Konservasi Koleksi Keris Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of Konservasi Koleksi Keris Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 1
KONSERVASI KOLEKSI KERIS MUSEUM PUSAKA
TAMAN MINI INDONESIA INDAH
Abstrak
Keris sebagai salah satu benda pusaka karya seni bernilai tinggi, menjadi salah satu benda budaya saksi sejarah perkem-bangan budaya bangsa indonesia. Untuk melestarikan benda-benda tersebut, pada tanggal 20 April 1993 telah didirikan Museum Pusaka TMII, yang mengumpulkan, merawat dan menginformasikan serta media studi penelitian tentang beraneka ragam pusaka bangsa Indonesia. Seperti benda seni yang lain, keris pun memerlukan perawatan dan pemeliharaan secara berkala. Keris yang kurang terawat, selain berkurang keindahannya juga akan lebih cepat berkarat dan rusak. Tujuan utama perawatan adalah mencegah kemungkinan timbulnya karat yang dapat merusak bagian ricikan keris dan tubuh keris, pola pamor atau bahkan bentuk dhapur secara keseluruhan. Penanganan perawatan koleksi keris seyogyanya dilakukan dengan perawatan tradisional. Perawatan tradisional adalah perawatan dengan cara-cara sederhana dengan menggunakan bahan tradisional. Dalam hal ini perawatan yang dilakukan adalah mengacu kepada metode dan tehnik serta bahan yang telah digunakan oleh nenek moyang dan dilakukan secara turun-temurun.
Abstract
The “keris” as one of the heirlooms, a product of art with high value, has become one of the cultural objects, a historical evidence of the development of the culture of Indonesian people. To preserve the above-mentioned objects an heirloom Museum was built on april 20, 1993 in TMII, to collect, take care, provide information and become a research study media about the variety heirlooms of Ondonesia people. Like other art thing, keris even also need treatment and maintenance according to periodically. Keris less awat, besides will decrease also rusty quicker the beauty and broken. Treatment principal aim prevent possibility incidence rust that can botch part
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 2
ricikan keris and keris body, prestige pattern or even form dhapur as a whole.
Keris collection treatment handling properly done with tradisional treatment. Tradisional treatment is treatment in the way of simple by using tradisional ingredient. In this case treatment that threaten to method and technics with ingredient that used by ancestor and done according to by generations.
1. Latar Belakang Masalah
Museum merupakan tempat yang menyimpan benda-benda
hasil kebudayaan manusia baik dari masa lampau maupun masa
sekarang. Berdasarkan The 18th General Assembly of ICOM
Stavanger, Norway, 7 July 1995, museum didefinisikan sebagai :
‘a non-profit making, permanent institution in the service of
society and of its development, and open to the public, which
acquires, conserves, reaserches, communicates, and exhibits for the
purpose of study, education and enjoyment, material evidence of
man, and his environment.’
Berdasarkan definisi tersebut, museum memiliki tugas yang
mendasar, yaitu melakukan pengumpulan, pemeliharaan, penelitian,
sosialisasi dan pameran. Penelitian ini akan menyoroti salah satu
tugas museum, yaitu pemeliharaan. Benda-benda koleksi museum
sudah mengalami proses musealisasi, sehingga tidak lagi
menempati konteks aslinya, melainkan menempati konteksnya yang
baru, yaitu museum. Koleksi secara alami akan berinteraksi dengan
lingkungannya, sehingga dapat menimbulkan dampak bagi koleksi
tersebut, seperti kerusakan, pelapukan, hilang, dan lainnya.
Untuk mencegah ataupun mengatasi kerusakan perlu
dilakukan upaya pelestarian. Upaya ini dilakukan untuk menjamin
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 3
keberadaan benda pada masa yang akan datang. Menurut Burra
Charter (1981), konservasi didefinisikan sebagai:
‘all the processes of looking after a place so as to retain its
cultural significance. It includes maintenance and may according to
circumstances include preservation, restoration, reconstruction and
adaptation and will be commonly a combination of more than one of
these.’
Koleksi yang terdapat di museum secara umum dapat
dikelompokkan antara lain etnografi, prehistori, arkeologi, histori,
numismatik dan heraldika, naskah, keramik, buku atau majalah,
karya seni, benda grafika (foto dan peta), benda alam (flora dan
fauna). Koleksi yang beragam ini juga terbuat dari bahan organik
dan anorganik. Bahan organik mencakup kayu, tulang, gading,
tanduk, tekstil, dan lainnya, sedangkan bahan anorganik mencakup
batu, porselen, tembikar, dan lainnya.
