-hal berkaitan keamanan serta

ketertiban masyarakat maupun pengaturan hukum yang terkonsentrasi

kepada kepentingan umum, maka dapat dipastikan apa yang diatur itu

masuk kategori hukum publik.

Sebaliknya, apabila sebuah produk hukum yang ada ataukah

bidang kajian hukum yang memusatkan perhatian kepada segi-segi

yang berkaitan dengan kepentingan hukum yang tidak masuk kategori

kepentingan negara atau masyarakat umum tetapi dianggap sebagai

semata-mata kepentingan individu atau perseorangan maka bidang

kajian atau produk hukum yang mengatur tentang itu termasuk

kategori bidang hukum privat. Memang kita sangat sulit untuk bisa

mengidentifikasi manakah yang dimaksud kepentingan individu itu

sebab bisa saja sebuah perbuatan hukum yang dianggap sebagai

masuk kategori kepentingan individu tetapi malah dikategorikan

berkaitan dengan publik atau keamanan umum. Contohnya, perbuatan

seseorang yang tidak melaksanakan isi perjanjian yang berkaitan

dengan utang piutang. Orang yang berutang dalam perjanjian tersebut

memang beritikad buruk tidak mau mengembalikan uang yang dia

pinjam kepada siberpiutang. Menjadi persoalan apakah orang yang

berutang bisa dimasukkan kedalam melanggar perjanjian yang

perbuatan ini masuk kategori hukum privat ataukah masuk kategori

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

207

tindak pidana penipuan yang bisa dikategorikan wilayah hukum

publik.

Menurut pendapat penulis, cara praktis untuk bisa membedakan

perbuatan hukum masuk kategori hukum publik dan hukum privat

yaitu dengan melihat prosedur yang akan dilakukan bila perbuatan

hukum tersebut diproses melalu jalur pengadilan. Apabila perbuatan

hukum dimaksud dipersoalkan secara hukum melalui mekanisme

pengadilan umum yaitu pengadilan sipil (perdata) dan pengadilan

agama bagi orang Islam di Indonesia maka perbuatan hukum tersebut

masuk kedalam kategori hukum privat. Sebaliknya bila perbuatan

hukum dimaksud diselesaikan melalui prosedur pengadilan yang

sangat terkait dengan fungsi-fungsi administrasi negara, seperti

melalui pengadilan tata usaha negara atau juga perbuatan hukum

dimaksud terkait dengan kelembagaan negara, partai politik, dan

pemilihan umum yang proses penyelesaian sengketanya melalui

Mahkamah Konstitusi maka perbuatan hukum tersebut masuk kategori

hukum publik. Juga bisa dibedakan bahwa perbuatan hukum itu

masuk kategori hukum publik apabila sangat terkait antara lembaga-

lembaga politik negara baik lembaga tertinggi negara maupun

lembaga tinggi negara, baik lembaga-lembaga negara yang ada pada

tingkat propinsi maupun pada tingkat kota atau kabupaten.

Kembali kepada masalah perbuatan seseorang yang tidak mau

melaksanakan isi perjanjian yang berkaitan dengan utang piutang.

Orang yang berutang dalam perjanjian tersebut memang beritikad

buruk tidak mau mengembalikan uang yang dia pinjam kepada

siberpiutang. Bila hendak menempatkan perbuatan orang tersebut,

sebagai perbuatan yang masuk kategori privat atau publik maka lebih

mudah apabila konteks perbuatannya dicermati melalui proses

hukumnya. Bila orang yang berhutang diproses melalui laporan ke

pihak kepolisian oleh pihak berpiutang bahwa pihak berutang

dipandang melakukan penipuan. Perbuatan pihak berutang yang tidak

mau melaksanakan isi perjanjian dikategorikan sebagai hukum publik.

Tetapi jika pihak yang berpiutang mengajukan gugatan perdata lewat

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

208

peradilan umum, bahwa pihak berutang telah melakukan ingkar janji,

maka perbuatan pihak berutang masuk kategori hukum privat.

Yang menjadi persoalan lagi, apakah lembaga-lembaga publik

dapat dikategorikan melakukan perbuatan hukum privat ataukah bisa

dikaitkan dengan hubungan hukum bersifat privat saja? Untuk

menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus mengidentifikasi

perbuatan hukum yang dilakukan oleh lembaga publik. Apabila

perbuatan hukum yang dilakukan lembaga publik bersangkutan lebih

dominan mencerminkan hubungan hukum yang lebih kuat kepada

persoalan-persoalan privat maka jelas ini masuk kategori hukum

privat. Contoh, untuk mempermudah pemahaman ini. Seorang

gubernur melakukan transaksi jual beli mobil untuk keperluan

transportasi dinas bagi aparat pejabat yang menjadi bawahannya. Jual

beli mobil yang dilakukan sang gubernur adalah dengan perusahaan

mobil yang ada di Indonesia sebutlah misalnya perusahaan mobil PT

X. Hubungan jual beli dalam konteks sistem hukum Indonesia

termasuk kategori hubungan hukum yang masuk wilayah hukum

privat. Sehingga, hubungan hukum yang dilakukan oleh sang gubernur

masuk kategori hukum privat meskipun yang melakukan hubungan

jual beli itu adalah seorang gubernur yang merepresentasikan pejabat

publik. Lain halnya bila seorang gubernur melakukan tindakan

pemecatan terhadap seorang pejabat bawahannya karena melakukan

pelanggaran berat disiplin pegawai negeri sipil, maka tindakan

gubernur itu masuk kategori perbuatan hukum administrasi sehingga

masuk wilayah hukum publik.

Untuk memperjelas perbedaan hukum publik dan hukum privat,

berikut ini penulis menguraikannya melalui ragaan berikut ini:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

209

Ragaan 10

Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat

Sehubungan dengan itu, dalam konteks pembahasan ini, penulis

menguraikan tentang segi-segi yang berkaitan dengan hukum publik

dan hukum privat yang merujuk kepada sistem hukum Indonesia.

Hukum Publik Penulis memberikan pengertian hukum publik, yaitu segenap

aturan hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan-

hubungan hukum yang didalamnya menitikberatkan kepada

HUKUM

HUKUM PUBLIK HUKUM PRIVAT

PERGAULAN

HUKUM WARGA

MASYARAKAT

MENYANGKUT

HAK DAN

KEWAJIBAN

SERTA SANKSI

HUKUM

Kepentingan

Negara,

Fungsi-

Fungsi

Lembaga

Negara,

Kepentingan

Masyarakat

Umum,

Ketertiban

dan

Keamanan

Masyarakat

Kepentingan

Individu atau

Perseorangan

yang

dianggap

bukan sebagai

kepentingan

publik

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

210

kepentingan negara atau kepentingan masyarakat luas.

Berdasarkan pengertian ini, maka hukum publik sesungguhnya sangat

terkonsentrasi pada apa yang disebut kepentingan negara dan

masyarakat secara luas. Jadi dapat dapat dikatakan bahwa segala

ketentuan hukum yang mengatur persoalan fungsi-fungsi negara serta

ada kaitannya dengan keamanan masyarakat maka ketentuan hukum

dimaksud tergolong kepada hukum publik. Pada berbagai kajian

hukum dan pembelajaran hukum di beberapa fakultas hukum di

Indonesia, maka bidang-bidang hukum yang tergolong sebagai hukum

publik, meliputi:

1. Hukum Tata Negara

Terminologi Hukum Tata Negara merujuk kepada Bahasa Belanda

yaitu Staatsrecht yang artinya adalah hukum negara. Staats menunjuk

kepada pengertian negara-negara, sedangkan recht berarti hukum.

Hukum negara dalam kepustakaan Indonesia diartikan menjadi

Hukum Tata Negara. Mengenai definisi hukum tata negara masih

terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum tata negara.

Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh masing-masing ahli hukum

tersebut memiliki pandangan berbeda serta titik kajian berbeda dalam

merumuskan pengertian Hukum Tata Negara. Perbedaan pandangan

itu, boleh jadi pada sudut pandang ideologi hukum yang dianut,

pandangan politik, serta visi kenegaraan yang dijadikan sebagai

rujukan.

Sebagai rujukan berikut penulis memaparkan beberapa pendapat

ahli tentang pengertian Hukum Tata Negara yang penulis intisarikan

dari beberapa literatur hukum yang ada, sebagai berikut:

Cristian Van Vollenhoven

Hukum Tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan

dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya,

yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan rakyatnya

sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan

masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

211

masing, serta menentukan pula susunan dan wewenangnya dari badan-

badan tersebut.

J. H. A. Longemann

Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi

negara. Negara adalah organisasi jabatan-jabatan. Jabatan merupakan

pengertian yuridis dan fungsi, sedangkan fungsi merupakan pengertian

yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang

terdiri dari fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain

maupun dalam keseluruhannya, maka dalam pengertian yuridis,

negara merupakan organisasi jabatan.

Stellinga

Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur wewenang dan

kewajiban alat-alat perlengkpan negara, mengatur hak dan kewajiban

warga negara.

Kusumadi Pudjosewojo

Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara

dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang

atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang

selanjutannya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari

masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-

alat perlengkapan yang memegang kekuasaan dari masyarakat hukum

itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara

alat perlengkapan negara itu.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim

Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan

peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara,

hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan

horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak azasinya

Paul Scholten

Hukum Tata Negara itu tidak lain adalah het recht dat regelt de

staatsorganisatie, atau hukum yang mengatur tata organisasi negara.

Berdasarkan rumusan ini, Scholten hanya menekankan perbedaan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

212

antara organisasi negara dari organisasi non-organisasi, seperti gereja

dan lain-lain.

Van Der Pot

Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan

badan-badan yang diperlakukan beserta kewenangannya masing-

masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan

individu warga negara dan kegiatannya.

Hukum Tata Negara masuk dalam kategori hukum publik sebab

yang diatur dan dibahas dalam hukum tata negara adalah hukum yang

berkaitan dengan organisasi negara. Objek pengaturan dari hukum tata

negara adalah kewenangan “organ” negara, hubungan antar organ

negara satu dengan yg lainnya, pengaturan tentang Hak Asasi

Manusia, kewarganegaraan, keabsahan undang-undang dan peraturan

hukum dibawahnya, menyangkur partai politik dan pemilu. Jadi

ringkasnya, Hukum Tata Negara mengatur persoalan yang berkaitan

dengan fungsi-fungsi negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga

negara baik lembaga tertinggi negara seperti MPR maupun lembaga

tinggi negara seperti Presiden, DPR, DPD, BPK, Mahkamah Agung,

Kepolisian, Kejaksaan, dan Bank Indonesia. Termasuk juga organ-

organ negara lainnya seperti kementerian dan lembaga negara yang

ada pada tingkat propinsi sampai kabupaten/kota seperti gubernur,

walikota/bupati, dan seterusnya sampai organ negara dibawahnya

pada tingkat terendah sekalipun seperti tingkat kelurahan.

Hukum Tata Negara menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki

merupakan basic law yang menjadi landasan keberadaan hukum-

hukum lainnya. Penulis juga sependapat dengan pandangan Peter

Mahmud Marzuki sebab Hukum Tata Negaralah yang menjadi induk

dari segala cabang-cabang hukum lainnya. Artinya, derivasi hukum-

hukum lainnya akan selalu tidak bisa dilepaskan secara integral

dengan Hukum Tata Negara sebagai induknya. Bahkan menurut

pendapat penulis, hukum privat-pun sebenarnya tidak bisa dilepaskan

dari Hukum Tata Negara, sebab dalam proses pembuatan sampai

lahirnya produk hukum yang mengatur pergaulan hukum privat akan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

213

selalu dikaitkan dengan fungsi lembaga negara yaitu DPR sebagai

lembaga legislatif yang merancang pembuatan undang-undang. Begitu

pula, bila kita membahas Hukum Pidana dan Hukum Internasional,

tidak akan bisa dilepaskan dengan Hukum Tata Negara sebagai

induknya. Pelaksanaan Hukum Pidana misalnya kita tidak akan bisa

lepas dari fungsi lembaga tinggi negara seperti Kejaksaan Agung dan

Mahkamah Agung. Dalam hal berkaitan dengan Hukum Internasional

juga, kita tidak bisa lepas dari peran Hukum Tata Negara misalnya

prosedur pengikatan diri terhadap perjanjian internasional. Presiden

sebagai salah satu representasi lembaga tinggi negara tentu harus

mengikuti prosedur ketatanegaraan tatkala hendak menandatangani

perjanjian sebagai bentuk pengikatan negara terhadap perjanjian

internasional.

Sehubungan dengan keberadaan Hukum Tata Negara sebagai

hukum publik, yaitu didalamnya mengatur kepentingan negara yang

didalamnya mencakup fungsi-fungsi negara, maka untuk

mempermudah pemahaman ini, penulis memberikan contoh

pengangkatan Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan. Pengangkatan seorang presiden mulai

dicalonkan sampai dengan pelantikannya di istana negara adalah

bagian dari sebuah proses politik. Meskipun proses pencalonan

sampai pengangkatan seorang presiden merupakan proses politik,

tetapi pengangkatan presiden tersebut tentu harus memenuhi tata

krama konvensi kenegaraan Indonesia yang diatur dalam konstitusi

yaitu UUD 1945. Dalam UUD 1945, sudah ditetapkan prosedur serta

aturan main apabila seseorang hendak diangkat menjadi presiden

Indonesia, yaitu antara lain pada Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945

Amandemen IV menetapkan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil

Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya

dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya

sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani

dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai

Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya, Pasal 6A Ayat (1) bahwa

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

214

Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara

langsung oleh rakyat, lalu Ayat (2) menetapkan bahwa pasangan calon

Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan

pemilihan umum.

Apa yang diuraikan penulis secara ringkas diatas sekedar contoh

penerapan hukum publik yang berkaitan dengan pengangkatan

seorang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Jelas, tugas seorang presiden adalah menjalankan amanah dalam

kerangka mewujudkan tujuan negara Indonesia sebagaimana yang

termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tugas presiden

adalah tugas publik yang sangat berkaitan erat dengan fungsi negara

sehingga pengaturan wilayah tugas presiden, diatur menurut ketentuan

dalam hukum publik.

Dari penjelasan penulis tentang kedudukan Hukum Tata Negara

sebagai bagian dari hukum publik maka dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud Hukum Tata Negara dalam perspektif sistem hukum

Indonesia adalah sekumpulan aturan hukum atau kaidah hukum

mengatur keberadaan negara Indonesia, baik dalam hubungan

badan-badan negara, lembaga negara maupun individu dalam

hubungannya satu sama lain.

Dengan demikian dalam Hukum Tata Negara Indonesia,

cakupannya juga mengatur tentang tujuan negara Indonesia, bentuk

negara Indonesia, bentuk pemerintahan negara Indonesia, lembaga-

lembaga tinggi dan tertinggi negara, hubungan lembaga-lembaga

negara, wilayah negara, rakyat dan penduduk negara, hak-hak dan

kewajiban warga negara dan sebagainya yang kesemuanya masuk

dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

215

Pada penjelasan sebelumnya, sudah diuraikan bahwa Hukum Tata

Negara merupakan basic law dari seluruh bidang hukum yang ada.

Tentu saja Hukum Tata Negara juga menderivasi cabang-cabang

hukum yang secara spesifik mengatur aspek hukum yang berkaitan

langsung dengan Hukum Tata Negara. Artinya, ada bidang-bidang

pengaturan hukum atau kajian-kajian hukum yang secara spesifik

mengatur bidang-bidang tertentu tetapi terkait langsung dengan

Hukum Tata Negara, diantaranya meliputi: Hukum Administrasi

Negara, Hukum Pajak, Hukum Tata Ruang, Hukum Pendaftaran

Tanah, dan Hukum Pertambangan. Akan tetapi, selain bidang-bidang

hukum khusus yang termasuk dalam kajian Hukum Tata Negara,

masih ada bidang-bidang hukum khusus lainnya yang tidak disebutkan

dalam buku ini yang kemungkinan diajarkan dibeberapa fakultas

hukum di Indonesia.

Berikut ini, penulis menguraikan secara singkat bidang-bidang

khusus kajian hukum yang masuk dalam wilayah kajian Hukum Tata

Negara sebagai berikut:

a) Hukum Administrasi Negara

Esensi Hukum Administrasi Negara adalah masuk dalam wilayah

kajian Hukum Tata Negara. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Hukum

Administrasi Negara hanya berkaitan dengan organ administrasi saja

dalam kerangka bekerjanya kekuasaan eksekutif. Peter Mahmud

Marzuki memberikan pengertian Hukum Administrasi Negara sebagai

hukum yang mengatur hubungan antara organ administrasi negara

dengan warga masyarakat. Ciri khas Hukum Administrasi Negara

menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah selalu berbentuk tertulis. Jika

dalam Hukum Tata Negara dimungkinkan adanya konvensi, yaitu

kebiasaan-kebiasaan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara

yang dianggap mengikat meskipun tidak tertulis, maka dalam Hukum

Administrasi Negara tidak ada tempat bagi hukum kebiasaan. Bidang-

bidang yang menjadi objek pengaturan Hukum Administrasi Negara,

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

216

meliputi perizinan, pegawai negeri, pajak, pendaftaran yang

menciptakan hak, dan tindakan organ administrasi.

Sementara itu, Prajudi Atmosudirdjo4 membagi hukum

administrasi negara dalam dua bagian, yaitu Hukum Administrasi

Negara heteronom dan hukum administrasi negara otonom. Hukum

Administrasi Negara yang bersumber pada UUD 1945, TAP MPR dan

Undang-undang adalah hukum yang mengatur seluk beluk organisasi

dan fungsi administrasi negara, dikategorikan sebagai Hukum

Administrasi Negara Heteronom. Sedangkan, Hukum Administrasi

Negara Otonom ialah hukum operasional yang diciptakan pemerintah

dan aparatur administrasi negara.

Penulis hukum administrasi negara lain, membagi bidang hukum

administrasi negara menjadi hukum administrasi negara umum

(algemeendeel) dan hukum administrasi negara khusus (bijzonder

deel). Hukum administrasi negara umum berkenaan dengan peraturan-

peraturan umum mengenai tindakan hukum dan hubungan hukum

administrasi atau peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku

untuk semua bidang hukum administrasi, dalam artian tidak terikat

pada bidang tertentu. Sementara itu, hukum administrasi negara

khusus adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang-

bidang tertentu seperti peraturan tentang tata ruang, peraturan tentang

kepegawaian, peraturan tentang pertanahan, peraturan kesehatan,

peraturan perpajakan, peraturan bidang pendidikan, peraturan

pertambangan dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Hukum Administrasi

Negara dapat ditempatkan sebagai pionir dalam mencapai keteraturan

organisasi ketatanegaraan secara keseluruhan dan terintegral antara

masing-masing lembaga negara atau organ negara yang terdapat

didalamnya.. Negara pada hakikatnya merupakan sebuah organisasi

formal yang memiliki legitimasi dan kedaulatan penuh untuk

4 Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Hukum Administrasi Negara, Penerbit

Ghalia Indonesia, Jakarta.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

217

mengatur rakyat yang ada didalamnya guna memberikan rasa aman

dan kesejahteraan, .maka sudah barang tentu perbuatan-perbuatan

hukum yang dilakukan alat-alat perlengkapan negara sebagai

lembaga/organ negara dalam konteks melakukan perbuatan-perbuatan

bidang hukum yang sifatnya administratif, memegang peranan yang

sangat penting dalam kerangka penyelenggaraan negara.

Penyelenggaraan negara dimaksud didalamnya mencakup kegiatan

mengatur, mencatat, menganalisis, dan menyajikan hasil segala alur

aliran kegiatan tata usaha negara beserta peraturan yang mampu

menguntungkan negara, beserta segala konsekuensinya.

b) Hukum Pajak

Hukum Pajak termasuk kategori hukum publik, sebab hukum ini

meregulasi seperangkat norma yang memberikan kewenangan kepada

negara untuk melakukan pungutan-pungutan wajib yang disebut pajak

kepada seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan jenis pajak itu sendiri,

yang hasil dari pungutan pajak tersebut, digunakan untuk membiayai

proyek-proyek pembangunan baik skala nasional maupun skala

regional (tingkat propinsi/kota atau kabupaten) untuk kemaslahatan

publik.

Hukum Pajak sebagai bagian ilmu hukum memiliki istilah yang

berbeda-beda karena faktor penggunaan bahasa yang

menyebabkannya. Dalam literatur berbahasa Inggris, dalam Hukum

Pajak disebut tax law. Kemudian dalam bahasa Belanda disebut

belasting recht. Sementara itu, dalam literatur berbahasa Indonesia

digunakan istilah selain Hukum Pajak juga hukum fiskal. pada

dasarnya Hukum Pajak dengan hukum fiskal memiliki sebuah subtansi

yang berbeda. Hukum Pajak hanya membahas tentang pajak sebagai

objek kajiannya, sedangkan pada hukum fiskal meliputi pajak dan

sebagian keuangan negara sebagai objek kajiannya.

Tentang pengertian Hukum Pajak, Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

218

menyebutkan hanya menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi

wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan

negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitu juga dalam

Pasal 23 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Pajak dan pungutan

yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang".

Dalam undang-undang pajak maupun UUD 1945 tidak dijelaskan

secara jelas apa yang dimaksud Hukum Pajak.

Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro5 Pajak adalah iuran

rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang ( yang dapat

dipaksakan) dengan mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang

langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum”. Sedangkan Hukum Pajak atau juga disebut

hukum fiskal, menurut Rochmat Soemitro adalah “keseluruhan dari

peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk

mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada

masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian

dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar

negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban

membayar pajak (wajib pajak)”.

Pada bukunya yang lain Rochmat Soemitro6 juga mengemukakan

Pengertian Hukum Pajak sebagai suatu kumpulan peraturan yang

mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan

rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum Pajak menerangkan siapa-

siapa wajib pajak (subjek pajak) dan kewajiban-kewajiban mereka

kepada pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang

dikenakan pajak, cara penagihan, cara mengajuan keberatan dan

sebagainya.

5Rochmat Soemitro. 2006. Asas dan Dasar Perpajakan, Penerbit Refika

Aditama, Bandung, hlm. 30. 6Rochmat Soemitro. 1979. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pendapatan,

PT Eresco, Bandung.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

219

Dari pengertian pajak dan Hukum Pajak yang dikemukakan

tersebut, maka terdapat unsur-unsur yang termaktub dalam pengertian

pajak antara lain:

a) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai

dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan

"pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan

negara diatur dalam undang-undang”.

b) Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan)

yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang

taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang

sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak

kendaraan bermotor.

c) Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan

umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi

pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

d) Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan

apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan

dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam hal melakukan pemungutan pajak, seharusnya berpegang

pada beberapa asas, yang antara lain mencakup: (1) Asas domisili

atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle),

berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan,

apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut

merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau

apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam

kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan

dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang

menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap

penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)

dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh

di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri

(world-wide income concept); (2) Asas sumber, Negara yang

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

220

menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan

yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila

penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima

oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber

yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan

mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang

memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan

penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari

negara itu. Contoh: tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari

penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh

pemerintah Indonesia; (3) Asas kebangsaan atau asas nasionalitas

atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship

principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak

adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang

memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi

persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau

kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu

pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas

yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan

negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan

dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai

penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus

sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal

penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.

Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah

status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak

bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan

yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting.

Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan

terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide

income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

221

dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang

diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

Setelah membahas asas-asas dalam hukum pajak, berikut ini

penulis menguraikan penggolongan pajak menurut undang-undang

pajak yang mengaturnya. Ada banyak klasifikasi banyak yang ditulis

oleh beberapa penulis hukum pajak, meliputi:

a) Pajak Golongan, meliputi: (1). Pajak langsung, adalah

pembayaran pajak yang tidak boleh dilimpahkan kepada pihak

lain . Sebagai contoh : pajak penghasilan, pajak bumi dan

bangunan. Ciri-ciri pajak langsung antara lain:Ada kohir/surat

ketetapan pajak; Pembayarannya bersifat ajek/berkesinambungan;

Pemungutannya secara berkala, biasanya satu tahun sekali; (2)

Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembayarannya bisa

dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya pajak penjualan/PPN.

Ciri–ciri pajak tidak langsung antara lain: tidak memiliki kohir,

dipungut setiap terjadi transaksi, bisa dilimpahkan kepada orang

lain

b) Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. Pajak Subjektif yaitu pajak

yang pemungutannya pertama-tama memperhatikan subjek atau

badan pribadi dari wajib pajak dan untuk menetapkan pajaknya

dicari/ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan

erat dengan keadaan material dari wajib pajak. Pajak Objektif

yaitu pemungutan pajak yang pertama-tama melihat kepada

objeknya berupa keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang

menyebabkan timbul kewajiban pajak, kemudian dicari

sumbernya (orang atau badan hukum) yang betempat tinggal di

dalam atau di luar Indonesia.

c) Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak yang

dipungut oleh pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan oleh

Direktorat Jenderal Pajak) guna membiayai rumah tangga

pemerintahan pusat dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN). Besaran Pajak Pusat ditetapkan

melalui undang-undang dan PP/Perpu. Contoh Pajak Pusat: Pajak

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

222

Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB), Bea Materai. Sedangkan yang dimaksud Pajak daerah

adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (dalam hal ini

dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda) yang

digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah dan

tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Besaran dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui

Peraturan Daerah (Perda). Contoh pajak daerah: Pajak Kendaraan

Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan dan

tontonan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Pembahasan selanjutnya adalah tentang sistem pemungutan pajak

yang berlaku di Indonesia. Dalam beberapa literatur Hukum Pajak,

diuraikan terdapat 3 sistem pemungutan pajak di Indonesia yang

meliputi:

a) Sistem Self Assestment.Dalam sistem self assestment, wajib pajak

sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan dan

melaporkan pajak yang terutang. Fiskus hanya berperan untuk

mengawasi, misalnya melakukan penelitian apakah Surat

Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua

lampiran sudah disertakan, meneliti kebenaran penghitungan dan

meneliti kebenaran penulisan. Untuk menguji kepatuhan

pemenuhan kewajiban perpajakan dan kebenaran data yang

terdapat di SPT wajib pajak, fiskus dapat melakukan pemeriksaan.

PPh orang pribadi dan badan serta PPN menggunakan sistem ini.

b) Sistem Official Assestment. Berbeda dengan sistem self

assestment, dalam sistem official assestment, fiskus (wajib pajak)

yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya

pajak yang terutang. PBB menganut sistem ini, karena besarnya

pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

223

c) Sistem Withholding. Dalam sistem withholding, pihak ketiga

yang wajib menghitung, menetapkan, menyetorkan dan

melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut. Misalnya pihak

perusahaan atau pemberi kerja berkewajiban untuk menghitung

berapa PPh yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima

pegawainya. Kemudian perusahaan atau pemberi kerja tersebut

harus menyetorkan, dan melaporkan PPh pegawainya tersebut ke

Kantor Pelayanan Pajak.

Demikianlah beberapa penjelasan pokok tentang segi-segi hukum

pajak yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Perlu juga

dipahami, selain pajak yang merupakan pungutan wajib bagi setiap

warga negara Indonesia, ada juga pungutan lainnya yang disebut

retribusi. Namun ada perbedaan diantara keduanya meskipun sama-

sama merupakan pungutan dari pemerintah. Yaitu sama-sama

merupakan bentuk pungutan yang dipaksakan sifatnya yang ditujukan

untuk kesejahteraan. Untuk mempermudah pemahaman perbedaan

pajak dan retribusi, berikut penulis uraikan secara ringkas dalam

bentuk tabel berikut:

Tabel Perbedaan Pajak, Retribusi dan Sumbangan Wajib

Pajak Retribusi Sumbangan

Wajib

Dasar

Hukum

Undang-undang Peraturan

pemerintah,

peraturan

menteri, atau

pejabat negara

yang lebih

rendah

Pemerintah

daerah

Balas

jasa

Tidak langsung Langsung dan

nyata kepada

individu

Langsung kepada

golongan tertentu

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

224

tersebut

Objek Umum (seperti

penghasilan,

kekayaan, laba

perusahaan dan

kendaraan).

orang-orang

tertentu yang

menggunakan

jasa

Pemerintah

golongan

tertentu.

Sifat Dapat dipaksakan

(menurut UU). Jadi,

wajib dibayar.

Kalau tidak, maka

akan mendapatkan

sanksi

Dapat

dipaksaan.

Akan tetapi

paksaannya

bersifat

ekonomis yang

hanya berlaku

kepada orang-

orang yang

menggunakan

jasa pemerintah.

