Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi...

122
SKRIPSI Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang Oleh: Fitria Dian Istianie 105120401111011 Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya 2014

Transcript of Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi...

SKRIPSI

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja

dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hubungan Internasional

di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang

Oleh:

Fitria Dian Istianie

105120401111011

Program Studi Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya

2014

i

HALAMAN PERSETUJUAN

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

SKRIPSI

Disusun Oleh:

Fitria Dian Istianie NIM.105120401111011

Telah disetujui oleh dosen pembimbing :

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si NIP. 197908082014042001

Tanggal: 14 November 2014

Mengetahui,

Ketua Program Studi Hubungan Internasional

Dian Mutmainah, S.IP., MA NIP. 197803192005012002

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

SKRIPSI

Disusun Oleh: Fitria Dian Istianie

NIM. 105120401111011

Telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam ujian Sarjana Pada tanggal: 19 Oktober 2014

Ketua Majelis Penguji Sekretaris Majelis Penguji Aswin Ariyanto Azis, S.IP.,MdevSt Yustika Citra Mahendra, S.Sos.,MA NIP. 197802202010121001 NIK. 840823 11 1 1 0335 Anggota Majelis Penguji I Anggota Majelis Penguji II Henny Rosalinda, S.IP, M.A Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si NIP. 197908082014042001

Malang,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Ir. Darsono Wisadirana, MS NIP. 195612271983121001

iii

SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI

Nama: Fitria Dian Istianie

NIM: 10512040101111011

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skirpsi berjudul: Analisis

“ Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi

Kontrak Privatisasi Perusahaan Air” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal

yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut telah diberi tanda citasi dan

ditunjukan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut tidak benar,

saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar

yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Malang, 8 Oktober 2014

Fitria Dian Istianie

105120401111011

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan Strata 1

Hubungan Internasional. Terselesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis

ingin mengucapkan terimakasi sebesar-besarnya kepada:

1.Mama Irma Khuswardani, Alm Papa Djajoeswadi, Abah Malik Ibrahim, Kakak

Brigita Julita, Adek Agatha Valerie terkasih dan tersayang yang selalu

memberikan semangat serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan. Terimakasih semuanya. Keluarga

terbaik yang paling berarti dalam hidup penulis.

2.Ibu Henny Rosalinda, S.IP, M.A selaku dosen pembimbing pertama yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan serta semangat bagi

penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

3.Ibu Dewa Ayu Putu Eva Wishanti,S.IP.,M.Si selaku dosen pembimbing kedua

yang telah memberikan banyak sekali masukan dan arahan bagi penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Aswin Ariyanto Azis, S.IP, M.DevSt selaku dosen penguji I dan Bapak

Yustika Citra Mahendra, S.Sos.,MA selaku dosen penguji II yang telah

memberikan masukan-masukan yang membangun bagi penyelesaian skripsi ini.

v

6. Andrea, Christine, dan Vrizza selaku sahabat penulis yang selalu mendukung

dan senantiasa menghibur penulis

7. Yoki, Danny, dan Fahril selaku teman-teman jurusan Hubungan Internasional

lainnya yang membuat masa perkuliahan penulis semakin berkesan.

8. Reynaldi Angga Pratama selaku teman spesial penulis yang selalu mendengar

keluh kesah dan menghibur penulis.

9. Teman-teman @daisy_official yang selalu berbagi kisah lewat musik dan

mewarnai hari-hari di masa penulisan skripsi dengan gigs yang seru.

10. Sevensoul selaku sahabat-sahabat nan jauh disana yang selalu mendukung dan

menginspirasi penulis

11. Tanjung Indraswari, Galih Mehaga Ginting, Dimas Nugroho, Rama Dimas,

Tommi Prastawa, Dhia Lestari dan gentyo-gentyo lainnya yang selalu menghibur

dan menginspirasi penulis.

Demikianlah kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca. Akhir kata skripsi ini penulis

persembahkan bagi keluarga dan yang tersayang. Terimakasih.

Work More Than Others, Think More Than Others, and Expect Less Than Others William Shakespeare,- Malang,19 November 2014 Penulis

vi

ABSTRAK

Analisis “Bargaining Power” Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air”

Penelitian ini berupaya untuk menganalisis “bargaining power” antara

host dan MNC, yaitu Pemprov DKI Jakarta sebagai host dan PT Palyja sebagai

MNC. Adanya dampak-dampak dari privatisasi perusahaan air Jakarta seperti

kenaikan tarif dan hutang PAM Jaya yang semakin menumpuk adalah hasil dari

negosiasi kontrak yang selama ini dijalankan oleh kedua belah pihak. Hasil dari

negosiasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta tentunya tidak terlepas dari adanya

penentuan “bargaining power” antara ke-dua aktor. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini penulis akan menganalisis dan menggambarkan mengenai

“bargaining power” antara Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi

kontrak privatisasi perusahaan air.

Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,

Negosiasi, Kontrak Privatisasi Perusahaan Air

vii

ABSTRACT

This research attempts to analyze Bargaining Power about two actors.

Pemprov DKI Jakarta as a host country and PT Palyja as a MNC. The effect

about privatization Jakarta such as the increases water price and the increases of

PAM Jaya debt are related with negotiation contract by two actors. The result

about negotiation, include the unequal distribution benefit about host and MNC

bring back to question about what determines the bargaining power of host

countries and Foreign Investor. Furthermore, this research will explain the

determinan of bargaining power of Pemprov DKI Jakarta as a host country and

PT Palyja as a MNC in contract negotiation water privatization Jakarta.

Kata Kunci: Bargaining Power, Pemprov DKI Jakarta, PAM Jaya, Palyja,

Negotiation, Contract of Water Privatization

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii

SURAT PERNYATAAN KEABSAHAN SKRIPSI.......................................... iii

KATA PENGANTAR.......................................................................................... iv

ABSTRAK............................................................................................................ vi

DAFTAR ISI....................................................................................................... viii

DAFTAR BAGAN............................................................................................... x

DAFTAR SINGKATAN..................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah.............................................................................. 11 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 11 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 12

BAB II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulu.................................................................................. 13 2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Konsep Bargaining Power.................................................. 17 2.2.2 Operasionalisasi Konsep ..................................................... 22 2.4 Argumen Utama.................................................................................. 25 2.5 Alur Pemikiran.................................................................................... 26 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian................................................................................... 27 3.2 Ruang Lingkup............................................................................... ... 27 3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................ 28 3.4 Sistematika Penulisan........................................................................ 28 BAB IV. GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA 4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta........................................................... 31 4.2 Kontrak Privatisai Air Jakarta ........................................................... 37

ix

4.2.1 Prinsip dan Tanggung Jawab Kerjasama .......................... 38 4.2.2 Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya .................. 40 4.2.3 Target Teknis dan Standart Pelayanan............................... 42 4.3 Aktor yang Terlibat dalam Kontrak Privatisasi Air Jakarta ............ 44 4.3.1 PAM Jaya .......................................................................... 44 4.3.2 Palyja.................................................................................. 47

BAB V. ANALISIS BARGAINING POWER PEMPROV DKI JAKARTA dan PT PALYJA DALAM NEGOSIASI KONTRAK PRIVATISASI AIR JAKARTA

5.1 Characteristic of Project 5.1.1 Tingkat Investasi Palyja....................................................... 52 5.1.2 Ongkos Biaya Palyja........................................................... 58 5.1.3 Tingkat Teknologi yang di gunakan PALYJA .................... 62 5.1.4 Variasi produk pengganti dari air bersih.............................. 65

5.2 Characteristic of Host 5.2.1 Kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam Bernegosiasi .........................................................................67 5.2.2 Jumlah Penduduk Jakarta yang menggunakan air Palyja.... 70 5.2.3 Tingkat mobilisasi masyarakat kota Jakarta........................ 73 5.2.4 Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di Jakarta ................................................................................. 77 5.3 Exogenous Factor 5.3.1 Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001........... 82 5.3.2 Pesaing Suez Environment di level Global.......................... 87

5.4 Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ................................. 93

BAB VI: PENUTUP 6.1 Kesimpulan ...................................................................................... 100 6.2 Saran 6.2.1 Saran Bagi Pembuat Kebijakan ........................................ 102 6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ...................................... 102 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 103

x

DAFTAR BAGAN

GAMBAR HALAMAN

1. Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta....................................... 35

2. Pembagian wilayah antara Palyja dan Thames Pam Jaya........................ 79

TABEL

1. Operasionalisasi Konsep.......................................................................... 24

2. Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak

Privatisasi Air Jakarta.............................................................................. 41

3. Standart dan Teknis Pelayanan dalam kontrak Privatisasi Air

Jakarta....................................................................................................... 42

4. Investasi PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya 1998-

2008.......................................................................................................... 53

5. Ongkos Biaya PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya 1998-

2002.......................................................................................................... 60

6. Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun 1992-

2009.......................................................................................................... 71

7. Daftar Perusahaan Multinasional sektor air bersih di seluruh

dunia......................................... .......................................................................... 88

8. Analis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air......................................... 93

GRAFIK

1. Trend FDI di Indonesia tahun 1970-

2009......................................................................... ................................. 83

xi

2. Pertumbuhan FDI di ASEAN tahun 1990-

2008........................................................................................................... 85

3. Data Penjualan Volume Air oleh Perusahaan Multinasional air bersih di

Dunia......................................................................................................... 89

4. Joint Venture antara Perusahaan Multinasional di dunia ..........................91

xii

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

FDI : Foreign Direct Investment

GDF : Gaz De France

MNC : Multi National Corporation

MOU : Memorandum Of Understanding

NGO : Non-Govermental Organization

Palyja : Perusahaan Air Minum Lyonaaise Jaya

PAM Jaya : Perusahaan Air Minum Jakarta

PEMPROV DKI : Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota

PMA : Perusahaan Multinasional Asing

SK : Surat Keputusan

TPJ : Thames Perusahaan Air Munim Jaya

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah

Perusahaan Multinasional atau MNC adalah salah satu aktor baru dalam

kajian Hubungan Internasional pasca perang dingin. Kehadiran MNC juga disebut

sebagai pemain kunci (central players)1 karena peran dan pengaruhnya yang

semakin kuat dalam tatanan ekonomi global. Dalam perkembangannya, MNC

memiliki beberapa strategi untuk dapat masuk ke dalam sebuah negara.

Diantaranya adalah dengan membentuk cabang perusahaan dengan menggunakan

modal sendiri, membeli saham perusahaan nasional di sebuah negara, dan

berpartisipasi dalam pengelolaan perusahaan nasional melalui program

privatisasi2

Privatisasi merupakan salah satu bentuk neo-liberalisme yang sempat

mendominasi kebijakan pembangunan di awal tahun 1980-an. Indonesia sebagai

negara berkembang, juga mengikuti trend privatisasi tersebut termasuk di sektor

air. Privatisasi perusahaan air di Indonesia dipelopori oleh munculnya The Dublin

Statement on Water and Sustainable Development yang diselenggarakan di

Dublin, Irlandia tahun 1992. Dublin Statement on Water and Sustainable

Development atau yang biasa disebut dengan Dublin Principles memuat 4 prinsip

1 Sorcha Macleod and Douglas Lewis, Transnasional Corporations: Power, Influence, and Responsibility (London:Global Social Policy ,vol.4,2004) hal 77. Melalui http://www.uk.sagepub.com/suder/Chapter%2010%20-%20Macleod%20&%20Lewis.pdf (diakses 7 Februari 2014) 2 Thomas M. Leonard, Encyclopedia Of The Developing World (New york:Routledge, vol.1,2006) hal 1093. Melalui http://nomorebiggov.files.wordpress.com/2008/11/encyclopedia-of-the-developing-world.pdf (diakses 7 Februari 2014)

2

terkait kebijakan dan pembangunan di sektor sumber daya air3. Salah satu isi dari

prinsip tersebut adalah air memiliki nilai ekonomi dan keberadaan air harus diakui

sebagai barang ekonomi.

World Bank sendiri pada tahun 1993 mengeluarkan kebijakan “Water

Resource Management Policy” yang berisi dukungan reformasi bagi negara-

negara peminjam dana untuk membantu dan mengupayakan sistem pengelolaan

sumber daya air di masing-masing negara4. Kebijakan tersebut mencakup

kerangka kerja berdasarkan prioritas yang paling dibutuhkan (perencanaan

holistik), sistem perundang-udangan yang menunjang terjadinya perubahan

partisipasi dan desentralisasi, serta permasalahan keuangan dari air bersih dan

kegunaannya dalam berkompetisi (air sebagai barang ekonomi). Semenjak

diberlakukannya kebijakan ini, tingkat pinjaman Bank Dunia di sektor air

semakin meningkat. Total pinjaman bank dunia dalam bidang air adalah sebanyak

US$ 17 milyar5. Dari tahun 1993-2001 sekitar 17 persen anggaran Bank Dunia

adalah untuk proyek-proyek yang berhubungan dengan sumber daya air.

Dalam privatisasi air Jakarta sendiri, Lembaga Internasional turut

memberikan bantuan teknis dan pinjaman terkait proyek privatisasi air Jakarta.

Seperti yang dilakukan world bank dalam kebijakan program Water Resource

Structural Adjustment Loan (WATSAL). Program ini berawal dari krisis

ekonomi di Indonesia pada tahun 1998, dimana World Bank mengeluarkan

3 UN Documents: Gathering a Body of Global Agreements, http://www.un-documents.net/h2o-

dub.htm (diakses 8 Februari 2014) 4 Nadia Hadad, Privatisasi Air di Indonesia, (Indonesia, INFID Annual Lobby, 2003) hal 14

5 Ibid

3

program pinjaman untuk merestrukturasi sektor sumber daya air di Indonesia.

World Bank mengeluarkan pinjaman sebesar US$ 300 Juta dengan beberapa poin

yang harus dipenuhi. Salah satu poin tersebut diantaranya adalah menjadikan air

bersih sebagai barang ekonomi6. Poin ini kemudian membuka pintu bagi sektor

swasta untuk menjadi mitra pemerintah sesuai dengan konsep yang diinginkan

oleh world bank. Melalui program WATSAL, world bank mencoba untuk

memperbesar peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

WATSAL bahkan juga mempromosikan pengalihan kepemilikan perusahaan air

dari pemerintah ke tangan publik/swasta.

Dari berbagai faktor Internasional dan faktor pinjaman dari worldbank

diatas, kemudian perusahaan air di wilayah Indonesia mulai di privatisasi

termasuk kota Jakarta. Di kota Jakarta sendiri, perjanjian privatisasi antara publik

dan swasta diresmikan pada tahun 1997. Perusahaan Air Minum Daerah Khusus

Ibu Kota Jakarta (PAM Jaya) bekerjasama dengan dua Perusahaan Multinasional

milik Inggris dan Perancis. Mitra dari Perancis mengelola bagian barat Jakarta

melalui PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan mitra dari Inggris mengelola bagian

timur Jakarta melalui PT Thames PAM Jaya (TPJ). Namun, pada penelitian ini

penulis mengambil aktor PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sebagai fokus kajian.

Dalam kerjasama berbentuk konsesi tahun 1997, Instruksi Menteri Dalam

Negeri menyatakan bahwa setiap kegiatan PAM Jaya dengan Palyja diarahkan

untuk peningkatan pelayanan yang mencangkup peningkatan kuantitas,

peningkatan kualitas, peningkatan kontinuitas, peningkatan efisiensi, dan

6 Nadia Hadad, Loc. Cit hal 14

4

peningkatan kesejahteraan masyarakat7. Kerjasama dilaksanakan dalam bentuk

konsesi yang berlaku selama 25 tahun. Tim negosiasi dibentuk oleh pemerintah

DKI Jakarta untuk melaksanakan kerjasama kemitraan antara PAM Jaya dan

swasta oleh Gubernur DKI.

Menurut perjanjian kerjasama, Palyja yang menjadi pihak kedua memiliki

keahlian dalam bentuk dana maupun sumber daya lainnya yang berkaitan dengan

rancangan, konstruksi, pengelolaan, dan pengoperasian fasilitas-fasilitas produksi

serta distribusi dalam bidang air bersih8. Oleh karena itu, pembagian tugas antara

Palyja dan PAM Jaya yang diatur dalam kontrak cukup berbeda. Palyja

bertanggung jawab atas seluruh pengelolaan perusahaan air Jakarta yang

mencakup pencapaian target teknis dan standart pelayanan, pendanaan,

pelaksanaan, operasional, pemeliharaan, dan rencana investasi untuk 5 tahun ke

depan. Sedangkan PAM Jaya bertanggung jawab atas monitoring pendanaan,

monitoring pelaksanaan, monitoring operasi, dan evaluasi target teknis dan

standart pelayanan9.

Kesepakatan yang terjadi pada tahun 1997 menunjukkan bahwa Palyja

memegang peranan besar dalam hal fasilitas dan infrastruktur sektor air di Jakarta

Barat. Mulai dari pasokan air baku hingga tagihan kepada pelanggan. Kontrak

7 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy) hal 5. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses pada 20 Mei 2014) 8 Ibid, hal6 9 Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009) hal 59. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014)

5

privatisasi air Jakarta juga memisahkan mekanisme antara pendapatan perusahaan

yang diperoleh dari pelanggan layanan air (tarif air) dan pendapatan yang diterima

perusahaan swasta dari PAM Jaya atas jasanya mengelola air di Jakarta (imbalan

air)10. Tarif air adalah harga yang di bayarkan oleh pelanggan, sedangkan imbalan

air adalah harga yang harus di bayar PAM Jaya kepada mitra swasta yaitu Palyja,

atas jasanya memproduksi dan mengelola sistem air di wilayah Jakarta.

Kontrak konsesi yang telah disepakati bersama mitra swasta tahun 1997-

2001 menempatkan proyeksi keuangan sebagai faktor paling menentukan dalam

menetapkan imbalan air. Proyeksi keuangan yang dimaksud berkaitan dengan

kebutuhan finansial dari pihak swasta, termasuk Palyja. Penentuan imbalan air

yang harus dibayar PAM Jaya kepada mitra swasta sama sekali tidak berdasarkan

performance-based atau kinerja perusahaan, melainkan ditetapkan berdasarkan

kebutuhan uang yang diminta oleh pihak swasta11. Hal ini menyebabkan berapa-

pun imbalan air/uang yang diminta oleh swasta, PAM Jaya harus mampu untuk

memenuhinya. Kondisi tersebut nyatanya menyulitkan pemerintah Jakarta melalui

PAM Jaya. Perusahaan milik pemerintah daerah ini harus mematuhi klausa

kontrak tersebut untuk membayar imbalan air yang semakin naik di tiap

periodenya. Secara tidak langsung, klausa ini memberikan jaminan keuntungan

kepada Palyja selama kerja sama berlangsung.

10 Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession, (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 6. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro-poor%20Jakarta_0.pdf (diakses 15 Mei 2014) 11

Ibid, hal 6

6

Sebaliknya, imbalan air yang ditetapkan dalam kontrak menyebabkan

PAM Jaya berhutang kepada pihak swasta. Diperkirakan, hutang PAM Jaya

kepada pihak swasta di akhir kontrak pada tahun 2022 adalah sebesar Rp 18

triliun12. Pelunasan hutang ini, nantinya akan dibayarkan oleh Pemenrintah

Provinsi Daerah Jakarta yang diambil melalui dana APBD. Kerugian yang sangat

besar akan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari klausa kontrak

yang membahas mengenai imbalan tarif tersebut.

Kontrak tersebut juga menjelaskan mengenai denda pembayaran atas

pembatalan dan pemutusan kontrak. Jika PAM Jaya ingin memutuskan kontrak

kerjasama yang telah di sepakati oleh kedua mitra swasta, maka PAM Jaya harus

membayar denda sebagai biaya ganti rugi kepada Thames Water dan Suez

Environment. Pembayaran tersebut meliputi biaya dari semua investasi yang

dibuat oleh perusahaan asing, biaya asuransi, dan penghasilan bruto yang

diharapkan selama setengah sisa kontrak13. Poin ini menunjukkan bahwa kontrak

konsesi bersifat mengikat dan sulit untuk melakukan pemutusan kontrak secara

sepihak karena harga dari denda yang harus di bayar sangat besar, dan seluruh

dana kerugian ditanggung oleh Pemerintah DKI melalui perusahaan daerah PAM

Jaya.

Selain itu, kontrak konsesi antara PAM Jaya dan pihak swasta juga

menyebutkan bahwa tarif air akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali. 12 Tim Advokasi Hak Atas Air Gugat Privatisasi Air, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/13/18260894/Tim.Advokasi.Hak.Atas.Air.Gugat.Privatisasi.Air (diakses 16 Mei 2014) 13 Privatisasi PDAM, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6232&type=7#.U3sG9XZp3M8 (Diakses 20 Mei 2014)

7

Kesepakatan tersebut disesuaikan atas dasar tingkat produksi dan pelayanan yang

diberikan mitra swasta kepada pelanggan14 . Tarif air yang meningkat, berkaitan

dengan pelanggan dari perusahaan air yang merupakan penduduk Jakarta.

Kesepakatan ini, nantinya akan berimbas kepada masyarakat Jakarta yang harus

membayar harga air yang semakin lama semakin tinggi. Padahal air bersih

seharusnya merupakan hak yang diambil bebas melalui alam, dan tidak menjadi

sesuatu yang diperjual-belikan oleh pasar melalui perusahaan15. Apalagi

perusahaan yang mengelola adalah milik asing yang masuk melalui negara karena

adanya kebijakan-kebijakan kapitalisme. Kenaikan tarif yang diberlakukan dalam

kontrak konsesi nantinya akan memberatkan penduduk kota Jakarta, terutama

penduduk Jakarta dengan tingkat penghasilan yang rendah. Masyarakat miskin

tidak dapat mengakses fasilitas yang diberikan Palyja16, karena harga air yang

diberlakukan semakin mahal.

Kontrak privatisasi air tahun 1997 juga membahas mengenai standart dan

teknis pelayanan. Standart ini ditetapkan, agar kinerja dari pihak swasta dapat

terus meningkat dan kebutuhan air masyarakat Jakarta dapat terpenuhi. Namun,

standart ini nyatanya justru dipagari dengan berbagai syarat yang tidak

mengikat17. Target dan standar teknis dapat diubah jika ada retribusi baru yang

dibebankan pemerintah, munculnya permasalahan terkait air baku, penyimpangan

14 Asri Fitrianti, Op.cit, hal 76 15 Jason Segers, Privatization of Water in Latin America: A Case Study in Bolivia, (California: San Luis Obispo, 2010) hal 24. Melalui http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=socssp (diakses 16 Mei 2014) 16

Water Privatization Challanged After 16 Years, http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/water-privatization-challenged-after-16-years.html (diakses 20 Mei 2014) 17

Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit, hal 9

8

realisasi keuangan, dan proyeksi keuangan yang berbeda dengan PKS18. Dari sini

terbukti bahwa poin tersebut memberikan kelonggaran tersendiri bagi Palyja

karema kelonggaran standart teknis yang seharusnya dapat dipenuhi pihak swasta.

