NOMENKLATUR
SISTEM HUKUM
INDONESIA
Prof. DR. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S.
Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum
NKLATUR SISTEM HUKUM INDONESIA
Pusat Studi Hukum, HAM
dan Anti Korupsi UHO
Fakultas Hukum UHO
Membincangkan hukum dalam tata krama pergaulan
sosial masyarakat Indonesia memang sangat menarik.
Lebih menarik lagi bila dibincangkan dengan dua
perspektif berbeda yaitu perspektif normatif dan
perspektif empiris. Buku ini hadir mencoba meramu
dua perespektif tersebut, namun tetap konsisten dengan
prinsip dasar dari masing-masing perspektif yaitu
norrmatif dan empiris. Yang menjadi ciri khas buku ini
dibanding buku-buku hukum lainnya, yaitu terdapat
titik anjak bahasan yang mengurai secara detail
bagaimana seharusnya hukum disikapi bila berada pada
tempat secara sui generis tidak boleh diintervensi oleh
disiplin ilmu lainnya, serta bagaimana hukum
sesungguhnya bila ditingkahi oleh prilaku sosial dan
politik. Sebuah pembahasan yang menarik dengan
bahasa yang lugas dan sederhana sehingga isi buku ini
sangat mudah dipahami bagi mereka yang mula-mula
belajar ilmu hukum dalam konteks sistem hukum
Indonesia.
Pusat Studi Hukum, HAM
dan Anti Korupsi UHO
Fakultas Hukum UHO
Sanksi Pelanggaran Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
R.I. No.19 tahun 2002 Perubahan Undang-Undang Hak Cipta No.12 tahun
1997 Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta),
atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling
banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan ,
atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau
denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Nomenklatur Sistem Hukum
Indonesia
Prof. DR. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S.
Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum
Nomenklatur Sistem Hukum Indonesia Edisi Pertama
Copyright©2015
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 978-602-98683-9-5
15X23 cm
xxxiii, 340 hlm
Cetakan ke-1, Oktober 2015
Penulis
Muhammad Jufri
Muhammad Sjaiful
Desain Cover
Tim Kreasi Komunika
Editor
M. Djufri Rachim
Percetakan
CV. Sejahtera Teknik Mandiri Indonesia
Penerbit
Komunika
Jl. Kendari Permai Y1/18 Kendari
Sulawesi Tenggara, Indonesia
Tlp. 0401-3139461
Email: [email protected]
Kerjasama
Pusat Studi Hukum, HAM dan Anti Korupsi UHO
Fakultas Hukum UHO
Kendari
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
SAMBUTAN PENULIS
Gagasan karya buku ini, berangkat dari keinginan penulis untuk
melengkapi khasanah kepustakaan yang secara spesifik
memperbincangkan sebuah sistem hukum dalam konteks kehidupan
sosial bernegara Indonesia. Memang telah banyak buku yang menulis
tentang Sistem Hukum Indonesia, tetapi buku yang ada ditangan
pembaca ini, paling tidak memberikan sentuhan lain yang mencoba
meramu pembahasan tentang nomenklatur hukum di Indonesia
sebagai satu sistem, antara pendekatan normatif dan pendekatan
empiris. Sangat disadari bahwa saat ini memang masih terjadi
dikotomi antara hukum dengan pendekatan normatif dan hukum
dengan pendekatan empiris. Untuk itu pula, buku ini sengja hadir guna
memperkenalkan hukum dalam konteks kehidupan masyarakat
Indonesia, baik pendekatan melalui normatif maupun pendekatan
empiris. Tentu saja, penulis tidak akan gegabah mencampuradukkan
pembahasan hukum secara normatif dan empiris. Karena memang
kedua pendekatan itu memiliki paradigma serta prinsip-prinsip dasar
yang sangat berbeda dan tidak boleh dicampurkadukkan dalam
mencermati hukum sebagai sebuah kajian ilmiah.
Buku ini sangat bermanfaat terutama bagi para pemula yang
hendak mempelajari hukum secara serius, sebab didalamnya
memudahkan pemahaman tentang eksistensi hukum apabila dikaji
pada dua pendekatan berbeda, yaitu pendekatan normatif dan empiris.
Sehingga sangat beralasan apabila buku ini penulis memberinya judul
Nomenklatur Sistem Hukum Indonesia. Artinya, keberadaan
hukum memang merupakan sebuah tatanan bersifat khas yang hadir
dalam bingkai sistem tertentu, yaitu sistem tata krama sosial bangsa
Indonesia. Adalah menarik, apabila cara mengkajinya tidak semata-
mata pada perspektif yang tunggal tetapi juga dengan perspektif yang
lain.
Isi buku ini, tentu saja masih belum terlalu sempurna. Untuk itu,
penulis membuka diri atas saran dan kritik demi perbaikan buku ini
pada edisi revisi terbitan selanjutnya.
Kendari, Awal September 2015
PRAKATA
Cicero1 pernah menulis “dimana ada masyarakat maka disitu ada
hukum” yang dalam bahasa aslinya ibi societas ibi ius. Ini adalah
ungkapan cukup logis untuk mendeskripsikan signifikansi keberadaan
hukum sebagai salah satu instrumen sosial yang berfungsi untuk
mengatur tingkah laku setiap anggota warga masyarakat yang hidup
bersama-sama serta saling berinteraksi secara permanen dalam satu
komunitas tertentu.
1Cicero yang hidup pada masa kerajaan Romawi, adalah salah seorang
filosof terkenal pada masa itu. Pada masa-masa akhir Republik Romawi,
orang hebat seperti Julius Caesar dan Pompeius saling bersaing
memperebutkan kekuasaan atas Romawi. Cicero adalah salah satu orang
terakhir yang berusaha mempertahankan Republik, dan dia berupaya supaya
pemerintahan republik tetap berjalan. Selain sebagai salah seorang politisi
terkuat di Romawi, Cicero juga menulis beberapa buku mengenai filsafat.
Cicero hidup pada masa yang sama dengan Lucretius, tidak lama setelah
Romawi menaklukan Yunani, dan kedua membaca filsafat Yunani dan
menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin untuk dibaca oleh orang Romawi
lainnya. Dalam prosesnya, mereka juga memasukkan gagasan-gagasan
mereka sendiri. Lucretius mengikuti aliran Epikurean, sedangkan Cicero
mengikuti filsafat Stoik. Cicero ikut memberikan ide-idenya sendiri ke dalam
Stoik. Dalam bukunya, "Dalam Tugas", Dia adalah salah seorang filsuf
pertama yang mengeluarkan gagasan bahwa setiap orang memiliki tugas
moral untuk memberikan keadilan bagi semua orang - semua manusia - tidak
peduli apakah mereka orang Romawi atau bukan, dan tidak peduli apa yang
sedang terjadi. Gagasan penting Cicero adalah bahwa setiap orang memiliki
hak karena mereka mereka manusia. Pada tahun 75 SM, Cicero bertugas
mewakili Rpublik Romawi di Sisilia. ketika berada di sana, dia mengunjungi
makam Arkhimedes di Syrakusa, dan membersihkannya. Pada akhirnya
musuh Cicero, yaitu Marcus Antonius, dan sekutunya, Augustus, berhasil
mengambil alih kekuasaan atas Romawi, dan mereka menghukum mati
Cicero pada tahun 43 SM, hanya setahun setelah pembunuhan Julius Caesar.
Adapun pandangan cicero tentang ibi societas ibi ius, diperkenalkan oleh
Samuel Rachel (1628-1691).
Dalam konteks demikian, seseorang jika hendak melakukan
pengkajian secara serius dan mendalam berkenaan dengan ilmu-ilmu
kemasyarakatan (ilmu-ilmu sosial), maka aspek pendekatan hukum
tentu saja tidak boleh dilepaskan begitu saja sebagai alat analisisnya.
Sebab, keteraturan dan gerak masing-masing individu anggota
masyarakat, sangat ditentukan oleh keberadaan instrumen hukum itu
sendiri.
Hanya hukumlah satu-satunya instrumen sosial yang melahirkan
nilai-nilai (values) yang berisi perintah dan larangan serta apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh masing-
masing anggota warga masyarakat tatkala hidup bersama dalam
sebuah komunitas. Hukum juga yang memberikan sanksi
(penjeraan/hukuman) kepada angota warga masyarakat yang
ditenggarai melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai tersebut. Tentu
saja keberadaan sanksi hukum, antara lain untuk menjaga harmonisasi
hak-hak dan kewajiban setiap anggota warga masyarakat yang sudah
ditetapkan oleh hukum.
Beranjak pada pandangan hukum sebagai nilai-nilai sosial, maka
sejatinya hukum memang tidak boleh dinafikan keberadaannya
apalagi termarjinalisasi dalam konteks kajian ilmu-ilmu sosial melalui
pendekatan apapun juga. Ambil contoh, dalam pengkajian sosiologi,
yaitu bidang ilmu yang secara spesifik mengkaji gejala serta prilaku
warga masyarakat. Bidang ilmu ini, meski secara mendalam hendak
mendiagnosa prilaku dan etika individu yang mengemuka di tengah-
tengah masyarakat sehingga antara lain memberikan pengaruh
terhadap dinamika sosial masyarakat. Namun harus diakui pula,
seorang sosiolog2 dalam telaahnya, harus menggunakan instrumen
hukum sebagai salah satu kerangka analisisnya tatkala hendak
2Istilah sosiolog yang penulis gunakan adalah merujuk kepada seseorang
yang memiliki minat untuk mengkaji secara spesifik sosiologi sebagai salah
satu cabang ilmu, secara konsisten dan berkesinambungan.
mengamati masyarakat sebagai sebuah gejala sosial3. Begitu pula,
dalam pengkajian politik, ekonomi, ilmu administrasi, dalam sudut
pandang sebagai prilaku sosial, tentu saja kita tidak bisa melepaskan
diri untuk menggunakan instrumen hukum sebagai salah satu “pisau”
analisisnya.
Paparan uraian sebagaimana ditulis sebelumnya, merupakan
landasan kerangka berpikir dalam mengkaji posisi hukum yang
bekerja dalam sebuah sistem sosial. Buku yang ditulis ini memang
hendak memberikan penjelasan kepada pembaca tentang apa dan
bagaimana hukum itu sesungguhnya jika dicermati dalam perspektif
ilmu sosial. Meski konsentrasi pengkajian buku ini, menempatkan
hukum dalam tataran sebagai ilmu sosial, namun itu tidak berarti
hukum harus dilihat apalagi menempatkan hukum itu sendiri secara
ekstrim dalam perspektif ilmu sosial an sich.
Sebab ada juga kalangan akademisi hukum, yang secara ekstrim
menolak untuk menempatkan hukum sebagai salah satu cabang atau
bidang dari ilmu-ilmu sosial, kelompok akademisi ini lebih cenderung
menempatkan hukum sebagai sebuah kajian yang bersifat dogmatik an
sich atau hukum adalah berada pada area kajian normatif yang
berbicara apa yang seharusnya maupun apa yang tidak seharusnya
(kajian bersifat preskriptif)4.
3Buku yang ditulis Lawrence M Friedman, berjudul The Legal System: A
Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fondation), merupakan
salah satu contoh literatur yang mengkaji hukum dalam sudut pandang ilmu
sosial. 4Antara lain Peter Mahmud Marzuki, Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Airlangga, dalam bukunya berjudul “Penelitian Hukum”, terbitan
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm. 22-28, ia sangat keras
menolak untuk menempatkan ilmu hukum dalam rumpun ilmu-ilmu sosial.
Menurutnya ilmu hukum memiliki karakter keilmuan yang khas yang tidak
mungkin dapat dipelajari oleh disiplin ilmu lain yang objek kajiannya juga
adalah hukum.
Namun demikian, sangat perlu untuk diperhatikan, isi buku ini tidak
berkehendak menjerumuskan diri diantara dua kubu pemikiran hukum yang
saling bertentangan secara diametral. Artinya, buku ini tidak ditulis dengan
pretensi “hitam putih” dari dua pendapat yang bertentangan cukup tajam, yang
saat ini masih mewarnai literatur pemikiran hukum di Indonesia, yaitu pihak
yang “ngotot” secara vis a vis mendudukkan “hukum sebagai ilmu sosial”
dengan pihak lainnya yang hendak menempatkan hukum dalam bingkai sui
generis sebagai ilmu bersifat normatif-dogmatik.
Arus utama atau mainstream muatan buku ini, memang sengaja ditulis
bukan untuk alasan normatif semata, tetapi dalam khasanah lebih luas, buku ini
hendak menerangkan kepada pembaca wilayah pengkajian hukum jika ditilik
dalam kerangka empiris. Sebab, hukum juga merupakan bagian dari ilmu
perilaku sosial sebagaimana yang pernah ditulis oleh Satjipto Rahardjo5.
Namun sesungguhnya, titik uraian buku ini lebih terkonsentrasi membahas
hukum pada lingkup sistem kemasyarakatan Negara Indonesia, sehingga untuk
judul buku ini oleh penulis member judul “Nomenklatur Sistem Hukum
Indonesia”, guna merepresentasi bahwa topik perbincangannya adalah
berkenaan dengan tatanan hukum yang berlaku secara ajeg di wilayah Negara
Indonesia.
Buku ini ditulis dengan sasaran pembaca adalah kalangan mahasiswa dan
staf pengajar dari disiplin ilmu sosial manapun, seperti mahasiswa dan staf
pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ekonomi, Fakultas
Budaya, ataupun fakultas-fakultas lainnya yang serumpun. Termasuk juga,
fakultas-fakultas ilmu-ilmu eksakta (ilmu pasti alam), yang menempatkan
pembelajaran mata kuliah ilmu hukum dalam kurikulumnya. Buku ini juga
penting untuk menjadi pegangan sebagai bacaan tambahan bagi mahasiswa
yang duduk di Fakultas Hukum khususnya, tatkala mempelajari hukum dalam
spektrum lebih luas, yaitu hukum dalam konteks normatif dan empiris.
5Silahkan baca buku karya Satjipto Rahardjo berjudul “Ilmu Hukum”,
terbitan PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, pada bab berjudul Hukum
sebagai Institusi Sosial, hlm. 117-124.
BAB 1
PENDAHULUAN
Masyarakat dan Hukum Masyarakat dan hukum merupakan dua komponen yang saling
terkait secara integral dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibarat
dua sisi mata uang, masyarakat sangat membutuhkan hukum untuk
mengatur keteraturan interaksi sosial antara warga dalam masyarakat.
Sedangkan hukum hanya akan menjadi tulisan-tulisan mati jika tidak
diterapkan di tengah kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, maka
wajar jika ada pandangan yang menyatakan bahwa hukum
sesungguhnya juga merupakan norma sosial. Artinya, ia merupakan
sebuah instrumen yang ditaati guna menjaga kemapanan kehidupan
sosial masyarakat sebagai satu sistem1.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan
kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan mengganggap diri
mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
dirumuskan secara jelas. Menurut Harold J. Lawski2:
Masyarakat adalah sekolompok manusia yang hidup bersama dan
bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan
mereka bersama.
Lebih lanjut Mac Iver dan Page3 mengemukakan bahwa :
Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan-kebiasaan dan tata
cara dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan
golongan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan
mereka.
Soerjono Soekanto4 dan Abdulsyani mengemukakan ciri-ciri
masyarakat itu yakni manusia yang hidup bersama, bercampur untuk
1 Soerjono Soekanto. 1986. “Ketertinggalan Kebudayaan”. PT Rajawali,
Jakarta, hlm. 9 2 Miriam Budiarjo. 1989. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT Gramedia,
Jakarta, hlm. 10 3 Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 49.
Bab 1 Pendahuluan
2
waktu yang lama, mereka sadar bahwa mereka mempunyai satu
kesatuan serta merupakan suatu sistem hidup bersama.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
adalah sekolompok manusia yang telah hidup bersama, untuk waktu
yang cukup lama dan menciptakan peraturan diantara mereka, sistem
komunikasi dan sistem hubungan, norma-norma yang mengikat
masing-masing individu dan akhirnya menciptakan kebudayaan yang
mencerminkan kehidupan kelompok. Oleh karena itu sebagai makhluk
sosial dalam suatu kumpulan sosial dalam masyarakat, manusia
dimanapun berada akan menyelenggarakan dan melangsungkan serta
mempertahankan kehidupan dan keberadaannya. Dengan demikian
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosialnya akan
ditanggapi dan dilaksanakan secara bersama-sama.
Manusia sebagai mahluk sosial, akan berinteraksi secara ajeg,
dengan motif-motif hendak mempertahankan eksistensinya serta
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan naluriahnya, sebagai
mahluk ciptaan Tuhan. Dalam rangka untuk mempertahankan
eksistensinya itu, maka manusia memerlukan beberapa kebutuhan
pokok, antara lain kebutuhan primer, meliputi kebutuhan terhadap
makanan, minuman, keperluan terhadap pakaian dan tempat tinggal
Semua kebutuhan primer tersebut, diperlukan agar manusia dapat
mempertahankan hidupnya. Jika manusia tidak mampu memenuhi
kebutuhannya itu, maka tentu manusia akan mengalami penderitaan
fisik serta berakibat kepada kematian. Kebutuhan-kebutuhan yang
dimaksud ini, adalah yang berkaitan dengan kebutuhan jasmani.
Begitu pula kebutuhan manusia yang lain, yang tidak bersifat
jasmani yaitu kebutuhan naluriah. Kebutuhan naluriah ini juga pada
dasarnya harus dipenuhi. Sebab jika hasrat naluriahnya itu tidak
terpenuhi, maka manusia akan mengalami kegelisahan dalam
4 Soerjono Soekanto, loc.cit
Bab 1 Pendahuluan
3
hidupnya, meskipun tidak berakibat kepada kematian. Memang ada
perbedaan dalam hal rangsangan-rangsangan yang dapat
membangkitkan kebutuhan, baik yang bersifat jasmani maupun
kebutuhan yang bersifat naluriah. Kebutuhan jasmani merupakan
kebutuhan fisik manusia yang harus dipenuhi yang sifatnya datang
dari dalam diri manusia, misalnya rasa lapar, rasa haus, rasa ingin
buang air, perlindungan dari rasa panas dan dingin. Perasaan-
perasaan tersebut dituntut untuk dipenuhi segera, jika tidak maka akan
menimbulkan penderitaan fisik yang kemungkinan besar berakibat
kematian. Misalnya, rasa lapar harus dipenuhi dengan kebutuhan
untuk makan dengan segera. Sedangkan, kebutuhan naluriah
meskipun berasal dari dalam diri manusia, tetapi hanya akan
terbangkitkan bila terdapat rangsangan dari luar. Misalnya, naluri
seksual yang ada pada diri seorang laki-laki. Naluri ini, mungkin akan
terbangkitkan jika melihat kemolekan tubuh seorang wanita.
Terdapat beberapa jenis kebutuhan naluriah manusia yang harus
dipenuhi sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial.
Taqiyuddin An-Nabhani5, telah memperinci jenis-jenis naluriah
manusia, yang mencakup:
a) Kebutuhan naluriah untuk mempertahankan jenis atau
melestarikan keturunannya. Kebutuhan naluriah ini, menurut
Taqiyuddin an Nabhani diwujudkan dalam bentuk hasrat seksual
kepada lawan jenis, yaitu ketertarikan laki-laki kepada perempuan
maupun sebaliknya. Inilah yang disebut dengan insting seksual.
Insting seksual sebenarnya, menurut Taqiyuddin an-Nabhani tidak
hanya berwujud kepada keinginan melakukan hubungan badan
(persenggamaan) antara laki-laki dan perempuan tetapi juga
berwujud kepada rasa cinta dan kasih sayang antara seorang suami
5 Hafidz Abdurrahman. 2004. Diskursus Islam Politik Spiritual. Al Azhar
Press, Bogor, hlm. 52-57.
Bab 1 Pendahuluan
4
dengan isterinya, kecintaan orang tua kepada anak-anaknya, kasih
sayang anak kepada kedua ibu bapaknya, atau juga kasih sayang
seorang kakek kepada cucunya. Pada contoh kasus, seorang nenek
yang mengumpulkan anak-anak yatim piatu untuk diasuh dan
dibesarkan, juga merupakan salah satu wujud pemenuhan naluri
seksual. Dengan demikian, bila naluri untuk mempertahankan
jenis atau melestarikan keturunannya, bagi manusia tidak
terpenuhi, maka ia pasti akan mengalami kegelisahan dalam
jiwanya.
b) Kebutuhan naluri beragama. Kebutuhan ini merupakan wujud
naluriah manusia untuk mengagungkan sesuatu yang lebih besar
dari dirinya. Naluri ini umumnya terwujud dalam bentuk sikap
manusia melakukan penyembahan-penyembahan atau ibadah-
ibadah ritual kepada Tuhan Pencipta sesuai dengan persepsi dan
keyakinannya terhadap apa yang disebut sebagai Tuhan.
Misalnya, orang Islam yang melakukan ibadah penyembahan
kepada Allah SWT yang diyakininya sebagai Zat Maha Tunggal
yang menciptakan alam semesta ini. Begitu pula dengan pemeluk
agama lain seperti orang Kristen yang mengunjungi gereja, orang
Hindu memasuki kuil peribadatannya, atau orang Budha yang
memasuki klenteng peribadatannya. Semua pemeluk agama
tersebut mengunjungi rumah-rumah ibadahnya, merupakan
manifestasi memenuhi naluri beragamanya. Jadi sesungguhnya,
naluri beragama merupakan wujud pengkudusan seorang manusia
kepada sesuatu atau zat yang dianggap lebih kuat atau lebih agung
darinya. Baik zat atau sesuatu itu sifatnya gaib tidak dapat dicerap
oleh panca indera manusia maupun yang dapat dicerap oleh panca
indera manusia. Pada contoh kasus lain, seperti praktik-praktik
ritual pada masyarakat pedesaan atau masyarakat pesisir di
Indonesia, seperti menabur sesajen sebagai syarat untuk menolak
Bab 1 Pendahuluan
5
bala atau menghormati mahluk-mahluk gaib, atau juga pada
contoh kasus seseorang mengagumi atau menghormati ketokohan
terhadap seseorang yang dia anggap memiliki kehebatan-
kehebatan tertentu, seperti masyarakat Soviet Rusia dahulu yang
menghormati dan mengagungkan Lenin sebagai tokoh komunis,
maka ini juga dapat dikatakan contoh dari wujud naluri beragama
seseorang.
c) Kebutuhan naluri mempertahankan diri. Ini merupakan naluri
manusia yang bersifat survival instinct, yaitu naluri manusia utuk
menghindar dari rasa takut, mengalami penderitaan, atau
kesengsaraan. Naluri ini biasanya diekspresikan dalam bentuk rasa
marah, sedih, gembira, atau ketakutan akan kehilangan sesuatu.
Contoh dari penampakan naluriah ini, seseorang yang
menyaksikan saudara atau temannya yang meninggal dunia, yang
kalau orang tersebut adalah seorang muslim, maka ia akan teringat
akan kematian dan timbul rasa takut mati pada dirinya, sementara
dia merasa belum siap karena masih punya banyak dosa. Perasaan
ini lahir karena yang bersangkutan melihat realitas jenazah yang
dimandikan, dikafani, dishalati kemudian dikuburkan, lalu jenazah
tersebut ditinggalkan sendiri dalam kubur. Orang yang
menyaksikannya dapat membayangkan, bagaimana jika dia kelak
mati seperti jenazah itu.
Pemenuhan kebutuhan jasmani manusia serta kebutuhan
naluriahnya, merupakan sesuatu yang mutlak harus dipenuhi. Untuk
pemenuhan tersebut, tentu saja manusia tidak bisa hidup sendiri. Ia
memerlukan ketergantungan satu sama lain dengan manusia lainnya
bahkan juga terhadap alam dimana dia berdomisili. Saling
ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya,
meniscayakan manusia untuk hidup berkelompok, membentuk sebuah
komunitas masyarakat. Melalui pembentukan komunitas masyarakat
Bab 1 Pendahuluan
6
tersebut, bertujuan untuk memenuhi kemaslahatan bersama dengan
berlandaskan kepada ideologi atau pandangan hidup yang menjadi
landasan tegaknya masyarakat itu sendiri.
Jadi pada dasarnya masyarakat adalah kumpulan manusia,
pemikiran, perasaan, dan sistem. Inilah realitas masyarakat sesuai
dengan karakternya sebagai komunitas manusia. Manusia secara fitrah
mempunyai kebutuhan jasmani dan naluri yang harus dipenuhi. Dari
sini, lahirlah kemaslahatan masing-masing orang yang menuntut untuk
diraih. Kemaslahatan disini tidak lain adalah manfaat yang hendak
diperoleh atau kemudharatan yang hendak dihindari oleh setiap orang.
Ketika masing-masing orang mempunyai kemaslahatan yang harus
diraih, maka terbentuklah interaksi satu sama lain. Hanya saja,
interaksi tersebut setelah masing-masing orang mempunyai kesamaan
kemaslahatan di antara mereka. Yang menentukan kesamaan
kemaslahatan itu tidak lain adalah kesamaan pemikiran dan perasaan
masing-masing dalam menyikapi kemaslahatan tersebut. Pada
akhirnya, mereka pun harus menyepakati suatu mekanisme atau aturan
main yang digunakan untuk mengatur kemaslahatan yang hendak
mereka raih. Dari sinilah, masing-masing orang tersebut
membutuhkan satu sistem (mekanisme atau aturan main) yang
digunakan untuk memenuhi kemaslahatan mereka6.
Dengan demikian, dalam masyarakat, akan senantiasa terjadi
interaksi antara sesama manusia, karena adanya kemaslahatan tertentu
yang hendak diwujudkan. Yang menentukan apakah sesuatu itu
merupakan kemaslahatan atau bukan dan apakah kemaslahatan
tersebut harus diraih ataukah tidak, semua itu bergantung pada
pemikiran dan perasaan masing-masing dalam menyikapi
kemaslahatan tersebut serta sistem yang digunakan untuk meraihnya.
6 Hafidz Abdurrahman, Majalah Al-Waie nomor 44 tanggal 4 Januari
2004 dalam tulisan judul Memasuki Masyarakat
Bab 1 Pendahuluan
7
Dengan kata lain, ia bergantung pada ideologi dan pemahaman yang
mereka terima. Pemahaman dan ideologi, yang berlaku di tengah-
tengah masyarakat tidak lain karena adanya entitas operasional yang
menerapkannya. Itulah kekuasaan politik, yang menjelma dalam
bentuk Negara7.
Dari penjelasan tentang masyarakat sebagai sistem, maka kita
dapat menyimpulkan bahwa manusia pada hakikatnya secara fitrah,
selalu ingin hidup berkelompok atau hidup bermasyarakat. Menurut
Peter Mahmud Marzuki8 dengan mengutip pandangan Richard D
Schawartz dan E.A. Hoebel, bahwa manusia tidak pernah hidup secara
soliter atau atomistis. Untuk itulah, maka manusia dalam hidup
berkelompok tersebut, memerlukan aturan bertingkah laku. Aturan
bertingkah laku inilah, menurut Peter Mahmud Marzuki, yang kelak
menjadi issue of dispute.
Untuk keperluan aturan bertingkah laku dalam suatu komunitas
masyarakat, Peter Mahmud Marzuki9 tidak sependapat dengan
pandangan Lawrence Friedmann, bahwa pada masyarakat yang tidak
mengenal organisasi formal tidak dikenal adanya hukum. Sanggahan
Peter Mahmud Marzuki, bahwa hukum akan tetap berlaku pada
bentuk dan jenis masyarakat manapun, meskipun komunitas
masyarakat yang dimaksud, tidak mengenal organisasi kenegaraan
“formal” sebagaimana masyarakat terdapat pada masyarakat moderen.
Untuk mendukung pendapatnya ini, Peter Mahmud Marzuki mengutip
pandangan Malinowski, sebagai berikut:
There must be in all societies a class of rules too practical to be
backed up religious sanctions, too burdensome to be left to mere
7 Hafidz Abdurrahman, ibid.
8 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi).
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 47. 9 Ibid., hlm. 48.
Bab 1 Pendahuluan
8
good will, too personally vital to individuals to be enforced by any
abstract agency. This is the domain of legal rules and I venture to
foretell that reciprocity, systematic incidence, publicity and
ambition will be found to be the main factors in the binding
machinery of primitive law.
Pandangan Malinowski tersebut, kata Peter Mahmud Marzuki
adalah untuk menggugurkan pendapat Lawence Friedmann yang
mencermati kedudukan hukum akan berfungsi menjadi nilai normatif
bila ditransformasikan oleh kekuasaan kenegaraan yang bersifat
formal. Menurut Peter Mahmud Marzuki, memang ada anggapan
bahwa pada masyarakat primitif tidak dibutuhkan hukum, sebab
masyarakat primitif sudah dengan sendirinya dan secara otomatis taat
kepada aturan yang ada, yang disebut mores. Menurut anggapan
tersebut, mores dipandang sebagai gabungan antara kebiasaan, adat
istiadat, dan agama. Dalam situasi demikian tidak ada hukum, tidak
ada hak milik pribadi, tidak ada pelaksanaan hak yang dimiliki oleh
individu. Lalu apakah yang menjadi sarana pengikat masyarakat
primitif? Menurut mereka yang menegasikan eksistensi hukum dalam
masyarakat primitif, sarana pengikat kebersamaan masyarakat
primitif, adanya rasa ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui
atau ketakutan akan kekuatan gaib yang mungkin dapat menghukum
umat manusia. Apa yang dilakukan orang tanpa menimbulkan akibat
buruk, dilakukan lagi secara berulang-ulang. Oleh karena itu, mereka
tidak ingin merubahnya jika tidak ingin mendapat celaka yang
merupakan sanksi bersifat supranatural. Masyarakat primitif lalu tidak
memiliki keinginan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang telah
dilakukan. Dengan demikian, menurut penganut pandangan ini,
hukum yang mula-mula bersumber dari sanksi bersifat relijius,
ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui, dan adanya kekuatan
gaib yang hadir dimana-mana.
Bab 1 Pendahuluan
9
Sehubungan dengan, pandangan tersebut, Peter Mahmud Marzuki10
memberikan penjelasan tambahan bahwa suatu hal yang perlu
dikemukakan disini adalah perlunya sikap hati-hati melakukan
interpretasi terhadap praktik-praktik ataupun kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan oleh masyarakat primitif. Tidak dapat disangkal
bahwa dalam menginterpertasi aturan-aturan yang berkembang di
masyarakat primitif, para pengamat tersebut, kata Peter Mahmud,
yang berpendidikan barat dan moderen telah telah bersikap bias secara
kultural. Misalnya, Lawrence Friedmann yang keliru dalam
mengambil kesimpulan untuk menggambarkan keberadaan hukum
dalam masyarakat primitif.
Melalui studi antropolgis Malinowski, justeru menjelaskan bahwa
tidak semua kebiasaan mempunyai tingkatan yang sama. Beberapa
aturan tingkah laku diikuti karena memang dipilih untuk diikuti, baik
karena memang menyenangkan atau karena anggota-anggota
masyarakat memang tidak pernah berpikir untuk melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan aturan itu. Akan tetapi, ada juga aturan-
aturan utuk hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Aturan semacam
inilah yang memerlukan mekanisme penerapan secara efektif.
Selanjutnya, Malinowski memberikan ilustrasi bahwa seorang anggota
masyarakat suatu ras tertentu yang berdiam di sebuah gubuk yang
berbentuk lingkaran mungkin tidak berkeinginan untuk membangun
gubuk berbentuk persegi. Apabila ia membangunnya juga dengan
bentuk persegi, keanehan itu tidak akan membahayakan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena tidak diperlukan aturan
yang melarang hal semacam itu. Namun apabila terjadi perzinahan
atau perkosaan, aturan yang tegas akan tetap diterapkan. Berdasarkan
apa yang dikemukakan oleh Malinowski, tidak dapat disangkal bahwa
dalam masyarakat primitif juga telah ada norma yang bukan sekedar
10
Ibid.
Bab 1 Pendahuluan
10
norma kebiasaan atau mores semata-mata, melainkan suatu norma
yang disebut norma hukum11
.
Penjelasan Peter Mahmud, dengan mengadopsi pandangan
Malinowski, sebagai sanggahan terhadap penjelasan Lawrence
Friedmann, menurut penulis, pendapat Peter Mahmud tersebut,
memang ada benarnya bila kita hendak mendudukkan hukum sebagi
sebuah pranata sosial yang menjadi syarat integral dari terbentuknya
masyarakat apapun model, bentuk, maupun karakteristik masyarakat
itu sendiri. Sebab pada kenyataannya, perkembangan peradaban
masyarakat, selalu berjalan seiring dengan norma-norma hukum untuk
mengatur tingkah laku warga masyarakatnya itu sendiri. Memang
hukum sejatinya tidak harus bertumpu kepada bentukan masyarakat
yang melulu harus merupakan komunitas dalam wadah negara secara
formal, sebagaimana terlihat pada bentuk negara-negara moderen di
Eropa atau Amerika, yang berbentuk republik berbasis demokrasi.
Hukum juga akan tampak sebagai sebuah pranata sosial yang
sangat diperlukan tanpa harus mensyaratkan model masyarakat yang
hidup dalam bentuk negara formal moderen seperti pada realitas
negara-negara moderen yang mulai tumbuh sejak gagasan
nasionalisme demokrasi mengkooptasi lahirnya negara-negara
merdeka yang merambah Benua Asia dan Afrika memasuki abad ke-
19 Masehi. Artinya, hukum akan tetap eksis diterima sebagai sebuah
norma atau kaidah, meski itu dalam masyarakat yag sederhana atau
disebut sebagai masyarakat primitif sekalipun, sebagaimana pada
contoh masyarakat Arab di Kota Mekkah Pra-Islam.
Pada masyarakat Arab jahiliyah di Kota Mekkah, pranata hukum
sebagai norma sosial, tetap dipandang sebagai norma hukum yang
harus ditaati oleh suku-suku yang hidup berdampingan serta saling
berinteraksi pada masyarakat pra-Islam tersebut. Sebagai contoh,
11
Ibid., hlm. 49-50.
Bab 1 Pendahuluan
11
dalam masyarakat pra Islam di Kota Mekah, seorang budak dicabut
hak-hak keistimewaannya sebagai manusia yang merdeka dan
memiliki hak-hak menyatakan pendapat. Seorang budak dipandang
sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara bebas oleh
tuannya. Namun sejak kedatangan Islam, status perbudakan perlahan-
lahan dihapuskan. Islam menetapkan aturan yang datangnya dari
Tuhan Pencipta semesta alam, bahwa manusia memiliki hak-hak yang
sama didepan hukum syariah, tanpa memandang perbedaan status
manusia budak dan manusia merdeka. Contoh lain, masih dalam
konteks masyarakat Arab jahiliyah pra Islam. Berlaku ketentuan,
bahwa anak perempuan tidak berhak mendapat harta warisan dari
kedua orang tuanya. Ketentuan ini, telah menjadi norma hukum yang
berlaku di tengah masyarakat Arab jahiliyah dahulu sebelum
kedatangan Islam. Nanti, setelah kedatangan Islam yang telah
merubah secara revolusioner struktur masyarakat bangsa Arab
menjadi masyarakat yang tegak atas dasar ideologi Islam. Ketentuan
tentang pembagian harta warisan yang tidak memberikan porsi
(bagian) kepada anak perempuan, dihapuskan.
Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia dimana kita masih
dapati hidup berkembang suku-suku terasing, seperti Suku Badui,
Suku Dayak, Suku Bajo, Suku Kajang, dan beberapa suku yang ada di
Provinsi Papua. Semua suku yang dimaksud, meski masih terbentuk
sebagai komunitas masyarakat yang sederhana, tetapi ditengah
kehidupan masyarakatnya, telah memberlakukan norma-norma prilaku
sebagai norma hukum yang mengikat antar warga masyarakatnya.
Adapun dalam perspektif pandangan Lawrence Friedmann sebagai
seorang penganut mazhab positivisme, menurut pendapat penulis,
memang dapat dibenarkan pada perspektif tertentu, yaitu bila
pandangan Lawrence Friedmann tentang persyaratan formal yang
harus terdapat pada terbentuknya hukum sebagai norma, kita
Bab 1 Pendahuluan
12
elaborasikan dengan pernyataan bahwa hukum membutuhkan
kekuasaan formal. Maka tentu saja, hukum agar dapat memiliki daya
paksa, ia membutuhkan kekuatan berupa kekuasaan formal. Tentu
saja, model dan penerapan kekuasaan formal itu, dalam setiap
masyarakat berbeda tergantung dari karakteristik masyarakat itu
sendiri. Pada masyarakat primitif atau sederhana, kekuasaan formal
direpresentasikan oleh sosok seseorang yang dipandang memiliki
kekuatan magis atau kekuatan berupa keunggulan fisik serta
kemahiran bertarung yang tak terkalahkan. Seseorang yang dimaksud
itu, secara komunal akan diangkat oleh anggota masyarakatnya
sebagai pemimpin mereka.
Sebenarnya yang dimaksud kekuasaan formal, memang tidak harus
terwujud dalam bentuk adanya seremoni kenegaraan untuk
pengangkatan seorang pemimpin atau pemegang kekuasaan seperti
yang terdeskripsi pada negara republik atau keharusan adanya
pengangkatan formal oleh para elit politik seperti para wakil rakyat
yang duduk di parlemen. Kekuasaan formal juga sebetulnya dapat
terdeskripsi pada kehendak komunal kelompok masyarakat untuk
mengangkat pemimpin diantara mereka karena sang pemimpin itu
memiliki kharisma dan energi magis atau kekuatan supranatural.
Seperti pada contoh masyarakat yang sederhana dan primitif.
Pendekatan Analisis terhadap Hukum Pembahasan tentang pendekatan analisis terhadap hukum sebagai
ilmu normatif, maupun norma prilaku, memang masih terdapat
beragam pendapat dengan sudut pandang keilmuan yang berbeda. Ada
yang bersikukuh bahwa pendekatan analisis terhadap hukum haruslah
ditinjau dengan menempatkan hukum sebagai ilmu yang bersifat sui
generis yang tidak boleh diintervensi oleh disiplin ilmu lainnya
seperti, seperti ilmu-ilmu empiris. Ada juga yang berargumentasi
Bab 1 Pendahuluan
13
bahwa hukum dengan analisis pendekatan sistem, juga mesti ditelaah
dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu, seperti ilmu-ilmu sosial, ilmu
antropologi, psikologi, dan komunikasi.
Pada sub-pembahasan ini, penulis menguraikan beberapa
pendekatan analisis terhadap hukum, pada dua perspektif yaitu hukum
dengan pendekatan normatif dan hukum dengan pendekatan ilmu-ilmu
sosial, sebagai berikut:
1. Hukum dengan Pendekatan Normatif
Hukum dengan pendekatan normatif, adalah sebuah pendekatan
analisis yang hendak menempatkan ilmu hukum sebagai ilmu yang
bersifat sui generis, yaitu kedudukan hukum sebagai bidang ilmu yang
bersifat preskriptif, yaitu ilmu yang memiliki karakteristik sarat nilai.
Peter Mahmud Marzuki12
, berargumentasi bahwa ilmu hukum
memiliki sifat menganjurkan bukan hanya mengemukakan apa
adanya. Karena itu, ilmu hukum kata Peter Mahmud Marzuki tidak
tepat dimasukkan ke dalam bilangan ilmu empiris. Ilmu hukum
hendak mencari kebenaran koherensi bukan kebenaran korespondensi.
Ilmu hukum yang pada galibnya mencari kebenaran koherensi,
dalam perspektif menempatkannya sebagai bidang ilmu yang bersifat
preskriptif memang dapat dibenarkan sebab kebenaran koherensi
adalah sebuah model kebenaran yang merujuk kepada ide atau
gagasan yang bersifat a priori. Ide ini lahir dari akal budi manusia
yang bertumpu kepada rasionalitas, yang menghasilkan pernyataan-
pernyataan yang bersifat logis, analitis, dan matematis13
. Dari
pandangan inilah, maka hukum yang secara prinsip mengusung
kebenaran koherensi, tentu saja ilmu hukum sarat nilai, sehingga
12
Peter Mahmud Marzuki, ibid., hlm.8-9. 13
Widodo Dwi Putro. 2011. Kritik terhadap Paradigma Positivisme
Hukum. Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 237.
Bab 1 Pendahuluan
14
hukum tidak boleh didudukkan dalam konteks yang bebas nilai atau
bersifat apa adanya.
Dengan memahami karakteristik keilmuan hukum tersebut, maka
kata Peter Mahmud Marzuki, tidak tepat kalau ilmu hukum
dikategorikan sebagai bagian dari ilmu sosial. Sebab ilmu sosial
masuk kedalam bilangan ilmu empiris yang bersifat deskriptif.
Kebenaran yang diperoleh ilmu sosial sebagai ilmu empiris, adalah
kebenaran korespondensi. Ilmu sosial bebas nilai. Selain itu, ilmu
sosial mempelajari prilaku (behaviour). Sebaliknya, ilmu hukum
bukan mempelajari prilaku, melainkan mempelajari tindakan atau
perbuatan (act) yang berkaitan dengan norma dan prinsip hukum.
Achmad Ali14
, juga memberikan uraian yang sama tentang hukum
dengan pendekatan normatif, bahwa pendekatan hukum normatif
memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakup
seperangkat asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan
hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Melalui pendekatan ini,
Achmad Ali berpandangan bahwa asas hukum yang melahirkan norma
hukum, kemudian norma hukum yang melahirkan aturan hukum. Dari
satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu norma hukum
sampai tak terhingga jumlahnya. Juga dari satu norma hukum dapat
melahirkan lebih dari satu aturan hukum. Untuk lebih jelasnya uraian
tersebut, berikut penulis paparkan melalui ragaan berikut ini:
14
Achmad Ali. 2011. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm. 6.
Bab 1 Pendahuluan
15
Ragaan 1
Kristalisasi Asas Hukum ke Aturan Hukum
Dari ragaan 1 tampak bahwa asas hukum merupakan meta norma
yang memuat nilai-nilai tuntunan etis. Ia merupakan landasan bagi
tegaknya norma hukum secara konkrit. Sedangkan norma hukum
merupakan konsep-konsep hukum yang berisi kaidah-kaidah
berprilaku tentang apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya,
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kristalisasi konkrit norma
hukum tersebut, akan dituangkan dalam bentuk produk hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis.
ASAS HUKUM Pengakuan Hak Milik
Individu
NORMA HUKUM
ATURAN
HUKUM
Tidak Boleh Mengambil
Milik Orang Lain
1. Pasal 362 KUHPidana Ancaman
Pidana Bagi Pelaku Pencurian.
2. Pasal 372 KUHPidana tentang
Ancaman Pidana Bagi Pelaku
Penggelapan
Bab 1 Pendahuluan
16
Adapun menyangkut definisi asas hukum, menurut Gemala Dewi,
dkk15
, istilah asas berasal dari bahasa Arab yaitu kata asasun yang
berarti dasar, basis, dan fondasi, sedangkan secara terminilogi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar atau
sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. 16
Istilah
lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip, yaitu
dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak,
dan sebagainya17
. Muhammad Daud Ali18
, mengartikan asas apabila
dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat,
terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, dari segi etimologis (peristilahan)
asas hukum dan prinsip hukum menurut pendapat Agus Yudha
Hernoko19
, pada dasarnya merujuk kepada pengertian yang sama.
Terkait pengertian “asas” atau “prinsip” yang sering digunakan dalam
Bahasa Belanda, disebut beginsel atau principle (Bahasa Inggeris)
atau dalam Bahasa Latin disebut principum (primus artinya pertama
dan capere artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal
berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak
15
Gemala Dewi, dkk. 2013. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.
diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup dengan dengan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 30. 16
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 70 17
Ibid .,hlm. 896. 18
Muhammad Daud Ali. 2000. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 114. 19
Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial). Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 21.
Bab 1 Pendahuluan
17
atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan
sebagainya.
Menyangkut istilah prinsip, menurut Abd Shomad20
yang mengutip
Henry Campbell Black, mengartikan prinsip sebagai a fundamental
truth or doctrine, as a law, a comprehensive rule or doctrine which
finishes a basis or origin for others. Selanjutnya Abd Shomad dengan
mengutip Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa asas hukum
merupakan jantungnya peraturan hukum dan ia merupakan landasan
yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti
bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Bruggink21
mengartikan asas
atau prinsip hukum sebagai nilai-nilai yang melandasi norma hukum.
Selanjutnya dengan menyitir pendapat Paul Scholten22
bahwa asas
hukum merupakan pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan
20
Abd Shomad. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia. Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, hlm. 58. 21
Dalam pandangan Bruggink, asas-asas hukum memiliki fungsi ganda,
yakni sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai alat uji kritis
terhadap sistem hukum positif tersebut. Ilustrasi dari fungsi ganda asas
hukum tersebut yang diberikan Bruggink berkenaan dengan perlindungan
lingkungan hidup pribadi (de persoonlijke levenssfeer) yang dihargai sangat
tinggi di dalam sistem hukum positif (Belanda). Tolok ukur dari asas hukum
dipertahankan sebagai cita-cita yang setiap kali harus direalisasikan. Karena
itu, menurut Bruggink, asas hukum sekalipun telah direalisasikan tetap dapat
difungsikan sebagai alat uji kritis terhadap sistem hukum positif, yakni
bilamana terjadi bahwa lingkungan hidup pribadi ternyata tidak atau kurang
mendapat perlindungan, dikutip dari Herlien Budiono. 2006. Asas
Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 306. 22
Paul Scholten dalam Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum.
Liberty, Yogyakarta, hlm. 33.
Bab 1 Pendahuluan
18
dibelakang sistem hukum masing-masing yang dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan serta putusan-putusan hakim, yang
berkenaan dengan ketentuan dan keputusan individual. Paton23
mengatakan bahwa a principle is the broad reason which lies at the
base of rule of law. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya
dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja
ada dan akan melahirkan peraturan selanjutnya. Asas hukum ini pula
yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga
menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan
belaka, karena asas mengandung nilai-nilai dan tuntunan-tuntunan
etis24
.
Asas hukum yang pada dasarnya mengandung sejumlah nilai serta
tuntunan etis, maka menurut Agus Yudha Hernoko25
, suatu aturan atau
norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis atau prinsip
sebagai ruhnya. Merupakan kejanggalan bahkan konyol apabila suatu
norma tidak memiliki dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip
dalam konteks operasionalnya. Suatu norma tanpa landasan filosofis
serta pijakan asas, Agus Yudha Hernoko mengibaratkannya sebagai
manusia yang “buta” dan “lumpuh”.
Bila Achmad Ali, menjelaskan pendekatan hukum normatif,
dengan mempertautkan asas hukum, norma hukum, sampai
terkristalisasi dalam bentuk aturan hukum, maka bagi Sudikno
Mertokusumo, hukum dengan pendekatan normatif, dapat ditelaah
dengan menggunakan lapisan-lapisan ilmu dalam hukum, yang
mencakup lapisan pertama pada piramida puncak adalah filsafat
hukum, pada lapisan kedua adalah teori hukum, sedangkan pada
23
Paton dalam Chainur Arrasyid. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 36 24
Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 3. 25
Agus Yudha Hernoko, op.,cit., hlm. 21
Bab 1 Pendahuluan
19
lapisan terakhir adalah dogma hukum. Tiga lapisan hukum tersebut,
saling memberikan pengaruh satu sama lain, tetapi masing-masing
lapisan itu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Lapisan filsafat hukum, menjangkau pembahasan pada hal-hal yang
bersifat abstrak dan merupakan meta teori dimana lapisan filsafat
hukum selalu berada pada tataran yang bersifat idea atau gagasan. Ia
menyentuh hal-hal yang bersifat trasendental. Bagi Peter Mahmud
Marzuki26
, filsafat hukum sebenarnya lebih memberikan penjelasan
kepada asas-asas hukum yang menjadi dasar paradigmatik bagi
tegaknya sebuah aturan hukum, sehingga tentu saja asas-asas hukum
menyentuh pada hal-hal bersifat meta norma dimana asas hukum
tersebut akan sangat bermanfaat bagi pembentukan hukum, penerapan
hukum, dan pengembangan ilmu hukum.
Filsafat hukum pada prinsipnya merupakan sebuah kajian
pemikiran yang bermaksud mendalami apa yang menjadi nilai-nilai
hakiki yang terkandung di dalam sebuah produk hukum ataupun
sistem hukum tertentu. Pandangan tentang filsafat hukum sebagai
kajian pemikiran yang hendak mendalami hakikat dibalik hukum,
antara lain dapat disimak dari apa yang ditulis oleh Mr Soetiksno27
,
sebagai berikut:
Dapat dikatakan apa yang dikerjakan oleh seorang ahli fikir,
seorang filsuf hukum, dapat dibandingkan dengan apa yang
diperbuat oleh serang ahli kimia. Seorang filsuf hukum mencari
hakekat daripada hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada
dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam
26
Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, hlm.117-118. 27
Mr Soetiksno. 1988. Filsafat Hukum Bagian I, PT Pradnya Paramita,
Jakarta, hlm. 2.
Bab 1 Pendahuluan
20
hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai
pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai-nilai,
postulat-postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya
filsafat yang terakhir. Ia berusaha untuk mencapai akarnya dari
hukum.
Sudikno Mertokusumo28
, juga memiliki pandangan yang sama
tentang letak kajian filsafat hukum yang lebih bersifat perenungan
terhadap hakikat paling dalam mengenai hukum dengan sifatnya yang
umum dan radikal. Sudikno Mertokusumo, menguraikan lebih lanjut
dalam tulisannya sebagai berikut:
Dalam Bahasa Belanda filsafat hukum dikenal dengan istilah
wijsbegeerte van het recht yang berarti hasrat (begeerte) atau
keinginan yanag amat besar akan kearifan (wijs) atau kebijaksaan
tentang hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum ingin
mendalami sampai pada akar-akarnya mengenai hukum.
Disamping itu, dikenal istilah-istilah Rechtsphilosophie,
philosophy of law dan legal philosophy. Juga dikenal istilah-istilah
legal theory, jurisprudence, dan theory of justice.
Mengacu kepada definisi filsafat seperti yang dikemukakan diatas,
maka filsafat hukum adalah perenungan atau refleksi yang
sedalam-dalamnya sampai pada akar-akarnya (radikal) dalam
sifatnya yang umum (uberhaupt) mengenai segala sesuatu tentang
hukum.
Dengan demikian, filsafat hukum berusaha untuk mendalami sifat
khas hukum dalam pelbagai bentuknya, mencari das Ding an Sich
28
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hlm. 69.
Bab 1 Pendahuluan
21
dari hukum, dan itu berarti hendak memahami hukum sebagai
manifestasi suatu prinsip yang ada didalamnya. Dengan perkataan
lain, filsafat hukum menanyakan tentang hakikat hukum
berdasarkan atas refleksi yang tidak dapat diuji secara empiris,
tetapi harus memenuhi persyaratan rasional tertentu dan tersusun
secara logis; suatu refleksi atas dasar-dasar kenyataan yuridis,
suatu bentuk berpikir sistematis yang hanya puas dengan yang
dihasilkan secara sistematis dan mencari hubungan yang
direfleksikan secara teoritis, yang gejala hukum dapat dipahami
dan dapat dipikirkan29
.
Filsafat hukum tidak bertujuan menguraikan, menafsirkan, atau
menjelaskan hukum positif, tetapi untuk memahami dan
menyelami hukum dengan sifat-sifatnya yang umum yang
iiberhaupt… yang ditanyakan oleh filsafat hukum adalah apa
hukum itu… .
Penjelasan Sudikno Mertokusumo tentang Filsafat Hukum tersebut
tampaknya sejalan dengan penjelasan Bernard Arif Sidharta30
dengan
mengutip pendapat D.H.M. Meuwissen yang mendudukkan filsafat
hukum sebagai sebuah kajian yang berusaha mengungkap hakikat
hukum dengan menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum
sejauh yang mampu dijangkau oleh akal manusia. Sehingga menurut
Sidharta, masalah pokok filsafat hukum adalah persoalan marjinal
yang berkenaan dengan hukum. Artinya, objek formal filsafat hukum
29
Uraian paragraf ini sebenarnya merupakan kutipan Soerjono Soekanto
di dalam Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtstheorie? Kluwer
Rechtswetenschappen, Antwerpen, Nederland, 1982, hlm. 83. 30
Bernard Arif Sidharta, Refleksi tentang Struktur Hukum (Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia.
Bab 1 Pendahuluan
22
adalah memandang hukum dari dua perspektif fundamental yang
saling berkaitan. Pertama, apa yang menjadi landasan kekuatan
mengikat dari hukum. Kedua, atas dasar apa hukum dapat dinilai
keadilannya. Dalam dua pertanyaan itu terkandung masalah tujuan
hukum, hubungan hukum dengan kekuasaan serta hubungan hukum
dengan moral. Dengan demikian, menurut Sidharta, objek formal
filsafat hukum adalah berfokus kepada landasan dan batas-batas
kaidah hukum. Jawaban terhadap dwi-pertanyaan fundamental
tersebut, akan ditentukan oleh pendirian yang dianut tentang eksistensi
manusia dan kedudukannya di alam semesta, yakni oleh pandangan
hidup31
yang meliputi keyakinan tentang hubungan antara manusia
dan alam, manusia dan sesamanya serta manusia dan Tuhan32
.
Merujuk penjelasan bahwa filsafat hukum sangat terkait pandangan
hidup yang meliputi keyakinan yang dianut manusia, maka dari titik
inilah akan tampak bahwa ideologi merupakan sebuah nilai yang
menjadi kemestian bagi pijakan analisis filsafat hukum itu sendiri.
Artinya, keterkaitan antara ideologi dengan filsafat hukum dapat
diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain.
31
Tampaknya penjelasan Arif Sidharta tentang filsafat hukum yang
terkait dengan eksistensi manusia dan pandangan hidup, pada esensinya
sangat terkait dengan penjelasan untuk mendudukkan bahwa filsafat hukum
dengan ideologi secara bersamaan saling bertaut secara integralstik. Sebab
pada beberapa banyak kajian tentang ideologi, di dalamnya selalu tidak dapat
dipisahkan oleh keyakinan seseorang baik tentang kehidupan, alam semesta,
maupun tentang Tuhan sebagai pencipta. 32
Pandangan Sidharta tersebut adalah dinukilkan dari pendapat Soediman
Kartohadiprodjo yang menguraikan esensi filsafat dalam bukunya
Penglihatan Manusia tentang Tempat Individu dalam Oergaulan Hidup
(Suatu Masalah), Bandung, 1962, hlm. 14.
Bab 1 Pendahuluan
23
Filsafat Hukum sebagai sebuah kajian pemikiran yang hendak
menyingkap atau mengelaborasikan hakikat yang tersimpan dalam
suatu nilai, maka kebanyakan penulis barat berpandangan bahwa
filsafat hukum merupakan sebuah kajian filsafati yang tergolong
paling tua usianya. Meskipun merupakan kajian yang paling tua
usianya dalam panggung sejarah peradaban barat, untuk masa
sekarang kajian filsafat hukum masih merupakan sebagai kajian yang
kurang diminati terutama oleh para praktisi hukum. Terkecuali pada
kebanyakan kajian-kajian hukum akademik pada tingkat tinggi atau
pada tingkat doktoral, terutama di sekolah-sekolah hukum Indonesia,
kajian hukum pada tataran filosofis merupakan kajian yang paling
banyak diminati.
Sedangkan teori hukum, adalah berpretensi menjelaskan konsep-
konsep hukum secara konkrit yang diturunkan dari filsafat hukum.
Jadi teori hukum sesungguhnya merupakan suatu gagasan yang dapat
direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktivitas hidup masyarakat
secara tertib. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori hukum adalah
bangunan konsep yang dikenal secara luas dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai sebuah bangunan konsep maka tentu saja teori
hukum yang merupakan gagasan konkrit haruslah bersesuaian dengan
fakta dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, teori tentang badan
hukum, pertanggungjawaban pidana, dan lain-lain33
.
Adapun mengenai dogmatik hukum, merupakan kristalisasi konkrit
dari filsafat hukum dan teori hukum yang diwujudkan dalam produk
hukum tertulis atau juga putusan hukum hakim yang berkekuatan
tetap, atau yang merupakan yurisprudensi. Menurut Sudikno
Mertokusumo, dengan mengutip pendapat Meijers, dogmatik hukum
merupakan pengolahan atau penggarapan peraturan-peraturan atau
asas-asas hukum secara ilmiah, semata-mata dengan bantuan logika
33
Ibid., hlm. 112.
Bab 1 Pendahuluan
24
(tidak hanya kegiatannya tetapi juga hasilnya). Bertitik tolak dari
materi hukum, maka dogmatik hukum berusaha tanpa menggunakan
pengetahuan empiris menyempurnakan hukum dan ilmu hukum
menurut bentuk dan isi. Kegiatan dogmatik hukum itu meliputi
konstruksi, definisi, dan pengembangan dialektis. Dengan demikian,
dogmatik hukum merupakan kegiatan ilmiah untuk mempelajari suatu
tatanan hukum positif tertentu dengan terkonsentrasi pada norma-
norma hukum positif tertentu, serta melepaskan diri dari pengetahuan
empiris34
. Artinya, dogmatik hukum, tidak lagi berpretensi kepada
penjelasan konseptual, sebagaimana yang menjadi wilayah kajian teori
hukum. Kajian dogmatik, lebih terkonsentrasi kepada konkretisasi
norma-norma yang termuat dalam produk hukum tertulis,
sebagaimana yang sudah disebutkan pada penjelasan sebelumnya.
Argumentasi ini, dapat disimak kepada kesimpulan pendapat Sudikno
Mertokusumo, bahwa dogmatik hukum merupakan cabang ilmu
hukum yang mempelajari hukum positif (hukum yang tertulis dan
tidak tertulis) serta penyelesaian atau pemecahan masalah-masalah
hukum (yurisprudensi). Pendekatannya selalu dihubungkan dengan
hukum positif yang berlaku, karena itu, analisis dan pemecahannya
tidak terlepas dari hukum positif. Jawaban permasalahan hukum selalu
merujuk kepada hukum positif.
Untuk memperjelas bangunan lapisan ilmu hukum, yang mencakup
filsafat hukum, teori hukum, dan dogma hukum, dalam perspektif
pendekatan hukum normatif, dapat dipaparkan melalui ragaan
piramida berikut ini:
34
Sudikno Mertokusumo. 2015. Teori Hukum. Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, hlm. 37.
Bab 1 Pendahuluan
25
Ragaan 2
Lapisan Ilmu Hukum dalam Perspektif Normatif
Berdasarkan ragaan 2, lapisan segitiga pertama, menunjukkan
kedudukan filsafat hukum. Filsafat hukum merupakan kajian hukum
yang menitikberatkan kepada kajian hukum pada tataran nilai yang
bersifat ide yang lahir dari perenungan rasional atau intuisi. Pada
tataran ide, maka kajian filsafat ini murni merupakan kajian pemikiran
tentang hukum sebagai sebuah konsep ideal, yang mestinya sesuai
fitrah asasi manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa.
Misalnya, kajian tentang kebebasan berkontrak, dalam perspektif
filsafat hukum, apakah makna filosofs kebebasan berkontrak itu
sendiri. Bila pendekatan filosofis menurut cara pandang Eropa
Kontinental, maka tentu saja, makna filosofis kebebasan berkontrak
akan dirumuskan menurut cara pandang ideologi Eropa Kontinental
yang individualistik, bahwa kebebasan seorang manusia pada
hakikatnya adalah kebebasan individual secara mutlak sepanjang tidak
menggangu hak kebebasan orang lain. Dari makna filosofis tentang
“kebebasan berkontrak”, kemudian dintrodusir melalui teori hukum
tentang kebebasan berkontrak, maka melahirkan teori tentang
FILSAFAT
HUKUM
TEORI HUKUM
DOGMATIK
HUKUM
Bab 1 Pendahuluan
26
kebebasan berkontrak. Salah satu teori kebebasan berkontrak versi
klasik, antara lain, yang dikemukakan oleh Morton J Hortwitz35
,
bahwa kebebasan berkontrak adalah kehendak lahiriah para pihak
yang memasuki kontrak dimana kehendak tersebut bukan merupakan
kehendak yang lahir karena paksaan, sehingga dari kehendak itu
menjadi titik temu dari para pihak berkontrak yang melahirkan hak
dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Teori kebebasan berkontrak tersebut, kemudian dikristalisasi
secara konkrit melalui produk hukum tertulis, misalnya pada Pasal
1338 Ayat (1) BW, yang memberikan pengakuan terhadap kebebasan
berkontrak dengan menyatakan bahwa semua perjanjian yang dimuat
secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. Meski, Pasal
1320 BW tentang syarat sahnya perjanjian, sebenarnya merupakan
pembatasan bagi asas kebebasan berkontrak tersebut, karena
perjanjian hanya sah apabila memenuhi kondisi persyaratan: (1).
Adanya kata sepakat para pihak; (2). Kecakapan para pihak untuk
membuat kontrak; (3). Adanya objek tertentu; (4). Adanya kausa yang
tidak bertentangan dengan hukum.
2. Hukum dengan Pendekatan Empiris
Hukum dengan pendekatan empiris memfokuskan kajiannya
dengan menempatkan hukum sebagai seperangkat realitas, tindakan,
dan prilaku sosial. Hukum dengan pendekatan empiris menurut Peter
Mahmud Marzuki dengan meminjam pandangan D.H.M. Meuwissen,
telah memisahkan secara tajam antara fakta dan norma, antara
pernyataan yang bersifat deskriptif dan normatif. Gejala hukum
dipandang sebagai gejala empiris yang murni faktual. Sebab gejala
hukum merupakan suatu fakta sosial yang dapat diamati. Artinya,
35
Ridwan Khairandy. 2013. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif
Perbandingan (Bagian Pertama). FH UII Pres, Yogyakarta, hlm. 101.
Bab 1 Pendahuluan
27
gejala hukum dipandang sebagai gejala empiris yang murni faktual.
Hal itu merupakan suatu fakta sosial yang dapat diamati. Gejala-gejala
ini harus dapat diamati dan diteliti dengan menggunakan metode
empiris.
Menurut pendapat penulis, telaah terhadap pendekatan hukum
normatif dan pendekatan hukum empiris, memang seharusnya
ditempatkan pada spektrum yang proporsional. Artinya, keduanya
tidak harus dilihat dalam posisi yang vis a vis saling berhadap-
hadapan yang paling memiliki otoritas untuk berbicara tentang hukum
sebagai objek kajiannya. Tentu saja, hukum normatif memiliki
wilayah kajian tersendiri yang tidak mungkin diintervensi oleh hukum
empiris. Sedangkan hukum empiris, juga memiliki wilayah kajian
lebih spesifik pada pendekatan prilaku sosial. Hukum normatif,
memang memiliki argumentasi rasional untuk mendudukkan hukum
sebagai bidang ilmu yang bersifat sui generis. Namun demikian,
hukum empiris, sebenarnya tidak salah ketika menempatkan objek
kajian hukum dalam kerangka sebagai bagian integral dari bangunan
sosial kemasyarakatan.
Hukum normatif, sejatinya merupakan satu kajian pemikiran yang
menitikberatkan kepada aspek-aspek yang berada dalam tataran ide
dan nilai. Karena titik berat objek kajian hukum normatif, adalah
tataran ide dan nilai, maka sangat wajar bila pengusung hukum
normatif berargumentasi, bahwa ilmu hukum merupakan salah satu
cabang ilmu yang tidak bebas nilai. Ilmu hukum merupakan salah satu
cabang ilmu yang sarat dengan nilai. Sesuai dengan karakteristiknya
yang sarat nilai itu, maka hukum dengan pendekatan normatif,
berupaya menghasilkan sebuah kesimpulan ilmiah, dengan tetap
bertumpu kepada argumentasi rasional, melalui kaidah berpikir
induksi deduksi maupun deduksi induksi. Yaitu menarik suatu
Bab 1 Pendahuluan
28
kesimpulan ilmiah, dari hal-hal yang bersifat khusus ke umum, atau
sebaliknya dari hal umum ke khusus.
Jadi metode ilmiah yang dibangun dalam kerangka analisis hukum
normatif adalah metode rasional argumentatif. Yaitu melakukan
penalaran hukum dengan keharusan bertumpu kepada rasionalitas
berpikir. Namun demikian, apakah yang seharusnya menjadi titik
tumpu berpikir sebagai landasan untuk membangun argumentasi
rasional tersebut? Pada titik ini, masih terjadi perdebatan dikalangan
pengusung hukum normatif. Perdebatan ini kemudian menghasilkan
mazhab-mazhab pemikiran hukum, yang paling menonjol antara lain
mazhab hukum kodrat (hukum alam), mazhab utilitarianisme, mazhab
hukum sosiologis, dan mazhab positivisme.
Hukum normatif, yang sifat kajiannya adalah pemikiran yang
hendak mengintrodusir nilai-nilai, ide-ide, ataupun norma-norma,
maka hukum normatif, selalu menghasilkan kesimpulan tentang apa
yang seharusnya (ought to be), apa yang boleh dan tidak boleh.
Dengan demikian, hukum normatif tidak akan berpretensi membahas
apa faktor-faktor seseorang tidak mau taat kepada hukum. Tetapi yang
menjadi pretensi bahasan hukum normatif, misalnya bahwa setiap
orang akan dikenakan sanksi pidana, apabila terbukti melakukan
tindak pidana.
Mengingat karakteristik hukum normatif yang demikian, maka
memang tepat kalau ilmu hukum seharusnya tidak dimasukkan
kedalam bilangan ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu prilaku. Sebab ilmu
hukum dalam perspektif normatif telah menempatkan objek kajiannya
pada hukum sebagai nilai-nilai yang membahas tentang moral,
keadilan, perintah, dan larangan. Hukum adalah kaidah prilaku
sebagai tuntutan etis, yang harus ditaati oleh warga masyarakat.
Hukum sebagai kaidah prilaku maka analisis kajian ilmu hukum
menurut perspektif hukum normatif tidak akan masuk kepada wilayah
Bab 1 Pendahuluan
29
kajian dengan menggunakan metode pengamatan prilaku masyarakat
terhadap hukum. Prilaku masyarakat terhadap hukum merupakan
sebuah fenomena sosial, yang memang sesungguhnya tidak berkaitan
dengan nilai-nilai etis atau moral yang masuk dalam tataran ide dan
pemikiran. Sebagai contoh untuk memperkuat argumentasi tersebut,
perbincangan tentang nilai-nilai itikad baik dalam pembuatan
perjanjian. Perbincangan tentang itikad baik tersebut merupakan topik
perbincangan yang masuk kedalam wilayah pemikiran dan ide,
sehingga ketika itikad baik dibicarakan bukan dibahas mengapa ada
orang yang tidak beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian, tetapi
yang dibicarakan adalah tentang hakekat dan makna itikad baik.
Begitu pula, ketika yang dibahas adalah mengambil barang milik
orang lain secara tidak sah atau melawan hukum, maka dalam
perspektif hukum normatif yang dibahas adalah yang manakah unsur-
unsur dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan mengambil barang
milik orang lain secara tidak sah atau melawan hukum.
Karena objek kajian hukum normatif adalah hukum dalam tataran
nilai dan etis, maka yang menjadi perdebatan adalah sumber inspirasi
lahirnya nilai-nilai moral dan nilai-nilai etis tersebut. Para pengusung
rasionalisme hukum berbasis logika berpikir bebas manusia, misalnya
mazhab hukum alam, akan memandang bahwa sumber inspirasi nilai-
nilai etis serta apapun yang menjadi turunannya, seperti nilai moral,
nilai keadilan, nilai etika, adalah pada akal budi manusia, sebagaimana
antara lain digagas oleh Hugo de Grotius penganut mazhab hukum
kodrat yang mengedepankan rasionalitas manusia. Akal budi manusia
itu, bisa berasal dari sabda atau titah pemegang otoritas kekuasaan
misalnya sabda raja, atau akal budi yang dimaksud bisa juga berasal
dari hasil kompromi pemikiran dari para elit politik yang berkumpul
di pusat-pusat kekuasaan, seperti di parlemen, yang menghasilkan
produk undang-undang tertulis. Mungkin akal budi yang dimaksud,
Bab 1 Pendahuluan
30
adalah pendapat dari para tokoh masyarakat atau tokoh adat, yang
pendapat tersebut kemudian terkristalisasi menjadi nilai-nilai yang
tumbuh berkembang yang akhirnya menjadi panutan nilai yang dianut
oleh warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut kemudian mewujud
sebagai hukum adat atau hukum kebiasaan yang harus mengikat
prilaku warga masyarakatsecara keseluruhan.
Sedangkan dalam konteks nilai-nilai hukum syariah yang
diintrodusir oleh ajaran Islam, tentu saja berbeda, bahwa nilai-nilai
hukum tidak boleh bersumber dari akal budi manusia semata-mata,
tetapi haruslah bersumber dari kewahyuan, yaitu firman Allah SWT,
dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Sebab dalam
perspektif hukum syariah, nilai-nilai hukum haruslah merupakan
wujud peribadatan seorang muslim kepada Tuhan yang
menciptakannya.
Mencermati objek kajian hukum normatif sebagaimana terpapar
sebelumnya, maka hukum empiris memiliki objek kajian yang tentu
saja berbeda. Hukum empiris, sesuai dengan namanya, memiliki objek
kajian yang menitikberatkan kepada prilaku masyarakat terhadap
hukum. Jadi sebenarnya yang ditelaah hukum empiris adalah prilaku
sosial, berupa sikap, pandangan, persepsi, dan tanggapan warga
masyarakat terhadap hukum. Dalam pembahasan lebih luas, juga
mencakup sikap dan prilaku aparat penegak hukum terhadap tegaknya
hukum, serta prilaku politisi terhadap hukum yang mulai dari proses
keterlibatan mereka dalam pembuatan hukum, termasuk bagaimana
hukum itu diberlakukan.
Dengan demikian, bila kita konsisten dengan objek kajian hukum
empiris, maka dapat dibenarkan hukum empiris merupakan bilangan
ilmu yang masuk dalam kelompok ilmu prilaku atau ilmu sosial.
Sebab sesungguhnya, hukum empiris memang membahas hukum
tidak sebagai nilai tetapi hukum dalam kedudukan sebagai fenomena
Bab 1 Pendahuluan
31
sosial atau gejala-gejala kemasyarakatan. Hukum adalah gejala sosial,
itulah postulat yang menjadi kesimpulan ilmiah para pengusung
hukum empiris. Sebagai gejala sosial, maka hukum diletakkan dalam
tataran apa adanya (bersifat deskriptif), kebenaran yang hendak
dicapai adalah kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran faktual,
pada senyatanya, sesuai dengan realitas yang tampak dalam kehidupan
sosial. Kebenaran korespondensi tidaklah berpretensi menguji nilai
atau kaidah tetapi hanya berpretensi pada sebuah realitas apakah nilai
atau kaidah itu diterima oleh masyarakat sebagai sebuah realitas.
Dari sinilah maka memang tepat kalau metode yang digunakan
oleh hukum empiris adalah metode pengamatan atau observasi.
Karena memang yang diamati adalah prilaku sosial warga masyarakat
pada setiap level terhadap hukum. Hanya memang keliru kalau
metode berpikir yang digunakan oleh hukum empiris, digunakan
sebagai alat analisis untuk memberikan kesimpulan untuk
memberikan penilaian yang bersifat preskriptif tentang nilai, ide
hukum, konsep hukum, dan asas hukum. Karena tataran preskriptif
(apa yang seharusnya), merupakan kesimpulan yang lahir dari hasil
kontemplasi manusia yang tentu saja masuk ke wilayah kajian
pemikiran. Hukum empiris, sesungguhnya hanya berpretensi
memberikan kesimpulan yang bersifat apa adanya (deskriptif).
Contohnya, pembahasan tentang tindak pidana pencurian, hukum
empiris hanya berpretensi menjelaskan faktor-faktor apakah yang
menyebabkan angka pencurian di suatu daerah semakin meningkat.
Contoh lain juga, pembahasan tentang efektif tidaknya pemberlakuan
undang-undang tindak pidana korupsi di Indonesia. Kedua contoh
kajian tersebut, masuk kedalam kajian hukum empiris, karena
kesimpulan yang hendak diambil adalah deskripsi tentang prilaku
pencurian dan keberadaan undang-undang tindak pidana korupsi
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentu metode yang
Bab 1 Pendahuluan
32
digunakan untuk menghasilkan kesimpulan tersebut, adalah
melakukan observasi atau pengamatan terhadap prilaku pelaku
pencurian atau prilaku pejabat negara dalam mengelola keuangan
negara.
Berbeda dengan metode analisis hukum normatif dalam membahas
tentang tindak pidana pencurian atau tindak pidana korupsi dalam
undang-undang korupsi. Hukum normatif dengan pendekatan kajian
pemikiran pada tataran ide atau norma, lebih berpretensi mengkaji
nilai keadilan atau nilai kemanfaatan hukum sesungguhnya yang
termuat dalam produk hukum yang mengatur tindak pidana pencurian
atau tindak pidana korupsi. Sungguh tepat bila dikatakan bahwa para
pengkaji hukum normatif, adalah mereka yang sudah belajar hukum
secara sistematis dan metodis serta mendapat gelar sarjana hukum.
Karena para sarjana hukum (yuris) itulah yang lebih memahami betul
keberadaan hukum sebagai sebuah nilai atau kaidah yang tidak
mungkin dimengerti oleh para sarjana sosial atau sarjana non-hukum
lainnya.
Sehubungan dengan uraian tersebut, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah dimungkinkan melakukan titik temu antara hukum
dengan pendekatan normatif dan pendekatan empiris? Jawabannya,
memang sulit untuk melakukan titik temu antara kedua kajian hukum
tersebut, sebab keduanya memiliki titik pijak berbeda dalam
memandang hukum sebagai objek kajiannya. Hukum empiris
memandang hukum sebagai sebuah pranata sosial yang tidak mungkin
dilepaskan dari pengaruh variabel-variabel non-hukum, seperti
psikologi, sosiologi, antropologi, dan sejarah. Sebagaimana kata Peter
Mahmud Marzuki, bahwa para pengkaji hukum empiris tidak melihat
apa isi hukum yang menjadi substansinya, tetapi mencermati hukum
dilihat dari sisi eksternal. Sebaliknya, hukum normatif, memandang
hukum sebagai sebuah norma dan kaidah. Sehingga, hukum normatif
Bab 1 Pendahuluan
33
menilai hukum dari sisi internal hukum itu sendiri, sebab yang
dipersoalkan adalah isi dan substansi sebagai nilai moral atau nilai
etis.
