EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI TENGAH ...

109
EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI TENGAH MASYARAKAT MUSLIM DI PAMEKASAN MADURA (Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh: Khairil Anwar NIM: 1112032100040 PRODI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Transcript of EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI TENGAH ...

EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI TENGAH MASYARAKAT

MUSLIM DI PAMEKASAN MADURA

(Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih

Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Khairil Anwar

NIM: 1112032100040

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

v

ABSTRAK

Khairil Anwar

1112032100040

Eksistensi Komunitas Buddha di Tengah Masyarakat Muslim di Pamekasan

Madura (Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di

Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura).

Vihara Avalokitesvara yang terdapat di Dusun Candih Desa Polagan

Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan, merupakan tempat peribadatan umat

Buddha dalam wajah penampilan cita-cita Pancasila. Di kompleks Vihara terdapat

tempat ibadah Musala dan Pura. Seperti yang kita ketahui, agama Buddha di

Indonesia adalah salah satu agama minoritas yang memiliki masa lalu kelam di

Indonesia. Dulu pada era pendudukan Jepang Vihara Avalokitesvara kegiatan

yang berupa kegiatan keagamaan ada hambatan, sekitar tahun 1940. Seperti

penampilan wayang diganti degan adegan ludruk. Ludruk adalah kesenian rakyat

Jawa Timur berbentuk sandiwara yang di pertontonkan dengan menari dan

menyanyi. Berbeda dengan perang kemerdekaan Vihara Avalokitesvara oleh

massa yang mengatas namakan dirinya pejuang-pejuang kemerdekaan. Vihara

Avalokitesvara dibakar termasuk pabrik kecap cap kepiting sampai ludes dimakan

api, sekitar tahun 1947.

Pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama salah satu

Bodhisattva dalam agama Buddha. Dan ini juga sesuai dengan nama patung yang

berada di dalam komplek Vihara, yaitu Patung Avalokitesvara. Sedangkan

Avalokitesvara sebagai salah satu Bodhisattva yang dipuja oleh umat Buddha.

Kata Avalokitesvara berasal dari kata Ava (melihat), Lokiteh (mendengarkan) dan

Isvara (mahluk hidup atau mahluk suci). Jadi Avalokitesvara mempunyai

pengertian adalah mahluk suci yang melihat dan mendengar penderitaan manusia

di Dunia yang penuh dengan tantangan.

Ada dua masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, terkait dengan

bagaimana eksistensi atau keberadaannya penganut agama Buddha di Vihara

vi

Avalokitesvara. Kedua, bagaimana cara mempertahankan eksistensinya atau

keberadaanya di tengah kaum mayoritas penganut agama Islam. Penelitian ini

menggunakan penelitian Lapangan (field Research) dengan wawancara dan

didukung dengan penelitian perpustakaan (Library Research) yang dilakukan

dengan menelusuri dokumen, jurnal, arsip dan buku. Penelitian ini menggunakan

pendekatan sosiologis. Didukung dengan konsep kebertahanan sosial menurut G.S

Cumming dalam An Exploratory Framework for the Empirical Measurement of

Resilience, kebertahan sosial adalah kebertahanan juga didefinisikan sebagai

kemampuan sistem untuk menjaga identitasnya dalam menghadapai perubahan

internal dan guncangan eksternal. Kebertahanan dapat didefinisikan sebagai

kemampuan dari suatu sistem, komunitas atau masyarakat terkena bahaya untuk

menahan, menyerap, mengakomodasi dan pulih dari dampak bahaya secara tepat

waktu dan tepat cara, termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur ensensial

dasar dan fungsi. Dengan cara mengalisis ketahanan sosila, ketahanan ekonomi

dan ketahanan fisik atau budaya terhadapa ancama lingkungan.

Hasil penelitian ini yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa:

1). Komunitas Vihara Avalokitesvara tidak pernah terjadi gesekan dengan

masyarakat sekitar hususnya di Dusun Candih dan mampu mempertahankan

kerukunan, toleransi beragama, kesenian dan budaya-budaya dari nenek

moyangnya. Dan dari kedua belah pihak, pihak Vihada dan pihak masyarakat

merasa salaing memiliki dan melengkapi. 2). Agar tetap bertahan dan tetap eksis

Vihara menggunakan cara dengan melakukan pembangunan fisik seperti sarana

peribadatan, kesenian, olah raga, penginapan dan sarana peribadatan pemeluk

agama Islam serta Pura untuk umat Hindu. Dan mempertahankan kesenian-

keseniannya dan budaya-budanyanya. Seperti pertunjukan wayang, barongsai,

merayakan hari raya Imlek, hari ulang tahun Kwan Im, perayaan wisak, tradisi

Cap Go Meh, hari raya kelahiran Avalokitesvara, dan saling seserahan makanan ,

Vihara membagi-bagi angpao umat Islam atau masyarakat memberikan makanan

ketika hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Kata Kunci: Eksistensi, Vihara Avalokitsvara, Komunitas Vihara Avalokitesvara

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan kenikmatan baik

jasmani maupun rohani yang tak terhingga kepada kita. Puji syukur kepada Allah

SWT atas kasih serta sayang-Nya yang selalu tercurah hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI

TENGAH MASYARAKAT MUSLIM DI PAMEKASAN MADURA (Studi Atas

Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa

Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura)” ini dengan baik.

Shalawat serta salam, selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad

SAW beserta keluarganya, sahabatnya, serta pengikutnya yang tercerahkan di

jalan Allah SWT.

Sebagai seorang pemula, skripsi ini merupakan karya yang jauh dari kata

sempurna. Akan tetapi penulis tetap tidak berhenti mengucapkan kalimat

Alhamdulillah dan puji-puji kebahagiaan kepada Allah SWT karena telah

menyelesaikan karya ilmiah ini. Mulai dari niat mengerjakannya sampai pada

akhir tulisan ini, penulis merasa mendapat banyak manfaat berupa ilmu

pengetahuan, pengalam baru, dan melatih kesabaran. Penulis menyadari hal itu

tidak akan diperoleh tanpa berkat orang-orang yang selalu membimbing baik

secara moral maupun materiil, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih

sedalam-dalamnya kepada:

viii

1. Bapak. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA. Selaku Ketua Prodi Studi Agama-

agama.

4. Dr. Halimah SM, M.Ag. Selaku Sekretaris Prodi Studi Agama-agama

sekaligus sebagai Penasehat Akademik penulis skripsi ini.

5. Bapak Syaiful Azmi S.Ag., MA. Sebagai Pembimbing Penulisan Skripsi

ini, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga pikiran dan kesabaran

dalam memberi arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA. Selaku penguji satu dalam

sidang munaqasyah dan telah banyak memberikan masukan supaya skripsi

ini lebih bagus dari yang sebelumnya.

7. Dra. Hermawati, MA. Selaku penguji dua dalam sidang munaqasyah yang

telah banyak memberi arahan dalam hal cara memperoleh penelitian yang

bagus dan tepat cara.

8. Papi dan Mami kedua orang tua tercinta, yang telah mendidik,

memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil serta do’a demi

lancarnya studi dan penulisan skripsi ini.

9. Bapak Ahmad Ridho, Dr. DESA dan Prof. M. Ikhsan Tanggok, Dr. M.Si

sebagai penguji dalam ujian kompre, yang telah meluangkan waktu,

ix

tenaga pikiran dan kesabaran dalam menguju. Sehingga penulis dapat

menyelesaikan dan lulus dalam ujuannya.

10. Segenap Dosen pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang bersedia membekali pengetahuan selama penulis belajar di

Fakultas Ushuluddin.

11. Petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas yang telah

menyediakan refensi dalam bentuk buku yang penulis butuhkan.

12. Pengurus Vihara Avalokitesvara, Bapak Kosala Mahinda selaku

narasumber yang selalu menyambut kedatangan penulis dan tidak segan-

segan memberikan apaun yang penulis butuhkan dalam skripsi ini. Dan

tidak lupa juga kepada Tokoh Masyarakat beserta aparat Masyarakat

Dusun Candih Desa Polagan Kec. Galis Kab. Pamekasan.

13. Para narasumber, baik dari penganut agama Buddha di Vihara

Avalokitesvara maupun masyarakat sekitar Vihara khususnya Bapak

Susianto tokoh masyarakat Candih selaku narasumber yang menyambut

kedatangan penulis dengan ramah, baik, dan tidak segan-segan

memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam skripsi ini.

14. Abdur Rahman sebagai abang dari penulis yang setia dalam membantu di

lapangan dan membantu mencarikan refensi yang di butuhkan dalam

penulisan skripsi ini.

15. Jamiludin atau Zam Sastrawan dan Riswandi Yusuf yang membatu penulis

dari persiapan pemberksan hingga dalam pengureksian penulisan, yang

x

telah bersedia meluangkan waktu, dan pikirannya untuk membantu penulis

hingga sampai selesai dalam penulisan skripsi ini.

16. Suliati Sanaf, Sabran Sanaf, Idris Hemay, Nia Trisnawati, Abdus Salah

Meller, Helmi Yono, Supriyono Hemay, Wahid Mannan, Ahmad

Kurniadi, selaku senior yang selalau memberi bimbingan dan arahan. Dan

yang selalu dengan ramah memebrikan tempat tinggal di saat penulis

membutuhkan untuk penulisan skripsi ini.

17. Sahabat-sahabat terdekat Prodi Studi Agama-agama, Aqidah Filsafat

Islam, Tafsir Hadis, dan Komunitas anak Madura KPU “Kampung Utan”,

Moh. Faisal As’adi, Moh. Rifqi Nuris Binutez, Bambang Romaidi Stiker,

Khoirul Ulam, Walid Riyas Arabia, Muniri Chun, Ahmad Rofiq, Hendri

Purnawan Aboy, Moh. Farid dan Ahmad Syufaili Muslim.

18. Jehan Palupi El Fajr selaku Junior dari Prodi Filsafat Islam yang selalu

sabar dalam membantu, menemani, memberikan motivasi kehidupan dan

dalam penulisan skripsi ini.

Ciputat, 29 November 2018

Penulis

xi

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ............................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ............................... iv

ABSTRAK ......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Pembatasan Masalah .............................................................................. 6

C. Perumusan Masalah ............................................................................... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 7

F. Metode Penelitian ................................................................................... 8

1. Jenis Penelitian .................................................................................. 8

2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 10

3. Sumber Penelitian ............................................................................. 13

G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 14

BAB II KARAKTER MASYARAKAT MADURA

A. Islam .............................................................................. ......................... 16

B. NU ........................................................................................................... 24

C. Tradisional............................................................................................... 27

BAB III DINAMIKA EKSISTENSI VIHARA AVALOKITESVARA DAN

PENGANUT BUDDHA DI KABUPATEN PAMEKASAN

A. Sejarah berdirinya Vihara Avalokitesvara ............................................. 36

B. Potret kehidupan Penganut Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara dari

masa ke masa........................................................................................... 42

xii

C. Peran Kosala Mahinda terhadap Vihara Avalokitesvara ........................ 44

BAB IV EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA VIHARA

AVALOKITESVARA DI TENGAH MASYARAKAT MUSLIM

PAMEKASAN MADURA

A. Masuk dan berkembangnya agama Buddha di Pamekasan Madura ....... 47

B. Kebertahanan Vihara Avalokitesvara di tengah komunitas Muslim ...... 53

1. Kebertahanan Sosial .......................................................................... 55

2. Kebertahanan Ekonomi ..................................................................... 59

3. Kebertahanan Tradisi dan Budaya .................................................... 60

C. Pandangan Masyarakat Muslim sekitar terhadap Vihara Avalokitesvara

................................................................................................................. 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................. 67

B. Saran ........................................................................................................ 68

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara majemuk yang menganut paham demokrasi.

Yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan latar belakang suku, bahasa dan

agama yang berbeda-beda. Di tengah banyaknya perbedaan tersebut, bukan hal

mudah kemudian untuk Indonesia bisa menjaga keharmonisan antar warga

negaranya. Sejarah mecatat bahwa sudah banyak konflik antar golongan sebagai

tumbal dari kebhinekaan negara Indonesia. Dalam hal agama misalnya, Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan terjadi peningkatan

jumlah pelanggaran dalam setiap tahunnya. Di 2016 saja, ada 97 pengaduan

terkait pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di seluruh

Indonesia, meningkat dari 87 laporan di sepanjang 2015. Di tahun 2016, rata-rata

pelanggaran hak atas kebebasan beragama ini tercatat sampai 8 kali per satu

bulan, meningkat dari tahun 2015 yang tercatat hanya 7 kali pelanggaran per

bulan.1

Laporan Komnas HAM ini, yang dipublikasikan di awal tahun 2017,

menyatakan jumlah tersebut tentu tidak mencerminkan jumlah pelanggaran yang

sesungguhnya, karena kasus-kasus yang diadukan hanya sebagian kecil dari

kasus-kasus yang ada. Pelanggaran ini diperkirakan akan terus bertambah seiring

1 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), "Laporan Tahunan Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan 2016" https://www.komnasham.go.id/files/20170324-laporan-

tahunan-kebebasan-beragama-$IUKH.pdf (Diakses pada 13 November 2017).

2

dengan meningkatnya isu sektarian dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang

memiliki latar belakang yang bermacam-macam.

Terkait kebebasan beragama, sejak awal negara telah mengatur UUD NRI

1945, ayat (1) dan ayat (2) pasal 28E menerangkan bahwa: satu, setiap orang

bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan

pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat

tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Kedua,

setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran

dan sikap, sesuai hati nuraninya.2 Terkait ketentuan pasal 28E ayat (1) dan ayat

(2) Agung Ali Fahmi menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama tidak

dapat dipisahkan dari kebebasan untuk menyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.3

Azyumardi Azra menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan

boleh jadi juga mengalami hambatan dan kendala dari bagian tertentu dalam

masyarakat keagamaan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi di antara umat beragama

yang berbeda, dan juga bahkan di antara berbagai mazhab, aliran, atau didominasi

dalam agama tertentu. Tidak jarang kelompok agama yang dominan dalam satu

negara-bangsa tertentu melakukan tindakan-tindakan yang dalam satu dan lain hal

menghalangi dan membatasi kebebasan agama dan keyakinan kelompok agama

lain. Begitu juga, kelompok mayoritas arus utama dalam satu negara tertentu, atas

2 Nursyam, M.Si, Kompedium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: FKUB,

t.th), h. 39. 3 Adam Muhshi, Teologi Konstitusi: Hukun Hak Asasi Manusia atas Kebebasan

Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015), h. 1-2.

3

nama ortodoksi, melarang aliran, mazhab atau denominasi yang ada di dalam

agama tersebut.4

Aspek mayoritas dan minoritas memang menjadi kata kunci untuk kasus

pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Berdasarkan laporan Komnas HAM 2016, hampir semua kasus kebebasan

beragaman dan berkeyakinan memang cenderung dikarenakan kebijakan-

kebijakan daerah dan penegakan hukum yang lebih tajam kepada kelompok

minoritas dan longgar terhadap kelompok mayoritas.5 Dalam kasus-kasus

pembatasan atau pelarangan pendirian rumah ibadah misalnya, tindakan

pembatasan lebih banyak ditujukan kepada rumah-rumah ibadah kelompok

minoritas, misalnya mereka diharuskan untuk memenuhi semua ketentuan

persyaratan pendirian rumah ibadah, baru dapat mendirikan rumah ibadah.

Padahal bila diteliti secara seksama, rumah-rumah ibadah yang didirikan

kelompok mayoritas sebagian besar tidak memenuhi ketentuan pendirian rumah

ibadah.

Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua kaum minoritas

mengalami tekanan atau bahkan ancaman dari kaum mayoritas. Salah satu

contohnya adalah umat Buddha di kabupaten Pamekasan, Madura. Menurut data

statistik, hampir 100% Penduduk madura mayoritas memeluk agama Islam.

Ditambah lagi, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat

4Azyumardi Azra, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa jauh?

(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. Xvi. Judul Buku Alsi: The Oslo Coalition on Freedom of

Religion or Belief. 5 Laporan Tahunan Kebebasan Beragama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia (Komnas HAM, 2016), h. 106-107.

4

penyebaran agama, daerah Madura sering disamakan dengan Aceh, di mana

orang–orang Madura terkenal sebagai umat Islam yang sangat saleh.6

Terlepas dari penduduknya yang mayoritas muslim, ada sekelompok

penduduk di Madura yang memeluk agama Buddha. Walaupun jumlahnya sangat

sedikit, akan tetapi mereka eksis dalam menjalankan kegiatan peribadatannya

secara rutin tanpa gangguan dari kaum mayoritas. Dari total 3.622.762 penduduk

di empat kabupaten di Madura, hampir 100% mereka beragama Islam, yaitu

sebanyak 3.553.225 penduduk. Sedangkan umat Buddha sendiri hanya tercatat

329 orang,7 yang sebagian dari mereka melakukan peribadatannya di Vihara

Avalokitesvara yang terletak di kawasan pantai Talang Siring di kabupaten

Pamekasan.

Sejak awal berdirinya Vihara Avalokitesvara, yaitu jauh sebelum masa

kemerdekaan, penganut Buddha di Vihara ini sudah mengalami banyak lika-liku

kehidupan. Yang salah satunya mengalami paksaan oleh tentara Jepang di masa

penjajahan dan juga sempat terjadi target penyerangan dan pengusiran oleh

masyarakat yang mengatas namakan pejuang kemerdekaan.8 Bahkan mereka juga

mendapat tindakan diskriminatif sebagai bagian dari kaum Tionghoa pada masa

pemerintahan Soeharto.9

6 Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi,

Dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi (Jakarta: Gramedia, t.th), h. 239. 7 Data Sensus Penduduk 2010 -Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

8 Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat Beragama

(Pamekasan: t.p., 2004), h. 9. 9 Felicia Tania K, Lintu Tulistyantoro, Linggajaya Suryanata, “Studi Ikonografi Panofsky

Pada Ornamen Interior Vihara Avalokitesvara Pamekasan, Madura,” JURNAL INTRA, Vol. 5, No.

2, (2017), h. 182.

5

Akan tetapi kekerasan dan juga diskriminasi terhadap mereka berangsur-

angsur berhenti sejak terbentuknya Yayasan Candi Bodhi Dharma di tahun 1959,

dimana dengan berdirinya yayasan tersebut, pihak pimpinan Vihara

Avalokitesvara serta tokoh agama Buddha di Vihara Avalokitesvara berhenti

menyebarkan agama Buddha dan malah fokus menanamkan rasa kasih sayang dan

cinta kasih terhadap jemaah maupun masyarakat sekitarnya. Rasa kasih sayang

dan cinta kasih itu diwujudkan dengan silaturrahmi antar etnis dan antar umat

beragama terjalin dengan baik, itupun tidak hanya di lingkungan masyarakat

Candih melainkan sampai menjangkau ke desa-desa yang jauh dari Vihara. Berkat

usaha tersebut, umat Budhda di Vihara Avalokitesvara mampu mengubah

menciptakan kerukunan dengan warga sekitar yang mayoritas beragama Islam.

Adapun bentuk kerukunan beragama yang terpancar di Vihara Avalokitesvara

khususnya masyarakat Candih dan sekitarnya diantaranya: (a). Perkawinan Orang

Islam yang diselenggarakan di komplek Vihara Avalokitesvara. (b). Pertemuan

antar Umat Beragama. (c). Melayat Orang Meninggal. (d). Bantuan Beras.10

Maka dari itu, penulis kemudian tertarik untuk meneliti lebih lanjut potret

eksistensi umat Buddha di Vihara Avalokitesvara Pamekasan yang mampu

mengubah kondisi mereka dari yang tadinya mendapat ancaman dan diskriminasi

menjadi kelompok yang bisa berdamai dan rukun dengan masyarakat sekitar.

