Manajemen Produksi dan Operasi Study Tour PT Dirgantara Indonesia

24
Manajemen Produksi dan Operasi Study Tour PT Dirgantara Indonesia Pesawat merupakan sarana transportasi yang memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi dan pertahanan, mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit untuk diakses tanpa sarana transportasi yang memadai. Dari kondisi tersebut muncul pemikiran bahwa sebagai sebuah negara kepulauan Indonesia berada dalam posisi untuk memiliki industri maritim dan penerbangan. Hal ini yang mendorong lahirnya industri pesawat terbang di Indonesia. Gatotkaca adalah tokoh yang sangat legendaris dalam dunia pewayangan. Konon Gatotkaca adalah tokoh yang asli diciptakan oleh dunia pewayangan Indonesia yang dalam cerita Mahabrata sebenarnya tidak ada. Kepopuleran tokoh Gatotkaca sudah cukup menggambarkan bahwa sudah sejak lama orang Indonesia ingin memiliki kemampuan untuk terbang. Maka tidak heran jika kemudian industri penerbangan di Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum masa kemerdekaan. Pada masa kolonial Belanda, penguasa waktu itu tidak memiliki program perancangan pesawat terbang. Mereka

Transcript of Manajemen Produksi dan Operasi Study Tour PT Dirgantara Indonesia

Manajemen Produksi dan Operasi

Study Tour PT Dirgantara Indonesia

Pesawat merupakan sarana transportasi yang memiliki

arti penting bagi pembangunan ekonomi dan pertahanan,

mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah Negara

kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit untuk

diakses tanpa sarana transportasi yang memadai. Dari

kondisi tersebut muncul pemikiran bahwa sebagai sebuah

negara kepulauan Indonesia berada dalam posisi untuk

memiliki industri maritim dan penerbangan. Hal ini yang

mendorong lahirnya industri pesawat terbang di

Indonesia.

Gatotkaca adalah tokoh yang sangat legendaris dalam

dunia pewayangan. Konon Gatotkaca adalah tokoh yang

asli diciptakan oleh dunia pewayangan Indonesia yang

dalam cerita Mahabrata sebenarnya tidak ada.

Kepopuleran tokoh Gatotkaca sudah cukup menggambarkan

bahwa sudah sejak lama orang Indonesia ingin memiliki

kemampuan untuk terbang. Maka tidak heran jika kemudian

industri penerbangan di Indonesia sudah tumbuh jauh

sebelum masa kemerdekaan.

Pada masa kolonial Belanda, penguasa waktu itu tidak

memiliki program perancangan pesawat terbang. Mereka

hanya melakukan serangkaian kegiatan yang berkaitan

dengan pembuatan lisensi serta evaluasi teknis dan

keselamatan untuk semua pesawat terbang yang beroperasi

di wilayah Indonesia.

Pada tahun 1914, di Surabaya didirikan lembaga

penguji penerbangan yang bertugas dalam pengkajian

kinerja pesawat untuk pengoperasian di daerah tropis.

Lalu pada tahun 1930 dibentuk seksi produksi pesawat

terbang yang menghasilkan pesawat Canadian Avro-AL,

sebuah pesawat yang bodinya terbuat dari kayu lokal.

Untuk selanjutnya fasilitas produksi seksi ini

dipindahkan ke Lapangan Udara Andir (sekarang Bandara

Husein Sastranegara). Pada periode tersebut penerbangan

cukup banyak diminati dengan adanya beberapa pesawat

yang dibuat oleh perorangan.

Pada tahun 1937, atas permintaan seorang pengusaha

lokal, beberapa pemuda Indonesia yang dipimpin oleh

Tossin membuat pesawat terbang di sebuah bengkel yang

terletak di Jl. Pasirkaliki, Bandung. Mereka menamai

pesawat buatanya dengan nama PK. KKH. Pesawat ini

pernah mengejutkan dunia penerbangan karena telah

menunjukkan kemampuannya untuk terbang ke Belanda dan

daratan Chine vice versa. Sebelumnya, sekitar tahun

1922, Indonesia bahkan telah terlibat dalam modifikasi

pesawat di sebuah rumah pribadi di Jl. Cikapundung,

Bandung.

