Makalah tentang Karangan Fiksi

39
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “KARANGAN FIKSI” Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian KARANGAN FIKSI atau yang lebih khususnya membahas bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, drama, dan sajak- sajak. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua. Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan karya tulis ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin. Penyusun

Transcript of Makalah tentang Karangan Fiksi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami

sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang

alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul

“KARANGAN FIKSI”

Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian

KARANGAN FIKSI atau yang lebih khususnya membahas

bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, drama, dan sajak-

sajak. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan

informasi kepada kita semua.

Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari

semua pihak yang bersifat membangun selalu kami

harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada

semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan

karya tulis ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai

segala usaha kita. Amin.

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul ..................................... i

Kata Pengantar..................................... ii

Bab I Pendahuluan ................................. 1

A. Latar Belakang ............................... 1

Bab II Pembahasan ................................. 2

A. Fiksi Sebuah Teks Prosa Naratif............... 2

B. Kajian Fiksi.................................. 3

C. Tema.......................................... 5

D. Cerita........................................ 7

E. Pemplotan..................................... 9

F. Penokohan..................................... 11

G. Pelataran..................................... 13

H. Penyudut Padangan............................. 14

I. Bahasa........................................ 16

J. Moral......................................... 18

Bab III Penutup.................................... 20

A. Kesimpulan.................................... 20

B. Saran......................................... 20

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, drama, dan

sajak-sajak ternyata cepat dikenali anak-anak. Pada

usia muda mereka mulai mengenali sifat-sifat

“sastra” serta unsur-unsur yang dengan teratur

selalu muncul kembali. Mereka mengenal puisi dalam

bentuki rima, sajak dolanan anak-anak, dan lagu-

lagu. Anak-anak balita suka bercerita dan lebih suka

lagi mendengarkan sebuah cerita atau dongeng. Dari

televisi mereka mengenal sebuah bentuk campuran

antara cerita dan drama. Mereka sendiri juga diajak

bermain drama atau pentas untuk anak-anak, dan

khusus di pulau Jawa mereka berkenalan dengan dunia

wayang dan watak-watak tertentu. Dan kemudian hari

mereka belajar membedakan antara cerita fiksi dan

laporan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi.

Dalam bab ini penulis berusaha menerangkan bahwa

memang masuk akal untuk memberikan tempat tersendiri

bagi sekelompok teks yang dapat kita namakan prosa

fiksi. Untuk menjelaskan seringkas-ringkasnya

tentang bahasa dan unsur moral dalam prosa fiksi.

Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa pengajaran

tentang bahasa yang ada dalam prosa fiksi perlu

diberikan secara tersendiri, tetapi ada juga alasan

untuk membaurkan pengajaran bahasa dan pengajaran

santra.

Dengan demikian penulis juga berharap agar para

pembaca materi tentang bahasa yang ada dalam prosa

fiksi yang akan diberikan dalam karya tulis ini

dapat mengerti tentang bahasa secara garis besar dan

dapat merujuk ke pengetahuan yang lebih dalam lagi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. FIKSI SEBUAH TEKS PROSA NARATIF

1. Pengertian dan Hakikat Fiksi

Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti

cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita

khayalan. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang

disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa,

dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada

karya nonfiksi bersifat faktual.

Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran

yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran

yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai

pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.

Misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama,

(dan bahkan kadang-kadang) logika, dan sebagainya.

2. Pembedaan Fiksi

a. Novel dan Cerita Pendek

Perbedaan novel dengan cerita pendek

(disingkat: cerpen) yang pertama (dan yang

terutama) dapat dilihat dari segi formalitas

bentuk, segi panjang cerita.

Kelebihan cerpen yang khas adalah

kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak-

jadi, secara implisit-dari sekedar apa yang

diceritakan. Di pihak lain, kelebihan novel

yang khas adalah kemampuannya menyampaikan

permasalahan yang kompleks secara penuh,

mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti

plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum

dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan

kompleks daripada unsur-unsur cerpen.

b. Novel Serius dan Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer

pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya

pembaca di kalangan remaja. Novel serius,

justru “harus” sanggup memberikan yang serba

berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna

sastra yang sastra.

