MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI GLOBAL

31
MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI GLOBAL* Oleh: Arief Hanafi Abstrak Proses dakwah Muhammadiyah memasuki abad kedua semakin berat. Dengan memasuki era modernisasi dan globalisasi, menyebabkan tidak adanya sekat-sekat nagara. Arus informasi dan komunikasi begitu sangat cepat silih berganti. Tentunya fenomena global seperti itu bagaikan pisau bermata dua bagi Muhammadiyah. Selain itu maraknya komodifikasi media menjadi hambatan bagi media untuk objektif dalam melihat realitas. Maka dalam ini kehadiran Mahammadiyah sebagai civil society sangat dibutuhkan. Dengan harapan mampu melahirkan media yang benar-benar objektif bebasis pada pengetahuan dan idealisme, dengan tidak melupakan pemanfaatkan kemajuan teknologi dalam rangka dakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah global. Untuk mencapai itu sangat perlu bagi Muhammadiyah untuk memaksimalkan potensi kualitas Sumeber Daya Manusia (kader Persyarikatan), serta modal sosial (social capital) yang dimiliki. Karena sudah saatnya organisasi yang menyandang gelar pembaharuan ini tidak hanya berkecimpung dalam permasalahan dan manajemen Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), Internal organiasasi, Kuantitas Jamaah dan berkutat pada urusan ubudiyah saja, namun lebih jauh dari itu, sangat perlu dan penting bagi kelangsungan Muhammadiyah untuk mempu memanfaatkan momen modernitas global ini sebagai momen dakwah dalam skala yang jauh lebih luas. Keyword: Muhammadiyah, Global, komodifikasi media, civil society, kualitas SDM, Modal Sosial

Transcript of MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI GLOBAL

MUHAMMADIYAH DALAM PERGULATAN ARUS INFORMASI DAN KOMUNIKASI

GLOBAL*

Oleh: Arief Hanafi

Abstrak

Proses dakwah Muhammadiyah memasuki abad kedua semakinberat. Dengan memasuki era modernisasi dan globalisasi,menyebabkan tidak adanya sekat-sekat nagara. Arus informasidan komunikasi begitu sangat cepat silih berganti. Tentunyafenomena global seperti itu bagaikan pisau bermata dua bagiMuhammadiyah. Selain itu maraknya komodifikasi mediamenjadi hambatan bagi media untuk objektif dalam melihatrealitas. Maka dalam ini kehadiran Mahammadiyah sebagai civilsociety sangat dibutuhkan. Dengan harapan mampu melahirkanmedia yang benar-benar objektif bebasis pada pengetahuandan idealisme, dengan tidak melupakan pemanfaatkan kemajuanteknologi dalam rangka dakwah amar ma’ruf nahi munkar diranah global. Untuk mencapai itu sangat perlu bagiMuhammadiyah untuk memaksimalkan potensi kualitas SumeberDaya Manusia (kader Persyarikatan), serta modal sosial(social capital) yang dimiliki. Karena sudah saatnya organisasiyang menyandang gelar pembaharuan ini tidak hanyaberkecimpung dalam permasalahan dan manajemen Amal UsahaMuhammadiyah (AUM), Internal organiasasi, Kuantitas Jamaahdan berkutat pada urusan ubudiyah saja, namun lebih jauhdari itu, sangat perlu dan penting bagi kelangsunganMuhammadiyah untuk mempu memanfaatkan momen modernitasglobal ini sebagai momen dakwah dalam skala yang jauh lebihluas.

Keyword: Muhammadiyah, Global, komodifikasi media, civil society, kualitasSDM, Modal Sosial

A. PENDAHULUAN

Gerak langkah penyebaran dakwah Muhammadiyah tidak

lepas dari peran media yang dimilikinya.1 Sejak didirikan

Suara Muhammadiyah (SM) pada tahun 1915an, gelombang dakwah

Muhammadiyah bisa dibilang semakin menyebar hingga ke akar

rumput. Suara Muhammadiyah sendiri, menurut penelusuran Dr

Kuntowijoyo, semula bernama “Sworo Muhammadiyah” dan

berbahasa Jawa. Kemudian dalam persebarannya hingga ke

seluruh penjuru Nusantara, Suara Muhammadiyah  menggunakan

bahasa Melayu sebagai bahasa dalam majalah tersebut.2 Dalam

1* Disampaikan dalam Workshop JIMM di Solo 31 Oktober-1 Nopember2014.

Perlu juga di catat, bahwa selain peran media SM, EksistensiMuhammadiyah selama seabad lebih ini tidak bisa lepas dari peranannyasebagai bentuk civil society. Kalau kita menegok sejenak perjalananMuhammadiyah dalam membangun bangsa, maka beberapa kali Muhammadiyahmengambil sikap politik secara cultural. Artinya Muhammadiyah selaluberhasil dalam melakukan negosiasi diri dengan birokrasi pemerintah.Sejarah telah membuktikan bahwa Muhammadiyah memainkan tiga perananpenting, pertama sebagai reformis keagamaan, kedua sebagai pelakuperubahan sosial dan ketiga sebagai kekuatan politik. Alfian. 2010.Politik Kaum Modernis, Perlawanan Muhammadiyah Terhadap Kolonialisme Belanda. AlWasath: Jakarta. Halaman 5.

2 http://www.suaramuhammadiyah.com/p-231.html, diakses pada tanggal 21 Oktober 2014. jam 10:27 WIB.

konteks penyebaran dakwah melalui majalah, Suara

Muhammadiyah bisa dikatakan turut berjasa dalam menyatukan

Nusantara/Indonesia sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan

oleh para pemuda di tahun 1928. Hal tersebut menjadi

prestasi tersendiri, bagi Muhammadiyah yang besar, menyebar

sampai ke berbagai pelosok Tanah Air.

Perluasan pengaruh dakwah melalui media terus

berlanjut di kalangan Muhammadiyah dewasa ini, disamping

menerbitkan media massa secara berkala juga berdakwah

secara langsung. Dengan berjalannya waktu, Muhammadiyah

juga membentuk Bagian Pustaka dan informasi sebagai salah

satu lembaga Muhammadiyah paling awal. Adapun tugas pokok

dari Majelis Pustaka ini diantaranya. Pertama,

Mengoptimalkan pemanfaatan multimedia dan teknologi

informasi untuk menopang aktivitas Persyarikatan meliputi

media elektronik, dalam hal ini radio dan televisi, media

internet dan mobile devices, media cetak, dan lain-lain.

