Makalah tentang Karangan Fiksi
Transcript of Makalah tentang Karangan Fiksi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami
sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“KARANGAN FIKSI”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian
KARANGAN FIKSI atau yang lebih khususnya membahas
bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, drama, dan sajak-
sajak. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan
informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan
karya tulis ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..................................... i
Kata Pengantar..................................... ii
Bab I Pendahuluan ................................. 1
A. Latar Belakang ............................... 1
Bab II Pembahasan ................................. 2
A. Fiksi Sebuah Teks Prosa Naratif............... 2
B. Kajian Fiksi.................................. 3
C. Tema.......................................... 5
D. Cerita........................................ 7
E. Pemplotan..................................... 9
F. Penokohan..................................... 11
G. Pelataran..................................... 13
H. Penyudut Padangan............................. 14
I. Bahasa........................................ 16
J. Moral......................................... 18
Bab III Penutup.................................... 20
A. Kesimpulan.................................... 20
B. Saran......................................... 20
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, drama, dan
sajak-sajak ternyata cepat dikenali anak-anak. Pada
usia muda mereka mulai mengenali sifat-sifat
“sastra” serta unsur-unsur yang dengan teratur
selalu muncul kembali. Mereka mengenal puisi dalam
bentuki rima, sajak dolanan anak-anak, dan lagu-
lagu. Anak-anak balita suka bercerita dan lebih suka
lagi mendengarkan sebuah cerita atau dongeng. Dari
televisi mereka mengenal sebuah bentuk campuran
antara cerita dan drama. Mereka sendiri juga diajak
bermain drama atau pentas untuk anak-anak, dan
khusus di pulau Jawa mereka berkenalan dengan dunia
wayang dan watak-watak tertentu. Dan kemudian hari
mereka belajar membedakan antara cerita fiksi dan
laporan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi.
Dalam bab ini penulis berusaha menerangkan bahwa
memang masuk akal untuk memberikan tempat tersendiri
bagi sekelompok teks yang dapat kita namakan prosa
fiksi. Untuk menjelaskan seringkas-ringkasnya
tentang bahasa dan unsur moral dalam prosa fiksi.
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa pengajaran
tentang bahasa yang ada dalam prosa fiksi perlu
diberikan secara tersendiri, tetapi ada juga alasan
untuk membaurkan pengajaran bahasa dan pengajaran
santra.
Dengan demikian penulis juga berharap agar para
pembaca materi tentang bahasa yang ada dalam prosa
fiksi yang akan diberikan dalam karya tulis ini
dapat mengerti tentang bahasa secara garis besar dan
dapat merujuk ke pengetahuan yang lebih dalam lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. FIKSI SEBUAH TEKS PROSA NARATIF
1. Pengertian dan Hakikat Fiksi
Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti
cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita
khayalan. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang
disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa,
dan tempat yang bersifat imajinatif, sedang pada
karya nonfiksi bersifat faktual.
Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran
yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran
yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai
pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama,
(dan bahkan kadang-kadang) logika, dan sebagainya.
2. Pembedaan Fiksi
a. Novel dan Cerita Pendek
Perbedaan novel dengan cerita pendek
(disingkat: cerpen) yang pertama (dan yang
terutama) dapat dilihat dari segi formalitas
bentuk, segi panjang cerita.
Kelebihan cerpen yang khas adalah
kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak-
jadi, secara implisit-dari sekedar apa yang
diceritakan. Di pihak lain, kelebihan novel
yang khas adalah kemampuannya menyampaikan
permasalahan yang kompleks secara penuh,
mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
Unsur-unsur pembangun sebuah novel, seperti
plot, tema, penokohan, dan latar, secara umum
dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan
kompleks daripada unsur-unsur cerpen.
b. Novel Serius dan Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer
pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya
pembaca di kalangan remaja. Novel serius,
justru “harus” sanggup memberikan yang serba
berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna
sastra yang sastra.
3. Unsur-Unsur Fiksi
a. Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-
unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa
atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-
unsur yang berada di luar karya sastra itu,
tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisme karya sastra.
b. Fakta, Tema, Sarana Cerita
Fakta (facts) dalam sebuah cerita meliputi
karakter (tokoh cerita), plot, dan setting.
Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita.