Benda-benda koleksi museum akan mengalami proses
penuaan alamiah (natural ageing) dan menimbulkan proses
degradasi yang mengakibatkan menurunnya kualitas bahan
penyusun, sampai pada proses pelapukan. Terdapat banyak faktor
yang dapat menyebabkan proses degradasi ini yang dapat
dikelompokkan menjadi faktor biotik dan nonbiotik. Faktor biotik
dapat disebabkan oleh ganggang, lumut, bakteri, jamur, binatang,
dan lainnya. Faktor abiotik dapat ditimbulkan oleh air, api, bencana
alam, cahaya ultrafiolet, temperatur yang tidak sesuai, kelembaban
yang tidak sesuai, human error, dan lainnya.
Koleksi museum berfungsi sebagai sarana penyampaian
informasi kepada masyarakat melalui sebuah pameran. Koleksi ini
diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga perlu dipertahankan
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 4
untuk masa mendatang, tidak hanya bentuk fisik, tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya. Nilai dari koleksi museum, antara lain nilai
kesejarahan, otentisitas, kelangkaan, dan pendidikan.
Salah satu koleksi museum yang mempunyai nilai tinggi
adalah keris. Keris merupakan salah satu pusaka unggulan bangsa
Indonesia yang telah dinobatkan sebagai masterpiece of the oral an
intangible heritage of humanity oleh UNESCO, lembaga PBB yang
menangani masalah kebudayaan pada tahun 2005.
Koleksi keris antara lain terdapat di museum Pusaka TMII,
salah satu jenis museum khusus yang didalamnya menyimpan maha
karya agung Bangsa Indoenesia. Museum seluas 1.535 m2
dibangun berbentuk limas segi lima terpancung. Tata penyajian
dalamnya didasarkan pada ciri-ciri khusus kebendaan serta daerah
asal dan jaman pembuatan dan pemakaiannya. Pada saat ini, selain
memamerkan tombak dan pedang, tata saji museum didominasi oleh
koleksi keris dari berbagai jenis, bentuk, daerah asal dan jaman.
Memang, keris dan beberapa senjata tradisional lainnya merupakan
salah satu benda yang lazim digunakan atau dijadikan sebagai
pusaka.
Keris adalah senjata tradisional yang terdapat hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Selain sebagai benda budaya yang
bernilai seni, kebanyakan keris memiliki nilai magis-religius. Pamor
gambaran ragam hias atau motif sebilah keris atau yang lebih
dikenal dengan tosan aji dipercaya memiliki tuah dan khasiat
tertentu.
Koleksi keris di Museum Pusaka dipamerkan dalam
beberapa ruang. Pada Ruang Pusaka Tradisional Nusantara
disajikan koleksi jenis pusaka tradisional dari seluruh Indonesia.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 5
Ruangan lainnnya adalah Ruang Bagian Dalam Keris yang terbagi
lagi menjadi Ruang Warangka, Ruang Tangguh Keris, Ruang Dapur
Keris dan Ruang Pamor Keris
Selain kegiatan peragaan dan pengelolaan sekitar 5.000
koleksi pusaka, yang kemungkinan besar akan terus bertambah,
kegiatan lain yang berlangsung di dalam Museum Pusaka meliputi
kegiatan perawatan (jamasan), bursa dan sarasehan yang dapat
diikuti oleh masyarakat luas.
Tentunya koleksi keris yang terbuat dari unsur logam
membutuhkan perawatan yang sangat khusus untuk mencegah atau
mengatasi kerusakan. Namun sangat disayangkan, berdasarkan
pengamatan sekilas dari penulis museum Pusaka TMII belum
maksimal dalam perawatan koleksi-koleksinya. Menariknya kegiatan
“jamasan’ justru diramaikan oleh keris-keris di luar koleksi museum.
2. Permasalahan
Merujuk latar belakang masalah tersebut, dapat disusun
pertanyaan mengenai konservasi koleksi museum, yaitu:
1. Bagaimana konservasi koleksi keris yang dilakukan
museum Pusaka TMII selama ini?
2. Apa yang harus diperhatikan untuk mencegah
timbulnya kerusakan pada koleksi museum?
3. Bagaimana ‘jamasan’ dilakukan sebagai salah satu cara
perawatan koleksi?
3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana konservasi keris dilakukan di
museum Pusaka TMII
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 6
2. Mengetahui apa yang harus diperhatikan untuk
mencegah timbulnya kerusakan.
3. Mengetahui ‘jamasan’ sebagai salah satu metode
konservasi.
