negosiasi identitas zainichi dan resistensi terhadap dominasi ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of negosiasi identitas zainichi dan resistensi terhadap dominasi ...
LAPORAN PENELITIAN STIMULUS
UNIVERSITAS NASIONAL
NEGOSIASI IDENTITAS ZAINICHI DAN RESISTENSI TERHADAP DOMINASI
JEPANG DALAM TEKS SASTRA KARYA KAZUKI KANESHIRO
PENELITI
WAWAT RAHWATI, M.HUM
Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila No.61, Pejaten, Pasar Minggu
Jakarta 12520, 021-7891753
2020
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian : Negosiasi Zainichi dan Resistensi terhadap Dominasi Jepang
dalam Teks Sastra Karya Kazuki Kaneshiro
2. Identitas Peneliti :
a. Nama Lengkap : Wawat Rahwati, M.Hum
b. Tempat/Tanggal Lahir : Malangbong, 23 Agustus 1973
c. NIDN : 0323087302
d. Pangkat/Golongan : Lektor
e. Jabatan : Sekretaris Program Studi Sastra Jepang
f. Fakultas/Jurusan : Sastra Jepang
g. Alamat : Jl. Sawo Manila No.61, Pejaten, Pasar Minggu
Jakarta, 12520
h. Alamat Rumah : Modernhills Cluster Agathis C9 No. 10 Pondok Cabe
Udik Pamulang Tangsel Banten
k. Telpon/Faks/E-mail : 08159004145/[email protected]
3. Jangka Waktu Penelitian : 6 bulan
4. Pembiayaan : Rp. 4. 500.000
Jakarta, 29 Agustus 2020
Mengetahui,
Dekan Peneliti,
Drs. Somadi Sosrohadi, M. Pd Wawat Rahwati, M. Hum
NIP. 0102050725 NIP. 0107050741
Menyetujui,
Wakil Rektor Bidang PPMK
Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt.
NIP. 19550731 1981032001
ABSTRAK
Penelitian ini membahas Negosiasi identitas dan resistensi kelompok Zainichi sebagai minoritas
di Jepang terhadap dominasi Jepang sebagai kelompok mayoritas dalam teks sastra karya Kazuki
Kaneshiro. Zainichi merupakan orang-orang Korea yang datang dan telah menetap di Jepang
sebelum dan selama Perang Dunia ke-2. Zainichi sebagai kelompok minoritas di Jepang kerap
mendapat perlakuan diskriminatif dari orang Jepang terkait dengan keidentitasannya. Isu-isu
mengenai permasalahan identitas Zainichi menjadi sebuah tema dominan yang diangkat dalam
karya sastra Zainchi (Zainichi bungaku), yakni sebuah genre sastra dalam kesusastraan Jepang
yang mengangkat permasalahan identitas Zainichi yang ditulis oleh pengarang Korea yang
tinggal di Jepang dengan menggunakan bahasa Jepang. Salah satu pengarang karya sastra
Zainichi adalah Kazuki Kaneshiro yang menulis novel berjudul Go pada tahun 2007. Novel Go
sebagai sebuah teks sastra Zainichi akan digunakan sebagai data penelitian untuk mengungkap
bagaimana negosiasi identitas Zainichi diartikulasikan oleh tokoh-tokoh Zainichi dan bagaimana
resistensi mereka dalam melawan dominasi Jepang sebagai kelompok masyarakat mayoritas.
Dengan menggunakan kajian poskolonial, penelitian ini diasumsikan dapat membongkar wacana
teks yang akan menunjukkan bentuk-bentuk negosiasi identitas dan resistensi yang dilakukan
tokoh-tokoh yang mewakili kelompok Zainichi sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi
Jepang dalam novel Go.
Kata kunci: Kazuki Kaneshiro, Identitas Zainichi, Negosisasi, Resistensi, Poskolonialisme
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan Laporan Penelitian Stimulus yang berjudul “Negosiasi Identitas Zainichi dan
Resistensi terhadap Dominasi Jepang dalam Teks Sastra Karya Kazuki Kaneshiro ”. Penelitian
stimulus ini merupakan program bantuan dana kegiatan penelitian bagi dosen tetap Universitas
Nasional yang diberikan pada setiap semester sebagai bentuk motivasi dari pihak Universitas
Nasional terhadap dosen tetap untuk melakukan penelitian.
Melalui Program Stimulus, saya sebagai salah satu dosen tetap di Program Sastra Jepang
merasa termotivasi untuk melaksanakan penelitian, meskipun saya menyadari bahwa penelitian
ini masih jauh untuk dikatakan sempurna, karena masih banyak kekurangan yang perlu
diperbaiki. Namun, dengan melakukan penelitian ini, saya merasa terpacu untuk terus belajar dan
menambah wawasan yang sesuai dengan ranah keilmuan saya.
Saya menyadari bahwa kelancaran dari kegiatan penelitian ini tidak terlepas dari
kontribusi Universitas Nasional. Untuk itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak Universitas Nasional melalui Biro Penelitian
dan Pengabdian pada Masyarakat yang telah memberi kesempatan kepada saya mendapatkan
Program Stimulus untuk melaksanakan penelitian.
Demikan Laporan Penelitian Stimulus ini saya buat, atas segala kekurangannya, saya
mohon maaf.
Jakarta, 28 Agustus 2020,
Wawat Rahwati, M.Hum
DAFTAR ISI
HALAMAN
PENEGSAHAN ....................................................................................................................i
ABSTRAK ………………………………………………………………………...............ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .........................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
B. Kerangka Teoritis..................................................................................................... 4
C. Permasalahan ........................................................................................................... 5
D. Urgensi Penelitian ................................................................................................... 6
E. Tujuan ..................................................................................................................... 6
II STUDI PUSTAKA ...................................................................................................... 8
A. State of Art: Negosiasi Identitas Zainichi dan Bentuk Resistensi terhadap
Dominasi Jepang dalam Teks Sastra Zainichi ...................................,...................... 8
B. Studi Pendahuluan .................................................................................................... 9
1. Poskolonialisme .................................................................................................. 10
2. Struktur Naratif .................................................................................................. 11
III METODE PENELITIAN ........................................................................................ 13
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................... 13
B. Sumber Data ......................................................................................................... 14
C. Instrumen Penelitian ............................................................................................. 14
D. Analisis Data ........................................................................................................ 14
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 16
A. Analisis Fokalisasi terhadap Tokoh-Tokoh dalam Novel Go............................... 17
B. Relasi Tokoh dalam Novel Go ............................................................................. 21
C. Negosiasi Identitas dan Resistensi Tokoh Zainichi sebagai Strategi
Menghadapi Dominasi Masyarakat Jepang ......................................................... 24
V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 30
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Korea dengan Jepang tidak dapat dilepaskan dari berbagai
memori sejarah yang terjadi di antara kedua negari ini. Beberapa peristiwa sejarah
ini tentu saja berdapak signifikan terhadap hubungan kedua belah pihak baik
secara politik, sosial, maupun budaya. Sebuah memori kolektif yang hingga kini
masih membekas bagi sebagian besar orang Korea salah satunya adalah peristiwa
invansi Jepang terhadap Semenanjung Korea yang pertama kalinya dilakukan
pada masa pemerintahan Toyotomi Hideyoshi (1537-1598) dari tahun 1592
hingga 1598 (Jong, 2015). Invansi Jepang terhadap Semenanjung Korea yang
berikutnya terjadi pada tahun 1910 hingga tahun 1945. Dalam invansi ini, Jepang
menjalankan berbagai kebijakan yang merugikan pihak Korea sebagai yang
terjajah, seperti pengiriman secara paksa orang Korea ke medan perang,
penghapusan budaya Korea melalui kebijakan asimilasi budaya dan bahasa Jepang,
dan penjarahan hasil alam oleh Jepang untuk dikirim ke negaranya (Lie, 2008:9).
Peristiwa sejarah yang juga menjadi memori kolektif orang Korea
berikutnya adalah kebijakan pemerintah Jepang terhadap orang Korea terkait
dengan Perang Dunia ke-2. Dalam kebijakan ini, Jepang mewajibkan orang Korea
datang ke Jepang untuk dipekerjakan di berbagai pabrik industri, seperti senjata,
konstruksi, tank, dan pertambangan. Mereka dipaksa bekerja dengan upah lebih
rendah dari orang Jepang dan posisinya pun dianggap sama dengan kaum
burakumin, yaitu kelas terendah dan terbuang dalam masyarakat Jepang karena
2
berkaitan dengan pekerjaan mereka yang dianggap kotor (Lie, 2008:3-4).