Kontrak konsesi privatisasi air Jakarta yang diresmikan pada tahun 1997,

kemudian di renegosiasikan kembali di tahun 2001 karena adanya ketidakstabilan

ekonomi akibat krisis Asia dan ketidak stabilan politik di Indonesia. Poin dalam

kontrak renegosiasi selanjutnya adalah mengenai pengaturan tarif yang harus

dibayar pelanggan. Sesuai dengan kontrak tahun 1997, disebutkan bahwa tarif air

akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali. Tetapi dalam

perkembangannya, tarif air tidak dapat dinaikkan setiap 6 bulan sekali semenjak

tahun 1997 karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi

masyarakat Jakarta seperti krisis keuangan dan ketidak stabilan politik negara saat

itu19.

Renegosiasi kemudian mulai membahas kembali mengenai tarif air yang

harus dibayar pelanggan dengan kenaikan tarif setiap 6 bulannya. Kenaikan tarif

air yang pertama adalah sebesar 35 persen pada bulan April 2001 hingga naik

kembali sebesar 40 persen pada tahun 2003. Harga tarif air kemudian semakin

lama semakin meningkat hingga tahun 2007. Tercatat dari tahun 1998 harga tarif

air rata-rata yang tadinya sebesar Rp 1600 per meter kubik menjadi meningkat

drastis sebesar RP 7450 per meter kubik pada tahun 200720. Kenaikan tarif yang

18 Ibid 19 Asri Fitrianti, Op.Cit, hal 76 20 Fiona Zakaria, Assessing Pro-Poor Water Supply Programs in Jakarta (Royal Geographical Society, 2008) hal 26. Melalui https://www.rgs.org/NR/rdonlyres/BA1AE09E-FCCF-459A-B27E-048095E65F6D/0/FionaZakariadissertationCandidateNumber667918.pdf (diakses 20 Mei 2014)

9

disepakati nyatanya tidak menguntungkan bagi Pemprov DKI. Karena hasil dana

dari kenaikan tarif ini selanjutnya dibagi lagi kepada Departemen Keuangan,

pemasukan PAM JAYA, mitra swasta, dan masih banyak lagi. Pendapatan PAM

JAYA dari sektor tarif air masih belum dapat menutupi imbalan air yang diminta

swasta. Justru kenaikan tarif ini malah memberatkan pelanggan air, karena harga

yang di bayar semakin mahal dan meningkat drastis per semesternya.

Renegoisasi kontrak selanjutnya juga menjelaskan mengenai tingkat

rebasing. Rebasing adalah ketentuan yang ditetapkan oleh kedua belah pihak

berkaitan dengan imbalan air yang harus dibayarkan PAM JAYA kepada mitra

swasta21. Dalam renegosiasi kontrak tahun 2001, terlihat mitra swasta selalu

mengajukan kenaikan rebasing, dimana imbalan air yang diminta semakin lama

semakin mahal. Seperti kontrak 1997 yang sebelumnya, kenaikan rebasing tidak

didasarkan berdasarkan performance based tetapi di titik beratkan pada kebutuhan

finansial pihak swasta. Terlihat dari imbalan air per meter kubik pada tahun 2004

yaitu sebesar Rp 4.257, tahun 2005 sebesar Rp 4.997, tahun 2006 sebesar Rp

5.624, tahun 2007 sebesar Rp 6.407, hingga tahun 2009 sebesar Rp 7.452 per

m322.

Kontrak konsesi tahun 1997 maupun renegosiasi kontrak tahun 2001 yang

seharusnya menguntungkan kedua belah pihak nyatanya malah cenderung banyak

menguntungkan PT Palyja daripada Pemprov Jakarta secara keuangan. Pada tahun 21Betapa Rapuhnya Eksistensi Badan Regulator PAM, http://www.indonesiawaters.com/2009/05/rapuhnya-eksistensi-badan-regulator-pam.html (Diakses 20 Mei 2014) 22 Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan Dampaknya Bagi Pelanggan (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy, 2011) Hal 7. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Financial%20Machinations-1.pdf (diakses 20 Mei 2014)

10

2004, Palyja berhasil meraup laba bersih sebesar Rp 114 Milyar atau rata-rata

sebesar Rp 125 Milyar per tahunnya. Sedangkan hutang PAM Jaya yang harus

dibayarkan ke mitra swasta sampai dengan akhir 2003 adalah sebesar Rp 737,6

Milyar atau rata-rata sebesar Rp 123 Milyar per tahunnya. Artinya, hutang PAM

Jaya terhadap kedua mitra swasta sebenarnya dapat ditutup hanya dengan

keuntungan dari Palyja23.

Penelitian ini menjadi urgen, karena berkaitan dengan kebutuhan utama

manusia yaitu air bersih. Air bersih adalah barang pokok yang diperlukan manusia

dan keberadaannya tidak dapat digantikan dengan barang lain. Air bersih

merupakan Sumber Daya Alam yang bersifat common property24 sehingga setiap

individu seharusnya memiliki akses terhadap air bersih. Tetapi saat ini, terdapat

regulasi tertentu dari perusahaan air agar setiap individu dapat mendapatkan air

bersih. Salah satunya adalah dengan penggunaan dan penetapan tarif air bersih

kepada pelanggan.

Negoisasi kontrak antara Pemprov DKI Jakarta selaku host dan PT Palyja

yang merupakan anak cabang dari Suez Environment selaku MNC ditentukan oleh

Bargaining Power dari masing-masing aktor. Adanya

ketimpangan/ketidakseimbangan keuntungan dimana MNC selaku PT Palyja lebih

banyak mendapatkan keuntungan dari Pemprov DKI Jakarta selaku host antara

seperti yang telah dijelaskan diatas, ditentukan oleh Bargaining Power dari

23 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhianie, Op.cit, hal 8 24

William Blomquist, Common Property’s Role in Water Resource Management, (1998) . Melalui http://dlc.dlib.indiana.edu/dlc/bitstream/handle/10535/5468/Common%20propertys%20role%20in%20water%20resource%20management.pdf?sequence=1 (diakses 28 Oktober 2014)

11

masing-masing aktor25. Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka

penulis dapat menarik rumusan masalah, “Bagaimana analisis Bargaining Power

Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi

Perusahaan Air ?”

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT

Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Perusahaan Air ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji lebih dalam mengenai analisis “bargaining power”

Pemerintah Provinsi Jakarta dan PT Palyja terkait negosiasi kontrak

privatisasi perusahaan air Jakarta.

2. Memenuhi syarat skripsi untuk memenuhi gelar Sarjana Hubungan

Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Brawijaya

25

Theodore H. Moran, Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas,(1978), hal 82

12

1.4 Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna memberikan

informasi terkait dengan analisis “bargaining power”

Pemprov Jakarta dan PT Palyja

b. Membantu program studi Hubungan Internasional dalam

memberikan informasi dan data yang terkait dengan

permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi

peneliti lain yang ingin meneliti tentang analisis

“bargaining power” Jakarta dan PT Palyja dalam kasus

privatisasi perusahaan air Jakarta.

b. Diharapkan dapat menjadi sebuah karya penelitian yang

digunakan sebagai referensi bahan pemecahan masalah

yang relevan.

13

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Studi Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, akan dicantumkan hasil

studi terdahulu yang telah dilakukan oleh penulis sebelumnya. Studi terdahulu

yang pertama yaitu penelitian yang dilakukan oleh Trnik yang berjudul Local

Goverments and Foreign Direct Investment. Examining the Relationship between

MNC’s and Local Goverments in Slovakia26. Dalam penelitian ini, Trnik

menjelaskan mengenai hubungan antara MNC dan host-countries/goverment yang

berfokus pada pemerintah lokal dalam lingkup sub-nasional.

Trnik juga menjelaskan mengenai bargaining power yang dimiliki oleh

pemerintah lokal dengan MNC. Studi kasus yang dikaji dalam penelitian ini

adalah dua kota dari Slovakia yaitu Levice dan Vrable dimana dua kota tersebut

membuktikan bargaining power-nya yang cukup kuat dalam menarik investasi

asing secara otonom. Kedua kota tersebut secara aktif menarik Foreign Direct

Investment untuk masuk dan menjadi wilayah yang memiliki banyak MNC.

Secara tidak langsung, Levice dan Vrable dari negara Slovakia mencerminkan

bargaining position yang kuat melalui pemerintah local melalui banyaknya MNC

dan Foreign Direct Investment yang tumbuh dalam kota tersebut.

26

Michal Trnik, Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship between MNC’s and Local Goverments in Slovakia (Budapest: Central European University, 2005) melalui http://michal.trnik.com/prace/BELA_research_paper.pdf (diakses 15 April 2014)

14

Trnik menggunakan operasionalisasi bargaining power milik Theodore

Moran dalam menentukan posisi pemerintah lokal dari kota Levice dan Vrable.

Penelitiannya menjelaskan bahwa karakteristik project dapat berpengaruh

terhadap bargaining position pemerintah lokal. Seperti yang dicontohkan dalam

penelitian, yaitu perusahaan Hancook milik Korea yang memiliki karakteristik

teknologi yang canggih dan tinggi dimana hal ini berpengaruh terhadap

bargaining pemerintah-lokal dari kota Levice yang menjadi sedikit lemah.

Selanjutnya sumber daya dari host. Salah satu kelebihan yang ditawarkan kedua

kota tersebut adalah tersedianya daerah industri dan kualitas pendidikan angkatan

kerja yang baik. Kompetisi MNC di kedua wilayah juga tinggi sehingga menarik

minat investor. Banyaknya MNC dan Foreign Direct Investment yang tumbuh di

kota tersebut menyebabkan bargain yang lemah dari MNC ketika hendak

melakukan negoisasi dengan pemerintah kota Levice dan Vrable27.

Persamaan penelitian ini dengan penulis adalah operasionalisasi yang

diambil dalam menjelaskan fenomena, yaitu bargaining power milik Theodore

Moran. Trnik juga mengambil studi kasus host dari level kota yaitu Levice dan

Vrable yang sama dengan penulis yang juga mengambil kota Jakarta sebagai

bagian dari penelitian. Sedangkan perbedaannya adalah fenomena dan aktor yang

diangkat. Trnik mengambil negara Slovakia dan keberhasilan kota Levice dan

Vrable dalam menarik investasi asing, sedangkan penulis lebih fokus terhadap

salah satu FDI dari Perancis yaitu Suez Environment yang berinvestasi melalui

27 Michal Trnik, Loc.Cit hal 19

15

PT Palyja dan kerugian host yang didapatkan dari kontrak yang telah disepakati

kedua belah pihak.

Studi terdahulu kedua yang penulis ambil adalah milik Ardhianie yang

berjudul Jakarta Water Privatization: Seven Years Of Dirty Water28. Penelitian

dilakukan dalam bentuk tesis yang menjelaskan mengenai dampak yang

ditimbulkan dari adanya privatisasi perusahaan air PAM JAYA di Jakarta dari

tahun 1998 hingga tahun 2003. Kerugian ini meliputi adanya kegagalan

pemenuhan target dan naiknya harga yang merugikan konsumen terutama

konsumen di tingkat kelas bawah. Naiknya harga kemudian di tanggung oleh

konsumen dan sisanya dibayar oleh PAM JAYA yang disebut Water Charge.

Defisit yang harus di tanggung dari tahun 1998 hingga tahun 2004 adalah sebesar

900,10 miliar rupiah29.

Kerugian lainnya yang harus ditanggung pihak Indonesia adalah berkaitan

dengan dampak pekerja dari perusahaan air tersebut. Privatisasi membuat hak-

hak pekerja menjadi dihapuskan. Pekerja harus menunggu 4 tahun untuk

mendapatkan seragam setelah melewati training dan birokrasi yang rumit.

Pekerja yang telah pensiun dan mengabdi lebih dari 10 tahun juga hanya

mendapatkan dana tunjangan pensiun sebesar 150.000 rupiah perbulan. Fakta ini

tidak setara dengan pekerja asing yang bekerja di dua perusahaan yang sama dan

mendapat gaji sebesar 150 juta hingga 200 juta perbulan. Terbukti bahwa jumlah

28

Nila Ardhianie, Jakarta Water Privatization: Seven Years Of “Dirty” Water, (Washington: Transnasional International) melalui http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/waterindonesia.pdf (diakses 28 Februari 2014) 29 Ibid, hal 230

16

pensiun yang didapat pekerja Indonesia hanya 0,001% dari pendapatan pekerja

asing30. Ardhianie juga berpendapat bahwa sebagian besar privatisasi yang

dijalankan di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil dan malah menimbulkan

hutang yang besar karena adanya desakan dari lembaga-lembaga Internasional.

Penelitian Ardhianie menjelaskan tentang kerugian yang ditanggung

Indonesia dari adanya kasus privatisasi perusahaan air PAM JAYA Jakarta. Hal

ini berbeda dengan fokus penelitian yang akan dijelaskan penulis, yaitu

mengenai Bargaining Power antara Jakarta sebagai host dan Palyja sebagai

MNC. Penelitian yang dilakukan penulis cenderung menjawab permasalahan

mengenai penyebab adanya kerugian dari kontrak privatisasi perusahaan air

Jakarta melalui bargaining power. Sedangkan persamaan antara penelitian

Ardhianie dan penelitian yang akan penulis kaji adalah aktornya yaitu PAM Jaya

yang melibatkan PT Palyja sebagai perusahaan yang turut melakukan privatisasi.

Studi terdahulu yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh

Wambua Sammy tahun 2004 yang dikeluarkan oleh e Heinrich Böll Foundation

dengan judul “water privatization in Kenya”31. Penelitian ini membahas analisa

kebijakan privatisasi air di Kenya. Penyedian air pada awalnya dipegang oleh

negara yaitu pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Tetapi semenjak

dilaksanakannya reformasi ekonomi di akhir tahun 1980-an, IMF dan Worldbank

mulai melakukan penekanan yang lebih besar terhadap Kenya. Sektor air sendiri

merupakan salah satu bidang yang ditargetkan Worldbank sebagai privatisasi.

30 Nila Ardhianie,Loc. Cit, hal 231 31

Wambua Sammy, Water Privatization in Kenya, http://www.boell.de/downloads/internationalepolitik/gip8.pdf (akses 12 Juni 2014)

17

Lampiran kebijakan privatisasi di sektor air diterbitkan pada tahun 1992 yang

diperbaharui tahun 1994 dan 1996.

Semenjak dilakukannya kebijakan privatisasi, jumlah partisipasi

perusahaan swasta di Kenya semakin meningkat. Peningkatan peran swasta

dalam penyediaan air di Kenya juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi

pemerintah. Adanya tindak korupsi dan kerangka yang tidak jelas membuat

privatisasi air yang di jalankan Kenya kurang maksimal. Selain itu, privatisasi

melahirkan komersialisasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Hal ini

berpengaruh terhadap kemampuan membeli konsumen miskin dalam

mendapatkan air bersih.

Persamaan antara penelitian yang dijelaskan diatas dan penelitian ini

adalah sama sama meneliti mengenai kebijakan privatisasi di sektor air beserta

permasalahan yang ditimbulkan terkait privatisasi. Sedangkan perbedaannya

adalah fokus negara yang diambil, jika peneliti sebelumnya berfokus pada negara

Kenya, penulis lebih berfokus pada negara Indonesia tepatnya di kota Jakarta.

2.2 Kerangka Konseptual

2.2.1 Konsep Bargaining Power

Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau

kemampuan seorang aktor untuk dapat mempengaruhi lawannya dengan cara

18

memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut32. Ketika aktor

memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan

dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor

tersebut. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu

aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih

menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih

kuat dari aktor tersebut. Sedangkan Bargaining Power yang ditawarkan pada

penelitian ini, berangkat dari preposisi dependensia yang menyatakan:

The benefits of foreign investments are “poorly” (or “unfair” or “unequally”) distributed between the multinational annd the host, or the country pays “too high” a price for what it gets, or the company siphons off an economic “surplus” that could otherwise be used to finance internal development33

Preposisi diatas menyebutkan bahwa keuntungan dari masuknya investasi

asing tidak terdistribusi secara merata dimana host membayar harga terlalu tinggi

kepada FDI dari surplus ekonomi yang seharusnya dapat digunakan untuk

pengembangan dan pembiayaan internal dari host itu sendiri34. Foregn Direct

Investment terjadi karena perusahaan memiliki investasi berupa tehnik dan

keahlian khusus dimana hal ini tidak dimiliki oleh pengusaha lokal. Tehnik dan

keahlian khusus tersebut menjadi halangan bagi host-goverment sehingga secara

tidak langsung host harus melakukan kerjasama dengan MNC35. Untuk

menghindari adanya eksploitasi, Moran menyarankan agar host-country harus

32

Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3 33 Ibid. hal 80 34 Ibid, hal 80 35 Ibid, hal 81

19

mampu untuk menjaga harga dari pelayanan tersebut dengan cara mengatur

jumlah pembayaran yang diberikan kepada perusahaan asing.

Adanya ketimpangan distribusi keuntungan juga berkaitan dengan

bargaining power yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Bargaining power

berfungsi untuk mengukur dan menentukan distribusi keuntungan dari kedua

aktor. Adanya ketimpangan keuntungan dari kedua belah pihak di sebabkan

karena kekuatan/bargaining power yang berbeda dari masing-masing pihak.

Theodore Moran sendiri menyebutkan terdapat tiga variabel yang dapat mengukur

dan memperkirakan posisi tawar.

Pertama adalah karakteristik dari project. Karakteristik dari project

meliputi ukuran dari investasi project, biaya ongkos, tingkat kestabilan

tekhnologi, dan diferensiasi produk dari MNC36. Project yang memerlukan

investasi rendah, ongkos biaya tetap rendah, teknologi yang berkembang, dan

memiliki tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan mendapatkan daya tawar

yang tinggi bagi MNC ketika hendak melakukan negoisasi dengan host. Hal ini

berbanding terbalik dengan project yang memerlukan investasi tinggi, ongkos

biaya tinggi dan perkembangan teknologi yang lambat sehingga rentan terhadap

tuntutan-tuntutan yang diminta oleh negara-host. Seperti contohnya project

investasi di bidang minyak, pertanian, atau golongan produksi sumber daya alam

lainnya37. Investasi dalam bidang ini sangat rentan terhadap tuntutan dan

permintaan dari negara-host. Project di bidang pertambangan memerlukan biaya

36Brainslav L. Slantchev, Loc. Cit, hal 82 37 Shah M. Tarzi, Thirld World Goverments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power, Hal 159

20

investasi dan ongkos tetap yang tinggi. Hal ini melemahkan bargain MNC, dan

ketika project tersebut mulai terlihat menguntungkan, maka pemerintah negara-

host biasanya akan mengajukan tuntutan nasionalisasi atau renegosiasi investasi.

Dalam investasi di industri manufatkur dimana dibutuhkan dimana tingkat

diferensiasi produk tinggi, perusahaan asing lebih santai dalam menghadapi

tuntutan negara host38. Tingkat diferensiasi produk yang tinggi akan menguatkan

bargain dari MNC. Untuk melawan tuntutan yang diberikan negara-host,

perusahaan biasanya melakukan diversifikasi produk, menambahkan teknologi

baru, atau bahkan mengancam untuk menarik seluruh investasinya dari negara-

host. Hal tersebut cukup berbeda dengan kelompok perusahaan di bidang

pengetahuan dan teknologi seperti komputer dan alat elektronik. Kelompok

perusahaan di bidang high-technology, memiliki bargain power yang kuat

sehingga terbilang relatif aman dari tuntuntan dan permintaan negara-host.

Industri yang baru-baru ini berkembang di negara dunia ketiga tersebut memiliki

pengetahuan yang lebih di bidang komputer dan elektronik. Bidang ini merupakan

bidang yang dikuasai oleh MNC, dimana kapabilitas dan jangkauan pemerintah

negara-host di negara dunia ketiga masih belum mampu menjangkaunya39.

Kedua adalah karakteristik dari host-country. Karakteristik dari host-

country meliputi keadaan dari host itu sendiri. Hal ini meliputi ukuran dari jumlah

pasar/konsumen, keadaan mobilisasi kelas menengah dari penduduk host,

kemampuan dan keahlian birokrasi lokal, dan besarnya kesempatan/alternatif host

38 Shah M. Tarzi, Loc. Cit, hal 159 39 Ibid

21

untuk memilih FDI lain40. Host dengan jumlah tawaran pasar/pelanggan yang

tinggi, adanya peningkatan mobilisasi kelas menengah, keahlian birokrasi host

yang baik, dan banyaknya pesaing FDI yang tumbuh dalam host akan

meningkatkan bargain dari host-country itu sendiri. Bangkitnya mobilisasi dari

kelas sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Populasi

yang menuntut pekerjaan dan program sosial (sebagian pembiayaan yang

diperoleh didapatkan dari pendapatan investor asing) akan menekan politisi lokal

untuk mendapaatkan manfaat yang lebih besar dari kehadiran MNC. Kemampuan

birokrasi yang berpengalaman akan mengurangi kecenderungan penipuan harga

dalam pembiayaan MNC, perjanjian bisnis yang membatasi, dan manipulasi MNC

lainnya. Kehadiran industri domestik yang kuat juga akan meningkatkan

kredibilitas lokal dalam hal nasionalisasi (jika ada tuntutan nasionalisasi) dan

menurunkan kesempatan dalam kerugian pembiayaan host.

Ketiga adalah berkaitan dengan faktor eksternal yang meliputi tingkat

ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi perusahaan asing41. Tingkat

ketidakpastian investasi yang tinggi akan melemahkan bargaining power dari

host-goverment dan tingkat ketidakpastian investasi yang lemah akan memperkuat

bargaining power dari host-goverment. Terkait dengan tingkat kompetensi MNC,

jika jumlah MNC dalam bidang yang sama sedikit, maka bargaining power yang

dimiliki host-country akan melemah. Sebaliknya, jika jumlah persaingan MNC

meningkat, maka bargaining power dari host-country akan meningkat.

40 Theodore H. Moran, Op.Cit. hal 83 41 Ibid

22

Tiga faktor diatas dapat digunakan untuk mengukur bargain power dari

berbagai bentuk dan macam investasi. Mulai dari investasi di level mikro hingga

level makro, bahkan untuk menganalisa bentuk hubungan ekonomi antara center

dan periferi. Dalam hal ini, penulis juga akan menggunakan konsep bargaining

power milik Moran untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan.

2.2.2 Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan konsep yang telah dijabarkan diatas, maka penulis dapat

membagi konsep berdasarkan 3 variabel, yaitu characteristic of project,

characteristic of host, dan exogenous factor42. Characteristic of Project dalam

mengukur bargain power menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan project

yang akan dilaksanakan. Dalam hal ini, penulis ingin mengukur ukuran investasi

Palyja, ongkos biaya dari Palyja, tingkat tekhnologi yang digunakan Palyja, dan

tingkat diferensiasi produk dari air bersih.

