KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK KOMUNITAS ARUS ...

144
KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK KOMUNITAS ARUS PELANGI DALAM PENERIMAAN JATI DIRI Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) DIKALANGAN MASYARAKAT TEBET UTARA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Suci Kurnia Kasih NIM : 1111051000163 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H./2018 M.  

Transcript of KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK KOMUNITAS ARUS ...

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK KOMUNITAS ARUS

PELANGI DALAM PENERIMAAN JATI DIRI Lesbi, Gay,

Biseksual dan Transgender (LGBT) DIKALANGAN

MASYARAKAT TEBET UTARA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Suci Kurnia Kasih

NIM : 1111051000163

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H./2018 M.

 

 

 

 

i

ABSTRAK

Suci Kurnia Kasih

Komunikasi Antar Kelompok Komunitas Arus Pelangi dalam

Penerimaan Jati Diri Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender

di Lingkungan Masyarakat Tebet Utara

LGBT menjadi permasalahan sosial di tengah masyarakat

yang banyak menimbulkan pro dan kontra. Kehidupan LGBT

yang dianggap melanggar norma dan menyimpang membuat

sulitnya mereka mendapatkan tempat di tengah-tengah

masyarakat. Banyaknya diskriminasi dan penolakan dari

masyarakat terhadap keberadaan LGBT hingga akhirnya

terbentuk suatu komunitas yang menjadi wadah bagi mereka,

yaitu Arus Pelangi.

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini

untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana komunikasi antar

kelompok komunitas Arus Pelangi dalam penerimaan jati diri

mereka sebagai LGBT di lingkungan masyarakat Tebet Utara III,

Jakarta Selatan.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Komunikasi Kelompok deksriptif kategori kelompok penyadar.

Kelompok deskriptif yang mana dalam tahapan ini terlihat

komunikasi yang terbentuk secara alamiah. Komunikasi

kelompok penyadar memiliki empat tahapan dalam

mengidentifikasi pembentukkan kelompok.

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif deksriptif yaitu

dengan cara melalui pengamatan lapangan, wawancara, observasi

dan dokumentasi di komunitas Arus Pelangi dan masyarakat

Tebet Utara III.

Dari hasil penelitian ini, bahwa penerapan komunikasi

kelompok pada komunitas Arus Pelangi dengan menggunakan

instruksi proses komunikasi premier dan sekunder. Bentuk

komunikasi kelompoknya yaitu komunikasi kelompok deskriptif,

kategori kelompok penyadar. Penilaian dari masyarakat terhadap

keberadaan komunits Arus Pelangi di wilayah Tebet Utara III,

Jakarta Selatan yang tidak setuju dengan keberadaan komunitas

LGBT di lingkungan tempat tinggal mereka.

Kata kunci: komunikasi, kelompok, LGBT, Arus Pelangi

 

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan

karuni-Nya yang tak terhingga bagi penulis. Shalawat serta salam

semoga selalu tersurah kepada junjungan kita Nabi besar

Muhammad Saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta kita

umatnya hingga akhir zaman.

Tiada kata yang bisa dikatakan selain mengucap syukur

Alhamdulillah, karena pada akhirnya skripsi ini mampu

diselesaikan oleh penulis penuh dengan perjuangan untuk

mendapatkan hasil yang baik. Skripsi dengan judul “Komunikasi

Antar Kelompok Komunitas Arus Pelangi dalam Penerimaan Jati

Diri Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender di Lingkungan

Masyarakat Tebet Utara” ini diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I).

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak terdapat

kesalahan, kekurangan, dan keterbatasan ilmu yang penulis

miliki. Namun, karena adanya semangat, doa, dan bantuan dari

berbagai pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini, sudah sepatutnya penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

membantu. Sebuah kata yang tulus penulis sampaikan kepada:

1. Prof. DR. Dede Rosyada MA, sebagai Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr.

Arief Subhan, M.A, Wakil Dekan Bidang Akademik

 

iii

Suparto, M.Ed, Ph.D, Dr. Hj. Roudhonah, MA, selaku

Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum dan Dr.

Suhaimi, M.Si, Selaku Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan.

3. Drs. Masran, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam, dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku

Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Rachmat Baihaky, M.A selaku dosen Pembimbing

Akademik dan Pembimbing Skripsi penulis yang telah

sabar dan banyak memberikan masukan yang bermanfaat,

serta meluangkan waktu untuk membimbing penulis

selama proses penyusunan skripsi. Semoga Allah Swt

selalu memberikan keberkahan kepada beliau dan terima

kasih atas semangat dan nasehat bapak di dalam ataupun

di luar perkuliahan.

5. Orang tua tercinta dan terkasih, Bapak Maskur dan Ibu

Sukaesih, serta Nenek Mariah dan Adikku Mohammad

Siva Syaifulloh yang telah banyak membantu memberikan

do’a, dukungan moril maupun materi. Serta kasih

sayangnya yang tidak pernah putus. Terimakasih telah

menjadi orang tua, nenek dan adik yang sempurna bagi

penulis.

6. Terima kasih untuk seluruh pengurus Komunitas Arus

Pelangi yang bersedia menjadi narasumber dan telah

bersedia menjadi subjek penelitian serta telah meluangkan

waktunya untuk diwawancarai oleh peneliti di tengah

kesibukannya.

 

iv

7. Terima kasih untuk Rahmi Purnomowati, S.P., M.Si, Dr.

Abdul Rahman Saleh, M.Si, KH. Mahfudz Asirun, Abdul

Hamid Qadarullah S.pd, Biksu Dharmavimala, Rio Dwi A

yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi

narasumber di tengah kesibukannya.

8. Terima kasih untuk Rio Erwanda yang telah membantu

dan menemani selama pengerjaan penulisan skripsi ini,

serta tidak henti-hentinya memberikan semangatnya

kepada penulis.

9. Sahabat dan saudara terbaik Dina Nurdianti, Alfia Zain,

Devi Pratiwi dan Naziah Ismi Aulia, yang selalu

memberikan do’a, semangat dan juga membantu penulis

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan

lancar. Dan terima kasih atas dukungan teman-teman KPI

angkatan 2011.

10. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

mendidik dan banyak memberikan ilmu yang bermanfaat

kepada penulis selama menempuh pendidikan di UIN

Syaraif Hidayatullah Jakarta. Semoga penulis dapat

mengamalkan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan.

11. Staff Tata Usaha, Perpustakaan, dan Karyawan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis

dalam urusan administrasi serta peminjaman buku-buku

literatur sebagai referensi dalam penulisan skripsi.

 

v

12. Serta semua pihak yang mungkin lupa peneliti cantumkan

namanya dan telah banyak membantu dalam penyusunan

skripsi ini.

Akhir kata, penelitian ini tentu masih jauh dari kata

sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya,

khususnya bagi mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran

Islam.

Jakarta, 28 Juli 2018

Suci Kurnia Kasih

 

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................... ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. vi

BAB I ....................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 9

D. Tinjauan pustaka ...................................................................... 10

E. Metodologi Penelitian .............................................................. 11

F. Subjek dan Objek Penelitian .................................................... 13

G. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 13

H. Sistematika Penulisan .............................................................. 15

BAB II .................................................................................................... 17

LANDASAN TEORI ................................................................................. 17

A. Ruang Lingkup Komunikasi ...................................................... 17

1. Pengertian Komunikasi ........................................................... 17

2. Komunikasi Kelompok ............................................................. 24

3. Konseptualisasi LGBT ............................................................. 41

BAB III ................................................................................................... 55

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN .............................................. 55

A. Kesamaan Hak, Demokrasi dan Agama Dalam Permasalahan

LGBT ................................................................................................. 55

B. Sejarah Berdirinya Arus Pelangi ............................................... 69

 

vii

1. Visi dan Misi Arus Pelangi ....................................................... 73

2. Asas, Nilai dan Kode Etik Arus Pelangi .................................... 73

3. Nilai yang dianut oleh Arus Pelangi ......................................... 74

4. Kode Etik yang dianut oleh Arus Pelangi ................................. 76

BAB IV ................................................................................................... 79

HASIL TEMUAN DAN ANALISIS ............................................................. 79

A. Analisis Komunikasi Antar Kelompok Komunitas Arus Pelangi

Dalam Penerimaan Jati Diri LGBT Di Lingkungan Masyarakat Tebet

Utara, Jakarta Selatan ...................................................................... 79

1. Penerapan Proses Komunikasi Kelompok Komunitas Arus

Pelangi Dalam Proses Penerimaan Jati Diri LGBT ........................ 80

2. Bentuk Komunikasi Kelompok Pada Komunitas Arus Pelangi 87

3. Penilaian masyarakat terhadap keberadaan komunitas Arus

Pelangi di lingkungan Tebet Utara ............................................... 93

BAB V .................................................................................................... 97

PENUTUP .............................................................................................. 97

A. Kesimpulan ............................................................................... 97

B. Saran-saran .............................................................................. 99

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 102

LAMPIRAN

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Isu LGBT yang berkembang menjadi topik

perbincangan hangat disemua kalangan, baik itu kaum

atas atau bawah, politisi, psikolog, ormas, bahkan sampai

mahasiswa ikut terjun mengupas tentang masalah ini.

Sebut saja salah satunya yaitu Dr. Adian Husaini, seorang

cendekiawan muslim yang meluncurkan buku ”LGBT di

Indonesia: Perkembangan dan Solusinya”, buku ini

mengupas isu-isu LGBT terkini.1 Munculnya fenomena

LGBT di Indonesia bukanlah sebuah masalah baru.

Bahkan sejarah beberapa suku bangsa di tanah air

mencatatnya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat

mereka. Keberadaan mereka merupakan sebuah realita

yang ada di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

macam reaksi. LGBT sendiri adalah akronim dari

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, istilah ini

digunakan semenjak tahun 1990-an, serta untuk

menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini

dianggap lebih mewakili kelompok-kelompok tersebut.

Sebagian masyarakat menganggap keberadaan

kelompok LGBT merupakan hal tabu dan dianggap

1 Azhar Fakhru Rijal, Tidak Ada Ruang Bagi Pelaku LGBT

di Indonesia,” artikel diakses pada 29 Juni 2018 pada

www.dakwatuna.com/2016/01/26/78641/tidak-ada-ruang-bagi-

pelaku-LGBT-Indonesia/amp/

 

2

menyimpang. Permasalahan ini menjadi sangat kompleks

sehingga menimbulkan pro dan kontra dikalangan

masyarakat . Atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM), baik

individu, kelompok atau lembaga yang mendukung

keberadaan LGBT menjadikan pedoman tersebut untuk

mendukung eksistensi kaum LGBT. Menurut mereka

keberadaan kelompok LGBT semestinya dihargai atas

dasar kemanusiaan tanpa stigmatisasi dan diskriminasi.

Mereka berhak mendapat pengakuan oleh negara,

mendapatkan kehidupan yang aman, serta hak-hak dasar

manusia lainnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17

Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama.

Dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang

diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC)

PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini

akhirnya memutuskan pada tanggal 26 September 2014

untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum

LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”.2

Salah satu aktivis dan pendiri Jaringan Islam

Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla membela kelompok

LGBT dengan melalui akun pribadinya berbicara tentang

pembenci kelompok ini. Dalam akun resminya Ulil

menuliskan, “Kalian yang benci LGBT, setidaknya mesti

2 Ioanes Rakhmat, “LGBT, Agama, Teks Alkitab, dan

Temuan Sains Modern 2016”, artikel diakses pada tanggal 10

Oktober 2016 dari www.islamlib.com

 

3

ingat: komputer yang kalian pakai adalah hasil temuan

Alan Turing, seorang gay dari Inggris.”.3

Ada pula tulisan dalam surat kabar harian The

Jakarta Post, edisi Jumat (28/03/2008) pada halaman

mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul “Islam

Recognizes Homosexuality”, kutipan ini adalah pendapat

salah satu Dosen di Universitas Negeri Islam di Jakarta,

yaitu Prof. Dr. Siti Musdah Mulia. Menurut beliau

homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan

diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam.

Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau

homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan

muslim lainnya hanyalah di dasarkan pada penafsiran

sempit terhadap ajaran Islam.4

Kehidupan kelompok LGBT yang bertolak

belakang dengan masyarakat pada umumnya membuat

komunitas atau individunya tidak memiliki tempat di

masyarakat. Karena keberadaan mereka dianggap sebuah

pengaruh buruk dan akan mempengaruhi kehidupan orang

lainnya. Hal ini dipicu atas pemikiran bahwa menjadi

seorang LGBT merupakan sebuah aib yang dapat

memalukan dan merendahkan diri sendiri, keluarga, serta

orang-orang terdekat sekitar mereka. Oleh sebab itu

3 Teguh Firmansyah, “Kicauan Ulil Soal LGBT yang Picu

Kontroversi 2016”, artikel diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 dari

www.republika.co.id 4 Fadly, “Prof UIN Jakarta Halalkan Homoseksual 2008”,

artikel diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 dari

www.arrahman.com

 

4

beberapa kelompok masyarakat menentang keberadaan

kelompok LGBT ini di lingkungan mereka, sebab dapat

berpengaruh terhadap perkembangan jiwa seseorang

terutama pada anak-anak yang mudah terpengaruh oleh

lingkungan di sekitarnya.

Seperti Komisioner KPAI, Erlinda dan Wakil

Ketua Komite III DPD, Fahira Idris yang menjelaskan

bahwa „propagada LGBT‟ adalah hal-hal di media sosial,

film, dan buku yang mempromosikan dan

mengkampanyekan LGBT terhadap anak-anak dibawah

umur. Hal ini ditakutkan dapat mengarahkan anak-anak

kepemikiran bahwa LGBT adalah tindakan normal (di

mana pandangan ini tidak searah dengan ajaran agama

mereka). Serta pernyataan mantan ketua Mahkamah

Konstitusi (MK) Mahfud MD, yang mendukung sikap

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi,

Mohammad Nasir untuk melarang aktivitas LGBT. Dalam

akun media sosialnya Mahfud MD mengatakan bahwa

kelompok LGBT merupakan komunitas yang harus

diwaspadai keberadaannya dan menyatakan LGBT

sebagai suatu penyakit yang harus dibantu

penyembuhannya.

Penentangan atas keberadaan LGBT ini lebih

sering dikaitkan dengan permasalahan agama.

Sebagaimana dijelaskan oleh Sekertaris Jendral Majelis

Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Bachtiar

Nasir mengingatkan bahaya besar bila masyarakat sudah

 

5

sangat toleran dengan merebaknya LGBT di Indonesia,

“Belajar dari sejarah, agama menyebut kaum Sodom

dilaknat Tuhan hingga hancur. Kita harus yakin pasti ada

bencana besar bila LGBT ini dibiarkan.”.5 Hingga ormas

Front Pembela Islam memasang spanduk disekitar

Bandung, yang menyerukan komunitas LGBT untuk

menjauh, sampai akhirnya oleh Walikota Bandung

Ridwan Kamil menegur dan meminta FPI untuk

menurunkan spanduk tersebut.

Tindakan di atas merupakan salah satu

diskriminasi yang dialami oleh para LGBT. Diskriminasi

menjadi masalah pelik yang tak lepas dari keberadaan

LGBT. Fenomena ini menimbulkan suatu pandang dan

sikap yang berbeda di dalam masyarakat, seperti

menyebut mereka sebagai sampah masyarakat, perilaku

yang menyimpang, penyebar penyakit masyarakat, dan

sampai terjadi bullying di lembaga pendidikan. Serta dari

pernyataan yang banyak disampaikan oleh pejabat tinggi

negara dan ormas yang menolak kaum LGBT ini memicu

sejumlah aksi kekerasan, seperti pengusiran orang-orang

LGBT dari lingkungan masyarakat dan juga di institusi

pendidikan serta tindakan sewenang-wenang atau anarkis

oleh kelompok intoleran. Human Right Working Group

(HRWG) juga menilai, selama ini komunitas LGBT di

5 Ahmad Syalabi, “Mahfud MD Minta Gerakan LGBT

Dilarang, 2016”, artikel diakses pada tanggal 06 Oktober 2016 dari

www.republika.co.id

 

6

Indonesia masih menjadi pihak yang kerap mengalami

diskriminasi di masyarakat. Pada dasarnya keberadaan

mereka di tengah masyaraka tak berbeda dengan individu

lainnya. Ada yang bersikap baik ada yang tidak, ada yang

memiliki moral atau bahkan sebaliknya, semua itu

kembali pada kepribadian masing-masing individu. Hanya

saja sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap

kaum LGBT sebagai penyimpangan seksual yang belum

berlaku secara umum dan belum dapat diterima oleh

masarakat. Belum lagi beberapa daerah yang telah

memberlakukan perda-perda diskriminatif terhadap

komunitas LGBT, hal ini membuat keberadaan mereka

semakin termarjinalkan dan hanya diposisikan sebagai

sampah masyarakat.

Seperti yang dikutip dari berbagai sumber

pernyataan sikap Komnas Perempuan menentang segala

bentuk diskriminasi yang akan memicu kekerasan pada

siapapun. Tak terkecuali pada kelompok LGBT. Data

cacatan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2014

mencatat ada 37 kasus kekerasan terhadap perempuan

yang dialami oleh kelompok LGBT, terjadi 21 kasus

dalam relasi personal atau KDRT (12 di antaranya kasus

kekerasan seksual), 15 kasus terjadi diranah komunitas

dan satu kasus pelakunya negara.6

6 Agung Rahmadsyah, “Seperti Apa Rupa Diskriminasi

Terhadap LGBT di Indonesia”, artikel diakses pada tanggal 10

Oktober 2016 dari http://www.jitunews.com/read/29750/seperti-apa-

rupa-diskriminasi-terhadap-lgbt-di-indonesia

 

7

Namun, seiring dengan perubahan waktu, kaum

LGBT ini melakukan proses pengakuan dan pengukuhan

diri agar diterima oleh masyarakat dengan berbagai cara.

Salah satunya dengan membentuk komunitas atau

organisasi yang diharapkan menjadi jembatan yang efektif

untuk berkomunikasi dengan masyarakat „heteroseksual‟

yang pada umumnya menganggap bahwa kaum LGBT

adalah orang-orang yang harus di hindari karena

melakukan tindakan yang menyimpang dari norma

kesusilaan.

Selain itu, adanya nilai-nilai demokrasi yang

mengusung HAM membuat kaum LGBT berani untuk

memperjuangkan hak dan menunjukan status mereka

sebagai LGBT di khalayak umum. Hal ini bisa dilihat dari

banyaknya komunitas atau organisasi LGBT di Indonesia,

salah satunya adalah Arus Pelangi. Komunitas ini

terbentuk atas dasar kebutuhan dikalangan LGBT, baik

individu atau kelompok yang bertujuan untuk membentuk

organisasi massa yang mempromosikan dan membela

hak-hak dasar komunitas LGBT di Indonesia.7 Karena

terbentuknya kelompok karena kesadaran dari anggota-

anggotanya akan adanya ikatan yang sama yang

mempersatukan mereka.8

7 Diakses pada tanggal 28 Juni 2016 dari

www.aruspelangi.org 8 Riswandi, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Graha Ilmu, 2009),

cet. Ke-1, h. 9

 

8

Penyesuaian diri yang dilakukan oleh kelompok

LGBT pada masyarakat sekitar tidaklah mudah.

Dibutuhkan proses agar masyarakat bisa menerima

keberadaan mereka, dengan cara mensosialisasikan nilai-

nilai orientasi seksualitas yang mereka miliki kepada

khalayak luas, agar terciptanya proses habituasi dan

adaptasi bagi masyarakat terhadap kelompok LGBT,

hingga akhirnya masyarakat akan menerima keberadaan

kelompok LGBT ini. Proses ini menjadi jembatan

komunikasi bagi para kelompok LGBT untuk beradaptasi

dan berinteraksi oleh masyarakat. Oleh sebab itu, proses

komunikasi yang dilakukan oleh kelompok LGBT untuk

dapat diterima oleh masyarakat menjadi hal menarik

untuk diteliti, mengingat hal tersebut bukanlah hal mudah

yang dapat dilakukan karena perbedaan pendapat

masyarakat luas.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik

untuk meneliti proses komunikasi yang dilakukan oleh

komunitas Arus Pelangi untuk dapat diterima di tengah-

tengah masyarakat, dengan judul penelitian “Komunikasi

Kelompok Komunitas Arus Pelangi dalam Penerimaan

Jati Diri Lesbi, Gay, Biseksual dan transgender (LGBT)

di Lingkungan Mayarakat Tebet Utara”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Mengingat banyaknya masalah dalam penelitian,

maka perlu adanya pembatasan masalah yang akan diteliti

 

9

sehingga tidak meluas dan terarah. Penelitian ini hanya

dibatasi pada komunikasi antarkelompok komunitas Arus

Pelangi dalam penerimaan jati diri LGBT di lingkungan

masyarakat.

Adapun rumusan masalahnya adalah:

Bagaimana komunikasi kelompok komunitas Arus

Pelangi dalam penerimaan jati diri LGBT di lingkungan

masyarakat Tebet Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian :

Mengetahui, memahami dan mendeskripsikan

bagaimana proses komunikasi kelompok yang dilakukan

komunitas Arus Pelangi dalam penerimaan jati diri di

masyarakat.

2. Manfaat Penelitian :

1. Manfaat Akademis

a. Untuk menambah referensi atau bahan

perbandingan bagi pengembangan keilmuan yang

sesuai dengan bidangnya.

b. Hasil penyusunan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi yang positif bagi

pengembang wacana keilmuan tentang gejala

sosial yang terjadi disekitar kita.

2. Manfaat Praktis

 

10

a. Sebagai bahan panduan dan pertimbangan bagi

dan seluruh elemen Jurusan Komunikasi

Penyiaran Islam

b. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah

pengetahuan bagi akademisi, praktisi, mahasiswa

KPI dan kepada pembaca umumnya serta dapat

bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

D. Tinjauan pustaka

Dalam penelitian ini, penulis juga mengadakan

tinjauan pustaka terhadap skripsi terdahulu, untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti

mengakui karya orang lain. Penulis melakukan studi

pustaka dengan maksud untuk memastikan apakah ada

kesamaan dengan judul atau tema penelitian terdahulu

dengan penelitian yang penulis lakukan. Penulis

menemukan beberapa penelitian skripsi tentang

komunikasi kelompok dan permasalahan homoseksual,

yaitu:

1. “Strategi Komunikasi Rumah Singgah Waria Anak

Raja Dalam Penerimaan Masyarakat Terhadap

Komunitas Waria Di Meruyung Depok”, penulis :

Khairunisa, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun

2015.

2. “Konstruksi Realitas Sosial Pemberitaan Lesbian,

Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Muslim di

Media Online (Studi Wacana Berita Komunitas

 

11

suarakita.org)”, penulis : Meylisa Agustina, UIN

Syarif Hidayatullah jakarta, tahun 2015.

3. “Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian Di Kota

Pontianak Kalimantan Barat”, penulis : Megawati

Tarigan, Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Yogyakarta, tahun 2011.

E. Metodologi Penelitian

Metode dalam penelitian merupakan kumpulan

cara yang digunakan untuk mencari pengetahuan dan

pemahaman dibalik suatu realitas. Metode merupakan

cara peneliti untuk mengumpulkan, menggolongkan dan

memilah data serta bagaimana menganalisis data.

Sedangkan teknik merupakan cara peneliti memilih atau

mengumpulkan data penelitian. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode

deksriptif. Bogdan dan Taylor (1975:5) mendefinisikan

metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati. Penelitian ini menggambarkan sebuah fenomena

sosial lapangan terhadap LGBT melalui pengamatan

prilaku secara langsung dan melakukan wawancara pada

subjek yang telah ditentukan. Kemudian dianalisis untuk

mendapatkan hasil yang dibutuhkan untuk tujuan

penelitian ini.

 

12

Dalam banyak hal, fenomena sosial di masyarakat

memiliki gelaja yang berbeda-beda. Setiap masalah

memiliki wajah yang berbeda dan setiap perbedaan wajah

memiliki dimensi sosial yang berbeda-beda serta tidak

dapat dijelaskan hanya dalam pandangan materi atau

fisika saja, karena manusia memiliki kehendak sendiri

untuk mengubah diri, dunia, dan semestanya.9 Penelitian

kualitatif sering disebut sebagai metode penelitian

naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi

yang alamiah. Metode deskriptif ialah titik berat pada

observasi dan suasana alamiah (naturalisting setting).

Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun

pandangan mereka yang diteliti yang rinci, dibentuk

dengan kata-kata, gambaran holistik, dan rumit. Definisi

ini lebih melihat perspektif emik dalam penelitian yaitu

memandang sesuatu upaya membangun pandangan subjek

penelitian yang rinci, dibentuk dengan kata-kata,

gambaran holistik, dan rumit.