Jadi apapun posisi kita dalam mendudukkan hukum dengan
pendekatan normatif dan pendekatan empiris, tidaklah menjadi soal,
yang terpenting adalah bagaimana secara proporsional kita
mendudukkan wilayah kajian masing-masing pendekatan hukum
tersebut. Misalnya, ketika kita membicangkan tentang proses
pembentukan suatu rancangan undang-undang serta bagaimana
penerapannya yang dikaitkan dengan persepsi masyarakat terhadap
rancangan undang-undang tersebut, termasuk juga faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakannya, maka disinilah pendekatan hukum
empiris bekerja. Namun ketika yang dipersoalkan adalah muatan nilai
moral yang terkandung dalam produk undang-undang dimaksud atau
kelayakan nilai keadilan dan persamaan hukum sebagai suatu kaidah
yang seharusnya, pada tataran ini, hukum empiris tidak berpretensi
untuk itu, sebab ini sudah masuk kedalam pretensi kajian hukum
normatif. Menggabungkan keduanya, memang merupakan
kemustahilan, ibarat mencampurkan air dan minyak. Bila ada yang
mengkaji hukum dengan pendekatan normatif maka ia harus konsisten
dengan kenormatifannya. Demikian pula sebaliknya, bila seseorang
mengkaji hukum dengan pendekatan empiris, maka juga harus
konsisten dengan keempirisannya. Bagaimana dengan seseorang yang
misalnya melakukan pengkajian hukum dengan menggunakan dua
pendekatan tersebut, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan
empiris? Jawabannya, boleh saja sepanjang dalam pengkajian itu,
harus dibuat batasan demarkasi yang tajam, yang mana masuk ke
ranah normatif dan mana yang masuk ke ranah empiris. Seyogyanya
juga, pengkaji hukum normatif atau pengkaji hukum dengan
menggabungkan antara hukum normatif dan empiris, adalah berlatar
Bab 1 Pendahuluan
34
belakang ilmu hukum. Sangat ironis, kalau pengkaji hukum normatif
berasal dari latar belakang keilmuan non-hukum, misalnya sarjana
pendidikan, sarjana sosial, dan sarjana ilmu alam. Sebab sarjana non-
hukum tidak dibekali dengan pengetahuan bagaimana membangun
argumentasi hukum berdasarkan kaidah hukum atau dogmatik hukum.
Tujuan Mempelajari Sistem Hukum Indonesia Pada konteks pembahasan buku ini sebagaimana yang sedikit
diulas pada bab prakata, lebih terkonsentrasi kepada pembahasan
nomenklatur sistem hukum Indonesia. Berpijak kepada konsentrasi
pembahasan yang secara spesifik karakteristik sistem hukum
Indonesia, maka secara keseluruhan isi ulasan buku ini, memiliki
beberapa tujuan berkenaan dengan pembahasan terhadap sistem
hukum Indonesia, antara lain: Pertama, untuk mengetahui
pendeskripsian hukum sebagai sebuah realitas sosial (empiris) yang
berlaku secara ajek (mapan) dalam tata kehidupan masyarakat
Indonesia. Tujuan pendeskripsian ini adalah untuk memberikan
gambaran secara utuh tentang eksistensi hukum sebagai nilai-nilai
normatif dengan variabel prilaku sosial masyarakat Indonesia yang
mempengaruhi proses-proses hukum mulai dari pembentukannya
sampai kepada tataran penerapan. Deskripsi hukum dalam tatanan
masyarakat Indonesia ini, memang sejatinya harus ditinjau sebagai
sebuah fakta sosial, sebab kenyataannya nilai-nilai hukum akan
terkonfigurasi sebagai hukum yang dogmatik setelah ada kristalisasi
kehendak dari warga masyarakat Indonesia, baik warga masyarakat
tersebut yang berada pada level elit politik maupun pada level akar
rumput (grass root). Kristalisasi kehendak tersebut, sangat
dipengaruhi oleh keyakinan ideologis yang mempengaruhi corak
berpikir masyarakat Indonesia.
Bab 1 Pendahuluan
35
Kedua, untuk memberikan penegasan pemahaman bahwa hukum
sesungguhnya dalam tata krama kehidupan masyarakat Indonesia,
merupakan produk sosial. Sebab pada kenyataannya hukum Indonesia
juga sangat terkait dengan manifestasi prilaku sosial warga
masyarakat Indonesia sebagai keniscayaan dari masyarakatnya yang
majemuk dan plural. Oleh karena, hukum hadir sebagai prilaku sosial,
maka dalam konteks Indonesia, hukum tergagas untuk kepentingan-
kepentingan baik pada level elit politik maupun pada level masyarakat
akar rumput.
Ketiga, untuk mengetahui karakteristik sistem hukum Indonesia
yang didalamnya lebih didominasi kehendak kehendak kekuasaan
serta yang dalam bentukannya harus mendapat legitimasi kekuasaan.
Artinya, sistem hukum Indonesia dalam satu sisi bisa terwujud dalam
bentuk nilai-nilai hukum yang hidup dan tumbuh berkembang dalam
interaksi sosial masyarakat Indonesia, misalnya yang terwujud dalam
bentuk hukum adat atau hukum kebiasaan, tetapi nilai-nilai hukum
yang berwujud sebagai the living law tersebut, untuk berlaku secara
formal dalam tatanan hukum Indonesia, mesti diakui sebagai sebuah
prilaku yang kontinuitasnya berlangsung secara terus menerus sesuai
perkembangan masyarakat Indonesia dengan tetap berada pada prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang sudah diatur oleh
undang-undang nasional. Ketentuan ini, diatur dalam Pasal 18B Ayat
(2) dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 Amandemen ke-4.
Manfaat Mempelajari Sistem Hukum Indonesia Berpijak dari tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari
sistem hukum Indonesia, maka dalam konteks pembahasan ini,
manfaat yang dihasilkan dalam mempelajari sistem hukum Indonesia,
mencakup: Pertama, secara akademik, pembahasan ini setidaknya
dapat memberikan kontribusi pemikiran ilmiah untuk
Bab 1 Pendahuluan
36
mendeskripsikan hukum yang berlaku dalam tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia, tidak dalam konteks normatif saja, tetapi juga
dalam konteks bagaimana hukum itu berlaku sebagai sebuah realitas
sosial.
Kedua, pembahasan ini juga hendak memberikan kontribusi
pemikiran akademik tentang bagaimana hukum yang seharusnya
(preskriptif) bertitik temu dengan hukum yang berlaku secara realitas
(deskriptif) dalam konteks sistem hukum Indonesia. Memang pada
galibnya, hukum dalam tataran preskriptif dengan hukum dalam
tataran deskriptif, merupakan dua kutub yang harus dikaji dalam
perspektif berbeda. Akan tetapi, konteks pembahasan buku ini justeru
memberikan manfaat bagi para pihak yang hendak mencoba
merumuskan titik temu antara hukum yang preskriptif dengan hukum
yang deskriptif dengan mengambil ilustrasi sistem hukum Indonesia.
Ketiga, pembahasan buku ini, secara praktis dapat menjadi salah
satu rujukan bagi siapa saja yang hendak mencari format baru arah
pembangunan hukum Indonesia menuju penegakan hukum yang dapat
menjamin persamaan hukum dan keadilan bagi seluruh warga
masyarakat Indonesia, dengan keharusan tetap mengedepankan
dimensi relijiusitas bukan pragmatisme. Sebab, pembukaan UUD
1945 telah menorehkan kata-kata atas berkat rahmat Tuhan...., dan
Pasal 29 UUD 1945 menetapkan Negara Berdasar Atas Ketuhanan
Yang Maha Esa. Maka tentu saja orientasi pembangunan nasional
Indonesia seharusnya merujuk kepada kedua kaidah hukum tersebut.
Bukan merujuk karena kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang
mengabaikan kemaslahatan rakyat pada umumnya.
BAB 2
KERANGKA PENGERTIAN SISTEM HUKUM
Pengertian Sistem Pada sub-pembahasan ini, penulis hendak memberikan penjelasan
tentang pengertian sistem itu sendiri. Tentunya pengertian sistem yang
terpapar dalam konteks uraian ini, adalah beranjak dari khasanah
pemikiran penulis sendiri yang didasarkan pada beberapa literatur
yang menjadi bacaan penulis.
Istilah sistem, secara terminologis diambil dari Bahasa Inggris
yakni system, kemudian dibakukan dalam Bahasa Indonesia menjadi
kata “sistem”. Dalam Kamus The Merriam-Webster Dictionary, istilah
system diuraikan dengan kata-kata sebagai berikut:
A group of units so combined as to form a whole and to operate in
unison; the body as a functioning whole; also; a group of bodily
organs that together carry on some vital function; a definite
scheme or method of procedure or classification; reguler method
or order.
Bila menilik pengertian sistem yang diadopsi menurut The
Merriam-Webster Dictionary1 maka tampak istilah sistem merupakan
sebuah kata yang merujuk pada pengertian terdapatnya sebuah
keseluruhan kerangka kerja dari kumpulan unit-unit.
Merujuk terminologi sistem yang diadopsi dari The Merriam-
Webster Dictionary, menurut pendapat penulis, sistem dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan atau kesatuan yang di dalamnya
terdapat beberapa unsur atau unit yang saling berkaitan dan
berinteraksi satu sama lain yang secara bersama-sama bekerja untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dimana masing-masing unsur atau
unit memiliki fungsi tertentu, yang setiap unit atau unsur tidak boleh
diabaikan sama sekali, karena mengabaikan salah satu unit atau unsur
dapat melemahkan atau menghancurkan sistem itu sendiri.
Jadi sistem adalah suatu keseluruhan atau kesatuan yang utuh yang
mengintegrasikan unit-unit fungsional dalam kerangka gugus tugas
1 The Merriam-Webster Dictionary. 1973. Published by Pocket Books
New York.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
38
tertentu. Sehingga membahas tentang sistem tentu saja sangat terkait
dengan deskripsi fungsionalisasi kerja beberapa unit yang saling
bersinergi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Untuk mengkonkritkan definisi sistem tersebut, dapat disimpulkan
seperti pada ragaan di bawah ini:
Ragaan 3
Unit-Unit Sistem
Untuk memperkuat pemahaman menyangkut pengertian sistem itu
sendiri, berikut penulis memberikan contoh-contoh sistem antara lain:
TUJUAN
YANG
HENDAK
DICAPAI
Keterangan:
Lingkaran kecil menerangkan unsur atau unit, sedangkan persegi empat
menunjukkan keseluruhan atau kesatuan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
39
tata surya yang terdapat di jagad alam semesta. Tata surya
sesungguhnya dapat disebut sebagai sebuah sistem sehingga layak
untuk dikatakan dengan sebutan sistem tata surya. Sebab, tata surya
itu sendiri mencakup beberapa unsur atau unit pembentuk sistem tata
surya, meliputi bulan, bintang-bintang, matahari, meteor, galaksi, dan
planet. Unsur-unsur pembentuk sistem tata surya tersebut menjalankan
fungsinya masing-masing guna menjaga kestabilan gerak tata surya
sebagai sebuah sistem. Apabila salah satu unsur atau unit pembentuk
sistem tata surya itu tidak menjalankan fungsinya atau misalkan bulan
dan bintang saling bertabrakan, maka dapat dipastikan tata surya
sebagai satu sistem bakal mengalami kehancuran, inilah yang disebut
terjadinya kiamat.
Pencernaan manusia juga merupakan salah satu contoh sistem,
sehingga dapat disebut sebagai sistem pencernaan manusia.
Alasannya, pencernaan sebagai satu sistem di dalamnya terdapat
beberapa unsur pembentuknya yang mencakup usus, lambung,
kerongkongan, kelenjar pankreas, dan anus tempat pembuangan sisa-
sisa makanan yang tidak dapat diserap oleh tubuh manusia. Sehingga
dalam kasus-kasus gangguan pencernaan seperti sakit perut, berarti
telah terjadi gangguan dari salah satu unsur-unsur pencernaan itu
sendiri, misalnya terjadi gangguan lambung.
Masih banyak lagi contoh-contoh sistem, yang barangkali tidak
perlu dijelaskan secara panjang lebar dalam uraian pembahasan ini.
Tetapi sekadar contoh untuk disebutkan satu per satu, antara lain
sistem mekanik mesin motor atau mobil, sistem pernafasan manusia
atau hewan, sistem respirasi yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan,
dan lain-lain.
Sehubungan dengan itu, apabila mengkaji ilmu-ilmu sosial, tentu
saja di dalamnya mencakup berbagai kajian ilmu tentang prilaku
manusia sebagai mahluk sosial, yang dalam kajian prilaku tersebut
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
40
akan sangat dipengaruhi oleh berbagai sistem kehidupan seperti sistem
ekonomi, sistem politik, sistem pergaulan, sistem hukum dan lain-lain.
Adapun penjelasan tentang hukum sebagai sistem nantinya diuraikan
pada pembahasan selanjutnya.
Berdasarkan penjelasan pengertian sistem dalam uraian paragraf
sebelumnya, maka secara teoritis pengertian sistem terbentuk oleh
beberapa unsur yang mencakup:
1. Merupakan satu kesatuan atau keseluruhan yang utuh dan bulat;
2. Terdiri dari beberapa unit atau komponen (unsur) yang tercakup
dalam lingkaran kesatuan atau keseluruhan tersebut;
3. Masing-masing unsur berinteraksi secara sinergis satu sama lain;
4. Untuk mencapai tujuan tertentu;
5. Tidak boleh mengabaikan masing-masing unsur karena dapat
melemahkan sistem.
Sebagai perbandingan dari apa yang penulis kemukakan tentang
pengertian sistem, maka pembahasan berikut, penulis memaparkan
penjelasan sistem yang ditulis oleh beberapa penulis.
Diantaranya penjelasan tentang sistem sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dewey2, bahwa sistem merupakan suatu
keseluruhan (a whole) yang keseluruhannya (wholeness) terikat secara
mencolok dengan hubungan-hubungan timbal balik diantara bagian-
bagiannya, yang menurut Achmad Ali juga bahwa hubungan-
hubungan timbal balik di antara bagian-bagian yang terdapat dalam
satu sistem sebagai keseluruhan, yang menurut Talcott Parsons
2 Dewey dalam Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum (Rampai
Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum). Prenada Media Grup,
Jakarta, hlm. 250-251.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
41
sebagaimana dikutip Achmad Ali, hubungan-hubungan tersebut
dinamakan hubungan sibernetik3.
Pandangan Dewey4, yang meletakkan sistem sebagai suatu
keseluruhan, tidak berarti pengertian sistem itu sendiri sama dengan
pengertian agregat, kumpulan, dan inventaris. Begitu pula sistem
menurut Dewey jelas sangat berbeda dengan istilah organisme dan
totalitas. Sebab yang berbeda secara siginifikan dengan pengertian
sistem adalah di dalamnya terdapat bagian-bagian (unsur-unsur) yang
saling berhubungan satu sama lain.
Selain pengertian sistem yang penulis paparkan tersebut, Satjipto
Rahardjo5 juga telah menguraikan pengertian sistem sebagai berikut:
Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri
dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman
yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari
bagian-bagiannya, tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu
bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk
mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Apabila suatu
sistem itu ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian itu
maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung di dalamnya
adalah sebagai berikut:
3 Dalam pandangan Talcott Parsons, hukum merupakan bagian dari satu
sistem yang dapat diibaratkan sebagai tubuh manusia, karena hukum dapat
diibaratkan demikian, maka tak pelak hukum menurut Talcott Parsons sangat
dipengaruhi oleh sistem-sistem lainnya yang berimplikasi hukum sangat
ditentukan oleh sistem tersebut ketika diterapkan, yaitu sistem ekonomi dan
sistem politik. Dari pandangan inilah, maka keterkaitan hukum dengan
sistem-sistem lain seperti ekonomi, politik, dan budaya sangat kuat dalam
hubungan yang sifatnya timbal balik. 4 Achmad Ali, ibid., hlm. 250-251.
5 Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 48-49.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
42
1. Sistem itu berorientasi kepada tujuan;
2. Keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-
bagiannya (wholism);
3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu
lingkungannya (keterbukaan sistem);
4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu
yang berharga (trasformasi);
5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain
(keterhubungan);
6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme
kontrol).
Pemahaman sistem sebagai metode dikenal melalui cara-cara
pendekatan terhadap suatu masalah yang disebut pendekatan-
pendekatan sistem. Pendekatan ini mengisyaratkan kepada kita
agar menyadari kompleksitas dari masalah yang kita hadapi dengan
cara menghindari pendapat yang terlalu menyederhanakan
persoalan dan dengan demikian menghasilkan pendapat yang
keliru.
Sehubungan dengan pendapat Satjipto Rahardjo tersebut, penulis
sedikit berbeda pandangan, yaitu menyangkut pengertian sistem
dengan metode. Menurut penulis tidaklah sama pengertian “sistem”
dengan “metode”. Begitu pula pengertian “metode” tidak sama
dengan pengertian “cara”. Istilah metode itu sendiri, diadopsi dari kata
Bahasa Inggris yaitu kata method. Dalam Kamus The Merriam-
Webster Dictionary, method menguraikan secara deskriptif dengan
kata-kata a procedure or process for achieving an end.
Istilah “metode” juga bisa diadopsi dari Bahasa Arab yakni diambil
dari kata thariqah. Dengan menggunakan terminologi Bahasa Arab
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
43
kata thariqah sebagaimana dikutip dari Taqiyuddin An-Nabhani6,
bahwa thariqah dalam terminologi politik adalah metode operasional
yang ditempuh oleh suatu negara untuk menerapkan konsep
ideologinya dalam politik luar negeri.
Dengan demikian, metode merupakan sebuah prosedur tetap yang
bersifat baku (permanen) yang ditempuh dalam rangka mencapai
tujuan tertentu atau cita-cita tertentu. Metode merupakan langkah yang
dijalankan dengan sifat-sifatnya yang khas dan unik serta permanen.
Karena sifatnya demikian maka ia tidak akan mengalami perubahan
dalam kondisi bagaimanapun. Metode senantiasa berpijak berdasarkan
dalil-dalil dan pedoman-pedoman tertentu.
Penjelasan yang diungkap tersebut, sekaligus untuk membedakan
dengan istilah “cara”. Istilah cara merupakan istilah yang merujuk
pada pengertian segala langkah yang ditempuh yang sifatnya tidak
tetap serta cenderung berubah. “Cara” senantiasa mengikut pada
karakteristik metode itu sendiri. Artinya, “cara” hakekatnya tidak
memiliki pijakan dalil atau pedoman-pedoman tertentu yang bersifat
baku (permanen). Dengan demikian “cara” bisa bermetamorfosis
dalam berbagai ragam bentuk atau mungkin memiliki wajah yang
cukup variatif.
Pada hakekatnya “Cara” merupakan upaya atau langkah yang
ditempuh untuk menyiapkan atau mengakses secara mudah aktivitas-
aktivitas yang berangkaian dengan metode. Pada dasarnya penegakan
metode sangat membutuhkan “cara” karena “cara” dapat diibaratkan
sebagai jembatan untuk memuluskan perjalanan “metode” guna
mencapai tujuan-tujuan tertentu.
6 An-Nabhani dalam Majalah al-Wai‟e Nomor 34 Terbitan Nomor 34
Tahun III, tanggal 1-30 Juni 2003 dalam tajuk tulisan berjudul Khiththah
Siyasi dan Uslub Siyasi, hlm 52.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
44
Untuk memudahkan pemahaman ini, penulis memberikan
kerangka pemikiran berikut. Katakanlah sistem adalah tujuan yang
hendak dicapai. Namun untuk mewujudkan atau menegakkan sistem
itu sendiri perlu metode tertentu yang harus dijalankan, namun metode
hanya bisa dengan mudah dilaksanakan apabila ditopang oleh cara
yang sifatnya strategis.
Untuk lebih mempermudah lagi pemahaman secara konkrit
berkenaan dengan perbedaan “metode” dengan “sistem”, penulis
mendeskripsikannya melalui ragaan berikut ini:
Ragaan 4
Antara Metode dan Cara
Dari ragaan di atas, sekaligus untuk mendekatkan pemahaman
tentang metode dan cara, berikut penulis hendak memberikan ilustrasi
pada upaya untuk membentuk atau mendirikan sebuah cita-cita yaitu
negara, dimana negara dapat disebut sebagai sebuah sistem.
SISTEM METODE
CARA
CARA
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
45
Negara adalah sebuah sistem sebab format pembentukan negara di
dalamnya harus mencakup beberapa unsur, seperti unsur wilayah,
pemerintahan, rakyat, serta kemampuan untuk menjaga kedaulatannya
dan kemampuan melakukan hubungan politik secara mandiri dengan
negara atau wilayah lain7. Sehingga apabila negara merupakan sistem,
maka metode yang hendak dicapai untuk mendirikan sebuah negara,
tentunya harus menggunakan metode yang sifatnya tetap (permanen).
Maksudnya, langkah-langkah yang ditempuh sebagai kemestian untuk
berdirinya negara, tentu berupa langkah-langkah yang dikemas dalam
bentuk metode yang sifatnya baku dan tidak berubah.
Secara teoritik dan praktis, langkah-langkah metodik yang
diperlukan sebagai prasyarat berdirinya negara, antara lain adalah (1)
Membangun opini masyarakat guna mewujudkan kesadaran politik
kolektif tentang pentingnya pendirian sebuah negara sebagai institusi
untuk mengatur kehidupan bersama; (2) Adanya komitmen bersama
dari para tokoh masyarakat sebagai pemegang kunci untuk
memberikan perlindungan serta dukungan secara politik terhadap
pendirian sebuah negara; dan (3) Terdapatnya wilayah tertentu yang
kelak menjadi titik tolak utama sebagai pijakan bagi berdirinya suatu
negara.
Tiga langkah yang penulis sebutkan sebagai prasyarat utama bagi
berdirinya sebuah negara merupakan metode praktis yang sifatnya
baku dan harus ditempuh dalam rangka berdirinya sebuah negara
sebagai cita-cita. Diabaikannya salah satu unsur yang merupakan
7 Dalam Konvensi Montevideo 1933, disebutkan bahwa terbentuknya
negara harus memiliki beberapa unsur yaitu: (1). Memiliki wilayah; (2).
Memiliki pemerintahan; (3) memiliki rakyat; (4) kemampuan untuk
melakukan hubungan politik secara berdaulat dengan negara-negara lain.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
46
bahagian metode pendirian negara, maka dapat dipastikan
menghasilkan kegagalan berdirinya sebuah negara.
Adapun mengenai “cara” yang berangkai dengan pendirian sebuah
negara, tentu saja berupa langkah-langkah praktis yang sifatnya tidak
tetap serta bisa berubah sesuai dengan kondisi tertentu untuk
mewujudkan metode. Sebagai misal, membangun opini masyarakat
sebagai salah satu metode berdirinya negara. Maka ada berbagai cara
yang bisa digunakan untuk membangun opini masyarakat tersebut,
antara lain dengan menggunakan sarana penyebaran pamflet yang
berisi seruan kepada masyarakat tentang pentingnya mendirikan
negara, ataukah cara lain yang bisa digunakan, antara lain berjumpa
dengan warga masyarakat secara individu per individu melakukan
dialog atau mendiskusikannya secara intens tentang perlunya
mendirikan sebuah negara.
Semua cara yang ditempuh tersebut, tidak lain adalah untuk dan
dalam rangka membangun opini kesadaran masyarakat mengenai
perlunya berdiri sebuah negara. Jadi dengan menggunakan contoh
mendirikan negara, sebetulnya kita sudah bisa membedakan apa yang
disebut “metode” dengan “cara”. Secara konkrit, uraian penjelasan
tersebut, dapat dideskripsikan dalam bentuk ragaan berikut:
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
47
Ragaan 5
Metode dan Cara Mendirikan Negara
NEGARA
SEBAGAI
SISTEM
MEMBANGUN
OPINI
MASYARAKAT
DUKUNGAN
POLITIK
TOKOH
MASYARAKAT
DAN MILITER
SEBAGAI
PEMEGANG
SIMPUL
KEKUASAAN
WILAYAH
SEBAGAI
TITIK
TOLAK
NEGARA
METODE
CARA:
PENYEBARAN
PAMFLET, PIDATO
PROPAGANDA, dll
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
48
Berdasarkan deskripsi ragaan tentang pembentukan negara, maka
metode adalah upaya-upaya praktis sifatnya baku (tetap) yang tidak
akan pernah berubah dalam rangka merealisasikan terwujudnya
sebuah ide (gagasan), sedangkan “cara” merupakan salah satu langkah
yang merupakan bahagian dari upaya memudahkan terlaksananya
metode. “Cara” tidak menentu sifatnya dan dapat berubah setiap saat
tergantung situasi dan kondisi, sehingga dapat dikatakan “cara” tidak
memiliki pijakan pedoman tertentu. Ia sesungguhnya tidak lain
merupakan alat (sarana) saja demi terlaksananya metode yang lebih
baik.
Definisi Hukum
1. Pengambilan Istilah Hukum
Terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia sesungguhnya secara
etimologis berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu yang ح ك م
mendapat imbuhan ا dan ل sehingga menjadi الحكم bentuk masdar dari
يحكم, حكم . Selain itu الحكم merupakan bentuk tunggal dan bentuk
jamaknya adalah األحكام
Dari akar kata tersebut, melahirkan kata الحكمة artinya
kebijaksanaan atau mengetahui yang benar. Maksudnya, orang yang
memahami hukum lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-
harinya dianggap sebagai orang bijaksana. Selain itu, akar kata ح ك م
dapat dapat melahirkan الحكمة artinya kendali atau kekang kuda, yaitu
hukum dapat mengedalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal
yang sebenarnya dilarang oleh agama,
Dari akar kata tersebut Hukum mengandung makna mencegah atau
menolak, yaitu mencegah ketidakadilan, mencegah kezaliman,
mencegah penganiayaan dan menolak bentuk kemafsadatan lainnya.
Atau “ menetapkan sesuatu, dan meniadakan sesuatu atas sesuatu”.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
49
Secara ringkas berarti “ketetapan”. Hukum Islam sumbernya dari
Allah disebut “hukmullah”, berarti ketetapan Allah. Dengan demikian
secara istilah yang dimaksud dengan hukmullah adalah hukum syara‟8
Terminologi hukum dalam bahasa Inggris adalah menggunakan
kata legal yang berakar dari kata lex. Juga dalam Bahasa Inggris
terminologi hukum menggunakan kata law yang mempunyai dua
pengertian, pertama merupakan sekumpulan preskripsi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan dalam mencapai keadilan, dan kedua
merupakan aturan perilaku yang ditujukan untuk mencapai ketertiban
masyarakat9.
Menurut Peter Mahmud Marzuki10
, harus bisa dibedakan kata legal
dan kata law yang digunakan dalam Bahasa Inggris. Kata Peter
Mahmud Marzuki, law dalam Bahasa Latin disebut ius, dalam Bahasa
Perancis droit, dalam Bahasa Belanda dan Jerman menggunakan
istilah yang sama yaitu recht, dan dalam Bahasa Indonesia, inilah
yang dikenal dengan kata “hukum”. Sedangkan kata legal dalam
Bahasa Latin disebut lex, Bahasa Perancis loi, Bahasa Belanda wet,
Bahasa Jerman gezetz dan dalam Bahasa Indonesia tepatnya
diterjemahkan dengan kata undang-undang.
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa kata legal dalam
Bahasa Inggris adalah diadopsi dari kata lagu yang berarti aturan-
aturan yang dibuat oleh raja-raja Anglo-Saxon yang telah
dikodifikasikan. Jadi menurut Peter, kata lagu sesungguhnya berada
8 Uraian ini penulis kutip dari Makalah Hasbullah bertajuk Politik Hukum
dalam Islam Menurut Tinjauan Sejarah dan Fiqh, yang merupakan tugas
mata kuliah Politik Hukum pada Sekolah Pascasarjana Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2011, hlm. 10. 9 Dikutip dari Peter Mahmud Marzuki. 2010. “Penelitian Hukum”.
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 18 10
Peter Mahmud Marzuki, ibid., hlm. 18
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
50
dalam garis lex bukan ius, sehingga bila diikuti berdasarkan akar
katanya maka legal lebih tepat diartikan sebagai undang-undang. Dari
penjelasan istilah hukum, yang dalam Bahasa Inggris menggunakan
istilah law dan Bahasa Latin ius, maka istilah hukum secara sederhana
dapat diartikan sebagai sekumpulan preskripsi nilai untuk mengatur
perilaku tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
Lain lagi pendapat Achmad Ali, istilah hukum, menurutnya banyak
ditemukan dalam literatur hukum berbahasa Inggris, seperti law, laws,
a law, the law, dan legal11
. Dan penjelasan terperinci Achmad Ali
tentang beberapa istilah tersebut sesungguhnya merupakan
rekonstruksi paparan yang dikutip dari tulisan L.B. Curzon.
2. Pengertian Hukum
Berdasarkan paparan pengertian hukum secara etimologis tersebut,
maka berikutnya, penulis menyajikan beberapa pengertian hukum,
yang ditulis oleh beberapa penulis hukum:
a) Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam De Legibus, hukum
adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri
manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan.
b) Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam De Jure Belli Pacis (Hukum
Perang dan Damai) bahwa hukum adalah aturan tentang tindakan
moral yang mewajibkan apa yang benar.
c) J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto menulis
bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa,
11
Baca juga uraian Achmad Ali. 2009. “Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)”. Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 25-27.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
51
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib
d) Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651): hukum adalah perintah-
perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah
dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
e) Rudolf von Jhering dalam Der Zweck Im Recht (1877-1882):
hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku
dalam suatu negara
f) Plato bahwa hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur
dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
g) Aristoteles mendefinisikan hukum sebagai kumpulan peraturan
yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
h) E. Utrecht hukum merupakan himpunan petunjuk hidup, perintah
dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat
yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh
karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan
tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.
i) R. Soeroso hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan
bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang
serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi yang melanggarnya.
j) Abdulkadir Muhammad, hukum adalah segala peraturan tertulis
dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap
pelanggarnya.
k) Mochtar Kusumaatmadja menulis pengertian hukum sebagai suatu
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi)
dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
52
l) Mayers menjelaskan bahwa hukum adalah semua aturan yang
menyangkut kesusilaan dan ditujukan terhadap tingkah laku
manusia dalam masyarakat serta sebagai pedoman bagi penguasa
Negara dalam melaksanakan tugasnya.
m) Simorangkir mengatakan bahwa hukum adalah peraturan yang
bersifat memaksa dan sebagai pedoman tingkah laku manusia
dalam masyarakat yang dibuat oleh lembaga berwenang serta bagi
sapa saja yang melanggarnya akan mendapat hukuman.
n) Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa hukum adalah
sekumpulan peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama,
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam
kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.
o) Achmad Ali menyatakan hukum adalah seperangkat norma tentang
apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui
eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan
tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan
dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut.
Dari berbagai definisi tentang hukum yang sudah dikutip, penulis
juga memberikan pengertian hukum sebagai berikut, hukum
merupakan seperangkat kaidah atau norma yang berisi perintah
dan larangan, hak serta kewajiban, apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan, yang diberlakukan untuk
menjamin keteraturan pergaulan hidup masyarakat yang saling
berinteraksi dalam satu sistem kehidupan yang berdasarkan pada
satu kerangka ideologi tertentu, yang untuk menjamin
keteraturan tersebut, diperlukan adanya jaminan sanksi
(penjeraan) bagi siapa saja yang dianggap melakukan
pelanggaran terhadap kaidah atau norma-norma itu sendiri.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
53
Dari beragam definisi hukum termasuk definisi hukum yang
dikemukakan oleh penulis sendiri, maka definisi hukum dalam tataran
normatif, setidaknya di dalamnya melekat unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Merupakan seperangkat kaidah atau norma. Hukum pada
galibnya memang berisi rumusan kaidah-kaidah atau norma-
norma, sebab kaidah atau norma itulah yang mendeterminasikan
apa saja unsur-unsur dalam bertingkah laku sebagai sesuatu yang
seharusnya (preskriptif) bagi masing-masing individu dalam
kehidupan bermasyarakat.
b. Berisi unsur perintah dan larangan, hak dan kewajiban, apa yang
boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pada
dasarnya hukum berisi paket aturan bertingkah laku yang
memiliki sifat “hitam” dan “putih”, sesuatu yang sudah dianggap
pakem, yaitu misalnya apa yang menjadi larangan yang tidak
boleh dilakukan oleh masing-masing anggota masyarakat.
Contohnya, dilarang mencuri, berarti mengambil barang dengan
cara melawan hak merupakan sebuah tindakan yang tidak boleh
dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum merupakan
sebuah obligasi.
c. Berdasarkan ideologi tertentu. Hukum sebagai seperangkat
kaidah atau norma tentu memiliki karakter tertentu. Untuk
mengidentifikasi karakter hukum dimaksud, akan sangat mudah
dengan mencermati apa yang menjadi landasan ideologi bagi
tegaknya hukum sebagai suatu kaidah atau norma.
d. Adanya jaminan sanksi. Suatu instrumen hukum apapun bentuk
dan karakternya, maka di dalamnya harus mengandung sanksi
atau yang disebut penjeraan (hukuman). Sanksi inilah yang bisa
memberikan jaminan agar hukum itu sendiri dapat tegak dan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
54
berjalan sesuai apa yang menjadi tujuan yang diharapkan oleh
hukum itu sendiri.
e. Menjamin keteraturan pergaulan hidup damai. Esensi yang
menjadi tujuan hukum12
itu sendiri tidak lain untuk menciptakan
ketertiban serta keteraturan dalam hidup pergaulan masyarakat,
karena memang tujuan alamiah diadakannya hukum tidak lain
adalah untuk menjamin harmonisasi interaksi pergaulan hidup dari
masing-masing anggota masyarakat yang hidup dalam satu sistem.
Definisi hukum yang penulis urai diatas, adalah definisi hukum
yang bisa dicermati dalam perspektif yang normatif yang tentu saja
titik anjak pengamatannya memandang hukum pada sudut yang
bersifat preskriptif dan dogmatik.
Pengertian Hukum dalam Sudut Pandang Sosiologis Hukum dalam sudut pandang sosiologis, tentu saja berbeda dengan
mengamati hukum itu dalam sudut pandang normatif-dogmatik.
Hukum dalam sudut pandang normatif-dogmatik itu sendiri, adalah
memandang hukum dari sisi internalnya yaitu hukum semata-mata
diletakkan dalam bingkai yang bersifat sui generis, yang berarti
hukum dalam konteks demikian ia adalah sebagai norma-norma atau
kaidah yang harus dilihat dari sisi yang sifatnya independen terlepas
dari unsur-unsur pengaruh lainnya.
12
Para penulis hukum, baik yang konservatif maupun yang kontemporer,
secara mendasar telah menulis tujuan hukum dalam perspektif yang berbeda,
antara lain, Professor Peter Mahmud Marzuki, Guru Besar Universitas
Airlangga, menulis tujuan hukum adalah untuk mencapai kehidupan damai
sejahtera, sedangkan menurut Professor Mr. L.J. Van Apeldoorn. 2011.
Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan). Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta,
menulis tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup damai, sebab
menurutnya hukum menghendaki perdamaian.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
55
Hukum dalam perbincangan normatif-dogmatik, adalah
memandang hukum sebagai kajian teoritis murni keilmuan yang
sifatnya terapan (preskriptif), seperti halnya belajar ilmu kedokteran
yang juga meletakkan dirinya sebagai ilmu murni yang sifatnya
terapan untuk bidang medis dan pengobatan.
Tentu berbeda halnya bila menempatkan hukum dalam sudut
pandang sosiologis, pada tataran demikian hukum akan diletakkan
dalam kerangka yang dilihat dari sisi eksternal berbagai aspek dan
faktor-faktor prilaku sosial setiap anggota masyarakat yang
mempengaruhi hukum. Tidak hanya itu, hukum dalam perspektif
ilmu-ilmu sosial, akan selalu menempatkan hukum bukan sebagai
variabel yang sifatnya independen, tetapi malahan hukum ditempatkan
sebagai variabel yang mendapat pengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh variabel sosial lainnya, seperti prilaku
warga masyarakat, sentimen politik, kepentingan ekonomi, budaya
masyarakat, dan lain-lain.
Dengan demikian, hukum dalam perspektif ilmu sosial dapat
dirumuskan sebagai realitas tingkah laku warga masyarakat yang
diatur oleh kaidah atau norma yang ditetapkan oleh pemegang otoritas
tertinggi yang sifatnya dipaksakan. Hukum dalam perspektif
sosiologis tersebut, akan dengan mudah juga dapat dicermati dalam
bentuk realitas prilaku warga masyarakat yang memberikan persepsi
terhadap kaidah-kaidah hukum yang diberlakukan, baik itu dalam
bentuk produk hukum yang diberlakukan oleh penguasa, misalnya
konstitusi, undang-undang tertulis, peraturan pemerintah, peraturan
daerah, maupun dalam bentuk produk hukum tidak tertulis yang
mewujud dalam bentuk hukum adat atau kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku sebagai hukum tidak tertulis di tengah masyarakat.
Begitu pula hukum dalam perspektif sosiologis, akan tampak
dalam realitas prilaku para aparat penegak hukum, seperti polisi,
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
56
jaksa, hakim, dan pengacara ketika mereka masing-masing baik secara
bersama-sama maupun sendiri-sendiri memainkan peranannya dalam
menegakan hukum.
Disinilah yang paling menonjol adalah tatkala hukum itu bekerja
dalam ruang kehidupan sosial dimana keberadaan hukum akan sangat
tergantung pada fenomena prilaku warga masyarakat yang menyikapi
hukum. Pada sudut pandang demikian, hukum tidak lagi dicermati
sebagai kaidah atau aturan bertingkah laku yang bersifat dogmatis
namun ia justeru dicermati sebagai sebuah pranata sosial yang
ditingkahi berdasarkan persepsi setiap warga masyarakat dimana
hukum itu diberlakukan.
Keberadaan hukum dalam ruang kehidupan sosial sebetulnya
sangat tergantung dari persepsi berpikir masyarakat yang menerima
hukum itu sebagai sebuah kaidah aturan yang mengikat. Sedangkan
persepsi berpikir masyarakat juga akan sangat dipengaruhi oleh
konsepsi ideologi yang menjadi fondasi tegaknya kehidupan
masyarakat tersebut. Sebagai contoh, kehidupan masyarakat yang
ditegakkan atas dasar ideologi kapitalisme-sekuler, maka tentu
persepsi berpikir masyarakatnya didominasi oleh cara pandang
kapitalisme-sekuler. Sehingga dalam kondisi kehidupan masyarakat
demikian, tatanan kehidupan hukum yang berlangsung adalah tatanan
kehidupan hukum yang tegak atas dasar ideologi kapitalisme sekuler.
Begitu pula dalam tatanan kehidupan masyarakat yang tegak atas
dasar ideologi sosialisme, maka dapat dipastikan karakter tatanan
hukumnya mencirikan hukum yang sosialis. Kalau misalnya juga,
tatanan kehidupan masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara yang
tegak atas dasar ideologi Islam maka hal yang sama akan diberlakukan
instrumen hukum yang berkarakter Syariat Islam.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
57
Untuk penjelasan lebih detail tentang pengaruh ideologi terhadap
hukum yang berlaku dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat, maka
penulis akan menempatkannya dalam pembahasan tersendiri buku ini.
Namun demikian, yang perlu dipahami berkenaan keberadaan
hukum dalam ruang kehidupan sosial, yaitu bahwa hukum merupakan
salah satu pranata sosial yang berdiri dalam kerangka untuk
melakukan harmonisasi berbagai prilaku setiap individu yang saling
berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan masyarakat sebagai
sebuah sistem sosial yang tegak atas dasar ideologi tertentu.
Sehubungan dengan itu, maka keberadaan hukum dalam perspektif
ilmu sosial, selalu meniscayakan keterkaitan hukum dengan
masyarakat, dengan berpijak pada suatu argumentasi bahwa tiada
masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat. Hukum
diadakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Sehingga terjalin
hubungan integralistik bersifat timbal balik antara hukum dengan
masyarakat demikian sebaliknya masyarakat dengan hukum.
Lili Rasyidi13
ketika menggambarkan hubungan antara hukum
dengn masyarakat, ia mulai berpijak dari anggapan menempatkan
hakikat masyarakat hukum yang di dalamnya terdiri dari sekumpulan
individu, yang setiap individu memiliki kepentingan sendiri-sendiri.
Kepentingan itu ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Kedua
jenis kepentingan tersebut, dapat menjadi pemicu terjadinya sengketa.
Sengketa antar individu dapat timbul dari kepentingan yang sama
terhadap sumber pemenuhan kebutuhan yang terbatas. Untuk
mengatur kepentingan itu dan untuk menghindari sengketa, maka
manusia menciptakan aturan yang mereka bentuk sendiri, dan mereka
berlakukan dalam interaksi pergaulan sosialnya.
13
Lili Rasyidi. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem. Mandar Maju,
Bandung, hlm. 147.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
58
Deskripsi tentang hubungan hukum dengan masyarakat yang
diuraikan oleh Lili Rasyidi tersebut sebetulnya merupakan gambaran
masyarakat yang saling berinteraksi dengan tujuan pragmatis dan
serba permisif (serba boleh). Masyarakat pragmatis adalah ciri
masyarakat yang berinteraksi untuk mencapai kebahagiaan
materialistik bersifat jasadiyah. Masyarakat demikian, dengan
meminjam pendapat Jeremy Bentham, adalah masyarakat yang
memiliki keinginan untuk hidup memperoleh kesenangan yang
sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan yang dialaminya.
Jeremy Bentham percaya bahwa masyarakat sesungguhnya
berkeinginan hidup untuk meningkatkan kebahagiaan serta
memperbesar kesenangannya. Berpijak dari pandangan inilah maka
Jeremy Bentham, menganjurkan sebuah konsep hukum sebagai alat
untuk mencapai kebahagiaan dengan apa yang disebutnya dengan
utilitarianisme14
. Utility menurut Jeremy Bentham adalah prinsip-
prinsip yang menyetujui setiap hal yang memberikan kesenangan atau
menolak setiap tindakan apapun yang dapat membawa kepada
kesengsaraan atau penderitaan jasmani.
Dengan demikian prinsip utilitarianisme apabila dikaitkan dengan
tipologi masyarakat pragmatis maka akan terlihat sebuah kumpulan
14
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 119. Menurut Peter, meskipun Jeremy
Bentham dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan ajaran utilitarianisme.
Tetapi akar dari ajaran ini sebenarnya terlihat dari tulisan David Hume (1711-
1776). Penekanan ajaran utilitarianisme sebagaimana yang dikembangkan
oleh Bentham, bahwa alam telah menempatkan manusia di bawah perintah
dua tuan yang berkuasa yaitu kesengsaraan dan kesenangan. Kedua hal itulah
yang membimbing manusia mengenai apa yang harus dikerjakan dan apa
yang harus dihindari. Sesuatu yang baik atau jahat dari suatu tindakan harus
diukur dari kuantitas kesukaan atau sengsara yang ditimbulkan oleh
perbuatan tersebut.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
59
individu yang berkumpul bersama melakukan kesepakatan untuk
membuat hukum yang dapat dijadikan sebagai pranata untuk mengikat
interaksi pergaulan sosial masing-masing individu, sesuai dengan
keinginan bersama.
Namun tentu saja, keinginan bersama masyarakat tersebut, tidak
selamanya mencerminkan keinginan kolektivitas mayoritas individu.
Keinginan bersama tersebut, pada umum selalu tergantung kepada
para elit politik yang duduk di sentra-sentra kekuasaan ataupun tokoh
sentral yang memegang kunci kekuasaan.
Pengertian Sistem Hukum yang Digunakan Setelah dijelaskan pengertian sistem dan pengertian hukum pada
paragraf sebelumnya, maka pembahasan sub-bab ini dikonsentrasikan
kepada segi-segi pengertian Sistem Hukum itu sendiri.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud sistem adalah
suatu keseluruhan atau kesatuan bulat yang utuh yang
mengintegrasikan unit-unit fungsional dalam kerangka gugus tugas
tertentu, sedangkan pengertian hukum adalah seperangkat kaidah atau
aturan yang diberlakukan di tengah kehidupan masyarakat sebagai
satu sistem.
Berdasarkan padanan dua istilah tersebut, apabila digabungkan
menjadi satu istilah tertentu yaitu istilah sistem hukum, maka menurut
penulis bahwa sistem hukum dapat dirumuskan sebagai kesatuan unit
yang menjadi pembentuk unsur-unsur kaidah atau norma yang
terkristalisasi dalam satu produk aturan hukum untuk dapat
diberlakukan pada sebuah sistem kehidupan masyarakat yang
bersifat khas dan unik dengan berbasis ideologi tertentu.
Jadi hukum pada esensinya merupakan satu sistem tertentu
sebagaimana halnya pranata ekonomi atau politik yang dapat
dipandang sebagai satu sistem yaitu yang disebut sistem ekonomi dan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
60
sistem politik. Argumentasi untuk menunjukkan pranata hukum
sebagai satu sistem, adalah beranjak kepada titik pandang pemikiran
bahwa hukum bukan hanya seperangkat aturan tetapi lebih dari itu ia
juga merupakan sekumpulan nilai yang didalamnya mengandung daya
paksa yang sifatnya mengikat semua tingkah laku warga masyarakat
dalam hidup berinteraksi satu sama lain.
Sebagai sekumpulan nilai yang memiliki daya paksa maka pranata
hukum secara integral memadukan keterlibatan berbagai lembaga atau
institusi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi
menerapkan hukum tersebut ke dalam kehidupan masyarakat.
Lembaga atau institusi yang dimaksud dalam praktek kehidupan sosial
yang bisa dilihat, seperti kejaksaan, lembaga peradilan, institusi
kepolisian, lembaga-lembaga adat, dan lain-lain.
Dalam konteks mendudukkan pengertian sistem hukum dalam
tataran empiris, maka tentu saja pencermatannya adalah dengan
mendudukkan hukum itu sendiri tidak dalam kerangka yang semata
bersifat dogmatik-normatif tetapi juga kepada seputar berbagai aspek
non-hukum yang mempengaruhi karakteristik hukum itu baik dari segi
prosesnya, pemberlakuannya, termasuk upaya-upaya penegakannya.
Aspek non-hukum yang mempengaruhi sistem hukum tersebut,
sebagaimana yang bisa terlihat antara lain prilaku masyarakat, prilaku
politik, orientasi politik para elit terhadap keberlakuan hukum,
termasuk juga kepentingan ekonomi dari kelompok-kelompok
tertentu.
Sebagai perbandingan penjelasan berikut, penulis mengetengahkan
uraian Satjipto Rahardjo15
yang memperkuat argumentasi keberadaan
hukum sebagai sebuah sistem yang mendapat pengaruh dari aspek-
aspek non-hukum:
15
Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm. 50-52.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
61
Beberapa alasan untuk mempertangggungjawabkan, bahwa hukum
itu merupakan satu sistem adalah sebagai berikut. Pertama, suatu
sistem hukum itu bisa disebut demikian karena ia bukan sekedar
merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka. Kaitan yang
mempersatukannya sehingga tercipta pola kesatuan yang demikian
itu adalah masalah keabsahannya. Peraturan-peraturan itu diterima
sebagai sah apabila dikeluarkan dari sumber atau sumber-sumber
yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi dan kebiasaan.
Sumber-sumber yang demikian itu dengan sendirinya melibatkan
kelembagaan seperti pengadilan dan pembuat undang-undang.
Ikatan sistem itu tercipta pula melalui praktek penerapan peraturan-
peraturan hukum itu. Praktek ini menjamin terciptanya susunan
kesatuan dari peraturan-peraturan tersebut dalam dimensi waktu.
Sarana-sarana yang dipakai untuk menjalankan praktek itu, seperti
penafsiran atau pola-pola penafsiran yang seragam menyebabkan
terciptanya ikatan sistem tersebut.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo16
, mengutip pendapat Fuller tentang
penjelasan hukum sebagai sistem, sebagai berikut:
Untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara
mengenai adanya suatu sistem hukum. Ukuran tersebut
diletakkannya pada delapan asas yang dinamakannya principles of
legality, yaitu:
1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.
Yang dimaksud disini adalah, bahwa ia tidak boleh
mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad
hoc.
16
Satjipto Rahardjo, Ibid.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
62
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus
diumumkan.
3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena
apabila yang demikian itu tidak ditolak maka peraturan itu
tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku.
Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti
merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku
bagi waktu yang akan datang.
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang
bisa dimengerti.
5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan
yang bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan
yang melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah
peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan
kehilangan orientasi.
8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaaannya sehari-hari.
Menurut Satjipto Rahardjo bahwa apa yang diajukan Fuller
tentang delapan asas yang menjadi atribut dari sistem hukum
sebetulnya merupakan suatu persyaratan bagi adanya suatu sistem
hukum. Namun demikian, penulis menambahkan bahwa keberadaan
delapan asas tersebut sejatinya masih merupakan sebuah konsepsi
logis yang melekat sebagai atribut dalam sistem hukum pada
umumnya. Artinya, menurut penulis, delapan asas dimaksud bukanlah
merupakan parameter untuk menunjukkan baik atau buruknya sistem
hukum itu sendiri, sebab menurut penulis baik dan buruknya sebuah
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
63
sistem termasuk antara lain sistem hukum adalah tergantung ideologi
yang menjadi penyangga sistem tersebut.
Jadi sistem hukum dalam konteks studi empiris, tentu saja
mencermati hukum sebagai sebuah pranata yang hadir dalam realitas
kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan
melalui beberapa faktor non hukum yang memengaruhinya. Terutama
terlihat pada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kemapanan
sistem hukum itu sendiri.
Hal itulah yang tampaknya seringkali dijelaskan oleh kalangan
ilmuwan sosial tertentu, yang ketika mendudukkan hukum sejatinya
bukanlah sekedar “menara gading” yang tidak terpengaruh oleh
variabel-variabel sosial lainnya seperti kepentingan ekonomi dan
kekuasaan. Artinya, bagi kalangan ilmuwan sosial, pranata hukum tak
ubahnya merupakan sebuah instrumen yang harus ada dalam kerangka
eksistensi masyarakat yang tugas hukum itu sendiri adalah untuk
mengikat interaksi kehidupan manusia satu sama lain agar terjadi
harmonisasi dalam masyarakat. Sehingga tatkala hukum itu berlaku, ia
senantiasa tidak bisa berlepas diri dari berbagai variabel yang ikut
mempengaruhinya. Variabel-variabel yang penulis maksudkan
tentunya adalah terkait erat dengan faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi hukum, sebagaimana yang sudah diutarakan pada
paragraf sebelumnya, yaitu faktor ekonomi, faktor politik, faktor
sosial dan prilaku masyarakat.
Adapun dalam pandangan Meuwissen17
, hukum sebagai sistem,
dapat dikonstruksikan melalui pelbagai norma atau kaidah hukum
yang dipikirkan dalam suatu hubungan logis-konsisten menjadi satu
kesatuan tertentu. Pandangan Meuwissen ini tampaknya
17
Titon Slamet Kurnia. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia.
Alumni, Bandung, hlm. 11.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
64
mendudukkan hukum sebagai satu sistem dalam kerangka yang
normatif-dogmatik. Konteks pandangan Meuwissen, sebenarnya
hendak mendudukkan hukum sebagai cabang ilmu yang bersifat sui
generis, yaitu hukum memiliki karakteristik tersendiri yang tidak
dapat dibandingkan dengan bentuk ilmu lain manapun, sebab hukum
sebagai ilmu pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri18
.
Kendati Meuwissen, dalam tulisannya telah mendudukkan hukum
pada konteks normatif-dogmatik, mengingat karakteristik ilmu hukum
itu sendiri yang bersifat sui generis. Akan tetapi, Meuwessin
menyadari keberadaan hukum yang secara praktis, masih tersentuh
oleh dinamika sosial dimana hukum tersebut diberlakukan. Sentuhan
empiris terhadap hukum dogmatik, kata Meuwissen, adalah tampak
ketika gejala-gejala hukum yang ada, dipandang sebagai gejala-gejala
empirik yang murni. Dari sinilah kemudian, hukum empiris
membedakan secara tajam antara fakta dan norma, antara keputusan
yang bersifat memaparkan (deskriptif) dan yang bersifat normatif
(preskriptif). Sebab menurut Meuwissen, fakta-fakta hukum
merupakan fakta-fakta kemasyarakatan yang dapat diamati secara
inderawi (baca secara empiris).
Dari paparan Meuwissen tentang hukum, maka hukum sebagai
sistem dapat ditempatkan dalam kerangka yang tepatnya sebagai apa
yang disebut oleh August Comte dan John Austin merupakan hukum
yang positivistik. Kerangka hukum sebagai sistem dalam perspektif
postivisme, adalah tatkala hukum itu berupa fakta yang dapat
diwujudkan melalui prilaku politik penguasa dengan dukungan semua
infra-struktur politik yang dimilikinya, baik dalam bentuk dukungan
18
Arief Sidharta. 2009. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. PT. Refika Aditama, Bandung,
hlm.55.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
65
kelompok elitis di sekitar sentra-sentra kekuasaan, basis massa yang
kuat, dan sokongan kekuatan milter yang cukup efektif. Hukum yang
demikian, seperti kata John Austin, adalah representasi perintah
kekuasaan yang berdaulat.
Klaim positivisme terhadap hukum dengan mengutip pendapat De
Wild19
, merupakan bentuk prilaku individu yang dapat diamati.
Prilaku individu yang dimaksudkan, tentu saja adalah prilaku
penguasa atau orang-orang di sekitar kekuasaan dalam
memberlakukan hukum sebagai sebuah perintah yang harus ditaati
oleh warga masyarakatnya. Penjelasan positivisme mengenai
keberadaan hukum sebagai sebuah realitas sosial, tentu tidak dapat
disamakan dengan hukum dalam perspektif normatif dogmatik. Sebab
hukum dalam perspektif dogmatik mengkaji hukum dalam posisi
postulat nilai, prinsip, atau asas sebagai aksioma dalam bertindak dan
berperilaku sebagai sesuatu yang bersifat obligasi atau seharusnya
(preskriptif), sedangkan positivisme, cocoknya mempelajari prilaku
kekuasaan terhadap hukum sebagai suatu realitas sosial.
Sehubungan dengan itu, konteks pengertian sistem hukum yang
digunakan dalam pembahasan ini, yaitu menempatkan hukum sebagai
bagian dari bangunan sosial kemasyarakatan, dengan titik pandang
bahwa sistem hukum dalam perspektif empiris (ilmu sosial), tidaklah
berpretensi untuk untuk memberikan penilaian, ia bersifat deskriptif
yang menggambarkan hukum sebagai prilaku sosial yang bersifat apa
adanya. Peter Mahmud Marzuki20
, menjelaskan secara rinci tentang
karakteristik hukum empiris, yang memisahkan antara fakta dan
19
Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi).
Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 38. 20
Ibid.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
66
norma, antara pernyataan bersifat deskriptif dan preskriptif, sebagai
berikut:
Ilmu hukum empiris, memisahka secara tajam antara fakta dan
norma, antara pernyataan yang bersifat deskriptif dan normatif.
Gejala hukum dipandang sebagai gejala empiris yang murni
faktual. Hal itu merupakan fakta sosial yang dapat diamati. Gejala-
gejala ini harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode
empiris dengan meminjam pola yang standar. Melalui cara tersebut
hukum dideskripsikan, dianalisis, dan diterangkan. Ilmu hukum
empiris dengan demikian melakukan telaah yang bersifat deskriptif
terhadap gejala-gejala hukum, yang sebagian sebenarnya
merupakan pernyataan preskriptif. Penelitian yang bersifat empiris
faktual tentang isi hukum dan perilaku masyarakat yang berkaitan
dengan hukum menduduki posisi utama. Dengan demikian, ilmu
hukum empiris bersifat bebas nilai dan netral”.
Berpijak dari pendapat Peter Mahmud Marzuki tersebut,
pandangan positivisme hukum, mendudukkan hukum dalam tataran
empiris. Sebab, kaum positivis, selalu memandang hukum sebagai
suatu fakta yang dapat ditentukan. Sehingga apabila mempelajarinya
secara mendalam, haruslah melepaskan diri dari penilaian atau
penormaan. Hukum empiris yang memang sejatinya tidak berpretensi
memberikan apresiasi nilai terhadap hukum, akan tetap konsisten
memberikan gambaran hukum yang berlaku dalam suatu sistem sosial
sebagai yang apa adanya. Keberadaan hukum sebagai sesuatu yang
apa adanya, menurut perspektif empiris, sekaligus juga hendak
menjelaskan kenyataan hukum masyarakat yang sudah dapat
dipastikan mendapat pengaruh ideologi tertentu yang mengkooptasi
cara berpikir masyarakat dimana hukum itu diterapkan.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
67
Unsur-Unsur Yang Mempengaruhi Sistem Hukum Hukum sebagai suatu sistem dalam perspektif ilmu sosial
(empiris), tentu harus dipandang bahwa hukum merupakan sebuah
pranata nilai (norma) yang diberlakukan di tengah masyarakat guna
mengatur prilaku sosial warga masyarakatnya baik sebagai individu
maupun sebagai bagian dari komunitas masyarakat. Konteks sistem
hukum dalam perspektif empiris, tentu keberadaannya sangat
dipengaruhi oleh beberapa unsur, sehingga menjadikan nomenklatur
hukum memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem lainnya,
seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem budaya, dan sistem
pemerintahan. Meskipun sebenarnya, semua sistem yang disebutkan
itu, tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang akan menjadi
bangunan aturan bagi dijalankannya sistem-sistem tersebut. Misalnya,
sistem ekonomi. Ia adalah sebuah sistem yang mendeskripsikan
kerangka hubungan transaksional yang berkaitan dengan kegiatan
mengatur urusan harta kekayaan, baik menyangkut kegiatan
memperbanyak jumlah kekayaan serta menjamin pengadaannya.
Sistem ekonomi, juga akan membahas tentang cara-cara pemenuhan
kebutuhan manusia, baik yang bersifat primer (kebutuhan dasar)
maupun bersifat sekunder (kebutuhan pelengkap)21
.
Sistem ekonomi hanya dapat berjalan secara ajeg, apabila dilandasi
oleh sebuah sistem aturan hukum yang baku. Aturan hukum inilah
yang menjamin keberlangsungan sistem ekonomi dalam tataran
praktis di tengah kehidupan masyarakat. Karena bagaimana mungkin,
sebuah transaksi ekonomi, misalnya jual beli dapat berlangsung, kalau
tata krama jual beli tersebut tidak diregulasi oleh pemerintah secara
permanen. Produk aturan hukum tentang tata krama jual beli dalam
21
Taqiyuddin An Nabhani. 2010. Sistem Ekonomi Islam (terjemahan
Hafidz Abdurrahman), HTI Press, Jakarta Selatan, hlm. 63.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
68
konteks masyarakat negara, sejatinya untuk menjamin kondusivitas
aktifitas jual beli itu sendiri. Begitu pula dengan keberlangsungan
sistem-sistem lain, akan sangat membutuhkan produk aturan hukum
sebagai instrumen penting yang menjamin keteraturan sistem-sistem
tersebut.
Perbincangan tentang hukum sebagai sistem, tentu tidak akan
lengkap bila tidak disertai dengan diskusi tentang unsur-unsur apa saja
yang mempengaruhi bangunan sebuah sistem hukum. Sebab
bagaimanapun juga, nomenklatur sistem hukum pada masing-masing
negara pasti berbeda, sangat tergantung dari unsur-unsur yang
mempengaruhi sistem hukum negara tersebut. Misalnya, nomenklatur
sistem hukum Indonesia pasti berbeda dengan nomenklatur sistem
hukum yang terdapat pada beberapa negara lainnya. Artinya, sistem
hukum Indonesia tidak akan sama dengan sistem hukum yang berlaku
di negara-negara barat, Amerika Serikat misalnya.
Perbedaan nomenklatur sistem hukum masing-masing negara,
sejatinya memang bisa tampak, apabila analisis cara pandang dengan
menggunakan pendekatan empiris. Ada perbedaan prilaku sosial
masyarakat barat dalam menempatkan hukum sebagai bagian integral
dalam mengatur prilaku kehidupan sehari-hari mereka, dengan
masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim
dengan kekentalan budaya relijius.
Sistem hukum yang apapun model dan nomenklaturnya, sangat
dipengaruhi oleh beberapa unsur, yang penulis dapat perincikan
sebagai berikut:
1. Ideologi Hukum
Ideologi secara etimologis berasal dari kata idea yang berarti
“gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita” dan logos yang berarti
“ilmu”. Kata idea diambil dari kata bahasa Yunani yaitu eidos yang
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
69
berarti bentuk. Selain itu dari kata idein yang artinya melihat. Maka
secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar.
Menurut Destut de Tracy, seorang pemikir barat akhir abad ke-18,
bahwa ideologi sesungguhnya dapat dipandang sebagai visi yang
komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, yang di
dalamnya merupakan kumpulan idea atau gagasan yang bersifat khas
atau unik. Dari konsepsi inilah, maka Destut de Tracy menyimpulkan
ideologi sebagai studi terhadap ide-ide pemikiran tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian)
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup manusia.
Sebagai perbandingan, pada bahagian berikut, penulis mengemukakan
beberapa definisi ideologi yang dikemukakan oleh beberapa filosof
barat:
Descartes:
Ideologi adalah studi terhadap ide-ide/pemikiran tertentu
Machiavelli:
Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh
penguasa
Thomas Hobbes:
Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan
pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya
Francis Bacon:
Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep
hidup
Karl Marx:
Ideologi adalah alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan
bersama dalam masyarakat.
Napoleon:
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
70
Ideologi adalah keseluruhan pemikiran politik dari rival-rivalnya.
Wikipedia Indonesia:
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqliyyah (akidah
yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-
aturan dalam kehidupan.
Bila menilik dalam khasanah pemikiran Islam, terminologi
ideologi, disebut dengan mabda’, yang secara etimologis adalah
mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang
berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar
yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran cabang. Dari istilah
mabda’ untuk ideologi tersebut, maka beberapa definisi ideologi yang
dikemukakan oleh beberapa pemikir Islam terpapar berikut ini:
Muhammad Ismail:
Ideologi (mabda’) adalah al-Fikru al asasi al ladzi hubna
qablahu fikrun akhar, pemikiran mendasar yang sama sekali
tidak dibangun (disandarkan) di atas pemikiran-pemikiran
yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi
jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa, dan mau
kemana alam, manusia, dan kehidupan ini yang dihubungkan
dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan
setelahnya22
.
Hafidh Saleh:
Ideologi adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide
berupa konsepsi rasional (aqidah aqliyah) yang meliputi
akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan manusia.
Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi
22
Muhammad Ismail. 2011. Fikrul Islam (Bunga Rampai Pemikiran
Islam). Al-Azhar Press, Bogor, hlm. 18.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
71
metode untuk meangaktualisasikan ide dan solusi tersebut,
metode mempertahankannya, serta metode menyebarkannya
keseluruh dunia23
.
Taqyuddin An-Nabhani:
Mabda’ adalah suatu aqidah aqliyyah yang melahirkan
peraturan. Yang dimaksud aqidah adalah pemikiran yang
menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan,
serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan,
disamping hubungannya dengan zat yang ada sebelum dan
seseudah alam kehidupan di dunia ini. Atau mabda’ adalah
suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta,
manusia dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu fikrah dan
thariqah24
.
Berdasarkan rumusan pemikiran tentang ideologi yang telah
dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ideologi
berdasarkan terminologi politik merupakan sistem ide yang
menyangkut filsafat, ekonomi, politik, kepercayaan sosial dan ide-ide.
Atau ideologi juga merupakan pemikiran yang mendasar, yang tidak
dibangun berdasarkan pemikiran lain (ushûl bukan furû„) atau
merupakan akidah rasional yang mampu melahirkan sistem peraturan
kehidupan.
Penjelasan tentang ideologi pada paparan sebelumnya, sekaligus
untuk memberikan argumentasi bahwa antara hukum dan ideologi
merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diibaratkan
23
Hafidh Shalih. 2003. Falsafah Kebangkitan (Dari Ide Hingga Metode).
Terjemahan Oleh Yayat Rohiyatna dari kitab berjudul An-Nahdhah. CV Idea
Pustaka Utama, Bogor, hlm. 77-78 24
Arief B Iskandar. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Al-Azhar Press, Bogor,
hlm. 9
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
72
sebagai dua sisi mata uang, yang keduanya berkelindan saling
mempengaruhi satu dengan yang lain. Sehingga dari kedua komponen
tersebut, antara hukum dan ideologi bisa saling melebur pada titik
singgung yang sama. Untuk itulah, penulis menggunakan istilah
ideologi hukum, sesuai konteks pembahasan bab ini.
Jadi pembahasan hukum juga akan selalu berkaitan dengan
ideologi yang menjadi paradigma dasar tegaknya hukum itu sendiri.
Demikian pula sebaliknya, pembahasan ideologi selalu terkait dengan
aturan hukum yang mana perbincangan tentang hukum selalu
merupakan instrumen yuridis untuk mengejawentahkan penerapan
hukum dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, sangat cocok
menurut pendapat penulis untuk menggunakan istilah ideologi hukum
guna mendeskripsikan pengaruhnya terhadap nomenklatur sistem
hukum sutu negara.
Kuatnya pengaruh ideologi hukum terhadap suatu produk hukum
juga disinggung oleh C.K.L. Bello25
dalam tulisannya bahwa hukum
merupakan situs pertarungan ideologi. Ideologi yang dominan pada
akhirnya akan masuk kedalam hukum dan pada akhirnya hukum itu
sendiri akan semakin memperkuat kekuatan ideologi di tengah
masyarakat. Sehingga, peranan hukum dapat memperkuat ideologi
yang berlaku di masyarakat tertentu. Bello menambahkan bahwa Dari
sini terlihat bahwa hukum dan ideologi memiliki hubungan timbal
balik. Hukum bukan hanya ideologi yang disokong oleh kekuatan
sosial yang terlembaga. Melainkan juga kekuatan sosial yang
terlembaga yang diartikulasikan dalam dan diperkuat oleh ideologi.
Dengan kata lain, ideologi menentukan produk hukum dan produk
hukum akan mengokohkan ideologi yang berlaku… Uraian mengenai
25
Lihat C.K.L. Bello. 2013. Ideologi Hukum (Refleksi Filsafat atas
Ideologi Di Balik Hukum), Insan Merdeka, Bogor, hlm. 33.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
73
hubungan hukum dan ideologi di atas mengantarkan kita pada suatu
kesimpulan bahwa hukum itu ideologis. Artinya, hukum selalu
memuat ideologi-ideologi dari kelompok dimana hukum itu
dipraktikkan atau dibuat.
Pada konteks pembahasan sistem hukum, mencakup unsur-unsur
yang mempengaruhinya, maka ideologi hukum merupakan salah satu
unsur terpenting bahkan sangat utama dalam memberikan pengaruh
karakteristik nomenklatur sistem hukum tertentu. Sebab sistem
hukum, bukanlah ruang hampa yang bebas nilai. Realitas sosial
menunjukkan bahwa karakteristik sebuah sistem hukum dapat dibaca
melalui ideologi hukum yang mempengaruhinya.
Sistem hukum di negara-negara yang menganut sistem Anglo
Saxon, seperti Amerika Serikat dan Inggeris, serta di negara-negara
yang menganut sistem Eropa Kontinental, seperti Belanda dan
Portugis, senantiasa dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Berbeda
dengan negara-negara sosialis dahulu seperti Uni Soviet sebelum
runtuh tahun 1991, sistem hukum negara tersebut sudah pasti
dipengaruhi oleh ideologi sosialis. Juga berbeda dengan negara-negara
muslim yang menata kehidupan masyarakatnya dengan sistem hukum
Islam, maka sudah tentu sistem hukum negara tersebut dipengaruhi
oleh ideologi hukum berbasis Islam.
Pada galibnya ideologi hukum merupakan sebuah pemikiran
terwujud dalam bentuk kesadaran masyarakat yang terkonfigurasi
melalui kesadaran berpikir mereka bagaimana seharusnya bertindak
dan berbuat. Sehingga ideologi hukum bukanlah merupakan sebuah
doktrin hukum. Karena doktrin hukum itu sendiri merupakan wujud
konkrit norma tentang kesadaran bertingkah laku sosial. Perbedaan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
74
mendasar antara ideologi hukum dan doktrin hukum, diuraikan oleh
Roger Cotterrell26
, berikut ini:
Legal ideology ca be thought of, then, not as legal doctrine itself
but as the forms of social consciousness reflected in and expressed
through legal doctrine. The task of an anlysis of legal ideology is
to explain its ature, sourcess and effects in particular society
Apa yang dijelaskan Roger Cotterell, ia hendak memberikan
pemahaman bahwa ideologi hukum masuk ke ranah kesadaran
berpikir secara sosial sedangkan doktrin hukum, merupakan rumusan
dari penjelasan konkrit norma-norma hukum untuk diterapkan dalam
kehidupan sosial masyarakat. Bila ideologi hukum merupakan sebuah
konsep yang bersifat umum dan abstrak maka doktrin hukum
merupakan konsep yang bersifat khusus serta merupakan turunan
penjelasan dari apa yang dikehendaki oleh ideologi hukum.
Namun demikian, yang perlu dibahas dalam konteks pengaruh
ideologi terhadap hukum, yang manakah ideologi sahih dapat
menjamin keberlangsungan kehidupan umat manusia dalam tataran
yang dapat menjamin keadilan dan persamaan hukum? Menjawab
pertanyaan ini memang tidak mudah, apalagi tinjauannya adalah
perspektif ideologi yang setiap orang secara subjektif tidak sama.
Namun yang jelas, menurut penulis takaran ideologi yang hendak
dijadikan sebagai timbangan untuk itu, mestinya sebuah ideologi yang
dapat memuaskan rasionalitas berpikir manusia dan sesuai dengan
fitrah setiap orang.
26
Roger Cotterell. 1984. Sociology of Law: An Introduction.
Butterworths, London, p. 120.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
75
2. Politik Hukum
Pada faktanya, politik dan hukum adalah dua unsur yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya saling
memberikan pengaruh cukup signifikan. Politik dalam determinasi
yang pragmatis, tidak lain merupakan sebuah kebijakan strategis yang
hendak dijalankan oleh para elit politik yang duduk di sentra-sentra
kekuasaan. Sedangkan hukum merupakan instrumen yang dilahirkan
dalam kerangka melegitimasikan kebijakan strategis yang hendak
dimanifestasikan kelompok elit politik yang duduk di sentra-sentra
kekuasaan.
Pengertian politik hukum menurut pendapat penulis, dengan
berdasarkan kepada pendekatan teoritis secara umum, adalah
kebijakan pada level kekuasaan (politik) dalam kerangka
pelayanan urusan masyarakat (rakyat) dibidang penegakan
hukum dengan segala prosedurnya. Sedangkan politik hukum,
dengan merujuk pendekatan faktual, dengan mengambil ilustrasi pada
konfigurasi sistem politik Indonesia, dapat dirumuskan sebagai proses
kebijakan politik yang ditempuh oleh para elit pemegang
kekuasaan dalam rangka menyusun produk hukum tertulis untuk
diberlakukan, serta kebijakan pada tataran ketika produk hukum
tersebut diberlakukan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dengan mencermati rumusan politik hukum yang telah
dikembangkan oleh penulis, maka unsur-unsur pembentuk politik
hukum, selalu terdiri dari proses kebijakan politik, penyusunan produk
hukum tertulis, serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
penegakan hukum tersebut. Determinasi pengertian politik hukum
dimaksud, termasuk unsur-unsur yang terkait dengannya, maka
dapatlah dipahami apabila politik hukum secara prinsip merupakan
wilayah pengkajian politik bukan pengkajian hukum. Dengan asumsi
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
76
dasar, bahwasanya politik hukum selalu berkutat pada ranah kebijakan
serta faktor-faktor dibalik kebijakan politik yang mempengaruhi
penerapan hukum. Ungkapan demikian dapat dijelaskan secara rinci
sebagai berikut. Pertama, wilayah pengkajian politik hukum selalu
berkonsentrasi pada proses kebijakan yang menjadi dasar
pertimbangan bagi para elit pemegang kekuasaan untuk mengeluarkan
suatu produk hukum.
Pengaruh politik hukum terhadap nomenklatur sistem hukum suatu
negara memang cukup signifikan. Apalagi realitas masyarakat dalam
sistem hukum suatu negara merupakan realitas masyarakat pragmatis
dan serba permisif dimana peran elit politik memegang kunci strategis
untuk menentukan arah kebijakan hukum negaranya. Argumentasi ini,
dapat dipahami dengan melihat pada realitas yang memotivasi
lahirnya sebuah produk undang-undang tertulis, yang pada galibnya,
motivasi kelahiran produk hukum tertulis, kerap berlatar pada
kepentingan-kepentingan yang hendak dicapai (goal pursuance) dari
para elit politiknya.
Memang nuansa produk hukum tertulis, dalam konteks masyarakat
pragmatis, selalu digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi
setiap kebijakan yang hendak diterapkan di tengah-tengah masyarakat
secara keseluruhan. Pada titik inilah kemudian wilayah pengaruh
politik hukum akan selalu tampak pada proses-proses kebijakan yang
berkelindan seputar kepentingan-kepentingan politik yang sedang
dirancang oleh para elit politik, ketika hendak mengeluarkan suatu
produk hukum tertulis, baik itu undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan daerah, dan lain-lain.
3. Prilaku Hukum Masyarakat
Prilaku hukum selalu merujuk kepada pengertian sikap dan
persepsi masyarakat terhadap hukum yang diberlakukan. Sikap dan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
77
persepsi masyarakat tersebut umumnya terkonkretisasi dalam bentuk
sikap menerima atau menolak sebuah kebijakan hukum yang
diberlakukan. Sejatinya, prilaku hukum warga masyarakat memang
memberikan pengaruh terhadap nomenklatur sebuah sistem hukum
tetapi pengaruh itu umumnya tidak begitu signifikan. Prilaku hukum
warga masyarakat, boleh jadi memberikan pengaruh cukup signifikan
bila prilaku hukum warga masyarakat itu mendapat dukungan kuat
dari simpul-simpul kekuatan politik yang menjadi penopang bangunan
sosial masyarakat.
Maksud penulis, status quo sistem hukum suatu negara, apabila
dikaitkan dengan penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum
tersebut, maka status quo sistem hukum dimaksud, runtuh dan
bangkitnya juga sangat dipengaruhi oleh prilaku penerimaan
masyarakat. Untuk memperkuat argumentasi ini, penulis memberikan
contoh pada peralihan kekuasaan dari Kolonialisme Belanda kepada
Bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan itu, sekaligus menandai
terjadinya perubahan sistem hukum secara revolusioner.
Melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, seluruh warga masyarakat
Indonesia, menyambut gembira Kemerdekaan Indonesia lepas dari
cengkraman penjajahan Kolonial Belanda. Sebab, proklamasi
merupakan titik kulminasi penolakan seluruh masyarakat Indonesia
terhadap sistem hukum Kolonial Belanda beserta segala infrastruktur
politiknya yang menindas rakyat Indonesia. Dengan tergantikannya
system hukum Kolonial Belanda kepada Sistem Hukum Nasional
yang sesuai jiwa Bangsa Indonesia, tentu saja disambut gembira oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa prilaku
hukum masyarakat Indonesia, memang sejatinya, sangat menolak
keberadaan sistem hukum Kolonial Belanda yang dianggap sangat
diskriminatif dan tidak adil terhadap rakyat Indonesia.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
78
Pengaruh prilaku hukum warga masyarakat terhadap nomenklatur
sistem hukum suatu negara, bisa dilihat dalam dua konteks, yaitu
konteks makro dan konteks mikro. Konteks makro adalah berkaitan
dengan perubahan revolusioner sistem hukum suatu negara. Misalnya,
perubahan sistem hukum dari sistem kolonial menuju sistem hukum
berbasis kemerdekaan. Sedangkan, konteks mikro tidak berkaitan
dengan revolusi perubahan sistem hukum suatu negara tetapi terkait
dengan kelahiran beberapa produk hukum tertulis oleh pemegang
kekuasaan, yang dipandang tidak memberikan jaminan keadilan dan
kemanfaatan hukum warga masyarakat. Contoh, kelahiran undang-
undang yang menindas rakyat. Undang-undang tersebut, tidak
mendapat respon baik dari warga masyarakat, sehingga menimbulkan
berbagai aksi penolakan. Berbagai aksi penolakan warga masyarakat,
bisa terlihat pada realitas maraknya aksi demonstrasi, pemogokan
massal, protes sosial, sampai gugatan kepada pemerintah melalui
jalur pengadilan formal seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi, termasuk melakukan mosi tidak percaya kepada parlemen.
Tujuan dan Fungsi Hukum dalam Sistem Hukum
Indonesia
1. Tujuan Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia
Pembahasan tentang tujuan hukum, dalam beberapa literatur
hukum, masih terdapat beragam pendapat. Perbedaan itu, sangat
mungkin disebabkan oleh perspektif, pola pandang, dan cara pandang
ideologis para penulisnya. Bagi Mr. L.J. van Apeldoorn27
, tujuan
hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup damai. Pendapat
tentang tujuan hukum ini, dikutip oleh van Apeldoorn, yang
27
Mr. L.J. van Apeldoorn. 2011. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan).
PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 10-11.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
79
diucapkan dalam salah satu prolog hukum rakyat, franka salis, yaitu
lex salica (sekitar 500 tahun sebelum masehi, zaman ini menurut van
Apeldoorn sangat mempengaruhi pandangan hidup bangsa-bangsa
Germania. Tujuan hukum untuk mengatur pergaulan hidup damai,
menurut van Apeldoorn, adalah hal yang sangat penting, mengingat
perdamaian antar manusia harus dipertahankan melalui pranata
hukum. Perdamaian merupakan hal yang sangat diperlukan, tidak lain
untuk melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam hal
kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda, dan sebagainya, serta
terhadap apa-apa saja yang merugikan kepentingan manusia tersebut.
Dalam pandangan van Apeldoorn tersebut, pergaulan hidup damai
merupakan fokus utama dari tujuan hukum itu sendiri, karena
menurutnya, setiap warga dalam hidup bermasyarakat terkadang
terjadi konflik kepentingan satu dengan yang lainnya. Untuk
menghindari konflik atau pertikaian berkepanjangan tersebut, maka
hukum tampil untuk menengahi pertikaian dengan tujuan
menyeimbangkan harmonisasi antara warga masyarakat yang saling
bertikai sehingga tujuan pergaulan hidup damai di tengah masyarakat
dapat tercapai. Dari sinilah hukum, menurut van Apeldoorn, berperan
menimbang kepentingan-kepentingan dari setiap warga masyarakat.
Adapun bagi Peter Mahmud Marzuki, penganut mazhab hukum
normatif, bahwa perbincangan tentang tujuan hukum, mula pertama
kali digagas oleh pengusung hukum alam. Sebab tujuan hukum,
merupakan perbincangan yang masuk dalam tataran ide yang bersifat
abstrak dan umum. Berpijak dari pandangan mazhab hukum alam,
maka tujuan hukum sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh
Aristoteles, adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum kemudian diadopsi oleh
Thomas Aquinas, lalu diterjemahkan kembali oleh Thomas Aquinas,
dengan merevisinya melalui dogma Kristen. Maka bagi Thomas
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
80
Aquinas, tujuan hukum adalah untuk mencapai kesejahteraan dan
sentosa masyarakat secara keseluruhan.
Akan tetapi, bagi Peter Mahmud Marzuki sebagai penganut
mazhab hukum normatif, dengan meminjam pendapat Lon Fuller,
tujuan hukum tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai moral sebagai
landasan paradigmatik dari tujuan hukum itu sendiri. Melalui landasan
paradigma moral inilah, kata Peter Mahmud Marzuki, pada tujuan
pembentukan udang-undang misalnya, haruslah mencerminkan nilai-
nilai moralitas tersebut. Namun secara konkrit, apabila dikaitkan
dengan tujuan hukum, menurut Peter Mahmud Marzuki28
, tujuan
hukum adalah damai sejahtera:
Hukum harus dapat menciptakan damai sejahtera, bukan
ketertiban. Damai sejahtera inilah yang merupakan tujuan hukum.
Dalam situasi damai sejahtera, hukum melindungi kepentingan
manusia baik secara materil maupun immateril dari perbuatan-
perbuatan yang merugikan.
Tampak pandangan Peter Mahmud Marzuki, memisahkan antara
damai sejahtera dengan ketertiban. Pandangan ini juga sejalan dengan
van Apeldoorn, bahwa ketertiban sebagai wujud keteraturan dalam
masyarakat sudah mencakup damai sejahtera. Namun hukum juga
tampak berlaku dalam kondisi yang tidak tertib, sebagaimana ditulis
oleh Hugo de Grotius misalnya dalam kondisi peperangan yang
melanda suatu negara.
Berbeda dengan Achmad Ali, sebagai penganut hukum empiris, ia
mengemukakan tujuan hukum, ada tiga: (1). Untuk mencapai
kepastian hukum; (2). Untuk mencapai kemanfaatan hukum; dan (3).
28
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 128-129.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
81
Untuk mencapai keadilan. Dari tujuan hukum itu, menurut Achmad
Ali, dapat diklasifikasikan berdasarkan ajarannya, yaitu ajaran etis,
ajaran utilistis, dan ajaran normatif-dogmatik. Ajaran etis, berbicara
tujuan hukum untuk keadilan; ajaran utilistis berbicara tujuan hukum
untuk kemanfaatan hukum; dan ajaran normatif-dogmatik, berbicara
tujuan hukum untuk kepastian hukum.
Bila menyimak, uraian Achmad Ali, tentang tujuan hukum, yaitu
untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka
tujuan hukum juga untuk menciptakan tata tertib masyarakat yang
damai dan adil. Dari tujuan hukum ini, menurut van Apeldoorn,
hukum juga pada hakekatnya, tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai
keadilan, sebab bila nilai keadilan dilepaskan dari hakekat hukum
tersebut, sama saja menyamakan hukum itu dengan kekuasaan yang
sewenang-wenang, tirani, serta kezhaliman. Dengan tujuan hukum
untuk menciptakan keadilan, maka hukum sesungguhnya
membicangkan masalah nilai-nilai etis dan moral sebagai sebuah
tataran ide yang masuk dalam wilayah pemikiran dan rasionalitas.
Penjelasan ini, tentu saja semakin memperkuat argumentasi
pandangan hukum normatif, yang menempatkan hukum sebagai sui
generis. Sedangkan konteks pembahasan hukum empiris dalam
membicangkan keadilan sebenarnya tidaklah dalam tataran nilai atau
ide tetapi seputar persepsi dan sikap masyarakat terhadap
pemberlakuan nilai-nilai hukum, apakah itu memberikan keadilan atau
justeru mengakibatkan ketidakadilan bagi warga masyarakat.
Sehingga dalam konteks pembahasan tentang keadilan, terdapat
perbedaan perspektif antara hukum normatif dengan hukum empiris.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
82
Hukum normatif memandang hukum dalam tataran legal justice
sedangkan hukum empiris memandang hukum sebagai social justice29
.
Pada pembahasan tujuan hukum dalam konteks sistem hukum
Indonesia, dapat diterjemahkan dengan mencermati tujuan negara
Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945, yaitu: (1). Melindungi segenap tumpah darah Indonesia; (2).
Memajukan kesejahteraan umum; (3). Mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan (4) Ikut serta menjaga ketertiban dunia. Berdasarkan
empat tujuan negara Indonesia, maka dalam konteks tujuan
hukumnya, adalah Pertama, untuk memberikan rasa aman bagi
seluruh warga masyarakat Indonesia; Kedua, menjamin kepentingan-
kepentingan rakyat Indonesia agar mendapatkan penghidupan yang
lebih layak dan standar kesejahteraan yang memadai; Ketiga, untuk
menjaga ketertiban dunia dimana bangsa Indonesia termasuk salah
satu bagian dari masyarakat dunia.
Tujuan hukum pertama dalam konteks tatanan hukum Indonesia,
adalah untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat Indonesia
tatkala melangsungkan interaksi sosialnya satu sama lain.
Perlindungan tersebut, adalah sangat diperlukan sebagai jaminan rasa
aman, mendapatkan keadilan, dan kepastian hukum dengan tetap
bertumpu kepada pada asas semua orang sama di depan hukum.
Sedangkan tujuan kedua hukum dalam sistem hukum Indonesia,
adalah untuk memberikan perlindungan mendapatkan akses yang
sama dalam memanfaatkan sumber-sumber ekonomi, termasuk
29
Penjelasan tentang keadilan dalam konteks sosiologi juga dibahas oleh
Roscoe Pound, bahwa keadilan merupakan keselarasan antara hubungan antar
manusia dalam masyarakat dan antara manusia dengan masyarakat yang
sesuai dengan moral yang berlaku didalam masyarakat. Lihat Umar
Sholehuddin. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat Perspektif Sosiologi
Hukum. Setara Press, Malang, hlm. 22.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
83
jaminan untuk mendapatkan akses pelayanan publik yang lebih
memadai, seperti pelayanan pendidikan yang sama, pelayanan
kesehatan, dan hak untuk mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Adapun tujuan hukum ketiga, dalam tatanan kehidupan negara
Indonesia, adalah untuk menjaga kedaulatan negara Indonesia dari
berbagai ancaman atau rongrongan dari pihak asing manapun
termasuk juga menjaga kehormatan bangsa-bangsa lain dari segala
bentuk penjajahan dan kezaliman oleh negara lain, karena bagi bangsa
Indonesia sesuai Pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak
semua bangsa.
2. Fungsi Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia
Pembahasan tentang fungsi hukum dengan tujuan hukum memang
berbeda. Meski terlihat kesamaan antara tujuan hukum dan fungsi
hukum. Tujuan hukum pada dasarnya membahas tentang orientasi
atau keinginan yang dikehendaki, sedangkan fungsi hukum membahas
tentang manfaat yang hendak dicapai. Artinya, fungsi hukum lebih
terkonsentrasi kepada kegunaan yang hendak dicapai. Namun
demikian, antara tujuan hukum dan fungsi hukum dalam suatu negara
atau sistem hukum tertentu, merupakan dua irisan yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Pembahasan fungsi hukum, sudah pasti
sangat terkait erat dengan tujuan hukum. Seseorang tidak akan bisa
membahas tentang fungsi hukum kalau tidak mengetahui apakah
tujuan hukum itu sendiri.
Secara umum, seperti halnya tujuan hukum, pembahasan tentang
fungsi hukum, masih terdapat beragam pendapat diantara para penulis
hukum, yang tentu saja sangat tergantung dari perspektif dan ideologi
hukum dari masing-masing penulis hukum tersebut. Fungsi hukum
menurut penulis hukum berpaham kapitalisme tentu berbeda dengan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
84
penulis hukum yang berpaham sosialisme. Begitu juga, berbeda
dengan pandangan hukum syariah tentang fungsi hukum hukum yang
secara spesifik merujuk kepada kewahyuan, yaitu yang termaktub
dalam Al-Qur‟an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembahasan tentang fungsi hukum, penulis menggunakan
pendapat Joseph Raz30
, yang menempatkan fungsi hukum dalam
perspektif sosial, yang mencakup:
1. Fungsi Langsung, yang terbagi menjadi dua:
a. Fungsi Langsung yang bersifat primer, mencakup:
1) Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong
dilakukannya perbuatan tertentu;
2) Penyediaaan fasilitas untuk kepentingan hukum yang
bersifat keperdataan;
3) Penyediaan pelayanan dan pendistribusian kembali
barang-barang kebutuhan manusia;
4) Penyediaan fasilitas untuk menyelesaikan sengketa di luar
jalur pengadilan.
b. Fungsi Langsung yang bersifat sekunder, mencakup:
1) Sebagai sarana bagi perbaikan lembaga-lembaga hukum
dan legislatif, yang meliputi lembaga-lembaga negara
sebagai penjaga hukum, parlemen sebagai lembaga
legislatif, perbaikan pranata pengadilan, dan lembaga adat
yang ada di tengah masyarakat;
2) Sebagai instrumen bagi perbaikan penegakan hukum
dengan segala prosedurnya.
2. Fungsi Tidak Langsung, meliputi:
30
Joseph Raz. 1983. The Authority of Law.Oxford; Clarendon Pers,
London, p. 163-177.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
85
Termasuk fungsi hukum tidak langsung menurut Joseph Raz
adalah berguna untuk memperkuat atau meperlemah nilai-nilai
moral terentu, misalnya nilai moral yang berkaitan dengan
kesucian hidup, penguatan terhadap otoritas umum (kekuasaan),
dan untuk memperkuat perasaan kesatuan kebangsaan (nasional).
Dalam pandangan Achmad Ali31
, hukum memiliki beberapa fungsi,
yang mencakup:
1. Fungsi hukum sebagai a tool of social control, yaitu hukum
sebagai alat pengendali sosial untuk menetapkan tingkah laku
yang dianggap sebagai perintah dari wujud aturan hukum. Melalui
fungsi sebagai alat pengendali sosial tersebut, maka hukum akan
menetapkan sanksi kepada warga masyarakat bila terbukti
melakukan pelanggaran terhadap aturan hukum yang berlaku;
2. Fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, untuk istilah
ini Achmad Ali, sepakat bila diterjemahkan dengan kata-kata
hukum sebagai alat perekayasa sosial, dengan fungsi ini hukum
menjalankan perannya sebagai alat bagi terjadinya perubahan
sosial. Artinya, hukum ditempatkan dalam kerangka sebagai alat
rekayasa sosial untuk mengubah masyarakat. Hukum tidak lain
ditempatkan sebagai motor penggerak yang nantinya akan
menyebarkan dan menggerakkan ide-ide yang ingin diwujudkan
oleh hukum tersebut. Dalam perspektif ini, bekerjanya hukum
bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangan belaka,
melainkan juga aktivitas birokrasi pelaksanaannya.
3. Fungsi hukum sebagai simbol, yaitu hukum bertindak sebagai
instrumen yang bersifat simbolik, yang mencakup proses-proses
penerjemahan atau penggambaran untuk mengartikulasikan suatu
istilah yang sederhana tentang hubungan sosial serta fenomena-
31
Achmad Ali, op.cit., hlm. 71-83.
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
86
fenomena lainnya yang lahir sebagai konsekuensi dari adanya
interaksi antara warga masyarakat.
4. Fungsi hukum sebagai a political instrument, yaitu hukum
berjalan sebagai alat untuk memfasilitasi kekuasaan politik
dimana kekuasaan politik untuk dapat diterapkan di tengah
masyarakat, maka legitimasi hukum sangat diperlukan.
5. Fungsi hukum sebagai integrator, yaitu hukum menempatkan
dirinya sebagai mekanisme untuk melakukan integrasi terhadap
berbagai kepentingan anggota masyarakat, baik pada saat
terjadinya konflik maupun pada saat sebelum terjadinya konflik.
Fungsi hukum sebagai integrator, adalah dalam rangka untuk
menyelaraskan berbagai kepentingan antar warga masyarakat.
Dengan mencermati pembahasan teoritis fungsi hukum dari
beberapa penulis hukum, maka pada pembahasan ini, fungsi hukum
dalam sistem hukum Indonesia, juga tidak bisa dilepaskan dari tujuan
hukum Indonesia sebagaimana yang sudah dipapar pada sub-bab
pembahasan sebelumnya. Sehubungan dengan itu, fungsi hukum
dalam sistem hukum Indonesia, dapat diperincikan sebagai berikut:
1. Hukum dalam sistem hukum Indonesia berfungsi menjaga
identitas nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat Indonesia. Menurut penulis, penjabaran fungsi
hukum ini seharusnya lebih mengintrodusir nilai-nilai hukum
yang transendental-spiritualistik, mengingat mayoritas warga
masyarakat bangsa ini masih berpegang teguh nilai-nilai agamis,
yang sudah berkembang sejak dahulu sebelum kedatangan
Kolonialisme Belanda.
2. Hukum dalam sistem hukum Indonesia berfungsi sebagai
instrumen politik untuk melegitimasi setiap kebijakan politik yang
hendak dilaksanakan di tengah masyarakat Indonesia. Baik
kebijakan politik oleh lembaga eksekutif maupun kebijakan
Bab 2 Kerangka Pengertian Sistem Hukum
87
politik oleh lembaga legislatif. Dimensi kepentingan politik ini,
semestinya untuk keberpihakan bagi perlindungan hak-hak rakyat
Indonesia secara keseluruhan.
3. Hukum dalam sistem hukum Indonesia berfungsi untuk
memberikan perlindungan hak-hak warga negara Indonesia,
terutama dalam hal untuk mendapatkan jaminan hak-hak ekonomi,
hak-hak politik, hak-hak memperoleh fasilitas pendidikan secara
mudah, hak-hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih
baik, hak-hak mendapatkan rasa aman dari setiap gangguan
tindakan kriminal atau kejahatan, dan hak mendapatkan kehidupan
yang lebih baik.
Tiga fungsi hukum dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana
yang sudah dipaparkan tersebut, merupakan fungsi-fungsi hukum
yang sejalan dengan tujuan-tujuan hukum yaitu untuk menjaga nilai-
nilai keadilan. Nilai keadilan yang dimaksud adalah keadilan
ekonomi, keadilan mendapatkan penghidupan lebih baik, dan keadilan
politik. Selain nilai keadilan, juga nilai kemanfaatan hukum, yaitu
hukum memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat
Indonesia, termasuk nilai kepastian hukum dimana setiap warga
negara Indonesia diperlakukan sama di depan hukum tanpa
memandang status sosial dan status ekonomi. Tiga fungsi hukum ini,
diintrodusir oleh penulis dengan mengkaitkan tujuan hukum, yang
merupakan manifestasi dari tujuan negara Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
BAB 3
KARAKTERISTIK SISTEM HUKUM
INDONESIA DAN BEBERAPA UNSUR YANG
MEMPENGARUHINYA
Pengertian Sistem Hukum Indonesia Beranjak pada rumusan sistem hukum sebagaimana terpapar pada
pembahasan sebelumnya, maka Sistem Hukum Indonesia dapat
didefinisikan sebagai seperangkat kaidah atau aturan yang
diberlakukan pada batas-batas sistem kehidupan masyarakat
Indonesia yang bernaung di bawah entitas politik Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 beserta beberapa
unsur yang mempengaruhi penegakannya sebagai satu kesatuan
yang utuh.
Pengertian sistem hukum Indonesia tersebut, memberikan deskripsi
tentang realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang diatur menurut
kaidah atau norma dengan segala turunannya yang harus merujuk
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber
hukum tertinggi. Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa
Pancasila merupakan landasan ideal yang menjadi dasar pandangan
bagi pembuatan aturan hukum di wilayah Indonesia. Sedangkan
Undang-Undang Dasar 1945, dipandang sebagai landasan operasional
dan pijakan asas yang secara hirarkis tidak boleh bertentangan dengan
segala produk hukum tertulis dibawahnya, yang diberlakukan di
negara ini.
Dengan berpijak asas lex superior derogat legi inferior, yaitu
aturan hukum lebih tinggi tidak boleh bertentangan dengan aturan
hukum lebih rendah di bawahnya, maka Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi yang merupakan sumber hukum tertulis tertinggi di
negara ini, memiliki posisi sebagai lex superior. Sehingga aturan
hukum tertulis lainnya, yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia,
seperti undang-undang, peraturan pengganti undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah, didudukkan dalam posisi
sebagai lex inferior yaitu aturan hukum yang lebih rendah dibawah
konstitusi.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
89
Mengingat kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai lex
superior maka segala produk hukum yang berada lebih rendah
tingkatan dibawahnya, tidak boleh bertentangan dengan muatan
substansi pasal-pasal dari Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 itu
sendiri. Dalam sistem hukum Indonesia, sekarang ini hirarki peraturan
perUndang-Undangan di Indonesia menurut ketentuan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka
Undang-Undang Dasar 1945 dapat diletakkan sebagai Grundnorm1
atau yang menjadi dogma hukum tertinggi dalam tata urutan hirarkis
perUndang-Undangan di Indonesia. Menurut Hans Kelsen, sebagai
1 Penjelasan yang utuh tentang teori Grundnorm ini dapat dilihat dari
ulasan Jazim Hamidi bahwa grundnorm yang dimaksud Kelsen adalah
sesuatu yang diasumsikan sangat abstrak dan bermuatan perintah bahwa
seseorang itu seyogyanya bertingkah laku sebagaimana yang ditetapkan oleh
konstitusi. Grundnorm itu berada di luar dan menjadi landasan fondasi tata
berlakunya hukum positif atau sebuatan lain sebagai meta juristic. Lihat
Jazim Hamidi. 2006. Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan
Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem
Ketatanegaraan RI. Kerjasama Konstitusi Press dan Citra Media,
Yogyakarta, hlm. 17.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
90
penggagas teori grundnorm bahwa seseorang seharusnya mentaati
sebagaimana yang ditetapkan dalam konstituti. Begitu juga, seseorang
seharusnya berperilaku sebagaimana makna subjektif dari tindakan
atau kehendak kemauan yang membentuk kostitusi.
Pengertian sistem hukum Indonesia, sebagaimana yang disebutkan
juga menegaskan tentang keberadaan subjek hukum yang diatur hanya
kepada warga masyarakat yang hidup secara sosial atau berinteraksi
dalam batas-batas wilayah negara Republik Indonesia. Dalam
perspektif empiris, sebenarnya yang dimaksud dalam kategori warga
masyarakat Indonesia, tidak hanya mencakup penduduk asli (pribumi)
Indonesia, atau warga negara2 yang mendapat pengakuan naturalisasi.
Tetapi juga, warga masyarakat yang bukan warga negara Indonesia,
seperti warga negara asing ataupun badan hukum asing lainnya yang
berdomisili atau melakukan interaksi sosial dalam batas-batas wilayah
kedaulatan negara Republik Indonesia sepanjang interaksi sosial
tersebut berkaitan erat dengan kepentingan nasional Republik
Indonesia.
Selain itu, konteks ketundukan hukum dari subjek hukum dalam
sistem hukum Indonesia, juga meliputi badan hukum yang melakukan
aktivitas hubungan hukum dalam batas-batas wilayah Republik
Indonesia. Badan hukum yang dimaksud adalah baik badan hukum
swasta maupun badan hukum milik negara. Juga badan hukum milik
pribumi atau milik warga negara asing. Badan hukum ini, pada
faktanya adalah sekumpulan individu yang melakukan kegiatan usaha
2 Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaaan Indonesia disebutkan bahwa yang menjadi Warga Negara
Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
91
tertentu bersifat komersil yang tergabung dalam sebuah korporasi
dengan menggunakan nama tertentu.
Jadi sistem hukum Indonesia, dari segi wilayah pemberlakuan
kaidah dan aturan-aturan hukum, yaitu mencakup batas-batas wilayah
kedaulatan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan atau bagian dari
entitas politik. Kedaulatan negara Indonesia dalam perspektif empiris,
adalah terlihat pada fakta kekuatan politik serta kekuatan militer yang
menjangkau pada batas wilayah dari Sabang sampai Merauke, yaitu
dari ujung Pulau Sumatera sampai pada ujung Pulau Papua yang
berbatasan secara geografis dengan Negara Papua New Genuine (baca
Papua Nugini).
Adapun batas-batas geografis wilayah Indonesia, yaitu terletak di
antara 6‟ LU-11” LS dan 95‟ BT-141‟BT, antara Lautan Pasifik dan
Lautan Hindi, antara Benua Asia dan Benua Australia, dan pada
pertemuan dua rangkaian pegunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan
Sirkum Mediteranian. Indonesia merupakan negara kepulauan yang
berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia
memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan
1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km
2 Berdasarkan posisi
geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas: Utara - Negara
Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan. Selatan - Negara
Australia, Samudera Hindia. Barat - Samudera Hindia. Timur - Negara
Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik. Posisi geografis
Indonesia terdiri atas letak astronomis dan letak geografis yang
berbeda pengertian dan pandangannya.
1. Letak Astronomis
Letak astronomis suatu negara adalah posisi letak yang
berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Garis lintang adalah garis
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
92
khayal yang melingkari permukaan bumi secara horizontal, sedangkan
garis bujur adalah garis khayal yang menghubungkan Kutub Utara dan
Kutub Selatan. Letak astronomis Indonesia Terletak di antara 6oLU –
11oLS dan 95
oBT – 141
oBT Berdasarkan letak astronomisnya
Indonesia dilalui oleh garis equator, yaitu garis khayal pada peta yang
membagi bumi menjadi dua bagian sama besarnya. Garis equator atau
garis khatulistiwa terletak pada garis lintang 0o.
2. Letak geografis
Letak geografis adalah letak suatu daerah atau wilayah dilihat dari
kenyataan di permukaan bumi. Berdasarkan letak geografisnya,
kepulauan Indonesia di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta
di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan demikian,
wilayah Indonesia berada pada posisi silang, yang mempunyai arti
penting dalam kaitannya dengan iklim dan perekonomian.
3. Letak Geologis
Letak geologis adalah letak suatu wilayah dilihat dari jenis batuan
yang ada di permukaan bumi. Secara geologis wilayah Indonesia
dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia yaitu Pegunungan
Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di
sebelah timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan
Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif dan rawan
terjadinya gempa bumi.
PETA WILAYAH INDONESIA
90
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
93
Dari segi kedaulatan politik, pada fakta politik dalam sistem
kehidupan masyarakat Indonesia, adalah terlihat pada kemampuan
bangsa Indonesia menjaga batas-batas wilayah kedaulatannya secara
militer dari serangan luar yang dapat mengancam entitas politik
wilayah Indonesia. Kedaulatan politik, juga tampak dari kemandirian
Bangsa Indonesia3, untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara
otonom tanpa intervensi dari negara lain. Seperti menyelenggarakan
pemilihan umum secara bebas, menata keuangan negara, dan
3 Kendati secara de jure, Negara Indonesia telah memiliki kedaulatan
politik sejak pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Akan tetapi,
masih ada beberapa pengamat sosial yang menyangsikan kedaulatan politik
Indonesia, sebagaimana ditulis Slamet judul Kemerdekaan Tanpa
Kedaulatan: Sebuah Refleksi, artikel dimuat di Harian Satelit Pos, 18
Agustus 2014, hlm. 7. Isi tulisannya menyatakan: ”Pada hakikatnya,
kemerdekaan haruslah berdampingan dengan kedaulatan sebagaimana yang
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Kemerdekaan berarti terbebasnya
bangsa Indonesia dari penjajahan, sedangkan kedaulatan berarti hak
kekuasaan pemerintahan untuk mengatur urusan dalam negerinya sendiri
dalam segala aspek tanpa campur tangan asing. Kedaulatan yang dimaksud
mencakup kedaulatan politik-ekonomi, budaya, pangan, teknologi, dan
sebagainya. Namun realitasnya masih jauh dari angan-angan. Bahkan sampai
detik ini, Indonesia masih jauh dari kata berdaulat. Kenyataan ini tidak bisa
dibantah, mengingat fakta yang masih menunjukkan betapa “lemahnya”
bangsa Indonesia untuk menyebut dirinya sebagai bangsa yang berdaulat.
Jika diamati, hampir semua kebutuhan yang ada di Indonesia masih sangat
tergantung asing. Mulai dari kebutuhan pangan dan teknologi hingga urusan
politik-ekonomi dan budaya. Sekali lagi, semuanya masih tergantung pada
asing. Alhasil, Indonesia yang memiliki khasanah budaya yang begitu
kayapun perlahan-lahan kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang
berbudaya. Semua berawal dari ketidakberdaulatan Indonesia atas urusan
dalam negerinya”.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
94
membentuk secara mandiri format birokrasi kabinet dan pemerintahan
daerah tanpa harus meminta intervensi politik secara langsung dari
negara lain4. Kedaulatan politik juga dapat diartikan sebagai
kedaulatan untuk melakukan penatakelolaan ekonomi bangsa dan
negara Indonesia, mencakup pengelolaan secara mandiri sumber daya
alam serta kemampuan menjaga ketahanan pangan secara mandiri
serta menentukan sendiri nomenklatur moneter dan lalu lintas devisa
Negara Indonesia.
Karakteristik Sistem Hukum Indonesia Realitas pergaulan hukum dalam sistem kehidupan masyarakat
Indonesia merupakan sebuah pergaulan hukum yang boleh dibilang
cukup unik. Sebab, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk dan beragam dengan ditandai keanekaragaman adat istiadat,
agama, dan kepercayaan, yang saling berinteraksi satu sama lain,
sehingga praktis pula didalam kehidupan masyarakat Indonesia
tercipta hubungan pergaulan hukum berdasarkan ketundukan hukum
yang berbeda. Antara lain, bisa kita temukan komunitas masyarakat
Indonesia yang tunduk kepada Hukum Adat, ditemukan juga
4 Istilah kedaulatan politik yang penulis gunakan disini, dapat juga
merujuk kepada pengertian secara teoritis yaitu sebagai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara atau kekuasaan tidak terletak di bawah kekuasaan lain,
kecuali kekuasaan yang satu adalah kekuasaan Tuhan. Dengan demikian,
pengertian kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Adapun tentang istilah kekuasaan itu sendiri, menurut Max Weber,
sebagaimana dikutip Miriam Budiarjo, adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami
perlawanan, dan apun dasar kemampuan ini. Lihat Miriam Budiardjo. 2010.
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta, hlm. 60.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
95
komunitas masyarakat yang tunduk kepada Hukum Islam untuk
bidang-bidang hukum keluarga dan perkawinan, dan yang lainnya ada
yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat sebagai peninggalan
Kolonialisme Belanda.
Kendati demikian, untuk bidang-bidang hukum publik seperti
hukum pidana dan hukum tata negara, sistem kehidupan masyarakat
Indonesia masih tunduk kepada produk hukum yang merupakan
peninggalan Kolonialisme Belanda. Untuk hukum pidana, Bangsa
Indonesia masih menggunakan Wetboek van Strafrecht yang
dikodifikasikan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sedangkan untuk bidang-bidang hukum ketatanegaraan dan hukum
administrasi, Bangsa Indonesia masih menggunakan produk aturan
yang landasan filosofis perancangannya berkiblat kepada model
hukum barat, yang dalam hal ini bertumpu kepada model
ketatanegaraan berbasis demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Memang galibnya, untuk bidang-bidang hukum privat, ketundukan
hukum setiap warga negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
cukup beragam tergantung dari keyakinan serta kepercayaan yang
dianut oleh masing-masing warga negara tersebut, misalnya kalau
warga negara tersebut muslim maka ia menyatakan dirinya tunduk
kepada hukum perdata Islam namun kalau dia non-muslim maka dia
menyatakan dirinya tunduk kepada hukum perdata barat yang dalam
hal ini adalah Burgelijke Wetboek yang merupakan peninggalan
Kolonialisme Belanda. Dan tidak tertutup kemungkinan ada juga yang
menyatakan dirinya tunduk kepada hukum adat.
Akan tetapi, untuk pengaturan hukum bidang kehidupan publik,
otoritas pemegang kekuasaan di negara Indonesia masih
mendedikasikan untuk mengambil tata cara pandang hukum yang
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
96
diadopsi dari hukum-hukum barat yang meletakkan kerangka pandang
hukum berbasis demokrasi, nasionalisme, kedaulatan rakyat,
kapitalisme, dan sekulerisme. Pengadopsian hukum barat dalam
sistem hukum Indonesia, merupakan konsekuensi logis dari latar
belakang historis negara Indonesia, yang pernah dicengkram oleh
Kolonialisme Belanda selama 350 tahun.
Pengalaman dijajah Kolonialisme Belanda selama 350 tahun, pada
akhirnya kita mendapati karakteristik sistem hukum Indonesia
mengalami kedekatan dengan sistem civil law. Kuatnya kedekatan
sistem hukum Indonesia dengan sistem civil law, sangat tampak ketika
pendiri negara ini, memberikan tempat bagi pemberlakuan hukum
Kolonial Belanda, yang memang dekat dengan keluarga sistem civil
law, yaitu melalui justifikasi Pasal II Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 (melalui Perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
rumusan Pasal II tersebut secara substantif dialihkan menjadi rumusan
Pasal I Aturan Peralihan).
Kendati, karakteristik Sistem Hukum Indonesia kental dengan
keluarga sistem civil law, tetapi oleh kebanyakan penulis hukum saat
ini, berargumentasi kalau sistem hukum Indonesia sudah tidak murni
lagi dipengaruhi oleh sistem civil law, tetapi juga dipengaruhi oleh
keluarga sistem common law5. Pengaruh sistem common law terhadap
sistem hukum Indonesia, tampak pada beberapa transaksi bisnis yang
5 Pendapat bahwa sistem hukum Indonesia, juga telah mendapat pengaruh
sistem common law, dijelaskan oleh Sidharta. 2013. Hukum Penalaran dan
Penalaran Hukum, Buku 1 Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta,
hlm. 227-255. Di buku ini, Sidharta menjelaskan tentang karakteristik sistem
hukum Indonesia dengan kompleksitas norma hukum yang
mempengaruhinya, seperti pengaruh hukum Islam, pengaruh Hukum Adat,
dan pengaruh hukum Hindu Budha.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
97
berlangsung di Indonesia, dimana pengaruh ekonomi perusahaan-
perusahaan Amerika Serikat yang telah merambah pasar bisnis di
Indonesia. Peter Mahmud Marzuki6, mengungkap tentang pengaruh
sistem common law dalam hukum bisnis di Indonesia, sebagai berikut:
Since Indonesia was a Dutch Colony, the Indonesian legal system
belongs to civil law system. Just as continental legal system, which
does not apply the doctrine of stare decisis, the Indonesian judge is
not bound to the case law. It is strongly recommended, however,
that the judge apply apply landmark decision. Despite the fact that
Indonesia belongs to civil law system, since 1967 the time when
market economy began taking place, there have been substantive
laws much influenced by the American Laws. This, Nevertheless,
does not shift the system from civil law to common law system.
Penjelasan Peter Mahmud Marzuki tersebut, menegaskan tentang
karakteristik sistem hukum Indonesia dengan penonjolan sistem civil
law yang mempengaruhinya secara kuat. Indikasi kuatnya pengaruh
civil law terhadap sistem hukum Indonesia, tampak dari putusan
hakim di Indonesia yang tidak mengikuti putusan hakim sebelumnya
(stare decisis). Namun demikian, kata Peter Mahmud Marzuki, sejak
1967, pasar global Amerika telah merambah masuk mempengaruhi
tata ekonomi Indonesia, yang juga berdampak pada memberikan
pengaruh kiblat hukum Indonesia yang ke sistem common law.
Namun perlu pula digarisbawahi menyangkut kerangka sistem
hukum Indonesia yang bila dilihat dalam perspektif realitas
6 Peter Mahmud Marzuki. 2011. An Introduction to Indonesian Law,
Setara Press, Malang, p. 27.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
98
pemberlakuan hukum tampak melulu bertumpu pada apa yang
menjadi kehendak dari pemegang otoritas kekuasaan ataupun para
pihak yang berada di seputar sentra-sentra kekuasaan. Sehingga tidak
dapat dipungkiri bahwa postur hukum yang berlaku di Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai pada masa
Pemerintahan era reformasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
adalah postur hukum beberapa diantaranya yang sedikit banyak
berwatak hanya untuk kepentingan kekuasaan. Kentalnya postur
hukum berwatak semata kepentingan kekuasaan tersebut, terlihat dari
beberapa produk hukum tertulis yang diformalisasikan hanya
berdasarkan kepada apa yang menjadi kehendak politik kelompok
elitis baik yang berada pada level legislatif maupun pada level
eksekutif. Sehingga nyaris beberapa produk Undang-Undang tertulis
misalnya yang keluar, lebih mengapresiasikan kepada kepentingan
para pemegang kekuasaan ataupun pihak-pihak yang berada di
lingkaran kekuasaan.
Moh Mahfud MD7 menulis dengan baik salah satu contoh produk
Undang-Undang yang pernah dikeluarkan rezim Orde Baru yang
nyaris bernafaskan otoritarian. Yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Otonomi Daerah, menurut Mahfud, tampak substansi
undang-undang otonomi daerah versi Orde Baru, lebih mencerminkan
pengaturan penyelenggaraan daerah demi kepentingan kehendak
penguasa di tingkat pusat, sehingga kelihatan kalau undang-undang
dimaksud merupakan upaya sistematis penguasa di tingkat pusat kala
itu untuk mengkerangkeng aspirasi masyarakat di tingkat daerah yang
7 Moh Mahfud MD. 1999. “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”. Gama
Media, Yogyakarta, hlm. 281-282.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
99
harus menurut saja kepada apa yang telah menjadi kebijakan pusat.
Lebih jelasnya Mahfud menulis dengan uraian sebagai berikut:
Sejalan dengan konfigurasi politik yang otoriter itu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1974 sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965, merupakan produk hukum yang cenderung
berkarakter konservatif. Di dalam Undang-Undang tersebut istilah
otonomi nyata dan seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan dan
digantikan dengan otonomi nyata dan bertanggungjawab.
Dominasi pusat atas daerah terlihat pada ketentuan yang
memberikan kekuasaan kepada pusat untuk menentukan Kepala
Daerah/Kepala Wilayah tanpa terikat pada peringkat hasil
pemilihan di DPRD. Disamping sebagai organ daerah otonom,
Kepala Daerah adalah alat pusat di daerah dengan sebutan Kepala
Wilayah. Dalam kedudukannya sebagai alat pusat itu Kepala
Wilayah merupakan penguasa tunggal di daerah. Kontrol pusat atas
daerah masih dilakukan melalui mekanisme pengawasan
preventif, pengawasan represif, dan pengawasan umum.
Tentu saja apa yang ditulis oleh Mahfud tersebut, merupakan salah
satu ilustrasi kuatnya dinamika kekuasaan yang mengkarakter dalam
pembuatan produk undang-undang di tanah air. Tampaknya bandul
kekuasaan telah memberikan pengaruh cukup kuat terhadap
karakteristik sistem hukum Indonesia, terutama berkaitan dengan
perancangan produk hukum tertulis yang hendak dibelakukan.
Pada perjalanan beberapa rezim di Indonesia selanjutnya, ternyata
juga masih menyimpan beberapa produk hukum tertulis yang
mengkarakter kepentingan kekuasaan serta pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kekuasaan. Seperti antara lain pemberlakuan
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
100
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang berlaku semasa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Undang-Undang Minyak
dan Gas Bumi yang berlaku pada masa pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri, kuat dugaan bahwa pemberlakuan kedua
produk Undang-Undang tertulis tersebut sarat dengan kepentingan
para pemilik modal8.
Kuatnya konfigurasi kekuasaan yang mematroni sebahagian besar
produk hukum tertulis yang berlaku di Indonesia, menurut Satjipto
8 Misalnya, kehadiran Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, yang
sejak awal ditentang dengan keras karena diyakini adanya nuansa neo
liberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban pemerintah sebagai
penanggungjawab upaya mencerdaskan bangsa dengan menyediakan fasilitas
pendidikan berkualitas dan murah. Dikuatirkan privatisasi akan membuat
lembaga pendidikan dikelola sebagai perusahaan yang akan berusaha mencari
keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses
pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah. Dari kalangan
pendidikan swasta, BHP ditentang karena alasan kepemilikan, dimana
pemilik yayasan tidak lagi dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam lembaga pendidikan mereka, melainkan organ representasi
pemangku kepentingan yang lazim disebut Majelis Wali Amanah. Akhirnya
pada April 2010 undang-undang ini dibatalkan MK dengan alasan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar1945 yang mengamanatkan agar
pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat,
pertama karena secara yuridis undang-undang BHP tidak sejalan dengan
undang-undang lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua undang-
undang BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan
kualitas peserta didik dan ketiga undang-undang BHP melakukan
penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan
hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan,
perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
101
Rahardjo9 adalah tampak ketika kekuasaan mencoba menjabarkan
kepentingan pemangku kebijakan meskipun buruk dalam pandangan
masyarakat dengan cara mengorganisasikannya dalam format hukum
tertentu, dengan maksud menyembunyikan maksud sebenarnya
kebijakan tersebut, sehingga tidak tampak keburukannya secara kasat
mata, padahal maksud sesungguhnya produk hukum tertulis tersebut,
sejatinya mengkerangkeng hak-hak rakyat untuk mendapatkan
kesejahteraan serta akses kemudahan menikmati hasil-hasil yang
diperoleh dari sektor publik.
Untuk mendeskripsikan karakteristik sistem hukum Indonesia,
yang tak kalah penting adalah pengaruh kekuatan ekonomi yang
seringkali mendominasi produk hukum publik yang berkaitan erat
dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga bandul politik
(kekuasaan) yang bermain dalam skenario pembuatan rancangan
undang-undang sebetulnya tidak terlepas dari besarnya pengaruh
kekuatan ekonomi. Misalnya pada regulasi tentang Ketenagalistrikan,
yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009, kuat dugaan kalau
pengelolaan sumber daya alam tersebut, sangat kental dengan aroma
kepentingan ekonomi para elit politik10
.
9 Satjipto Rahardjo. 2006. Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, hlm. 72. 10
Kuatnya kepentingan ekonomi dari penyusunan beberapa produk
Undang-Undang yang menguasai hajat hidup orang banyak bukannya tanpa
dasar. Realitas menunjukkan beberapa Undang-Undang terkait seperti
Undang-Undang tentang sistem lalu lintas devisa, penanaman modal dan
ketenagalistrikan mengarah pada paham liberalisme yang dapat merugikan
masyarakat dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pernyataan ini dikemukakan oleh Din Syamsuddin, Ketua Umum PP
Muhammadiyah, dalam konferensi pers bertemakan "Jihad Konstitusi
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
102
Sehubungan dengan penjelasan tersebut, pendeskripsian
karakteristik sistem hukum Indonesia, dengan penonjolan pengaruh
kekuatan ekonomi dan politik, akan tersimpul secara teoritis melalui
rujukan teori sibernetik yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons.
Kerangka bangun teori Talcott Parsons, menempatkan masyarakat
sebagai sebuah sistem yang mana bentukan sistem masyarakat itu,
selalu dipengaruhi oleh empat sub-sistem, yaitu sub-sistem ekonomi,
sub-sistem politik, sub-sistem sosial (di dalamnya termasuk hukum),
dan sub-sistem budaya.
Sidharta telah menggambarkan urutan sub-sistem tersebut dengan
menempatkan sub-sistem budaya pada urutan pertama. Kedudukan
budaya yang digambarkan Shidarta secara skematis, dengan mengutip
pendapat Talcott Parsons, adalah yang merumuskan kebenaran jati,
yakni nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sedangkan sub-sistem
ekonomi, berada pada sudut yang kaya dengan energi. Sistem budaya
akan mengalirkan arus informasi (nilai-nilai) kepada sistem sosial
(hukum), sehingga norma-norma yang dirumuskan oleh hukum
sesungguhnya mengambil nilai-nilai yang disuplai oleh budaya. Dari
Luruskan Kiblat Bangsa", Jakarta, Rabu (15/4/2015). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP
Muhammadiyah Dr Saiful Bakhri mengatakan Undang-Undang itu telah
diteliti dan bertentangan secara diametral dengan putusan-putusan konstitusi,
misalnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
"Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan itu pernah dibatalkan secara
keseluruhan tetapi kemudian hidup lagi norma-norma itu di dalam undang-
undang baru. Padahal menurut doktrin di Mahkamah Konstitusi, undang-
undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, pembuat undang-
undang tidak boleh lagi (membuatnya)," kata Rektor Universitas
Muhammadiyah Jakarta itu.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
103
konteks ini, hukum adalah produk budaya. Selanjutnya, nilai-nilai ini
dialirkan oleh sistem hukum kepada sistem politik, sehingga prosedur
kerja sistem politik, dapat dijalankan dengan baik menurut mekanisme
yang ditata oleh hukum. Sistem politik kemudian mengalirkan nilai-
nilai tadi kepada sistem ekonomi, sehingga sistem ekonomi dapat
berjalan menurut kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa
politik11
.
Menurut Sidharta12
, sistem ekonomi adalah tatanan yang kaya
energi, tetapi miskin nilai-nilai. Sistem ini mengalirkan arus energinya
kepada sistem politik, sehingga sistem politik mempunyai kemampuan
utuk menetapkan dan merealisasikan tujuan-tujuan kekuasaan. Energi
dari sistem politik ini disalurkan kepada sistem hukum, antara lain
guna memfungsikan hukum sebagai instrumen social order, sistem
hukumpun memanfaatkan energi tadi juga untuk mempengaruhi
sistem budaya, sehingga nilai-nilai budaya pun dapat diubah melalui
fungsi hukum sebagai social engineering. Apa yang dijelaskan oleh
Sidharta tentang hubungan antara sub-sistem tersebut, diuraikan pada
ragaan berikut:
11
Sidharta, op.cit, hlm 229-230. 12
Ibid.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
104
RAGAAN 6
Hubungan Antara Sub-Sistem
Arus Informasi (nilai-nilai)
KEBENARAN JATI (ULTIMATE REALITY)
Fungsi Primer
DUNIA FISIK ORGANIS
Arus Energi
BUDAYA
SOSIAL
(Termasuk Hukum)
POLITIK
EKONOMI
Mempertahankan
sistem nilai yang
dipilih (latency)
Memelihara
ketertiban dalam
interaksi sosial
(integration)
Menetapkan tujuan dan
strategi pencapaian
(goal)
Menyesuaikan diri agar
dapat eksis/ bertahan
(adaptation)
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
105
Paparan Sidharta tersebut, memberikan gambaran tentang
keberadaan sub-sistem hukum yang mempunyai fungsi primer yaitu
untuk memelihara ketertiban dalam integrasi sosial (integration).
Penggunaan teori sibernetik Talcott Parsons dalam menjelaskan
karakteristik sistem hukum Indonesia menurut tafsiran Sidharta,
bahwa pola hubungan sibernetis antara sub-sistem tersebut, dapat
dicermati pada sistem hukum di Indonesia Deskripsinya sebagai
berikut: dari sudut arus informasi (nilai-nilai) merupakan produk
sistem budayanya. Sementara dari sudut arus energi, adalah produk
sistem politik. Perjalanan sistem hukum di Indonesia, baik dari unsur
substansi, struktur hukum, maupun budaya hukum, adalah hasil
kompromi dari desakan-desakan arus nilai dan energi tersebut.
Tafsiran sosial Sidharta terhadap karakteristik sistem hukum
Indonesia, dengan menggunakan rujukan teori sibernetik, sebenarnya
bertumpu pada asumsi melihat hukum di Indonesia sebagai produk
budaya yang mana tugas politik adalah mengintegrasikan nilai-nilai
tersebut, untuk berwujud sebagai aturan guna mengatur tata krama
pergaulan warga masyarakat Indonesia.
Dasar tafsiran Sidharta, dalam menerjemahkan tata hukum bangsa
Indonesia sebagai produk budaya, adalah merujuk kepada pendapat
Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa arus nilai-nilai budaya Indonesia
mengejawentah menjadi nilai-nilai tertentu yang hidup dalam sistem-
sistem budaya, politik, dan ekonomi. Ditinjau dari sudut nilai-nilai
tersebut, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, sistem budaya Indonesia
sebenarnya telah mengakumulasikan nilai teori, nilai ekonomi, nilai
agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Semua nilai
dimaksud, sangat berguna untuk memperjelas unsur-unsur dalam
sistem hukum Indonesia. Sebab, kompleksitas sistem hukum
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
106
Indonesia, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, dibentuk oleh
perjalanan sejarah, sehingga melahirkan sub-sistem adat, Islam, dan
barat. Alisjahbana melihat adanya lapisan-lapisan kebudayaan di
Indonesia yang hadir secara kronologis. Lapisan-lapisan tersebut,
sangat relevan untuk menjelaskan karakteristik sub-sistem hukum
yang ada dalam sistem hukum Indonesia.
Menurut Ali Sjahbana, pertama kali kebudayaan yang muncul
adalah Kebudayaan Indonesia asli. Hukum sebagai produk
kebudayaan Indonesia asli ini adalah hukum-hukum adat. Kebudayaan
asli Indonesia berlangsung sebelum kedatangan kebudayaan India.
Selanjutnya, kita memasuki masa pengaruh kebudayaan India
(Hindu). Selanjutnya, abad ke-13 sampai dengan abad ke-14, masuk
pengaruh Islam. Sejak saat itu, hukum Islam berkembang dan
memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada abad ke-
17, kemudian masuk kebudayaan Eropa-Amerika yang bermula di
Eropa Barat dengan zaman Renaissance-nya. Akhirnya, pada kondisi
sekarang ini, menurut Sutan Takdir Ali Sjahbana, Indonesia
mengalami suatu kebudayaan yang disebut kebudayaan bhinneka
tunggal ika13
.
Lain perspektif maka tentu juga lain penafsiran. Satjipto
Rahardjo14
, dalam menerjemahkan karakteristik sebuah sistem hukum,
dengan menggunakan teori sibernetik versi Talcott Parsons, telah
memahami teori sibernetik tersebut, dengan memposisikan hukum
sebagai institusi sosial melalui pengadilan sebagai pusat kegiatannya.
Bagi Satjipto Rahardjo, ia sepaham dengan Harry C Bredemeier, yang
13
Ibid, 230-231. 14
Sajipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Pt Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 143-144.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
107
menerjemahkan teori sibernetik Talcott Parsons, terhadap posisi
hukum sebagai sub-sistem yang mengintegrasikan semua proses dari
beberapa sub-sistem dalam masyarakat, seperti sub-sistem ekonomi
yang memainkan proses adaptif, sub-sistem politik yang memainka
proses pencapaian tujuan, dan sub-sistem budaya yang memainkan
proses mempertahankan pola.
Dalam kedudukannya sebagai institusi yang melakukan
pengintegrasian terhadap terhadap proses-proses yang berlangsung
dalam masyarakat, hukum menerima asupan-asupan dari bidang
ekonomi, politik, dan budaya untuk kemudian diolahnya menjadi
keluaran-keluaran yang dikembalikan ke dalam masyarakat. Pada
waktu bahan yang harus diolah itu masuk, yaitu dalam bentuk asupan
itu tadi, wujudnya berupa sengketa atau konflik. Hukum dengan
perlengkapan dan otoritas yang ada padanya, menyelesaikan sengketa
itu tadi sehingga muncullah suatu struktur baru yang kemudian
dikembalikan ke dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, Satjipto
Rahardjo15
, mendeskripsikan fungsi hukum sebagai alat pegintegrasi
sosial versi Harry C Bredemeier, sebagai berikut:
15
Ibid.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
108
Ragaan 7
Hukum sebagai Alat Pengintegrasi versi Harry C Bredemeier
Berdasarkan ragaan tersebut, Satjipto Rahardjo mencatat bahwa
jika institusi hukum benar-benar hendak berfungsi sebagai sarana
pengintegrasi masyarakat, maka ia harus diterima oleh masyarakat
untuk menjalankan fungsinya itu. Hal ini berarti, bahwa para anggota
masyarakat harus mengakui keberadaan institusi hukum sebagai
tempat dimana pengintegrasian dilakukan dan setiap warga
masyarakat harus bersedia untuk menggunakan dan
memanfaatkannya. Artinya, rakyat harus dapat dimotivasi untuk
menggunakan institusi hukum sebagai sarana penyelesaian konflik-
konfliknya.
Proses Adaptif
(Ekonomi)
Proses
Pencapaian
Tujuan (Politik)
Proses
Mempertahank
an Pola
(Budaya)
Hukum
(Mengintegrasi
kan,
Mengkoordinasi
kan)
Organisasi
yang
Efisien
Legitimasi
Keadilan
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
109
Baik Sidharta yang mengadopsi pandangan Sutan Takdir Ali
Sjahbana maupun Satjipto Rahardjo yang mengadopsi pandangan
Harry C Bredemeier, dalam mendudukkan hukum sebagai alat
pengintegrasi sosial dalam kerangka pandang Talcott Parsons,
sebenarnya kedua orang tersebut, memiliki titik pandang sama dalam
memposisikan hukum yang mengintrodusir nilai-nilai ekonomi,
politik, dan budaya untuk mengejawentah sebagai nilai yang
menjamin ketertiban dan keadilan di tengah masyarakat. Akan tetapi,
menurut pendapat penulis, posisi hukum pada fakta masyarakat
Indonesia terutama sejak era reformasi pasca tumbangnya rezim Orde
Baru, posisi hukum tidaklah sesederhana yang dipikirkan oleh
Sidharta sekedar sebuah nilai yang mereduksi atau mengintrodusir
nilai-nilai budaya, atau sebagaimana yang diargumentasikan Satjipto
Rahardjo, bahwa hukum sebagai sarana pengintegrasi masyarakat
melalui penguatan fungsi-fungsi pengadilan.
Menurut penulis, gambaran Talcott Parsons tentang struktur
masyarakat sebagai sebuah sistem dengan empat sub-sistem (ekonomi,
politik, sosial-hukum, dan budaya) sebagai alat kelengkapannya,
memang dapat diterima dalam konteks masyarakat pragmatis dan
permisif. Pada kondisi demikian, masyarakat pragmatis dengan basis
ideologi materialisme sebagai landasan kehidupan sosial, maka
sejatinya, telah menempatkan kepentingan ekonomi sebagai arus
utama yang dominan mempengaruhi interaksi sosial antar warga
masyarakatnya. Konteks masyarakat demikian, menempatkan manusia
sebagai “binatang ekonomi”, sehingga kepentingan politik dengan
arus utama tujuannya, adalah dedikasikan untuk kepentingan-
kepentingan ekonomi dan pasar.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
110
Penggunaan teori sibernetik versi Talcott Parsons, dalam
mensifatkan sistem hukum Indonesia, terutama sejak era reformasi,
memang bisa diterima tatkala kita mengamatinya secara empirik, yang
mengindikasikan semua proses dan dinamika hukum bangsa
Indonesia, telah berlangsung sistemik-linear untuk dan demi
kepentingan-kepentingan ekonomi. Apalagi dinamika politik hukum
negara ini sejatinya didedikasikan demi kepentingan para pemilik
modal, broker, trader, dan para pemilik kepentingan di sentra-sentra
ekonomi. Argumetasi ini, dapat diperkuat melalui beberapa contoh
produk undang-undang yang lahir, sejatinya beraroma demi
kepentingan liberalisme ekonomi. Proses penegakan hukum untuk
meringkus para koruptor kelas kakap terkesan setengah hati. Sebab
diduga para koruptor kelas kakap masih punya akses kuat dengan para
pemilik kepentingan di sentra-sentra kekuasaan dan jaringan bisnis
yang memegang kunci strategis perekonomian nasional.
Dalam proses pengadilan kita sekarang, kekuatan modal
tampaknya memang harus bicara. Para pihak yang berperkara yang
memiliki “kocek” yang tebal, sejatinya bisa memiliki akses
memperjuangkan hak-hak hukum dan keadilan. Sementara, kalangan
yang miskin, lemah, tak punya akses politik dan ekonomi, sangat sulit
berkompetesi di pengadilan memperjuangkan hak-hak hukum dan
keadilan. Apalagi salah satu asas beracara di Indonesia, bahwa
Berperkara Harus Dikenakan Biaya, seolah menjadi justifikasi bagi
sebahagian pengadilan di tanah air, untuk mengambil pungutan
kepada pihak berperkara dengan harga yang berlipat. Peluang ini pula
yang dimanfaatkan oknum-oknum di pengadilan untuk memeras para
pihak yang berperkara. Belum lagi, mafia peradilan dengan modus
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
111
memalak para pihak berperkara, telah menjadi fenomena yang
menggelayut lembaga peradilan Indonesia.
Carut marutnya lembaga peradilan Indonesia, yang beraroma suap,
salah satu diantaranya yang paling fenomenal adalah kasus Akil
Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI, yang terlibat kasus
suap dalam sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah di tanah air.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil terbukti
menerima suap sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait
penanganan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar),
Kalimantan Tengah (Rp 3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1
miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10 miliar dan 500.000 dollar AS),
dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3 miliar). Hakim juga
menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap sebagaimana
dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1
miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten
Tapanuli Tengah (Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian
terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima Rp 125 juta
dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem.
Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke,
Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan
Kabupaten Nduga. Sejumlah kepala daerah dan juga pihak swasta
turut terseret dalam pusaran kasus Akil. Sebut saja, Gubernur Banten
Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
Keduanya terbukti menyuap Akil terkait sengketa Pilkada Lebak.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
112
Yang keduanya telah divonis penjara, empat tahun untuk Atut dan
lima tahun untuk Wawan kerabat dekat Atut16
.
Deskripsi berita yang dikutip penulis dari web site Berita Nasional
Kompas menyangkut carut marutnya dunia peradilan kita,
sesungguhnya untuk membuktikan secara empiris bila karakteristik
sistem hukum Indonesia sejak era reformasi, masih terkooptasi oleh
kepentingan-kepentingan ekonomi yang liberalistik. Sekaligus juga,
membuktikan bahwa pengintegrasian hukum dalam praktik empiris
lembaga peradilan Indonesia, pada beberapa segi masih terjebak oleh
pusaran untuk memperkuat atau memperbesar sumber-sumber
ekonomi.
Pada bahagian berikut, penulis mendeskripsikan secara skematis,
karakteristik sistem hukum Indonesia dengan mengadopsi teori
sibernetik Talcott Parsons, namun dengan sedikit beberapa revisi, agar
sesuai dengan realitas empirik masyarakat Indonesia, terutama sejak
era reformasi.
16
Dikutip dari Kompas.com, 27 Desember 2014, Judul Berita Kasus Suap
Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mukhtar yang Menggurita. Diakses 13
Mei 2015.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
113
Ragaan 8
Pendekatan Empiris Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
dengan Beberapa Sub-Sistem yang Mempengaruhi
Berdasarkan ragaan, penulis sedikit menjelaskan karakteristik sistem
hukum Indonesia dengan merujuk teori sibernetik Talcott Parsons,
melalui pendekatan beberapa sub-sistem yang turut mempengaruhi
karakteristik sistem hukum Indonesia tersebut. Sehingga, merujuk
teori sibernetik dengan sedikit modifikasi penulis, karakteristik sistem
hukum Indonesia, terutama pada era reformasi, sangat kental dengan
kepentingan ekonomi. Pada ragaan tersebut, variabel ekonomi sangat
mempengaruhi bekerjanya politik yang pada beberapa segi
Ekonomi
Budaya
Hukum
Politik
Untuk kepentingan
penguatan sumber-
sumber ekonomi
Alat kekuasaan
melindungi sumber-
sumber ekonomi Mengintegrasikan
kepentingan
kekuasaan atau
aparat hukum guna
melindungi atau
memperoleh akses
sumber-sumber
ekonomi
Mempertahankan
nilai-nilai
kehidupan yang
ditransformasikan
guna
mengumpulkan atau
mempertahankan
sumber ekonomi
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
114
berkepentingan untuk melindungi sumber-sumber ekonomi. Sehingga
untuk menjustifikasi kepentingan politik itu, hukum diperlukan utuk
mengintegrasikan kepentingan kekuasaan itu.
Kuatnya pengaruh ekonomi, yang mengkooptasi cara berpikir
sebahagian besar masyarakat Indonesia, yang dulunya sangat
memegang nilai-nilai relijiusitas dan hal-hal yang sifatnya mistis, tak
pelak mengalami transformasi radikal, sebagai dampak dari
globalisasi dan gurita liberalisme ekonomi serta gaya hidup hedonis,
yaitu nilai-nilai budaya transendental berubah kepada paradigma nilai-
nilai budaya kepentingan ekonomi an sich. Kepentingan ekonomi
menjadi mainstream nilai yang mengkarakter kuat dinamika hukum
bangsa Indonesia dengan segala pernak-perniknya.
Sekali lagi, penjelasan karakteristik sistem hukum Indonesia
tersebut, adalah gambaran karakteristik pada era reformasi yang
memang sangat kental dengan pengaruh sub-sistem ekonomi, dimana
budaya materialistik begitu kuat menjadi orientasi hidup masyarakat
Indonesia, sehingga berdampak pada semua proses hukum dan
dinamikanya, yang berjalan atas dasar pengaruh ekonomi. Seperti,
pada level elitis dengan mengambil contoh perancangan perda di
beberapa daerah provinsi, kota, dan kabupaten, ditenggarai berpihak
untuk memenuhi hasrat para pihak yang berkepentingan secara
ekonomi. Nilai-nilai budaya yang dulunya memegang teguh aspek
transendental, menjadi tergerus oleh nilai-nilai pragmatis-
materialistik.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
115
Unsur-Unsur Yang Mempengaruhi Sistem Hukum
Indonesia Hukum Indonesia sebagai sebuah sistem, bukanlah merupakan
nilai-nilai yang berkelindan dan berproses di ruang hampa bak menara
gading. Sistem hukum Indonesia sejatinya memiliki karakteristik
tersendiri, dengan berbagai unsur yang mempengaruhinya. Penjelasan
tentang unsur-unsur yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia,
pada konteks pembahasan ini, adalah berpijak pada teori yang digagas
oleh Lawrence Meier Friedmann, yaitu the Legal System.
Lawrence Meier Friedmann, berpendapat bahwa sistem hukum
suatu negara, paling tidak dipengaruhi oleh 3 (tiga) unsur, mencakup:
(1) Substansi Hukum; (2) Struktur Hukum; dan (3) Budaya Hukum.
Penjelasan rinci ketika unsur tersebut, sebagai berikut:
1. Substansi Hukum
Substansi hukum menurut Lawrence Meier Friedmann, the
substance is composed of substantive rules and rules about how
instittutions should be have. Yang dimaksud substansi hukum menurut
Friedmann, adalah aturan, norma, dan prilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan
oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup
keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), bukan
hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books)17
.
Substansi hukum, menurut Friedmann yang mengutip pendapat
H.L.A. Hart, merupakan sekumpulan peraturan yang berisi pedoman
17
Achmad Ali. 2005. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab dan
Solusinya). Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. .
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
116
bertingkah laku dan perintah yang dikompilasikan sedemikian rupa
atau yang sudah dikodifikasikan yang mencakup peraturan-peraturan
bersifat primer dan peraturan-peraturan bersifat sekunder. Peraturan
primer, adalah norma-norma bertingkah laku, sedangkan norma-
norma sekunder adalah bagaimana peraturan primer tersebut
dijalankan18
.
Menurut penulis, peraturan primer, merupakan produk hukum
tertulis yang mengatur tentang kaidah-kaidah hukum bersifat umum,
yang diatur biasanya tidak bersifat operasional. Mengatur tentang hak,
kewajiban, dan sanksi hukum. Contoh peraturan primer, antara lain:
konstitusi, undang-undang, peraturan pengganti Undang-Undang, dan
peraturan daerah. Sedangkan peraturan sekunder, biasanya mengatur
tentang hal-hal bersifat operasional, sangat spesifik, atau merupakan
petunjuk pelaksanaan dari aturan-aturan bersifat umum sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang atau peraturan pengganti Undang-
Undang. Contoh untuk ini, antara lain: peraturan pemerintah, instruksi
presiden, keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan gubernur,
keputusan walikota atau bupati.
Bagi Achmad Ali19
, yang memperluas lingkup substansi hukum,
tidak hanya mencakup produk hukum tertulis seperti undang-undang
atau peraturan pemerintah, dan yang semisalnya. Juga termasuk,
hukum yang hidup ditengah masyarakat (the livng law), contohnya,
hukum adat atau hukum kebiasaan. Hukum yang hidup di tengah
masyarakat, dipandang sebagai suatu kaidah hukum yang mengikat
tingkah laku warga masyarakat, adalah bertumpu pada pandangan
18
Lawrence Friedmann. 2011. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial
(Terjemahan oleh M Khozim). Nusa Media, Bandung, hlm. 16. 19
Achmad Ali, loc.cit.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
117
Von Savigny, bahwa hukum pada hakekatnya merupakan jiwa suatu
bangsa. Pandangan Von Savigny coba membuat sebuah antitesa
bahwa hukum itu pada dasarnya tidak dibuat (misalnya oleh
legislator) melainkan hidup dan berkembang di masyarakat. Hukum
lebih dilihat sebagai organis adanya. Artinya, hukum bukanlah realitas
yang statis melainkan senantiasa mengalami perubahan seiring dengan
perubahan tatanan, struktur, dan nilai-nilai di masyarakat itu sendiri.
Argumentasi ini, menurut M. Natsir Asnawi20
, juga didasari oleh
keprihatinan Von Savigny bahwa eksistensi undang-undang sebagai
elemen “premium” dalam hukum telah jauh meninggalkan akar
sosiologisnya, yaitu masyarakat yang dibuktikan dengan
ketidakberdayaan hukum dalam mengawal proses-proses sosial yang
memiliki implikasi hukum.
Substansi hukum dalam konteks sistem hukum Indonesia, adalah
segenap sumber hukum yang diberlakukan dalam tatanan hukum
masyarakat Indonesia, baik bersifat tertulis maupun yang bersifat
tidak tertulis. Tertulis dalam pengertian ini adalah produk hukum yang
dijustifikasi oleh kepala pemerintahan yang diumumkan dalam
lembaran negara. Contohnya, adalah undang-undang tertulis.
Sedangkan sumber hukum tidak tertulis, adalah segenap nilai-nilai
atau kaidah yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat,
kemudian nilai-nilai itu menjadi sebuah kelaziman yang berlangsung
terus menerus, yang akhirnya menjadi sebuah kaidah hukum yang
mengikat setiap warga masyarakat, setelah mendapat pengakuan
20
M. Natsir Asnawi. 2010. Mazhab Sejarah Hukum: Volksgeist dan
Dekonstruksi Hukum Nasional. Diakses dari natsirasnawi.blogspot.com, Mei
2015.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
118
sebagai nilai-nilai hukum oleh para tokoh masyarakat atau tokoh adat.
Contoh, hukum adat dan hukum kebiasaan.
Substansi hukum dalam konteks sistem hukum Indonesia,
merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi sistem hukum
Indonesia secara keseluruhan, sebab substansi hukum ini juga akan
menentukan kualitas penegakan hukum dalam konteks sistem hukum
Indonesia. Baik dan buruknya sistem hukum Indonesia, adalah akan
sangat ditentukan oleh muatan nilai yang terdapat dalam produk
hukum yang diberlakukan. Bila muatan nilai yang termaktub
didalamnya, adalah nilai-nilai yang mencerminkan ketidakadilan,
kezaliman, dan merugikan kemaslahatan masyarakat serta pada aspek
tertentu, sangat bertentangan dengan karakter nasional bangsa
Indonesia, maka dapat dipastikan produk hukum yang dilahirkan
tersebut, adalah produk hukum yang mencerminkan wajah buruk
sistem hukum Indonesia.
Begitu pula, jika produk hukum yang diberlakukan lebih
mencerminkan otoritarianisme politik penguasa atau kehendak politik
kekuasaan yang hanya untuk kepentingan para kroni, maka juga
dapat dipastikan melahirkan produk hukum despotis, tidak memihak
kepentingan rakyat, tidak egaliter, sewenang-wenang, dan kurang
memberikan keadilan bagi seluruh rakyat.
Begitu pentingnya substansi hukum sebagai salah satu unsur bagi
perbaikan sistem hukum Indonesia yang lebih baik dan berkeadilan,
maka tentu saja muatan substansi suatu produk hukum, mestinya
menjadi titik perhatian utama para pemangku kebijakan di Indonesia,
sebab produk hukum merupakan bahagian integral yang tidak dapat
dipisahkan dari bangunan sistem hukum itu sendiri. Substansi hukum
bukan merupakan sesuatu yang terpisah secara parsial dari bangunan
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
119
sistem hukum suatu negara. Sebab substansi hukum menjadi
instrumen ruh bagi bergeraknya sistem hukum tersebut. Bila sistem
hukum kita ibaratkan sebagai sebuah kincir angin yang berputar maka
bahan bakar yang menghasilkan energi untuk menggerakkan kincir
angin tersebut, dapat diibaratkan sebagai substansi hukumnya. Dalam
hal ini Achmad Ali21
, pernah menulis:
Seyogyanya kita senantiasa memandang hukum sebagai satu
sistem yang utuh. Peraturan-peraturan dalam sistem hukum
Indonesia tidak boleh dipandang secara terkotak-kotak. Perbedaan
antara pandangan “seorang pokrol bambu” dan seorang akademisi
hukum adalah bahwa “sang pokrol bambu” hanya memandang
pasal-pasal undang-undang sebagai pasal yang berdiri sendiri,
terpisah dari sistem hukumnya, terpisah dari asas hukumnya,
terpisah dari aturan hukum lain dan terpisah dari rasa keadilan
masyarakat...”
Penjelasan Achmad Ali tersebut, adalah untuk mendeskripsikan
sebuah sistem hukum yang mesti dilengkapi substansi hukum,
misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lengkap
dengan sistematika dan asas-asas hukum yang tidak boleh terpisahkan
satu sama lain. Asas-asas hukum dalam peraturan perundang-
undangan, sebagai kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari spirit
undang-undang itu sendiri. Spirit undang-undang, mesti mewujudkan
keadilan, persamaan hukum, dan kepastian hukum yang sesuai fitrah
hukum warga masyarakat.
21
Achmad Ali, op.cit., hlm. 4.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
120
2. Struktur Hukum
Struktur hukum menurut Lawrence Friedmann, adalah the
structure of a system is its skeletal framework; it is the permanent
shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones that
keep the process flowing within bounds...”. Friedmann menjelaskan
bahwa struktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya, bagian
yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan
batasan terhadap keseluruhan dari sebuah sistem hukum22
. Kalau kita
mengibaratkan seperti kincir angin sebagaimana contoh sebelumnya,
maka orang yang menggerakkan kincir angin itu, dibaratkan sebagai
struktur hukum. Atau dalam pandangan Friedmann, struktur hukum
dapat diibaratkan sebagai kerangka yang menjadi tonggak bagi
pelaksanaan hukum dalam sebuah sistem. Struktur hukum, adalah
terdiri dari para aparat hukum yang diberikan tugas menjalankan
hukum untuk diterapkan secara paksa di tengah masyarakat. Mereka
ini dalam konteks sistem hukum Indonesia, umumnya terdiri dari
institusi-institusi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Misalnya kita berbicara tentang hirarki peradilan umum di
Indonesia, mulai dari yang terendah adalah pengadilan negeri hingga
yang terpuncak adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Juga
termasuk unsur struktur adalah jumlah dan jenis pengadilan serta
yurisdiksinya serta jumlah hakim agung dan hakim lainnya. Termasuk
juga para pengacara (penasihat hukum/advokat), dan notaris. Jelasnya,
struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still
photograph which freezes the action)23
.
22
Achmad Ali, op.cit., hlm. 1 23
Ibid., hlm. 4.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
121
Struktur hukum pada dasarnya juga merupakan variabel (unsur)
yang ikut mempengaruhi sistem hukum Indonesia, sebab di dalam
struktur hukum tercakup para pelaku hukum yang berperan penting
untuk menegakkan hukum. Bila para pelaku hukum tidak menjalankan
tugas pokok dan fungsinya secara profesional maka dapat dipastikan
berdampak pada kualitas penegakan hukum di Indonesia. Misalnya
para penegak hukum tersebut, menjalankan hukum, dengan mental
yang keropos yaitu karena mengharapkan imbalan materi, sehingga
berperilaku buruk menerima sogok, memenangkan suatu perkara yang
sudah jelas secara hukum salah.
Berpijak dari uraian tersebut, struktur hukum memang sejatinya,
juga harus mendapat perhatian penting. Sebab bila para aparat
penegak hukum dimaksud masih terlibat mafia perkara atau mafia
peradilan24
, tentu harapan pencari keadilan negeri ini terhadap proses
24
Istilah mafia peradilan yang penulis gunakan dalam pembahasan ini
adalah merujuk kepada pengertian yang umum digunakan dalam bahasa
komunikasi media massa dan media sosial lainnya, yaitu prilaku hakim,
polisi, atau jaksa, termasuk juga para pegacara yang mempermainkan hukum
atau memperjualbelikan pasal-pasal dengan cara menerima sogokan (uang
suap) dari salah satu pihak berperkara, yang tujuannya memenangkan perkara
dari pihak-pihak yang berkepentingan. Mafia peradilan dalam pengertian
dogmatik juga berarti "perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif,
kolektif dan terstruktur yang dilakukan oleh aktor tertentu (aparat penegak
hukum dan pencari keadilan) untuk memenangkan kepentingannya melalui
penyalahgunaan wewenang, kesalahan administrasi dan perbuatan melawan
hukum yang mempengaruhi proses penegakan hukum sehingga
menyebabkan rusaknya sistem hukum dan tidak terpenuhinya rasa keadilan "
(Definisi KP2KKN, tahun 2006). Penyalahgunaan wewenang sendiri
sebagaimana dimaksud, menurut Undang-Undang No 3/1971 yang telah
diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 31/ 1999 jo Undang-Undang No20/
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
122
penegakan hukumnya, akan semakin jauh, seperti pada contoh kasus
yang menimpa Akil Mochtar25
, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
yang terlibat kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah yang
ditanganinya, selama menjadi hakim konstitusi. Sehingga, sangat
tragis bila para penegak hukum yang ditugaskan mengawal jalannya
proses penegakan hukum, tetapi pada faktanya masih ditemukan
oknum penegak hukum yang rela mempermainkan hukum hanya
untuk kepentingan materialistik atau untuk memperkaya diri sendiri.
Fakta masih kuatnya mafia peradilan yang marak berlangsung
dalam dunia peradilan Indonesia, antara lain pernah diungkap oleh
Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan
Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta pada 3 Juli
2014, bahwa ICW telah melaporkan ada 6 hakim Pengadilan Tipikor
yang tersangkut kasus korupsi yakni Asmadinata (Hakim Ad Hoc
Pengadilan Tipikor Palu), Heru Kisbandono (Hakim Ad Hoc
Pengadilan Tipikor Pontianak). Selain itu, Pragsono (Hakim
2001 termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Ada juga yang
memberikan pengertian mafia sebagai kekuatan terselubung (relasi antar
aktor yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses penegakan/implementasi
hukum hingga mendorong terjadinya pelanggaran HAM. Sehingga dari dua
definisi tersebut mafia peradilan dapat diartikan sebagai kekuatan
terselubung (relasi antar aktor yang „ilegal‟) yang mempengaruhi proses
penegakan/implementasi hukum hingga mendorong terjadinya pelanggaran
HAM. 25
Akil Mochtar dinyatakan terbukti bersalah menerima hadiah dan tindak
pidana pencucian uang terkait kasus sengketa Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) di Mahkamah Konstitusi. Hakim, menyatakan terdakwa Akil
Mochtar bersalah, dan ia dijatuhkan hukuman pidana seumur hidup,
demikian amar putusan Ketua Majelis Hakim, Suwidya di Pengadilan tindak
pidana korupsi, Jakarta, pada Senin 30 Juni 2014 malam.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
123
Pengadilan Tipikor Semarang), Setyabudi Tejocahyo (Hakim
Pengadilan Tipikor Bandung), Ramlan Comel (Hakim Ad Hoc
Pengadilan Tipikor Bandung) dan Kartini Marpaung (Hakim Ad Hoc
Pengadilan Tipikor Semarang). Tentu boleh jadi, data tentang
bobroknya dunia peradilan kita, telah merambah di beberapa wilayah
hukum pengadilan kita, yang tidak sempat ditulis dalam pembahasan
ini. Tetapi, data dan fakta tersebut, sudah merepresentasikan fenomena
struktur hukum di Indonesia yang semakin melemah dan keropos.