Kedua, Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan

yang berfungsi untuk pengembangan pengetahuan dan informasi

warga Persyarikatan dan masyarakat luas. Ketiga,

Melaksanakan pelatihan pustakawan dan public relations dalam

menunjang pelayanan dan fungsi-fungsi tugas Persyarikatan.

Keempat, Meningkatkan pelayanan publikasi baik yang

bersifat cetak maupun elektronik sebagai bagian penting

dalam pengembangan syiar Persyarikatan.3

3 Sesuai keputusan Muktamar k-46 di Yogyakarta, http://www.muhammadiyah.or.id/content-46-det-majelis.html. diakses pada tanggal 26 Oktober 2014. Jam 18.30 WIB.

Dilihat dari sejarah dibentuknya Majelis Pustaka dan

Informasi ini memperlihatkan ada kepedulian terhadap hal-

hal yang terkait informasi –yang didalamnya juga

komunikasi- sudah tertanam sejak awal dalam tubuh

organisasi yang didirikan pada 18 Nopember 1912 ini.

Sebagai salah satu Ormas yang bercorak pembaharu,

Muhammadiyah senantiasa dan memang seharusnya untuk

melakukan adaptasi terhadap perkembangan media informasi.

Apalagi kita lihat perkembangan realitas informasi dan

komunikasi global sekarang iniArus informasi dan komunikasi

begitu sangat cepat silih berganti. Fenomena globalisasi

misalnya, juga menimbukan efek “tanpa batas”, dan efek

“seketika”, secara simultan.4 Dari sisi efek “tanpa batas”

maka dapat dipastikan seluruh jagad di bumi ini bebas masuk

dan keluar dalam suatu Negara, batas negarapun seolah

runtuh. Sedangkan dari dimensi waktu, efek “seketika”

menjadikan masyarakat di seluruh belahan dunia ini mampu

untuk memperoleh suatu informasi dengan sangat cepat.

Selaras dengan itu, Yasraf menyebut fenomena

globalisasi ini dengan “Dunia yang Dilipat”, yakni di dalam

sebuah dunia yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk

pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan dan

miniaturisasi di berbagai dunia.5 Meminjam istilah yang

dipakai Foucoult, tentang relasi kekuasaan, bahwa di balik

4 Zainuddin Maliki, dkk (ed). 2012. Muhammadiyah untuk Kemanusiaan danPeradaban. Surabaya: Hikmah Press. Halaman 160.

5 Yasraf Amir Piliang. 2011. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Halaman 45.

pelipatan dunia tersebut sesungguhnya ada relasi kekuasaan

tertentu yang beropreasi, khusunya dalam konteks ini:

dominasi waktu atas ruang, dominasi simulacra atas realitas

social dalam pelipatan sosial.

Meminjam istilah Giddens (1990) bahwa kehidupan modern

di era globalisasi sebagai sebuah “juggernaut” (panser

raksasa).6 Giddens telah menggambarkan dengan sangat apik

bagaimana panser raksasa ini melaju hingga tingkatan

kecepatan tertentu, dalam perjalanannnya itu sangat mungkin

untuk lepas kendali hingga menghancurkan apa-apa yang ada

di depannya. Selain itu menurut Giddens perjalanan panser

ini tidak selamanya tidak bermanfaat, adakalanya memang

menyenangkan dan bermanfaat.

Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah yang notabene

organisasi modern mengawal pesatnya arus informasi global

ini? Jika melihat apa yang di analogikan oleh Giddens

diatas, tentang kehidupan modernitas di era global yang

begitu cepat arus informasi dan komunikasi, dapat

dipastikan jika Muhammadiyah tidak tanggap informasi maka,

“tergilaslah” organisasi ini. Maka yang di butuhkan saat

ini perlu bagi mahammadiyah yang menyandang organisasi

modern lebih bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk

berdakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah global serta

mampu mengendalikan informasi yang berjalan secara terus-

menerus.

6 George Ritzer dan Doughlas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi Modern.Jakarta: Kencana. Halaman 552-553.

Tentunya fenomena global seperti itu bagaikan pisau

bermata dua bagi Muhammadiyah. Di satu sisi jika Organisasi

bentukan Ahmad Dahlan ini tidak merespon dengan cepat dan

sistematis maka saat itu juga Muhammadiyah akan “tergilas”

dengan sendirinya. Muhammadiyah yang notabene adalah

organisasi yang mengedepankan modernisasi pemikiran dan

pendidikan, terutama pada penerimaan ilmu pengetahuan

Barat. selain itu Muhammadiyah dalam perkembangannya

berakar dari penafsiran Al-Maun yang mengandung nilai-nilai

tanggungjawab sosial, maka sangat mungkin bagi Muhammadiyah

untuk andil dalam misi pembebasan manusia dari belenggu-

belenggu realitas semu melalui media informasi yang

mencerdaskan.

Menjadi keniscayaan bahwa media dalam posisi sekarang

ini menjadi pilar bagi sebuah organisasi dan bangsa. Karena

sudah saatnya organisasi yang menyandang gelar pembaharuan

ini hanya berkecimpung dalam permasalahan dan manajemen

Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), Internal organiasasi,

Kuantitas Jamaah dan berkutat pada urusan ubudiyah saja,

namun lebih jauh dari itu, sangat perlu dan penting bagi

kelangsungan Muhammadiyah untuk mempu memanfaatkan fenomena

modernitas global ini sebagai momen dakwah dalam skala yang

jauh lebih luas.

B. DAHSYATNYA PENGARUH MEDIA MASSA (TELEVISI)

Media dan Masyarakat

Televisi sebagai salah satu media yang perkembanganya

semakin pesat. Televisi merupakan media elektronik yang

paling sempurna dan mempunyai efek yang paling besar

terhadap khalayak dibanding dengan media elektronik lainnya

seperti radio, karena televisi merupakan media audiovisual

yang bersifat informatif, hiburan, pendidikan, dan juga

alat kontrol sosial. Dengan kesempurnaan teknologi,

televisi mampu menjadi media penyiaran yang paling diminati

dan digunakan oleh masyarakat luas pada saat ini dibanding

dengan media lainnya seperti radio, majalah, koran, dan

media lainnya.

Dengan segala perkembanganya seperti disebutkan

diatas, maka secara fungsional televisi telah “mengusai”

kehidupan masyarakat di sekeliling kita, bahkan pada fungsi

yang substansial. Artinya bahwa pikiran-pikiran manusia

telah dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan gambaran

realitas dalam televisi itu sendiri.7 Hal ini sangat

terlihat ketika tayangan di televisi dibentuk untuk menarik

penonton di rumah agar mengikuti pesan yang disampaikan.