Pada tahun 1938, atas permintaan LW. Walraven dan MV.

Patist, pesawat PK. KKH didesain ulang menjadi pesawat

yang lebih kecil dan diproduksi di sebuah bengkel yang

berlokasi di Jl. Kebon Kawung, Bandung.

Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada

tahun 1945, kesempatan bagi Indonesia untuk mewujudkan

impian memproduksi pesawat buatan sendiri segera

terbuka luas. Sejak saat itu orang Indonesia mulai

sangat menyadari bahwa sebagai sebuah negara kepulauan

Indonesia selalu akan membutuhkan sarana transportasi

udara untuk kelancaran roda pembangunan, pemerintahan,

ekonomi dan pertahanan nasional.

Pada tahun 1946, Biro Perencanaan & Konstruksi

didirikan oleh TRI-Udara Angkatan Udara Indonesua

(sekarang TNI-AU). Lalu dengan disponsori oleh Wiweko

Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, sebuah

lokakarya khusus didirikan di Magetan, dekat Madiun,

Jawa Timur. Dari bahan sederhana berupa sejumlah

Zogling, mereka membuat pesawat ringan NWG-1 (pesawat

layang). Pembuatan pesawat ini juga melibatkan Tossin

yang dibantu oleh Ahmad dan kawan-kawan. Enam unit

pesawat jenis itu telah dibuat dan digunakan untuk

mengembangkan kepentingan penerbangan Indonesia dan

pada saat yang sama memperkenalkan dunia penerbangan

untuk calon pilot yang dipersiapkan untuk mengikuti

pelatihan penerbangan di India.

Kemudian pada 1948 mereka berhasil membuat mesin

pesawat pertama, yang merupakan modifikasi dari mesin

Harley Davidson, WEL-X. Mesin ini dirancang oleh Wiweko

Supono dan pesawat buatan mereka selanjutnya dikenal

dengan nama RI-X. Pada era ini ditandai dengan

munculnya sejumlah klub Aeromodelling. Tapi mereka

terpaksa menghentikan kegiatan ini dikarenakan

timbulnya pemberontakan komunis di Madiun dan agresi

Belanda.

Pada periode ini kegiatan penerbangan di Indonesia

lebih ditekankan sebagai bagian dari revolusi fisik

untuk pertahanan negara. Pada masa ini juga lahir

pesawat-pesawat yang dimodifikasi untuk misi tempur.

Agustinus Adisutjipto adalah tokoh yang sangat berperan

dalam periode ini. Beliau telah merancang dan menguji

sendiri pesawat terbang hasil rancangannya pada medan

pertempuran udara yang sesungguhnya. Beliau

memodifikasi pesawat Cureng ke dalam versi serangan

darat.

Setelah masa Agresi Belanda berakhir, kegiatan yang

disebutkan di atas kemudian dilanjutkan kembali di

lapangan udara Andir (Bandar Udara Husein

Sastranegara), Bandung. Pada tahun 1953 kegiatan

tersebut dilembagakan menjadi Seksi Percobaan yang

memiliki 15 orang anggota. Seksi Percobaan berada di

bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara,

dipimpin oleh Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.

Berdasarkan desain Nurtanio, pada tanggal 1 Agustus

1954 seksi ini berhasil menerbangan prototipe pesawat

'Si Kumbang'. Sebuah pesawat terbang yang keseluruhan

konstruksinya sudah dibuat dari bahan logam dengan

kapasitas satu orang. Pesawat ini diproduksi sebanyak

tiga unit.

Pada 24 April 1957, berdasarkan keputusan Kepala

Staf Angkatan Udara Indonesia Nomor 68, Seksi Percobaan

itu ditambahkan ke dalam sebuah organisasi yang lebih

besar yang disebut Sub Depot Penyelidikan, Percobaan &

Pembuatan.