4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan kepada museum tentang metode
konservasi yang dilakukan.
2. Memberikan alternatif metode konservasi yang efektif
dan efisien
5. Landasan Teori
Dalam rangka perawatan, pemeliharaan dan penelitian
koleksi yang berhubungan dangan pelestarian, di setiap instansi
cagar budaya terdapat laboratorium konservasi yang bertanggung
jawab menangani keberadaan koleksi.
Konservasi dapat didevinisikan secara luas sebagai suatu
tindakan untuk melindungi dari bahaya atau kerusakan, memelihara
atau merawat sesuatu dari gangguan, kemusnahan atau keausan
( Herman, 1977:7 ).
Pada saat ini terjadi pergeseran pandangan (paradigma
shift) mengenai konservasi, bahwa konservasi harus dipandang
sebagai satu kesatuan untuh yang tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungannya. Pada awalnya konservasi merupakan tindakan yang
langsung mengenai koleksi, karena menganggap pada koleksi telah
terjadi sesuatu yang salah (koleksi mengalami sakit) sehingga harus
diobati. Kegiatan konservasi ini dikenal dengan nama konservasi
kuratif (interventif) seperti menghilangkan korosi dengan bahan kimia
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 7
tertentu. Pada perkembangan selanjutnya pemikiran berubah
dengan menganggap pencegahan lebih baik daripada mengobati.
Tindakan ini menjaga faktor-faktor lingkungan agar tidak mengenai
koleksi sehingga kerusakan tidak terjadi, dikenal dengan nama
konservasi preventif. Konservasi preventif dilakukan terlebih dahulu,
kemudian baru dilakukan konservasi kuratif pada koleksi yang ‘sakit’.
Pada pendekatan preventif-kuratif ini, masing-masing faktor
kerusakan ditangani secara tersendiri, tindakan diambil berdasarkan
pendekatan proses yang terjadi yaitu kerusakan akibat faktor kimia,
fisika, mekanika dan biologi pada koleksi.
Kekhawatiran akan adanya pengurangan nilai pada koleksi
akibat perlakuan yang salah pada koleksi menyebabkan munsulnya
paradigma baru dalam konservasi, yaitu konservasi preventif dengan
pendekatan manajemen resiko (risk manajemen) berdasarkan
faktor-faktor kerusakan yang mengakibatkan perubahan nilai pada
setiap koleksi. Faktor penyebab kerusakan koleksi lebih
disederhanakan. Karena setiap faktor kerusakan akan mengalami
proses yang bersamaan.
Ketika melakukan tindakan konservasi sebaiknya lebih
diterapkan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving
approach) daripada pendekatan resep (recipe approach) karena
setiap koleksi unik dan tidak ada satu penyelesaian untuk mengatasi
semuanya (no one right solution). Pendekatan penyelesaian
masalah dalam melakukan kegiatan konservasi koleksi di museum
dilakukan dengan di dasari pengetahuan mengenai :
1. Mengetahui faktor penyebab kerusakan pada koleksi dan
bagaimanamencegah agar tidak terjadi kerusakan.
2. Mengetahui jenis materi/bahan dari setiap koleksi
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 8
3. Kemampuan setiap bahan dalam menghadapi faktor
penyebab kerusakan (vulnerability)
4. Mengetahui lingkungan sekitar koleksi itu berada
a. Faktor Penyebab Kerusakan
Kerusakan pada koleksi akan mengakibatkan hilangnya nilai
(value) pada koleksi. Hal ini disebabkan dengan adanya perubahan
materi pada koleksi akibat kerusakan, akan mengakibatkan
perubahan arti (meaning) pada koleksi.
Menurut Michalski 1990 dan Waller 1994, 2003 terdapat 10
faktor penyebab kerusakan pada koleksi, yaitu gaya fisik (pysical
force), kriminal (criminals), api(fire), air (water), binatang perusak
(pest), kontaminan (pollutant), cahaya dan UV (light), temperatur
tidak sesuai (incorect T), RH tidak sesuai (incorect RH) dan
dissosiasi (dissosiation).
b. Jenis Koleksi
Berdasarkan bahan penyusun, koleksi museum dapat
dikelompokkan menjadi koleksi organik dan koleksi anorganik.
Koleksi organik merupakan materi yang mengandung senyawa
karbon (C) dan hidrogen (H), dapat berasal dari alam atau pun
sintesis. Sebagian koleksi organik di museum terbuat dari
makromolekul yang disebut polimer, dapat berupa polisakarida
(selulosa), protein, lignin, resin dan pigment. (Cronyn 1990:238).