Kebijakan ini, menurut Chan, seperti yang dikutip oleh Lee (2008:32)
menunjukkan adanya sebuah relasi yang tidak setara antara Jepang yang superior
dengan Korea yang inferior. Akibat dari berbagai peristiwa sejarah ini, hingga kini
berbagai perlakuan diskriminatif dan penghinaan sering dialami oleh orang Korea,
terutama bagi mereka yang menetap di Jepang, seperti kelompok minoritas
Zainichi. Ryang (2009:5) bahkan mengungkapkan bahwa dalam sebuah
dokumentasi Jepang, orang Korea yang datang ke Jepang mendapat pelabelan
sebagai Seijin atau Chousenjin. Pelabelan ini terdiri atas dua kata, yakni Chousen
berarti Korea dan Jin berarti orang, sehingga Chousen Jin mengacu pada
penyebutan orang Korea yang tinggal di Jepang. Akan tetapi, pelabelan Chousen
Jin ini secara tidak langsung merupakan bentuk penghinaan terhadap identitas
Korea.
Belakangan ini, penyebutan Chousen Jin tidak lagi digunakan untuk
menyebut komunitas orang Korea yang tinggal Jepang. Mereka kini lebih dikenal
dengan sebutan Zainichi Kankokujin yang selanjutnya akan disebut dengan
Zainichi, yakni orang Korea yang datang dan menetap di Jepang sejak
pendudukan Jepang terhadap Korea dan keturunan-keturunan mereka yang lahir
dan dibesarkan di Jepang hingga kini (Fukuoka, 2000:271). Kendati demikian,
hingga kini keberadaan Zainichi sebagai kelompok minoritas masih tetap
mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat Jepang. Dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan (Fukuoka, 2000:254) sebagai contohnya adalah mereka
para lulusan sekolah swasta etnis Korea tidak dapat mengikuti ujian masuk ke
universitas nasional Jepang sebelum mengambil ujian kualifikasi terlebih dahulu.
Sementara itu, dalam bidang pekerjaan, kelompok minoritas Zainichi hanya dapat
bekerja pada posisi rendah atau di tempat yang kotor dan beresiko, seperti menjadi
petugas kebersihan toilet, tukang sampah, dan bekerja di tempat pemotongan
hewan (Fukuoka, 2000: 258-259). Tidak hanya itu, berbagai pelabelan stereotif,
seperti penjahat, perusuh, kotor sering ditujukan kepada kelompok Zainichi.
(Ryang, 2009:27). Akibat adanya perlakuan diskriminatif ini pada akhirnya para
Zainichi ini memilih untuk menyembunyikan berbagai atribut yang mewakili
3
identitas mereka sebagai Zainichi. Salah satu contohnya adalah mereka mengganti
nama Korea dengan nama Jepang dengan tujuan agar dapat diterima
keberadaannya oleh masyarakat Jepang dan mendapat kesempatan belajar dan
bekerja di tempat yang sama dengan orang Jepang dan juga terhindar dari
perlakuan diskriminatif dari masyarakat mayoritas (Beauschamp, 1997:282).
Permasalahan Zainichi terkait dengan keidentitasannya banyak dituangkan
dalam karya sastra yang ditulis oleh para pengarang Zainichi. Teks-teks sastra
yang menarasikan berbagai permasalahan identitas Zainichi yang ditulis dalam
bahasa Jepang oleh para pengarang Zainichi (pengarang Korea yang tinggal di
Jepang) dalam kesusastraan Jepang disebut dengan Zainichi bungaku (Zainichi
literature). Genre sastra Zainichi digunakan oleh para Zainichi sebagai media
kontestasi dalam melawan wacana dominasi Jepang terhadap mereka. Para
perngarang sastra Zainichi generasi pertama menurut (Sasun, 2014) di antaranya
adalah Kimu Saryan (Kim Sa-ryang), Kimu Tarusu (Kim Tal-su) and Chan
Hyokuchu (Chang Hyok-chu) yang menulis karyanya dengan menggunakan
bahasa Korea dan masih memiliki keterkaitan dengan Korea sebagai negara
asalnya. Penulis generasi kedua meliputi para pengarang, seperti Lee Kaisei,
Kimu Hagyon (Kim Hak-yeong), and Kimu Sokubomu (Kim Seok-beom) yang
mulai memiliki jarak dengan Korea sebagai negara asalnya.
Selanjutnya memasuki periode tahun 2000-an karya-karya Zainichi
Kankoku Bungaku masih terus berlanjut. Salah seorang pengarang novel Zainichi
yang produktif adalah Kazuki Kaneshiro yang juga berprofesi sebagai penulis
skenario. Ia dilahirkan pada 29 Oktober 1968 di Kawaguchi, Saitama, Jepang. Go
merupakan salah satu karyanya yang telah diterbitkan oleh Kadogawa Shoten
pada tahun 2000 dan mendapat penghargaan Naoki Prize sebagai sebuah
penghargaan bergengsi di Jepang. Go menceritakan kehidupan orang-orang Korea
yang menetap di Jepang yang dinarasikan oleh tokoh utama bernama Kurupa
(Sugihara), seorang siswa SMA yang merupakan keturunan Zainichi. Melalui
narasi yang diutarakan oleh tokoh ini, terungkap berbagai permasalahan identitas
mereka sebagai Zainichi yang menjadi minoritas di dalam masyarakat Jepang.
Dalam novel Go digambarkan bagaimana mereka harus mengadapi perlakuan
4
diksriminatif dan pandangan negatif yang ditujukan bagi kelompok Zainichi ini.
Selain itu, dalam novel ini pun terdapat sebuah relasi yang dibangun oleh tokoh-
tokoh yang muncul dalam cerita untuk menunjukkan superioritas Jepang sebagai
penjajah terhadap Korea sebagai yang terjajah. Relasi ini secara tidak langsung
memunculkan berbagai wacana berkenaan dengan negosiasi dan resistensi yang
dilakukan oleh kelompok Zainichi dalam menghadapi berbagai perlakuan orang
Jepang. Dangan demikian, maka melalui penelitian terhadap novel Go sebagai
salah satu teks Zainichi, penulis ingin melihat bagaimana negosiasi identitas
Zainichi diperlihatkan oleh tokoh Zainichi dan bagaimana mereka melakukan
resistensi sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Jepang yang menjadi
kelompok mayoritas.
B. Kerangka Teoritis
Penelitian ini memfokuskan pada negosiasi identitas Zainichi dan bentuk-
bentuk resistensi terhadap dominasi Jepang dalam novel Go karya Kazuki
Kaneshiro dengan menggunakan kajian poskolonial sebagai landasan teori.
Poskolonial secara terminologi lahir dari adanya pengalaman kolonial yang
bukan saja mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan budaya suatu
bangsa pasca imperial saja, melainkan seperti yang dikemukakan oleh Ashcrott,
Griffiths, dan Tiffin (1989) lebih kepada kesuluruhan wacana budaya yang
mendapat pengaruh dari proses imperialis saat kolonialisasi sedang terjadi dan
berlangsung hingga sekarang ini. Dengan demikian, kendati masa kolonialisasi
telah berakhir, namun jejak-jejak kolonial dan dampaknya masih dapat kita
rasakan dan senada dengan yang dikatakan oleh Loomba (2009) praktik kolonial,
seperti penjajahan dalam bidang ekonomi, politik, dan pendidikan yang
dilakukan tanpa kekerasan masih menjadi hal yang umum dilakukan oleh suatu
bangsa terhadap bangsa lainnya.
Berdasarkan pandangan ini, Loomba (2009) menegaskan bahwa
postkolonialisme menjadi sebuah teori yang mengakomodir bentuk perlawanan
terhadap dominasi kolonial dan warisan-warisannya yang tetap ada hingga saat ini
yang tidak mendapat ruang dari teori-teori Eropa. Mengingat fungsi poskolonial
5
sebagai sebuah wacana tandingan, maka dapat dipahami jika Ashcrof, Griffiths,
dan Tiffin (1989) menyatakan bahwa teori postkolonial menjadi pijakan untuk
mendekonstruksi kembali relasi-relasi yang muncul akibat adanya pengetahuan
Barat mengenai Timur dalam perspektif Barat. Persepsi tentang Timur dalam
kacamata Barat selanjutnya dijadikan pembenaran bagi Barat dalam melakukan
eksploitasi dan penjajahan terhadap Timur. Terkait dengan hal ini, Said (2001)
mengemukakan bahwa sifat poskolonialisme adalah melawan, menggugat, dan
menolak segala bentuk penindasan terhadap hegemoni Eropa atau dominasi
imperialis. Bentuk perlawanan terhadap dominasi penjajah dalam poskolonial
tidak selalu dilakukan dalam bentuk kekerasan, namun dapat melalui berbagai
strategi, seperti melalui negosiasi dan resistensi yang cenderung bersifat
ambivalen. Negosiasi dan resistensi ini menjadi wacana tandingan bagi Timur dan
kelompok terjajah dalam menghadapi Barat atau kelompok penjajah.
