MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI GLOBAL
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI GLOBAL
MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI
GLOBAL*
Oleh: Arief Hanafi
Abstrak
Proses dakwah Muhammadiyah memasuki abad kedua semakinberat. Dengan memasuki era modernisasi dan globalisasi,menyebabkan tidak adanya sekat-sekat nagara. Arus informasidan komunikasi begitu sangat cepat silih berganti. Tentunyafenomena global seperti itu bagaikan pisau bermata dua bagiMuhammadiyah. Selain itu maraknya komodifikasi mediamenjadi hambatan bagi media untuk objektif dalam melihatrealitas. Maka dalam ini kehadiran Mahammadiyah sebagai civilsociety sangat dibutuhkan. Dengan harapan mampu melahirkanmedia yang benar-benar objektif bebasis pada pengetahuandan idealisme, dengan tidak melupakan pemanfaatkan kemajuanteknologi dalam rangka dakwah amar ma’ruf nahi munkar diranah global. Untuk mencapai itu sangat perlu bagiMuhammadiyah untuk memaksimalkan potensi kualitas SumeberDaya Manusia (kader Persyarikatan), serta modal sosial(social capital) yang dimiliki. Karena sudah saatnya organisasiyang menyandang gelar pembaharuan ini tidak hanyaberkecimpung dalam permasalahan dan manajemen Amal UsahaMuhammadiyah (AUM), Internal organiasasi, Kuantitas Jamaahdan berkutat pada urusan ubudiyah saja, namun lebih jauhdari itu, sangat perlu dan penting bagi kelangsunganMuhammadiyah untuk mempu memanfaatkan momen modernitasglobal ini sebagai momen dakwah dalam skala yang jauh lebihluas.
Keyword: Muhammadiyah, Global, komodifikasi media, civil society, kualitasSDM, Modal Sosial
A. PENDAHULUAN
Gerak langkah penyebaran dakwah Muhammadiyah tidak
lepas dari peran media yang dimilikinya.1 Sejak didirikan
Suara Muhammadiyah (SM) pada tahun 1915an, gelombang dakwah
Muhammadiyah bisa dibilang semakin menyebar hingga ke akar
rumput. Suara Muhammadiyah sendiri, menurut penelusuran Dr
Kuntowijoyo, semula bernama “Sworo Muhammadiyah” dan
berbahasa Jawa. Kemudian dalam persebarannya hingga ke
seluruh penjuru Nusantara, Suara Muhammadiyah menggunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa dalam majalah tersebut.2 Dalam
1* Disampaikan dalam Workshop JIMM di Solo 31 Oktober-1 Nopember2014.
Perlu juga di catat, bahwa selain peran media SM, EksistensiMuhammadiyah selama seabad lebih ini tidak bisa lepas dari peranannyasebagai bentuk civil society. Kalau kita menegok sejenak perjalananMuhammadiyah dalam membangun bangsa, maka beberapa kali Muhammadiyahmengambil sikap politik secara cultural. Artinya Muhammadiyah selaluberhasil dalam melakukan negosiasi diri dengan birokrasi pemerintah.Sejarah telah membuktikan bahwa Muhammadiyah memainkan tiga perananpenting, pertama sebagai reformis keagamaan, kedua sebagai pelakuperubahan sosial dan ketiga sebagai kekuatan politik. Alfian. 2010.Politik Kaum Modernis, Perlawanan Muhammadiyah Terhadap Kolonialisme Belanda. AlWasath: Jakarta. Halaman 5.
2 http://www.suaramuhammadiyah.com/p-231.html, diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. jam 10:27 WIB.
konteks penyebaran dakwah melalui majalah, Suara
Muhammadiyah bisa dikatakan turut berjasa dalam menyatukan
Nusantara/Indonesia sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan
oleh para pemuda di tahun 1928. Hal tersebut menjadi
prestasi tersendiri, bagi Muhammadiyah yang besar, menyebar
sampai ke berbagai pelosok Tanah Air.
Perluasan pengaruh dakwah melalui media terus
berlanjut di kalangan Muhammadiyah dewasa ini, disamping
menerbitkan media massa secara berkala juga berdakwah
secara langsung. Dengan berjalannya waktu, Muhammadiyah
juga membentuk Bagian Pustaka dan informasi sebagai salah
satu lembaga Muhammadiyah paling awal. Adapun tugas pokok
dari Majelis Pustaka ini diantaranya. Pertama,
Mengoptimalkan pemanfaatan multimedia dan teknologi
informasi untuk menopang aktivitas Persyarikatan meliputi
media elektronik, dalam hal ini radio dan televisi, media
internet dan mobile devices, media cetak, dan lain-lain.
Kedua, Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan
yang berfungsi untuk pengembangan pengetahuan dan informasi
warga Persyarikatan dan masyarakat luas. Ketiga,
Melaksanakan pelatihan pustakawan dan public relations dalam
menunjang pelayanan dan fungsi-fungsi tugas Persyarikatan.
Keempat, Meningkatkan pelayanan publikasi baik yang
bersifat cetak maupun elektronik sebagai bagian penting
dalam pengembangan syiar Persyarikatan.3
3 Sesuai keputusan Muktamar k-46 di Yogyakarta, http://www.muhammadiyah.or.id/content-46-det-majelis.html. diakses pada tanggal 26 Oktober 2014. Jam 18.30 WIB.
Dilihat dari sejarah dibentuknya Majelis Pustaka dan
Informasi ini memperlihatkan ada kepedulian terhadap hal-
hal yang terkait informasi –yang didalamnya juga
komunikasi- sudah tertanam sejak awal dalam tubuh
organisasi yang didirikan pada 18 Nopember 1912 ini.
Sebagai salah satu Ormas yang bercorak pembaharu,
Muhammadiyah senantiasa dan memang seharusnya untuk
melakukan adaptasi terhadap perkembangan media informasi.
Apalagi kita lihat perkembangan realitas informasi dan
komunikasi global sekarang iniArus informasi dan komunikasi
begitu sangat cepat silih berganti. Fenomena globalisasi
misalnya, juga menimbukan efek “tanpa batas”, dan efek
“seketika”, secara simultan.4 Dari sisi efek “tanpa batas”
maka dapat dipastikan seluruh jagad di bumi ini bebas masuk
dan keluar dalam suatu Negara, batas negarapun seolah
runtuh. Sedangkan dari dimensi waktu, efek “seketika”
menjadikan masyarakat di seluruh belahan dunia ini mampu
untuk memperoleh suatu informasi dengan sangat cepat.