Contoh koleksi organik di museum seperti : koleksi kayu, kulit,
tulang, tanduk, gading, gigi, cula, kulit penyu, bulu, koleksi berbahan
dasar serat, koleksi yang berasal dari fosil.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 9
Koleksi anorganik berasal dari senyawa yang tidak mengandung
karbon dan hidrogen. Terbagi atas senyawa yang mengandung
logam dan non logam (mengandung silika). Koleksi museum banyak
yang mengandung logam diantaranya:
- besi (Fe) dan juga campurannya (alloy) seperti baja. Contohnya
koleksi meriam
- tembaga (Cu), contohnya adalah koleksi mata uang.
- perak (Ag), contohnya adalah koleksi patung.
- emas (Au), contohnya adalah koleksi perhiasan.
- kuningan, contohnya adalah koleksi hiasan dinding, piring, dan
lampu.
- perunggu, contonya adalah koleksi nekara, patung dan genta.
Koleksi museum yang mengandung silika (SiO2 ) antara lain
keramik, batuan, kaca atau gelas.
Selain itu ada juga beberapa koleksi museum yang
merupakan koleksi campuran yaitu yang mengandung unsur organik
dan anorganik, seperti koleksi lukisan, dimana kanvas pada koleksi
lukisan terbuat dari bahan organik sedangkan cat pada lukisan
terbuat dari bahan anorganik.
Kemampuan bahan dalam menghadapi faktor kerusakan
berbeda-beda. Keadaan ini disebut vulnerabilitas bahan
(vulnerability) yaitu ketidakmampuan bahan / sensitivitas dalam
menghadapi faktor kerusakan.
Koleksi berbahan dasar organik sangat sensitif terhadap faktor
penyebab kerusakan yaitu cahaya, polutan, temperatur tidak sesuai
dan RH (kelembabam relatif) yang tidak sesuai.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 10
Sedangkan koleksi berbahan dasar anorganik sangat sensitif
terhadap faktor kerusakan, terutama polutan dan kelembaban relatif
yang tidak sesuai.
c. Lingkungan Koleksi
Lingkungan koleksi merupakan tempat dimana koleksi berada.
Lingkungan dimulai dari yang paling dekat hingga terluar,
mengikuti konsep box di dalam box (box within box) yaitu :
1. Penyangga / mounting
2. Showcase / vitrim
3. Ruangan museum
4. Gedung
5. Kota
6. Negara
7. Regional
6. Sajian Data Hasil Survei
Berikut ini disajikan data hasil survei konservasi koleksi di
Museum Pusaka TMII Jakarta.
a. Sejarah Museum Pusaka
Pada mulanya adalah barang-barang pusaka hibah dari Dra. Hj. Sri
Lestari Masagung kepada Ibu Hj. Siti Martinah Soeharto selaku
ketua Yayasan Harapan Kita/Badan Pelaksanaan Pengelolaan dan
Pengembangan Taman Mini Indonesia Indah (BP3 TMII) sesuai
dangan Akta Hibah Nomor 7 tanggal 4 Pebruari 1993 dihadapan
Notaris Koesbiono Sarmanhadi SH.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 11
b. Bangunan Museum Pusaka
Bangunan berbentuk limas segi lima yang membentuk
keharmonisan dengan Museum Keprajuritan TMII. Bangunan terbagi
atas 2 lantai (lantai I seluas 935 m2, lantai II seluas 600 m2) di atas
tanah seluas 3800 m2.
c. Peresmian Museum Pusaka
Diresmikan pada tanggal 20 April 1993 oleh Bapak Presiden
Soeharto bertepatan dengan HUT TMII ke 18.
d. Koleksi Museum Pusaka
Asal usul koleksi
Hibah
Pembelian
Titipan
Jumlah koleksi
- Hibah dari Dra. Hj. Sri Lestari Masagung = 4.712 ( 77 % )
- Hibah perorangan = 346 ( 6 % )
- Titip untuk dipamerkan = 405 ( 7 % )
- Titip untuk dibursakan = 648 ( 10 % )
______________
Jumlah total = 6111 (100 %)
Untuk lebih memfokuskan penelitian, dalam tulisan ini hanya
akan membahas satu koleksi museum saja yaitu koleksi keris
dengan keterangan :
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 12
Nomor : YBS – 1080/B
Dhapur : Singo Barong
Tangguh : Mataram
Pamor : Beras Wutah
Warangka : Ladrang Solo Kayu Jati Gempol
Survei terhadap koleksi
1. Deskripsi historiografis-arkeologis koleksi
Koleksi keris dengan Nomor Inventaris YBS – 1080/B pada mulanya
adalah barang pusaka hibah dari Dra. Hj. Sri Lestari Masagung
kepada Ibu Hj. Siti Martinah Soeharto selaku ketua Yayasan
Harapan Kita/Badan Pelaksanaan Pengelolaan dan Pengembangan
Taman Mini Indonesia Indah (BP3 TMII) sesuai dangan Akta Hibah
Nomor 7 tanggal 4 Pebruari 1993 dihadapan Notaris Koesbiono
Sarmanhadi SH.
