Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan...

52
Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand Disusun oleh: Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018 Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang 2014

Transcript of Makalah Ekonomi Politik Internasional EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL Dengan...

Makalah Ekonomi Politik Internasional

EKONOMI POLITIK KEUANGAN DAN MONETER INTERNASIONAL

Dengan Studi Kasus: Krisis Moneter 1997 di Thailand

Disusun oleh:

Chikita Hesa Nova Pratama 125120401111018

Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya Malang

2014

2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................2LATAR BELAKANG.....................................................3

Rumusan Masalah..................................................4Tujuan...........................................................4

PEMBAHASAN.........................................................5Integrasi Tatanan Moneter dan Finansial Global...................5

Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20...........................5Pasca PDI: Akhir Globalisasi?..................................6

The Bretton Woods Order..........................................8Embedded liberalism............................................8

Runtuhnya Gold Standard dan Masa Depan Dolar....................10From Adjustable Pegs to Exchange Rates........................13

Globalisasi Pasar Finansial.....................................16Politik Nasional dan Pasar Internasional........................18

Perubahan Konteks Global........................................19Sifat dan Ragam Krisis Keuangan Internasional...................21

Resiko dan ketidakpastian.....................................21Pencegahan Krisis...............................................22

Manajemen dan Resolusi Krisis...................................25A New Global Architecture.......................................26

KESIMPULAN........................................................29KRISIS MONETER 1997 DI THAILAND...................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................33

3

BAB I

LATAR BELAKANG

Sistem finansial dan moneter internasional memerankan

peran utama dalam ekonomi politik global. Sejak akhir abad ke-

19, keberadaan sistem ini telah melalui beragam transformasi

akibat perubahan ekonomi dan politik yang sering terjadi, baik

di level domestik maupun internasional.

Kompleksitas sistem finansial dan moneter, baik di level

domestik maupun internasional sangat menarik untuk dipelajari.

Kebijakan politik dan ekonomi dari negara-negara di seluruh

dunia yang beragam dapat memengaruhi sekaligus dipengaruhi

oleh sirkulasi modal di seluruh dunia.

Atas dasar inilah, makalah ini membahas tentang bangaimana

awal abad ke-20 menjadi saksi terbentuknya integrasi politik

global yang pertama. Situasi ini bertahan hingga sebelum PDI,

dan pada masa interwar, banyaknya krisis yang terjadi menyebabkan

sistem lama kembali berganti. Kemenangan Amerika Serikat dan

Inggris pada PDII juga melahirkan sebuah rezim moneter

terbesar sepanjang masa, yakni Bretton-Woods System.

Bagaimanapun, kondisi politik yang berubah drastis setelah

PDII pada akhirnya membawa Bretton-Woods pada keruntuhannya,

sekalipun hingga kini, warisan Bretton-Woods seperti IMF dan

World Bank masih menjadi fitur kunci aktivitas finansial dan

moneter hingga detik ini.

4

Selain itu, makalah ini juga membicarakan tentang

bagaimana krisis ekonomi mampu merubah wajah dunia secara

drastis, dan bagaimana kondisi ekonomi di masa depan dapat

diprediksi dengan melihat bagaimana kondisi ekonomi di dunia

terjadi di masa kini.

Makalah ini juga menyediakan studi kasus yang telah

disusun sedemikian rupa untuk membantu pembaca dalam

mengidentifikasi konteks-konteks finansial dan moneter yang

terjadi dalam skema ekonomi politik internasional, sehingga

pembaca dapat memahami materi yang disajikan dalam makalah ini

dengan lebih mudah.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah ekonomi politik dunia berubah dari awal

terbentuknya hingga kini?

2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi kondisi

finansial dan moneter, baik di level domestik maupun

internasional?

3. Bagaimana krisis moneter dan finansial di seluruh dunia

bisa terjadi?

Tujuan

5

1. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata

kuliah Ekonomi Politik Internasional.

2. Mengetahui kompleksitas faktor-faktor yang memengaruhi

perubahan ekonomi dan politik dalam sektor finansial dan

moneter.

3. Memahami esensi krisis finansial dari berbagai dimensi

dan bagaimana masa depan ekonomi dan politik

internasional, terutama dalam konteks finansial dan

moneter, bisa berlanjut.

6

BAB II

PEMBAHASAN

Integrasi Tatanan Moneter dan Finansial Global

Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20

Di era ini, arus moneter antar negara meningkat secara

dramatis. Sebagian arus ini terdiri atas pergerakan modal

jangka pendek sebagai respon atas perbedaan tingkat bunga pada

pusat-pusat keuangan di seluruh dunia, sedangkan sisanya

adalah ekspor modal jangka panjang dari negara-negara berkuasa

di Eropa ke belahan bumi lainnya. Inggris Raya, misalnya,

mengekspor modal jangka panjang yang sangat besar setelah

tahun 1870. Jumlahnya bahkan melebihi ekspor negara-negara

kreditor manapun hingga hari ini (James 2001: 12). Di masa

ini, jumlah negara berdaulat yang masih sedikit menciptakan

highly integrated monetary system yang berdasarkan pada gold standard.

Pada 1914, mata uang semua negara-negara merdeka serta

koloninya dihubungkan oleh gold standard yang sama, menghasilkan

tingkat pertukaran yang stabil. Ketika perebutan koloni

semakin memanas setelah tahun 1870, banyak negara imperial

yang terus meningkatkan sirkulasi mata uang mereka di koloni-

koloni yang berhasil mereka taklukkan (Helleiner 2003; chs 6,

8). Hal ini dilakukan untuk mempermudah transaksi ekonomi

antar blok moneter.

7

Pada masa ini, terdapat dua monetary union yang membuat mata

uang negara-negara anggotanya dapat disalurkan pada satu sama

lain:

1. Latin Monetary Union, 1865 (beranggotakan Perancis, Swiss,

Belgia dan Italia)

2. Scandinavian Monetary Union, 1873 (beranggotakan Swedia

dan Denmark; Norwegia kemudian bergabung pada 1875).

Pasca PDI: Akhir Globalisasi?

Perang Dunia I membawa perubahan yang sangat drastis pada

tatanan finansial dunia yang pada awalnya terlihat tidak akan

pernah berganti. Setelah 1919, arus finansial antarnegara

berkurang secara dramatis dan banyak negara yang meninggalkan

sistem gold standard dan memilih kurs mengambang yang ditetapkan

oleh mekanisme kekuatan permintaan dan penawaran pada bursa

valuta asing.

Setelah PDI, usaha-usaha yang dilakukan oleh Amerika

Serikat dan Inggris untuk mengembalikan rezim moneter sebelum

perang berjalan sukses pada awalnya. Di awal tahun 1920-an,

banyak negara yang kembali menggunakan gold standard dan arus

modal jangka pendek dan panjang juga berlanjut dalam skala

besar. Namun, pada awal tahun 1930-an, krisis finansial global

memicu keruntuhan gold standard, mengisyaratkan apa yang disebut

Harold James (2001) sebagai ‘the end of globalization’.

Setelah masa ini, sistem finansial dan moneter global terpecah

8

menjadi serangkaian blok-blok dan union yang bersifat tertutup,

dimana proses sirkulasi modal dan pinjam-meminjam tetap

berlangsung di dalam blok tersebut. Arus modal antarblok

menjadi terbatas, dan seringkali terhalang oleh rezim capital

control yang ketat.

Hegemonic Stability vs. Distribusi Kekuasaan Plural

Distribusi kekuasaan dianggap sebagai salah satu pemicu

transformasi rezim finansial dan moneter, sehingga muncullah

teori hegemonic stability sebagai penyebab pergerakan rezim

finansial dan moneter sejak lama. Menurut teori ini,

kestabilan ekonomi sebelum PDI ada karena kepemimpinan Inggris

dalam arena finansial dan moneter. Sebelum PDI, mata uang

Inggris, sterling, dianggap sama bagusnya dengan emas dan

digunakan di seluruh dunia sebagai mata uang global. Inggris

juga menjadi kreditor sekaligus financial market terbesar di dunia

pada masa itu. Ekspor modal Inggris membantu menyeimbangkan

neraca pembayaran global. Bahkan ketika Inggris sedang

dirundung resesi, peminjaman global justru meluas, memberikan

kompensasi bagi negara-negara yang penjualannya menurun pada

pasar Inggris. Pada masa PDI, Inggris juga disebut-sebut

menjadi pemimpin stabilisasi pasar melalui perannya sebagai

kreditor.

Sayangnya, setelah PDI berakhir, Inggris kehilangan

perannya sebagai pemimpin. Amerika Serikat menggantikan

Inggris sebagai kreditor utama dalam aktivitas finansial

dunia, dan US Dollar menggantikan sterling sebagai mata uang

yang paling banyak digunakan. New York juga menggantikan

9

London sebagai pusat finansial internasional. Sayangnya,

politik isolationism Amerika Serikat serta kecenderungannya untuk

lebih berfokus pada ekonomi domestik membuat Amerika Serikat

‘menolak’ menjadi hegemonic power pada masa ini. Hasilnya, gold

standard menjadi tidak stabil dan pada akhirnya pun runtuh.

Hegemonic stability dalam masa ini terlihat ketika perkembangan

ekonomi Amerika Serikat yang pesat berpengaruh pula pada

ekonomi dunia, namun ketika perkembangannya tiba-tiba melambat

pada tahun 1928, perkembangan di luar juga ikut berhenti.

Keruntuhan ekonomi AS berujung pada krisis neraca pembayaran

banyak negara lain yang bergantung pada pinjaman dari Amerika

Serikat. AS kemudian memperburuk kondisi mereka dengan

menaikkan tarif impor pada tahun 1930 melalui Smoot-Hawley

Act. Tidak seperti Inggris, AS menolak untuk menjadi kreditor

untuk menstabilkan krisis atau menghapus hutang perang negara

lain yang semakin menumpuk.

