Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan...
Transcript of Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan...
Makalah Ekonomi Politik Internasional
EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL
Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand
Disusun oleh:
Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya Malang
2014
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................2LATAR BELAKANG.....................................................3
Rumusan Masalah..................................................4Tujuan...........................................................4
PEMBAHASAN.........................................................5Integrasi Tatanan Moneter dan Finansial Global...................5
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20...........................5Pasca PDI: Akhir Globalisasi?..................................6
The Bretton Woods Order..........................................8Embedded liberalism............................................8
Runtuhnya Gold Standard dan Masa Depan Dolar....................10From Adjustable Pegs to Exchange Rates........................13
Globalisasi Pasar Finansial.....................................16Politik Nasional dan Pasar Internasional........................18
Perubahan Konteks Global........................................19Sifat dan Ragam Krisis Keuangan Internasional...................21
Resiko dan ketidakpastian.....................................21Pencegahan Krisis...............................................22
Manajemen dan Resolusi Krisis...................................25A New Global Architecture.......................................26
KESIMPULAN........................................................29KRISIS MONETER 1997 DI THAILAND...................................30
DAFTAR PUSTAKA....................................................33
3
BAB I
LATAR BELAKANG
Sistem finansial dan moneter internasional memerankan
peran utama dalam ekonomi politik global. Sejak akhir abad ke-
19, keberadaan sistem ini telah melalui beragam transformasi
akibat perubahan ekonomi dan politik yang sering terjadi, baik
di level domestik maupun internasional.
Kompleksitas sistem finansial dan moneter, baik di level
domestik maupun internasional sangat menarik untuk dipelajari.
Kebijakan politik dan ekonomi dari negara-negara di seluruh
dunia yang beragam dapat memengaruhi sekaligus dipengaruhi
oleh sirkulasi modal di seluruh dunia.
Atas dasar inilah, makalah ini membahas tentang bangaimana
awal abad ke-20 menjadi saksi terbentuknya integrasi politik
global yang pertama. Situasi ini bertahan hingga sebelum PDI,
dan pada masa interwar, banyaknya krisis yang terjadi menyebabkan
sistem lama kembali berganti. Kemenangan Amerika Serikat dan
Inggris pada PDII juga melahirkan sebuah rezim moneter
terbesar sepanjang masa, yakni Bretton-Woods System.
Bagaimanapun, kondisi politik yang berubah drastis setelah
PDII pada akhirnya membawa Bretton-Woods pada keruntuhannya,
sekalipun hingga kini, warisan Bretton-Woods seperti IMF dan
World Bank masih menjadi fitur kunci aktivitas finansial dan
moneter hingga detik ini.
4
Selain itu, makalah ini juga membicarakan tentang
bagaimana krisis ekonomi mampu merubah wajah dunia secara
drastis, dan bagaimana kondisi ekonomi di masa depan dapat
diprediksi dengan melihat bagaimana kondisi ekonomi di dunia
terjadi di masa kini.
Makalah ini juga menyediakan studi kasus yang telah
disusun sedemikian rupa untuk membantu pembaca dalam
mengidentifikasi konteks-konteks finansial dan moneter yang
terjadi dalam skema ekonomi politik internasional, sehingga
pembaca dapat memahami materi yang disajikan dalam makalah ini
dengan lebih mudah.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah ekonomi politik dunia berubah dari awal
terbentuknya hingga kini?
2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi kondisi
finansial dan moneter, baik di level domestik maupun
internasional?
3. Bagaimana krisis moneter dan finansial di seluruh dunia
bisa terjadi?
Tujuan
5
1. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Ekonomi Politik Internasional.
2. Mengetahui kompleksitas faktor-faktor yang memengaruhi
perubahan ekonomi dan politik dalam sektor finansial dan
moneter.
3. Memahami esensi krisis finansial dari berbagai dimensi
dan bagaimana masa depan ekonomi dan politik
internasional, terutama dalam konteks finansial dan
moneter, bisa berlanjut.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Integrasi Tatanan Moneter dan Finansial Global
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
Di era ini, arus moneter antar negara meningkat secara
dramatis. Sebagian arus ini terdiri atas pergerakan modal
jangka pendek sebagai respon atas perbedaan tingkat bunga pada
pusat-pusat keuangan di seluruh dunia, sedangkan sisanya
adalah ekspor modal jangka panjang dari negara-negara berkuasa
di Eropa ke belahan bumi lainnya. Inggris Raya, misalnya,
mengekspor modal jangka panjang yang sangat besar setelah
tahun 1870. Jumlahnya bahkan melebihi ekspor negara-negara
kreditor manapun hingga hari ini (James 2001: 12). Di masa
ini, jumlah negara berdaulat yang masih sedikit menciptakan
highly integrated monetary system yang berdasarkan pada gold standard.
Pada 1914, mata uang semua negara-negara merdeka serta
koloninya dihubungkan oleh gold standard yang sama, menghasilkan
tingkat pertukaran yang stabil. Ketika perebutan koloni
semakin memanas setelah tahun 1870, banyak negara imperial
yang terus meningkatkan sirkulasi mata uang mereka di koloni-
koloni yang berhasil mereka taklukkan (Helleiner 2003; chs 6,
8). Hal ini dilakukan untuk mempermudah transaksi ekonomi
antar blok moneter.
7
Pada masa ini, terdapat dua monetary union yang membuat mata
uang negara-negara anggotanya dapat disalurkan pada satu sama
lain:
1. Latin Monetary Union, 1865 (beranggotakan Perancis, Swiss,
Belgia dan Italia)
2. Scandinavian Monetary Union, 1873 (beranggotakan Swedia
dan Denmark; Norwegia kemudian bergabung pada 1875).
Pasca PDI: Akhir Globalisasi?
Perang Dunia I membawa perubahan yang sangat drastis pada
tatanan finansial dunia yang pada awalnya terlihat tidak akan
pernah berganti. Setelah 1919, arus finansial antarnegara
berkurang secara dramatis dan banyak negara yang meninggalkan
sistem gold standard dan memilih kurs mengambang yang ditetapkan
oleh mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran pada bursa
valuta asing.
Setelah PDI, usaha-usaha yang dilakukan oleh Amerika
Serikat dan Inggris untuk mengembalikan rezim moneter sebelum
perang berjalan sukses pada awalnya. Di awal tahun 1920-an,
banyak negara yang kembali menggunakan gold standard dan arus
modal jangka pendek dan panjang juga berlanjut dalam skala
besar. Namun, pada awal tahun 1930-an, krisis finansial global
memicu keruntuhan gold standard, mengisyaratkan apa yang disebut
Harold James (2001) sebagai ‘the end of globalization’.
Setelah masa ini, sistem finansial dan moneter global terpecah
8
menjadi serangkaian blok-blok dan union yang bersifat tertutup,
dimana proses sirkulasi modal dan pinjam-meminjam tetap
berlangsung di dalam blok tersebut. Arus modal antarblok
menjadi terbatas, dan seringkali terhalang oleh rezim capital
control yang ketat.
Hegemonic Stability vs. Distribusi Kekuasaan Plural
Distribusi kekuasaan dianggap sebagai salah satu pemicu
transformasi rezim finansial dan moneter, sehingga muncullah
teori hegemonic stability sebagai penyebab pergerakan rezim
finansial dan moneter sejak lama. Menurut teori ini,
kestabilan ekonomi sebelum PDI ada karena kepemimpinan Inggris
dalam arena finansial dan moneter. Sebelum PDI, mata uang
Inggris, sterling, dianggap sama bagusnya dengan emas dan
digunakan di seluruh dunia sebagai mata uang global. Inggris
juga menjadi kreditor sekaligus financial market terbesar di dunia
pada masa itu. Ekspor modal Inggris membantu menyeimbangkan
neraca pembayaran global. Bahkan ketika Inggris sedang
dirundung resesi, peminjaman global justru meluas, memberikan
kompensasi bagi negara-negara yang penjualannya menurun pada
pasar Inggris. Pada masa PDI, Inggris juga disebut-sebut
menjadi pemimpin stabilisasi pasar melalui perannya sebagai
kreditor.
Sayangnya, setelah PDI berakhir, Inggris kehilangan
perannya sebagai pemimpin. Amerika Serikat menggantikan
Inggris sebagai kreditor utama dalam aktivitas finansial
dunia, dan US Dollar menggantikan sterling sebagai mata uang
yang paling banyak digunakan. New York juga menggantikan
9
London sebagai pusat finansial internasional. Sayangnya,
politik isolationism Amerika Serikat serta kecenderungannya untuk
lebih berfokus pada ekonomi domestik membuat Amerika Serikat
‘menolak’ menjadi hegemonic power pada masa ini. Hasilnya, gold
standard menjadi tidak stabil dan pada akhirnya pun runtuh.
Hegemonic stability dalam masa ini terlihat ketika perkembangan
ekonomi Amerika Serikat yang pesat berpengaruh pula pada
ekonomi dunia, namun ketika perkembangannya tiba-tiba melambat
pada tahun 1928, perkembangan di luar juga ikut berhenti.
Keruntuhan ekonomi AS berujung pada krisis neraca pembayaran
banyak negara lain yang bergantung pada pinjaman dari Amerika
Serikat. AS kemudian memperburuk kondisi mereka dengan
menaikkan tarif impor pada tahun 1930 melalui Smoot-Hawley
Act. Tidak seperti Inggris, AS menolak untuk menjadi kreditor
untuk menstabilkan krisis atau menghapus hutang perang negara
lain yang semakin menumpuk.
Setelah teori ini, muncul kritik yang menyatakan bahwa
Inggris sebagai pemeran utama dalam ekonomi global pra-PDI
dianggap terlalu berlebihan. Distribusi kekuasaan finansial
dan moneter pada masa itu dikatakan lebih cenderung plural
daripada hegemonis, dengan stabilisasi yang diatur oleh
sejumlah bank sentral dari sejumlah negara. Yang lebih
penting, transformasi sistem finansial dan moneter pada masa
ini lebih disebabkan oleh distribusi kekuasaan kepada banyak
pihak, sehingga kestabilannya bergantung pada kestabilan
politik dan ekonomi domestik pula. Ide liberal klasik yang
berkembang luas pada saat itu membuat banyak pemerintah
10
memajukan kebijakan moneter domestik mereka dengan menjadikan
emas sebagai mata uang nasional.