Selaras dengan itu, Yasraf menyebut fenomena
globalisasi ini dengan “Dunia yang Dilipat”, yakni di dalam
sebuah dunia yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk
pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan dan
miniaturisasi di berbagai dunia.5 Meminjam istilah yang
dipakai Foucoult, tentang relasi kekuasaan, bahwa di balik
4 Zainuddin Maliki, dkk (ed). 2012. Muhammadiyah untuk Kemanusiaan danPeradaban. Surabaya: Hikmah Press. Halaman 160.
5 Yasraf Amir Piliang. 2011. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Halaman 45.
pelipatan dunia tersebut sesungguhnya ada relasi kekuasaan
tertentu yang beropreasi, khusunya dalam konteks ini:
dominasi waktu atas ruang, dominasi simulacra atas realitas
social dalam pelipatan sosial.
Meminjam istilah Giddens (1990) bahwa kehidupan modern
di era globalisasi sebagai sebuah “juggernaut” (panser
raksasa).6 Giddens telah menggambarkan dengan sangat apik
bagaimana panser raksasa ini melaju hingga tingkatan
kecepatan tertentu, dalam perjalanannnya itu sangat mungkin
untuk lepas kendali hingga menghancurkan apa-apa yang ada
di depannya. Selain itu menurut Giddens perjalanan panser
ini tidak selamanya tidak bermanfaat, adakalanya memang
menyenangkan dan bermanfaat.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah yang notabene
organisasi modern mengawal pesatnya arus informasi global
ini? Jika melihat apa yang di analogikan oleh Giddens
diatas, tentang kehidupan modernitas di era global yang
begitu cepat arus informasi dan komunikasi, dapat
dipastikan jika Muhammadiyah tidak tanggap informasi maka,
“tergilaslah” organisasi ini. Maka yang di butuhkan saat
ini perlu bagi mahammadiyah yang menyandang organisasi
modern lebih bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk
berdakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah global serta
mampu mengendalikan informasi yang berjalan secara terus-
menerus.
6 George Ritzer dan Doughlas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern.Jakarta: Kencana. Halaman 552-553.
Tentunya fenomena global seperti itu bagaikan pisau
bermata dua bagi Muhammadiyah. Di satu sisi jika Organisasi
bentukan Ahmad Dahlan ini tidak merespon dengan cepat dan
sistematis maka saat itu juga Muhammadiyah akan “tergilas”
dengan sendirinya. Muhammadiyah yang notabene adalah
organisasi yang mengedepankan modernisasi pemikiran dan
pendidikan, terutama pada penerimaan ilmu pengetahuan
Barat. selain itu Muhammadiyah dalam perkembangannya
berakar dari penafsiran Al-Maun yang mengandung nilai-nilai
tanggungjawab sosial, maka sangat mungkin bagi Muhammadiyah
untuk andil dalam misi pembebasan manusia dari belenggu-
belenggu realitas semu melalui media informasi yang
mencerdaskan.
Menjadi keniscayaan bahwa media dalam posisi sekarang
ini menjadi pilar bagi sebuah organisasi dan bangsa. Karena
sudah saatnya organisasi yang menyandang gelar pembaharuan
ini hanya berkecimpung dalam permasalahan dan manajemen
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), Internal organiasasi,
Kuantitas Jamaah dan berkutat pada urusan ubudiyah saja,
namun lebih jauh dari itu, sangat perlu dan penting bagi
kelangsungan Muhammadiyah untuk mempu memanfaatkan fenomena
modernitas global ini sebagai momen dakwah dalam skala yang
jauh lebih luas.
B. DAHSYATNYA PENGARUH MEDIA MASSA (TELEVISI)
Media dan Masyarakat
Televisi sebagai salah satu media yang perkembanganya
semakin pesat. Televisi merupakan media elektronik yang
paling sempurna dan mempunyai efek yang paling besar
terhadap khalayak dibanding dengan media elektronik lainnya
seperti radio, karena televisi merupakan media audiovisual
yang bersifat informatif, hiburan, pendidikan, dan juga
alat kontrol sosial. Dengan kesempurnaan teknologi,
televisi mampu menjadi media penyiaran yang paling diminati
dan digunakan oleh masyarakat luas pada saat ini dibanding
dengan media lainnya seperti radio, majalah, koran, dan
media lainnya.
Dengan segala perkembanganya seperti disebutkan
diatas, maka secara fungsional televisi telah “mengusai”
kehidupan masyarakat di sekeliling kita, bahkan pada fungsi
yang substansial. Artinya bahwa pikiran-pikiran manusia
telah dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan gambaran
realitas dalam televisi itu sendiri.7 Hal ini sangat
terlihat ketika tayangan di televisi dibentuk untuk menarik
penonton di rumah agar mengikuti pesan yang disampaikan.
Dari sudut pandang yang berbeda, yakni masyarakat,
maka yang terjadi adalah apa yang di sebut oleh Jean Paul
Boudrilard sebagai impolsi, kondisi dimana masyarakat tidak
mampu lagi untuk menjelajahi realitas yang ada di depannya
dengan selektif dan dengan pertimbangan tertentu, melainkan
7 Burhan Bungin. 2011. Sosiologi Komunikasi (Teori, Pardigma dan DiskursusTeknologi Komunikasi di Masyarakat). Kencana: Jakarta, halaman 221.
masyarakat tanpa daya dan kuasa menerima informasi (meledak
kedalam) dan saat itu juga mengerumuni msyarakat bagaiakan
magnet hal ini karena cepatnya dan banyaknya informasi yang
ada.