Setelah teori ini, muncul kritik yang menyatakan bahwa

Inggris sebagai pemeran utama dalam ekonomi global pra-PDI

dianggap terlalu berlebihan. Distribusi kekuasaan finansial

dan moneter pada masa itu dikatakan lebih cenderung plural

daripada hegemonis, dengan stabilisasi yang diatur oleh

sejumlah bank sentral dari sejumlah negara. Yang lebih

penting, transformasi sistem finansial dan moneter pada masa

ini lebih disebabkan oleh distribusi kekuasaan kepada banyak

pihak, sehingga kestabilannya bergantung pada kestabilan

politik dan ekonomi domestik pula. Ide liberal klasik yang

berkembang luas pada saat itu membuat banyak pemerintah

10

memajukan kebijakan moneter domestik mereka dengan menjadikan

emas sebagai mata uang nasional.

Ketika mata uang suatu negara mendapat tekanan akibat

mengalirnya modal keluar yang berlebihan atau defisit

perdagangan, otoritas fiskal dan moneter biasanya merespon

dengan mengetatkan kebijakan moneter serta mengurangi

pengeluaran. Kombinasi metode ini dengan emas sebagai satuan

ukuran mata uang mereka memastikan pergerakan modal jangka

pendek menjadi stabil dan berimbang. Dengan begitu, kegiatan

perdagangan antarnegara juga akan tetap lancar. Sayangnya,

konsep ini otomatis menyandarkan nasib ekonomi global yang

rapuh pada kondisi ekonomi domestik yang lebih rapuh lagi.

Kelas menengah kebawah adalah pihak yang paling dirugikan atas

masalah ini, karena mereka memiliki suara yang kecil dalam

arena politik. pada masa pra-PDI, banyak bank sentral yang

bukan merupakan badan umum. Kepentingan ekonomi wilayah-

wilayah koloni atau peripheral juga lebih sering dikontrol oleh

kepentingan luar negeri.

Pasca PDI, tatanan politik domestik berubah menjadi lebih

independen. Sistem pemilihan umum meluas ke berbagai kelas

masyarakat, kekuatan buruh semakin bertumbuh, dan kebijakan

ekonomi intervensionist semakin didukung. Tuntutan bagi kebijakan

fiskal dan moneter untuk lebih merespon pada kebijakan

domestik pun semakin bertambah. Penyesuaian ekonomi

internasional dalam sinkronisasi mata uang negara dengan gold

standard menurun karena otoritas fiskal dan moneter lebih

ditekan untuk memperhatikan kondisi ekonomi dalam negerinya.

Kondisi domestik inilah, dan bukannya dominasi Inggris, yang

11

dipercaya sebagai sebab terpecahnya integrasi sistem moneter

pada masa interwar.

Adanya peralihan sistem dari fixed exchange rate menjadi kurs

terapung juga merupakan penyebab diseintegrasi rezim ekonomi

internasional pasca PDI. Adanya Depresi Besar serta krisis

global tahun 1931 membuat pemerintah beralih dari gold standard

yang menuntut pengaturan yang rumit dan berpindah ke kurs

terapung, sehingga kebijakan moneter luar negeri mereka bisa

tetap berkembang meskipun mata uang mereka mengalami

depresiasi. Dengan ini, masalah finansial dan moneter domestik

tetap bisa diatasi. Dan yang terpenting, kurs terapung mampu

melindungi sebuah negara dari keadaan ekonomi Amerika yang

terjun bebas pada masa itu, karena kontrol modal sebagai

prasyarat kurs terapung membuat mereka mampu mengatur arus

modal dengan baik. John Maynard Keynes adalah pendukung

ekonomi domestik terbesar pada masa ini: Keynes berkata, “let

finance be primarily national”. (Keynes 1933: 758).

The Bretton Woods Order

Embedded liberalism

Pasca PDII, Amerika keluar sebagai pemenang perang

sekaligus kekuatan ekonomi yang paling dominan. Pembuat

kebijakan AS pun bertekad untuk menjaga posisinya tetap berada

paling atas serta mengendalikan tatanan ekonomi multilateral

12

yang lebih bebas daripada sebelumnya. Obyektif yang disebut

Ruggis (1982) sebagai ‘embedded liberalism’ ini juga didukung

oleh Keynes, yang menjadi pembuat kebijakan ekonomi di Inggris

setelah PDII. AS dan Inggris kemudian membuat cetak biru

tatanan finansial dan moneter internasional pasca perang yang

kemudian disetujui oleh 44 negara pada konferensi Bretton-

Woods pada tahun 1944 (Van Dormael 1978; Gardner 1980).

Dalam konferensi ini, Dolar Amerika menjadi acuan dengan

tingkat harga USD 35/ons emas. Melalui pengaturan ini, negara-

negara kembali menetapkan gold-dollar standar yang pada awalnya

terlihat serupa dengan gold standar yang sebelumnya gagal. Namun,

terdapat beberapa karakteristik baru; pertama, negara

diperbolehkan menyesuaikan peg mereka sesuai kebutuhan,

bukannya dalam satu standar seperti gold standard yang lama.

Artinya, negara dapat menukar deflasi domestik yang berbahaya

dengan devaluasi nilai tukar mata uangnya. Devaluasi kurang

dari 10% dapat dijalankan secara otomatis, sedangkan devaluasi

lebih dari nilai tersebut membutuhkan persetujuan IMF yang

baru didirikan. Kedua, sekalipun negara menyetujui bahwa mata

uang mereka dapat diubah menurut transaksi, mereka memiliki

kontrol penuh atas pergerakan modal. Keynes dan Harry Dexter

White ingin melindungi pemerintah suatu negara dari pergerakan

modal yang ditujukan untuk ‘alasan politis’ atau menghindari

pajak serta aturan legislatif. Kontrol modal juga membuat

pemerintah mampu menadakan perencanaan ekonomi makro melalui

kebijakan tingkat bunga yang independen.

Pencipta Bretton-Woods System juga mendirikan dua lembaga

finansial: International Bank for Reconstruction and

13

Development atau IBRD (sekarang World Bank) dan International

Monetary Fund (IMF). Kedua lembaga ini –terutama IMF- mendapat

tugas untuk mempromosikan kerjasama finansial dan moneter

global. Khususnya, mereka diharapkan mampu menggantikan posisi

negara dan pihak swasta lain sebagai kreditor global. IBRD

dirancang untuk menyediakan pinjaman jangka panjang bagi

rekonstruksi pasca perang, sedangkan IMF dirancang untuk

menyediakan pinjaman jangka pendek bagi negara yang perlu

menyeimbangkan neraca perdagangan mereka.

Rezim Bretton-Woods berjaya pada tahun 1950-an hingga

1971, dan selama itu IBRD dan IMF tidak menjadi pemain utama

seperti harapan Keynes dan White. Namun, banyak badan lain

seperti pemerintah Amerika Serikat dan European Payments Union

yang berjalan sesua fitur kunci Bretton-Woods, yakni menjadi

kreditor publik (juga penyedia fasilitas rekonstruksi dan

pengembangan). Hasil dari konferensi Bretton-Woods yang lain,

seperti IBRD, IMF serta sistem mata uang yang dapat dirubah

masih bertahan hingga sekarang.

Runtuhnya Gold Standard dan Masa Depan Dolar1

Pada Agustus 1971, Amerika Serikat (AS) tiba-tiba

menghentikan pertukaran US Dollar ke emas, hal ini menandai

berakhirnya peran emas sebagai standar untuk mata uang

lainnya. Sebernarnya, kejatuhan Gold Standar sudah diprediksi

semenjak tahun 1960, dimana Robert Triffin (1960) telah

1 Ravenhill. Global Political Economy (2011: Oxford University Press). hal. 299

14

menyoroti ketidakstabilan dolar terhadap emas. Dalam sebuah

sistem di mana dolar adalah mata uang cadangan utama, ia

berpendapat bahwa likuiditas internasional dapat diperluas

hanya ketika Amerika Serikat menyediakan lebih banyak dolar ke

seluruh dunia dengan menjalankan defisit neraca pembayaran,

namun hal tersebut sangat beresiko. Salah satu solusi yang

dapat digunakan untuk Triffin Paradox ini adalah menciptakan mata

uang internasional yang baru yang tidak terikat dengan neraca

pembayaran di suatu negara. Pada 1965, AS mendukung ide yang

dikeluarkan oleh IMF bahwa ia mampu menciptakan mata uang

tersebut dan tetap menetapkan dollar sebagai cadangan utama,

kemudian Special Drawing Rights (SDR) dibuat pada tahun 1969 untuk

tujuan ini. SDR hanya bisa digunakan oleh otoritas moneter

nasional sebagai asset cadangan untuk mengatur

ketidakseimbangan pembayaran antarnegara.

Pada tahun 1960an dan setelah 1960an, prediksi yang

dikeluarkan Triffin mulai terlihat. Mata uang AS di luar

negeri tumbuh lebih besar dibandingkan jumlah emas yang

dikeluarkan pemerintah. Di satu sisi, hal ini membawa

keuntungan bagi AS: ia mampu mengembangkan dan memperbaiki

keuangan eksternal yang defisit dikarenakan perang di Vietnam

dan program Great Society (yang menaikkan impor) dengan cara

mencetak dollar lebih banyak ke seluruh dunia. Namun di sisi

lain, AS dapat secara mudah diserang oleh krisis. Jika semua

pemegang dolar tiba-tiba memutuskan untuk mengubah mata uang

AS ke emas, AS tidak akan mampu menghadapinya. Namun krisis

ini tidak sampai terjadi karena partner perdagangan AS seperti

Jerman dan Jepang sepakat untuk tidak mengubah cadangan mereka

15

ke emas. Sedangkan pihak yang tidak suka dengan kebijakan AS—

seperti Prancis, menolak kebijakan AS karena ia menganggap hal

ini sebagai bentuk hegemoni AS (Krishner 1995: 192-203).