Menurut Moleong penelitian kualitatif adalah

suatu penenlitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami

suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah

dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang

mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.

Penelitia kualitatif dari sisi definisi lainnya dikemukakan

bahwa hal itu merupakan penelitian yang memanfaatkan

9 Burhan Bungin, Penetian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2010), cet.

Ke-4, h. 5

 

13

wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap,

pandangan, perasaan, dan perilaku individu atau

sekelompok orang. Dalam penelitian kualitatif, data yang

diperoleh biasanya memanfaatkan wawancara,

pengamatan, dan pemanfaatan dokumen.

F. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah komunitas Arus

Pelangi, yang beralamat di Jalan Tebet Utara IIIA No. 30,

Kelurahan Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta

Selatan. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah

proses komunikasi kelompok komunitas Arus Pelangi

dalam penerimaan jati diri LGBT.

G. Teknik Pengumpulan Data

Data adalah sesuatu yang diperoleh melalui suatu

metode pengumpulan data yang akan diolah dan dianalisis

dengan suatu metode tertentu yang selanjutnya akan

menghasilkan suatu hal yang dapat menggambarkan atau

mengindikasikan sesuatu. Dalam penelitian kualitatif

dikenal beberapa metode pengumpulan data yang umum

digunakan.

Pertama, yaitu Observasi adalah kegiatan

mengamati dan mencermati serta melakukan pencatatan

data atau informasi yang sesuai dengan konteks

penelitian. Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai

pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengodean

serangkaian perilaku dalam suasana yang berkenaan

 

14

dengan in situ, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.

Dikemukakan oleh Nasution, teknik observasi dapat

menjelaskan atau menggambarkan secara luas dan rinci

tentang masalah-masalah yang dihadapi karena data

observasi berupa deskripsi yang faktual, cermat, dan

terinci mengenai keadaan lapangan, kegiatan manusia,

dan sistem sosial, serta konteks tempat kegiatan itu

terjadi.

Observasi merupakan salah satu teknik

pengumpulan data yang tidak hanya mengukur sikap dari

responden, namun juga dapat digunakan untuk merekam

berbagai fenomena yang terjadi. Kemudian penulis

mengamati, meneliti, dan mencatat setiap fokus

penelitian. Inti dari observasi adalah adanya perilaku

yang tampak dan adanya tujuan yang ingin dicapai.

Perilaku yang tampak dapat berupa perilaku yang dapat

dilihat langsung oleh mata, dapat didengar, dapat

dihitung, dan dapat diukur.

Kedua, yaitu Wawancara menurut Moleong adalah

percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan

terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban

atas pertanyaan tersebut.10

10

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif,

(Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 118

 

15

Wawancara yang dilakukan pada pihak-pihak

yang bersangkutan, sehingga memudahkan dalam

memperoleh data. Menurut Gorden wawancara

merupakan percakapan antara dua orang yang salah

satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan

informasi untuk suatu tujuan tertentu. Teknik ini sangat

diperlukan untuk mengungkap bagian terdalam

(tersembunyi) yang tidak dapat terungkap lewat teknik

pengumpulan data lainnya. Wawancara yang dilakukan

secara bebas, namun tetap menggunakan pedoman

wawancara agar pertanyaan terarah.

Terakhir yang ketiga, yaitu Dokumentasi adalah

salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan

melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat

oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek.

Penulis mengumpulkan bahan tertulis seperti

berita di media, notulen-notulen rapat, surat menyurat,

dan laporan-laporan untuk mencari informasi yang

diperlukan.11

Data-data yang terkumpul berupa foto-foto,

buku-buku, jurnal, internet, dan sebagainya yang

berhubungan dengan masalah penelitian sebagai bahan

penunjang penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan masalah dan

menggambarkan secara singkat mengenai pembahasan

11

Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Depok:

RajaGrafindo, 2015) cet. Ke-2, h. 21

 

16

penelitian ini. Maka dibagi menjadi lima bab, yang terdiri

dari sub-sub pembahasan, yaitu :

BAB I Mengemukakan tentang latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II Dalam bab ini membahas mengenai

pengertian komunikasi kelompok, kerangka

teori, teori seputar komunikasi, komunikasi

kelompok, karakteristik, pengertian, dan

fungsi dari komunitas LGBT.

BAB III Bab ini membahas gambaran umum

komunitas Arus Pelangi, seperti sejarah

berdirinya komunitas, visi dan misi, motto,

dan profil struktur pengurus Komunitas Arus

Pelangi.

BAB IV Memuat penyajian hasil data-data yang

diperoleh dari hasil penelitian, berikut

analisisnya. Yaitu tentang proses komunikasi

kelompok komunitas Arus pelangi dalam

penerimaan jati diri LGBT.

BAB V Dalam bab ini memuat penutup dari skripsi

ini yang berisi tentang kesimpulan, kritik,

dan saran.

 

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Ruang Lingkup Komunikasi

1. Pengertian Komunikasi

Sebagai seorang individu, komunikasi merupakan

jalur yang dapat menghubungkan diri dengan dunia luas,

sarana untuk menampilkan kesan, mengekspresikan diri,

dan memengaruhi orang lain. Melalui komunikasi

seseorang dapat membangun hubungan kontak dengan

individu lainnya. Komunikasi adalah hubungan kontak

antar manusia yang bertujuan untuk mempengaruhi

manusia lainnya dalam sebuah bentuk kelompok,

organisasi, dan masyarakat.

Komunikasi merupakan sebuah sarana yang dapat

mempertemukan kebutuhan dan tujuan diri seseorang

dengan kebutuhan dan tujuan orang lain. Bagi Aristoteles

yang menjadi tujuan dari berlangsungnya komunikasi

yaitu membimbing pemikiran orang lain untuk masuk ke

dalam sudut pandang yang sama dengan cara

mempengaruhi dan meyakinkan orang tersebut.

Menurutnya, “tujuan utama komunikasi adalah persuasi,

yaitu upaya pembicaraan untuk menggiring orang lain

masuk ke dalam sudut pandang persuader”.1 Dengan

adanya komunikasi menjadikan semua orang memiliki

pengetahuan dan perasaan yang sama terhadap suatu hal.

1 Alo Liliweri, Komunikasi Antar-Personal (Jakarta:

Kencana, 2015), cet. Ke-1, h. 2.

 

18

Komunikasi juga mampu menghubungkan antar bagian

masyarakat dalam menanggapi lingkunganya.

Mengutip definisi Theodornoson and

Theodornoson (1969) dalam buku Sosiologi Komunikasi

karya Burhan Bunging yang menyebutkan bahwa

komunikasi mengacu pada penyebaran informasi, ide-ide,

sikap-sikap, atau emosi dari seorang atau kelompok

kepada yang lainnya terutama melalui simbol-simbol.2

Komunikasi dapat dipahami sebagai proses sosial di mana

individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk

menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam

lingkungan mereka.

Menurut dan menguraikan berbagai definisi

komunikasi, Shannon dan Weaver (1949) memandang

komunikasi sebagai kegiatan interaksi yang dilakukan

oleh manusia untuk saling mempengaruhi satu sama lain.

Tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi bisa

pada sebuah lukisan, seni, teknologi, maupun ekspresi

wajah seseorang.3

Ketika seseorang hidup bermasyarakat, maka

keinginan untuk mengetahui lingkungan sekitarnya

memaksa manusia perlu berkomunikasi.

Menurut Dr. Everett Kleinjan dari East

West Center Hawaii, yang dikutip oleh Hafied

Cangara, “komunikasi merupakan hal mendasar

2 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Kencana,

2014), cet. Ke-7, h. 30. 3 Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: UPDM,

2003), h. 9.

 

19

dalam kehidupan manusia seperti layaknya

bernapas, yang mana jika seseorang ingin

melangsungkan hidupnya maka perlu untuk

berkomunikasi.”4

Menyatakan dan mendukung identitas diri serta

membangun kontak sosial dengan orang di sekitar dan

mempengaruhi orang lain untuk merasa, berpikir, atau

berprilaku sebagaimana yang diinginkan merupakan

sebuah alasan utama manusia melakukan aktivitas

komunikasi.

Istilah kata komunikasi yang diserap dari bahasa

Inggris “communication” yang merujuk pada bahasa

Latin “communis” yang berarti “sama”, atau dalam istilah

“communicare” yang bermakna “membuat sama”.5 Kata

sama memiliki makna pesan atau informasi yang di

sampaikan menggunakan simbol-simbol atau bahasa yang

memiliki kesamaan arti atau makna antara komunikator

dengan komunikan, sehingga persepsi yang ditimbulkan

menjadi sama. Seperti pendapat Wilbur Schramm yang

dikutip oleh Widjaja mengenai komunikasi merupakan

sebuah cara yang dilakukan untuk membuat kesamaan.

Menurutnya, “Apabila kita mengadakan komunikasi maka

kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan

orang lain. Kita mengetahui bahwa pada dasarnya

4 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta:

RajaGrafindo, 2007), cet. Ke-1, h. 1. 5 Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2007), h. 19.

 

20

komunikasi itu adalah proses. Suatu proses komunikasi

bersifat dinamis, tidak statis”.6 Berlangsungnya suatu

komunikasi dapat dikatakan komunikatif apabila dalam

proses pesan yang disampaikan mampu mengubah

perilaku, pendapat atau pikiran orang lain. Pada dasarnya

kegiatan berkomunikasi adalah untuk mengendalikan

lingkungan fisik dan psikologis seseorang.

Pendefinisian komunikasi yang umumnya

digunakan oleh para pakar ilmu komunikasi merujuk pada

paradigma Harold D. Lasswell, mengenai cara yang

efektif untuk menjelaskan komunikasi ialah Who Says

What In Which Channel To Whom With What Effect

(yang menjelaskan: Siapa? mengatakan apa? dengan

saluran apa? kepada siapa? dengan efek apa?).7

Berdasarkan teori Lasswell, komunikasi adalah kegiatan

yang menjelaskan sebuah proses interaksi dan fungsinya,

yaitu kegiatan penyampaian pesan oleh komunikator atau

sumber informasi (Who), lalu pesan yang ingin

disampaikan dari komunikator kepada komunikan (Says

what), dengan menggunakan sebuah perantara pesan atau

suatu media baik secara langsung maupun tidak langsung

(In which channel), kepada seseorang yang menerima

pesan dari sumber informasi (To whom) dan

menimbulkan pengaruh yang muncul setelah pesan

6 H.A.W. Widjaja, Ilmu Komunikasi (Jakarta: Rineka Cipta,

2000), cet. ke-2, h. 26. 7 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi (Bandung:

Rosdakarya, 2007), cet. Ke-21, h. 10.

 

21

diterima oleh komunikan seperti perubahan sikap, pikiran

atau bertambahnya pengetahuan (With what effect). Jadi

berdasarkan paradigm Lasswell tersebut komunikasi

adalah proses penyampaian pesan dari komunikator

kepada komunikanmelalui media yang menimbulkan efek

tertentu.

Komunikasi adalah suatu proses di mana

seseorang atau beberapa orang yang menciptakan dan

menggunakan informasi sebagai penghubung dengan

lingkungan atau orang lain. Proses kegiatan perputaran

pesan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih bertujuan

untuk membangun persepsi atau persamaan makna antara

komunikan dan komunikator. Sehingga apa yang menjadi

tujuan komunikasi itu dilakukan dapat tercapai. Mengutip

dari pengertian Everett M. Rogers, yang memandang

komunikasi sebagai sebuah proses di mana suatu ide

dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih

dengan maksud mengubah perilaku.8

Pengungkapan berbagai pengertian tentang

komunikasi oleh para ahli yang menekuni ilmu

komunikasi dalam pengungkapannya masing-masing

memiliki pendapat yang dalam penekanannya berbeda.

Akan tetapi maksud dan tujuan yang disampaikan

mempunyai interpretasi yang sama. Melihat berbagai

pendapat tentang komunikasi yang telah dijabarkan bahwa

8 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2005), cet. Ke-2, h. 26.

 

22

komunikasi adalah suatu hubungan timbal balik yang

lebih menekankan sifat kegiatan individu atau kelompok

ataupun instansi untuk mempengaruhi orang lain.9

Aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh

seseorang biasanya dilakukan dengan sengaja dan

memiliki suatu tujuan. Dalam sebuah proses komunikasi

terdapat banyak komponen yang disebutkan antara lain

sumber, komunikator, pesan atau informasi, komunikan,

saluran, dan efek. Setiap unsur dalam komunikasi

mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling

ketergantungan satu sama lainnya. Namun terdapat unsur

utama yang wajib terpenuhi karena merupakan sebuah

bentuk kesatuan yang utuh. Bila salah satunya tidak ada

maka komunikasi tidak akan terjadi, yaitu: pertama,

Komunikator. Komunikator merupakan pihak yang

bertindak untuk menyampaikan sebuah pesan, yang bisa

dalam bentuk perorangan atau kelompok.

Kedua, Pesan. Pesan adalah keseluruhan apa yang

disampaikan oleh komunikator berupa kata-kata tulisan,

gambar, atau lainnya dimaksudkan sebagai usaha untuk

mengubah sikap dan pikiran orang lain.

Ketiga, Komunikan. Komunikan adalah orang

yang menerima pesan yang disampaikan oleh

komunikator. Komunikan menjadi elemen penting dalam

kegiatan komunikasi karena menjadi sasaran komunikasi

9 Astrid S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek

(Jakarta: Binacipta, 1988), cet. Ke-3, h. 1-2.

 

23

dan bertanggung jawab untuk mengartikan pesan yang

telah disampaikan.

Dalam prosesnya komunikasi terbagi menjadi dua

tahap, yaitu komunikasi secara primer dan sekunder.10

Komunikasi primer ada proses penyampaian pesan

dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang

sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah

bahasa, isyarat, gambar, warna dan lainnya yang secara

langsung dapat diterjemahkan oleh pikiran dan perasaan

komunikator kepada komunikan. Sedangkan komunikasi

sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh

seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat

atau sarana sebagai media kedua setelah memakai

lambang sebagai media pertama. Media merupakan alat

atau sarana yang diciptakan untuk meneruskan pesan

komunikasi. Seiring perkembangan zaman, komunikasi

bermedia mengalami kemjuan dengan memadukan

komunikasi berlambang bahasa dengan komunikasi

berlambang warna dan gambar. Proses komunikasi secara

sekunder merupakan sambungan dari komunikasi primer

untuk menembus dimensi ruang dan waktu.

Beragam definisi yang dijelaskan oleh ahli ilmu

komunikasi tentang pengertian, tujuan dan fungsi dari

komunikasi, masing-masing memiliki perbedaan dalam

10

Wahyu Aji Sasongko, Proses Komunikasi (Primer dan

Sekunder), artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2018 pada

www.rastika.net/2013/05/proses-komunikasi-primer-dan-

sekunder.html?m=1

 

24

mengaktualisasikannya. Oleh karena itu, pada aktivitas

komunikasi dikenal pola-pola tertentu sebagai manifestasi

perilaku manusia dalam berkomunikasi. Bentuk dari

komunikasi itu sendiri memiliki beberapa klasifikasi tipe

yang dijabarkan oleh masing-masing ilmuan komunikasi.

Namun perbedaan penjabaran yang dijelaskan tidak

bertentangan antara satu dengan lainnya, sebab hanya

berbeda penekanan yang disebabkan oleh latar belakang

dan lingkungan yang mendukung. Denis McQuail

menyebutkan terdapat enam tingkatan dalam proses

berlangsungnya sebuah komunikasi, yaitu: komunikasi

intrapersonal, komunikasi antarpersonal, komunikasi

kelompok, komunikasi antarkelompok, komunikasi

organisasi, dan komunikasi dengan masyarakat luas:

komunikasi massa dan langsung atau tanpa media.11

2. Komunikasi Kelompok

a. Pengertian Komunikasi Kelompok

Manusia adalah makhluk individu yang tidak dapat

melepaskan diri dari hubungan antar manusia lainnya.

Sebagai akibat dari hubungan yang terjadi di antara

individu-individu lahirlah kelompok-kelompok sosial

yang dilandasi atas dasar kesamaan kepentingan bersama.

Naluri untuk berkelompok mendorong manusia untuk

menyatukan dirinya dengan kelompok yang lebih besar.

Menurut Muhammad sebagaimana yang dikutip oleh

11

Riswandi, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009), h. 9-10.

 

25

Marhaeni Fajar, mendefinisikan kelompok sebagai suatu

kumpulan individu yang mempengaruhi, memperoleh

beberapa kepuasan, berinteraksi untuk beberapa tujuan,

mengambil peranan, terikat satu sama lain dan

berkomunikasi secara tatap muka.12

Pengertian tersebut

menggambarkan bahwa suatu kelompok yang terbentuk

oleh beberapa anggota yang dapat mempengaruhi satu

sama lainnya. Melakukan interaksi yang dimaksudkan

untuk mencapai hal-hal yang dituju dan juga terikat

hubungan antara anggota satu dengan lainnya, serta

melakukan interaksi secara langsung.

Kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh

beberapa individu yang tergabung dalam suatu kelompok

disebut dengan komunikasi kelompok. Komunikasi

kelompok memiliki tujuan meski tidak selalu formal dan

kegiatan komunikasi yang dilakukan menyangkut

kepentingan seluruh anggota kelompok, bukan bersifat

pribadi. Adapun pengertian komunikasi kelompok

menurut Robert F. Bales, adalah sejumlah orang yang

melakukan kegiatan komunikasi dalam suatu pertemuan

yang bersifat tatap muka (face to face meeting). Setiap

anggota mendapat kesan atau pengelihatan yang cukup

kentara, sehingga pada saat proses komunikasi

berlangsung dapat memberikan tanggapan kepada

masing-masing sebagai perorangan secara jelas. Biasanya

12

Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2009), h. 65.

 

26

umpan balik yang diterima dalam proses komunikasi ini

bersifat rasional, dan antar anggota lainnya bisa menjaga

perasaan masing-masing dan norma-norma yang ada.

Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson

mengungkapkan jika dalam proses komunikasi kelompok

tidaklah penting penjelasan mengenai bagaimana

seharusnya komunikasi terjadi dan bukan pula sejumlah

cara-cara bagaimana yang harus ditempuh.

“Mengutip pernyataan Goldberg dan

Larson dalam buku Group Communication:

discussion processes and applications, komunikasi

kelompok adalah suatu studi, penelitian dan

terapan yang tidak menitikberatkan perhatiannya

pada proses kelompok secara umum, tetapi pada

tingkah laku individu dalam diskusi kelompok

tatap muka yang kecil”.13

Bagi Goldberg dan Larson, yang menjadi pusat

perhatian dalam komunikasi kelompok adalah tingkah

laku individu dalam interaksi tatap muka yang kecil.

Komunikasi kelompok kecil menjadi titik dasar perhatian

dalam komunikasi kelompok karena dapat

memperkirakan hasilnya dan lebih cepat meningkatkan

proses komunikasi kelompok. Melalui komunikasi

kelompok, informasi dan pengetahuan yang diperoleh

anggota akan lebih banyak. Lalu pendekatan terhadap

masalah yang akan dipecahkan menjadi lebih mudah

13

Alvin A. Goldberg dan Carl E. Larson, Komunikasi

Kelompok: Proses-proses Diskusi dan Penerapannya, terjemahan

oleh Koesdarini Soemiati dan Gary R. Jusuf (Jakarta: UI Press, 2006)

cet. Ke-1, h. 8.

 

27

diatasi. Serta ketika terjadi pengambilan keputusan maka

tidak perlu untuk disiarkan, karena keputusan yang

diambil dibuat secara bersama.

Komunikasi yang dilakukan oleh sebagian

masyarakat terkadang membentuk pola pikir dan tujuan

yang sama dan tanpa disadari mereka telah melakukan

komunikasi dalam kelompok. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Littlejohn dan Foss dalam Theories of

Human Communication yang dikutip oleh Morissan,

mengatakan bahwa seseorang terkadang tidak menyadari

jika mereka menghabiskan banyak waktu untuk

melakukan komunikasi dalam kelompok dan secara

perlahan kelompok juga membentuk struktur waktu

mereka.14

Komunikasi kelompok mampu memberikan

energi maupun sebaliknya. Dan terkadang komunikasi

yang berjalan dapat terasa membosankan atau bahkan

menciptakan kesenangan pada seluruh anggota kelompok.

Kelompok-kelompok sangatlah penting bagi para

individu maupun masyarakat. Sebagai seseorang yang

bergerak di dunia, kerja sama merupakan hal yang sangat

penting dalam pencapaian tujuan-tujuan individu. Orang-

orang menggunakan komunikasi dalam menyelesaikan

berbagai masalah, dan komunikasi tidak hanya menjadi

14

Morissan, Teori Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2014) cet.

Ke-2, h. 331.

 

28

sebuah alat utnuk menyelesaikan tugas-tugas, tetapi juga

menjadi sebuah media untuk membangun hubungan.15

Menurut Baron dan Byrne ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi oleh sebuah kelompok.16 Pertama,

interakasi. Dalam sebuah kelompok setiap anggota harus

berinteraksi satu sama lain sehingga apa yang menjadi

tujuan kelompok atau bersama dapat terlaksana.

Kelompok mengharuskan anggotanya untuk berinteraksi

untuk keberlangsungan pencapaian tujuan yang menjadi

motif terbentuknya kelompok.

Kedua, interdependen. Kelompok merupakan

tempat dimana para anggota berkumpul, bertukar ide-ide

atau pendapat. Kelompok diciptakan oleh beberapa

individu yang mampu mempengaruhi perilaku masing-

masing anggota. Kelompok merupakan himpunan

individu yang saling hidup brsama dan saling

ketergantungan dengan sadar serta saling tolong

menolong. Mengutip pernyataan Soerjono Soekanto yang

mengatakan bahwa kelompok merupakan himpunan atau

kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya

hubungan di antara mereka. Hubungan tersebut antara lain

menyangkut hubungan timbal balik yang saling

mempengaruhi.

15

Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori

Komunikasi; Theories of Human Communication” (Jakarta: Salemba

Humanika, 2011), edisi 9 h. 350. 16

Yesmil Anwar dan Adang, Sosiologi untuk Universitas

(Bandung: PT Refika Aditama, 2013), cet. Ke-1, h. 219.

 

29

Ketiga, stabil. Hubungan yang terjalin antar

anggota kelompok paling tidak ada lamanya waktu yang

berarti. Dalam hubungan yang terikat lama waktu yang

terjalin bisa minggu, bulan dan tahun.

Keempat, tujuan yang dibagi. Beberapa tujuan

yang dicapai dalam sebuah kelompok bersifat umum atau

bersama. Kelima, struktur. Setiap kelompok harus

memiliki beberapa struktur sehingga setiap anggota

memiliki status dan peran. Adanya penegasan dan

pembentukkan struktur kelompok yang jelas akan

berpengaruh pada pencapaian tujuan bersama (kelompok).

Yang keenam, persepsi. Seluruh anggota yang

tergabung haruslah memiliki rasa bahwa mereka adalah

bagian dari kelompok. Setiap anggota kelompok tersebut

harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok

yang bersangkutan. Kesadaran anggota sebagai bagian

dari kelompok yang bersangkutan akan menimbulkan rasa

saling memiliki.

Jadi kelompok adalah kumpulan orang yang

memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling

berinteraksi. Menjalani peran yang telah terstruktur dan

mencapai tujuan kelompok. Pada dasarnya pembahasan

tentang komunikasi kelompok yang harus dipahami

adalah bagaimana proses komunikasi yang saling

mempengaruhi dan bukan hanya sekedar memahami

masing-masing individu saja. Hal ini membawa pelaku

komunikasi kelompok kepada masalah interaksi sosial.

 

30

Sama halnya dengan komunikasi interpersonal

yang dilakukan oleh dua atau bahkan lebih individu.

Komunikasi kelompok juga menimbulkan arus balik

secara langsung terhadap pelakunya. Antara komunikasi

kelompok dan interpersonal apabila dilihat dalam proses

interaksi yang terjadi keduanya melibatkan dua atau lebih

individu yang secara fisik berdekatan dan bertukar pesan

baik secara verbal maupun nonverbal.

Komunikasi interpersonal biasanya terjadi secara

spontan dan tidak terstruktur, sebaliknya komunikasi

kelompok dalam proses interaksinya dilakukan secara

terstruktur. Selain itu masing-masing individu melihat diri

mereka sebagai anggota kelompok yang memiliki peranan

serta tanggung jawab masing-masing dan memiliki

kesadaran atas tujuan bersama.17

Komunikasi kelompok adalah sekumpulan orang

yang terbagi menjadi dua kriteria, bisa berupa kelompok

kecil atau kelompok besar. Namun jumlah anggota dalam

kelompok tidak dapat ditentukan dengan akurat berapa

jumlah orang yang termasuk kelompok kecil atau

kelompok besar. Indikasi pada komunikasi kelompok

kecil menjadi titik berat perhatian dalam komunikasi

kelompok. Pada komunikasi kelompok kecil para anggota

kelompok cenderung memiliki penilaian yang sama

terhadap suatu masalah apabila mereka dihadapkan pada

17

Goldberg dan Larson, Komunikasi Kelompok: Proses-

proses Diskusi dan Penerapannya, h. 8-9.