2. Komponen bahan penyusun beserta jenis dan kualitasnya
Berdasarkan bahan penyusunnya koleksi keris termasuk jenis
koleksi anorganik yaitu berasal dari senyawa yang tidak
mengandung karbon dan hidrogen tetapi senyawa yang
mengandung logam. Bahan penyusun koleksi keris terdiri dari besi
(Fe), baja, dan pamor, dan kayu.
3. Riwayat pelestarian
Tidak ada data tertulis mengenai riwayat pelestarin koleksi, akan
tetapi sebagai informasi, beberapa kali pernah dilakukan pelestarian.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 13
4. Jenis dan distribusi kerusakan/pelapukan koleksi (gambar
terlampir)
a. Akumulasi debu
b. Noda lemak
c. Korosi pada bagian bilah keris.
d. Pemudaran warna, terutama pada bagian warangka.
Survei terhadap lingkungan
1. Suhu udara lingkungan
Pada umumnya, kondisi udara di Indonesia rata-rata mencapai suhu
udara 26˚C-35˚C. Kenyataannya, di ruangan suhu udara sangat
fluktuatif, siang hari AC dihidupkan dengan suhu 16˚C - 20˚C,
sementara jika malam hari AC dimatikan. Akibat fluktuasi suhu udara
atau suhu udara yang tinggi, hal ini menimbulkan efek yang tidak
baik terhadap koleksi keris.
2. Kelembaban udara lingkungan
Kelembaban udara di MP TMII sangat fluktuatif. Sangat
dimungkinkan kerusakan koleksi disebabkan oleh kelembaban udara
yang tinggi. Koleksi keris terkena korosi.
Kapilaritas air pada dinding tempat menyimpan koleksi Sudut
ruangan MP TMII terawat dengan baik sehingga tidak terjadi
kapilaritas air pada dinding tempat menyimpan koleksi.
3. Intensitas penyinaran
Intensitas penyinaran juga fluktiatif. Jika siang hari ruangan selain
terkena cahaya matahari juga disinari oleh lampu Tl. Lampu
bohlamp digunakan untuk pencahayaan koleksi. Radiasi dari
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 14
gelombang cahaya akan menyebabkan pudarnya warna koleksi.
Lamanya waktu paparan penyinaran yang bersifat kumulatif pada
koleksi, yang akan mempercepat terjadinya kerusakan. Semakin
sering koleksi terkena penyinaran, berarti semakin banyak intensitas
cahaya yang mengenai koleksi, maka koleksi akan semakin cepat
rusak.
4. Polusi debu dan kotoran
Polusi debu dan kotoran di ruangan lumayan tinggi.
7. Analisis dan Sintesis
Tradisi perlakuan keris erat kaitannya dengan etiket dalam
masyarakat, daerah, atau situasi di tempat keris itu berada.
Perbedaan tradisi di satu daerah dengan yang lain, antara masa
yang lalu dan kini, ditentukan juga oleh tingkat sosial, kemampuan
intelektual, sikap mental, keadaan finansial, dan pengaruh luar yang
lain, serta latar belakang budaya masing-masing. Secara ringkas,
tradisi yang dibahas di sini mencakup : cara perawatan,
pewarangan, pemugaran, dan penyimpanan bilah keris.
a. Perawatan
Seperti benda seni yang lain, bilah keris pun memerlukan
perawatan dan pemeliharaan secara berkala. Keris yang kurang
terawat, selain berkurang keindahannya juga akan lebih cepat
berkarat dan rusak. Tujuan utama perawatan adalah mencegah
kemungkinan timbulnya karat yang dapat merusak bagian ricikan
keris dan tubuh bilah, pola pamor atau bahkan bentuk dhapur secara
keseluruhan.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 15
Perlakuan dan perawatan yang keliru terhadap bilah keris
diantaranya adalah mengolesi dengan minyak misik (amber oil).