Dalam kacamata para peneliti, jatuhnya standar pertukaran

emas menunjukkan turunnya kekuatan AS, dan pendapat lain

menyebutkan bahwa kekuatan hegemoni AS dalam sistem moneter

internasional dan perubahan yang terjadi merupakan taktik lain

untuk menuju keinginan mereka sebagai pemimpin. Ketika pembuat

kebijakan AS menghentikan pertukaran dolar ke emas, beberapa

memprediksikan bahwa peran dolar sebagai dominan dunia akan

tertantang secara cepat, karena dolar dianggap tidak sebaik

emas lagi. Namun pada faktanya, peran dolar sebagai pusat

dunia terus berlanjut hingga saat ini. Dolar digunakan sebagai

penetapan untuk transaksi ekonomi dan meningkatkan perdagangan

internasional serta menarik investaasi di seluruh dunia.

Beberapa pemerintah asing juga masih menyimpan cadangan uang

mereka dalam bentuk dolar dan menetapkan sistem perdagangan

dalam dolar dikarenakan perekonomian dan politik mereka masih

terikat dengan AS.

Banyak pihak yang tidak setuju bahwa hegemoni mata uang AS

yaitu dolar akan terus berlanjut (lihat Helleiner dan Kirshner

2008, 29009a). Beberapa berpendapat bahwa peran dolar saat ini

berada dalam masa yang sulit. Defisit fiskal yang besar yang

dikombinasikan dengan hutang luar negeri yang terus meningkat

memunculkan perhatian yang baru apakah peran dolar akan terus

bertahan dalam pasar global. peran dolar sebagai acuan moneter

internasional juga dipertanyakan semenjak keterikatan ekonomi

dan politik antarnegara terus menurun. Kemudian muncul mata

16

uang yang mengancam keberadaan dolar sebagai hegemoni mata

uang, yaitu euro, yen, dan RMB .

a. Euro (Eropa)

Dalam Henning (1998), salah satu tujuan dibalik

diciptakannya euro adalah untuk menyaingi keberadaan

dolar. Komisi Eropa pada saat itu selalu mengatakan bahwa

euro mampu membawa keuntungan yang “simetris” pada sistem

moneter dunia. Dan memaksa AS untuk “lebih sadar atas

keterbatasan pembuat kebijakan”. Semenjak euro dibuat pada

tahun 1999, perannya sebagai tantangan bagi AS tidak

begitu signifikan. Salah satu alasannya adalah bahwa pasar

uang Eropa tidak semuanya terintegrasi dengan baik dan

tidak ada kesamaan pusat seperti yang ada di AS.

Pemerintah Eropa juga tidak terlalu tertarik untuk secara

aktif memperkuat peran euro secara internasional. Cohen

(2003) berargumen bahwa peran euro dalam lingkup

internasional telah ditahan oleh pemerintahannya sendiri

oleh sebab yang tidak jelas, namun sepertinya terkait

struktur pemerintahan yang ada disana dan kredibilitas

politik di luar negerinya. Ketidakpastian ini semakin

disorot ketika terjadi krisis finansial pada tahun 2007-

2010 dimana manajemen krisis di Eropa tidak cukup baik

(meninggalkan pemerintah nasional demi menyelamatkan

keuangan negaranya sendiri) dan posisi euro yang lemah di

negara anggota Eropa sendiri seperti Yunani.

b. Yen (Jepang)

17

Ketika Asia mengalami krisis pada 1997-1998, pembuat

kebijakan di Jepang tertarik untuk menjadikan yen sebagai

mata uang internasional, terutama pada kawasan Asia Timur

(Grimes, 2009). Krisis ini menaikkan kepercayaan di Asia

Timur pada dolar AS dan pengaruh moneter Jepang yang

terbatas terkait tumbuhnya perdagangan dan investasi pada

saat itu. untuk menguatkan peran yen dalam skala

internasional, pemerintahan Jepang mengeluarkan beberapa

inisiatif yang diantaranya mengembangkan pasar uang jangka

pendek dan menaikkan peminjaman dalam satuan yen di Jepang

(ketika kebanyakan negara menggunakan satuan dolar AS).

Internasionalisasi yen kemudian terhenti dikarenakan

masalah sistem keuangan Jepang, dan Cina yang menolak ide

Jepang sebagai pemimpin moneteer di kawasan. (Katada

2002).

c. RMB atau renmimbi (Cina)

Ketika Cina muncul sebagai tekanan ekonomi dunia, beberapa

mulai berspekulasi apakah mata uang mereka, renmimbi (RMB)

akan menggantikan dominasi dolar AS. Spekulasi ini muncul

karena pemerintahan Cina tiba-tiba tertarik untuk

menginternasionalisasikan RMB sebagai respon atas krisis

finansial dunia pada tahun 2007-2010. Namun ketika Cina

mulai menurunkan standar dolar AS, Gross Domestic Product (GDP)

Cina menurun sebanyak tiga persen. Internasionalisasi RMB

tidak berjalan mudah karena mata uang tersebut tidak

bernailai tukar, apabila ia bernilai tukar pun, sikap

atraktif Cina terhadap mata uangnya akan menghalangi

perkembangan keuangan dan perdagangan. Selain itu, tidak

18

seperti AS, usaha Cina untuk menjadi pemimpin moneter

global masih tertinggal jauh oleh AS ketika AS lebih dulu

menemukan kekuatan industri.

Pemerintahan Cina, seperti sudah menyadari peran AS,

mendukung penguatan peran SDR dalam sistem moneter

internasional. Maret 2009, gubernur bank sentral di Cina,

Zhou Xiaochuan (2009) , mengeluarkan keputusan yang sangat

menonjol untuk membuat sistem yang settle antara SDR dengan

mata uang yang lain. International Monetary Fund dipercaya mampu

mengawasi sistem moneter untuk menjamin efektifitasnya.

Ketika pembuat kebijakan yang lain masih ragu atas

keputusan Zhou, mereka (pihak Cina) menyadari akan peran

IMF terkait krisis global yang membantu negara-negara yang

bangkrut pada masa itu untuk memperbaiki sistem ekonomi

dan keuangan mereka. Namun SDR masih menunjukkan peran

yang tidak seberapa besar dalam sistem moneter

internasional.

Seiring dengan masih didominasinya sistem moneter dunia

dengan dolar AS, banyak peneliti EPI bepikir, apakah kekuatan

dolar AS dapat digantikan dalam waktu kedepan? Apabila peran

dolar AS tergantikan, dari sisi AS, ia akan kehilangan prestige

sebagai hegemon mata uang, karena ia juga sudah mengeluarkan

seignionare2 sebagai pendapatan bagi pemerintah AS. Penurunan

peran dolar AS tentu akan membawa dampak kepada dunia. Akan

muncul pertanyaan apakah sistem moneter internasional akan

tetap stabil apabila tidak ada kekuatan moneter yang dominan,

2 Seignionare adalah perbedaan atas nilai nominal suatu mata uang dengan ongkos produksinya. Lihat di Ravenhill (2007), halaman 233.

19

tentu saja para pendukung teori hegemonic stability beranggapan

bahwa dunia tidak akan mampu bertahan tanpa kekuatan moneter

yang dominan. Namun David Challeo (1987: ch. 8) beranggapan

bahwa moneter internasional itu berdasar pada “pluralistik”

atau “balance of power” yang akan membawa stabilitas daripada

hanya mengandalkan satu kekuatan yang dominan. Hegemonic Power¸

dalam pandangannya, merupakan bentuk eksploitasi yang nantinya

hanya akan melayani kepentingannya sendiri daripada keinginan

untuk menstabilkan sistem yang ada.

From Adjustable Pegs to Exchange Rates

Setelah sistem Bretton Woods jatuh pada awal 1970an, fitur

lain yang muncul adalah adjustable peg system yang dalam

perkembangannya dimulai pada tahun 1973, ketika pemerintah

mengizinkan mata uang utama di dunia untuk berada di atas

nilai vis-à-vis yang lain. Sistem ini diresmikan pada tahun 1978

ketika Article’s of Agreement IMF di amandemen sehingga mengizinkan

setiap negara untuk bertumpu pada rezim tertentu dalam

menetapkan nilai tukar mata uang mereka. Sistem ini berakhir

karena meningkatnya arus keuangan internasional, yang membuat

pemerintah berfikir bagaimana caranya untuk mempertahankan

nilai mata uang mereka. Selain itu, para pembuat kebijakan

yang berpengaruh mulai mempertimbangkan keuntungan yang akan

didapat dari sistem ini, mengingat Bretton Woods dulu membawa

dampak negatif bagi sistem pertukaran uang sebelum Perang

Dunia II.

20

Banyak pihak yang beranggapan bahwa sistem ini membawa

dampak baik untuk memfasilitasi penyesuaian terhadap

ketidakseimbangan eksternal ketika banyak pemerintah yang

tidak menginginkan peraturan standar emas atau gold standard. Ide

penggunaan sistem kurs ini tentu saja berakar dan didukung

oleh Bretton Woods; pemerintah dapat menyesuaikan penetapan mata

uang mereka ketika dalam kondisi yang tidak seimbang. Namun

dalam prakteknya, banyak pemerintah menolak untuk melakukan

perubahan ini, karena akan memicu kontroversi kebijakan baik

domestik maupun luar negeri. Dari sisi positif sistem ini,

muncul sisi negatifnya pula. Sistem ini dikatakan dapat memicu

ketidakseimbangan ekonomi eksternal daripada adjustments atau

penyesuaian, karena memicu ketidakseimbangan mata uang di tiap

negara. Hal ini memicu negara-negara yang tergabung dalam G-5

(AS, Prancis, Inggris, Jerman, Jepang) untuk menandatangani

perjanjian Plaza yang membuat negara-negara ini bekerjasama

untuk membuat dolar AS tidak jatuh dalam arus keuangan yang

begitu intens. Hal ini tentu membuat AS memperkuat kebijakan

makroekonomi mereka, yang dinilai oleh pakar dari Jerman Barat

dan Jepang sebagai usaha AS untuk memperkecil defisit neraca

mereka dengan cara membuat perubahan kebijakan di luar

negerinya daripada domestiknya.

Koordinasi makroekonomi diantara negara-negara G-5

memunculkan momentum baru, yaitu surplus perdagangan di Asia

Timur pada tahun 2000. Cadangan keuangan Cina tumbuh secara

drastis dan menjadi yang paling besar di seluruh dunia.