Iklan sampo misalnya, yang menampilkan bagaimana
rambut yang lurus dan indah, sabun mandi yang membuat kulit
halus dan putih, suplemen dalam bentuk susu yang membuat
badan kita lebih kekar, hingga berita dalam sebuah stasiun
televisi yang mencoba untuk membangun pola berfikir dan
opini masyarakat. Semua realitas televisi tersebut diatas
sudah tidak asing lagi di benak kita. Bahkan menjadi budaya
baru bagi masyarakat kita. Hal senada juga diutarakan oleh
Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul lima serpihan
moral, menjelaskan bahwa televise menjadi sumber utama
penghamburan berita (informasi).8
Televisi menjadi sebuah kebutuhan primer dalam
masyakat konsumsi saat ini. Di dalam media televisi inilah
produk-produk berseliweran untuk menggoda hasrat seorang
individu bahkan dalam institusi keluarga itu sendiri.
Proses apa yang dikatakan Antonio Gramsci sebagai bentuk
kepemimpinan moral intelektual atau hegemoni menjadi hal
yang tidak aneh lagi untuk dijadikan alat penguasa untuk
sebuah penundukan. Berbeda lagi menurut Foucoult, Kekuasaan
8 Berawal dari acara talk show yang diterima masyarakat italia padaawal tahun enam puluhan, yang sebelumnya diterapkan dalam masyarakatAmerika dengan kemampuan berbicara dan tidak hanya memberikan suatubahasa yang blak-blakan yang ducapkan secara berani tetapi jugaberpengaruh pada masyarakat. Umberto Eco. 2001. Lima Serpihan Moral. Jendela:Yogyakarta. Halaman 56.
adalah soal praktik konkret yang lantas menciptakan
realitas dan pola-pola perilaku, praktik-praktik itu
menciptakan norma melalui institusi, dalam konteks ini
adalah media.9 Bagi Foucoult hal tersebut sebagai bentuk
pertarungan wacana, kuasa bahasa dari media. Berbeda lagi
dengan Ferdinand de Saussure, hal ini sebagai permainan
tanda (sign) yang tidak lepas dengan konsep langue dan parole,
dalam kajian semiotika strukturalnya. Lebih tajam lagi Eco
menjelaskan bahwa permainan tanda, sebagai bentuk
kedustaan. Berbagai perspektif muncul, karena semuanya
mengalami dialektika yang terus menerus untuk membaca
dinamika masyarakat kontemporer.
Selain itu Boudrilard dengan sangat gamblang,
menjelaskan tentang media televise yang di dalanya ada
sebuah ide (ideology). Televise menurut Boudrilard adalah
dunia yang divisualkan dengan baik, dapat dipotong dengan
baik, dan dibaca dengan gambar. Gambar ini membawa sebuah
ideology. Boudrilard meyakini jika di balik gambar-gambar
dalam media televise tampak jelas imperialisme.10 Bagi
masyarakat kontemporer, saat ini hampir tidak ada ruang dan
waktu yang tersisa untuk menghindari diri dari serbuan
berbagai informasi yang tentunya terdapat berbagai
kepentingan. Di rumah, di kantor atau di kampus, kita tak
9 Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodern.Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia. Halaman 324.
10 Jean Boudrilard. 2013. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Halaman 154-155.
henti-hentinya disajikan berbagai informasi yang
menstimulasi berbagai tindakan masyarakat.
Theodor W Adorno dan Max Horkhaimer dalam buku Dialectic
of Enlightenment (1944), khususnya dalam bab Enlightenment as Mass
Deception, mengatakan bahwa film, radio, dan majalah
menciptakan system yang seragam dalam keseluruhan maupun
bagian-bagian. Bahkan, aktivitas-aktivitas politik yang
saling bertentangan sekalipun membentuk satu unit dalam
keteraturan system. Semua orang digerakkan menuju siklus
kerja dan konsumsi. Semua bagian masyarakat terlebut dalam
satu kompleks yang well organized. Bersatunya dimensi
mikroskopis dan makroskopis masyarakat menghadirkan jenis
masyarakat baru dengan identitas palsu secara keseluruhan
ataupun sebagian.11
Penguasaan Media, Perang Wacana, dan Perubahan Sosial
Revolusi masyarakat industri menempatkan media sebagai
aktor penting perubahan social. Di banyak tempat,11 Films, radio and magazines make up a system which is uniform as a whole and in
every part. Even the aesthetic activities of political opposites are one in their enthusiasticobedience to the rhythm of the iron system…Yet the city housing projects designed toperpetuate the individual as a supposedly independent unit in a small hygienic dwelling makehim all the more subservient to his adversary – the absolute power of capitalism. Because theinhabitants, as producers and as consumers, are drawn into the center in search of work andpleasure, all the living units crystallise into well-organised complexes. The striking unity ofmicrocosm and macrocosm presents men with a model of their culture: the false identity of thegeneral and the particular. Under monopoly all mass culture is identical, and the lines of itsartificial framework begin to show through. The people at the top are no longer so interested inconcealing monopoly: as its violence becomes more open, so its power grows. Movies and radioneed no longer pretend to be art. The truth that they are just business is made into an ideologyin order to justify the rubbish they deliberately produce.(http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm). diakses padatanggal 24 Oktober 2014 jam 13.15 WIB)
berlangsungnya reformasi dan perubahan social tidak lepas
dari kehadiran teknologi yang telah menjadi pengumpul massa
yang paling efektif. Revolusi Iran ,misalnya terjadi karena
peran tape recorder, perubahan politik di Cina berlangsung
karena peran facsimile, berdirinya Timor Leste, juga tidak
bisa lepas dari posisi internet dan televise yang berhasil
mengumpulkan orang secara virtual menjalin solidaritas
politik, dan contoh yang terakhir peristiwa reformasi 1998
di Indonesia, peran media dalam mengkonstruksi realitas
dengan membangun opini public, berhasil melengserkan rezim
otoriter orde baru. Sebegitu penting peran media dalam
kehidupan politik, sehingga mantan penguasa Perancis yang
legendaries, de Gaulle begitu memuja-muja televisi sebagai
senjata politik yang paling ampuh “Saya punya dua senjata politik,
televise dan televise…”, Ujar de Gaulle.12
Pengaruh media terus berjalan seolah tanpa batas waktu
–bahkan semakin cepat- Hingga saat ini pun media massa
khususnya media televise menjadi trending topik di kalangan
masyarakat luas, karena dianggap menimbulkan opini publik
yang sangat massif. Kenapa massif, karena efek yang di
timbulkan merasuk kedalam setiap lapisan masyarakat. Sudah
menjadi rahasia umum lagi bahwa pasca pileg dan khususnya
pilpres 2014, beberapa media massa kita telah terbagi
menjadi dua golongan. Katakanlah media TV One yang dalam
freme-freme tertentu memposisikan Prabowo sebagai figure
12 Imam Subkhan (ed). 2003. Siasat Gerakan Kota: Jalan untuk Masyarakat Baru.Yogyakarta: LABDA. Dalam Ade Marup Wirasenjaya. Media dalam ArusIndustrialisas Demokrasi. Halaman 80.
