LAPORAN HASIL PENELITIAN - Universitas Udayana

26
LAPORAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN TEKNIK PENGAWETAN Pediococcus acidilactici U318 SEBAGAI KULTUR STARTER FERMENTASI URUTAN Oleh IR. NYOMAN SEMADI ANTARA, MP., Ph.D. ANAK AGUNG MADE DEWI ANGGRENI, S.TP., M.Si. Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, sesuai dengan SP2HP No.: 175/SP2HP/PL/Dit.litabmas/IV/2011, tanggal 14 April 2011 JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA 2011

Transcript of LAPORAN HASIL PENELITIAN - Universitas Udayana

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENGEMBANGAN TEKNIK PENGAWETAN Pediococcus acidilactici

U318 SEBAGAI KULTUR STARTER FERMENTASI URUTAN

Oleh

IR. NYOMAN SEMADI ANTARA, MP., Ph.D. ANAK AGUNG MADE DEWI ANGGRENI, S.TP., M.Si.

Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, sesuai dengan SP2HP No.: 175/SP2HP/PL/Dit.litabmas/IV/2011,

tanggal 14 April 2011

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2011

i

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR

1. Judul Penelitian : Pengembangan Teknik Pengawetan Pediococcus acidilactici U318 sebagai Kultur Starter Fermentasi Urutan 2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Prof. Ir. Nyoman Semadi Antara, MP., Ph.D.

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. NIP : 19610923 198702 1 001

d. Pangkat/Golongan : Pembina Tk.I / IVb

e. Jabatan Fungsional : Guru Besar

f. Fakultas/Jurusan : Teknologi Pertanian / Teknologi Industri Pertanian

g. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

h. Pusat Penelitian : -

3. Jumlah Tim Peneliti : 2 orang

4. Lokasi Penelitian : Laboratorium Bioindustri, FTP – Unud

5. Kerja Sama dengan Institusi Lain: Tidak Ada

6. Masa Penelitian : 8 bulan

7. Biaya yang Diperlukan : Rp 31.000.000,00 (Tiga puluh satu juta rupiah)

Denpasar, 24 Nopember 2011

Mengetahui, Ketua Peneliti, Dekan Prof. Dr. Ir. G.P. Ganda Putra, MP. Prof. Ir. Nyoman S. Antara, MP., Ph.D. NIP.: 19620930 198803 1 001 NIP.: 19610923 198702 1 001

Mengetahui Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT. NIP.: 19640717 198903 1 001

ii

PRAKATA

Penelitian mengenai Pengembangan Teknik Pengawetan Pediococcus

acidilactici U318 sebagai Kultur Starter Fermentasi Urutan dapat terselesaikan

dengan baik, walaupun ada beberapa perubahan yang dilakukan karena adanya

perubahan besaran dana yang dialokasikan untuk penelitian ini. Selain itu,

karakteristik pektin dan karagenan yang berbeda dengan maizena juga

merupakan penyebab dilakukan perubahan terhadap konsentrasi dari bahan

tersebut yang digunakan sebagai bahan proteksi pada teknik pengawetan BAL

yang dikembangkan.

Penelitian ini dibiayai dari skema dana Penelitian Fundamental. Untuk itu

kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan yang telah mengalokasikan anggaran untuk jalannya penelitian ini,

sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu

yang dijadwalkan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas

Teknologi Pertanian, Unud yang telah memfasilitasi kelancaran pelaksanaan

penelitian ini.

Kami sangat berharap agar hasil penelitian ini dapat berkontribusi untuk

perkembangan ilmu dan teknologi terutama dibidang pengembangan teknik

pengawetan kultur starter untuk keperluan proses fermentasi.

Denpasar, Nopember 2011

Penulis

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. i PRAKATA ....................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2 III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .................................................... 7 IV. METODE PENELITIAN ............................................................................. 10 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 11 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 17 LAMPIRAN ...................................................................................................... 19

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai rata-rata total P. acidilactici U318 (cfu/g) sebelum dikeringkan 10

Tabel 2. Nilai rata-rata total P. acidilactici U318 (cfu/g) setelah dikeringkan 10

Tabel 3. Nilai rata-rata total mikroba (cfu/g) pada bubuk inokulum sebelum dikeringkan ……………………………………………………………. 12

Tabel 4. Nilai rata-rata total mikroba (cfu/g) pada bubuk inokulum setelah dikeringkan ……………………………………………………………. 12

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. P. acidilactici U318 pada bubuk inokulum maizena 5% …….. 11

Gambar 2. Total bakteri asam laktat () dan Enterobacteriaceae () pada

urutan dengan perlakuan penambahan lemak ........................ 13

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Buram Publikasi

Lampiran 2. Instrumen Penelitian

Lampiran 3. Personalia Tenaga Peneliti

1

I. PENDAHULUAN

Urutan merupakan salah satu produk makanan asli Indonesia dari Bali.

Urutan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sosis terfermentasi lainnya

karena penggunaan jenis bumbu yang berbeda dalam formulasinya. Urutan dibuat

dari campuran potongan kecil daging dan lemak yang dicampur dengan bumbu

(bawang putih, kunyit, kencur, cabai, lengkuas, dan merica), garam, dan gula,

kemudian dimasukkan ke dalam usus yang sudah dibersihkan, dan dikeringkan di

bawah sinar matahari selama 2-5 hari. Secara tradisional, fermentasi terjadi secara

alami pada saat pengeringan.