 

31

penilaian pihak lain.18

Sedangkan yang terjadi dalam

komunikasi kelompok besar dengan jumlah anggota yang

sangat banyak dan interaksi komunikasi antarpribadi lebih

sulit dilakukan. Apabila dalam komunikasi kelompok

besar para anggota memberikan tanggapan kepada

komunikator lebih bersifat emosional dikarenakan

banyaknya jumlah anggota dalam sutu kelompok besar.

Yang menurut Hare dan Slater, dalam hal hubungan

dengan kepuasan apabila suatu kelompok itu semakin

memuat kapasitas yang besar maka semakin berkurang

kepuasan anggota-anggotanya.

b. Klasifikasi Kelompok

Banyaknya anggota yang mengatakan sesuatu

tidak menjadi hal penting dalam komunikasi kelompok

melainkan bagaimana mereka memberikan respon atau

tanggapan di antara anggota kelompoknya. Dan tidak

semua sekumpulan orang disebut dengan kelompok. Oleh

sebab itu kelompok diklasifikasikan menjadi beberapa

klasifikasi yaitu, Yang pertama, Kelompok Primer dan

Sekunder. Kelompok primer dan sekunder yang dicetus

oleh Charles Horton Cooley pada tahun 1909, mengatakan

bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang

anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan

menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan

sekunder memiliki pengertian yang berlawanan yaitu

18

Goldberg dan Larson, Komunikasi Kelompok: Proses-

proses Diskusi dan Penerapannya, h. 38.

 

32

sebuah kelompok yang anggotanya berhubungan tidak

akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati.

Menurut Jalaludin Rakhmat19

, terdapat beberapa

karakteristik komunikasi yang dapat membedakan

kelompok primer dan sekunder, yaitu:

1. Kualitas komunikasi bersifat dalam dan meluas.

Dalam artinya menembus kepribadian seseorang yang

paling tersembunyi dan menyingkap unsur-unsur

backstage (perilaku yang ditampakkan seseorang

dalam suasana privat saja). Meluas yang berarti sedikit

sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara

berkomunikasi. Pada kelompok sekunder komunikasi

bersifat dangkal dan terbatas

2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal.

Sedangkan kelompok sekunder bersifat nonpersonal

3. Komunikasi kelompok primer lebih menekankan

aspek hubungan daripada aspek isi, sedangkan

kelompok sekunder adalah sebaliknya

4. Komunikasi primer cenderung ekspresif dan sekunder

instrumental

5. Komunikasi kelompok primer cenderung informal,

sedangkan sekunder formal.

Kedua, ingroup dan outgroup. Klasifikasi ini

dikemukakan oleh Sumner, yang merupakan lanjutan dari

19

Ari Jayadi, Apa yang Dimaksud dengan Komunikasi

Kelompok (Group Communication)?, artikel diakses pada tanggal 13

Juli 2018 dari www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-

komunikasi-kelompok-group-communication/9000/

 

33

penjelasan yang telah dikemukakan oleh Charles Horton

Cooley. Kelompok-kelompok yang terikat secara

emosional disebut dengan kelompok primer, yang mana

sebagai anggota kelompok akan menganggap bahwa

kelompok tersebut adalah “kita”. Pengakuan inilah yang

disebut dengan ingroup. Dan sedangkan outgroup disebut

dengan kelompok “mereka”. Perasaan ingroup

diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan,

dan kerja sama yang dianggap bagian dari “kita”.untuk

membedakan ingroup dan outgroup terdapat batasan yang

menentukan siapa yang termasuk orang dalam dan luar.

Batasan ini dapat berupa geografis, suku bangsa, bahasa,

kekerabatan dan status sosial. Dengan mereka yang

termasuk dalam ingroup, seseorang akan merasa terikat

dalam semangat “kekitaan” (we-ness).

Ketiga, Kelompok Keanggotaan dan Kelompok

Rujukan. Klasifikasi kelompok ini diplopori oleh

Theodore Newcomb (1930). Yang menyebutkan bahwa

kelompok keanggotaan adalah kelompok yang anggota-

anggotanya secara administratif dan fisik menjadi anggota

kelompok itu, yang dalam proses interaksinya menambah

peluang diterimanya pesan kita. Sebaliknya kelompok

rujukan adalah yang memberikan kepada kita identifikasi

psikologis. Kelompok rujukan memiliki tiga fungsi, yaitu

fungsi komparatif, fungsi normative dan fungsi perspektif.

Keempat, Kelompok Deskriptif dan Kelompok

Preskriptif. Kelompok deskriptif dan preskriptif diplopori

 

34

oleh John F. Cragan dan David W. Wright (1980). Dalam

kategori deksriptif menunjukkan klasifikasi kelompok

dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.

Sedangkan kelompok preskriptif, mengacu pada langkah-

langah yang harus ditempuh anggota kelompok dalam

mencapai tujuan kelompok.20

Komunikasi yang efektif dapat meningkatkan

kinerja dengan cara memahami karakteristik yang ada

dalam sebuah kelompok. Komunikasi memberi pengaruh

besar terhadap produktif atau tidak efisien kelompok.

Terdapat dua karakteristik yang melekat pada suatu

kelompok yaitu norma dan peran.

Norma adalah kesepakatan dan perjanjian yang

dibuat sebagai panduan tentang bagaimana individu-

individu bertindak dan berinteraksi, serta bagaimana

berprilaku satu dengan lainnya atau prilaku-prilaku apa

sajakah yang tidak pantas dilakukan dalam sebuah

kelompok atau dengan orang lain.21

Menurut Soerjono

Soekanto norma adalah suatu perangkat agar hubungan

antar satu dengan lainnya terjalin dengan baik. Norma

atau peraturan berlaku bagi setiap anggota kelompok

secara keseluruhan dan tentunya setiap kelompok akan

berbeda satu dengan kelompok lainnya.

20

Fajar, Ilmu Komunikasi, h. 67-69. 21

Julia T. Wood, Komunikasi Teori dan Praktik (Komunikasi

dalam Kehidupan Kita), terjemahan oleh Putri Aila Idris (Jakarta:

Salemba Humanika, 2013), Ed. 6, h. 8.

 

35

Pada hakikatnya norma merupakan pandangan

mengenai perilaku yang seharusnya dilakukan atau yang

seharusnya tidak dilakukan dan pada akhirnya norma

diharapkan dapat melindungi kepentingan manusia.22

Norma juga berfungsi sebagai pengikat dan memperteguh

rasa persatuan. Pengaruh norma mempunyai andil yang

besar terhadap cara berpikir seseorang, bertingkah-laku,

dan menanggapi suatu pesan.

Terdapat tiga kategori dalam norma kelompok

menurut Adler dan Rodman yaitu norma sosial, norma

prosedural, dan norma tugas. Seperti pada tabel di bawah

ini yang menjelaskan ketiga kategori dalam norma

kelompok.

Tabel 2.1 Norma dalam Kelompok

SOSIAL PROSEDURAL TUGAS

Mendiskusikan

persoalan yang

tidak

kontroversial

Memperkenalkan

para anggota

kelompok

Mengkritik ide

bukan

orangnya

Menceritakan

gurauan yang

lucu

Membuat agenda

pertemuan

Mendukung

gagasan yang

terbaik

Menceritakan

kebenaran yang

Duduk saling

bertatap muka

Memiliki

kepedulian

22

Jokie MS Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan

Sosiologi (Jakarta: Indeks, 2009), cet. Ke-1, h. 2.

 

36

tidak dapat

dibantah

untuk

pemecahan

persoalan

Jangan merokok

(kalau

dimungkinkan)

Memantapkan

tujuan kelompok

Berbagi beban

pekerjaan

Jangan datang

terlambat

Jangan

meninggalkan

pertemuan tanpa

sebab

Jangan

memaksakan

gagasan kita

dalam

kelompok

Jangan tidak

hadir tanpa

alasan yang jelas

Jangan

memonopoli

percakapan

Jangan berkata

kasar jika tidak

setuju

Sumber:

http://widyo.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/41134/Teori

%2Bkom-kelompok, diakses pada tanggal 6 Juni 2017, pukul

12.54WIB, page. 5.

Norma kelompok meregulasi semua aspek dalam

kehidupan kelompok mulai dari yang terkecil hingga yang

terpenting.

Apabila norma diberi batasan sebagai ukuran

kelompok yang dapat diterima, maka peran merupakan

pola-pola prilaku yang diharapkan dari setiap anggota

kelompok. Soekanto menjelaskan bahwa seseorang telah

menjalankan peran apabila dia telah melaksanakan hak

 

37

dan kewajiban sesuai dengan kedudukan atau posisinya.23

Menurut Adler dan Rodman, peran dalam komunikasi

kelompok meliputi fungsi tugas dan fungsi pemeliharaan.

Tabel 2.2 Peran Fungsional dari Anggota Kelompok

FUNGSI TUGAS FUNGSI

PEMELIHARAAN

Pemberi informasi Pendorong partisipasi

Pemberi pendapat Penyelaras

Pencari informasi Penurun ketegangan

Pemberi aturan Penengah persoalan pribadi

Sumber: Roudhonah, 2007, h. 127.

Sebagian kelompok berpola terpusat satu atau dua

orang memiliki posisi-posisi kunci, dan kebanyakan

komunikasi disalurkan melalui mereka. Sementara pada

kelompok lain memiliki pola-pola desentralisasi di mana

komunikasi lebih seimbang dan dengan demikian lebih

memuaskan semua orang. Pola desentralisasi ini akan

lebih terbentuk ketika semua anggota memiliki kekuasaan

yang hampir sama.

c. Fungsi Komunikasi Kelompok

Adapun fungsi dari komunikasi kelompok yang

digunakan sebagai kepentingan masyarakat, kelompok,

dan para anggota kelompok itu sendiri, yaitu:

1. pertama, Fungsi Hubungan Sosial. Yang mana

setiap anggota saling mempererat hubungan

23

Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 273.

 

38

antar satu dengan anggota lainnya. Bagaimana

suatu kelompok secara rutin memberikan

kesempatan kepada anggotanya untuk

melakukan aktivitas yang informal, santai dan

menghibur.

2. Kedua, Fungsi Pendidikan. Yaitu sebagai

sebuah kelompok yang saling bertukar pikiran,

seperti ilmu pengetahuan dengan anggota

kelompoknya.

3. Ketiga, Fungsi Persuasi. Ketika seorang

anggota memberikan imbauan pada anggota

lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu.

4. Keempat, Fungsi Sebagai Pemecahan

Masalah Dan Pembuatan Keputusan. Fungsi

komunikasi kelompok sebagai pemecah

masalah dan pembuat keputusan adalah seperti

contoh, ketika seorang anggota yang memiliki

masalah maka anggota lain akan mencarikan

dan memberikan solusi bagi anggota kelompok

mereka. Sedangkan pembuatan keputusan

berhubungan dengan pemilihan antara dua atau

lebih solusi. Jadi pemecahan tersebut

menghasilkan suatu bahan untuk pembuat

keputusan.24

24

Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h.127.

 

39

Terbentuknya suatu kelompok muncul secara

alami dengan sendirinya yang timbul dari kegiatan

spontan individu. Tetapi ada juga beberapa kelompok

yang sengaja dibentuk dan terbentuknya kelompok

memiliki tujuan tertentu. Tujuan yang dicapai dalam suatu

kelompok adalah untuk menciptakan atmosfer semangat

positif dan memberikan kesempatan kepada tiap-tiap

anggota untuk mencapai tujuan orientasi pribadi atau

orientasi sosial, seperti dukungan interpersonal, dorongan,

dan hiburan.

d. Bentuk-Bentuk Komunikasi

Bentuk komunikasi kelompok dapat dilihat

melalui dua jenis, yaitu kelompok deskriptif yang mana

dalam tahapan ini terlihat komunikasi yang terbentuk

secara alamiah dan kelompok preskriptif yang

menjelaskan langkah-langkah rasional dalam mencapai

tujuan kelompok.25

1. Komunikasi Kelompok Deskriptif

Ahli komunikasi kelompok menunjukkan

tiga kategori kelompok yang besar ke

kelompok tugas, kelompok pertemuan dan

kelompok penyadar.

a. Kelompok Tugas

25

Aulia Dwi Nastiti, Pola Komunikasi pad Komunitas

Offline-Online, diakses pada tanggal 25 Juli 2018 dari

www.scribd.com/doc/67243401/Pola-komunikasi-pada-Komunitas-

Offline-Online#

 

40

Aubrey Fisher meneliti tindak komunikasi

kelompok tugas dan menemukan bahwa

kelompok melewati empat tahap, yaitu

orientasi, konflik, pemunculan dan

peneguhan.

b. Kelompok Pertemuan

Pada tahun 1960-an muncul kelompok

pertemuan yang digunakan oleh para

psikolog untuk melatih pasien menemukan

dirinya sendiri. Lalu Carl Rogers melihat

manfaat kelompok pertemuan untuk

pengembangan diri. Banyak model yang

dikembangkan, salah satunya model

Bennis dan Sheperd yang uraiannya

dikutip dari Cragan dan Wright. Pada

tahap satu: kebergantungan pada otoritas

dan tahap dua: kebergantungan satu sama

lain.

c. Kelompok Penyadar

Pada tahun 1970, James Chesebro, John

Cragan dan Patricia McCullough

melakukan studi lapangan di Minessota

tentang gerakan revolusioner kaum

homoseksual. Dari penelitian mereka

merumuskan empat tahap perkembangan

kelompok penyadar. Tahap satu:

kesadaran diri akan identitas baru. Tahap

 

41

dua: identitas kelompok melalui polarisasi.

Tahap tiga: menegakkan nilai-nilai baru

bagi kelompok. Tahap empat:

menghubungkan diri dengan kelompok.26

2. Komunikasi Kelompok Perskriptif

Komunikasi kelompok dapat dipergunakan

untuk menyelesaikan tugas, memecah

persoalan, membuat keputusan atau

melahirkan gagasan kreatif, membantu

pertumbuhan kepribadian seperti dalam

kelompok pertemuan atau membangkitkan

kesadaran sosial politik. Menurut formatnya

komunikasi kelompok ini dapat

diklasifikasikan pada dua kelompok besar,

yaitu privat dan publik (terbatas dan terbuka).

Kelompok pertemuan (keompok terapi),

kelompok belajar, panitia, konferensi (rapat)

adalah kelompok privat. Panel, wawancara

terbuka (publik interview), forum, symposium

termasuk keompok publik.27

3. Konseptualisasi LGBT

a. Sejarah LGBT

26

Herdiyan Maulana dan Gumgum Gumelar, Psikologi

Komunikasi dan Persuasi (Jakarta: Akademia Permata, 2013) hal. 123 27

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung:

Rosdakarya, 2005) h. 178

 

42

Menurut para peneliti sejarah dan arkeologi,

bahwa kegiatan homoseksual telah terjadi puluhan ribu

tahun sebelum Masehi dan semakin berkembang pesat

sejak abad XI Masehi. Sedangkan penggunaan istilah

LGBT itu sendiri mulai digunakan sekitar tahun 1990-an

sampai saat ini.

Sebelum masa “Revolusi Seksual”28

ditahun 60-an

tidak ada istilah khusus yang digunakan untuk

menyatakan orang non-heteroseksual, dan sekitar tahun

1860-an muncul istilah “third gender” yang mungkin

paling mendekati kata non-heteroseksual. Akan tetapi

istilah tersebut kurang diterima oleh masyarakat secara

luas.

Pada masa revolusi seksual dimulai dengan

munculnya kebudayaan free love yakni jutaan kaum muda

yang menganut gaya hidup sebagai hippie menyerukan

kekuatan cinta dan keagungan seks sebagai bagian dari

hidup yang alami dan natural. Mereka percaya bahwa seks

merupakan fenomena biologis yang wajar sehingga segala

bentuk hal yang melarang atau penekanan terhadap pelaku

seks tidaklah dibenarkan. Dalam masa revolusi seks

istilah homophile dan homosexual mulai digunakan,

namun sebagian orang beranggapan bahwa istilah tersebut

28

Revolusi seksual merupakan istilah umum yang digunakan

untuk menggambarkan perubahan sosial politik (1960-1970)

mengenai seks.

 

43

cenderung berkonotasi negatif sebab seakan-akan hanya

menekankan pada unsur kegiatan seks saja.29

Sampai akhirnya munculah istilah gay dan lesbian

yang kemudian disusul dengan istilah lainnya seperti

bisexual yang muncul setelah diketahui bahwa ada orang

yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama dan lain

jenis. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan

psikologi memunculkan istilah transgender, sebagai

gambaran orang non-heteroseksual yang berprilaku serta

berpenampilan berlawanan dengan jenis kelamin yang

dimilikinya.

Gerakan LGBT muncul dikalangan masyarakat

Barat, yakni ketika pembentukan GLF (Gay Liberation

Front) di London pada tahun 1970, yang terinspirasi pada

kejadian di Amerika Serikat tahun 1969.30

Lalu pada

tahun 1978 terbentuknya International Lesbian and Gay

Association (ILGA) di Inggris. Pada masa ini mulai

diperkenalkan simbol pergerakan hak asasi komunitas

LGBT yaitu berupa bendera pelangi (the rainbow flag

atau pride flag). Sampai pada tahun 2001, Belanda

merupakan negara modern pertama yang melegalkan

pernikahan pasangan sesama jenis lalu disusul oleh

Belgia, Kanada dan Negara lainnya. Tidak sedikit

29

Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT (Jakarta: Elex

Media Komputindo, 2014), cet. Ke-1, h. 47. 30

Pada tahun 1969 di Amerika Serikat terjadi huru hara di

Stonewall Inn, Greenwich Village yang terkenal dengan sebutan

Stonewall Riots, yaitu keributan antara polisi dengan para pendemo

yang memperjuangkan kebebasan kaum gay.

 

44

masyarakat komunitas LGBT dari Indonesia yang mencari

pengesahan hukum atau pelegalan pernikahan sesama

jenis di negara-negara tersebut.31

Di Indonesia sendiri, secara kronologi

berkembangnya LGBT berawal dari sebuah cerita dalam

sastra klasik jawa yang terkenal dengan Serat Centhini.

Bercerita tentang seorang cebolang yang disukai oleh

seorang adipati yang ternyata lebih tertarik dengan

dirinya, karena sang adipati merasa lebih berhasrat

dengannya. Apabila di dalam cerita Serat Centhini

menggambarkan kisah fantasi kehidupan belaka, lain

halnya dengan kesenian reog Ponorogo yang

memperlihatkan secara jelas praktek homoseksualitas

melalui peranan warok dan gemblak32

. Di mana warok

yang sakti mempertahankan kesaktiannya dengan cara

menghindari hubungan intim dengan lawan jenis, untuk

itu warok melampiaskan hasrat seksualnya kepada

seorang gamblak.

Persoalan penyimpangan seksual sudah menjadi

perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat

manusia. Pro dan kontra yang ditimbulkan oleh persoalan

tentang homoseksual menjadi fokus utama oleh sebagaian

kalangan masyarakat baik dilihat dari segi hukum dunia

31

Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 53. 32

Sebutan warok berasal dari kata wewarah, yang dalam

bahasa jawa memiliki arti mampu memberi tuntunan dan ajaran

perihal kehidupan. Sedangkan gemblak yang merupakan bocah laki-

laki yang memiliki paras tampan dan terawat.

 

45

maupun agama. Perdebatan akibat perbedaan pendapat

melahirkan sebuah kampanye yang dilakukan oleh

gerakan kelompok LGBT. Kampanye yang dilakukan

berfokus pada penyadaran kepada kaum homoseksual

serta masyarakat umum lainnya bahwa perilaku LGBT

bukanlah sebuah penyimpangan dan mereka layak untuk

mendapatkan hak-hak seksual sebagaimana orang lain.33

Sekitar tahun 1968 muncul istilah wadam (wanita

adam) menggantikan kata banci atau bencong. Organisasi

wadam yang pertama didirikan bernama HIWAD

(Himpunan Wadam Djakarta).34

Namun kurang lebih

tahun 1982 istilah wadam mulai diganti dengan waria

(wanita-pria) karena keberatan sebagian pimpinan dan

tokoh Islam berkenaan dengan adanya nama Adam yang

sebagai nabi pertama bagi umat Islam.

Ditahun 80-an kelompok homoseksual mendirikan

sebuah organisasi terbuka yang menaungi kaum gay di

Indonesia yaitu Lambda Indonesia dan menerbitkan

bulletin dengan nama “G: Gaya Hidup Ceria” (1982-

1984). Di tahun yang sama tepatnya pada tahun 1987

berdirilah Kelompok Kerja Lesbian dan Gaya Nusantara

(KKLGN) disingkat menjadi GAYa Nusantara (GN) yang

juga menerbitkan majalah dengan nama GAYa

33

Ayub, “Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian

Psikologi dan Teologis)”, artikel diakses pada tanggal 13Juni 2017

dari https://thisisgender.com/penyimpangan-orientasi-seksual-kajian-

psikologis-dan-teologis/ 34

Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 55.

 

46

Nusantara.35

Selanjutnya memasuki era 90-an semakin

banyak akar-akar organisasi LGBT yang berdiri sampai

sekarang.

b. Pengertian LGBT

LGBT merupakan sebuah akronim dari kata

Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender. Kata LGBT

dipakai untuk menunjukkan seseorang yang memiliki

perbedaan orientasi seksual dan identitas gender

berdasarkan kultur tradisional, yaitu heteroseksual. Istilah

LGBT mempresentasikan keragaman orientasi seksual,

identitas gender dan identitas seksual, namun tidak

terbatas pada Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender

saja.

Orientasi seksual seseorang merupakan keinginan

mendasar untuk memenuhi kebutuhan akan cinta,

berhubungan dengan kedekatan atau rasa intim hingga

dapat berkembang menjadi sebuah ikatan. Orientasi

seksual tidak hanya sekedar ketertarikan jasmani, namun

juga menjangkau batin. Permasalahan yang timbul ketika

orientasi seksual tersebut diluar dari umumnya masyarakat

heteroseksual. Jenis kelamin secara boilogis adalah bagian

fisik yang mendeskripsikan seseorang sebagai laki-laki

atau perempuan. Fakta yang sering terjadi dikehidupan

manusia, seseorang yang lahir dengan jenis kelamin laki-

35

Mukhli Zardy, “Sejarah Singkat LGBT Di Indonesia”,

artikel diakses pada tanggal 20 Februari 2017 dari

https://www.scribd.com/doc/312328275/Sejarah-Singkat-Lgbt-Di-

Indonesia

 

47

laki akan tetapi saat dewasa orang tersebut memilih

gender sebagai perempuan. Biasanya seseorang yang

berjenis kelamin laki-laki akan bergender laki-laki maka

secara erotis dia akan tertarik terhadap seorang

perempuan. Inilah yang disebut orientasi seksual, dimana

seseorang tertarik terhadap lawan jenis atau sesama

jenis.36

Pertama, Gay dan Lesbian. Seseorang melakukan

aktivitas seksual dalam beberapa cara. Sebagian

melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis. Akan

tetapi, beberapa orang melakukan hubungan seksual

dengan orang berjenis kelamin sama yang disebut

homoseksual. Istilah homoseksual digunakan untuk

mendeskripsikan seseorang yang memiliki kecenderungan

umum untuk melakukan hubungan seks dengan sesama

jenis. Homoseks yang dalam bahasa Arab disebut

liwath37

, yang seiring berjalannya waktu lebih dikenal

dengan sebutan “gay”.

Istilah gay lebih spesifik digunakan untuk

menunjukkan bahwa seseorang mempunyai SSA (Same-

Sex Attraction)38

yang tidak hanya semata-mata

36

Ayu Widia Setia Murni, “Peranan Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI) Dalam Mengawasi Tayangan Berkonten Lesbian,

gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Pada Program Pesbuker

ANTV”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017, h. 19. 37

Didi Junaedi, Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-

Qur’an (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016), h. 37. 38

SSA digunakan untuk memaparkan bahwa seseorang

mempunyai rasa ketertarikan seksual dengan sesama jenis , baik

 

48

menunjukan rasa ketertarikan dengan sesama jenis

melainkan sebagai identitas diri dalam kehidupan sosial

seseorang. Dalam sebuah penelitian tentang seksualitas di

Amerika, Kinsey, Pameroy, dan Matin (1984) yang

dikutip oleh Siahaan39

bahwa sebanyak 37% laki-laki

pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam

kehidupan mereka. Akan tetapi di antaranya hanya

beberapa yang benar-benar non-heteroseksual dan lainnya

hanya sebatas rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi

seksualnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang

memiliki hubungan homoseksual tidak berarti mereka

mejadi homoseks. Namun yang lebih penting adalah

pengungkapan identitas homoseksual secara sosiologis.

