daftar peserta seminar nasional pendidikan 2019 - Berita UPI
prosiding seminar nasional hasil penelitian hhbk
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of prosiding seminar nasional hasil penelitian hhbk
ii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ISBN 978-602-71618-1-8
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN HHBK
Tema :
“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk Mendukung Pengelolaan
Hutan Dan Lingkungan”
Mataram, 4 Desember 2014
BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HASIL HUTAN BUKAN KAYU
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN
2014
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | iii
Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian HHBK
ISBN
978-602-71618-1-8
Penyunting
Dr. Kresno Agus Hendarto, S.Hut., MM
M. Husni Idris, SP, M.Sc., PhD
Ir. Kemas Usman, MS
Ir. Harry Budi Santoso, MP
Ir. I Komang Surata, M.Sc
Ir. I Wayan Widhiana S., MP
Penerbit
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu bekerjasama dengan
Universitas Nusa Tenggara Barat dan Program Studi Kehutanan
Universitas Mataram
Jl. Dharma Bhakti no. 7 Langko-Lingsar, Lombok Barat – NTB
Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841
Email : [email protected]
Website : bpthhbk.litbang.dephut.go.id
iv| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KATA PENGANTAR
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK),
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah menyelenggarakan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK pada tanggal 4 Desember 2014
di Mataram dengan tema “Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk
Mendukung Pengelolaan Hutan dan Lingkungan”.
Seminar ini merupakan sarana penyampaian informasi hasil-hasil
penelitian yang telah dilaksanakan oleh berbagai institusi penelitian bidang
kehutanan yang terkait dengan HHBK. Sehingga diharapkan mampu
mengidentifikasi permasalahan HHBK secara umum dan merumuskan
upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatan kemanfaatan HHBK
dalam mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari. Prosiding ini memuat rumusan masalah, laporan panitia, memuat
39 makalah presentasi dan 11 makalah poster yang telah dipresentasikan
dan didiskusikan pada Seminar Nasional Hasil Penelitian Hasil Hutan
Bukan Kayu di Mataram tangal 4 Desember 2014. Presentasi makalah-
makalah tersebut dikelompokkan ke dalam 3 komisi sesuai aspek
makalahnya, yaitu: Komisi Budidaya (12 makalah), Komisi Pengolahan
(14 makalah) dan Komisi Sosial-ekonomi dan Lingkungan (13 makalah).
Makalah-makalah tersebut berasal dari para peneliti di lingkungan Puslit-
Puslit, Balai Besar, dan Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan,
dan akademisi dari beberapa Perguruan Tinggi Nasional seperti:
Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Universitas Hasanuddin
Makassar (UNHAS), Universitas Mataram (UNRAM), dan Universitas
Nusa Tenggara Barat, Mataram (UNTB).
Selain itu, prosiding ini juga menyajikan makalah kunci: Strategi
dan Kebijakan Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) dan catatan diskusi atas penyajian
makalah-makalah tersebut pada masing-masing komisi. Sebagai penyarian
dari substansi dari semua cakupan materi yang dipresentasikan, hasil
diskusi serta masukan, saran, dan arahan Gubernur Nusa Tenggara Barat,
maka dalam prosiding ini disajikan pula 13 butir rumusan hasil seminar.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | v
Keberhasilan penyelenggaraan seminar hingga selesainya
prosiding ini tidak terlepas peran serta dan kerjasama semua pihak terkait.
Untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya disertai harapan semoga prosiding ini dapat bermanfaat.
Mataram, 23 Desember 2014
Kepala BPTHHBK
Ir. Harry Budi Santoso, M.P
vi| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
karunia-Nya Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK dapat
diterbitkan. Seminar dengan tema “Meningkatkan Kemanfaatan HHBK
Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan” yang telah
dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2014 di Gedung Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Nusa Tengga Barat di Mataram,
dengan kolaborasi Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu,
Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan
Universitas Nusa Tenggara Barat.
Seminar ini diselenggarakan sebagai media sosialisasi IPTEK
Kehutanan dan hasil-hasil penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan
kayu. Seminar Nasional ini dijadikan sebagai media tukar menukar
informasi dan pengalaman, ajang diskusi ilmiah, peningkatan kemitraan di
antara peneliti dengan praktisi, mempertajam visi pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan, serta peningkatan kesadaran kolektif terhadap
pentingnya penelitian dan pengembangan hasil hutan bukan kayu secara
optimal.
Prosiding ini memuat karya tulis dari berbagai hasil penelitian
mengenai budidaya dan pengelolaan, teknologi dan pemanfaatan HHBK
serta aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam pengembangan hasil
hutan bukan kayu. Makalah-makalah tersebut berasal dari para peneliti di
lingkungan Badan Litbang Kehutanan, akademisi, pengambil kebijakan dan
praktisi kehutanan.
Semoga penerbitan prosiding ini dapat digunakan sebagai data
sekunder dalam pengembangan penelitian di masa akan datang, serta
dijadikan bahan acuan dalam meningkatkan kemanfaatan HHBK untuk
mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan. Akhir kata kepada semua
pihak yang telah berpartisipasi, kami ucapkan terimakasih.
Mataram, 23 Desember 2014
Rektor Universitas Nusa
Tenggara Barat
Dr. Ir. Mashur, MS
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas karunia-Nya
lah Prosiding Seminar Nasional Hasil Hutan Bukan Kayu ini dapat
diterbitkan. Penerbitan Prosiding ini dan penyelenggaraan seminarnya
tanggal 4 Desember 2014, mempunyai makna khusus bagi kami jajaran
Universitas Mataram dan Program Studi Kehutanan khususnya, karena
merupakan tonggak dimulainya kerjasama dalam bidang penelitian dan
pengembangan kehutanan, termasuk hasil hutan bukan kayu dengan jajaran
Badan Litbang Kehutanan. Penandatanganan MoU kerjasama tersebut
dilaksanakan pada acara pembukaan Seminar Nasional ini. Untuk itu pada
kesempatan ini, mewakili jajaran UNRAM dan Prodi Kehutanan kami
ingin menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada Jajaran Badan
Litbang Kehutanan dan BPTHHBK atas kepercayaan dan kesempatan yang
diberikan.
Kami menyadari, bahwa dalam kolaborasi perdana melalui
penyelenggaraan kegiatan seminar dan penerbitan Prosiding ini, kami
belum dapat berperan secara maksimal khususnya dalam kontribusi
makalah yang dipresentasikan. Hal ini karena selain masih dalam proses
pemantapan status organisasi (menjadi Fakultas Kehutanan), secara umum
implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi kami memang masih tertuju
pada pemantapan kegiatan Pengajaran dan Pengabdian Kepada Masyarakat
dari pada Penelitian. Namun demikian, ke depan, kerjasama ini tentunya
akan kami manfaatkan dengan optimal untuk meningkatkan dan
mensinergikan program-program penelitian kami.
Melalui peran dalam review abstrak/makalah, pemanduan dan
moderasi selama persiapan, presentasi makalah, diskusi dan perumusan
hasil dalam seluruh rangkaian acara Seminar ini, kami memperoleh
wawasan bahwa kebutuhan penelitian dan pengembangan bagi pengelolaan
dan pemanfaatan HHBK secara optimal masih sangat luas dan sifat
keberagaman baik jenis penghasil maupun cara memanfaatkan yang
spesifik untuk masing produk-produk tertentu, menuntut dukungan
penelitian dasar dari berbagai disiplin ilmu dan kepakaran diluar bidang
kehutanan serta kreasi perakitan teknologi tepat guna. Belum lagi
viii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kebutuhan kajian aspek sosial budaya, yang merupakan prakondisi penting
bagi kebutuhan pemanfaatan maupun keberhasilan penerapan hasil
teknologi itu sendiri. Ringkasnya, sinergi antar lembaga penelitian dengan
perguruan tinggi, peneliti dengan akademisi mutlak dibutuhkan untuk
menghasilkan pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi
yang lebih cepat dapat didayagunakan oleh masyarakat luas.
Hasil review terhadap 39 makalah yang dipresentasikan,
memeberikan indikasi tentang tingkat kesiapannya untuk mendukung
penyelesaian masalah praktis dilapangan. Dari 26 makalah teknis (aspek
budidaya dan pengolahan), sebagian besar masih berupa penelitian
introduksi, atau konfirmasi terhadap permasalahan praktis yang ada, belum
fokus kepada penemuan terhadap solusi masalahnya. Demikian juga dari
13 makalah aspek sosial-ekonomi dan lingkungan, lebih dari setengahnya
cenderung berupa hasil deskripsi dari permasalahan yang ada di lapangan,
atau pengungkapan kondisi dilematis pengelolaan dan pemanfaatan.
Sebagai rekaman dari substansi hasil pelaksanaan seminar,
prosiding ini diharapkan mampu menjadi media sosialisasi IPTEK
Kehutanan khususnya hasil-hasil penelitian dan pengembangan HHBK
kepada masyarakat luas khususnya praktisi dan pengambil keputusan pada
jajaran pengelola sektor kehutanan dalam rangka percepatan peningkatan
pembangunan kehutanan dan pensejahteraan masyarakat. Bagi para peneliti
dan akademisi, penerbitan prosiding ini diharapkan bermanfaat sebagai
sumber rujukan dan data sekunder dalam pengembangan penelitian
mendatang. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunan dan penerbitan prosiding ini, kami ucapkan
terimakasih.
Mataram, 23 Desember 2014
Ketua Program Studi Kehutanan
Universitas Mataram
Dr. Sitti Latifah, M.Sc.F
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii-vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii-xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiv
RUMUSAN HASIL SEMINAR ............................................................ xv-xvii
LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA ........................................ xviii-xx
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN ............. xxi-xxiv
SAMBUTAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT ................. xxv-xxviii
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 2
II. MAKALAH DAN DISKUSI ........................................................... 3
A. Makalah Kunci : Strategi dan Kebijakan Penelitian Hasil
Hutan Bukan Kayu
(Dr. Ir. Rufi’i, M.Sc) .....................................................................
4-10
B. Budidaya Dan Pengelolaan HHBK 11
1. Teknik Budidaya Gulinggang (Senna alata Linn.) Di
Kalimantan Selatan
(Sudin Panjaitan, Ahmad Ali Musthofa Rusmana) ………
12-20
2. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Muda Aquilariacrassna Pierre ex
Lecomte Di Lapang
(Ragil SB Irianto) ……………….…………………………
21-26
3. Optimalisasi Hasil Panen Tanaman Rami Untuk
Mendukung Industri Tekstil Di Kabupaten Garut
(Tri S.W., Dian Diniyati, dan Harry Budi Santoso)……….
27-38
4. Ujicoba Rehabilitasi Dengan Tanaman Penghasil Bahan
Bakar Nabati Di KPHL Rinjani Barat Dan KPHL Bali
Timur
(Cecep Handoko) .................................................................
39-55
5. Adaptasi Dan Preferensi Pakan Rusa Sambar (Rusa
unicolor Brookei) Pada Tahap Awal Di Penangkaran
56-71
x| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KHDTK Samboja
(Tri Atmoko) ………………………………………………
6. Evaluasi Pohon Serbaguna Hasil Rehabilitasi Kawasan
Konservasi Taman Nasional Merubetiri, Jawa Timur
(Sumarhani dan Titiek Setyawati) .........................................................
72-82
7. Teknik Produksi Bibit Dan Penanaman Rotan (Calamus
sp.) Di Kalimantan Selatan
(Sudin Panjaitan) ................................................................
83-105
8. Demplot Tanaman Obat Dan Tanaman Anggrek: Media
Percontohan Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) Alternatif Di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS)
(Tri Sulistyati Widyaningsih, Aditya Hani,
Nova Indri
Hapsari,dan Ratna Uli Damayanti)………………………
106-118
9. Potensi Agroforest Medang Bambang Lanang (Michelia
champaca) Dalam Mendukung Kemanfaatan Hasil Hutan
Non Kayu Dikecamatan Muara Payang Kawasan
Lematang Ulu, Sumatera Selatan
(Endah Kusuma Wardhani dan Dona Octavia) ………….………
119-131
10. Potensi Sistem Perakaran Beberapa Jenis HHBK Dalam
Pengendalian Erosi Dan Longsor
(Ogi Setiawan, Krisnawati dan Budi Hadi Narendra) ..…
132-141
11. Inventarisasi Status Pohon Gaharu (Gryinops verstigii) Di
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru
Lombok Utara
(Sitti Latifah, Muhamad Husni Idris, Maiser Syahputra,
Rato Silamon Firdaus, Budhy Setiawan) …………………
142-151
12. Budidaya Dan Pemanfaatan Pandan Hutan Di Kabupaten
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
(Sahwalita)............................................................................
152-162
13. Keanekaragaman Jenis Bakteri Penginduksi Pembentukan
Resin Gaharu Pada Pohon Gyrinops versteegii (Gilg.)
Domke) Di Kabupaten Lombok Barat
(Prilya D. Fitriasari, Endang S. Soetarto, I Komang
Surata) ....................................................................................................
163-173
174
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xi
C. Pemanfaatan Dan Pengolahan HHBK
14. Analisis Fitokimia Daun Beke (Pycnarrhena tumefacta
Miers) Dari Hutan Adat Tana Ulen, Kalimantan Timur
(Andrian Fernandes, Tati Rostiwati, dan Karmilasanti)…...
175-181
15. Ujicoba Lama Rendam Biji Mimba Terhadap Kematian
Ulat Heortia Vitessoides
(Ali Setyayudi dan Septiantina Dyah Riendrasari)………..
182-190
16. Inokulasi Sembilan Isolat Asal Nusa Tenggara Barat
Untuk Pembentukan Gaharu Pada Cabang Gyrinops
versteegii
(YMM. Anita Nugraheni dan Lutfi Anggadhania)………...
191-199
17. Induksi Pembentukan Gaharu Pada Gyrinops versteegii
(Gilgs.) Domke Dengan Teknik Inokulan Campur Di
Kabupaten Lombok Barat
(Asmiati, Endang S. Soetarto, dan I Komang Surata)……
200-215
18. Penggunaan Bentonite Pada Proses Pembuatan Biokerosin
Dari Biji Nyamplung
(Nurul Wahyuni, Saptadi Darmawan dan Djeni Hendra)…
216-231
19. Serbuk Kayu Sebagai Sumber Karbon Alternatif Dalam
Medium Pertumbuhan Fusarium
(Lutfi Anggadhania, YMM Anita Nugraheni) ……………
232-242
20. Produksi Propolis Lebah Madu Trigona spp Di Pulau
Lombok
(Krisnawati dan Septiantina Dyah Riendriasari) ....................................
243-254
21. Potensi Mimba Sebagai Bahan Baku Produk Kesehatan
Dan Pertanian Di Bali Dan Lombok
(Wayan Widhana Susila) …………………………………
255-267
22. Studi Jenis Dan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) Di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Senaru
(Irwan M. L. A., Indriyatno Dan Dwi Sukma Rini) ….…..
268-276
23. Signifikansi Studi Karakteristik Madu Bagi Kepentingan
Perlindungan Konsumen
(Kuntadi) ...............................................................................................
277-289
xii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
24. Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat Masyarakat
Sekitar Hutan Di Kabupaten Kotabaru Propinsi
Kalimantan Selatan
(Syaifuddin, Sudin Panjaitan, Edi Suryanto, Nur M. Azizi
Kurniawan, dan Siska Fitriyanti) ..........................................................
290-300
25. Daya Antimikroba Kantong Madu Trigona sp Terhadap
Bakteri Patogen
(Renita Yuliana dan Endang Sutariningsih)………………
301-314
26. Kualitas Mikrobiologi Dan Daya Antimikrobia Madu
Trigona sp
(Rikha Putri Devianti, Endang S. Soetarto) ..........................................
315-128
D. Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan HHBK 329
27. Profil Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Getah
Jernang Di Pantai Barat Aceh
(Aswandi dan Cut Rizlani Kholibrina) ...................................................
330-345
28. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya Gulinggang (Cassia
Alata L.) Sebagai Tumbuhan Bawah Dalam Sistem
Agroforestri
(Adnan Ardhana Dan Wawan Halwany) ...............................................
346-354
29. Prospek Pengembangan Agroindustri Dodol Dan Manisan
Pala Di Kabupaten Lombok Tengah
(Yulia Ratnaningsih) ………………………………………
355-368
30. Distribusi Nilai Tambah Pada Rantai Nilai Madu Hutan
Sumbawa: Studi Kasus Di Desa Batudulang Dan
Semongkat, Kec. Batulanteh, Kabupaten Sumbawa
(Yumantoko dan Rubangi Al Hasan) ……………………
369-380
31. Identifikasi Modal Sosial Dalam Pemanfaatan Songga
(Strychnos lucida R.Br.) Sebagai Sumber Bahan Obat:
Studi Kasus di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Dompu-
NTB
(Ryke Nandini, Rubangi Al Hasan) .......................................................
381-391
32. Strategi Pengembangan Bambu Di Kawasan Hutan KPHL
Rinjani Barat
(Asmanah Widiarti )………………………………………
392-404
33. Peranan Agroforestri Terhadap Cadangan Karbon Di Hulu 405-414
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xiii
Das Renggung Kabupaten Lombok Tengah
(Budhy Setiawan, Ahmad, Ismail, dan Mahrin)…………
34. Potensi Biomassa, Cadangan Karbon Dan Serapan Karbon
Dioksida (CO2) Serta Persamaan Allometrik Penduga
Biomassa Pada Tegakan Bambu Betung (Dendrocalamus
Asper) Pada Hutan Bambu Rakyat Di Kabupaten Tana
Toraja
(Baharuddin, Djamal Sanusi, M. Daud, dan Ferial) ...............................
415-428
35. Resolusi Konflik Lahan Di KPHP Model Banjar
(Marinus K. H., S.Hut., M.Si, Rudy Supriyadi, S.P. dan
Adnan Ardana, S.Sos) ...…………………………………...
429-442
36. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Hutan Desa Dan
Kontribusinya Terhadap REDD+
(Bugi Sumirat dan Nurhaedah Muin) ….…………………
443-454
37. Penguatan Kelembagaan Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha
Industri Olahan Madu Di Nusa Tenggara Barat Dalam
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015
(Mashur)…………………………………………………
455-465
38. Kajian Konflik Tenurial Di Kphl Rinjani Barat Studi
Kasus Desa Senaru, Santong Dan Rempek
(Cecep Handoko) …………………………………………
466-480
39. Pemilihan Jenis Dan Pembagian Peran Dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat Berbasis HHBK
(Eva Fauziyah, Nugraha Firdaus, dan Sanudin)…………...
481-494
E. Makalah Poster 495
40. Peningkatan Produktifitas Budidaya Gaharu Melalui
Pembentukan Batang Ganda Dan Teknik Permudaan
(Agus Sofyan, Imam Muslimin) …………………………
496-509
41. Produksi Kemiri Di Desa Aikperapa-Kecamatan Aikmel
(Kabupaten Lombok Timur) Dan Desa Kalate-Kecamatan
Raimau (Kabupaten Bima)
(Dewi Maharani, Nurul Wahyuni, Saptadi Darmawan)…...
510-521
42. Aplikasi Fungisida Terhadap Keberhasilan Perkecambahan
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.)
(Tri Maria Hasnah dan YMM Anita Nugraheni).…………
522-529
43. Awal Pertumbuhan Tanaman Jenis HHBK Penghasil Buah
(Studi Kasus : KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat)
530-540
xiv| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
(Krisnawati dan Ogi Setiawan)……………………………
44. Kesesuaian Lahan Untuk Pengembangan Hasil Hutan
Bukan Kayu Dan Yang Diperlukan: Studi Kasus Di
KHDTK Rarung, Lombok, Nusa Tenggara Barat
(Tigor Butarbutar)…………………………………….........
541-557
45. Pengenalan HHBK Melalui Jalur Pendidikan – Pelajaran
Dari Smk Kehutanan Kadipaten
(MM. Budi Utomo, Ari D., Yumantoko & Levina AGP) ...
558-566
46. Produksi Seresah Tanaman Mimba Umur Tiga Tahun Di
Nusa Penida
(Ali Setyayudi, Ryke Nandini dan Budi Hadi Narendra) ......................
567-573
47. Perilaku Harian Rusa Timor (Cervus timorensis) Pada
Penangkaran Di Pulau Lombok
(Dewi Maharani, Resti Wahyuni dan Lalu Gde Wiryadi) ......................
574-585
48. HHBK Lak Dengan Teknologi Tepat Guna Di Desa
Sugian Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur
(Febriana Tri Wulandari & Sad Kurniati Wanitaningsih)…
586-594
49. Produksi Madu Jenis Lebah Apis Mellifera L. Dengan
Sumber Pakan Bunga Rambutan (Nephelium Lappoceum)
(Yelin Adalina) ……………………………………………
595-604
50. Rencana Strategis Pengelolaan Hhbk Kabupaten Lombok
Utara; Sebuah Produk Aksi Partisipatif
(Rato F. Silamon)…………………………………………
605-622
F. Diskusi 623-655
LAMPIRAN ......................................................................................... 656-666
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Jadwal Acara ......................................................... 656-658
Lampiran 2 : Susunan Panitia ..................................................... 659
Lampiran 3 : Daftar Peserta ........................................................ 660-666
xvi| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
RUMUSAN SEMINAR NASIONAL
HASIL PENELITIAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU
TANGGAL 4 DESEMBER 2014
Memperhatikan sambutan Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Barat, arahan
Kepala Badan Litbang Kehutanan, presentasi 43 makalah utama, dan 14
poster, serta diskusi yang berkembang pada seminar HHBK dengan tema
Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan
dan Lingkungan yang diselenggarakan di Mataram pada tanggal 4
Desember 2014, dihasilkan rumusan Sebagai berikut:
1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sangat prospektif dikembangkan
dalam pembangunan kehutanan yang selama ini bertumpu pada kayu.
Komoditi ini berperanan sangat penting dalam multiplayer effect
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan menjaga kelestarian
lingkungan serta secara tidak langsung dapat mendukung program
hijau dan pariwisata NTB. Oleh karena itu perlu sinergitas dalam
penyusunan grand design serta pelaksanaannya.
2. Komoditas HHBK merupakan hasil hutan ikutan yang belum
dimanfaatkan dan dikelola dengan baik sehingga hasilnya masih
rendah oleh karena itu peran litbang dalam menghasilkan IPTEK
terintegrasi dari hulu ke hilir baik potensi dan budidaya, kondisi sosial
masyarakat, kondidi pasar, adaptive desesion maker, sangat penting
sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan juga menghasilkan
nilai tambah dan daya saing.
3. Tantangan penelitian jenis HHBK cukup besar hampir 500 jenis,
bentuknya beragam baik daun, akar, kulit, buah. Namun hanya ada
beberapa komoditas HHBK yang dapat diketahui teknologinya yaitu:
energi, pangan, obat-obatan, dan lain lain dan pemanfaatannya masih
dalam bentuk bahan mentah.
4. Penelitian potensi, teknik budidaya dan pengolahan/pemanfaatan
HHBK sudah dilakukan seperti : penghasil energi sebagai bahan bakar
nabati (kemiri sunan, kepuh, keranji, bintaro, nyamplung), pangan
(madu, pala, rusa), obat-obatan dan pestisida nabati (eucalyptus,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xvii
gulinggang, mimba, beke, bambang lanang, jernang), penghasil serat
(rami, pandan), barang kerajinan (rotan, bambu), bahan parfum
(gaharu) namun efektivitas dan kelengkapan untuk penerapannya
masih perlu ditingkatkan.
5. Pengembangan HHBK untuk tujuan rehabilitasi lahan kritis perlu
masukan teknologi: perbaikan tapak (pemanfaatan bahan organik dan
mikoriza) pemilihan jenis, pola tanam/ teknik agoroforestri serta
memperhatikan ruang tumbuh perakaran untuk mencegah erosi dan
meminimalisir persaingan unsur hara.
6. Sumberdaya hutan HHBK memiliki keanekaragaman hayati sangat
tinggi yang merupakan sumber penghasil bahan kimia alam potensial.
Hal tersebut didukung dengan mulai beralihnya paradigma
penggunaan bahan kimia sintetis ke bahan kimia alami.
7. Kearifan masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya hutan
HHBK sebagai sumber obat, antimikroba, antiinsektisida dan lainnya
merupakan potensi yang perlu digali, dieksplorasi dan dikembangkan.
Secara ilmiah ekeftivitas tumbuhan tersebut perlu dibuktikan sehingga
pada saat akan dikembangkan secara komersial dapat
dipertanggungjawabkan. Kementerian kehutanan yang diberi mandat
mengelola hutan memiliki tanggungjawab besar terutama sebagai
penyedia lahan, penyedia potensi bahan baku dan teknik budidaya.
Data mengenai koleksi jenis-jenis tumbuhan penghasil bahan kimia
alam juga masih tersebar sehingga perlu dilakukan inventarisasi dan
koleksi data.
8. NTB khususnya Sumbawa telah dikenal sebagai penghasil madu hutan
alam sumbawa. Kekayaan alam NTB ternyata sangat besar, saat ini
mulai berkembang budidaya lebah dari jenis trigona yang
menghasilkan madu dan propolis. Teknik budidaya terus diperbaiki
untuk menghasilkan madu dan propolis yang optimal dengan kualitas
baik. Penelitian diversifikasi produk lebah trigona juga mulai
dikembangkan sebagai anti mikroba dan patogen lainnya.
Keberhasilan budidaya lebah trigona sangat tergantung dari
ketersediaan pakan (bunga). Peran sektor kehutanan sekali lagi
xviii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dipertaruhkan untuk mempertahankan dan mengembangkan sumber
pakan.
9. Pada produk gaharu, pembentukan gubal gaharu mulai diarahkan
dengan menggunakan isolat lokal. Eksplorasi, isolasi, teknik
penggunaan media pertumbuhan dan teknik inokulasi terus dilakukan
untuk mendapatkan isolat terbaik.
10. Pemanfaatan minyak lemak nabati sebagai biokerosin masih menemui
kendala saat diaplikasikan pada kompor bakar. Perbaikan teknik
pembuatan biokerosin terus dlakukan untuk menghasilkan biokerosin
yang siap pakai. Aplikasi penggunaan bentonit diharapkan dapat
mengantisipasi hal terebut.
11. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan HHBK diperlukan berbagai
disiplin ilmu dan institusi yang harus saling terintegrasi dari hulu
sampai hilir. Dengan demikian paket teknologi yang diperoleh siap
dikomersilkan.
12. Selain hal tersebut di atas, perlu juga untuk me-link-kan antara hulu
dan hilir sehingga industri tidak kekurangan bahan baku dan
masyarakat juga mendapat kesejahteraan.
13. Terakhir, perlunya aktualisasi jejaring peneliti HHBK, sehingga
penelitian dapat lebih terintegrasi dan tidak terjadi duplikasi.
Mataram, 4 Desember 2014
Tim Perumus:
Dr. Kresno Agus Hendarto, S.Hut., MM
Dr. Saptadi Darmawan, S.Hut., M.Si
Ir. I Komang Surata, M.Sc
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xix
LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA
SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Dengan Tema
“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK
Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan“
Mataram, 4 Desember 2014
Assalamu alaikum Wr.Wb.
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua
Yth.
1. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat/mewaki
2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
3. Rektor Universitas Mataram
4. Rektor Universitas Nusa Tenggara Barat
5. Kepala UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Para stakeholders dari instansi terkait, perguruan tinggi, dunia usaha, nara
sumber serta peserta seminar HHBK yang berbahagia
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Selamat pagi dan salam sejahtera,
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa, atas nikmat yang telah diberikan-Nya sehingga kita dapat
berkumpul bersama untuk melaksanakan “Seminar nasional Hasil
Penelitian HHBK” Kami atas nama panitia penyelenggara mengucapkan
selamat datang di Kota Mataram dan menyampaikan penghargaan serta
terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara
sekalian pada acara seminar ini.
Bapak Kepala Badan dan hadirin yang kami hormati,
Pada Kesempatan ini ijinkan kami menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan ekspose sebagai berikut:
xx| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
1. Dasar Pelaksanaan
a. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2014 Balai
Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Nomor: SP DIPA-
029.07.2.440972/2013 tanggal 05 Desember 2013. (Revisi ke 2
tanggal 3 Juli 2014).
b. Keputusan Kepala Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan
Kayu Nomor: SK.45/VIII/BPTHHBK-3/2014 tanggal 12 November
2014 tentang Pembentukan panitia penyelenggara Ekspose Hasil
Penelian.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan seminar ini adalah:
a) Menyediakan sarana bagi para pihak untuk saling bertukar informasi
tentang hasil-hasil penelitian dan pengembangan HHBK
b) Menyusun strategi upaya peningkatan kemanfaatan HHBK untuk
mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari
c) Menjalin sinergi antar stakeholder yang berkepentingan dalam
pengelolaan hutan dan lingkungan, khususnya dalam peningkatan
kontribusi HHBK secara ekonomi dan ekologi
3. Waktu dan Tempat
Seminar dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 4 Desember 2014,
bertempat di Gedung Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi
Nusa Tenggara Barat Jl. Panji Tilar Negara No 8, Mataram, NTB
4. Penyelenggara
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram
bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Kehutanan Universitas Nusa
Tenggara Barat dan Program Studi Kehutanan Universitas Mataram.
5. Peserta
Peserta yang diundang sebanyak 200 orang, terdiri dari berbagai
peneliti, akademisi, pengambil kebijakan, praktisi kehutanan, LSM dan
swasta yang peduli terhadap pengembangan HHBK.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxi
6. Tema dan Topik
Tema umum seminar nasional ini adalah:
“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK Untuk Mendukung
Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan”
Pada seminar ini akan disampaikan presentasi sebanyak 43 makalah
utama, dan 14 makalah poster. Seminar dibagi dalam beberapa acara dan
kegiatan yaitu: Presentasi Narasumber Kunci dalam Sidang Pleno,
Presentasi makalah secara oral hasil seleksi yang akan dipresentasikan
secara simultan dalam komisi dan Presentasi makalah dalam bentuk
pameran poster
Bapak Kepala Badan dan hadirin yang kami hormati,
Pada kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas
kehadiran Bapak Kepala Pusat Pemelitian dan Pengembangan Keteknikan
Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan yang telah berkenan hadiri
mewakili Kepala Badan, dan selanjutnya mohon perkenan Bapak untuk
menyampaikan sambutan dan arahan pada seminar ini.
Terakhir kami sampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan
peneliti penyaji makalah dan panitia yang telah bekerja sama
mempersiapkan semua acara ini dan semua pihak yang telah turut
membantu terselenggaranya seminar ini. Kemudian tidak lupa kami mohon
maaf apabila dala penyelenggaraan seminar ini terdapat kekurangan baik
materi maupun penyelenggaraannya.
Terima kasih
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Mataram, 4 Desember 2014
Kepala Balai,
Ir. Harry Budi Santoso, MP
xxii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
PADA SEMINAR NASIONAL HASIL PENELITIAN
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Dengan Tema
“Meningkatkan Kemanfaatan HHBK
Untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan“
Mataram, 4 Desember 2014
Assalamu alaikum Wr.Wb.
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua
Yth.
1. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat/mewaki
2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat
3. Rektor Universitas Mataram
4. Rektor Universitas Nusa Tenggara Barat
5. Kepala UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
6. Para stakeholders dari instansi terkait, perguruan tinggi, dunia usaha,
nara sumber serta peserta seminar HHBK yang berbahagia
Pertama-tama, mari kitapanjatkanpuji dan syukur kehadapan Allah
SWT atas rahmat kesehatan dan kesempatan yang dikaruniakan kepada kita
semua, sehingga pagi ini kita dapat mengikuti acara Seminar Hasil
Penelitian tentang Hasil Hutan Bukan Kayu dengan tema “Meningkatkan
Kemanfaatan HHBKuntuk Mendukung Pengelolaan Hutan dan
Lingkungan” yang merupakan kerja sama antara Balai Penelitian
Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK), Universitas Mataram,
dan Universitas Nusa Tenggara Barat.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxiii
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Thema yang dipilih sangat tepat, karena HHBK bisa memberikan
manfaat langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu peningkatan
manfaat HHBK harus terus diupayakan, tidak hanya untuk perbaikan
pengelolaan hutan, tetpi yang lebih penting adalah memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.
Dalam konteks pembangunan kehutanan, khususnya perubahan
paradigma pengelolaan hutan dari yang berbasis kayu ke orientasi
pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem, Pemerintah telah
memposisikan HHBK sebagai salah satu mainstream dalam pembangunan
kehutanan, dan menjadikan HHBK sebagai unggulan dalam industri
kehutanan di masa yang akan datang. Hal ini harus menjadi tantangan dan
peluang untuk lebih meningkatkan konribusi hasil riset kepada masyarakat
Untuk lebih memajukan HHBK, Kementerian Kehutanan pada
tahun 2010 yang lalu telah mengidentifikasi 565 jenis HHBK yang
digolongkan atas kelompok nabati (490 jenis) dan kelompok hewani (75
jenis). Selanjutnya, juga telah ditetapkan 6 jenis HHBK unggulan yang
mencakup rotan, bambu, gaharu, sutera alam, madu dan nyamplung.
Badan Litbang Kehutanan juga menempatkan HHBK menjadi salah satu
prioritas disamping ketahanan pangan, energi dan pengembangan KPH.
Berdasarkan hal tersebut saya minta Balai Penelitian Teknologi HHBK
Mataram untuk terus fokus pada komoditi HHBK lokal sesuai dengan
kesusuaian masing-masing daerahnya
Namun demikian, kita juga menyadari bahwa masih banyak hal
yang harus diselesaikan terkait dengan peningkatan kemanfaatan HHBK.
Mulai dari persoalan budidaya untuk kontinyuitas produksi, pengembangan
derivat produk HHBK untuk peningkatan nilai tambah, perbaikan kualitas
produk, sampai dengan pemasaran produk. Dengan demikian penelitian
HHBK harus dirancang tidak hanya berdasarkan komiditi lokalnya, tetapi
juga harus menjawab persoalan spesifik yang terjadi. Orientasi seluruh
kegiatan riset HHBK harus memberikan nilai tambah terhadap hasil
komoditas tersebut.
Untuk memberikan arah pengembangan HHBK ke depan
dibutuhkan pula suatu prakondisi (enabling condition), membangun best
xxiv| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
practices dan inovasi produk, serta mencari solusi atas permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam pengembangan HHBK di tingkat
lapangan. Oleh karena itu saya harapkan riset HHBK tidak hanya
menyangkut hal-hal teknis, tetapi juga harus menyeluruh, termasuk kajian
kebijakan yang dibutuhkan.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Dengan memperhatikan fakta dan tantangan tersebut, saya percaya
bahwa Litbang HHBK ke depan akan semakin berkembang. Berbagai
eksplorasi keilmuan baru harus terus dilakukan. Untuk itu saya
menyambut baik kerjasama dengan Universitas setempat, karena hal ini
tidak hanya untuk menyatukan wawasan ilmiah tentang HHBK, tetapi juga
dapat menyatukan kekuatan pengembangan HHBK yang berbasis pada
kondisi kebutuhan riset setempat.
Dibeberapa kesempatan saya selalu menyarankan agar orientasi
riset juga harus diarahkan untuk mendukung kebutuhan Pemerintah Daerah
dan masyarakat setempat, agar kontribusi litbang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat.
Seminar ini harus digunakan sebagai salah satu cara diseminasi
untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil-hasil Litbang yang
telah dihasilkan baik oleh Badan Litbang Kehutanan maupun lembaga
penelitian lainnya, agar dapat dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat
luas. Pada saat yang sama juga melakukan interaksi dengan pengguna agar
rancangan riset nantinya bisa didasarkan pada kebutuhan pengguna.
Akhirnya, dengan mengucap
Bismillahirahmannirrohim, acara:
SEMINAR HASIL LITBANG tentang HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Dengan tema:
MENINGKATKAN KEMANFAATAN HHBK UNTUK MENDUKUNG
PENGELOLAAN HUTAN DAN LINGKUNGAN
Saya nyatakan dibuka.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxv
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan perlindungan
dan petunjuk-Nya agar kita dapat berbuat yang terbaik bagi keberhasilan
pembangunan kehutanan di Indonesia dan khususnya di NTB.
Demikian sambutan yang dapat saya sampaikan, terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc.
Kepala Badan Litbang Kehutanan
xxvi| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
SAMBUTAN
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT
PADA ACARA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL HHBK
DENGAN TEMA
“ Meningkatkan Kemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (Hhbk) Untuk
Mendukung Pengelolaan Hutan Dan Lingkungan”
Mataram, 4 Desember 2014
Yang terhormat,
Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, beserta jajarannya;
Rektor Universitas Mataram
Rektor Universitas UNTB
Dekan Fakultas Biologi UGM
Dekan Fakultas Ilmu Kehutanan UNTB
Ketua Prodi Kehutanan UNRAM
Saudara Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait Kehutanan
Provinsi NTB
Para Tamu Undangan dan Para Peserta Seminar
Serta Hadirin Sekalian yang Berbahagia.
Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera bagi kita semua,
Syukur Alhamdullilah, pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan
syukur kehadirat Allah SWT, yang karena berkat perkenan Nya kita semua
dapat berkumpul pada acara yang cukup strategis yaitu Seminar Nasional
HHBK yang bertema “Meningkatkan kemanfaatan HHBK untuk
mendukung pengelolaan hutan dan lingkungan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxvii
Pembangunan kehutanan yang telah dimulai sejak lama sampai
dengan saat ini, pada berbagai era mulai pasca-kemerdekaan sampai
dengan era reformasi, tentunya mempunyai prioritas dan target yang
berbeda-beda. Namun demikian pembangunan yang dilakukan tersebut
mempunyai tujuan yang sama yaitu mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan dengan amanat yang tertuang dalam
Undang Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Pertanyaannya apakah amanat itu sudah dapat
diwujudkan? Jawabannya tentu belum sepenuhnya dapat terwujud, dan kita
yakin masih dalam upaya ke arah tersebut. Oleh sebab itu adanaya
reorientasi hasil hutan yang dahulu masih bertumpu hanya pada hasil kayu
menjadi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) diharapkan mampu
meningkatkan nilai HHBK itu sendiri dan kawasan hutan secara
keseluruhan. Dan pada akhirnya hal ini mampu memberikan nlai tambah
secara ekonomi bagi masyarakat.
Hadirin yang saya hormati,
Provinsi NTB mempunyai program unggulan yaitu NTB hijau,
dimana pembangunan tidak hanya bertumpu pada kegiatan fisik namun
juga memperhatikan aspek lingkungan hidup dan kondisi wilayah Oleh
sebab itu pengembangan dan pengelolaan HHBK merupakan kegiatan yang
sejalan dengan program pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Upaya
optimalisasi potensi HHBK ini diharapkan dapat memberikan ruang bagi
masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari hutan dan hasil hutan
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraannya. Optimalisasi ini juga
didukung oleh kebijakan pencadangan areal kawasan hutan untuk berbagai
kegiatan Perhutanan Sosial (Social forestry). Di NTB terdapat kurang lebih
111 jenis HHBK, namun yang menjadi andalan dan sudah banyak dikenal
diantaranya adalah madu hutan dan gaharu. Bahkan produk madu hutan di
Sumbawa telah ditunjuk sebagai kluster madu hutan di Indonesia.
Pengembangan HHBK di NTB juga tidak terlepas dari berbagai masalah,
mulai dari aspek hulu sampai dengan hilir. Sebagai contoh rumput ketak
yang banyak dimanfaatkan untuk kerajinan samapai saat ini teknologi
budidayanya belum banyak dikuasai. Contoh lainnya, tegakan gaharu
potensinya cukup besar di NTB, namun dukungan pengelolaan baik
xxviii| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
teknologi budidaya dan teknik inokulasinya masih perlu ditingkatkan.
Budidaya lebah Trigona yang memproduksi banyak propois juga masih
memerlukan introduksi teknologi budidayanya. Di bagian hilir, informasi
pasar dan kelembagaan pendukung merupakan aspek yang tidak dapat
dikesampingkan.
Hadirin yang saya hormati,
Berkaitan dengan penyediaan lahan untuk pengembangan HHBK,
selain melalui pencadangan kawasan hutan, juga terdapat lahan potensial
lainnya. Sebagai contoh lahan kritis yang cukup luas merupakan salah satu
lahan potensial yang dapat dimanfaatkan dalam kerangka rehabilitasi lahan.
Sehingga pengembangan HHBK diharapkan selain mampu mengembalikan
fungsi ekologisnya juga berpotensi secara ekonomi. Program perlindungan
mata air yang sudah digalakan sejak lama juga dapat menjadi pintu masuk
pengembangan HHBK di NTB.
Hadirin yang saya hormati,
Agar pengembangan HHBK di NTB khususnya mempu
memberikan kontribusi yang optimal, maka diperlukan beberapa strategi.
Adapun beberapa strategi tersebut yang menurut hemat saya cukup penting
diantaranya adalah :
1. NTB harus mempunyai grand design dan roadmap pengelolaan HHBK
potensial
2. Pengembangan berbagai skema insetif dalam rangka pengarusutamaan
HHBK dalam pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan
3. Merumuskan mekanisme pengelolaan HHBK di tingkat tapak seperti di
KPH dan lain-lain
4. Peningkatan kapasitas masayarakat atau kelembagaan dalam
pengelolaan HHBK mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
pengolahan sampai pemasaran sehingga mampu menjamin
keberlanjutan produksi HHBK.
5. Mendorong kegiaatan pengelolaan HHBK untuk menghasilkan produk
industri secara optimal, sehingga nilai kemanfaatan HHBK akan
meningkat
6. Menggalang kemitraan baik pemerintah, dunia usaha, LSM dan
masyarakat baik skala nasional maupun internasional.
7. Menigkatkan koordinasi dan keterpaduan program pengelolaan HHBK
di internal sektor kehutanan dan juga lintas sektor.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | xxix
Berdasarkan strategi pengembangan HHBK tersebut maka secara
fungsional dukungan dari berbagai pihak yang hadir pada kesempatan ini
sangat diperlukan. Adapun dukungan tersebut diataranya adalah :
1. Membantu penyusunan cetak biru pengelolaan HHBK di NTB dengan
berbasis perhutanan sosial berdasarkan pendekatan pengelolaan
sumberdaya hutan dan pengelolaan akosistem hutan.
2. Merumuskan kluster diversivikasi porduk HHBK yang akan
dikembangkan
3. Memberikan dukungan iptek dan pendampingan melalui berbagai upaya
seperti pelatihan, alih teknologi dan lain sebagainya.
4. Membangun jejaring kerja dan komunikasi dalam berbagi informasi
tentang pengelolaan HHBK.
Hadirin yang saya hormati,
Kegiatan seminar yang akan kita laksanakan selama satu hari ini,
diharapkan mampu memberikan informasi tentang pengelolaan HHBK
sebagai salah satu bentuk dukungan fungsional untuk mensukseskan
strategi pengelolaan HHBK di NTB pada khususnya dan di Indonesia pada
umumnya. Selain itu, diharapkan juga akan muncul berbagai kisah sukses
pengelolaan dan iptek HHBK sehingga pengelolaan HHBK bisa menjadi
mainstream pengelolaan hutan dan lingkungan secara mandiri dan pada
akhirnya akan memberikan sumbangan dalam mencapai tujuan
pembangunan kehutanan untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
Demikian, beberapa hal yang ingin saya sampaikan pada acara
rangkaian seminar yang akan dimulai pada hari ini. Semoga upaya kita
dalam meningkatan kemanfaatan HHBK untuk mendukung pengelolaan
hutan dan lingkungan mendapat ridho Allah SWT. Amin ya robbal alamin.
Wassalamu'alaikum Wr Wb,
Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA
2| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
A. Latar Belakang
Sumber Daya Hutan (SDH) di Indonesia dapat menghasilkan
multiple product, artinya selain produk berupa kayu juga dapat berupa
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Beberapa jenis
produk HHBK di Indonesia telah lama diusahakan dan diambil hasilnya
oleh masyarakat sekitar hutan untuk bebagai keperluan baik yang bersifat
subsisten maupun komersil. Selain itu pada kegiatan pengelolaan hutan
khususnya, dan lingkungan pada umumnya dimana pemanfaatan hasil kayu
tidak diperkenankan, maka HHBK merupakan pilihan yang paling logis.
Dewasa ini, tantangan pengelolaan HHBK pada intinya adalah
bagaimana meningkatkan kemanfaatan HHBK untuk kepentingan ekologi
maupun ekonomi. Hal ini sesuai dengan paradigma baru dimana
pengelolaan HHBK diharapkan selaras dengan pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan yang progresif.
Sebagai centre of excellence IPTEK kehutanan, penelitian dan
pengembangan harus berkontribusi dalam upaya peningkatan kemanfaatan
HHBK menuju pengelolaan hutan dan lingkungan yang lestari. Oleh sebab
itu informasi hasil-hasil penelitian dan sinergi antar pihak yang berorientasi
pada upaya tersebut sangat diperlukan. Informasi ini diharapkan bersifat
konfrehensif yang mencakup berbagai aspek HHBK mulai dari budidaya,
pengelolaan dan teknologi sampai dengan sosial, ekonomi dan lingkungan
sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan dan
strategi peningkatan kemanfaatan HHBK.
Dalam rangka pengembangan pengetahuan, penelitian dan
implementasi pengelolaan HHBK dari hulu sampai ke hilir, Balai
Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) bekerjasama
dengan Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Tenggara Barat dan Program
Studi Kehutanan Universitas Mataram yang menaruh perhatian besar
terhadap pengembangan HHBK, menyelenggarakan Seminar Nasional
Hasil Penelitian HHBK. Seminar ini diharapkan mampu memberikan
masukan dan rekomendasi untuk memperbaiki kondisi saat ini dengan
pendekatan menyeluruh dari aspek budidaya, pengolahan, sosial ekonomi
dan kebijakan serta lingkungan.
12| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
TEKNIK BUDIDAYA GULINGGANG (Senna alata Linn.)
DI KALIMANTAN SELATAN
Sudin Panjaitan1),
Ahmad Ali Musthofa2)
dan Rusmana 3)
1) Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan
2) Calon Teknisi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan
3) Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan
Email : [email protected], HP. 082155665656
ABSTRAK
Hutan alam Indonesia disamping penghasil kayu juga hasil hutan bukan kayu
(HHBK) yang memiliki nilai ekonomis. HHBK terdiri berbagai komoditi
diantaranya : jenis Gulinggang (Senna alata). Gulinggang sering disebut
ketepeng cina. Gulinggang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yaitu
daunnya untuk obat herbal,misalnya sakit infeksi kulit, panu, kadas, kudis,
kurap, borok, sariawan, sembelit dan dapat membasmi cacing kremi pada anak.
Dengan berbagai macam manfaat dan kegunaan dari gulinggang tersebut, maka
perlu segera dikuasai teknik budidayanya agar keberadaan jenis dan produksi
dapat dipertahankan. Metode dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara
langsung dengan masyarakat petani. Tulisan ini membahas teknik budidaya
gulinggang, sehingga kelestarian jenis dan produksi dapat dipertahankan mulai
dari teknik pengunduhan buah, teknik produksi bibit, persiapan lahan dan
teknik penanaman di lapangan. Media tabur yang baik adalah menggunakan
media pasir sungai dan media sapih menggunakan campuran gambut +
sekam padi (7 : 3) dan/atau media top soil + sekam padi (1 : 1). Media sapih
yang baik harus memenuhi syarat : 1) bobot ringan, 2) daya menyerap air
tinggi, 3) drainase dan aerasi baik, 4) kesuburan cukup, 5) mudah diperoleh
dalam jumlah banyak, 6) harga relatif murah, dan 7) tidak mengandung racun.
Kata kunci : Teknik, budidaya, gulinggang, Kalimantan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan alam tropis Indonesia menghasilkan kayu sebagai produk
utamanya dan disamping hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi dalam dunia perdagangan. Budiawan
(2008) mengatakan bahwa HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 13
maupun hewani serta turunannya dan budidaya kecuali kayu yang berasal
dari hutan alam.
Hasil hutan bukan kayu terdiri dari berbagai macam jenis
diantaranya : 1) Gaharu, 2) Rotan, 3) Bambu, 4) Madu, 5) Sarang burung
walet, 6) Kayu manis, 7) Gemor, 8) Nilam/Dilam, 9) Tumbuhan obat,
10) Purun, 11) Terentang, 12) Jelutung/pantung, dan tidak kalah penting
adalah jenis Gulinggang/Ketepeng cina (Senna alata Linn.) dimana jenis
ini termasuk famili Leguminosae. Gulinggang tumbuh tersebar di beberapa
Negara dan daerah di Indonesia. Gulinggang disebut seven golden
candlestick (Inggris), Ketepeng kebo (Jawa), Ketepeng cina (Indonesia),
Ketepeng badak (Sunda), Acon-aconan (Madura), Sajamera (Halmahera),
Kupang-kupang (Ternate), Tabankum (Tidore), dan Daun kupang, daun
kurap, gelenggang, uru’kap (Sumatera). Gulinggang dapat bermanfaat
untuk berbagai macam keperluan yaitu daunnya dimanfaatkan untuk obat
herbal misalnya sakit infeksi kulit, panu, kadas, kudis, kurap, borok,
sariawan, sembelit dan dapat membasmi cacing kremi pada anak (misalnya
di Kabupaten Sleman, tahun 1980an). Walaupun ketika itu para Mantri dari
Puskesmas masih giat berkeliling dari rumah ke rumah di seluruh pelosok
Kabupaten Sleman untuk mencatat kesehatan seluruh anggota masyarakat.
Dan bagi yang sakit diberikan obat atau dirujuk untuk ke Puskesmas
terdekat.
Dengan melihat manfaat dan kegunaan dari gulinggang tersebut,
maka perlu segera dikuasai teknik budidayanya agar keberadaan jenis
tersebut dapat dipertahankan yaitu mulai dari teknik pengunduhan buah,
teknik produksi bibit, teknik persiapan lahan, teknik penanaman dan
pemeliharaan tanaman.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kepada
masyarakat petani khususnya yang berada di sekitar hutan tentang teknik
budidaya jenis Gulinggang, sehingga silvikultur jenis tersebut dikuasai
dengan baik.
14| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
II. TEKNIK BUDIDAYA GULINGGANG (Senna alata Linn.)
Produksi bibit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) Produksi
bibit dengan cara generatif, dan 2) Produksi bibit dengan cara vegetatif
(stek).
Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan
wawancara langsung dengan masyarakat petani.
1. Produksi bibit dengan Generatif
Produksi bibit dengan cara generatif jenis gulinggang mudah dilakukan
yaitu dengan cara menggunakan benih. Kegiatan pertama ialah :
1) Ekstraksi biji/benih
Pemilihan biji yang baik dengan memisahkan dari biji lainnya. Hal ini
dilakukan dengan tujuan agar biji yang dikecambahkan memiliki
presentase hidup yang tinggi dan pertumbuhan normal.
2) Penaburan benih
Biji yang dipilih tadi segera ditabur/kecambahkan di bak tabur pada media
pasir murni selama 2 - 4 minggu dan kemudian ketika benih telah
berkecambah, kegiatan berikutnya adalah penyapihan semai.
Media tabur dikatakan baik dan memenuhi persyaratan adalah : 1) Mampu
mempertahankan kelembaban media tabur, aerasi baik dan juga drainase,
sehingga temperatur, kelembaban serta sirkulasi udara dikatagorikan baik,
2) Media tabur yang digunakan harus steril, sehingga kecambah gulinggang
tidak terserang hama penyakit, dan 3) Media tabur yang digunakan mudah
didapat (Rusmana, 2007).
3) Penyapihan semai
Setelah benih dinilai berkecambah normal. Kemudian kegiatan berikutnya
ialah penyapihan semai yang telah berkecambah ke dalam polybag yang
tersedia. Penyapihan semai yang telah berkecambah ke dalam polybag
yang telah dipersiapkan dengan menggunakan alat terbuat dari kayu
dengan media gambut + sekam padi (7 : 3) atau dapat pula menggunakan
media top soil + sekam padi (1 : 1) atau dapat pula digunakan bahan
lainnya seperti bahan kompos serbuk gergaji, bokashi gambut dan lain
sebagainya yang disusun rapi pada bedengan dibawah sungkup yang telah
dipersiapkan sebelumnya (Rusmana, 2005; Rusmana, 2007; Rusmana,
2009). Dalam upaya memperoleh benih berkecambah baik dengan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 15
presentasi tinggi, maka benih yang ditabur harus dilakukan pemeliharaan
secara intensif. Pemeliharaan benih yang telah ditabur, kegiatan yang harus
dilakukan ialah : 1) Penyiraman media tabur dilakukan sebanyak 3 kali/hari
dan hal ini tergantung dengan kondisi media tabur yang digunakan, 2)
Dilakukan penyemprotan dengan fungisida agar tidak terserang jamur.
Dilakukan 1 kali/minggu dengan konsentrasi 5 g/liter air, dan 3)
Penyemprotan dengan bahan insektisida dalam rangka pengendalian hama
serangga dan dilakukan 1 kali/minggu. Konsentrasi larutan yang digunakan
adalah 5 cc Basudin/liter air. Pengisian polybag. Media sapih yang
dikatakan baik ketika memenuhi beberapa persyaratan yakni : 1) Media
memiliki bobot ringan, 2) Drainase dan juga aerasinya baik, 3) Tingkat
kesuburan tergolong cukup, 4) Harga terjangkau, 5) Tidak mengandung
racun, 6) Mudah didapat dalam jumlah yang banyak, dan 7) Daya
menyerap air tinggi. Media yang telah dicampur harus sesuai komposisi
tersebut (Supriadi & Valli, 1988).
4) Pembuatan sungkup
Sungkup dapat dibuat menggunakan sungkup bahan dari plastik atau secara
konvensional menggunakagan bahan sungkup dari alang-alang. Sungkup
dibuat dibagian depan dengan tinggi 1 m dan dibagian belakang tinggi 75
cm. Hal ini dimaksudkan agar dimusim penghujan air dengan sendirinya
tidak tertahan di sungkup. Pada umumnya bedengan berukuran yang
digunakan adalah ukuran 4 x 1 m. Ukuran polybag yang digunakan
berukuran 12 x 15 cm tergantung dengan rencana yang telah direncanakan.
Setelah kecambah selesai dipindahkan ke dalam polybag yang tersusun rapi
dibawah sungkup, maka segera dilakukan penyiraman agar kelembahan
media tinggi, dan pertumbuhan semai normal.
5) Pemeliharaan bibit
Pemeliharaan bibit dimaksudkan disini adalah penyiraman bibit,
pemupukan, penyulaman, pemangkasan akar bila diperlukan, penyiangan
serta tindakan pengendalian hama dan penyakit bila ada serangan.
Kegiatan pemeliharaan bibit di persemaian melalui beberapa tahapan
yakni: 1) Penyiraman. Penyiraman dapat dilakukan sebanyak 2 kali/hari
yaitu pada pagi hari pada jam 08.00 dan di sore hari pada jam 16.00 wita.
Hal ini sangat tergantung pada kondisi cuaca, bila cuaca sangat panas tentu
16| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
penyiraman bibit dapat dilakukan 2 sampai 3 kali/hari, 2) Penyulaman
bibit. Penyulaman bibit dilakukan pada bibit yang mati setelah penyapihan.
Bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah yang sehat. Penyulaman
pada umumnya dilakukan setelah penyapihan berjalan 2 – 3 minggu,
sehingga bibit siap tanam pertumbuhannya tampak seragam, 3)
Pemupukan. Tindakan pemupukan bibit di persemaian harus segera
dilakukan, sehingga dapat memacu pertumbuhan bibit. Dosis dan saat
pemupukan bibit di persemaian sangat tergantung pada kondisi bibit serta
umurnya. Pemberian dosis pupuk pada bibit yang diusahakan, memiliki
beberapa tahapan pemberian, sehingga diharapkan pertumbuhan akan
meningkat (Rusmana, 2007). Tahapan tersebut disajikan pata Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Pemberian pupuk NPK (15 : 15 : 15) sesuai umur bibit di
persemaian selama 3 – 5 bulan
No. Umur bibit (minggu) Dosis pupuk (gr/m2) Jumlah pupuk yang digunakan
1 1
2 2 5 5
5 10
3 3 5 15
10 25
4 4 10 35
10 45
5 5 10 55
10 65
6 6 15 80
15 95
7 7 15 110
15 125
8 8 15 140
15 155
9 9 15 170
15 185
10 10 15 200
15 215
11 11 10 225
10 235
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 17
No. Umur bibit (minggu) Dosis pupuk (gr/m2) Jumlah pupuk yang digunakan
12 12 10 245
10 255
- Pupuk diberikan dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 2 – 5 %
- Bila turun hujan setelah pemupukan selesai dilakukan, maka
sebaiknya hari berikutnya bibit harus dipupuk kembali
- Setelah bibit berumur 4 bulan, maka frekuensi pemupukan harus
dikurangi, sehingga diberikan 1 kali/ 2 minggu sampai tanaman
berumur 5 – 6 bulan, agar lignifikasi batang lebih cepat.
-Pupuk diberikan bentuk larutan dengan konsentrasi 2 – 5 %
-Jika terjadi hujan setelah dilakukan pemupukan, sebaiknya hari
besoknya, bibit harus dipupuk lagi.
Setelah bibit berada selama 2-3 bulan di bawah sungkup, kemudian
dipindah di tempat terbuka selama 2 bulan untuk aklimatisasi bibit,
sebelum diangkut ke tempat penanaman.
2. Produksi Bibit dengan vegetatif
Produksi bibit dapat pula dilakukan dengan stek batang. Ukuran stek
berkisar antara 15 – 20 cm. Setelah dilakukan pemotongan stek sesuai
ukuran yang diperlukan. Stek tersebut sebelum di sapih di polybag
dicelupkan terlebih dahulu pada zat atonik/zat hormon tumbuh yang dapat
mempercepat pertumbuhan tunas. Hal ini dimaksudkan agar daya hidup
stek tinggi, kemudian dimasukkan ke dalam polybag yang telah berisi
media gambut + sekam padi (7 : 3) atau media top soil + sekam padi (1 : 1)
dan disusun pada bedengan yang telah dipersiapkan dan telah berada di
bawah sungkup plastik, sehingga kelembaban dalam sungkup tinggi.