Kegagalan fermentasi dalam pembuatan urutan, menyebabkan menurunnya

minat masyarakat Bali untuk memproduksinya. Masyarakat lebih banyak

memproduksi urutan tanpa fermentasi. Hal ini terjadi karena fermentasi terjadi

secara alami dan tidak terkontrol, sehingga sering terjadi pertumbuhan

mikroorganisme yang tidak diinginkan yang menyebabkan mutu menjadi tidak

konsisten. Selain itu banyaknya beredar sosis terfermentasi, seperti salami,

paperoni, bologna, dll., di pasaran untuk pasokan hotel/restoran dan keperluan

lainnya menyebabkan produk lokal tidak berkembang. Dilain pihak urutan

merupakan produk daging terfermentasi lokal yang mempunyai potensi untuk

bersaing dengan produk sosis terfermentasi dari Eropa.

Bakteri Asam Laktat (BAL) merupakan bakteri yang dominan tumbuh

selama proses fermentasi urutan yang dibuat secara tradisional. Penggunaan

kultur starter BAL dalam proses pembuatan urutan telah dibuktikan dapat

mengatasi kegagalan fermentasi (Aryanta, 1996; Aryanta, 1998; Antara et al.,

2004). Untuk mengatasi kegagalan fermentasi, penyediaan kultur BAL dalam

bentuk bubuk kultur starter sangat diperlukan.

Proses produksi bubuk kultur starter melalui proses pengeringan dengan

menggunakan suhu tinggi. Di lain pihak, sel BAL sangat sensitif terhadap panas,

sehingga dengan proses pengeringan suhu tinggi akan menyebabkan tingkat

kematian sel yang tinggi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu

dikembangkan teknik pengawetan sel BAL dengan melindungi sel BAL selama

proses pengeringan.

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

Secara umum, sosis terfermentasi didefinisikan sebagai campuran daging

dan lemak dicampur dengan garam, gula, bumbu-bumbu, dan nitrat dan/atau nitrit,

yang kemudian dimasukkan ke dalam casing, dan selanjutnya dilakukan

fermentasi yang dilanjutkan dengan proses pengeringan atau pematangan

(Bukenhukes, 1993; Hugas dan Monfort, 1997; Caplice dan Fltzgerald, 1999). Di

negara Eropah produksi sosis terfermentasi melalui tiga tahapan proses, yaitu

formulasi, fermentasi, dan pengeringan/pematangan. Pada tahap formulasi, semua

campuran bahan disiapkan untuk dimasukkan ke dalam casing. Selama fermentasi

reaksi-reaksi mikrobiologis dihasilkan secara simultan dan mempengaruhi satu

dengan yang lainnya, yaitu pembentukkan nitrit oksida oleh bakteri pereduksi

nitrat dan nitrit, dan penurunan pH akibat terbentuknya asam laktat. Pada tahap

pengeringan yang juga proses pematangan terjadi perkembangan citarasa (flavor),

aroma, dan tekstur dari sosis (Ordonez et al., 1999). Di Eropah proses fermentasi

sosis dilakukan pada suhu di bawah 26oC (Lucke, 1998), sedangkan di Amerika

Serikat kebanyakan sosis terfermentasi dilakukan fermentasi pada suhu 30oC

sampai 45oC dalam jangka waktu yang pendek (sekitar 24 jam).

Di Indonesia, khususnya di Bali, produksi sosis terfermentasi dilakukan

dalam dua tahapan, yaitu tahap formulasi dan fermentasi/pengeringan. Proses

fermentasi secara tradisional terjadi pada saat pengeringan di bawah sinar

matahari (pada siang hari) dan di atas tungku tradisional (pada malam hari).

(Antara, 2004).

Pada fermentasi sosis, BAL yang berasal dari bahan baku dan lingkungan

bertanggung jawab untuk produksi asam laktat dan menurunkan pH. Komunitas

awal mikroba sangat bervariasi hampir sama dengan yang ditemukan pada daging

segar, seperti lactobacilli, enterobacteria, Psudomonas, Bacillus, Achromobacter,

Flavobacterium, dan lain-lain, dan juga kapang dan khamir (Ordonez et al., 1999).

Pada tahap fermentasi, selanjutnya dominasi BAL sangat penting perannya untuk

menghambat bakteri pembusuk dan patogen. Lb. sake dan Lb. curvatus

merupakan species BAL dominan pada salami (Naple type) (Hugas dan Monfort,

1997; Coppola et al., 2000), tetapi pada urutan Lb. plantarum, P. acidilactici, dan

Lb. farciminis merupakan BAL dominan selama fermentasi dengan suksesi

3

pertumbuhan tertentu (Antara et al., 2002). Sampai saat ini urutan masih

diproduksi secara tradisional dengan fermentasi yang alami. Holzapfel (2002)

menyatakan bahwa fermentasi alami memerlukan waktu yang lebih lama dan

resiko kegagalan yang tinggi. Proses ini dapat diperpendek dengan menginokulasi

sebagian bahan yang telah terfermentasi dengan baik (back-slopping) atau

menggunakan kultur starter yang terseleksi (Ordonez et al., 1999; Gariga et al.,

1996).