Penulis ingin melihat eksistensi mereka yang mampu bertahan ditengah mayoritas

muslim dengan menggunakan pendekatan konsep “Kebertahanan sosial”. Judul

skripsi ini adalah “Eksistensi Komunitas Buddha di Tengah Masyarakat Muslim

10

Mahinda, Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara (Pamekasan: t.p.,

2004), h. 2.

6

di Pamekasan Madura (Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara

Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten

Pamekasan Madura).”

B. Pembatasan Masalah

Agar supaya penelitian ini tidak melebar pembahasannya, maka penulis

membatasi kajian penelitian ini hanya pada eksistensi kelompok penganut Agama

Buddha Vihara Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan, serta melihat proses

yang mereka ambil dalam mempertahankan eksistensi di tengah kaum mayoritas

penduduk yang beragama Islam.

C. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di Vihara

Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan?

2. Bagaimana cara mereka mempertahankan eksistensi tersebut di tengah

kaum mayoritas penganut agama Islam?

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di

Vihara Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan.

2. Untuk mengetahui cara penganut Agama Buddha di Kabupaten Pamekasan

mempertahankan eksistensi mereka di tengah bayang-bayang kaum

mayoritas.

7

Adapun manfaat dari penelitan ini adalah diharapkan bisa menambah

pengetahuan dan wawasan bagi peneliti dan akademisi tentang permasalahan

kebebasan beragaman dan berkeyakinan di Indonesia. Selain itu, penulis juga

berharap bisa memberikan warna yang berbeda di tengah maraknya kasus

pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan membahas tentang

contoh sukses kerukunan antar umat beragama, lebih-lebih antara yang minoritas

dan mayoritas. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan pengetahuan yang

lebih mendalam tentang rumah ibadah agama Buddha Vihara Avalokitesvara di

Pamekasan.

Secara akademis, penelitian ini bisa memenuhi syarat bagi penulis untuk

mendapat gelar S1 (strata satu) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta pada jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin sebagai sebuah

penelitian karya ilmiah/skripsi.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya, salah satunya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Yusuf Anbar Firduasi yang meneliti eksistensi

agama Konghucu di Majalengka, Jawa Tengah di tahun 2017. Penelitian ini

berjudul “Eksistensi Agama Konghucu di Kabupaten Majalengka: Studi Kasus

Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan Penganut Agama Konghucu.” Penelitian yang

dilakukan oleh Yusuf ini hanya membahas tentang eksistensi agama minoritas

saja, tidak menelaah lebih jauh bagaimana interaksi antara penganut agama

tersebut dengan kelompok agama yang lain, terlebih dengan agama mayoritas.

8

Dan ini yang kemudian membedakan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf

dengan penelitian ini.

Selain itu, penelitian ini juga merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh

Amirul Auzar ch, yogyakarta 2017. Penelitian ini berjudul “Simbolisme Dewi

Kwan Im Dalam Wujud Tridarma Tunggadewi, atas pendangan Komunitas

Vihara Avalokitesvara Pemekasan”. Penelitian yang dilakaukan oleh Amirul ini

hanya membahas tentang proses transformasi Tribuana Tunggadewi ke Kwan Im.

Dan hasil penelitian ini yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa:

1. Komunitas Vihara Avalokitesvara memposisikan Tribuana Tunggadewi

sebagai Kwan Im pada mulanya disebabkan Tribuana Tunggadewi dianggap

memiliki sifat feminis Kwan Im yang Maha Welas Asih.

2. Masyarakat Madura pada umumnya masih memengang nilai-nilai

kepercayaan kesakralan terhadap leluhur yang berpengaruh bagi masyarakat

Madura, maka hal tersebut yang menyebabkan transformasi boddhisatva

Kwan Im ke Tribuana Tunggadewi sebagai pusat kesakralan. Dan

penelitian ini tempat studi kasus sama, namun penelitian ini berbeda.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Lapangan (field Research). Data lapangan

diperoleh dengan wawancara. Wawancara adalah bentuk komonikasi antara

dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari

seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan

9

tujuan tertentu.11

Wawancara ini dilakukan dengan tujuan menyajikan

konstruksi saat sekarang dalam suatu konsteks mengenai pribadi, peristiwa,

aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi tingkat dan

bentuk keterlibatan.12

Wawancara ini tidak hanya dilakukan pada pengurus,

tokoh dan jamaah Vihara Avalokitesvara, tetapi juga terhadap masyarakat

kabupaten pamekasan yang berada di sekitar Vihara.

Untuk memperkuat penelitian ini maka di dukung juga metode kualitatif,

yang menurut Prof. Dr. Sugiono, adalah metode yang digunakan untuk meneliti

kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci.

Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi yaitu gabungan

dokumintasi pustaka atau fotografi wawancara dan observasi lapangan.

Analisis data bersifat induktif (penyimpulan rataan) dan hasil penelitian

kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.13

Penelitian ini juga

didukung dengan penelitan perpustakaan (Library Research), yaitu penelitian

yang dilakukan dengan menelusuri dokumen, jurnal, arsip dan buku.14

Sekaligus juga mengunakan sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan

skripsi ini, semisal artikel dari media massa.

Deskriptif Analisis adalah proses penyusunan data agar data tersebut

dapat ditafsirkan.15

Dalam hal ini penelitian yang dipakai dalam penulisan

11

Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013),

h. 180. 12

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: ALFABETA,

2010) h. 79. 13

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), h. 1. 14

Sjamsudin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007),h. 76. 15

Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),

h.102.

10

skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan dari si

pelaku yang sedang diamati.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian penulis menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu

kajian ilmu tentang kemasyarakatan yang ingin mengetahui secara mendalam

tentang gejala dan struktur sosial yang ada di dalam masyarakat.16

Dalam ilmu

sosiologi dikenal istilah intitusi sosial. Intitusi merupakan suatu norma khusus

yang menata serangkaian tindakan yang berpola untuk keperluan khusus

manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Koentjaraningrat, aktivitas

manusia atau kemasyarakatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar bisa

dikategorikan sebagai intitusi sosial. Salah satunya adalah jika kelompok

manusia tersebut menjalankan aktivitas bersama dan saling berhubungan

menurut sistem norma-norma tersebut.17

Pendekatan sosiologis adalah

pendekatan yang diangkat dari ekspresiensi atau pengalaman konkrit sekitar

agama yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik sejarah (masa lampau)

maupun dari kejadian-kejadian sekarang.18

Untuk pendekatan sosiologis ini,

penulis memilih konsep kebertahanan sosial. Menurut G. S. Cumming dalam

An Exploratory Framework for the Empirical Measurement of Resilience,

konsep kebertahan sosial adalah kebertahanan juga didefinisikan sebagai

kemampuan sistem untuk menjaga identitasnya dalam menghadapai perubahan

16

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 9. 17

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1987), h. 70-74. 18

Adeng Muchtar, Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi

Agama-agama (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 49-50.

11

internal dan guncangan eksternal (2005, 976). Selaras dengan DFID,

kebertahanan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu sistem,

komunitas atau masyarakat terkena bahaya untuk menahan, menyerap,

mengakomodasi dan pulih dari dampak bahaya secara tepat waktu dan tepat

cara, termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur ensensial dasar dan

fungsi. Untuk dapat menilai kebertahanan sosial, diperlukan sasaran untuk

menganalisis tujuan penelitian. Hal ini bisa dilakukan dengan menganalisis

kemampuan ketahanan sosial terhadap ancaman, mengalisis kemampuan

ketahanan ekonomi terhadap ancaman, mengalisis kemampuan ketahanan fisik

atau budaya lingkungan terhadap ancaman.19

Dalam penelitian ini penulis

mencoba dengan menggunakan konsep kebertahanan sosial G. S. Cumming

untuk membaca eksistensi masyarakat Buddha di tengah-tengah mayoritas

masyarakat muslim di pemeksan madura.

Menurut Media Zainul Bahri, bahwa pendekatan sosiologis berfokus

kepada masyarakat yang memahami dan mempraktekkan agama; bagaimana

pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terhadap

masyarakat.20

Dalam buku Imam Suprayogo dan Tobroni dijelaskan bahwa

objek penelitian agama dengn pendekatan sosiologis menurut Keith A. Robert

memfokuskan pada (1) kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (melalui

pembentukannya, kegiatannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya,

pemeliharaannya, dan pembubarannya) (2) perilaku individu dalam kelompok

19

Ayu Risky Puastika dan Nany Yuliastuti, “Kebertahanan Permukiman Sebagai Potensi

Keberlanjutan di Kelurahan Purwosari Semarang,” Jurnal Teknik PWK, Volume 1 Nomer 1,

(2012), h. 23. 20

Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-

1940) Hingga Masa Reformasi, h. 44.

12

tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku

ritual) (3) konflik antar kelompok.21

Dan di dukung juga dengan pendekatan historis adalah suatu pendekatan

untuk menelusuri asal-usul, dan pertumbuhan serta institusi-institusi

keagamaan dalam periode perkembangannya untuk mendapatkan gambaran

yang jelas, dengan konsep tentang pengalaman keagamaan dapat dihadirkan

dan dipahami maka gambaran-gambaran utuh mengenai suatu agama akan

dapat dicapai.22

Menurut Media Zainul Bahri, bahwa pendekatan historis

adalah merekonstruksi suatu episode atau kejadian masa lalu untuk dihadirkan

masa kini, untuk dipertanyakan, dilihat relevansi dan kepentingannya dengan

masa kini.23

Menurut Hasan Usman pendekatan historis adalah suatu

periodisasi atau tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan

kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah. Sekarang yang

dimaksud dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai

kepada kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu berada di luar

kemampuan, juga hilangnya petunjuk, misalnya bekas peninggalan, atau

karena ada tujuan dan kepentingan tertentu. Dengan demikian, hakikat yang

ditemukan sejarah adalah hakikat yang valid, tetapi relatif, sedangkan tujuan

21

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial- Agama (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2003), h. 67. 22

Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1994), h. 28. 23

Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-

1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 16.

13

dari penelitian sejarah itu sendiri adalah membuat rekonstruksi masa lampau

secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan dan mengevaluasi.24

3. Sumber Penelitian

Sumber Primer adalah arsip, dokumen dan data yang dikumpulkan dan

diolah sendiri atau seorang atau suatu organisasi langsung dari obyeknya.25

Di

penelitian ini, data primernya berupa hasil wawancara dengan pengurus dan

para penganut agama Buddha pada Vihara Avalokitesvara dan masyarakat

Tionghoa yang berada di kabupaten Pamekasan. Serta beberapa pihak yang

terkait dengan objek penelitian yaitu: (Kosala Mahinda, Imam Isa Santosa,

Sappraji Sappadasa, Adhi, Gunawati), dan wawancara dengan masyarakat sekitar

diantaranya kepada pemuka agama dan tokoh masyarakat Dusan Candih yaitu:

(Drs. K. H. Salehoddin, Bapak Susianto, Novem, Abdullah, Cipto), dan didukung

juga dengan buku terkait Vihara Avalokitesvara dan Pamekasan Madura yaitu;

buku Ghazi Al-Farouk. Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, buku Ghazi

Al-Farouk. Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan Proppo-

Pamekasan, buku Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman:

Perdagangan, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam Suatu Studi Antropologi

Ekonomi, serta observasi dari peneliti di lapangan terkait Vihara tersebut.

Sumber Sekunder adalah data yang bersumber dari hasil rekontruksi

orang lain, seperti buku, jurnal, majalah, arsip, dokumen dan artikel yang

24

Adeng Muchtar, Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi

Agama-agama, h. 39. 25

Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA Lembaga

Administrasi Negara, 1999),h. 65.

14

ditulis orang-orang yang tidak sezaman dengan peristiwa tersebut.26

Menurut

sugiyono, data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpulan data, misalnya lewat orang lain atau

dokumen.27

Penulis mengambil data dari berbagai sumber seperti buku,

dokumen, internet dan sumber-sumber lainnya yang tidak terkait dengan

penelitian yang penulis laukukan.

Dalam Penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan dan

petunjuk buku, “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi

UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: UIN Press, 2012) yang dikeluarkan oleh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab I adalah

pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan Latar belakang masalah dan Perumusan

masalah yang diangkat dalam penelitain ini. Di dalam bagian ini juga akan

diuraikan Tujuan dan manfaat penulisan, Tinjauan pustaka, Metodologi

penelitian, Sistematika penulisan.

Pada Bab II, karakter masyarakat Madura. Di dalamnya akan dibahas Islam,

NU dan, Tradisional.

Pada bab III, dinamika eksistensi vihara avalokitesvara dan penganut

Buddha di kabupaten pamekasan. Di dalamnya akan di kemukakan secara umum

dan khusus sejarah berdirinya Vihara Avalokitesvara, potret kehidupan penganut

26

Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),h.

21. 27

Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 225.

15

agama Buddha di Vihara Avalokitesvara dari masa ke masa, peran Kosala

Mahinda terhadap Vihara Avalokitesvara.

Pada bab IV, eksistensi agama Buddha vihara avalokitesvara di tengah

komunitas muslim Pamekasan Madura. Dia dalamnya akan di kemukakan masuk

dan berkembangnya agama Buddha di Pamekasan Madura, kebertahanan Vihara

Avalokitesvara di tengah komunitas muslim, kebertahanan sosial, kebertahanan

ekonomi, kebertahanan tradisi dan budaya, pandangan masyarakat muslim sekitar

Vihara Avalokitesvara.

Pada bab V, merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini yang terdiri

dari dua sub bab, yantu sub bab pertama yang berisikan Kesimpulan dan sub bab

kedua yang berisikan Saran.

16

BAB II

KARAKTER MASYARAKAT MADURA

A. Islam

Sebelum berbicara Islam di Madura alangkah baiknya jika sedikit cerita

tentang asal usul Madura itu sendiri. Menurut legenda, ada suatu negara yang

disebut mendangkamulan dan berkuasalah seorang raja bernama Sang Hyang

Tunggal. Raja tersebut mempunyai seorang puti yang bernama Bendoro Gung.

Pada suatu ketika putri tersebut hamil dan diketahui ayahnya. Beberapa kali

ayahnya menanyakan siapa yang menghamilinya, tetapi anaknya tidak tahu

penyebab kehamilannya. Raja sangat marah dan memanggil patihnya yang

bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Patih tidak diizinkan

kembali ke kerajaan jika belum membunuh putri Bendoro. Maka dibawalah putri

tersebut ke hutan. Ketika petih menghunus pedangnya ke leher putri, pedang

tersebut selalu terjatuh ke tanah, bahkan kejadiaanya berulang sampai tiga kali.

Akhirnya, patih yakin bahwa kehamilan putri raja itu bukan karena perbuatannya

sendiri. Patih Pranggulang memutuskan untuk tidak kembali ke kerajaan dan

mengubah namanya menjadi kiai Poleng, serta mengganti pakaiannya dengan

Poleng (sejenis kain tenun Madura). selanjutnya putri dihanyutkan dengan Ghitek

(rakit) menuju pulau "Madu Oro". Dari peristiwa inilah nama Madura diambil.1

1 Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, Vol. 2, No. 1,(2015), h. 57.

17

Tak lama lahirlah seorang putra bernama Raden Sagoro (Sagoro= Laut).

Dengan demikian, ibu dan anaknya menjadi penduduk pertama dari pulau

Madura. Dalam perkembangan berikutnya, perahu-perahu yang berlayar di sekitar

pulau Madura sering melihat cahaya terang di tempat Raden Sagoro berdiam.

Seringkali perahu tersebut berlabuh dan mengadakan selamatan di tempat itu.2

Demikian seterusnya, lama kelamaan pulau Madura banyak dihuni orang hingga

saat ini.

Sebelum Islam datang ke Madura, hegemoni3 dari dinasti kerajaan Hindu

berlangsung lama di wilayah ini, yaitu sekitar 600 tahun (900 M-1500 M).4

Karena itu, jika sejumlah wilayah di Madura terdapat beberapa peninggalan

seperti Candi dan Vihara. Namun, sejarah Islam di Madura belum sepernuhnya

terdokumentasi secara utuh.

Sejarah penyebaran Islam di Madura, dimulai dari kehidupan kecil, bukan

dari kehidupan dalam keraton. Seperti halnya yang terjadi di pulau Jawa, agama

Islam dibawa oleh pedagang-pedagang dari Asia Tenggara.5 Pada saat itu sudah

banyak pedagang-pedagang Islam dari Gujarat yang singgah di pelabuhan pantai

Madura, terutama di pelabuhan Kalianget.6 Menurut Schrieke, sebagaimana

dikutip Jonge, penduduk pantai selatan Sumenep pada abad ke 15 M mulai

2 Abdurachman, Sejarah Madura Selayang Pandang (Sumenep: t.p., 1988), h. 1-2.

3 Hegemoni adalah pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya suatu

negara atas negara lain. Atau bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan

menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Lihat:

https://kbbi.web.id/hegemoni 4Huub De Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi,

dan Islam: Suatu Studi Antropologi Ekonomi (Jakarta: Grmedia, 1989), h. 45. 5 Kutwa Fath, Pamekasan dalam Sejarah (Pamekasan: Pemerintah Kabupaten

Pamekasan, 2006), h. 57. 6 Abdurachman, Sejarah Madura, h. 16.

18

berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru, mula-mula

disebarkan di daerah seperti Prenduan, yaitu tempat perdagangan yang

mempunyai hubungan dengan derah-daerah seberang. Penyebaran agama Islam

berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. penyebar agama islam yang

pertama adalah pedagang Islam dari India (Gujarat). Malaka, dan Sumatera

(Palembang).7

Perkembangan Islam di Madura seiring dengan pesatnya perkembangan

Islam di Jawa, penyebaran Islam sudah masuk ke lingkungan keraton. Banyak

penguasa kerajaan yang sudah memeluk agama Islam. Seperti halnya, Sunan

Ampel yang berhasil membuat beberapa tokoh kerajaan memeluk Islam, antara

lain: 1) Adipati Arya Damar, isteri, serta anak di Palembang. 2) Prabu Brawijaya

dan permaisurinya purti Cempa (yang berhasil hanya permaisurinya saja). 3) Sri

Lembu Petteng dari Madura.8

Secara intensif di Madura juga terjadi pembaruan di kalangan elit keraton,

dengan maksud jika penguasa beragama Islam dan mengesahkan dirinya sebagai

raja yang beragama Islam serta memasukkan syariat Islam ke dalam daerah

kerajaannya, maka rakyatnya aka lebih mudah untuk memeluk agama Islam.9

seperti pernikahan antara Sayid Ali Murtadlo (raja Pandita) atau kakak Sunan

Ampel yang melangsungkan pernikahan dengan putri Arya Babirin. Sedangkan

Sunan Ampel sendiri selain menikah dengan putri Arya Teja (Mantri Tuban) yang

bernama Raden Ayu Candrawati, juga menikah dengan putri Kiai Bangkoneng

dari Pamekasan.

7 Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 240.

8 Effendi Zarkasi, Unsur Islam dalam Pewayangan (Jakarta: Alfa Daya, 1981), h. 68.

9 Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, Vol. 2, No. 1,(2015), h. 61.