Kemudian kegiatan selanjutnya adalah penyiraman dan pemeliharaan,
sehingga stek tumbuh normal sesuai yang diharapkan. Setelah 2- 3 bulan di
bawah sungkup, kemudian bibit dapat dipindah ke tempat terbuka atau
dibawah net intensitas 50 % selama kurang lebih 2 - 4 bulan. Bibit sebelum
diangkup ke lapangan penanaman sebaiknya dilakukan aklimatisasi selama
1-2 bulan, dengan demikian ketika dilakukan penanaman bibit tidak
mengalami stress (Sakai, CH. & Subiakto, A., 2005).
6) Pemangkasan akar
18| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pemangkasan akar harus dilakukan 1 bulan 1 kali. Pemangkasam akar
terakhir dilakukan 2 minggu sebelum bibit diseleksi dan pengepakan bibit
untuk segera diangkut ke lokasi penanaman.
7) Seleksi dan pengepakan bibit siap tanam
Seleksi dan pengepakan bibit adalah kegiatan akhir dari kegiatan produksi
bibit di persemaian. Tujuan seleksi bibit siap tanam adalah untuk (Supriadi
& Valli, 1988; Sagala, 1988; Tampubolon & Rusmana, 1998; Santosa &
Yuwati, 2004) ;
1) Memilih bibit yang baik, berkualitas dan memenuhi syarat untuk
ditanam di lapangan, 2) Menjaga bibit yang akan dibawa keluar dari
persemaian tetap terjaga kualitasnya, 3) Meningkatkan ketahanan bibit
dalam saat pengangkutan berlangsung, sehingga bibit yang ditanam di
lokasi penanaman daya hidupnya (survival) tinggi (>90 %) dan bibit tidak
mengalami stess yang panjang.
Secara teknis produksi bibit di persemaian dapat dilakukan dengan
beberapa tahapan kegiatan, yakni : 1) Penaburan benih dan pemeliharaan
taburan, 2) Pemrosesan media dan pengisian polybag, 3) Penyapihan
semai, 4) Pemeliharaan semai, 5) Aklimatisasi bibit, 6) Seleksi dan
pengepakan bibit siap tanam, dan 7) Transportasi bibit ke lokasi
penanaman yang direncanakan (Rusmana, 2007; Rusmana, 2009).
8) Persiapan lahan
Setelah bibit dikatagorikan siap tanam, maka sebelumnya telah dilakukan
persiapan lahan dengan membuat jalur tanam dengan jarak 2 x 2 m atau 1,5
x 1,5 m (Personal.com, Matrozy, tanggal 6 Nopember 2014, seorang
masyarakat petani gulinggang). Hal ini sangat tergantung dengan rencana
pengelolaan. Lubang tanam dapat dibuat 25 x 25 cm. Setiap lubang tanam
dibuat ajir tanam, sehingga memudahkan dalam pengelolaan.
9) Penanaman dan pemeliharaan
Penanaman dilakukan pada lahan yang telah dipersiapkan dimana bibit
tanaman telah berada pada lokasi tersebut. Penanaman dilakukan pada
jarak yang ditentukan dan sebaiknya penanaman dilakukan diawal musim
hujan. Setelah penanaman berjalan 1 bulan segera dilakukan penyulaman,
apabila terdapat tanaman yang mati dan setiap 6 bulan 1 kali harus
dilakukan pemeliharaan, sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 19
III. KESIMPULAN
1. Tumbuhan gulinggang sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu, teknik
produksi bibit mudah dilakukan baik secara generatif dan vegetatif
(stek).
2. Media tabur yang baik menggunakan media pasir sungai dan
media sapih sebaiknya menggunakan media campuran gambut +
sekam padi (7 : 3) dan dapat pula media top soil + sekam padi (1 : 1).
3. Media sapih yang baik harus memenuhi syarat : 1) bobot ringan, 2) daya
menyerap air tinggi, 3) drainase dan aerasi baik, 4) kesuburan cukup, 5)
mudah diperoleh dalam jumlah banyak, 6) harga relatif murah, dan 7)
tidak mengandung racun.
DAFTAR PUSTAKA
Rusmana, 2005. Teknik Produksi Bibit Sistem KOFFCO. Alih Teknologi
Persemaian KOFFCO. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman Indonsesia Bagian Timur, Banjarbaru Kalimantan
Selatan.
Rusmana, 2007. Teknik Produksi Bibit Jenis-jenis Pohon Rawa Gambut
secara generatif dan vegetatif. Alih Teknologi Pembangunan
Hutan Rakyat Sistem Agroforestri. Balai Penelitian Kehutanan
Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Rusmana, 2009. Manajemen Persemaian. Pelatihan SILIN kerjasama Balai
Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda dengan Dinas
Kehutanaan dan Perkebunan Kabupaten Barito Utara.
Sagala, APS. 1988. Persemaian Permanen di Beberapa Tempat. Balai
Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Publikasi No. 28.
Sakai, CH. & Subiakto, A., 2005. Pembiakan vegetatif system KOFFCO.
Alih Teknologi Persemaian KOFFCO. Balai Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur,
Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Santosa, P.B. & Yuwati, T.W., 2004. Seleksi dan Pengepakan Bibit. Materi
Alih Teknologi Persemaian Sistem KOFFCO. Balai Penelitian dan
20| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pengembangan Hutan Tanamaan Indonesia Bagian Timur,
Banjarbaru (Tidak diterbitkan).
Supriadi G., & Valli, I., 1988. Manual Persemaian ATA-267. Balai
Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Penerbitan No. 52. Personal.com,
Matrozy, tanggal 6 Nopember 2014.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 21
EFEKTIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA TERHADAP
PERTUMBUHAN TANAMAN MUDA Aquilariacrassna Pierre ex
Lecomte DI LAPANG
Ragil SB Irianto
Peneliti Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Bogor
Email :[email protected]
ABSTRAK
Aquilariacrassna Pierre ex Lecomte merupakan tanaman eksotik yang cepat
tumbuh di Indonesia. Tanaman ini memiliki sebaran alaminya di Kamboja,
Laos, Thailand dan Vietnam. Kegunaan gaharu telah diketahui penggunaannya
dalam bidang kesehatan, parfum dan aromatik. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan informasi tentang efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula
Glomus sp1. dan Glomus sp2. Terhadap pertumbuhan tanaman muda umur 15
bulan di lapang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak
kelompok dengan tiga perlakuan yaitu kontrol, Glomus sp1. dan Glomus sp2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi Glomus sp1. dan Glomus sp2.
yang dilakukan pada saat penyapihan (overspin) di pesemaian masih
menunjukkan responnya dalam meningkatkan pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman muda A. crassna umur 15 bulan secara signifikan di lapang
berturut-turut sebesar 60, 46 dan 30, 20% dibandingkan dengan kontrol.
Kata kunci :Aquilariacrassna, Glomus, pertumbuhan, lapang
I. PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Aquilariacrassna Pierre ex Lecomte termasuk dalam family
Thymelaeaceae, species cepattumbuh (fast growing species) dan
merupakan tanaman eksotik karena sebaran alaminya berada di Kamboja,
Laos, Thailand dan Vietnam (IUCN, 2014), sedangkan jenis endemic
Aquilaria di Indonesia ada enam jenis yaituA. beccariana, A. cumingiana,
A filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Soehartono, 1997).
Eksploitasi tanaman penghasil gaharu yang dilakukakan secara
besar-besaran pada beberapa dekade yang lalu telah mengakibatkan
22| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
populasi tanaman ini di alam sangat rendah. Penurunan populasi tanaman
penghasil gaharu yang sangat drastis ini mengakibatkan tanaman gaharu
Indonesia masuk dalam kategori terancam menurut IUCN Red List
category (Bardanet al., 2014). Populasi yang sangat rendah tersebut
mengakibatkan suplai dan deman yang tidak seimbang, hal ini
mengakibatkan harga produk gaharu semakin mahal.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas merangsang masyarakat
untuk menanam tanaman penghasil gaharu. Penanaman yang sangat massif
dapat dengan mudah ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa
Tenggara, Bali, dan Jawa.
Areal hutan dan lahan yang digunakan dalam penanaman gaharu
tersebut di atas pada umumnya adalah tanah marjinal yang dicirikan
dengan lapisan top soilnya tipis, kandungan bahan organik rendah, miskin
unsure hara dan masam. Pada tanah-tanah yang masam unsur P akan
menjadi kendala karena unsur ini akan terkhelat oleh Al dan Fe sehingga
tidak dapat diserap oleh akar tanaman tanpa bantuan mikrob tanah yang
menguntungkan seperti salah satunya yaitu FMA.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
FMA pada tanaman muda A. crassna di lapang, dimana bibit A. crassna
pada saat di pembibitan diinokulasi dengan FMA jenis Glomus sp1.
danGlomus sp2.
II. BAHAN DAN METODE
A. TempatdanWaktuPenelitian
Penelitian efektivitas FMA pada bibit tanaman A. crassna
dilaksanakan di nursery Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan, Puslitbang
Konservasi dan Rehabilitasi pada bulan Februari s/d Desember 2010.
Penanaman bibitA. crassna dilakukan pada awal bulan Januari 2011 di
KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Carita.
B. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini
adalah: biji A. crassna dari pohon induk di Darmaga-Bogor, inokulan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 23
Glomus sp1. Dan Glomus sp2., kantong plastic hitam, bak plastic
perkecambahan, pestisida dazomet, tanah subsoil pada kedalaman 20-40
cm, dan paranet 60%.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kaliper, penggaris,
mikroskop, kamera, embrat, timbangan analitik.
C. Metode Penelitian
1. Pesemaian A. crassna
Biji A. crassna disemaikan pada media zeolite streril sampai biji
berkecambah (umur 14 hari), kemudian disapih ke polibag yang berisi
tanah steril. Perlakuan inokulasi FMA adalah sebagai berikut : a)
perlakuan inokulasi dengan inokulan Glomussp1., b) perlakuan iokulasi
dengan inokulan Glomus sp2., dan c) perlakuan pembanding (kontrol).
Jumlah inokulan per polybag adalah 5 (lima) gram.
2. Penanaman Bibit di Lapang
Pupuk kandang dari kotoran ayam seberat 2 kg dimasukkan ke dalam
lubang tanam (30 cm x 30 cm x 30 cm) empat minggu sebelum
pelaksanaan penanaman. Pada awal bulan Januari 2011 bibit tanaman A.
crassna ditanam.
3. Pengamatan Pertumbuhan
Parameter pertumbuhan tanaman muda umur 15 (lima belas) bulan
di lapang yang diamati adalah tinggi dan diameter.
4. Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Rancangan penelitian yang digunakan pada saat penanaman di
lapang adalah Rancangan Acak Kelompok (RCBD) dengan tiga perlakuan
jenis FMA (kontrol, Glomus sp1., danGlomus sp2.), jumlah ulangan
delapan dan masing-masing ulangan terdiri dari sembilan tanaman.
Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (anova) dengan bantuan
program statistika JMP Start Statistics version 10 , apabila analisis sidik
ragam menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan uji lanjut
dengan uji Tukey(Sallet al., 2005).
24| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Inokulasi FMA jenis Glomus sp1. dan Glomus sp2. dapat
meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan biomasa bibit tanaman
Aquilariacrassna umur 8 (delapan) bulan secara signifikan dibandingkan
dengan kontrol. Aplikasi FMA di pesemaian dapat mempersingkat umur
bibit siap tanam, dimana tanaman yang bermikoriza untuk mencapai
ketinggian bibit siap tanam (25 cm) hanya dapat dicapai dalam waktu 3
bulan, sedangkan tanaman tanpa pemberian FMA memerlukan waktu 8
bulan (Irianto, 2014).
Tabel 1. Pengaruh Inokulasi FMA terhadap Pertumbuhan Tinggi dan
Diameter Tanaman Muda Penghasil Gaharu A. crassnaUmur 15
Bulan di Lapang (The effect of Arbucular Mycorrhizal Fungi
Inoculation to Height and Diameter Plant Growth of sixteen-months-old young tree of A. Crassna in the field)
Keterangan (Notes) :
1. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang
nyata pada taraf p = 0.05 berdasarkan uji Tukey (Numeric followed by the same
letters are not significantly different at p < 0.05 according to Tukey test)
2. Angka dalam tanda kurung adalah persentase peningkatan suatu variabel
pengamatan dibandingkan dengan kontrol (Numeric in the parenthesis is
percentage of variable increment compared to the control)
Aplikasi FMA jenis Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Pada bibit saat
penyapihan bibit (overspin) di pesemaian masih menunjukkan responnya
pada pertumbuhan tanaman muda A.crassna umur 15 bulan di lapang.
Persentase peningkatan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman muda A.
crassna yang diinokulasi FMA jenis Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Masih
Jenis FMA
(AMF) Tinggi (Height)
(cm)
Diameter (Diameter)
(mm)
Glomus sp1. 88,95 a
(60)
8,99 a
(30)
Glomus sp2. 81,04 a
(46)
8,26 ab
(20)
Kontrol 55,59 b
(0)
6,89 b
(0)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 25
cukup tinggi yaitu berturut-turut sebesar 60, 46 dan 30, 20% dibandingkan
dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel1). Peningkatan pertumbuhan
tinggi dan diameter terjadi karena pada bibit yang diinokulasi dengan FMA
Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Mempunyai tingkat kolonisasi yang cukup
tinggi yaitu sebesar 75 dan 71 (Irianto, 2014). Persentase kolonisasi yang
cukup tinggi di pesemaian diduga kuat masih berkembang lebih lanjut pada
tanaman muda di lapang.
Irianto (2014) menyatakan bahwa tanaman A. crassna umur 6
(enam) bulan dilapang yang diinokulasi dengan FMA jenis Glomus sp1.
Dan Glomus sp2. Pada saat overspin di pesemaian masih memberikan
pengaruh peningkatan tinggi dan diameter bertiturut-turutsebesar 55, 43
dan 39, 33%.
Pemberian bahan organic dalam bentuk pupuk kandang ayam yang
diberikan sebagai perlakuan dasar pada semua perlakuan tidak memberikan
pengaruh negative pada perkembangan FMA di lapang. Hal tersebut
diindikasikan pertumbuhan tanaman muda pada perlakuan inokulasi
dengan Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Masih signifikan dibandingkan
dengan tanaman tanpa inokulasi FMA (Tabel 1). Pemberian bahan organic
dapat meningkatkan pH dan mikroba tanah (Escobar dan Hue, 2008),
meningkatkan porositas dan kemantapan agrega ttanah (Mowidu, 2001),
serta meningkatkan ketersediaan nutrien (Chueet al., 2007; Escobar dan
Hue, 2008).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Aplikasi inokulasi FMA Glomus sp1. Dan Glomus sp2. Pada bibit di
pesemaian masih dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman muda A. crassna umur 15(lima belas) bulan di
lapang sebesar 60, 46 dan 30,20%.
2. Pemberian bahan organic berupa pupuk kandang ayam seberat 2 kg
per lubang tanam tidak mengganggu perkembangan FMA.
B. Saran
26| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penanaman tanaman penghasil gaharu A. crassna di lapang
disarankan untuk menggunakan bibit yang telah terinokulasi dengan
FMA.
DAFTAR PUSTAKA
Bardan A., N. A. Awak, T. Mulliken and M. Song. 2014. Heart of the Matter
Agarwood Use and Trade and Cites Implementation for
Aquilariamalaccencis. 50 p
Chu, H., Lin, X., Fujii, T., Morimoto, S., Yagi, K., Hu, J., Zhang, J. 2007. Soil
microbial biomass, dehydrogenase activity, bacterial community
structure in response to long-term fertilizer management. Soil Biology
and Biochemistry. 39, 2971-2976.
Escobar, M.E.O. and Hue, N.V. (2008) Temporal Changes of Selected
Chemical Properties in Three Manure Amended Soils of Hawaii.
Bioresource Technology (99) : 8649-8654.
Irianto, R. S. B. 2014. Efektifitas Fungi Mikoriza Arbuskular terhadap
Pertumbuhan Aquillariamalacensisdi Pesemaian dan Lapang.
Submitted
Mabberley, D. J. (1997).The Plant Book.The Press Syndicate of the University
of Cambridge, UK.858p
Sall J., L Creighton, A. Lehman. 2005. JMP Start Statistic 2nd
. A Guide to
Statistics and Data Analysis Using JMP and JMP IN Software.
Setiadi, Y., 1999. Status Penelitiandan Pemanfaatan Cendawan Mikoriza
Arbuskuladan Rhizobium untuk Merehabilitasi Lahan Terdegradasi.
Seminar NasionalMikoriza I, 15-16 November 1999.
Soehartono, T. (1997).Overview of trade in gaharu in Indonesia. In: Report of
the Third Regional Workshop of the Conservation and Sustainable
Management of Trees, Hanoi, Vietnam. WCMC IUCN/SSC.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 27
OPTIMALISASI HASIL PANEN TANAMAN RAMI
UNTUK MENDUKUNG INDUSTRI TEKSTIL
DI KABUPATEN GARUT
Tri Sulistyati Widyaningsih1, Dian Diniyati
1, dan Harry Budi Santoso
2
1) Balai Balai Penelitian Teknologi Agroforestry, Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4
Pamalayan, Ciamis 46201 2)
Balai Penelitian Teknologi HHBK, Jl. Dharma Bhakti No. 7 Lombok Barat
NTB
Email: [email protected];
ABSTRAK
Hutan lindung di Kabupaten Garut mengalami kerusakan yang cukup berat
karena digunakan oleh masyarakat untuk areal penanaman sayur padahal
kemiringan lahannya cukup curam. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan lindung serta mengatasi
penggarapan lahan oleh masyarakat yang tergantung pada lahan hutan lindung
adalah program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui
penanaman tanaman rami. Tanaman rami adalah tanaman yang bisa ditanam di
lahan hutan, dikombinasikan dengan tanaman kayu, dan diambil batangnya
untuk dijadikan serat. Pelaksanaan kegiatan dirasa belum efektif karena belum
adanya sinkronisasi antara masa panen dengan kapasitas pabrik pengolah
batang rami. Kajian yang dilakukan di Kecamatan Pasirwangi, Cigedug,
Cikajang, dan Pangatikan ini bertujuan mengetahui optimalisasi hasil panen
tanaman rami untuk mendukung industri tekstil di Kabupaten Garut dengan
mempertimbangkan kendala yang ada. Pengolahan formulasi model dilakukan
dengan bantuan program komputer solver dalam Ms excel. Hasil kajian
menunjukkan bahwa hasil panen maksimal yang bisa diolah pabrik sebanyak
180 ton per dua bulan masa panen dengan areal yang dipanen seluas 57 ha
dengan waktu panen berbeda-beda antar wilayah dan pendapatan maksimal
54.000.000,00. Hasil tersebut mengalami peningkatan dibanding sebelum
perencanaan yaitu hasil panen sebanyak 148 ton, luas areal panen 60 ha dan
pendapatan Rp 44.000.000,00. Perencanaan panen dengan mengoptimalkan
produksi menyesuaikan kapasitas pabrik menunjukkan peningkatan pendapatan
petani sebesar 23%. Pola ini dapat direkomendasikan agar pengelolaan hutan
lindung berjalan efektif untuk menjaga kelestarian hutan lindung sekaligus
mendukung kebutuhan ekonomi masyarakat dan kebutuhan pasar.
Kata kunci: hutan lindung, optimasi, tanaman rami, tekstil, Garut
28| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
Hutan lindung menurut Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan pasal 1 yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil
hutan bukan kayu, yang mana pemanfaatannya harus melalui pemberian
izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan,
dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi kenyataannya
hutan lindung yang ada sekarang sudah dirambah sehingga menyebabkan
terjadinya kerusakan, dimana kerusakan di hutan lindung lebih tinggi
dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi. Laju kerusakan hutan
lindung dari tahun 1997 sampai 2002 sebesar 10 persen pertahun,
sedangkan hutan produksi sebesar 5 persen per tahun (Badan Planologi,
2002 dalam Ginoga et al., 2005) yang disebabkan oleh penebangan liar dan
konversi lahan. Kondisi tersebut juga terjadi pada hutan lindung di
Kabupaten Garut, dengan kondisi yang sudah sangat terbuka karena tidak
terdapat tanaman penguat, kalaupun ada tanaman kehutanan jumlahnya
sangat terbatas dan secara kasat mata jumlahnya dapat dihitung, hal ini
terjadi karena sudah banyaknya lahan hutan lindung yang dialihfungsikan
masyarakat untuk menanami sayuran. Jika kondisi tersebut dibiarkan, akan
menimbulkan rusaknya hutan lindung dari segi ekonomis, sosial, dan
ekologis.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi
kerusakan hutan lindung sekaligus menangani kasus sosial masyarakat
yang secara ekonomi tergantung pada lahan hutan lindung, adalah dengan
dilakukannya rehabilitasi hutan lindung melalui program Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui penanaman tanaman rami
pada awal tahun 2000 yang diperkirakan bisa menghasilkan keuntungan
secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekologi, tanaman rami diharapkan
dapat mengembalikan fungsi hutan lindung yang berada dalam kondisi
kritis dan secara ekonomi diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 29
bagi petani yang selama ini tergantung pada lahan hutan lindung dengan
menanami tanaman sayur yang rawan menyebabkan longsor.
Meskipun sudah melibatkan banyak pihak, tetapi pelaksanaan
PHBM melalui penanaman rami belum berjalan dengan baik dikarenakan
belum adanya sinkronisasi antara masa panen dengan kapasitas pabrik
pengolah hasil tanaman rami, sehingga diperlukan pengelolaan terpadu
yang mempertimbangkan aspek budidaya dan pasar. Kajian ini bertujuan
mengetahui optimalisasi hasil panen tanaman rami untuk mendukung
industri tekstil di Kabupaten Garut, dengan mempertimbangkan segala
sumber daya yang ada serta memperhatikan kendala yang dihadapi agar
pelaksanaannya dapat berjalan secara optimal. Dengan diperolehnya
informasi optimalisasi hasil panen tanaman rami di tingkat petani dikaitkan
dengan kapasitas industri tekstil, diharapkan dapat berdampak terhadap
kebijakan tentang pengelolaan hutan lindung berbasis PHBM tanaman rami
yang diterapkan akan lebih sesuai dengan aturan tetapi juga dapat
mengakomodir kepentingan banyak pihak.
II. METODE
A. Lokasi, Waktu, dan Sampel Penelitian
Petani yang mengusahakan tanaman rami diantaranya berlokasi di
Desa Barusari Kecamatan Pasirwangi, Desa Barusuda Kecamatan Cigedug,
Desa Margamulya Kecamatan Cikajang, dan Desa Sukahurip Kecamatan
Pangatikan yang memanfaatkan lahan hutan lindung untuk
pengusahaannya. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-
Juli 2006 dengan pembaruan data pada tahun 2009. Data dikumpulkan
melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sampel penelitian adalah
petani yang terlibat dalam penggarapan hutan lindung, pengusaha rami,
serta perwakilan instansi yang terkait rehabilitasi hutan lindung.
B. Pembuatan Model dan Pengolahan Data Model dikembangkan berdasarkan data yang diperoleh di
lapangan. Pembuatan model dilakukan berdasarkan tahapan penyusunan riset operasi yang meliputi penyusunan fungsi tujuan, variabel keputusan,
dan fungsi kendala. Pembuatan formulasi model menggunakan teori
program linier yang mengandung lima asumsi dasar yaitu linearitas (ada
hubungan linier antara variabel terikat, variabel bebas, fungsi tujuan, dan
30| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kendala), divisibilitas (nilai peubah pengambilan keputusan bisa berupa
bilangan bulat atau pecahan), proporsional (jika variabel pengambilan
keputusan berubah, maka dampak perubahannya akan menyebar dalam
proporsi yang sama terhadap fungsi tujuan dan kendala), aditivitas (nilai
fungsi tujuan merupakan penjumlahan nilai masing-masing variabel
keputusan), dan deterministik (semua parameter dalam model memiliki
nilai tertentu yang terukur) (Andayani, 2007).
Beberapa variabel yang diperlukan dalam pengukuran optimasi
pengelolaan tanaman rami secara garis besar, yaitu:
- Luas pengusahaan tanaman rami adalah luas hutan lindung yang
digunakan untuk penanaman tanaman rami.
- Hasil produksi adalah keseluruhan hasil panen yang diperoleh petani
dalam jangka waktu tertentu berdasarkan areal yang diusahakan.
- Kapasitas mesin pengolah hasil tanaman rami.
- Periode waktu panen tanaman rami pada tiap lokasi.
- Harga hasil panen tanaman rami berupa batang di pabrik pengolahan.
Pengukuran variabel:
Variabel yang terdapat dalam kajian ini meliputi:
1. Variabel untuk menyusun fungsi tujuan
- Luas pengusahaan tanaman rami adalah luas hutan lindung yang
digunakan untuk penanaman tanaman rami setiap kecamatan.
- Hasil produksi adalah keseluruhan hasil panen yang diperoleh petani
dalam jangka waktu tertentu berdasarkan areal yang diusahakan.
- Harga hasil panen tanaman rami berupa batang di pabrik pengolahan.
2. Variabel keputusan yaitu luas lahan tanaman rami yang dipanen pada
waktu tertentu.
3. Variabel untuk menyusun kendala:
- Luas lahan yang disediakan untuk pengusahaan tanaman rami yang
dinyatakan dalam satuan luas yaitu hektar.
- Hasil produksi adalah keseluruhan hasil panen dalam jangka waktu
tertentu berdasarkan areal yang diusahakan.
- Kapasitas mesin pengolah hasil tanaman rami.
- Periode waktu panen tanaman rami pada setiap lokasi.
Beberapa variabel tersebut menghasilkan formulasi fungsi tujuan dan
variabel pengambilan keputusan sebagai berikut:
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 31
Tujuan:
Memaksimalkan Z = pendapatan per periode masa panen dengan produksi
hasil panen semaksimal mungkin sesuai kapasitas pabrik sebagai bahan
baku tekstil. Yang perlu diketahui adalah semua nilai Xi.j yang membuat Z
sebesar mungkin.
Variabel keputusan:
Xi.j : jumlah luasan pengusahaan tanaman rami yang memaksimalkan
produksi; i dan j adalah integer.
Fungsi tujuan:
Untuk memformulasikan fungsi tujuan, diperlukan estimasi hasil panen
selama masa panen (setiap 2 bulan) berdasarkan realisasi hasil panen dan
luas yang harus dipanen serta harga panen.
MaksZ=
4
1
30
1i j
Xijk
Dimana: i = luas lahan pengelolaan rami di tiap lokasi
J = hasil panen selama musim panen (dibuat dalam dua harian
selama sebulan atau setara dengan satu hari selama dua bulan)
k = harga hasil panen batang rami
Fungsi kendala:
o Kendala ketersediaan lahan
X1.1+X1.2+…+X1.30 25 ha (Pasirwangi)
X2.1+X2.2+... +X2.30 20 ha (Cigedug)
X3.1+X3.2+... +X3.30 10 ha (Cikajang)
X4.1+X4.2+... +X4.30 5 ha (Pangatikan)
o Kendala aliran suplai bahan baku konstan per periodik sesuai dengan
kapasitas mesin yaitu 6 ton per dua hari atau setara 3 ton per hari
Xj = 6 ton
o Kendala non negativitas
Xij 0
Setelah dilakukan pembuatan formulasi model, dilakukan pengolahan data
untuk mengetahui hasil optimasi menggunakan bantuan program komputer
berupa solver yang terdapat dalam program Ms Excel (Yulianto dan
Sutapa, 2005).
32| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengusahaan Tanaman Rami di Lokasi Penelitian
Bahan baku industri tekstil Indonesia saat ini 99%nya berupa serat
kapas yang masih tergantung impor. Rami (Boehmeria nivea) adalah
tanaman penghasil serat untuk bahan baku tekstil. Usaha pengembangan
rami sebagai salah satu tanaman penghasil serat memiliki prospek yang
luas sebagai alternatif solusi pengganti terhadap ketergantungan impor
bahan baku serat kapas karena tanaman rami memiliki karakteristik mirip
tanaman kapas dan lebih mudah dibudidayakan daripada tanaman kapas
(Musaddad, 2007). Tanaman rami mudah tumbuh pada berbagai kondisi
lahan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan serta relatif tahan
terhadap serangan hama. Tanaman rami dapat menghasilkan 0,95 ton serat/
hektar, sedangkan kapas hanya sepertiganya. Tanaman rami jika
dikembangkan dengan baik, bisa berdampak positif terhadap upaya
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan petani, apalagi rami
dapat menghasilkan produk lain seperti pupuk, pakan ternak, dan minuman
kesehatan.
Tanaman rami juga dapat mendukung program rehabilitasi hutan dan
lahan karena sistem perakarannya dapat mencegah erosi sehingga cocok
ditanam pada kawasan hutan tanaman industri atau perkebunan yang
sedang diremajakan di kawasan berlereng. Fungsi secara ekologis tersebut
menyebabkan tanaman rami dipilih untuk merehabilitasi lahan kritis dan
mengembalikan fungsi lindung beberapa kawasan hutan produksi yang
dialihfungsikan menjadi hutan lindung di Kabupaten Garut. Tanaman rami
bisa menjadi solusi cepat dalam mengatasi kondisi lahan kritis karena
dalam waktu 5-6 bulan dapat tumbuh rimbun dan dapat ditanam bersama
tanaman pokok berupa pohon kayu (Gambar 1a). Pengelolaan tanaman
rami tidak memerlukan pengolahan lahan, sehingga sesuai dengan
persyaratan dalam penanganan hutan lindung. Selain itu dengan satu kali
tanam, pada umur 8 bulan pertama bisa dipanen, selanjutnya secara rutin 2
bulan sekali hingga berumur antara 5-10 tahun. Hasil panen tanaman rami
berupa batang yang telah dipisahkan dari daun-daun rami dapat diolah
menjadi serat melalui beberapa tahap. Proses awal berupa dekortikasi yaitu
pemisahan serat dari kulit batang untuk menghasilkan serat rami mentah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 33
(china grass) yang dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan
mesin (Gambar 1b dan 1c). Proses ini harus dilakukan secepat mungkin
yaitu paling lambat 2x24 jam dari waktu panen.
Gambar 1. Tanaman rami di lahan hutan lindung serta pengolahannya
menjadi serat
Desa Barusuda Kecamatan Cigedug, Desa Barusari Kecamatan
Pasirwangi, Desa Margamulya Kecamatan Cikajang, dan Desa Sukahurip
Kecamatan Pangatikan menjadi daerah pengembangan rami di Kabupaten
Garut karena wilayah ini memiliki kemiringan lahan yang cukup curam
sehingga sebagian besar wilayahnya harus difungsikan sebagai hutan.
Adanya kebutuhan ekonomi penduduk, banyak areal lahan hutan yang
sudah dialihfungsikan untuk pengusahaan tanaman sayur, sehingga untuk
mengembalikan fungsi lindung dilakukan penanaman rami yang
melibatkan petani di desa tersebut. Pembiayaan pengusahaan tanaman rami
dibantu oleh pemerintah propinsi melalui program Gerakan Nasional
Rehabilitasi Lahan Kritis (GNRLK). Masalah yang dihadapi selama ini
adalah tidak adanya perencanaan masa panen sehingga pada waktu tertentu
hasil panen melimpah melebihi kapasitas produksi pabrik pengolah hasil
tanaman rami, padahal hasil panen tanaman rami harus segera diolah
setelah panen agar menghasilkan serat yang dapat digunakan sebagai bahan
baku tekstil. Jika terjadi keterlambatan dalam pengolahan hasil panen,
maka batang rami tidak bisa diolah menjadi serat karena batang menjadi
kering dan sulit diambil seratnya, sehingga hasil panen seringkali terbuang
sia-sia. Di sisi lain karena tidak adanya kontinuitas bahan baku
menyebabkan pengolahan hasil panen tanaman rami tidak berjalan dengan
lancar sehingga biaya produksi untuk melakukan pengolahan tanaman rami
a b c
34| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
menjadi tidak efisien. Data hasil panen yang terdapat di lokasi penelitian
tertera pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Hasil panen rami per hektar di lokasi penelitian
No. Kecamatan Luas Lahan Hasil panen per hektar
1. Pasirwangi 25 ha 3 ton
2. Cigedug 20 ha 2 ton
3. Cikajang 10 ha 5 ton
4. Pangatikan 5 ha 6 ton
Total 60 ha 16 ton
Tabel 2. Hasil panen rami per hari dalam satu bulan di lokasi penelitian
Tanggal Kecamatan
Total Pasirwangi Cigedug Cikajang Sukahurip
1 3 0 0 0 3
2 3 0 0 0 3
3 3 0 0 0 3
4 3 0 0 0 3
5 3 2 0 0 5
6 3 2 0 0 5
7 3 2 0 0 5
8 3 2 0 0 5
9 3 2 0 0 5
10 3 2 0 0 5
11 3 2 0 0 5
12 3 2 0 0 5
13 3 2 0 0 5
14 3 2 0 0 5
15 3 2 0 0 5
16 3 2 0 0 5
17 3 2 0 0 5
18 3 2 0 0 5
19 3 2 0 6 11
20 3 2 0 6 11
21 3 2 5 6 16
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 35
Tanggal Kecamatan
Total Pasirwangi Cigedug Cikajang Sukahurip
22 3 2 5 6 16
23 3 2 5 6 16
24 3 2 5 0 10
25 3 0 5 0 8
26 0 0 5 0 5
27 0 0 5 0 5
28 0 0 5 0 5
29 0 0 5 0 5
30 0 0 5 0 5
Jumlah 75 40 50 30 195
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada waktu tertentu hasil panen melebihi
kapasitas pengolahan batang rami yaitu 3 ton per hari atau 6 ton per dua
hari, padahal batang tanaman rami tidak bisa diolah melebihi 2 hari setelah
panen, karena batangnya yang kering tidak bisa diambil seratnya. Kondisi
ini menyebabkan banyak batang yang terbuang sehingga tidak
menghasilkan pendapatan yang maksimal bagi petani. Hasil panen tanaman
rami dijual petani dalam bentuk batang dengan harga Rp 300.000,00/ ton.
Realisasi hasil panen yang terserap oleh pabrik adalah 148 ton, padahal
hasil panen petani adalah 195 ton, sehingga terdapat 47 ton hasil panen
yang tidak bisa diolah. Pendapatan yang diterima oleh petani sebanyak Rp
44.000.000,00 dan kerugian yang ditanggung petani sebanyak Rp
14.100.000,00. Kerugian tersebut sangat berarti bagi petani karena petani
sudah mengeluarkan biaya panen, biaya babat, dan biaya angkut rata-rata
sebanyak Rp 225.000,00/ton. Kerugian ini harus diminimalisir dengan
melakukan perencanaan panen. Asumsi yang digunakan dalam kajian ini
tidak memperhitungkan biaya penanaman karena semua ditanggung oleh
pemerintah dalam rangka rehabilitasi lahan. Alokasi biaya penanaman
paling banyak digunakan untuk penanaman kayu sebagai tanaman pokok,
sedangkan tanaman rami dianggap sebagai tanaman tumpang sari. Tidak
terjadi kendala tenaga kerja, karena semua petani yang selama ini
36| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
mengelola hutan lindung dengan tanaman sayur bisa dilibatkan dalam
penanaman dan pemanenan tanaman rami.
B. Optimalisasi Hasil Panen Tanaman Rami
Hasil perhitungan menggunakan solver terhadap luas areal panen
yang optimal untuk menghasilkan hasil panen tanaman rami sesuai
kapasitas pengolah rami yaitu rata-rata luas panen per dua hari seluas 2 ha
atau 1 ha per hari. Supply hasil panen dilakukan secara konstan per hari
sebanyak 3 ton atau per dua hari sebanyak 6 ton.
Adanya pengaturan masa panen selama dua bulan, maka hasil
panen yang diperoleh akan sesuai dengan kapasitas mesin pengolah batang
rami. Dengan cara ini petani akan bekerja melakukan panen secara
kontinyu dan di sisi lain pabrik pengolah batang rami juga berjalan
kontinyu sehingga semua unsur pengolahan rami bisa berjalan efisien.
Hasil panen maksimum yang bisa diolah oleh pabrik sebanyak 180 ton per
dua bulan, sehingga petani bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp
54.000.000,00 dan kerugian Rp 0,00. Untuk melakukan panen yang
memaksimalkan kapasitas mesin pengolah, terdapat areal tanaman rami
yang tidak dipanen seluas 3 ha dengan perkiraan panen 15 ton. Jika hal ini
cukup signifikan untuk menambah pendapatan petani dan pengusaha, bisa
diambil solusi penambahan unit mesin pengolah batang rami serta
perluasan areal penanaman. Solusi tersebut untuk mengatasi kebutuhan
bahan baku tekstil yang sebenarnya di pasar dalam dan luar negeri lebih
dari 180 ton per dua bulan atau lebih dari 1080 ton setahun karena batang
rami tersebut jika diolah menjadi tekstil hanya menghasilkan sekitar 10%
batang saja.
C. Analisis Post Optimalitas Hasil Panen Tanaman Rami
Untuk melakukan analisis post optimalitas hasil panen tanaman
rami pada empat lokasi penelitian dengan menyesuaikan kapasitas
pengolah tanaman rami, dilakukan dengan cara merubah hasil panen setiap
lokasi yang diperkirakan sama yaitu sebanyak 5 ton per hektar dengan
kondisi panen ideal. Hasil pengolahan menggunakan program solver
diperoleh hasil bahwa produksi panen yang bisa diolah menyesuaikan
kapasitas mesin tetap sama sebanyak 180 ton dan pendapatan Rp
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 37
54.000.000,00. Perbedaan terdapat pada luas areal yang harus dipanen yaitu
seluas 52 ha per dua bulan atau rata-rata per hari 0,87 ha. Kondisi ini
menyebabkan adanya areal tanaman rami yang tidak dipanen. Dengan
kondisi ini pengelola bisa memilih tiga alternatif dengan memperhitungkan
kendala biaya dan tenaga kerja yaitu:
i. Luas areal 8 ha yang tidak dipanen bisa digunakan sebagai lokasi
sumber benih. Tanaman rami bisa menjadi sumber benih jika dibiarkan
tanpa pemangkasan selama 2 tahun.
ii. Luas areal 8 ha tetap dipanen tetapi harus ada tambahan mesin
pengolah di pabrik, karena jika masa panen mundur dari jadwal
seharusnya dan pengolahan batang pasca panen juga mundur, akan
berpengaruh pada kualitas serat yang dihasilkan.
iii. Luas areal 8 ha tetap dipanen dengan tambahan mesin dekortikator
(pengolah batang rami) di tingkat petani. Kondisi ini memudahkan
petani untuk mengirimkan hasil olahan ke pabrik, tidak lagi dalam
bentuk batang tetapi dalam bentuk serat, sehingga lebih ringan dan
menghemat biaya transportasi. Hal yang harus diperhitungkan adalah
biaya pengadaan mesin dan ketersediaan tenaga kerja yang bisa
mengoperasikan mesin dekortikator di tingkat petani.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Tanaman rami dikembangkan di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat
terutama Kecamatan Pasirwangi, Cigedug, Cikajang, dan Pangatikan
untuk merehabilitasi hutan lindung melalui program GNRLK dengan
pola PHBM.
2. Kapasitas pabrik pengolah tanaman rami maksimal sebanyak 180 ton
per dua bulan masa panen yang lebih tinggi daripada periode sebelum
perencanaan sebanyak 148 ton. Areal yang bisa dipanen seluas 57 ha,
dengan peningkatan pendapatan petani sebesar Rp 10.000.000,00
(23%) atau sebesar Rp 54.000.000,00 dari Rp 44.000.000,00 sebelum
perencanaan. Jika realisasi hasil panen untuk empat kecamatan sama
sebanyak 5 ton per hektar, sementara kapasitas mesin makimal sama
sebanyak 180 ton, maka terdapat sisa areal tidak dipanen seluas 8 ha
dan kelebihan prediksi hasil panen sebanyak 120 ton.
38| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
3. Pola optimalisasi hasil panen ini dapat direkomendasikan agar terjadi
sinkronisasi jadwal pemanenan tanaman rami dengan kapasitas
pengolah tanaman rami, sehingga pendapatan yang diperoleh petani
dapat maksimal. Selain itu diperlukan kajian lebih lanjut untuk
memanfaatkan sisa hasil panen dan sisa areal yang tidak dipanen serta
pelatihan dan penyuluhan tentang upaya diversifikasi produk olahan
rami.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Wahyu. 2007. Program Linier. Diktat Mata Kuliah Program
Linier. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM.
Yogyakarta.
Ginoga K, Mega Lugina, Deden Djaenudin dan Y.C. Wulan. 2005.
Kontrovesi Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung (Controversial
Policy of Protection Forest Management). Prosiding Seminar
Penelitian Sosial Ekonomi Mendukung Kebijakan Pembanguanan
Kehutanan. Bogor 13 September 2005. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
Musaddad, Mien Aminah. 2007. Agribisnis Tanaman Rami. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Undang-undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Yulianto, H. D. dan I. N. Sutapa. 2005. Riset Operasi dengan Excel. CV Andi
Offset. Yogyakarta.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 39
UJICOBA REHABILITASI DENGAN TANAMAN PENGHASIL
BAHAN BAKAR NABATI
DI KPHL RINJANI BARAT DAN KPHL BALI TIMUR
Cecep Handoko
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK)
Jln. Dharma Bhakti No. 7, Ds. Langko, Lingsar, Lombok Barat-NTB
ABSTRAK
Pada kondisi kering dan kritis, pemberian mikoriza dan pupuk kandang
berpotensi meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman, termasuk tanaman
penghasil bahan bakar nabati (BBN). Untuk itu mengetahui hal tersebut,
kegiatan ujicoba telah dilakukan di KPHL Rinjani Barat dan KPHL Bali Timur
selama dua tahun (2012-2013). Jenis penghasil BBN yang diujicobakan, yaitu:
kemiri sunan, kepuh, kranji dan bintaro. Perlakuan berupa pemberian pupuk
kandang, mikoriza, kombinasi pupuk kandang dengan mikoriza, serta kontrol.
Ujicoba menggunakan rancangan split plot, digunakan 3 ulangan untuk
masing-masing perlakuan per jenis, sehingga total dibangun 96 petak ujicoba.
Adapun total bibit yang digunakan sebanyak 5.664 bibit, sedangkan lahan
ujicoba yang digunakan seluas 7,5 ha di masing-masing lokasi, atau total seluas
15 ha. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan perlakuan
pupuk kandang yang dikombinasikan dengan mikoriza terhadap riap tinggi dan
diameter tanaman kepuh dan bintaro di lokasi Batulayar (KPHL Rinjani Barat).
Di lokasi Nusapenida (KPHL Bali Timur), pemberian mikoriza serta
kombinasi pupuk kandang dengan mikoriza hanya berpengaruh signifikan
terhadap riap tinggi tanaman kemiri sunan. Sementara itu, persen tumbuh
tanaman di Batulayar sebesar 69-79% diketahui lebih tinggi dibandingkan di
Nusapenida yang hanya sebesar 29-41%. Selain karena faktor lingkungan yang
ekstrim dan gangguan satwa liar, kerusakan tanaman juga terjadi karena faktor
gangguan manusia.
Kata kunci: bahan bakar nabati, hutan lindung, mikoriza, pupuk kandang
I. PENDAHULUAN
Rehabilitasi hutan sering membutuhkan biaya mahal, namun
keberhasilannya masih rendah. Terlihat pada periode tahun 1997-2006, laju
rehabilitasi hutan dan lahan sebesar 700.000 ha/tahun tidak mampu
mengimbangi laju kerusakan hutan nasional sebesar 1,08 juta ha/tahun
(Departemen Kehutanan, 2006). Banyak faktor menjadi penyebab
40| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kerusakan hutan. Rehabilitasi hutan yang berhasil memerlukan pengenalan
terhadap faktor penyebab, dilakukan berkelanjutan, efektif dalam
pembiayaan dan terintegrasi secara ekonomi, ekologi maupun sosial.
Pelibatan aktif masyarakat lokal merupakan kunci utama keberhasilan
mengatasi penyebab degradasi/kerusakan hutan (Nawir, Murniati dan
Rumboko, 2007).
Hutan lindung merupakan kawasan hutan untuk perlindungan
daerah bawahannya. Hutan lindung bukan hanya mempunyai fungsi
lingkungan tetapi juga mempunyai fungsi ekonomi dan sosial sehingga di
dalam hutan lindung dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
(Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007). Di lain pihak, kerusakan hutan
lindung tidak hanya berdampak buruk pada terganggunya kestabilan tata air
dan kesuburan tanah jangka panjang tetapi juga secara langsung akan
menimbulkan kerugian ekonomi dan terancamnya keselamatan masyarakat
di sekitarnya dengan adanya bencana banjir dan/atau longsor. Dalam kaitan
tersebut, upaya rehabilitasi hutan lindung diantaranya perlu dilakukan
bukan hanya mengedepankan aspek pelestarian tetapi perlu pula ditunjang
oleh pemilihan jenis yang bernilai ekonomi, sesuai dengan kondisi
lingkungan setempat dan menggunakan teknologi yang mudah untuk
diaplikasikan oleh masyarakat sekitar hutan.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan produk hasil hutan
yang banyak diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan, mampu
meningkatkan pendapatannya dan memberikan tambahan devisa bagi
negara. HHBK juga merupakan produk hasil hutan dari hutan lindung yang
boleh dipungut oleh masyarakat melalui mekanisme perijinan tertentu.
Untuk tujuan rehabilitasi hutan khususnya di hutan lindung, penanaman
jenis-jenis penghasil HHBK diharapkan selain mampu meningkatkan
produktivitas lahan juga mampu meningkatkan pendapatan dan partisipasi
aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pada lahan-lahan hutan yang
kritis, upaya rehabilitasi menggunakan jenis HHBK perlu pula didukung
oleh upaya peningkatan kesuburan dan pertumbuhan tanaman,
diantaranhya melalui penggunaan pupuk kandang dan mikoriza.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 41
Pupuk kandang dapat berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman.
Selain itu, Pupuk kandang mampu berperan dalam pembentukan agregat
yang mantap yang berpengaruh terhadap porositas, penyimpanan dan
penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah (Hartatik dan Widowati,
2006). Sejalan dengan hal tersebut, Rasoulzadeh dan Yaghoubi (2011)
menyatakan bahwa pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan
porositas, konduktifitas hidrolik jenuh dan air tersedia pada tanah.
Sementara itu, mikoriza berfungsi meningkatkan kemampuan tanaman
dalam penyerapan hara tanah, serta melindungi akar dari suhu dan
kekeringan (Santoso et al., 2006), sedangkan kombinasi pupuk kandang
dan mikoriza berfungsi meningkatkan produksi tanaman (Lana, 2009).
Upaya peningkatan pertumbuhan tanaman dengan pemberian tambahan
nutrisi ini sangat diperlukan ketika lahan hutan terdegradasi (Soekotjo,
2009).
KPHL Bali Timur dan KPHL Rinjani Barat mempunyai kelengan
lahan sangat curam (45-75o) dan rentan erosi. Wilayah KPHL Bali Timur
khususnya di hutan lindung Nusapenida memiliki penutupan vegetasi
dengan dominasi alang-alang (Imperata cylindrica) dan gamal (Gliricida
sepium), sedangkan dalam jarak tidak teratur tumbuh Jukut (Eugenia
polyantha). Solum tanah tipis dengan batuan kapur di lapisan bawah.
Sementara itu, air irigasi tidak tersedia. Ketersediaan air tergantung air
hujan. Adapun lokasi KPHL Rinjani Barat khususnya di hutan lindung
Batulayar mempunyai penutupan vegetasi yang didominasi Mente
(Anacardium occidentale) dan Mangga (Mangifera indica) dengan jarak
tanam lebar (> 8 m) dan tidak teratur. Sementara itu, rumpun bambu
terdapat pada beberapa bagian lahan terutama di lembah dan sepanjang
aliran sungai. Solum tanah di lokasi ini tebal, berupa tanah Regosol yang
poros, sedangkan batuan vulkanik tersebar di sebagian besar lahan.
Ketersediaan air irigasi di lokasi ini sangat terbatas, berasal dari sungai
dengan jumlah tergantung hujan. Dengan kondisi tersebut, peningkatan
fungsi hutan lindung baik bagi perlindungan tata air dan peningkatan hasil
lahan diperlukan di kedua lokasi tersebut.
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh penggunaan pupuk
kandan dan mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman dari jenis penghasil
42| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
HHBK khususnya dari jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati (BBN)
dalam kegiatan rehabilitasi hutan lindung lahan kering. Adapun sasaran
penelitian adalah diperolehnya jenis tanaman dan perlakuan yang sesuai
untuk diterapkan dalam kegiatan rehabilitasi hutan lindung lahan kering
khususnya di KPHL Bali Timur dan KPHL Rinjani Barat.
II. METODE PENELITIAN
1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di kawasan hutan lindung Suana, Kecamatan
Nusapenida, Kabupaten Klungkung yang termasuk ke dalam wilayah
KPHL Bali Timur (Gambar 1) dan di kawasan hutan lindung Batulayar,
Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat yang termasuk ke dalam
wilayah KPHL Rinjani Barat (Gambar 2). Penelitian dilakukan selama dua
tahun (2012-2013).
Sumber: http://www.kph.dephut.go.id
Gambar 1. Lokasi penelitian di KPHL Bali Timur
Lokasi
Penelitian
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 43
Sumber: http://www.kph.dephut.go.id
Gambar 2. Lokasi Penelitian di KPHL Rinjani Barat
2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu: alat gali, ukur, timbang dan penakar
hujan manual. Adapun bahan penelitian berupa bibit tanaman HHBK
penghasil bahan bakar nabati (BBN) kemiri sunan (Aleurites trisperma
Blanco) family Euphorbiaceae, kepuh (Sterculia foetida L.) Family
Malvaceae, malapari/kranji (Pongamia pinnata (L.) Pierre) Family
Fabaceae dan bintaro (Cerbera manghas L.) Family Apocynaceae. Bahan
penelitian lainnya berupa mikoriza dari jenis CMA (Cendawan
Mikoriza Arbuskular) dan pupuk kandang (kotoran sapi).
3. Rancangan Percobaan
Penelitian menggunakan rancangan split plot. Perlakuan yang
diberikan untuk setiap jenis tanaman penghasil BBN, berupa: pupuk
kandang (P1), mikoriza (P2), pupuk kandang+mikoriza (P3), dan tanpa
perlakuan (P0). Masing-masing perlakuan diberikan tiga ulangan petak.
Dosis pupuk kandang 6 kg per lubang tanam per tahun. Pada awal tanam,
pupuk kandang diberikan 2 minggu sebelum penanaman (Purnomosidhi et
Lokasi
Penelitian
44| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
al., 2002). Sementara itu, dosis mikoriza 5 gr per polybag (Santoso et al.,
2006) diberikan pada saat penyapihan bibit.
Dalam penelitian ini, petak-petak penelitian berukuran 42 x 30 m
dengan jarak antar petak selebar 3 m. Pada masing-masing petak ditanam
35 pohon penghasil bahan bakar nabati. Total jumlah petak sebanyak = 4
jenis per lokasi x 4 perlakuan per jenis x 3 petak per perlakuan x 2 lokasi =
96 petak. Adapun jumlah total bibit tanaman penghasil BBN yang
digunakan dalam penelitian sebanyak = 96 petak x 35 tananaman per petak
= 3.360 bibit. Sementara itu, lahan yang diperlukan seluas 7,5 ha per
lokasi, atau total 15 ha untuk kedua lokasi penelitian. Rancangan petak
penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Rancangan petak penelitian
4. Analisa Data
Analisa data dilakukan secara deskriptif dan melalui uji statistik.
Analisa data melalui uji statistik dilakuan melalui Uji Anova. Adapun uji
lanjutan dilakukan dengan Uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 45
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 menyajikan riap tinggi dan diameter tanaman di lokasi
penelitian Nusapenida. Tampak pada tabel tersebut bahwa data untuk jenis
kepuh tidak tersedia, hal tersebut terjadi karena jenis ini gagal tumbuh di
lokasi penelitian akibat gangguan satwaliar (kera). Hampir seluruh tanaman
di lokasi tersebut tercabut dengan beberapa diantaranya hilang. Informasi
ini diperoleh langsung dari pengamatan di lapangan. Berdasarkan Tabel 1
diketahui bahwa riap tinggi kranji mempunyai nilai tertinggi, sedangkan
untuk riap diameter nilai tertinggi dimiliki jenis kemiri sunan.
Tabel 1. Riap tinggi dan diameter tanaman per semester (cm/semester) di
lokasi Nusapenida
Jenis
Riap (cm/semester) menurut Perlakuan
Kontrol Pupuk Mikoriza
Pupuk-
Mikoriza
T D T D T D T D
Kepuh - - - - - - - -
Kemiri Sunan 0.29 0.04 0.69 0.03 2.50 0.07 1.31 0.11
0.83 0.09 0.00 0.12 1.10 0.13 0.00 0.04
0.00 0.03 0.07 0.01 5.38 0.13 9.88 0.12
0.37 0.06 0.25 0.05 2.99 0.11 3.73 0.09
Bintaro 2.13 0.08 2.38 0.07 2.00 0.04 2.72 0.04
4.35 0.08 3.35 0.04 3.06 0.07 2.25 0.09
2.29 0.06 1.64 0.04 2.64 0.04 2.50 0.07
2.92 0.07 2.46 0.05 2.57 0.05 2.49 0.07
Kranji 7.60 0.07 7.50 0.03 2.30 0.04 2.50 0.04
3.00 0.04 2.50 0.02 5.89 0.03 3.89 0.09
14.83 0.21 6.00 0.02 15.00 0.15 5.00 0.07
8.48 0.11 5.33 0.03 7.73 0.07 3.80 0.07
Keterangan: T= tiggi, D= Diameter
46| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tabel 2 menyajikan riap tinggi dan diameter tanaman per semester
di lokasi penelitian Batulayar. Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata riap
tertinggi untuk parameter tinggi dimiliki oleh kranji sedangkan untuk riap
diameter dimiliki kemiri sunan. Seperti halnya data riap di lokasi
Nusapenida (Tabel 1), riap tinggi dan diameter masing-masing jenis
tanaman menurut perlakuannya di lokasi Batulayar juga mempunyai
fluktuasi nilai yang tinggi. Hal tersebut menyulitkan untuk melihat
langsung tren data yang diperoleh.
Tabel 2. Riap tinggi dan diameter tanaman per semester (cm/semester)
lokasi Batulayar
Jenis
Riap (cm/semester) menurut Perlakuan
Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk-Mikoriza
T D T D T D T D
Kepuh 1.9 0.02 0.5 0.10 1.7 0.08 7.6 0.20
2.4 0.20 2.6 0.18 0.8 0.12 1.6 0.17
1.9 0.21 5.1 0.24 2.5 0.30 5.9 0.38
2.0 0.1 2.7 0.2 1.6 0.2 5.0 0.2
Kemiri Sunan 2.81 0.43 1.32 0.38 2.50 0.31 7.29 0.25
1.50 0.28 9.75 0.45 0.56 0.38 1.83 0.20
1.27 0.42 9.04 0.35 10.23 0.34 4.40 0.48
1.9 0.4 6.7 0.4 4.4 0.3 4.5 0.3
Bintaro 8.5 0.25 10.4 0.31 10.5 0.33 9.6 0.39
11.7 0.34 9.0 0.27 8.2 0.18 12.4 0.24
4.6 0.39 11.7 0.48 8.5 0.36 4.8 0.21
8.3 0.3 10.4 0.4 9.1 0.3 8.9 0.3
Kranji 15.9 0.25 5.2 0.13 13.6 0.22 16.8 0.24
5.0 0.27 12.2 0.33 19.9 0.33 4.6 0.30
10.5 0.18 4.5 0.38 8.6 0.33 4.9 0.34
10.4 0.2 7.3 0.3 14.0 0.3 8.8 0.3
Keterangan: T= tiggi, D= Diameter
Sementara itu, hasil analisa data menggunakan uji Anova dan uji
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 47
lanjutan Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa
perlakuan mikoriza yang dikombinasikan dengan pupuk kandang
memberikan pengaruh signifikan terhadap riap tinggi jenis kepuh, kemiri
sunan dan bintaro di lokasi Batulayar (Tabel 4). Perlakuan tersebut
memberikan pengaruh positif pula terhadap riap tinggi kemiri sunan di
lokasi Nusapenida (Tabel 5). Adapun kondisi tanaman di lokasi penelitian
Batulayar dan Nusapenida disajikan masing-masing pada Gambar 4 dan 5.
Tabel 3. Hasil Uji Anova pengaruh perlakuan terhadap riap tinggi dan
diameter tanaman tahun pertama di lokasi penelitian Batulayar dan
Nusapenida
Jenis
Pengaruh perlakuan menurut lokasi dan parameter
pertumbuhan tanaman tahun pertama
Pengamatan di Batulayar Pengamatan di Nusapenida
Tinggi Diameter Tinggi Diameter
Kepuh ** ** - -
Kemiri Sunan ** NS * NS
Bintaro ** * NS NS
Kranji * NS NS NS
Tabel 4. Hasil lanjutan Duncan pengaruh perlakuan terhadap riap tinggi
dan diameter tanaman tahun pertama di lokasi penelitian
Batulayar
Jenis Parameter
Pengelompokkan perlakuan di lokasi Batulayar
berdasarkan hasil uji Duncan pada taraf
kepercayaan 95%1,2
Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza
Kepuh Tinggi B B B A
Diameter B B B A
Kemiri
Sunan
Tinggi C A B B
Diameter AB A AB B
Bintaro Tinggi B B B A
Diameter AB A B B
Kranji Tinggi AB B A B
48| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Diameter A A A A 1 kelompok dengan simbol sama menunjukkan hasil uji yang tidak berbeda nyata 2 urutan huruf menunjukkan urutan rata-rata nilai tengah
Tabel 5. Hasil lanjutan Duncan pengaruh perlakuan terhadap riap tinggi
dan diameter tanaman tahun pertama di lokasi penelitian
Nusapenida
Jenis Parameter
Pengelompokkan perlakuan di lokasi Nusapenida
berdasarkan hasil uji Duncan pada taraf
kepercayaan 95%1,2
Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza
Kemiri
Sunan
Tinggi B B A A
Diameter AB B A AB
Bintaro Tinggi A A A A
Diameter A A A A
Kranji Tinggi A AB AB B
Diameter A B AB AB 1 kelompok dengan simbol sama menunjukkan hasil uji yang tidak berbeda nyata 2 urutan huruf menunjukkan urutan rata-rata nilai tengah
(a) (b)
b.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 49
(C ) (d)
Gambar 4. Kondisi tanaman di Batulayar (a. Kranji; b. Kemiri Sunan;
c. Kepuh; dan d. Bintaro).