BAL sangat penting perannya dalam makanan terfermentasi karena

memberikan keuntungan seperti dapat memperbaiki karakteristik citarasa dan

berperan sebagai pengawet (biopreservative) pada makanan. Sebagai kultur starter,

BAL sangat luas digunakan pada proses-proses fermentasi, seperti fermentasi susu

(Fitzsimons et al., 1999; Parente et al., 1997), sayuran (Sanchez et al., 2000;

Kalac et al., 2000), minuman beralkohol (Patarata et al., 1994; Pattison et al.,

1998), dan daging ( Hammes dan Hertel, 1998). Dan juga sudah terbukti bahwa

mutu sosis yang lebih baik dicapai dengan menggunakan kultur starter (Gariga et

al., 1996; Stahnke, 1995; Erkkila dan Petaja, 2000; Erkkila et al., 2001). Sudah

dinyatakan bahwa urutan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis

sosis terfermentasi lainnya, dan kenyataan bahwa penggunaan bumbu yang lebih

beragam selalu dilakukan pada proses pembuatan urutan, sehingga

pengembangan kultur starter yang spesifik untuk urutan sangat dibutuhkan.

Kultur starter didefinisikan sebagai preparasi mikrobia dalam jumlah yang

banyak dari paling sedikit satu jenis mikrobia yang ditambahkan ke dalam bahan

baku untuk menghasilkan makanan terfermentasi dengan memacu proses

fermentasinya (Leroy dan De Vuyst, 2003). Kelompok BAL sudah lama

diaplikasikan pada makanan dan minuman terfermentasi (Ray, 1992; Wood, 1997).

Pertumbuhan yang cepat dan penurunan pH akibat asam laktat yang dihasilkan

menghasilkan makanan terfermentasi yang aman dan bermutu. Pada preparasi

sosis, P. acidilactici, L. plantarum dan Staphylococcus carnosus diinokulasi pada

fermentasi sosis (Mayra-Makinen dan Bigret, 1998).

BAL umumnya termasuk ke dalam kelompok mesofilik, dan dapat tumbuh

pada kisaran suhu dari 5oC sampai 45oC. Bakteri ini tumbuh pada kisaran pH 4,0

– 4,5, beberapa aktif pada pH 9,6 dan beberapa pada pH 3,2. Kelompok bakteri ini

4

umumnya mempunyai aktivitas proteolitik dan lipolitik yang lemah dan

membutuhkan asam amino, basa purin dan pirimidin, dan vitamin B untuk

tumbuh (Jay, 1996). BAL memproduksi asam laktat dari heksosa dan tidak

mempunyai fungsi heme yang berkaitan dengan rantai transport electron dan

fungsi siklus Krebs. Jalur metabolisme heksosa dibagi menjadi dua kelompok

yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Kelompok BAL homofermentative

menghasilkan asam laktat yang utama dari fermentasi glukosa. Homofermenter

menggunakan jalur Embeden-Meyerhof-Parnas untuk menghasilkan dua mol

asam laktat per mol glukosa dan menghasilkan energi sekitar dua kalinya

dibandingkan dengan heterofermentatif. Kelompok BAL heterofermentatif

memproduksi asam laktat, CO2 dan etanol dari glukosa dalam jumlah yang sama

melalui jalur fosfoketolase.

Urutan merupakan salah satu produk makanan asli Indonesia (Bali). Di Bali

urutan biasanya dibuat untuk merayakan hari raya Galungan, hari suci bagi

masyarakat Hindu di Bali. Urutan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan

sosis terfermentasi lainnya karena penggunaan jenis bumbu yang berbeda dalam

formulasinya. Urutan dibuat dari campuran potongan kecil daging dan lemak

yang dicampur dengan bumbu (bawang putih, kunyit, kencur, cabai, laos, dan

merica), garam, dan gula. Daging yang biasanya digunakan adalah daging

babi. Campuran adonan ini kemudian dimasukkan ke dalam usus yang sudah

dibersihkan, dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2-5 hari. Fermentasi

terjadi secara alami pada saat pengeringan. Penggunaan banyak jenis bumbu dan

fermentasi pada suhu yang tinggi berhubungan dengan karakteristik BAL yang

terlibat di dalam proses fermentasi (Antara, 2004)

Mutu yang tidak konsisten dan resiko kegagalan yang tinggi merupakan

masalah yang umum pada makanan terfermentasi yang diproduksi secara

tradisional. Resiko kegagalan dalam produksi urutan sangat tinggi yang ditandai

dengan aroma yang tidak sedap dari produk. Untuk memperbaiki mutu urutan,

penggunaan kultur starter dalam produksi urutan perlu dikembangkan.

Penggunaan kultur indigenus akan memberikan keuntungan terutama proses

fermentasi yang terkontrol dan produk akhir dapat distandarisasi.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa BAL mendominasi mikrobia

5

yang berperan dalam proses fermentasi urutan (Antara et al., 2002). Aryanta

(1996) melaporkan bahwa secara penotipik genus Lactobacillus dan Pediococcus

berperan dalam proses fermentasi urutan. Dengan karakteristik penotipik untuk

mengidentifikasi BAL mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan hasil yang

akurat sampai pada tingkat spesies ataupun strain. Antara et al. (2002)

menggunakan kombinasi metode penotipik dan analisis sekuen dari 16S rDNA

diperoleh hasil yang lebih akurat mengenai BAL yang terlibat di dalam proses

fermentasi urutan secara alami. Dari identifikasi tersebut diperoleh tiga strain Lb.

plantarum, empat strain Lb. farciminis, dan dua strain yang merupakan obligat

heterofermentative yaitu Lb. fermentum dan Lb. hilgardii. Ada dua spesies dari

Pediococcus yang teridentifikasi yaitu P. acidilactici (dua strain) dan P.

pentosaceus (dua strain). Dari semua spesies yang teridentifikasi, ternyata ada tiga

spesies yang mendominasi fermentasi dengan suksesi tertentu. Ketiga spesies

tersebut adalah Lb. plantarum, P. acidilactici, dan Lb. farciminis.