Sedangkan characteristics of Host-Country dalam melihat bargain power

mencakup hal-hal yang berkaitan dengan host43. Dalam kasus privatisasi

perusahaan air Jakarta, karakteristik host dapat dioperasionalisasikan melalui

keahlian/kemampuan birokrasi lokal Pemprov DKI Jakarta. Penulis hendak

meneliti lebih jauh mengenai kemampuan dari birokrasi lokal yang melakukan

negosiasi langsung dengan Palyja. Operasionalisasi selanjutnya adalah jumlah

pasar/konsumen yang ditawarkan Jakarta sebagai host kepada Palyja. Jumlah

konsumen yang tinggi akan menguatkan bargain dari host. Jumlah konsumen

42

Theodore H. Moran, Loc. Cit, hal 82-83 43

Ibid, hal 82

23

sama saja dengan menawarkan pasar untuk MNC. Sedangkan Jakarta sendiri

merupakan ibukota dari Indonesia yang memiliki penduduk sebanyak 9.809.857

jiwa pada tahun 201144 dimana penduduk tersebut pasti memerlukan air bersih

sebagai kebutuhan sehari-hari.

Indikator selanjutnya adalah tingkat mobilisasi kekuatan sosial yang tinggi

akan menguatkan bargain host. Menurut Moran, bangkitnya mobilisasi dari kelas

sosial akan mendorong tuntutan yang diajukan kepada pemerintah. Dalam hal ini

penulis hendak melihat tingkat mobilisasi kelas menengah dari masyarakat kota

Jakarta. Selain itu, adanya pesaing dari Palyja yang juga mengurusi sektor

perairan di Jakarta mempengaruhi bargain dari host maupun MNC. Adanya

pesaing MNC lain yang menguasai air bersih di Jakarta, maka bargain host

semakin kuat. Di Jakarta sendiri, terdapat beberapa investasi asing di sektor air

yang berjalan, yaitu Suez Environment dari lini usaha GDF Suez asal Perancis

yang beroperasi sejak tahun 199845, Thames Water Overseas Limited asal Inggris

sejak tahun 1998 hingga 2007, dan Acuatico Pte Ltd dalam Acuatico Group asal

Singapura yang beroperasi sejak tahun 200746.

Exogenous factors yaitu faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi

bargain dari aktor seperti tingkat ketidakpastian investasi dan tingkat kompetisi

perusahaan asing47. Dalam hal ini penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai

tingkat ketidakpastian dalam investasi di Jakarta dan pertumbuhan perusahaan 44Provinsi DKI Jakarta, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta (diakses 22 April 2014) 45 Profil Perusahaan, http://id.palyja.co.id/profil/ (diakses 22 April 2014) 46 Profil Perusahaan, http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/profilPerusahaan/page?id=sekilas (diakses 22 April 2014) 47

Theodore H. Moran, Op.Cit. hal 83

24

asing di sektor air. Banyaknya MNC maupun investasi asing yang berada dalam

kelompok jasa air bersih akan memperkuat posisi tawar dari negara-host.

Sebaiknya, semakin sedikit MNC yang bergerak dalam kelompok air bersih,

maka bargain host semakin lemah dan bargain MNC semakin kuat.

Tabel 1: Operasionalisasi Konsep

Variabel Indikator Operasionalisasi

Characteristic of Project

Ukuran Investasi yang tinggi akan melemahkan

bargain MNC

Ukuran investasi Palyja dalam Privatisasi

perusahaan air Jakarta Ongkos Biaya yang tinggi

akan melemahkan bargain MNC

Ongkos biaya Palyja dalam privatisasi

perusahaan air Jakarta Tingkat Teknologi yang

berkembang akan menguatkan bargain

MNC

Teknologi yang digunakan Palyja dalam

privatisasi perusahaan air Jakarta

Tingkat variasi produk pengganti yang rendah

akan melemahkan bargain MNC

Produk pengganti dari air

bersih

Characteristic Of Host

Keahlian birokrasi lokal yang baik akan

menguatkan bargain host

Keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi

Tingkat pasar/konsumen yang tinggi akan

menguatkan bargain host

Jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air

PAM Tingkat mobilisasi yang tinggi akan menguatkan

bargain host

Tingkat mobilisasi kelas menengah masyarakat

kota Jakarta Alternatif MNC yang

tinggi akan menguatkan bargain host

Perusahaan selain Palyja yang mengelola sekor air

bersih di Jakarta

Exogenous Factor

Tingkat ketidak pastian investasi yang tinggi akan melemahkan bargain host

Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-

2001 Kompetisi MNC yang

tinggi di level global akan menguatkan bargain host

Pesaing MNC Suez Environment di level

global

25

2.4 Argumen Utama

Berdasarkan paparan fenomena dan kajian konseptual diatas, penulis dapat

menarik argumen utama bahwa analisis Bargaining Power Pemerintah Provinsi

Jakarta dan PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan air Jakarta

dapat dilihat melalui karakteristik project, karakteristik host, dan faktor

exogenous/ faktor-faktor eksternal. Karakteristik project meliputi tingkat

investasi dari privatisasi air yang ditanam Palyja, ongkos biaya Palyja, tingkat

teknologi Palyja, dan produk pengganti dari air bersih. Karakteristik host meliputi

kemampuan Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, keadaan penduduk kota

Jakarta, jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air PAM, dan perusahaan

selain Palyja yang mengelola sekor air bersih di Jakarta Barat. Sedangkan

exogenous/ faktor-faktor eksternal adalah keadaan investasi asing di Jakarta tahun

1997-2001 dan pesaing MNC Suez Environment di level global.

26

2.5 Alur Pemikiran

Analisis “BARGAINING POWER” Pemprov DKI Jakarta dengan PT Palyja dalam negosiasi Kontrak

Privatisasi Air

“”Bargaining Power” Moran

• Jumlah investasi dari project Privatisasi perusahaan air Jakarta

• Ongkos biaya yang diperlukan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta

• Tingkat perkembangan teknologi yang dibutuhkan Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta

• Tingkat variasi produk pengganti dalam privatisasi perusahaan air Jakarta

Characteristic of Project

• Kemampuan Pemprov DKI dalam bernegosiasi dengan Palyja

• Jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan air PAM

• Tingkat mobilisasi kelas menengah masyarakat kota Jakarta

• Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih Jakarta

Characteristics

of Host-Country

• Dinamika investasi asing di sektor air Jakarta

• Jumlah MNC dalam bidang penyedia air bersih di level global

Exogenous factor

27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif karena hanya terdapat

satu variabel. Penelitian deskriptif dipilih penulis karena penulis bertujuan untuk

menggambarkan secara tepat sifat suatu keadaan dan gejala dalam sebuah

fenomena. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengambarkan Bargaining

Power Indonesia dengan PT Palyja (Perancis) dalam privatisasi perusahaan air

Jakarta.

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

Sebuah penelitian tentu memiliki ruang lingkup penelitian untuk

membatasi lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dimaksudkan agar

penelitian yang dilakukan lebih terarah dan juga memiliki batasan yang jelas.

Berdasarkan tujuan penelitian dan rumusan masalah, penulis menentukan batasan

materi yaitu pada dua aktor yaitu bargaining power Jakarta sebagai host dan

bargaining power Palyja selaku MNC dari Suez Environment. Sedangkan periode

waktu yang penulis ambil adalah tahun 1997 hingga tahun 2001. Tahun 1997

adalah ketika kontrak pertama mulai di sepakati dan tahun 2001 adalah ketika

renegoisasi kontrak ke dua disepakati.

28

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik

sekunder. Metode pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur

untuk mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen

serta materi-materi tertulis. Dokumen yang dimaksud dalam hal ini mengacu pada

teks apapun baik yang tertulis, tampak secara visual ataupun diucapkan melalui

media komunikasi yang berkaitan dengan bargaining power Pemprov DKI

Jakarta dan Palyja dalam privatisasi air Jakarta

3.4 Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan yang berisi

mengenai kontrak dan analisis bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT

Palyja dalam privatisasi perusahaan air Jakarta. Selain itu bab ini juga berisi

tentang rumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian ini.

BAB II Kerangka Pemikiran

Bab ini menjelaskan konsep yang digunakan oleh penulis untuk

menganalisa fenomena yang diangkat yaitu dengan mengunakan konsep

Bargaining Power milik Moran. Bab II ini juga menjelaskan indikator yang ada

dalam konsep untuk digunakan kemudian mengoperasionalkanya kedalam

fenomena yang diangkat.

29

BAB III Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang metode yang dipilih oleh penulis untuk

melakukan penelitian. Peneliti menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan

merupakan penelitian deskriptif. Ruang lingkup penelitian ini terbatas hanya pada

Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam privatisasi

perusahaan air Jakarta tahun 1997 hingga 2001. Teknik pengumpulan data

dilakukan oleh penulis melalui teknik sekunder melalui studi literatur untuk

mengumpulkan, mengolah, serta menganalisa informasi dalam dokumen serta

materi-materi tertulis.

BAB IV Gambaran Umum Privatisasi Air Jakarta

Bab ini berisikan uraian data temuan yang diperoleh oleh penulis dengan

mengunakan menggunakan metode serta prosedur yang diuraikan di bab III.

Dalam bab ini, penulis juga menjelaskan secara lebih rinci mengenai data dari

project privatisasi air Jakarta. Mulai dari sejarah privatisasi air Jakarta, kontrak

privatisasi air Jakarta, hingga aktor yang terlibat dalam kontrak privatisasi air

Jakarta.

BAB V Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja

Bab ini menjelaskan data dan analisis bargaining power dari Pemprov

DKI Jakarta dan PT Palyja dengan menggunakan operasionalisasi dari Moran.

30

Penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai faktor-faktor yang

menggambarkan bargaining power Pemprov DKI dan PT Palyja.

BAB VI Penutup

Bab terakhir dalam penelitian ini akan berisi mengenai kesimpulan akhir

mengenai latar belakang serta hasil dari rumusan masalah. Dalam bab ini peneliti

juga berkontribusi dalam memberikan rekomendasi serta saran bagi peneliti

selanjutnya maupun bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

31

BAB IV

GAMBARAN UMUM PRIVATISASI AIR JAKARTA

Pengertian Bargaining Power adalah mengacu pada tingkat keahlian atau

kemampuan seorang aktor untuk dapat mempengaruhi lawannya dengan cara

memberi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan lawan tersebut48. Ketika aktor

memiliki bargaining power yang cukup untuk dapat mengakomodasi kepentingan

dari lawannya, maka lawannya dapat bertindak sesuai dengan keinginan aktor

tersebut49. Salah satu bukti kelemahan maupun kekuatan bargaining power suatu

aktor dapat dilihat dari kontrak yang telah disepakati. Kontrak yang lebih

menguntungkan salah satu aktor akan menunjukkan bargaining power yang lebih

kuat dari aktor tersebut. Pada sub-bab ini penulis akan menjelaskan mengenai

kontrak privatisasi Jakarta dan aktor yang berkaitan dalam kontrak tersebut.

Selain itu, penulis juga akan menjelaskan mengenai detail dari project privatisasi

air Jakarta seperti sejarah privatisasi air Jakarta dan aktor yang terlibat dalam

kontrak.

4.1 Sejarah Privatisasi Air Jakarta

Sejarah penyediaan air bersih di Jakarta dimulai semenjak tahun 1985.

Awalnya, tugas penyediaan air bersih diurus oleh Departemen Pekerjaan Umum

48

Brainslav L. Slantchev, Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment (California: Departement of Political Science, 2005), hal 3. Melalui http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04-bargaining-dynamic-commitment.pdf (diakses 20 Juli 2014) 49 Ibid

32

Pemerintah Provinsi Jakarta. Kemudian pada tahun 1977, PDAM Jakarta di

dirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah No.3 tahun 199750. Nama

PDAM Jakarta kemudian dirubah menjadi PAM Jaya dengan harapan kinerja

perusahaan air dapat lebih baik. Pemerintah terus melakukan perbaikan pada

PAM Jaya, demi meningkatkan penyediaan dan kualitas air di Jakarta.

Banyaknya jumlah penduduk karena arus urbanisasi yang semakin

meningkat, membuat air bersih menjadi problem yang harus dihadapi penduduk

Jakarta51. Berbagai masalah terkait pemenuhan ketersediaan air bersih mulai

bermunculan. Seperti hilangnya akses air bersih terhadap sebagian masyarakat,

fasilitas infrastruktur yang tidak memadai, kendala keuangan, adanya eksploitasi

air tanah oleh bisnis komersial maupun industri, dan lain-lain. Berbagai

permasalahan air bersih yang muncul membuktikan bahwa PAM Jaya sebagai

satu-satunya unit yang menangani persediaan air bersih tidak mampu mengatasai

permasalahan air bersih tersebut. Sejauh ini, PAM Jaya hanya mampu melayani

sekitar 42 persen populasi yang meliputi 340.000 sambungan rumah. Sedangkan

sisanya sekitar 58 persen dari sekitar 8 juta warga Jakarta masih menggunakan air

tanah sebagai sumber dari penggunaan air bersih52. Hal ini tentunya menunjukkan

kinerja PAM Jaya yang masih belum bisa untuk memenuhi kebutuhan air bersih

penduduk Jakarta.

50 Hamong Santono, Current Situation of Jakarta Water Privatization, (Jakarta:KruHa Koalisi Rakyat Untuk Hak atas Air, 2011), hal 1 51 Ibid 52

Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process?, (Indonesia: Jakarta) hal 23. Melalui https://www.pecc.org/resources/1227-jakarta-water-supply-how-to- implement-a-sustainable-process-1?path= (diakses 24 Juli 2014)

33

Menurut Pemerintah Indonesia, permasalahan air bersih ini dapat

mengganggu upaya peningkatan pendapatan per-kapita rakyat53 sebagaimana

tercantum dalam rencana pengembangan ekonomi pembangunan jangka panjang.

Hal tersebut kemudian mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat

kebijakan yang melibatkan sektor swasta dalam menyediakan air bersih, agar

permasalahan air bersih tersebut dapat terselesaikan.

Privatisasi air bersih yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jakarta juga

dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh Lembaga Internasional

world bank. Pada tahun 1990, world bank mengeluarkan konsep yang menjadikan

air sebagai barang ekonomi54. Di Indonesia sendiri, world bank mengeluarkan

Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF) yang berisi

beberapa poin terkait himbauan privatisasi di sektor air. Menurut Indonesia Urban

Water Supply Sector Policy Framework (IWSPF), untuk mencapai keberhasilan

di sektor air harus ada pemisahan antara pemilik dan pengelola air55. Sektor

swasta dianggap memiliki kapasitas infrastruktur yang memadai, teknologi yang

canggih, dan pengalaman yang lebih baik dalam menghadapi problematika air

bersih. Lahirnya prinsip-prinsip tersebut akhirnya semakin mendorong

Pemerintah Jakarta untuk melaksanakan privatisasi pada sektor air bersih.

53 Hamong Santono, Op. Cit, hal 1 54

Heni kurniasih, Water Not For All: The Consequance of Water Privatisation In Jakarta, Indonesia (Melbourne:Australia,2008) hal 5. Melalui http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014) 55

Alain Locussol, Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework (Indonesia discussion paper series: no.10,1997). Melalui http://documents.worldbank.org/curated/en/1997/10/10946540/indonesia-urban-water-supply-sector-policy-framework (diakses 8 Februari 2014)

34

Upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penyediaan air bersih di

Jakarta sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1992. Tetapi, kerangka hukum

yang mengatur adanya partisipasi swasta di sektor air belum memadai. Peraturan

perundang-undangan terkait air bersih yang ada pada saat itu hanyalah UU

penanaman modal asing dalam pasal 6 Undang-Undang PMA No 1/1967.

Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur bahwa kegiatan ekonomi yang

sifatnya melibatkan hajat hidup banyak orang tidak diperkenankan dikelola

dengan modal lain termasuk modal asing56. Kemudian dilanjutkan dengan

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam

Perusahaan yang didirikan melalui penanaman modal asing57

Sedangkan di Jakarta sendiri, terdapat 3 perusahaan swasta yang awalnya

tertarik untuk bekerja sama dengan PAM Jaya dalam rangka project privatisasi air

bersih58. Tetapi upaya tersebut gagal karena tidak ada kesepakatan yang dapat

dicapai antara Pemerintah Provinsi Jakarta dengan ketiga perusahaan tersebut.

Kegagalan kesepakatan terjadi karena tidak adanya kecocokan kompensasi yang

di berikan pemerintah kepada sektor swasta terkait penjualan volume air dan

masalah kenaikan tarif air59. Selanjutnya, pada tahun 1995 pemerintah Jakarta

sepakat untuk membagi wilayah Jakarta menjadi dua dengan menggunakan

Sungai Ciliwung sebagai garis pemisah. Satu wilayah di sisi Barat sungai

Ciliwung dan satu wilayah lainnya ada di sisi timur sungai Ciliwung.

56 Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Layanan Air Bersih di Indonesia, http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/109/Privatisasi_Air/Sejarah_Keterlibatan_Swasta_dalam_Peyediaan_Layanan_Air_Bersih_di_Indonesia.html (diakses 21 Juli 2014) 57 Ibid 58 Hamong Santono, Op.Cit, hal 1 59 Ibid

35

Selanjutnya, dua perusahaan asing swasta dipilih sebagai mitra dalam

privatisasi tanpa melakukan proses tender. Konsorsium yang ditunjuk adalah

Thames Water Overseas asal Inggris untuk wilayah Jakarta bagian timur dan Suez

Environment asal Perancis untuk wilayah bagian barat. PAM Jaya dan masing-

masing konsorsium menandatangani Memorandum of Understanding (MOU)

pada tanggal 6 Oktober 199560. MOU tersebut mengharuskan dua perusahaan

swasta untuk mengadakan studi kelayakan yang harus diselesaikan dalam waktu 4

bulan sejak tanggal MOU diresmikan. Kesepakatan akhir kemudian

ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6 Juni 1997.

Gambar 1: Pembagian Wilayah Perusahaan Air di Jakarta61

Sumber: Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequences of Water Privatisastion in Jakarta, Indonesia, h.5

60 Hamong Santono,Loc. Cit, hal 2 61

Heni Kurniasih, Op.Cit hal 5

36

Gambar diatas menunjukkan bahwa Palyja memegang wilayah di zona 1,

zona 4, dan zona 5. Sedangkan TPJ memegang wilayah di zona 2, zona 3, dan

zona 6. Penjelasan mengenai zona yang dikelola oleh dua perusahaan swasta

tersebut adalah sebagai berikut:

Zona 1 : Zona wilayah I terdiri dari dari daerah Gajah Mada,

Gambir, Slipi, Bendungan Hilir, Taman Sari, Pekojan, Pluit, Tebet,

Jelambar, Setiabudi, Palmerah, dan Gelora Senayan62. Dilayani

oleh instalasi pengelolaan air pejompongan I (2.0001/dt) dan

Pejompongan II (3.600 l/dt).

Zona 2 : Zona wilayah II terdiri dari daerah Kramat, Menteng,

Cempaka Putih, Pulo Gadung, Penggilingan, dan Jatinegara63.

Instalasi yang digunakan adalah Instalasi Pengelolaan Air Pulo

Gadung (4.000 1/dt).

Zona 3 : Zona wilayah III terdiri dari daerah Kemayoran,

Kebun Bawang, Cilincing, Tanjung Priok, Tugu, Kelapa Gading,

Sunter, dan Semper. Dengan Instalasi Pengelolaan Air Buaran II

(3.000 l/dt)64.

Zona 4 & 5 : Zona wilayah IV & V terdiri dari daerah Kapuk Muara,

Kedawung, Kali Angke, Kebon Jeruk, Sukabumi Udik/Ilir,

62

Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009) hal 56. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014) 63 Ibid 64 Ibid

37

Kebayoran Lama, Melawai, Mampang Prapratan, Grogol Selatan65.

Dengan Pusat Distribusi terletak di wilayah Lebak Bulus dan

Kebon Jeruk, dimana airnya berasal dari Instalasi Cisadane milik

PDAM Tanggerang yang berkapasitas 3.000 l/dt dan disalurkan ke

Jakarta sebesar 2.800 l/dt66.

Zona 6 : Zona wilayah VI terdiri dari daerah Klender, Cipinang,

Pondok Bambu, Duren Sawit, Malaka Sari, Malaka Jaya, Pondok

Kopi, Pondok Kelapa, Kebon Pala, Halim Perdana Kusuma,

Cipinang Melayu, Cililitan, dan Condet. Dengan Instalasi

pengelolaan Air Buaran I (2.000 l/dt)67.

4.2 Kontrak Privatisasi Air Jakarta

Kontrak Privatisasi air Jakarta pertama resmi di tanda tangani pada tanggal

6 Juni tahun 1997. Kontrak tersebut kemudian mulai efektif pada tahun 199868.

Latar belakang terjadinya kerjasama antara PAM Jaya dengan mitra asing adalah

dikarena-kan kota Jakarta dirasa perlu menambahkan public investment dalam

rangka mengelola dan membangun infrastruktur air bersih69. Kerjasama ini juga

bertujuan untuk meningkatkan kinerja PAM Jaya agar akses dan kualitas air

bersih di Jakarta dapat terpenuhi. Peningkatan kualitas tersebut dapat diperoleh

65 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 57 66 Ibid 67 Ibid, hal 58 68

Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28 69 Asri Fitrianti, Op. Cit, hal 58

38

melalui sektor swasta. Sektor swasta disini memiliki kemampuan pengelolaan dan

keuangan dalam mempercepat pembangunan infrastruktur di bidang air. Dengan

hadirnya pihak swasta, di harapkan pelayanan air bersih di Jakarta yang didapat

akan menjadi lebih baik dan tarif yang dibayarkan oleh masyarakat dapat lebih

murah. Berikut penulis akan menjabarkan mengenai kontrak Privatisasi air Jakarta

secara detail.

4.2.1 Bentuk, Prinsip, dan Ruang Lingkup Kerja Sama

Bentuk kerjasama yang dijalankan oleh PAM Jaya dan mitra swasta adalah

kerja sama berbentuk konsesi. Kontrak konsesi ini berlaku selama 25 tahun, dari

tahun 1997 hingga tahun 2022. Kerjasama yang dilakukan PAM Jaya dan mitra

swasta diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak agar semua

kepentingan dari pihak terkait dapat terpenuhi. Seperti tercapainya seluruh

kebutuhan air bersih masyarakat Jakarta, kemakmuran pekerja di masing-masing

perusahaan air, adanya transfer pengetahuan dan tekhnologi, dan keuntungan

wajar yang didapatkan mitra swasta70. Selama periode 25 tahun, PAM Jaya akan

mengambil alih tanggung jawab operasi, pemeliharaan, sistem distribusi air kota

Jakarta, pengembangan instalasi air, jaringan pipa, dan layanan pelanggan kepada

PT Palyja dan TPJ. Mitra swasta akan memperkejakan seluruh pekerja dari PAM

Jaya yang berjumlah 2.803 orang71. Seluruh aset yang dimiliki PAM Jaya, akan

dikelola oleh mitra swasta hingga akhir periode masa kontrak.