(a) (b)
50| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
(C ) (d)
Gambar 5. Kondisi tanaman di Nusapenida (a. Kemiri sunan;
b. Kepuh yang masih tersisa di lapangan; c. Bintaro; dan d. Kranji).
Di lain pihak, cekaman kekeringan yang tinggi diduga telah
menyebabkan 40-60% tanaman di Nusapenida mati mengering. Sementara
itu, secara khusus diketahui bahwa kegagalan tumbuh kepuh di lokasi ini
tealah disebabkan oleh gangguan satwaliar pada tahap awal pertumbuhan
tanaman. Di Batulayar, meskipun cekaman lingkungan lebih rendah
daripada di Nusapenida, gangguan berupa pemangkasan batang terjadi pada
hampir 30% tanaman. Di tengah cekaman lingkungan dan gangguan
tersebut, persen tumbuh tanaman di Batulayar cukup tinggi (69-76%).
Sebaliknya, persen tumbuh tanaman sangat rendah hanya 29-41% di
Nusapenida (Tabel 6). Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa tanaman
bintaro mempunyai persen tumbuh tertinggi baik di lokasi Batulayar
maupun Nusapenida. Jenis tanaman ini cukup potensial untuk dijadikan
tanaman rehabilitasi lahan-lahan hutan kritis di wilayah KPHL Rinjani
Barat dan KPHL Bali Timur. Jenis tanaman ini diketahui mempunyai
kemampuan regenerasi yang tinggi di tengah cekaman lingkungan yang
diterimanya.
b.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 51
Tabel 6. Persen tumbuh tanaman tahun pertama di lokasi Batulayar dan
Nusapenida
Jenis Persen tumbuh (%)
Kontrol Pupuk Mikoriza Pupuk+Mikoriza Rata-rata
Batulayar
Kepuh 73 78 78 71 75
Kemiri
Sunan 64 68 69 77 69
Bintaro 75 80 76 74 76
Kranji 78 78 64 79 75
Rata-rata 73 76 72 75 74
Nusapenida
Kepuh 0 0 0 0 0
Kemiri
Sunan 31 35 30 19 29
Bintaro 48 41 39 35 41
Kranji 30 30 27 37 31
Rata-rata 27 26 24 23 25
Pada aspek kesuburan lahan, diketahui beberapa perbedaan di kedua
lokasi penelitian. Perbedaan tersebut diantaranya adalah pH, kandungan N,
C, C/N, KTK, Ca dan Mg. Hasil analisa menunjukkan pH yang agak asam
(6,04) di Batulayar dan agak alkalis (7,45) di Nusapenida. Sementara itu,
kandungan N, C, C/N, KTK, Ca dan Mg di Batulayar berturut-turut 0,1%,
0,5%, 5,44, 7,05 cmol(+)/kg, 0,09% dan 0,2%. Nilai-nilai tersebut untuk di
Nusapenida masing-masing sebesar: 0,3%, 2,73%, 9,38, 30,24 cmol(+)/kg,
0,19% dan 0,39%. Dari nilai-nilai tersebut, diketahui bahwa sifat kimia
tanah di lokasi Nusapenida lebih baik dibandingkan Batulayar. Namun,
secara umum nilai-nilai tersebut masih pada kategori rendah menurut
panduan analisa tanah dari Bolsa Analytical tahun 2007. Sementara itu,
pemberian pupuk kandang belum memberikan peningkatan kesuburan
tanah di kedua lokasi penelitian.
Sementara itu, secara umum diketahui bahwa tekstur tanah di kedua
lokasi penelitian sama, yaitu pasir berlempung. Sementara itu, ketebalan
52| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
tanah dan kondisi batuan di Nusapenida menunjukkan kondisi yang lebih
ekstrim, di lokasi ini solum tanah dangkal (< 20 cm), sedangkan
bongkahan-bongkahan batu kapur ditemukan tersebar secara merata di
seluruh bagian lahan. Hal tersebut menyebabkan sempitnya ketersediaan
ruang bagi perakaran tanaman. Di Batulayar, kondisi solum tanah tebal (>
1 m), sedangkan bongkahan batuan vulkanik terakumulasi secara sempit di
beberapa bagian lahan. Kondisi khas di daerah ini adalah jenis tanahnya
yang berporositas tinggi, yaitu jenis tanah Regosol. Jenis tanah ini
mempunyai kemampuan meluluskan air yang tinggi (Hardjowigeno, 2007)
yang sangat mungkin menyebabkan rendahnya ketersediaan hara dan air
bagi akar.
Sementara itu, ketersediaan air untuk budidaya yang rendah
merupakan kendala besar dalam mendukung rehabilitasi lahan di wilayah
Nusapenida. Pada kondisi solum tanah yang tipis dan berbatu, ketersediaan
air pada tanah yang rendah menekan kemampuan tumbuh tanaman di
lapangan. Curah hujan kumulatif di Nusapenida periode Desember 2012
hingga Desember 2013 sebesar 995 mm, sedangkan di Batulayar sebesar
1.495 mm. Hasil uji statistik pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan
intensitas hujan harian di kedua lokasi penelitian secara signifikan berbeda.
Intensitas hujan di Nusapenida sebesar 19 mm/hari sedangkan di Batulayar
38 mm/hari (Gambar 6). Perbedaan tersebut diduga memberikan perbedaan
ketersediaan air yang berarti bagi tanaman yang mempengaruhi kondisi
pertumbuhannya. Hal tersebut memerlukan penanganan yang khusus.
Sementara itu, penggunaan mikoriza yang diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan tumbuh tanaman belum mampu meningkatkan
persen tumbuh tanaman di atas 70%. Untuk tujuan penanaman yang lebih
berhasil di Nusapenida, penyiraman tanaman dan konservasi air,
diantaranya pengoptimalan air pada musim hujan (Suripin, 2002) sangat
diperlukan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 53
Gambar 6. Curah hujan di Batulayar dan Nusapenida
periode Desember 2012-Desember 2013
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang telah dicapai selama tahun kedua
penelitian, beberapa hal dapat rekomendasikan, sebagai berikut:
1. Jenis tanaman bintaro (Cerbera manghas L.) berpotensi digunakan
sebagai tanaman rehabilitasi di wilayah KPHL Bali Timur maupun di
KPHL Rinjani Barat. Sementara itu, untuk wilayah KPHL Rinjani Barat
seluruh jenis tanaman yang diujicobakan dapat digunakan sebagai
tanaman rehabilitasi, hal tersebut dengan melihat kematian tanaman
karena faktor fisik lingkungan di wilayah ini tidak terjadi.
2. Pupuk kandang dan mikoriza perlu diberikan untuk meningkatkan
pertumbuhan kemiri sunan dan kranji dalam rehabilitasi hutan lindung
di Batulayar dan Nusapenida
3. Untuk wilayah Nusapenida, pemberian pupuk kandang dan mikoriza
perlu ditambah pemberian air irigasi, tindakan konservasi air, dan
penanganan gangguan satwaliar. Untuk meningkatkan keberhasilan
rehabilitasi di wilayah ini, pemilihan jenis dengan daya tahan yang
tinggi terhadap cekaman suhu tinggi dan kekeringan sangat diperlukan.
4. Untuk wilayah Batulayar, keberhasilan rehabilitasi perlu
mempertimbangkan penggunaan jenis-jenis tanaman yang disukai dan
memberikan manfaat ekonomi yang tinggi bagi masyarakat penggarap
54| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
atau masyarakat sekitar, selain penekanan terhadap percepatan
penanganan hutan lindung terdegradasi melalui penggunaan teknologi
rehabilitasi tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2010. Rencana Penelitian
Integratif 2010-2014. Jakarta.
Bolsa Analytical. 2007. Guidelines for Interpretation of Soil Analyses.
Publikasi online pada: http://bolsalab.com/images/ Soil_Guide.pdf
Departemen Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan. Departemen kehutanan.
Jakarta.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Cetakan Keenam. Akademika
Pressindo. Jakarta.
Hartatik, W. dan Widowati L.R. 2006. Pupuk Kandang. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Lana, W. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza
terhadap Pertumbuhan dan Hasilo Tanaman Kacang Tanah
(Arachis hypogaea L.) di Lahan Kering. Majalah Ilmiah Untab: 6
(1).
Nawir, A.A., Murniati dan Rumboko L. 2007. Reorientation of the
rehabilitation programme in Indonesia: where to after more than
three decades? Center for International Forestry Research
(CIFOR). Bogor.
Purnomosidhi, P., Suparman, Roshetko J.M dan Mulawarwan. 2002.
Perbanyakan dan Budidaya Tanaman Buah-buahan dengan
Penekanan pada Durian, Mangga, Jeruk, Melinjo dan Sawo.
ICRAF dan Winrock International. Bogor.
Rasoulzadeh, A. dan Yaghoubi A. 2011. Study of Cattle manure Effect on
Soil Hydraulic Properties using Inverse Method. 2nd International
Converence on Environmental Science and Technology. IPCBEE:
6 (2011).
Santoso, E., Turjaman M., dan Irianto, R.S.B. 2006. Aplikasi Mikoriza
untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 55
Terdegradasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian:
Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20
September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.
Soekojo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit ANDI.
Yogyakarta.
56| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ADAPTASI DAN PREFERENSI PAKAN RUSA SAMBAR (Rusa
unicolor Brookei) PADA TAHAP AWAL DI PENANGKARAN KHDTK
SAMBOJA
Tri Atmoko
Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam,
Jalan Soekarno-Hatta Km. 38 samboja, Po. Box.578 Balikpapan, Kaltim
Telepon: 0542 7217663; E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Rusa sambar (Rusa unicolor) termasuk satwa liar dilindungi, namun
mempunyai nilai ekonomi sebagai sumber protein hewani yang potensial.
Pemanfaatan rusa sambar dapat dilakukan melalui mekanisme penangkaran
yaitu keturunan F-2 dan selanjutnya. Rusa sambar memiliki postur besar dan
liar dibandingkan rusa lainnya, sehingga perlu penanganan khusus di
penangkaran, terutama pada tahap awal introduksinya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat adapatasi dan preferensi pakan rusa sambar pada
tahap awal introduksi di penangkaran. Penelitian dilaksanakan di penangkaran
rusa sambar KHDTK Samboja pada bulan Oktober 2013 s/d Februari 2014.
Obyek pengamatan adalah sepasang rusa sambar yang sebelumnya dipelihara
oleh masyarakat. Pengamatan perilaku menggunakan metode Focal animal
sampling, sedangkan preferensi dari 12 jenis pakan menggunakan metode
Manly’s alfa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola aktifitas mulai
menunjukkan stabilitas pada bulan ke tiga setelah introduksi. Terdapat trend
perubahan proporsi aktivitas makan, foraging/berjalan, dan memamah biak
pada awal introduksi, namun berdasarkan perhitungan statistik perubahannya
tidak signifikan. Analisis preferensi pakan menunjukkan jenis paling disukai
adalah daun-daunan yaitu Mallotus sp. (=0.128),Gmelina arborea (=0.124),
Ficus sp. (=0.118), Vitex pinnata (=0.114), Ficus variegate (=0.096), dan
Leucaena leucocephala (=0.087). Empat jenis rumput yaitu Brachiaria
humidicola, Penisetum purpureum, Setaria sphacelata, dan Paspalum
dilatatum berada di posisi terbawah dan termasuk jenis yang tidak disukai.
Pengamatan fisiologis berdasarkan nadi dan nafas menunjukkan nilai yang
tinggi pada awal introduksi dan menurun menuju stabilitas seiring waktu
adaptasi. Perlu dilakukan penyesuaian selama beberapa bulan untuk
membiasakan pakan baru dari jenis rumput.
Kata kunci: Rusa sambar, Rusa unicolor, adaptasi, perilaku, preferensi pakan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 57
I. PENDAHULUAN
Rusa sambar (Rusa unicolor brokei) adalah satu dari tujuh sub jenis
rusa sambar di dunia yang penyebarannya di Kalimantan (Leslie, 2010).
Rusa sambar termasuk jenis satwa yang dilindungi karena populasinya
terancam (Pemerintah RI, 1999; Timmins, Steinmetz, Baral, Kumar,
Duckworth, Islam, Giman, Hedges, Lynam, Fellowes, Chan dan Evans,
2008). Menurut Timmins et al., (2008). Ancaman akan keberadaannya
akibat kerusakan habitat maupun perburuan liar (Suzanna & Masy'ud,
1991; Atmoko, 2007).
Rusa sambar diburu secara liar karena permintaan pasar khususnya
di Kalimantan Timur cukup tinggi. Menurut Semiadi, Widarteti, Jamal dan
Brahmantiyo (2008) berdasarkan pengiriman hasil buruan rusa ke pasar
tradisional, menunjukkan bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu
kabupaten diburu minimal 60-120 ekor. Alasan utama kenapa daging rusa
sangat diminati oleh masyarakat adalah karena harga di pasar tradisional
murah yaitu berkisar antara 40-60 ribu rupiah. Selain itu terdapat beberapa
keunggulan daging rusa dibanding daging lainnya, yaitu kandungan
kolesterolnya rendah (Lawrie & Ledward, 2006).
Rusa sambar dengan postur tubuh yang paling besar diantara jenis
rusa lainnya berpotensi sebagai sumber pangan nabati alternatif. Oleh
karena itu kegiatan penangkaran menjadi salah satu upaya untuk
memanfaatkannya secara lestari. Penangkaran adalah upaya
pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap menjaga kemurnian
jenisnya (Pemerintah RI, 1999). Pemanfaatan rusa hasil penangkaran
secara ekonomis dapat dilakukan pada generasi kedua (F2) dan
keturunannya (Pemerintah RI, 1999).
Pemahaman perilaku adalah kunci dari suksesnya usaha peternakan
rusa khususnya dalam sistem pedok (Semiadi et al., 2008). Pembangunan
penangkaran rusa sambar yang baru perlu dilakukan persiapan dengan baik.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah dalam penanganan
stres pada rusa sambar. Kondisi stress pada rusa sambar sering terjadi pada
saat penangkapan, pemindahan ke lokasi yang baru. Menurut Takandjandji
(2007) stress adalah sesuatu yang alami yang diciptakan oleh kondisi
perasaan yang tertekan baik secara fisik maupun psikologis yang bersifat
58| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dinamis. Oleh karena itu pemantauan tingkat adaptasi, perilaku, dan
optimalisasi penggunaan pakan pada awal introduksi di penangkaran
penting untuk dilakukan dalam upaya keberhasilan pengembangan
penangkaran rusa sambar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adapatasi dan
preferensi pakan rusa sambar pada tahap awal introduksi di penangkaran.
II. METODE
A. Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan
Februari 2014 di Penangkaran rusa KHDTK Samboja.
B. Alat dan Bahan
Bahan penelitian yang dipergunakan adalah sepasang rusa sambar,
pakan rusa jenis daun (Mallotus sp., Gmelina arborea, Ficus sp., Vitex
pinnata, Ficus variegate, Leucaena leucocephala, Trema tomentosa, Piper
aduncum) dan rumput (Brachiaria humidicola, Penisetum purpureum,
Setaria sphacelata, Paspalum dilatatum. Alat yang digunakan adalah
timbangan (5 kg), kotak angkut, kamera, kamera trap, meteran kain, dan
stopwatch.
C. Metode Kerja
Teknis pengangkutan
Pengangkutan menggunakan kotak angkut terbuat dari kayu berukuran
160cm x 80 cm x 150 cm (Setio, 2009). Kotak sebagian besar tertutup
sedangkan sebagian atasnya terbuka untuk menjaga sirkulasi udara.
Pengangkutan dilakukan pada sore hari menjelang malam hari untuk
mengurangi kondisi panas dan stress. Pengangkutan dilakukan secara
hati-hati dengan menggunakan kendaraan terbuka.
Pengamatan perilaku
Pengamatan awal dilakukan untuk proses habituasi dan mengamati pola
aktivitas rusa secara umum dengan menggunakan metodead-libitum.
Selanjutnya pengamatan perilaku dilakukan pada siang hari (06.00-
18.00) dan malam hari diamati menggunakan kamera otomatis.
Aktivitas yang dicatat adalah aktivitas harian meliputi makan,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 59
memamah biak, tidur/istirahat, berjalan/foraging dan kegiatan lain.
Pengamatan dilakukan menggunakan teknik direct counting (secara
visual). Pengamatan pada malam hari dilakukan menggunakan kamera
otomatis agar tidak ada gangguan dari luar terutama cahaya lampu
untuk pengamatan.
- Perilaku dan aktivitas rusa sertelah introduksi diamati secara langsung
selama12 jam siang hari dan 12 jam pada malam hari menggunakan
kamera otomatis. Pengamatan dilakukan tiga hari setiap bulan selama
tiga bulan pertama introduksi.
Penyediaan pakan
Pakan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan rusa (Setio, 2009).
Pemberian jenis pakan dilakukan secara bergiliran. Penempatan jenis
pakan dilakukan rolling setiap hari agar preferensi pakan tidak
berdasarkan tempat pakan. Pada setiap akhir pemberian pakan, sisa
pakan ditimbang untuk mengetahui bobot pakan yang dikonsumsi rusa.
Air minum disediakan secara tidak terbatas (ad-libitum).
Pengamatan fisiologis
Pengamatan fisiologis dilakukan dengan mengukur nafas dan nadi
setiap seminggu sekali.
D. Analisis Data
Preferensi waktu aktivitas rusa dianalisis menggunakan uji Chi-
square (χ2), dengan formula (Siegel, 1990):
dimana:
Oi = banyak kasus diamati dalam kategori ke-i Ei = banyak yang diharapkan dalam kategori ke-i di bawah Ho
= penjumlahan semua kategori (k)
Hipotesis null (Ho) yang akan diuji adalah tidak ada preferensi
aktivitas harian rusa pada jam-jam tertentu. Kaidah keputusannya adalah
menolak Ho jika nilai χ2 hitung lebih besar daripada χ
2 tabel pada p = 0.01.
60| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Preferensi pakan dianalisis menggunakan indek preferensi Manly’s
Alpha (Krebs, 1978) dengan formula:
Dimana:
Αi = Manly’s alpha jenis pakan i
ri, rj = Proporsi pakan i atau j yang dikonsumsi
ni, nj = Proporsi pakan i atau j yang disediakan
m = Jumlah tipe pakan
Keterangan:
αi >
, maka jenis pakan i disukai oleh rusa
αi <
, maka jenis pakan i tidak disukai rusa
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Proporsi Aktivitas
Proporsi aktivitas rusa sambar selama tiga bulan pertama setelah
introduksi secara umum menunjukkan trend perubahan. Aktivitas makan
dan memamah biak meningkat selama tiga bulan pertama setelah
introduksi, sedangkan aktivitas foraging/berjalan dan istirahat cenderung
menurun (Gambar 1).
Gambar 1. Proporsi aktivitas rusa sambar pada tiga bulan pertama
introduksi
Meskipun menunjukkan trend perubahan proporsi aktivitas pada tiga
bulan pertaman, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada foraging dan berjalan (x2 =
3,92; p<0.01; db = 2; N = 795), makan (x2 = 0.19; p<0.01; db = 2; N =
0 10 20 30 40 50
Per
sen
tase
(%
)
Aktivitas
Bulan ke-1
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 61
2574), memamah biak (x2 = 0.92; p<0.01; db = 2; N = 291), istirahat (x
2 =
2.15; p<0.01; db = 2; N = 1428) dan aktivitas lainnya (x2 = 0.94; p<0.01;
db = 2; N = 930).
Aktivitas makan dan memamah biak yang meningkat menunjukkan
bahwa rusa sambar sudah mulai beradaptasi dengan baik sehingga
menggunakan pakan yang ada secara optimal. Aktivitas foraging/berjalan
yang menurun selama tiga bulan pertama menunjukkan dua kemungkinan.
Pertama karena pada bulan pertama rusa masih asing dengan lokasi yang
baru sehingga rusa melakukan orientasi di areal kandang. Kedua pada
bulan pertama kondisi kandang masih terdapat tumbuhan liar dan semak
sehingga rusa banyak melakukan foraging di dalam kandang. Bulan kedua
dan ketiga kondisi tumbuhan dan semak di dalam kandang semakin
berkurang sehingga rusa sedikit melakukan foraging dan mengoptimalkan
pakan yang diberikan dari luar.
B. Aktivitas Harian
Aktivitas harian istirahat rusa di penangkaran pada tiga bulan
pertama setelah introduksi menunjukan kecenderungan meningkat pada
siang hari sekitar pukul 9:00 sampai dengan jam 14:00 sedangkan
sebaliknya terjadi pada aktivitas foraging, dan aktivitas lainnya. Secara
umum aktivitas makan adalah paling tinggi dibandingkan dengan aktivitas
lainnya. Terjadi fluktuasi yang cukup tinggi pada aktivitas makan pada
bulan pertama, sedangkan pada bulan kedua fluktuasinya semakin
berkurang demikian juga pada bulan ketiga. Bahkan berdasarkan
perhitungan statistik pada bulan ketiga tidak menunjukkan adanya
preferensi waktu untuk aktivitas makan. Fluktuasi aktivitas rusa pada
waktu siang hari seperti pada Gambar 2, 3 dan 4.
62| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar
2. Pola aktivitas harian rusa sambar di penangkaran
pada bulan pertama
Bulan pertama terdapat preferensi waktu aktivitas foraging (x2 =
83.68; p<0.01; db = 11; N = 323), makan (x2 = 33.85; p<0.01; db = 11; N =
374), istirahat (x2 = 107.34; p<0.01; db = 11; N = 1091), dan aktivitas
lainnya (x2 = 34.22; p<0.01; db = 11; N = 56).
Gambar 3. Fluktuasi aktivitas harian rusa sambar di penangkaran
pada bulan Kedua
Bulan ke dua terdapat preferensi waktu aktivitas foraging (x2 =
139.53; p<0.01; db = 11; N = 314), makan (x2 = 33.91; p<0.01; db = 11; N
= 1420), istirahat (x2 = 170.14; p<0.01; db = 11; N = 263), dan aktivitas
lainnya (x2 = 79.08; p<0.01; db = 11; N = 119).
0
20
40
60
80
100
Pe
rse
nta
se (
%)
Waktu Aktivitas
Foranging
Makan
Istirahat
Lain-lain
0
20
40
60
80
100
Pe
rse
nta
se (
%)
Waktu Aktivitas
Foranging
Makan
Istirahat
Lain-lain
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 63
Bulan Ketiga terdapat preferensi waktu aktivitas foraging (x2 =
108.02; p<0.01; db = 11; N = 158), istirahat (x2 = 81.88; p<0.01; db = 11;
N = 293), dan aktivitas lainnya (x2 = 56.72; p<0.01; db = 11; N = 116).
Namun pada bulan ketiga tidak ada preferensi waktu untuk aktivitas
makannya (x2 = 10.78; p<0.01; db = 11; N = 1501).
Gambar 4. Fluktuasi aktivitas harian rusa sambar di penangkaran
pada bulan Ketiga
Berdasarkan pengamatan menggunakan kamera trap pada malam
hari, menunjukkan bahwa rusa sambar juga beraktivitas pada malam hari.
Hal tersebut menunjukkan bahwa satwa ini adalah satwa nokturnal.
Menjelang petang aktivitasnya mulai meningkat dan mencapai puncak pada
sekitar pukul 12:00 dan selanjutnya menurun sampai menjelang pagi hari.
Rekapitulasi hanya dilakukan pada saat rusa tertangkap kamera karena
pergerakannya, sedangkan pada saat tidak tertangkap kamera diasumsikan
rusa sedang diam atau istirahat. Tingkat keaktivan rusa pada malam hari
tersaji pada Gambar 5.
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Pe
rse
nta
se (
%)
Waktu Aktivitas
Foranging
Makan
Istirahat
Lain-lain
64| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 5. Tingkat keaktifan rusa sambar pada malam hari di penangkaran
Menurut Semiadi, Muir, Barry, Veltman, dan Hodgson (1993) rusa
sambar di penangkaran dengan sistem enggembalaan aktif makan pada
malam hari (pukul 01.00–05.00), sore dan senja hari (pukul 17.00–21.00).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa alasan rusa sambar banyak beraktivitas
makan pada malam hari diperkirakan karena telah berevolusi terkait
mengurangi stress karena suhu di lingkungan tropis dan strategi pertahanan
dari ancaman pemangsa.
C. Pakan
Jenis pakan yang diberikan pada saat rusa masih dipelihara oleh
masyarakat adalah jenis dedaunan seperti kangkung, daun nangka, daun
lamtoro, daun nyawai, Homalantus sp., dan daun ubi jalar. Berdasarkan
informasi pemilik dan pengamatan yang dilakukan terlihat pakan daun
kangkung sangat disukai oleh rusa. Seringkali rusa diberi pakan makanan
yang sering dimakan oleh pemiliknya seperti nasi, pisang atau roti.Setelah
dilakukan introduksi ke penangkaran jenis pakan yang diberikan adalah
jenis dedaunan dan rumput. Jenis dan preferensi pakan yang diberikan
seperti pada Tabel Tabel 1.
Tabel 1. Preferensi pakan rusa sambar di Penangkaran KHDTK Samboja
No Jenis Komulatif pakan (g) Propor
si (pi) Log e (pi)
Nilai
Alfa Ket.
Awal (ni) Akhir (ei)
1 Mallotus sp 63,459 9,045 0.143 -1.953 0.128 disukai
2 Gmelina
arborea
5,600 850 0.152 -1.890 0.124 disukai
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 65
No Jenis Komulatif pakan (g) Propor
si (pi) Log e (pi)
Nilai
Alfa Ket.
Awal (ni) Akhir (ei)
3 Ficus sp. 80,750 13,500 0.167 -1.793 0.118 disukai
4 Vitex pinnata 16,050 2,850 0.178 -1.733 0.114 disukai
5 Ficus
variegate
33,129 7,767 0.234 -1.454 0.096 disukai
6 Leucaena
leucocephala
80,286 21,316 0.266 -1.329 0.087 disukai
7 Trema
tomentosa
69,650 22,500 0.323 -1.133 0.074 tidak disukai
8 Piper
aduncum
92,571 33,226 0.359 -1.027 0.068 tidak disukai
9 Brachiaria
humidicola
62,350 23,450 0.376 -0.980 0.064 tidak disukai
10 Penisetum
purpureum
32,500 16,050 0.494 -0.707 0.046 tidak disukai
11 Setaria
sphacelata
28,150 14,450 0.513 -0.668 0.044 tidak disukai
12 Paspalum
dilatatum
20,200 8,450 0.582 -0.543 0.036 tidak disukai
Jumlah 584,695 173,454 -15.210
Keterangan : 1/m = 0.083
Berdasarkan perhitungan indek preferensi Manly’s Alpha
menunjukkan bahwa 6 jenis pakan yang disukai oleh rusa adalah Mallotus
sp., Gmelina arborea, Ficus sp., Vitex pinnata (laban), Ficus variegata
(nyawai), dan Leucaena leucocephala (lamtoro). Semua jenis tersebut
adalah jenis daun-daunan.Empat jenis rumput yang diberikan memiliki
nilai preferensi empat terendah. Rusa sambar dari sub spesies brookei yang
hidup di Kalimantan, habitatnya adalah di hutan yang tajuknya
tertutup.Kondisi tersebut menyebabkan pakan yang tersedia adalah
dedaunan pohon-pohon kecil dan semak belukar. Hal ini berbeda dengan
rusa timor yang hidup di Pulau Jawa seperti di TN. Baluran dan TN. Alas
Purwo yang secara ekologi adalah grazes. Data ini menunjukkan bahwa
rusa sambar sesuai dengan kondisi alaminya yang hidup di hutan tertutup di
Kalimantan pada dasarnya adalah satwa browses.
Hasil penelitian Afzalani, Muthalib dan Musnandar (2008) di
penangkaran rusa sambar Taman Wisata Angsana Pematang Gajah Jambi
66| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
menunjukkan bahwa rusa sambar lebih memilih pakan daun dari jenis
Asystasia spp, dan rumput Hymenachne amplexicaulis, Axonopus
compresus dan Cynodon dactylon.
Konsumsi delapan jenis pakan berupa dedaunan cenderung
mengalami penurunan. Di sisi lain, meskipun keempat jenis rumput yang
diberikan adalah jenis yang tidak disukai, namun konsumsi rumput jenis
Paspalum dilatatum dan Setaria sphacelata mengalami peningkatan secara
polynomial. Grafik perubahan porsi jenis pakan yang dikonsumsi oleh rusa
sambar setelah dilakukan introduksi seperti tersaji pada Gambar 6.
y = -0.2544x2 + 3.4794x + 75.973
R² = 0.725 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pa
kan
di k
on
sum
si (
%)
Waktu (minggu)
Mallotus sp
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pa
kan
di k
on
sum
si (
%)
Waktu (minggu)
Gmelina arborea
y = -0.2287x2 + 2.9426x + 75.179
R² = 0.1168 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pa
kan
di k
on
sum
si
(%)
Waktu (minggu)
Ficus sp.
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pa
kan
di k
on
sum
si
(%)
Waktu (minggu)
Vitex pinnata
y = -0.4321x2 + 3.4431x + 73.043
R² = 0.7671
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pa
kan
di k
on
sum
si (
%)
Waktu (minggu)
Ficus variegata
y = -0.1144x2 - 0.778x + 81.43
R² = 0.682 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pa
kan
di k
on
sum
si (
%)
Waktu (minggu)
Leucaena leucocephala
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 67
Gambar 6. Grafik perubahan porsi jenis pakan yang dikonsumsi oleh rusa
sambar setelah dilakukan introduksi
Pengelolaan penangkaran yang baik adalah menerapkan kondisi
satwa sesuai atau mendekati kondisi alaminya, demikian juga dalam hal
penyediaan pakan. Pakan adalah hal terpenting dan paling menentukan
dalam keberhasilan kegiatan penangkaran. Penangkaran dengan system
intensif dimana pakan sepenuhnya disediakan dari luar, maka ketersediaan
pakan sepanjang waktu harus diperhatikan. Sebagai satwa browses,
peyediaan pakan rusa sambar di penangkaran dalam bentuk dedaunan
menemui beberapa kendala. Beberapa kendalanya adalah ketersediaannya
terbatas, akses untuk mendapatkannya lebih sulit karena harus masuk
hutan, produktifitas daun umumnya rendah dan relative lama untuk
dibudidayakan.
y = -0.6985x2 + 7.1551x + 51.335
R² = 0.1644 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pak
an
di k
on
sum
si (%
)
Waktu (minggu)
Trema tomentosa
y = 1.3718x2 - 17.168x + 106.31
R² = 0.6135 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10
Pa
kan
di k
on
sum
si
(%)
Waktu (minggu)
Piper aduncum
y = 0.1181x2 - 1.8329x + 68.636
R² = 0.0159 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pak
an d
i ko
nsu
msi
(%
)
Waktu (minggu)
Brachiaria humidicola
y = 0.1114x2 + 0.9547x + 40.155
R² = 0.6161 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pak
an d
i ko
nsu
msi
(%
)
Waktu (minggu)
Paspalum dilatatum
y = 0.5225x2 - 2.3611x + 38.233
R² = 0.751
0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pak
an d
i ko
nsu
msi
(%
)
Waktu (minggu)
Setaria sphacelata
y = -2.4544x2 + 30.578x - 26.879
R² = 0.5588 0
20
40
60
80
100
0 2 4 6 8 10 Pak
an d
i ko
nsu
msi
(%
)
Waktu (minggu)
Penisetum purpureum
68| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penggunaan pakan dari jenis rumput lebih mudah disediakan
sepanjang waktu daripada dedaunan, selain itu rumput dapat dikembangkan
dengan mudah, mudah ditanam dan produktivitasnya lebih tinggi.
Ketersediaan pakan secara terus menerus dan cukup perlu dilakukan
pembiasaan pada rusa sambar yang baru ditangkap dari alam atau
dipelihara masyarakat untuk mengkonsumsi baik jenis dedaunan maupun
rumput.
Penangkaran rusa umumnya menggunakan sumber pakan utama
jenis rumput sedangkan dedaunan digunakan sebagai pakan sisipan. Namun
kondisi inidisesuaikan dengan ketersediaannya di sekitar lokasi
penangkaran, jenis pakan apa yang mudah diperoleh dan tersedia sepanjang
waktu.
D. Kondisi Fisiologi
Pengamatan terhadap kondisi fisiologis rusa menunjukkan terdapat
perubahan perhitungan terhadap nafas dan nadinya seperti tersaji pada
Gambar 7.
Gambar 7. Pemantauan kondisi fisiologis rusa setelah introduksi
Perhitungan jumlah nafas cederung mengalami peningkatan secara
exponensial, sedangkan jumlah nadi/menit mengalami penurunan pada
beberapa minggu pertama dan mengalami peningkatan pada minggu
berikutnya. Hal ini dimungkinkan tingkat stress pada rusa setelah di
lakukan introduksi mulai menurun dan selanjutnya mulai naik kembali
untuk menuju stabil, namun demikian pemantauan lebih lanjut masih perlu
dilakukan.
y = 0.4656x2 - 7.1985x + 104.2 R² = 0.4055
y = 36.245e0.0234x R² = 0.2358
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII
Naf
as/N
adi (
kali/
me
nit
)
Pengamatan (Minggu ke-)
Series2
Series1
Nadi (Poly.)
Nafas (Expon.)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 69
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasildan pembahasan, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Terdapat trend perubahan proporsi aktivitas rusa sambar pada tiga bulan
pertama setelah introduksi, namun secara statistik perubahannya tidak
signifikan.
2. Terdapat preferensi waktu terdapat aktivitas selama tiga bulan pertama
setelah introduksi, kecuali pada aktivitas makan pada bulan ketiga.
3. Rusa sambar lebih menyukai jenis pakan dari dedaunan dibanding jenis
rumput selama tiga bulan pertama setelah introduksi. Namun konsumsi
dedaunan cenderung menurun, sedangkan konsumsi dua jenis rumput
(Paspalum dilatatum dan Setaria sphacelata) mengalami peningkatan.
4. Kondisi fisiologis rusa sambar sejak dilakukan introduksi mengalami
perubahan, sebagai salah satu upaya untuk beradaptasi untuk
menurunkan tingkat stress.
5. Terdapat keterbatasan dalam pengamatan pada malam hari, sehingga
data aktivitas malam hari tidak diamati secara langsung dan hanya
berdasarkan hasil rekaman kamera trap.
B. Saran
Perlu terus dilakukan penyesuaian pakan jenis rumput dengan
menambah porsi pemberiannya dibandingkan jenis dedaunan, karena
ketersediaannya di sekitar penangkaran mudah diperoleh dan
dibudidayakan.
Ucapan terima kasih
Terima kasih kepada Ahmad Gadang Pamungkas, S.Hut., M.Si. selaku
kepala Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, kepada
Sugiyanto, Teguh, dan Iman Suharja teknisi yang telah membantu dalam
pengumpulan data penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
70| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Afzalani, R. A. Muthalib, dan E. Musnandar. 2008. Preferensi Pakan,
Tingkah Laku Makan dan Kebutuhan Nutrien Rusa Sambar
(Cervus unicolor) dalam Usaha Penangkarandi Provinsi Jambi.
Media Peternakan 13(2):114-121.
Atmoko, T. 2007.Prospek dan Kendala Pengembangan Penangkaran Rusa
Sambar (Cervus unicolor brookei). Prosiding Seminar
Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan
Lestari, Balikpapan 31 Januari 2007. (Eds) K. Sidiyasa, M. Omon,
D. Setiabudi. Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa Primata.
Krebs, C.J. 1978. Ecological Methodology. Harper & Row Publishers. New
York.
Lawrie, R.A. and D.A. Ledward. 2006. Lawrie’s meat science. Seventh
edition. Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.
Leslie, D. M. 2010. Rusa unicolor (Artiodactyla: Cervidae). Mammalian
Species 43(871):1–30
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan
PemerintahRepublik Indonesia Nomor 7 tanggal 27 Januari 1999
tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Semiadi, G., Widarteti, Y. Jamal dan B. Brahmantiyo. 2008. Pemanfaatan
Rusa Sebagai Hewan Ternak. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner
Semiadi, G., P. D. Muir, T. N. Barry, C. J. Veltman, J. Hodgson.
1993.Grazing patterns of sambar deer (Cervus unicolor) and red
deer (Cervus elaphus) in captivity. New Zealand Journal of
Agricultural Research 36(2):253-260.
Setio, P. 2009. Teknik Penangkaran Rusa. Prosiding Gelar Teknologi
Hasil-Hasil Penelitian.IPTEK untuk Kesejahteraan Masyarakat
Belitung.Tanjung Pandan 11-12 Agustus 2009. (eds) S.A. Siran,
Kuntadi, Pratiwi, M. Turjaman.Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Pp. 113-142.
Siegel S. 1990.Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Suyuti Z,
Simatupang L, penerjemah. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Terjemahan dari: Nonparametric Statistics for The Behavioral
Sciences.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 71
Suzanna, E. & B. Masy'ud. 1991. Percobaan Pendahuluan Imobilisasi pada
Rusa Sambar (Cerus unicoior) dengan Menggunakan Ketalar
Kadaluwarsa di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Media
Konservasi 3 (2):72-76.
Takandjandji, M. 2007. Stres pada rusa timor (Cervus timorensis
timorensis Blainville) di penangkaran Oilsonbai, Nusa Tenggara
Timur. Info HutanIV(2): 123-129.
Timmins, R.J., R. Steinmetz, H. S. Baral, N.S. Kumar, J.W. Duckworth,
Md. A. Islam, B. Giman, S. Hedges, A.J. Lynam, J. Fellowes,
B.P.L. Chan & T. Evans. 2008. Rusa unicolor. In: IUCN 2012.
IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2.
<www.iucnredlist.org>. Downloaded on 25 January 2013.
72| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
EVALUASI POHON SERBAGUNA
HASIL REHABILITASI KAWASAN KONSERVASI
TAMAN NASIONAL MERUBETIRI, JAWA TIMUR
Sumarhani2)
dan Titiek Setyawati 2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Jln. Gunung Batu No. 5 Bogor.Telp. (0251) 8315222
Email: [email protected]
ABSTRAK
Masyarakat desa sekitar Taman Nasional Meru Betiri sejak lama
memanfaatkan kawasan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi hutan
TNMB yang tak bervegetasi akhir-akhir ini, tidak lepas dari kondisi sosial
ekonomi dan budaya masyarakat yang berada isekitarnya. Rehabilitasi hutan
yang telah dilakukan oleh pemerintah di zona rehabilitasi dengan jenis pohon
penghasil bukan kayu masyarakat mempunyai harapan terhadap hasil panen
tanaman pokok bukan kayu berupa buah, bunga, daun dan lainnya tanpa harus
menebang pohon. Tujuan penelitian untuk mengetahui perkembangan berbagai
jenis pohon hasil rehabilitasi di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri.
Penelitian di lakukan di blok Desa Andongrejo dan Curahnongko, Seksi
Konservasi Wilayah II Ambulu, Kabupaten Jember. Pengamatan vegetasi
pohon sistem jalur dilakukan dengan membuat 10 petak contoh masing-
masing berukuran1 0 m x 10 m..Semua pohon berdiameter setinggi dada (≥ 10
cm) yang berada di dalam petak cuplikan di ukur, di catat dan diidentifikasi
terhadap tanaman yang belum mengenal jenisnya. Data sosial ekonomi
masyarakat di tentukan secara purposive terhadap masyarakat yang melakukan
rehabilitasi di zona rehabilitasi TNMB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jenis pohon yang dikembangkan di zona rehabilitasi mempunyai rata-rata
kerapatan pohon 700 pohon/ha dengan diameter batang 27,78cm. Jenis-jenis
pohon tersebut adalah asam, durian, jambu biji, jengkol, kedawung, kemiri,
kepuh, pangi, mahoni, manga, nangka, nyamplung, petei, sriwikutil, putet.
Tanaman kedawung (Parkia roxburghii) memiliki indeksnilai penting yang
tertinggi (102,62 %), kemudian kepuh (Streculia foetida) INP = 40,57 % dan
nangka (Artocarpus heterophyllus) INP = 44,11%. Pendapatan masyarakat
dari zona rehabilitasi TNMB sebesar sebesar Rp 23.034.444.,-/th/haatau Rp
1.919.537,-/bl/ha.
Kata Kunci: Rehabilitasi, pohon serbaguna, pendapatan masyarakat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 73
I. PENDAHULUAN
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) adalah salah satu Taman
Nasional yang berada di wilayah ujung Jawa Timur bagian Selatan. Taman
Nasional ini memiliki berbagai fungsi strategis dalam melindungi sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya
hayati dan ekosistemnya. Keberadaan hutan di kawasan Taman Nasional
tersebut sangat besar sekali manfaatnya bagi masyarakat yang tinggal di
sekitarnya. Masyarakat sekitar TNMB telah sejak lama memanfaatkan
sumberdaya alam hayati dan kawasan/lahan untuk memenuhi kebutuhan
hidup.Bahkan pemanfaatan hasil hutan dan perambahan lahan terjadi secara
besar besaran hingga melebihi daya dukung kawasan.Sebagai akibatnya,
sebagian wilayah TNMB (ex hutan jati) rusak berat berubah fungsi menjadi
lahan pertanian.
Upaya rehabilitasi TNMB di zona rehabilitasi melalui kegiatan
penanaman, pengayaan dan pemeliharaan dengan spesies tumbuhan asli
setempat telah dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat dan
difasilitasi awalnya oleh Institut Pertanian Bogor, kemudian dilanjutkan
oleh LSM KAIL. Pola penanaman yang dilakukan menerapkan sistem
agroforestry yaitu kombinasi pohon hutan dengan pohon penghasil buah.
Raintree dalam Hairiah K., Sardjono M.A dan Sarnurdin S.,(2003),
menyebutkan terdapat dua keuntungan dalam sistem agroforestry yaitu
membantu pendapatan masyarakat dan menciptakan iklim mikro.
Tingkat keberhasilan rehabilitasi kawasan konservasi TNMB di
zona rehabilitasi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya kesejahteraan
masyarakat di sekitar kawasan dan pemahaman serta kesadaran masyarakat
terhadap kegiaa rehabilitasi (Purwaningsih, 2006). Hal ini dikarena jika
kondisi ekonomi masyarakat sekitar kawasan membaikdan diikuti
pemahaman masyarakat akan pentingnya kawasan konservasi, maka
diharapkan tekanan masyarakat terhadap kawasan berkurang. Kegiatan
rehabilitasi TNMB sudah berjalan kurang lebih selama 13 tahun, namun
belum ada evaluasi hasil rehabilitasi dan peningkatan pendapatan
masyarakat
74| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tulisan ini bertujuan memberikan informasi hasil rehabiitasi
TNMB di zona rehabilitasiyang telah dilakukan sekitar 13 tahun lalu dan
pendapatan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi.
II. METODOLOGI
A. Waktu dan lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014, di kawasan
hutan Taman Nasional Meru Betiri yaitu pada zona rehabilitasi, Resort
Andongrejo, Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu, Jember. Selain di
kawasan hutan, penelitian juga dilakukan di desa yang berbatasan langsung
dengan TNMB yaitu Desa Curahnongko dan Andongrejo, Kecamatan
Tempungrejo, Kabupaten Jember.
B. Metode Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data pimer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dilapangan
(observasi) terhadap vegetasi hasil rehabilitasi. Di buat petak contoh 10 m
x 10 m sebanyak 10 ulangan mengikuti transek. Semua vegetasi tingkat
pohon yang berada dalam petak contoh dicacah dan diidentifikasi. Data
primer yang lain yaitu wawancara, dilakukan secara semi tersruktur dengan
menggunakan kuisioner. Penentuan responden secara purposive random
sampling yaitu secara acak terhadap masyarakat yang terlibat dalam
kegiatan rehabilitasi. Jumlah responden tiap desa sebanyak 15 responden,
sehingga keseluruhan terdapat 30 responden.
C. Analisis Data
Data vegetasi hasil rehabilitasi ditabulasi dan analisis.Untuk
menentukan spesies-spesies penting dalam komunitas dari seluruh tegakan
di petak cuplikan, maka digunakan indeks nilai penting (INP) (Mueller-
Dombois & Ellenberg, 1974). INP adalah jumlah antara kerapatan relatif
(KR), dominansi relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR); formulanya adalah
INP = KR+ DR + FR.Untuk mengukur stabilitas komunitas yaitu
kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 75
ada gangguan terhadap komponen-komponennya, maka dihitung Indeks
keragaman (H’) menurut Shannon dengan rumus : (Misra, 1980).
H = - Ʃ {(n.i/N) log (n.i/N)}
Keterangan:
H = indeks Shannon = Indeks keanekaragaman Shannon; n.i = nilai
penting; N = total nilai penting
Data hasil wawancara ditabulasi dan dianalisis secara diskrptif kuanitatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan TNMB secara administratif terletak di dua Kabupaten
yaitu Jember dan Banyuwangi. Kawasan hutan Meru Betiri mulanya
berstatus sebagai hutan lindung, kemudian berubah Suaka Margasatwa
karena untuk melindungi harimau jawa dan beberapa jenis penyu dan
burung. Perkembangan berikutnya Suaka Margasatwa yang luasnya 58.000
ha ditunjuk sebagai Taman Nasional Meru Betiri. Hal ini agar kawasan
menjadi terbuka bagi kegiatan penelitian, pendidikan, pelatihan, penunjang
budaya, wisata lingkungan dan rekreasi. Kini kawasan hutan Meru Betiri
tidak lagi hanya bermanfaat sebagai perlindungan dan pengawetan flora
dan fauna melainkan juga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat. TNMB dikenal sebagai hutan tropis dataran rendah, memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, diantaranya berbagai jenis tumbuhan
yang bermanfaatsebagai obat. TNMB ini juga merupakan habitat tumbuhan
langkabunga rafles (Rafflesia zollingeriana), habitat terakhir jenis satwa
harimau jawa (Pantheratigris sondaica), serta beberapa jenis burung dan
penyu.Potensi TNMB lainnya yang tidak kalah penting dan menarik untuk
dikunjungi adalah obyek wisata alam.
Taman Nasional tidak dapat lepas dari keberadaan desa-desa di
sekitar kawasan termasuk masyarakatnya baik yang ada di dalam kawasan
maupun yang disekitar kawasan. Hubungan T.N Meru Betiri dengan
masyarakat sama halnya dengan kondisi TN lain yang ada di Indonesia,
76| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
memberikan kontribusi negatif terhadap keberadaan keanekaragaman
hayati di Taman Nasional. Kerusakan flora dan fauna yang melanda TN
Meru Betiri ini, tidak lepas dari kondisi daya dukung lingkungan, sosial
ekonomi dan budaya masyarakat yang berada disekitarnya telah mengalami
degradasi. Secara geografis terdapat 12 (dua belas) desa yang berada
disekitar TN Meru Betiri, yaitu : 8 (delapan) desa dari 2 (dua) kecamatan
terletak di Kabupaten Jember dan 4 (empat) desa dari 2 (dua) kecamatan
terletak di Kabupaten Banyuwangi
Masyarakat di desa-desa sekitar TNMB sebagian besar petani baik
sebagai pemilik lahan, penggarap maupun buruh tani. Hampir semua
masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan kawasan TNMB
terlibat dalam kegiatan rehabilitasi yaitu di zona pemanfaatan. Dengan
diperbolehkannya masyarakat mengelola lahan di zona pemanfaatan
melalui rehabilitasi dengan jenis pohon asli setempat penghasil buah
menciptakan masyarakat peduli akan keamanan kawasan. Mac. Kinon
(1990), mengemukakan bahwa keberhasilan pengelolaan kawasan
tergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada
kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitarnya.
B. Jenis Tanaman Hasil Rehabilitasi
Rehabilitasi kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri telah
dilakukan sejak tahun 2003 diawali dengan kegiatan identifikasi kawasan
yang rusak, identifikasi kondisi soial ekonomi masyarakat sekitar kawasan,
sosialisasi rehabilitasi, pembentukan kelompok tani dan penanaman
berbagai jenis pohon asli setempat. Sebagai kawasan konservasi,
pengelolaan Taman Nasional Maru Betiri tidak diperkenankan adanya
kegiatan yang dapat merubah bentang alam. Rehabilitasi kawasan TNMB
yang dilakukan petani mereka banyak pohon penghasil buah, sedangkan
pohon hutan kurang diminati petani. Hasil analisis vegetasi
memperlihatkan bahwa rata-rata kerapatan pohon di zona rehabilitasi
wilayah Desa Andongrejo sebesar 810 pohon/ha dengan diameter batang
25,88 cm. Kerapatan pohon hasil rehabilitasi di wilayah Desa Curahnongko
sebesar 700 pohon/ha dengan diameter batang 27,78 cm. Untuk mengetahui
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 77
secara rinci hasil analisis vegetasi di kedua blok rehabilitasi wilayah Desa
Andongrejo dan Curahnongko dapat di lihat pada Tabel 1.
Jenis pohon yang banyak di tanam di zona rehabilitasi TNMB oleh
masyarakat penggarap adalah pohon penghasil buah, sedangkan pohon
hutan tidak banyak ditemukan kecuali mahoni merupakan sisa-sisa hutan
produksi yang pernah dikelola oleh Perum Perhutani sebelum perluasan
kawasan konservasi TN Meru Betiri. Berbagai jenis pohon yang tumbuh di
zona rehabilitasi (Tabel 1), tanaman kedawung (Parkia roxburghii)
merupakan jenis yang paling dominan baik di wilayah Desa Andongsari
maupun Curahnongko dengan indeks nilai penting (INP) hampir sama yaitu
102 %, Vegetasi yang dominan setelah kedawung di desa Andongsari
adalah mahoni (Swietenia macrophylla) dengan INP 40,73 % dan kepuh
(Streculia foetida) dengan INP 40,57 %. Sedangkan vegetasi yang dominan
di wilayah Desa Curahnongko adalah mangga (Mangifera indica ) dengan
INP 35,68 % dan asam (Tamarindus indica) dengan INP 31,54 %. Pohon
kedawung merupakan jenis pohon serbaguna yang banyak manfaatnya dan
mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Tabel 1. Data vegetasi hasil rehabilitasi di wilayah desa Andongrejo dan
desa Curahnongko
Nama
lokal
Nama
ilmiah Famili
Desa Andongrejo Desa Curahnongko
DR
(%)
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
DR
(%)
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
Asam Tama
rindus
indica
Legu
minosae
4.25 6.59 7.89 18.74 9.15 9.23 13.16 31.54
Jabon Antho
cepha lus
cadamba
Rubia
ceae
2.63 1.10 2.63 6.36 - - - -
Jambu biji
Psidium guajava
Myrta ceae
- - - - 4.90 4.62 2.63 12.14
Keda
wung
Parkia
roxbur ghii
Faba
ceae
45.31 36.26 21.05 102.62 55.42 26.15 21.05 102.63
Kemiri Aleurites
moluc cana
Euphor
biaceae
3.85 3.30 7.89 15.04 5.09 3.08 5.26 13.43
Kepuh Streculia
foetida
Stercu
liaceae
6.33 13.19 21.05 40.57 2.87 9.23 10.53 22.63
Kluwek Pangium Stercu 1.69 1.10 2.63 5.42 - - - -
78| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Nama
lokal
Nama
ilmiah Famili
Desa Andongrejo Desa Curahnongko
DR
(%)
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
DR
(%)
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
edule liaceae
Mahoni Swiete nia macro
phylla
Melia ceae
18.55 14.29 7.89 40.73 - - - -
Mangga Mangifera indica
Anacar diaceae
0.29 1.10 2.63 4.02 6.05 13.85 15.79 35.68
Nangka Artocar
pus
integra
Mora
eae
1.07 3.30 5.26 9.63 11.39 16.92 15.79 44.11
Nyam
plung
Calop
hyllum
inophy llum
Clusia
ceae
8.07 12.09 10.53 30.68 - - - -
Pete Parkia
speciosa
Mimo
saceae
0.53 2.20 2.63 5.36 5.13 16.92 15.79 37.84
Putat Planc honia
vanida
Leciti daceae
6.86 4.40 5.26 16.52 - - - -
Sriwil
kutil
Ptero cym
sp
Stercu
liaceae
0.57 1.10 2.63 4.30 - - - -
Beberapa manfaat kedawung, buah muda untuk disayur, bijinya
untuk bahan ramuan obat sakit perut,jantung, diare, kolera radang usus dan
demam. Heriyanto, dkk. (2005), melaporkan penyebaran kedawung pada
berbagai ketinggian tempat hamper merata. Hasil persemaian biji
kedawung memberikan persen hidup yang cukup tinggi di atas 90 %.Dari
keterangan di atas memperlihatkan bahwa kedawung memang mempunyai
regenerasi yang cukup baik, maka wajar jika kedawung merupakan
vegetasi pohon yang dominan di lokasi penelitian.
C. Keanekaragamanjenis
Keanekaragaman merupakan kombinasi dari jumlah jenis
penyusun suatu komunitas atau kekayaan jenis (richness) dan jumlah
individu pada masing-masing jenis atau kemerataan (evenness).
Selanjutnya Suheriyanto (2008), memperkuat dengan menyatakan bahwa
indeks keanekaragaman jenis tergantung dari kekayaan jenis dan
kemerataan jenis. Hasil rehabilitasi di zona rehabilitasi TNMB wilayah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 79
Desa Andongrejo dan Curahnongko memiliki indeks keanekaragaman kecil
atau rendah yaitu kurang dari 1. Nilai keragaman memiliki batasan 1 ≤ H
≤ 3 yang menurut Fachrul (2007), keanekaragaman identik dengan
kestabilan suatu ekosistem, jika keanekaragaman suatu ekosistem tinggi,
maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Sebaliknya jika indeks
keanekaragaman rendah seperti di ke dua lokasi penelitian rendah yaitu < 1
maka kondisi ekosistem tidak stabil.
Hasil analisis keanekaragaman vegetasi wilayah Desa Andongrejo
dan Curahnongko dapat di lihat pada Tabel 2.
Tabel2. Keanekaragaman jenis hasil rehabilitasi di zona rehabilitasiTNMB
Blok Desa 1 2 3 4 6 7 8 9 10
Andongrejo 0.413 0.678 0.452 0.579 0.415 0.579 0.574 0.736 0.415
Curahnongko 0.164 0.688 0.423 0.649 0.206 0.507 0.673 0.553 0.649
Hasil analisis keragaman memperlihatkan bahwa angka keragaman di
kedua desa lokasi penelitian tersebut belum mencerminkan kestabilan
suatu ekosistem, karena masih di bawah angka 1.Keanekaragaman juga
dipergunakan untuk mengetahuipengaruh faktor lingkungan abiotik
terhadap komunitas. (Fachrul, 2007). Faktor iklim, seperti curah hujan
sangat merpengaruhi pertumbuhan tanaman. Iklim di TN MeruBetiri
tergolong kering (type iklim C) karena itu jika musim panas terlalu panjang
sehingga banyak tanaman yang mati karena kekeringan. Disamping itu
banyak masyarakat keluar masuk kawasan mencari kayu bakar, pakan
ternak dan buah hasil rehabilitasi dapat mengganggu tanaman yang sudah
jadi. Kestabilan ekosisem TNMB selain dipengaruhi oleh faktor abiotik
seperti tersebut di atas, faktor biotik juga tidak kalah penting untuk
menjaga kelestarian fungi kawasan konservasi TNMB.
Latar belakang pendidikan masyarakat sekitar kawasan yang masih
tergolong rendah, dan tingkat ketergantungan terhadap hasil hutan juga
masih tinggi, maka hal ini untuk menjaga kestabilan ekosistem kawasan
diperlukan pembinaan dan sosialisasi kepada masyarakat akan arti penting
kawasan konservasi. Selain itu harus juga dilakukan kegiatan secara nyata
kepada masyarakat untul menciptakan lapangan kerja baru seperti
80| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pembuatan jamu tradisional, bertani, beternak di luar taman nasional,
sehingga sedikit demi sedikit ketergantungan terhadap kawasan berkurang.
D. Manfaat Hasil Rehabilitasi Bagi Masyarakat
Kegiatan rehabilitasi hutan diharapkan dapat memberikan
kotribusi bagi kesejahteraan masyarakat melalui pola tanaman campuran
pohon penghasil buah, bunga dengan jenis asli setempat. Petani menggarap
lahan di areal rehabilitasi dengan menanam dan memelihara tanaman
pokok dengan system tumpangsari. Selanjutnya hasil dari tanaman pokok
(buah) dan tanaman tumpangsari dimanfaatkan seluruhnya oleh petani.
Rata-rata pendapatan masyarakat peserta rehabilitasi dari hasil panen
tanaman dalam kawasan berupa petei, manga, durian, padi, jagung, kacang
tanah, kacang hijau dan pisang adalah sebesar Rp 23.034.444.,-/th/haatau
Rp 1.919.537,-/bl/ha. Jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional
(UMR) untuk Kabupaten Jember sebesar Rp 1.270.000,-/ bulan. Rata-rata
pendapatan masyarakat dari hasil usahatani dalam kawasan cukup baik
yaitu di atas UMR Kabupaten Jember.
Hasil tumpangsari tanaman pangan dibawah tegakan pohon hutan
berupa padi dan sayuran umumnya dimanfaatkan sendiri untuk keperluan
rumah tangga petani. Tanaman sela yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
dan banyak diusahakan petani adalah tanaman peje (Pueraria javanica),
selain bijinya yang mempunyai harga jual tinggi (Rp 50.000,-/kg), daun
dari tanaman peje baik sekali untuk pakan ternak. Pueraria javanica
merupakan tanaman leguminoceae yang mampu menghasilkan bahan
organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau (Gambar 1).
Gambar 1.Tanaman peje (Pueraria
javanica)
Gambar 2. Zona rehabilitasi TNMeru
Betiri
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 81
Penanaman peje di lahan-lahan yang terdegradasi sangat cocok
karena tanaman ini menghasilkan bintil akar yang dapat mengikat nitrogen
bebas, selanjutnya dapat menyuburkan tanah dan cocok untuk rehabilitasi
TNMB (Gambar 2).