Dan sarana pengucapan sastra, sarana kesastraan
(literary devices) adalah teknik yang
dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan
menyusun detil-detil cerita.
c. Cerita dan Wacana
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif,
sedang wacana merupakan bentuk dari sesuatu
yang diekspresikan (Chatman, 1980:23). Cerita
terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya,
eksistensinya. Wacana, di pihak lain, merupakan
sarana untuk mengungkapkan isi.
B. KAJIAN FIKSI
1. Hakikat Kajian Fiksi
Merupakan pembendaan dari perbuatan mengkaji,
menelaah, atau menyelidiki (meneliti). Untuk
melakukan pengkajian terhadap unsur-unsur
pembentuk karya sastra, khususnya fiksi, pada
umumnya kegiatan itu disertai oleh kerja analisis.
Misalnya, analisis karya fiksi.
Dalam rangka memahami dan mengungkap
“sesuatu” yang terdapat di dalam karya sastra,
dikenal adanya istilah heuristik (heuristic) dan
hermeneutik (hermeneutic). Disebut sebagai
pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik,
biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik.
Hubungan antara heuristik dengan hermeneutik
sebagai hubungan yang bersifat gradasi.
2. Kajian Struktural
Analisis struktural karya sastra, yang dalam
hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan
fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi
yang bersangkutan. Analisis struktural bertujuan
memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan
antarberbagai unsur karya sastra yang secara
bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.
3. Kajian Semiotik
Semiotik adalah ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992:2). Tanda adalah
sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat
berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan
lain-lain.
Perkembangan teori semiotik dapat dibedakan
ke dalam dua jenis semiotika, yaitu semiotik
komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik
komunikasi menekankan diri pada teori produksi
tanda, sedangkan semiotik signifikasi menkankan
pemahaman, dan atau pemberian makna, suatu tanda.
a. Teori Semiotik Peirce
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu
dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili
sesuatu yang lain. Sebuah tanda¾yang disebutnya
sebagai representamen¾haruslah mengacu (atau:
mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai
objek.
Semiosis adalah suatu proses di mana suatu
tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili
sesuatu yang ditandainya (Hoed, 1992:3).
b. Teori Semiotik Saussure
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan
pengembangan teori linguistik secara umum, maka
istilah-istilah yang dipakai untuk bidang
kajian semiotik meminjam dari istilah-istilah
dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah
sistem tanda, menurut Saussure, memiliki dua
unsur yang tak terpisahkan: signifier dan
signified, signifiant dan signifie, atau
penanda dan petanda. Wujud signifiant (penanda)
dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-
huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah
unsur konseptual, gagasan, atau makna yang
terkandung dalam penanda tersebut (Abrams,
1981:171).
4. Kajian Intertekstual
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai
kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks
kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk
hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya
hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide,
gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya)
bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang
dikaji. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah
untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap
karya tersebut.
5. Dekonstruksi
Pembacaan karya sastra, menurut paham
dekonstruksi untuk menemukan makna
kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan
dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur-unsur
aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna
kontradiktif, makna ironi, dalam karya (sastra)
yang dibaca.
C. TEMA
1. Hakikat Tema
Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan
Kenny (1966:88) adalah makna yang dikandung oleh
sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang
dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu,
maka masalahnya adalah: makna khusus yang mana
yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.
2. Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan
Ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang
bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami
oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau
dengan tingkat intensitas yang tidak sama.
Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan masalah
cinta, rindu, cemas, takut, maut, religius, nafsu,
dan lain-lain.
3. Tema dan Unsur Cerita yang Lain
Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang
oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta
cerita¾tokoh, plot, latar¾yang “bertugas”
mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
4. Penggolongan Tema
Pengkategorian tema yang akan dikemukakan
berikut dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang,
yaitu penggolongan dikhoromis yang bersifat
tradisional dan nontradisional, penggolongan
dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut
Shipley, dan penggolongan dari tingkat
keutamaannya.
a. Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema
yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu”
saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan
dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk
cerita lama. Sedangkan, tema nontradisional
adalah sebuah karya yang mungkin saja
mengangkat suatu tema yang tidak lazim.
b. Tingkatan Tema menurut Shipley
Ada lima tingkatan tema menurut Shipley,
pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai
(atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as
molecul. Kedua, tema tingkat organik, manusia
sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan)
protoplasma, man as protoplasm. Ketiga, manusia
sebagai makhluk sosial, man as socious.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai
individu, man as individualism. Dan kelima,
tema tingkat devine, manusia sebagai makhluk
tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia
mengalami dan atau mencapainya.
c. Tema Utama dan Tema Tambahan
Makna-makna tambahan bukan merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari
makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung
sebuah novel yang jadi merupakan satu kesatuan.
Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai
makna khusus, makna-makna tambahan yang
terdapat pada karya itu.
5. Penafsiran Tema
Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema
sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci,
Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah
kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukkan
berikut.
Pertama, penafsiran tema sebuah novel
hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang
menonjol. Kedua, penafsiran tema sebuah novel
hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap
detil cerita. Ketiga, penafsiran tema sebuah novel
hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti
yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun
tak langsung dalam novel yang bersangkutan.
Keempat, penafsiran tema sebuah novel haruslah
mendasarkan diri pada bukti-bukti secara langsung
ada dan atau yang disarankan dalam cerita.
D. CERITA
1. Hakikat Cerita
Membaca sebuah karya fiksi, novel ataupun
cerpen, pada umumnya yang pertama-tama menarik
perhatian orang adalah ceritanya. Aspek cerita
(story) dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu
hal yang amat esensial.
Forster, Abrams (1981:61) juga memberikan
pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian
yang sederhana dalam urutan waktu, dan Kenny
(1966:12) mengartikannya sebagai peristiwa-
peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu
yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur peristiwa merupakan sesuatu yang
dilakui dan atau ditimpakan kepada tokoh-tokoh
cerita. Tokoh, dengan demikian, merupakan pelaku
dan penderita berbagai peristiwa yang dikasihkan.
Latar, di pihak lain, berfungsi untuk
melatarbelakangi peristiwa dan tokoh tersebut,
khususnya yang menyangkut hubungan tempat, sosial,
dan waktu. Peristiwa merupakan gagasan yang
berwujud lakuan, gerak, yang dalam sebuah cerita
dapat berwujud deskripsi lakuan.
2. Cerita dan Plot
Cerita dan plot merupakan dua unsur fiksi
yang amat erat berkaitan sehingga keduanya,
sebenarnya, tak mungkin dipisahkan. Terdapat
perbedaan inti permasalahan antara cerita dengan
plot. Keduanya memang sama-sama mendasarkan diri
pada rangakaian peristiwa, namun “tuntutan” plot
bersifat lebih kompleks daripada cerita.
Perbedaan fundamental antara cerita dan plot
disebabkan pernyataan yang pertama sekedar
menunjukkan adanya urutan waktu kejadian saja,
sedang yang kedua di samping terdapat urutan waktu
sekaligus mengandung unsur sebab akibat.
3. Cerita dan Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan (subject matter) merupakan
suatu hal (baca: permasalahan hidup dan kehidupan)
yang diangkat ke dalam cerita sebuah karya fiksi.
Pengarang fiksi adalah seorang pelaku sekaligus
pengamat berbagai permasalahan hidup dan kehidupan
yang berusaha mengungkap dan mengangkatnya ke
dalam sebuah karya. Isi cerita adalah sesuatu yang
dikisahkan dalam sebuah karya fiksi.
4. Cerita dan Fakta
Tulisan dengan Data Faktual. Tulisan yang
dibuat berdasarkan data dan atau informasi
faktual, misalnya, adalah tulisan berita
sebagaimana halnya yang biasa dilakukan wartawan
untuk surat kabar. Tulisan berita untuk surat
kabar harus benar-benar didasarkan data dan
informasi faktual dan sekaligus aktual.
Masalah ketegangan hubungan antara yang nyata
dengan yang rekaan dalam karya sastra sudah
dipersoalkan oleh Aristoteles, yaitu dengan teori
mimetik dan creatio-nya.
Penulisan sejarah terkait pada data-fakta
yang besar-benar ada dan terjadi, data-data yang
memiliki validitas empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan. Secara teoritis, ia tak
dapat dimanipulasikan. Manipulasi dalam pengertian
menambah, menyembunyikan.
