Pelestarian Kawasan Bersejarah Istana Taman Air Sokasada Karangasem Bali

12
PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH ISTANA TAMAN AIR SOEKASADA KARANGASEM BALI W.A. Wardhana, Antariksa, Tunjung W. Suharso Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 – Telp. (0341) 567886 e-mail: [email protected] ABSTRAK Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik lama sosial budaya dan fisik serta perubahan dari kawasan bersejarah Istana Taman Air Soekasada. Metode yang digunakan pada studi ini adalah kulitatif-historis-deskriptif. Hasil studi menunjukan fungsi kawasan sebagai balai budaya terbesar, monumen persahabatan dan permukiman berkonsep muslim mulai terancam hilang secara permanent. Kegiatan kesenian budaya yang bertahan adalah yang berlatar belakang upacara religi. Penghasilan warga banjar muslim dari sektor laut dan pertanian kini tidak mencukupi karena harus menopang model masyarakat yang telah mengalami gejala perubahan menuju masyarakat berkebutuhan urban. Sebagai dampaknya, tingkat kesejahteraan banjar muslim sangat rendah. Perubahan pada status lahan terutama terjadi akibat adanya land reform pada tahun 60-an. Sebagai akibatnya, kepemilikan lahan kawasan bersejarah kini sebagian besar beralih ke tangan individu. Pada etnisitas tata ruang fisik Hindu, perubahan terjadi dalam berbagai macam kondisi kerusakan alam atau akibat tangan manusia. Pada etnisitas tata ruang muslim, perubahan terutama terjadi pada orientasi tata ruang dan bangunan tradisional yang beralih menjadi modern. Perubahan sarana dan prasarana kawasan yang paling menonjol adalah kehadiran sebuah komplek villa yang merusak fungsi spiritual di dalam kawasan istana. Kata kunci: pelestarian kawasan bersejarah, istana/keraton, perubahan kawasan. ABSTRACT The aims of this study are to identify the old socio-cultural and physical characteristi changes from palace area of Istana Taman Air Soekasada. The methode of this study is used descriptive- historical-qualitative. The results of this study shown that the area’s function such as the biggest traditional customs, the monument of friendship and the Moslem settlement concepts are threatened to be extinct. Only the arts exhibition with religion motivation can be existed from a time. Villager income from fishery sector and farms not enough to any further extent to suports their own needs since they transformed into urban villagers models. The effect is their wealhty banjar Moslem being decreased. The changes of lands owner in historical area’s site occur because lands reformation in 60-era. The effects are almost of all certificates moving into individual person. The ethnicity of Hindus phsycal space change comes because varians damages on it buildings, caused by nature or human hand. The ethnicity of Moslems physical space (the village) change comes in the orientation of space it self, that transforming the traditional buildings to modern buildings. The changing of structures and instruments area’s is mainly be present of the moderns villa’s complex that destroy the spiritual function of the palace site. Keywords: conservation of historical area, palace, area changes. Pendahuluan Ketika Kerajaan Gelgel yang merupakan kerajaan terbesar di Bali terpecah belah di awal abad ke-14, kerajaan-kerajaan kecil yang lebih modern mulai terbentuk. Di Karangasem, peradaban melalui kerajaan semacam ini pada akhirnya terbentuk di sebuah daerah yang kini menjadi ibukotanya, yaitu di Amlapura, yang memiliki jarak sekitar 5-7 km dari kaki Gunung Lempuyang. Di kaki Gunung Lempuyang dapat arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009 130

Transcript of Pelestarian Kawasan Bersejarah Istana Taman Air Sokasada Karangasem Bali

PELESTARIAN KAWASAN BERSEJARAH ISTANA TAMAN AIR SOEKASADA

KARANGASEM BALI

W.A. Wardhana, Antariksa, Tunjung W. SuharsoJurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya

Jl . Mayjen Haryono 167 Malang 65145 – Telp. (0341) 567886 e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik lama sosial budaya dan fisik serta perubahan dari kawasan bersejarah Istana Taman Air Soekasada. Metode yang digunakan pada studi ini adalah kulitatif-historis-deskriptif. Hasil studi menunjukan fungsi kawasan sebagai balai budaya terbesar, monumen persahabatan dan permukiman berkonsep muslim mulai terancam hilang secara permanent. Kegiatan kesenian budaya yang bertahan adalah yang berlatar belakang upacara religi. Penghasilan warga banjar muslim dari sektor laut dan pertanian kini tidak mencukupi karena harus menopang model masyarakat yang telah mengalami gejala perubahan menuju masyarakat berkebutuhan urban. Sebagai dampaknya, tingkat kesejahteraan banjar muslim sangat rendah. Perubahan pada status lahan terutama terjadi akibat adanya land reform pada tahun 60-an. Sebagai akibatnya, kepemilikan lahan kawasan bersejarah kini sebagian besar beralih ke tangan individu. Pada etnisitas tata ruang fisik Hindu, perubahan terjadi dalam berbagai macam kondisi kerusakan alam atau akibat tangan manusia. Pada etnisitas tata ruang muslim, perubahan terutama terjadi pada orientasi tata ruang dan bangunan tradisional yang beralih menjadi modern. Perubahan sarana dan prasarana kawasan yang paling menonjol adalah kehadiran sebuah komplek villa yang merusak fungsi spiritual di dalam kawasan istana. Kata kunci: pelestarian kawasan bersejarah, istana/keraton, perubahan kawasan.