Pendapatan petani selain dari usahatani dalam kawasan TNMB
juga di peroleh dari hasil ternak (sapi, kambing). Hampir seluruh
masyarakat yang tinggal disekitar kawasan memiliki ternak sapi 1 – 2
ekor/KK. Nilai jual sapi rata-rata umur 2 thn dapat mencapai Rp
15.000.000,-- Rp 17.500.000,- per ekor.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan dan Keterbatasan
Kondisi vegetasi hasil rehabilitasi di zona rehabilitasi Taman
Nasional Meru Betiri yaitu di wilayah Desa Andongrejo terdapat kerapatan
pohon sebesar 800 pohon/ha dan di Desa Curahnongko kerapatan pohon
700 pohon /ha. Keramagaman vegetasi di kedua wilayah desa tergolong
rendah (≤ 1) atau keragaman vegetasi di Desa Andongrejo 0.5187 dan
keragaman vegetasi di desa Curahnongko 0.4777. Rata-rata pendapatan
masyarakat dari dalam kawasan TNMB sebesar Rp 23,034,444.44/thn/ha.
Dapat disimpulkan bahwa kerapatan vegetasi hasil rehabilitasi di TNMB
pada Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko menunjukkan populasi yang
optimal, meskipun pada tingkat keanekaragaman masih relatif rendah.
B. Saran
Untuk meningkatkan kestabilan ekosistem kawasan TNMB upaya
rehabilitasi melalui pengayaan berbagai jenis pohon perlu ditingkatkan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada GEF Melalui Proyek
Penelitian “Removing Barrier to Invasive Species Management in
Production and Protection Forest in South East Asia – Indonesia Program
(FORIS INDONESIA)” yang telah mendanai kegiatan penelitian ini
bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi.
82| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
DAFTAR PUSTAKA
Fachrul, N.F. 2007.Metode Sampling Bioekogi. Bumi Aksara Jakarta
Hairiah K., Sardjono M.A, Sarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestry.
Bahan Ajar I. Bogor. World Agrforestry Centre (ICRAF)
Heriyanto, N.M. dan Zuraidah.2005. Kajian Beberapa Aspek Ekologi
Pohon Kedawung (Parkia roxburghii) Di Taman Nasional meru
Betiri, Jawa Timur.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi alam.
Vol II. No 2: 157-166
Mac Kinon, G. Child; dan Thorsell, J.1990. Pengelolaan Kawasan Yang
Dilindungi di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press.
Misra, K.C. 1980. Manual of Plant Ecology.Second Edition. Oxford & IBH
Publishing Co., New Delhi.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of
Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York, London.
Purwaningsih. 2006. Sudi Manfaat Kegiatan Rehailitasi Dalam
Peningkatan Pendapatan Masyarakat Dan Reduksi Gangguan
Terhadap Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (Skrpsi). Institut
Pertanian Bogor.
Sahri Maida sinaga. 2013. Manfaat Agroforestry Bagi Masyarakat di Zona
Rehabiliasi Taman Nasional Meru Betiri. (Skripsi). Instiut Pertanian Bogor.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 83
TEKNIK PRODUKSI BIBIT DAN PENANAMAN
ROTAN (Calamus sp.) DI KALIMANTAN SELATAN
Sudin Panjaitan
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan
Email : [email protected], [email protected]
HP. 082155665656
ABSTRAK
Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia dimana sebesar 85 % rotan
ekspor dunia berasal dari Indonesia. Pengembangan industri rotan saat ini
cenderung menurun sebab sebesar 90 % bahan baku industri berasal dari rotan
alam. Dengan menurunnya produktifitas rotan alam tersebut, maka perlu
dikuasai teknik silvikultur rotan mulai dari seleksi biji/benih, produksi bibit,
teknik penanaman dan pemeliharaan. Tulisan ini membahas teknik produksi
bibit dan teknik penanaman dilapangan dan pemeliharaan, sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman rotan. Tujuannya adalah agar penanaman
dilakukan pada tapak yang tepat dengan menggunakan metode rumpang
(“gaps”).
Kata kunci : Teknik, produksi, penanaman, rotan, Kalimantan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rotan dalam dunia perdagangan umumnya disebut ”Rattan” yaitu
merupakan tumbuhan khas daerah tropika. Rotan merupakan salah satu
jenis komoditi hasil hutan non kayu terpenting yang memiliki potensi
cukup tinggi dan menduduki posisi strategis dalam dunia perdagangan di
Indonesia baik sebagai sumber devisa maupun maupun untuk kesejahteraan
masyarakat di sekitar hutan. Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen
rotan terutama di dunia (Manokaran, 1984) dimana diperkirakan sekitar 85
% kebutuhan rotan dunia berasal dari Indonesia. Produk rotan Indonesia di
pasaran Internasional sampai saat ini tidak memiliki pesaing yang sangat
berarti, dengan demikian permintaan rotan dunia terus meningkat setiap
tahunnya (Januminro, 2000).
Wirjodarmodjo, Mulyadi dan Butar-Butar (1986) dalam Hoyhtya,
Panjaitan dan Rusmana (1997) mengatakan bahwa luas rotan alam
84| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Indonesia kurang lebih 13.20 juta hektar yang tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan propinsi lainnya. Rotan yang dipungut sampai
saat ini kebanyakan berasal dari hutan alam dan hanya sebagian kecil yang
berasal dari rotan tanaman rakyat. Sudah tentu bila hal ini dibiarkan terus
menerus tanpa adanya usaha budidaya penanaman, maka dikhawatirkan
pasokan bahan baku industri di dalam negeri maupun ekspor akan
mengalami kendala. Data menunjukkan bahwa produksi rotan di Indonesia
mengalami penurunan yang cukup drastis dari tahun ke tahun. Misalnya
saja tahun 1986/1987 produksi rotan mencapai 90.000 ton dan tahun
1998/1999 produksi rotan hanya mencapai 17.000 ton (Kantor Wilayah
Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Di Kalimantan Selatan,
produksi rotan manau pada tahun 1998 mencapai 18.000 batang dan tahun
1999 turun menjadi 2.446 batang (Dinas Kehutanan Propinsi Dati I
Kalimantan Selatan, 1999).
Jenis-jenis rotan yang di panen pada umumnya terdiri dari dua
golongan (Alrasyid, 1980) yakni :
1. Rotan berdiameter besar (diameter > 2,5 cm) diantaranya jenis manau,
semambu, tohiti yang terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
2. Rotan berdiameter kecil (diameter < 2,5 cm antara lain rotan sega, irit
dan cacing yang terdapat diseluruh Indonesia.
Jenis rotan yang termasuk jenis niagawi relatif sedikit diantaranya :
rotan sega (Calamus caesius), rotan irit (Calamus trachycoleus), rotan
manau (Calamus manan), dan rotan semambu (Calamus scipionum). Jenis-
jenis tersebut direkomendasikan untuk ditanam dan dikembangkan
(Alrasyid, 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa jenis rotan yang tumbuh di
Kalimantan tidak kurang dari 22 jenis yaitu marga Calamus 13 jenis,
Daemonorops 3 jenis, Korthalsia 5 jenis dan Pletocomiopsis 1 jenis. Dari
jumlah tersebut yang banyak dibudidayakan adalah rotan sega/taman dan
rotan irit.
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah
mengembangkan budidaya rotan secara berkesinambungan/lestari dengan
bantuan dana dari ITTO, namun dengan semakin meningkatkan kebutuhan
akan rotan baik dalam negeri maupun ekspor, maka perlu segera dilakukan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 85
budidaya secara luas, sehingga kebutuhan bahan baku industri rotan dunia
dapat dipenuhi.
Pengembangan tanaman rotan jenis niagawi di Indonesia khususnya
di Kalimantan perlu didukung oleh pengetahuan dan penguasaan silvikultur
rotan yang dimulai dari teknik pengunduhan benih/buah, penyemaian,
teknik persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman hingga teknik
pemanenan/produksi. Status pengetahuan dan silvikultur rotan di
Kalimantan Selatan dibahas dalam tulisan ini dengan harapan dapat
diaplikasikan dalam peningkatan luas tanaman rotan khususnya yang
tergolong niagawi, sehingga produksi rotan meningkat.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai bahan acuan dalam
rangka pengembangan budidaya rotan, sehingga lestari jenisnya dan lestari
produksinya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri
baik ekspor maupun dalam negeri serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat terutama masyarakat di sekitar hutan.
II. SIFAT BOTANIS DAN DAERAH PENYEBARAN ROTAN
Rotan yang terdapat di seluruh dunia terdiri dari 13 genera dengan
600 jenis. Sekitar 8 genera dan 350 jenis terdapat di Indonersia (Silitonga,
Prahasto, Priasukmana, 1993). Dari jumlah tersebut sekitar 150 jenis telah
diidentifikasi dengan baik (Dransfield dan Manokaran, 1993). Lebih jauh
lagi, Indonesia telah menguasai sekitar 80 % rotan asalan dan 90 % rotan
setengah jadi pasar internasional (Silitonga, 1986 ; Silitonga, et.al., 1993).
Rotan di dalam dunia perdagangan disebut ”rattan”, termasuk famili
Palmae dan sebagian lagi termasuk famili Thypaceae, yaitu jenis
Freycinetia javaneinsis Bl. Genera yang termasuk famili Palmae
diantaranya yaitu : Calamus, Daemonorops, Korthalsia, Ceratolobus,
Myrialepis, Plectocomia dan Plectocomiopsis.
Djajapertjunda dan Abidin (1973) mengatakan bahwa jenis-jenis
rotan yang terdapat di Indonesia diperkirakan sekitar 300 jenis, yang telah
teridentifikasi sebanyak 150 jenis dan diperdagangkan terdiri 50 jenis.
Jenis-jenis rotan yang diperdagangkan, disajikan pada Tabel 1 berikut.
86| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tabel 1. Nama-nama rotan yang diperdagangkan
No. Nama jenis Nama botanis
1. Rotan sega, sege, taman Calamus caesius Bl.
2. Rotan irit Calamus trachycoleus Becc.
3. Rotan manau Calamus manan Miq.
4. Rotan semambu Calamus scipionum Lour.
5. Rotan tohiti Calamus inop Becc.
6. Rotan koboo Frecinetia javanensia Bl.
Manokaran (1979) menyebutkan umumnya bentuk dan sifat rotan
dapat dibedakan berdasarkan jumlah batang per rumpun, sistem perakaran,
bentuk alat pemanjat, bentuk perkembangan daun, bunga dan buah. Jumlah
batang per rumpun bervariasi tergantung jenisnya ada yang berbatang
tunggal (”soliter”) dan ada yang berkelompok/berumpun (”cluster”). Jenis
rotan yang termasuk berbatang tunggal diantaranya : Calamus manan
(rotan manau), Calamus pallidulus dan Calamus tumindus, sedangkan jenis
yang termasuk berkelompok antara lain yaitu : Calamus caesius (rotan
taman/.sega), Calamus trachycoleus (rotan irit) dan hampir semua jenis
dari genus Ceratolobus dan Korthalsia.
Rotan tumbuh dan berkembang terutama pada daerah tropis,
berawa, tanah kering, dataran rendah dan pegunungan. Umumnya rotan
dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, terkecuali jenis rotan irit (C.
trachycoleus) yang menghendaki tanah alluvial agak lembab sampai basah
dan berair (Direktorat Rebioisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1983).
Dransfield (1974) mengemukakan bahwa daerah penyebaran rotan
meliputi Afrika Barat, Indocina, Thailand, India, Fiji, Malaysia, Filipina,
Indonesia dan Australia. Di Indonesia secara alami, rotan dapat tumbuh
hampir di semua pulau yang memiliki hutan alam dan sebagian lagi
ditanam di aeral perkebunan rakyat yang dimulai dari pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi sampai Irian Jaya. Di Sumatera terdapat
terutama di daerah Lampung, Jambi, Bangka, Belitung, Riau, Sumatera
Barat dan Tengah. Di Kalimantan hampir seluruh pulau Kalimantan. Di
Nusa Tenggara terutama di Pulau Sumbawa. Di Sulawesi terutama di
sekitar daerah Kendari, Kolaka, Towuti, Donggala, Gorontalo, Poso,
Palopo, Buton dan pegunungan Latimojong. Di Sumatera pada umumnya
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 87
ditemukan jenis rotan niagawi seperti rotan manau, rotan sega dan
semambu. Di Kalimantan ditemukan jenis rotan sega/taman, manau,
semambu, irit dan koboo, sedangkan di Sulawesi ditemukan jenis rotan
tohiti.
Anonim (1993); Mogea (1989); Alrasjid (1989); Dransfields dan
Manokaran (1996) mengatakan bahwa untuk mengetahui daerah
penyebaran dan jenis-jenis rotan yang tergolong komersial (niagawi) di
propinsi seluruh Indonesia, disajikan pada Lampiran 1. Penyebaran jenis
rotan yang tumbuh diberbagai wilayah di Indonesia, dapat dilihat pada
Lampiran 2. Sedangkan Data produksi tiap-tiap daerah penghasil rotan
tebang lestari di 20 wilayah potensial di Indonesia (Gunawan, 2002),
disajikan pada Lampiran 3.
III. HASIL PENELITIAN ROTAN
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan pengalaman
penulisdi lapangan tentang teknik budidaya rotan. Berdasarkan hasil
inventarisasi rotan yang dilakukan di Sumpol, Kalimantan Selatan pada
ketinggian 50 – 200 m di atas permukaan laut (dpl.). Dengan membuat plot
pengamatan lebar jalur 20 m dan panjang jalur 1000 m. Ditemukan 19
jenis rotan, di tampilkan pada Tabel 2 (Panjaitan, 1999) yaitu :
Tabel 2. Jenis, Kerapatan dan potensi rotan di Sumpol, Kalimantan Selatan
No. Nama lokal Nama botani Kerapatan (rumpun/hektar)
1. Manau xx
Calamus manan 9.1
2. Sega C. caesius 0.5
3. Gelang C. polytachys 25.3
4. Lilin gunung Daemonorops sp. 6.2
5. Lilin pantai Daemonorops sp. 0.7
6. Lilin Calamus sp. 1.2
7. Sapit udang Korthalsia sp. 0.1
8. Sempurut Calamus sp. 15.5
9. Tuhu xx
............... (?) 17.9
10. Ilatung Daemonorops sp. 1.4
11. Minung oo
Calamus sp. 0.8
12. Dahanan Korthalsia sp. 3.6
13. Tunggal C. mucronatus 4.5
88| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No. Nama lokal Nama botani Kerapatan (rumpun/hektar)
14. Raah ................(?) 0.5
15. Aas/Ahas Korthalsia sp. 0.4
16. Getah Daemonorops sp. 6.4
17. Jernang Daemonorops sp. 1.5
18. Biawanan .................(?) 2.4
19. Pilak Daemonorops sp. 15.4
Dari semua jenis tersebut di atas yang terkenal di pasaran adalah
nomor urut 1 sampai dengan nomor 8, sedangkan jenis lainnya belum
cukup dikenal. Rotan manau dan rotan tuhu termasuk rotan soliter
(berbatang tunggal). Jenis-jenis rotan yang tumbuh di Kalimantan Tengah
(Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah,1979) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis-jenis rotan yang tumbuh di Kalimantan Tengah
No. Nama jenis Nama botanis
1. Rotan irit Calamus trachycoleus Becc.
2. Rotan sega/taman Calamus caesius
3. Rotan manau Calamus manan Miq.
4. Rotan semambu Calamus scipionum Lour.
5. Rotan getah Daemonorops crinatus Bl.
6. Rotan Ahas Korthalsia sp.
7. Rotan ilatung Daemonorops hallerieriana Becc.
8. Rotan bulu Daemonorops miccracartha Becc.
9. Rotan mambalan Daemonorops mirabilis Mart. Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Tengah, 1979
Alrasjid (1980) mengemukakan bahwa penyebaran jenis rotan
tergantung pada keadaan tempat tumbuhnya. Di Kalimantan Selatan
penyebaran jenis rotan menurut keadaan tempat tumbuhnya yaitu :
1. Rotan ahas, terdapat pada tanah berawa dalam, selalu tergenang air dan
tanah berawa sedang yang kadang-kadang becek sesuai dengan keadaan
pasang surut.
2. Rotan taman dan irit terdapat pada tanah yang dipengaruhi pasang surut
akan tetapi dapat tumbuh pada lahan kering dan biasanya tanahnya
dapat digunakan untuk ladang.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 89
3. Rotan inum dan ilatung terdapat pada daerah yang tinggi yang tidak
dipengaruhi pasang surut.
4. Rotan manau terdapat pada daerah dataran tinggi, berbukit dan
pegunungan yang mempunyai kelerengan relatif curam.
Rotan sega menghendaki daerah yang bebas dari genangan air. Rotan
irit menghendaki tanah aluvial dan tumbuh di dataran rendah, di tempat
basah sampai tergenang air selama beberapa bulan, sebab jenis rotan ini
mempunyai akar rimpang atau sulur yang lebih panjang jika dibandingkan
dengan rotan sega. Jenis rotan irit tahan terhadap genangan air selama 3
bulan, asal saja tinggi air tidak melebihi panjang akar rimpangnya
(Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi lahan, 1983).
Pada umumnya rotan irit dapat tumbuh dengan baik di daerah basah
atau setengah basah dengan penutupan tajuk yang agak jarang. Di daerah
terbuka, anakan alam dapat tumbuh akan tetapi pertumbuhannya sangat
lambat dibandingkan dengan yang tumbuh di bawah naungan (Nainggolan,
1986). Berdasarkan ketinggian tempat, rotan sega/taman dan irit termasuk
jenis rotan yang tumbuh di bawah ketinggian tempat 300 m dpl. (Alrasjid,
1980).
Mikroklimat tiap-tiap jenis rotan, disajikan pada Tabel 4 (Panjaitan,
1991) yaitu :
Tabel 4. Kondisi mikroklimat jenis-jenis rotan Kondisi mikroklimat
No Nama lokal Rumpang
besar (%)
Rumpang
kecil (%)
Kanopi
terang
(%)
Kanopi
gelap
(%)
1. Rotan manau 18 22 40 20
2. R. sega/taman 14 58 14 14
3. R. gelang 21 17 39 23
4. R. lilin gunung 23 1 45 31
5. R. lilin pantai 25 1 62 12
6. R. lilin 5 49 41 5
7. R. sapit udang 3 0 31 66
8. R. sempurut 15 12 46 27
9. R. tuhu 14 30 31 25
10. R. ilatung 5 90 4 1
90| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama lokal Rumpang
besar (%)
Rumpang
kecil (%)
Kanopi
terang
(%)
Kanopi
gelap
(%)
11. R. minung 33 1 25 41
12. R. dahanan 31 2 34 33
13. R. tunggal 51 1 39 9
14. R. raah 4 90 6 0
15. R. ahas 5 90 5 0
16. R. getah 31 1 50 12
17. R. jernang 41 2 16 41
18. R. biawanan 24 0 44 32
19. R. pilak 17 24 40 19
Dari data tersebut tampak bahwa umumnya rotan menghendaki
mikroklimat rumpang (”gap”). Namun masih dapat tumbuh di bawah
kanopi tipis. Rotan yang tumbuh pada kanopi tipis, batangnya kecil dan
bila berada pada kanopi rumpang, batangnya menjadi besar.
Hasil penelitian Panjaitan dan Rusmana (1994) mengatakan bahwa
pertumbuhan rotan di lapangan sampai pada umur 6 bulan lebih baik pada
ukuran rumpang 5 x 5 m dimana rata-rata pertumbuhan mencapai 17,3 cm
per bulan, sedangkan pada ukuran rumpang 3 x 3 m dan ukuran rumpang 7
x 7 m masing-masing hanya mencapai 9,6 cm dan 12,7 cm.
IV. PEMILIHAN JENIS
Rotan diseluruh dunia terdapat 13 genera yang terdiri dari 600 jenis
(species) dan di Indonesia sendiri terdiri dari 350 jenis. Sekalipun rotan
mempunyai cukup banyak jenis, namun sangat penting dilakukan seleksi
dalam rangka pemilihan jenis rotan yang memiliki prospek di pasaran baik
dalam negeri maupun ekspor untuk dikembangkan budidayanya dalam
bentuk hutan tanaman. Upaya ini penting dilakukan sekaligus dalam rangka
pengawetan sumberdaya genetika rotan yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Hal ini tidak berarti bahwa jenis rotan yang tidak komersial saat ini
dihilangkan begitu saja. Penelitian ”species trial” dan ”provenance trial”
dalam menentukan jenis yang akan dikembangkan perlu terus dilakukan,
sehingga diketahui dengan pasti sejauh mana kemungkinan pemanfaatan
rotan dimaksud. Didalam pemelihan jenis andalan, ditentukan oleh banyak
faktor penentu yang menjadi bahan pertimbangan diantaranya yaitu : hasil
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 91
produksi perhektar, kecepatan tumbuh, ketahanan terhadap hama dan
penyakit, pertimbangan dari segi ekonominya, ekologi dan status
pengetahuan budidayanya serta kesesuaian terhadap tempat tumbuhnya
”site species matching”).
Data dan informasi untuk hal tersebut di atas, masih sangat sedikit.
Namun demikian, pemilihan jenis rotan yang akan dikembangkan
budidayanya, perlu segera dilakukan terutama untuk jenis
perdagangan/industri ataupun keperluan penduduk setempat. Berdasarkan
hal tersebut, perlu mendapat prioritas pertama untuk direkomendasikan,
sehingga dapat dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman yakni :
1) Rotan manau (Calamus manan Miq.), 2) Rotan sega/taman (Calamus
caesius), 3) Rotan irit (Calamus trachycoleus), 4) Rotan semambu
(Calamus scipionum), dan 5) Rotan tohiti (Calamus inop).
V. PENGADAAN BUAH
A. Pengumpulan Buah
Musim berbunga dan berbuah masing-masing jenis rotan disetiap
tempat berbeda dimana pada umumnya saat musim kemarau. Di
Kalimantan rotan irit berbuah siap panen pada bulan Oktober-Desember.
Rotan sega pada bulan Agustus - Oktober. Rotan manau dan rotan
semambu pada bulan Juni-Oktober (Sumatera dan Kalimantan). Oleh sebab
itu pengumpulan/pengunduhan buah hendaknya dilakukan pada bulan-
bulan tersebut. Ciri-ciri buah rotan masak umumnya ditandai dengan
warna buah hijau kekuning-kuningan, atau ditandai apabila di bawah
rumpun rotan banyak dijumpai sisa kulit buah becas dimakan burung,
musang, beruk atau tupai. Di camping itu pada jenis rotan irit, buah disebut
masak ditandai dengan warna kemerah-merahan dan rotan manau berwarna
coklat kehitaman, sedangkan bici tua memiliki warna gelap dan keras.
Rotan yang tergolong berbatang tunggal pada umumnya berpotensi buah
lebih rendah daripada rotan yang berumpun. Produksi buah per batang
permusim khususnya rotan manau dan rotan semambu berkisar 2.000-3.000
buah. Rotan sega antara 2.000-2.500 per batang, rotan irit sekitar 3.000-
5.000 buah per batang, rotan Calamus tumidis (Malaysia) berkisar 3.000-
4.000 buah, rotan Calamus laevigatus antara 400-500 buah, rotan Calamus
ganospermus sebanyak 5 buah.
92| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Batas umur minimum pengunduhan buah rotan bervariasi antara
satu jenis dengan jenis lainnya. Untuk jenis rotan manau, umur 10-12
tahun, rotan sega 10 tahun, rotan irit 8 - 9 tahun. Banyaknya biji
perkilogram untuk setiap jenis rotan berbeda dimana misalnya untuk rotan
manau (Calamus manan) berkisar antara 700-790 biji/kg, rotan seuti
(Calamus ornatus) terdiri 1.000 biji/kg dan rotan leluo (Calamus sp.)
antara 1.730-3.950 biji/kg, rotan sega/taman (Calamus caesius) sebanyak
5.000-6.000 biji/kg.
B. Cara Penyimpanan Biji
Biji rotan yang sudah masak panen, segera dilakukan pengunduhan
buah/biji kemudian disimpang di tempat yang lembab. Biji rotan manau
khususnya, daya kecambahnya drastis menurun apabila disimpan pada
tempat yang terbuka pada temperatur kamar dan dalam waktu 15 hari, daya
kecambahnya menjadi di bawah 5 %. Penyimpanan biji rotan diusahakan
pada temperatur 10 -14 0C dan kelembaban udara 45 - 55 %. Biji dalam
kantong plastik tertutup yang disimpan pada kisaran temperatur dan
kelembaban tersebut dapat dipertahankan daya kecambahnya hingga 95 %
selama waktu 3 bulan. Apabila disimpan pada temperatur kamar, maka
buah dalam kantong plastik tertutup dapat dipertahankan daya
kecambahnya sebesar 81 % dalam jangka waktu 1 bulan, setelah itu daya
kecambahnya drastis turun.
VI. PRODUKSI BIBIT
A. Pemilihan Tempat
Tempat persemaian harus memenuhi syarat teknis yaitu :
a. Lapangan sebaiknya datar, bila tempat miring, dipilih derajat
kemiringannya tidak melebihi 5 %
b. Air cukup tersedia sepanjang tahun
c. Iklim dan ketinggian tempat dari permukaan laut harus sesuai dengan
persyaratan jenis yang akan disemaiakan
d. Tempat persemaian bebas dari genangan air dan hama penyakit
e. Letak persemaian sebaiknya berada ditengah-tengah atau dekat dengan
lapangan penanaman, di pinggir jalan angkutan dan tenaga kerja
tersedia.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 93
B. Pembuatan Bedengan
Beberapa ketentuan perlu diperhatikan dalam pembuatan bedengan
yaitu :
a. Ukuran bedengan penaburan dan penyapihan 5 x 1 m
b. Lapangan untuk keperluan bedengan khusus penaburan benih dicangkul
dan semua akar-akar atau batu dibuang, kecuali untuk bedeng sapih
cukup diratakan
c. Bentuk bedengan persegí panjang dan dibagian pinggir diperkuat
dengan kayu agar tanah tidak turun.
d. Permukaan bedengan ditinggikan 10-15 cm di atas permukaan tanah
e. Antara petak/bedengan diberi jarak selebar 50 cm dan setiap 5- 10
bedeng dibuat jalan inspeksi
f. Saluran air dibuat sepanjang kanan-kiri jalan inspeksi
g. Media bedengan di persemaian (penaburan, penyapihan) terdiri dari top
soil dan serbuk gergaji serta pasir halus, dapat pula menggunakan
gambut + sekam padi (70 : 30 %)
h. Bedengan pembibitan diberi naungan yaitu menggunakan atap dari
alang-alang dan bisa diganakan sarlon net dengan intensitas 50 %.
C. Produksi Bibit
Setelah biji rotan diunduh dari lapangan, kemudian dibawa ke
tempat persemaian dan diletakan di tempat lembab dan disiram
secukupnya. Kegiatan berikutnya ialah daging buah dan pericarpnya
dibuang dengan menginjak-injak atau dipukul dengan kayu dengan tujuan
untuk mempercepat perkecambahan dan meningkatkan daya kecambah.
Pada dasarnya cara pengadaan bibit rotan sama halnya dengan jenis kayu.
Ada dua cara yang dapat dilakukan yakni : 1) Menggunakan bahan dari
biji/buah, dan 2) Menggunakan anakan alam dengan sistem cabutan. Kedua
cara ini tergantung kepada kondisi setempat.
Salah satu cara mengecambahkan biji rotan adalah :
1) Biji rotan irit dan taman dimaksukkan dalam keranjang/bakul dan
diletakan pada tempat yang lembab dan setiap hari disiram secukupnya.
Setelah berkecambah pada umur 3-4 minggu kemudian ditanam di
bedengan pembibitan dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Setelah bibit
memiliki daun 7-8 helai (umur 8-12 bulan) diambil dengan cara putaran
dan lansung ditanam di lapangan.
94| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
2) Mengecambahkan biji di bedeng penaburan. Untuk biji yang besar
seperti biji rotan manau dapat ditanam pada larikan dengan jarak 2 x 4
cm. Biji ditanam dengan katup lembaga ke atas. Setelah kecambah
mencapai tinggi 2-3 cm, sebelum daun bertama berkembang, kemudian
langsung dipindah ke dalam polybag yang sudah tersusun rapi dengan
ukuran polybag 15 x 20 cm atau bisa juga ukuran 8 x 16 cm yang telah
terisi media dan diberi lobang sebelumnya. Sebaiknya media sapih
disiram agar tetap lembab. Kebutuhan cahaya untuk pertumbuhan
sebesar 50 %. Bibit rotan dipelihara di persemaian sampai berumur 8-12
bulan dan setelah itu diangkut ke lokasi penanaman yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
3) Biji langsung disemai kedalam polybag yang telah berisi media
misalnya gambut + sekam padi (70 : 30 %) ataupun media campuran
lainnya, misalnya menggunakan media top soil dan lain-lain, tergantung
kondisi setempat. Polybag telah diberi lobang pada bagian pinggir
bawah, polybag yang berisi media disiram air secukupnya agar tetap
lembab. Selama bibit di persemaian berumur 10-14 hari dilakukan
pemupukan dengan dosis 5 g/batang, selanjutnya setelah berumur 1-2
bulan, diberikan pupuk 10-15 g/batang. Namun hal ini sangat
tergantung keadaan bibit yang disemaikan. Bibit siap tanam setelah
mencapai umur 8-12 bulan.
4) Pengadaan bibit yang berasal dari permudaan alam (anakan) telah
dilakukan diberbagai tempat pada berbagai jenis yakni rotan
sega/taman, rotan irit, rotan tohiti, rotan manau, rotan korod dan rotan
seel. Anakan rotan alam yang diprioritaskan yang memiliki tinggi 15-20
cm atau yang berdaun 2-5 helai, diambil dengan cara putaran kemudian
dipelihara di persemaian antara 2-3 bulan dan kemudian di tanam di
lapangan.
Media sapih yang baik harus memenuhi syarat (Supriadi & Valli,
1988) yaitu : 1) Bobotnya ringan, 2) Daya menyerap air tinggi, 3) Drainase
dan areasinya baik, 4) Keseburan cukup, 5) Mudah diperoleh dalam jumlah
banyak, 6) Harga relatif murah, dan 7) Tidak mengandung racun.
VII. BUDIDAYA ROTAN BERDASARKAN PENGALAMAN
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 95
Di Indonesia rotan telah dibudidayakan sejak 100 tahun yang lalu.
Hingga saat ini telah mendapat manfaat baik dibidang ekonomi maupun
sosial. Dengan melihat data yang tersedia, maka rotan di Indonesia
mempunyai prospek cukup strategis untuk dikembangkan
pembudidayaannya terutama jenis-jenis niagawi yang mempunyai nilai
komersial tinggi.
Pada proyek pengembangan rotan ASEAN (Asean Rattan
Regeneration Centre) tahun 1991 yang berlokasi di Sumpol, Kalimantan
Selatan dimana unit perlakuan dalam budidaya yang digunakan adalah
”Jenis” atau ”Tempat asal” (”Provenance”). Artinya, perhatian diberikan
per jenis (Panjaitan dan Rusmana, 1994). Dikemudian hari, tampak ada dua
prospek pola pengembangan rotan. Pertama yaitu rotan diselipkan di dalam
hutan. Artinya penanaman dilakukan dengan metode rumpang. Kedua
adalah kebun rotan. Artinya penanaman jalur terbuka dibelukar mahang
bekas ladang. Penanaman metode rumpang, rotan ditanam di dalam hutan
alam pada rumpang yang terjadi pada saat pembalakan. Artinya terjadi
rumpang buatan. Pada penanaman rotan, umumnya lapangan yang akan
ditanami rotan dapat dibagi atas dua bagian yaitu : 1) Hutan primer dan
bekas pembalakan, dan 2) Lahan terbuka.
Permasalahan dalam pengembangan budidaya rotan adalah pohon
penopang (”supporting trees”) dimana tanpa pohon penopang, maka
kualitas rotan jelek. Pada lahan terbuka diperlukan penanaman pohon
penopang dengan jenis yang menggugurkan daun pada musim kemarau
antara lain :
1. Karet (Hevea braziliensis), dan 2. Bungur (Lagerstroemia speciosa).
Pada saat membudidayakan rotan di lahan terbuka, maka sebaiknya
tanaman pohon penopang ditanam terlebih dahulu antara 5 – 7 tahun dalam
larikan. Sedangkan pada hutan primer dan bekas pembalakan, pohon yang
tertinggal dan trubusan dapat dijadikan pohon penopang (Direktorat
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1983).
Tahapan kegiatan penanaman rotan (Alrasjid, 1980) yaitu : a)
Pengadaan biji/buah, b) Pengadaan bibit meliputi pembersihan tempat
persemaian, perencanaan lapangan persemaian, penaburan biji, penyemaian
kecambah dan penyapihan bibit, c) Persiapan lapangan persemaian,
96| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
meliputi penataan lapangan, pembersihan lapangan, pengolahan tanah,
pembuatan gubuk kerja dan jalan pemeriksaan, d) Penanaman, dan e)
Pemeliharaan meliputi penyiangan/pendangiran dan penyulaman.
Dalam rangka mengembangkan tanaman rotan agar
produktifitasnya meningkat harus disesuaikan dengan tapak dan
mikroklimat dari masing-masing jenis. Lain jenis lain pula tapak yang
dinginkan. Dalam hal ini harus mengikuti langkah-langkah yaitu :
1) Mendeliniasi kondisi silvikultural, 2) Mengamati rotan pada
masing-masing kondisi silvikultural, 3). Mengamati mikroklimat yang
dikehendaki masing-masing jenis dan tingkat pertumbuhan (tunas, remaja
dan dewasa), 4). Meletakkan rotan pada tapak mikroklimat yang
dikehendaki masing-masing jenis, dan 5). Dibuat jelas di lapangan agar
dapat dikelola dan mudah ditemukan di kemudian hari.
Metode penanaman dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Penanaman rumpang
Desain penanaman adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Desain Penanaman rumpang
®
®
® ®
® ®
®
®
®
®
®
® ®
®
III 7 m – 15
m
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 97
Keterangan :
: Jalan logging
: Bekas pengumpulan kayu di tepi jalan logging
: Unit jalan sarad masuk kedalam hutan sejauh 100–500 m
dari jalan logging digunakan sebagai jalan (akses) dan
digunakan sebagai sumbu rumpang.
: Rumpang operasi pembalakan atau rumpang buatan dengan
menebang 2 – 3 pohon (luas rumpang adalah 25 – 50 m2).
Rotan ditanam pada setiap rumpang buatan.
7 m – 15 m : Jarak antar rumpang tanaman
Pada setiap rumpang ditanam 2 – 5 batang bibit rotan untuk jenis
yang berumpun. Jarak antara rumpang 7 m – 15 m. Tiap rumpang didalam
satu unit jalan sarad diberi nomor urut. Profil rumpang adalah sebagai
berikut :
Gambar 2. Profil rumpang
Keterangan : A = Tanaman rotan dalam rumpang
B = Tegakan tinggal tempat panjatan pohon
4 = Nomor rumpang
2. Penanaman jalur terbuka
Di belukar mahang bekas perladangan penduduk, rotan ditanam
seperti pola berikut :
Gambar 3. Desain penanaman rotan di belukar mahang bekas perladangan
4 B B
A
III
®
98| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Keterangan :
= Jalan masuk
= Jalan bersih (lebar 5 m)
= Tanaman rotan (jarak 7-10 m)
= Tanaman bungur, laban (Vitex sp.) dan lain-lain
(pengganti vegetasi mahang sebagai pohon penopang rotan).
Dari samping penampang jalur nampak sebagai berikut :
Gambar 4. Penampang jalur pandangan dari samping
Keterangan :
A = Belukar mahang sebagai pohon penopang sementara, karena mahang dinilai
tidak kokoh sebagai pohon penopang
B = Tanaman rotan pada jalur terbuka
C = Calon pohon penopang yang ditanam untuk kelak menggantikan jenis
mahang dari jenis bungur (Lagerstroemia sp.), laban (Vitex sp.) dan jenis
lain yang berdahan tebal dan kuat.
VIII. KESIMPULAN
1. Rotan merupakan salah satu jenis komoditi hasil hutan bukan kayu yang
memiliki potensi dan penting serta menduduki posisi cukup strategis
dalam dunia perdagangan. Oleh sebab itu perlu dijaga dan
dipertahankan keberadaannya agar tetap sebagai sumber hayati dan
sumber devisa negara serta kesejahteraan masyarakat.
2. Dalam meningkatkan produktivitas rotan diperlukan pengetahuan
tentang sifat botanis dan penguasaan
A B C
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 99
silvikultur masing-masing jenis yang dimulai dari pengunduhan
buah/biji, pengadaan bibit di persemaian, teknik persiapan lahan dan
teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman.
3. Dalam upaya pengembangan rotan di lapangan penanaman hendaknya
disesuaikan dengan tapak dan mikroklimat dari masing-masing jenis
yang akan dibudidayakan.
4. Pemilihan jenis rotan yang akan dikembangkan perlu dilakukan.
5. Produksi bibit berkualitas sangat diperlukan untuk menunjang
pengembangan tanaman rotan, sehingga pertumbuhan optimal dan
produktivitas lahan meningkat.
6. Disarankan agar penanaman rotan sebaiknya dilakukan dengan metode
rumpang sebab teknik pemeliharaan mudah dilakukan dibanding sistem
jalur.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasjid, H., 1980. Pedoman Penanaman Rotan. Lembaga Penelitian Hutan
Bogor, Bogor.
Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah, 1979. Penanaman Rotan di
daerah Kalimantan Tengah, Palangka Raya.
Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Selatan, 1999. Laporan
Tahunan Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Kalimantan Selatan,
Banjarbaru.
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1983. Laporan Studi
Kelayakan Rotan di Propinsi Dati I Kalimantan Tengah, Jakarta.
Djajapertjunda, S., dan Abidin, Z.E., 1973. Beberapa Catatan Tentang
Rotan Indonesia. Direktorat Pemasaran Direktorat Jenderal
Kehutanan, Jakarta.
Dransfield, J., 1974. A Short Guide to Rattan. Biotrop TF/74/128.
BIOTROP SEAMEO Regional Centre For Tropical Biology,
Bogor.
Dransfield, J. dan Manokaran, 1993. Rotan. Sumberdaya Nabati Asia
Tenggara 6. Gadjah Mada University Press (Yogyakarta)
bekerjasama dengan Prosea Indonesia (Bogor). P. 29-42 dan P. 54-
57.
Januminro, 2000. Rotan Indonesia. Potensi, Budidaya, Pemungutan,
Pengolahan Standar Mutu dan Prospek Pengusahaan. Penerbit
Kanisius (Anggota IKAPI), Yogyakarta.
100| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kantor Wilayah Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999. Statistik
Kehutanan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi
Kalimantan Selatan, Banjarbaru.
Manokaran, N., 1979. A Note on The Number of Fruit Product by Four
Species of Ratta. Malaysia Forester. Vol. 42 : P. 46
Manokaran, N.,1984. Indonesia Rattan Cultivation.Production and Trade
Forest Research Institute Malaysia, Kepong.
Nainggolan,P.H.J., 1980. Sumber dan Penanaman Benih Rotan. Prosiding
Lokakarya Nasional Rotan.Manggala Wanabakti, Jakarta.
Nasendi, B.D., 1996. From Rattan Production-To-Consumption in
Indonesia : Policy Issues and Options For Reform. Forest Products
and Forestry Socio-Economics Research and Development Centre,
Forestry Research and Development Agency Bogor, Indonesia.
Proceedings of the Expose/Workshop for Socio-Economics
Research on Rattan in Indonesia, 4-5 November 1996, Bogor,
Indonesia. 97 p.
Panjaitan, S., 1991. Rencana Pengembangan Rotan ASEAN di
Sumpol.Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Banjarbaru. (Tidak
diterbitkan).
Panjaitan, S. dan Rusmana, 1994. Penanaman Beberapa jenis Rotan
Dengan Metode Rumpang dan Jalur di Dataran Rendah, Sumpol, 5
Ha. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Banjarbaru. (Tidak
diterbitkan).
Panjaitan, S., 1997. Penggunaan Beberapa Macam Media Pertumbuhan
Bibit Rotan Manau (Calamus manan Miq.) di Persemaian,
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Balai Teknologi Reboisasi
Banjarbaru. Buletin Teknologi Reboisasi, Banjarbaru. 13 halaman.
Panjaitan, S., 2002. Pengaruh Pemberian Asam Sulfat dan Gibberelin
Terhadap Daya Berkecambah Benih Rotan Manau (Calamus
manan Miq.). (The effect of Sulphuric and Gibberellic Acid on
Germination Rate of Manau (Calamus manan Miq.). Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan,
Yogyakarta, Indonesia.Buletin Teknologi Reboisasi No. 9/2002.
14 Halaman (P.17-30).
Silitonga, T., 1986. Proceedings Lokakarya Nasional Rotan 15-16
Desember 1986. Badan Litbang Kehutanan-Departemen
Kehutanan kerjasama Dengan IDRC, Jakarta.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 101
Silitonga, T.; Prahasto, H. and Priasukma, S., 1993. Recent Progress in
Rattan Trades Industry and Resource Development in Indonesia.
Rattan Indonesian Project Phase II. Agency For Forestry Research
and Development, Republic of Indonesia. IDRC-Canada.
Supriadi G., & Valli, I., 1988. Manual Persemaian ATA-267. Balai
Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Penerbitan No. 52.
Tani Hoyhtya, Panjaitan, S. and Rusmana, 1997. Early Performance and
Cultivation Possibilities of Four Indonesian Rattans Under
Logged-over Tropical Rainforest in South Kalimantan, Indonesia.
The Ministry of Forestry of Indonesia and Forestry Research
Development Agency (FORDA). Reforestation and Tropical
Forest Management Project. ATA-267. Technical Report No.
66 Banjarbaru. P. 1-3
102| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Lampiran 1. Daftar Jenis Rotan Komersial dan Sebaran di Indonesia
No Nama lokal Nama botanis Daerah sebaran produksi
1 Manau Calamus manan
Miq.
Aceh, Sumut, Jambi, Bengkulu,
Lampung, Kalsel, ,Kalteng, Kaltim,
Kalbar
2 Semambu Calamus
scipionum Loure. Sumbar, Bengkulu, Lampung
3 Sega/taman Calamus caesus
Bl.
Aceh, Sumut, Sumbar, Riau,
Bengkulu
4 Irit Calamus
trachycoleus
Becc.
Kalteng, Kalsel, Kaltim, Kalbar
5 Tohiti Calamus inops
Becc. Sulut, Sulteng, Sultra, Sulsel, Maluku
6 Batang/air Calamus
zolingerii Becc. Sulawesi, Maluku
7 Pulut/bolet Calamus ipar Bl. Kaltim, Kalsel
8 Pulut putih Calamus sp. Kaltim, Kalsel
9 Seuti Calamus ornatus
Becc. Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa
10 Taman, sego Calamus
optimusBecc. Kalteng, Kalsel, Kaltim
11 Sega air Calamus excidis
Griff. Jambi, Sumsel, Lampung
12 Sega batu Calamus
heteroideus Bl.
Jambi, Sumsel, Lampung, Bengkulu,
Kalsel, Kalteng
13 Jermasin Calamus
leijocanius Becc. Sulsel, Sulut, Sultra, Sulteng, Maluku
14 Tabu-tabu Daimonorops
sabut Becc. Sumbar, Bengkulu, Kalimantan
15 Jernang Daimonorops
draco Bl. Jambi, Sumbar, Riau
16 Getah Khorthalsia
angustifolia Bl.
NTB, Aceh, Sumbar, Jambi,
Lampung
17 Datu Calamus
minahasa Wrab. Maluku, Irian Jaya
18 Lilin Calamus
javanensis Becc. Sumatra, Jawa, Kalimantan
19 Batu Calamus
filiformis Becc. Bengkulu, Lampun g, Kalteng
20 Lita Daemonorops
lamprolepis
Becc.
Kalteng, Kalbar, Sulawesi
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 103
No Nama lokal Nama botanis Daerah sebaran produksi
21 Dandan Calamus
schistacanthus Bl. Sumsel, Jambi, Lampung
22 Umbul Calamus
symhysipus Mart. NTB, Sulawesi
23 Duduk Daemonorops
longopes Mart.
Bengkulu, Sumbar, Sumsel,
Lampung, Aceh
24 Suwai Calamus
warburgii K.
Schum
Maluku, Irian Jaya
25 Seel Daemonorops
melanochaetes
Becc.
Sumatra, Jawa, Kalimantan
26 Wilatung Daemonorops
fissus Kalimantan
27 Balubuk Calamus
burchianus Becc. Sumatra, Jawa
28 Telang Daemonorops
polystachys Becc.
Sumut, Aceh, Jambi, Riau,
Kalimantan
29 Dahan Khorthalsia
flagellaris Miq
Jambi, Riau, Bengkulu, Jawa,
Kalimantan
30 Inun Calamus
schabiudius Lampung, Jawa
31 Bulu Khorthalsia
celebica Bl. Sulawesi, Maluku, Irian Jaya
32 Semut Khorthalsia
scaphigera Mart. Lampung, Jawa
33 Cacing Calamus ciliaris
Bl. Sumatra, Jawa, Kalimantan
34 Udang Khorthalsia
echinomerta
Becc.
Sumbar, Bengkulu
35 Manau tikus Calamus
oleyanus Becc. Jambi, Sumbar, Bengkulu
36 Manau
gajah
Calamus
marginatus Mart. Sumbar, Bengkulu, Kalimantan
37 Pelah/pilah Daemonorops
rubra Bl. Sumatra, Jawa, Kalimantan
38 Lacak Calamus crinitus
Bl. Riau, Jawa, Kalimantan
39 Tunggal Calamus
mucronatus Becc. Sumatra, Kalimantan
40 Leuleus Calamus
melanoloma
Mart.
Lampung, Jabar
104| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama lokal Nama botanis Daerah sebaran produksi
41 Epek Calamus
tolitoliensis Becc. NTB, Maluku, Sulawesi
42 Rawa Calamus lennis Jambi, Sumsel, Lampung
43 Samuli Calamus
picicapus Bl. Sulawesi, Maluku
44 Arasula Calamus rumpii
Bl. Maluku, Irian Jaya
45 Buluk Calamus
hispidulus Becc. Maluku, Irian Jaya
46 Terumpu Calamus
muricatus Sulawesi
47 Hoa Calamus
didymocarpus
Warb.
Sulawesi, Maluku, Irian Jaya
48 Lambang Calamus sp. Sulawesi, Maluku
49 Selutup Calamus optimus
Becc. Sumatra, Jawa, Kalimantan
50 Kidang Calamus sp. Lampung, Jabar
51 Leluo Calamus
maximus Sulawesi
Sumber : Anonim (1993), Mogea (1989), Alrasjid (1989), Dransfields dan
Manokaran (1996)
Lampiran 2. Penyebaran pertumbuhan jenis rotan di Indonesia
Wilayah Jum
lah
Cala
mus
Cera
talo
bus
Cor
nera
Dae
mono
rops
Kor
thalsia
Myri
liepsis
Plecto
comia
P.
miop
sis
Kalimantan 123 75 4 1 37 15 1 - -
Sumatera 82 33 3 1 28 10 1 4 2
Irian Jaya 47 45 - - - 2 - - -
Sulawesi 35 27 - - 7 1 - - -
Jawa 30 18 2 - 6 2 - 2 -
Maluku 11 7 - - 4 - - - -
NTB+NTT 2 2 - - - - - - -
Jumlah 1) 340 207 9 2 82 30 2 6 2
Jumlah 2) 312 192 7 1 78 25 2 5 2
Jumlah 3) 28 15 2 1 4 5 0 1 0
Sumber : Data diolah dari Dransfield (1974) dan Dali & Sumarna (1986).
Keterangan :
1) Terdapat lebih dari satu species yang sama dalam wilayah yang berbeda
2) Jumlah spsies yang ada secara nasional
3) Banyaknya species yang sama menyebar pada beberapa wilayah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 105
Lampiran 3. Potensi produksi rotan tebang lestari pada 20 daerah di
Indonesia
No. Daerah Volume (ton/tahun) Persen (%)
1. Aceh 28.000 4,5
2. Sumut 12.000 1,9
3. Sumbar 38.000 6,1
4. Riau 5.000 0,8
5. Jambi 13.000 2,0
6. Bengkulu 25.000 4,0
7. Sumsel 22.000 3,5
8. Lampung 5.000 0,8
9. Kalbar 50.000 8,0
10. Kalteng 70.000 11,3
11. Kalsel 15.000 2,4
12. Kaltim 65.000 10,5
13. Sulut 20.000 3,2
14. Sultengah 75.000 12,1
15. Sulsel 37.000 5,9
16. Sultengara 31.000 5,0
17. NTB 13.000 2,1
18. NTT 5.000 0,8
19. Maluku 25.000 4,0
20. Irian Jaya 68.000 10,9
Jumlah 622.000 100 Sumber : Departemen Kehutanan dalam Pusat Data dan Informasi Depperindag
(1999) dan Gunawan (2002)
106| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
DEMPLOT TANAMAN OBAT DAN TANAMAN ANGGREK:
MEDIA PERCONTOHAN PENGEMBANGAN USAHA HASIL HUTAN
BUKAN KAYU (HHBK) ALTERNATIF DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)
Tri Sulistyati Widyaningsih1, Aditya Hani
1, Nova Indri Hapsari
2,
dan Ratna Uli Damayanti 3
1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry,
2 Balai Taman Nasional Gunung
Ciremai, 3 Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Pamalayan, Ciamis 46201
Email: [email protected];
ABSTRAK
Tumbuhan obat-obatan dan tanaman hias berupa anggrek merupakan Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati yang berpotensi untuk dikembangkan
secara ekonomi. Kedua jenis HHBK tersebut terdapat di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang merupakan kawasan hutan hujan tropis
terluas di Jawa Barat. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan
pembangunan demplot tanaman obat dan tanaman anggrek di kawasan
TNGHS. Demplot dibangun pada bulan Januari-Februari 2006 di Seksi
Konservasi Wilayah (SKW) III Sukabumi Balai TNGHS. Rangkaian kegiatan
pembangunan demplot yaitu perencanaan, persiapan lahan, pengukuran,
penyediaan bahan bangunan, penyediaan bahan media tanam, pembuatan
rangka, pondasi, kerangka, atap, dinding, lantai, seedingnet, pintu, dan
penataan ruang. Demplot diisi dengan 68 jenis anggrek dan 14 jenis tanaman
obat hasil eksplorasi yang dilakukan di jalur loop trail Cikaniki-Citalahab
TNGHS sepanjang 3,8 km. Manfaat dari pembangunan demplot tanaman obat
dan anggrek di TNGHS yaitu: 1) Adanya koleksi dan terkonservasinya
tanaman obat dan anggrek di TNGHS, 2) Tersedianya informasi mengenai
jenis-jenis tanaman obat dan anggrek yang terdapat di TNGHS, 3)
Bertambahnya keterampilan budidaya tanaman obat dan anggrek, 4)
Terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan budidaya tanaman obat dan
anggrek dari petugas TNGHS ke masyarakat, 5) Menjadi media percontohan
bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha HHBK alternatif di daerah
penyangga TN, serta 6) Adanya alternatif kegiatan pemberdayaan masyarakat
di SKW III Sukabumi.
Kata kunci: HHBK nabati, tanaman obat, tanaman anggrek, Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak, demplot
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 107
I. PENDAHULUAN
Obat tradisional kembali populer dipilih sebagai obat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit karena disamping harganya terjangkau,
tanpa efek samping juga khasiatnya cukup menjanjikan (Setiani, Sari, dan
Usri, 2007). Hal tersebut diyakini pula oleh para herbalis bahwa
pemanfaatan bahan-bahan yang bersifat alamiah lebih diterima oleh tubuh
manusia dibandingkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bersifat
sintetik, walaupun mereka tahu betul bahwa khasiat pemanfaatan bahan-
bahan yang alami cenderung relatif lambat. Kecenderungan masyarakat
untuk kembali ke alam semakin meningkat seiring dengan maraknya
produk bahan alam baik dari dalam maupun luar negeri dengan berbagai
macam label dan merek (Duaja, Kartika, dan Mukhlis, 2011).
Obat tradisional dapat dipenuhi dari tanaman obat yaitu tanaman yang
mengandung bahan yang dapat digunakan sebagai pengobatan dan bahan
aktifnya dapat digunakan sebagai bahan obat sintetik (WHO dalam
Sofowora, 1982). Sekitar 31 jenis tanaman obat digunakan sebagai bahan
baku industri obat tradisional (jamu), industri non jamu, dan bumbu, serta
untuk kebutuhan ekspor, dengan volume permintaan lebih dari 1.000
ton/tahun dan 13 jenis di antaranya berasal dari hasil penambangan di hutan
(Pribadi, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa hutan berperan penting
dalam penyediaan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa tanaman obat.
Kondisi tersebut diperkuat dengan data dari Badan POM (2006) dalam
Pribadi 2009 yang menyatakan bahwa 180 jenis di antara 283 tanaman
yang telah diregistrasi untuk penggunaan obat tradisional/jamu, merupakan
tanaman obat yang masih ditambang dari hutan.
HHBK lain selain tanaman obat menurut Permenhut 35 tahun 2007
adalah tanaman hias berupa anggrek. Anggrek banyak ditemukan di hutan-
hutan yang dikenal sebagai anggrek spesies, termasuk di Indonesia.
Sebanyak 6.000 di antara 20.000 spesies anggrek yang tersebar di seluruh
dunia terdapat di Indonesia (Redaksi AgroMedia, 2002). Tanaman Anggrek
dalam penggolongan taksonomi, termasuk ke dalam family Orchidaceae,
suatu family yang sangat besar dan sangat bervariasi yang terdiri dari 800
genus (Murgiyanti, Suminar, dan Sobardini, 2007).
108| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kedua jenis HHBK tersebut terdapat di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS) yang terletak di Jawa Barat dan memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi (Wikipedia, 2014). Koleksi anggrek di
TNGHS yang sudah diinventarisasi sebanyak 258 spesies yang termasuk
dalam 74 marga. Jumlah tersebut merupakan satu per tiga bagian dari
anggrek di Pulau Jawa yang tercatat sebanyak 731 spesies (Mahyar dan
Sadili, 2003 dalam BTNGHS, 2014). Adanya potensi HHBK di TNGHS
perlu dikembangkan dengan tetap berprinsip pada pemanfaatan yang lestari
di antaranya melalui konservasi eksitu dengan cara koleksi dan budidaya.
Salah satu cara koleksi dan budidaya tanaman obat dan anggrek yaitu
dengan membangun demonstrasi plot (demplot) sebagaimana yang telah
dilakukan kelompok PKK Dusun Sukarejo dan Karangharjo Desa Rantau
Karya, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, masyarakat
di Kelurahan Talang Babat Kecamatan Muara Sabak Barat Kabupaten
Tanjung Jabung Timur, serta masyarakat Desa Cinunuk, Kecamatan
Cileunyi, Kabupaten Bandung. Pembuatan demplot di Desa Rantau Raya
bertujuan untuk memperkenalkan tanaman obat dan memanfaatkan
pekarangan (Duaja et al., 2011) seperti halnya di Kelurahan Talang Babat
yang bertujuan untuk memanfaatkan pekarangan dengan tanaman bernilai
komersil tinggi yaitu jahe merah yang diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan keluarga petani (Latief, Tafzi, dan Aryunis, 2013), sedangkan
pembuatan demplot di Desa Cinunuk bertujuan untuk menerapkan
teknologi budidaya tanaman anggrek di lahan sempit agar masyarakat dapat
melakukannya sendiri setelah diberi contoh (Murgiyanti et al., 2007).
Manfaat pembangunan demplot tanaman bagi masyarakat sudah dijelaskan
melalui beberapa tulisan, tetapi masih jarang tulisan yang mendeskripsikan
secara rinci tentang pembangunan demplot tanaman sejak proses eksplorasi
hingga pengembangan kapasitas sumber daya manusia pengelola kawasan
konservasi. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kegiatan
pembangunan demplot tanaman obat dan tanaman anggrek di kawasan
TNGHS yang dapat dijadikan contoh bagi pengelola kawasan konservasi
dalam melaksanakan teknik konservasi eksitu berdasarkan potensi
kawasan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 109
II. METODE
A. Waktu, Lokasi Kajian, dan Metode Pengumpulan Data
Kajian ini dilakukan di TNGHS Seksi Konservasi Wilayah (SKW)
III Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui
pengalaman langsung melakukan eksplorasi serta membangun demplot
tanaman obat dan tanaman anggrek di TNGHS pada bulan Januari-Februari
2006. Eksplorasi dilakukan dengan mengumpulkan spesimen di sepanjang
jalur eksplorasi yaitu jalur wisata di kawasan hutan antara Cikaniki dan
Citalahab sepanjang 3,8 km, yang kemudian diidentifikasi dan dikemas
untuk dibawa ke lokasi demplot sebagai koleksi (Damayanti, Hani, dan
Widyaningsih, 2014). Pendokumentasian dilakukan menggunakan kamera
dengan cara pemotretan terhadap jenis tanaman obat dan tanaman anggrek
yang berhasil dieksplorasi serta seluruh tahapan pembangunan demplot.
Hasil pengalaman langsung serta pendokumentasian selanjutnya dianalisis
dan disajikan secara deskriptif.
B. Gambaran Umum Lokasi
Kawasan TNGHS terletak di dalam 3 (tiga) kabupaten yaitu Bogor
dan Sukabumi, Jawa Barat serta Lebak, Banten (Harada, Widada, Arief,
Kobayashi, Okayama, Sakaguchi, dan Ozawa, 2003; TNGHS, 2011;
Wikipedia, 2014) dengan luas setelah perluasan berdasarkan Keputusan
Menhut No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 adalah 113.357 ha.
Pengelolaan kawasan TNGHS dilakukan oleh Balai TNGHS yang terbagi
menjadi 3 (tiga) SKW, salah satunya SKW III di Pelabuhan Ratu Sukabumi
yang terdiri dari 3 kecamatan dan 19 desa.
Kawasan TNGHS memiliki bentang alam dari dataran ke
pegunungan, yang sebagian besar berbukit dan bergunung dengan
ketinggian 500 meter dari permukaan laut (m dpl) sampai dengan 2.211 m
dpl yang berperan terhadap keanekaragaman flora, fauna, fungi, dan jasad
renik (mikro organisme) yang secara keseluruhan membentuk komponen
keanekaragaman hayati (Wikipedia, 2014). Sebagian besar lereng memiliki
kemiringan di atas 45% dengan luasan 75,7 % dari seluruh kawasan. Jenis
tanah di kawasan TNGHS yaitu andosol dan latosol. Gunung Halimun-
Salak merupakan kawasan hutan hujan pegunungan yang terluas di Jawa
110| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Barat yang masih tersisa dan merupakan salah satu daerah paling basah di
Jawa.