Unsur realitas dan imajinasi. Karangan yang
mengandung unsur imajinasi sebenarnya bukan hanya
monopoli karya fiksi yang sering disebut sebagai
karya imajinatif. Ada dua jenis karya tertentu
yang tampaknya sulit untuk dikategorikan ke dalam
fiksi atau nonfiksi, yaitu karya yang bersifat
biografis (di Indonesia banyak contohnya, sebagian
disebut di depan).
E. PEMPLOTAN
1. Hakikat Plot dan Pemplotan
Untuk menyebut plot secara tradisional, orang juga
sering mempergunakan istilah alur atau jalan
cerita, sedangkan dalam teori-teori yang
berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah
struktur naratif, susunan, dan juga subjek.
Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot)
dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku,
dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.
2. Peristiwa, Konflik, dan Klimaks
Ketiga unsur itu mempunyai hubungan yang
mengerucut: jumlah cerita dalam sebuah karya fiksi
banyak sekali, namun belum tentu semuanya
mengandung dan atau merupakan konflik, apalagi
konflik utama.
a. Peristiwa. Dapat diartikan sebagai peralihan
dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Dalam
hubungannya dengan pengembangan plot, atau
perannya dalam penyajian cerita, peristiwa
dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu
peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan
(Luxemburg dkk, (1992:150).
b. Konflik (conflict). Yang notabene adalah
kejadian yang tergolong penting (jadi, ia akan
berupa peristiwa fungsional, utama, dan
kernel), merupakan unsur yang esensial dalam
pengembangan plot.
3. Kaidah Pemplotan
Novel merupakan sebuah karya yang bersifat
imajiner dan kreatif. Sifat kreativitas itu antara
lain terlihat pada kebebasan pengarang untuk
mengemukakan (baca: menciptakan) cerita,
peristiwa, konflik, tokoh, dan lain-lain yang
termasuk dalam aspek “material” fiksi, dengan
teknik dan gaya yang paling disukai.
Kaidah-kaidah pemplotan yang dimaksud meliputi
masalah plausibilitas (plausibility) adanya unsur
kejutan (surprise), rasa ingin tahu (suspense),
dan kepaduan (unity) (Kenny, 1996:19-22).
4. Penahapan Plot
Secara teoretis-kronologis tahap-tahap
pengembangan, atau lengkapnya: struktur plot,
dikemukakan sebagai berikut:
a. Tahapan Plot: Awal-Tengah-Akhir
Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot
cerita. Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah
plot haruslah terdiri dari tahap awal
(beginning), tahap tengah (midle), dan tahap
akhir (end) (Abrams, 1981:138).
b. Tahapan Plot: Rincian Lain
1) Tahapan situation (Tasrif juga memakai
istilah dalam bahasa Inggris): tahap
penyituasian.
2) Tahapan generating citcumstances: tahap
pemunculan konflik.
3) Rahap rising action: tahap peningkatan
konflik.
4) Tahap climax: tahap klimaks.
5) Tahap denouement: tahap penyelesaian.
c. Diagram Struktur Plot
5. Pembedaan Plot
Setiap cerita memiliki plot yang merupakan
kesatuan tindak, yang disebut juga sebagai an
artistic whole. Pembedaan plot yang dikemukakan di
bawah ini didasarkan pada tinjauan dari kriteria-
kriteria sebagai berikut:
a. Pembedaan plot berdasarkan kriteria urutan
waktu
b. Pembedaan plot berdasarkan kriteria jumlah
c. Pembedaan plot berdasarkan kriteria kepadatan
d. Pembedaan plot berdasarkan kriteria isi
F. PENOKOHAN
1. Unsur Penokohan Dalam Fiksi
a. Pengertian dan hakikat penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya,
pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap
pertanyaan. Tokoh nyata hanya dijadikan semacam
model, sebagai bahan peniruan (menurut teori
minetik) dan selanjutnya tokoh cerita akan
hidup dengan cara kehidupannya sendiri sesuai
dengan hakikat fiksionalitas.
b. Penokohan dan unsur cerita yang lain
Penokohan sebagai salah satu unsur
pembangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis
keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangunan
lainnya. Pemokohan dan pemplotan merupakan dua
fakta cerita yang saling mempengaruhi dan
menggantungkan satu dengan yang lain. Plot
adalah apa yang dilakukan tokoh dan apa yang
menimpanya.
c. Relevansi tokoh
Berhadapan dengan tokoh-tokoh fiksi,
pembaca sering memberikan reaksi emotif
tertentu seperti merasa akrap, simpati, empati,
benci, anipati, atau berbagai reaksi efektif
lainnya.