Ketika mata uang suatu negara mendapat tekanan akibat
mengalirnya modal keluar yang berlebihan atau defisit
perdagangan, otoritas fiskal dan moneter biasanya merespon
dengan mengetatkan kebijakan moneter serta mengurangi
pengeluaran. Kombinasi metode ini dengan emas sebagai satuan
ukuran mata uang mereka memastikan pergerakan modal jangka
pendek menjadi stabil dan berimbang. Dengan begitu, kegiatan
perdagangan antarnegara juga akan tetap lancar. Sayangnya,
konsep ini otomatis menyandarkan nasib ekonomi global yang
rapuh pada kondisi ekonomi domestik yang lebih rapuh lagi.
Kelas menengah kebawah adalah pihak yang paling dirugikan atas
masalah ini, karena mereka memiliki suara yang kecil dalam
arena politik. pada masa pra-PDI, banyak bank sentral yang
bukan merupakan badan umum. Kepentingan ekonomi wilayah-
wilayah koloni atau peripheral juga lebih sering dikontrol oleh
kepentingan luar negeri.
Pasca PDI, tatanan politik domestik berubah menjadi lebih
independen. Sistem pemilihan umum meluas ke berbagai kelas
masyarakat, kekuatan buruh semakin bertumbuh, dan kebijakan
ekonomi intervensionist semakin didukung. Tuntutan bagi kebijakan
fiskal dan moneter untuk lebih merespon pada kebijakan
domestik pun semakin bertambah. Penyesuaian ekonomi
internasional dalam sinkronisasi mata uang negara dengan gold
standard menurun karena otoritas fiskal dan moneter lebih
ditekan untuk memperhatikan kondisi ekonomi dalam negerinya.
Kondisi domestik inilah, dan bukannya dominasi Inggris, yang
11
dipercaya sebagai sebab terpecahnya integrasi sistem moneter
pada masa interwar.
Adanya peralihan sistem dari fixed exchange rate menjadi kurs
terapung juga merupakan penyebab diseintegrasi rezim ekonomi
internasional pasca PDI. Adanya Depresi Besar serta krisis
global tahun 1931 membuat pemerintah beralih dari gold standard
yang menuntut pengaturan yang rumit dan berpindah ke kurs
terapung, sehingga kebijakan moneter luar negeri mereka bisa
tetap berkembang meskipun mata uang mereka mengalami
depresiasi. Dengan ini, masalah finansial dan moneter domestik
tetap bisa diatasi. Dan yang terpenting, kurs terapung mampu
melindungi sebuah negara dari keadaan ekonomi Amerika yang
terjun bebas pada masa itu, karena kontrol modal sebagai
prasyarat kurs terapung membuat mereka mampu mengatur arus
modal dengan baik. John Maynard Keynes adalah pendukung
ekonomi domestik terbesar pada masa ini: Keynes berkata, “let
finance be primarily national”. (Keynes 1933: 758).
The Bretton Woods Order
Embedded liberalism
Pasca PDII, Amerika keluar sebagai pemenang perang
sekaligus kekuatan ekonomi yang paling dominan. Pembuat
kebijakan AS pun bertekad untuk menjaga posisinya tetap berada
paling atas serta mengendalikan tatanan ekonomi multilateral
12
yang lebih bebas daripada sebelumnya. Obyektif yang disebut
Ruggis (1982) sebagai ‘embedded liberalism’ ini juga didukung
oleh Keynes, yang menjadi pembuat kebijakan ekonomi di Inggris
setelah PDII. AS dan Inggris kemudian membuat cetak biru
tatanan finansial dan moneter internasional pasca perang yang
kemudian disetujui oleh 44 negara pada konferensi Bretton-
Woods pada tahun 1944 (Van Dormael 1978; Gardner 1980).
Dalam konferensi ini, Dolar Amerika menjadi acuan dengan
tingkat harga USD 35/ons emas. Melalui pengaturan ini, negara-
negara kembali menetapkan gold-dollar standar yang pada awalnya
terlihat serupa dengan gold standar yang sebelumnya gagal. Namun,
terdapat beberapa karakteristik baru; pertama, negara
diperbolehkan menyesuaikan peg mereka sesuai kebutuhan,
bukannya dalam satu standar seperti gold standard yang lama.
Artinya, negara dapat menukar deflasi domestik yang berbahaya
dengan devaluasi nilai tukar mata uangnya. Devaluasi kurang
dari 10% dapat dijalankan secara otomatis, sedangkan devaluasi
lebih dari nilai tersebut membutuhkan persetujuan IMF yang
baru didirikan. Kedua, sekalipun negara menyetujui bahwa mata
uang mereka dapat diubah menurut transaksi, mereka memiliki
kontrol penuh atas pergerakan modal. Keynes dan Harry Dexter
White ingin melindungi pemerintah suatu negara dari pergerakan
modal yang ditujukan untuk ‘alasan politis’ atau menghindari
pajak serta aturan legislatif. Kontrol modal juga membuat
pemerintah mampu menadakan perencanaan ekonomi makro melalui
kebijakan tingkat bunga yang independen.
Pencipta Bretton-Woods System juga mendirikan dua lembaga
finansial: International Bank for Reconstruction and
13
Development atau IBRD (sekarang World Bank) dan International
Monetary Fund (IMF). Kedua lembaga ini –terutama IMF- mendapat
tugas untuk mempromosikan kerjasama finansial dan moneter
global. Khususnya, mereka diharapkan mampu menggantikan posisi
negara dan pihak swasta lain sebagai kreditor global. IBRD
dirancang untuk menyediakan pinjaman jangka panjang bagi
rekonstruksi pasca perang, sedangkan IMF dirancang untuk
menyediakan pinjaman jangka pendek bagi negara yang perlu
menyeimbangkan neraca perdagangan mereka.
Rezim Bretton-Woods berjaya pada tahun 1950-an hingga
1971, dan selama itu IBRD dan IMF tidak menjadi pemain utama
seperti harapan Keynes dan White. Namun, banyak badan lain
seperti pemerintah Amerika Serikat dan European Payments Union
yang berjalan sesua fitur kunci Bretton-Woods, yakni menjadi
kreditor publik (juga penyedia fasilitas rekonstruksi dan
pengembangan). Hasil dari konferensi Bretton-Woods yang lain,
seperti IBRD, IMF serta sistem mata uang yang dapat dirubah
masih bertahan hingga sekarang.
Runtuhnya Gold Standard dan Masa Depan Dolar1
Pada Agustus 1971, Amerika Serikat (AS) tiba-tiba
menghentikan pertukaran US Dollar ke emas, hal ini menandai
berakhirnya peran emas sebagai standar untuk mata uang
lainnya. Sebernarnya, kejatuhan Gold Standar sudah diprediksi
semenjak tahun 1960, dimana Robert Triffin (1960) telah
1 Ravenhill. Global Political Economy (2011: Oxford University Press). hal. 299
14
menyoroti ketidakstabilan dolar terhadap emas. Dalam sebuah
sistem di mana dolar adalah mata uang cadangan utama, ia
berpendapat bahwa likuiditas internasional dapat diperluas
hanya ketika Amerika Serikat menyediakan lebih banyak dolar ke
seluruh dunia dengan menjalankan defisit neraca pembayaran,
namun hal tersebut sangat beresiko. Salah satu solusi yang
dapat digunakan untuk Triffin Paradox ini adalah menciptakan mata
uang internasional yang baru yang tidak terikat dengan neraca
pembayaran di suatu negara. Pada 1965, AS mendukung ide yang
dikeluarkan oleh IMF bahwa ia mampu menciptakan mata uang
tersebut dan tetap menetapkan dollar sebagai cadangan utama,
kemudian Special Drawing Rights (SDR) dibuat pada tahun 1969 untuk
tujuan ini. SDR hanya bisa digunakan oleh otoritas moneter
nasional sebagai asset cadangan untuk mengatur
ketidakseimbangan pembayaran antarnegara.
Pada tahun 1960an dan setelah 1960an, prediksi yang
dikeluarkan Triffin mulai terlihat. Mata uang AS di luar
negeri tumbuh lebih besar dibandingkan jumlah emas yang
dikeluarkan pemerintah. Di satu sisi, hal ini membawa
keuntungan bagi AS: ia mampu mengembangkan dan memperbaiki
keuangan eksternal yang defisit dikarenakan perang di Vietnam
dan program Great Society (yang menaikkan impor) dengan cara
mencetak dollar lebih banyak ke seluruh dunia. Namun di sisi
lain, AS dapat secara mudah diserang oleh krisis. Jika semua
pemegang dolar tiba-tiba memutuskan untuk mengubah mata uang
AS ke emas, AS tidak akan mampu menghadapinya. Namun krisis
ini tidak sampai terjadi karena partner perdagangan AS seperti
Jerman dan Jepang sepakat untuk tidak mengubah cadangan mereka
15
ke emas. Sedangkan pihak yang tidak suka dengan kebijakan AS—
seperti Prancis, menolak kebijakan AS karena ia menganggap hal
ini sebagai bentuk hegemoni AS (Krishner 1995: 192-203).
Dalam kacamata para peneliti, jatuhnya standar pertukaran
emas menunjukkan turunnya kekuatan AS, dan pendapat lain
menyebutkan bahwa kekuatan hegemoni AS dalam sistem moneter
internasional dan perubahan yang terjadi merupakan taktik lain
untuk menuju keinginan mereka sebagai pemimpin. Ketika pembuat
kebijakan AS menghentikan pertukaran dolar ke emas, beberapa
memprediksikan bahwa peran dolar sebagai dominan dunia akan
tertantang secara cepat, karena dolar dianggap tidak sebaik
emas lagi. Namun pada faktanya, peran dolar sebagai pusat
dunia terus berlanjut hingga saat ini. Dolar digunakan sebagai
penetapan untuk transaksi ekonomi dan meningkatkan perdagangan
internasional serta menarik investaasi di seluruh dunia.