19

Dikabarkan bahwa beberapa elit keraton Madura yang lain juga telah

memeluk agama Islam sekaligus menjadi penyebar ajaran Nabi Muhammad

SAW. seperti Jokotole (penguasa Sumenep), Lembu Petteng (penguasa

Sampang), Arya Menak Sunoyo (penguasa Proppo), Bonorogo (penguasa

Pamekasan), dan Ki Arya Praghalba (penguasa Bangkalan).10

Karakteristik Islam Madura sangat berpengaruh terhadap masyarakat

Madura, salah satu yang menjadi ciri nuansa keislaman di Madura, yaitu setelah

kerajaan Islam berdiri, raja-raja Islam mengambil alih fastival citra palguna

(festival tahunan pada masa kerajaan Majapahit) yang dianggapnya sebagai alat

pemersatu rakyat ke dalam budaya Islam dan mengubah nama festival tersebut

menjadi grebek maulid yang puncak acaranya selalu bertepatan dengan tanggal

kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu pada tanggal 12 Rabiul Awal. Bahkan,

setelah dibudayakannya grebek maulid, pada tanggal 12 Rabiul Awal ini selalu

dijadikan hari penobatan seluruh raja-raja Islam di Pulau Jawa dan Madura.11

Dalam masyarakat Madura, keseimbangan hidup diwujudkan dengan

menjaga hubungan kepada Allah dan dengan sesama. Ada ungkapan abantal

syahadat asapo' iman (berbantal syahat, berselimut iman), suatu ungkapan yang

menyiratkan pentingnya agama menjadi sandaran dalam kehidupan. Dalam

hubungannya dengan sesama, orang Madura mempunyai ukuran terhadap perilaku

baik dalam pergaulan sosial yaitu andhap asor (rendah hati) yang menyiratkan

kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang harus

10

Fath, Pamekasan dalam Sejarah, h. 27. 11

A. Sulaiman Sadik & Chairil Basar, Sekilas tentang Hari Jadi Pamekasan (Pamekasan:

Pemerintah Kabupaten Pamekasan, 2004), h. 8.

20

dimiliki orang Madura.12

jadi, selain dari penghayatan keagamaan yang tinggi

orang Madura juga mempunyai nilai-nilai luhur kuat yang harus dijunjung dalam

kehidupan antar masyarakat. maka dari itu, orang Madura selalu menekankan agar

memiliki akhlak yang baik tapi kurang berilmu daripada ilmu yang tinggi tapi

akhlak yang jelek.

Madura identik dengan Islam, meskipun tidak semua penduduk Madura

memeluk agama Islam. Citra Madura sebagi "masyarakat santri" sangat kuat,

bahkan hampir setiap rumah orang Madura mempunyai langgar atau surau sebagai

tempat keluarga melakukan Salat.13

Hal ini terlihat jelas tampak sederetan masjid,

Musala, dan pesantre dari ujung barat (Bangkalan) hingga ujung timur (Sumenep).

Kedua unsur tersebut, antara agama Islam dan orang Madura, merupakan

suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keanggotaan seseorang dalam

kelompok etnik Madura sagat ditentukan oleh kesertaan identitas Islam pada

orang tersebut. Artinya, Jika orang Madura tersebut tidak lagi memeluk agama

Islam, maka ia tidak dapat lagi disebut sebagai orang Madura.14

Kepatuhan,

ketaatan, dan kefanatikan orang Madura sudah lama terbentuk, walaupun

kenyataan ini luput dari laporan para pengamat Belanda tempo dulu. Secara

keseluruhan ajaran Islam sangat pekat mewarnai budaya dan peradaban Madura.15

Sehingga orang luar memandang karakter orang Madura sebagi orang yang sangat

12

A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar

Kebudayaan Madura (Surabaya: Adhap Asor, 2013), h. 3-4. 13

Andang Subaharianto, Tentang Industrialisasi Madura; Membentur Kultur,

Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia, 2004), h. 51-52. 14

Subaharianto, Tentang Industrialisasi Madura, h. 54. 15

Mien Ahamad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,

Penampilan, dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar

Media, 2007), h. 45.

21

beriman, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran

agama Islam.16

Tetapi tidak semua ajaran Islam diikuti orang Madura, seperti dalam

pembagian harta warisan keluarga. Sekalipun beragama Islam pasti menganut

sistem adat setempat. Pola-pola umum yang berlaku di kalangan masyarakat

Madura, harta perolehan hasil antara bagian anak laki-laki dan anak perempuan

disesuaikan dengan asas se lake' mekol, se bine' nyo'on yang artinya, bagian anak

laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Perempuan mendapat bagian

rumah dan pekarangannya, sedangkan laki-laki memperoleh bagian tanah

pekarang atau tanah tegalan yang nilainya setara dengan bagian yang diperoleh

perempuan. Tapi, bisa jadi perempuan yang mendapat lebih banyak tergantung

dari adat istiadat setempat yang berlaku.17

Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia terdapat kelompok yang

sangat berpengaruh khususnya di pulau Jawa. Mereka ini lebih dikenal dengan

sebutan Walisongo.18

Pulau Madura yang termasuk wilayah cakupan Propinsi

Jawa Timur adalah suatu pulau yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Maka tak mengherankan jika penyebaran Islam di Madura selalu dikaitkan dengan

penyebaran Islam di Jawa.

16

Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 239. 17

Subaharianto, Tentang Industrialisasi Madura, h. 62. 18

Walisongo merupakan julukan terhadap pelopor penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Mengenai nama-nama walisongo yang umum dikenal di kalangan masyarakat adalah Maulana

Malik Ibrahim (wafat 1419 M), Sunan Ampel (wafat 1467 M), Sunan Bonang (wafat 1525 M),

Sunan Giri (wafat 1530 M), Sunan Derajat (wafat 1572 M), Sunan Kalijaga (wafat 1585 M),

Sunan Kudus (wafat 1560 M), Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati (wafat 1570 M). Lihat

Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjoangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977), h. 17.

dan Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam perspektif Santri dan Abangan (Jakarta: salemba

Diniyah, 2002), h. 41-43.

22

Sejarah masuknya agama Islam di pulau Madura ini dibagi menjadi dua

wilayah, yaitu wilayah Madura Timur meliputi daerah Pemekasan dan Sumenep,

wilayah Madura Barat meliputi dua daerah yaitu Sampang dan Bangkalan.

Antara dua wilayah ini, dalam masuknya agama Islam, lebih awal terjadi

di wilayah Madura Timur. Hal ini dibuktikan dengan bukti sebagaimana

dituturkan Abdurrahman (1971:16) bahwa sebelum Sunan Giri menyebarkan

Islam di Madura sudah banyak pedagang-pedagang Islam yang berdatangan dari

berbagai daerah seperti Persia, Gujarat dan sebagainya singgah di pelabuhan

pantai Madura, terutama di pelabuhan Kalianget. Interaksi yang berpuluh-puluh

tahun antara penduduk asli dengan pedangan tentu mempunyai pengaruh yang

begitu besar terhadap kebudayaan dan kepercayaan mereka.19

Dalam buku Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan

Propro yang di tulis oleh Ghazi Al Farouk (1984), agama Islam di sumenep di

sebarkan oleh Sunan Padusan (menantu pangeran Jokotoleh). Sunan Padusan

adalah cucu dari sunan Kudus. Sedangkan di Pamekasan berawal dari keraton

Lawangan Daya yang di pimpin oleh Pangeran Nugeroho. Putranya bernama

pengeran Nurogo pada saat itu pergi menuntut ilmu agama Islam ke sunan Giri.

Setelah fasih dan dianggap sudah cukup oleh sunan Giri, pangeran Nurogo di

tugaskan untuk menyebarkan agama Islam di Pamekasan. Pada saat

penyebarannya rakyat keraton Lawangan Daya hanya sebagian yang masuk

agama Islam dan sebagian lagi masih memeluk agama Buddha termasuk Pangeran

Nugeroho ayah pangeran Nurogo. Tak lama kemudian pangeran Nugeroho jatuh

19

Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur (Skripsi Fakultas Dakwah, IAIN sunan

Ampel Surabaya, 1996), h. 63.http://digilib.uinsby.ac.id/11521/3/Bab%204.pdf

23

sakit karena sudah lanjut usia. Oleh putra-putranya di bisikkan kalimat sahadad di

dekat telinganya, beliau mengangguk (AONGGU’= Bahasa Madura) saja dan

terus wafat. Karena itu beliau terkenal juga dengan sebutan pangeran ISLAM

ONGGU’. Pangeran Nugeroho wafat pada tahun 1531. (baca susunan kami yang

berjudul: Pangeran Islam Onggu’) dan meninggalnya pangeran Nugeroho masuk

Islamkah atau tidak hanya Tuhan yang maha tahu. Nama-nama keturunan

pangeran Nugeroho (pangeran Ronggo sukowati, Pangeran Nurogo, pangeran

Adipati Madegan, istri pangeran Lumajang, Dewi Taluki, istri pangeran Wetan

raja Sumenep).20

Sedangkan Madura Barat, Islam sudah ada sebelum pemerintahan Prabu

Pragalba yang memimpin Madura Barat, meliputi dua wilayah kekuasaanya yaitu

Sampang dan Bangkalan, sekalipun ia baru mau menerima Islam sebagai agama

yang dipeluknya saat menjelang wafatnya tahun 1531 M.21

Perkembangan agama Islam di Madura Barat ini merebak ke seluruh

penduduk di mulai sejak pemerintahan Prabu Lemah Duwur, putra dari Prabu

Pragalba, hingga sekarang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebaran Islam di Pulau

Madura ini dapat dilihat dari dua sisi. pertama, karena pengaruh faktor eksternal,

yakni interaksi dari pedagang-pedagang muslim yang melakukan interaksi dengan

penduduk asli Madura di sepanjang pantai dan pesisir Madura. Kedua, faktor

internal, yaitu karena pengaruh kerajaan, di mana rajanya yang menjdi tumpuan

20

Ghazi Al Farouk, Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan propo

(Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Proppo Kabupaten Dati II,

1984.), h. 46. 21

Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur, h. 64.

24

penduduk telah memeluk Islam sebagai agama yang dianutnya, sementara

penduduk Madura, budaya paternalistik sangat kental sekali, artinya segala tindak

tanduk dan perilaku pemimpin menjadi rujukan bagi mereka. Oleh karenanya

ketika sang raja memeluk Islam, maka tanpa dipaksa atau diajak, serentak

penduduk mengikuti langkah rajanya.22

Orang-orang luar memandng orang Madura sebagian orang yang sangat

beriman, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran

agama, daerah itu sering disamakan dengan Adeh orang-orang Madura sendiri

terkenal sebagai orang Islam yang sangat saleh. 23

B. Nu

Nahdatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di

Indonesia bahkan di dunia24

, yang sejak kelahirannya mengklaim diri sebagai

pengawal akulturasi tradisi Islam dan tradisi lokal, sehingga kemudian kelompok

ini diidentifikasi sebagai salah saru organisasi Islam tradisional.25

Identifikasi

tersebut sampai batas tertentu terlah melahirkan mitos yang selama ini sangat kuat

diyakini bahwa pengikut organisasi ini bersifat konservatif, tertutup, dan

antipembaruan.26

NU cenderung secara kasat mata bahwa berlawanan dengan mitos di atas.

Tiga disertasi, paling tidak, sudah membuktikan bahwa di NU telah esksis

22

Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur, h. 64-65. 23

Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 239. 24

Azyumardi Azra, "Liberarlisasi Pemikir NU", dalam Mujamil Qomar, NU Liberal: dari

Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 17. 25

Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 312. 26

Shonhadji Sholeh, Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari

Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme (Surabaya: JP Books, 2004), h. 3.

25

pemikiran yang sangat jauh dari semangat konservativisme27

, yaitu telah lahir arus

pemikiran baru yang bersifat progresif28

dan liberal.29

Secara teologis, NU mempraktikkan teologi Sunni, yakni paham

keagamaan inklusif yang bersedia membuka ruang dialog, behkan sikap toleransi

dan rekonsiliasi.30

Dengan kata lain, NU menganut teologi Ahl al-Sunnah wa al-

Jama'ah yang memiliki karakter tawassut (moderat), i'tidal (adil), tawazun

(bersikap seimbang), tasamuh (bersikap toleran), dan menolak segala bentuk

pemikiran dan sikap ekstrem (tatarruf).31

Karena watak dasar yang demikian itu, paham Ahl al-Sunnah wa al-

Jama'ah atau NU banyak diterima oelh kalangan masyarakat, termasuk kalangan

masyarakat Madura. Bahkan, hubungan antara orang Madura dengan NU tidak

dapat dipisahkan, sehingga seringkali ada plesetan bahwa agama orang Madura

adalah NU.32

Secara umum kehidupan keberagamaan di Madura dapat dikatakan

kondusif, karena belum ada hal-hal yang mengarah pada konflik bernuansa

SARA. Sekalipun perbedaan pendapat yang bersifat khilafiyah itu tetap eksis,

namun hal itu dapat diminimalisir dampaknya pada perpecahan. hal ini karena

keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh agama dalam menciptakan suasan

kondusif dalam bingkai kehidupan rukun antar-umat beragama. Kerukunan umat

27

Sholeh, Arus Baru NU, h. 3. 28

Laode Ida, NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004),

h. 24. 29

Mujamil Qomar, NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisai

Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 60. 30

Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, h. 316. 31

Qomar, NU Liberal, h. 65. 32

Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, h. 85.

26

beragama di kota Gerbang Salam ini ditandai dengan semangat toleransi yang

tinggi, saling, memahami, dan tenggang rasa antar-umat beragama. Kebijakan

serta kedewasaan berpikir masyarakat dalam menanggapi segala perbedaan

menjadi salah satu indikator terhadap tingginya toleransi antar-umat beragama di

kota ini. setiap terjadi perselisihan atau hal-hal yang mengarah kepada

perselisihan atau bahkan konflik, masyarakat menyelesaikannya secara arif

dengan cara melibatkan masing-masing tokoh masyarakat dan tokoh agama.33

Dalam persepsi masyarakat Madura, kiai menduduki struktur ketiga dalam

struktur penghormatan orang Madura. Hal ini dapat ditelusuri dari ungkapan

kalimat yang menggambarkan struktur penghormatan orang Madura, yaitu:

Buppak bhabhu guruh rato (Bapak, ibu, sebagai orang tua menduduki struktur

pertama dan kedua, kemudian guru dalam hal ini kiai menduduki struktur

penghormatan ketiga, kemudia penguasa berada pada strata keempat). Namun

pada batas-batas tertentu kiai menduduki struktur pertama dan utama. Terbukti

banyak orang Madura yang lebih hormat kepada kiai dibanding kepada orang

tuanya.

Ungkapan dan perilaku tersebut menggambarkan bahwa kiai dalam

pandangan orang Madura termasuk dangan meminjam bahasa Pareto (1848-1923)

masih menduduki strata sosial kelas atas atau sering disebutkan kelompok elit,

sementara masyarakat menjadi kelas kedua atau kelompok non-elit.34

Pareto

membagi kelompok elit pada dua bagian, yaitu governing elit dan non governing

33

Jamal al-Din Muhammad b. Makram b. Manzur, Lisan al-Arab, Vol. 3, (1997), h. 320. 34

S. P. Varma, Modern Political Theory: A Critical Survey (India: Vicas Publishing

House Pvt Ltd, 1975), h. 228. Lihat juga T. Bottomore, Elite and Society, and Ed. (London:

Routledge, 1993), h. 25.

27

elit. Kiai dalam posisi ini sebagai non-governing elit yang memiliki peran tinggi

dalam setiap aktivitas dan kegiatan.35

Fungsi yang lain, kiai sebagai kelompok elit

adalah melakukan kontrol an kendali baik dalam bidang politik, ekonomi, dan

keputusan sosial.36

Masyarakat senantiasa sam'an wa ta'atan sebagai sebuah

simbol kepatuhan terhadap kiai, segala ucapan dan perintah kiai senantiasa

dipatuhi oleh orang Madura. Orang Madura merasa cangkolang (tidak punya

sopan santun) dan tidak berani berbuat jika berbeda pendapat atau melanggal

perintah kiai, sehingga apa kata atau keinginan kiai senantiasa tertanam di hati

orang Madura sebagai simbol kepatuhan tanpa pamrih kepada kiai. Mereka begitu

yakin bahwa kepatuhan terhadap kiai tidak akan sia-sia dan bakal mendapatkan

barakah.

C. Tradisional

Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik,

stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian

bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa

dengan etnografi komunitas etnik lain. Kekhususan kultural itu tampak antara lain

pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat

figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan.

Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan

Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis

35

Patrick Dunleavy dan Breandan O'leary, Theories of The State: The Politics of Liberal

Democracy (London: McMillan Education Ltd., Hoummislls, Basingstioke, 1991), h. 136. 36

Jack Planoad Milton Greenberg, The American Political Dictionary (USA: Harcourt

College Publisher, 2002), h. 84.

28

orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya

mereka.

Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi

keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai “aturan

normatif” yang mengikat. Oleh karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang

dilakukan secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan

sanksi sosial maupun kultural. Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih

lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk

mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat

dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak

ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan,

ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut.37

Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’)

sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui

keniscayaannya. Secara kulturak ketaatan dan ketundukan seseorang kepada

kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah

ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan,

dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya

menjadi kemestian secara mitlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu

gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam

memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun,

sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya

37

Huub De Jong, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-esai Tentang Orang Madura

dan Kebudayaan Madura (Yogyakarta: LKIS, 2011), h. 61.

29

relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada

orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati

pula oleh anak-anaknya. Itulah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural

yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya akan

berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar, dan alamiah, kecuali

kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan yang

disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luarbiasa.

Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level-

hierarkis selanjutnya. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan

menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-

kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru

lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan

eskatologis terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban

atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena

itu, ketaatanorang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya

mereka yang mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.38

Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada

figur guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan

anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak

semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati

pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh

murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan

38

Jong, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi, h. 65.

30

bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh

karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura

belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah

statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan

pasrah.39

Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan)

menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari

mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena

keberhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang

Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai

Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun

sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa

Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.

Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam

realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang

Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-

orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah

posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik

Madura.

Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur

utama tersebut sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi

religiusitas budayanya. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%)

39

Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 53.

31

muslim, Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam

aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya (Wiyata, 2002: 42).

Kepatuhan kepada kedua orangtua merupakan tuntunan Rasulullah SAW

walaupun urutan hierarkisnya mendahulukan Ibu (babbu’) kemudia Ayah

(Buppa’). Rasulullah menyebut ketaatan anak kepada Ibunya berlipat 3 daripada

Ayahnya. Selain itu juga dinyatakan bahwa keridhaan orangtua “menjadi dasar”

keridhaan Tuhan. Oleh karena secara normatif-religius derajat Ibu 3 kali lebih

tinggi daripada Ayah maka seharusnya produk ketaatan orang Madura kepada

ajaran normatif Islam melahirkan budaya yang memosisikan Ibu pada hierarki

tertinggi. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Kendati pun begitu, secara

kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu.

Posisi Ayah dalam sosiokultural masyarakat etnik Madura memegang kendali dan

wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk

bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya:

pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh

anggota keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam

“kepemimpinan” lelaki.

Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz)

maupun kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan

dang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru

berjasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk

memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri

akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar

32

karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan

keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan

berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim

dan kesempatan bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik,

mengakomodasi kebebasan beribadat, memelihara suasana aman, dan

membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi

religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan

dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.

Masyarakat muslim Madura selama ini dikenal memiliki tingkat kepatuhan

yang sangat tinggi terhadap ajaran normative agamanya. Bentuk ketaatan dan

kepatuhan orang Madura terhadap Islam telah jailin jemalin dengan konstruksi

sosial-budayanya yang tersirat dalam ungkapan Buppa, Babbu, Guru, ban Rato

(Ayah, Ibu, Guru/Kiai, dan Pemimpin Pemerintah). Sebuah ungkapan yang

menggambarkan hierarki kepatuhan orang Madura dalam kehidupan sosial-

budaya mereka.