Pada tahun 1958, prototipe pesawat latih "Belalang

89" berhasil diterbangkan. Pesawat ini diproduksi

sebanyak 5 unit dan dimanfaatkan melatih calon pilot

pada Akademi Angkatan Udara dan Pusat Penerbangan

Angkatan Darat. Pada tahun yang sama, pesawat olah raga

"Kunang 25" diterbangkan. Tujuan dari pembuatan pesawat

ini adalah untuk memotivasi generasi muda di Indonesia

agar tertarik dalam bidang pembuatan pesawat.

Untuk meningkatkan pengetahuan dalam bidang industri

penerbangan, selama periode 1960 hingga 1964, Nurtanio

dan tiga orang Indonesia lainnya dikirim ke Far Eastern

Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina, salah satu

universitas penerbangan pertama di Asia. Setelah

menyelesaikan studinya, mereka kembali ke Bandung dan

bekerja untuk LAPIP (Lembaga Persiapan Industri

Penerbangan).

Sejalan dengan prestasi yang telah diperoleh dan

dalam rangka mengembangkan hasil yang sudah dibuat,

berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara

Indonesia No 488 bulan Agustus 1960, didirikanlah

Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga

ini diresmikan pada tanggal 16 Desember 1961 dan

bertugas untuk mempersiapkan pendirian industri

penerbangan dengan kemampuan untuk mendukung kegiatan

penerbangan nasional di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada tahun 1961 LAPIP

menandatangani perjanjian kerjasama dengan CEKOP,

industri pesawat terbang Polandia, untuk membangun

industri pesawat terbang di Indonesia. Kontrak ini

meliputi pembangunan fasilitas manufaktur pesawat

terbang, pelatihan SDM. Selanjutnya LAPIP berhasil

memproduksi pesawat di bawah lisensi yang bernama PZL-

104 Wilga yang kemudian dikenal sebagai Gelatik.

Pesawat Gelatik diproduksi hingga 44 unit ini digunakan

untuk mendukung kegiatan pertanian, transportasi ringan

dan aero-club.

Melalui Keputusan Presiden, KOPELAPIP (Komando

pelaksana Industri Pesawat Terbang) atau Eksekutif

Komando Persiapan Industri Penerbangan dan PN. Industri

Pesawat Terbang Berdikari didirikan pada tahun 1965.

Tapi sayang sekali, pada bulan Maret 1966 Nurtanio

meninggal dunia saat pengujian pesawat terbang. Untuk

menghargai kontribusinya yang berharga terhadap

pengembangan penerbangan di tanah air, KOPELAPIP dan

PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari kemudian

digabungkan menjadi LIPNUR (Lembaga Industri

Penerbangan Nurtanio). Dalam pengembangan selanjutnya

LIPNUR menghasilkan pesawat latih dasar yang disebut

LT-200. Dan lembaga ini difungsikan untuk purna jual-

jasa, pemeliharaan, serta perbaikan & overhaul pesawat

terbang.

Pada tahun 1962, berdasarkan Keputusan Presiden,

didirikanlah Teknik Penerbangan ITB yang merupakan

bagian dari Departemen Mesin. Oetarjo Diran dan Liem

Keng Kie adalah perintis dari bagian penerbangan ini.

Kedua tokoh ini termasuk dalam Overseas Student

Scholarship Program. Pada wal 1958, melalui program

ini, sejumlah mahasiswa Indonesia dikirim ke luar

negeri (Eropa dan Amerika Serikat). Sementara itu

beberapa usaha lain dalam merintis pendirian industri

pesawat terbang juga telah dilakukan oleh seorang

pemuda Indonesia, BJ Habibie, dari tahun 1964 hingga

1970-an.

Lima faktor utama yang memimpin ke arah pendirian IPTN

adalah:

1. Ada beberapa orang Indonesia yang telah lama

bermimpi untuk membangun pesawat terbang dan

mendirikan sebuah industri pesawat terbang di

Indonesia.