Ibarat fenomena gunung es, boleh jadi angka mafia peradilan di
negara ini, yang belum terdeksi lebih besar lagi dibanding yang sudah
terlacak baik oleh KPK maupun lembaga nirlaba anti korupsi seperti
Indonesia Corruption Watch (ICW)26
.
Mafia peradilan yang menyengat struktur hukum kita, sebagaimana
yang telah dideskripsikan oleh beberapa sumber, tidak hanya
26
Satu lagi contoh mafia peradilan di Indonesia, sebagaimana yang
dikutip dari website Tempo.com, berita tanggal 9 Desember 2014. Yang
diakses pada 10 Mei 2015, Dugaan mafia peradilan tersebut muncul setelah
ditemukannya tiga salinan putusan PN Mojokerto dengan amar yang
berbeda-beda padahal masih satu perkara bernomor 18/Pdt.G/2013/PN.Mkt.
Perkara tersebut adalah perkara perdata sengketa aset tanah negara beserta
bangunan diatasnya antara seorang advokat asal Surabaya, Tjandra Sridjaja
Pradjonggo, sebagai penggugat dan Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto
sebagai tergugat I. Perkara ini sudah diputus di PN Mojokerto 12 Desember
2013 dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur 28 April 2014 dan Pemkot
Mojokerto tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sengketa
tiga bidang tanah dengan luas total sekitar 4.750 meter persegi beserta
bangunan diatasnya itu sangat berharga sebab jika dihitung nilainya mencapai
ratusan milyar. Oleh Pemkot Mojokerto tiga bidang tanah itu masih
digunakan untuk sekolah, kantor Inspektorat, dan Pusat Kegiatan Belajar
Masyarakat (PKBM)..
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
124
berwujud dalam bentuk prilaku suap yang berlangsung di dunia
peradilan tetapi juga dalam sepuluh tahun terakhir sejak era reformasi,
berbagai jajak pendapat oleh media massa masih menunjukkan
ketidakpuasan masyarakat yang cukup tinggi terhadap kinerja aparat
penegakan hukum, dari kepolisian, kejaksaan, hakim; bahkan terhadap
pengacara/advokat. Akuntabilitas penegakan hukum menjadi sorotan
banyak kalangan, terutama karena masih terjadi banyak keanehan dan
penyelewengan dalam proses penegakan hukum itu sendiri27
.
Carut-marutnya struktur hukum kita, tampak juga dari proses
peradilan pidana sering diwarnai berbagai praktik seperti ini:
penangkapan atau penahanan yang berkepanjangan, tetapi orang
dan berkas perkaranya tak kunjung sampai di pengadilan; berkas
perkara sudah bertahun-tahun dilimpahkan ke pengadilan, namun
perkaranya dibiarkan tanpa disidangkan dan terdakwa sudah kurus
kering mendekam sekian tahun dalam tahanan; penangkapan atau
penahanan tanpa surat perintah dan penjelasan kejahatan yang
disangkakan dan didakwakan; kekerasan dan penyiksaan dalam
penyidikan maupun penuntutan. Belakangan, untuk melunakkan
dampak diskresi dan penyalahgunaan wewenang aparat penegak
hukum tersebut, negosiasi dan mafia peradilan juga berkembang28
.
3. Budaya Hukum
Budaya hukum sebagai sebagai salah satu unsur yang
mempengaruhi sistem hukum Indonesia, juga merupakan salah satu
27
Mohammad Fajrul Falakh. 2009. Akar-Akar Mafia Peradilan Di
Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum). Komisi Hukum
Nasional Republik Indonesia, hlm. 46-48. 28
Ibid.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
125
titik perhatian utama yang tidak boleh dinafikan begitu saja.
Mengingat budaya hukum ikut mengambil peran strategis dalam
rangka memperkokoh bangunan sistem hukum Indonesia itu sendiri.
Menurut Achmad Ali29
, dengan mengutip pendapat Friedmann,
budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum
ini juga dapat didefinisikan sebagai ide-ide, sikap-sikap, kepercayaan-
kepercayaan, harapan-harapan, dan opni-opini tentang hukum.
Artinya, menurut Lawrence Friedmann bahwa Legal culture refers,
then to those parts of general culture-costums, opnions, ways of doing
and thinking-that bend social forces toward from the law and
inparticular ways. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi
penentu jalannya proses hukum. Kultur hukum, menurut Achmad Ali,
adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa
kultur hukum, kata Achmad Ali, maka sistem hukum itu sendiri tidak
berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti
ikan hidup yang berenang di laut.
Bila menerjemahkan pendapat Lawrence Friedmann, kultur hukum
dapat berwujud dalam bentuk sikap-sikap dan pemikiran hukum
masyarakat terhadap hukum yang mencakup kesadaran hukum,
persepsi warga masyarakat terhadap pemberlakuan produk hukum
tertulis tertentu, atau juga penerimaan atau penolakan warga
masyarakat terhadap hukum yang sedang maupun akan diberlakukan.
Semua sikap dan pemikiran hukum masyarakat tersebut, lahir karena
dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu, antara lain motif politik,
29
Achmad Ali, op.cit., hlm. 2.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
126
motif ideologi, motif ekonomi dan motif psikologis. Tapi yang paling
kuat diantara semua motif tersebut, adalah motif ideologi.
Berdasarkan uraian tersebut, ketiga unsur sistem hukum, dapat
dideskripsikan, secara singkat berikut ini:
a. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin;
b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh
mesin itu.
c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.
Namun, yang sangat disayangkan menurut Achmad Ali30
, adalah
fakta bahwa ketiga unsur sistem hukum Indonesia mengalami
keterpurukan yang luar biasa. Keterpurukan inilah yang berdampak
melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan
hukum di Indonesia. Karena itu, Achmad Ali, pernah menyindir
penegakan hukum Indonesia, yang tampak terjerumus oleh budaya
materialistik dan pragmatis:
Oleh karena itu, tidak mustahil kelak muncul seuntai syair bagi
para penegak hukum yang juga bernada menggeneralisasi yang
bunyinya: “Mereka tak mempraktikkan hukum, tetapi mereka
hanya bersembunyi dibelakangnya. Mereka menggunakannya
sebagai palu untuk melindungi para koruptor dan pelanggar HAM
yang punya duit besar dan kekuasaan. Mereka tak tertarik kepada
hukum, tetapi hanya mau menang. Sebab kemenangan di
pengadilan memuaskan ego mereka dan mengisi kantong mereka.
Demi uang mereka serahkan integritas mereka. Demi uang,
membuat keadilan menjadi frustasi...”
30
Ibid.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
127
Mencermati pandangan Achmad Ali tentang fenomena
keterpurukan hukum Indonesia, maka untuk menelisik secara
mendalam faktor-faktor penyebabnya, lebih tepat menggunakan
analisis dengan pendekatan sistem versi Lawrence Friedmann,
sebagaimana teori sistem ini, dielaborasi lebih lanjut oleh Achmad
Ali. Dalam perspektif pendekatan sistem tersebut, keduanya, sama
memandang bahwa penegakan hukum suatu negara, termasuk
Indonesia, tidak boleh abai, untuk memperhatikan unsur substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur ini
berkelindan satu sama lain saling mempengaruhi. Siapapun juga, tidak
boleh mengabaikan salah satu unsur tersebut, sebab mengabaikan
salah satu unsur, dapat mengakibatkan kepincangan berjalannya
sebuah sistem hukum pada suatu negara. Kepincangan sistem hukum,
justeru membuat warga masyarakat semakin frustasi untuk berharap
mendapatkan jaminan keadilan dan kepastian hukum.
Pergulatan Nilai Hukum Relijiuisme dan Liberalisme
terhadap Karakteristik Sistem Hukum Indonesia Salah satu faktor penting yang juga sangat mempengaruhi
karakteristik sistem hukum Indonesia adalah nilai hukum. Sebab nilai
hukum, secara prinsip, merupakan suatu postulat nilai yang secara
konkrit dibelakukan untuk mengatur perikehidupan atau interaksi
sosial masing-masing individu dalam kehidupan masyarakat. Hukum
sebagai postulat nilai, apabila ditelisik lebih jauh dan mendalam,
sejatinya digali dari sebuah perspektif berpikir yang mempengaruhi
cara pandang manusia terhadap kehidupan. Lebih jauh lagi, cara
pandang manusia terhadap kehidupan, tidak pernah terlepas dari tiga
persoalan pokok, yaitu Asal Manusia, Tujuan Hidup Manusia, dan
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
128
Akhir Kehidupan Manusia. Inilah tiga simpul pokok yang
mempengaruhi postulat nilai hukum tersebut. Secara garis besarnya,
tiga simpul pokok tersebut penulis ketengahkan pada ragaan berikut
ini:
Ragaan 9
Tiga Simpul Pokok Landasan Postulat Nilai Hukum
Terhadap tiga simpul pokok yang dihadapi sebagai problematika
mendasar yang dihadapi umat manusia, maka tiga ideologi besar
memberikan jawaban yang berbeda secara ekstrim satu sama lain.
Yaitu Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Kapitalisme yang
mengusung sekulerisme sebagai titik pijak postulat nilainya,
memandang bahwa asal manusia memang diciptakan oleh Tuhan yang
mana pandangan tentang Ketuhanan itu diserahkan kepada hak
individual masing-masing warga masyarakat. Namun pada tataran
untuk menjawab apa tujuan hidup manusia, kapitalisme melalui ajaran
sekuleristiknya, menjelaskan bahwa manusia hidup adalah untuk
mencapai kesenangan dunia yang bersifat jasadiyah yang sebesar-
besarnya. Untuk mencapai tujuan kesenangan dunia tersebut, menurut
kapitalisme, manusia memerlukan materi atau modal sebagai alat
tukarnya. Maka jadilah karakter manusia kapitalistik sebagai pemburu
ASAL
KEHIDUPAN
MANUSIA
TUJUAN
HIDUP
MANUSIA
AKHIR
KEHIDUPAN
MANUSIA
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
129
materi, uang, atau modal yang sebanyak-banyaknya. Peran Tuhan atau
Agama dalam konteks pemahaman kapitalistik, adalah diabaikan
sebagai pembuat aturan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia.
Nilai-nilai Agama diabaikan sebagai norma terapan untuk menjadi
landasan bagi pengaturan pergaulan hidup sosial masyarakat. Agama
dipinggirkan sekedar sebagai ritual di rumah-rumah ibadah. Hukum
hanya boleh lahir hasil berpikir logis manusia. Inilah yang disebut
sekulerisme, yaitu pemisahan antara Agama dengan kehidupan sosial
dunia.
Berbeda dengan sosialisme yang menghasilkan ajaran komunisme,
titik pijak postulat nilai yang dianutnya adalah pada ketidakpercayaan
Agama atau keberadaan Tuhan sebagai pencipta. Pemahaman
demikian, kemudian meniscayakan ketiadaan pencipta alam semesta,
yang bagi penganut sosialisme-komunisme sejati sebagaimana yang
dikembangkan terutama oleh Karl Marx, bahwa alam semesta dan
mahluk hidup yang terdapat di dalamnya, ada dan tiada karena terjadi
dengan sendirinya melalui sebuah siklus apa yang disebut sebagai
evolusi materi. Dari sinilah berkembang pandangan dialektika
materialisme yang menjadi arus utama pemikiran sosialisme.
Sehingga hukum dalam pandangan sosialisme, merupakan sebuah
postulat nilai yang tidak boleh keluar dari koridor dialektika
materialisme, yang keberadaannya dinetralisir melalui otoritarianisme
kekuasaan.
Adapun Islam sebagai dien yang merupakan risalah dari langit
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan, tentu
saja memiliki pandangan yang sangat berbeda secara diametral dengan
kapitalisme dan sosialisme. Islam berpandangan bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan yang Esa yaitu Allah SWT, dengan tujuan
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
130
hidup didunia adalah memanifestasikan peribadatan kepada Allah
SWT dengan cara menerapkan syariah Islam dalam semua aspek
kehidupan karena Islam menetapkan ada kehidupan akhirat dimana
manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang pernah
dilakukannya selama hidup di dunia.
Jadi sesungguhnya apabila menilisik landasan kefilsafatan postulat
nilai dari hukum itu sendiri, maka ia sesungguhnya tidak pernah
terlepas dari persoalan problematika umat manusia yang antara lain
adalah problematika tentang tujuan hidup manusia. Keberadaan
hukum memang diadakan untuk mengatur kehidupan manusia dalam
mencapai tujuan-tujuannya. Dari situ juga berkembang perspektif
tentang apa yang dimaksud keadilan, persamaan hukum, kepastian
hukum yang tentu saja penafsiran dan penerjemahannya sesuai dengan
pengaruh ideologi hukum yang mengkooptasi perspektif berfikir
masyarakat tentang kehidupan.
Menelisik perjalanan dinamika hukum di Indonesia sebagai satu
sistem, meskipun bangunan sistem hukum Indonesia sangat kental
dengan nuansa kemajemukan (pluralistik), namun pergulatan nilai
hukum relijiustik dan liberalistik, masih tetap merupakan medan yang
saling bergulat dan berebut pengaruh satu sama lain. Pergulatan ini
merupakan konsekuensi logis, pengaruh sistemik nilai hukum yang
mengakar kuat dalam interaksi sosial masyarakat kita dari masa ke
masa sampai saat ini. Yaitu nilai hukum relijiustik yang
direpresentasikan oleh hukum syariah sebagai bahagian dari
pandangan hidup hukum mayoritas bangsa Indonesia, agama Islam.
Dan nilai hukum liberalisme yang direpresentasikan melalui
pengadopsian nilai-nilai hukum barat yang kapitalistik-sekuler.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
131
Sebenarnya, bila kita melacak telusur nilai hukum relijiustik yang
mengakar kuat dalam realitas kehidupan hukum masyarakat
Indonesia, telah bermula sejak masuknya Islam di nusantara. Artinya,
ketika Islam masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad pertama
hijriyah atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi31
. Secara
otomatis Islam diterima tidak sekedar sebagai agama ritual tetapi
Islam juga diterima sebagai nilai hukum yang mengatur interaksi
sosial masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Argumentasi bahwa
nilai hukum Islam telah mengkarakter kuat dalam sistem hukum
Indonesia, sejak masa Kesultanan Islam di Nusantara, juga diakui oleh
ahli hukum Islam berkebangsaan Belanda, Professor Mr Lodewijk
Willem Christian van den Berg (1845-1927), ia pernah tinggal di
Indonesia antara 1870-1887. Sebagai pemerhati hukum Islam di
Nusantara, Christian van den Berg, ia mengeluarkan teori yang sangat
terkenal yaitu teori receptie in complexu. Berdasarkan teorinya ini,
Christian van den Berg, berpendapat bahwa bagi orang Islam di
Nusantara telah memberlakukan penuh hukum Islam dalam interaksi
kehidupan sosial, sebab orang Islam di Nusantara telah memeluk
agamanya, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
31
Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat. 2005. Kedudukan
Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam
Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan
bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13
dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada
fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran
waktu tersebut. Lihat. Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara;
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Paramadina,
Jakarta, hlm. 21.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
132
penyimpangan, tetapi orang Islam di Nusantara sebelum Belanda
datang, dengan misi dagang VOC, telah didapati banyak kerajaan
Islam yang memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dalam
setiap aspek kehidupan masyarakatnya. Mazhab hukum yang dianut
kerajaan Islam Nusantara, lebih didominasi oleh Mazhab Syafi‟i.
Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara tersebut telah menerapkan nilai-
nilai hukum Islam sebagai satu-satuya norma yang mengatur
perikehidupan warga masyarakatnya dan masyarakat menerima penuh
nilai-nilai hukum Islam yang diberlakukan tersebut.
Jadi nilai hukum relijiusitas yang direpresentasikan oleh penerapan
hukum Islam di Indonesia, merupakan potret sosial, yang
mengkarakteristik sistem hukum Indonesia. Namun dengan masuknya
nilai hukum liberalisme, yang coba dipaksakan pemberlakuannya oleh
Kolonialisme Belanda, akhirnya menandai pergulatan nilai hukum
yaitu nilai hukum relijiusitas versus nilai hukum liberalisme.
Pergulatan ini mencapai titik kulminasi setelah Kolonialisme Belanda
melakukan pemberlakuan penggolongan penduduk dengan
menerapkan Pasal 131 Indische Staatsregeling jo 163 I.S. Yaitu:
1. Bagi golongan bumi putera berlaku hukum adat;
2. Bagi golongan Eropa berlaku hukum Eropa;
3. Bagi golongan Timur Asing Tionghoa berlaku hukum Eropa
kecuali untuk beberapa hal;
4. Bagi Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, berlaku sebahagian
hukum perdata Eropa, kecuali untuk masalah keluarga.
Tujuan pemberlakuan penggolongan penduduk tersebut,
sebenarnya untuk meminggirkan Islam sebagai aturan (hukum) dalam
tatanan kehidupan masyarakat Islam di Nusantara, karena Islam
dipandang sebagai arus utama penghambat Kolonialisme Belanda.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
133
Apalagi setelah Christian Snouck Hourgronye menentang teori
Receptio in Complexu, dan berpendapat bahwa hukum yang berlaku
bagi orang Islam bukanlah hukum Islam tetapi hukum Adat. Dalam
Hukum Adat telah masuk pengaruh hukum Islam tetapi pengaruh itu
baru mempunyai kekuatan hukum bila telah benar-benar diterima oleh
Hukum Adat (Berdasarkan penelitiannya di Aceh dan Gayo).
Pendapat ini dengan Theorie Receptie yang kemudian diikuti oleh
Cornelius van Vollenhoven dan Bertrand Ter Haar. Melalui Theorie
Receptie ini Belanda mulai membiasakan penggunaan hukum Belanda
di Indonesia terutama bidang hukum perikatan, dengan jalan
menghapus pemberlakuan hukum Islam pada bidang perikatan dari
aktivitas perdagangan karena dianggap tidak berlaku lagi di
Indonesia.”
Semenjak Kolonialisme Belanda mencengkramkan penjajahannya
di Nusantara berbarengan dengan itu pula cengkraman nilai hukum
liberalisme mulai mengkarakter sistem hukum Indonesia. Genderang
perang, pergulatan nilai hukum relijiusitas dan nilai hukum
liberalisme, mulai ditabuh. Pergulatan tersebut, terutama
dilatarbelakangi oleh kepentingan ideologi dan kepentingan politik.
Kolonialisme Belanda berkepentingan secara ideologi politik, untuk
menguras sumber-sumber kekayaan alam Indonesia atas nama
kepentingan Kerajaan Belanda. Sedangkan, masyarakat Islam
Nusantara berkepentingan untuk mempertahankan keyakinan
ideologis mereka, yaitu Islam sebagai keyakinan yang sudah tumbuh
dalam sanubari mereka serta telah menjadi hukum yang hidup (the
living law) dalam interaksi sosial antar warga masyarakat di
Nusantara.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
134
Titik kulminasi pergulatan nilai hukum relijiusits dan nilai hukum
yang condong liberalistik, kembali mewarnai panggung sejarah
Indonesia, saat perdebatan seru antara the founding fathers Negara
Indonesia Merdeka di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang merupakan bentukan Jepang
pada tahun 1945, tentang apa yang menjadi dasar negara Indonesia,
bila Indonesia telah berdiri sebagai negara merdeka yang berdaulat.
Perdebatan berlangsung seru antara kelompok yang mewakili Islam
Nasionalis dengan kelompok Nasionalis Sekuler. Kelompok Islam
Nasionalis, berkeinginan agar dasar negara Indonesia tetap bertumpu
pada nilai-nilai hukum relijiusitas berbasis syariah Islam, karena
alasan mayoritas penduduk Indonesia, adalah muslim dan karena
alasan historis bahwa sejak dulu suku-suku bangsa di nusantara sudah
menerapkan syariat Islam dalam interaksi kehidupan sosial politiknya.
Sedangkan, kelompok Nasionalis Sekuler, menolak usulan kelompok
Nasionalis Sekuler karena alasan realitas kehidupan masyarakat
Indonesia, adalah majemuk dan beragam dimana di wilayah Indonesia
tidak hanya berdomisili warga muslim tetapi juga warga non-muslim
lainnya.
Perseteruan antara kelompok Islam Nasionalis dengan kelompok
Nasionalis Sekuler, akhirnya ditengahi dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam Dokumen Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945,
yang pada diktum pertama memuat kata-kata “Ketuhanan Yang
Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi
Pemeluk-Pemeluknya”. Sejumlah ahli hukum dan intelektual waktu
itu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap Piagam Jakarta ini.
Professor Soepomo menyatakan bahwa Piagam Jakarta merupakan
perjanjian luhur. Doktor Sukiman menyebutnya: Gentleman
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
135
Agreement dan Mr . Muhammad Yamin menamakan Jakarta Charter.
Sedangkan Prof. Dr. Drs. Notonagoro SH menjulukinya; Suatu
perjanjian moril yang sangat luhur.
Tarik menarik nilai hukum relijiusitas dengan nilai hukum
liberalisme, tampaknya menjadi sebuah keniscayaan yang mewarnai
realitas kehidupan hukum masyarakat Indonesia dari masa ke masa.
Tarik menarik tersebut mengalami pergulatan di tengah jalan
peradaban bangsa ini, yang satu sama lain berebut pengaruh untuk
mendominasi interaksi sosial bangsa Indonesia. Dan tampaknya nilai
hukum liberalisme masih menjadi variabel berpengaruh sangat
signifikan terhadap sistem hukum Indonesia. Kuatnya nilai hukum
liberalisme, tampak pada pemberlakuan BW produk Kolonial Belanda
dalam sistem hukum keperdataan di Indonesia. Sudah dapat dipastikan
BW merupakan kodifikasi hukum bidang keperdataan yang
sekuleristik dengan paradigma liberalisme hukum yang menjadi
penopangnya.
Nilai-nilai sekulerisme yang mengkarakter kuat dalam BW yang
berlaku dalam sistem hukum Indonesia, memang dapat dikatakan
sangat beralasan, sebab jejak historis BW dari sudut pandang
kelahirannya, adalah berasal dari negeri Belanda yang dikodifikasikan
tahun 1838 yang diberlakukan berdasarkan asas konkrdansi.
Sedangkan BW Belanda mengikuti Code Civil Perancis yang terkenal
dengan nama code Napoleon yang mulai diberlakukan tahun 180732
.
Sehubungan dengan itu, Menurut Afdol33
, sekulerisme adalah paham
32
Afdol. 2009. Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam Di Indonesia.
Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 9. 33
Ibid., hlm. 1-2.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
136
yang berusaha membebaskan diri dari ajaran-ajaran agama dan merasa
cukup dengan membuat aturan-aturan hukum berdasarkan
pertimbangan rasional belaka sebagai contoh, berjudi dan menenggak
minuman keras merupakan perbuatan yang dilarang. Namun apabila
perbuatan termasuk menurut pertimbangan rasionalitas tidak
merugikan atau melanggar hak orang lain, yang dalam pengertian
lebih luas tidak sampai mengganggu Hak Asasi Manusia (HAM),
maka menurut sekulerisme judi dan mabuk-mabukan bukanlah
sesuatu yang melanggar hukum. Apa yang dikemukakan oleh Afdol,
sekaligus memberikan gambaran kepada kita tentang karakteristik
nilai-nilai Hukum Eropa yang tidak bisa dilepaskan dari ideologi
sekulerisme yang menyangganya sehingga dapat dikatakan bahwa
penormaan nilai-nilai Hukum Eropa senantiasa mengadopsi
rasionalisme dalam pengertian pijakan rasional yang tidak
mengkarakterkan nilai-nilai spiritualisme (agama).
Nilai-nilai hukum relijiusitas sekali lagi hendak memperkuat
eksistensinya dalam tatanan sistem hukum Indonesia, yakni tatkala
pemegang otoritas kekuasan di Indonesia telah menggaransi
kehidupan hukum bagi masyarakat Islam Indonesia melalui legalisasi
beberapa nilai-nilai hukum, terutama berkaitan dengan bidang-bidang
hukum privat termasuk bidang hukum munakahat ke dalam produk
Undang-Undang nasional, misalnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun
1974; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam
Lembaran Negara RI Nomor 159 Tahun 2004; Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Lembaran Negara RI
Nomor 22 Tahun 2006; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
137
tentang Perbankan Syariah dalam Lembaran Negara RI Nomor 94
Tahun 2008; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Presiden RI pada
tanggal 10 Juni 1991; dan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 10
September 2008, serta masih banyak lagi peraturan hukum tertulis
lainnya yang mengatur tentang bidang-bidang keperdataan yang
tunduk berdasarkan dogma hukum Islam.
Mencermati berbagai produk hukum tertulis yang mengatur
berbagai hubungan hukum privat bagi masyarakat muslim di
Indonesia tersebut, semakin menunjukkan bahwa masyarakat muslim
Indonesia telah mendapat legalitas untuk mengatur hubungan-
hubungan hukum privat mereka dengan berbasis kepada Syariah
Islam, mulai dari hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris,
bahkan juga untuk bidang-bidang transaksi keuangan lainnya.
Namun demikian, pergulatan nilai hukum relijiusitas dan nilai
hukum liberalisme dalam tatanan sistem hukum Indonesia bakal terus
berlangsung sebagai sebuah dinamika hukum yang saling tolak
menolak. Apalagi memasuki era reformasi, sebagaimana ditulis oleh
Muchtar Effendi Harahap dan Muhammad Sutopo34
, dalam menyoroti
kegagalan rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
kebanyakan peraturan per-undang-undangan (Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, termasuk Peraturan Daerah), terbit dalam
pengaruh kepentingan/motif kelompok usaha bisnis/kapital, atau
pengaruh lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia, bukan
34
Muchtar Effendi Harahap dan Muhammad Sutopo. 2010. Kegagalan
SBY dalam Fakta dan Angka. Pustaka Fahima, Yogyakarta, hlm.109.
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
138
memihak negara dan rakyat. Indikasi Undang-Undang yang lebih
berpihak pada kepentingan korporasi asing dapat ditemukan di
sejumlah Undang-Undang seperti:
a. Undang-Undang Minyak dan Gas.
b. Undang-Undang Privatisasi Air.
c. Undang-Undang Privatisasi BUMN.
d. Undang-Undang Penanaman Modal.
e. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
f. Undang-Undang Pelayaran.
Kuatnya nuansa neo-liberal yang tampak pada karakter politik
hukum rezim Susilo Bambang Yudhoyono, malah sampai
menggerogoti lembaga pendidikan tinggi, misalnya terlihat pada
penggodokan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Keberadaan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,
sejak awal ditentang dengan keras banyak kalangan karena diyakini
adanya nuansa neo liberalisasi yang bisa menghilangkan kewajiban
pemerintah sebagai penanggungjawab dalam upaya mencerdaskan
bangsa dengan menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas dan
murah. Padahal sangat dikuatirkan apabila Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan menjadi jalan lempang menuju privatisasi
pendidikan yang akan membuat lembaga pendidikan dikelola dengan
menggunakan model perusahaan yang akan berusaha mencari
keuntungan sebesar mungkin dan berdampak pada terhambatnya akses
pendidikan berkualitas oleh masyarakat berekonomi lemah.
Pada April 2010 Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan ini
dibatalkan Mahkamah Konstitusi RI dengan alasan bertentangan
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah
BAB 3 Karakteristik Sistem Hukum Indonesia
139
dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat.
Alasan Mahkamah Konstitusi. Pertama, secara yuridis Undang-
Undang Badan Hukum Pendidikan tidak sejalan dengan undang-
undang level pendidikan lainnya, dan subtansinya saling bertabrakan;
Kedua, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, tidak memberikan
dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik; Ketiga,
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, melakukan
penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh
badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti
yayasan, perkumpulan, badan wakaf dan lain-lain.
Penampilan contoh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan,
yang diduga bernuansa neo-liberal, adalah untuk membuktikan
argumentasi bahwa nilai-nilai hukum liberalisme masih mengkarakter
kuat dalam sistem hukum Indonesia, terutama pada era reformasi
dengan mengambil studi rezim pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono. Sehingga tatanan sistem hukum Indonesia yang
diharapkan mampu memberikan keadilan serta kemanfaatan hukum
yang berpihak kesejahteraan dan rasa tentram masyarakat nyaris
tinggal angan-angan.
BAB 4
SUMBER-SUMBER HUKUM DALAM SISTEM
HUKUM INDONESIA
Pengertian Sumber Hukum Pembahasan tentang sumber hukum dalam pembelajaran ilmu
hukum merupakan sesuatu yang sangat penting, terutama jika
pendekatan pembahasan tersebut menggunakan analisis hukum
normatif. Bagi kalangan yuris dan para sarjana hukum, pembahasan
sumber hukum, menjadi salah satu dasar untuk menghasilkan sebuah
argumentasi hukum terhadap suatu isu hukum yang sedang dihadapi.
Sumber hukum ini pula yang menjadi titik anjak bagi para profesional
hukum, seperti hakim, jaksa, advokat, notaris, konsultan hukum,
polisi, dalam memecahkan kasus-kasus hukum yang mereka hadapi.
Sumber hukum ini pula yang memberikan karakteristik ilmu hukum
sebagai sesuatu yang sifatnya hitam dan putih. Sebab hukum memang
pada hakekatnya berbicara tentang sebuah nilai yang merumuskan ide
menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Inilah yang dimaksud bahwa hukum membawa sifat hitam dan putih.
Mengenai pengertian sumber hukum, beberapa penulis hukum
memberikan pengertian yang beragam. Antara lain, Peter Mahmud
Marzuki1, mengartikan sumber hukum sebagai bahan-bahan yang
digunakan untuk menjadi dasar bagi pengadilan dalam memutuskan
perkara. Istilah sumber hukum, kata Peter Mahmud Marzuki dengan
mengutip pendapat Paton, mengandung banyak pengertian, yang dapat
dilihat dari sudut pandang historis, sosiologis, filosofis, dan ilmu
hukum. Masing-masing disiplin mengartikan sumber hukum dari
sudut pandangnya masing-masing. Bagi sejarawan dan sosiologi, kata
Peter Mahmud Marzuki, sumber hukum tidak lebih sekedar dari gejala
sosial sehingga harus didekati secara empiris. Filosof dan yuris,
sebaliknya, memandang sumber hukum sebagai keseluruhan aturan
tingkah laku dan sistem nilai. Namun demikian, pandangan Peter
Mahmud Marzuki, tentang sumber hukum secara umum, ia merujuk
kepada pemikiran normatif-dogmatik, sebagaimana yang
1 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, hlm.255.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
141
dikemukakannya bahwa sumber hukum haruslah memuat nilai-nilai
yang dapat menjamin eksistensi manusia.
Achmad Ali2, memberikan pendapat sumber hukum adalah tempat
dimana hukum itu ditemukan. Dalam pandangan Achmad Ali, sumber
hukum kerapkali juga disebut dengan hukum, ia mengambil contoh
putusan hakim di pengadilan. Artinya, putusan hakim sebagai sumber
hukum ia akan menjadi yurisprudensi, sedangkan putusan hakim
sebagai hukum berarti, putusan hakim itu akan menjadi norma yang
mengikat bagi pihak yang disebutkan dalam putusan hakim tersebut.
Namun demikian bagi Achmad Ali, sebuah sumber hukum haruslah
memuat nilai-nilai sosial yang tumbuh berkembang di tengah
masyarakat, karena sebuah sumber hukum sejatinya harus sesuai
dengan jiwa hukum masyarakat itu sendiri.
Dari pengertian sumber hukum tersebut, maka menurut penulis,
sumber hukum dapat diartikan sebagai tempat dimana dalil-dalil
atau kaidah-kaidah penormaan hukum dapat digali atau
ditemukan untuk menjadi dasar bagi penetapan suatu peristiwa
atau perbuatan manusia, yang terumus menjadi postulat nilai,
yang ditetapkan sebagai sesuatu yang tercela, baik, buruk,
perintah, larangan, yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan, serta sebagai sesuatu yang bersifat pengaturan yang
harus ditaati.
Menurut penulis, pengertian sumber hukum yang mencerminkan
muatan nilai-nilai, adalah sudah tepat, karena sumber hukum akan
menjadi landasan argumentasi bagi para yuris dalam merumuskan
suatu perbuatan atau peristiwa yang masuk dalam ranah hukum.
Artinya, sumber hukum menjadi landasan argumentasi bagi para
2 Achmad Ali. 2008. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia, Bogor,
hlm.84.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
142
sarjana hukum dalam menetapkan sebagai sesuatu dalam perspektif
nilai etis. Sekaligus, ini membedakan titik pijak berpikir kalangan
diluar hukum. Contoh, ahli politik, menetapkan nilai suatu perbuatan,
akan melihatnya dari sudut pandang kepentingan kekuasaan. Begitu
pula, ahli ekonomi, akan melihatnya dari sudut pandang apakah
memberikan keuntungan atau mendatangkan kerugian. Misalnya,
mencuri merupakan perbuatan jahat (tercela), menurut pandangan
yuris (ahli hukum), karena perbuatan itu merampas hak milik orang
lain, atau karena bertentangan dengan nilai-nilai etis menyangkut cara
memperoleh kepemilikan, sebagaimana yang didalilkan dalam
undang-undang tertulis sebagai sumber hukum. Bagi ahli ekonomi,
perbuatan mencuri, dapat dianggap perbuatan tercela apabila
berdampak merugikan orang lain dari segi mengurangi nilai modal.
Sedangkan, ahli politik menganggap tindakan pencurian merupakan
perbuatan tercela bila perbuatan dimaksud memberikan citra yang
merusak kredibilitas status quo pemegang kekuasaan. Tentu saja
takaran nilai suatu tindakan dapat disebut tercela atau tidak, baik
menurut hukum ataupun yang non-hukum, sangat tergantung dari
perspektif ideologis yang menjadi landasan penyangganya. Misalnya,
perzinahan sebagai sebuah tindakan tercela. Terdapat sudut pandang
ideologi berbeda menurut hukum syariah dan hukum civil law. Hukum
syariah menetapkan bahwa hubungan seksual antara pria dan wanita
dewasa apabila tidak didasari oleh pernikahan yang sah, apapun
motivasi dan alasannya, maka perbuatan perzinahan tersebut tetap
dianggap sebagai tindak kriminal. Sedangkan, dalam pandangan
hukum civil law, meskipun hubungan seksual dilakukan diluar
hubungan perkawinan yang sah, belum dapat disebut sebagai
perbuatan kriminal, kalau tidak memenuhi unsur yaitu salah satu
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
143
pelakunya atau antara keduanya terikat pernikahan yang sah dengan
pihak lain3. Jadi ada perbedaan ideologis antara kedua pandangan
hukum tersebut dalam menetapkan suatu perbuatan yang disebut
tercela atau tidak. Pandangan hukum syariah mendasarkan kepada
kewahyuan sedangkan pandangan hukum civil law mendasarkan
kepada sekulerisme, yaitu menafikan nilai-nilai relijiusitas (pandangan
agama) terhadap apa yang disebut sebagai nilai-nilai etis atau
moralitas.
Beberapa penulis hukum, mengkategorikan sumber hukum dalam
dua bentuk yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materil.
Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang diakui
keberadaannya sebagai hukum positif. Sumber hukum formal ini
senantiasa merujuk kepada segala sumber hukum yang telah mendapat
pengakuan negara secara formal atau keberadaan sumber hukum
tersebut telah memperoleh pengakuan legalitas oleh negara. Sehingga
sumber hukum formal ini, biasanya tersedia dalam formulasi-
formulasi resmi tekstual berupa dokumen-dokumen resmi negara,
seperti yang tampak dalam sistem hukum Indonesia, bentukan sumber
hukum formal tersebut, telah diundangkan secara resmi dalam
lembaran negara ataupun lembaran pemerintahan daerah.
Memang ada perbedaan pendapat, dalam menjelaskan sumber
hukum formal antara yuris yang menganut pola pikir anglo saxon
dengan para yuris yang menganut pola pikir civil law (Eropa
Kontinental). Misalnya Bodenheimer dan Salmond, yang menganut
pola pikir anglo saxon, bagi mereka sumber hukum formal adalah
sumber hukum yang dibuat oleh negara atau apa saja sumber hukum
3 Pasal 285 KUHPidana Indonesia yang merupakan kodifikasi dari hukum
pidana Kolonial Belanda yaitu Wetboek van Straftrecht menetapkan bahwa
perzinahan dipandang sebagai sebuah perbuatan kriminal jikasalah satu
pelaku atau antara keduanya terikat perkawinan sah dengan orang lain.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
144
yang didokumentasikan oleh negara maka itu dapat dikategorikan
sebagai sumber hukum formal. Sedangkan sumber hukum materil
menurut mereka adalah segala sumber hukum yang tidak dibuat oleh
negara seperti kebiasaan dan lain-lain. Termasuk juga segala nilai-
nilai dan substansi norma yang mendapat pengakuan masyarakat, para
penganut pola pikir anglo saxon menyebutnya sebagai sumber hukum
dalam arti non-formal atau sumber hukum dalam arti materil.
Berbeda dengan para yuris yang menganut pola pikir civil law,
mereka umumnya memandang sumber hukum formal, sebagai sumber
hukum yang mendapat pengakuan secara formal maupun oleh para
penegak hukum itu sendiri misalnya hakim. Sehingga tentu saja,
menurut perspektif penganut civil law sumber hukum tidak hanya
dalam bentuk undang-undang atau dokumen-dokumen tertulis yang
mendapat pengakuan formal oleh negara, tetapi sumber hukum juga
dapat berupa hukum kebiasaan ataupun yurisprudensi. Sehingga,
sumber hukum formal dalam pandangan civil law itu, akan sangat
cocok dengan pandangan positivisme hukum bahwa sumber hkum
formal akan selalu dikaitkan dengan kehendak kekuasaan yang mana
hukum itu dibentuk oleh kekuasaan yang secara langsung mengikat
masyarakat, yang menurut pandangan Achmad Ali, dalam konteks
demikian sumber hukum formal itu tidak lagi mempersoalkan isi
hukum dan asal-usul hukum itu sendiri.
Klasifikasi Sumber-Sumber Hukum Berdasarkan pengertian sumber hukum yang sudah dipaparkan,
berikut ini diuraikan klasifikasi sumber-sumber hukum, meliputi:
1. Sumber Hukum Berdasarkan Isinya
Klasifikasi sumber hukum berdasarkan berdasarkan isinya,
menurut pendapat beberapa penulis hukum, dapat diklasifikasikan atas
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
145
dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil, yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal adalah sumber hukum tempat dimana secara
langsung hukum dibentuk, yang akan mengikat anggota masyarakat.
Disebut hukum formal karena semata-mata dilihat dalam bentuk
kelahirannya sebagai hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan
asal usul dari aturan-aturan hukum tersebut. Sumber hukum formal
ini, akan membentuk pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum
dan membentuk hukum menjadi kekuasaan yang mengikat. Sumber
hukum formal ini menjadi sebab dari berlakunya aturan-aturan
hukum4.
Dalam pola pikir sistem hukum Eropa Kontinental, sumber hukum
formal lebih bersifat operasional sebab berhubungan langsung denga
penerapan sebuah produk hukum. Artinya, dalam pemikiran Eropa
Kontinental, sumber hukum dalam arti formal tidak sekedar sebuah
produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif sebagai sebuah
proses hukum yang menghasilkan dokumen-dokumen resmi. Tetapi,
sumber hukum formal juga berkaitan dengan proses terjadinya hukum
yang dapat mengikat anggota masyarakat serta adanya penerimaan
masyarakat terhadap aturan tersebut. Dalam konteks ini, sumber
hukum formal, dikaitkan dengan aspek bekerjanya hukum untuk
keperluan praktis. Sehingga, sumber hukum formal, penerimaan dan
pengakuan substansi aturan hukum oleh masyarakat merupakan
elemen kunci bagi sumber-sumber hukum dalam arti formal. Karena
itu, sumber-sumber hukum formal dalam sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law), selalu berupa peraturan perundang-undangan,
kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.
4 Achmad Ali, op.cit., hlm. 86.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
146
Beda pemaknaan sumber hukum formal menurut pola pikir sistem
hukum Anglo American (Anglo Saxon/Common Law), yang menurut
sistem hukum ini, sumber hukum formal adalah sumber hukum yang
tersedia dalam formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen
resmi. Karena itulah, sumber hukum formal selalu merupakan sebuah
produk hukum yang dihasilkan oleh organ-organ negara. Contoh
untuk ini, undang-undang, kebiasaan-kebiasaan dan perjanjian-
perjanjian.
Mencermati pengertian sumber hukum formal tersebut, baik yang
dikemukakan oleh para pakar maupun yang terdapat dalam sistem
hukum Eropa Kontinental dan sistem hukum Anglo-American, maka
menurut pendapat penulis, sumber hukum formal dapat diartikan
sebagai sumber-sumber hukum yang keberadaannya telah mendapat
legitimasi oleh kekuasaan formal melalui konvensi ketatanegaraan
yang diakui para elit politik.
Dari pengertian sumber-sumber hukum formal yang dikemukakan
menurut perspektif penulis, maka sumber hukum formal selalu
merupakan wujud produk hukum yang harus mendapat pengakuan
formal oleh suatu rezim pemerintahan yang keberlakuannya
diterapkan secara paksa yang mana produk hukum itu diformulasikan
secara tekstual melalui dokumen resmi kenegaraan. Contoh yang
paling tepat untuk ini, adalah undang-undang tertulis, sebagai salah
satu produk sumber-sumber hukum formal. Karena sumber hukum
formal pada galibnya mensyaratkan pengakuan formal, maka pada
titik ini, sumber hukum formal memiliki irisan pembahasan yang
relevan dengan argumentasi pembahasan mazhab positivisme yang
meletakkan hukum sebagai nilai-nilai idealitas yang terkristalisasi
dalam bentuk kehendak kekuasaan. Argumentasi ini menurut penulis,
akan sangat relevan bila kita mendudukkan sumber-sumber hukum
formal sebagai wujud formal dari kehendak kekuasaan dalam
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
147
mengatur serta mengontrol interaksi kehidupan masyarakat secara
menyeluruh.
Sehubungan dengan penjelasan tentang sumber-sumber hukum
formal, berikut ini diberikan contoh produk hukum yang termasuk
kedalam sumber-sumber hukum formal, yang mencakup:
1) Undang-undang;
2) Kebiasaan;
3) Traktat atau Perjanjian Internasional
4) Yurisprudensi; dan
5) Doktrin.
Urutan hirarkis contoh produk hukum dalam sumber-sumber
hukum formal, tergantung dari sudut pandang setiap sistem hukum.
Bagi sistem hukum civil law, undang-undang menempati prioritas
dalam memecahkan kasus-kasus hukum yang ada, sedangkan sistem
hukum common law, menempatkan yurisprudensi sebagai instrumen
hukum yang sangat penting dalam memecahkan kasus-kasus hukum
yang dihadapi.
Secara ringkas, penjelasan tentang produk hukum yang masuk
kategori sumber-sumber hukum formal, mencakup:
1) Undang-undang
Undang-undang identik dengan hukum tertulis (ius scripta) sebagai
lawan dari hukum tidak tertulis (ius non scripta). Undang-undang
pada galibnya selalu merupakan sebuah produk yang lahir dari
kesepakatan antara para elit politik, yaitu antara anggota-anggota
parlemen dengan pihak pemerintah, bisa dikatakan merupakan hasil
kompromi antara legislatif dengan eksekutif. Pada beberapa negara,
produk undang-undang bisa lahir karena inisiatif dari pihak
pemerintah (eksekutif) saja atau bisa dari pihak legislatif saja.
Kerapkali juga, dalam sistem hukum suatu negara dibuat produk
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
148
hukum tertulis yang lebih rendah tingkatannya dengan undang-
undang, tetapi kekuatan mengikatnya baik secara formil maupun
secara materil memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan
undang-undang tetapi pada level pengaturan yang lebih rendah atau
lebih bersifat spesifik. Misalnya, pada contoh produk peraturan daerah
di Indonesia. Ada juga undang-undang, yang ditempatkan pada level
tertinggi dalam sistem hukum suatu negara, yaitu yang disebut sebagai
konstitusi tertulis.
Konstitusi yang diberlakukan di suatu negara, pada dasarnya
merupakan hukum dasar tertulis tertinggi. Ia selalu ditempatkan
sebagai sumber dari segala sumber hukum tertulis yang tertinggi.
Umumnya negara-negara di dunia, akan menempatkan konstitusi
sebagai rujukan utama dan tertinggi bagi setiap produk hukum tertulis
yang hendak diberlakukan. Sebagai hukum dasar tertulis yang
tertinggi maka keberadaan konstitusi dalam sebuah negara, akan dapat
menjadi pembatasan kekuasaan politik. Sehubungan dengan itu Peter
Mahmud Marzuki5 menulis sebagai berikut:
Sebagai suatu hukum dasar, konstitusi dirancang antara untuk
menyeimbangkan hak-hak rakyat dan alokasi kekuasaan lembaga-
lembaga negara sehingga sehingga negara dapat berfungsi secara
layak. Oleh karena itulah, isi konstitusi harus berkaitan dengan
perlindungan hak-hak asasi manusia dan struktur fundamental
pemerintahan. Oleh karena itulah, beralasan kalau konstitusi
ditempatkan pada urutan pertama dari hirarki perundang-undangan.
Apa yang ditulis oleh Peter Mahmud Marzuki, sekaligus
menunjukkan bahwa perbincangan perundang-undangan sebagai
5 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hlm. 261.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
149
sumber hukum formal, adalah tidak mungkin dapat dilepaskan dengan
perbincangan mengenai hirarki perundang-undangan yang mana
dalam hirarki perundang-undangan itu sendiri, konstitusi menempati
urutan pertama dan terpenting yang berada diatas undang-undang
lainnya. Pada banyak negara yang menganut sistem hukum civil law
(Eropa Kontinental) seperti Indonesia, asas hirarki perundang-
undangan telah menempati fokus pengkajian yang sangat penting.
Menurut Peter Mahmud Marzuki6, hirarki merujuk kepada tata urutan
peraturan perundang-undangan yang berarti bahwa isi peraturan
perundang-undangan yang berada pada urutan lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Apabila diperhadapkan produk undang-
undang yang lebih tinggi tingkatannya dengan yang lebih rendah
tingkatannya maka berlakulah asas lex superior derogate legi
inferiori, artinya undang-undang yang lebih tinggi kedudukannya
seperti konstitusi, misalnya, mengalahkan undang-undang yang berada
di bawahnya.
Begitu juga, peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas
preferensi. Maksudnya, apabila dua produk undang-undang memiliki
tingkatan yang sama, mengatur hal yang sama, namun berbeda dalam
hal tanggal pengundangannya dalam lembaran negara. Maka untuk
persoalan ini berlakulah asas Lex posterior derogate legis priori, yang
berarti undang-undang yang terdahulu dihapuskan oleh undang-
undang yang berlaku kemudian. Atau terhadap dua produk undang-
undang, berada dalam urutan yang sama serta mengatur hal yang
sama, tetapi undang-undang yang satu mengatur hal yang umum
sedang yang lain mengatur hal yang khusus, sehingga bila berhadapan
undang-undang yang bersifat khusus dengan yang bersifat umum,
6 Ibid.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
150
berlakulah asas lex specialis derogate legi generali yang berarti
hukum khusus mengalahkan hukum umum. Menyangkut penerapan
dari salah satu asas perundang-undangan tersebut, Peter Mahmud
Marzuki7 menulis sebagai berikut:
Berdasarkan asas ini apabila terdapat dua undang-undang mengatur
hal yang sama dan pada undang-undang baru tidak secara jelas-
jelas dituangkan ketentuan yang mencabut undang-undang lama
tersebut, yang harus diberlakukan adalah undang-undang baru.
Adapun terhadap dua peraturan yang berada dalam urutan yang
sama dan mengenai hal yang sama tetapi yang satu lebih bersifat
khusus dan yang lain bersifat umum, Papinianus mengemukakan
adagium lex specialis derogate legi generali, yang artinya apabila
dalam suatu sengketa atau masalah terdapat dua undang-undang
yang dapat diterapkan, yang harus diterapkan adalah undang-
undang yang secara khusus mengatur perkara itu. Sebagai contoh
yang dapat dikemukakan, misalnya terjadi penipuan dalam
perdagangan saham di bursa efek, yang diterapkan seyogyanya
Pasal 90 sampai dengan Pasal 93 UU Nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal bukan Pasal 378 KUHPidana karena Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal adalah lex spesialis
yang mengatur khusus tentang penipuan dalam transaksi pasar
modal, sedangkan Pasal 378 KUHPidana merupakan lex generalis
karena mengatur penipuan pada umumnya.
Dengan demikian fungsi asas dalam konteks penempatan dua
produk undang-undang yang saling tumpang tindih baik karena
kesederajatan tingkatannya maupun karena substansi yang diaturnya
7 Ibid., hlm. 258.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
151
adalah untuk mengatasi konflik penerapan dari dua undang-undang
dimaksud, yaitu yang manakah harus diterapkan dari salah satu
undang-undang tersebut.
Pada pembahasan ini, perlu juga diurai tentang karakteristik
undang-undang. Hal ini penting, adalah untuk mengetahui sampai
sejauhmana keberlakuan serta segi kekuatan mengikat dari sebuah
produk undang-undang. Adapun penjelasan tentang ini, Peter
Mahmud Marzuki mengurai bahwa undang-undang memiliki dua
karakteristik, yaitu bersifat umum dan isinya bersifat mengikat keluar.
Karakteristik undang-undang yang bersifat umum inilah yang
memberikan pembedaan antara undang-undang dengan penetapan.
Penetapan atau yang dalam Bahasa Belanda disebut beschikking atau
Bahasa Inggeris decree, adalah berlaku secara individual dan harus
dihormati oleh orang lain. Contoh penetapan antara lain pemberian
grasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui suatu keputusan
presiden (kepres) kepada seorang terpidana yang putusan
pemidanaannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Begitu pula
putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan penetapan status
atau fungsi seseorang, misalnya, untuk diangkat menjadi notaris
pengganti, merupakan suatu penetapan bukan vonis. Penetapan oleh
pengadilan terjadi karena permohonan, artinya yurisdiksi pengadilan
dalam menagani perkara permohonan itu bersifat voluntaire bukan
contentieux artinya bukan karena adanya sengketa. Vonis dijatuhkan
manakala terjadi sengketa (contentieux jurisdiction)8.
Dalam pandangan Achmad Ali, produk undang-undang sebagai
bagian dari sumber hukum formal, dilihat dari bentuknya dapat
dibedakan pada dua jenis yaitu undang-undang dalam arti formal dan
undang-undang dalam arti materil. Yang pertama kali melakukan
8 Ibid., hlm. 259.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
152
pembedaan antara undang-undang formal dengan undang-undang
materil adalah Paul Laband dalam bukunya Das Staatsrecht des
Deutsches, yang terbit tahun 1911. Menurut Paul Laband, ada dua
syarat yang harus terpenuhi agar suatu undang-undang dapat menjadi
undang-undang dalam arti materil yaitu:
1) Adanya anordnung, yaitu penetapan kaidah dengan tegas
sehingga menjadi hukum yang mengikat;
2) Adanya rechtssatz yaitu peraturan (kaidah) hukum itu dapat
menjadi kekuatan mengikat secara langsung dan terus menerus
bagi warga masyarakat dimana undang-undang tersebut
diberlakukan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka undang-undang dalam arti
formal, yaitu keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara
terjadinya sehingga disebut undang-undang. Sehingga undang-undang
dalam arti formal merupakan ketetapan penguasa yang mendapat
sebutan undang-undang karena cara pembentukannya. Jadi undang-
undang dalam arti formal merupakan setiap peraturan tertulis yang
terbentuk karena proses terjadinya. Contohnya, untuk mempermudah
pemahaman ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, adalah bentuk undang-undang dalam arti formal, sebab
undang-undang ini terbentuk melalui prosedur yang formal yaitu dari
pemerintah kemudian mendapat persetujuan dari DPR. Jadi dalam
konteks sistem hukum Indonesia, undang-undang dalam arti formal
adalah produk hukum tertulis yang lahir karena merupakan inisiatif
dari eksekutif, maupun inisiatif legislatif, atau bisa jadi inisiatif dari
eksekutif dan legislatif secara bersamaan.
Sedangkan undang-undang dalam arti materil adalah keputusan
atau ketetapan penguasa yang dilihat dari segi isi dan substansinya
mengikat setiap orang secara umum. Artinya, undang-undang dalam
pengertian materil merupakan persoalan isi dari sebuah undang-
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
153
undang yang menjadi kaidah atau norma-norma yang dapat mengikat
setiap warga negara. Sehingga, undang-undang dalam arti materil
selalu mempersoalkan isi kekuatan mengikat dari sebuah produk
undang-undang yang diberlakukan. Untuk mempermudah pemahaman
ini, misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa undang-undang perkawinan ini memiliki arti
materil dapat dilihat dari kaidah atau norma yang ditetapkan dalam
undang-undang ini bahwa setiap warga negara Indonesia yang hendak
melangsungkan perkawinan haruslah mengikuti tata cara perkawinan
menurut keyakinan agama yang dianutnya, sehingga bila merujuk
undang-undang perkawinan ini, apabila ada warga negara Indonesia
yang melangsungkan perkawinan tidak sesuai dengan syarat dan tata
cara berdasarkan agama yang dianutnya maka dengan sendirinya
perkawinannya tersebut tidak sah secara hukum.
Berdasarkan contoh tersebut, maka sebuah produk undang-undang
dapat saja dikatakan memiliki arti sebagai undang-undang dalam arti
formal dan undang-undang dalam artil materil seperti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian ada
undang-undang yang hanya memiliki arti formal tetapi tidak bisa
ditempatkan dalam arti materil, contohnya Undang-Undang
Naturalisasi. Undang-undang ini merupakan produk undang-undang
dalam arti formal karena pembentukannya mengikuti prosedur formal
sedangkan sedangkan isinya tidak mengikat seluruh rakyat Indonesia,
tetapi hanya mengikat bagi warga asing.
Menyangkut kekuatan berlakunya undang-undang, sebahagian
besar penulis hukum Indonesia, seperti Achmad Ali, berpendapat
bahwa undang-undang memiliki kekuatan mengikat sejak
diundangkannya didalam lembaran negara. Bagi Sudikno
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
154
Mertokusumo sebagaimana dikutip Achmad Ali9, bahwa ada 3 macam
kekuatan berlakunya undang-undang, yaitu:
a) Kekuatan berlaku yuridis (juristische geltung)
Setiap undang-undang secara langsung memiliki kekuatan berlaku
secara yuridis, jika seluruh persyaratan formal untuk terbentuknya
suatu undang-undang telah terpenuhi;
b) Kekuatan berlaku sosiologis (seziologische geltung)
Berlakunya undang-undang secara sosiologis, artinya keberlakuan
undang-undang itu merupakan kenyataan di tengah masyarakat.
Jadi meskipun, terdapat undang-undang telah dinyatakan berlaku
secara yuridis tetapi belum mendapat pengakuan secara sosiologis,
berarti undang-undang itu belum mendapat pengakuan secara
sosiologis. Contoh, Pasal 283 Ayat 1 KUHPidana yang
mengancam sanksi pidana bagi siapa saja yang melakukan jual
beli alat kontrasepsi (alat pencegah kehamilan), tetapi realitas
ditengah masyarakat pasal ini tidak berlaku. Malahan justeru jual
beli alat kontrasepsi makin marak di tengah masyarakat, apalagi
pemerintah Indonesia tengah menggalakkan program keluarga
berencana (KB), jual beli alat kontrasepsi ini semakin mendapat
dukungan dari pemerintah Indonesia.
c) Kekuatan berlaku filosofis
Undang-undang baru memiliki kekuatan berlaku secara filosofis
jika kaidah hukum yang tercantum didalam undang-undang itu
sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsdee), sebagai nilai positif
hukum tertinggi (uberpositiven weste) serta cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.
Dalam konteks empiris, sebagaimana dicatat oleh Sudikno
Mertokusumo, suatu produk undang-undang mempunyai kekuatan
9 Achmad Ali, op.cit., hlm. 91.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
155
berlaku, apabila secara sosiologis undang-undang itu, memenuhi
unsur sebagai berikut: Pertama, undang-undang tersebut dipaksakan
pemberlakuannya oleh pemegang tertinggi otoritas kekuasaan politik,
terlepas undang-undang itu disetujui atau tidak oleh warga
masyarakat; Kedua, apabila undang-undang itu mendapat pengakuan
atau diterima oleh seluruh warga masyarakat dimana undang-undang
tersebut diberlakukan.
2) Hukum Kebiasaan
Perbincangan tentang hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber
hukum formal, memang telah mendapat perhatian cukup penting dari
para yuris atau penulis hukum lainnya. Berbagai kajian tentang hukum
kebiasaan telah hampir mewarnai berbagai literatur hukum yang ada
dengan pendekatan yang juga cukup beragam. Bagi sebahagian besar
penulis hukum atau akademisi hukum, berpandangan bahwa harus
dibedakan antara kebiasaan dan hukum kebiasaan. Kebiasaan itu
sendiri belumlah dapat dikatakan sebagai kaidah-kaidah normatif
(hukum) untuk mengikat tingkah laku warga masyarakat. Harus
terdapat beberapa unsur terpenuhi agar kebiasaan dimaksud
berangsur-angsur menjadi hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber
hukum formal yang berlaku ditengah kehidupan sosial masyarakat.
Unsur-unsur dimaksud yang harus terpenuhi, agar kebiasaan dapat
menjelma menjadi hukum kebiasaan, yakni: pertama, kebiasaan yang
berlaku ditengah masyarakat itu harus menjadi prilaku kebiasaan yang
berlangsung secara terus menerus (usus) atau dilakukan secara
berulang-ulang; kedua, ada unsur psikologis atau pengakuan dari
masyarakat bahwa apa yang telah menjadi kebiasaan yang berulang
dan berlangsung secara terus menerus itu diterima sebagai hukum
yang mengikat. Ada kewajiban hukum bahwa apa yang terkandung
dalam kebiasaan yang berlangsung terus menerus itu harus ditaati oleh
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
156
setiap anggota masyarakat. Sehingga apabila warga masyarakat tidak
mematuhi apa yang menjadi kewajiban hukum yang terwujud dalam
kebiasaan itu maka tentu saja akan dikenakan sanksi hukum sebagai
konsekuensi logisnya.
Tentu juga, kebiasaan yang berlangsung terus menerus itu,
haruslah merupakan kebiasaan yang terefleksi dalam bentuk prilaku
yang dapat diamati secara lahiriah. Prilaku inilah yang kemudian
menjadi unsur psikologis yang dapat diterima oleh warga masyarakat
sebagai tatanan nilai hukum yang harus ditaati, inilah yang disebut
dalam Bahasa Latin opinion neccessitatis. Jadi unsur psikologis yang
dimaksud ini, sebagaimana yang diungkap oleh Peter Mahmud
Marzuki adalah karena ada relevansi yuridis bukan sekedar prilaku
kebiasaan yang berlangsung secara terus menerus. Artinya,
melahirkan persepsi (pendapat) di tengah masyarakat bahwa setiap
warga masyarakat harus bertindak berdasarkan norma yang berlaku
sebab memang ada kewajiban hukum yang terkandung didalamnya.
Atas dasar itulah, sebahagian besar penulis hukum menempatkan
hukum kebiasaan tersebut dalam bentuknya sebagai hukum yang tidak
tertulis (unwritten law). Meskipun hukum kebiasaan dalam bentuknya
yang tidak tertulis, tetapi sebahagian penulis hukum Indonesia,
berpendapat bahwa hukum kebiasaan tidaklah sama dengan hukum
adat yang berlaku di Indonesia. Malah beberapa penulis hukum seperti
Achmad Ali, tidak sependapat bila hukum adat disamakan dengan
hukum kebiasaan. Achmad Ali sendiri, misalnya, secara ekstrim
menolak dengan tegas untuk mensejajarkan hukum adat dengan
hukum kebiasaan, karena menurut dia, hukum kebiasaan yang
berlangsung ditengah masyarakat yang baru muncul kemudian
bukanlah berasal dari hukum adat. Ia mencontohkan seperti
penggunaan kartu kredit atau penggunaan akta dalam perjanjian
bukanlah merupakan praktek kebiasaan yang berasal dari hukum adat.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
157
Bahkan lebih ekstrim lagi, Achmad Ali mengingkari keberadaan
hukum adat yang diklaim sebagai hukum yang berlangsung di
Indonesia saat ini. Bagi Achmad Ali, apa yang diklaim sebagai hukum
adat oleh sebahagian besar orang, pada hakikatnya bukanlah hukum
tetapi ia hanya merupakan adat istiadat sebagai sebuah tradisi yang
berlangsung ditengah masyarakat adat. Untuk menegaskan kembali
pendapat Achmad Ali10
tentang ketidaksetujuannya terhadap hukum
10
Professor Achmad Ali, adalah Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, ia wafat pada tanggal 17 Juni 2012. Sebagai
seorang guru besar hukum Unhas, ia telah menulis 17 buku hukum dan
menulis ribuan artikel di beberapa media massa nasional. Almarhum
Professor Achmad Ali, yang pernah dicalonkan Jaksa Agung RI semasa
Presiden Megawati Soekarno Putri, menurut pendapat penulis, adalah
seorang realis hukum. Sebab konsentrasi pemikiran hukumnya lebih
mengelaborasi kepada hukum dalam perspektif sosiologis. Yaitu pemikiran
hukum yang mencermati hukum dalam tataran prilaku masyarakat serta
faktor-faktor sosial lainnya yang mempengaruhi penegakan hukum terutama
dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsistensi almarhum sebagai seorang
realis hukum begitu kukuh, sehingga tatkala menjadi anggota Komnas HAM
RI periode 2001-2007, ia begitu getol menyuarakan perang terhadap korupsi,
yang menurutnya baik secara langsung maupun tidak langsung, korupsi
adalah malapetaka terbesar negeri ini yang sama bahayanya dengan
penyalahgunaan narkoba. Saking getolnya almarhum semasa hidupnya
menyatakan perang terhadap korupsi, ia pernah mengusulkan hukuman mati
bagi para koruptor kelas kakap. Suatu ketika almarhum pernah ditanya
tentang hukum pidana Islam oleh salah satu tabloid mingguan nasional,
almarhum serta merta menyatakan respektasinya yang tinggi kepada sanksi
pidana dalam hukum Islam, sebab menurutnya ketegasan dan kekerasan
sanksi dalam hukum pidana Islam, seperti para pencuri dipotong tangannya
atau para koruptor kelas kakap yang harus dibuang jauh alias diasingkan ke
suatu tempat tertentu, sangat menjamin keampuhan hukum serta membuat
jera bagi setiap para pelanggar hukum. Demikian beberapa pemikiran
Professor Achmad Ali, yang telah pergi meninggalkan dunia ini, dalam usia
59 tahun lebih, ia pergi untuk menghadap Sang Khalik Pencipta semesta
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
158
adat, penulis mengutip pendapat Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Hasanuddin tersebut sebagai berikut:
Bagi penulis, hukum adat sudah harus kita tinggalkan karena tidak
sesuai lagi dengan realitas masyarakat dewasa ini. Kita harus tahu
bahwa hukum adat memiliki ciri-ciri khas yang bertentangan
dengan iklim masyarakat modern. Sebagai contoh, hukum adat
memiliki sifat atau ciri, yaitu: a) konkret; b) magis reljius; c)
kontan; dan d) lokal. Bagaimana mungkin kita menerapkan metode
bisnis dengan cara “hukum” adat yang konkret itu, seperti kerbau
dibarter dengan 3 kambing? Juga tidak mungkin kita menggunakan
kekuatan mantera yang magis dalam melaksanakan transaksi
miliaran rupiah. Bagaimana mungkin kita merumuskan satu sistem
hukum nasional (artinya tidak lokal) dengan berdasar pada hukum
lokal? Kalau ada kalangan yuris yang menyatakan hukum adat
modern sudah tidak berciri demikian, itu artinya “hukum adat”
yang sebenarnya sudah tidak ada lagi. Dengan hilangnya ciri yang
mereka tentukan sebagai ciri hukum adat, secara logis berarti
alam. Menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pendidikan
Makassar, ia terkena penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya.
Almarhum Professor Achmad Ali, semasa hidupnya sangat bersahaja dengan
kehidupan yang sederhana, ia tidak punya harta melimpah, konon mobil pun
yang ia miliki hanyalah mobil dinas dekan ketika menjabat dekan Fakultas
Hukum Unhas selama dua periode. Selepas menjabat dekan, ia tidak punya
mobil lagi. Kata orang dekatnya, almarhum hanya meninggalkan rumah
sederhana yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas, serta
sebidang tanah 1 hektar yang dihibahkan rektor Unhas kepada almarhum.
Konon tanah tersebut dibiarkan begitu saja lantaran almarhum tidak punya
cukup uang untuk memagarinya serta membeli bibit tanaman untuk diolah.
Tampaknya Almarhum Professor Achmad Ali, begitu menikmati sebagai
seorang idealis dan ilmuwan hukum.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
159
hilang pula hukum adat yang dicirikan tersebut. Sebenarnya kita
harus berjiwa besar untuk mengakui bahwa sudah saatnya hukum
di Indonesia dinasionalkan dengan menghilangkan unsur-unsur
lokalnya, dan karenanya sulit mengandalkan adat yang lokal untuk
tujuan besar tersebut11
.
Pendapat Achmad Ali yang tidak menyetujui disepadankan antara
hukum adat dengan hukum kebiasaan sekaligus eksistensi hukum adat
sebagai hukum dalam kerangka sistem hukum Indonesia, sebetulnya
adalah berpijak pada pandangan legisme yang menempatkan hukum
sebagai produk yang dapat diberlakukan, jika hukum itu sendiri
mendapat pengakuan dari pemegang otoritas tertinggi yang
diberlakukan sebagai satu keseluruhan dalam sebuah sistem sosial.
Apalagi hukum adat yang ada sekarang tidaklah menampung seluruh
tingkah laku warga masyarakat adat karena sejatinya apa yang diklaim
sebagai hukum adat hanya merupakan seperangkat tradisi yang
diberlakukan ditengah masyarakat adat, seperti tradisi perkawinan di
masyarakat Batak atau tradisi ngaben pada masyarakat adat di Pulau
Bali. Bila merujuk kepada pendapat Achmad Ali tersebut, dengan
mencermati sanksi adat yang diberlakukan ditengah masyarakat adat,
apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran adat, semisal kawin lari,
perzinahan, pencurian hewan ternak, maka sanksi yang diberlakukan
tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial secara mutlak yang
dapat diterapkan begitu saja kepada warga adat yang melakukan
pelanggaran. Sebab eksistensi sanksi itu tidak dijaga oleh pemegang
otoritas kekuasaan. Kalau mencermati kembali definisi hukum yang
dikemukakan oleh Achmad Ali, secara jelas telah meletakkan
pandangannya bahwa untuk dapat disebut sebagai hukum maka
11
Ibid., hlm. 92.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
160
didalamnya harus terdapat kekuatan sanksi yang dijaga oleh
pemegang otoritas kekuasaan.
Pada pembahasan tentang keberlakuan hukum kebiasaan sebagai
norma yang mengikat warga masyarakat, menurut penganut aliran
legisme, bahwa hukum kebiasaan haruslah mendapat pengakuan
dalam perundang-undangan yang ada. Bagi penganut legisme sumber
hukum sejatinya hanyalah undang-undang. Penganut legisme,
beranjak pada suatu pandangan bahwa semua hukum berasal dari
penguasa, yaitu kehendak pembuat undang-undang. Dalam pemikiran
ini, undang-undang dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum.
Apabila dalam kenyataannya hukum kebiasaan memang ada, maka
menurut penganut legisme, keberadaan hukum kebiasaan akan tetap
ada dan diakui sepanjang hukum kebiasaan itu memang dibolehkan
oleh undang-undang.
Namun demikian, dalam hal keterkaitan antara undang-undang
dengan hukum kebiasaan, Peter Mahmud Marzuki12
berpendapat
bahwa hal yang perlu mendapat perhatian adalah keterkaitan antara
undang-undang dengan hukum kebiasaan. Sekilas, diantara keduanya
terdapat perbedaan yang tajam. Undang-undang merupakan aturan
hukum yang dibuat oleh penguasa untuk diterapkan di tengah
masyarakat, sedangkan kebiasaan itu sendiri dikembangkan oleh
masyarakat. Perbedaannya, undang-undang diformulasi oleh pembuat
undang-undang sedangkan hukum kebiasaan dirumuskan oleh
masyarakat sendiri.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hukum kebiasaan akan
mendapat tempat apabila dirujuk oleh undang-undang yang
mengaturnya. Atas pandangan ini, Sudikno Mertokusumo
mengemukakan pandangannya bahwa berlakunya hukum kebiasaan di
12
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hlm. 275.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
161
Indonesia, adalah berdasarkan kepada Pasal 15 AB yang menetapkan
“selain pengecualian-pengecualian yang ditetapkan mengenai orang-
orang Indonesia dan orang-orang yang dipersamakan, maka kebiasaan
tidak merupakan hukum kecuali apabila undang-undang menetapkan
demikian. Pasal ini, menurut Sudikno Mertokusumo mengandung
makna bahwa hukum kebiasaan diakui sepanjang ada undang-undang
yang mengaturnya, tetapi sepanjang tidak ada undang-undang yang
mengaturnya maka hakim tidak perlu memberlakukannya. Demikian
pula, Pasal 1339 BW yang menetapkan bahwa “perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya
diharuskan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang. Kebiasaan
dalam seluruh hukum perjanjian diberi kekuatan yang bersifat
kontrak. Di dalam hukum dagang, kebiasaan (usance) memegang
peranan yang penting juga”.
Selain dua pasal yang menjadi rujukan bagi pemberlakuan hukum
kebiasaan dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Sudikno Mertokusumo, juga Pasal 5 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Tentunya pengungkapan
makna hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat berarti pengakuan terhadap hukum kebiasaan sebagai
hukum yang hidup (the living law) ditengah masyarakat merupakan
rujukan yang harus dipedomani oleh hakim dalam mengadili suatu
perkara selain undang-undang yang berlaku.
3) Traktat atau Perjanjian Internasional
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
162
Traktat atau perjanjian internasional oleh beberapa penulis hukum
memasukkannya sebagai salah satu sumber hukum formal. Alasannya,
karena perjanjian internasional merupakan kesepakatan tertulis antar
negara yang memiliki akibat hukum, yang sebagai kesepakatan
tertulis, perjanjian internasional dalam bentukannya harus memenuhi
beberapa prosedur formal, agar dapat diterima sebagai perjanjian
internasional yang mengikat secara hukum antar negara. Adapun
prosedur formal dan tahapan pembuatan perjanjian internasional,
untuk saat ini masih merujuk kepada Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian Internasional, yakni pada Bahagian II Seksi I Pasal
6-10. Ketentuan inilah yang merupakan dasar yuridis bagi setiap
negara-negara untuk membentuk perjanjian internasional.
Merujuk kepada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional, setidaknya ada tiga tahap yang harus dilalui dalam
pembentukan perjanjian internasional, yaitu:
a) Tahap Perundingan (negotiation):
b) Tahap Penerimaan dan Pengesahan Bunyi Naskah
c) Tahap Pengikatan diri terhadap Perjanjian Internasional.
Pada saat dimulai pembentukan perjanjian internasional, maka
tahap pertama yang mesti ditempuh adalah tahap perundingan. Pada
tahap perundingan ini, yang dipersoalkan adalah status negara peserta,
yang akan menghadiri perundingan pembentukan perjanjian
internasional. Negara peserta yang akan menghadiri perundingan
tentunya adalah setiap negara yang bekedudukan sebagai subjek
hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan
perjanjian internasional. Hanya negara berdaulatlah yang memiliki
kemampuan untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain secara
independen.
Timbul pertanyaan apakah negara bagian dari suatu negara federasi
diperkenankan ikut dalam perundingan pembentukan perjanjian
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
163
internasional? Persoalan boleh tidaknya negara bagian dari suatu
negara federasi, turut serta dalam perundingan pembentukan
perjanjian nternasional, adalah sangat tergantung dari konstitusi
negara federalnya, kalau konstitusi negara federal mengatur untuk
membolehkan negara bagian turut serta dalam perundingan-
perundingan internasional, maka negara bagian bersangkutan bisa
diikutsertakan dalam perundingan tersebut, namun apabila konstitusi
negara federal tidak mengatur hal tentang keikutsertaan negara bagian
dalam perundingan internasional, maka negara bagian tidak
mempunyai kewenangan untuk itu.
Ada contoh yang bisa dikemukakan tentang keikutsertaan negara
bagian mengikuti perundingan internasional, yaitu Byelo Russian dan
Ukraina yang keduanya merupakan negara bagian Uni Soviet, turut
serta di dalam perundingan-perundingan pada Konprensi Jenewa
Tahun 1958 tentang Hukum Laut, dimana keduanya menjadi peserta
yang terpisah dan berdiri sendiri dari Uni Soviet, serta turut pula
menandatangani konvensi-konvensi yang dihasilkan konperensi
tersebut.
Pada prakteknya, setiap negara yang menghadiri perundingan
internasional tentunya diwakili oleh wakilnya masing-masing, yang
ditunjuk oleh pernerintah negaranya serta bertindak untuk atas nama
negaranya. Untuk menjaga agar tidak ada orang yang serta merta
dalam konperensi yang mengatas namakan suatu negara, namun
bukan wakil yang sah dari negara itu, maka hukum internasional
menetapkan perlunya seorang peserta dilengkapi dengan full powers
(kuasa penuh) dari pemerintah negaranya, sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 Konvensi Wina Tahun 1969.
Menurut ketentuan pasal 7 tersebut, seseorang hanya dapat
dianggap mewakili negaranya secara sah dalam perundingan
pembuatan perjanjian internasional, apabila ia dapat menunjukkan
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
164
surat-surat kuasa penuh (full powers atau credentials), kecuali jika
sejak semula peserta perundingan internasional sudah menentukan
bahwa surat-surat kuasa penuh tersebut tidak diperlukan.