Beberapa pemerintah asing juga masih menyimpan cadangan uang
mereka dalam bentuk dolar dan menetapkan sistem perdagangan
dalam dolar dikarenakan perekonomian dan politik mereka masih
terikat dengan AS.
Banyak pihak yang tidak setuju bahwa hegemoni mata uang AS
yaitu dolar akan terus berlanjut (lihat Helleiner dan Kirshner
2008, 29009a). Beberapa berpendapat bahwa peran dolar saat ini
berada dalam masa yang sulit. Defisit fiskal yang besar yang
dikombinasikan dengan hutang luar negeri yang terus meningkat
memunculkan perhatian yang baru apakah peran dolar akan terus
bertahan dalam pasar global. peran dolar sebagai acuan moneter
internasional juga dipertanyakan semenjak keterikatan ekonomi
dan politik antarnegara terus menurun. Kemudian muncul mata
16
uang yang mengancam keberadaan dolar sebagai hegemoni mata
uang, yaitu euro, yen, dan RMB .
a. Euro (Eropa)
Dalam Henning (1998), salah satu tujuan dibalik
diciptakannya euro adalah untuk menyaingi keberadaan
dolar. Komisi Eropa pada saat itu selalu mengatakan bahwa
euro mampu membawa keuntungan yang “simetris” pada sistem
moneter dunia. Dan memaksa AS untuk “lebih sadar atas
keterbatasan pembuat kebijakan”. Semenjak euro dibuat pada
tahun 1999, perannya sebagai tantangan bagi AS tidak
begitu signifikan. Salah satu alasannya adalah bahwa pasar
uang Eropa tidak semuanya terintegrasi dengan baik dan
tidak ada kesamaan pusat seperti yang ada di AS.
Pemerintah Eropa juga tidak terlalu tertarik untuk secara
aktif memperkuat peran euro secara internasional. Cohen
(2003) berargumen bahwa peran euro dalam lingkup
internasional telah ditahan oleh pemerintahannya sendiri
oleh sebab yang tidak jelas, namun sepertinya terkait
struktur pemerintahan yang ada disana dan kredibilitas
politik di luar negerinya. Ketidakpastian ini semakin
disorot ketika terjadi krisis finansial pada tahun 2007-
2010 dimana manajemen krisis di Eropa tidak cukup baik
(meninggalkan pemerintah nasional demi menyelamatkan
keuangan negaranya sendiri) dan posisi euro yang lemah di
negara anggota Eropa sendiri seperti Yunani.
b. Yen (Jepang)
17
Ketika Asia mengalami krisis pada 1997-1998, pembuat
kebijakan di Jepang tertarik untuk menjadikan yen sebagai
mata uang internasional, terutama pada kawasan Asia Timur
(Grimes, 2009). Krisis ini menaikkan kepercayaan di Asia
Timur pada dolar AS dan pengaruh moneter Jepang yang
terbatas terkait tumbuhnya perdagangan dan investasi pada
saat itu. untuk menguatkan peran yen dalam skala
internasional, pemerintahan Jepang mengeluarkan beberapa
inisiatif yang diantaranya mengembangkan pasar uang jangka
pendek dan menaikkan peminjaman dalam satuan yen di Jepang
(ketika kebanyakan negara menggunakan satuan dolar AS).
Internasionalisasi yen kemudian terhenti dikarenakan
masalah sistem keuangan Jepang, dan Cina yang menolak ide
Jepang sebagai pemimpin moneteer di kawasan. (Katada
2002).
c. RMB atau renmimbi (Cina)
Ketika Cina muncul sebagai tekanan ekonomi dunia, beberapa
mulai berspekulasi apakah mata uang mereka, renmimbi (RMB)
akan menggantikan dominasi dolar AS. Spekulasi ini muncul
karena pemerintahan Cina tiba-tiba tertarik untuk
menginternasionalisasikan RMB sebagai respon atas krisis
finansial dunia pada tahun 2007-2010. Namun ketika Cina
mulai menurunkan standar dolar AS, Gross Domestic Product (GDP)
Cina menurun sebanyak tiga persen. Internasionalisasi RMB
tidak berjalan mudah karena mata uang tersebut tidak
bernailai tukar, apabila ia bernilai tukar pun, sikap
atraktif Cina terhadap mata uangnya akan menghalangi
perkembangan keuangan dan perdagangan. Selain itu, tidak
18
seperti AS, usaha Cina untuk menjadi pemimpin moneter
global masih tertinggal jauh oleh AS ketika AS lebih dulu
menemukan kekuatan industri.
Pemerintahan Cina, seperti sudah menyadari peran AS,
mendukung penguatan peran SDR dalam sistem moneter
internasional. Maret 2009, gubernur bank sentral di Cina,
Zhou Xiaochuan (2009) , mengeluarkan keputusan yang sangat
menonjol untuk membuat sistem yang settle antara SDR dengan
mata uang yang lain. International Monetary Fund dipercaya mampu
mengawasi sistem moneter untuk menjamin efektifitasnya.
Ketika pembuat kebijakan yang lain masih ragu atas
keputusan Zhou, mereka (pihak Cina) menyadari akan peran
IMF terkait krisis global yang membantu negara-negara yang
bangkrut pada masa itu untuk memperbaiki sistem ekonomi
dan keuangan mereka. Namun SDR masih menunjukkan peran
yang tidak seberapa besar dalam sistem moneter
internasional.
Seiring dengan masih didominasinya sistem moneter dunia
dengan dolar AS, banyak peneliti EPI bepikir, apakah kekuatan
dolar AS dapat digantikan dalam waktu kedepan? Apabila peran
dolar AS tergantikan, dari sisi AS, ia akan kehilangan prestige
sebagai hegemon mata uang, karena ia juga sudah mengeluarkan
seignionare2 sebagai pendapatan bagi pemerintah AS. Penurunan
peran dolar AS tentu akan membawa dampak kepada dunia. Akan
muncul pertanyaan apakah sistem moneter internasional akan
tetap stabil apabila tidak ada kekuatan moneter yang dominan,
2 Seignionare adalah perbedaan atas nilai nominal suatu mata uang dengan ongkos produksinya. Lihat di Ravenhill (2007), halaman 233.
19
tentu saja para pendukung teori hegemonic stability beranggapan
bahwa dunia tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan moneter
yang dominan. Namun David Challeo (1987: ch. 8) beranggapan
bahwa moneter internasional itu berdasar pada “pluralistik”
atau “balance of power” yang akan membawa stabilitas daripada
hanya mengandalkan satu kekuatan yang dominan. Hegemonic Power¸
dalam pandangannya, merupakan bentuk eksploitasi yang nantinya
hanya akan melayani kepentingannya sendiri daripada keinginan
untuk menstabilkan sistem yang ada.
From Adjustable Pegs to Exchange Rates
Setelah sistem Bretton Woods jatuh pada awal 1970an, fitur
lain yang muncul adalah adjustable peg system yang dalam
perkembangannya dimulai pada tahun 1973, ketika pemerintah
mengizinkan mata uang utama di dunia untuk berada di atas
nilai vis-à-vis yang lain. Sistem ini diresmikan pada tahun 1978
ketika Article’s of Agreement IMF di amandemen sehingga mengizinkan
setiap negara untuk bertumpu pada rezim tertentu dalam
menetapkan nilai tukar mata uang mereka. Sistem ini berakhir
karena meningkatnya arus keuangan internasional, yang membuat
pemerintah berfikir bagaimana caranya untuk mempertahankan
nilai mata uang mereka. Selain itu, para pembuat kebijakan
yang berpengaruh mulai mempertimbangkan keuntungan yang akan
didapat dari sistem ini, mengingat Bretton Woods dulu membawa
dampak negatif bagi sistem pertukaran uang sebelum Perang
Dunia II.
20
Banyak pihak yang beranggapan bahwa sistem ini membawa
dampak baik untuk memfasilitasi penyesuaian terhadap
ketidakseimbangan eksternal ketika banyak pemerintah yang
tidak menginginkan peraturan standar emas atau gold standard. Ide
penggunaan sistem kurs ini tentu saja berakar dan didukung
oleh Bretton Woods; pemerintah dapat menyesuaikan penetapan mata
uang mereka ketika dalam kondisi yang tidak seimbang. Namun
dalam prakteknya, banyak pemerintah menolak untuk melakukan
perubahan ini, karena akan memicu kontroversi kebijakan baik
domestik maupun luar negeri. Dari sisi positif sistem ini,
muncul sisi negatifnya pula. Sistem ini dikatakan dapat memicu
ketidakseimbangan ekonomi eksternal daripada adjustments atau
penyesuaian, karena memicu ketidakseimbangan mata uang di tiap
negara. Hal ini memicu negara-negara yang tergabung dalam G-5
(AS, Prancis, Inggris, Jerman, Jepang) untuk menandatangani
perjanjian Plaza yang membuat negara-negara ini bekerjasama
untuk membuat dolar AS tidak jatuh dalam arus keuangan yang
begitu intens. Hal ini tentu membuat AS memperkuat kebijakan
makroekonomi mereka, yang dinilai oleh pakar dari Jerman Barat
dan Jepang sebagai usaha AS untuk memperkecil defisit neraca
mereka dengan cara membuat perubahan kebijakan di luar
negerinya daripada domestiknya.
Koordinasi makroekonomi diantara negara-negara G-5
memunculkan momentum baru, yaitu surplus perdagangan di Asia
Timur pada tahun 2000. Cadangan keuangan Cina tumbuh secara
drastis dan menjadi yang paling besar di seluruh dunia.