3. Unsur-Unsur Fiksi

a. Intrinsik dan Ekstrinsik

Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-

unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.

Misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan,

tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa

atau gaya bahasa, dan lain-lain.

Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-

unsur yang berada di luar karya sastra itu,

tetapi secara tidak langsung mempengaruhi

bangunan atau sistem organisme karya sastra.

b. Fakta, Tema, Sarana Cerita

Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi

karakter (tokoh cerita), plot, dan setting.

Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita.

Dan sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan

(literary devices) adalah teknik yang

dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan

menyusun detil-detil cerita.

c. Cerita dan Wacana

Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif,

sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu

yang diekspresikan (Chatman, 1980:23). Cerita

terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya,

eksistensinya. Wacana, di pihak lain, merupakan

sarana untuk mengungkapkan isi.

B. KAJIAN FIKSI

1. Hakikat Kajian Fiksi

Merupakan pembendaan dari perbuatan mengkaji,

menelaah, atau menyelidiki (meneliti). Untuk

melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur

pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada

umumnya kegiatan itu disertai oleh kerja analisis.

Misalnya, analisis karya fiksi.

Dalam rangka memahami dan mengungkap

“sesuatu” yang terdapat di dalam karya sastra,

dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan

hermeneutik (hermeneutic). Disebut sebagai

pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik,

biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik.

Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik

sebagai hubungan yang bersifat gradasi.

2. Kajian Struktural

Analisis struktural karya sastra, yang dalam

hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan

fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi

yang bersangkutan. Analisis struktural bertujuan

memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan

antarberbagai unsur karya sastra yang secara

bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.

3. Kajian Semiotik

Semiotik adalah ilmu atau metode analisis

untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992:2). Tanda adalah

sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat

berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan

lain-lain.

Perkembangan teori semiotik dapat dibedakan

ke dalam dua jenis semiotika, yaitu semiotik

komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik

komunikasi menekankan diri pada teori produksi

tanda, sedangkan semiotik signifikasi menkankan

pemahaman, dan atau pemberian makna, suatu tanda.

a. Teori Semiotik Peirce

Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu

dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili

sesuatu yang lain. Sebuah tanda¾yang disebutnya

sebagai representamen¾haruslah mengacu (atau:

mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai

objek.

Semiosis adalah suatu proses di mana suatu

tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili

sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992:3).

b. Teori Semiotik Saussure

Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan

pengembangan teori linguistik secara umum, maka

istilah-istilah yang dipakai untuk bidang

kajian semiotik meminjam dari istilah-istilah

dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah

sistem tanda, menurut Saussure, memiliki dua

unsur yang tak terpisahkan: signifier dan

signified, signifiant dan signifie, atau

penanda dan petanda. Wujud signifiant (penanda)

dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-

huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah

unsur konseptual, gagasan, atau makna yang

terkandung dalam penanda tersebut (Abrams,

1981:171).

4. Kajian Intertekstual

Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai

kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks

kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk

hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya

hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide,

gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya)

bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang

dikaji. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah

untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap

karya tersebut.

5. Dekonstruksi

Pembacaan karya sastra, menurut paham

dekonstruksi untuk menemukan makna

kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan

dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur-unsur

aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna

kontradiktif, makna ironi, dalam karya (sastra)

yang dibaca.

C. TEMA

1. Hakikat Tema

Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan

Kenny (1966:88) adalah makna yang dikandung oleh

sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang

dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu,

maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana

yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.

2. Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan

Ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang

bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami

oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau

dengan tingkat intensitas yang tidak sama.

Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan masalah

cinta, rindu, cemas, takut, maut, religius, nafsu,

dan lain-lain.