Dapat

dipaksakan. Akan

tetapi paksaan

tersebut bukan

untuk umum.

Paksaan tersebut

hanya berlaku

kepada golongan-

golongan

tertentu.

Lemba-

ga

Pemu-

Ngut

Pemerintah pusat

maupun daerah

(negara).

Pemerintah

daerah.

Lembaga-

lembaga tertentu.

Tujuan Kesejahteraan

untuk umum.

Kesejahteraan

untuk individu

tersebut yang

menggunakan

jasa pemerintah.

Kesejahteraan

hanya untuk

suatu golongan

tertentu.

Dari paparan tabel, menurut pedapat penulis hanya ada perbedaan

tipis antara pajak dengan retribusi. Keduanya seperti saudara kembar,

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

225

yaitu sama-sama merupakan pungutan wajib yang dipaksakan kepada

rakyat. Didalam pasal 23A UUD 1945 hanya secara tegas diatur

mengenai pajak, tetapi berbeda dengan retribusi yang tidak diatur

secara tegas. Sekalipun demikian, retribusi sangat dibutuhkan oleh

negara dalam kerangka memberikan pelayanan secara langsung

kepada masyarakat. Retribusi dalam Pasal 23A UUD 1945 merupakan

bagian dari "pungutan yang bersifat memaksa" yang dibutuhkan oleh

negara karena itu diatur dengan undang-undang.

Menurut Munawir dalam Djafar Saidi7, retribusi ialah iuran kepada

pemerintah yang dapat dipaksakan dan dapat jasa balik secara

langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini yakni bersifat ekonomis

karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah,

tidak dikenakan iuran, contohnya retribusi pasar dan retribusi air

minum. Pendapat Munawir tersebut menurut Djafar Saidi perlu

dilakukan perbaikan, yaitu bahwa paksaan dalam Pengertian Retribusi

tidak hanya bersifat ekonomis, melainkan memuat pula paksaan

secara yuridis berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan.

Menurut Djafar Saidi pengertian retribusi yang dikemukakan oleh

Munawir lebih dititkberatkan kepada aspek ekonomis bukan dari

aspek hukum, padahal menurut Djafar Saidi, yang dibutuhkan adalah

pengertian retribusi yang ditinjau dari aspek hukum. Sebenarnya harus

ada perbedaan mencolok yang dapat membedakan pengertian retribusi

dari aspek ekonomis dengan aspek hukum, sehingga kelihatan

perbedaannya secara prinsipil. Untuk itulah, Djafar Saidi memberikan

pengertian retribusi dari sudut pandang hukum yaitu pungutan oleh

Pejabat Retribusi kepada Wajib Retribusi yang bersifat memaksa

dengan tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan

penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan

penagihan retribusi tidak berbeda dengan pajak, berupa sanksi

administrasi maupun sanksi kepidanaan.

7 Djafar Saidi. 2007. Pembaharuan Hukum Pajak, PT Raja Grafindo,

Jakarta.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

226

c). Hukum Tata Ruang

Hukum Tata Ruang termasuk dalam kategori hukum publik, karena

menurut D.A. Tiasnaadmidjaja8, Hukum Tata Ruang mencakupi

regulasi suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata

ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, yang kesemuanya itu

dilakukan oleh penyelenggara negara selaku pejabat publik.

Pemanfaatan ruang dimaksud adalah dalam kerangka menata struktur

ruang yang mencakup susunan pusat-pusat permukiman dan sistem

jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung

kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki

hubungan fungsional.

Berdasarkan itu, maka Hukum Tata Ruang dengan merujuk kepada

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dapat dirumuskan sebagai hukum yang berwujud

struktur ruang (ialah sususnan pusat-pusat pemukiman dan sistem

jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung

kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki

hubungan fungsional) dan pola ruang (ialah distribusi peruntukan

ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk

fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya).

Kerja penataan ruang yang merupakan tugas dari penyelenggara

negara selaku pejabat publik maka tentunya kerja yang dilakukan itu

haruslah bersandarkan kepada asas-asas Hukum Tata Ruang. Menurut

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang, bahwa asas-asas penataan ruang, haruslah bersandarkan

kepada:

a) Keterpaduan. Artinya, penataan ruang diselenggarakan dengan

mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas

sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.

Pemangku kepentingan antara lain, adalah pemerintah, pemerintah

daerah, dan masyarakat.

8 D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. 1997. Pranata

Pembangunan.Penerbit Universitas Parahiayangan, Bandung, hlm. 6.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

227

b) Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Artinya, bahwa

penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian

antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara

kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan

pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara

kawasan desa dan perkotaan.

c) Keberlanjutan. bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan

menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya

tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi

mendatang.

d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, adalah bahwa penataan

ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang

dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin

terwujudnya tata ruang yang berkualitas.

Keterbukaan, maksudnya penataan ruang diselenggarakan dengan

memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.

e) Kebersamaan dan kemitraan. Artinya, penataan ruang

diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku

kepentingan.

f) Pelindungan kepentingan umum. Berarti penataan ruang

diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.

g) Kepastian hukum dan keadilan. Artinya, penataan ruang

diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan

peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang

dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan

masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak

secara adil dengan jaminan kepastian hukum.

h) Akuntabilitas, berarti penataan ruang dapat

dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan peruntukannya

untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat demi tercapainya

kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

228

Kesembilan asas penyelenggaraan penataan ruang tersebut pada

intinya merupakan norma-norma yang diambil untuk memayungi

semua kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang. Menyangkut tujuan

regulasi penataan ruang dapat dicermati pada Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007, bahwa:

a) Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan

ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan

berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional dengan:

b) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan

lingkungan buatan;

c) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam

dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya

manusia; dan

d) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak

negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa rumusan tujuan

(pengaturan penataan ruang) merupakan penerapan bagaimana konsep

asas-asas penyelenggaran penataan ruang mengendalikan arah dan

sasaran yang hendak dituju oleh suatu pengaturan undang-undang

penataan ruang ini.

Menyangkut klasifikasi penataan ruang Menurut Herman Hermit9

klasifikasi penataan ruang bukan merupakan hal baru dalam

pengaturan sistem penataan ruang dalam Sistem Hukum Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, disebutkan bahwa

penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama

kawasan kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai

strategi kawasan. Undang-Undang Penataan Ruang

mengklasifikasikan penataan ruang yang meliputi:

9Herman Hermit. 2008. Pembahasan Undang-undang Penataan Ruang,

Mandar Maju, Bandung, hlm. 68

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

229

Pasal 4

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama

kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis

kawasan.

Pasal 5

1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan

sistem internal perkotaan.

2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas

kawasan lindung dan kawasan budi daya.

3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas

penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah

provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas

penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan

perdesaan.

5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas

penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang

kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis

kabupaten/kota.

Pasal 6

1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:

a) kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang rentan terhadap bencana;

b) potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber

daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,

pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu

pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan

c) geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.

1) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah

provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan

secara berjenjang dan komplementer.

2) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah

yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

230

ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di

dalam bumi sebagai satu kesatuan.

3) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi

ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di

dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

4) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan

undang-undang tersendiri.

Dari pasal-pasal tersebut telah jelas klasifikasi penataan ruang baik

berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan-kawasan, wilayah

administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategi kawasan.

d) Hukum Pendaftaran Tanah

Hukum Pendaftaran Tanah pada hakekatnya juga masuk dalam

kategori hukum publik, namun bila dicermati lagi, hukum pendaftaran

tanah ini cocoknya masuk kedalam wilayah kerja Hukum

Administrasi negara, sebab didalamnya meregulasi segala prosedur

tertulis administratif yang harus dilalui oleh warga negara Indonesia

tatkala hendak mendapatkan pengakuan tertulis hak atas tanahnya dari

negara. Sebab salah satu tujuan pokok diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) adalah untuk mewujudkan kepastian hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada dua

upaya untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut, yaitu:

1. Menyediakan perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas.

2. Menyelenggarakan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi

pemegang hak atas tanah untuk membuktikan hak atas tanah yang

dikuasainya dan bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan

pertanahan.

Mengenai pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA.

Pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA

meliputi:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

231

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

Ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah (PP 10/1961). PP 10/1961 dipandang tidak mampu

memberikan hasil yang memuaskan, sehingga perlu disempurnakan

dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah).

Pengertian Pendaftaran Tanah Pasal 1 angka 1 PP Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pendaftaran

tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan

teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan

penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam

bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda

bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya

dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya.

Menurut A.P. Parlindungan, sebagaimana dikutip oleh Urip

Santoso10

, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre, yang dalam

bahasa Belanda disebut Kadaster. Cadastre adalah suatu istilah teknis

untuk suatu record (rekaman) yang menunjukkan kepada luas, nilai

dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah.

Kata Cadastre berasal dari bahasa Latin yaitu Capistrtum, yang berarti

suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah

dalam Hukum Romawi disebut Capitatio Terrens.

10

Urip Santoso. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah.

Penerbit Kencana, Jakarta, hlm. 2.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

232

Selain berfungsi untuk memberikan uraian dan indetifikasi dari

sebidang tanah, Cadastre juga berfungsi sebagai rekaman yang

berkesinambungan dari suatu hak atas tanah. Berdasarkan pengertian

pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat diuraikan beberapa

unsur pendaftaran tanah, yaitu:

a) Adanya serangkaian kegiatan

b) Dilakukan oleh Pemerintah

c) Secara terus menerus, berkesinambungan

d) Secara teratur

e) Bidang tanah dan satuan rumah susun

f) Pemberian surat tanda bukti hak

g) Hak-hak tertentu yang membebaninya.

Asas dan tujuan pendaftaran tanah Pendaftaran tanah di Indonesia

berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah menganut lima asas, yaitu:

a) Sederhana, berarti ketentuan-ketentuan pokok dan prosedur

pendaftaran tanah harus mudah dipahami oleh pihak-pihak yang

berkepentingan, terutama oleh pemegang hak atas tanah.

b) Aman, berarti pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara

teliti dan cermat sehingga hasilnya mampu memberikan jaminan

kepastian hukum.

c) Terjangkau, yaitu pelayanan yang diberikan dalam rangka

pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang

memerlukan, terutama dengan memperhatikan kebutuhan dan

kemampuan golongan ekonomi lemah.

d) Mutakhir, artinya tersedia kelengkapan yang memadai dalam

melaksanakan pendaftaran tanah dan pemeliharaan datanya. Data

yang tersedia juga harus mutakhir, sehingga harus dilakukan

pendaftaran dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di

kemudian hari.

e) Terbuka, artinya setiap saat masyarakat dapat memperoleh

keterangan mengenai data yang benar.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

233

Menurut Soedikno Mertokusumo, dalam pendaftaran tanah dikenal

dua macam asas, yaitu:

1. Asas Specialiteit, artinya pelaksanaan pendaftaran tanah

diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu

yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan,

dan pendaftaran peralihannya.

2. Asas Opernbaarheid (asas publisitas), berarti setiap orang berhak

untuk mengetahui data yuridis tentang subyek hak, nama hak atas

tanah, peralihan hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di

Kantor Pertanahan, termasuk mengajukan keberatan sebelum

diterbitkannya sertifikat, sertifikat pengganti, sertifikat yang

hilang atau sertifikat yang rusak.

Tujuan dilakukannya pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah

susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum tersebut

dilakukan dengan cara memberikan sertipikat hak atas tanah

kepada pemegang hak yang bersangkutan. Adapun jaminan

kepastian hukum yang menjadi tujuan pendaftaran tanah adalah

kepastian mengenai status tanah yang didaftar, kepastian

mengenai subyek hak dan kepastian mengenai objek hak.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan

hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah

susun yang sudah terdaftar. Wujud dari pelaksanaan fungsi

informasi ini adalah data fisik dan data yuridis dari bidang tanah

dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk

umum.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

234

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Hal ini

dilakukan dengan pendaftaran setiap bidang tanah dan satuan

rumah susun, termasuk pendaftaran apabila terjadi peralihan,

pembebanan dan hapusnya hak tersebut.

Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah

diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dimana

tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan

dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat

lain yang ditugaskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, yang menjadi objek pendaftaran tanah

meliputi:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

2. Tanah hak pengelolaan.

3. Tanah wakaf.

4. Hak milik atas satuan rumah susun.

5. Hak tanggungan.

6. Tanah negara

Menurut Pasal 1 angka 9 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah

kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran

tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (PP 10/1961) atau PP

Pendaftaran Tanah. Artinya, untuk pertama kalinya pendaftaran tanah

dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan

pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik

merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran

tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas

prakarsa pemerintah yang didasarkan pada suatu rencana kerja dan

dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

235

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah suatu kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek

pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu

desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Atas dasar itulah maka Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama

kali meliputi:

1. Pengumpulan dan pengelolaan data fisik, dilakukan dengan

kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi:

a) pembuatan peta dasar pendaftaran;

b) penetapan batas bidang-bidang tanah;

c) pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan

pembuatan peta pendaftaran;

d) pembuatan daftar tanah;

e) pembuatan surat ukur.

f) pembuktian hak baru dan hak lama serta pembukuannya;

g) penerbitan sertipikat;

h) penyajian data fisik dan data yuridis;

i) penyimpanan daftar umum dan dokumen.

2. Pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1

angka 12 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan

data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah,

daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemegang hak

diwajibkan untuk mendaftarkan perubahan data fisik atau data

yuridis kepada Kantor

3. Pertanahan. Perubahan data fisik yang dimaksud adalah apabila

diadakan pemisahan, pemecahan atau penggabungan bidang-

bidang tanah yang sudah didaftar, sedangkan perubahan data

yuridis misalnya apabila diadakan pembebanan atau pemindahan

hak atas bidang tanah yang sudah didaftar. Kegiatan pemeliharaan

data pendaftaran tanah terbagi menjadi:

a) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, terdiri dari:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

236

1) pemindahan hak;

2) pemindahan hak dengan lelang;

3) peralihan hak karena pewarisan;

4) peralihan hak karena penggabungan atau peleburan

perseroan atau koperasi;

5) pembebanan hak;

6) penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;

b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, terdiri dari:

1) perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

2) pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;

3) pembagian hak bersama;

4) hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun;

5) peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan

atau penetapan pengadilan;

7) perubahan nama.

Menurut Urip Santoso, perubahan data yuridis dapat terjadi karena

beberapa hal, yaitu:

1) peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan

dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;

2) peralihan hak karena pewarisan;

3) peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau

koperasi;

4) pembebanan hak tanggungan;

5) peralihan hak tanggungan;

6) hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan

rumah susun dan hak tanggungan;

7) pembagian hak bersama;

8) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan

atau penetapan ketua pengadilan;

9) perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;

10) perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

237

Lebih lanjut menurut Urip Santoso perubahan data fisik dapat

terjadi karena:

1) pemecahan bidang tanah;

2) pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;

3) penggabungan dua atau lebih bidang tanah.

PP Pendaftaran Tanah hanya mengatur hal-hal yang bersifat

umum, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci diatur dalam

peraturan pelaksana tersendiri, sehingga aturan-aturan mengenai

pendaftaran tanah dapat lebih mudah untuk mengikuti perkembangan

teknologi. Saat ini peraturan pelaksana dari PP Pendaftaran Tanah

yang berlaku adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

e) Hukum Pertambangan

Istilah Hukum Pertambangan dalam Bahasa Inggeris yaitu mining

law. Hukum pertambangan berarti hukum yang mengatur tentang

penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan miineral-mineral dalam

tanah. Definisi menurut ensiklopedia Indonesia ini juga hanya

difokuskan pada aktivitas penggalian atau pertambangan bijih-bijih.

Memang dapat dibenarkan bahwa penggalian atau pertambangan

merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang

terkadung di dalam perut bumi. Tetapi usaha penggalian barang-

barang tambang tidak boleh dilakukan secara serampangan mesti

regulasi pemerintah guna menjaga eksplorasi dan eksploitasi barang

tambang tidak menggangu lingkungan yang merupakan tempat hajat

hidup masyarakat dan mahluk hidup lainnya.

Dalam Black Law Dictionary, mining law diartikan sebagai “the

act of appropriating a mining claim (parcel of land containing

precious metal in its soil or rock) according to certain established

rule”. Artinya, hukum pertambangan adalah ketentuan yang khusus

yang mengatur hak menambang (bagian dari tanah yang mengandung

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

238

logam berharga di dalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan

yang ditetapkan.

Definisi tersebut difokuskan kepada hak masyarakat semata-mata

untuk melakukan penambangan pada sebidang tanah atau bebatuan

yang ditentukan. Sementara itu, hak menambang adalah hak untuk

melakukan kegiatan penyelidikan dan hak untuk melakukan kegiatan

eksploitasi. Objek kajian hukum pertambangan tidak hanya mengatur

hak penambang semata-mata, tetapi juga mengatur kewajiban

penambang kepada negara.

Menurut H. Salim H.S11

, Hukum Pertambangan adalah

keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam

pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum

antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan

dan pemanfaatan bahan galian (tambang). Apabila mencermati

definisi ini, maka tampaklah dalam Hukum Pertambangan sebuah

hubungan hukum antara negara dengan orang atau badan hukum.

Dengan demikian, Hukum Pertambangan masuk dalam bilangan

hukum publik.

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara telah ditentukan asas-asas hukum

pertambangan mineral dan batubara. Ada tujuh asas hukum

pertambangan mineral dan batubara. Ketujuh asas itu meliputi:

1) Manfaat

Asas manfaat merupakan asas yang dalam pengelolaan sumber

daya mineral dan batubara dapat memberikan kegunaan bagi

kesejahteraan masyarakat banyak. Asas ini sesuai dengan konsep yang

dikembangkan Jeremy Bentham bahwa hukum harus memberikan

manfaat atau kegunaan bagi orang banyak (to serve utility). Konsep

utility yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham adalah dimaksudkan

untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Sesuatu

11

H. Salim H.S. 2005. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Rajawali

Press, Jakarta, hlm. 8.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

239

yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang

baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk.

Aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan

kebahagiaan sebanyak mungkin orang (the greatest happiness

principle).

2) Keadilan

Asas keadilan merupakan asas dalam pengelolaan dan manfaat

mineral dan batubara di mana di dalam pemanfaatan itu harus

memberikan hak yang sama rasa dan rata bagi masyarakat banyak.

Masyarakat dapat diberikan hak untuk mengelola dan memanfaatkan

mineral dan batubara, dan juga dibebani kewajiban untuk menjaga

kelestarian lingkungan hidup. Selama ini, masyarakat kurang

mendapat perhatian karena pemerintah selalu memberikan hak

istimewa kepada perusahaan-perusahaan besar dalam mengelola

sumberdaya mineral dan batubara.

3) Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah suatu asas yang menghendaki bahwa

dalam pelaksanaan pertambangan mineral dan batubara harus

mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang setara dan seimbang

antara pemberi izin dengan pemegang izin. Pemberi izin dapat

menuntut hak-haknya kepada pemegang izin, apakah itu IPR, IUP,

maupun IUPK. Begitu juga pemegang izin dapat menuntut haknya

kepada pemberi izin supaya pemberi izin dapat melaksanakan

kewajibannya, seperti memberi pembinaan dan pengawasan terhadap

pemegang izin. Ini berarti keseimbangan dalam hak dan kewajiban.

4) Keberpihakan kepada kepentingan bangsa

Asas keberpihakan kepada kepentingan bangsa artinya dalam

pelaksaaan pertambangan mineral dan batubara, maka pemerintah,

baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus memihak atau

pro kepada kepentingan bangsa yang lebih besar. Ini berarti

kepentingan bangsa yang harus diutamakan dibandingkan dengan

kepentingan dari para investor.

5) Partisipatif

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

240

Asas partisipatif merupakan asas bahwa dalam pelaksanaan

pertambangan mineral dan batubara, tidak hanya peran serta pemberi

dan pemegang izin semata-mata, namun masyarakat, terutama

masyarakat yang berada di sekitar tambang harus ikut berperan serta

dalam pelaksanaan kegiatan tambang. Wujud peran serta masyarakat,

yaitu masyarakat dapat ikut bekerja pada perusahaan tambang, dapat

menjadi pengusaha agen maupun distributor.

6) Transparansi

Asas transparansi, yaitu asas bahwa dalam pelaksanaan

pertambangan mineral dan batu-bara harus dilaksanakan secara

terbuka. Artinya setiap informasi yang disampaikan kepada

masyarakat oleh pemberi dan pemegang izin. Harus disosialisasikan

secara jelas dan terbuka kepada masyarakat. Misalnya, tentang tahap-

tahap kegiatan pertambangan, kebutuhan tenaga kerja, dan lainnya.

7) Akuntabilitas

Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pertambangan mineral

dan batu-bara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat

dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Asas

akuntabilitas ini erat kaitannya dengan hak-hak yang akan diterima

oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

yang bersumber dari kegiatan pertambangan mineral dan batubara itu

sendiri. Misalnya, pemegang IUPK memberikan keuntungan kepada

pemerintah daerah sebesar 1 %, maka penggunaan uang tersebut harus

dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, dalam hal ini adalah

DPRD, baik kabupaten/kota mau pun propinsi.

8) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang

secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan

sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan

batu-bara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa yang

akan datang.

Selain asas-asas Hukum Pertambangan berikut juga diuraikan

tujuan pengelolaan mineral dan batubara, sebagai berikut:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

241

1) Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengadilan kegiatan usaha

pertambangan secara berdayaguna, berhasil guna, dan berdaya

saing.

2) Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.

3) Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku

dan atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.

4) Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional

agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan

internasional.

5) Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara,

serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar

kesejahteraan rakyat

6) Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan

usaha pertambangan mineral dan batubara.

Selain asas dan tujuan Hukum Pertambangan, sebagaimana sudah

diuraikan secara sekilas. Juga harus diketahui ruang lingkup kajian

hukum pertambangan, yang meliputi pertambangan umum serta

pertambangan minyak dan gas bumi. Pertambangan umum merupakan

kegiatan pertambangan berupa bahan galian di luar minyak dan gas

bumi, pertambangan umum dibedakan menjadi lima golongan, yaitu:

1) Pertambangan mineral radioaktif

2) Pertambangan mineral logam

3) Pertambangan mineral non-logam

4) Pertambangan batu bara, gambut, dan bitumen padat,

5) Pertambangan panas bumi

Sudah barang tentu, semua jenis pertambangan itu haruslah dikelola

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, sebagaimana

yang menjadi amanah Konstitusi UUD 1945 pada pasal 33.

2 Hukum Pidana

Hukum Pidana bila dilihat dari karakteristik dan wilayah

pengaturannya, termasuk dalam kategori hukum publik, sebab Hukum

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

242

Pidana mengatur tentang upaya menjaga ketertiban dan rasa aman

masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pelanggaran yang dapat

mengganggu keharmonisan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Hukum Pidana meregulasi segenap aturan untuk menindak setiap

kejahatan atau perbuatan kriminal atau berbagai bentuk pelanggaran

lainnya yang ditetapkan oleh negara sebagai perbuatan yang

mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat atau kejahatan serta

pelanggaran itu dikualifikasikan sebagai perbuatan yang

membahayakan jiwa, mengancam jiwa, dan merusak kehormatan dan

nama baik seseorang. Juga dikategorikan sebagai perbuatan yang

merugikan harta benda seseorang.

Letak filosofi Hukum Pidana dalam kerangka sebagai hukum

publik yaitu negara bertugas untuk menjaga kehidupan warga

masyarakatnya dari segala bentuk ancaman dan intimidasi yang dapat

membahayakan dirinya, badannya, jiwanya, keluarganya, dan harta

bendanya. Bentuk ancaman yang dimaksud tentunya adalah setiap

bentuk kejahatan atau kriminal baik ringan, sedang dan berat. Dalam

konteks sistem hukum Indonesia, lembaga negara yang diberikan

tugas untuk menjaga rasa aman warga masyarakat atau melakukan

penegakan Hukum Pidana, adalah lembaga Kepolisian Republik

Indonesia dan lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Inilah dua

lembaga penegak hukum utama yang memiliki tugas menegakkan

Hukum Pidana terutama melakukan tindakan pencegahan atau

penindakan berkenaan dengan kejahatan atau melanggaran yang

mengganggu keamanan dan keteriban masyarakat, baik itu dalam

tataran gangguan terhadap diri pribadi, haarta benda maupun terhadap

gangguan keamanan publik.

Selain kedua lembaga penegak hukum yang ditunjuk menegakkan

Hukum Pidana di Indonesia, juga oleh undang-undang di Indonesia

menetapkan secara khusus lembaga-lembaga tertentu bersifat ad hoc

untuk mencegah dan menindak perbuatan pidana khusus lainnya,

seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberikan kewenangan

melakukan penindakan terhadap perbuatan korupsi yang merugikan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

243

keuangan negara. Ada juga lembaga lainnya yang ditunjuk oleh

undang-undang guna mendukung penegakan Hukum Pidana di

Indonesia, seperti Lembaga Komisi Perlindungan Anak dan Lembaga

Perlindungan Saksi.

Keberadaan Hukum Pidana sebagai hukum publik, yang

menetapkan tugas negara untuk melakukan pencegahan (upaya

preventif) dan penindakan (upaya represif) terhadap segala bentuk

kejahatan dan pelanggaran yang dipandang mengganggu rasa aman

masyarakat, maka disinilah Hukum Pidana yang akan merumuskan

atau menerjemahkan mana saja perbuatan yang dianggap sebagai

kejahatan atau pelanggaran. Hukum Pidana juga yang akan

merumuskan kewajiban apa yang harus ditaati oleh warga masyarakat

ketika melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Contoh yang

dianggap sebagai kejahatan adalah mencuri, karena mencuri

merupakan perbuatan mengambil harta milik orang lain secara tidak

sah dan melawan hukum. Contoh lain, menghilangkan nyawa orang

lain secara tidak sah, dalam hukum pidana dikategorikan sebagai

kejahatan.

Contoh kewajiban yang harus ditaati setiap warga masyarakat

menurut ketentuan yang diatur dalam Hukum Pidana, contoh

kewajiban menggunakan helm bagi pengendara motor roda dua yang

berkendara di atas jalan raya. Atau kewajiban lainnya yang ditetapkan

oleh negara yang apabila dilanggar dipandang sebagai sebuah

kejahatan atau pelanggaran, misalnya, kewajiban membayar pajak,

kewajiban memiliki izin pertambangan dan lain-lain. Dengan

demikian, dalam sistem Hukum Pidana di Indonesia, rumusan

kejahatan dan pelanggaran diterjemahkan secara berbeda, yaitu

kejahatan merupakan perbuatan pidana yang berat. Ancaman

hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara dan

hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman

penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu serta

pengumuman keputusan hakim. Kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang dapat digolongkan menurut sasarannya sebagai berikut :

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

244

1) Kejahatan terhadap keamanan negara, diatur dalam Pasal 104-129.

2) Kejahatan terhadap martabat, kedudukan presiden dan wakil

presiden, diatur dalam Pasal 130-139.

3) Kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan kejahatan

terhadap kepala negara atau wakil kepala negara tersebut, diatur

dalam Pasal 139-145.

4) Kejahatan terhadap ketertiban umum, diatur dalam Pasal 153 bis-

181.

5) Kejahatan tentang perkelahian satu lawan satu, diatur dalam Pasal

182-186.

6) Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum

manusia atau barang, diatur dalam Pasal 187-206.

7) Kejahatan terhadap kekuasaan umum, diatur dalam Pasal 207-241.

8) Kejahatan tentang sumpah palsu atau keterangan palsu, diatur

dalam Pasal 242-243.

9) Kejahatan pemalsuan mata uang dan mata uang kertas negara

serta uang kertas bank, diatur dalam Pasal 244-252.

10) Kejahatan tentang pemalsuan materai dan merek, diatur dalam

Pasal 253-262.

11) Kejahatan tentang pemalsuan surat-surat , diatur dalam Pasal 263-

276.

12) Kejahatan terhadap kedudukan warga, diatur dalam Pasal 277-

280.

13) Kejahatan terhadap kesopanan, diatur dalam Pasal 281-303.

14) Kejahatan tentang meninggalkan seseorang yang memerlukan

pertolongan, diatur dalam Pasal 304-309.

15) Kejahatan tentang penghinaan, diatur dalam Pasal 310-321.

16) Kejahatan tentang membuka rahasia, diatur dalam Pasal 322-323.

17) Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, diatur dalam Pasal

324-337.

18) Kejahatan terhadap jiwa orang, diatur dalam Pasal 338-350.