Hasil skrining terhadap BAL penghasil bakteriosin menunjukkan bahwa

strain P. acidilactici U318 dapat menghasilkan bakteriosin dengan spektrum

penghambatan yang luas (Antara, 2000). Keberadaan strain penghasil

bakteriosin berperan nyata terhadap suksesi pertumbuhan BAL dalam urutan

selama fermentasi (Antara 2004). Hasil karakterisasi semua strain BAL telah

terpilih tiga strain yang dapat digunakan sebagai kultur starter tunggal maupun

ganda. Sebagai kultur starter tunggal Lb. plantarum U201, P. acidilactici U318

dan P. pentosaceus U208 sudah dicoba dalam produksi urutan (Antara et al.,

2002). Ketiga strain ini yang merupakan indigenus strain dipilih sebagai kultur

starter karena keberadaannya di dalam urutan selama fermentasi secara alami. Lb.

plantarum U201 merupakan BAL yang mendominasi pertumbuhan pada awal

fermentasi dan mempunyai peran untuk menurunkan pH yang cepat pada awal

fermentasi. P. acidilactici U318 merupakan strain BAL penghasil bakteriosin yang

dapat mengontrol fermentasi. Walaupun strain P. pentosaceus keberadaannya

tidak dominan, namun dapat tumbuh dengan baik pada suhu 30oC – 45oC yang

merupakan suhu fermentasi urutan.

Penggunaan Lb. plantarum U201 dan P. acidilactici U318 sebagai kultur

starter tunggal dan ganda dalam produksi urutan juga sudah diteliti secara intensif.

6

Dari hasil penelitian ini penggunaan kedua strain bersama sebagai kultur starter

ganda memperlihatkan hasil yang baik, Lb. plantarum U201 berperan untuk

menurunkan pH dalam waktu yang cepat pada awal fermentasi. Penurunan pH ini

sangat penting untuk menghambat bakteri pembusuk dan patogen. P. acidilactici

U318 yang merupakan strain penghasil bakteriosin dapat mengontrol fermentasi,

yaitu dengan menghambat pertumbuhan Lb. plantarum sehingga penurunan pH

dapat dicegah tidak terlalu rendah. Selain itu keberadaan P. acidilactici U318

dapat menghambat micrococci secara sempurna pada akhir fermentasi (Antara et

al., 2004).

Penggunaan kultur starter dalam proses produksi urutan dapat mencegah

resiko kegagalan dan dihasilkan mutu urutan yang konsisten. Walaupun demikian,

penyiapan kultur starter memerlukan ketrampilan dan kondisi yang aseptis. Hal

ini terlalu rumit dilakukan untuk skala produksi yang lebih besar. Untuk itu

pengembangan kultur starter yang siap pakai sangat penting dilakukan, sehingga

penggunaan kultur starter dalam bentuk kultur starter siap pakai dapat dilakukan

dengan lebih mudah pada skala industri. Pada penelitian sebelumnya mengenai

proses pembuatan bubuk kultur starter, proses pengeringan merupakan proses

yang sangat kritis karena terjadi penurunan viabilitas yang nyata dan kontaminasi

mikroorganisme lain. Penggunaan oven vakum dengan suhu rendah merupakan

proses pengeringan yang baik digunakan dalam pengeringan kultur starter (Antara

et al., 2006). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan pengisi

berbasis karbohidrat (pati) tidak memberikan pengawetan yang nyata terhadap

viabilitas P. acidilactici U318 (Trisna et al., 2008), sehingga diperlukan penelitian

lanjutan untuk mendapatkan teknik pengawetan yang tepat terhadap sel P.

acideilactici U318 dengan hasil viabilitas yang tinggi dan dapat disimpan dalam

jangka waktu yang lama.

7

III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk memperoleh teknik pengawetan

terhadap sel Pediococcus acidilactici U318 dalam pembuatan bubuk kultur starter,

sehingga diperoleh bubuk kultur starter dengan viabilitas sel yang tinggi.

Manfaat Penelitian

Luaran penelitian ini adalah teknik pengawetan baketri asam laktat, khususnya

Pediococcus acidilactici U318, yang bermanfaat untuk proses pembuatan bubuk

inokulum dengan teknologi sederhana dan dapat dimanfaatkan untuk

mengembangkan proses produksi bubuk inokulum. Lebih lanjut, bubuk inokulum

akan bermanfaat bagi masyarakat yang berminat untuk memproduksi urutan, dan

kegagalan fermentasi dapat ditanggulangi.

8

IV. METODE PENELITIAN

Strain Bakteri Asam Laktat

Strain BAL digunakan dalam penelitian ini adalah P. acidilactici U318. Strain

tersebut diperoleh dari koleksi UPT Laboratorium Terpadu Biosain dan

Bioteknologi, Universitas Udayana.

Media dan Bahan

Media: glukosa, ekstrak khamir, ekstrak daging, pepton, natrium asetat (tri-hidrat),

MgSO4, MnSO4, FeSO4, NaCl, Tween 80, agar, MRS broth, Plate Count Agar,

Violet Red Bile Dxtrose Agar.

Bahan: tepung maizena, pectin, dan karagenan (tepung agar)

Alat

Inkubator, oven vacum, laminair flow, sentrifugasi, mikroskop, dan alat-alat gelas.