70 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Op. Cit, hal 28 71 Ibid

39

Perjanjian Kerjasama penyediaan air bersih Jakarta juga memiliki tujuan

untuk mencukupi penyediaan air di wilayah Jakarta, memperluas jaringan

distribusi air bersih di wilayah Jakarta, serta memperbaiki kualitas pelayanan

pelanggan72. Memperbarui fasilitas produksi dan distribusi yang secara keuangan

dan teknis dianggap wajar untuk meningkatkan dan menyediakan air bersih di

Jakarta. Memenuhi target teknis dan standart pelayanan, mengurangi kuantitas

tingkat kehilangan air di wilayah Jakarta, menjamin kualitas, kuantitas, dan

kontinuitas air bersih, memperbaiki kinerja operasional, dan membuat proyek

yang dapat membiayai diri sendiri dan berlangsung secara ekonomis bagi para

pihak73. Dalam hal ini, pihak swasta yaitu TPJ dan Palyja menjadi pihak kedua

dari Perjanjian Kerjasama karena dianggap memiliki keahlian dalam bidang

pengelolaan dan pengoperasian fasilitas produksi-distribusi air bersih serta

memiliki dana dan sumber daya lainnya yang berkaitan dengan rancangan

konstruksi terkait air bersih.

Selain itu, kontrak konsesi juga membahas mengenai adanya perbedaan

antara water charge dan water tarrif74. Water charge merupakan harga yang harus

dibayar PAM Jaya atas jasa mitra swasta dalam mengelola perusahaan air Jakarta.

Disini mitra swasta memiliki kemampuan yang lebih dalam bidang pengelolaan

air dibanding PAM Jaya, oleh karena itu menurut kontrak PAM Jaya harus

72 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 5. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses 20 Mei 2014) 73 Ibid, hal 6 74

Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession, (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy), hal 6 Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro-poor%20Jakarta_0.pdf (diakses 24 Juli 2014)

40

membayar jasa tersebut dalam bentuk water charge. Pada kenyataannya, jumlah

water charge dalam hal ini terus meningkat. Peningkatan jumlah water charge

yang harus dibayar PAM Jaya tersebut tidak didasarkan pada kinerja dari Palyja,

tetapi berdasarkan jumlah yang diminta oleh Palyja. Jadi, berapapun jumlah water

charge yang diminta oleh Palyja, PAM Jaya harus bersedia untuk membayarnya75.

Sedangkan water tarrif adalah tarif air yang harus dibayar pelanggan kepada mitra

swasta selaku penyedia dan pengelola air bersih di Jakarta.

4.2.2 Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya

Dilaksanakannya kontrak privatisasi air Jakarta yang telah ditandatangani

pada tahun 1997 ini diharapkan mampu menguntungkan bagi semua pihak.

Termasuk didalamnya yaitu PAM Jaya, mitra swasta, Pemerintah Daerah DKI

Jakarta, karyawan perusahaan, serta masyarakat76. Dari adanya kerjasama ini,

diharapkan PAM Jaya dapat membayar hutang dan tetap memperoleh keuntungan

yang layak dalam kontribusinya kepada pendapatan asli daerah. Sementara

sasaran bagi mitra swasta adalah tercapainya pengembalian modal dan perolehan

keuntungan yang sebanding dengan biaya investasi, ongkos biaya dan operasi

yang dikeluarkan77. Pembagian kerjasama antara mitra swasta dan PAM Jaya

akan di jelaskan melalui tabel berikut:

75 Nila Ardhianie & Irfan Zamzami, Loc. Cit, hal 6 76 Asri Fitrianti, Op. Cit hal 59 77 Ibid

41

Tabel 2: Pembagian Kerja mitra swasta dan PAM Jaya dalam kontrak Privatisasi Air Jakarta 78

Sumber: Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM Jaya, h.59

Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar peran dari operasional

privatisasi air Jakarta dipegang penuh oleh pihak swasta. Mulai dari pendaan,

pelaksanaan, operasi, dan pemeliharaan air bersih Jakarta79. Menurut kontrak,

mitra swasta yaitu Palyja dan TPJ berkewajiban untuk memenuhi target-target

yang telah disepakati bersama. Sedangkan PAM Jaya bertugas untuk memonitor,

agar target yang dijalankan oleh mitra swasta nanti sesuai dengan kontrak

sebelumnya. Mitra swasta disini juga bertugas untuk merencakan jangka investasi

5 tahun ke depan agar project privatisasi yang dijalankan bisa berhasil karena

perancanaan yang matang. Sedangkan PAM Jaya bertugas untuk melalukan

evaluasi dan monitoring kelayakan bagi mitra swasta. Segala bentuk pendanaan,

pelaksanaan, dan operasi tentang distribusi air dijalankan oleh mitra swasta dan

diawasi oleh PAM Jaya. Sedangkan pengaturan tarif bagi pelanggan di atur oleh

78 Asri Fitrianti, Loc.Cit, hal 59 79 Ibid

Mitra Swasta PAM Jaya

Pencapaian Target Teknis dan Standart Pelayanan

Memonitor Target Teknis dan Standard Pelayanan

Rencana Investasi 5 Tahun tahap Selanjutnya

Evaluasi Studi Kelayakan dan membantu dalam negosiasi tahap

berikutnya

Pendanaan Memonitor Pendanaan

Pelaksanaan Memonitor Pelaksanaan

Operasi dan Pemeliharaan Memonitor Operasi dan Pemeliharaan

Pengaturan Tarif Pengaturan Tarif

42

kedua belah pihak, baik Palyja, TPJ, maupun PAM Jaya. Kedua pihak sama-sama

memiliki peran dalam pengaturan tarif air bersih di Jakarta.

4.2.3 Target teknis dan standart pelayanan

Selain pembagian tugas, Perjanjian Kerjasama privatisasi air Jakarta juga

membahas mengenai target teknis dan standart pelayanan. Target teknis inilah

yang harus dipenuhi oleh mitra swasta, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas

air bersih di Jakarta. Untuk lebih lengkapnya, standart dan teknis pelayanan dalam

privatisasi air Jakarta tersebut dapat dilihat melalui tabel di bawah ini:

Tabel 3: Standart dan Teknis Pelayanan dalam kontrak Privatisasi Air Jakarta 80

Tahun ke 5 Tahun ke 10 Tahun ke 20 Tahun ke 25 Volume Air Terjual

342 juta m3 398 juta m3 419 juta m3 428 juta m3

UFW 35% 25% 20% 20%

Cakupan Pelayanan

70% 75% 98% 100%

Kualitas - Air Bersih di akhir tahun

ke-9

Potable Water Potable Water

Tekanan Air 7,5m pada seluruh zona (kecuali pluit)

7,5m pada seluruh zona (kecuali pluit)

7,5m pada seluruh zona

7,5m pada seluruh zona

Sumber: Hamong Santono, Current Situation of Jakarta Water Privatization, h.4

Tabel diatas menunjukkan target-target yang harus dipenuhi mitra swasta

selama 25 tahun kedepan. Dapat dilihat, selalu ada perbaikan setiap 5 tahunnya.

80

Hamong Santono, Op. Cit, hal 4

43

Mulai dari volume air yang terjual. Pada 5 tahun pertama volume air terjual

diharapkan mampu mencapai 342 juta m3. 10 tahun berikutnya volume air terjual

diharapkan mampu mencapai 398 juta m3, 419 juta m3 di tahun ke 20, dan 428 juta

m3 di tahun ke 2581.Sedangkan UFW/tingkat kebocoran diharapkan semakin lama

semakin berkurang. Yaitu 35% di 5 tahun pertama, 25% di 10 tahun berikutnya,

20% ditahun berikutnya, dan 20% di 25 tahun terakhir. Cakupan pelayanan air

bersih di Jakarta juga diharapkan semakin lama semkin meningkat yaitu sebesar

70% di tahun ke-5, 75% di tahun ke-10, 98% di tahun ke-20, dan 100% di tahun

ke 25. Kualitas air bersih juga diharapkan semakin membaik hingga menjadi

potable water/air langsung diminum di tahun ke-20 dan seterusnya. Tekanan air

juga diharapkan mampu mencapai 7,5 m pada seluruh zona di tahun terakhir82.

Walaupun pada Perjanjian Kerjasama telah diatur standart dan teknis

pelayanan yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh mitra swasta. Tetapi, pada

kenyataannya standart tersebut lebih bersifat fleksibel. Karena target teknis pada

perjanjian ini dapat dirubah sewaktu-waktu83. Hal ini dapat dirubah jika terjadi

penyimpangan realisasi keuangan. Realisasi keuangan ini meliputi dana investasi

tahunan, program pengoperasian dan pemeliharaan tahunan, dan budget yang

telah disetujui oleh pihak pertama.

81 Hamong Santono, Loc. Cit, hal 9 82 Ibid 83 Wijanto Hadipuri dan Nila Ardhianie, Op. Cit, hal 9

44

4.3 Aktor yang Terlibat dalam Kontrak Privatisasi Air Jakarta

Fenomena privatisasi air Jakarta sebenarnya melibatkan banyak aktor.

Mulai dari pemerintah, mitra swasta lokal, MNC, NGO, hingga masyarakat pada

umumnya. Tetapi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah aktor yang

terlibat dalam kontrak privatisasi air Jakarta yang berkaitan dengan penelitian

penulis. Kontrak tersebut membahas mengenai pelimpahan tugas dari PAM Jaya

kepada mitra swasta. Oleh karena itu aktor yang akan dibahas adalah PAM Jaya

dan salah satu mitra swasta yang akan penulis kaji dalam penelitian ini, yaitu

Suez Environment melalui Palyja.

4.3.1 PAM Jaya

Pengadaan air bersih di kota Jakarta dimulai semenjak tahun 1843 dengan

menggunakan sumur bor/atesis84. Pada tahun 1920, pemerintah Hindia Belanda

menemukan mata air di Ciomas-Ciborial Bogor dan mendirikan perusahaan air

bernama Gementeestaatwaterleidengen van Batavia. Perusahaan

Gementeestaatwaterleidengen van Batavia memproduksi air bersih ber-kapasitas

484 l/dt dengan menggunakan sistem gravitasi. Dua tahun kemudian, tepatnya

tanggal 23 Desember 1922 untuk pertama kalinya sumber air yang berasal dari

84

Sejarah PAM JAYA, http://www.pamjaya.co.id/Sejarah-PAM-JAYA.html (diakses 22 Juli 2014)

45

Ciburial Bogor dialirkan ke kota Batavia (Jakarta). Hingga saat ini, tanggal 23

Desember selalu dijadikan sebagai hari jadi PAM JAYA85.

Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, pelayanan air

minum mulai dikelola oleh Bangsa Indonesia melalui Pekerjaan Umum Kota

Praja. Seluruh tanggungjawab dalam hal penyediaan air bersih dipegang Dinas

Saluran Air Kota Praja melalui PD PAM Jaya86. Tahun 1953 dibangun instalasi

Pengolahan Air pertama di Pejompongan 1 dan disusul oleh Instalasi Pengolahan

Air Pejompongan II dengan kapasitas masing-masing sebesar 2.000 l/dt dan 3.000

l/dt pada tahun 1964.

Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1953 pasal 2 ayat 1(e) menyebutkan

bahwa urusan penyelenggaraan air minum dan penyehatan lingkungan telah

diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Peraturan ini berlaku

bagi tingkat I maupun tingkat II sebagai urusan daerah yang otonom dan

penyelenggaraannya berdasarkan asas desentralisasi. Dari hal ini terlihat bahwa

upaya pemenuhan air bagi masyarakat telah sepenuhnya dilimpahkan kepada

pemerintah daerah masing-masing. Kebutuhan air bersih yang semakin

meningkat, dan pemenuhan yang tidak seimbang membuat Pemerintah Pusat

harus memberikan bantuan kepada pemerintah Daerah dalam bentuk asistensi

teknis, bantuan proyek, kebutuhan dasar, bantuan keuangan, dan bantuan lainnya.

85 Sejarah PAM Jaya Loc. Cit. 86 Ibid

46

Mengacu pada SK Gubernur No 1b/3/22/197787, PAM Jaya mulai

memisahkan diri dari Dinas Pekerjaan Umum dan berdiri sebagai lembaga

oronom yang independen. Selanjutnya pada tahun 1978, PAM Jaya mulai

dioperasikan di daerah Cilandak yang diikuti dengan pengoperasian Instalasi

Pulogadung serta beberapa Instalasi kecil pada tahun 1982. Pembangunan

Instalasi terus berlanjut di tahun 1987 di Buaran dengan kapasitas sebesar 2.000

l/dt, dan mencapai optimalisasi di tahun 1996 dengan kapasitas sebesar 5.000 l/dt.

Kemudian pada tanggal 1997, kerjasama perjanjian privatisasi mulai dilakukan

oleh Perusahaan Multinasional Suez Environment asal Perancis dan Thames

Overseas asal Inggris88.

Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) adalah Badan

Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pengusahaan, penyediaan, dan

pendistribusian air serta usaha-usaha lain yang berkaitan dengan air bersih89.

PAM Jaya dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang bertanggung jawab secara

langsung kepada Gubernur DKI. Berdasarkan Pasal 6 Perda 13 Tahun 1992, tugas

pokok PAM Jaya adalah segala usaha yang berhubungan langsung dengan

penyediaan dan distribusi air serta pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan

berpedoman pada prinsip-prinsip ekonomi perusahaan.

Fungsi utama PAM Jaya menurut Pasal 7 Perda 13 Tahun 1992 adalah

Menyediakan pengadaan penyediaan air, membangun, mengelola, menyimpan,

87 Sejarah PAM JAYA, Loc. Cit. 88 Ibid 89 Asri Fitrianti, Op.cit, hal 53

47

memelihara Instalasi Pengolahan air dan memelihara sistem pelayanan air90. PAM

Jaya juga bertanggung jawab atas pemasangan dan pemeliharaan pipa-pipa

transmisi, pengelolaan sisstem pendistribusian air, pemeriksaan laboraturium

terhadap sumber dan produk air, usulan penyesuaian tarif air, melayani

permintaan sambungan air, melakukan catatan meter air, menagih langganan air,

mengambil tindakan terhadap pemakaian air yang tidak sah, menyediakan air

sesuai dengan kebutuhan fasilitas kota, memberikan ijin dan mengawasi usaha-

usaha instalasi air yang dilaksanakan oleh pihak ketiga, meningkatkan mutu,

keterampilan, dan kesejahteraan karyawan untuk meningkatkan pelayanan

umum91.

4.3.2 Palyja

Operasional Palyja dimulai ketika kontrak privatisasi air tahun 1997

diresmikan. Palyja sendiri merupakan anak cabang perusahaan dari lini GDF Suez

Environment- Perancis. Suez Group sendiri memiliki dua fokus utama bisnis,

yaitu Suez Energy dan Suez Environment92. Suez Energy meliputi seluruh usaha

operasional di bidang gas seperti produksi, penjualan, transportasi, manajemen,

dan lain-lain. Sedangkan Suez Environment berfokus pada usaha operasional air

bersih dan air minum. Usaha operasional air bersih yang dikelola oleh Suez

90

Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 53 91 Ibid 92 Report and Recommendation of The President the Board of Directors, Proposed Loan Republic of Indonesia: West Jakarta Water Supply Development Project, (Asian Development Bank, 2007), hal 21

48

Environment meliputi sistem produksi, distribusi, penyaringan air hujan,

processing, recycling, hingga pemulihan sisa-sisa polusi dari hasil industri93.

SUEZ Environment Perancis adalah perusahaan air terbesar nomer dua di

Eropa yang fokus dalam bidang air dan sanitasi. SUEZ Environment telah berhasil

melayani kebutuhan air di lebih dari 400.000 industri, 91 juta individu dengan

pelayanan air minum dan 49 juta individu dengan servis sanitasi94. Dalam

pengembangannya, SUEZ Environment juga telah melebarkan usahanya dibidang

produksi air dengan membentuk cabang perusahaan ke beberapa negara di dunia.

Seperti contohnya Euraasser (Jerman), Agbar (Spanyol), LYDEC (Maroko),

United Water (Amerika Serikat), Acque Toscane (Italia), JOWAM-WSSA (Afrika

Selatan), Macao Water (Cina), Aguas do Amazonas (Brazil), dan Palyja

(Indonesia95). Palyja yang merupakan cabang dari Suez Environment sendiri hadir

di Jakarta dalam rangka meningkatkan pelayanan penyediaan air bersih bagi

masyarakat di wilayah barat Jakarta.

Berdirinya Perusahaan Multinasional Suez Environment dimulai semenjak

tahun 1858. Pada tahun tersebut, Ferdinand de Lesseo mendirikan sebuah

perusahaan yang bernama Universelle du canal de Suez. Perusahaan ini awalnya

bertujuan untuk mencapai kepentingan negara yaitu dengan menghubungkan laut

Mediterania dan Samudra Hindia96. Namun semenjak itu, para ahli mulai

93 Report and Recommendation of The President the Board of Directors, Loc. Cit, hal 21 94 Ibid, hal 22 95 Ibid 96 History, http://www.suez-environnement.com/group/history/ (diakses 23 Juli 2014)

49

memikirkan untuk membuat suatu company khusus yang bernama Société

Lyonnaise des Eaux pada tahun 1880.

Perusahan ini kemudian semakin berkembang dengan dibangunnya anak

perusahaan dari Suez yang berfokus pada teknologi dan sistem pengolahan air di

wilayah Paris yang bernama Degremont Company. Pada tahun 1948, Degremont

telah berhasil membangun instalasi pengolahan air pertama di Mesir. Kemudian

disusul dengan keberhasilannya membangun desalinasi osmosis pertama di

Riyadh, Arab Saudi. Pada tahun 2002 operasi lingkungan Suez diperluas menjadi

pengelolaan air, pengelolaan limbah, dan pengelolaan energi yang disatukan

menjadi kelompok lini bisnis tunggal.

Suez Environment membuka kerja sama untuk jenis kemitraan publik-

swasta dalam hal pengelolaan air. Hal ini bertujuan untuk mengelola air menjadi

lebih baik dengan transfer ketrampilan dan menggabungkan kualitas layanan yang

dimiliki masing-masing perusahaan. Sebagian besar negara-negara di dunia,

masih memiliki permasalahan dalam bidang askes dan teknologi fasilitas air.

Dalam kasus ini, Suez menjanjikan adanya sistem perubahan pengelolaan air yang

lebih baik di negara yang ingin bermitra seperti melindungi sumber daya air,

menjadi pelopor dalam inovasi air, dan mempromosikan hak informasi kepada

masyarakat97. Model yang ditawar kan Suez Environment dalam mitra publik-

privatisasi juga semakin berkembang. Suez selalu berusaha untuk beradaptasi

dengan kebutuhan pelanggan di negara asal. Hal ini termasuk melakukan out

97 Public-private water partnership, http://www.suez-environnement.com/water/public-private-partnerships/ (diakses 23 Juli 2014)

50

sourcing perjanjian manajemen dalam bentuk konsesi dan sewa guna, kontrak

infrastruktur, meninjau kembali keuangan perusahaan, membangun dan

mengoperasikan fasilitas baru, dan membuat perjanjian manajemen yang memiliki

target-target tertentu98.

Keberhasilan Suez dalam melakukan kerjasama kemitraan publik-privat

sudah dibuktikan di beberapa negara. Seperti Australia, dimana Suez berhasil

meningkatkan pengelolaan air bersih di beberapa kota dengan mendorong

teknologi inovasi fasilitas dan infrastruktur. Suez juga berhasil dalam pengelolaan

air di kota Algiers melalui Sanitasi air yang modern. Suez tidak hanya memiliki

kelebihan pada keahlian teknis saja, tetapi Suez juga memiliki ketrampilan dalam

keahlian transfer program.

98 Public-private water partnership, Loc. Cit.

51

BAB V

Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Air

Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis bargaining power

Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam kontrak privatisasi air dengan

menggunakan operasionalisasi bargaining power milik Moran. Operasionalisasi

ini menjelaskan tentang faktor-faktor apa saja yang dapat di gunakan untuk

mengukur bargaining power antara host dan MNC. Berangkat dari teori besar

MNC dan depedency, bargaining power Moran mengklasifikasikan 3 faktor yang

dapat digunakan untuk menganalisa kelemahan dari salah satu aktor. Faktor

pertama yaitu karakteristik project, faktor kedua yaitu karakteristik host, dan

faktor ketiga adalah faktor eksternal/exogenous factor.

5.1 Characteristic of Project

Menurut Moran, untuk mengukur bargaining power suatu aktor dapat

dilakukan dengan melihat karakteristik project yang sedang dijalankan.

Karakteristik project dapat di teliti dengan melihat indikator-indikator yang tertera

pada project. Indikator tersebut meliputi tingkat investasi project, tingkat cost

project, tingkat tekhnologi yang digunakan pada project, dan variasi pengganti

52

dari produk yang digunakan pada project99. Dalam penelitian ini, maka project

yang ingin penulis analisa adalah project privatisasi air Jakarta pada tahun 1997-

2001.

5.1.1 Tingkat Investasi Palyja

Sebagian besar investasi dan saham Palyja di pegang penuh oleh

Perusahaan Multinasional asal Perancis, Suez Environment. Dengan kata lain,

investasi yang di dapatkan oleh Palyja sebagian besar berasal dari Suez

Environment. Investasi yang ditanamkan Palyja bertujuan agar efisiensi dalam

pengelolaan dan penyediaan air bersih tercapai sehingga pelayanan kepada

masyarakat Jakarta dapat terpenuhi100. Besarnya produksi dan distribusi air yang

dihasilkan akan mempengaruhi cakupan pelayanan kepada pelanggan dan kualitas

air. Hal ini secara langsung akan berdampak pada meningkatnya jumlah

pelanggan yang menggunakan jasa dari Palyja. Berikut adalah data jumlah

investasi Palyja dalam perkembangan pengelolaan air PAM Jaya di Jakarta.

99

Theodore H. Moran, Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas,(1978), hal 82 100

Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA (Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, 2009), hal 77. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf,jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 14 Mei 2014)

53

Tabel 4: Investasi PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya pada tahun 1998-2008101

Sumber: Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA, hal 77

Data diatas, menunjukkan jumlah investasi Palyja dalam perkembangan

pengelolaan Air PAM Jaya di Jakarta pada tahun 1998-2008. Suez Environment

melalui Palyja pada tahun 1998-2008 berinvestasi hingga 1 triliun lebih atau rata-

rata sebesar 123 miliar rupiah pertahunnya. Besarnya jumlah investasi ditetapkan

pada saat Perjanjian Kerjasama tahun 1997, yang kemudian pada tahun-tahun

berikutnya terus dilakukan revisi dan evaluasi berdasarkan kinerja mitra swasta102.