Penduduk di sekitar TNGHS yang masuk ke dalam wilayah
Kabupaten Sukabumi adalah 66.132 orang dengan kepadatan penduduk
171 orang per kilometer. Tingkat pendidikan penduduk meliputi belum
sekolah dan tidak tamat SD (25,16 %), SD (58,80 %), SLTP (1,86%),
SLTA (1,14%), Akademi (0,02%), Universitas (0,01%), dan lain-lain
(12,55%). Lahan di SKW III Sukabumi didominasi dengan
penggembalaan dan hutan negara 15.260 ha, disusul perkebunan/perikanan
8.609,5 ha, pertanian/ladang 5.873,5 ha, sawah 2.823 ha, lain-lain 770,5 ha,
serta pemukiman dan pekarangan 395,5 ha. Mata pencaharian mayoritas
penduduk adalah sebagai buruh 47,22% (8.527 orang), disusul
perikanan/peternakan/ perkebunan 20,78% (3.752 orang), petani 16,67%
(3.010 orang), pedagang 6,57 % (1.187 orang), jasa 5,68% (1.026 orang),
wiraswasta 1,99 % (359 orang), PNS 1,05% (190 orang) serta ABRI 0,04
% (7 orang).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Eksplorasi Tanaman Obat dan Tanaman Anggrek di TNGHS
Eksplorasi adalah kegiatan pelacakan atau penjelajahan guna
mencari, mengumpulkan, dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu untuk
mengamankan dari kepunahan (Kusumo et al., 2002 dalam Krismawati dan
Sabran, 2004). Eksplorasi merupakan langkah awal dari konservasi
tanaman yang semakin langka. Eksplorasi tanaman obat dan anggrek di
TNGHS dilakukan selama 3 (tiga) hari. Kegiatan dimulai dengan persiapan
kegiatan diantaranya adalah pembentukan tim eksplorasi dan penentuan
lokasi yang akan dipilih untuk kegiatan eksplorasi. Tempat untuk kegiatan
eksplorasi dipilih melalui studi literatur yaitu jalur Loop Trail Cikaniki-
Citalahab dengan kisaran ketinggian 1000-1900 m dpl. Peralatan yang
digunakan untuk melakukan eksplorasi yaitu gunting stek, golok, kantung
plastik, karung, dus karton, lakban, karet gelang, tali rafia, kertas label, dan
pelepah pisang (debog) (Damayanti et al., 2014). Kegiatan eksplorasi
meliputi pengambilan spesimen di jalur eksplorasi, pengangkutan spesimen
di lapangan, pemisahan spesimen, identifikasi spesimen, pengemasan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 111
spesimen, pelabelan, pengangkutan spesimen ke lokasi demplot,
penanaman, dan penyimpanan sementara yang tertera pada Gambar 1.
Eksplorasi pada jalur Cikaniki-Citalahab menemukan 14 (empat belas)
jenis tanaman obat dan 68 (enam puluh delapan) jenis anggrek yang
tergolong pada 29 (dua puluh sembilan) marga (Damayanti et al., 2014).
Gambar 1. Tahapan kegiatan eksplorasi tanaman obat dan
anggrek di TNGHS
B. Pembangunan Demplot Tanaman Obat dan Anggrek di TNGHS
Upaya untuk mempertahankan sumber daya genetik baik berupa
tanaman obat maupun tanaman anggrek perlu dilakukan. Hal ini
disebabkan karena kemungkinan adanya gangguan dan perubahan yang
terjadi secara alami di dalam hutan, sehingga keberadaan tanaman dapat
berubah. Krismawati dan Sabran (2004) menyatakan bahwa upaya
1. Pengambilan spesimen
3. Pemisahan spesimen
2. Pengangkutan specimen
6. Pelabelan spesimen
4. Identifikasi spesimen
5. Pengemasan spesimen
7. Pengangku tan spesimen
9. Penyimpa nan sementara
8. Penanaman
112| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
konservasi dapat dilakukan secara eksitu dalam bentuk kebun koleksi,
visitor plot dan pot-pot pemeliharaan. Upaya konservasi eksitu tanaman
obat dan tanaman anggrek di TNGHS yaitu melalui pembangunan demplot
yang bertujuan untuk:
1. Mengkoleksi berbagai jenis tanaman obat dan anggrek yang terdapat di
dalam kawasan TNGHS.
2. Langkah awal kegiatan konservasi eksitu jenis-jenis tanaman obat dan
anggrek yang terdapat di dalam kawasan TNGHS.
3. Menambah ketrampilan petugas taman nasional mengenai budidaya
tanaman obat dan anggrek serta memberi peluang usaha secara
komersil.
4. Pembuatan contoh budidaya tanaman obat dan anggrek bagi masyarakat
sekitar taman nasional.
5. Membuat media pembelajaran untuk transfer ilmu pengetahuan
masyarakat sekitar kawasan mengenai budidaya tanaman obat dan
anggrek.
Demplot berukuran 3mx12m yang dibangun di sebelah kiri kantor
SKW III Sukabumi dengan pertimbangan: 1) Demplot akan menjadi media
pembelajaran dan percontohan bagi masyarakat sekitar kawasan TN serta
menjadi bagian program Model Kampung Konservasi (MKK) yang masuk
di SKW III Sukabumi, 2) Terdapat lahan kosong di sebelah kantor SKW III
Sukabumi yang berpotensi untuk pembuatan demplot, sehingga menghemat
anggaran penyediaan lahan, 3) Lokasi demplot tepat di dekat kantor SKW
III Sukabumi memudahkan akses petugas TN untuk melakukan
pemeliharaan, pengawasan dan pengembangan. Adapun lay out demplot
tertera pada Gambar 2. Pembangunan demplot meliputi beberapa tahapan
yang tertera pada Tabel 1 dan Gambar 3.
Tabel 1. Tahapan pembangunan demplot tanaman anggrek dan obat di
TNGHS No. Tahapan kegiatan Deskripsi
1. Perencanaan Perencanaan dilakukan selama 2 (dua) hari meliputi
diskusi tim kerja untuk menentukan lokasi demplot,
menggambar lay out demplot, menentukan tata
waktu, rencana biaya, serta pembagian tugas di antara
anggota tim.
2. Persiapan lahan Kegiatan persiapan dilakukan selama 2 (dua) hari
meliputi pembersihan rumput dan alang-alang,
perataan, serta pengukuran lahan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 113
No. Tahapan kegiatan Deskripsi
3. Penyediaan bahan
baku pembangunan
demplot
Bahan baku yang dipersiapkan meliputi bahan
bangunan berupa balok kayu, besi, semen, asbes, ram
kawat.
4. Penyediaan media
tanam dan
pemeliharaan
tanaman
Bahan baku yang disediakan yaitu pot dari tanah liat,
arang, pakis, tanah, pupuk, buku petunjuk budidaya
dan perawatan tanaman, sprayer.
5. Pembangunan
demplot
Pembangunan demplot selama 16 (enam belas) hari,
meliputi pembuatan rangka, pondasi, kerangka,
pemasangan atap, pemasangan dinding, penataan
lantai, pemasangan seeding net, pemasangan pintu,
pembuatan pagar, dan penataan ruang.
Gambar 2. Lay out demplot tanaman obat dan anggrek di SKW III Sukabumi,
TNGHS
Keterangan : 1. Rak Susun
2. Tak Tangga 3. Bedengan
Anggrek
Tanah
4. Bedengan
Tanaman
Obat 5. Pintu
6. Pagar 4
12 m
3m
U
U
6
2
1
2
2
5
3
4
3
KANTOR SKW III
SUKABUMI
114| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Tahapan kegiatan pembangunan demplot tanaman obat dan
anggrek di TNGHS
Kegiatan pengelolaan demplot melibatkan seluruh staf yang ada di
kantor SKW III Sukabumi dengan tahapan kegiatan tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Tahapan kegiatan pengelolaan demplot tanaman anggrek dan obat
No Kegiatan Deskripsi
1. Tahap I
a. Pemeliharaan Penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,
memastikan nama-nama jenis berdasarkan buku
identitas hasil.
b. Kelembagaan Pembagian tugas/ peran dalam seksi.
c. SDM 1) Studi lapangan ke Taman Anggrek Kebun Raya
Bogor 2) pelatihan mengenai budidaya tanaman
obat dan anggrek bagi PEH dan masyarakat sekitar
kawasan (MKK dan non MKK) dengan
mendatangkan tentor ahli budidaya tanaman obat
dan anggrek.
d. Penelitian Uji spesies tanaman obat dan anggrek.
2. Tahap II
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 115
No Kegiatan Deskripsi
a. Pemeliharaan Penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,
pemisahan makan.
b. Kelembagaan Penguatan organisasi dalam seksi yang mengarah
pada pembangunan unit usaha, analisa pasar.
c. SDM Pelatihan bagi PEH dan masyarakat sekitar kawasan
(MKK dan non MKK) mengenai pembiakan
vegetatif dan pelatihan mengenai usaha anggrek
secara komersiil.
d. Penelitian Pengamatan pembungaan anggrek, perolehan F1.
3. Tahap III
a. Pemeliharaan Penyiraman, pemupukan, pembersihan gulma,
penggantian media, pemisahan makan.
b. Kelembagaan Pemantapan kelembagaan dibentuk unit ekonomi,
penguatan jaringan keluar/ pasar.
c. SDM Pelatihan teknik penyilangan dan pelatihan usaha
anggrek.
d. Penelitian Pengamatan pembungaan anggrek, perolehan F2,
penyilangan, pendokumentasian hasil-hasil riset
dalam bentuk buku.
4. Perluasan dampak Pelatihan kepada kelompok masyarakat binaan dan
pembuatan persemaian anggrek di masyarakat.
Manfaat dari pembangunan demplot tanaman obat dan anggrek di
TNGHS yaitu:
a. Adanya alternatif kegiatan pemberdayaan masyarakat di SKW III
Sukabumi, TNGHS (Widyaningsih, 2013).
b. Tersedianya informasi mengenai jenis-jenis tanaman obat dan anggrek
yang terdapat di TNGHS.
c. Terjadinya transfer pengetahuan dan ketrampilan mengenai budidaya
tanaman obat dan anggrek dari petugas TNGHS ke masyarakat.
Pembangunan demplot tanaman obat dan anggrek di TNGHS
memiliki dampak positif seperti halnya pembangunan demplot-demplot
tanaman di daerah lain. Keberadaan demplot tanaman obat pada kelompok
PKK Dusun Sukarejo dan Karangharjo Desa Rantau Karya, Kecamatan
Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi memberi
dampak pada peningkatan pengetahuan ibu-ibu PKK tentang tanaman obat
sekaligus memanfaatkan dan meningkatkan fungsi pekarangan sebagai
penyedia tanaman obat (Duaja et al., 2011). Dampak positif juga dirasakan
petani anggota Kelompok Tani Majujaya Kelurahan Talang Babat
116| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kecamatan Muara Sabak Barat Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang
dengan pembuatan demplot jahe merah unggul disertai dengan sosialisasi,
penyuluhan, dan pendampingan, terjadi peningkatan jumlah petani yang
menanam jahe di pekarangan rumah serta peningkatan pengetahuan dan
keterampilan petani dalam budidaya jahe merah (Latief et al., 2013).
Praktek percontohan budidaya tanaman anggrek melalui demplot juga
meningkatkan keterampilan dan minat masyarakat Desa Cinunuk,
Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung dalam membudidayakan
tanaman anggrek (Murgiyanti et al., 2007).
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
Pembangunan demplot tanaman obat dan anggrek di TNGHS selain
bermanfaat sebagai sarana koleksi dan konservasi eksitu tanaman obat dan
anggrek yang ada di TNGHS juga dapat menjadi media percontohan bagi
masyarakat dalam mengembangkan usaha HHBK alternatif. Keberadaan
demplot juga dapat menjadi media belajar petugas TN yang dapat
ditransfer ke masyarakat serta menjadi alternatif kegiatan pemberdayaan
masyarakat di daerah penyangga TN.
Kajian ini memiliki keterbatasan karena belum dapat mengevaluasi
tingkat keberhasilan demplot tanaman obat dan anggrek terhadap
peningkatan kapasitas masyarakat dan petugas TNGHS serta peningkatan
ekonomi masyarakat yang mengembangkan tanaman obat dan anggrek
dalam jangka panjang, sehingga ke depan diperlukan kegiatan evaluasi
pengaruh keberadaan demplot tanaman obat dan anggrek terhadap
peningkatan kapasitas dan ekonomi masyarakat serta pengelola kawasan
konservasi. Keberadaan demplot harus dipelihara dengan merawat koleksi
yang ada, menambah koleksi yang dapat diperoleh melalui eksplorasi di
jalur lainnya dengan tetap berpegang pada prinsip konservasi, serta
melakukan kegiatan evaluasi terhadap keberhasilan tumbuh tanaman di
dalam demplot dan di masyarakat.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 117
DAFTAR PUSTAKA
BTNGHS. 2011. Overview Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
http://www.tnhalimun.go.id/static/overview.html. Diakses 4
November 2014.
BTNGHS. 2014. Keanekaragaman Hayati Flora. halimunsalak.org/
tentang-kami/keanekaragaman-hayati/. Diakses 30 November
2014.
Damayanti, R.U., A. Hani, dan T.S. Widyaningsih. 2014. Potensi Tanaman
Anggrek dan Tanaman Obat di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hasil Hutan
Bukan Kayu di Yogyakarta tanggal 6 November 2014.
Duaja, M.D., E. Kartika dan F. Mukhlis. 2011. Peningkatan Kesehatan
Masyarakat melalui Pemberdayaan Wanita dalam Pemanfaatan
Pekarangan dengan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) di
Kecamatan Geragai. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat No. 52
Tahun 2011. ISSN: 1410-0770. Hal 74-79.
Harada, K., Widada, A.J. Arief, H. Kobayashi, T. Okayama, N. Sakaguchi,
dan S. Ozawa. 2003. Taman Nasional Gunung Halimun
“Menyingkap Kabut Gunung Halimun”. JICA-P2B LIPI-TNGH
Dirjen PHKA. Sukabumi.
Krismawati, A. dan M. Sabran. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Genetik
Tanaman Obat Spesifik Kalimantan Tengah. Buletin Plasma
Nutfah Vol.12 No.1 Th.2004. Hal 16-23.
Latief, M., F. Tafzi dan Aryunis. 2013. Pemanfaatan Pekarangan untuk
Budidaya Tanaman Jahe Merah untuk Meningkatkan Pendapatan
Keluarga Petani di Kelurahan Talang Babat Kecamatan Muara
Sabak Barat Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Jurnal Pengabdian
pada Masyarakat No. 55 Tahun 2013. ISSN: 1410-0770.
Murgiyanti, E. Suminar, dan D. Sobardini S. 2007. Pemanfaatan
Pekarangan di Kompleks Perumahan untuk Budidaya Tanaman
Anggrek. Dharmakarya. Jurnal Aplikasi Iptek untuk Masyarakat,
Desember 2007.
118| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil
Hutan Bukan Kayu.
Pribadi, E.R. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia Serta
Arah Penelitian dan Pengembangannya. Perspektif Vol. 8 No. 1 /
Juni 2009. Hlm 52-64. ISSN: 1412-8004.
Redaksi AgroMedia. 2002. Anggrek: bunga dengan aneka pesona bentuk
dan warna. Cetakan 1. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Setiani, T., E.F. Sari, K. Usri. 2007. Penerapan Penggunaan Daun Lidah
Buaya(Aloe vera) untuk Pengobatan Stomatitis Aftosa (Sariawan)
di Desa Ciburial Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung.
Dharmakarya. Jurnal Aplikasi Iptek untuk Masyarakat, Desember
2007.
Sofowora. 1982. Medicinal Plant and Traditional Medicine in Africa.
http:// www.mapbd.com/wmp.htm
Widyaningsih, T.S., 2013. Kajian Alternatif Model Pemberdayaan
Masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Al-Basia
vol. 9 No. 2, Desember 2013. Hal. 14-25.
Wikipedia. 2014. Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Id.m.wikipedia.org/wiki/Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Diakses 28 November 2014.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 119
POTENSI AGROFOREST MEDANG BAMBANG LANANG (Michelia
champaca) DALAM MENDUKUNG KEMANFAATAN
HASIL HUTAN NON KAYU DIKECAMATAN MUARA PAYANG
KAWASAN LEMATANG ULU, SUMATERA SELATAN
EndahKusuma Wardhani1)
and Dona Octavia2)
1)DinasKehutanandan Perkebunan Kab. Kebumen-Jawa Tengah
2)PuslitbangKonservasidanRehabilitasi-Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kawasan Lematang Ulu Sumatera Selatan memiliki peranan penting sebagai
daerah penyangga ekosistem di bawahnya. Adanya penutupan vegetasi berupa
agroforest juga berfungsi sebagai pemasok kebutuhan kayu untuk Kabupaten
Lahat dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi agroforest
medang bambanglanang (Michelia champaca) dalam mendukung kemanfaatan
hasil hutan non kayu dengan mengkaji struktur dan komposisi tegakan dalam
pengelolaan agroforest berbasismedang bambang lanang MBL (Michelia
champaca). Penelitian dilakukan di Kecamatan Muara Payang (Kabupaten
Lahat) di agroforest Kawasan Lematang Ulu. Tiga lokasi dipilih berdasarkan
purposive sampling method untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi vegetasi di wilayah kajian
terdiri atas7 jenis vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis herba.
Jenis dominan tingkat pohon adalah MBL, gamal (Gliricida sepium (Jacq.)
Kunth ex Walp), durian (Durio zibethinus Murr)danlamtoro (Leucaena
leucocephala) sedangkan pada tingkat pancang dijumpai Kopi (Coffea sp.) dan
kakao (Theobroma cacao).
Kata kunci: Michelia champaca, struktur dan komposisi tegakan, praktek
agroforestry, Indeks Nilai Penting, hasil hutan non kayu
I. PENDAHULUAN
Penggunaan lahan pada daerah hulu secara rasional membutuhkan
sistempenggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi,
produktifitas danpemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan. Hal ini
dapat terwujud salah satunya melalui sistem penggunaanlahan berupa hutan
rakyat (agroforest). Agroforest merupakan salah satu sistem pengelolaan
lahan yang bisa ditawarkan guna mengatasi permasalahan yang timbul
120| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
akibat alih guna lahan dan sekaligus mengatasi masalah pangan (Hairiah,
Sardjono, dan Sabarnurdin, 2003).
Hutan rakyat berperan penting dalam kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat. Penutupan vegetasi hutan rakyat di Lematang Ulu
memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem secara keseluruhan.
Namun keberadaan hutan rakyat di wilayah tersebut belum ditopang
dengan informasi yang cukup seperti struktur dan komposisi jenis.
Demikian juga potensi kayu maupun non kayu hutan rakyat belum dikaji.
Michelia champaca, sebagai salah satu jenis pohon penghasil kayu
pertukangan komersil, di beberapa daerah, populasinya sudah jarang
dijumpai. Namun di Sumatera Selatan, M. champaca yang dikenal dengan
nama pohon Medang bambang lanang, telah dibudidayakan secara swadaya
oleh masyarakat. Cempaka (Michelia champaca Linn.) yang termasuk
famili Magnoliaceae dengan serat kayu yang halus, selain memilki hasil
kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri, konstruksi,
furniture, vinir, plywood, particle board, ukiran dan barang-barang
dekorasi, juga memiliki hasil non kayu menghasilkan bunga untuk wangi-
wangian dan untuk bahan baku minyak atsiri yang mempunyai nilai jual
tinggi dan berpotensi sebagai tanaman obat.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka kajian akan dilakukan pada
struktur dan komposisi tegakan dalam pengelolaan agroforest berbasis
Medang Bambang Lanang di kawasan Lematang Ulu, khususnya di
Kecamatan Muara Payang. Pemilihan lokasi di kawasan Lematang Ulu ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah ini merupakan daerah
penyangga ekosistem untuk wilayah dibawahnya. Penelitian ini bertujuan
mengetahui potensi agroforest medang bambanglanang (Michelia
champaca) dalam mendukung kemanfaatan hasil hutan non kayu dengan
mengkaji struktur dan komposisi tegakan dalam pengelolaan agroforest
berbasis medang bambang lanang MBL (Michelia champaca. Penelitian ini
berbeda dibandingkan penelitian agroforest sebelumnya karena jenis yang
dominan dalam agroforest ini adalah medang bambang lanang (Michelia
champaca) yang memiliki potensi multiguna tinggi namun belum banyak
diketahui. Demikian juga komponen agroforest yang terdapat didalamnya
ternyata menghasilkan produk hasil hutan non kayu yang cukup beragam.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 121
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah hutan rakyat di Kecamatan Muara
Payang, Kabupaten Lahat, yang termasuk kawasan Lematang Ulu, Propinsi
Sumatera Selatan. Pertimbangan pemilihan lokasi ini karena Lematang
Ulu merupakan daerah hulu yang merupakan daerah tangkapan air
termasuk ke dalam wilayah kerja BPDAS Musi bagian sub DAS Lematang
dengan memiliki luas 190.350,47 ha sehingga mempunyai fungsi strategis
sebagai daerah penyangga ekosistem untuk wilayah di bawahnya.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010.
B. Bahan dan Alat
Bahan penelitian yaitu tanaman yang ada di lahan hutan rakyat
yang dikelola melalui sistem hutan rakyat dengan tanaman pokok medang
bambang lanang (MBL).
Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Seperangkat alat pembuatan petak ukur (PU) yaitu tali tambang,
kompas, pita meter.
2. Blangko pengamatan (tally sheet) dan alat tulis menulis
3. Kamera digital
C. Metode Pengumpulan Data
C.1. Penentuan Lokasi Penelitian dan Sampel
Lokasi penelitian dipilih secara purposiveberdasar kriteria ada dan
tidaknya tanaman medang bambang lanang yang diusahakan oleh petani,
yaitu di Kecamatan Muara Payang yang termasuk kawasan Lematang
Ulu.Pengambilan sampel hutan rakyat dilakukan secara acak (random
sampling) sebanyak tiga sampel hutan rakyat. Pada masing-masing sampel
hutan rakyat tersebut dilakukan pengambilan data vegetasi menggunakan
metode Garis Berpetak (Nested Sampling) dengan ulangan sebanyak empat
kali (Wezelet.al, 2005), sehingga diperoleh dua belas plot berukuran
masing-masing 0,04 ha. Total luasan yang diamati untuk keseluruhan
lokasi adalah 0,48 ha.
122| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
C.2. Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data vegetasi
(jenis, jumlah, tinggi tanaman, keliling/diameter, tinggi bebas cabang,
tingkat pertumbuhan tanaman) untuk keperluan analisis vegetasi sehingga
dapat dibedakan vegetasinya antar satu lokasi dengan yang lain.
C.3. Prosedur Pengambilan Data
Pengukuran vegetasi dilakukan pada lahan hutan rakyat berbasis
medang bambang lanang. Mengacu pada Indriyanto (2006), untuk
mendapatkan data vegetasi digunakan Metode Garis Berpetak (Nested
Sampling) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran luas petak 2x2 m²
(untuk tingkat semai), 5x5 m² (untuk tingkat pancang), 10x10 m² (untuk
tingkat tiang) dan 20x20 m² (untuk tingkat pohon). Jarak antar petak ukur
dibuat 20 m. Bentuk dan gambar ukuran lokasi pengamatan serta
peletakannya di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.
.
Gambar 1. Desain Jalur Pengamatan vegetasi
Keterangan :
T : pengamatan tingkat pohon (tree) 20 m x 20 m
P : pengamatan tingkat tiang (pole)10 m x 10 m
Sp : pengamatan tingkat pancang (sapling) 5 m x 5 m
Sd : pengamatan tingkat semai (seedling) 2 m x 2 m
Klasifikasi tingkat pertumbuhan vegetasiadalah sebagai berikut:
(a) Pohon (trees), yaitu tumbuhan yang memiliki diameter 20 cm keatas;(b)
Tiang (poles), yaitu pohon muda yang memiliki diameter 10 – 20 cm;
Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m atau lebih
sampai pohon muda yang memiliki diameter 10 cm;dan Semai (seedling),
Arah rintis
Jarak antar jalur 20 m
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 123
yaitu anakan pohon sampai mencapai tinggi hingga 1,5 m(Soerinegara dan
Indrawan, 2005).
D. Analisis Data
D.1. Komposisi dan Struktur Vegetasi
Parameter vegetasi yang dianalisis meliputi jenis tanaman, tinggi
dan diameter tanaman. Parameter tersebut dianalisis untuk mengetahui
komposisi vegetasi hutan rakyat dengan menggunakan Indeks Nilai Penting
(Important Value Index) yang dapat menggambarkan kerapatan,
penyebaran jenis (frekuensi), penguasaan jenis (dominansi) dan peran jenis
(INP). Perhitungan dilakukan dengan mengacu pada rumus yang
dikemukakan oleh Kusmana (1997) sebagai berikut:
Kerapatan jenis = jumlah individu / luas petak
Kerapatan Relatif (KR) (%) = kerapatan suatu jenis x100%
kerapatan seluruh jenis
Frekuensi = Jumlah Plot ditemukan suatu jenis/Jumlah total plot
Frekuensi Relatif (FR) (%) = Frekuensi Suatu Jenis x 100 %
Frekuensi total Jenis
Dominansi = Luas bidang dasar dalam petak/luas petak
Dominansi Relatif (DR) (%) = Dominansi Suatu Jenis x 100 %
Dominansi Seluruh Jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Struktur dan komposisi vegetasi pada lokasi kajian Kec. Muara
Payang Kab. Lahat
Struktur dan komposisi jenis penyusun vegetasi agroforest di
Lokasi Lematang Ulu diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut:
Tabel 1. Rekapitulasi jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi agroforest MBL di Kecamatan Muara Payang, Lematang Ulu.
Plot Lokasi Tingkat Pertumbuhan Jumlah
individu
Jumlah
jenis Pohon Tiang Pancang Semai
A1 Muara Payang 1 100 83 533 1,375 2,092 6
A2 Muara Payang 2 88 117 533 770 1,508 6
A3 Muara Payang 3 94 108 533 1,687 2,423 7
124| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Berdasarkan hasil pengamatan komposisi vegetasi, di Kec. Muara
Payang hanya ditemukan 7 jenis vegetasi yang terdiri atas : tingkat pohon
(3 jenis), tingkat tiang (3 jenis), tingkat pancang (3 jenis) dan tingkat semai
(4 jenis). Jumlah jenis di lokasi ini tergolong sedikit dibandingkan dengan
jumlah jenis agroforestry di Kec. Cangkringan pada zona bawah sebanyak
47 jenis (Irfa’I, 2009). Hal ini dikarenakan jenis yang ditanam sesuai yang
diinginkan dan diusahakan oleh petani, seperti jenis MBL, gamal, durian,
lamtoro, kopi, kakao dan cabe. Untuk jenis utama yang diusahakan secara
turun temurun adalah jenis MBL dan kopi, akan tetapi jika dilihat dari
jumlah individu seperti ditunjukkan dalam tabel 4 memiliki jumlah
individu yang cukup banyak rata-rata 1.939 batang/per ha. Dalam setiap
tingkat pertumbuhan tidak selalu terdapat jenis yang sama. Jenis MBL dan
durian hanya bisa ditemukan pada tingkat pohon, tiang dan pancang, dan
jenis MBL mendominasi Muara Payang pada tingkat pertumbuhan pohon
dengan nilai INP sebesar 206,2. Sedangkan durian sebagai usaha
sampingan berupa buah durian.Jenis-jenis penyusun utama dengan INP
tertinggi disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi INP (%) vegetasi penyusun agroforest MBL per
tingkat pertumbuhan di Kec. Muara Payang
No jenis Nama Ilmiah INP Tingkat Pertumbuhan
Pohon Tiang Pancang Semai
1 MBL M. champaca 206,2 84,2 0 0
2 Gamal G. sepium 39,99 167,03 0 0
3 Durian D. zibethinus 38,71 0 16,40 61,67
4 Lamtoro L. leucocephala 15,12 48,7 0 29,54
5 Kopi Coffea sp 0 0 246,82 80,49
6 Kakao T. cacao 0 0 36,78 11,78
7 Nangka A. heterophyllus 0 0 0 16,50
Jumlah 300 300 300 200
(Sumber : Hasil olah data primer 2010)
Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa tidak dijumpai individu pada
tingkat pertumbuhan semai dan pancang untuk jenis MBL (Michelia
champaca) dan gamal (Gliricidia sepium).Untuk mengatasi gap fase
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 125
pertumbuhan ini, maka budidaya MBL maupun gamal adalah hal yang
penting dilakukan untuk menjaga kelestarian dan kontinuitas jenis tersebut.
Pada tingkat pohon didominasi oleh jenis MBL dengan INP
sebesar 206,2. Struktur dan komposisi yang ada sudah hampir menyerupai
hutan alam dengan memiliki multistrata, yang memungkinkan untuk
pembagian cahaya matahari secara merata sehingga proses metabolisme
pertumbuhan tanaman lebih optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat
Michon dan de Foresta (2003) yang menyatakan bahwa agroforest yang
memiliki kemiripan struktur dan fungsinya dengan ekosistem hutan alam
memunculkan sistem produksi yang mampu secara berkelanjutan
melestarikan kesuburan tanah, dan sekaligus melestarikan sebagian besar
keanekaragaman hayati hutan alam, baik hewan maupun tumbuhan.
Pada tingkat tiang didominasi oleh gamal dengan INP sebesar
167,03, hal ini dikarenakan gamal merupakan tanaman penaung bagi MBL
dan kopi pada saat awal penanaman. Pada tingkat pancang didominasi oleh
kopi dengan INP sebesar 246,82. Demikian juga pada tingkat semai,
didominasi oleh kopi dengan INP sebesar 80,49. Hal ini membuktikan
bahwa tanaman kopi yang merupakan produk sampingan dari pola
agroforestri di Kec. Muara Payang berpotensi untuk dapat dipanen secara
berkala atau tahunan selain kayu MBL yang merupakan tanaman utama
yang diusahakan guna investasi di masa mendatang. Indikasi ini juga
menunjukkan bahwa semai kopi yang ada merupakan sisa-sisa biji kopi
yang berserakan di tempat sehabis masa panen dan dibiarkan begitu saja
sampai tumbuh menjadi semai. Terlihat bahwa pada tingkat semai jenis
MBL hampir tidak ada sama sekali, bertolak belakang dengan kopi dan
durian yang masih banyak memiliki permudaan. Hal tersebut bisa
dijelaskan bahwa semai kopi dan durian yang ada merupakan permudaan
alami yang secara tidak sengaja dilakukan oleh petani ketika memanen
buah kopi dan durian pada saat musim kopi dan durian petani
meninggalkan buah kopi yang berceceran sambil memakan durian dan
meninggalkan biji-biji durian di lantai kebun, sehingga ketika pada kondisi
optimal tumbuh menjadi semai. Kondisi kebun yang sudah hampir
menyerupai hutan alam, mampu memberikan kondisi yang ideal bagi biji
kopi dan durian untuk bisa melakukan proses pertumbuhan menjadi semai.
126| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sedangkan jenis MBL secara berkala dipanen buahnya oleh petani guna
dijadikan benih dan bibit yang diusahakan sendiri, atau dengan kata lain
petani melakukan pembenihan dan pembibitan sendiri secara generatif,
sehingga semai yang tumbuh secara alami tidak ditemui di lokasi kajian ini
pada saat pengambilan data. Akan tetapi jika pengambilan buah terlambat
waktunya maka akan banyak ditemukan anakan atau semai di bawah
tegakan MBL.
Seperti yang terjadi pada beberapa lokasi yang mengalami
keterlambatan pemanenan buah pada awal tahun 2010, tepatnya bulan
April - Mei pada saat setelah penelitian ini berlangsung. Hasil permudaan
MBL ditemukan 100 – 700/m² semai di bawah sengkuap tajuk (Lukman,
2010). Hal ini menunjukkan bahwa permudaan dari jenis ini sebenarnya
melimpah akan tetapi karena jenis MBL termasuk intoleran maka tidak
semua semai mampu bertahan sampai pada tingkat pohon akibat persaingan
cahaya. Berdasarkan informasi terbaru (Lukman,2010), pada tahun 2010
MBL mengalami masa pembungaan dan pembuahan yang berbeda dari
tahun-tahun sebelumnya yaitu 1 tahun 2 kali pada bulan November –
Januari dan Juli–September sehingga mengakibatkan kesulitan dalam
memprediksi waktu masa panen raya dan panen sela. Secara kebetulan saja
pada waktu pengambilan data di lokasi Muara Payang buah MBL sudah
diunduh, dan pemeliharaan pada lahan teramati cukup bagus dengan
adanya penyiangan termasuk semai MBL ikut dibersihkan karena prioritas
tanaman kopi yang diusahakan sehingga tidak dijumpai anakan MBL
tersebut. Menurut Arlanda (2008) benih MBL memerlukan waktu yang
lama untuk berkecambah sehingga mengakibatkan penyediaan bibit secara
masal untuk penanaman terganggu. Menurut Arlanda (2008) lebih lanjut
menyatakan bahwa perkecambahan benih yang lambat dan tidak serentak
merupakan salah satu permasalahan serius dari pembibitan tanaman hutan.
Benih tanaman MBL apabila disimpan dalam jangka waktu yang
lama di dalam lemari pendingin masih mampu tumbuh dan meskipun kadar
airnya diturunkan hingga batas tertentu diatas kadar air biji ortodoks juga
masih bisa tumbuh, dan pada kondisi masih segar baru diunduh langsung
dikecambahkan tanpa perlakuan pendahuluan juga masih bisa tumbuh. Hal
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 127
ini menunjukkan bahwa benih MBL memiliki sifat “semi-rekalsitran”
(Hasanah, 2002).
Perlu perlakuan pendahuluan untuk memudahkan benih
berkecambah, dan perkecambahan berlangsung cepat dan seragam. Salah
satunya yang dilakukan oleh Arlanda (2008) memberikan hasil bahwa sifat
fisik benih MBL memiliki kulit keras dengan tipe perkecambahan epygeal
dengan perlakuan alkohol 80 % memberikan hasil yang tertinggi pada
parameter kecepatan tumbuh (25 hari). Hasil tersebut lebih lambat
dibandingkan dengan hasil wawancara dengan salah satu kelompok petani
yang mengusahakan pembibitan di Kec. Muara Payang dengan hanya
melakukan perlakuan pendahuluan secara tradisional (perlakuan
pembakaran selintas di bedeng tabur yang tertutup oleh mulsa) memerlukan
waktu rata-rata 21 hari berkecambah. Dengan demikian para petani di Kec.
Muara Payang sudah mampu melakukan pembibitan mandiri guna
memenuhi kebutuhan akan bibit di lokasi Kabupaten Lahat dan sekitarnya
dengan harga jual per batang Rp.1000,00.
B. Potensi agroforest medang bambang lanang (Michelia champaca)
dalam mendukung kemanfaatan hasil hutan non kayu
Hasil hutan non-kayumenurut Badan Pangan Dunia (FAO) adalah
hasil-hasil biologi selain kayu yang diperoleh dari hutan tanpa harus
menebang pohon. Beberapa contoh hasil hutan bukan kayu adalah hasil-
hasil yang dapat dimakan (seperti kacang-kacangan, jamur, buah, herba,
bumbu dan rempah-rempah, tanaman beraroma) dan satwa/hewan buruan,
serat (yang digunakan untuk konstruksi, mebel, pakaian dan perkakas),
damar, resin, karet, madu serta hasil tanaman dan binatang yang digunakan
untuk obat, kosmetik dan kepentingan budaya. FAO menaksir 80%
penduduk di negara berkembang memanfaatkan hasil hutan bukan kayu
untuk kesehatan dan sumber nutrisi dan satu-satunya sumber bagi ibu
rumah tangga miskin untuk dijadikan uang dan manfaat langsung dari hasil
hutan bukan kayu. Jutaan rumahtangga didunia ini, menggantungkan
hidupnya terutama pada hasil hutan bukan kayu sebagai kebutuhan
sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri (subsisten).
Di Kecamatan Muara Payang, selain ketujuh tumbuhan berkayu
(Tabel 2), dijumpai pula tanaman semusim diantaranya padi, kedelai,
128| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kacang tanah, singkong, jagung, terong, cabe dan tanaman herba
diantaranya kirinyuh, cemplukan, putri malu, bluntas, rumput teki.
Masyarakat beralasan bahwa kayu MBL memiliki prospek yang cukup
bagus baik dari segi kualitas batangnya dan harga jual kayu tersebut.
Heyne (1987) mengemukakan bahwa kualitas batang kayu MBL, kayunya
agak keras dan penggunaannya terdapat pada bangunan rumah. Jenis ini
dipergunakan untuk tiang dan papan dan dapat digolongkan dalam kelas
ketahanlamaan IV dan III. Harga jual pada tahun 2005 menurut
Ulya.Waluyo dan Martin (2006) diketahui bahwa pada umur 10 tahun
pohon MBL sudah dapat dipanen dengan volume 0,5 m3/pohon tetapi
harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15 tahun yaitu dengan
harga Rp 900.000,-/m3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya rata-
rata 1 m3/pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp 1.000.000,-/m3.
Lebih lanjut menurut Ulya et al., (2006) secara umum analisis finansial
budidaya pohon MBL secara murni maupun campuran layak diusahakan
karena nilai BCR>1 dengan tingkat suku bunga yang digunakan adalah
12%. Permintaan kayu MBL sampai saat ini masih cukup tinggi, akan
tetapi persediaan kayu MBL hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal
masyarakat di sekitar kabupaten Lahat guna membuat rumah dan furnitur
(Martin dan Galle, 2009). Tingginya permintaan kayu MBL sehingga
peluang untuk budidaya masih cukup tinggi.
Beberapa hasil hutan non kayu yang dijumpai dalam pola
agroforest di Kecamatan Muara Payang antara lain:
1. Hasil-hasil yang dapat dimakan, antara lain kacang-kacangan (kacang
tanah dan kedelai), singkong, jagung, terong, cabe, buah-buahan
(durian, nangka, lamtoro, kopi, kakao)
2. Hasil tanaman untuk obat-obatan, antara lainbunga cempaka
kuning/MBL (Michelia champaca) untuk bahan baku minyak atsiri
yang mempunyai nilai jual tinggi dan berpotensi sebagai tanaman obat.
Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat adalah bunga, daun, buah,
akar, kulit batang dan getah. Bagian tumbuhan yang paling banyak
digunakan adalah bunga. Bunga MBL mengandung senyawa metabolit
sekunder terpenoid. Daun MBL mengandung saponin yang dapat
menghambat pertumbuhan jamur. Terdapat 21 macam penyakit yang
dapat diobati menggunakan bagian tumbuhan ini yaitu diantaranya
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 129
rematik, masuk angin, asam urat, malaria, penambah stamina,
melangsingkan perut, lulur, cacar, sakit kepala, demam,lepra, gatal-gatal
dan bisul(Zumaidar, 2009). Demikian juga tanaman semusim kirinyuh
(Chromolaena odorata) adalah sebagai obat kanker.
Tanaman semusim Ciplukan/cemplukan (Physalis angula) untuk
mengobati diabetes mellitus. Daunnya bermanfaat sebagai obat
penyembuhan patah tulang, busung air, bisul, borok, penguat jantung,
keseleo, nyeri perut, dan kencing nanah.Sedangkan buah ciplukan
sendiri sering dimakan langsung untuk mengobati epilepsi, sulit buang
air kecil, dan penyakit kuning. Pohon cemplukan mengandung senyawa-
senyawa aktif yang antara lain saponin (pada tunas), flavonoid (daun
dan tunas), polifenol, dan fisalin (buah), Withangulatin A (buah), asam
palmitat dan stearat (biji), alkaloid (akar), Chlorogenik acid (batang dan
daun), tannin (buah), kriptoxantin (buah), vitamin C dan gula (buah).
3. Wangi-wangian, antara lain bunga cempaka. Minyak atsiri yang
terdapat dalam bunga MBL mengandung senyawa terpenoid dan fenol
yang menghasilkan bau harum yang khas (Harbone, 1987 dalam
Zumaidar, 2009).
Dengan semakin tingginya diversitas komponen dalam suatu
agroforest maka akan meningkatkan peluang semakin banyaknya potensi
hasil hutan non kayu yang diperoleh.
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Komposisi jenis vegetasi di Kecamatan Muara Payang adalah 7 jenis
vegetasi berkayu, 4 jenis tanaman semusim dan 5 jenis herba liar. Jenis
yang dominan pada tingkat pohon adalah MBL dengan INP sebesar
206,2%; tingkat tiang didominasi oleh gamal dengan INP
sebesar167,03%; tingkat pancang/sapihan didominasi oleh kopi dengan
INP sebesar 246,82% dan tingkat semai didominasi oleh tanaman kopi
dengan INP sebesar 80,49%.
2. Potensi agroforest Medang Bambang Lanang (M.champaca) di
Kecamatan Muara Payang untuk mendukung kemanfaatan hasil hutan
130| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
non kayu diantaranya berupa hasil-hasil yang dapat dimakan (buah dan
sayur), untuk obat-obatan dan wangi-wangian.
B. Keterbatasan
Salah satu kendala dalam pengembangan agroforest MBL ini
adalah terbatasnya kajian silvikultur dan deposit biji MBL serta
kemanfaatan hasil hutan non kayu yang dimiliki oleh komponen
agroforestri di dalamnya.
C. Saran
Dari hasil temuan di lapangan, dapat dilakukan pengembangan
penelitian diantaranya perlunya kajian silvikultur MBL dan deposit
biji di bawah agroforest MBL serta evaluasi pertumbuhan MBL umur
pertanaman10 tahun.
Perlu dicantumkan di sini saran dari ahli agroforestri Clarke tahun
1980 (Michon dan de Foresta, 1993) bahwa alangkah baiknya
membangun pedesaan dengan membangun kembali secara sistematis
tanpa harus merusak sumber daya berharga, tidak hanya kepada spesies
agroforestri pada umumnya yang diakui cepat tumbuh dan serbaguna,
akan tetapi diutamakan kepada spesies setempat atau lokal yang secara
tradisional dikenal, dipakai dan dikelola petani secara turun-temurun.
DAFTAR PUSTAKA
Arlanda, R. 2008. Karakteristik Benih dan Perkecambahan Medang
Bambang Lanang (Madhuca aspera H.J. Lam). Tesis Pascasarjana
Universitas Sriwijaya. Palembang. Tidak dipublikasikan
Hairiah, K,M.A. Sardjono, dan Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar
Agroforestri Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF),
Southeast Asia Regional Office. PO BOX 161 Bogor. Indonesia.
Hasanah, M. 2002. Peran Mutu Fisiologik Benih dan Pengembangan
Industri Benih Tanaman Industri. Balai Tanaman Rempah dan
Obat. Jurnal Litbang Pertanian 21(3) p:84-90, Bogor.
Heyne, K. 1978. Tumbuhan Tanaman Berguna Indonesia Volume I – IV.
Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 131
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan.Bumi Aksara Jakarta.Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Irfa’I. 2009. Kajian Karakteristik Sistem Agroforestri di Kawasan Hulu
Sub DAS Opak. Tesis Pascasarjana Univiversitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.(Tidak dipublikasikan)
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut
Pertanian. Bogor
Lukman. 2010. Peneliti BaLitbang Sumatera. (081367667xxx). Informasi
via telepon pada tanggal 15 Desember 2010, jam 12.09 WIB.
Martin,E dan F.B. Galle.2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi
Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil kayu Pertukangan :
Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum
BL) Oleh Masyarakat Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi
Kehutanan Vol.6 No.2 Juni, Hal; 117– 134. Balitbang. Palembang.
Michon, G dan de Foresta, H. 1993. Agroforest in Indonesia: Complex
Agroforestry Systems For Future Development. Makalah
disampaikan pada Internasional Training Course on Sustainable.
Land Use Systems and Agroforestry Reacearch for Humid Tropic
Agroforestry System of Asia. 26. ICRAF & BIOTROP. Bogor.
Soerianegara, Idan A., Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia.
Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.Bogor.
Ulya, N.A, Waluyo, AE, Martin, E. 2006. Mengubah Desa Rawan
Bencana Alam Menjadi Desa Hutan Rakyat: Sebuah Revitalisasi
Industri Perkayuan Sumatera Selatan Melalui Rekayasa Sosial,
Balitbang Palembang.
Wezel,AandOhl,J.2005. Does Remoteness from urban centre sinfluence
plant diversity inhome garden sand swiddenfiekds?:acasestudy
fromthe Matsiguenka in the Amazonian rain forest of Peru.
Agroforestry System65:241-251.
Zumaidar. 2009. Kajian Cempaka Kuning (Michelia champaca L.) Sebagai
Tumbuhan Obat. Jurnal Floratek 4: 81-85
132| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
POTENSI SISTEM PERAKARAN BEBERAPA JENIS HHBK
DALAM PENGENDALIAN EROSI DAN LONGSOR
Ogi Setiawan1, Krisnawati
1 dan Budi Hadi Narendra
2
1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl. Dharma Bhakti No.7 Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, Nusa
Tenggara Barat
Telp. (0370) 6175552; Fax. (0370) 6175482; 2Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No.5, Bogor
email : [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan jenis potensial yang dapat
digunakan untuk rehabilitasi kawasan hutan dimana pemanfaatan kayu tidak
diperkenankan, seperti hutan lindung. Namun demikian, selain mempunyai potensi
ekonomi dan sesuai dengan karakteristik lahan, jenis HHBK tersebut harus
mempunyai potensi ekologi diantaranya untuk pengendalian erosi dan longsor.
Bagian tanaman yang mempunyai peranan dalam pengendalian erosi dan longsor
salah satunya adalah sistem perakaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik perakaran beberapa jenis HHBK dalam hubungannya dengan
pengendalian erosi dan longsor. Variabel sistem perakaran yang diamati adalah
tipe arsitektur perakaran serta Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkram
Akar (ICA). Jenis HHBK yang diamati adalah penghasil buah (kemiri, durian,
alpukat, nangka, rambutan, melinjo, sukun, manggis, ceruring, sawo dan mangga),
sumber BBN (nyamplung), sumber obat (bidara laut dan malaka) dan penghasil
minyak atsiri (gaharu). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis HHBK yang
diamati mempunyai arsitektur sistem perakaran tipe-R dan tipe-VH yang mampu
meningkatkan kuat geser tanah. Nilai IJA dan ICA pada umumnya termasuk
kategori sedang dan tinggi, hal ini menunjukan bahwa jenis HHBK yang diamati
mempunyai akar vertikal yang relatif besar dan akar horizontal yang cukup.
Berdasarkan karakteristik perakarannya, maka jenis HHBK yang diamati
mempunyai potensi dalam pengendalian erosi dan longsor, khususnya longsor
dangkal.
Kata kunci : HHBK, sistem perakaran, erosi, longsor
I. PENDAHULUAN
Lahan kritis merupakan permasalahan yang sampai dengan saat ini
belum tertangani secara optimal. Kementerian Kehutanan (2014) mencatat
bahwa sampai dengan tahun 2013 lahan kritis dengan kategori kritis dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 133
sangat kritis mencapai lebih dari 27 juta ha, namun di sisi lain keberhasilan
upaya rehabilitasi pada tahun yang sama hanya mencapai 2,5%. Salah satu
penyebab timbulnya lahan kritis adalah deforestasi yang pada tahun-tahun
terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan
data Forest Watch Indonesia (2011), pada kurun waktu 2000 sampai
dengan 2009 laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,51 juta ha/tahun.
Kondisi ini tentunya akan memberikan dampak terhadap kualitas
lingkungan seperti terjadinya erosi, kerusakan tanah, peningkatan limpasan
permukaan, sedimentasi, kapasitas tampung sungai atau waduk yang
berkurang, banjir dan bahkan akan mempengaruhi biodiversitas suatu
kawasan (Yan, Fang, Zhang, dan Shi, 2013; Li, Bennet, dan Wang, 2013;
Nunes, de Almeida, dan Coelho, 2011; Zokaib dan Naser, 2011). Oleh
sebab itu upaya rehabilitasi masih tetap perlu ditingkatkan sehingga mampu
mengurangi dampak yang timbul dan mengembalikan fungsi kawasan
sesuai peruntukannya.
Upaya rehabilitasi yang dilakukan setidaknya harus memberikan
manfaat secara ekonomi dan yang tidak kalah pentingnya adalah manfaat
ekologi. Khusus untuk kawasan dimana pemanfaatan kayu tidak
diperkenankan, seperti di hutan lindung atau kawasan lindung, maka
pilihan yang sangat mungkin adalah jenis-jenis penghasil Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK). Pemilihan jenis HHBK menjadi penting, sebagai
salah satu strategi upaya rehabilitasi yang akan di lakukan (Setiawan dan
Krisnawati, 2012). Banyak jenis HHBK yang dapat dikembangkan dalam
rangka rehabilitasi hutan lindung atau kawasan lindung diantaranya adalah
penghasil buah, sumber Bahan Bakar Nabati (BBN), sumber bahan obat,
dan minyak atsiri (Setiawan dan Krisnawati, 2012; Handoko, 2012;
Setiawan dan Hadi Narendra, 2012). Selain sesuai dengan karakteristik
lahan, fungsi ekologis yang diharapkan dari jenis HHBK yang dipilih
diantaranya adalah berpotensi memberikan peranan dalam mengendalikan
erosi dan longsor sehingga fungsi hutan lindung dan kawasan lindung akan
tetap terjaga.
Bagian tanaman, khususnya jenis HHBK, yang memberikan
peran ekologi untuk pengendalian erosi dan longsor salah satunya adalah
sistem perakaran. Secara mekanis, sistem perakaran dapat mengikat
134| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
partikel tanah dan menambah tingkat kekasaran bagian permukaan
sehingga dapat mengurangi potensi proses perpindahan tanah atau erosi.
Sistem perakaran juga mampu memperkuat tanah melalui transfer tegangan
geser tanah menjadi tahanan tarik dalam akar. Tentunnya hal ini
bermanfaat untuk mengurangi potensi pergerakan tanah ke bawah atau
longsor (Hardiyatmo, 2006). Dalam rangka pemilihan jenis HHBK yang
berpotensi mengendalikan erosi dan longsor dari aspek sistem perakaran,
maka diperlukan deskripsi baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini
sangat berguna sebagai salah satu perangkat sidik cepat potensi perakaran.
Reubens, Poesen, Danjon, Guedens, dan Muys, (2007) menyatakan bahwa
karakteristik sistem perakaran yang berperan dalam proses erosi dan
longsor adalah kerapatan akar, jumlah akar, kedalaman akar, pola
percabangan akar, sudut kemiringan akar dan diameter akar. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mendeskripsikan sistem perakaran
diataranya adalah posisi penetrasi akar pada lapisan tanah (Sotir dan Gray,
1996), tipe arsitektur perakaran (Yen, 1987) serta Indeks Jangkar Akar
(IJA) dan Indeks Cengkram Akar (ICA) (Hairiah, Widianto dan Suprayogo,
2008). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
menentukan karakteristik sistem perakaran beberapa jenis HHBK dalam
hubungannya dengan potensi mengendalikan erosi dan longsor.
II. METODE PENELITIAN
Jenis penghasil HHBK yang diamati adalah jenis penghasil buah
yaitu kemiri (Aleuritas moluccana), durian (Durio zibethinus), alpukat
(Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), rambutan
(Nephelium lapaceum), melinjo (Gnetum gnemon), sukun (Arthocarpus
altilis), manggis (Garcinia mangostana), ceruring (Lansium sp), sawo
(Achraszapota sp) dan mangga (Mangifera indica); sumber BBN yakni
nyamplung (Callophylum inophylum); sumber bahan obat yaitu bidara laut
(Strychnos lucida R.Br.) dan malaka (Phyllanthus emblica)); dan penghasil
minyak atsiri yaitu gaharu (Gyrinops verstigii). Jenis-jenis tersebut
merupakan jenis penghasil HHBK yang potensial untuk dikembangkan di
KPHL Rinjani Barat dalam kerangka rehabilitasi hutan lindung (Setiawan
dan Krisnawati, 2012), dan jenis tanaman penghasil obat yang potensial
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 135
untuk dikembangkan di Kabupaten Bima dan Dompu, Nusa Tenggara
Barat dan daerah Bali Barat, Provinsi Bali. Pengamatan dan pengukuran
dilakukan di beberapa tempat yang berbeda yaitu di sekitar hutan lindung
KPHL Rinjani Barat dan KHDTK Rarung, Lombok tengah untuk jenis
penghasil buah, sumber BBN dan penghasil minyak atsiri pada tahun 2012;
sedangkan untuk jenis sumber bahan obat dilaksanakan pada tahun 2011 di
kawasan Taman Nasional Bali Barat, Bali. Masing-masing jenis HHBK
yang diamati digali dan diekspose sistem perakarannya untuk diamati
secara visual dan diukur dimensinya sesuai dengan variabel sistem
perakaran yang digunakan. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada
tiga contoh tanaman untuk masing-masing jenis HHBK.
Variabel sistem perakaran yang digunakan dan diamati
dilapangan adalah tipe arsitektur perakaran serta nilai IJA dan ICA. Pada
penelitian ini tipe arsitektur perakaran diamati secara visual sesuai dengan
pengelompokan arsitektur perakaran yang dikemukakan oleh (Yen, 1987).
Terdapat lima tipe arsitektur perakaran, yaitu tipe-VH, tipe-H, tipe-V, tipe-
R dan tipe-M (Gambar 1.).
Gambar 1. Tipe arsitektur perakaran (Yen, 1987)
Untuk menentukan nilai IJA dan ICA, maka dilakukan
pengukuran diameter akar dan batang jenis-jenis HHBK yang diamati. IJA
adalah perbandingan antara diameter akar-akar vertikal dan diameter
batang, dan ICA merupakan perbandingan antara diameter akar-akar
horizontal dan diameter batang (Hairiah et.al.,2008). Suatu akar jenis
136| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
HHBK diklasifikasikan sebagai akar horizontal apabila sudut antara akar
dan bidang vertikal lebih dari atau sama dengan 450, sedangakan apabila
kurang dari 450 diklasifikasikan sebagai akar vertikal. Pengukuran
diameter akar dilakukan pada posisi 2 cm dari pangkal akar dan diameter
batang pada ketinggian 130 cm dari pangkal akar. Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan kaliper. Persamaan yang digunakan untuk
menentukan IJA dan ICA (Hairiah et.al.,2008) adalah :
IJA= dv
2
db2
dan ICA= dh
2
db2
Dimana : IJA : Indeks Jangkar Akar
ICA : Indeks Cengkeram Akar
dv : diameter akar vertikal
dh : diameter akar horizontal
db : diameter batang
Nilai IJA dan ICA yang telah diperoleh untuk masing-masing jenis
HHBK diklasifikasikan menjadi tiga kelas (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi Nilai Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks
Cengkeram Akar (ICA) (Hairiah, et.al., 2008)
Klasifikasi Indeks Jangkar Akar (IJA) Indeks Cengkeram Akar
(ICA)
Rendah < 0,1 < 1,5
Sedang 0.1 – 1,0 1.5 – 3,5
Tinggi > 1,0 > 3,5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan dan analisis data karakteristik perakaran yang
dinyatakan dalam tipe arsitektur akar serta nilai IJA dan ICA dari jenis
HHBK yang diamati disajikan pada Tabel 2.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 137
Tabel 2. Tipe arsitektur perakaran, IJA dan ICA beberapa jenis HHBK
No Jenis
Tipe
Arsitektur
akar**
IJA ICA
Rata-Rata SD Kelas* Rata-Rata SD Kelas*
1. HHBK penghasil buah
- Kemiri (Aleuritas moluccana) Tipe-R 0.70 0.26 Sedang 1.59 0.96 Sedang
- Durian (Durio zibethinus) Tipe-R 1.12 0.43 Tinggi 0.89 0.10 Rendah
- Alpukat (Persea americana) Tipe-VH 1.38 0.77 Tinggi 2.15 0.78 Sedang
- Nangka (Artocarpus
heterophyllus)
Tipe-VH
1.42 0.51 Tinggi 3.54 0.39 Tinggi
- Rambutan (Nephelium
lapaceum)
Tipe-R
1.14 1.03 Tinggi 3.78 1.22 Tinggi
- Melinjo (Gnetum gnemon) Tipe-VH 2.18 0.92 Tinggi 1.49 0.24 Rendah
- Sukun (Arthocarpus altilis) Tipe-R 0.76 0.30 Sedang 1.86 0.80 Sedang
- Manggis (Garcinia
mangostana)
Tipe-VH
0.86 0.40 Sedang 1.96 0.90 Sedang
- Ceruring (Lansium sp) Tipe-R 1.34 0.72 Tinggi 3.98 1.42 Tinggi
- Sawo (Achraszapota sp) Tipe-VH 0.96 0.50 Sedang 2.06 1.00 Sedang
- Mangga (Mangifera indica) Tipe-R 1.44 0.83 Tinggi 4.08 1.52 Tinggi
2. HHBK Sumber BBN
- Nyamplung (Callophylum
inophylum)
Tipe-VH
2.21 0.81 Tinggi 1.00 0.12 Rendah
3. HHBK Sumber bahan obat
- Bidara laut (Strychnos lucida
R.Br.)
Tipe-R
1.81 0.27 Tinggi 1.58 0.46 Sedang
- Malaka (Phyllanthus emblica) Tipe-R 0.50 0.12 Sedang 2.10 0.98 Sedang
4. HHBK pengsil minyak atsiri
-Gaharu (Gyrinops verstigii) Tipe-VH 0.89 0.12 Sedang 1.01 0.44 Rendah
Keterangan : IJA = Indeks Jangkar Akar; ICA = Indeks Cengkeram Akar; SD =
Standar Deviasi; * Hairiah, et.al., 2008; ** Yen, 1987
Pola percabangan merupakan salah satu karakteristik perakaran
yang dapat digunakan untuk menggambarkan arsitektur perakaran. Oleh
sebab itu arsitektur perakaran pada intinya merupakan bentuk keseluruhan
atau morfologi akar. Adapun faktor yang mempengaruhi arsitektur
perakaran suatu jenis tanaman adalah faktor genetik dan lingkungan
(Reubens, et.al., 2007). Arsitektur perakaran berkontribusi dalam proses
pergeseran tanah, sehingga hal ini akan mempengaruhi kekuatan geser
yang diberikan oleh akar.
