Makalah Siklus Reproduksi Abalon

17
DESKRIPSI TENTANG SIKLUS REPRODUKSI ABALON Tugas Terstrukur sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Nilai UTS Mata Kuliah Teknik Pembenihan Ikan Oleh: AGNESIA 125080500111089 B03 BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Transcript of Makalah Siklus Reproduksi Abalon

DESKRIPSI TENTANG SIKLUS REPRODUKSI ABALON

Tugas Terstrukur sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memenuhi Nilai UTS Mata Kuliah Teknik Pembenihan Ikan

Oleh:

AGNESIA

125080500111089

B03

BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas

wilayah laut yang lebih besar daripada luas daratannya.

Total panjang garis pantainya adalah 81.000 km yang

merupakan garis pantai terpanjang yang dimiliki suatu

negara. Kekayaan akan jenis biota laut di Indonesia juga

sangat besar dan beragam. Moluska merupakan kelompok yang

mendominasi perairan setelah kelompok ikan, jumlahnya

mencapai 1500 jenis siput dan 1000 jenis kerang. Salah satu

jenis siput yang dapat dijumpai di perairan Indonesia adalah

abalon (Nontji, 1987 dalam Litaay, et al., 2011).

Abalon merupakan salah satu jenis moluska yang

mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan

protein 71,99%; lemak 3,20%; serat 5,60%; abu 11,11% dan

kadar air 0,60%. Selain itu, cangkangnya mempunyai nilai

estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan dan berbagai

kerajinan, yang sangat berpotensi untuk dikembangkan

(Sofyan, et al., 2005 dalam Suminto, et al., 2009). Daging

abalon juga dapat dijadikan makanan tambahan (food supplement)

dan di Jepang dianggap mampu menyembuhkan penyakit ginjal

(Litaay, et al., 2011).

Pada pada kegiatan budidaya abalon ini tergolong sulit

dan lama, maka pada teknik pembenihannya dilakukan pemijahan

buatan. Hal ini dikarenakan keberhasilan fertilisasi dan

daya tetas telur abalon tergantung pada gamet dan gonad

induk yang baik serta pengaturan kualitas air yang baik.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai proses pemijahan,

fertilisasi, perkembangan larva abalon serta daya tetas

telur abalon.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat

dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pemijahan pada abalon?

2. Bagaimanakah siklus reproduksi mulai dari pemijahan

hingga perkembangan larva abalon?

3. Bagaimanakah daya tetas telur abalon?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari isi makalah ini

adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui proses pemijahan pada abalon.

2. Mengetahui dan memahami siklus reproduksi abalon dari

proses pemijahan hingga perkembangan larva abalon.

3. Mengetahui daya tetas telur abalon.

II. PEMBAHASAN

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Abalon

Menurut Rusdi, et al. (2010), abalon dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

Phylum : Mollusca

Class : Gastropoda

Ordo : Archaeogastropoda

Family : Haliotididae

Genus : Haliotis Linnaeus

Species : Haliotis squamata

Gambar 1. Haliotis asinina (a) dan Haliotis squamata (b)

(Soelistyowati, et al., 2013)

Di Indonesia sendiri, spesies yang paling dikenal yaitu

Haliotis asinina. Abalon termasuk ke dalam Class Gastropoda,

Sub-class Orthogastropoda, Ordo Etigastropoda, Super Family

Pleurotomarioidea, Family Haliotidae, Genus Haliotis

(Nasution dan Rusdi, 2009).

Gambar 2. Anatomi abalon (Scott, 2008 dalam Roux, 2011)

Secara morfologi, abalon memiliki beberapa ciri yaitu

cangkangnya yang berbentuk bulat sampai oval, memiliki 2 – 3

buah puntiran, cangkang berbentuk telinga yang biasa disebut

ear shell. Puntiran yang terkahir dan terbesar (body whorf)

memiliki rangkaian lubang yang berjumlah sekitar 4 – 8 buah

tergantung jenis dan terletak di sisi anterior (Octaviany,

2007 dalam Rusdi, et al., 2010). Abalon yang merupakan bagian

filum Mollusca ini memiliki kelompok yang beragam seperti

Chitons, siput, tiram, dan gurita. Abalon dikarakteristikkan

dengan bentuk yang bulat dengan memiliki pori-pori

pernafasan sepanjang tepi kiri cangkangnya. Di dalam

cangkang terletak kepala, kaki otot besar, dan massa visceral,

yang melekat pada otot adductor (Roux, 2011).

Rusdi, et al. (2010) juga berpendapat bahwa abalon

mempunyai sepasang mata, satu mulut dan satu tentakel

penghembus yang berukuran besar. Mulutnya terdapat lidah

lidah parut (radula) yang berfungsi untuk mengerik alga

menjadi ukuran yang dapat dicerna. Cangkang abalon berwarna

seperti pelangi, putih keperakan sampai hijau kemerahan.

