EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI TENGAH MASYARAKAT
MUSLIM DI PAMEKASAN MADURA
(Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih
Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Khairil Anwar
NIM: 1112032100040
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
v
ABSTRAK
Khairil Anwar
1112032100040
Eksistensi Komunitas Buddha di Tengah Masyarakat Muslim di Pamekasan
Madura (Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di
Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura).
Vihara Avalokitesvara yang terdapat di Dusun Candih Desa Polagan
Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan, merupakan tempat peribadatan umat
Buddha dalam wajah penampilan cita-cita Pancasila. Di kompleks Vihara terdapat
tempat ibadah Musala dan Pura. Seperti yang kita ketahui, agama Buddha di
Indonesia adalah salah satu agama minoritas yang memiliki masa lalu kelam di
Indonesia. Dulu pada era pendudukan Jepang Vihara Avalokitesvara kegiatan
yang berupa kegiatan keagamaan ada hambatan, sekitar tahun 1940. Seperti
penampilan wayang diganti degan adegan ludruk. Ludruk adalah kesenian rakyat
Jawa Timur berbentuk sandiwara yang di pertontonkan dengan menari dan
menyanyi. Berbeda dengan perang kemerdekaan Vihara Avalokitesvara oleh
massa yang mengatas namakan dirinya pejuang-pejuang kemerdekaan. Vihara
Avalokitesvara dibakar termasuk pabrik kecap cap kepiting sampai ludes dimakan
api, sekitar tahun 1947.
Pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama salah satu
Bodhisattva dalam agama Buddha. Dan ini juga sesuai dengan nama patung yang
berada di dalam komplek Vihara, yaitu Patung Avalokitesvara. Sedangkan
Avalokitesvara sebagai salah satu Bodhisattva yang dipuja oleh umat Buddha.
Kata Avalokitesvara berasal dari kata Ava (melihat), Lokiteh (mendengarkan) dan
Isvara (mahluk hidup atau mahluk suci). Jadi Avalokitesvara mempunyai
pengertian adalah mahluk suci yang melihat dan mendengar penderitaan manusia
di Dunia yang penuh dengan tantangan.
Ada dua masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, terkait dengan
bagaimana eksistensi atau keberadaannya penganut agama Buddha di Vihara
vi
Avalokitesvara. Kedua, bagaimana cara mempertahankan eksistensinya atau
keberadaanya di tengah kaum mayoritas penganut agama Islam. Penelitian ini
menggunakan penelitian Lapangan (field Research) dengan wawancara dan
didukung dengan penelitian perpustakaan (Library Research) yang dilakukan
dengan menelusuri dokumen, jurnal, arsip dan buku. Penelitian ini menggunakan
pendekatan sosiologis. Didukung dengan konsep kebertahanan sosial menurut G.S
Cumming dalam An Exploratory Framework for the Empirical Measurement of
Resilience, kebertahan sosial adalah kebertahanan juga didefinisikan sebagai
kemampuan sistem untuk menjaga identitasnya dalam menghadapai perubahan
internal dan guncangan eksternal. Kebertahanan dapat didefinisikan sebagai
kemampuan dari suatu sistem, komunitas atau masyarakat terkena bahaya untuk
menahan, menyerap, mengakomodasi dan pulih dari dampak bahaya secara tepat
waktu dan tepat cara, termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur ensensial
dasar dan fungsi. Dengan cara mengalisis ketahanan sosila, ketahanan ekonomi
dan ketahanan fisik atau budaya terhadapa ancama lingkungan.
Hasil penelitian ini yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa:
1). Komunitas Vihara Avalokitesvara tidak pernah terjadi gesekan dengan
masyarakat sekitar hususnya di Dusun Candih dan mampu mempertahankan
kerukunan, toleransi beragama, kesenian dan budaya-budaya dari nenek
moyangnya. Dan dari kedua belah pihak, pihak Vihada dan pihak masyarakat
merasa salaing memiliki dan melengkapi. 2). Agar tetap bertahan dan tetap eksis
Vihara menggunakan cara dengan melakukan pembangunan fisik seperti sarana
peribadatan, kesenian, olah raga, penginapan dan sarana peribadatan pemeluk
agama Islam serta Pura untuk umat Hindu. Dan mempertahankan kesenian-
keseniannya dan budaya-budanyanya. Seperti pertunjukan wayang, barongsai,
merayakan hari raya Imlek, hari ulang tahun Kwan Im, perayaan wisak, tradisi
Cap Go Meh, hari raya kelahiran Avalokitesvara, dan saling seserahan makanan ,
Vihara membagi-bagi angpao umat Islam atau masyarakat memberikan makanan
ketika hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Kata Kunci: Eksistensi, Vihara Avalokitsvara, Komunitas Vihara Avalokitesvara
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan kenikmatan baik
jasmani maupun rohani yang tak terhingga kepada kita. Puji syukur kepada Allah
SWT atas kasih serta sayang-Nya yang selalu tercurah hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA DI
TENGAH MASYARAKAT MUSLIM DI PAMEKASAN MADURA (Studi Atas
Eksistensi Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa
Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan Madura)” ini dengan baik.
Shalawat serta salam, selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya, sahabatnya, serta pengikutnya yang tercerahkan di
jalan Allah SWT.
Sebagai seorang pemula, skripsi ini merupakan karya yang jauh dari kata
sempurna. Akan tetapi penulis tetap tidak berhenti mengucapkan kalimat
Alhamdulillah dan puji-puji kebahagiaan kepada Allah SWT karena telah
menyelesaikan karya ilmiah ini. Mulai dari niat mengerjakannya sampai pada
akhir tulisan ini, penulis merasa mendapat banyak manfaat berupa ilmu
pengetahuan, pengalam baru, dan melatih kesabaran. Penulis menyadari hal itu
tidak akan diperoleh tanpa berkat orang-orang yang selalu membimbing baik
secara moral maupun materiil, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih
sedalam-dalamnya kepada:
viii
1. Bapak. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA. Selaku Ketua Prodi Studi Agama-
agama.
4. Dr. Halimah SM, M.Ag. Selaku Sekretaris Prodi Studi Agama-agama
sekaligus sebagai Penasehat Akademik penulis skripsi ini.
5. Bapak Syaiful Azmi S.Ag., MA. Sebagai Pembimbing Penulisan Skripsi
ini, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga pikiran dan kesabaran
dalam memberi arahan, motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA. Selaku penguji satu dalam
sidang munaqasyah dan telah banyak memberikan masukan supaya skripsi
ini lebih bagus dari yang sebelumnya.
7. Dra. Hermawati, MA. Selaku penguji dua dalam sidang munaqasyah yang
telah banyak memberi arahan dalam hal cara memperoleh penelitian yang
bagus dan tepat cara.
8. Papi dan Mami kedua orang tua tercinta, yang telah mendidik,
memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil serta do’a demi
lancarnya studi dan penulisan skripsi ini.
9. Bapak Ahmad Ridho, Dr. DESA dan Prof. M. Ikhsan Tanggok, Dr. M.Si
sebagai penguji dalam ujian kompre, yang telah meluangkan waktu,
ix
tenaga pikiran dan kesabaran dalam menguju. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan dan lulus dalam ujuannya.
10. Segenap Dosen pengajar di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang bersedia membekali pengetahuan selama penulis belajar di
Fakultas Ushuluddin.
11. Petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas yang telah
menyediakan refensi dalam bentuk buku yang penulis butuhkan.
12. Pengurus Vihara Avalokitesvara, Bapak Kosala Mahinda selaku
narasumber yang selalu menyambut kedatangan penulis dan tidak segan-
segan memberikan apaun yang penulis butuhkan dalam skripsi ini. Dan
tidak lupa juga kepada Tokoh Masyarakat beserta aparat Masyarakat
Dusun Candih Desa Polagan Kec. Galis Kab. Pamekasan.
13. Para narasumber, baik dari penganut agama Buddha di Vihara
Avalokitesvara maupun masyarakat sekitar Vihara khususnya Bapak
Susianto tokoh masyarakat Candih selaku narasumber yang menyambut
kedatangan penulis dengan ramah, baik, dan tidak segan-segan
memberikan informasi yang penulis butuhkan dalam skripsi ini.
14. Abdur Rahman sebagai abang dari penulis yang setia dalam membantu di
lapangan dan membantu mencarikan refensi yang di butuhkan dalam
penulisan skripsi ini.
15. Jamiludin atau Zam Sastrawan dan Riswandi Yusuf yang membatu penulis
dari persiapan pemberksan hingga dalam pengureksian penulisan, yang
x
telah bersedia meluangkan waktu, dan pikirannya untuk membantu penulis
hingga sampai selesai dalam penulisan skripsi ini.
16. Suliati Sanaf, Sabran Sanaf, Idris Hemay, Nia Trisnawati, Abdus Salah
Meller, Helmi Yono, Supriyono Hemay, Wahid Mannan, Ahmad
Kurniadi, selaku senior yang selalau memberi bimbingan dan arahan. Dan
yang selalu dengan ramah memebrikan tempat tinggal di saat penulis
membutuhkan untuk penulisan skripsi ini.
17. Sahabat-sahabat terdekat Prodi Studi Agama-agama, Aqidah Filsafat
Islam, Tafsir Hadis, dan Komunitas anak Madura KPU “Kampung Utan”,
Moh. Faisal As’adi, Moh. Rifqi Nuris Binutez, Bambang Romaidi Stiker,
Khoirul Ulam, Walid Riyas Arabia, Muniri Chun, Ahmad Rofiq, Hendri
Purnawan Aboy, Moh. Farid dan Ahmad Syufaili Muslim.
18. Jehan Palupi El Fajr selaku Junior dari Prodi Filsafat Islam yang selalu
sabar dalam membantu, menemani, memberikan motivasi kehidupan dan
dalam penulisan skripsi ini.
Ciputat, 29 November 2018
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ............................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah .............................................................................. 6
C. Perumusan Masalah ............................................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................................... 8
1. Jenis Penelitian .................................................................................. 8
2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 10
3. Sumber Penelitian ............................................................................. 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 14
BAB II KARAKTER MASYARAKAT MADURA
A. Islam .............................................................................. ......................... 16
B. NU ........................................................................................................... 24
C. Tradisional............................................................................................... 27
BAB III DINAMIKA EKSISTENSI VIHARA AVALOKITESVARA DAN
PENGANUT BUDDHA DI KABUPATEN PAMEKASAN
A. Sejarah berdirinya Vihara Avalokitesvara ............................................. 36
B. Potret kehidupan Penganut Agama Buddha di Vihara Avalokitesvara dari
masa ke masa........................................................................................... 42
xii
C. Peran Kosala Mahinda terhadap Vihara Avalokitesvara ........................ 44
BAB IV EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA VIHARA
AVALOKITESVARA DI TENGAH MASYARAKAT MUSLIM
PAMEKASAN MADURA
A. Masuk dan berkembangnya agama Buddha di Pamekasan Madura ....... 47
B. Kebertahanan Vihara Avalokitesvara di tengah komunitas Muslim ...... 53
1. Kebertahanan Sosial .......................................................................... 55
2. Kebertahanan Ekonomi ..................................................................... 59
3. Kebertahanan Tradisi dan Budaya .................................................... 60
C. Pandangan Masyarakat Muslim sekitar terhadap Vihara Avalokitesvara
................................................................................................................. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 67
B. Saran ........................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara majemuk yang menganut paham demokrasi.
Yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan latar belakang suku, bahasa dan
agama yang berbeda-beda. Di tengah banyaknya perbedaan tersebut, bukan hal
mudah kemudian untuk Indonesia bisa menjaga keharmonisan antar warga
negaranya. Sejarah mecatat bahwa sudah banyak konflik antar golongan sebagai
tumbal dari kebhinekaan negara Indonesia. Dalam hal agama misalnya, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan terjadi peningkatan
jumlah pelanggaran dalam setiap tahunnya. Di 2016 saja, ada 97 pengaduan
terkait pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di seluruh
Indonesia, meningkat dari 87 laporan di sepanjang 2015. Di tahun 2016, rata-rata
pelanggaran hak atas kebebasan beragama ini tercatat sampai 8 kali per satu
bulan, meningkat dari tahun 2015 yang tercatat hanya 7 kali pelanggaran per
bulan.1
Laporan Komnas HAM ini, yang dipublikasikan di awal tahun 2017,
menyatakan jumlah tersebut tentu tidak mencerminkan jumlah pelanggaran yang
sesungguhnya, karena kasus-kasus yang diadukan hanya sebagian kecil dari
kasus-kasus yang ada. Pelanggaran ini diperkirakan akan terus bertambah seiring
1 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), "Laporan Tahunan Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan 2016" https://www.komnasham.go.id/files/20170324-laporan-
tahunan-kebebasan-beragama-$IUKH.pdf (Diakses pada 13 November 2017).
2
dengan meningkatnya isu sektarian dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
memiliki latar belakang yang bermacam-macam.
Terkait kebebasan beragama, sejak awal negara telah mengatur UUD NRI
1945, ayat (1) dan ayat (2) pasal 28E menerangkan bahwa: satu, setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Kedua,
setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai hati nuraninya.2 Terkait ketentuan pasal 28E ayat (1) dan ayat
(2) Agung Ali Fahmi menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama tidak
dapat dipisahkan dari kebebasan untuk menyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.3
Azyumardi Azra menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan
boleh jadi juga mengalami hambatan dan kendala dari bagian tertentu dalam
masyarakat keagamaan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi di antara umat beragama
yang berbeda, dan juga bahkan di antara berbagai mazhab, aliran, atau didominasi
dalam agama tertentu. Tidak jarang kelompok agama yang dominan dalam satu
negara-bangsa tertentu melakukan tindakan-tindakan yang dalam satu dan lain hal
menghalangi dan membatasi kebebasan agama dan keyakinan kelompok agama
lain. Begitu juga, kelompok mayoritas arus utama dalam satu negara tertentu, atas
2 Nursyam, M.Si, Kompedium Regulasi Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: FKUB,
t.th), h. 39. 3 Adam Muhshi, Teologi Konstitusi: Hukun Hak Asasi Manusia atas Kebebasan
Beragama di Indonesia (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015), h. 1-2.
3
nama ortodoksi, melarang aliran, mazhab atau denominasi yang ada di dalam
agama tersebut.4
Aspek mayoritas dan minoritas memang menjadi kata kunci untuk kasus
pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Berdasarkan laporan Komnas HAM 2016, hampir semua kasus kebebasan
beragaman dan berkeyakinan memang cenderung dikarenakan kebijakan-
kebijakan daerah dan penegakan hukum yang lebih tajam kepada kelompok
minoritas dan longgar terhadap kelompok mayoritas.5 Dalam kasus-kasus
pembatasan atau pelarangan pendirian rumah ibadah misalnya, tindakan
pembatasan lebih banyak ditujukan kepada rumah-rumah ibadah kelompok
minoritas, misalnya mereka diharuskan untuk memenuhi semua ketentuan
persyaratan pendirian rumah ibadah, baru dapat mendirikan rumah ibadah.
Padahal bila diteliti secara seksama, rumah-rumah ibadah yang didirikan
kelompok mayoritas sebagian besar tidak memenuhi ketentuan pendirian rumah
ibadah.
Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua kaum minoritas
mengalami tekanan atau bahkan ancaman dari kaum mayoritas. Salah satu
contohnya adalah umat Buddha di kabupaten Pamekasan, Madura. Menurut data
statistik, hampir 100% Penduduk madura mayoritas memeluk agama Islam.
Ditambah lagi, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat
4Azyumardi Azra, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa jauh?
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. Xvi. Judul Buku Alsi: The Oslo Coalition on Freedom of
Religion or Belief. 5 Laporan Tahunan Kebebasan Beragama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia (Komnas HAM, 2016), h. 106-107.
4
penyebaran agama, daerah Madura sering disamakan dengan Aceh, di mana
orang–orang Madura terkenal sebagai umat Islam yang sangat saleh.6
Terlepas dari penduduknya yang mayoritas muslim, ada sekelompok
penduduk di Madura yang memeluk agama Buddha. Walaupun jumlahnya sangat
sedikit, akan tetapi mereka eksis dalam menjalankan kegiatan peribadatannya
secara rutin tanpa gangguan dari kaum mayoritas. Dari total 3.622.762 penduduk
di empat kabupaten di Madura, hampir 100% mereka beragama Islam, yaitu
sebanyak 3.553.225 penduduk. Sedangkan umat Buddha sendiri hanya tercatat
329 orang,7 yang sebagian dari mereka melakukan peribadatannya di Vihara
Avalokitesvara yang terletak di kawasan pantai Talang Siring di kabupaten
Pamekasan.
Sejak awal berdirinya Vihara Avalokitesvara, yaitu jauh sebelum masa
kemerdekaan, penganut Buddha di Vihara ini sudah mengalami banyak lika-liku
kehidupan. Yang salah satunya mengalami paksaan oleh tentara Jepang di masa
penjajahan dan juga sempat terjadi target penyerangan dan pengusiran oleh
masyarakat yang mengatas namakan pejuang kemerdekaan.8 Bahkan mereka juga
mendapat tindakan diskriminatif sebagai bagian dari kaum Tionghoa pada masa
pemerintahan Soeharto.9
6 Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi,
Dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi (Jakarta: Gramedia, t.th), h. 239. 7 Data Sensus Penduduk 2010 -Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
8 Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat Beragama
(Pamekasan: t.p., 2004), h. 9. 9 Felicia Tania K, Lintu Tulistyantoro, Linggajaya Suryanata, “Studi Ikonografi Panofsky
Pada Ornamen Interior Vihara Avalokitesvara Pamekasan, Madura,” JURNAL INTRA, Vol. 5, No.
2, (2017), h. 182.
5
Akan tetapi kekerasan dan juga diskriminasi terhadap mereka berangsur-
angsur berhenti sejak terbentuknya Yayasan Candi Bodhi Dharma di tahun 1959,
dimana dengan berdirinya yayasan tersebut, pihak pimpinan Vihara
Avalokitesvara serta tokoh agama Buddha di Vihara Avalokitesvara berhenti
menyebarkan agama Buddha dan malah fokus menanamkan rasa kasih sayang dan
cinta kasih terhadap jemaah maupun masyarakat sekitarnya. Rasa kasih sayang
dan cinta kasih itu diwujudkan dengan silaturrahmi antar etnis dan antar umat
beragama terjalin dengan baik, itupun tidak hanya di lingkungan masyarakat
Candih melainkan sampai menjangkau ke desa-desa yang jauh dari Vihara. Berkat
usaha tersebut, umat Budhda di Vihara Avalokitesvara mampu mengubah
menciptakan kerukunan dengan warga sekitar yang mayoritas beragama Islam.
Adapun bentuk kerukunan beragama yang terpancar di Vihara Avalokitesvara
khususnya masyarakat Candih dan sekitarnya diantaranya: (a). Perkawinan Orang
Islam yang diselenggarakan di komplek Vihara Avalokitesvara. (b). Pertemuan
antar Umat Beragama. (c). Melayat Orang Meninggal. (d). Bantuan Beras.10
Maka dari itu, penulis kemudian tertarik untuk meneliti lebih lanjut potret
eksistensi umat Buddha di Vihara Avalokitesvara Pamekasan yang mampu
mengubah kondisi mereka dari yang tadinya mendapat ancaman dan diskriminasi
menjadi kelompok yang bisa berdamai dan rukun dengan masyarakat sekitar.
Penulis ingin melihat eksistensi mereka yang mampu bertahan ditengah mayoritas
muslim dengan menggunakan pendekatan konsep “Kebertahanan sosial”. Judul
skripsi ini adalah “Eksistensi Komunitas Buddha di Tengah Masyarakat Muslim
10
Mahinda, Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara (Pamekasan: t.p.,
2004), h. 2.
6
di Pamekasan Madura (Studi Atas Eksistensi Agama Buddha di Vihara
Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten
Pamekasan Madura).”