Hasil pengamatan pada beberapa jenis HHBK (Tabel 2)
menunjukkan bahwa pada umumnya jenis HHBK yang diamati mempunyai
138| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
arsitektur perakaran dengan tipe-R dan tipe-VH. Pada jenis HHBK dengan
arsitektur akar tipe-R, akar-akar yang terpusat pada akar sentral dengan
orientasi horizontal pada umumnya tumbuh melebar dan akar utama
tumbuh secara diagonal atau vertikal. Di sisi lain, jenis HHBK dengan tipe-
VH pada umumnya mempunyai akar utama yang kokoh dan akar
horizontal menyebar dengan orientasi sudut yang kecil terhadap bidang
datar. Berdasarkan penelitian Fan and Yu-wen (2010) terhadap lima jenis
tanaman dengan arsitektur perakaran yang berbeda menunjukkan bahwa
arsitektur perakaran tipe-R mampu meningkatkan kuat geser lebih besar
bila dibandingkan dengan tipe lainnya. Nilai efisiensi tipe-R dalam
meningkatkan kuat geser mencapai 56% dari tipe lainnya. Hal ini
disebabkan pada umumnya akar horizontal dan vertikal pada tipe-R tumbuh
dengan baik, dimana akar vertikal merupakan orientasi akar yang paling
efisien dalam peningkatan kuat geser tanah. Untuk arsitektur perakaran
tipe-VH, Yen (1987) merekomendasikan sangat sesuai digunakan untuk
tujuan stabilisasi lereng dan tahan terhadap hembusan angin. Dengan
demikian, kedua tipe arsitektur perakaran dari jenis HHBK yang diamati
menunjukkan bahwa keduanya mempunyai potensi dalam pengendalian
erosi dan longsor. Klasifikasi arsitektur perakaran yang dikemukakan Yen
(1987) termasuk sangat sederhana, namun hal ini dinilai cukup untuk dapat
digunakan sebagai dasar identifikasi perakaran berbagai jenis terutama
pada proses pemilihan tanaman untuk rehabilitasi.
Distribusi perakaran baik horizontal maupun vertikal suatu jenis
tanaman dapat digunakan sebagai parameter potensi tanaman tersebut
dalam proses terjadinya erosi dan longsor. Salah satu bentuk kuantufikasi
distribusi perakaran tersebut adalah dengan nilai IJA dan ICA.
Berdasarkan hasil analisis nilai IJA dan ICA pada beberapa jenis HHBK
(Tabel 2), menunjukan bahwa pada umumnya jenis HHBK yang diamati
mempunyai nilai IJA berkisar antara sedang sampai tinggi dan nilai ICA
antara rendah sampai tinggi. Secara umum hal ini menunjukkan bahwa
jenis-jenis penghasil HHBK yang diamati mempunyai akar vertikal yang
relatif besar dan akar horizontal yang relatif cukup. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa tanaman ini mempunyai peran yang potensial
dalam stabilisasi lereng sehingga akan mengurangi resiko terjadinya tanah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 139
longsor. Semakin tinggi nilai IJA dan ICA menunjukkan bahwa potensi
peran tanaman tersebut untuk pengendalian erosi dan longsor semakin
tinggi.
Berdasarkan nilai IJA dan ICA yang tinggi beberapa jenis HHBK
yang diamati dan paling potensial diantaranya adalah Nangka (Artocarpus
heterophyllus), Rambutan (Nephelium lapaceum), Ceruring (Lansium sp)
dan Mangga (Mangifera indica). Walaupun beberapa jenis HHBK
mempunyai nilai ICA rendah, namun nilai IJA sedang/tinggi, sehingga
potensinya dalam pengendalian erosi dan longsor masih relatif besar. Abe
dan Ziemer (1991) menjelaskan bahwa akar-akar horizontal yang menyebar
di lapisan permukaan tanah akan mencengkram tanah dan akar-akar
vertikal sebagai jangkar akan menopang tegaknya pohon sehingga tidak
mudah tumbang oleh adanya pergerakan massa tanah. Lereng juga pada
umumnya akan lebih stabil apabila ditutupi oleh vegetasi dengan akar yang
mampu menembus lapisan tanah dalam. Besarnya kerapatan akar pada
lapisan permukaan juga penting untuk menurunkan kandungan air tanah
dan meningkatkan ketahanan geser tanah yang pada akhirnya dapat
mengurangi resiko terjadinya longsor (Hairiah et. al., 2008; Ali, 2010).
Jenis HHBK yang diamati serta tanaman anaman kayu-kayuan pada
umumnya, mempunyai akar yang kuat dan dalam sehingga berpengaruh
besar dalam meningkatkan kekuatan tanah untuk menahan gerakan.
Namun demikian, peran akar dalam pengendalian tanah longsor hanya
efektif untuk kejadian tanah longsor dangkal (<3m) atau permukaan
(Hairiah et.al., 2008; Bruijnzeel, 2004). Kejadian tanah longsor dalam lebih
dipengaruhi oleh kondisi geologi dan iklim.
IV. KESIMPULAN
Karaketeristik perakaran beruapa tipe arsitektur perakaran serta
nilai IJA dan ICA dapat digunakan sebagai parameter pendukung
pemilihan jenis HHBK yang ditujukan untuk rehabilitasi hutan lindung dan
kawasan lindung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis HHBK
yang diamati mempunyai arsitektur sistem perakaran tipe-R dan tipe-VH
yang mampu meningkatkan kuat geser tanah. Nilai IJA dan ICA pada
umumnya termasuk kategori sedang dan tinggi, hal ini menunjukan bahwa
jenis HHBK yang diamati mempunyai akar vertikal yang relatif besar dan
140| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
akar horizontal yang cukup. Berdasarkan karakteristik perakarannya, maka
jenis HHBK yang diamati mempunyai potensi dalam pengendalian erosi
dan longsor, khususnya longsor dangkal.
DAFTAR PUSTAKA
Abe, K., & Ziemer, R. (1991). Effect of tree roots on shallow-sited land
slides. USDA forest service Gen. Tech. Rep. PSW-GT. 130. , 11-
20.
Ali, F. (2010). Use of vegetation for slope protection : Root mechanical
properties of some tropical plants. International Journal of Phisical Science. Vol 5(5) , 496-506.
Bruijnzeel, L. (2004). Hydrological functions of tropical forest : Not seeing
the soil for the trees? Agriculture, Ecosystem and Environment 104 , 185-228.
Fan, C., & Yu-wen, C. (2010). The effect of root architecture on the
shearing resistance of root permeated soil. Ecological
Engineering. Vol. 36, issue 6. , 813-826.
Forest Watch Indonesia. (2011). Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode
Tahun 2000-2009. Jakarta: Forest Watch Indonesia. ISBN : 978-
979-96730-1-5.
Hairiah, K., Widianto, & D, Suprayogo. (2008). Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan Global : Bisakah agroforestri mengurangi resiko
longsor dan emisi gas rumah kaca. Kumpulan makalah INAFE. . Surakarta: UNS.
Handoko, C. (2012). Ujicoba Rehabilitasi Hutan Lahan Kering Berbasis
Tanaman HHBK di KPH Rinjani Barat dan KPH Bali Timur. Laporan Hasil Penelitian. Mataram: Balai Penelitian Teknologi
Hasil Hutan. Tidak dipublikasikan.
Hardiyatmo, H. (2006). Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kementerian Kehutanan. (2014). Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Li, R., Bennet, J., & Wang, X. (2013). Predicting Environmental Impacts
for Assessing Land Use Change Options in Sichuan Province,
China. Land Use Policy 30 , 784-790.
Nunes, A., de Almeida, A., & Coelho, C. (2011). Impacts of Land Use and
Cover Type on Runoff and Soil Erosion in a Marginal Area of
Portugal. Applied Geography Vol.31 , 687-699.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 141
Reubens, B., Poesen, J., Danjon, F., Guedens, G., & Muys, B. (2007). The
role of pine and ciarse roots in shallow slope stability and soil
erosion control with a focus on root system architecture : a
review. Trees. 21. , 385-402.
Setiawan, O., & Hadi Narendra, B. (2012). Kajian Sebaran Jenis dan
Potensi Songga. Laporan Hasil Penelitian. Mataram. Tidak
dipublikasikan.: Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan
Kayu.
Setiawan, O., & Krisnawati. (2012). Model Rehabilitasi Hutan Lindung
Berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu. Laporan Hasil Penelitian.
Mataram: Tidak dipublikasikan. Balai Penelitian Teknologi Hasil
Hutan Bukan Kayu.
Sotir, R., & Gray, D. (1996). Biotechnical and soil bioengineering slope
stabilization. New York: John Wiley & Son Inc.
Yan, B., Fang, N., Zhang, P., & Shi, Z. (2013). Impacts of Land Use
Change on Watershed Streamflow and Sediment Yield: An
Assessment Using Hydrologic Modelling and Partial Least
Squares Regression. Journal of Hydrology 484 , 26-37.
Yen, C. (1987). Tree root patterns and erosion control. Proceedings of The international workshop on soil erosion and its countermeasures.
Bangkok: Soil and water conservation society of Thailand.
Zokaib, S., & Naser, G. (2011). Impacts of Land Uses on Runoff and Soil
Erosion A Case Study in Hilkot Watershed Pakistan.
International Journal of Sediment Research 26 , 343-352.
142| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
INVENTARISASI STATUS POHON GAHARU (Gryinops verstigii)
DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KKHDTK)
SENARU LOMBOK UTARA
Sitti Latifah, Muhamad Husni Idris, Maiser Syahputra, Rato Silamon Firdaus,
Budhy Setiawan
Program Studi Kehutanan Universitas Mataram
Jl. Airlangga No 8 Mataram
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru seluas 225 ha di
Desa Senaru, Kabupaten Lombok Utara sebagai Hutan Pendidikan Universitas
Mataram telah dikembangkan menjadi pusat Gaharu (Gyrinops verstegii) sejak
tahun 2001. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini gaharu di
KHDTK Senaru dalam hal pertumbuhan, kesehatan dan produksi gubal.
Penelitian dilakukan melalui sensus terhadap seluruh pohon gaharu pada
tingkat tiang dan pohon pada bulan Mei Sampai Oktober 2014. Hasil Penelitian
menununjukkan bahwa (a) jumlah pohon gaharu pada tingkat tiang dan pohon
(diameter >10 cm) adalah sebanyak 262 pohon, lebih sedikit dibandingkan
jumlah total individu gaharu yang terdata tahun 2007 yang mencapai 30.000 an
pohon, (b) diameter rata-rata gaharu tingkat tiang dan pohon adalah 12 cm dan
tinggi rata-rata adalah 5,8 m, yang secara umum juga lebih kecil dari diameter
dan tinggi gaharu yang ditanam di halaman penduduk sekitar, (c) keadaan 262
pohon gaharu terbagi dalam 49,6% masuk kelompok pohon sehat, 43,1% sakit
dan 7,3% mati, (d) dan dari 262 pohon gaharu terdapat 202 pohon yang sudah
disuntik, namun hasilnya masih belum optimal. Perbedaan data dan fakta
dengan harapan serta faktor penyebabnya dalam pengembangan gaharu ini
dapat menjadi pembelajaran bagi pengembangan gaharu baik di KHDTK
Senaru sendiri maupun di tempat lain.
Kata kunci : KHDTK Senaru, gaharu, Lombok
I. PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu
(HHBK) yang mengandung resin atau damar wangi yang mengeluarkan
aroma dengan keharuman yang khas. Gaharu mempunyai nama
perdagangan agarwood, eaglewood atau aloewood adalah salah satu jenis
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 143
hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi karena adanya bau
wangi resin akibat dari pendamaran pada bagian tertentu dari kayu pohon
penghasil gaharu akibat infeksi oleh jamur (FAO, 2002 dalam Surata dan
Soenarno, 2011). Kandungan resin atau damar wangi yang dimiliki gaharu
umumnya dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan,
kosmetik, dupa, pengawet serta untuk keperluan kegiatan agama
(Gusmailina,2010). Gaharu di alam dihasilkan dari jenis pohon tertentu
yang terinfeksi oleh suatu jenis fungi atau cendawan dan hasil infeksi
tersebut menghasilkan gubal yang berwarna kehitaman dan berbau wangi
dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pada kelas gubal yang berwarna
kehitaman tanpa ada campuran serat kayu, saat ini harganya berkisar
Rp 35.000.000 – 40.000.000 per kilogram (Soeharto, 2010). Tanaman
gaharu juga mengandung senyawa antioksidan yang berguna untuk tubuh
manusia, diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, β-karoten, vitamin E,
vitamin C, asam urat, bilirubin, dan selenium (Se), selain itu diduga juga
terdapat zat lain seperti fenol dan flavonoi di dalam ekstrak daun gaharu
(Mega dan Swastini, 2010).
Salah satu kawasan budidaya gaharu yang berada di Pulau
Lombok adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru.
Berdasarkan sejarahnya, kawasan Hutan di KHDTK Senaru merupakan
bagian hutan yang mengalami kerusakan bersamaan dengan rusaknya
sebagian besar hutan di wilayah utara Pulau Lombok pada awal tahun
1990-an. Antara tahun 1997 sampai 2001 dan dilanjutkan sampai dengan
tahun 2009 antara BP DAS Dodokan Moyosari dengan UNRAM
menanami areal tersebut dengan jenis Gaharu (Gryinops verstigii) dan
menjadikan areal tersebut sebagai pusat pengembangan Gaharu berbasiskan
pengelolaan bersama masyarakat.
Data terakhir kondisi tanaman gaharu di KHDTK Senaru
berdasarkan rencana pengembangan tanaman Gaharu (2008), diketahui
bahwa Gaharu ditanam secara menyebar di dalam KHDTK seluas 132 Ha
atau sebanyak 32.238 pohon (Idris, Latifa, Aji, Wahyuningsih, dan
Indriyatno, 2012). Akan tetapi, berdasarkan survei awal ke lokasi
menunjukkan sulitnya diketemukan pohon Gaharu yang telah ditanam dan
sebagian telah berada dalam kondisi kesehatan yang buruk bahkan mati.
144| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Hasil penelitian Idris et al (2012) menunjukkan pula bahwa tidak ada satu
plot contoh pun, dengan dominasi Pohon Gaharu.
Sebagian tanaman gaharu yang berada di KHDTK Senaru sudah
menjalani proses penyuntikan untuk menghasilkan gubal, rata-rata kegiatan
penyuntikan dilakukan pada gaharu kelas tiang dan pohon (diameter > 10
cm). Untuk itu kegiatan inventarisasi ini menitikberatkan pada individu
gaharu dengan diameter diatas 10 cm dengan tujuan melihat kondisi gaharu
hasil suntikan. Disisi lain kegiatan ini juga berguna untuk mengetahui
sesungguhnya data mengenai penyebaran dan parameter pertumbuhan
Gaharu yang tersisa. Data dan informasi awal mengenai keadaan tanaman
Gaharu yang berada di KHDTK Senaru ini memiliki arti penting sebagai
dasar dalam mengembangkan alternatif-alternatif model pengelolaan
KHDTK.
Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian adalah:
(1) Mengetahui jumlah, posisi geografis dan parameter pertumbuhan
(diameter, tinggi dan tajuk) Pohon Gaharu (Gryinops verstigii).
(2) Mengetahui kondisi kondisi kualitas kesehatan Pohon Gaharu
(Gryinops verstigii) saat ini.
(3) Mengetahui jenis pohon yang tumbuh dan berada di sekitar Pohon
Gaharu (Gryinops verstigii).
(4) Mengetahui kondisi terkini (kuantitas dan kualitas) pohon Gaharu yang
telah melalui proses penyuntikan.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian berlokasi di kawasan hutan dengan tujuan khusus
(KHDTK) Senaru Desa Senaru Kecamatan Bayan Lombok Utara,
dilaksanakan pada bulan Mei-September 2014.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Pohon Gaharu
(Gryinops versteegii (Gilg.) pada kelas tiang dan pohon di hutan KHDTK
Senaru. Sedangkan alat yang dipergunakan adalah Global Positioning
System, hagameter, phi-band, meteran, tali rapia, kompas, clinometer, lux
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 145
meter, pH meter, tally sheet, alat tulis menulis, kamera, handcounter dan
handycamp.
C. Jenis dan Metode Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer
dan sekunder. Data primer yang akan dikumpulkan antaralain: data
Biofisik yang terdiri dari : (1) vegetasi : letak dan posisi (titik koordinat
dan tinggi dari permukaan tanah) pohon Jenis Gaharu (Gryinops versteegii
(Gilg.)) pada kelas tiang dan pohon serta jenis yang berada disekitarnya
dengan radius 5 m di sekelilingnya, (2) Parameter pertumbuhan : diameter,
tinggi, umur dan tajuk, (3) kondisi biofisik tempat tumbuh termasuk
intensitas cahaya, pH-tanah serta (4). Kualitas tumbuh (kesehatan) dari
Pohon Gaharu tersebut. Sedangkan data sekunder berupa data hasil studi
gaharu sebelumnya, data dari tim peneliti dan pengembang Gaharu
UNRAM dan dinas instansi terkait pengelolaan hutan lokasi penelitian.
Data primer diperoleh melalui kegiatan pengamatan secara
langsung yang dilakukan di lokasi penelitian. Pengamatan dilakukan untuk
mengetahui kondisi aktual dari setiap aspek pengamatan. Data primer
diperoleh melalui metode sensus yang mengacu pada petak tanam yang
sudah ada. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber pustaka.
D. Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya ditabulasi dan dianalisis baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Tahapan analisis data adalah sebagai
berikut:
1. Analisis Kuantitatif: Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan
kondisi terkini pertumbuhan Gaharu di lokasi penelitian, yang meliputi
parameter diameter, tinggi, umur dan hubungannya dengan kondisi
biofisik seperti cahaya dan pH tanah serta sosial ekonomi.
2. Analisis Kualitatif : Analisis ini dilakukan untuk memberikan penilaian
terhadap status Pohon Gaharu.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Pohon Gaharu
Keberadaan tanaman Gaharu di KHDTK tersebar di beberapa
petak tanam (Gambar 1), dari sebelas petak tanam yang ada di KHDTK
146| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
tidak semua petak ditemukan adanya keberadaan tanaman gaharu. Hal ini
dikarenakan terdapat petak tanam yang terserang penyakit, hama, dan
beberapa petak kondisinya tidak terawat. Tanaman gaharu hanya dapat
ditemukan pada petak 1, petak 2, petak 3, petak 4 dan petak 11, sementara
petak 5, petak 6, petak 7, petak 8, petak 9 dan petak 10 tidak ditemukan
pohon gaharu. Hasil inventarisasi menunjukkan jumlah individu gaharu
pada kelas tiang dan pohon yang ditemukan di wilayah KHDTK berjumlah
262 individu. Individu terbanyak ditemukan pada petak 2 yaitu 145
individu, sedang jumlah terendah berada pada petak 1 yaitu 12 individu.
Gambaran lebih lanjut mengenai hasil inventarisasi gaharu dapat dilihat
pada Tabel 1.
Gambar 1. Petak tanam gaharu di KHDTK Senaru
Dari aspek kesehatan diketahui bahwa kondisi 262 gaharu hasil
sensus yang masuk dalam kelompok pohon yang sehat adalah sebanyak
130 pohon (49,6%), sakit sebanyak 113 pohon (43,1%) dan yang mati
sebanyak 19 pohon (7,3%). Berdasarkan pengamatan langsung, timbulnya
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 147
hama dan penyakit ini diduga berkaitan dengan iklim (suhu dan
kelembaban) KHDTK yang sesuai untuk perkembangan hama dan penyakit
gaharu tersebut. Namun demikian penelitian yang lebih detail belum
dilaksanakan.
Tabel 1. Data hasil inventarisasi Gaharu
No.
Petak
Koordinat
Petak
Ketinggian
(mdpl)
Jumlah
(D>10cm)
Diameter
Rata-
rata (cm)
Tinggi
rata-
rata
(m)
Lebar
tajuk
rata-
rata
(m)
1 X: 433637,
Y: 9081613
624 12 12.66 4.09 1.88
2 X: 433947,
Y: 9081189
670 145 11.85 6.40 1.42
3 X: 433979,
Y: 9081043
653 48 13.12 5.23 1.07
4 X: 434044,
Y: 9080934
635 14 13.5 6.47 1.07
11 X: 433721,
Y: 9081801
640 43 11.6 4.56 1.29
Bila dilihat dari parameter pertumbuhan gaharu (Tabel 1),
meskipun ditanam pada waktu yang relatif sama terlihat beberapa
perbedaan, terdapat petak yang pertumbuhannya lebih cepat dari petak
lainnya, petak 4 merupakan petak dengan ukuran rata-rata diameter
tertinggi, sedangkan terendah adalah petak 11, petak 4 juga merupakan
petak dengan ukuran rata-rata tinggi pohon tertinggi, sedang terendah
adalah petak 1. Namun demikian jumlah individu yang berhasil dutemukan
di petak 4 hanya berjumlah 14 individu, berbeda halnya dengan petak 2
diameter rata-rata gaharu dilokasi ini adalah 11.85 cm dan tinggi rata-rata
6.4 m namun jumlah individu pada lokasi ini menempati urutan pertama
yakni 145 individu, perbedaan jumlah individu pada setiap petak tanam
berbeda diperkirakan akibat adanya faktor kesesuain habitat. Hasil
pengamatan terhadap tutupan tajuk pohon gaharu di KHDTK menunjukkan
rata-rata tajuk terlebar berada pada petak 1 yaitu 1.88 m, sedangkan
terendah berada pada petak 3 dan 4 yaitu 1.07. Hasil ini mengindikasikan
bahwa petak 1 berisikan pohon-pohon gaharu yang berdaun lebat.
148| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gaharu di KHDTK tumbuh pada ketinggian yang berbeda-beda
menurut petak tanamnya, petak tanam tertinggi berada pada ketinggian 670
mdpl sedangkan petak tanam terendah berada pada ketinggian 615 mdpl.
Bila dilihat dari jumlah gaharu terhadap ketinggian tempat tumbuh maka
dapat diketahui bahwa jumlah gaharu terbanyak berada pada petak 2
dengan ketinggian 670 mdpl yakni berjumlah 145 individu, jumlah gaharu
yang ditemukan cenderung menurun ketika ketinggian tempat berubah, bila
turun ke ketinggian 653 pohon gaharu yang ditemukan berjumlah 48
individu dan ketinggian 640 hanya 43 individu. Begitu pula seterusnya.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa ada pengaruh faktor ketinggian
tempat terhadap keberhasilan budidaya gaharu di KHDTK.
B. Kondisi Biofisik Tempat Tumbuh Pohon Gaharu
Hasil pengamatan terhadap tingkat keasaman tanah tempat tumbuh
gaharu di KHDT per petak tanam menunjukkan nilai yang hampir sama
pada setiap petaknya. Nilai pH ini berkisar antara 6.77 hingga 6.79. Nilai
terendah berada pada petak 4 dan 11, sedangkan tertinggi berada pada
petak 2. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa petak 2 dengan nilai pH
6.79 memiliki jumlah tegakan terbanyak dibanding petak lainnya, hal ini
mengindikasikan bahwa tanaman gaharu tumbuh lebih baik pada tingkat
keasaman tanah seperi ini. Nilai pH 6.79 merupakan nilai yang paling
medekati netral dibanding pH petak lainnya, pada tanah yang cenderung
netral akar tanaman akan mudah menyerap unsur hara sehingga
pertumbuhan tanaman dapat lebih baik.
Pengukuran intensitas cahaya menggunakan lux meter mendapati
hasil rata-rata intensitas cahaya berkisar dari 2.01 hingga 19.21. Rata-rata
tertinggi berada pada petak 4 dan terendah pada petak 1, sedangkan petak
dengan jumlah tanaman terbanyak memiliki intensitas penyinaran rata-rata
pada angka 12.72. Hasil pengamatan terhadap suhu rata-rata dibawah
tegakan menunjukkan rata-rata suhu tertinggi tercatat pada petak 2 yakni
sebesar 28.48 dan terendah pada petak 4 yakni 26.83. Petak 2 diketahui
sebagai petak dengan jumlah temuan tanaman gaharu terbanyak, hal ini
mengindikasikan adanya pengaruh faktor suhu terhadap tingkat
keberhasilan pertumbuhan gaharu, dibanding suhu petak lainnya. Data
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 149
lebih lengkap mengenai kondisi biofisik lokasi tumbuh gaharu dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Biofisik tempat tumbuh Gaharu
No.
Petak
Jumlah
(D>10cm)
Ph tanah
rata-rata
Intensitas
cahaya
Temperatur
(C)
1 12 6.78 2.01 27.58
2 145 6.79 12.72 28.48
3 48 6.78 16.62 27.62
4 14 6.77 19.21 26.83
11 43 6.77 15.23 26.69
C. Jenis-jenis Pohon disekitar Gaharu (Radius 5 m)
Terdapat 12 jenis pohon yang tumbuh berdampingan dengan
tanaman gaharu di KHDTK, antara lain sengon, dadap, alpukat, arak,
kelenjuh, nangka, bajur, kayu putih, mahoni, kemiri, suren, dan mangga.
Dari 12 pohon tersebut, sengon dan dadap merupakan jenis yang paling
banyak ditemukan di lokasi penelitian, sedangkan jenis yang jarang
ditemukan adalah arak, bajur, suren, dan mangga. Dilihat dari
penyebarannya sengon dan dadap merupakan pohon yang dominan, karena
kedua pohon ini hampir ditemukan pada setiap petak. Tabel sebaran pohon
yang berada disekitar gaharu dapat dilahat pada Tabel 3.
Petak dua merupakan petak dengan jumlah gaharu terbanyak,
asosiasi pohon terbanyak juga ditemukan pada petak ini, yakni terdapat 57
pohon dengan dominasi sengon dan dadap, keberadaan pohon asosiasi ini
diperkirakan berpengaruh baik terhadap perkembangan gaharu. Sebaliknya
pada petak satu dengan temuan jumlah gaharu terendah yakni sebanyak 12
individu, pohon asosiasi yang ada pada petak ini hanya berjumlah 3
individu. Keberadaan pohon disekitar gaharu diperkirakan berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan tumbuh tanaman ini, Naungan dari tanaman
yang lebih tinggi dapat mengurangi intersepsi dari sinar matahari yang
berlebihan.
D. Kondisi Gaharu Hasil Suntikan
150| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penanaman gaharu di KHDTK Senaru diharapkan menjadi salah
satu sumber pendapatan utama baik bagi masyarakat sekitar dan
Universitas Mataram. Untuk itu uji coba penyuntikan untuk menghasilkan
gubal gaharu yang dilanjutkan dengan proses penyuntikan gaharu telah
dilaksanakan. Apakah proses ini telah berhasil ?. Dari 262 pohon gaharu
terdapat 202 pohon gaharu yang sudah disuntik. Namun demikian dari 202
pohon yang disuntik tersebut belum ada satu pohon pun yang dapat
dikategorikan berhasil. Cara-cara tradisional yang dilakukan oleh
masyarakat juga belum menunjukkan hasil. Keadaan ini memberikan
isyarat pentingnya penelitian yang lebih dalam tentang penyuntikan gaharu.
Kegagalan pada tahap ini menjadikan keberhasilan dalam budidaya
gaharau (silvikutur) menjadi kurang bermakna.
IV. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Jumlah pohon gaharu pada tingkat tiang dan pohon (diameter >10 cm)
dalam wialayah KHDTK Senaru adalah sebanyak 262 pohon, jauh
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pohon gaharu yang terdata
tahun 2007 sebanyak 32.238 pohon. Diameter rata-rata pohon gaharu
tingkat tiang dan pohon adalah 12 cm dan tinggi pohon rata-rata
adalah 5,8 m.
2. Kondisi 262 pohon gaharu terbagi dalam kelompok pohon yang sehat
sebanyak 130 pohon (49,6%), sakit sebanyak 113 pohon (43,1%) dan
yang mati sebanyak 19 pohon (7,3%).
3. Disekitar 262 pohon gaharu dengan radius 5 m terdapat 113 pohon
dengan 12 jenis pohon yaitu Alpukat, Arak, Bajur, Dadap, Kayu putih,
Kelenjuh, Kemiri, Mahoni, Mangga, Nangka, Sengon, dan Suren.
4. Dari total 262 pohon gaharu terdapat 202 pohon gaharu yang sudah
disuntik, namun demikian belum ada pohon yang menghasilkan gubal.
B. Keterbatasan
1. Kegiatan inventarisasi ini dilakukan hanya pada individu gaharu
dengan diameter diatas 10 cm dengan tujuan untuk melihat kondisi
gaharu hasil penyuntikan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 151
2. Kegiatan inventarisasi ini sebatas untuk mengetahui kondisi aktual dan
jumlah pohon gaharu saat ini, untuk menjawab penyebab penurunan
jumlah gaharu yang terjadi saat ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
C. Saran
1. Evaluasi terhadap tanaman gaharu melalui sensus pada semua tingkat
termasuk tingkat semai dan pancang perlu dilakukan sehingga
gambaran tentang keberhasilan maupun hambatan dalam
pengembangan KHDTK Senaru sebagai pusat gaharu dapat diketahui
dengan lebih jelas
2. Penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi penurunan
jumlah dan perbedaan pertumbuhan gaharu dalam KHDTK diperlukan
untuk meingkatkan keberhasilan budidaya gaharu
3. Penelitian terkait dengan proses penyuntikan gaharu untuk
menghasilkan gubal dari berbagai aspek perlu dtingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Gusmailina. 2010. Peningkatan Mutu pada Gaharu Kualitas Rendah. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Volume 28 No. 3 – September 2010 : 291-
303. Bogor.
Idris, M.H., S. Latifah, I.M.L. Aji, E. Wahyuningsih dan Indriyatno. 2012.
Studi Potensi Vegetasi Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Senaru untuk Pengembangan Model Hutan Pendidikan
Universitas Mataram. Universitas Mataram. Laporan Penelitian
(tidak dipublikasikan)
Mega, I.M dan A.A. Swastini. Screening Fitokimia dan Aktivitas
Antiradikal Bebas Ekstrak Metanol Daun Gaharu (Gyrinops
versteegii). Junal Kimia, Volume 4 No. 2 – Juli 2010 : 187-192.
Soeharto, B. 2010. Gaharu : Pohon Emas yang Misterius. Kiprah
Agroforestri, Volume 3 No. 2 – Agustus 2010. World Agroforestry
Centre – ICRAF Indonesia. Bogor.
Surata, I.K. dan Soenarno. 2011. Penanaman Gaharu (Gyrinops versteegii
(Gilg.) Domke ) dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam Volume 8 No. 4 : 349-361. Bogor.
152| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
BUDIDAYA DAN PEMANFAATAN PANDAN HUTAN
DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA
Sahwalita
Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Jl. Kol. H. Burlian KM. 6,5 Punti Kayu Palembang
Email : [email protected]
ABSTRAK
Keberadaan pandan hutan di alam sulit dijumpai, sehingga kerajinan anyaman
mengalami kekurangan bahan baku. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
petani/ pengrajin melakukan budidaya. Penelitian dilakukan di Kecamatan
Padang Sidempuan Timur, Padang Bolak dan Padang Bolak Julu Kabupaten
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja
(purpose sampling), dengan mempertimbangkan banyaknya lokasi budidaya
dan sentra kerajinan. Kemudian dilakukan observasi langsung di lapangan dan
wawancara dengan petani/pengrajin. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui cara budidaya dan pemanfaatan daun pandan di Kabupaten
Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
budidaya pandan dilakukan secara terbatas di pinggir jalan, pinggir sungai dan
pekarangan rumah, sedangkan produk kerajinan berupa tikar, sumpit (kantong
beras yang digunakan pada acara adat) dan kantong buah.
Kata kunci : budidaya, kerajinan, pandan.
I. PENDAHULUAN
Beranekaragamnya jenis pandan hutan merupakan kekayaan hasil
hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial untuk dikembangkan. Menurut
Heyne (1987), pandan hutan di Indonesia terdiri dari 23 jenis yang tumbuh
menyebar dari tepi pantai sampai ke pegunungan. Pandan hutan merupakan
tumbuhan yang multiguna karena setiap bagian dapat dimanfaatkan,
seperti: akar untuk tali; batang sebagai bahan pembuatan kapak kecil/nani;
tongkol bunga sebagai obat, makanan dan pengharum; tongkol buah
sebagai obat, sumber minyak, penyedap nasi; tunas muda sebagai lalap dan
obat dan daun sebagai bahan anyaman, bahan pulp, obat dan bahan minyak
wangi. Tetapi saat ini, pemanfaatannya masih terbatas pada daunnya yang
digunakan sebagai bahan baku anyaman, kecuali jenis yang menghasilkan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 153
“buah merah” (Pandanus conoideus Lam.) terdapat di daerah Papua yang
digunakan sebagai obat berbagai penyakit (Trubus, 2005).
Di Kabupaten Tapanuli Selatan, pandan hutan di alam sulit
ditemukan karena terdesak oleh berbagai kepentingan terhadap habitatnya.
Sementara itu industri kerajinan anyaman terus mengalami kekurangan
bahan baku. Keberadaan industri kerajinan yang tidak didukung oleh bahan
baku akan menghadapi masalah. Sebagai solusinya masyarakat melakukan
budidaya terhadap tumbuhan tersebut, jenis yang dibudidayakan adalah
Pandan Duri (Pandanus tectorius). Pemanfaataan daunnya digunakan
sebagai bahan baku kerajinan anyaman, yang dilakukan masyarakat
sekitarnya sebagai pekerjaan sampingan.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui cara budidaya dan
pemanfaatan daun pandan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara. Dengan mengetahui cara budidaya dan pemanfaatan pandan hutan
diharapkan dapat memberikan masukan untuk kelestarian pandan hutan dan
industri kerajinan anyaman di daerah tersebut. Tulisan ini dapat digunakan
sebagai langka-langkah yang perlu dilaksanakan semua pihak yang terlibat
dalam pengembangan usaha kerajinan pandan di daerah tersebut.
II. BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara. Pengamatan areal budidaya dilakukan di Kecamatan Padang
Sidempuan Timur, Padang Bolak dan Padang Bolak Julu, sedangkan
pengamatan sentra kerajinan anyaman dilakukan di Kecamatan Padang
Bolak Julu. Data sekunder mengenai budidaya dan pemanfaatan daunnya
sebagai bahan baku kerajinan diperoleh dari instansi terkait, pengrajin dan
masyarakat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2005 - November
2007.
B. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah tanaman pandan, daun pandan,
produk kerajinan, cat warna merah dan alkohol. Peralatan yang digunakan
berupa parang, tali, kompas, buku data, meteran, kuisioner, kamera,
perlengkapan herbarium dan alat tulis.
154| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
C. Prosedur Kerja
1. Survei ke instansi terkait
Survei ke Dinas Kehutanan dilakukan untuk mencari informasi tentang
keberadaan pandan hutan dan ke Dinas Industri dan Perdagangan untuk
mengetahui sentra kerajinan anyaman daun pandan.
2. Survei lapangan
Survei lapangan dilakukan dengan mendatangi lokasi-lokasi yang
diinformasikan oleh instansi terkait terdapat tumbuhan pandan hutan dan
kerajinan anyaman pandan.
3. Pengambilan data
Lokasi penelitian diambil secara sengaja (purpose sampling), dengan
mempertimbangkan banyaknya lokasi budidya dan sentra kerajinan.
Kemudian dilakukan observasi langsung di lapangan dan wawancara
dengan petani/pengrajin. Data pendukung dikumpulkan dari instansi
terkait dan studi pustaka.
a. Pengumpulan data mengenai budidaya pandan hutan
Pengumpulan data dilakukan di areal budidaya milik masyarakat dan
wawancara dengan pemiliknya. Data yang diambil adalah cara
budidaya, jumlah tanaman (induk dan anak), pengamatan karakteristik
morfologi pandan dan jenis vegetasi lain.
Penghitungan terhadap pandan dilakukan secara keseluruhan karena
jumlah tanaman dan luasnya yang terbatas. Semua tanaman yang ada
dalam satu lokasi dihitung baik berupa induk maupun anaknya.
b. Pengambilan data kerajinan anyaman
Pengumpulan dilakukan di sentra-sentra kerajinan meliputi bahan
baku dan teknologi pengolahannya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Tapanuli Selatan secara geografis terletak di antara 98
0 50’-100 10’ Bujur Timur dan 0 0 10’-10 50’ Lintang Utara. Ibu kota
Kabupaten Tapanuli Selatan adalah Padang Sidempuan dengan jarak dari
Medan, ibu kota Sumatera Utara adalah 380 km. Luas wilayahnya 18.897
km2 dan terdiri dari 28 kecamatan dengan jumlah penduduk 1 juta jiwa.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 155
Sejak tanggal 10 Agustus 2007, Kabupaten Tapanuli Selatan mengalami
pemekaran menjadi 3 kabupaten yaitu: Tapanuli Selatan, Padang Lawas
dan Padang Lawas Utara (Anonim, 2008).
Di Kabupaten Tapanuli Selatan terdapat beberapa daerah budidaya
dan sentra kerajinan anyaman daun pandan. Luas areal budidaya beragam
sesuai dengan kepemilikan lahan, dan lokasinya terletak di pinggir jalan, di
pinggir sungai dan di pekarangan rumah. Sedangkan pengrajin daun
pandan pada beberapa sentra memproduksi produk kerajinan dalam jumlah
yang cukup besar, ada yang sedikit bahkan ada yang sudah tidak
berproduksi. Proses produksi dilakukan di rumah-rumah, ada yang hanya
memproduksi daun pandan kering untuk langsung dijual dan ada yang
memproduksi daun pandan kering untuk dianyam.
Kecamatan Padang Bolak Julu dipilih sebagai lokasi penelitian
kerajinan anyaman karena kecamatan ini paling banyak memproduksi
anyaman daun pandan dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Jumlah
pengrajin mencapai 70 orang, memerlukan daun pandan kering dalam
jumlah banyak dan untuk menutupi kekurangannya bahan baku daun
pandan didatangkan dari kecamatan lain. Daun pandan kering terutama
didatangkan dari Kecamatan Padang Sidempuan Timur dan Kecamatan
Padang Bolak.
Penduduk setempat mempunyai mata pencaharian pokok bertani
dengan tanaman pertanian terutama salak, pisang, jagung dan sayur-
sayuran serta tanaman perkebunan berupa karet dan kelapa sawit. Sebagian
masyarakat merupakan buruh tani yang bekerja pada saat musim
tanam/musim panen dan membersihkan lahan. Sedangkan waktu luang dari
kegiatan pertanian dimanfaatkan oleh para perempuan untuk membuat
anyaman.
B. Budidaya Pandan
Berkurangnya populasi pandan di alam disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, kondisi hutan alam yang sudah banyak terdegradasi
sehingga tidak sesuai untuk tempat tumbuh pandan. Kedua, perubahan
fungsi hutan menjadi perkebunan seperti karet atau kelapa sawit. Ketiga,
terkait dengan alasan ekonomi, yaitu harga daun pandan rendah, sehingga
keberadaannya di hutan menjadi tidak lagi dipentingkan.
156| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Untuk mendapatkan daun pandan yang berkualitas, masyarakat
melakukan budidaya. Di Tapanuli Selatan jenis pandan hutan yang
dibudidayakan adalah pandan duri (Pandanus tectorius). Budidaya pandan
dilakukan di Kecamatan Padang Bolak Julu, Padang Bolak dan Padang
Sidempuan Timur. Umumnya areal budidaya pandan berada di pinggir
jalan yang menghubungkan Kota Padang Sidempuan dengan Kota Gunung
Tua, sedangkan di Kecamatan Padang Bolak Julu areal budidaya sangat
sedikit.
Pandan hutan yang terdapat di dalam lahan merupakan campuran
induk dan anakan. Jumlah induk dan anakan yang terdapat pada suatu
lokasi beragam, sesuai dengan pemeliharaan yang dilakukan oleh
pemiliknya. Pengukuran dilakukan pada lahan yang telah dipanen dan yang
belum dipanen. Keadaan ini terlihat dari kondisi daun pandan pada batang,
ada yang masih lengkap dan ada yang tinggal bagian ujung batang saja.
Daun pandan yang tinggal bagian ujung batang menandakan daun pandan
telah dipanen.
Vegetasi yang ada di areal budidaya beragam sesuai dengan
keinginan pemilik lahan, karena lahan budidaya jarang yang dikhususkan
untuk pandan. Vegetasi yang ada dapat berupa tumbuhan berkayu atau
semak. Selain itu di sekitar tanaman pandan masih terdapat rumput akibat
kurangnya pemeliharaan. Kebersihan lahan sangat mempengaruhi kualitas
daun yang dihasilkan sebagai bahan baku anyaman. Gambar 1 menunjukan
budidaya pandan di lahan masyarakat.
Gambar 1. Budidaya pandan
Morfologi pandan: daun tua berwarna hijau dan daun muda putih
kehijauan, pinggir daun dan tulang daun berduri tajam. Panjang daun
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 157
berkisar 1,1-3,5 m dan lebar 2,5-6 cm. Daunnya dimanfaatkan sebagai
bahan baku kerajinan berupa tikar, tas, keranjang buah dan sumpit. Batang
berwarna coklat, dengan permukaan kasar dan pada bagian ujung batang
berwarna hijau.
Areal budidaya pandan oleh masyarakat dilakukan dipinggir jalan,
pinggir sungai dan halaman rumah. Penanaman dilakukan tanpa ada
ketentuan jarak tanam, tetapi dilihat di lapangan umumnya masyarakat
menanam dengan jarak sekitar 1 x 1,5 m. Jadi, dalam 1 (satu) hektar dapat
ditanaman 6.666 batang pandan hutan. Pada perkembangannya setiap induk
memiliki anakan antara 2–27 yang membentuk rumpun. Untuk
memperoleh hasil yang baik masyarakat hanya memelihara 5–10
tunas/anakan saja. Selanjutnya anakan yang lain dijadikan bibit jika
tersedia lahan untuk budidaya atau dibuang, hal tersebut dilakukan untuk
menjaga kualitas daun. Dari beberapa lokasi budidaya diperoleh data
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Data tanaman pandan pada lokasi penelitian
No. Plot Jumlah No. Plot Jumlah
1 Induk : 49
Anakan : 22
7 Induk : 58
Anakan : 47
2 Induk : 3
Anakan : --
8 Induk : 11
Anakan : 15
3 Induk : 9
Anakan : 11
9 Induk : 11
Anakan : 12
4 Induk : 6
Anakan : 1
10 Induk : 17
Anakan : 29
5 Induk : 14
Anakan : 8
11 Induk : 46
Anakan : 43
6 Induk : 47
Anakan : 11
12 Induk : 36
Anakan : 18
Jumlah tumbuhan pandan yang ada pada setiap lokasi berbeda,
baik dari kerapatan maupun dari jumlah induk dan anakan. Keberadaan
tumbuhan pandan sangat dipengaruhi oleh pemeliharan yang dilakukan
oleh pemiliknya. Untuk menjaga kualitas daun maka biasanya jumlah
158| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
anakan yang dipelihara terbatas. Begitu juga dengan jumlah induk, untuk
induk yang sudah cukup tua biasanya ditebang karena daun yang dihasilkan
kualitasnya menurun.
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas daun pandan, perlu
dilakukan usaha budidaya yang lebih terarah baik luas areal maupun teknik
silvikultur dan pemeliharaannya. Areal budidaya sebaiknya ditambah,
misalnya pagar kebun dan pematang sawah atau memanfaatkan lahan
kosong sehingga menambah luas areal budidaya. Pada areal khusus
budidaya dapat dilakukan penanaman pandan yang lebih banyak dengan
penanaman sistem jalur 4x2 m sehingga terdapat jalan untuk pemeliharaan
dan pemanenan. Selain itu pemeliharaan dilakukan secara rutin setiap 3
bulan, baik terhadap tumbuhan penganggu maupun pembersihan daun yang
tua serta pembuangan anakan. Dengan demikian diharapkan ada jaminan
ketersediaan bahan baku berkualitas bagi para pengrajin anyaman daun
pandan.
B. Pemanfaatan Daun Pandan
Di Kabupaten Tapanuli Selatan pusat kerajinan pandan adalah di
Kecamatan Padang Bolak Julu. Di Kecamatan ini daun pandan diolah
masyarakat menjadi berbagai produk kerajinan yang pemasarannya sampai
pada kabupaten-kabupaten sekitarnya. Produk kerajinan dari Tapanuli
Selatan lebih bervariasai jika dibandingkan dengan di Tapanuli Tengah.
Produk kerajinan anyaman dari Tapanuli Selatan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh produk kerajinan masyarakat
Pengolahan daun pandan untuk kerajinan yang dilakukan di
Kabupaten Tapanuli Selatan hampir sama dengan kabupaten-kabupaten
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 159
lain di Sumatera Utara, seperti di Kabupaten Tanah Karo. Pengolahan
biasanya dilakukan oleh kaum perempuan dengan teknik yang mereka
gunakan secara turun-temurun sebagai berikut :
1. Pemanenan daun pandan langsung dipisahkan sesuai ukuran
2. Pembuangan duri dan pembelahan daun pandan
3. Pememaran daun dilakukan dengan cara menumbuk
4. Perebusan dilakukan sekitar 30 menit atau sampai daun berubah
menjadi kuning kecokelatan
5. Perendaman di dalam bak/drum selama 3-4 hari
6. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran sampai kering
7. Daun kering dijual atau langsung dianyam untuk tikar dan sumpit
(kantong beras untuk acara adat).
Gambar 3. Diagram proses pengolahan daun pandan
Pemisahan dilakukan saat pemanenan dipisahkan menurut ukuran
panjangnya, hal ini untuk mengurangi pengerjaan penyortiran karena
produk anyaman ditentukan juga oleh panjang daun. Pembelahan daun
pandan dilakukan saat daun masih segar untuk memudahkan proses dan
menjaga kualitas daun, ukuran lebarnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Selanjutnya pememaran daun untuk memipihkan daun dan memberikan
elastisitas pada saat dianyam. Perebusan bertujuan untuk menjaga kondisi
Pemanenan daun dan
Pemisahan sesuai
ukuran panjang
Pembuangan duri
dan pembelahan daun
(0,5-0,7) cm
Pememaran daun
dengan cara
ditumbuk
Perebusan
(± 30 menit)
Perendaman
(± 3-4 hari)
Penjemuran
(5-7 hari)
Dijual
(Per ikat)
Dianyam
(Tikar/Sumpi
t)
160| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
daun dan mengurangi kekakuan, secara kimia hal ini diduga
menghancurkan lignin. Sedangkan perendaman dilakukan untuk menambah
keawetan daun atau menghilangkan kandungan karbohidrat. Sebelum
dianyam daun pandan dijemur untuk memudahkan pengayaman
mempertahankan ukuran selama pemakaian.
Dilihat dari produk yang dihasilkan, masih banyak teknologi yang
dapat diterapkan mulai dari pemberian warna sehingga lebih menarik. Juga
diversifikasi produk perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan
konsumen yang beragam. Selain itu, mutu produk juga perlu ditingkatkan
dengan menyesuaikan terhadap permintaan pasar. Hal tersebut dapat
terwujud tidak hanya tergantung dari tingginya produktifitas dan rendahnya
harga maupun jasa, tetapi juga kualitas, kenyamanan, kemudahan dan
ketepatan serta kecepatan waktu untuk mencapainya (Ibrahim, 1997).
Untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi terhadap daun
pandan, dilakukan peningkatan pengolahan daun pandan. Pengolahan ini
dapat dilakukan dengan mengadopsi teknologi dari luar seperti Jawa Barat,
dimana pengolahan daun pandan sudah lebih dulu maju. Di daerah ini
pengolahan telah dilakukan secara intensif dengan memperhatikan
ketahanan penggunaan dan nilai estetika. Pada produk-produknya telah
diberikan bahan tambahan seperti pemakaian kayu, kertas dan kain serta
pemberian warna yang sesuai untuk menambah keindahannya. Teknologi
yang digunakan sangat sederhana dan bahan tambahan berupa kayu-kayu
kecil dan kain perca merupakan limbah dari industri kayu maupun
konveksi, sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Di Jawa sentra
kerajinan terpusat di dua tempat yaitu Tasikmalaya (Jawa Barat) dan
Yogyakarta. Sedangkan bahan baku anyaman pandan berasal dari daerah
Gombong, Serang dan Lamongan (Wongso, 2007). Peningkatan mutu
merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan nilai jual, karena
diharapkan akan meningkatkan pemintaan terhadap kerajinan anyaman
berbahan baku pandan. Keunggulan para pengrajin di Kabupaten Tapanuli
Selatan, Sumatera Utara dibandingkan pengrajin dari Jawa adalah dekat
dengan bahan baku.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 161
A. Kesimpulan
1. Keberadaan pandan hutan di alam sangat terbatas yang disebabkan a)
kondisi hutan alam yang sudah banyak terdegradasi, b) perubahan
fungsi hutan, c) terkait dengan alasan ekonomi (harga daun pandan
murah), sebagai solusinya dilakukan budidaya terhadap pandan untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku anyaman.
2. Berdasarkan hasil analisis herbarium jenis pandan yang dibudidayakan
masyarakat adalah pandan duri (Pandanus tectorius).
3. Budidaya pandan di Tapanuli Selatan dilakukan secara sederhana pada
lahan-lahan sempit di pinggir jalan, pinggir sungai atau halaman
rumah.
4. Pemanfaatan daun pandan oleh masyarakat di Kabupaten Tapanuli
Selatan dilakukan dengan teknologi yang sederhana dan belum
memanfaatkan bahan tambahan untuk menambah kekuatan dan nilai
estetika produk kerajinan anyaman.
B. Saran
Perlu dilakukan pengenalan teknologi sederhana atau teknologi
tepat guna (TTG) melalui pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan
variasi produk serta adanya jaminan pemasaran oleh pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Kabupaten Tapanuli Selatan. Diakses melalui Situs web
resmi :http://www.tapselkab.go.id. pada 27 Juni 2008.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
Ibrahim, B. 1997. TQM (Total Quality Management). Panduan untuk
Menghadapi Persaingan Global. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Trubus. 2005. Pro dan Kontra Buah Merah. Trubus Volume XXXVI Maret
2005. Jakarta.
Wongso F. 2007. Peluang Export Kerajinan Pandan dan Abaca. Makalah
pada Kegiatan Ceramah di MMA – IPB. Diakses melalui
http//www.mma.ipb.ac.id Tanggal 12 Pebruari 2007.
162| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KEANEKARAGAMAN JENIS BAKTERI PENGINDUKSI
PEMBENTUKAN RESIN GAHARU PADA POHON Gyrinops
versteegii ((Gilg.) Domke) DI KABUPATEN LOMBOK BARAT
Prilya D. Fitriasari1, Endang S. Soetarto
1, I Komang Surata
2
1Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
2Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Lombok Barat
Email : [email protected]
ABSTRAK
Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke adalah salah satu pohon penghasil gaharu
yang tumbuh endemik di hutan tropis Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Gaharu sebagai salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) bernilai
ekonomi tinggi, merupakan hasil aktivitas mikrobia patogen yang menginfeksi
jaringan korteks pada pohon penghasil gaharu. Jenis mikrobia yang berasosiasi
dengan pohon penghasil gaharu adalah bakteri dan kapang. Efektivitas kapang
untuk membentuk gaharu telah banyak diteliti, contohnya Fusarium sp., namun
kelompok bakteri sebagai agensia penginduksi resin gaharu belum banyak
diteliti secara intensif. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan strain
bakteri yang berasosiasi pada batang pohon Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
serta menganalisis sifat dan peran bakteri dalam induksi pembentukan resin
gaharu. Cara kerja meliputi tahap eksplorasi, isolasi bakteri dari pohon
penghasil gaharu, subkultur dan pemurnian bakteri pada medium NA,
perbanyakan isolat bakteri terpilih dan karakterisasi dengan cat Gram. Data
yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian ini adalah terdapat
jenis bakteri spesifik yang berasosiasi dengan pohon penghasil gaharu
Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke. Bakteri tersebut mayoritas bakteri Gram
negatif berbentuk batang yang diduga memiliki peran pada pembentukan resin
gaharu.
Kata kunci: bakteri, gaharu, Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke
I. PENDAHULUAN
Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke adalah salah satu pohon
penghasil gaharu yang tumbuh endemik di hutan tropis Pulau Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Gaharu sebagai salah satu komoditi hasil hutan
bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi diekspor ke berbagai
negara sejak tahun 2000 mencapai 15 ton/tahun dengan nominal sebesar
300.000 US Dollar. Gaharu tersebut mempunyai nilai multiguna yaitu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 163
sebagai bahan dasar dalam berbagai industri parfum dan kosmetik, bahan
baku obat-obatan (anti asma, obat diare, obat malaria dan obat kanker) dan
sebagai bahan dasar dupa (Sumarna, 2002).
Gaharu merupakan hasil aktivitas mikrobia yang bersifat patogen
dan menginfeksi jaringan korteks pada pohon penghasil gaharu (Barden,
Awang, Muliken, Song, 2000). Infeksi yang terjadi pada permukaan
tumbuhan Gyrinops diawali karena adanya pelukaan baik secara alami atau
disengaja di bagian jaringan tumbuhan terutama di batang. Infeksi tersebut
akan direspon oleh tumbuhan dengan melepaskan resin untuk pertahanan
diri. Resin yang terbentuk kemudian terakumulasi di dalam jaringan kayu,
mengeras, berwarna kehitaman dan mengeluarkan aroma. Gaharu
dihasilkan oleh jenis pohon tertentu akibat infeksi beberapa patogen baik
dari kelompok jamur, bakteri dan jenis insekta ke jaringan korteks
tumbuhan (Barden et al., 2000).
Gaharu yang dihasilkan secara alami memerlukan waktu yang lama
dan jenis mikrobia penginduksi pembentuk gaharu yang sangat spesifik.
Jenis mikrobia yang berasosiasi dengan pohon penghasil gaharu adalah
bakteri dan kapang. Efektivitas kapang untuk membentuk gaharu telah
banyak diteliti, contohnya Fusarium sp. (Budi, Santoso, Wahyudi, 2010),
namun kelompok bakteri sebagai agensia penginduksi resin gaharu belum
banyak diteliti dengan intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
bakteri yang kemungkinan berperan dalam pembentukan resin gaharu.
Berdasarkan hal tersebut, tahapan penting dalam penelitian ini adalah tahap
eksplorasi dan isolasi bakteri penginduksi resin gaharu yang dipaparkan
dalam makalah ini.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada awal bulan November 2014. Penelitian
yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental yang terdiri atas dua
skala yaitu skala laboratorium dan skala lapang. Skala laboratorium
meliputi isolasi bakteri, perbanyakan bakteri, seleksi dan karakterisasi
bakteri terpilih dan eksperimen pembentukan gaharu dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi dan lahan pembibitan BPTHHBK. Skala
164| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
lapang meliputi pengambilan sampel kulit batang pohon Gyrinops
versteegii (Gilg.) Domke yang terindikasi mengandung gaharu yang
terbentuk secara alami.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri hasil
isolasi dari sampel kulit kayu dari pohon Gyrinops versteegii (Gilg.)
Domke yang secara alami mengandung gaharu yang tumbuh di hutan
Kabupaten Lombok Barat, bibit pohon Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke,
medium NA (Nutrient Agar), akuades, antifungi ketoconazol, larutan
garam fisiologis (garfis) 0,85% NaCl, Pewarna Gram, terdiri atas: i) Cat
Gram A (kristal violet; etil alkohol 95%; ammonium oksalat dan akuades),
ii) Cat Gram B (iodine, kalium iodida dan akuades), iii) Cat Gram C
(aseton, etil alkohol 95%), iv) Cat Gram D (safranin, etil alkohol 95% dan
akuades), spiritus, alcohol 70%, kertas tissue.
Alat yang digunakan dalam penelitian diantaranya Laminar Air Flow
(LAF) (Airtech), neraca analitik (AND), autoklaf, mikroskop (Nikon)
beserta kamera optilab, shaker (Heidolph), alumunium foil, seperangkat
alat kultur (glassware) yaitu cawan petri (Pyrex), tabung reaksi (Pyrex),
erlenmeyer 250 mL dan 500 mL (Pyrex), jarum oose, beaker glass 250 mL
(Pyrex), pisau steril/scalpel, syringe, plastik, pH meter, GPS dan
thermohygrometer.
C. Metode Kegiatan
1. Eksplorasi
Pengambilan sampel kulit batang pohon penghasil gaharu dilakukan
di dua lokasi yaitu di Desa Pusuk dan Desa Lembah Sari. Pohon penghasil
gaharu yang digunakan untuk pengambilan sampel dipilih secara acak
dengan memilih pohon yang telah diperlakukan dengan inokulasi mikrobia
maupun yang secara alami diduga mengandung gaharu (belum pernah
diinokulasi mikrobia secara sengaja). Sampel berupa kulit pohon Gyrinops
versteegii (Gilg.) Domke yang menunjukkan luka dan berwarna kecoklatan
disayat menggunakan parang. Kondisi lingkungan dicatat sebagai data
penunjang meliputi temperatur, persentase kelembaban serta ketinggian
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 165
lokasi. Sampel selanjutnya disimpan dalam plastik dan dibawa ke
laboratorium.
2. Isolasi bakteri dari pohon penghasil gaharu
Sampel berupa bagian kayu dipotong sebesar 1x1 cm2, sampel
dibedakan menjadi sampel kayu yang berwarna kehitaman dan kayu yang
berwarna coklat terang. Sampel disterilisasi permukaan dengan direndam
dalam larutan akuades:ethanol:akuades masing-masing secara berurutan
selama 30 detik:60 detik:30 detik. Potongan-potongan kayu tersebut
ditanam dalam cawan petri berisi medium Nutrient Agar yang telah
ditambah dengan antifungi ketoconazole selanjutnya diinkubasi dalam suhu
ruang selama 48 jam.
3. Subkultur dan pemurnian bakteri
Koloni bakteri yang tumbuh sebagai hasil isolasi, diamati secara
morfologis bentuk koloni yang berbeda, selanjutnya dimurnikan dengan
cara diambil satu koloni dengan jarum ose secara aseptis, dipindahkan pada
medium NA dalam cawan petri dengan metode streak plate empat kuadran
selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30 oC. Koloni tunggal
yang muncul dari hasil streak plate disubkultur pada medium NA lainnya.