C. Permasalahan
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas,
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana negosiasi identitas Zainichi dihadirkan melalui fokalisasi
tokoh Zainchi dalam teks Go karya Kazuki Kaneshiro?
2. Bagaimana bentuk resistensi terhadap dominasi Jepang sebagai kelas
mayoritas diperlihatkan oleh tokoh Zainichi dalam teks ini?
3. Bagaimana negosiasi identitas dan resistensi tokoh Zainichi dalam teks Go
mengungkap relasi kolonial antara Korea dan Jepang?
D. Urgensi Penelitian
Sebuah penelitian seyogyanya dapat memberikan manfaat baik bagi dosen
yang meneliti, pihak perguruan tinggi, maupun bagi masyarakat pada umumnya.
Bagi dosen yang meneliti diharapkan dapat meningkatan keilmuan yang terkait
dengan bidangnya serta menciptakan ruang untuk berpikir kritis terkait dengan
masalah social, budaya dalam teks-teks sastra. Hasil penelitian ini pada akhirnya
6
juga akan memberikan kontribusi pada universitas dan berimplikasi pada
meningkatnya kinerja dosen, kualitas pengajaran, mutu lembaga, dan kualitas
lulusan. Selanjutnya hal yang paling penting adalah melalui penelitian ini
diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai masalah keidentitasan yang
dihadapi kelompok minoritas Zainichi di dalam masyarakat Jepang sebagai
dampak dari peristiwa kolonial yang pernah dihadapi oleh kedua negara ini.
E. Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
menperlihatkan negosiasi identitas Zainichi dan resistensi yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang mewakili kelompok Zainichi dalam novel Go sebagai sebuah
strategi dalam berinteraksi dengan Jepang sebagai kelompok mayoritas.
Selanjutnya melalui pembahasan negosiasi identitas dan resistensi yang
diperlihatkan oleh tokoh-tokoh Zainichi dalam novel Go ini dapat mengungkap
relasi kolonial antara Korea dengan Jepang yang direpresentasikan dalam novel
Go.
7
BAB II
STUDI PUSTAKA
Novel Go karya Kazuki Kaneshiro yang pertama kali terbit pada tahun 2000
ini merupakan novel yang masuk dalam kelompok karya sastra Zainichi. Istilah
Zainichi mengacu pada orang-orang Korea yang telah menetap di Jepang sebelum
dan selama Perang Dunia ke-2 hingga keturunan-keturunan mereka yang lahir dan
dibesarkan di Jepang hingga sekarang ini (Fukuoka, 2000:271). Sebagai
kelompok minoritas yang pernah dijajah oleh Jepang, Zainichi kerap mendapat
perlakuan diskriminatif dari orang Jepang. Permasalahan identitas, seperti isu
etnisitas, kewarganegaraan, dan bahasa menjadi tema yang dinarasikan dalam
kesusastraan Zainichi. Hal ini pula yang terlihat dalam novel Go yang
mengangkat permasalahan identitas Zainichi Kankokujin (Korean residance in
Japan) terkait dengan keberadaan mereka di tengah orang Jepang sebagai
masyarakat mayoritas. Seiring dengan keberhasilannya mendapat penghargaan
Naoki Prize pada tahun 2000, novel ini pun kembali dicetak ulang pada tahun
2007 setelah dialihwahanakan ke dalam film dengan judul yang sama pada tahun
2001 dengan disutradarai oleh Isao Yukisada.
Novel Go menceritakan kehidupan orang-orang Korea yang tinggal di
Jepang dan disebut dengan istilah Zainichi Kankokujin. Permasalahan identitas
terkait dengan etnisitas, bahasa, dan kewarganegaraan menjadi isu penting yang
diangkat dalam novel ini, selain mengenai tindakan diskriminatif dan pelabelan
negatif dari orang Jepang kepada para Zainichi. Berkenaan dengan isu-isu yang
muncul dalam novel Go ini, melalui pembahasan tekstual yang memfokuskan
pada struktur narasi dan fokalisasi tokoh yang ditunjang dengan kajian
poskolonial akan mengungkap wacana-wacana berkenaan dengan negosiasi
8
identitas Zainichi dan resistensi kelompok minoritas ini dalam melawan budaya
dominan.
A. State of The Art: Negosiasi Identitas Zainichi dan Bentuk Resistensi
terhadap dominasi Jepang dalam Teks Sastra Zainichi
State of The Art dari penelitian ini adalah negosisasi identitas Zainichi dan
resistensi terhadap dominasi Jepang dalam novel Go, sebagai salah satu novel
masuk dalam kelompok karya sastra Zainichi bungaku (sastra Zainichi).
Keberadaan Zainchi bungaku dalam kesusastraan Jepang menjadi media
kontestasi bagi kelompok Zainichi dalam merepresentasikan identitas dan
budayanya melalui sudut pandang Zainichi sebagai ‘self’ bukan sebagai ‘others’.
Masalah keidentitasan Zainichi (orang Korea yang tinggal di Jepang) menjadi isu
penting dalam genre Zainichi bungaku, sehingga penelitian terhadap karya sastra
Zainchi menjadi sebuah alternatif untuk memberi pemahaman mengenai
keidentitasan, khususnya identitas kelompok minoritas Zainichi yang berada di
tengah masyarakat Jepang yang mayoritas. Pentingnya penelitian terhadap karya
sastra Zainichi ini mengacu pada argumentasi Sasun (2014) yang menyatakan
bahwa “The literature of Zainichi Koreans shows the complex and verious aspect
of their lives by dealing of the theme of diaspora, identity, minorities, nationalism,
the subaltern, racism, as well as nationality, language, fatherland, etnicity,
ideology, and division”.
Dalam karya sastra Zainichi, Novel Go yang juga mendapat perngargaan
Naoki Prize pada tahun 2000 ini dianggap menjadi salah satu teks yang dapat
merepresentasikan persoalan identitas yang dihadapi oleh kelompok Zainichi
sebagai minoritas yang berada di masyarakat Jepang yang mayoritas. Tomonari
(2005) menyebutkan bahwa novel Go karya Kazuki Kaneshiro menjadi media
resistensi melalui representasi identitas Zainichi yang digambarkan melalui
kekerasan dan penggunaan tubuh sebagai counter gesture dalam melawan
hegemoni budaya Jepang yang dominan. Dengan demikian, maka penelitian
terhadap novel Go, akan dapat mengungkap strategi kelompok minoritas Zainichi
9
dalam mengahadapi dominasi Jepang melalui negosiasi identitas mereka sebagai
Zainichi dan perlawanan sebagai bentuk resistensi mereka terhadap budaya
dominan.
B. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan yang telah dilakukan berkaitan dengan tujuan penelitian
ini adalah melakukan pembacaan secara mendalam terhadap salah satu teks novel
Zainichi yang berjudul Go dengan menggunakan teknik close reading, yakni
sebuah metode yang dilakukan dalam melihat sebuah karya dengan lebih
menekankan pada kata-kata dalam teks. Melalui pembacaan tersebut, dilakukan
klasifikasi tindakan dan prilaku tokoh, latar tempat, dan latar sosial yang secara
implisit memperlihatkan wacana poskolonial berkenaan dengan negosiasi identitas
Zainichi dan resistensi mereka dalam melawan dominasi Jepang.
Ada beberapa wacana poskolonial yang muncul dalam novel Go berkenaan
dengan negosiasi dan resistensi dari kelompok Zainichi sebagai upaya untuk
melawan berbagai tindakan diskriminatif, pelecehan, dan ketidakadilan yang
ditujukan kepada mereka sebagai salah satu kelompok minoritas yang tinggal di
Jepang. Negosiasi dan resistensi ini dilakukan karena adanya tindakan semena-
mena dari orang Jepang yang memiliki perasaan superior terhadap kelompok
Zainichi. Perasaan superior dari orang Jepang ini karena adanya sejarah masa lalu
yang menempatkan kedua negara ini dalam relasi antara penjajah dari pihak
Jepang dan terjajah dari pihak Korea.