3. Tema dan Unsur Cerita yang Lain

Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang

oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta

cerita¾tokoh, plot, latar¾yang “bertugas”

mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

4. Penggolongan Tema

Pengkategorian tema yang akan dikemukakan

berikut dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang,

yaitu penggolongan dikhoromis yang bersifat

tradisional dan nontradisional, penggolongan

dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut

Shipley, dan penggolongan dari tingkat

keutamaannya.

a. Tema Tradisional dan Nontradisional

Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema

yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu”

saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan

dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk

cerita lama. Sedangkan, tema nontradisional

adalah sebuah karya yang mungkin saja

mengangkat suatu tema yang tidak lazim.

b. Tingkatan Tema menurut Shipley

Ada lima tingkatan tema menurut Shipley,

pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai

(atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as

molecul. Kedua, tema tingkat organik, manusia

sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan)

protoplasma, man as protoplasm. Ketiga, manusia

sebagai makhluk sosial, man as socious.

Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai

individu, man as individualism. Dan kelima,

tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk

tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia

mengalami dan atau mencapainya.

c. Tema Utama dan Tema Tambahan

Makna-makna tambahan bukan merupakan

sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari

makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung

sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan.

Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai

makna khusus, makna-makna tambahan yang

terdapat pada karya itu.

5. Penafsiran Tema

Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema

sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci,

Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah

kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan

berikut.

Pertama, penafsiran tema sebuah novel

hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang

menonjol. Kedua, penafsiran tema sebuah novel

hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap

detil cerita. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel

hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti

yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun

tak langsung dalam novel yang bersangkutan.

Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah

mendasarkan diri pada bukti-bukti secara langsung

ada dan atau yang disarankan dalam cerita.

D. CERITA

1. Hakikat Cerita

Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun

cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik

perhatian orang adalah ceritanya. Aspek cerita

(story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu

hal yang amat esensial.

Forster, Abrams (1981:61) juga memberikan

pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian

yang sederhana dalam urutan waktu, dan Kenny

(1966:12) mengartikannya sebagai peristiwa-

peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu

yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.

Unsur peristiwa merupakan sesuatu yang

dilakui dan atau ditimpakan kepada tokoh-tokoh

cerita. Tokoh, dengan demikian, merupakan pelaku

dan penderita berbagai peristiwa yang dikasihkan.

Latar, di pihak lain, berfungsi untuk

melatarbelakangi peristiwa dan tokoh tersebut,

khususnya yang menyangkut hubungan tempat, sosial,

dan waktu. Peristiwa merupakan gagasan yang

berwujud lakuan, gerak, yang dalam sebuah cerita

dapat berwujud deskripsi lakuan.

2. Cerita dan Plot

Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi

yang amat erat berkaitan sehingga keduanya,

sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Terdapat

perbedaan inti permasalahan antara cerita dengan

plot. Keduanya memang sama-sama mendasarkan diri

pada rangakaian peristiwa, namun “tuntutan” plot

bersifat lebih kompleks daripada cerita.

Perbedaan fundamental antara cerita dan plot

disebabkan pernyataan yang pertama sekedar

menunjukkan adanya urutan waktu kejadian saja,

sedang yang kedua di samping terdapat urutan waktu

sekaligus mengandung unsur sebab akibat.

3. Cerita dan Pokok Permasalahan

Pokok permasalahan (subject matter) merupakan

suatu hal (baca: permasalahan hidup dan kehidupan)

yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi.

Pengarang fiksi adalah seorang pelaku sekaligus

pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan

yang berusaha mengungkap dan mengangkatnya ke

dalam sebuah karya. Isi cerita adalah sesuatu yang

dikisahkan dalam sebuah karya fiksi.

4. Cerita dan Fakta

Tulisan dengan Data Faktual. Tulisan yang

dibuat berdasarkan data dan atau informasi

faktual, misalnya, adalah tulisan berita

sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan

untuk surat kabar. Tulisan berita untuk surat

kabar harus benar-benar didasarkan data dan

informasi faktual dan sekaligus aktual.

Masalah ketegangan hubungan antara yang nyata

dengan yang rekaan dalam karya sastra sudah

dipersoalkan oleh Aristoteles, yaitu dengan teori

mimetik dan creatio-nya.

Penulisan sejarah terkait pada data-fakta

yang besar-benar ada dan terjadi, data-data yang

memiliki validitas empiris yang dapat

dipertanggungjawabkan. Secara teoritis, ia tak

dapat dimanipulasikan. Manipulasi dalam pengertian

menambah, menyembunyikan.