Persiapan Kultur

Strain BAL diperbanyak dengan menggunakan media sintetik, yaitu GYP broth

yang terdiri dari glukosa 10 g/l, ekstrak yeast 10 g/l, larutan garam 5 ml/l

(MgSO4.7H2O 40 mg/ml, MnSO4.4H2O 2 mg/ml, FeSO4.7H2O 2 mg/ml, dan

NaCl 2 mg/ml), Tween 80 0,5 mg/l. Masing-masing kultur ditumbuhkan pada

suhu 30oC dan ditentukan fase logaritmiknya untuk menentukan waktu panen sel.

Pada saat fase logaritmik sel bakteri dipanen dengan sentrifugasi pada 3500 rpm

selama 20 menit. Sel masing-masing strain dicuci dengan menggunakan larutan

fisiologis (larutan NaCl 0,85%) steril dan disuspensikan kembali dengan larutan

yang sama untuk mendapatkan jumlah sel sekitar 109 sel /ml.

Produksi Kultur starter

Kultur dari strain BAL yang sudah dipersiapkan di dalam larutan fisiologis

ditambahkan 10% susu skim dan 0,1% sodium glutamat. Cairan kultur selanjutnya

ditambahkan bahan pelindung sesuai dengan perlakuan dan dilakukan

pengeringan di dalam oven vakum pada suhu 45oC sehingga diperoleh bubuk

kultur starter.

Rancangan Percobaan

Percobaan dilaksanakan dalam 2 tahap:

Tahap I: Percobaan Pembuatan Bubuk Inokulum

Percobaan yang dirancang dengan rancangan acak kelompok (RAK) dan pola

9

percobaan faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah jenis

pelindung yang terdiri dari 3 aras (tepung maizena, tepung pektin, dan tepung

agar/karagenan), dan faktor kedua adalah konsentrasi bahan pelindung yang

terdiri dari 4 aras (0%, 5%, dan 10%), sehingga dari kedua faktor tersebut

diperoleh 9 kombinasi percobaan. Masing-masing percobaan dilakukan dalam tiga

kelompok, sehingga akan dilakukan 27 unit percobaan.

Data yang diperoleh dinalisis dengan analisis variance (sidik ragam) untuk

menentukan pengaruh masing-masing perlakuan dan interaksinya. Apabila hasil

sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji t

untuk menentukan perbedaan antar aras perlakuan ataupun interaksi perlakuan.

Tahap II: Uji Bubuk Inokulum Pada Adonan Urutan

Pada tahapan ini, bubuk inokulum yang memperlihatkan viabilitas BAL terbaik

diuji kemampuan tumbuhnya pada media urutan. Media urutan merupakan media

yang sesuai dengan formulasi urutan dan tidak disterilkan. Media urutan

ditempatkan dalam petri steril dan diinokulasi dengan bubuk inokulum terbaik

dari percobaan Tahap I. Setelah fermentasi dilakukan análisis terhadap

pertumbuhan BAL dan karakteristik lainnya. Pada percobaan Tahap II dirancang

percobaan dengan memvariasi lemak yang ditambahkan ke dalam formulasi

lemak.

Variabel yang Diamati

Pada percobaan Tahap I dianalisis variabel yang merupakan indikator viabilitas

kultur starter. Variabel yang diamati adalah total bakteri asam laktat dan total

mikroba di dalam bubuk kultur starter.

Pada percobaan Tahap II dianalisis kemampuan BAL tumbuh dalam media urutan.

Kemampuan BAL tumbuh dalam media urutan dilakukan dengan cara

menumbuhkan kultur starter (bubuk kultur starter) dalam cawan petri steril yang

sudah diisi adonan urutan. Selain BAL, juga dilakukan análisis terhadap

Enterobacteriaceae dan karakteristik adonan setelah dilakukan fermentasi.

10

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan Tahap I:

Total Pediococcus acidilactici U318 Pada Bubuk Inokulum

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis (karagenan, pektin,

dan maizena) dan konsentrasi bahan proteksi serta interaksinya berpengaruh

sangat nyata (P<0,01) terhadap viabilitas total P. acidilactici U318 sebelum dan

setelah dikeringkan. Ini membuktikan bahwa P. acidilactici U318 dapat bertahan

hidup diketiga jenis bahan proteksi dengan konsentrasi yang berbeda. Nilai

rata-rata total P. acidilactici U318 sebelum dan sesudah dikeringkan dapat

dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 1. Nilai rata-rata total P. acidilactici U318 (cfu/g) sebelum dikeringkan

Jenis Bahan Proteksi

Konsentrasi bahan proteksi (%) 0 5 10

Karagenan 3,39 x 1010 a 1,95 x 109 b 4,44 x 109 b Pektin 4,57 x 1010 a 2,58 x 1010 a 3,42 x 109 b

Maizena 3,13 x 1010 a 2,87 x 1010 a 5,23 X 109 b Keterangan : Huruf yang sama dibelakang rata-rata menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, (P>0,05).

Tabel 2. Nilai rata-rata total P. acidilactici U318 (cfu/g) setelah dikeringkan

Jenis Bahan Proteksi

Konsentrasi bahan proteksi (%) 0 5 10

Karagenan 2,78 x 109 cd 9,30 x 108 d 3,85 x 109 b Pektin 3,78 x 109 bc 3,07 x 109 c 3,22 x 109 c

Maizena 1,16 x 1010 a 1,26 x 1010 a 4,46 x 109 b Keterangan : Huruf yang sama dibelakang rata-rata menunjukan perbedaan yang tidak nyata, (P>0,05).