Beberapa berpendapat bahwa akumulasi Asia Timur terhadap dolar

AS membawa kembali ke zaman 1960an ketika Eropa dan Jepang

21

meningkatkan simpanan dalam bentuk dolar AS untuk

mempertahankan nilai kurs mereka3. Hal ini membuktikan bahwa

sistem Bretton Woods II masih bertahan lama karena ia

menyediakan keuntungan ekonomi bagi negara yang berpatisipasi

dalam ekonomi Global. Negara di Asia Timur sudah bisa

menyokong ekspor mereka melalui industrialisasi, ketika AS

masih menambah impor dengan harga murah dan pendapatan asing

yang lemah—sebagai dampak cadangan dolar yang besar di negara

lain dan defisit fiskal. Pada saat krisis global 2007-2010, AS

menyalahkan negara-negara yang memperoleh surplus, terutama

Cina dengan alasan Cina terlalu berlebihan dalam menyimpan

cadangan dolar AS sehingga menimbulkan krisis.

Negara G-5 ataupun G-7 saat ini sudah tidak bisa lagi

dijadikan badan untuk membicarakan ketidakseimbangan global,

sehingga IMF muncul sebagai alternatifnya. Pecahnya krisis

utang internasional pada awal tahun 1980 segera memberikan IMF

kehidupan baru sebagai sebuah lembaga yang berfokus pada

manajemen krisis negara-negara miskin (lihat Pauly, Bab 8

dalam buku ini). Tapi IMF juga terlahir kembali untuk kedua

kalinya setelah awal 1970-an. Dalam upaya untuk mempertahankan

beberapa persamaan dari aturan multilateral atas sistem nilai

tukar mengambang baru, IMF diberi mandat baru pada tahun 1976

yaitu 'latihan pengawasan perusahaan atas kebijakan nilai

tukar anggota' (dikutip dalam Pauly 1997: 105). Kegiatan

'pengawasan' IMF ini telah sejak menjadi bagian penting dari

keseluruhan operasinya. Meskipun IMF berfokus pada konsultasi

bilateral, muncul inisiatif untuk mengatasi krisis global3 Dooley. Bretton Woods II Still Defines The International Monetary System. (2009: National Bureau Of Economic Research). Hal. 3.

22

dengan mengikutsertakan Cina, Eropa , Jepang, Amerika

Serikat , dan Arab Saudi. Beberapa berharap bahwa inisiatif

semacam ini akan memungkinkan IMF untuk mengambil peran aktif

dalam menghidupkan kembali jenis manajemen nilai tukar

multilateral yang ditandai dengan perjanjian Plaza hingga

Louvre. Dengan keanggotaan hampir keseluruh dunia , IMF

mungkin lebih cocok daripada badan-badan lainnya , seperti G7

atau OECD , untuk meluncurkan inisiatif semacam ini .

Tapi kaum skeptis berpendapat bahwa kemampuan IMF untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah akan sangat

terbatas . Bahkan dalam konteks bilateral , saran IMF secara

umum memiliki dampak yang signifikan hanya jika IMF berjanji

akan memberikan pinjaman. Dengan kata lain, apabila tidak ada

“iming-iming” pinjaman dari IMF, sebenarnya kekuatan IMF

sangat terbatas.

Meskipun upaya untuk menstabilkan hubungan antara nilai-

nilai dari mata uang utama dunia telah dibatasi sejak awal

1970-an, beberapa pemerintah telah menciptakan hubungan

moneter yang stabil dalam konteks regional yang lebih kecil

dan hal ini terjadi di Eropa. Pada saat Bretton Woods jatuh,

sejumlah negara yang tergabung dalam European Community (EC)

berusaha untuk menstabilkan nilai tukar di antara mereka

sendiri. Upaya-upaya awal yang diikuti dengan penciptaan

Sistem Moneter Eropa pada tahun 1979, yang membentuk semacam

'mini-Bretton Woods’. Kemudian pada tahun1999, negara-negara

di Eropa sudah berkomitmen untuk menjadi satu kesatuan

moneter. Beberapa pembuat kebijakan di Jerman melihat mata

uang euro sebagai cara untuk menghidari inflasi. Bank sentral

23

Eropa yang baru juga mempunyai tujuan untuk menstabilkan

harga. Ada yang beranggapan bahwa munculnya euro merupakan

cara untuk menciptakan stabilitas makroekonomi. Banyak analis

juga berpendapat bahwa keputusan untuk membuat euro terkait

dengan kesepakatan politik yang lebih luas antara Jerman dan

negara Eropa lainnya pada saat Perjanjian Maastricht. Banyak

negara-terutama Eropa terutama Prancis tidak mau didominasi

sistem moneter Eropa oleh Jerman Bundesbank, dan mereka

ditekan untuk EMU sebagai cara untuk mengalirkan pengaruhnya.

Ketika Eropa membentuk satuan mata uang sendiri, banyak

Ekonomis yang berpikir apakah hal ini memang mungkin terjadi.

Hal ini terkait dengan optimum currency4 yang menimbulkan kekuatan

di region Eropa (dalam kasus euro). Selain Eropa, ternyata ada

beberapa kawasan yang membentuk kesatuan (Union) sendiri.

Diataranya CFA franc zone yang pembentuknya koloni Prancis di

barat dan Afrika, namun tidak membentuk mata uang untuk

kawasan mereka sendiri5. Mulai tahun 1999, banyak pembuat

kebijakan di berbagai kawasan yang mulai memperdebatkan

gagasan untuk menciptakan sebuah serikat mata uang yang akan

didasarkan pada dolar AS. Dua negara-- Ekuador dan El

Salvador-- memperkenalkan dolar AS sebagai mata uang nasional

mereka, pada tahun 2000 dan 2001. Negara di Amerika Latin

percaya bahwa mata uang AS akan menarik banyak investor karena

cenderung stabil. Pada tahun 2003, negara ASEAN ditambah Cina,

Jepang, dan Korea Selatan menciptakan pasar obligasi Asia,

4 Dikembangkan oleh Robert Mundell pada tahun 1961, untuk mengevaluasi pro dan kontra pembentukan union diantara grup grup tertentu di suatu negara. Lihat di Ravenhill halaman 2405 Ravenhill. Global Political Economy (2011: Oxford University Press, halaman 240)

24

dimana nantinya akan menambah simpanan mereka dan kemudian

diinvestasikan ulang di kawasan mereka.

Globalisasi Pasar Finansial

Fitur terakhir rezim Bretton-Woods yang telah berhenti

sejak awal 1970-an melibatkan tren globalisasi pasar finansial

swasta. Perancang Bretton-Woods menciptakan tatanan finansial

global dimana pemerintah mampu mengatur arus finansial swasta

diluar teritori mereka, dan lembaga internasional memiliki

peran utama untuk memberikan kredit jangka pendek dan panjang

dalam level internasional. Di masa kini, nampaknya, justru

peran-peran pemerintah dan lembaga internasional tersebut

malah tertukar.

Pertumbuhan jaringan telekomunikasi yang pesat membuat

uang mampu dipindahtangankan secara lebih cepat dan lebih

mudah daripada sebelumnya, membuat tingkat pertumbuhan pasar

yang amat signifikan. Ekspansi TNC yang pesat pada tahun 1960-

an, misalnya, memunculkan tuntutan lebih untuk layanan

finansial swasta yang bersifat global. Tren pada tahun 1970-an

yang membuat perusahaan swasta mengambil alih kontrol minyak

dan gas alam dari pemerintah juga memicu diversifikasi aset,

membuat sistem tukar menjadi lebih rapuh setelah keruntuhan

rezim Bretton-Woods pada tahun 1971. Namun, pada saat

bersamaan, resiko serta biaya untuk aktivitas internasional

menjadi lebih rendah dengan adanya currency futures, options, dan

25

swaps. Pada intinya, pemerintah tidak lagi memberlakukan kontrol

penuh atas arus modal di dalam dan luar teritorinya.

Langkah pertama atas pertukaran peran ini terjadi ketika

pemerintah Inggris mulai mendukung pertumbuhan ‘euro-market’

di London pada tahun 1960-an, dimana mereka memperbolehkan

aktivitas finansial dilakukan menggunakan mata uang asing –

terutama US Dollar- tanpa regulasi yang tegas. Setelah

pertengahan 70-an, banyak pemerintah yang mulai menghapus

sistem kontrol modal mereka. AS dan Inggris memelopori gerakan

ini dengan menghapuskan kontrol modal mereka pada tahun 1974

dan 1979. Pada 1990-an, pola hubungan finansial liberal muncul

di negara-negara industri maju, memberikan kebebasan bagi

aktor-aktor baru dalam aktivitas finansial antarnegara.

Negara-negara berkembang juga perlahan-lahan melepas kontrol

mereka, dan banyak negara-negara Caribbean yang bahkan

menawarkan lingkungan bebas regulasi untuk aktivitas finansial

internasional. Tempat-tempat seperti Cayman Islands menjadi

salah satu pusat perbankan yang signifikan di seluruh dunia

(Palan 2003).

Berkembangnya paham neo-liberal di masa ini menjadi salah

satu penyebab perubahan rezim ekonomi. Tidak seperti pemikiran

Keynes dan White, neo-liberal percaya bahwa kontrol modal

membuat gangguan dalam sistem pasar bebas dan mencegah

pengalokasian modal internasional secara efisien. Liberalisasi

kontrol modal juga dilihat oleh beberapa pihak sebagai

strategi kompetitif sebuah untuk menarik bisnis serta modal

swasta kepada mereka (Cerny 1994). Sistem ‘euro-market’ di

London ada untuk membangung ulang status Inggris sebagai pusat

26

finansial internasional. Dukungan pemerintah atas liberalisasi

finansial juga dirancang untuk mengamankan posisi finansial

New York sekaligus menarik modal asing kepada mereka. Pusat-

pusat finansial lain yang lebih kecil juga memberikan zona

bebas regulasi sebagai bagian dari strategi pembangunan yang

mampu menyediakan lapangan pekerjaan sekaligus pemasukan bagi

pemerintah. Ketika sebuah negara memiliki akses atas pasar

keuangan asing dan menjadi lebih ‘transnasional’, para pembuat

kebijakan mengakui bahwa kontrol modal hanya bisa dilakukan

dengan cara yang sulit dan keras, serta merugikan bagi ekonomi

nasional (Goodman dan Pauly 1993).

