Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi...
Transcript of Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi...
SKRIPSI
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja
dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
Oleh:
Fitria Dian Istianie
105120401111011
Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2014
i
HALAMAN PERSETUJUAN
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Fitria Dian Istianie NIM.105120401111011
Telah disetujui oleh dosen pembimbing :
Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua
Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si NIP. 197908082014042001
Tanggal: 14 November 2014
Mengetahui,
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
Dian Mutmainah, S.IP., MA NIP. 197803192005012002
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
SKRIPSI
Disusun Oleh: Fitria Dian Istianie
NIM. 105120401111011
Telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam ujian Sarjana Pada tanggal: 19 Oktober 2014
Ketua Majelis Penguji Sekretaris Majelis Penguji Aswin Ariyanto Azis, S.IP.,MdevSt Yustika Citra Mahendra, S.Sos.,MA NIP. 197802202010121001 NIK. 840823 11 1 1 0335 Anggota Majelis Penguji I Anggota Majelis Penguji II Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si NIP. 197908082014042001
Malang,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Ir. Darsono Wisadirana, MS NIP. 195612271983121001
iii
SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI
Nama: Fitria Dian Istianie
NIM: 10512040101111011
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skirpsi berjudul: Analisis
“ Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi
Kontrak Privatisasi Perusahaan Air” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut telah diberi tanda citasi dan
ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut tidak benar,
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar
yang saya peroleh dari skripsi tersebut.
Malang, 8 Oktober 2014
Fitria Dian Istianie
105120401111011
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan Strata 1
Hubungan Internasional. Terselesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasi sebesar-besarnya kepada:
1.Mama Irma Khuswardani, Alm Papa Djajoeswadi, Abah Malik Ibrahim, Kakak
Brigita Julita, Adek Agatha Valerie terkasih dan tersayang yang selalu
memberikan semangat serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan. Terimakasih semuanya. Keluarga
terbaik yang paling berarti dalam hidup penulis.
2.Ibu Henny Rosalinda, S.IP, M.A selaku dosen pembimbing pertama yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan serta semangat bagi
penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.Ibu Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si selaku dosen pembimbing kedua
yang telah memberikan banyak sekali masukan dan arahan bagi penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Aswin Ariyanto Azis, S.IP, M.DevSt selaku dosen penguji I dan Bapak
Yustika Citra Mahendra, S.Sos.,MA selaku dosen penguji II yang telah
memberikan masukan-masukan yang membangun bagi penyelesaian skripsi ini.
v
6. Andrea, Christine, dan Vrizza selaku sahabat penulis yang selalu mendukung
dan senantiasa menghibur penulis
7. Yoki, Danny, dan Fahril selaku teman-teman jurusan Hubungan Internasional
lainnya yang membuat masa perkuliahan penulis semakin berkesan.
8. Reynaldi Angga Pratama selaku teman spesial penulis yang selalu mendengar
keluh kesah dan menghibur penulis.
9. Teman-teman @daisy_official yang selalu berbagi kisah lewat musik dan
mewarnai hari-hari di masa penulisan skripsi dengan gigs yang seru.
10. Sevensoul selaku sahabat-sahabat nan jauh disana yang selalu mendukung dan
menginspirasi penulis
11. Tanjung Indraswari, Galih Mehaga Ginting, Dimas Nugroho, Rama Dimas,
Tommi Prastawa, Dhia Lestari dan gentyo-gentyo lainnya yang selalu menghibur
dan menginspirasi penulis.
Demikianlah kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Akhir kata skripsi ini penulis
persembahkan bagi keluarga dan yang tersayang. Terimakasih.
Work More Than Others, Think More Than Others, and Expect Less Than Others William Shakespeare,- Malang,19 November 2014 Penulis
vi
ABSTRAK
Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam
Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air”
Penelitian ini berupaya untuk menganalisis “bargaining power” antara
host dan MNC, yaitu Pemprov DKI Jakarta sebagai host dan PT Palyja sebagai
MNC. Adanya dampak-dampak dari privatisasi perusahaan air Jakarta seperti
kenaikan tarif dan hutang PAM Jaya yang semakin menumpuk adalah hasil dari
negosiasi kontrak yang selama ini dijalankan oleh kedua belah pihak. Hasil dari
negosiasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta tentunya tidak terlepas dari adanya
penentuan “bargaining power” antara ke-dua aktor. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini penulis akan menganalisis dan menggambarkan mengenai
“bargaining power” antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi
kontrak privatisasi perusahaan air.
Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,
Negosiasi, Kontrak Privatisasi Perusahaan Air
vii
ABSTRACT
This research attempts to analyze Bargaining Power about two actors.
Pemprov DKI Jakarta as a host country and PT Palyja as a MNC. The effect
about privatization Jakarta such as the increases water price and the increases of
PAM Jaya debt are related with negotiation contract by two actors. The result
about negotiation, include the unequal distribution benefit about host and MNC
bring back to question about what determines the bargaining power of host
countries and Foreign Investor. Furthermore, this research will explain the
determinan of bargaining power of Pemprov DKI Jakarta as a host country and
PT Palyja as a MNC in contract negotiation water privatization Jakarta.
Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,
Negotiation, Contract of Water Privatization
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI.......................................... iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iv
ABSTRAK............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR BAGAN............................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 11 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 11 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 12
BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulu.................................................................................. 13 2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Konsep Bargaining Power.................................................. 17 2.2.2 Operasionalisasi Konsep ..................................................... 22 2.4 Argumen Utama.................................................................................. 25 2.5 Alur Pemikiran.................................................................................... 26 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian................................................................................... 27 3.2 Ruang Lingkup............................................................................... ... 27 3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................ 28 3.4 Sistematika Penulisan........................................................................ 28 BAB IV. GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA 4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta........................................................... 31 4.2 Kontrak Privatisai Air Jakarta ........................................................... 37
ix
4.2.1 Prinsip dan Tanggung Jawab Kerjasama .......................... 38 4.2.2 Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya .................. 40 4.2.3 Target Teknis dan Standart Pelayanan............................... 42 4.3 Aktor yang Terlibat dalam Kontrak Privatisasi Air Jakarta ............ 44 4.3.1 PAM Jaya .......................................................................... 44 4.3.2 Palyja.................................................................................. 47
BAB V. ANALISIS BARGAINING POWER PEMPROV DKI JAKARTA dan PT PALYJA DALAM NEGOSIASI KONTRAK PRIVATISASI AIR JAKARTA
5.1 Characteristic of Project 5.1.1 Tingkat Investasi Palyja....................................................... 52 5.1.2 Ongkos Biaya Palyja........................................................... 58 5.1.3 Tingkat Teknologi yang di gunakan PALYJA .................... 62 5.1.4 Variasi produk pengganti dari air bersih.............................. 65
5.2 Characteristic of Host 5.2.1 Kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam Bernegosiasi .........................................................................67 5.2.2 Jumlah Penduduk Jakarta yang menggunakan air Palyja.... 70 5.2.3 Tingkat mobilisasi masyarakat kota Jakarta........................ 73 5.2.4 Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di Jakarta ................................................................................. 77 5.3 Exogenous Factor 5.3.1 Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001........... 82 5.3.2 Pesaing Suez Environment di level Global.......................... 87
5.4 Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam
Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ................................. 93
BAB VI: PENUTUP 6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 100 6.2 Saran 6.2.1 Saran Bagi Pembuat Kebijakan ........................................ 102 6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ...................................... 102 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 103
x
DAFTAR BAGAN
GAMBAR HALAMAN
1. Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta....................................... 35
2. Pembagian wilayah antara Palyja dan Thames Pam Jaya........................ 79
TABEL
1. Operasionalisasi Konsep.......................................................................... 24
2. Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak
Privatisasi Air Jakarta.............................................................................. 41
3. Standart dan Teknis Pelayanan dalam kontrak Privatisasi Air
Jakarta....................................................................................................... 42
4. Investasi PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya 1998-
2008.......................................................................................................... 53
5. Ongkos Biaya PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya 1998-
2002.......................................................................................................... 60
6. Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun 1992-
2009.......................................................................................................... 71
7. Daftar Perusahaan Multinasional sektor air bersih di seluruh
dunia......................................... .......................................................................... 88
8. Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam
Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air......................................... 93
GRAFIK
1. Trend FDI di Indonesia tahun 1970-
2009......................................................................... ................................. 83
xi
2. Pertumbuhan FDI di ASEAN tahun 1990-
2008........................................................................................................... 85
3. Data Penjualan Volume Air oleh Perusahaan Multinasional air bersih di
Dunia......................................................................................................... 89
4. Joint Venture antara Perusahaan Multinasional di dunia ..........................91
xii
DAFTAR SINGKATAN
APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
FDI : Foreign Direct Investment
GDF : Gaz De France
MNC : Multi National Corporation
MOU : Memorandum Of Understanding
NGO : Non-Govermental Organization
Palyja : Perusahaan Air Minum Lyonaaise Jaya
PAM Jaya : Perusahaan Air Minum Jakarta
PEMPROV DKI : Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
PMA : Perusahaan Multinasional Asing
SK : Surat Keputusan
TPJ : Thames Perusahaan Air Munim Jaya
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Perusahaan Multinasional atau MNC adalah salah satu aktor baru dalam
kajian Hubungan Internasional pasca perang dingin. Kehadiran MNC juga disebut
sebagai pemain kunci (central players)1 karena peran dan pengaruhnya yang
semakin kuat dalam tatanan ekonomi global. Dalam perkembangannya, MNC
memiliki beberapa strategi untuk dapat masuk ke dalam sebuah negara.
Diantaranya adalah dengan membentuk cabang perusahaan dengan menggunakan
modal sendiri, membeli saham perusahaan nasional di sebuah negara, dan
berpartisipasi dalam pengelolaan perusahaan nasional melalui program
privatisasi2
Privatisasi merupakan salah satu bentuk neo-liberalisme yang sempat
mendominasi kebijakan pembangunan di awal tahun 1980-an. Indonesia sebagai
negara berkembang, juga mengikuti trend privatisasi tersebut termasuk di sektor
air. Privatisasi perusahaan air di Indonesia dipelopori oleh munculnya The Dublin
Statement on Water and Sustainable Development yang diselenggarakan di
Dublin, Irlandia tahun 1992. Dublin Statement on Water and Sustainable
Development atau yang biasa disebut dengan Dublin Principles memuat 4 prinsip
1 Sorcha Macleod and Douglas Lewis, Transnasional Corporations: Power, Influence, and Responsibility (London:Global Social Policy ,vol.4,2004) hal 77. Melalui http://www.uk.sagepub.com/suder/Chapter%2010%20-%20Macleod%20&%20Lewis.pdf (diakses 7 Februari 2014) 2 Thomas M. Leonard, Encyclopedia Of The Developing World (New york:Routledge, vol.1,2006) hal 1093. Melalui http://nomorebiggov.files.wordpress.com/2008/11/encyclopedia-of-the-developing-world.pdf (diakses 7 Februari 2014)
2
terkait kebijakan dan pembangunan di sektor sumber daya air3. Salah satu isi dari
prinsip tersebut adalah air memiliki nilai ekonomi dan keberadaan air harus diakui
sebagai barang ekonomi.
World Bank sendiri pada tahun 1993 mengeluarkan kebijakan “Water
Resource Management Policy” yang berisi dukungan reformasi bagi negara-
negara peminjam dana untuk membantu dan mengupayakan sistem pengelolaan
sumber daya air di masing-masing negara4. Kebijakan tersebut mencakup
kerangka kerja berdasarkan prioritas yang paling dibutuhkan (perencanaan
holistik), sistem perundang-udangan yang menunjang terjadinya perubahan
partisipasi dan desentralisasi, serta permasalahan keuangan dari air bersih dan
kegunaannya dalam berkompetisi (air sebagai barang ekonomi). Semenjak
diberlakukannya kebijakan ini, tingkat pinjaman Bank Dunia di sektor air
semakin meningkat. Total pinjaman bank dunia dalam bidang air adalah sebanyak
US$ 17 milyar5. Dari tahun 1993-2001 sekitar 17 persen anggaran Bank Dunia
adalah untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan sumber daya air.
Dalam privatisasi air Jakarta sendiri, Lembaga Internasional turut
memberikan bantuan teknis dan pinjaman terkait proyek privatisasi air Jakarta.
Seperti yang dilakukan world bank dalam kebijakan program Water Resource
Structural Adjustment Loan (WATSAL). Program ini berawal dari krisis
ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, dimana World Bank mengeluarkan
3 UN Documents: Gathering a Body of Global Agreements, http://www.un-documents.net/h2o-
dub.htm (diakses 8 Februari 2014) 4 Nadia Hadad, Privatisasi Air di Indonesia, (Indonesia, INFID Annual Lobby, 2003) hal 14
5 Ibid
3
program pinjaman untuk merestrukturasi sektor sumber daya air di Indonesia.
World Bank mengeluarkan pinjaman sebesar US$ 300 Juta dengan beberapa poin
yang harus dipenuhi. Salah satu poin tersebut diantaranya adalah menjadikan air
bersih sebagai barang ekonomi6. Poin ini kemudian membuka pintu bagi sektor
swasta untuk menjadi mitra pemerintah sesuai dengan konsep yang diinginkan
oleh world bank. Melalui program WATSAL, world bank mencoba untuk
memperbesar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
WATSAL bahkan juga mempromosikan pengalihan kepemilikan perusahaan air
dari pemerintah ke tangan publik/swasta.
Dari berbagai faktor Internasional dan faktor pinjaman dari worldbank
diatas, kemudian perusahaan air di wilayah Indonesia mulai di privatisasi
termasuk kota Jakarta. Di kota Jakarta sendiri, perjanjian privatisasi antara publik
dan swasta diresmikan pada tahun 1997. Perusahaan Air Minum Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta (PAM Jaya) bekerjasama dengan dua Perusahaan Multinasional
milik Inggris dan Perancis. Mitra dari Perancis mengelola bagian barat Jakarta
melalui PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan mitra dari Inggris mengelola bagian
timur Jakarta melalui PT Thames PAM Jaya (TPJ). Namun, pada penelitian ini
penulis mengambil aktor PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sebagai fokus kajian.
Dalam kerjasama berbentuk konsesi tahun 1997, Instruksi Menteri Dalam
Negeri menyatakan bahwa setiap kegiatan PAM Jaya dengan Palyja diarahkan
untuk peningkatan pelayanan yang mencangkup peningkatan kuantitas,
peningkatan kualitas, peningkatan kontinuitas, peningkatan efisiensi, dan
6 Nadia Hadad, Loc. Cit hal 14
4
peningkatan kesejahteraan masyarakat7. Kerjasama dilaksanakan dalam bentuk
konsesi yang berlaku selama 25 tahun. Tim negosiasi dibentuk oleh pemerintah
DKI Jakarta untuk melaksanakan kerjasama kemitraan antara PAM Jaya dan
swasta oleh Gubernur DKI.
Menurut perjanjian kerjasama, Palyja yang menjadi pihak kedua memiliki
keahlian dalam bentuk dana maupun sumber daya lainnya yang berkaitan dengan
rancangan, konstruksi, pengelolaan, dan pengoperasian fasilitas-fasilitas produksi
serta distribusi dalam bidang air bersih8. Oleh karena itu, pembagian tugas antara
Palyja dan PAM Jaya yang diatur dalam kontrak cukup berbeda. Palyja
bertanggung jawab atas seluruh pengelolaan perusahaan air Jakarta yang
mencakup pencapaian target teknis dan standart pelayanan, pendanaan,
pelaksanaan, operasional, pemeliharaan, dan rencana investasi untuk 5 tahun ke
depan. Sedangkan PAM Jaya bertanggung jawab atas monitoring pendanaan,
monitoring pelaksanaan, monitoring operasi, dan evaluasi target teknis dan
standart pelayanan9.
Kesepakatan yang terjadi pada tahun 1997 menunjukkan bahwa Palyja
memegang peranan besar dalam hal fasilitas dan infrastruktur sektor air di Jakarta
Barat. Mulai dari pasokan air baku hingga tagihan kepada pelanggan. Kontrak
7 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy) hal 5. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses pada 20 Mei 2014) 8 Ibid, hal6 9 Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009) hal 59. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014)
5
privatisasi air Jakarta juga memisahkan mekanisme antara pendapatan perusahaan
yang diperoleh dari pelanggan layanan air (tarif air) dan pendapatan yang diterima
perusahaan swasta dari PAM Jaya atas jasanya mengelola air di Jakarta (imbalan
air)10. Tarif air adalah harga yang di bayarkan oleh pelanggan, sedangkan imbalan
air adalah harga yang harus di bayar PAM Jaya kepada mitra swasta yaitu Palyja,
atas jasanya memproduksi dan mengelola sistem air di wilayah Jakarta.
Kontrak konsesi yang telah disepakati bersama mitra swasta tahun 1997-
2001 menempatkan proyeksi keuangan sebagai faktor paling menentukan dalam
menetapkan imbalan air. Proyeksi keuangan yang dimaksud berkaitan dengan
kebutuhan finansial dari pihak swasta, termasuk Palyja. Penentuan imbalan air
yang harus dibayar PAM Jaya kepada mitra swasta sama sekali tidak berdasarkan
performance-based atau kinerja perusahaan, melainkan ditetapkan berdasarkan
kebutuhan uang yang diminta oleh pihak swasta11. Hal ini menyebabkan berapa-
pun imbalan air/uang yang diminta oleh swasta, PAM Jaya harus mampu untuk
memenuhinya. Kondisi tersebut nyatanya menyulitkan pemerintah Jakarta melalui
PAM Jaya. Perusahaan milik pemerintah daerah ini harus mematuhi klausa
kontrak tersebut untuk membayar imbalan air yang semakin naik di tiap
periodenya. Secara tidak langsung, klausa ini memberikan jaminan keuntungan
kepada Palyja selama kerja sama berlangsung.
10 Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession, (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 6. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro-poor%20Jakarta_0.pdf (diakses 15 Mei 2014) 11
Ibid, hal 6
6
Sebaliknya, imbalan air yang ditetapkan dalam kontrak menyebabkan
PAM Jaya berhutang kepada pihak swasta. Diperkirakan, hutang PAM Jaya
kepada pihak swasta di akhir kontrak pada tahun 2022 adalah sebesar Rp 18
triliun12. Pelunasan hutang ini, nantinya akan dibayarkan oleh Pemenrintah
Provinsi Daerah Jakarta yang diambil melalui dana APBD. Kerugian yang sangat
besar akan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari klausa kontrak
yang membahas mengenai imbalan tarif tersebut.
Kontrak tersebut juga menjelaskan mengenai denda pembayaran atas
pembatalan dan pemutusan kontrak. Jika PAM Jaya ingin memutuskan kontrak
kerjasama yang telah di sepakati oleh kedua mitra swasta, maka PAM Jaya harus
membayar denda sebagai biaya ganti rugi kepada Thames Water dan Suez
Environment. Pembayaran tersebut meliputi biaya dari semua investasi yang
dibuat oleh perusahaan asing, biaya asuransi, dan penghasilan bruto yang
diharapkan selama setengah sisa kontrak13. Poin ini menunjukkan bahwa kontrak
konsesi bersifat mengikat dan sulit untuk melakukan pemutusan kontrak secara
sepihak karena harga dari denda yang harus di bayar sangat besar, dan seluruh
dana kerugian ditanggung oleh Pemerintah DKI melalui perusahaan daerah PAM
Jaya.
Selain itu, kontrak konsesi antara PAM Jaya dan pihak swasta juga
menyebutkan bahwa tarif air akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali. 12 Tim Advokasi Hak Atas Air Gugat Privatisasi Air, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/13/18260894/Tim.Advokasi.Hak.Atas.Air.Gugat.Privatisasi.Air (diakses 16 Mei 2014) 13 Privatisasi PDAM, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6232&type=7#.U3sG9XZp3M8 (Diakses 20 Mei 2014)
7
Kesepakatan tersebut disesuaikan atas dasar tingkat produksi dan pelayanan yang
diberikan mitra swasta kepada pelanggan14 . Tarif air yang meningkat, berkaitan
dengan pelanggan dari perusahaan air yang merupakan penduduk Jakarta.
Kesepakatan ini, nantinya akan berimbas kepada masyarakat Jakarta yang harus
membayar harga air yang semakin lama semakin tinggi. Padahal air bersih
seharusnya merupakan hak yang diambil bebas melalui alam, dan tidak menjadi
sesuatu yang diperjual-belikan oleh pasar melalui perusahaan15. Apalagi
perusahaan yang mengelola adalah milik asing yang masuk melalui negara karena
adanya kebijakan-kebijakan kapitalisme. Kenaikan tarif yang diberlakukan dalam
kontrak konsesi nantinya akan memberatkan penduduk kota Jakarta, terutama
penduduk Jakarta dengan tingkat penghasilan yang rendah. Masyarakat miskin
tidak dapat mengakses fasilitas yang diberikan Palyja16, karena harga air yang
diberlakukan semakin mahal.
Kontrak privatisasi air tahun 1997 juga membahas mengenai standart dan
teknis pelayanan. Standart ini ditetapkan, agar kinerja dari pihak swasta dapat
terus meningkat dan kebutuhan air masyarakat Jakarta dapat terpenuhi. Namun,
standart ini nyatanya justru dipagari dengan berbagai syarat yang tidak
mengikat17. Target dan standar teknis dapat diubah jika ada retribusi baru yang
dibebankan pemerintah, munculnya permasalahan terkait air baku, penyimpangan
14 Asri Fitrianti, Op.cit, hal 76 15 Jason Segers, Privatization of Water in Latin America: A Case Study in Bolivia, (California: San Luis Obispo, 2010) hal 24. Melalui http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=socssp (diakses 16 Mei 2014) 16
Water Privatization Challanged After 16 Years, http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/water-privatization-challenged-after-16-years.html (diakses 20 Mei 2014) 17
Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit, hal 9
8
realisasi keuangan, dan proyeksi keuangan yang berbeda dengan PKS18. Dari sini
terbukti bahwa poin tersebut memberikan kelonggaran tersendiri bagi Palyja
karema kelonggaran standart teknis yang seharusnya dapat dipenuhi pihak swasta.