“pilihan rakyat”. Tidak kalah dari media milik Bakrie,
Metro TV yang di gawangi Surya Paloh juga mengusung Enggel
Jokowi sebagai calon pemimpin “idaman rakyat”.
Maka tidak berlebihan jika Yasraf (2011), menyebut
televise sebagai pembentuk narasi besar, berlandaskan pada
nilai-nilai universalitas, homogenitas dan sentralitas.13
Artinya dalam media televise ini mampu membentuk realitas
yang di bungkus dengn imajinasi tertentu yang nantinya
menjadi pengendali pikiran, persepsi, kesadaran dan
perilaku masyarakat.
Tidak hanya di dalam media televise. Hal ini berlanjut
hingga di jejaring media online. Efek domino dari
pemberitaan ini adalah sikap saling menjelekkan, mengolok,
menjatuhkan bahkan memusuhi antar kelompok yang berbeda.
Dalam media online ini bisa di bilang lebih ganas, karena
public secara luas bebas beropini –walaupun opini yang
dibangun mayorits tidak dari data yang valid-. Selain itu
kecepatan penyebaran berita melalui internet ini bisa di
bilang sangat cepat, bagaimana tidak, para pengguna
internet hanya meng “klik” menu “shere”, maka saat itu juga
berita tersebar luas.
Menjadi masalah besar ketika hal ini menjadi sebuah
kebiasaan (habit), dengan tidak ada batas-batas di dalamnya.
Maka tidak salah jika hal ini terus berkelanjutan maka
efeknya bukan hanya dalam lingkup masyarakat, namun lebih13 Yasraf Amir Piliang. 2011. Dunia yang Dilipat. Bandung: Matahari.
Halaman 435.
dari itu akan berdampak pada lembaga agama, adat, tradisi
bahkan keutuhan Negara dan bangsa.14 Saking vitalnya dalam
konteks ini, media masaa dianggap vis a vis dengan keutuhan
Negara itu sendiri.
Kalau kita sedikit menyinggung kajian komunikasi dalam
televisi maka kita akan bertemu dengan konsep apa yang
namanya decoding dan encoding. Konsep ini dikemukakan oleh
Stuart Hall dalam “Encoding and Decoding in the Televisual Discourse”.15
Hall dalam hal ini menjelaskan bahwa wacana yang diberikan
televisi melewati beberapa momen.
Pertama sebelum pada pewacanaan publik dalam bentuk
iklan atau berita, maka pengaruh ide, pengetahuan dan
pengalaman, makna historis, hingga keahlian teknis sangat
dibutuhkan. Ketika itu semua telah didapatkan, maka
televisi akan memproduksi acara-acara, dalam bentuk iklan
atau bentuk film dan lain sebagainya. Hal ini akan kita
lihat bagaimana pemilik media menentukan bentuk wacana atau
masuk dalam proses encoding yakni kondisi wacana yang telah
mempunyai makna.
Setelah wacana tersebut ada dan mempunyai makna, maka
pesan tersebut bebas untuk disampaikan oleh khalayak.
Akhirnya pada momen yang terakhir yakni melewati momen
decoding, moment decoding inilah bentuk internalisasi
ideologi terhadap wacana yang dibentuk. Intinya adalah dari
14 Op Cit halaman 435.15 Jhon Story. 2006. Cultura Studies dan Kajian Budaya Pop Pengantar Teori dan
Metode. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 11-13.
sebuah peristiwa atau fenomenalah prinsip dasar konsep
encoding dan decoding ini. Jika tanda-tanda (signs) yang
dibetuk itu tersampaikan secara baik, maka masyarakat akan
menerima dan mempraksiskan dalam kehidupannya
Sebenarnya kalau dilihat dari pergulatan dunia media
(jurnalistik) ada dua bagian karakter media dalam
memeberitkan actor atau objek berita, dengan model war
journalism maka di dalamnya ada unsure pembunuhan karakter,
tanpa memandang apapun dari pemberitannya bgi semua pihak.
Namun sebaliknya media massa yang menggunakan prinsip love
journalism, pemilihan terhadap berita-berita yang dapat
merusak reputasi orang lin, karir orang lain, nama baik
orang lain dan kelompokny kan dilkukan dengan sangat hati-
hati, dan apabila hal itu harus dilakukan karena
pembacannya menghendaki, maka akan diberitakan dengan
santun, menyejukkan, dan berupaya tidak merugikan semua
pihak.16
Teori yang mengatakan bahwa pers adalah kekuatan
keempat dalam Negara demokrasi (setelah legislative,
eksekutif dan yudikatif) mengsumsikan bahwa peran media
yang sangat determinan dalam membentuk tatanan masyarakat
demokratis.17 Secara normative maka media sebagai tempat
untuk menggambarkan realitas social-masyarakat dan
menyediakan ruang publik dengan liberatif. Dimana semua
pihak menyuarakan apirasinya. 16 Burhan Bungin. 2011. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. Halaman 361.17 Agus Sudibyo. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media.
Jakarta: Kompas. Halaman 220.
Melihat kondisi diatas, maka pertanyaan mendasar
adalah bahwa dalam kondisi semakin kokohnya kekuatan media
dalam mengkontruksi realitas, persepsi, pikiran dan
kesadaran masyarakat, masih relevankah media massa sebagai
salah satu pilar demokrasi? Apakah kontribusi media bagi
keadaban masyarakat? Dan patut kita pertanyakan lagi apakah
benar media saat ini menjadi pilar bangsa ataukah hanya
sebatas alat kepentingan bagi pihak-pihak luar yang jauh
dari kepentingan untuk memperkuat kedaultan bangsa?