2. Pembedaan Tokoh
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat
dibedakan e dalam beberapa jenis penamaan
berdasarkan dari sudut mana penamaan itu
dilakukan.
a. Tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam novel yang bersangkutan. Sedangkan tokoh
tambahan biasanya diabaikan.
b. Tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang
salah satu jenisnya secara populer disebut
hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan
norma-norma, nilai-nilai, yang idela bagi kita
(Altenbernd & Lewis, 1996:59). Tokoh penyebab
terjadinya konflik disebut tokoh antagonis.
c. Tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh
sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak
yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh
yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan
sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati
dirinya.
d. Tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis
adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan dan atau perkembangan
perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-
peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang adalah
tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot
yang dikisahkan.
e. Tokoh tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal
adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan
keadaan individualitassnya, dan lebih banyak
ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya. Tokoh netral adalah tokoh cerita
yang bereksistensi demi cerita itu sendiri.
3. Teknik Pelukisan Tokoh
Secara garis besar teknik pelukisan tokoh
dalam suatu karya atau lengkapnya: pelukisan
sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai
hal lain yang berhubungan dengan jati diri
tokoh¾dapat dibedakan ke dalam dua cara atau
teknik, yaitu teknik uraian (telling) dan teknik
ragam (showing) (Abrams, 1981:21), atau teknik
penjelasan, ekspositori (expository) dan teknik
dramatik (dramatic) (Altenbernd & Lewis, 1996:56),
atau teknik diskursif (discursive), dramatik, dan
konyekstual (Kenny, 1996:34-6).
G. PELATARAN
1. Latar Sebagai Unsur Fiksi
a. Latar atau setting disebut juga sebagai landas
tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Abrams, 1981:175).
b. Latar netral tak memiliki dan tak
mendeskripsikan sifat khas tetentu yang
menonjol yang terdapat dalam sebuah latar,
sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan
latar-latar lain. Latar tipikal memiliki dan
menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik
yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun
sosial.
c. Penekanan unsur latar. Unsur latar yang
ditekankan perannya dalam sebuah novel,
langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh
terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur
dan tokoh.
d. Latar dan unsur fiksi yang lain. Latar sebuah
karya yang sekedar berupa penyebeutan tempat,
waktu, dan hubungan sosial tertentu secara
umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak
banyak berperan dalam pengembangan cerita
secara keseluruhan.
2. Unsur Latar
a. Latar tempat. Menyaran pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi.
b. Latar waktu. Berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi.
c. Latar sosial. Menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi.
d. Catatan tentang anakrinisme. Menyaran pada
pengertian adanya ketidaksesuaian dengan urutan
(perkembangan) waktu dalam sebuah cerita.
3. Hal Lain Tentang Latar
Latar sebagai salah satu unsur fiksi, sebagai
fakta cerita, yang bersama unsur-unsur lain
membentuk cerita. Latar berhubungan langsung dan
mempengaruhi pengaluran dan penokohan. Latar
sebagai bagian cerita yang tak terpisahkan.
a. Latar sebagai metaforik
Metafora menyaran pada suatu pembandingan
yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana,
ataupun sesuatu yang lain.
b. Latar sebagai atmosfer
Atmosfer dalam cerita merupakan “udara yang
dihirup pembaca sewaktu memasuki dunia rekaan”.
Ia berupa deskripsi kondisi latar yang mampu
menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana
ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri,
dan sebagainya.
Latar yang berfungsi sebagai metaforik dan
sebagai atmosfir, walau menyaran pada
pengertian dan fungsi yang berbeda, pada
kenyataannya erat berkaitan.
H. PENYUDUT PADANGAN
1. Sudut Pandang Sebagai Unsur Fiksi
a. Hakikat sudut pandang
Pengertian sekitar sudut pandang. Sudut
pandang, point of view, menyaran pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara
atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca (Abrams, 1981:142).