Dari sudut pandang yang berbeda, yakni masyarakat,

maka yang terjadi adalah apa yang di sebut oleh Jean Paul

Boudrilard sebagai impolsi, kondisi dimana masyarakat tidak

mampu lagi untuk menjelajahi realitas yang ada di depannya

dengan selektif dan dengan pertimbangan tertentu, melainkan

7 Burhan Bungin. 2011. Sosiologi Komunikasi (Teori, Pardigma dan DiskursusTeknologi Komunikasi di Masyarakat). Kencana: Jakarta, halaman 221.

masyarakat tanpa daya dan kuasa menerima informasi (meledak

kedalam) dan saat itu juga mengerumuni msyarakat bagaiakan

magnet hal ini karena cepatnya dan banyaknya informasi yang

ada.

Iklan sampo misalnya, yang menampilkan bagaimana

rambut yang lurus dan indah, sabun mandi yang membuat kulit

halus dan putih, suplemen dalam bentuk susu yang membuat

badan kita lebih kekar, hingga berita dalam sebuah stasiun

televisi yang mencoba untuk membangun pola berfikir dan

opini masyarakat. Semua realitas televisi tersebut diatas

sudah tidak asing lagi di benak kita. Bahkan menjadi budaya

baru bagi masyarakat kita. Hal senada juga diutarakan oleh

Umberto Eco dalam bukunya yang berjudul lima serpihan

moral, menjelaskan bahwa televise menjadi sumber utama

penghamburan berita (informasi).8

Televisi menjadi sebuah kebutuhan primer dalam

masyakat konsumsi saat ini. Di dalam media televisi inilah

produk-produk berseliweran untuk menggoda hasrat seorang

individu bahkan dalam institusi keluarga itu sendiri.

Proses apa yang dikatakan Antonio Gramsci sebagai bentuk

kepemimpinan moral intelektual atau hegemoni menjadi hal

yang tidak aneh lagi untuk dijadikan alat penguasa untuk

sebuah penundukan. Berbeda lagi menurut Foucoult, Kekuasaan

8 Berawal dari acara talk show yang diterima masyarakat italia padaawal tahun enam puluhan, yang sebelumnya diterapkan dalam masyarakatAmerika dengan kemampuan berbicara dan tidak hanya memberikan suatubahasa yang blak-blakan yang ducapkan secara berani tetapi jugaberpengaruh pada masyarakat. Umberto Eco. 2001. Lima Serpihan Moral. Jendela:Yogyakarta. Halaman 56.

adalah soal praktik konkret yang lantas menciptakan

realitas dan pola-pola perilaku, praktik-praktik itu

menciptakan norma melalui institusi, dalam konteks ini

adalah media.9 Bagi Foucoult hal tersebut sebagai bentuk

pertarungan wacana, kuasa bahasa dari media. Berbeda lagi

dengan Ferdinand de Saussure, hal ini sebagai permainan

tanda (sign) yang tidak lepas dengan konsep langue dan parole,

dalam kajian semiotika strukturalnya. Lebih tajam lagi Eco

menjelaskan bahwa permainan tanda, sebagai bentuk

kedustaan. Berbagai perspektif muncul, karena semuanya

mengalami dialektika yang terus menerus untuk membaca

dinamika masyarakat kontemporer.

Selain itu Boudrilard dengan sangat gamblang,

menjelaskan tentang media televise yang di dalanya ada

sebuah ide (ideology). Televise menurut Boudrilard adalah

dunia yang divisualkan dengan baik, dapat dipotong dengan

baik, dan dibaca dengan gambar. Gambar ini membawa sebuah

ideology. Boudrilard meyakini jika di balik gambar-gambar

dalam media televise tampak jelas imperialisme.10 Bagi

masyarakat kontemporer, saat ini hampir tidak ada ruang dan

waktu yang tersisa untuk menghindari diri dari serbuan

berbagai informasi yang tentunya terdapat berbagai

kepentingan. Di rumah, di kantor atau di kampus, kita tak

9 Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodern.Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia. Halaman 324.

10 Jean Boudrilard. 2013. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Halaman 154-155.

henti-hentinya disajikan berbagai informasi yang

menstimulasi berbagai tindakan masyarakat.

Theodor W Adorno dan Max Horkhaimer dalam buku Dialectic

of Enlightenment (1944), khususnya dalam bab Enlightenment as Mass

Deception, mengatakan bahwa film, radio, dan majalah

menciptakan system yang seragam dalam keseluruhan maupun

bagian-bagian. Bahkan, aktivitas-aktivitas politik yang

saling bertentangan sekalipun membentuk satu unit dalam

keteraturan system. Semua orang digerakkan menuju siklus

kerja dan konsumsi. Semua bagian masyarakat terlebut dalam

satu kompleks yang well organized. Bersatunya dimensi

mikroskopis dan makroskopis masyarakat menghadirkan jenis

masyarakat baru dengan identitas palsu secara keseluruhan

ataupun sebagian.11

Penguasaan Media, Perang Wacana, dan Perubahan Sosial

Revolusi masyarakat industri menempatkan media sebagai

aktor penting perubahan social. Di banyak tempat,11 Films, radio and magazines make up a system which is uniform as a whole and in

every part. Even the aesthetic activities of political opposites are one in their enthusiasticobedience to the rhythm of the iron system…Yet the city housing projects designed toperpetuate the individual as a supposedly independent unit in a small hygienic dwelling makehim all the more subservient to his adversary – the absolute power of capitalism. Because theinhabitants, as producers and as consumers, are drawn into the center in search of work andpleasure, all the living units crystallise into well-organised complexes. The striking unity ofmicrocosm and macrocosm presents men with a model of their culture: the false identity of thegeneral and the particular. Under monopoly all mass culture is identical, and the lines of itsartificial framework begin to show through. The people at the top are no longer so interested inconcealing monopoly: as its violence becomes more open, so its power grows. Movies and radioneed no longer pretend to be art. The truth that they are just business is made into an ideologyin order to justify the rubbish they deliberately produce.(http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm). diakses padatanggal 24 Oktober 2014 jam 13.15 WIB)