B. Pembatasan Masalah
Agar supaya penelitian ini tidak melebar pembahasannya, maka penulis
membatasi kajian penelitian ini hanya pada eksistensi kelompok penganut Agama
Buddha Vihara Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan, serta melihat proses
yang mereka ambil dalam mempertahankan eksistensi di tengah kaum mayoritas
penduduk yang beragama Islam.
C. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di Vihara
Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan?
2. Bagaimana cara mereka mempertahankan eksistensi tersebut di tengah
kaum mayoritas penganut agama Islam?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di
Vihara Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan.
2. Untuk mengetahui cara penganut Agama Buddha di Kabupaten Pamekasan
mempertahankan eksistensi mereka di tengah bayang-bayang kaum
mayoritas.
7
Adapun manfaat dari penelitan ini adalah diharapkan bisa menambah
pengetahuan dan wawasan bagi peneliti dan akademisi tentang permasalahan
kebebasan beragaman dan berkeyakinan di Indonesia. Selain itu, penulis juga
berharap bisa memberikan warna yang berbeda di tengah maraknya kasus
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan membahas tentang
contoh sukses kerukunan antar umat beragama, lebih-lebih antara yang minoritas
dan mayoritas. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan pengetahuan yang
lebih mendalam tentang rumah ibadah agama Buddha Vihara Avalokitesvara di
Pamekasan.
Secara akademis, penelitian ini bisa memenuhi syarat bagi penulis untuk
mendapat gelar S1 (strata satu) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin sebagai sebuah
penelitian karya ilmiah/skripsi.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini merujuk pada penelitian sebelumnya, salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Yusuf Anbar Firduasi yang meneliti eksistensi
agama Konghucu di Majalengka, Jawa Tengah di tahun 2017. Penelitian ini
berjudul “Eksistensi Agama Konghucu di Kabupaten Majalengka: Studi Kasus
Klenteng Hok Tek Tjeng Sin dan Penganut Agama Konghucu.” Penelitian yang
dilakukan oleh Yusuf ini hanya membahas tentang eksistensi agama minoritas
saja, tidak menelaah lebih jauh bagaimana interaksi antara penganut agama
tersebut dengan kelompok agama yang lain, terlebih dengan agama mayoritas.
8
Dan ini yang kemudian membedakan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf
dengan penelitian ini.
Selain itu, penelitian ini juga merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh
Amirul Auzar ch, yogyakarta 2017. Penelitian ini berjudul “Simbolisme Dewi
Kwan Im Dalam Wujud Tridarma Tunggadewi, atas pendangan Komunitas
Vihara Avalokitesvara Pemekasan”. Penelitian yang dilakaukan oleh Amirul ini
hanya membahas tentang proses transformasi Tribuana Tunggadewi ke Kwan Im.
Dan hasil penelitian ini yang didapatkan dari lapangan menunjukkan bahwa:
1. Komunitas Vihara Avalokitesvara memposisikan Tribuana Tunggadewi
sebagai Kwan Im pada mulanya disebabkan Tribuana Tunggadewi dianggap
memiliki sifat feminis Kwan Im yang Maha Welas Asih.
2. Masyarakat Madura pada umumnya masih memengang nilai-nilai
kepercayaan kesakralan terhadap leluhur yang berpengaruh bagi masyarakat
Madura, maka hal tersebut yang menyebabkan transformasi boddhisatva
Kwan Im ke Tribuana Tunggadewi sebagai pusat kesakralan. Dan
penelitian ini tempat studi kasus sama, namun penelitian ini berbeda.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian Lapangan (field Research). Data lapangan
diperoleh dengan wawancara. Wawancara adalah bentuk komonikasi antara
dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan
9
tujuan tertentu.11
Wawancara ini dilakukan dengan tujuan menyajikan
konstruksi saat sekarang dalam suatu konsteks mengenai pribadi, peristiwa,
aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi tingkat dan
bentuk keterlibatan.12
Wawancara ini tidak hanya dilakukan pada pengurus,
tokoh dan jamaah Vihara Avalokitesvara, tetapi juga terhadap masyarakat
kabupaten pamekasan yang berada di sekitar Vihara.
Untuk memperkuat penelitian ini maka di dukung juga metode kualitatif,
yang menurut Prof. Dr. Sugiono, adalah metode yang digunakan untuk meneliti
kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci.
Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi yaitu gabungan
dokumintasi pustaka atau fotografi wawancara dan observasi lapangan.
Analisis data bersifat induktif (penyimpulan rataan) dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.13
Penelitian ini juga
didukung dengan penelitan perpustakaan (Library Research), yaitu penelitian
yang dilakukan dengan menelusuri dokumen, jurnal, arsip dan buku.14
Sekaligus juga mengunakan sumber lain yang berkaitan dengan pembahasan
skripsi ini, semisal artikel dari media massa.
Deskriptif Analisis adalah proses penyusunan data agar data tersebut
dapat ditafsirkan.15
Dalam hal ini penelitian yang dipakai dalam penulisan
11
Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013),
h. 180. 12
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: ALFABETA,
2010) h. 79. 13
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), h. 1. 14
Sjamsudin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007),h. 76. 15
Dadang Rahmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),
h.102.
10
skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Kualitatif di sini, merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan dari si
pelaku yang sedang diamati.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian penulis menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu
kajian ilmu tentang kemasyarakatan yang ingin mengetahui secara mendalam
tentang gejala dan struktur sosial yang ada di dalam masyarakat.16
Dalam ilmu
sosiologi dikenal istilah intitusi sosial. Intitusi merupakan suatu norma khusus
yang menata serangkaian tindakan yang berpola untuk keperluan khusus
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Koentjaraningrat, aktivitas
manusia atau kemasyarakatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar bisa
dikategorikan sebagai intitusi sosial. Salah satunya adalah jika kelompok
manusia tersebut menjalankan aktivitas bersama dan saling berhubungan
menurut sistem norma-norma tersebut.17
Pendekatan sosiologis adalah
pendekatan yang diangkat dari ekspresiensi atau pengalaman konkrit sekitar
agama yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik sejarah (masa lampau)
maupun dari kejadian-kejadian sekarang.18
Untuk pendekatan sosiologis ini,
penulis memilih konsep kebertahanan sosial. Menurut G. S. Cumming dalam
An Exploratory Framework for the Empirical Measurement of Resilience,
konsep kebertahan sosial adalah kebertahanan juga didefinisikan sebagai
kemampuan sistem untuk menjaga identitasnya dalam menghadapai perubahan
16
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 9. 17
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1987), h. 70-74. 18
Adeng Muchtar, Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi
Agama-agama (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 49-50.
11
internal dan guncangan eksternal (2005, 976). Selaras dengan DFID,
kebertahanan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu sistem,
komunitas atau masyarakat terkena bahaya untuk menahan, menyerap,
mengakomodasi dan pulih dari dampak bahaya secara tepat waktu dan tepat
cara, termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur ensensial dasar dan
fungsi. Untuk dapat menilai kebertahanan sosial, diperlukan sasaran untuk
menganalisis tujuan penelitian. Hal ini bisa dilakukan dengan menganalisis
kemampuan ketahanan sosial terhadap ancaman, mengalisis kemampuan
ketahanan ekonomi terhadap ancaman, mengalisis kemampuan ketahanan fisik
atau budaya lingkungan terhadap ancaman.19
Dalam penelitian ini penulis
mencoba dengan menggunakan konsep kebertahanan sosial G. S. Cumming
untuk membaca eksistensi masyarakat Buddha di tengah-tengah mayoritas
masyarakat muslim di pemeksan madura.
Menurut Media Zainul Bahri, bahwa pendekatan sosiologis berfokus
kepada masyarakat yang memahami dan mempraktekkan agama; bagaimana
pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terhadap
masyarakat.20
Dalam buku Imam Suprayogo dan Tobroni dijelaskan bahwa
objek penelitian agama dengn pendekatan sosiologis menurut Keith A. Robert
memfokuskan pada (1) kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (melalui
pembentukannya, kegiatannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya,
pemeliharaannya, dan pembubarannya) (2) perilaku individu dalam kelompok
19
Ayu Risky Puastika dan Nany Yuliastuti, “Kebertahanan Permukiman Sebagai Potensi
Keberlanjutan di Kelurahan Purwosari Semarang,” Jurnal Teknik PWK, Volume 1 Nomer 1,
(2012), h. 23. 20
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi, h. 44.
12
tersebut (proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku
ritual) (3) konflik antar kelompok.21
Dan di dukung juga dengan pendekatan historis adalah suatu pendekatan
untuk menelusuri asal-usul, dan pertumbuhan serta institusi-institusi
keagamaan dalam periode perkembangannya untuk mendapatkan gambaran
yang jelas, dengan konsep tentang pengalaman keagamaan dapat dihadirkan
dan dipahami maka gambaran-gambaran utuh mengenai suatu agama akan
dapat dicapai.22
Menurut Media Zainul Bahri, bahwa pendekatan historis
adalah merekonstruksi suatu episode atau kejadian masa lalu untuk dihadirkan
masa kini, untuk dipertanyakan, dilihat relevansi dan kepentingannya dengan
masa kini.23
Menurut Hasan Usman pendekatan historis adalah suatu
periodisasi atau tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan
kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah. Sekarang yang
dimaksud dengan kenyataan dan kebenaran sejarah bukanlah harus sampai
kepada kenyataan dan kebenaran mutlak. Karena hal itu berada di luar
kemampuan, juga hilangnya petunjuk, misalnya bekas peninggalan, atau
karena ada tujuan dan kepentingan tertentu. Dengan demikian, hakikat yang
ditemukan sejarah adalah hakikat yang valid, tetapi relatif, sedangkan tujuan
21
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial- Agama (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003), h. 67. 22
Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994), h. 28. 23
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 16.
13
dari penelitian sejarah itu sendiri adalah membuat rekonstruksi masa lampau
secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan dan mengevaluasi.24
3. Sumber Penelitian
Sumber Primer adalah arsip, dokumen dan data yang dikumpulkan dan
diolah sendiri atau seorang atau suatu organisasi langsung dari obyeknya.25
Di
penelitian ini, data primernya berupa hasil wawancara dengan pengurus dan
para penganut agama Buddha pada Vihara Avalokitesvara dan masyarakat
Tionghoa yang berada di kabupaten Pamekasan. Serta beberapa pihak yang
terkait dengan objek penelitian yaitu: (Kosala Mahinda, Imam Isa Santosa,
Sappraji Sappadasa, Adhi, Gunawati), dan wawancara dengan masyarakat sekitar
diantaranya kepada pemuka agama dan tokoh masyarakat Dusan Candih yaitu:
(Drs. K. H. Salehoddin, Bapak Susianto, Novem, Abdullah, Cipto), dan didukung
juga dengan buku terkait Vihara Avalokitesvara dan Pamekasan Madura yaitu;
buku Ghazi Al-Farouk. Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, buku Ghazi
Al-Farouk. Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan Proppo-
Pamekasan, buku Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman:
Perdagangan, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam Suatu Studi Antropologi
Ekonomi, serta observasi dari peneliti di lapangan terkait Vihara tersebut.
Sumber Sekunder adalah data yang bersumber dari hasil rekontruksi
orang lain, seperti buku, jurnal, majalah, arsip, dokumen dan artikel yang
24
Adeng Muchtar, Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi
Agama-agama, h. 39. 25
Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Jakarta: STIA Lembaga
Administrasi Negara, 1999),h. 65.
14
ditulis orang-orang yang tidak sezaman dengan peristiwa tersebut.26
Menurut
sugiyono, data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpulan data, misalnya lewat orang lain atau
dokumen.27
Penulis mengambil data dari berbagai sumber seperti buku,
dokumen, internet dan sumber-sumber lainnya yang tidak terkait dengan
penelitian yang penulis laukukan.
Dalam Penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan dan
petunjuk buku, “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi
UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: UIN Press, 2012) yang dikeluarkan oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima bab. Bab I adalah
pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan Latar belakang masalah dan Perumusan
masalah yang diangkat dalam penelitain ini. Di dalam bagian ini juga akan
diuraikan Tujuan dan manfaat penulisan, Tinjauan pustaka, Metodologi
penelitian, Sistematika penulisan.
Pada Bab II, karakter masyarakat Madura. Di dalamnya akan dibahas Islam,
NU dan, Tradisional.
Pada bab III, dinamika eksistensi vihara avalokitesvara dan penganut
Buddha di kabupaten pamekasan. Di dalamnya akan di kemukakan secara umum
dan khusus sejarah berdirinya Vihara Avalokitesvara, potret kehidupan penganut
26
Sayuti Ali, Metodologi Penelitian Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),h.
21. 27
Sugiyono, Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 225.
15
agama Buddha di Vihara Avalokitesvara dari masa ke masa, peran Kosala
Mahinda terhadap Vihara Avalokitesvara.
Pada bab IV, eksistensi agama Buddha vihara avalokitesvara di tengah
komunitas muslim Pamekasan Madura. Dia dalamnya akan di kemukakan masuk
dan berkembangnya agama Buddha di Pamekasan Madura, kebertahanan Vihara
Avalokitesvara di tengah komunitas muslim, kebertahanan sosial, kebertahanan
ekonomi, kebertahanan tradisi dan budaya, pandangan masyarakat muslim sekitar
Vihara Avalokitesvara.
Pada bab V, merupakan bab terakhir dari penelitian skripsi ini yang terdiri
dari dua sub bab, yantu sub bab pertama yang berisikan Kesimpulan dan sub bab
kedua yang berisikan Saran.
16
BAB II
KARAKTER MASYARAKAT MADURA
A. Islam
Sebelum berbicara Islam di Madura alangkah baiknya jika sedikit cerita
tentang asal usul Madura itu sendiri. Menurut legenda, ada suatu negara yang
disebut mendangkamulan dan berkuasalah seorang raja bernama Sang Hyang
Tunggal. Raja tersebut mempunyai seorang puti yang bernama Bendoro Gung.
Pada suatu ketika putri tersebut hamil dan diketahui ayahnya. Beberapa kali
ayahnya menanyakan siapa yang menghamilinya, tetapi anaknya tidak tahu
penyebab kehamilannya. Raja sangat marah dan memanggil patihnya yang
bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Patih tidak diizinkan
kembali ke kerajaan jika belum membunuh putri Bendoro. Maka dibawalah putri
tersebut ke hutan. Ketika petih menghunus pedangnya ke leher putri, pedang
tersebut selalu terjatuh ke tanah, bahkan kejadiaanya berulang sampai tiga kali.
Akhirnya, patih yakin bahwa kehamilan putri raja itu bukan karena perbuatannya
sendiri. Patih Pranggulang memutuskan untuk tidak kembali ke kerajaan dan
mengubah namanya menjadi kiai Poleng, serta mengganti pakaiannya dengan
Poleng (sejenis kain tenun Madura). selanjutnya putri dihanyutkan dengan Ghitek
(rakit) menuju pulau "Madu Oro". Dari peristiwa inilah nama Madura diambil.1
1 Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, Vol. 2, No. 1,(2015), h. 57.
17
Tak lama lahirlah seorang putra bernama Raden Sagoro (Sagoro= Laut).
Dengan demikian, ibu dan anaknya menjadi penduduk pertama dari pulau
Madura. Dalam perkembangan berikutnya, perahu-perahu yang berlayar di sekitar
pulau Madura sering melihat cahaya terang di tempat Raden Sagoro berdiam.
Seringkali perahu tersebut berlabuh dan mengadakan selamatan di tempat itu.2
Demikian seterusnya, lama kelamaan pulau Madura banyak dihuni orang hingga
saat ini.
Sebelum Islam datang ke Madura, hegemoni3 dari dinasti kerajaan Hindu
berlangsung lama di wilayah ini, yaitu sekitar 600 tahun (900 M-1500 M).4
Karena itu, jika sejumlah wilayah di Madura terdapat beberapa peninggalan
seperti Candi dan Vihara. Namun, sejarah Islam di Madura belum sepernuhnya
terdokumentasi secara utuh.
Sejarah penyebaran Islam di Madura, dimulai dari kehidupan kecil, bukan
dari kehidupan dalam keraton. Seperti halnya yang terjadi di pulau Jawa, agama
Islam dibawa oleh pedagang-pedagang dari Asia Tenggara.5 Pada saat itu sudah
banyak pedagang-pedagang Islam dari Gujarat yang singgah di pelabuhan pantai
Madura, terutama di pelabuhan Kalianget.6 Menurut Schrieke, sebagaimana
dikutip Jonge, penduduk pantai selatan Sumenep pada abad ke 15 M mulai
2 Abdurachman, Sejarah Madura Selayang Pandang (Sumenep: t.p., 1988), h. 1-2.
3 Hegemoni adalah pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebagainya suatu
negara atas negara lain. Atau bentuk penguasaan terhadap kelompok tertentu dengan
menggunakan kepemimpinan intelektual dan moral secara konsensus. Lihat:
https://kbbi.web.id/hegemoni 4Huub De Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan, Ekonomi,
dan Islam: Suatu Studi Antropologi Ekonomi (Jakarta: Grmedia, 1989), h. 45. 5 Kutwa Fath, Pamekasan dalam Sejarah (Pamekasan: Pemerintah Kabupaten
Pamekasan, 2006), h. 57. 6 Abdurachman, Sejarah Madura, h. 16.
18
berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru, mula-mula
disebarkan di daerah seperti Prenduan, yaitu tempat perdagangan yang
mempunyai hubungan dengan derah-daerah seberang. Penyebaran agama Islam
berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. penyebar agama islam yang
pertama adalah pedagang Islam dari India (Gujarat). Malaka, dan Sumatera
(Palembang).7
Perkembangan Islam di Madura seiring dengan pesatnya perkembangan
Islam di Jawa, penyebaran Islam sudah masuk ke lingkungan keraton. Banyak
penguasa kerajaan yang sudah memeluk agama Islam. Seperti halnya, Sunan
Ampel yang berhasil membuat beberapa tokoh kerajaan memeluk Islam, antara
lain: 1) Adipati Arya Damar, isteri, serta anak di Palembang. 2) Prabu Brawijaya
dan permaisurinya purti Cempa (yang berhasil hanya permaisurinya saja). 3) Sri
Lembu Petteng dari Madura.8
Secara intensif di Madura juga terjadi pembaruan di kalangan elit keraton,
dengan maksud jika penguasa beragama Islam dan mengesahkan dirinya sebagai
raja yang beragama Islam serta memasukkan syariat Islam ke dalam daerah
kerajaannya, maka rakyatnya aka lebih mudah untuk memeluk agama Islam.9
seperti pernikahan antara Sayid Ali Murtadlo (raja Pandita) atau kakak Sunan
Ampel yang melangsungkan pernikahan dengan putri Arya Babirin. Sedangkan
Sunan Ampel sendiri selain menikah dengan putri Arya Teja (Mantri Tuban) yang
bernama Raden Ayu Candrawati, juga menikah dengan putri Kiai Bangkoneng
dari Pamekasan.
7 Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 240.
8 Effendi Zarkasi, Unsur Islam dalam Pewayangan (Jakarta: Alfa Daya, 1981), h. 68.
9 Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, Vol. 2, No. 1,(2015), h. 61.