Melalui identitas tersebut seseorang akan mengkonsepkan

dirinya sebagai homoseks.

Istilah homoseksual merujuk pada hubungan

sesama jenis yang dilakukan antara laki-laki dengan laki-

laki. Sedangkan istilah yang digunakan untuk menjelaskan

hubungan antara perempuan dengan perempuan disebut

lesbian atau yang dalam bahasa Arab disebut Sihaaq.

Istilah lesbian berasal dari kata Lesbos yang merupakan

sebuah pulau tempat pembuangan napi perempuan di

secara total (hanya tertarik dengan sesama jenis), atau sebagian

(masih memiliki rasa ketertarikan kepada lain jenis). Istilah ini biasa

disebut dengan homosexual orientation dan bisexual orientation. 39

Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi, h.

43.

 

49

Yunani.40

Meski memiliki istilah yang berbeda namun

makna dari keduanya merujuk pada pengertian yang sama

yaitu hubungan seksual yang terjadi antar sesama jenis.

Kedua, Pengertian Biseksual. Biseks atau

biseksual adalah sebuah istilah yang digunakan kepada

orang yang memiliki bisexual orientation, yaitu

ketertarikan seks terhadap sesama jenis dan lain jenis

secara bersamaan. Biseksual juga mewakili identitas

seksual dalam kehidupan masyarakat selain heteroseksual

dan gay.41

Biseksual kerap dipandang sebagai salah satu

bentuk penyembunyian identitas homoseksual atau

sebagai masa transisi antara identitas heteroseksual dan

identitas gay atau lesbian.42

Yang ketiga, Transgender. Transgender adalah

istilah yang mengacu pada cara berprilaku atau

penampilannya tidak sesuai dengan peran gender pada

umumnya. Transgender dianggap sebagai orang yang

melanggar norma kultural mengenai bagaimana

seharusnya menjadi pria atau wanita, misal dalam perilaku

sehari-hari. Transgender ada pula yang mengenakan

pakaian lawan jenisnya, baik sesekali maupun rutin.

Perilaku transgender inilah yang mungkin membuat

40

Siahaan, Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi, h.

54. 41

Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 8. 42

Noviandy, “LGBT dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas

dan Relasi Kuasa”, Vol. 2, No. 2, November 2012, h. 57, artikel

diakses pada tanggal 6 Juni 2017 dari http://noviandy.com/lgbt-

dalam-konteks.pdf

 

50

beberapa orang mengganti jenis kelaminnya, seperti pria

mengganti kelaminnya menjadi wanita atau sebaliknya

yang disebut dengan transeksual.

Perbedaan pada keduanya adalah di mana seorang

transeksual yang ingin mengubah kebiasaan hidup dan

orientasi seksualya secara biologis berlawanan dengan

yang dimiliki sejak lahir. Berbeda dengan transgender

yang merupakan sebuah keinginan untuk tampil

berlawanan dengan jenis kelaminnya tanpa

mempermasalahkan jenis kelamin yang dimiliki dan tidak

mau mengubah alat kelamin lewat operasi.

Seorang transgender bisa saja memiliki identitas

sosial heteroseksual, biseksual, gay atau bahkan aseksual.

Jadi dapat dikatakan bahwa transgender yang berjenis

kelamin laki-laki yang memiliki orientasi heteroseksual

tetapi ingin selalu tampil berdandan sebagai wanita maka

dapat disebut sebagai seorang transgender.43

c. Ruang Lingkup Komunitas

1. Pengertian Komunitas

Banyaknya diskriminasi yang dilakukan kepada

kelompok LGBT menyebabkan mereka meninggalkan

lingkungan tempat tinggalnya dan kemudian berkumpul

dengan kelompok yang sama. Hal tersebut menjadi salah

satu alasan didirikannya komunitas yang merangkul para

LGBT baik individu atau kelompok. Komunitas yang

43

Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, h. 9.

 

51

dibangun difungsikan untuk membela hak-hak LGBT agar

dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat.

Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari

beberapa individu-individu di dalamnya yang memiliki

maksud, kepercayaan, kebutuhan, resiko, kegemaran, dan

sejumlah kondisi lainnya yang serupa.44

Komunitas

berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti

“kesamaan”, lalu dapat diturunkan dari kata communis

yang berarti “sama, publik, dibagi oleh semua atau orang

banyak”.45

Pengertian komunitas dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah kelompok organisme (orang dsb)

yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah

tertentu seperti masyarakat atau paguyuban.46

Komunitas yang dibentuk terdiri dari sekumpulan

orang-orang yang berkumpul karena memiliki kesamaan

visi dan misi. Komunitas dapat dibentuk secara

spontanitas dengan mengumpulkan lebih dari dua orang di

dalamnya, serta aktif menjalankan kegiatan yang telah

dicanangkan sebagai visi terbentuknya komunitas

tersebut.

“WHO (World Health Organization)

mendefinisikan komunitas adalah sebuah

44

“Komunitas”, artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2017

dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Komunitas 45

A. Yamhap, “Tinjauan Tentang Komunitas”, artikel

diakses pada tanggal 26 Juli 2017 dari

http://digilib.unila.ac.id/272/8/Bab%20II.pdf 46

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus

Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001). Edisi ke-3,

cet. Ke-4 (2007), h. 586.

 

52

kelompok sosial yang ditentukan oleh batas-batas

geografis dan/atau nilai dan kepentingan umum;

anggota komunitas yang dikenal berinteraksi satu

sama lain; fungsi komunitas dalam struktur sosial

tertentu, dan komunitas menciptakan norma-

norma, nilai-nilai, dan lembaga-lembaga sosial”.47

Komunitas merupakan sebuah identifikasi dan

interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi

kebutuhan fungsional. Suatu komunitas terbentuk

berdasarkan minat dan habitat yang sama. Menurut Crow

dan Allan, komunitas dapat terbagi menjadi dua

komponen. Pertama, berdasarkan lokasi dan tempat

dimana sekumpulan orang memiliki sesuatu yang sama

secara geografis. Lalu yang kedua, berdasarkan minat

yang sama hingga akhirnya membentuk suatu komunitas.

Sebuah komunitas dalam proses pembentukkannya

bersifat horizontal, karena dilakukan oleh individu-

individu yang memiliki kedudukan setara.

Komunitas terbentuk dari empat faktor yang

menurut Vanina Delobelle yaitu pertama, adanya

komunikasi dan keinginan berbagi untuk saling tolong

menolong. Kedua, tempat yang disepakati bersama untuk

bertemu satu sama lainnya. Ketiga, ritual dan kebiasaan

seperti anggota-anggota yang datang secara teratur dan

periode. Dan keempat, influencer-influencer meritis

sesuatu hal dan para anggota selanjutnya. Selain itu

47

I Ketut Swarjana, “Keperawatan Kesehatan Komunitas”,

artikel diakses pada kamis tanggal 10 Agustus 2017 dari

https://books.google.co.id

 

53

komunitas yang dibangun memiliki beberapa aturan

sendiri seperti saling berbagi, komunikasi, kejujuran,

transparansi, dan partisipasi.

Tumbuhnya advokasi dan kelompok-kelompok

komunitas LGBT menjadi tempat bagi para non-

heteroseksual, serta memberikan dukungan bagi orang-

orang yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan LGBT.

Berkembangnya komunitas yang mendukung non-

heteroseksual memberikan dukungan bagi kaum

homoseksual yang memunculkan keberanian diri untuk

mengungkapkan identitas mereka.

2. Fungsi Komunitas

Media Penyebaran Informasi

Pro dan kontra selalu ada disetiap permasalahan

yang muncul di dunia ini termasuk dengan adanya

keberadaan LGBT. Diskriminasi dan LGBT merupakan

dua sisi mata koin yang tak bisa dipisahkan dari

kehidupan ini. Penolakan atas keberadaan LGBT datang

secara individu atau komunitas dengan berbagai alasan.

Sehingga mereka menjadi pribadi yang tertutup, takut

untuk bersosialisasi dan menyembunyikan jati diri

mereka. Peran komunitas menjadi jembatan penghubung

bagi kelompok non-heteroseksual untuk mendapatkan

informasi. Di dalam komunitas setiap anggota akan saling

bertukar informasi yang terkait dengan tema komunitas

yang terbentuk.

Terbentuk Hubungan

 

54

Sebuah komunitas yang terbentuk memiliki visi

dan misi yang sama. Dalam satu komunitas akan

mempertemukan berbagai macam karakter. Dengan

terbentuknya komunitas tidak hanya sekedar menjadi

sarana informasi bagi para anggotanya, juga bermanfaat

sebagai media untuk menjalin relasi atau hubungan antar

sesama anggota komunitas yang memiliki hobi atau pun

berasal dari bidang yang sama. Sebagai contoh, mereka

yang non-heteroseksual akan dikucilkan di lingkungannya

terutama oleh keluarga mereka dan mencari tempat di

mana keberadaan mereka dapat diterima. Salah satunya

adalah bergabung dengan komunitas yang membawa

mereka berinteraksi dengan kelompok yang memiliki

kesamaan nasib ataupun pola pikir yang sama. Di dalam

komunitas, mereka akan membentuk hubungan atas dasar

visi dan misi yang sama.

Saling Membantu atau Mendukung

Berasal dari bidang yang sama, komunitas dapat

dijadikan sebagai media untuk kegiatan saling membantu

antar sesama anggota komunitas atau pun ke luar anggota

komunitas. Contohnya seperti sebuah komunitas yang

akan membantu para anggota (non-heteroseksual) yang

memiliki masalah terkait masalah hukum atas tidak

diskriminasi atau pelecehan. Dan biasanya tidak terbatas

hanya pada anggota komunitas melainkan individu non-

hetereseksual di luar komunitas.

 

55

BAB III

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Kesamaan Hak, Demokrasi dan Agama Dalam

Permasalahan LGBT

Kesamaan hak atau kesetaraan gender tidak

memiliki pembeda dalam peran sosial baik laki-laki

maupun perempuan. Keduanya masing-masing bisa

bertukar peran sosial dan memiliki kesempatan yang sama

untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Kumpulan surat

R.A. Kartini yang diterbitkan dengan judul “Habis Gelap

Terbitlah Terang” menjadi pijakan mereka yang

menginginkan kesamaan hak. Indikator keberhasilan

keadilan dan kesamaan gender dapat dilihat dari tidak

adanya diskriminasi terhadap laki-laki maupun

perempuan. Sampai saat ini tuntutan kesamaan hak masih

terus digaungkan, terutama pada masyarakat yang masih

menganut nilai-nilai budaya patriaki.1

Seperti yang dijelaskan oleh Rahmi Purnomowati

SP, M.Si selaku Ketua Pusat Studi Gender dan Anak UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Kesetaraan adalah kondisi di mana laki-

laki dan perempuan masing-masing memiliki

peluang dan kesempatan yang sama untuk

melakukan fungsi-fungsi sosial. Jadi kesamaan

1 Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan

kaum laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dan lebih

tinggi dari pada kaum perempuan.

 

56

peluang kesempatan dan kedudukan baik laki-laki

dan perempuan dimata hukum pemerintahan,

perekonomian, dan pendidikan. Di mana laki-laki

dan perempuan bisa saling mempertukarkan peran

sosialnya yang sama kedudukannya di depan

hukum untuk mendapatkan akses pendidikan,

partisipasi politik, keuangan, dan peran-peran

dalam sosial kemasyarakatan lainnya.”2

Begitu pula ditegaskan oleh ILO (International

Labour Organization) pada tahun 2000, mengenai

keadilan gender sebagai perlakuan adil terhadap laki-laki

dan perempuan berdasarkan kebutuhan masing-masing.

Mencakup perlakuan sama atau perlakuan berbeda tapi

dianggap setara dalam hal hak, kewajiban, keuntungan,

dan kesempatan tanpa adanya sikap diskriminatif. Hingga

adanya Draft RUU KKG sebagai perwujudan dalam

pemenuhan hak asasi perempuan. Tujuan dasar RUU

KKG yang diharapkan dapat meminimalisir berbagai

permasalahan mendasar yang banyak dialami oleh kaum

perempuan.

Namun disisi lain adanya kesetaraan gender

menimbulkan berbagai macam spekulasi dalam

masyarakat. Mereka mengganggap bahwa kesetaraan

gender menjadi peluang bagi kelompok LGBT semakin

2 Wawancara Pribadi dengan Rahmi Purnomowati, Ciputat.

25 Oktober 2017.

 

57

berkembang. Salah satunya melihat rancangan draft RUU

KKG yang dirasa membawa agenda mendukung legalisasi

kelompok LGBT. Yang mana dalam RUU KKG Pasal 11

huruf a yang berbunyi: “Perlindungan untuk memilih

suami atau isteri tanpa paksaan dan/atau tekanan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;” dan

huruf b nomer 1 “pemberian akses, kesempatan, dan

perlakuan yang sama untuk memperoleh; layanan

pencatatan atas perkawinan tanpa Diskriminasi Gender.”3

Menurut pakar hukum Dr. Neng Djubaedah, SH, MH

mengatakan dalam pasal mengenai pernikahan harus jelas

siapa yang menjadi suami dan istri. Karena bisa saja nanti

dikatakan bahwa laki-laki adalah suami dan laki-laki juga

yang menjadi istri. 4

PD Muhammadiyah juga

mengemukakan pendapatnya mengenai kesetaraan gender

yang dianggap telah disalah gunakan keberadaannya.

“Sekarang kalau kita perhatikan.

Kesetaraan gender hanya dijadikan sebagai salah

satu kepentingan sebuah golongan saja.”5

Memberi pengertian yang salah dalam

mengartikan kesetaraan gender yang dikaitkan dengan

3 RUU KKG, artikel diakses pada 2 Oktober 2017 dari

http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-

content/uploads/2014/04/DRAF-RUU-KKG-Panja-9-desember-2013-

ke-Baleg.pdf 4 Sabilillah, “LGBT, “Produk” Kesetaraan Gender”, artikel

diakses pada tanggal 26 September 2017 dari www.sabilillah.net/lgbt-

produk-kesetaraan-gender 5 Wawancara Pribadi dengan Abdul Hamid Qadarullah,

Jakarta. 27 Oktober 2017.

 

58

masalah seksualitas seseorang oleh kebanyakan orang

menjadi pemicu berkembangnya homoseksual. Padahal

arti gender sendiri merupakan fungsi sosial yang dapat

dipertukarkan oleh laki-laki maupun perempuan dan

bukan terkait jenis kelamin dalam arti biologis. Hal ini

dikatakan oleh Dr. Abdul Rahman Shaleh,S.Ag, M.Psi

selaku Wakil Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif

Hidayatulah. Beliau menerangkan bahwa tidaklah sama

pengertian antara gender dan seksual seseorang.

“Kita harus membedakan seks dan gender.

Seks adalah jenis kelamin dalam artian biologis.

Ketika kita bilang laki-laki dan perempuan maka

itu betul-betul berdasarkan jenis kelaminnya yang

sesungguhnya secara biologis. Tapi ketika kita

bilang gender maka itu sudah terkait dengan peran

yang dibentuk oleh budaya, laki-laki dan

perempuan. Kadang-kadang gender diartikan

sebagai seks secara biologis.”6

Kesetaraan gender merupakan keadaan dimana

laki-laki dan perempuan dapat bertukar fungsi sosial dan

bukan jenis kelamin. Karena hanya dua gender yang dapat

dipertukarkan yaitu laki-laki dan perempuan, serta tidak

adanya gender ketiga. Seperti yang dikatakan oleh Rahmi

Purnomowati sebagai berikut:

6 Wawancara Pribadi dengan Abdul Rahman Shaleh,

Ciputat. 18 Oktober 2017.

 

59

“Digender ini jangan kacau dengan jenis

kelamin. Jenis kelamin terkait dengan fungsi

reproduksi. Kalau gender terkait dengan fungsi

sosial. Jadi saya gariskan tidak ada yang namanya

gender ketiga.”7

Kemudian disisi lain maraknya kampanye terkait

kesetaran gender hingga LGBT sedikit banyak merupakan

efek yang ditimbulkan dari adanya demokrasi. Peluang

kebebasan untuk menyuarakan keinginan dan tuntutan

kepada para pemimpin negeri. Secara umum pengertian

demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang

setiap warga memiliki hak setara dalam pengambilan

suatu keputusan dan nantinya akan memberikan efek

dalam kehidupan mereka. Demokrasi juga bisa diartikan

sebagai bentuk kekuasaan tertinggi yang berada di tangan

rakyat. Dalam demokrasi warga negara diberikan izin

untuk berpartisipasi aktif baik secara langsung atau

melalui perwakilan dalam melakukan perumusan,

pengembangan serta pembuatan hukum. Sebuah negara

yang ingin mendapat label demokrasi diharuskan

memenuhi persyaratan dalam konstitusinya. Salah satunya

yaitu adanya jaminan hak asasi manusia sebagai dasar

untuk setiap individu, negara dan pemerintah serta

kelompok sosial.

7 Wawancara Pribadi dengan Rahmi Purnomowati.

 

60

Hak asasi manusia atau human right bersifat

universal dan menjadi hak dasar atau pokok manusia.

Pemenuhan hak ini seperti hak hidup dan hak untuk

mendapatkan perlindungan.8 Negara berkewajiban

memberikan dan melindungi hak asasi manusia kepada

warga negaranya tanpa diskriminasi. Dalam hal ini hak

seksual merupakan bagian integral dari hak asasi

manusia.9 Karena merupakan bagian dari hak asasi yang

melekat pada setiap manusia dan semua manusia berhak

atas pemenuhannya.

Demokrasi dapat dilihat dari dua aspek. Yang

pertama demokrasi sebagai prosedur atau aturan. Kedua,

demokrasi sebagai substansi untuk berprilaku

menegakkan kebenaran dan keadilan.10

Persoalan keadilan

selalu berangkat dari masyarakat bawah dan kelompok

minoritas. Adanya hak asasi manusia yang lahir dari

sebuah demokrasi menjadi harapan bagi kelompok

minoritas seperti orang-orang LGBT yang lekat dengan

tindak diskriminasi untuk menuntut hak asasi mereka

sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

8 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Hukum

, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Lajnah Pentasihan

Mushaf Al Qur’an, 2010) cet. Ke-1, h. 277. 9 Yulianti Muthmainnah, “Hak Asasi Manusia LGBT dalam

Kebijakan Dalam Negeri Indonesia”, Jurnal Perempuan Vol. 20, No.

4, November 2015, h. 143-144 10

Masdar Farid Mas’udi, “Demokrasi dan Islam”, dalam M.

Masyhur Amin dan Mohammad Najib, ed., Agama, Demokrasi dan

Transformasi Sosial (Yogyakarta: LKPSM NU DIY, 1993), cet. Ke-

1, h. 10

 

61

Isu hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi

agenda yang semakin penting artinya belakangan ini. Dan

Komnas HAM merupakan lembaga yang memberikan

legistimasi terhadap keberadaan kelompok LGBT agar

dapat dilindungi oleh negara. Selain itu sejumlah aktivis

HAM Internasional juga merumuskan apa yang dikenal

sebagai “The Yogyakarta Principles: a universal guide to

human right” di Yogyakarta pada tahun 2006.11

Mengutip

dari www.yogyakartaprinciples.org yang dilansir oleh

republika.co.id, piagam tersebut berisikan perjuangan

penghapusan seluruh bentuk diskriminasi berdasarkan

orientasi seksual dan identitas gender.

“All human rights are universal,

interdependent, indivisible and interrelated.

Sexual orientation and gender identity are integral

to every person’s dignity and humanity and must

not be the basis for discrimination or abuse.” 12

Demokrasi sebagai pandangan dan filsafat hidup

yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan lahir di

tengah gelombang sekularisasi. Dimana sekularisme

merupakan asas yang memisahkan agama dari kehidupan

dunia serta berpendirian bahwa moralitas tidak perlu

didasarkan pada ajaran agama. Sehingga

11

Sabilillah, “LGBT, “Produk” Kesetaraan Gender” 12

Rita Soebagio, “LGBT dan RUU KKG”, artikel diakses

pada tanggal 27 September 2017 dari

www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z89-lgbt-dan-

ruu-kkg

 

62

mengesampingkan agama untuk mengatur kehidupan dan

tatanan sosial di tengah masyarakat. Demokrasi

membebaskan masyarakat untuk memberikan aspirasi dan

berekspresi. Negara dibatasi perannya dalam mengatur

setiap urusan masyarakat terlebih dalam hal agama dan

hal tesebut diserahkan kepada individu masing-masing.

Demikian dalam bersikap setiap warga negara

bebas melakukan apa saja selama apa yang dilakukan

tidak mengganggu ketertiban umum. Meski hal tersebut

bertentangan dengan ajaran agama karena asas sistem

demokrasi yang memisahkan antara kehidupan dunia dan

agama. Hingga diskriminasi yang dilakukan terhadap

kelompok minoritas seksual bukanlah suatu permasalahan

agama dan budaya melainkan permasalahan politik. Di

Indonesia batasan-batasan demokrasi telah dirumuskan

dalam lima sila Pancasila. Terutama dalam sila kedua

yaitu demokrasi tidak boleh melanggar hak-hak asasi

manusia dan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sehingga fenomena LGBT tidak menjadi hal yang tabu di

dalam demokrasi. Demokrasi sebagai esensi untuk

berprilaku menegakkan kebenaran dan keadilan.

Namun, penilaian berbeda dari sebagaian

masyarakat mengenai keberadaan lembaga HAM. Mereka

berpendapat jika demokrasi yang berjalan dan adanya

lembaga hak asasi manusia dinilai sebagai sebuah fasilitas

negara yang hanya mendukung kebebasan kelompok-

 

63

kelompok tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Abdul

Hamid Qodarullah.

“HAM yang berjalan saat ini menurut saya

belum sesuai. Karena hak asasi manusia yang

seharusnya menjadi salah satu keadilan untuk

rakyat Indonesia. Tapi ini dijadikan salah satu

bahan untuk memenangkan sebuah golongan

saja.”13

Ujar anggota PD Muhammadiyah Jakarta

Barat.

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Biksu

Dharmavimala dari Ekayana Buddhist Center, dalam

wawancaranya mengatakan.

“HAM seharusnya melindungi diri sendiri

sekaligus melindungi orang lain, masyarakat, dan

dunia. Mereka yang selalu menuntut hak karena

terlalu terobsesi oleh hak asasi. Harus menyadari

bahwa selain hak, manusia memiliki kewajiban

terhadap lingkungannya.”14

Begitupula dengan penjelasan yang dikatakan oleh

Prof. Hasanuddin AF mengenai sistem demokrasi.

Menurutnya sebuah demokrasi menganggap jika suara

rakyat adalah suara Tuhan dan kebijakan yang diambil

rakyat adalah kebijakan Tuhan. Demokrasi seolah

13

Wawancara Pribadi dengan Abdul Hamid Qadarullah. 14

Wawancara Pribadi dengan Biksu Dharmavimala, Jakarta.

23 Oktober 2017.

 

64

memahami benar kebutuhan setiap manusia hingga paham

ini mengalahi keyakinan manusia kepada Sang Pencipta.

“Iya, suara Tuhan harus dipedomani dan ditaati,

jangan suara rakyat saja. Itulah dua Tuhan

sekarang yang bikin kacau, yaitu Hak Asasi

manusia dan Demokrasi. Hal itu yang bikin kacau,

yang sebebas-bebasnya iyakan. Suara rakyat suara

Tuhan, itukan tidak bisa. Suara rakyat belum tentu

suara Tuhan.”15

Kemudian dipertegas oleh Ketua Dewan Syuriah

PWNU DKI, KH Mahfudz Asirun dalam wawancara yang

dilakukan dikediaman beliau di Pondok Pesantren Al-

Itqon Jakarta Barat.

“HAM di dalam Islam itu ada selama tidak

bertentangan dengan syariat. Kalau bertentangan

dengan syariat, HAM itu ditinggalkan dan tidak

boleh diamalkan.”16

Bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk, terdiri

dari berbagai suku, ras, budaya, adat istiadat dan agama.

Secara politik, Indonesia menganut sistem demokrasi

yang tetap mengutamakan agama sebagai landasan

negara. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara

yang dikenal sebagai bangsa yang religius dengan

15

Wawancara Pribadi dengan Hasanuddin AF 16

Wawancara Pribadi dengan KH. Mahfudz Asirun, Jakarta.

27 Oktober 2017.

 

65

menempatkan nilai-nilai ketuhanan menjadi masalah

sentral dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

yang diformulasikan dalam kalimat “Ketuhanan Yang

Maha Esa”17

. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan

beragama kepada semua orang untuk memeluk

keyakinanatau agama masing-masing. Dengan konstitusi

ini juga menetapkan bahwa negara Indonesia harus

didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha

Esa.