berlangsungnya reformasi dan perubahan social tidak lepas

dari kehadiran teknologi yang telah menjadi pengumpul massa

yang paling efektif. Revolusi Iran ,misalnya terjadi karena

peran tape recorder, perubahan politik di Cina berlangsung

karena peran facsimile, berdirinya Timor Leste, juga tidak

bisa lepas dari posisi internet dan televise yang berhasil

mengumpulkan orang secara virtual menjalin solidaritas

politik, dan contoh yang terakhir peristiwa reformasi 1998

di Indonesia, peran media dalam mengkonstruksi realitas

dengan membangun opini public, berhasil melengserkan rezim

otoriter orde baru. Sebegitu penting peran media dalam

kehidupan politik, sehingga mantan penguasa Perancis yang

legendaries, de Gaulle begitu memuja-muja televisi sebagai

senjata politik yang paling ampuh “Saya punya dua senjata politik,

televise dan televise…”, Ujar de Gaulle.12

Pengaruh media terus berjalan seolah tanpa batas waktu

–bahkan semakin cepat- Hingga saat ini pun media massa

khususnya media televise menjadi trending topik di kalangan

masyarakat luas, karena dianggap menimbulkan opini publik

yang sangat massif. Kenapa massif, karena efek yang di

timbulkan merasuk kedalam setiap lapisan masyarakat. Sudah

menjadi rahasia umum lagi bahwa pasca pileg dan khususnya

pilpres 2014, beberapa media massa kita telah terbagi

menjadi dua golongan. Katakanlah media TV One yang dalam

freme-freme tertentu memposisikan Prabowo sebagai figure

12 Imam Subkhan (ed). 2003. Siasat Gerakan Kota: Jalan untuk Masyarakat Baru.Yogyakarta: LABDA. Dalam Ade Marup Wirasenjaya. Media dalam ArusIndustrialisas Demokrasi. Halaman 80.

“pilihan rakyat”. Tidak kalah dari media milik Bakrie,

Metro TV yang di gawangi Surya Paloh juga mengusung Enggel

Jokowi sebagai calon pemimpin “idaman rakyat”.

Maka tidak berlebihan jika Yasraf (2011), menyebut

televise sebagai pembentuk narasi besar, berlandaskan pada

nilai-nilai universalitas, homogenitas dan sentralitas.13

Artinya dalam media televise ini mampu membentuk realitas

yang di bungkus dengn imajinasi tertentu yang nantinya

menjadi pengendali pikiran, persepsi, kesadaran dan

perilaku masyarakat.

Tidak hanya di dalam media televise. Hal ini berlanjut

hingga di jejaring media online. Efek domino dari

pemberitaan ini adalah sikap saling menjelekkan, mengolok,

menjatuhkan bahkan memusuhi antar kelompok yang berbeda.

Dalam media online ini bisa di bilang lebih ganas, karena

public secara luas bebas beropini –walaupun opini yang

dibangun mayorits tidak dari data yang valid-. Selain itu

kecepatan penyebaran berita melalui internet ini bisa di

bilang sangat cepat, bagaimana tidak, para pengguna

internet hanya meng “klik” menu “shere”, maka saat itu juga

berita tersebar luas.

Menjadi masalah besar ketika hal ini menjadi sebuah

kebiasaan (habit), dengan tidak ada batas-batas di dalamnya.

Maka tidak salah jika hal ini terus berkelanjutan maka

efeknya bukan hanya dalam lingkup masyarakat, namun lebih13 Yasraf Amir Piliang. 2011. Dunia yang Dilipat. Bandung: Matahari.

Halaman 435.

dari itu akan berdampak pada lembaga agama, adat, tradisi

bahkan keutuhan Negara dan bangsa.14 Saking vitalnya dalam

konteks ini, media masaa dianggap vis a vis dengan keutuhan

Negara itu sendiri.

Kalau kita sedikit menyinggung kajian komunikasi dalam

televisi maka kita akan bertemu dengan konsep apa yang

namanya decoding dan encoding. Konsep ini dikemukakan oleh

Stuart Hall dalam “Encoding and Decoding in the Televisual Discourse”.15

Hall dalam hal ini menjelaskan bahwa wacana yang diberikan

televisi melewati beberapa momen.

Pertama sebelum pada pewacanaan publik dalam bentuk

iklan atau berita, maka pengaruh ide, pengetahuan dan

pengalaman, makna historis, hingga keahlian teknis sangat

dibutuhkan. Ketika itu semua telah didapatkan, maka

televisi akan memproduksi acara-acara, dalam bentuk iklan

atau bentuk film dan lain sebagainya. Hal ini akan kita

lihat bagaimana pemilik media menentukan bentuk wacana atau

masuk dalam proses encoding yakni kondisi wacana yang telah

mempunyai makna.

Setelah wacana tersebut ada dan mempunyai makna, maka

pesan tersebut bebas untuk disampaikan oleh khalayak.

Akhirnya pada momen yang terakhir yakni melewati momen

decoding, moment decoding inilah bentuk internalisasi

ideologi terhadap wacana yang dibentuk. Intinya adalah dari

14 Op Cit halaman 435.15 Jhon Story. 2006. Cultura Studies dan Kajian Budaya Pop Pengantar Teori dan

Metode. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 11-13.

sebuah peristiwa atau fenomenalah prinsip dasar konsep

encoding dan decoding ini. Jika tanda-tanda (signs) yang

dibetuk itu tersampaikan secara baik, maka masyarakat akan

menerima dan mempraksiskan dalam kehidupannya

Sebenarnya kalau dilihat dari pergulatan dunia media

(jurnalistik) ada dua bagian karakter media dalam

memeberitkan actor atau objek berita, dengan model war

journalism maka di dalamnya ada unsure pembunuhan karakter,

tanpa memandang apapun dari pemberitannya bgi semua pihak.

Namun sebaliknya media massa yang menggunakan prinsip love

journalism, pemilihan terhadap berita-berita yang dapat

merusak reputasi orang lin, karir orang lain, nama baik

orang lain dan kelompokny kan dilkukan dengan sangat hati-

hati, dan apabila hal itu harus dilakukan karena

pembacannya menghendaki, maka akan diberitakan dengan

santun, menyejukkan, dan berupaya tidak merugikan semua

pihak.16

Teori yang mengatakan bahwa pers adalah kekuatan

keempat dalam Negara demokrasi (setelah legislative,

eksekutif dan yudikatif) mengsumsikan bahwa peran media

yang sangat determinan dalam membentuk tatanan masyarakat

demokratis.17 Secara normative maka media sebagai tempat

untuk menggambarkan realitas social-masyarakat dan

menyediakan ruang publik dengan liberatif. Dimana semua

pihak menyuarakan apirasinya. 16 Burhan Bungin. 2011. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana. Halaman 361.17 Agus Sudibyo. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media.

Jakarta: Kompas. Halaman 220.