ABSTRACT

The aims of this study are to identify the old socio-cultural and physical characteristi changes from palace area of Istana Taman Air Soekasada. The methode of this study is used descriptive-historical-qualitative. The results of this study shown that the area’s function such as the biggest traditional customs, the monument of friendship and the Moslem settlement concepts are threatened to be extinct. Only the arts exhibition with religion motivation can be existed from a time. Villager income from fishery sector and farms not enough to any further extent to suports their own needs since they transformed into urban villagers models. The effect is their wealhty banjar Moslem being decreased. The changes of lands owner in historical area’s site occur because lands reformation in 60-era. The effects are almost of all certificates moving into individual person. The ethnicity of Hindus phsycal space change comes because varians damages on it buildings, caused by nature or human hand. The ethnicity of Moslems physical space (the village) change comes in the orientation of space it self, that transforming the traditional buildings to modern buildings. The changing of structures and instruments area’s is mainly be present of the moderns villa’s complex that destroy the spiritual function of the palace site. Keywords: conservation of historical area, palace, area changes.

Pendahuluan Ketika Kerajaan Gelgel yang merupakan kerajaan terbesar di Bali terpecah belah di

awal abad ke-14, kerajaan-kerajaan kecil yang lebih modern mulai terbentuk. Di Karangasem, peradaban melalui kerajaan semacam ini pada akhirnya terbentuk di sebuah daerah yang kini menjadi ibukotanya, yaitu di Amlapura, yang memiliki jarak sekitar 5-7 km dari kaki Gunung Lempuyang. Di kaki Gunung Lempuyang dapat

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009 130

ditemukan sebuah kawasan istana keraton peninggalan Puri Agung Karangasem (dinasti kerajaan Karangasem paling akhir) yang ketiga dan telah berusia lebih dari 87 tahun, disebut sebagai Istana Taman Air Soekasada atau Taman Ujung. “Sebagai tempat peristirahatan raja, Taman Ujung dibangun dengan perpaduan arsitektur Eropa dan arsitektur tradisional Bali yang sangat menghormati alam” (Kompas, 2001). Kawasan Istana Taman Air Soekasada pada masa jayanya, yaitu pada era I Gusti Bagus Djelantik masih memiliki kekuasaan politik raja (1908–1941), tidak hanya digunakan sebagai tempat peristirahatan raja. Istana air saat itu juga berfungsi sebagai tempat menerima tamu dari luar negara (kerajaan), dan sudah merupakan tempat wisata bagi orang luar kerajaan. Salah satu keunikan dari kawasan istana air ini terletak pada keberadaan satu-satunya permukiman/banjar di sekitar komplek istana yang dihuni oleh masyarakat beretnis Sasak, yang dikenal sebagai banjar muslim Ujung Pesisi Desa Tumbu.

Sejarah pembentukan kawasan bersejarah Istana Taman Air Soekasada telah dimulai semenjak tahun 1870 hingga menemukan bentuk sempurnanya dari segi fisik dan non fisik pada tahun 1937, dan setelah beberapa masa setelahnya/masa perubahan, terjadi berbagai peristiwa yang menyebabkan kondisi fisik dan sosial budaya kawasan secara signifikan mengalami kemunduran kelestarian kawasan yang serius. Tujuan dari studi pelestarian ini, antara lain untuk mengidentifikasi karakteristik lama sosial budaya dan fisik dari kawasan bersejarah Istana Taman Air Soekasada; dan untuk mengidentifikasi perubahan karakteristik sosial budaya dan fisik dari kawasan bersejarah Istana Taman Air Soekasada. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan prinsip-prinsip berdasarkan penelitian kualitatif - historis - deskriptif. Ruang lingkup wilayah adalah menurut batasan yang ditetapkan oleh PERDA No.7/ 23 tahun 2003, tentang kawasan lama Istana Taman Air Soekasada. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 29,5 Ha, termasuk di dalamnya komplek situs cagar budaya istana dengan batas tembok seluas 11,94 Ha, dan permukiman banjar muslim Desa Tumbu Ujung Pesisi.