19) Kejahatan tentang penganiayaan, diatur dalam Pasal 351-358.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

245

20) Kejahatan tentang kesalahan yang mengakibatkan luka atau

matinya seseorang, diatur dalam Pasal 359-361.

21) Kejahatan tentang pencurian, diatur dalam Pasal 362-367.

22) Kejahatan tentang pemerasan, diatur dalam Pasal 368-371.

23) Kejahatan tentang penggelapan, diatur dalam Pasal 372-377.

24) Kejahatan penipuan, diatur dalam Pasal 378-395.

25) Kejahatan tentang merugikan penagih utang atau orang yang

berhak, diatur dalam Pasal 396-405.

26) Kejahatan tentang pengerusakan barang atau penghancuran

barang, diatur dalam Pasal 406-412.

27) Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan, diatur dalam Pasal 413-

437.

28) Kejahatan dalam pelayaran, diatur dalam Pasal 438-479.

29) Kejahatan tentang pertolongan jahat, diatur dalam Pasal 480-485.

30) Kejahatan yang dilakukan berulang-ulang, diatur dalam Pasal 486-

488.

Semua jenis kejahatan diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, masih ada jenis kejahatan

yang diatur di luar KUHP, dikenal dengan ”tindak pidana khusus”

misalnya tindak pidana korupsi, subversi, narkotika, tindak pidana

ekonomi. Sedangkan, perbedaannya dengan pelanggaran, adalah

pelanggaran selalu merupakan perbuatan pidana ringan yang ancaman

hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua perbuatan pidana

yang tergolong pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Macam-

macam pelanggaran adalah :

1) Pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang, barang dan

kesehatan umum yang diatur dalam Pasal 498-502.

2) Pelanggaran terhadap ketertiban umum, diatur dalam Pasal 503-

520.

3) Pelanggaran terhadap kekuasaan umum , diatur dalam Pasal 521-

528.

4) Pelanggaran terhadap kedudukan warga, diatur dalam Pasal 529-

530.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

246

5) Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong, diatur dalam

Pasal 531.

6) Pelanggaran terhadap kesopanan, diatur dalam Pasal 532-547.

7) Pelanggaran terhadap polisi daerah, diatur dalam Pasal 548-547.

8) Pelanggaran dalam jabatan, diatur dalam Pasal 552-559.

9) Pelanggaran dalam pelayaran, diatur dalam Pasal 560-569.

Selain bentuk-bentuk pelanggaran yang ditetapkan dalam KUHP

tersebut, ada juga bentuk-bentuk pelanggaran lainnya di luar KUHP,

seperti pelanggaran lalu lintas, pelanggaran membuang sampah

sembarangan, dan lain-lain.

Beberapa penulis hukum yang konsentrasi dengan kajian Hukum

Pidana, tampaknya masih sulit membedakan antara kejahatan dengan

pelanggaran. Namun demikian, menurut Moeljatno12

, paling tidak ada

dua perspektif untuk membedakan antara kejahatan dengan

pelanggaran. Pertama, perspektif kualitatif, bahwa kejahatan

merupakan rechtsdeliten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun

tidak ditentukan dalam undang-undang, tetapi merupakan perbuatan

yang telah dirasakan sebagai onrecht, yaitu sebagai perbuatan yang

bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah

wetsdeliktern, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan

demikian. Kedua, perspektif kuantitatif, bahwa membedakan

kejahatan dengan pelanggaran adalah dilihat dari sudut pandang

sanksinya (berat ringannya ancaman hukuman). Kejahatan dijatuhkan

sanksi yang sangat berat yaitu penjara dan bahkan hukuman mati,

sedangkan pelanggaran dijatuhkan sanksi yang ringan biasanya hanya

dalam bentuk sanksi.

Dengan demikian, apabila ada anggota warga masyarakat yang

terbukti melakukan kejahatan atau tidak mentaati kewajiban dalam

melakukan suatu perbuatan maka yang bersangkutan akan dikenakan

12

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta,

hlm. 72

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

247

sanksi sebagai bentuk untuk memberikan rasa jera atau pelajaran

baginya atas perbuatan kejahatan yang dilakukannya atau

ketidaktaatannya melaksanakan kewajiban atas perbuatan tertentu

yang dilakukannya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.

Sanksi yang ditetapkan oleh Hukum Pidana itu juga berfungsi untuk

mencegah agar suatu kejahatan atau ketidaktaatan melakukan

kewajiban tertentu, tidak diikuti oleh warga masyarakat lainnya. Jadi

fungsi sanksi pidana ada dua, pertama, untuk memberikan rasa jera

kepada pelaku kejahatan dan kedua, mencegah kejahatan tidak

diulangi oleh warga masyarakat lainnya. Fungsi sanksi pidana

demikian, tentu saja menegaskan peran negara dalam kerangka

penegakan Hukum Pidana ditengah masyarakat, yaitu sanksi pidana

untuk memberikan rasa takut dan sanksi pidana sebagai edukasi bagi

masyarakat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan kriminal

(kejahatan dan pelanggaran) yang mengganggu keamanan masyarakat

serta ketertiban umum.

Sanksi dalam konteks Hukum Pidana hanya dijatuhkan kepada

perbuatan yang oleh Hukum Pidana dikualifisir sebagai perbuatan

melawan hukum atau Wederrechtelijk Daad. Sebelum penulis,

menguraikan apa saja yang dikualifikasikan sebagai perbuatan

melawan hukum atau Wederrechtelijk, ada baiknya penulis

menguraikan lebih dahulu pengertian sanksi dalam perspektif Hukum

Pidana. Sanksi dalam perspektif Hukum Pidana dapat didefinisikan

sebagai bentuk penjeraan kepada siapa saja yang melakukan

perbuatan melawan (Wederrechtelijk Daad) yang sifatnya

memberikan rasa sakit secara fisik (jasmaniah), mengekang

kebebasan/kemerdekaan, dan atau juga memberikan kerugian

materil berupa harta benda, yang kadar serta bentuknya sudah

ditetapkan oleh produk Hukum Pidana yang mengaturnya.

Mencermati pengertian sanksi tersebut, maka sifat sanksi dalam

Hukum Pidana sesungguhnya menimbulkan penderitaan baik fisik

maupun psikologis atau menimbulkan kerugian harta yang kadarnya

sudah ditetapkan oleh produk hukum yang mengaturnya. Penderitaan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

248

fisik, itu dapat berupa hilangnya nyawa, rasa sakit badan yang

ditimbulkan, ataupun tekanan psikologis, maupun berkurangnya

kekayaan harta yang dimiliki bagi pelaku pelanggaran Hukum Pidana.

Contoh sanksi pidana yang bisa kita saksikan dalam berbagai sistem

hukum di dunia ini, yaitu hukuman mati, hukuman cambuk, hukuman

potong tangan, penjara atau kurungan, dan denda sejumlah uang

tertentu yang ditetapkan oleh hukum yang mengaturnya.

Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, bentuk-bentuk sanksi

pidana yang dapat dijatuhkan kepada siapa saja yang melakukan

perbuatan melawan hukum, mencakup:

Hukuman-Hukuman Pokok

a. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara

yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti

Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang

masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih

banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.

b. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam

hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman

penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.

Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan

wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar

penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.

c. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat

hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan

ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara

hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman

kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman

kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah

tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara

dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan

kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan

pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan

terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

249

memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak

demikian.

d. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri

antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti

denda adalah 6 Bulan.

e. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-

asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan

kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara.

Hukuman Tambahan

Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri

melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan

tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

2. Penyitaan barang-barang tertentu.

3. Pengumuman keputusan hakim

Dengan demikian, sanksi pidana hanya dijatuhkan kepada siapa

saja yang terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum.

Sanksi pidana oleh beberapa pakar Hukum Pidana, memiliki

karakteristik ultimum remedium. Dengan sifat yang dimiliki sanksi

pidana ini, adalah untuk menegaskan kedudukan sanksi pidana

sebagai sanksi yang benar-benar memberikan rasa jera kepada pelaku

tindak pidana serta menjadi pelajaran bagi warga masyarakat untuk

tidak melakukan hal yang sama. Artinya, ultimum remedium benar-

benar mendudukkan fungsi sanksi pidana sebagai fungsi pencegahan

(preventif) dan fungsi penjeraan (represif).

Dapat dikatakan bahwa ultimum remedium menjadi pamungkas

atau menjadi obat terakhir bagi pencegahan perbuatan melawan

hukum yang berlangsung ditengah masyarakat. Menurut Wirjono

Prodjodikoro13

, bila sanksi perdata dan sanksi administratif sudah

tidak cukup efektif menganulir setiap bentuk perbuatan melawan

13

Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.

Refika Aditama, Bandung, hlm. 17.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

250

hukum, maka sanksi pidana akan tampil bertugas untuk meluruskan

neraca kemasyarakatan. Inilah maksudnya, sanksi pidana

mendudukkan dirinya sebagai ultimum remedium yaitu pamungkas

atau obat terakhir.

Apa saja yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam konteks

Hukum Pidana? Atas pertanyaan ini, beberapa penulis hukum

Indonesia memberikan pendapatnya. Antara lain, Rosa Agustina14

,

mengkualifisir empat syarat agar masuk dalam kategori perbuatan

melawan hukum (Wederrechtelijk), yaitu: (1) Bertentangan dengan

kewajiban hukum si pelaku; (2) Bertentangan dengan hak subjektif

orang lain; (3) Bertentangan dengan kesusilaan; serta (4) Bertentangan

dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Pendapat Satochid Kartanegara, tentang “melawan hukum”

(Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:

Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang; Wederrechtelijk

Materiil, yaitu sesuatu perbuatan yang mungkin dapat dikualifisir

sebagai wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan

diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-

asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen

beginsel).

Lebih lanjut, menurut Schaffmeister, sebagaimana dikutip Andi

Hamzah15

berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di

dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai

“melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum”

sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi

dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara

umum” (contoh Pasal 351 KUHP). Pendapat dari Schaffmeister ini

14

Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit

Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm.117. 15

Andi Hamzah. 2010. Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia.

Yarsif Watampone, Jakarta, hlm. 168.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

251

tampaknya juga diadopsi dalam hukum positif di Indonesia,

contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam Pasal 2 Undang-Undang

Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3

Undang-Undang Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”.

Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Tipikor

disebutkan:

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini

mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun

dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan

atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka

perbuatan tersebut dapat dipidana

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua perbuatan melawan

hukum dapat dikenakan sanksi pidana? Jawaban pertanyaan ini, dalam

konteks Hukum Pidana Indonesia yang menganut sistem civil law,

ternyata tidak semua perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan

sanksi pidana. Sistem Hukum Pidana Indonesia yang menganut sistem

hukum civil law, adalah masih berpijak kepada asas legalitas dimana

asas ini menyatakan bahwa suatu perbuatan pidana atau perbuatan

melawan hukum hanya dapat dikenakan sanksi pidana apabila ada

undang-undang yang mengaturnya.

Asas legalitas ini tertuang dalam bahasa nullum delictum, nulla

poena sine praevea lege poenali, artinya tiada seorangpun dapat

dipidana karena melakukan suatu perbuatan jika tidak ada aturan

undang-undang yang mengatur sebelum perbuatan itu dilakukan.

Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh Anselm von Feuerbach,

seorang yuris berkebangsaan Jerman dalam karyanya Lehrbuch des

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

252

peinlichen Recht16

. Akan tetapi, asas legalitas ini tidak banyak

diadopsi beberapa sistem hukum bangsa Eropa seperti pada masa

Kerajaan Romawi Kuno. Bangsa Romawi dahulu meletakkan suatu

aturan bahwa ada perbuatan-perbuatan jahat tertentu yang tidak diatur

oleh undang-undang yang dapat dikenakan sanksi pidana. Perbuatan

tersebut, dikenal dengan nama criminal extra ordinaria17

. Yaitu

perbuatan jahat diluar undang-undang tertulis yang dapat dikenakan

sanksi pidana.

Selain asas legalitas yang dikenal dalam bidang Hukum Pidana,

juga terdapat beberapa asas hukum pidana yang mencakup:

a. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana

kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus

dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.

b. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku

atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi

wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk

pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan

gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.

c. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia

berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana

pun ia berada

d. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia

berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan

negara Inonesia

Berdasarkan uraian tentang segi-segi Hukum Pidana tersebut, maka

Hukum Pidana menurut Moeljatno dapat didefinisikan sebagai bagian

16

Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 184-185. 17

Kemungkinan istilah kriminal yang diadopsi dalam Bahasa Indonesia

diambil dari criminal extra ordinaria. Istilah kriminal yang merujuk kepada

pengertian kejahatan atau perbuatan jahat yang merugikan orang lain atau

masyarakat secara keseluruhan. Tapi istilah kriminal memang hanya

dinisbatkan kepada kejahatan saja bukan kepada perbuatan pelanggaran,

misalnya pelanggaran lalu lintas.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

253

dari keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara, dimana

dasar-dasar dan aturan-aturannya untuk: (a) Hukum pidana

menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan

(dilarang) dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang

melanggarnya; (b) Hukum pidana menentukan kapan dan dalam hal

apa kepada mereka yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana.

(c) Hukum pidana Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan

pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.

Penulis juga memberikan pengertian Hukum Pidana dalam konteks

Sistem Hukum Indonesia yaitu segenap aturan hukum atau kaidah

hukum yang mengatur tentang segi-segi mana saja dapat

dikategorikan sebagai kejahatan atau pelanggaran menurut

undang-undang atau hukum tertulis lainnya yang berlaku di

masyarakat Indonesia dengan kadar sanksi yang sudah

ditetapkan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan atau

pelanggaran itu sendiri.

Pada beberapa kajian serta pembelajaran hukum di beberapa

kurikulum sekolah hukum di Indonesia, juga telah memperinci

spesifikasi kajian-kajian hukum yang merupakan bahagian dari induk

kajian Hukum Pidana. Sehingga melahirkan cabang-cabang khusus

kajian Hukum Pidana yang meliputi:

a) Hukum Pidana Korupsi;

b) Hukum Pidana Anak

c) Hukum Kesehatan

d) Hukum Kejahatan Internasional

e) Hukum Pidana Narkotika

f) Hukum Pidana Ekonomi

Masih banyak lagi cabang-cabang khusus pengkajian Hukum

Pidana yang tidak bisa penulis rincikan satu persatu pada ruang yang

terbatas ini. Namun, pada beberapa kajian akademik di Indonesia

untuk bidang Hukum Pidana, ada yang menyebutnya Kajian Hukum

Pidana Umum dan Kajian Hukum Pidana Khusus. Juga ada yang

menggunakan istilah Kajian Tindak Pidana Di Dalam KUHPidana dan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

254

Kajian Tindak Pidana Di Luar KUHPidana. Hukum Pidana Umum

sama juga dengan Kajian Tindak Pidana Di Dalam KUHPidana, tentu

yang dibahas adalah mengenai kejahatan yang diatur dalam

KUHPidana seperti delik pencurian, delik pembunuhan, delik

penipuan, delik perzinahan, delik penggelapan, dan lain-lain.

Sedangkan, Hukum Pidana Khusus sama juga dengan Kajian Di Luar

KUHPidana, pastinya yang dikaji adalah semua bentuk kejahatan

yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu yang

diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia, seperti kejahatan narkotika,

kejahatan komputer, kejahatan korupsi, dan masih banyak lagi.

3. Hukum Internasional

Hukum Internasional, dapat dipastikan masuk dalam bilangan

hukum publik, sebab Hukum Internasional mengatur persoalan

kepentingan hukum negara atau pemerintah tetapi berkaitan dengan

kepentingan hukum negara-negara lain. Sebenarnya dalam Hukum

Internasional yang diakomodir adalah kepentingan nasional suatu

negara tetapi kepentingan itu berbenturan dengan kepentingan

nasional negara-negara lain yang ada di dunia, sehingga untuk

menjembatani kepentingan masing-masing negara tersebut, sangat

diperlukan adanya sinergitas yang saling menghormati satu sama lain,

yaitu dengan cara mengakomodirnya lewat aturan atau kesepakatan

hukum yang dibuat bersama oleh antar negara-negara tersebut. Aturan

yang menjadi kesepakatan negara-negara atau antar bangsa itulah

yang sekarang ini disebut sebagai Hukum Internasional.

Pada bahagian berikut, penulis mengetengahkan beberapa

pengertian Hukum Internasional yang pernah ditulis oleh penulis-

penulis Hukum Internasional. Beberapa penegrtian tersebut, agaknya

dapat menggambarkan realitas keberadaan Hukum Internasional dari

masa ke masa. Salah seorang penulis Hukum Internasional yaitu

Emmerich de Vattel (1714-1767), memberikan pengertian hukum

internasional sebagai berikut:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

255

The Law of nations is the science of the rights which exist between

nations or states, and of the obligations corresponding to these

right.

Terjemahan:

Hukum internasional (hukum bangsa-bangsa) adalah ilmu

pengetahuan tentang hak-hak yang terdapat antara bangsa-bangsa

atau negara-negara, dan kewajiban-kewajiban yang berkaita

dengan hak-hak tersebut.

Sedangkan penulisan Hukum yang lain Hackworth menulis

pengertian Hukum internasional, yaitu:

Internasional law consists of a body of rules governing the

relations between states.

Terjemahan:

Hukum internasional merupakan sekumpulan aturan-aturan yang

mengatur hubungan antara negara-negara.

Adapun Jessus mengemukakan Hukum internasional, dengan batasan

berikut:

Internasional law or the law of nations is a term which has been

used for ever three hundred years to record certain observation of

the conduct of human being grouped in what we call states.

Terjemahan:

Hukum internasional atau hukum bangsa-bangsa adalah sebuah

istilah yang digunakan selama lebih dari tiga ratus tahun untuk

mencatat pengamatan-pengamatan tertentu yang menyangkut

tingkah laku manusia yang dikelompokkan dengan apa yang kita

sebut negara-negara.

J.L. Brielly menulis pengertian Hukum Internasional, yaitu:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

256

The law of nations or international law, may be defined as the

body of rules and principles of actions which are biding upon

civilized states in their relation with one another.

Terjemahan:

Hukum bangsa-bangsa atau Hukum Internasional, dapat

didefinisikan sebagai sekumpulan ketentuan dan asas-asas

menyangkut tindakan-tindakan yang mengikat bagi negara-negara

beradab dalam perhubungan mereka satu dengan yang lainnya.

Dari sejumlah pengertian Hukum internasional tersebut, pada

bahagian berikut juga penulis menyajikan pengertian Hukum

internasional, menurut pendapat dua penulis Hukum Internasional

yang tulisan mereka sering dijadikan rujukan oleh sebahagian besar

penulis Hukum Internasional Indonesia. Kedua penulis tersebut adalah

J.G. Starke dan Mochtar Kusumaatmadja.

J.G. Starke menulis pengertian Hukum internasional dengan

mengutip Carles Cheny Hide, sebagai berikut:

International law may be defined as that body of law which is

composed for it’s greater part of principles and rules of conduct

which states feels states feels themselves bound to observe, and

therefore,do commonly observe in their relation with each other,

and which include also:

a. the rules of law relating to the functioning of international

institutions of organitations, their relations with each other,

and their relations with states and individuals, and

b. certain rules of law relating to individuals and non-states

entities so far as the rights or duties of such individuals and

non-states entities are the concern of the international

community.

Terjemahan:

Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan

hukum yang bagian terbesar terdiri dari prinsip-prinsip dan

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

257

peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-negara itu sendiri

merasa terikat dan menghormatinya, dan oleh karena itu juga harus

dihormati dalam hubungan antara mereka satu sama lain, dan juga

yang meliputi:

a. Peraturan-peraturan hukum yang bekaitan dengan fungsi

lembaga-lembaga organisasi internasional, hubungan lembaga-

lembaga internasional satu sama lain, dan hubungan-hubungan

antara organisasi internasional tersebut dengan negara-negara

dan individu-individu serta

b. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkaitan dengan

individu-individu serta bukan negara secara keseluruhan

sepanjang hak-hak atau kewajiban individu-individu dan bukan

secara keseluruhan yang adalah bersangkut paut dengan

masyarakat internasional.

Berdasarkan pada pengertian Hukum Internasional itu, maka dapat

diperoleh gambaran umum tentang isi dan ruang lingkup Hukum

Internasional itu sendiri, yang didalamnya terkandung unsur subjek

atau pelaku-pelaku yang berperan, hubungan-hubungan antara subjek

hukum serta kaedah-kaedah maupun prinsip-prinsip hukum yang lahir

dari subjek tersebut yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan

yang saling terjalin satu sama lain.

Berkenaan dengan subjek hukum internasional itu, tampaklah

bahwa negara bukanlah satu-satunya subjek Hukum Internasional,

sebagaimana telah menjadi pandangan umum para sarjana hukum

internasional sekitar abad ke -16 atau awal abad ke-20, tegasnya yang

merupakan subjek hukum internasional antara lain: negara, organisasi

internasional, individu dan subjek-subjek hukum lainnya bukan

negara.

Adapun mengenai ruang lingkup isi atau materi hukum

internasional yang dikutip J.G. Starge, adalah meliputi prinsip-prinsip

atau peraturan-peraturan hukum:

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

258

a. Yang berkenaan dengan keberadaan suatu negara atau negara-

negara, seperti menyangkut kualifikasi suatu negara sebagai

pribadi internasional, terbentuk atau terjadinya negara, hak-hak

dan kewajiban negara dan lain-lain.

b. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum

yang berkenaan atau mengatur persoalan-persoalan hubungan

antara negara dengan negara, misalnya perjanjian tentang garis

batas wilayah antara dua negara.

c. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum

dan berkenaan dengan fungsi organisasi atau lembaga-lembaga

internasional.

d. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum

tentang persoalan hubungan antara organisasi internasional

dengan organisasi internasional lainnya, misalnya perjanjian

perdagangan antara Masyarakat Ekonomi Eropa dengan ASEAN

dan lain-lain.

e. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum

tentang persoalan hubungan antara negara dengan organisasi

internasional lainnya, misalnya perjanjian dengan ASEAN

menjadi kedudukan Sekretariat Jenderal ASEAN di Jakarta.

f. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum

yang berkenaan dengan individu dan subjek hukum lainnya bukan

negara, sepanjang hak-hak dan kewajiban tersebut menyangkut

masalah internasional, seperti tentang hak-hak dan kewajiban-

kewajiban asasi manusia seperti yang dituangkan dalam berbagai

konvensi dan deklarasi internasional. Contohnya status dan

kedudukan pengungsi internasional.

g. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum

tentang persoalan antara organisasi internasional dengan individu,

antara organisasi internasional dengan subjek hukum bukan

negara maupun subjek hukum bukan negara satu sama lain.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

259

Berdasarkan pada pembahasan tersebut, maka dapat dikemukakan

bahwa isi dan ruang lingkup dan pengaturan Hukum Internasional

telah semakin luas. Apabila ditinjau dari segi subjeknya, maka tidak

hanya terbatas pada negara saja melainkan sudah bertambah banyak

dan luas, sehingga kensekuensi dari makin bertambahnya subjek

hukum internasional tersebut, adalah makin kompleksnya hubungan-

hubungan hukum internasional.

Sebagai bahan perbandingan, juga dikemukakan batasan

pengertian hukum internasional dari Mochtar Kusumaatmadja18

,

sebagai berikut:

Hukum internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-

asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-

batas Negara, antara lain:

1. Negara dengan Negara.

2. Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara atau subjek

hukum lain bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara

satu sama lain.

Jadi apabila membandingkan isi dan ruang lingkup Hukum

Internasional pada masa lampau terutama pada abad ke -19 dan pada

awal abad ke-20, dimana hukum internasional hanya dipandang

sebagai sekumpulan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang

mengatur hubungan antara negara, tampak sudah semakin jauh

terjadinya perubahan dan perkembangan dari hukum internasional itu

sendiri. Pada masa sekarang, Hukum Internasional dengan isi serta

lingkupnya yang semakin luas, lebih dikenal dengan istilah Hukum

Internasional moderen. Hukum internasional moderen ini, tentu saja

berbeda dengan Hukum Internasional klasik (kuno) yang hanya

memandang negara sebagai subjek hukum internasional dan hubungan

hukum antara negara saja yang tergolong sebagai hubungan dalam

konteks Hukum Internasional.

18

Mochtar Kusumaatmadja. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Bina

Cipta, Bandung, hlm. 3-4.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

260

Pada beberapa kajian Hukum Internasional di Indonesia, terutama

di beberapa fakultas hukum yang ada, juga mengintrodusir pengkajian

spesifik yang merupakan bahagian integral dari kajian Hukum

Internasional itu sendiri. Beberapa diantara kajian yang merupakan

pencabangan khusus kajian Hukum Internasional itu, mencakupi:

1) Hukum Perjanjian Internasional, kajian hukum yang membahas

tentang aturan-aturan perjanjian yang dibuat berdasarkan hukum

internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau

organisasi internasional yang menimbulkan akibat-akibat hukum

tertentu bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian

Internasional terbagi atas dua meliputi (1) perjanjian multilateral

dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban

masing-masing pihak; (2) perjanjian bilateral dibuat antara dua

negara.

2) Hukum Diplomatik, pada hakikatnya merupakan ketentuan atau

prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan

diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan

bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan

dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi

hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan

hukum internasional.

3) Hukum Angkasa Internasional, adalah adalah keseluruhan

ketentuan atau norma-kaidah menurut Hukum Internasional,

yang berlaku di ruang angkasa dan memiliki prinsip bebas untuk

pemanfaatan dan eksplorasi di ruang angkasa berdasarkan prinsip

persamaan hak dan menghormati kedaulatan wilayah negara lain.

4) Hukum Humaniter Internasional atau juga dikenal dengan istilah

Hukum Perang dan Damai, adalah seperangkat aturan yang karena

alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari

pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau

tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan

metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

261

lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik

bersenjata (laws of armed conflict).

Sebagaimana yang sudah dibahas pada paparan sebelumnya bahwa

Hukum Internasional yang dipelajari ini adalah Hukum Internasional

yang dikualifikasikan sebagai hukum internasional publik. Hal ini

sengaja penulis uraikan pada pembahasan ini, agar kita tidak rancu

dalam memahami perbedaannya dengan hukum perdata internasional,

karena meskipun Hukum Internasional publik dan hukum perdata

internasional, sama-sama menggunakan unsur internasional, namun

secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang sangat

mendasar bila ditinjau dari segi lingkup pengaturannya.

Hukum Internasional yang dipelajari ini, sesungguhnya termasuk

dalam lapangan hukum publik, karena secara mendasar didalamnya

mencakupi pengaturan hukum yang melibatkan kepentingan negara

secara langsung. Jadi Hukum Internasional pada hakikatnya mengatur

hubungan hukum yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan

negara dalam lintas pergaulan masyarakat internasional. Semuanya

itu, tentu juga berkaitan dengan hubungan hukum terhadap organisasi

internasional publik, yang nyaris keanggotaannya terdiri dari negara-

negara, misalnya ASEAN, PBB, IMF, dan lain-lain.

Begitu pula secara individual, seseorang dalam tindakan-tindakan

tertentunya, dapat tunduk dibawah Hukum Internasional publik, yang

segala tindakan-tindakannya dikaitkan dengan kepentingan suatu

negara. Contoh, seseorang yang melakukan pembajakan terhadap

pesawat udara milik suatu negara. Menurut Hukum Internasional,

pembajakan pesawat udara tergolong sebagai criminal against

humanity (kejahatan terhadap umat manusia), di mana tindakan

tersebut jelas sangat mengganggu kepentingan penerbangan nasional

suatu negara. Sehingga orang yang melakukan pembajakan pesawat

udara negara lain tergolong pelanggaran menurut Hukum

Internasional yang an sich masuk bilangan hukum publik

Adapun hukum perdata internasional termasuk dalam kualifikasi

hukum privat, karena yang menonjol didalamnya adalah dimensi

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

262

hubungan keperdataan yang mengandung unsur asing (internasional)

serta menyentuh lebih dari suatu tatanan hukum dari negara-negara

yang berlainan sistem hukum. Contoh, gugatan ganti rugi tiga korban

berkebangsaan Jepang yang tewas dalam kecelakaan Pesawat Garuda

DC-9 tanggal 4 April 1987 di Medan. Gugatan ganti rugi yang

diajukan ke Pengadilan Distrik Tokyo mempunyai unsur asing, yaitu

gugatan diajukan terhadap Garuda yang bukan perusahaan

penerbangan Jepang, atas kecelakaan pesawat yang tidak terjadi di

Jepang, tetapi terjadi di Medan, Indonesia.