Melihat kondisi diatas, maka pertanyaan mendasar

adalah bahwa dalam kondisi semakin kokohnya kekuatan media

dalam mengkontruksi realitas, persepsi, pikiran dan

kesadaran masyarakat, masih relevankah media massa sebagai

salah satu pilar demokrasi? Apakah kontribusi media bagi

keadaban masyarakat? Dan patut kita pertanyakan lagi apakah

benar media saat ini menjadi pilar bangsa ataukah hanya

sebatas alat kepentingan bagi pihak-pihak luar yang jauh

dari kepentingan untuk memperkuat kedaultan bangsa?

Tentu pertanyan kritis diatas sebagai bentuk

kegelisahan dan refleksi penulis, karena menurut penulis

term media dan politik akan terus mengalami perkembangan

dengan isu-isu yang baru dan lebih beragam. Maka kiranya

sangat perlu dan segera perlu untuk di sudahi, dengan

mengembalikan fungsi media yang benar-benar independen

bebas kepentingan manapun.

Maraknya Komodifikasi Media

Komodifikasi sendiri tidak bisa lepas dari dari salah

satu tokoh komunis yakni Karl Marx. Dikemukkkan oleh Karl

marx bahwa komodifikasi adalah salah satu ideology yang

bersemayam di balik media. Marx yang sangat deterministic

ekonomi tidak salah jika menekankan unsure perolehan

keuntungan (profit) di bandingkan dengan tujuan normative

lainnya. Hal ini diwujudkan dengan fungsi media semata-mata

sebagai bisnis baru kapitalis.

Dalam penjelasan tentang ekonomi politik (komunikasi),

Mosco menyandingkan komodifikasi dengan spasialisasi dan

strukturasi. Komodifikasi diartikan sebagai proses

transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.18 Praktek-

praktek komodifikasi menurut Mosco tersebut, bisa ditandai

dengan diubahnya konten/isi media menjadi komoditas untuk

mendapatkan profit. Salah satu strategi dalam pencapaian

tersebut ialah memproduksi program-program televise yang

sesuai dengan selera pasar sehingga dapat menaikkan rating.

Penggunaan rating sebagai salah tolok ukur dalam

melihat keberhasilan sebuah program. Rating menjadi alat

untuk menilai content (teks/produk media) apakah ia layak

dijual. Kelayakan ini ditandai dengan seberapa banyak

pemasang iklan yang mampu ditarik dalam setiap penayangan

program tertentu. Selain itu, rating juga menjadi data dalam

mengkomodifikasi audience. Data audience yang terangkum dalam

rating menjadi pijakan bagi para pemasang iklan untuk

memasarkan produknya di program tayangan tertentu atau

tidak

Rangkaian peristiwa yang kita saksikan bersama-sama di

media semakain menyadarkan kita bagaimana komodifikasi

selalu hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Pertama

adalah pemberitaan yang secara terus menerus di tayangkan

yakni proses menjelang pernikahan dan saat pernikahan artis

papan atas. Ironisnya pernikahan ini sangat mewah, di

18 Syaiful Halim. 2013. Postkomodifikasi Media, Analsisi Media Televisi dengan Teori Kritis dan Cultural Studies. Yogjakarta: Jalasutra. Halaman 44

tengah kondisi rakyat bangsa ini kekurangan, dan banyak di

berbagai daerah rakyat menikah dengan nikah missal, namun

artis papan atas ini, dengan vulgar mengahbiskan dua hari

berturut-turut pernikahannya di beritakan media, bak

seorang raja dan ratu. Informasipun terhambat. Lebih ironis

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hanya member teguran,

itupun setelah acara berakhir.

Selanjutnya juga datang dari jagad selebritis kita,

dimanaartis papan atas yang (hanya) berlibur ke luar

negeri, beritanya si publikasikan secara terus menerus.

Lagi-lagi nilai media yang mendidik pun hampir tidak ada.

Ternyata tidak cukup sampai di situ, nilai-nilai keagamaan

pun tidak lepas menjadi “barang dagangan”. Kita amati saja

bagaiaman ramainya pemberitaan di televise ketika Bulan

Suci umat Islam tiba, media berloma-lomba untuk menunjukkan

“keislamannya”. Begitu pula band-band tanah air, dimana

sebelumnya mereka berpakaian macho dan aneh-aneh, maka di

bulan suci para band-band ini mendadak memakai baju koko,

dan tak lupa juga memakai peci atau kopiah. Dan ironisnya

dulu ketika bulan-bulan sebelumnya mereka memuja-muja

wanita, namun ketika bulan bulan Ramadhan tiba mereka

memuja-muja Tuhan.19

Contoh beberapa kasus diatas merupakan realitas media

di tengah-tengah masyarakat kita. Kelihatanya memang tidak

ada masalah. Namun di balik itu sebenarnya ada problem yang

19 http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/07/stop-islam-jangan-dijual.html. diakses pada tanggal 24 Oktober 2014. Jam 21:37 WIB.

serius. Ada proses yang tengah berlangsung yakni proses

komodifikasi dan dramatisasi. Ruang berita dan jam tayang

yang sudah menanti media harus selalu diisi dengan beragam

acara yang diasumsikan akan mearik dan memuaskan

mayarakat.20

Yasraf, juga memaparkan kritiknya terhadap

komodifikasi media dengan di dasarakn pada pemikiran Thedor

Adorno, ilmuwan dari Mazhab Frangfurt dan penerus pemikiran

kritis Krl Marx, sebagai berikut

Dalam kapitalisme, segala bentuk hasilproduksi dan reproduksi dijadikankomoditas, untuk dipasarkan dengan tujuanmencari keuntungan, kekuatan produksidibentuk dalam kaitan bukan menggali nilaiutilitas (profit) dari nilai tukar (exchangevalue). Proses komodifikasi, mejdikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilaitukar, menurut Adorno, merupakan satubentuk nyata pencerahan palus kapitalisme.

Apa yang diproduksi kapitaslisme, dengandemikian, tak lebih dari sekedar pemenuhankebutuhan palsu –kebutuhan yang diciptakanoleh para produser. Dalam hal ini, Adornomelihat kapitalsimesebagai suatu bentukpenipuan massa (mass deception)- ia menciptakankebutuhanyang sebetulnya tidak dibutuhkansecara hakiki.