Minyak misik tidak baik untuk bilah karena terlalu kental dan gelap
warnanya. Bilah keris yang berpamor cemerlang akan tampak
kusam bila diolesi minyak misik. Lagi pula dalam beberapa minggu
minyak misik tersebut akan kering dan membentuk lapisan semacam
kerak yang sangat sulit dibersihkan. Cara lain yang keliru adalah
ketika keris habis diwarangi, pembilasannya tidak dilakukan dengan
bersih dan tuntas, sehingga masih ada unsur asam yang tertinggal
dan mengkorosi besi keris.
Satu hal lagi yang harus dihindari adalah kebiasaan men-
cacap. Mencacap adalah merendam bilah keris di dalam larutan
beracun, karena si pemilik mengira bahwa keris yang ampuh adalah
keris yang kuat daya racunnya. Bilah keris tersebut direndam selama
sehari semalam dalam air perasan batang pisang yang dibubuhi bisa
ular dan bangkai kalajengking. Kebiasaan keliru seperti itu hingga
pertengahan abad ke-20 masih dilakukan sebagian orang di daerah
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pulau Madura. Keris yang dicacap
jelas akan cepat aus dan rusak.
Salah satu cara yang cukup aman dan lazim untuk
menghindari serangan karat adalah dengan mengolesi seluruh
permukaan bilah dengan minyak khusus yang kemudian lazim
disebut minyak keris (minyak pusaka). Minyak ini dibuat dari minyak
kelapa yang diramu dengan minyak cendana, minyak kenanga atau
melati serta dhedhes. Dhedhes adalah cairan sekresi yang berasal
dari musang (Viverra Zibetha) betina. Bahan-bahan tersebut diramu
dengan perbandingan tertentu, sehingga diperoleh aroma wangi
yang khas. Komposisi unsur dalam membuat ramuan minyak keris
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 16
ini bagi tiap berbeda, menurut selera masing-masing. Itulah yang
menyebabkan seorang pemilik keris kadang-kadang dapat
mengenali keris milik orang lain hanya dengan mencium bau bilah
kerisnya. Cara pengolesannya dilakukan dengan kuas atau sikat
yang lembut hingga rata, tetapi tidak berlebihan. Apabila terlanjur
berlebih maka sebelum dimasukkan ke dalam warangka yang
sebenarnya, bilah yang basah itu disarungkan lebih dahulu ke dalam
warangka pasatan (warangka pengering) yang berfungsi sebagai
penyerap minyak yang membasahi bilah itu. Warangka pasatan
biasanya terbuat dari kayu yang pori dan seratnya agak besar,
seperti kayu pule (Alstonia scholaris). Bentuknya juga tidak perlu
sebagus warangka yang sebenarnya. Keris yang dirawat dengan
baik dan benar akan tetap indah tanpa berkarat.
b. Pewarangan
Perawatan bilah keris dalam arti mengambil tindakan teknis
dengan pewarangan adalah karena keadaan keris itu kotor, berkarat,
atau kurang baik tampilan warnanya. Tetapi pekerjaan itu harus
dilakukan dengan hati-hati agar tidak malah merusak bilah keris
tersebut. Pada hakekatnya pewarangan adalah pelumuran bilah
keris yang sudah bersih dengan larutan warangan yang terbuat dari
arsenikum trisulfida (As2S3) yang dicampur dengan air perasan jeruk
nipis. Warangan merupakan hasil tambang alam (geologi)
sebagaimana halnya dengan belerang. Negara penghasil utama
warangan adalah Republik Rakyat Cina. Di Indonesia diperkirakan
terdapat di Gunung Papandayan, Jawa Barat, tetapi hingga kini
belum ditambang. Membilas keris setelah di warangi juga sangat
penting karena dua alasan. Pertama, membersihkan sisa warangan,
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 17
agar racunnya tidak membahayakan kesehatan pemilik keris atau
orang lain. Kedua, membersihkan sisa air jeruk nipis yang
mengandung asam agar bilah tersebut tidak mudah berkarat
kembali.
Pekerjaan me-warangi memiliki tujuan teknis, estetis, dan
tradisional, sebagai berikut :
c. Tujuan Teknis
1) Menghilangkan karat dari seluruh permukaan bilah keris.
Sebelum di-warangi, keris harus bebas dari karat dan kotoran lain.
Pembersihan dilakukan dengan cara menyikatnya dengan abu
sekam yang dicampur dengan air jeruk nipis. Pekerjaan ini disebut
mutih, karena setelah bersih, bilah keris tersebut akan nampak
keputih-putihan, dengan proses kimia yang disederhanakan sebagai
berikut :
Fe-Fe3C-Ni + kotoran + C3H4OH(COOH)3
( keris berkarat ) (air jeruk nipis)
Fe-Fe3C-Ni + cairan kotor
(keris bersih) + cairan kotor.