2. Beberapa orang Indonesia yang memiliki penguasaan

ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun

pesawat dan industri pesawat terbang.

3. Beberapa orang Indonesia yang di samping menguasai

ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan

mereka juga berdedikasi tinggi untuk memanfaatkan

keahlian mereka untuk pendirian industri pesawat

terbang.

4. Beberapa orang Indonesia yang ahli di bidang

pemasaran dan penjualan pesawat baik untuk lingkup

nasional dan internasional

5. Kemauan politik dari Pemerintah

Integrasi menyelaraskan faktor tersebut di atas

telah melahirkan industri pesawat terbang IPTN dengan

fasilitas yang memadai. Itu semua diawali oleh seorang

Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) yang lahir di

Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936.

Beliau lulusan Aachen Technical High Learning, Aircraft

Construction Department, dan kemudian bekerja di MBB

(Masserschmitt Bolkow Blohm), industri pesawat terbang

di Jerman sejak tahun 1965.

Ketika BJ Habibie akan mendapatkan gelar doktornya

pada tahun 1964, beliau memiliki keinginan yang kuat

untuk kembali ke tanah air dan berpartisipasi dalam

program pembangunan bidang industri penerbangan di

Indonesia. Tapi pengelola KOPELAPIP menyarankan agar

beliau melanjutkan studinya sambil menunggu kemungkinan

membangun industri pesawat terbang. Selanjutnya pada

tahun 1966 saat Adam Malik menjabat sebagai Menteri

Luar Negeri Indonesia dan berkunjung ke Jerman, beliau

meminta Habibie untuk menyumbangkan pikirannya pada

realisasi industri penerbangan di Indonesia.

Menyadari bahwa upaya mendirikan sebuah industri

pesawat terbang tidak akan mungkin dilakukan olehnya

sendiri, Habibie memutuskan untuk mulai merintis untuk

mempersiapkan tenaga terampil yang tinggi pada waktu

yang ditentukan bisa setiap saat digunakan oleh

industri pesawat terbang masa depan di Indonesia.

Habibie segera membentuk tim sukarela. Dan pada awal

1970 tim ini dikirim ke Jerman untuk mulai bekerja dan

belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

penerbangan di HFB / MBB, di mana Habibie bekerja,

untuk melaksanakan perencanaan awal mereka.

Pada periode yang sama, kegiatan serupa juga

dipelopori oleh Pertamina dalam kapasitasnya sebagai

agen pembangunan Indonesia. Dengan kapasitasnya

Pertamina berhasil mendirikan Krakatau Steel Industri.

Ibnu Sutowo menyumbangkan pemikirannya bahwa proses

transfer teknologi dari negara maju harus dilakukan

dengan konsep yang jelas dan berorientasi nasional.

Pada awal Desember 1973, Ibnu Sutowo bertemu dengan

Habibie di Dusseldorf, Jerman, di mana ia memberikan

penjelasan kepada Habibie tentang rencana pendirian

industri pesawat terbang di Indonesia. Hasil dari

pertemuan tersebut adalah penunjukan Habibie sebagai

Penasihat Utama Pertamina, dan ia diminta untuk segera

kembali ke Indonesia.

Pada awal Januari 1974, langkah yang menentukan

pendirian industri pesawat terbang telah diambil.

Realisasi pertama adalah pembentukan divisi baru yang

khusus dalam teknologi canggih dan teknologi

penerbangan. Dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf,

pada 26 Januari 1974, Habibie dipanggil oleh Presiden

Soeharto. Pada pertemuan tersebut Habibie diangkat

sebagai Penasehat Presiden di bidang teknologi. Ini

adalah hari pertama bagi Habibie untuk memulai misi

resminya.

Pertemuan-pertemuan ini mengakibatkan kelahiran ATTP

(Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina)

Divisi yang menjadi tonggak untuk pembentukan BPPT dan

bagian dari IPTN. Pada bulan September 1974, ATTP

menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi

dengan MBB Jerman dan CASA Spanyol untuk produksi

helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap NC-212.