Berdasarkan studi awal terhadap novel Go tersebut, penulis melihat bahwa
novel ini memberi gambaran mengenai kondisi kelompok Zaincihi dengan
berbagai permasalahan identitas yang harus mereka hadapi, seperti tindakan
diskriminatif, pelabelan negatif, dan pelecehan di orang Jepang. Terkait dengan
hal ini, ada beberapa upaya yang diperlihatkan oleh kelompok Zainichi dalam
melawan dominasi Jepang melalui beberapa strategi yang mengacu pada satu
hipotesa bahwa teks novel ini menghadirkan wacana negosiasi identitas dan
resistensi dalam menandangi dominasi Jepang sebagai kelompok mayoritas dalam
kaitannya dengan relasi kolonial.
10
1. Poskolonialisme
Poskolonialisme sebagai sebuah pendekatan dalam karya sastra, hadir
sebagai solusi dari ketidakmampuan teori-teori Eropa dalam memberi ruang
terhadap teks-teks karya sastra poskolonial yang menarasikan budaya pribumi
secara kompleks (Ashcroft, Griffiths & Tiffin, 1989). Postkolonialisme bukan
hanya didefinisikan sebagai teori yang lahir setelah kolonial, akan tetapi dapat
dimaknai sebagai kritik lintas budaya yang digunakan untuk menganalisis
berbagai gejala budaya yang terjadi di negara-negara bekas koloni yang mencakup
seluruh kebudayaan yang pernah mengalami penjajahan dari awal sejarah
kolonisasi hingga saat ini, dan termasuk pula pada efek yang ditimbulkan dan
kondisi-kondisi yang ditinggalkannya.
Terkiat dengan poskolonialisme, ada beberapa konsep yang mengacu pada
kajian ini. Pertama poskolonialisme dianggap sebagai teori yang lahir sesudah
negara-negara memperoleh kemerdekaannya. Kedua hal-hal yang terkait dengan
analisis terhadap dampak-dampak kolonial di negara-negara yang pernah menjadi
objek kolonialisme. Ketiga poskolonialisme digunakan untuk mengkaji kembali
zaman kolonial sebagai solusi dalam mengatasi dampak kolonial. Keempat,
poskolonialisme menjadi teori perlawanan terhadap kolonial dan warisan-warisan
yang ditinggalkannya berupa wacana tandingan dari masyarakat lokal terhadap
wacana Eropa yang mengekang kebebasan berpendapat.
Sebagai sebuah wacana tandingan, postkolonialisme bertujuan untuk
mendekonstruksi kembali relasi yang muncul berdasarkan perspektif penjajah.
Dengan demikian, ada upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok yang terjajah
dalam melawan wacana penjajah yang dominan. Salah satu strategi yang
dilakukan adalah melalui negosiasi dan resistensi. Bentuk resistensi yang dilaku-
kan kelompok yang terjajah dalam upaya menolak segala penindasan yang
dilakukan oleh penjajah salah satunya adalah dengan melakukan peniruan
terhadap budaya, sikap, bahasa, dan cara perilaku penjajah. Hal ini dikatakan oleh
Bhabha (dalam Yasa, 2013:159) sebagai wacana poskolonialisme yang disebut
dengan mimicry. Mimicry dianggap memiliki karakter yang ambivalen, sehingga
terlihat dii satu sisi sangat membenci penjajah, namun di sisi lain ada kesan
11
bahwa budaya dan cara hidup penjajah lebih bagus. Karakter mimicry yang
ambivalen ini dikatakan oleh Bhabha (dalam Yasa, 2013:159) sebagai bentuk
resistensi karena peniruan ini sebenarnya tidak dilakukan secara utuh dan juga
dinilai sebagai upaya menyembunyikan identitas diri agar tidak ditindas oleh
penjajah.
2. Struktur Naratif (Narrative Structure)
Metode struktur naratif menjadi salah satu metode yang relevan digunakan
dalam penelitian sastra, seperti karya sastra dalam bentuk novel. Narasi dalam
karya sastra menjadi sebuah media dalam merepresentasikan identitas (Charlton,
at.al., 2011), baik dalam bentuk oral maupun visual. Charlton mengutip
pernyataan Bakhtin bahwa dalam karya sastra terdapat dua peristiwa, yakni
peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra dan peristiwa narasi itu sendiri.
Terminologi narasi dinyatakan oleh Jahn (2017) mengacu pada ‘voice’ (suara)
yakni siapa yang berbicara dan siapa suara narasi dalan teks ini. Dalam penarasian,
diperlukan ‘agen naratif’ atau disebut juga dengan narator yang berfungsi sebagai
‘suara’ narasi yang menjadi agen dalam membangun kontak komunikatif dengan
penerima (narrate). Fokalisasi didefinisikan sebagai sebuah strategi dalam
pemilihan dan pembatasan informasi berdasarkan persepsi, pengetahuan, dan
sudut pandang seseorang.
Namun, secara lebih rinci struktur naratif dikelompokkan oleh Genette
(1980) ke dalam lima struktur, yakni order (urutan), duration (durasi), frequency
(frekuensi), mode (modus), dan voice (suara). Order mengacu pada hubungan
antara urutan peristiwa yang dapat bersifat kronologis (prolepsis) maupun kilas
balik (flash back). Duration (durasi) menggambarkan perbedaan waktu antara
waktu yang sebenarnya dari peristiwa (discourse time) dengan waktu yang
diperlukan narator untuk menceritakan peristiwa tersebut (narrative time).
Frequency (frekuensi naratif) berhubungan dengan berapa sering cerita terjadi dan
disebutkan. Mode (modus naratif) berkenaan pada distance (jarak) dan perspektif
atau fokalisasi, sedangkan voice (suara naratif) berkaitan dengan siapa yang
bercerita dan dari peristiwa apa ia mulai bercerita. Konsep Genette mengenai
12
struktur naratif yang dikelompokkan menjadi lima struktur tersebut akan
digunakan untuk melihat hubungan antara fokalisasi, tokoh, dan narator yang
dapat mengungkap negosiasi identitas Zainichi dan resistensi terhadap dominasi
Jepang.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang berkaitan
dengan negosiasi identitas Zainichi dan resistensi kelompok minoritas ini dalam
melawan dominasi Jepang sebagai masyarakat mayoritas dalam novel Go melalui
pembahasan struktur narasi dan fokalisasi tokoh yang mewakili Zainichi. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualiatif dan close reading
sebagai metode yang digunakan dalam penelusuran untuk lebih menekankan pada
teks. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Eagleton (1996: 38) bahwa
“Close reading, in fact is to do more than insist on due attentiveness to the taxt. It
inescapably an attention to this rather then to something else; to the ‘words on the
page rather to the contexts which produced and surround them”.
Selanjutnya untuk menganalisis negosiasi identitas dan resistensi terhadap
dominasi Jepang, kajian poskolonial sebagai landasan teori yang didasari adanya
argumen yang menyatakan bahwa poskolonialisme menjadi sebuah teori yang
digunakan mendekonstruksi kembali relasi-relasi yang muncul akibat adanya
konstruksi Barat yang memposisikan Timur melalui perspektif Barat, sehingga
dengan demikian maka poskolonialisme yang bersifat melawan, menggugat, dan
menolak segala bentuk penindasan dari pihak penjajah dapat menjadi sebuah
wacana kontesasi dalam menandingi budaya dominan.
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Sastra Jepang, Fakultas
Bahasa dan Sastra Universitas Nasional Jakarta (UNAS) selama satu semester
14
yaitu pada Tahun Akademik Semester Genap Tahun 2019/2020. Penelitian ini
dilaksanakan melalui metode kajian pustaka yang berupa novel dan ditunjang
dengan referensi-referensi yang relevan dengan penelitian.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Zainichi yang berjudul Go
karya Kazuki Kaneshiro yang diterbitkan pada tahun 2000 oleh penerbit
Kadogawa Shoten, Tokyo.
C. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks novel Zainichi
berjudul Go yang ditulis oleh Kazuki Kaneshiro. Dari teks novel tersebut
dilakukan pengamatan terhadap stuktur narasi dan fokalisasi tokoh yang mewakili
Zainichi yang mucul dalm novel ini. Pengamatan terhadap stuktur narasi teks
tersebut bertujuan untuk memperlihatkan negosiasi identitas Zainichi dan bentuk
resistensi yang dilakukan oleh tokoh Zainichi dalam melawan dominasi Jepang.
Dari pembahasan negosiasi identitas dan resistensi pada akhirnya dapat memberi
pamahaman mengenai hubungan antara Korea dengan Jepang yang masih
dipengaruhi oleh warisan kolonial.