Ukuran cangkangnya mulai dari 20 mm – 200 mm atau lebih.

Sedangkan insangnya terletak dengan pernapasan, juga tidak

memiliki struktur otak yang jelas dan nyata.

2.2 Habitat dan Siklus Hidup

Menurut Balai Budidaya Laut Lombok (2005) dalam

Nasution dan Rusdi (2009), abalon jenis Haliotis asinina dapat

hidup di perairan yang bersuhu tinggi (30oC). Dan dapat

hidup pada pH antara 7 – 8, salinitas 31 – 32 ppt, H2S dan

NH3 kurang dari 1 ppm serta oksigen terlarut lebih dari 3

ppm. Octaviany (2007) dalam Rusdi, et al. (2010) juga

berpendapat bahwa abalon menyukai daerah bebatuan di pesisir

pantai, terutama pada daerah yang banyak ditemukan alga.

Abalon dapat hidup di perairan yang salinitasnya tinggi dan

suhu yang rendah.

Menurut Rusdi, et al. (2010), pembuahan abalon terjadi

di luar tubuh (fertilisasi eksternal). Setelah telur dibuahi

dan menetas menjadi larva yang bersifat planktonis, kemudian

tahap selanjutnya larva akan memakan plankton hingga

terbentuk cangkang. Ketika cangkang sudah mulai terbentuk,

juvenil abalon akan menuju ke dasar perairan dan melekatkan

diri pada batu menggunakan kaki ototnya. Setelah itu, abalon

berubah menjadi pemakan makroalga. Siklus hidup abalon dapat

dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Siklus hidup abalon

2.3 Siklus Reproduksi

Menurut Rusdi, et al. (2010), abalon merupakan hewan

yang termasuk dioecious (jantan dan betina terpisah) seperti

maluska lainnya. Abalon memiliki satu gonad yang terletah di

sisi kanan tubuhnya. Gonad jantan dan betina abalon yang

dewasa dapat dibedakan karena testis menampakkan warna krem

sedangkan ovarium berwarna kehijau-hijauan. Pada Gambar 4

dapat dilihat bentuk dan warna gonad pada Haliotis midae.

Gambar 4. Gonad Haliotis midae. A = gonad betina warna hijau; B

= gonad jantan warna krem (Roux, 2011)

Jenis kelamin abalon dapat ditentukan dengan menekan

secara lembut pinggiran seperti epipodia di bagian belakang

sisi kanan tubuh. Hal ini akan menunjukkan gonad yang

berwarna, yang dapat dilihat melalui jaringan ikat dari

mantel. Kelenjar pencernaan diselimuti oleh gonad dan

membentuk appendiks. Pada Gambar 5 dapat dilihat kelenjar

pencernaan yang diselimuti oleh gonad pada abalon jenis

Haliotis midae (Roux, 2011).

Gambar 5. Kelenjar pencernaan dan gonad jantan Haliotis midae

2.3.1 Pemijahan

Menurut Roux (2011), abalon merupakan golongan dioecious

dan melakukan pembuahan eksternal. Sistem reproduksi abalon

masih primitif karena gamet yang berkembang di lingkungan

tidak dilindungi dengan cara yang khusus oleh induknya.

Pemijahan abalon dimulai ketika cangkangnya terbuka dan

gonad terlihat lalu dengan cepat menekan appendiks kerucut

antara kaki dan cangkang. Gamet yang dikeluarkan melalui

saluran gonad langsung ke ginjal dan keluar melalui pori-

pori pernafasan ke dalam air laut melalui saluran

nephridiopore. Biasanya yang memijah duluan adalah yang jantan

kemudian merangsang betina untuk memijah untuk melepaskan

telur mereka. Telur abalon akan tenggelam karena memiliki

daya apung yang negatif. Pada Gambar 6 dapat dilihat proses

pemijahan pada Haliotis rufescens.

Gambar 6. Pemijahan Haliotis rufescens jantan (kiri) dan betina(kanan)

Nasution dan Rusdi (2009) juga menyatakan bahwa abalon

dapat memijah sepanjang tahun dimana induk betina dapat

menghasilkan telur sekitar serratus ribu hingga satu juta

telur setiap kali pemijahan. Setelah itu induk betina dapat

memijah kembali selang 37 hari kemudian.