Beberapa berpendapat bahwa akumulasi Asia Timur terhadap dolar
AS membawa kembali ke zaman 1960an ketika Eropa dan Jepang
21
meningkatkan simpanan dalam bentuk dolar AS untuk
mempertahankan nilai kurs mereka3. Hal ini membuktikan bahwa
sistem Bretton Woods II masih bertahan lama karena ia
menyediakan keuntungan ekonomi bagi negara yang berpatisipasi
dalam ekonomi Global. Negara di Asia Timur sudah bisa
menyokong ekspor mereka melalui industrialisasi, ketika AS
masih menambah impor dengan harga murah dan pendapatan asing
yang lemah—sebagai dampak cadangan dolar yang besar di negara
lain dan defisit fiskal. Pada saat krisis global 2007-2010, AS
menyalahkan negara-negara yang memperoleh surplus, terutama
Cina dengan alasan Cina terlalu berlebihan dalam menyimpan
cadangan dolar AS sehingga menimbulkan krisis.
Negara G-5 ataupun G-7 saat ini sudah tidak bisa lagi
dijadikan badan untuk membicarakan ketidakseimbangan global,
sehingga IMF muncul sebagai alternatifnya. Pecahnya krisis
utang internasional pada awal tahun 1980 segera memberikan IMF
kehidupan baru sebagai sebuah lembaga yang berfokus pada
manajemen krisis negara-negara miskin (lihat Pauly, Bab 8
dalam buku ini). Tapi IMF juga terlahir kembali untuk kedua
kalinya setelah awal 1970-an. Dalam upaya untuk mempertahankan
beberapa persamaan dari aturan multilateral atas sistem nilai
tukar mengambang baru, IMF diberi mandat baru pada tahun 1976
yaitu 'latihan pengawasan perusahaan atas kebijakan nilai
tukar anggota' (dikutip dalam Pauly 1997: 105). Kegiatan
'pengawasan' IMF ini telah sejak menjadi bagian penting dari
keseluruhan operasinya. Meskipun IMF berfokus pada konsultasi
bilateral, muncul inisiatif untuk mengatasi krisis global3 Dooley. Bretton Woods II Still Defines The International Monetary System. (2009: National Bureau Of Economic Research). Hal. 3.
22
dengan mengikutsertakan Cina, Eropa , Jepang, Amerika
Serikat , dan Arab Saudi. Beberapa berharap bahwa inisiatif
semacam ini akan memungkinkan IMF untuk mengambil peran aktif
dalam menghidupkan kembali jenis manajemen nilai tukar
multilateral yang ditandai dengan perjanjian Plaza hingga
Louvre. Dengan keanggotaan hampir keseluruh dunia , IMF
mungkin lebih cocok daripada badan-badan lainnya , seperti G7
atau OECD , untuk meluncurkan inisiatif semacam ini .
Tapi kaum skeptis berpendapat bahwa kemampuan IMF untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah akan sangat
terbatas . Bahkan dalam konteks bilateral , saran IMF secara
umum memiliki dampak yang signifikan hanya jika IMF berjanji
akan memberikan pinjaman. Dengan kata lain, apabila tidak ada
“iming-iming” pinjaman dari IMF, sebenarnya kekuatan IMF
sangat terbatas.
Meskipun upaya untuk menstabilkan hubungan antara nilai-
nilai dari mata uang utama dunia telah dibatasi sejak awal
1970-an, beberapa pemerintah telah menciptakan hubungan
moneter yang stabil dalam konteks regional yang lebih kecil
dan hal ini terjadi di Eropa. Pada saat Bretton Woods jatuh,
sejumlah negara yang tergabung dalam European Community (EC)
berusaha untuk menstabilkan nilai tukar di antara mereka
sendiri. Upaya-upaya awal yang diikuti dengan penciptaan
Sistem Moneter Eropa pada tahun 1979, yang membentuk semacam
'mini-Bretton Woods’. Kemudian pada tahun1999, negara-negara
di Eropa sudah berkomitmen untuk menjadi satu kesatuan
moneter. Beberapa pembuat kebijakan di Jerman melihat mata
uang euro sebagai cara untuk menghidari inflasi. Bank sentral
23
Eropa yang baru juga mempunyai tujuan untuk menstabilkan
harga. Ada yang beranggapan bahwa munculnya euro merupakan
cara untuk menciptakan stabilitas makroekonomi. Banyak analis
juga berpendapat bahwa keputusan untuk membuat euro terkait
dengan kesepakatan politik yang lebih luas antara Jerman dan
negara Eropa lainnya pada saat Perjanjian Maastricht. Banyak
negara-terutama Eropa terutama Prancis tidak mau didominasi
sistem moneter Eropa oleh Jerman Bundesbank, dan mereka
ditekan untuk EMU sebagai cara untuk mengalirkan pengaruhnya.
Ketika Eropa membentuk satuan mata uang sendiri, banyak
Ekonomis yang berpikir apakah hal ini memang mungkin terjadi.
Hal ini terkait dengan optimum currency4 yang menimbulkan kekuatan
di region Eropa (dalam kasus euro). Selain Eropa, ternyata ada
beberapa kawasan yang membentuk kesatuan (Union) sendiri.
Diataranya CFA franc zone yang pembentuknya koloni Prancis di
barat dan Afrika, namun tidak membentuk mata uang untuk
kawasan mereka sendiri5. Mulai tahun 1999, banyak pembuat
kebijakan di berbagai kawasan yang mulai memperdebatkan
gagasan untuk menciptakan sebuah serikat mata uang yang akan
didasarkan pada dolar AS. Dua negara-- Ekuador dan El
Salvador-- memperkenalkan dolar AS sebagai mata uang nasional
mereka, pada tahun 2000 dan 2001. Negara di Amerika Latin
percaya bahwa mata uang AS akan menarik banyak investor karena
cenderung stabil. Pada tahun 2003, negara ASEAN ditambah Cina,
Jepang, dan Korea Selatan menciptakan pasar obligasi Asia,
4 Dikembangkan oleh Robert Mundell pada tahun 1961, untuk mengevaluasi pro dan kontra pembentukan union diantara grup grup tertentu di suatu negara. Lihat di Ravenhill halaman 2405 Ravenhill. Global Political Economy (2011: Oxford University Press, halaman 240)
24
dimana nantinya akan menambah simpanan mereka dan kemudian
diinvestasikan ulang di kawasan mereka.
Globalisasi Pasar Finansial
Fitur terakhir rezim Bretton-Woods yang telah berhenti
sejak awal 1970-an melibatkan tren globalisasi pasar finansial
swasta. Perancang Bretton-Woods menciptakan tatanan finansial
global dimana pemerintah mampu mengatur arus finansial swasta
diluar teritori mereka, dan lembaga internasional memiliki
peran utama untuk memberikan kredit jangka pendek dan panjang
dalam level internasional. Di masa kini, nampaknya, justru
peran-peran pemerintah dan lembaga internasional tersebut
malah tertukar.
Pertumbuhan jaringan telekomunikasi yang pesat membuat
uang mampu dipindahtangankan secara lebih cepat dan lebih
mudah daripada sebelumnya, membuat tingkat pertumbuhan pasar
yang amat signifikan. Ekspansi TNC yang pesat pada tahun 1960-
an, misalnya, memunculkan tuntutan lebih untuk layanan
finansial swasta yang bersifat global. Tren pada tahun 1970-an
yang membuat perusahaan swasta mengambil alih kontrol minyak
dan gas alam dari pemerintah juga memicu diversifikasi aset,
membuat sistem tukar menjadi lebih rapuh setelah keruntuhan
rezim Bretton-Woods pada tahun 1971. Namun, pada saat
bersamaan, resiko serta biaya untuk aktivitas internasional
menjadi lebih rendah dengan adanya currency futures, options, dan
25
swaps. Pada intinya, pemerintah tidak lagi memberlakukan kontrol
penuh atas arus modal di dalam dan luar teritorinya.
Langkah pertama atas pertukaran peran ini terjadi ketika
pemerintah Inggris mulai mendukung pertumbuhan ‘euro-market’
di London pada tahun 1960-an, dimana mereka memperbolehkan
aktivitas finansial dilakukan menggunakan mata uang asing –
terutama US Dollar- tanpa regulasi yang tegas. Setelah
pertengahan 70-an, banyak pemerintah yang mulai menghapus
sistem kontrol modal mereka. AS dan Inggris memelopori gerakan
ini dengan menghapuskan kontrol modal mereka pada tahun 1974
dan 1979. Pada 1990-an, pola hubungan finansial liberal muncul
di negara-negara industri maju, memberikan kebebasan bagi
aktor-aktor baru dalam aktivitas finansial antarnegara.
Negara-negara berkembang juga perlahan-lahan melepas kontrol
mereka, dan banyak negara-negara Caribbean yang bahkan
menawarkan lingkungan bebas regulasi untuk aktivitas finansial
internasional. Tempat-tempat seperti Cayman Islands menjadi
salah satu pusat perbankan yang signifikan di seluruh dunia
(Palan 2003).
Berkembangnya paham neo-liberal di masa ini menjadi salah
satu penyebab perubahan rezim ekonomi. Tidak seperti pemikiran
Keynes dan White, neo-liberal percaya bahwa kontrol modal
membuat gangguan dalam sistem pasar bebas dan mencegah
pengalokasian modal internasional secara efisien. Liberalisasi
kontrol modal juga dilihat oleh beberapa pihak sebagai
strategi kompetitif sebuah untuk menarik bisnis serta modal
swasta kepada mereka (Cerny 1994). Sistem ‘euro-market’ di
London ada untuk membangung ulang status Inggris sebagai pusat
26
finansial internasional. Dukungan pemerintah atas liberalisasi
finansial juga dirancang untuk mengamankan posisi finansial
New York sekaligus menarik modal asing kepada mereka. Pusat-
pusat finansial lain yang lebih kecil juga memberikan zona
bebas regulasi sebagai bagian dari strategi pembangunan yang
mampu menyediakan lapangan pekerjaan sekaligus pemasukan bagi
pemerintah. Ketika sebuah negara memiliki akses atas pasar
keuangan asing dan menjadi lebih ‘transnasional’, para pembuat
kebijakan mengakui bahwa kontrol modal hanya bisa dilakukan
dengan cara yang sulit dan keras, serta merugikan bagi ekonomi
nasional (Goodman dan Pauly 1993).