Penggunaan sampel diperlukan untuk analisis persepektif dari; 1) Penduduk; 2) Wisatawan; dan 3) Tokoh masyarakat; terkait kondisi perubahan dan pelestarian pada kawasan bersejarah ITAS. Pengambilan sampel penduduk dilakukan dengan menggunakan metode random sampling yang dikemukakan oleh Slovin (1990). Hasilnya, untuk sampel penduduk banjar muslim ditemukan jumlah 65 responden. Pengambilan sampel wisatawan dilakukan dengan menggunakan metode systematic random sampling yang dikemukakan oleh Sugiarto et al. (2003:70). Hasilnya, untuk wisatawan mancanegara ditemukan 20 responden, dan untuk wisatawan dalam negeri 50 responden. Pengambilan sampel untuk tokoh masyarakat dilakukan dengan metode getok tular. Penulis menentukan seseorang untuk menjadi anggota sampel atas dasar rekomendasi atau anjuran orang yang telah terlebih dahulu menjadi sampel (Sukardi dalam Purnama 2006:75).

Metode analisa data meliputi: Metode deskriptif Digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada rumusan pertama. Untuk menemukan identifikasi karakteristik sosial budaya dan fisik kawasan, studi ini menerapkan model analisis dan studi terhadap suatu fenomena yang dicermati, kemudian hasilnya ditabulasikan ke dalam bentuk analisis deskriptif. Metode evaluatif deskriptif Digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada rumusan kedua. Untuk menemukan identifikasi perubahan karakteristik kawasan, studi ini juga menerapkan analisis yang hampir sama dengan metode pertama, namun yang digambarkan merupakan kondisi

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

131

setelah masa perubahan. Kesenjangan antara kondisi sebelum dan sesudah perubahan merupakan suatu bentuk teknik evaluasi perubahan.

Hasil dan Pembahasan 1. Identifikasi karakteristik sosial budaya dan fisik lama kawasan a. Fungsi pembentukan kawasan

Fungsi pembentukan ruang di dalam kawasan istana menurut periodenya terbagi menjadi dua, yaitusebagai berikut: Periode pemerintahan oleh steudeheuder I: Berikut penjelasan fungsi pembentukan kawasan pada masa I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti (Raja Puri Agung Karangasem, dinasti kerajaan yang terakhir di Karangasem): Pura Manikan didirikan pada tahun 1870 m untuk memenuhi kebutuhan ruang sacred berupa madya dengan utama, yaitu di kaki Gunung suci Lempuyang. Pura ini didirikan tidak jauh dari mata air Gunung Lempuyang yang suci. Kolam Dirah yang berjarak sekitar 450 meter ke arah selatan dari Pura Manikan didirikan pada tahun 1901 m, sebagai tempat yang memanfaatkan ruang madya-nista kawasan pesisir Ujung. Kolam keramat ini berfungsi sebagai tempat membuang ilmu hitam, dan juga tempat mengeksekusi orang yang dianggap musuh kerajaan. Periode pemerintahan oleh steudeheuder II: Di bawah kekuasaan steudeheuder kedua, I Gusti Bagus Djelantik (Gambar 1), putra dari I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti yang naik takhta pada Tahun 1908, Kerajaan Puri Agung Karangasem mencapai masa keemasannya. Kas negara yang begitu besar bisa membuat I Gusti Bagus Djelantik mampu mendirikan komplek istana ketiganya dengan konsep amerta jiwa/ kehidupan air. Selain bertujuan untuk mendirikan perluasan komplek bangunan istana/ keraton yang ketiga (Gambar 2), Raja I Gusti Bagus Djelantik mendirikan kawasan ITAS juga untuk menjadikannya balai budaya terbesar di Karangasem. Hal ini dibuktikan dengan dihadirkannya ruang-ruang luas yang memiliki fungsi sebagai panggung kesenian dan budaya terbesar, beserta terciptanya budaya hasil bentukan asli kawasan. Raja I Gusti Bagus Djelantik juga sengaja merancang kawasan dengan konsep bermukim “khusus” bagi kelompok imigran muslim yang umumnya patih-patih dari kerajaan di Lombok, yang diundang ke kawasan ini pada tahun 1908 secara masal, yaitu ketika ITAS dalam proses pembentukan awal. Diduga tindakan yang mengandung muatan penuh toleransi ini adalah untuk menyamai keberadaan taman & keraton serupa peninggalan Kerajaan Karangasem di Tanah Lombok, yang juga memiliki konsep penduduk minoritas, yakni pemukim Hindu di tengah komunitas muslim. Fungsi pembentukan ruang kawasan mencapai masa kejayaannya pada tahun 1937 (Gambar 3). Gambar 1. Foto I Gusti Bagus Djelantik; Creator

kawasan ITAS.

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009 132

Gambar 3. Kawasan bersejarah Istana Taman Air Soekasadapada tahun 1937.