Unsur realitas dan imajinasi. Karangan yang

mengandung unsur imajinasi sebenarnya bukan hanya

monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai

karya imajinatif. Ada dua jenis karya tertentu

yang tampaknya sulit untuk dikategorikan ke dalam

fiksi atau nonfiksi, yaitu karya yang bersifat

biografis (di Indonesia banyak contohnya, sebagian

disebut di depan).

E. PEMPLOTAN

1. Hakikat Plot dan Pemplotan

Untuk menyebut plot secara tradisional, orang juga

sering mempergunakan istilah alur atau jalan

cerita, sedangkan dalam teori-teori yang

berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah

struktur naratif, susunan, dan juga subjek.

Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot)

dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku,

dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.

2. Peristiwa, Konflik, dan Klimaks

Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang

mengerucut: jumlah cerita dalam sebuah karya fiksi

banyak sekali, namun belum tentu semuanya

mengandung dan atau merupakan konflik, apalagi

konflik utama.

a. Peristiwa. Dapat diartikan sebagai peralihan

dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dalam

hubungannya dengan pengembangan plot, atau

perannya dalam penyajian cerita, peristiwa

dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu

peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan

(Luxemburg dkk, (1992:150).

b. Konflik (conflict). Yang notabene adalah

kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan

berupa peristiwa fungsional, utama, dan

kernel), merupakan unsur yang esensial dalam

pengembangan plot.

3. Kaidah Pemplotan

Novel merupakan sebuah karya yang bersifat

imajiner dan kreatif. Sifat kreativitas itu antara

lain terlihat pada kebebasan pengarang untuk

mengemukakan (baca: menciptakan) cerita,

peristiwa, konflik, tokoh, dan lain-lain yang

termasuk dalam aspek “material” fiksi, dengan

teknik dan gaya yang paling disukai.

Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi

masalah plausibilitas (plausibility) adanya unsur

kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense),

dan kepaduan (unity) (Kenny, 1996:19-22).

4. Penahapan Plot

Secara teoretis-kronologis tahap-tahap

pengembangan, atau lengkapnya: struktur plot,

dikemukakan sebagai berikut:

a. Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir

Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot

cerita. Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah

plot haruslah terdiri dari tahap awal

(beginning), tahap tengah (midle), dan tahap

akhir (end) (Abrams, 1981:138).

b. Tahapan Plot: Rincian Lain

1) Tahapan situation (Tasrif juga memakai

istilah dalam bahasa Inggris): tahap

penyituasian.

2) Tahapan generating citcumstances: tahap

pemunculan konflik.

3) Rahap rising action: tahap peningkatan

konflik.

4) Tahap climax: tahap klimaks.

5) Tahap denouement: tahap penyelesaian.

c. Diagram Struktur Plot

5. Pembedaan Plot

Setiap cerita memiliki plot yang merupakan

kesatuan tindak, yang disebut juga sebagai an

artistic whole. Pembedaan plot yang dikemukakan di

bawah ini didasarkan pada tinjauan dari kriteria-

kriteria sebagai berikut:

a. Pembedaan plot berdasarkan kriteria urutan

waktu

b. Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah

c. Pembedaan plot berdasarkan kriteria kepadatan

d. Pembedaan plot berdasarkan kriteria isi

F. PENOKOHAN

1. Unsur Penokohan Dalam Fiksi

a. Pengertian dan hakikat penokohan

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya,

pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap

pertanyaan. Tokoh nyata hanya dijadikan semacam

model, sebagai bahan peniruan (menurut teori

minetik) dan selanjutnya tokoh cerita akan

hidup dengan cara kehidupannya sendiri sesuai

dengan hakikat fiksionalitas.

b. Penokohan dan unsur cerita yang lain

Penokohan sebagai salah satu unsur

pembangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis

keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangunan

lainnya. Pemokohan dan pemplotan merupakan dua

fakta cerita yang saling mempengaruhi dan

menggantungkan satu dengan yang lain. Plot

adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang

menimpanya.

c. Relevansi tokoh

Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi,

pembaca sering memberikan reaksi emotif

tertentu seperti merasa akrap, simpati, empati,

benci, anipati, atau berbagai reaksi efektif

lainnya.