Kontrak konsesi privatisasi air Jakarta yang diresmikan pada tahun 1997,
kemudian di renegosiasikan kembali di tahun 2001 karena adanya ketidakstabilan
ekonomi akibat krisis Asia dan ketidak stabilan politik di Indonesia. Poin dalam
kontrak renegosiasi selanjutnya adalah mengenai pengaturan tarif yang harus
dibayar pelanggan. Sesuai dengan kontrak tahun 1997, disebutkan bahwa tarif air
akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali. Tetapi dalam
perkembangannya, tarif air tidak dapat dinaikkan setiap 6 bulan sekali semenjak
tahun 1997 karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi
masyarakat Jakarta seperti krisis keuangan dan ketidak stabilan politik negara saat
itu19.
Renegosiasi kemudian mulai membahas kembali mengenai tarif air yang
harus dibayar pelanggan dengan kenaikan tarif setiap 6 bulannya. Kenaikan tarif
air yang pertama adalah sebesar 35 persen pada bulan April 2001 hingga naik
kembali sebesar 40 persen pada tahun 2003. Harga tarif air kemudian semakin
lama semakin meningkat hingga tahun 2007. Tercatat dari tahun 1998 harga tarif
air rata-rata yang tadinya sebesar Rp 1600 per meter kubik menjadi meningkat
drastis sebesar RP 7450 per meter kubik pada tahun 200720. Kenaikan tarif yang
18 Ibid 19 Asri Fitrianti, Op.Cit, hal 76 20 Fiona Zakaria, Assessing Pro-Poor Water Supply Programs in Jakarta (Royal Geographical Society, 2008) hal 26. Melalui https://www.rgs.org/NR/rdonlyres/BA1AE09E-FCCF-459A-B27E-048095E65F6D/0/FionaZakariadissertationCandidateNumber667918.pdf (diakses 20 Mei 2014)
9
disepakati nyatanya tidak menguntungkan bagi Pemprov DKI. Karena hasil dana
dari kenaikan tarif ini selanjutnya dibagi lagi kepada Departemen Keuangan,
pemasukan PAM JAYA, mitra swasta, dan masih banyak lagi. Pendapatan PAM
JAYA dari sektor tarif air masih belum dapat menutupi imbalan air yang diminta
swasta. Justru kenaikan tarif ini malah memberatkan pelanggan air, karena harga
yang di bayar semakin mahal dan meningkat drastis per semesternya.
Renegoisasi kontrak selanjutnya juga menjelaskan mengenai tingkat
rebasing. Rebasing adalah ketentuan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak
berkaitan dengan imbalan air yang harus dibayarkan PAM JAYA kepada mitra
swasta21. Dalam renegosiasi kontrak tahun 2001, terlihat mitra swasta selalu
mengajukan kenaikan rebasing, dimana imbalan air yang diminta semakin lama
semakin mahal. Seperti kontrak 1997 yang sebelumnya, kenaikan rebasing tidak
didasarkan berdasarkan performance based tetapi di titik beratkan pada kebutuhan
finansial pihak swasta. Terlihat dari imbalan air per meter kubik pada tahun 2004
yaitu sebesar Rp 4.257, tahun 2005 sebesar Rp 4.997, tahun 2006 sebesar Rp
5.624, tahun 2007 sebesar Rp 6.407, hingga tahun 2009 sebesar Rp 7.452 per
m322.
Kontrak konsesi tahun 1997 maupun renegosiasi kontrak tahun 2001 yang
seharusnya menguntungkan kedua belah pihak nyatanya malah cenderung banyak
menguntungkan PT Palyja daripada Pemprov Jakarta secara keuangan. Pada tahun 21Betapa Rapuhnya Eksistensi Badan Regulator PAM, http://www.indonesiawaters.com/2009/05/rapuhnya-eksistensi-badan-regulator-pam.html (Diakses 20 Mei 2014) 22 Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan Dampaknya Bagi Pelanggan (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy, 2011) Hal 7. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Financial%20Machinations-1.pdf (diakses 20 Mei 2014)
10
2004, Palyja berhasil meraup laba bersih sebesar Rp 114 Milyar atau rata-rata
sebesar Rp 125 Milyar per tahunnya. Sedangkan hutang PAM Jaya yang harus
dibayarkan ke mitra swasta sampai dengan akhir 2003 adalah sebesar Rp 737,6
Milyar atau rata-rata sebesar Rp 123 Milyar per tahunnya. Artinya, hutang PAM
Jaya terhadap kedua mitra swasta sebenarnya dapat ditutup hanya dengan
keuntungan dari Palyja23.
Penelitian ini menjadi urgen, karena berkaitan dengan kebutuhan utama
manusia yaitu air bersih. Air bersih adalah barang pokok yang diperlukan manusia
dan keberadaannya tidak dapat digantikan dengan barang lain. Air bersih
merupakan Sumber Daya Alam yang bersifat common property24 sehingga setiap
individu seharusnya memiliki akses terhadap air bersih. Tetapi saat ini, terdapat
regulasi tertentu dari perusahaan air agar setiap individu dapat mendapatkan air
bersih. Salah satunya adalah dengan penggunaan dan penetapan tarif air bersih
kepada pelanggan.
Negoisasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta selaku host dan PT Palyja
yang merupakan anak cabang dari Suez Environment selaku MNC ditentukan oleh
Bargaining Power dari masing-masing aktor. Adanya
ketimpangan/ketidakseimbangan keuntungan dimana MNC selaku PT Palyja lebih
banyak mendapatkan keuntungan dari Pemprov DKI Jakarta selaku host antara
seperti yang telah dijelaskan diatas, ditentukan oleh Bargaining Power dari
23 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhianie, Op.cit, hal 8 24
William Blomquist, Common Property’s Role in Water Resource Management, (1998) . Melalui http://dlc.dlib.indiana.edu/dlc/bitstream/handle/10535/5468/Common%20propertys%20role%20in%20water%20resource%20management.pdf?sequence=1 (diakses 28 Oktober 2014)
11
masing-masing aktor25. Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka
penulis dapat menarik rumusan masalah, “Bagaimana analisis Bargaining Power
Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi
Perusahaan Air ?”
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT
Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji lebih dalam mengenai analisis “bargaining power”
Pemerintah Provinsi Jakarta dan PT Palyja terkait negosiasi kontrak
privatisasi perusahaan air Jakarta.
2. Memenuhi syarat skripsi untuk memenuhi gelar Sarjana Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya
25
Theodore H. Moran, Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas,(1978), hal 82
12
1.4 Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna memberikan
informasi terkait dengan analisis “bargaining power”
Pemprov Jakarta dan PT Palyja
b. Membantu program studi Hubungan Internasional dalam
memberikan informasi dan data yang terkait dengan
permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
peneliti lain yang ingin meneliti tentang analisis
“bargaining power” Jakarta dan PT Palyja dalam kasus
privatisasi perusahaan air Jakarta.
b. Diharapkan dapat menjadi sebuah karya penelitian yang
digunakan sebagai referensi bahan pemecahan masalah
yang relevan.
13
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, akan dicantumkan hasil
studi terdahulu yang telah dilakukan oleh penulis sebelumnya. Studi terdahulu
yang pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh Trnik yang berjudul Local
Goverments and Foreign Direct Investment. Examining the Relationship between
MNC’s and Local Goverments in Slovakia26. Dalam penelitian ini, Trnik
menjelaskan mengenai hubungan antara MNC dan host-countries/goverment yang
berfokus pada pemerintah lokal dalam lingkup sub-nasional.
Trnik juga menjelaskan mengenai bargaining power yang dimiliki oleh
pemerintah lokal dengan MNC. Studi kasus yang dikaji dalam penelitian ini
adalah dua kota dari Slovakia yaitu Levice dan Vrable dimana dua kota tersebut
membuktikan bargaining power-nya yang cukup kuat dalam menarik investasi
asing secara otonom. Kedua kota tersebut secara aktif menarik Foreign Direct
Investment untuk masuk dan menjadi wilayah yang memiliki banyak MNC.
Secara tidak langsung, Levice dan Vrable dari negara Slovakia mencerminkan
bargaining position yang kuat melalui pemerintah local melalui banyaknya MNC
dan Foreign Direct Investment yang tumbuh dalam kota tersebut.
26
Michal Trnik, Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship between MNC’s and Local Goverments in Slovakia (Budapest: Central European University, 2005) melalui http://michal.trnik.com/prace/BELA_research_paper.pdf (diakses 15 April 2014)
14
Trnik menggunakan operasionalisasi bargaining power milik Theodore
Moran dalam menentukan posisi pemerintah lokal dari kota Levice dan Vrable.
Penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristik project dapat berpengaruh
terhadap bargaining position pemerintah lokal. Seperti yang dicontohkan dalam
penelitian, yaitu perusahaan Hancook milik Korea yang memiliki karakteristik
teknologi yang canggih dan tinggi dimana hal ini berpengaruh terhadap
bargaining pemerintah-lokal dari kota Levice yang menjadi sedikit lemah.
Selanjutnya sumber daya dari host. Salah satu kelebihan yang ditawarkan kedua
kota tersebut adalah tersedianya daerah industri dan kualitas pendidikan angkatan
kerja yang baik. Kompetisi MNC di kedua wilayah juga tinggi sehingga menarik
minat investor. Banyaknya MNC dan Foreign Direct Investment yang tumbuh di
kota tersebut menyebabkan bargain yang lemah dari MNC ketika hendak
melakukan negoisasi dengan pemerintah kota Levice dan Vrable27.
Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah operasionalisasi yang
diambil dalam menjelaskan fenomena, yaitu bargaining power milik Theodore
Moran. Trnik juga mengambil studi kasus host dari level kota yaitu Levice dan
Vrable yang sama dengan penulis yang juga mengambil kota Jakarta sebagai
bagian dari penelitian. Sedangkan perbedaannya adalah fenomena dan aktor yang
diangkat. Trnik mengambil negara Slovakia dan keberhasilan kota Levice dan
Vrable dalam menarik investasi asing, sedangkan penulis lebih fokus terhadap
salah satu FDI dari Perancis yaitu Suez Environment yang berinvestasi melalui
27 Michal Trnik, Loc.Cit hal 19
15
PT Palyja dan kerugian host yang didapatkan dari kontrak yang telah disepakati
kedua belah pihak.
Studi terdahulu kedua yang penulis ambil adalah milik Ardhianie yang
berjudul Jakarta Water Privatization: Seven Years Of Dirty Water28. Penelitian
dilakukan dalam bentuk tesis yang menjelaskan mengenai dampak yang
ditimbulkan dari adanya privatisasi perusahaan air PAM JAYA di Jakarta dari
tahun 1998 hingga tahun 2003. Kerugian ini meliputi adanya kegagalan
pemenuhan target dan naiknya harga yang merugikan konsumen terutama
konsumen di tingkat kelas bawah. Naiknya harga kemudian di tanggung oleh
konsumen dan sisanya dibayar oleh PAM JAYA yang disebut Water Charge.
Defisit yang harus di tanggung dari tahun 1998 hingga tahun 2004 adalah sebesar
900,10 miliar rupiah29.
Kerugian lainnya yang harus ditanggung pihak Indonesia adalah berkaitan
dengan dampak pekerja dari perusahaan air tersebut. Privatisasi membuat hak-
hak pekerja menjadi dihapuskan. Pekerja harus menunggu 4 tahun untuk
mendapatkan seragam setelah melewati training dan birokrasi yang rumit.
Pekerja yang telah pensiun dan mengabdi lebih dari 10 tahun juga hanya
mendapatkan dana tunjangan pensiun sebesar 150.000 rupiah perbulan. Fakta ini
tidak setara dengan pekerja asing yang bekerja di dua perusahaan yang sama dan
mendapat gaji sebesar 150 juta hingga 200 juta perbulan. Terbukti bahwa jumlah
28
Nila Ardhianie, Jakarta Water Privatization: Seven Years Of “Dirty” Water, (Washington: Transnasional International) melalui http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/waterindonesia.pdf (diakses 28 Februari 2014) 29 Ibid, hal 230
16
pensiun yang didapat pekerja Indonesia hanya 0,001% dari pendapatan pekerja
asing30. Ardhianie juga berpendapat bahwa sebagian besar privatisasi yang
dijalankan di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil dan malah menimbulkan
hutang yang besar karena adanya desakan dari lembaga-lembaga Internasional.
Penelitian Ardhianie menjelaskan tentang kerugian yang ditanggung
Indonesia dari adanya kasus privatisasi perusahaan air PAM JAYA Jakarta. Hal
ini berbeda dengan fokus penelitian yang akan dijelaskan penulis, yaitu
mengenai Bargaining Power antara Jakarta sebagai host dan Palyja sebagai
MNC. Penelitian yang dilakukan penulis cenderung menjawab permasalahan
mengenai penyebab adanya kerugian dari kontrak privatisasi perusahaan air
Jakarta melalui bargaining power. Sedangkan persamaan antara penelitian
Ardhianie dan penelitian yang akan penulis kaji adalah aktornya yaitu PAM Jaya
yang melibatkan PT Palyja sebagai perusahaan yang turut melakukan privatisasi.
Studi terdahulu yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh
Wambua Sammy tahun 2004 yang dikeluarkan oleh e Heinrich Böll Foundation
dengan judul “water privatization in Kenya”31. Penelitian ini membahas analisa
kebijakan privatisasi air di Kenya. Penyedian air pada awalnya dipegang oleh
negara yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tetapi semenjak
dilaksanakannya reformasi ekonomi di akhir tahun 1980-an, IMF dan Worldbank
mulai melakukan penekanan yang lebih besar terhadap Kenya. Sektor air sendiri
merupakan salah satu bidang yang ditargetkan Worldbank sebagai privatisasi.
30 Nila Ardhianie,Loc. Cit, hal 231 31
Wambua Sammy, Water Privatization in Kenya, http://www.boell.de/downloads/internationalepolitik/gip8.pdf (akses 12 Juni 2014)
17
Lampiran kebijakan privatisasi di sektor air diterbitkan pada tahun 1992 yang
diperbaharui tahun 1994 dan 1996.
Semenjak dilakukannya kebijakan privatisasi, jumlah partisipasi
perusahaan swasta di Kenya semakin meningkat. Peningkatan peran swasta
dalam penyediaan air di Kenya juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi
pemerintah. Adanya tindak korupsi dan kerangka yang tidak jelas membuat
privatisasi air yang di jalankan Kenya kurang maksimal. Selain itu, privatisasi
melahirkan komersialisasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Hal ini
berpengaruh terhadap kemampuan membeli konsumen miskin dalam
mendapatkan air bersih.
Persamaan antara penelitian yang dijelaskan diatas dan penelitian ini
adalah sama sama meneliti mengenai kebijakan privatisasi di sektor air beserta
permasalahan yang ditimbulkan terkait privatisasi. Sedangkan perbedaannya
adalah fokus negara yang diambil, jika peneliti sebelumnya berfokus pada negara
Kenya, penulis lebih berfokus pada negara Indonesia tepatnya di kota Jakarta.
2.2 Kerangka Konseptual
2.2.1 Konsep Bargaining Power
Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau
kemampuan seorang aktor untuk dapat mempengaruhi lawannya dengan cara
18
memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut32. Ketika aktor
memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan
dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor
tersebut. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu
aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih
menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih
kuat dari aktor tersebut. Sedangkan Bargaining Power yang ditawarkan pada
penelitian ini, berangkat dari preposisi dependensia yang menyatakan:
The benefits of foreign investments are “poorly” (or “unfair” or “unequally”) distributed between the multinational annd the host, or the country pays “too high” a price for what it gets, or the company siphons off an economic “surplus” that could otherwise be used to finance internal development33
Preposisi diatas menyebutkan bahwa keuntungan dari masuknya investasi
asing tidak terdistribusi secara merata dimana host membayar harga terlalu tinggi
kepada FDI dari surplus ekonomi yang seharusnya dapat digunakan untuk
pengembangan dan pembiayaan internal dari host itu sendiri34. Foregn Direct
Investment terjadi karena perusahaan memiliki investasi berupa tehnik dan
keahlian khusus dimana hal ini tidak dimiliki oleh pengusaha lokal. Tehnik dan
keahlian khusus tersebut menjadi halangan bagi host-goverment sehingga secara
tidak langsung host harus melakukan kerjasama dengan MNC35. Untuk
menghindari adanya eksploitasi, Moran menyarankan agar host-country harus
32
Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3 33 Ibid. hal 80 34 Ibid, hal 80 35 Ibid, hal 81
19
mampu untuk menjaga harga dari pelayanan tersebut dengan cara mengatur
jumlah pembayaran yang diberikan kepada perusahaan asing.
Adanya ketimpangan distribusi keuntungan juga berkaitan dengan
bargaining power yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Bargaining power
berfungsi untuk mengukur dan menentukan distribusi keuntungan dari kedua
aktor. Adanya ketimpangan keuntungan dari kedua belah pihak di sebabkan
karena kekuatan/bargaining power yang berbeda dari masing-masing pihak.
Theodore Moran sendiri menyebutkan terdapat tiga variabel yang dapat mengukur
dan memperkirakan posisi tawar.
Pertama adalah karakteristik dari project. Karakteristik dari project
meliputi ukuran dari investasi project, biaya ongkos, tingkat kestabilan
tekhnologi, dan diferensiasi produk dari MNC36. Project yang memerlukan
investasi rendah, ongkos biaya tetap rendah, teknologi yang berkembang, dan
memiliki tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan mendapatkan daya tawar
yang tinggi bagi MNC ketika hendak melakukan negoisasi dengan host. Hal ini
berbanding terbalik dengan project yang memerlukan investasi tinggi, ongkos
biaya tinggi dan perkembangan teknologi yang lambat sehingga rentan terhadap
tuntutan-tuntutan yang diminta oleh negara-host. Seperti contohnya project
investasi di bidang minyak, pertanian, atau golongan produksi sumber daya alam
lainnya37. Investasi dalam bidang ini sangat rentan terhadap tuntutan dan
permintaan dari negara-host. Project di bidang pertambangan memerlukan biaya
36Brainslav L. Slantchev, Loc. Cit, hal 82 37 Shah M. Tarzi, Thirld World Goverments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power, Hal 159
20
investasi dan ongkos tetap yang tinggi. Hal ini melemahkan bargain MNC, dan
ketika project tersebut mulai terlihat menguntungkan, maka pemerintah negara-
host biasanya akan mengajukan tuntutan nasionalisasi atau renegosiasi investasi.
Dalam investasi di industri manufatkur dimana dibutuhkan dimana tingkat
diferensiasi produk tinggi, perusahaan asing lebih santai dalam menghadapi
tuntutan negara host38. Tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan menguatkan
bargain dari MNC. Untuk melawan tuntutan yang diberikan negara-host,
perusahaan biasanya melakukan diversifikasi produk, menambahkan teknologi
baru, atau bahkan mengancam untuk menarik seluruh investasinya dari negara-
host. Hal tersebut cukup berbeda dengan kelompok perusahaan di bidang
pengetahuan dan teknologi seperti komputer dan alat elektronik. Kelompok
perusahaan di bidang high-technology, memiliki bargain power yang kuat
sehingga terbilang relatif aman dari tuntuntan dan permintaan negara-host.
Industri yang baru-baru ini berkembang di negara dunia ketiga tersebut memiliki
pengetahuan yang lebih di bidang komputer dan elektronik. Bidang ini merupakan
bidang yang dikuasai oleh MNC, dimana kapabilitas dan jangkauan pemerintah
negara-host di negara dunia ketiga masih belum mampu menjangkaunya39.
Kedua adalah karakteristik dari host-country. Karakteristik dari host-
country meliputi keadaan dari host itu sendiri. Hal ini meliputi ukuran dari jumlah
pasar/konsumen, keadaan mobilisasi kelas menengah dari penduduk host,
kemampuan dan keahlian birokrasi lokal, dan besarnya kesempatan/alternatif host
38 Shah M. Tarzi, Loc. Cit, hal 159 39 Ibid
21
untuk memilih FDI lain40. Host dengan jumlah tawaran pasar/pelanggan yang
tinggi, adanya peningkatan mobilisasi kelas menengah, keahlian birokrasi host
yang baik, dan banyaknya pesaing FDI yang tumbuh dalam host akan
meningkatkan bargain dari host-country itu sendiri. Bangkitnya mobilisasi dari
kelas sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Populasi
yang menuntut pekerjaan dan program sosial (sebagian pembiayaan yang
diperoleh didapatkan dari pendapatan investor asing) akan menekan politisi lokal
untuk mendapaatkan manfaat yang lebih besar dari kehadiran MNC. Kemampuan
birokrasi yang berpengalaman akan mengurangi kecenderungan penipuan harga
dalam pembiayaan MNC, perjanjian bisnis yang membatasi, dan manipulasi MNC
lainnya. Kehadiran industri domestik yang kuat juga akan meningkatkan
kredibilitas lokal dalam hal nasionalisasi (jika ada tuntutan nasionalisasi) dan
menurunkan kesempatan dalam kerugian pembiayaan host.
Ketiga adalah berkaitan dengan faktor eksternal yang meliputi tingkat
ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi perusahaan asing41. Tingkat
ketidakpastian investasi yang tinggi akan melemahkan bargaining power dari
host-goverment dan tingkat ketidakpastian investasi yang lemah akan memperkuat
bargaining power dari host-goverment. Terkait dengan tingkat kompetensi MNC,
jika jumlah MNC dalam bidang yang sama sedikit, maka bargaining power yang
dimiliki host-country akan melemah. Sebaliknya, jika jumlah persaingan MNC
meningkat, maka bargaining power dari host-country akan meningkat.
40 Theodore H. Moran, Op.Cit. hal 83 41 Ibid
22
Tiga faktor diatas dapat digunakan untuk mengukur bargain power dari
berbagai bentuk dan macam investasi. Mulai dari investasi di level mikro hingga
level makro, bahkan untuk menganalisa bentuk hubungan ekonomi antara center
dan periferi. Dalam hal ini, penulis juga akan menggunakan konsep bargaining
power milik Moran untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan.
2.2.2 Operasionalisasi Konsep
Berdasarkan konsep yang telah dijabarkan diatas, maka penulis dapat
membagi konsep berdasarkan 3 variabel, yaitu characteristic of project,
characteristic of host, dan exogenous factor42. Characteristic of Project dalam
mengukur bargain power menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan project
yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penulis ingin mengukur ukuran investasi
Palyja, ongkos biaya dari Palyja, tingkat tekhnologi yang digunakan Palyja, dan
tingkat diferensiasi produk dari air bersih.