Gambar 2. Bangunan istana Bale Kambang di kawasan ITAS tempo dulu.

b. Kegiatan seni budaya dan upacara religi kawasan yang berkembang

Masyarakat Karangasem sejak dahulu adalah masyarakat dengan identitas budaya yang kental, dan terdiri dari beberapa latar belakang suku dan aliran kepercayaan. Kawasan studi Istana Taman Air Soekasada merupakan wilayah yang memiliki “dua entisitas budaya berbeda” yang berkembang berdasarkan kedua hal tersebut, yakni masyarakat asli yang beridentitas Hindu dan masyarakat pendatang asal Lombok yang beridentitas muslim. Dalam perjalanan sejarahnya di kawasan Istana Taman Air Soekasada, kedua entisitas ini ternyata mampu mengembangkan kesenian dan budayanya masing-masing hingga menjadi suatu peradaban yang berbeda namun menarik (Gambar 4).

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

133

Gambar 4. Citra pemakaian ruang kawasan ITAS untuk kegiatan sosial religi berdasarkan dua entisitas berkembang yang berbeda.

1) Kegiatan berarak-arakan dalam Karya Baligia (Hindu) Sumber foto: Video streaming milik Indosiar

2) Kegiatan berarak-arakan dalam merariq (Muslim) Sumber foto: geocities.com, merariq di Lombok

Penggunaan ruang oleh kegiatan seni budaya dan upacara religi di kawasan, dijelaskan sebagai berikut:

Kegiatan upacara religi yang berkembang - Ritual purnama tilem

Purnama tilem adalah upacara yang dilakukan ketika terjadi bulan purnama, dan gerhana bulan. Ritual ini membutuhkan tapak: 1) Lapangan besar; 2) Bale Lunjuk, 3) Bale Warak; 4) Petirtaan; dan 5) Pura Manikan.

- Upacara karya baligia Karya baligia adalah upacara khas kawasan, yang dilakukan setelah acara ngaben di Amlapura telah dilaksanakan. Ritual ini membutuhkan ruang: 1) Pesisir pantai; 2) Bale kambang; 3) Kolam Petirtaan; dan 4) Pura Manikan.

- Ritual metirta Metirta adalah ritual mandi air suci. Ritual ini terutama membutuhkan ruang kolam petirtaan di kawasan niskala/ utara.

- Sembahyang di Pura Manikan Definisi ritual ini sesuai dengan morfologi kata “sembah” dan “Hyang”, yang artinya memuja Sang Hyang Widi. Ruang yang digunakan adalah Pura Manikan.

- Ziarah ke makam Raden Mas Pakel Raden Mas Pakel adalah tokoh paling berpengaruh bagi masyarakat banjar Sasak, yang diduga meninggal pada tahun 20-an. Ruang yang digunakan untuk prosesi ziarah adalah tempat makam.

- Merariq/ Kawin lari Kawin lari adalah upacara pra-nikah khas masyarakat muslim Sasak. Ruang yang digunakan adalah perkampungan banjar.

- Maulud Nabi Maulud Nabi adalah perayaan masyarakat muslim menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad sesuai kalender Hijriah. Ruang yang digunakan adalah perkampungan banjar.

Kegiatan seni dan budaya bentukan asli kawasan - Megibung

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009 134

Megibung adalah prosesi akbar makan bersama. Ruang yang digunakan adalah di dalam kawasan istana bagian sekala.

- Gebug Ende Seraya Gebug ende seraya adalah tarian perang. Ruang yang digunakan di dalam kawasan istana adalah di lapangan bulan-bulanan.

Kegiatan seni dan budaya umum - Wayang kulit Bali

Wayang kulit umumnya menggunakan ruang di bangunan tertutup. - Tari Keraton

Tari Keraton umumnya menggunakan ruang di bangunan tertutup.

c. Perkembangan sosial ekonomi kawasan Masyarakat yang disebut sebagai kelompok Hindu, tidak bekerja di sektor laut. Hal

ini dikarenakan adanya pandangan bahwa laut merupakan sesuatu yang bermuatan nista/ kotor. Hasilnya tentu saja menguntungkan kelompok muslim, yang untuk seterusnya memiliki orientasi bekerja di sektor kelautan/ nelayan.

Menurut penelusuran studi, saat itu masyarakat muslim hidup cukup sejahtera, karena selain hidup sebagai masyarakat tradisional yang cenderung bersahaja, menurut riwayat, Raja I Gusti Bagus Djelantik sangat memperhatikan kesejahteraan kelompok muslim imigran.

d. Perkembangan status lahan kawasan

Pada saat I Gusti Bagus Djelantik berkuasa, Belanda telah mengakui hak atas tanah Karangasem berada di tangan Puri Agung Karangasem, dengan syarat terbuka bagi kepentingan kolonial Belanda. Kawasan Istana Taman Air Soekasada yang lama, berdasarkan bentang alam aslinya memiliki luasan sekitar 400 Ha, yang dimiliki berdasarkan akte oleh Puri Agung Karangasem. Namun demikian, kawasan intinya memiliki batas bentang alam yang lebih kecil, meliputi lahan yang ditetapkan sebagai kawasan bersejarah saat ini.