Tentu pertanyan kritis diatas sebagai bentuk
kegelisahan dan refleksi penulis, karena menurut penulis
term media dan politik akan terus mengalami perkembangan
dengan isu-isu yang baru dan lebih beragam. Maka kiranya
sangat perlu dan segera perlu untuk di sudahi, dengan
mengembalikan fungsi media yang benar-benar independen
bebas kepentingan manapun.
Maraknya Komodifikasi Media
Komodifikasi sendiri tidak bisa lepas dari dari salah
satu tokoh komunis yakni Karl Marx. Dikemukkkan oleh Karl
marx bahwa komodifikasi adalah salah satu ideology yang
bersemayam di balik media. Marx yang sangat deterministic
ekonomi tidak salah jika menekankan unsure perolehan
keuntungan (profit) di bandingkan dengan tujuan normative
lainnya. Hal ini diwujudkan dengan fungsi media semata-mata
sebagai bisnis baru kapitalis.
Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi),
Mosco menyandingkan komodifikasi dengan spasialisasi dan
strukturasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses
transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.18 Praktek-
praktek komodifikasi menurut Mosco tersebut, bisa ditandai
dengan diubahnya konten/isi media menjadi komoditas untuk
mendapatkan profit. Salah satu strategi dalam pencapaian
tersebut ialah memproduksi program-program televise yang
sesuai dengan selera pasar sehingga dapat menaikkan rating.
Penggunaan rating sebagai salah tolok ukur dalam
melihat keberhasilan sebuah program. Rating menjadi alat
untuk menilai content (teks/produk media) apakah ia layak
dijual. Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak
pemasang iklan yang mampu ditarik dalam setiap penayangan
program tertentu. Selain itu, rating juga menjadi data dalam
mengkomodifikasi audience. Data audience yang terangkum dalam
rating menjadi pijakan bagi para pemasang iklan untuk
memasarkan produknya di program tayangan tertentu atau
tidak
Rangkaian peristiwa yang kita saksikan bersama-sama di
media semakain menyadarkan kita bagaimana komodifikasi
selalu hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Pertama
adalah pemberitaan yang secara terus menerus di tayangkan
yakni proses menjelang pernikahan dan saat pernikahan artis
papan atas. Ironisnya pernikahan ini sangat mewah, di
18 Syaiful Halim. 2013. Postkomodifikasi Media, Analsisi Media Televisi dengan Teori Kritis dan Cultural Studies. Yogjakarta: Jalasutra. Halaman 44
tengah kondisi rakyat bangsa ini kekurangan, dan banyak di
berbagai daerah rakyat menikah dengan nikah missal, namun
artis papan atas ini, dengan vulgar mengahbiskan dua hari
berturut-turut pernikahannya di beritakan media, bak
seorang raja dan ratu. Informasipun terhambat. Lebih ironis
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya member teguran,
itupun setelah acara berakhir.
Selanjutnya juga datang dari jagad selebritis kita,
dimanaartis papan atas yang (hanya) berlibur ke luar
negeri, beritanya si publikasikan secara terus menerus.
Lagi-lagi nilai media yang mendidik pun hampir tidak ada.
Ternyata tidak cukup sampai di situ, nilai-nilai keagamaan
pun tidak lepas menjadi “barang dagangan”. Kita amati saja
bagaiaman ramainya pemberitaan di televise ketika Bulan
Suci umat Islam tiba, media berloma-lomba untuk menunjukkan
“keislamannya”. Begitu pula band-band tanah air, dimana
sebelumnya mereka berpakaian macho dan aneh-aneh, maka di
bulan suci para band-band ini mendadak memakai baju koko,
dan tak lupa juga memakai peci atau kopiah. Dan ironisnya
dulu ketika bulan-bulan sebelumnya mereka memuja-muja
wanita, namun ketika bulan bulan Ramadhan tiba mereka
memuja-muja Tuhan.19
Contoh beberapa kasus diatas merupakan realitas media
di tengah-tengah masyarakat kita. Kelihatanya memang tidak
ada masalah. Namun di balik itu sebenarnya ada problem yang
19 http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/07/stop-islam-jangan-dijual.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014. Jam 21:37 WIB.
serius. Ada proses yang tengah berlangsung yakni proses
komodifikasi dan dramatisasi. Ruang berita dan jam tayang
yang sudah menanti media harus selalu diisi dengan beragam
acara yang diasumsikan akan mearik dan memuaskan
mayarakat.20
Yasraf, juga memaparkan kritiknya terhadap
komodifikasi media dengan di dasarakn pada pemikiran Thedor
Adorno, ilmuwan dari Mazhab Frangfurt dan penerus pemikiran
kritis Krl Marx, sebagai berikut
Dalam kapitalisme, segala bentuk hasilproduksi dan reproduksi dijadikankomoditas, untuk dipasarkan dengan tujuanmencari keuntungan, kekuatan produksidibentuk dalam kaitan bukan menggali nilaiutilitas (profit) dari nilai tukar (exchangevalue). Proses komodifikasi, mejdikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilaitukar, menurut Adorno, merupakan satubentuk nyata pencerahan palus kapitalisme.
Apa yang diproduksi kapitaslisme, dengandemikian, tak lebih dari sekedar pemenuhankebutuhan palsu –kebutuhan yang diciptakanoleh para produser. Dalam hal ini, Adornomelihat kapitalsimesebagai suatu bentukpenipuan massa (mass deception)- ia menciptakankebutuhanyang sebetulnya tidak dibutuhkansecara hakiki.
Komodifikasi bagi Adorno, tidak sajamenunjuk pada barang-barang kebutuhankonsumen, akan tetapi telah merambah padabidang seni dan kebudayaan pada umumnya.Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme
20 Idi Suband Ibrahim dalam saiful Halim.
pada kebudayaan pada umumnya. Apa yangdilakukan masyrakat kapitalisme padakebudayaan adalah menjadkanya patuh padahokum komoditas kapitalisme. Masyarakatseperti ini hanya menghasilkan apa yangdisebut Adorno: Kebudayaan industry (cultureindustry) –satu bentuk kebudayaan yangditujukan untuk massa dan produksinyaberdasarkan pada mekanisme kekuasaan sangproduser dalam menentukan bentuk, gaya, danmaknanya.