2.3.2 Fertilisasi

Pembuahan merupakan proses bertemunya sel sperma dan

sel telur dimana spermatozoa dapat menyampaikan informasi

genetiknya ke dalam sel telur. Pembuahan terjadi jika letak

spermatozoa mampu untuk bergabung dengan membran plasma

telur. Hal itu akan terjadi melalui pergerakan sperma dengan

reaksi akrosomal. Pergerakan sperma tergantung pada

aktivitas flagelnya. Dan telur memiliki daya Tarik berupa

zat kimia yang dapat mempengaruhi pergerakan sperma untuk

mengerubungi sel telur. Tidak terjadinya pembuahan dapat

disebabkan oleh kepadatan sperma yang tidak optimal, ukuran

telur dan kantung kuning telur. kesuksesan fertilisasi

sebagian besar spesies abalon adalah pada kepadatan

spermatozoa yang optimal, yaitu 105-106 sel/mL (Suminto, et

al., 2010).

Menurut Roux (2011), selama fertilisasi, sperma abalon

mencapai lapisan vitelline telur setelah menembus lapisan

seperti gelatin. Lapisan vitelline terdiri dari karbohidrat,

protein, dan serat glikoprotein, yang diikat oleh ikatan

hidrogen. Setelah mencapai lapisan vitelline, reaksi akrosom

exocytotic diinduksi selama sperma mengeluarkan protein 16-kDa

kationik non-enzimatik yang disebut lisin ke permukaan

lapisan vitelline. NH2-terminal pada lisin berfungsi sebagai

pengikat dan COOH-terminal terlibat dalam mengurai mambran

vitelline. Setelah itu, lisin akan menyebabkan serat vitelline

untuk mengurai dan melebarkan lalu terpisah sehingga membuat

sebuah lubang pada lapisan vitelline. Saat itulah sperma dapat

menembus ke dalam sitoplasma sel telur.

Gambar 7. Transmisi mikrograf electron (X 26 000)

menggambarkan sperma abalon yang menembus lapisan vitelline

telur

Peleburan gamet jantan betina mengaktifkan sitoskeleton

kontraktil pada telur untuk menarik sperma ke dalam

sitoplasma setelah itu pronukleus jantan dan betina mulai

melebur dan membelah. Keberhasilan fertilisasi pada abalon

tergantung dari berbagai faktor yaitu konsentrasi gamet,

viabilitas telur dan volume pembuahan. Pada beberapa spesies

abalon, proses fertilisasi tidak terjadi secara efektif

karena konsentrasi sperma yang tinggi karena dapat

mengakibatkan polyspermia. Fertilisasi juga harus terjadi pada

periode tertentu setelah pemijahan karena viabilitas telur

akan menurun dari waktu ke waktu (Roux, 2011).

2.3.3 Perkembangan Larva

Menurut Roux (2011), proses perkembangan larva dari

sebagian besar abalon membutuhkan waktu sekitar 4 – 10 hari,

tergantung pada spesies dan suhu air. Suhu memainkan peranan

yang penting dalam keberhasilan pembuahan dari awal menetas

hingga tahap awal kehidupan setelah menetas. Perkembangan

larva lebih cepat terjadi pada suhu air yang hangat dan

dapat terhenti jika pada suhu yang tinggi. Sementara jika

pada suhu yang sub-optimal, maka akan mengakibatkan fase

larva berlangsung lebih lama. Setelah menetas, larva

trochophore yang bersilia akan bergerak aktif dalam kolom

air. Dan setelah itu, terjadi pembentukan cangkang dan

menghasilkan larva veliger. Di bawah ini adalah tabel tahapan

perkembangan larva pada beberapa spesies abalon.

Tabel 1. Perkembangan larva (dalam jam) pada suhu tertentu

untuk Haliotis tuberculata (23oC), Haliotis midae (18oC), Haliotis

rubra (16.9oC) dan Haliotis laevigata (16.4oC)

TahapanH.

tuberculataH. midae H.rubra H.laevigata

Fertilisasi 0h00 0h00Polar body I 0h25 0h40Polar body II 0h40 1h00Pembelahan I (2 sel) 0h50 1h30Pembelahan II (4 sel) 1h25 2h00Pembelahan III (8

sel)1h35 3h30

Pembelahan IV (12

sel)1h55

Pembelahan V (16 sel) 2h00 4h00Morula 2h30 5h00Blastula 3h15 6h00Gastrula 4h30 7h00Kemunculan silia 6h20 8h00Stomodeum 7h20 10h30Selesainya silia

protochal8h20 11h00 10h00 4h00

Larva trochophore 9h10 12h00 18h00 20h00

menetasTerbentuknya cangkang 9h35 16h00Larva veliger dengan

velum lengkap11h45 18h00 22h00 28h00

Terbentuknya

integumen15h20 20h00 38h00 42h00

Perkembangan massa

kaki15h20 24h00

Pada Gambar 8 dapat dilihat perkembangan telur setelah

12 jam terjadi fertilisasi hingga terjadi penetasan.