Ketika upaya pendirian telah menunjukkan bentuknya,

ada masalah yang dihadapi oleh Pertamina yang

berpengaruh terhadap keberadaan ATTP, proyek dan

program industri pesawat terbang. Namun menyadari bahwa

Divisi ATTP dan proyeknya adalah sebuah kendaraan untuk

mempersiapkan Indonesia untuk 'lepas landas' pada

Pelita VI, Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan

pendirian industri pesawat terbang dengan segala

konsekuensinya.

Berdasarkan hal ini, berdasarkan Peraturan

Pemerintah No.12 tanggal 5 April 1976, penyusunan

industri pesawat terbang dibuat. Melalui peraturan ini

semua penyediaan aset, fasilitas dan potensi adalah

akumulasi dari aset Divisi ATTP milik Pertamina yang

telah disiapkan untuk pendirian industri pesawat

terbang dengan aset LIPNUR, Angkatan Udara Indonesia,

sebagai modal dasar bagi industri pesawat terbang.

Modal dasar ini diharapkan untuk mendukung pertumbuhan

industri pesawat terbang yang mampu menjawab semua

tantangan.

Pada tanggal 26 April 1976, berdasarkan Akte Notaris

No 15 di Jakarta, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio

secara resmi didirikan dengan Dr BJ. Habibie sebagai

Direktur Utama. Ketika sarana fisik industri ini

selesai, pada Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan

industri pesawat terbang ini. Pada tanggal 11 Oktober

1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berganti

nama menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara

atau IPTN.

Pada tahap ini cakrawala baru pertumbuhan industri

pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia baru

saja dimulai. Dan dalam periode ini juga semua aspek

infrastruktur, fasilitas, sumber daya manusia, hukum

dan peraturan, yang berkaitan dan mendukung keberadaan

industri pesawat terbang tersebut menjadi terorganisir.

Pada periode 1960-an dan 1970-an hal ini belum

dilaksanakan. Selain itu, industri mengembangkan

teknologi yang progresif dan konsep transformasi

industri yang nyata untuk memberikan hasil optimal

dalam upaya menguasai teknologi penerbangan dalam waktu

yang relatif singkat, 20 tahun.

IPTN memiliki pandangan bahwa transfer teknologi

harus dilaksanakan secara terpadu dan lengkap dan

mencakup perangkat keras, perangkat lunak serta

perangkat otak dimana manusia adalah inti. Manusia yang

memiliki kemampuan dan kemauan keras dalam bidang ilmu

pengetahuan, teori dan keahlian serta

mengimplementasikannya dalam kerja keras. Nurtanio

telah menerapkan filosofi transfer teknologi yang

disebut "Begin at the End and End at the Beginning".

Ini adalah filosofi untuk menyerap teknologi maju

secara progresif dan bertahap dalam suatu proses

integral dan didasarkan pada kebutuhan obyektif

Indonesia. Melalui filosofi ini kemudian dikuasai

secara menyeluruh, bukan hanya secara material tetapi

juga kemampuan dan keahlian. Filosofi ini juga

beradaptasi dengan setiap perkembangan dan kemajuan

yang dicapai oleh negara-negara lain.

Filosofi ini mengajarkan bahwa di dalam bangunan

pesawat tidak selalu dimulai dari komponen, tetapi

langsung mempelajari akhir suatu proses (pesawat yang

sudah dibangun), kemudian kebalikannya melalui tahapan

manufaktur komponen. Tahapan alih teknologi dibagi

menjadi:

* Tahap pemanfaatan teknologi yang ada / Lisensi

Program

* Tahap Integrasi Teknologi

* Tahap Pengembangan Teknologi

* Tahap Penelitian Dasar

Sasaran dari fase pertama adalah penguasaan

kemampuan manufaktur, dan pada saat yang sama

menentukan jenis pesawat yang memenuhi kebutuhan dalam

negeri, hasil penjualan digunakan untuk mendukung

kemampuan bisnis perusahaan. Ini dikenal sebagai metode

produksi yang progresif. Tahap kedua bertujuan untuk

menguasai desain serta kemampuan manufaktur. Tahap

ketiga adalah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

desain. Dan fase keempat adalah bertujuan untuk

menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung

pengembangan produk baru yang lebih baik.