Dalam hierarki itu, meskipun kiai atau ulama menempati urutan ketiga

atau kedua setelah orang tua, namun porsi ketaatan kepada kiai dapat melampaui

ketaatan pada orang tua, apalagi pada pemimpin formal (Pemerintah). Hal ini

karena kiai dan pondok pesantrennya selalu menjadi rujukan tidak hanya dalam

hal-hal yang berkaitan langsung dengan persoalan agama, namun juga dalam

aspek kehidupan yang lebih luas, baik sosial, budaya, pendidikan, ekonomi,

politik, dan aspek lainnya.

33

Madura dengan ribuan pondok pesantrennya telah memiliki pakem

keilmuan yang dikembangkan dengan tradisi kepesantrenan yang sangat unik. Ini

terlihat bahwa santri-santri Madura dikenal sebagai Santri Kelana dan Aktor

Peradaban serta menjadi Komunikator Sosial Pesantren se-Nusantara.

Corak keislaman masyarakat Madura yang tampak kokoh dalam batas-

batas tertentu dapat dikatakan “fanatic” sebagai hasil simbiosis antara ajaran

normatif Islam dengan konteks sosial, budaya, dan geografis pulau Madura.

Masyarakat Madura memiliki satu prinsip hidup yang sangat filosofis yang

menggambarkan prestise dan eksistensi diri, yaitu Etembhang pote mata ango’an

pote tolang (daripada putih mata lebih baik putih tulang), artinya daripada malu

lebih baik mati. Ungkapan ini bermakna sangat filosofis tentang tata nilai dan

prinsip harga diri orang Madura yang sangat kuat, terutama dalam membela

kerabat dan hak kepemilikannya. Tata nilai ini pula berimplikasi pada peneguhan

semangat tegas, lugas, apa adnya dan ksatria. Kondisi ini juga diakibatkan

pengaruh dari alam bahari Madura yang penih tantangan dan resiko serta kondisi

geografis yang kering, gersang, dan panas sehingga membentuk karakter orang

Madura yang mempunyai keberanian tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh

percaya diri, defensive dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap

terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak

yang terbentuk inilah yang membuat masyarakat muslim di Madura memiliki sifat

kepatuhan yang tinggi terhadap agama Islam.40

Berikut beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Madura:

40

https://studis2farmasi2a2016kel11.wordpress.com/2016/06/05/corak-keberagaman-

masyarakat-muslim-di-madura. Diakses pada tanggal 18-11-2018

34

1. Tradisi Sya’banan di Madura41

Di Madura, malam Nisfu Sya’ban dikenal dengan sebutan Sya’banan.

Biasanya Masyarakat khususnya di pedesaaan sudah memadati Masjid menjelang

maghrib. Setelah sholat maghrib berjamaah dilanjutkan dengan membaca Surah

Yasiin bersama dan setelah selesai warga mulai meminta maaf satu sama lain.

Setelah dari Masjid dilanjutkan berkunjung ke rumah sanak saudara.

Selain maaf-maafan, tradisi lain yang dilakukan masyarakat Madura

khususnya pedesaan yang memegang erat budaya dan tradisi salah satunya adalah

memberikan beras atau sembakao kepada pengurus masjid/mushollah untuk

dijadikan konsumsi di malam tersebut. Biasanya oleh pengurus mushollah atau

masjid yang dikenal dengan sebutan Langgar dijadikan cangkaro’, yaitu sejenis

masakan tradisional yang terbuat dari nasi yang dicampur dengan kacang hijau

dan parutan kelapa, untuk minumnya biasanya disediakan poka’ yang juga

menjadi minuman khas dari masyarakat Madura ini.

2. Lebaran Ketupat di Madura42

Perayaan lebaran pada hari ketujuh ini sebenarnya merupakan tradisi yang

di dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dari umat Islam yang telah

menjalankan ibadah puasa sunnah enam hari setelah Idul Fitri. Istilah lebaran

ketupat atau Tellasan Topak dalam Bahasa Madura merupakan istilah yang

popular, karena merujuk pada kebiasaaan masyarakat Madura membuat makanan

ketupat saat hari ketujuh Syawal.

41

http://www.sapisonok.com/2015/02/28/tradisi-upacara-tahunan-di-madura-petik-laut-di-sebut-juga-rokat-tase. Diakses pada tanggal 18-11-2018.

42 http://www.sapisonok.com/2015/02/28/tradisi-upacara-tahunan-di-madura-petik-laut-

di-sebut-juga-rokat-tase. Diakses pada tanggal 18-11-2018.

35

Di Madura Tellasan Topak digelar dengan beragam tradisi, hampir setiap

kabupaten di Madura memiliki tradisi khas dalam merayakan lebaran ketupat ini.

1) Pawai Dokar, di Bangkalan ini digelar warga empat desa. Yakni warga

Parseh, Sangra agung, Jaddih, dan Desa Biliporah, Kecamatan Socah,

Bangkalan. Pawai ini digelar dengan berkeliling jalan-jalan, berangkat dari

Desa Parseh dan berakhir di Desa Biliporah.

2) Ritual Rokat Tasek (laut). Lebaran ketupat pada hari ketujuh bulan Syawal

tahun Hijriyah ini dipercaya oleh sebagian warga sebagai hari bertuah,

sehingga digunakan sebagai hari untuk warga menggelar ritual tertentu.

Seperti yang digelar para nelayan di pesisir pantai desa Tanjung,

Kecamatan Pademawu, Pamekasan, dan nelayan di Pantai Sreseh,

Kecamatan Sreseh, Sampang. Di hari itu warga menggelar ritual Rakt

Tasek yakni ritual yang digelar nelayan untuk memohon kepada Yang

Maha Kuasa agar rezeki tangkapan ikan mereka melimpah. Para nelayan

ini juga melakukan larung sesajen ke tengah laut, dengan iringan music

saronen dan diantar oleh semua perahu nelayan.

36

BAB III

DINAMIKA EKSISTENSI VIHARA AVALOKITESVARA DAN

PENGANUT BUDHA DI KABUPATEN PAMEKASAN

A. Sejarah berdirinya Vihara Avalokitesvara

Dari buku Ghazi Al Faruk, (1984), Laporan Khusus Penemuan

Kepurbakalaan menyimpulkan bahwa berdirinya Vihara Avalokitesvara berlatar

belakang dari ditemukannya empat buah patung di kawasan Pantai Talang Siring

sekitar 300 tahun yang lalu pada abad ke-15.1 Sementara pendiri pertama Vihara

Avalokitesvara tidak ada yang mengetahui, karena selama ini belum ada yang

mengadakan penelitian secara mendetail mengenai asal usul berdirinya Vihara

Avalokitesvara. Hanya saja selama ini Vihara Avalokitesvara berdiri sudah

menjalani delapan kali pergantian pimpinan. Sedangkan Pimpinan Vihara

Avalokitesvara pada saat ini Kosala Mahinda (Lauw Tjay Hien) adalah pimpinan

generasi ke delapan, sedangkan pimpinan sebelumnya adalah Tee Sue Gwan.

Mereka juga orang Madura dari keturunan Tionghoa dan meninggal pada tahun

1958.2

Setelah meninggalnya Tee Soe Gwan akhirnya dibentuk Yayasan Candi

Bodhi Dharma pada tanggal 16 Maret 1959.3 Atas usaha yang gigih dari para

pengurus yayasan Candi Bodhi Dharma dapat menyediakan sarana-sarana yang

1 Ghazi Al-Farouk, Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan Proppo-

Pamekasan (Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Proppo Kabupaten

Dati II, 1984.), h. 44. 2 Mahinda, Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara (Pamekasan: t.p.,

2004), h. 2. 3 Oe Siang Djie, Jajasan Tjandi Bodhi-Dharma (Surabaya: t.p., t.th, Nomer 35), h. 1.

37

diperlukan oleh umat Buddha, umat Islam dan Hindu Buddha seperti Musala dan

Pura yang terdapat di dalam komplek Vihara Avalokitesvara Candi Polagan Galis

Pamekasan Madura.4 Sedangkan untuk peribadatan umat Nasrani tidak tersedia

karena tidak ada yang mengelola dan tidak ada yang membina.

Pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama salah satu

Bodhisattava dalam agama Buddha.5 Hal ini juga sesuai dengan nama Patung

yang berada di dalam komplek Vihara, yakni Patung Avalokitesvara.6 Sedangkan

Avalokitesvara sebagai salah satu Bodhisattva yang dipuja oleh umat Buddha.

Avalokitesvara berasal dari kata Ava berarti melihat, Lokiteh berarti mendengar

dan Isvara berarti mahluk hidup atau mahluk suci. Jadi Avalokitesvara

mempunyai pengertian yaitu mahluk suci yang melihat dan mendengar

penderitaan manusia di Dunia yang penuh dengan tantangan.7

Sementara umat Buddha keturunan Tionghoa lebih mengenal dengan patung

Avalokitesvara dengan sebutan “Kwan Im Po Sat“ dalam kepercayaan orang Cina

Tionghoa, mereka dianggap sebagai dewa penolong. Jadi Kwan Im Posat

mempunyai pengertian yaitu Kwan berarti mendengarkan dan melihat, Im berarti

suara atau keluhan dan Posat berasal dari kata Bodhisattva (Mahluk Agung),

sehingga dapat disimpulkan menjadi mahluk agung dan suci yang penuh cinta

kasih serta kasih sayang terhadap semua mahluk yang sedang menderita.8

4 Ghazi Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan (Semarang: Mandhira,

1987), h. 38. 5 Kwee Tek Hoay, Avalokitesvara: Kwan Im Posat (Tangerang: Yayasan Vihara

Padumuttara, 1976), h. 13-14. 6 Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 45.

7 Kwee Tek Hoay, Avalokitesvara: Kwan Im Posat, h. 13-15.

8 Mahapandita khemahayana, Dasar Budha-Dharma (Bandung: Perhimpunana Buddhis

Indonesia, 1966), h. 14-15.

38

Berdirinya Vihara Avalokitesvara didusun Candih desa Polagan Galis

Kabupaten Pamekasan Madura tidak terlepas dari masuknya agama Buddha

sebagai agama yang pertama kali masuk di Pulau Madura sebelum agama Islam.9

Berbicara mengenai agama Buddha di Pamekasan Madura tidak terlepas dari

keberadaan sebuah desa yang letaknya kurang lebih 10 km dari Kota Pamekasan

yang tepatnya di desa Jamburingin Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan.10

Proppo merupakan Kota yang tertua di Dati II Kabupaten Pamekasan.11

Masyarakat Proppo yang patuh terhadap pimpinannya yakni Ki Ario Minak

Sanoyo dan keturunannnya juga mengikuti jejaknya sebagai Umat Buddha.12

sehingga tidak mengherankan bila desa Jamburingin kecamatan Proppo

ditemukannya bangunan candi yang berfungsi sebagai tempat peribadatan umat

Buddha. Bangunan candi tersebut bernama “Candi Gayam”. Bangunan candi

Buddha yang terdapat di kecamatan Proppo tersebut nantinya membuka tabir

berdirinya “Vihara Avalokitesvara” yang berada di kawasan pantai Talang

Siring.13

Karena tidak lama kemudian agama Islam masuk dan mampu

mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat Madura menjadi umat Islam yang

sangat tergolog fanatik.14

Vihara Avalokitesvara merupakan bangunan

peribadatan dari agama Buddha dalam wajah penampilan lengkap dari cita-cita

9 Bambang Hartono, Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja Islam

Pertama di Kota Pamekasan-Madura (Sumenep: Nur Cahaya Gusti, 2001), h. 11. 10

Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 1. 11

M. Rifai, Mistery Pusara Batu Ampar (Pakalongan: TB. Sumenep, 1985), h. 4. 12

Hartono, Sejarah Pamekasan, h. 11-12. 13

Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 4. 14

Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 45-46.

39

masyarakat Pancasila.15

Ajaran Agama Buddha menitik beratkan pada toleransi

beragama. Vihara Avalokitesvara yang berada di bawah yayasan Candi Bodhi

Dharma dipimpin oleh Kosala Mahinda (Lauw Tjay Hie) banyak melakukan

pembangunan fisik seperti sarana peribadatan, kesenian, olah raga, penginapan

dan sarana peribadatan pemeluk agama Islam serta Pura untuk umat Hindu.16

Berdirinya Vihara Avalokitesvara yang terletak di Dusun Candih, Desa

Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan. Vihara ini bersebelahan dengan

pantai Talang Siring, daerah ini merupakan daerah pesisir yang pada umumnya

kehidupan masyarakatnya hasil dari nelayan atau menangkap ikan di laut dengan

menggunakan perahu layar kecil, atau membuat bagan17

di tengah laut sebangai

salah satu cara untuk menagkap semua jenis ikan. Masyarak Candih dan Polagan

hanaya sebangian kecil yang hidup menjadi petani.

Berawal dari ditemukannya kiriman patung dari Majapahit sekitar tahun

1800, dan setelah itu ada seorang petani yang tidak diketahui namanya secara

tidak sengaja menemukan patung kiriman Majapahit di ladangnya. Kabar

penemuannya itu sangat menarik perhatian penjajah Belanda. Pemerintah Hindia

Belanda meminta Bupati Pamekasan ke -10, yaitu Panembangan

Mangkuadiningrat I (1829-1842), untuk mengangkat dan memindahkan patung

tersebut ke kadipaten. Tetapi keterbatasan peralatan saat itu menjadikan proses

15

Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 18. 16

Mahinda, Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara, h. 2. 17

Bagan adalah dalam pengertian maduranya suatu alat untuk menangkap ikan di tengah

laut yang di buat dari bambu dengan cara di rakit menjadi seperti tiang dan berbentuk sebuah

kubuk kecil.

40

pemindahan patung ke kadipaten Pamekasan mengalami kesulitan. Akhirnya

patung tersebut tetap berada di lokasi ketika ditemukan.18

Sekitar 300 tahun kemudian di temukan lagi oleh petani yang sedang

mencangkul sawahnya bernama pak Burung. Dan kemudian tanah milik pak

Burung dijual kepada seorang keturunan Tionghoa yang menjadi petanai.19

Setelah diberikan, ternyata patung tersebut adalah patung versi Majapahit. Patung

atau arca tersebut dibuatkan tempat yang kini menjadi Vihara Avalokitesvara dan

acra tersebut dijadikan patung utama dalam Vihara Avalokitesvara. Karena

diketahui bahwa patung tersebut memiliki jenis kelamin perempuan, maka oleh

komunitas Tionghoa dianggap menjadi perwakilan Dewi Kwan Im.20

Dan ada

juga menyebutkan pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama

salah satu Bodhisattva dalam agama Buddha yaitu patung Avalokitesvara.21

Patung Avalokitesvara adalah patung Bodhisattva merupakan patung versi

Majapahit.22

Berdirinya Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Galis

Pamekasan Madura tidak terlepas dari masuknya agama Buddha sebagai agama

yang pertama kali masuk di pulau Madura sebelum Islam. Agam Buddha masuk

ke pulau Madura terutama di Pamekasan dibawa oleh Ki Ario Minak Sanoyo

yang berempat tinggal di Proppo sekitar pertengahan abad ke-15. Ki Ario Minak

18

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 19

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 20

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 21

Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 45. 22

Sofiah. R, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan (Pamekasan: Pemilik Kebudayaan

Cam Galis, 1988), h. 1.

41

Sanoyo adalah cucu dari Prabu Brawijaya V. Oleh masyarakat Proppo Ki Ario

Minak Sanoyo dipertuahkan sehingga bagaikan seorang Raja, sedangkan

masyarakat Proppo sebagai abdi Raja. Masyarakat Proppo yang patuh terhadap Ki

Ario Minak Sanoyo selaku pimpinannya mengikuti jejak sebagai umat Buddha,

sehingga di desa Jamburingin kecamatan Proppo ditemukan bangunan Candi yaitu

Candi Gayam, akan tetapi situs tersebut hanya berupa pondasi dan struktur

bangunan. Situs Candi sampai sekarang merupakan daerah yang terkait dengan

pembangunan Candi yang gagal oleh umat Buddha Jamburingin, oleh penduduk

disana di sebut Candi Burung (burung adalah gagal). Bangunan Candi tersebut

yang nantinya membuka tabir berdirinya Vihara Avalokitsvara yang berada di

kawasan Talang Siring.23

Dengan berjalannya waktu pada saat kerajaan Jamburingin yang di pimpin

oleh Ki Ario Timbul yang merupakan keturunan Ki Ario Minak Sanoyo, berusaha

untuk memenuhi perlengkapan peribadatan bagi umat Buddha untuk memesan

patung “Dwi Avalokitesvara dan patung Sam Po Hud” ke kerajaan Majapahit.

Pengiriman patung dari kerajaan Majapahit melalui jalur laut yang terdekat adalah

melalui Pantai Talang Siring dengan jarak sekitar 24 km dari kecamatan Proppo.

Namun pengiriman tersebut tidak sampai ke Proppo dan terbenam di kawasan

Talang Siring sekitar 300 tahun yang lalu.24

Dari ditemukannya patung ini juga

bisa sebut dalam proses berdirinya Vihara Avalokitesvara di Candih Pamekasan

Madura.

23

Abdur Rahman, “Bentuk Kerukunan Antara Umat Beragama di Vihara Avalokitesvara

Candih Polangan Galis Pamekasan Madura Tahun 1959-1962”, JURNAL AVATAR, e-Journal

Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 2, (2018), h. 11. 24

Abdur Rahman, “Bentuk Kerukunan Antara Umat Beragama di Vihara Avalokitesvara

Candih Polangan Galis Pamekasan Madura Tahun 1959-1962”., h. 11.

42

Sementara umat Buddha yang beribadat ke Vihara Avalokitesvara tersebut

banyak yang datang dari luar Jawa dan seluruh Nusantara. Sedangkan yang

berasal dari Pamekasan sebenarnya tidak terlalu banyak. Data statistik tahun 2009

menunjukkan bahwa pemeluk agama Buddha yang ada di Kabupaten Pamekasan

hanya 134 orang. Tersebar di Kecamatan Kota Pamekasan 90 orang. Kecamatan

Pademawu 14 orang, dan Kecamatan Tlanakan, Larangan dan Galis masing-

masing 10 orang.25

B. Potret kehidupan Penganut Agama Budha di Vihara Avalokitesvara dari

masa ke masa

Dulu pada era pendudukan Jepang Vihara Candih (sekitar tahun 1940),

kegiatan yang berupa kegiatan keagamaan ada hambatan. Seperti halnya

penampilan wayang diganti dengan adegan ludrukan (sepintas). Tanpa iringan

gamelan dan suguhan tidak boleh dari beras dan sejenisnya. Sebab harus disetor

kepada bala tentara Nippon. Tetapi waluapun demikan aset-aset Vihara tetap utuh

dan tidak diusik oleh Jepang kecuali emas dan barang-barang lainnya yang harus

disetor kepada Jepang demi kepentingan peperangan namun tidak semudah itu

Vihara menyerahkan barang-barang itu, sebagian besar disembunyikan atau

dipendam dalam tanah.26

Berbeda dengan perang kemerdekaan Vihara oleh massa yang menamakan

dirinya pejuang-pejuang kemerdekaan (maaf penyusun tidak akan menyebutkan

nama barisannya). Vihara dibakar termasuk pabrik kecap cap kepiting sampai

25

Arif Akhyar Dkk dalam Ensiklopedi pamekasan alam, Masyarakat dan Budaya

(Yogyakarta: Intan Sejati Klaten, 2010), h. 139. 26

Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat Beragama

(Pamekasan: t.p., 2004), h. 9.