Komodifikasi bagi Adorno, tidak sajamenunjuk pada barang-barang kebutuhankonsumen, akan tetapi telah merambah padabidang seni dan kebudayaan pada umumnya.Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme

20 Idi Suband Ibrahim dalam saiful Halim.

pada kebudayaan pada umumnya. Apa yangdilakukan masyrakat kapitalisme padakebudayaan adalah menjadkanya patuh padahokum komoditas kapitalisme. Masyarakatseperti ini hanya menghasilkan apa yangdisebut Adorno: Kebudayaan industry (cultureindustry) –satu bentuk kebudayaan yangditujukan untuk massa dan produksinyaberdasarkan pada mekanisme kekuasaan sangproduser dalam menentukan bentuk, gaya, danmaknanya.

Bagi Adorno, Kebudayaan Industri merupakanasatu bentuk dehumanisasi lewat kebudayaan.Rasionalisasi dan komodifikasi kebuadayaansebagai satu manifestasi dari pencerahanpalsu tidak saja menghambat aspirasi dankreativitas individu, akan tetapi lebihburuk lagi menghapus mimpi-mimpi manusiaakan kebebasan dan kebahagiaan yangsesungguhnya.21

Kalau kita lihat beberapa contoh fenomena media

diatas, maka hukum pasar yang merupakan cerminan selera

masyarakat memang selalu berpihak kepada bidang hiburan,

kesenangan, dari pada bidang informatif berbasis edukatif.

Maka disini penulis melihat bahwa media massa yang secara

tanggungjawab memunyai misi pencerahan kepada masyarakat

harus mempertaruhkan kredibilitas dan idealismenya.

C. BAGAIMANA MUHAMMADIYAH BERPERAN?

Meneguhkan Kembali Muhammadiyah sebagai Gerakan Civil Society

Bagi penulis, misi pencerahan umat oleh Muhammadiyah

tidak bisa lepas dari Sumber Daya manusia yang ada dalam

21 Yasraf Amir Piliang. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 88-89.

organisasis ini (baca: kader). Maka sangat penting kesiapan

para kader Persyarikatan ini untuk menguasai kemampuan

teknologi dan informasi berbasis media massa. Seperti sudah

di jelaskan sebelumnya, bagaimana media dalam

mengkonstruksi sebuah realitas, bagaimana media mampu

menguasai pikiran manusia dan tidak hanya itu, bagaimana

media mampu untuk membuat masyarakat menjadi sangat

tergantung kepada media.

Dalam konteks ini maka tentunya kita patut prihatin

ketika kondisi media yang konon katanya sebagai empat pilar

bangsa namun masih jauh dari harapan. Lippman dalam

permasalahan yang dijelaskan diatas tadi berpendapat bahwa

hal tersebut di sebabkan karena media dihadapkan pada

khalyak publik yang terkungkung problem self interest, artinya

bahwa public membaca (baca:membutuhkan) media hanya untuk

melihat apakah namanya, kelompoknya, kepentingannya dan

minatnya di tamplkan oleh media atau tidak. Factor ini

memaksa media menampilkan yang relevan dengan minat public.

Dari permasalahan yang di paparkan sebelumnya, maka

kondisi media saat ini berada dalam kondisi yang sangat

krisis akan kualitas pemberitaan. Hal tersebut disebabkan

karena media sangat deterministik ekonomi. Atau dalam dalam

arti lain media massa lebih menunjukkan karakter sebagai

institusi bisnis daripada institusi social, dan tidak

ketinggalan media saat ini dihadapkan pada problem

relativisme berita. Berita tidak lagi identik dengan

kebenaran. Selain masalah intervensi pasar dan tidak

kondusifnya perilaku public problem lain adalah

keterbatasan informasi penting dari sumber-sumber resmi

yang cenderung menutup diri.22 Senada dengan yang

dikemukakan Lippman, Jhon Fiske juga berpendapat bahwa

media massa sekarang dalam hal ini media televise, tersebar

dalam dua model kepentingan ekonomi di dalamnya. Pertama

ekonomi financial dan yang kedua adalah ekonomi kultural.23

Menurutnya ekonomi financial terutama menaruh perhatian

pada nilai tukar, sedangkan ekonomi cultural berfokus pada

nilai guna di dalmnya ada makna, kesenangan dan identitas

social.

Lalu bagaimana dengan Muhammadiyah menyikapi kondisi

media saat ini? maka pertama yang harus kita tanamkan kuat

dalam Muhammdiyah adalah Muhammadiyah sebagai bagian dari

civil society. Konsepsi ini telah bnyak di bahas dan istilah

ini mengalami bnayk perpektif, Adam Ferguson dalam bukunya

An Essay on the History of Civil Society. Ferguson memahami civil society

sebagai sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.

Pemahaman ini muncul sebagai bentuk antisispasi prubahan

social yang diakibatkan oleh revolusi industri dan

munculnya kapitalisme. Keduanya bertanggungjawab atas

bertambah mencoloknya pembedaan antara yang public dan yang

22 Agus Sudibyo. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media. Jakarta: Kompas. Halaman 224.

23 Jhon Story. 2006. Cultura Studies dan Kajian Budaya Pop Pengantar Teori danMetode. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 11-13.

privat. Sebab dalam civil society solidaritas sosial muncul

yang diilhami oleh sentiment moral dan sikap saling

menyayangi antar warga secara alamiah.24

Kalau Ferguson lebih melihat civil society sebagai visi

etis, maka berbeda dengan jhon Locke (1632-1704) dan JJ.

Rousseau (1712-1778) yang memaknai civil society yang

bercirikan tata kehidupan politik yang terikat pada hokum.

Menurutnya kelahiran civil society tidak dapat dilepaskan

dengan Negara. Rousseau lebih menekankan konsepsi Locke

bahwa masyarakat politik sendiri merupakan hasil kontrak

social.25

Berbeda pula dengan Hegel, Hegel berpendapat bahw civil

society sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang

meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk dalam kehidupan

ekonomi yang kompetitif. Dan juga sebagai arena untuk

politik praksis. Pendapat Hegel tersebut juga tidak bisa

lepas dari pendapat Alexis de Tocqueville, yang mengartikan

bahwa civil society mempunyai kekuatan yang dapat mengengkang

dan mengontrol Negara, dan juga mengembalikan dimensi

kemandirian dan pluralitas di dalamnya. Dengan adanya

aspek-aspek yang dikembalikan tersebut maka warga Negara

akan mampu mengimbangi kekauatan Negara. Tocqueville juga

menambahkan cirri dari civil society ini yakni adanya24 Subkhan, Imam (ed). 2003. Siasat Gerakan Kota: Jalan untuk Masyarakat

Baru. Yogyakarta: LABDA. Dalam Ade Marup Wirasenjaya. Media dalam ArusIndustrialisas Demokrasi.