Sudut pandang bagaimanapun merupakan
sesuatu yang menyaran pada masalah teknis,
sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih
besar daripada sudut pandang itu sendiri.
b. Pentingnya sudut pandang
Sudut pandang dianggap sebagai salah satu
unsur fiksi yang penting dan menentukan.
Kesemuanya itu dimulai setelah Henry James-yang
novelis sekaligus esais Amerika itu-menulis
esai tentang sudut pandang secara meyakinkan,
dan yang belakangan esai-esainya dikumpulkan
dan terbit dengan judul The Art of Novel
(1934).
Pemilihan sudut pandang menjadi penting
karena hal itu tak hanya berhubungan dengan
masalah gaya saja, walau tak disangkal bahwa
pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika
juga penting dan berpengaruh.
c. Sudut pandang sebagai penonjolan
Adanya penyimpangan dan pembaharuan dalam
karya sastra, seperti dikemukakan, merupakan
hal yang esensial. Penyimpangan sudut pandang
bukan hanya menyangkut masalah persona pertama
atau ketiga, melainkan lebih berupa pemilihan
siapa tokoh “dia” atau “aku” itu, siapa yang
menceritakan itu, anak-anak, dewasa, orang desa
yang tak tahu apa-apa, orang modern, polotikus,
pelajar, atau yang lain.
2. Macam Sudut Pandang
a. Sudut pandang persona ketiga: “Dia” adalah
seseorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka.
b. Sudut pandang persona pertama; “Aku” adalah
seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah
si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran.
c. Sudut pandang campuran. Penggunaan sudut
pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih
satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti
dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk
sebuah cerita yang dituliskannya.
I. BAHASA
1. Bahasa Sebagai Unsur Fiksi
Bahasa merupakan sarana pengungkap sastra.
a. Bahasa sastra: sebuah fenomena
Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai
bahasa (yang mengandung unsur) emotif dan
bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa
nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang
rasional dan denotatif. Bahasa sastra, menurut
kaum Formalis Rusia, adalah bahasa yang
mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari
cara pemutaran yang telah bersifat otomatis,
rutin, biasa, dan wajar.
b. Stile dan stilistika
1) Stile dan hakikat stile
Stile (style, gaya bahasa), adalah cara
pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapan sesuatu yang
akan ditemukan (Abrams, 1981:190-1).
2) Stilistika dan hakikat stilistika
Stilistika kesastraan, dengan demikian,
merupakan sebuah metode analisis karya sastra
(Abrams, 1981:192). Dimaksudkan untuk
menggantikan kritik yang bersifat subjektif
dan impresif dengan analisis stile teks
kesastraan yang lebih bersifat objektif dan
ilmiah.
Analisis stilistika: metode kuantitatif.
Berbagai tanda linguistik yang terwujud dalam
bentuk ungkapan bahasa sebuah fiksi, seperti
dikumukakan di atas, menjadi sarana pembentuk
stile, dan hal itulah yang menjadi objek
analisis stilistika.
c. Stile dan nada
Sebuah novel mungkin menyiratkan nada yang
bersifat intim, santai, dan simpatik, yang lain
mungkin bersifat romantis, mengharukan, dan
sentimentil atau kasar dan sinis. Nada (tone),
nada pengarang (authorial tone), dalam
pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai
pendirian atau sikap yang diambil pengarang
(tersirat, implied author) terhadap pembaca dan
terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan
(Leech & Short, 1981: 280).
2. Unsur Stile
Kajian stile sebuah novel biasanya dilakukan
dengan menganalisis unsur-unsurnya, khususnya
untuk mengetahui kontribusi masing-masing unsur
untuk mencapai efek estetis dan unsur apa saja
yang dimonan.
b. Unsur leksikal yaitu yang mengacu pada
pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang
sengaja dipilih oleh pengarang.
c. Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada
pengertian struktur kalimat.
d. Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa
untuk memperoleh efek estetis.
3. Percakapan Dalam Novel
a. Narasi dan Dialog
Gaya narasi adalah semua penuturan yang
bukan bentuk percakapan-sering dapat
menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan
langsung. Penuturan bentuk dialog tak mungkin
hadir sendiri tanpa disertai (atau menyatu
dengan) bentuk narasi.
b. Unsur Pragmatik dalam percakapan
Percakapan yang hidup dan wajar, adalah
percakapan yang sesuai demngan konteks
pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan
situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk
percakapan yang demikian bersifat pragmatik.