D. Analisis data
Dalam penelitian ini, novel Jepang yang berjudul Go karya Kazuki
Kaneshiro dijadikan sebagai sumber data untuk dianalisis dengan menggunakan
kajian poskolonial sebagai landasan teori. Langkah pertama yang dilakukan
adalah membaca novel ini dengan menggunakan metode close reading untuk
memahami struktur teks dan memahami wacana-wacana apa yang terkandung
dalam teks tersebut. Langkah kedua adalah menandai wacana-wacana yang
muncul dan mengklasifikasikannya berdasarkan fokalisasi tokoh-tokoh Zainichi
untuk mengungkap pandangan tokoh terkait dengan identitas mereka sebagai
Zainichi Setelah pengklasifikasian selesai, langkah berikutnya adalah menandai
15
wacana resistensi yang diperlihatkan melalui sikap dan tindakan tokoh Zainichi
dalam melawan dominasi Jepang sebagai kelompok mayoritas. Dari hasil
pembahasan berdasarkan unsur intrinsik, langkah terakhir dari penelitian ini
adalah mengaitkan wacana-wacana yang telah ditemukan melalui penelusuran
unsur tokoh penokohan, latar tempat, dan latar sosial dianalisis dengan
menggunakan teori psokolonial untuk menemukan jawaban dari masalah
penelitian yang berkaitan dengan negosiasi dan resistensi yang pada akhirnya
dapat memperlihatkan relasi kolonial yang tercipta antara Jepang dan Korea.
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan terhadap novel Go dilakukan untuk mengungkap bentuk
negosiasi identitas Zainichi dan resistensi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
Zainichi sebagai sebuah strategi dalam berintraksi dengan Jepang sebagai
kelompok mayoritas. Bentuk negosiasi dan resistensi dapat terungkap melalui
penelusuran alur dan interaksi tokoh-tokoh yang mewakili Zainichi dengan tokoh-
tokoh orang Jepang (Nihonjin). Penelusuran alur dilakukan dengan menganalisis
urutan peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat yang membentuk logika
naratif. Melalui analisis alur dapat diketahui tokoh-tokoh yang muncul dan
bagaimana peran tokoh tersebut di dalam cerita serta bagaimana interaksi setiap
tokoh yang muncul dalam novel ini. Selanjutnya pembahasan dilanjutkan dengan
menganalisis tokoh-tokoh melalui fokalisasi yang dilakukan oleh tokoh yang
bertindak sebagai pengamat yang melihat semua tokoh dari sudut pandag tertentu.
Dengan demikian, maka segala hal yang dirasakan oleh tokoh, seperti kesedihan,
kebahagian, dan kesepian dapat tersampaikan kepada pembaca melalui tokoh
yang menjadi fokalisator.
Berikut ini adalah analisis novel Go melalui penelusuran urutan peristiwa
dan fokalisasi tokoh yang bertindak sebagai pengamat untuk mengungkap bentuk-
bentuk negosiasi identitas dan resistensi tokoh-tokoh Zainichi terhadap tindakan
diskriminatif yang dilakukan oleh Jepang.
17
A. ANALISIS FOKALISASI TERHADAP TOKOH DALAM NOVEL GO
Novel Go menceritakan kehidupan Zainichi yang mendapatkan berbagai
bentuk perlakuan diskriminatif dan pelabelan negatif dari orang Jepang yang
dinarasikan melalui sudut pandang tokoh Sugihara sebagai Zainichi. Dalam teks
diceritakan bahwa Sugihara yang semula bernama Kurupa menjalin pertemanan
dengan orang Jepang, yaitu tokoh Sakurai yang menjadi kekasih Sugihara dan
Kato, seorang anak Yakuza menjadi temannya. Berdasarkan analisis urutan
peristiwa secara fungsional, diketahui bahwa novel Go terdiri dari 63 peristiwa
fungsional yang diawali dengan penggambaran identitas keluarga Sugihara, yang
terdiri dari ayah dan ibunya (peristiwa 1). Identitas ayahnya ditampilkan sebagai
Kita Chousen Zainichi (orang Korea Utara yang tinggal di Jepang) generasi
pertama yang masih terikat dengan leluhurnya yang berada di Korea Utara. Ikatan
emosionalnya dengan tanah leluhur masih terasa kuat pada tokoh Ayah Sugihara
dengan diperlihatkannya keinginan dia pergi berlibur ke Hawaii yang dianggap
sama denga pulau Jeju, tanah kelahirannya.
オヤジは温暖な気候を持つ韓国の済州島に生まれ、子供時代を過ご
していた。ちなみに、済州島は『東洋のハワイ』を自称しています。
Ayahku lahir dan menghabiskan masa kecilnya di pulau Jeju yang memiliki
iklim hangat. Dan ia pun menyebut pulai Jeju sebagai “Hawaiinya Asia
Timur. (Kaneshiro: 6).
Berbeda dengan ayahnya, identitas Ibu Sugihara meskipun sama-sama
memiliki identitas Zainichi, namun Ibunya digambarkan sebagai generasi kedua
yang lahir dan besar di Jepang, sehingga ikatan emasionalnya seakan sudah
tercerabut dari tanah leluhurnya. Demikian pula dengan Sugihara yang lahir dan
besar di Jepang, ia lebih merasa memiliki identitas sebagai orang Jepang daripada
orang Korea, seperti yang selalu dia katakan bahwa “ 僕は日本で生まれた、僕
は日本で生まれた. “ Saya lahir di Jepang, Saya lahir di Jepang.” (Kaneshiro:
17).
18
Tokoh Sugihara dalam novel diceritakan sebagai siswa di sebuah Sekolah
etnis Korea yang dikhususkan bagi para Zainichi (peristiwa 2). Di sekolah ini
diajarkan bahasa, sejarah, dan budaya Korea, disamping juga pelajaran bahasa
Jepang. Peraturan di sekolah ini sangat tegas dan pihak sekolah pun tidak segan-
segan untuk menghukum secara fisik terhadap murid yang berani melanggar
peraturan. Beberapa peraturan yang wajib ditaati oleh siswa, di antaranya adalah
tidak boleh menggunakan bahasa Jepang di sekolah dan harus menggunakan
bahasa Korea yang dianggap dapat mempertahankan identitas mereka sebagai
Zainichi (peristiwa 9).
Memiliki identitas sebagai Zainichi yang tinggal di Jepang, kehidupan
Sugihara tidak bisa lepas dari berbagai perlakuan diskriminatif dari orang-orang
Jepang yang berinteraksi dengannya. Berbagai tidakan diskriminatif yang
dialaminya, membuat ia sadar akan perlakuan ayahnya yang mengajarkan bela diri,
seperti Karate, boxing agar ia dapat menghadapi perlakuan diskriminatif dan
kekerasan dari orang Jepang kepada dirinya. Kekuatan tubuh dan kemampuan
bela diri yang dimiliki Sugihara berhasil mengalahkan Kato, anak seorang Yakuza
yang disegani. Keberhasilan Sugihara mengalahkan Kato mengubah hubungan
mereka dari yang semula sebagai musuh karena perbedaan identitas menjadi
teman baik (peristiwa 3).
Interaksi Sugihara yang terjalin dengan Kato sebagai tokoh yang mewakili
orang Jepang mempertemukan Sugihara dengan Sakurai, wanita Jepang yang
menjadi kekasihnya (peristiwa 4). Saat pertama berkenalan, Sakurai tidak
mengetahui jika Sugihara sebagai Zainichi, yang ia tahu nama Sugihara, terkenal
di kalangan orang-orang Jepang sebagai laki-laki yang pintar bermain basket dan
jago berkelahi. Hal ini diketahui dengan adanya peristiwa flasback yang
menggabarkan perkelahian antara Sugihara dengan para pemain basket orang
Jepang. Kejadian tersebut disebabkan oleh perlakuan para pemain basket yang
tidak menganggap keberadaan Sugihara di lapangan basket dan memukulinya
terlebih dahulu (peristiwa 5). Perlakuan para pemain basket tersebut disebabkan
identitas Sugihara sebagai Zainichi yang dianggap tidak layak untuk bermain
basket bersama mereka karena dilabeli sebagai orang yang bodoh, tidak
19
mempunyai skill, dan malas. Perkelahian antara Sugihara dengan para pemain
basket yang tidak seimbang membuatnya kewalahan dan akhirnya kalah. Setelah
perkelahian, dia dikeluarkan dari tim basket sekolahnya, namun namanya menjadi
terkenal sebagai seorang yang pandai berkelahi, sehingga banyak jagoan-jagoan di
sekolahnya yang menantang untuk berkelahi dengannya, dan salah satu
penantangnya adalah Kato, anak seorang bos Yakuza.