Investasi terbesar diberikan untuk pengembangan jaringan, penambahan jaringan,

dan perbaikan mesin produksi air, karena hal tersebut sangat penting dalam proses

produksi dan distribusi air103. Total investasi Palyja dari tahun 1998-2008 adalah

101 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 77 102 Ibid, hal 78 103 Ibid

54

sebesar 1,236.344 trilliun rupiah. Untuk tahun 1998 hingga 2001 sendiri (sesuai

dengan kajian tahun penelitian yang penulis ambil), total investasi yang telah

dikeluarkan oleh Palyja adalah 546.509 miliar rupiah. Dengan rincian harga pada

tahun 1998 sebesar 162.350 miliar rupiah, tahun 1999 sebesar 216.559 miliar

rupiah, tahun 2000 sebesar 106.360 rupiah, dan tahun 2001 sebesar 61.060

rupiah104. Sedangkan PT TPJ sendiri semenjak tahun 1998 hingga tahun 2008

berinvestasi sebesar 940.123 milliar rupiah dan tentunya jumlah ini lebih kecil

dari jumlah investasi Palyja.

Meskipun dalam literatur Tarzi yang berjudul Third World Goverments

and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power

berpendapat bahwa investasi dalam bidang sumber daya alam, pertanian, dan

utilities akan rentan terhadap ancaman nasionalisasi atau pun renegoisasi105, tetapi

pada kenyataannya investasi yang dikeluarkan oleh Palyja mengalami

pengembalian modal dan keuntungan (break even point). Hal ini dibuktikan pada

data keuangan Palyja dimana setiap tahun laba operasi (operating income), laba

sebelum bunga, dan laba bersih (net income) semakin meningkat106. Salah satu

penyebab tren laba yang semakin meningkat tersebut adalah kenaikan pendapatan

melalui imbalan air yang dibayarkan PAM Jaya kepada mitra swasta termasuk

Palyja yang terus diupayakan oleh manajemen perusahaan sesuai yang tertulis

dalam kontrak Perjanjian Kerjasama. Selain itu, tren kenaikan ini juga disebabkan 104 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 77 105 Shah M. Tarzi, Thirld World Goverments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power, Hal 161 106

Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan Dampaknya Bagi Pelanggan (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy, 2011) Hal 3. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Financial%20Machinations-1.pdf (diakses 20 Mei 2014)

55

oleh kenaikan tarif air yang harus dibayar pelanggan dimana hal ini juga

ditetapkan oleh mitra swasta termasuk Palyja ketika Perjanjian Kerjasama awal

disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa adanya poin yang menyatakan kenaikan

imbalan air dan tarif air dalam Perjanjian Kerjasama privatisasi air Jakarta

menjamin adanya keuntungan bagi pihak swasta.

Palyja juga mengalami keuntungan jika dilihat dari perbandingan laba

operasi. Pengertian laba operasi adalah keuntungan yang diperoleh dari kegiatan

utama perusahaan yaitu dalam memproduksi dan menjual air bersih107.

Perhitungan laba operasi diperoleh dari selisih antara nilai penjualan dengan

seluruh biaya biaya dan beban operasi. Dari perolehan laba operasi Palyja yang

semakin meningkat, maka dipastikan jika keberlangsungan laba/keuntungan bagi

perusahaan adalah baik dan stabil. Dari tren laba operasi yang semakin meningkat

pula setiap tahunnya, juga menunjukkan bahwa Palyja mengalami break even

point. Dimana biaya yang dikeluarkan dapat kembali dalam bentuk laba operasi

yang kemudian diakumulasikan kembali melalui laba bersih. Jumlah laba operasi

dapat dilihat dari jumlah biaya dibanding pemasukan melalui kisaran tarif air

yaitu sebesar 25%-33,5% setiap tahunnya108. Artinya, pemasukan yang didapat

Palyja lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan, yaitu sebesar 25% untuk

biaya operasinya dan 33,5% untuk pemasukannya. Sedangkan tren perbandingan

penjualan dan laba bersihnya (Net Profit Margin) juga tergolong menguntungkan

yaitu sebesar 9-17% setiap tahunnya.

107 Andreas Lako dan Nila Ardhianie,Loc. Cit, hal 3 108 Ibid, hal 5

56

Tren laba bersih Palyja yang selalu positif setiap tahunnya atau

pengembalian modal dalam break even point menandakan bahwa perusahaan air

Palyja adalah perusahaan air yang menguntungkan. Tetapi faktanya, kerjasama

privatisasi yang seharusnya dapat mengakomodasi keuntungan dua belah pihak

justru cenderung lebih menguntungkan Palyja selaku MNC. Dari segi keuangan,

Palyja memiliki tren laba yang stabil. Sedangkan PAM Jaya justru mengalami

defisit pada pendapatan keuangannya. Hal ini dibuktikan dari jumlah Return on

Assets (ROA) PAM Jaya yang pada tahun 1998 hingga 2001 trennya cenderung

negatif. Pengertian dari Return on Assets sendiri adalah cara untuk mengukur

seberapa efektifnya aset yang ada dalam menghasilkan keuntungan109. Semakin

besar jumlahnya, maka semakin efektif penggunaan asetnya. Sedangkan Tren

Return of Assets yang dihasilkan PAM Jaya adalah sebesar -14,41%110. Padahal,

tren ROA dapat dikatakan baik jika sudah mencapai 10%. Ini berarti jika dilihat

dari tren ROA, PAM Jaya bukanlah perusahaan yang cukup menguntungkan

karena trennya negatif.

Selain itu PAM Jaya juga mengalami Shortfall. PAM Jaya mengalami

shortfall/hutang sebesar 123 Milliar setiap tahunnya111. Dari sini dapat terlihat

adanya ketimpangan keuntungan antara PAM Jaya dan Palyja. Dimana

keuntungan yang diperoleh Palyja lebih besar daripada keuntungan yang

diperolah PAM Jaya.

109 Asri Fitrianti, Op. Cit, hal 80 110 Ibid 111

Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta (Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy) hal 11

57

Munculnya ketimpangan keuntungan antara PAM Jaya dan Palyja tersebut

juga tidak terlepas dari adanya Perjanjian Kerjasama. Poin perjanjian kerjasama

yang mengatur permasalahan kenaikan tarif setiap 6 bulan sekali maupun imbalan

air yang harus dibayar PAM Jaya kepada pihak swasta nyatanya cenderung lebih

menguntungkan Palyja selaku MNC daripada PAM Jaya. Dari adanya poin

tersebut, maka keuntungan dan pendapatan yang diterima oleh mitra swasta lebih

besar. Pendapatan yang diperoleh Palyja banyak didapat melalui poin Perjanjian

Kerjasama yang menyebutkan kenaikan imbalan air dan kenaikan tarif air. Poin

pada Perjanjian Kerjasama privatisasi air Jakarta faktanya cenderung lebih

melindungi keuntungan pihak swasta termasuk Palyja112. Dari data tersebut, maka

terlihat bahwa keuntungan dan pendapatan Palyja tidak semata-mata didasarkan

pada kinerja Palyja pada tahun tersebut, tetapi juga dipengaruhi oleh Perjanjian

Kerjasama awal diberlakukannya privatisasi air Jakarta yang ditentukan oleh

bargaining power dari kedua belah pihak. Palyja menggunakan bargaining

power-nya sebagai alat untuk mencapai kepentingan dan keuntungan, salah

satunya adalah keuntungan dibidang keuangan.

Berdasarkan data yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa

walaupun PT Palyja merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang Sumber

Daya Alam, tetapi investasinya dalam project privatisasi air Jakarta terlihat

menguntungkan dan bahkan mengalami break even point sehingga menghapuskan

resiko kerugian dalam investasi yang tinggi bagi perusahaan yang bergerak dalam

bidang Sumber Daya Alam. PT Palyja juga mengalami keuntungan melalu tren

112

Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Loc. Cit, hal 11

58

dan perbandingan laba bersih dan laba operasi yang setiap tahunnya

menguntungkan bagi pemilik/investor. Hal ini dikarenakan adanya pemasukan PT

Palyja yang cukup besar melalui kenaikan tarif air dan imbalan air. Poin tarif air

dan imbalan air tersebut nyatanya telah tertulis dalam Perjanjian Kerjasama

privatisasi air Jakarta sebelumnya. Terbukti bahwa poin tersebut memang

menjamin keuntungan bagi perusahaan Palyja sendiri. Maka, dari data dan

operasionalisasi yang telah didapat, maka tingkat investasi Palyja termasuk rendah

karena biaya dan modal telah tertutupi oleh keuntungan Palyja yang menyebabkan

bargain MNC menjadi kuat dan bargain host menjadi lemah.

5.1.2 Ongkos Biaya Palyja

Ongkos biaya yang harus dikeluarkan Palyja dalam privatisasi air Jakarta

meliputi variable cost dan fixed cost. Ongkos biaya sendiri memiliki arti sebagai

sumber daya ekonomis yang dikorbankan untuk mencapai suatu tujuan tertentu113.

Tujuan dalam hal ini bisa berarti keuntungan. Dalam privatisasi air Jakarta, biaya

yang dikeluarkan Palyja adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Biaya

tetap masuk dalam kategori investasi. Biaya adalah salah satu faktor penting

dalam meningkatkan perolehan keuntungan suatu usaha baik di bidang usaha

barang maupun jasa. Sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi, maka harus ada

pengendalian biaya tertentu yang efisien untuk dapat meningkatkan keuntungan

113Cost, http://www.e-conomic.co.uk/accountingsystem/glossary/cost (diaskses 18 September 2014)

59

perusahaan. Semakin besar biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka

semakin besar resiko yang akan diterima oleh perusahaan tersebut.

Sedangkan biaya tetap sendiri adalah biaya yang secara tetap konstan dan

tidak berubah dalam suatu jangka waktu tertentu114. Biaya ini akan tetap

dikeluarkan meskipun tidak ada aktivitas usaha dalam suatu perusahaan. Contoh

biaya tetap adalah pajak dan sewa bangunan. Walaupun sebuah perusahaan tidak

menghasilkan apa-apa selama satu bulan, pembayaran sewa gedung dan pajak

harus tetap dibayar. Hal inilah yang dimaksud dengan biaya tetap suatu

perusahan. Sedangkan variable cost adalah biaya yang harus dibayar oleh

perusahaan yang berkaitan dengan output produksi115. Biaya variabel jumlahnya

bervariasi dan tidak tetap, tergantung dari volume produksi perusahaan.

Dalam penelitian ini, kajian yang akan diteliti untuk mengetahui ukuran

bargaining power dari aktor dalam project privatisasi air Jakarta adalah ongkos

biaya dari Palyja. Biaya tetap Palyja meliputi beberapa kebutuhan pengeluaran

operasional Palyja. Seperti gaji pegawai, pelatihan dan pendidikan bagi pegawai,

kantor bangunan, telepon, transportasi, listrik, pemeilharaan dan perbaikan

produksi, layanan profesional (auditor, pajak, hukum, penasehat, pemasaran,

operasi dan pengadaan), asuransi, keamanan, pajak properti, dan bantuan

114 Fixed cost, http://www.investopedia.com/terms/f/fixedcost.asp (diakses 18 September 2014) 115

Variable Cost, http://www.investopedia.com/terms/v/variablecost.asp (diakses 18 September 2014)

60

teknis116. Sedangkan biaya variabelnya meliputi air baku yang diberlakukan,

bahan kimia, manajemen pelanggan, dan pemeliharaan jaringan117.

Tabel 5: Ongkos Biaya PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnaise Jaya 1998-2002118

Sumber: Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process, hal 35

116

Nur Endah Sofhiani, Reconstruction of Indonesia’s Drinking Water Utilities (Sweden: Stockholm, Departement of Land and Water Resources Engineering Royal Institute of Technology, 2003), hal 46. Melalui http://www2.lwr.kth.se/Publikationer/PDF_Files/LWR_EX_03_30.PDF pada 18 September 2014. 117 Ibid 118 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process?, (Indonesia: Jakarta), hal 35. Melalui https://www.pecc.org/resources/1227-jakarta-water-supply-how-to- implement-a-sustainable-process-1?path= (diakses 24 Juli 2014

61

Data diatas menunjukkan ongkos biaya yang harus dikeluarkan oleh kedua

belah pihak mitra swasta. Ongkos biaya yang termasuk dalam investasi tersebut

terdiri dari berbagai macam kebutuhan yang dibutuhkan untuk melaksanakan

project privatisasi air Jakarta. Mulai dari peralatan, gedung, jaringan, produksi,

dan lain-lain. Pada tahun 1998, Palyja memiliki ongkos biaya sebesar 180.484 juta

rupiah, yang kemudian naik pada tahun 1999 sebesar 215.839 juta rupiah, 103.571

rupiah di tahun 2000, 102.833 tahun 2001, dan 134.448 pada tahun 2002119. Total

keseluruhan dari ongkos biaya tersebut adalah 737.175 juta rupiah. Sedangkan

total menurut jangkauan penelitian penulis yaitu dari tahun 1998 hingga 2001

adalah sebesar 602.727 juta rupiah. Ongkos biaya tersebut meliputi jaringan,

meter, peralatan, gedung, pembelanjaan, dan biaya lain-lain. Ongkos biaya Palyja

merupakan salah satu elemen penting dalam investasi project privatisasi air

Jakarta.

Ongkos biaya merupakan salah satu variabel yang berkaitan dengan

investasi. Seperti yang telah dijelaskan pada indikator selanjutnya, ongkos biaya

yang dikeluarkan Palyja mengalami pengembalian modal bahkan keuntungan. Hal

ini terbukti dari perbandingan jumlah ongkos biaya (biaya produksi dan biaya

operasi) yang dikeluarkan oleh Palyja dengan pendapatan yang diperoleh dari tarif

air Palyja yaitu sebesar 25% banding 33,5%120. 25% untuk pengeluaran ongkos

biaya Palyja yang meliputi biaya produksi dan biaya operasi dan 33,5% untuk

pendapatan Palyja yang didapat dari kenaikan tarif air. Poin kenaikan tarif air

119 Dr. Jing-Sen Chang & Dr Kusbiantoro, Loc. Cit, hal 35 120

Andreas Lako dan Nila Ardhianie, Op.Cit hal 5

62

setiap periode waktunya juga telah ditentukan oleh Perjanjian Kerjasama antara

mitra swasta dan Pemprov DKI Jakarta sebelumnya.

Jadi, walaupun menurut Tarzi investasi di bidang pertanian, sumber daya

alam, dan utilities akan memiliki tingkat investasi yang tinggi121, namun pada data

yang telah didapatkan ongkos biaya yang dikeluarkan Palyja dapat tertutupi oleh

laba nya. Sehingga resiko tinggi terhadap ongkos biaya yang selama ini

ditakutkan oleh perusahaan di bidang Sumber Daya Alam termasuk air tidak

terbukti dalam ongkos biaya PT Palyja. Dari penjelasan diatas maka dapat

diperoleh jika ongkos biaya yang dikeluarkan PT Palyja dalam privatisasi air

Jakarta adalah tergolong rendah. Karena PT Palyja telah mengalami pengembalian

ongkos biaya (biaya produksi maupun operasi) dan keuntungan.

Moran berpendapat bahwa ongkos biaya yang tinggi akan melemahkn

bargain MNC dan menguatkan bargain host. Sebaliknya, ongkos biaya yang

rendah akan menguatkan bargain MNC dan melemahkan bargain host.

Berdasarkan data dan operasionalisasi yang telah penulis peroleh, maka dapat

disimpulkan bahwa PT palyja memiliki ongkos biaya yang rendah sehingga

menyebabkan bargain MNC menjadi kuat dan bargain host manjdai lemah.

5.1.3 Tingkat Teknologi yang di gunakan Palyja

Teknologi yang digunakan Palyja dalam mengolah sektor perairan di

wilayah Jakarta Barat, di dukung dan di supply penuh oleh Perusahaan 121

Shah M. Tarzi, Op. Cit hal 161

63

Multinasional Suez Environment. Seluruh instalasi pengolahan air dan operasi

harian yang digunakan oleh Palyja disesuaikan oleh standar Uni Eropa122. Suez

Environment juga selalu mengadakan Research and Innovation dalam seluruh

project yang di jalankannya, termasuk project privatisasi air Jakarta. Research ini

memuat 3 bidang yaitu penelitian eksplorasi, penelitian langsung, dan

pengembangan teknologi123. Penelitian eksplorasi adalah penelitian yang bersifat

mengeksplor ke seluruh wilayah, atau meneliti kembali wilayah baru yang hendak

dioperasikan. Penelitian eksplor dijalankan oleh seluruh stakeholder yang terlibat

di dalam project tersebut. Sedangkan penelitian langsung diawasi oleh satuan

khusus yang berkaitan dengan project, dan pengembangan teknologi Suez

Environment dilaksanakan oleh unit-unit operasional.124

Untuk PT Palyja sendiri, teknologi yang digunakan berkisar pada

pendistribusian air tanah kedalam air bersih yang didapatkan pelanggan melalui

pipa sambungan. Pipa sambungan lalu disebarkan melalui gardu pompa yang

tersebar di beberapa wilayah di Jakarta Barat. Selanjutnya sumber air baku (raw

water) yang berasal dari sungai ciliwung kemudian diolah melalui pre-klorinasi

(pre chlorine) dan menjadi pre-sedimentasi. Pengertian dari klorinasi sendiri

adalah proses penambahan bahan klorin kedalam air sebagai metode pemurnian

air untuk membuat air tersebut layak dikosumsi manusia125. Setelah menjadi Pre-

sedimentasi, kemudian air memasuki tahap koagulasi. Tahapan koagulasi adalah

122 Philippe Pedrini, http://id.palyja.co.id/profil/tata-kelola-perusahaan/dewan-direksi/read/24/philippe-pedrini/ (diakses 18 Juli 2014) 123 Innovation, http://www.suez-environnement.com/group/innovation-banking-openess/ (diakses 18 Juli 2014) 124 Ibid 125

Klorinasi, http://kamuskesehatan.com/arti/klorinasi/ (diakses 20 Oktober 2014)

64

pencampuran bahan kimia ke dalam air yang selanjutnya di lanjutkan dengan

proses flokulasi, yang diteruskan dengan sedimentasi, filtrasi, post-klorinasi126,

dan kemudian di distribusikan ke pada pelanggan melalui pipa dan keluar melalui

kran di rumah. Dari teknologi yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dilihat jika

teknologi yang digunakan Palyja tergolong sederhana. Yaitu cukup dengan

mengolah air yang tadinya tidak layak digunakan oleh manusia menjadi layak dan

kemudia di distribusikan melalui pipa yang di pompa oleh gardi pompa kepada

pelanggan.

Walaupun PT Palyja merupakan anak cabang dari salah satu perusahaan

air bersih terbesar di dunia yaitu Suez Environment, tetapi teknologi yang

digunakan di Palyja sendiri nyatanya cukup sederhana. Padahal Suez Environment

memiliki teknologi pengoloahan air yang cukup canggih. Seperti teknologi air

dalam produksi air minum, desalinasi, pengelolaan air limbah, dan pengolahan

lumpur127. Faktanya, teknologi yang digunakan Palyja dalam privatisasi air

tergolong teknologi sederhana. Yaitu pengolahan air sungai menjadi air bersih

yang dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari dan pendistribusian air kepada

pelanggan. Bahkan air di Jakarta sendiri masih belum layak untuk diminum dan

hanya dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, mandi,

mencuci, dan lain-lain. Dari data yang telah didapat maka dapat ditarik

kesimpulan jika teknologi yang digunakan Palyja dalam privatisasi air Jakarta

adalah tergolong sederhana.

126 Fasilitas Produksi dan Proses, http://id.palyja.co.id/bisnis-utama/fasilitas-dan-infrastruktur/fasilitas-produksi-wtp-dan-proses/ (diakses 20 Oktober 2014) 127 http://www.degremont.com/en/know-how/municipal-water-treatment/environmental-and-economic-performance/ (diakses 19 Juli 2014)

65

Berdasarkan konsep Bargaining Power milik Moran, semakin kompleks

tingkat teknologi yang digunakan oleh MNC maka semakin tinggi pula

bargaining power dari MNC. Dalam kasus privatisasi air Jakarta, dapat dilihat

bahwa tingkat teknologi yang dimiliki oleh Suez melalui Palyja cukup sederhana.

Hal ini membuktikan bahwa bargain MNC menjadi lemah dan bargain host

menjadi kuat dalam privatisasi air Jakarta.

5.1.4 Variasi produk pengganti dari air bersih

Air merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang tidak dapat digantikan

oleh Sumber Daya lain. Setiap mahluk hidup di dunia membutuhkan air, begitu

pula dengan manusia. Setiap manusia memerlukan air bersih untuk menjalankan

aktivitasnya dan bertahan hidup. Faktanya, air bersih hanya dapat di peroleh

melalui 2,5% dari total volume air yang ada di dunia atau setara dengan 35 juta

km3128. Karena 70% dari air tawar lainnya yang ada di dunia berbentuk es dan

salju. Hal ini membuat akses manusia terhadap air semakin lama semakin sedikit.

Pada tahun 2025, diperkirakan 1,8 miliar manusia akan tinggal di wilayah krisis

air bersih dengan kelangkaan air absolut129.

Air memiliki tingket diferensiasi yang sangat rendah, bahkan 0. Karena

keberadaan air tidak dapat digantikan oleh apapun. Termasuk Sumber Daya Alam

lainnya. Sumber Daya Air berbeda dengan Sumber Daya pertanian. Sumber Daya

128 The six natural resources most drained by our 7 billion people, http://www.theguardian.com/environment/blog/2011/oct/31/six-natural-resources-population (diakses 3 September 2014) 129 Ibid

66

Alam di bidang pertanian seperti nasi, dapat digantikan bahan lainnya seperti

singkong, talas, kentang ataupun jagung yang memiliki kadar gizi yang sama130.

Air adalah sumber pokok kehidupan yang dibutuhkan oleh semua manusia.

Kehadiran air bersih bersifat mutlak dan tunggal. Bisnis utama dari Palyja sendiri

adalah air bersih. Baik yang diolah dari air utama Penjompongan I dan

Penjompongan II maupun yang diperoleh melalui air curah olahan yang dipasok

melalui pihak ke tiga131.

Dari penjelasan dan data yang telah dipaparkan diatas, dapat terlihat

bahwa air memiliki tingkat diferensiasi yang sangat rendah. Palyja sendiri hanya

memiliki bisnis utama di air bersih dan tidak memiliki produk lainnya. Menurut

Moran, FDI yang memiliki tingkat diferensiasi produk yang rendah akan

menguatkan bargain host dan melemahkan bargain MNC. Dalam kasus ini,

produk utama dari Palyja adalah air bersih dan tidak memiliki produk diferensiasi

lain yang berarti melemahkan bargain MNC. Berbeda dengan FDI di bidang

manufatkur, dimana produk yang dihasilkan berbeda sehingga FDI dapat lebih

fleksibel dalam menghadapi permintaan dari negara host132. Sehingga ketika

pemerintah negara host mulai mendesak, maka perusahaan di bidang manufatkur

dapat menambahkan variasi pada produknya atau merubah orientasi pasar menjadi

ekspor.