Agama-agama yang secara formal diakui

pemerintah Indonesia adalah Islam, Kristen, Hindu,

Buddha dan Khonghucu. Keberadaan agama-agama

tersebut dijamin oleh UUD 1945 pasal 29 yang

menyebutkan dengan tegas menjamin kemerdekaan

penduduk untuk memeluk agama dan kepecayaannya itu,

sehingga atas dasar tersebut maka semua agama dapat

hidup dan berkembang di bawah lindungan negara. Dan

menjadi salah satu negara yang memiliki populasi muslim

terbesar tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang

berdasarkan pada hukum-hukum Islam. Meski tidak

sedikit banyak prinsip-prinsip Islam berpengaruh terhadap

kebijakan politik yang ada di Indonesia. Serta pengaruh

nilai-nilai keagaman dan adat istiadat yang ada di

Indonesia, menjadikannya sebuah negara demokrasi

17

J. Suyuti Pulungan, Universalisme Islam, (Jakarta: Moyo

Segoro Agung, 2002), cet. Ke-2, h. 143.

 

66

dengan aturan opersionalnya menurut kondisi kultur

bangsa.

Menurut Soedjatmoko (1984) dalam Agama di

Tengah Kemelut karya Komaruddin Hidayat, yang

mengakui bahwa agama merupakan penggerak dan

pemersatu masyarakat yang efektif. Sebab agama lebih

dari sekedar ideologi sekuler manapun terlebih agama

adalah sistem integrasi yang menyeluruh. Agama

mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk

mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran yang ingin

dicapai masyarakat. Oleh karena itu secara sosiologis

agama merupakan elemen perekat dalam realitas

masyarakat yang pluralistik. Dimana agama telah

mengalami obyektivitas yang menurut Peter L. Berger

bahwa agama menjadi suatu peraturan yang setiap

pemeluknya harus mentaatinya.18

Indonesia merupakan hasil kesepakatan bersama

antara umat beragama dan masyarakat seluruhnya. Para

tokoh agama mampu menggabungkan konsep

nasionalisme ke dalam sendi-sendi agama. Sehingga

menjadikan Indonesia sebuah negara demokrasi yang

lekat dengan nilai-nilai agama. Hal ini menjadi salah satu

tantangan berat bagi kelompok-kelompok LGBT dalam

mensosialisasikan seksualitas mereka. Pelarang dan

penentangan baik dari tokoh agama ataupun masyarakat

18

Komaruddin Hidayat, Agama di Tengah Kemelut (Jakarta:

Mediacita, 2001) cet. Ke-1, h. 58-59.

 

67

tidak jarang berujung dengan tindakan diskriminasi dan

kekerasan terhadap individu atau kelompok LGBT yang

dianggap menyimpang dari agama maupun norma-norma

sosial.

Seperti dalam kosmologi agama Khonghucu

terdapat istilah Yin Yang yaitu positif dan negatif, plus dan

minus begitupun adanya laki-laki dan perempuan. Artinya

adalah apa yang ada di bumi diciptakan secara

berpasangan dan saling melengkapi, dengan begitu

generasi manusia akan terus berjalan dan tercipta.

Dikatakan oleh Rio Dwi Aryanto selaku pemuka agama di

Khonghucu Bio, MAKIN (Majelis Khonghucu Indonesia)

Tangerang.

“Jika manusia berperilaku saling menyukai

sesama jenis maka tidak ada keturunan yang akan

mewarisi kehidupan. Karena dalam ajaran

Khonghucu ada perintah untuk berbakti, yaitu

untuk melanjutkan keturunan. Jika seseorang

menyimpang maka silsilah keluarga akan

terputus.”19

Agama dan negara memiliki hubungan yang erat

di Indonesia. Nilai-nilai agama ikut menentukan sikap

seseorang dalam mengantisipasi dan memecahkan setiap

persoalan yang dihadapinya.

19

Wawancara Pribadi dengan Rio Dwi Aryanto, Tangerang,

17 September 2017.

 

68

Dalam perjalanan sejarahnya, ajaran agama dan

tradisi lokal saling berbaur dan tidak dapat dipisahkan

meski secara teoritis bisa dibedakan. Ketika dalam suatu

masa dimana perkembangan agama sudah mengalami

penyimpangan dan pendangkalan ajaran dasar agama,

baik agama Islam ataupun Non-Islam yang masih

memegang teguh ajaran tradisi lama akan muncul

pemikiran dan gerakan yang ingin mengembalikan pada

ajarannya yang murni. Karenanya, dalam komunitas

agama akan selalu terdapat kelompok yang

mempertahankan tradisi keagamaan yang telah mapan dan

bercampur budaya, serta ada pula yang ingin

mengembalikan dalam fitrah aslinya. Tradisi dalam

agama telah menjadi bagian dari sebuah identitas bangsa.

Meskipun banyak kritik yang bermunculan terhadap

tradisi keagamaan yang dianggap kuno, namun dirasa

tidak akan mungkin hilang dari kehidupan masyarakat

bangsa Indonesia.

Akan tetapi, banyaknya pernyataan dan sikap

kontra yang ditujukan terhadap keberadaan LGBT hingga

detik ini tidak menurunkan populasi kelompok-kelompok

tersebut. Kenyataannya, kelompok-kelompok ini semakin

berkembang dan membentuk komunitas yang saling

mendukung untuk pencapaian hak-hak asasi LGBT.

Meski tidak sedikit dari masyarakat yang membenci,

menolak, dan bahkan mengucilkan orang-orang LGBT,

mereka tetap dapat membangun komunitas-komunitasnya

 

69

di Indonesia. Bahkan dapat dilihat pula bahwa komunitas

pendukung LGBT ini didukung oleh dana Internasional

yang memang bertujuan untuk melegalkan keberadaan

LGBT dan perkawinan sejenis.20

Begitu pula bagi para pendukung atau kelompok

heteroseksual yang cenderung toleran dengan adanya

kelompok-kelompok LGBT di sekitar mereka, dengan

memberikan ruang kepada LGBT dengan mengeluarkan

pernyataan yang menyokong eksistensi kelompok

tersebut. Dan hal lain menjadi faktor yang memotivasi

kelompok ini lebih berani dalam membuka jati diri dan

menyuarakan hak-hak mereka adalah dengan melihat

fakta yang terjadi di negara lain yang telah melegalkan

pernikahan dan hubungan LGBT.

B. Sejarah Berdirinya Arus Pelangi

Arus Pelangi merupakan suatu lembaga yang

menangani dan konsentrasi terhadap isu-isu LGBT.

Pendirian Arus Pelangi dikarenakan perlunya sebuah

komunitas dan payung hukum untuk teman-teman LGBT

yang seringkali menerima perlakuan seperti diskriminasi,

kekerasan, dan pelecehan seksual. Mereka membentuk

sebuah organisasi massa yang mempromosikan dan

membela hak-hak dasar komunitas LGBT di Indonesia.

20

Asyari Usman, Wartawan Senior Ungkap Pertumbuhan

Spektakuler Jumlah LGBT Di Indonesia, artikel diakses pada tanggal

13 Juli 2018 pada www.arrahmah.com/2017/12/23/wartawan-senior-

ungkap-pertumbuhan-spektakuler-jumlah-lgbt-di-indonesia/

 

70

Meskipun sebenarnya LGBT sudah ada di Indonesia sejak

zaman dahulu dan bahkan sudah ada pada masa

penjajahan dulu. Namun, perbincangan mengenai isu-isu

LGBT yang sedang ramai dibicarakan pada saat ini masih

sangat tabu bagi masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2005 menjadi awal sebuah ide untuk

membuat sebuah komunitas advokasi yang membela hak-

hak LGBT di Indonesia. Bertemunya beberapa orang yang

memiliki tujuan dan ide yang sama yaitu mengadvokasi

hak-hak orang-orang LGBT, seperti Yatna Pelangi, Fredi

Kusnanda Simanungkalit, SH, MH, Widodo Budiarto

(almarhum), Yuli Rustinawati, dan King Oey.21

Kemudian tepat pada tanggal 15 Januari 2006 legalisasi

Arus Pelangi dibentuk di Jakarta, dengan kasus pertama

yang mereka tangani mengenai pembunuhan seorang

waria di Purwokerto. Arus Pelangi beralamat di wilayah

Jakarta Selatan, tepatnya yaitu di Jalan Tebet Utara IIIA

No. 30 Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta

Selatan.

Lahirnya Arus Pelangi didorong akan kebutuhan

yang mendesak dikalangan komunitas LGBT baik

individu atau kelompok untuk membentuk sebuah

organisasi massa yang membela hak-hak dasar komunitas

LGBT di Indonesia. Banyaknya kasus diskriminasi dan

kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap

21

Diakses pada tanggal 1 November 2017 dari

www.aruspelangi.org

 

71

orang-orang LGBT sehingga perlunya sebuah lembaga

yang dapat merangkul mereka. Pada tahun 2013, Arus

Pelangi melakukan sebuah penelitian mengenai LGBT di

tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Yogyakarta dan

Makassar. Hasil menyebutkan tercatat 89,3 persen dari

seluruh jumlah LGBT yang ada di Indonesia mengalami

lima kekerasan, yakni kekerasan fisik, psikis, seksual,

budaya, dan ekonomi.22

Tidak semua LGBT hidup dengan layak dan

damai, diskriminasi dari keluarga maupun masyarakat

cenderung menjadi tekanan sosial yang harus dihadapi

orang-orang LGBT. Bagi sebagian mereka yang berasal

dari keluarga menengah ke bawah yang diasingkan oleh

keluarga dan lingkungannya sehingga tidak memiliki

tempat tinggal, putus sekolah, lalu menjadi pengangguran.

Tidak sedikit yang akhirnya terlibat dalam kegiatan

negatif seperti menggunakan narkoba dan bekerja di

tempat prostitusi.

Banyak persoalan sosial yang kerap menimpa

orang-orang LGBT, seperti ketika seorang LGBT yang

mendapatkan kekerasan hingga tidak jarang menyebabkan

kematian. Tidak adanya penanganan dan kepedulian oleh

masyarakat termasuk keluarga, serta tindakan yang

22

Kristian Erdianto, Diskriminasi Kelompok LGBT dan

Pemerintah yang “Tutup Mata”, diakses pada tanggal 1 November

2017 dari

www.nasional.kompas.com/read/2016/08/21/23055511/diskriminasi.

kelompok.lgbt.dan.pemerintah.yang.tutup.mata

 

72

lambat dan terkesan tidak adil dari pihak kepolisian.

Keadaan seperti ini menjadi salah satu alasan Yuli

Rustinawati dan teman-teman lainnya untuk mendirikan

sebuah komunitas yang dapat mengadvokasi hak-hak

dasar kawan-kawan LGBT sebagai bagian dari warga

negara Indonesia.

Pembentukkan Arus Pelangi yang merupakan

wadah bagi orang-orang LGBT telah tersebar di 12

provinsi dan pada saat ini fokus di 8 provinsi untuk

menyuarakan aspirasi serta mengekspresikan diri. Dari

banyaknya jumlah LGBT baik individu atau kelompok

dalam Arus Pelangi, terdapat sekitar 30% heteroseksual

yang tergabung di dalamnya.23

Arus Pelangi berdiri tidak

hanya bagi kalangan LGBT, akan tetapi tiga ranah yang

dicakup yaitu komunitas, sosialitas, dan negara yang

menjadi sasaran program kerja mereka. Pertama

komunitas, sebagai sebuah komunitas besar Arus Pelangi

memberikan pendidikan dalam meningkatkan kapasitas

dan pemahaman para pemangku kepentingan terkait

keragaman LGBT dan SOGIE, sehingga terwujudnya

pengarusutamaan SOGIE dan HAM dalam berbagai

lembaga dan sektor. Dan melakukan pengorganisasian

utnuk meningkatkan solidaritas dan kolektifitas organisasi

dan komunitas LGBT di Indonesia sebagai bagian dari

gerakan sosial yang memperjuangkan hak asasi manusia

di Indonesia.

23

Pengayaan oleh Yuli Rustinawati pada 15 Maret 2017

 

73

Kedua sosialitas atau masyarakat, Arus Pelangi

dalam kampanye publik yang dilakukan berusaha untuk

membangun kesadaran masyarakat atau publik bahwa

LGBT adalah bagian dari Warga Negara Indonesia (WNI)

yang memiliki hak yang sama dengan siapapun terlepas

dari orientasi seksual, identitas gender, ataupun ekspresi

gender mereka. Yang Ketiga negara, komunitas Arus

Pelangi merupakan lembaga advokasi yang mendorong

terwujudnya kebijakan-kebijakan yang inklusif dan ramah

terhadap orang-orang LGBT sebagai bagian dari Warga

Negara Indonesia. Arus Pelangi bekerja di ranah advokasi

lokal, nasional, regional, dan internasional dengan

mekanisme hukum dan HAM yang ada, serta berjejaring

dengan gerakan sosial Indonesia.

1. Visi dan Misi Arus Pelangi

Visi

Terwujudnya tatanan masyarakat yang

bersendikan pada nilai-nilai kesetaraan,

berprilaku dan menghargai hak-hak komunitas

LGBT sebagai Hak Asasi Manusia.

Misi

Menjadi organisasi yang berfungsi sebagai

asosiasi atau federasi yang menyatukan

pembela HAM LGBT, melalui misi-misi

berikut:

 

74

1. Membangun kesadaran, pemberdayaan dan

penguatan orang-orag LGBT yang rentan

dan tertindas.

2. Berperan aktif mendorong reformasi

kebijakan yang melindungi hak-hak orang-

orang LGBT.

3. Berperan aktif dalam membangun

kesadaran publik melalui proses

pemberdayaan untuk mendorong

penerimaan masyarakat terhadap orang-

orang LGBT.

2. Asas, Nilai dan Kode Etik Arus Pelangi

Asas yang dianut oleh Arus Pelangi

1. Pancasila.

2. Undang Undang Dasar 1945.

3. Prinsip-prinsip normatif Hak Asasi

Manusia, diantaranya Deklarasi Universal

Hak Asasi Mnausia (DUHAM), Perjanjian

Internasional (Kovenan) tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik atau International

Convenant on Economic, Social, and

Cultural Rights (ICESCR), Perjanjian

Internasional tentang penghapusan segala

bentuk diskriminasi terhadap perempuan

atau Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination Against Woman

 

75

(CEDAW), Deklarasi Montreal dan

Prinsip-prinsip Yogyakarta merupakan

pedoman penting dalam perjuangan hak-

hak LGBT.

3. Nilai yang dianut oleh Arus Pelangi

1. Kemandirian atau Independen. Arus

Pelangi adalah organisasi yang tidak terikat

kepada siapapun.

2. Anti diskriminasi. Arus Pelangi adalah

suatu organisasi yang menolak segala

bentuk diskriminasi terhadap LGBT, baik

yang didasarkan pada orientasi seksual,

identitas dan ekspresi gender, suku, agama,

dan keyakinan, warna kulit, disabilitas,

status sosial, maupun keyakinan politik.

3. Anti kekerasan. Arus Pelangi menolak

segala bentuk kekerasan terhadap LGBT,

yang dilakukan oleh negara, kelompok,

maupun yang dilakukan oleh individu atas

dasar orientasi seksual, identitas dan

ekspresi gender.

4. Pluralism atau Keberagaman. Arus

Pelangi menolak bentuk-bentuk

fundamentalisme dan radikalisme yang

selalu mendiskreditkan dan

 

76

mengkriminalisasi LGBT atas nama agama

dan budaya.

5. Kesetaraan atau Egaliter. Arus Pelangi

selalu membela kesetaraan LGBT, baik

secara hukum, politik, sosial, ekonomi, dan

budaya.

6. Non partisan atau Imparsial. Arus

Pelangi tidak memihak ataupun menjadi

bagian dari partai politik, birokrasi dan

kekuatan ekonomi tertentu. Namun selalu

berpihak kepada LGBT dalam

memperjuangkan pemenuhan dan

perlindungan hak-hak dasar LGBT.

7. Kesetaraan gender. Arus Pelangi

menghargai dan menjunjung tinggi

persamaan seks dan gender maupun

keberagaman orientasi seksual, identitas

dan ekspresi gender LGBT.

8. Keadilan dan Demokrasi.

4. Kode Etik yang dianut oleh Arus Pelangi

1. Dengan penuh kesadaran dan tanggung

jawab akan terus memelihara dan

menjunjung tinggi visi, misi, asas, nilai,

dank ode etik Arus Pelangi secara bersih,

cerdas, santun dan kreatif sebagai dasar

dan landasan kerja.

 

77

2. Menjalankan tugas-tugas dan fungsi kerja,

utamanya dalam melayani komunitas

LGBT Indonesia dan akan senantiasa adil

dan bekerja untuk kepentingan universal

serta menjauhkan diri dari tindak-tindak

diskriminatif atas perbedaan apapun.

3. Akan terus menjalankan dan memperkuat

harmoni dan toleransi baik dalam internal

Arus Pelangi maupun LGBT Indonesia

secara keseluruhan.

4. Akan bekerja keras membangun Arus

Pelangi demi kepentingan LGBT Indonesia

serta menjalankan semua program yang

berpihak terhadap kepentingan LGBT

Indonesia melalui berbagai kebijakan,

program aksi dan langkah yang nyata, serta

mendukung program Arus Pelangi yang

saat ini berjalan.

5. Berkomitmen untuk menjaga integritas,

akuntabilitas dan kredibilitas Arus Pelangi

dengan menerapkan praktik-praktik kerja

yang transparan dan sesuai dengan

prosedur yang berlaku di Arus Pelangi.

6. Sebagai bagian dari Arus Pelangi akan

senantiasa patuh dan taat pada seluruh

peraturan yang berlaku baik tertulis

maupun tidak tertulis untuk membangun

 

78

cerminan dan perilaku yang bertanggung

jawab.

7. Memegang teguh moral dan etika profesi

serta menjalankan tata kelola Arus Pelangi

yang baik serta responsif terhadap

kepentingan LGBT Indonesia.

8. Mencegah dan menghindarkan diri dari

tindakan-tindakan yang melawan hukum

termasuk tentang pelecehan seksual,

perlindungan anak, dan perdagangan

manusia serta hukum negara lain yang non-

diskriminatif.

9. Menjaga kerahasiaan seluruh data dan

informasi yang ada di Arus Pelangi dan

berkomitmen untuk tidak menggunakan

sebagian atau seluruh data, asset, serta

perangkat organisasi Arus Pelangi

termasuk logo, nama, dan lain-lain untuk

kepentingan pribadi tanpa seijin Badan

Pengurus Harian dan Dewan Pengawas

Arus Pelangi.24

24

Diakses pada tanggal 1 November 2017 dari www.aruspelangi.org

 

79

BAB IV

HASIL TEMUAN DAN ANALISIS

A. Analisis Komunikasi Antar Kelompok Komunitas

Arus Pelangi Dalam Penerimaan Jati Diri LGBT Di

Lingkungan Masyarakat Tebet Utara, Jakarta Selatan

Dalam kehidupan yang selalu berkembang dan

selalu berubah ini, manusia tidak akan bisa lepas dari

individu-individu, kelompok individu sampai antara

kelompok individu dengan kelompok individu lainnya.

Hubungan sosial atau interaksi sosial yang terbangun

menimbulkan gejala-gejala sosial dalam kehidupan

bermasyarakat. Hal ini yang menjadi fokus penelitian

penulis untuk membahas, menerangkan dan mengkaji

bagaimana komunikasi kelompok yang dilakukan oleh

Komunitas Arus Pelangi agar dapat diterima di tengah-

tengah masyarakat. Sebab Komunitas Arus Pelangi

merupakan sebuah wadah yang mendukung hak-hak asasi

lesbi, gay, biseksual, transgender dan lainnya yang

termasuk dalam pengelompokkan LGBT. Dan dapat

diketahui bahwa LGBT yang dianggap oleh sebagian

masyarakat merupakan sebuah penyimpangan orientasi

seksual dan hal-hal negatif lainnya, seringkali

mendapatkan diskriminasi baik secara verbal, non verbal

maupun fisik. Sehingga perlunya sebuah komunitas yang

merangkul dan dapat memberikan tempat bagi kaum

LGBT.

 

80

Dalam penelitian ini penulis mengungkapkan

bagaimana komunikasi kelompok yang terjadi dalam

komunitas. Kemudian dari komunikasi kelompok tersebut

dapat diidentifikasi bahwa bagaimana komunikasi

kelompok dalam komunitas Arus Pelangi, klasifikasi

komunikasi kelompok serta hubungan antar kelompok

Arus Pelangi di wilayah Tebet Utara, Jakarta Selatan.

1. Penerapan Proses Komunikasi Kelompok Komunitas

Arus Pelangi Dalam Proses Penerimaan Jati Diri

LGBT

Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang

penulis lakukan di Komunitas Arus Pelangi, bahwa

komunitas Arus Pelangi membentuk kelompok dengan

dasar atas kebutuhan dikalangan kaum LGBT yang

membutuhkan payung hukum agar mendapatkan hak-hak

asasi sebagai warga negara Indonesia tanpa membedakan

orientasi seksual seseorang, seperti yang tertera dalam

penjelasan di bab 3 skripsi ini. Arus Pelangi berupaya

mendorong terwujudnya kebijakan-kebijakan yang

inklusif dan ramah terhadap orang-orang LGBT sebagai

bagian Warga Negara Indonesia.

Setiap orang menggunakan komunikasi dalam

menyelesaikan berbagai masalah, dan komunikasi tidak

hanya menjadi sebuah alat utnuk menyelesaikan tugas-

tugas, tetapi juga menjadi sebuah media untuk

membangun hubungan. Dalam pengamatan yang

 

81

dilakukan oleh penulis, anggota komunitas Arus Pelangi

melakukan aktifitas berkomunikasi melalui dua tahap

proses komunikasi, yaitu komunikasi premier dan

komunikasi sekunder.

a) Komunikasi Premier

Komunikasi premier merupakan komunikasi yang

disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dengan

menggunakan lambang sebagai media. Lambang sebagai

media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa,

isyarat, gambar, warna dan lainnya yang secara langsung

dapat diterjemahkan oleh pikiran dan perasaan

komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi

secara premier yang dilakukan oleh anggota komunitas

dapat dipahami lewat ekspresi wajah dan gerak tubuh

pada saat berbicara. Dengan gerakan yang lemah lembut

dan terkesan feminim yang ditampilkan oleh anggota

komunitas sebagai pendukung dalam melakukan

komunikasi.

“….Biasanya aku pada saat bangun tidur

misalnya bangun tidurnya karena jatoh gitu. Tidur

terus jatuhnya karena guling-guling dikasur terus

jatuh gitu ya tiba-tiba „eee..eeh…‟ ngondek gitu

kan jadi keliatan kalau dia menjadi feminine gitu

 

82

kan. Terus abis itu ngulet juga dengan gaya

ngondek gitu.”1

Dalam penyampaian pesan, kebanyakan anggota

komunitas lebih banyak menggunakan bahasa slang banci

yang biasanya digunakan oleh gay ataupun transgender.

Sebab dalam intonasi bahasa banci ketika diucapkan akan

mengarah kepada intonasi khas perempuan. Sedangkan

kelompok lesbi atau biseksual cenderung lebih sering

menggunakan bahasa Indonesia pada umumnya.

Seperti contoh kata-kata “jengong lupis” atau

“bergengges ria” yang selalu disebutkan ketika membuat

tulisan di dalam Instagram komunitas Arus Pelangi

sebagai info mengenai obrolan mingguan yang hampir

rutin dilakukan oleh anggota komunitas. Bahasa-bahasa

slang seperti ini hanya akan dimengerti oleh kelompok-

kelompok tertentu untuk berkomunikasi. Namun, dalam

menggunakan suatu lambang ketika berkomunikasi harus

adanya kesepakatan bersama agar penyampaian pesan

mudah untuk dimengerti, seperti yang dijelaskan dalam

bab II skripsi ini, Wilbur Schramm menjelaskan apabila

seseorang mengadakan komunikasi maka haruslah

mewujudkan persamaan antara komunikan dengan

komunikator. Sehingga apa yang menjadi tujuan

dilakukannya komunikasi dapat tercapai. Dengan

menggunakan bahasa-bahasa slang banci, interaksi yang

1 Wawancara dengan pribadi dengan Andi

 

83

terjalin ketika berkomunikasi terasa dan terkesan akrab

antar satu anggota dengan anggota komunitas lainnya.

Selain itu banyaknya benda-benda seperti bendera,

pin atau poster di ruangan sekertariat Arus Pelangi yang

hampir disetiap benda tersebut memiliki warna pelangi.