Surat-surat kuasa penuh yang dimaksud, merupakan dokumen yang
sangat resmi bentuknya, dan yang memeriksa keabsahan surat-surat
kuasa itu biasanya adalah panitia pemeriksa surat-surat kuasa penuh
(credentials committee), yang dibentuk oleh tim verifikasi konperensi
internasional sebelumnya. Namun, keharusan untuk menunjukkan
surat-surat kuasa penuh, menurut hukum internasional, adalah tidak
berlaku bagi kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri),
menteri luar negeri yang karena jabatannya dianggap sudah mewakili
negaranya secara sah serta dapat melakukan segala tindakan untuk
mengikat negaranya pada perjanjian internasional yang diadakan.
Demikian juga kepala perwakilan diplomatik (kepala misi
diplomatik), tidak usah menunjukkan surat-surat kuasa penuh, karena
secara resmi dianggap dapat mewakili negara yang mengirimnya.
Begitu juga wakil-wakil suatu negara yang dikirimkan secara khusus
ke suatu konperensi internasional, ataupun wakil-wakil suatu
organisasi internasional atau dari badan-badan organisasi internasional
bersangkutan, tidak perlu memperlihatkan surat-surat kuasa penuh
demikian (Pasal 7 Ayat 2 Konvensi Wina 1969).
Ada kalanya surat kuasa penuh secara sementara diberikan melalui
kawat (telegram atau telex) yang ditujukan kepada sekretariat atau
ketua panitia konperensi. Namun Hukum Internasional juga mengatur
bahwa surat kuasa penuh (full powers) bisa dikesampingkan tanpa
mendapat kuasa penuh secara formal dari negaranya. Seseorang bisa
saja dipandang bertindak mewakili negaranya, apabila praktek negara
yang bersangkutan menganggap orang tersebut dapat mewakili
negaranya dalam pembuatan dan perumusan perjanjian internasional
(Pasal 7 Ayat 1 Konvensi Wina 1969). Atau bisa juga orang tersebut,
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
165
sebelumnya telah mendapat pengesahan dari pihak yang berwenang
negaranya. Tanpa pengesahan itu, maka segala tindakan yang
dilakukan oleh orang yang tidak dilengkapi surat kuasa penuh,
dipandang tidak sah.
Setelah wakil-wakil negara peserta dalam tahap perundingan
mencapai kata sepakat mengenai isi dan rumusan naskah perjanjian,
maka kesepakatan itu harus dinyatakan dan diformulasikan secara
resmi atau formal. Tahap inilah yang disebut tahap pengadopsian
naskah perjanjian (adoption of the text), sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 9 Ayat 1 Konvensi Wina 1969. Untuk perjanjian-
perjanjian yang diadakan melalui konperensi internasional
multilateral, pengadopsian (penerimaan) naskah perjanjian tersebut
dilakukan melalui pernungutan suara (voting). Pengadopsian
(penerimaan) naskah perjanjian barulah sah, apabila misalnya
disepakati oleh 2/3 dari negara-negara yang hadir dan mernberikan
suaranya. Tentu saja negara-negara peserta konprensi tersebut, dapat
menentukan cara atau aturan lain (Pasal 9 Ayat 2 Konvensi Wina
1969). Naskah perjanjian yang sudah diadopsi (diterima) oleh para
peserta perunding, dan isinya sudah tidak perlu dipersoalkan lagi
maka apabila penyempurnaan itu sudah selesai serta tidak ada lagi
masalah yang prinsip, maka tindakan selanjutnya adalah menetapkan
naskah perjanjian itu sebagai naskah yang otentik atau sebagai naskah
asli Langkah inilah yang disebut dengan tahap pengesahan atau
pengotentikan naskah perjanjian (authentication of the text).
Mengenai cara pengesahan atau pengotentikan naskah perjanjian
tersebut, ditempuh berdasarkan prosedur yang ditentukan sendiri di
dalam salah satu pasal dari naskah perjanjian. Apabila tidak diatur
atau ditegaskan di dalam naskah perjanjian tadi, maka negara-negara
yang berpartisipasi dalam proses pembuatan perjanjian, dapat
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
166
menentukan cara lain yang mereka sepakati bersama. Penegasan ini
dapat di jumpai dalam Pasal 10 a Konvensi Wina 1969.
Sebaliknya didalam pasal 10b konvensi, ditegaskan bahwa apabila
prosedur tersebut tidak berhasil, maka pengesahan atau pengotentikan
naskah perjanjian dapat juga dilakukan oleh wakil-wakil dari negara-
negara peserta perjanjian, dengan salah satu cara seperti
penandatanganan (signature), penandatanganan dan referendum
(signature and referendum) dan pemarafan (initialling).
Setelah naskah perjanjian internasional tersebut berhasil disahkan
atau disetujui sebagai naskah otentik, akhirnya ditempuh tahap
selanjutnya, yaitu pengikatan diri, pada perjanjian (consent to be
bound by a treaty). Adapun mengenai cara pengikatan diri atau cara
menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian, diatur di dalam
salah satu pasal dalam Konvensi Wina 1969.
Berdasarkan praktek negara-negara yang sudah berkembang sejak
lama dan yang juga sudah dikukuhkan dalam Konvensi Wina 1969
Pasal 11, dikenal beberapa cara menyatakan persetujuan untuk terikat
pada perjanjian internasional. Cara-cara tersebut, adalah:
a) Penandatanganan (signature);
b) Pertukaran instrumen-instrumen yang melahirkan perjanjian itu
(exchange of instruments constituting a treaty);
c) Ratifikasi atau pengesahan (ratification);
d) Penerimaan atau akseptasi (acceptance);
e) Persetujuan (approval);
f) Penambahan;
g) Pelekatan (accession);
h) Cara-cara lain yang disetujui oleh para pihak (any other means if
so agreed).
Untuk semua cara tersebut, negara peserta itu sendirilah yang
menetapkan cara mana yang dipilih dalam menyatakan persetujuan
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
167
untuk terikat pada perjanjian (consent to be bound by a treaty). Jadi
boleh dikatakan, tidak ada kriteria yang umum dan objektif untuk
memilih dan menetapkan masing-masing cara tersebut. Namun pada
prakteknya, persetujuan untuk mengikatkan diri pada perjanjian, cara
yang lebih sering digunakan adalah penandatanganan dan pengesahan
(ratifikasi). Penandatanganan merupakan suatu tindakan terakhir dari
wakil negara peserta perjanjian yang menyatakan mengikatkan diri
secara definitif pada perjanjian setelah melakukan penandatanganan
tanpa harus terlebih dahulu menunggu pengesahan (ratifikasi) dan
pemerintahnya.
Adapun ratifikasi (pengesahan) adalah pernyataan mengikatkan
diri suatu negara terhadap perjanjian internasional, dengan syarat
pernyataan persetujuan mengikatkan diri harus disahkan atau
dikuatkan oleh badan berwenang di negaranya. Jadi penandatanganan
yang diberikan oleh wakil negara peserta perjanjian tersebut, bersifat
sementara clan masih harus disahkan. Pengesahan atau pemguatan
tanda tangan itulah yang disebut ratifikasi. Praktek nasional negara-
negara berkenaan dengan ratifikasi perjanjian internasional, dapat
dikategorikan atas 3 sistem peratifikasian yaitu:
a. Sistem ratifikasi, yang semata-mata dilakukan oleh badan
eksekutif;
b. sistem ratifikasi, yang semata-mata dilakukan oleh badan
legisiatif;
c. Sistern campuran dimana baik eksekutif dan legislatif
mernainkan peranan dalam proses ratifikasi;
Adapun praktek ratifikasi di Indonesia, saat ini (pada saat buku ini
ditulis), adalah merujuk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, pada pasal 4 Ayat (2) undang-
undang ini disebutkan bahwa dalam pembuatan perjanjian
internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
168
kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Selain undang-
undang ini, Konstitusi UUD 1945 Perubahan ke-4, juga mengatur
tentang prosedur yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk
membuat perjanjian internasional dengan negara lain. Ketentan itu,
tercantum dalam Pasal 11 UUD 1945, Ayat (1) Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain, selanjutnya ayat (2)
Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/ atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ada persoalan yang timbul menyangkut persetujuan untuk untuk
terikat pada perjanjian, yaitu dalam perjanjian internasional
multilateral dimana ditemukan pada prakteknya, sering suatu negara
menolak untuk menerima atau terikat pada pasal-pasal tertentu dalam
perjanjian tersebut. Inilah yang dikenal dengan istilah persyaratan
(reservation), yaitu suatu negara hanya mau terikat pada suatu
perjanjian yang dianggap tidak membahayakan. kepentingan
nasionalnya.
Menurut Wayan Parthiana13
, yang dimaksud persyaratan adalah
pernyataan sepihak yang diajukan oleh suatu negara pada waktu
menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian internasional
bahwa negara itu menyetujui untuk terikat pada perjanjian
internasional, tetapi tidak mau terikat pada pasal-pasal tertentu dari
13
Wayan Parthiana. 1990. Pengantar Hukum Internasional, Mandar
Maju, Jakarta, hlm. 178-179.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
169
perjanjian itu, atau negara bersangkutan mernberikan pengertian lain
atas isi dari pasal atau pasal-pasal tertentu dari perjanjian tersebut.
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan tersebut, maka
pelbagai aspek dari persyaratan yang dapat dikemukakan antara lain:
Pertama, persyaratan harus diajukan bersamaan pada waktu
menyatakan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Kedua,
persyaratan mengandung dua makna yakni ada yang berupa penolakan
sepenuhnya atas isi pasal-pasal tertentu dari perjanjian serta ada pula
yang berupa pemberian arti atau penafsiran tersendiri terhadap pasal-
pasal tertentu perjanjian. Yang jelas, persyaratan dalam perjanjian,
diajukan oleh setiap negara peserta, bersandar kepentingan nasional
negaranya. Sehingga tidak mengherankan bila dalam setiap perjanjian
internasional yang sedang dirancang, dominan dipengaruhi
kepentingan nasional dibandingkan isi perjanjian yang harus
menghormati prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
4) Yurisprudensi
Kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum formal, juga
banyak dibahas oleh sebahagian penulis hukum atau kalangan yuris.
Berdasarkan pelacakan literatur, tentang istilah yurisprudensi, maka
kata yurisprudensi berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu
jurispudentia yang berarti pengetahuan hukum. Sedangkan dalam
bahasa Inggris, dikenal dengan nama jurisprudence yang berarti ilmu
hukum atau ajaran hukum atau teori hukum umum. Di Indonesia, kata
Yurisprudensi diambil dari Bahasa Belanda yaitu Jurisprudentia.
Sehingga, kata yurisprudensi sebagai istilah teknis hukum Indonesia,
sama artinya dengan Jurisprudentia dalam Bahasa Belanda dan
Jurisprudence dalam bahasa perancis yang berarti peradilan tetap atau
hukum pengadilan. Di Inggris dan Amerika Serikat yang menganut
sistem hukum common law, untuk pengertian yurisprudensi yang
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
170
merujuk kepada putusan pengadilan, umumnya menggunakan istilah
case law atau judge made law. Biasanya juga di negara-negara yang
menganut sistem common law, putusan hakim disebut dengan
preseden. Dengan demikian dalam konteks pembahasan kita ini,
pengertian yurisprudensi sebagai sumber hukum formal adalah
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan bersifat mengikat, yang diikuti atau dipergunakan oleh hakim
berikutnya sebagai sumber hukum untuk memutus perkara yang
serupa atau sama. Apabila putusan hakim terdahulu diikuti oleh hakim
dibawahnya atau hakim setelahnya, maka putusan hakim terdahulu itu
merupakan putusan peradilan tetap atau disebut “yurisprudensi” yang
menjadi sumber hukum formal.
Keberadaan yurisprudensi sebagai sumber hukum formal yang
menciptakan hukum, dalam sistem hukum Indonesia, adalah
didasarkan pada pasal 22 AB dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menetapkan bahwa
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya”. Dalam keadaan demikian, hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) Nomor 48 Tahun 2009. Hal ini
juga sesuai dengan asas Ius curia novit yang artinya hakim dianggap
mengetahui hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sesungguhnya kita bisa
membedakan yurisprudensi sebagai bentuk produk hukum yang
dikeluarkan oleh hakim dengan undang-undang sebagai produk
hukum yang dikeluarkan oleh lembaga negara. Perbedaannya, hukum
yang diciptakan oleh hakim yang dalam bentuk keputusan disebut
hukum in concreto yang secara nyata menghasilkan hukum yang
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
171
berlakunya terbatas mengikat pihak-pihak tertentu yang berperkara.
Sedangkan, hukum yang diciptakan oleh badan yang berwenang
membentuk undang-undang disebut hukum in abstraco yang mengikat
secara umum (undang-undang).
Yurisprudensi dalam arti luas sebagai putusan hakim atau juga
hukum yang dibuat oleh pengadilan terdiri atas 4 jenis, yaitu:
a) Yurisprudensi tetap, yaitu putusan hakim yang terjadi karena
rangkaian putusan yang serupa atau sama dan dijadikan dasar bagi
pengadilan (standard arresten) untuk memutus suatu perkara.
b) Yurisprudensi tidak tetap, yaitu putusan hakim terdahulu yang
tidak dijadikan dasar bagi pengadilan.
c) Yurisprudensi semi yuridis, yaitu semua penetapan pengadilan
berdasarkan permohonan seseorang yang berlaku khusus hanya
pada pemohon. Misalnya penetapan pengangkatan anak,
penetapan penggantian nama, dan sebagainya. Jenis yurisprudensi
ini sifatnya penetapan bukan putusan sebab putusan dikeluarkan
adalah untuk menyelesaikan sengketa sedangkan penetapan
dikeluarkan hanya berdasarkan permohonan dari para pihak demi
mendapatkan status hukum tertentu.
d) Yurisprudensi administratif, yaitu Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) yang hanya berlaku secara administratif dan
mengikat intern dalam lingkup pengadilan.
Perlu kita ketahui, beberapa alasan mengapa hakim menciptakan
hukum, yaitu:
a) Karena undang-undangnya tidak jelas atau kabur sehingga
memerlukan penafsiran hukum yang komprehensif.
b) Undang-undang yang ada sudah tertinggal dengan perkembangan
masyarakat atau tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan
kesadaran hukum masyarakat.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
172
c) Undang-undangnya tidak mengatur perbuatan hukum yang
diajukan kepada pengadilan.
Ada dua asas yurisprudensi, yaitu:
a) Asas precedent, artinya bahwa hakim terikat dan tidak boleh
menyimpang dari putusan-putusan hakim terdahulu atau hakim
yang lebih tinggi atau sederajat dalam tingkatannya dalam perkara
serupa. Asas ini dikenal di negara-negara yang menggunakan
sistem hukum anglo saxon.
b) Asas bebas, artinya bahwa hakim tidak terikat pada putusan-
putusan hakim yang lebih tinggi ataupun sederajat tingkatannya.
Asas bebas ini dikenal di negara yang menggunakan sistem
hukum Eropa Kontinental seperti Belanda dan Perancis maupun
jajahan Belanda dan Perancis seperti Indonesia dan sebagainya.
Akan tetapi, sebagaimana yang ditulis Peter Mahmud Marzuki,
keberadaan yurisprudensi sebagai sumber hukum di negara-negara
yang menganut sistem civil law seperti Indonesia tidak serta merta
hakim terikat kepada preseden. Yurisprudensi negara-negara yang
menganut sistem civil law, tidak sekuat kedudukannya dengan negara-
negara yang menganut sistem common law. Di negara yang menganut
sistem civil law seperti Indonesia, hakim di pengadilan yang
memutuskan perkara, selalu lebih mengutamakan undang-undang
sebagai rujukan atau pertimbangan hukumnya. Biasanya yurisprudensi
hanya diletakkan sebagai komponen sekunder atau rujukan tambahan
disamping undang-undang dalam setiap putusan hukum yang
dikeluarkannya.
5) Doktrin
Istilah doktrin oleh beberapa penulis hukum ada yang
menyebutnya dengan istilah legal doctrine, Dalam ilmu hukum, legal
doctrine diartikan sebagai “analytical study of law” atau “doctrinal
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
173
study of law”. Adakalanya legal doctrine disebut juga dengan “legal
dogmatics” atau dalam bahasa Belanda digunakan istilah
rechtsdogmatik. Dalam beberapa literatur hukum, istilah yang sering
dipakai adalah doktrin tetapi adakalanya juga ada yang
menerjemahkannya dengan istilah ajaran hukum. Menurut Bernard
Arief Sidharta mengartikan doktrin sebagai pendapat ilmuwan hukum
dalam masalah hukum tertentu yang dapat dijadikan kaidah hukum.
Legal doctrine dihasilkan melalui sejumlah akivitas yang dilakukan
oleh ilmuwan hukum dengan mempelajari sejumlah literatur hukum,
dan sejumlah riset dengan menggunakan sejumlah metode hukum.
Pada umumnya legal doctrine ini diperlukan oleh hakim karena
seringkali hakim tidak memiliki waktu yang cukup dalam
mempersiapkan justifikasi sebuah putusan secara mendalam.
Meskipun adakalanya putusan yang dibuat oleh seorang hakim
merupakan hasil dari kompromi dengan hakim lain maupun kompromi
dengan hukum positif lainnya. Legal doctrine yang dihasilkan oleh
ilmuwan hukum tidak memiliki kekuatan untuk diterapkan, karena itu,
apa yang dihasilkan oleh ilmuwan hukum dalam bentuk kaidah hukum
sangat ditentukan oleh hakim, apakah dia menggunakannya atau tidak.
Kebanyakan ajaran atau doktrin yang dihasilkan oleh ilmuwan hukum
bersifat abstrak meskipun contoh-contoh kasus yang diberikan oleh
ilmuwan hukum adakalanya adalah kasus yang aktual namun
kadangkala kasus yang hipotetis. Karena sebagian legal doctrine itu
masih abstrak, maka hakim akan mengkongkretkannya dalam bentuk
putusan atas kasus hukum tertentu.
Dengan demikian, doktrin adalah pendapat dari para ahli hukum
yang diakui kepakarannya. Hakim dalam memutuskan perkara atau
dalam pertimbangan hukumnya juga biasanya memuat pendapat dari
para ahli hukum untuk memperkuat argumentasi keputusannya.
Namun demikian, kedudukan doktrin sebagai sumber hukum tidaklah
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
174
begitu kuat seperti undang-undang, hukum kebiasaan, maupun
yurisprudensi. Umumnya doktrin sebagaimana yang biasa kita jumpai
dalam setiap pertimbangan hukum hakim di beberapa pengadilan di
Indonesia, hanyalah menjadi label untuk memperkuat wibawa hukum
dari setiap putusan pengadilan. Menurut pandangan Achmad Ali,
doktrin yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh hakim di
pengadilan bukan sembarang pendapat dari sarjana hukum tetapi yang
dimaksud disini adalah sarjana hukum yang memiliki kualifikasi
tertentu. Yaitu yang diakui kepakaran pada bidangnya. Biasanya
mereka itu adalah para pakar hukum yang senior yang telah memiliki
buku karya hukum sebagai rujukan akademik yang sering digunakan
di setiap lembaga pendidikan hukum di Indonesia. Para pakar hukum
yang memiliki kharisma dibidangnya, entah karena ia seorang guru
besar ataupun bisa juga bukan guru besar tetapi gagasan hukumnya
sering menjadi rujukan oleh masyarakat pada umumnya.
b. Sumber Hukum Materil
Sumber hukum materil pada dasarnya merujuk kepada dua
pengertian. Pertama, istilah itu menunjuk kepada faktor-faktor yang
mempengaruhi isi reglementasi hukum, substansi hukum, unsur-unsur
yang memberi inspirasi kepada pembuat hukum, serta segala sesuatu
yang mempengaruhi isi dan pembuatan hukum itu sendiri, seperti
sejarah, perilaku masyarakat, peta hubungan kekuatan-kekuatan
sosial, lingkungan alam dan sebagainya. Kedua, istilah sumber hukum
materil tersebut juga mengacu pada dasar berbagai norma hukum,
yang memberi pembenaran, yang memberi nilai atau validitas. Cicero
mengatakan, sumber pendasaran moral dan hukum adalah rasio
(logos).
Dari berbagai pelacakan literatur hukum yang dilakukan penulis,
tampaknya para pakar hukum, memiliki pandangan yang sama tentang
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
175
apa yang dimaksud sumber hukum materil, meskipun dengan
ungkapan yang berbeda. Para pakar hukum, umumnya berpandangan
bahwa sumber hukum materil adalah segenap faktor yang berpengaruh
kuat yang mempengaruhi seluruh isi dari produk hukum formal.
Faktor yang mempengaruhi itu antara laian kesadaran hukum
masyarakat, keyakinan hukum masyarakat, dan faktor-faktor politik
yang mempengaruhi isi dan bentukan produk hukum yang
diberlakukan secara formal. Menurut pendapat penulis, sebenarnya
yang paling dominan mempengaruhi isi dan konfigurasi dari produk
hukum yang diberlakukan adalah faktor ideologi hukum yang
mengkooptasi keyakinan hukum serta cara pandang hidup masyarakat
dimana hukum itu diberlakukan. Sebab bagaimanapun juga
sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa
masyarakat adalah sebuah sistem sosial yang didalamnya mencakup
sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain untuk
tujuan-tujuan tertentu. Tentu saja dalam interaksi tersebut, harus ada
aturan hukum yang mengikat untuk menjaga kesinambungan dan
keajegan interaksi itu sendiri. Lazimnya, aturan hukum yang
diberlakukan, isi dan substansinya selalu memuat nilai-nilai
pandangan hidup yang dianut anggota masyarakat secara keseluruhan.
2. Sumber Hukum Berdasarkan Proses Pengambilannya
Pada sub-pembahasan ini, penulis menguraikan tentang bentuk-
bentuk sumber hukum berdasarkan proses pengambilannya. Ini juga
penting untuk diketahui guna memperkuat pemahaman kita tentang
karakteristik beberapa sumber hukum yang kerap kali mengalami
perubahan dan perkembangan seiring dengan dinamika politik yang
terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Apabila mencermati bentuk-bentuk sumber hukum yang ada pada
beberapa sistem hukum, maka kita dapat memahami bahwa diantara
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
176
sumber-sumber hukum itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri
dengan berdasarkan kepada proses pengambilannya. Pada bahagian ini
penulis mengidentifikasi sumber-sumber hukum berdasarkan proses
pengambilannya, sebagai berikut:
a. Sumber Hukum berdasarkan Proses Kewahyuan
Sumber hukum berdasarkan proses kewahyuan, maksudnya
segenap sumber hukum yang diambil adalah merujuk kepada wahyu
Allah SWT. Jenis sumber hukum ini memang datangnya dari Sang
Pencipta alam semesta yang disampaikan dalam bentuk wahyu
melalui perantaraan malaikat Jibril as kepada para nabi dan rasul.
Dalam konteks abad ini, yaitu akhir zaman, sumber hukum yang
berdasarkan proses kewahyuan adalah Alqur’an dan Hadits Nabi
Muhammad SAW. Alqur’an adalah kitab suci yang berisi segenap
firman Allah SWT yang bahasa dan penuturannya langsung dari Sang
Pencipta disampaikan langsung dalam bahasa Arab melalui malaikat
Jibril as kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Hadits Nabi
Muhammad SAW, adalah segenap perkataan nabi, perbuatan nabi,
dan bahkan diamnya nabi yang mengandung nilai hukum yang harus
dipatuhi.
Jenis sumber hukum yang diambil berdasarkan proses kewahyuan
ini, yaitu Alqur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, kaum
muslimin biasa menyebutnya Syariah Islam atau bisa juga disebut
Hukum Syariah. Kedudukan Syariah Islam adalah risalah langit yang
diturunkan oleh Allah SWT melalui utusannya Nabi Muhammad
SAW, yang keberadaannya dipandang sebagai sebagai norma
petunjuk untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Dengan
demikian, Syariah Islam dalam kedudukan sebagai rahmat bagi
seluruh alam, adalah memiliki makna sebagai ajaran yang secara
otoritatif tidak hanya mengatur pergaulan hidup masyarakat muslim
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
177
tetap lebih dari itu juga aspek jangkauan pengaturan Syariah Islam
juga mengatur bidang-bidang sosial kemasyarakatan yang didalamnya
mencakup interaksi dengan orang-orang non-muslim itu sendiri.
Ungkapan Syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat
dimaknakan dalam kerangka pemahaman sebagai berikut bahwa
kedudukan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, tentu saja
merupakan seperangkat aturan kehidupan yang datangnya dari Allah
SWT Sang Maha Pencipta, yang dapat memberikan perlindungan,
keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, dan perlakuan yang sama
tanpa memandang ras, warna kulit, dan keyakinan spiritualnya, dalam
konteks kalau hal itu menyangkut pengaturan sosial kemasyarakatan
dan hukum (muamalah).
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, sekaligus untuk menepis
anggapan yang cenderung ekstrim dan mendeskreditkan risalah Islam
yang bersifat eksklusif terkungkung sebagai aturan normatif yang
diberlakukan bagi kaum muslim yang tidak mampu memberikan
jaminan keadilan dan perlindungan hukum bagi kelompok non-
muslim. Padahal fakta historis, menunjukkan pada masa
kepemimpinan Rasulullah dan para Khulufaur Rasyidin (empat
sahabat Nabi Muhammad SAW), hukum Islam sebagai sebuah sistem
telah memperlakukan begitu adil kelompok-kelompok non-muslim
dalam berbagai bidang aspek kehidupan sosial, seperti aspek hukum,
ekonomi, dan politik.
Syariah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, sekaligus
memberikan makna penting dan mendasar mengenai substansi Islam
sebagai norma hukum, yang sesungguhnya tidak hanya mengatur
bidang atau aspek bersifat ritual atau peribadatan tetapi juga mengatur
seluruh urusan kehidupan manusia, mulai yang bersifat duniawi
hingga ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan mansia dengan
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
178
Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga
persoalan personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri)14
.
Semua yang diatur oleh Islam tersebut, adalah untuk menunjukkan
komprehensivitas serta universalitas risalah Islam sebagai aturan atau
norma untuk mengatur interaksi pergaulan hidup manusia baik sebagai
mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Namun demikian apa
yang diatur oleh Islam itu sendiri, tentu saja harus berdasarkan kepada
wahyu yang datangnya dari Allah SWT sebagai pencipta, serta Hadits
Nabi Muhammad SAW.
Sehubungan dengan itu, Abd Shomad15
, telah menjelaskan secara
baik tentang universalitas hukum Islam sebagai aturan dari Sang
Pencipta:
..., maka dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan hukum Islam
adalah nama bagi segala ketentuan Allah dan utusan-Nya yang
mengandung larangan, pilihan, atau menyatakan syarat, sebab, dan
halangan untuk suatu perbuatan hukum. Hukum Islam mempunyai
sifat universal, yang mengatur hubungan manusia dengan
penciptanya, manusia dengan masyarakat dimana ia hidup dan
manusia dengan alam lingkungannya, disegala waktu dan segala
tempat, mencakup aspek kehidupan manusia dan segala
permasalahan.
Apa yang ditulis oleh Abd Shomad, sekaligus memperkuat
argumentasi tentang keuniversalan hukum Islam sebagai norma yang
datangnya dari Allah SWT, yang mestinya dapat diterapkan dalam
14
Tim Penulis Hizbut Tahrir Indonesia. 2011. Menegakkan Syariat Islam,
Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta. 15
Abd. Shomad. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Cet. I, Jakarta, hlm. 29.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
179
segala aspek kehidupan manusia dengan segala problematika
kehidupannya.
Secara pokok dalam konteks amaliah (implementasinya), hukum
Islam dapat dikategorikan atas dua cabang hukum utama yaitu
berkaitan dengan ibadah dan muamalah. Namun menurut Abd
Shomad16
, Ada juga ahli yang membaginya menjadi tiga bagian
utama, yakni ibadat, uqubat, dan muamalah. Hukum ibadah adalah
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan ibadah-ibadah lain yang
mempunyai arti mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hukum muamalah, adalah hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya, baik dilakukan secara perorangan, atau
secara kelompok antara bangsa dan kelompok antara jamaah, seperti
akad, pembelanjaan, hukuman, jinayat, dan lain-lain.17
Kendati hukum
Islam telah melakukan pengkategoriannya dalam konteks amaliah
yaitu bidang ibadah dan muamalah, namun dalam konteks hukum
amaliah sesungguhnya tidak ada perbedaan yang cukup tajam
sebagaimana yang kita dapati dalam sistem hukum barat, yaitu
melakukan pembedaan antara hukum privat dan hukum publik, sebab
hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang memiliki ciri khas
yang membedakannya dengan sistem-sistem hukum lainnya yang ada
di dunia. Ciri khas hukum Islam itu menurut Abdul Mutholib
sebagaimana yang dikutip dalam Abd Shomad18
, sebagai berikut:
1. Hukum Islam adalah hukum agama Islam;
2. Hukum Islam mengandung watak universal;
16
Abd Shomad, loc. cit. 17
Ibid., h. 29-30. 18
Ibid.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
180
3. Hukum Islam dalam bidang ubudiyah halnya telah diatur
sedemikian rupa dalam Al-Qur’an dan As-Sunah;
4. Hukum Islam dalam bidang muamalah cocok insan kamil
manusia, perasaan hukum, kesadaran hukum masyarakat dapat
dikembangkan dan senantiasa tumbuh menurut kebutuhan dan
pandangan hidup masyarakat dilandasi Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Apa yang dikemukakan Abdul Mutholib tentang karakteristik hukum
Islam tersebut, adalah untuk memperkuat pandangan bahwa hukum
Islam pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan
sistem hukum lainnya yang ada di dunia saat ini. Karakteristik yang
paling menonjol hukum Islam yaitu bersifat kewahyuan yang telah
diatur secara khas dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
SAW.
Kendatipun hukum Islam tidak mengenal adanya kategorisasi
pembidangan hukum publik dan hukum privat sebagaimana yang
dikenal dalam hukum barat pada umumnya, namun oleh Abd
Shomad19
telah mendeskripsikan susunan hukum muamalah dalam arti
luas sebagai berikut:
a. Hukum Perdata
1. Munakahat, hukum perkawinan.
2. Wirasah, atau hukum fara’id, Hukum Kewarisan.
3. Muamalat dalam arti khusus, hukum benda; hukum
perjanjian; mengatur masalah-masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, jual beli, sewa-menyewa, pinjam
meminjam.
b. Hukum Publik
1. Jinayat, hukum pidana
19
Ibid., h. 30.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
181
2. Al-Ahkam As Sulthaniyah, hukum tata negara dan hukum
administrasi.
3. Siyar, hukum internasional
4. Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan
hukum acara.
Pembidangan hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abd Shomad tersebut, menurut penulis sekadar untuk memberikan
kategorisasi kemudahan dalam mencermati bidang-bidang pengaturan
hukum dalam Islam dengan melihat pada kategorisasi hukum yang
dilakukan oleh hukum barat pada umumnya, yang melakukan
pembedaan secara tajam antara lingkup pengaturan hukum publik
dengan hukum privat.
Adapun menyangkut ketundukan hukum terhadap hukum Islam,
maka bagi seorang muslim, secara prinsip merupakan kewajiban bagi
dirinya untuk senantiasa tunduk kepada aturan Allah SWT. Pijakan
prinsip bahwa seorang muslim tidak boleh meninggalkan prinsip-
prinsip syariah dalam menjalankan hubungan-hubungan hukumnya
merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan perintah Allah SWT
yang sudah pakem sebagaimana tercantum dalam Al-Quran Surah Al-
Hasyr Ayat 7 sebagai berikut:
Apa-apa yang didatangkan oleh Rasulullah ambillah, dan apa-apa
yang dilarang berhentilah20
Begitu pula Sabda Rasulullah SAW berkaitan dengan perbuatan
seorang muslim yang mestinya berlandaskan prinsip syariah sebagai
berikut:
20
Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama RI,
PT Syaamil Cipta Media, Jakarta.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
182
Tidaklah beriman salah seorang diantara kamu sehingga
menjadikan (cara berpikirnya) hawa nafsunya mengikuti apa
(Islam) yang kubawa ini21
Penjelasan tersebut, merupakan dalil normatif dalam perspektif
syariah yang memperkuat bahwa seorang muslim dalam menjalankan
aktivitas hubungan hukumnya mesti tidak boleh keluar dari apa yang
sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad
SAW22
. Maka dalam konteks ketundukan hukum itulah, mutlak bagi
seorang muslim yang meyakini Islam sebagai aqidahnya, harus
melandasi cara berpikirnya berdasarkan aqidah Islam, termasuk juga
warga muslim yang ada di Indonesia ketika hendak melangsungkan
hubungan transaksionalnya secara hukum, yang semestinya tidak
boleh keluar dari pijakan mainstream prinsip-prinsip syariah.
Sehubungan dengan itu, dalam konteks masyarakat Indonesia
yang mayoritas penduduknya menganut Islam, salah satu
kebersyukuran dari umat Islam tersebut, yakni pemegang otoritas
kekuasan di Indonesia telah menggaransi kehidupan hukum bagi
masyarakat Islam Indonesia melalui legalisasi beberapa nilai-nilai
hukum terutama berkaitan dengan bidang-bidang hukum privat
termasuk bidang hukum munakahat ke dalam produk undang-undang
nasional, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 194,
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam
Lembaran Negara RI Nomor 159 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Lembaran Negara RI
21
HR. Imam Nawawi dalam kitab Al Arba’in An Nawawi 22
Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma.
2002. Menggagas Bisnis Islami, Gema Insani, Jakarta, hlm. 19.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
183
Nomor 22 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah dalam Lembaran Negara RI Nomor 94
Tahun 2008, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Presiden RI pada
tanggal 10 Juni 1991, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 10
September 2008, serta masih banyak lagi peraturan hukum tertulis
lainnya yang mengatur tentang bidang-bidang keperdataan yang
tunduk berdasarkan dogma hukum Islam.
Mencermati berbagai produk hukum tertulis yang mengatur
berbagai hubungan hukum privat bagi masyarakat muslim di
Indonesia, semakin menunjukkan bahwa masyarakat muslim
Indonesia telah mendapat legalitas untuk mengatur hubungan-
hubungan hukum privat mereka dengan berbasis kepada Syariah
Islam, mulai dari hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris,
bahkan juga untuk bidang-bidang transaksi keuangan.
Adapun untuk bidang-bidang transaksi keuangan, masyarakat
muslim di Indonesia, sudah bisa menyaksikan kehadiran berbagai
lembaga keuangan yang mengakomodir kepentingan mereka dengan
tetap berpijak kepada sebuah hubungan transaksi yang berlandaskan
hukum ekonomi menurut prinsip-prinsip syariah. Sebagai contoh
untuk memperkuat argumentasi ini adalah dengan menyemaraknya
kehadiran perbankan syariah, kemudian ada yang disebut asuransi
syariah, dan terakhir yang dapat kita amati adalah kehadiran
pegadaian syariah.23
23
Mohammad Rosyidi Azis (et.all). 2010. Pokok-Pokok Panduan
Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha Rindu Syariah,
Bogor, hlm. 52.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
184
Namun demikian yang perlu dijadikan patokan penting sekali lagi,
bahwa dalam hubungan transaksi keuangan berbasis hukum syariah
antara warga muslim Indonesia, tentu saja tidak boleh menyimpang
dari asas-asas akad yang menjadi dasar tegaknya hubungan hukum
perjanjian tersebut, antara lain: (1). Asas Ikhtiyari; (2). Asas Amanah;
(3). Asas Ikhtiyati; (4). Asas Luzum; (5). Asas Saling
Menguntungkan; dan (7) Asas Sebab Yang Halal. Aturan tentang
keharusan menempatkan asas-asas akad tersebut dalam setiap
hubungan perjanjian syariah dalam transaksi keuangan, telah
ditetapkan secara normatif dalam Bab II Pasal 21 Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah. Dalam Perma ditegaskan bahwa bagi setiap
transaksi syariah di Indonesia haruslah berpedoman kepada asas-asas
syariah sebagaimana yang menjadi landasan aqidah bagi setiap
muslim dalam menjalankan interasi sosialnya satu sama lain
(muamalah).
b. Sumber Hukum berdasarkan Proses Kompromi Politik
Perbincangan tentang sumber hukum berdasarkan proses
kompromi politik memang menarik. Sebab jenis sumber hukum ini
sangat dekat dengan fakta kehidupan bernegara saat ini, termasuk
dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Jenis sumber hukum ini
juga yang paling banyak diberlakukan disebahagian besar negara di
dunia sekarang.
Sumber hukum yang lahir dari sebuah proses kompromi politik,
sesuai dengan karakteristiknya, merupakan produk hukum yang pada
umumnya dibidani karena dibelakangnya ada kepentingan politik
maupun motivasi-motivasi politik tertentu. Biasanya jenis sumber
hukum ini bersifat pragmatis dan untuk kepentingan para elit politik
dibalik proses kelahirannya. Kepentingan para elit politik ini yang
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
185
dilegitimasi melalui sebuah produk hukum yang diberlakukan
ditengah masyarakat.
Pada fakta kehidupan kenegaraan di Indonesia, jenis sumber
hukum ini umumnya dirancang terlebih dahulu melalui kompromi-
kompromi politik dari para elit politik yang ada di sentra-sentra
kekuasaan. Yaitu kompromi politik antara anggota legislatif yang
duduk di DPR dengan pihak ekeskutif yang duduk dijajaran
pemerintahan. Masing-masing kelompok elit politik ini, yaitu pihak
legislatif dan eksekutif mengajukan inisiatif rancangan produk hukum
tertulis untuk bersama-sama dibicarakan atau disepakati hingga
menjadi sebuah kompromi politik untuk disahkan menjadi sebuah
produk hukum tertulis sebagai aturan baku untuk diberlakukan
ditengah kehidupan masyarakat. Inisiatif rancangan produk hukum,
bisa datangnya dari pihak DPR atau dari pihak pemerintah saja, atau
kedua-duanya mengajukan inisiatif untuk mengajukan rancangan
produk hukum yang didasarkan kepada pertimbangan politik dan
motivasi-motivasi politik tertentu.
Contoh yang paling jelas, hasil produk sumber hukum yang lahir
dari kompromi-kompromi politik adalah undang-undang tertulis.
Sebelum diberlakukan menjadi undang-undang, lebih dahulu baik
pihak legislatif maupun eksekutif ataupun kedua pihak, mengajukan
rancangan undang-undang. Rancangan undang-undang ini,
dikompromikan melalui deal-deal politik, yang akhirnya ditetapkan
dan disahkan oleh pemerintah untuk diberlakukan menjadi undang-
undang tertulis, yang pada faktanya undang-undang ini merupakan
produk pemerintah pusat sedangkan pada level daerah di Indonesia
seperti propinsi dan kabupaten atau kota, produk hukum tertulis yang
dilahirkannya, dinamakan Peraturan daerah.
Namun ada juga produk hukum yang lahir dari kompromi politik
tetapi bukan dari hasil kontestasi antara legislatif dan eksekutif. Jenis
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
186
produk hukum ini, biasanya lahir secara sepihak dari kebijakan politik
pihak eksekutif yang menjalankan pemerintahan, seperti presiden,
menteri, gubernur, dan bupati atau walikota. Produk hukum ini lahir
biasanya untuk menjaga legitimasi kebijakan-kebijakan politik.
Contoh untuk itu yang bisa diambil, misalnya Keputusan Presiden
(Keppres), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Pengganti Undang-
Undang (Perpu), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri,
Peraturan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Walikota dan
Keputusan Bupati. Tentu saja, contoh produk hukum tersebut,
dikeluarkan biasanya untuk keperluan praktis dan teknis dalam rangka
menjalankan kebijakan politik berdasarkan visi dan misi pemerintahan
masing-masing kepala daerah, menteri, atau presiden. Atau juga,
sebagai petunjuk pelaksanaan untuk mengimplementasikan perintah
undang-undang atau peraturan daerah.
Sehubungan dengan keberadaan undang-undang yang lahir dari
suatu kontestasi politik antara legislatif dan eksekutif maka tidak
mengherankan kebanyakan produk undang-undang atau produk
peraturan daerah tidak mampu memberikan keadilan, kemanfaatan
hukum serta kepastian hukum terutama dalam realitas masyarakat
Indonesia. Artinya, kita sebetulnya dapat dengan mudah memahami
mengapa produk undang-undang di Indonesia baik sebagai produk
sosial maupun sebagai produk yang lahir dari hasil kompromi politik
para elit yang duduk di sentra-sentra kekuasaan, kerap kali tidak tegas
dan kurang dapat menjamin kepastian hukum, menegakkan hak-hak
rakyat, atau lebih bisa memberikan jaminan keadilan bagi masyarakat
Indonesia secara keseluruhan.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
187
Moh Mahfud MD24
sendiri juga mengakui banyak sekali produk
produk undang-undang yang “tumpul”, tidak mempan memotong
kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan, serta
tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti
dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab
oleh hukum. Bahkan banyak undang-undang yang lebih cenderung
sarat oleh kepentingan-kepentingan politik para elit politik.
Apa yang diargumentasikan oleh Mahfud tersebut, sekaligus
memperbenar sinyalemen tentang postur sebuah produk undang-
undang dalam konteks masyarakat cenderung pragmatis-materialistik
yang senantiasa tidak berada dalam spektrum yang tunggal. Produk
undang-undang bukanlah berada pada sebuah ruang hampa. Justeru ia
akan lebih banyak dipengaruhi berbagai kepentingan politik yang
boleh jadi merupakan penentu bagi penerapan undang-undang itu
sendiri.
Mencermati keberadaan undang-undang sebagai salah satu sumber
hukum yang lahir dari kompromi politik, yaitu sebuah kesepakatan
antara para elit politik maka dapat diduga bila undang-undang yang
lahir tidak selamanya permanen diberlakukan. Undang-undang
senantiasa mengalami perubahan seiring dengan dinamika
perkembangan dan kepentingan politik yang ada. Artinya, boleh jadi
undang-undang yang berlaku dahulu karena sudah tidak sesuai
dengan kepentingan politik dan perkembangan masyarakatnya
kemudian, maka oleh para elit politik undang-undang itu diganti atau
dihapus dengan undang-undang yang baru. Bisa juga, undang-undang
yang berlaku dahulu itu beberapa isi pasalnya diubah atau diganti
sesuai dengan kepentingan dan dinamika politik yang mengiringinya.
24
Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. PT Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta, hlm. 1
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
188
Ambil contoh, Konstitusi UUD 1945, semenjak Orde Lama
dibawah pemerintahan Presiden Soekarno dan Orde Lama dibawah
kepemimpinan Presiden Soeharto, tidak pernah mengalami perubahan.
Malah pada masa Presiden Soeharto, upaya-upaya yang dilakukan
untuk merubah UUD 1945 atau menggantinya dengan konstitusi lain,
dianggap sebagai makar terhadap negara atau dianggap mengancam
kesatuan Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, seiring dengan
waktu, jatuhnya rezim Orde Baru dari panggung kekuasan Negara
Indonesia, pada tahun 1998, yang ditandai dengan kemunduran
Jenderal Soeharto sebagai presiden, bandul perpolitikan Indonesia
mengalami perubahan drastis, semuanya menjadi berubah termasuk
tatanan politik bangsa ini, yang ditandai dengan masuknya era baru
dinamika politik negara Indonesia, yang berubah nama menjadi Era
Reformasi. Pada era reformasi ini, bandul kebebasan politik menjadi
berubah, termasuk juga tatanan kenegaraan bangsa ini dimana
dahulunya UUD 1945 dipandang sebagai konstitusi yang sakral tidak
boleh digugat, akhirnya para elit politik Indonesia yang duduk di
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan perubahan
terhadap UUD 1945, yang telah mengalami empat kali perubahan
(amandemen).
Empat kali amandemen UUD 1945, secara berturut-turut adalah
Amandemen I yaitu amandemen yang pertama kali dilakukan yang
disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 melalui Sidang Umum MPR
14-21 Oktober 1999. Amandemen ini meliputi sembilan pasal, yakni
Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal
20, dan Pasal 21. Pada amanden pertama ini, yang hendak diubah
adalah kekuasaan presiden yang menurut para elit politik di MPR
yang terlalu luas, sehingga perlu ada pembatasan melalui persetujuan
DPR.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
189
Setelah Amandemen I UUD 1945, kemudian dilakukan
Amandemen II, yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan
disahkan melalui Sidang Umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen
dilakukan pada 5 Bab dan 25 Pasal. Berikut ini rincian perubahan
yang dilakukan pada amandemen kedua, meliputi Pasal 18, Pasal 18A,
Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B,
Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal
28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I,
Pasal 28J, Pasal 30, Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C. Kemudian
BAB IXA, BAB X, BAB XA, BAB XII, dan BAB XV. Amandemen
kedua ini yaitu seputar Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya,
Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.
Pada Amandemen III UUD 1945, disahkan pada tanggal 10
November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November
2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari
3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini rincian dari amandemen ketiga,
mencakup Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B,
Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal
22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G,
Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C. Termasuk BAB VIIA,
BAB VIIB, dan BAB VIIIA. Pada amandemen ketiga ini, adalah
seputar Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR,
Kepresidenan, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.
Perjalanan terakhir Amandemen IV UUD 1945, disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus
2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2
Bab dan 13 Pasal. Lalu Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal16,
Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 37. Kemudian dilakukan amandemen terhadap BAB XIII
dan BAB XIV. Inti perubahan amandemen ini, yaitu DPD sebagai
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
190
bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian
dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, dan perubahan UUD.
Demikianlah deskripsi produk undang-undang sebagai sumber
hukum yang dalam pengambilannya melulu berdasarkan kepada
kekuatan politik pada sentra-sentra kekuasaan. Sehingga dapat
dipastikan sumber hukum yang proses pengambilannya berdasarkan
kepada kompromi-kompromi politik selalu lekang oleh zaman sesuai
dengan perkembangan dan perubahan dinamika kepentingan politik
pemegang kekuasaan itu sendiri.
c. Sumber Hukum Berdasarkan Pengambilan Nilai-Nilai
Kebiasaan Masyarakat
Sumber hukum selanjutnya yang penting untuk diperbincangkan
adalah sumber hukum yang proses pengambilannya diambil dari
kebiasaan, tradisi, adat istiadat, serta nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang sebagai suatu pandangan hidup di tengah masyarakat.
Jenis sumber hukum ini, merupakan suatu nilai yang diintrodusir
menjadi hukum yang mengikat para anggota masyarakat. Dalam
konteks sistem hukum Indonesia, nilai-nilai dimaksud, biasanya
berupa adat istidat yang berlaku pada masyarakat adat ataupun
kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berkembang menjadi hukum
kebiasaan. Untuk hukum adat di Indonesia, eksistensinya dijaga oleh
para tokoh adat sebagai sosok yang dihormati dan dihargai dalam
komunitas masyarakat adat.
Menurut pendapat penulis sejalan dengan pandangan Achmad Ali,
maka kita seharusnya bisa membedakan antara hukum adat dan
hukum kebiasaan. Tidaklah sama sebetulnya antara hukum adat dan
hukum kebiasaan walaupun dari segi karakteristiknya sama yaitu
merupakan hukum tidak tertulis. Namun pada bentukannya hukum
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
191
adat dan hukum kebiasaan memilik posisi yang memang berbeda
secara diametral. Hukum adat dengan mencontoh realitas masyarakat
Indonesia, yang paling menonjol adalah bersifat lokal dan
mengandung nilai magis. Lingkup pemberlakuannya terbatas hanya
pada komunitas masyarakat adat tertentu serta dijaga keberadaannya
oleh tokoh adat serta lembaga adat yang dihormati oleh masyarakat
adat. Sedangkan hukum kebiasaan, merupakan nilai-nilai kebiasaan
yang berlangsung secara terus menerus ditengah kehidupan
masyarakat kemudian kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung terus
menerus itu menjadi opini atau pendapat umum yang pada akhirnya
diterima sebagai konsensus (menjadi kesepakatan) warga masyarakat
secara keseluruhan sebagai norma hukum yang mengikat. Sehingga
bila kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung ditengah masyarakat itu
hanya merupakan kebiasaan belaka tetapi belum menjelma sebagai
norma hukum yang mengikat maka kebiasaan tadi belumlah dapat
diklaim sebagai hukum kebiasaan.
Untuk memperkuat pemahaman tersebut, yaitu pada contoh hukum
kebiasaan, misalnya penggunaan kartu kredit atau kartu debit ATM
dalam setiap transaksi keuangan. Masyarakat Indonesia sekarang
sudah familiar dengan penggunaan kartu kredit dan kartu debit ATM.
Setiap transaksi yang dilakukan melalui penggunaan kartu kredit dan
kartu debit ATM sudah dianggap sebagai sah secara hukum. Kertas
struk debit ATM yang lahir dari transaksi tersebut dipandang sebagai
alat bukti transaksi yang sah. Contoh lain hukum kebiasaan, saat ini
marak dengan transaksi jual beli on line padahal antara penjual dan
pembeli tidak saling mengenal secara fisik atau bertransaksi secara
langsung. Tetapi karena transaksi on line sudah menjadi kebiasaan
ditengah masyarakat Indonesia, maka hubungan transaksi tersebut
dipandang sebagai hubungan jual beli yang diterima oleh masyarakat
Indonesia sebagai sah secara hukum
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
192
Adapun contoh kebiasaan yang tidak bisa dianggap sebagai hukum
kebiasaan antara lain menghadiri acara aqiqah menyambut kelahiran.
Ada beberapa kebiasaan masyarakat Indonesia ketika menghadiri
acara aqiqah seorang sahabat, yang bersangkutan biasanya
menyelipkan amplop berisi uang atau memberikan hadiah kado
kepada tuan rumah penyelenggara acara aqiqah. Ini merupakan sebuah
kebiasaan yang berlangsung ditengah masyarakat Indonesia tetapi
tidak dikategorikan sebagai hukum yang mengikat bahwa wajib bagi
tamu undangan aqiqah untuk menyerahan amplop berisi uang kepada
penyelenggara aqiqah.
Dalam perkembangannya, hukum kebiasaan dan hukum adat yang
diadopsi dari tradisi serta kebiasaan yang berlangsung secara terus
menerus dalam masyarakat tidaklah bisa bertahan secara ajeg dan
permanen. Pada faktanya, hukum adat dan hukum kebiasaan itu
senantiasa mengalami perubahan seiring dengan tuntutan kebutuhan
masyarakat serta pengaruh semakin majunya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Begitu pula dengan nilai-nilai tradisi dan adat istiadat yang diklaim
sebahagian pakar hukum di Indonesia sebagai bentuk atau produk
hukum adat tidaklah lagi berjalan sebagaimana mestinya sebagai nilai-
nilai yang bersifat memaksa. Hukum adat contohnya hanyalah
berlangsung sebagai tradisi atau bertahan pada prosesi-prosesi adat,
seperti pada upacara perkawinan, kematian, menyambut kelahiran,
atau pertunangan. Begitu pula pada sengketa antara masyarakat adat
misalnya pada masalah waris, pencurian ternak, masalah keluarga, dan
lain-lain, tidaklah lagi diselesaikan melalui mekanisme hukum adat
atau penjatuhan sanksi adat sudah tidak efektif lagi dalam menangani
berbagai sengketa atau perkara yang berlangsung ditengah masyarakat
adat. Beberapa warga masyarakat adat sekarang ini lebih banyak
memilih menyelesaiakan sengketa mereka dengan menggunakan
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
193
lembaga peradilan yang ada. Untuk masalah keluargapun tampaknya
warga masyarakat adat lebih memilih pengadilan agama atau
pengadilan umum guna menyelesaikan sengketannya itu.
Fenomena keberadaan lembaga-lembaga adat yang ada di tanah air
sebetulnya hanyalah hadir sebagai sebuah lembaga non-formal dalam
rangka untuk menjaga atau mengawasi keberlangsungan tradisi dan
budaya yang diwariskan nenek moyang masyarakat adat secara turun
temurun seperti tradisi adat budaya ketika hendak melangsungkan
perkawinan, prosesi kematian dan memperingati hari kematian, serta
upacara budaya menyambut kelahiran seorang bayi. Sehingga
memang tepat pandangan dari sebahagian besar pakar hukum bahwa
hukum adat di Indonesia sudah tergerus oleh zaman alias “mati suri”.
Yang diklaim sebagai hukum adat tidaklah lagi mengejawentah
sebagai nilai-nilai normatif yang bemuatan kaidah perintah dan
larangan, hak dan kewajiban, serta beban sanksi yang harus dikenakan
bila ada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai
kaidah yang terkandung dalam hukum adat tersebut. Pada faktanya,
apa yang diklaim sebagai nilai dari hukum adat, hanyalah terpatri
secara abstrak lewat simbol-simbol tertentu serta hanya berhenti pada
sebatas tutur kata dan lisan para tokoh adat.
Tata Urutan Perundang-Undangan dalam Sistem
Hukum Indonesia Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum cvil law,
telah menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum primer
dalam mengatur hubungan hukum antara warga negara serta sebagai
rujukan bagi penyelesaian berbagai sengketa hukum. Begitu
pentingnya kedudukan undang-undang dalam sistem hukum Indonesia
maka bagi para pakar hukum dan aparat penegak hukum lainnya,
selalu menjadikan undang-undang tertentu sebagai rujukan diskusi
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
194
atau menetapkan isu-isu hukum tertentu. Memang sistem hukum
Indonesia masih menempatkan putusan pengadilan (yurisprudensi)
dan hukum kebiasaan sebagai sumber hukum. Tetapi, keduanya selalu
dikaitkan dengan produk undang-undang berlaku. Apalagi kerangka
berpikir hukum yang mengkooptasi dalam setiap kurikulum
pendidikan hukum di Indonesia serta juga pandangan para pakar
hukum lainnya adalah dominan menganut aliran legisme. Maka tak
pelak lagi, setiap diskusi mengenai isu-isu hukum tertentu, akan selalu
merujuk kepada produk hukum tertulis yang mengaturnya.
Sehubungan dengan itulah, maka Peraturan perundang-undangan,
dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat
secara umum. Untuk itulah, berikut ini penulis menjabarkan dinamika
tata urutan perundang-undangan di Indonesia sejak Orde Lama sampai
Era Reformasi.
Secara berturut sesuai perjalanan beberapa rezim pemerintahan di
Indonesia, tata urutan perundang-undangan dapat dicermati sebagai
berikut:
1. Berdasarkan Surat Presiden No.3639/Hk/59 Tanggal 26
November 1959
Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun
waktu 5 juli 1959 sampai dengan 1966 atau masa orde lama, Presiden
Soekarno dalam suratnya kepada Ketua DPR No. 2262/HK/59
Tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan dengan surat
Presiden No.3639/HK/59 Tanggal 26 November 1959, menyebutkan
bentuk-bentuk peraturan negara setelah Undang-Udang Dasar adalah:
a) Undang-Undang
b) Peraturan pemerintah
c) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
195
d) Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959
e) Peraturan presiden didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945,
untuk melaksanakan penetapan Presiden
f) Peraturan pemerintah untuk melaksanakan peraturan presiden (ini
lain daripada peraturan pemerintah ex Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)
g) Keputusan presiden untuk melaksanakan pengangkatan
h) Peraturan/keputusan Menteri.
Pada tata uratan perundang-undangan tersebut, tidak dicantumkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai bentuk peraturan
perundang-undangan karena menganggap Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan perwujudan dari Undang-
Undang Dasar.
2. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. XX/MPRS/1966
Pada saat berakhirnya masa pemerintahan Orde lama dan
memasuki masa Orde Baru, Presiden Soekarno menyurati Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) untuk perubahan tata
urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian, dikembangkan oleh
DPR-GR dan hasilnya di awal Orde Baru dengan dikeluarkannya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP
MPRSNo.XX/MPRS/1966. Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA)
TAP MPRS tersebut disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar 1945 :
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
196
a) Undang-undang Dasar 1945 peraturan perundang-undangan yang
tertinggi, yang pelaksanaannya dengan ketetepan MPR, atau
keputusan presiden
b) Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR No. I/MPR/1973 tentang
Tata Tertib MPR, bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu
TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif
yang dilaksanakan dengan undang-undang dan TAP MPR yang
memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang
dilaksanakan dengan keputusan presiden.
c) Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
untuk melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan
yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan sebagai
pengganti undang-undang. Peraturan ini harus mendapat
persetujuan DPR. (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945)
d) Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk
melaksanakan undang-undang
e) Keputusan Presiden. Ini merupakan keputusan yang bersifat
khusus untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP
MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah
f) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
1) Peraturan Menteri;
2) Instruksi Menteri;
3) Dan lain-lain-nya.
Bentuk/ jenis peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam TAP
MPRS No.XX/MPRS/1966 diilhami oleh tulisan Mohammad Yamin
dalam bukunya yang berjudul: Naskah Persiapan Undang-undang
Dasar, Mohammad Yamin mengatakan bahwa bentuk-bentuk
peraturan Negara adalah sebagai berikut:
a) UUD 1945
b) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
197
c) Putusan MPR
d) Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit 5 Juli1959
e) Peraturan Presiden, peraturan tertulis untuk mengatur kekuasaan
presiden berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
f) Keputusan Presiden, peraturan tertulis untuk menjalankan
Peraturan Presiden atau Undang-Undang di bidang
pengangkatan/pemberhentian personalia
g) Surat keputusan presiden, penentuan tugas pegawai
h) Undang-Undang
i) Peraturan pemerintah untuk melaksanakan Penetapan Presiden
j) Peraturan pemerintah untuk pengganti Undang-Undang
k) Peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
l) Peraturan dan keputusan penguasa Perang
m) Peraturan dan keputusan Pemerintah Daerah
n) Peraturan tata tertib dewan dan peraturan/keputusan dewan. Yang
di maksud dengan Dewan misalnya MPR, DPR, Dewan Menteri,
DPA, dan Dewan Perancang Nasional.
o) Peraturan dan keputusan Menteri, yang di terbitkan atas
tanggungan seorang atau bersama Menteri.
Apa yang disebutkan Mohammad Yamin, menempatkan Putusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) berada diurutan
ketiga setelah UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maka dari
inilah awal mulanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang kemudian dicantumkan kedalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966.
3. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
No.III/MPR/ 2000
Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No
III/MPR/2000 yang menyebutkan tata urutan peraturan perundang-
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
198
undangan menempatkan kedudukan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat berada diurutan kedua setelah UUD 1945.
Ketetapan tersebut merupakan perubahan dari Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966, yang
menyebutkan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila.
4. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak lagi menempatkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7
dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga
dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus
dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas. Adanya
ketidakpastian terhadap eksistensi ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih
berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
cenderung mengabaikan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku tersebut baik dalam proses pembentukan undang-
undang maupun dalam perumusan kebijakan negara. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 telah mengandung kesalahan yang sangat
mendasar. Akibat kesalahan ini maka Ketetapan MPR RI No
I/MPR/2003 menjadi tidak jelas statusnya. Di masa dulu, pelanggaran
terhadap ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa
mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada
impeachment, tetapi pasca amandemen UUD 1945 langkah politik
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
199
semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945
menyatakan bahwa impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal
ada 11 (sebelas) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi dilanggar. Disana
ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP
MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, Pembagian, dan Pemamfaatan Sumber Daya Nasional
yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah
dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR
No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP
MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak
ada sanksi dan konsekuensi apapun baik secara hukum, politik,
maupun manakala dilanggar. Seperti halnya Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang tidak jadi dibentuk sehingga pelanggaran HAM
seperti Kasus 1965, Tanjung Priok, Lampung, Kasus Orang Hilang,
dan sebagainya kehilangan modus dan instrumennya untuk
menyelesaikannya. Sebab, modus dan instrument yang sangat bijak
seperti yang diamanatkan oleh TAP MPR No V/MPR/2000 diabaikan.
Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi tidak jelas. Karena dalam
undang-undang ini posisi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
200
Nasib Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah
139 buah menjadi tidak jelas status hukumnya. Namun, kondisi ini
berakhir setelah DPR dan Pemerintah telah sepakat memasukkan
kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ke dalam hirarki
peraturan perundang-undangan. Hal ini terungkap dalam Rapat Panitia
Khusus revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga dari
rapat tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibahas
kembali dalam sidang DPR sehingga direvisi menjadi Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil revisi ini
Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkan dalam tata urut peraturan
perundangan Indonesia.
5. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang
ketentuan baru, yakni masuknya kembali Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hirarki peraturan
perundang-undangan terdiri dari:
a) UUD 1945
b) Ketetapan MPR
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu)
d) Peraturan pemerintah
e) Peraturan Presiden
f) Peraturan Daerah Propinsi dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten.
Dari pasal di atas, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
menduduki posisinya sebagai sumber hukum tertulis dalam sistem
hukum di Indonesia dan kembali menjadi sumber hukum formal dan
BAB 4 Sumber-Sumber Hukum
201
material. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan
kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945
bukan hanya dalam pembentukan perundang-undangan di Indonesia,
melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik
lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan
ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih
berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-
undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
BAB 5
PEMBIDANGAN HUKUM PUBLIK DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA
Hukum Publik dan Hukum Privat Sistem hukum Indonesia menganut sistem civil law, karena
berdasarkan alasan historis, Indonesia telah dijajah selama 350 tahun
oleh Kolonial Belanda yang mewariskan sistem politik dan hukum
nilai-nilai peradaban barat. Kolonial Belanda yang sistem hukumnya
menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law, tentu saja
mewariskan sistem hukumnya ke tanah jajahan Hindia Belanda
(sebelum wilayah nusantara menggunakan nama Indonesia). Jejak
pengaruh sistem civil law peninggalan Kolonial Belanda terhadap
sistem hukum Indonesia, adalah tampak pada prosedur beracara di
setiap pengadilan di Indonesia yang berkiblat dengan model beracara
versi Eropa Kontinental yang berkarakter civil law. Karakteristik lain
yang menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih berkiblat
civil law system, yaitu sistem hukum di Indonesia masih menganut
adanya kodifikasi dimana hakim tidak terikat kepada preseden
(yurisprudensi) sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang
utama.
Sebagaimana yang banyak dibahas pada beberapa literatur hukum,
sistem hukum civil law dengan sistem hukum Anglo Saxon adalah
berasal dari rumpun keluarga yang sama. Keduanya sistem hukum itu
menurut penuturan Peter Mahmud Marzuki, sama-sama berasal dari
rumpun hukum Jerman. Nanti satu abad kemudian, menurut Peter
Mahmud Marzuki, terjadi perubahan situasi, hukum Romawi
merambahkan pengaruhnya terhadap sistem hukum di daratan Eropa
kecuali Kerajaan Inggris yang luput dari pengaruh tersebut dimana
rakyat Inggris ketika itu masih memberlakukan nilai-nilai hukum
kebiasaan yang berlangsung ditengah kehidupan sosial orang-orang
Inggris.
Sistem hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental itu, disebut
sistem civil law karena pengaruh dari hukum Romawi terhadap sistem
hukum negara-negara Eropa Kontinental yang sebetulnya berasal dari
hasil pemikiran karya seorang Kaisar Romawi Iustinianus yang
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
203
menulis kitab hukum berjudul Corpus Iuris Civilis. Kitab hukum
inilah yang kemudian menjadi hukum tertulis yang diberlakukan
kepada rakyat Romawi. Sedangkan sistem hukum common law yang
merupakan sistem hukum yang dikembangkan di Inggeris karena
didasarkan atas hukum asli rakyat Inggeris. Sistem common law ini
dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebahagian
besar wilayah Inggeris, sehingga sistem common law ini, disebut juga
sistem Anglo-Saxon1.
Ada satu hal yang menjadi karakteristik sistem hukum civil law
(Eropa Kontinental) dibandingkan sistem hukum common law (Anglo-
Saxon), yaitu civil law melakukan pemisahan dalam hal pembidangan
pengaturan hukum yaitu yang disebut hukum publik dan hukum
privat. Hukum publik adalah pengaturan hukum yang berkaitan
dengan kepentingan negara sedangkan hukum privat adalah berkaitan
dengan kepentingan individu. Terjadinya pemisahan antara hukum
publik dan hukum privat tersebut, menurut pendapat penulis,
disebabkan oleh pengaruh sekulerisme yang sudah mempengaruhi
peradaban masyarakat daratan Eropa (Eropa Kontinental) secara
umum. Sekulerisme ini muncul sebagai reaksi dari masyarakat Eropa
yang menolak intervensi gereja terhadap tata kehidupan sosial atau
kehidupan negara. Paham ini kemudian mengerucut menjadi paham
yang memisahkan antara agama dengan kehidupan sosial2.
1 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, hlm. 223-224. 2 Sejarah munculnya sekulerisme di Eropa muncul ketika pada abad
pertengahan Benua Eropa, ternyata penuh dengan penyimpangan dan
penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu
pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Abad Pertengahan
pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan
Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w.
1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai
dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti
Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592). Mereka menentang
dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
204
Paham sekulerisme yang memisahkan antara kehidupan agama
dengan kehidupan sosial politik, boleh jadi juga berdampak kepada
terjadinya pengaturan hukum bagi masyarakat Eropa. Sekulerisme
yang menghasilkan paham kebebasan individu yang sebesar-besarnya
atau yang disebut liberalisme. Ini jugalah yang memberikan inspirasi
bagi masyarakat Eropa terhadap pengaturan hukum, yang membatasi
peran negara yang tidak lagi diperkenankan untuk mengintervensi
persoalan-persoalan yang bersifat individual. Atas dasar pemikiran
inilah maka peran negara hanya boleh mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan pengaturan kemaslahatan publik (masyarakat),
sedangkan untuk hal-hal yang menyangkut kepercayaan, keyakinan
agama, persoalan keluarga, termasuk pengelolaan ekonomi dianggap
sebagai persoalan individual (privacy), negara tidak boleh
mengintervensinya pada batas-batas tertentu. Untuk persoalan privat
tersebut, negara hanya diperbolehkan melakukan pengawasan terbatas,
guna menekan agar persoalan-persoalan privat tersebut jangan sampai
mengganggu ketenangan kehidupan publik.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, yang pertama kali menggagas
pemisahan antara hukum publik dengan hukum privat adalah
Ulpianus3. Ia adalah seorang penulis hukum yang hidup pada masa
kekaisaran Romawi, dalam salah satu tulisannya, Ulpianus
menyatakan bahwa hukum publik ialah hukum yang mengatur
menuntut kebebasan. Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad
XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin
mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778) dan
Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi
Prancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari
masyarakat, negara, dan politik. Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme
yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat. 3 Nama lengkapnya Domituius Ulpianus, lahir di Tyre,Phoenicia, nama
wilayah yang merupakan kekuasaan Kerajaan Romawi dahulu, ia meninggal
pada 228 SM. Lebih dikenal sebagai seorang ahli hukum bangsa Romawi.
Tulisan-tulisannya banyak menginspirasi kitab hukum yang ditulis oleh
Kaisar Roma, yaitu Kaisar Justinian yang menulis Digest dan Pandecta.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
205
kesejahteraan negara Romawi, sedangkan hukum perdata ialah hukum
yang mengatur kepentingan orang perseorangan. Menurut penjelasan
Peter Mahmud Marzuki, pembedaan hukum publik dan hukum privat
adalah berkaitan dengan kepentingan yang diaturnya. Selanjutnya,
Peter Mahmud menguraikan bahwa hukum publik berkaitan dengan
fungsi negara sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan
individu. Alasan diadakan pembedaan tersebut adalah karena negara
berfungsi untuk melaksanakan kehendak rakyatnya, negara bertindak
sebagai fasilitator dalam kehidupan berbangsa. Dalam melaksanakan
fungsi tersebut, diperlukan aturan-aturan hukum. (alasan ontologis
eksistensi hukum publik) Alasan lain adalah mengenai hubungan
kepentingan yang diaturnya. Kepentingan yang diatur oleh hukum
dibedakan menjadi kepentingan umum dan kepentingan khusus.
Kepentingan umum berkaitan dengan kebersamaan dalam hidup
bermasyarakat (penguasa melalui hukum publik harus memelihara
kepentingan umum) Kepentingan khusus berkaitan dengan hubungan
masyarakat di antara sesamanya (dalam pemeliharaan hubungan
tersebut diadakan hukum privat). Penentuan mana yang merupakan
kepentingan umum sehingga masuk ke wilayah hukum publik dan
yang mana yang merupakan kepentingan khusus sehingga masuk ke
dalam wilayah hukum privat bergantung kepada pembuat undang-
undang yang dipengaruhi oleh factor” ekonomi, sosial, politik dan
nilai” yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian, untuk membedakan hukum publik dengan
hukum privat, adalah melalui pencermatan terhadap muatan norma
yang termuat dalam aturan-aturan hukum. Apabila substansi norma
yang termuat dalam suatu produk hukum atau bidang kajian hukum
tertentu mengatur segi-segi fungsi negara serta sangat terkait
keamanan umum masyarakat maka bidang itu termasuk kedalam
hukum publik. Akan tetapi, bila substansi norma yang termaktub
dalam sebuah produk hukum atau bidang kajian hukum dimaksud
menyentuh hal-hal yang berkenaan dengan kentingan indivudu atau
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
206
kepentingan perseorangan maka bidang hukum itu masuk kedalam
bidang hukum privat.
Yang menjadi titik perhatian kita adalah manakah yang dimaksud
kepentingan umum (negara) dan yang manakah kepentingan individu.
Untuk menjawabnya, kita terlebih dahulu melakukan pencermatan
terhadap hubungan hukum yang diatur dalam sebuah produk hukum.
Bila hubungan hukum itu adalah dominan mengatur tentang
bekerjanya alat-alat negara termasuk lembaga-lembaga negara,
koordinasi antara lembaga negara yang satu dengan yang lain, status
dan kewenangan lembaga negara atau alat-alat negara, maka produk
hukum yang mengatur semua itu masuk kategori bidang hukum
publik. Begitu pula, apabila produk hukum yang diberlakukan sangat
menitikberatkan perhatian kepada hal-hal berkaitan keamanan serta
ketertiban masyarakat maupun pengaturan hukum yang terkonsentrasi
kepada kepentingan umum, maka dapat dipastikan apa yang diatur itu
masuk kategori hukum publik.
Sebaliknya, apabila sebuah produk hukum yang ada ataukah
bidang kajian hukum yang memusatkan perhatian kepada segi-segi
yang berkaitan dengan kepentingan hukum yang tidak masuk kategori
kepentingan negara atau masyarakat umum tetapi dianggap sebagai
semata-mata kepentingan individu atau perseorangan maka bidang
kajian atau produk hukum yang mengatur tentang itu termasuk
kategori bidang hukum privat. Memang kita sangat sulit untuk bisa
mengidentifikasi manakah yang dimaksud kepentingan individu itu
sebab bisa saja sebuah perbuatan hukum yang dianggap sebagai
masuk kategori kepentingan individu tetapi malah dikategorikan
berkaitan dengan publik atau keamanan umum. Contohnya, perbuatan
seseorang yang tidak melaksanakan isi perjanjian yang berkaitan
dengan utang piutang. Orang yang berutang dalam perjanjian tersebut
memang beritikad buruk tidak mau mengembalikan uang yang dia
pinjam kepada siberpiutang. Menjadi persoalan apakah orang yang
berutang bisa dimasukkan kedalam melanggar perjanjian yang
perbuatan ini masuk kategori hukum privat ataukah masuk kategori
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
207
tindak pidana penipuan yang bisa dikategorikan wilayah hukum
publik.
Menurut pendapat penulis, cara praktis untuk bisa membedakan
perbuatan hukum masuk kategori hukum publik dan hukum privat
yaitu dengan melihat prosedur yang akan dilakukan bila perbuatan
hukum tersebut diproses melalu jalur pengadilan. Apabila perbuatan
hukum dimaksud dipersoalkan secara hukum melalui mekanisme
pengadilan umum yaitu pengadilan sipil (perdata) dan pengadilan
agama bagi orang Islam di Indonesia maka perbuatan hukum tersebut
masuk kedalam kategori hukum privat. Sebaliknya bila perbuatan
hukum dimaksud diselesaikan melalui prosedur pengadilan yang
sangat terkait dengan fungsi-fungsi administrasi negara, seperti
melalui pengadilan tata usaha negara atau juga perbuatan hukum
dimaksud terkait dengan kelembagaan negara, partai politik, dan
pemilihan umum yang proses penyelesaian sengketanya melalui
Mahkamah Konstitusi maka perbuatan hukum tersebut masuk kategori
hukum publik. Juga bisa dibedakan bahwa perbuatan hukum itu
masuk kategori hukum publik apabila sangat terkait antara lembaga-
lembaga politik negara baik lembaga tertinggi negara maupun
lembaga tinggi negara, baik lembaga-lembaga negara yang ada pada
tingkat propinsi maupun pada tingkat kota atau kabupaten.
Kembali kepada masalah perbuatan seseorang yang tidak mau
melaksanakan isi perjanjian yang berkaitan dengan utang piutang.
Orang yang berutang dalam perjanjian tersebut memang beritikad
buruk tidak mau mengembalikan uang yang dia pinjam kepada
siberpiutang. Bila hendak menempatkan perbuatan orang tersebut,
sebagai perbuatan yang masuk kategori privat atau publik maka lebih
mudah apabila konteks perbuatannya dicermati melalui proses
hukumnya. Bila orang yang berhutang diproses melalui laporan ke
pihak kepolisian oleh pihak berpiutang bahwa pihak berutang
dipandang melakukan penipuan. Perbuatan pihak berutang yang tidak
mau melaksanakan isi perjanjian dikategorikan sebagai hukum publik.
Tetapi jika pihak yang berpiutang mengajukan gugatan perdata lewat
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
208
peradilan umum, bahwa pihak berutang telah melakukan ingkar janji,
maka perbuatan pihak berutang masuk kategori hukum privat.
Yang menjadi persoalan lagi, apakah lembaga-lembaga publik
dapat dikategorikan melakukan perbuatan hukum privat ataukah bisa
dikaitkan dengan hubungan hukum bersifat privat saja? Untuk
menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus mengidentifikasi
perbuatan hukum yang dilakukan oleh lembaga publik. Apabila
perbuatan hukum yang dilakukan lembaga publik bersangkutan lebih
dominan mencerminkan hubungan hukum yang lebih kuat kepada
persoalan-persoalan privat maka jelas ini masuk kategori hukum
privat. Contoh, untuk mempermudah pemahaman ini. Seorang
gubernur melakukan transaksi jual beli mobil untuk keperluan
transportasi dinas bagi aparat pejabat yang menjadi bawahannya. Jual
beli mobil yang dilakukan sang gubernur adalah dengan perusahaan
mobil yang ada di Indonesia sebutlah misalnya perusahaan mobil PT
X. Hubungan jual beli dalam konteks sistem hukum Indonesia
termasuk kategori hubungan hukum yang masuk wilayah hukum
privat. Sehingga, hubungan hukum yang dilakukan oleh sang gubernur
masuk kategori hukum privat meskipun yang melakukan hubungan
jual beli itu adalah seorang gubernur yang merepresentasikan pejabat
publik. Lain halnya bila seorang gubernur melakukan tindakan
pemecatan terhadap seorang pejabat bawahannya karena melakukan
pelanggaran berat disiplin pegawai negeri sipil, maka tindakan
gubernur itu masuk kategori perbuatan hukum administrasi sehingga
masuk wilayah hukum publik.