130 Ada Banyak Pilihan Pengganti Nasi, http://www.tempo.co/read/news/2012/10/31/060438718/Ada-Banyak-Pilihan-Pengganti-Nasi (di akses 11 September 2014) 131 Bisnis Utama, http://id.palyja.co.id/bisnis-utama/ (diakses 11 Septermber 2014) 132 Shah M. Tarzi, Op.cit hal 161

67

5.2 Characteristic of Host

Variabel characteristic of host dapat digunakan untuk menentukan

bargaining power dari kedua aktor. Characteristic of host mencerminkan

bagaimana keadaan dan situasi dari suatu host. Characteristic of host dapat diukur

melalui kemampuan pemerintah host dalam bernegosiasi, tingkat mobilisasi

populasi dari host, keadaan investasi asing host, dan industri pesaing dari MNC

yang berada di dalam wilayah host. Dalam penelitian kasus privatisasi air Jakarta,

yang menjadi objek penelitian dari host adalah kota Jakarta.

5.2.1 Kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam Bernegosiasi

Seluruh kontrak antara pihak swasta dan Pemprov DKI Jakarta pada tahun

1997 ditandatangani oleh gubernur yang menjabat saat itu, yaitu Soerjadi

Soedirdja. Gubernur Soerjadi turut melakukan negosiasi dengan dua konsorium

swasta termasuk Palyja133. Tetapi, awal perjanjian kerjasama yaitu sebelum tahun

1997 merupakan masa pemerintahan Soeharto. Dimana pada masa itu, status

gubernur adalah sebagai perpanjangan tangan dari presiden. Di tahun-tahun

tersebut juga banyak dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang

dilakukan oleh keluarga dan kerabat dari pemerintah Soeharto. Termasuk salah

satunya adalah privatisasi air Jakarta. Hal ini berawal pada tahun 1991, dimana

worldbank menawarkan pinjaman sebesar US$ 92 Juta kepada PAM Jaya untuk

133 Warga Miskin Jakarta Korban Mahalnya Air Bersih, http://citizendaily.net/warga-miskin-jakarta-korban-mahalnya-air-bersih-2/ (diakses 16 September 2014)

68

memperbaiki infrastrukturnya134. Tujuannya, adalah agar PAM Jaya menjadi lebih

menarik bagi investor dan menjadi layak untuk di privatisasi135. Pinjaman dari

worldbank ini kemudian di dukung oleh pinjaman dari Jepang melalui OECE

untuk membangun project water purification plant di Pulogadung, Jakarta.

Setelah pinjaman diberikan, PAM Jaya menjadi salah satu perusahaan

yang menarik bagi investor. Pada tahun 2005, Menteri pekerjaan umum yang

berwenang langsung menunjuk dua konsorium swasta tanpa tender yang berujung

pada pelibatan Sigit Harjojudanto dan Anthony Salim yang merupakan anak dan

kerabat dari Presiden Suharto136. Sigit Harjojudanto melalui PT Kekarpola

Thames Airindo (KATI) bekerja sama dengan Thames Water MNC asal Inggris

untuk mengurusi pengelolaan air di bagian Timur Jakarta. Pembagian saham

antara keduanya adalah 80% untuk Thames Water dan 20% untuk KATI milik

Sigit Harjojudanto137. Sedangkan Anthony Salim melalui PT Garuda Dipta

Semesta bekerja sama dengan Suez Environment MNC asal Perancis untuk

mengelola air bersih di bagian Barat Jakarta dengan perolehan saham 40 persen

bagi PT Garuda Semesta dan 60 persen Suez Environment. Dalam kontrak

tersebut, tertulis bahwa seluruh sistem pelayanan air Jakarta diberikan kepada dua

perusahaan tersebut, meliputi supply air bersih, treatment plants, sistem distribusi.

Pencatatan dan penagihan, serta bangunan-bangunan kantor milik PAM Jaya138.

134

Nadia Hadad, Privatisasi Air di Indonesia, (Indonesia, INFID Annual Lobby, 2003) hal 13 135 Ibid 136 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit. hal 2 137 Ibid 138 Ibid

69

Praktek dugaan korupsi dan kolusi ini juga terlihat dari saham mitra lokal

yang sempat berpindah beberapa kali. Pada tahun 1997, saham swasta lokal KATI

sebesar 20% dan Thames Water 80%. Sedangkan saham GDS 40% dan Suez

Environment 60%. Kemudian pada tahun 1998 GDS menjual seluruh sahamnya

kepada Suez sehingga saham Suez Environment pada Palyja menjadi 100%.

Sedangkan KATI memiliki saham 5% dan Thames Water sebesar 95%. Pada

tahun 2001, dinyatakan bahwa pihak kedua untuk Palyja adalah Suez

Environment dan berubah menjadi PT Bangun Tjipta Sarana. Sementara pihak

keduan untuk TPJ adalah Thames Water dan PT Tera Meta Phora139.

Terbukti pelibatan sektor swasta dalam pengelolaan air bersih di Jakarta

dipenuhi dengan nuansa kolusi dan korupsi. Pengaruh politis sangat kental dalam

pelibatan kedua mitra swasta PAM Jaya sebelum perjanjian di laksanakan.

Pelibatan mitra swasta yang langsung ditunjuk dan tanpa tender menunjukkan

bahwa pengelolaan air bersih di Jakarta dijadikan ajang untuk mengeruk

keuntungan ekonomis melalui kekuatan politis. Apalagi dua perusahaan swasta

lokal yang turut bekerja sama merupakan perusahaan anak dan kerabat presiden

Indonesia Suharto saat itu. Faktanya, kedua perusahaan swasta lokal yang turut

ikut ambil bagian dalam privatisasi PAM Jaya tersebut bukanlah perusahaan yang

memang berfokus pada bidang fasilitas dan pengelolaan air. Selain itu, dapat

terlihat bahwa saham mitra lokal dapat berpindah dari satu perusahaan ke

perusahaan lain dengan mudahnya. Hal ini dapat didasarkan karena pada tahun

139 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Loc. Cit., hal 2

70

2001, kepemimpinan Suharto jatuh dan sempat terjadi ketidak stabilan politik

karena adanya demonstrasi anti-Suharto yang terjadi di Jakarta.

Dari data yang telah diperoleh, maka dapat diperoleh kesimpulan jika

kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam bernegosiasi tidak terlaluterbukti

dalam kasus ini, karena pada saat itu pelaksanaan privatisasi banyak dipengaruhi

oleh dugaan korupsi melalui keluarga dan kerabat presiden Soeharto. Sehingga

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menaungi kepentingan-kepentingan yang

ingin dicapai oleh Presiden Soeharto. Maka dari sini dapat ditarik kesimpulan jika

bargain host menjadi lemah dan bargain MNC menjadi kuat, karena pada tahun

tersebut (1997-2001), negosiasi dari privatisasi air Jakarta banyak dipengaruhi

oleh kepentingan pribadi Presiden Soeharto yang berkuasa saat itu.

5.2.2 Jumlah Penduduk Jakarta yang menggunakan air Palyja

Untuk mengetahui jumlah penduduk Jakarta yang menggunakan jasa PAM

Jaya, dapat dilihat pada tabel yang tertera di bawah ini

Tabel 6: Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun 1992

Sumber: Asri Fitrianti,

Data diatas menunjukkan jumlah pengguna air PAM di wilayah Jakarta

dari tahun 1992 hingga tahun 2009 melalui sambungan pipa yang telah terpasang.

Semenjak ditandatanganinya kontrak privatisasi air Jakarta yaitu tahun 1997,

jumlah pengguna air PAM di Jakarta berjumlah 460.641 sambungan, kemudian

semakin meningkat di tahun 1998 yaitu sebesar 487.978 sambungan. Pada tahun

1999 pelanggan PAM Jaya berjumlah 511.5

tahun 2001 sebesar 610.806

sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan

140

Asri Fitrianti, Op. Cit, hal 71141 Asri Fitrianti, Op.cit hal 71

Tabel 6: Pelanggan Sambungan PAM Jaya tahun 1992-2009

Asri Fitrianti, Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA

Data diatas menunjukkan jumlah pengguna air PAM di wilayah Jakarta

dari tahun 1992 hingga tahun 2009 melalui sambungan pipa yang telah terpasang.

ditandatanganinya kontrak privatisasi air Jakarta yaitu tahun 1997,

jumlah pengguna air PAM di Jakarta berjumlah 460.641 sambungan, kemudian

semakin meningkat di tahun 1998 yaitu sebesar 487.978 sambungan. Pada tahun

1999 pelanggan PAM Jaya berjumlah 511.548, tahun 2000 sebesar 534.090, dan

tahun 2001 sebesar 610.806141. Rata-rata jumlah pelanggan PAM Jaya adalah

sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan

, Op. Cit, hal 71 Asri Fitrianti, Op.cit hal 71

71

2009140

Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA, hal 71

Data diatas menunjukkan jumlah pengguna air PAM di wilayah Jakarta

dari tahun 1992 hingga tahun 2009 melalui sambungan pipa yang telah terpasang.

ditandatanganinya kontrak privatisasi air Jakarta yaitu tahun 1997,

jumlah pengguna air PAM di Jakarta berjumlah 460.641 sambungan, kemudian

semakin meningkat di tahun 1998 yaitu sebesar 487.978 sambungan. Pada tahun

48, tahun 2000 sebesar 534.090, dan

rata jumlah pelanggan PAM Jaya adalah

sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan

72

sebesar 6,24 persen142. Faktanya, selalu terjadi peningkatan jumlah pelanggan air

bersih PAM Jaya dari masing-masing periode, termasuk pada periode tahun 1997-

2001.

Jumlah pelanggan air yang menggunakan jasa PAM Jaya, menunjukkan

pasar yang bisa di tawarkan PAM Jaya oleh Perusahaan Multinasional Palyja.

Kota Jakarta sendiri merupakan ibu kota dari negara Indonesia dengan kategori

kota yang padat penduduk. Jakarta memiliki cakupan luas wilayah sebesar 637,44

kilometer persegi dan merupakan wilayah khusus setingkat provinsi. Jakarta

adalah pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri sehingga menarik minat

pendatang dari seluruh wilayah di Indonesia. Hal ini menyebabkan jumlah

penduduk kota Jakarta meningkat setiap tahunnya.

Tahun 1990, jumlah penduduk Jakarta sebesar 8,3 juta dan mengalami

peningkatan selama 0,16 persen hingga tahun 2000143. Pada tahun 2000 jumlah

penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta dengan rasio 4,2 juta untuk laki-laki dan 4,1

juta untuk perempuan144. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah DKI Jakarta

merupakan wilayah yang padat penduduk dan dapat menawarkan pasar pelanggan

yang semakin lama semakin meningkat. Jakarta sebagai host disini dapat

menawarkan pasar yang tinggi. Terbukti dari tahun ke tahun jumlah pelanggan

sambungan PAM Jaya terus meningkat. Seperti pada tahun 1997, jumlah

pelanggan PAM Jaya sebesar 460.641, kemudian meningkat kembali pada tahun 142 Ibid 143 Permukiman, http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/Lap_SLHD/Lap_3B.htm (diakses 14 September 2014) 144Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2000, http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZzdWI9MDQmaWQ9MTE= (diakses 14 Septermber 2014)

73

1998 yaitu sebesar 487.978, pada tahun 1999 sebesar 511.548, tahun 2000 sebesar

534.090, dan tahun 2001 sebesar 610.806145.

Berdasarkan konsep bargaining power milik Moran, ketika host dapat

menawarkan pasar yang tinggi maka bargain host akan menjadi kuat. Dalam

kasus privatisasi air Jakarta, Pemprov DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk

yang cukup padat. Dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk kota

Jakarta yang setiap tahun selalu meningkat. Hal ini tentunya dapat menunjukkan

pasar yang besar bagi Palyja. Selain itu, berdasarkan data yang ditemukan oleh

penulis dapat dilihat pula bahwa setiap tahun jumlah pelanggan dari Palyja juga

ikut meningkat. Laju pertumbuhan pertambahan pelanggan yaitu sebesar 6,24

persen per tahunnya146. Data ini menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta dapat

menunjukkan pasar yang besar kepada Palyja sehingga bargain host menjadi kuat

dan bargain Palyja menjadi lemah.

5.2.3 Tingkat mobilisasi masyarakat kota Jakarta

Kota Jakarta merupakan kota yang memiliki tingkat urbanisasi cukup

tinggi147. Hal ini dikarenakan Jakarta merupakan daerah perkotaan yang dapat

memberikan akses seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan lainnya yang lebih

lengkap di banding pedesaan. Selain itu, kota Jakarta juga memiliki peluang kerja

145

Asri Fitrianti, Op.cit hal 71 146 Asri Fitrianti, Loc.cit hal 71 147 Latar Belakang: Krisis Moneter 1998, http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/05/latar-belakang-krisis-moneter-1998- (diakses 16 September 2014)

74

yang besar serta menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakatnya148,

sehingga penduduk di desa lebih tertarik untuk tinggal di wilayah perkotaan,

termasuk Jakarta di banding di pedesaan. Meningkatnya proses urbanisasi tidak

terlepas dari bertambahnya jumlah penduduk di Jakarta. Jika pada tahun 1950,

Jakarta telah masuk ke dalam 15 kota terpadat di dunia, maka pada tahun 2001

Jakarta menempai urutan ketiga dengan kota terpadat di dunia149.

Bahkan pada tahun 2000, jumlah orang Betawi/ warga Jakarta asli hanya

30 persen dari keseluruhan jumlah warga Jakarta150. Sebagian besar warga Jakarta

lainnya adalah pendatang yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

Timur, dan dari pulau-pulau di luar jawa. Terdapat beberapa alasan yang

menyebabkan kota Jakarta menjadi menarik di mata pendatang. Diantaranya

adalah karena Jakarta adalah pusat administrasi pemerintahan, pusat

perekonomian, pusat kebudayaan, dan tingkat upah bagi pekerja yang relatif

tinggi. Selain itu, kota Jakarta juga didukung oleh fasilitas modern yang baik

sehingga kota Jakarta menjadi lebih menarik di banding kota lainnya bagi para

pendatang.

Tingkat urbanisasi yang tinggi pada perkotaan nyatanya sangat rawan

terhadap guncangan ekonomi makro. Contohnya adalah seperti yang terjadi pada

krisis 1998, dimana jumlah penduduk Jakarta yang berada di bawah garis

148 Ibid 149 Asep Ahmad Saefuloh, Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu, (Indonesia: Jakarta, 2011) hal 15 150 Ibid

75

kemiskinan meningkat sekitar 50 persen dari keseluruhan penduduk151. Selain itu,

pada tahun 1999 kota Jakarta mendapat predikat kota yang paling tinggi tingkat

penganggurannya, yaitu sebesar 13,2 persen152. Perbandingan antara tingkat

pengangguran di daerah perkotaan lebih tinggi dibanding daerah pedesaan, yaitu

sebesar 19,70 persen banding 11,71 persen. Tingginya tingkat urbanisasi yang ada

di Jakarta justru menimbulkan dampak yang signifikan terhadap guncangan

ekonomi, termasuk krisis 97’. Bertambahnya jumlah penduduk dan tingginya

tingkat urbanisasi menyebabkan pengangguran yang ada di Jakarta semakin

meningkat. Hal ini juga tidak terlepas dari kualitas angkatan kerja yang ada di

Jakarta. Hanya tenaga kerja yang terampil saja yang mampu untuk masuk ke

dalam sektor industri153. Sedangkan tenaga kerja yang tidak terampil akan masuk

ke dalam sektor informal atau bahkan menjadi pengangguran.

Kurangnya keterampilan dari angkatan kerja yang tidak siap terjun dan

bersaing di Jakarta menyebabkan pengangguran dan tingkat kemiskinan di Jakarta

menjadi semakin meningkat. Pengangguran yang ada sebagian besar adalah

penduduk yang berusia muda. Tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah

dua kali lipat lebih besar dari pada yang berpendidikan rendah. Hal ini

dikarenakan para pengangguran cenderung memilih untuk menganggur dengan

waktu yang relatif lama, karena mereka tidak mau bekerja di sektor informal.

151 Latar Belakang: Krisis Moneter 1998, http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/05/latar-belakang-krisis-moneter-1998- (diakses 16 September 2014) 152 Asep Ahmad Saefuloh, Op.cit, hal 19 153 Asep Ahmad Saefuloh, Loc.Cit, hal 19

76

Urbanisasi tidak hanya berdampak pada meningkatnya pengangguran,

tetapi urbanisasi juga berdampak terhadap permasalahan kemiskinan154.

Pendatang yang di daerah asalnya berpendapatan rendah/miskin, setelah pindah ke

kota tidak berhasil mendapat pekerjaan yang lebih baik sehingga para pendatang

tersebut tetap miskin. Kemiskinan ini pada umumnya justru terjadi di daerah yang

pertumbuhan ekonominya tinggi155. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi

ketimpangan kelas dimana akses terhadap sumberdaya ekonomi hanya dapat

dinikmati dan dikuasai oleh orang-orang kaya saja sehingga kaum miskin tidak

dapat memobilisasi tingkat sosialnya dan tetap miskin walaupun telah melakukan

urbanisasi.

Berdasarkan data yang telah penulis peroleh, meskipun tingkat urbanisasi

di kota Jakarta tinggi, tetapi kualitas angkatan kerja masih buruk dan jumlah

pengangguran di Jakarta tetap tinggi. Hal ini berdampak pada tingkat mobilitas

sosial Jakarta bagi warga miskin yang sulit untuk naik dan bangkit dari

kemiskinan. Kurangnya tenaga kerja yang terampil dari desa menyebabkan

penduduk yang pindah ke kota menjadi menganggur dan tidak memiliki kualitas

kerja yang baik. Kota Jakarta masih memiliki angka pengangguran yang tinggi

dan kualitas angkatan kerja yang belum terampil. Jika dikaitkan dengan privatisasi

air Jakarta berdasarkan jangkauan tahun penelitian yang penulis pilih, maka tahun

tersebut adalah tahun yang rawan akan krisis. Kota Jakarta merupakan salah satu

kota yang paling banyak mendapat dampak dari krisis tersebut. Maka dapat

154 Ibid, hal 21 155 Ibid

77

dipastikan keadaan penduduk kota Jakarta pada saat itu sangat rawan dan tidak

stabil.

Menurut Moran, tingkat mobilitas populasi yang baik akan menguatkan

bargain host. Merujuk pada penelitian studi terdahulu yang penulis gunakan yaitu

Trnik, dimana salah satu indikator dari characteristic host adalah mencakup host

yang memiliki kualitas pekerja yang baik dan tingkat pengangguran yang rendah

akan menguatkan bargain dari host156, maka dapat disimpulkan bahwa kota

Jakarta masih belum memiliki tingkat kualitas pekerja yang baik dan tingkat

pengangguran masih tinggi. Sehingga menyebabkan mobilitas sosial bagi kaum

miskin sulit dan kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin masih tinggi. Hal

ini tentunya akan melemahkan bargain host dan menguatkan bargain MNC.

5.2.4 Perusahaan selain Palyja yang mengelola sektor air bersih di

Jakarta

Dalam pembagian sektor wilayahnya, Palyja memiliki tanggung jawab

untuk mengolah air di seluruh bagian Jakarta Barat. Seluruh tanggung jawab

pengelolaan air bersih di wilayah Jakarta Barat diserahkan kepada Palyja. Palyja

merupakan satu-satunya perusahaan yang mengurus pasokan air bersih di wilayah

Jakarta Barat. Sesuai dengan perjanjian kerjasama yang telah disepakati selama 25

tahun, PAM Jaya akan menyerahkan seluruh tanggung jawabnya kepada pihak

156

Michal Trnik, Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship between MNC’s and Local Goverments in Slovakia (Budapest: Central European University, 2005) hal 18. Melalui http://michal.trnik.com/prace/BELA_research_paper.pdf (diakses 15 April 2014)

78

swasta, termasuk Palyja untuk mengoperasikan, memelihara, dan

mengembangkan sistem penyediaan air bersih di kota DKI Jakarta157. Selain itu,

PAM Jaya juga melimpahkan pekerjaannya dalam bidang perbaikan,

pengembangan air bersih, sistem distribusi, hingga jaringan-jaringan pipa kepada

mitra swasta termasuk Palyja158. Pada akhir kerjasama seluruh sistem dan aset

akan dikembalikan lagi kepada PAM Jaya.

Industri air bersih di wilayah Jakarta merupakan industri tunggal yang

hanya dikelola oleh satu perusahaan saja. Sumber air bersih masyarakat Jakarta

Barat hanya dapat diperoleh melalui satu perusahaan yaitu Palyja. Tetapi, selain

bisa didapatkan dari perusahaan Palyja, air bersih juga dapat diperoleh melalui

sumber lainnya yaitu air tanah baik sumur, kompa, pompa, maupun jetpam159.

Bahkan 6 persen dari masyarakat Jakarta meminta air bersih dari tetangga ketika

hendak memenuhi kebutuhan air bersihnya.

Sedangkan pada bagian Jakarta Timur, pengolahan air dikelola oleh PT

Thames PAM Jaya atau yang berada di bawah Perusahaan Multinasional dari

Inggris yang bernama Thames Water Overseas160.

157 Asri Fitrianti, Op.cit hal 69 158 Ibid 159 Asri Fitrianti, Loc. Cit, hal 64 160 Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequemces of Water Privatisation in Jakarta, Indonesia (Melbourne: The University of Melbourne), hal 4. Melalui http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014)

79

Gambar 3: Pembagian wilayah antara Palyja dan TPJ161

Sumber: Heni Kurniasih, Water Not For All: The Consequences of Water Privatisastion in Jakarta, Indonesia, h.5

Thames Water Overseas adalah Perusahaan Multinasional air terbaik di

Inggris. Pada tahun 1995, Thames Water Overseas di nobatkan menjadi

perusahaan air terbesar nomer tiga di dunia162. Konsumen dari luar Inggris

memanfaatkan keahlian yang dimiliki oleh Thames Water Overseas untuk

mengolahan air bersih, termasuk wilayah Jakarta Timur. Thames Water Overseas

juga memberikan layanan air yang baik dan terus meningkat di negara Inggris

sendiri.

Selama tahun 1998, Thames Water Overseas telah menghabiskan investasi

sebesar 471.000.000 Poundsterling untuk melebarkan pasarnya keseluruh

dunia163. Dalam pengembangan pasarnya, Thames Water Overseas telah

161 Ibid, hal 5 162 1995-2001 International Expansion, http://www.thameswater.co.uk/about-us/850_2614.htm (diakses 20 Juli 2014) 163 Ibid

80

mendapat beberapa kontrak dari Bangkok, Shanghai, Adelaide, Jakarta Timur,

dan Skotlandia. Tidak hanya mengurusi pengolahan air di perkotaan, Thames

Water Overseas juga berpengalaman dalam pengolahan air limbah dan sempat

mendapatkan project untuk memasok air di sirkuit balap motor Brands Hatch.

Thames Water Overseas sendiri, melalui PT Thames Pam Jaya (TPJ)

menandatangani Perjanjian Kerjasama Privatisasi air Jakarta pada tahun 1997.

Perjanjian kerjasama tersebut berisi mengenai konsesi penyediaan dan

peningkatan layanan air bersih di wilayah timur sungai Ciliwung yang meliputi

sebagian wilayah Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan seluruh wilayah Jakarta

Timur164. Tidak jauh berbeda dengan Palyja, Perjanjian Kerjasama PAM JAYA

dengan TPJ berlaku selama 25 tahun yang bertujuan untuk mengelola,

mengoperasikan, memelihara, serta melakukan investasi untuk mengoptimalkan

pelayanan air bersih di wilayah tersebut.