Warna pelangi menjadi lambang kaum Lesbi, Gay,

Biseksual dan Transgender yang mencerminkan

keragaman dalam komunitas-komunitas LGBT. Biasanya

bendera atau aksesoris pelangi yang menjadi lambang

kaum LGBT digunkan ketika mereka melalukan

kampanye atau parade yang menyuarakan legalitas dan

hak-hak asasi LGBT. Pemilihan warna pelangi yang

mencerminkan keragaman orientasi seksual mereka

menjadikan lambang warna ini sebagai identitas kaum

homoseksual di seluruh dunia.

Namun, komunikasi premier secara tatap muka

(face to face) tidak sering dilakukan oleh anggota

komunitas di dalam sekertariat Arus Pelangi sendiri.

Tidak ada kegiatan yang sering dilakukan oleh anggota

komunitas di sekertariat tersebut. Dalam hal ini penulis

meminta keterangan terkait keberadaan anggota pengurus

komunitas Arus Pelangi kepada masyarakat yang berada

di wilayah Tebet Utara, tepatnya di Jalan Tebet Utara

IIIA. Bapak Bagus selaku Ketua RT 5, di mana lokasi

sekertariat Arus Pelangi berada mengatakan.

 

84

“Kegiatan tidak ada di sini, jadi cuma

jarang-jarang aja. Kecuali ada pertemuan apa gitu,

itu juga jarang. kumpul nih, ga ganggung sih cuma

dia pulang lagi pulang lagi gitu aja.”2

Komunikasi yang dilakukan di dalam sekertariat

Arus Pelangi sendiri bisa terbilang tidaklah sering.

Bahkan dalam hitungan satu bulan para anggota

komunitas hanya datang sekali atau dua kali saja. Masih

menurut keterangan Bapak Bagus yang mengatakan.

“Kadang-kadang sebulan (datang ke

sekertariat). Itu juga kadang dateng jam segini nih

(siang) entar sore masing-masing pada pergi lagi”3

b) Komunikasi Sekunder

Pada proses komunikasi secara sekunder,

merupakan komunikasi yang paling lebih sering

digunakan oleh anggota atau pengurus komunitas Arus

Pelangi, karena komunikasi menggunakan media sosial

akan terasa lebih cepat penyampaiannya bila

dibandingkan dengan komunikasi tatap muka (secara

langsung). Dalam proses komunikasi sekunder ini anggota

komunitas banyak memanfaatkan jejaring media sosial

untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan

kelompok mereka kepada khalayak masyarakat luas.

2 Wawancara pribadi dengan Bapak Bagus

3 Wawancara dengan Bapak Bagus

 

85

Komunikasi dengan menggunkan media seperti

handphone menjadi salah satu alat penyampaian pesan

dalam aktivitas komunitas berinteraksi. Melalui aplikasi

WhatsApp, BBM atau Line memudahkan setiap anggota

untuk saling berkomunikasi. Penggunaan media sosial ini

dimanfaatkan oleh anggota komunitas bukan hanya

sekedar berinteraksi dengan anggota lainnya saja, akan

tetapi penggunaan media sosial ini bertujuan untuk

penyebaran infrormasi terkait LGBT.

Penggunaan media sosial juga menjadi

penghubung anggota komunitas untuk saling berinteraksi.

Ketika saat menggunakan media sosial salah satunya

seperti Instagram, biasanya dalam waktu seminggu sekali

anggota komunitas Arus Pelangi bertemu anggota lainnya

dan mengadakan Insta Story melalui aplikasi Instagram

dengan beragam pembahasan seputar LGBT. Pembahasan

yang disampaikan tidak jarang mengenai penjelasan

organisasi, advokasi, kampanye, pendidikan seputar

LGBT hingga membahas masalah sosial yang

berhubungan dengan hak-hak asasi kelompok minoritas

seperti yang menjadi pilar utama Arus Pelangi. Seperti

salah satu contoh pembahasan yang menjadi bahan

obrolan dengan tema “Lesbian Zaman Now” yang

membahas seputar deskripsi lesbi dan bagaimana

kehidupan seorang lesbi. Kegiatan yang dilakukan ini

bertujuan sebagai cara untuk mengenalkan dan

 

86

mempromosikan mengenai LGBT, serta menjadi sebuah

dukungan dalam membela hak-hak dasar komunitas

LGBT sebagai Hak Asasi Manusia.

Kelebihan komunikasi secara sekunder

memudahkan anggota komunitas dalam menyampikan

pesan atau informasi. Tetapi ketika apa yang disampaikan

oleh anggota komunitas tidak disampaikan jelas maka hal

tersebut akan berpengaruh terhadap persepsi anggota

lainnya yang akan mempengaruhi proses komunikasi.

Namun, komunikasi yang dijalankan tidak selamanya

berjalan dengan mudah seperti yang diharapkan. Seperti

kesalahpahaman dalam memahami pesan atau informasi

yang disampaikan oleh setiap anggota. Biasanya terjadi

kesalahn seperti salah pengucapan atau salah penulisan

sehingga menimbulkan salah persepsi atau pengertian

dalam memahami isi pesan atau informasi.

Dalam penyampaian pesan, anggota komunitas

lebih banyak menggunakan bahasa yang non formal atau

bahasa slang yang biasa digunakan oleh banci. Sehingga

ketika melakukan interaksi saat menyampaikan informasi

atau pesan apapun terhadap sesama anggota komunitas

lebih terkesan dekat. Seperti kata-kata “jengong lupis”

yang artinya jangan lupa atau “bergengges ria” artinya

bergegas yang selalu disebutkan ketika membuat tulisan

di dalam Instagram untuk info mengenai obrolan

 

87

mingguan yang hampir rutin dilakukan oleh anggota

komunitas.

2. Bentuk Komunikasi Kelompok Pada Komunitas Arus

Pelangi

Komunikasi kelompok merupakan sebuah

hubungan antar anggota maupun pengurus dalam

menentukan aktifitas kelompok. dalam kelompok masing-

masing anggota memiliki kesadaran bersama akan

keanggotaan dan saling berinteraksi. Pada komunitas Arus

pelangi, penulis melihat dari bentuk komunikasi yang

terjalin termasuk ke dalam bentuk komunikasi deskriptif.

Di mana kelompok deskriptif ini dalam proses

pembentukannya terjadi secara alamiah, yang berdasarkan

tujuan, ukuran, dan pola komunikasi. Seperti yang

dijelaskan oleh Ketua BPH Arus Pelangi, yaitu Yuli

Rustinawati.

“Awal pembentukkan Arus Pelangi ini

karena melihat banyak sekali teman-teman LGBT

yang mendapat diskriminasi serta tidak adanya

bantuan hukum ya. Pertama kali dapat kasus,

karena saya bekerja di lembaga hukum. Ada

seorang LGBT yang mendapat diskriminasi

namun sulit mendapatkan akses advokasi.

Akhirnya saya membantu, lalu berjalannya waktu

akhirnya saya dipertemukan dengan orang-orang

yang memiliki tujuan yang sama dengan saya,

 

88

akhirnya terbentuklah Arus Pelangi sebagai

payung hukum bagi kaum LGBT.”4

Arus Pelangi terbentuk atas dasar tujuan yang

sama oleh para pendiri komunitas ini. Kemudian dalam

prosesnya komunikasi kelompok deskriptif

diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu kelompok

tugas, kelompok pertemuan dan kelompok penyadar.

Akan tetapi dalam penelitian ini penulis menggunakan

kelompok penyadar untuk menggabarkan komunikasi

dalam kelompok komunitas Arus Pelangi.

Dalam komunikasi kelompok penyadar yang

dijelaskan dalam bab II skipsi ini, maka terdapat empat

tahap yang diperlukan dalam mengidentifikasi bentuk

komunikasi kelompok;

a) Tahap Satu: Kesadaran Diri Akan Identitas Baru

Dalam tahap ini, menurut Jalaluddin Rakhmat

dalam bukunya Psikologi Komunikasi yag dikutip dalam

bab II skripsi ini, untuk menimbulkan kesadaran diri

orang-orang yang berkumpul di dalam kelompok harus

terdiri atas orang-orang yang mempunyai karakteristik

yang menjadi dasar pembentukkan kelompok. Pada

kelompok komunitas Arus Pelangi anggota yang terdiri

dari kaum yang memiliki orientasi seksual yang berbeda

seperti lesbi, gay, biseksual dan transgender.

4 Wawancara dalam pengayaan organisasi Arus Pelangi

dengan Yuli Rustinawati

 

89

Proses komunikasi yang terjalin dapat dimulai

dengan menceritakan cerita pribadi masing-masing

anggota. Dalam proses ini salah seorang dari seorang

peserta rumah belajar pelangi yang digagas oleh

komunitas Arus Pelangi mengatakan.

“Rumah belajar Pelangi adalah wadah diskusi

yang sangat open di mana peserta bisa dengan bebas

menyampaikan ide dan bertukar pikiran tanpa restriksi

sensitifitas heteronormatif. Dengan kata lain, peserta bisa

dengan sangat terbuka mengemukakan pendapat pada

sebuah diskusi tanpa harus ada rasa takut akan judgment

dari pihak lain.”5

Seperti yang dikatakan oleh Ryan sebagai salah

satu pengurus dari Arus Pelangi yang mengatakan

ketertarikan seksual bukan sesuatu yang menular dan

menjelaskan diri seorang homoseksual.

“Orang tuanya heteroseksual lalu apakah

heteroseksualnya menular pada LGBTnya….orang tuanya

laki-laki dan perempuan, kok aku tetap suka laki-laki.”6

Pengayaan materi mengenai SOGIE yang

dijelaskan oleh Ryan memaparkan beberapa anggapan

yang sering dikaitkan dengan LGBT seperti, merupakan

hal yang menyimpang, menular, berdosa, sakit jiwa dan

5 Dikutip dari www.aruspelangi.org

6 Wawancara dalam pengayaan materi SOGIE dengan Ryan

 

90

lainnya. Dalam proses ini Ryan menjelaskan anggapan-

anggapan tersebut yang menggiring pemikiran penulis

sehingga merasa memiliki pemikiran yang sama.

Dari komunikasi yang berlangsung, Ryan sedikit

menceritakan pahitnya kehidupan orang-orang LGBT.

Banyaknya diskriminasi dan pengasingan yang diterima

oleh kawan-kawan LGBT lainnya. Merasa memiliki

kondisi yang sama akhirnya timbul perasaan untuk

bergabung dan menjadi aktivis yang membela hak-hak

kaum minoritas LGBT.

b) Tahapan Dua: Identitas Kelompok Melalui

Polarisasi

Ditahap kedua ini kelompok secara intensif

membicarakan tabiat “musuh”. Dalam hal ini yang

menjadi “musuh” yaitu orang-orang yang

mendiksriminasi dan melecehkan kelompok-kelompok

LGBT. Mereka secara perlahan memisahkan diri dan

membagi dunia pada kelompok “homoseksual” dan

kelompok “heteroseksual”.

Dalam pengamatan yang dilakukan oleh penulis,

tidak mudah untuk membangun komunikasi dengan

kelompok LGBT, karena orientasi seksual yang dimiliki

berbeda dengan masyarakat pada umumnya membuat

tembok besar yang memisahkan mereka dengan

masyarakat lainnya.

 

91

Penindasan seperti pelecehan, diskriminasi dan

kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal. Seperti yang

dapat dilihat dalam bab I skripsi ini. Dalam akun media

sosialnya Mahfud MD mengatakan bahwa kelompok

LGBT merupakan komunitas yang harus diwaspadai

keberadaannya dan menyatakan LGBT sebagai suatu

penyakit yang harus dibantu penyembuhannya.

Pernyataan ini mendukung tindakan Menteri Riset

Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir

untuk melarang aktivitas LGBT.

Adapula pernyataan yang menyudutkan

kelompok-kelompok LGBT ke dalam permasalahan

agama seperti Bachtiar Nasir yang merupakan Sekertaris

Jendral Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia

(MIUMI) mengatakan.

“Belajar dari sejarah, agama menyebut

kaum Sodom dilaknat Tuhan hingga hancur. Kita

harus yakin pasti ada bencana besar bila LGBT ini

dibiarkan.”

c) Tahap Tiga: Menegakkan Nilai-Nilai Baru Bagi

Kelompok

Pada tahap ini, anggota mempertentangkan nilai-

nilai kelompok mereka dengan nilai kelompok penindas.

Dalam tahap ini dapat dilihat adanya perbedaan pendapat

antara kelompok komunitas LGBT dengan kelompok

 

92

masyarakat heteroseksual. Seperti yang dikatakan oleh

penulis ketika dalam wawancara yang dilakukan di

sekertariat Arus Pelangi.

“Iya kembali ke pemikiran tadi ka. Bahwa

LGBT seperti gay ataupun lesbi itu merupakan

sesuatu hal yang menyimpang dan salah gitu.

Misal yang kita ketahui bahwa cowok dan cewek,

udh gitu aja. Kalo sama itu kan berarti

menyimpang. Dan mungkin dari sisi religi. Kalau

dalam agam Islam pun ada tuh cerita tentang Nabi

Luth ya.”

Kemudian yang dijelaskan oleh Andi yang

merupakan salah satu pengurus di Arus Pelangi.

“Bahwa Tuhan pasti tidak menciptakan

ciptaan yang salah, sempurna seperti manusia. Jadi

Tuhan tidak pernah salah menciptakan sesuatu.

Tuhan itu mengirimkan agamanya ke bumi ini

pasti untuk tujuan kebaikan untuk semuanya.

Yang artinya itu berlaku untuk general termasuk

LGBT ya kan. Kalau misalnya ini berlaku kecuali

LGBT berarti Tuhan diskriminatif, padahal Tuhan

ga diskriminatif kan. Nah ketika ini ada di

masyarakat kenapa kemudian akhirnya muncul

yang seakan-akan agama itu bertentangan dengan

LGBT yang adalah makhluk Tuhan juga. Ini

 

93

lahirnya dari Tuhannya atau

manusianya….sebutan dosa itu yang menyebut

Tuhan apa manusia. Jadi sebutan dosa itu sendiri

sebenarnya lahir dari manusia.”7

Komunitas Arus Pelangi menjelaskan pelik

permasalahan yang selama inimenjadi hal-hal yang tabu

dalam penerimaan jati diri LGBT di kalangan masyarakat.

Serta menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan orientasi seksual, gender, identitas seksual, dan

ekspresi seksual seseorang.

d) Tahap Empat: Menghubungkan diri dengan

kelompok revolusioner lainnya

Dalam tahap kelompok penyadar ini menjelaskan

bagaimana hubungan mereka dengan kelompok tertindas

lainnya. Di tahap ini komunitas Arus Pelangi bekerja

sama dengan beberapa pihak yang memiliki tujuan yang

sama. Arus pelangi sendiri bekerja sama dengan lembaga-

lembaga LGBT lainnya seperti SWARA, GAYa

Nusantara, dan lembaga LGBT lainnya. Arus Pelangi

sendiri sudah terkenal dikalangan aktivis maupun

komuitas-komunitas LGBT lainnya.

Dengan berkerjasama pada pihak pendukung

LGBT lainnya akan memudahkan anggota komunitas

dalam mengkampanyekan dan menyuarakan hak-hak

7 Wawancara dengan Andi

 

94

asasi LGBT. Kemudian diharapkannya pelegalan atas

LGBT dan pemberian hak-hak dasar yang seharusnya

diterima oleh kawan-kawan LGBT sebagai bagian dari

warga negara Indonesia.

3. Penilaian masyarakat terhadap keberadaan

komunitas Arus Pelangi di lingkungan Tebet Utara

LGBT menjadi cerita tersendiri dalam kehidupan

masyarakat. Keberadaannya yang selalu diidentifikasikan

dengan stigma-stigma yang melekatkan LGBT sebagai

penyakit, penyimpangan bahkan gangguan kejiwaan.

Hasil survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research

and Consulting atau yang disingkat menjadi SMRC,

menunjukkan sebagian masyarakat Indonesia menilai

LGBT sebagai sebuah ancaman.8 Hal ini juga dirasakan

oleh warga di lingkungan Tebet Utara, karena bukan

hanya ditakutkan akan memberikan dampak negatif

berupa pencemaran nama baik lingkungan mereka. Akan

tetapi juga ditakutkan akan memberikan pengaruh

terhadap perilaku remaja atau anak-anak sekitar Jalan

Tebet Utara III. Penampilan dan pembawaan yang

ditunjukkan oleh kelompok LGBT, seperti laki-laki yang

berpakaian dan berdandan layaknya perempuan maupun

sebaliknya menjadi sorotan warga sekitar. Mereka

8 “Survey SMRC: 41,4 Persen Warga Indonesia Anggap

LGBT Sangat Mengancam”, artikel diakses pada 26 Juni 2018 pada

www.google.co.id/amp/s/m.kumparan.com/@kumparannews/survei-

smrc-41-4-persen-warga-indonesia-anggap-lgbt-sangat-

mengancam.amp

 

95

mengkhawairkan jika anak-anak remaja di lingkungan

tersebut akan terpengaruh.

Hampir sebagian besar masyarakat yang tinggal di

Jalan Tebet Utara III, memandang jika kelompok tersebut

menyalahi aturan agama, norma sosial serta mengganggu

dalam arti pikiran warga sekitar.

“…Karena itu tidak sesuai dengan norma

dan juga mengganggu apa ya, bukan keamanan

tapi pikiran kita gitu ya.”9

Bagaimanapun keputusan yang dipilih oleh

individu atau kelompok yang memustuskan untuk hidup

sebagai seorang LGBT akan mengundung konsekuensi

sosial, seperti menjadi bahan olokan dan cibiran dari

masyarakat. Warga sekitar tidak memiliki gambaran diri

yang positif kepada komunitas Arus Pelangi, mereka

menganggap bahwa kelompok tersebut berbeda dari

kelompok masyarakat heteroseksual lainnya, dan menjaga

jarak sosial ketika harus berinteraksi dengan kelompok

komunitas tersebut. Karena masyarakat di mana

sekertariat dari komunitas Arus Pelangi berada masih

menganggap bahwa orang-orang seperti mereka adalah

pembawa pengaruh buruk yang harus dihindari.

Adanya perbedaan identitas antara kelompok

komunitas Arus Pelangi dengan kelompok masyarakat

9 Wawancara Pribadi dengan Ketua RW 02.

 

96

yang tinggal di Jalan Tebet Utara III. Peneliti melihat jika

perbedaan identitas yang terjadi dalam komunikasi

antarkelompok ini menjadi suatu pengaruh besar dalam

interaksi yang melibatkan perasaan dan perlakuan

terhadap orang lain. Seperti masalah yang pernah

dijelaskan oleh Pak Bagus mengenai pencantuman alamat

Jalan Tebet Utara IIIA No.30 di website komunitas Arus

Pelangi yang banyak mendapatkan protes dari warga

setempat. Kemudian permasalahan ini diselesaikan

dengan peringatan bahwa pihak Arus Pelangi harus

mengganti alamat lokasi keberadaan sekertariat mereka,

agar nama wilayah Tebet Utara tidak tercoreng.

“…Dulu juga pernah ada yang ngadu ke

saya. Dia pakai website alamat sini kan Tebet

Utara IIIA. Saya tegur langsung, coba yang di

google itu dihapus tuh alamat di situ. Nah jadi

langsung tuh dihapus sama dia tidak memakai

alamat sini. Terang-terangan tuh di google LGBT

Tebet Utara IIIA No.30, kan jadi mengganggu

kita.” 10

Meski banyak penolakan serta pengaduan dengan

adanya komunitas Arus Pelangi di lingkungan tersebut,

akan tetapi hingga saat ini peneliti melihat tidak ada

tindak lanjut yang dapat dilihat secara signifikan. Seperti

10

Wawancara Pribadi dengan Bapak Bagus.

 

97

yang dikatakan oleh Bapak Nyoto Ketua RW 002 Tebet

Utara.

”…..Jadi kita udah mau dia pergi dari sini.

Ternyata Kelurahan dan Kecamatan tahu dan diam

saja.”11

Dalam lingkungan masyarakat di Tebet Utara III

sendiri banyak tindakan yang telah dilakukan sebagai

upaya pencegahan tindakan atau perilaku yang melanggar

aturan agama dan sosial. Walaupun banyak dari

masyarakat yang tidak setuju dengan keberadaan LGBT

di lingkungan mereka yaitu di Jalan Tebet Utara III, akan

tetapi sampai saat ketika penulis melakukan pengamatan

terlihat tidak ada tindakan diskriminasi atau kekerasan

yang dilakukan oleh warga sekitar. Dan juga keberadaan

kelompok LGBT tersebut telah disetujui oleh pihak

Kelurahan maupun Kecamatan.

“Iya sebenernya mah ya ga setuju lah ya.

Tapi mereka kan izinnya langsung sama yang

lebih tinggi tingkatnya, kelurahan misalnya. Atau

lembaga yang lebih tinggi lagi. Jadi kita ga bisa

berbuat apa-apa, gitu.”12

11

Wawancara Pribadi dengan Ketua RW 02. 12

Wawancara Pribadi dengan Bapak Bagus

 

98

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pengamatan mengenai

komunikasi antar kelompok Komunitas Arus Pelangi

dalam penerimaan jati diri mereka sebagai LGBT di

lingkungan Tebet Utara III, dapat disimpulkan dari hasil

penelitian yang dilakukan yaitu komunikasi yang

dilakukan oleh komunitas Arus Pelangi menggunakan dua

proses komunikasi yaitu komunikasi secara premier dan

sekunder. Kemudian ditahap identifikasi komunikasi

kelompok, Arus Pelangi memiliki bentuk komunikasi

kelompok deskriptif dan masuk ke dalam kategori

kelompok penyadar.

Proses komunikasi secara premier yang dilakukan

oleh anggota komunitas dapat dipahami lewat ekspresi

wajah dan gerak tubuh pada saat berbicara. Dengan

gerakan yang lemah lembut dan terkesan feminim yang

ditampilkan oleh anggota komunitas sebagai pendukung

dalam melakukan komunikasi. Sedangkan dalam proses

komunikasi sekunder ini anggota komunitas banyak

memanfaatkan jejaring media sosial untuk

mengkampanyekan atau mensosialisasikan kelompok

mereka kepada khalayak masyarakat luas. Penggunaan

media sosial juga menjadi penghubung anggota komunitas

untuk saling berinteraksi. Ketika saat menggunakan media

sosial salah satunya seperti Instagram, biasanya dalam

 

99

waktu seminggu sekali anggota komunitas Arus Pelangi

bertemu anggota lainnya dan mengadakan Insta Story

melalui aplikasi Instagram dengan beragam pembahasan

seputar LGBT.

Bentuk komunikasi kelompok komunitas Arus

Pelangi:

a. Tahap satu: Dalam tahap ini, untuk

menimbulkan kesadaran diri orang-orang yang

berkumpul di dalam kelompok harus terdiri

atas orang-orang yang mempunyai

karakteristik yang menjadi dasar

pembentukkan kelompok. Pada kelompok

komunitas Arus Pelangi anggota yang terdiri

dari kaum yang memiliki orientasi seksual

yang berbeda seperti lesbi, gay, biseksual dan

transgender.

b. Tahap dua: Ditahap kedua ini kelompok secara

intensif membicarakan tabiat “musuh”. Dalam

hal ini yang menjadi “musuh” yaitu orang-

orang yang mendiksriminasi dan melecehkan

kelompok-kelompok LGBT. Mereka secara

perlahan memisahkan diri dan membagi dunia

pada kelompok “homoseksual” dan kelompok

“heteroseksual”. Dalam pengamatan yang

dilakukan oleh penulis, tidak mudah untuk

membangun komunikasi dengan kelompok

LGBT, karena orientasi seksual yang dimiliki

 

100

berbeda dengan masyarakat pada umumnya

membuat tembok besar yang memisahkan

mereka dengan masyarakat lainnya.

c. Tahap tiga: Pada tahap ini, anggota

mempertentangkan nilai-nilai kelompok

mereka dengan nilai kelompok penindas.

Dalam tahap ini dapat dilihat adanya

perbedaan pendapat antara kelompok

komunitas LGBT dengan kelompok

masyarakat heteroseksual.

d. Tahap empat: Di tahap ini komunitas Arus

Pelangi bekerja sama dengan beberapa pihak

yang memiliki tujuan yang sama. Arus pelangi

sendiri bekerja sama dengan lembaga-lembaga

LGBT lainnya seperti SWARA, GAYa

Nusantara, dan lembaga LGBT lainnya. Arus

Pelangi sendiri sudah terkenal dikalangan

aktivis maupun komuitas-komunitas LGBT

lainnya

B. Saran-saran

Komunikasi merupakan unsur penting dalam

bersosialisasi dan menjadi faktor penting untuk

pencapaian tujuan yang diinginkan. Berdasarkn penelitian

yang penulis lakukan, melihat dari visi dan misi dari

komunitas Arus Pelangi yaitu terwujudnya tatanan

masyarakat yang bersendikan nilai-nilai kesetaraan,

berperilaku dan menghargai hak-hak komunitas LGBT

 

101

sebagai Hak Asasi Manusia. Serta membangun kesadaran

publik untuk mendorong penerimaan jati diri LGBT di

masyarakat. Maka tentunya saran ini bertujuan untuk

eksistensi komunitas Arus Pelangi menjadi jauh lebih baik

dan agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.