Sedangkan characteristics of Host-Country dalam melihat bargain power
mencakup hal-hal yang berkaitan dengan host43. Dalam kasus privatisasi
perusahaan air Jakarta, karakteristik host dapat dioperasionalisasikan melalui
keahlian/kemampuan birokrasi lokal Pemprov DKI Jakarta. Penulis hendak
meneliti lebih jauh mengenai kemampuan dari birokrasi lokal yang melakukan
negosiasi langsung dengan Palyja. Operasionalisasi selanjutnya adalah jumlah
pasar/konsumen yang ditawarkan Jakarta sebagai host kepada Palyja. Jumlah
konsumen yang tinggi akan menguatkan bargain dari host. Jumlah konsumen
42
Theodore H. Moran, Loc. Cit, hal 82-83 43
Ibid, hal 82
23
sama saja dengan menawarkan pasar untuk MNC. Sedangkan Jakarta sendiri
merupakan ibukota dari Indonesia yang memiliki penduduk sebanyak 9.809.857
jiwa pada tahun 201144 dimana penduduk tersebut pasti memerlukan air bersih
sebagai kebutuhan sehari-hari.
Indikator selanjutnya adalah tingkat mobilisasi kekuatan sosial yang tinggi
akan menguatkan bargain host. Menurut Moran, bangkitnya mobilisasi dari kelas
sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Dalam hal ini
penulis hendak melihat tingkat mobilisasi kelas menengah dari masyarakat kota
Jakarta. Selain itu, adanya pesaing dari Palyja yang juga mengurusi sektor
perairan di Jakarta mempengaruhi bargain dari host maupun MNC. Adanya
pesaing MNC lain yang menguasai air bersih di Jakarta, maka bargain host
semakin kuat. Di Jakarta sendiri, terdapat beberapa investasi asing di sektor air
yang berjalan, yaitu Suez Environment dari lini usaha GDF Suez asal Perancis
yang beroperasi sejak tahun 199845, Thames Water Overseas Limited asal Inggris
sejak tahun 1998 hingga 2007, dan Acuatico Pte Ltd dalam Acuatico Group asal
Singapura yang beroperasi sejak tahun 200746.
Exogenous factors yaitu faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
bargain dari aktor seperti tingkat ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi
perusahaan asing47. Dalam hal ini penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai
tingkat ketidakpastian dalam investasi di Jakarta dan pertumbuhan perusahaan 44Provinsi DKI Jakarta, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta (diakses 22 April 2014) 45 Profil Perusahaan, http://id.palyja.co.id/profil/ (diakses 22 April 2014) 46 Profil Perusahaan, http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/profilPerusahaan/page?id=sekilas (diakses 22 April 2014) 47
Theodore H. Moran, Op.Cit. hal 83
24
asing di sektor air. Banyaknya MNC maupun investasi asing yang berada dalam
kelompok jasa air bersih akan memperkuat posisi tawar dari negara-host.
Sebaiknya, semakin sedikit MNC yang bergerak dalam kelompok air bersih,
maka bargain host semakin lemah dan bargain MNC semakin kuat.
Tabel 1: Operasionalisasi Konsep
Variabel Indikator Operasionalisasi
Characteristic of Project
Ukuran Investasi yang tinggi akan melemahkan
bargain MNC
Ukuran investasi Palyja dalam Privatisasi
perusahaan air Jakarta Ongkos Biaya yang tinggi
akan melemahkan bargain MNC
Ongkos biaya Palyja dalam privatisasi
perusahaan air Jakarta Tingkat Teknologi yang
berkembang akan menguatkan bargain
MNC
Teknologi yang digunakan Palyja dalam
privatisasi perusahaan air Jakarta
Tingkat variasi produk pengganti yang rendah
akan melemahkan bargain MNC
Produk pengganti dari air
bersih
Characteristic Of Host
Keahlian birokrasi lokal yang baik akan
menguatkan bargain host
Keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi
Tingkat pasar/konsumen yang tinggi akan
menguatkan bargain host
Jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air
PAM Tingkat mobilisasi yang tinggi akan menguatkan
bargain host
Tingkat mobilisasi kelas menengah masyarakat
kota Jakarta Alternatif MNC yang
tinggi akan menguatkan bargain host
Perusahaan selain Palyja yang mengelola sekor air
bersih di Jakarta
Exogenous Factor
Tingkat ketidak pastian investasi yang tinggi akan melemahkan bargain host
Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-
2001 Kompetisi MNC yang
tinggi di level global akan menguatkan bargain host
Pesaing MNC Suez Environment di level
global
25
2.4 Argumen Utama
Berdasarkan paparan fenomena dan kajian konseptual diatas, penulis dapat
menarik argumen utama bahwa analisis Bargaining Power Pemerintah Provinsi
Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan air Jakarta
dapat dilihat melalui karakteristik project, karakteristik host, dan faktor
exogenous/ faktor-faktor eksternal. Karakteristik project meliputi tingkat
investasi dari privatisasi air yang ditanam Palyja, ongkos biaya Palyja, tingkat
teknologi Palyja, dan produk pengganti dari air bersih. Karakteristik host meliputi
kemampuan Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, keadaan penduduk kota
Jakarta, jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air PAM, dan perusahaan
selain Palyja yang mengelola sekor air bersih di Jakarta Barat. Sedangkan
exogenous/ faktor-faktor eksternal adalah keadaan investasi asing di Jakarta tahun
1997-2001 dan pesaing MNC Suez Environment di level global.
26
2.5 Alur Pemikiran
Analisis “BARGAINING POWER” Pemprov DKI Jakarta dengan PT Palyja dalam negosiasi Kontrak
Privatisasi Air
“”Bargaining Power” Moran
• Jumlah investasi dari project Privatisasi perusahaan air Jakarta
• Ongkos biaya yang diperlukan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta
• Tingkat perkembangan teknologi yang dibutuhkan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta
• Tingkat variasi produk pengganti dalam privatisasi perusahaan air Jakarta
Characteristic of Project
• Kemampuan Pemprov DKI dalam bernegosiasi dengan Palyja
• Jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air PAM
• Tingkat mobilisasi kelas menengah masyarakat kota Jakarta
• Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih Jakarta
Characteristics
of Host-Country
• Dinamika investasi asing di sektor air Jakarta
• Jumlah MNC dalam bidang penyedia air bersih di level global
Exogenous factor
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif karena hanya terdapat
satu variabel. Penelitian deskriptif dipilih penulis karena penulis bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat suatu keadaan dan gejala dalam sebuah
fenomena. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengambarkan Bargaining
Power Indonesia dengan PT Palyja (Perancis) dalam privatisasi perusahaan air
Jakarta.
3.2 Ruang Lingkup Penelitian
Sebuah penelitian tentu memiliki ruang lingkup penelitian untuk
membatasi lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dimaksudkan agar
penelitian yang dilakukan lebih terarah dan juga memiliki batasan yang jelas.
Berdasarkan tujuan penelitian dan rumusan masalah, penulis menentukan batasan
materi yaitu pada dua aktor yaitu bargaining power Jakarta sebagai host dan
bargaining power Palyja selaku MNC dari Suez Environment. Sedangkan periode
waktu yang penulis ambil adalah tahun 1997 hingga tahun 2001. Tahun 1997
adalah ketika kontrak pertama mulai di sepakati dan tahun 2001 adalah ketika
renegoisasi kontrak ke dua disepakati.
28
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik
sekunder. Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur
untuk mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen
serta materi-materi tertulis. Dokumen yang dimaksud dalam hal ini mengacu pada
teks apapun baik yang tertulis, tampak secara visual ataupun diucapkan melalui
media komunikasi yang berkaitan dengan bargaining power Pemprov DKI
Jakarta dan Palyja dalam privatisasi air Jakarta
3.4 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan yang berisi
mengenai kontrak dan analisis bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT
Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta. Selain itu bab ini juga berisi
tentang rumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian ini.
BAB II Kerangka Pemikiran
Bab ini menjelaskan konsep yang digunakan oleh penulis untuk
menganalisa fenomena yang diangkat yaitu dengan mengunakan konsep
Bargaining Power milik Moran. Bab II ini juga menjelaskan indikator yang ada
dalam konsep untuk digunakan kemudian mengoperasionalkanya kedalam
fenomena yang diangkat.
29
BAB III Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan tentang metode yang dipilih oleh penulis untuk
melakukan penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan
merupakan penelitian deskriptif. Ruang lingkup penelitian ini terbatas hanya pada
Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam privatisasi
perusahaan air Jakarta tahun 1997 hingga 2001. Teknik pengumpulan data
dilakukan oleh penulis melalui teknik sekunder melalui studi literatur untuk
mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen serta
materi-materi tertulis.
BAB IV Gambaran Umum Privatisasi Air Jakarta
Bab ini berisikan uraian data temuan yang diperoleh oleh penulis dengan
mengunakan menggunakan metode serta prosedur yang diuraikan di bab III.
Dalam bab ini, penulis juga menjelaskan secara lebih rinci mengenai data dari
project privatisasi air Jakarta. Mulai dari sejarah privatisasi air Jakarta, kontrak
privatisasi air Jakarta, hingga aktor yang terlibat dalam kontrak privatisasi air
Jakarta.
BAB V Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja
Bab ini menjelaskan data dan analisis bargaining power dari Pemprov
DKI Jakarta dan PT Palyja dengan menggunakan operasionalisasi dari Moran.
30
Penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor yang
menggambarkan bargaining power Pemprov DKI dan PT Palyja.
BAB VI Penutup
Bab terakhir dalam penelitian ini akan berisi mengenai kesimpulan akhir
mengenai latar belakang serta hasil dari rumusan masalah. Dalam bab ini peneliti
juga berkontribusi dalam memberikan rekomendasi serta saran bagi peneliti
selanjutnya maupun bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
31
BAB IV
GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA
Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau
kemampuan seorang aktor untuk dapat mempengaruhi lawannya dengan cara
memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut48. Ketika aktor
memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan
dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor
tersebut49. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu
aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih
menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih
kuat dari aktor tersebut. Pada sub-bab ini penulis akan menjelaskan mengenai
kontrak privatisasi Jakarta dan aktor yang berkaitan dalam kontrak tersebut.
Selain itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai detail dari project privatisasi
air Jakarta seperti sejarah privatisasi air Jakarta dan aktor yang terlibat dalam
kontrak.
4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta
Sejarah penyediaan air bersih di Jakarta dimulai semenjak tahun 1985.
Awalnya, tugas penyediaan air bersih diurus oleh Departemen Pekerjaan Umum
48
Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3. Melalui http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04-bargaining-dynamic-commitment.pdf (diakses 20 Juli 2014) 49 Ibid
32
Pemerintah Provinsi Jakarta. Kemudian pada tahun 1977, PDAM Jakarta di
dirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah No.3 tahun 199750. Nama
PDAM Jakarta kemudian dirubah menjadi PAM Jaya dengan harapan kinerja
perusahaan air dapat lebih baik. Pemerintah terus melakukan perbaikan pada
PAM Jaya, demi meningkatkan penyediaan dan kualitas air di Jakarta.
Banyaknya jumlah penduduk karena arus urbanisasi yang semakin
meningkat, membuat air bersih menjadi problem yang harus dihadapi penduduk
Jakarta51. Berbagai masalah terkait pemenuhan ketersediaan air bersih mulai
bermunculan. Seperti hilangnya akses air bersih terhadap sebagian masyarakat,
fasilitas infrastruktur yang tidak memadai, kendala keuangan, adanya eksploitasi
air tanah oleh bisnis komersial maupun industri, dan lain-lain. Berbagai
permasalahan air bersih yang muncul membuktikan bahwa PAM Jaya sebagai
satu-satunya unit yang menangani persediaan air bersih tidak mampu mengatasai
permasalahan air bersih tersebut. Sejauh ini, PAM Jaya hanya mampu melayani
sekitar 42 persen populasi yang meliputi 340.000 sambungan rumah. Sedangkan
sisanya sekitar 58 persen dari sekitar 8 juta warga Jakarta masih menggunakan air
tanah sebagai sumber dari penggunaan air bersih52. Hal ini tentunya menunjukkan
kinerja PAM Jaya yang masih belum bisa untuk memenuhi kebutuhan air bersih
penduduk Jakarta.
50 Hamong Santono, Current Situation of Jakarta Water Privatization, (Jakarta:KruHa Koalisi Rakyat Untuk Hak atas Air, 2011), hal 1 51 Ibid 52
Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process?, (Indonesia: Jakarta) hal 23. Melalui https://www.pecc.org/resources/1227-jakarta-water-supply-how-to- implement-a-sustainable-process-1?path= (diakses 24 Juli 2014)
33
Menurut Pemerintah Indonesia, permasalahan air bersih ini dapat
mengganggu upaya peningkatan pendapatan per-kapita rakyat53 sebagaimana
tercantum dalam rencana pengembangan ekonomi pembangunan jangka panjang.
Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat
kebijakan yang melibatkan sektor swasta dalam menyediakan air bersih, agar
permasalahan air bersih tersebut dapat terselesaikan.
Privatisasi air bersih yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jakarta juga
dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh Lembaga Internasional
world bank. Pada tahun 1990, world bank mengeluarkan konsep yang menjadikan
air sebagai barang ekonomi54. Di Indonesia sendiri, world bank mengeluarkan
Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF) yang berisi
beberapa poin terkait himbauan privatisasi di sektor air. Menurut Indonesia Urban
Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF), untuk mencapai keberhasilan
di sektor air harus ada pemisahan antara pemilik dan pengelola air55. Sektor
swasta dianggap memiliki kapasitas infrastruktur yang memadai, teknologi yang
canggih, dan pengalaman yang lebih baik dalam menghadapi problematika air
bersih. Lahirnya prinsip-prinsip tersebut akhirnya semakin mendorong
Pemerintah Jakarta untuk melaksanakan privatisasi pada sektor air bersih.
53 Hamong Santono, Op. Cit, hal 1 54
Heni kurniasih, Water Not For All: The Consequance of Water Privatisation In Jakarta, Indonesia (Melbourne:Australia,2008) hal 5. Melalui http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014) 55
Alain Locussol, Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (Indonesia discussion paper series: no.10,1997). Melalui http://documents.worldbank.org/curated/en/1997/10/10946540/indonesia-urban-water-supply-sector-policy-framework (diakses 8 Februari 2014)
34
Upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di
Jakarta sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1992. Tetapi, kerangka hukum
yang mengatur adanya partisipasi swasta di sektor air belum memadai. Peraturan
perundang-undangan terkait air bersih yang ada pada saat itu hanyalah UU
penanaman modal asing dalam pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967.
Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur bahwa kegiatan ekonomi yang
sifatnya melibatkan hajat hidup banyak orang tidak diperkenankan dikelola
dengan modal lain termasuk modal asing56. Kemudian dilanjutkan dengan
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam
Perusahaan yang didirikan melalui penanaman modal asing57
Sedangkan di Jakarta sendiri, terdapat 3 perusahaan swasta yang awalnya
tertarik untuk bekerja sama dengan PAM Jaya dalam rangka project privatisasi air
bersih58. Tetapi upaya tersebut gagal karena tidak ada kesepakatan yang dapat
dicapai antara Pemerintah Provinsi Jakarta dengan ketiga perusahaan tersebut.
Kegagalan kesepakatan terjadi karena tidak adanya kecocokan kompensasi yang
di berikan pemerintah kepada sektor swasta terkait penjualan volume air dan
masalah kenaikan tarif air59. Selanjutnya, pada tahun 1995 pemerintah Jakarta
sepakat untuk membagi wilayah Jakarta menjadi dua dengan menggunakan
Sungai Ciliwung sebagai garis pemisah. Satu wilayah di sisi Barat sungai
Ciliwung dan satu wilayah lainnya ada di sisi timur sungai Ciliwung.
56 Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Layanan Air Bersih di Indonesia, http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/109/Privatisasi_Air/Sejarah_Keterlibatan_Swasta_dalam_Peyediaan_Layanan_Air_Bersih_di_Indonesia.html (diakses 21 Juli 2014) 57 Ibid 58 Hamong Santono, Op.Cit, hal 1 59 Ibid
35
Selanjutnya, dua perusahaan asing swasta dipilih sebagai mitra dalam
privatisasi tanpa melakukan proses tender. Konsorsium yang ditunjuk adalah
Thames Water Overseas asal Inggris untuk wilayah Jakarta bagian timur dan Suez
Environment asal Perancis untuk wilayah bagian barat. PAM Jaya dan masing-
masing konsorsium menandatangani Memorandum of Understanding (MOU)
pada tanggal 6 Oktober 199560. MOU tersebut mengharuskan dua perusahaan
swasta untuk mengadakan studi kelayakan yang harus diselesaikan dalam waktu 4
bulan sejak tanggal MOU diresmikan. Kesepakatan akhir kemudian
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6 Juni 1997.
Gambar 1: Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta61
Sumber: Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequences of Water Privatisastion in Jakarta, Indonesia, h.5
60 Hamong Santono,Loc. Cit, hal 2 61
Heni Kurniasih, Op.Cit hal 5
36
Gambar diatas menunjukkan bahwa Palyja memegang wilayah di zona 1,
zona 4, dan zona 5. Sedangkan TPJ memegang wilayah di zona 2, zona 3, dan
zona 6. Penjelasan mengenai zona yang dikelola oleh dua perusahaan swasta
tersebut adalah sebagai berikut:
Zona 1 : Zona wilayah I terdiri dari dari daerah Gajah Mada,
Gambir, Slipi, Bendungan Hilir, Taman Sari, Pekojan, Pluit, Tebet,
Jelambar, Setiabudi, Palmerah, dan Gelora Senayan62. Dilayani
oleh instalasi pengelolaan air pejompongan I (2.0001/dt) dan
Pejompongan II (3.600 l/dt).
Zona 2 : Zona wilayah II terdiri dari daerah Kramat, Menteng,
Cempaka Putih, Pulo Gadung, Penggilingan, dan Jatinegara63.
Instalasi yang digunakan adalah Instalasi Pengelolaan Air Pulo
Gadung (4.000 1/dt).
Zona 3 : Zona wilayah III terdiri dari daerah Kemayoran,
Kebun Bawang, Cilincing, Tanjung Priok, Tugu, Kelapa Gading,
Sunter, dan Semper. Dengan Instalasi Pengelolaan Air Buaran II
(3.000 l/dt)64.
Zona 4 & 5 : Zona wilayah IV & V terdiri dari daerah Kapuk Muara,
Kedawung, Kali Angke, Kebon Jeruk, Sukabumi Udik/Ilir,
62
Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009) hal 56. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014) 63 Ibid 64 Ibid
37
Kebayoran Lama, Melawai, Mampang Prapratan, Grogol Selatan65.
Dengan Pusat Distribusi terletak di wilayah Lebak Bulus dan
Kebon Jeruk, dimana airnya berasal dari Instalasi Cisadane milik
PDAM Tanggerang yang berkapasitas 3.000 l/dt dan disalurkan ke
Jakarta sebesar 2.800 l/dt66.
Zona 6 : Zona wilayah VI terdiri dari daerah Klender, Cipinang,
Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok
Kopi, Pondok Kelapa, Kebon Pala, Halim Perdana Kusuma,
Cipinang Melayu, Cililitan, dan Condet. Dengan Instalasi
pengelolaan Air Buaran I (2.000 l/dt)67.
4.2 Kontrak Privatisasi Air Jakarta
Kontrak Privatisasi air Jakarta pertama resmi di tanda tangani pada tanggal
6 Juni tahun 1997. Kontrak tersebut kemudian mulai efektif pada tahun 199868.
Latar belakang terjadinya kerjasama antara PAM Jaya dengan mitra asing adalah
dikarena-kan kota Jakarta dirasa perlu menambahkan public investment dalam
rangka mengelola dan membangun infrastruktur air bersih69. Kerjasama ini juga
bertujuan untuk meningkatkan kinerja PAM Jaya agar akses dan kualitas air
bersih di Jakarta dapat terpenuhi. Peningkatan kualitas tersebut dapat diperoleh
65 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 57 66 Ibid 67 Ibid, hal 58 68
Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28 69 Asri Fitrianti, Op. Cit, hal 58
38
melalui sektor swasta. Sektor swasta disini memiliki kemampuan pengelolaan dan
keuangan dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di bidang air. Dengan
hadirnya pihak swasta, di harapkan pelayanan air bersih di Jakarta yang didapat
akan menjadi lebih baik dan tarif yang dibayarkan oleh masyarakat dapat lebih
murah. Berikut penulis akan menjabarkan mengenai kontrak Privatisasi air Jakarta
secara detail.
4.2.1 Bentuk, Prinsip, dan Ruang Lingkup Kerja Sama
Bentuk kerjasama yang dijalankan oleh PAM Jaya dan mitra swasta adalah
kerja sama berbentuk konsesi. Kontrak konsesi ini berlaku selama 25 tahun, dari
tahun 1997 hingga tahun 2022. Kerjasama yang dilakukan PAM Jaya dan mitra
swasta diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak agar semua
kepentingan dari pihak terkait dapat terpenuhi. Seperti tercapainya seluruh
kebutuhan air bersih masyarakat Jakarta, kemakmuran pekerja di masing-masing
perusahaan air, adanya transfer pengetahuan dan tekhnologi, dan keuntungan
wajar yang didapatkan mitra swasta70. Selama periode 25 tahun, PAM Jaya akan
mengambil alih tanggung jawab operasi, pemeliharaan, sistem distribusi air kota
Jakarta, pengembangan instalasi air, jaringan pipa, dan layanan pelanggan kepada
PT Palyja dan TPJ. Mitra swasta akan memperkejakan seluruh pekerja dari PAM
Jaya yang berjumlah 2.803 orang71. Seluruh aset yang dimiliki PAM Jaya, akan
dikelola oleh mitra swasta hingga akhir periode masa kontrak.