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata total P.

acidilactici U318 mengalami penurunan pada masing - masing perlakuan

setelah proses pengeringan, hal tersebut mungkin disebabkan oleh masing-masing

bahan proteksi memililiki karakteristik polimer yang berbeda. Data yang

diperoleh memperlihatkan perlakuan bahan proteksi maizena memberikan

11

perlindungan yang paling baik setelah proses pengeringan berlangsung, dan pada

perlakuan maizena 5 % memberikan perlindungan terbaik yaitu sebesar 1,26 x

1010 cfu/g.

Pengamatan mikroskopis Pediocroccus acidilactici U318

Pengamatan secara mikroskopis P. acidilactici U318 menggunakan metode

Pewarnaan Gram, pada bubuk inokulum setelah pengeringan. Dari metode

pewarnaan gram tersebut diperoleh sembilan buah prefarat sesuai dengan

jumlah kombinasi perlakuan, yang selanjutnya kesembilan prefarat tersebut

diamati dan diambil gambarnya menggunakan mikroskop dengan pembesaran

1000X. Dari prefarat yang telah dibuat maka akan dihasilkan sembilan foto

mikroskopis dari masing-masing perlakuan. Pada Gambar 1 ini disajikan foto

mikroskopis P. acidilactici U318 .

Gambar 1 . P. acidilactici U318 pada bubuk inokulum maizena 5%

Total Mikroba

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis (karagenan, pektin,

dan maizena) dan konsentrasi bahan proteksi serta interaksinya berpengaruh

sangat nyata (P<0,01) terhadap total mikroba sebelum dan setelah dikeringkan.

Hal tersebut membuktikan bahwa mikroba dapat hidup pada ketiga bahan proteksi

dengan konsentrasi yang berbeda, yang disebabkan karena pada prinsipnya semua

bakteri/mikroba membutuhkan zat organik seperti protein, lemak, karbohidrat air

12

serta beberapa zat anorganik seperti fosfor, kalsium, besi dan magnesium

(Wibowo dan Ristanto, 1988). Data nilai rata-rata total mikroba pada bubuk

inokulum sebelum dan setelah dikeringkan dapat dilihat pada Tabel dan Tabel

3 dan 4.

Tabel 3. Nilai rata-rata total mikroba (cfu/g) pada bubuk inokulum sebelum dikeringkan.

Jenis Bahan Proteksi

Konsentrasi bahan proteksi (%) 0 5 10

Karagenan 2,46 x 1011 ef 3,64 x 1011 f 3,45 x 1011 cd Pektin 2,46 x 1011 b 4,88 x 1011 c 5,12 x 1010 d

Maizena 2,46 x 1011 a 5,47 x 1010 b 3,93 x 1010 c

Tabel 4. Nilai rata-rata total mikroba (cfu/g) pada bubuk inokulum setelah dikeringkan.

Jenis Bahan Proteksi

Konsentrasi bahan proteksi (%) 0 5 10

Karagenan 8,43 x 1010 b 2,06 x 1010 c 1,83 x 1010 c Pektin 3,66 x 1010 d 4,63 x 1010 c 3,37 x 1010 c

Maizena 4,27 x 1010 a 3,65 x 1010 c 2,75 x 1010 cd

Percobaan Tahap II:

Total Bakteri Asam Laktat dan Enterobacteriaceae

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lemak pada urutan dapat

menurunkan jumlah populasi mikroorganisme. Kisaran populasi bakteri asam

laktat pada urutan adalah 5,2x109cfu/g sampai 3,7x1010cfu/g. Populasi bakteri

asam laktat ini mengalami penurunan dari 3,7x1010cfu/g (penambahan lemak 5%)

menjadi 5,2x109cfu/g (penambahan lemak 25%) (Gambar 2).

Pada saat fermentasi, lemak mengalami proses hidrolisis yang menghasilkan

asam-asam lemak. Menurut Leochowich (1971) dan Judge et al., (1989) dalam

Soeparno (1992), peroksida yang dihasilkan dari asam-asam lemak bersifat toksik

13

bagi banyak mikroorganisme. Akibatnya, degradasi oksidatif asam-asam lemak

dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu semakin kecil

persentase lemak maka semakin besar persentase daging yang digunakan, maka

semakin banyak kandungan glukosa yang digunakan dalam proses fermentasi

untuk menghasilkan asam laktat. Pediococcus acidilactici U318 yang terkandung

pada bubuk inokulum akan dapat hidup dengan baik pada bahan yang lebih

banyak mengandung glukosa. Glukosa yang terkandung pada karbohidrat akan

dirubah menjadi asam laktat yang ditandai dengan pemecahan fruktosa 1,6

difosfat oleh enzim aldolase menjadi molekul triosa fosfat yang selanjutnya

dikonfersi menjadi asam laktat melalui piruvat. Asam amino yang terkandung

pada protein daging juga sangat berperan penting untuk pertumbuhan sel-sel

bakteri asam laktat pada saat fase log (Sudjhata dan Antara, 2007).

Gambar 2. Total bakteri asam laktat () dan Enterobacteriaceae () pada urutan dengan perlakuan penambahan lemak.

Diduga, bakteri asam laktat yang tumbuh pada urutan dipengaruhi oleh

penambahan lemak. Lemak tidak dapat menekan pertumbuhan Lactobacillus

4,00E+08

1,04E+10

2,04E+10

3,04E+10

4,04E+10

5 10 15 20 25

Penambahan Lemak

Tota

l Bak

teri

Asa

m L

akta

t (cf

u/g)

1,00E+04

6,00E+04

1,10E+05

1,60E+05

2,10E+05

Tota

l Ent

erob

acte

riace

ae (c

fu/g

)

14

plantarum pada awal fermentasi sehingga bakteri inilah yang mendominasi

pertumbuhan BAL pada urutan. Antara (2004) menyebutkan Lactobacillus

plantarum lebih cepat menghasilkan asam dibanding dengan Pediococcus

acidilactici, sehingga menyebabkan penurunan pH. pH yang semakin rendah akan

menghambat pertumbuhan Enterobacteriaceae, sehingga pertumbuhan

Enterobacteriaceae pada urutan mengalami penurunan yaitu dari 1,77x105 cfu/g

(penambahan lemak 5%) menjadi 2,45x104 cfu/g (penambahan 25%) (Gambar 2).