Selama 24 tahun terakhir berdirinya, IPTN telah

mampu dan berhasil melakukan transfer teknologi

penerbangan canggih dan terbaru, kebanyakan dari

belahan bumi Barat, untuk Indonesia. IPTN telah

berpengalaman dalam desain, pengembangan, dan

manufaktur pesawat kecil untuk komuter regional

menengah.

Dalam menghadapi sistem pasar global yang baru,

Nurtanio merumuskan kembali dirinya untuk 'Nurtanio

2000' yang menekankan pada penerapan baru, berorientasi

bisnis, strategi untuk memenuhi situasi saat ini dengan

struktur baru. Program restrukturisasi meliputi

reorientasi bisnis, Perampingan dan menyusun sumber

daya manusia dengan beban kerja yang tersedia, dan

berdasarkan kapitalisasi pasar yang lebih terfokus dan

misi bisnis terkonsentrasi.

PT. Nurtanio kini menjual kemampuan di bidang

teknik, dengan menawarkan jasa desain untuk menguji

aktivitas, manufaktur, pesawat terbang dan komponen

non-pesawat, dan layanan purna jual.

Seiring dengan perkembangan berikutnya, nama IPTN

telah diubah menjadi PT. Dirgantara Indonesia yang

diresmikan pada tanggal 24 Agustus 2000 di Bandung oleh

Alm. KH. Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu menjabat

sebagai Presiden Republik Indonesia.

-Analisa Keputusan Manajemen Operasional PT. Dirgantara

Indonesia

Cikal bakal PT Dirgantara Indonesia sebenarnya telah

mulai muncul sejak masa awal kemerdekaan Indonesia.

Saat itu upaya perintisan dilakukan dengan peralatan

dan material yang cukup sederhana. Tercatat dalam

sejarah, pesawat pertama yang diterbangkan tahun 1948

di lapangan udara Maospati dengan nama RI-X WEL-1 hasil

rancangan Wiweko Soepono. Disusul tahun 1954, Nurtanio

Pringgoadisuryo pun berhasil merancang sebuah pesawat

dengan nama NU-200. Tidak hanya itu, badan yang

diprakarsai Nurtanio bernama Depot Penyelidikan,

Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang (DPPP) yang

didirikan Agustus 1961 telah mampu membuat pesawat

terbang eksperimental seperti Belalang (pesawat latih),

Si Kunang (pesawat olah raga), Kolintang dan Gelatik.

Pada tahun 1962 nama DPPP diubah menjadi Lembaga

Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) sesuai dengan

misi dan sasaran yang ingin dicapainya. Selanjutnya

pada tahun 1966 diubah lagi menjadi Lembaga Industri

Penerbangan Nurtanio (Lipnur) sebagai penghormatan

jasa-jasa Nurtanio yang meninggal saat uji terbang.

Fase pendahuluan perkembangan industri penerbangan

nasional kemudian memasuki tonggak pertama ketika aset

Lipnur (TNI AU) dengan ATTP (Pertamina) dilebur menjadi

Industri Pesawat Terbang Nurtanio, 23 Agustus 1976.

Industri ini menjadi salah satu kekuatan dirgantara

nasional sebab dari situlah sejarah industri pesawat

terbang modern selanjutnya dibangun untuk menghadapi

tantangan jaman serta dipacu percepatannya.

Pada periode ini juga, segala aspek baik

infrastruktur, fasilitas, sumber daya manusia, hukum

dan peraturan, beserta semua yang berkaitan dan

mendukung keberadaan industri pesawat terbang diatur

secara menyeluruh. Tanggal 11 Oktober 1985, PT Industri

Pesawat Terbang Nurtanio diubah menjadi PT Industri

Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) setelah melakukan

pembangunan berbagai fasilitas serta sarana dan

prasarana yang diperlukan. Industri ini kemudian

mengembangkan teknologi canggih dan konsep transformasi

teknologi yang memberikan hasil yang optimal sebagai

upaya untuk menguasai teknologi penerbangan dalam waktu

yang relatif singkat yaitu 20 tahun.