19
Dikabarkan bahwa beberapa elit keraton Madura yang lain juga telah
memeluk agama Islam sekaligus menjadi penyebar ajaran Nabi Muhammad
SAW. seperti Jokotole (penguasa Sumenep), Lembu Petteng (penguasa
Sampang), Arya Menak Sunoyo (penguasa Proppo), Bonorogo (penguasa
Pamekasan), dan Ki Arya Praghalba (penguasa Bangkalan).10
Karakteristik Islam Madura sangat berpengaruh terhadap masyarakat
Madura, salah satu yang menjadi ciri nuansa keislaman di Madura, yaitu setelah
kerajaan Islam berdiri, raja-raja Islam mengambil alih fastival citra palguna
(festival tahunan pada masa kerajaan Majapahit) yang dianggapnya sebagai alat
pemersatu rakyat ke dalam budaya Islam dan mengubah nama festival tersebut
menjadi grebek maulid yang puncak acaranya selalu bertepatan dengan tanggal
kelahiran Nabi Muhammad Saw, yaitu pada tanggal 12 Rabiul Awal. Bahkan,
setelah dibudayakannya grebek maulid, pada tanggal 12 Rabiul Awal ini selalu
dijadikan hari penobatan seluruh raja-raja Islam di Pulau Jawa dan Madura.11
Dalam masyarakat Madura, keseimbangan hidup diwujudkan dengan
menjaga hubungan kepada Allah dan dengan sesama. Ada ungkapan abantal
syahadat asapo' iman (berbantal syahat, berselimut iman), suatu ungkapan yang
menyiratkan pentingnya agama menjadi sandaran dalam kehidupan. Dalam
hubungannya dengan sesama, orang Madura mempunyai ukuran terhadap perilaku
baik dalam pergaulan sosial yaitu andhap asor (rendah hati) yang menyiratkan
kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang harus
10
Fath, Pamekasan dalam Sejarah, h. 27. 11
A. Sulaiman Sadik & Chairil Basar, Sekilas tentang Hari Jadi Pamekasan (Pamekasan:
Pemerintah Kabupaten Pamekasan, 2004), h. 8.
20
dimiliki orang Madura.12
jadi, selain dari penghayatan keagamaan yang tinggi
orang Madura juga mempunyai nilai-nilai luhur kuat yang harus dijunjung dalam
kehidupan antar masyarakat. maka dari itu, orang Madura selalu menekankan agar
memiliki akhlak yang baik tapi kurang berilmu daripada ilmu yang tinggi tapi
akhlak yang jelek.
Madura identik dengan Islam, meskipun tidak semua penduduk Madura
memeluk agama Islam. Citra Madura sebagi "masyarakat santri" sangat kuat,
bahkan hampir setiap rumah orang Madura mempunyai langgar atau surau sebagai
tempat keluarga melakukan Salat.13
Hal ini terlihat jelas tampak sederetan masjid,
Musala, dan pesantre dari ujung barat (Bangkalan) hingga ujung timur (Sumenep).
Kedua unsur tersebut, antara agama Islam dan orang Madura, merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keanggotaan seseorang dalam
kelompok etnik Madura sagat ditentukan oleh kesertaan identitas Islam pada
orang tersebut. Artinya, Jika orang Madura tersebut tidak lagi memeluk agama
Islam, maka ia tidak dapat lagi disebut sebagai orang Madura.14
Kepatuhan,
ketaatan, dan kefanatikan orang Madura sudah lama terbentuk, walaupun
kenyataan ini luput dari laporan para pengamat Belanda tempo dulu. Secara
keseluruhan ajaran Islam sangat pekat mewarnai budaya dan peradaban Madura.15
Sehingga orang luar memandang karakter orang Madura sebagi orang yang sangat
12
A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar
Kebudayaan Madura (Surabaya: Adhap Asor, 2013), h. 3-4. 13
Andang Subaharianto, Tentang Industrialisasi Madura; Membentur Kultur,
Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia, 2004), h. 51-52. 14
Subaharianto, Tentang Industrialisasi Madura, h. 54. 15
Mien Ahamad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan, dan Pandangan Hidupnya Seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta: Pilar
Media, 2007), h. 45.
21
beriman, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran
agama Islam.16
Tetapi tidak semua ajaran Islam diikuti orang Madura, seperti dalam
pembagian harta warisan keluarga. Sekalipun beragama Islam pasti menganut
sistem adat setempat. Pola-pola umum yang berlaku di kalangan masyarakat
Madura, harta perolehan hasil antara bagian anak laki-laki dan anak perempuan
disesuaikan dengan asas se lake' mekol, se bine' nyo'on yang artinya, bagian anak
laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Perempuan mendapat bagian
rumah dan pekarangannya, sedangkan laki-laki memperoleh bagian tanah
pekarang atau tanah tegalan yang nilainya setara dengan bagian yang diperoleh
perempuan. Tapi, bisa jadi perempuan yang mendapat lebih banyak tergantung
dari adat istiadat setempat yang berlaku.17
Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia terdapat kelompok yang
sangat berpengaruh khususnya di pulau Jawa. Mereka ini lebih dikenal dengan
sebutan Walisongo.18
Pulau Madura yang termasuk wilayah cakupan Propinsi
Jawa Timur adalah suatu pulau yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Maka tak mengherankan jika penyebaran Islam di Madura selalu dikaitkan dengan
penyebaran Islam di Jawa.
16
Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 239. 17
Subaharianto, Tentang Industrialisasi Madura, h. 62. 18
Walisongo merupakan julukan terhadap pelopor penyebar agama Islam di tanah Jawa.
Mengenai nama-nama walisongo yang umum dikenal di kalangan masyarakat adalah Maulana
Malik Ibrahim (wafat 1419 M), Sunan Ampel (wafat 1467 M), Sunan Bonang (wafat 1525 M),
Sunan Giri (wafat 1530 M), Sunan Derajat (wafat 1572 M), Sunan Kalijaga (wafat 1585 M),
Sunan Kudus (wafat 1560 M), Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati (wafat 1570 M). Lihat
Solichin Salam, Kudus Purbakala dalam Perjoangan Islam (Kudus: Menara Kudus, 1977), h. 17.
dan Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam perspektif Santri dan Abangan (Jakarta: salemba
Diniyah, 2002), h. 41-43.
22
Sejarah masuknya agama Islam di pulau Madura ini dibagi menjadi dua
wilayah, yaitu wilayah Madura Timur meliputi daerah Pemekasan dan Sumenep,
wilayah Madura Barat meliputi dua daerah yaitu Sampang dan Bangkalan.
Antara dua wilayah ini, dalam masuknya agama Islam, lebih awal terjadi
di wilayah Madura Timur. Hal ini dibuktikan dengan bukti sebagaimana
dituturkan Abdurrahman (1971:16) bahwa sebelum Sunan Giri menyebarkan
Islam di Madura sudah banyak pedagang-pedagang Islam yang berdatangan dari
berbagai daerah seperti Persia, Gujarat dan sebagainya singgah di pelabuhan
pantai Madura, terutama di pelabuhan Kalianget. Interaksi yang berpuluh-puluh
tahun antara penduduk asli dengan pedangan tentu mempunyai pengaruh yang
begitu besar terhadap kebudayaan dan kepercayaan mereka.19
Dalam buku Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan
Propro yang di tulis oleh Ghazi Al Farouk (1984), agama Islam di sumenep di
sebarkan oleh Sunan Padusan (menantu pangeran Jokotoleh). Sunan Padusan
adalah cucu dari sunan Kudus. Sedangkan di Pamekasan berawal dari keraton
Lawangan Daya yang di pimpin oleh Pangeran Nugeroho. Putranya bernama
pengeran Nurogo pada saat itu pergi menuntut ilmu agama Islam ke sunan Giri.
Setelah fasih dan dianggap sudah cukup oleh sunan Giri, pangeran Nurogo di
tugaskan untuk menyebarkan agama Islam di Pamekasan. Pada saat
penyebarannya rakyat keraton Lawangan Daya hanya sebagian yang masuk
agama Islam dan sebagian lagi masih memeluk agama Buddha termasuk Pangeran
Nugeroho ayah pangeran Nurogo. Tak lama kemudian pangeran Nugeroho jatuh
19
Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur (Skripsi Fakultas Dakwah, IAIN sunan
Ampel Surabaya, 1996), h. 63.http://digilib.uinsby.ac.id/11521/3/Bab%204.pdf
23
sakit karena sudah lanjut usia. Oleh putra-putranya di bisikkan kalimat sahadad di
dekat telinganya, beliau mengangguk (AONGGU’= Bahasa Madura) saja dan
terus wafat. Karena itu beliau terkenal juga dengan sebutan pangeran ISLAM
ONGGU’. Pangeran Nugeroho wafat pada tahun 1531. (baca susunan kami yang
berjudul: Pangeran Islam Onggu’) dan meninggalnya pangeran Nugeroho masuk
Islamkah atau tidak hanya Tuhan yang maha tahu. Nama-nama keturunan
pangeran Nugeroho (pangeran Ronggo sukowati, Pangeran Nurogo, pangeran
Adipati Madegan, istri pangeran Lumajang, Dewi Taluki, istri pangeran Wetan
raja Sumenep).20
Sedangkan Madura Barat, Islam sudah ada sebelum pemerintahan Prabu
Pragalba yang memimpin Madura Barat, meliputi dua wilayah kekuasaanya yaitu
Sampang dan Bangkalan, sekalipun ia baru mau menerima Islam sebagai agama
yang dipeluknya saat menjelang wafatnya tahun 1531 M.21
Perkembangan agama Islam di Madura Barat ini merebak ke seluruh
penduduk di mulai sejak pemerintahan Prabu Lemah Duwur, putra dari Prabu
Pragalba, hingga sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebaran Islam di Pulau
Madura ini dapat dilihat dari dua sisi. pertama, karena pengaruh faktor eksternal,
yakni interaksi dari pedagang-pedagang muslim yang melakukan interaksi dengan
penduduk asli Madura di sepanjang pantai dan pesisir Madura. Kedua, faktor
internal, yaitu karena pengaruh kerajaan, di mana rajanya yang menjdi tumpuan
20
Ghazi Al Farouk, Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan propo
(Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Proppo Kabupaten Dati II,
1984.), h. 46. 21
Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur, h. 64.
24
penduduk telah memeluk Islam sebagai agama yang dianutnya, sementara
penduduk Madura, budaya paternalistik sangat kental sekali, artinya segala tindak
tanduk dan perilaku pemimpin menjadi rujukan bagi mereka. Oleh karenanya
ketika sang raja memeluk Islam, maka tanpa dipaksa atau diajak, serentak
penduduk mengikuti langkah rajanya.22
Orang-orang luar memandng orang Madura sebagian orang yang sangat
beriman, dalam hal penghayatan terhadap ajaran agama dan semangat penyebaran
agama, daerah itu sering disamakan dengan Adeh orang-orang Madura sendiri
terkenal sebagai orang Islam yang sangat saleh. 23
B. Nu
Nahdatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di
Indonesia bahkan di dunia24
, yang sejak kelahirannya mengklaim diri sebagai
pengawal akulturasi tradisi Islam dan tradisi lokal, sehingga kemudian kelompok
ini diidentifikasi sebagai salah saru organisasi Islam tradisional.25
Identifikasi
tersebut sampai batas tertentu terlah melahirkan mitos yang selama ini sangat kuat
diyakini bahwa pengikut organisasi ini bersifat konservatif, tertutup, dan
antipembaruan.26
NU cenderung secara kasat mata bahwa berlawanan dengan mitos di atas.
Tiga disertasi, paling tidak, sudah membuktikan bahwa di NU telah esksis
22
Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur, h. 64-65. 23
Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 239. 24
Azyumardi Azra, "Liberarlisasi Pemikir NU", dalam Mujamil Qomar, NU Liberal: dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 17. 25
Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 312. 26
Shonhadji Sholeh, Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari
Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme (Surabaya: JP Books, 2004), h. 3.
25
pemikiran yang sangat jauh dari semangat konservativisme27
, yaitu telah lahir arus
pemikiran baru yang bersifat progresif28
dan liberal.29
Secara teologis, NU mempraktikkan teologi Sunni, yakni paham
keagamaan inklusif yang bersedia membuka ruang dialog, behkan sikap toleransi
dan rekonsiliasi.30
Dengan kata lain, NU menganut teologi Ahl al-Sunnah wa al-
Jama'ah yang memiliki karakter tawassut (moderat), i'tidal (adil), tawazun
(bersikap seimbang), tasamuh (bersikap toleran), dan menolak segala bentuk
pemikiran dan sikap ekstrem (tatarruf).31
Karena watak dasar yang demikian itu, paham Ahl al-Sunnah wa al-
Jama'ah atau NU banyak diterima oelh kalangan masyarakat, termasuk kalangan
masyarakat Madura. Bahkan, hubungan antara orang Madura dengan NU tidak
dapat dipisahkan, sehingga seringkali ada plesetan bahwa agama orang Madura
adalah NU.32
Secara umum kehidupan keberagamaan di Madura dapat dikatakan
kondusif, karena belum ada hal-hal yang mengarah pada konflik bernuansa
SARA. Sekalipun perbedaan pendapat yang bersifat khilafiyah itu tetap eksis,
namun hal itu dapat diminimalisir dampaknya pada perpecahan. hal ini karena
keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh agama dalam menciptakan suasan
kondusif dalam bingkai kehidupan rukun antar-umat beragama. Kerukunan umat
27
Sholeh, Arus Baru NU, h. 3. 28
Laode Ida, NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004),
h. 24. 29
Mujamil Qomar, NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisai
Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 60. 30
Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, h. 316. 31
Qomar, NU Liberal, h. 65. 32
Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, h. 85.
26
beragama di kota Gerbang Salam ini ditandai dengan semangat toleransi yang
tinggi, saling, memahami, dan tenggang rasa antar-umat beragama. Kebijakan
serta kedewasaan berpikir masyarakat dalam menanggapi segala perbedaan
menjadi salah satu indikator terhadap tingginya toleransi antar-umat beragama di
kota ini. setiap terjadi perselisihan atau hal-hal yang mengarah kepada
perselisihan atau bahkan konflik, masyarakat menyelesaikannya secara arif
dengan cara melibatkan masing-masing tokoh masyarakat dan tokoh agama.33
Dalam persepsi masyarakat Madura, kiai menduduki struktur ketiga dalam
struktur penghormatan orang Madura. Hal ini dapat ditelusuri dari ungkapan
kalimat yang menggambarkan struktur penghormatan orang Madura, yaitu:
Buppak bhabhu guruh rato (Bapak, ibu, sebagai orang tua menduduki struktur
pertama dan kedua, kemudian guru dalam hal ini kiai menduduki struktur
penghormatan ketiga, kemudia penguasa berada pada strata keempat). Namun
pada batas-batas tertentu kiai menduduki struktur pertama dan utama. Terbukti
banyak orang Madura yang lebih hormat kepada kiai dibanding kepada orang
tuanya.
Ungkapan dan perilaku tersebut menggambarkan bahwa kiai dalam
pandangan orang Madura termasuk dangan meminjam bahasa Pareto (1848-1923)
masih menduduki strata sosial kelas atas atau sering disebutkan kelompok elit,
sementara masyarakat menjadi kelas kedua atau kelompok non-elit.34
Pareto
membagi kelompok elit pada dua bagian, yaitu governing elit dan non governing
33
Jamal al-Din Muhammad b. Makram b. Manzur, Lisan al-Arab, Vol. 3, (1997), h. 320. 34
S. P. Varma, Modern Political Theory: A Critical Survey (India: Vicas Publishing
House Pvt Ltd, 1975), h. 228. Lihat juga T. Bottomore, Elite and Society, and Ed. (London:
Routledge, 1993), h. 25.
27
elit. Kiai dalam posisi ini sebagai non-governing elit yang memiliki peran tinggi
dalam setiap aktivitas dan kegiatan.35
Fungsi yang lain, kiai sebagai kelompok elit
adalah melakukan kontrol an kendali baik dalam bidang politik, ekonomi, dan
keputusan sosial.36
Masyarakat senantiasa sam'an wa ta'atan sebagai sebuah
simbol kepatuhan terhadap kiai, segala ucapan dan perintah kiai senantiasa
dipatuhi oleh orang Madura. Orang Madura merasa cangkolang (tidak punya
sopan santun) dan tidak berani berbuat jika berbeda pendapat atau melanggal
perintah kiai, sehingga apa kata atau keinginan kiai senantiasa tertanam di hati
orang Madura sebagai simbol kepatuhan tanpa pamrih kepada kiai. Mereka begitu
yakin bahwa kepatuhan terhadap kiai tidak akan sia-sia dan bakal mendapatkan
barakah.
C. Tradisional
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik,
stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian
bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa
dengan etnografi komunitas etnik lain. Kekhususan kultural itu tampak antara lain
pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat
figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam praksis keberagamaan.
Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan
Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis
35
Patrick Dunleavy dan Breandan O'leary, Theories of The State: The Politics of Liberal
Democracy (London: McMillan Education Ltd., Hoummislls, Basingstioke, 1991), h. 136. 36
Jack Planoad Milton Greenberg, The American Political Dictionary (USA: Harcourt
College Publisher, 2002), h. 84.
28
orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam kehidupan sosial budaya
mereka.
Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi
keniscayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai “aturan
normatif” yang mengikat. Oleh karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang
dilakukan secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan
sanksi sosial maupun kultural. Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih
lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk
mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat
dinyatakan bahwa aktualisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak
ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan,
ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut.37
Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’)
sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui
keniscayaannya. Secara kulturak ketaatan dan ketundukan seseorang kepada
kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah
ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan,
dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya
menjadi kemestian secara mitlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu
gugat. Yang mungkin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam
memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun,
sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya
37
Huub De Jong, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-esai Tentang Orang Madura
dan Kebudayaan Madura (Yogyakarta: LKIS, 2011), h. 61.
29
relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada
orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati
pula oleh anak-anaknya. Itulah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural
yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya akan
berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar, dan alamiah, kecuali
kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan yang
disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luarbiasa.
Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level-
hierarkis selanjutnya. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan
menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-
kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru
lebih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan
eskatologis terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban
atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena
itu, ketaatanorang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya
mereka yang mungkin tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.38
Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada
figur guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan
anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak
semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati
pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh
murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan
38
Jong, Garam Kekerasan dan Aduan Sapi, h. 65.
30
bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh
karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura
belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk mengubah
statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan
pasrah.39
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan)
menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari
mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena
keberhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang
Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai
Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun
sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa
Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam
realitas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang
Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-
orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah
posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik
Madura.
Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur
utama tersebut sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi
religiusitas budayanya. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%)
39
Jonge, Madura dalam Empat Zaman, h. 53.
31
muslim, Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam
aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya (Wiyata, 2002: 42).
Kepatuhan kepada kedua orangtua merupakan tuntunan Rasulullah SAW
walaupun urutan hierarkisnya mendahulukan Ibu (babbu’) kemudia Ayah
(Buppa’). Rasulullah menyebut ketaatan anak kepada Ibunya berlipat 3 daripada
Ayahnya. Selain itu juga dinyatakan bahwa keridhaan orangtua “menjadi dasar”
keridhaan Tuhan. Oleh karena secara normatif-religius derajat Ibu 3 kali lebih
tinggi daripada Ayah maka seharusnya produk ketaatan orang Madura kepada
ajaran normatif Islam melahirkan budaya yang memosisikan Ibu pada hierarki
tertinggi. Dalam kenyataannya, tidak demikian. Kendati pun begitu, secara
kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu.
Posisi Ayah dalam sosiokultural masyarakat etnik Madura memegang kendali dan
wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk
bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya:
pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh
anggota keluarga, termasuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam
“kepemimpinan” lelaki.
Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz)
maupun kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan
dang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru
berjasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri
akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar
32
karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan
keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan
berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim
dan kesempatan bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik,
mengakomodasi kebebasan beribadat, memelihara suasana aman, dan
membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi
religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan
dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.
Masyarakat muslim Madura selama ini dikenal memiliki tingkat kepatuhan
yang sangat tinggi terhadap ajaran normative agamanya. Bentuk ketaatan dan
kepatuhan orang Madura terhadap Islam telah jailin jemalin dengan konstruksi
sosial-budayanya yang tersirat dalam ungkapan Buppa, Babbu, Guru, ban Rato
(Ayah, Ibu, Guru/Kiai, dan Pemimpin Pemerintah). Sebuah ungkapan yang
menggambarkan hierarki kepatuhan orang Madura dalam kehidupan sosial-
budaya mereka.