Total Asam, pH, dan aw

Nilai total asam pada urutan berkisar antara 2,19% sampai 2,47%. Nilai

total asam pada urutan mengalami peningkatan dari 2,19% (penambahan lemak

5%) menjadi 2,47% (penambahan lemak 25%) (Gambar 3). Semakin banyak

kandungan karbohidrat dalam produk maka semakin banyak asam laktat yang

dihasilkan pada saat terfermentasi oleh bakteri asam laktat. Tetapi pada penelitian

ini terdapat perbedaan pada formulasi daging dan lemak yang digunakan yang

dapat berpengaruh pada total asam yang dihasilkan. Selain diduga dipengaruhi

oleh pertumbuhan Lactobacillus plantarum yang mendominasi pada urutan, juga

dipengaruhi oleh populasi Enterobacteriaceae. Pada saat fermentasi bakteri ini

dapat memetabolisme asam-asam amino secara enzimatik (deaminasi oksidatif

dan reduktif) menjadi ammonia, asam keto dan asam lemak (Soeparno ,1992).

Terdeaminasinya senyawa-senyawa amino organik ini menghasilkan

senyawa-senyawa basa yang dapat menetralkan asam sehingga pH cenderung

tinggi. Pada perlakuan penambahan lemak 5% lebih banyak mengandung protein

sehingga terjadi peningkatan pH yang lebih tinggi. Kisaran nilai pH urutan adalah

4,39 sampai 4,54. Nilai pH urutan ini mengalami penurunan dari perlakuan

15

penambahan lemak 5% yaitu sebesar 4,54 menjadi 4,39 pada perlakuan

penambahan lemak 25%.

Aktivitas air atau water activity (aw) dinyatakan sebagai jumlah air bebas

yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya (Winarno, 1981).

Nilai aw urutan hasil penelitian berkisar antara 0,89–0,93. Bakteri asam

laktat Pediococcus acidilactici membutuhkan aw minimum 0,91-0,95 untuk

pertumbuhannya pada produk daging (Fenema, 1985).

Perlakuan pada penelitian ini menggunakan jumlah daging dan

lemak yang berbeda-beda. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa nilai aw

urutan cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya

lemak dan berkurangnya jumlah daging yang ditambahkan pada bahan. Aw

urutan mengalami penurunan dari 0,93 (penambahan lemak 5%) menjadi

0,89 (penambahan lemak 25%) (Gambar 3). Lemak jenuh yang terkandung

pada lemak babi akan pecah menjadi asam-asam lemak jenuh pada saat

fermentasi. Asam-asam lemak jenuh cenderung memiliki titik lebur yang

relatife tinggi sehingga aw yang terkandung pada lemak lebih tinggi dari pada

aw pada daging. Selain dipengaruhi oleh lemak, aw pada urutan juga

dipengaruhi oleh daging. Pada saat fermentasi terjadi denaturasi protein

sehingga air bebas pada molekul protein jumlahnya akan menurun. Selain itu

penurunan aw juga dipengaruhi oleh RH lingkungan yang rendah sehingga

terjadi penguapan air (Fenema, 1985).

16

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Polimer karbohidrat dapat digunakan sebagai bahan proteksi P. Acidilactici

U318 dengan viabilitas lebih besar dari 109 cfu/g. Penggunaan polimer

pati (maizena) merupakan polimer yang lebih baik digunakan untuk

pengawetan BAL dibandingkan dengan pektin dan karagenan.

2. Bubuk inokulum dengan tepung maizena sebagai bahan proteksi dapat

tumbuh dengan baik pada media urutan, namun semakin tinggi lemak

yang terkandung dalam formulasi media urutan pertumbuhan BAL

semakin rendah.

Saran

Kendala penggunaan pektin maupun karagenan sebagai bahan proteksi pada

proses produksi bubuk inokulum adalah pada saat pengeringan, yaitu tekstur yang

lengket dan tekstur menjadi keras setelah proses pengeringan. Untuk itu

disarankan untuk dilakukan percobaan lanjutan mengenai penggunaan campuran

maizena dan pektin maupun karagenan sebagai bahan proteksi BAL.

17

DAFTAR PUSTAKA

Antara, N.S. 2000. Purification using simple method adsorption-desorption and partial sequencing of bacteriocin produced by Pediococcus acidilacciti 3110. Scientific Meeting of Indonesia Society for Microbiology, PIT PERMI, June 27-28, 2000. Denpasar.

Antara, N.S., Sujaya,, I N., Yokota, A., Asano, K., Aryanta, W.R. and Tomita, F. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of urutan, a Balinese indigenous fermented sausage. World J. Microbiol. Bitechnol. 18: 255-262.

Antara, N.S., Sujaya,, I N., Yokota, A., Asano, K., Aryanta, W.R. and Tomita, F. 2002. The effects of indigenous lactic acid bacteria as single starter culture on the quality of “urutan”. Annual Meeting of Japan Society for Lactic Acid Bacteria. August 23-25, 2002. Tokyo. Japan.