25 Ibid Halaman 25

kesukarelaan, keswasembadaan, dan kemandirian berhadapan

dengan Negara, serta tidak bisa lepas dari norma atau nilai

hukum yang telah disepakati bersama.26

Dalam konteks Indonesia wacana civil society sebenarnya

sudah ramai diperbincangkan sejak zaman orde baru, sebagai

counter hegemoni pemerintah pada saat itu. Dimana pada rezim

tersebut pemerintah melakukan intervensi yang sangat luar

biasa. Ruang publik yang sejatinya digunakan untuk

melahirkan kesadaran kritis dibungkam oleh penguasa atas

nama pembangunan. Kalaupun tetap melawan penguasa maka di

cap telah melakukan maker atau dilebel sebagai ekstrem

“kanan” atau ektrem “kiri”.

Para penggagas civil society di Indonesia ini meyakini

bahwa kalau Indonesia ingin menjadi Negara yang demokratis,

maka diperlukan civil society. Sejarah membuktikan bahwa –

mengutip Gellner- Negara Amerika dapat menjadi Negara

demokratis, bukan disebabkan karena kekuatan

pemerintahanya, melainkan karena tumbuh suburnya civil

society.27

Lalu bagimana sikap Muhmmadiyah dalam bingkai civil

society ini khusunya dalam derasnya arus media massa? Maka

yang harus dilakukan adalah media berbasis scientific,

artinya bahwa media yang di bawa Muhammadiyah harus

berdasar nilai-nilai ilmiah berdasar data dan fakta yang

objektif. Maka kembali lagi penulis tekankan peran SDM26 Ibid Halaman 2527 Ibid Halaman 26

Muhammadiyah sangat penting terutama dalam sisi kualitas.

Media bukan alat untuk pengeruk modal, namun lebih pada

misi pencerdasan umat, di barengi dengan keilmuan yang

mumpuni.

Semua ini dapat berangkat dari kegelisahan masyarakat.

Karena kelahiran muhammadiyah, lebih banyak dipengaruhi

oleh faktor-faktor sosial daripada keagamaan. Kelahiran

Muhammadiyah merupakan wujud tanggungjawab sosial orang-

orang yang beriman. Dengan demikian, proses kelahiran

Muhammadiyah lebih bersifat ”induktif” bukan ”deduktif”.28

Melihat latar belakang sosial para pendirinya, sangat bisa

dipahami jika Muhammadiyah tidak memiliki tradisi

perlawanan atau konfrontasi yang frontal dan terbuka, K.H.

Ahmad Dahlan tidak pernah melakukan kritik terbuka. K.H.

Ahmad Dahlan senantiasa mengedepankan dialog ilmiah dan

pendekatan persuasive.29

Kejumudan informasi dan komunikasi (baca: media

massa), seharusnya menjadi kegelisahan organisasi yang28 Kesimpulan ini didasarkan atas dua argumen. Pertama, sebelum

mendirikan Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan sudah merintis kegiatanpendidikan yang diselenggarakan melalui dua cara. Pertama, mengajarkanpendidikan agama ekstra-kurikuler di Sekolah Pamong Praja (OSVIA)Magelang dan Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta. Kedua,mendirikan madrasah sendiri di emper (teras) rumahnya. Madrasahtersebut menggunakan meja-kursi dan mengajarkan ilmu agama dan non-agama sekaligus. Kegiatan pendidikan tersebut dilakukan oleh K.H.Ahmad Dahlan sebagai wujud tanggungjawab sosial melihat kebodohan dimasyarakat dan kesenjangan sosial antara kelompok santri tamatanpesantren yang melulu belajar ilmu agama dan para priyayi lulusansekolah Belanda yang hanya mempelajari ilmu non-agama (Arifin dalamAli mu’ti. 2009. Gerakan civil society Yang Mandiri, tidak Anti Pemerintah. JurnalMAARIF Vol 4 No 2 tahun 2009. MAARIF Institute: Jakarta. Halaman 73

29 Ibid Halaman 74

melebelkan dirinya sebagai organisasi modern ini. Bagaimana

tidak setelah pemaparan diatas, ternyata banyak problem

dari media massa di negeri ini yang masih jauh dari misis

pencerahan umat. Dalam konteks ini Muhammadiyah sangat

perlu merumuskan kembali bagaimana memerankan diri dalam

mengentaskan bangsa dari kejumudan informasi dewasa ini.

Sikap kritis dan kooperatif ini senantiasa menjadi

ciri gerakan Muhammadiyah ketika jaman pendirian. Kiranya

masih sangat relevan untuk dikontekstualisasikan. Dimana

dengan wujud kritis dan kooperatif Muhammadiyah mampu

mengeluarkan masyarakat dari nelenggu ketergantungan media

yang menindas.

Selain itu sikap Muhammadiyah yang sejak awal menjadi

civil society, dalam konteks pergumulan dengan media, menjadi

momen bagi Muhammadiyah untuk berkiprah lebih besar dalam

masyarakat. Muhammadiyah dalam hal ini bisa lebih besar

dalam mengekspresikan suatu informasi dalam koridor atau

batas-batas tertentu. Dalam konsep Habermas, maka media

milik Muhammadiyah diharapkan menjadi sebuah ruang public

yang sangat bermakna bagi masyarakat. Konsep ruang public

(public sphere) ini merujuk pada “pentas atau arena dimana

masyarakat mampu mengemukakan opini, kepentingan dan

kebutuhan mereka secara diskursif dan bebeas dari tekanan

siapapun”. Yang terpenting dalam arena tersebut mewujud

komunikasi yang memungkinkan para warganya membentuk wacana

dan kehendak bersama secara diskursif. 30

Modal Sosial Muhammadiyah Sebagai Harapan Dakwah

Berbicara kepemilikan (penguasaan) media massa, maka

akhir-akhir ini kita melihat bagaiamana pergolakan media

massa di tengah-tengah masyarakat. Muhammadiyah sebagai

salah satu elemen dalam masyarakat juga tidak bisa lepas

kebijakan negara. Maka peran Muhammadiyah sebagai

organisasi modern terbesar di Indonesia mempuyai tugas yang

besar.

Sebanarnya peran setrategis ini bisa dijadikan

momentum bagi Muhammadiyah untuk berkiprah di masyarakat.