Terdapat satu Perusahaan Multinasional lain yang mengelola air bersih di

wilayah Jakarta, yaitu PT Thames Pam Jaya (TPJ). Palyja mengelola air bersih di

wilayah Jakarta Barat, sedangkan PT Thames Pam Jaya (TPJ) mengelola air

bersih di wilayah Jakarta Timur165. Tetapi, walaupun terdapat perusahaan lain

yang mengelola air bersih di wilayah Jakarta Timur. Palyja adalah satu-satunya

perusahaan air yang berkuasa di wilayah Jakarta Barat. Pembagian wilayah antara

164 Rina Kartika Sari, Klausa Imbalan Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Dengan Swasta: Studi Kasus Perjanjian Kerjasama Antara PDAM DKI Jakarta dengan PT AETRA Air Jakarta (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011) hal 66. Melalui http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252237-T%2028696-Klausula%20imbalan-full%20text.pdf (diakses 15 Juli 2014) 165 Heni Kurniasih, Op. Cit, hal 4

81

TPJ dan Palyja telah dibagi berdasarkan Perjanjian Kerjasama tahun 1997.

Industri air lain yang berada di wilayah Jakarta lainnya memiliki pengelolaan dan

infrastruktur masing-masing. Pasar Palyja yang merupakan seluruh masyarakat

pengguna air bersih di wilayah Jakarta Barat. Tidak ada perusahaan lain selain

Palyja yang berhak atas distribusi air bersih di wilayah Jakarta Barat. Kebutuhan

masyarakat Jakarta Barat akan hadirnya air bersih hanya dapat terakomodasi oleh

perusahaan Palyja.

Moran berpendapat bahwa semakin banyak industri yang bergerak dalam

bidang yang sama maka bargain host semakin kuat dan bargain MNC semakin

lemah. Dalam kasus privatisasi air Jakarta, Palyja adalah satu satunya perusahaan

yang berkuasa atas pengelolaan air di wilayah Jakarta Barat. Hal ini menunjukkan

bahwa tidak ada industri lain yang menjadi pesaing Palyja dalam

penyelenggaraan air bersih di wilayah Jakarta Barat yang membuat bargain MNC

menjadi kuat dan bargain host menjadi lemah.

5.3 Exogenous Factor

Selain characteristic project dan characteristic host, Moran juga

berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi

bargaining power ke dua aktor. Faktor exogeneous/eksternal tersebut adalah

keadaan investasi asing di dalam host dan saingan MNC di level global166.

Keadaan investasi asing yang tidak stabil akan melemahkan bargain host dan

166 Theodore Moran, Op.Cit, hal 83

82

menguatkan bargain MNC. Sebaliknya, keadaan investasi asing yang baik akan

menguatkan bargain host dan melemahkan bargain MNC. Sedangkan untuk

saingan MNC di level global adalah semakin banyak industri yang berada pada

bidang yang sama maka bargain MNC akan semakin lemah. Sebaliknya, semakin

sedikit saingan MNC dalam bidang yang sama, maka bargain host yang akan

melemah. Dalam hal ini, penulis ingin melihat keadaan investasi asing dari kota

Jakarta dan saingan Palyja (Suez Environment) dalam level global.

5.3.1 Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001

Sesuai dengan konsep bargain power yang dikemukakan oleh Moran,

keadaan investasi asing di negara host menentukan bargain power dari host

ketika hendak melakukan negosiasi. Dalam kasus privatisasi perusahaan air

Jakarta, penulis ingin meneliti mengenai keadaan investasi asing di Indonesia

pada kurun waktu 1997-2001 yang berkaitan dengan negoisasi kontrak privatisasi

air tersebut. Keadaan investasi asing yang tidak pasti akan melemahkan bargain

dari host.

Grafik

Sumber: OECD,

Data diatas menunjukkan trend pertumbuhan

atau laju investasi asing di Indonesia semenjak tahun 1970. Terjadi peningkatan

yang cukup signifikan sekitar tahun 1994 hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut,

untuk pertama kalinya Indonesia membuka sektor

privatisasi oleh asin

telekomunikasi, penerbangan,

liberal kemudian terus dijalankan Indonesia pada tahun 1990

dengan munculnya project

membuat perusahaan publik menjadi dominasi dalam industri strategis, tetapi juga

membuat negara mendominasi produksi semen, minyak, baja, pesawat, kimia,

167

OECD, Investment Policy Review Indonesiahttp://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)168 Ibid, hal 41

1: Trend FDI di Indonesia tahun 1970-2009167

Sumber: OECD, Investment Policy Review Indonesia, H.46

Data diatas menunjukkan trend pertumbuhan Foreign Direct Investment

atau laju investasi asing di Indonesia semenjak tahun 1970. Terjadi peningkatan

yang cukup signifikan sekitar tahun 1994 hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut,

untuk pertama kalinya Indonesia membuka sektor-sektor strategis untuk di

privatisasi oleh asing. Sektor tersebut adalah pelabuhan, rel kereta api,

telekomunikasi, penerbangan, supply air, energi nuklir, dan media

liberal kemudian terus dijalankan Indonesia pada tahun 1990

project mobil nasional. Hadirnya project ini tidak hanya

membuat perusahaan publik menjadi dominasi dalam industri strategis, tetapi juga

membuat negara mendominasi produksi semen, minyak, baja, pesawat, kimia,

Investment Policy Review Indonesia, (OECD:2010), hal 46. Diakses melalui http://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)

83

167

, H.46

Foreign Direct Investment

atau laju investasi asing di Indonesia semenjak tahun 1970. Terjadi peningkatan

yang cukup signifikan sekitar tahun 1994 hingga tahun 1996. Pada tahun tersebut,

sektor strategis untuk di

g. Sektor tersebut adalah pelabuhan, rel kereta api,

air, energi nuklir, dan media168. Kebijakan

liberal kemudian terus dijalankan Indonesia pada tahun 1990-an, bersamaan

project ini tidak hanya

membuat perusahaan publik menjadi dominasi dalam industri strategis, tetapi juga

membuat negara mendominasi produksi semen, minyak, baja, pesawat, kimia,

, (OECD:2010), hal 46. Diakses melalui http://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)

84

bahkan karet dan minyak kelapa169. Kebijakan-kebijakan industri tersebut

membuat Indonesia menjadi negara yang friendly terhadap investor asing,

sekaligus meningkatkan kegiatan ekspor-impor di Indonesia.

Keadaan investasi mulai berbalik pada tahun 1997. Iklim investasi yang

sebelumnya harmonis, menjadi mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh

krisis keuangan Asia yang melanda pada tahun itu. Krisis finansial Asia

mempengaruhi mata uang, bursa saham, dan harga aset lainnya di beberapa

negara Asia termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri, rupiah mengalami

devaluasi sebesar 50 persen170. Situasi tersebut menyebabkan Indonesia

mengalami guncangan ekonomi yang cukup berat. Tetapi, nyatanya tidak hanya

guncangan ekonomi saja yang dialami Indonesia tahun itu. Krisis politik juga

melanda Indonesia karena pemerintah Suharto dianggap melakukan tindakan

korupsi dan nepotisme. Indonesia mengalami ketidakstabilan ekonomi sekaligus

politik, hingga Suharto di paksa mundur pada tahun 1998. Krisis finansial Asia

yang terjadi membuat keadaan di Indonesia menjadi tidak stabil. Indonesia

membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan keadaanya pasca

krisis. Ketidakstabilan ini juga berpengaruh pada sektor investasi asing di

Indonesia. Indonesia adalah negara yang mengalami tingkat penurunan yang

paling tajam pada sektor investasi asing pada saat krisis dibanding negara-negara

ASEAN lainnya. Bahkan, Thailand dan Korea masih memiliki kekuatan untuk

169 OECD, Loc.Cit, hal 41 170 Ibid, hal 42

menarik FDI171. Indonesia kehilangan sekitar 5,1 miliar USD

asing yang keluar saat periode krisis.

Grafik 2: Pertumbuhan FDI di ASEAN

Sumber: OECD,

Data dan grafik yang tersaji diatas menunjukkan bahwa pada tahun 1997

hingga tahun 2001 Indonesia mengalami krisis finansial yang cukup parah. Nilai

tukar rupiah di devalua

Investment merosot secara tajam. Bahkan jika dibandingkan dengan negara

ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang tingkat investasi asingnya

171 OECD, Loc.Cit,, hal 49172 Ibid 173 Ibid, hal 50

. Indonesia kehilangan sekitar 5,1 miliar USD172

asing yang keluar saat periode krisis.

Grafik 2: Pertumbuhan FDI di ASEAN tahun 1990-2008

Sumber: OECD, Investment Policy Review Indonesia, H.50

Data dan grafik yang tersaji diatas menunjukkan bahwa pada tahun 1997

hingga tahun 2001 Indonesia mengalami krisis finansial yang cukup parah. Nilai

tukar rupiah di devaluasi hingga 50 persen dan keadaan

merosot secara tajam. Bahkan jika dibandingkan dengan negara

ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang tingkat investasi asingnya

, hal 49

85

172 untuk investasi

2008173

H.50

Data dan grafik yang tersaji diatas menunjukkan bahwa pada tahun 1997

hingga tahun 2001 Indonesia mengalami krisis finansial yang cukup parah. Nilai

si hingga 50 persen dan keadaan Foreign Direct

merosot secara tajam. Bahkan jika dibandingkan dengan negara

ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang tingkat investasi asingnya

86

paling tidak stabil karena kemorosotan di tahun 1997. Dibandingkan dengan

Filipina, Singapura, Vietnam, bahkan Thailand trend Indonesia dalam menari FDI

adalah yang paling rentan, tidak stabil, dan lemah. Situasi ekonomi yang memanas

juga ditambah dengan keadaan politik yang tidak harmonis karena periode

pemerintahan Suharto yang dianggap penuh dengan nuansa korupsi dan

nepotisme. Hal ini semakin memperparah keadaan investasi asing di Indonesia.

Berdasarkan data yang telah didapat diatas, dapat dipastikan bahwa

keadaan investasi Indonesia pada tahun 1997 hingga 2001 mengalami ketidak

stabilan. Bahkan dari grafik yang telah penulis dapatkan, trend angka

pertumbuhan imvestasi asing mengalami kemerosotan yang tajam hingga

berjumlah minus 6.000174. Padahal tingkat pertumbuhan investasi asing Indonesia

sebelum tahun itu sangat baik bahkan meningkat hingga mencapai angka 8.000 di

tahun 1974. Angka yang berbanding terbalik tersebut nyatanya sangat

berpengaruh terhadap ketidak stabilan investasi asing di Indonesia. Jika

dibandingkan dengan trend FDI di negara ASEAN lainnya, Indonesia juga berada

di negara yang tingkat investasi asingnya paling anjlok175. Negara-negara ASEAN

lainnya seperti Thailand, Malaysia, Fillipina, dan Singapura yang juga terkenda

dampak dari krisis Asia masih bisa menjaga FDI mereka hingga tidak sampai

mencapai angka minus. Berbeda dengan Indonesia yang pada tahun itu benar-

benar mengalami kemerosotan yang tajam hingga mencapai angka minus.

174 OECD, Loc.Cit, hal 46 175 Ibid, hal50

87

Ketidak pastian investasi asing ini kemudian menunjukkan bargain host

yang lemah, ketika melakukan negoisasi dengan MNC. Menurut Moran, tingkat

investasi asing yang baik akan menguatkan bargain host. Sebaliknya, tingkat

investasi asing yang buruk dan tidak pasti akan melemahkan bargain host. Dalam

kasus privatisasi air Jakarta, terlihat bahwa indikator keadaan tingkat investasi

asing tahun 1997-2001 menunjukkan ketidakpastian sehingga menguatkan

argumen bahwa bargain yang dimiliki host lebih lemah yaitu Pemprov DKI

Jakarta daripada MNC yaitu Palyja.

5.3.2 Pesaing Suez Environment di level Global

Terdapat beberapa Perusahaan Multinasional lain yang bergerak di bidang

air bersih, selain Suez. Perusahaan Multinasional ini juga sering melakukan

privatisasi di berbagai negara. Berikut data Perusahaan Multinasional di seluruh

dunia yang bergerak di bidang pengelolaan air bersih.

88

Tabel 7: Daftar Perusahaan Multinasional sektor air bersih di seluruh dunia176

Sumber: David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems, h.3

Dari data diatas dapat dilihat bahwa terdapat 6 Perusahaan Multinasional

besar dari seluruh dunia yang bergerak di bidang pengelolaan air bersih.

Diantaranya Vivendi water yang memiliki induk perusahaan Vivendi Universal

yang berasal dari Perancis , Thames water yang berasal dari Inggris, SAUR yang

berasal dari Perancis, Anglian yang berasal dari Inggris, Cascal yang berasal dari

Belanda, dan IWL yang berasal dari Amerika Serikat.

Walaupun terdapat beberapa Perusahaan Multinasional yang tumbuh di

bidang pengelolaan perairan, tetapi hanya beberapa perusahaan saja yang berhasil

meluaskan perusahaannya ke berbagai negara di dunia. Perusahaan tersebut

adalah Suez dan Vivendi177. Dua perusahaan tersebut sama-sama berasal dari

Perancis. 70 persen bisnis air di dunia, terutama bisnis privatisasi air di kuasai

176

David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems (London: University Of Grenwich, Public Services International Research Unit (PSIRU), 2002), hal 3. Melalui Melalui http://www.psiru.org/reports/2002-08-w-mncs.doc (diakses 18 September 2014) 177 David Hall, Op.Cit hal 4

Parent company

Sales (Euros m.)

Water division Water Sales (Euros m.)

Worldwide customers (millions)

Suez 42359 Ondeo 10088 115

Vivendi Universal 51125 Vivendi Water 13640 110

RWE 52788 Thames 2746 37

Bouygues 20473 SAUR 2494 36

AWG 1813 Anglian 936 5

Nuon 4530 Cascal 181 6.7

Bechtel 13400 IWL 100 10

89

oleh dua perusahaan Perancis tersebut yaitu Vivendi dan Suez. Selain menguasai

bisnis dan pengelolaan perairan di wilayah south, Suez dan Vivendi juga berhasil

menguasai bisnis air di wilayah north bahkan yang dimiliki oleh Perusahaan

Betchel asal Amerika Serikat. Sedangkan Suez sendiri berhasil membeli air yang

dimiliki oleh Betchel dan sejumlah kontrak yang berada di Meksiko.

Grafik 3: Data Penjualan Volume Air oleh Perusahaan Multinasional air bersih di

Dunia178

Sumber: David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems,h.6

Data diatas menunjukkan kinerja Perusahaan Multinasional yang ada di

seluruh dunia melalui besarnya penjualan air bersih. Dapat dilihat bahwa Vivendi

178 David Hall, Op. Cit hal 6

10088

13640

2746 2494

936181 100

0.00

2000.00

4000.00

6000.00

8000.00

10000.00

12000.00

14000.00

16000.00

Ondeo Vivendi Water

Thames SAUR Anglian Cascal IWL

Water sales, 2001 (€millions)

90

water berhasil menempati urutan pertama dalam penjualan air bersihnya yaitu

sebesar 13640 juta euro, yang kemudian disusul oleh Suez-Ondeo dengan

penjualan air bersih sebesar 10088 juta euro, dan Thames asal Inggris di urutan

ketiga dengan penjualan air sebesar 2764 juta euro179. Perusahaan Multinasional

yang paling banyak menjual air bersih adalah Vivendi Water dan Suez-Ondeo.

Walaupun sama-sama berhasil menjual air bersih dengan perolehan

terbanyak, tetapi terdapat perbedaan strategi antara Vivendi water dan Suez. Jika

Vivendi lebih menekankan pasar di wilayah Perancis, maka Suez lebih berfokus

pada orientasi pasar diluar Perancis, terutama di wilayah negara-negara

berkembang180. Bahkan, Suez juga disebut sebagai perusahaan terbesar di dunia di

luar Perancis itu sendiri181. Karena saingan terbesar Suez yaitu Vivendi memiliki

strategi untuk lebih berfokus pada pasar di dalam Perancis, maka dapat dipastikan

bahwa Suez unggul dalam kompetisi MNC di bidang pelayanan air bersih di level

global. Karena Vivendi water yang lebih berfokus di dalam Perancis, sedangkan

Suez lebih berfokus di luar Perancis.

Berdasarkan perolehan data yang telah tersaji diatas, dapat disimpulkan

bahwa terdapat beberapa Perusahaan Multinasional yang juga bergerak di bidang

pengelolaan air bersih selain Suez. Namun, kinerja Suez dalam ekspansi pasar di

luar Perancis tetap yang paling besar. Terbukti dari hasil penjualan air Suez yang

menempati urutan kedua setelah Vivendi. Jika Vivendi berhasil melakukan strategi

179 David Hall, Loc.Cit, hal 6 180 David Hall, The Water Multinationals, (London: Public Services International Conference on water industry Bulgaria, October 1999), hal 5. Melalui www.psiru.org/reports/9909-w-u-mnc.doc (diakses 18 September 2014) 181 Ibid

91

pasar di dalam Perancis, maka Suez berhasil melakukan strategi pasar di luar

Perancis. Oleh karena itu, dalam ekspansinya keluar negeri kedudukan Suez

diantara Perusahaan Multinasional lain cukup tinggi.

Selain itu, dapat terlihat pula bahwa sebenarnya beberapa Perusahaan

Multinasional yang bergerak dibidang air melakukan kerjasama dan berhubungan

satu sama lain dalam beberapa projectnya. Hal ini membuktikan bahwa

pengelolaan air di dunia hanya di monopoli oleh beberapa perusahaan tersebut.

Data ini dapat dilihat melalui bagan dibawah ini.

Grafik 4: Joint Venture antara Perusahaan Multinasional di dunia182

Sumber: David Hall, The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems,h.7

182 David Hall, Op. Cit. Hal 7

92

Gambar diatas menunjukkan bahwa beberapa Perusahaan Multinasional di

dunia dalam beberapa project memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan

tersebut paling banyak dimiliki oleh Suez dan Vivendi. Dapat dilihat, bahwa

ANGLIAN, SAUR, dan RWE memiliki keterkaitan langsung dengan Suez dan

Vivendi183. Seperti contohnya project Sidoarjo water (Indonesia), United Water

(Adelaide), dan Papakura water (Selandia Baru) yang dipegang langsung oleh

RWE dan Vivendi. Kemudian project Arguas Argentinas dan SMVAK yang

dipegang langsung oleh kemitraan ANGLIAN dan Suez, serta project-project

lainnya di dunia. Hal ini membuktikan bahwa penguasaan terhadap pengelolaan

air di dunia hanya dimonopoli oleh beberapa Perusahaan Multinasional. Sulit

untuk perusahaan air lain dapat bersaing dengan MNC besar diatas, karena modal

dan teknologi yang diperlukan dalam pengembangan air bersih telah dikuasai dan

dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh

Moran dalam literaturnya yang berjudul Multinational Corporations and

Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas (1978),

dimana banyak keahlian seperti modal, teknologi dan beberapa bahan yang

dibutuhkan dalam proses produksi hanya dimiliki dan di monopoli oleh MNC-

MNC tertentu184

Menurut Moran, semakin banyak kompetisi bersaing dari suatu MNC

maka semakin lemah bargain dari MNC. Dalam kasus privatisasi air Jakarta,

saingan Suez dalam bidang pengelolaan air memang banyak tetapi saingan Suez

183

David Hall,Loc.Cit, hal 7 184

Theodore H. Moran, Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas,(1978), hal 81

93

dalam kompetisi strategi ekspansinya keluar negri sedikit. Maka dari indikator ini

dapat diperoleh bahwa bargain host menjadi lemah dan bargain MNC menjadi

kuat, karena Suez memiliki kedudukan unggul diantara Perusahaan Multinasional

lainnya sehingga menyebabkan kompetisi MNC menjadi rendah.

5.4 Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam

Negosiasi Kontrak Privatisasi Air

Sub-bab ini menjelaskan mengenai keseluruhan operasionalisasi, data

beserta analisis yang telah penulis dapatkan dengan menggunakan konsep

bargaining power milik Theodore Moran. Untuk lebih jelasnya, analisis ini akan

dikemukakan melalui tabel yang tertera dibawah ini:

Tabel 8: Analisis Bargaining Power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja dalam Negosiasi Kontrak Privatisasi Air

Variabel

Indikator

Operasionalisasi

dan Data

Bargaining Power

Pemprov DKI

Jakarta

Bargaining

Power Palyja

Characteristic of Project

Ukuran Investasi yang tinggi akan

melemahkan bargain MNC

Ukuran investasi Palyja dalam Privatisasi

perusahaan air Jakarta rendah

Lemah

Kuat

Ongkos Biaya yang tinggi akan

melemahkan bargain MNC

Ongkos biaya Palyja dalam privatisasi

perusahaan air Jakarta rendah

Lemah

Kuat

Tingkat Teknologi yang

berkembang akan

Teknologi yang digunakan

Palyja dalam

94

menguatkan bargain MNC

privatisasi perusahaan air

Jakarta sederhana

Kuat Lemah

Tingkat variasi produk pengganti yang rendah akan

melemahkan bargain MNC

Produk

pengganti dari air bersih rendah

Kuat

Lemah

Characteristic Of Host

Keahlian birokrasi lokal yang baik akan

menguatkan bargain host

Keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi

buruk

Lemah

Kuat

Tingkat pasar/konsumen yang tinggi akan

menguatkan bargain host

Jumlah penduduk

Jakarta yang menggunakan air PAM tinggi

Kuat

Lemah

Tingkat mobilisasi yang

tinggi akan menguatkan bargain host

Tingkat mobilisasi kelas

menengah masyarakat kota Jakarta rendah

Lemah

Kuat

Alternatif MNC yang tinggi akan

menguatkan bargain host

Tidak ada perusahaan

selain Palyja yang mengelola sekor air bersih di Jakarta Barat

Lemah

Kuat

Exogenous Factor

Tingkat ketidak pastian investasi yang tinggi akan

melemahkan bargain host

Keadaan investasi asing di Jakarta tahun 1997-2001 tidak

stabil

Lemah

Kuat

Kompetisi MNC yang tinggi di

level global akan menguatkan bargain host

Kompetisi pesaing MNC

Suez Environment di

level global rendah

Lemah

Kuat

Sumber: Hasil Olahan Penulis

95

Tabel diatas menjelaskan mengenai bargaining power antara Pemprov

DKI Jakarta dan juga PT Palyja dalam negosiasi kontrak privatisasi perusahaan

air. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa bargaining power yang dimiliki oleh

PT Palyja lebih kuat daripada yang dimiliki oleh PAM Jaya. Bargaining power

yang menguatkan PT Palyja disebabkan oleh beberapa indikator. Pada variabel

characteristic of host, indikator yang menguatkan adalah tingkat investasi Palyja

yang rendah dan ongkos biaya Palyja yang rendah. Sedangkan pada variabel

characteristic of host, indikator yang menguatkan adalah buruknya tingkat

keahlian Pemprov DKI Jakarta dalam bernegosiasi, buruknya tingkat mobilisasi

kelas menengah kota Jakarta, dan tidak adanya perusahaan selain Palyja yang

mengelola sektor air bersih di wilayah Jakarta Barat. Variabel terakhir yaitu

exogenous factor/ faktor-faktor ekseternal seluruh indikatornya menguatkan

Palyja yaitu tingkat ketidakstabilan investasi asing di Indonesia pada tahun 1998-

2001 dan besarnya peranan Suez Environment dalam kompetisi MNC di sektor air

bersih. Tujuh indikator tersebut membuat bargaining power PT Palyja menjadi

lebih kuat dari pada Pemprov DKI Jakarta dalam negosiasi kontrak privatisasi

perusahaan air.