Untuk memperjelas perbedaan hukum publik dan hukum privat,
berikut ini penulis menguraikannya melalui ragaan berikut ini:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
209
Ragaan 10
Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat
Sehubungan dengan itu, dalam konteks pembahasan ini, penulis
menguraikan tentang segi-segi yang berkaitan dengan hukum publik
dan hukum privat yang merujuk kepada sistem hukum Indonesia.
Hukum Publik Penulis memberikan pengertian hukum publik, yaitu segenap
aturan hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan-
hubungan hukum yang didalamnya menitikberatkan kepada
HUKUM
HUKUM PUBLIK HUKUM PRIVAT
PERGAULAN
HUKUM WARGA
MASYARAKAT
MENYANGKUT
HAK DAN
KEWAJIBAN
SERTA SANKSI
HUKUM
Kepentingan
Negara,
Fungsi-
Fungsi
Lembaga
Negara,
Kepentingan
Masyarakat
Umum,
Ketertiban
dan
Keamanan
Masyarakat
Kepentingan
Individu atau
Perseorangan
yang
dianggap
bukan sebagai
kepentingan
publik
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
210
kepentingan negara atau kepentingan masyarakat luas.
Berdasarkan pengertian ini, maka hukum publik sesungguhnya sangat
terkonsentrasi pada apa yang disebut kepentingan negara dan
masyarakat secara luas. Jadi dapat dapat dikatakan bahwa segala
ketentuan hukum yang mengatur persoalan fungsi-fungsi negara serta
ada kaitannya dengan keamanan masyarakat maka ketentuan hukum
dimaksud tergolong kepada hukum publik. Pada berbagai kajian
hukum dan pembelajaran hukum di beberapa fakultas hukum di
Indonesia, maka bidang-bidang hukum yang tergolong sebagai hukum
publik, meliputi:
1. Hukum Tata Negara
Terminologi Hukum Tata Negara merujuk kepada Bahasa Belanda
yaitu Staatsrecht yang artinya adalah hukum negara. Staats menunjuk
kepada pengertian negara-negara, sedangkan recht berarti hukum.
Hukum negara dalam kepustakaan Indonesia diartikan menjadi
Hukum Tata Negara. Mengenai definisi hukum tata negara masih
terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum tata negara.
Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh masing-masing ahli hukum
tersebut memiliki pandangan berbeda serta titik kajian berbeda dalam
merumuskan pengertian Hukum Tata Negara. Perbedaan pandangan
itu, boleh jadi pada sudut pandang ideologi hukum yang dianut,
pandangan politik, serta visi kenegaraan yang dijadikan sebagai
rujukan.
Sebagai rujukan berikut penulis memaparkan beberapa pendapat
ahli tentang pengertian Hukum Tata Negara yang penulis intisarikan
dari beberapa literatur hukum yang ada, sebagai berikut:
Cristian Van Vollenhoven
Hukum Tata Negara mengatur semua masyarakat hukum atasan
dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatan-tingkatannya,
yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan rakyatnya
sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan
masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
211
masing, serta menentukan pula susunan dan wewenangnya dari badan-
badan tersebut.
J. H. A. Longemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi
negara. Negara adalah organisasi jabatan-jabatan. Jabatan merupakan
pengertian yuridis dan fungsi, sedangkan fungsi merupakan pengertian
yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang
terdiri dari fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain
maupun dalam keseluruhannya, maka dalam pengertian yuridis,
negara merupakan organisasi jabatan.
Stellinga
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur wewenang dan
kewajiban alat-alat perlengkpan negara, mengatur hak dan kewajiban
warga negara.
Kusumadi Pudjosewojo
Hukum Tata Negara adalah hukum yang mengatur bentuk negara
dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat hukum yang
atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang
selanjutannya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari
masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-
alat perlengkapan yang memegang kekuasaan dari masyarakat hukum
itu, beserta susunan, wewenang, tingkatan imbangan dari dan antara
alat perlengkapan negara itu.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Hukum Tata Negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan
peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara,
hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan
horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak azasinya
Paul Scholten
Hukum Tata Negara itu tidak lain adalah het recht dat regelt de
staatsorganisatie, atau hukum yang mengatur tata organisasi negara.
Berdasarkan rumusan ini, Scholten hanya menekankan perbedaan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
212
antara organisasi negara dari organisasi non-organisasi, seperti gereja
dan lain-lain.
Van Der Pot
Hukum Tata Negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan
badan-badan yang diperlakukan beserta kewenangannya masing-
masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya dengan
individu warga negara dan kegiatannya.
Hukum Tata Negara masuk dalam kategori hukum publik sebab
yang diatur dan dibahas dalam hukum tata negara adalah hukum yang
berkaitan dengan organisasi negara. Objek pengaturan dari hukum tata
negara adalah kewenangan “organ” negara, hubungan antar organ
negara satu dengan yg lainnya, pengaturan tentang Hak Asasi
Manusia, kewarganegaraan, keabsahan undang-undang dan peraturan
hukum dibawahnya, menyangkur partai politik dan pemilu. Jadi
ringkasnya, Hukum Tata Negara mengatur persoalan yang berkaitan
dengan fungsi-fungsi negara yang dijalankan oleh lembaga-lembaga
negara baik lembaga tertinggi negara seperti MPR maupun lembaga
tinggi negara seperti Presiden, DPR, DPD, BPK, Mahkamah Agung,
Kepolisian, Kejaksaan, dan Bank Indonesia. Termasuk juga organ-
organ negara lainnya seperti kementerian dan lembaga negara yang
ada pada tingkat propinsi sampai kabupaten/kota seperti gubernur,
walikota/bupati, dan seterusnya sampai organ negara dibawahnya
pada tingkat terendah sekalipun seperti tingkat kelurahan.
Hukum Tata Negara menurut pendapat Peter Mahmud Marzuki
merupakan basic law yang menjadi landasan keberadaan hukum-
hukum lainnya. Penulis juga sependapat dengan pandangan Peter
Mahmud Marzuki sebab Hukum Tata Negaralah yang menjadi induk
dari segala cabang-cabang hukum lainnya. Artinya, derivasi hukum-
hukum lainnya akan selalu tidak bisa dilepaskan secara integral
dengan Hukum Tata Negara sebagai induknya. Bahkan menurut
pendapat penulis, hukum privat-pun sebenarnya tidak bisa dilepaskan
dari Hukum Tata Negara, sebab dalam proses pembuatan sampai
lahirnya produk hukum yang mengatur pergaulan hukum privat akan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
213
selalu dikaitkan dengan fungsi lembaga negara yaitu DPR sebagai
lembaga legislatif yang merancang pembuatan undang-undang. Begitu
pula, bila kita membahas Hukum Pidana dan Hukum Internasional,
tidak akan bisa dilepaskan dengan Hukum Tata Negara sebagai
induknya. Pelaksanaan Hukum Pidana misalnya kita tidak akan bisa
lepas dari fungsi lembaga tinggi negara seperti Kejaksaan Agung dan
Mahkamah Agung. Dalam hal berkaitan dengan Hukum Internasional
juga, kita tidak bisa lepas dari peran Hukum Tata Negara misalnya
prosedur pengikatan diri terhadap perjanjian internasional. Presiden
sebagai salah satu representasi lembaga tinggi negara tentu harus
mengikuti prosedur ketatanegaraan tatkala hendak menandatangani
perjanjian sebagai bentuk pengikatan negara terhadap perjanjian
internasional.
Sehubungan dengan keberadaan Hukum Tata Negara sebagai
hukum publik, yaitu didalamnya mengatur kepentingan negara yang
didalamnya mencakup fungsi-fungsi negara, maka untuk
mempermudah pemahaman ini, penulis memberikan contoh
pengangkatan Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan. Pengangkatan seorang presiden mulai
dicalonkan sampai dengan pelantikannya di istana negara adalah
bagian dari sebuah proses politik. Meskipun proses pencalonan
sampai pengangkatan seorang presiden merupakan proses politik,
tetapi pengangkatan presiden tersebut tentu harus memenuhi tata
krama konvensi kenegaraan Indonesia yang diatur dalam konstitusi
yaitu UUD 1945. Dalam UUD 1945, sudah ditetapkan prosedur serta
aturan main apabila seseorang hendak diangkat menjadi presiden
Indonesia, yaitu antara lain pada Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945
Amandemen IV menetapkan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil
Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani
dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden. Selanjutnya, Pasal 6A Ayat (1) bahwa
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
214
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat, lalu Ayat (2) menetapkan bahwa pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
Apa yang diuraikan penulis secara ringkas diatas sekedar contoh
penerapan hukum publik yang berkaitan dengan pengangkatan
seorang presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Jelas, tugas seorang presiden adalah menjalankan amanah dalam
kerangka mewujudkan tujuan negara Indonesia sebagaimana yang
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tugas presiden
adalah tugas publik yang sangat berkaitan erat dengan fungsi negara
sehingga pengaturan wilayah tugas presiden, diatur menurut ketentuan
dalam hukum publik.
Dari penjelasan penulis tentang kedudukan Hukum Tata Negara
sebagai bagian dari hukum publik maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud Hukum Tata Negara dalam perspektif sistem hukum
Indonesia adalah sekumpulan aturan hukum atau kaidah hukum
mengatur keberadaan negara Indonesia, baik dalam hubungan
badan-badan negara, lembaga negara maupun individu dalam
hubungannya satu sama lain.
Dengan demikian dalam Hukum Tata Negara Indonesia,
cakupannya juga mengatur tentang tujuan negara Indonesia, bentuk
negara Indonesia, bentuk pemerintahan negara Indonesia, lembaga-
lembaga tinggi dan tertinggi negara, hubungan lembaga-lembaga
negara, wilayah negara, rakyat dan penduduk negara, hak-hak dan
kewajiban warga negara dan sebagainya yang kesemuanya masuk
dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
215
Pada penjelasan sebelumnya, sudah diuraikan bahwa Hukum Tata
Negara merupakan basic law dari seluruh bidang hukum yang ada.
Tentu saja Hukum Tata Negara juga menderivasi cabang-cabang
hukum yang secara spesifik mengatur aspek hukum yang berkaitan
langsung dengan Hukum Tata Negara. Artinya, ada bidang-bidang
pengaturan hukum atau kajian-kajian hukum yang secara spesifik
mengatur bidang-bidang tertentu tetapi terkait langsung dengan
Hukum Tata Negara, diantaranya meliputi: Hukum Administrasi
Negara, Hukum Pajak, Hukum Tata Ruang, Hukum Pendaftaran
Tanah, dan Hukum Pertambangan. Akan tetapi, selain bidang-bidang
hukum khusus yang termasuk dalam kajian Hukum Tata Negara,
masih ada bidang-bidang hukum khusus lainnya yang tidak disebutkan
dalam buku ini yang kemungkinan diajarkan dibeberapa fakultas
hukum di Indonesia.
Berikut ini, penulis menguraikan secara singkat bidang-bidang
khusus kajian hukum yang masuk dalam wilayah kajian Hukum Tata
Negara sebagai berikut:
a) Hukum Administrasi Negara
Esensi Hukum Administrasi Negara adalah masuk dalam wilayah
kajian Hukum Tata Negara. Menurut Peter Mahmud Marzuki, Hukum
Administrasi Negara hanya berkaitan dengan organ administrasi saja
dalam kerangka bekerjanya kekuasaan eksekutif. Peter Mahmud
Marzuki memberikan pengertian Hukum Administrasi Negara sebagai
hukum yang mengatur hubungan antara organ administrasi negara
dengan warga masyarakat. Ciri khas Hukum Administrasi Negara
menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah selalu berbentuk tertulis. Jika
dalam Hukum Tata Negara dimungkinkan adanya konvensi, yaitu
kebiasaan-kebiasaan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara
yang dianggap mengikat meskipun tidak tertulis, maka dalam Hukum
Administrasi Negara tidak ada tempat bagi hukum kebiasaan. Bidang-
bidang yang menjadi objek pengaturan Hukum Administrasi Negara,
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
216
meliputi perizinan, pegawai negeri, pajak, pendaftaran yang
menciptakan hak, dan tindakan organ administrasi.
Sementara itu, Prajudi Atmosudirdjo4 membagi hukum
administrasi negara dalam dua bagian, yaitu Hukum Administrasi
Negara heteronom dan hukum administrasi negara otonom. Hukum
Administrasi Negara yang bersumber pada UUD 1945, TAP MPR dan
Undang-undang adalah hukum yang mengatur seluk beluk organisasi
dan fungsi administrasi negara, dikategorikan sebagai Hukum
Administrasi Negara Heteronom. Sedangkan, Hukum Administrasi
Negara Otonom ialah hukum operasional yang diciptakan pemerintah
dan aparatur administrasi negara.
Penulis hukum administrasi negara lain, membagi bidang hukum
administrasi negara menjadi hukum administrasi negara umum
(algemeendeel) dan hukum administrasi negara khusus (bijzonder
deel). Hukum administrasi negara umum berkenaan dengan peraturan-
peraturan umum mengenai tindakan hukum dan hubungan hukum
administrasi atau peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip yang berlaku
untuk semua bidang hukum administrasi, dalam artian tidak terikat
pada bidang tertentu. Sementara itu, hukum administrasi negara
khusus adalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang-
bidang tertentu seperti peraturan tentang tata ruang, peraturan tentang
kepegawaian, peraturan tentang pertanahan, peraturan kesehatan,
peraturan perpajakan, peraturan bidang pendidikan, peraturan
pertambangan dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Hukum Administrasi
Negara dapat ditempatkan sebagai pionir dalam mencapai keteraturan
organisasi ketatanegaraan secara keseluruhan dan terintegral antara
masing-masing lembaga negara atau organ negara yang terdapat
didalamnya.. Negara pada hakikatnya merupakan sebuah organisasi
formal yang memiliki legitimasi dan kedaulatan penuh untuk
4 Prajudi Atmosudirdjo. 1984. Hukum Administrasi Negara, Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
217
mengatur rakyat yang ada didalamnya guna memberikan rasa aman
dan kesejahteraan, .maka sudah barang tentu perbuatan-perbuatan
hukum yang dilakukan alat-alat perlengkapan negara sebagai
lembaga/organ negara dalam konteks melakukan perbuatan-perbuatan
bidang hukum yang sifatnya administratif, memegang peranan yang
sangat penting dalam kerangka penyelenggaraan negara.
Penyelenggaraan negara dimaksud didalamnya mencakup kegiatan
mengatur, mencatat, menganalisis, dan menyajikan hasil segala alur
aliran kegiatan tata usaha negara beserta peraturan yang mampu
menguntungkan negara, beserta segala konsekuensinya.
b) Hukum Pajak
Hukum Pajak termasuk kategori hukum publik, sebab hukum ini
meregulasi seperangkat norma yang memberikan kewenangan kepada
negara untuk melakukan pungutan-pungutan wajib yang disebut pajak
kepada seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan jenis pajak itu sendiri,
yang hasil dari pungutan pajak tersebut, digunakan untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan baik skala nasional maupun skala
regional (tingkat propinsi/kota atau kabupaten) untuk kemaslahatan
publik.
Hukum Pajak sebagai bagian ilmu hukum memiliki istilah yang
berbeda-beda karena faktor penggunaan bahasa yang
menyebabkannya. Dalam literatur berbahasa Inggris, dalam Hukum
Pajak disebut tax law. Kemudian dalam bahasa Belanda disebut
belasting recht. Sementara itu, dalam literatur berbahasa Indonesia
digunakan istilah selain Hukum Pajak juga hukum fiskal. pada
dasarnya Hukum Pajak dengan hukum fiskal memiliki sebuah subtansi
yang berbeda. Hukum Pajak hanya membahas tentang pajak sebagai
objek kajiannya, sedangkan pada hukum fiskal meliputi pajak dan
sebagian keuangan negara sebagai objek kajiannya.
Tentang pengertian Hukum Pajak, Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
218
menyebutkan hanya menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Begitu juga dalam
Pasal 23 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Pajak dan pungutan
yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang".
Dalam undang-undang pajak maupun UUD 1945 tidak dijelaskan
secara jelas apa yang dimaksud Hukum Pajak.
Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro5 Pajak adalah iuran
rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang ( yang dapat
dipaksakan) dengan mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum”. Sedangkan Hukum Pajak atau juga disebut
hukum fiskal, menurut Rochmat Soemitro adalah “keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk
mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada
masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian
dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar
negara & orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban
membayar pajak (wajib pajak)”.
Pada bukunya yang lain Rochmat Soemitro6 juga mengemukakan
Pengertian Hukum Pajak sebagai suatu kumpulan peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan
rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum Pajak menerangkan siapa-
siapa wajib pajak (subjek pajak) dan kewajiban-kewajiban mereka
kepada pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa saja yang
dikenakan pajak, cara penagihan, cara mengajuan keberatan dan
sebagainya.
5Rochmat Soemitro. 2006. Asas dan Dasar Perpajakan, Penerbit Refika
Aditama, Bandung, hlm. 30. 6Rochmat Soemitro. 1979. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pendapatan,
PT Eresco, Bandung.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
219
Dari pengertian pajak dan Hukum Pajak yang dikemukakan
tersebut, maka terdapat unsur-unsur yang termaktub dalam pengertian
pajak antara lain:
a) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai
dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan
"pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dalam undang-undang”.
b) Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan)
yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang
taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang
sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak
kendaraan bermotor.
c) Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan
umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
d) Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan
apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan
dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam hal melakukan pemungutan pajak, seharusnya berpegang
pada beberapa asas, yang antara lain mencakup: (1) Asas domisili
atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle),
berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan,
apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut
merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam
kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan
dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang
menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap
penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)
dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh
di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri
(world-wide income concept); (2) Asas sumber, Negara yang
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
220
menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima
oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber
yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan
mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan
penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari
negara itu. Contoh: tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh
pemerintah Indonesia; (3) Asas kebangsaan atau asas nasionalitas
atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship
principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak
adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi
persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau
kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu
pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas
yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan
negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan
dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai
penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus
sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal
penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.
Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah
status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak
bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan
yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting.
Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan
terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide
income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
221
dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang
diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Setelah membahas asas-asas dalam hukum pajak, berikut ini
penulis menguraikan penggolongan pajak menurut undang-undang
pajak yang mengaturnya. Ada banyak klasifikasi banyak yang ditulis
oleh beberapa penulis hukum pajak, meliputi:
a) Pajak Golongan, meliputi: (1). Pajak langsung, adalah
pembayaran pajak yang tidak boleh dilimpahkan kepada pihak
lain . Sebagai contoh : pajak penghasilan, pajak bumi dan
bangunan. Ciri-ciri pajak langsung antara lain:Ada kohir/surat
ketetapan pajak; Pembayarannya bersifat ajek/berkesinambungan;
Pemungutannya secara berkala, biasanya satu tahun sekali; (2)
Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembayarannya bisa
dilimpahkan kepada pihak lain, misalnya pajak penjualan/PPN.
Ciri–ciri pajak tidak langsung antara lain: tidak memiliki kohir,
dipungut setiap terjadi transaksi, bisa dilimpahkan kepada orang
lain
b) Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. Pajak Subjektif yaitu pajak
yang pemungutannya pertama-tama memperhatikan subjek atau
badan pribadi dari wajib pajak dan untuk menetapkan pajaknya
dicari/ditemukan alasan-alasan yang objektif yang berhubungan
erat dengan keadaan material dari wajib pajak. Pajak Objektif
yaitu pemungutan pajak yang pertama-tama melihat kepada
objeknya berupa keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang
menyebabkan timbul kewajiban pajak, kemudian dicari
sumbernya (orang atau badan hukum) yang betempat tinggal di
dalam atau di luar Indonesia.
c) Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak yang
dipungut oleh pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak) guna membiayai rumah tangga
pemerintahan pusat dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Besaran Pajak Pusat ditetapkan
melalui undang-undang dan PP/Perpu. Contoh Pajak Pusat: Pajak
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
222
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), Bea Materai. Sedangkan yang dimaksud Pajak daerah
adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (dalam hal ini
dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda) yang
digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah dan
tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Besaran dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui
Peraturan Daerah (Perda). Contoh pajak daerah: Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan dan
tontonan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Pembahasan selanjutnya adalah tentang sistem pemungutan pajak
yang berlaku di Indonesia. Dalam beberapa literatur Hukum Pajak,
diuraikan terdapat 3 sistem pemungutan pajak di Indonesia yang
meliputi:
a) Sistem Self Assestment.Dalam sistem self assestment, wajib pajak
sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan dan
melaporkan pajak yang terutang. Fiskus hanya berperan untuk
mengawasi, misalnya melakukan penelitian apakah Surat
Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua
lampiran sudah disertakan, meneliti kebenaran penghitungan dan
meneliti kebenaran penulisan. Untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan kebenaran data yang
terdapat di SPT wajib pajak, fiskus dapat melakukan pemeriksaan.
PPh orang pribadi dan badan serta PPN menggunakan sistem ini.
b) Sistem Official Assestment. Berbeda dengan sistem self
assestment, dalam sistem official assestment, fiskus (wajib pajak)
yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya
pajak yang terutang. PBB menganut sistem ini, karena besarnya
pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
223
c) Sistem Withholding. Dalam sistem withholding, pihak ketiga
yang wajib menghitung, menetapkan, menyetorkan dan
melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut. Misalnya pihak
perusahaan atau pemberi kerja berkewajiban untuk menghitung
berapa PPh yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima
pegawainya. Kemudian perusahaan atau pemberi kerja tersebut
harus menyetorkan, dan melaporkan PPh pegawainya tersebut ke
Kantor Pelayanan Pajak.
Demikianlah beberapa penjelasan pokok tentang segi-segi hukum
pajak yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia. Perlu juga
dipahami, selain pajak yang merupakan pungutan wajib bagi setiap
warga negara Indonesia, ada juga pungutan lainnya yang disebut
retribusi. Namun ada perbedaan diantara keduanya meskipun sama-
sama merupakan pungutan dari pemerintah. Yaitu sama-sama
merupakan bentuk pungutan yang dipaksakan sifatnya yang ditujukan
untuk kesejahteraan. Untuk mempermudah pemahaman perbedaan
pajak dan retribusi, berikut penulis uraikan secara ringkas dalam
bentuk tabel berikut:
Tabel Perbedaan Pajak, Retribusi dan Sumbangan Wajib
Pajak Retribusi Sumbangan
Wajib
Dasar
Hukum
Undang-undang Peraturan
pemerintah,
peraturan
menteri, atau
pejabat negara
yang lebih
rendah
Pemerintah
daerah
Balas
jasa
Tidak langsung Langsung dan
nyata kepada
individu
Langsung kepada
golongan tertentu
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
224
tersebut
Objek Umum (seperti
penghasilan,
kekayaan, laba
perusahaan dan
kendaraan).
orang-orang
tertentu yang
menggunakan
jasa
Pemerintah
golongan
tertentu.
Sifat Dapat dipaksakan
(menurut UU). Jadi,
wajib dibayar.
Kalau tidak, maka
akan mendapatkan
sanksi
Dapat
dipaksaan.
Akan tetapi
paksaannya
bersifat
ekonomis yang
hanya berlaku
kepada orang-
orang yang
menggunakan
jasa pemerintah.
Dapat
dipaksakan. Akan
tetapi paksaan
tersebut bukan
untuk umum.
Paksaan tersebut
hanya berlaku
kepada golongan-
golongan
tertentu.
Lemba-
ga
Pemu-
Ngut
Pemerintah pusat
maupun daerah
(negara).
Pemerintah
daerah.
Lembaga-
lembaga tertentu.
Tujuan Kesejahteraan
untuk umum.
Kesejahteraan
untuk individu
tersebut yang
menggunakan
jasa pemerintah.
Kesejahteraan
hanya untuk
suatu golongan
tertentu.
Dari paparan tabel, menurut pedapat penulis hanya ada perbedaan
tipis antara pajak dengan retribusi. Keduanya seperti saudara kembar,
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
225
yaitu sama-sama merupakan pungutan wajib yang dipaksakan kepada
rakyat. Didalam pasal 23A UUD 1945 hanya secara tegas diatur
mengenai pajak, tetapi berbeda dengan retribusi yang tidak diatur
secara tegas. Sekalipun demikian, retribusi sangat dibutuhkan oleh
negara dalam kerangka memberikan pelayanan secara langsung
kepada masyarakat. Retribusi dalam Pasal 23A UUD 1945 merupakan
bagian dari "pungutan yang bersifat memaksa" yang dibutuhkan oleh
negara karena itu diatur dengan undang-undang.
Menurut Munawir dalam Djafar Saidi7, retribusi ialah iuran kepada
pemerintah yang dapat dipaksakan dan dapat jasa balik secara
langsung dapat ditunjuk. Paksaan disini yakni bersifat ekonomis
karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah,
tidak dikenakan iuran, contohnya retribusi pasar dan retribusi air
minum. Pendapat Munawir tersebut menurut Djafar Saidi perlu
dilakukan perbaikan, yaitu bahwa paksaan dalam Pengertian Retribusi
tidak hanya bersifat ekonomis, melainkan memuat pula paksaan
secara yuridis berupa sanksi administrasi maupun sanksi kepidanaan.
Menurut Djafar Saidi pengertian retribusi yang dikemukakan oleh
Munawir lebih dititkberatkan kepada aspek ekonomis bukan dari
aspek hukum, padahal menurut Djafar Saidi, yang dibutuhkan adalah
pengertian retribusi yang ditinjau dari aspek hukum. Sebenarnya harus
ada perbedaan mencolok yang dapat membedakan pengertian retribusi
dari aspek ekonomis dengan aspek hukum, sehingga kelihatan
perbedaannya secara prinsipil. Untuk itulah, Djafar Saidi memberikan
pengertian retribusi dari sudut pandang hukum yaitu pungutan oleh
Pejabat Retribusi kepada Wajib Retribusi yang bersifat memaksa
dengan tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan
penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan
penagihan retribusi tidak berbeda dengan pajak, berupa sanksi
administrasi maupun sanksi kepidanaan.
7 Djafar Saidi. 2007. Pembaharuan Hukum Pajak, PT Raja Grafindo,
Jakarta.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
226
c). Hukum Tata Ruang
Hukum Tata Ruang termasuk dalam kategori hukum publik, karena
menurut D.A. Tiasnaadmidjaja8, Hukum Tata Ruang mencakupi
regulasi suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan tata
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, yang kesemuanya itu
dilakukan oleh penyelenggara negara selaku pejabat publik.
Pemanfaatan ruang dimaksud adalah dalam kerangka menata struktur
ruang yang mencakup susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional.
Berdasarkan itu, maka Hukum Tata Ruang dengan merujuk kepada
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dapat dirumuskan sebagai hukum yang berwujud
struktur ruang (ialah sususnan pusat-pusat pemukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung
kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional) dan pola ruang (ialah distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk
fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya).
Kerja penataan ruang yang merupakan tugas dari penyelenggara
negara selaku pejabat publik maka tentunya kerja yang dilakukan itu
haruslah bersandarkan kepada asas-asas Hukum Tata Ruang. Menurut
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, bahwa asas-asas penataan ruang, haruslah bersandarkan
kepada:
a) Keterpaduan. Artinya, penataan ruang diselenggarakan dengan
mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas
sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan antara lain, adalah pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat.
8 D.A Tiasnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf. 1997. Pranata
Pembangunan.Penerbit Universitas Parahiayangan, Bandung, hlm. 6.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
227
b) Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Artinya, bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian
antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara
kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antara
kawasan desa dan perkotaan.
c) Keberlanjutan. bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi
mendatang.
d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang
dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin
terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
Keterbukaan, maksudnya penataan ruang diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.
e) Kebersamaan dan kemitraan. Artinya, penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan.
f) Pelindungan kepentingan umum. Berarti penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
g) Kepastian hukum dan keadilan. Artinya, penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan
peraturan perundang-undangan dan bahwa penataan ruang
dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak
secara adil dengan jaminan kepastian hukum.
h) Akuntabilitas, berarti penataan ruang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kualitas dan peruntukannya
untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat demi tercapainya
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
228
Kesembilan asas penyelenggaraan penataan ruang tersebut pada
intinya merupakan norma-norma yang diambil untuk memayungi
semua kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang. Menyangkut tujuan
regulasi penataan ruang dapat dicermati pada Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007, bahwa:
a) Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
b) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan;
c) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan
d) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa rumusan tujuan
(pengaturan penataan ruang) merupakan penerapan bagaimana konsep
asas-asas penyelenggaran penataan ruang mengendalikan arah dan
sasaran yang hendak dituju oleh suatu pengaturan undang-undang
penataan ruang ini.
Menyangkut klasifikasi penataan ruang Menurut Herman Hermit9
klasifikasi penataan ruang bukan merupakan hal baru dalam
pengaturan sistem penataan ruang dalam Sistem Hukum Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, disebutkan bahwa
penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama
kawasan kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai
strategi kawasan. Undang-Undang Penataan Ruang
mengklasifikasikan penataan ruang yang meliputi:
9Herman Hermit. 2008. Pembahasan Undang-undang Penataan Ruang,
Mandar Maju, Bandung, hlm. 68
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
229
Pasal 4
Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama
kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan.
Pasal 5
1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan
sistem internal perkotaan.
2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas
kawasan lindung dan kawasan budi daya.
3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas
penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah
provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas
penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan
perdesaan.
5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas
penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang
kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Pasal 6
1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
a) kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang rentan terhadap bencana;
b) potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber
daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum,
pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c) geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
1) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah
provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan
secara berjenjang dan komplementer.
2) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah
yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
230
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sebagai satu kesatuan.
3) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di
dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
4) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan
undang-undang tersendiri.
Dari pasal-pasal tersebut telah jelas klasifikasi penataan ruang baik
berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan-kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategi kawasan.
d) Hukum Pendaftaran Tanah
Hukum Pendaftaran Tanah pada hakekatnya juga masuk dalam
kategori hukum publik, namun bila dicermati lagi, hukum pendaftaran
tanah ini cocoknya masuk kedalam wilayah kerja Hukum
Administrasi negara, sebab didalamnya meregulasi segala prosedur
tertulis administratif yang harus dilalui oleh warga negara Indonesia
tatkala hendak mendapatkan pengakuan tertulis hak atas tanahnya dari
negara. Sebab salah satu tujuan pokok diberlakukannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) adalah untuk mewujudkan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada dua
upaya untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut, yaitu:
1. Menyediakan perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas.
2. Menyelenggarakan pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi
pemegang hak atas tanah untuk membuktikan hak atas tanah yang
dikuasainya dan bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
pertanahan.
Mengenai pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 19 UUPA.
Pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA
meliputi:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
231
1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
Ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (PP 10/1961). PP 10/1961 dipandang tidak mampu
memberikan hasil yang memuaskan, sehingga perlu disempurnakan
dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (PP Pendaftaran Tanah).
Pengertian Pendaftaran Tanah Pasal 1 angka 1 PP Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pendaftaran
tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya
dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Menurut A.P. Parlindungan, sebagaimana dikutip oleh Urip
Santoso10
, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre, yang dalam
bahasa Belanda disebut Kadaster. Cadastre adalah suatu istilah teknis
untuk suatu record (rekaman) yang menunjukkan kepada luas, nilai
dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah.
Kata Cadastre berasal dari bahasa Latin yaitu Capistrtum, yang berarti
suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah
dalam Hukum Romawi disebut Capitatio Terrens.
10
Urip Santoso. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah.
Penerbit Kencana, Jakarta, hlm. 2.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
232
Selain berfungsi untuk memberikan uraian dan indetifikasi dari
sebidang tanah, Cadastre juga berfungsi sebagai rekaman yang
berkesinambungan dari suatu hak atas tanah. Berdasarkan pengertian
pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 PP Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat diuraikan beberapa
unsur pendaftaran tanah, yaitu:
a) Adanya serangkaian kegiatan
b) Dilakukan oleh Pemerintah
c) Secara terus menerus, berkesinambungan
d) Secara teratur
e) Bidang tanah dan satuan rumah susun
f) Pemberian surat tanda bukti hak
g) Hak-hak tertentu yang membebaninya.
Asas dan tujuan pendaftaran tanah Pendaftaran tanah di Indonesia
berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah menganut lima asas, yaitu:
a) Sederhana, berarti ketentuan-ketentuan pokok dan prosedur
pendaftaran tanah harus mudah dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama oleh pemegang hak atas tanah.
b) Aman, berarti pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara
teliti dan cermat sehingga hasilnya mampu memberikan jaminan
kepastian hukum.
c) Terjangkau, yaitu pelayanan yang diberikan dalam rangka
pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang
memerlukan, terutama dengan memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah.
d) Mutakhir, artinya tersedia kelengkapan yang memadai dalam
melaksanakan pendaftaran tanah dan pemeliharaan datanya. Data
yang tersedia juga harus mutakhir, sehingga harus dilakukan
pendaftaran dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di
kemudian hari.
e) Terbuka, artinya setiap saat masyarakat dapat memperoleh
keterangan mengenai data yang benar.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
233
Menurut Soedikno Mertokusumo, dalam pendaftaran tanah dikenal
dua macam asas, yaitu:
1. Asas Specialiteit, artinya pelaksanaan pendaftaran tanah
diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu
yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan,
dan pendaftaran peralihannya.
2. Asas Opernbaarheid (asas publisitas), berarti setiap orang berhak
untuk mengetahui data yuridis tentang subyek hak, nama hak atas
tanah, peralihan hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di
Kantor Pertanahan, termasuk mengajukan keberatan sebelum
diterbitkannya sertifikat, sertifikat pengganti, sertifikat yang
hilang atau sertifikat yang rusak.
Tujuan dilakukannya pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum tersebut
dilakukan dengan cara memberikan sertipikat hak atas tanah
kepada pemegang hak yang bersangkutan. Adapun jaminan
kepastian hukum yang menjadi tujuan pendaftaran tanah adalah
kepastian mengenai status tanah yang didaftar, kepastian
mengenai subyek hak dan kepastian mengenai objek hak.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah
susun yang sudah terdaftar. Wujud dari pelaksanaan fungsi
informasi ini adalah data fisik dan data yuridis dari bidang tanah
dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk
umum.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
234
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Hal ini
dilakukan dengan pendaftaran setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk pendaftaran apabila terjadi peralihan,
pembebanan dan hapusnya hak tersebut.
Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah
diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dimana
tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat
lain yang ditugaskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang menjadi objek pendaftaran tanah
meliputi:
1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
2. Tanah hak pengelolaan.
3. Tanah wakaf.
4. Hak milik atas satuan rumah susun.
5. Hak tanggungan.
6. Tanah negara
Menurut Pasal 1 angka 9 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah
kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran
tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (PP 10/1961) atau PP
Pendaftaran Tanah. Artinya, untuk pertama kalinya pendaftaran tanah
dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan
pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik
merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang
dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan atas
prakarsa pemerintah yang didasarkan pada suatu rencana kerja dan
dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
235
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah suatu kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek
pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Atas dasar itulah maka Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali meliputi:
1. Pengumpulan dan pengelolaan data fisik, dilakukan dengan
kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi:
a) pembuatan peta dasar pendaftaran;
b) penetapan batas bidang-bidang tanah;
c) pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran;
d) pembuatan daftar tanah;
e) pembuatan surat ukur.
f) pembuktian hak baru dan hak lama serta pembukuannya;
g) penerbitan sertipikat;
h) penyajian data fisik dan data yuridis;
i) penyimpanan daftar umum dan dokumen.
2. Pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1
angka 12 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan
data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah,
daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemegang hak
diwajibkan untuk mendaftarkan perubahan data fisik atau data
yuridis kepada Kantor
3. Pertanahan. Perubahan data fisik yang dimaksud adalah apabila
diadakan pemisahan, pemecahan atau penggabungan bidang-
bidang tanah yang sudah didaftar, sedangkan perubahan data
yuridis misalnya apabila diadakan pembebanan atau pemindahan
hak atas bidang tanah yang sudah didaftar. Kegiatan pemeliharaan
data pendaftaran tanah terbagi menjadi:
a) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, terdiri dari:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
236
1) pemindahan hak;
2) pemindahan hak dengan lelang;
3) peralihan hak karena pewarisan;
4) peralihan hak karena penggabungan atau peleburan
perseroan atau koperasi;
5) pembebanan hak;
6) penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, terdiri dari:
1) perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;
2) pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah;
3) pembagian hak bersama;
4) hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun;
5) peralihan dan hapusnya hak tanggungan;
6) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan;
7) perubahan nama.
Menurut Urip Santoso, perubahan data yuridis dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu:
1) peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya;
2) peralihan hak karena pewarisan;
3) peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau
koperasi;
4) pembebanan hak tanggungan;
5) peralihan hak tanggungan;
6) hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan
rumah susun dan hak tanggungan;
7) pembagian hak bersama;
8) perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan
atau penetapan ketua pengadilan;
9) perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama;
10) perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
237
Lebih lanjut menurut Urip Santoso perubahan data fisik dapat
terjadi karena:
1) pemecahan bidang tanah;
2) pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah;
3) penggabungan dua atau lebih bidang tanah.
PP Pendaftaran Tanah hanya mengatur hal-hal yang bersifat
umum, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci diatur dalam
peraturan pelaksana tersendiri, sehingga aturan-aturan mengenai
pendaftaran tanah dapat lebih mudah untuk mengikuti perkembangan
teknologi. Saat ini peraturan pelaksana dari PP Pendaftaran Tanah
yang berlaku adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
e) Hukum Pertambangan
Istilah Hukum Pertambangan dalam Bahasa Inggeris yaitu mining
law. Hukum pertambangan berarti hukum yang mengatur tentang
penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan miineral-mineral dalam
tanah. Definisi menurut ensiklopedia Indonesia ini juga hanya
difokuskan pada aktivitas penggalian atau pertambangan bijih-bijih.
Memang dapat dibenarkan bahwa penggalian atau pertambangan
merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi yang
terkadung di dalam perut bumi. Tetapi usaha penggalian barang-
barang tambang tidak boleh dilakukan secara serampangan mesti
regulasi pemerintah guna menjaga eksplorasi dan eksploitasi barang
tambang tidak menggangu lingkungan yang merupakan tempat hajat
hidup masyarakat dan mahluk hidup lainnya.
Dalam Black Law Dictionary, mining law diartikan sebagai “the
act of appropriating a mining claim (parcel of land containing
precious metal in its soil or rock) according to certain established
rule”. Artinya, hukum pertambangan adalah ketentuan yang khusus
yang mengatur hak menambang (bagian dari tanah yang mengandung
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
238
logam berharga di dalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan
yang ditetapkan.
Definisi tersebut difokuskan kepada hak masyarakat semata-mata
untuk melakukan penambangan pada sebidang tanah atau bebatuan
yang ditentukan. Sementara itu, hak menambang adalah hak untuk
melakukan kegiatan penyelidikan dan hak untuk melakukan kegiatan
eksploitasi. Objek kajian hukum pertambangan tidak hanya mengatur
hak penambang semata-mata, tetapi juga mengatur kewajiban
penambang kepada negara.
Menurut H. Salim H.S11
, Hukum Pertambangan adalah
keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam
pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum
antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan
dan pemanfaatan bahan galian (tambang). Apabila mencermati
definisi ini, maka tampaklah dalam Hukum Pertambangan sebuah
hubungan hukum antara negara dengan orang atau badan hukum.
Dengan demikian, Hukum Pertambangan masuk dalam bilangan
hukum publik.
Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara telah ditentukan asas-asas hukum
pertambangan mineral dan batubara. Ada tujuh asas hukum
pertambangan mineral dan batubara. Ketujuh asas itu meliputi:
1) Manfaat
Asas manfaat merupakan asas yang dalam pengelolaan sumber
daya mineral dan batubara dapat memberikan kegunaan bagi
kesejahteraan masyarakat banyak. Asas ini sesuai dengan konsep yang
dikembangkan Jeremy Bentham bahwa hukum harus memberikan
manfaat atau kegunaan bagi orang banyak (to serve utility). Konsep
utility yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham adalah dimaksudkan
untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Sesuatu
11
H. Salim H.S. 2005. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Rajawali
Press, Jakarta, hlm. 8.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
239
yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang
baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk.
Aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan
kebahagiaan sebanyak mungkin orang (the greatest happiness
principle).
2) Keadilan
Asas keadilan merupakan asas dalam pengelolaan dan manfaat
mineral dan batubara di mana di dalam pemanfaatan itu harus
memberikan hak yang sama rasa dan rata bagi masyarakat banyak.
Masyarakat dapat diberikan hak untuk mengelola dan memanfaatkan
mineral dan batubara, dan juga dibebani kewajiban untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Selama ini, masyarakat kurang
mendapat perhatian karena pemerintah selalu memberikan hak
istimewa kepada perusahaan-perusahaan besar dalam mengelola
sumberdaya mineral dan batubara.
3) Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah suatu asas yang menghendaki bahwa
dalam pelaksanaan pertambangan mineral dan batubara harus
mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang setara dan seimbang
antara pemberi izin dengan pemegang izin. Pemberi izin dapat
menuntut hak-haknya kepada pemegang izin, apakah itu IPR, IUP,
maupun IUPK. Begitu juga pemegang izin dapat menuntut haknya
kepada pemberi izin supaya pemberi izin dapat melaksanakan
kewajibannya, seperti memberi pembinaan dan pengawasan terhadap
pemegang izin. Ini berarti keseimbangan dalam hak dan kewajiban.
4) Keberpihakan kepada kepentingan bangsa
Asas keberpihakan kepada kepentingan bangsa artinya dalam
pelaksaaan pertambangan mineral dan batubara, maka pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus memihak atau
pro kepada kepentingan bangsa yang lebih besar. Ini berarti
kepentingan bangsa yang harus diutamakan dibandingkan dengan
kepentingan dari para investor.
5) Partisipatif
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
240
Asas partisipatif merupakan asas bahwa dalam pelaksanaan
pertambangan mineral dan batubara, tidak hanya peran serta pemberi
dan pemegang izin semata-mata, namun masyarakat, terutama
masyarakat yang berada di sekitar tambang harus ikut berperan serta
dalam pelaksanaan kegiatan tambang. Wujud peran serta masyarakat,
yaitu masyarakat dapat ikut bekerja pada perusahaan tambang, dapat
menjadi pengusaha agen maupun distributor.
6) Transparansi
Asas transparansi, yaitu asas bahwa dalam pelaksanaan
pertambangan mineral dan batu-bara harus dilaksanakan secara
terbuka. Artinya setiap informasi yang disampaikan kepada
masyarakat oleh pemberi dan pemegang izin. Harus disosialisasikan
secara jelas dan terbuka kepada masyarakat. Misalnya, tentang tahap-
tahap kegiatan pertambangan, kebutuhan tenaga kerja, dan lainnya.
7) Akuntabilitas
Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pertambangan mineral
dan batu-bara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Asas
akuntabilitas ini erat kaitannya dengan hak-hak yang akan diterima
oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
yang bersumber dari kegiatan pertambangan mineral dan batubara itu
sendiri. Misalnya, pemegang IUPK memberikan keuntungan kepada
pemerintah daerah sebesar 1 %, maka penggunaan uang tersebut harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat, dalam hal ini adalah
DPRD, baik kabupaten/kota mau pun propinsi.
8) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang
secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan
sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan
batu-bara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa yang
akan datang.
Selain asas-asas Hukum Pertambangan berikut juga diuraikan
tujuan pengelolaan mineral dan batubara, sebagai berikut:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
241
1) Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengadilan kegiatan usaha
pertambangan secara berdayaguna, berhasil guna, dan berdaya
saing.
2) Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.
3) Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku
dan atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri.
4) Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional
agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional.
5) Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara,
serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat
6) Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara.
Selain asas dan tujuan Hukum Pertambangan, sebagaimana sudah
diuraikan secara sekilas. Juga harus diketahui ruang lingkup kajian
hukum pertambangan, yang meliputi pertambangan umum serta
pertambangan minyak dan gas bumi. Pertambangan umum merupakan
kegiatan pertambangan berupa bahan galian di luar minyak dan gas
bumi, pertambangan umum dibedakan menjadi lima golongan, yaitu:
1) Pertambangan mineral radioaktif
2) Pertambangan mineral logam
3) Pertambangan mineral non-logam
4) Pertambangan batu bara, gambut, dan bitumen padat,
5) Pertambangan panas bumi
Sudah barang tentu, semua jenis pertambangan itu haruslah dikelola
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, sebagaimana
yang menjadi amanah Konstitusi UUD 1945 pada pasal 33.
2 Hukum Pidana
Hukum Pidana bila dilihat dari karakteristik dan wilayah
pengaturannya, termasuk dalam kategori hukum publik, sebab Hukum
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
242
Pidana mengatur tentang upaya menjaga ketertiban dan rasa aman
masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan pelanggaran yang dapat
mengganggu keharmonisan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Hukum Pidana meregulasi segenap aturan untuk menindak setiap
kejahatan atau perbuatan kriminal atau berbagai bentuk pelanggaran
lainnya yang ditetapkan oleh negara sebagai perbuatan yang
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat atau kejahatan serta
pelanggaran itu dikualifikasikan sebagai perbuatan yang
membahayakan jiwa, mengancam jiwa, dan merusak kehormatan dan
nama baik seseorang. Juga dikategorikan sebagai perbuatan yang
merugikan harta benda seseorang.
Letak filosofi Hukum Pidana dalam kerangka sebagai hukum
publik yaitu negara bertugas untuk menjaga kehidupan warga
masyarakatnya dari segala bentuk ancaman dan intimidasi yang dapat
membahayakan dirinya, badannya, jiwanya, keluarganya, dan harta
bendanya. Bentuk ancaman yang dimaksud tentunya adalah setiap
bentuk kejahatan atau kriminal baik ringan, sedang dan berat. Dalam
konteks sistem hukum Indonesia, lembaga negara yang diberikan
tugas untuk menjaga rasa aman warga masyarakat atau melakukan
penegakan Hukum Pidana, adalah lembaga Kepolisian Republik
Indonesia dan lembaga Kejaksaan Republik Indonesia. Inilah dua
lembaga penegak hukum utama yang memiliki tugas menegakkan
Hukum Pidana terutama melakukan tindakan pencegahan atau
penindakan berkenaan dengan kejahatan atau melanggaran yang
mengganggu keamanan dan keteriban masyarakat, baik itu dalam
tataran gangguan terhadap diri pribadi, haarta benda maupun terhadap
gangguan keamanan publik.
Selain kedua lembaga penegak hukum yang ditunjuk menegakkan
Hukum Pidana di Indonesia, juga oleh undang-undang di Indonesia
menetapkan secara khusus lembaga-lembaga tertentu bersifat ad hoc
untuk mencegah dan menindak perbuatan pidana khusus lainnya,
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberikan kewenangan
melakukan penindakan terhadap perbuatan korupsi yang merugikan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
243
keuangan negara. Ada juga lembaga lainnya yang ditunjuk oleh
undang-undang guna mendukung penegakan Hukum Pidana di
Indonesia, seperti Lembaga Komisi Perlindungan Anak dan Lembaga
Perlindungan Saksi.
Keberadaan Hukum Pidana sebagai hukum publik, yang
menetapkan tugas negara untuk melakukan pencegahan (upaya
preventif) dan penindakan (upaya represif) terhadap segala bentuk
kejahatan dan pelanggaran yang dipandang mengganggu rasa aman
masyarakat, maka disinilah Hukum Pidana yang akan merumuskan
atau menerjemahkan mana saja perbuatan yang dianggap sebagai
kejahatan atau pelanggaran. Hukum Pidana juga yang akan
merumuskan kewajiban apa yang harus ditaati oleh warga masyarakat
ketika melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Contoh yang
dianggap sebagai kejahatan adalah mencuri, karena mencuri
merupakan perbuatan mengambil harta milik orang lain secara tidak
sah dan melawan hukum. Contoh lain, menghilangkan nyawa orang
lain secara tidak sah, dalam hukum pidana dikategorikan sebagai
kejahatan.
Contoh kewajiban yang harus ditaati setiap warga masyarakat
menurut ketentuan yang diatur dalam Hukum Pidana, contoh
kewajiban menggunakan helm bagi pengendara motor roda dua yang
berkendara di atas jalan raya. Atau kewajiban lainnya yang ditetapkan
oleh negara yang apabila dilanggar dipandang sebagai sebuah
kejahatan atau pelanggaran, misalnya, kewajiban membayar pajak,
kewajiban memiliki izin pertambangan dan lain-lain. Dengan
demikian, dalam sistem Hukum Pidana di Indonesia, rumusan
kejahatan dan pelanggaran diterjemahkan secara berbeda, yaitu
kejahatan merupakan perbuatan pidana yang berat. Ancaman
hukumannya dapat berupa hukuman denda, hukuman penjara dan
hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan hukuman
penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu serta
pengumuman keputusan hakim. Kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang dapat digolongkan menurut sasarannya sebagai berikut :
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
244
1) Kejahatan terhadap keamanan negara, diatur dalam Pasal 104-129.
2) Kejahatan terhadap martabat, kedudukan presiden dan wakil
presiden, diatur dalam Pasal 130-139.
3) Kejahatan terhadap negara yang bersahabat dan kejahatan
terhadap kepala negara atau wakil kepala negara tersebut, diatur
dalam Pasal 139-145.
4) Kejahatan terhadap ketertiban umum, diatur dalam Pasal 153 bis-
181.
5) Kejahatan tentang perkelahian satu lawan satu, diatur dalam Pasal
182-186.
6) Kejahatan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan umum
manusia atau barang, diatur dalam Pasal 187-206.
7) Kejahatan terhadap kekuasaan umum, diatur dalam Pasal 207-241.
8) Kejahatan tentang sumpah palsu atau keterangan palsu, diatur
dalam Pasal 242-243.
9) Kejahatan pemalsuan mata uang dan mata uang kertas negara
serta uang kertas bank, diatur dalam Pasal 244-252.
10) Kejahatan tentang pemalsuan materai dan merek, diatur dalam
Pasal 253-262.
11) Kejahatan tentang pemalsuan surat-surat , diatur dalam Pasal 263-
276.
12) Kejahatan terhadap kedudukan warga, diatur dalam Pasal 277-
280.
13) Kejahatan terhadap kesopanan, diatur dalam Pasal 281-303.
14) Kejahatan tentang meninggalkan seseorang yang memerlukan
pertolongan, diatur dalam Pasal 304-309.
15) Kejahatan tentang penghinaan, diatur dalam Pasal 310-321.
16) Kejahatan tentang membuka rahasia, diatur dalam Pasal 322-323.
17) Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang, diatur dalam Pasal
324-337.
18) Kejahatan terhadap jiwa orang, diatur dalam Pasal 338-350.
19) Kejahatan tentang penganiayaan, diatur dalam Pasal 351-358.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
245
20) Kejahatan tentang kesalahan yang mengakibatkan luka atau
matinya seseorang, diatur dalam Pasal 359-361.
21) Kejahatan tentang pencurian, diatur dalam Pasal 362-367.
22) Kejahatan tentang pemerasan, diatur dalam Pasal 368-371.
23) Kejahatan tentang penggelapan, diatur dalam Pasal 372-377.
24) Kejahatan penipuan, diatur dalam Pasal 378-395.
25) Kejahatan tentang merugikan penagih utang atau orang yang
berhak, diatur dalam Pasal 396-405.
26) Kejahatan tentang pengerusakan barang atau penghancuran
barang, diatur dalam Pasal 406-412.
27) Kejahatan yang dilakukan dalam jabatan, diatur dalam Pasal 413-
437.
28) Kejahatan dalam pelayaran, diatur dalam Pasal 438-479.
29) Kejahatan tentang pertolongan jahat, diatur dalam Pasal 480-485.
30) Kejahatan yang dilakukan berulang-ulang, diatur dalam Pasal 486-
488.
Semua jenis kejahatan diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Namun demikian, masih ada jenis kejahatan
yang diatur di luar KUHP, dikenal dengan ”tindak pidana khusus”
misalnya tindak pidana korupsi, subversi, narkotika, tindak pidana
ekonomi. Sedangkan, perbedaannya dengan pelanggaran, adalah
pelanggaran selalu merupakan perbuatan pidana ringan yang ancaman
hukumannya berupa denda atau kurungan. Semua perbuatan pidana
yang tergolong pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Macam-
macam pelanggaran adalah :
1) Pelanggaran terhadap keamanan umum bagi orang, barang dan
kesehatan umum yang diatur dalam Pasal 498-502.
2) Pelanggaran terhadap ketertiban umum, diatur dalam Pasal 503-
520.
3) Pelanggaran terhadap kekuasaan umum , diatur dalam Pasal 521-
528.
4) Pelanggaran terhadap kedudukan warga, diatur dalam Pasal 529-
530.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
246
5) Pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong, diatur dalam
Pasal 531.
6) Pelanggaran terhadap kesopanan, diatur dalam Pasal 532-547.
7) Pelanggaran terhadap polisi daerah, diatur dalam Pasal 548-547.
8) Pelanggaran dalam jabatan, diatur dalam Pasal 552-559.
9) Pelanggaran dalam pelayaran, diatur dalam Pasal 560-569.
Selain bentuk-bentuk pelanggaran yang ditetapkan dalam KUHP
tersebut, ada juga bentuk-bentuk pelanggaran lainnya di luar KUHP,
seperti pelanggaran lalu lintas, pelanggaran membuang sampah
sembarangan, dan lain-lain.
Beberapa penulis hukum yang konsentrasi dengan kajian Hukum
Pidana, tampaknya masih sulit membedakan antara kejahatan dengan
pelanggaran. Namun demikian, menurut Moeljatno12
, paling tidak ada
dua perspektif untuk membedakan antara kejahatan dengan
pelanggaran. Pertama, perspektif kualitatif, bahwa kejahatan
merupakan rechtsdeliten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun
tidak ditentukan dalam undang-undang, tetapi merupakan perbuatan
yang telah dirasakan sebagai onrecht, yaitu sebagai perbuatan yang
bertentantangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah
wetsdeliktern, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan
demikian. Kedua, perspektif kuantitatif, bahwa membedakan
kejahatan dengan pelanggaran adalah dilihat dari sudut pandang
sanksinya (berat ringannya ancaman hukuman). Kejahatan dijatuhkan
sanksi yang sangat berat yaitu penjara dan bahkan hukuman mati,
sedangkan pelanggaran dijatuhkan sanksi yang ringan biasanya hanya
dalam bentuk sanksi.
Dengan demikian, apabila ada anggota warga masyarakat yang
terbukti melakukan kejahatan atau tidak mentaati kewajiban dalam
melakukan suatu perbuatan maka yang bersangkutan akan dikenakan
12
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta,
hlm. 72
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
247
sanksi sebagai bentuk untuk memberikan rasa jera atau pelajaran
baginya atas perbuatan kejahatan yang dilakukannya atau
ketidaktaatannya melaksanakan kewajiban atas perbuatan tertentu
yang dilakukannya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang.
Sanksi yang ditetapkan oleh Hukum Pidana itu juga berfungsi untuk
mencegah agar suatu kejahatan atau ketidaktaatan melakukan
kewajiban tertentu, tidak diikuti oleh warga masyarakat lainnya. Jadi
fungsi sanksi pidana ada dua, pertama, untuk memberikan rasa jera
kepada pelaku kejahatan dan kedua, mencegah kejahatan tidak
diulangi oleh warga masyarakat lainnya. Fungsi sanksi pidana
demikian, tentu saja menegaskan peran negara dalam kerangka
penegakan Hukum Pidana ditengah masyarakat, yaitu sanksi pidana
untuk memberikan rasa takut dan sanksi pidana sebagai edukasi bagi
masyarakat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan kriminal
(kejahatan dan pelanggaran) yang mengganggu keamanan masyarakat
serta ketertiban umum.
Sanksi dalam konteks Hukum Pidana hanya dijatuhkan kepada
perbuatan yang oleh Hukum Pidana dikualifisir sebagai perbuatan
melawan hukum atau Wederrechtelijk Daad. Sebelum penulis,
menguraikan apa saja yang dikualifikasikan sebagai perbuatan
melawan hukum atau Wederrechtelijk, ada baiknya penulis
menguraikan lebih dahulu pengertian sanksi dalam perspektif Hukum
Pidana. Sanksi dalam perspektif Hukum Pidana dapat didefinisikan
sebagai bentuk penjeraan kepada siapa saja yang melakukan
perbuatan melawan (Wederrechtelijk Daad) yang sifatnya
memberikan rasa sakit secara fisik (jasmaniah), mengekang
kebebasan/kemerdekaan, dan atau juga memberikan kerugian
materil berupa harta benda, yang kadar serta bentuknya sudah
ditetapkan oleh produk Hukum Pidana yang mengaturnya.
Mencermati pengertian sanksi tersebut, maka sifat sanksi dalam
Hukum Pidana sesungguhnya menimbulkan penderitaan baik fisik
maupun psikologis atau menimbulkan kerugian harta yang kadarnya
sudah ditetapkan oleh produk hukum yang mengaturnya. Penderitaan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
248
fisik, itu dapat berupa hilangnya nyawa, rasa sakit badan yang
ditimbulkan, ataupun tekanan psikologis, maupun berkurangnya
kekayaan harta yang dimiliki bagi pelaku pelanggaran Hukum Pidana.
Contoh sanksi pidana yang bisa kita saksikan dalam berbagai sistem
hukum di dunia ini, yaitu hukuman mati, hukuman cambuk, hukuman
potong tangan, penjara atau kurungan, dan denda sejumlah uang
tertentu yang ditetapkan oleh hukum yang mengaturnya.
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, bentuk-bentuk sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada siapa saja yang melakukan
perbuatan melawan hukum, mencakup:
Hukuman-Hukuman Pokok
a. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara
yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti
Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang
masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih
banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
b. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam
hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman
penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun.
Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan
wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar
penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
c. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat
hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan
ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara
hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman
kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman
kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah
tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara
dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan
kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan
pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan
terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
249
memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak
demikian.
d. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri
antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti
denda adalah 6 Bulan.
e. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-
asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara.
Hukuman Tambahan
Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri
melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan
tersebut antara lain :
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
2. Penyitaan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim
Dengan demikian, sanksi pidana hanya dijatuhkan kepada siapa
saja yang terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum.
Sanksi pidana oleh beberapa pakar Hukum Pidana, memiliki
karakteristik ultimum remedium. Dengan sifat yang dimiliki sanksi
pidana ini, adalah untuk menegaskan kedudukan sanksi pidana
sebagai sanksi yang benar-benar memberikan rasa jera kepada pelaku
tindak pidana serta menjadi pelajaran bagi warga masyarakat untuk
tidak melakukan hal yang sama. Artinya, ultimum remedium benar-
benar mendudukkan fungsi sanksi pidana sebagai fungsi pencegahan
(preventif) dan fungsi penjeraan (represif).
Dapat dikatakan bahwa ultimum remedium menjadi pamungkas
atau menjadi obat terakhir bagi pencegahan perbuatan melawan
hukum yang berlangsung ditengah masyarakat. Menurut Wirjono
Prodjodikoro13
, bila sanksi perdata dan sanksi administratif sudah
tidak cukup efektif menganulir setiap bentuk perbuatan melawan
13
Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.
Refika Aditama, Bandung, hlm. 17.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
250
hukum, maka sanksi pidana akan tampil bertugas untuk meluruskan
neraca kemasyarakatan. Inilah maksudnya, sanksi pidana
mendudukkan dirinya sebagai ultimum remedium yaitu pamungkas
atau obat terakhir.
Apa saja yang dimaksud perbuatan melawan hukum dalam konteks
Hukum Pidana? Atas pertanyaan ini, beberapa penulis hukum
Indonesia memberikan pendapatnya. Antara lain, Rosa Agustina14
,
mengkualifisir empat syarat agar masuk dalam kategori perbuatan
melawan hukum (Wederrechtelijk), yaitu: (1) Bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku; (2) Bertentangan dengan hak subjektif
orang lain; (3) Bertentangan dengan kesusilaan; serta (4) Bertentangan
dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Pendapat Satochid Kartanegara, tentang “melawan hukum”
(Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang; Wederrechtelijk
Materiil, yaitu sesuatu perbuatan yang mungkin dapat dikualifisir
sebagai wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-
asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen
beginsel).
Lebih lanjut, menurut Schaffmeister, sebagaimana dikutip Andi
Hamzah15
berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di
dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai
“melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum”
sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi
dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara
umum” (contoh Pasal 351 KUHP). Pendapat dari Schaffmeister ini
14
Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit
Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm.117. 15
Andi Hamzah. 2010. Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia.
Yarsif Watampone, Jakarta, hlm. 168.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
251
tampaknya juga diadopsi dalam hukum positif di Indonesia,
contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam Pasal 2 Undang-Undang
Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3
Undang-Undang Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”.
Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Tipikor
disebutkan:
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun
dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana
Yang menjadi pertanyaan, apakah semua perbuatan melawan
hukum dapat dikenakan sanksi pidana? Jawaban pertanyaan ini, dalam
konteks Hukum Pidana Indonesia yang menganut sistem civil law,
ternyata tidak semua perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan
sanksi pidana. Sistem Hukum Pidana Indonesia yang menganut sistem
hukum civil law, adalah masih berpijak kepada asas legalitas dimana
asas ini menyatakan bahwa suatu perbuatan pidana atau perbuatan
melawan hukum hanya dapat dikenakan sanksi pidana apabila ada
undang-undang yang mengaturnya.
Asas legalitas ini tertuang dalam bahasa nullum delictum, nulla
poena sine praevea lege poenali, artinya tiada seorangpun dapat
dipidana karena melakukan suatu perbuatan jika tidak ada aturan
undang-undang yang mengatur sebelum perbuatan itu dilakukan.
Ungkapan ini pertama kali dikemukakan oleh Anselm von Feuerbach,
seorang yuris berkebangsaan Jerman dalam karyanya Lehrbuch des
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
252
peinlichen Recht16
. Akan tetapi, asas legalitas ini tidak banyak
diadopsi beberapa sistem hukum bangsa Eropa seperti pada masa
Kerajaan Romawi Kuno. Bangsa Romawi dahulu meletakkan suatu
aturan bahwa ada perbuatan-perbuatan jahat tertentu yang tidak diatur
oleh undang-undang yang dapat dikenakan sanksi pidana. Perbuatan
tersebut, dikenal dengan nama criminal extra ordinaria17
. Yaitu
perbuatan jahat diluar undang-undang tertulis yang dapat dikenakan
sanksi pidana.
Selain asas legalitas yang dikenal dalam bidang Hukum Pidana,
juga terdapat beberapa asas hukum pidana yang mencakup:
a. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana
kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus
dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
b. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku
atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi
wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk
pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan
gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.
c. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana
pun ia berada
d. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan
negara Inonesia
Berdasarkan uraian tentang segi-segi Hukum Pidana tersebut, maka
Hukum Pidana menurut Moeljatno dapat didefinisikan sebagai bagian
16
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hlm. 184-185. 17
Kemungkinan istilah kriminal yang diadopsi dalam Bahasa Indonesia
diambil dari criminal extra ordinaria. Istilah kriminal yang merujuk kepada
pengertian kejahatan atau perbuatan jahat yang merugikan orang lain atau
masyarakat secara keseluruhan. Tapi istilah kriminal memang hanya
dinisbatkan kepada kejahatan saja bukan kepada perbuatan pelanggaran,
misalnya pelanggaran lalu lintas.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
253
dari keseluruhan hukum yang berlaku dalam suatu negara, dimana
dasar-dasar dan aturan-aturannya untuk: (a) Hukum pidana
menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan
(dilarang) dengan disertai ancaman pidana bagi siapa yang
melanggarnya; (b) Hukum pidana menentukan kapan dan dalam hal
apa kepada mereka yang melanggar larangan dapat dikenakan pidana.
(c) Hukum pidana Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggarnya.
Penulis juga memberikan pengertian Hukum Pidana dalam konteks
Sistem Hukum Indonesia yaitu segenap aturan hukum atau kaidah
hukum yang mengatur tentang segi-segi mana saja dapat
dikategorikan sebagai kejahatan atau pelanggaran menurut
undang-undang atau hukum tertulis lainnya yang berlaku di
masyarakat Indonesia dengan kadar sanksi yang sudah
ditetapkan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan atau
pelanggaran itu sendiri.
Pada beberapa kajian serta pembelajaran hukum di beberapa
kurikulum sekolah hukum di Indonesia, juga telah memperinci
spesifikasi kajian-kajian hukum yang merupakan bahagian dari induk
kajian Hukum Pidana. Sehingga melahirkan cabang-cabang khusus
kajian Hukum Pidana yang meliputi:
a) Hukum Pidana Korupsi;
b) Hukum Pidana Anak
c) Hukum Kesehatan
d) Hukum Kejahatan Internasional
e) Hukum Pidana Narkotika
f) Hukum Pidana Ekonomi
Masih banyak lagi cabang-cabang khusus pengkajian Hukum
Pidana yang tidak bisa penulis rincikan satu persatu pada ruang yang
terbatas ini. Namun, pada beberapa kajian akademik di Indonesia
untuk bidang Hukum Pidana, ada yang menyebutnya Kajian Hukum
Pidana Umum dan Kajian Hukum Pidana Khusus. Juga ada yang
menggunakan istilah Kajian Tindak Pidana Di Dalam KUHPidana dan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
254
Kajian Tindak Pidana Di Luar KUHPidana. Hukum Pidana Umum
sama juga dengan Kajian Tindak Pidana Di Dalam KUHPidana, tentu
yang dibahas adalah mengenai kejahatan yang diatur dalam
KUHPidana seperti delik pencurian, delik pembunuhan, delik
penipuan, delik perzinahan, delik penggelapan, dan lain-lain.
Sedangkan, Hukum Pidana Khusus sama juga dengan Kajian Di Luar
KUHPidana, pastinya yang dikaji adalah semua bentuk kejahatan
yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu yang
diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia, seperti kejahatan narkotika,
kejahatan komputer, kejahatan korupsi, dan masih banyak lagi.
3. Hukum Internasional
Hukum Internasional, dapat dipastikan masuk dalam bilangan
hukum publik, sebab Hukum Internasional mengatur persoalan
kepentingan hukum negara atau pemerintah tetapi berkaitan dengan
kepentingan hukum negara-negara lain. Sebenarnya dalam Hukum
Internasional yang diakomodir adalah kepentingan nasional suatu
negara tetapi kepentingan itu berbenturan dengan kepentingan
nasional negara-negara lain yang ada di dunia, sehingga untuk
menjembatani kepentingan masing-masing negara tersebut, sangat
diperlukan adanya sinergitas yang saling menghormati satu sama lain,
yaitu dengan cara mengakomodirnya lewat aturan atau kesepakatan
hukum yang dibuat bersama oleh antar negara-negara tersebut. Aturan
yang menjadi kesepakatan negara-negara atau antar bangsa itulah
yang sekarang ini disebut sebagai Hukum Internasional.
Pada bahagian berikut, penulis mengetengahkan beberapa
pengertian Hukum Internasional yang pernah ditulis oleh penulis-
penulis Hukum Internasional. Beberapa penegrtian tersebut, agaknya
dapat menggambarkan realitas keberadaan Hukum Internasional dari
masa ke masa. Salah seorang penulis Hukum Internasional yaitu
Emmerich de Vattel (1714-1767), memberikan pengertian hukum
internasional sebagai berikut:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
255
The Law of nations is the science of the rights which exist between
nations or states, and of the obligations corresponding to these
right.
Terjemahan:
Hukum internasional (hukum bangsa-bangsa) adalah ilmu
pengetahuan tentang hak-hak yang terdapat antara bangsa-bangsa
atau negara-negara, dan kewajiban-kewajiban yang berkaita
dengan hak-hak tersebut.
Sedangkan penulisan Hukum yang lain Hackworth menulis
pengertian Hukum internasional, yaitu:
Internasional law consists of a body of rules governing the
relations between states.
Terjemahan:
Hukum internasional merupakan sekumpulan aturan-aturan yang
mengatur hubungan antara negara-negara.
Adapun Jessus mengemukakan Hukum internasional, dengan batasan
berikut:
Internasional law or the law of nations is a term which has been
used for ever three hundred years to record certain observation of
the conduct of human being grouped in what we call states.
Terjemahan:
Hukum internasional atau hukum bangsa-bangsa adalah sebuah
istilah yang digunakan selama lebih dari tiga ratus tahun untuk
mencatat pengamatan-pengamatan tertentu yang menyangkut
tingkah laku manusia yang dikelompokkan dengan apa yang kita
sebut negara-negara.
J.L. Brielly menulis pengertian Hukum Internasional, yaitu:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
256
The law of nations or international law, may be defined as the
body of rules and principles of actions which are biding upon
civilized states in their relation with one another.
Terjemahan:
Hukum bangsa-bangsa atau Hukum Internasional, dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan ketentuan dan asas-asas
menyangkut tindakan-tindakan yang mengikat bagi negara-negara
beradab dalam perhubungan mereka satu dengan yang lainnya.
Dari sejumlah pengertian Hukum internasional tersebut, pada
bahagian berikut juga penulis menyajikan pengertian Hukum
internasional, menurut pendapat dua penulis Hukum Internasional
yang tulisan mereka sering dijadikan rujukan oleh sebahagian besar
penulis Hukum Internasional Indonesia. Kedua penulis tersebut adalah
J.G. Starke dan Mochtar Kusumaatmadja.
J.G. Starke menulis pengertian Hukum internasional dengan
mengutip Carles Cheny Hide, sebagai berikut:
International law may be defined as that body of law which is
composed for it’s greater part of principles and rules of conduct
which states feels states feels themselves bound to observe, and
therefore,do commonly observe in their relation with each other,
and which include also:
a. the rules of law relating to the functioning of international
institutions of organitations, their relations with each other,
and their relations with states and individuals, and
b. certain rules of law relating to individuals and non-states
entities so far as the rights or duties of such individuals and
non-states entities are the concern of the international
community.
Terjemahan:
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan
hukum yang bagian terbesar terdiri dari prinsip-prinsip dan
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
257
peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-negara itu sendiri
merasa terikat dan menghormatinya, dan oleh karena itu juga harus
dihormati dalam hubungan antara mereka satu sama lain, dan juga
yang meliputi:
a. Peraturan-peraturan hukum yang bekaitan dengan fungsi
lembaga-lembaga organisasi internasional, hubungan lembaga-
lembaga internasional satu sama lain, dan hubungan-hubungan
antara organisasi internasional tersebut dengan negara-negara
dan individu-individu serta
b. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkaitan dengan
individu-individu serta bukan negara secara keseluruhan
sepanjang hak-hak atau kewajiban individu-individu dan bukan
secara keseluruhan yang adalah bersangkut paut dengan
masyarakat internasional.
Berdasarkan pada pengertian Hukum Internasional itu, maka dapat
diperoleh gambaran umum tentang isi dan ruang lingkup Hukum
Internasional itu sendiri, yang didalamnya terkandung unsur subjek
atau pelaku-pelaku yang berperan, hubungan-hubungan antara subjek
hukum serta kaedah-kaedah maupun prinsip-prinsip hukum yang lahir
dari subjek tersebut yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan
yang saling terjalin satu sama lain.
Berkenaan dengan subjek hukum internasional itu, tampaklah
bahwa negara bukanlah satu-satunya subjek Hukum Internasional,
sebagaimana telah menjadi pandangan umum para sarjana hukum
internasional sekitar abad ke -16 atau awal abad ke-20, tegasnya yang
merupakan subjek hukum internasional antara lain: negara, organisasi
internasional, individu dan subjek-subjek hukum lainnya bukan
negara.
Adapun mengenai ruang lingkup isi atau materi hukum
internasional yang dikutip J.G. Starge, adalah meliputi prinsip-prinsip
atau peraturan-peraturan hukum:
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
258
a. Yang berkenaan dengan keberadaan suatu negara atau negara-
negara, seperti menyangkut kualifikasi suatu negara sebagai
pribadi internasional, terbentuk atau terjadinya negara, hak-hak
dan kewajiban negara dan lain-lain.
b. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum
yang berkenaan atau mengatur persoalan-persoalan hubungan
antara negara dengan negara, misalnya perjanjian tentang garis
batas wilayah antara dua negara.
c. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum
dan berkenaan dengan fungsi organisasi atau lembaga-lembaga
internasional.
d. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum
tentang persoalan hubungan antara organisasi internasional
dengan organisasi internasional lainnya, misalnya perjanjian
perdagangan antara Masyarakat Ekonomi Eropa dengan ASEAN
dan lain-lain.
e. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum
tentang persoalan hubungan antara negara dengan organisasi
internasional lainnya, misalnya perjanjian dengan ASEAN
menjadi kedudukan Sekretariat Jenderal ASEAN di Jakarta.
f. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum
yang berkenaan dengan individu dan subjek hukum lainnya bukan
negara, sepanjang hak-hak dan kewajiban tersebut menyangkut
masalah internasional, seperti tentang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban asasi manusia seperti yang dituangkan dalam berbagai
konvensi dan deklarasi internasional. Contohnya status dan
kedudukan pengungsi internasional.
g. Yang mengatur prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum
tentang persoalan antara organisasi internasional dengan individu,
antara organisasi internasional dengan subjek hukum bukan
negara maupun subjek hukum bukan negara satu sama lain.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
259
Berdasarkan pada pembahasan tersebut, maka dapat dikemukakan
bahwa isi dan ruang lingkup dan pengaturan Hukum Internasional
telah semakin luas. Apabila ditinjau dari segi subjeknya, maka tidak
hanya terbatas pada negara saja melainkan sudah bertambah banyak
dan luas, sehingga kensekuensi dari makin bertambahnya subjek
hukum internasional tersebut, adalah makin kompleksnya hubungan-
hubungan hukum internasional.
Sebagai bahan perbandingan, juga dikemukakan batasan
pengertian hukum internasional dari Mochtar Kusumaatmadja18
,
sebagai berikut:
Hukum internasional adalah keseluruhan kaedah-kaedah dan asas-
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-
batas Negara, antara lain:
1. Negara dengan Negara.
2. Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara atau subjek
hukum lain bukan Negara atau subjek hukum bukan Negara
satu sama lain.
Jadi apabila membandingkan isi dan ruang lingkup Hukum
Internasional pada masa lampau terutama pada abad ke -19 dan pada
awal abad ke-20, dimana hukum internasional hanya dipandang
sebagai sekumpulan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang
mengatur hubungan antara negara, tampak sudah semakin jauh
terjadinya perubahan dan perkembangan dari hukum internasional itu
sendiri. Pada masa sekarang, Hukum Internasional dengan isi serta
lingkupnya yang semakin luas, lebih dikenal dengan istilah Hukum
Internasional moderen. Hukum internasional moderen ini, tentu saja
berbeda dengan Hukum Internasional klasik (kuno) yang hanya
memandang negara sebagai subjek hukum internasional dan hubungan
hukum antara negara saja yang tergolong sebagai hubungan dalam
konteks Hukum Internasional.