2. Pembedaan Tokoh

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat

dibedakan e dalam beberapa jenis penamaan

berdasarkan dari sudut mana penamaan itu

dilakukan.

a. Tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama

adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya

dalam novel yang bersangkutan. Sedangkan tokoh

tambahan biasanya diabaikan.

b. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh

protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang

salah satu jenisnya secara populer disebut

hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan

norma-norma, nilai-nilai, yang idela bagi kita

(Altenbernd & Lewis, 1996:59). Tokoh penyebab

terjadinya konflik disebut tokoh antagonis.

c. Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh

sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu

kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak

yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh

yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan

sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati

dirinya.

d. Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis

adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak

mengalami perubahan dan atau perkembangan

perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-

peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah

tokoh cerita yang mengalami perubahan dan

perkembangan perwatakan sejalan dengan

perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot

yang dikisahkan.

e. Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal

adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan

keadaan individualitassnya, dan lebih banyak

ditonjolkan kualitas pekerjaan atau

kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita

yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.

3. Teknik Pelukisan Tokoh

Secara garis besar teknik pelukisan tokoh

dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan

sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai

hal lain yang berhubungan dengan jati diri

tokoh¾dapat dibedakan ke dalam dua cara atau

teknik, yaitu teknik uraian (telling) dan teknik

ragam (showing) (Abrams, 1981:21), atau teknik

penjelasan, ekspositori (expository) dan teknik

dramatik (dramatic) (Altenbernd & Lewis, 1996:56),

atau teknik diskursif (discursive), dramatik, dan

konyekstual (Kenny, 1996:34-6).

G. PELATARAN

1. Latar Sebagai Unsur Fiksi

a. Latar atau setting disebut juga sebagai landas

tumpu, menyaran pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan

(Abrams, 1981:175).

b. Latar netral tak memiliki dan tak

mendeskripsikan sifat khas tetentu yang

menonjol yang terdapat dalam sebuah latar,

sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan

latar-latar lain. Latar tipikal memiliki dan

menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik

yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun

sosial.

c. Penekanan unsur latar. Unsur latar yang

ditekankan perannya dalam sebuah novel,

langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh

terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur

dan tokoh.

d. Latar dan unsur fiksi yang lain. Latar sebuah

karya yang sekedar berupa penyebeutan tempat,

waktu, dan hubungan sosial tertentu secara

umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak

banyak berperan dalam pengembangan cerita

secara keseluruhan.

2. Unsur Latar

a. Latar tempat. Menyaran pada lokasi terjadinya

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya

fiksi.

b. Latar waktu. Berhubungan dengan masalah “kapan”

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi.

c. Latar sosial. Menyaran pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat yang diceritakan

dalam karya fiksi.

d. Catatan tentang anakrinisme. Menyaran pada

pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan

(perkembangan) waktu dalam sebuah cerita.

3. Hal Lain Tentang Latar

Latar sebagai salah satu unsur fiksi, sebagai

fakta cerita, yang bersama unsur-unsur lain

membentuk cerita. Latar berhubungan langsung dan

mempengaruhi pengaluran dan penokohan. Latar

sebagai bagian cerita yang tak terpisahkan.

a. Latar sebagai metaforik

Metafora menyaran pada suatu pembandingan

yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana,

ataupun sesuatu yang lain.

b. Latar sebagai atmosfer

Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang

dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”.

Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu

menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana

ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri,

dan sebagainya.

Latar yang berfungsi sebagai metaforik dan

sebagai atmosfir, walau menyaran pada

pengertian dan fungsi yang berbeda, pada

kenyataannya erat berkaitan.

H. PENYUDUT PADANGAN

1. Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi

a. Hakikat sudut pandang

Pengertian sekitar sudut pandang. Sudut

pandang, point of view, menyaran pada cara

sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara

atau pandangan yang dipergunakan pengarang

sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang

membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi

kepada pembaca (Abrams, 1981:142).