Disisi lain, beberapa indikator justru melemahkan bargaining power dari

PT Palyja dan menguatkan Pemprov DKI Jakarta selaku host. Tiga indikator

tersebut adalah tingkat teknologi Palyja yang cenderung tidak kompleks dan

sederhana, rendahnya tingkat diferensiasi pruduk pengganti dari air bersih, dan

tingginya konsumen/pasar yang menggunakan jasa distribusi air bersih dari PAM.

Faktanya, tidak semua indikator melemahkan Pemprov DKI Jakarta, tetapi

96

terdapat pula indikator yang menguatkan Pemprov DKI Jakarta dan justru

melemahkan PT Palyja selaku MNC.

Berdasarkan data dan operasionalisasi yang telah dijelaskan, maka penulis

dapat mengemukakan argumen bahwa dari ke-sepuluh indikator bargaining

power milik Theodore Moran terdapat beberapa indikator yang memiliki peran

dan poin besar dalam pembentukan bargaining power kedua aktor. Sepuluh

indikator dalam menentukan bargaining power diatas menurut penulis sama

pentingnya. Sepuluh indikator tersebut saling berkaitan dalam menentukan

bargaining power ke dua aktor yang sedang bernegosiasi. Tetapi menurut penulis

terdapat tiga indikator yang memiliki peran paling besar dalam menentukan

bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan Palyja. Walaupun indikator-indikator

lainnya juga penting dan saling melengkapi dalam mengukur bargaining power.

Dalam kasus privatisasi air Jakarta sendiri, indikator yang paling penting

dalam pembentukan bargaining power menurut penulis adalah tingkat

kemampuan Pemerintah Provinsi Jakarta dalam bernegosiasi. Poin ini adalah

poin yang paling penting menurut penulis, karena pemerintah provinsi Jakarta

adalah representasi kepentingan dan posisi tawar dari host dalam bernegosiasi.

Jika host sebenarnya memiliki posisi tawar yang kuat, misalnya seperti tingkat

konsumen/pasar yang tinggi, tingkat mobilisasi penduduk host yang baik, dan

banyaknya pesaing dari perusahaan dalam bidang yang sama, tetapi pemerintah

nya tidak memiliki kemampuan bernegosiasi yang baik ataupun faktor politik

lainnya maka posisi tawar host saat bernegosiasi akan tetap lemah. Karena

pemerintah adalah pihak yang bernegosiasi langsung dengan MNC dan turut

97

menentukan keuntungan-keuntungan yang didapat oleh host pada saat

bernegosiasi.

Pada fenomena privatisasi air Jakarta, kemampuan Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta tidak dapat sepenuhnya diukur dan dijadikan acuan dalam melihat

bargaining power. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan politik dari

presiden yang berkuasa pada tahun tersebut (sesuai dengan jangkauan tahun

penelitian penulis). Kelemahan bargaining power pemerintah Jakarta dalam kasus

privatisasi air banyak dipengaruhi oleh keadaan politik internal Indonesia.

Dimana, pada saat itu banyak terjadi praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang

banyak mengakomodasi kepentingan dari presiden Indonesia. Argumen ini

diperkuat dengan adanya pemilihan dua perusahaan swasta tanpa tender yang

nyatanya justru melibatkan anak dan kerabat dari presiden Suharto yaitu Sigit

Harjojudanto dan Anthony Salim185. Sigit Harjojudanto merupakan anak dari

presiden Suharto yang menguasai PT Kekarpola Thames Airindo (KATI) dan

bekerja sama dengan Thames Water MNC asal Inggris untuk mengurusi

pengelolaan air di bagian Timur Jakarta. Sedangkan Anthony Salim adalah

kerabat dekat dari presiden Suharto yang menguasai PT Garuda Dipta Semesta

dan bekerja sama dengan Suez Environment MNC asal Perancis untuk mengelola

air bersih di bagian Barat Jakarta186.

Adanya penunjukan dua perusahaan swasta tanpa melalui tender dan

berujung pada adanya kerjasama anak dan kerabat dekat Suharto membuktikan

185 Wijanto Hadipuro dan Nila Ardhiane, Op. Cit. hal 2 186 Ibid

98

bahwa privatisasi air Jakarta di tahun tersebut dipenuhi oleh nuansa korupsi dan

kolusi. Bargaining power Pemprov DKI Jakarta sendiri menjadi lemah, karena

tidak dapat mengakomodasi kepentingan dari host. Negosiasi ini nyatanya hanya

cenderung menguntungkan pemegang saham dan penguasa yang berkuasa saat itu,

tanpa mampu melihat posisi tawar dari host yang sebenarnya.

Sedangkan indikator kedua yang memiliki peran besar dalam menentukan

bargaining power Pemprov DKI Jakarta dan PT Palyja adalah kompetisi Suez

Environment di level global. Pada indikator ini, dapat dilihat bahwa Suez

Environment adalah MNC yang cukup kuat di bidang air bersih. Selain itu,

ternyata sebagian besar project privatisasi ataupun joint venture yang dijalankan

diseluruh dunia hanya dimonopoli oleh MNC-MNC tertentu187. Salah satunya

adalah Suez Environment yang menjadi salah satu perusahaan yang paling banyak

memegang project-project distribusi air bersih di seluruh dunia. Hal ini tentunya

sudah menjadi sistem dependency/ketergantungan dan sulit untuk dirubah.

Penguasaan modal maupun teknologi yang hanya di monopoli oleh beberapa

MNC saja, dimana host tidak memiliki kemampuan yang sama sehingga secara

tidak langsung host akan selalu bekerja sama dengan MNC yang menguasai

penguasaan modal dan teknologi tersebut. Indikator ini membuat bargaining

power yang dimiliki MNC menjadi kuat karena sistem

dependency/ketergantungan yang diciptakan oleh MNC tersebut dalam menguasai

dan me-monopoli sumber modal.

187

David Hall,Op.Cit, hal 7

99

Sedangkan indikator selanjutnya yang berperan penting dalam

pembentukan bargaining power di kasus privatisasi air Jakarta adalah tidak

adanya perusahaan air lain selain Palyja yang mengurusi distribusi air bersih di

wilayah Jakarta barat. Palyja adalah satu-satunya perusahaan air bersih yang

menguasai sektor air bersih di Jakarta Barat. Hal ini tentunya menjadi poin

bargaining power yang cukup kuat bagi Palyja, karena Palyja tidak memiliki

saingan atas perbandingan kinerja nya dalam pengelolaan air bersih di wilayah

Jakarta Barat. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga tidak memiliki

pilihan/alternatif lain yang dapat meningkatkan posisi tawar nya dalam

bernegosiasi. Indikator ini juga berkaitan dengan perusahaan yang diprivatisasi

adalah perusahaan milik Daerah yang bergerak di bidang air, dan tentunya sektor-

sektor tersebut hanya dipegang oleh perusahaan tunggal.

100

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan konsep dan data yang diperoleh, maka penulis dapat menarik

kesimpulan bahwa analisis bargaining power antara PT Palyja selaku MNC dan

Pemprov DKI Jakarta selaku host dapat dilihat dari 3 variabel. Yaitu karakteristik

host, karakteristik project, dan exogenous faktor/faktor ekseternal. Karakteristik

host meliputi tingkat investasi Palyja, ongkos biaya Palyja, tingkat teknologi

Palyja dan variasi produk pengganti air bersih. Dalam tingkat investasi Palyja

bargain Pemprov DKI Jakarta menjadi lemah dan bargain MNC menjadi kuat,

ongkos biaya Palyja bargain Pemprov DKI Jakarta menjadi lemah dan bargain

Palyja menjadi kuat, dalam tingkat teknologi bargain MNC menjadi lemah dan

bargain Pemprov menjadi kuat, dalam variasi produk pengganti air bersih bargain

MNC menjadi lemah dan bargain Pemprov menjadi kuat. Pada variabel

karakteristik project bargain MNC dan host sama, yaitu 2 melemahkan dan 2

menguatkan.

Sedangkan jika dilihat dari variabel karakteristik host yaitu pada

kemampuan pemerintah host dalam bernegosasi bargain-nya melemahkan

Pemprov Jakarta dan menguatkan MNC, dalam tingkat pasar/konsumen Palyja

bargain-nya melemahkan MNC dan menguatkan Pemprov Jakarta, dalam

mobilisasi penduduk bargain-nya melemahkan Pemprov Jakarta dan menguatkan

MNC, pada indikator pesaing Palyja bargain-nya melemahkan Pemprov Jakarta

101

dan menguatkan Palyja. Dalam variabel ini terdapat 3 menguatkan Palyja dan 1

menguatkan Pemprov Jakarta.

Untuk exegenous factor/faktor eksternal kedua indikatornya melemahkan

Pemprov Jakarta dan menguatkan MNC. Yaitu pada indikator tingkat ketidak

pastian investas asing melemahkan bargain Pemprov Jakarta dan menguatkan

bargain Palyja dan pesaing Suez di level global melemahkan bargain Pemprov

Jakarta dan menguatkan bargain Palyja.

Dalam kasus privatisasi air Jakarta analisis bargaining power-nya adalah

bargain Pemprov DKI Jakarta selaku host lebih lemah dari pada bargain Palyja

selaku MNC. Indikator yang menguatkan MNC, dibuktikan pada indikator tingkat

investasi dan ongkos biaya Palyja yang rendah, kemampuan host pemprov Jakarta

dalam bernegosiasi dan tingkat mobilisasi penduduk Jakarta yang buruk, tidak

adanya pesaing Palyja di wilayah Jakarta, tingginya tingkat ketidak pastian

investasi asing di tahun tersebut, dan kuatnya peran MNC Suez di dunia.

Sedangkan indikator yang menguatkan bargain Pemprov Jakarta adalah

rendahnya diferensiasi produk pengganti air, tingkat teknologi Palyja yang

sederhana/tidak kompleks, dan tingkat konsumen air yang tinggi.

102

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka penulis

mengajukan saran sebagai berikut:

6.2.1 Saran Bagi Pemerintah Provinsi Jakarta

Kontrak privatisasi air Jakarta tahun 1997-2001 sebaiknya dapat dijadikan

pembelajaran bagi kontrak-kontrak selanjutnya. Dalam melakukan negosiasi,

pemerintah Jakarta maupun pemerintah Indonesia harus menyiapkan faktor-faktor

yang dapat memperkuat bargaining power. Hal ini dilakukan agar

kontrak/kesepakatan yang akan disetujui akan menemukan win-win solution

sehingga tidak hanya menguntungkan/merugikan satu pihak. Selain itu, ketika

pemerintah ingin melakukan negosiasi dengan Perusahaan Multinasional ataupun

industri lainnya, pemerintah dapat menggunakan konsep Moran untuk

memperkuat bargaining power-nya

6.2.2 Saran Bagi Peneliti Selanjutnya

Jangka waktu dari penelitian ini adalah tahun 1997-2001. Hal ini

menyebabkan terbatasnya ketersediaan data dikarenakan jangka waktu yang

relatif sudah lama. Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian

pada fokus fenomena yang sama, sebaiknya melakukan penelitian dengan jangka

waktu yang lebih baru.

103

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal:

Ardhianie, Nila & Irfan Zamzami, No pro-poor Agenda in Jakarta Water Concession. Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/no%20pro- poor%20Jakarta_0.pdf (diakses pada 24 Juli 2014) Chang, Dr. Jing-Sens & Dr Kusbiantoro, Jakarta Water Supply: How to Implement a Sustainable Process?. 2011. Jakarta: SCTF Hong Kong Seminar - Sustainable Urban Services . Melalui https://www.pecc.org/resources/1227-jakarta-water-supply-how-to- implement-a-sustainable-process-1?path= (diakses 24 Juli 2014) Hadipuro, Wijanto dan Nila Ardhiane, Amandemen Kontrak Konsesi Jakarta Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy . Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Critical%20Review.pdf (di akses pada 20 Mei 2014) Lako, Andreas dan Nila Ardhianie, Privatisasi Air Jakarta: Akal-akalan Keuangan dan Dampaknya Bagi Pelanggan. 2011. Jakarta:AMRTA Institute for Water Leteracy. Melalui http://www.waterjustice.org/uploads/attachments/Financial%20Machinatio ns-1.pdf (diakses pada 20 Mei 2014) Leonard,Thomas M. Encyclopedia Of The Developing World . 2006. New york:Routledge vol 1. Melalui http://nomorebiggov.files.wordpress.com/2008/11/encyclopedia-of-the- developing-world.pdf (diakses 7 Februari 2014) Macleod, Sarah and Douglas Lewis, Transnasional Corporations: Power, Influence, and Responsibility . 2004. London:Global Social Policy ,vol.4. Melalui http://www.uk.sagepub.com/suder/Chapter%2010%20- %20Macleod%20&%20Lewis.pdf (diakses 7 Februari 2014) Moran, Theodore H. Multinational Corporations and Dependency: A Dialogue for Dependentistas and Non-Dependensitas. 1978. International Organization: University of Wisconsin Press

104

Saefuloh, Asep Ahmad. Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu. 2011. Indonesia: Jakarta. Melalui http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim- 2.pdf (diakses 13 September 2014) Santono, Hamong, Current Situation of Jakarta Water Privatization, 2011. Jakarta: KruHa Koalisi Rakyat Untuk Hak atas Air Slantchev, Brainslav L. Introduction to International Relations Lecture 4: Bargaining and Dynamic Commitment. 2005. California: Departement of Political Science. Melalui http://slantchev.ucsd.edu/courses/ps12/04- bargaining-dynamic- commitment.pdf (diakses 20 Juli 2014) Tarzi, Shah M. Thirld World Goverments and Multinational Corporations: Dynamics of Host’s Bargaining Power. 1991

Karya Akademis:

Ardhianie, Nila. Jakarta Water Privatization: Seven Years Of “Dirty” Water, Washington: Transnasional International. Melalui http://www.tni.org/sites/www.tni.org/archives/books/waterindonesia.pdf (diakses 28 Februari 2014)

Fitrianti, Asri. Analisa Kinerja Privatisasi Pada PD PAM JAYA . 2009. Bandung:Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Melalui http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11235/H09afi1.pdf; jsessionid=AE91F3AE805AF725C64ADA811E60DD5C?sequence=2 (diakses 13 Juli 2014) Hadad, Nadia, Privatisasi Air di Indonesia, 2003. Indonesia: INFID Annual Lobby. Melalui http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Capitalism&Market/Privatisasi% 20Air%20INFID.pdf (diakses 13 Juli 2014)

105

Hall, David .The Water Multinationals. 1999. London: Public Services International Conference on water industry Bulgaria, October. Melalui www.psiru.org/reports/9909-w-u-mnc.doc (diakses 18 September 2014)

Hall, David The Water Multinationals 2002-Financial and Other Problems. 2002. London: University Of Grenwich, Public Services International Research Unit PSIRU. Melalui http://www.psiru.org/reports/2002-08-w-mncs.doc (diakses 18 September 2014) Kurniasih, Heni. Water Not For All: The Consequance of Water Privatisation In Jakarta, Indonesia . 2008. Melbourne:Australia. Melalui http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/henikurniasih.pdf (diakses 20 Juli 2014) Nur Endah Sofhiani, Reconstruction of Indonesia’s Drinking Water Utilities. 2003. Sweden: Stockholm, Departement of Land and Water Resources Engineering Royal Institute of Technology. Melalui http://www2.lwr.kth.se/Publikationer/PDF_Files/LWR_EX_03_30.PDF (diakses 18 September 2014) Sari, Rina Kartika. Klausa Imbalan Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Dengan Swasta: Studi Kasus Perjanjian Kerjasama Antara PDAM DKI Jakarta dengan PT AETRA Air Jakarta . 2011 . Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Melalui http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252237-T%2028696- Klausula%20imbalan-full%20text.pdf (diakses 15 Juli 2014) Segers, Jason Privatization of Water in Latin America: A Case Study in Bolivia. 2010. California: San Luis Obispo. Melalui http://digitalcommons.calpoly.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&cont ext=socssp ( diakses 16 Mei 2014) Trnik, Michal. Local Goverments and Foreign Direct Investment Examining the Relationship between MNC’s and Local Goverments in Slovakia. 2005. Budapest: Central European University. Melalui http://michal.trnik.com/prace/BELA_research_paper.pdf (diakses 15 April 2014)

Zakaria,Fiona Assessing Pro-Poor Water Supply Programs in Jakarta. 2008 Royal Geographical Society. Melalui https://www.rgs.org/NR/rdonlyres/BA1AE09E-FCCF-459A-B27E-

106

048095E65F6D/0/FionaZakariadissertationCandidateNumber667918.pdf (diakses 20 Mei 2014)

Laporan Resmi:

Asian Development Bank Report and Recommendation of The President the Board of Directors, Proposed Loan Republic of Indonesia: West Jakarta Water Supply Development Project. 2007

WEB:

1995-2001 International Expansion, http://www.thameswater.co.uk/about- us/850_2614.htm (diakses 20 Juli 2014) About Us, http://www.degremont-technologies.com/dgtech.php?rubrique20 (di akses 18 Juli 2014) Betapa Rapuhnya Eksistensi Badan Regulator PAM, http://www.indonesiawaters.com/2009/05/rapuhnya-eksistensi-badan- regulator-pam.html (Diakses 20 Mei 2014 Ada Banyak Pilihan Pengganti Nasi, http://www.tempo.co/read/news/2012/10/31/060438718/Ada-Banyak- Pilihan-Pengganti-Nasi (di akses 11 September 2014) Bisnis Utama, http://id.palyja.co.id/bisnis-utama/ (diakses 11 Septermber 2014) Cost, http://www.e-conomic.co.uk/accountingsystem/glossary/cost (diaskses 18 September 2014) Fixed cost, http://www.investopedia.com/terms/f/fixedcost.asp (diakses 18 September 2014) History, http://www.suez-environnement.com/group/history/ (diakses 23 Juli 2014)

107

Indonesian Urban Water Supply Sector Policy Framework, http://documents.worldbank.org/curated/en/1997/10/10946540/indonesia- urban-water-supply-sector-policy-framework (diakses 8 Februari 2014) Latar Belakang: Krisis Moneter 1998, http://www.jakarta.go.id/web/news/2012/05/latar-belakang-krisis- moneter-1998- (diakses 16 September 2014) OECD Investment Policy Review Indonesia, (OECD:2010), hal 46. Diakses melalui http://browse.oecdbookshop.org/oecd/pdfs/product/2010041e.pdf (diakses 20 Juli 2014)

Partner of Local Authorities and Industries, http://www.degremont.com/en/about- us/profile/water-treatment-partner/partner-of-local-authorities-and- industries/ (diakses 19 Juli 2014) Pemegang Kepentingan, www.palyja.co.id/profil/tentang-palyja/pemegang- kepentingan/ (diakses 23 Juli 2014) Pemimpin Bermental Platinum, http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/338- pemimpin-bermental-platinum (diakses 17 Spetember 2014) Permukiman, http://bplhd.jakarta.go.id/slhd2012/Docs/Lap_SLHD/Lap_3B.htm (diakses 14 September 2014) Pelangan PAM Jaya, http://www.pamjaya.co.id/Pelanggan-PAM-JAYA.html (diakses 23 Juli 2014) Privatisasi PDAM, http://www.theglobal- review.com/content_detail.php?lang=id&id=6232&type=7#.U3sG9XZp3 M8 (Diakses 20 Mei 2014) Philippe Pedrini, http://id.palyja.co.id/profil/tata-kelola-perusahaan/dewan- direksi/read/24/philippe-pedrini/ (diakses 18 Juli 2014) Profil Perusahaan, http://id.palyja.co.id/profil/ (diakses 22 April 2014)

108

Profil Perusahaan, http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/profilPerusahaan/page?id=sekilas (diakses 22 April 2014) Provinsi DKI Jakarta, http://www.kemendagri.go.id/pages/profil- daerah/provinsi/detail/31/dki-jakarta (diakses 22 April 2014) Provinsi DKI Jakarta per Kab/Kota tahun 2000, http://jakarta.bps.go.id/index.php?bWVudT0yMzA0JnBhZ2U9ZGF0YSZ zdWI9MDQmaWQ9MTE= (diakses 14 Septermber 2014) Public-private water partnership, http://www.suez- environnement.com/water/public-private-partnerships/ (diakses 23 Juli 2014) Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Penyediaan Layanan Air Bersih di Indonesia, http://www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/11/109/Privatisasi_Air/Sejara h_Keterlibatan_Swasta_dalam_Peyediaan_Layanan_Air_Bersih_di_Indon esia.html (diakses 21 Juli 2014)

Sejarah PAM JAYA, http://www.pamjaya.co.id/Sejarah-PAM-JAYA.html (diakses 22 Juli 2014)

Tanda Tanya di Balik Pemecatan Bos PAM Jaya, http://www.tempo.co/read/news/2012/01/09/090376075/Tanda-Tanya-di- Balik-Pemecatan-Bos-PAM-Jaya (diakses 10 September 2014)

The Sanitary Quality, http://www.degremont.com/en/know-how/municipal-water- treatment/drinking-water/the-sanitary-quality/ (diakses 19 Juli 2014)

The six natural resources most drained by our 7 billion people, http://www.theguardian.com/environment/blog/2011/oct/31/six-natural- resources-population (diakses 3 September 2014

Tim Advokasi Hak Atas Air Gugat Privatisasi Air, http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/13/18260894/Tim.Advokasi. Hak.Atas.Air.Gugat.Privatisasi.Air (diakses 16 Mei 2014

UN Documents: Gathering a Body of Global Agreements, http://www.undocuments.net/h2odub.htm (diakses 8 Februari 2014)

109

Urban Wastewater Treatment, http://www.degremont.com/en/know- how/municipal-water-treatment/wastewater/urban-wastewater-treatment/ (diakses 19 Juli 2014) Variable Cost, http://www.investopedia.com/terms/v/variablecost.asp (diakses 18 September 2014) Warga Miskin Jakarta Korban Mahalnya Air Bersih, http://citizendaily.net/warga-miskin-jakarta-korban-mahalnya-air-bersih-2/ (diakses 16 September 2014) Water Privatization Challanged After 16 Years, http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/05/water-privatization- challenged-after-16-years.html (diakses 20 Mei 2014)