Di Karangasem, raja diketahui secara umum memiliki hak untuk memberikan tanah hibah kepada kelompok orang asing yang tinggal di Karangasem, yang umumnya adalah kelompok muslim. Tanah hibah ini disebut dengan tanah pauman. Penduduk pendatang banjar muslim kawasan istana mendapatkan hak istimewa atas tanah pauman yang cukup luas di sekitar komplek istana. Raja mengfungsikan tanah pauman tersebut untuk: 1) Lahan banjar; 2) Lingkungan banjar sebagai proyeksi perkembangan banjar ke depan; dan 3) Ladang sumber pekerjaan (sawah atau kebun). e. Perkembangan tata ruang dan fisik bangunan istana

Analisis tata ruang dan fisik bangunan di kawasan istana: Hasil temuan memperlihatkan bahwa kawasan studi memiliki dua konsepsi dalam pembentukan ruang tradisional Hindu Balinya (Gambar 5).

Kawasan kerajaan menunjukan suatu konsep perpaduan nilai-nilai terbaik dari beberapa budaya arsitektur yang diketahui oleh perancang kawasannya di antaranya, yaitu perancangan kawasan Bali yang bersifat religius, perancangan bangunan Eropa dengan model yang ramping dan efesien, dan juga teknik ornamen China untuk beberapa bagian dari bangunannya. Berdasarkan hasil temuan, sepertinya terdapat sebuah pesan yang ingin disampaikan sang perancang, I Gusti Bagus Djelantik, kepada rakyatnya yang beliau cintai (Gambar 6). Secara filosofi, bila: 1) Air Gunung Lempuyang yang secara faktual digunakan untuk mengairi seluruh kawasan istana, diibaratkan sebagai rahmat dari Tuhan; kemudian 2) Ketiga bangunan mata air yang terletak di ruang spiritual niskala, yakni Patung Warak-Patung Singamara-Patung Nandini diibaratkan, secara berturut-turut, sebagai simbol dari

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

135

agama-penguasa/raja-rakyat, maka hasil dari sinergi itu dapat dilihat pada simbol berikutnya, yaitu 3) Rakyat akan mendapati kawasan utama ITAS di ruang duniawi sekala diibaratkan sebagai sebuah negeri yang indah. Tanpa sinergi yang harmonis di antara unsur agama-penguasa-rakyat, sebuah bangsa tidak akan mendapati keindahan pada negerinya.

Keterangan gambar: 1. Konsepsi Sacred Profane membagi ruang istana berdasarkan fungsi dunia (sekala) dan surgawinya

(niskala). 2. Area dalam lingkaran biru merupakan jembatan spiritual yang menghubungkan kawasan sekala

dengan niskala. 3. Konsepsi Tri Hitta Karana memberi kedudukan ruang kawasan ke dalam ruang makro dan mikokosmos

Hindu yang lebih luas. Kedudukan kawasan yang tepat di kaki Gunung Lempuyang menjadikannya bersifat madya-utama, sedangkan kedudukannya di daerah pesisir pantai Ujung Selat Lombok menjadikannya bersifat madya-nista.

4. Area dalam lingkaran merah merupakan jembatan spiritual dalam konsep Tri Hitta Karana.

Simbol dAgam

PatunWara

Sumber aliran mata air yang suci

dari Gunung Lempuyang

adalah simbol dari rahmat Dewata

Gambar 6. Istana Tdan harmonis.

arsi136

Gambar 5. Konsep kosmologi yang ditemukan pembentukan tata ruang kawasan istana.

ari a

Simbol dari Penguasa

Simbol dari Rakyat

g k

Patung Nandini

Patung Singamara

Hasil dari rangkaian simbol suci menghasilkan sebuah keindahan

aman Air Soekasada diibaratkan sebagai sebuah negeri yang indah

tektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

Tipologi perkembangan fisik bangunan dan permukiman awal banjar muslim Ujung Pesisi:

Banjar muslim di kawasan Istana Taman Air Soekasada berkembang mengikuti pola tradisional perkampungan Sasak yang khas (Gambar 7).

Elemen dasan

Orientasi ruang permukiman Sasak

adalah tempat ibadah

Permukiman warga yang terdiri atas repoq-repoq. Bila tidak memiliki kerabat/ repoq, pola pendirian bangunan cenderung dilakukan semakin ke barat. Umumnya yang demikian adalah imigran terdahulu & susulan

Tempat Aktivitas Nelayan

Tempat Berkumpul

Warga

PESISIR PANTAI UJUNG

Laut

Repoq G Repoq D

Repoq E

Repoq B

Repoq A Repoq C

Barat Jalan Kampung Timur BELEQ

Repoq F Jalan Besar

Elemen dasan

Istana

Mesiget /

Masjid

Gambar 7. Proses pembentukan dasan/ kampung kecil dimulai dari repoq/bangunan satu rumpun keluarga.