Dalam hierarki itu, meskipun kiai atau ulama menempati urutan ketiga
atau kedua setelah orang tua, namun porsi ketaatan kepada kiai dapat melampaui
ketaatan pada orang tua, apalagi pada pemimpin formal (Pemerintah). Hal ini
karena kiai dan pondok pesantrennya selalu menjadi rujukan tidak hanya dalam
hal-hal yang berkaitan langsung dengan persoalan agama, namun juga dalam
aspek kehidupan yang lebih luas, baik sosial, budaya, pendidikan, ekonomi,
politik, dan aspek lainnya.
33
Madura dengan ribuan pondok pesantrennya telah memiliki pakem
keilmuan yang dikembangkan dengan tradisi kepesantrenan yang sangat unik. Ini
terlihat bahwa santri-santri Madura dikenal sebagai Santri Kelana dan Aktor
Peradaban serta menjadi Komunikator Sosial Pesantren se-Nusantara.
Corak keislaman masyarakat Madura yang tampak kokoh dalam batas-
batas tertentu dapat dikatakan “fanatic” sebagai hasil simbiosis antara ajaran
normatif Islam dengan konteks sosial, budaya, dan geografis pulau Madura.
Masyarakat Madura memiliki satu prinsip hidup yang sangat filosofis yang
menggambarkan prestise dan eksistensi diri, yaitu Etembhang pote mata ango’an
pote tolang (daripada putih mata lebih baik putih tulang), artinya daripada malu
lebih baik mati. Ungkapan ini bermakna sangat filosofis tentang tata nilai dan
prinsip harga diri orang Madura yang sangat kuat, terutama dalam membela
kerabat dan hak kepemilikannya. Tata nilai ini pula berimplikasi pada peneguhan
semangat tegas, lugas, apa adnya dan ksatria. Kondisi ini juga diakibatkan
pengaruh dari alam bahari Madura yang penih tantangan dan resiko serta kondisi
geografis yang kering, gersang, dan panas sehingga membentuk karakter orang
Madura yang mempunyai keberanian tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh
percaya diri, defensive dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap
terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak
yang terbentuk inilah yang membuat masyarakat muslim di Madura memiliki sifat
kepatuhan yang tinggi terhadap agama Islam.40
Berikut beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Madura:
40
https://studis2farmasi2a2016kel11.wordpress.com/2016/06/05/corak-keberagaman-
masyarakat-muslim-di-madura. Diakses pada tanggal 18-11-2018
34
1. Tradisi Sya’banan di Madura41
Di Madura, malam Nisfu Sya’ban dikenal dengan sebutan Sya’banan.
Biasanya Masyarakat khususnya di pedesaaan sudah memadati Masjid menjelang
maghrib. Setelah sholat maghrib berjamaah dilanjutkan dengan membaca Surah
Yasiin bersama dan setelah selesai warga mulai meminta maaf satu sama lain.
Setelah dari Masjid dilanjutkan berkunjung ke rumah sanak saudara.
Selain maaf-maafan, tradisi lain yang dilakukan masyarakat Madura
khususnya pedesaan yang memegang erat budaya dan tradisi salah satunya adalah
memberikan beras atau sembakao kepada pengurus masjid/mushollah untuk
dijadikan konsumsi di malam tersebut. Biasanya oleh pengurus mushollah atau
masjid yang dikenal dengan sebutan Langgar dijadikan cangkaro’, yaitu sejenis
masakan tradisional yang terbuat dari nasi yang dicampur dengan kacang hijau
dan parutan kelapa, untuk minumnya biasanya disediakan poka’ yang juga
menjadi minuman khas dari masyarakat Madura ini.
2. Lebaran Ketupat di Madura42
Perayaan lebaran pada hari ketujuh ini sebenarnya merupakan tradisi yang
di dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dari umat Islam yang telah
menjalankan ibadah puasa sunnah enam hari setelah Idul Fitri. Istilah lebaran
ketupat atau Tellasan Topak dalam Bahasa Madura merupakan istilah yang
popular, karena merujuk pada kebiasaaan masyarakat Madura membuat makanan
ketupat saat hari ketujuh Syawal.
41
http://www.sapisonok.com/2015/02/28/tradisi-upacara-tahunan-di-madura-petik-laut-di-sebut-juga-rokat-tase. Diakses pada tanggal 18-11-2018.
42 http://www.sapisonok.com/2015/02/28/tradisi-upacara-tahunan-di-madura-petik-laut-
di-sebut-juga-rokat-tase. Diakses pada tanggal 18-11-2018.
35
Di Madura Tellasan Topak digelar dengan beragam tradisi, hampir setiap
kabupaten di Madura memiliki tradisi khas dalam merayakan lebaran ketupat ini.
1) Pawai Dokar, di Bangkalan ini digelar warga empat desa. Yakni warga
Parseh, Sangra agung, Jaddih, dan Desa Biliporah, Kecamatan Socah,
Bangkalan. Pawai ini digelar dengan berkeliling jalan-jalan, berangkat dari
Desa Parseh dan berakhir di Desa Biliporah.
2) Ritual Rokat Tasek (laut). Lebaran ketupat pada hari ketujuh bulan Syawal
tahun Hijriyah ini dipercaya oleh sebagian warga sebagai hari bertuah,
sehingga digunakan sebagai hari untuk warga menggelar ritual tertentu.
Seperti yang digelar para nelayan di pesisir pantai desa Tanjung,
Kecamatan Pademawu, Pamekasan, dan nelayan di Pantai Sreseh,
Kecamatan Sreseh, Sampang. Di hari itu warga menggelar ritual Rakt
Tasek yakni ritual yang digelar nelayan untuk memohon kepada Yang
Maha Kuasa agar rezeki tangkapan ikan mereka melimpah. Para nelayan
ini juga melakukan larung sesajen ke tengah laut, dengan iringan music
saronen dan diantar oleh semua perahu nelayan.
36
BAB III
DINAMIKA EKSISTENSI VIHARA AVALOKITESVARA DAN
PENGANUT BUDHA DI KABUPATEN PAMEKASAN
A. Sejarah berdirinya Vihara Avalokitesvara
Dari buku Ghazi Al Faruk, (1984), Laporan Khusus Penemuan
Kepurbakalaan menyimpulkan bahwa berdirinya Vihara Avalokitesvara berlatar
belakang dari ditemukannya empat buah patung di kawasan Pantai Talang Siring
sekitar 300 tahun yang lalu pada abad ke-15.1 Sementara pendiri pertama Vihara
Avalokitesvara tidak ada yang mengetahui, karena selama ini belum ada yang
mengadakan penelitian secara mendetail mengenai asal usul berdirinya Vihara
Avalokitesvara. Hanya saja selama ini Vihara Avalokitesvara berdiri sudah
menjalani delapan kali pergantian pimpinan. Sedangkan Pimpinan Vihara
Avalokitesvara pada saat ini Kosala Mahinda (Lauw Tjay Hien) adalah pimpinan
generasi ke delapan, sedangkan pimpinan sebelumnya adalah Tee Sue Gwan.
Mereka juga orang Madura dari keturunan Tionghoa dan meninggal pada tahun
1958.2
Setelah meninggalnya Tee Soe Gwan akhirnya dibentuk Yayasan Candi
Bodhi Dharma pada tanggal 16 Maret 1959.3 Atas usaha yang gigih dari para
pengurus yayasan Candi Bodhi Dharma dapat menyediakan sarana-sarana yang
1 Ghazi Al-Farouk, Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan Proppo-
Pamekasan (Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Proppo Kabupaten
Dati II, 1984.), h. 44. 2 Mahinda, Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara (Pamekasan: t.p.,
2004), h. 2. 3 Oe Siang Djie, Jajasan Tjandi Bodhi-Dharma (Surabaya: t.p., t.th, Nomer 35), h. 1.
37
diperlukan oleh umat Buddha, umat Islam dan Hindu Buddha seperti Musala dan
Pura yang terdapat di dalam komplek Vihara Avalokitesvara Candi Polagan Galis
Pamekasan Madura.4 Sedangkan untuk peribadatan umat Nasrani tidak tersedia
karena tidak ada yang mengelola dan tidak ada yang membina.
Pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama salah satu
Bodhisattava dalam agama Buddha.5 Hal ini juga sesuai dengan nama Patung
yang berada di dalam komplek Vihara, yakni Patung Avalokitesvara.6 Sedangkan
Avalokitesvara sebagai salah satu Bodhisattva yang dipuja oleh umat Buddha.
Avalokitesvara berasal dari kata Ava berarti melihat, Lokiteh berarti mendengar
dan Isvara berarti mahluk hidup atau mahluk suci. Jadi Avalokitesvara
mempunyai pengertian yaitu mahluk suci yang melihat dan mendengar
penderitaan manusia di Dunia yang penuh dengan tantangan.7
Sementara umat Buddha keturunan Tionghoa lebih mengenal dengan patung
Avalokitesvara dengan sebutan “Kwan Im Po Sat“ dalam kepercayaan orang Cina
Tionghoa, mereka dianggap sebagai dewa penolong. Jadi Kwan Im Posat
mempunyai pengertian yaitu Kwan berarti mendengarkan dan melihat, Im berarti
suara atau keluhan dan Posat berasal dari kata Bodhisattva (Mahluk Agung),
sehingga dapat disimpulkan menjadi mahluk agung dan suci yang penuh cinta
kasih serta kasih sayang terhadap semua mahluk yang sedang menderita.8
4 Ghazi Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan (Semarang: Mandhira,
1987), h. 38. 5 Kwee Tek Hoay, Avalokitesvara: Kwan Im Posat (Tangerang: Yayasan Vihara
Padumuttara, 1976), h. 13-14. 6 Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 45.
7 Kwee Tek Hoay, Avalokitesvara: Kwan Im Posat, h. 13-15.
8 Mahapandita khemahayana, Dasar Budha-Dharma (Bandung: Perhimpunana Buddhis
Indonesia, 1966), h. 14-15.
38
Berdirinya Vihara Avalokitesvara didusun Candih desa Polagan Galis
Kabupaten Pamekasan Madura tidak terlepas dari masuknya agama Buddha
sebagai agama yang pertama kali masuk di Pulau Madura sebelum agama Islam.9
Berbicara mengenai agama Buddha di Pamekasan Madura tidak terlepas dari
keberadaan sebuah desa yang letaknya kurang lebih 10 km dari Kota Pamekasan
yang tepatnya di desa Jamburingin Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan.10
Proppo merupakan Kota yang tertua di Dati II Kabupaten Pamekasan.11
Masyarakat Proppo yang patuh terhadap pimpinannya yakni Ki Ario Minak
Sanoyo dan keturunannnya juga mengikuti jejaknya sebagai Umat Buddha.12
sehingga tidak mengherankan bila desa Jamburingin kecamatan Proppo
ditemukannya bangunan candi yang berfungsi sebagai tempat peribadatan umat
Buddha. Bangunan candi tersebut bernama “Candi Gayam”. Bangunan candi
Buddha yang terdapat di kecamatan Proppo tersebut nantinya membuka tabir
berdirinya “Vihara Avalokitesvara” yang berada di kawasan pantai Talang
Siring.13
Karena tidak lama kemudian agama Islam masuk dan mampu
mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat Madura menjadi umat Islam yang
sangat tergolog fanatik.14
Vihara Avalokitesvara merupakan bangunan
peribadatan dari agama Buddha dalam wajah penampilan lengkap dari cita-cita
9 Bambang Hartono, Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja Islam
Pertama di Kota Pamekasan-Madura (Sumenep: Nur Cahaya Gusti, 2001), h. 11. 10
Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 1. 11
M. Rifai, Mistery Pusara Batu Ampar (Pakalongan: TB. Sumenep, 1985), h. 4. 12
Hartono, Sejarah Pamekasan, h. 11-12. 13
Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 4. 14
Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 45-46.
39
masyarakat Pancasila.15
Ajaran Agama Buddha menitik beratkan pada toleransi
beragama. Vihara Avalokitesvara yang berada di bawah yayasan Candi Bodhi
Dharma dipimpin oleh Kosala Mahinda (Lauw Tjay Hie) banyak melakukan
pembangunan fisik seperti sarana peribadatan, kesenian, olah raga, penginapan
dan sarana peribadatan pemeluk agama Islam serta Pura untuk umat Hindu.16
Berdirinya Vihara Avalokitesvara yang terletak di Dusun Candih, Desa
Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan. Vihara ini bersebelahan dengan
pantai Talang Siring, daerah ini merupakan daerah pesisir yang pada umumnya
kehidupan masyarakatnya hasil dari nelayan atau menangkap ikan di laut dengan
menggunakan perahu layar kecil, atau membuat bagan17
di tengah laut sebangai
salah satu cara untuk menagkap semua jenis ikan. Masyarak Candih dan Polagan
hanaya sebangian kecil yang hidup menjadi petani.
Berawal dari ditemukannya kiriman patung dari Majapahit sekitar tahun
1800, dan setelah itu ada seorang petani yang tidak diketahui namanya secara
tidak sengaja menemukan patung kiriman Majapahit di ladangnya. Kabar
penemuannya itu sangat menarik perhatian penjajah Belanda. Pemerintah Hindia
Belanda meminta Bupati Pamekasan ke -10, yaitu Panembangan
Mangkuadiningrat I (1829-1842), untuk mengangkat dan memindahkan patung
tersebut ke kadipaten. Tetapi keterbatasan peralatan saat itu menjadikan proses
15
Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 18. 16
Mahinda, Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara, h. 2. 17
Bagan adalah dalam pengertian maduranya suatu alat untuk menangkap ikan di tengah
laut yang di buat dari bambu dengan cara di rakit menjadi seperti tiang dan berbentuk sebuah
kubuk kecil.
40
pemindahan patung ke kadipaten Pamekasan mengalami kesulitan. Akhirnya
patung tersebut tetap berada di lokasi ketika ditemukan.18
Sekitar 300 tahun kemudian di temukan lagi oleh petani yang sedang
mencangkul sawahnya bernama pak Burung. Dan kemudian tanah milik pak
Burung dijual kepada seorang keturunan Tionghoa yang menjadi petanai.19
Setelah diberikan, ternyata patung tersebut adalah patung versi Majapahit. Patung
atau arca tersebut dibuatkan tempat yang kini menjadi Vihara Avalokitesvara dan
acra tersebut dijadikan patung utama dalam Vihara Avalokitesvara. Karena
diketahui bahwa patung tersebut memiliki jenis kelamin perempuan, maka oleh
komunitas Tionghoa dianggap menjadi perwakilan Dewi Kwan Im.20
Dan ada
juga menyebutkan pemberian nama Vihara Avalokitesvara diambil dari nama
salah satu Bodhisattva dalam agama Buddha yaitu patung Avalokitesvara.21
Patung Avalokitesvara adalah patung Bodhisattva merupakan patung versi
Majapahit.22
Berdirinya Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Galis
Pamekasan Madura tidak terlepas dari masuknya agama Buddha sebagai agama
yang pertama kali masuk di pulau Madura sebelum Islam. Agam Buddha masuk
ke pulau Madura terutama di Pamekasan dibawa oleh Ki Ario Minak Sanoyo
yang berempat tinggal di Proppo sekitar pertengahan abad ke-15. Ki Ario Minak
18
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 19
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 20
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 21
Al-Farouk, Laporan Khusus, h. 45. 22
Sofiah. R, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan (Pamekasan: Pemilik Kebudayaan
Cam Galis, 1988), h. 1.
41
Sanoyo adalah cucu dari Prabu Brawijaya V. Oleh masyarakat Proppo Ki Ario
Minak Sanoyo dipertuahkan sehingga bagaikan seorang Raja, sedangkan
masyarakat Proppo sebagai abdi Raja. Masyarakat Proppo yang patuh terhadap Ki
Ario Minak Sanoyo selaku pimpinannya mengikuti jejak sebagai umat Buddha,
sehingga di desa Jamburingin kecamatan Proppo ditemukan bangunan Candi yaitu
Candi Gayam, akan tetapi situs tersebut hanya berupa pondasi dan struktur
bangunan. Situs Candi sampai sekarang merupakan daerah yang terkait dengan
pembangunan Candi yang gagal oleh umat Buddha Jamburingin, oleh penduduk
disana di sebut Candi Burung (burung adalah gagal). Bangunan Candi tersebut
yang nantinya membuka tabir berdirinya Vihara Avalokitsvara yang berada di
kawasan Talang Siring.23
Dengan berjalannya waktu pada saat kerajaan Jamburingin yang di pimpin
oleh Ki Ario Timbul yang merupakan keturunan Ki Ario Minak Sanoyo, berusaha
untuk memenuhi perlengkapan peribadatan bagi umat Buddha untuk memesan
patung “Dwi Avalokitesvara dan patung Sam Po Hud” ke kerajaan Majapahit.
Pengiriman patung dari kerajaan Majapahit melalui jalur laut yang terdekat adalah
melalui Pantai Talang Siring dengan jarak sekitar 24 km dari kecamatan Proppo.
Namun pengiriman tersebut tidak sampai ke Proppo dan terbenam di kawasan
Talang Siring sekitar 300 tahun yang lalu.24
Dari ditemukannya patung ini juga
bisa sebut dalam proses berdirinya Vihara Avalokitesvara di Candih Pamekasan
Madura.
23
Abdur Rahman, “Bentuk Kerukunan Antara Umat Beragama di Vihara Avalokitesvara
Candih Polangan Galis Pamekasan Madura Tahun 1959-1962”, JURNAL AVATAR, e-Journal
Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 2, (2018), h. 11. 24
Abdur Rahman, “Bentuk Kerukunan Antara Umat Beragama di Vihara Avalokitesvara
Candih Polangan Galis Pamekasan Madura Tahun 1959-1962”., h. 11.
42
Sementara umat Buddha yang beribadat ke Vihara Avalokitesvara tersebut
banyak yang datang dari luar Jawa dan seluruh Nusantara. Sedangkan yang
berasal dari Pamekasan sebenarnya tidak terlalu banyak. Data statistik tahun 2009
menunjukkan bahwa pemeluk agama Buddha yang ada di Kabupaten Pamekasan
hanya 134 orang. Tersebar di Kecamatan Kota Pamekasan 90 orang. Kecamatan
Pademawu 14 orang, dan Kecamatan Tlanakan, Larangan dan Galis masing-
masing 10 orang.25
B. Potret kehidupan Penganut Agama Budha di Vihara Avalokitesvara dari
masa ke masa
Dulu pada era pendudukan Jepang Vihara Candih (sekitar tahun 1940),
kegiatan yang berupa kegiatan keagamaan ada hambatan. Seperti halnya
penampilan wayang diganti dengan adegan ludrukan (sepintas). Tanpa iringan
gamelan dan suguhan tidak boleh dari beras dan sejenisnya. Sebab harus disetor
kepada bala tentara Nippon. Tetapi waluapun demikan aset-aset Vihara tetap utuh
dan tidak diusik oleh Jepang kecuali emas dan barang-barang lainnya yang harus
disetor kepada Jepang demi kepentingan peperangan namun tidak semudah itu
Vihara menyerahkan barang-barang itu, sebagian besar disembunyikan atau
dipendam dalam tanah.26
Berbeda dengan perang kemerdekaan Vihara oleh massa yang menamakan
dirinya pejuang-pejuang kemerdekaan (maaf penyusun tidak akan menyebutkan
nama barisannya). Vihara dibakar termasuk pabrik kecap cap kepiting sampai
25
Arif Akhyar Dkk dalam Ensiklopedi pamekasan alam, Masyarakat dan Budaya
(Yogyakarta: Intan Sejati Klaten, 2010), h. 139. 26
Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat Beragama
(Pamekasan: t.p., 2004), h. 9.