70 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28 71 Ibid
39
Perjanjian Kerjasama penyediaan air bersih Jakarta juga memiliki tujuan
untuk mencukupi penyediaan air di wilayah Jakarta, memperluas jaringan
distribusi air bersih di wilayah Jakarta, serta memperbaiki kualitas pelayanan
pelanggan72. Memperbarui fasilitas produksi dan distribusi yang secara keuangan
dan teknis dianggap wajar untuk meningkatkan dan menyediakan air bersih di
Jakarta. Memenuhi target teknis dan standart pelayanan, mengurangi kuantitas
tingkat kehilangan air di wilayah Jakarta, menjamin kualitas, kuantitas, dan
kontinuitas air bersih, memperbaiki kinerja operasional, dan membuat proyek
yang dapat membiayai diri sendiri dan berlangsung secara ekonomis bagi para
pihak73. Dalam hal ini, pihak swasta yaitu TPJ dan Palyja menjadi pihak kedua
dari Perjanjian Kerjasama karena dianggap memiliki keahlian dalam bidang
pengelolaan dan pengoperasian fasilitas produksi-distribusi air bersih serta
memiliki dana dan sumber daya lainnya yang berkaitan dengan rancangan
konstruksi terkait air bersih.
Selain itu, kontrak konsesi juga membahas mengenai adanya perbedaan
antara water charge dan water tarrif74. Water charge merupakan harga yang harus
dibayar PAM Jaya atas jasa mitra swasta dalam mengelola perusahaan air Jakarta.
Disini mitra swasta memiliki kemampuan yang lebih dalam bidang pengelolaan
air dibanding PAM Jaya, oleh karena itu menurut kontrak PAM Jaya harus
72 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 5. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses 20 Mei 2014) 73 Ibid, hal 6 74
Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession, (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 6 Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro-poor%20Jakarta_0.pdf (diakses 24 Juli 2014)
40
membayar jasa tersebut dalam bentuk water charge. Pada kenyataannya, jumlah
water charge dalam hal ini terus meningkat. Peningkatan jumlah water charge
yang harus dibayar PAM Jaya tersebut tidak didasarkan pada kinerja dari Palyja,
tetapi berdasarkan jumlah yang diminta oleh Palyja. Jadi, berapapun jumlah water
charge yang diminta oleh Palyja, PAM Jaya harus bersedia untuk membayarnya75.
Sedangkan water tarrif adalah tarif air yang harus dibayar pelanggan kepada mitra
swasta selaku penyedia dan pengelola air bersih di Jakarta.
4.2.2 Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya
Dilaksanakannya kontrak privatisasi air Jakarta yang telah ditandatangani
pada tahun 1997 ini diharapkan mampu menguntungkan bagi semua pihak.
Termasuk didalamnya yaitu PAM Jaya, mitra swasta, Pemerintah Daerah DKI
Jakarta, karyawan perusahaan, serta masyarakat76. Dari adanya kerjasama ini,
diharapkan PAM Jaya dapat membayar hutang dan tetap memperoleh keuntungan
yang layak dalam kontribusinya kepada pendapatan asli daerah. Sementara
sasaran bagi mitra swasta adalah tercapainya pengembalian modal dan perolehan
keuntungan yang sebanding dengan biaya investasi, ongkos biaya dan operasi
yang dikeluarkan77. Pembagian kerjasama antara mitra swasta dan PAM Jaya
akan di jelaskan melalui tabel berikut:
75 Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, Loc. Cit, hal 6 76 Asri Fitrianti, Op. Cit hal 59 77 Ibid
41
Tabel 2: Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak Privatisasi Air Jakarta 78
Sumber: Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM Jaya, h.59
Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar peran dari operasional
privatisasi air Jakarta dipegang penuh oleh pihak swasta. Mulai dari pendaan,
pelaksanaan, operasi, dan pemeliharaan air bersih Jakarta79. Menurut kontrak,
mitra swasta yaitu Palyja dan TPJ berkewajiban untuk memenuhi target-target
yang telah disepakati bersama. Sedangkan PAM Jaya bertugas untuk memonitor,
agar target yang dijalankan oleh mitra swasta nanti sesuai dengan kontrak
sebelumnya. Mitra swasta disini juga bertugas untuk merencakan jangka investasi
5 tahun ke depan agar project privatisasi yang dijalankan bisa berhasil karena
perancanaan yang matang. Sedangkan PAM Jaya bertugas untuk melalukan
evaluasi dan monitoring kelayakan bagi mitra swasta. Segala bentuk pendanaan,
pelaksanaan, dan operasi tentang distribusi air dijalankan oleh mitra swasta dan
diawasi oleh PAM Jaya. Sedangkan pengaturan tarif bagi pelanggan di atur oleh
78 Asri Fitrianti, Loc.Cit, hal 59 79 Ibid
Mitra Swasta PAM Jaya
Pencapaian Target Teknis dan Standart Pelayanan
Memonitor Target Teknis dan Standard Pelayanan
Rencana Investasi 5 Tahun tahap Selanjutnya
Evaluasi Studi Kelayakan dan membantu dalam negosiasi tahap
berikutnya
Pendanaan Memonitor Pendanaan
Pelaksanaan Memonitor Pelaksanaan
Operasi dan Pemeliharaan Memonitor Operasi dan Pemeliharaan
Pengaturan Tarif Pengaturan Tarif
42
kedua belah pihak, baik Palyja, TPJ, maupun PAM Jaya. Kedua pihak sama-sama
memiliki peran dalam pengaturan tarif air bersih di Jakarta.
4.2.3 Target teknis dan standart pelayanan
Selain pembagian tugas, Perjanjian Kerjasama privatisasi air Jakarta juga
membahas mengenai target teknis dan standart pelayanan. Target teknis inilah
yang harus dipenuhi oleh mitra swasta, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
air bersih di Jakarta. Untuk lebih lengkapnya, standart dan teknis pelayanan dalam
privatisasi air Jakarta tersebut dapat dilihat melalui tabel di bawah ini:
Tabel 3: Standart dan Teknis Pelayanan dalam kontrak Privatisasi Air Jakarta 80
Tahun ke 5 Tahun ke 10 Tahun ke 20 Tahun ke 25 Volume Air Terjual
342 juta m3 398 juta m3 419 juta m3 428 juta m3
UFW 35% 25% 20% 20%
Cakupan Pelayanan
70% 75% 98% 100%
Kualitas - Air Bersih di akhir tahun
ke-9
Potable Water Potable Water
Tekanan Air 7,5m pada seluruh zona (kecuali pluit)
7,5m pada seluruh zona (kecuali pluit)
7,5m pada seluruh zona
7,5m pada seluruh zona
Sumber: Hamong Santono, Current Situation of Jakarta Water Privatization, h.4
Tabel diatas menunjukkan target-target yang harus dipenuhi mitra swasta
selama 25 tahun kedepan. Dapat dilihat, selalu ada perbaikan setiap 5 tahunnya.
80
Hamong Santono, Op. Cit, hal 4
43
Mulai dari volume air yang terjual. Pada 5 tahun pertama volume air terjual
diharapkan mampu mencapai 342 juta m3. 10 tahun berikutnya volume air terjual
diharapkan mampu mencapai 398 juta m3, 419 juta m3 di tahun ke 20, dan 428 juta
m3 di tahun ke 2581.Sedangkan UFW/tingkat kebocoran diharapkan semakin lama
semakin berkurang. Yaitu 35% di 5 tahun pertama, 25% di 10 tahun berikutnya,
20% ditahun berikutnya, dan 20% di 25 tahun terakhir. Cakupan pelayanan air
bersih di Jakarta juga diharapkan semakin lama semkin meningkat yaitu sebesar
70% di tahun ke-5, 75% di tahun ke-10, 98% di tahun ke-20, dan 100% di tahun
ke 25. Kualitas air bersih juga diharapkan semakin membaik hingga menjadi
potable water/air langsung diminum di tahun ke-20 dan seterusnya. Tekanan air
juga diharapkan mampu mencapai 7,5 m pada seluruh zona di tahun terakhir82.
Walaupun pada Perjanjian Kerjasama telah diatur standart dan teknis
pelayanan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh mitra swasta. Tetapi, pada
kenyataannya standart tersebut lebih bersifat fleksibel. Karena target teknis pada
perjanjian ini dapat dirubah sewaktu-waktu83. Hal ini dapat dirubah jika terjadi
penyimpangan realisasi keuangan. Realisasi keuangan ini meliputi dana investasi
tahunan, program pengoperasian dan pemeliharaan tahunan, dan budget yang
telah disetujui oleh pihak pertama.
81 Hamong Santono, Loc. Cit, hal 9 82 Ibid 83 Wijanto Hadipuri dan Nila Ardhianie, Op. Cit, hal 9
44
4.3 Aktor yang Terlibat dalam Kontrak Privatisasi Air Jakarta
Fenomena privatisasi air Jakarta sebenarnya melibatkan banyak aktor.
Mulai dari pemerintah, mitra swasta lokal, MNC, NGO, hingga masyarakat pada
umumnya. Tetapi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah aktor yang
terlibat dalam kontrak privatisasi air Jakarta yang berkaitan dengan penelitian
penulis. Kontrak tersebut membahas mengenai pelimpahan tugas dari PAM Jaya
kepada mitra swasta. Oleh karena itu aktor yang akan dibahas adalah PAM Jaya
dan salah satu mitra swasta yang akan penulis kaji dalam penelitian ini, yaitu
Suez Environment melalui Palyja.
4.3.1 PAM Jaya
Pengadaan air bersih di kota Jakarta dimulai semenjak tahun 1843 dengan
menggunakan sumur bor/atesis84. Pada tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda
menemukan mata air di Ciomas-Ciborial Bogor dan mendirikan perusahaan air
bernama Gementeestaatwaterleidengen van Batavia. Perusahaan
Gementeestaatwaterleidengen van Batavia memproduksi air bersih ber-kapasitas
484 l/dt dengan menggunakan sistem gravitasi. Dua tahun kemudian, tepatnya
tanggal 23 Desember 1922 untuk pertama kalinya sumber air yang berasal dari
84
Sejarah PAM JAYA, http://www.pamjaya.co.id/Sejarah-PAM-JAYA.html (diakses 22 Juli 2014)
45
Ciburial Bogor dialirkan ke kota Batavia (Jakarta). Hingga saat ini, tanggal 23
Desember selalu dijadikan sebagai hari jadi PAM JAYA85.
Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, pelayanan air
minum mulai dikelola oleh Bangsa Indonesia melalui Pekerjaan Umum Kota
Praja. Seluruh tanggungjawab dalam hal penyediaan air bersih dipegang Dinas
Saluran Air Kota Praja melalui PD PAM Jaya86. Tahun 1953 dibangun instalasi
Pengolahan Air pertama di Pejompongan 1 dan disusul oleh Instalasi Pengolahan
Air Pejompongan II dengan kapasitas masing-masing sebesar 2.000 l/dt dan 3.000
l/dt pada tahun 1964.
Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1953 pasal 2 ayat 1(e) menyebutkan
bahwa urusan penyelenggaraan air minum dan penyehatan lingkungan telah
diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Peraturan ini berlaku
bagi tingkat I maupun tingkat II sebagai urusan daerah yang otonom dan
penyelenggaraannya berdasarkan asas desentralisasi. Dari hal ini terlihat bahwa
upaya pemenuhan air bagi masyarakat telah sepenuhnya dilimpahkan kepada
pemerintah daerah masing-masing. Kebutuhan air bersih yang semakin
meningkat, dan pemenuhan yang tidak seimbang membuat Pemerintah Pusat
harus memberikan bantuan kepada pemerintah Daerah dalam bentuk asistensi
teknis, bantuan proyek, kebutuhan dasar, bantuan keuangan, dan bantuan lainnya.
85 Sejarah PAM Jaya Loc. Cit. 86 Ibid
46
Mengacu pada SK Gubernur No 1b/3/22/197787, PAM Jaya mulai
memisahkan diri dari Dinas Pekerjaan Umum dan berdiri sebagai lembaga
oronom yang independen. Selanjutnya pada tahun 1978, PAM Jaya mulai
dioperasikan di daerah Cilandak yang diikuti dengan pengoperasian Instalasi
Pulogadung serta beberapa Instalasi kecil pada tahun 1982. Pembangunan
Instalasi terus berlanjut di tahun 1987 di Buaran dengan kapasitas sebesar 2.000
l/dt, dan mencapai optimalisasi di tahun 1996 dengan kapasitas sebesar 5.000 l/dt.
Kemudian pada tanggal 1997, kerjasama perjanjian privatisasi mulai dilakukan
oleh Perusahaan Multinasional Suez Environment asal Perancis dan Thames
Overseas asal Inggris88.
Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) adalah Badan
Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pengusahaan, penyediaan, dan
pendistribusian air serta usaha-usaha lain yang berkaitan dengan air bersih89.
PAM Jaya dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang bertanggung jawab secara
langsung kepada Gubernur DKI. Berdasarkan Pasal 6 Perda 13 Tahun 1992, tugas
pokok PAM Jaya adalah segala usaha yang berhubungan langsung dengan
penyediaan dan distribusi air serta pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip ekonomi perusahaan.
Fungsi utama PAM Jaya menurut Pasal 7 Perda 13 Tahun 1992 adalah
Menyediakan pengadaan penyediaan air, membangun, mengelola, menyimpan,
87 Sejarah PAM JAYA, Loc. Cit. 88 Ibid 89 Asri Fitrianti, Op.cit, hal 53
47
memelihara Instalasi Pengolahan air dan memelihara sistem pelayanan air90. PAM
Jaya juga bertanggung jawab atas pemasangan dan pemeliharaan pipa-pipa
transmisi, pengelolaan sisstem pendistribusian air, pemeriksaan laboraturium
terhadap sumber dan produk air, usulan penyesuaian tarif air, melayani
permintaan sambungan air, melakukan catatan meter air, menagih langganan air,
mengambil tindakan terhadap pemakaian air yang tidak sah, menyediakan air
sesuai dengan kebutuhan fasilitas kota, memberikan ijin dan mengawasi usaha-
usaha instalasi air yang dilaksanakan oleh pihak ketiga, meningkatkan mutu,
keterampilan, dan kesejahteraan karyawan untuk meningkatkan pelayanan
umum91.
4.3.2 Palyja
Operasional Palyja dimulai ketika kontrak privatisasi air tahun 1997
diresmikan. Palyja sendiri merupakan anak cabang perusahaan dari lini GDF Suez
Environment- Perancis. Suez Group sendiri memiliki dua fokus utama bisnis,
yaitu Suez Energy dan Suez Environment92. Suez Energy meliputi seluruh usaha
operasional di bidang gas seperti produksi, penjualan, transportasi, manajemen,
dan lain-lain. Sedangkan Suez Environment berfokus pada usaha operasional air
bersih dan air minum. Usaha operasional air bersih yang dikelola oleh Suez
90
Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 53 91 Ibid 92 Report and Recommendation of The President the Board of Directors, Proposed Loan Republic of Indonesia: West Jakarta Water Supply Development Project, (Asian Development Bank, 2007), hal 21
48
Environment meliputi sistem produksi, distribusi, penyaringan air hujan,
processing, recycling, hingga pemulihan sisa-sisa polusi dari hasil industri93.
SUEZ Environment Perancis adalah perusahaan air terbesar nomer dua di
Eropa yang fokus dalam bidang air dan sanitasi. SUEZ Environment telah berhasil
melayani kebutuhan air di lebih dari 400.000 industri, 91 juta individu dengan
pelayanan air minum dan 49 juta individu dengan servis sanitasi94. Dalam
pengembangannya, SUEZ Environment juga telah melebarkan usahanya dibidang
produksi air dengan membentuk cabang perusahaan ke beberapa negara di dunia.
Seperti contohnya Euraasser (Jerman), Agbar (Spanyol), LYDEC (Maroko),
United Water (Amerika Serikat), Acque Toscane (Italia), JOWAM-WSSA (Afrika
Selatan), Macao Water (Cina), Aguas do Amazonas (Brazil), dan Palyja
(Indonesia95). Palyja yang merupakan cabang dari Suez Environment sendiri hadir
di Jakarta dalam rangka meningkatkan pelayanan penyediaan air bersih bagi
masyarakat di wilayah barat Jakarta.
Berdirinya Perusahaan Multinasional Suez Environment dimulai semenjak
tahun 1858. Pada tahun tersebut, Ferdinand de Lesseo mendirikan sebuah
perusahaan yang bernama Universelle du canal de Suez. Perusahaan ini awalnya
bertujuan untuk mencapai kepentingan negara yaitu dengan menghubungkan laut
Mediterania dan Samudra Hindia96. Namun semenjak itu, para ahli mulai
93 Report and Recommendation of The President the Board of Directors, Loc. Cit, hal 21 94 Ibid, hal 22 95 Ibid 96 History, http://www.suez-environnement.com/group/history/ (diakses 23 Juli 2014)
49
memikirkan untuk membuat suatu company khusus yang bernama Société
Lyonnaise des Eaux pada tahun 1880.
Perusahan ini kemudian semakin berkembang dengan dibangunnya anak
perusahaan dari Suez yang berfokus pada teknologi dan sistem pengolahan air di
wilayah Paris yang bernama Degremont Company. Pada tahun 1948, Degremont
telah berhasil membangun instalasi pengolahan air pertama di Mesir. Kemudian
disusul dengan keberhasilannya membangun desalinasi osmosis pertama di
Riyadh, Arab Saudi. Pada tahun 2002 operasi lingkungan Suez diperluas menjadi
pengelolaan air, pengelolaan limbah, dan pengelolaan energi yang disatukan
menjadi kelompok lini bisnis tunggal.
Suez Environment membuka kerja sama untuk jenis kemitraan publik-
swasta dalam hal pengelolaan air. Hal ini bertujuan untuk mengelola air menjadi
lebih baik dengan transfer ketrampilan dan menggabungkan kualitas layanan yang
dimiliki masing-masing perusahaan. Sebagian besar negara-negara di dunia,
masih memiliki permasalahan dalam bidang askes dan teknologi fasilitas air.
Dalam kasus ini, Suez menjanjikan adanya sistem perubahan pengelolaan air yang
lebih baik di negara yang ingin bermitra seperti melindungi sumber daya air,
menjadi pelopor dalam inovasi air, dan mempromosikan hak informasi kepada
masyarakat97. Model yang ditawar kan Suez Environment dalam mitra publik-
privatisasi juga semakin berkembang. Suez selalu berusaha untuk beradaptasi
dengan kebutuhan pelanggan di negara asal. Hal ini termasuk melakukan out
97 Public-private water partnership, http://www.suez-environnement.com/water/public-private-partnerships/ (diakses 23 Juli 2014)
50
sourcing perjanjian manajemen dalam bentuk konsesi dan sewa guna, kontrak
infrastruktur, meninjau kembali keuangan perusahaan, membangun dan
mengoperasikan fasilitas baru, dan membuat perjanjian manajemen yang memiliki
target-target tertentu98.
Keberhasilan Suez dalam melakukan kerjasama kemitraan publik-privat
sudah dibuktikan di beberapa negara. Seperti Australia, dimana Suez berhasil
meningkatkan pengelolaan air bersih di beberapa kota dengan mendorong
teknologi inovasi fasilitas dan infrastruktur. Suez juga berhasil dalam pengelolaan
air di kota Algiers melalui Sanitasi air yang modern. Suez tidak hanya memiliki
kelebihan pada keahlian teknis saja, tetapi Suez juga memiliki ketrampilan dalam
keahlian transfer program.
98 Public-private water partnership, Loc. Cit.
51
BAB V
Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam
Negosiasi Kontrak Privatisasi Air
Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis bargaining power
Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam kontrak privatisasi air dengan
menggunakan operasionalisasi bargaining power milik Moran. Operasionalisasi
ini menjelaskan tentang faktor-faktor apa saja yang dapat di gunakan untuk
mengukur bargaining power antara host dan MNC. Berangkat dari teori besar
MNC dan depedency, bargaining power Moran mengklasifikasikan 3 faktor yang
dapat digunakan untuk menganalisa kelemahan dari salah satu aktor. Faktor
pertama yaitu karakteristik project, faktor kedua yaitu karakteristik host, dan
faktor ketiga adalah faktor eksternal/exogenous factor.
5.1 Characteristic of Project
Menurut Moran, untuk mengukur bargaining power suatu aktor dapat
dilakukan dengan melihat karakteristik project yang sedang dijalankan.
Karakteristik project dapat di teliti dengan melihat indikator-indikator yang tertera
pada project. Indikator tersebut meliputi tingkat investasi project, tingkat cost
project, tingkat tekhnologi yang digunakan pada project, dan variasi pengganti
52
dari produk yang digunakan pada project99. Dalam penelitian ini, maka project
yang ingin penulis analisa adalah project privatisasi air Jakarta pada tahun 1997-
2001.
5.1.1 Tingkat Investasi Palyja
Sebagian besar investasi dan saham Palyja di pegang penuh oleh
Perusahaan Multinasional asal Perancis, Suez Environment. Dengan kata lain,
investasi yang di dapatkan oleh Palyja sebagian besar berasal dari Suez
Environment. Investasi yang ditanamkan Palyja bertujuan agar efisiensi dalam
pengelolaan dan penyediaan air bersih tercapai sehingga pelayanan kepada
masyarakat Jakarta dapat terpenuhi100. Besarnya produksi dan distribusi air yang
dihasilkan akan mempengaruhi cakupan pelayanan kepada pelanggan dan kualitas
air. Hal ini secara langsung akan berdampak pada meningkatnya jumlah
pelanggan yang menggunakan jasa dari Palyja. Berikut adalah data jumlah
investasi Palyja dalam perkembangan pengelolaan air PAM Jaya di Jakarta.
99
Theodore H. Moran, Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas,(1978), hal 82 100
Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009), hal 77. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014)
53
Tabel 4: Investasi PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya pada tahun 1998-2008101
Sumber: Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA, hal 77
Data diatas, menunjukkan jumlah investasi Palyja dalam perkembangan
pengelolaan Air PAM Jaya di Jakarta pada tahun 1998-2008. Suez Environment
melalui Palyja pada tahun 1998-2008 berinvestasi hingga 1 triliun lebih atau rata-
rata sebesar 123 miliar rupiah pertahunnya. Besarnya jumlah investasi ditetapkan
pada saat Perjanjian Kerjasama tahun 1997, yang kemudian pada tahun-tahun
berikutnya terus dilakukan revisi dan evaluasi berdasarkan kinerja mitra swasta102.