Kemudian cerita menyoroti kilas balik ke masa 3 tahun sebelum kejadian
tersebut dengan ditampilkannya stereorotip negatif Sugihara yang membuat
kegaduhan di stasiun saat melakukan tantangan yang dinamakan Super Gilette
Chicken Race (peristiwa 6). Keonaran yang dilakukan oleh Sugihara ini
mengundang pihak kepolisian Jepang untuk melakukan pengejaran dan
menangkapnya lalu menggelandangnya ke kantor polisi. Pelabelan negatif yang
dikenakan terhadap Zainichi Kankokujin dalam film Go terlihat juga pada
peristiwa pengusiran yang dilakukan oleh polisi patroli terhadap Sugihara,
Tawake, dan Wonsu ketika sedang berdiri di sebuah jalan sepi yang tidak dilalui
oleh kendaraan maupun pejalan kaki. Polisi patroli dengan sewenang-wenang
mengusir dan menyebut mereka dengan sebutan sampah masyarakat yang hanya
membebani pemerintah Jepang (peristiwa 7). Sikap polisi yang sewenang-wenang
tersebut memunculkan sikap resistensi dari Tawake dengan cara melemparkan
batu ke kaca depan mobil polisi tersebut.
Pelabelan negatif dan diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat Jepang,
membuat Sugihara memutuskan menyembunyikan nama aslinya dengan
menggunakan nama Jepang ketika berinteraksi dengan Nihonjin. Setelah itu,
Sugihara memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Jepang
(Peristiwa 13). Akan tetapi, keputusan Sugihara tersebut diketahui oleh Kim
sensei setelah Wonsu dengan terpaksa membocorkannya (peristiwa 25). Wonsu
memberitahukan rahasianya itu ketika sedang dalam keadaan tertekan akibat
dipukuli oleh Kim sensei karena menggunakan bahasa Jepang di sekolah etnis
Korea. Setelah mengetahui informasi tersebut, Kim sensei kemudian memukuli
Sugihara dan mencapnya sebagai penghianat etnis Korea. Pada saat Sugihara
dipukuli Kim sensei, Jong Il membantunya dengan mengatakan bahwa mereka
20
sebenarnya tidak pernah mempunyai kewarganegaraan baik sebagai warga negara
Jepang maupun sebagai warga negara Korea ( peristiwa 36).
Sejak pertama kali bertemu dengan Sakurai, Sugihara merasa terkesan
begitu pun yang dirasakan oleh Sakurai, sehingga mereka sering menghabiskan
waktu bersama. Hubungan mereka digambarkan semakin jauh dan serius, hal ini
dibuktikan dengan ajakan Sakurai untuk makan siang bersama keluarganya di
rumahnya (peristiwa 43). Namun, hubungan mereka pun diuji dengan adanya
peristiwa terbunuhnya Jong Il oleh orang Jepang (peristiwa 50). Peristiwa
pembunuhan itu diawali dengan sikap seorang siswa orang Jepang yang
melecehkan seorang siswi Zainichi Chousenjin, orang Korea Utara yang berada di
Jepang di sebuah stasiun. Jong Il yang melihat kejadian tersebut berusaha
membantu siswi itu dengan memperingatkan siswa itu. Namun, teguran Jong Il
tidak diindahkan sehingga terjadilah perkelahian yang menyebabkan terbunuhnya
Jong Il.
Kematian Jong Il memicu kemarahan tokoh Zainichi Kankokujin dan
berencana untuk membalas dendam. Teman-teman Jong Il yang dikomandoi oleh
Wonsu berusaha mencari pembunuhnya dan meminta Sugihara bergabung.
Namun, Sugihara menolak dengan keras rencana Wonsu tersebut, sehingga
Wonsu menuduh alasan Sugihara tidak peduli dengan peristiwa tersebut adalah
karena memiliki pacar orang Jepang (peristiwa 52). Perkataan Wonsu tersebut
membuat Sugihara mengalami konflik batin dan tersadar bahwa dirinya tetaplah
seorang Zainichi, meskipun sudah menggunakan nama Jepang ketika bergaul
dengan orang Jepang. Namun di sisi lain, dia pun tidak ingin kehilangan Sakurai
yang sangat dicintainya jika identitas yang sebenarnya diketahui oleh Sakurai
(peritiwa 53). Atas beberapa pertimbangan dan kenyataan bahwa identitas sebagai
Zainichi tidak dapat disembunyikan lagi, akhirnya Sugihara memutuskan untuk
memberitahu Sakurai mengenai identitasnya. Sakurai merasa dibohongi dan tidak
menerima kenyataan bahwa Sugihara adalah seorang Zainichi, karena sejak kecil
dia dididik oleh ayahnya supaya tidak berhubungan dengan laki-laki Zainichi
dengan alasan darah mereka kotor (peristiwa 54). Setelah mendapatkan kenyataan
tersebut, Sugihara menerima keputusan Sakurai dengan perasaan kecewa.
21
Dari rangkaian peristiwa yang dipaparkan di atas, terlihat bahwa interaksi
Zainichi dengan orang Jepang sarat dengan pendiskriminasian dan pelabelan
negatif yang dilekatkan oleh orang Jepang. Hal ini terjadi karena adanya relasi
kuasa yang tidak seimbang antara orang Jepang dan Zainichi. Relasi kuasa yang
terjalin ini merupakan relasi terjajah dan penjajah yang menciptakan hubungan
superioritas versus inferioritas. Orang Jepang digambarkan berada pada posisi
superior, sedangkan Zainichi berada pada posisi inferior, sehingga dapat dikatakan
lazim jika orang Jepang memiliki superioritas untuk melakukan tindakan
pelecehan, penghinaan, dan pemukulan terhadap Zainichi Kankokujin.
B. RELASI TOKOH DALAM NOVEL GO
Berdasarkan pembahasan alur melalui urutan peristiwa dalam novel Go,
terlihat bahwa hubungan antara tokoh yang mewakili Zainichi dengan tokoh yang
mewakili orang Jepang tidaklah seimbang. Sebagai golongan mayoritas,
masyarakat Jepang menganggap dirinya superior sehingga dengan semena-mena
melakukan pendiskriminasian, pengucilan, pelabelan negatif, pelecehan,
pengusiran, dan pemukulan kepada komunitas Zainichi. Dengan adanya
pandangan superior pada masyarakat Jepang tersebut, interaksi yang terjadi di
antara Zainichi dengan orang Jepang kerap menimbulkan relasi yang tidak setara,
yaitu relasi antara ‘self’ dan ‘the other’, relasi antara bekas penjajah dan terjajah,
relasi antara ‘yang suci’ dan ‘yang najis’, serta relasi antara penguasa dan sampah
masyarakat. Analisis mengenai relasi-relasi tersebut, penulis paparkan sebagai
berikut.
Relasi antara ‘self’’ dan ‘the other’ dalam film Go terlihat melalui relasi
antara Sugihara dengan tokoh para pemain basket. Relasi tersebut ditandai dengan
adanya interaksi antara Sugihara dengan sekumpulan pemain basket yang berlatar
di sebuah lapangan basket. Dari kostum yang digunakan terdapat 2 tim yang
sedang bertanding, yaitu tim biru dan tim putih yang didampingi oleh masing-
masing pelatih, pemain cadangan, dan para kru. Pada saat jalannya pertandingan,
Sugihara yang merupakan salah satu pemain tim biru, tidak pernah mendapatkan
22
passing (operan) bola dari rekan-rekannya. Dia terlihat hanya berdiam diri seolah-
olah tidak memiliki peran dalam pertandingan itu (peristiwa 5).
Melihat situasi tersebut, penulis berasumsi bahwa orang-orang Jepang di
lapangan bola basket tidak menganggap keberadaan Sugihara sebagai bagian dari
mereka atau ‘self’, namun menganggapnya sebagai orang luar atau ‘the other’.
Atas dasar alasan inilah, para pemain basket mengucilkan Sugihara dari
permainan tersebut karena dianggap tidak pantas berada di antara mereka. Oleh
karena itu, relasi yang terjadi dari interaksi tersebut menunjukkan relasi para
pemain basket sebagai ‘self’ dengan Sugihara sebagai ‘the other’.