Bagi Adorno, Kebudayaan Industri merupakanasatu bentuk dehumanisasi lewat kebudayaan.Rasionalisasi dan komodifikasi kebuadayaansebagai satu manifestasi dari pencerahanpalsu tidak saja menghambat aspirasi dankreativitas individu, akan tetapi lebihburuk lagi menghapus mimpi-mimpi manusiaakan kebebasan dan kebahagiaan yangsesungguhnya.21
Kalau kita lihat beberapa contoh fenomena media
diatas, maka hukum pasar yang merupakan cerminan selera
masyarakat memang selalu berpihak kepada bidang hiburan,
kesenangan, dari pada bidang informatif berbasis edukatif.
Maka disini penulis melihat bahwa media massa yang secara
tanggungjawab memunyai misi pencerahan kepada masyarakat
harus mempertaruhkan kredibilitas dan idealismenya.
C. BAGAIMANA MUHAMMADIYAH BERPERAN?
Meneguhkan Kembali Muhammadiyah sebagai Gerakan Civil Society
Bagi penulis, misi pencerahan umat oleh Muhammadiyah
tidak bisa lepas dari Sumber Daya manusia yang ada dalam
21 Yasraf Amir Piliang. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 88-89.
organisasis ini (baca: kader). Maka sangat penting kesiapan
para kader Persyarikatan ini untuk menguasai kemampuan
teknologi dan informasi berbasis media massa. Seperti sudah
di jelaskan sebelumnya, bagaimana media dalam
mengkonstruksi sebuah realitas, bagaimana media mampu
menguasai pikiran manusia dan tidak hanya itu, bagaimana
media mampu untuk membuat masyarakat menjadi sangat
tergantung kepada media.
Dalam konteks ini maka tentunya kita patut prihatin
ketika kondisi media yang konon katanya sebagai empat pilar
bangsa namun masih jauh dari harapan. Lippman dalam
permasalahan yang dijelaskan diatas tadi berpendapat bahwa
hal tersebut di sebabkan karena media dihadapkan pada
khalyak publik yang terkungkung problem self interest, artinya
bahwa public membaca (baca:membutuhkan) media hanya untuk
melihat apakah namanya, kelompoknya, kepentingannya dan
minatnya di tamplkan oleh media atau tidak. Factor ini
memaksa media menampilkan yang relevan dengan minat public.
Dari permasalahan yang di paparkan sebelumnya, maka
kondisi media saat ini berada dalam kondisi yang sangat
krisis akan kualitas pemberitaan. Hal tersebut disebabkan
karena media sangat deterministik ekonomi. Atau dalam dalam
arti lain media massa lebih menunjukkan karakter sebagai
institusi bisnis daripada institusi social, dan tidak
ketinggalan media saat ini dihadapkan pada problem
relativisme berita. Berita tidak lagi identik dengan
kebenaran. Selain masalah intervensi pasar dan tidak
kondusifnya perilaku public problem lain adalah
keterbatasan informasi penting dari sumber-sumber resmi
yang cenderung menutup diri.22 Senada dengan yang
dikemukakan Lippman, Jhon Fiske juga berpendapat bahwa
media massa sekarang dalam hal ini media televise, tersebar
dalam dua model kepentingan ekonomi di dalamnya. Pertama
ekonomi financial dan yang kedua adalah ekonomi kultural.23
Menurutnya ekonomi financial terutama menaruh perhatian
pada nilai tukar, sedangkan ekonomi cultural berfokus pada
nilai guna di dalmnya ada makna, kesenangan dan identitas
social.
Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah menyikapi kondisi
media saat ini? maka pertama yang harus kita tanamkan kuat
dalam Muhammdiyah adalah Muhammadiyah sebagai bagian dari
civil society. Konsepsi ini telah bnyak di bahas dan istilah
ini mengalami bnayk perpektif, Adam Ferguson dalam bukunya
An Essay on the History of Civil Society. Ferguson memahami civil society
sebagai sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahaman ini muncul sebagai bentuk antisispasi prubahan
social yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme. Keduanya bertanggungjawab atas
bertambah mencoloknya pembedaan antara yang public dan yang
22 Agus Sudibyo. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Kompas. Halaman 224.
23 Jhon Story. 2006. Cultura Studies dan Kajian Budaya Pop Pengantar Teori danMetode. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 11-13.
privat. Sebab dalam civil society solidaritas sosial muncul
yang diilhami oleh sentiment moral dan sikap saling
menyayangi antar warga secara alamiah.24
Kalau Ferguson lebih melihat civil society sebagai visi
etis, maka berbeda dengan jhon Locke (1632-1704) dan JJ.
Rousseau (1712-1778) yang memaknai civil society yang
bercirikan tata kehidupan politik yang terikat pada hokum.
Menurutnya kelahiran civil society tidak dapat dilepaskan
dengan Negara. Rousseau lebih menekankan konsepsi Locke
bahwa masyarakat politik sendiri merupakan hasil kontrak
social.25
Berbeda pula dengan Hegel, Hegel berpendapat bahw civil
society sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang
meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk dalam kehidupan
ekonomi yang kompetitif. Dan juga sebagai arena untuk
politik praksis. Pendapat Hegel tersebut juga tidak bisa
lepas dari pendapat Alexis de Tocqueville, yang mengartikan
bahwa civil society mempunyai kekuatan yang dapat mengengkang
dan mengontrol Negara, dan juga mengembalikan dimensi
kemandirian dan pluralitas di dalamnya. Dengan adanya
aspek-aspek yang dikembalikan tersebut maka warga Negara
akan mampu mengimbangi kekauatan Negara. Tocqueville juga
menambahkan cirri dari civil society ini yakni adanya24 Subkhan, Imam (ed). 2003. Siasat Gerakan Kota: Jalan untuk Masyarakat
Baru. Yogyakarta: LABDA. Dalam Ade Marup Wirasenjaya. Media dalam ArusIndustrialisas Demokrasi.