Politik Nasional dan Pasar Internasional

Kestabilan pasar internasional selalu dipengaruhi oleh

keadaan domestik. Sistem demokrasi yang meluas hingga saat ini

membuat korelasi yang kuat antara pasar dan tatanan politik.

Pada dasarnya sistem keuangan global adalah sistem yang selalu

melibatkan aktor-aktor penghutang dan pemberi pinjaman.

Kekuatan atau kondisi pasar internasional ditentukan oleh

aktor penggerak yang biasa disebut dominator. Itu berarti

kondisi pasar internasional bergantung pada kondisi domestik

dominator. Politik yang kuat pada sistem internasional

biasanya dikorelasikan dengan adanya korupsi sehingga selalu

terkait dengan kasus-kasus kemiskinan dan hal-hal yang

bersifat negatif. Namun sistem ekonomi dapat dikatakan sebuah

konstruksi, maksudnya adalah untuk menentukan kecocokan suatu

27

sistem ekonomi biasanya bergantung pada siapa yang

mengatakannya.

Ketidakstabilan pada pasar pasti berdampak pada keadaan

sosial masyarakat. Contohnya saat terjadi Great Depression,

Amerika Serikat hampir mengalami perang saudara yang cukup

intens pada saat itu. Banyak pula fakta lain yang menunjukkan

korelasi ekonomi dan sosial yang ada di masyarakat. Pasar yang

terjadi secara global pasti juga mempunyai hubungan keadaan

sosial masryarakat domestik. Pasar global pada awalnya

dibentuk karena depresi atau dampak perang dunia. Dari depresi

tersebut, timbullah asumsi untuk menuju kemakmuran bersama.

Butuh kesadaran diri dan pengorbanan dari seluruh manusia

untuk menciptakan human society yang lebih baik. Namun seiring

perkembangan waktu, asumsi tersebut banyak mengalami

perubahan. Untuk kelancaran ekonomi politik internasional

ditentukan oleh segala kebijakan ekonomi politik domestik.

Yang terjadi sekarang adalah ekonomi politik global hanya

ditentukan oleh kebijakan ekonomi politik domestik beberapa

negara dominator saja. Contohnya adalah Amerika Serikat,

dollar adalah mata uang dunia saat ini, jika seandainya

Amerika mengubah kebijakan ekonominya mengenai dollar, maka

yang terjadi adalah keadaan ekonomi global ikut terkena

dampaknya. Tentunya hal tersebut tidak dapat pula lepas oleh

politik yang dilakukan untuk terus menerus mengincar kekuasaan

yang ada dalam pasar global itu sendiri.

Tetapi tidak ada yang namanya sistem dominasi yang

bertahan selamanya. Maksudnya adalah tidak ada sistem kekuatan

dunia dalam pasar global yang selamanya dianggap cocok dan

28

benar. Dapat dicontohkan seperti Gold Standard yang dahulu

pernah memegang peran penting namun akhirnya runtuh dan

digantikan oleh Bretton Woods System. Namun sistem tersebut

juga akhirnya runtuh dan digantikan dengan sistem perekonomian

global seperti saat ini. Tidak ada yang tahu kapan sebuah

sistem akan hancur atau berubah. Yang terlihat sekarang adalah

adanya kontrol IMF dan World Bank atas perekonomian global.

Hal ini yang membuktikan bahwa negara pemimpin atau dominator

akan membangun sebuah sistem untuk mengawasi dan mencegah

adanya krisis global. Negara pemimpin juga akan meningkatkan

dan membangun sistem regulasi nasional yang akhirnya berdampak

pula pada keadaan global.

Kesimpulannya adalah kestabilan pasar global tidak mudah

untuk dicapai. Keadaan pasar global akan selalu diperngaruhi

oleh kestabilan sistem domestik masing-masing negara. Namun

pada dasarnya selalu ada dominasi dalam sistem dunia sehingga

keadaan pasar global secara garis besar selalu dipengaruhi

oleh kebijakan ekonomi politik dominator. Dengan adanya sistem

perekonomian global, hubungan antar negara menjadi sangat

penting tetapi sulit untuk mencapi kestabilan politik secara

menyeluruh.

Perubahan Konteks Global

Ekonomi politik internasional telah tumbuh seiring

berjalannya waktu. Setiap tahap yang dilalui pasti melalui

perubahan-hingga saat ini. Yang terjadi sekarang tentu bisa

29

dikatakan berbeda dengan apa yang ada di masa lalu. Dahulu

negara-negara sangat menutup dirinya. Setiap negara bekerja

secara individual dan memaksimalkan sumber dayanya sendiri.

Tentu aktor yang berperan pada saat itu adalah negara, semua

kebijakan akan bergantung apa yang diputuskan oleh pemerintah

dalam negara. Pada saat itu negara lebih cenderung berlomba-

lomba mencari kekuatan tanpa melakukan interaksi satu sama

lain. Namun krisis akhirnya banyak terjadi di tiap negara

karena negara tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri.

Perekonomian dunia turun drastis pada saat itu ditambah

keadaan perang yang semakin mendesak.

Akhirnya muncul konsep keterbukaan untuk saling

berinteraksi antar negara. Sistem perekonomian dunia muncul

untuk menjadi titik koordinasi negara satu dengan negara lain.

Dapat dicontohkan dengan adanya Gold Standard dan Bretton

Woods System. Kedua sistem tersebut pernah menjadi aturan yang

dianut oleh dunia dan menjadi patokan perilaku antar negara.

Namun pada saat itu kondisi masih sedikit sulit karena negara-

negara masih sulit untuk membuka diri. Baik negara maju dan

negara berkembang masih enggan untuk membuka diri karena

trauma perang yang pernah terjadi.

Setelah Bretton Woods System runtuh dan Gold Standard

benar-benar ditinggalkan pada tahun 1970an, itulah awal

perekonomian modern. Mulai saat itu, suatu negara mempunyai

kontrol masing-masing atas nilai dari mata uangnya. Hal

tersebut dibantu oleh IMF dan World Bank sebagai sisa dari

Bretton Woods System. Dengan mempunya kontrol terhadap diri

masing-masing, negara-negara berkembang mulai membuka diri

30

terhadap negara maju dengan harapan dapat memperbaiki

perekonomian negara. Fenomena tersebut terlihat mencolok pada

akhir tahun 1980an dan awal 1990an. Mulai saat itu setiap

negara berusaha untuk memperluas pasarnya hingga lintas batas

negara. Timbul kesadaran bahwa arus ekonomi akan tumbuh lebih

cepat dengan membuka diri daripada hanya mengandalkan sumber

daya domestik.

Tahun 1980an menjadi waktu yang memperlihatkan secara

jelas dimana hampir semua negara mengubah arah kebijakan

ekonominya yang semula hanya tertutup dalam sektor domestik

menjadi keterbukaan terhadap pasar ekonomi global. Muncul

aktor-aktor baru yang semula hanya negara menjadi perusahaan-

perusahaan multinasional atau bahkan individu. Investasi asing

mulai merasuki banyak negara terutama negara berkembang. Di

satu sisi hal ini merupakan hal yang menguntungkan kedua belah

pihak antara investor dan negara penerima, namun di sisi lain,

perekonomian global memaksa suatu negara untuk mengubah cara

pandangnya. Kebijakan ekonomi negara yang semula hanya

berorientasi secara domestik harus berubah mengikuti

perkembangan pasar internasional. Contohnya penyesuaian harga

barang, harus mengikuti harga yang sedang berkembang di pasar

internasional. Dengan kata lain sistem internasional membuat

suatu konsekuensi yang harus diterima oleh setiap negara.

Tetapi setiap negara pasti tetap berusaha mempertahankan

kekuatan dirinya, akhirnya menimbulkan gesekan antar lintas

batas negara dalam sistem perekonomian global.

Pada akhirnya yang timbul adalah dilema antara kedaulatan

politik dan ketergantungan ekonomi. Di satu sisi, negara

31

bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhannya, namun

di sisi lain negara juga harus menjaga kedaulatan dirinya.

Kapitalisme global yang diasumsikan oleh Amerika Serikat

membawa efek yang cukup luar biasa pada seluruh negara. Dengan

adanya pasar bebas dalam tingkat internasional, negara harus

memberikan sedikit kekuasaannya untuk diatur dalam pasar

tersebut untuk bertahan hidup. Ditambah dengan aktor ekonomi

tidak lagi negara, melainkan bermunculan aktor-aktor lain

seperti MNC, TNC, dan individu. Negara seperti hanya

formalitas sebuah batas wilayah. Namun pada dasarnya

kedaulatan politik tetap penting dalam perekonomian global

untuk menjaga kestabilan domestik dan internasional. Keadaan

perekonomian global saat ini yang didominasi oleh beberapa

negara seperti Amerika Serikat akan membawa bahaya jika

masing-masing negara tidak dapat mempertahankan kedaulatannya.

Kestabilan internasional pasti berkaitan erat dengan

kestabilan domestik. Kondisi sekarang ini menunjukkan

kedaulatan yang terus-menerus didesak oleh arus globalisasi

ekonomi, oleh karena itu politik domestik harus berusaha keras

untuk tetap mempertahankan batas-batasnya.

Sifat dan Ragam Krisis Keuangan Internasional

Harga merupakan Instrumen keuangan utama dalam mulainya

krisis keuangan. Harapan pelaku pasar seketika berubah-ubah

sehingga menimbulkan gucangan pasar, dan pihak-pihak pasar

berusaha dengan cepat untuk menyesuaikan kedudukan mereka.

32

Pada umumnya, para pemegang saham terburu-buru untuk

mencairkan saham mereka dan menjual aset yang mereka harapkan

terdepresiasi nilai, serta membeli aset yang mereka harapkan

dapat naik nilainya. Seperti halnya di setiap pasar yang

permintaan cepat menyusut dan pasokan cepat mengembang, harga

aset yang tidak diinginkan menurun.