Berpegang pada filsosofi transformasi teknologi

“Begin at the End and End at the Beginning” IPTN telah

berhasil mentransfer teknologi penerbangan yang rumit

dan terbaru. IPTN secara khusus telah menguasai desain

pesawat terbang, rekayasa pengembangan serta manufaktur

pesawat komuter kecil dan sedang. IPTN bekerja sama

dengan pihak pabrikan melaksanakan pembuatan berbagai

jenis pesawat terbang, seperti C212 Aviocar, C235,

NBO105, NBK117, BN109, SA330 Puma, NAS332 Super Puma

dan Nbell412. Hal ini kemudian berlanjut pada

keberhasilan membuat pesawat N250 dan N2130.

Perjalanan sejarah IPTN kemudian memasuki masa-masa

sulit manakala krisis moneter yang menimpa Indonesia

sejak pertengahan tahun 1997 ternyata meluas ke arah

krisis multi dimensi yang meliputi bidang-bidang

ekonomi, sosial, budaya, hukum, akhlak dan hankam.

Dampaknya pada kehidupan masyarakat Indonesia sangat

besar, tidak terkecuali bagi kelangsungan IPTN. Dampak

krisis tersebut memaksa pemerintah menyurutkan dukungan

secara politis dan mengurangi suntikan dana yang

sebelumnya merupakan sendi tempat IPTN bergantung. Hal

inilah yang tidak diantisipasi oleh IPTN, diperparah

lagi dengan kondisi internal IPTN yang secara finansial

dan menejerial kurang mandiri.

Di tengah mulai memburuknya kondisi IPTN, Presiden

RI, KH. Abdurrahman Wahid pada tanggal 24 Agustus 2000

meresmikan perubahan nama menjadi PT Dirgantara

Indonesia. Perubahan nama tersebut dimaksudkan untuk

memberi nafas dan paradigma baru bagi perusahaan. Meski

persoalan yang timbul pun semakin rumit dan kompleks,

hal ini disebabkan volume bisnis jauh lebih kecil dari

sumber daya yang tersedia, pengaruh SP-FKK sangat besar

dalam pengelolaan perusahaann, budaya organisasi tidak

sehat, Direksi tidak berfungsi sebagaimana mestinya,

ketidakadaan modal kerja, beban gaji melebihi kemampuan

serta beban hutang yang masih besar (SLA & RDI). Upaya

penyelamatan PT DI akhirnya dilakukan didasarkan atas

beberapa fakta bahwa PT DI adalah aset nasional,

industri strategis yang mendukung kepentingan nasional

dan memiliki kemampuan kedirgantaraan.

-Produk

PT. Dirgantara Indonesia memfokuskan bisnisnya dari 18

menjadi 5 satuan usaha yaitu :

1. Aircraft

Memproduksi beragam pesawat terbang untuk memenuhi

berbagai misi sipil, militer, dan juga misi khusus.

Adapun produk yang dihasilkannya yaitu NC-212, CN-235,

NBO-105, Super Puma NAS-332, dan NBELL-412.

2. Aerostructure

Bergerak dalam bidang manufacturing pesawat terbang.

3. Aircraft Services

Dengan keahlian dan pengalaman bertahun-tahun, Unit

Usaha Aircraft Service menyediakan servis pemeliharaan

pesawat dan helikopter berbagai jenis, meliputi :

• Penyediaan suku cadang

• pembaharuan dan modifikasi srtuktur pesawat

terbang

• Pembaharuan interior

• Maintenance dan Overhaul

4. Engineering Services

Dilengkapi dengan peralatan perancangan dan analisis

yang canggih, fasilitas uji teknologi yang tinggi,

serta tenaga ahli yang berlisensi dan pengalaman

standar internasional, satuan usaha ini siap memenuhi

kebutuhan produk dan jasa bidang engineering.