43
ludes dimakan api. Harta dan uang dirampasnya, Arca, Ranjang, Gamelan dan
wayang berserakan di rawa-rawa di tengah-tengah hutan bakau dan pohon-pohon
api. Orang-orang di Vihara diusir mereka mengungsi. Kelompok Tee Soe Gwan
mengungsi ke desa Montok kerumah sahabatnya. Sedangkan kelompok Tee Tyain
Kwe di ungsikan paksa di tempatkan di gedung SR Kertagena Laok yang
sekarang menjadi SD Kertagena Laok 1. Menurut berita kelompok ini akan
dihabisi. Mendengar hal itu dengan cepat kepala desa Montok dkk bertindak yaitu
menyembunyikan Tee Tyai Kwe sekeluarga, sampai selamatlah mereka. Dan
masyarakat sekitar bertindak menyelamatkan aset-aset yang berserakan di rawa-
rawa, dan kemudia setelah aman barang-barang tersebut di kembalikan ke
Vihara.27
Namun perjalanan panjang Vihara di Indonesia tidaklah mudah. Terdapat
berbagai tindak diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Terlebih pada
pemerintahan Soeharto, beliau mengeluarkan Inpres No.14 Tahun 1967. Dalam
peraturan tersebut menyebutkan bahwa agama yang dianut oleh etnis Tionghoa
(Khonghucu) beserta hal-hal yang berkaitan dengan perayaan-perayaan hari besar
seperti Imlek dilarang ditampilkan di depan umum dan hanya boleh dilakukan
secara intern saja (Firttrya 160). Akibat kebijakan pemerintah tersebut,
kebudayaan Tionghoa di Indonesia menjadi lumpuh. Bahkan hal ini
27
Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat Beragama, h.
10.
44
mempengaruhi fisik bangunan Klenteng atau Vihara. Pembangunan dan renovasi
dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi (Firttrya 160).28
Atas usaha yang gigih dari para pengurusnya sehingga Yayasan Candi
Bodhi Dharma yang berdiri dari tahun 1959, dapat menyediakan atau sarana-
sarana yang diperlukan oleh umat Buddha yang mengerjakan ibadah di Vihara
Avalokitesvara ini. Sedangkan dana yang dipergunakan kebanyakan merupakan
partisipasi dari semua umat Buddha yang datang berkujung dari berbagai tempat
di pulau Madura sendiri begitu juga umat Buddha yang berada di tanah jawa.29
C. Peran Kosala Mahinda Terhadap Vihara Avalokitesvara
Kosala Mahinda adalah orang yang berperan penting dalam Vihara
Avalokitesvara ini. Beliau adalah seorang ketua yayasan. Pendidikan beliau
adalah TK, SD, SMP di bangkalan, dan kemudian dilanjutkan di SMA Katolik
Malang.
Sebagai ketua, beliau banyak memberikan kontribusi terhadap Vihara ini,
baik dari segi pemikiran maupun materi. Selama 10 tahun beliau sudah menjadi
penjaga empat tempat ibadah berbeda di Dusun Candi Utara, Desa Polagan,
Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Tugas itu merupakan warisan kedua
orangtuanya yang sudah meninggal. Sejak menggantikan orangtuanya, Kosala
panggilan Kosala Mahainda tidak hanya merawat, tetapi juga merenovasi semua
tempat ibadah, menatanya, agar keberadaan tempat ibadah tetap eksis. Empat
tempat ibadah itu yakni musala untuk umat Muslim, Pura untuk umat Hindu,
28
Felicia Tania K, Lintu Tulistyantoro, Linggajaya Suryanata, “Studi Ikonografi
Panofsky Pada Ornamen Interior Vihara Avalokitesvara Pamekasan, Madura,” JURNAL INTRA,
Vol. 5, No. 2, (2017), h. 182. 29
Al-Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 38.
45
Lithang untuk umat Konghucu, Dhammasala untuk umat Buddha. Keempatnya
menyatu dalam satu lokasi dan sama-sama berdiri megah. Hanya saja, antara
bangunan musala dan tiga tempat ibadah lainnya, dibatasi pagar. Dari luar pagar,
tampak dua bangunan pagoda kembar menjulang yang dibangun pada 2010 lalu.
(Baca juga : Indonesia Mini di Kampus Toleransi Salatiga ).
Kosala menceritakan, umat agama yang ada di dalam kompleks Vihara
Avalokitesvara, tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham keagamaan.
Bukan hanya saat ini tapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi Kwan Im dan
beberapa patung stupa ditemukan di Desa Polagan. “Umat muslim dan lainnya di
vihara sudah damai sejak dulu ketika arca Dewi Kwan Im ditemukan pertama kali
pada abad 14 masehi oleh petani di sekitar vihara ini,” kata Kosala.30
Kedamaian itu terus dirajut antar pemeluk agama di dalam dan di luar
Vihara. Salah satu caranya, menggunakan media kesenian dan kebudayaan serta
berbagi kebahagiaan di hari-hari besar keagamaan. Sewaktu-waktu, warga sekitar
Vihara dan pengelola Vihara menggelar pementasan wayang berbahasa Madura.
Pementasan wayang kadang sampai larut malam. “Kalau sudah ada pentas
wayang, masyarakat langsung berbondong-bondong datang dan berkumpul ke
Vihara untuk menonton. Kebetulan dalangnya juga warga sekitar. Saya
menyiapkan kelengkapan pementasan wayang termasuk wayangnya sendiri,” kata
Kosala.31
30
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 31
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
46
Selain pementasan kebudayaan, saat momentum hari raya Imlek, umat
Konghucu bagi-bagi angpao kepada masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar, mulai
dari anak-anak hingga orang dewasa, berbondong-bondong datang ke Vihara
untuk silaturahim dan menerima angpao. Sebaliknya, ketika hari raya Idul Fitri
atau Idul Adha, umat muslim saling berbagi makanan kepada penghuni Vihara.
Umat muslim saling bergantian memberi makanan. Inilah yang terus ingin dijaga
oleh kosala mahinda agar kehidupan Vihara Avalokitesvara dan sekitarnya selalu
dalam kedamaian.
47
BAB IV
EKSISTENSI KOMUNITAS BUDDHA VIHARA AVALOKITESVARA DI
TENGAH MASYARAKAT MUSLIM PAMEKASAN MADURA
A. Masuk dan Berkembangnya Agama Buddha di Pamekasan Madura
Masuknya agama Buddha ke Pamekasan, sejauh penulis memahami dari
beberapa buku tentang Madura ataupun sejarah Pamekasan tentang informasi
terkait bagaimana masuknya agama Buddha ke Pamekasan, terbilang cukup sulit
untuk ditemukan. Untuk itu, dalam pencarian informasi masuknya agama Buddha
di Madura, penulis tidak hanya mengandalkan referensi literal saja, tetapi juga
mengambil langkah wawancara kepada beberapa tokoh yang dianggap relevan
dan juga berkompeten dalam membarikan informasi. Ini tentu merupakan langkah
alternatif dari minimnya penulisan sejarah Madura, khusnya Pamekasan.
Di tengah pencarian informasi terkait masuknya agama Buddha di
Madura terkhusus di Pamekasan, ternyata bisa dibilang dengan adanya kerajaan-
kerajaan1 yang disinyalir beragama Buddha. Ada sebuah catatan penting yang
peneliti temukan, yaitu adanya kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan
Jamburingin. kerajaan Jamburingin tersebut dapat dipercaya sebagai salah satu
bukti yang bisa mengantarkan peneliti terhadap sejarah masuknya agama Buddha
dan bahkan pernah menjadi agama mayoritas di Madura. Tentu ini merupakan
1 Merupakan Kadipaten dibawah naungan kerajaan besar di jawa, hanya dalam
penyebutan nama kadipaten dalam bahasa Madura lebih dikenal sebagi Ratoh yang artinya
kerajaan.
48
bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alur sejarah masuknya agama Buddha ke
Pamekasan.
Sebelum datangnya agama Buddha, berdasarkan data dan informsi yang
ada, dapat direkonstruksi suatu penilaian bahwa kehidupan orang Madura telah
dimulai sekitar abad 4000 tahun yang lalu. Seirama dengan perkembangan
peradapan yang dimulai oleh suku Madura, megisyaratkan bahwa mereka hidup
menetap dalam tempat-tempat tinggal yang begitu primitif (sederhana). Secara
berkelompok dan bermasyarakat rasa kekeluargaan mereka dalam sehari-hari
begitu akrab, sehingga orang Madura yang hidup bersama dalam satu daerah
selalu bekerjasama dan saling tolong-menolong. Lambat laun kehidupan
bermasyarakat mereka semakin terorganisasi, sehingga ada salah satu anggota
yang di tuakan sebagai pemimpin. Selain itu pula yang dipercaya untuk
memelihara kesehatan jasmani dan rohani mereka yang dikenal dengan sebutan
sebagai dukun. Penghormatan pada orang yang dituakan ini kemudian
menumbuhkan kultus pemujaan pada roh leluhur.
Pulau Madura terbagi menjadi empat kabupaten yaitu: Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumenep, daerah ini beriklim panas.2 Akibat dari iklim
panas tersebut, masyarakat Madura dalam memperoleh kebutuhan hidup sehari-
hairi sangat bergantung pada gejala alam, seperti untuk mendapatkan hasil cocok
tanam yang bagus mengandalkan musim hujam atau untuk memperoleh ikan
harus mengunggu cuaca bagus bagi para nelayan. Karena keterbatasan itu,
masyarakat Madura pada masa lalu tidak memiliki sumber daya alam untuk
2 Mujono Djojomartono, “Adat Istiadat Sekitar Kelahiran pada Masyarakat Nelayan di
Madura" dalam Koentjaraningrat (ed), Ritus Peralihan Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h.
71.
49
diperdagangkan. Hal itu disebabkan ketersebdiaan sumber daya alam hanya cukup
untuk kebutuhan makanan poko sehari-hari. Sehingga harus membutuhkan
masukan dari luar pulau Madura. Apalagi Madura ketika Musim panas, mereka
kesulitan mendapatkan penghasilan.
Banyak pedagang dari luar Madura masuk untuk menyuplai kebutuhan
pokok, baik dari Nusantara maupun dari luar, seperti kedatangan orang India yang
kemudian disusul oleh orang Cina. Fenomena ini secara tidak langsung memiliki
pengaruh dalam perubahan budaya dan peradaban dalam mendukung terjadinya
perkembangan cara bercocok tanam. Bahkan ada nama-nama seperti pulau,
tempat tinggal dan arsitektur banyak yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina.
Tidak hanya berhenti di situ, ternyata yang pada mulanya masyarakat Madura
penganut animisme kepercayaan lokal, yaitu adanya kepercayaan kepada roh yang
mendiami semua benda (pohon, batu, sugai, gunung dll), pemujaan kepada semua
benda yang dianggap sakral berubah dari satu kepercayaan yang sederhana
tergantikan denga konsep keagamaan yang lebih terstruktur. Akibatnya baik tokoh
masyarakat yang dituakan sampai pada tatanan kerajaan yang berada di Madura
tidak terkecuali kerajaan yang ada di Pamekasan beragama Buddha.3
Sejarah kerajaan agama Buddha di Pamekasan pada umumnya didapat
secara historiografis4 yaitu hanya didasarkan pada tradisi lisan berupa legenda
atau cerita rakyat yang disampaikan secara turun temurun. Oleh karenanya, pada
3 Mien Ahamad Rifai, Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos kerja, Penampilan
dan Pandangan Hidupnya seperti diceritakan Pribahasanya (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), h.
31-32. 4 Historiografi adalah kajian mengenai metode sejarawan dalam pengembangan sejarah
sebagai disiplin akademis, dan secara luas merupakan setiap karya sejarah mengenai topik tertentu.
Lihat; https://id.wikipedia.org/wiki/Historiografi.
50
periode awal sejarah Pamekasan, dokumen-dokumen tertulis belum banyak
ditemukan. Sejarah kerajaan Pamekasan mulai terungkap dari sumber-sumber
tradisional di luar pamekasan, misalnya Babad Soengenep,5 Sadjarah Dalem atau
Babad Tanah Jawi,6 buku-buku tersebut mencatat sejumlah peristiwa penting
yang terkait dengan kronologi sejarah Pamekasan.
Orang Madura banyak mengenal agama Buddha karena tradisi lisan atau
berupa legenda dan cerita-cerita rakyat. Bagi mereka “Buddha” sangatlah asing
dalam sehari-hari.
Di Pamekasan ada kerajaan kecil yang terkenal dengan penganut agama
Buddha, yaitu kerajaan Jamburingin.7 Jamburingin terletak di Desa Jamburingin,
Kecamatan Proppo. Meskipun Proppo sendiri seakan tidak terjamah oleh
sejarawan karena di Pamekasan sangat jarang di temukan bukti-bukti tertulis
5 Babad Soengenep merupakan yang mengisahkan tentang sejarah Madura Timur
(Sumenep) pada masalampau. kitab ini yang memiliki dua versi. Versi pertama memakai huruf
Jawa Modern dan berbahasa Madura tengahan, istilah "Babad", yang merupakan spesifikasi tradisi
penulisan sejarah kuno di Jawa. Di dalam bahasa Madura dikenalkan istilah "creta atau cerita".
sehingga dalam hal ini timbul masalah "mengapa yang dipakai adalah istilah Babad, bukan creta
atau cerita. apa yang diinginkan oleh penulis dengan penggunaan istilah tersebut. melihat isinya,
nampak bahwa kisah-kisah yang diungkapkan banyan mengambil dari naskah-naskah yang berasal
dari Jawa. Seperti Babad Tanah Jawi, sedjarah Dalem, dengan modifikasi tertentu sesuai dengan
apa yang ingin dikisahkan tentang sejarah Sumenep. Sehingga dengan demikian penggunaan
istilah babad di sini, kiranya dimaksudkan sebangai usaha untuk menyelaraskan/mensinambukan
dengan alur cerita tutur yang berlaku di Jawa. Mungkin junga penulis ingin menyatakan bahwa
antara sejarah Jawa dengan sejarah Madura memiliki kaitan yang erat, tidak dapat dipisahkan.
Lihat: Jurnal, MEDIA No 65 Th. XV/3/1993, h. 88-89. 6 Babad Tanah Jawi adalah salah satu sumber yang ada untuk mengetahui sejarah tanah
Jawa. Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas siapa sebenarnya yang menyusun dan menulis
Babad Tanah Jawi. Diperkirakan babad ini ditulis pada sekitar abad 17 atau 18. Babad Tanah Jawi
memiliki beberapa versi. Babad Tabah Jawi berisi sejarah tanah jawa mulai dari masa Hindu
(sekitar abad II atau III M) hingga masa keruntuhan Majapahit (Abad XIVI M). Lihat:
http://bukugratisuntukmu.blogspot.com/2013/02/babad-tanah-jawi-sejarah-jawa-abad-2-16.html 7 Keraton atau kerajaan Jamburingin didirikan pada abad ke-XV/15. Namun pendiri
keraton tersebut kiranya tidak ada jawban yang pasti. Akan tetapi tetap mempunyai kesimpulan
bahwa pendirinya ialah antara KI ARIO TIMBUL atau KI ARIO KEDUT. Sebab sesudah
Jamburingin diperintah oleh KI ARIO POJOK kemudia beliau pindah ke Madegan Sampang.
Madengan adalah daerah pesisir dan nelayan, dan kehidupannya lebih makmur serta lebih maju
dari Jamburingin. Lihat: Ghazi Al-Farouk, Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di
Kecamatan Proppo-Pamekasan (Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan
Proppo Kabupaten Dati II, 1984.), h. 8.
51
apalagi prasati yang menjelaskan tenteng kerajaan Pamekasan, tetapi menurut
cerita rakyat nama Proppo yang kini digunakan untuk menyebut nama Kecamatan
Proppo yang berasal dari kata Parupuh, yang berarti Parasepuh atau leluhur.8
Berdasarkan penjelasan sumber-sumber tersebut, berikut adalah sejumlah
raja yang berkuasa di kerajaan Jamburingin Pamekasan.
a. Aryo Menak Seyono Proppo Pamekasan
b. Ki Aryo Pucuk
c. Ki Demong Plakaran
d. Raden Pramono Pangeran Bonorogo Jamburingin, anaknya yang bernama
Pangeran Ronggosukowati tidak meneruskan kerajaan Jamburingin yang
ada di Proppo, tetapi pindah ke kota Pamekasan untuk membangun
kerajaan, sehingga kerajaan tersebut di teruskan oleh
e. Raden Prdeta Pangeran Suhra Adipati Jamboringin Pamekasan, anak dari
ki Ageng Pragoblo saudari dari Raden Pramono.
f. Pangeran Megatsari Jamboringin Pamekasan
g. Pangeran Mertosari Jamboringin Pamekasan, sebagi raja terahir
Jamburingin Pamekasan karena anaknya yang bernama raden Karoman
Tumenggung Wirosekar pangeran Seppo Wirosari menjadi raja di
Sumenep 1672-1678.
Legenda Aryo Menak Senoyo tidak banyak di ketahui orang, beliau yang
merintis pemerintahan lokal di Pamekasan tepatnya di kecamatan Proppo,
walaupun pada waktu itu belum dinamai kerajaan Jamburingin. Setelah dinamai
8 Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
52
kerajaan Jamburingin nama raja yang paling masyhur adalah Raden Pradeta
Pangeran Suhra sebagai raja ke-5, namun keterangan tentang Pangeran Suhra ini
sangatlah terbatas, misalnya terkait Pangeran Suhra dilahirkan dan naik tahta. Ini
dibuktikan adanya banyak sejarah lisan yang beredar bahwa Pamekasan jauh
sebelum itu merupakan bagian dari kerajaan Sumenep-Madura bagian tumur.
Sementara kerajaan di Sumenep waktu itu sekitar abad ke 10 s.d. 12 M, masih di
bawah pemerintahan Mataram kuno dan tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
Jawa, tak terkecuali agamanya yaitu Agama Buddha.9
Kerajaan Jamburingin kemungkinan besar masih mempunyai ketertarikan
dengan legenda Candi Burung di kecamatan Proppo yang sekarang keberadaanya
dikaitkan dengan penemuan arca di Dusun Candi Desa Polagan, Kecamatan Galis,
walaupun perlu kiranya ada penelitian lebih mendalam berkaitan dengan
keberadaan situs Jamburingin, tetapi cukup untuk diasumsikan bahwa situs
tersebut memang merupakan pemukiman kuno. Bukti yang menunjukan bahwa
situs tersebut merupakan pemukiman Jamburingin bisa dilihat dari struktur batu
bata merah yang ditermukan di gundukan tanah di sesa Jamburingin.10
Melihat
dari batu batanya, diduga batu bata tersebut merupakan batu bata kuno. Bukti lain
yang mendukung situs tersebut sebagai situs pemukiman adalah sumur yang saat
ini oleh penduduk sekitar dinamakan sumur Teratai. Ukuran batu bata yang
digunakan sebagai dinding sumur tersebut memiliki persamaan dengan yang ada
di sekitar gundukan tanah di Desa Jamburingin.11
Sebagai situs pemukiman,
9 Mien Ahamad Rifai, Manusia Madura, h. 34.
10 Arif Akhyar Dkk dalam Ensiklopedi pamekasan alam, Masyarakat dan Budaya
(Yogyakarta: Intan Sejati Klaten, 2010), h. 342. 11
Arif Akhyar Dkk dalam Ensiklopedi pamekasan alam, h. 342.
53
tampaknya situs jamburingin digunakan dalam tempo yang relatif lama,
setidaknya dihuni ketika masyarakat masih belum memeluk agama Islam sampai
dengan sesudah memeluk agama Islam.12
Jamburingin dipercaya sebagai bekas
kerajaan Buddha kuno yang menjadi cikal bakal pamekasan dan juga mempunyai
hubungan dengan Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan,
Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan.