4. Karakterisasi bakteri terpilih
Karakterisasi dilakukan pada isolat bakteri terpilih yang mampu
tumbuh pada media seleksi. Pengamatan morfologi bakteri dilakukan
dengan mengamati bentuk koloni, konfigurasi, ciri optik, tekstur, dan
pigmentasi koloni. Tipe Gram dan bentuk sel dilakukan dengan pewarnaan
Gram menggunakan cat Gram A, B, C dan D.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa sayatan kayu
(Gambar 1) yang diambil dari pohon penghasil gaharu Gyrinops versteegii
(Gilg.) Domke. Pohon yang digunakan untuk penelitian yaitu pohon yang
telah diperlakukan dengan diinokulasi kapang (pohon penelitian
BPTHHBK) dan pohon yang mengalami pelukaan secara alami yang
mengandung gaharu, dicirikan dengan adanya perubahan warna kecoklatan
pada kayunya.
166| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kayu pada pohon gaharu berwarna putih, namun dapat berubah
warna menjadi kecoklatan sebagai salah satu indikator terbentuk gaharu.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rahayu (2010) dalam Siran dan
Turjaman (2010), perubahan warna kayu pada gaharu mungkin dapat
mengindikasikan adanya resin atau senyawa gaharu. Perubahan warna kayu
dari putih menjadi kecoklatan (browning) dapat disebabkan oleh serangan
patogen dan kerusakan fisik.
Gambar 1. Sampel kayu gaharu dari beberapa lokasi
untuk isolasi bakteri penginduksi resin gaharu
Sampel kayu yang diambil untuk penelitian berasal dari pohon
penghasil gaharu yang kondisinya berbeda. Kondisi pohon dan lingkungan
pengambilan sampel disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Asal sampel dan kondisi lingkungan pohon penghasil gaharu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 167
No Kode
sampel Lokasi
Kondisi Lingkungan
Kondisi pohon Suhu
(oC)
Kelembaban
(%)
1. P1 Pusuk,
Lombok
Barat
33,5 50 Pohon tanpa
perlakuan
2. P2 Pusuk,
Lombok
Barat
35,5 44 Pohon tanpa
perlakuan
3. P3 Pusuk,
Lombok
Barat
34,2 48 Pohon dengan
perlakuan
inokulum LB
metode implant*)
4. K1 Kekait,
Lombok
Barat
32,7 51 Pohon dengan
perlakuan
inokulum LT
metode bor*)
Keterangan *)
: Pohon penelitian BPTHHBK Lombok
Pohon penghasil gaharu jenis Gyrinops banyak ditemukan di
Indonesia bagian timur, salah satunya di Pulau Lombok. Pohon penghasil
gaharu dapat tumbuh pada dataran rendah hingga ketinggian 800 m/dpl
(Sitepu, Santoso, Siran, Turjaman, 2011). Pohon yang digunakan sebagai
sampel berada pada ketinggian 102-136 m/dpl. Kondisi pohon yang dipilih
yaitu tanpa perlakuan dan dengan perlakuan diharapkan memberikan hasil
isolasi bakteri yang beragam.
A. Isolasi bakteri dari pohon penghasil gaharu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat jenis bakteri spesifik
yang berasosiasi dengan pohon penghasil gaharu Gyrinops versteegii
(Gilg.) Domke serta bakteri tersebut diduga memiliki peran pada
pembentukan resin gaharu. Isolat bakteri yang diisolasi langsung dari kayu
pohon penghasil gaharu tampak membentuk koloni disekitar sampel kayu
tersebut setelah diinkubasi 48-72 jam (Gambar 2). Koloni bakteri yang
tumbuh disekitar sampel kayu pada medium NA memiliki bentuk dan
warna koloni yang berbeda. Isolat bakteri yang berasal dari sampel irisan
kayu berwarna lebih gelap (coklat), diberi kode A, menunjukkan rata-rata
168| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pertumbuhan koloni bakteri yang lebih cepat dibandingkan isolate bakteri
yang berasal dari sampel irisan kayu berwarna terang. Berdasarkan hasil
isolasi bakteri dari sampel kayu pohon penghasil gaharu diperoleh delapan
isolat yaitu isolat bakteri P1A, P2A, P2B1, P2B2, P3A, P3B, K1A dan
K1B.
Koloni bakteri dengan kode strain P1A, P1B, P2B1, P3B, K1A dan
K1B menunjukkan jumlah koloni yang cukup banyak tumbuh disekitar
sampel dan berwarna putih susu, sedangkan pada isolat bakteri kode P2B2
dan P3A menunjukkan koloni yang berwarna kekuningan dan bentuk
koloni yang bulat berantai.
Gambar 2. Koloni bakteri pada sampel kayu dalam medium NA,
inkubasi 72 jam, 30 oC. Kode gambar (A) isolat P1A, (B) isolat P2A,
(C1) isolat P2B2, (C2) isolat P2B1, (D) isolat P3A, (E) isolat P3B,
(F) isolat K1A, (G) isolat K1B. Tanda panah menunjukkan
koloni bakteri yang muncul disekitar sampel.
Isolat tunggal dari koloni bakteri diperoleh dengan purifikasi
menggunakan streak kuadran pada medium NA dan dilakukan inkubasi
selama 24-48 jam. Karakterisasi isolat bakteri dilakukan secara sederhana
dengan pengamatan morfologi secara visual dan pengamatan bentuk sel
bakteri dengan pengecatan Gram. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
semua isolat memiliki permukaan koloni yang licin dan jika diamati pada
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 169
cahaya akan menunjukkan pendar atau kromogenesis fluorescents. Hasil
pengamatan morfologi koloni tiap isolat disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Karakter morfologis bakteri hasil isolasi dari pohon penghasil
gaharu
Isolat
Karakter morfologis
Bentuk
koloni
Elevasi Tepi Perubahan
medium
Bentuk
sel
Gram
P1A Circular Low
convex
Undulate Ya Batang -
P2A Irregulair Low
convex
Undulate Ya Kokus +
P2B1 Irregulair Low
convex
Undulate Ya Batang -
P2B2 Circular Convex Entire Tidak Batang -
P3A Circular Convex Entire Tidak Batang -
P3B Irregulair Low
convex
Undulate Ya Batang -
K1A Irregulair Low
convex
Undulate Tidak Batang -
K1B Irregulair Low
convex
Undulate Tidak Batang -
Berdasarkan hasil pengecatan Gram (Gambar 3) diketahui bahwa
hampir semua isolat adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang. Bakteri
yang diisolasi diduga adalah bakteri spesifik yang berasosiasi dengan
pohon penghasil gaharu dan mungkin mampu membentuk resin gaharu.
170| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Hasil pengecatan Gram. Gambar (A) isolat P1A p=40x,
(B) isolat P2A p=40x, (C) isolat P2B1, (D) isolat P2B2, (E) isolat P3A,
(F) isolat P3B, (G) isolat K1A dan (H) isolat K1B.
gambar D-H perbesaran 100x.
Terbentuknya gaharu pada pohon penghasil gaharu dipicu oleh
faktor abiotik maupun faktor biotik. Faktor biotik seperti mikrobia patogen
dari kelompok kapang dan bakteri. Beberapa kapang penginduksi resin
yang telah banyak diteliti yaitu Aspergillus sp., Diplodia sp., Pythium sp.,
dan Fusarium sp. sedangkan untuk bakteri belum banyak diteliti. Salah satu
penelitian mengenai bakteri endofit yang berasosiasi dengan pohon
penghasil gaharu dari spesies Aquilaria telah dilakukan di Malaysia.
Berdasarkan penelitian tersebut, bakteri endofit yang berhasil diisolasi dari
bagian pohon Aquilaria mayoritas adalah bakteri Bacillus pumilus,
identifikasi bakteri endofit tersebut didasarkan pada sekuen gen 16S rRNA
(Bhore, Preveena, Kandasamy, 2013). Terdapat bakteri yang bersifat
patogen terhadap tumbuhan hutan, misalnya pada pohon jati (Tectona
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 171
grandis), disebabkan oleh bakteri genus Pseudomonas sp. (Ismail dan
Anggraeni, 2008).
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Terdapat jenis bakteri spesifik yang berasosiasi dengan pohon penghasil
gaharu Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke serta bakteri tersebut diduga
memiliki peran pada pembentukan resin gaharu.
2. Bakteri yang berhasil diisolasi dari pohon penghasil gaharu mayoritas
merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang.
B. Keterbatasan
Belum banyak referensi dari penelitian sebelumnya yang meneliti
tentang jenis bakteri penginduksi resin gaharu.
C. Saran
Perlu dilakukan uji lapang tentang efektifitas bakteri Gram negatif ini
dalam pembentukan gaharu.
DAFTAR PUSTAKA
Barden, A., N. Awang Anak, T. Muliken, and M. Song. 2000. Heart of the
Matter: Agarwood Use and Trade and CITES Implementation for
Aquilaria malaccensis. TRAFFIC Network.
Bhore, S.J., J. Preveena and K.I. Kandasamy. 2013. Isolation and
Identification of Bacterial Endophytes from Pharmaceutical
Agarwood-producing Aquilaria Species. www.ncbi.nlm.nih.gov.
Akses tanggal 23 Oktober 2014.
Budi, S. W., Santoso, E., Wahyudi, A. 2010. Identifikasi Jenis-Jenis Fungi
yang Potensial Terhadap Pembentukan Gaharu dari Batang
Aquilaria spp. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 1, No.1. pp 1-5
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro
(penerjemah). Institut Teknologi Bandung. Bandung. Terjemahan
dari: Phytochem Methods.
Ismail, Burhan dan I. Anggraeni. 2008. Identifikasi Penyakit Jati (Tectona
grandis) dan Akasia (Acacia auriculiformis) di Hutan Rakyat
172| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal Pemuliaan Tanaman
Hutan. (2)1.ppp 7-9.
Santoso, E. 1996. Pembentukan Gaharu dengan Cara Inokulasi. Makalah
diskusi hasil penelitian dalam menunjang pemanfaatan hutan yang
lestari. Bogor. 11-12 Maret 1996. Badan Litbang Kehutanan Pusat
Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor
Siran, S.A. dan M. Turjaman. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi
gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Sitepu, I.R., E. Santoso, S.A. Siran, M. Turjaman. 2011. Fragrant wood
gaharu: When The Wild Can No Longer Provide. ITTO PD425/06
Rev.1 (I).
Sumarna, Y. dan E. Santoso. 2002. Budidaya dan Pengembangan Rekayasa
Produksi Gaharu. Makalah Semiloka Gaharu, Mikoriza, Arang,
Cuka Kayu, Biro KLN dan Investasi, Setjen Departeman Kehutanan.
Jakarta.
174| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ANALISIS FITOKIMIA DAUN BEKE (Pycnarrhena tumefacta
MIERS) DARI HUTAN ADAT TANA ULEN, KALIMANTAN
TIMUR
Andrian Fernandes1*
, Tati Rostiwati2, dan Karmilasanti
1
1Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda, Kaltim
2Pusat Penelitian Peningkatan Produktivitas Hutan, Bogor
Email: [email protected]
ABSTRAK
Secara turun menurun masyarakat dayak di desa Setulang telah mengenal daun
Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers.) sebagai pelancar air seni. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui komponen fitokimia daun Beke yang tumbuh di
kawasan hutan adat Tana Ulen, desa Setulang, kabupaten Malinau, Propinsi
Kalimantan Timur dalam rangka pemanfaatannya yang lebih luas. Contoh uji
tumbuhan obat untuk proses pengujian fitokimia yang dilakukan mengacu pada
metode yang dikemukakan oleh Harborne (1998) dan Kokate (2001). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daun Beke mengandung flavonoid, tanin,
alkaloid, steroid dan glikosida
Kata kunci : daun Beke diuretik, fitokimia, hipertensi, hutan adat
I. PENDAHULUAN
Departemen Kesehatan (2006) menyebutkan bahwa hipertensi
merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara luas dikenal
sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Banyak faktor yang
mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam
terbentuknya hipertensi, diantaranya adalah asupan natrium (garam)
berlebihan. Pengobatan hipertensi bisa dilakukan dengan mengubah pola
hidup dan menggunakan obat. Kombinasi beberapa obat yang efektif untuk
mengobati hipertensi adalah dengan menggunakan salah satu unsur diuretik
(Houston, 2009).
Banyak tumbuhan obat yang telah dikenal masyarakat luas yang
bersifat diuretik. Masyarakat awam menyebut bahan yang bersifat diuretik
sebagai bahan pelancar air seni, bahan tersebut dapat diperoleh misalnya
dari daun keji beling, daun kumis kucing, dan lain sebagainya. Salah satu
jenis tumbuhan obat diuretik yang dikenal secara turun menurun oleh
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 175
masyarakat dayak di desa Setulang adalah daun Beke (Pycnarrhena
tumefacta Miers) yang tergolong dalam famili Menispermaceae.
Masyarakat adat Dayak merebus daun Beke dan dan meminumnya dengan
tujuan melancarkan air seni.
Famili Menispermaceae dibagi menjadi 56 genus dan 94 spesies dan
P. tumefacta Miers., merupakan salah satu jenis dari yang berkhasiat obat
dan sampai saat ini belum ada penelitian ke arah kandungan fitokimianya
(Jacques dkk., 2011), sehingga untuk pemanfaatan daun Beke dalam
jumlah yang lebih besar dan luas diperlukan analisis fitokimianya. Siwon,
et al. (1981) menjelaskan bahwa jenis lain dari Pycnarrhena yang telah
diteliti adalah P. longifolia dan P. novoguineensis yang mengandung
alkaloid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen fitokimia
daun Beke yang tumbuh di kawasan hutan adat Tana Ulen, desa Setulang,
kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan adat Tana Ulen, desa
Setulang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Contoh uji tumbuhan
obat yang diambil dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama digunakan
sebagai herbarium dan bagian kedua untuk proses pengujian fitokimia.
Herbarium diidentifikasikan di laboratorium herbarium Balai Penelitian
Kehutanan Samboja, Kalimantan Timur, sementara pengujian fitokimia
dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur.
Bahan daun Beke dikeringkan pada suhu kamar dan dibuat menjadi
serbuk kasar. Serbuk diekstraksi dengan heksana untuk menghilangkan
lemak. Kemudian disaring dan filtrat dibuang. Residu ini berturut-turut
diekstraksi dengan etil asetat dan metanol menggunakan metode perkolasi
dingin (Evans, 2002).
Satu gram ekstrak etil asetat dan metanol dilarutkan dalam 100
ml pelarut etil asetat dan metanol untuk memperoleh suatu persediaan
konsentrasi 1% (v/v). Ekstrak yang diperoleh digunakan sebagai bahan
untuk pengujian fitokimia. Uji fitokimia yang dilakukan mengacu pada
metode yang dikemukakan oleh Harborne (1998) dan Kokate (2001).
176| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Analisis dilakukan terhadap komponen kimia daun beke yaitu:
1. Uji flavonoid: kedalam satu (1) ml ekstrak ditambahkan beberapa tetes
larutan sodium hidroksida, adanya perubahan warna menjadi warna
kuning menunjukkan adanya flavonoid.
2. Uji saponin: Adanya senyawa saponin ditunjukkan dengan adanya
pembentukkan busa dari pengocokan ekstrak (yang telah diencerkan
dengan 20 ml air suling) selama 15 menit.
3. Uji steroid: satu (1) ml ekstrak yang dilarutkan dalam 10 ml volume
kloroform dan kemudian ditambahkan asam sulfat pekat melalui sisi
tabung reaksi pada volume yang sama akan membentuk lapisan yang
berubah merah dan lapisan asam sulfatnya menunjukkan warna kuning
dengan flourescense hijau. Perubahan tersebut menunjukkan adanya
steroid.
4. Uji tanin: Endapan kuning yang terbentuk dari penambahan beberapa
tetes timbal asetat 1% pada lima (5) ml ekstrak menunjukkan adanya
senyawa tanin.
5. Uji triterpenoid: sepuluh (10) mg ekstrak dilarutkan dalam 1 ml
kloroform, setelah penambahan 2 ml larutan H2SO4 kedalam 1 ml asetat
anhidrida membentuk warna ungu kemerahan yang menunjukkan
adanya triterpenoid.
6. Uji alkaloid: lima (5) ml dari ekstrak ditambahkan 2 ml HCl. Satu ml
pereaksi Dragendroff ditambahkan ke dalam larutan asam tersebut dan
terbentuknya endapan oranye atau merah menunjukkan adanya alkaloid.
7. Uji glikosida : ekstrak dihidrolisis dengan HCl pada pemanas
air. Setelah itu ditambahkan 1 ml piridin dan beberapa tetes larutan
natrium nitroprusside ke dalam hidrolisat tersebut, setelah itu ditetesi
larutan alkali sodium hidroksida. Terbentuknya warna pink hingga
warna merah menunjukkan adanya glikosida.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
P. tumefacta Miers. memiliki habitus berupa liana atau tumbuhan
yang merambat pada pohon. Daunnya berukuran panjang sampai 20 cm
dan lebar sampai 10 cm, daun permukaan atas berwarna hijau tua dan
permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda (Effendi,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 177
2006)(Gambar 1). Beke banyak ditemui di daerah tepi Sei (sungai)
Setulang, dengan koordinat GPS N 3,42887° ; E 116,47537°.
Effendi (2006) menyebutkan bahwa P. tumefacta Miers. digunakan
sebagai daun penyedap masakan yang ditemui di desa Sesua dan Tanjung
Lapang, kecamatan Malinau Barat, kabupaten Malinau dikenal dalam
bahasa daerah dengan nama daun Pak (bahasa Dayak Lundayeh, Malinau,
Kalimantan Timur). Walaupun P. tumefacta Miers. sama-sama telah
dikenal sejak turun-menurun, namun nama dan penggunaannya berbeda
sesuai dengan masyarakat adat setempat. Di desa Setulang P. tumefacta
Miers. dikenal dengan nama daun Beke dan digunakan sebagai obat
pelancar kencing.
Hasil ekstraksi daun Beke adalah 1,81% pada etil asetat dan
10,36% dalam methanol. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk uji
fitokimia. Hasil analisis fitokimia daun Beke dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Penampilan daun Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers.)
permukaan daun atas (kiri); permukaan daun bawah (kanan)(dok.
Andrian, 2010)
178| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tabel 1. Hasil analisis fitokimia daun beke
Komponen fitokimia Hasil pengujian
Flavonoid +
Saponin -
Steroid +
Tanin +
Triterpenoid -
Alkaloid +
Glikosida +
Keterangan : + mengandung senyawa yang diujikan
- tidak mengandung senyawa yang diujikan
Dari hasil pengujian fitokimia, daun Beke mengandung flavonoid,
tanin, alkaloid, steroid dan glikosida. Daun Beke tidak mengandung
saponin dan triterpenoid. Karena belum ada penelitian tentang fitokimia
daun Beke maka sebagai pembanding diambil dari jenis tumbuhan lain
yaitu daun kumis kucing dan akar alang-alang. Daun kumis kucing
mengandung orthosiphonin glikosida, zat samak, minyak atsiri, minyak
lemak, saponin, sapofonin, garam kalium, mioinositol dan sinensetin,
sedangkan akar dan batang alang-alang mengandung manitol, glukosa,
sakharosa, malic acid, citric acid, coixol, arundoin, cylindrin, fernenol,
simiarenol dan anemonin (Dalimarta, 2000 dan Wijayakusuma dkk., 1994).
Secara bersama-sama, beberapa komponen fitokimia dapat berfungsi
sebagai bahan diuretik.
Thornber (1970) menjelaskan bahwa jenis Pycnarrhena
mengandung alkaloid, misalnya P. manillensis dan secara tradisional telah
digunakan sebagai tumbuhan obat. Komponen fitokimia secara tunggal
juga dapat bersifat diuretik. Lednicer (2011) menjelaskan bahwa turunan
dari steroid yang memiliki ikatan oksigen tinggi mengontrol jumlah cairan
dan volume darah. Steroid jenis ini memberikan efek diuretik dan
antihipertensi. Selain itu, adanya flavonoid juga bersifat diuretik. Efek
diuretik juga dimiliki oleh ekstrak Pavetta indica Linn. yang mengandung
flavonoid (Ramamoorthy, 2010).
Sifat diuretik daun Beke didukung oleh komponen fitokimianya,
yang terdiri dari flavonoid, tanin, alkaloid, steroid dan glikosida. Oleh
karena pengujian fitokimia daun Beke belum pernah dilakukan, maka
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 179
penelitian ini merupakan penelitian dasar yang dapat dikembangkan untuk
penelitian lanjutan dengan analisis senyawa aktif utama daun beke tersebut.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Daun Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers) yang dikenal dan selalu
dimanfaatkan oleh masyarakat adat dayak di desa Setulang untuk
pelancar air seni
2. Daun Beke (Pycnarrhena tumefacta Miers) mengandung flavonoid,
tanin, alkaloid, steroid dan glikosida.
B. Saran
Perlu dilakukan upaya budidaya jenis ini untuk menghindari
kepunahan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pak Kole, pak Mudi, Pak Markus
dan mas Fuat yang telah mendampingi tim peneliti selama di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Dalimarta, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta : Trubus
Agriwidya.
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Hipertensi. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan.
Effendi, R. 2006. Daun Penyedap Masakan dari Malinau, Kalimantan
Timur. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi III.
Evans, W. C. 2002. Pharmacognosy 15th
Ed. Saunders Elsevier.
Gupta, V. K. dan V. Arya. 2003. A Review on Potential Diuretics of Indian
Medicinal Plants. Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research. 3(1):613-620.
180| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Harbone, J. B. 1998. Phytochemical Methods. Aguide to Modern
Techniques of Plant Analysis. 3rd
Ed. New York : Chapman and
Hall Int. Ed.
Houston, M. C. 2009. Handbook of Hypertension. Singapura : John Wiley
& Sons, Ltd.
Jacques, F. M. B., W. Wang., R. D. C. Ortiz., H. L. Li., Z. K. Zhou. dan Z.
D. Chen. 2011. Integrating Fossils in A Molecular-Based
Phylogeny and Testing them as Calibration Points for
Divergence Time Estimates in Menispermaceae. Journal of
Systematics and Evolotion. 49(1):25-49
Kokate, C. K. 2001. Pharmacohnosy. 16th Ed. India : Nirali Prakasham.
Lednicer, D. 2011. Steroid Chemistry at a Glance. John Wiley and Sons
Ltd, Inggris.
Meera R. P., P. Muthumani., B. Kameswari. dan B. Eswarapriya. 2009.
Evaluation of Diuretic Activity from Tylophora indica Leaves
Extracts. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research.
1(3): 112-116.
Ramamoorthy, J. 2010. Physio-phytochemical Screening and Diuretic
Activity of Leaves of Pavetta indica Linn. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 2(8):506-512.
Shukla, S., R. Patel and R. Kukkar. 2009. Study of Phytochemical and
Diuretic Potential of Methanol and Aqueous Extracts of Aerial
Parts of Phyla nodiflora Linn. International journal of pharmacy
and pharmaceutical sciences. 1(1) : 85-91.
Siwon, J., R. Verpoorte, T. V. Beek, H. Meerburg dan A. B. Svendsen.
1981. Alkaloids from Pycnarrhena longifolia. Journal of
Phytochemistry. 20 : 323-325.
Thornber, C. W. 1970. Alkaloids of Menispermaceae. Journal of
Phytochemistry. 9 : 157-187.
Wijayakusuma., H. S. Dalimarta., A. S. Wirian., T. Yaputra. dan B.
Wibowo. 1994. Tanaman Berkhasiat Obat Jilid ke-2. Pustaka
Kartini.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 181
UJICOBA LAMA RENDAM BIJI MIMBA
TERHADAP KEMATIAN ULAT Heortia vitessoides
Ali Setyayudi dan Septiantina Dyah Riendrasari
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl Dharma Bhakti no. 7 Langko Lingsar Lombok Barat, NTB
Email:[email protected]
ABSTRAK
Biji mimba telah dikenal mempunyai kemampuan mempengaruhi kematian
serangga atau berfungsi sebagai insektisida nabati. Berbagai teknik ekstraksi
telah banyak diujicoba dan salah satu yang paling sederhana adalah dengan
perendaman air. Lama waktu ekstraksi atau perendaman merupakan salah satu
faktor penting terhadap kematian serangga, oleh karena itu penelitian ini
ditujukan guna mengetahui pengaruh lama perendaman biji mimba terhadap
kematian ulat Heortia vitessoides. Penelitian dilaksanakan secara acak lengkap
dengan menguji lima perlakuan lama rendam yaitu selama 1, 2, 3, 4, dan 5 hari,
serta kontrol. Pengamatan dilakukan dengan menghitung ulat yang mati pada
satu hingga tujuh hari setelah semprot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lama perendaman serbuk biji mimba tidak cukup signifikan mempengaruhi
perbedaan persentase kematian ulat H. vitessoides. Prosentase kematian ulat
tertinggi terjadi pada perlakuan lama rendam dua hari yaitu sebesar 77%.
Kata kunci : Mimba, rendam, Heortia vitessoides, insektisida nabati
I. PENDAHULUAN
Hingga saat ini ulat daun Heortia vitessoides masih merupakan
hama utama tanaman penghasil gaharu seperti jenis Gyrinops verstegii.
Ulat Heortia vitessoides biasanya menyerang daun dan bersifat defoliator,
sehingga pada tingkat serangan yang tinggi tentu cukup merugikan bagi
pertumbuhan tanaman. Salah satu teknik pengendalian jangka pendek yang
dapat diaplikasikan adalah penggunaan insektisida. Produk insektisida yang
banyak dikenal dan beredar dipasaran sebagian besar merupakan
insektisida yang terbuat dari bahan kimia. Selain mudah didapatnya,
insektisida ini juga dikenal mempunyai kemampuan membunuh serangga
hama secara cepat. Namun demikian beberapa efek buruk dari penggunaan
insektisida kimia juga sudah banyak diidentifikasi, salah satu diantaranya
182| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
adalah sebagai sumber pencemaran lingkungan. Sifat bahan kimia yang
sukar terurai dapat menyebabkan masalah lebih lanjut yaitu tertinggalnya
residu dan tersebar sehingga membahayakan terhadap keseimbangan
ekosistem dialam serta kehidupan manusia (Untung, 2006).
Sebagai alternatif lain terhadap penggunaan insektisida kimia, saat
ini telah banyak dilakukan ujicoba penggunaan insektisida berbahan nabati
yang dirasa lebih ramah lingkungan. Salah satu tanaman yang sudah
banyak dikenal dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah tanaman
mimba. Bagian tanaman mimba yang sering digunakan sebagai bahan baku
insektisida adalah daun dan biji. Zat azadirachtin yang terkandung didalam
kedua bagian tanaman tersebut dianggap sebagai bahan yang berperan
dalam mempengaruhi kematian serangga. Menurut Kardinan (2006) biji
mimba memiliki kandungan zat azadirachtin yang paling tinggi diantara
bagian tanaman mimba yang lainnya, oleh kerana itu biji mimba paling
sering digunakan atau dikenal sebagai bahan pembuatan insektisida nabati.
Untuk dapat merubah bahan nabati atau bagian tanaman menjadi
suatu bahan yang dapat berperan sebagai insektisida diperlukan teknik
pembuatan yang tepat. Menurut Asmaliyah et al. (2010) teknik pembuatan
insektisida nabati dapat dilakukan secara sederhana dan laboratorium. Cara
sederhana dapat dilakukan dengan perendaman dalam air sedangkan secara
laboratorium, ekstraksi dilakukan dengan bahan kimia tertentu dan
biasanya ditujukan untuk industri. Teknik pembuatan dengan perendaman
dalam air dapat dilakukan selama 1-3 hari dengan bahan segar maupun
kering (Setiawati et al, 2008). Lama waktu perendaman menjadi cukup
penting guna meningkatkan kemampuan insektisida dalam membunuh
serangga. Penelitian Dewati et al. (2009) dengan teknik ekstraksi pelarut
metanol menunjukkan lama waktu ekstraksi menjadi lebih penting terhadap
kematian ulat daripada prosentase kandungan zat azadirachtin. Berdasarkan
hal tersebut penelitian ini ditujukan untuk mengetahui apakah lama waktu
ekstraksi dengan metode perendaman air cukup berpengaruh juga terhadap
kematian ulat Heortia vitessoides. Penelitian Lestari et al (2013)
menyatakan kematian ulat Heortia vitessoides dapat terjadi sebesar 100%
hingga tujuh hari setelah semprot akibat perlakuan konsentrasi 4% biji
mimba dan dilakukan dengan perendaman selama dua hari. Oleh karena itu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 183
dalam penelitian ini dilakukan peningkatan perlakuan lama perendaman
biji mimba hingga lima hari untuk meningkatkan kemampuan biji mimba
mempengaruhi kematian ulat Heortia vitessoides.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2013 di laboratorium
perlindungan hutan Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
Bahan yang digunakan adalah biji mimba, semai Gyrinops versteegii, ulat
Heortia vitessoides instar ke tiga hingga empat, air, alkohol, dan deterjen,
sedangkan alat yang dipakai berupa blender, erlemeyer, gelas ukur,
timbangan, panci, sprayer, kotak kasa, dan pipet.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap dengan lima perlakuan lama rendam yaitu satu, dua, tiga, empat,
dan lima hari serta kontrol. Ulangan yang digunakan sebanyak 3 ulangan
dengan setiap unit percobaan dipaparkan ulat Heortia vitessoides sebanyak
10 ekor. Teknik pembuatan insektisida nabati yang digunakan adalah
dengan teknik sederhana perendaman dalam air (Asmaliyah et al, 2010).
Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan selama percobaan adalah
sebagai berikut:
- Biji mimba dihancurkan dengan cara diblender hingga halus
- Biji mimba yang sudah menjadi serbuk kemudian dikeringkan
- Serbuk biji mimba (SBM) ditimbang sebanyak 50g, 100g, dan 150g
- Serbuk biji mimba dicampurkan kedalam air sebanyak 1000ml
- Tambahkan 1 ml alkohol 95% ke dalam campuran SBM dan air
- campuran diaduk dan didiamkan selama 1, 2, 3, 4, dan 5 hari
- Setelah direndam campuran disaring
- Ditambahkan detergen sebanyak 1g kedalam campuran dan diaduk
- Campuran dimasukkan kedalam sprayer dan disemprotkan pada semai
Gyrinops versteegii yang sudah dipaparkan ulat Heortia vitessoides
sebanyak 10 ekor
- dilakukan pengamatan sesaat yaitu hingga satu jam setelah penyemprotan
- pengamatan dilakukan satu hingga tujuh hari setelah penyemprotan
- dihitung jumlah ulat yang mati disetiap pengamatannya
184| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Data hasil pengamatan berupa jumlah ulat yang mati dianalisis
secara deskriptif, sedangkan data prosentase kematian diakhir pengamatan
dianalisa sidik ragamnya guna mengetahui pengaruh lama rendam terhadap
kematian ulat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis varian (Tabel 1) menunjukkan persen kematian ulat
Heortia vitessoides hingga hari terakhir pengamatan tidak berbeda secara
signifikan. Hal ini menggambarkan perlakuan lama perendaman tidak
cukup signifikan mempengaruhi prosentase kematian ulat Heortia
vitessoides. Berbeda dengan hasil penelitian Dewati et al. (2009) yang
menggunakan pelarut etanol 70% pada suhu 30oC menunjukkan bahwa
lama ekstraksi sangat berpengaruh terhadap kemampuan membunuh biji
mimba terhadap hama. Masih menurut Dewati, selain azadirachtin lama
waktu ekstraksi akan mengakibatkan zat-zat lain ikut terekstrak seperti
meliantriol, salanin, nimbin, nimbolin, salanol, dan nimbandiol. Zat-zat ini
juga dikenal mempunyai kemampuan mempengaruhi serangga.
Tabel 1. Hasil analisis anova persentase kematian ulat H. vitessoides di
hari ketujuh pengamatan
Source Type III Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
lama 4724.444 4 1181.111 2.039329 0.112349
kons 1391.111 2 695.5556 1.200959 0.314107
lama * kons 4675.556 8 584.4444 1.009113 0.448755
Error 18533.33 32 579.1667
Total 212900 48
Corrected Total 36481.25 47
Gambar 1. Grafik persentase kematian ulat H. vitessoides
hingga hari ketujuh pengamatan
50.00
77.78 55.56
72.22 63.33
0
50
100
1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari
pe
rse
nta
se
kem
atia
n (
%)
Lama perendaman
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 185
Rata-rata persentase kematian ulat Heortia vitessoides hingga hari
terakhir pengamatan adalah sebesar 60,63%. Persentase terbesar terjadi
pada perlakuan lama rendam dua hari sebesar 77,78%, sedangkan yang
terkecil terjadi pada perlakuan lama rendam satu hari yaitu sebesar 50%.
Nilai prosentase kematian tersebut (gambar 1) dengan asumsi terdapat
kematian ulat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 13%. Hasil ini masih
lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Lestari et al (2013) yang
menunjukkan kematian 100% ulat gaharu pada hari ketujuh pengamatan
dengan konsentrasi biji mimba 3-4%. Dengan merendam selama satu hari
persentase kematian ulat sebesar 50%, dengan menambah satu hari lagi
dalam merendam meningkatkan kematian ulat sebesar 27,78%. Namun
demikian dengan menambah lagi waktu perendaman hingga lima hari,
persentase kematian ulat menjadi menurun hingga menjadi sebesar 63,33%.
Berdasarkan data tersebut maka perlakuan lama rendam dua hari menjadi
perlakuan paling efektif, dikarenakan mampu mengakibatkan kematian ulat
Heortia vitessoides dengan persentase yang paling besar. Data ini sesuai
dengan petunjuk pembuatan insektisida nabati yang diberikan Setiawati et
al. (2008) bahwa pembuatan insektisida nabati biji mimba secara sederhana
dapat dilakukan dengan merendam selama 1-3 hari.
Hasil pengamatan sesaat setelah penyemprotan menunjukkan tidak
terjadi kematian ulat di semua perlakuan yang diujikan. Kematian ulat H.
vitessoides pertama kali ditemukan pada hari pertama pengamatan, namun
jumlahnya masih cukup kecil yaitu rata-rata hanya sebesar 5%. Kematian
ulat diatas 50% dicapai pada hari ketiga pengamatan dalam perlakuan lama
rendam 2, 4, dan 5 hari, sedangkan perlakuan lama rendam 3 hari terjadi di
hari kelima, dan perlakuan rendam 1 hari pada hari kutujuh. Dari gambar 1
terlihat juga bahwa hingga hari ketiga pengamatan, kematian ulat di
perlakuan lama rendam 5 hari paling tinggi diantara yang lain dan setelah
hari keempat kematian ulat di perlakuan lama rendam 2 hari menjadi yang
tertinggi hingga akhir pengamatan. Berdasarkan data-data tersebut maka
didapatkan beberapa informasi yaitu kematian ulat akibat insektisida biji
mimba tidak langsung terjadi setelah proses penyemprotan, perlakuan
perendaman lima hari mengakibatkan kematian ulat lebih besar daripada
perlakuan lain hingga tiga hari setelah semprot dan kemudian bertambah
186| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
secara lambat dengan kematian maksimal di akhir pengamatan sebesar
63,33%. Kematian ulat Heortia vitessoides secara signifikan akan mulai
terlihat pada pengamatan tiga hari setelah semprot. Hal ini sebagaimana
dilaporkan Indiati (2009), bahwa cara kerja dari biji mimba adalah
berdasarkan kandungan bahan aktif hasil metabolit sekunder berupa
azadirachtin meliantriol, salanin, dan nimbin. Senyawa aktif tersebut tidak
membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan,
pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan
dan komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan menghambat
pembentukan kitin.
Gambar 2. Persentase kematian ulat Heortia vitessoides
secara akumulatif selama pengamatan
Trend kematian ulat dalam gambar 2 dapat dikelompokkan menjadi
dua model yang berbeda yaitu yang pertama adalah laju kematian ulat
terjadi cukup cepat di tiga atau empat hari pertama kemudian penambahan
ulat yang mati menjadi lambat di empat hari berikutnya. Trend yang
pertama ini terjadi pada perlakuan lama rendam 2, 4, dan 5 hari. Trend
kematian ulat yang kedua terjadi pada perlakuan lama rendam 1 dan 3 hari
yaitu laju peningkatan kematian ulat berjalan secara konstan per satu atau
dua hari. Meskipun secara statistik perbedaan kematian ulat diantara
perlakuan tidak cukup signifikan, namun data ini memberikan gambaran
bahwa dengan perendaman yang lebih lama memberikan pengaruh
kematian ulat yang lebih cepat.
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5 6 7
Pe
rse
nta
se k
em
atia
n
(%)
waktu pengamatan (hari setelah semprot)
1 hari 2 hari 3 hari
4 hari 5 hari
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 187
Secara keseluruhan bila dibandingkan beberapa penelitian yang ada,
hasil dari penelitian ini masih sedikit dibawah dari beberapa hasil
penelitian tentang penggunaan insektisida biji mimba terhadap beberapa
hama dari famili lepidoptera. Penelitian Rumpumbo (2010) menyebutkan
bahwa kematian ulat Plutella xylostella akibat aplikasi biji mimba
konsentrasi 30g/l dengan perendaman satu hari adalah sebesar 73,33% pada
pengamatan satu hari setelah semprot. Aplikasi biji mimba dengan
perendaman satu hari terhadap ulat Spodoptera litura mengakibatkan
kematian ulat sebesar 81,68% pada konsentrasi 75g/l (Inayati dan
Marwoto, 2011), sedangkan penelitian Mardiningsih et al. (2011)
menyatakan kematian sebesar 98% pada konsentrasi 5% pada pengamatan
tujuh hari setelah semprot. Selain itu prosentase kematian ulat pada
penelitian ini juga masih lebih kecil dibandingkan penelitian Hariri (2012)
yang menggunakan ekstrak buah Brucea javanica konsentrasi 50 g/l
terhadap ulat Heortia vitessoides yaitu sebesar 73,3–95,5% sejak dua hari
setelah diaplikasikan. Namun demikian salah satu informasi berguna yang
didapat dari penelitian ini adalah aplikasi biji mimba terhadap ulat daun
gaharu Heortia vitessoides dapat dilakukan dengan metode perendaman
selama 48 jam saja dan mampu memberikan pengaruh terhadap kematian
ulat secara signifikan tiga hari setelah penyemprotan.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Perlakuan Lama rendam biji mimba yang diujikan tidak signifikan
mempengaruhi persentase kematian ulat heortia vitessoides. Persentase
kematian tertinggi hingga tujuh hari setelah penyemprotan adalah sebesar
77% pada perlakuan lama rendam dua hari.
B. Saran
Mimba mempunyai musim buah yang pendek sehingga perlu
dilakukan pengumpulan dan penyimpanan stok biji mimba apabila akan
digunakan dalam jangka waktu yang lama, namun demikian perlu
dilakukan penelitian guna mengetahui kemampuan biji mimba terhadap
kematian ulat Heortia vitessoides dengan berbagai jangka waktu
penyimpanan biji. Penelitian dilakukan dalam kondisi ruang terkontrol
188| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
laboratorium sehingga perlu dilakukan penelitian ujicoba dilapangan guna
melengkapi data dan informasi kemampuan biji mimba di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaliyah, E. E. W. H., S. Utami, K. Mulyadi, Yudhistira, F. W. Sari.
2010. Pengenalan tumbuhan penghasil pestisida nabati dan
Pemanfaatannya secara tradisional. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Produktivitas Hutan. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan
Dewati, R. I., Amiriyah dan N. Machillah. 2009. Pengaruh volume pelarut,
waktu dan suhu ekstraksi terhadap penentuan kadar
azadirachtin pada biji mimba. Seminar Chemical Engineering
Soebardjo Brotohardjono VI. Universitas Pembangunan
Nasional Veteran. Surabaya.
Hariri, A.M. 2012. Mortalitas, Penghambatan Makan Dan Pertumbuhan
Hama Daun Gaharu Heortia vitessoides Moore Oleh Ekstrak
Buah Brucea javanica (L.) Merr. HPT Tropika. 12: 119 – 128.
Inayati, A. dan Marwoto, 2011. Efikasi Kombinasi Pestisida Nabati Serbuk
Biji Mimba Dan Agens Hayati Slnpv Terhadap Hama Ulat
Grayak Spodoptera Litura Pada Tanaman Kedelai. Seminar
Nasional Pesnab IV. Jakarta
Indiati, S.W. 2012. Pengaruh Insektisida Nabati dan Kimia terhadap Hama
Thrips dan Hasil Kacang Hijau. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan 31 (3) : 152-157.
Kardinan, A. 2006. Mimba bisa merubah perilaku hama. Sinar Tani Edisi
29 Maret-24 April 2006. http://pustaka.litbang.d
eptan.go.id/.Diakses 26 Desember 2012
Lestari, F., B. Rahmanto, dan E. Suryanto. 2013. Karakteristik dan cara
pengendalian hama ulat pada tanaman penghasil gaharu. Balai
Penelitian Kehutanan. Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Banjarbaru.
Mardiningsih, T.L., N.C. Salam, dan C. Sukmana. 2011. Pengaruh
Beberapa Jenis Insektisida Nabati Terhadap Mortalitas
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 189
Spodoptera Litura (Lepidoptera: Noctuidae). Seminar Nasional
Pesnab IV. Jakarta
Rumpumbo, M. 2010. Pengujian Ekstrak Biji Mimba (Azadirachta indica
A. Juss) Terhadap Hama Ulat Daun (Plutella xylostella) Pada
Tanaman Kubis. Skripsi Fakultas Pertanian Dan Teknologi
Pertanian Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Setiawati, W., R.i Murtiningsih, N. Gunaeni, dan T Rubiati. 2008.
Tumbuhan Bahan Pestisida Nabati dan Cara Pembuatannya
Untuk Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian
Untung, K. 2006. Pengantar pengelolaan hama terpadu (edisi kedua).
Gadjah Mada university Press. Yogyakarta
190| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
INOKULASI SEMBILAN ISOLAT ASAL NUSA TENGGARA
BARAT UNTUK PEMBENTUKAN GAHARU PADA CABANG
Gyrinops versteegii
YMM. Anita Nugraheni1)
dan Lutfi Anggadhania1)
1)Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Inokulasi isolat pembentuk gaharu umumnya dilakukan di bagian batang
tanaman Gyrinops versteegii. Teknik inokulasi pada bagian cabang tanaman
diharapkan dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan produktivitas gaharu
dan kelestarian tanaman Gyrinops. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan sembilan isolat asal Nusa Tenggara Barat untuk membentuk
gaharu di bagian cabang tanaman G. versteegii. Sembilan isolat pembentuk
gaharu asal Nusa Tenggara Barat diinokulasikan pada cabang pohon G.
versteegii, dengan teknik pengeboran. Setiap isolat diinfeksikan ke tiga pohon
yang berbeda sebagai ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap luas area
gaharu yang terbentuk pada enam bulan setelah inokulasi. Berdasarkan berat
area pembentukan gaharu, 9 isolat yaitu K15, K21, Saneo2, Bima, Saneo3,
K12, Saneo1, Lb1, Lb2 memiliki kemampuan membentuk gaharu. Isolat K15
dan K21 memiliki berat area ukur tertinggi masing-masing 0.017 dan 0.014
gram. Pohon G. versteegii yang telah diinokulasi tetap sehat dan tidak
menunjukkan tanda-tanda kematian setelah 1.5 tahun terinfeksi.
Kata Kunci : gaharu, G. versteegii, inokulasi, isolat, inokulan.
I. PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu komoditas perdagangan penting
untuk industri parfum, kosmetika, hio, dan obat-obatan tradisional. Gaharu
memiliki ciri-ciri berbentuk padat, berwarna coklat sampai hitam dan
berbau harum. Akibat infeksi mikroorganisme tertentu pada jenis tumbuhan
penghasil gaharu akan menimbulkan respons tanaman di daerah infeksi
yaitu proses perubahan kimia dan fisika (Siran, 2011).
Berbagai manfaat dan kegunaan dapat diperoleh dari gaharu
sehingga permintaan pasar akan gaharu semakin tinggi. Akan tetapi
ketersediaan gaharu secara alami di hutan sudah menipis seiring dengan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 191
peningkatan perburuan liar. Konservasi, budidaya serta rekayasa produksi
dapat dilakukan untuk mempercepat produksi gaharu berserta paket
teknologi induksi. Inokulasi buatan pada tanaman budidaya penghasil
gaharu diperlukan untuk pemanfaatan secara lestari (Sumarna, 2007).
Pembentukan gaharu secara alami terjadi di batang, cabang dan
akar pohon yang telah terinfeksi oleh mikroorganisme patogen tertentu.
Proses pembentukan gaharu relatif lebih cepat dibandingkan pertumbuhan
pohon penghasil gaharu sampai siap untuk diinokulasi. Panen gaharu dapat
dilakukan pada tahun ke-3 setelah inokulasi, akan tetapi pertumbuhan
pohon penghasil gaharu dari benih sampai siap untuk diinokulasi
membutuhkan waktu setidaknya 7 tahun.
Metode inokulasi pada batang saat ini telah banyak dilakukan oleh
petani. Hal ini mendorong petani menebang pohon saat panen gaharu.
Proses produksi gaharu sering kali diperoleh apabila terjadi interaksi inang-
patogen. Keadaan ini akan mendorong respons inang yang maksimal untuk
menghasilkan resin. Hal ini sangat disayangkan jika genetik pohon dengan
model interaksi inang-patogen yang tergolong unggul tersebut hilang oleh
karena teknik inokulasi yang tidak lestari. Untuk itu perlu dilakukan
pemilihan jenis isolat yang mempunya karakter pembentuk gaharu terbaik
pada bagian cabang tanaman penghasil gaharu. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui kemampuan sembilan isolat asal Nusa Tenggaha Barat
untuk membentuk gaharu di bagian cabang tanaman G. versteegii.
Penelitian ini dilakukan dengan metode inokulasi pada cabang-cabang
pohon penghasil gaharu. Panen dilakukan hanya dengan cara memotong
cabang-cabang yang telah diinokulasi, tanpa merusak/menebang batang
utama. Dengan metode inokulasi ini, diharapkan meskipun cabang yang
diinokulasi nantinya dipanen secara terus-menerus, batang utama dan
akarnya tetap sehat. Meskipun hasil panen yang diperoleh nantinya relatif
sedikit dibanding metode inokulasi pada batang utama yang biasa
dilakukan, ketersediaan inang penghasil gaharu tetap terjaga sehingga
kelestarian pohon penghasil gaharu tetap terpelihara.
II. BAHAN DAN METODE
Isolat pembentuk gaharu yang digunakan merupakan sembilan
isolat koleksi Balai Penelitian Tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu
192| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
(BPTHHBK) yaitu: Saneo1, Saneo2, Saneo3, Lb1, Lb2, Bima, K21, K12
dan K15. Media pemeliharaan isolat penghasil gaharu adalah Potato
Dextrose Agar (PDA). Media Potato Dextrose Broth (PDB) digunakan
sebagai media perbanyakan isolat.
Persiapan inokulum dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
BPTHHBK, meliputi kegiatan pemeliharaan dan perbanyakan isolat
patogen. Inokulasi dilakukan pada tanaman G. versteegii di perkebunan
penduduk dalam satu kawasan di Kabupaten Lombok Timur. Metode
inokulasi dilakukan dengan pengeboran pada bagian cabang tanaman
menggunakan bor berdiameter 3 mm. Takaran stater inokulum yang
digunakan sebanyak 1 ml per titik infeksi. Setiap isolat diinfeksikan pada
cabang sebanyak tiga titik amatan serta diulang pada tiga pohon yang
berbeda.
Pembentukan gaharu masing-masing isolat dilakukan pada bulan
ke-6 setelah inokulasi. Kemampuan pembentukan gaharu masing-masing
isolat diukur dengan indikator berat area ukur gaharu. Pengukuran berat
area ukur gaharu diperoleh melalui penimbangan plastik menggunakan
timbangan analitik, setelah dilakukan penjiplakan luas area pembentukan
gaharu masing-masing isolat pada plastik. Data berat area ukur gaharu
dianalisis menggunakan uji sidik ragam (SAS ver. 9.0.). Apabila hasil
analisis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilajutkan dengan uji
Duncan dengan taraf signifikan 95 %.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berbagai metode inokulasi telah banyak berkembang dikalangan
petani, peneliti maupun pengusaha gaharu di dalam dan luar negeri. Akan
tetapi metode inokulasi tersebut akan efektif jika dilakukan pemilihan jenis
isolat pembentuk gaharu yang terbaik. Upaya yang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan isolat-isolat mikroorganisme koleksi BPTHHBK
dalam membentuk gaharu adalah dengan menginokulasikan isolat tersebut
pada batang/cabang/akar pohon G. versteegii.
Keterbatasan jumlah pohon inang penghasil gaharu dan sedikit
informasi respon inang terhadap infeksi yang belum diketahui, kondisi
yang paling merugikan jika terjadi kematian pohon terinfeksi. Teknik
inokulasi pada cabang pohon dapat mengurangi kemungkinan kematian
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 193
tanaman secara total daripada inokulasi pada batang utama. Hal tersebut
juga didasari oleh pertimbangan bahwa infeksi pada cabang pohon dapat
melokalisasi zona infeksi jika isolat yang diuji ternyata lebih ganas
daripada yang diharapkan. Umumnya cabang pohon tersedia lebih banyak
dan tersedia secara lestari.
Pada uji inokulasi isolat di cabang pohon G. versteegii di
Kabupaten Lombok Timur, masing-masing pohon diinokulasi
menggunakan 9 isolat dan 1 kontrol. Sembilan isolat yang digunakan yaitu
isolat Saneo1, Saneo2, Saneo3, Lb1, Lb2, Bima, K21, K12, K15. Isolat
K21, K12, K15 dan Bima telah diidentifikasi secara morfologis, dan diduga
termasuk genus Fusarium, sedangkan isolat Lb1 dan Saneo3 belum dapat
diidentifikasi. Isolat Saneo1 dan Saneo2 memiliki kemiripan satu sama
lain, yaitu ketika dibiakkan pada media PDA dan Sabouraud Agar
memiliki warna hijau, dengan tepian putih, berdasarkan pengamatan secara
morfologis, isolat Saneo1 dan Saneo2 memiliki kemiripan dengan genus
Penicillium, sedangkan isolat Lb2 memiliki kemiripan dengan genus
Aspergillus, akan tetapi masih diperlukan identifikasi yang lebih mendalam
untuk menguatkan dugaan tersebut, terutama dengan identifikasi secara
molekuler.
Inokulasi menggunakan genus Penicillium dan Aspergillus pernah
pula dilakukan, seperti yang disampaikan oleh Santoso, Purwito, Pratiwi,
Pari, Turjaman, Leksono, Widyatmoko, Irianto, Subiakto, Waluyo,
Rahman, Tampubolon, Siran. (2012), beberapa mikroba yang telah
diaplikasikan untuk pembentukan gaharu antara lain adalah jenis Torula sp.
oleh Bose pada tahun 1934, Epicoccum sp. oleh Battchaarrya tahun 1952,
Aspergillus spp. oleh Gibson tahun 1977, Fusarium solani oleh Santoso
tahun 1994, Botrydiplodia sp. oleh Subansenee tahun 1985, Penicillium sp.
oleh Tamuli tahun 2000, Acremonium sp. oleh Rahayu tahun 2003,
Cladosporium sp. oleh Burfield tahun 2005, dan F. xylaroides oleh
Agustini tahun 2006.
Terbentuknya warna kecoklatan yang terjadi pada area pembentukan
gaharu diduga disebabkan oleh adanya akumulasi resin sebagai bentuk
perlawanan inang terhadap radikal bebas yang dilepaskan oleh
mikroorganisme yang diinokulasikan. Radikal bebas tersebut dilepaskan
oleh mikroorganisme dalam bentuk enzim yang berguna untuk merusak
194| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pertahanan tanaman yang berupa lignin, selulosa, hemiselulosa. Enzim
pengoksidasi ini akan mengakibatkan struktur molekul tanaman inang
menjadi berubah bentuk. Genus Fusarium diduga juga mengeluarkan
radikal bebas lainnya yang berupa toksin yang memiliki kemampuan
merusak secara metabolisme, salah satunya asam fusarat. Terlihat pada
peubah area 6 bulan hasil paling tinggi dicapai oleh isolat K15 (Tabel 1).
Berdasarkan pengamatan terhadap area infeksi dapat diketahui
bahwa gejala pembentukan gaharu yang muncul berbeda-beda pada
masing-masing isolat. Pembentukan warna kecoklatan tersebut secara
vertikal lebih besar dari pada horisontal (Gambar 2) karena arah jaringan
pembuluh batang tanaman yang berfungsi sebagai jalur transportasi air dan
cairan nutrisi tersusun atas sel-sel vessel secara vertikal, hifa fungi yang
diinokulasikan dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas
invasi (Novriayanti, 2008).
Tabel 1. Berat area ukur pembentukan gaharu berdasarkan jenis isolat
No Kode isolat Berat area ukur
gram1
1 K15 0.017a
2 K21 0.014ab
3 Saneo2 0.010b
4 Bima 0.010b
5 Saneo3 0.010b
6 K12 0.009bc
7 Saneo1 0.009bc
8 Lb1 0.009bc
9 Lb2 0.009bc
10 Kontrol 0.003c
Hasil pengamatan inokulasi yang dilakukan di lapangan dapat dilihat
pada Gambar 2. Terlihat pembentukan area kecoklatan yang lebih
menuju arah vertikal dibanding horizontal.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 195
Gambar 2. Hasil inokulasi 6 bulan pada cabang G. versteegii.
isolat Saneo (S1, S2, S3), Lombok Barat (LB1, LB2, K12,
K21, K15), Bima dan Kontrol
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) terhadap sampel hasil irisan kayu
9 isolat dan 1 Kontrol dilakukan untuk mengetahui apakah 9 isolat dan 1
kontrol yang dianalisis memiliki kesamaan senyawa. Hasil pengamatan di
bawah sinar UV menunjukkan isolat yang memiliki konsentrasi paling
tinggi adalah isolat K15, Lb1, dan Bima, sedangkan pada Kontrol dan
Saneo3 tidak terlihat bercak/spot. Hal ini menandakan bahwa Kontrol dan
Saneo3 tidak memiliki senyawa yang sama dengan 8 isolat yang lain.
Deteksi senyawa dilakukan dengan menggunakan detektor UV di bawah
sinar UV 254 nm, indikator pada plat KLT memancarkan warna hijau
(Gambar 3).
Gambar 3. Hasil KLT dengan urutan kiri ke kanan : kontrol, K15, LB1, Bima,
K21, Lb1, K12, Saneo1, Saneo2, Saneo3, Standar
196| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Hasil inokulasi selanjutnya diamati kembali pada umur 1,5 tahun,
dengan cara menyayat permukaan kulit cabang lubang bekas inokulasi,
kemudian cabang yang diinokulasi dipotong dan dicarving. Hasil tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4, terlihat bahwa setelah dilakukan carving,
gaharu yang terbentuk dapat terlihat dengan lebih jelas.
Gambar 4. Hasil inokulasi setelah 1,5 tahun pada cabang G. versteegii,
isolat Saneo (S1)
Pada Gambar 4 terlihat bahwa setelah dicarving, pembentukan
gaharu pada bagian jari-jari kayu (arah radial) terlihat berwarna lebih gelap
daripada warna pembentukan gaharu pada hasil sayatan di permukaan kulit
kayu (arah tangensial). Hal ini dimungkinkan karena bagian jari-jari kayu
(ray) memiliki fungsi sebagai jalur zat makanan yang hendak disalurkan ke
seluruh bagian pohon, sehingga akumulasi resin yang banyak menimbulkan
warna yang lebih gelap pada bagian tersebut. Sel-sel parenkim jari-jari
kayu berfungsi dalam penyimpanan bahan bakar (cadangan energi) seperti
pati atau lemak dan juga bahan transportasi. Secara khusus, jari-jari kayu
memiliki fungsi sebagai pengangkut bahan antimikroba dan limbah
beracun. Adanya resin yang diproduksi dan terakumulasi pada jari-jari
kayu menunjukkan upaya dari inang untuk menghambat serangan
mikroorganisme supaya tidak menjalar ke seluruh bagian tubuh inang.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setelah 1,5 tahun diinokulasi
cabang-cabangnya, pohon G. versteegii terlihat masih sehat, bertajuk hijau,
masih menghasilkan buah, dan samasekali tidak menunjukkan gejala
kematian. Hasil carving menunjukkan bahwa gaharu yang terbentuk juga
tidak menjalar sampai ke batang, hanya berada di sekitar lubang bekas
inokulasi. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh inokulasi yang hanya
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 197
dilakukan pada cabang. Faktor yang berpengaruh lainnya adalah jumlah
dosis yang digunakan untuk inokulasi ini, yaitu sebesar 1 ml. Masih
sehatnya pohon yang diinokulasi dan pembentukan gaharu yang hanya
terjadi pada cabang memungkinkan teknik inokulasi pada cabang sebagai
teknik inokulasi alternatif berkelanjutan yang mendukung upaya pelestarian
tanaman penghasil gaharu.
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil inokulasi 9 isolat mikroorganisme asal NTB koleksi BPTHHBK
yang diujikan di Lombok Timur memperlihatkan bahwa 9 isolat asal
NTB tersebut memiliki kemampuan membentuk gaharu.
2. Hasil pengamatan setelah 1,5 tahun inokulasi menunjukkan bahwa
pohon yang diinokulasi cabangnya terlihat tetap sehat dan tidak
menunjukkan gejala kematian, sehingga teknik inokulasi pada cabang
dimungkinkan sebagai salah satu teknik inokulasi alternatif yang
mendukung upaya pelestarian tanaman penghasil gaharu.
B. Keterbatasan
Penelitian ini masih dalam tahap berkesinambungan, sehingga belum
dapat diperoleh hasil panen gaharu secara keseluruhan.
C. Saran
Perlu diamati lebih lanjut kondisi pohon setelah diinokulasi cabangnya
pada tahun-tahun berikutnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada koordinator dan seluruh anggota
tim penelitian eksplorasi dan isolasi jamur pembentuk gaharu atas
dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama dilakukannya penelitian
ini. Terima kasih juga kepada tim review dan mitra bestari sehingga tulisan
ini dapat tersusun dengan baik.
198| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
DAFTAR PUSTAKA
Akter, S., Islam, M.T., Zulkefeli, M., Khan, S.I. 2013. Agarwood
Production- A Multidisciplinary Field to be Explored in
Bangladesh. International Journal of Pharmaceutical and Life
Sciences. 2(1):22-32.