Politik Nasional dan Pasar Internasional
Kestabilan pasar internasional selalu dipengaruhi oleh
keadaan domestik. Sistem demokrasi yang meluas hingga saat ini
membuat korelasi yang kuat antara pasar dan tatanan politik.
Pada dasarnya sistem keuangan global adalah sistem yang selalu
melibatkan aktor-aktor penghutang dan pemberi pinjaman.
Kekuatan atau kondisi pasar internasional ditentukan oleh
aktor penggerak yang biasa disebut dominator. Itu berarti
kondisi pasar internasional bergantung pada kondisi domestik
dominator. Politik yang kuat pada sistem internasional
biasanya dikorelasikan dengan adanya korupsi sehingga selalu
terkait dengan kasus-kasus kemiskinan dan hal-hal yang
bersifat negatif. Namun sistem ekonomi dapat dikatakan sebuah
konstruksi, maksudnya adalah untuk menentukan kecocokan suatu
27
sistem ekonomi biasanya bergantung pada siapa yang
mengatakannya.
Ketidakstabilan pada pasar pasti berdampak pada keadaan
sosial masyarakat. Contohnya saat terjadi Great Depression,
Amerika Serikat hampir mengalami perang saudara yang cukup
intens pada saat itu. Banyak pula fakta lain yang menunjukkan
korelasi ekonomi dan sosial yang ada di masyarakat. Pasar yang
terjadi secara global pasti juga mempunyai hubungan keadaan
sosial masryarakat domestik. Pasar global pada awalnya
dibentuk karena depresi atau dampak perang dunia. Dari depresi
tersebut, timbullah asumsi untuk menuju kemakmuran bersama.
Butuh kesadaran diri dan pengorbanan dari seluruh manusia
untuk menciptakan human society yang lebih baik. Namun seiring
perkembangan waktu, asumsi tersebut banyak mengalami
perubahan. Untuk kelancaran ekonomi politik internasional
ditentukan oleh segala kebijakan ekonomi politik domestik.
Yang terjadi sekarang adalah ekonomi politik global hanya
ditentukan oleh kebijakan ekonomi politik domestik beberapa
negara dominator saja. Contohnya adalah Amerika Serikat,
dollar adalah mata uang dunia saat ini, jika seandainya
Amerika mengubah kebijakan ekonominya mengenai dollar, maka
yang terjadi adalah keadaan ekonomi global ikut terkena
dampaknya. Tentunya hal tersebut tidak dapat pula lepas oleh
politik yang dilakukan untuk terus menerus mengincar kekuasaan
yang ada dalam pasar global itu sendiri.
Tetapi tidak ada yang namanya sistem dominasi yang
bertahan selamanya. Maksudnya adalah tidak ada sistem kekuatan
dunia dalam pasar global yang selamanya dianggap cocok dan
28
benar. Dapat dicontohkan seperti Gold Standard yang dahulu
pernah memegang peran penting namun akhirnya runtuh dan
digantikan oleh Bretton Woods System. Namun sistem tersebut
juga akhirnya runtuh dan digantikan dengan sistem perekonomian
global seperti saat ini. Tidak ada yang tahu kapan sebuah
sistem akan hancur atau berubah. Yang terlihat sekarang adalah
adanya kontrol IMF dan World Bank atas perekonomian global.
Hal ini yang membuktikan bahwa negara pemimpin atau dominator
akan membangun sebuah sistem untuk mengawasi dan mencegah
adanya krisis global. Negara pemimpin juga akan meningkatkan
dan membangun sistem regulasi nasional yang akhirnya berdampak
pula pada keadaan global.
Kesimpulannya adalah kestabilan pasar global tidak mudah
untuk dicapai. Keadaan pasar global akan selalu diperngaruhi
oleh kestabilan sistem domestik masing-masing negara. Namun
pada dasarnya selalu ada dominasi dalam sistem dunia sehingga
keadaan pasar global secara garis besar selalu dipengaruhi
oleh kebijakan ekonomi politik dominator. Dengan adanya sistem
perekonomian global, hubungan antar negara menjadi sangat
penting tetapi sulit untuk mencapi kestabilan politik secara
menyeluruh.
Perubahan Konteks Global
Ekonomi politik internasional telah tumbuh seiring
berjalannya waktu. Setiap tahap yang dilalui pasti melalui
perubahan-hingga saat ini. Yang terjadi sekarang tentu bisa
29
dikatakan berbeda dengan apa yang ada di masa lalu. Dahulu
negara-negara sangat menutup dirinya. Setiap negara bekerja
secara individual dan memaksimalkan sumber dayanya sendiri.
Tentu aktor yang berperan pada saat itu adalah negara, semua
kebijakan akan bergantung apa yang diputuskan oleh pemerintah
dalam negara. Pada saat itu negara lebih cenderung berlomba-
lomba mencari kekuatan tanpa melakukan interaksi satu sama
lain. Namun krisis akhirnya banyak terjadi di tiap negara
karena negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri.
Perekonomian dunia turun drastis pada saat itu ditambah
keadaan perang yang semakin mendesak.
Akhirnya muncul konsep keterbukaan untuk saling
berinteraksi antar negara. Sistem perekonomian dunia muncul
untuk menjadi titik koordinasi negara satu dengan negara lain.
Dapat dicontohkan dengan adanya Gold Standard dan Bretton
Woods System. Kedua sistem tersebut pernah menjadi aturan yang
dianut oleh dunia dan menjadi patokan perilaku antar negara.
Namun pada saat itu kondisi masih sedikit sulit karena negara-
negara masih sulit untuk membuka diri. Baik negara maju dan
negara berkembang masih enggan untuk membuka diri karena
trauma perang yang pernah terjadi.
Setelah Bretton Woods System runtuh dan Gold Standard
benar-benar ditinggalkan pada tahun 1970an, itulah awal
perekonomian modern. Mulai saat itu, suatu negara mempunyai
kontrol masing-masing atas nilai dari mata uangnya. Hal
tersebut dibantu oleh IMF dan World Bank sebagai sisa dari
Bretton Woods System. Dengan mempunya kontrol terhadap diri
masing-masing, negara-negara berkembang mulai membuka diri
30
terhadap negara maju dengan harapan dapat memperbaiki
perekonomian negara. Fenomena tersebut terlihat mencolok pada
akhir tahun 1980an dan awal 1990an. Mulai saat itu setiap
negara berusaha untuk memperluas pasarnya hingga lintas batas
negara. Timbul kesadaran bahwa arus ekonomi akan tumbuh lebih
cepat dengan membuka diri daripada hanya mengandalkan sumber
daya domestik.
Tahun 1980an menjadi waktu yang memperlihatkan secara
jelas dimana hampir semua negara mengubah arah kebijakan
ekonominya yang semula hanya tertutup dalam sektor domestik
menjadi keterbukaan terhadap pasar ekonomi global. Muncul
aktor-aktor baru yang semula hanya negara menjadi perusahaan-
perusahaan multinasional atau bahkan individu. Investasi asing
mulai merasuki banyak negara terutama negara berkembang. Di
satu sisi hal ini merupakan hal yang menguntungkan kedua belah
pihak antara investor dan negara penerima, namun di sisi lain,
perekonomian global memaksa suatu negara untuk mengubah cara
pandangnya. Kebijakan ekonomi negara yang semula hanya
berorientasi secara domestik harus berubah mengikuti
perkembangan pasar internasional. Contohnya penyesuaian harga
barang, harus mengikuti harga yang sedang berkembang di pasar
internasional. Dengan kata lain sistem internasional membuat
suatu konsekuensi yang harus diterima oleh setiap negara.
Tetapi setiap negara pasti tetap berusaha mempertahankan
kekuatan dirinya, akhirnya menimbulkan gesekan antar lintas
batas negara dalam sistem perekonomian global.
Pada akhirnya yang timbul adalah dilema antara kedaulatan
politik dan ketergantungan ekonomi. Di satu sisi, negara
31
bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhannya, namun
di sisi lain negara juga harus menjaga kedaulatan dirinya.
Kapitalisme global yang diasumsikan oleh Amerika Serikat
membawa efek yang cukup luar biasa pada seluruh negara. Dengan
adanya pasar bebas dalam tingkat internasional, negara harus
memberikan sedikit kekuasaannya untuk diatur dalam pasar
tersebut untuk bertahan hidup. Ditambah dengan aktor ekonomi
tidak lagi negara, melainkan bermunculan aktor-aktor lain
seperti MNC, TNC, dan individu. Negara seperti hanya
formalitas sebuah batas wilayah. Namun pada dasarnya
kedaulatan politik tetap penting dalam perekonomian global
untuk menjaga kestabilan domestik dan internasional. Keadaan
perekonomian global saat ini yang didominasi oleh beberapa
negara seperti Amerika Serikat akan membawa bahaya jika
masing-masing negara tidak dapat mempertahankan kedaulatannya.
Kestabilan internasional pasti berkaitan erat dengan
kestabilan domestik. Kondisi sekarang ini menunjukkan
kedaulatan yang terus-menerus didesak oleh arus globalisasi
ekonomi, oleh karena itu politik domestik harus berusaha keras
untuk tetap mempertahankan batas-batasnya.
Sifat dan Ragam Krisis Keuangan Internasional
Harga merupakan Instrumen keuangan utama dalam mulainya
krisis keuangan. Harapan pelaku pasar seketika berubah-ubah
sehingga menimbulkan gucangan pasar, dan pihak-pihak pasar
berusaha dengan cepat untuk menyesuaikan kedudukan mereka.
32
Pada umumnya, para pemegang saham terburu-buru untuk
mencairkan saham mereka dan menjual aset yang mereka harapkan
terdepresiasi nilai, serta membeli aset yang mereka harapkan
dapat naik nilainya. Seperti halnya di setiap pasar yang
permintaan cepat menyusut dan pasokan cepat mengembang, harga
aset yang tidak diinginkan menurun.