Sedangkan pada Gambar 9 dapat dilihat bentuk larva Haliotis

midae yang normal dan tidak normal setelah 24 jam terjadi

fertilisasi.

Gambar 8. Tahapan perkembangan dari Haliotis midae pada selang

waktu 30 menit setelah pembuahan (post-fertilisation / pf)

Gambar 9. Berbagai bentuk larva Haliotis midae. A = larva

normal; B = larva tangkapan dalam perkembangan; C – F =

kelainan morfologi

2.3.4 Daya Tetas

Penetasan merupakan proses yang terjadi setelah telur

terbuahi dan mengalami perkembangan sel (embriogenesis)

sehingga embrio ini mampu melepaskan diri dari korion

menjadi trocophore. Penetasan berhubungan dengan kualitas

telur dan fertilisasi. Kualitas telur yang baik dapat

ditentukan dari hasil penetasannya yaitu bahwa ukuran telur,

volume kantung kuning telur dan ukuran alevin pada penetasan

merupakan indikator morfologi dari kualitas telur (Suminto,

et al., 2010).

Menurut Soelistyowati, et al. (2013), untuk hasil

hibridisasi, perkembangan embrionya sampai menetas

memerlukan waktu yang relatif lama yaitu sekitar dua sampai

tiga jam lebih pada suhu inkubasi 27 – 28oC. Selain itu,

perkembangan embrio yang abnormal dapat menghentikan proses

embriogenesis hingga gagal menetas. Abnormalitas embrio

dipengaruhi oleh kontaminasi faktor lingkungan terhadap

kualitas sperma, misalnya lender, air laut, dan feses.

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dijelaskan, maka dapat

disusun beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Abalon adalah salah satu jenis moluska yang termasuk

ke dalam Class Gastropoda, Family Haliotidae, Genus

Haliotis. Ciri-cirinya adalah memiliki sepasang mata,

satu mulut dan satu tentakel penghembus yang berukuran

besar.

2. Abalon menyukai daerah bebatuan di pesisir pantai yang

siklus hidupnya dimulai dari telur, larva pemakan

plankton hingga pemakan makroalga.

3. Abalon merupakan golongan dioecious dan melakukan

pembuahan eksternal. Dan proses perkembangan larva

dari sebagian besar abalon membutuhkan waktu sekitar 4

– 10 hari. Daya tetas telur abalon dipengaruhi oleh

kualitas telur dan fertilisasi.

3.2 Saran

Diharapkan mahasiswa mencari lebih banyak sumber

informasi mengenai proses fertilisasi hingga perkembangan

embrio abalon dari buku-buku ataupun jurnal-jurnal

penelitian. Dan makalah ini diharapkan dapat menjadi

pengetahuan bagi mahasiswa perikanan.

DAFTAR PUSTAKA

Litaay, M. ; Rahmatullah; H. Setyabudi; dan M. S. Hassan.

2011. Dampak Minyak Pelumas Terhadap Pertumbuhan Awal

Abalon Tropis Haliotis asinina L. Seminar Skripsi.

Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nasution, S. dan R. Machrizal. 2009. Pengaruh kejutan suhu

terhadap masa inkubasi dan derajat penetasan telur

abalone (Haliotis asinina). Berkala Perikanan Terubuk 37(1):58 –

67.

Roux, A. V. 2011. Reproduction of the South African abalone,

Haliotis midae. Disertasi. University of Stellenbosch.

Afrika Selatan.

Rusdi, I.; A. Hanafi; B. Susanto; dan M. Marzuqi. 2010.

Peningkatan Sintasan Benih Abalon Haliotis squamata di

Hatchery Melalui Optimalisasi Pakan dan Lingkungan.

Laporan Akhir Balai Besar Riset Perikanan Budidaya

Laut Gondol. Bali.

Soelistyowati, S. T.; A. Kusumawardhani; M. Z. Junior. 2013.

Karakterisasi fenotipe benih hibrida interspesifik

abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata. Jurnal Akuakultur

Indonesia 12(1):26 – 32.

Suminto; A. A. Nuriman; dan D. Chilmawati. 2009. Pemberian

larutan ammoniak dengan konsentrasi berbeda pada

sperma terhadap persentase pembuahan telur abalone

(Haliotis asinina). Jurnal Saintek Perikanan 5(1):31 – 37.

Suminto; D. A. P. Sani; dan T. Susilowati. 2010. Prosentase

perbedaan pengaruh tingkat kematangan gonad terhadap

fertilitas dan daya tetas telur dalam pembenihan

buatan abalone (Haliotis asinina). Jurnal Saintek Perikanan

5(2):54 – 60.