Karena agama Buddha adalah termasuk agama yang minoritas khususnya
di Madura, agar tetap dikenal, dikenang dan diakui keberadaannya oleh
masyarakat sekitar dan mayotitas muslim di pamekasan. Agama Buddha
mendirikan sebuah Vihara, dengan simbol inilah mereka sampai sekarang masih
berada dan bertahan.
B. Ketahanan Vihara Avalokitesvara di Tengah Komunitas Muslim
Vihara Avalokitesvara di Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis
Kabupaten Pamekasan masih eksis dan bertahan keberadaannya sampai saat ini
karena melakukan pembangunan fisik seperti sarana peribadatan, kesenian, olah
raga, penginapan dan sarana peribadatan pemeluk agama Islam serta Pura untuk
umat Hindu. Dan ia juga mampu mempertahankan kerukunan, toleransi beragama.
Dan kesenian serta budaya-budaya dari nenek moyangnya. Vihara juga bersifat
umum pada semua yang ada di sekitarnya terutama kepada masyarakat Candih,
karena Vihara juga merupakan Yayasan (Yayasan Candi Bodhi Dharma). Vihara
Avalokitesvara selain sebagi tempat beribadah juga sebagai tempat wisata, bagi
masyarakat sekitar dan pengunjung dari pulau jawa juga datang ke Vihara ini.
12
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
54
Penganut agama Buddha tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham
keagamaan. Bukan hanya saat ini tetapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi
Kwan Im dan beberapa patung di temukan di Desa Polagan. Karena keberadaan
Vihara Avalokitesvara tidak terlepas dari sikap yang dimiliki oleh masyarakat
dengan menjunjung tinggi kerukunan umat beragama. Apa lagi di Vihara
Avalokitesvara merupakan bangunan peribadatan yang berwajah penampilan dari
cita-cita pancasila dan mereka tidak membedakan “SARA” (Suku, Agama, Ras,
dan anatar golongan).
Bagi masyarakat Candih Vihara tidak di pandang sebagai batu
penghalang atau musuh. Akan tetapi masyarakat memandang sebagai
keberuntungan. Bagi masyarakat Candih yang mayoritas beraga Islam tidak berati
kehidupan agama Buddha tersingkirkan atau terpojokkan, bahkan mereka
bersaing dan bergabung dalam suka maupun duka. Karena itu masyarakat hidup
dengan damai meskipun berbeda pandangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
masyarakat Candih “Bagimu agamamu dan Juga sebaliknya bagiku agamaku ”.13
Seperti yang dikatakan oleh Kosala Mahinda ketua Vihara
Avalokitesvara bahwa keberadaannya tidak ada masalah karena tidak
mengganggu terhadap masyarakat sekitar. Bahkan ketua Vihara berujar kalau
“kami merasa memiki masyarakat dan masyarakt merasa memiliki Vihara”.14
Begitu juga yang di kata oleh Bapak Susianto selaku Tokoh masyarakat Candih
yang di percaya banyak pengaruhnya terhadap Vihara Avalokitesvasa. Karena
13
Wawancara Dengan Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren Miftahul Qulub
di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan, Pada tanggal 19 November 2018. 14
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
55
komunitas agama Buddha tidak pernah menyinggung agama Islam dan
masyarakat muslim juga tidak pernah menyinggung agama mereka yaitu agama
Buddha. Dan tujuan semua agama atau kepercayaan adalah sama kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Allah), akan tetapi caranya saja yang bisa berbeda.15
Oleh sebab
itu terciptalah masyarakat yang menjung tinggi kerukunan dan toleransi
keagamaan bagi umat muslim di Dusun Candih Desa Polangan Kecamatan Galis
Kabupaten Pamekasan.
1. Kebertahanan Sosial
Mayoritas masyarakat di sekitar Vihara adalah muslim atau beragama
Islam, namun ada juga yang beragam Katolik dan Buddha yang berada di
Candih Barat. Dan juga ada orang Tionghoa yang sudah masuk Islam karena
faktor keluarga, bahkan ada yang mengatakan karena permintaan anaknya
untuk masuk Islam. Hubungan para pemimpin dan biksu baik-baik saja tidak
pernah ada permasalahan karena kami seperti saudara kita sendiri disini, dan
sama-sama menghargai karana dengan adanya Vihara ini penganut agama
Buddha dan masyarakat muslim khususnya dusun Candih saling menjaganya.16
Vihara merasa memiliki masyarakat begitupun masyarakat merasa memiliki
Vihara.17
Jadilah satu kesatuan yang mana di tengah-tengah bangunan ini di
dirikan tugu bertuliskan pancasila beserta lambangnya sebagai tanda kesatuan
dan saling hormat menghormati karena tujuan yang pertama adalah Tuhan
Yang Maha Esa. Dan umat Buddha tidak pernah menyinggung tuhan
15 Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat, Pada Tanggal 19 Juni 2018. 16
Wawancara Dengan Imam Isa Santosa Ketua Litang di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 November 2018. 17
Wawancara Dengan Sappraji Sappadasa Komunitas Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 November 2018
56
masyarakat muslim sekitar begitu juga masyarakat muslim tidak pernah
menyinggung tuhan komunitas agama Buddha Vihara Avalokitesvara. Karena
tuhan itu satu dan cara mengagungkannya mempunya cara masing-masing, dan
mengikuti perintahnya menjauhi larangannya.18
Menurut Kosala, umat agama yang ada di dalam kompleks Vihara
Avalokitesvara, tidak pernah bergesekan dan ketersinggungan paham
keagamaan. Bukan hanya saat ini tapi sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi
Kwan Im dan beberapa patung stupa ditemukan di Desa Polagan. Kedamaian
itu terus dirajut antar pemeluk agama di dalam dan di luar Vihara. Salah satu
caranya, menggunakan media sosial, kesenian dan kebudayaan, serta berbagi
kebahagiaan di hari-hari besar keagamaan.
Selain pementasan kebudayaan dan saat momentum hari raya Imlek.
Kegiatan sosial yang dilakukan adalah terbentuknya jalan raya menuju Dusun
Candih dan Vihara Avalokitesvara sepanjang 1700 m. Karena tidak ada
pembatas antara jalan dan tepi pantai sehingga mengakibatkan jalan hampir
putus karena Abrasi19
. Dan perbaikan jalan ini dilakukan secara kerjasama
antara pihak Vihara sebagai penyandang dana dengan masyarakat yang
membantu secara tenaga. Pembangunan Masjid (Masjid Nurul Hidayah), yang
terdapat di Dusun Candih yang merupakan satu-satunya masjid di Dusun
tersebut. Dalam pembangunan masjid tersebut pihak Vihara berkontribusi baik
18
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 19
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang
bersifat merusak. Abrasi biasanya juga disebut erosi pantai. kerusakan garis pantai akibat abrasi ini
dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
57
dalam kepanitiaan maupun dalam pendanaan. Pendanaan yang diberikan bukan
berupa uang melainkan berbentuk barang yaitu semen dan hasbes.
Perkawinan orang Islam, yang diselenggarakan di komplek Vihara
Avalokitesvara seperti pada tahun 1953, putri angkat Tee Soe Gwan yang
bernama Ponteani dengan Burhan, mereka dikawinkan di kemplek Vihara
Avalokitesvara. Kedua anak tersebut menganut agama Islam. Proses
perkawinan dilaksanakan secara agama Islam dengan mengundang penghulu
untuk mengawinkannya di samping itu diundang juga seorang kiyai untuk
membacakan doa’nya. Panitia resepsi perkawinan dari kalangan warga
keturunan Cina (Buddha) beserta masyarakat Candih setempat. Dan melayat
orang meninggal, pada waktu masyarakat Candih maupun Desa disekitar
Candih ada yang meninggal dunia baik dekat maupun jauh ataupun dari umat
Buddha sendiri maupun dari umat Islam. Pihak Vihara selalu datang melayat
dan menyumbang material atau non material. Dalam hal ini yang melayat
merupakan pimpinan dari Vihara Avalokitesvara, apabila berhalangan pihak
pimpinan Vihara di wakili oleh pekerja yang ada di lingkup Vihara
Avalokitesvara.20
Masyarakat sekitar mulai dari anak-anak hingga orang dewasa
berbondong-bondong datang ke Vihara untuk silaturahim dan menerima
angpao. Sebaliknya, ketika hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, umat muslim
20
Sjamsuni, Vihara Avalokitesvara Candih dalam Episode Kerukunan Umat Beragama
(Pamekasan: t.p., 2004), h. 6-7.
58
saling berbagi makanan kepada penghuni Vihara. Umat muslim saling
bergantian memberi makanan.21
Yang beragama Islam mengantarkan makanan ke Vihara. Begitu kata
Novem, karyawan Vihara yang beragama Islam. Novem dan beberapa
rekannya sesama muslim di Vihara, tak pernah merasa risih dengan bunyi-
bunyian dan puja-pujaan di dalam Vihara. Ketika sudah waktunya salat lima
waktu, langsung mengerjakan di musala yang ada di dalam Vihara. “Kalau
sudah adzan berkumandang, kami yang muslim solat di dalam komplek Vihara
yang sudah ada Musalanya,” ujar Novem.22
Toleransi agama semacam ini, bagi
masyarakat Dusun Candi tak ingin ternodai dengan aksi-aksi intoleransi yang
sedang marak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Sepanjang sejarah
berdirinya Vihara, belum pernah ada peristiwa intoleransi meskipun banyak
agama di dalamnya. “Intoleransi di Indonesia saat ini karena sempitnya
pemikiran. Jangan sampai hal itu terjadi di Vihara ini,” ungkap Kosala
Mahinda.23
2. Kebertahanan Ekonomi
21
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 22
Wawancara Dengan Novem Satpam di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 19 Juni
2018. 23
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
59
Vihara ini bersifat sosial dan Vihara tidak pernah ada aksi mencari
keuntungan, misalkan dalam acara keagamaan umat Buddha.24
Bahkan Vihara
sering mendapatkan partisipasi dari penganut dan pengunjung untuk
pembangunan agar dapat membuat umat Buddha yang beribadah merasakan
kenyamanan dari fasilitasnya.25
Begitupun pengunjung yang datang untuk
berwisata ke Vihara Avalokitesvara ini. Sedangkan Vihara sendiri bersifat
umum, masyarakat pernah memdapat bantuan dengan diberikan bantuan
sumur yang airnya tawar. Ini di berikan untuk masyarakat yang membutuhkan
karena di luar vihara airnya asin dan berljangka panjang, pihak Vihara
khususnya pemimpin Vihara tidak pernah meminta untuk membayar kepada
masyarakat dan sampai sekarang. Vihara tidak pernah memperdayakan
ekomoni karena Vihara adalah Yayasan Sosial.26
Selain itu sumbangsih Vihara juga berupa meminjamkan peralatan
seperti Terop, kursi, meja, piring dan sendok baik untuk masyarakat sekitar
Vihara maupun dari luar masyarakat Candih. Masyarakat sekitar biasanya
menggunakan fasilitas yang berada di Vihara Avalokitesvara baik berupa
tempat maupun peralatan yang dibutuhkan masyarakat. Salah satu contohnya
ketika masyarakat candih mengadakan acara petik laut, Vihara berkontribusi
dengan menyediakan panggung dan tidak dipungut biayaya sepeserpun.27
24
Wawancara Dengan Imam IsaSantosa Ketua Litang di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 November 2018. 25
Wawancara Dengan Sappraji Sappadasa Salah Satu Komunitas Vihara Avalokitesvara,
Pada tanggal 19 November 2018. 26
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018. 27
Wawancara Dengan Gunawati Komunitas Vihara Avalokitesvara, Pada tanggal 19
November 2018.
60
3. Kebertahanan Tradisi dan Budaya
Sudah lama diungkapkan dalam catatan sejarah sejak zaman Sriwijaya
dengan Cina sudah terjalin budaya, di samping jalinan ini terjadi juga dengan
India sebagai pusat budaya Hindu dan Buddha. Pada masa Majapahit sendiri
dengan Sriwijaya juga banyak melakukan hubungan dengan negara lain
seperti: Syangka (Siam atau Muangthai), Marutma (Burma), Kamboja, Yawana
(Amman), India, Cina. Madura juga merasakan hubungan tersebut sehingga
masyarakat tidak merasa aneh dengan adanya patung Avalokitesvara
Bodhisatva (Kwan Im Po Sat).28
Vihara Avalokitesvara sering mengadakan perayaan dengan kesenian
tradisional. Seperti hari ulang tahun sering diakan upacara dan setelah upacara
selesai baru di hadirkan hiburan-hiburan seperti pertunjukan wayang, barongsai
dan reok. Jika mengadakan acara Vihara mengundang Vihara lain dan
penganutnya. Bagi masyarakat sekitar bebas untuk menontonnya, dan pernah
megadakan acara besar seperti Kirap (keliling), yang dilakuan dengan cara di
arak (jalan) terus naik perahu keliling lautan di sini. perahu dari nelayan yang
di sewa semua untuk merayakan acaranya.29
Ada juga tradisi Cap Go Meh adalah hari kelima belas sesudah tahun
baru Imlek. Konon katanya Cap Go Meh bersamaan dengan berahirnya musim
salju (dingin) yang penung dengan tantangan hidup di daratan Cina. Pada hari
Cap Go Meh datanglah musim semi. Pada musim semi ini bunga-bunga mulai
28
Ghazi Al Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan (Semarang: Mandhira,
1987), h. 15-16. 29
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
61
mekar semerbak dan merupakan suatu tanda bahwa tantangan hidup yang
selalu mencekam sudah berlalu. Untuk menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Tuhan Yang Esa biasanya mengadakan upacara dengan maksud
mengucapkan selamat bahagia tambah rezeki serta panjang umur karena sudah
dapat melalui suatu musim yang penuh rintangan dan tantangan tersebut.30
Salah satu contoh tradisi yang masih bertahan sampai sekarang adalah
perwujudan toleransi dan kebersamaan antar berbagai penganut agama yang di
sekitar Vihara Avalokitesvara. Salah satu caranya, menggunakan media
kesenian dan kebudayaan . Sewaktu-waktu, warga sekitar Vihara dan pengelola
Vihara menggelar pementasan wayang berbahasa Madura. Pementasan wayang
kadang sampai larut malam. Kalau sudah ada pentas wayang, masyarakat
langsung guyub datang ke Vihara untuk menonton. Kebetulan dalangnya juga
warga sekitar dan kosala mahinda menyiapkan kelengkapan pementasan
wayang termasuk wayangnya sendiri.31
Contoh lain perayaan Waisak, perayaan ini yang terletak di Dusun
Candih, Desa Polagan, Kecamaran Galis, sekitar 15 km kearah timur Kota
Pamekasan. Umat Buddha yang mengikuti upacara perayaan Waisak ini tidak
hanya dari Pamekasan, tetapi juga dari tiga kabupaten lain di Pulau Madura,
seperti Bangkalan, Sumenep dan sebagian dari Kabupaten Sampang. Ada juga
umat Buddha dari luar Madura, seperti Surabaya, Malang, Sidoarjo, Semarang
30
Ghazi Al Farouk, Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan, h. 35. 31
Wawancara Dengan Kosala Mahinda ketua Yayasan di Vihara Avalokitesvara, Pada
tanggal 19 Juni 2018.
62
dan Jakarta. Upacara perayaan ini hanya sembahyang, memohon kepada Yang
Maha Kuasa agar kehiduan umat dan bangsa ini lebih baik.32
Hari ulang tahun Kwan Im yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali,
masyarakat Dusun Candih yang mayoritas umat Islam membantu melakukan
pengamanan demi lancarnya acara Vihara Avalokitesvara.33
Hari raya kelahairan Avalokitesvara para pengunjung yang datang bukan
dari umat Buddha namun masyarakat Candih dan desa disekitarnya yang
beragama Islam nampak terlibat. Bagi masyarakat Candih dan sekiranya
perayaan lahirnya Avalokitesvara membawa berkah tersendiri. Selain
mendapat penghasilan tambahan juga mendapatkan hiburan, karena pada
perayaan tersebut pihak Vihara mementaskan pertunjukan berupa Wayang kulit
atau Ludruk yang pelaksanaannya di lakukuan di komplek Vihara
Avalokitesvara dan perayaan tahun baru Imlek.34
C. Pandangan Masyarakat Muslim sekitara Vihara Avalokitesvara
Kabupaten Pamekasan dilihat dari sisi keberagamaan masyarakatnya,
termasuk masyarakat majemuk atau plural. Kemajemukan di kota Gerbang Salam
ini ditandai dengan eksisnya semua agama resmi seperti: Islam, Hindu, Buddha,
Kristen dan Khonghucu. Namun demikian kemajemukan pemeluk agama ini tidak
menjadikan pamekasan kota konflik antar pemeluk agama. Hampir semua
informasi yang berhasil ditemui oleh peneliti menyatakan bahwa kerukunan umat
32
Wawancara Dengan Adhi Salah Satu Komunitas Tionghoa, Pada tanggal 19 November
2018. 33
Wawancara Dengan Gunawati Komunitas Vihara Avalokitesvara, Pada tanggal 19
November 2018. 34
Wawancara Dengan Adhi Salah Satu Komunitas Tionghoa, Pada tanggal 19 November
2018.
63
beragama di kota Gerbang Salam ini "Kondusif", tidak ada hal-hal yang mengarah
pada konflik bernuansa kondisi kondusif kerukunan umat beragama di Pamekasan
ini dikarenakan keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh agama dalam
menciptakan suasana kondusif dalam bingkaian rukun baik antar maupun intern
umat beragama.35
Begitupun pendapat Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren
Miftahul Qulub di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan. Menurutnya,
toleransi adalah akidah dalam beragama. “Pengakuan adanya kekuatan Yang
Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan
itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh sebab itu,
manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng
dari fitrahnya. Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu
syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam
kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun
yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran
manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam
kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: Menunjukkan manusia
kepada kebenaran sejati, menunjuki manusia kepada kebahagiaan hakiki, dan
mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.36
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau
itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut
35
Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat Dusun Candih, Pada Tanggal
19 Juni 2018. 36
Wawancara Dengan Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren Miftahul Qulub
di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan, Pada tanggal 19 November 2018.
64
(ru’bah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Al-din (agama)
adalah aturan-aturan atau tatacara hidup manusia yang dipercayainya bersumber
dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.37
Vihara Avalokitesvara menurut karyawannya yang beragama Islam,
menyediakan fasilitas budaya, olahraga, serta keikutsertaan penganut agama
Buddha dalam FKUB (Furum Kerukunan Umat Beragama). Ada beberapa
pendapat menurut para buyut dan nenek moyang, Vihara Avalokitesvara pertama
kali ditemukannya pada abad ke-17 dengan adanya sebuah arca.38
Partisipasi umat
beragama Buddha terhadap umat beragama Islam yantiu, pemegang sektor
ekonomi, menghadiri perayaan masyarakat umat muslim, memberikan bantuan air
bersih, menyediakan peralatan untuk membantu masyarakat umat muslim
mengadakan sebuah acara. Dan partisipasi umat beragama Islam terhadap umat
Buddha yaitu, keterlibatan dalam perayaan Dewi Kwan Im, silaturrahmi kertika
perayaan tuhan baru Imlek.39
Pandangan masyarakat yaitu, bahwa Vihara tidak
berpengaruh pada lingkungan, tidak ada konflil, tidak mengajak umat lain untuk
mengikutinya, serta mendapatkan Rekor Muri.40
Adaptasi Vihara terhadap Musala
yang berada didalam Vihara dan pihak Vihara ikut berpartisipasi dalam peryaan
muslim. Tujuan Vihara yantu, sebagai tempat peribadatan selain umat Tri
37
Wawancara Dengan Drs. K. H. Salehoddin pengasuh pondok pesantren Miftahul Qulub
di Desa Polagan Kec. Galis. Kab. Pamekasan, Pada tanggal 19 November 2018. 38 Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat Dusun Candih, Pada Tanggal
19 Juni 2018. 39
Wawancara Dengan Novem Satpam di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 19 Juni
2018.