Resiko dan ketidakpastian
Sebenarnya ekonomi kapitalis beristirahat di atas fondasi
utang. Meminjam dan meminjamkan bahan bakar pertumbuhan
ekonomi. Pada prinsipnya, klaim keuangan agregat diciptakan
oleh interaksi dari konsumen, produsen, penabung, dan investor
dalam suatu perekonomian yang nyata, asalkan dapat diharapkan
pendapatan masa depan melebihi dari pembayaran utang di masa
depan. Untuk mendapatkan informasi karna kita tidak bisa
mengetahui masa depan, maka perlu dilibatkannya integrasi
pasar karna pendapatan masa depan selalu tidak pasti yang
dapat menimbulkan resiko dalam ekonomi. Risiko dapat dinilai,
dikurangi, dan dikelola.
Memperdalam hubungan keuangan akan membawa masalah yang
tidak dapat dihindari, solusi untuk membutuhkan aksi yang
kolektif. Hanya ada beberapa jenis peraturan kolaboratif yang
dapat memberikan keyakinan peserta bahwa pasar akan bekerja
dalam jangka panjang untuk kepentingan semua. Pada awal abad
kedua puluh satu, struktur peraturan koperasi masih rapuh.
Jelas sekali bahwa para pelaku memiliki kepentingan dalam
bekerja sama untuk memastikan stabilitas sistemik. Tapi mereka
33
juga termotivasi untuk bersaing dengan satu lain dan lebih
peduli pada lokal. Dalam struktur pasar keuangan kontemporer,
informasi asimetri dianalisis oleh para ekonom dan kekuatan
asimetri dianalisa oleh para ilmuwan politik tumpang tindih.
Timbulnya krisis finansial internasional pada tahun 1870-
1914, sejarawan ekonomi menggambarkan bagaimana ekspansi pasar
keuangan yang berjalan dengan cepat (Flandreau dan Zumer
2004). Meskipun hanya beberapa negara yang terlibat, akan
tetapi berdasarkan beberapa ukuran skala internasional
intermediasi keuangan jauh melebihi apa pun yang telah
berkembang sejak saat itu. Setelah tahun 1919 krisis perbankan
semakin meningkat, begitu pula krisis mata uang ketika nilai
tukar kembali dipatok. Krisis mata uang terus berlanjut dan
mengganggu, yang muncul dari Perang Dunia Kedua. Usaha yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk menang
sehingga dapat memastikan stabilitas keuangan internal tidak
berhasil dalam mengurangi kejadian krisis perbankan. Krisis
perbankan menjadi fakta kehidupan ekonomi internasional.
Pencegahan Krisis
Tidak ada pasar keuangan modern dapat bertahan dalam waktu
yang lama tanpa standar umum yang dipahami oleh semua aktor.
Pada tingkat yang paling dasar, informasi keuangan harus dapat
disepakati dan dimengerti. Akuntansi, audit, dan aturan
perizinan membentuk landasan dasar. Landasan tersebut tidak
terjadi secara spontan. Beberapa aktor harus membuat aspek-
34
aspek kolektif seperti untuk penetapan standar, ajudikasi,
reformasi, dan pada akhirnya, penegakan aturan. Bahkan pasar
ilegal sekalipun, jika ingin bertahan maka harus membutuhkan
seseorang untuk memberikan persyaratan minimal tersebut.
Di pasar ilegal, menurut definisi, aspek-aspek kolektif
tersebut dibuat oleh pembuat aturan hukum yang mengikat. Untuk
memastikan, otoritas tertinggi dapat mendelegasikan tanggung
jawab untuk mendefinisikan dan mempromosikan standar teknis di
berbagai pasar keuangan dunia. Tapi semua pasar kontemporer
yang legal hukum pada standar dan prosedur penegakan
bergantung dengan otoritas pemerintah dalam satu bentuk atau
lain. Bahkan bank sentral yang sekarang berlabel konvensional
'independen', seperti Bank Central Eropa, memperoleh otoritas
mereka dari pengaturan konstitusi atau perjanjian antarnegara.
Pencegahan krisis dimulai di sini. dibangun di atas
kepercayaan pada ketahanan jangka panjang pasar.
Krisis keuangan internasional mengekspos ambiguitas
yurisdiksi dan tumpang tindih. Tetapi mereka biasanya diikuti
dengan langkah-langkah pencegahan yang baru, langsung atau
tidak langsung didukung oleh otoritas politik. Namun, tindakan
tersebut belum diikuti dengan pembentukan penetapan standar
global yang tidak ambigu atau badan global yang mampu
memberikan penegakan hukum. Perbatasan pasar mengintegrasikan
diri melintasi batas-batas politik dan hukum yang ditandai
dalam analisis akhir oleh badan-badan antar pemerintah dan
dibebankan dengan negosiasi pemahaman lintas-perbatasan
bersama pada standar yang tepat beserta penegakannya (Bryant
2003).
35
Mempertimbangkan kemungkinan yang selalu ada bahwa bank
bisa gagal dalam sistem pengaturannya dan membahayakan sistem
keuangan secara keseluruhan, pemerintah seharusnya
mempertahankan kemampuan baik untuk masuk ke dalam aset
nasional untuk menyimpannya atau memungkinkan untuk
melikuidasi dalam aset tersebut. Sedangkan bank itu sendiri
dapat memperluas operasi internasional mereka dan bekerjasama
dengan mitra asing dalam batas kerjasama yang umum guan
pendekatan umum pengelolaan keadaan darurat.
Seperti pada sektor perbankan melalui pengaturan standar,
mendefinisikan tanggung jawab penegakan hukum, dan menghindar
dari kewajiban resmi menjadi lebih rumit karena hambatan
fungsional dan geografis yang telah ada sepanjang era pasca-
1970. Menciptakan garis pemisah yang jelas antara kepentingan
publik dan risiko pribadi menjadi tugas yang tidak mudah lagi
Menuju tahun 1980-an, arena utama di mana regulator
keuangan berusaha untuk mengkoordinasikan penetapan standar
dan penegakan kegiatan mudah untuk diidentifikasi. Negosiasi
bilateral antara regulator nasional dan bank sentral adalah
sesuatu yang baru. setelah dampak dari “Herstatt fallout”
menyebar secara global melalui pasar valuta asing, interaksi
tersebut menjadi multilateral melalui klub gubernur bank
sentral yang diselenggarakan di bawah naungan kelembagaan BIS
(Bank for International Settlement). Komite Basel pada
pengawasan perbankan terkait dengan BIS secara teknis melapor
kepada gubernur bank sentral utama (disebut dengan G10,
sekarang lebih dari sepuluh anggota), tetapi terus menjadi
kunci forum penetapan standar untuk lembaga keuangan terbesar
36
yang beroperasi lintas batas nasional. Ini telah menyebabkan
eksperimen dengan protokol standar minimum untuk cadangan
modal back-up yang akan diselenggarakan oleh bank, dan bekerja
sama dengan badan-badan nasional dan regional lainnya untuk
meningkatkan transparansi dan efektivitas pengawasan di dalam
dan di luar sektor perbankan. Pada tahun 2006, upaya yang
paling luas dan rinci untuk memastikan kecukupan modal datang
kesepakatan umum disebut Basel II. Dengan persyaratannya,
pemberi pinjaman internasional didorong untuk membawa teknik
manajemen yang canggih ke dalam inti prosedur pengambilan
keputusan internasional dan perhitungan modal yang memadai.
Selama upaya tersebut dapat dicap sebagai strategi yang
koheren, upaya kontemporer negara terkemuka dari waktu ke
waktu untuk mencegah keruntuhan keuangan sistemik terutama
ditandai dengan pembangunan jaringan tambahan. Negara-negara
tersebut menyukai koordinasi kebijakan teknis sejauh yang
diperlukan untuk mempromosikan integrasi pendalaman pasar
keuangan dan untuk memperpanjang proyek dengan aman di luar
inti dari sistem. Secara umum, langkah-langkah tersebut akan
melemahkan eksperimen global dalam integrasi keuangan seperti
manipulasi nilai tukar dan mempertanyakan sistem terbuka
perdagangan, investasi, dan produksi yang merupakan alasan
utama upaya itu sendiri.
Pada akhirnya, kebijakan fiskal dan moneter yang saling
berkelanjutan di negara-negara pada inti ekonomi dunia
diperlukan untuk integrasi keuangan internasional agar dapat
berhasil. Stabil, pertumbuhan yang berkelanjutan dalam ekonomi
riil inflasi yang rendah, dan pemerataan kemakmuran
37
mendefinisikan tujuan seperti itu. Semua orang dapat
menikmatinya, tidak ada yang keberatan dengan hal itu, dan
prinsip-prinsip yang mendukung itu sempurna. Baru-baru ini,
masalah yang dominan dalam ekonomi makro global yang
meremehkan upaya untuk mencegah krisis keuangan lintas-
perbatasan telah berkembang pesat menjadi ketidakseimbangan
dalam giro dari negara-negara perdagangan utama. Singkatnya,
Amerika Serikat telah mengimpor terlalu banyak, menyimpan
terlalu sedikit, dan bergantung pada kebutuhan pembiayaan pada
arus masuk modal dari Cina, Jepang, Jerman, dan juga dari
banyak negara berkembang.
Manajemen dan Resolusi Krisis
Negara yang menghadapi krisis mata uang dianalogikan
sebagai sebuah perusahaan yang tidak mampu memenuhi
kewajibannya. Krisis dapat terjadi akibat pengeluaran secara
berlebihan yang dilakukan pemerintah, impor yang berlebihan,
ataupun hutang dari swasta yang tidak mampu dibiayai
pemerintah dalam negeri. Kondisi ini mungkin saja memotivasi
pemerintah untuk meningkatkan produksi. Namun konsekuensi yang
biasanya terjadi adalah inflasi. Inflasi mata uang lokal
mendorong naiknya kewajiban dari mata uang asing.