Resiko dan ketidakpastian

Sebenarnya ekonomi kapitalis beristirahat di atas fondasi

utang. Meminjam dan meminjamkan bahan bakar pertumbuhan

ekonomi. Pada prinsipnya, klaim keuangan agregat diciptakan

oleh interaksi dari konsumen, produsen, penabung, dan investor

dalam suatu perekonomian yang nyata, asalkan dapat diharapkan

pendapatan masa depan melebihi dari pembayaran utang di masa

depan. Untuk mendapatkan informasi karna kita tidak bisa

mengetahui masa depan, maka perlu dilibatkannya integrasi

pasar karna pendapatan masa depan selalu tidak pasti yang

dapat menimbulkan resiko dalam ekonomi. Risiko dapat dinilai,

dikurangi, dan dikelola.

Memperdalam hubungan keuangan akan membawa masalah yang

tidak dapat dihindari, solusi untuk membutuhkan aksi yang

kolektif. Hanya ada beberapa jenis peraturan kolaboratif yang

dapat memberikan keyakinan peserta bahwa pasar akan bekerja

dalam jangka panjang untuk kepentingan semua. Pada awal abad

kedua puluh satu, struktur peraturan koperasi masih rapuh.

Jelas sekali bahwa para pelaku memiliki kepentingan dalam

bekerja sama untuk memastikan stabilitas sistemik. Tapi mereka

33

juga termotivasi untuk bersaing dengan satu lain dan lebih

peduli pada lokal. Dalam struktur pasar keuangan kontemporer,

informasi asimetri dianalisis oleh para ekonom dan kekuatan

asimetri dianalisa oleh para ilmuwan politik tumpang tindih.

Timbulnya krisis finansial internasional pada tahun 1870-

1914, sejarawan ekonomi menggambarkan bagaimana ekspansi pasar

keuangan yang berjalan dengan cepat (Flandreau dan Zumer

2004). Meskipun hanya beberapa negara yang terlibat, akan

tetapi berdasarkan beberapa ukuran skala internasional

intermediasi keuangan jauh melebihi apa pun yang telah

berkembang sejak saat itu. Setelah tahun 1919 krisis perbankan

semakin meningkat, begitu pula krisis mata uang ketika nilai

tukar kembali dipatok. Krisis mata uang terus berlanjut dan

mengganggu, yang muncul dari Perang Dunia Kedua. Usaha yang

dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk menang

sehingga dapat memastikan stabilitas keuangan internal tidak

berhasil dalam mengurangi kejadian krisis perbankan. Krisis

perbankan menjadi fakta kehidupan ekonomi internasional.

Pencegahan Krisis

Tidak ada pasar keuangan modern dapat bertahan dalam waktu

yang lama tanpa standar umum yang dipahami oleh semua aktor.

Pada tingkat yang paling dasar, informasi keuangan harus dapat

disepakati dan dimengerti. Akuntansi, audit, dan aturan

perizinan membentuk landasan dasar. Landasan tersebut tidak

terjadi secara spontan. Beberapa aktor harus membuat aspek-

34

aspek kolektif seperti untuk penetapan standar, ajudikasi,

reformasi, dan pada akhirnya, penegakan aturan. Bahkan pasar

ilegal sekalipun, jika ingin bertahan maka harus membutuhkan

seseorang untuk memberikan persyaratan minimal tersebut.

Di pasar ilegal, menurut definisi, aspek-aspek kolektif

tersebut dibuat oleh pembuat aturan hukum yang mengikat. Untuk

memastikan, otoritas tertinggi dapat mendelegasikan tanggung

jawab untuk mendefinisikan dan mempromosikan standar teknis di

berbagai pasar keuangan dunia. Tapi semua pasar kontemporer

yang legal hukum pada standar dan prosedur penegakan

bergantung dengan otoritas pemerintah dalam satu bentuk atau

lain. Bahkan bank sentral yang sekarang berlabel konvensional

'independen', seperti Bank Central Eropa, memperoleh otoritas

mereka dari pengaturan konstitusi atau perjanjian antarnegara.

Pencegahan krisis dimulai di sini. dibangun di atas

kepercayaan pada ketahanan jangka panjang pasar.

Krisis keuangan internasional mengekspos ambiguitas

yurisdiksi dan tumpang tindih. Tetapi mereka biasanya diikuti

dengan langkah-langkah pencegahan yang baru, langsung atau

tidak langsung didukung oleh otoritas politik. Namun, tindakan

tersebut belum diikuti dengan pembentukan penetapan standar

global yang tidak ambigu atau badan global yang mampu

memberikan penegakan hukum. Perbatasan pasar mengintegrasikan

diri melintasi batas-batas politik dan hukum yang ditandai

dalam analisis akhir oleh badan-badan antar pemerintah dan

dibebankan dengan negosiasi pemahaman lintas-perbatasan

bersama pada standar yang tepat beserta penegakannya (Bryant

2003).

35

Mempertimbangkan kemungkinan yang selalu ada bahwa bank

bisa gagal dalam sistem pengaturannya dan membahayakan sistem

keuangan secara keseluruhan, pemerintah seharusnya

mempertahankan kemampuan baik untuk masuk ke dalam aset

nasional untuk menyimpannya atau memungkinkan untuk

melikuidasi dalam aset tersebut. Sedangkan bank itu sendiri

dapat memperluas operasi internasional mereka dan bekerjasama

dengan mitra asing dalam batas kerjasama yang umum guan

pendekatan umum pengelolaan keadaan darurat.

Seperti pada sektor perbankan melalui pengaturan standar,

mendefinisikan tanggung jawab penegakan hukum, dan menghindar

dari kewajiban resmi menjadi lebih rumit karena hambatan

fungsional dan geografis yang telah ada sepanjang era pasca-

1970. Menciptakan garis pemisah yang jelas antara kepentingan

publik dan risiko pribadi menjadi tugas yang tidak mudah lagi

Menuju tahun 1980-an, arena utama di mana regulator

keuangan berusaha untuk mengkoordinasikan penetapan standar

dan penegakan kegiatan mudah untuk diidentifikasi. Negosiasi

bilateral antara regulator nasional dan bank sentral adalah

sesuatu yang baru. setelah dampak dari “Herstatt fallout”

menyebar secara global melalui pasar valuta asing, interaksi

tersebut menjadi multilateral melalui klub gubernur bank

sentral yang diselenggarakan di bawah naungan kelembagaan BIS

(Bank for International Settlement). Komite Basel pada

pengawasan perbankan terkait dengan BIS secara teknis melapor

kepada gubernur bank sentral utama (disebut dengan G10,

sekarang lebih dari sepuluh anggota), tetapi terus menjadi

kunci forum penetapan standar untuk lembaga keuangan terbesar

36

yang beroperasi lintas batas nasional. Ini telah menyebabkan

eksperimen dengan protokol standar minimum untuk cadangan

modal back-up yang akan diselenggarakan oleh bank, dan bekerja

sama dengan badan-badan nasional dan regional lainnya untuk

meningkatkan transparansi dan efektivitas pengawasan di dalam

dan di luar sektor perbankan. Pada tahun 2006, upaya yang

paling luas dan rinci untuk memastikan kecukupan modal datang

kesepakatan umum disebut Basel II. Dengan persyaratannya,

pemberi pinjaman internasional didorong untuk membawa teknik

manajemen yang canggih ke dalam inti prosedur pengambilan

keputusan internasional dan perhitungan modal yang memadai.

Selama upaya tersebut dapat dicap sebagai strategi yang

koheren, upaya kontemporer negara terkemuka dari waktu ke

waktu untuk mencegah keruntuhan keuangan sistemik terutama

ditandai dengan pembangunan jaringan tambahan. Negara-negara

tersebut menyukai koordinasi kebijakan teknis sejauh yang

diperlukan untuk mempromosikan integrasi pendalaman pasar

keuangan dan untuk memperpanjang proyek dengan aman di luar

inti dari sistem. Secara umum, langkah-langkah tersebut akan

melemahkan eksperimen global dalam integrasi keuangan seperti

manipulasi nilai tukar dan mempertanyakan sistem terbuka

perdagangan, investasi, dan produksi yang merupakan alasan

utama upaya itu sendiri.

Pada akhirnya, kebijakan fiskal dan moneter yang saling

berkelanjutan di negara-negara pada inti ekonomi dunia

diperlukan untuk integrasi keuangan internasional agar dapat

berhasil. Stabil, pertumbuhan yang berkelanjutan dalam ekonomi

riil inflasi yang rendah, dan pemerataan kemakmuran

37

mendefinisikan tujuan seperti itu. Semua orang dapat

menikmatinya, tidak ada yang keberatan dengan hal itu, dan

prinsip-prinsip yang mendukung itu sempurna. Baru-baru ini,

masalah yang dominan dalam ekonomi makro global yang

meremehkan upaya untuk mencegah krisis keuangan lintas-

perbatasan telah berkembang pesat menjadi ketidakseimbangan

dalam giro dari negara-negara perdagangan utama. Singkatnya,

Amerika Serikat telah mengimpor terlalu banyak, menyimpan

terlalu sedikit, dan bergantung pada kebutuhan pembiayaan pada

arus masuk modal dari Cina, Jepang, Jerman, dan juga dari

banyak negara berkembang.

Manajemen dan Resolusi Krisis

Negara yang menghadapi krisis mata uang dianalogikan

sebagai sebuah perusahaan yang tidak mampu memenuhi

kewajibannya. Krisis dapat terjadi akibat pengeluaran secara

berlebihan yang dilakukan pemerintah, impor yang berlebihan,

ataupun hutang dari swasta yang tidak mampu dibiayai

pemerintah dalam negeri. Kondisi ini mungkin saja memotivasi

pemerintah untuk meningkatkan produksi. Namun konsekuensi yang

biasanya terjadi adalah inflasi. Inflasi mata uang lokal

mendorong naiknya kewajiban dari mata uang asing.