43

ludes dimakan api. Harta dan uang dirampasnya, Arca, Ranjang, Gamelan dan

wayang berserakan di rawa-rawa di tengah-tengah hutan bakau dan pohon-pohon

api. Orang-orang di Vihara diusir mereka mengungsi. Kelompok Tee Soe Gwan

mengungsi ke desa Montok kerumah sahabatnya. Sedangkan kelompok Tee Tyain

Kwe di ungsikan paksa di tempatkan di gedung SR Kertagena Laok yang

sekarang menjadi SD Kertagena Laok 1. Menurut berita kelompok ini akan

dihabisi. Mendengar hal itu dengan cepat kepala desa Montok dkk bertindak yaitu

menyembunyikan Tee Tyai Kwe sekeluarga, sampai selamatlah mereka. Dan

masyarakat sekitar bertindak menyelamatkan aset-aset yang berserakan di rawa-

rawa, dan kemudia setelah aman barang-barang tersebut di kembalikan ke

Vihara.27

Namun perjalanan panjang Vihara di Indonesia tidaklah mudah. Terdapat

berbagai tindak diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Terlebih pada

pemerintahan Soeharto, beliau mengeluarkan Inpres No.14 Tahun 1967. Dalam

peraturan tersebut menyebutkan bahwa agama yang dianut oleh etnis Tionghoa

(Khonghucu) beserta hal-hal yang berkaitan dengan perayaan-perayaan hari besar

seperti Imlek dilarang ditampilkan di depan umum dan hanya boleh dilakukan

secara intern saja (Firttrya 160). Akibat kebijakan pemerintah tersebut,

kebudayaan Tionghoa di Indonesia menjadi lumpuh. Bahkan hal ini

27

Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat Beragama, h.

10.

44

mempengaruhi fisik bangunan Klenteng atau Vihara. Pembangunan dan renovasi

dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (Firttrya 160).28

Atas usaha yang gigih dari para pengurusnya sehingga Yayasan Candi

Bodhi Dharma yang berdiri dari tahun 1959, dapat menyediakan atau sarana-

sarana yang diperlukan oleh umat Buddha yang mengerjakan ibadah di Vihara

Avalokitesvara ini. Sedangkan dana yang dipergunakan kebanyakan merupakan

partisipasi dari semua umat Buddha yang datang berkujung dari berbagai tempat

di pulau Madura sendiri begitu juga umat Buddha yang berada di tanah jawa.29

C. Peran Kosala Mahinda Terhadap Vihara Avalokitesvara

Kosala Mahinda adalah orang yang berperan penting dalam Vihara

Avalokitesvara ini. Beliau adalah seorang ketua yayasan. Pendidikan beliau

adalah TK, SD, SMP di bangkalan, dan kemudian dilanjutkan di SMA Katolik

Malang.

Sebagai ketua, beliau banyak memberikan kontribusi terhadap Vihara ini,

baik dari segi pemikiran maupun materi. Selama 10 tahun beliau sudah menjadi

penjaga empat tempat ibadah berbeda di Dusun Candi Utara, Desa Polagan,

Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Tugas itu merupakan warisan kedua

orangtuanya yang sudah meninggal. Sejak menggantikan orangtuanya, Kosala

panggilan Kosala Mahainda tidak hanya merawat, tetapi juga merenovasi semua

tempat ibadah, menatanya, agar keberadaan tempat ibadah tetap eksis. Empat

tempat ibadah itu yakni musala untuk umat Muslim, Pura untuk umat Hindu,

28

Felicia Tania K, Lintu Tulistyantoro, Linggajaya Suryanata, “Studi Ikonografi

Panofsky Pada Ornamen Interior Vihara Avalokitesvara Pamekasan, Madura,” JURNAL INTRA,

Vol. 5, No. 2, (2017), h. 182. 29

Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 38.

45

Lithang untuk umat Konghucu, Dhammasala untuk umat Buddha. Keempatnya

menyatu dalam satu lokasi dan sama-sama berdiri megah. Hanya saja, antara

bangunan musala dan tiga tempat ibadah lainnya, dibatasi pagar. Dari luar pagar,

tampak dua bangunan pagoda kembar menjulang yang dibangun pada 2010 lalu.

(Baca juga : Indonesia Mini di Kampus Toleransi Salatiga ).

Kosala menceritakan, umat agama yang ada di dalam kompleks Vihara

Avalokitesvara, tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham keagamaan.

Bukan hanya saat ini tapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi Kwan Im dan

beberapa patung stupa ditemukan di Desa Polagan. “Umat muslim dan lainnya di

vihara sudah damai sejak dulu ketika arca Dewi Kwan Im ditemukan pertama kali

pada abad 14 masehi oleh petani di sekitar vihara ini,” kata Kosala.30

Kedamaian itu terus dirajut antar pemeluk agama di dalam dan di luar

Vihara. Salah satu caranya, menggunakan media kesenian dan kebudayaan serta

berbagi kebahagiaan di hari-hari besar keagamaan. Sewaktu-waktu, warga sekitar

Vihara dan pengelola Vihara menggelar pementasan wayang berbahasa Madura.

Pementasan wayang kadang sampai larut malam. “Kalau sudah ada pentas

wayang, masyarakat langsung berbondong-bondong datang dan berkumpul ke

Vihara untuk menonton. Kebetulan dalangnya juga warga sekitar. Saya

menyiapkan kelengkapan pementasan wayang termasuk wayangnya sendiri,” kata

Kosala.31

30

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 31

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

46

Selain pementasan kebudayaan, saat momentum hari raya Imlek, umat

Konghucu bagi-bagi angpao kepada masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar, mulai

dari anak-anak hingga orang dewasa, berbondong-bondong datang ke Vihara

untuk silaturahim dan menerima angpao. Sebaliknya, ketika hari raya Idul Fitri

atau Idul Adha, umat muslim saling berbagi makanan kepada penghuni Vihara.

Umat muslim saling bergantian memberi makanan. Inilah yang terus ingin dijaga

oleh kosala mahinda agar kehidupan Vihara Avalokitesvara dan sekitarnya selalu

dalam kedamaian.

47

BAB IV

EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA VIHARA AVALOKITESVARA DI

TENGAH MASYARAKAT MUSLIM PAMEKASAN MADURA

A. Masuk dan Berkembangnya Agama Buddha di Pamekasan Madura

Masuknya agama Buddha ke Pamekasan, sejauh penulis memahami dari

beberapa buku tentang Madura ataupun sejarah Pamekasan tentang informasi

terkait bagaimana masuknya agama Buddha ke Pamekasan, terbilang cukup sulit

untuk ditemukan. Untuk itu, dalam pencarian informasi masuknya agama Buddha

di Madura, penulis tidak hanya mengandalkan referensi literal saja, tetapi juga

mengambil langkah wawancara kepada beberapa tokoh yang dianggap relevan

dan juga berkompeten dalam membarikan informasi. Ini tentu merupakan langkah

alternatif dari minimnya penulisan sejarah Madura, khusnya Pamekasan.

Di tengah pencarian informasi terkait masuknya agama Buddha di

Madura terkhusus di Pamekasan, ternyata bisa dibilang dengan adanya kerajaan-

kerajaan1 yang disinyalir beragama Buddha. Ada sebuah catatan penting yang

peneliti temukan, yaitu adanya kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan

Jamburingin. kerajaan Jamburingin tersebut dapat dipercaya sebagai salah satu

bukti yang bisa mengantarkan peneliti terhadap sejarah masuknya agama Buddha

dan bahkan pernah menjadi agama mayoritas di Madura. Tentu ini merupakan

1 Merupakan Kadipaten dibawah naungan kerajaan besar di jawa, hanya dalam

penyebutan nama kadipaten dalam bahasa Madura lebih dikenal sebagi Ratoh yang artinya

kerajaan.

48

bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alur sejarah masuknya agama Buddha ke

Pamekasan.

Sebelum datangnya agama Buddha, berdasarkan data dan informsi yang

ada, dapat direkonstruksi suatu penilaian bahwa kehidupan orang Madura telah

dimulai sekitar abad 4000 tahun yang lalu. Seirama dengan perkembangan

peradapan yang dimulai oleh suku Madura, megisyaratkan bahwa mereka hidup

menetap dalam tempat-tempat tinggal yang begitu primitif (sederhana). Secara

berkelompok dan bermasyarakat rasa kekeluargaan mereka dalam sehari-hari

begitu akrab, sehingga orang Madura yang hidup bersama dalam satu daerah

selalu bekerjasama dan saling tolong-menolong. Lambat laun kehidupan

bermasyarakat mereka semakin terorganisasi, sehingga ada salah satu anggota

yang di tuakan sebagai pemimpin. Selain itu pula yang dipercaya untuk

memelihara kesehatan jasmani dan rohani mereka yang dikenal dengan sebutan

sebagai dukun. Penghormatan pada orang yang dituakan ini kemudian

menumbuhkan kultus pemujaan pada roh leluhur.

Pulau Madura terbagi menjadi empat kabupaten yaitu: Bangkalan,

Sampang, Pamekasan dan Sumenep, daerah ini beriklim panas.2 Akibat dari iklim

panas tersebut, masyarakat Madura dalam memperoleh kebutuhan hidup sehari-

hairi sangat bergantung pada gejala alam, seperti untuk mendapatkan hasil cocok

tanam yang bagus mengandalkan musim hujam atau untuk memperoleh ikan

harus mengunggu cuaca bagus bagi para nelayan. Karena keterbatasan itu,

masyarakat Madura pada masa lalu tidak memiliki sumber daya alam untuk

2 Mujono Djojomartono, “Adat Istiadat Sekitar Kelahiran pada Masyarakat Nelayan di

Madura" dalam Koentjaraningrat (ed), Ritus Peralihan Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h.

71.

49

diperdagangkan. Hal itu disebabkan ketersebdiaan sumber daya alam hanya cukup

untuk kebutuhan makanan poko sehari-hari. Sehingga harus membutuhkan

masukan dari luar pulau Madura. Apalagi Madura ketika Musim panas, mereka

kesulitan mendapatkan penghasilan.

Banyak pedagang dari luar Madura masuk untuk menyuplai kebutuhan

pokok, baik dari Nusantara maupun dari luar, seperti kedatangan orang India yang

kemudian disusul oleh orang Cina. Fenomena ini secara tidak langsung memiliki

pengaruh dalam perubahan budaya dan peradaban dalam mendukung terjadinya

perkembangan cara bercocok tanam. Bahkan ada nama-nama seperti pulau,

tempat tinggal dan arsitektur banyak yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina.

Tidak hanya berhenti di situ, ternyata yang pada mulanya masyarakat Madura

penganut animisme kepercayaan lokal, yaitu adanya kepercayaan kepada roh yang

mendiami semua benda (pohon, batu, sugai, gunung dll), pemujaan kepada semua

benda yang dianggap sakral berubah dari satu kepercayaan yang sederhana

tergantikan denga konsep keagamaan yang lebih terstruktur. Akibatnya baik tokoh

masyarakat yang dituakan sampai pada tatanan kerajaan yang berada di Madura

tidak terkecuali kerajaan yang ada di Pamekasan beragama Buddha.3

Sejarah kerajaan agama Buddha di Pamekasan pada umumnya didapat

secara historiografis4 yaitu hanya didasarkan pada tradisi lisan berupa legenda

atau cerita rakyat yang disampaikan secara turun temurun. Oleh karenanya, pada

3 Mien Ahamad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos kerja, Penampilan

dan Pandangan Hidupnya seperti diceritakan Pribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h.

31-32. 4 Historiografi adalah kajian mengenai metode sejarawan dalam pengembangan sejarah

sebagai disiplin akademis, dan secara luas merupakan setiap karya sejarah mengenai topik tertentu.

Lihat; https://id.wikipedia.org/wiki/Historiografi.

50

periode awal sejarah Pamekasan, dokumen-dokumen tertulis belum banyak

ditemukan. Sejarah kerajaan Pamekasan mulai terungkap dari sumber-sumber

tradisional di luar pamekasan, misalnya Babad Soengenep,5 Sadjarah Dalem atau

Babad Tanah Jawi,6 buku-buku tersebut mencatat sejumlah peristiwa penting

yang terkait dengan kronologi sejarah Pamekasan.

Orang Madura banyak mengenal agama Buddha karena tradisi lisan atau

berupa legenda dan cerita-cerita rakyat. Bagi mereka “Buddha” sangatlah asing

dalam sehari-hari.

Di Pamekasan ada kerajaan kecil yang terkenal dengan penganut agama

Buddha, yaitu kerajaan Jamburingin.7 Jamburingin terletak di Desa Jamburingin,

Kecamatan Proppo. Meskipun Proppo sendiri seakan tidak terjamah oleh

sejarawan karena di Pamekasan sangat jarang di temukan bukti-bukti tertulis

5 Babad Soengenep merupakan yang mengisahkan tentang sejarah Madura Timur

(Sumenep) pada masalampau. kitab ini yang memiliki dua versi. Versi pertama memakai huruf

Jawa Modern dan berbahasa Madura tengahan, istilah "Babad", yang merupakan spesifikasi tradisi

penulisan sejarah kuno di Jawa. Di dalam bahasa Madura dikenalkan istilah "creta atau cerita".

sehingga dalam hal ini timbul masalah "mengapa yang dipakai adalah istilah Babad, bukan creta

atau cerita. apa yang diinginkan oleh penulis dengan penggunaan istilah tersebut. melihat isinya,

nampak bahwa kisah-kisah yang diungkapkan banyan mengambil dari naskah-naskah yang berasal

dari Jawa. Seperti Babad Tanah Jawi, sedjarah Dalem, dengan modifikasi tertentu sesuai dengan

apa yang ingin dikisahkan tentang sejarah Sumenep. Sehingga dengan demikian penggunaan

istilah babad di sini, kiranya dimaksudkan sebangai usaha untuk menyelaraskan/mensinambukan

dengan alur cerita tutur yang berlaku di Jawa. Mungkin junga penulis ingin menyatakan bahwa

antara sejarah Jawa dengan sejarah Madura memiliki kaitan yang erat, tidak dapat dipisahkan.

Lihat: Jurnal, MEDIA No 65 Th. XV/3/1993, h. 88-89. 6 Babad Tanah Jawi adalah salah satu sumber yang ada untuk mengetahui sejarah tanah

Jawa. Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas siapa sebenarnya yang menyusun dan menulis

Babad Tanah Jawi. Diperkirakan babad ini ditulis pada sekitar abad 17 atau 18. Babad Tanah Jawi

memiliki beberapa versi. Babad Tabah Jawi berisi sejarah tanah jawa mulai dari masa Hindu

(sekitar abad II atau III M) hingga masa keruntuhan Majapahit (Abad XIVI M). Lihat:

http://bukugratisuntukmu.blogspot.com/2013/02/babad-tanah-jawi-sejarah-jawa-abad-2-16.html 7 Keraton atau kerajaan Jamburingin didirikan pada abad ke-XV/15. Namun pendiri

keraton tersebut kiranya tidak ada jawban yang pasti. Akan tetapi tetap mempunyai kesimpulan

bahwa pendirinya ialah antara KI ARIO TIMBUL atau KI ARIO KEDUT. Sebab sesudah

Jamburingin diperintah oleh KI ARIO POJOK kemudia beliau pindah ke Madegan Sampang.

Madengan adalah daerah pesisir dan nelayan, dan kehidupannya lebih makmur serta lebih maju

dari Jamburingin. Lihat: Ghazi Al-Farouk, Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di

Kecamatan Proppo-Pamekasan (Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan

Proppo Kabupaten Dati II, 1984.), h. 8.

51

apalagi prasati yang menjelaskan tenteng kerajaan Pamekasan, tetapi menurut

cerita rakyat nama Proppo yang kini digunakan untuk menyebut nama Kecamatan

Proppo yang berasal dari kata Parupuh, yang berarti Parasepuh atau leluhur.8

Berdasarkan penjelasan sumber-sumber tersebut, berikut adalah sejumlah

raja yang berkuasa di kerajaan Jamburingin Pamekasan.

a. Aryo Menak Seyono Proppo Pamekasan

b. Ki Aryo Pucuk

c. Ki Demong Plakaran

d. Raden Pramono Pangeran Bonorogo Jamburingin, anaknya yang bernama

Pangeran Ronggosukowati tidak meneruskan kerajaan Jamburingin yang

ada di Proppo, tetapi pindah ke kota Pamekasan untuk membangun

kerajaan, sehingga kerajaan tersebut di teruskan oleh

e. Raden Prdeta Pangeran Suhra Adipati Jamboringin Pamekasan, anak dari

ki Ageng Pragoblo saudari dari Raden Pramono.

f. Pangeran Megatsari Jamboringin Pamekasan

g. Pangeran Mertosari Jamboringin Pamekasan, sebagi raja terahir

Jamburingin Pamekasan karena anaknya yang bernama raden Karoman

Tumenggung Wirosekar pangeran Seppo Wirosari menjadi raja di

Sumenep 1672-1678.

Legenda Aryo Menak Senoyo tidak banyak di ketahui orang, beliau yang

merintis pemerintahan lokal di Pamekasan tepatnya di kecamatan Proppo,

walaupun pada waktu itu belum dinamai kerajaan Jamburingin. Setelah dinamai

8 Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

52

kerajaan Jamburingin nama raja yang paling masyhur adalah Raden Pradeta

Pangeran Suhra sebagai raja ke-5, namun keterangan tentang Pangeran Suhra ini

sangatlah terbatas, misalnya terkait Pangeran Suhra dilahirkan dan naik tahta. Ini

dibuktikan adanya banyak sejarah lisan yang beredar bahwa Pamekasan jauh

sebelum itu merupakan bagian dari kerajaan Sumenep-Madura bagian tumur.

Sementara kerajaan di Sumenep waktu itu sekitar abad ke 10 s.d. 12 M, masih di

bawah pemerintahan Mataram kuno dan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh

Jawa, tak terkecuali agamanya yaitu Agama Buddha.9

Kerajaan Jamburingin kemungkinan besar masih mempunyai ketertarikan

dengan legenda Candi Burung di kecamatan Proppo yang sekarang keberadaanya

dikaitkan dengan penemuan arca di Dusun Candi Desa Polagan, Kecamatan Galis,

walaupun perlu kiranya ada penelitian lebih mendalam berkaitan dengan

keberadaan situs Jamburingin, tetapi cukup untuk diasumsikan bahwa situs

tersebut memang merupakan pemukiman kuno. Bukti yang menunjukan bahwa

situs tersebut merupakan pemukiman Jamburingin bisa dilihat dari struktur batu

bata merah yang ditermukan di gundukan tanah di sesa Jamburingin.10

Melihat

dari batu batanya, diduga batu bata tersebut merupakan batu bata kuno. Bukti lain

yang mendukung situs tersebut sebagai situs pemukiman adalah sumur yang saat

ini oleh penduduk sekitar dinamakan sumur Teratai. Ukuran batu bata yang

digunakan sebagai dinding sumur tersebut memiliki persamaan dengan yang ada

di sekitar gundukan tanah di Desa Jamburingin.11

Sebagai situs pemukiman,

9 Mien Ahamad Rifai, Manusia Madura, h. 34.

10 Arif Akhyar Dkk dalam Ensiklopedi pamekasan alam, Masyarakat dan Budaya

(Yogyakarta: Intan Sejati Klaten, 2010), h. 342. 11

Arif Akhyar Dkk dalam Ensiklopedi pamekasan alam, h. 342.

53

tampaknya situs jamburingin digunakan dalam tempo yang relatif lama,

setidaknya dihuni ketika masyarakat masih belum memeluk agama Islam sampai

dengan sesudah memeluk agama Islam.12

Jamburingin dipercaya sebagai bekas

kerajaan Buddha kuno yang menjadi cikal bakal pamekasan dan juga mempunyai

hubungan dengan Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan,

Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan.