Relasi antara bekas terjajah dengan bekas penjajah dalam novel Go
ditampilkan dengan adanya interaksi antara Sugihara dengan Sakurai pada saat
awal pertemuan mereka (Peristiwa 4). Dibandingkan dengan menggunakan nama
Kurupa, ia lebih nyaman menggunakan nama Sugihara yang identik dengan nama
orang Jepang. Hal ini menunjukkan bentuk inferioritas Sugihara yang lebih
memilih menyembunyikan identitasnya sebagai Zainichi. Melalui interaksi antar
Sugihara dan Sakuraii juga terlihat pandangan stereotype orang Jepang yang
memandang Zainichi sebagai ‘the other’ yang kotor dan najis. Hal ini terlihat saat
Sugihara memberitahukan identitas sebenarnya kepada Sakurai, seperti yang
terlihat pada kutipan berikut ini.
「俺の国籍は日本じゃないんだ」。それはきっと十秒とかそこらの
沈黙だったはずだけれど、僕にはひどく長いものに思えた。
「...どういうこと?」と桜井は訊いた。
「言った通りだよ。僕の国籍は日本人じゃない」
「...それじゃ、どこなの」
韓国。
「国籍なんて意味がないってことだよ。
沈黙。沈黙。沈黙。沈黙。ようやく桜井の口が開いた。
「日本で生まれて、日本で育ったの?」
僕は頷いたて、言った。
“Kewarganegaraanku bukan Jepang.” Hal itu membuatnya terdiam sekitar
sepuluh detik, tapi bagiku terasa begitu lama. “Maksudnya apa?” Sakurai
bertanya kepadaku.
“Seperti yang kubilang. Kewarganegaraanku bukan Jepang.
23
“ Jadi dari mana?”
“Korea.”
“Kewarganegaraan itu bukan hal yang penting kan?”
Diam.. Diam... Diam.... Diam. Tapi akhirnya Sakurai berkata.
“Kamu lahir dan besar di Jepang kan?”
“Ya.” Jawabku.
(Kaneshiro, 174-175)
「お父さんに,..子供の頃からずっとお父さんに、韓国とか中国の
男とつきあっちゃだめだっていわれたの..」。
僕はその言葉をどうにか体の中に取り込んだあと、訊いた。
「そのことになんか理由があるのかな?」
桜井が黙ってしまったので、僕は続けた。
「お父さんは、韓国とか中国の人は目血が汚いんだ」というの。
“Sejak kecil ayah selalu bilang tidak boleh menjalin hubungan dengan laki-
laki Korea atau China. Aku pun bertanya, “Alasanya apa?”. Lah kenapa, apa
alasannya? Karena Sakurai tidak juga menjawab, aku pun melanjutkan
bertanya. Akhirnya Sakurai pun berkata “Ayah bilang kalau darah orang
Korea dan China itu kotor
(Kaneshiro:17)
Relasi antara orang Jepang sebagai penguasa dengan Zainichi yang
dianggap sampah masyarakat dalam novel Go terlihat dari relasi antara Sugihara.
Tawake, dan Wonsu dengan Polisi patroli. Saat itu mereka sedang melihat papan
iklan di sebuah jalan kecil yang sepi. Lalu, tiba-tiba polisi dengan mobil
patrolinya datang dan menyebut mereka dengan sebutan ‘sampah masyarakat’,
kemudian menyuruh mereka pergi karena dianggap mengganggu penduduk di
wilayah tersebut. Tawake tidak menerima sikap polisi terebut, lalu melempar batu
bata ke kaca depan mobil polisi (Kaneshiro, 67-68). Peristiwa ini menunjukkan
adanya relasi yang timpang antara Polisi dengan Sugihara, Tawake dan Wonsu.
Mengingat polisi merupakan bagian dari kekuasaaan, dengan menyebut mereka
‘sampah masyarakat’, berarti memperlihatkan bahwa relasi antara polisi dengan
Sugihara, Tawake, dan Wonsu adalah relasi antara penguasa dengan masyarakat
yang dianggap tidak berguna. Selain itu, dengan memposisikan dirinya sebagai
penguasa, polisi tersebut memanggil orang lain dengan sebutan apa saja tanpa
24
melihat dan menyelidiki terlebih dulu seperti apa orang tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa polisi yang merupakan bagian dari pemerintahan, merasa
dirinya lebih superior daripada Sugihara , Wonsu, dan Tawake.
Dari analisis relasi tokoh-tokoh Zainichi dengan orang Jepang di atas dapat
disimpulkan bahwa terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan antara interaksi
yang melibatkan tokoh Zainichi dengan tokoh orang Jepang. Tokoh orang Jepang
tampak lebih superior dibandingkan dengan tokoh Zainichi sehingga dengan
semena-mena dapat melakukan berbagai bentuk penghinaan, pelecehan rasial, dan
pemukulan terhadap tokoh Zainichi.
C. NEGOSIASI IDENTITAS DAN RESISTENSI TOKOH ZAINICHI
SEBAGAI STRATEGI MENGHADAPI DOMINASI MASYARAKAT
JEPANG
Berdasarkna relasi antara tokoh Zainichi dengan orang Jepang, terlihat
superioritas yang ditunjukkan oleh orang Jepang terhadap Zainichi melalui sikap
dan tindakan semena-mena, seperti pengusiran, pemukulan, dan penghinaan.
Akan tetapi, komunitas Zainichi, sebagai objek yang tertindas, tertekan, dan
terhina tidak diam begitu saja, melainkan mereka berupaya melakukan berbagai
bentuk negosiasi dan resistensi agar keberadaanya sebagai komunitas dihargai
oleh masyarakat Jepang.
Bentuk negosiasi yang dilakukan oleh para tokoh Zainichi yang terlihat
dalam novel ini, di antaranya mengganti namanya dari nama Korea menjadi nama
yang identik dengan orang Jepang, seperti yang dilakukan oleh Sugihara yang
memiliki nama asli sebagai Kurupa. “僕はタワケ先輩に「クルパー」と呼ば
れて可愛がられた” Aku dipanggil “Kurupa” oleh Tawake, seniorku sebagai
panggilan kesayangan” (Kaneshiro: 64). Namun, panggilan Kurupa itu hanya
digunakan oleh Sugihara di kalangan teman-temannya sesama Zainichi. Selain itu,
agar dapat berinteraksi dengan orang Jepang tanpa mendapatkan perlakuan
diskriminatif, Sugihara pun berencana mengganti kewarganegaraannya dari
Zainichi menjadi orang Jepang dan ia pun berencana untuk melanjutkan di
25
sekolah Jepang. Hal inilah yang membuat guru-guru di sekolahnya menyebutnya
sebagai penghianat. Selanjutnya bahasa Jepang yang lebih sering digunakan oleh
Sugihara pun, menjadi salah satu bentuk negosiasi dalam menghindari perlakuan
diskriminatif dari orang Jepang.
Selain bentuk negosiasi, dalam novel ini pun diperlihatkan wacana resistensi
sebagai perlawanan terhadap dominasi Jepang yang dominan. bentuk resistensi
dalam novel ini dilakukan melalui strategi peniruan (mimicry), pencemohan
(mockery), dan pemertahanan identitas budaya sebagai Zainichi. Ada beberapa
bentuk resistensi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Zainichi. Pertama resistensi
yang dilakukan melalui strategi membangun kekuatan fisik untuk mengalahkan
orang Jepang. Hal ini terlihat dari pola didik ayah Sugihara yang sejak kecil
mengajarkan latihan fisik, seperti boxing dan karate agar dapat menghadapi
kekerasan yang dilakukan oleh Jepang (Kaneshiro: 60-61). Kekuatan fisik
Sugihara yang telah dilatih sejak kecil ini, pada akhirnya manpu mengalahkan
Kato, tokoh yang mewakili orang Jepang sebagai seorang anak Yakuza. Resistensi
dengan menggunakan kekerasan fisik tidak hanya dilakukan oleh Sugihara, tetapi
juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Zainichi lainnya, seperti tokoh Tawake dan Jong
Il yang berupaya menghadapi kekerasan dan pelecehan yang dilakukan oleh orang
Jepang. Resistensi dalam bentuk kekerasan fisik ini seperti yang diungkapkan
oleh Said (1985:5) sebagai karakter dari postkolonialisme, yaitu melawan dan
menolak segala penindasan yang dilakukan oleh golongan mayoritas yang berada
pada posisi superior terhadap golongan minoritas yang dianggap inferior.
Bentuk resistensi lainnya yang terlihat dalam novel Go adalah dengan
melakukan peniruan (mimicry) dan pencemoohan (mockery) yang dilakukan oleh
Sugihara ketika berinteraksi dengan Sakurai. Bentuk peniruan mimicry dan
mockery tersebut, sebagai contohnya adalah peniruan logat dalam bahasa Jepang,
seperti yang dilakukan oleh Sugihara saat menyebut Jean Claude Van Damme
dibaca dengan ejaan Ban Damu. “俺はジャンクロード·バンダムになる。バ
ンダムじゃない。ヴァン·ダム. “ Aku ingin menjadi Jankuro-do Ban Damu.