Investasi terbesar diberikan untuk pengembangan jaringan, penambahan jaringan,
dan perbaikan mesin produksi air, karena hal tersebut sangat penting dalam proses
produksi dan distribusi air103. Total investasi Palyja dari tahun 1998-2008 adalah
101 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 77 102 Ibid, hal 78 103 Ibid
54
sebesar 1,236.344 trilliun rupiah. Untuk tahun 1998 hingga 2001 sendiri (sesuai
dengan kajian tahun penelitian yang penulis ambil), total investasi yang telah
dikeluarkan oleh Palyja adalah 546.509 miliar rupiah. Dengan rincian harga pada
tahun 1998 sebesar 162.350 miliar rupiah, tahun 1999 sebesar 216.559 miliar
rupiah, tahun 2000 sebesar 106.360 rupiah, dan tahun 2001 sebesar 61.060
rupiah104. Sedangkan PT TPJ sendiri semenjak tahun 1998 hingga tahun 2008
berinvestasi sebesar 940.123 milliar rupiah dan tentunya jumlah ini lebih kecil
dari jumlah investasi Palyja.
Meskipun dalam literatur Tarzi yang berjudul Third World Goverments
and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power
berpendapat bahwa investasi dalam bidang sumber daya alam, pertanian, dan
utilities akan rentan terhadap ancaman nasionalisasi atau pun renegoisasi105, tetapi
pada kenyataannya investasi yang dikeluarkan oleh Palyja mengalami
pengembalian modal dan keuntungan (break even point). Hal ini dibuktikan pada
data keuangan Palyja dimana setiap tahun laba operasi (operating income), laba
sebelum bunga, dan laba bersih (net income) semakin meningkat106. Salah satu
penyebab tren laba yang semakin meningkat tersebut adalah kenaikan pendapatan
melalui imbalan air yang dibayarkan PAM Jaya kepada mitra swasta termasuk
Palyja yang terus diupayakan oleh manajemen perusahaan sesuai yang tertulis
dalam kontrak Perjanjian Kerjasama. Selain itu, tren kenaikan ini juga disebabkan 104 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 77 105 Shah M. Tarzi, Thirld World Goverments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power, Hal 161 106
Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan Dampaknya Bagi Pelanggan (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy, 2011) Hal 3. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Financial%20Machinations-1.pdf (diakses 20 Mei 2014)
55
oleh kenaikan tarif air yang harus dibayar pelanggan dimana hal ini juga
ditetapkan oleh mitra swasta termasuk Palyja ketika Perjanjian Kerjasama awal
disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa adanya poin yang menyatakan kenaikan
imbalan air dan tarif air dalam Perjanjian Kerjasama privatisasi air Jakarta
menjamin adanya keuntungan bagi pihak swasta.
Palyja juga mengalami keuntungan jika dilihat dari perbandingan laba
operasi. Pengertian laba operasi adalah keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
utama perusahaan yaitu dalam memproduksi dan menjual air bersih107.
Perhitungan laba operasi diperoleh dari selisih antara nilai penjualan dengan
seluruh biaya biaya dan beban operasi. Dari perolehan laba operasi Palyja yang
semakin meningkat, maka dipastikan jika keberlangsungan laba/keuntungan bagi
perusahaan adalah baik dan stabil. Dari tren laba operasi yang semakin meningkat
pula setiap tahunnya, juga menunjukkan bahwa Palyja mengalami break even
point. Dimana biaya yang dikeluarkan dapat kembali dalam bentuk laba operasi
yang kemudian diakumulasikan kembali melalui laba bersih. Jumlah laba operasi
dapat dilihat dari jumlah biaya dibanding pemasukan melalui kisaran tarif air
yaitu sebesar 25%-33,5% setiap tahunnya108. Artinya, pemasukan yang didapat
Palyja lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, yaitu sebesar 25% untuk
biaya operasinya dan 33,5% untuk pemasukannya. Sedangkan tren perbandingan
penjualan dan laba bersihnya (Net Profit Margin) juga tergolong menguntungkan
yaitu sebesar 9-17% setiap tahunnya.
107 Andreas Lako dan Nila Ardhianie,Loc. Cit, hal 3 108 Ibid, hal 5
56
Tren laba bersih Palyja yang selalu positif setiap tahunnya atau
pengembalian modal dalam break even point menandakan bahwa perusahaan air
Palyja adalah perusahaan air yang menguntungkan. Tetapi faktanya, kerjasama
privatisasi yang seharusnya dapat mengakomodasi keuntungan dua belah pihak
justru cenderung lebih menguntungkan Palyja selaku MNC. Dari segi keuangan,
Palyja memiliki tren laba yang stabil. Sedangkan PAM Jaya justru mengalami
defisit pada pendapatan keuangannya. Hal ini dibuktikan dari jumlah Return on
Assets (ROA) PAM Jaya yang pada tahun 1998 hingga 2001 trennya cenderung
negatif. Pengertian dari Return on Assets sendiri adalah cara untuk mengukur
seberapa efektifnya aset yang ada dalam menghasilkan keuntungan109. Semakin
besar jumlahnya, maka semakin efektif penggunaan asetnya. Sedangkan Tren
Return of Assets yang dihasilkan PAM Jaya adalah sebesar -14,41%110. Padahal,
tren ROA dapat dikatakan baik jika sudah mencapai 10%. Ini berarti jika dilihat
dari tren ROA, PAM Jaya bukanlah perusahaan yang cukup menguntungkan
karena trennya negatif.
Selain itu PAM Jaya juga mengalami Shortfall. PAM Jaya mengalami
shortfall/hutang sebesar 123 Milliar setiap tahunnya111. Dari sini dapat terlihat
adanya ketimpangan keuntungan antara PAM Jaya dan Palyja. Dimana
keuntungan yang diperoleh Palyja lebih besar daripada keuntungan yang
diperolah PAM Jaya.
109 Asri Fitrianti, Op. Cit, hal 80 110 Ibid 111
Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy) hal 11
57
Munculnya ketimpangan keuntungan antara PAM Jaya dan Palyja tersebut
juga tidak terlepas dari adanya Perjanjian Kerjasama. Poin perjanjian kerjasama
yang mengatur permasalahan kenaikan tarif setiap 6 bulan sekali maupun imbalan
air yang harus dibayar PAM Jaya kepada pihak swasta nyatanya cenderung lebih
menguntungkan Palyja selaku MNC daripada PAM Jaya. Dari adanya poin
tersebut, maka keuntungan dan pendapatan yang diterima oleh mitra swasta lebih
besar. Pendapatan yang diperoleh Palyja banyak didapat melalui poin Perjanjian
Kerjasama yang menyebutkan kenaikan imbalan air dan kenaikan tarif air. Poin
pada Perjanjian Kerjasama privatisasi air Jakarta faktanya cenderung lebih
melindungi keuntungan pihak swasta termasuk Palyja112. Dari data tersebut, maka
terlihat bahwa keuntungan dan pendapatan Palyja tidak semata-mata didasarkan
pada kinerja Palyja pada tahun tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh Perjanjian
Kerjasama awal diberlakukannya privatisasi air Jakarta yang ditentukan oleh
bargaining power dari kedua belah pihak. Palyja menggunakan bargaining
power-nya sebagai alat untuk mencapai kepentingan dan keuntungan, salah
satunya adalah keuntungan dibidang keuangan.
Berdasarkan data yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa
walaupun PT Palyja merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang Sumber
Daya Alam, tetapi investasinya dalam project privatisasi air Jakarta terlihat
menguntungkan dan bahkan mengalami break even point sehingga menghapuskan
resiko kerugian dalam investasi yang tinggi bagi perusahaan yang bergerak dalam
bidang Sumber Daya Alam. PT Palyja juga mengalami keuntungan melalu tren
112
Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Loc. Cit, hal 11
58
dan perbandingan laba bersih dan laba operasi yang setiap tahunnya
menguntungkan bagi pemilik/investor. Hal ini dikarenakan adanya pemasukan PT
Palyja yang cukup besar melalui kenaikan tarif air dan imbalan air. Poin tarif air
dan imbalan air tersebut nyatanya telah tertulis dalam Perjanjian Kerjasama
privatisasi air Jakarta sebelumnya. Terbukti bahwa poin tersebut memang
menjamin keuntungan bagi perusahaan Palyja sendiri. Maka, dari data dan
operasionalisasi yang telah didapat, maka tingkat investasi Palyja termasuk rendah
karena biaya dan modal telah tertutupi oleh keuntungan Palyja yang menyebabkan
bargain MNC menjadi kuat dan bargain host menjadi lemah.
5.1.2 Ongkos Biaya Palyja
Ongkos biaya yang harus dikeluarkan Palyja dalam privatisasi air Jakarta
meliputi variable cost dan fixed cost. Ongkos biaya sendiri memiliki arti sebagai
sumber daya ekonomis yang dikorbankan untuk mencapai suatu tujuan tertentu113.
Tujuan dalam hal ini bisa berarti keuntungan. Dalam privatisasi air Jakarta, biaya
yang dikeluarkan Palyja adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Biaya
tetap masuk dalam kategori investasi. Biaya adalah salah satu faktor penting
dalam meningkatkan perolehan keuntungan suatu usaha baik di bidang usaha
barang maupun jasa. Sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi, maka harus ada
pengendalian biaya tertentu yang efisien untuk dapat meningkatkan keuntungan
113Cost, http://www.e-conomic.co.uk/accountingsystem/glossary/cost (diaskses 18 September 2014)
59
perusahaan. Semakin besar biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka
semakin besar resiko yang akan diterima oleh perusahaan tersebut.
Sedangkan biaya tetap sendiri adalah biaya yang secara tetap konstan dan
tidak berubah dalam suatu jangka waktu tertentu114. Biaya ini akan tetap
dikeluarkan meskipun tidak ada aktivitas usaha dalam suatu perusahaan. Contoh
biaya tetap adalah pajak dan sewa bangunan. Walaupun sebuah perusahaan tidak
menghasilkan apa-apa selama satu bulan, pembayaran sewa gedung dan pajak
harus tetap dibayar. Hal inilah yang dimaksud dengan biaya tetap suatu
perusahan. Sedangkan variable cost adalah biaya yang harus dibayar oleh
perusahaan yang berkaitan dengan output produksi115. Biaya variabel jumlahnya
bervariasi dan tidak tetap, tergantung dari volume produksi perusahaan.
Dalam penelitian ini, kajian yang akan diteliti untuk mengetahui ukuran
bargaining power dari aktor dalam project privatisasi air Jakarta adalah ongkos
biaya dari Palyja. Biaya tetap Palyja meliputi beberapa kebutuhan pengeluaran
operasional Palyja. Seperti gaji pegawai, pelatihan dan pendidikan bagi pegawai,
kantor bangunan, telepon, transportasi, listrik, pemeilharaan dan perbaikan
produksi, layanan profesional (auditor, pajak, hukum, penasehat, pemasaran,
operasi dan pengadaan), asuransi, keamanan, pajak properti, dan bantuan
114 Fixed cost, http://www.investopedia.com/terms/f/fixedcost.asp (diakses 18 September 2014) 115
Variable Cost, http://www.investopedia.com/terms/v/variablecost.asp (diakses 18 September 2014)
60
teknis116. Sedangkan biaya variabelnya meliputi air baku yang diberlakukan,
bahan kimia, manajemen pelanggan, dan pemeliharaan jaringan117.
Tabel 5: Ongkos Biaya PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya 1998-2002118
Sumber: Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process, hal 35
116
Nur Endah Sofhiani, Reconstruction of Indonesia’s Drinking Water Utilities (Sweden: Stockholm, Departement of Land and Water Resources Engineering Royal Institute of Technology, 2003), hal 46. Melalui http://www2.lwr.kth.se/Publikationer/PDF_Files/LWR_EX_03_30.PDF pada 18 September 2014. 117 Ibid 118 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process?, (Indonesia: Jakarta), hal 35. Melalui https://www.pecc.org/resources/1227-jakarta-water-supply-how-to- implement-a-sustainable-process-1?path= (diakses 24 Juli 2014
61
Data diatas menunjukkan ongkos biaya yang harus dikeluarkan oleh kedua
belah pihak mitra swasta. Ongkos biaya yang termasuk dalam investasi tersebut
terdiri dari berbagai macam kebutuhan yang dibutuhkan untuk melaksanakan
project privatisasi air Jakarta. Mulai dari peralatan, gedung, jaringan, produksi,
dan lain-lain. Pada tahun 1998, Palyja memiliki ongkos biaya sebesar 180.484 juta
rupiah, yang kemudian naik pada tahun 1999 sebesar 215.839 juta rupiah, 103.571
rupiah di tahun 2000, 102.833 tahun 2001, dan 134.448 pada tahun 2002119. Total
keseluruhan dari ongkos biaya tersebut adalah 737.175 juta rupiah. Sedangkan
total menurut jangkauan penelitian penulis yaitu dari tahun 1998 hingga 2001
adalah sebesar 602.727 juta rupiah. Ongkos biaya tersebut meliputi jaringan,
meter, peralatan, gedung, pembelanjaan, dan biaya lain-lain. Ongkos biaya Palyja
merupakan salah satu elemen penting dalam investasi project privatisasi air
Jakarta.
Ongkos biaya merupakan salah satu variabel yang berkaitan dengan
investasi. Seperti yang telah dijelaskan pada indikator selanjutnya, ongkos biaya
yang dikeluarkan Palyja mengalami pengembalian modal bahkan keuntungan. Hal
ini terbukti dari perbandingan jumlah ongkos biaya (biaya produksi dan biaya
operasi) yang dikeluarkan oleh Palyja dengan pendapatan yang diperoleh dari tarif
air Palyja yaitu sebesar 25% banding 33,5%120. 25% untuk pengeluaran ongkos
biaya Palyja yang meliputi biaya produksi dan biaya operasi dan 33,5% untuk
pendapatan Palyja yang didapat dari kenaikan tarif air. Poin kenaikan tarif air
119 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Loc. Cit, hal 35 120
Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Op.Cit hal 5
62
setiap periode waktunya juga telah ditentukan oleh Perjanjian Kerjasama antara
mitra swasta dan Pemprov DKI Jakarta sebelumnya.
Jadi, walaupun menurut Tarzi investasi di bidang pertanian, sumber daya
alam, dan utilities akan memiliki tingkat investasi yang tinggi121, namun pada data
yang telah didapatkan ongkos biaya yang dikeluarkan Palyja dapat tertutupi oleh
laba nya. Sehingga resiko tinggi terhadap ongkos biaya yang selama ini
ditakutkan oleh perusahaan di bidang Sumber Daya Alam termasuk air tidak
terbukti dalam ongkos biaya PT Palyja. Dari penjelasan diatas maka dapat
diperoleh jika ongkos biaya yang dikeluarkan PT Palyja dalam privatisasi air
Jakarta adalah tergolong rendah. Karena PT Palyja telah mengalami pengembalian
ongkos biaya (biaya produksi maupun operasi) dan keuntungan.
Moran berpendapat bahwa ongkos biaya yang tinggi akan melemahkn
bargain MNC dan menguatkan bargain host. Sebaliknya, ongkos biaya yang
rendah akan menguatkan bargain MNC dan melemahkan bargain host.
Berdasarkan data dan operasionalisasi yang telah penulis peroleh, maka dapat
disimpulkan bahwa PT palyja memiliki ongkos biaya yang rendah sehingga
menyebabkan bargain MNC menjadi kuat dan bargain host manjdai lemah.
5.1.3 Tingkat Teknologi yang di gunakan Palyja
Teknologi yang digunakan Palyja dalam mengolah sektor perairan di
wilayah Jakarta Barat, di dukung dan di supply penuh oleh Perusahaan 121
Shah M. Tarzi, Op. Cit hal 161
63
Multinasional Suez Environment. Seluruh instalasi pengolahan air dan operasi
harian yang digunakan oleh Palyja disesuaikan oleh standar Uni Eropa122. Suez
Environment juga selalu mengadakan Research and Innovation dalam seluruh
project yang di jalankannya, termasuk project privatisasi air Jakarta. Research ini
memuat 3 bidang yaitu penelitian eksplorasi, penelitian langsung, dan
pengembangan teknologi123. Penelitian eksplorasi adalah penelitian yang bersifat
mengeksplor ke seluruh wilayah, atau meneliti kembali wilayah baru yang hendak
dioperasikan. Penelitian eksplor dijalankan oleh seluruh stakeholder yang terlibat
di dalam project tersebut. Sedangkan penelitian langsung diawasi oleh satuan
khusus yang berkaitan dengan project, dan pengembangan teknologi Suez
Environment dilaksanakan oleh unit-unit operasional.124
Untuk PT Palyja sendiri, teknologi yang digunakan berkisar pada
pendistribusian air tanah kedalam air bersih yang didapatkan pelanggan melalui
pipa sambungan. Pipa sambungan lalu disebarkan melalui gardu pompa yang
tersebar di beberapa wilayah di Jakarta Barat. Selanjutnya sumber air baku (raw
water) yang berasal dari sungai ciliwung kemudian diolah melalui pre-klorinasi
(pre chlorine) dan menjadi pre-sedimentasi. Pengertian dari klorinasi sendiri
adalah proses penambahan bahan klorin kedalam air sebagai metode pemurnian
air untuk membuat air tersebut layak dikosumsi manusia125. Setelah menjadi Pre-
sedimentasi, kemudian air memasuki tahap koagulasi. Tahapan koagulasi adalah
122 Philippe Pedrini, http://id.palyja.co.id/profil/tata-kelola-perusahaan/dewan-direksi/read/24/philippe-pedrini/ (diakses 18 Juli 2014) 123 Innovation, http://www.suez-environnement.com/group/innovation-banking-openess/ (diakses 18 Juli 2014) 124 Ibid 125
Klorinasi, http://kamuskesehatan.com/arti/klorinasi/ (diakses 20 Oktober 2014)
64
pencampuran bahan kimia ke dalam air yang selanjutnya di lanjutkan dengan
proses flokulasi, yang diteruskan dengan sedimentasi, filtrasi, post-klorinasi126,
dan kemudian di distribusikan ke pada pelanggan melalui pipa dan keluar melalui
kran di rumah. Dari teknologi yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dilihat jika
teknologi yang digunakan Palyja tergolong sederhana. Yaitu cukup dengan
mengolah air yang tadinya tidak layak digunakan oleh manusia menjadi layak dan
kemudia di distribusikan melalui pipa yang di pompa oleh gardi pompa kepada
pelanggan.
Walaupun PT Palyja merupakan anak cabang dari salah satu perusahaan
air bersih terbesar di dunia yaitu Suez Environment, tetapi teknologi yang
digunakan di Palyja sendiri nyatanya cukup sederhana. Padahal Suez Environment
memiliki teknologi pengoloahan air yang cukup canggih. Seperti teknologi air
dalam produksi air minum, desalinasi, pengelolaan air limbah, dan pengolahan
lumpur127. Faktanya, teknologi yang digunakan Palyja dalam privatisasi air
tergolong teknologi sederhana. Yaitu pengolahan air sungai menjadi air bersih
yang dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari dan pendistribusian air kepada
pelanggan. Bahkan air di Jakarta sendiri masih belum layak untuk diminum dan
hanya dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, mandi,
mencuci, dan lain-lain. Dari data yang telah didapat maka dapat ditarik
kesimpulan jika teknologi yang digunakan Palyja dalam privatisasi air Jakarta
adalah tergolong sederhana.
126 Fasilitas Produksi dan Proses, http://id.palyja.co.id/bisnis-utama/fasilitas-dan-infrastruktur/fasilitas-produksi-wtp-dan-proses/ (diakses 20 Oktober 2014) 127 http://www.degremont.com/en/know-how/municipal-water-treatment/environmental-and-economic-performance/ (diakses 19 Juli 2014)
65
Berdasarkan konsep Bargaining Power milik Moran, semakin kompleks
tingkat teknologi yang digunakan oleh MNC maka semakin tinggi pula
bargaining power dari MNC. Dalam kasus privatisasi air Jakarta, dapat dilihat
bahwa tingkat teknologi yang dimiliki oleh Suez melalui Palyja cukup sederhana.
Hal ini membuktikan bahwa bargain MNC menjadi lemah dan bargain host
menjadi kuat dalam privatisasi air Jakarta.
5.1.4 Variasi produk pengganti dari air bersih
Air merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang tidak dapat digantikan
oleh Sumber Daya lain. Setiap mahluk hidup di dunia membutuhkan air, begitu
pula dengan manusia. Setiap manusia memerlukan air bersih untuk menjalankan
aktivitasnya dan bertahan hidup. Faktanya, air bersih hanya dapat di peroleh
melalui 2,5% dari total volume air yang ada di dunia atau setara dengan 35 juta
km3128. Karena 70% dari air tawar lainnya yang ada di dunia berbentuk es dan
salju. Hal ini membuat akses manusia terhadap air semakin lama semakin sedikit.
Pada tahun 2025, diperkirakan 1,8 miliar manusia akan tinggal di wilayah krisis
air bersih dengan kelangkaan air absolut129.
Air memiliki tingket diferensiasi yang sangat rendah, bahkan 0. Karena
keberadaan air tidak dapat digantikan oleh apapun. Termasuk Sumber Daya Alam
lainnya. Sumber Daya Air berbeda dengan Sumber Daya pertanian. Sumber Daya
128 The six natural resources most drained by our 7 billion people, http://www.theguardian.com/environment/blog/2011/oct/31/six-natural-resources-population (diakses 3 September 2014) 129 Ibid
66
Alam di bidang pertanian seperti nasi, dapat digantikan bahan lainnya seperti
singkong, talas, kentang ataupun jagung yang memiliki kadar gizi yang sama130.
Air adalah sumber pokok kehidupan yang dibutuhkan oleh semua manusia.
Kehadiran air bersih bersifat mutlak dan tunggal. Bisnis utama dari Palyja sendiri
adalah air bersih. Baik yang diolah dari air utama Penjompongan I dan
Penjompongan II maupun yang diperoleh melalui air curah olahan yang dipasok
melalui pihak ke tiga131.
Dari penjelasan dan data yang telah dipaparkan diatas, dapat terlihat
bahwa air memiliki tingkat diferensiasi yang sangat rendah. Palyja sendiri hanya
memiliki bisnis utama di air bersih dan tidak memiliki produk lainnya. Menurut
Moran, FDI yang memiliki tingkat diferensiasi produk yang rendah akan
menguatkan bargain host dan melemahkan bargain MNC. Dalam kasus ini,
produk utama dari Palyja adalah air bersih dan tidak memiliki produk diferensiasi
lain yang berarti melemahkan bargain MNC. Berbeda dengan FDI di bidang
manufatkur, dimana produk yang dihasilkan berbeda sehingga FDI dapat lebih
fleksibel dalam menghadapi permintaan dari negara host132. Sehingga ketika
pemerintah negara host mulai mendesak, maka perusahaan di bidang manufatkur
dapat menambahkan variasi pada produknya atau merubah orientasi pasar menjadi
ekspor.