Karena agama Buddha adalah termasuk agama yang minoritas khususnya

di Madura, agar tetap dikenal, dikenang dan diakui keberadaannya oleh

masyarakat sekitar dan mayotitas muslim di pamekasan. Agama Buddha

mendirikan sebuah Vihara, dengan simbol inilah mereka sampai sekarang masih

berada dan bertahan.

B. Ketahanan Vihara Avalokitesvara di Tengah Komunitas Muslim

Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis

Kabupaten Pamekasan masih eksis dan bertahan keberadaannya sampai saat ini

karena melakukan pembangunan fisik seperti sarana peribadatan, kesenian, olah

raga, penginapan dan sarana peribadatan pemeluk agama Islam serta Pura untuk

umat Hindu. Dan ia juga mampu mempertahankan kerukunan, toleransi beragama.

Dan kesenian serta budaya-budaya dari nenek moyangnya. Vihara juga bersifat

umum pada semua yang ada di sekitarnya terutama kepada masyarakat Candih,

karena Vihara juga merupakan Yayasan (Yayasan Candi Bodhi Dharma). Vihara

Avalokitesvara selain sebagi tempat beribadah juga sebagai tempat wisata, bagi

masyarakat sekitar dan pengunjung dari pulau jawa juga datang ke Vihara ini.

12

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

54

Penganut agama Buddha tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham

keagamaan. Bukan hanya saat ini tetapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi

Kwan Im dan beberapa patung di temukan di Desa Polagan. Karena keberadaan

Vihara Avalokitesvara tidak terlepas dari sikap yang dimiliki oleh masyarakat

dengan menjunjung tinggi kerukunan umat beragama. Apa lagi di Vihara

Avalokitesvara merupakan bangunan peribadatan yang berwajah penampilan dari

cita-cita pancasila dan mereka tidak membedakan “SARA” (Suku, Agama, Ras,

dan anatar golongan).

Bagi masyarakat Candih Vihara tidak di pandang sebagai batu

penghalang atau musuh. Akan tetapi masyarakat memandang sebagai

keberuntungan. Bagi masyarakat Candih yang mayoritas beraga Islam tidak berati

kehidupan agama Buddha tersingkirkan atau terpojokkan, bahkan mereka

bersaing dan bergabung dalam suka maupun duka. Karena itu masyarakat hidup

dengan damai meskipun berbeda pandangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan

masyarakat Candih “Bagimu agamamu dan Juga sebaliknya bagiku agamaku ”.13

Seperti yang dikatakan oleh Kosala Mahinda ketua Vihara

Avalokitesvara bahwa keberadaannya tidak ada masalah karena tidak

mengganggu terhadap masyarakat sekitar. Bahkan ketua Vihara berujar kalau

“kami merasa memiki masyarakat dan masyarakt merasa memiliki Vihara”.14

Begitu juga yang di kata oleh Bapak Susianto selaku Tokoh masyarakat Candih

yang di percaya banyak pengaruhnya terhadap Vihara Avalokitesvasa. Karena

13

Wawancara Dengan Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren Miftahul Qulub

di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan, Pada tanggal 19 November 2018. 14

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

55

komunitas agama Buddha tidak pernah menyinggung agama Islam dan

masyarakat muslim juga tidak pernah menyinggung agama mereka yaitu agama

Buddha. Dan tujuan semua agama atau kepercayaan adalah sama kepada Tuhan

Yang Maha Esa (Allah), akan tetapi caranya saja yang bisa berbeda.15

Oleh sebab

itu terciptalah masyarakat yang menjung tinggi kerukunan dan toleransi

keagamaan bagi umat muslim di Dusun Candih Desa Polangan Kecamatan Galis

Kabupaten Pamekasan.

1. Kebertahanan Sosial

Mayoritas masyarakat di sekitar Vihara adalah muslim atau beragama

Islam, namun ada juga yang beragam Katolik dan Buddha yang berada di

Candih Barat. Dan juga ada orang Tionghoa yang sudah masuk Islam karena

faktor keluarga, bahkan ada yang mengatakan karena permintaan anaknya

untuk masuk Islam. Hubungan para pemimpin dan biksu baik-baik saja tidak

pernah ada permasalahan karena kami seperti saudara kita sendiri disini, dan

sama-sama menghargai karana dengan adanya Vihara ini penganut agama

Buddha dan masyarakat muslim khususnya dusun Candih saling menjaganya.16

Vihara merasa memiliki masyarakat begitupun masyarakat merasa memiliki

Vihara.17

Jadilah satu kesatuan yang mana di tengah-tengah bangunan ini di

dirikan tugu bertuliskan pancasila beserta lambangnya sebagai tanda kesatuan

dan saling hormat menghormati karena tujuan yang pertama adalah Tuhan

Yang Maha Esa. Dan umat Buddha tidak pernah menyinggung tuhan

15 Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat, Pada Tanggal 19 Juni 2018. 16

Wawancara Dengan Imam Isa Santosa Ketua Litang di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 November 2018. 17

Wawancara Dengan Sappraji Sappadasa Komunitas Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 November 2018

56

masyarakat muslim sekitar begitu juga masyarakat muslim tidak pernah

menyinggung tuhan komunitas agama Buddha Vihara Avalokitesvara. Karena

tuhan itu satu dan cara mengagungkannya mempunya cara masing-masing, dan

mengikuti perintahnya menjauhi larangannya.18

Menurut Kosala, umat agama yang ada di dalam kompleks Vihara

Avalokitesvara, tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham

keagamaan. Bukan hanya saat ini tapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi

Kwan Im dan beberapa patung stupa ditemukan di Desa Polagan. Kedamaian

itu terus dirajut antar pemeluk agama di dalam dan di luar Vihara. Salah satu

caranya, menggunakan media sosial, kesenian dan kebudayaan, serta berbagi

kebahagiaan di hari-hari besar keagamaan.

Selain pementasan kebudayaan dan saat momentum hari raya Imlek.

Kegiatan sosial yang dilakukan adalah terbentuknya jalan raya menuju Dusun

Candih dan Vihara Avalokitesvara sepanjang 1700 m. Karena tidak ada

pembatas antara jalan dan tepi pantai sehingga mengakibatkan jalan hampir

putus karena Abrasi19

. Dan perbaikan jalan ini dilakukan secara kerjasama

antara pihak Vihara sebagai penyandang dana dengan masyarakat yang

membantu secara tenaga. Pembangunan Masjid (Masjid Nurul Hidayah), yang

terdapat di Dusun Candih yang merupakan satu-satunya masjid di Dusun

tersebut. Dalam pembangunan masjid tersebut pihak Vihara berkontribusi baik

18

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 19

Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang

bersifat merusak. Abrasi biasanya juga disebut erosi pantai. kerusakan garis pantai akibat abrasi ini

dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.

57

dalam kepanitiaan maupun dalam pendanaan. Pendanaan yang diberikan bukan

berupa uang melainkan berbentuk barang yaitu semen dan hasbes.

Perkawinan orang Islam, yang diselenggarakan di komplek Vihara

Avalokitesvara seperti pada tahun 1953, putri angkat Tee Soe Gwan yang

bernama Ponteani dengan Burhan, mereka dikawinkan di kemplek Vihara

Avalokitesvara. Kedua anak tersebut menganut agama Islam. Proses

perkawinan dilaksanakan secara agama Islam dengan mengundang penghulu

untuk mengawinkannya di samping itu diundang juga seorang kiyai untuk

membacakan doa’nya. Panitia resepsi perkawinan dari kalangan warga

keturunan Cina (Buddha) beserta masyarakat Candih setempat. Dan melayat

orang meninggal, pada waktu masyarakat Candih maupun Desa disekitar

Candih ada yang meninggal dunia baik dekat maupun jauh ataupun dari umat

Buddha sendiri maupun dari umat Islam. Pihak Vihara selalu datang melayat

dan menyumbang material atau non material. Dalam hal ini yang melayat

merupakan pimpinan dari Vihara Avalokitesvara, apabila berhalangan pihak

pimpinan Vihara di wakili oleh pekerja yang ada di lingkup Vihara

Avalokitesvara.20

Masyarakat sekitar mulai dari anak-anak hingga orang dewasa

berbondong-bondong datang ke Vihara untuk silaturahim dan menerima

angpao. Sebaliknya, ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, umat muslim

20

Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candih dalam Episode Kerukunan Umat Beragama

(Pamekasan: t.p., 2004), h. 6-7.

58

saling berbagi makanan kepada penghuni Vihara. Umat muslim saling

bergantian memberi makanan.21

Yang beragama Islam mengantarkan makanan ke Vihara. Begitu kata

Novem, karyawan Vihara yang beragama Islam. Novem dan beberapa

rekannya sesama muslim di Vihara, tak pernah merasa risih dengan bunyi-

bunyian dan puja-pujaan di dalam Vihara. Ketika sudah waktunya salat lima

waktu, langsung mengerjakan di musala yang ada di dalam Vihara. “Kalau

sudah adzan berkumandang, kami yang muslim solat di dalam komplek Vihara

yang sudah ada Musalanya,” ujar Novem.22

Toleransi agama semacam ini, bagi

masyarakat Dusun Candi tak ingin ternodai dengan aksi-aksi intoleransi yang

sedang marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sepanjang sejarah

berdirinya Vihara, belum pernah ada peristiwa intoleransi meskipun banyak

agama di dalamnya. “Intoleransi di Indonesia saat ini karena sempitnya

pemikiran. Jangan sampai hal itu terjadi di Vihara ini,” ungkap Kosala

Mahinda.23

2. Kebertahanan Ekonomi

21

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 22

Wawancara Dengan Novem Satpam di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 19 Juni

2018. 23

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

59

Vihara ini bersifat sosial dan Vihara tidak pernah ada aksi mencari

keuntungan, misalkan dalam acara keagamaan umat Buddha.24

Bahkan Vihara

sering mendapatkan partisipasi dari penganut dan pengunjung untuk

pembangunan agar dapat membuat umat Buddha yang beribadah merasakan

kenyamanan dari fasilitasnya.25

Begitupun pengunjung yang datang untuk

berwisata ke Vihara Avalokitesvara ini. Sedangkan Vihara sendiri bersifat

umum, masyarakat pernah memdapat bantuan dengan diberikan bantuan

sumur yang airnya tawar. Ini di berikan untuk masyarakat yang membutuhkan

karena di luar vihara airnya asin dan berljangka panjang, pihak Vihara

khususnya pemimpin Vihara tidak pernah meminta untuk membayar kepada

masyarakat dan sampai sekarang. Vihara tidak pernah memperdayakan

ekomoni karena Vihara adalah Yayasan Sosial.26

Selain itu sumbangsih Vihara juga berupa meminjamkan peralatan

seperti Terop, kursi, meja, piring dan sendok baik untuk masyarakat sekitar

Vihara maupun dari luar masyarakat Candih. Masyarakat sekitar biasanya

menggunakan fasilitas yang berada di Vihara Avalokitesvara baik berupa

tempat maupun peralatan yang dibutuhkan masyarakat. Salah satu contohnya

ketika masyarakat candih mengadakan acara petik laut, Vihara berkontribusi

dengan menyediakan panggung dan tidak dipungut biayaya sepeserpun.27

24

Wawancara Dengan Imam IsaSantosa Ketua Litang di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 November 2018. 25

Wawancara Dengan Sappraji Sappadasa Salah Satu Komunitas Vihara Avalokitesvara,

Pada tanggal 19 November 2018. 26

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018. 27

Wawancara Dengan Gunawati Komunitas Vihara Avalokitesvara, Pada tanggal 19

November 2018.

60

3. Kebertahanan Tradisi dan Budaya

Sudah lama diungkapkan dalam catatan sejarah sejak zaman Sriwijaya

dengan Cina sudah terjalin budaya, di samping jalinan ini terjadi juga dengan

India sebagai pusat budaya Hindu dan Buddha. Pada masa Majapahit sendiri

dengan Sriwijaya juga banyak melakukan hubungan dengan negara lain

seperti: Syangka (Siam atau Muangthai), Marutma (Burma), Kamboja, Yawana

(Amman), India, Cina. Madura juga merasakan hubungan tersebut sehingga

masyarakat tidak merasa aneh dengan adanya patung Avalokitesvara

Bodhisatva (Kwan Im Po Sat).28

Vihara Avalokitesvara sering mengadakan perayaan dengan kesenian

tradisional. Seperti hari ulang tahun sering diakan upacara dan setelah upacara

selesai baru di hadirkan hiburan-hiburan seperti pertunjukan wayang, barongsai

dan reok. Jika mengadakan acara Vihara mengundang Vihara lain dan

penganutnya. Bagi masyarakat sekitar bebas untuk menontonnya, dan pernah

megadakan acara besar seperti Kirap (keliling), yang dilakuan dengan cara di

arak (jalan) terus naik perahu keliling lautan di sini. perahu dari nelayan yang

di sewa semua untuk merayakan acaranya.29

Ada juga tradisi Cap Go Meh adalah hari kelima belas sesudah tahun

baru Imlek. Konon katanya Cap Go Meh bersamaan dengan berahirnya musim

salju (dingin) yang penung dengan tantangan hidup di daratan Cina. Pada hari

Cap Go Meh datanglah musim semi. Pada musim semi ini bunga-bunga mulai

28

Ghazi Al Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan (Semarang: Mandhira,

1987), h. 15-16. 29

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

61

mekar semerbak dan merupakan suatu tanda bahwa tantangan hidup yang

selalu mencekam sudah berlalu. Untuk menyampaikan ucapan terima kasih

kepada Tuhan Yang Esa biasanya mengadakan upacara dengan maksud

mengucapkan selamat bahagia tambah rezeki serta panjang umur karena sudah

dapat melalui suatu musim yang penuh rintangan dan tantangan tersebut.30

Salah satu contoh tradisi yang masih bertahan sampai sekarang adalah

perwujudan toleransi dan kebersamaan antar berbagai penganut agama yang di

sekitar Vihara Avalokitesvara. Salah satu caranya, menggunakan media

kesenian dan kebudayaan . Sewaktu-waktu, warga sekitar Vihara dan pengelola

Vihara menggelar pementasan wayang berbahasa Madura. Pementasan wayang

kadang sampai larut malam. Kalau sudah ada pentas wayang, masyarakat

langsung guyub datang ke Vihara untuk menonton. Kebetulan dalangnya juga

warga sekitar dan kosala mahinda menyiapkan kelengkapan pementasan

wayang termasuk wayangnya sendiri.31

Contoh lain perayaan Waisak, perayaan ini yang terletak di Dusun

Candih, Desa Polagan, Kecamaran Galis, sekitar 15 km kearah timur Kota

Pamekasan. Umat Buddha yang mengikuti upacara perayaan Waisak ini tidak

hanya dari Pamekasan, tetapi juga dari tiga kabupaten lain di Pulau Madura,

seperti Bangkalan, Sumenep dan sebagian dari Kabupaten Sampang. Ada juga

umat Buddha dari luar Madura, seperti Surabaya, Malang, Sidoarjo, Semarang

30

Ghazi Al Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 35. 31

Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada

tanggal 19 Juni 2018.

62

dan Jakarta. Upacara perayaan ini hanya sembahyang, memohon kepada Yang

Maha Kuasa agar kehiduan umat dan bangsa ini lebih baik.32

Hari ulang tahun Kwan Im yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali,

masyarakat Dusun Candih yang mayoritas umat Islam membantu melakukan

pengamanan demi lancarnya acara Vihara Avalokitesvara.33

Hari raya kelahairan Avalokitesvara para pengunjung yang datang bukan

dari umat Buddha namun masyarakat Candih dan desa disekitarnya yang

beragama Islam nampak terlibat. Bagi masyarakat Candih dan sekiranya

perayaan lahirnya Avalokitesvara membawa berkah tersendiri. Selain

mendapat penghasilan tambahan juga mendapatkan hiburan, karena pada

perayaan tersebut pihak Vihara mementaskan pertunjukan berupa Wayang kulit

atau Ludruk yang pelaksanaannya di lakukuan di komplek Vihara

Avalokitesvara dan perayaan tahun baru Imlek.34

C. Pandangan Masyarakat Muslim sekitara Vihara Avalokitesvara

Kabupaten Pamekasan dilihat dari sisi keberagamaan masyarakatnya,

termasuk masyarakat majemuk atau plural. Kemajemukan di kota Gerbang Salam

ini ditandai dengan eksisnya semua agama resmi seperti: Islam, Hindu, Buddha,

Kristen dan Khonghucu. Namun demikian kemajemukan pemeluk agama ini tidak

menjadikan pamekasan kota konflik antar pemeluk agama. Hampir semua

informasi yang berhasil ditemui oleh peneliti menyatakan bahwa kerukunan umat

32

Wawancara Dengan Adhi Salah Satu Komunitas Tionghoa, Pada tanggal 19 November

2018. 33

Wawancara Dengan Gunawati Komunitas Vihara Avalokitesvara, Pada tanggal 19

November 2018. 34

Wawancara Dengan Adhi Salah Satu Komunitas Tionghoa, Pada tanggal 19 November

2018.

63

beragama di kota Gerbang Salam ini "Kondusif", tidak ada hal-hal yang mengarah

pada konflik bernuansa kondisi kondusif kerukunan umat beragama di Pamekasan

ini dikarenakan keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh agama dalam

menciptakan suasana kondusif dalam bingkaian rukun baik antar maupun intern

umat beragama.35

Begitupun pendapat Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren

Miftahul Qulub di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan. Menurutnya,

toleransi adalah akidah dalam beragama. “Pengakuan adanya kekuatan Yang

Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan

itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh sebab itu,

manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng

dari fitrahnya. Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu

syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam

kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun

yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran

manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam

kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: Menunjukkan manusia

kepada kebenaran sejati, menunjuki manusia kepada kebahagiaan hakiki, dan

mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.36

Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau

itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut

35

Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat Dusun Candih, Pada Tanggal

19 Juni 2018. 36

Wawancara Dengan Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren Miftahul Qulub

di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan, Pada tanggal 19 November 2018.

64

(ru’bah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Al-din (agama)

adalah aturan-aturan atau tatacara hidup manusia yang dipercayainya bersumber

dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.37

Vihara Avalokitesvara menurut karyawannya yang beragama Islam,

menyediakan fasilitas budaya, olahraga, serta keikutsertaan penganut agama

Buddha dalam FKUB (Furum Kerukunan Umat Beragama). Ada beberapa

pendapat menurut para buyut dan nenek moyang, Vihara Avalokitesvara pertama

kali ditemukannya pada abad ke-17 dengan adanya sebuah arca.38

Partisipasi umat

beragama Buddha terhadap umat beragama Islam yantiu, pemegang sektor

ekonomi, menghadiri perayaan masyarakat umat muslim, memberikan bantuan air

bersih, menyediakan peralatan untuk membantu masyarakat umat muslim

mengadakan sebuah acara. Dan partisipasi umat beragama Islam terhadap umat

Buddha yaitu, keterlibatan dalam perayaan Dewi Kwan Im, silaturrahmi kertika

perayaan tuhan baru Imlek.39

Pandangan masyarakat yaitu, bahwa Vihara tidak

berpengaruh pada lingkungan, tidak ada konflil, tidak mengajak umat lain untuk

mengikutinya, serta mendapatkan Rekor Muri.40

Adaptasi Vihara terhadap Musala

yang berada didalam Vihara dan pihak Vihara ikut berpartisipasi dalam peryaan

muslim. Tujuan Vihara yantu, sebagai tempat peribadatan selain umat Tri

37

Wawancara Dengan Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren Miftahul Qulub

di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan, Pada tanggal 19 November 2018. 38 Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat Dusun Candih, Pada Tanggal

19 Juni 2018. 39

Wawancara Dengan Novem Satpam di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 19 Juni

2018.