5. Defence

Bisnis utama usaha ini meliputi produk-produk militer,

perawatan, perbaikan, pengujian, dan kalibrasi baik

secara mekanik maupun elektrik dengan tingkat akurasi

yang tinggi, integrasi alat-alat perang, produksi

beragam sistem senjata, antara lain FFAR 2,75” rocket,

SUT Torpedo, dll.

Kini, PT. Dirgantara Indonesia telah berhasil sebagai

industri manufaktur dan memiliki diversifikasi

produknya, tidak hanya bidang pesawat terbang, tetapi

juga dalam bidang lain, seperti teknologi informasi,

telekomunikasi, otomotif, maritim, militer, otomasi dan

kontrol, minyak dan gas, turbin industri, teknologi

simulasi, dan engineering services.

- Pemasaran Produk

Salah satu cara yang dilakukan oleh PT Dargantara

Indonesia adalah dengan memamerkan produk mereka pada

pameran-pameran industry pesawat terbang yang salah

satunya adalah pameran Indo Defence 2012 berlangsung 7-

10 November 2012 dan diikuti perusahaan-perusahaan

industri militer dari sekitar 50 negara, serta sejumlah

BUMN termasuk PTDI.

Pada pameran tersebut diwarnai dengan peningkatan

kerjasama PTDI-Airbus Military itu ditandatangani

Direktur Utama PTDI Budi Santoso dan Ignacio Alonso,

Wakil Presiden Senior Airbus Military bidang Komersil,

Strategi dan Hubungan Industri kawasan Asia, di

Jakarta. PTDI dan Airbus Military akan bekerja bersama

untuk memproduksi dan memasarkan NC212 upgrade ke

seluruh dunia dengan menawarkan pesawat terbang sipil

dan militer kelas kecil yang modern dan sangat

kompetitif.

Dari titik pandang Airbus Military, menurut Ignacio

Alonso, peningkatan status kerjasamanya dengan PTDI

bukti berikutnya tentang kepercayaan pihaknya pada masa

depan NC212 yang kompetitif ini dan menjanjikan di

banyak negara di dunia. Pesawat tersebut selanjutnya

akan ditawarkan kepada pelanggan sipil serta militer.

-Perekrutan Sumber Daya Manusia

Sistem pendukung keputusan calon penerimaan

karyawan baruini dibangun untuk dapat membantu pihak

pekerjaan PT Dirgantara Indonesia mengolah data

karyawan baru dan menghasilkan keputusan dengan cepat.

Sehingga apabila data yang dibutuhkan secara cepat,

maka waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses

pencarian data pun akan semakin cepat.

Dalam proses pembangunan sistem pendukung keputusan

calon penerimaan karyawan baru ini menggunakan metode

peneitian dengan jenis penelitian studi kasus pada

perusahaan, dimana teknik pengumpulan data yang

digunakan antara lain yaitu dengan teknik yang pertama

adalah observasi, untuk mengamati secara langsung

proses kerja yang dilaksanakan di lingkungan kerja,

teknik yang kedua adalah wawancara yaitu melakukan

dialog secara langsung dengan pihak yang berwenang di

PT Dirganatara Indonesia. Teknik yang terakhir yaitu

dengan studi literatur yang dilakukan dengan mencari

data atau teori yang berhubungan dengan permasalahan

yang sedang dihadapi baik melalui buku-buku ataupun

media internet yang banyak menyediakan informasi yang

berguna untuk melengkapi kebutuhan informasi yang

diperlukan.

Untuk teknik atau metode pengembangan ini

menggunakan metode analitycal hierarky proses,

sedangkan metode aliran data yang dipakai adalah

menggunakan metode terstruktur yaitu DFD(Data Flow

Diagram) dalam menggambarkan model fungsional dan ERD

(Entity Relationship Diagram) untuk menggambarkan model

data.