130 Ada Banyak Pilihan Pengganti Nasi, http://www.tempo.co/read/news/2012/10/31/060438718/Ada-Banyak-Pilihan-Pengganti-Nasi (di akses 11 September 2014) 131 Bisnis Utama, http://id.palyja.co.id/bisnis-utama/ (diakses 11 Septermber 2014) 132 Shah M. Tarzi, Op.cit hal 161
67
5.2 Characteristic of Host
Variabel characteristic of host dapat digunakan untuk menentukan
bargaining power dari kedua aktor. Characteristic of host mencerminkan
bagaimana keadaan dan situasi dari suatu host. Characteristic of host dapat diukur
melalui kemampuan pemerintah host dalam bernegosiasi, tingkat mobilisasi
populasi dari host, keadaan investasi asing host, dan industri pesaing dari MNC
yang berada di dalam wilayah host. Dalam penelitian kasus privatisasi air Jakarta,
yang menjadi objek penelitian dari host adalah kota Jakarta.
5.2.1 Kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam Bernegosiasi
Seluruh kontrak antara pihak swasta dan Pemprov DKI Jakarta pada tahun
1997 ditandatangani oleh gubernur yang menjabat saat itu, yaitu Soerjadi
Soedirdja. Gubernur Soerjadi turut melakukan negosiasi dengan dua konsorium
swasta termasuk Palyja133. Tetapi, awal perjanjian kerjasama yaitu sebelum tahun
1997 merupakan masa pemerintahan Soeharto. Dimana pada masa itu, status
gubernur adalah sebagai perpanjangan tangan dari presiden. Di tahun-tahun
tersebut juga banyak dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
dilakukan oleh keluarga dan kerabat dari pemerintah Soeharto. Termasuk salah
satunya adalah privatisasi air Jakarta. Hal ini berawal pada tahun 1991, dimana
worldbank menawarkan pinjaman sebesar US$ 92 Juta kepada PAM Jaya untuk
133 Warga Miskin Jakarta Korban Mahalnya Air Bersih, http://citizendaily.net/warga-miskin-jakarta-korban-mahalnya-air-bersih-2/ (diakses 16 September 2014)
68
memperbaiki infrastrukturnya134. Tujuannya, adalah agar PAM Jaya menjadi lebih
menarik bagi investor dan menjadi layak untuk di privatisasi135. Pinjaman dari
worldbank ini kemudian di dukung oleh pinjaman dari Jepang melalui OECE
untuk membangun project water purification plant di Pulogadung, Jakarta.
Setelah pinjaman diberikan, PAM Jaya menjadi salah satu perusahaan
yang menarik bagi investor. Pada tahun 2005, Menteri pekerjaan umum yang
berwenang langsung menunjuk dua konsorium swasta tanpa tender yang berujung
pada pelibatan Sigit Harjojudanto dan Anthony Salim yang merupakan anak dan
kerabat dari Presiden Suharto136. Sigit Harjojudanto melalui PT Kekarpola
Thames Airindo (KATI) bekerja sama dengan Thames Water MNC asal Inggris
untuk mengurusi pengelolaan air di bagian Timur Jakarta. Pembagian saham
antara keduanya adalah 80% untuk Thames Water dan 20% untuk KATI milik
Sigit Harjojudanto137. Sedangkan Anthony Salim melalui PT Garuda Dipta
Semesta bekerja sama dengan Suez Environment MNC asal Perancis untuk
mengelola air bersih di bagian Barat Jakarta dengan perolehan saham 40 persen
bagi PT Garuda Semesta dan 60 persen Suez Environment. Dalam kontrak
tersebut, tertulis bahwa seluruh sistem pelayanan air Jakarta diberikan kepada dua
perusahaan tersebut, meliputi supply air bersih, treatment plants, sistem distribusi.
Pencatatan dan penagihan, serta bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya138.
134
Nadia Hadad, Privatisasi Air di Indonesia, (Indonesia, INFID Annual Lobby, 2003) hal 13 135 Ibid 136 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit. hal 2 137 Ibid 138 Ibid
69
Praktek dugaan korupsi dan kolusi ini juga terlihat dari saham mitra lokal
yang sempat berpindah beberapa kali. Pada tahun 1997, saham swasta lokal KATI
sebesar 20% dan Thames Water 80%. Sedangkan saham GDS 40% dan Suez
Environment 60%. Kemudian pada tahun 1998 GDS menjual seluruh sahamnya
kepada Suez sehingga saham Suez Environment pada Palyja menjadi 100%.
Sedangkan KATI memiliki saham 5% dan Thames Water sebesar 95%. Pada
tahun 2001, dinyatakan bahwa pihak kedua untuk Palyja adalah Suez
Environment dan berubah menjadi PT Bangun Tjipta Sarana. Sementara pihak
keduan untuk TPJ adalah Thames Water dan PT Tera Meta Phora139.
Terbukti pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan air bersih di Jakarta
dipenuhi dengan nuansa kolusi dan korupsi. Pengaruh politis sangat kental dalam
pelibatan kedua mitra swasta PAM Jaya sebelum perjanjian di laksanakan.
Pelibatan mitra swasta yang langsung ditunjuk dan tanpa tender menunjukkan
bahwa pengelolaan air bersih di Jakarta dijadikan ajang untuk mengeruk
keuntungan ekonomis melalui kekuatan politis. Apalagi dua perusahaan swasta
lokal yang turut bekerja sama merupakan perusahaan anak dan kerabat presiden
Indonesia Suharto saat itu. Faktanya, kedua perusahaan swasta lokal yang turut
ikut ambil bagian dalam privatisasi PAM Jaya tersebut bukanlah perusahaan yang
memang berfokus pada bidang fasilitas dan pengelolaan air. Selain itu, dapat
terlihat bahwa saham mitra lokal dapat berpindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain dengan mudahnya. Hal ini dapat didasarkan karena pada tahun
139 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Loc. Cit., hal 2
70
2001, kepemimpinan Suharto jatuh dan sempat terjadi ketidak stabilan politik
karena adanya demonstrasi anti-Suharto yang terjadi di Jakarta.
Dari data yang telah diperoleh, maka dapat diperoleh kesimpulan jika
kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam bernegosiasi tidak terlaluterbukti
dalam kasus ini, karena pada saat itu pelaksanaan privatisasi banyak dipengaruhi
oleh dugaan korupsi melalui keluarga dan kerabat presiden Soeharto. Sehingga
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menaungi kepentingan-kepentingan yang
ingin dicapai oleh Presiden Soeharto. Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan jika
bargain host menjadi lemah dan bargain MNC menjadi kuat, karena pada tahun
tersebut (1997-2001), negosiasi dari privatisasi air Jakarta banyak dipengaruhi
oleh kepentingan pribadi Presiden Soeharto yang berkuasa saat itu.
5.2.2 Jumlah Penduduk Jakarta yang menggunakan air Palyja
Untuk mengetahui jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan jasa PAM
Jaya, dapat dilihat pada tabel yang tertera di bawah ini
Tabel 6: Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun 1992
Sumber: Asri Fitrianti,
Data diatas menunjukkan jumlah pengguna air PAM di wilayah Jakarta
dari tahun 1992 hingga tahun 2009 melalui sambungan pipa yang telah terpasang.
Semenjak ditandatanganinya kontrak privatisasi air Jakarta yaitu tahun 1997,
jumlah pengguna air PAM di Jakarta berjumlah 460.641 sambungan, kemudian
semakin meningkat di tahun 1998 yaitu sebesar 487.978 sambungan. Pada tahun
1999 pelanggan PAM Jaya berjumlah 511.5
tahun 2001 sebesar 610.806
sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan
140
Asri Fitrianti, Op. Cit, hal 71141 Asri Fitrianti, Op.cit hal 71
Tabel 6: Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun 1992-2009
Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA
Data diatas menunjukkan jumlah pengguna air PAM di wilayah Jakarta
dari tahun 1992 hingga tahun 2009 melalui sambungan pipa yang telah terpasang.
ditandatanganinya kontrak privatisasi air Jakarta yaitu tahun 1997,
jumlah pengguna air PAM di Jakarta berjumlah 460.641 sambungan, kemudian
semakin meningkat di tahun 1998 yaitu sebesar 487.978 sambungan. Pada tahun
1999 pelanggan PAM Jaya berjumlah 511.548, tahun 2000 sebesar 534.090, dan
tahun 2001 sebesar 610.806141. Rata-rata jumlah pelanggan PAM Jaya adalah
sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan
, Op. Cit, hal 71 Asri Fitrianti, Op.cit hal 71
71
2009140
Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA, hal 71
Data diatas menunjukkan jumlah pengguna air PAM di wilayah Jakarta
dari tahun 1992 hingga tahun 2009 melalui sambungan pipa yang telah terpasang.
ditandatanganinya kontrak privatisasi air Jakarta yaitu tahun 1997,
jumlah pengguna air PAM di Jakarta berjumlah 460.641 sambungan, kemudian
semakin meningkat di tahun 1998 yaitu sebesar 487.978 sambungan. Pada tahun
48, tahun 2000 sebesar 534.090, dan
rata jumlah pelanggan PAM Jaya adalah
sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan
72
sebesar 6,24 persen142. Faktanya, selalu terjadi peningkatan jumlah pelanggan air
bersih PAM Jaya dari masing-masing periode, termasuk pada periode tahun 1997-
2001.
Jumlah pelanggan air yang menggunakan jasa PAM Jaya, menunjukkan
pasar yang bisa di tawarkan PAM Jaya oleh Perusahaan Multinasional Palyja.
Kota Jakarta sendiri merupakan ibu kota dari negara Indonesia dengan kategori
kota yang padat penduduk. Jakarta memiliki cakupan luas wilayah sebesar 637,44
kilometer persegi dan merupakan wilayah khusus setingkat provinsi. Jakarta
adalah pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri sehingga menarik minat
pendatang dari seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini menyebabkan jumlah
penduduk kota Jakarta meningkat setiap tahunnya.
Tahun 1990, jumlah penduduk Jakarta sebesar 8,3 juta dan mengalami
peningkatan selama 0,16 persen hingga tahun 2000143. Pada tahun 2000 jumlah
penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta dengan rasio 4,2 juta untuk laki-laki dan 4,1
juta untuk perempuan144. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah DKI Jakarta
merupakan wilayah yang padat penduduk dan dapat menawarkan pasar pelanggan
yang semakin lama semakin meningkat. Jakarta sebagai host disini dapat
menawarkan pasar yang tinggi. Terbukti dari tahun ke tahun jumlah pelanggan
sambungan PAM Jaya terus meningkat. Seperti pada tahun 1997, jumlah
pelanggan PAM Jaya sebesar 460.641, kemudian meningkat kembali pada tahun 142 Ibid 143 Permukiman, http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/Lap_SLHD/Lap_3B.htm (diakses 14 September 2014) 144Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2000, http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9MDQmaWQ9MTE= (diakses 14 Septermber 2014)
73
1998 yaitu sebesar 487.978, pada tahun 1999 sebesar 511.548, tahun 2000 sebesar
534.090, dan tahun 2001 sebesar 610.806145.
Berdasarkan konsep bargaining power milik Moran, ketika host dapat
menawarkan pasar yang tinggi maka bargain host akan menjadi kuat. Dalam
kasus privatisasi air Jakarta, Pemprov DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk
yang cukup padat. Dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk kota
Jakarta yang setiap tahun selalu meningkat. Hal ini tentunya dapat menunjukkan
pasar yang besar bagi Palyja. Selain itu, berdasarkan data yang ditemukan oleh
penulis dapat dilihat pula bahwa setiap tahun jumlah pelanggan dari Palyja juga
ikut meningkat. Laju pertumbuhan pertambahan pelanggan yaitu sebesar 6,24
persen per tahunnya146. Data ini menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta dapat
menunjukkan pasar yang besar kepada Palyja sehingga bargain host menjadi kuat
dan bargain Palyja menjadi lemah.
5.2.3 Tingkat mobilisasi masyarakat kota Jakarta
Kota Jakarta merupakan kota yang memiliki tingkat urbanisasi cukup
tinggi147. Hal ini dikarenakan Jakarta merupakan daerah perkotaan yang dapat
memberikan akses seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya yang lebih
lengkap di banding pedesaan. Selain itu, kota Jakarta juga memiliki peluang kerja
145
Asri Fitrianti, Op.cit hal 71 146 Asri Fitrianti, Loc.cit hal 71 147 Latar Belakang: Krisis Moneter 1998, http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/05/latar-belakang-krisis-moneter-1998- (diakses 16 September 2014)
74
yang besar serta menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakatnya148,
sehingga penduduk di desa lebih tertarik untuk tinggal di wilayah perkotaan,
termasuk Jakarta di banding di pedesaan. Meningkatnya proses urbanisasi tidak
terlepas dari bertambahnya jumlah penduduk di Jakarta. Jika pada tahun 1950,
Jakarta telah masuk ke dalam 15 kota terpadat di dunia, maka pada tahun 2001
Jakarta menempai urutan ketiga dengan kota terpadat di dunia149.
Bahkan pada tahun 2000, jumlah orang Betawi/ warga Jakarta asli hanya
30 persen dari keseluruhan jumlah warga Jakarta150. Sebagian besar warga Jakarta
lainnya adalah pendatang yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan dari pulau-pulau di luar jawa. Terdapat beberapa alasan yang
menyebabkan kota Jakarta menjadi menarik di mata pendatang. Diantaranya
adalah karena Jakarta adalah pusat administrasi pemerintahan, pusat
perekonomian, pusat kebudayaan, dan tingkat upah bagi pekerja yang relatif
tinggi. Selain itu, kota Jakarta juga didukung oleh fasilitas modern yang baik
sehingga kota Jakarta menjadi lebih menarik di banding kota lainnya bagi para
pendatang.
Tingkat urbanisasi yang tinggi pada perkotaan nyatanya sangat rawan
terhadap guncangan ekonomi makro. Contohnya adalah seperti yang terjadi pada
krisis 1998, dimana jumlah penduduk Jakarta yang berada di bawah garis
148 Ibid 149 Asep Ahmad Saefuloh, Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu, (Indonesia: Jakarta, 2011) hal 15 150 Ibid
75
kemiskinan meningkat sekitar 50 persen dari keseluruhan penduduk151. Selain itu,
pada tahun 1999 kota Jakarta mendapat predikat kota yang paling tinggi tingkat
penganggurannya, yaitu sebesar 13,2 persen152. Perbandingan antara tingkat
pengangguran di daerah perkotaan lebih tinggi dibanding daerah pedesaan, yaitu
sebesar 19,70 persen banding 11,71 persen. Tingginya tingkat urbanisasi yang ada
di Jakarta justru menimbulkan dampak yang signifikan terhadap guncangan
ekonomi, termasuk krisis 97’. Bertambahnya jumlah penduduk dan tingginya
tingkat urbanisasi menyebabkan pengangguran yang ada di Jakarta semakin
meningkat. Hal ini juga tidak terlepas dari kualitas angkatan kerja yang ada di
Jakarta. Hanya tenaga kerja yang terampil saja yang mampu untuk masuk ke
dalam sektor industri153. Sedangkan tenaga kerja yang tidak terampil akan masuk
ke dalam sektor informal atau bahkan menjadi pengangguran.
Kurangnya keterampilan dari angkatan kerja yang tidak siap terjun dan
bersaing di Jakarta menyebabkan pengangguran dan tingkat kemiskinan di Jakarta
menjadi semakin meningkat. Pengangguran yang ada sebagian besar adalah
penduduk yang berusia muda. Tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah
dua kali lipat lebih besar dari pada yang berpendidikan rendah. Hal ini
dikarenakan para pengangguran cenderung memilih untuk menganggur dengan
waktu yang relatif lama, karena mereka tidak mau bekerja di sektor informal.
151 Latar Belakang: Krisis Moneter 1998, http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/05/latar-belakang-krisis-moneter-1998- (diakses 16 September 2014) 152 Asep Ahmad Saefuloh, Op.cit, hal 19 153 Asep Ahmad Saefuloh, Loc.Cit, hal 19
76
Urbanisasi tidak hanya berdampak pada meningkatnya pengangguran,
tetapi urbanisasi juga berdampak terhadap permasalahan kemiskinan154.
Pendatang yang di daerah asalnya berpendapatan rendah/miskin, setelah pindah ke
kota tidak berhasil mendapat pekerjaan yang lebih baik sehingga para pendatang
tersebut tetap miskin. Kemiskinan ini pada umumnya justru terjadi di daerah yang
pertumbuhan ekonominya tinggi155. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
ketimpangan kelas dimana akses terhadap sumberdaya ekonomi hanya dapat
dinikmati dan dikuasai oleh orang-orang kaya saja sehingga kaum miskin tidak
dapat memobilisasi tingkat sosialnya dan tetap miskin walaupun telah melakukan
urbanisasi.
Berdasarkan data yang telah penulis peroleh, meskipun tingkat urbanisasi
di kota Jakarta tinggi, tetapi kualitas angkatan kerja masih buruk dan jumlah
pengangguran di Jakarta tetap tinggi. Hal ini berdampak pada tingkat mobilitas
sosial Jakarta bagi warga miskin yang sulit untuk naik dan bangkit dari
kemiskinan. Kurangnya tenaga kerja yang terampil dari desa menyebabkan
penduduk yang pindah ke kota menjadi menganggur dan tidak memiliki kualitas
kerja yang baik. Kota Jakarta masih memiliki angka pengangguran yang tinggi
dan kualitas angkatan kerja yang belum terampil. Jika dikaitkan dengan privatisasi
air Jakarta berdasarkan jangkauan tahun penelitian yang penulis pilih, maka tahun
tersebut adalah tahun yang rawan akan krisis. Kota Jakarta merupakan salah satu
kota yang paling banyak mendapat dampak dari krisis tersebut. Maka dapat
154 Ibid, hal 21 155 Ibid
77
dipastikan keadaan penduduk kota Jakarta pada saat itu sangat rawan dan tidak
stabil.
Menurut Moran, tingkat mobilitas populasi yang baik akan menguatkan
bargain host. Merujuk pada penelitian studi terdahulu yang penulis gunakan yaitu
Trnik, dimana salah satu indikator dari characteristic host adalah mencakup host
yang memiliki kualitas pekerja yang baik dan tingkat pengangguran yang rendah
akan menguatkan bargain dari host156, maka dapat disimpulkan bahwa kota
Jakarta masih belum memiliki tingkat kualitas pekerja yang baik dan tingkat
pengangguran masih tinggi. Sehingga menyebabkan mobilitas sosial bagi kaum
miskin sulit dan kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin masih tinggi. Hal
ini tentunya akan melemahkan bargain host dan menguatkan bargain MNC.
5.2.4 Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di
Jakarta
Dalam pembagian sektor wilayahnya, Palyja memiliki tanggung jawab
untuk mengolah air di seluruh bagian Jakarta Barat. Seluruh tanggung jawab
pengelolaan air bersih di wilayah Jakarta Barat diserahkan kepada Palyja. Palyja
merupakan satu-satunya perusahaan yang mengurus pasokan air bersih di wilayah
Jakarta Barat. Sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati selama 25
tahun, PAM Jaya akan menyerahkan seluruh tanggung jawabnya kepada pihak
156
Michal Trnik, Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship between MNC’s and Local Goverments in Slovakia (Budapest: Central European University, 2005) hal 18. Melalui http://michal.trnik.com/prace/BELA_research_paper.pdf (diakses 15 April 2014)
78
swasta, termasuk Palyja untuk mengoperasikan, memelihara, dan
mengembangkan sistem penyediaan air bersih di kota DKI Jakarta157. Selain itu,
PAM Jaya juga melimpahkan pekerjaannya dalam bidang perbaikan,
pengembangan air bersih, sistem distribusi, hingga jaringan-jaringan pipa kepada
mitra swasta termasuk Palyja158. Pada akhir kerjasama seluruh sistem dan aset
akan dikembalikan lagi kepada PAM Jaya.
Industri air bersih di wilayah Jakarta merupakan industri tunggal yang
hanya dikelola oleh satu perusahaan saja. Sumber air bersih masyarakat Jakarta
Barat hanya dapat diperoleh melalui satu perusahaan yaitu Palyja. Tetapi, selain
bisa didapatkan dari perusahaan Palyja, air bersih juga dapat diperoleh melalui
sumber lainnya yaitu air tanah baik sumur, kompa, pompa, maupun jetpam159.
Bahkan 6 persen dari masyarakat Jakarta meminta air bersih dari tetangga ketika
hendak memenuhi kebutuhan air bersihnya.
Sedangkan pada bagian Jakarta Timur, pengolahan air dikelola oleh PT
Thames PAM Jaya atau yang berada di bawah Perusahaan Multinasional dari
Inggris yang bernama Thames Water Overseas160.
157 Asri Fitrianti, Op.cit hal 69 158 Ibid 159 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 64 160 Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequemces of Water Privatisation in Jakarta, Indonesia (Melbourne: The University of Melbourne), hal 4. Melalui http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014)
79
Gambar 3: Pembagian wilayah antara Palyja dan TPJ161
Sumber: Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequences of Water Privatisastion in Jakarta, Indonesia, h.5
Thames Water Overseas adalah Perusahaan Multinasional air terbaik di
Inggris. Pada tahun 1995, Thames Water Overseas di nobatkan menjadi
perusahaan air terbesar nomer tiga di dunia162. Konsumen dari luar Inggris
memanfaatkan keahlian yang dimiliki oleh Thames Water Overseas untuk
mengolahan air bersih, termasuk wilayah Jakarta Timur. Thames Water Overseas
juga memberikan layanan air yang baik dan terus meningkat di negara Inggris
sendiri.
Selama tahun 1998, Thames Water Overseas telah menghabiskan investasi
sebesar 471.000.000 Poundsterling untuk melebarkan pasarnya keseluruh
dunia163. Dalam pengembangan pasarnya, Thames Water Overseas telah
161 Ibid, hal 5 162 1995-2001 International Expansion, http://www.thameswater.co.uk/about-us/850_2614.htm (diakses 20 Juli 2014) 163 Ibid
80
mendapat beberapa kontrak dari Bangkok, Shanghai, Adelaide, Jakarta Timur,
dan Skotlandia. Tidak hanya mengurusi pengolahan air di perkotaan, Thames
Water Overseas juga berpengalaman dalam pengolahan air limbah dan sempat
mendapatkan project untuk memasok air di sirkuit balap motor Brands Hatch.