40

Wawancara Dengan Abdullah Pekerja di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 17 Juli

2018.

65

Dharma, dibuktikan dengan adanya pura dan Bikkhu. Integrasi Vihara pernah

membatu renovasi Masjid dan jalan.41

Dalam pandangan terhadap agama lain biasa-biasa saja berteman dengan

baik dan kami menjalankan keyakinan atau agama kami untuk beribadah tidak

perduli dengan adanya Vihara, Gereja dll, bagitu ujat pak Susianto.42

Umat muslim yang ada di sekitar Vihara Avalokitesvara itu tidak ada yang

merasa terganggu dan keberatan dengan adanya Viahara itu. Ini menandakan

bahwa masyarakat Madura pada umumnya khususnya umat Islam Pamekasan

mempunyai pola pikir beragama yang sudah matang dan dewasa sebagai cerminan

dari toleransi beragama yang sudah tinggi.

Yang dirasakan oleh kedua komunitas itu adalah hubungan simbiosis

mutualisme yang saling menguntungkan bagi mereka. Banyak umat muslim yang

di pekerjakan di Vihara itu dan sebaliknya umat Buddha, membantu kegiatan

sosialisasi umat Islam dan mereka dapat jaminan akan keamanan eksistensi

mereka di tengah-tengah umat agama lain di sana. Seperti contohnya perbaikan

Masjid yang ada di lingkungan umat muslim atau masyarakat dan pembuatan

akses jalan untuk memasuki Vihara dan pedesaan di sana.

Dalam hal keagamaan masyarakat sekitar tidak merasa terganggu karena

itu masyarakat hidup dengan damai meskipun berbeda pandangan. Seperti hal ini

yang sesuai dengan pernyataan masyarakat dalam ayat Al-qur’an surat Al-Kafirun

yang artinya “Bagimu agamamu dan juga bagiku agamaku”. Dan jika Vihara

mengadakan pertunjukan atau hiburan seperti pertunjukan wayang dan

41

Wawancara Dengan Cipto Satpam di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 19 Juni

2018. 42

Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat, Pada Tanggal 19 Juni 2018.

66

baraongsai, masyarakat sekitar ikut memeriahkan dengan cara berbondong-

bondong melihatnya. Dan dalam pertunjukan itu bagi umat Buddha tidak pernah

ada ajakan terhadap umat muslim atau masyarakat sekitar untuk mengikuti

ajarannya.

Agar hubungan masyarakat dan Vihara baik-baik saja jika boleh

meminjam bahasa Drs. K. H. Salehoddin toleransi beragama dalam berkeluarga

harus saling menjaga diantaranya adalah harus baik di dalam keluarga, saling

melindungi, tak kenal maka tak sayang, rayakan perbedaan dan, tidak ada yang

salah dalam perbedaan.

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Agama Buddha yang direpresentasikan dalam Vihara Avalokitesvara

pamekasan punya andil yang sangat besar terhadap masyarakat sekitarnya

terutama dalam hubungan umat Buddha dan umat muslim. Umat Buddha dan

umat Islam yang ada di dalam kompleks Vihara Avalokitesvara, tidak pernah

bergesekan dan ketersinggungan paham keagamaan. Bukan hanya saat ini tapi

sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi Kwan Im dan beberapa patung stupa

ditemukan di Desa Polagan. Kedamaian itu terus dirajut antar pemeluk agama

didalam dan di luar Vihara.

Masyarakat muslim yang ada disekitar Vihara juga tidak merasa terganggu

dengan adanya komunitas agama itu. Justru karena adanya komunitas itu masyarat

muslim banyak mendapat manfaat. Dan Vihara Avalokitesvara merupakan

bangunan peribadatan dari agama Buddha dalam wajah penampilan dari cita-cita

masyarakat pancasila. Kerukunan umat beragama di komplek Vihara

Avalokitesvara mereka tidak membedakan “SARA” (Suku, Agama, Ras, dan

antar golongan), seperti halnya perkawinan antar etnes. Jadi wajar bila di Dusun

Candih dihuni oleh etnes Cina. Silaturrahmi terjalin tidak hanya antar etnes,

melainkan juga antar umat beragama. Gotong royong dan tolong menolong selalu

dikedepankan bila ada sesuatu permasalahan dan kegiatan baik keluarga atau

68

lingkungan, misalnya kematian atau hajatan mereka saling bahu membahu.

Kenyataannya ini memeluk pada semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang

berakar pada budaya Klasik (Majapahit).

Toleransi di Vihara ini juga sangat kuat. Sebagaimana pengakuan orang

muslim yang bekerja di Vihara itu, Novem dan beberapa rekannya sesama muslim

di Vihara, tak pernah merasa risih dengan bunyi-bunyian dan puja-pujaan didalam

Vihara. Ketika sudah waktunya salat lima waktu, langsung mengerjakan di musala

yang ada didalam Vihara. Kalau sudah adzan berkumandang, yang muslim sholat

di dalam komplek Vihara yang sudah ada musalanya.

Keberadaan Vihara Avalokitesvara tidak lepas dari sikap yang dimiliki

oleh masyarakat yang menjunjung kerukunan umat beragama. Bangi masyarakat

Candih Vihara tidak di pandang sebagai batu penghalang atau musuh. Akan

tetapi masyarakat memandang sebagai ke-beruntungan. Bangi masyarakat Candih

yang mayoritas beragama Islam tidak berati kehidupan agama Buddha

tersingkirkan atau terpojokan, bahkan mereka bersaing dan bergabung dalam suka

maupun duka. Karena itu masyarakat hidup dengan damai meskipun berbeda

pandangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan masyarakat Candih “Bagimu

agamamu dan Juga sebaliknya bagiku agamaku”.

B. Saran

Seluruh warga negara Republik Indonesia memiliki hak yang sama dalam

beragama dan mendapatkan pendidikan beragama. Tidak terkecuali penganut

agama Buddha di Indonesia. Mereka layak untuk mendapatkan pendidikan agama

mereka sendiri.

69

Saran penulis terhadapa pemuka agama Buddha, Khususnya WALUBI

(Wadah Kebersamaan Organisasi Umat Buddha Indonesia yang terdiri dari

Majelis-Majelis Agama Buddha, Lembaga Keagamaan Buddha, Dewan Sangha,

Badan Kehormatan dan Wadah Kemasyarakatan yang bernapaskan Agama

Buddha). Agar memberi perhatian yang lebih terhadap Vihara Avalokitesvara

Kabupaten Pamekasan Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis, dengan

fasilitas seperti buku, atau kunjukangan biksu biksuni ke Kabupaten Pamekasan,

karena meskipun Vihara ini masih aktif sebagaimana mestinya, tetap

membutuhkan perhatian khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdurachman, Sejarah Madura Selayang Pandang. Sumenep: t.p., 1988.

Akhyar Arif Dkk. Dalam Ensiklopedi pamekasan alam, Masyarakat dan Budaya.

Yogyakarta: Intan Sejati Klaten, 2010.

Al-Farouk, Ghazi. Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan

Proppo-Pamekasan. Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

kecamatan Proppo Kabupaten Dati II, 1984.

Al-Farouk, Ghazi. Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan.Semarang: Mandhira,

1987.

Ali, Mursyid. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di

Indonesia. Jakarta: Departemen Agama, 2009.

Ali, Sayuti. Metodologi Penelitian Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2002.

Arifin M.Ed. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden

Terayon Press, 1986.

Azra, Azyumardi. Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa jauh?.

Yogyakarta: Kanisius, 2010., h. Xvi. Judul Buku Alsi: The Oslo Coalition

on Freedom of Religion or Belief.

Azra, Azyumardi "Liberarlisasi Pemikir NU", dalam Mujamil Qomar, NU

Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam.

Bandung: Mizan, 2002.

Bottomore. T. Elite and Society, and Ed. London: Routledge, 1993.

Breandan O'leary, Patrick Dunleavy. Theories of The State: The Politics of

Liberal Democracy. London: McMillan Education Ltd., Hoummislls,

Basingstioke, 1991.

Cudamani. Karmaphala dan Renkarnasi. Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987.

De Jonge, Huub. Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan

Ekonomi, Dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta: Gramedia,

t.th.

De Jong, Huub .Garam Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-esai Tentang Orang

Madura dan Kebudayaan Madura. Yogyakarta: LKIS, 2011.

Djojomartono Mujono. “Adat Istiadat Sekitar Kelahiran pada Masyarakat

Nelayan di Madura" dalam Koentjaraningrat (ed), Ritus Peralihan

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Fath, Kutwa. Pamekasan dalam Sejarah. Pamekasan: Pemerintah Kabupaten

Pamekasan, 2006.

Greenberg, Jack Planoad Milton. The American Political Dictionary. USA:

Harcourt College Publisher, 2002.

Juangari Edi. Menabur Benih Dharma di Nusantara, Riwayat Singkat Bhikkhu

Ashin Jinarakkhita. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1995.

Haidar, Ali. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam

Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Haitami Muhammad & Komarudin. Tradisi Islam dan Upacara Adat Nusantara.

Bandung: Makrifat Media Utama, t.th.

Hartono, Bambang. Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja

Islam Pertama di Kota Pamekasan-Madura. Sumenep: Nur Cahaya Gusti,

2001.

Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga,

2004.

Irawan, Prasetya. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA Lembaga

Administrasi Negara, 1999.

Khemahayana, Mahapandita. Dasar Buddha-Dharma. Bandung: Perhimpunana

Buddhis Indonesia, 1996.

Menzies Allan, D.D. Sejarah Agama-Agama Studi Sejarah, Karakteristik dan

Praktik Agama-Agama Besar di Dunia. Yogyakarta: Grup Relasi Intan

Media Anggota IKAPI, 2014.

Muchtar, Adeng Ghazali. Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi

Agama-agama. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

Mahinda. Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara. Pamekasan:

t.p., 2004.

Muhshi, Adam. Teologi Konstitusi: Hukun Hak Asasi Manusia atas Kebebasan

Beragama di Indonesia. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015.

Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,

2013.

Nursyam, M.Si. Kompedium Regulasi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:

FKUB, t.th.

Pranowo, Bambang. Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi

Perspektif Islam. Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008.

Qomar, Mujamil. NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisai

Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Rahmad, Dadang. Metode Penelitian Agama. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

Rifai, Mien Ahamad. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos kerja,

Penampilan dan Pandangan Hidupnya seperti diceritakan Pribahasanya.

Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Rifai, M. Mistery Pusara Batu Ampar. Pakalongan: TB. Sumenep, 1985.

Sadik, A. Sulaiman & Chairil Basar. Sekilas tentang Hari Jadi Pamekasan.

Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan, 2004.

Sholeh, Shonhadji. Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari

Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme. Surabaya: JP Books, 2004.

Suarjaya Wayan, M.Si. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha.

Jakarta: Dewi Kayana Abadi, 2003.

Subaharianto Andang Tentang Industrialisasi Madura; Membentur Kultur,

Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia, 2004.

Siang Djie, Oe. Jajasan Tjandi Bodhi-Dharma. Surabaya: t.p., t.th, Nomer 35.

Silva, Lily de. NIBBANA Sebagai Suatu Pengalaman Hidup. Yogyakarta:

Kamadhis Ugm, 2005.

Sudrajat. Sejarah Indonesia Masa Hindu Buddha. Yogyakarta: Diktat Kuliah,

Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, 2012.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: CV. Alfabeta, 2005.

Sugiyono. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

ALFABETA, 2010.

Sumantri. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta: Majelis Buddhayana Indonesia,

1980.

Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial- Agama. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2003.

Sjamsudin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2007.

Sjamsuni. Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat

Beragama. Pamekasan: t.p., 2004.

Tanumihardja Effendie, Sapardi, Heryono, M. Kom. Buku Ajar Mata Kuliah

Wajib Umum Pendidikan Agama Buddha. Jakarta: Direktorat Jendral

Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2016.

Tanggok Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN jakarta, 2009.

Tek Hoay, Kwee. Avalokitesvara: Kwan Im Posat. Tangerang: Yayasan Vihara

Padumuttara, 1976.

Ubaidillah Achmad, dan R. Adang Nofandi, Gerakan dan Aktivitas Agama

Buddha: Majelis Majubuthi di Kota Tangerang. Jakarta: Kementrian

Agama, t. th.

Varma, S. P. Modern Political Theory: A Critical Survey. India: Vicas Publishing

House Pvt Ltd, 1975.

Zainul Bahri, Media. Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia

(1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Zarkasi, Effendi. Unsur Islam dalam Pewayangan. Jakarta: Alfa Daya, 1981.

Zubairi, A. Dardiri. Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar

Kebudayaan Madura. Surabaya: Adhap Asor, 2013.

Widyadharma, Maha Pandita Sumedha. Dhamma Sari. Jakarta: Yayasan

Kanthaka Kencana, 1990.

Jurnal, Laporan, Skripsi dan Kamus:

Abdi Zainal Mujahidin, Bahan Ajar IPS Kelas VII SMP Negri 3 Pademawu Kab.

Pamekasan, https://nanopdf.com/download/smp-negeri-3-pademawu-kab-

pamekasan-kartu-1-geografi_pdf# diakses Tgl, 13 Maret 2018.

Abdurrohman, Studi Perbandingan Hukum Karma Antara Agama Hindu dan

Agama Buddha (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2013)

Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, Vol. 2, No. 1,(2015)

Jamal al-Din Muhammad b. Makram b. Manzur, Lisan al-Arab, Vol. 3, (1997)

Dita Sopia Sari, Masjid Dan Vihara: Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam

Dan Buddha Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kesemen Kota

Serang Provensi Banten (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN

Syarif Hiduatullah Jakarta, 2017)

Felicia Tania K, Lintu Tulistyantoro, Linggajaya Suryanata, “Studi Ikonografi

Panofsky Pada Ornamen Interior Vihara Avalokitesvara Pamekasan,

Madura,” JURNAL INTRA, Vol. 5, No. 2, (2017)

Human Rights Watch, Atas Nama Agama Pelanggaran terhadap Minoritas Agama

di Inoensia, 2013. Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur (Skripsi Fakultas Dakwah, IAIN

sunan

Ampel Surabaya, 1996), h.

63.http://digilib.uinsby.ac.id/11521/3/Bab%204.pdf

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), "Laporan Tahunan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016"

https://www.komnasham.go.id/files/20170324-laporan-tahunan-

kebebasan-beragama-$IUKH.pdf (Diakses pada 13 November 2017)

Konsep Desain Interior Asram Lembah Bayam Kiriman I Made Merta Kesuma,

Mahasiswa PS. Desain Interior ISI Denpasar. http://repo.isi-

dps.ac.id/1199/1/Konsep_Desain_Interior_Asram_Lembah_Bayam.pdf,

diakses sabtu, 21 April 2018.

LaporanTahunan Kebebasan Beragama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia (Komnas HAM, 2016)

Nurman Kholis, “Vihara Avalokitesvara Serang: Arsitektur dan Peranannya

dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Banten, “Jurnal

LEKTUR Keagamaan, Vol. 4, No. 2, (2016).

Rahman, Abdur. “Bentuk Kerukunan Antara Umat Beragama di Vihara

Avalokitesvara Candih Polangan Galis Pamekasan Madura Tahun 1959-

1962”, JURNAL AVATAR, e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 2,

(2018).

Tri Ratna Buddhist Center Indonesia, http://e-

journal.uajy.ac.id/8799/2/1TA12595.pdf diakses tgl 13 maret 2018.

http://www.sapisonok.com/2015/02/28/tradisi-upacara-tahunan-di-madura-petik-

laut-di-sebut-juga-rokat-tase. Diakses pada tanggal 18-11-2018.

https://studis2farmasi2a2016kel11.wordpress.com/2016/06/05/corak-

keberagaman-masyarakat-muslim-di-madura. Diakses pada tanggal 18-11-

2018

Lampiran I

PEDOMAN INTERVIEW

A. Diajukan Kepada Pengurus dan Pimpinan Serta Komunitas Vihara

Avalokitesvara Pamekasan

1. apa pengertian dari vihara? Makna dari asal katanya seperti apa?

2. apakah vihara fungsinya hanya sebagai tempat ibadah? Kalau ada yang lain

apa saja?

3. apakah ada perbedaan antara vihara dengan tempat-tempat ibadah agama

lain? Maksudnya adakah keunikannya?

4. sejak kapan vihara ini berdiri?

5. Masyarakat sekitar yang dekat dengan vihara ini bergama apa saja?

6. Bagaimana hubungan antara para pemimpin atau biksu dengan Masyarakat

Non Buddha sekitar vihara ini?

7. Bagaimana pandangan vihara ini/ Bapak terhadap Agama Lain?

8. Apakah vihara ini sering mendapatkan ancaman dari masyarakat sekitar

yang beragama Non Buddha?

9. Seperti apa contoh-contoh sosial hubungan interaksi antara vihara ini dan

Masyarakat sekitar?

10. Apakah pernah terjadi di vihara ini kasus Intoleransi? jika pernah, seperti

apa sejarahnya?

11. Adakah penganut Agama ini pindah keyakinan? Alasannya!

12. Seperti apa bentuk interaksi ekonomi antara vihara ini dan penganutnya?

13. Seperti apa bentuk interaksi ekonomi vihara ini dengan masyarakat sekitar?

14. Apakah vihara ini melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap para

penganutnya?

15. Lalu apakah juga vihara ini melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap

orang-orang Non Buddha?

16. Apakah boleh dalam agama buddha berinteraksi secara ekonomi dengan

orang-orang Non Buddha? Seperti apa ajarannya!

17. Bisa di Jelaskan seperti apa saja tradisi keagamaan yang sering di lakukan

di Vihara ini?

18. Di antara tradisi ini adakah yang bersifat sosial yang melibatkan seluruh

masyarakat?

19. Tradisi/ Budaya vihara ini Bagaimana caranya untuk tetap eksis dan di

terima oleh penganut Non Buddha?

20. Bagaimana eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di Vihara

Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan?

21. Bagaimana cara mereka mempertahankan eksistensi tersebut di tengah

kaum mayoritas penganut agama Islam?

B. Diajukan Kepada Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Serta Masyarakat

Sekitar Vihara Avalokitesvara Pamekasan

1. Apa yang anda tahu tentang vihara Avalokitesvara?

2. Apakah anda punya kenalan dengan orang-orang Buddha di Vihara itu?

Kalau ada bagaimana hubungan anda dengan orang itu?

3. Apakah dengan keberadaan Vihara ini anda merasa terganggu?

4. Sejauh yang anda tahu bagaimana pandangan keyakinan agama anda

terhadap agama lain, contohnya terhadap penganut agama Buddha Vihara

ini?

5. Apakah anda pernah terlibat dalam acara keagamaan vihara itu? Kalau

pernah acara seperti apa itu?

6. Apakah anda ingin vihara itu di bubarkan saja? Kalau ingin alasannya

apa? Kalau tidak alasannya apa?

7. Apakah menurut anda boleh berteman akrab dengan orang-orang buddha

di vihara itu?

8. Di Dunia ini agama sangat banyak, apakah menurut anda memang harus

seperti itu?

9. Bagaimana eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di Vihara

Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan?

10. Bagaimana cara mereka mempertahankan eksistensi tersebut di tengah

kaum mayoritas penganut agama Islam?

Lampiran II

Hasil Interview Pengurus dan Pimpinan Serta Komunitas Vihara

Avalokitesvara Pamekasan

Istilah kata Vihara itu adalah nama tempat, seperti musholla, masjid,

gereja, pure. fungsinya tempat ibadah atau berdoa untuk agama budha. Dalam

agama budha yang disebut vihara itu tempatnya besar sepeerti masjid sedangkan

kalo yang kecil namanya kitea seperti musholla, sedangkan vihara ini komplit

tempat ibadah harus ada, tempat tidurnya biksu ada pokok sarana-sarana yang

lengkap itu namanya vihara, kalo kecil namanya kitea. perbedaan vihara dgn

tempat lain adalah pada umumnya hampir sama saja seperti gereja ada pasturan

yg besar ada misya biarawan kalo di islam seperti pesantren. 3 abad kira2 1700.