Perlu pula dipahami bahwa tampaknya terdapat sudut pandang

berbeda menyangkut kedudukan hukum perdata internasional oleh

negara-negara yang menganut sistem hukum common law (Anglo

Saxon) dengan negara-negara Eropa Kontinental. Bagi negara-negara

penganut common law (Anglo Saxon) memandang bahwa hukum

perdata internasional sama seperti conflict of laws (hukum antar tata

hukum, hukum antar tata hukum yang bersifat eksteren) yang bisa

diselesaikan dengan menggunakan preseden hakim di pengadilan

(merupakan yurisprudensi) guna menentukan hukum mana yang harus

diperlukan untuk suatu kasus, apabila dalam kasus tersebut, terdapat

kemungkinan pemakaian lebih dari satu tata hukum. Sedangkan, ahli-

ahli hukum dari Eropa Kontinental, memandang bahwa conflik of law

adalah bagian dari Hukum Perdata Internasional, bukan bagian dari

kajian hukum antar tata hukum.

4. Hukum Laut

Hukum Laut dalam konteks sistem hukum Indonesia dapat

didefinisikan sebagai segala aturan hukum atau yang didalamnya

menyangkut kajian hukum tentang tata kelola wilayah laut Indonesia

termasuk penetapan batas-batas wilayah perairan Indonesia pada

lingkup nasional maupun kaitannya dengan batas-batas wilayah

dengan negara lain termasuk pula penggunaan wilayah perairan

Indonesia oleh kapal-kapal asing maupun badan-badan hukum asing

lainnya. Hukum Laut pada dasarnya masuk kategori hukum publik,

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

263

namun dalam berbagai pengaturan hukum atau kajian hukum dalam

sistem hukum Indonesia, bidang hukum ini dapat dicermati pada dua

ruang lingkup, yaitu Hukum Laut yang mengatur dalam lingkup

nasional dan Hukum Laut yang mengatur dalam lingkup internasional.

Pengaturan Hukum Laut dalam lingkup nasional adalah mengatur

pengelolaan serta penyelenggaraan wilayah laut yang masih berada

pada batas-batas kawasan Negara Indonesia. Sedangkan pengaturan

Hukum Laut dalam lingkup internasional, yaitu pengaturan wilayah

laut Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara lain ataukah

penyelenggaraan dan pengelolaan kawasan laut yang masih dalam

yurisdiksi nasional Indonesia menurut prinsip-prinsip Hukum

Internasional.

Pengaturan hukum nasional terhadap wilayah laut Indonesia,

bermula ketika Pemerintah Indonesia dibawah pemerintahan Presiden

Soekarno, pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah RI

mengeluarkan pernyataan yang dikenal “Deklarasi Djuanda”.

Dikeluarkannya deklarasi ini dimaksudkan untuk menyatukan wilayah

daratan yang terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya

lautan bebas yang berada di antara pulau-pulau wilayah daratan.

Sebelum Deklarasi Juanda dikeluarkan, pengaturan wilayah laut

Indonesia masih tunduk dibawah produk hukum Kolonial Belanda

yaitu berpatokan pada Territoriale Zee en Marietieme Kringen

Ordonantie (Staatblad tahun 1939 No.442). Dalam ketentuan

Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie/ (TZMKO) tahun

1939 itu memuat 4 kelompok mengenai perairan Indonesia. Pertama,

apa yang disebut dengan de Nederlandsch Indische territoriale zee

(Laut Teritorial Indonesia). Kedua, apa yang disebut dengan Het

Nederlandsch-indische Zeege bied, yaitu Perairan Teritorial Hindia

Belanda, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian sisi

darat laut pantai, daerah liuar dari teluk-teluk, ceruk-ceruk laut,

muara-muara sungai dan terusan. Ketiga, apa yang dinamakan de

Nederlandsch-Indische Binnen Landsche wateren, yaitu semua

perairan yang terletak pada sisi darat laut territorial Indonesia

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

264

termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-

rawa Indonesia. Keempat, apa yang dinamakan dengan de

Nederlandsch-Indische Wateren, yaitu laut territorial termasuk

perairan pedalaman Indonesia.

Beberapa pertimbangan Pemerintah Indonesia rezim Soekarno

merasa perlu mengeluarkan Deklarasi Juanda, yaitu:

1) Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara

kepulauan, yang terdiri atas 13.000 lebih pulau-pulau besar dan

kecil yang tersebar di lautan.

2) Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan

dan perairan ( selat ) yang diantaranya merupakan kesatuan yang

utuh dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan

pulau yang lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.

3) Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagai menurut

“Teritoriale Zee en Mariteme Kringen Ordonampie 1939” yang

dimuat dalam Staatsblad 1939 no 442 pasal 1 ayat (1 ) sudah tidak

cocok lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka

4) Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang

merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk

mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan

keselamatan negara serta bangsanya.

Deklarasi Djuanda tersebut kemudian melahirkan gagasan untuk

menyatukan wilayah perairan dan daratan Indonesia sebagai satu

kesatuan yang terintegral yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Gagasan inilah yang melahirkan cara pandang politik bangsa

Indonesia melalui sebuah konsepsi yang dikenal dengan nama

Wawasan Nusantara. Berpijak dari gagasan ini pula kemudian

melahirkan Undang-Undang No.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan

Indonesia. Sejak itu, pengaturan mengenai perairan Indonesia tidak

lagi berpedoman pada ketentuan hukum TZMKO 1939 yang

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

265

merupakan produk hukum peninggalan Kolonial Belanda19

.

Pengaturan perairan Indonesia melalui Deklarasi Juanda, setidaknya

sudah dikembangkan dengan berdasarkan pada konsepsi kepentingan

nasional Indonesia.

Pengumuman Pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957

mengenai Konsepsi Nusantara, yang lebih dikenal “Deklarasi

Djuanda”, kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 4

Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Sejak “Deklarasi

Djuanda” atau Pengumuman Pemerintah mengenai Konsepsi

Nusantara itu, maka ; a) lebar lebar laut territorial Indonesia berubah

menjadi 12 mil laut yang sebelumnya 3 mil laut; b) penetapan lebar

laut territorial diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan

titik-titik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia terluar, dan

sebelumnya diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis air

rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai masing-masing

pulau Indonesia; c) Semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis

pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari yang tadinya berupa laut

territorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana

kedaulatan negara atas perairan tersebut praktis sama dengan

kedaulatan negara atas daratannya. Sementara sebelum Dekrarasi

Djuanda perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal

disebut perairan pendalaman.

Konsepsi Nusantara yang dituangkan dalam Undang-Undang

Nomor 4 Prp Tahun 1960, tentu saja tidak diterima negara-negara lain.

Pemerintah Indonesia setelah mencetuskan konsep Wawasan

Nusantara itu berupaya mensosialisasikan Konsepsi Nusantara guna

mendapatkan pengakuan internasional. Puncak dari upaya pemerintah

itu atas Konsepsi Nusantara itu adalah dalam Konperensi PBB III

tentang Hukun Laut yang berakhir tahun 1982, yang dalam koperensi

PBB III ini melahirkan konvensi Hukum Laut Baru yang diberi nama

19

Frans E.Likadja dan Daniel F Bessie. 1985. Hukum laut dan Undang-

Undang Perikanan. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 23

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

266

United Nations Convention on Law of The Sea atau yang disebut pula

dengan nama lain Konvensi Hukum Laut 1982.

Sebagai tindak lanjut penerapan Undang-Undang Nomor 4 Prp

Tahun 1960, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Laut Damai

Kendaraan Air Asing dalam Perairan Indonesia. Kehadiran PP ini,

setelah diundangkannya UU No. 4/Prp/1960, terutama oleh petugas-

petugas di lapangan (di laut) dirasakan perlunya ketegasan kedudukan

hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di perairan Indonesia yang

telah dijamin keberadaannya oleh UU No. 4/Prp/1960. Karena itu

tanggal 28 Juli 1962 Pemerintah Indonesia sangat beralasan

mengeluarkan Pengumuman Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang

Hak Lintas Laut Damai Kendaraan Air Asing. Dalam pasal 1

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tersebut menyatakan bahwa,

lalu lintas damai bagi kendaraan asing di perairan pedalaman

Indonesia (perairan Nusantara) yang sebelumnya berlaku UU Nomor.

4 Tahun 1960, merupakan laut lepas atau laut wilayah Indonesia

dijamin keberadaannya untuk kapal asing. Juga Sejalan dengan

ketentuan pasal 14 s/d 17 Konvensi Hukum Laut 1958, yang

dimaksud dengan lalu lintas damai dalam Peraturan Pemerintah No. 8

Tahun 1962 adalah pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut

wilayah dan perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu

pelabuhan Indonesia dan sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas.

Selain produk undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai

dasar hukum pengaturan wilayah laut Indonesia dalam konteks

wilayah nasional, Pemerintah Indonesia juga menerbitkan beberapa

produk hukum untuk menjadi landasan yuridis pengaturan wilayah

laut Indonesia secara berkelanjutan, meliputi:

1) Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas

UNCLOS 1982

Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan

Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

267

Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang

Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut

pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk

menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan

batas-batas maksimum ditetapkan sebagai berikut:

a) Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;

b) Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24

mil-laut;

c) Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan Landas Kontinen :

antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari

isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak

berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di

samping itu, sebagai suatu negara kepulauan Indonesia juga berhak

untuk menetapkan:

a) Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal

kepulauannya,

b) Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.

c) Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis

pangkal atau garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam

penarikan garis batas.

2) Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-

Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih

mempertegas batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan

yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan dasar dalam penetapan

garis batas (boundary) dengan negara negara tetangga yang

berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan

maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Pada dasarnya

Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar tentang hak

dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum

dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS.

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

268

Batas terluar laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum

12 mil laut, dan garis pangkal yang dipakai sebagai titik tolak

pengukurannya tidak berbeda dengan pengaturan dalam Undang-

Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang disesuaikan dengan ketentuan

baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS.

Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar

Kepulauan Natuna, diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun

2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal

Kepulauan Indonesia

Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3)

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan

di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Undang-undang

No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi dengan Peraturan

Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis

Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan

Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan

Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis

Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan

daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan

Indonesia. Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan

dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar

perubahan atau pembaharuan (updating) data dapat dilakukan dengan

tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan

Pemerintah dimaksud. Lampiran-lampirannya merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tersebut.

Juga masih terdapat beberapa pengaturan hukum pendukung

lainnya sebagai instrumen yuridis bagi tata kelola wilayah perairan

Indonesia, antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996

tentang Pelayaran; (2) Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002

tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

269

Damai Melalui Perairan Indonesia; dan PP Nomor 19 tahun 1999

tentang pengendalian dan atau perusakan laut

Selain itu terdapat pula beberapa Undang-Undang yang

dikeluarkan sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun

1985 yang belum diubah yaitu:

1) Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen

Indonesia. Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan

Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang

menganut penetapan batas terluar landas kontinen berbeda dengan

UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan perubahan terhadap

Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana mestinya

ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.

2) Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia. Menurut Undang-Undang ini di Zona

Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat

untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam

hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan

konservasi. Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

ditetapkan sejauh 200 mil-laut.

Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona

tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan

garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang

berbatasan dengan zona tambahan negara lain.

Pada konteks perbatasan wilayah laut Indonesia dengan negara lain

terutama dengan negara tetangga Indonesia telah menyepakati

perjanjian bilateral yang merupakan landasan yuridis bagi pengaturan

batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga.

Perjanjian-perjanjian tersebut, antara lain:

1) Pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Malaysia

Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia

yang telah disahkan secara konstitusionil diwujudkan dalam bentuk

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

270

keputusan Presiden yaitu Keputusan Presiden RI no 89 tahun 1969

menetapkan, mengesahkan persetujuan antara pemerintah RI dengan

pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas landas kontinen

antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masing-

masing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.

2) Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan

Kerajaan Thauland

Hasil persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan

Kerajaan Thailand ditanda tangani di Kuala Lumpur tanggal 21

Desember 1971 dan oleh Pemerintah Indonesia yang secara

Konstitusional dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden pada 11

Maret 1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang

pengesahan persetujuan antara pemerintah RI, Pemerintah Malaysia

dan Kerajaan Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di

bagian utara selat Malaka.

3) Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand

Hasil persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan

kerjaan Thailand membicarakan batas landas kontinen dua negara

dibagian selat Malaka dan di laut Andaman, untuk memisahkan

bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah Kontinennya dan

di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan oleh

pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan Presiden yang

ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no

21 tahun 1972.

4) Pemerintah RI dengan pemerintah Filipina

Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas

kontinennya adalah sistem yang sama dengan yang dianut oleh

Indonesia yakni Middle Line atau Ekuedistant, baik Indonesia maupun

Filipina kedua nya adalah negara kepulauan. Pada bulan Mei 1979

Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya, dengan terjadinya

penetapan batas tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur dari

BAB 5 Pembidangan Hukum Publik

271

garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing

yang mengelilingi kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina

(Selatan Mindanau) dan bagian utara Indonesia ( Laut Sulawesi dan

Sangir Talaud ).

5) Pemerintah RI dan pemerintah Vietnam

Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah

perairannya pada tanggal 12 Mie 1977 dan menetapkan UU

Maritimnya pada bulan Januari 1980. Dalam UU tersebut ditetapkan

bahwa wilayah maritim Vietnam adalah sejauh 200 mil laut dengan

perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan

selebihnya ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun

1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak

ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.

6) Pemerintah RI dengan Pemerintah Papua Nugini

Kedua negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei

1978 yang menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian dahulu tetap

mempunyai daya laku dan akan diadakan persetujuan final mengenai

penetapan ke dua negara, juga dalam pernyataan bersana tersebut

disebutkan bahwa tindakan-tndakan yang diambil oleh pihak Papua

Nugini untuk menetapkan Zona perikanan 200 mil serta kebijakannya

dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut

diakui.

BAB 6

PEMBIDANGAN HUKUM PRIVAT DAN

PEMBIDANGAN HUKUM LAINNYA DALAM

SISTEM HUKUM INDONESIA

Hukum Privat Hukum Privat menurut penulis dapat didefinisikan sebagai

segenap aturan hukum atau kaidah hukum yang mengatur

tentang hubungan-hubungan hukum (pergaulan hukum) yang

didalamnya lebih menitikberatkan kepada kepentingan

perseorangan/individu yang kepentingan ini dianggap bukan

sebagai bagian dari kepentingan negara atau masyarakat (publik)

pada umumnya.

Perbincangan tentang hukum privat dalam Sistem Hukum

Indonesia, yang mengatur tentang persoalan-persoalan hukum

keluarga, hukum waris, pengikatan hak individu, hukum jual beli,

hukum sewa menyewa, hukum pengangkutan, serta segala yang

terderivasi darinya, maka titik perhatian kita tidak bisa lepas dari kitab

Burgelijk Wetboek disingkat BW atau yang diterjemahkan oleh

sebahagian penulis hukum kita dengan istilah Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPdt) dan Kitab Wetboek van Koophandel yang

disingkat WvK, yang juga diterjemahkan dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang (KUHD). Dua produk undang-undang yang

disebut, merupakan produk kolonial Belanda yang diberlakukan di

tanah jajahan yang waktu itu masih menggunakan nama Hindia

Belanda (wilayah nusantara/Indonesia sekarang). Pemberlakuannya di

Hindia Belanda dengan menggunakan asas konkordansi, yang mana

kedua produk hukum tersebut, merupakan hasil kodifikasi dari produk

hukum Perancis yaitu Code Civil dan Code de Commerce.

Sebelum unifikasi hukum keluarga di Indonesia yaitu melalui

terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

maka untuk persoalan hubungan hukum keluarga di Indonesia masih

merujuk kepada BW Buku I perihal orang. Pemberlakuan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, serta merta

terjadilah unifikasi hukum keluarga di Indonesia yang berbarengan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

273

dengan itu, dihapuskanlah pengaturan masalah keluarga dan

perkawinan sebagai mana yang diatur dalam BW Buku I.

Namun demikian, sampai saat ini fakta hukum di Indonesia,

beberapa ketentuan dalam BW dan WvK masih berlaku dalam

hubungan hukum privat antara warga masyarakat. Terutama

menyangkut hukum keluarga dalam BW masih diberlakukan bagi

golongan penduduk Indonesia yang non-muslim atau mereka yang

masih menyerahkan persoalan hukumnya ke pengadilan sipil bukan ke

pengadilan agama. Begitu pula, untuk persoalan-persoalan hukum

seperti menyangkut perjanjian dan aspek-aspeknya, pengikatan jual

beli, sewa-menyewa, pengangkutan laut, asuransi, perusahaan dan

badan hukum, pembuktian dan kadaluarsa terhadap sengketa

keperdataan, tampaknya sebahagian masih mengadopsi ketentuan

yang diatur dalam BW dan WvK. Kecuali untuk masalah-masalah

perkawinan, hibah, dan warisan bagi masyarakat muslim di Indonesia,

sudah tidak tunduk lagi kepada BW tetapi tunduk kepada Hukum

Islam yang diformalisasikan melalui Instruksi Presiden Nomor 1

Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang untuk

penyelesaian sengketanya telah diselesaikan oleh pengadilan yang

dibentuk khusus untuk masyarakat muslim di Indonesia yaitu

Pengadilan Agama.

Namun kendati pengadilan agama sudah dibentuk untuk memenuhi

hasrat masyarakat muslim Indonesia dalam penyelesaian sengketa

bidang hukum keluarga, tetapi proses beracara di pengadilan tersebut

masih menggunakan prosedur beracara sebagaimana yang diatur

dalam HIR dan RBG. Dua produk hukum yang disebut ini, tentu saja

merupakan produk hukum warisan Kolonial Belanda. Begitu juga,

meskipun Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang di

dalam Perma tersebut, diatur secara spesifik mengenai perjanjian

syariah yang berlaku bagi masyarakat Muslim Indonesia, pada

prakteknya masih mencangkokkan asas-asas perjanjian yang diatur

dan dikenal dalam BW. Termasuk dalam hal pengikatan jual beli dan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

274

badan hukum berbasis syariah masih mengintrodusir asas-asas yang

termuat dalam WvK (KUHD).

Dalam kajian hukum privat pada sekolah hukum di Indonesia,

umumnya masih menggunakan istilah hukum perdata sebagai ganti

dari istilah hukum privat. Bila ditelusuri kata perdata sebetulnya kata

ini berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu perdoto yang berarti

menghukum. Kalau dalam Bahasa Jawa kata perdoto berarti

pertengkaran atau perselisihan. Yang pertama kali memperkenalkan

istilah Hukum Perdata sebagai terjemahan dari Burghlijk Recht,

adalah Professor Djojodiguno. Istilah ini juga merupakan terjemahan

dari istilah civilrecht dan privatrecht. Sebenarnya kalau kita mau

konsisten dengan apa yang menjadi substansi pengaturan hukum

privat untuk membedakannya dengan hukum publik, maka memang

yang tepat adalah menggunakan istilah hukum privat atau hukum sipil.

Sebab penamaan istilah tersebut, merujuk kepada kepentingan hukum

perseorangan atau individu. Sedangkan bila menggunakan istilah

perdata yang diadopsi dari Bahasa Sansekerta atau Bahasa Jawa

perdoto, lebih menunjukkan kepada makna hukum pidana yang

merupakan bilangan hukum publik. Akan tetapi, istilah hukum perdata

ini, telah menjadi istilah yang umum digunakan dalam dokumen

hukum di Indonesia dan telah menjadi istilah yang cukup familiar

dalam berbagai kajian hukum di lembaga sekolah hukum di Indonesia.

Penggunaan istilah perdata dalam sistem hukum Indonesia,

sebagaimana dimaksudkan, pertama kali secara resmi terdapat dalam

perundang-undangan Indonesia, yakni dalam Konstitusi RIS pada

Pasal 15 ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Juga ditemukan

dalam UUDS RI Tahun 1950 yaitu pada pasal 15 ayat 2, Pasal 101

ayat 1 dan Pasal 106 ayat 3. Hal yang sama, secara resmi dapat dilihat

dalam Undang-undang Darurat Nomor 5 Tahun 1952 tentang Bank

Industri Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952

No. 21 pada tanggal 20 Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada

tanggal 28 Pebruari Tahun 1952.

Dalam kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia

pada awal berdirinya telah ditemui berbagai istilah dan atau penamaan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

275

dari “Hukum Perdata”, baik itu pada Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi

Ilmu Hukum maupun Akademi Hukumnya. Begitu pula dalam

Konsorsium Ilmu Hukum yang pernah diadakan, disepakati

penggunaan istilah Hukum Perdata sebagai mata kuliah yang

diajarkan di fakultas hukum-fakultas hukum di Indonesia1. Hingga

kini, istilah Hukum Perdata masih digunakan dalam setiap

pembelajaran hukum pada sekolah hukum-sekolah hukum di

Indonesia.

Berkenaan dengan istilah Hukum Perdata yang dikemukakan,

berikut penulis memaparkan beberapa pengertian Hukum Perdata

yang dikemukakan para pakar hukum, yang diambil dari beberapa

sumber, antara lain: H.F.A. Vollmar memberikan pengertian hukum

perdata “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan

pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada

kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang

tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari

orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai

hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”. Selanjutnya Sudikno

Mertokusumo juga memberikan pengertian Hukum Perdata, yaitu

“hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang

perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan

kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat”. Sementara itu

menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan," bahwa hukum perdata

adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara

perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.

Demikian juga Van Dunne memberikan pengertian hukum perdata

sebagai berikut: “hukum perdata merupakan suatu aturan yang

mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan

individu seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan.

Dari pengertian Hukum Perdata yang dikemukakan beberapa orang

ahli hukum tersebut, maka menurut penulis Hukum Perdata, dapat

didefinisikan sebagai keseluruhan aturan baik yang tertulis

1 Z. Ansori Ahmad. 1986. Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia.

Rajawali Press, Jakarta, hlm. 1.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

276

maupun yang tidak tertulis sifatnya yang isinya mengatur

hubungan hukum perseorangan (bersifat individu), baik itu

hubungan hukum antara individu dengan individu, individu

dengan badan hukum, maupun antar badan hukum satu sama

lain, yang dalam hubungan hukum tersebut menimbulkan akibat-

akibat hukum tertentu, yang tidak berimplikasi secara langsung

dengan kepentingan publik.

Sehubungan dengan itu juga, dalam beberapa literatur hukum yang

membahas tentang Hukum Perdata, terdapat kecenderungan beberapa

ahli hukum untuk mengkelompokkan pengertian Hukum Perdata

dalam dua kelompok, yaitu: Pertama, pengertian Hukum Perdata

dalam arti luas, yaitu segenap aturan hukum yang memuat kaidah atau

norma hukum keperdataan yang temaktub dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (WvK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut

undang-undang tambahan lainnya. Kedua, Hukum Perdata dalam arti

sempit, yaitu segenap aturan hukum keperdataan yang termaktub

dalam BW atau KUHPerdata.

Merujuk pengertian tersebut, Hukum Perdata dalam arti luas

berarti pembahasan yang mencakup hubungan hukum keperdataan

yang tidak hanya diatur dalam BW tetapi juga diatur dalam WvK atau

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan peraturan

perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang persoalan

hubungan hukum yang terkait erat dengan hubungan hukum

keperdataan. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti sempit, adalah

pembahasan tentang hubungan hukum keperdataan yang diatur dalam

BW atau KUHPerdata.

Melalui pengelompokan pengertian Hukum Perdata dalam arti

sempit dan luas, maka pengkajian Hukum Perdata pada beberapa

sekolah hukum di Indonesia, masing-masing dikelompokkan dalam

beberapa bidang, berikut ini:

1) Hukum Perdata dalam Arti Sempit, mencakupi kajian hukum:

Hukum Perseorangan, kajian hukum terhadap peraturan-peraturan

tentang diri manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

277

peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan

kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta

hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

Hukum Keluarga (familierecht), mencakupi pembahasan tentang

hukum yang mengatur hal-hal berkaitan dengan hubungan-

hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu

perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan

antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian

dan curatele. Bagi warga muslim di Indonesia, pengaturan hukum

keluarga bagi mereka tunduk kepada Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam.

Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht), hukum yang mengatur

perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan

uang, atau hak-hak kebendaan yang dapat dinilai dengan uang.

Hukum Waris (erfrecht), mengatur tentang pembagian harta

warisan. Bagi masyarakat muslim di Indonesia, tidak lagi tunduk

kepada BW mengenai pembagian waisan tetapi tunduk

berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Inpres

Nomor 1 Tahun 1991.

Beberapa fakultas hukum di Indonesia, memformulasikan semua

kajian hukum keperdataan diatas melalui beberapa mata kuliah,

seperti: (1) Hukum Perkawinan dan Hukum Keluarga; (2) Hukum

Waris; (3). Hukum Perjanjian; (4) Hukum Perutangan; (5) Hukum

Perikatan; (6) Hukum Kebendaan; (7) Hukum Jaminan, Hipotek dan

gadai; dan (8). Hukum Pembuktian.

2) Hukum Perdata dalam Arti Luas, mencakupi kajian hukum:

Hukum Perusahaan dan Badan Hukum; Hukum Asuransi; Hukum

Kepailitan; Hukum Dagang; Hukum Hak Atas Kekayaan

Intelektual; Hukum Bisnis dan Ekonomi; dan lain-lain.

Pembahasan lain menyangkut bidang Hukum Privat yang perlu

juga dipahami adalah menyangkut sanksi yang ditetapkan dalam

Hukum Privat, atau yang dalam pembahasan kita ini, penulis

menyebutnya dengan sanksi perdata. Ada perbedaan mendasar antara

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

278

sanksi pidana dengan sanksi perdata dalam sistem hukum Indonesia.

Sanksi Hukum Pidana sifatnya pakem sudah ditentukan bentuknya

oleh undang-undang yang berlaku. Sedangkan sanksi dalam Hukum

Perdata di Indonesia, lebih bersifat kepada apa yang sudah ditentukan

bentuk dan kadarnya oleh pihak yang merasa dirugikan kepentingan

hukumnya. Karakteristik yang berbeda sanksi perdata dengan sanksi

pidana, sebab mengikuti karakteristik yang melekat pada Hukum

Perdata, yaitu Hukum Perdata lebih mendeskripsikan kepentingan

hukum perseorangan (individu), sebagaimana yang sudah dibahas

pada uraian sebelumnya.

Secara teoritis dan fakta hukum yang ada di Indonesia, sanksi

perdata dalam bentuknya, ada dua yaitu pertama, ganti rugi dan kedua,

pemulihan atau pemenuhan hak pihak-pihak yang berkepentingan

karena merasa dilanggar oleh pihak lain. Ganti rugi biasanya dalam

bentuk sejumlah uang tertentu yang ditentukan oleh pihak-pihak yang

merasa dirugikan karena pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak

lain. Jumlah besaran uang ganti rugi, adalah didasarkan kepada

tuntutan pihak yang dirugikan. Contohnya, seseorang yang merasakan

kerugian finansial karena pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak

lain yang berjanji kepadanya. Berdasarkan taksiran ia mendapat

kerugian 100 juta rupiah. Maka pihak yang menderita kerugian

tersebut, akan menuntut ganti rugi sebesar 100 juta rupiah.

Sedangkan pemulihan hak-hak pihak yang berkepentingan, yaitu

pengembalian kedudukan hak semula kepada pihak yang

berkepentingan karena merasa hak-hak tersebut dirampas oleh orang

lain. Contohnya, seseorang merampas hak atas tanah seseorang yang

sebenarnya bukan haknya. Pihak yang merasa haknya dirampas itu,

menggugat ke pengadilan supaya orang yang merampas hak atas

tanahnya itu dikembalikan kepadanya. Contoh lain, seorang

perempuan yang menggugat ke pengadilan agar hak asuh atas

anaknya, setelah bercerai dengan suaminya, dikembalikan kepadanya.

Jadi sanksi perdata tergantung dari tuntutan pihak-pihak yang merasa

dirugikan, hakim hanyalah tinggal memutuskan apakah tuntutan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

279

hukum itu dipenuhi seluruhnya, atau dipenuhi sebahagian, atau

mungkin juga tidak dipenuhi sama sekali.

Sanksi perdata sebagaimana yang telah dibahas, merupakan bentuk

penjeraan kepada pihak-pihak yang diduga atau terbukti melakukan

perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Perdata. Istilah

Perbuatan Melawan Hukum dalam Konteks Hukum Perdata, jika

ditelusuri asal-usul peristilahannya dari bahasa asing yaitu Bahasa

Belanda menggunakan istlah onrechtmatige daad. Dalam sistem

hukum Anglo Saxon, negara-negara berbahasa Inggeris menggunakan

istilah tort.