Menjalin interaksi dari ruang lingkup kecil yaitu

melakukan komunikasi dengan antar anggota kelompok

komunitas dan warga sekitar. Komunikasi antar anggota

komunitas dirasa tidak terlalu sering dalam ruang tatap

muka, sehingga perlunya pertemuan yang cukup intens

secara tatap muka agar apa yang menjadi tujuan

komunikasi dapat mudah dijalankan. Kemudian cara yang

dilakukan untuk membangun interaksi dengan warga

sekitar adalah dengan bertegur sapa dan berbaur dengan

warga di lingkungan Tebet Utara III, yang mana wilayah

tersebut merupakan tempat sekertariat dari Arus Pelangi

berada. Hal ini bertujuan agar kelompok komunitas

tersebut tidak meninggalkan kesan negatif dan dapat

sedikit demi sedikit menghilangkan stigma-stigma yang

selama ini dilekatkan pada LGBT. Kemudian harus dapat

berkontribusi dalam kegiatan yang diadakan oleh pihak

RW maupun RT setempat.

Seharusnya komunikasi yang dilakukan tidak

hanya melalui ruang publik terbuka saja, namun perlunya

pendekatan-pendekatan dari lingkup terkecil seperti

masyarakat disekitarnya. Sehingga keberadaan kelompok

LGBT tidak hanya diterima oleh kalangan-kalangan

 

102

tertentu, akan tetapi dapat diterima dilingkungan sekitar

mereka dan masyarakat luas.

 

103

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. Metode Penelitian Kualitatif. Depok: RajaGrafindo, 2015

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana, 2010

………………., Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2014

Berger, Charles R. dkk. Handbook Ilmu Komunikasi, terjemahan

oleh Derta Sri Widowatie “The Handbook of

Communication Science” (USA: Wadswoth, 2011).

Bandung: Nusa Media, 2014

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Hukum ,

Keadilan, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Lajnah

Pentasihan Mushaf Al Qur’an, 2010

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:

RajaGrafindo, 2007

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi. Bandung:

Rosdakarya, 2007

Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009

Goldberg , Alvin A. dan Larson, Carl E. Komunikasi Kelompok:

Proses-proses Diskusi dan Penerapannya, terjemahan

oleh Koesdarini Soemiati dan Gary R. Jusuf. Jakarta: UI

Press, 2006

Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:

Salemba Humanika, 2012

Hidayat, Komaruddin. Agama di Tengah Kemelut. Jakarta:

Mediacita, 2001

Junaedi, Didi. Penyimpangan Seksual yang Dilarang Al-Qur’an.

Jakarta: Elex Media Komputindo, 2016

Liliweri, Alo. Komunikasi Antar-Personal. Jakarta: Kencana,

2015

 

104

Morissan. Teori Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2014

Murni, Ayu Widia Setia. “Peranan Komisi Penyiaran Indonesia

(KPI) Dalam Mengawasi Tayangan Berkonten Lesbian,

gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) Pada Program

Pesbuker ANTV”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017

Muthmainnah, Yulianti. “Hak Asasi Manusia LGBT dalam

Kebijakan Dalam Negeri Indonesia”. Jurnal Perempuan

Vol. 20. no. 4 (November 2015): h. 143-144

Mas’udi, Masdar Farid. “Demokrasi dan Islam”. Dalam M.

Masyhur Amin dan Mohammad Najib, ed. Agama,

Demokrasi dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: LKPSM

NU DIY, 1993: h. 10

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2005

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001

Pulungan, J. Suyuti. Universalisme Islam. Jakarta: Moyo Segoro

Agung, 2002

Riswandi. Ilmu Komunikasi. Jakarta: Graha Ilmu, 2009

Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007

Susanto, Astrid S. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:

Binacipta, 1988

Siahaan, Jokie MS. Perilaku Menyimpang: Pendekatan Sosiologi.

Jakarta: Indeks, 2009

Sinyo. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta: Elex Media

Komputindo, 2014

Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: UPDM, 2003

 

105

Widjaja, H.A.W. Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta, 2000

Wood, Julia T. Komunikasi Teori dan Praktik (Komunikasi dalam

Kehidupan Kita), terjemahan oleh Putri Aila Idris. Jakarta:

Salemba Humanika, 2013

Internet

Ayub. “Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologi dan

Teologis).” Artikel diakses pada 13Juni 2017 dari

https://thisisgender.com/penyimpangan-orientasi-seksual-

kajian-psikologis-dan-teologis/

Diakses pada 28 Juni 2016 dari www.aruspelangi.org

Firmansyah, Teguh. “Kicauan Ulil Soal LGBT yang Picu

Kontroversi 2016.” Artikel diakses pada 10 Oktober 2016

dari www.republika.co.id

Fadly. “Prof UIN Jakarta Halalkan Homoseksual 2008.” Artikel

diakses pada 10 Oktober 2016 dari www.arrahman.com

“Komunitas”. Artikel diakses pada 24 Juli 2017 dari

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Komunitas

Jayadi, Ari. “Apa yang Dimaksud dengan Komunikasi Kelompok

(Group Communication)?.” Artikel diakses pada 13 Juli

2018 dari www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-

komunikasi-kelompok-group-communication/9000/

Mukhli, Zardy. “Sejarah Singkat LGBT Di Indonesia.” Artikel

diakses pada 20 Februari 2017 dari

https://www.scribd.com/doc/312328275/Sejarah-Singkat-

Lgbt-Di-Indonesia .

Noviandy. “LGBT dalam Kontroversi Sejarah Seksualitas dan

Relasi Kuasa.” Vol. 2, No. 2, November 2012, h. 57.

Artikel diakses pada 6 Juni 2017 dari

http://noviandy.com/lgbt-dalam-konteks.pdf

 

106

Rakhmat, Ioanes. “LGBT, Agama, Teks Alkitab, dan Temuan

Sains Modern 2016.” Artikel diakses pada 10 Oktober

2016 dari www.islamlib.com

“RUU KKG.” Artikel diakses pada 2 Oktober 2017 dari

http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-

content/uploads/2014/04/DRAF-RUU-KKG-Panja-9-

desember-2013-ke-Baleg.pdf

Rahmadsyah, Agung. “Seperti Apa Rupa Diskriminasi Terhadap

LGBT di Indonesia” Artikel diakses pada 10 Oktober

2016 dari http://www.jitunews.com/read/29750/seperti-

apa-rupa-diskriminasi-terhadap-lgbt-di-indonesia

Syalabi, Ahmad. “Mahfud MD Minta Gerakan LGBT Dilarang,

2016.” Artikel diakses pada 06 Oktober 2016 dari

www.republika.co.id

Swarjana, I Ketut. “Keperawatan Kesehatan Komunitas.” Artikel

diakses pada 10 Agustus 2017dari

https://books.google.co.id

Sabilillah. “LGBT, “Produk” Kesetaraan Gender”. Artikel

diakses pada 26 September 2017 dari

www.sabilillah.net/lgbt-produk-kesetaraan-gender

Soebagio, Rita. “LGBT dan RUU KKG.” Artikel diakses pada 27

September 2017 dari

www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z8

9-lgbt-dan-ruu-kkg

Yamhap, A. “Tinjauan Tentang Komunitas.” Artikel diakses

pada 26 Juli 2017 dari

http://digilib.unila.ac.id/272/8/Bab%20II.pdf

 

TRANSKRIP WAWANCARA

(Materi Pengayaan SOGIE)

Pewawancara : Suci Kurnia Kasih

Narasumber 1 : Ryan

Narasumber 2 : Andi

NS 1 : “Sebelumnya kita akan membahas tentang LGBT

sebagai subjek penelitian skripsi, tesis dan disertasi kan. Nah aku

akan memulai dengan breaking the tab dulu. Kita membongkar

ketabuan dulu dengan apa yang ada dipikiran teman-teman ketika

ngomong tentang orientasi seksual, identitas gender, ekspresi

geder, sebelum kamu memustuskan meneliti tentang hal ini.

Karena nanti diharapkan setelah ini seperti yang kakak jane

bilang bahwa ini bukan hanya LGBT sebagai objek penelitian

saja, yang diambil datanya lalu selesai gitu saja. Ini akan menjadi

refrensi bahwa LGBT ini bahwa LGBT faktanya seperti ini.

Pengetahuan yang sebenarnya tentang LGBT seperti apa. Jadi apa

yang teman-teman ketahui tentang orientasi seksual, identitas

gender, tentang ekspresi, tentang seksual, karakteristik dan

komponen tentang LGBT pada umumnya. Jadi apalah yang

sejelek-jeleknya, sekotor-kotornya yang teman-teman denger

tentang kita, kami sudah sering mendengarnya jadi ungkapkan

aja.”

PW : “Bingung kak.”

NS 1 : “Bilang aja, apa yang kamu ketahui, pikirkan tentang ini.

Prasangka, praduga.”

 

PW : “Prasangka yang menyimpang bahwa beda dari orang

lain.”

NS 1 : “Oke kita tulis disini menyimpang. Sebagian teman-

teman punya perasaan yang sama? Menyimpang?”

PW : “Iya kak.”

NS 1 : “Selanjutnya apa, menular, lalu dikucilkan, rishi atau

geli. Bisa ga dieksplorasi lebih jauh kenapa timbul perasaan ini?”

PW : “Karena mungkin aneh ya ka, belum terlalu paham dan

kenal juga pengetahuan tentang LGBT ini.”

NS 1 : “Jadi sebenarnya tidak paham ya?”

PW : “Iya benar, karena sudah tertanam ya pemikiran kalo

hanya ada heteroseksual yang benar.”

NS 1 : “Oke, mindset-nya sudah tertanam seperti itu, lalu

mindset apa yang suah tertanam dalah diri teman-teman?”

PW : “Iya kembali ke pemikiran tadi ka. Bahwa LGBT seperti

gay ataupun lesbi itu merupakan sesuatu hal yang menyimpang

dan salah gitu. Misal yang kita ketahui bahwa cowok dan cewek,

udh gitu aja. Kalo sama itu kan berarti menyimpang. Dan

mungkin dari sisi religi. Kalau dalam agam Islam pun ada tuh

cerita tentang Nabi Luth ya.”

NS 1 : “Oh berarti dosa ya, oke kita tampung.”

 

PW : “Mungkin juga distorsi mental ya, lebih ke

penyimpangan. Suatu perilaku yang menyimpang. Dan mungkin

ada yang bilang juga bahwa itu sakit jiwa.”

NS 1 : “Sakit jiwa?, oke kita tulis sakit jiwa. Oh bisa

disembuhkan tapi tidak pakai BPJS ya. Begitu? Bisa

disembuhkan ya.”

PW : “Bisa ka.”

NS 1 : “Berarti masih ada praduga bahwa ini sakit, berarti bisa

menular gitu ya. Sakit dan ini bisa disembuhkan gitu ya. Ada

lagi?”

PW : “Itu aja sih sepertinya kak.”

NS 1 : “Oke kita akan memulai dengan ini merupakan seksual

orientation, gender, identity, expression dan karakteristik ini

semua didiktor oleh manusia. Jadi kita akan membahas tentang

seksualitas manusia secara general yang ini di luar pemahaman

kita pada biasanya, di luar dari apa yang orang tua kita ajarkan,

yang orang ketahui tentang orientasi seksual manusia. Dan ini

akan menjadi luas dan mudah-mudahan kita bisa menerimanya

dengan kepala dingin dan hati yang hangat ya. Aku akan memulai

ini dengan gambar manusia ya. Di sini ada kelaminnya, ini ada

hati dan semuanya punya hati ya, lalu ada otak di sini. Kita akan

membahasnya mulai dari hal yang tabu dulu ya. Kelamin, apa sih

yang diketahui tentang kelamin?”

PW : “Alat vital kak.”

 

NS 1 : “Alat vital laki-laki dan perempuan, oke. Lalu pernah

mendengar ada yang punya dua kelamin kan. Nah itu biasa

disebut interseks. Tapi sebenarnya itu satu kelamin yang terlihat

seperti memiliki dua bentuk ya. jadi engga ada yang punya dua

kelamin itu. Nah terus apakah LGBT ini menyimpang?”

PW : “Karena mungkin tahunya dari dulu pas masih kecil

sampai suda remaja dan sampai sekarang tahunya ya laki-laki itu

ya sama perempuan dan sebaliknya ka. Jadi kalau ada yang

sesama jenis itu berarti salah.”

NS 1 : “Jadi gini ya, rasa suka atau cinta itu kan ga bisa kita

milih. Eh gue maunya sama laki-laki yang gini, gini kalau dianya

perempuan dan sebaliknya. Tapi kalau rasa itu tiba-tiba muncul

begitu saja, gimana. Nah gitu, dan karena kita sudah diajarkan

oleh masyarakat sama orang tua kita bahwa laki-laki itu harusnya

sama perempuan, perempuan harusnya sama laki-laki. Kalau di

luar itu katanya menyimpang, tapi ternyata banyak oang yang

kayak gitu gimana dong?”

PW : “Balik yang tadi berarti ka, rasa ketertarikan seseorang

itu. Jadi kalau dibilang menyimpang engga sepertinya ya ka.

Karena setiap orang punya hak dan mereka juga memiliki

perasaan dan kenyamanan tersendiri. Dia lebih nyaman dengan

laki-laki atau perempuan dan itu semua balik lagi ke orientasi

seksualnya dia tadi.”

NS 1 : “Oke, sepakat ya LGBT itu tidak menyimpang. Lalu

bagaimana dengan menular?”

 

PW : “Iya banyak yang mengatakan bahwa kalau bergaul

dengan LGBT nanti sikap dan gaya bakal nular jadi LGBT juga

gitu ka. Jadi ikut-ikutan.”

NS 1 : “Oke jadi menular karena misalnya pergaulan atau kamu

dekatnya dengan siapa. Teman-teman LGBT itu sepanjang

hidupnya dekat dengan orag tua. Orang tuanya heteroseksual lalu

apakah heteroseksualnya menular pada LGBTnya. Sepanjang dari

kecil hingga dewasa, anak-anak gay dan lesbian dekat dengan

orang tuanya. Bergaul dan melihat ayah dan ibunya setiap hari

yaitu laki-laki dan perempuan hubungannya ya.”

PW : “Kalau dibilang dari temennya gimana ka?”

NS 1 : “Berapa persen sih presentase pergaulan dengan teman.

Temannya juga selalu bertemu dengan orang tuanya. Orang

tuanya laki-laki dan perempuan, kok aku tetap suka laki-laki dan

kok aku sukanya sama perempuan. Jadi kenapa heteroseksual

tidak menular, sementara homoseksual menular.”

PW : “Kalau untuk menular itu persepsinya dua gitu buat aku.

Seperti temen-temen transgender gitu, dikucilkan. Apalagi orang

transgender itu kebanyakan garasi ekonominya di bawah rata-rata

ya, sepeti yang jadi pekerja seksual. Banci-banci yang suka

menjajakan diri gitu ya ka. Jadi yang namanya transgender itu

seperti banci tidak pernah lepas dari konteks itu gitu. dan untuk

masalah penularan itu juga bisa dikaitkan dengan sikap atau sifat

yang menular. Jadi kalau kita deket dengan LGBT kita bakal jadi

LGBT gitu juga.”

 

NS 1 : “Okeh, kita percaya bahwa nasib setiap orang berbeda-

beda. Tapi ini nasib kebanyakan dari teman-teman transgender,

mereka itu sudah terlihat dari kecil karena mereka merasa bahwa

dirinya perempuan dan berbeda dari apa yang mereka rasakan.

Mereka secara otomatis dari fisikal akan berusaha berdandan

seperti perempuan, kalau dia transgender perempuan ya. Terus

mereka bilang sama orang tuanya, atau sama orang-orang di

sekitarnya „eh nih aku perempuan, aku perempuan‟, kira-kira apa

reaksi orang-orang di sekitarnya. Pasti mengucilkan ya kan. Jadi

kebanyakan, dikucilkan itu masih mending ya, kebanyakan

teman-teman transgender perempuan atau laki-laki itu diusir dari

rumah diusia yang sangat muda. Lebih parah lagi dihukum,

disiksa. Mereka keluar dengan usia yang masih muda, otomatis

pendidikan mereka ga bisa lanjut, artinya pendidikan mereka

tidak tinggi. Otomatis mereka punya akses pekerjaan ga, dengan

pendidikan mereka yang saat ini. Itu salah satu keadaannya,

mereka ga dapet pekerjaan, itu satu. Dan di luar sana ada kriteria

kerja yaitu laki-laki atau perempuan, ketika transgender melamar

pekerjaann saya mencarinya laki-laki atau saya mencarinya

perempuan buka orang yang kata mba atau mas. Otomatis mereka

sudah gugur. Terus pekerjaan apa yang tersedia buat mereka.

Prostitusi, salon, pengamen, tiga pekerjaan dasar itu yang

dipunya oleh delapan puluh persen transgender di Indonesia atau

bahkan di dunia. Itu kenapa mereka dekat sekali dengan dunia

malam, kejahatan. Karena mereka hanya itu ruang yang tersedia

untuk mereka. Jadi kira-kira menular tidak?”

 

PW : “Tidak ka.”

NS 1 : “Jadi jangan takut-taku dekat dengan lesbi ya. kalau

menular kamu jadi lekong juga dong. Kalau dikucilkan pasti

sudah paham kan kenapa mereka dikucilkan. Lalu rishi geli

karena tidak tahu. Jadi sebenarnya kalau setelah sudah tau nih,

gimana.”

PW : “Biasa aja sih ka.”

NS 1 : “Masih ada rasa rishi dan geli?”

PW : “Ada sih ka.”

NS 1 : “Apa yang menyebabkan rasa rishi dan geli?”

PW : “Karena tingkah lakunya sih biasanya gitu. Dengan

kedekatannya sesama jenis, mengumbar kemesraan dengan

sesama jenis. Tapi ya hetero pun kalau saya melihat mesra-

mesraan di khalayak umum ya rishi sih ya.”

NS 1 : “Iya cowok ama cowok diliat mereka rishi ya, eh terus

jadi pengen haha.”

PW : “Oh jadi rishi karena ngiri gitu ya haha.”

NS 1 : “Iya jadi ngiri gitu ya. Jadi rishi lebih kepada kalau

bermesraan di depan umum ya. Bukan karena lesbian atau

transgender. Nah aku punya temuan yang menarik nih, rishi dan

geli itu biasanya kalau temen-temen cowok sih itu takut ditaksir.

Gimana? Iya apa engga.”

 

PW : “Iya biasanya begitu ka. Tapi ya kadang engga juga sih.

Layaknya orang hetero ada rasa suka dan tidak. Ga lantas yang

gay atau lesbi maen asal suka gitu aja kan.”

NS 1 : “Iya karena kebanyakan orang tuh ginis „ih gue takut deh

ditaksir gay‟, hey hey. Kadang dipuji ganteng sama gay aja

langsung „ih abis ini gue ditaksir deh‟. Iya seperti yang kamu

bilang tadi bener banget, cowok pun kalau kita engga suka kan

kita tolak ya dan kalau kita menolak siapapun, cowok atau

siapapun dia ga bisa milikin kita gitu ya. Jadi ya sama aja. Gue

tuh kadang pengen ihhh gitu, kok bisa mereka geer banget

pengen ditaksir sama kita. Nah kita sudah membahas tentang

seks, yang terkait secara prosedur tentang seks, terus kita belajar

tentang trasgender sampai dengan kekerasan struktural yang

dialami teman-teman transgender dan juga tentang orientasi

seksual. Nah kita tinggal ngebahas satu nih tentang bagaimana

kita mengekspresikan diri. Tentang ekspresi gender. Nah ekspresi

gender sebenarnya kalau kita bagi menjadi feminine, maskulin,

androgin tengah-tengah dan semua itu orang bisa punya ekspresi

beragam yang seperti itu, iya engga? Nah itu menjadi masalah

buat masyarakat, karena bullying itu penyebab orang di bully itu

bisa karena berat badan, dua karena ekspresi gendernya. Cowok-

cowok yang punya ekspresi gender feminim wah ga lepas dari

bully pas zaman SMA, iya engga. ”

PW : “Iya ka, dikatain bencong atau banci.”

 

NS 1 : “Nah. Padahal apakah laki-laki yang feminim itu mesti

gay. Ataukah perempuan yang maskulin itu lesbian. Jadi

spektrumnya berbeda-beda, terserah mungkin ah gue hari ini mau

tampil maskulin, besoknya mau tampil feminim atau androgini

ini spektrumnya sangat banyak sekali. Bahwasanya seseorang

tampil secara individual. Lalu apakah ini semua berhubungan

satu sama lain?”

PW : “Iya berhubungan.”

NS 1 : “Iya kalau menurut sosiality ini berhubungan, kalau

kamu punya penis kamu otomatis laki-laki. Kalau kamu laki-laki

otomatis kamu sukanya sama perempuan. Kalau kamu suka sama

perempuan otomatis maskulin dong, kalau ga kamu ga punya

pacar. Apakah seperti itu?”

PW : “Engga juga sih. Karena tetangga saya pun ada yang

pembawannya lemah lembut gemulai gitu ya, tapi ya punya anak.

Dia engga yang gay gitu sih, kadang orang suka salah persepsi

gitu.”

NS 1 : “Iya jadi ternyata seks akuristik seperti yang kita

bicarakan tadi, gender, orientasi seksual sama ekpresi gender ini

sama sekali tidak berhubungan. Ada yang punya penis tapi

merasa dia perempuan, sukanya sama perempuan

PW : “Tapi dikatakan orientasi seksual juga ga sih ka seperti

yang dijelaskan tadi. Kadang perempuan yang berpikir bahwa

„gue merasa seperti laki-laki‟.”

 

NS 1 : “Oh suci merasa kadang seperti laki-laki, loh gapapa ga

usah diketawain. Itu gapapa loh, itu kan perasaan yang random.

Itu bisa tumbuh dalam dirimu juga, perasaan itu juga bisa tumbuh

dalam dirimu atau dengan diri orang lain.”

NS 2 : “Itu karena dari kecil kita terbangun sama peran-pean

gender yang terbangun antara laki-laki dan perempuan. padahal

dalam kesehariannya misalnya pada saat kita bangun pagi itu

banyak sekali peran-peran gender yang bercampur aduk dalam

diri kita. Pada saat kita terlahir itu kita terparadigma oleh

lingkungan orang tua kita bahwa laki-laki peran yang sangat

berbeda banget dengan perempuan, hitam dan putih gitu. Ketika

seseorang mengerjakan ini adalah pekerjaannya laki-laki. Ketika

melakukannya yang ini adalah pekerjannya perempuan. Misalnya

kayak gini padahal dalam keseharian itu bisa mix dan match

dalam berbagai macam variasi. Kayak misalnya pada mulai saat

kita bangun tidur gitu loh. Contohnya saya ya, karena saya yang

paling mengenal diri saya sendiri. Misalnya ya, pada saat bangun

tidur terus bangun tidurnya karena jatuh gitu. terus tiba-tiba

„eeh..eeh.‟ ngondek gitu kan. Jadi kemudian dia jadi feminim

gitu. Terus abis itu ngulet, ngulet juga dengan gaya yang

ngondek, itu juga femenim juga. Terus kemudian pada saat sikat

gigi di depan kaca kayak manly banget, nah itu dalam kondisi

peran saya sebagai laki-laki. Itu sebenarnya berlangsung selama

satu hari. Karena saya tinggal satu rumah dengan pacar, akhirnya

pagi-pagi..biasanya sih dia yang masak. Misalnya ini contohnya

saya yang mask gitu ya, jadi ini kan harusya peran perempuan ya.

 

Jadi kita terlahir dengan paradigm yang hitam dan putih,

pekerjaan laki-laki dan perempuan. Padahal sebenarnya kan

mereka tidak berjenis kelamin ya pekerjaan itu. Tapi itu memang

dari kecil kita ditanamkan seperti itu hitam laki-laki dan putih

perempuan. Pokoknya gitu, kalau yang di tengah-tengah gitu

pasti dianggap salah gitu. Kita selalu kayak gitu, pilihannya ada

dua laki-laki perempuan, hitam putih, senang bahagia. Jadi

nempel semuanya seakan-akan semua hal jadi berkelamin gitu

kan. Itu yang diajarin ke kita semenjak kita lahir. Jangankan dari

lahir ya kita masih di dalam kandungan aja, pada saat USG

misalkan kemudian dokter bilang „wah ada bentuk-bentuk seperti

ini laki-laki‟ udah di judge gitu. Terus pada saat lahir keluarnya

perempuan gitu. Terus kita baru keluar dari rahim ibu kemudian

dokter bilang perempuan. Wah ibunya langsung mikir pas udah

gede harus ketemu cowok yang tajir kaya segala macem.