Karena di temunya arca di buat tempat pemujaan acra dewi kwan im. Arti vihara

avalokitesvara berasal dari bahasa sang sakerta kalo di terjemahkan bhs. Indonesia

adalah welas asih kalo dalam bahasa mandarin kwan im artinya sama. Sejarhnya

bermacam2 bermula dari jamboringin yang di proppo mau membangun kerajaan

ngak jadi krn arca2 yg mau di angkut kesana ngak bisa terangkat dan terlantar di

tepi pantai ini itu kan krimian dri mojopahit dulu mojopahit ini kan punya wilayah

nusantara raja2 kecil ini di bawah mojopahit krn mau membuat kerajaan patung2

di kirm kesana tapi tidk terlaksana waktu mojopahit masih jaya abad 14 sekitar

600 thn yg lalu, terus masyarakat madura sudah tidak menganut agama budhha

krn sudah menganut agama islam dan tidak ada orang yang mau merawatnya

akhirnya tertimbun tanah. Terus sekitar abad 17 ada pak tani itu mencangkul kena

batu itu di angkat kok ada patung kebetulan di sekitar sini banyak masyarakat

tionghoa tinggal dilihat ada patung dewi kita taunya dewi kwan im jadi di anggap

dewi kwan im terus di naiknya arcana di bikin rumahnya di bikin tempat

pemujaan untuk sembahyang asal mulanya yang di proppo itu namanya candi

burung krn tdk jadi. Penemu pertama arca ini pak burung.

Kebanyakan vihara2 menghadap keselatan. Meskipun vihara di tiongkok

menghadap keselatan di mana2 menghap selatan tp ada juga kalo vihara ini dewi

kwam im menghadap keselatan apa karena pantai selatan itu patokannya tp kalo

yang lain lain hadapnya juga sama yang di suka bumi dewi kwam im nanghai itu

di tepi laut juga menghadap selatan, kalo yg tuban menghadap utara karena

dewanya kwan kong. Tata letaknya yang pertama itu harus sembahyang kepada

tuhan yang maha esa kedua dewi kwan im ketiga sam po hud keempat bi lik hud.

Kenapa setelah tuhan yg maha esa dewi kwan im karean dia sebagai tuan

rumahnya. Karean setiap klenteng itu tidak sama tergantung tuan rumahnya yang

terpenting itu tuhan yang maha esa. Kalo di tuban kwan kong disini ada juga

kwan kong tapi bukan tuan rumah. Kalo di tuban itu kwan kong dewa utama

sedangkan disini dewa utamanya dewi kwan im.

Potret kehidupan penganut agama budha

Ada tp tdk di data. Cuma umat budha di pemekasan munkin ada 50 kk.

Orang itu umpanya pergi ke masjid masa di data. Jumlah penganutnya lihat2

perayaannya kalo perayaannya besar banyak yang datang. Penganutnya dari

mana2 ada yang dari luar pulau, jakarta, semarang. Dan tidak ada pergolongan

sama saja. Kita kalo ada perayaan sembahyangnya bareng kaya berjamaah, kalo

hari2 sendiri2. Kehidupan biksu di tanggung umat ditanggung tempat biksu itu

kan pindah2, soalnya biksu itu terbatas jarang yang bisa menjdi biksu krn

pantangannya berat. tergantung amal ibadahnya seorang biksupun belum tentu

bisa masuk nirwana.

Pengertian nirwana adalah sudah terbebas jadi kalo misalnya orang bilang

surga tempat yg indah2 banyangannya kalo nirwana itu udah bebas artinya tidak

akan lahir di alam apapun, seperti sang budha itu di katakan nirwana tidak

tumimbal lahir lagi tidak ada di suatu alam. Kalo kita jadi dewa itu msih ada alam

dewa masih bisa turun menjadi manusia, binatang. Tapi kalo yang namanya

tingkat kebudhaan itu sudah mencapai kesempurnaan itu terbebas tidak akan

tumimbal lahir lagi. Artinya budha itu kesadaran sempurna kita saja bisa jadi

budha asalkan terbebas dari hukum karma itu sudah tidak masuk suatu alam.

Nibbana bahasa pali. Pali itu tempat.

Agama budha memandang kehidupan ini

Kita di beri hidup untuk memperbaiki karma supaya berbuat baik untuk

naik tingkat, dalam agama budha itu perbanyaklah berbuat baik hindarilah berbuat

jahat, agar karmanya juga baik. Biku asin binarakita, biku giri, biku teja kunyu

pernah membina di vihara ini.

Jumlah penganut vihara dari masa kemasa

Kalo secara nasional mungkin semakin banyak yaa kalo yang di lokal

soalnya gini generasi muda rata-rata kebayakan kalo sudah kuliah jarang kembali,

(merantau). Semua itu kita kan ingin hidup lebih baik, banyak cerita salah satunya

krn tidak punya keturunan, pengen cepet dapat jodoh, ingin punya rumah setelah

sembahyang ke vihara ini dapat dikabukan keinginannya, bhs. Maduranya

(mandhih).

Peran pak kosala mahinda di vihara ini sebagai ketua, biografi pendidikan

: TK, SD, SMP Katolok, di bangkalan, SMA Katolik di malang, universitas ,

pemikiran ngak ada Cuma pernah masuk di inseklopedi di pamekasan dan di

anggap sebagai tokoh, tokoh budaya.

Masyarakat sekitar kebanyakan agama islam tapi ada juga agama katolik,

agama budha di candhih bagian barat. Disana banyak yang beragama tiong hoa

tapi beragama islam, sudah berbaur dgn masyarakat sekitar. Hubungan antara para

pemimpin dan biksu disini baik saja kita sepeti saudara disini sudah lama seperti

keluarga sudah.

Pandangan bapak terhadap agama lain.

Semua itu kan masing2 menjalankan ibadah menurut keyakinan masing2

seperti disini aja kan macam2 ada yang hindu ada yang muslih yaa silahkan saja.

Tidak ada ancaman dari non budha, interaksi sosoal disini banyak kalo ada acara

keisini, masyarakat kalo mau adain acara disini sering nonton pertujukan seperti

wayang. Tidak pernah terjad intoleransi. Orang intoleransi itu tidak mengerti. Ada

yang pindah keyakinan dari katolik ke kristen alasannya macam2 itu masing2

oarangnya. Kadang di ajak anaknya juga bisa, atau faktor keluarga dan keturunan

bisa mempengaruhi.

Ketahanan ekonomi

Disini sosial kan kalo agama kegiatan sosial ngak ada aksi mencari uang.

Sedangkan untuk masyarakat sekitar sering memberi bantuan, seperti kegiatan2

sosial, contohya jalan itu yang membuat dari vihara dan ada juga orang kampung

nimba air di vihara ini karena air di vihara ini rasanya tawar sedagkan di luar

vihara airnya asin. Tidak pernah memperdayakan ekonomi karena di vihara ini

yayasan sosial, jadi berlaku untuk umum dan untuk non budha juga tidak pernah

memperdayakan ekonomi. Dan di perbolehkan berinteraksi ekonomi dengan non

budha, dagang, beli tembako, beli garam itu kan individu, dan semua itu ada

aturannya dagang juga sama. Karena sama2 saling menguntungkan.

Tradisi dan budaya

Kita kalo perayaan misalnya hari ulang tahun kita adakan upacara, setelah

itu hiburan wayangan kadang reok kadang barongsai, setelah ritual selesai baru

hiburan. Iya ada seperti tempo hari kita adain acara besar seperti kirap (keliling)

kita undang vihara lain dengan patungnya juga, terus di arak (jalan/ pawai). Terus

naik perahu keliling laut sini itu perahunya punya nelayan sini kita sewa semua

terlibat sepeti parkir kita pinjam tempat. Sampai perahu orang talang sana di sewa

perahu nelayan sini ngak cukup. Yaitu kita sering adain acara selain ritual yaaa

sepeti wayangan, pokoknya kesenian tradisional kita adakan supaya tidak hilang

krn generasi muda itu sering banyakan nonton dangdut.

Hasil Interview Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Serta Masyarakat

Sekitar Vihara Avalokitesvara Pamekasan

Vihara itu tidak mempengaruhi lingkungan, akan kelompok tidak

memperngaruhi bahwa islam tidak mengikuti dan tidak ada yang mengajak karena

orang2 di sini tidak ada yang suka. Banyak orang bilang di madura kota santri tapi

ada vihara. Padahal pesantren dekan malah satu desa. Cuma di sana tidak pernah

menyinggung vihara dan disini juga tidak pernah menyinggung pesantren. Dan

yang datang ke vihara itu kebanyakan orang luar, dan itu memang alirannya yang

datang setiap profensi juga ada. ada orang madura sendiri itu mengatakan tidak

meu menyembah batu karana seperti orang nasrani. Dan ada juga yang

mengatakan jangan seperti itu aku sendiri agama islam tidak pernah berkata

seperti itu.

Pak susianto beragama islam tapi sebelumnya dari embah dari keluarganya

dulu itu non islam. Cuama setelah punya anak semua anak2nya di antarkan ke

langgar, anak2nya semua yang pintar ngaji disini yang orang cina itu semuanya

ngaji ke langgar, alasannya kenapa semua keturunannya di bawa ke langgar? Saya

orang cina bukan orang islam bagaimana saya mau belajar islam kalau saya sudah

tua mau belajar juga sudah tidak bisa jadi lebih baik saya mengantar anak2 sy

untuk belajar sendiri di langgar. Perbuatan baik itu bukan Cuma dari ucapan tapi

dari tindakan, buktikan dan tunjukkan.

Cerita vihara itu katanya hanya mitos Cuma secara logika mungkin begini

dulu waktu masih pemerintahan kerajaan mojopahit batu yang ada di sini di

selamatkan dari penjajahan bahwa patung yang di selamatkan itu patung yang

untuk disini dan tangerang kira2 begitu, katanya di tangerang ada juga batunya

yang di selamatkan dari penjajahan belanda karena katanya mau diambil semua

oleh belanda itu. Dulu disini sungai besar dan disini tempat pemberhentian

perahu. Dan dulu di sungai ini banyak buayanya. Mungkin batu itu tidak ada yang

mau menerimanya terus patung itu di buang di sungai ini. Dan akhirnya di

temukan oleh masyarakat sekitar dan awalnya patung itu mau di tempatkan di

daerah tejah yang di namakan candi burung dan sekarang secara umum proppo.

Awal mula di namakan candi burung itu karena candi itu di bawa kesana mau di

bangun di sana tapi tidak jadi karan pada saat mau di angkat tidak ada yang kuat

padahal sudah rame rame mengangkatnya tetap tidak bisa di angatnya ukuran

candi/patung itu seperti orang dewasa. Dan setelah itu disini ada yang punya

tempat candi itu di rumahnya dan disuruh bawa ke rumahnya heranya setelah

candi itu di angat oleh satu orang bisa terangkat satu orang bisa kuat dan di

tempatkanlah di rumah itu, dulu rumahnya itu paling besar di daerah sini. Nama

yang punya rumah besar itu cekuy. Ceritanya juga candi/patung itu mengeluarkan

darah saat tangannya di potong mau di buat ulekan. Pertamanya candi itu di

temukan oleh orang yang mencari kepiting. Masalah cerita candi itu

mengeluarkan darah kurang tau pasti krn itu certa dulu, Cuma kita hanya

meyakini bahwa candi/patung itu batu asili batu hitam dari kerajaan mojopahit.

Dan dulu juga patung itu seperti mempunya kekuatan mistis dimana kalo ada

binatang yang terbang di atasnya bisa jatuh dan langsung mati memang di daerah

ini dulu juga ada makam orang wali atau di sebut pujuk, tp sekarang sudah tidak

ada lagi, kenapa dulu bisa seperti itu krna itu hanya menandakan kalao orang itu

wali orang terhormat yang patut di hormati.

Sekarang vihara itu bisa megah dan luas karena itu sudah di lepas oleh

pemilik pertamanya dan punya yayasan. Kira 2 hektar. Di jadikan yayasan yang

punya orang pamekasan yang punya toko motor sinar baru.

Pak susianti kenal dengan pak kosala, selaku tokoh kita harus berfikir

denga adanya vihara itu kita bersyukur karan desa saya polagan, candi bisa di

kenal banyak orang dengan adanya vihara itu. Jadi kita merasa memiliki dan di

sana juga merasa memiliki lingkungan. Malahan orang2 yang kerja di vihara itu

orang2 islam semua masih termasuk ipar2 saya. Dan itu sebenarnya sudah banyak

tambahan jd itu sebenarnya hanya mengharap tamu, yang di harap adalah mengisi

kas namanya juga yayasan. Dan saya juga sering kesana biasanya sore2.

Hubungan sy denga pak kosala baik. Dan mengajak anak2 muda bermai basket di

vihara karena ada lapangannya, saya sebagai pelatihnya. Saya di sana sebelumnya

permisi dulu dan jadwalnya sya minta harinya sudah ada persetujuan, jadi hari

yang sudah masuk itu udah tanggungan jadi sy kalo berangkat harus lebih awal

dan pulangnya lebih akhir. Soalnya di sana sy menjga takut ada kerusakan. Dan

pertamanya vihara pernah membantu seperti bal basket. Dengan adanya vihara ini

yang di ada lapangan basketnya jadi orang candi bisa main basket dan bisa

terkenal karena bisa main basket.

Terus dengan keberadaa vihara itu masyarakat merasa tidak terganggu

biasa aja tidak ada orang sekitar itu terpengaruh oleh vihara terhadap keibadaan.

Sya memandang agama lain biasa biasa saja karena saya hanya menjalankannya

apa yang saya punya, apa yang saya pake atau apa yang saya yakini. Dan saya

menjalankan ibada dan ibadah tidak memikirkan ada vihara, gereja dll. Jika ada

kegiatan sya tidak pernah di undang, walaupun hadir tidak pernah di sapa.

Padahlah dari istrinya ada keturunan aliran tioghoa, Cuma mungkin sekarang

udah di buang karena itu sudah bukan kelompoknya. Di buang karena masuk

islam. Jika sya mengadakan acara dari vihara tidak pernah di undang juga.

Kalaupun di sana mengadakan acara sejid acara ke agamaan masyarakat sekitar

atau lingkungan yang dekat dengan vihara tidak di undang. Tapi kalau butuh

bantuan di panggil untuk bekerja dan di beri bayaran dan harus dabel, misalkan

pertamanya di bayar 50k itu harus 100k begitu, seperti minta tempat parkir. Kalau

dalam kegiatan agamanya tidak di undah tapi kalo acara keluarga dari pak kosala

semua masyarakt sekitar di undang. Seperti memperingati meninggalnya dari

leluhurnya kalau sudah sampai waktunya. Di acara hari imlek itu kita tidak di

undang dan tidak hadir. Imlek itu seperti penentuan tanggal hari. Masyarakat

sekitar hadir kesana hanya karena ingin melihat pertunjukan semisal perjukan

barongsai dll. Dan jika mengadakan acara itu hanya sebatas acara saja tidak ada

yang lain seperti menyebarkan keyakinannya, kalau di islam kita kan khotbah dan

di sana tidak ada yang seperti itu kalo acara hiburan ya hiburan aja begitu. Dan

saya melihat kesana melihat orang yang bawa dupa sambil lompat2 dan menurut

saya orang yang seperti itu bagus kerena ketimbang orang yang duduk sambil

membicarakan orang lain kan lebih baik begtu. Soalnya kita juga sama2

menyembah batu kakbah itu emang bukan batu. Yang penting kita tujuannya sama

yaitu tuhan yang mahas esa.

Dulu pernah ada yang ingin membubarkan vihara itu kita di beri kertas

suruh di isi untuk tiap2 rumah dan akhirnya ada orang awam ke rumah sy dan

bertanya kira2 gimana apakah setuju untuk membubarkan vihara. Dari

lingkinkungan kita tidak setuju jadi jika kalian mau membubarkan vihara itu maka

kaliah harus berhadapan dulu dengan lingkungan karena lingkungan sudah merasa

memiliki vihara. Karena lingkungan juga merasa punya hutang budi sepeti dengan

adanya jalan yang sekarang ini kalau bukan berkat vihara mungkin nasib kita

seperti apa bukan begitu. Dan alasan orang yang ingin membubarkan vihara itu

adalah ingin tau seperti apa keberadaan vihara itu. Untuk apa juga orang ibadah

disini tidak merasa terganggu malah kita kalau butuh bantuan kita bisa menta

bantuan ke vihara dan vihara membantunya kalau dari vihara tidak perna minta

bantuan karena disana sudah punya. Bantuan untuk vihara itu adalah keamanan

vihara.

Dan berteman dengan orang budha bagus atau berteman dengan non

muslim, dari pada kita bermusuhan jadi kita juga bisa menjalin hubungan yang

baik. Ibaratnya begini misalkan kita bertani kalau mau beli pupuk tapi yang

menjual pupuknya orang cina.

toleransi adalah akidah dalam beragama. “Pengakuan adanya kekuatan

Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai

ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh

sebab itu, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak

menyeleweng dari fitrahnya. Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan

membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang

termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari

wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber

dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli,

memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah:

Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati, menunjuki manusia kepada

kebahagiaan hakiki, dan mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.

Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau

itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut

(ru’bah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Al-din (agama)

adalah aturan-aturan atau tatacara hidup manusia yang dipercayainya bersumber

dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Lampiran III

Daftar Informan di Vihara Avalokitesvara Pamekasan

1. Nama :Kosala Mahinda

Umur :42 Tahun

Status :Ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara

2. Nama :Adhi

Umur :47 Tahun

Status :Komunitas Tionghoa

3. Nama : Imam Isa Santosa

Umur :61 Tahun

Status :Ketua Litang Vihara Avalokitesvara

4. Nama :Sappraji Sappadasa

Umur :58 Tahun

Status :Komunitas Vihara Avalokitesvara

5. Nama : Drs. K. H. Salehoddin

Umur :46 Tahun

Status :Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Qulub Desa Polagan

6. Nama : Bapak Susianto

Umur :47 Tahun

Status :Tokoh Masyarakat Dusun Candih

7. Nama : Novem

Umur :33 Tahun

Status :Satpam di Vihara Avalokitesvara

8. Nama :Abdullah

Umur :35 Tahun

Status :Pekerja di Vihara Avalokitesvara

9. Nama :Cipto

Umur :31 Tahun

Status :Satpam di Vihara Avalokitesvara

10. Nama :Gunawati

Umur :40 Tahun

Status :Komunitas Vihara Avalokitesvara

Lampiran IV

Dokumentasi Wawancara Penelitian di Vihara Avalokitesvara dan Tokoh

Masyarakat Dusun Candih.

Dokumentasi Ritual Keagamaan Vihara Avalokitesvara Pamekasan Madura

Bangunan Dhamma Sala, Pura dan Lithang

hahahaha

Musala

Halaman Vihara Avalokitesvara Dan Aula

Jalan Menuju Vihara Avalokitesvara dan Pondok Pesantren Miftahul Qulub

Polagan Galis Pamekasan

Tempat Pembakaran Kertas

Sumur Air Tawar Dalam Kompleks Vihara Avalokitesvar Pamekasan Madura

Vihara Avalokitesvara Tampo Dulu, Musium Rekor Dunia Indonesia, Dan Tugu

Pancasila

Vihara Avalokitesvara Tempo Dulu 1947-1970