Antara, N.S. 2004. Isolation and Identification of Indigenous Lactic Acid Bacteria, Their role and Application in Production of Urutan, a Balinese Fermented Sausage. A Thesis Submit for The Requirement of Ph.D. Degree in Agriculture Garaduate School of Agriculture, Hokkaido University.

Antara, N.S., Sujaya,, I N., Yokota, A., Asano, K., Aryanta, W.R. and Tomita, F. 2004. Effects of indigenous starter culture on the microbial and physico-chemical characteristic of urutan, a Balinese fermented sausage. J. Biosci. Bioeng. 98(2): 92-98.

Antara, N.S., Sujaya, I N., dan Ramona, Y. 2007. Pengembangan Kultur starter bakteri Asam Laktat dan Metode Produksi Untuk Meningkatkan Mutu Urutan (Sosis Bali Terfermentasi). Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Teknologi Pertanian, Unud.

Aryanta, W.R. 1996. Characteristic of Balinese traditional fermented sausage. J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 1: 74-77.

Bacus, J.N. 1984. Utilization of Microorganism in Meat Processing. A Handbook for Meat Plant Operator. John Wiley and Son Inc. New York.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H Fleet dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia. Press Jakarta.

Bukenhuskes, H.J. 1993. Selection criteria for lactic acid bacteria to be used as starter cultures for various food commodities. FEMS Microbiol. Rev. 12: 253-272.

Caplice, A. and Fitzgerald, G.F. 1999. Food fermentation: Role of microorganisms in food production and preservation. Int. J. Food Microbiol. 50: 131-149.

Castano, A., Garcia Fonta, M.C., Fresno, J.M., Tornadijo, M.E. and Carballo, J. 2002. Survival of Enterobacteriaceae during processing of chorizo de cebolla, Spanish fermented sausage. Food Contrl. 13: 107-115.

Coppola, S., Mauriello, G., Aponte, M., Moschetti, G. and Villani, F. 2000. Microbial succession during ripening of Napples-type salami, a Shoutern Italian fermented sausage. Meat Sci. 56: 321-329.

Erkkila, S. and Petaja, E. 2000. Screening of commercial meat starter cultures at low pH and in the presence of bile salts for potential probiotic use. Meat Sci. 55: 297-300.

18

Erkkila, S., Petaja, E., Eerola, S., Lilleberg, L., Mattila-Sandholm, T. and Suihko, M.L. 2001. Flavour profiles of dry sausages fermented by selected novel meat starter cultures. Meat Sci. 58: 111-116.

Fitzsimons, N.A., Cogan, T.M., Condon, S. and Beresford, T. 1999 Phenotypic and genotypic characterization of non-starter lactic acid bacteria in mature cheddar cheese. Appl. and Environ. Microbiol. 65: 3418-3426.

Gariga, M., Hugas, M., Gou, P., Aymerich, M.T., Arnau, J. and Monfort, J.M. 1996. Technological and sensorial evaluation of Lactobacillus strains as starter cultures in fermented sausages. Int. J. Food Microbiol., 32: 173-183.

Hammes, W.P. and Hertel, C. 1998 New development in meat starter cultures. Meat Sci. 49 (Suppl. 1): S125-S138.

Hansen, E.B. 2002. Commercial bacterial starter cultures for fermented foods of the future. Int. J. Food Microbiol. 78:119-131.

Holzapfel, W.H. 2002. Appropriate starter culture technologies for small-scale fermentation in developing countries. Int. J. Food Microbiol. 75: 197-212.

Hugas, M. and Monfort, J.M. 1997. Bacterial starter cultures for meat fermentation. Food Chemist. 59: 547-554.

Jay, J.M. 1996. Modern Food Microbiology, 5th Edition. Chapman and Hall. New York.

Kalac, P., Spicka, J., Krizek, M. and Pelikanova, T. 2000 The effects of lactic acid bacteria inoculants on biogenic amines formation in sauerkraut. Food Chemist.70: 355-359.

Lucke, F.K. 1998. Fermented sausages. In: B.J.B. Wood (Ed.). Microbiology of Fermented Food – Volume 2. 2nd Edition. pp. 441-483. Blakie Academic and Professional. London.

Ordonez, J.A., Hiero, E.M., Bruna, J.M. and de la Hoz, L. 1999. Changes in the components of dry-fermented sausages during ripening. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 39: 329-367.

Papadima, S.N. and Bloukas, J.G. 1999. Effect of fat level and storage conditions on quality characteristics of traditional Greek sausages. Meat Sci. 51: 103-113.

Parente, E., Rota, M.A., Ricciardi, A. and Clementi, F. 1997 Characterization of natural starter cultures used in the manufacture of Pasta Filata cheese in Basilicata (Southern Italy). Int. Dairy J. 7: 775-783.

Ray, B. 1992. The Need For food Biopreservation. In B. Ray and M. Daeschel (Eds.). Food Biopreservative of Microbial Origin, pp. 1-23. CRC Press. Bocaraton, Florida.

Sanchez, I., Palop, L. and Ballesteros, C. 2000 Biochemical characterization of lactic acid bacteria isolated from spontaneous fermentation of almagro eggplants. Int. J. Food Microbiol. 59: 355-359.

Stahnke, L.H. 1995. Dried sausages fermented with Staphylocpccus xylosus at different temperatures and with different ingredient levels – Part II. Volatile components. Meat Sci. 41: 193-209.

Wood, B.J.B. 1997. Microbiology of Fermented Foods. Balcky Academic and Professional, London.

19

LAMPIRAN