Memang terdapat perbedaan cukup mendasar antara Perbuatan

Melawan Hukum sebagai mana yang dikenal dalam Hukum Pidana

dengan Perbuatan Melawan Hukum menurut perspektif Hukum

Perdata. Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam BW. Perbedaan

mendasar antara Perbuatan Melawan Hukum Menurut Hukum Perdata

dan Hukum Pidana, telah dicatat oleh Sidharta2, sebagai berikut:

Perbuatan melawan hukum, baik perdata (onrechtmatige daad)

maupun pidana (wederrechtelijke daad) adalah dua konsep penting

dalam wacana ilmu hukum. Secara umum, terutama jika mengikuti

arus besar (mainstream) pemikiran hukum di Indonesia, kedua

konsep ini mengalami divergensi dalam arah pemafsirannya.

Perbuatan melawan hukum perdata mengarah kepada pemaknaan

yang meluas (ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak

sama dengan undang-undang (wet). Jadi, onrechtmatig dibedakan

pengertiannya dengan onwetmatig. Momentum historis dari

perluasan ini terjadi setelah putusan Hoge Raad der Nederlanden

tanggal 31 Januari 1919, yaitu dalam kasus kasus Lindenbaum

versus Cohen. Lain halnya dengan perbuatan melawan hukum

dalam lapangan pidana yang justru mengarah ke pemaknaan yang

2 Sidharta. 2013. “The Breakthrough Doctrine of Interpretation in

Environmental Tortlaw in Addressing the Trans-boundary Legal Problems”.

Cuplikan Makalah yang dipresentasikan pada Konprensi Internasional yang

diadakan oleh Stikubank, 29-30 Agustus 2013.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

280

menyempit (restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan

hukum formal (formele wederrechtelijkheid). Apa yang disebut

hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif dalam

sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan

berlaku sebelum perbuatan dilakukan. Pelanggaran terhadap syarat

ini merupakan pelanggaran serius terhadap asas legalitas.

Dengan mencermati kutipan tulisan Sidharta, maka ada perbedaan

mendasar antara Perbuatan Melawan Hukum versi Hukum Pidana

dengan Hukum Perdata, yaitu Perbuatan Melawan Hukum versi

Hukum Pidana bersifat menyempit serta merupakan norma positif

yang pakem berlaku secara tertulis. Sedangkan, Perbuatan Melawan

Hukum versi Hukum Perdata, bersifat ekstensif yang tidak sama

dengan terminologi menurut norma positif.

Tentang penggunaan istilah Perbuatan Melawan Hukum dalam

konteks Hukum Perdata, memang ada beberapa penulis hukum yang

tidak sependapat menggunakan istilah itu, ada yang berpandangan

bahwa dalam Hukum Perdata yang cocok adalah menggunakan istilah

Perbuatan Melanggar Hukum. Namun dalam konteks pembahasan ini,

penulis hanya menggunakan istilah Perbuatan Melawan Hukum

sebagaimana yang lazim digunakan oleh sebahagian besar penulis

hukum.

Perbuatan Melawan Hukum menurut perspektif Hukum Perdata,

diatur dalam Pasal 1365 BW yang memuat ketentuan: “Setiap

perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan

kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena

kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.

Berdasarkan ketentuan ini, perbuatan melawan hukum maka harus

dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur:

1) Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang

melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan

kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

281

undang-undang. Artinya, melawan hukum ditafsirkan sebagai

melawan undang-undang.

2) Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara

objektif dan subjektif. Secara objektif yaitu dengan dibuktikan

bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat

menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini

akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak

berbuat. Secara subjektif, berarti dapat dibuktikan bahwa apakah

si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga

akan akibat dari perbuatannya. Selain itu orang yang melakukan

perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban

atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia

lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Dari sini, ada dua

kemungkinan: Pertama, rang yang dirugikan juga mempunyai

kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa

jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian,

maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya

kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan

sengaja: Kedua, kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat.

Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang

maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas

terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.

3) Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Artinya, kerugian yang

disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dapat berupa

kerugian materiil, yaitu kerugian yang terdiri dari kerugian yang

nyata-nyata diderita dari keuntungan yang seharusnya diperoleh.

Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan

melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk

kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang

seharusnya diperoleh. Selain kerugian materil juga kerugian idiil,

dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan

kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan

kesenangan hidup. Untuk menentukan luasnya kerugian yang

harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

282

tersebut, untuk itu pada prinsipnya pijak yang dirugikan harus

sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika

terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak

menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada

waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita

pada waktu yang akan datang.

4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Untuk

memecahkan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum

dengan kerugian, terdapat dua teori, meliputi: Teori Condition

Sine Qua Non, menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan

melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya

condition sine qua non menimbulkan kerugian baik materil

maupun immaterial. Teori Adequate veroorzaking, menurut teori

ini si pelaku Perbuatan Melawan Hukum hanya bertanggung

jawab untuk kerugian yang dianggap patut dan layak.

Jadi ringkasnya Perbuatan Melawan Hukum perspektif Hukum

Perdata, merujuk BW dapat diperinci sebagai berikut:

1) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ

badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal

1364 BW.

2) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang

wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan

badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal

1367 BW.

3) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang

mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung

jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW.

Perlu juga dipahami bahwa Perbuatan Melawan Hukum dalam

konteks Hukum Perdata, menurut penulis dapat dibagi tiga kategori

yaitu: Perbuatan Melawan Hukum Karena Undang-Undang, Perbuatan

Melawan Hukum Karena Melanggar Hak-Hak Orang Lain Yang tidak

diatur undang-undang, dan Perbuatan Melawan Hukum Karena

Melanggar Perjanjian. Penulis menempatkan Perbuatan Melawan

Hukum merupakan genus, sedangkan tiga kategori Perbuatan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

283

Melawan Hukum yang penulis sebutkan merupakan spesiesnya.

Sebelum penulis membahas tiga kategori Perbuatan Melawan Hukum

perspektif Hukum Perdata, lebih dahulu dipaparkan secara ringkas

melalui ragaan berikut ini:

RAGAAN 11

KATEGORI PERBUATAN MELAWAN HUKUM

PERSPEKTIF HUKUM PERDATA

Berdasarkan bagan, penulis menguraikan secara rinci kategori

Perbuatan Melawan Hukum perspektif Hukum Perdata, sebagai

berikut:

1) Perbuatan Melawan Hukum Karena Undang-Undang. Jenis

Perbuatan Melawan Hukum ini adalah merujuk kepada undang-

undang yang sudah mengaturnya. Artinya, seseorang melakukan

Perbuatan Melawan Hukum yang melanggar hak-hak keperdataan

orang lain atau pihak lain karena berdasarkan kepada undang-

undang yang sudah mengaturnya. Undang-undang sudah

menetapkan hak-hak keperdataan seseorang menyangkur suatu

PERBUATAN MELAWAN

HUKUM

(Onrechtmatige Daad)

Perbuatan

Melawan

Hukum Karena

Undang-Undang

Perbuatan Melawan

Hukum Karena

Melanggar Hak

Orang Lain (Bukan

KarenaUndang-

Undang)

Perbuatan

Melawan Hukum

Karena Melanggar

Perjanjian

(Wanprestasi)

Genus

Spesies

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

284

perbuatan hukum tertentu atau hak-hak keperdataan yang melekat

atas suatu benda. Adanya hak-hak tersebut, maka seseorang atau

pihak lain mempunyai kewajiban untuk menghormati hak-hak

tersebut. Bukan hanya kewajiban menghormati hak-hak

keperdataan seseorang tetapi bisa saja lebih dari itu, kewajiban

untuk melakukan sesuatu sebagai bagian untuk memenuhi hak-

hak keperdataan seseorang dimaksud. Misalnya, Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa seorang

suami wajib memberikan nafkah bagi isteri dan anak-anak yang

menjadi tanggungannya. Berarti undang-undang sudah mengatur

hak-hak isteri untuk mendapatkan nafkah hidup dari suaminya.

Bila suatu ketika seorang suami lalai atau tidak mau memberikan

nafkah kepada anak dan isterinya selama berbulan-bulan karena ia

melakukan perselingkuhan dengan wanita lain, maka sang isteri

dapat menggugat ke pengadilan agar suaminya melaksanakan

kewajiban menafkahi keluarganya. Sang suami dipandang telah

melakukan Perbuatan Melawan Hukum menurut undang-undang,

yaitu lalai atau tidak mau menafkahi keluarganya sebagai

kewajiban kepala rumah tangga menurut undang-undang

perkawinan.

2) Perbuatan Melawan Hukum Karena Melanggar Hak-Hak Orang

Lain (Bukan Karena Undang-Undang). Jenis Perbuatan Melawan

Hukum ini, ditentukan berdasarkan preseden hakim

(yurisprudensi), hakimlah yang memutuskan bahwa telah terjadi

Perbuatan Melawan Hukum Berdasarkan gugatan dari pihak yang

merasa kepentingan hukumnya dilanggar pihak lain. Jenis

Perbuatan Melawan Hukum ini memang tidak ada tercantum

dalam undang-undang tetapi berdasarkan penafsiran hukum hakim

yang menyatakan bahwa telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum.

Gagasan jenis Perbuatan Melawan Hukum ini memang belum

lama diterima terutama di negara-negara yang menganut sistem

civil law yang sangat kuat menganut aliran legisme dimana

berdasarkan paham ini sebuah tindakan bisa disebut Perbuatan

Melawan Hukum apabila ada undang-undang mengaturnya, akan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

285

tetapi berdasarkan Keputusan Hoge Raad Nederland (Mahkamah

Agung Belanda) tanggal 31 Januari 1919 pada kasus Lindenbaum

vs. Cohen, bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak harus apa

yang dinyatakan dalam undang-undang tertulis. Kronologi

peristiwanya, penulis uraikan secara singkat berikut ini:

Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum

dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama

pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.

Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut

untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat orang-

orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor

Lindenbaum. Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh

Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan

gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen,

Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen

tersebut. Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di

tingkat banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat

banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai

suatu perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan

suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh

Cohen.Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-

nya Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang

dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa

pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW,

termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang

lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau

bertentangan dengan kesusilaan.Sebelum adanya Arrest tersebut,

pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal

1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan

secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah

tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang

timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). Orang tidak bisa

mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

286

kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan

undang-undang mana yang telah dilanggar.

Contoh lain, di Kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah

yang tinggal di bagian bawah rumah bertingkat pernah

mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pemilik

rumah yang tinggal di bagian atas. Penyebabnya, barang-barang

yang berada ruangan di bagian bawah menjadi rusak karena

pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup kerannya.

Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah,

sehingga ketika pemilik rumah yang di atas menyalakan keran,

justru yang dibagian bawah menjadi kebanjiran. Ketika itu,

gugatan perbuatan melawan hukum tersebut ditolak karena tidak

ada pasal dari suatu undang-undang yang mengharuskan pemilik

rumah bagian atas untuk mematikan kran airnya. Tetapi

pengadilan Belanda pada tingkat akhir memutuskan bahwa

pemilik rumah yang tinggal di bagian atas telah melakukan

Perbuatan Melawan Hukum karena melakukan tindakan yang

melanggar hak orang lain yang dapat merugikan yaitu orang yang

tinggal dibawahnya meski ketentuan itu belum diatur dalam

undang-undang.

3) Perbuatan Melawan Hukum Karena Melanggar Perjanjian

(Wanprestasi). Istilah wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda

yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak

melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang

diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa

yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang

menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pakar hukum pidana

Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak

menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya

wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan

perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur. Ganti

kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah

dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut,

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

287

serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya

keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh

kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi. Kewajiban debitur

untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat

dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu

yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal

1243 BW).

Berdasarkan penjelasan penulis tentang kategori Perbuatan

Melawan Hukum perspektif Hukum Perdata, tampaknya sebahagian

pakar hukum membedakan kategori Perbuatan Melawan Hukum

Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum Karena Undang-

Undang atau Melanggar Hak Orang Lain. Untuk membedakannya,

penulis menguraikan sebagai berikut:

1) Wanprestasi terjadi karena seseorang melanggar perjanjian yang

dibuatnya dengan orang lain. Sebuah adagium tidak ada

wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan

Perbuatan Melawan Hukum Karena UU/Melanggar Hak terjadi

apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau

bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau

bertentangan dengan kesusilaan, baik berdasarkan undang-undang

atau keputusan hakim.

2) Dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum Karena

UU/Melanggar Hak, penggugat harus membuktikan semua unsur-

unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu

membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat seseorang.

Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup

menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang

dilanggar.

3) Kemudian dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Karena UU/Melanggar Hak, penggugat dapat menuntut

pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).

Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang

diajukan dasarnya adalah wanprestasi.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

288

Demikian penjelasan tentang Perbuatan Melawan Hukum dalam

perspektif Hukum Perdata. Yang patut dicatat adalah sebelum

mengajukan gugatan perdata, sebaiknya penggugat

mempertimbangkan dahulu apakah akan mengajukan gugatan

wanprestasi atau perbuatan melawan hukum karena undang-

undang/melanggar hak terhadap seseorang. Seandainya mengajukan

gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan perjanjian yang dilanggar

dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk menyatakan

tidak terjadi wanprestasi. Namun kalau akan mengajukan gugatan

perbuatan melawan hukum karena undang-undang/melanggar hak,

penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan

bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada

juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.

Pembidangan Hukum Yang Bersifat Campuran Pembahasan tentang pembidangan hukum publik dan hukum privat

yang menjadi kajian hukum utama di beberapa sekolah hukum di

Indonesia, tampaknya masih menimbulkan problem karena ada

beberapa ahli hukum yang tidak sependapat apabila dilakukan

pembedaan secara tegas dan tajam antara bidang hukum publik

dengan bidang hukum privat. Seperti yang dikemukakan Mr L.J. van

Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het

Nederlandsche Recht. Kata Apeldoorn, kita seyogyanya tidak bisa

secara serampangan melakukan pemisahan yang tajam antara bidang

hukum publik dan bidang hukum privat. Sebab antara apa yang

disebut hukum publik dan hukum privat sama-sama memiliki

hubungan relevansi sangat kuat yang saling mengisi satu sama lain.

Kata Apeldoorn, kepentingan individu atau kepentingan perseorangan

pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan umum.

Kepentingan perseorang pasti akan terkait juga secara langsung

dengan kepentingan umum (algemene belangen). Bagaimanapun juga

manusia sebagai mahluk individu tidak akan bisa melepaskan

eksistensinya sebagai mahluk sosial (social wezen) yang hidup dalam

suatu sistem kemasyarakatan. Artinya, kepentingan individu tidak

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

289

akan bisa dipisahkan dengan kepentingan umum (publik). Apeldoorn

mengatakan bahwa pembidangan antara hukum publik dengan hukum

privat hanya untuk memudahkan pengkajian diantara pernak-pernik

kajian hukum yang semakin luas, beragam, dan kompleks, tetapi

bukan untuk dilakukan pemisahan secara dikotomis antara hukum

publik dan hukum privat3.

Penulis pada prinsipnya juga sependapat dengan Mr L.J. van

Apeldoorn, bahwa memang kita tidak boleh melakukan pembedaan

secara ekstrim bidang kajian hukum publik dengan bidang kajian

hukum privat. Kedua bidang itu, merupakan sama-sama kajian hukum

yang saling melengkapi serta saling berkaitan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Apalagi, saat ini kita menjumpai bidang-

bidang kajian hukum, yang bersifat campuran (mix), yaitu satu bidang

kajian hukum yang mengkaji kaidah hukum secara inter-disipliner,

pada titik pandang yang saling beririsan, hukum publik dan hukum

privat. Melihat pengaturan hukum tidak secara polarisasi antara

hukum publik dan hukum privat tetapi secara utuh dan terpadu antara

bidang kajian publik dan privat. Bidang-bidang kajian hukum

dimaksud antara lain:

1. Hukum Lingkungan

Istilah Hukum Lingkungan merupakan terjemahan dari beberapa

istilah, yaitu "Environmental Law" dalam Bahasa Inggris,

"Millieeurecht" dalam Bahasa Belanda, "Lenvironnement" dalam

Bahasa Prancis, "Umweltrecht" dalam Bahasa Jerman, "Hukum Alam

Seputar" dalam Bahasa Malaysia, "Batas nan Kapaligiran" dalam

Bahasa Tagalog, "Sin-ved-lom Kwahm" dalam Bahasa Thailand,

"Qomum al-Bilah" dalam Bahasa Arab. Sehubungan dengan

peristilahan Hukum Lingkungan itu, maka beberapa ahli hukum

memberikan pengertian Hukum Lingkungan antara lain: Gatot P.

Soemartono menyebutkan bahwa Pengertian Hukum Lingkungan

ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang

3 Mr Wirjono Prodjodikoro. 1962. Azas-Azas Hukum Perdata. Penerbit

Sumur, Bandung, hlm. 7.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

290

tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yg

pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi

oleh pihak yang berwenang. Sedangkan menurut

Danusaputro Pengertian Hukum Lingkungan adalah hukum yang

mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta

peningkatan ketahanan lingkungan. Dialah yang membedakan antara

hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau

environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang

berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use oriented law4.

Menurut Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan adalah hukum

yang mengatur tatanan lingkungan hidup dengan menetapkan nilai-

nilai yang sedang berlaku (Ius Constitutum) dan nilai-nilai yang

diharapkan berlaku (Ius Constituendum). Hukum lingkungan adalah

hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan

makhluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan

sanksi. Menurut Drupsteen: Hukum lingkungan adalah hukum yang

berisi kaedah-kaedah tentang perilaku masyarakat yang positif

terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara

langsung kepada masyarakat kepada masyarakat: hukum lingkungan

menyatakan apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Secara tidak

langsung kepada masyarakat: hukum lingkungan memberikan

landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaedah kepada

masyarakat. Pengertian hukum lingkungan menurut Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2009 bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang

dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,termasuk

manusia dan perilakunya, yangmempengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia sertamakhluk

hidup lain.

Dengan demikian, Hukum Lingkungan secara sederhana dapat

didefinisikan sebagai hukum yang mengatur tatanan

lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup

4 Muhammad Erwin. 2008. Hukum Lingkungan dalam Sistem

Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Penerbit PT Refika

Aditama, Bandung, hlm. 120-121.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

291

semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan

tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana

manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta

kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam

pengertian secara moderen, hukum lingkungan lebih berorientasi pada

lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum

lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi

penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law

Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma

guna menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya

lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna

mencapai hasil semaksimal mungkin, & dalam jangka waktu yang

sesingkat-singkatnya. Sebaliknya, hukum lingkungan modern

membicarakan ketentuan dan norma-norma guna mengatur perbuatan

manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan

dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestarianya, agar dapat

langsung scara terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang

maupun generasi-generasi mendatang.

Karena hukum lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan,

maka sifat & wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari

lingkungan sendiri, serta dengan demikian lebih banyak yang merujuk

kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, hukum

lingkungan modern memiliki sifat komprehensif-terpadu, artinya

selalu berada dalam dinamika dengan sifat & wataknya. Sebaliknya

hukum lingkungan klasik bersifat sektoral dan sukar berubah.

Hukum Lingkungan dalam sistem hukum Indonesia (pada saat

buku ini ditulis), diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

tentang Lingkungan Hidup. Mencermati substansi Undang Undang

Lingkungan Hidup ini, maka Hukum Lingkungan dalam hubungannya

dengan penegakan Hukum Lingkungan itu sendiri, sangat terkait

dengan segi-segi Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum

Administrasi Negara, dan Hukum Internasional. Dari sudut pandang

kajian inilah, Hukum Lingkungan dapat didudukkan sebagai bidang

hukum yang kajiannya bersifat multi-disipliner. Bahkan bila

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

292

merambah lebih jauh, Hukum Lingkungan dapat menyentuh aspek

politik, aspek kesehatan, aspek etika, aspek ekonomi, dan aspek

budaya.

Dari segi hukum administrasi, pendekatan terhadap Hukum

Lingkungan terutama muncul apabila keputusan penguasa yang

bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan

(beschikking), misalnya dalam hal prosedur perijinan, penentuan

kualitas lingkungan, prosedur analisis yg mengenai dampak

lingkungan dan sebagainya. Sehingga apabila terjadi pelanggaran

terhadap Hukum Lingkungan berkaitan dengan penetapan

(beschikking) pemerintah, misalnya pelaku usaha melakukan

pelanggaran dalam hal tidak mengindahkan prosedur perijinan maka

pelaku usaha itu dapat dikenakan sanksi administratif.

Pemberian sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental

yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang dan

terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan yang dijaga

oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut. Sanksi administrasi

dapat bersifat preventif dan bertujuan untuk menegakkan peraturan

perundang-undangan lingkungan, dengan ancaman administratif.

Upaya penegakan hukum melalui sanksi administratif dapat dilakukan

terhadap kegiatan yang berkaitan dengan persyaratan perijinan, baku

mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan sebagainya.

Sanksi-sanksi administratif dapat berupa teguran lisan, paksaan

pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, penghentian

kegiatan perusahaan dan pencabutan ijin melalui proses teguran, akan

tetapi temyata ketentuan yang mengatur jenis sanksi administrasi

dalam peraturan perundang-undangan lingkungan di Indonesia masih

lemah dan bahkan sedikit sekali peraturan yang mencantumkan

pemberian sanksi administratif terhadap pelanggar. Peraturan

perundang-undangan lingkungan yang mengandung prosedur

administratif dalam proses pengambilan keputusan administrasi

negara adalah:

1. Ordonansi Gangguan (HO) Stb.1926 No.226. Pasal 5 ayat (3).

Akan tetapi dalam praktek peran serta yang diatur dalam Pasal dan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

293

ayat tersebut tidak pernah dimanfaatkan oleh yang

berkepentingan.

2. Pasal 22 ayat (1) PP 27/99 ini mengatur tentang kewajiban

membuat analisis dampak lingkungan (AMDAL). Sedangkan

dalam Pasal 22 ayat (2) ditetapkan bahwa dokumen-dokumen

AMDAL bersifat terbuka untuk umum. Selanjutnya ayat (3)

mencantumkan bahwa sifat keterbukaan sebagaimana dimaksud

adalah peran serta masyarakat sebagaimana dalam Pasal 17 dan

Pasal 18 PP Nomor 51 Tahun 1993, sebelum kepastian tentang

pemberian ijin terhadap rencana kegiatan diberikan.

Bila menggunakan perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009, pendekatan Hukum Administratif terhadap penegakan Hukum

Lingkungan di Indonesia, dapat dilihat pada dua aspek pengaturan:

Pertama, pemerintah atau pejabat publik memiliki kewenangan untuk

mengawasi kegiatan pelaku usaha atau penanggungjawab kegiatan

lainnya sesuai ketaatannya mematuhi undang-undang atau peraturan

pemerintah berkaitan dengan pengelolaan dan perlindungan terhadap

lingkungan hidup. Berbarengan dengan itu pula, pemerintah dapat

melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang izin pengelolaan

lingkungannya diterbitkan olen Pemerintah Daerah jika diindikasikan

terdapat pelanggaran terhadap izin tersebut. Kedua, pemerintah atau

pejabat publik dapat menerapkan sanksi administratif kepada para

pelaku usaha atau penanggung jawab kegiatan yang terbukti

melakukan pelanggaran tata kelola lingkungan hidup secara

administratif. Sanksi yang dimaksud, mencakup: teguran tertulis;

paksaan pemerintah; pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan

izin lingkungan.

Dari segi Hukum Perdata terhadap penegakan Hukum Lingkungan,

yaitu Apabila terjadi pencemaran lingkungan, sehingga lingkungan

tidak lagi dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya, maka

kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan putusnya rantai makanan

atau putusnya siklus ekologi yang penting bagi penunjang kehidupan.

Jadi dalam kasus lingkungan kepentingan umumlah yang dirugikan.

Kasus pencemaran atau perusakan lingkungan yang dampaknya besar

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

294

dan penting terhadap lingkungan hidup, atau menghasilkan limbah

yang berbahaya, pihak pelakunya bertanggung jawab secara mutlak

atas kerugian yang ditimbulkan. Masalah lingkungan berpotensi

terjadi sengketa lingkungan, khususnya di tingkat daerah harus

mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan

kemitraan dengan memperhatikan mekanisme kesepakatan tim tiga

pihak (korban, pelaku, dan pemerintah) sesuai dengan ketentuan

dalam undang-undang. Ini berarti sengketa lingkungan diharapkan

dapat diselesaikan dengan proses negosiasi berdasarkan musyawarah

sebelum diajukan ke Pengadilan Negeri. Masalah pokok sengketa

lingkungan dalam arti hukum perdata meliputi: (1) Hak menggugat

(ius standi); (2) Proses pembuktian yang mencakup: beban

pembuktian; pembuktian hubungan sebab akibat; saksi ahli; peran

laboratorium; metoda analisis laboratorium; (3) Asas tanggung jawab

dan tata cara meneliti bentuk, jenis jumlah kerugian serta biaya

pemulihan.

Bila mencermati Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,

penegakan Hukum Lingkungan menurut pendekatan Hukum Perdata,

adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban

pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa

lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian.

Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti

kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum

lingkungan secara perdata yang diajukan oleh korban pencemaran

lingkungan.

Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan

dengan pendekatan Hukum Perdata menurut Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 dalam pasal 84 yang menetapkan:

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui

pengadilan atau di luar pengadilan.

2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara

sukarela oleh para pihak yang bersengketa.

3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

295

tidak berhasil oleh salah satuatau para pihak yang bersengketa

Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui

pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh

para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan demikian para pihak

diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa

lingkungan baik melaluipengadilan atau melalui luar pengadilan.

Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum

tertuang dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,

yang menetapkan bahwa:

1. Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang

melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan

kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar

ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu

2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan

sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha

yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggungjawab hukum

dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap

setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.

4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan

perundangundangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1) tersebut, gugatan

lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-

unsur :

1) Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan

2) Melakukan perbuatan melanggar hukum

3) Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

4) Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;

5) Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar ganti rugi

dan/atau melakukan tindakan tertentu.

Selain itu, warga masyarakat berhak mengajukan gugatan

perwakilan atau gugatan class action ke pengadilan dan/atau

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

296

melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah

lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika

diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga

mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi

pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat

bertindak untuk kepentingan masyarakat.

Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau

gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan

gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok

mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili

kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan

fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok

dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok

adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang

mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang

lebih banyak jumlahnya. Class Action pada intinya adalah gugatan

perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti

kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas

(Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus

mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga

sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut

diistilahkan sebagai class members.

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan

yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama

mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut

serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada

perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara

mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang

ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat

berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Dalam konteks gugatan class action menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009, haruslah diwakili oleh sebuah organisasi

lingkungan hidup, yang memenuhi kriteria:

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

297

1) Organisasi lingkungan hidup dimaksud memenuhi persyaratan,

berbentuk badan hukum atau yayasan;

2) Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang

bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

pelestarian fungsi lingkungan hidup;

3) telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Dengan demikian, setiap warga negara memiliki hak yang sama di

hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa

dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran

diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan

perdata ada dua macam yaitu :

1) Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan

sebutan non-litigasi

2) Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.

Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan

dengan 2 cara :

1) Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.

2) Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama

(Class Action).

Tentu saja, tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan

hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup

mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia.

Mengenai tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke

pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam

ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat

korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tidak

berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan

bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan

berbahaya dan beracun

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

298

Namun demikian, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan

dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat

membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

hidup disebabkan oleh:

1) adanya bencana alam atau peperangan; atau

2) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

3) adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup

Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak

ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Penegakan Hukum Lingkungan dalam konteks pendekatan Hukum

Pidana, tampak ada perbedaan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah

sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan

(Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan

Pasal 120). Jika diamati dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009, pengaturan pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana

lingkungan lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya

ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal

tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

(selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan

penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana.

Atau dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci

dalam beberapa pasal.

Tindak pidana dalam undang-undang lingkungan hidup 2009,

dikualifikasikan sebagai kejahatan. Ketentuan Pasal 97 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009,, menyatakan tindak pidana yang

diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan.

Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan

yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya

memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum,

walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

299

tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-

undang.

Tindak pidana yang diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009 yang dibagi dalam delik formil dan delik materil.

Menurut Sukanda Husin5 delik materil dan delik formil dalam

konteks pidana lingkungan, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Delik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum

yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup

yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-

aturan hukum administrasi seperti izin. Dalam hal ini yang

diancam pidana adalah “akibat dari perbuatan”, yang termasuk

dalam delik materil dalam UU PPLH yaitu Pasal 98, 99, dan 112.

2) Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar

hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk

pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran

atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi

cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.