Thames Water Overseas sendiri, melalui PT Thames Pam Jaya (TPJ)
menandatangani Perjanjian Kerjasama Privatisasi air Jakarta pada tahun 1997.
Perjanjian kerjasama tersebut berisi mengenai konsesi penyediaan dan
peningkatan layanan air bersih di wilayah timur sungai Ciliwung yang meliputi
sebagian wilayah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan seluruh wilayah Jakarta
Timur164. Tidak jauh berbeda dengan Palyja, Perjanjian Kerjasama PAM JAYA
dengan TPJ berlaku selama 25 tahun yang bertujuan untuk mengelola,
mengoperasikan, memelihara, serta melakukan investasi untuk mengoptimalkan
pelayanan air bersih di wilayah tersebut.
Terdapat satu Perusahaan Multinasional lain yang mengelola air bersih di
wilayah Jakarta, yaitu PT Thames Pam Jaya (TPJ). Palyja mengelola air bersih di
wilayah Jakarta Barat, sedangkan PT Thames Pam Jaya (TPJ) mengelola air
bersih di wilayah Jakarta Timur165. Tetapi, walaupun terdapat perusahaan lain
yang mengelola air bersih di wilayah Jakarta Timur. Palyja adalah satu-satunya
perusahaan air yang berkuasa di wilayah Jakarta Barat. Pembagian wilayah antara
164 Rina Kartika Sari, Klausa Imbalan Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Dengan Swasta: Studi Kasus Perjanjian Kerjasama Antara PDAM DKI Jakarta dengan PT AETRA Air Jakarta (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011) hal 66. Melalui http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252237-T%2028696-Klausula%20imbalan-full%20text.pdf (diakses 15 Juli 2014) 165 Heni Kurniasih, Op. Cit, hal 4
81
TPJ dan Palyja telah dibagi berdasarkan Perjanjian Kerjasama tahun 1997.
Industri air lain yang berada di wilayah Jakarta lainnya memiliki pengelolaan dan
infrastruktur masing-masing. Pasar Palyja yang merupakan seluruh masyarakat
pengguna air bersih di wilayah Jakarta Barat. Tidak ada perusahaan lain selain
Palyja yang berhak atas distribusi air bersih di wilayah Jakarta Barat. Kebutuhan
masyarakat Jakarta Barat akan hadirnya air bersih hanya dapat terakomodasi oleh
perusahaan Palyja.
Moran berpendapat bahwa semakin banyak industri yang bergerak dalam
bidang yang sama maka bargain host semakin kuat dan bargain MNC semakin
lemah. Dalam kasus privatisasi air Jakarta, Palyja adalah satu satunya perusahaan
yang berkuasa atas pengelolaan air di wilayah Jakarta Barat. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada industri lain yang menjadi pesaing Palyja dalam
penyelenggaraan air bersih di wilayah Jakarta Barat yang membuat bargain MNC
menjadi kuat dan bargain host menjadi lemah.
5.3 Exogenous Factor
Selain characteristic project dan characteristic host, Moran juga
berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
bargaining power ke dua aktor. Faktor exogeneous/eksternal tersebut adalah
keadaan investasi asing di dalam host dan saingan MNC di level global166.
Keadaan investasi asing yang tidak stabil akan melemahkan bargain host dan
166 Theodore Moran, Op.Cit, hal 83
82
menguatkan bargain MNC. Sebaliknya, keadaan investasi asing yang baik akan
menguatkan bargain host dan melemahkan bargain MNC. Sedangkan untuk
saingan MNC di level global adalah semakin banyak industri yang berada pada
bidang yang sama maka bargain MNC akan semakin lemah. Sebaliknya, semakin
sedikit saingan MNC dalam bidang yang sama, maka bargain host yang akan
melemah. Dalam hal ini, penulis ingin melihat keadaan investasi asing dari kota
Jakarta dan saingan Palyja (Suez Environment) dalam level global.
5.3.1 Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001
Sesuai dengan konsep bargain power yang dikemukakan oleh Moran,
keadaan investasi asing di negara host menentukan bargain power dari host
ketika hendak melakukan negosiasi. Dalam kasus privatisasi perusahaan air
Jakarta, penulis ingin meneliti mengenai keadaan investasi asing di Indonesia
pada kurun waktu 1997-2001 yang berkaitan dengan negoisasi kontrak privatisasi
air tersebut. Keadaan investasi asing yang tidak pasti akan melemahkan bargain
dari host.
Grafik
Sumber: OECD,
Data diatas menunjukkan trend pertumbuhan
atau laju investasi asing di Indonesia semenjak tahun 1970. Terjadi peningkatan
yang cukup signifikan sekitar tahun 1994 hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut,
untuk pertama kalinya Indonesia membuka sektor
privatisasi oleh asin
telekomunikasi, penerbangan,
liberal kemudian terus dijalankan Indonesia pada tahun 1990
dengan munculnya project
membuat perusahaan publik menjadi dominasi dalam industri strategis, tetapi juga
membuat negara mendominasi produksi semen, minyak, baja, pesawat, kimia,
167
OECD, Investment Policy Review Indonesiahttp://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)168 Ibid, hal 41
1: Trend FDI di Indonesia tahun 1970-2009167
Sumber: OECD, Investment Policy Review Indonesia, H.46
Data diatas menunjukkan trend pertumbuhan Foreign Direct Investment
atau laju investasi asing di Indonesia semenjak tahun 1970. Terjadi peningkatan
yang cukup signifikan sekitar tahun 1994 hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut,
untuk pertama kalinya Indonesia membuka sektor-sektor strategis untuk di
privatisasi oleh asing. Sektor tersebut adalah pelabuhan, rel kereta api,
telekomunikasi, penerbangan, supply air, energi nuklir, dan media
liberal kemudian terus dijalankan Indonesia pada tahun 1990
project mobil nasional. Hadirnya project ini tidak hanya
membuat perusahaan publik menjadi dominasi dalam industri strategis, tetapi juga
membuat negara mendominasi produksi semen, minyak, baja, pesawat, kimia,
Investment Policy Review Indonesia, (OECD:2010), hal 46. Diakses melalui http://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)
83
167
, H.46
Foreign Direct Investment
atau laju investasi asing di Indonesia semenjak tahun 1970. Terjadi peningkatan
yang cukup signifikan sekitar tahun 1994 hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut,
sektor strategis untuk di
g. Sektor tersebut adalah pelabuhan, rel kereta api,
air, energi nuklir, dan media168. Kebijakan
liberal kemudian terus dijalankan Indonesia pada tahun 1990-an, bersamaan
project ini tidak hanya
membuat perusahaan publik menjadi dominasi dalam industri strategis, tetapi juga
membuat negara mendominasi produksi semen, minyak, baja, pesawat, kimia,
, (OECD:2010), hal 46. Diakses melalui http://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)
84
bahkan karet dan minyak kelapa169. Kebijakan-kebijakan industri tersebut
membuat Indonesia menjadi negara yang friendly terhadap investor asing,
sekaligus meningkatkan kegiatan ekspor-impor di Indonesia.
Keadaan investasi mulai berbalik pada tahun 1997. Iklim investasi yang
sebelumnya harmonis, menjadi mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh
krisis keuangan Asia yang melanda pada tahun itu. Krisis finansial Asia
mempengaruhi mata uang, bursa saham, dan harga aset lainnya di beberapa
negara Asia termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri, rupiah mengalami
devaluasi sebesar 50 persen170. Situasi tersebut menyebabkan Indonesia
mengalami guncangan ekonomi yang cukup berat. Tetapi, nyatanya tidak hanya
guncangan ekonomi saja yang dialami Indonesia tahun itu. Krisis politik juga
melanda Indonesia karena pemerintah Suharto dianggap melakukan tindakan
korupsi dan nepotisme. Indonesia mengalami ketidakstabilan ekonomi sekaligus
politik, hingga Suharto di paksa mundur pada tahun 1998. Krisis finansial Asia
yang terjadi membuat keadaan di Indonesia menjadi tidak stabil. Indonesia
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan keadaanya pasca
krisis. Ketidakstabilan ini juga berpengaruh pada sektor investasi asing di
Indonesia. Indonesia adalah negara yang mengalami tingkat penurunan yang
paling tajam pada sektor investasi asing pada saat krisis dibanding negara-negara
ASEAN lainnya. Bahkan, Thailand dan Korea masih memiliki kekuatan untuk
169 OECD, Loc.Cit, hal 41 170 Ibid, hal 42
menarik FDI171. Indonesia kehilangan sekitar 5,1 miliar USD
asing yang keluar saat periode krisis.
Grafik 2: Pertumbuhan FDI di ASEAN
Sumber: OECD,
Data dan grafik yang tersaji diatas menunjukkan bahwa pada tahun 1997
hingga tahun 2001 Indonesia mengalami krisis finansial yang cukup parah. Nilai
tukar rupiah di devalua
Investment merosot secara tajam. Bahkan jika dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang tingkat investasi asingnya
171 OECD, Loc.Cit,, hal 49172 Ibid 173 Ibid, hal 50
. Indonesia kehilangan sekitar 5,1 miliar USD172
asing yang keluar saat periode krisis.
Grafik 2: Pertumbuhan FDI di ASEAN tahun 1990-2008
Sumber: OECD, Investment Policy Review Indonesia, H.50
Data dan grafik yang tersaji diatas menunjukkan bahwa pada tahun 1997
hingga tahun 2001 Indonesia mengalami krisis finansial yang cukup parah. Nilai
tukar rupiah di devaluasi hingga 50 persen dan keadaan
merosot secara tajam. Bahkan jika dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang tingkat investasi asingnya
, hal 49
85
172 untuk investasi
2008173
H.50
Data dan grafik yang tersaji diatas menunjukkan bahwa pada tahun 1997
hingga tahun 2001 Indonesia mengalami krisis finansial yang cukup parah. Nilai
si hingga 50 persen dan keadaan Foreign Direct
merosot secara tajam. Bahkan jika dibandingkan dengan negara
ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang tingkat investasi asingnya
86
paling tidak stabil karena kemorosotan di tahun 1997. Dibandingkan dengan
Filipina, Singapura, Vietnam, bahkan Thailand trend Indonesia dalam menari FDI
adalah yang paling rentan, tidak stabil, dan lemah. Situasi ekonomi yang memanas
juga ditambah dengan keadaan politik yang tidak harmonis karena periode
pemerintahan Suharto yang dianggap penuh dengan nuansa korupsi dan
nepotisme. Hal ini semakin memperparah keadaan investasi asing di Indonesia.
Berdasarkan data yang telah didapat diatas, dapat dipastikan bahwa
keadaan investasi Indonesia pada tahun 1997 hingga 2001 mengalami ketidak
stabilan. Bahkan dari grafik yang telah penulis dapatkan, trend angka
pertumbuhan imvestasi asing mengalami kemerosotan yang tajam hingga
berjumlah minus 6.000174. Padahal tingkat pertumbuhan investasi asing Indonesia
sebelum tahun itu sangat baik bahkan meningkat hingga mencapai angka 8.000 di
tahun 1974. Angka yang berbanding terbalik tersebut nyatanya sangat
berpengaruh terhadap ketidak stabilan investasi asing di Indonesia. Jika
dibandingkan dengan trend FDI di negara ASEAN lainnya, Indonesia juga berada
di negara yang tingkat investasi asingnya paling anjlok175. Negara-negara ASEAN
lainnya seperti Thailand, Malaysia, Fillipina, dan Singapura yang juga terkenda
dampak dari krisis Asia masih bisa menjaga FDI mereka hingga tidak sampai
mencapai angka minus. Berbeda dengan Indonesia yang pada tahun itu benar-
benar mengalami kemerosotan yang tajam hingga mencapai angka minus.
174 OECD, Loc.Cit, hal 46 175 Ibid, hal50
87
Ketidak pastian investasi asing ini kemudian menunjukkan bargain host
yang lemah, ketika melakukan negoisasi dengan MNC. Menurut Moran, tingkat
investasi asing yang baik akan menguatkan bargain host. Sebaliknya, tingkat
investasi asing yang buruk dan tidak pasti akan melemahkan bargain host. Dalam
kasus privatisasi air Jakarta, terlihat bahwa indikator keadaan tingkat investasi
asing tahun 1997-2001 menunjukkan ketidakpastian sehingga menguatkan
argumen bahwa bargain yang dimiliki host lebih lemah yaitu Pemprov DKI
Jakarta daripada MNC yaitu Palyja.
5.3.2 Pesaing Suez Environment di level Global
Terdapat beberapa Perusahaan Multinasional lain yang bergerak di bidang
air bersih, selain Suez. Perusahaan Multinasional ini juga sering melakukan
privatisasi di berbagai negara. Berikut data Perusahaan Multinasional di seluruh
dunia yang bergerak di bidang pengelolaan air bersih.
88
Tabel 7: Daftar Perusahaan Multinasional sektor air bersih di seluruh dunia176
Sumber: David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems, h.3
Dari data diatas dapat dilihat bahwa terdapat 6 Perusahaan Multinasional
besar dari seluruh dunia yang bergerak di bidang pengelolaan air bersih.
Diantaranya Vivendi water yang memiliki induk perusahaan Vivendi Universal
yang berasal dari Perancis , Thames water yang berasal dari Inggris, SAUR yang
berasal dari Perancis, Anglian yang berasal dari Inggris, Cascal yang berasal dari
Belanda, dan IWL yang berasal dari Amerika Serikat.
Walaupun terdapat beberapa Perusahaan Multinasional yang tumbuh di
bidang pengelolaan perairan, tetapi hanya beberapa perusahaan saja yang berhasil
meluaskan perusahaannya ke berbagai negara di dunia. Perusahaan tersebut
adalah Suez dan Vivendi177. Dua perusahaan tersebut sama-sama berasal dari
Perancis. 70 persen bisnis air di dunia, terutama bisnis privatisasi air di kuasai
176
David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems (London: University Of Grenwich, Public Services International Research Unit (PSIRU), 2002), hal 3. Melalui Melalui http://www.psiru.org/reports/2002-08-w-mncs.doc (diakses 18 September 2014) 177 David Hall, Op.Cit hal 4
Parent company
Sales (Euros m.)
Water division Water Sales (Euros m.)
Worldwide customers (millions)
Suez 42359 Ondeo 10088 115
Vivendi Universal 51125 Vivendi Water 13640 110
RWE 52788 Thames 2746 37
Bouygues 20473 SAUR 2494 36
AWG 1813 Anglian 936 5
Nuon 4530 Cascal 181 6.7
Bechtel 13400 IWL 100 10
89
oleh dua perusahaan Perancis tersebut yaitu Vivendi dan Suez. Selain menguasai
bisnis dan pengelolaan perairan di wilayah south, Suez dan Vivendi juga berhasil
menguasai bisnis air di wilayah north bahkan yang dimiliki oleh Perusahaan
Betchel asal Amerika Serikat. Sedangkan Suez sendiri berhasil membeli air yang
dimiliki oleh Betchel dan sejumlah kontrak yang berada di Meksiko.
Grafik 3: Data Penjualan Volume Air oleh Perusahaan Multinasional air bersih di
Dunia178
Sumber: David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems,h.6
Data diatas menunjukkan kinerja Perusahaan Multinasional yang ada di
seluruh dunia melalui besarnya penjualan air bersih. Dapat dilihat bahwa Vivendi
178 David Hall, Op. Cit hal 6
10088
13640
2746 2494
936181 100
0.00
2000.00
4000.00
6000.00
8000.00
10000.00
12000.00
14000.00
16000.00
Ondeo Vivendi Water
Thames SAUR Anglian Cascal IWL
Water sales, 2001 (€millions)
90
water berhasil menempati urutan pertama dalam penjualan air bersihnya yaitu
sebesar 13640 juta euro, yang kemudian disusul oleh Suez-Ondeo dengan
penjualan air bersih sebesar 10088 juta euro, dan Thames asal Inggris di urutan
ketiga dengan penjualan air sebesar 2764 juta euro179. Perusahaan Multinasional
yang paling banyak menjual air bersih adalah Vivendi Water dan Suez-Ondeo.
Walaupun sama-sama berhasil menjual air bersih dengan perolehan
terbanyak, tetapi terdapat perbedaan strategi antara Vivendi water dan Suez. Jika
Vivendi lebih menekankan pasar di wilayah Perancis, maka Suez lebih berfokus
pada orientasi pasar diluar Perancis, terutama di wilayah negara-negara
berkembang180. Bahkan, Suez juga disebut sebagai perusahaan terbesar di dunia di
luar Perancis itu sendiri181. Karena saingan terbesar Suez yaitu Vivendi memiliki
strategi untuk lebih berfokus pada pasar di dalam Perancis, maka dapat dipastikan
bahwa Suez unggul dalam kompetisi MNC di bidang pelayanan air bersih di level
global. Karena Vivendi water yang lebih berfokus di dalam Perancis, sedangkan
Suez lebih berfokus di luar Perancis.
Berdasarkan perolehan data yang telah tersaji diatas, dapat disimpulkan
bahwa terdapat beberapa Perusahaan Multinasional yang juga bergerak di bidang
pengelolaan air bersih selain Suez. Namun, kinerja Suez dalam ekspansi pasar di
luar Perancis tetap yang paling besar. Terbukti dari hasil penjualan air Suez yang
menempati urutan kedua setelah Vivendi. Jika Vivendi berhasil melakukan strategi
179 David Hall, Loc.Cit, hal 6 180 David Hall, The Water Multinationals, (London: Public Services International Conference on water industry Bulgaria, October 1999), hal 5. Melalui www.psiru.org/reports/9909-w-u-mnc.doc (diakses 18 September 2014) 181 Ibid
91
pasar di dalam Perancis, maka Suez berhasil melakukan strategi pasar di luar
Perancis. Oleh karena itu, dalam ekspansinya keluar negeri kedudukan Suez
diantara Perusahaan Multinasional lain cukup tinggi.
Selain itu, dapat terlihat pula bahwa sebenarnya beberapa Perusahaan
Multinasional yang bergerak dibidang air melakukan kerjasama dan berhubungan
satu sama lain dalam beberapa projectnya. Hal ini membuktikan bahwa
pengelolaan air di dunia hanya di monopoli oleh beberapa perusahaan tersebut.
Data ini dapat dilihat melalui bagan dibawah ini.
Grafik 4: Joint Venture antara Perusahaan Multinasional di dunia182
Sumber: David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems,h.7
182 David Hall, Op. Cit. Hal 7
92
Gambar diatas menunjukkan bahwa beberapa Perusahaan Multinasional di
dunia dalam beberapa project memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan
tersebut paling banyak dimiliki oleh Suez dan Vivendi. Dapat dilihat, bahwa
ANGLIAN, SAUR, dan RWE memiliki keterkaitan langsung dengan Suez dan
Vivendi183. Seperti contohnya project Sidoarjo water (Indonesia), United Water
(Adelaide), dan Papakura water (Selandia Baru) yang dipegang langsung oleh
RWE dan Vivendi. Kemudian project Arguas Argentinas dan SMVAK yang
dipegang langsung oleh kemitraan ANGLIAN dan Suez, serta project-project
lainnya di dunia. Hal ini membuktikan bahwa penguasaan terhadap pengelolaan
air di dunia hanya dimonopoli oleh beberapa Perusahaan Multinasional. Sulit
untuk perusahaan air lain dapat bersaing dengan MNC besar diatas, karena modal
dan teknologi yang diperlukan dalam pengembangan air bersih telah dikuasai dan
dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh
Moran dalam literaturnya yang berjudul Multinational Corporations and
Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas (1978),
dimana banyak keahlian seperti modal, teknologi dan beberapa bahan yang
dibutuhkan dalam proses produksi hanya dimiliki dan di monopoli oleh MNC-
MNC tertentu184
Menurut Moran, semakin banyak kompetisi bersaing dari suatu MNC
maka semakin lemah bargain dari MNC. Dalam kasus privatisasi air Jakarta,
saingan Suez dalam bidang pengelolaan air memang banyak tetapi saingan Suez
183
David Hall,Loc.Cit, hal 7 184
Theodore H. Moran, Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas,(1978), hal 81
93
dalam kompetisi strategi ekspansinya keluar negri sedikit. Maka dari indikator ini
dapat diperoleh bahwa bargain host menjadi lemah dan bargain MNC menjadi
kuat, karena Suez memiliki kedudukan unggul diantara Perusahaan Multinasional
lainnya sehingga menyebabkan kompetisi MNC menjadi rendah.