Langsung ditempelin bahwa dia harus dengan cowok gitu. dia

harus jadi perempuan yang patuh sama orang tua, rajin kerja.

Pokoknya bahkan pada saat beberapa menit kita lahir, segala

macam peran sudah menempel di diri kita. Karena apa, karena

bentukan seks itu tadi. Kita hidup dalam masyarakat sosial

banyak dengan norma yang lahir yang timbul dari situ, yang

memang tujuannya untuk membuat kita jadi yang beradab.

Norma dan aturan-aturan itu kan buat kita beradab benernya, tapi

karena ada banyak campuran-campuran kayak misalnya yang

akhirnya itu berpengaruh terhadap penilaian masyarakat terhadap

personal individu. Membuat kita merasa bahwa saya laki banget

 

gitu karena peran yang kita lakukan pada saat itu terparadigma

sebagai pekerjaan laki-laki atau perempuan.”

NS 1 : “ Jadi gitu. Nah terakhir untuk soal dosa ya aku kurang

ekspert deh untuk memutuskan soal dosa atau apalah. Tapi

bagaimana pendekatan LGBT tentang agama itu saya tidak

terlalu. Bukan ranah kita juga, bukan gitu sih sebenarnya tahu-

tahu aja gitu. mungkin bisa didiskusikan.”

PW : “Untuk dosa lebih ke urusan yang di atas lah ya.”

NS 1 : “Kalau ingin mendalami mungkin bisa membaca

beberapa artikel dibuku ya, aku nanti juga akan baca-baca juga.”

NS 2 : “Kalau yang tadi kan kita bahas manusianya ya, dilihat

dari sisi keilmuannya ya hal-hal yang saintifik gitu. Bahwa oh

ternyata dalam mempelajari LGBT atau SOGIE perspektifing

yang membangun gitu. Ini adalah pendekatan ilmiah gitu ya, tapi

kemudian realitanya kita hidup dalam masa di mana kita juga dari

lahir sudah tertempel dengan norma dan aturan. Salah satu norma

adalah aturan norma agama, yang kadang bukan karena tidak

menjelaskan gitu tapi belum cukup untuk punya bahasa yang

lebih melingkupi banyak hal tentang keilmuan tertentu misalnya

kaya gitu. Makanya itu kadang dianggap berbenturan dengan

agama. Padahal menurut ku sebenarnya tidak berbenturan tapi

bahasa yang digunakan oleh konteks keagamaan mungkin

dipertahankan lebih tertutup supaya, kan agama selalu

mengkhawatiri ketika keluar dalam konteksnya itu akan menjadi

penyebab dosa atau mendekati dosa gitu. Akhirnya si agama ini

 

menutup diri untuk konteks tertentu salah satunya keagamaan,

dosa dan segala macamnya. Padahal kalau kita tahu dalam ini kita

bicara dalam hal-hal yang lebih general ya. Bagi teman-teman

yang percaya dengan Tuhan, bahwa Tuhan pasti tidak

menciptakan ciptaan yang salah, setuju apa engga?”

PW : “setuju.”

NS 2 : “Menciptakan sesuatu yang sempurna menurut manusia.

Jadi Dia tidak pernah salah menciptakan sesuatu. Terus yang

kedua, Tuhan mengirimkan agamanya ke bumi ini pasti untuk

tujuan kebaikan untuk semuanya. Setuju atau engga. Yang artinya

itu berlaku general termasuk LGBT ya kan. Kalau misalnya ini

berlaku kecuali LGBT berarti Tuhan diskriminatif, padahal

Tuhan tidak diskriminatif kan. Nah ketika ini ada di masyarakat

kenapa kemudian akhirnya muncul yang seakan-akan agama itu

bertentangan dengan LGBT yang apalagi itu makhluk ciptaan

Tuhan juga. Ini lahirnya dari Tuhan atau dari manusianya.

Berarti kalau seperti itu Tuhan membuat ciptaan seaka-akan gagal

gitu. Padahal Tuhan itu maha sempurna dan tidak mungkin

menciptakan Sesuatu produknya yang gagal. Lalu kalau kita lihat

bagaimana dengan orang-orang difabel. Nah itu kita tidak bisa

bilang itu sebagai kegagalan kan, bukan kan. Jadi hal berikutnya

ketika yang kita terkait dengan dosa juga saya kadang

menggunakan kata-kata gini agama itukan hal-hal yang harusnya

diterapkan secara personal ya, tapi kemudian sekarang masuk ke

ranah politik masuk ke ranah-ranah di mana kita boleh menilai

seseorang. Kayak misalnya sebutan dosa itu yang menyebut

 

Tuhan atau manusia. Jadi sebutan dosa itu sebenarnya lahirnya

dari manusia. Padahal yang punya hak untuk menjudge seseorang

berdosa atau engga siapa, Tuhan kan. Jadi kita sudah bercampur

aduk ini dengan judgemennya manusia atau judgemennya Tuhan,

udah tercampur aduk di situ. Sampai akhirnya tercampur aduklah

antara LGBT itu berdosa atau engga gitu, karena apa, karena kita

masih terelasi masih seperti itu, norma-norma yang ada di

masyarakat kita yang belum bisa memisahkan antara „ini haknya

Tuhan loh untuk menilai seseorang dan ini hak manusia untuk

membimbing seseorang‟ misalnya gitu. Kita udah engga bisa

memisahkan itu, jadi seakan-akan pada saat orang punya

kesempatan utnuk membimbing orang lain misalnya tokoh agama

pastur, pendeta, ustadz yang punya hak untuk membimbing

manusia untuk menjadi lebih baik sometimes dia menggunakan

fungsi Tuhan untuk menilai orang lain, yang akhirnya menurut

personali ini sudah melampaui batas fungsi dia. Padahal fungsi

dia membimbing orang lain utnuk menjadi lebih baik kan, tapi

kemudian ada beberapa tapi tidak semuanya saya yakin ada

banyak pendeta atau pastur yang justru open minded tapi ada

bberapa yang menggunakan fungsi Tuhan, dia menjalani fungsi

bimbingannya itu yang saya lihat dalam konteks sosial

masyarakat kita kayak gitu. jadi judgemen dosa itu lahir dari

manusia, bukan Tuhan.”

 

TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber (NS) : Ir. Rahmi Purnomowati MSi

Lembaga : Ketua Pusat Studi Gender dan Anak

Pewawancara (PW) : Suci Kurnia Kasih

Hari/Tanggal : Rabu, 25 Oktober 2017

PW : “Apa yang disebut dengan kesetaraan gender?”

NS : “Jadi kita berangkat dulu dari pengertian gender kemudian baru tentang kesetaraan.

Tesminologi gender yang kita sepakati dan yang saya gunakan, saya jadikan sebagai

acuan. Gender adalah relasi sosial. Jadi bukan jenis kelamin. Dimana yang melibatkan

laki-laki dan perempuan itu dapat memiliki peran yang saling mempertukarkan.Dan itu

sesuai dengan adat istiadatnya, dengan budayanya dan dengan masa berlakunya.

Terakhirnya itu seperti itu. Supaya bisa dibedakan nanti karena sesuai kesepakatan.

Kemudian kesetaraan. Kesetaraan adalah kondisi di mana di antara laki-laki dan

perempuan masing-masing memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk

melakukan fungsi-fungsi sosial. Jadi kesamaan peluang, kesempatan, dan kedudukan baik

laki-laki dan perempuan di mata hukum, pemerintahan, perekonomian, pendidikan. Itu

adalah kesetaraan. Jadi kesetaraan gender itu adalah kondisi dimana suatu masyarakat

yang memiliki tataran sosial. Di mana laki-laki dan perempuan bisa saling

mempertukarkan peran sosialnya yang sama kedudukannya di depan hukum untuk

mendapatkan akses pendidikan, partisipasi politik, keuangan dan peran-peran dalam

sosial kemasyarakatan yang lain. Dan di mana pertukaran itu disepakati oleh hukum,

 

adat, aturan, dan zaman pada saat itu. Sehingga gender sangat menjunjung local wisdom

yaitu kebijakan lokal atau kearifan lokal. Sehingga ketika berbicara gender di timur dan

di barat dalam aplikasinya bisa berbeda, tapi value-nya sama. Yaitu untuk mendorong

kesetaraan. Tapi kan tidak bisa kita memaksa orang Jawa akan sama dengan orang

Sulawesi. Karena berbeda budayanya dan tidak bisa dipaksakan, nanti akan patah.

Menekuk tapi tidak patah. Menekuk tapi lentur itu strategi dalam gender. Tidak

memaksakan, tapi intinya satu bahwa laki-laki ataupun perempuan bisa berperan yang

sama dibidang sosial, hukum, politik, pendidikan, ekonomi, sama peluang kesempatan

dan bisa saling bertukar. Contohnya perempuan boleh menduduki parlemen, boleh

sebagai kepala negara dan semua jabatan yang terkait dengan sosial kemasyarakatan. Dan

laki-laki juga tidak tabu ketika harus membawa anaknya ke posyandu. Ketika laki-laki

melakukan fungsi parenting. Dan sebaiknya, kalau perempuan kemudian melakukan

fungsi katakanlah memasak, mengurus keluarga itu tidak kita katakan kodrat perempuan.

Karena fungsi itu dapat dipertukarkan. Itulah fungsi gender. Yang namanya kodrat adalah

suatu kondisi di mana itu given. Tidak bisa mengelak perempuan dari haid, hamil, dari

menyusui dan melahirkan. Dan itu mau dipaksakan laki-laki itu tidak bisa haid. Mau

diganti jenis kelamin, dibikin rahim buatan itu tetap tidak akan bisa. Itulah kodrat dan

itulah jenis kelamin. Digender ini jangan kacau dengan jenis kelamin. Jenis kelamin

terkait dengan fungsi reproduksi. Kalau gender terkait dengan fungsi sosial. Jadi saya

gariskan tidak ada yang namanya gender ketiga. Gender ya cuma dua. Gender itu fungsi

sosial. Kalau kamu mau mencoba menerima jenis kelamin ketiga jangan bawa-bawa

gender. Karena itu jenis kelamim. Jadi salah ketika orang bilang gendernya apa? Laki-

laki atau perempuan? Itu salah kaprah. Jenis kelamin bukan gender, itu berbeda. Karena

 

jenis kelamin terkait reproduksi yang membedakan keduanya. Kalau gender merem tidak

peduli perempuan atau laki-laki itu bisa dilakukan bertukar-tukaran. Bu Rahmi bisa ngga

benerin listrik? Oh bisa, manjat pohon kelapa? Bisa. Lalu bisa tidak suami saya masak, ke

pasar mengantar ke posyandu? Ya semua itu bisa asal dia ridho, ikhlas dan mau

melakukan. Cuma ada nanti pandangan masyarakat. Sesuai dengan pandangan

masyarakat, adat, budaya, dan zaman. Karena ada masyarakat yang tabu. Laki-laki tidak

boleh masuk ke dapur. Perempuan tidak wajib cari uang. Kan tidak ada dalil-dalil seperti

itu, itu hanya kebiasaan. Itu hanya sudut pandang. Dan itu bisa dipecahkan dengan

memberikan penyadaran, dengan memberikan advokasi. Itu namanya gender advokasi.

Tapi kalau namanya jenis kelamin tidak bisa. Mau seperti apapun perkasanya seorang

perempuan pasti dia punya rahim. Ada tidak orang yang lahir tidak punya rahim dan itu

dikatakan perempuan? Tidak ada. Namun jika bicara hormon beda lagi. Karena ternyata

ada yang punya rahim tapi hormonnya hormon laki-lakinya yang lebih banyak. Itu beda

lagi dan itu terkait struktur otak. Itu ke neurosains.”

PW : “Apakah konsep kesetaraan gender saat ini sudah sesuai dengan ajaran agama Islam?”

NS : “Islam ini agama pertama yang saya tahu yang mengusung kesetaraan gender. Tetapi

gender dalam terminologi ini berbeda dengan feminism. Feminism berarti feminis-ism.

Ism adalah suatu paham, pemikiran. Feminim adalah perempuan. Pembelaan terhadap

hak-hak perempuan, menurut keperempuan. Dan ini ada sejarahnya kenapa sampai lahir

ism. Dan ini tidak berawal di Indonesia kan. Tidak berawal di negara Islam kan. Karena

konteksnya Islam maka saya tidak membawa feminism. Karena dalam sejarah Islam tidak

ada pemberontakan perempuan terhadap aturan Islam. Justru Islam hadir itu untuk

memuliakan perempuan. Bisa kita lihat sejarahnya ketika zaman jahiliyah bayi

 

perempuan dikubur. Perempuan tidak boleh ini tidak boleh itu. Perempuan disiksa,

dinikahi tanpa jelas. Tapi dengan Islam, perempuan itu sangat setara dengan laki-laki.

Namun setara dengan sama itu beda. Adil itu tidak harus sama. Gender dalam agama

Islam tentu kamu akan merefer selain kepada kitab juga kepada hadits. Hadits itu apa?

Perkataan, ucapan, tindakan Rasulullah yang di riwayatkan oleh sahabat. Sekarang,

Rasulullah itu siapa istrinya? Khadijah. Khadijah adalah saudagar lintah jazirah Arab.

Artinya Khadijah memiliki ilmu ekonomi, ilmu strategi managemen, ilmu bisnis. Artinya

dia orang pintar. Dan itu artinya perempuan dalam Islam boleh jadi pemimpin ekonomi.

Lalu ketika dia dinikahi oleh Rasulullah, apakah Khadijah lantas hanya menjadi ibu

rumah tangga? Tidak, tetap mengembangkan bisnisnya dan itu diinfakkan untuk ke

Rasulullah. Kemudian yang kedua, dalam keluarga Rasulullah beliau mengatakan bahwa

anak-anak dididik untuk memanah, berkuda dan berenang. Apakah beliau mengatakan

anak laki-laki saja? Tidak. Fatimah dan Aisyah itu rajin berkuda, memanah dan berenang.

Artinya dalam Islam itu laki-laki dan perempuan adalah sama. Dalam Islam gender itu

sudah selesai. Tidak ada pertentangan peran gender. Kalau nanti digugat bahwa Islam

membedakan laki-laki dan perempuan. Itu bukan membedakan. Itu aturan yang memang

sengaja dibuat supaya menjadi pedoman. Supaya tidak terjadi kekacauan. Misalnya

hukum waris dua banding satu. Tapi hak dan kewajibannya beda. Laki-laki dapat warisan

dua perempuan satu. Tapi laki-laki wajib memberikan nafkah. Laki-laki masih berhak

menyantuni ibunya. Kenapa? Karena dia lebih besar. Lalu kenapa hukum wali harus laki-

laki kenapa bukan perempuan. Itu untuk melindungi sehingga anak ini terhormat. Karena

dari satu rahim itu bisa berasalah dari banyak seperma. Justru itulah untuk melindungi

nasab atau garis keturunannya. Jadi sesuai dengan Islam. Iya, Islam sangat ramah dengan

 

gender. Jadi di gender kita tidak hanya membela laki-laki saja atau perempuan saja. Di

dalam pendekatan gender kita berpihak kepada yang dirugikan. Yang menerima ketidak

adilan.”

PW : “Bagaimana tanggapan anda mengenai Draft RUU KKG?”

NS : “Ya positif. It‟s oke kalau buat saya. Cuma nanti harus dikaji lagi. Jangan sampai dia

hanya menguntungkan perempuan. Karena laki-laki juga perlu dibela. Karena ada juga

kekerasan yang dialami laki-laki dalam rumah tangga. Hanya saja laki-laki dibekam

dengan adat. Bahwa kalau laki-laki banyak omong dibilang ember. Laki-laki banyak

bicara dibilang punya mulut kayak perempuan. Laki-laki juga manusia biasa kan. Jadi

yang namanya ketidakadilan tuh sama. Dialami oleh laki-laki dan juga perempuan. Cuma

kan kita berbicara data. Datanya kurang, laporan laki-laki kurang. Laki-laki lebih banyak

diam saja deh, sabar kalau dicerewetin. Atau kalau sudah sangat tidak tahan dia

selingkuh. Kasus perempuan dipukul suaminya mengadu ke polisi sudah banyak kan.

Tapi berapa banyak laki-laki yang disiksa istrinya mengadu. Tidak ada, karena malu.

Tapi mungkin lima belas tahun lagi akan terbiasa. Sudah mulai kenal dengan kesadaran

gender. Laki-laki kasihan nanti. Itu anak-anak kita dari sekarang dan ini sampai LGBT

nanti. Malihat perempuan sekarang berkuasa dan laki-laki banyak yang tertindas kan. Itu

kemudian dalam otaknya dari kecil dia akan kasihan sama ayahnya dan sebel sama

ibunya. Akhirnya secara tidak langsung dia sianak tersebut menjadi LGBT dan dia

cowok. Dan sebel sama cewek karena didominasi sama ibu, dan bapaknya lemah. Jadi

dari kecil dia tidak ingin melihat laki-laki seperti bapaknya, lemah. Dan dia jadi sebel

sama perempuan karena bercermin kepada ibunya yang powerfull. Perempuan itu

cerewet, ngatur dan laki-laki kok bertekuk lutut terus. Ketika dia sudah dewasa dikampus

 

bertemu dengan orang yang keren-keren. Dia berpikir bahwa laki-laki disini keren, gagah

dan tidak lemah seperti bapaknya. Dan akhirnya dia jatuh cinta. Tanpa dia tidak sadari

awalnya dari situ, simpati. Karena dia membandingkan dengan ayahnya. Kemudian dia

tertarik. Jadi kasus LGBT itu macam-macam. Tapi sebagian besar saya melihat kasus

LGBT itu diawali dari pendidikan, pengalaman sejak kecil sampai masa dia bertumbuh.

Ada yang keluarganya harmonis tapi lingkungan ditarik. Dan karakternya sudah lemah.

Maka perlunya pendidikan karakter dirumah. Pendidikan anak laki-laki dan anak

perempuan. Sehingga dari kecil sudah terdoktrin laki-laki itu seperti apa dan perempuan

seperti apa. Maka pentingnya anak laki-laki dan ayahnya itu harus dekat. Dan laki-laki

harus kagum sama ayahnya. Sehingga ketika dia sudah besar dia memiliki figur dan

sebagai laki-laki harus seperti apa.”

PW : “Apakah hal yang memicu pertumbuhan kelompok LGBT ?”

NS : “Memicu perkembangan LGBT tentu sa;ah satunya media sosial, media televisi.

Kemudian seperti klab-klab, perkumpulan-perkumpuan gitu, lalu sosialita, fitnes center.

Dan memang dari kelompok LGBT itu sendiri mereka mencari pengikut. Dan mereka

ingin menyebarkan bahwa hal itu dilegalkan.”

PW : “Faktor apa yang menyebabkan seseorang menjadi seorang LGBT?”

NS : “Kompleks. Ada yang memang, kata teman saya ada yang genetik DNAnya ada . karena

memang sudah diotaknya cenderung tertarik. Tapi itu kecil. Teman saya ada yang

neurosains di Amerika dan ada yang di Jakarta. Kecil yang dari keturunan dan rata-rata

karena lingkungan. Lingkungan yang paling dekat adalah ketika masa kecil mengalami

masa pertumbuhan dengan orang terdekat dengan bapak dan ibu. Dari ketimpangan relasi

 

sosial atau relasi seksual antara bapak dan ibu. Punya pengelaman membentuk sikap.

Sikapnya terbentuk, pengalamannya terbentuk di dalam memori kemudian change,

merubah pemikiran. Itu kenapa saya tidak mau LGBT diblow up. Lama-lama orang

penasaran, cari-cari tahu, terus nyobain-nyobain akhirnya oh tidak apa-apa ya dibuat enak

saja. Itu kompleks ya. Terutama ada faktor lingkungan. Lingkungan sejak dia masih kecil

pembentukkan karakter. Lingkungan dia tumbuh berkembang. Karena banyak yang

menjadi LGBT atau homo itu setelah umur empat puluh tahun ke atas.”

PW : “Lalu jika dilihat dalam draft rancangan RUU KKG dan saya membaca artikel yang

mengatakan bahwa hal itu menjadi salah satu jalan untuk pelegalan LGBT?”

NS : “Nah itu yang harus disaring nanti. Tapi LGBT ini kan sekarang masuknya kapitalisme

banget kan. Banyak yang berkepentingan dengan isu LGBT ini. Jerman, Amerika,

Kanada sudah menyutujui. Kalau Indonesia engga, di luarnya HAM. Makanya jati diri

pendidikan karakter itu harus jelas.”

PW : “Apa indikasi seseorang yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis?”

NS : “Ya tertarik saja. Senang melihat cewek cantik. Senengnya ada ser-nya gitu. Kalau saya

kan senang sama Laudia Cyntia Bela karena dia kalau pakai jilbab bagus ya. Pingin deh

pakai jilbab seperti dia. Pingin seperti dia gitu. Tapi kalau ini beda, ingin memiliki.

Pingin mencium. Ingin selalu di dekatnya. Beda sama ngfans sama artis gitu. Ketertarikan

seksual dan posesif.

PW : “Apakah hal tersebut berlaku untuk anak-anak?”

 

NS : “Bisa anak-anak. Tapi anak-anak biasanya kan masih murni. Kecuali lingkungan yang

membentuk. Biasanya kalau dikondisikan atau memang ada gerakan untuk menularkan

ke anak-anak ya bisa. Makanya saya ke pendidikan keluarga.”

PW : “Bagaimana cara untuk mencegah tindakan homoseksual terhadap anak-anak?”

NS : “Mencegah tindakan homo ya dengan itu tadi, sejak sedini mungkin memperkenalkan

kepada anak-anak konsep diri tentang laki-laki dan perempuan. Dan juga tentang

pembagian gender. Pembagian gender bukan pembagian laki-laki dan perempuan, tapi

pembagian peran.”

PW : “Banyak perdebatan tentang fenomena LGBT, apakah anda termasuk kedalam pro atau

kontra? Alasannya?”

NS : “Saya tidak mau menyebabkan pro dan kontra. Karena ini sangat normatif. Tapi lebih

ingin menempatkan LGBT sebagai kajian akademis. Yang ujung-ujungnya tetap akan

untuk ketahanan bangsa. Karena LGBT kalau di Indonesia akan mengoyak ketahanan

bangsa. Akan banyak yang kontranya kan. Dan kita tidak ingin semacam itu. Dan bangsa

ini dari dulu sudah jelas, bapak, ibu dan sebagainya. Maaf, zaman saya kecil istilah

bencong atau lainnya. Kalau sekarang tidak mau dibilang bencong tapi LGBT. Itu kan

halus saja. Jadi bagaimana kalau menolak pernikah sejenis, mungkin lebih enaknya

seperti itu, bukan LGBT. Saya menolak pernikahan sejenis. Kata LGBT soalnya bisa

tergantung penafsiran masing-masing. Tapi untuk beberapa kondisi khusus aku tidak bisa

memaksa. Misalnya ada kasus seorang laki-laki yang tidak bisa menjadi laki-laki lagi dan

dia ingin memakai jilbab dan segala macam. Seperti Dorce gitu ya, dia kan transgender.

Kalau seperti itu masa mau saya bunuh. Kan tidak bisa seperti itu. Kita tetap bersahabat.

 

Sebagai manusia tetap berhubungan baik. Tapi kita bilang sama anak-anak kita dan

lingkungan kita itu tidak baik. tidak benar dan jangan diikuti. Jangan „ah tidak apa-apa‟.

Nah jangan seperti itu, nanti kan jadi mempromosikan. Dan bu Dorce setelah dia jadi

perempuan kan dia berusaha untuk jadi muslimah benar. Tidak mengajak waria-waria

yang dijalan itu kan. Perlu ada preventifnya.”

PW : “Bagaimana cara pencegahan perilaku homoseksual dikalangan mahasiswa?”

NS : “Nah jelas adalah dengan menegakkan nilai daripada institusi itu sendiri. Pengawasan

bersama. Dari teman saling mengawasi teman, prodi, dosen, pegawai. Kalau ada gejala

seperti itu segera ditindak. Dan ditindak itu tidak harus dikeluarkan. Diajak ngomong dan

sebagainya. Dan buffer, jangan sampai itu menjadi menular.”

Jakarta, 20 November 2017

Mengetahui,

Ir. Rahmi Purnomowati MSi

 

 

Doc. blogcp.sttjakarta.ac.id/?listing=arus-pelangi

Doc. blogcp.sttjakarta.ac.id/?listing=arus-pelangi