Diartikan pada beberapa pengertian yang berbeda
namun intinya adalah mengacu pada (telaah)
penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan.
c. Tindak Ujar
Konsep yang menggabungkan antara makna
percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak
ujar (speech acts).
J. MORAL
1. Unsur Moral Dalam Fiksi
Pengertian dan Hakikat Moral
Secara umum moral menyaran pada pengertian ajaran
tentang baik buruk yang di terima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral
dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan dan hal itu yang
disampaikan kepada pembaca.
Jenis dan Wujud Pesan Moral
Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah yang
boleh dikatakan, bersifat tak terbatas. Ia dapat
mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan,
seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan
martabat manusia. Persoalan manusia dengan dirinya
sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat
intensitasnya.
2. Pesan Religius Dan Kritik Sosial
a. Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam
sastra adalah suatu keberadaan sastra itu
sendiri. Seorang religius adalah orang yang
mencoba memahami dan menghayati hidup dan
kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah
saja.
b. Pesan Kritik Sosial
Wujud kehidupan sosial yang dikritik dapat
bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial
itu sendiri. Sastra yang mengandung pesan
kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik
biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika
terjadi hal-hal yang kurang beres dalam
kehidupan sosial dan masyarakat.
3. Bentuk Penyampaian Pesan Moral
a. Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang
bersifat langsung boleh dikatakan, identik
dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat
uraian atau penjelasan. Karya sastra adalah
karya estetis yang memiliki fungsi untuk
mengibur, memberi kenikmatan emosional dan
intelektual. Karya fiksi yang mengandung pesan
moral secara langsung sering di jumpai dalam
novel-novel Indonesia awal, walau kadang-kadang
juga masih dapat dirasakan dalam novel yang
tergolong belakangan.
b. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral di sini
bersifat tidak langsung. Pesan itu hanya
tersirat dalam cerita, berpadu secara
koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.
Hubungan yang terjadi antara pengarang dengan
pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan
tersirat. Kurang ada pretensi pengarang untuk
langsung menggurui pembaca sebab yang demikian
justru tidak efektif di samping juga
merendahkan kadar literer karya yang
bersangkutan. Pengarang tidak menganggap
pembaca bodoh, dan sebaliknya pembaca pun tidak
mau dibodohi oleh pengarang. Kadar
ketersembunyian dan atau kemencolokan unsur
pesan yang ada, dalam banyak hal, dipakai untuk
mempertimbangkan keberhasilan sebuah karya
seni.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahasa dalam masyarakat umum sangat berbeda
dengan bahasa yang ada dalam prosa. Walaupun secara
tertulis itu sama, akan tetapi sangat berbeda dengan
maksud yang akan dituju. Secara tidak langung
pengarang berpikiran yang tidak sama dengan pembaca.
Oleh karena itu setiap penganalisisan karya sastra
khususnya prosa fiksi, pasti derlu adanya analisis
bahasa sebelum diterjunkan ke layar lebar.
Dalam bahasa sastra juga perlu terdapat unsur
keindahan agar pembaca tertarik untuk membacanya.
Jika bahasa yang digunakan bagus atau menarik,
apalagi isi cerita yang diceritakan menarik pembaca
akan berusaha untuk meniru sikap yang baik seperti
yang ada dalam cerita tersebut. Dalam sebuah novel
pasti terdapat stile dan stilistika dan stile dan
nada.
Dalam sebuah karya fiksi itu terdapat berbagai
unsur stile diantaranya: unsur leksikal, unsur
gramatikal, unsur gaya, retorika dan kohesi. Dan
dalam percakapan fiksi ini juga mencakup beberapa
hal yaitu: narasi dan dialog, unsur pragmatik dalam
percakapan, dan tindak ujar.
B. SARAN
Setelah kita mengetahui dan memahami bahasa dan
unsur moral dalam fiksi, persoalan dalam hidup dan
kehidupan manusia itu dapat dibedakan kedalam
persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri,
hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup
sosial termasuk hubunganya dengan lingkungan alam,
dan hubungan manusia dengan tuhanya agar bisa
berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://mama-diyah.blogspot.com/2013/11/makalah-apresiasi-fiksi-tentang-bahasa.html