Para peneliti dari masa 1945 menganggap ketidakstabilan
sistem ekonomi merupakan alasan terjadinya perang. Dalam
38
Bretton Woods, mereka mengambil langkah pertama untuk
merancang mekanisme yang membatasi kedaulatan negara-negara
yang terlibat dalam sistem mendapatkan diri mereka terdorong
ke kegagalan dari hutang mereka. Dari tahun 1945 sampai saat
ini negara-negara kreditor dan lembaga keuangan swasta
merancang dan mendesain ulang kapal perang dengan diplomasi.
Bank-bank internasional dan lembaga-lembaga resmi yang
memberikan kredit ekspor secara informal mengorganisir diri
mereka dalam kelompok-kelompok untuk mengelola peraturan
tersebut.
Selama tahun 1980-1990an, krisis yang mampu menggoyahkan
sistem internasional terjadi di pasar negara berkembang,
seperti krisis yang menimpa Asia tahun 1998. Dampak yang
ditimbulkan dari krisis Asia sangat benar-benar dirasa oleh
Indonesia. Indonesia saat itu menjadi salah satu negara yang
merasakan dampak paling parah akibat krisis yang terjadi dan
pemulihan dari krisis ini dianggap sangat lambat. Beberapa
penyebab Indonesia merasakan dampak yang besar akibat krisis
karena hutang luar negeri swasta pada saat itu sangat tinggi
dan umumnya berjangka pendek sehingga menciptakan kondisi
ketidakstabilan dalam negeri. Selain itu banyak diantara
hutang swasta tersebut tidak dilandasi dengan kelayakan
ekonomi, melainkan mengandalkan koneksi politik dan seakan
didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya
apabila kelak terjadi kegagalan.
IMF yang merupakan organisasi yang bergerak di bidang
keuangan di bawah naungan PBB mengeluarkan kebijakan untuk
memberikan bantuan kepada negara-negara yang terkena krisis
39
pada saat itu. dalam upayanya, IMF melakukan beberapa
kebijakan, diantaranya memperkuat pengawasan terhadap negara-
negara anggotanya, membantu memperkuat kinerja pasar finansial
dengan menjadi technical assistance, secepatnya memberikan
policy advice saat krisis itu muncul, dan membantu untuk
menjamin bahwa tidak ada negara yang akan termaginalisasikan
dari pasar globalsehingga negara dapat fokus untuk mengurus
kondisi krisis negaranya.
Negara-negara besar dalam sistem dihadapkan dengan tiga
pilihan dasar setiap kali suatu negara atau lebih tidak mampu
membayar hutang mereka kepada kreditor, yaitu:
1. Negara adidaya tidak dapat berbuat apa-apa, namun hal ini
akan beresiko pada menyebarnya krisis ke negara-negara
lainnya dan tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi
sistem domestik mereka juga.
2. Mereka dapat melakukan intervensi langsung dengan cara
menyediakan pembiayaan yang memadai dari sumber daya
mereka ke negara yang bermasalah, dan bekerja secara
langsung untuk mengatasi penyebab permasalahan.
3. Yang terakhir, mereka dapat melakukan intervensi, namun
tidak secara langsung. Biasanya hal ini lebih murah dan
melalui lembaga lainnya.
Dalam praktiknya, pilihan yang ketiga sering menjadi
pilihan paling menarik, kecuali untuk kasus yang menimpa
negara-negara berkembang yang masih lemah ataupun negara yang
masih terisolir. Untuk negara yang memiliki masalah hutang
40
besar dan luas dianggap mampu mengganggu sistem secara
keseluruhan.
A New Global Architecture
Perdebatan penting yang menjadi kunci utama setelah krisis
di akhir Tahun 1990-an ini menimbulkan banyak teori dan pratek
manajemen baru dalam penanganan krisis serta resolusi pada
pasar negara berkembang, khususnya seputar penanganan
pengurangan kebutuhan bagi negara paling konsumerisme dimana
yang terlalu banyak bergerak lincah (Tirole 2002; Eichengreen
2003; Roubini and Setser 2004)6. Setelah Perang Dunia II,
dimana seseorang dapat merasakan terbukanya jendela dunia yang
baru, dimana negara seharusnya dapat memberikan seiris
kedaulatan mengenai moneter mereka, atau mungkin fiskal, serta
kedaulatan pada instansi yang mengikat. Hal ini menimbulkan
pemikiran bagaimana jika globalisasi kapitalisme dapat
terbentuk. Jika integrasi keuangan semakin erat seperti secara
kolektif yang bahkan mengorbankan kedaulatan fiskal dan
moneter, maka negara-negara yang berkonfrontasi, logisnya akan
mengkoordinasikan kebijakan serta instrumen mereka. Sehingga
mereka akan memiliki satu tujun untuk mencegah atau paling
tidak, mengelola dan menyelesaikan krisis keuangan yang akan
terjadi di masa depan. Untuk inilah, mengapa krisis keuangan
internasional biasanya lebih sulit untuk ditangani daripada
krisis di dalam negeri karena adanya perbedaan hukum dan
kebijakan pada masing-masing negara.
6 Dalam Louis W. Pauly. 2007. “The Political Economy of Global Financial Crises”- Chapter 8, halaman 268.
41
Beberapa dasar dari leverl koordinasi ini tercantum dalam
manajemen krisis. Proposal mengenai manajemen krisis (seperti
yang ada pada sub-bab sebelumnya) secara konvensional, dibagi
menjadi tiga kategori, yakni unilateral, multilateral, dan
supranasional (Eichengreen 2002; chapter 3 dan 4; Bryant 2003,
chapter 8.10, dalam Pauly, 2007)7. Pada unilateral, kedua
pandangan konservatif percaya jika penyebab krisis di negara
berkembang secara umum bersumber pada pengekangan pasar dan
prinsip kedaulatan negara tersebut. Ketika krisis terjadi
diatur oleh investor yang “kurang beruntung” yang terjebak
dalam kerugian, dan dikontrol oleh pemerintah pemilik hutang
dengan modal resiko yang dimiliki. Kreditor swasta dan debitur
akhirnya dibiarkan untuk bekerja sendiri di luar aturan
mengenai re-strukturiasasi hutang yang mendorong perubahan
rezim nilai tukar nasional.
Pada tahun-tahun setelah Krisis Asia dan Argentina,
banyak yang mendukung mengenai kontrol modal, peraturan
supranasional, atau radikal bebas pasar yang secara pasang-
surut pula dalam pandangan publik. Perdebatan kebijakan
berlanjut dalam mekanisme yang efektif untuk menyusun kembali
hutang yang tidak terurus pada negara-negara berkembang.
Kemudian hingga ancaman berikutnya muncul dengan langkah
praktis, dimana negara-negara maju akan terus menekan yang
menjadi kapitalisme dunia ekonomi serta globalisasi keuangan
swasta. COntohnya industrialisasi pada Asia Timur yang
berusaha membatasi resiko terkait dengan membangun struktur
regional, yang berelebihan untuk moneter nasional negara-
7 Ibid.
42
negara penerima bantuan luar negerinya nanti. Dan bertambahlah
kemiskinan. Atau contoh lain seperti World Bank dan IMF yang
memberi kucuran dana dan terus bergerak mencari saldo politik
yang stabil di antara mereka yang beragam keanggotaan,
sehingga cukup untuk mendukung reformasi kebijakan ekonomi di
pemerintahan domestik mereka (Truman 2006; Woods 2006, dalam
Pauly, 2007). Mungkin, untuk pembangunan pasar, IMF terkadang
mengambil peran penting di dalam penyelesaian sebuah krisis.
Namun, tidaklah semua bantuan ini adalah sebuah hal yang
terkesan positif, bisa saja hal ini adalah kapitalisme global
baru yang terselubung.
43
BAB III
KESIMPULAN
Terbentuknya rezim-rezim finansial dan moneter sejak akhir
abad ke-19 hingga masa kini melibatkan sebuah konstelasi rumit
atas faktor-faktor yang muncul dari berbagai tingkatan
pemerintah hingga internasional. Namun, keterkaitan yang erat
antara faktor-faktor ini jugalah yang membuat rezim-rezim
serta regulasi finansial dan moneter bisa ada dan berjalan
untuk mengatur aktivitas ekonomi, bahkan kebijakan politik
suatu negara dengan negara lain.
Keberadaan sistem finansial dan moneter juga membuat
krisis ekonomi di dunia yang anarkis ini tidak terhindarkan.
Namun, dunia selalu bisa menemukan cara untuk bangkit dari
44
krisis finansial yang menimpa mereka. Tentu saja, sekalipun
sistem pasar bebas ala liberalis menjadi sistem yang dianut
tatanan ekonomi global saat ini, pemerintah atau negara juga
tetap memiliki peranan besar sebagai pembuat kebijakan yang
dapat melangkahi otoritas aktor internasional manapun.
KRISIS MONETER 1997 DI THAILAND8
Di antara negara-negara berkembang di seluruh dunia, Asia
Tenggara telah mengalami keberhasilan ekonomi paling baik
dalam beberapa dekade terakhir. The ASEAN-5 (Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) memiliki kinerja
ekonomi yang baik. Dalam dekade terakhir, tingkat pertumbuhan
8 Lai dalam Currency Crisis in Thailand (The Park Mace Economist, vol VIII)
45
tahunan ASEAN-5 telah meningkat mendekati 8%. Pendapatan per
kapita telah meningkat sepuluh kali lipat di Korea, lima kali
lipat di Thailand, dan empat kali lipat di Malaysia selama 30
tahun terakhir. Selain itu, tingkat pendapatan per kapita di
Hong Kong dan Singapura sekarang melebihi pendapatan di
beberapa negara industri. Asia menarik hampir setengah dari
total pemasukan modal ke negara-negara berkembang (Fischer,
1998).