25 Ibid Halaman 25
kesukarelaan, keswasembadaan, dan kemandirian berhadapan
dengan Negara, serta tidak bisa lepas dari norma atau nilai
hukum yang telah disepakati bersama.26
Dalam konteks Indonesia wacana civil society sebenarnya
sudah ramai diperbincangkan sejak zaman orde baru, sebagai
counter hegemoni pemerintah pada saat itu. Dimana pada rezim
tersebut pemerintah melakukan intervensi yang sangat luar
biasa. Ruang publik yang sejatinya digunakan untuk
melahirkan kesadaran kritis dibungkam oleh penguasa atas
nama pembangunan. Kalaupun tetap melawan penguasa maka di
cap telah melakukan maker atau dilebel sebagai ekstrem
“kanan” atau ektrem “kiri”.
Para penggagas civil society di Indonesia ini meyakini
bahwa kalau Indonesia ingin menjadi Negara yang demokratis,
maka diperlukan civil society. Sejarah membuktikan bahwa –
mengutip Gellner- Negara Amerika dapat menjadi Negara
demokratis, bukan disebabkan karena kekuatan
pemerintahanya, melainkan karena tumbuh suburnya civil
society.27
Lalu bagimana sikap Muhmmadiyah dalam bingkai civil
society ini khusunya dalam derasnya arus media massa? Maka
yang harus dilakukan adalah media berbasis scientific,
artinya bahwa media yang di bawa Muhammadiyah harus
berdasar nilai-nilai ilmiah berdasar data dan fakta yang
objektif. Maka kembali lagi penulis tekankan peran SDM26 Ibid Halaman 2527 Ibid Halaman 26
Muhammadiyah sangat penting terutama dalam sisi kualitas.
Media bukan alat untuk pengeruk modal, namun lebih pada
misi pencerdasan umat, di barengi dengan keilmuan yang
mumpuni.
Semua ini dapat berangkat dari kegelisahan masyarakat.
Karena kelahiran muhammadiyah, lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial daripada keagamaan. Kelahiran
Muhammadiyah merupakan wujud tanggungjawab sosial orang-
orang yang beriman. Dengan demikian, proses kelahiran
Muhammadiyah lebih bersifat ”induktif” bukan ”deduktif”.28
Melihat latar belakang sosial para pendirinya, sangat bisa
dipahami jika Muhammadiyah tidak memiliki tradisi
perlawanan atau konfrontasi yang frontal dan terbuka, K.H.
Ahmad Dahlan tidak pernah melakukan kritik terbuka. K.H.
Ahmad Dahlan senantiasa mengedepankan dialog ilmiah dan
pendekatan persuasive.29
Kejumudan informasi dan komunikasi (baca: media
massa), seharusnya menjadi kegelisahan organisasi yang28 Kesimpulan ini didasarkan atas dua argumen. Pertama, sebelum
mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan sudah merintis kegiatanpendidikan yang diselenggarakan melalui dua cara. Pertama, mengajarkanpendidikan agama ekstra-kurikuler di Sekolah Pamong Praja (OSVIA)Magelang dan Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta. Kedua,mendirikan madrasah sendiri di emper (teras) rumahnya. Madrasahtersebut menggunakan meja-kursi dan mengajarkan ilmu agama dan non-agama sekaligus. Kegiatan pendidikan tersebut dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan sebagai wujud tanggungjawab sosial melihat kebodohan dimasyarakat dan kesenjangan sosial antara kelompok santri tamatanpesantren yang melulu belajar ilmu agama dan para priyayi lulusansekolah Belanda yang hanya mempelajari ilmu non-agama (Arifin dalamAli mu’ti. 2009. Gerakan civil society Yang Mandiri, tidak Anti Pemerintah. JurnalMAARIF Vol 4 No 2 tahun 2009. MAARIF Institute: Jakarta. Halaman 73
29 Ibid Halaman 74
melebelkan dirinya sebagai organisasi modern ini. Bagaimana
tidak setelah pemaparan diatas, ternyata banyak problem
dari media massa di negeri ini yang masih jauh dari misis
pencerahan umat. Dalam konteks ini Muhammadiyah sangat
perlu merumuskan kembali bagaimana memerankan diri dalam
mengentaskan bangsa dari kejumudan informasi dewasa ini.
Sikap kritis dan kooperatif ini senantiasa menjadi
ciri gerakan Muhammadiyah ketika jaman pendirian. Kiranya
masih sangat relevan untuk dikontekstualisasikan. Dimana
dengan wujud kritis dan kooperatif Muhammadiyah mampu
mengeluarkan masyarakat dari nelenggu ketergantungan media
yang menindas.
Selain itu sikap Muhammadiyah yang sejak awal menjadi
civil society, dalam konteks pergumulan dengan media, menjadi
momen bagi Muhammadiyah untuk berkiprah lebih besar dalam
masyarakat. Muhammadiyah dalam hal ini bisa lebih besar
dalam mengekspresikan suatu informasi dalam koridor atau
batas-batas tertentu. Dalam konsep Habermas, maka media
milik Muhammadiyah diharapkan menjadi sebuah ruang public
yang sangat bermakna bagi masyarakat. Konsep ruang public
(public sphere) ini merujuk pada “pentas atau arena dimana
masyarakat mampu mengemukakan opini, kepentingan dan
kebutuhan mereka secara diskursif dan bebeas dari tekanan
siapapun”. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud
komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana
dan kehendak bersama secara diskursif. 30
Modal Sosial Muhammadiyah Sebagai Harapan Dakwah
Berbicara kepemilikan (penguasaan) media massa, maka
akhir-akhir ini kita melihat bagaiamana pergolakan media
massa di tengah-tengah masyarakat. Muhammadiyah sebagai
salah satu elemen dalam masyarakat juga tidak bisa lepas
kebijakan negara. Maka peran Muhammadiyah sebagai
organisasi modern terbesar di Indonesia mempuyai tugas yang
besar.
Sebanarnya peran setrategis ini bisa dijadikan
momentum bagi Muhammadiyah untuk berkiprah di masyarakat.