18
Mochtar Kusumaatmadja. 1982. Pengantar Hukum Internasional. Bina
Cipta, Bandung, hlm. 3-4.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
260
Pada beberapa kajian Hukum Internasional di Indonesia, terutama
di beberapa fakultas hukum yang ada, juga mengintrodusir pengkajian
spesifik yang merupakan bahagian integral dari kajian Hukum
Internasional itu sendiri. Beberapa diantara kajian yang merupakan
pencabangan khusus kajian Hukum Internasional itu, mencakupi:
1) Hukum Perjanjian Internasional, kajian hukum yang membahas
tentang aturan-aturan perjanjian yang dibuat berdasarkan hukum
internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau
organisasi internasional yang menimbulkan akibat-akibat hukum
tertentu bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian
Internasional terbagi atas dua meliputi (1) perjanjian multilateral
dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban
masing-masing pihak; (2) perjanjian bilateral dibuat antara dua
negara.
2) Hukum Diplomatik, pada hakikatnya merupakan ketentuan atau
prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan
diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan
bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan
dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi
hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan
hukum internasional.
3) Hukum Angkasa Internasional, adalah adalah keseluruhan
ketentuan atau norma-kaidah menurut Hukum Internasional,
yang berlaku di ruang angkasa dan memiliki prinsip bebas untuk
pemanfaatan dan eksplorasi di ruang angkasa berdasarkan prinsip
persamaan hak dan menghormati kedaulatan wilayah negara lain.
4) Hukum Humaniter Internasional atau juga dikenal dengan istilah
Hukum Perang dan Damai, adalah seperangkat aturan yang karena
alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari
pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau
tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan
metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
261
lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik
bersenjata (laws of armed conflict).
Sebagaimana yang sudah dibahas pada paparan sebelumnya bahwa
Hukum Internasional yang dipelajari ini adalah Hukum Internasional
yang dikualifikasikan sebagai hukum internasional publik. Hal ini
sengaja penulis uraikan pada pembahasan ini, agar kita tidak rancu
dalam memahami perbedaannya dengan hukum perdata internasional,
karena meskipun Hukum Internasional publik dan hukum perdata
internasional, sama-sama menggunakan unsur internasional, namun
secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang sangat
mendasar bila ditinjau dari segi lingkup pengaturannya.
Hukum Internasional yang dipelajari ini, sesungguhnya termasuk
dalam lapangan hukum publik, karena secara mendasar didalamnya
mencakupi pengaturan hukum yang melibatkan kepentingan negara
secara langsung. Jadi Hukum Internasional pada hakikatnya mengatur
hubungan hukum yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan
negara dalam lintas pergaulan masyarakat internasional. Semuanya
itu, tentu juga berkaitan dengan hubungan hukum terhadap organisasi
internasional publik, yang nyaris keanggotaannya terdiri dari negara-
negara, misalnya ASEAN, PBB, IMF, dan lain-lain.
Begitu pula secara individual, seseorang dalam tindakan-tindakan
tertentunya, dapat tunduk dibawah Hukum Internasional publik, yang
segala tindakan-tindakannya dikaitkan dengan kepentingan suatu
negara. Contoh, seseorang yang melakukan pembajakan terhadap
pesawat udara milik suatu negara. Menurut Hukum Internasional,
pembajakan pesawat udara tergolong sebagai criminal against
humanity (kejahatan terhadap umat manusia), di mana tindakan
tersebut jelas sangat mengganggu kepentingan penerbangan nasional
suatu negara. Sehingga orang yang melakukan pembajakan pesawat
udara negara lain tergolong pelanggaran menurut Hukum
Internasional yang an sich masuk bilangan hukum publik
Adapun hukum perdata internasional termasuk dalam kualifikasi
hukum privat, karena yang menonjol didalamnya adalah dimensi
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
262
hubungan keperdataan yang mengandung unsur asing (internasional)
serta menyentuh lebih dari suatu tatanan hukum dari negara-negara
yang berlainan sistem hukum. Contoh, gugatan ganti rugi tiga korban
berkebangsaan Jepang yang tewas dalam kecelakaan Pesawat Garuda
DC-9 tanggal 4 April 1987 di Medan. Gugatan ganti rugi yang
diajukan ke Pengadilan Distrik Tokyo mempunyai unsur asing, yaitu
gugatan diajukan terhadap Garuda yang bukan perusahaan
penerbangan Jepang, atas kecelakaan pesawat yang tidak terjadi di
Jepang, tetapi terjadi di Medan, Indonesia.
Perlu pula dipahami bahwa tampaknya terdapat sudut pandang
berbeda menyangkut kedudukan hukum perdata internasional oleh
negara-negara yang menganut sistem hukum common law (Anglo
Saxon) dengan negara-negara Eropa Kontinental. Bagi negara-negara
penganut common law (Anglo Saxon) memandang bahwa hukum
perdata internasional sama seperti conflict of laws (hukum antar tata
hukum, hukum antar tata hukum yang bersifat eksteren) yang bisa
diselesaikan dengan menggunakan preseden hakim di pengadilan
(merupakan yurisprudensi) guna menentukan hukum mana yang harus
diperlukan untuk suatu kasus, apabila dalam kasus tersebut, terdapat
kemungkinan pemakaian lebih dari satu tata hukum. Sedangkan, ahli-
ahli hukum dari Eropa Kontinental, memandang bahwa conflik of law
adalah bagian dari Hukum Perdata Internasional, bukan bagian dari
kajian hukum antar tata hukum.
4. Hukum Laut
Hukum Laut dalam konteks sistem hukum Indonesia dapat
didefinisikan sebagai segala aturan hukum atau yang didalamnya
menyangkut kajian hukum tentang tata kelola wilayah laut Indonesia
termasuk penetapan batas-batas wilayah perairan Indonesia pada
lingkup nasional maupun kaitannya dengan batas-batas wilayah
dengan negara lain termasuk pula penggunaan wilayah perairan
Indonesia oleh kapal-kapal asing maupun badan-badan hukum asing
lainnya. Hukum Laut pada dasarnya masuk kategori hukum publik,
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
263
namun dalam berbagai pengaturan hukum atau kajian hukum dalam
sistem hukum Indonesia, bidang hukum ini dapat dicermati pada dua
ruang lingkup, yaitu Hukum Laut yang mengatur dalam lingkup
nasional dan Hukum Laut yang mengatur dalam lingkup internasional.
Pengaturan Hukum Laut dalam lingkup nasional adalah mengatur
pengelolaan serta penyelenggaraan wilayah laut yang masih berada
pada batas-batas kawasan Negara Indonesia. Sedangkan pengaturan
Hukum Laut dalam lingkup internasional, yaitu pengaturan wilayah
laut Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara lain ataukah
penyelenggaraan dan pengelolaan kawasan laut yang masih dalam
yurisdiksi nasional Indonesia menurut prinsip-prinsip Hukum
Internasional.
Pengaturan hukum nasional terhadap wilayah laut Indonesia,
bermula ketika Pemerintah Indonesia dibawah pemerintahan Presiden
Soekarno, pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah RI
mengeluarkan pernyataan yang dikenal “Deklarasi Djuanda”.
Dikeluarkannya deklarasi ini dimaksudkan untuk menyatukan wilayah
daratan yang terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya
lautan bebas yang berada di antara pulau-pulau wilayah daratan.
Sebelum Deklarasi Juanda dikeluarkan, pengaturan wilayah laut
Indonesia masih tunduk dibawah produk hukum Kolonial Belanda
yaitu berpatokan pada Territoriale Zee en Marietieme Kringen
Ordonantie (Staatblad tahun 1939 No.442). Dalam ketentuan
Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie/ (TZMKO) tahun
1939 itu memuat 4 kelompok mengenai perairan Indonesia. Pertama,
apa yang disebut dengan de Nederlandsch Indische territoriale zee
(Laut Teritorial Indonesia). Kedua, apa yang disebut dengan Het
Nederlandsch-indische Zeege bied, yaitu Perairan Teritorial Hindia
Belanda, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian sisi
darat laut pantai, daerah liuar dari teluk-teluk, ceruk-ceruk laut,
muara-muara sungai dan terusan. Ketiga, apa yang dinamakan de
Nederlandsch-Indische Binnen Landsche wateren, yaitu semua
perairan yang terletak pada sisi darat laut territorial Indonesia
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
264
termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-
rawa Indonesia. Keempat, apa yang dinamakan dengan de
Nederlandsch-Indische Wateren, yaitu laut territorial termasuk
perairan pedalaman Indonesia.
Beberapa pertimbangan Pemerintah Indonesia rezim Soekarno
merasa perlu mengeluarkan Deklarasi Juanda, yaitu:
1) Bahwa bentuk Geografi Indonesia yang berwujud negara
kepulauan, yang terdiri atas 13.000 lebih pulau-pulau besar dan
kecil yang tersebar di lautan.
2) Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan
dan perairan ( selat ) yang diantaranya merupakan kesatuan yang
utuh dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan
pulau yang lainnya, atau antara pulau dengan perairannya.
3) Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagai menurut
“Teritoriale Zee en Mariteme Kringen Ordonampie 1939” yang
dimuat dalam Staatsblad 1939 no 442 pasal 1 ayat (1 ) sudah tidak
cocok lagi dengan kepentingan Indonesia setelah merdeka
4) Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebagai suatu negara yang
merdeka, mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk
mengatur segala sesuatunya, demi untuk keamanan dan
keselamatan negara serta bangsanya.
Deklarasi Djuanda tersebut kemudian melahirkan gagasan untuk
menyatukan wilayah perairan dan daratan Indonesia sebagai satu
kesatuan yang terintegral yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Gagasan inilah yang melahirkan cara pandang politik bangsa
Indonesia melalui sebuah konsepsi yang dikenal dengan nama
Wawasan Nusantara. Berpijak dari gagasan ini pula kemudian
melahirkan Undang-Undang No.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia. Sejak itu, pengaturan mengenai perairan Indonesia tidak
lagi berpedoman pada ketentuan hukum TZMKO 1939 yang
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
265
merupakan produk hukum peninggalan Kolonial Belanda19
.
Pengaturan perairan Indonesia melalui Deklarasi Juanda, setidaknya
sudah dikembangkan dengan berdasarkan pada konsepsi kepentingan
nasional Indonesia.
Pengumuman Pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957
mengenai Konsepsi Nusantara, yang lebih dikenal “Deklarasi
Djuanda”, kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 4
Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Sejak “Deklarasi
Djuanda” atau Pengumuman Pemerintah mengenai Konsepsi
Nusantara itu, maka ; a) lebar lebar laut territorial Indonesia berubah
menjadi 12 mil laut yang sebelumnya 3 mil laut; b) penetapan lebar
laut territorial diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan
titik-titik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia terluar, dan
sebelumnya diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis air
rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai masing-masing
pulau Indonesia; c) Semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari yang tadinya berupa laut
territorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana
kedaulatan negara atas perairan tersebut praktis sama dengan
kedaulatan negara atas daratannya. Sementara sebelum Dekrarasi
Djuanda perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal
disebut perairan pendalaman.
Konsepsi Nusantara yang dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 4 Prp Tahun 1960, tentu saja tidak diterima negara-negara lain.
Pemerintah Indonesia setelah mencetuskan konsep Wawasan
Nusantara itu berupaya mensosialisasikan Konsepsi Nusantara guna
mendapatkan pengakuan internasional. Puncak dari upaya pemerintah
itu atas Konsepsi Nusantara itu adalah dalam Konperensi PBB III
tentang Hukun Laut yang berakhir tahun 1982, yang dalam koperensi
PBB III ini melahirkan konvensi Hukum Laut Baru yang diberi nama
19
Frans E.Likadja dan Daniel F Bessie. 1985. Hukum laut dan Undang-
Undang Perikanan. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 23
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
266
United Nations Convention on Law of The Sea atau yang disebut pula
dengan nama lain Konvensi Hukum Laut 1982.
Sebagai tindak lanjut penerapan Undang-Undang Nomor 4 Prp
Tahun 1960, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Laut Damai
Kendaraan Air Asing dalam Perairan Indonesia. Kehadiran PP ini,
setelah diundangkannya UU No. 4/Prp/1960, terutama oleh petugas-
petugas di lapangan (di laut) dirasakan perlunya ketegasan kedudukan
hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di perairan Indonesia yang
telah dijamin keberadaannya oleh UU No. 4/Prp/1960. Karena itu
tanggal 28 Juli 1962 Pemerintah Indonesia sangat beralasan
mengeluarkan Pengumuman Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang
Hak Lintas Laut Damai Kendaraan Air Asing. Dalam pasal 1
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tersebut menyatakan bahwa,
lalu lintas damai bagi kendaraan asing di perairan pedalaman
Indonesia (perairan Nusantara) yang sebelumnya berlaku UU Nomor.
4 Tahun 1960, merupakan laut lepas atau laut wilayah Indonesia
dijamin keberadaannya untuk kapal asing. Juga Sejalan dengan
ketentuan pasal 14 s/d 17 Konvensi Hukum Laut 1958, yang
dimaksud dengan lalu lintas damai dalam Peraturan Pemerintah No. 8
Tahun 1962 adalah pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut
wilayah dan perairan pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu
pelabuhan Indonesia dan sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas.
Selain produk undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai
dasar hukum pengaturan wilayah laut Indonesia dalam konteks
wilayah nasional, Pemerintah Indonesia juga menerbitkan beberapa
produk hukum untuk menjadi landasan yuridis pengaturan wilayah
laut Indonesia secara berkelanjutan, meliputi:
1) Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas
UNCLOS 1982
Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
267
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi PBB tentang
Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut
pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk
menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan
batas-batas maksimum ditetapkan sebagai berikut:
a) Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;
b) Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24
mil-laut;
c) Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan Landas Kontinen :
antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari
isobath (kedalaman) 2.500 meter.
Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak
berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di
samping itu, sebagai suatu negara kepulauan Indonesia juga berhak
untuk menetapkan:
a) Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal
kepulauannya,
b) Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.
c) Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis
pangkal atau garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam
penarikan garis batas.
2) Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-
Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih
mempertegas batas-batas terluar (outer limit) kedaulatan dan
yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan dasar dalam penetapan
garis batas (boundary) dengan negara negara tetangga yang
berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan
maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Pada dasarnya
Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar tentang hak
dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum
dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS.
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
268
Batas terluar laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum
12 mil laut, dan garis pangkal yang dipakai sebagai titik tolak
pengukurannya tidak berbeda dengan pengaturan dalam Undang-
Undang No. 4/Prp. tahun 1960 yang disesuaikan dengan ketentuan
baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar
Kepulauan Natuna, diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun
2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia
Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan
di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Undang-undang
No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan
Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan
Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan
daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan
Indonesia. Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan
dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar
perubahan atau pembaharuan (updating) data dapat dilakukan dengan
tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan
Pemerintah dimaksud. Lampiran-lampirannya merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah tersebut.
Juga masih terdapat beberapa pengaturan hukum pendukung
lainnya sebagai instrumen yuridis bagi tata kelola wilayah perairan
Indonesia, antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Pelayaran; (2) Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002
tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
269
Damai Melalui Perairan Indonesia; dan PP Nomor 19 tahun 1999
tentang pengendalian dan atau perusakan laut
Selain itu terdapat pula beberapa Undang-Undang yang
dikeluarkan sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun
1985 yang belum diubah yaitu:
1) Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia. Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan
Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang
menganut penetapan batas terluar landas kontinen berbeda dengan
UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan perubahan terhadap
Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana mestinya
ketentuan tentang batas terluar landas kontinen.
2) Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Menurut Undang-Undang ini di Zona
Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam
hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan
konservasi. Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
ditetapkan sejauh 200 mil-laut.
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona
tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan
garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang
berbatasan dengan zona tambahan negara lain.
Pada konteks perbatasan wilayah laut Indonesia dengan negara lain
terutama dengan negara tetangga Indonesia telah menyepakati
perjanjian bilateral yang merupakan landasan yuridis bagi pengaturan
batas-batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga.
Perjanjian-perjanjian tersebut, antara lain:
1) Pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan Malaysia
Persetujuan ke dua negara tersebut bagi pemerintahan Indonesia
yang telah disahkan secara konstitusionil diwujudkan dalam bentuk
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
270
keputusan Presiden yaitu Keputusan Presiden RI no 89 tahun 1969
menetapkan, mengesahkan persetujuan antara pemerintah RI dengan
pemerintah Indonesia tentang penetapan garis batas landas kontinen
antara ke dua negara yang di tanda tangani para delegasi masing-
masing di Kuala Lumpur pada tanggal 17 Agustus 1969.
2) Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia dan
Kerajaan Thauland
Hasil persetujuan delegasi-delegasi RI dengan Malaysia dan
Kerajaan Thailand ditanda tangani di Kuala Lumpur tanggal 21
Desember 1971 dan oleh Pemerintah Indonesia yang secara
Konstitusional dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden pada 11
Maret 1972, yaitu Keputusan Presiden no 20 tahun 1972 tentang
pengesahan persetujuan antara pemerintah RI, Pemerintah Malaysia
dan Kerajaan Thailand dalam penetapan garis-garis batas Kontinen di
bagian utara selat Malaka.
3) Pemerintah RI dengan Pemerintah Thailand
Hasil persetujuan antara pemerintahan RI dengan pemerintahan
kerjaan Thailand membicarakan batas landas kontinen dua negara
dibagian selat Malaka dan di laut Andaman, untuk memisahkan
bagian kedaulatan ke dua negara di bagian wilayah Kontinennya dan
di tanda tangani di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971 dan oleh
pemerintahan RI disahkan dalam bentuk keputusan Presiden yang
ditetapkan pada tanggal 11 Maret 1972, yaitu keputusan presiden no
21 tahun 1972.
4) Pemerintah RI dengan pemerintah Filipina
Sistem yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas
kontinennya adalah sistem yang sama dengan yang dianut oleh
Indonesia yakni Middle Line atau Ekuedistant, baik Indonesia maupun
Filipina kedua nya adalah negara kepulauan. Pada bulan Mei 1979
Filipina mengumumkan ZEE 200 milnya, dengan terjadinya
penetapan batas tersebut oleh masing-masing pihak dan diukur dari
BAB 5 Pembidangan Hukum Publik
271
garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing
yang mengelilingi kepulauannya, maka di baigian selatan Filipina
(Selatan Mindanau) dan bagian utara Indonesia ( Laut Sulawesi dan
Sangir Talaud ).
5) Pemerintah RI dan pemerintah Vietnam
Vietnam telah mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah
perairannya pada tanggal 12 Mie 1977 dan menetapkan UU
Maritimnya pada bulan Januari 1980. Dalam UU tersebut ditetapkan
bahwa wilayah maritim Vietnam adalah sejauh 200 mil laut dengan
perincian 12 mil laut Teritorial, 2 mil wilayah menyangga dan
selebihnya ZEE. Menurut Guy Sacerdotti dalam tulisannya tahun
1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia berpendirian bahwa tidak
ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.
6) Pemerintah RI dengan Pemerintah Papua Nugini
Kedua negara sudah membicarakan sebelumnya pada bulan Mei
1978 yang menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian dahulu tetap
mempunyai daya laku dan akan diadakan persetujuan final mengenai
penetapan ke dua negara, juga dalam pernyataan bersana tersebut
disebutkan bahwa tindakan-tndakan yang diambil oleh pihak Papua
Nugini untuk menetapkan Zona perikanan 200 mil serta kebijakannya
dalam pergolakan sumber-sumber daya hayati dalam zona tersebut
diakui.
BAB 6
PEMBIDANGAN HUKUM PRIVAT DAN
PEMBIDANGAN HUKUM LAINNYA DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA
Hukum Privat Hukum Privat menurut penulis dapat didefinisikan sebagai
segenap aturan hukum atau kaidah hukum yang mengatur
tentang hubungan-hubungan hukum (pergaulan hukum) yang
didalamnya lebih menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan/individu yang kepentingan ini dianggap bukan
sebagai bagian dari kepentingan negara atau masyarakat (publik)
pada umumnya.
Perbincangan tentang hukum privat dalam Sistem Hukum
Indonesia, yang mengatur tentang persoalan-persoalan hukum
keluarga, hukum waris, pengikatan hak individu, hukum jual beli,
hukum sewa menyewa, hukum pengangkutan, serta segala yang
terderivasi darinya, maka titik perhatian kita tidak bisa lepas dari kitab
Burgelijk Wetboek disingkat BW atau yang diterjemahkan oleh
sebahagian penulis hukum kita dengan istilah Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPdt) dan Kitab Wetboek van Koophandel yang
disingkat WvK, yang juga diterjemahkan dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD). Dua produk undang-undang yang
disebut, merupakan produk kolonial Belanda yang diberlakukan di
tanah jajahan yang waktu itu masih menggunakan nama Hindia
Belanda (wilayah nusantara/Indonesia sekarang). Pemberlakuannya di
Hindia Belanda dengan menggunakan asas konkordansi, yang mana
kedua produk hukum tersebut, merupakan hasil kodifikasi dari produk
hukum Perancis yaitu Code Civil dan Code de Commerce.
Sebelum unifikasi hukum keluarga di Indonesia yaitu melalui
terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
maka untuk persoalan hubungan hukum keluarga di Indonesia masih
merujuk kepada BW Buku I perihal orang. Pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, serta merta
terjadilah unifikasi hukum keluarga di Indonesia yang berbarengan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
273
dengan itu, dihapuskanlah pengaturan masalah keluarga dan
perkawinan sebagai mana yang diatur dalam BW Buku I.
Namun demikian, sampai saat ini fakta hukum di Indonesia,
beberapa ketentuan dalam BW dan WvK masih berlaku dalam
hubungan hukum privat antara warga masyarakat. Terutama
menyangkut hukum keluarga dalam BW masih diberlakukan bagi
golongan penduduk Indonesia yang non-muslim atau mereka yang
masih menyerahkan persoalan hukumnya ke pengadilan sipil bukan ke
pengadilan agama. Begitu pula, untuk persoalan-persoalan hukum
seperti menyangkut perjanjian dan aspek-aspeknya, pengikatan jual
beli, sewa-menyewa, pengangkutan laut, asuransi, perusahaan dan
badan hukum, pembuktian dan kadaluarsa terhadap sengketa
keperdataan, tampaknya sebahagian masih mengadopsi ketentuan
yang diatur dalam BW dan WvK. Kecuali untuk masalah-masalah
perkawinan, hibah, dan warisan bagi masyarakat muslim di Indonesia,
sudah tidak tunduk lagi kepada BW tetapi tunduk kepada Hukum
Islam yang diformalisasikan melalui Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang untuk
penyelesaian sengketanya telah diselesaikan oleh pengadilan yang
dibentuk khusus untuk masyarakat muslim di Indonesia yaitu
Pengadilan Agama.
Namun kendati pengadilan agama sudah dibentuk untuk memenuhi
hasrat masyarakat muslim Indonesia dalam penyelesaian sengketa
bidang hukum keluarga, tetapi proses beracara di pengadilan tersebut
masih menggunakan prosedur beracara sebagaimana yang diatur
dalam HIR dan RBG. Dua produk hukum yang disebut ini, tentu saja
merupakan produk hukum warisan Kolonial Belanda. Begitu juga,
meskipun Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang di
dalam Perma tersebut, diatur secara spesifik mengenai perjanjian
syariah yang berlaku bagi masyarakat Muslim Indonesia, pada
prakteknya masih mencangkokkan asas-asas perjanjian yang diatur
dan dikenal dalam BW. Termasuk dalam hal pengikatan jual beli dan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
274
badan hukum berbasis syariah masih mengintrodusir asas-asas yang
termuat dalam WvK (KUHD).
Dalam kajian hukum privat pada sekolah hukum di Indonesia,
umumnya masih menggunakan istilah hukum perdata sebagai ganti
dari istilah hukum privat. Bila ditelusuri kata perdata sebetulnya kata
ini berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu perdoto yang berarti
menghukum. Kalau dalam Bahasa Jawa kata perdoto berarti
pertengkaran atau perselisihan. Yang pertama kali memperkenalkan
istilah Hukum Perdata sebagai terjemahan dari Burghlijk Recht,
adalah Professor Djojodiguno. Istilah ini juga merupakan terjemahan
dari istilah civilrecht dan privatrecht. Sebenarnya kalau kita mau
konsisten dengan apa yang menjadi substansi pengaturan hukum
privat untuk membedakannya dengan hukum publik, maka memang
yang tepat adalah menggunakan istilah hukum privat atau hukum sipil.
Sebab penamaan istilah tersebut, merujuk kepada kepentingan hukum
perseorangan atau individu. Sedangkan bila menggunakan istilah
perdata yang diadopsi dari Bahasa Sansekerta atau Bahasa Jawa
perdoto, lebih menunjukkan kepada makna hukum pidana yang
merupakan bilangan hukum publik. Akan tetapi, istilah hukum perdata
ini, telah menjadi istilah yang umum digunakan dalam dokumen
hukum di Indonesia dan telah menjadi istilah yang cukup familiar
dalam berbagai kajian hukum di lembaga sekolah hukum di Indonesia.
Penggunaan istilah perdata dalam sistem hukum Indonesia,
sebagaimana dimaksudkan, pertama kali secara resmi terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia, yakni dalam Konstitusi RIS pada
Pasal 15 ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Juga ditemukan
dalam UUDS RI Tahun 1950 yaitu pada pasal 15 ayat 2, Pasal 101
ayat 1 dan Pasal 106 ayat 3. Hal yang sama, secara resmi dapat dilihat
dalam Undang-undang Darurat Nomor 5 Tahun 1952 tentang Bank
Industri Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952
No. 21 pada tanggal 20 Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada
tanggal 28 Pebruari Tahun 1952.
Dalam kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia
pada awal berdirinya telah ditemui berbagai istilah dan atau penamaan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
275
dari “Hukum Perdata”, baik itu pada Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi
Ilmu Hukum maupun Akademi Hukumnya. Begitu pula dalam
Konsorsium Ilmu Hukum yang pernah diadakan, disepakati
penggunaan istilah Hukum Perdata sebagai mata kuliah yang
diajarkan di fakultas hukum-fakultas hukum di Indonesia1. Hingga
kini, istilah Hukum Perdata masih digunakan dalam setiap
pembelajaran hukum pada sekolah hukum-sekolah hukum di
Indonesia.
Berkenaan dengan istilah Hukum Perdata yang dikemukakan,
berikut penulis memaparkan beberapa pengertian Hukum Perdata
yang dikemukakan para pakar hukum, yang diambil dari beberapa
sumber, antara lain: H.F.A. Vollmar memberikan pengertian hukum
perdata “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang
tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari
orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”. Selanjutnya Sudikno
Mertokusumo juga memberikan pengertian Hukum Perdata, yaitu
“hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang
perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat”. Sementara itu
menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan," bahwa hukum perdata
adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara
perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain.
Demikian juga Van Dunne memberikan pengertian hukum perdata
sebagai berikut: “hukum perdata merupakan suatu aturan yang
mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan
individu seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan.
Dari pengertian Hukum Perdata yang dikemukakan beberapa orang
ahli hukum tersebut, maka menurut penulis Hukum Perdata, dapat
didefinisikan sebagai keseluruhan aturan baik yang tertulis
1 Z. Ansori Ahmad. 1986. Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia.
Rajawali Press, Jakarta, hlm. 1.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
276
maupun yang tidak tertulis sifatnya yang isinya mengatur
hubungan hukum perseorangan (bersifat individu), baik itu
hubungan hukum antara individu dengan individu, individu
dengan badan hukum, maupun antar badan hukum satu sama
lain, yang dalam hubungan hukum tersebut menimbulkan akibat-
akibat hukum tertentu, yang tidak berimplikasi secara langsung
dengan kepentingan publik.
Sehubungan dengan itu juga, dalam beberapa literatur hukum yang
membahas tentang Hukum Perdata, terdapat kecenderungan beberapa
ahli hukum untuk mengkelompokkan pengertian Hukum Perdata
dalam dua kelompok, yaitu: Pertama, pengertian Hukum Perdata
dalam arti luas, yaitu segenap aturan hukum yang memuat kaidah atau
norma hukum keperdataan yang temaktub dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (WvK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut
undang-undang tambahan lainnya. Kedua, Hukum Perdata dalam arti
sempit, yaitu segenap aturan hukum keperdataan yang termaktub
dalam BW atau KUHPerdata.
Merujuk pengertian tersebut, Hukum Perdata dalam arti luas
berarti pembahasan yang mencakup hubungan hukum keperdataan
yang tidak hanya diatur dalam BW tetapi juga diatur dalam WvK atau
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang persoalan
hubungan hukum yang terkait erat dengan hubungan hukum
keperdataan. Sedangkan Hukum Perdata dalam arti sempit, adalah
pembahasan tentang hubungan hukum keperdataan yang diatur dalam
BW atau KUHPerdata.
Melalui pengelompokan pengertian Hukum Perdata dalam arti
sempit dan luas, maka pengkajian Hukum Perdata pada beberapa
sekolah hukum di Indonesia, masing-masing dikelompokkan dalam
beberapa bidang, berikut ini:
1) Hukum Perdata dalam Arti Sempit, mencakupi kajian hukum:
Hukum Perseorangan, kajian hukum terhadap peraturan-peraturan
tentang diri manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
277
peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan
kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta
hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
Hukum Keluarga (familierecht), mencakupi pembahasan tentang
hukum yang mengatur hal-hal berkaitan dengan hubungan-
hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan
antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian
dan curatele. Bagi warga muslim di Indonesia, pengaturan hukum
keluarga bagi mereka tunduk kepada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht), hukum yang mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan
uang, atau hak-hak kebendaan yang dapat dinilai dengan uang.
Hukum Waris (erfrecht), mengatur tentang pembagian harta
warisan. Bagi masyarakat muslim di Indonesia, tidak lagi tunduk
kepada BW mengenai pembagian waisan tetapi tunduk
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Inpres
Nomor 1 Tahun 1991.
Beberapa fakultas hukum di Indonesia, memformulasikan semua
kajian hukum keperdataan diatas melalui beberapa mata kuliah,
seperti: (1) Hukum Perkawinan dan Hukum Keluarga; (2) Hukum
Waris; (3). Hukum Perjanjian; (4) Hukum Perutangan; (5) Hukum
Perikatan; (6) Hukum Kebendaan; (7) Hukum Jaminan, Hipotek dan
gadai; dan (8). Hukum Pembuktian.
2) Hukum Perdata dalam Arti Luas, mencakupi kajian hukum:
Hukum Perusahaan dan Badan Hukum; Hukum Asuransi; Hukum
Kepailitan; Hukum Dagang; Hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual; Hukum Bisnis dan Ekonomi; dan lain-lain.
Pembahasan lain menyangkut bidang Hukum Privat yang perlu
juga dipahami adalah menyangkut sanksi yang ditetapkan dalam
Hukum Privat, atau yang dalam pembahasan kita ini, penulis
menyebutnya dengan sanksi perdata. Ada perbedaan mendasar antara
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
278
sanksi pidana dengan sanksi perdata dalam sistem hukum Indonesia.
Sanksi Hukum Pidana sifatnya pakem sudah ditentukan bentuknya
oleh undang-undang yang berlaku. Sedangkan sanksi dalam Hukum
Perdata di Indonesia, lebih bersifat kepada apa yang sudah ditentukan
bentuk dan kadarnya oleh pihak yang merasa dirugikan kepentingan
hukumnya. Karakteristik yang berbeda sanksi perdata dengan sanksi
pidana, sebab mengikuti karakteristik yang melekat pada Hukum
Perdata, yaitu Hukum Perdata lebih mendeskripsikan kepentingan
hukum perseorangan (individu), sebagaimana yang sudah dibahas
pada uraian sebelumnya.
Secara teoritis dan fakta hukum yang ada di Indonesia, sanksi
perdata dalam bentuknya, ada dua yaitu pertama, ganti rugi dan kedua,
pemulihan atau pemenuhan hak pihak-pihak yang berkepentingan
karena merasa dilanggar oleh pihak lain. Ganti rugi biasanya dalam
bentuk sejumlah uang tertentu yang ditentukan oleh pihak-pihak yang
merasa dirugikan karena pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak
lain. Jumlah besaran uang ganti rugi, adalah didasarkan kepada
tuntutan pihak yang dirugikan. Contohnya, seseorang yang merasakan
kerugian finansial karena pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak
lain yang berjanji kepadanya. Berdasarkan taksiran ia mendapat
kerugian 100 juta rupiah. Maka pihak yang menderita kerugian
tersebut, akan menuntut ganti rugi sebesar 100 juta rupiah.
Sedangkan pemulihan hak-hak pihak yang berkepentingan, yaitu
pengembalian kedudukan hak semula kepada pihak yang
berkepentingan karena merasa hak-hak tersebut dirampas oleh orang
lain. Contohnya, seseorang merampas hak atas tanah seseorang yang
sebenarnya bukan haknya. Pihak yang merasa haknya dirampas itu,
menggugat ke pengadilan supaya orang yang merampas hak atas
tanahnya itu dikembalikan kepadanya. Contoh lain, seorang
perempuan yang menggugat ke pengadilan agar hak asuh atas
anaknya, setelah bercerai dengan suaminya, dikembalikan kepadanya.
Jadi sanksi perdata tergantung dari tuntutan pihak-pihak yang merasa
dirugikan, hakim hanyalah tinggal memutuskan apakah tuntutan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
279
hukum itu dipenuhi seluruhnya, atau dipenuhi sebahagian, atau
mungkin juga tidak dipenuhi sama sekali.
Sanksi perdata sebagaimana yang telah dibahas, merupakan bentuk
penjeraan kepada pihak-pihak yang diduga atau terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Perdata. Istilah
Perbuatan Melawan Hukum dalam Konteks Hukum Perdata, jika
ditelusuri asal-usul peristilahannya dari bahasa asing yaitu Bahasa
Belanda menggunakan istlah onrechtmatige daad. Dalam sistem
hukum Anglo Saxon, negara-negara berbahasa Inggeris menggunakan
istilah tort.
Memang terdapat perbedaan cukup mendasar antara Perbuatan
Melawan Hukum sebagai mana yang dikenal dalam Hukum Pidana
dengan Perbuatan Melawan Hukum menurut perspektif Hukum
Perdata. Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam BW. Perbedaan
mendasar antara Perbuatan Melawan Hukum Menurut Hukum Perdata
dan Hukum Pidana, telah dicatat oleh Sidharta2, sebagai berikut:
Perbuatan melawan hukum, baik perdata (onrechtmatige daad)
maupun pidana (wederrechtelijke daad) adalah dua konsep penting
dalam wacana ilmu hukum. Secara umum, terutama jika mengikuti
arus besar (mainstream) pemikiran hukum di Indonesia, kedua
konsep ini mengalami divergensi dalam arah pemafsirannya.
Perbuatan melawan hukum perdata mengarah kepada pemaknaan
yang meluas (ekstensif), yakni dengan mengartikan hukum tidak
sama dengan undang-undang (wet). Jadi, onrechtmatig dibedakan
pengertiannya dengan onwetmatig. Momentum historis dari
perluasan ini terjadi setelah putusan Hoge Raad der Nederlanden
tanggal 31 Januari 1919, yaitu dalam kasus kasus Lindenbaum
versus Cohen. Lain halnya dengan perbuatan melawan hukum
dalam lapangan pidana yang justru mengarah ke pemaknaan yang
2 Sidharta. 2013. “The Breakthrough Doctrine of Interpretation in
Environmental Tortlaw in Addressing the Trans-boundary Legal Problems”.
Cuplikan Makalah yang dipresentasikan pada Konprensi Internasional yang
diadakan oleh Stikubank, 29-30 Agustus 2013.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
280
menyempit (restriktif), yakni lebih mengarah kepada sifat melawan
hukum formal (formele wederrechtelijkheid). Apa yang disebut
hukum lazimnya mengacu pada ketentuan norma positif dalam
sistem perundang-undangan pidana yang telah ada, tertulis, dan
berlaku sebelum perbuatan dilakukan. Pelanggaran terhadap syarat
ini merupakan pelanggaran serius terhadap asas legalitas.
Dengan mencermati kutipan tulisan Sidharta, maka ada perbedaan
mendasar antara Perbuatan Melawan Hukum versi Hukum Pidana
dengan Hukum Perdata, yaitu Perbuatan Melawan Hukum versi
Hukum Pidana bersifat menyempit serta merupakan norma positif
yang pakem berlaku secara tertulis. Sedangkan, Perbuatan Melawan
Hukum versi Hukum Perdata, bersifat ekstensif yang tidak sama
dengan terminologi menurut norma positif.
Tentang penggunaan istilah Perbuatan Melawan Hukum dalam
konteks Hukum Perdata, memang ada beberapa penulis hukum yang
tidak sependapat menggunakan istilah itu, ada yang berpandangan
bahwa dalam Hukum Perdata yang cocok adalah menggunakan istilah
Perbuatan Melanggar Hukum. Namun dalam konteks pembahasan ini,
penulis hanya menggunakan istilah Perbuatan Melawan Hukum
sebagaimana yang lazim digunakan oleh sebahagian besar penulis
hukum.
Perbuatan Melawan Hukum menurut perspektif Hukum Perdata,
diatur dalam Pasal 1365 BW yang memuat ketentuan: “Setiap
perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.
Berdasarkan ketentuan ini, perbuatan melawan hukum maka harus
dipenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur:
1) Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang
melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan
kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
281
undang-undang. Artinya, melawan hukum ditafsirkan sebagai
melawan undang-undang.
2) Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara
objektif dan subjektif. Secara objektif yaitu dengan dibuktikan
bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat
menduga kemungkinan timbulnya akibat dan kemungkinan ini
akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak
berbuat. Secara subjektif, berarti dapat dibuktikan bahwa apakah
si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga
akan akibat dari perbuatannya. Selain itu orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban
atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia
lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Dari sini, ada dua
kemungkinan: Pertama, rang yang dirugikan juga mempunyai
kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa
jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian,
maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya
kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan
sengaja: Kedua, kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat.
Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang
maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas
terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.
3) Harus ada kerugian yang ditimbulkan. Artinya, kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang dapat berupa
kerugian materiil, yaitu kerugian yang terdiri dari kerugian yang
nyata-nyata diderita dari keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan
melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk
kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang
seharusnya diperoleh. Selain kerugian materil juga kerugian idiil,
dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan
kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan
kesenangan hidup. Untuk menentukan luasnya kerugian yang
harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
282
tersebut, untuk itu pada prinsipnya pijak yang dirugikan harus
sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika
terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak
menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada
waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita
pada waktu yang akan datang.
4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Untuk
memecahkan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian, terdapat dua teori, meliputi: Teori Condition
Sine Qua Non, menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya
condition sine qua non menimbulkan kerugian baik materil
maupun immaterial. Teori Adequate veroorzaking, menurut teori
ini si pelaku Perbuatan Melawan Hukum hanya bertanggung
jawab untuk kerugian yang dianggap patut dan layak.
Jadi ringkasnya Perbuatan Melawan Hukum perspektif Hukum
Perdata, merujuk BW dapat diperinci sebagai berikut:
1) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ
badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada pasal
1364 BW.
2) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang
wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan
badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal
1367 BW.
3) Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang
mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum, pertanggung
jawabannya dapat dipilih antara pasal 1365 dan pasal 1367 BW.
Perlu juga dipahami bahwa Perbuatan Melawan Hukum dalam
konteks Hukum Perdata, menurut penulis dapat dibagi tiga kategori
yaitu: Perbuatan Melawan Hukum Karena Undang-Undang, Perbuatan
Melawan Hukum Karena Melanggar Hak-Hak Orang Lain Yang tidak
diatur undang-undang, dan Perbuatan Melawan Hukum Karena
Melanggar Perjanjian. Penulis menempatkan Perbuatan Melawan
Hukum merupakan genus, sedangkan tiga kategori Perbuatan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
283
Melawan Hukum yang penulis sebutkan merupakan spesiesnya.
Sebelum penulis membahas tiga kategori Perbuatan Melawan Hukum
perspektif Hukum Perdata, lebih dahulu dipaparkan secara ringkas
melalui ragaan berikut ini:
RAGAAN 11
KATEGORI PERBUATAN MELAWAN HUKUM
PERSPEKTIF HUKUM PERDATA
Berdasarkan bagan, penulis menguraikan secara rinci kategori
Perbuatan Melawan Hukum perspektif Hukum Perdata, sebagai
berikut:
1) Perbuatan Melawan Hukum Karena Undang-Undang. Jenis
Perbuatan Melawan Hukum ini adalah merujuk kepada undang-
undang yang sudah mengaturnya. Artinya, seseorang melakukan
Perbuatan Melawan Hukum yang melanggar hak-hak keperdataan
orang lain atau pihak lain karena berdasarkan kepada undang-
undang yang sudah mengaturnya. Undang-undang sudah
menetapkan hak-hak keperdataan seseorang menyangkur suatu
PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
(Onrechtmatige Daad)
Perbuatan
Melawan
Hukum Karena
Undang-Undang
Perbuatan Melawan
Hukum Karena
Melanggar Hak
Orang Lain (Bukan
KarenaUndang-
Undang)
Perbuatan
Melawan Hukum
Karena Melanggar
Perjanjian
(Wanprestasi)
Genus
Spesies
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
284
perbuatan hukum tertentu atau hak-hak keperdataan yang melekat
atas suatu benda. Adanya hak-hak tersebut, maka seseorang atau
pihak lain mempunyai kewajiban untuk menghormati hak-hak
tersebut. Bukan hanya kewajiban menghormati hak-hak
keperdataan seseorang tetapi bisa saja lebih dari itu, kewajiban
untuk melakukan sesuatu sebagai bagian untuk memenuhi hak-
hak keperdataan seseorang dimaksud. Misalnya, Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa seorang
suami wajib memberikan nafkah bagi isteri dan anak-anak yang
menjadi tanggungannya. Berarti undang-undang sudah mengatur
hak-hak isteri untuk mendapatkan nafkah hidup dari suaminya.
Bila suatu ketika seorang suami lalai atau tidak mau memberikan
nafkah kepada anak dan isterinya selama berbulan-bulan karena ia
melakukan perselingkuhan dengan wanita lain, maka sang isteri
dapat menggugat ke pengadilan agar suaminya melaksanakan
kewajiban menafkahi keluarganya. Sang suami dipandang telah
melakukan Perbuatan Melawan Hukum menurut undang-undang,
yaitu lalai atau tidak mau menafkahi keluarganya sebagai
kewajiban kepala rumah tangga menurut undang-undang
perkawinan.
2) Perbuatan Melawan Hukum Karena Melanggar Hak-Hak Orang
Lain (Bukan Karena Undang-Undang). Jenis Perbuatan Melawan
Hukum ini, ditentukan berdasarkan preseden hakim
(yurisprudensi), hakimlah yang memutuskan bahwa telah terjadi
Perbuatan Melawan Hukum Berdasarkan gugatan dari pihak yang
merasa kepentingan hukumnya dilanggar pihak lain. Jenis
Perbuatan Melawan Hukum ini memang tidak ada tercantum
dalam undang-undang tetapi berdasarkan penafsiran hukum hakim
yang menyatakan bahwa telah terjadi Perbuatan Melawan Hukum.
Gagasan jenis Perbuatan Melawan Hukum ini memang belum
lama diterima terutama di negara-negara yang menganut sistem
civil law yang sangat kuat menganut aliran legisme dimana
berdasarkan paham ini sebuah tindakan bisa disebut Perbuatan
Melawan Hukum apabila ada undang-undang mengaturnya, akan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
285
tetapi berdasarkan Keputusan Hoge Raad Nederland (Mahkamah
Agung Belanda) tanggal 31 Januari 1919 pada kasus Lindenbaum
vs. Cohen, bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak harus apa
yang dinyatakan dalam undang-undang tertulis. Kronologi
peristiwanya, penulis uraikan secara singkat berikut ini:
Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum
dibujuk oleh Cohen agar memberitahukan nama-nama
pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.
Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut
untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat orang-
orang akan memilih kantor percetakannya daripada kantor
Lindenbaum. Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh
Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan
gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen,
Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen
tersebut. Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di
tingkat banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat
banding, dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai
suatu perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan
suatu pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh
Cohen.Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-
nya Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang
dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa
pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW,
termasuk pula suatu perbuatan yang melanggar hak-hak orang
lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
bertentangan dengan kesusilaan.Sebelum adanya Arrest tersebut,
pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal
1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan
secara sempit. Yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah
tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang
timbul karena Undang-Undang (onwetmatig). Orang tidak bisa
mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
286
kerugian apabila tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan
undang-undang mana yang telah dilanggar.
Contoh lain, di Kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah
yang tinggal di bagian bawah rumah bertingkat pernah
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pemilik
rumah yang tinggal di bagian atas. Penyebabnya, barang-barang
yang berada ruangan di bagian bawah menjadi rusak karena
pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup kerannya.
Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah,
sehingga ketika pemilik rumah yang di atas menyalakan keran,
justru yang dibagian bawah menjadi kebanjiran. Ketika itu,
gugatan perbuatan melawan hukum tersebut ditolak karena tidak
ada pasal dari suatu undang-undang yang mengharuskan pemilik
rumah bagian atas untuk mematikan kran airnya. Tetapi
pengadilan Belanda pada tingkat akhir memutuskan bahwa
pemilik rumah yang tinggal di bagian atas telah melakukan
Perbuatan Melawan Hukum karena melakukan tindakan yang
melanggar hak orang lain yang dapat merugikan yaitu orang yang
tinggal dibawahnya meski ketentuan itu belum diatur dalam
undang-undang.
3) Perbuatan Melawan Hukum Karena Melanggar Perjanjian
(Wanprestasi). Istilah wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda
yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi dapat berupa tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang
diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa
yang diperjanjikan tapi terlambat, melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pakar hukum pidana
Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya
wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan
perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur. Ganti
kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah
dikeluarkan, kerugian yang timbul akibat wanprestasi tersebut,
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
287
serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya
keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh
kreditur seandainya tidak terjadi wanprestasi. Kewajiban debitur
untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat
dirinya lalai. Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu
yang disampaikan oleh kreditur ke debitur (pasal 1238 jo Pasal
1243 BW).
Berdasarkan penjelasan penulis tentang kategori Perbuatan
Melawan Hukum perspektif Hukum Perdata, tampaknya sebahagian
pakar hukum membedakan kategori Perbuatan Melawan Hukum
Wanprestasi dengan Perbuatan Melawan Hukum Karena Undang-
Undang atau Melanggar Hak Orang Lain. Untuk membedakannya,
penulis menguraikan sebagai berikut:
1) Wanprestasi terjadi karena seseorang melanggar perjanjian yang
dibuatnya dengan orang lain. Sebuah adagium tidak ada
wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan
Perbuatan Melawan Hukum Karena UU/Melanggar Hak terjadi
apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
bertentangan dengan kesusilaan, baik berdasarkan undang-undang
atau keputusan hakim.
2) Dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum Karena
UU/Melanggar Hak, penggugat harus membuktikan semua unsur-
unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu
membuktikan adanya kesalahan yang diperbuat seseorang.
Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup
menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang
dilanggar.
3) Kemudian dalam suatu gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Karena UU/Melanggar Hak, penggugat dapat menuntut
pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum).
Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan apabila gugatan yang
diajukan dasarnya adalah wanprestasi.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
288
Demikian penjelasan tentang Perbuatan Melawan Hukum dalam
perspektif Hukum Perdata. Yang patut dicatat adalah sebelum
mengajukan gugatan perdata, sebaiknya penggugat
mempertimbangkan dahulu apakah akan mengajukan gugatan
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum karena undang-
undang/melanggar hak terhadap seseorang. Seandainya mengajukan
gugatan wanprestasi, ia cukup menunjukkan perjanjian yang dilanggar
dan tergugatlah yang akan dibebani pembuktian untuk menyatakan
tidak terjadi wanprestasi. Namun kalau akan mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum karena undang-undang/melanggar hak,
penggugat harus siap-siap untuk membuktikan dan menunjukkan
bahwa bukan hanya ada suatu perbuatan melawan hukum, tetapi ada
juga unsur kesalahan (schuld) yang dilakukan oleh Tergugat.
Pembidangan Hukum Yang Bersifat Campuran Pembahasan tentang pembidangan hukum publik dan hukum privat
yang menjadi kajian hukum utama di beberapa sekolah hukum di
Indonesia, tampaknya masih menimbulkan problem karena ada
beberapa ahli hukum yang tidak sependapat apabila dilakukan
pembedaan secara tegas dan tajam antara bidang hukum publik
dengan bidang hukum privat. Seperti yang dikemukakan Mr L.J. van
Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het
Nederlandsche Recht. Kata Apeldoorn, kita seyogyanya tidak bisa
secara serampangan melakukan pemisahan yang tajam antara bidang
hukum publik dan bidang hukum privat. Sebab antara apa yang
disebut hukum publik dan hukum privat sama-sama memiliki
hubungan relevansi sangat kuat yang saling mengisi satu sama lain.
Kata Apeldoorn, kepentingan individu atau kepentingan perseorangan
pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan umum.
Kepentingan perseorang pasti akan terkait juga secara langsung
dengan kepentingan umum (algemene belangen). Bagaimanapun juga
manusia sebagai mahluk individu tidak akan bisa melepaskan
eksistensinya sebagai mahluk sosial (social wezen) yang hidup dalam
suatu sistem kemasyarakatan. Artinya, kepentingan individu tidak
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
289
akan bisa dipisahkan dengan kepentingan umum (publik). Apeldoorn
mengatakan bahwa pembidangan antara hukum publik dengan hukum
privat hanya untuk memudahkan pengkajian diantara pernak-pernik
kajian hukum yang semakin luas, beragam, dan kompleks, tetapi
bukan untuk dilakukan pemisahan secara dikotomis antara hukum
publik dan hukum privat3.
Penulis pada prinsipnya juga sependapat dengan Mr L.J. van
Apeldoorn, bahwa memang kita tidak boleh melakukan pembedaan
secara ekstrim bidang kajian hukum publik dengan bidang kajian
hukum privat. Kedua bidang itu, merupakan sama-sama kajian hukum
yang saling melengkapi serta saling berkaitan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Apalagi, saat ini kita menjumpai bidang-
bidang kajian hukum, yang bersifat campuran (mix), yaitu satu bidang
kajian hukum yang mengkaji kaidah hukum secara inter-disipliner,
pada titik pandang yang saling beririsan, hukum publik dan hukum
privat. Melihat pengaturan hukum tidak secara polarisasi antara
hukum publik dan hukum privat tetapi secara utuh dan terpadu antara
bidang kajian publik dan privat. Bidang-bidang kajian hukum
dimaksud antara lain:
1. Hukum Lingkungan
Istilah Hukum Lingkungan merupakan terjemahan dari beberapa
istilah, yaitu "Environmental Law" dalam Bahasa Inggris,
"Millieeurecht" dalam Bahasa Belanda, "Lenvironnement" dalam
Bahasa Prancis, "Umweltrecht" dalam Bahasa Jerman, "Hukum Alam
Seputar" dalam Bahasa Malaysia, "Batas nan Kapaligiran" dalam
Bahasa Tagalog, "Sin-ved-lom Kwahm" dalam Bahasa Thailand,
"Qomum al-Bilah" dalam Bahasa Arab. Sehubungan dengan
peristilahan Hukum Lingkungan itu, maka beberapa ahli hukum
memberikan pengertian Hukum Lingkungan antara lain: Gatot P.
Soemartono menyebutkan bahwa Pengertian Hukum Lingkungan
ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang
3 Mr Wirjono Prodjodikoro. 1962. Azas-Azas Hukum Perdata. Penerbit
Sumur, Bandung, hlm. 7.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
290
tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yg
pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi
oleh pihak yang berwenang. Sedangkan menurut
Danusaputro Pengertian Hukum Lingkungan adalah hukum yang
mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta
peningkatan ketahanan lingkungan. Dialah yang membedakan antara
hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau
environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang
berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau use oriented law4.
Menurut Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan adalah hukum
yang mengatur tatanan lingkungan hidup dengan menetapkan nilai-
nilai yang sedang berlaku (Ius Constitutum) dan nilai-nilai yang
diharapkan berlaku (Ius Constituendum). Hukum lingkungan adalah
hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan
makhluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenakan
sanksi. Menurut Drupsteen: Hukum lingkungan adalah hukum yang
berisi kaedah-kaedah tentang perilaku masyarakat yang positif
terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara
langsung kepada masyarakat kepada masyarakat: hukum lingkungan
menyatakan apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Secara tidak
langsung kepada masyarakat: hukum lingkungan memberikan
landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaedah kepada
masyarakat. Pengertian hukum lingkungan menurut Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2009 bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,termasuk
manusia dan perilakunya, yangmempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia sertamakhluk
hidup lain.
Dengan demikian, Hukum Lingkungan secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai hukum yang mengatur tatanan
lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup
4 Muhammad Erwin. 2008. Hukum Lingkungan dalam Sistem
Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Penerbit PT Refika
Aditama, Bandung, hlm. 120-121.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
291
semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan
tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana
manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. Dalam
pengertian secara moderen, hukum lingkungan lebih berorientasi pada
lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum
lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi
penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law
Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma
guna menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya
lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna
mencapai hasil semaksimal mungkin, & dalam jangka waktu yang
sesingkat-singkatnya. Sebaliknya, hukum lingkungan modern
membicarakan ketentuan dan norma-norma guna mengatur perbuatan
manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan
dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestarianya, agar dapat
langsung scara terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang
maupun generasi-generasi mendatang.
Karena hukum lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan,
maka sifat & wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari
lingkungan sendiri, serta dengan demikian lebih banyak yang merujuk
kepada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, hukum
lingkungan modern memiliki sifat komprehensif-terpadu, artinya
selalu berada dalam dinamika dengan sifat & wataknya. Sebaliknya
hukum lingkungan klasik bersifat sektoral dan sukar berubah.
Hukum Lingkungan dalam sistem hukum Indonesia (pada saat
buku ini ditulis), diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Lingkungan Hidup. Mencermati substansi Undang Undang
Lingkungan Hidup ini, maka Hukum Lingkungan dalam hubungannya
dengan penegakan Hukum Lingkungan itu sendiri, sangat terkait
dengan segi-segi Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum
Administrasi Negara, dan Hukum Internasional. Dari sudut pandang
kajian inilah, Hukum Lingkungan dapat didudukkan sebagai bidang
hukum yang kajiannya bersifat multi-disipliner. Bahkan bila
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
292
merambah lebih jauh, Hukum Lingkungan dapat menyentuh aspek
politik, aspek kesehatan, aspek etika, aspek ekonomi, dan aspek
budaya.
Dari segi hukum administrasi, pendekatan terhadap Hukum
Lingkungan terutama muncul apabila keputusan penguasa yang
bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan
(beschikking), misalnya dalam hal prosedur perijinan, penentuan
kualitas lingkungan, prosedur analisis yg mengenai dampak
lingkungan dan sebagainya. Sehingga apabila terjadi pelanggaran
terhadap Hukum Lingkungan berkaitan dengan penetapan
(beschikking) pemerintah, misalnya pelaku usaha melakukan
pelanggaran dalam hal tidak mengindahkan prosedur perijinan maka
pelaku usaha itu dapat dikenakan sanksi administratif.
Pemberian sanksi administrasi mempunyai fungsi instrumental
yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang dan
terutama ditujukan terhadap perlindungan kepentingan yang dijaga
oleh ketentuan hukum yang dilanggar tersebut. Sanksi administrasi
dapat bersifat preventif dan bertujuan untuk menegakkan peraturan
perundang-undangan lingkungan, dengan ancaman administratif.
Upaya penegakan hukum melalui sanksi administratif dapat dilakukan
terhadap kegiatan yang berkaitan dengan persyaratan perijinan, baku
mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan sebagainya.
Sanksi-sanksi administratif dapat berupa teguran lisan, paksaan
pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, penghentian
kegiatan perusahaan dan pencabutan ijin melalui proses teguran, akan
tetapi temyata ketentuan yang mengatur jenis sanksi administrasi
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan di Indonesia masih
lemah dan bahkan sedikit sekali peraturan yang mencantumkan
pemberian sanksi administratif terhadap pelanggar. Peraturan
perundang-undangan lingkungan yang mengandung prosedur
administratif dalam proses pengambilan keputusan administrasi
negara adalah:
1. Ordonansi Gangguan (HO) Stb.1926 No.226. Pasal 5 ayat (3).
Akan tetapi dalam praktek peran serta yang diatur dalam Pasal dan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
293
ayat tersebut tidak pernah dimanfaatkan oleh yang
berkepentingan.
2. Pasal 22 ayat (1) PP 27/99 ini mengatur tentang kewajiban
membuat analisis dampak lingkungan (AMDAL). Sedangkan
dalam Pasal 22 ayat (2) ditetapkan bahwa dokumen-dokumen
AMDAL bersifat terbuka untuk umum. Selanjutnya ayat (3)
mencantumkan bahwa sifat keterbukaan sebagaimana dimaksud
adalah peran serta masyarakat sebagaimana dalam Pasal 17 dan
Pasal 18 PP Nomor 51 Tahun 1993, sebelum kepastian tentang
pemberian ijin terhadap rencana kegiatan diberikan.
Bila menggunakan perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009, pendekatan Hukum Administratif terhadap penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia, dapat dilihat pada dua aspek pengaturan:
Pertama, pemerintah atau pejabat publik memiliki kewenangan untuk
mengawasi kegiatan pelaku usaha atau penanggungjawab kegiatan
lainnya sesuai ketaatannya mematuhi undang-undang atau peraturan
pemerintah berkaitan dengan pengelolaan dan perlindungan terhadap
lingkungan hidup. Berbarengan dengan itu pula, pemerintah dapat
melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha yang izin pengelolaan
lingkungannya diterbitkan olen Pemerintah Daerah jika diindikasikan
terdapat pelanggaran terhadap izin tersebut. Kedua, pemerintah atau
pejabat publik dapat menerapkan sanksi administratif kepada para
pelaku usaha atau penanggung jawab kegiatan yang terbukti
melakukan pelanggaran tata kelola lingkungan hidup secara
administratif. Sanksi yang dimaksud, mencakup: teguran tertulis;
paksaan pemerintah; pembekuan izin lingkungan; atau pencabutan
izin lingkungan.
Dari segi Hukum Perdata terhadap penegakan Hukum Lingkungan,
yaitu Apabila terjadi pencemaran lingkungan, sehingga lingkungan
tidak lagi dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya, maka
kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan putusnya rantai makanan
atau putusnya siklus ekologi yang penting bagi penunjang kehidupan.
Jadi dalam kasus lingkungan kepentingan umumlah yang dirugikan.
Kasus pencemaran atau perusakan lingkungan yang dampaknya besar
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
294
dan penting terhadap lingkungan hidup, atau menghasilkan limbah
yang berbahaya, pihak pelakunya bertanggung jawab secara mutlak
atas kerugian yang ditimbulkan. Masalah lingkungan berpotensi
terjadi sengketa lingkungan, khususnya di tingkat daerah harus
mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan
kemitraan dengan memperhatikan mekanisme kesepakatan tim tiga
pihak (korban, pelaku, dan pemerintah) sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang. Ini berarti sengketa lingkungan diharapkan
dapat diselesaikan dengan proses negosiasi berdasarkan musyawarah
sebelum diajukan ke Pengadilan Negeri. Masalah pokok sengketa
lingkungan dalam arti hukum perdata meliputi: (1) Hak menggugat
(ius standi); (2) Proses pembuktian yang mencakup: beban
pembuktian; pembuktian hubungan sebab akibat; saksi ahli; peran
laboratorium; metoda analisis laboratorium; (3) Asas tanggung jawab
dan tata cara meneliti bentuk, jenis jumlah kerugian serta biaya
pemulihan.
Bila mencermati Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,
penegakan Hukum Lingkungan menurut pendekatan Hukum Perdata,
adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban
pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan sengketa
lingkungan di peradilan umum untuk memperoleh ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti
kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang hukum
lingkungan secara perdata yang diajukan oleh korban pencemaran
lingkungan.
Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan
dengan pendekatan Hukum Perdata menurut Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 dalam pasal 84 yang menetapkan:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan.
2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara
sukarela oleh para pihak yang bersengketa.
3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
295
tidak berhasil oleh salah satuatau para pihak yang bersengketa
Menurut ketentuan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan yang dipilih secara sukarela oleh
para pihak yang bersengketa. Dengan ketentuan demikian para pihak
diberi kebebasan untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa
lingkungan baik melaluipengadilan atau melalui luar pengadilan.
Dasar hukum gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum
tertuang dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,
yang menetapkan bahwa:
1. Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
2. Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan
sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha
yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggungjawab hukum
dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.
3. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap
setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan
perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (1) tersebut, gugatan
lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian harus terpenuhi unsur-
unsur :
1) Setiap/penanggungjawab usaha/kegiatan
2) Melakukan perbuatan melanggar hukum
3) Berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
4) Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5) Penanggungjawab kegiatan dan/atau usaha membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Selain itu, warga masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan atau gugatan class action ke pengadilan dan/atau
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
296
melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat. Jika
diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Dasar pengajuan gugatan lingkungan Gugatan Class Action atau
gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan
gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili
kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud. Sementara itu yang dimaksud dengan Wakil kelompok
adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang
mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang
lebih banyak jumlahnya. Class Action pada intinya adalah gugatan
perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti
kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang sebagai perwakilan kelas
(Class Repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus
mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga
sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut
diistilahkan sebagai class members.
Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan
yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama
mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut
serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada
perwakilan. Hal ini berarti bahwa kegunaan class action secara
mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang
ekonomis, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat
berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.
Dalam konteks gugatan class action menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009, haruslah diwakili oleh sebuah organisasi
lingkungan hidup, yang memenuhi kriteria:
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
297
1) Organisasi lingkungan hidup dimaksud memenuhi persyaratan,
berbentuk badan hukum atau yayasan;
2) Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Dengan demikian, setiap warga negara memiliki hak yang sama di
hadapan hukum dan berhak untuk membela hak-nya apabila ia merasa
dirugikan oleh pihak lain. Hal ini menjadi dasar pemikiran
diadakannya aturan gugatan perdata. Secara umum model gugatan
perdata ada dua macam yaitu :
1) Gugatan yang dilakukan di luar pengadilan dikenal dengan
sebutan non-litigasi
2) Gugatan yang dilakukan melalui peradilan disebut litigasi.
Gugatan perdata atas pelanggaran hubungan perdata dapat dilakukan
dengan 2 cara :
1) Oleh orang yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2) Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama
(Class Action).
Tentu saja, tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan
hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup
mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia.
Mengenai tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke
pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam
ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat
korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa tidak
berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan
bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan
berbahaya dan beracun
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
298
Namun demikian, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan
dari kewajiban membayar ganti rugi jika yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup disebabkan oleh:
1) adanya bencana alam atau peperangan; atau
2) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
3) adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga, pihak
ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.
Penegakan Hukum Lingkungan dalam konteks pendekatan Hukum
Pidana, tampak ada perbedaan, yaitu dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah
sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan
(Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan
Pasal 120). Jika diamati dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009, pengaturan pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana
lingkungan lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya
ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal
tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
(selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan
penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana.
Atau dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci
dalam beberapa pasal.
Tindak pidana dalam undang-undang lingkungan hidup 2009,
dikualifikasikan sebagai kejahatan. Ketentuan Pasal 97 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009,, menyatakan tindak pidana yang
diatur dalam ketentuan Pidana UUPPLH, merupakan kejahatan.
Kejahatan disebut sebagai “rechtsdelicten” yaitu tindakan-tindakan
yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya
memandang bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas dihukum,
walaupun tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
299
tidak dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang di dalam undang-
undang.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 yang dibagi dalam delik formil dan delik materil.
Menurut Sukanda Husin5 delik materil dan delik formil dalam
konteks pidana lingkungan, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Delik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum
yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-
aturan hukum administrasi seperti izin. Dalam hal ini yang
diancam pidana adalah “akibat dari perbuatan”, yang termasuk
dalam delik materil dalam UU PPLH yaitu Pasal 98, 99, dan 112.
2) Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar
hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk
pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi
cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Dalam hal ini menunjuk pada “perbuatan yang dilarang dan
diancam pidana”, yang termasuk dalam delik formil dalam UU
PPLH yaitu Pasal 100-111 dan 113-115.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yang disesuaikan dengan
beberapa kejahatan yang berkaitan dengan standar baku kebiasaan
terjadinya pencemaran lingkungan meliputi: Pasal 98 dan Pasal 99
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang merumuskan delik
lingkungan “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena
kelalainnya yang mengakibatkan baku mutu udara ambient, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku mutu lingkungan
hidup” selain itu, perbuatan itu juga dapat mengakibatkan orang luka
atau luka berat dan/atau bahaya kesehatan manusia atau matinya
orang. Sementara itu Pasal 112 merumuskan delik lingkungan sebagai
“kesengajaan pejabat berwenang tidak melakukan pengawasan yang
5 Sukanda Husin. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.
Sinargrafika, Jakarta, hlm. 122.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
300
berakibat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa manusia”.
Kualifikasi delik formal sebagimana diatur dalam Pasal 100-111
dan 113-115, meliputi:
a) melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku
mutu gangguan (Pasal 100);
b) melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin lingkungan (Pasal 101);
c) melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102);
d) menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal
103);
e) melakukan dumping limbah dan/atau bahan media lingkungan
hidup tanpa izin (Pasal 104);
f) memasukkan limbah atau limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia
(Pasal 105 dan Pasal 106);
g) memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-
undangan ke dalam wilayah Indonesia (Pasal 107);
h) melakukan pembakaran lahan (Pasal 108);
i) melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan (Pasal 109);
j) menyusun Amdal tanpa memiliki sertipikat kompetensi
penyusunan Amdal (Pasal 110);
k) pemberian izin lingkungan oleh pejabat tanpa dilengkapi dengan
AMDALl atau UKL-UPL atau izin usaha tanpa dilengkapi dengan
izin lingkungan (Pasal 111);
l) memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi atau memberikan keterangan yang
tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan
dan penegakan hukum yang berkaitan dengan penrlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 113);
m) penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah (Pasal 114); dan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
301
n) mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan
tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat
penyidik pegawai negeri sipil (Pasal 115);
Penerapan delik lingkungan selalu dikaitkan dengan sanksi pidana,
karena secata teoritik sanksi pidana bertujuan untuk menegakkan
norma-norma hukum lingkungan. Sanksi pidana ini muncul sebagai
reaksi atas ketidaktaatan atas norma-norma hukum (lingkungan).
Ketentuan hukum lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, dikemukakan beberapa hal: Pertama, kualifikasi tindak
pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
adalah kejahatan, sehingga tidak ada lagi sanksi pidana kurungan;
Kedua, karena termasuk kejahatan maka sanksi pidana dala UU PPLH
2009 meliputi pidana penjara, denda dan tindakan tata tertib; Ketiga,
Sanksi pidana penjara denda sangat bervariasi tergantung pada sifat
perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Pidana penjara bervariasi
antara 1-15 tahun, sedangkan sanksi denda dimulai dari Rp.
500.000.000,- sampai Rp. 15.000.000.000,-. Rumusan sanksi penjara
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dapat dikatakan tidak
konsisten karena dalam beberapa pasal diatur sanksi pidana paling
lama satu tahun. Ini berarti sanksi yang dijatuhkan bisa kurang dari
satu tahun, sebagaimana karakteristik pidana kurungan, bukan pidana
penjara; Keempat, dalam UUPPLH 2009 diatur sanksi pidana diatur
bagi pejabat yang memberikan izin tanpa memenuhi syarat, dan juga
diatur bagi pejabat yang tidak melakukan pengawasaan terhadapa
ketaatan usaha atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran atau
perusakan; Kelima, pelaku juga dikenakan sanksi pidana tata tertib
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 119 UU PPLH 2009, yaitu :
a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha/atau kegiatan;
c) perbaikan akibat tindak pidana;
d) pewajiban mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;
e) penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
302
Penerapan sanksi pidana penjara dan pidana denda dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009, bersifat kumulatif bukan alternatif,
bahkan pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Yang patut juga dipahami adalah menyangkut sifat ultimum
remedium sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009. Tampaknya ada perbedaan sifat ultimum remedium
sanksi pidana yang melekat pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Pada Undang-
Undang Lingkungan Hidup yang lama yaitu Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997, ultimum remedium sanksi pidana yang diaturnya,
berlaku untuk semua pelanggaran lingkungan hidup, sedangkan pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, sifat ultimum remedium
sanksi pidananya berlaku pada pelanggaran Pasal 100 ayat 1 saja,
yaitu pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, dan baku
mutu gangguan saja.
Pengaturan sanksi dalam Hukum Lingkungan di Indonesia selain
untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hukum Lingkungan, seperti
pecemaran dan pengrusakan lingkungan, juga adalah untuk
menegakkan asas-asas Hukum Lingkungan sebagai bagian integral
untuk menjaga terlaksananya fungsi lingkungan di Indonesia secara
keseluruhan. Asas-asas Hukum Lingkungan dimaksud, meliputi:
1) Asas tanggung jawab negara, Yang dimaksud dengan “asas
tanggung jawab negara” adalah: (a) negara menjamin
pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa depan; (b). negara
menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat; (c). negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan
sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakann lingkungan hidup.
2) Asas kelestarian dan keberlanjutan, yang dimaksud “asas
kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang
memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
303
melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan
memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
3) Asas keserasian dan keseimbangan, bahwa pemanfaatan
lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta
pelestarian ekosistem.
4) Keterpaduan, yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan
dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai
komponen terkait.
5) Manfaat, yang dimaksud dengan asas manfaat adalah segala usaha
dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan
dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras
dengan lingkungannya.
6) Asas kehati-hatian, yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian”
adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha
dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk
menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari
ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup
7) Asas keadilan, yang dimaksud dengan “asas keadilan” bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.
8) Ekoregion, yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem,
kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
9) keanekaragaman hayati, yang dimaksud dengan “asas
keanekaragaman hayati” bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
304
mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan
sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam
nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur
nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
10) Asas pencemar membayar, yang dimaksud dengan “asas
pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab
yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya
pemulihan lingkungan.
11) Asas Partisipatif, yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah
bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif
dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
12) Asas kearifan lokal, yang dimaksud dengan asas kearifan lokal
bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.
13) Asas tata kelola pemerintahan yang baik, yang dimaksud dengan
asas tata kelola pemerintahan yang baik, bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14) Asas otonomi daerah, yang dimaksud dengan asas otonomi
daerah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan asas-asas Hukum Lingkungan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, maka diharapkan
tercapainya tujuan penyelenggaraan Hukum Lingkungan di Indonesia,
yang mencakup: (1) kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan
perlindungan serta pelestarian ekosistem; (2) melindungi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
305
kerusakan lingkungan hidup; (3) menjamin keselamatan, kesehatan,
dan kehidupan manusia; (4) menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; (5) menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup; (6) mencapai keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan lingkungan hidup; (7) menjamin terpenuhinya keadilan
generasi masa kini dan generasi masa depan; (8) menjamin
pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia; (9) mengendalikan pemanfaatan
sumber daya alam secara bijaksana; (10) mewujudkan pembangunan
berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global.
2. Hukum Agraria
Penulis berpendapat Hukum Agraria masuk dalam pembahasan
hukum yang dapat ditelaah dua perspektif yaitu perspektif hukum
privat dan perspektif hukum publik. Pendapat penulis ini, berpijak dari
beberapa definisi yang dikemukakan oleh pakar Hukum Agraria, yang
muatan definisinya telah mendeskripsikan karakteristik Hukum
Agraria termasuk dalam bilangan hukum publik dan hukum privat.
Antara lain, Lemaire bahwa Hukum Agraria mengandung bagian-
bagian hukum privat disamping bagian-bagian dari hukum tata negara
dan administrasi negara juga dibicarakan sebagai satu kelompok
hukum yang bulat. Bagi Subekti, mendefinisikan Hukum Agraria
sebagai keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum, baik hukum
perdata, maupun hukum tata negara, maupun hukum tata usaha negara
yang mengatur hubungan-hubungan antara orang termasuk badan
hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah
negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan-hubungan tersebut. Sedangkan Budi Harsono, mengartikan
Hukum Agraria sebagai keseluruhan ketentuan hukum, ada yang
tertulis ada pula yang tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek
pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum
konkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
306
dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu
kesatuan yang merupakan satu sistem6.
Kalau kita mencermati Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disingkat UUPA
maka substansi pengaturan HukumAgraria di Indonesia menyentuh
pada tiga kerangka aspek hukum, yaitu aspek Hukum Perdata dan
Aspek Hukum Administrasi Negara, serta Aspek Hukum Adat. Begitu
juga, bila merujuk tulisan Urip Santoso7, kita dapati kajian Hukum
Agraria menyentuh segi-segi Hukum Perdata dan Hukum
Administrasi Negara, bahkan juga menyentuh aspek Hukum Adat.
Sentuhan aspek Hukum Perdata dalam Hukum Agraria, terlihat
pada pengaturan UUPA mengenai hak-hak perseorangan yang
melekat atas tanah di Wilayah Negara Indonesia. Pasal 4 UUPA,
menyebutkan bahwa:
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
6 Budi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Djambatan,
Jakarta, hlm. 5. 7 Urip Santoso. 2014. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Prenada
Media Grup, Jakarta, hlm. 7-9.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
307
(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang
angkasa.
Perincian hak-hak atas tanah dimaksud, disebutkan dalam Pasal 16
UUPA sebagai berikut:
Pasal 16.
(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)
ialah:.
a. hak milik,
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam pasal 53.
(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud
dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
a. hak guna air,
b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.
Dengan demikian, merujuk pasal-pasal UUPA serta mengacu
pendapat Uri Santoso, Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia
mengatur segi-segi pokok hukum pertanahan yang menyentuh aspek
Hukum Perdata. Yaitu berkaitan dengan hak-hak perseorangan yang
melekat pada tanah yang dimiliki, dikuasai, dan digunakannya.
Sentuhan hukum publik terhadap pengaturan Hukum Agraria,
tampak pada pengaturan UUPA yang memberikan kewenangan
kepada negara atau pemerintah untuk melakukan pengaturan,
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
308
penyediaan, penggunaan, peruntukan, dan pemeliharaan tanah yang
ada di Wilayah Republik Indonesia. Dasar hukumnya dapat dilihat
pada Pasal 2 UUPA, sebagai berikut:
Pasal 2.
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara
tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-
masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan Pemerintah.
Merujuk ketentuan tersebut, maka kewenangan negara dalam
bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk
mengatur penguasaan dan menyelenggarakan penggunaan tanah
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
309
sebagai bagian dari kekayaan nasional. Kerangka penguasaan tanah
oleh negara merupakan kerangka yang menunjukkan adanya
hubungan hukum publik, yang tujuannya adalah untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Pelaksanaan menguasai negara atas
tanah tersebut dapat dilimpahkan atau dikuasakan kepada pemerintah
daerah sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Hal menarik yang patut untuk dicatat bahwa UUPA juga
meregulasi hak ulayat masyarakat Hukum Adat, yaitu diatur dalam
Pasal 3 UUPA bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-
undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Menurut Boedi Harsono8, yang dimaksud hak ulayat masyarakat
Huum Adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkunan wilayahnya. Menurut Pasal 1 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen
Agraria/Kepala BPN) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang
dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat
dipunyai oleh masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu
yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk menmgambil
manfaat dari Sumber Daya Alam (SDA), termasuk tanah dalam
wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat Hukum Adat tertentu
dengan wilayah yang bersangkutan.
Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah yang disebut tanah
ulayat. Tanah Ulayat menurut Pasal 1 angka 2 Permen Agraria/Kepala
BPN Nomor 5 tahun 1999, adalah bidang tanah yang diatasnya
8 Dalam Urip Santoso, ibid., hlm. 81-82.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
310
terdapat hak ulayat dari masyarakat Hukum Adat tertentu. Hak ulayat
dikelola oleh masyarakat Hukum Adat, yaitu sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan Hukum Adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan (Pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor
5 Tahun 1999)9.
Menurut Boedi Harsono, hak ulayat masyarakat Hukum Adat
dinyatakan masih ada apabila memenuhi tiga unsur yaitu:
1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu
persekutuan Hukum Adat tertentu, yang merupakan suatu
Masyarakat Hukum Adat.
2) Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat Hukum
Adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama
para warganya sebagai “lebensraum”-nya.
3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui
oleh para warga masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan,
melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat10
.
Hak ulayat masyarakat Hukum Adat dianggap masih ada
menurut Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun
1999, jika:
1) Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan
Hukum Adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
2) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari.
3) Terdapat tatanan Hukum Adat mengenai pengurusan, penguasaan,
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut.
Urip Santoso menjelaskan bahwa Pasal 3 UUPA mengandung
pernyataan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat
9 Ibid., hlm 82.
10 Ibid., hlm 82.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
311
Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.
Maksudnya, bila dalam kenyataannya hak ulayat itu tidak ada, maka
hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan
hak ulayat baru. Hak ulayat dibiarkan tetap diatur oleh masyarakat
Hukum Adat masing-masing.
Untuk itulah, kata Urip Santoso, penelitian dan penentuan tentang
adanya hak ulayat hanya bisa dilakukan oleh pemerintah daerah
dengan mengikutsertakan para pakar Hukum Adat, masyarakat Hukum
Adat yang ada didaerah bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.
Keberadaan tanah ulayat masyarakat Hukum Adat yang masih ada
dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan
suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan menggambarkan
batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah (Lihat Pasal 5
Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999)11
.
3. Hukum Ketenagakerjaan
Hukum ketenagakerjaan atau dahulu biasa disebut dengan Hukum
Perburuhan, masuk dalam pembidangan hukum yang bersifat
campuran (mix). Artinya, bidang hukum ini dalam hal pengaturan dan
pengkajiannya, dapat dicermati pada dua pendekatan yaitu pendekatan
hukum publik dan pendekatan hukum privat.
Dari segi pendekatan hukum publik, Hukum Ketenagakerjaan,
mengatur pola hubungan hukum antara buruh dan majikan, atau antara
karyawan dengan pimpinan perusahaan yang didalamnya melibatkan
peran pemerintah untuk mengawasi pola hubungan hukum tersebut
dalam batas-batas yang ditetapkan oleh undang-undang. Dari segi
perspektif hukum privat, Hukum Ketenagakerjaan, mengatur pola
hubungan hukum yang didalamnya memberikan perlindungan
terhadap hak-hak pekerja (buruh) terkait dengan hak-hak
perseorangannya seperti, hak jaminan kesehatan, hak cuti hamil bagi
pekerja wanita, hak tunjangan keluarga, hak jaminan hari tua yang
didapatnya dari perusahaan tempat bekerja. Hak perseorangan ini juga
11
Ibid., hlm. 83
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
312
mencakup kewajiban pekerja atau buruh kepada majikan atau
atasannya.
Berikut ini, penulis mengutip beberapa pengertian Hukum
Ketenagakerjaan yang dikutip dari beberapa sumber, antara lain,
menurut Soetiksno yaitu keseluruhan peraturan hukum mengenai
hubungan kerja yang mengakibatkan seorang secara pribadi
ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-
keadaan penghidupan yang langsung bersangkut-paut dengan
hubungan kerja tersebut. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut
Imam Soepomo diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan,
baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan
kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima
upah12
.
Dari dua pengertian Hukum Ketenagakerjaan tersebut, menurut
penulis Hukum Ketenagakerjaan dalam konteks sistem hukum
Indonesia, adalah keseluruhan kaidah hukum atau kajian hukum
tentang pola hubungan hukum antara buruh dengan majikan
(karyawan dengan pimpinan perusahaan), dengan pendekatan hukum
keperdataan serta hukum administrasi negara, yang kesemuanya
bertujuan untuk mengatur hak-hak dan kewajiban antara masing-
masing pihak baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis yang berlaku di negara Indonesia.
Perspektif pengertian Hukum Ketenagakerjaan dalam konteks
sistem hukum Indonesia, maka dapat diketahui unsur-unsur hukum
ketenagakerjaan, meliputi :
1) Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan
maupun tulisan
2) Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.
3) Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah
balas jasa.
12
Abdul Rahmat Budiono. 1995. Hukum Perburuhan Di Indonesia. PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
313
4) Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan
sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/
buruh dan lain-lain.
Untuk sekarang (saat buku ini ditulis), instrumen hukum yang
menjadi dasar yuridis bagi pengaturan Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, meliputi: UUD 1945 terutama pada Pasal 27 Ayat (2) yaitu
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Pengaturan dalam konstitusi ini
merupakan atauran dasar menyangkut hak-hak warga negara
Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai
tanggungjawab negara. Untuk pengaturan secara keperdataan
menyangkut hubungan hukum antara buruh dan majikan (karyawan
dengan pimpinan perusahaan) sekarang ini masih tunduk kepada Pasal
1313 KUHPerdata bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih lainnya.” Sedangkan untuk sahnya perjanjian tersebut,
merujuk kepada KUHPerdata pasal 1320 BW sahnya perjanjian, yaitu
(a). Mereka sepakat untuk mengakibatkan diri; (b). Cakap untuk
membuat suatu perikatan; (c). Suatu hal tertentu; (d). Suatu sebab
yang halal.
Hukum Ketenagakerjaan yang mengatur secara spesifik hubungan
hukum antara buruh dengan majikan yang terwujud dalam bentuk
perjanjian kerja, adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut penulis, bila
menyimak secara substansi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
tampak bahwa hubngan hukum antara pekerja dengan majikan hanya
tercipta bila ada perjanjian kerja antara kedua pihak. Inilah yang
menjadi fondasi dasar hubungan hukum tersebut. Ada penekanan
bahwa hubungan hukum tersebut, adalah hubungan hukum yang lebih
mencirikan hubungan hukum bersifat privat atau hubungan
keperdataan.
Merujuk Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
314
kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dengan
demikian, dalam konteks undang-undang ketenagakerjaan ini,
hubungan kerja pengusaha dengan pekerja (buruh dan majikan)
terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja.
Dalam hubungan kerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja
dinyatakan bahwa pekerja menyatakan kesanggupannya untuk bekerja
pada pengusaha dengan menerima upah dan sebaliknya pengusaha
menyatakan pula kesanggupannya untuk memperkerjakan pekerja
dengan membayar upah. Dengan demikian hubungan kerja yang
terjadi antara pekerja dan pengusaha merupakan bentuk perjanjian
kerja yang pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Dari sinilah analisisnya, menurut penulis, hubungan hukum
antara pengusaha dengan pekerja (buruh dan majikan), yang
menitikberatkan kepada kepentingan hukum bersifat perseorangan
(individual).
Kerangka hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha
sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, secara spesifik haruslah memenuhi unsur-unsur utama
sebagai berikut:
1) Adanya unsur pekerjaan, dalam suatu perjanjian kerja harus
ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan
tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan
seizin pengusaha pekerja tersebut dapat menyuruh orang lain.
Pengaturan ini sesuai Pasal 1603a BW bahwa “Buruh wajib
melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan
ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Sifat
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja bersifat individual karena
berkaitan erat dengan ketrampilan atau keahliannya, sehingga bila
suatu ketika pekerja tersebut wafat maka perjanjian kerja tersebut
menjadi putus demi hukum.
2) Adanya unsur perintah, manifestasi dari pekerjaan yang diberikan
kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja bersangkutan harus
tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diperjanjikan. Sehingga hubungan hukum
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
315
antara pengusaha dengan pekerja adalah hubungan hukum bersifat
sub-ordinat yaitu antara atasan dengan bawahan bukan hubungan
hukum bersifat kemitraan.
3) Adanya upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan
kerja (perjanjian kerja), malah tujuan utama seorang buruh
(karyawan) bekerja kepada pengusaha adalah untuk memperoleh
upah. Sehingga apabila tidak ada unsur upah, maka suatu
hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.
4) Waktu Tertentu. Yang hendak ditunjuk oleh perkataan waktu
tertentu atau zekere tijd sebagai unsur yang harus ada dalam
perjanjian kerja adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha
dan pekerja tidak berlangsung terus-menerus atau abadi. Jadi
bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan
kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut
dapat ditetapkan dalam perjanjian kerja, dapat pula tidak
ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut, meskipun
tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan
pada peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.
Hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja dalam perspektif
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu didasarkan kepada
perjanjian kerja. Perjanjian kerja menurut Pasal 1 butir 14 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah suatu perjanjian antara pekerja
dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja
hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada dasarnya
harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
hubungan kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan
kewajiban majikan.
Apabila merujuk kepada pendapat pakar hukum, yang menurut
penulis bisa dijadikan doktrin hukum, tentang rumusan perjanjian
kerja, antara lain pendapat Subekti, bahwa perjanjian kerja adalah
antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian didalamnya
mencirikan terdapatnya suatu upah atau gaji tertentu yang
diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas (bahasa Belanda
“dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
316
yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus
ditaati oleh pihak yang lain (buruh)13
Merujuk pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, tampaknya undang-undang ini tidak
memperinci secara tegas bentuk-bentuk perjanjian kerja yang
dimaksud, apakah berbentuk tertulis atau lisan. Menurut pendapat
penulis, dengan tidak diaturnya bentuk perjanjian kerja secara tegas
dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut, maka bentuk
perjanjian kerja baik secara lisan maupun secara tertulis, sudah
merupakan dasar yang kuat bagi terjadinya hubungan hukum antara
pekerja dengan pengusaha tersebut.
Dengan demikian, pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan
tidak ditentukan bentuknya, yang dilakukan secara lisan sudah dapat
dikatakan telah tercipta perjanjian kerja. Namun demikian, apabila
dalam perjanjian kerja tersebut diawali dengan surat pengangkatan
oleh pihak pengusaha atau dibuat secara tertulis yang ditandatangani
kedua belah pihak, maka undang-undang hanya menetapkan bahwa
jika perjanjian diadakan secara tertulis, segala biaya surat dan biaya
tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Yang jelas dalam
perjanjian kerja haruslah menetapkan hak dan kewajiban masing-
masing pihak secara tegas.
Namun demikian, Perjanjian yang dibuat secara lisan dapat
menyulitkan pekerja dalam membuktikan kebenaran dirinya sebagai
pekerja yang bekerja pada pengusaha dalam proses penyelesaian
perselisihan pemutusan hubungan kerja di Pengadilan Hubungan
Industrial. Kelemahan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan adalah
apabila pekerja setelah melewati 3 (tiga) bulan masa percobaan namun
pihak pengusaha tidak ada membuat surat pengangkatan maka pihak
pekerja akan kesulitan untuk membuktikan adanya hubungan kerja
antara kedua belah pihak ataupun kesulitan untuk membuktikan sejak
kapan dimulainya suatu hubungan kerja apabila terjadi perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Karakteristik hukum publik yanag melekat pada Hukum
13
Subekti. 1977. Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung, hlm. 33.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
317
Ketenagakerjaan kita, yaitu terlihat pada pola pengaturan hubungan
hukum antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang terwujud pada
suatu hubungan hukum yang disebut hubungan industrial. Dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pasal 1 Poin 16
menyebutkan bahwa Hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui konteks hubungan hukum industrial itulah, pemerintah
akan menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara negara untuk
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan
pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Melalui konsep
hubungan industrial ini, memberikan kewenangan kepada negara atau
pemerintah sebagai sebuah kewajiban untuk melakukan pengawasan
serta penegakan terhadap undang-undang ketenagakerjaan sebagai
wujud pelaksanaan hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja. Tidak
hanya fungsi administratif yang dijalankan oleh pemerintah dalam
kerangka melakukan pengawasan terhadap penegakan Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia. Tetapi juga, intervensi aparat
kepolisian atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil yang diberikan
tugas khusus untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang
ketenagakerjaan. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2013,
menyebutkan kewenangan khusus penyidik pegawai negeri sipil
ketenagakerjaan, yang mencakup:
1) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
2) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
3) meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
4) melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti
dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
318
5) melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang
tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
6) meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan; dan
7) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang
ketenagakerjaan.
Untuk mempertegas karakter yang melekat dalam Hukum
Ketenagakerjaan dalam sistem hukum Indonesia, juga dapat dicermati
pada beberapa bentuk sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak-
pihak yang melakukan pelanggaran Hukum Ketenagakerjaan dengan
merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang bentuk
sanksinya dapat berupa sanksi perdata, sanksi pidana, dan sanksi
administratif. Secara ringkas penulis merangkumnya sebagai berikut:
1) Sanksi administratif dapat dijatuhkan apabila pengusaha
melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai berikut :
a) Melakukan diskriminasi kesempatan kerja kepada pekerja.
b) Penyelenggaraan pelatihan kerja yang tidak memenuhi syarat.
c) Melakukan pemagangan pekerja di luar negeri tanpa ijin dari
instansi tenaga kerja.
d) Perusahaan penempatan tenaga kerja yang memungut biaya
penempatan kepada pekerja.
e) Perusahaan yang tidak membentuk lembaga kerja bipartit padahal
sudah mempekerjakan lebih dari 50 orang pekerja.
f) Pengusaha tidak mencetak atau memperbanyak naskah Perjanjian
Kerja Bersama (PKB).
g) Pengusaha yang tidak memberikan bantuan paling lama enam
bulan takwin terhitung sejak hari pertama pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib kepada keluarga pekerja yang menjadi
tanggungannya. Kewajiban pengusaha tersebut diatur dengan
persentase berikut:
25% dari upah untuk satu orang tanggungan.
35% dari upah untuk dua orang tanggungan.
45% dari upah untuk tiga orang tanggungan.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
319
50% dari upah untuk empat orang tanggungan.
Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa:
a) Teguran.
b) Peringatan Tertulis.
c) Pembatasan Kegiatan Usaha.
d) Pembekuan Usaha.
e) Pembatalan Pendaftaran.
f) Penghentian sementara sebagian atau keseluruhan alat
produksi.
g) Pencabutan ijin usaha.
2) Sanksi perdata dalam perselisihan hubungan industrial dapat
dijatuhkan kepada pengusaha dan pekerja. Bentuk sanksi dapat
berupa :
a) Batalnya perjanjian kerja bila perjanjian kerja bukan karena
kesepakatan dan kecakapan kedua belah pihak.
b) Batalnya perjanjian kerja apabila pekerjaan yang diperjanjikan
tersebut bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
c) Batalnya PHK bila sebelumnya tidak ada penetapan dari
Pengadilan Hubungan Industrial untuk jenis PHK yang
mempersyaratkan adanya penetapan dari Pengadilan Hukum
Industrial.
d) Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penerima
borongan pekerjaan beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja dengan pemberi pekerjaan apabila pekerjaan yang
diborongkan tidak memenuhi syarat (Pasal 65 Ayat 8-9 Undang-
Undang Ketenagakerjaan).
e) Status hubungan kerja antara pekerja dengan PPJP beralih
menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan pemberi pekerjaan
apabila PPJP itu digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan tugas pokok/produksi (Pasal 66 Ayat 3-4 Undang-
Undang Ketenagakerjaan).
f) Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah, maka pekerja yang
melakukan mogok dianggap mangkir dan bila sudah dipanggil
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
320
secara patut dan tertulis, pekerja tidak juga datang. Maka
dianggap mengundurkan diri. Ia tidak berhak mendapat uang
pesangon dan uang penghargaan masa kerja.
g) Mogok kerja di perusahaan yang melayani kepentingan umum
atau yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia sehingga
jatuh korban, maka dianggap sebagai melakukan kesalahan berat.
Pekerja tersebut tidak berhak mendapat uang pesangon.
3) Sanksi pidana dalam hubungan industrial dapat dijatuhkan kepada
pekerja atau pengusaha apabila melakukan pelanggaran
(kejahatan). Sebagian dari bentuk-bentuk sanksi pidananya antara
lain:
a) Dikenakan ancaman sanksi pidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama lima tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 500.000.000,- bagi
pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja yang mengalami
PHK karena usia pensiun pada program pensiun dan tidak
memberikan pesangon sebesar dua kali ketentuan, uang
penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal
184 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
b) Pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,- dan paling tinggi Rp.
50.000.000,- bila memungut biaya penempatan tenaga kerja oleh
perusahaan penempatan tenaga kerja swasta (Pasal 38 Undang-
Undang Ketenagakerjaan).
c) Sebagai kejahatan dan diancam pidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama empat tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,- bagi
pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari ketentuan upah
minimum (Pasal 90 Ayat 1 dan Pasal 185 Ayat 1 Undang-Undang
Ketenagakerjaan).
d) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling
banyak Rp. 400.000.000,- bagi pengusaha yang tidak membayar
kepada pekerja yang mengalami PHK yang setelah enam bulan
tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya, karena
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
321
dalam proses perkara pidana, uang penghargaan masa kerja satu
kali ketentuan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan (Pasal
185 Undang-Undang Ketenagakerjaan).
e) Sanksi pidana pelanggaran dengan ancaman penjara paling
singkat satu bulan dan paling lama empat bulan dan atau denda
paling sedikit Rp. 100.000.000,- dan paling banyak Rp.
400.000.000,- bagi pengusaha yang :
a. Tidak membayar upah dalam hal pekerja tidak dapat
melakukan pekerjaan karena sakit.
b. Tidak membayar upah pekerja perempuan yang sakit pada
hari pertama dan kedua masa haid.
c. Tidak membayar upah kepada pekerja yang tidak masuk kerja
karena pekerja :
Menikah
Menikahkan Anak
Mengkitankan/Membaptiskan Anak.
Istri/Anak/Menantu/Orangtua/Mertua/anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal
d. Tidak membayar upah pekerja yang sedang menjalankan
kewajiban terhadap negara atau agama.
e. Tidak mempekerjakan pekerja pekerjaan yang dijanjikan.
f. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang
melaksanakan hak istirahat.
g. Memaksa pekerja untuk bekerja padahal pekerja sedang
melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (Pasal 186
Undang-Undang Ketenagakerjaan)
Meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun
2003 telah mengatur kewajiban serta sanksi yang dijatuhkan kepada
pihak pengusaha, tetapi disatu sisi, pihak pekerja (karyawan) juga
dapat dikenakan sanksi oleh pihak pengusaha jika melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan pengusaha itu sendiri, misalnya
pihak karyawan atau buruh terbukti melakukan kesalahan berat
seperti:
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
322
a) melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
b) memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c) mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya di lingkungan kerja;
d) melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e) menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
g) dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan
kerugian bagi perusahaan;
h) dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i) membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j) melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih (Pasal 158 Ayat
(1) Undang-Undang Ketenagakerjaan).
Secara sederhana untuk mencermati karakteristik Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia, yang masuk ranah hukum privat dan
hukum publik, yaitu tampak pada tataran perjanjian kerja antara
pengusaha dengan pekerja. Substansi perjanjian tersebut,
mencerminkan hubungan hukum keperdataan antara kedua belah
pihak yang secara individual membebankan hak dan kewajiban antara
keduanya dalam hal menyangkut pekerjaan yang dikaitkan dengan
upah. Bila antara keduanya melakukan wanprestasi atau ingkar janji,
masing-masing pihak berdasarkan perjanjian kerja yang dibuat dapat
menuntut ganti rugi ataupun pengembalian hak-hak semula. Dalam
konteks hukum publik, karakteristik yang melekat pada Hukum
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
323
Ketenagakerjaan di Indonesia, tampak pada peran pejabat publik
dalam hal ini pemerintah untuk melaksanakan kewenangannya secara
administratif guna mengawasi pelaksanaan undang-undang
ketenagakerjaan agar berjalan sesuai koridor mewujudkan keadilan
menuju kesejahteraan antara kedua belah pihak, baik pihak pekerja
maupun pihak pengusaha itu sendiri. Sekaligus dalam tataran Hukum
Pidana, undang-undang ketenagakerjaan memberikan legitimasi
kewenangan kepada pejabat pegawai negeri sipil yang ditunjuk
undang-undang khusus melakukan penyidikan bila ada dugaan tindak
pidana bidang ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis Pembahasan tentang hukum tertulis dan hukum tidak tertulis,
sebenarnya sudah penulis singgung secara sekilas pada bab 4 buku ini.
Namun pada bab ini, penulis juga menganggap penting membahasnya
sebagai penajaman khasanah kita tentang pembidangan lain yang
terdapat dalam sistem hukum Indonesia, selain hukum publik dan
hukum privat.
Hukum tertulis sesuai dengan namanya bukanlah berarti yang
dimaksud segala produk hukum yang terpatri dalam tulisan-tulisan
tertentu. Sebab, ada juga hukum-hukum tidak tertulis sifatnya, namun
dinyatakan dalam bentuk tertulis. Seperti hukum adat yang berlaku
pada masyarakat Jawa kuno yang bisa kita tenukan dalam bentuk
prasasti-prasasti tertulis di batu-batuan atau pelepah pohon kering
yang ditulis para tokoh-tokoh adat. Bukan itu yang dimaksud.
Hukum tertulis yang dimaksud dalam pembahasan ini, menurut
karakteristik dan bentuknya yaitu segala produk hukum yang
diformalkan dalam bentuk dokumen-dokumen resmi kenegaraan kita,
yaitu dalam lembaran negara atau lembaran berita acara daerah yang
ditandatangani oleh pejabat berwenang, apakah presiden, menteri,
gubernur, bupati, walikota, sekretariat negara ataupun sekretariat
daerah. Pada dasarnya, karakteristik yang paling menonjol melekat di
hukum tertulis, adalah sifat legalitas formal oleh pejabat negara dan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
324
pemuatannya dalam bentuk dokumen resmi negara yang diakui dalam
tata karma sistem kenegaraan Indonesia. Dengan penjelasan tersebut,
maka kita sudah dapat memahami yangmanakah termasuk produk-
produk hukum tertulis dalam tata kenagaraaan Indonesia. Contoh-
contoh dimaksud, antara lain UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-
Undang, Peraturan Daerah, Instruksi Presiden, Keputusan Bupati, dan
lain-lain.
Karakteristik lain yang menonjol dari hukum tertulis yaitu
dilengkapi dengan seperangkat aturan yang terkodifikasi secara baku
dan sistematis, misalnya oleh undang-undang yang mengaturnya
dengan tata urutan ayat, pasal, dan bab yang runtut. Sifat kodifikasi
yang melekat pada hukum tertulis meniscayakan hukum tertulis
mengatur penyeragaman ketundukan hukum setiap warga masyarakat.
Sebagai contoh, pengaturan tentang perkawinan di Indonesia.
Perkawinan di Indonesia, bagi setiap warga negaranya, tunduk pada
hukum perkawinan yang bersifat tertulis. Artinya, hukum perkawinan
yang berlaku di Indonesia, tunduk kepada Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 termasuk tata cara pelaksanaannya
diatur oleh Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975. Dua produk
hukum tersebut, memuat legalitas formal bagi dilangsungkannya
perkawinan dalam sistem hukum Indonesia. Begitu pula, pada
beberapa pengaturan tentang hukum keluarga di Indonesia, masih ada
yang tunduk dibawah BW yang merupakan produk Kolonial Belanda.
BW diberlakukan di Indonesia dengan menganut sistem kodifikasi,
yaitu pengaturan hukum keluarga tertulis yang diadopsi dari sistem
hukum Kerajaan Belanda.
Dalam Hukum Islam, dikenal Al-qur‟an dan Hadits Nabi
Muhammad. Menurut penulis, keberadaan Al-qur‟an dan Hadits Nabi
Muhammad juga merupakan seperangkat aturan hukum yang bersifat
tertulis. Sebab keberadaannya dalam tatanan peradaban umat Islam
yang pernah jaya selama 14 abad menjadi rujukan utama dalam
pelaksanaan Hukum Islam atau Syariah Islam di atas permukaan
bumi. Begitu pula, pada kejayaan beberapa kesultanan Islam di
nusantara dahulu, Al-qur‟an dan Hadits Nabi Muhammad dijadikan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
325
sebagai rujukan formal dalam pelaksanaan syariah Islam. Al-Qur‟an
yang ada ditangan umat Islam sekarang merupakan hasil kodifikasi
dari sejumlah firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad, yang
puncaknya dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan, sehingga Kitab Suci Al-Qur‟an yang ada ditangan kaum
muslimin saat ini dikenal dengan nama Mushaf Usmani. Begitu pula
dengan sejumlah hadits Nabi Muhammad, dikodifikasikan oleh
beberapa perawi hadits yang terkenal, seperti Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Ahamad, Imam At-Tarmizi, dan lain-lain.
Dalam konteks sistem hukum Indonesia sekarang, formalisasi
Hukum Islam, juga telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun
sifatnya masih parsial tidak utuh. Hukum Islam di Indonesia, hanya
mendapat legalitas formal untuk bidang-bidang hukum keluarga serta
sebahagian bidang-bidang hukum muamalah. Untuk bidang hukum
keluarga, misalnya, pengaturan Hukum Islam mendapat legalitas
melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, yang didalamnya mengatur tentang persoalan
perkawinan, warisan, dan perceraian. Sedangkan untuk urusan
muamalah bagi umat Islam Indonesia mendapat legitimasi
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008
tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, didalamnya mengatur
secara spesifik tentang perjanjian, jual beli, sewa menyewa, gadai,
kepemilikan, reksadana, pasar modal, obligasi, dan pengupahan
menurut Hukum Syariah.
Sayangnya, legalitas formal bagi hukum-hukum syariah dimaksud,
tingkatan produk hukum yang mengaturnya di Indonesia, masih
setingkat lebih rendah dibawah undang-undang. Lagi pula berdasarkan
cermatan, analisis, dan penelitian dari para pakar Hukum Islam,
pengaturan Hukum Syariah bagi umat Islam di Indonesia tersebut,
masih menimbulkan beberapa problematika dari segi tinjauan fiqih
dan ushul fiqih yang sebahagiannya masih belum sesuai dengan asas-
asas dalam Hukum Islam. Problematika lainnya, pengaturan Hukum
Syariah masih sebatas bidang-bidang munakahat (hukum keluarga dan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
326
waris) dan muamalat belum menyentuh secara menyeluruh pada aspek
hukum pidana dan hukum ketatanegaraan.
Adapun berkenaan dengan pembahasan tentang hukum tidak
tertulis, juga sudah penulis singgung sedikit pada bab 4 pembahasan
buku ini. Perbedaan hukum tidak tertulis dengan hukum tertulis sesuai
dengan namanya, memang tampak secara jelas, bila dilihat pada
bentukan produk masing-masing pembidangan hukum tersebut.
Hukum tidak tertulis merupakan bidang hukum yang dari segi
karakteristiknya beda dengan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis,
sifatnya tidaklah perlu mendapat legalitas formal dari pemegang
otoritas politik yang bentukannya mesti didokumentasikan secara
resmi oleh lembaga negara yang ditunjuk untuk itu, contohnya di
Indonesia sekretariat negara.
Hukum tidak tertulis selalu merupakan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang di tengah kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai itu
bisa berupa kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlangsung secara
terus-menerus dan merupakan sebuah kelaziman yang pada akhirnya
diterima sebagai nilai-nilai hukum yang dipatuhi oleh seluruh warga
masyarakat. Dalam konteks kehidupan hukum di Indonesia, hukum
tidak tertulis, pada umumnya terwujud dalam bentuk-bentuk yang
disebut hukum kebiasaan dan hukum adat.
Hukum kebiasaan, sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab
4, tampak pada beberapa kebiasaan yang berlangsung di tengah
masyarakat Indonesia yang pada akhirnya diterima sebagai hukum.
Umumnya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku sebagai hukum tidak
tertulis di tengah masyarakat Indonesia, tampak pada kegiatan-
kegiatan transaksi keuangan dan jual beli. Misalnya, penerimaan
masyarakat Indonesia sebagai hukum tidak tertulis, yaitu transaksi jual
beli dengan menggunakan non-tunai, seperti kartu kredit atau kartu
debit. Seperti, yang berkembang sekarang ini, jual beli dengan
menggunakan media internet atau disebut jual beli on line. Meski
penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung atau melakukan
akad jual beli secara kontan dan tunai. Tetapi transaksi jual beli via on
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
327
line sudah dianggap sebagai transaksi yang dianggap sah dan diterima
oleh sebahagian besar lapisan masyarakat Indonesia.
Mengenai keberadaan Hukum Adat meski masih merupakan
perdebatan dikalangan para pakar hukum Indonesia, tetapi ia sebagai
nilai-nilai hukum yang lahir dari tradisi masyarakat adat Indonesia,
juga dipandang sebagai salah satu produk hukum tidak tertulis yang
mengikat masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
Sehubungan dengan itu, menurut pandangan Soepomo14
, Hukum
Adat merupakan hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis,
meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan
oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum. Pandangan Soepomo ini sekaligus
meneguhkan pandangan bahwa Hukum Adat yang berlaku sebagai
sebuah nilai ditengah masyarakat Hukum Adat Indonesia, merupakan
produk dari hukum tidak tertulis itu sendiri.
Menurut Ruliah15
, istilah hukum adat diperkenalkan pertama kali
diperkenalkan oleh Snouck Hurgronye dalam bukunya ‛De Acheers‛
(orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Van Vollenhoven
dalam bukun yang ditulisnya Het Adat Recht Van Nederland Indie.
Dengan adanya istilah ini maka pemerintah Kolonial Belanda pada
akhir Tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi istilah Hukum
Adat dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Istilah hukum
adat sebenarnya tidak dikenal di dalam masyarakat Indonesia,
masyarakat Indonesia hanya mengenal kata Adat atau Kebiasaan .
Pengalihan istilah Adat Recht sebagai Hukum Adat menjadi hukum
kebiasaan tidak disetujui oleh para pakar, seperti yang dikatakan oleh
Van Dijk, dengan alasan bahwa tidaklah tepat menerjemahkan Adat
Recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat,
karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks
14
Ruliah. 2013. Hakikat Nilai Kalosara Pada Suku Tolaki sebagai
Sumber Kesadaran Hukum Masyarakat. Disertasi Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm. 31. 15
Ibid.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
328
peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah
demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara
tertentu sehingga timbullah suatu peraturan kelakuan yang diterima
dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang
mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka
hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan
masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai
pangkalnya‛. Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari
adat-istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas.
Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus
dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat,
walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat
sekali kaitannya.
Untuk memperjelas pemahaman tentang kedudukan Hukum Adat
sebagai hukum tidak tertulis, berikut penulis memaparkan beberapa
pengertian Hukum Adat yang dikemukakan beberapa pakar hukum:
a) Terhaar : Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang
menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan
berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal
dengan teori ‚Keputusan‛ artinya bahwa untuk melihat apakah
sesuaatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum adat
terhadap sipelanggar peraturan adt-istiadat. Apabila penguasa
menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-
istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
b) Van Vollenhoven : hukum adat adalah keseluruhan aturan tingak
laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum
dikodifikasikan.
c) Soerjono Soekanto : bahwa hukum adat adalah kompleks adat
yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, dan
bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat
hukum.
d) Djojodigoeno : Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber
kepada peraturan-peraturan.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
329
e) Hazairin : Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam
masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya
telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
f) Soeroyo Wignyodipuro : Hukum adat adalah suatu kompleks
norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang
selalu berkembang serta meliputiperaturan-peraturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagai
besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat
karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
g) Soepomo : Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang
meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan
didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Berdasarkan pengertian Hukum Adat tersebut, Ruliah
menyimpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam hukum adat,
mencakup: (1) Adanya tingkah laku yang terus-menerus dilakukan
oleh masyarakat adat; (2) Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis;
(3) Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral; (4) Adanya
keputusan kepala adat; (5) Adanya sanksi/akibat hukum; (6) Tidak
tertulis; dan (7) Ditaati oleh masyarakat adat.
Untuk memperjelas pemahaman tentang Hukum Adat yang berlaku
di Indonesia, berikut penulis memaparkan beberapa contoh kasus
Hukum Adat yang diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia.
Contoh ini, penulis kutip dari beberapa sumber tulisan yang ada. Salah
satu contoh masyarakat yang masih memegang hukum adat adalah
masyarakat adat yang ada di Propinsi Papua. Hukum adat disana akan
berlaku dalam kasus-kasus tertentu. Misalnya ketika seseorang
membunuh orang lain dalam sebuah kecelakaan lalu lintas akan
diminta mengganti kerugian yang berupa uang dan juga hewan babi.
Tak cukup sampai disitu saja karena jumlah uang dan juga hewan babi
yang diminta adalah jumlah yang relatif besar sehingga benar-benar
memberatkan sang pelaku. Hukum adat ini adalah hukum yang sudah
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
330
berlaku turun-temurun pada masyarakat Papua yang ada di daerah
pedalaman.
Selain di Papua, masyarakat lain yang masih menganut hukum adat
adalah masyarakat adat Bali. Hukum Adat yang masih kental berlaku
yaitu hukum yang berkaitan dengan warisan. Dalam masyarakat adat
Bali, seorang anak laki-laki yang berkedudukan sebagai ahli waris
utama dalam sebuah keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang
hanya berhak menikmati harta peninggalan suaminya atau orang tua.
Pada masyarakat adat Bali, kedudukan anak laki-laki memiliki peran
penting sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab besar pada
keluarganya sedangkan anak perempuan hanya bertanggung jawab
pada lingkungan suami. Namun ternyata, sekitar tahun 2010 terjadi
perubahan tentang hukum waris adat Bali tersebut. Perempuan
dianggap juga berhak untuk menerima setengah hak waris setelah
dipotong sekitar sepertiga bagian harta pusaka. Akan tetapi ketentuan
ini tidak berlaku apabila seorang wanita Bali berpindah agama dari
agama nenek moyang mereka yang telah dianut, yaitu Agama Hindu.
Ruliah juga mencontohkan penerapan Hukum Adat yang berlaku
pada masyarakat adat di Pulau Sulawesi, seperti Propinsi Sulawesi
Tenggara. Hukum Adat dalam masyarakat adat Suku Tolaki masih
dianggap sebagai aturan hidup dalam interaksi sosial mereka. Suku
Tolaki mempunyai hukum adat yang spesifik karena
direpresentasikan pada simbol yang dianggap memiliki ciri khas
magis, berupa seperangkat alat atau benda-benda adat simbolik yang
disebut “Kalosara” yang berfungsi mengintegrasikan semua aspek
kehidupan masyarakat Tolaki. „Kalo‟ sebagai simbol
mengekspresikan konsepsi orang Tolaki mengenai unsur manusia,
unsur alam, unsur kebudayaan dan juga mengekspresikan komunikasi
antara manusia dengan unsur-unsur tersebut di atas. Kalosara sebagai
benda berbentuk lingkaran yang dipakai atau digunakan dalam
berbagai keperluan upacara, sebagai cara-cara mengikat yang
melingkar, sebagai kegiatan bersama, sebagai konsep bermakna adat
istiadat. Menurut Ruliah, simbol Kalosara seringkali digunakan
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
331
sebagai instrumen bagi masyarakat adat Suku Tolaki bagi
penyelesaian sengketa yang berlangsung diantara mereka.
Demikian paparan singkat penulis, tentang deskripsi penerapan
Hukum Adat oleh beberapa suku yang ada di Indonesia. Meski ada
beberapa pakar hukum semisal Achmad Ali yang tidak sepakat
dengan fenomena yang berlangsung di masyarakat adat Indonesia
tersebut, untuk dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai Hukum Adat,
yang menurut Achmad Ali bahwa fenomena demikian bukanlah
merupakan Hukum Adat tetapi lebih merupakan tradisi budaya yang
berlangsung secara turun temurun ditengah masyarakat adat
Indonesia16
.
Hukum Materil dan Hukum Formil Hukum materil menurut penulis dalam konteks pembahasan ini
adalah segenap kaidah atau norma hukum yang termuat dalam
beberapa produk hukum tertentu, yang mengatur tentang hal-hal apa
yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, hak dan
kewajiban, perintah dan larangan yang harus ditaati oleh setiap subjek
hukum tertentu serta didalamnya mengandung sanksi berupa
penjeraan yang akan dikenakan kepada siapa saja yang melakukan
pelanggaran hukum tersebut. Beberapa contoh produk hukum, yang
dapat disebutkan yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia antara
lain, Undang-Undang Perkawinan, Kitab Undang-Undang-Undang
Hukum Pidana, Undang-Undang Lingkungan, dan lain-lain. Jadi
segala produk hukum dalam pengertian ini, berfungsi sebagai pranata
untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat atau memaksa tingkah
laku masyarakat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu maka
pembahasan produk hukum tersebut masuk dalam pembidangan
hukum materil.
Sedangkan hukum formil dalam pengertian ini yaitu segala produk
hukum atau kajian hukum yang membahas tentang tatacara untuk
16
Pendapat Achmad Ali yang tidak sepakat dengan keberadaan Hukum
Adat sebagai hukum tidak tertulis, silahkan baca Achmad Ali. 2008.
Menguak Tabir Hukum Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 92.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
332
menegakkan hukum materil. Sehingga hukum formil, bisa juga
dikenal dengan sebutan hukum tata cara atau hukum prosedur. Dalam
dunia praktek hukum di Indonesia, hukum formil sering dikenal
dengan nama hukum acara. Sebab hukum acara memuat segenap
perangkat hukum yang mengatur segala prosedur dan tatacara
bagaimana menegakkan atau menerapkan hukum materil.
Keberadaan hukum formil dalam sistem hukum Indonesia
merupakan kelengkapan bagi penegakan hukum materil. Artinya,
hukum materil tidak akan bisa dipaksakan penegakannya apabila tidak
dibarengi dengan penerapan hukum acara. Beberapa contoh produk
hukum formil, yaitu Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata,
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, dan Hukum Acara Peradilan Militer. Semua
produk hukum acara yang disebutkan itu, memiliki sumber hukum
masing-masing. Untuk pembahasan lebih lengkap tentang hukum
formil ini, belum akan penulis bahas, mengingat ruang yang masih
sangat terbatas ini.
Keberadaan Bidang Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Indonesia Untuk menelusuri jejak historis berkembangnya Hukum Islam di
Indonesia maka pertama kali, kita tidak boleh melupakan sejarah
masuknya Islam di Indonesia. Masuknya Islam di Indonesia sejak
pertama kali yang tidak boleh dilupakan adalah Islam masuk sekaligus
berbarengan dengan diperkenalkannya Islam sebagai sebuah sistem
hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat di nusantara sebagai
individu maupun sebagai warga masyarakat yang saling berinteraksi
satu sama lain17
.
17
Ramly Hutabarat. 2005. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-
konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional.
Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 61.
Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai
diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14
Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
333
Pada masa kesultanan Islam di nusantara sebelum kedatangan
kolonialisme Belanda menjejakkan kakinya. Kesultanan-kesultanan
Islam kemudian mewarnai panggung sejarah nusantara seperti antara
lain: Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan
Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang18
.
Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang
dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan
Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram. Disusul berdiri
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Di Sulawesi, Islam
diterapkan dalam institusi Kesultanan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo,
Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di
sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Pada abad ke-13
Samudera Pasai telah menjadi kekuatan Islam yang maju dan kuat19
.
Kesultanan Ternate tahun 1440. Kesultanan lain yang menjadi
representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan kesultanan Bacan.
Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan kesultanan Bacan, banyak
kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam. Institusi Islam
lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar,
Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai20
.
Semua Kesultanan Islam yang ada di Nusantara ketika itu, telah
menerapkan politik hukum yang berkarakter Islam. Artinya, Islam
sebagai ideologi telah menjadi bagian integral dalam sistem kehidupan
masyarakat Islam di Nusantara, baik dalam tata pemerintahan,
kehidupan hukum, sistem pergaulan, sistem ekonomi, dan lain-lain21
.
A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten, adalah
kesultanan Islam di nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum
kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu
tersebut. Lihat. Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara; Transformasi
Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Penerbit Paramadina,
Jakarta, hlm. 21. 18
Ahmad Mansur Surya Negara. 2009. Api Sejarah. Salmadani Pustaka
Semesta, Bandung, hlm. 99. 19
Ibid. 20
Ibid. 21
Ramly Hutabarat, loc. cit.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
334
Islam sebagai hukum negara pada abad 17. Di Banten, hukuman
terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan
kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas
telah dilakukan pada tahun 1651-1680 M di bawah Sultan Ageng
Tirtayasa. Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap
puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan
isteri seorang perwira. Kesultanan Aceh Darussalam mempunyai
UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan
Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima
waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat.
Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan.
Kesultanan Demak di Jawa memiliki jabatan qodi di kesultanan
yang dijabat oleh Sunan Kalijaga. De Graff dan TH Pigeaud
mengakui hal ini bahwa di Kesultanan Mataram pertama kali
dilakukan perubahan tata hukum dibawah pengaruh hukum Islam oleh
Sultan Agung. Perkara kejahatan yang menjadi urusan peradilan ini
dihukumi menurut kitab Kisas yaitu kitab undang-undang hukum
Islam pada masa Sultan Agung. Penghulu pada masa Sultan Agung itu
mempunyai tugas sebagai mufti, yaitu penasehat Hukum Islam dalam
sidang-sidang pengadilan negeri, sebagai qadhi atau hakim, sebagai
imam masjid raya, sebagai wali hakim dan sebagai amil zakat.
Menurut Prof Mr Christian Van Den Berg (1854-1927), Orang
Indonesia telah melakukan resepsi Hukum Islam dalam
keseluruhannya sebagai satu kesatuan Receptio In Complexu. Bahkan
pada masa VOC keberadaan hukum Islam di Nusantara dapat
ditelusuri dengan terbitnya Al Muharrar yang mengadung hukum
Islam termasuk hukum hudud dan kitab Papakem Tjirebon pegangan
hakim-hakim dalam menjalankan hukum.
Dalam bidang ekonomi Sultan Iskandar Muda mengeluarkan
kebijakan riba diharamkan. Menurut Alfian deureuham adalah mata
uang Aceh pertama. Selain itu di Kesultanan Samudera Pasai pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir (1297/1326)
telah mengeluarkan mata uang emas.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
335
Secara umum di berbagai Kesultanan Nusantara berlaku sistem
kelembagaan kemitraan dagang (syarikah mufawadhah) dan sistem
commenda atau kepemilikan modal (arab: qirad, mudharabah,
mugharadhah). Berbagai hukum tersebut adalah bagian hukum
perekonomian Islam. Ini menunjukkan diterapkannya sistem ekonomi
Islam pada masa kesultanan-kesultanan di Nusantara.
Dalam bidang pemerintahan, TW Arnold menyebutkan bahwa
Kesultanan Samudera Pasai III, Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-
Zahir menyatakan perang kepada raja-raja negara tetangga yang non-
Muslim agar mereka tunduk dan diharuskan membayar jizyah.
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari menulis buku Kitabun Nikah
yang dicetak di Turki. Uraian singkat kitab ini dijadikan pegangan
dalam bidang perkawinan untuk seluruh wilayah Kesultanan Banjar di
Kalimantan ketika itu.
Islam pun diterapkan dalam bidang pertanahan. Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam
kitab Fathul Jawad yang isinya memuat ketentuan fikih yang
diantaranya ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati). Dengan
demikian nampak jelas bahwa Islam dan syariatnya sudah menyatu
dan terimplementasi secara menyeluruh dan sistemik.
Deskripsi tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara
tersebut, sekaligus membuktikan bahwa nuansa Islam di wilayah
Nusantara telah berlangsung secara sistematis dan masif, dalam semua
sendi kehidupan masyarakatnya. Artinya, nuansa Islam di nusantara
tidak hanya diterapkan dalam tataran bersifat individual tetapi juga
telah diterapkan dalam tataran kehidupan politik, ekonomi, hukum,
dan pemerintahan.
Masa masuknya Kolonialisme Belanda serta pada fase pendudukan
bala tentara Jepang, kedudukan hukum Islam lambat laun dihapuskan
secara pelan-pelan di bumi Nusantara dalam arti watak hukum Islam
sebagai hukum publik oleh penjajah dihapuskan yang pada akhirnya
hukum Islam hanya diberlakukan pada ranah privat (hukum perdata),
yaitu bidang hukum perkawinan, waris, dan hibah/wasiat.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
336
Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk kembali
memformalisasikan hukum Islam, semakin menguat terutama berasal
dari kelompok Islam puritan yang menghendaki pemberlakuan
Hukum Islam sebagai bagian dari hak mayoritas penduduk Islam
Indonesia. Namun demikian, meskipun pemberlakuan hukum Islam di
Indonesia terus digelorakan namun menurut pandangan Daniel S
Lev22
, formalisasi Hukum Islam di Indonesia masih berjalan lamban.
Hal itu disebabkan oleh masih kuatnya paham bahwa taqlid terhadap
pendapat para ulama yang terkodifikasi dalam kitab-kitab fiqih masih
memadai untuk menjawab masalah-masalah kontemporer23
, selain
karena posisi hukum Islam itu sendiri dalam konteks sosial politik
negara kita yang selalu menimbulkan polemik dan kecemburuan.
Hukum Islam disatu sisi-sisi berada pada titik tengah atau kalau boleh
dikatakan mengalami dilema antara paradigma agama dan paradigma
negara. Sebagai bagian dari agama, penerapan Hukum Islam menjadi
misi agama sebagai upaya implementasi totalitas ajaran agama dalam
realitas empirik, tetapi pada saat yang sama, hukum Islam pun
menjadi bagian dari paradigma agama yang di dalamnya terdapat
pluralitas terutama dari segi agama. Akibatnya, karena alasan
pluralitas itu, maka negara terpaksa harus mereduksi hukum Islam.
Disinilah problematika mendasar dari upaya formalisasi hukum Islam
yang menurut Denny J.A24
, dalam konteks masyarakat Indonesia yang
pluralistik, pemekaran suatu agama yang dalam hal ini Islam,
dianggap menjadi ancaman bagi agama lain. Karena itulah,
pembaruan hukum Islam melalui jalan formalisasi lewat legislasi oleh
negara dikhawatirkan memicu ketersinggungan sosial agama lain.
Meskipun upaya formalisasi hukum Islam melalui legislasi oleh
negara mengalami beberapa kendala, namun fakta menunjukkan
22
Ahmad Rofiq. Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. Penerbit Gama
Media Jogjakarta, hlm. 99. 23
Ibid., h, 99-100. 24
Denny JA dalam H. A. Malthuf Siroj. 2012. Pembaruan Hukum Islam
Di Indonesia (Telaah Kompilasi Hukum Islam). Pustaka Ilmu, Jogjakarta,
hlm. 133.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
337
bahwa semangat umat Islam untuk melakukan pembaruan hukum
Islam melalui formalisasi legalistik oleh negara, terus menggelora.
Berpijak dari situlah maka upaya formalisasi hukum Islam terus
menerus diperkuat melalui upaya mencari dukungan secara politik
yang antara lain melibatkan para ulama serta otoritas penguasa yang
ada di legislatif dan eksekutif. Upaya itu membuahkan hasil meskipun
formalisasi hukum Islam hanya berhasil untuk bidang-bidang hukum
privat (hukum perdata).
Keberhasilan pertama formalisasi hukum Islam di Indonesia meski
terbilang masih minimal, yaitu diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana undang-undang
ini secara substansi beberapa pasal di dalamnya telah mengakomodir
keinginan umat Islam untuk mengatur persoalan perkawinan yang
seharusnya tidak boleh bertentangan dengan spirit Islam25
.
Perjalanan umat Islam untuk melakukan formalisasi hukum Islam,
tidak berhenti sampai pada keberhasilan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, tetapi berlanjut ketika Menteri Agama Munawir Sjadzali
mengusulkan RUU Peradilan Agama ke DPR yang untuk selanjutnya
disahkan menjadi Undang-Undang. Meskipun terjadi pro dan kontra
terutama dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia, tetapi berakhir
dengan disahkannya RUU Peradilan Agama menjadi Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989.
Keberhasilan umat Islam menggolkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tidaklah berarti semua
persoalan yang berkaitan dengan hukum Islam di Indoensia menjadi
selesai. Ternyata muncul persoalan krusial yang dihadapi yaitu
berkenaan dengan tidak adanya keseragaman dari para hakim dalam
mengeluarkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang
mereka hadapi.Sebab para hakim dalam mensadarkan keputusan
hukum mereka merujuk kepada kitab-kitab fikih yang berbeda.
25
Kamal Hasan. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan
Muslim. Lingkaran Studi Indonesia, Jakarta, hlm. 190, dan Rachmadi Usman.
2003. Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah dan Politik
Hukum Di Indonesia. Grafiti, Jakarta, hlm. 196.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
338
Atas dasar itulah, timbullah gagasan Bushtanul Arifin tentang
perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan formal
yang seragam bagi para hakim di Pengadilan Agama untuk
mengeluarkan keputusan hukum. Gagasan Busthanul Arifin disepakati
dengan dibentuknya Tim Pelaksana Proyek yang didalamnya
melibatkan para cendekiawan dan para ulama. Tim akhirnya
merumuskan Kompilasi Hukum Islam yang ditindaklanjuti dengan
keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 sebagai instruksi
kepada menteri agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam, yang terdiri dari Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang
Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan.
Rintisan kearah formalisasi dan pembaharuan hukum Islam terus
digencarkan umat Islam, namun keberhasilan itu masih kepada seputar
persoalan-persoalan yang masuk keranah hukum keperdataan.
Terutama menyangkut hukum perjanjian yang mendasari transaksi
muamalah bagi umat Islam Indonesia. Seperti antara lain ketika
bangsa Indonesia memasuki era reformasi, pengakuan terhadap
pemberlakuan hukum Hukum Islam mendapat tempat untuk semakin
diformalisasikan dalam tatanan sistem hukum Indonesia. Hal itu
tampak dari dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah. Di dalam Perma tersebut, diatur secara spesifik mengenai
akad-akad syariah, yang tentu saja akad syariah merupakan
terminologi dari Hukum Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar
dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan
yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam
pembentukan hukum nasional yaitu:
1) Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah
Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus Nanggroe
Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang
langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti
UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
339
keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya atau
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
yang semakin memperluas kewenangannya, dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2) Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90
persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang
signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3) Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini
merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau
hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
4) Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini
sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari
pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi
bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam
konstelasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang
adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Teori ini
mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi hukum Islam di dalam
hukum nasional lndonesia itu ialah:
1) Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional
lndonesia.
2) Ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui
adanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum
nasional.
3) Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum islam
(agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum
nasionallndonesia.
4) Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum
nasional indonesia. Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-
undangan di indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam
semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa
peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh
hukum Islam.
BAB 6 Pembidangan Hukum Privat
340
Upaya untuk memformalkan Hukum Islam dalam sistem hukum
Indonesia, bagi umat Islam memang tidak mudah, perlu perjuangan
yang kuat, dan yang tak kalah pentingya adalah kesadaran politik
umat Islam di Indonesia, untuk memahami dalam konteks aqidah
secara politik bahwa penerapan Hukum Islam secara menyeluruh
dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak lain
merupakan ketundukan penghambaan seorang muslim kepada Allah
SWT Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta beserta mahluk
hidup, yang kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawabannya
berkenaan dengan konsistensinya terhadap penerapan Syariah Islam
selama hidupnya di dunia yang profan serta penuh tipu daya.
DAFTAR BACAAN
Al-Qur’anulkarim dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama RI,
PT Syaamil Cipta Media, Jakarta.
Al Arba’in An Nawawi, Kitab Kumpulan Hadits Imam Nawawi.
Afdol. 2009. Kewenangan Peradilan Agama Berdasarkan Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 dan Legislasi Hukum Islam Di
Indonesia. Airlangga University Press, Surabaya.
Agustina, Rosa. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit
Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Ahmad, Z. Ansori. 1986. Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia.
Rajawali Press, Jakarta.
Ali, Achmad. 2005. Keterpurukan Hukum Di Indonesia (Penyebab
dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Bogor.
___________. 2008. Menguak Realitas Hukum (Rampai Kolom dan
Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum). Prenada Media
Grup, Jakarta.
__________. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprudence). Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
__________. 2011. Menguak Tabir Hukum. Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Ali, Muhammad Daud. 2000. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ke-8.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
An Nabhani, Taqiyuddin. 2010. Sistem Ekonomi Islam (terjemahan
Hafidz Abdurrahman), HTI Press, Jakarta Selatan.
Apeldoorn, Mr. L.J. Van. 2011. Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan).
Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Arrasyid, Chainur. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika,
Jakarta.
Atmosudirdjo, Prajudi. 1984. Hukum Administrasi Negara, Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Azis, Mohammad Rosyidi (et.all). 2010. Pokok-Pokok Panduan
Implementasi Syariah dalam Bisnis, Pustaka Pengusaha
Rindu Syariah, Bogor.
Bello, C.K.L. 2013. Ideologi Hukum (Refleksi Filsafat atas Ideologi
Di Balik Hukum), Insan Merdeka, Bogor.
Budiarjo, Miriam. 1989. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. PT Gramedia,
Jakarta.
______________. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia,
Jakarta.
Budiono, Herlien. 2006. Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas
Wigati Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Budiono, Abdul Rahmat. 1995. Hukum Perburuhan Di Indonesia. PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Cotterell, Roger. 1984. Sociology of Law: An Introduction.
Butterworths, London.
Dewi, Gemala, dkk. 2013. Hukum Perikatan Islam di Indonesia.
diterbitkan atas kerjasama Kencana Prenada Media Grup
dengan dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta.
Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Paramadina, Jakarta.
Erwin, Muhammad. 2008. Hukum Lingkungan dalam Sistem
Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Penerbit
PT Refika Aditama, Bandung.
Falakh, Mohammad Fajrul. 2009. Akar-Akar Mafia Peradilan Di
Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum). Komisi
Hukum Nasional Republik Indonesia.
Friedmann, Lawrence. 2011. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial
(Terjemahan oleh M Khozim). Nusa Media, Bandung.
Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke, Wat is Rechtstheorie? Kluwer
Rechtswetenschappen, Antwerpen, Nederland, 1982.
Hamidi, Jazim. 2006. Revolusi Hukum Indonesia (Makna,
Kedudukan, dan Implkasi Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Kerjasama
Konstitusi Press dan Citra Media, Yogyakarta.
Hamzah, Andi. 2010. Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia.
Yarsif Watampone, Jakarta
Harahap, Muchtar Effendi dan Muhammad Sutopo. 2010. Kegagalan
SBY dalam Fakta dan Angka. Pustaka Fahima, Yogyakarta.
Harsono, Budi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
pelaksanaannya. Djambatan, Jakarta.
Hasan, Kamal. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan
Muslim. Lingkaran Studi Indonesia, Jakarta, hlm. 190, dan
Rachmadi Usman. 2003. Perkembangan Hukum Perdata
dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum Di Indonesia.
Grafiti, Jakarta.
Herman Hermit. 2008. Pembahasan Undang-undang Penataan
Ruang, Mandar Maju, Bandung.
Hizbut Tahrir Indonesia. 2011. Menegakkan Syariat Islam, Hizbut
Tahrir Indonesia, Jakarta.
H.S, H. Salim. 2005. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Rajawali
Press, Jakarta.
Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.
Sinargrafika, Jakarta.
Hutabarat, Ramly. 2005. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-
konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hernoko, Agus Yudha. 2010. Hukum Perjanjian (Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial). Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta.
Iskandar, Arief B. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Al-Azhar Press,
Bogor.
Kartohadiprodjo, Soediman. 1962. Penglihatan Manusia tentang
Tempat Individu dalam Oergaulan Hidup (Suatu Masalah),
Bandung.
Khairandy, Ridwan. 2013. Hukum Kontrak Indonesia Dalam
Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). FH UII Pres,
Yogyakarta.
Kurnia, Titon Slamet. 2009. Pengantar Sistem Hukum Indonesia.
Alumni, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1982. Pengantar Hukum Internasional.
Bina Cipta, Bandung.
Likadja, Frans E. dan Daniel F Bessie. 1985. Hukum laut dan
Undang-Undang Perikanan. Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011. An Introduction to Indonesian Law,
Setara Press, Malang.
____________________. 2013. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi
Revisi). Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.
_____________________. 2013. Penelitian Hukum. Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta.
Moh. Mahfud MD. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. PT Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta.
______________. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Gama
Media, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 1988. Mengenal Hukum. Liberty,
Yogyakarta.
___________________. 2015. Teori Hukum. Universitas Atmajaya,
Yogyakarta.
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta.
Negara, Ahmad Mansur Surya. 2009. Api Sejarah. Salmadani Pustaka
Semesta, Bandung.
Parthiana, Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, Mandar
Maju, Jakarta.
Prodjodikoro, Mr Wirjono. 1962. Azas-Azas Hukum Perdata. Penerbit
Sumur, Bandung.
______________________. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Di
Indonesia. Refika Aditama, Bandung.
Putro, Widodo Dwi. 2011. Kritik terhadap Paradigma Positivisme
Hukum. Genta Publishing, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
_______________. 2006. Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia.
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Raz, Joseph. 1983. The Authority of Law.Oxford; Clarendon Pers,
London.
Rofiq, Ahmad. Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia. Penerbit
Gama Media Jogjakarta.
Saidi, Djafar. 2007. Pembaharuan Hukum Pajak, PT Raja Grafindo,
Jakarta.
Santoso, Urip. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah.
Penerbit Kencana, Jakarta.
________________. 2014. Hukum Agraria Kajian Komprehensif.
Prenada Media Grup, Jakarta.
Shalih, Hafidh. 2003. Falsafah Kebangkitan (Dari Ide Hingga
Metode). Terjemahan Oleh Yayat Rohiyatna dari kitab
berjudul An-Nahdhah. CV Idea Pustaka Utama, Bogor.
Sholehuddin, Umar. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat
Perspektif Sosiologi Hukum. Setara Press, Malang.
Shomad, Abd. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam
Hukum Indonesia. Kencana Prenada Media Grup, Cet. I,
Jakarta.
Sidharta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Buku 1
Akar Filosofis, Genta Publishing, Yogyakarta.
Sidharta, Arief. 2009. Meuwissen tentang Pengembangan Hukum,
Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. PT. Refika
Aditama, Bandung.
Sidharta, Bernard Arif, Refleksi tentang Struktur Hukum (Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan
Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional Indonesia.
Soekanto, Soerjono. 1986. “Ketertinggalan Kebudayaan”. PT
Rajawali, Jakarta.
Soetiksno, Mr. 1988. Filsafat Hukum Bagian I, PT Pradnya Paramita,
Jakarta.
Soemitro, Rochmat. 1979. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan
Pendapatan, PT Eresco, Bandung.
_______________. 2006. Asas dan Dasar Perpajakan, Penerbit
Refika Aditama, Bandung.
Subekti. 1977. Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung.
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet
Widjajakusuma. 2002. Menggagas Bisnis Islami, Gema
Insani, Jakarta.
Web Site, Hasil Penelitian, Makalah, Kamus, Majalah, dan
Artikel
Abdurrahman, Hafidz, Majalah Al-Waie nomor 44 tanggal 4 Januari
2004 dalam tulisan judul Memasuki Masyarakat.
An-Nabhani dalam Majalah al-Wai’e Nomor 34 Terbitan Nomor 34
Tahun III, tanggal 1-30 Juni 2003 dalam tajuk tulisan
berjudul Khiththah Siyasi dan Uslub Siyasi.
Asnawi, M. Natsir. 2010. Mazhab Sejarah Hukum: Volksgeist dan
Dekonstruksi Hukum Nasional. Diakses dari
natsirasnawi.blogspot.com, Mei 2015.
Hasbullah. 2011. Politik Hukum dalam Islam Menurut Tinjauan
Sejarah dan Fiqh. Makalah Pada Sekolah Pascasarjana
Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Ruliah. 2013. Hakikat Nilai Kalosara Pada Suku Tolaki sebagai
Sumber Kesadaran Hukum Masyarakat. Disertasi Program
Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sidharta. 2013. “The Breakthrough Doctrine of Interpretation in
Environmental Tortlaw in Addressing the Trans-boundary
Legal Problems”. Makalah yang dipresentasikan pada
Konprensi Internasional yang diadakan oleh Stikubank, 29-
30 Agustus 2013
Slamet. Kemerdekaan Tanpa Kedaulatan: Sebuah Refleksi, artikel
dimuat di Harian Satelit Pos, 18 Agustus 2014.
The Merriam-Webster Dictionary. 1973. Published by Pocket Books
New York.
www. kompas.com, 27 Desember 2014, Judul Berita Kasus Suap
Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mukhtar yang
Menggurita. Diakses 13 Mei 2015.
www. tempo.com, berita tanggal 9 Desember 2014. Yang diakses
pada 10 Mei 2015.
GLOSARIUM
A
A Tool Of Social Control: Sebagai alat kontrol sosial atau
pengendalian sosial. Contohnya hukum sebagai a tool of social
control artinya hukum sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial
prilaku warga masyarakat yang diaturnya.
A Tool Of Social Engineering: Sebagai alat untuk melakukan
rekayasa sosial atau untk melakukan perubahan-perubahan sosial yang
bermanfaat bagi masyarakat.
Ajeg: Secara tetap sifatnya tidak berubah-ubah
Agregat: Kumpulan material atau unsur-unsur yang saling terpisah
satu sama lain. Misalnya, adonan kue merupakan agregat dari bahan-
bahan yang terpisah seperti terigu, mentega, putih telur, dan lain-lain.
C
Class Action: Disebut juga dengan istilah gugatan berkelompok.
Istilah ini mula pertama kali diperkenalkan sebagai sebuah pranata
hukum dalam sistem common law.
Condition Sine Qua Non: Istilah yang dikenal dalam Ilmu Hukum,
yang berarti syarat yang harus ada bagi terjadinya suatu perbuatan.
Misalnya, seseorang dapat dikenakan melakukan perbuatan pidana
apabila terpenuhi syarat dalam perbuatannya tersebut masuk dalam
kategori pidana.
D
Deal Politik: Kesepakatan politik yang terbangun antara para elit
politik yang duduk di pusat-pusat kekuasaan pemerintahan dalam
rangka merumuskan sebuah kebijakan politik yang hendak
diberlakukan.
Demarkasi: Wilayah batasan kajian
Despotis: Tindakan yang sewenang-wenang.
Diskursus: Diskusi tentang sebuah persoalan melalui pendekatan atau
perspektif tertentu.
E
Egaliter: Suatu konsep yang menyatakan bahwa semua orang harus
diberlakukan sama didepan hukum
Entitas Politik: Kesatuan politik dalam tataran lingkup sebuah
negara.
Etis: Menyangkut hal yang bersifat kesopanan atau tidak boleh
bertentangan dengan kesusilaan
F
Fundamental: Secara mendasar atau secara hakiki
Fikroh: Merupakan istilah Bahasa Arab yang berarti konsep
pemikiran atau cara berpikir seseorang tentang sesuatu persoalan
kehidupan yang dihadapinya dengan berlandaskan argumentasi
rasional yang dimilikinya
G
Grundnorm: Kaidah dasar hukum tertinggi yang berlaku dalam
hukum nasional suatu negara yang harus menjiwai produk-produk
hukum lainnya. Contoh Pancasila dan UUD 1945 merupakan
grundnorm dalam sistem hukum Indonesia.
H
Hak Ulayat: hak-hak komunal masyarakat adat di Indonesia untuk
menguasai sebidang atau kawasan tanah tertentu yang kepemilikan
dan tata cara pengolahannya tunduk berdasarkan hukum adat
setempat.
I
In Concreto: Dalam praktek kehiduoan sehari-hari. Hukum in
concreto artinya hukum dalam praktek kehidupan sehari-hari
Infrastruktur: Sarana atau alat-alat yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu dalam arti luas. Bisa itu merupakan kebutuhan
politik atau kebutuhan ekonomi.
K
Kodifikasi: Upaya pembukuan secara sistematis dan terstruktur
produk hukum tertentu secara tertulis dengan urut-urutan bab, pasal,
dan ayat.
Konfigurasi: Bentuk atau wujud untuk menggambarkan sifat suatu
benda atau keadaan.
Korporasi: Disebut juga sebuah perkumpulan atau organisasi yang
membentuk sebuah lembaga dengan menggunakan nama tertentu,
yang iasanya lembaga tersebut bergerak dibidang kegiatan ekonomi
atau bisnis.
L
Legal Doctrine: Biasa juga disebut pendapat hukum yang dikeluarkan
oleh seorang ahli hukum.
Legalisasi: Sebuah proses politik yang dijalankan dalam rangka
memformalkan suatu produk hukum kedalam dokumen resmi negara
agas dapat menjadi produk hukum yang mengikat seluruh warga
masyarakat.
Lex Generalis: Produk hukum yang mengatur segi-segi perbuatan
hukum atau peristiewa hukum yang lebih bersifat umum.
Lex Inferiori: Produk hukum tertulis yang memiliki derajat
kedudukan lebih rendah yang diberlakukan di suatu negara.
Lex Superior: Produk hukum tertulis yang memiliki derajat
kedudukan lebih tinggi yang diberlakukan di suatu negara.
Liberalisme: Paham yang kebebasan yang dimiliki oleh manusia
adalah kebebasan yang tidak boleh dibatasi oleh aturan agama dan
moralitas. Paham yang menyatakan bahwa manusia memiliki
kehendak bebas sepanjang kebebasan itu mengganggu kebebasan
orang lain.
M
Mabda: Merupakan istilah Bahasa Arab yang juga dapat berarti
ideologi
Meta Norma: Sesuatu yang bersifat abstrak namun merupakan kaidah
normatif yang menjadi pijakan dasar bagi tegaknya aturan-aturan
hukum yang konkrit.
Mores: Merujuk kepada istilah sosiologi yang berarti seperangkat
tatanan nilai, tradisi, adat kebiasaan yang berlangsung secara terus
menerus dalam kehidupan sosial masyarakat kemudian terangkum
menjadi norma-norma eika atau hukum yang mengikat semau anggota
masyarakat
Muamalah: Istilah dalam Hukum Islam yang merujuk kepada
pengertian hubungan jual beli atau hubungan sosial antara sesama
muslim atau muslim dengan non-muslim.
N
Nomenklatur: Sesuatu yang bersifat jenis atau bentukan tertentu yang
melekat pada sebuah nama tertentu.
O
Obligasi: Sebuah kewajiban yang harus ditaati
Opinion Neccessitatis: Keyakinan hukum kelompok masyarakat yang
berkepentingan, yang berasal dari nilai-nilai kebiasaan yang
berlangsung dalam konteks kehidupan, yang keyakinan tersebut
berkembang menjadi sebuah pendapat umum sebagai sesuatu nilai
yang harus dipatuhi dan ditaati.
Ordonansi: Sebuah penamaan produk undang-undang yang
diberlakukan Kolonial Belanda dahulu di tanah jajahan Hindia
Belanda
Organisme: Berasal dari Bahasa Yunani yaitu organismos, sering
digunakan dalam istilah ilmu biologi, namun dalam perspektif ilmu
sosial, berarti sekumpulan organisasi yang hidup teratur dalam suatu
sistem kemasyarakatan tertentu.
Otoritas: Kewenangan untuk menjalankan kekuasaan politik serta
penegakan hukum
P
Pretensi: Gairah kewenangan melakukan kajian terhadap sebuah
pandangan tertentu.
Preventif: Upaya untuk melakukan pencegahan agar tidak terjadi
gangguan yang dapat membahayakan pergaulan hidup masyarakat.
Privatisasi: Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah berupa
pengalihan status badan usaha milik negara menjadi milik swasta
Persepsi: Pandangan subjektif seseorang yang lebih banyak
dipengaruhi oleh aspek psikologis mengenai persoalan yang
dihadapinya.
Perspektif: Cara pandang seseorang tentang sesuatu hal yang menjadi
pusat perhatiannya.
R
Represif: Tindakan paksaan untuk menindak setiap perbuatan atau
tindakan yang membahayakan pergaulan hidup masyarakat.
Respirasi: Merujuk pengertian proses pernapasan yang terjadi pada
dunia tumbuh-tumbuhan.
Revolusioner: Perubahan yang terjadi secara mendadak dan drastis
menggantikan kondisi atau keadaan sebelumnya yang dianggap tidak
sesuai lagi dengan kondisi sosial politik masyarakatnya.
S
Status quo: Sesuatu keadaan yang bersifat tetap dan tidak boleh
diubah-ubah lagi.
Sui Generis: merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Latin, yang
secara harfiah berarti dari jenisnya sendiri dengan karakteristik yang
khas dan unik. Ilmu Hukum disebut bersifat sui generis sebab bidang
ilmu ini memiliki karakteristik tersendiri yang tidak mungkin dimiliki
oleh bidang ilmu lainnya.
Survival Instinct: Naluri untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, naluri ini dimiliki oleh setiap mahluk hidup yang bergerak
seperti manusia dan hewan
T
Thariqah: Istilah Bahasa Arab yang merujuk kepada pengertian
metode atau cara-cara tertentu yang sifatnya baku dan permanen untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Contoh perang merupakan salah satu
cara tertentu yang dikenal dalam Islam untuk melawan orang-orang
kafir yang bermaksud menindas negeri-negeri kaum muslimin.
The Founding Fathers: Mereka yang menjadi pionir atau peletak
dasar awal berdirinya suatu negara atau organisasi tertentu
U
Uqubat: Sanksi pidana yang dikenal dalam Hukum Islam, seperti
potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pelaku zinah yang sudah atau
pernah terikat perkawinan dengan orang lain.
Utilitarianisme: sebuah pandangan yang mengajarkan bahwa nilai
sesuatu benda atau perbuatan haruslah dikaitkan dengan nilai
kegunaan yang melekat kepadanya yaitu kegunaan yang memberikan
kepuasan jasmaniah bagi manusia.
Y
Yuris: Seseorang yang kepadanya dipandang memiliki kredibilitas
untuk mengeluarkan pendapat tentang hukum. Contohnya, hakim,
jaksa, advokat, dan para ahli hukum lainnya seperti kalangan
akademisi hukum atau penulis hukum.
PROFIL SINGKAT PENULIS
Prof. Dr. H. Muhammad Jufri, S.H., M.S.
Lahir di Pangkajene, Sulawesi Selatan 9 Agustus 1960.
Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas diselesaikan di Pangkajene. Ia kemudian melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi, dan berhasil meraih gelar Sarjana
Hukum Tahun 1984 pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar. Magister Hukum dan Doktor Hukum, masing-masing
diselesaikan pada 1991 dan 2000 pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya. Awal karirnya, dimulai terangkat sebagai dosen
tetap CPNS 1 November 1985, yaitu ditugaskan sebagai pengasuh
mata kuliah Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Haluoleo.
Berturut-turut jabatan yang pernah diembannya yaitu menjadi Kepala
Humas Universitas Haluoleo, juga pernah dipercayakan menjadi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.
Berturut-turut jabatan struktural lainnya, pernah menjabat sebagai
Ketua Dewan Kehormatan Kode Etik dan Disiplin Universitas Halu
Oleo 2013-2014. Saat ini, ia diamanahkan sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo Periode 2014-2018. Sebagai akademisi,
ia memiliki banyak pengalaman mengajar, antara lain mengasuh mata
kuliah hukum di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo, Fakultas
Hukum Universitas Halu Oleo, Fakultas Ekonomi Universitas Halu
Oleo. Pengalaman lain, ia juga sering diminta menjadi pemateri untuk
masalah hukum dan sosial pada berbagai seminar dan pertemuan
ilmiah baik lokal, nasional, maupun internasional serta instruktur
pada berbagai pelatihan hukum yang diadakan beberapa instansi
pemerintahan di Indonesia. Menjadi Guru Besar Tetap Ilmu Hukum
Universitas Halu Oleo, mulai diangkat tahun 2010.
Muhammad Sjaiful, S.H., M.Hum
Lahir di Makassar 26 Januari 1968. Ia menyelesaikan pendidikan
dasar, menengah pertama, dan menengah atas yang semuanya sekolah
negeri di Kota Makassar. Melanjutkan pendidikan tinggi pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin meraih gelar Sarjana Hukum
tahun 1994. Pernah juga mengenyam pendidikan pada Akademi
Bahasa Asing Jurusan Bahasa Inggeris Universitas Muslim Indonesia
1992-1995. Ia melanjutkan sekolah program Magister Ilmu Hukum
Universitas Hasanuddin, meraih gelar M.Hum tahun 1999. Saat ini
sedang tahap akhir pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Airlangga.
Sejak mahasiswa strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin rentang waktu 1987-1994, sudah mulai menekuni dunia
tulis menulis. Saat mahasiswa ketika itu, telah beberapa tulisannya
dimuat di Koran Kampus Identitas dan Koran Nasional Makassar
seperti harian Fajar dan Pedoman Rakyat. Mulai menapak sebagai
pengajar ketika menjadi guru Bahasa Inggeris di pesantren
Hidayatullah Balik Papan Kalimantan Timur 1995. Lalu menjadi
dosen pada Fakultas Hukum Universitas Satria Makassar 1997-2000.
Dosen Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar 1999. Kemudian
diangkat menjadi CPNS sebagai Dosen Tetap di Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo sejak 2003 sampai sekarang. Selama itu pula
pernah dipercayakan menjadi pengajar di Universitas Muhammadiyah
Kendari. Lalu menjadi pengajar Fakultas Teknik dan Fisip Universitas
Halu Oleo. Beberapa jabatan struktural yang pernah diembannya
antara lain. Ketua unit Jaminan Mutu Fakultas Hukum Universitas
Halu Oleo, Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo.
Sekarang menjadi Kepala Pusat Studi Hukum, HAM, dan Anti
Korupsi Universitas Halu Oleo. Selama menjadi pengajar, ia telah
menghasilkan puluhan artikel yang dimuat di media nasional. Pernah
pula menulis sepuluh Cerita Pendek yang sudah dimuat di Koran
Harian Kendari Pos. Tidak hanya menulis di media massa, juga
menulis artikel ilmiah dibeberapa jurnal yang ada di beberapa
perguruan tinggi di tanah air, yang sampai saat ini sudah 15 tulisannya
dimuat di beberapa jurnal. Sering juga diminta membawakan makalah
pada berbagai seminar maupun pertemuan ilmiah, mulai tingkat lokal,
nasional, dan pernah menjadi pembicara pada tiga konprensi
internasional yang pernah diadakan di tanah air. Buku yang pernah
ditulis adalah WAJAH POLITIK HUKUM INDONESIA ISBN
978-602-98683-6-4 Penerbit Komunika Kendari.
Top Related