40
Wawancara Dengan Abdullah Pekerja di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 17 Juli
2018.
65
Dharma, dibuktikan dengan adanya pura dan Bikkhu. Integrasi Vihara pernah
membatu renovasi Masjid dan jalan.41
Dalam pandangan terhadap agama lain biasa-biasa saja berteman dengan
baik dan kami menjalankan keyakinan atau agama kami untuk beribadah tidak
perduli dengan adanya Vihara, Gereja dll, bagitu ujat pak Susianto.42
Umat muslim yang ada di sekitar Vihara Avalokitesvara itu tidak ada yang
merasa terganggu dan keberatan dengan adanya Viahara itu. Ini menandakan
bahwa masyarakat Madura pada umumnya khususnya umat Islam Pamekasan
mempunyai pola pikir beragama yang sudah matang dan dewasa sebagai cerminan
dari toleransi beragama yang sudah tinggi.
Yang dirasakan oleh kedua komunitas itu adalah hubungan simbiosis
mutualisme yang saling menguntungkan bagi mereka. Banyak umat muslim yang
di pekerjakan di Vihara itu dan sebaliknya umat Buddha, membantu kegiatan
sosialisasi umat Islam dan mereka dapat jaminan akan keamanan eksistensi
mereka di tengah-tengah umat agama lain di sana. Seperti contohnya perbaikan
Masjid yang ada di lingkungan umat muslim atau masyarakat dan pembuatan
akses jalan untuk memasuki Vihara dan pedesaan di sana.
Dalam hal keagamaan masyarakat sekitar tidak merasa terganggu karena
itu masyarakat hidup dengan damai meskipun berbeda pandangan. Seperti hal ini
yang sesuai dengan pernyataan masyarakat dalam ayat Al-qur’an surat Al-Kafirun
yang artinya “Bagimu agamamu dan juga bagiku agamaku”. Dan jika Vihara
mengadakan pertunjukan atau hiburan seperti pertunjukan wayang dan
41
Wawancara Dengan Cipto Satpam di Vihara Avalokitesvara, Pada Tanggal 19 Juni
2018. 42
Wawancara Dengan Bapak Susianto Tokoh Masyarakat, Pada Tanggal 19 Juni 2018.
66
baraongsai, masyarakat sekitar ikut memeriahkan dengan cara berbondong-
bondong melihatnya. Dan dalam pertunjukan itu bagi umat Buddha tidak pernah
ada ajakan terhadap umat muslim atau masyarakat sekitar untuk mengikuti
ajarannya.
Agar hubungan masyarakat dan Vihara baik-baik saja jika boleh
meminjam bahasa Drs. K. H. Salehoddin toleransi beragama dalam berkeluarga
harus saling menjaga diantaranya adalah harus baik di dalam keluarga, saling
melindungi, tak kenal maka tak sayang, rayakan perbedaan dan, tidak ada yang
salah dalam perbedaan.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama Buddha yang direpresentasikan dalam Vihara Avalokitesvara
pamekasan punya andil yang sangat besar terhadap masyarakat sekitarnya
terutama dalam hubungan umat Buddha dan umat muslim. Umat Buddha dan
umat Islam yang ada di dalam kompleks Vihara Avalokitesvara, tidak pernah
bergesekan dan ketersinggungan paham keagamaan. Bukan hanya saat ini tapi
sejak tiga abad lebih, sebelum arca Dewi Kwan Im dan beberapa patung stupa
ditemukan di Desa Polagan. Kedamaian itu terus dirajut antar pemeluk agama
didalam dan di luar Vihara.
Masyarakat muslim yang ada disekitar Vihara juga tidak merasa terganggu
dengan adanya komunitas agama itu. Justru karena adanya komunitas itu masyarat
muslim banyak mendapat manfaat. Dan Vihara Avalokitesvara merupakan
bangunan peribadatan dari agama Buddha dalam wajah penampilan dari cita-cita
masyarakat pancasila. Kerukunan umat beragama di komplek Vihara
Avalokitesvara mereka tidak membedakan “SARA” (Suku, Agama, Ras, dan
antar golongan), seperti halnya perkawinan antar etnes. Jadi wajar bila di Dusun
Candih dihuni oleh etnes Cina. Silaturrahmi terjalin tidak hanya antar etnes,
melainkan juga antar umat beragama. Gotong royong dan tolong menolong selalu
dikedepankan bila ada sesuatu permasalahan dan kegiatan baik keluarga atau
68
lingkungan, misalnya kematian atau hajatan mereka saling bahu membahu.
Kenyataannya ini memeluk pada semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang
berakar pada budaya Klasik (Majapahit).
Toleransi di Vihara ini juga sangat kuat. Sebagaimana pengakuan orang
muslim yang bekerja di Vihara itu, Novem dan beberapa rekannya sesama muslim
di Vihara, tak pernah merasa risih dengan bunyi-bunyian dan puja-pujaan didalam
Vihara. Ketika sudah waktunya salat lima waktu, langsung mengerjakan di musala
yang ada didalam Vihara. Kalau sudah adzan berkumandang, yang muslim sholat
di dalam komplek Vihara yang sudah ada musalanya.
Keberadaan Vihara Avalokitesvara tidak lepas dari sikap yang dimiliki
oleh masyarakat yang menjunjung kerukunan umat beragama. Bangi masyarakat
Candih Vihara tidak di pandang sebagai batu penghalang atau musuh. Akan
tetapi masyarakat memandang sebagai ke-beruntungan. Bangi masyarakat Candih
yang mayoritas beragama Islam tidak berati kehidupan agama Buddha
tersingkirkan atau terpojokan, bahkan mereka bersaing dan bergabung dalam suka
maupun duka. Karena itu masyarakat hidup dengan damai meskipun berbeda
pandangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan masyarakat Candih “Bagimu
agamamu dan Juga sebaliknya bagiku agamaku”.
B. Saran
Seluruh warga negara Republik Indonesia memiliki hak yang sama dalam
beragama dan mendapatkan pendidikan beragama. Tidak terkecuali penganut
agama Buddha di Indonesia. Mereka layak untuk mendapatkan pendidikan agama
mereka sendiri.
69
Saran penulis terhadapa pemuka agama Buddha, Khususnya WALUBI
(Wadah Kebersamaan Organisasi Umat Buddha Indonesia yang terdiri dari
Majelis-Majelis Agama Buddha, Lembaga Keagamaan Buddha, Dewan Sangha,
Badan Kehormatan dan Wadah Kemasyarakatan yang bernapaskan Agama
Buddha). Agar memberi perhatian yang lebih terhadap Vihara Avalokitesvara
Kabupaten Pamekasan Dusun Candih Desa Polagan Kecamatan Galis, dengan
fasilitas seperti buku, atau kunjukangan biksu biksuni ke Kabupaten Pamekasan,
karena meskipun Vihara ini masih aktif sebagaimana mestinya, tetap
membutuhkan perhatian khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdurachman, Sejarah Madura Selayang Pandang. Sumenep: t.p., 1988.
Akhyar Arif Dkk. Dalam Ensiklopedi pamekasan alam, Masyarakat dan Budaya.
Yogyakarta: Intan Sejati Klaten, 2010.
Al-Farouk, Ghazi. Laporan Khusus Penemuan Kepurbakalaan di Kecamatan
Proppo-Pamekasan. Pamekasan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
kecamatan Proppo Kabupaten Dati II, 1984.
Al-Farouk, Ghazi. Vihara Avalokitesvara Candi Pamekasan.Semarang: Mandhira,
1987.
Ali, Mursyid. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di
Indonesia. Jakarta: Departemen Agama, 2009.
Ali, Sayuti. Metodologi Penelitian Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002.
Arifin M.Ed. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden
Terayon Press, 1986.
Azra, Azyumardi. Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa jauh?.
Yogyakarta: Kanisius, 2010., h. Xvi. Judul Buku Alsi: The Oslo Coalition
on Freedom of Religion or Belief.
Azra, Azyumardi "Liberarlisasi Pemikir NU", dalam Mujamil Qomar, NU
Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam.
Bandung: Mizan, 2002.
Bottomore. T. Elite and Society, and Ed. London: Routledge, 1993.
Breandan O'leary, Patrick Dunleavy. Theories of The State: The Politics of
Liberal Democracy. London: McMillan Education Ltd., Hoummislls,
Basingstioke, 1991.
Cudamani. Karmaphala dan Renkarnasi. Jakarta: Yayasan Wisma Karma, 1987.
De Jonge, Huub. Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan
Ekonomi, Dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi. Jakarta: Gramedia,
t.th.
De Jong, Huub .Garam Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-esai Tentang Orang
Madura dan Kebudayaan Madura. Yogyakarta: LKIS, 2011.
Djojomartono Mujono. “Adat Istiadat Sekitar Kelahiran pada Masyarakat
Nelayan di Madura" dalam Koentjaraningrat (ed), Ritus Peralihan
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Fath, Kutwa. Pamekasan dalam Sejarah. Pamekasan: Pemerintah Kabupaten
Pamekasan, 2006.
Greenberg, Jack Planoad Milton. The American Political Dictionary. USA:
Harcourt College Publisher, 2002.
Juangari Edi. Menabur Benih Dharma di Nusantara, Riwayat Singkat Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya, 1995.
Haidar, Ali. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Haitami Muhammad & Komarudin. Tradisi Islam dan Upacara Adat Nusantara.
Bandung: Makrifat Media Utama, t.th.
Hartono, Bambang. Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja
Islam Pertama di Kota Pamekasan-Madura. Sumenep: Nur Cahaya Gusti,
2001.
Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga,
2004.
Irawan, Prasetya. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA Lembaga
Administrasi Negara, 1999.
Khemahayana, Mahapandita. Dasar Buddha-Dharma. Bandung: Perhimpunana
Buddhis Indonesia, 1996.
Menzies Allan, D.D. Sejarah Agama-Agama Studi Sejarah, Karakteristik dan
Praktik Agama-Agama Besar di Dunia. Yogyakarta: Grup Relasi Intan
Media Anggota IKAPI, 2014.
Muchtar, Adeng Ghazali. Ilmu Perbandingan Agama Pengantar Awal Metodologi
Agama-agama. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Mahinda. Yayasan Candi Bodhi Dharma dan Vihara Avalokitesvara. Pamekasan:
t.p., 2004.
Muhshi, Adam. Teologi Konstitusi: Hukun Hak Asasi Manusia atas Kebebasan
Beragama di Indonesia. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015.
Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013.
Nursyam, M.Si. Kompedium Regulasi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
FKUB, t.th.
Pranowo, Bambang. Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam. Tangerang: Mitra Sejahtera, 2008.
Qomar, Mujamil. NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisai
Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Rahmad, Dadang. Metode Penelitian Agama. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Rifai, Mien Ahamad. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos kerja,
Penampilan dan Pandangan Hidupnya seperti diceritakan Pribahasanya.
Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Rifai, M. Mistery Pusara Batu Ampar. Pakalongan: TB. Sumenep, 1985.
Sadik, A. Sulaiman & Chairil Basar. Sekilas tentang Hari Jadi Pamekasan.
Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan, 2004.
Sholeh, Shonhadji. Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari
Tradisionalisme ke Pos-Tradisionalisme. Surabaya: JP Books, 2004.
Suarjaya Wayan, M.Si. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha.
Jakarta: Dewi Kayana Abadi, 2003.
Subaharianto Andang Tentang Industrialisasi Madura; Membentur Kultur,
Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia, 2004.
Siang Djie, Oe. Jajasan Tjandi Bodhi-Dharma. Surabaya: t.p., t.th, Nomer 35.
Silva, Lily de. NIBBANA Sebagai Suatu Pengalaman Hidup. Yogyakarta:
Kamadhis Ugm, 2005.
Sudrajat. Sejarah Indonesia Masa Hindu Buddha. Yogyakarta: Diktat Kuliah,
Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, 2012.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: CV. Alfabeta, 2005.
Sugiyono. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
ALFABETA, 2010.
Sumantri. Kebahagiaan dalam Dhamma. Jakarta: Majelis Buddhayana Indonesia,
1980.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial- Agama. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Sjamsudin. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2007.
Sjamsuni. Vihara Avalokitesvara Candi Dalam Episode Kerukunan Umat
Beragama. Pamekasan: t.p., 2004.
Tanumihardja Effendie, Sapardi, Heryono, M. Kom. Buku Ajar Mata Kuliah
Wajib Umum Pendidikan Agama Buddha. Jakarta: Direktorat Jendral
Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2016.
Tanggok Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN jakarta, 2009.
Tek Hoay, Kwee. Avalokitesvara: Kwan Im Posat. Tangerang: Yayasan Vihara
Padumuttara, 1976.
Ubaidillah Achmad, dan R. Adang Nofandi, Gerakan dan Aktivitas Agama
Buddha: Majelis Majubuthi di Kota Tangerang. Jakarta: Kementrian
Agama, t. th.
Varma, S. P. Modern Political Theory: A Critical Survey. India: Vicas Publishing
House Pvt Ltd, 1975.
Zainul Bahri, Media. Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Zarkasi, Effendi. Unsur Islam dalam Pewayangan. Jakarta: Alfa Daya, 1981.
Zubairi, A. Dardiri. Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar
Kebudayaan Madura. Surabaya: Adhap Asor, 2013.
Widyadharma, Maha Pandita Sumedha. Dhamma Sari. Jakarta: Yayasan
Kanthaka Kencana, 1990.
Jurnal, Laporan, Skripsi dan Kamus:
Abdi Zainal Mujahidin, Bahan Ajar IPS Kelas VII SMP Negri 3 Pademawu Kab.
Pamekasan, https://nanopdf.com/download/smp-negeri-3-pademawu-kab-
pamekasan-kartu-1-geografi_pdf# diakses Tgl, 13 Maret 2018.
Abdurrohman, Studi Perbandingan Hukum Karma Antara Agama Hindu dan
Agama Buddha (Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013)
Afif Amrullah, Islam di Madura, Jurnal Islamuna, Vol. 2, No. 1,(2015)
Jamal al-Din Muhammad b. Makram b. Manzur, Lisan al-Arab, Vol. 3, (1997)
Dita Sopia Sari, Masjid Dan Vihara: Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam
Dan Buddha Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kesemen Kota
Serang Provensi Banten (Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN
Syarif Hiduatullah Jakarta, 2017)
Felicia Tania K, Lintu Tulistyantoro, Linggajaya Suryanata, “Studi Ikonografi
Panofsky Pada Ornamen Interior Vihara Avalokitesvara Pamekasan,
Madura,” JURNAL INTRA, Vol. 5, No. 2, (2017)
Human Rights Watch, Atas Nama Agama Pelanggaran terhadap Minoritas Agama
di Inoensia, 2013. Ra'up, Strategi Dakwah Kyai Lemah Duwur (Skripsi Fakultas Dakwah, IAIN
sunan
Ampel Surabaya, 1996), h.
63.http://digilib.uinsby.ac.id/11521/3/Bab%204.pdf
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), "Laporan Tahunan
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016"
https://www.komnasham.go.id/files/20170324-laporan-tahunan-
kebebasan-beragama-$IUKH.pdf (Diakses pada 13 November 2017)
Konsep Desain Interior Asram Lembah Bayam Kiriman I Made Merta Kesuma,
Mahasiswa PS. Desain Interior ISI Denpasar. http://repo.isi-
dps.ac.id/1199/1/Konsep_Desain_Interior_Asram_Lembah_Bayam.pdf,
diakses sabtu, 21 April 2018.
LaporanTahunan Kebebasan Beragama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia (Komnas HAM, 2016)
Nurman Kholis, “Vihara Avalokitesvara Serang: Arsitektur dan Peranannya
dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Banten, “Jurnal
LEKTUR Keagamaan, Vol. 4, No. 2, (2016).
Rahman, Abdur. “Bentuk Kerukunan Antara Umat Beragama di Vihara
Avalokitesvara Candih Polangan Galis Pamekasan Madura Tahun 1959-
1962”, JURNAL AVATAR, e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 6, No. 2,
(2018).
Tri Ratna Buddhist Center Indonesia, http://e-
journal.uajy.ac.id/8799/2/1TA12595.pdf diakses tgl 13 maret 2018.
http://www.sapisonok.com/2015/02/28/tradisi-upacara-tahunan-di-madura-petik-
laut-di-sebut-juga-rokat-tase. Diakses pada tanggal 18-11-2018.
https://studis2farmasi2a2016kel11.wordpress.com/2016/06/05/corak-
keberagaman-masyarakat-muslim-di-madura. Diakses pada tanggal 18-11-
2018
Lampiran I
PEDOMAN INTERVIEW
A. Diajukan Kepada Pengurus dan Pimpinan Serta Komunitas Vihara
Avalokitesvara Pamekasan
1. apa pengertian dari vihara? Makna dari asal katanya seperti apa?
2. apakah vihara fungsinya hanya sebagai tempat ibadah? Kalau ada yang lain
apa saja?
3. apakah ada perbedaan antara vihara dengan tempat-tempat ibadah agama
lain? Maksudnya adakah keunikannya?
4. sejak kapan vihara ini berdiri?
5. Masyarakat sekitar yang dekat dengan vihara ini bergama apa saja?
6. Bagaimana hubungan antara para pemimpin atau biksu dengan Masyarakat
Non Buddha sekitar vihara ini?
7. Bagaimana pandangan vihara ini/ Bapak terhadap Agama Lain?
8. Apakah vihara ini sering mendapatkan ancaman dari masyarakat sekitar
yang beragama Non Buddha?
9. Seperti apa contoh-contoh sosial hubungan interaksi antara vihara ini dan
Masyarakat sekitar?
10. Apakah pernah terjadi di vihara ini kasus Intoleransi? jika pernah, seperti
apa sejarahnya?
11. Adakah penganut Agama ini pindah keyakinan? Alasannya!
12. Seperti apa bentuk interaksi ekonomi antara vihara ini dan penganutnya?
13. Seperti apa bentuk interaksi ekonomi vihara ini dengan masyarakat sekitar?
14. Apakah vihara ini melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap para
penganutnya?
15. Lalu apakah juga vihara ini melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap
orang-orang Non Buddha?
16. Apakah boleh dalam agama buddha berinteraksi secara ekonomi dengan
orang-orang Non Buddha? Seperti apa ajarannya!
17. Bisa di Jelaskan seperti apa saja tradisi keagamaan yang sering di lakukan
di Vihara ini?
18. Di antara tradisi ini adakah yang bersifat sosial yang melibatkan seluruh
masyarakat?
19. Tradisi/ Budaya vihara ini Bagaimana caranya untuk tetap eksis dan di
terima oleh penganut Non Buddha?
20. Bagaimana eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di Vihara
Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan?
21. Bagaimana cara mereka mempertahankan eksistensi tersebut di tengah
kaum mayoritas penganut agama Islam?
B. Diajukan Kepada Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Serta Masyarakat
Sekitar Vihara Avalokitesvara Pamekasan
1. Apa yang anda tahu tentang vihara Avalokitesvara?
2. Apakah anda punya kenalan dengan orang-orang Buddha di Vihara itu?
Kalau ada bagaimana hubungan anda dengan orang itu?
3. Apakah dengan keberadaan Vihara ini anda merasa terganggu?
4. Sejauh yang anda tahu bagaimana pandangan keyakinan agama anda
terhadap agama lain, contohnya terhadap penganut agama Buddha Vihara
ini?
5. Apakah anda pernah terlibat dalam acara keagamaan vihara itu? Kalau
pernah acara seperti apa itu?
6. Apakah anda ingin vihara itu di bubarkan saja? Kalau ingin alasannya
apa? Kalau tidak alasannya apa?
7. Apakah menurut anda boleh berteman akrab dengan orang-orang buddha
di vihara itu?
8. Di Dunia ini agama sangat banyak, apakah menurut anda memang harus
seperti itu?