Seperti kita ketahui bahwa setelah satu abad ini,
Muhammadiyah sudah memeiliki modal sosial yang sangat luar
biasa besarnya. Menurut Fukuyama modal social sendiri
merupakan serangkaian nilai dan norma informal pemberi
teladan yang digunakan bersama diantara anggota-anggotanya
dalam sebuah kelompok yang memungkinkan mereka saling
bekerja sama. 31
Peryataan tersebut sangat relevan jika kita melihat
kondisi Muhammadiyah saat ini. Sudah tidak bisa diragukan
lagi bahwa pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah lewat
amal usahanya yang tidak sedikit, terutama dengan adanya
30 http://www.scribd.com/doc/39978003/Public-Sphere., diakses pada tanggal 11 Maret 2012 puku 08.30 WIB
31 Francis Fukuyama dalam Lawrence E. Harison dan Samuel P. Huntington (eds). 2006. Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Jakarta: LP3ES. Halaman 153.
sekolah-sekolah makin lama makin pesat. Meminjam pandangan
Amien Rais, di Muhammadiyah itu sudah lama tertanam doktrin
yang disebutnya “menggembirakan amal saleh”. Dalam benak
warga Muhammadiyah, fungsi organisasi antara lain untuk
memobilisasikan atau dalam bahasa Muhammadiyah, untuk
menggembirakan amal saleh kolektif. Menurut penulis,
dilihat dari perspektif ini, lahirnya Muhammadiyah pada
satu abad yang lalu merupakan terobosan besar.
Disini Muhammadiyah mampu mengambil peran sebagai
control ataupun interupsi atas media itu sendiri. Di lain
pihak kehadirn Muhammadiyah diharapkan juga akan
benar0benar memberikan manfat dalam rangka memberikan
penyadaran dengan keluar dari realitas media. Media-media
non meantream milik muhammadiyah dari berbagai tingkatan
barangkali masih bisa di harapkan untuk berperan aktif
dalam melakukan counter hegemoni.
dari modal social yang besar ini muhammadiyah harusnya
mampu untukbergeraka lebih global lagi. Media-media
Muhammadiyah bisa mengikuti dalam media yang tidak
meanstream. Mengikuti eksistensi gerakan Muhammadiyah yang
selalu kritis demi kuatnya demokrasi di Indonesia. Disini
Muhammadiyah sebagai salah satu civil society juga
diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat luas. Bentuk-
bentuk ini bisa seperti media investigasi yang berbasis
riset dan objektif lapangan, bukan berdasarkan budaya
popular, jurnal ilmiah, serta media televise yang
mengglobal.
Berbicara tantangan, maka kita akan melihat
permasalahan-permasalahan di depan dan bagaimana tantangan
itu bisa di hadapai. Media terus berkembang, karena seperti
dijelaskan sebelumnya, bahwa efek globalisasi dan
modernitas yang mengakibatkan batas-batas Negara luntur.
Hampir di pastikan ke depan, Muhammadiyah dihadapkan pada
realitas peradaban masyarakat informasi yang kalau tidak
diantisipasi akan menenggelamkan Muhammadiyah menjadi
organisasi tradisional karena percepatan gerak peradaban
sejarah teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena
itu, Muhammadiyah harus menempatkan persoalan teknologi
komunikasi dan informasi menjadi salah satu agenda penting
pada abad kedua Muhammadiyah
Seluruh Amal usaha baik di segala tingkat dan lini,
sebenarnya Muhammadiyah mampu unutk mngembangkan memajukan
informasi. Berbagai universitas bisa di manfaatkan untuk
kebutuhan riset dan juga bagian ruang public yang jauh akan
tendensi manapun. Jejaring antar kampus ini penulis rasa
belum di manfaatkan dengan serius terkait media.
Memperhatikan potensi ini maka sangat mungkin memanfaatkan
kanal-kanal digital yang ada untuk menyelenggarakan siaran
dakwah melaui televise Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Memasuki abad kedua ini perjalanan Muhammadiyah dalam
usaha mencapai peradaban memang masih banyak tantangan
disana-sini baik internal maupun ekternal . semua tantanga
dan permaslahan perlu segera ditangani dengan mengerahkan
potensi yang ada, baik potensi SDM, potensi Modal Sosial,
dan tidak lupa potensi Amla Usaha di berbagai bidang.
Sekalipun masih jauh dari cita-cita ideal namun sikap
visioner itu perlu di sambut dengan baik oleh tataran kader
Persyarikaatan di berbagai daerah.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Alfian. 2010. Politik Kaum Modernis, Perlawanan MuhammadiyahTerhadap Kolonialisme Belanda. Al Wasath: Jakarta
Boudrilard, Jean. 2013. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta:Kreasi Wacana.
Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi (Teori, Pardigma danDiskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Kencana:Jakarta
Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi, Teori Paradigmadan Diskursus Teknologi Komunikai di Masyarakat. Jakarta:Kencana.
Eco, Umberto. 2001. Lima Serpihan Moral. Jendela:Yogyakarta.
Fukuyama, Francis dalam Lawrence E. Harison dan SamuelP. Huntington (eds). 2006. Kebangkitan Peran Budaya,Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia.Jakarta: LP3ES.
Halim, Syaiful. 2013. Postkomodifikasi Media, Analsisi MediaTelevisi dengan Teori Kritis dan Cultural Studies. Yogjakarta:Jalasutra
Jhon Story. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya PopPengantar Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik HinggaPostmodern. Jogjakarta: Ar-ruzmedia
Maliki. Zainuddin, dkk (eds). 2012. Muhammadiyah untukKemanusiaan dan Peradaban. Surabaya: Hikmah Press
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika: Tafsir CulturalStudies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra
___________________ 2011. Dunia yang Dilipat, TamasyaMelampaui batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Ritzer, George dan Doughlas J. Goodman. 2012. TeoriSosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Subkhan, Imam (ed). 2003. Siasat Gerakan Kota: Jalan untukMasyarakat Baru. Yogyakarta: LABDA. Dalam Ade MarupWirasenjaya. Media dalam Arus Industrialisas Demokrasi
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di JagatMedia. Jakarta: Kompas
JURNAL
Mu’ti, Ali. 2009. Gerakan Civil Society yang Mandiri, Tidak AntiPemerintah. Jurnal MAARIF Vol 4 No 2 tahun 2009.MAARIF Institute
INTERNET
(http://www.suaramuhammadiyah.com/p-231.html), diakses padatanggal 21 Oktober 2014, jam 10:27 WIB
(http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm). diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 jam 13.15WIB)
(http://www.scribd.com/doc/39978003/Public-Sphere.,) diakses padatanggal 24 Oktober 2014 pukul 08.30 WIB