Dalam hal ini menunjuk pada “perbuatan yang dilarang dan

diancam pidana”, yang termasuk dalam delik formil dalam UU

PPLH yaitu Pasal 100-111 dan 113-115.

Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yang disesuaikan dengan

beberapa kejahatan yang berkaitan dengan standar baku kebiasaan

terjadinya pencemaran lingkungan meliputi: Pasal 98 dan Pasal 99

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang merumuskan delik

lingkungan “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena

kelalainnya yang mengakibatkan baku mutu udara ambient, baku

mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku mutu lingkungan

hidup” selain itu, perbuatan itu juga dapat mengakibatkan orang luka

atau luka berat dan/atau bahaya kesehatan manusia atau matinya

orang. Sementara itu Pasal 112 merumuskan delik lingkungan sebagai

“kesengajaan pejabat berwenang tidak melakukan pengawasan yang

5 Sukanda Husin. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.

Sinargrafika, Jakarta, hlm. 122.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

300

berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”.

Kualifikasi delik formal sebagimana diatur dalam Pasal 100-111

dan 113-115, meliputi:

a) melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku

mutu gangguan (Pasal 100);

b) melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke

media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan atau izin lingkungan (Pasal 101);

c) melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102);

d) menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal

103);

e) melakukan dumping limbah dan/atau bahan media lingkungan

hidup tanpa izin (Pasal 104);

f) memasukkan limbah atau limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia

(Pasal 105 dan Pasal 106);

g) memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-

undangan ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 107);

h) melakukan pembakaran lahan (Pasal 108);

i) melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin

lingkungan (Pasal 109);

j) menyusun Amdal tanpa memiliki sertipikat kompetensi

penyusunan Amdal (Pasal 110);

k) pemberian izin lingkungan oleh pejabat tanpa dilengkapi dengan

AMDALl atau UKL-UPL atau izin usaha tanpa dilengkapi dengan

izin lingkungan (Pasal 111);

l) memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan

informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang

tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan

dan penegakan hukum yang berkaitan dengan penrlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 113);

m) penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak

melaksanakan paksaan pemerintah (Pasal 114); dan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

301

n) mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan

tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat

penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 115);

Penerapan delik lingkungan selalu dikaitkan dengan sanksi pidana,

karena secata teoritik sanksi pidana bertujuan untuk menegakkan

norma-norma hukum lingkungan. Sanksi pidana ini muncul sebagai

reaksi atas ketidaktaatan atas norma-norma hukum (lingkungan).

Ketentuan hukum lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009, dikemukakan beberapa hal: Pertama, kualifikasi tindak

pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

adalah kejahatan, sehingga tidak ada lagi sanksi pidana kurungan;

Kedua, karena termasuk kejahatan maka sanksi pidana dala UU PPLH

2009 meliputi pidana penjara, denda dan tindakan tata tertib; Ketiga,

Sanksi pidana penjara denda sangat bervariasi tergantung pada sifat

perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Pidana penjara bervariasi

antara 1-15 tahun, sedangkan sanksi denda dimulai dari Rp.

500.000.000,- sampai Rp. 15.000.000.000,-. Rumusan sanksi penjara

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dapat dikatakan tidak

konsisten karena dalam beberapa pasal diatur sanksi pidana paling

lama satu tahun. Ini berarti sanksi yang dijatuhkan bisa kurang dari

satu tahun, sebagaimana karakteristik pidana kurungan, bukan pidana

penjara; Keempat, dalam UUPPLH 2009 diatur sanksi pidana diatur

bagi pejabat yang memberikan izin tanpa memenuhi syarat, dan juga

diatur bagi pejabat yang tidak melakukan pengawasaan terhadapa

ketaatan usaha atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau

perusakan; Kelima, pelaku juga dikenakan sanksi pidana tata tertib

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 119 UU PPLH 2009, yaitu :

a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha/atau kegiatan;

c) perbaikan akibat tindak pidana;

d) pewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;

e) penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga)

tahun.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

302

Penerapan sanksi pidana penjara dan pidana denda dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009, bersifat kumulatif bukan alternatif,

bahkan pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Yang patut juga dipahami adalah menyangkut sifat ultimum

remedium sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2009. Tampaknya ada perbedaan sifat ultimum remedium

sanksi pidana yang melekat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Pada Undang-

Undang Lingkungan Hidup yang lama yaitu Undang-Undang Nomor

23 Tahun 1997, ultimum remedium sanksi pidana yang diaturnya,

berlaku untuk semua pelanggaran lingkungan hidup, sedangkan pada

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, sifat ultimum remedium

sanksi pidananya berlaku pada pelanggaran Pasal 100 ayat 1 saja,

yaitu pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, dan baku

mutu gangguan saja.

Pengaturan sanksi dalam Hukum Lingkungan di Indonesia selain

untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hukum Lingkungan, seperti

pecemaran dan pengrusakan lingkungan, juga adalah untuk

menegakkan asas-asas Hukum Lingkungan sebagai bagian integral

untuk menjaga terlaksananya fungsi lingkungan di Indonesia secara

keseluruhan. Asas-asas Hukum Lingkungan dimaksud, meliputi:

1) Asas tanggung jawab negara, Yang dimaksud dengan “asas

tanggung jawab negara” adalah: (a) negara menjamin

pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik

generasi masa kini maupun generasi masa depan; (b). negara

menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat; (c). negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan

sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau

kerusakann lingkungan hidup.

2) Asas kelestarian dan keberlanjutan, yang dimaksud “asas

kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang

memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi

mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

303

melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan

memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

3) Asas keserasian dan keseimbangan, bahwa pemanfaatan

lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti

kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta

pelestarian ekosistem.

4) Keterpaduan, yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah

bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan

dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai

komponen terkait.

5) Manfaat, yang dimaksud dengan asas manfaat adalah segala usaha

dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan

dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras

dengan lingkungannya.

6) Asas kehati-hatian, yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian”

adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha

dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu

pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk

menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari

ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup

7) Asas keadilan, yang dimaksud dengan “asas keadilan” bahwa

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga

negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

8) Ekoregion, yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus

memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem,

kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan

lokal.

9) keanekaragaman hayati, yang dimaksud dengan “asas

keanekaragaman hayati” bahwa perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

304

mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan

sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam

nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur

nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

10) Asas pencemar membayar, yang dimaksud dengan “asas

pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab

yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya

pemulihan lingkungan.

11) Asas Partisipatif, yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah

bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif

dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

12) Asas kearifan lokal, yang dimaksud dengan asas kearifan lokal

bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata

kehidupan masyarakat.

13) Asas tata kelola pemerintahan yang baik, yang dimaksud dengan

asas tata kelola pemerintahan yang baik, bahwa perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,

transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

14) Asas otonomi daerah, yang dimaksud dengan asas otonomi

daerah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan asas-asas Hukum Lingkungan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, maka diharapkan

tercapainya tujuan penyelenggaraan Hukum Lingkungan di Indonesia,

yang mencakup: (1) kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan

perlindungan serta pelestarian ekosistem; (2) melindungi wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

305

kerusakan lingkungan hidup; (3) menjamin keselamatan, kesehatan,

dan kehidupan manusia; (4) menjamin kelangsungan kehidupan

makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; (5) menjaga kelestarian

fungsi lingkungan hidup; (6) mencapai keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan lingkungan hidup; (7) menjamin terpenuhinya keadilan

generasi masa kini dan generasi masa depan; (8) menjamin

pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai

bagian dari hak asasi manusia; (9) mengendalikan pemanfaatan

sumber daya alam secara bijaksana; (10) mewujudkan pembangunan

berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global.

2. Hukum Agraria

Penulis berpendapat Hukum Agraria masuk dalam pembahasan

hukum yang dapat ditelaah dua perspektif yaitu perspektif hukum

privat dan perspektif hukum publik. Pendapat penulis ini, berpijak dari

beberapa definisi yang dikemukakan oleh pakar Hukum Agraria, yang

muatan definisinya telah mendeskripsikan karakteristik Hukum

Agraria termasuk dalam bilangan hukum publik dan hukum privat.

Antara lain, Lemaire bahwa Hukum Agraria mengandung bagian-

bagian hukum privat disamping bagian-bagian dari hukum tata negara

dan administrasi negara juga dibicarakan sebagai satu kelompok

hukum yang bulat. Bagi Subekti, mendefinisikan Hukum Agraria

sebagai keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum

perdata, maupun hukum tata negara, maupun hukum tata usaha negara

yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan

hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah

negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada

hubungan-hubungan tersebut. Sedangkan Budi Harsono, mengartikan

Hukum Agraria sebagai keseluruhan ketentuan hukum, ada yang

tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek

pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai

lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum

konkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

306

dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu

kesatuan yang merupakan satu sistem6.

Kalau kita mencermati Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disingkat UUPA

maka substansi pengaturan HukumAgraria di Indonesia menyentuh

pada tiga kerangka aspek hukum, yaitu aspek Hukum Perdata dan

Aspek Hukum Administrasi Negara, serta Aspek Hukum Adat. Begitu

juga, bila merujuk tulisan Urip Santoso7, kita dapati kajian Hukum

Agraria menyentuh segi-segi Hukum Perdata dan Hukum

Administrasi Negara, bahkan juga menyentuh aspek Hukum Adat.

Sentuhan aspek Hukum Perdata dalam Hukum Agraria, terlihat

pada pengaturan UUPA mengenai hak-hak perseorangan yang

melekat atas tanah di Wilayah Negara Indonesia. Pasal 4 UUPA,

menyebutkan bahwa:

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang

dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam

hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-

badan hukum.

(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang

bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang

yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan

yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-

peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

6 Budi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Djambatan,

Jakarta, hlm. 5. 7 Urip Santoso. 2014. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Prenada

Media Grup, Jakarta, hlm. 7-9.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

307

(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat

(1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang

angkasa.

Perincian hak-hak atas tanah dimaksud, disebutkan dalam Pasal 16

UUPA sebagai berikut:

Pasal 16.

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)

ialah:.

a. hak milik,

b. hak guna-usaha,

c. hak guna-bangunan,

d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah,

g. hak memungut-hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut

diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta

hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan

dalam pasal 53.

(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud

dalam pasal 4 ayat (3) ialah:

a. hak guna air,

b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,

c. hak guna ruang angkasa.

Dengan demikian, merujuk pasal-pasal UUPA serta mengacu

pendapat Uri Santoso, Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia

mengatur segi-segi pokok hukum pertanahan yang menyentuh aspek

Hukum Perdata. Yaitu berkaitan dengan hak-hak perseorangan yang

melekat pada tanah yang dimiliki, dikuasai, dan digunakannya.

Sentuhan hukum publik terhadap pengaturan Hukum Agraria,

tampak pada pengaturan UUPA yang memberikan kewenangan

kepada negara atau pemerintah untuk melakukan pengaturan,

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

308

penyediaan, penggunaan, peruntukan, dan pemeliharaan tanah yang

ada di Wilayah Republik Indonesia. Dasar hukumnya dapat dilihat

pada Pasal 2 UUPA, sebagai berikut:

Pasal 2.

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang

Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi,

air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini

memberi wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara

tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai

sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,

kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara

hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-

masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-

ketentuan Peraturan Pemerintah.

Merujuk ketentuan tersebut, maka kewenangan negara dalam

bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk

mengatur penguasaan dan menyelenggarakan penggunaan tanah

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

309

sebagai bagian dari kekayaan nasional. Kerangka penguasaan tanah

oleh negara merupakan kerangka yang menunjukkan adanya

hubungan hukum publik, yang tujuannya adalah untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan menguasai negara atas

tanah tersebut dapat dilimpahkan atau dikuasakan kepada pemerintah

daerah sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Hal menarik yang patut untuk dicatat bahwa UUPA juga

meregulasi hak ulayat masyarakat Hukum Adat, yaitu diatur dalam

Pasal 3 UUPA bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam

pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu

dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai

dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-

undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Menurut Boedi Harsono8, yang dimaksud hak ulayat masyarakat

Huum Adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu

masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang

terletak dalam lingkunan wilayahnya. Menurut Pasal 1 Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen

Agraria/Kepala BPN) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang

dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat

dipunyai oleh masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu

yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk menmgambil

manfaat dari Sumber Daya Alam (SDA), termasuk tanah dalam

wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang

timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun

temurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tertentu

dengan wilayah yang bersangkutan.

Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah yang disebut tanah

ulayat. Tanah Ulayat menurut Pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala

BPN Nomor 5 tahun 1999, adalah bidang tanah yang diatasnya

8 Dalam Urip Santoso, ibid., hlm. 81-82.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

310

terdapat hak ulayat dari masyarakat Hukum Adat tertentu. Hak ulayat

dikelola oleh masyarakat Hukum Adat, yaitu sekelompok orang yang

terikat oleh tatanan Hukum Adatnya sebagai warga bersama suatu

persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas

dasar keturunan (Pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor

5 Tahun 1999)9.

Menurut Boedi Harsono, hak ulayat masyarakat Hukum Adat

dinyatakan masih ada apabila memenuhi tiga unsur yaitu:

1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu

persekutuan Hukum Adat tertentu, yang merupakan suatu

Masyarakat Hukum Adat.

2) Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat Hukum

Adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama

para warganya sebagai “lebensraum”-nya.

3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui

oleh para warga masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan,

melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat10

.

Hak ulayat masyarakat Hukum Adat dianggap masih ada

menurut Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun

1999, jika:

1) Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan

Hukum Adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum

tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan

persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

2) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup

para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil

keperluan hidupnya sehari-hari.

3) Terdapat tatanan Hukum Adat mengenai pengurusan, penguasaan,

dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para

warga persekutuan hukum tersebut.

Urip Santoso menjelaskan bahwa Pasal 3 UUPA mengandung

pernyataan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat

9 Ibid., hlm 82.

10 Ibid., hlm 82.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

311

Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

Maksudnya, bila dalam kenyataannya hak ulayat itu tidak ada, maka

hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan

hak ulayat baru. Hak ulayat dibiarkan tetap diatur oleh masyarakat

Hukum Adat masing-masing.

Untuk itulah, kata Urip Santoso, penelitian dan penentuan tentang

adanya hak ulayat hanya bisa dilakukan oleh pemerintah daerah

dengan mengikutsertakan para pakar Hukum Adat, masyarakat Hukum

Adat yang ada didaerah bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat

(LSM), dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

Keberadaan tanah ulayat masyarakat Hukum Adat yang masih ada

dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan

suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan menggambarkan

batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah (Lihat Pasal 5

Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999)11

.

3. Hukum Ketenagakerjaan

Hukum ketenagakerjaan atau dahulu biasa disebut dengan Hukum

Perburuhan, masuk dalam pembidangan hukum yang bersifat

campuran (mix). Artinya, bidang hukum ini dalam hal pengaturan dan

pengkajiannya, dapat dicermati pada dua pendekatan yaitu pendekatan

hukum publik dan pendekatan hukum privat.

Dari segi pendekatan hukum publik, Hukum Ketenagakerjaan,

mengatur pola hubungan hukum antara buruh dan majikan, atau antara

karyawan dengan pimpinan perusahaan yang didalamnya melibatkan

peran pemerintah untuk mengawasi pola hubungan hukum tersebut

dalam batas-batas yang ditetapkan oleh undang-undang. Dari segi

perspektif hukum privat, Hukum Ketenagakerjaan, mengatur pola

hubungan hukum yang didalamnya memberikan perlindungan

terhadap hak-hak pekerja (buruh) terkait dengan hak-hak

perseorangannya seperti, hak jaminan kesehatan, hak cuti hamil bagi

pekerja wanita, hak tunjangan keluarga, hak jaminan hari tua yang

didapatnya dari perusahaan tempat bekerja. Hak perseorangan ini juga

11

Ibid., hlm. 83

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

312

mencakup kewajiban pekerja atau buruh kepada majikan atau

atasannya.

Berikut ini, penulis mengutip beberapa pengertian Hukum

Ketenagakerjaan yang dikutip dari beberapa sumber, antara lain,

menurut Soetiksno yaitu keseluruhan peraturan hukum mengenai

hubungan kerja yang mengakibatkan seorang secara pribadi

ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-

keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan

hubungan kerja tersebut. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut

Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan,

baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan

kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima

upah12

.

Dari dua pengertian Hukum Ketenagakerjaan tersebut, menurut

penulis Hukum Ketenagakerjaan dalam konteks sistem hukum

Indonesia, adalah keseluruhan kaidah hukum atau kajian hukum

tentang pola hubungan hukum antara buruh dengan majikan

(karyawan dengan pimpinan perusahaan), dengan pendekatan hukum

keperdataan serta hukum administrasi negara, yang kesemuanya

bertujuan untuk mengatur hak-hak dan kewajiban antara masing-

masing pihak baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak

tertulis yang berlaku di negara Indonesia.

Perspektif pengertian Hukum Ketenagakerjaan dalam konteks

sistem hukum Indonesia, maka dapat diketahui unsur-unsur hukum

ketenagakerjaan, meliputi :

1) Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan

maupun tulisan

2) Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.

3) Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah

balas jasa.

12

Abdul Rahmat Budiono. 1995. Hukum Perburuhan Di Indonesia. PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

313

4) Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan

sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/

buruh dan lain-lain.

Untuk sekarang (saat buku ini ditulis), instrumen hukum yang

menjadi dasar yuridis bagi pengaturan Hukum Ketenagakerjaan di

Indonesia, meliputi: UUD 1945 terutama pada Pasal 27 Ayat (2) yaitu

(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan. Pengaturan dalam konstitusi ini

merupakan atauran dasar menyangkut hak-hak warga negara

Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai

tanggungjawab negara. Untuk pengaturan secara keperdataan

menyangkut hubungan hukum antara buruh dan majikan (karyawan

dengan pimpinan perusahaan) sekarang ini masih tunduk kepada Pasal

1313 KUHPerdata bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

atau lebih lainnya.” Sedangkan untuk sahnya perjanjian tersebut,

merujuk kepada KUHPerdata pasal 1320 BW sahnya perjanjian, yaitu

(a). Mereka sepakat untuk mengakibatkan diri; (b). Cakap untuk

membuat suatu perikatan; (c). Suatu hal tertentu; (d). Suatu sebab

yang halal.

Hukum Ketenagakerjaan yang mengatur secara spesifik hubungan

hukum antara buruh dengan majikan yang terwujud dalam bentuk

perjanjian kerja, adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut penulis, bila

menyimak secara substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

tampak bahwa hubngan hukum antara pekerja dengan majikan hanya

tercipta bila ada perjanjian kerja antara kedua pihak. Inilah yang

menjadi fondasi dasar hubungan hukum tersebut. Ada penekanan

bahwa hubungan hukum tersebut, adalah hubungan hukum yang lebih

mencirikan hubungan hukum bersifat privat atau hubungan

keperdataan.

Merujuk Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

314

kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan

demikian, dalam konteks undang-undang ketenagakerjaan ini,

hubungan kerja pengusaha dengan pekerja (buruh dan majikan)

terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.

Dalam hubungan kerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja

dinyatakan bahwa pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja

pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha

menyatakan pula kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja

dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang

terjadi antara pekerja dan pengusaha merupakan bentuk perjanjian

kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing

pihak. Dari sinilah analisisnya, menurut penulis, hubungan hukum

antara pengusaha dengan pekerja (buruh dan majikan), yang

menitikberatkan kepada kepentingan hukum bersifat perseorangan

(individual).

Kerangka hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha

sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003, secara spesifik haruslah memenuhi unsur-unsur utama

sebagai berikut:

1) Adanya unsur pekerjaan, dalam suatu perjanjian kerja harus

ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan

tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan

seizin pengusaha pekerja tersebut dapat menyuruh orang lain.

Pengaturan ini sesuai Pasal 1603a BW bahwa “Buruh wajib

melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan

ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Sifat

pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja bersifat individual karena

berkaitan erat dengan ketrampilan atau keahliannya, sehingga bila

suatu ketika pekerja tersebut wafat maka perjanjian kerja tersebut

menjadi putus demi hukum.

2) Adanya unsur perintah, manifestasi dari pekerjaan yang diberikan

kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja bersangkutan harus

tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan

sesuai dengan yang diperjanjikan. Sehingga hubungan hukum

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

315

antara pengusaha dengan pekerja adalah hubungan hukum bersifat

sub-ordinat yaitu antara atasan dengan bawahan bukan hubungan

hukum bersifat kemitraan.

3) Adanya upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan

kerja (perjanjian kerja), malah tujuan utama seorang buruh

(karyawan) bekerja kepada pengusaha adalah untuk memperoleh

upah. Sehingga apabila tidak ada unsur upah, maka suatu

hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.

4) Waktu Tertentu. Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu

tertentu atau zekere tijd sebagai unsur yang harus ada dalam

perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha

dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi

bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan

kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut

dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak

ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun

tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan

pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.

Hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja dalam perspektif

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu didasarkan kepada

perjanjian kerja. Perjanjian kerja menurut Pasal 1 butir 14 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah suatu perjanjian antara pekerja

dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja

hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya

harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan

hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan

kewajiban majikan.

Apabila merujuk kepada pendapat pakar hukum, yang menurut

penulis bisa dijadikan doktrin hukum, tentang rumusan perjanjian

kerja, antara lain pendapat Subekti, bahwa perjanjian kerja adalah

antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian didalamnya

mencirikan terdapatnya suatu upah atau gaji tertentu yang

diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda

“dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

316

yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus

ditaati oleh pihak yang lain (buruh)13

Merujuk pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003, tampaknya undang-undang ini tidak

memperinci secara tegas bentuk-bentuk perjanjian kerja yang

dimaksud, apakah berbentuk tertulis atau lisan. Menurut pendapat

penulis, dengan tidak diaturnya bentuk perjanjian kerja secara tegas

dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut, maka bentuk

perjanjian kerja baik secara lisan maupun secara tertulis, sudah

merupakan dasar yang kuat bagi terjadinya hubungan hukum antara

pekerja dengan pengusaha tersebut.

Dengan demikian, pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan

tidak ditentukan bentuknya, yang dilakukan secara lisan sudah dapat

dikatakan telah tercipta perjanjian kerja. Namun demikian, apabila

dalam perjanjian kerja tersebut diawali dengan surat pengangkatan

oleh pihak pengusaha atau dibuat secara tertulis yang ditandatangani

kedua belah pihak, maka undang-undang hanya menetapkan bahwa

jika perjanjian diadakan secara tertulis, segala biaya surat dan biaya

tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Yang jelas dalam

perjanjian kerja haruslah menetapkan hak dan kewajiban masing-

masing pihak secara tegas.

Namun demikian, Perjanjian yang dibuat secara lisan dapat

menyulitkan pekerja dalam membuktikan kebenaran dirinya sebagai

pekerja yang bekerja pada pengusaha dalam proses penyelesaian

perselisihan pemutusan hubungan kerja di Pengadilan Hubungan

Industrial. Kelemahan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah

apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun

pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan maka pihak

pekerja akan kesulitan untuk membuktikan adanya hubungan kerja

antara kedua belah pihak ataupun kesulitan untuk membuktikan sejak

kapan dimulainya suatu hubungan kerja apabila terjadi perselisihan

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Karakteristik hukum publik yanag melekat pada Hukum

13

Subekti. 1977. Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung, hlm. 33.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

317

Ketenagakerjaan kita, yaitu terlihat pada pola pengaturan hubungan

hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang terwujud pada

suatu hubungan hukum yang disebut hubungan industrial. Dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 1 Poin 16

menyebutkan bahwa Hubungan industrial adalah suatu sistem

hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi

barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,

dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Melalui konteks hubungan hukum industrial itulah, pemerintah

akan menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara negara untuk

menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran

peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Melalui konsep

hubungan industrial ini, memberikan kewenangan kepada negara atau

pemerintah sebagai sebuah kewajiban untuk melakukan pengawasan

serta penegakan terhadap undang-undang ketenagakerjaan sebagai

wujud pelaksanaan hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja. Tidak

hanya fungsi administratif yang dijalankan oleh pemerintah dalam

kerangka melakukan pengawasan terhadap penegakan Hukum

Ketenagakerjaan di Indonesia. Tetapi juga, intervensi aparat

kepolisian atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang diberikan

tugas khusus untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang

ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2013,

menyebutkan kewenangan khusus penyidik pegawai negeri sipil

ketenagakerjaan, yang mencakup:

1) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan

tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

2) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan

tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

3) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum

sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

4) melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti

dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

318

5) melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang

tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

6) meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas

penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan

7) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang

membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang

ketenagakerjaan.

Untuk mempertegas karakter yang melekat dalam Hukum

Ketenagakerjaan dalam sistem hukum Indonesia, juga dapat dicermati

pada beberapa bentuk sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak-

pihak yang melakukan pelanggaran Hukum Ketenagakerjaan dengan

merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang bentuk

sanksinya dapat berupa sanksi perdata, sanksi pidana, dan sanksi

administratif. Secara ringkas penulis merangkumnya sebagai berikut:

1) Sanksi administratif dapat dijatuhkan apabila pengusaha

melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut :

a) Melakukan diskriminasi kesempatan kerja kepada pekerja.

b) Penyelenggaraan pelatihan kerja yang tidak memenuhi syarat.

c) Melakukan pemagangan pekerja di luar negeri tanpa ijin dari

instansi tenaga kerja.

d) Perusahaan penempatan tenaga kerja yang memungut biaya

penempatan kepada pekerja.

e) Perusahaan yang tidak membentuk lembaga kerja bipartit padahal

sudah mempekerjakan lebih dari 50 orang pekerja.

f) Pengusaha tidak mencetak atau memperbanyak naskah Perjanjian

Kerja Bersama (PKB).

g) Pengusaha yang tidak memberikan bantuan paling lama enam

bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja ditahan oleh

pihak yang berwajib kepada keluarga pekerja yang menjadi

tanggungannya. Kewajiban pengusaha tersebut diatur dengan

persentase berikut:

25% dari upah untuk satu orang tanggungan.

35% dari upah untuk dua orang tanggungan.

45% dari upah untuk tiga orang tanggungan.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

319

50% dari upah untuk empat orang tanggungan.

Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa:

a) Teguran.

b) Peringatan Tertulis.

c) Pembatasan Kegiatan Usaha.

d) Pembekuan Usaha.

e) Pembatalan Pendaftaran.

f) Penghentian sementara sebagian atau keseluruhan alat

produksi.

g) Pencabutan ijin usaha.

2) Sanksi perdata dalam perselisihan hubungan industrial dapat

dijatuhkan kepada pengusaha dan pekerja. Bentuk sanksi dapat

berupa :

a) Batalnya perjanjian kerja bila perjanjian kerja bukan karena

kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak.

b) Batalnya perjanjian kerja apabila pekerjaan yang diperjanjikan

tersebut bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan,

dan ketertiban umum.

c) Batalnya PHK bila sebelumnya tidak ada penetapan dari

Pengadilan Hubungan Industrial untuk jenis PHK yang

mempersyaratkan adanya penetapan dari Pengadilan Hukum

Industrial.

d) Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima

borongan pekerjaan beralih menjadi hubungan kerja antara

pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila pekerjaan yang

diborongkan tidak memenuhi syarat (Pasal 65 Ayat 8-9 Undang-

Undang Ketenagakerjaan).

e) Status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP beralih

menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan

apabila PPJP itu digunakan oleh pemberi kerja untuk

melaksanakan tugas pokok/produksi (Pasal 66 Ayat 3-4 Undang-

Undang Ketenagakerjaan).

f) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang

melakukan mogok dianggap mangkir dan bila sudah dipanggil

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

320

secara patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang. Maka

dianggap mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang

pesangon dan uang penghargaan masa kerja.

g) Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum

atau yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia sehingga

jatuh korban, maka dianggap sebagai melakukan kesalahan berat.

Pekerja tersebut tidak berhak mendapat uang pesangon.

3) Sanksi pidana dalam hubungan industrial dapat dijatuhkan kepada

pekerja atau pengusaha apabila melakukan pelanggaran

(kejahatan). Sebagian dari bentuk-bentuk sanksi pidananya antara

lain:

a) Dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat satu

tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit

Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 500.000.000,- bagi

pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja yang mengalami

PHK karena usia pensiun pada program pensiun dan tidak

memberikan pesangon sebesar dua kali ketentuan, uang

penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal

184 Undang-Undang Ketenagakerjaan).

b) Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- dan paling tinggi Rp.