2). Mencegah timbulnya karat baru, karena setelah di-warangi
permukaan bilah keris tertutup oleh lapisan senyawa besi dan
arsenikum melalui proses kimia sebagai berikut :
Fe-Fe3C-Ni + As2S3
(keris bersih) (larutan warangan)
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 18
Melewati reaksi kimia kompleks menjadi
Fe AsS + Fe3C + NiAs2
(besi dan baja
Berwarna hitam
(arsenopyrit) + nikel berwarna putih keperak-
perakan
( choanthit)
Setelah pewarangan selesai bagian bilah yang terbuat dari
besi dan baja akan berwarna hitam dan kelabu, sedangkan bagian
yang berunsur nikel yaitu pamor akan tetap berwarna putih.
d. Tujuan Estetis
Karena muncul perbedaan warna besi dan nikel tersebut,
dengan sendirinya gambar pola pamor-nya akan menjadi lebih jelas
(gebyar), dengan tingkat warna dari putih cemerlang hingga kelabu,
sehingga penampilan keris tersebut tampak lebih indah, cantik, dan
memancarkan guwaya. Karena kesan inilah, maka bila seorang
remaja putri sudah mulai tampak kecantikannya, dalam bahasa
Jawa diumpamakan : wis pecah pamore, berarti sudah
memancarkan kecantikannya.
e. Tujuan Tradisional
Dalam konsep tradisional pewarangan keris dan tosan aji
lainnya disebut jamasan atau siraman. Bagi mereka yang
pengetahuannya banyak berdasarkan pada wawasan mistik, me-
warangi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 19
tahun. Di daerah Jawa Tengan dan Jawa Timur hal itu dilakukan
setiap bulan Sura/Muharam, sedangkan di daerah Cirebon, Banten,
dan sekitarnya pada umumnya dilakukan pada bulan Mulud/Rabiul
Awal.Tradisi ini terutama didorong oleh rasa hormat untuk
melaksanakan pesan dari orang yang telah mempercayakan atau
meninggalkan keris tersebut seperti orang tua dan guru, tanpa
disadari manfaat yang sebenarnya bagi keris itu. Sbagian orang lain
bahkan percaya bahwa dengan di-warangi-nya keris tersebut, maka
akan tetap terjaga keampuhannya. Oleh karena telah menjadi tradisi,
mereka akan berhutang secara moral apabila tidak melakukannya.
Ketenteraman batinnya akan terusik, apabila pada kemudian hari
terjadi hal yang tidak diinginkan dalam hidupnya, maka sangat
mungkin ia akan selalu mengkaitkannya dengan “utang” tersebut.
Kepercayaan bahwa keris harus di-warangi setiap tahun sebenarnya
kontroversial. Disatu sisi merupakan upaya yang positif demi
penghormatan dan ketentraman batin, sedangkan ditinjau dari segi
tekbnis tanpa disadari justru akan merusak secara perlahan keris
tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh larutan warangan yang
sebenarnya juga bersifat korosif terhadap besi keris. Meskipun
tingkat penggerogotannya, apabila dilakukan setiap tahun hingga
puluhan atau ratusan kali, maka akan jelas sekali akibatnya. Bilah
keris makin mengecil. Hanya pamornya yang relatif sedikit terkikis
hingga makin tampak menonjol.
f. Cara Pewarangan
Mula-mula bilah keris direndam dalam air kelapa (asam
lemah) selama beberapa hari, tergantung pda kotoran dan karatnya.
Sesudah itu, barulah menggosoknya dengan air jeruk nipis sehingga
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 20
menjadi putih keperakan. Pada saat itu bilah keris tersebut telah
bebas dari karat dan sisa warangan lama. Proses selanjutnya adalah
mengolesi bilah keris yang telah bersih tersebut dengan larutan
warangan baru, yakni cairan jeruk nipis yang dicampur dengan
bubuk warangan. Pekerjaan ini bisa dilakukan dengan tiga cara,
yaitu :
1). Koloh atau Cencem (direndam). Proses koloh ini dilakukan
dengan mrendam bilah keris dalam cairan warangan yang wayu
(basi) yang telah dibuat beberapa hari sebelumnya, selama kurang
lebih 30 menit, kemudian di angkat dan dibalik permukaannya dan
direndam lagi selama itu. Dalam masa prendaman itu bilah keris
yang tadinya putih akan berubah menjadi hitam unsur besinya,
sehingga gambar pamornya yang putih akan tampak jelas. Setelah
hasilnya dianggap cukup kemudian diangkat, dicuci hingga bersih
dan dikeringkan dengan lap kain. Cara seperti ini banyak dilakukan
di daerah Surakarta.