9. Bagaimana eksistensi kaum minoritas penganut Agama Buddha di Vihara
Avalokitesvara di Kabupaten Pamekasan?
10. Bagaimana cara mereka mempertahankan eksistensi tersebut di tengah
kaum mayoritas penganut agama Islam?
Lampiran II
Hasil Interview Pengurus dan Pimpinan Serta Komunitas Vihara
Avalokitesvara Pamekasan
Istilah kata Vihara itu adalah nama tempat, seperti musholla, masjid,
gereja, pure. fungsinya tempat ibadah atau berdoa untuk agama budha. Dalam
agama budha yang disebut vihara itu tempatnya besar sepeerti masjid sedangkan
kalo yang kecil namanya kitea seperti musholla, sedangkan vihara ini komplit
tempat ibadah harus ada, tempat tidurnya biksu ada pokok sarana-sarana yang
lengkap itu namanya vihara, kalo kecil namanya kitea. perbedaan vihara dgn
tempat lain adalah pada umumnya hampir sama saja seperti gereja ada pasturan
yg besar ada misya biarawan kalo di islam seperti pesantren. 3 abad kira2 1700.
Karena di temunya arca di buat tempat pemujaan acra dewi kwan im. Arti vihara
avalokitesvara berasal dari bahasa sang sakerta kalo di terjemahkan bhs. Indonesia
adalah welas asih kalo dalam bahasa mandarin kwan im artinya sama. Sejarhnya
bermacam2 bermula dari jamboringin yang di proppo mau membangun kerajaan
ngak jadi krn arca2 yg mau di angkut kesana ngak bisa terangkat dan terlantar di
tepi pantai ini itu kan krimian dri mojopahit dulu mojopahit ini kan punya wilayah
nusantara raja2 kecil ini di bawah mojopahit krn mau membuat kerajaan patung2
di kirm kesana tapi tidk terlaksana waktu mojopahit masih jaya abad 14 sekitar
600 thn yg lalu, terus masyarakat madura sudah tidak menganut agama budhha
krn sudah menganut agama islam dan tidak ada orang yang mau merawatnya
akhirnya tertimbun tanah. Terus sekitar abad 17 ada pak tani itu mencangkul kena
batu itu di angkat kok ada patung kebetulan di sekitar sini banyak masyarakat
tionghoa tinggal dilihat ada patung dewi kita taunya dewi kwan im jadi di anggap
dewi kwan im terus di naiknya arcana di bikin rumahnya di bikin tempat
pemujaan untuk sembahyang asal mulanya yang di proppo itu namanya candi
burung krn tdk jadi. Penemu pertama arca ini pak burung.
Kebanyakan vihara2 menghadap keselatan. Meskipun vihara di tiongkok
menghadap keselatan di mana2 menghap selatan tp ada juga kalo vihara ini dewi
kwam im menghadap keselatan apa karena pantai selatan itu patokannya tp kalo
yang lain lain hadapnya juga sama yang di suka bumi dewi kwam im nanghai itu
di tepi laut juga menghadap selatan, kalo yg tuban menghadap utara karena
dewanya kwan kong. Tata letaknya yang pertama itu harus sembahyang kepada
tuhan yang maha esa kedua dewi kwan im ketiga sam po hud keempat bi lik hud.
Kenapa setelah tuhan yg maha esa dewi kwan im karean dia sebagai tuan
rumahnya. Karean setiap klenteng itu tidak sama tergantung tuan rumahnya yang
terpenting itu tuhan yang maha esa. Kalo di tuban kwan kong disini ada juga
kwan kong tapi bukan tuan rumah. Kalo di tuban itu kwan kong dewa utama
sedangkan disini dewa utamanya dewi kwan im.
Potret kehidupan penganut agama budha
Ada tp tdk di data. Cuma umat budha di pemekasan munkin ada 50 kk.
Orang itu umpanya pergi ke masjid masa di data. Jumlah penganutnya lihat2
perayaannya kalo perayaannya besar banyak yang datang. Penganutnya dari
mana2 ada yang dari luar pulau, jakarta, semarang. Dan tidak ada pergolongan
sama saja. Kita kalo ada perayaan sembahyangnya bareng kaya berjamaah, kalo
hari2 sendiri2. Kehidupan biksu di tanggung umat ditanggung tempat biksu itu
kan pindah2, soalnya biksu itu terbatas jarang yang bisa menjdi biksu krn
pantangannya berat. tergantung amal ibadahnya seorang biksupun belum tentu
bisa masuk nirwana.
Pengertian nirwana adalah sudah terbebas jadi kalo misalnya orang bilang
surga tempat yg indah2 banyangannya kalo nirwana itu udah bebas artinya tidak
akan lahir di alam apapun, seperti sang budha itu di katakan nirwana tidak
tumimbal lahir lagi tidak ada di suatu alam. Kalo kita jadi dewa itu msih ada alam
dewa masih bisa turun menjadi manusia, binatang. Tapi kalo yang namanya
tingkat kebudhaan itu sudah mencapai kesempurnaan itu terbebas tidak akan
tumimbal lahir lagi. Artinya budha itu kesadaran sempurna kita saja bisa jadi
budha asalkan terbebas dari hukum karma itu sudah tidak masuk suatu alam.
Nibbana bahasa pali. Pali itu tempat.
Agama budha memandang kehidupan ini
Kita di beri hidup untuk memperbaiki karma supaya berbuat baik untuk
naik tingkat, dalam agama budha itu perbanyaklah berbuat baik hindarilah berbuat
jahat, agar karmanya juga baik. Biku asin binarakita, biku giri, biku teja kunyu
pernah membina di vihara ini.
Jumlah penganut vihara dari masa kemasa
Kalo secara nasional mungkin semakin banyak yaa kalo yang di lokal
soalnya gini generasi muda rata-rata kebayakan kalo sudah kuliah jarang kembali,
(merantau). Semua itu kita kan ingin hidup lebih baik, banyak cerita salah satunya
krn tidak punya keturunan, pengen cepet dapat jodoh, ingin punya rumah setelah
sembahyang ke vihara ini dapat dikabukan keinginannya, bhs. Maduranya
(mandhih).
Peran pak kosala mahinda di vihara ini sebagai ketua, biografi pendidikan
: TK, SD, SMP Katolok, di bangkalan, SMA Katolik di malang, universitas ,
pemikiran ngak ada Cuma pernah masuk di inseklopedi di pamekasan dan di
anggap sebagai tokoh, tokoh budaya.
Masyarakat sekitar kebanyakan agama islam tapi ada juga agama katolik,
agama budha di candhih bagian barat. Disana banyak yang beragama tiong hoa
tapi beragama islam, sudah berbaur dgn masyarakat sekitar. Hubungan antara para
pemimpin dan biksu disini baik saja kita sepeti saudara disini sudah lama seperti
keluarga sudah.
Pandangan bapak terhadap agama lain.
Semua itu kan masing2 menjalankan ibadah menurut keyakinan masing2
seperti disini aja kan macam2 ada yang hindu ada yang muslih yaa silahkan saja.
Tidak ada ancaman dari non budha, interaksi sosoal disini banyak kalo ada acara
keisini, masyarakat kalo mau adain acara disini sering nonton pertujukan seperti
wayang. Tidak pernah terjad intoleransi. Orang intoleransi itu tidak mengerti. Ada
yang pindah keyakinan dari katolik ke kristen alasannya macam2 itu masing2
oarangnya. Kadang di ajak anaknya juga bisa, atau faktor keluarga dan keturunan
bisa mempengaruhi.
Ketahanan ekonomi
Disini sosial kan kalo agama kegiatan sosial ngak ada aksi mencari uang.
Sedangkan untuk masyarakat sekitar sering memberi bantuan, seperti kegiatan2
sosial, contohya jalan itu yang membuat dari vihara dan ada juga orang kampung
nimba air di vihara ini karena air di vihara ini rasanya tawar sedagkan di luar
vihara airnya asin. Tidak pernah memperdayakan ekonomi karena di vihara ini
yayasan sosial, jadi berlaku untuk umum dan untuk non budha juga tidak pernah
memperdayakan ekonomi. Dan di perbolehkan berinteraksi ekonomi dengan non
budha, dagang, beli tembako, beli garam itu kan individu, dan semua itu ada
aturannya dagang juga sama. Karena sama2 saling menguntungkan.
Tradisi dan budaya
Kita kalo perayaan misalnya hari ulang tahun kita adakan upacara, setelah
itu hiburan wayangan kadang reok kadang barongsai, setelah ritual selesai baru
hiburan. Iya ada seperti tempo hari kita adain acara besar seperti kirap (keliling)
kita undang vihara lain dengan patungnya juga, terus di arak (jalan/ pawai). Terus
naik perahu keliling laut sini itu perahunya punya nelayan sini kita sewa semua
terlibat sepeti parkir kita pinjam tempat. Sampai perahu orang talang sana di sewa
perahu nelayan sini ngak cukup. Yaitu kita sering adain acara selain ritual yaaa
sepeti wayangan, pokoknya kesenian tradisional kita adakan supaya tidak hilang
krn generasi muda itu sering banyakan nonton dangdut.
Hasil Interview Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Serta Masyarakat
Sekitar Vihara Avalokitesvara Pamekasan
Vihara itu tidak mempengaruhi lingkungan, akan kelompok tidak
memperngaruhi bahwa islam tidak mengikuti dan tidak ada yang mengajak karena
orang2 di sini tidak ada yang suka. Banyak orang bilang di madura kota santri tapi
ada vihara. Padahal pesantren dekan malah satu desa. Cuma di sana tidak pernah
menyinggung vihara dan disini juga tidak pernah menyinggung pesantren. Dan
yang datang ke vihara itu kebanyakan orang luar, dan itu memang alirannya yang
datang setiap profensi juga ada. ada orang madura sendiri itu mengatakan tidak
meu menyembah batu karana seperti orang nasrani. Dan ada juga yang
mengatakan jangan seperti itu aku sendiri agama islam tidak pernah berkata
seperti itu.
Pak susianto beragama islam tapi sebelumnya dari embah dari keluarganya
dulu itu non islam. Cuama setelah punya anak semua anak2nya di antarkan ke
langgar, anak2nya semua yang pintar ngaji disini yang orang cina itu semuanya
ngaji ke langgar, alasannya kenapa semua keturunannya di bawa ke langgar? Saya
orang cina bukan orang islam bagaimana saya mau belajar islam kalau saya sudah
tua mau belajar juga sudah tidak bisa jadi lebih baik saya mengantar anak2 sy
untuk belajar sendiri di langgar. Perbuatan baik itu bukan Cuma dari ucapan tapi
dari tindakan, buktikan dan tunjukkan.
Cerita vihara itu katanya hanya mitos Cuma secara logika mungkin begini
dulu waktu masih pemerintahan kerajaan mojopahit batu yang ada di sini di
selamatkan dari penjajahan bahwa patung yang di selamatkan itu patung yang
untuk disini dan tangerang kira2 begitu, katanya di tangerang ada juga batunya
yang di selamatkan dari penjajahan belanda karena katanya mau diambil semua
oleh belanda itu. Dulu disini sungai besar dan disini tempat pemberhentian
perahu. Dan dulu di sungai ini banyak buayanya. Mungkin batu itu tidak ada yang
mau menerimanya terus patung itu di buang di sungai ini. Dan akhirnya di
temukan oleh masyarakat sekitar dan awalnya patung itu mau di tempatkan di
daerah tejah yang di namakan candi burung dan sekarang secara umum proppo.
Awal mula di namakan candi burung itu karena candi itu di bawa kesana mau di
bangun di sana tapi tidak jadi karan pada saat mau di angkat tidak ada yang kuat
padahal sudah rame rame mengangkatnya tetap tidak bisa di angatnya ukuran
candi/patung itu seperti orang dewasa. Dan setelah itu disini ada yang punya
tempat candi itu di rumahnya dan disuruh bawa ke rumahnya heranya setelah
candi itu di angat oleh satu orang bisa terangkat satu orang bisa kuat dan di
tempatkanlah di rumah itu, dulu rumahnya itu paling besar di daerah sini. Nama
yang punya rumah besar itu cekuy. Ceritanya juga candi/patung itu mengeluarkan
darah saat tangannya di potong mau di buat ulekan. Pertamanya candi itu di
temukan oleh orang yang mencari kepiting. Masalah cerita candi itu
mengeluarkan darah kurang tau pasti krn itu certa dulu, Cuma kita hanya
meyakini bahwa candi/patung itu batu asili batu hitam dari kerajaan mojopahit.
Dan dulu juga patung itu seperti mempunya kekuatan mistis dimana kalo ada
binatang yang terbang di atasnya bisa jatuh dan langsung mati memang di daerah
ini dulu juga ada makam orang wali atau di sebut pujuk, tp sekarang sudah tidak
ada lagi, kenapa dulu bisa seperti itu krna itu hanya menandakan kalao orang itu
wali orang terhormat yang patut di hormati.
Sekarang vihara itu bisa megah dan luas karena itu sudah di lepas oleh
pemilik pertamanya dan punya yayasan. Kira 2 hektar. Di jadikan yayasan yang
punya orang pamekasan yang punya toko motor sinar baru.
Pak susianti kenal dengan pak kosala, selaku tokoh kita harus berfikir
denga adanya vihara itu kita bersyukur karan desa saya polagan, candi bisa di
kenal banyak orang dengan adanya vihara itu. Jadi kita merasa memiliki dan di
sana juga merasa memiliki lingkungan. Malahan orang2 yang kerja di vihara itu
orang2 islam semua masih termasuk ipar2 saya. Dan itu sebenarnya sudah banyak
tambahan jd itu sebenarnya hanya mengharap tamu, yang di harap adalah mengisi
kas namanya juga yayasan. Dan saya juga sering kesana biasanya sore2.
Hubungan sy denga pak kosala baik. Dan mengajak anak2 muda bermai basket di
vihara karena ada lapangannya, saya sebagai pelatihnya. Saya di sana sebelumnya
permisi dulu dan jadwalnya sya minta harinya sudah ada persetujuan, jadi hari
yang sudah masuk itu udah tanggungan jadi sy kalo berangkat harus lebih awal
dan pulangnya lebih akhir. Soalnya di sana sy menjga takut ada kerusakan. Dan
pertamanya vihara pernah membantu seperti bal basket. Dengan adanya vihara ini
yang di ada lapangan basketnya jadi orang candi bisa main basket dan bisa
terkenal karena bisa main basket.
Terus dengan keberadaa vihara itu masyarakat merasa tidak terganggu
biasa aja tidak ada orang sekitar itu terpengaruh oleh vihara terhadap keibadaan.
Sya memandang agama lain biasa biasa saja karena saya hanya menjalankannya
apa yang saya punya, apa yang saya pake atau apa yang saya yakini. Dan saya
menjalankan ibada dan ibadah tidak memikirkan ada vihara, gereja dll. Jika ada
kegiatan sya tidak pernah di undang, walaupun hadir tidak pernah di sapa.
Padahlah dari istrinya ada keturunan aliran tioghoa, Cuma mungkin sekarang
udah di buang karena itu sudah bukan kelompoknya. Di buang karena masuk
islam. Jika sya mengadakan acara dari vihara tidak pernah di undang juga.
Kalaupun di sana mengadakan acara sejid acara ke agamaan masyarakat sekitar
atau lingkungan yang dekat dengan vihara tidak di undang. Tapi kalau butuh
bantuan di panggil untuk bekerja dan di beri bayaran dan harus dabel, misalkan
pertamanya di bayar 50k itu harus 100k begitu, seperti minta tempat parkir. Kalau
dalam kegiatan agamanya tidak di undah tapi kalo acara keluarga dari pak kosala
semua masyarakt sekitar di undang. Seperti memperingati meninggalnya dari
leluhurnya kalau sudah sampai waktunya. Di acara hari imlek itu kita tidak di
undang dan tidak hadir. Imlek itu seperti penentuan tanggal hari. Masyarakat
sekitar hadir kesana hanya karena ingin melihat pertunjukan semisal perjukan
barongsai dll. Dan jika mengadakan acara itu hanya sebatas acara saja tidak ada
yang lain seperti menyebarkan keyakinannya, kalau di islam kita kan khotbah dan
di sana tidak ada yang seperti itu kalo acara hiburan ya hiburan aja begitu. Dan
saya melihat kesana melihat orang yang bawa dupa sambil lompat2 dan menurut
saya orang yang seperti itu bagus kerena ketimbang orang yang duduk sambil
membicarakan orang lain kan lebih baik begtu. Soalnya kita juga sama2
menyembah batu kakbah itu emang bukan batu. Yang penting kita tujuannya sama
yaitu tuhan yang mahas esa.
Dulu pernah ada yang ingin membubarkan vihara itu kita di beri kertas
suruh di isi untuk tiap2 rumah dan akhirnya ada orang awam ke rumah sy dan
bertanya kira2 gimana apakah setuju untuk membubarkan vihara. Dari
lingkinkungan kita tidak setuju jadi jika kalian mau membubarkan vihara itu maka
kaliah harus berhadapan dulu dengan lingkungan karena lingkungan sudah merasa
memiliki vihara. Karena lingkungan juga merasa punya hutang budi sepeti dengan
adanya jalan yang sekarang ini kalau bukan berkat vihara mungkin nasib kita
seperti apa bukan begitu. Dan alasan orang yang ingin membubarkan vihara itu
adalah ingin tau seperti apa keberadaan vihara itu. Untuk apa juga orang ibadah
disini tidak merasa terganggu malah kita kalau butuh bantuan kita bisa menta
bantuan ke vihara dan vihara membantunya kalau dari vihara tidak perna minta
bantuan karena disana sudah punya. Bantuan untuk vihara itu adalah keamanan
vihara.
Dan berteman dengan orang budha bagus atau berteman dengan non
muslim, dari pada kita bermusuhan jadi kita juga bisa menjalin hubungan yang
baik. Ibaratnya begini misalkan kita bertani kalau mau beli pupuk tapi yang
menjual pupuknya orang cina.
toleransi adalah akidah dalam beragama. “Pengakuan adanya kekuatan
Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai
ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Oleh
sebab itu, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak
menyeleweng dari fitrahnya. Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan
membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang
termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari
wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber
dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli,
memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah:
Menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati, menunjuki manusia kepada
kebahagiaan hakiki, dan mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau
itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut
(ru’bah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar agama. Al-din (agama)
adalah aturan-aturan atau tatacara hidup manusia yang dipercayainya bersumber
dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Lampiran III
Daftar Informan di Vihara Avalokitesvara Pamekasan
1. Nama :Kosala Mahinda
Umur :42 Tahun
Status :Ketua Yayasan Vihara Avalokitesvara
2. Nama :Adhi
Umur :47 Tahun
Status :Komunitas Tionghoa
3. Nama : Imam Isa Santosa
Umur :61 Tahun
Status :Ketua Litang Vihara Avalokitesvara
4. Nama :Sappraji Sappadasa
Umur :58 Tahun
Status :Komunitas Vihara Avalokitesvara
5. Nama : Drs. K. H. Salehoddin
Umur :46 Tahun
Status :Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Qulub Desa Polagan
6. Nama : Bapak Susianto
Umur :47 Tahun
Status :Tokoh Masyarakat Dusun Candih
7. Nama : Novem
Umur :33 Tahun
Status :Satpam di Vihara Avalokitesvara
8. Nama :Abdullah
Umur :35 Tahun
Status :Pekerja di Vihara Avalokitesvara
9. Nama :Cipto
Umur :31 Tahun
Status :Satpam di Vihara Avalokitesvara
10. Nama :Gunawati
Umur :40 Tahun
Status :Komunitas Vihara Avalokitesvara
Lampiran IV
Dokumentasi Wawancara Penelitian di Vihara Avalokitesvara dan Tokoh
Masyarakat Dusun Candih.
Top Related