5.4 Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam
Negosiasi Kontrak Privatisasi Air
Sub-bab ini menjelaskan mengenai keseluruhan operasionalisasi, data
beserta analisis yang telah penulis dapatkan dengan menggunakan konsep
bargaining power milik Theodore Moran. Untuk lebih jelasnya, analisis ini akan
dikemukakan melalui tabel yang tertera dibawah ini:
Tabel 8: Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Air
Variabel
Indikator
Operasionalisasi
dan Data
Bargaining Power
Pemprov DKI
Jakarta
Bargaining
Power Palyja
Characteristic of Project
Ukuran Investasi yang tinggi akan
melemahkan bargain MNC
Ukuran investasi Palyja dalam Privatisasi
perusahaan air Jakarta rendah
Lemah
Kuat
Ongkos Biaya yang tinggi akan
melemahkan bargain MNC
Ongkos biaya Palyja dalam privatisasi
perusahaan air Jakarta rendah
Lemah
Kuat
Tingkat Teknologi yang
berkembang akan
Teknologi yang digunakan
Palyja dalam
94
menguatkan bargain MNC
privatisasi perusahaan air
Jakarta sederhana
Kuat Lemah
Tingkat variasi produk pengganti yang rendah akan
melemahkan bargain MNC
Produk
pengganti dari air bersih rendah
Kuat
Lemah
Characteristic Of Host
Keahlian birokrasi lokal yang baik akan
menguatkan bargain host
Keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi
buruk
Lemah
Kuat
Tingkat pasar/konsumen yang tinggi akan
menguatkan bargain host
Jumlah penduduk
Jakarta yang menggunakan air PAM tinggi
Kuat
Lemah
Tingkat mobilisasi yang
tinggi akan menguatkan bargain host
Tingkat mobilisasi kelas
menengah masyarakat kota Jakarta rendah
Lemah
Kuat
Alternatif MNC yang tinggi akan
menguatkan bargain host
Tidak ada perusahaan
selain Palyja yang mengelola sekor air bersih di Jakarta Barat
Lemah
Kuat
Exogenous Factor
Tingkat ketidak pastian investasi yang tinggi akan
melemahkan bargain host
Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001 tidak
stabil
Lemah
Kuat
Kompetisi MNC yang tinggi di
level global akan menguatkan bargain host
Kompetisi pesaing MNC
Suez Environment di
level global rendah
Lemah
Kuat
Sumber: Hasil Olahan Penulis
95
Tabel diatas menjelaskan mengenai bargaining power antara Pemprov
DKI Jakarta dan juga PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan
air. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa bargaining power yang dimiliki oleh
PT Palyja lebih kuat daripada yang dimiliki oleh PAM Jaya. Bargaining power
yang menguatkan PT Palyja disebabkan oleh beberapa indikator. Pada variabel
characteristic of host, indikator yang menguatkan adalah tingkat investasi Palyja
yang rendah dan ongkos biaya Palyja yang rendah. Sedangkan pada variabel
characteristic of host, indikator yang menguatkan adalah buruknya tingkat
keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, buruknya tingkat mobilisasi
kelas menengah kota Jakarta, dan tidak adanya perusahaan selain Palyja yang
mengelola sektor air bersih di wilayah Jakarta Barat. Variabel terakhir yaitu
exogenous factor/ faktor-faktor ekseternal seluruh indikatornya menguatkan
Palyja yaitu tingkat ketidakstabilan investasi asing di Indonesia pada tahun 1998-
2001 dan besarnya peranan Suez Environment dalam kompetisi MNC di sektor air
bersih. Tujuh indikator tersebut membuat bargaining power PT Palyja menjadi
lebih kuat dari pada Pemprov DKI Jakarta dalam negosiasi kontrak privatisasi
perusahaan air.
Disisi lain, beberapa indikator justru melemahkan bargaining power dari
PT Palyja dan menguatkan Pemprov DKI Jakarta selaku host. Tiga indikator
tersebut adalah tingkat teknologi Palyja yang cenderung tidak kompleks dan
sederhana, rendahnya tingkat diferensiasi pruduk pengganti dari air bersih, dan
tingginya konsumen/pasar yang menggunakan jasa distribusi air bersih dari PAM.
Faktanya, tidak semua indikator melemahkan Pemprov DKI Jakarta, tetapi
96
terdapat pula indikator yang menguatkan Pemprov DKI Jakarta dan justru
melemahkan PT Palyja selaku MNC.
Berdasarkan data dan operasionalisasi yang telah dijelaskan, maka penulis
dapat mengemukakan argumen bahwa dari ke-sepuluh indikator bargaining
power milik Theodore Moran terdapat beberapa indikator yang memiliki peran
dan poin besar dalam pembentukan bargaining power kedua aktor. Sepuluh
indikator dalam menentukan bargaining power diatas menurut penulis sama
pentingnya. Sepuluh indikator tersebut saling berkaitan dalam menentukan
bargaining power ke dua aktor yang sedang bernegosiasi. Tetapi menurut penulis
terdapat tiga indikator yang memiliki peran paling besar dalam menentukan
bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan Palyja. Walaupun indikator-indikator
lainnya juga penting dan saling melengkapi dalam mengukur bargaining power.
Dalam kasus privatisasi air Jakarta sendiri, indikator yang paling penting
dalam pembentukan bargaining power menurut penulis adalah tingkat
kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam bernegosiasi. Poin ini adalah
poin yang paling penting menurut penulis, karena pemerintah provinsi Jakarta
adalah representasi kepentingan dan posisi tawar dari host dalam bernegosiasi.
Jika host sebenarnya memiliki posisi tawar yang kuat, misalnya seperti tingkat
konsumen/pasar yang tinggi, tingkat mobilisasi penduduk host yang baik, dan
banyaknya pesaing dari perusahaan dalam bidang yang sama, tetapi pemerintah
nya tidak memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik ataupun faktor politik
lainnya maka posisi tawar host saat bernegosiasi akan tetap lemah. Karena
pemerintah adalah pihak yang bernegosiasi langsung dengan MNC dan turut
97
menentukan keuntungan-keuntungan yang didapat oleh host pada saat
bernegosiasi.
Pada fenomena privatisasi air Jakarta, kemampuan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta tidak dapat sepenuhnya diukur dan dijadikan acuan dalam melihat
bargaining power. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan politik dari
presiden yang berkuasa pada tahun tersebut (sesuai dengan jangkauan tahun
penelitian penulis). Kelemahan bargaining power pemerintah Jakarta dalam kasus
privatisasi air banyak dipengaruhi oleh keadaan politik internal Indonesia.
Dimana, pada saat itu banyak terjadi praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
banyak mengakomodasi kepentingan dari presiden Indonesia. Argumen ini
diperkuat dengan adanya pemilihan dua perusahaan swasta tanpa tender yang
nyatanya justru melibatkan anak dan kerabat dari presiden Suharto yaitu Sigit
Harjojudanto dan Anthony Salim185. Sigit Harjojudanto merupakan anak dari
presiden Suharto yang menguasai PT Kekarpola Thames Airindo (KATI) dan
bekerja sama dengan Thames Water MNC asal Inggris untuk mengurusi
pengelolaan air di bagian Timur Jakarta. Sedangkan Anthony Salim adalah
kerabat dekat dari presiden Suharto yang menguasai PT Garuda Dipta Semesta
dan bekerja sama dengan Suez Environment MNC asal Perancis untuk mengelola
air bersih di bagian Barat Jakarta186.
Adanya penunjukan dua perusahaan swasta tanpa melalui tender dan
berujung pada adanya kerjasama anak dan kerabat dekat Suharto membuktikan
185 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit. hal 2 186 Ibid
98
bahwa privatisasi air Jakarta di tahun tersebut dipenuhi oleh nuansa korupsi dan
kolusi. Bargaining power Pemprov DKI Jakarta sendiri menjadi lemah, karena
tidak dapat mengakomodasi kepentingan dari host. Negosiasi ini nyatanya hanya
cenderung menguntungkan pemegang saham dan penguasa yang berkuasa saat itu,
tanpa mampu melihat posisi tawar dari host yang sebenarnya.
Sedangkan indikator kedua yang memiliki peran besar dalam menentukan
bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja adalah kompetisi Suez
Environment di level global. Pada indikator ini, dapat dilihat bahwa Suez
Environment adalah MNC yang cukup kuat di bidang air bersih. Selain itu,
ternyata sebagian besar project privatisasi ataupun joint venture yang dijalankan
diseluruh dunia hanya dimonopoli oleh MNC-MNC tertentu187. Salah satunya
adalah Suez Environment yang menjadi salah satu perusahaan yang paling banyak
memegang project-project distribusi air bersih di seluruh dunia. Hal ini tentunya
sudah menjadi sistem dependency/ketergantungan dan sulit untuk dirubah.
Penguasaan modal maupun teknologi yang hanya di monopoli oleh beberapa
MNC saja, dimana host tidak memiliki kemampuan yang sama sehingga secara
tidak langsung host akan selalu bekerja sama dengan MNC yang menguasai
penguasaan modal dan teknologi tersebut. Indikator ini membuat bargaining
power yang dimiliki MNC menjadi kuat karena sistem
dependency/ketergantungan yang diciptakan oleh MNC tersebut dalam menguasai
dan me-monopoli sumber modal.
187
David Hall,Op.Cit, hal 7
99
Sedangkan indikator selanjutnya yang berperan penting dalam
pembentukan bargaining power di kasus privatisasi air Jakarta adalah tidak
adanya perusahaan air lain selain Palyja yang mengurusi distribusi air bersih di
wilayah Jakarta barat. Palyja adalah satu-satunya perusahaan air bersih yang
menguasai sektor air bersih di Jakarta Barat. Hal ini tentunya menjadi poin
bargaining power yang cukup kuat bagi Palyja, karena Palyja tidak memiliki
saingan atas perbandingan kinerja nya dalam pengelolaan air bersih di wilayah
Jakarta Barat. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga tidak memiliki
pilihan/alternatif lain yang dapat meningkatkan posisi tawar nya dalam
bernegosiasi. Indikator ini juga berkaitan dengan perusahaan yang diprivatisasi
adalah perusahaan milik Daerah yang bergerak di bidang air, dan tentunya sektor-
sektor tersebut hanya dipegang oleh perusahaan tunggal.
100
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan konsep dan data yang diperoleh, maka penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa analisis bargaining power antara PT Palyja selaku MNC dan
Pemprov DKI Jakarta selaku host dapat dilihat dari 3 variabel. Yaitu karakteristik
host, karakteristik project, dan exogenous faktor/faktor ekseternal. Karakteristik
host meliputi tingkat investasi Palyja, ongkos biaya Palyja, tingkat teknologi
Palyja dan variasi produk pengganti air bersih. Dalam tingkat investasi Palyja
bargain Pemprov DKI Jakarta menjadi lemah dan bargain MNC menjadi kuat,
ongkos biaya Palyja bargain Pemprov DKI Jakarta menjadi lemah dan bargain
Palyja menjadi kuat, dalam tingkat teknologi bargain MNC menjadi lemah dan
bargain Pemprov menjadi kuat, dalam variasi produk pengganti air bersih bargain
MNC menjadi lemah dan bargain Pemprov menjadi kuat. Pada variabel
karakteristik project bargain MNC dan host sama, yaitu 2 melemahkan dan 2
menguatkan.
Sedangkan jika dilihat dari variabel karakteristik host yaitu pada
kemampuan pemerintah host dalam bernegosasi bargain-nya melemahkan
Pemprov Jakarta dan menguatkan MNC, dalam tingkat pasar/konsumen Palyja
bargain-nya melemahkan MNC dan menguatkan Pemprov Jakarta, dalam
mobilisasi penduduk bargain-nya melemahkan Pemprov Jakarta dan menguatkan
MNC, pada indikator pesaing Palyja bargain-nya melemahkan Pemprov Jakarta
101
dan menguatkan Palyja. Dalam variabel ini terdapat 3 menguatkan Palyja dan 1
menguatkan Pemprov Jakarta.
Untuk exegenous factor/faktor eksternal kedua indikatornya melemahkan
Pemprov Jakarta dan menguatkan MNC. Yaitu pada indikator tingkat ketidak
pastian investas asing melemahkan bargain Pemprov Jakarta dan menguatkan
bargain Palyja dan pesaing Suez di level global melemahkan bargain Pemprov
Jakarta dan menguatkan bargain Palyja.
Dalam kasus privatisasi air Jakarta analisis bargaining power-nya adalah
bargain Pemprov DKI Jakarta selaku host lebih lemah dari pada bargain Palyja
selaku MNC. Indikator yang menguatkan MNC, dibuktikan pada indikator tingkat
investasi dan ongkos biaya Palyja yang rendah, kemampuan host pemprov Jakarta
dalam bernegosiasi dan tingkat mobilisasi penduduk Jakarta yang buruk, tidak
adanya pesaing Palyja di wilayah Jakarta, tingginya tingkat ketidak pastian
investasi asing di tahun tersebut, dan kuatnya peran MNC Suez di dunia.
Sedangkan indikator yang menguatkan bargain Pemprov Jakarta adalah
rendahnya diferensiasi produk pengganti air, tingkat teknologi Palyja yang
sederhana/tidak kompleks, dan tingkat konsumen air yang tinggi.
102
6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka penulis
mengajukan saran sebagai berikut:
6.2.1 Saran Bagi Pemerintah Provinsi Jakarta
Kontrak privatisasi air Jakarta tahun 1997-2001 sebaiknya dapat dijadikan
pembelajaran bagi kontrak-kontrak selanjutnya. Dalam melakukan negosiasi,
pemerintah Jakarta maupun pemerintah Indonesia harus menyiapkan faktor-faktor
yang dapat memperkuat bargaining power. Hal ini dilakukan agar
kontrak/kesepakatan yang akan disetujui akan menemukan win-win solution
sehingga tidak hanya menguntungkan/merugikan satu pihak. Selain itu, ketika
pemerintah ingin melakukan negosiasi dengan Perusahaan Multinasional ataupun
industri lainnya, pemerintah dapat menggunakan konsep Moran untuk
memperkuat bargaining power-nya
6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
Jangka waktu dari penelitian ini adalah tahun 1997-2001. Hal ini
menyebabkan terbatasnya ketersediaan data dikarenakan jangka waktu yang
relatif sudah lama. Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian
pada fokus fenomena yang sama, sebaiknya melakukan penelitian dengan jangka
waktu yang lebih baru.
103
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal:
Ardhianie, Nila & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession. Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro- poor%20Jakarta_0.pdf (diakses pada 24 Juli 2014) Chang, Dr. Jing-Sens & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process?. 2011. Jakarta: SCTF Hong Kong Seminar - Sustainable Urban Services . Melalui https://www.pecc.org/resources/1227-jakarta-water-supply-how-to- implement-a-sustainable-process-1?path= (diakses 24 Juli 2014) Hadipuro, Wijanto dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy . Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses pada 20 Mei 2014) Lako, Andreas dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan Dampaknya Bagi Pelanggan. 2011. Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Financial%20Machinatio ns-1.pdf (diakses pada 20 Mei 2014) Leonard,Thomas M. Encyclopedia Of The Developing World . 2006. New york:Routledge vol 1. Melalui http://nomorebiggov.files.wordpress.com/2008/11/encyclopedia-of-the- developing-world.pdf (diakses 7 Februari 2014) Macleod, Sarah and Douglas Lewis, Transnasional Corporations: Power, Influence, and Responsibility . 2004. London:Global Social Policy ,vol.4. Melalui http://www.uk.sagepub.com/suder/Chapter%2010%20- %20Macleod%20&%20Lewis.pdf (diakses 7 Februari 2014) Moran, Theodore H. Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas. 1978. International Organization: University of Wisconsin Press
104
Saefuloh, Asep Ahmad. Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu. 2011. Indonesia: Jakarta. Melalui http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim- 2.pdf (diakses 13 September 2014) Santono, Hamong, Current Situation of Jakarta Water Privatization, 2011. Jakarta: KruHa Koalisi Rakyat Untuk Hak atas Air Slantchev, Brainslav L. Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment. 2005. California: Departement of Political Science. Melalui http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04- bargaining-dynamic- commitment.pdf (diakses 20 Juli 2014) Tarzi, Shah M. Thirld World Goverments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power. 1991
Karya Akademis:
Ardhianie, Nila. Jakarta Water Privatization: Seven Years Of “Dirty” Water, Washington: Transnasional International. Melalui http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/waterindonesia.pdf (diakses 28 Februari 2014)
Fitrianti, Asri. Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA . 2009. Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf; jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 13 Juli 2014) Hadad, Nadia, Privatisasi Air di Indonesia, 2003. Indonesia: INFID Annual Lobby. Melalui http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Capitalism&Market/Privatisasi% 20Air%20INFID.pdf (diakses 13 Juli 2014)
105
Hall, David .The Water Multinationals. 1999. London: Public Services International Conference on water industry Bulgaria, October. Melalui www.psiru.org/reports/9909-w-u-mnc.doc (diakses 18 September 2014)
Hall, David The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems. 2002. London: University Of Grenwich, Public Services International Research Unit PSIRU. Melalui http://www.psiru.org/reports/2002-08-w-mncs.doc (diakses 18 September 2014) Kurniasih, Heni. Water Not For All: The Consequance of Water Privatisation In Jakarta, Indonesia . 2008. Melbourne:Australia. Melalui http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014) Nur Endah Sofhiani, Reconstruction of Indonesia’s Drinking Water Utilities. 2003. Sweden: Stockholm, Departement of Land and Water Resources Engineering Royal Institute of Technology. Melalui http://www2.lwr.kth.se/Publikationer/PDF_Files/LWR_EX_03_30.PDF (diakses 18 September 2014) Sari, Rina Kartika. Klausa Imbalan Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Dengan Swasta: Studi Kasus Perjanjian Kerjasama Antara PDAM DKI Jakarta dengan PT AETRA Air Jakarta . 2011 . Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Melalui http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252237-T%2028696- Klausula%20imbalan-full%20text.pdf (diakses 15 Juli 2014) Segers, Jason Privatization of Water in Latin America: A Case Study in Bolivia. 2010. California: San Luis Obispo. Melalui http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&cont ext=socssp ( diakses 16 Mei 2014) Trnik, Michal. Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship between MNC’s and Local Goverments in Slovakia. 2005. Budapest: Central European University. Melalui http://michal.trnik.com/prace/BELA_research_paper.pdf (diakses 15 April 2014)
Zakaria,Fiona Assessing Pro-Poor Water Supply Programs in Jakarta. 2008 Royal Geographical Society. Melalui https://www.rgs.org/NR/rdonlyres/BA1AE09E-FCCF-459A-B27E-
106
048095E65F6D/0/FionaZakariadissertationCandidateNumber667918.pdf (diakses 20 Mei 2014)
Laporan Resmi:
Asian Development Bank Report and Recommendation of The President the Board of Directors, Proposed Loan Republic of Indonesia: West Jakarta Water Supply Development Project. 2007
WEB:
1995-2001 International Expansion, http://www.thameswater.co.uk/about- us/850_2614.htm (diakses 20 Juli 2014) About Us, http://www.degremont-technologies.com/dgtech.php?rubrique20 (di akses 18 Juli 2014) Betapa Rapuhnya Eksistensi Badan Regulator PAM, http://www.indonesiawaters.com/2009/05/rapuhnya-eksistensi-badan- regulator-pam.html (Diakses 20 Mei 2014 Ada Banyak Pilihan Pengganti Nasi, http://www.tempo.co/read/news/2012/10/31/060438718/Ada-Banyak- Pilihan-Pengganti-Nasi (di akses 11 September 2014) Bisnis Utama, http://id.palyja.co.id/bisnis-utama/ (diakses 11 Septermber 2014) Cost, http://www.e-conomic.co.uk/accountingsystem/glossary/cost (diaskses 18 September 2014) Fixed cost, http://www.investopedia.com/terms/f/fixedcost.asp (diakses 18 September 2014) History, http://www.suez-environnement.com/group/history/ (diakses 23 Juli 2014)
107
Indonesian Urban Water Supply Sector Policy Framework, http://documents.worldbank.org/curated/en/1997/10/10946540/indonesia- urban-water-supply-sector-policy-framework (diakses 8 Februari 2014) Latar Belakang: Krisis Moneter 1998, http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/05/latar-belakang-krisis- moneter-1998- (diakses 16 September 2014) OECD Investment Policy Review Indonesia, (OECD:2010), hal 46. Diakses melalui http://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)
Partner of Local Authorities and Industries, http://www.degremont.com/en/about- us/profile/water-treatment-partner/partner-of-local-authorities-and- industries/ (diakses 19 Juli 2014) Pemegang Kepentingan, www.palyja.co.id/profil/tentang-palyja/pemegang- kepentingan/ (diakses 23 Juli 2014) Pemimpin Bermental Platinum, http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/338- pemimpin-bermental-platinum (diakses 17 Spetember 2014) Permukiman, http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/Lap_SLHD/Lap_3B.htm (diakses 14 September 2014) Pelangan PAM Jaya, http://www.pamjaya.co.id/Pelanggan-PAM-JAYA.html (diakses 23 Juli 2014) Privatisasi PDAM, http://www.theglobal- review.com/content_detail.php?lang=id&id=6232&type=7#.U3sG9XZp3 M8 (Diakses 20 Mei 2014) Philippe Pedrini, http://id.palyja.co.id/profil/tata-kelola-perusahaan/dewan- direksi/read/24/philippe-pedrini/ (diakses 18 Juli 2014) Profil Perusahaan, http://id.palyja.co.id/profil/ (diakses 22 April 2014)
108
Profil Perusahaan, http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/profilPerusahaan/page?id=sekilas (diakses 22 April 2014) Provinsi DKI Jakarta, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil- daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta (diakses 22 April 2014) Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2000, http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZ zdWI9MDQmaWQ9MTE= (diakses 14 Septermber 2014) Public-private water partnership, http://www.suez- environnement.com/water/public-private-partnerships/ (diakses 23 Juli 2014) Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Layanan Air Bersih di Indonesia, http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/109/Privatisasi_Air/Sejara h_Keterlibatan_Swasta_dalam_Peyediaan_Layanan_Air_Bersih_di_Indon esia.html (diakses 21 Juli 2014)
Sejarah PAM JAYA, http://www.pamjaya.co.id/Sejarah-PAM-JAYA.html (diakses 22 Juli 2014)
Tanda Tanya di Balik Pemecatan Bos PAM Jaya, http://www.tempo.co/read/news/2012/01/09/090376075/Tanda-Tanya-di- Balik-Pemecatan-Bos-PAM-Jaya (diakses 10 September 2014)
The Sanitary Quality, http://www.degremont.com/en/know-how/municipal-water- treatment/drinking-water/the-sanitary-quality/ (diakses 19 Juli 2014)
The six natural resources most drained by our 7 billion people, http://www.theguardian.com/environment/blog/2011/oct/31/six-natural- resources-population (diakses 3 September 2014
Tim Advokasi Hak Atas Air Gugat Privatisasi Air, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/13/18260894/Tim.Advokasi. Hak.Atas.Air.Gugat.Privatisasi.Air (diakses 16 Mei 2014
UN Documents: Gathering a Body of Global Agreements, http://www.undocuments.net/h2odub.htm (diakses 8 Februari 2014)
109
Urban Wastewater Treatment, http://www.degremont.com/en/know- how/municipal-water-treatment/wastewater/urban-wastewater-treatment/ (diakses 19 Juli 2014) Variable Cost, http://www.investopedia.com/terms/v/variablecost.asp (diakses 18 September 2014) Warga Miskin Jakarta Korban Mahalnya Air Bersih, http://citizendaily.net/warga-miskin-jakarta-korban-mahalnya-air-bersih-2/ (diakses 16 September 2014) Water Privatization Challanged After 16 Years, http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/water-privatization- challenged-after-16-years.html (diakses 20 Mei 2014)