Pembentukan permukiman banjar muslim Ujung dimulai dari elemen terkecil, yaitu bale/rumah tempat tinggal, yang kemudian akan menjadi repoq/komunitas bangunan berdasarkan kekerabatan/satu rumpun keluarga. Setelah repoq-repoq terbentuk, kemudian terbentuklah dasan dan elemennya. Orientasi permukiman lama/awal (1908-...) di Ujung, terbentuk dari arah timur ke barat (arah Kiblat). Ruang orientasi permukiman dibagi menjadi 4, yaitu (dari arah timur ke barat): 1) Ladang pekerjaan (laut); 2) Ruang berkumpul/sosial (bale beleq); 3) Ruang permukiman/banjar (dasan); dan 4) Ruang ibadah/sacred place (Masjid Baiturachman).

f. Perkembangan sarana dan prasarana Morfologi jaringan jalan kawasan sepanjang 1.8 km dimulai dari jalan tanah ke jalan

makadam. Penduduk banjar muslim pada tahun sebelum masa perubahan merupakan masyarakat tradisional, yaitu model masyarakat yang umumnya tidak terlalu banyak memiliki tuntutan hidup. Keberadaan lahan untuk ladang, laut dan sungai besar di kampung sudah cukup memenuhi kebutuhan pekerjaan dan kehidupan rumah tangganya, sehingga meminimalkan penduduknya untuk melakukan mobilitas keluar kawasan.

2. Identifikasi perubahan karakteristik sosial budaya dan fisik kawasan

Masa perubahan kawasan terutama terjadi pada masa transisi kemerdekaan, yaitu ketika sistem feodal dinasti Puri Agung Karangasem berakhir dan digantikan oleh pemerintahan nasional yang demokratis. Perusakan fisik kawasan juga terjadi akibat berbagai peristiwa bencana alam dan faktor manusia. a. Perubahan fungsi pembentukan kawasan

Akibat faktor politik: I Gusti Bagus Djelantik meletakan tahtanya pada tahun 1941, mewariskan pada raja berikutnya namun sistem kerajaan sudah tidak dapat diselamatkan lagi, pemerintahan

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

137

Puri Agung berikutnya sama sekali tidak berjalan efektif. Istana Taman Air Soekasada menjadi terabaikan. Dampaknya jangka panjangnya adalah kawasan berhenti dari fungsi: 1) balai budayanya; 2) monumen persahabatan dua negara; dan 3) permukiman berkonsep khusus. Akibat faktor ekonomi: Kawasan mengalami perubahan akibat proses difusi, yang terjadi sebagai akibat

pergeseran strategi pariwisata kawasan yang hanya menetapkan kawasan istana sebagai wahana situs mati, tanpa sosial budaya dan keterkaitan dengan permukiman Sasak. Berikut adalah dampak perubahan tersebut:

Komplek utama Istana Taman Air Soekasada yang ditetapkan sebagai sebuah situs tanpa atraksi dapat memicu kritikan para wisatawan yang telah jauh-jauh melakukan perjalanan ke sebuah wilayah terpencil hanya untuk melihat satu macam hiburan, yaitu wahana situs mati. Adanya pemutusan hubungan/keterkaitan antar kawasan situs istana dengan permukiman banjar muslim di dalam sektor wisata yang dijabarkan, dan karena fungsi wisata situs memang menjadi satu-satunya fungsi kawasan bersejarah saat ini, maka bisa dikatakan telah terjadi death sentence pada identitas sejarah kawasan yang bisa mengaitkan hubungan antar keduanya. Selanjutnya, hal ini akan dipandang sebagai perubahan yang negatif bagi kawasan.

b. Perubahan seni budaya dan upacara religi kawasan Dari segi keberlanjutan, kegiatan yang masih bertahan dilaksanakan di kawasan

adalah kegiatan dengan latar belakang ritual/upacara religi. Ritual/upacara religi ini berarti meliputi kegiatan, yaitu 1) ritual purnama tilem; 2) upacara akbar karya baligia; 3) ziarah tapak ke Pura Manikan; 4) ritual metirta; 5) ziarah ke makam Mas Pakel; 6) adat merariq; dan terakhir 7) maulud Nabi. Kegiatan yang secara periodik sudah tidak dilaksanakan di kawasan lagi, atau dalam arti kata menghilang adalah kegiatan dengan latar belakang tradisi atau budaya khusus dan umum. Kegiatan budaya khusus meliputi kegiatan, yaitu 1) megibung; 2) gebug ende seraya; dan 3) cekebung. Kegiatan budaya umum meliputi kegiatan, yaitu: 1) pertunjukan Wayang Kulit Bali, dan 2) pertunjukan tari keraton.