Sudut pandang bagaimanapun merupakan

sesuatu yang menyaran pada masalah teknis,

sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih

besar daripada sudut pandang itu sendiri.

b. Pentingnya sudut pandang

Sudut pandang dianggap sebagai salah satu

unsur fiksi yang penting dan menentukan.

Kesemuanya itu dimulai setelah Henry James-yang

novelis sekaligus esais Amerika itu-menulis

esai tentang sudut pandang secara meyakinkan,

dan yang belakangan esai-esainya dikumpulkan

dan terbit dengan judul The Art of Novel

(1934).

Pemilihan sudut pandang menjadi penting

karena hal itu tak hanya berhubungan dengan

masalah gaya saja, walau tak disangkal bahwa

pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika

juga penting dan berpengaruh.

c. Sudut pandang sebagai penonjolan

Adanya penyimpangan dan pembaharuan dalam

karya sastra, seperti dikemukakan, merupakan

hal yang esensial. Penyimpangan sudut pandang

bukan hanya menyangkut masalah persona pertama

atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan

siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang

menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa

yang tak tahu apa-apa, orang modern, polotikus,

pelajar, atau yang lain.

2. Macam Sudut Pandang

a. Sudut pandang persona ketiga: “Dia” adalah

seseorang yang berada di luar cerita yang

menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut

nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.

b. Sudut pandang persona pertama; “Aku” adalah

seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah

si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan

kesadaran.

c. Sudut pandang campuran. Penggunaan sudut

pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih

satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti

dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk

sebuah cerita yang dituliskannya.

I. BAHASA

1. Bahasa Sebagai Unsur Fiksi

Bahasa merupakan sarana pengungkap sastra.

a. Bahasa sastra: sebuah fenomena

Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai

bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan

bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa

nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang

rasional dan denotatif. Bahasa sastra, menurut

kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang

mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari

cara pemutaran yang telah bersifat otomatis,

rutin, biasa, dan wajar.

b. Stile dan stilistika

1) Stile dan hakikat stile

Stile (style, gaya bahasa), adalah cara

pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana

seorang pengarang mengungkapan sesuatu yang

akan ditemukan (Abrams, 1981:190-1).

2) Stilistika dan hakikat stilistika

Stilistika kesastraan, dengan demikian,

merupakan sebuah metode analisis karya sastra

(Abrams, 1981:192). Dimaksudkan untuk

menggantikan kritik yang bersifat subjektif

dan impresif dengan analisis stile teks

kesastraan yang lebih bersifat objektif dan

ilmiah.

Analisis stilistika: metode kuantitatif.

Berbagai tanda linguistik yang terwujud dalam

bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi, seperti

dikumukakan di atas, menjadi sarana pembentuk

stile, dan hal itulah yang menjadi objek

analisis stilistika.

c. Stile dan nada

Sebuah novel mungkin menyiratkan nada yang

bersifat intim, santai, dan simpatik, yang lain

mungkin bersifat romantis, mengharukan, dan

sentimentil atau kasar dan sinis. Nada (tone),

nada pengarang (authorial tone), dalam

pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai

pendirian atau sikap yang diambil pengarang

(tersirat, implied author) terhadap pembaca dan

terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan

(Leech & Short, 1981: 280).

2. Unsur Stile

Kajian stile sebuah novel biasanya dilakukan

dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya

untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur

untuk mencapai efek estetis dan unsur apa saja

yang dimonan.

b. Unsur leksikal yaitu yang mengacu pada

pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang

sengaja dipilih oleh pengarang.

c. Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada

pengertian struktur kalimat.

d. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa

untuk memperoleh efek estetis.

3. Percakapan Dalam Novel

a. Narasi dan Dialog

Gaya narasi adalah semua penuturan yang

bukan bentuk percakapan-sering dapat

menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan

langsung. Penuturan bentuk dialog tak mungkin

hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu

dengan) bentuk narasi.

b. Unsur Pragmatik dalam percakapan

Percakapan yang hidup dan wajar, adalah

percakapan yang sesuai demngan konteks

pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan

situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk

percakapan yang demikian bersifat pragmatik.