2). Nyek. ( Dioleskan dan dipijit-pijit ).
Tehnik nyek dilakukan dengan mengoleskan adonan
warangan yang pekat dan belum lama dibuat, kemudian dijemur di
bawah sinar matahari sambil dipijit-pijit dengan ibu jari dan telunjuk.
Hal tersebut dilakukan secara berulang hingga mendapat hasil yang
diharapkan. Cara ini banyak dilakukan di Yogyakarta dan sekitarnya.
3). Kombinsi Koloh dan Nyek.
Hal-hal yang menentukan mutu hasil me-warangi antara lain :
a.Jenis bahan besi dan pamor keris, b. Mutu bahan warangan, c.
Kadar asam dalam larutan warangan. d. Suhu udara sekitar (yang
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 21
baik yakni pada pukul 10 – 14 siang, e. Durasi perendaman, dan f.
Tingkat ketrampilan dan pengalaman pelakunya.
8. Penutup
Dalam melaksanakan tindakan perawatan terhadap koleksi
keris perlu dilakukan secara cermat dan tuntas, mulai dari survei
terhadap koleksi, survei terhadap lingkungannya, penanganan
konservasi. Pengontrolan secara berkala baik mengenai sirkulasi
udara, kelembaban udara, temperatur, maupun cahaya. Harus
disadari bahwa konservasi hanya berfungsi untuk menghambat
proses kerusakan dan tidak dapat menghentikan kerusakan secara
total. Oleh karena itu pemeliharaan intensif harus dilakukan secara
terpadu dan berkesinambungan agar kondisi koleksi tetap terjaga
dan dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 22
Daftar Pustaka
Sadirin, Hubertus Drs. 2008. Konservasi Koleksi Museum : Sifat-
Sifat Alami Bahan.
Sadirin, Hubertus Drs. 2008. Konservasi Koleksi Museum : Peranan
Faktor Lingkungan Dalam Proses Degradasi Bahan.
Sadirin, Hubertus Drs. 2008. Konservasi Koleksi Museum : Prosedur
Diagnostik Konservasi.
Sadirin, Hubertus Drs. 2008. Konservasi Koleksi Museum : Metode
dan Tehnik Konservasi Koleksi Logam.
Yulita, Ita Drs. Msi. 2004. Permasalahan-permasalahan pada Koleksi
Museum dan Penanganan Konservasi dan Preservasinya di
Indonesia. Museum Nasional Jakarta.
Daftar Pendukung
_____________. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia Tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dean, David, et al. The Handbook For Museum. Routledge : London
and New York.1996.
Haryo Guritno, Haryono. Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar. Jakarta
: 2006..
Museum Pusaka Taman Mini Indonesia Indah. Keris Sebagai Karya
Seni. Jakarta: CV. Agung Lestari. 2004.
Pearce, M. Susan.Museum Studies in Material Cultural. Washington
: Smithsonian Institution Press.1991.
Priyanto-Konservasi Koleksi Keris Pusaka | 23
Sumadio, Bambang. Bunga Rampai Permuseuman. Jakarta :
Dirjenbud Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Dirjen
Kebudayaan Depdikbud. 1996/1997.
Sutaarga, M.A. Pedoman Penyelenggaraan Dan Pengelolaan
Museum. Jakarta : Dirjenbud Proyek Pembinaan
Permuseuman Jakarta, Dirjen Kebudayaan Depdikbud.
1997.
Sutaarga, M.A. Studi Musiologia. Jakarta : Dirjenbud Proyek
Pembinaan Permuseuman Jakarta, Dirjen Kebudayaan
Depdikbud. 1990/1991.
Suyati HS, Tatik Dra. Metode Pengadaan dan Pengelolaan Koleksi.
Jakarta : Depdiknas, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah
dan Museum. 2000.
V.J. Herman, Drs. Pedoman Konservasi Koleksi Museum. Jakarta :
Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Dirjen
Kebudayaan Depdikbud. 1989/1990.
V.J. Herman, Drs. Pedoman Konservasi Koleksi Museum. Jakarta :
Proyek Pembinaan Permuseuman Jakarta, Dirjen
Kebudayaan Depdikbud. 1989/1990.
Van Mensch, Peter. Towards a methodology of museology.
University of Zagreb. 1992.