Bukan Ban Damu, tapi Van Damme.” (Kaneshiro: 114). Peniruan yang dilakukan
oleh Sugihara tersebut dilakukan dengan tujuan agar Sakurai tidak curiga terhadap
26
Sugihara yang memiliki identitas Zainichi, sehingga Sugihara terhindar dari
pendiskriminasian dan pelabelan negatif. Ungkapan Sugihara yang menyebut
salah satu aktor Holywood, yaitu Jean Claude Van Damme dengan sebutan Ban
Damu merupakan sebuah ucapan yang tidak tepat. Hal tersebut dapat diketahui
dari reaksi Sakurai yang mengatakan bahwa pengucapan yang benar untuk aktor
Holywood tersebut bukanlah ‘Ban Damu’ tetapi ‘Vuan Damu’. Pengucapan kata
Ban Damu sengaja dia salahkan dengan maksud untuk melakukan pencemoohan
(mockery) terhadap penggunaan bahasa Jepang.
Bentuk resistensi lainnya adalah upaya pemertahanan identitas Zainichi
dengan membuat peraturan yang tegas dalam melarang penggunaan bahasa
Jepang di sekolah etnis. Peraturan tersebut dibuat dengan tujuan agar bahasa
Korea yang merupakan identitas mereka sebagai Zainichi tetap dapat dilestarikan
dan dipertahankan dari generasi ke generasi agar tidak terkikis oleh
perkembangan zaman. Hal tersebut berkaitan dengan pernyataan Ashcroft
(2001:20-23) bahwa perlawanan terhadap kelompok mayoritas juga bersifat pasif,
yaitu perlawanan dengan cara menolak dengan menggunakan cara lain untuk
mempertahankan identitas dan kepemilikan budaya. Dengan demikian, maka
peraturan mengenai pelarangan penggunaan bahasa Jepang di sekolah etnis Korea
yang diawasi secara ketat oleh Kim sensei dengan menghukum murid yang
melanggarnya merupakan sebuah usaha untuk melakukan resistensi terhadap
dominasi bahasa Jepang yang secara tidak langsung menjadi alat hegemoni
komunitas Zainichi.
Namun demikian, bentuk resistensi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
Zaincihi juga mengalami ambivalensi. Hal ini dapat dilihat melalui Sugihara yang
menggunakan nama Jepang ketika bergaul dengan Nihonjin agar tidak mengalami
pendiskriminasian dan pelabelan negatif. Selain itu ambivalensi juga tampak dari
sikap Wonsu, Sugihara, dan Jong Il yang menggunakan bahasa Jepang di sekolah
etnis Korea. Di satu sisi mereka sangat menentang dan membenci
pendiskriminasian dan pelabelan negatif oleh bangsa Jepang, tetapi di sisi lain
lebih suka menggunakan bahasa Jepang dari pada memakai bahasa Korea yang
menjadi identitas mereka sebagai Zainichi.
ii
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis unsur narasi novel Go melalui penelusuran alur dengan melihat
urutan peristiwa dalam cerita dapat diketahui bahwa tokoh-tokoh yang mewakili Zainichi
Kankokujin terdiri dari Sugihara, Tawake, Wonsu, Jong Il, Kim sensei, Ibu Sugihara, dan Ayah
Sugihara. Sementara tokoh yang mewakili Nihonjin terdiri dari Sakurai, Kato, polisi patroli,
para pemain basket, siswa Jepang, dan orang-orang Jepang di stasiun. Selanjutnya melalui
analisis fokalisasi terhadap tokoh-tokoh yang muncul dalam teks oleh seseorang yang
berfungsi sebagai fokalisator, maka segala hal yang dirasakan oleh tokoh, seperti kesedihan,
kebahagian, dan kesepian dapat tersampaikan kepada pembaca. Kemudian melalui interaksi
antar kelompok tersebut, yakni Zainichi dengan orang Jepang melalui penggunan teori
postkolonial diketahui bahwa relasi yang terjadi antara tokoh Zainichi dengan tokoh orang
Jepang, adalah relasi superior – inferior.
Tokoh Zainichi yang inferior digambarkan sebagai the other, kotor, dan sampah masyarakat.
Sementara itu tokoh orang Jepang yang superior sebagai self yang suci dan penguasa.
Dengan superioritas yang dimiliknya, tokoh-tokoh orang Jepang melakukan berbagai
bentuk diskriminasi, pelabelan negatif, penghinaan, dan pemukulan terhadap tokoh-tokoh
Zainichi. Akan tetapi, tokoh-tokoh ini sebagai objek yang tertindas dan terdiskriminasi
merespon segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh orang Jepang dengan melakukan berbagai
bentuk negosiasi dan resistensi. Bentuk-bentuk negosiasi ini, di antaranya adalah mengganti
nama mereka yang semula identik dengan nama orang Korea menjadi nama orang Jepang.
Selain mengganti nama, mereka pun mengubah kewarganegaraan mereka menjadi warga
iii
negara Jepang. Kendati mereka bersekolah di sekolah etnis Korea, namun dalam kesahariannya
bahasa Jepang lebih sering digunakan, terutama saat berinteraksi dengan orang Jepang.
Dalam berinteraksi dengan orang Jepang, selain menggunakan negosiasi sebagai strategi
untuk lepas dari perlakuan diskriminatif, para tokoh Zainichi ini pun melakukan resistensi
sebagai sebuah wacana perlawanan terhadap dominasi orang Jepang yang menganggap diri
mereka lebih superior. Bentuk resistensi yang terlihat adalah menggunakan kekerasan fisik
sebagai upaya menandingi kekerasan dan pelecehan yang dilakukan sekelompok orang Jepang
kepada para tokoh Zainichi ini. Bentuk resistensi lainnya adalah melalui peniruan (mimicry)
dan pencemoohan (mockery) yaitu dengan melakukan peniruan dan pencemoohan terhadap
penggunaan bahasa Jepang. Bentuk resistensi yang terakhir adalah wacana pemertahanan
identitas, yaitu dengan melarang penggunaan bahasa Jepang di sekolah etnis Korea. Negosiasi
dan resistensi ini digambarkan melalui narasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh Zainichi terlihat
wacana yang mengacu pada prespektif kelompok Zainichi. Negosiasi dan resistensi menjadi
sebuah wacana perlawanan dari kemunitas Zainichi yang terjajah dalam berkontestasi dengan
budaya Jepang yang dominan.
DAFTA R PUSTAKA
iv
Ashcroft, B., Griffiths, G., Tiffin, H. (1989). The Empire writes back: theory and practice in
Post-Colonial Literature. London: Routledge and Kegan Paul.
Beauchamp, E. R. (1991). Windows on Japanese education. New York and London :
Greenwood Press.
Charlton, E., Wyse, D., Hodges, G.C., Nlkolajeva, M., Pointon, P., & Taylor, L (2011). Place-
Related Identities Through Texts: From Interdiciplinary Theory to Research Agenda. British
Journal of Educational Studies, 59 (1), 63-74.
Eagleton, T. (1996). Literature theory: an ntroduction. Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Fukuoka, Y. (2000). Lives of young Koreans in Japan. Melbourne : Trans Pacific Press.
Genette, G.(1980). Narrative discourse: an essay in method. Translated by Jane E. Lewin, Ithaca
New York: Cornell University Press.
Jahn, M. (2017). Narratology: a guide to the theory of narrative. English Department, University
of Cologne.
Kaneshiro. K. (2000). Go. Tokyo: Kadogawa Shoten.
Lie, J. (2008). Zainichi (Koreans in Japan): diasporic nationalism and postcolonial identity.
Berkeley : California University Press.
Loomba, A. (2003). Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta : Bentang Budaya.
Ryang, S, ed. (2009). Diaspora without Homeland. London & Berkley : University Of
California Press.
Said, E.W. (2001). Orientalisme. (ed. Ke-4). (A. Hikmat, Penerjemah). Bandung: Pustaka.
Sasun, C. (30 Oktober, 2014). Writer Transcend Diaspora. Korean Literature Now, Vol. 25.
Autumn. Diakses dari https://koreanliteraturenow.com/essay/musings/identity-literature-zainichi-
koreans pada tanggal 24 Februari 2020, jam 9.00.
Yasa, I. N. (2013). Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung : Karya Putra Dewata.