Para peneliti dari masa 1945 menganggap ketidakstabilan

sistem ekonomi merupakan alasan terjadinya perang. Dalam

38

Bretton Woods, mereka mengambil langkah pertama untuk

merancang mekanisme yang membatasi kedaulatan negara-negara

yang terlibat dalam sistem mendapatkan diri mereka terdorong

ke kegagalan dari hutang mereka. Dari tahun 1945 sampai saat

ini negara-negara kreditor dan lembaga keuangan swasta

merancang dan mendesain ulang kapal perang dengan diplomasi.

Bank-bank internasional dan lembaga-lembaga resmi yang

memberikan kredit ekspor secara informal mengorganisir diri

mereka dalam kelompok-kelompok untuk mengelola peraturan

tersebut.

Selama tahun 1980-1990an, krisis yang mampu menggoyahkan

sistem internasional terjadi di pasar negara berkembang,

seperti krisis yang menimpa Asia tahun 1998. Dampak yang

ditimbulkan dari krisis Asia sangat benar-benar dirasa oleh

Indonesia. Indonesia saat itu menjadi salah satu negara yang

merasakan dampak paling parah akibat krisis yang terjadi dan

pemulihan dari krisis ini dianggap sangat lambat. Beberapa

penyebab Indonesia merasakan dampak yang besar akibat krisis

karena hutang luar negeri swasta pada saat itu sangat tinggi

dan umumnya berjangka pendek sehingga menciptakan kondisi

ketidakstabilan dalam negeri. Selain itu banyak diantara

hutang swasta tersebut tidak dilandasi dengan kelayakan

ekonomi, melainkan mengandalkan koneksi politik dan seakan

didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya

apabila kelak terjadi kegagalan.

IMF yang merupakan organisasi yang bergerak di bidang

keuangan di bawah naungan PBB mengeluarkan kebijakan untuk

memberikan bantuan kepada negara-negara yang terkena krisis

39

pada saat itu. dalam upayanya, IMF melakukan beberapa

kebijakan, diantaranya memperkuat pengawasan terhadap negara-

negara anggotanya, membantu memperkuat kinerja pasar finansial

dengan menjadi technical assistance, secepatnya memberikan

policy advice saat krisis itu muncul, dan membantu untuk

menjamin bahwa tidak ada negara yang akan termaginalisasikan

dari pasar globalsehingga negara dapat fokus untuk mengurus

kondisi krisis negaranya.

Negara-negara besar dalam sistem dihadapkan dengan tiga

pilihan dasar setiap kali suatu negara atau lebih tidak mampu

membayar hutang mereka kepada kreditor, yaitu:

1. Negara adidaya tidak dapat berbuat apa-apa, namun hal ini

akan beresiko pada menyebarnya krisis ke negara-negara

lainnya dan tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi

sistem domestik mereka juga.

2. Mereka dapat melakukan intervensi langsung dengan cara

menyediakan pembiayaan yang memadai dari sumber daya

mereka ke negara yang bermasalah, dan bekerja secara

langsung untuk mengatasi penyebab permasalahan.

3. Yang terakhir, mereka dapat melakukan intervensi, namun

tidak secara langsung. Biasanya hal ini lebih murah dan

melalui lembaga lainnya.

Dalam praktiknya, pilihan yang ketiga sering menjadi

pilihan paling menarik, kecuali untuk kasus yang menimpa

negara-negara berkembang yang masih lemah ataupun negara yang

masih terisolir. Untuk negara yang memiliki masalah hutang

40

besar dan luas dianggap mampu mengganggu sistem secara

keseluruhan.

A New Global Architecture

Perdebatan penting yang menjadi kunci utama setelah krisis

di akhir Tahun 1990-an ini menimbulkan banyak teori dan pratek

manajemen baru dalam penanganan krisis serta resolusi pada

pasar negara berkembang, khususnya seputar penanganan

pengurangan kebutuhan bagi negara paling konsumerisme dimana

yang terlalu banyak bergerak lincah (Tirole 2002; Eichengreen

2003; Roubini and Setser 2004)6. Setelah Perang Dunia II,

dimana seseorang dapat merasakan terbukanya jendela dunia yang

baru, dimana negara seharusnya dapat memberikan seiris

kedaulatan mengenai moneter mereka, atau mungkin fiskal, serta

kedaulatan pada instansi yang mengikat. Hal ini menimbulkan

pemikiran bagaimana jika globalisasi kapitalisme dapat

terbentuk. Jika integrasi keuangan semakin erat seperti secara

kolektif yang bahkan mengorbankan kedaulatan fiskal dan

moneter, maka negara-negara yang berkonfrontasi, logisnya akan

mengkoordinasikan kebijakan serta instrumen mereka. Sehingga

mereka akan memiliki satu tujun untuk mencegah atau paling

tidak, mengelola dan menyelesaikan krisis keuangan yang akan

terjadi di masa depan. Untuk inilah, mengapa krisis keuangan

internasional biasanya lebih sulit untuk ditangani daripada

krisis di dalam negeri karena adanya perbedaan hukum dan

kebijakan pada masing-masing negara.

6 Dalam Louis W. Pauly. 2007. “The Political Economy of Global Financial Crises”- Chapter 8, halaman 268.

41

Beberapa dasar dari leverl koordinasi ini tercantum dalam

manajemen krisis. Proposal mengenai manajemen krisis (seperti

yang ada pada sub-bab sebelumnya) secara konvensional, dibagi

menjadi tiga kategori, yakni unilateral, multilateral, dan

supranasional (Eichengreen 2002; chapter 3 dan 4; Bryant 2003,

chapter 8.10, dalam Pauly, 2007)7. Pada unilateral, kedua

pandangan konservatif percaya jika penyebab krisis di negara

berkembang secara umum bersumber pada pengekangan pasar dan

prinsip kedaulatan negara tersebut. Ketika krisis terjadi

diatur oleh investor yang “kurang beruntung” yang terjebak

dalam kerugian, dan dikontrol oleh pemerintah pemilik hutang

dengan modal resiko yang dimiliki. Kreditor swasta dan debitur

akhirnya dibiarkan untuk bekerja sendiri di luar aturan

mengenai re-strukturiasasi hutang yang mendorong perubahan

rezim nilai tukar nasional.

Pada tahun-tahun setelah Krisis Asia dan Argentina,

banyak yang mendukung mengenai kontrol modal, peraturan

supranasional, atau radikal bebas pasar yang secara pasang-

surut pula dalam pandangan publik. Perdebatan kebijakan

berlanjut dalam mekanisme yang efektif untuk menyusun kembali

hutang yang tidak terurus pada negara-negara berkembang.

Kemudian hingga ancaman berikutnya muncul dengan langkah

praktis, dimana negara-negara maju akan terus menekan yang

menjadi kapitalisme dunia ekonomi serta globalisasi keuangan

swasta. COntohnya industrialisasi pada Asia Timur yang

berusaha membatasi resiko terkait dengan membangun struktur

regional, yang berelebihan untuk moneter nasional negara-

7 Ibid.

42

negara penerima bantuan luar negerinya nanti. Dan bertambahlah

kemiskinan. Atau contoh lain seperti World Bank dan IMF yang

memberi kucuran dana dan terus bergerak mencari saldo politik

yang stabil di antara mereka yang beragam keanggotaan,

sehingga cukup untuk mendukung reformasi kebijakan ekonomi di

pemerintahan domestik mereka (Truman 2006; Woods 2006, dalam

Pauly, 2007). Mungkin, untuk pembangunan pasar, IMF terkadang

mengambil peran penting di dalam penyelesaian sebuah krisis.

Namun, tidaklah semua bantuan ini adalah sebuah hal yang

terkesan positif, bisa saja hal ini adalah kapitalisme global

baru yang terselubung.

43

BAB III

KESIMPULAN

Terbentuknya rezim-rezim finansial dan moneter sejak akhir

abad ke-19 hingga masa kini melibatkan sebuah konstelasi rumit

atas faktor-faktor yang muncul dari berbagai tingkatan

pemerintah hingga internasional. Namun, keterkaitan yang erat

antara faktor-faktor ini jugalah yang membuat rezim-rezim

serta regulasi finansial dan moneter bisa ada dan berjalan

untuk mengatur aktivitas ekonomi, bahkan kebijakan politik

suatu negara dengan negara lain.

Keberadaan sistem finansial dan moneter juga membuat

krisis ekonomi di dunia yang anarkis ini tidak terhindarkan.

Namun, dunia selalu bisa menemukan cara untuk bangkit dari

44

krisis finansial yang menimpa mereka. Tentu saja, sekalipun

sistem pasar bebas ala liberalis menjadi sistem yang dianut

tatanan ekonomi global saat ini, pemerintah atau negara juga

tetap memiliki peranan besar sebagai pembuat kebijakan yang

dapat melangkahi otoritas aktor internasional manapun.

KRISIS MONETER 1997 DI THAILAND8

Di antara negara-negara berkembang di seluruh dunia, Asia

Tenggara telah mengalami keberhasilan ekonomi paling baik

dalam beberapa dekade terakhir. The ASEAN-5 (Indonesia,

Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) memiliki kinerja

ekonomi yang baik. Dalam dekade terakhir, tingkat pertumbuhan

8 Lai dalam Currency Crisis in Thailand (The Park Mace Economist, vol VIII)

45

tahunan ASEAN-5 telah meningkat mendekati 8%. Pendapatan per

kapita telah meningkat sepuluh kali lipat di Korea, lima kali

lipat di Thailand, dan empat kali lipat di Malaysia selama 30

tahun terakhir. Selain itu, tingkat pendapatan per kapita di

Hong Kong dan Singapura sekarang melebihi pendapatan di

beberapa negara industri. Asia menarik hampir setengah dari

total pemasukan modal ke negara-negara berkembang (Fischer,

1998).