50.000.000,- bila memungut biaya penempatan tenaga kerja oleh

perusahaan penempatan tenaga kerja swasta (Pasal 38 Undang-

Undang Ketenagakerjaan).

c) Sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling singkat satu

tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit

Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi

pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah

minimum (Pasal 90 Ayat 1 dan Pasal 185 Ayat 1 Undang-Undang

Ketenagakerjaan).

d) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat

tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling

banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang tidak membayar

kepada pekerja yang mengalami PHK yang setelah enam bulan

tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya, karena

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

321

dalam proses perkara pidana, uang penghargaan masa kerja satu

kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal

185 Undang-Undang Ketenagakerjaan).

e) Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman penjara paling

singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan atau denda

paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp.

400.000.000,- bagi pengusaha yang :

a. Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat

melakukan pekerjaan karena sakit.

b. Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada

hari pertama dan kedua masa haid.

c. Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja

karena pekerja :

Menikah

Menikahkan Anak

Mengkitankan/Membaptiskan Anak.

Istri/Anak/Menantu/Orangtua/Mertua/anggota keluarga

dalam satu rumah meninggal

d. Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan

kewajiban terhadap negara atau agama.

e. Tidak mempekerjakan pekerja pekerjaan yang dijanjikan.

f. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang

melaksanakan hak istirahat.

g. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang

melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (Pasal 186

Undang-Undang Ketenagakerjaan)

Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun

2003 telah mengatur kewajiban serta sanksi yang dijatuhkan kepada

pihak pengusaha, tetapi disatu sisi, pihak pekerja (karyawan) juga

dapat dikenakan sanksi oleh pihak pengusaha jika melakukan

tindakan-tindakan yang merugikan pengusaha itu sendiri, misalnya

pihak karyawan atau buruh terbukti melakukan kesalahan berat

seperti:

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

322

a) melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang

dan/atau uang milik perusahaan;

b) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga

merugikan perusahaan;

c) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai

dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya di lingkungan kerja;

d) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman

sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan;

g) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam

keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan

kerugian bagi perusahaan;

h) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau

pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang

seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang

diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 Ayat

(1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Secara sederhana untuk mencermati karakteristik Hukum

Ketenagakerjaan di Indonesia, yang masuk ranah hukum privat dan

hukum publik, yaitu tampak pada tataran perjanjian kerja antara

pengusaha dengan pekerja. Substansi perjanjian tersebut,

mencerminkan hubungan hukum keperdataan antara kedua belah

pihak yang secara individual membebankan hak dan kewajiban antara

keduanya dalam hal menyangkut pekerjaan yang dikaitkan dengan

upah. Bila antara keduanya melakukan wanprestasi atau ingkar janji,

masing-masing pihak berdasarkan perjanjian kerja yang dibuat dapat

menuntut ganti rugi ataupun pengembalian hak-hak semula. Dalam

konteks hukum publik, karakteristik yang melekat pada Hukum

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

323

Ketenagakerjaan di Indonesia, tampak pada peran pejabat publik

dalam hal ini pemerintah untuk melaksanakan kewenangannya secara

administratif guna mengawasi pelaksanaan undang-undang

ketenagakerjaan agar berjalan sesuai koridor mewujudkan keadilan

menuju kesejahteraan antara kedua belah pihak, baik pihak pekerja

maupun pihak pengusaha itu sendiri. Sekaligus dalam tataran Hukum

Pidana, undang-undang ketenagakerjaan memberikan legitimasi

kewenangan kepada pejabat pegawai negeri sipil yang ditunjuk

undang-undang khusus melakukan penyidikan bila ada dugaan tindak

pidana bidang ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis Pembahasan tentang hukum tertulis dan hukum tidak tertulis,

sebenarnya sudah penulis singgung secara sekilas pada bab 4 buku ini.

Namun pada bab ini, penulis juga menganggap penting membahasnya

sebagai penajaman khasanah kita tentang pembidangan lain yang

terdapat dalam sistem hukum Indonesia, selain hukum publik dan

hukum privat.

Hukum tertulis sesuai dengan namanya bukanlah berarti yang

dimaksud segala produk hukum yang terpatri dalam tulisan-tulisan

tertentu. Sebab, ada juga hukum-hukum tidak tertulis sifatnya, namun

dinyatakan dalam bentuk tertulis. Seperti hukum adat yang berlaku

pada masyarakat Jawa kuno yang bisa kita tenukan dalam bentuk

prasasti-prasasti tertulis di batu-batuan atau pelepah pohon kering

yang ditulis para tokoh-tokoh adat. Bukan itu yang dimaksud.

Hukum tertulis yang dimaksud dalam pembahasan ini, menurut

karakteristik dan bentuknya yaitu segala produk hukum yang

diformalkan dalam bentuk dokumen-dokumen resmi kenegaraan kita,

yaitu dalam lembaran negara atau lembaran berita acara daerah yang

ditandatangani oleh pejabat berwenang, apakah presiden, menteri,

gubernur, bupati, walikota, sekretariat negara ataupun sekretariat

daerah. Pada dasarnya, karakteristik yang paling menonjol melekat di

hukum tertulis, adalah sifat legalitas formal oleh pejabat negara dan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

324

pemuatannya dalam bentuk dokumen resmi negara yang diakui dalam

tata karma sistem kenegaraan Indonesia. Dengan penjelasan tersebut,

maka kita sudah dapat memahami yangmanakah termasuk produk-

produk hukum tertulis dalam tata kenagaraaan Indonesia. Contoh-

contoh dimaksud, antara lain UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-

Undang, Peraturan Daerah, Instruksi Presiden, Keputusan Bupati, dan

lain-lain.

Karakteristik lain yang menonjol dari hukum tertulis yaitu

dilengkapi dengan seperangkat aturan yang terkodifikasi secara baku

dan sistematis, misalnya oleh undang-undang yang mengaturnya

dengan tata urutan ayat, pasal, dan bab yang runtut. Sifat kodifikasi

yang melekat pada hukum tertulis meniscayakan hukum tertulis

mengatur penyeragaman ketundukan hukum setiap warga masyarakat.

Sebagai contoh, pengaturan tentang perkawinan di Indonesia.

Perkawinan di Indonesia, bagi setiap warga negaranya, tunduk pada

hukum perkawinan yang bersifat tertulis. Artinya, hukum perkawinan

yang berlaku di Indonesia, tunduk kepada Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 termasuk tata cara pelaksanaannya

diatur oleh Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975. Dua produk

hukum tersebut, memuat legalitas formal bagi dilangsungkannya

perkawinan dalam sistem hukum Indonesia. Begitu pula, pada

beberapa pengaturan tentang hukum keluarga di Indonesia, masih ada

yang tunduk dibawah BW yang merupakan produk Kolonial Belanda.

BW diberlakukan di Indonesia dengan menganut sistem kodifikasi,

yaitu pengaturan hukum keluarga tertulis yang diadopsi dari sistem

hukum Kerajaan Belanda.

Dalam Hukum Islam, dikenal Al-qur‟an dan Hadits Nabi

Muhammad. Menurut penulis, keberadaan Al-qur‟an dan Hadits Nabi

Muhammad juga merupakan seperangkat aturan hukum yang bersifat

tertulis. Sebab keberadaannya dalam tatanan peradaban umat Islam

yang pernah jaya selama 14 abad menjadi rujukan utama dalam

pelaksanaan Hukum Islam atau Syariah Islam di atas permukaan

bumi. Begitu pula, pada kejayaan beberapa kesultanan Islam di

nusantara dahulu, Al-qur‟an dan Hadits Nabi Muhammad dijadikan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

325

sebagai rujukan formal dalam pelaksanaan syariah Islam. Al-Qur‟an

yang ada ditangan umat Islam sekarang merupakan hasil kodifikasi

dari sejumlah firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad, yang

puncaknya dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin

Affan, sehingga Kitab Suci Al-Qur‟an yang ada ditangan kaum

muslimin saat ini dikenal dengan nama Mushaf Usmani. Begitu pula

dengan sejumlah hadits Nabi Muhammad, dikodifikasikan oleh

beberapa perawi hadits yang terkenal, seperti Imam Bukhari, Imam

Muslim, Imam Ahamad, Imam At-Tarmizi, dan lain-lain.

Dalam konteks sistem hukum Indonesia sekarang, formalisasi

Hukum Islam, juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun

sifatnya masih parsial tidak utuh. Hukum Islam di Indonesia, hanya

mendapat legalitas formal untuk bidang-bidang hukum keluarga serta

sebahagian bidang-bidang hukum muamalah. Untuk bidang hukum

keluarga, misalnya, pengaturan Hukum Islam mendapat legalitas

melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam, yang didalamnya mengatur tentang persoalan

perkawinan, warisan, dan perceraian. Sedangkan untuk urusan

muamalah bagi umat Islam Indonesia mendapat legitimasi

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008

tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, didalamnya mengatur

secara spesifik tentang perjanjian, jual beli, sewa menyewa, gadai,

kepemilikan, reksadana, pasar modal, obligasi, dan pengupahan

menurut Hukum Syariah.

Sayangnya, legalitas formal bagi hukum-hukum syariah dimaksud,

tingkatan produk hukum yang mengaturnya di Indonesia, masih

setingkat lebih rendah dibawah undang-undang. Lagi pula berdasarkan

cermatan, analisis, dan penelitian dari para pakar Hukum Islam,

pengaturan Hukum Syariah bagi umat Islam di Indonesia tersebut,

masih menimbulkan beberapa problematika dari segi tinjauan fiqih

dan ushul fiqih yang sebahagiannya masih belum sesuai dengan asas-

asas dalam Hukum Islam. Problematika lainnya, pengaturan Hukum

Syariah masih sebatas bidang-bidang munakahat (hukum keluarga dan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

326

waris) dan muamalat belum menyentuh secara menyeluruh pada aspek

hukum pidana dan hukum ketatanegaraan.

Adapun berkenaan dengan pembahasan tentang hukum tidak

tertulis, juga sudah penulis singgung sedikit pada bab 4 pembahasan

buku ini. Perbedaan hukum tidak tertulis dengan hukum tertulis sesuai

dengan namanya, memang tampak secara jelas, bila dilihat pada

bentukan produk masing-masing pembidangan hukum tersebut.

Hukum tidak tertulis merupakan bidang hukum yang dari segi

karakteristiknya beda dengan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis,

sifatnya tidaklah perlu mendapat legalitas formal dari pemegang

otoritas politik yang bentukannya mesti didokumentasikan secara

resmi oleh lembaga negara yang ditunjuk untuk itu, contohnya di

Indonesia sekretariat negara.

Hukum tidak tertulis selalu merupakan nilai-nilai yang tumbuh dan

berkembang di tengah kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai itu

bisa berupa kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlangsung secara

terus-menerus dan merupakan sebuah kelaziman yang pada akhirnya

diterima sebagai nilai-nilai hukum yang dipatuhi oleh seluruh warga

masyarakat. Dalam konteks kehidupan hukum di Indonesia, hukum

tidak tertulis, pada umumnya terwujud dalam bentuk-bentuk yang

disebut hukum kebiasaan dan hukum adat.

Hukum kebiasaan, sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab

4, tampak pada beberapa kebiasaan yang berlangsung di tengah

masyarakat Indonesia yang pada akhirnya diterima sebagai hukum.

Umumnya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sebagai hukum tidak

tertulis di tengah masyarakat Indonesia, tampak pada kegiatan-

kegiatan transaksi keuangan dan jual beli. Misalnya, penerimaan

masyarakat Indonesia sebagai hukum tidak tertulis, yaitu transaksi jual

beli dengan menggunakan non-tunai, seperti kartu kredit atau kartu

debit. Seperti, yang berkembang sekarang ini, jual beli dengan

menggunakan media internet atau disebut jual beli on line. Meski

penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung atau melakukan

akad jual beli secara kontan dan tunai. Tetapi transaksi jual beli via on

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

327

line sudah dianggap sebagai transaksi yang dianggap sah dan diterima

oleh sebahagian besar lapisan masyarakat Indonesia.

Mengenai keberadaan Hukum Adat meski masih merupakan

perdebatan dikalangan para pakar hukum Indonesia, tetapi ia sebagai

nilai-nilai hukum yang lahir dari tradisi masyarakat adat Indonesia,

juga dipandang sebagai salah satu produk hukum tidak tertulis yang

mengikat masyarakat Hukum Adat di Indonesia.

Sehubungan dengan itu, menurut pandangan Soepomo14

, Hukum

Adat merupakan hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis,

meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan

oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat

berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut

mempunyai kekuatan hukum. Pandangan Soepomo ini sekaligus

meneguhkan pandangan bahwa Hukum Adat yang berlaku sebagai

sebuah nilai ditengah masyarakat Hukum Adat Indonesia, merupakan

produk dari hukum tidak tertulis itu sendiri.

Menurut Ruliah15

, istilah hukum adat diperkenalkan pertama kali

diperkenalkan oleh Snouck Hurgronye dalam bukunya ‛De Acheers‛

(orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Van Vollenhoven

dalam bukun yang ditulisnya Het Adat Recht Van Nederland Indie.

Dengan adanya istilah ini maka pemerintah Kolonial Belanda pada

akhir Tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi istilah Hukum

Adat dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Istilah hukum

adat sebenarnya tidak dikenal di dalam masyarakat Indonesia,

masyarakat Indonesia hanya mengenal kata Adat atau Kebiasaan .

Pengalihan istilah Adat Recht sebagai Hukum Adat menjadi hukum

kebiasaan tidak disetujui oleh para pakar, seperti yang dikatakan oleh

Van Dijk, dengan alasan bahwa tidaklah tepat menerjemahkan Adat

Recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat,

karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks

14

Ruliah. 2013. Hakikat Nilai Kalosara Pada Suku Tolaki sebagai

Sumber Kesadaran Hukum Masyarakat. Disertasi Program Pasca Sarjana

Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm. 31. 15

Ibid.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

328

peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah

demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara

tertentu sehingga timbullah suatu peraturan kelakuan yang diterima

dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang

mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka

hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan

masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai

pangkalnya‛. Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari

adat-istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas.

Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus

dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat,

walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat

sekali kaitannya.

Untuk memperjelas pemahaman tentang kedudukan Hukum Adat

sebagai hukum tidak tertulis, berikut penulis memaparkan beberapa

pengertian Hukum Adat yang dikemukakan beberapa pakar hukum:

a) Terhaar : Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang

menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan

berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal

dengan teori ‚Keputusan‛ artinya bahwa untuk melihat apakah

sesuaatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka

perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum adat

terhadap sipelanggar peraturan adt-istiadat. Apabila penguasa

menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-

istiadat itu sudah merupakan hukum adat.

b) Van Vollenhoven : hukum adat adalah keseluruhan aturan tingak

laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum

dikodifikasikan.

c) Soerjono Soekanto : bahwa hukum adat adalah kompleks adat

yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, dan

bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat

hukum.

d) Djojodigoeno : Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber

kepada peraturan-peraturan.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

329

e) Hazairin : Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam

masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya

telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.

f) Soeroyo Wignyodipuro : Hukum adat adalah suatu kompleks

norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang

selalu berkembang serta meliputiperaturan-peraturan tingkah laku

manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagai

besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat

karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

g) Soepomo : Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam

peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang

meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan

didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya

peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Berdasarkan pengertian Hukum Adat tersebut, Ruliah

menyimpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam hukum adat,

mencakup: (1) Adanya tingkah laku yang terus-menerus dilakukan

oleh masyarakat adat; (2) Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis;

(3) Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral; (4) Adanya

keputusan kepala adat; (5) Adanya sanksi/akibat hukum; (6) Tidak

tertulis; dan (7) Ditaati oleh masyarakat adat.

Untuk memperjelas pemahaman tentang Hukum Adat yang berlaku

di Indonesia, berikut penulis memaparkan beberapa contoh kasus

Hukum Adat yang diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia.

Contoh ini, penulis kutip dari beberapa sumber tulisan yang ada. Salah

satu contoh masyarakat yang masih memegang hukum adat adalah

masyarakat adat yang ada di Propinsi Papua. Hukum adat disana akan

berlaku dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya ketika seseorang

membunuh orang lain dalam sebuah kecelakaan lalu lintas akan

diminta mengganti kerugian yang berupa uang dan juga hewan babi.

Tak cukup sampai disitu saja karena jumlah uang dan juga hewan babi

yang diminta adalah jumlah yang relatif besar sehingga benar-benar

memberatkan sang pelaku. Hukum adat ini adalah hukum yang sudah

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

330

berlaku turun-temurun pada masyarakat Papua yang ada di daerah

pedalaman.

Selain di Papua, masyarakat lain yang masih menganut hukum adat

adalah masyarakat adat Bali. Hukum Adat yang masih kental berlaku

yaitu hukum yang berkaitan dengan warisan. Dalam masyarakat adat

Bali, seorang anak laki-laki yang berkedudukan sebagai ahli waris

utama dalam sebuah keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang

hanya berhak menikmati harta peninggalan suaminya atau orang tua.

Pada masyarakat adat Bali, kedudukan anak laki-laki memiliki peran

penting sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab besar pada

keluarganya sedangkan anak perempuan hanya bertanggung jawab

pada lingkungan suami. Namun ternyata, sekitar tahun 2010 terjadi

perubahan tentang hukum waris adat Bali tersebut. Perempuan

dianggap juga berhak untuk menerima setengah hak waris setelah

dipotong sekitar sepertiga bagian harta pusaka. Akan tetapi ketentuan

ini tidak berlaku apabila seorang wanita Bali berpindah agama dari

agama nenek moyang mereka yang telah dianut, yaitu Agama Hindu.

Ruliah juga mencontohkan penerapan Hukum Adat yang berlaku

pada masyarakat adat di Pulau Sulawesi, seperti Propinsi Sulawesi

Tenggara. Hukum Adat dalam masyarakat adat Suku Tolaki masih

dianggap sebagai aturan hidup dalam interaksi sosial mereka. Suku

Tolaki mempunyai hukum adat yang spesifik karena

direpresentasikan pada simbol yang dianggap memiliki ciri khas

magis, berupa seperangkat alat atau benda-benda adat simbolik yang

disebut “Kalosara” yang berfungsi mengintegrasikan semua aspek

kehidupan masyarakat Tolaki. „Kalo‟ sebagai simbol

mengekspresikan konsepsi orang Tolaki mengenai unsur manusia,

unsur alam, unsur kebudayaan dan juga mengekspresikan komunikasi

antara manusia dengan unsur-unsur tersebut di atas. Kalosara sebagai

benda berbentuk lingkaran yang dipakai atau digunakan dalam

berbagai keperluan upacara, sebagai cara-cara mengikat yang

melingkar, sebagai kegiatan bersama, sebagai konsep bermakna adat

istiadat. Menurut Ruliah, simbol Kalosara seringkali digunakan

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

331

sebagai instrumen bagi masyarakat adat Suku Tolaki bagi

penyelesaian sengketa yang berlangsung diantara mereka.

Demikian paparan singkat penulis, tentang deskripsi penerapan

Hukum Adat oleh beberapa suku yang ada di Indonesia. Meski ada

beberapa pakar hukum semisal Achmad Ali yang tidak sepakat

dengan fenomena yang berlangsung di masyarakat adat Indonesia

tersebut, untuk dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai Hukum Adat,

yang menurut Achmad Ali bahwa fenomena demikian bukanlah

merupakan Hukum Adat tetapi lebih merupakan tradisi budaya yang

berlangsung secara turun temurun ditengah masyarakat adat

Indonesia16

.

Hukum Materil dan Hukum Formil Hukum materil menurut penulis dalam konteks pembahasan ini

adalah segenap kaidah atau norma hukum yang termuat dalam

beberapa produk hukum tertentu, yang mengatur tentang hal-hal apa

yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, hak dan

kewajiban, perintah dan larangan yang harus ditaati oleh setiap subjek

hukum tertentu serta didalamnya mengandung sanksi berupa

penjeraan yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melakukan

pelanggaran hukum tersebut. Beberapa contoh produk hukum, yang

dapat disebutkan yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia antara

lain, Undang-Undang Perkawinan, Kitab Undang-Undang-Undang

Hukum Pidana, Undang-Undang Lingkungan, dan lain-lain. Jadi

segala produk hukum dalam pengertian ini, berfungsi sebagai pranata

untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat atau memaksa tingkah

laku masyarakat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu maka

pembahasan produk hukum tersebut masuk dalam pembidangan

hukum materil.

Sedangkan hukum formil dalam pengertian ini yaitu segala produk

hukum atau kajian hukum yang membahas tentang tatacara untuk

16

Pendapat Achmad Ali yang tidak sepakat dengan keberadaan Hukum

Adat sebagai hukum tidak tertulis, silahkan baca Achmad Ali. 2008.

Menguak Tabir Hukum Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 92.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

332

menegakkan hukum materil. Sehingga hukum formil, bisa juga

dikenal dengan sebutan hukum tata cara atau hukum prosedur. Dalam

dunia praktek hukum di Indonesia, hukum formil sering dikenal

dengan nama hukum acara. Sebab hukum acara memuat segenap

perangkat hukum yang mengatur segala prosedur dan tatacara

bagaimana menegakkan atau menerapkan hukum materil.

Keberadaan hukum formil dalam sistem hukum Indonesia

merupakan kelengkapan bagi penegakan hukum materil. Artinya,

hukum materil tidak akan bisa dipaksakan penegakannya apabila tidak

dibarengi dengan penerapan hukum acara. Beberapa contoh produk

hukum formil, yaitu Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata,

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, dan Hukum Acara Peradilan Militer. Semua

produk hukum acara yang disebutkan itu, memiliki sumber hukum

masing-masing. Untuk pembahasan lebih lengkap tentang hukum

formil ini, belum akan penulis bahas, mengingat ruang yang masih

sangat terbatas ini.

Keberadaan Bidang Hukum Islam dalam Sistem

Hukum Indonesia Untuk menelusuri jejak historis berkembangnya Hukum Islam di

Indonesia maka pertama kali, kita tidak boleh melupakan sejarah

masuknya Islam di Indonesia. Masuknya Islam di Indonesia sejak

pertama kali yang tidak boleh dilupakan adalah Islam masuk sekaligus

berbarengan dengan diperkenalkannya Islam sebagai sebuah sistem

hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat di nusantara sebagai

individu maupun sebagai warga masyarakat yang saling berinteraksi

satu sama lain17

.

17

Ramly Hutabarat. 2005. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-

konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional.

Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 61.

Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai

diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14

Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

333

Pada masa kesultanan Islam di nusantara sebelum kedatangan

kolonialisme Belanda menjejakkan kakinya. Kesultanan-kesultanan

Islam kemudian mewarnai panggung sejarah nusantara seperti antara

lain: Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan

Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang18

.

Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang

dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan

Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram. Disusul berdiri

Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Di Sulawesi, Islam

diterapkan dalam institusi Kesultanan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo,

Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di

sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Pada abad ke-13

Samudera Pasai telah menjadi kekuatan Islam yang maju dan kuat19

.

Kesultanan Ternate tahun 1440. Kesultanan lain yang menjadi

representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan kesultanan Bacan.

Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan kesultanan Bacan, banyak

kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam. Institusi Islam

lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar,

Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai20

.

Semua Kesultanan Islam yang ada di Nusantara ketika itu, telah

menerapkan politik hukum yang berkarakter Islam. Artinya, Islam

sebagai ideologi telah menjadi bagian integral dalam sistem kehidupan

masyarakat Islam di Nusantara, baik dalam tata pemerintahan,

kehidupan hukum, sistem pergaulan, sistem ekonomi, dan lain-lain21

.

A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten, adalah

kesultanan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum

kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu

tersebut. Lihat. Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara; Transformasi

Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Penerbit Paramadina,

Jakarta, hlm. 21. 18

Ahmad Mansur Surya Negara. 2009. Api Sejarah. Salmadani Pustaka

Semesta, Bandung, hlm. 99. 19

Ibid. 20

Ibid. 21

Ramly Hutabarat, loc. cit.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

334

Islam sebagai hukum negara pada abad 17. Di Banten, hukuman

terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan

kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas

telah dilakukan pada tahun 1651-1680 M di bawah Sultan Ageng

Tirtayasa. Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap

puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan

isteri seorang perwira. Kesultanan Aceh Darussalam mempunyai

UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan

Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima

waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat.

Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.

Kesultanan Demak di Jawa memiliki jabatan qodi di kesultanan

yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan TH Pigeaud

mengakui hal ini bahwa di Kesultanan Mataram pertama kali

dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh

Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini

dihukumi menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum

Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa Sultan Agung itu

mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasehat Hukum Islam dalam

sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai qadhi atau hakim, sebagai

imam masjid raya, sebagai wali hakim dan sebagai amil zakat.

Menurut Prof Mr Christian Van Den Berg (1854-1927), Orang

Indonesia telah melakukan resepsi Hukum Islam dalam

keseluruhannya sebagai satu kesatuan Receptio In Complexu. Bahkan

pada masa VOC keberadaan hukum Islam di Nusantara dapat

ditelusuri dengan terbitnya Al Muharrar yang mengadung hukum

Islam termasuk hukum hudud dan kitab Papakem Tjirebon pegangan

hakim-hakim dalam menjalankan hukum.

Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan

kebijakan riba diharamkan. Menurut Alfian deureuham adalah mata

uang Aceh pertama. Selain itu di Kesultanan Samudera Pasai pada

masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326)

telah mengeluarkan mata uang emas.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

335

Secara umum di berbagai Kesultanan Nusantara berlaku sistem

kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem

commenda atau kepemilikan modal (arab: qirad, mudharabah,

mugharadhah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum

perekonomian Islam. Ini menunjukkan diterapkannya sistem ekonomi

Islam pada masa kesultanan-kesultanan di Nusantara.

Dalam bidang pemerintahan, TW Arnold menyebutkan bahwa

Kesultanan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-

Zahir menyatakan perang kepada raja-raja negara tetangga yang non-

Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah.

Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah

yang dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini dijadikan pegangan

dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah Kesultanan Banjar di

Kalimantan ketika itu.

Islam pun diterapkan dalam bidang pertanahan. Syaikh

Muhammad Arsyad Al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam

kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang

diantaranya ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati). Dengan

demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu

dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemik.

Deskripsi tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara

tersebut, sekaligus membuktikan bahwa nuansa Islam di wilayah

Nusantara telah berlangsung secara sistematis dan masif, dalam semua

sendi kehidupan masyarakatnya. Artinya, nuansa Islam di nusantara

tidak hanya diterapkan dalam tataran bersifat individual tetapi juga

telah diterapkan dalam tataran kehidupan politik, ekonomi, hukum,

dan pemerintahan.

Masa masuknya Kolonialisme Belanda serta pada fase pendudukan

bala tentara Jepang, kedudukan hukum Islam lambat laun dihapuskan

secara pelan-pelan di bumi Nusantara dalam arti watak hukum Islam

sebagai hukum publik oleh penjajah dihapuskan yang pada akhirnya

hukum Islam hanya diberlakukan pada ranah privat (hukum perdata),

yaitu bidang hukum perkawinan, waris, dan hibah/wasiat.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

336

Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk kembali

memformalisasikan hukum Islam, semakin menguat terutama berasal

dari kelompok Islam puritan yang menghendaki pemberlakuan

Hukum Islam sebagai bagian dari hak mayoritas penduduk Islam

Indonesia. Namun demikian, meskipun pemberlakuan hukum Islam di

Indonesia terus digelorakan namun menurut pandangan Daniel S

Lev22

, formalisasi Hukum Islam di Indonesia masih berjalan lamban.

Hal itu disebabkan oleh masih kuatnya paham bahwa taqlid terhadap

pendapat para ulama yang terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqih masih

memadai untuk menjawab masalah-masalah kontemporer23

, selain

karena posisi hukum Islam itu sendiri dalam konteks sosial politik

negara kita yang selalu menimbulkan polemik dan kecemburuan.

Hukum Islam disatu sisi-sisi berada pada titik tengah atau kalau boleh

dikatakan mengalami dilema antara paradigma agama dan paradigma

negara. Sebagai bagian dari agama, penerapan Hukum Islam menjadi

misi agama sebagai upaya implementasi totalitas ajaran agama dalam

realitas empirik, tetapi pada saat yang sama, hukum Islam pun

menjadi bagian dari paradigma agama yang di dalamnya terdapat

pluralitas terutama dari segi agama. Akibatnya, karena alasan

pluralitas itu, maka negara terpaksa harus mereduksi hukum Islam.