Pertumbuhan ekonomi yang dialami negara Asia Tenggara
tampak tidak dapat dihancurkan—sampai tahun 1997. Pada bulan
Juli 1997, mata uang dari banyak negara Asia mulai
terdepresiasi tajam. Devaluasi mata uang mereka memicu krisis
keuangan yang tersebar di seluruh negara-negara Asia. Untuk
memahami mengapa Asia bisa jatuh pada saat itu, akar krisis
harus ditentukan. Seorang peneliti dapat melacak asal dari
gangguan pasar keuangan Asia kembali ke perkembangan ekonomi
yang terjadi sejak tahun 1994. "Kondisi di Thailand, negara
pertama terpengaruh, sebagai contoh terbaik untuk
menggambarkan penyebab dari krisis mata uang baru-baru ini"
(Alexander dan Guthrie). Nilai tukar yang tinggi Thailand dan
berlebihan belanja adalah dua indikator krisis mata uang
terkemuka di negara itu.
Selama periode pembangunan, Thailand mengalami
pertumbuhan ekonomi yang kuat yang rata-rata hampir 10% per
tahun 1987-1995 (Fischer, 1998). Serupa dengan negara-negara
Asia Tenggara lainnya, Thailand memiliki low wage / tenaga
kerja bergaji rendah; dengan demikian, Thailand berhasil
menarik investasi langsung asing yang signifikan (FDI) untuk
46
membangun pabrik produksi untuk ekspor ke negara maju
(Ciminero, 1997). Thailand berlari surplus perdagangan, yang
menarik arus masuk modal yang besar. Selain itu, mata uang
Thailand (baht) dipatok ke dolar AS, yang berarti bahwa jika
dolar AS naik, nilai baht juga naik, dan jika dolar
terdepresiasi, baht juga disusutkan.
Thailand cukup menikmati pertumbuhan PDB negaranya. Ini
membuat pemerintah Thailand menjadi terlalu percaya pada
pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pematokan dolar AS-baht.
Pemerintah Thailand mulai melakukan pengeluaran secara
berlebihan dan mendorong bank-bank negara itu untuk
meminjamkan uang untuk real estate swasta dan pengeluaran
lainnya (Ciminero, 1997). Liberalisasi sektor keuangan
mendorong perusahaan domestik untuk meminjam secara luas dari
negara-negara asing. Perusahaan di Thailand meminjam uang
dalam jumlah besar karena ekonomi saat itu sedang baik.
Sebagian besar pinjaman dibuat dalam satuan dolar AS
karena suku bunga yang jauh lebih rendah daripada mata uang
Thailand. Dengan meminjam uang dari negara di mana tingkat
bunga lebih rendah , Thailand diasumsikan akan mendapatkan
keuntungan dari hal tersebut . Karena nilai tukar yang dipatok
terhadap dolar AS, perusahaan yang tidak sadar dengan hal itu
harus menggunakan mata uang baht untuk mengembalikan pinjaman
dalam bentuk dolar AS . Karena dolar AS sedang naik , Thailand
menjadi kurang kompetitif di pasar dunia dan ekspor bersih
menurun .
47
Total ekspor Thailand menurun sebesar 0,2 %
(dibandingkan dengan kenaikan melebihi 20% per tahun di tahun-
tahun sebelumnya ) dan kehilangan daya saing dalam produk
padat karya ( Sussangkarn , 1998) . Perlambatan pertumbuhan
ekspor menyebabkan Thailand harus meninggalkan pematokan
terhadap dolar dan mendevaluasi mata uangnya untuk mendorong
ekspor. Kerugian pendapatan memunculkan krisis seperti hutang
menjadi lebih berat. Besarnya arus modal Thailand menyebabkan
utang luar negeri yang besar. Pasar keuangan internasional
mulai kehilangan kepercayaannya terhadap ekonomi Thailand.
Para investor mulai menjual mata uang baht pada tahun 1997.
Baht Thailand mengalami depresiasi dari 25 baht per dolar AS
menjadi 55 baht per dolar AS pada awal Januari 1998 (Hill,
1998). Hal ini membuat perusahaan domestik tidak mampu atau
harus mengeluarkan biaya lebih untuk membayar hutang luar
negeri yang kebanyakan dari sektor swasta—dan mampu memicu
kebangkrutan dan pengangguran yang tinggi.
Meskipun muncul spekulasi bahwa simpanan devisa luar
negeri Thailan naik dari 16,5 triliun AS pada tahun 1990
menjadi 46,5 triliun dolar AS pada 1996, krisis yang sudah
terlanjur terjadi memangkas cadangan luar negeri tersebut.
Pada tanggal 2 Juli 1997, setelah menguras cadangan devisa,
pasar dunia memaksa Bank of Thailand untuk tidak lagi
memperrtahanan baht. Pemerintah mencari bantuan dari IMF (Dana
Moneter Internasional) dan bank sentral di Jepang dan Asia
(Alexander dan Guthrie). IMF mengeluarkan bantuan moneter
untuk membantu Thailand, sebagaimana negara Asia lainnya yang
sama-sama menghadapi krisis. Paket IMF difokuskan pada
48
mengembalikan proses devaluasi dengan mengembalikan
kepercayaan pada mata uang baht. Thailand membuat mata uangnya
lebih menarik dengan menaikkan suku bunga sementara (Fischer
1998) karena kenaikan suku bunga menghentikan depresiasi mata
uang Thailand. Suku bunga yang meningkat juga mengurangi
pengeluaran di semua sektor sistem ekonomi Thailand yang
kemudian mengurangi defisit di Thailand. Namun, dalam jangka
pendek, perekonomian Thailand bergoncang kembali karena
penurunan di bidang manufaktur dan investasi swasta. Salah
satu alasannya adalah suku bunga tinggi yang dikenakan sebagai
bagian dari paket penyelamatan IMF. Meskipun nilai tukar
Thailand masih rendah, suku bunga yang dinaikkan telah
menyelamatkan baht dan menjaga inflasi agar tetap rendah
(Hill, 1998).
49
DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2008. Rush on Northern Rock continues
(http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/6996136.stm). Diakses
pada 1 mei 2014.
Anonim. 2008. Timeline: British Banking Crisis
(http://news.sky.com/story/663052/timeline-british-banking-
crisis). Diakses pada 1 Mei 2014.
Anonim. 2009. The financial crisis of 2007/2008 and its impact
on the UK and other economies
(http://archive.learnhigher.ac.uk/resources/files/business
%20comm%20awareness/The%20Financial%20Crisis%20and%20its
%20Impact%20on%20the%20UK%20and%20other%20Economies.pdf).
Diakses pada 1 Mei 2014.
Anonim. 2009. The Credit Crunch: Simple Explanations and Innovative Solutions
(http://www.creditcrunch.org/). Diakses pada 1 Mei 2014.
50
Anonim. 2014. Amerika Kritik China Sengaja Turunkan Nilai Mata Uang
(http://www.nabawia.com/read/7273/amerika-kritik-china-
sengaja-turunkan-nilai-mata-uang). Diakses pada 2 Mei 2014.
Anonim. 2010. AS Tunda Laporan Kontroversial Mata Uang China
(http://www.antaranews.com/berita/228614/as-tunda-laporan-
kontroversial-mata-uang-china). Diakses pada 2 Mei 2014.
Arifin, Samsul. Wibisono dan Shinta Sudrajat. 2007. IMF dan
Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Bank Indonesia. Kerangka Kebijakan Moneter – ITF.
(http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/ ). Diakses pada 30
April 2014.
Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/9/PBI/2014 tanggal 8
April 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit
Valuta Asing oleh Bank.
(http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/Pages/PBI_16914.as
px ). Diakses pada 30 April 2014.
Budiono, Agung. 2010. Perang Dolar Versus Yuan Kian Meruncing
(http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/
10/11/139311--perang-dolar-versus-yuan-kian-meruncing).
Diakses pada 2 Mei 2014.
Fischer, Stanley (January 22, 1998) “The Asian Crisis: A View
from the IMF”, http://www.imf.org/external/np/speeches/1998/
012298/htm (diakses 4 Mei 2014)
51
Harinowo, C. 2004. IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF.
Jakarta: PT Gramedia Utama.
Hill, Jonathan D. (March 1998) “Country Risk Analysis:
Thailand”, http://www.econ.pncbank.com/thailand.htm (diakses 4
Mei 2014)
IMF. 2014. Lending by the IMF
(http://www.imf.org/external/about/lending.htm). Diakses
pada 4 Mei 2014.
IMF. 2014. Where does the IMF gets its money?
(http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what.htm#money).
Diakses pada 4 Mei 2014.
Kingsley, Patrick. 2012. Financial crisis: timeline
(http://www.theguardian.com/business/2012/aug/07/credit-
crunch-boom-bust-timeline). Diakses pada 1 Mei 2014.
Lan, Quan B. 2000. Currency Crisis in Thailand. The Park Mace Economist
(Online) vol.8
(http://www.iwu.edu/economics/PPE08/quan.pdf). Diakses pada
2 Mei 2014.
Mankiw, Gregory N. 2007. Macroeconomics: 6th Edition. New York:
Worth Publisher.
Ravenhill, John. 2011. Global Political Economy (third edition). United
States: Oxford University Press.
Sarah John, Matt Roberts and Olaf Weeken. 2008. The Bank of
England’s Special Liquidity
52
Scheme(http://www.bankofengland.co.uk/publications/Documents
/quarterlybulletin/qb120105.pdf). Diakses pada 1 Mei 2014.
Staff. 2014. Short Selling: What Is Short Selling?
(http://www.investopedia.com/university/shortselling/shortse
lling1.asp). Diakses pada 1 Mei 2014.
Tim Peneliti Pusat Kajian Pasifik Universitas Hasanuddin.
1991. Peningkatan/Pengembangan Hubungan Indonesia-ASEAN dengan
Negara-negara di Kawasan Pasifik: “Lembaran Negara Republik Indonesia,”
(http://www.sjdih.depkeu.go.id). Diakses pada 4 Mei 2014.
Sussangkarn, Chalongphob (January 16, 1998) “Thailand’s Debt
Crisis and Economic
Outlook”, http://www.nectec.or.th/bureaux/tdri/mep_fore.htm
(diakses 4 Mei 2014)