Diartikan pada beberapa pengertian yang berbeda

namun intinya adalah mengacu pada (telaah)

penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan.

c. Tindak Ujar

Konsep yang menggabungkan antara makna

percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak

ujar (speech acts).

J. MORAL

1. Unsur Moral Dalam Fiksi

Pengertian dan Hakikat Moral

Secara umum moral menyaran pada pengertian ajaran

tentang baik buruk yang di terima umum mengenai

perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral

dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan

hidup pengarang yang bersangkutan dan hal itu yang

disampaikan kepada pembaca.

Jenis dan Wujud Pesan Moral

Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah yang

boleh dikatakan, bersifat tak terbatas. Ia dapat

mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan,

seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan

martabat manusia. Persoalan manusia dengan dirinya

sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat

intensitasnya.

2. Pesan Religius Dan Kritik Sosial

a. Pesan Religius dan Keagamaan

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam

sastra adalah suatu keberadaan sastra itu

sendiri. Seorang religius adalah orang yang

mencoba memahami dan menghayati hidup dan

kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah

saja.

b. Pesan Kritik Sosial

Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat

bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial

itu sendiri. Sastra yang mengandung pesan

kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik

biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika

terjadi hal-hal yang kurang beres dalam

kehidupan sosial dan masyarakat.

3. Bentuk Penyampaian Pesan Moral

a. Bentuk Penyampaian Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang

bersifat langsung boleh dikatakan, identik

dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat

uraian atau penjelasan. Karya sastra adalah

karya estetis yang memiliki fungsi untuk

mengibur, memberi kenikmatan emosional dan

intelektual. Karya fiksi yang mengandung pesan

moral secara langsung sering di jumpai dalam

novel-novel Indonesia awal, walau kadang-kadang

juga masih dapat dirasakan dalam novel yang

tergolong belakangan.

b. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung

Bentuk penyampaian pesan moral di sini

bersifat tidak langsung. Pesan itu hanya

tersirat dalam cerita, berpadu secara

koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.

Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan

pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan

tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk

langsung menggurui pembaca sebab yang demikian

justru tidak efektif di samping juga

merendahkan kadar literer karya yang

bersangkutan. Pengarang tidak menganggap

pembaca bodoh, dan sebaliknya pembaca pun tidak

mau dibodohi oleh pengarang. Kadar

ketersembunyian dan atau kemencolokan unsur

pesan yang ada, dalam banyak hal, dipakai untuk

mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya

seni.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bahasa dalam masyarakat umum sangat berbeda

dengan bahasa yang ada dalam prosa. Walaupun secara

tertulis itu sama, akan tetapi sangat berbeda dengan

maksud yang akan dituju. Secara tidak langung

pengarang berpikiran yang tidak sama dengan pembaca.

Oleh karena itu setiap penganalisisan karya sastra

khususnya prosa fiksi, pasti derlu adanya analisis

bahasa sebelum diterjunkan ke layar lebar.

Dalam bahasa sastra juga perlu terdapat unsur

keindahan agar pembaca tertarik untuk membacanya.

Jika bahasa yang digunakan bagus atau menarik,

apalagi isi cerita yang diceritakan menarik pembaca

akan berusaha untuk meniru sikap yang baik seperti

yang ada dalam cerita tersebut. Dalam sebuah novel

pasti terdapat stile dan stilistika dan stile dan

nada.

Dalam sebuah karya fiksi itu terdapat berbagai

unsur stile diantaranya: unsur leksikal, unsur

gramatikal, unsur gaya, retorika dan kohesi. Dan

dalam percakapan fiksi ini juga mencakup beberapa

hal yaitu: narasi dan dialog, unsur pragmatik dalam

percakapan, dan tindak ujar.

B. SARAN

Setelah kita mengetahui dan memahami bahasa dan

unsur moral dalam fiksi, persoalan dalam hidup dan

kehidupan manusia itu dapat dibedakan kedalam

persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri,

hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup

sosial termasuk hubunganya dengan lingkungan alam,

dan hubungan manusia dengan tuhanya agar bisa

berjalan dengan baik.