Pertumbuhan ekonomi yang dialami negara Asia Tenggara

tampak tidak dapat dihancurkan—sampai tahun 1997. Pada bulan

Juli 1997, mata uang dari banyak negara Asia mulai

terdepresiasi tajam. Devaluasi mata uang mereka memicu krisis

keuangan yang tersebar di seluruh negara-negara Asia. Untuk

memahami mengapa Asia bisa jatuh pada saat itu, akar krisis

harus ditentukan. Seorang peneliti dapat melacak asal dari

gangguan pasar keuangan Asia kembali ke perkembangan ekonomi

yang terjadi sejak tahun 1994. "Kondisi di Thailand, negara

pertama terpengaruh, sebagai contoh terbaik untuk

menggambarkan penyebab dari krisis mata uang baru-baru ini"

(Alexander dan Guthrie). Nilai tukar yang tinggi Thailand dan

berlebihan belanja adalah dua indikator krisis mata uang

terkemuka di negara itu.

Selama periode pembangunan, Thailand mengalami

pertumbuhan ekonomi yang kuat yang rata-rata hampir 10% per

tahun 1987-1995 (Fischer, 1998). Serupa dengan negara-negara

Asia Tenggara lainnya, Thailand memiliki low wage / tenaga

kerja bergaji rendah; dengan demikian, Thailand berhasil

menarik investasi langsung asing yang signifikan (FDI) untuk

46

membangun pabrik produksi untuk ekspor ke negara maju

(Ciminero, 1997). Thailand berlari surplus perdagangan, yang

menarik arus masuk modal yang besar. Selain itu, mata uang

Thailand (baht) dipatok ke dolar AS, yang berarti bahwa jika

dolar AS naik, nilai baht juga naik, dan jika dolar

terdepresiasi, baht juga disusutkan.

Thailand cukup menikmati pertumbuhan PDB negaranya. Ini

membuat pemerintah Thailand menjadi terlalu percaya pada

pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pematokan dolar AS-baht.

Pemerintah Thailand mulai melakukan pengeluaran secara

berlebihan dan mendorong bank-bank negara itu untuk

meminjamkan uang untuk real estate swasta dan pengeluaran

lainnya (Ciminero, 1997). Liberalisasi sektor keuangan

mendorong perusahaan domestik untuk meminjam secara luas dari

negara-negara asing. Perusahaan di Thailand meminjam uang

dalam jumlah besar karena ekonomi saat itu sedang baik.

Sebagian besar pinjaman dibuat dalam satuan dolar AS

karena suku bunga yang jauh lebih rendah daripada mata uang

Thailand. Dengan meminjam uang dari negara di mana tingkat

bunga lebih rendah , Thailand diasumsikan akan mendapatkan

keuntungan dari hal tersebut . Karena nilai tukar yang dipatok

terhadap dolar AS, perusahaan yang tidak sadar dengan hal itu

harus menggunakan mata uang baht untuk mengembalikan pinjaman

dalam bentuk dolar AS . Karena dolar AS sedang naik , Thailand

menjadi kurang kompetitif di pasar dunia dan ekspor bersih

menurun .

47

Total ekspor Thailand menurun sebesar 0,2 %

(dibandingkan dengan kenaikan melebihi 20% per tahun di tahun-

tahun sebelumnya ) dan kehilangan daya saing dalam produk

padat karya ( Sussangkarn , 1998) . Perlambatan pertumbuhan

ekspor menyebabkan Thailand harus meninggalkan pematokan

terhadap dolar dan mendevaluasi mata uangnya untuk mendorong

ekspor. Kerugian pendapatan memunculkan krisis seperti hutang

menjadi lebih berat. Besarnya arus modal Thailand menyebabkan

utang luar negeri yang besar. Pasar keuangan internasional

mulai kehilangan kepercayaannya terhadap ekonomi Thailand.

Para investor mulai menjual mata uang baht pada tahun 1997.

Baht Thailand mengalami depresiasi dari 25 baht per dolar AS

menjadi 55 baht per dolar AS pada awal Januari 1998 (Hill,

1998). Hal ini membuat perusahaan domestik tidak mampu atau

harus mengeluarkan biaya lebih untuk membayar hutang luar

negeri yang kebanyakan dari sektor swasta—dan mampu memicu

kebangkrutan dan pengangguran yang tinggi.

Meskipun muncul spekulasi bahwa simpanan devisa luar

negeri Thailan naik dari 16,5 triliun AS pada tahun 1990

menjadi 46,5 triliun dolar AS pada 1996, krisis yang sudah

terlanjur terjadi memangkas cadangan luar negeri tersebut.

Pada tanggal 2 Juli 1997, setelah menguras cadangan devisa,

pasar dunia memaksa Bank of Thailand untuk tidak lagi

memperrtahanan baht. Pemerintah mencari bantuan dari IMF (Dana

Moneter Internasional) dan bank sentral di Jepang dan Asia

(Alexander dan Guthrie). IMF mengeluarkan bantuan moneter

untuk membantu Thailand, sebagaimana negara Asia lainnya yang

sama-sama menghadapi krisis. Paket IMF difokuskan pada

48

mengembalikan proses devaluasi dengan mengembalikan

kepercayaan pada mata uang baht. Thailand membuat mata uangnya

lebih menarik dengan menaikkan suku bunga sementara (Fischer

1998) karena kenaikan suku bunga menghentikan depresiasi mata

uang Thailand. Suku bunga yang meningkat juga mengurangi

pengeluaran di semua sektor sistem ekonomi Thailand yang

kemudian mengurangi defisit di Thailand. Namun, dalam jangka

pendek, perekonomian Thailand bergoncang kembali karena

penurunan di bidang manufaktur dan investasi swasta. Salah

satu alasannya adalah suku bunga tinggi yang dikenakan sebagai

bagian dari paket penyelamatan IMF. Meskipun nilai tukar

Thailand masih rendah, suku bunga yang dinaikkan telah

menyelamatkan baht dan menjaga inflasi agar tetap rendah

(Hill, 1998).

49

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 2008. Rush on Northern Rock continues

(http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/6996136.stm). Diakses

pada 1 mei 2014.

Anonim. 2008. Timeline: British Banking Crisis

(http://news.sky.com/story/663052/timeline-british-banking-

crisis). Diakses pada 1 Mei 2014.

Anonim. 2009. The financial crisis of 2007/2008 and its impact

on the UK and other economies

(http://archive.learnhigher.ac.uk/resources/files/business

%20comm%20awareness/The%20Financial%20Crisis%20and%20its

%20Impact%20on%20the%20UK%20and%20other%20Economies.pdf).

Diakses pada 1 Mei 2014.

Anonim. 2009. The Credit Crunch: Simple Explanations and Innovative Solutions

(http://www.creditcrunch.org/). Diakses pada 1 Mei 2014.

50

Anonim. 2014. Amerika Kritik China Sengaja Turunkan Nilai Mata Uang

(http://www.nabawia.com/read/7273/amerika-kritik-china-

sengaja-turunkan-nilai-mata-uang). Diakses pada 2 Mei 2014.

Anonim. 2010. AS Tunda Laporan Kontroversial Mata Uang China

(http://www.antaranews.com/berita/228614/as-tunda-laporan-

kontroversial-mata-uang-china). Diakses pada 2 Mei 2014.

Arifin, Samsul. Wibisono dan Shinta Sudrajat. 2007. IMF dan

Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Elex

Media Komputindo.

Bank Indonesia. Kerangka Kebijakan Moneter – ITF.

(http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/ ). Diakses pada 30

April 2014.

Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/9/PBI/2014 tanggal 8

April 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit

Valuta Asing oleh Bank.

(http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/Pages/PBI_16914.as

px ). Diakses pada 30 April 2014.

Budiono, Agung. 2010. Perang Dolar Versus Yuan Kian Meruncing

(http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/

10/11/139311--perang-dolar-versus-yuan-kian-meruncing).

Diakses pada 2 Mei 2014.

Fischer, Stanley (January 22, 1998) “The Asian Crisis: A View

from the IMF”, http://www.imf.org/external/np/speeches/1998/

012298/htm (diakses 4 Mei 2014)

51

Harinowo, C. 2004. IMF: Penanganan Krisis & Indonesia Pasca IMF.

Jakarta: PT Gramedia Utama.

Hill, Jonathan D. (March 1998) “Country Risk Analysis:

Thailand”, http://www.econ.pncbank.com/thailand.htm (diakses 4

Mei 2014)

IMF. 2014. Lending by the IMF

(http://www.imf.org/external/about/lending.htm). Diakses

pada 4 Mei 2014.

IMF. 2014. Where does the IMF gets its money?

(http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/what.htm#money).

Diakses pada 4 Mei 2014.

Kingsley, Patrick. 2012. Financial crisis: timeline

(http://www.theguardian.com/business/2012/aug/07/credit-

crunch-boom-bust-timeline). Diakses pada 1 Mei 2014.

Lan, Quan B. 2000. Currency Crisis in Thailand. The Park Mace Economist

(Online) vol.8

(http://www.iwu.edu/economics/PPE08/quan.pdf). Diakses pada

2 Mei 2014.

Mankiw, Gregory N. 2007. Macroeconomics: 6th Edition. New York:

Worth Publisher.

Ravenhill, John. 2011. Global Political Economy (third edition). United

States: Oxford University Press.

Sarah John, Matt Roberts and Olaf Weeken. 2008. The Bank of

England’s Special Liquidity

52

Scheme(http://www.bankofengland.co.uk/publications/Documents

/quarterlybulletin/qb120105.pdf). Diakses pada 1 Mei 2014.

Staff. 2014. Short Selling: What Is Short Selling?

(http://www.investopedia.com/university/shortselling/shortse

lling1.asp). Diakses pada 1 Mei 2014.

Tim Peneliti Pusat Kajian Pasifik Universitas Hasanuddin.

1991. Peningkatan/Pengembangan Hubungan Indonesia-ASEAN dengan

Negara-negara di Kawasan Pasifik: “Lembaran Negara Republik Indonesia,”

(http://www.sjdih.depkeu.go.id). Diakses pada 4 Mei 2014.

Sussangkarn, Chalongphob (January 16, 1998) “Thailand’s Debt

Crisis and Economic

Outlook”, http://www.nectec.or.th/bureaux/tdri/mep_fore.htm

(diakses 4 Mei 2014)