Disinilah problematika mendasar dari upaya formalisasi hukum Islam

yang menurut Denny J.A24

, dalam konteks masyarakat Indonesia yang

pluralistik, pemekaran suatu agama yang dalam hal ini Islam,

dianggap menjadi ancaman bagi agama lain. Karena itulah,

pembaruan hukum Islam melalui jalan formalisasi lewat legislasi oleh

negara dikhawatirkan memicu ketersinggungan sosial agama lain.

Meskipun upaya formalisasi hukum Islam melalui legislasi oleh

negara mengalami beberapa kendala, namun fakta menunjukkan

22

Ahmad Rofiq. Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. Penerbit Gama

Media Jogjakarta, hlm. 99. 23

Ibid., h, 99-100. 24

Denny JA dalam H. A. Malthuf Siroj. 2012. Pembaruan Hukum Islam

Di Indonesia (Telaah Kompilasi Hukum Islam). Pustaka Ilmu, Jogjakarta,

hlm. 133.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

337

bahwa semangat umat Islam untuk melakukan pembaruan hukum

Islam melalui formalisasi legalistik oleh negara, terus menggelora.

Berpijak dari situlah maka upaya formalisasi hukum Islam terus

menerus diperkuat melalui upaya mencari dukungan secara politik

yang antara lain melibatkan para ulama serta otoritas penguasa yang

ada di legislatif dan eksekutif. Upaya itu membuahkan hasil meskipun

formalisasi hukum Islam hanya berhasil untuk bidang-bidang hukum

privat (hukum perdata).

Keberhasilan pertama formalisasi hukum Islam di Indonesia meski

terbilang masih minimal, yaitu diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana undang-undang

ini secara substansi beberapa pasal di dalamnya telah mengakomodir

keinginan umat Islam untuk mengatur persoalan perkawinan yang

seharusnya tidak boleh bertentangan dengan spirit Islam25

.

Perjalanan umat Islam untuk melakukan formalisasi hukum Islam,

tidak berhenti sampai pada keberhasilan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, tetapi berlanjut ketika Menteri Agama Munawir Sjadzali

mengusulkan RUU Peradilan Agama ke DPR yang untuk selanjutnya

disahkan menjadi Undang-Undang. Meskipun terjadi pro dan kontra

terutama dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia, tetapi berakhir

dengan disahkannya RUU Peradilan Agama menjadi Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989.

Keberhasilan umat Islam menggolkan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidaklah berarti semua

persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam di Indoensia menjadi

selesai. Ternyata muncul persoalan krusial yang dihadapi yaitu

berkenaan dengan tidak adanya keseragaman dari para hakim dalam

mengeluarkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang

mereka hadapi.Sebab para hakim dalam mensadarkan keputusan

hukum mereka merujuk kepada kitab-kitab fikih yang berbeda.

25

Kamal Hasan. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan

Muslim. Lingkaran Studi Indonesia, Jakarta, hlm. 190, dan Rachmadi Usman.

2003. Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik

Hukum Di Indonesia. Grafiti, Jakarta, hlm. 196.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

338

Atas dasar itulah, timbullah gagasan Bushtanul Arifin tentang

perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan formal

yang seragam bagi para hakim di Pengadilan Agama untuk

mengeluarkan keputusan hukum. Gagasan Busthanul Arifin disepakati

dengan dibentuknya Tim Pelaksana Proyek yang didalamnya

melibatkan para cendekiawan dan para ulama. Tim akhirnya

merumuskan Kompilasi Hukum Islam yang ditindaklanjuti dengan

keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai instruksi

kepada menteri agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum

Islam, yang terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang

Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan.

Rintisan kearah formalisasi dan pembaharuan hukum Islam terus

digencarkan umat Islam, namun keberhasilan itu masih kepada seputar

persoalan-persoalan yang masuk keranah hukum keperdataan.

Terutama menyangkut hukum perjanjian yang mendasari transaksi

muamalah bagi umat Islam Indonesia. Seperti antara lain ketika

bangsa Indonesia memasuki era reformasi, pengakuan terhadap

pemberlakuan hukum Hukum Islam mendapat tempat untuk semakin

diformalisasikan dalam tatanan sistem hukum Indonesia. Hal itu

tampak dari dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah. Di dalam Perma tersebut, diatur secara spesifik mengenai

akad-akad syariah, yang tentu saja akad syariah merupakan

terminologi dari Hukum Islam.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar

dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan

yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam

pembentukan hukum nasional yaitu:

1) Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU

Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah

Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus Nanggroe

Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang

langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti

UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

339

keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya atau

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama

yang semakin memperluas kewenangannya, dan Undang-Undang

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

2) Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90

persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang

signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.

3) Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini

merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau

hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.

4) Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini

sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari

pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi

bagian dari tata hukum di Indonesia.

Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam

konstelasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang

adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Teori ini

mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi hukum Islam di dalam

hukum nasional lndonesia itu ialah:

1) Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional

lndonesia.

2) Ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui

adanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum

nasional.

3) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum islam

(agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum

nasionallndonesia.

4) Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum

nasional indonesia. Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-

undangan di indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam

semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa

peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh

hukum Islam.

BAB 6 Pembidangan Hukum Privat

340

Upaya untuk memformalkan Hukum Islam dalam sistem hukum

Indonesia, bagi umat Islam memang tidak mudah, perlu perjuangan

yang kuat, dan yang tak kalah pentingya adalah kesadaran politik

umat Islam di Indonesia, untuk memahami dalam konteks aqidah

secara politik bahwa penerapan Hukum Islam secara menyeluruh

dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak lain

merupakan ketundukan penghambaan seorang muslim kepada Allah

SWT Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta beserta mahluk

hidup, yang kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawabannya

berkenaan dengan konsistensinya terhadap penerapan Syariah Islam

selama hidupnya di dunia yang profan serta penuh tipu daya.

DAFTAR BACAAN

Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama RI,

PT Syaamil Cipta Media, Jakarta.

Al Arba’in An Nawawi, Kitab Kumpulan Hadits Imam Nawawi.

Afdol. 2009. Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam Di

Indonesia. Airlangga University Press, Surabaya.

Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit

Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta.

Ahmad, Z. Ansori. 1986. Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia.

Rajawali Press, Jakarta.

Ali, Achmad. 2005. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab

dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Bogor.

___________. 2008. Menguak Realitas Hukum (Rampai Kolom dan

Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum). Prenada Media

Grup, Jakarta.

__________. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Peradilan (Judicialprudence). Kencana Prenada Media

Group, Jakarta.

__________. 2011. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Ali, Muhammad Daud. 2000. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum

dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8.

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

An Nabhani, Taqiyuddin. 2010. Sistem Ekonomi Islam (terjemahan

Hafidz Abdurrahman), HTI Press, Jakarta Selatan.

Apeldoorn, Mr. L.J. Van. 2011. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan).

Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.

Arrasyid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika,

Jakarta.

Atmosudirdjo, Prajudi. 1984. Hukum Administrasi Negara, Penerbit

Ghalia Indonesia, Jakarta.

Azis, Mohammad Rosyidi (et.all). 2010. Pokok-Pokok Panduan

Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha

Rindu Syariah, Bogor.

Bello, C.K.L. 2013. Ideologi Hukum (Refleksi Filsafat atas Ideologi

Di Balik Hukum), Insan Merdeka, Bogor.

Budiarjo, Miriam. 1989. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT Gramedia,

Jakarta.

______________. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia,

Jakarta.

Budiono, Herlien. 2006. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian

Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas

Wigati Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Budiono, Abdul Rahmat. 1995. Hukum Perburuhan Di Indonesia. PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Cotterell, Roger. 1984. Sociology of Law: An Introduction.

Butterworths, London.

Dewi, Gemala, dkk. 2013. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.

diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup

dengan dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta.

Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran

dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Paramadina, Jakarta.

Erwin, Muhammad. 2008. Hukum Lingkungan dalam Sistem

Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Penerbit

PT Refika Aditama, Bandung.

Falakh, Mohammad Fajrul. 2009. Akar-Akar Mafia Peradilan Di

Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum). Komisi

Hukum Nasional Republik Indonesia.

Friedmann, Lawrence. 2011. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial

(Terjemahan oleh M Khozim). Nusa Media, Bandung.

Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtstheorie? Kluwer

Rechtswetenschappen, Antwerpen, Nederland, 1982.

Hamidi, Jazim. 2006. Revolusi Hukum Indonesia (Makna,

Kedudukan, dan Implkasi Hukum Naskah Proklamasi 17

Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Kerjasama

Konstitusi Press dan Citra Media, Yogyakarta.

Hamzah, Andi. 2010. Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia.

Yarsif Watampone, Jakarta

Harahap, Muchtar Effendi dan Muhammad Sutopo. 2010. Kegagalan

SBY dalam Fakta dan Angka. Pustaka Fahima, Yogyakarta.

Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah

Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan

pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.

Hasan, Kamal. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan

Muslim. Lingkaran Studi Indonesia, Jakarta, hlm. 190, dan

Rachmadi Usman. 2003. Perkembangan Hukum Perdata

dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum Di Indonesia.

Grafiti, Jakarta.

Herman Hermit. 2008. Pembahasan Undang-undang Penataan

Ruang, Mandar Maju, Bandung.

Hizbut Tahrir Indonesia. 2011. Menegakkan Syariat Islam, Hizbut

Tahrir Indonesia, Jakarta.

H.S, H. Salim. 2005. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Rajawali

Press, Jakarta.

Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.

Sinargrafika, Jakarta.

Hutabarat, Ramly. 2005. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-

konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan

Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara

Universitas Indonesia, Jakarta.

Hernoko, Agus Yudha. 2010. Hukum Perjanjian (Asas

Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial). Kencana

Prenada Media Grup, Jakarta.

Iskandar, Arief B. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Al-Azhar Press,

Bogor.

Kartohadiprodjo, Soediman. 1962. Penglihatan Manusia tentang

Tempat Individu dalam Oergaulan Hidup (Suatu Masalah),

Bandung.

Khairandy, Ridwan. 2013. Hukum Kontrak Indonesia Dalam

Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). FH UII Pres,

Yogyakarta.

Kurnia, Titon Slamet. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia.

Alumni, Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional.

Bina Cipta, Bandung.

Likadja, Frans E. dan Daniel F Bessie. 1985. Hukum laut dan

Undang-Undang Perikanan. Penerbit Ghalia Indonesia,

Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud. 2011. An Introduction to Indonesian Law,

Setara Press, Malang.

____________________. 2013. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi

Revisi). Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

_____________________. 2013. Penelitian Hukum. Kencana

Prenada Media Grup, Jakarta.

Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. PT Pustaka

LP3ES Indonesia, Jakarta.

______________. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Gama

Media, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 1988. Mengenal Hukum. Liberty,

Yogyakarta.

___________________. 2015. Teori Hukum. Universitas Atmajaya,

Yogyakarta.

Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.

Negara, Ahmad Mansur Surya. 2009. Api Sejarah. Salmadani Pustaka

Semesta, Bandung.

Parthiana, Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, Mandar

Maju, Jakarta.

Prodjodikoro, Mr Wirjono. 1962. Azas-Azas Hukum Perdata. Penerbit

Sumur, Bandung.

______________________. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Di

Indonesia. Refika Aditama, Bandung.

Putro, Widodo Dwi. 2011. Kritik terhadap Paradigma Positivisme

Hukum. Genta Publishing, Yogyakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.

_______________. 2006. Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia.

Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Raz, Joseph. 1983. The Authority of Law.Oxford; Clarendon Pers,

London.

Rofiq, Ahmad. Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. Penerbit

Gama Media Jogjakarta.

Saidi, Djafar. 2007. Pembaharuan Hukum Pajak, PT Raja Grafindo,

Jakarta.

Santoso, Urip. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah.

Penerbit Kencana, Jakarta.

________________. 2014. Hukum Agraria Kajian Komprehensif.

Prenada Media Grup, Jakarta.

Shalih, Hafidh. 2003. Falsafah Kebangkitan (Dari Ide Hingga

Metode). Terjemahan Oleh Yayat Rohiyatna dari kitab

berjudul An-Nahdhah. CV Idea Pustaka Utama, Bogor.

Sholehuddin, Umar. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat

Perspektif Sosiologi Hukum. Setara Press, Malang.

Shomad, Abd. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam

Hukum Indonesia. Kencana Prenada Media Grup, Cet. I,

Jakarta.

Sidharta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Buku 1

Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta.

Sidharta, Arief. 2009. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum,

Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. PT. Refika

Aditama, Bandung.

Sidharta, Bernard Arif, Refleksi tentang Struktur Hukum (Sebuah

Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan

Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum

Nasional Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1986. “Ketertinggalan Kebudayaan”. PT

Rajawali, Jakarta.

Soetiksno, Mr. 1988. Filsafat Hukum Bagian I, PT Pradnya Paramita,

Jakarta.

Soemitro, Rochmat. 1979. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan

Pendapatan, PT Eresco, Bandung.

_______________. 2006. Asas dan Dasar Perpajakan, Penerbit

Refika Aditama, Bandung.

Subekti. 1977. Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung.

Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet

Widjajakusuma. 2002. Menggagas Bisnis Islami, Gema

Insani, Jakarta.

Web Site, Hasil Penelitian, Makalah, Kamus, Majalah, dan

Artikel

Abdurrahman, Hafidz, Majalah Al-Waie nomor 44 tanggal 4 Januari

2004 dalam tulisan judul Memasuki Masyarakat.

An-Nabhani dalam Majalah al-Wai’e Nomor 34 Terbitan Nomor 34

Tahun III, tanggal 1-30 Juni 2003 dalam tajuk tulisan

berjudul Khiththah Siyasi dan Uslub Siyasi.

Asnawi, M. Natsir. 2010. Mazhab Sejarah Hukum: Volksgeist dan

Dekonstruksi Hukum Nasional. Diakses dari

natsirasnawi.blogspot.com, Mei 2015.

Hasbullah. 2011. Politik Hukum dalam Islam Menurut Tinjauan

Sejarah dan Fiqh. Makalah Pada Sekolah Pascasarjana

Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Muhammadiyah Jakarta.

Ruliah. 2013. Hakikat Nilai Kalosara Pada Suku Tolaki sebagai

Sumber Kesadaran Hukum Masyarakat. Disertasi Program

Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Sidharta. 2013. “The Breakthrough Doctrine of Interpretation in

Environmental Tortlaw in Addressing the Trans-boundary

Legal Problems”. Makalah yang dipresentasikan pada

Konprensi Internasional yang diadakan oleh Stikubank, 29-

30 Agustus 2013

Slamet. Kemerdekaan Tanpa Kedaulatan: Sebuah Refleksi, artikel

dimuat di Harian Satelit Pos, 18 Agustus 2014.

The Merriam-Webster Dictionary. 1973. Published by Pocket Books

New York.

www. kompas.com, 27 Desember 2014, Judul Berita Kasus Suap

Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mukhtar yang

Menggurita. Diakses 13 Mei 2015.

www. tempo.com, berita tanggal 9 Desember 2014. Yang diakses

pada 10 Mei 2015.

GLOSARIUM

A

A Tool Of Social Control: Sebagai alat kontrol sosial atau

pengendalian sosial. Contohnya hukum sebagai a tool of social

control artinya hukum sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial

prilaku warga masyarakat yang diaturnya.

A Tool Of Social Engineering: Sebagai alat untuk melakukan

rekayasa sosial atau untk melakukan perubahan-perubahan sosial yang

bermanfaat bagi masyarakat.

Ajeg: Secara tetap sifatnya tidak berubah-ubah

Agregat: Kumpulan material atau unsur-unsur yang saling terpisah

satu sama lain. Misalnya, adonan kue merupakan agregat dari bahan-

bahan yang terpisah seperti terigu, mentega, putih telur, dan lain-lain.

C

Class Action: Disebut juga dengan istilah gugatan berkelompok.

Istilah ini mula pertama kali diperkenalkan sebagai sebuah pranata

hukum dalam sistem common law.

Condition Sine Qua Non: Istilah yang dikenal dalam Ilmu Hukum,

yang berarti syarat yang harus ada bagi terjadinya suatu perbuatan.

Misalnya, seseorang dapat dikenakan melakukan perbuatan pidana

apabila terpenuhi syarat dalam perbuatannya tersebut masuk dalam

kategori pidana.

D

Deal Politik: Kesepakatan politik yang terbangun antara para elit

politik yang duduk di pusat-pusat kekuasaan pemerintahan dalam

rangka merumuskan sebuah kebijakan politik yang hendak

diberlakukan.

Demarkasi: Wilayah batasan kajian

Despotis: Tindakan yang sewenang-wenang.

Diskursus: Diskusi tentang sebuah persoalan melalui pendekatan atau

perspektif tertentu.

E

Egaliter: Suatu konsep yang menyatakan bahwa semua orang harus

diberlakukan sama didepan hukum

Entitas Politik: Kesatuan politik dalam tataran lingkup sebuah

negara.

Etis: Menyangkut hal yang bersifat kesopanan atau tidak boleh

bertentangan dengan kesusilaan

F

Fundamental: Secara mendasar atau secara hakiki

Fikroh: Merupakan istilah Bahasa Arab yang berarti konsep

pemikiran atau cara berpikir seseorang tentang sesuatu persoalan

kehidupan yang dihadapinya dengan berlandaskan argumentasi

rasional yang dimilikinya

G

Grundnorm: Kaidah dasar hukum tertinggi yang berlaku dalam

hukum nasional suatu negara yang harus menjiwai produk-produk

hukum lainnya. Contoh Pancasila dan UUD 1945 merupakan

grundnorm dalam sistem hukum Indonesia.

H

Hak Ulayat: hak-hak komunal masyarakat adat di Indonesia untuk

menguasai sebidang atau kawasan tanah tertentu yang kepemilikan

dan tata cara pengolahannya tunduk berdasarkan hukum adat

setempat.

I

In Concreto: Dalam praktek kehiduoan sehari-hari. Hukum in

concreto artinya hukum dalam praktek kehidupan sehari-hari

Infrastruktur: Sarana atau alat-alat yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan tertentu dalam arti luas. Bisa itu merupakan kebutuhan

politik atau kebutuhan ekonomi.

K

Kodifikasi: Upaya pembukuan secara sistematis dan terstruktur

produk hukum tertentu secara tertulis dengan urut-urutan bab, pasal,

dan ayat.

Konfigurasi: Bentuk atau wujud untuk menggambarkan sifat suatu

benda atau keadaan.

Korporasi: Disebut juga sebuah perkumpulan atau organisasi yang

membentuk sebuah lembaga dengan menggunakan nama tertentu,

yang iasanya lembaga tersebut bergerak dibidang kegiatan ekonomi

atau bisnis.

L

Legal Doctrine: Biasa juga disebut pendapat hukum yang dikeluarkan

oleh seorang ahli hukum.

Legalisasi: Sebuah proses politik yang dijalankan dalam rangka

memformalkan suatu produk hukum kedalam dokumen resmi negara

agas dapat menjadi produk hukum yang mengikat seluruh warga

masyarakat.

Lex Generalis: Produk hukum yang mengatur segi-segi perbuatan

hukum atau peristiewa hukum yang lebih bersifat umum.

Lex Inferiori: Produk hukum tertulis yang memiliki derajat

kedudukan lebih rendah yang diberlakukan di suatu negara.

Lex Superior: Produk hukum tertulis yang memiliki derajat

kedudukan lebih tinggi yang diberlakukan di suatu negara.

Liberalisme: Paham yang kebebasan yang dimiliki oleh manusia

adalah kebebasan yang tidak boleh dibatasi oleh aturan agama dan

moralitas. Paham yang menyatakan bahwa manusia memiliki

kehendak bebas sepanjang kebebasan itu mengganggu kebebasan

orang lain.

M

Mabda: Merupakan istilah Bahasa Arab yang juga dapat berarti

ideologi

Meta Norma: Sesuatu yang bersifat abstrak namun merupakan kaidah

normatif yang menjadi pijakan dasar bagi tegaknya aturan-aturan

hukum yang konkrit.

Mores: Merujuk kepada istilah sosiologi yang berarti seperangkat

tatanan nilai, tradisi, adat kebiasaan yang berlangsung secara terus

menerus dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian terangkum

menjadi norma-norma eika atau hukum yang mengikat semau anggota

masyarakat

Muamalah: Istilah dalam Hukum Islam yang merujuk kepada

pengertian hubungan jual beli atau hubungan sosial antara sesama

muslim atau muslim dengan non-muslim.

N

Nomenklatur: Sesuatu yang bersifat jenis atau bentukan tertentu yang

melekat pada sebuah nama tertentu.

O

Obligasi: Sebuah kewajiban yang harus ditaati

Opinion Neccessitatis: Keyakinan hukum kelompok masyarakat yang

berkepentingan, yang berasal dari nilai-nilai kebiasaan yang

berlangsung dalam konteks kehidupan, yang keyakinan tersebut

berkembang menjadi sebuah pendapat umum sebagai sesuatu nilai

yang harus dipatuhi dan ditaati.

Ordonansi: Sebuah penamaan produk undang-undang yang

diberlakukan Kolonial Belanda dahulu di tanah jajahan Hindia

Belanda

Organisme: Berasal dari Bahasa Yunani yaitu organismos, sering

digunakan dalam istilah ilmu biologi, namun dalam perspektif ilmu

sosial, berarti sekumpulan organisasi yang hidup teratur dalam suatu

sistem kemasyarakatan tertentu.

Otoritas: Kewenangan untuk menjalankan kekuasaan politik serta

penegakan hukum

P

Pretensi: Gairah kewenangan melakukan kajian terhadap sebuah

pandangan tertentu.

Preventif: Upaya untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi

gangguan yang dapat membahayakan pergaulan hidup masyarakat.

Privatisasi: Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah berupa

pengalihan status badan usaha milik negara menjadi milik swasta

Persepsi: Pandangan subjektif seseorang yang lebih banyak

dipengaruhi oleh aspek psikologis mengenai persoalan yang

dihadapinya.

Perspektif: Cara pandang seseorang tentang sesuatu hal yang menjadi

pusat perhatiannya.

R

Represif: Tindakan paksaan untuk menindak setiap perbuatan atau

tindakan yang membahayakan pergaulan hidup masyarakat.

Respirasi: Merujuk pengertian proses pernapasan yang terjadi pada

dunia tumbuh-tumbuhan.

Revolusioner: Perubahan yang terjadi secara mendadak dan drastis

menggantikan kondisi atau keadaan sebelumnya yang dianggap tidak

sesuai lagi dengan kondisi sosial politik masyarakatnya.

S

Status quo: Sesuatu keadaan yang bersifat tetap dan tidak boleh

diubah-ubah lagi.

Sui Generis: merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Latin, yang

secara harfiah berarti dari jenisnya sendiri dengan karakteristik yang

khas dan unik. Ilmu Hukum disebut bersifat sui generis sebab bidang

ilmu ini memiliki karakteristik tersendiri yang tidak mungkin dimiliki

oleh bidang ilmu lainnya.

Survival Instinct: Naluri untuk mempertahankan kelangsungan

hidup, naluri ini dimiliki oleh setiap mahluk hidup yang bergerak

seperti manusia dan hewan

T

Thariqah: Istilah Bahasa Arab yang merujuk kepada pengertian

metode atau cara-cara tertentu yang sifatnya baku dan permanen untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu. Contoh perang merupakan salah satu

cara tertentu yang dikenal dalam Islam untuk melawan orang-orang

kafir yang bermaksud menindas negeri-negeri kaum muslimin.

The Founding Fathers: Mereka yang menjadi pionir atau peletak

dasar awal berdirinya suatu negara atau organisasi tertentu

U

Uqubat: Sanksi pidana yang dikenal dalam Hukum Islam, seperti

potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pelaku zinah yang sudah atau

pernah terikat perkawinan dengan orang lain.

Utilitarianisme: sebuah pandangan yang mengajarkan bahwa nilai

sesuatu benda atau perbuatan haruslah dikaitkan dengan nilai

kegunaan yang melekat kepadanya yaitu kegunaan yang memberikan

kepuasan jasmaniah bagi manusia.

Y

Yuris: Seseorang yang kepadanya dipandang memiliki kredibilitas

untuk mengeluarkan pendapat tentang hukum. Contohnya, hakim,

jaksa, advokat, dan para ahli hukum lainnya seperti kalangan

akademisi hukum atau penulis hukum.

PROFIL SINGKAT PENULIS

Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S.

Lahir di Pangkajene, Sulawesi Selatan 9 Agustus 1960.

Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah

Menengah Atas diselesaikan di Pangkajene. Ia kemudian melanjutkan

pendidikannya di perguruan tinggi, dan berhasil meraih gelar Sarjana

Hukum Tahun 1984 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Makassar. Magister Hukum dan Doktor Hukum, masing-masing

diselesaikan pada 1991 dan 2000 pada Fakultas Hukum Universitas

Airlangga Surabaya. Awal karirnya, dimulai terangkat sebagai dosen

tetap CPNS 1 November 1985, yaitu ditugaskan sebagai pengasuh

mata kuliah Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Haluoleo.

Berturut-turut jabatan yang pernah diembannya yaitu menjadi Kepala

Humas Universitas Haluoleo, juga pernah dipercayakan menjadi

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.

Berturut-turut jabatan struktural lainnya, pernah menjabat sebagai

Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik dan Disiplin Universitas Halu

Oleo 2013-2014. Saat ini, ia diamanahkan sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo Periode 2014-2018. Sebagai akademisi,

ia memiliki banyak pengalaman mengajar, antara lain mengasuh mata

kuliah hukum di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Jakarta, Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo, Fakultas

Hukum Universitas Halu Oleo, Fakultas Ekonomi Universitas Halu

Oleo. Pengalaman lain, ia juga sering diminta menjadi pemateri untuk

masalah hukum dan sosial pada berbagai seminar dan pertemuan

ilmiah baik lokal, nasional, maupun internasional serta instruktur

pada berbagai pelatihan hukum yang diadakan beberapa instansi

pemerintahan di Indonesia. Menjadi Guru Besar Tetap Ilmu Hukum

Universitas Halu Oleo, mulai diangkat tahun 2010.

Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum

Lahir di Makassar 26 Januari 1968. Ia menyelesaikan pendidikan

dasar, menengah pertama, dan menengah atas yang semuanya sekolah

negeri di Kota Makassar. Melanjutkan pendidikan tinggi pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin meraih gelar Sarjana Hukum

tahun 1994. Pernah juga mengenyam pendidikan pada Akademi

Bahasa Asing Jurusan Bahasa Inggeris Universitas Muslim Indonesia

1992-1995. Ia melanjutkan sekolah program Magister Ilmu Hukum

Universitas Hasanuddin, meraih gelar M.Hum tahun 1999. Saat ini

sedang tahap akhir pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Airlangga.

Sejak mahasiswa strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin rentang waktu 1987-1994, sudah mulai menekuni dunia

tulis menulis. Saat mahasiswa ketika itu, telah beberapa tulisannya

dimuat di Koran Kampus Identitas dan Koran Nasional Makassar

seperti harian Fajar dan Pedoman Rakyat. Mulai menapak sebagai

pengajar ketika menjadi guru Bahasa Inggeris di pesantren

Hidayatullah Balik Papan Kalimantan Timur 1995. Lalu menjadi

dosen pada Fakultas Hukum Universitas Satria Makassar 1997-2000.

Dosen Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar 1999. Kemudian

diangkat menjadi CPNS sebagai Dosen Tetap di Fakultas Hukum

Universitas Halu Oleo sejak 2003 sampai sekarang. Selama itu pula

pernah dipercayakan menjadi pengajar di Universitas Muhammadiyah

Kendari. Lalu menjadi pengajar Fakultas Teknik dan Fisip Universitas

Halu Oleo. Beberapa jabatan struktural yang pernah diembannya

antara lain. Ketua unit Jaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas

Halu Oleo, Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.

Sekarang menjadi Kepala Pusat Studi Hukum, HAM, dan Anti

Korupsi Universitas Halu Oleo. Selama menjadi pengajar, ia telah

menghasilkan puluhan artikel yang dimuat di media nasional. Pernah

pula menulis sepuluh Cerita Pendek yang sudah dimuat di Koran

Harian Kendari Pos. Tidak hanya menulis di media massa, juga

menulis artikel ilmiah dibeberapa jurnal yang ada di beberapa

perguruan tinggi di tanah air, yang sampai saat ini sudah 15 tulisannya

dimuat di beberapa jurnal. Sering juga diminta membawakan makalah

pada berbagai seminar maupun pertemuan ilmiah, mulai tingkat lokal,

nasional, dan pernah menjadi pembicara pada tiga konprensi

internasional yang pernah diadakan di tanah air. Buku yang pernah

ditulis adalah WAJAH POLITIK HUKUM INDONESIA ISBN

978-602-98683-6-4 Penerbit Komunika Kendari.