Seperti kita ketahui bahwa setelah satu abad ini,

Muhammadiyah sudah memeiliki modal sosial yang sangat luar

biasa besarnya. Menurut Fukuyama modal social sendiri

merupakan serangkaian nilai dan norma informal pemberi

teladan yang digunakan bersama diantara anggota-anggotanya

dalam sebuah kelompok yang memungkinkan mereka saling

bekerja sama. 31

Peryataan tersebut sangat relevan jika kita melihat

kondisi Muhammadiyah saat ini. Sudah tidak bisa diragukan

lagi bahwa pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah lewat

amal usahanya yang tidak sedikit, terutama dengan adanya

30 http://www.scribd.com/doc/39978003/Public-Sphere., diakses pada tanggal 11 Maret 2012 puku 08.30 WIB

31 Francis Fukuyama dalam Lawrence E. Harison dan Samuel P. Huntington (eds). 2006. Kebangkitan Peran Budaya, Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Jakarta: LP3ES. Halaman 153.

sekolah-sekolah makin lama makin pesat. Meminjam pandangan

Amien Rais, di Muhammadiyah itu sudah lama tertanam doktrin

yang disebutnya “menggembirakan amal saleh”. Dalam benak

warga Muhammadiyah, fungsi organisasi antara lain untuk

memobilisasikan atau dalam bahasa Muhammadiyah, untuk

menggembirakan amal saleh kolektif. Menurut penulis,

dilihat dari perspektif ini, lahirnya Muhammadiyah pada

satu abad yang lalu merupakan terobosan besar.

Disini Muhammadiyah mampu mengambil peran sebagai

control ataupun interupsi atas media itu sendiri. Di lain

pihak kehadirn Muhammadiyah diharapkan juga akan

benar0benar memberikan manfat dalam rangka memberikan

penyadaran dengan keluar dari realitas media. Media-media

non meantream milik muhammadiyah dari berbagai tingkatan

barangkali masih bisa di harapkan untuk berperan aktif

dalam melakukan counter hegemoni.

dari modal social yang besar ini muhammadiyah harusnya

mampu untukbergeraka lebih global lagi. Media-media

Muhammadiyah bisa mengikuti dalam media yang tidak

meanstream. Mengikuti eksistensi gerakan Muhammadiyah yang

selalu kritis demi kuatnya demokrasi di Indonesia. Disini

Muhammadiyah sebagai salah satu civil society juga

diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat luas. Bentuk-

bentuk ini bisa seperti media investigasi yang berbasis

riset dan objektif lapangan, bukan berdasarkan budaya

popular, jurnal ilmiah, serta media televise yang

mengglobal.

Berbicara tantangan, maka kita akan melihat

permasalahan-permasalahan di depan dan bagaimana tantangan

itu bisa di hadapai. Media terus berkembang, karena seperti

dijelaskan sebelumnya, bahwa efek globalisasi dan

modernitas yang mengakibatkan batas-batas Negara luntur.

Hampir di pastikan ke depan, Muhammadiyah dihadapkan pada

realitas peradaban masyarakat informasi yang kalau tidak

diantisipasi akan menenggelamkan Muhammadiyah menjadi

organisasi tradisional karena percepatan gerak peradaban

sejarah teknologi komunikasi dan informasi. Oleh karena

itu, Muhammadiyah harus menempatkan persoalan teknologi

komunikasi dan informasi menjadi salah satu agenda penting

pada abad kedua Muhammadiyah

Seluruh Amal usaha baik di segala tingkat dan lini,

sebenarnya Muhammadiyah mampu unutk mngembangkan memajukan

informasi. Berbagai universitas bisa di manfaatkan untuk

kebutuhan riset dan juga bagian ruang public yang jauh akan

tendensi manapun. Jejaring antar kampus ini penulis rasa

belum di manfaatkan dengan serius terkait media.

Memperhatikan potensi ini maka sangat mungkin memanfaatkan

kanal-kanal digital yang ada untuk menyelenggarakan siaran

dakwah melaui televise Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Memasuki abad kedua ini perjalanan Muhammadiyah dalam

usaha mencapai peradaban memang masih banyak tantangan

disana-sini baik internal maupun ekternal . semua tantanga

dan permaslahan perlu segera ditangani dengan mengerahkan

potensi yang ada, baik potensi SDM, potensi Modal Sosial,

dan tidak lupa potensi Amla Usaha di berbagai bidang.

Sekalipun masih jauh dari cita-cita ideal namun sikap

visioner itu perlu di sambut dengan baik oleh tataran kader

Persyarikaatan di berbagai daerah.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alfian. 2010. Politik Kaum Modernis, Perlawanan MuhammadiyahTerhadap Kolonialisme Belanda. Al Wasath: Jakarta

Boudrilard, Jean. 2013. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta:Kreasi Wacana.

Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi (Teori, Pardigma danDiskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Kencana:Jakarta

Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi, Teori Paradigmadan Diskursus Teknologi Komunikai di Masyarakat. Jakarta:Kencana.

Eco, Umberto. 2001. Lima Serpihan Moral. Jendela:Yogyakarta.

Fukuyama, Francis dalam Lawrence E. Harison dan SamuelP. Huntington (eds). 2006. Kebangkitan Peran Budaya,Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia.Jakarta: LP3ES.

Halim, Syaiful. 2013. Postkomodifikasi Media, Analsisi MediaTelevisi dengan Teori Kritis dan Cultural Studies. Yogjakarta:Jalasutra

Jhon Story. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya PopPengantar Teori dan Metode. Yogyakarta: Jalasutra

Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik HinggaPostmodern. Jogjakarta: Ar-ruzmedia

Maliki. Zainuddin, dkk (eds). 2012. Muhammadiyah untukKemanusiaan dan Peradaban. Surabaya: Hikmah Press

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika: Tafsir CulturalStudies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra

___________________ 2011. Dunia yang Dilipat, TamasyaMelampaui batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Ritzer, George dan Doughlas J. Goodman. 2012. TeoriSosiologi Modern. Jakarta: Kencana

Subkhan, Imam (ed). 2003. Siasat Gerakan Kota: Jalan untukMasyarakat Baru. Yogyakarta: LABDA. Dalam Ade MarupWirasenjaya. Media dalam Arus Industrialisas Demokrasi

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di JagatMedia. Jakarta: Kompas

JURNAL

Mu’ti, Ali. 2009. Gerakan Civil Society yang Mandiri, Tidak AntiPemerintah. Jurnal MAARIF Vol 4 No 2 tahun 2009.MAARIF Institute

INTERNET

(http://www.suaramuhammadiyah.com/p-231.html), diakses padatanggal 21 Oktober 2014, jam 10:27 WIB

(http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm). diakses pada tanggal 24 Oktober 2014 jam 13.15WIB)

(http://www.scribd.com/doc/39978003/Public-Sphere.,) diakses padatanggal 24 Oktober 2014 pukul 08.30 WIB