Kegiatan seni budaya menghilang dari kawasan pembentuknya sendiri disebabkan oleh 3 faktor: Aspek jarak dan waktu, aspek peserta pagelaran, serta aspek biaya. c. Perubahan sosial ekonomi kawasan

Berdasarkan hasil analisis evaluatif, terhadap kondisi perubahan sosial ekonomi kawasan, ditemukan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat menurun. Hal ini disebabkan oleh stagnansi peluang ekonomi kawasan, yang masih berupa pekerjaan di sektor kelautan dan pertanian, akibat tertutupnya keran sektor pariwisata bagi penduduk setempat (banjar muslim). Dahulu kedua sektor pekerjaan kelautan dan pertanian dapat menanggung kebutuhan ekonomi pada masyarakat tradisional karena mereka hidup secara sederhana. Namun kini penghasilan sebagai nelayan dan atau petani belum cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang kini telah bertransformasi menjadi masyarakat bermodel urban. d. Perubahan status lahan kawasan

Perubahan status lahan kawasan terjadi terutama karena faktor peristiwa land reform, yang menyebabkan perpindahan besar-besaran aset lahan Puri Agung Karangasem ke tangan pribadi. Ancaman pelestarian yang terjadi ditabulasikan sebagai berikut:

Terus berkembangnya permukiman baru dengan latar belakang umum dan bangunan berciri modern, di utara kawasan bersejarah.

Keberadaan sawah di dalam komplek kerajaan, dengan kondisi yang tidak tertata. Garis skyline istana bergantung kepada lahan pribadi milik puri dan banjar muslim.

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009 138

Pemerintah hanya menguasai lahan kawasan bersejarah tidak lebih dari 15% dari total keseluruhan kepemilikan lahan. Karena itu pengendalian kelestarian kawasan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah. Perubahan status lahan kawasan juga pada akhirnya menjadi salah satu faktor induk

dari semua permasalahan kelestarian yang terjadi di kawasan bersejarah ITAS (Gambar 8).

Permasalahan

Land Reform Land Trade Land Clarification

Dampak

Menyusutnya

lahan milik Istana Taman Air Soekasada

Jual beli lahan

secara bebas di sekitar bekas lahan milik Istana

Klarifikasi lahan yang belum jelas menghambat proses perlindungan inti kawasan

Gambar 8. Proses perubahan status lahan kawasan dan dampaknya.

e. Perubahan tata ruang dan fisik bangunan kawasan Berbagai perubahan fisik terjadi pada kedua entisitas kawasan yang berkembang,

yaitu pada kawasan istana yang berlatar belakang Hindu dan kawasan permukiman yang berlatar belakang Islam. Berikut adalah penjelasan dari perubahan masing-masing tata ruang dan fisik bangunannya:

Perubahan fisik kawasan istana dan bangunannya. Perubahan fisik kawasan dan bangunan istana umumnya terjadi dalam beragam

macam kondisi, yaitu dari yang hanya mengalami kerusakan kecil hingga sudah ada yang menjadi puing-puing (Gambar 9).

Gambar 9. Salah satu kondisi yang menunjukan penurunan kualitas kelestarian bangunan.

Perubahan orientasi permukiman dan bangunan banjar muslim Tumbu.

Perubahan pada orientasi ruang Konsep sacred-profane banjar yang semula dari timur ke barat berubah menjadi dari selatan ke utara. Faktor perubahan murni karena kepercayan lokal ketika masa perubahan (Gambar 10).

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

139

Duplikasi konsep sacred profane Sebelum masa perubahan Setelah masa

perubahan 1 A

Ladang: Laut Ladang: Sawah 2 B

Beleq lama Beleq baru 3 C Permukiman lama

Permukiman baru 4 D

Masjid lama Baiturachman Masjid Baru Abdulqudus

Keterangan gambar:

1. Bangunan dengan warna biru merupakan rekonstruksi kondisi perkembangan hingga akhir tahun yang diduga sebelum 1940-an. Orientasi fisik dan spiritual bersifat tradisional, yaitu dari timur ke barat (kiblat).

2. Bangunan dengan warna merah merupakan kondisi eksisting perkembangan saat ini. Orientasi fisik mengadopsi nilai baru/luar, yaitu dari selatan ke utara (kemungkinan berupa kaja kelod).

Gambar 10. Konsep duplikasi yang ditemukan di dalam perubahan orientasi ruang banjar muslim.

Perubahan pada bangunan

Terjadinya perubahan bangunan di banjar muslim Tumbu, dari yang bernilai jual tradisional, bergeser menjadi bangunan modern yang tidak bernilai jual lagi. Disebabkan oleh karena faktor: 1) tiadanya kemampuan dan kemapanan ekonomi, 2) Batas lahan pauman mulai kritis, sehingga pembangunan dikembangkan dari lahan atau bangunan yang sudah ada.

f. Perubahan sarana dan prasarana kawasan Perubahan pada aksesibilitas kawasan terutama terjadi pada ruang masuk kawasan

istana. Dahulu keberadaan gapura kawasan salah satunya untuk mengakomodasi permukiman penduduk, aktivitas kerajaan, dan kegiatan budaya. Kini orientasi gapura masuk adalah untuk mendukung kepentingan pariwisata.

Komplek villa merupakan gagasan pengembangan sarana pariwisata lainnya oleh pihak swasta melalui sebuah proses yang saat itu legal, namun sama sekali tidak memiliki kepekaan pelestarian akan kawasan bersejarah. Kompleks villa ini didirikan di jalur yang menghubungkan antara lokasi bale lunjuk dengan bale warak (Gambar 11).

(Sumber penginderaan satelit: Wikimapia; 2008)

Status Keterangan Ketetapan hukum -

Lokasi lahan Di dalam kompleks Istana Taman Air Soekasada, Berada di lokasi tapak bale lunjuk ke bale warak

Kepemilikan lahan Pribadi Masa Proyek - Jumlah unit 30 buah

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009 140

Sarana prasarana − Akses drainase belum maksimal; − Air bersih belum tersedia; − Jaringan listrik belum tersedia; dan − Jaringan telepon belum tersedia.

Keadaan − Rusak; − Terbengkalai/ tidak terawat; dan − Seluruh halaman ditumbuhi rumput liar

Gambar 11. Keberadaan villa di tengah kawasan istana menghancurkan jalur spiritual yang dirancang untuk menghubungkan kawasan niskala dengan kawasan sekala melalui bale lunjuk-bale warak.

Kesimpulan

Berdasarkan aspek sosial budaya kawasan, kawasan bersejarah ITAS memiliki kedudukan utama sebagai berikut: sebagai satu-satunya simbol bersejarah persahabatan antara dua negara/kerajaan Lombok dan Karangasem, yang maknanya mengakhiri rangkaian perang paling panjang dan berdarah di sepanjang sejarah Bali-Lombok; dan yang kedua, yakni sebagai balai budaya terbesar di Karangasem pada masanya. Kini, peran kawasan sebagai simbol bersejarah telah terdegradasi hingga tidak lagi menjadi bagian dalam identitas kawasan itu sendiri, dan kegiatan budaya dalam masyarakat yang mampu bertahan ternyata hanya yang berorientasi pada religi saja, sementara pada kegiatan budaya yang berorientasi pada kehidupan dan pesta sosial sudah jarang dilaksanakan lagi.

Temuan dari segi fisik dan keruangan di antaranya adalah: kawasan fisik ITAS memiliki kosmologi spiritual dan tipologi perkembangan fisik berdasarkan entisitas yang melatarbelakanginya, yang dibagi berdasarkan dua kelompok, yaitu Hindu pada bagian istana dan Muslim pada bagian perkampungannya. Kini, kawasan situs istana, baik pada bagian niskala dan sekala, beberapa bagiannya ada yang telah mengalami kerusakan fisik mulai dari yang berupa gangguan hijau hingga telah menjadi puing-puing. Pada banjar muslim, permasalahan fisik dan keruangan yang menjadi ancaman adalah terjadinya pergeseran nilai tata ruang, dari yang dulunya merupakan kampung tradisional, saat ini secara visual telah menuju ke arah kampung bergaya urban biasa.

Daftar Pustaka Antariksa. 2005. Permasalahan Konservasi dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains

dan Teknologi EMAS.15: 64-78 Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Arsana, I G. K. G. 1992. Kesadaran Budaya tentang Tata Ruang Pada Masyarakat di

Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali. Attoe, W. dalam Catanese, A. J.1988. Perencanaan Kota, Edisi ke 2. Jakarta: Erlangga. Budiharjo, E. 1986. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Budiharjo, E. 1989. Jatidiri Arsitektur Indonesia. Bandung: Alumni. Catanese, A. J. & Snyder, J. C. 1979 . Introduction to Urban Planning, New York:

McGraw-Hill Book. Purnama, I. 2008. Studi Pengembangan Obyek Wisata Wendit Kecamatan Pakis

Kabupaten Malang. Skripsi. Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya. Sedyawati, E. 2002. Kesenian Keraton. Jakarta: Gatra. Geocities.com - Gambar ritual Merariq di Lombok. Google.com - Video streaming ritual Karya Baligia di Istana Taman Air Soekasada (Indosiar)

Copyright © 2009 by Antariksa

arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009

141