Novriayanti, E. 2008. Peranan Zat Ekstraktif dalam Pembentukan Gaharu
Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa
Baill. Institut Pertanian Bogor, pp 44-50.
Santoso, E., Agustini, L., Sitepu, I., Turjaman, M. 2007. Efektivitas
Pembentukan Gaharu dan Komposisi Senyawa Resin Gaharu pada
Aquilaria spp. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
4(6):543-551.
_________, Purwito, D., Pratiwi, Pari, G., Turjaman, M., Leksono, B.,
Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Irianto, R.S.B., Subiakto, A., Waluyo,
T.K., Rahman, Tampubolon, A., Siran, S.A. 2012. Master Plan
Penelitian Dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013 – 2023. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Siran, S.A. 2011. Perkembangan Pemanfaatan Gaharu. Puslitbang
Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Sumarna, Y. 2007. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu. Prosiding
Gelar Teknologi Pemanfaatan IPTEK: Untuk Kesejahteraan
Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 199
INDUKSI PEMBENTUKAN GAHARU PADA Gyrinops versteegii
(Gilgs.) Domke DENGAN TEKNIK INOKULAN CAMPUR
DI KABUPATEN LOMBOK BARAT
Asmiati1, Endang S. Soetarto
1, I Komang Surata
2
1Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
2Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
ABSTRAK
Gyrinops versteegii merupakan salah satu pohon penghasil gaharu yang
tersebar di wilayah Nusa Tenggara dan sebagian wilayah Papua. Secara alami
gaharu dihasilkan oleh tumbuhan tertentu sebagai respon terhadap infeksi
jamur patogen. Terdapat 6 genus jamur yang dilaporkan mampu menginduksi
pembentukan gaharu. Hingga saat ini induksi pembentukan gaharu difokuskan
pada satu isolat jamur sebagai inokulan tunggal. Pada penelitian ini digunakan
isolat LT, GTO, ALS dan Saneo, yang dikombinasikan menjadi inokulan
campur untuk dipelajari kemampuannya menginduksi pembentukan gaharu
pada tanaman Gyrinops verteegii. Uji antagonis menunjukan bahwa kombinasi
isolat yang berpotensi dijadikan inokulan campur adalah GTO+LT,
GTO+ALS, LT+ALS dan ALS+Saneo. Laju pertumbuhan maksimal masing-
masing isolat dimulai pada hari ke-2 hingga hari ke-7, sehingga inkubasi
inokulan dilakukan selama 7 hari, dengan konsentrasi 2,5 ml dan 5 ml. Sebagai
pembanding digunakan inokulan tunggal dan kontrol positif serta negatif.
Batang Gyrinops verteegii yang telah berumur 3 tahun dilukai 5 cm dengan
membuang kulit dan kambium batang, lalu diberi inokulan menggunakan
cotton swab dan dilapisi dengan kapas basah, selanjutnya dibalut dengan
selotip. Pengamatan dilakukan pada hari ke-30 setelah diberi inokulan.
Indikator pembentukan gaharu diamati melalui terjadinya klorosis daun,
perubahan warna batang, aroma wangi yang terbentuk saat dilakukan
pembakaran, serta berat abu hasil pembakaran. Analisis data menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial, uji F pada α = 5%, dan uji lanjut
Duncan pada taraf 5%. Diduga, kemampuan inokulan campur menginduksi
pembentukan gaharu pada Gyrinops versteegii relatif lebih baik dibandingkan
inokulan tunggal, karena daya patogenitas inokulan campur pada tanaman
relatif lebih tinggi.
Kata kunci: Gaharu, Gyrinops versteegii, inokulan campur
200| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
Gaharu merupakan aromatic resin yang dihasilkan oleh tanaman
dari Famili Thymelaeaceae melalui infeksi patogen oleh jamur tertentu.
Senyawa fitoaleksin yang didominasi oleh senyawa seskuiterpen dan penil
etil kromon pada resin gaharu memiliki aroma wangi yang khas
(Novriyanti, Santoso, Wiyono, dan Turjaman, 2011), sehingga gaharu
dijadikan sebagai bahan dasar industri parfum, kosmetik, pengharum
ruangan dan dupa (Persoon and van Beek, 2008). Beberapa tanaman yang
dilaporkan mampu menghasilkan gaharu berasal dari genus Gyrinops,
Aquilaria, Einkleia, Aetoxylon, Wikstroemia dan Gonystilus (Siburian,
2009). Gyrinops versteegii merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu
yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara dan sebagian wilayah Papua pada
ketinggian 400-800 mdpl (Mulyaningsih dan Yamada, 2007).
Induksi pembentukan resin aromatik pada gaharu budidaya dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya: secara
mekanik dengan melakukan perlukaan pada batang gaharu, secara kimiawi
dengan menambahkan senyawa-senyawa kimia tertentu yang dapat memicu
pembentukan resin pada gaharu, maupun secara biologis dengan
menginokulasikan agensia berupa jamur untuk menginduksi pembentukan
resin (Akter, Islam, Zulkefeli, Khan 2013). Induksi produksi resin gaharu
menggunakan jamur sebagai inokulan terus dikembangkan. Hingga saat ini
induksi pembentukan gaharu lebih banyak menggunakan satu isolat jamur
sebagai inokulan tunggal. Beberapa penelitian menggunakan inokulan
ganda, satu pohon diinokulasi dengan dua atau lebih jenis jamur.
Dilaporkan terdapat tujuh genus jamur yang berasosiasi dengan
Aquilaria dan Gyrinops yang berasal dari Riau (Rahayu, 1998). Sementara
dari Gyrinops yang berasal dari NTB berhasil diisolasi 2 genera jamur yaitu
Fusarium dan Acremonium. Keberagaman jenis jamur yang mampu
menginduksi pembentukan gaharu dipandang sebagai suatu potensi yang
dapat dikembangkan menjadi inokulan campur dalam upaya meningkatkan
produktivitas gaharu secara kuantitatif maupun kualitatif dengan asumsi
kombinasi antara isolat jamur mampu meningkatkan faktor patogenitas
pada tanaman sehingga produksi resin aromatik juga meningkat. Umboh
(2000), melaporkan bahwa penggunaan kultur campur berupa isolat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 201
ACEFI kombinasi dari Acremonium, Fusarium, Scytallidium, Thielaviopsis
dan Trichoderma, mampu menginduksi pembentukan gaharu pada tanaman
Aquilaria malaccensis dan Aquilaria microcarpa yang berumur 18 bulan.
Pada tahun 2012, Nugraheni, Adi Sasmuko, dan Utomo, telah
berhasil mengisolasi fungi pembentuk gaharu dari empat lokasi di Nusa
Tenggara Barat. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kombinasi isolat
jamur yang berpotensi sebagai inokulan campur dan mempelajari
kemampuan inokulan campur menginduksi pembentukan resin gaharu pada
Gyrinops versteegii.
II. METODE PENELITIAN
a. Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober 2014 hingga Februari 2015,
di laboratorium Mikrobiologi Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan
Bukan Kayu (BPTHHBK).
b. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 isolat jamur
pembentuk gaharu asal Lombok Tengah (LT), Alas (ALS), dan Saneo,
serta 1 isolat asal Gorontalo (GTO). Tanaman Gyrinops versteegii yang
berumur 3 tahun diperoleh dari UD. Aneka Flora Lestari, Lombok
Tengah. Media Pertumbuhan jamur (Potato Dextrose Agar (PDA),
Water Agar (2% agar), Banana Leaf agar (BLA), Potato Dextrose
Broth (PDB), Basic Mineral Medium (BMM)), untuk pengamatan
morfologi jamur digunakan pewarna Lactogliserol Tripam Blue,
Alkohol 70%, dan semisolid agar. Bahan Kimia untuk preparasi
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan metanol, kertas saring
advantec qualitative grade No. 2, Silika gel GF254 (Merck), eluen
Kloroform : dietil eter (10 : 1). Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Neraca Analitik (Libror), laminar air flow (Esco), autoklaf
(Harvard/lte expres), mikroskop (Nikon) + optilab, seperangkat
haemositometer, inkubator (Sanyo), shaker (New brubswick), oven
(Mermert), microwave (Sanyo) seperangkat alat kultur (Pyrex glass).
c. Metode Penelitian
202| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
1. Persiapan dan seleksi isolat jamur yang berasal dari BPTHHBK.
Persiapan yang dilakukan meliputi pembuatan medium Potato
Dextrose Agar (PDA), sterilisasi medium dan alat serta peremajaan
isolat. Isolat jamur diseleksi berdasarkan perbedaan morfologi
koloni dan pigmentasi pada medium PDA.
2. Uji antagonis antar isolat jamur pada medium PDA
Diambil sebesar 0,5cm2 isolat jamur bersama dengan mediumnya
menggunakan pisau bedah (surgerical blade) steril ukuran 11, secara
aseptis, lalu dikultur pada medium PDA steril dalam petri dish
berdiameter 9 cm. Jarak antar isolat 1 dan 2 adalah 3 cm.
Diinkubasi pada suhu ruang dan diukur diameter koloni yang
tumbuh setiap 24 jam selama 7 hari untuk mengetahui daya hambat
pertumbuhan antar isolat. Pengukuran diameter koloni dilakukan
pada empat bagian, yaitu diameter vertikal, diameter horizontal,
diagonal kanan, dan diagonal kiri (gambar 2) lalu di hitung nilai
diameter rata-rata. Persentase penghambatan dihitung menggunakan
persamaan berikut (Fitriasari, 2012):
Keterangan:
PA = Persentase penghambatan isolat A terhadap isolat B
R1 = Diameter pertumbuhan isolat A pada kontrol
R2 = Diameter pertumbuhan isolat A, dikultur dengan isolat B
Selain diukur persentase penghambatan, juga dilakukan pengamatan
mikroskopik pada zona pertemuan dua koloni jamur untuk dilihat
pola interaksi miselium antar kedua isolat. Diambil bagian
pertemuan dua isolat menggunakan pisau bedah (surgerical blade)
steril ukuran 11, lalu dipindahkan ke objec glass untuk diamati di
bawah mikroskop. Sebelum diamati, sampel di tetesi akuades steril
dan ditutup cover glass.
3. Pembuatan kurva tumbuh isolat jamur.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 203
Dituang 15 ml NaCl steril ke dalam petri dish berisi isolat jamur
yang telah dikultur pada PDA selama 7 hari. Kemudian NaCl yang
telah mengandung spora jamur dituang kembali ke dalam tabung.
Sebanyak 1 ml suspensi spora jamur dikultur pada 9 ml medium
PDB (Potato Dextrose Broth) steril dalam tabung reaksi. Setiap
isolat dikultur pada 15 tabung untuk diamati peningkatan biomassa
sel jamur setiap 24 jam. Kultur di inkubasi pada suhu ruang sambil
di shaking pada shaker incubator. Pengukuran biomassa sel jamur
dilakukan dengan cara menyaring kultur isolat jamur menggunakan
kertas saring yang telah ditimbang. Selanjutnya kertas saring
dikeringkan di dalam oven pada suhu 65oC selama 20 menit. Setelah
kering, kertas saring yang berisi massa sel jamur ditimbang.
4. Eksperimen pembentukan resin gaharu pada Gyrinops versteegii
menggunakan inokulan campur dan inokulan tunggal.
a. Rancangan Perlakuan
Inokulan Campur (LT+GTO, LT+ ALS, GTO+ALS, dan
ALS+Saneo). Inokulan campur merupakan kombinasi dari suspensi
spora antara isolat yang tidak memiliki sifat antagonis. Suspensi
spora yang dikombinasikan berasal dari faktor pengenceran yang
sama dengan perbandingan 1:1 lalu dihomogenkan dan dikultur
selama 7 hari. Inokulan tunggal sebagai pembanding (LT, ALS,
GTO dan Saneo) berisis 100% suspensi spora satu isolat. Kontrol
positif (pohon dilukai tanpa diberi inokulan). Kontrol negatif (pohon
tidak dilukai dan tidak diberi inokulan). Konsentrasi setiap inokulan
terdiri dari 2,5 ml dan 5 ml suspensi spora jamur. Masing-masing
perlakuan dilakukan ulangan minimal sebanyak tiga kali.
b. Teknik inokulasi
Bagian batang yang akan diinokulasi berjarak 10 cm dari akar.
Batang dilukai sepanjang 5 cm dengan membuang setengah dari
kulit dan kambium batang. Seluruh permukaan batang yang telah
dilukai selanjutnya disterilkan menggunakan alkohol 70% dan
akuades steril. Selanjutnya, setiap suspensi inokulan diolesi pada
bagian kayu yang telah dilukai tersebut menggunakan cotton swab,
lalu dilapisi dengan kapas basah, dan terakhir dibalut dengan selotip.
204| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sebagai pembanding digunakan batang tanaman yang hanya dilukai
tanpa diberi perlakuan inokulan sebagai kontrol positif, dan tanaman
yang sehat tanpa dilukai sebagai kontrol negatif.
5. Analisis produk gaharu melalui uji organoleptik dan Kromatografi
Lapis Tipis (KLT)
a. Uji organoleptik meliputi perubahan warna batang dari putih
menjadi cokelat kehitaman pada batang G. versteegii yang
diinokulasikan isolat jamur serta gejala klorosis pada daun (Putri
2011). Selain itu dilakukan pula deteksi aroma wangi yang
tercium dari hasil pembakaran kayu. Tingkat wangi diberi skor 0
(tidak wangi), 1 (agak wangi), 2 (wangi), 3 (sangat wangi), dan
digunakan gaharu skor 3 (dari BPTHHBK) sebagai pembanding.
Berat abu hasil pembakaran ditimbang untuk mengetahui kadar
gaharu yang terbentuk.
b. Kromatografi Lapis Tipis. Preparasi dilakukan sesuai dengan
metode Yang, Chen, Zhang, Wei, Meng, Feng, Gan, Gao, Huang
(2013) dengan beberapa modifikasi. Sampel hasil ekstraksi serta
minyak gaharu sebagai kontrol diteteskan pada plat silika gel GF
254 kemudian dimasukkan dalam bejana pengembang yang
berisi eluen kloroform : dietil eter (10 : 1) dengan jarak eluen
diatur sebesar 10 cm. Plat silika gel juga diamati dibawah sinar
UV pada panjang gelombang 254 nm. Selanjutnya dilakukan
perhitungan nilai Rf dengan menggunakan rumus:
pelarutuh jarak temp
diselidiki yangzat uh jarak temp Rf
Nilai Rf tiap spot yang terbentuk pada sampel dibandingkan
dengan nilai Rf standar (minyak gaharu).
6. Karakterisasi isolat jamur penginduksi produksi resin gaharu.
Pengamatan morfologi jamur meliputi morfologi koloni dan
morfologi sel, dilakukan dengan menggunakan metode fungal
slide culture (Harris, 1986) berdasarkan kriteria sesuai dengan
penelitian Budi dkk. (2010). Selain itu, dilakukan juga
pengamatan terhadap bentuk dan ukuran makrokonidia dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 205
mikrokonidia dari isolat yang dikultur pada medium Banana Leaf
Agar.
d. Analisis Data
Data hasil pengamatan berupa tingkat perubahan warna, tingkat
aroma wangi dianalisis dengan SAS versi 9.1 menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan uji F pada
α = 5%. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati
maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan
uji lanjut Duncan pada taraf 5%.
II. HIPOTESA DAN HASIL SEMENTARA
1. Morfologi Isolat Jamur
a. Morfologi Koloni
Berdasarkan hasl pengamatan morfologi isolat jamur, isolat saeo
merupakan isolat yang memiliki perbedaan yang signifikan dengan
isolat lainnya. Selain berwarna hijau, koloni Saneo menyebar rata
dan tidak membentuk pola tertentu. Sedangkan isolat GTO
memiliki tepian koloni yang cenderung membulat dengan
miselium berwarna putih bersih. LT dan ALS hanya dibedakan
berdasarkan terbentuknya garis radial. Pada ALS terbentuk garis
radial yang terlihat jelas dan berwarna putih. Sedangkan pada LT,
garis radial yang terbentuk berwarna kuning (gambar 1).
(a) (b) (c)
Gambar 1. Morfologi Koloni Isolat Jamur: (a) GTO, (b) ALS,
(c) Saneo, (d) LT
b. Morfologi Sel
206| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Berdasarkan pengamatan morfologi, Isolat GTO, ALS dan LT diduga
merupakan anggota dari genus Fusarium. Sedangkan isolat Saneo
diduga merupakan anggota dari genus Aspergillus. Akan dilakukan
identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui identitas dari masing-masing
isolat.
1. Isolat GTO
(a) (b) (c)
Gambar 2. Morfologi GTO: makrokonidia (a), hifa bersepta (b),
konidiofor (c panah kuning), mikrokonidoa (c panah biru)
2. Isolat ALS
(a) (b)
Gambar 3. Morfologi isolat ALS: (a) konidiofor, (b) makrokonidia
3. Isolat LT
(a) (b) (c)
Gambar 4. Morfologi isolat LT: (a) konidiofor, (b) hifa bersepta, (c)
makrokonidia
4. Isolat Saneo
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 207
(a) (b) (c)
Gambar 4. Morfologi sel Isolat Saneo: (a) hifa bersepta, (b)
makrokonidia, (c) spora
2. Kurva Tumbuh
Berdasarkan hasil pengukuran biomassa atau berat kering sel jamur,
diperoleh data pertumbuhan yang disajikan dalam bentuk kurva sebagai
berikut.
Kurva pertumbuhan diperlukan untuk mengetahui waktu inkubasi
inokulum disesuaikan dengan fase pertumbuhan maksimal dari isolat.
Kurva pertumbuhan jamur tersebut menunjukan pola pertumbuhan yang
relatif sama antar 4 isolat. Peningkatan biomassa sel dimulai pada hari ke 2
hingga hari ke 7, sehingga inkubasi inokulum dilakukan selama tujuh hari.
3. Hasil Uji Antagonis
Hasil uji antagonis meliputi data persentase penghambatan dan
dokumentasi hasil pengamatan mikroskopis. Persentase penghambatan
mengalami kendala pengukuran disebabkan pola pertumbuhan isolat Saneo
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Mas
sa s
el (
gram
)
Hari ke-
Kurva Tumbuh Isolat Jamur LT
GTO
ALS
Saneo
Gambar 5. Kurva Tumbuh Isolat Jamur
208| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
yang menyebar ke seluruh permukaan medium. Sedangkan hasil
pengamatan mikroskopis dapat dilihat pada gambar 6-11.
Jamur antagonis merupakan jamur yang mempunyai pengaruh yang
merugikan terhadap mikroba lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya.
Antagonisme yang dilakukan meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu
yang lain dalam jumlah terbatas yang diperlukan oleh jamur, (b) antibiosis
sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh
jamur dan berbahaya bagi jamur lain dan (c) predasi, hiperparasitisme
maupun mikoparasitisme (Istikorini, 2002).
Gambar 6. menunjukan adanya sifat antagonis dari isolat Saneo terhadap
GTO, yang menyebabkan hifa GTO rusak atau lisis. Diduga hifa Saneo
mensintesis enzim hidrolitik yang bersifat toksik serta membunuh sel GTO
(Benitez, Benítez, Rincon, Limon dan Codon 2004). Mekanisme antagonis
juga dapat dilakukan dengan mikoparasitisme. Saneo berinteraksi dengan
LT dan menyebabkan hifa LT mengalami distorsi serta rusak. Mekanisme
mikoparasitisme yang dilakukan oleh Saneo yaitu dengan cara
melingkarkan atau membelitkan hifa pada hifa LT (gambar 7). Hal ini
menyebabkan kombinasi isolat Saneo dan LT serta Saneo dengan GTO
tidak dapat dijadikan sebagai inokulan campur. Berbeda halnya dengan
kombinasi Saneo dengan ALS (gambar 8), tidak ditemukan adanya sifat
antagonis dari salah satu isolat terhadap isolat lainnya. Demikian halnya
dengan kombinasi GTO dan ALS, GTO dan LT, serta ALS dan LT.
a. Interaksi Isolat Saneo dan GTO
(a) (b)
Gambar 6. Interaksi miselium Saneo dan GTO
(a) Saneo+GTO, Perbesaran 10x4 (b) hifa isolat Saneo (panah
kuning), hifa isolat GTO (panah hijau)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 209
b. Interaksi Isolat LT dan Saneo
(a) (b)
Gambar 7. Interaksi miselium LT dan Saneo LT+Saneo, perbesaran
10x10 (A), LT+Saeo, perbesaran 10x40 (B), hifa LT (panah kuning),
hifa Saneo (panah hijau)
c. Interkasi Isolat Saneo dan ALS
(a) (b)
Gambar 8. Iteraksi miselium Saneo dan ALS
(a) Saneo+ALS, perbesaran 10x4 hifa Saneo (panah kuning), (b)
Saneo+ALS, perbesaran 10x10, hifa ALS (panah hijau)
d. Interaksi Isolat LT dan ALS
(a) (b)
Gambar 9. Interaksi miselium LT dan ALS
(a) LT+ALS, perbesaran 10x10, LT+ALS hifa LT (panah kuning),
(b) perbesaran 10x40 (B), hifa ALS (panah hijau)
210| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
e. Interaksi Isolat LT dan GTO
(a) (b)
Gambar 10. Interaksi miselium LT dan GTO
(a) LT+GTO, perbesaran 10x4, hifa LT (panah kuning), (b)
LT+GTO, perbesaran 10x10, hifa GTO (panah hijau)
f. Interaksi Isolat GTO dan ALS
(a) (b)
Gambar 11. Interaksi miselium GTO dan ALS (a) GTO+ALS, perbesaran
10x4, hifa GTO (panah kuning), (b) GTO+ALS, perbesaran 10x10, hifa
ALS (panah hijau)
4. Analisis produk gaharu melalui uji organoleptik dan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Pembentukan gaharu ditandai dengan terjadinya klorosis daun serta
perubahan warna kayu disekitar daerah yang luka, dari putih menjadi
coklat (Rahayu, 2011). Pada penelitian pendahuluan diamati terjadinya
klorosis daun dimulai pada hari ke dua setelah diberi inokulan GTO 5ml
dan Saneo+ALS 5ml (gambar 12).
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 211
(a) (b)
Gambar 12. Klorosis daun yang terjadi pada hari ke-2 setelah di
inokulasi (a) GTO 5ml, (b) Saneo+ALS 5 ml
Secara umum terdapat empat faktor yang mempengaruhi keberhasilan
inokulasi, yaitu kondisi iklim setempat, kondisi pohon, metode inokulasi,
dan jenis inokulannya (Sasmuko, 2011). Keunggulan inokulan dalam
menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis dan kecocokan
inokulan yang digunakan (Mucharromah dan Marantika, 2009).
Berdasarkan hal tersebut diduga kombinasi isolat Saneo+ALS merupakan
inokulan yang dapat menginduksi pembentukan gaharu dengan aroma
wangi yang relatif lebih wangi dibandingkan dengan inokulan lainnya,
karena daya atagonis yang dimiliki oleh Saneo serta laju pertumbuhan
Saneo yang relatif lebih cepat memungkinkan terjadinya penetrasi hifa
jamur ke dalam sel dan jaringan tanaman lebih cepat.
III. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa kombinasi
isolat yang berpotensi dijadikan inokulan campur adalah ALS+GTO,
ALS+LT, GTO+LT dan ALS+Saneo. Diduga kemampuan inokulan
campur dalam menginduksi pembentukan gaharu pada tanaman
Gyrinops versteegii yang berumur 3 tahun relatif lebih baik
dibandingkan dengan inokulan tunggal.
212| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
B. Keterbatasan
Penelitian ini hanya menggunakan 4 isolat jamur dari 12 isolat yang
ada, dan hanya menggunakan kombinasi dari 2 isolat saja. Selain itu,
aplikasi inokulan hanya di berikan pada tanaman yang berumur 3
tahun, dan tidak dilakukan analisis kandungan atau konsentrasi
senyawa terpenoid menggunakan Gas Chromatography Mass
Spectrometry (GCMS) karena jumlah sampel yang tidak mencukupi.
C. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian menggunakan kombinasi kombinasi lebih
dari 2 isolat dari 12 isolat yang ada.
2. Perlu dilakukan uji inokulan campur pada tanaman yang telah
berumur lebih dari 3 tahun dengan kombinasi metode yang berbeda.
3. Perlu dilakukan analisis kandungan senyawa terpenoid di dalam
gaharu menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry
(GCMS) untuk mengetahui kuantitas maupun kualitas gaharu yang
terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Akter, S., T. Islam, M. Zulkefeli, S.I. Khan. 2013. Agarwood Production A
Multidisciplinary Field to be Explored in Bangladesh.
International Journal of Pharmaceutical and Life Sciences.
Volume 1, Issue 4, Serial 3: January 2013.
Benítez, T., A. N. Rincon, M. C. Limon & A. C. Codon. 2004. Biocontrol
mechanisms of Trichoderma strains. Internat. Microbiol. 7: 249-
260.
Budi, S.R., B. R., E. Santoso dan A. Wahyudi. 2010. Identifikasi Jenis-
jenis Jamur yang Potensial terhadap Pembentukan Gaharu dari
Batang Aquilaria spp. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 01 No. 01
Desember 2010, Hal. 1 – 5. ISSN: 2086-8227.
Fitriasari, P. D. Isolasi dan Uji Antagonis Trichoderma Spp. terhadap
Jamur Penyebab Antraknosa pada Tanaman Stroberi (Fragaria
Vesca L.). 2012. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 213
Harris, J. L. 1986. Modified Method for Fungal Slide Culture. Journal of
Clinical Microbiology, Sept. 1986, p. 460-461. Vol. 24, No. 3.
Istikorini, Y. 2002. Pengendalian Penyakit Tumbuhan secara hayati yang
Ekologis dan Berkelanjutan. http://tumoutou.net. Diakses tanggal 2
Mei 2011.
Mulyaningsih T, Isamu Y. 2007. Notes on Some Species of Agarwood in
Nusa Tenggara, Celebes and West Papua.
http://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/ final_reports2007/article/43-
tri.pdf. Diakses: 31 Mei 2014.
Novriyanti, E. E. Santoso, B. Wiyono, and M. Turjaman. 2011. Chemical
study of Eaglewood (gaharu) Resulting from Inoculation of
Fusarium sp. on Aquilaria microcarpa. In: Proceeding of Gaharu
Workshop Development of Gaharu Production Technology. Ed:
M. Turjaman.
Nugraheni, Y. M. M. A., Adi Sasmuko, S., dan Utomo, M. M. B. 2012.
Isolasi dan Karakterisasi Fungi Pembentuk Gaharu Hasil
Eksplorasi yang Berasal dari Empat Lokasi di NTB. Balai
Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Lombok Barat.
Persoon, G.A. and H.H. van Beek. 2008. Growing The Wood of The Gods:
Agarwood Production in Southeast Asia. Advances in
Agroforestry. Volume 5, 2008, pp 245-262.
Putri, A.L. 2011. Studi Interaksi Fusarium Sp. dengan Pohon Gaharu
(Aquilaria Sp.) Menggunakan Pendekatan Sitologi. Tesis. Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2011
Rahayu, L. O. 2009. Isolasi, Identifikasi Filogenetik Dan Uji Patogenisitas
Konidia Jamur Entomopatogen Terhadap Kutu Sisik Coklat
(Lepidoshapes beckii Newman) Hama Tanaman Jeruk. Thesis,
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang.
Rahayu,G., Isnaini, Y., Situmorang, J., Umboh, M.I.J. 1998. Cendawan
yang berasosiasi dengan gaharu (Aquilaria spp) dari Indonesia. Di
dalam: Hardoyo, Sutikno, Utomo SD, Ginting C, Gafur A, editor.
Prosiding Seminar Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan
214| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Mikrobiologi Indonesia; niversitas Lampung, 14-15 Desember
1998. Bandar Lampung: PERMI cabang Lampung. Hlm 358-393.
Siburian, R.H.S., 2009, Keragaman Genetik Gyrinops Verstegii asal Papua
Berdasarkan RAPD dan Mikrosatelit, Sekolah Pascasarjana IPB,
Bogor.
Umboh, M.I.J., Rahayu, G., Affandi, H., 2000, Upaya Peningkatan
Produksi Gubal Gaharu: mikropropagasi Aquilaria spesies dan
upaya peningkatan bioproses gubal gaharunya (Laporan Akhir
Penelitian RUT V), Jakarta, Menristek DRN.
Yang, Y., H. Chen, Y. Yang, Z. Zhang, J. Wei, H. Meng, W. Chen, J. Feng,
B. Gan, X. Chen, Z. Gao, J. Huang, B. Chen and H. Chen. 2013.
Whole-Tree Agarwood-Inducing Technique: An Efficient Novel
Technique for Producing High-Quality Agarwood in Cultivated
Aquilaria sinensis Trees. Molecules 2013, 18, 3086-3106.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 215
PENGGUNAAN BENTONITE PADA PROSES PEMBUATAN
BIOKEROSIN DARI BIJI NYAMPLUNG
Nurul Wahyuni1)
, Saptadi Darmawan1)
dan Djeni Hendra2)
1)Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl. Dharma Bhakti No 7 Ds Langko, Kec.Lingsar, Lombok Barat-NTB.
Telp. (0370)6175552 Fax.(0370)6175482 2)
Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ketersedian bahan bakar yang berasal dari fosil makin menurun seiring dengan
makin meningkatnya kebutuhan akan energi. Banyak alternative energi
terbarukan yang bisa menjadi pengganti. Indonesia yang kaya akan sumber
daya alam juga memiliki banyak energi alternatif seperti energi surya,
mikrohidro, panas bumi, angin dan juga bahan-bahan nabati. Kehutanan
sebagai salah satu sector pemerintah berupaya menjaga ketersediaan energi
dalam negeri. Nyamplung merupakan salah satu bahan baku nabati penghasil
biofuel yang telah dikembangkan sejak tahun 2009. Biokerosin sebagai salah
satu produk alternative yang dapat diproduksi dari biji nyamplung menjadi
salah satu target capaian pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penambahan bentonite pada proses pengolahan nyamplung menjadi
biokerosin. Metode yang digunakan terdiri dari tahapan degumming dengan
asam pospat dan netralisasi dengan menggunakan bentonite. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa nyamplung dapat
dibuat menjadi biokerosin melalui tahapan degumming dengan mengguna
asam phospat 1% yang ditambahkan dengan bentonit yang dilanjutkan dengan
pencucian dan pengeringan. Rendemen rata-rata untuk biokerosin nyamplung
asal Lombok dengan penambahan bentonit 7% mencapai nilai tertinggi
sedangkan untuk nyamplung asal Sumbawa mencapai nilai tertinggi pada
penambahan bentonit 6%. Sifat fisik berupa viskositas mencapai nilai terendah
pada penambahan bentonite 6% untuk nyamplung yang berasal dari Lombok
dan 9% nyamplung asal Sumbawa.
Kata kunci : nyamplung, bentonite, sifat fisiko kimia, biokerosin
216| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketersedian bahan bakar yang berasal dari fosil makin menurun
seiring dengan makin meningkatnya kebutuhan akan energi. Banyak
alternative energi terbarukan yang bisa menjadi pengganti. Indonesia yang
kaya akan sumber daya alam juga memiliki banyak energi alternatif seperti
energi surya, mikrohidro, panas bumi, angin dan juga bahan-bahan nabati.
Sementara itu terdapat target komposisi energy MIX tahun 2025 yang telah
direncanakan.
Energy MIX saat ini Energi MIX tahun 2025
Gambar 1. Target Komposisi Energi MIX tahun 2025
Kehutanan sebagai salah satu sector pemerintah berupaya menjaga
ketersediaan energi dalam negeri. Biokerosin sebagai salah satu produk
alternative yang dapat diproduksi dari biji nyamplung menjadi salah satu
target capaian pemerintah sebagaimana roadmap pengembangan biofuel
yang telah dicanangkan oleh kementerian ESDM, terlihat tahapan-tahapan
pengembangan dari bebeberapa jenis bahan bakar yang akan
dikembangkan.
Tabel 1. Roadmap Pengembangan Biofuel
Tahun 2011-2015 2016-2025
Biodiesel Pemanfaatan biodiesel sebesar
15% konsumsi solar 4,52 juta kilo
liter
Pemanfaatan biodiesel
sebesar 20% konsumsi solar
10,22 juta kilo liter
Bioethanol Pemanfaatan bioethanol sebesar
10% konsumsi premium 2,78 juta
kilo liter
Pemanfaatan bioethanol
sebesar 15% konsumsi
premium 6,28 juta kilo liter
Biooil Pemanfaatan biokerosin 1,8 juta Pemanfaatan biokerosin 4,07
minyak bumi 52% panas
bumi 1%
gas 29%
batu bara 15%
air 3% minya
k bum…
gas 30%
batu bara 33%
panas bumi 5%
BBN 5%
lain-lain 7%
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 217
kilo liter juta kilo liter
PPO untuk
pembangkit
listrik
Pemanfaatan PPO 0,74 juta kilo
liter
Pemanfaatan PPO 1,69 juta
kilo liter
Sumber: ESDM, 2005
Biokerosin sebagai salah satu target capaian pemanfaatan yang
cukup besar hingga tahun 2025 mendorong munculnya berbagai upaya
dalam produksinya. Beberapa potensi sumber bahan baku untuk biokerosin
yang berasal dari hutan diantaranya nyamplung, malapari, kepuh, kemiri
sunan dan lain-lain.
Produk biokerosin memiliki potensi yang besar untuk di
kembangkan di NTB mengingat NTB memiliki kebutuhan akan bahan
bakar untuk oven tembakau yang cukup besar. Biokerosin adalah salah satu
alternative yang diharapkan mampu mengganti ketergantungan terhadap
minyak tanah maupun bahan bakar fosil lainnya
Biokerosin dalam pemanfaatannya telah dapat digunakan sebagai
substitusi bagi minyak tanah. Namun banyak hal yang menjadi
kelemahannya seperti titik bakar yang rendah, jelaga yang banyak, endapan
lilin pada sumbu serta perlu peralatan khusus dalam pengaplikasiannya.
Hal ini mendorong penelitian – penelitian lebih lanjut terkait dengan proses
hulu pembuatan biokerosin hingga pada bagian hilirnya yaitu aplikasi
biokerosin yang dihasilkan.
Biokerosin dapat diproduksi dari biji-bijian. Dengan
memanfaatkan biji, maka kelestarian hutan dapat terjaga dan dampak
negatif bagi lingkungan dan kesehatan dapat dikurangi karena berasal dari
bahan nabati yang tidak menimbulkan dampak seperti pada batu bara.
Selain itu, keberlangsungan produksi biokerosin dapat terjaga karena
berasal dari bahan baku yang terbarukan.
Beberapa alternatif biji-bijian yang berpotensi di NTB dan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku biokerosin antara lain adalah biji
nyamplung, kepuh dan malapari. Komoditi tersebut tersebar di beberapa
wilayah NTB baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa (BPK
Mataram, 2010). Nyamplung tersebar merata hampir di tiap kabupaten di
Pulau Lombok dan Sumbawa.
218| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Dengan adanya potensi komoditi tersebut sebagai bahan baku
biokerosin serta adanya kebutuhan bahan bakar yang tinggi, maka pada
tahun 2012 penelitian ini akan mengujicobakan pemanfaatan biji
nyamplung dan kemiri sunan sebagai biokerosin.
B. Tujuan dan Sasaran
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknologi pembuatan
biokerosin dari biji nyamplung dan kemiri sunan. Sasaran penelitian adalah
diketahuinya teknologi pembuatan biokerosin dari biji nyamplung dan
kemiri sunan
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Bahan penelitian berupa biji nyamplung diperoleh dari Pulau
Sumbawa tepatnya di desa Ai Kangkung Kecamatan Sekongkang
Kabupaten Sumbawa Barat dan Pulau Lombok tepatnya di desa Mumbul
Sari, kecamatan Gunung Sari kabupaten Lombok Barat dan desa Sintung
Timur kecamatan Pringgarata kabupaten Lombok Tengah. Hal ini
didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya. Sementara itu bahan baku
berupa biji kemiri sunan diperoleh dengan mengumpulkan dari lokasi-
lokasi tempat tumbuhnya jenis-jenis tersebut yaitu di Jawa Barat tepatnya
di desa Padahanten kecamatan Sukahaji kabupaten Majalengka.
Proses produksi biokerosin dilakukan di Laboratorium pengolahan
hasil hutan bukan kayu, BPTHHBK termasuk analisa sifat fisik dari
biokerosin. Proses analisa kimia sebagian dilakukan di Laboratorium
pengujian HHBK, BPTHHBK dan sebagian lainnya dilakukan di
Laboratorium terpadu Puslitbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan
Hasil Hutan.
B. Bahan dan Peralatan
Bahan baku yang digunakan adalah biji nyamplung (Callophyllum
inophyllum) dan kemiri sunan (Reutealis trisperma). Bahan kimia yang
digunakan untuk proses degumming dan netralisasi adalah asam phospat
(H3PO4) dan NaOH. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisa
diantaranya indicator pp, NaOH, HCl, CCL4, Larutan Wijs, Larutan KI,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 219
Na2S2O3, asam asetat pa, etanol pa, CHCl3 pa dan KI Kristal. Bahan
penunjang lainnya antara lain jerigen besar, corong minyak, kawat, karung
plastik sampel, karung, pH paper, botol kaca, pipet tetes, kertas saring,
korek api, label, dan alat tulis.
Peralatan yang digunakan dalam proses produksi crude oil antara lain
mesin kempa, timbangan, wadah, labu ukur, jerigen dan saringan. Pada
proses degumming, netralisasi dan pencucian alat-alat yang digunakan
diantaranya timbangan, labu ukur, gelas piala, hot plate stirrer, magnetic
stirrer, labu pemisah, pemanas air, thermometer, pengaduk kaca. Alat-alat
yang digunakan dalam analisa diantaranya timbangan digital, pipet
volumetric, erlenmeyer, gelas piala, cawan gooch, piknometer, viscometer,
oven, dan buret.
C. Prosedur Kerja
1) Proses produksi biokerosin
Tahapan pra produksi biokerosin berbahan baku nyamplung adalah
penyiapan bahan baku sebelum diproses menjadi minyak. Biji nyamplung
dikupas dari cangkang buahnya (karnel). Selanjutnya karnel dikukus (Anif
MU, 2011). Pengukusan dimaksudkan untuk mengurangi getah yang
terkandung pada biji. Kernel yang telah dikukus selanjutnya dikeringkan.
Pengeringan dimaksudkan untuk mengurangi kadar air sehingga
mempermudah proses pengempaan. Hal ini dilakukan dengan menjemur
biji di bawah sinar matahari.
Biji yang telah dikeringkan kemudian digiling lalu dikempa dengan
menggunakan kempa hidrolik manual. Minyak kasar (crude oil) yang
dihasilkan dikarakterisasi untuk mengetahui sifat fisiko-kimia minyak,
sehingga dapat diketahui potensinya sebagai bahan bakar nabati khususnya
biokerosin.
Tahapan pra produksi biokerosin berbahan baku kemiri sunan berbeda
dengan nyamplung. Biji kemiri sunan yang telah dikupas tidak mengalami
proses pengukusan. Biji yang telah dikupas selanjutnya dikeringkan dengan
dijemur. Biji yang telah kering selanjutnya digiling dan langsung menuju
tahap produksi biokerosin.
Proses produksi biokerosin sendiri akan dilakukan melalui beberapa
tahap, yaitu, pengepresan (pengempaan), penyaringan, degumming dengan
220| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
penambahan zat additif, pencucian dan pengeringan. Pengepresan
dilakukan dengan kempa hidrolik dengan penambahan panas. Serbuk biji
dipres hingga minyaknya keluar semua.
Proses pembuatan biokerosin selanjutnya adalah dengan memurnikan
minyak melalui proses penyaringan. Minyak hasil pres disaring dengan
menggunakan kain untuk memisahkan minyak dari kotoran-kotoran pada
saat pengepresan. Selanjutnya proses degumming dengan asam fosfat dan
penambahan zat additive untuk menurunkan kekentalan.
Degumming dilakukan dengan cara memanaskan 500 ml CO hingga
mencapai suhu 80oC sambil terus diaduk. Tambahkan H3PO4 sebanyak 1%
v/v (Anif MU, 2011) dan bentonit 5%-10% sebagai aditif. Suhu pemanasan
diupayakan stabil pada suhu 60-70oC selama 1 jam. Selanjutnya minyak
yang telah mengalami degumming dimasukkan ke corong pisah. Diamkan
selama 12 jam agar minyak dan gum terpisah.
Endapan yang terjadi dipisahkan kemudian dicuci dengan air hangat
60oC hingga jernih. Selanjutnya, air diuapkan dari minyak dengan
pengering pada suhu 100oC agar tidak terjadi reaksi oksidasi yang bisa
mengubah warna minyak tersebut menjadi gelap kembali. Hasil dari
degumming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak
asalnya (Bustomi dkk., 2008).
2) Pengujian sifat fisiko-kimia
Sifat fisiko-kimia yang diamati antara lain densitas, kadar air, viskositas,
bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan iod, penampakan (warna),
dan rendemen. Pengujian sifat fisiko-kimia dilaksanakan pada biokerosin
biji nyamplung dan kemiri sunan. Untuk nilai rendemen biokerosin
diperoleh dengan membandingkan biokerosin yang dihasilkan dengan
crude oil yang diolah. Berikut ini rumus yang digunakan.
Rendemen biokerosin = Volume biokerosin
X 100% Volume crude oil (CO)
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa dengaan menggunakan analisis ragam
dan apabila terdapat beda nyata antar perlakuan, dilakukan uji lanjut
Duncan. Hasil-hasil analisa tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel,
grafik, dan gambar.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 221
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Biokerosin Berbahan Baku Nyamplung
Bahan baku nyamplung yang digunakan dalam proses produksi
biokerosin berasal dari dua lokasi yaitu Lombok dan Sumbawa Barat. Hal
ini dilakukan karena berdasarkan penelitian pada tahun 2012 diketahui
bahwa kedua lokasi tersebut menghasilkan biokerosin dengan karakteristik
yang lebih baik dibandingkan dengan biokerosin yang berasal dari Dompu.
Berikut ini rendemen crude oil nyamplung yang diperoleh dari kedua
lokasi tersebut.
Grafik 1. Rendemen crude oil nyamplung asal Lombok dan Sumbawa
Crude oil (CO) nyamplung asal Lombok yang diperoleh menunjukkan
hasil yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan CO asal Sumbawa yang
mampu mencapai rendemen sebesar 43,33%. Perbedaan kandungan minyak
tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuhnya. Untuk
berkembang dengan baik, tanaman membutuhkan keadaan lingkungan
yang optimum untuk mengekspresikan program genetiknya secara penuh
(Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil penelitian Budi Leksono dkk (2010)
juga menunjukkan hal serupa yang menyimpulkan bahwa terdapat
keragaman antar provenan/ras lahan nyamplung terhadap rendemen minyak
nyamplung. Nilai rendemen CO nyamplung asal Sumbawa memiliki
kemiripan dengan CO biji karet yang berasal dari Kab. Sintang,
Kalimantan Barat. Penelitian Siahaan, S., dkk (2010) menunjukkan
kandungan minyak biji karet mencapai 41,00 - 44,50%. Proses ekstraksi
yang dilakukan dengan pengepresan menggunakan pres hidrolik manual.
36.87
43.33
30
40
50
Lombok Sumbawa nila
i re
nd
em
en
(%
)
asal biji nyamplung
Rendemen Crude Oil Nyamplung
222| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Menurut Putra FSK. dkk (2012), ekstraksi nyamplung dengan
menggunakan solvent n-hexane teknis menghasilkan kandungan crude
lipid mencapai 62,96-63,10%. Namun tentunya hal tersebut tidak dapat
diterapkan dalan kehidupan sehari-hari terlebih lagi pada skala rumah
tangga.
Beberapa sifat fisik crude oil nyamplung yang berasal dari kedua
lokasi relatif sama seperti warna, densitas, dan viskositas. Crude oil
nyamplung berwarna hijau kehitaman. Hasil yang sama terkait dengan
warna tersebut juga telah disampaikan dalam BPTHHBK (2012) bahwa
warna CO nyamplung adalah hijau kehitaman. Menurut Ketaren (1986) zat
warna dalam minyak terdiri dari dua golongan yaitu zat warna alamiah dan
hasil degradasi warna tersebut. Pada kasus crude oil nyamplung yang
berwarna hijau kehitaman dapat disimpulkan bahwa warna tersebut
merupakan pengaruh dari zat warna alamiah yang dimiliki oleh biji
nyamplung tersebut karena tidak ada perlakuan penyimpanan ataupun
pemanasan berlebih yang mampu merubah warna dari minyak yang
dihasilkan.
Densitas CO nyamplung berada pada selang 0,93-0,95. Hal ini serupa
dengan yang disampaikan R. Sudrajat (2007) bahwa densitas CO
nyamplung pada suhu 20oC mencapai 0,944 g/ml. Penetapan densitas
dimaksudkan untuk menginformasikan berat suatu bahan untuk
menghitung rendemen.
Sifat fisik lainnya adalah viskositas atau kekentalan. Rata-rata
viskositas untuk kedua asal bernilai sama yaitu 1,03 dPa’s. nilai viskositas
CO nyamplung menurut R. Sudrajat (2007) adalah 56,70 cP. Bila nilai
tersebut dikonversi ke satuan dPa’s maka akan menjadi 0,567 dPa’s. Nilai
tersebut termasuk dalam kategori kental sehingga nyamplung asal Lombok
dan Sumbawa juga masuk dalam katagori kental.
Setelah diperoleh crude oil, langkah selanjutnya adalah degumming
dengan penambahan bentonit sebagai aditif. Pada proses ini bentonit
digunakan dengan tujuan menurunkan viskositas dan mencerahkan warna
minyak yang dihasilkan tanpa melalui proses netralisasi. Bentonit adalah
salah satu bleaching earth yang memiliki kemampuan untuk mengadsorb
zat warna dan zat-zat yang tidak diinginkan dalam minyak pada proses
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 223
pengolahan edibel oil (Ailen T. dkk, 2006). Persen penambahan bentonit
pada proses degumming bervariasi yaitu 5%, 6%, 7%, 8%, 9% dan 10%
b/v. Gambar berikut ini menunjukkan rendemen biokerosin nyamplung
yang diperoleh berdasarkan asal bahan baku serta perlakuan penambahan
aditif berupa bentonit.
Grafik 2. Rendemen biokerosin berbahan baku nyamplung asal
Lombok dan Sumbawa
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa rendemen biokerosin
nyamplung yang berasal dari Lombok mencapai nilai tertinggi pada
penambahan bentonit sebanyak 7% dengan nilai 81,56 %. Nilai ini masih
berada di bawah kontrol dengan selisih 3,55%. Pada proses degumming
beberapa bagian dari minyak mentah (CO) terikat oleh asam dan juga oleh
bentonit terutama gum dan pengotor lainnya. Bagian–bagian yang terikat
tersebut selanjutnya mengalami pemisahan. Hal ini mengakibatkan
penurunan jumlah biokerosin yang diperoleh. Banyaknya bagian minyak
yang terikat oleh asam dan bentonit tentunya dipengaruhi oleh kandungan
asam lemak bebas dari minyak awalnya. Pada biodisel nyamplung, kadar
asam lemak bebas mempenangaruhi rendemen dihasilkan (Anif MU,
2011).
Hal yang berbeda terjadi pada minyak kontrol yang tidak
ditambahkan bentonit. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya penyerapan
pengotor yang pada perlakuan lainnya dilakukan oleh bentonite. Akibatnya
minyak yang dihasilkan tidak berkurang.
0
50
100 85.11 81.56 76.78 80.44
nila
i re
nd
em
en
(%
)
penambahan bentonit
Rendemen Biokerosin Nyamplung
Nyamplung Lombok Nyamplung Sumbawa
224| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Nilai rendemen nyamplung asal Sumbawa berbeda dengan
rendemen yang diperoleh dari nyamplung asal Lombok dimana nilai
kontrol lebih kecil dari biokerosin yang telah ditambahkan bentonit pada
semua perlakuan yaitu 76,78%. Sedangkan nilai rendemen tertinggi
diperoleh melalui perlakuan penambahan bentonit 6% dengan nilai
80,44%. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kandungan asam
lemak bebas mempengaruhi rendemen yang dihasilkan dari proses
degumming dengan penambahan adsorben. Hal ini pula yang menjadikan
biokerosin asal Sumbawa dihasilkan dengan jumlah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan berasal dari Lombok.
Karakteristik biokerosin nyamplung kedua asal biji pada masing-
masing perlakuan juga menunjukkan beberapa perbedaan. Berikut ini sifat
fisiko kimia biokerosin nyamplung pada masing-masing perlakuan.
Tabel 2. Sifat fisiko kimia biokerosin nyamplung asal Lombok
No
Perlakuan
Bentonit
(%)
Densit
as
Visko-
sitas
(dPa’s)
Bil.
Perok
sida
Bil.
Yod
Bil.
Asam
Bil.
Ester
Bil.
Penyabu
nan
0 0
(Kontrol) 0,93 1,20 7,70 18,41 43,63 132,59 195,16
1 5 0,93 1,17 2,79 5,45 9,66 183,72 252,39
2 6 0,92 1,00 2,89 4,95 9,79 173,64 253,76
3 7 0,94 1,03 3,07 5,66 9,39 171,09 253,91
4 8 0,93 1,10 2,54 5,22 9,48 162,02 253,44
5 9 0,94 1,13 3,27 4,89 10,28 182,22 252,55
6 10 0,94 1,16 2,61 5,50 9,53 172,14 252,45
Bila melihat Tabel 2 dapat diketahui bahwa biokerosin yang diperoleh
dengan penambahan aditif menghasilkan minyak yang memiliki
karakteristik fisiko kimia yang lebih baik. Nilai densitas berada pada selang
0,92-0,94. Nilai tersebut mengalami penurunan dari nilai densitas CO
meskipun sangat kecil. Nilai tersebut serupa dengan densitas biokerosin biji
karet yang diperoleh oleh Siahaan dkk, (2010) yaitu berkisar pada 0,91-
0,94.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan
bentonit pada minyak nyamplung asal Lombok tidak berpengaruh nyata
pada densitas biokerosin yang dihasilkan (Lampiran 1). Demikian pula
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 225
halnya dengan hasil analisis ragam terhadap viskositasnya (Lampiran 2).
Viskositas biokerosin yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan
cukup beragam dimana pada perlakuan penambahan bentonit 6%
menghasilkan minyak yang paling encer.
Nilai bilangan asam, bilangan peroksida dan bilangan iod
menunjukkan angka yang lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai
tersebut pada sampel kontrol. Angka asam yang tinggi dapat menyebabkan
endapan dalam sistem bahan bakar (Weiksner dalam Arjulis H dan Rina R.,
2007). Pada biokerosin bilangan asam lebih difungsikan sebagai indikator
kualitas ketahanan minyak dalam menjaga kualitas minyak itu sendiri.
Berbeda dengan biodesel yang dimanfaatkan pada mesin, biokerosin
nantinya akan dimanfaatkan pada kompor.
Bilangan iod biokerosin asal Lombok terbilang kecil yaitu berada
pada rentang 4,89-5,66 g I2/100 g minyak. Sementara itu nilai bilangan iod
pada biokerosin kontrol mencapai 18,41 g I2/ 100 g minyak. Pada biodiesel
yang merupakan salah satu jenis biofuel, terdapat standar nilai dari
bilangan tersebut. Batas maksimum nilai-nilai tersebut dalam SNI
diantaranya: bilangan iod 115 g I2/100 g minyak; bilangan asam 0,8 mg
KOH/g. Untuk nilai bilangan iod seluruh sampel memenuhi standar
tersebut namun tidak untuk bilangan asam.
Bilangan peroksida biasanya dijadikan sebagai indikator pada
minyak pangan karena peroksida akan memberikan kesan atau aroma
tengik pada minyak. Angka ini juga menjadi indikator kerusakan minyak
akibat terjadinya kontak langsung minyak dengan udara. Nilai bilangan
peroksida dari biokerosin nyamplung rendah yaitu berkisaran pada 2,54-
3,27 ppm. Nilai tersebut masih melebihi batas standar industri Indonesia
(SII) yaitu 1 mg O/ g minyak. Namun demikian peruntukan sebagai bahan
bakar masih mentolerir nilai tersebut.
Nilai bilangan ester dan bilangan penyabunan biokerosin kontrol
sedikit lebih tinggi dari biokerosin dengan perlakuan penambahan bentonit.
Pada biodiesel batas maksimum bilangan ester adalah 96,5% massa.
Pada biokerosin yang berbahan baku nyamplung asal Sumbawa
Barat diperoleh hasil analisis sifat fisiko kimia sebagai berikut.
Tabel 3. Sifat fisiko kimia biokerosin nyamplung asal Sumbawa
226| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa densitas biokerosin nyamplung
asal Sumbawa berada pada kisaran 0,93-0,94. Nilai tersebut sama dengan
densitas nyamplung asal Lombok. Hasil analisis ragam terhadap densitas
nyamplung asal Sumbawa pada berbagai perlakuan tersebut menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang nyata sebagaimana ditampilkan pada
Lampiran 3.
Viskositas minyak yang dihasilkan cukup seragam yaitu antara 0,84-
0,88 dPa’s kecuali biokerosin dengan perlakuan bentonit 9 % yang
memiliki viskositas terendah yaitu 0,73 dPa’s. Sifat kimia dari biokerosin
ini agak berbeda dengan yang dimiliki oleh minyak yang berasal dari
Lombok terutama pada nilai bilangan asamnya. Pada biokerosin yang
mengalami perlakuan bentonit asal Sumbawa nilai bilangan asamnya cukup
tinggi yaitu berada pada selang 37,10 - 39,09 mg KOH/g. Namun nilai ini
masih berada di bawah nilai minyak kontrol yaitu 48,69 mg KOH/g.
Pada gambar berikut dapat pula dilihat perbedaan viskositas antara
biokerosin asal Lombok dan Sumbawa.
No
Perlakuan
bentonit
(%)
Densitas
Visko
sitas
(dPa’s)
Bil.
Perok
sida
Bil.
Yod
Bil.
Asam
Bil.
Ester
Bil.
Penyabu
nan
0 0 (Kontrol) 0,93 0,85 7,50 25,38 48,69 115,86 184,48
1 5 0,93 0,85 2,07 17,96 37,36 127,04 192,91
2 6 0,93 0,84 0,16 25,75 37,69 148,57 186,56
3 7 0,94 0,88 7,51 22,61 37,10 146,90 192,08
4 8 0,94 0,85 5,20 24,79 38,32 144,31 193,99
5 9 0,94 0,73 5,72 21,69 39,09 128,67 184,50
6 10 0,93 0,84 7,50 24,19 38,72 135,15 181,28
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 227
Grafik 3. Nilai viskositas biokerosin asal Lombok dan Sumbawa
Pada gambar tersebut tampak bahwa kekentalan biokerosin asal Lombok
lebih tinggi dibandingkan dengan yang berasal dari Sumbawa. Hal ini
didukung pula oleh hasil analisis ragam yang menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata antara biokerosin yang berasal dari Sumbawa dan
Lombok pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 4).
Hasil penelitian sebelumnya juga senada dengan hasil penelitian ini
dimana asal biji mempengaruhi viskositas dari biokerosin yang dihasilkan.
Pada penelitian sebelumnya juga diperoleh data bahwa viskositas
biokerosin asal Sumbawa lebih rendah dibandingkan yang berasal dari
Lombok. Sementara itu berdasarkan analisis ragam untuk nilai viskositas
biokerosin asal Sumbawa maupun Lombok, perlakuan penambahan
bentonit tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 5 dan
Lampiran 6).
Sifat fisik lainnya yang sama diantara kedua asal biokerosin adalah
warna yaitu kuning. Gambar berikut ini menunjukkan warna dari
biokerosin nyamplung yang dihasilkan. Biokerosin kontrol dan perlakuan
5% menunjukkan warna yang sedikit lebih gelap. Hal ini terjadi karena
penambahan bentonit yang merupakan komponen bleaching earth mengikat
warna minyak sehingga minyak berwarna makin pucat.
0.73
1.00
0.00
0.50
1.00
1.50
kontrol 5% 6% 7% 8% 9% 10%
visk
osi
tas
(dP
a's)
perlakuan penambahan bentonit
Viskositas Biokerosin Nyamplung
Sumbawa Lombok
228| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Sampel biokerosin Nyamplung
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Nyamplung dan kemiri sunan dapat dibuat menjadi biokerosin melalui
tahapan degumming dengan mengguna asam phospat 1% yang
ditambahkan dengan bentonit yang dilanjutkan dengan pencucian dan
pengeringan
2. Rendemen rata-rata untuk biokerosin nyamplung asal Lombok dengan
penambahan bentonit 7% mencapai nilai tertinggi yaitu 81% sedangkan
untuk nyamplung asal Sumbawa mencapai nilai tertinggi pada
penambahan bentonit 6%.
3. Sifat fisik biokerosin nyamplung asal Sumbawa relatif lebih baik
dibanding dengan biokerosin nyamplung asal Lombok namun
sebaliknya dengan sifat kimianya.
DAFTAR PUSTAKA
Anif, MU. 2011. Kajian Kualitas dan Hasil Pengolahan Biodiesel
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) pada Variasi Metode
Ekstraksi, Metode Degumming dan Konsentrasi Metanol (Tesis).
Purwokerto: Program Pasca Sarjana, Universitas Jendral
Soedirman.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 229
Anonim. 2010. Produktivitas Biodiesel Kemiri Reutealis Trisperma.
http//www.bahterahijaulestari.com/news-article/news/
produktivitas-biodiesel--kemiri-reutealis-trisperma.html. 22
Februari 2012
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Mengenal Ki
Pahang (Pongamia pinnata) Sebagai Bahan Bakar Alternatif
Harapan Masa Depan. Warta Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri. Vol.14 No.1, April 2008. Balitbang Pertanian.
Deptan.
Badan Standardisasi Nasional. 2006. Biodiesel. SNI 04-7182-2006. Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
Balai Penelitian Kehutanan Mataram. 2010a. Uji Coba Model Wanatani
Kayu Bakar di Lombok Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Kehutanan Mataram. Tidak dipublikasikan.
---------- 2010b. Kajian Kesesuaian Jenis-jenis HHBK Penghasil Energi
Nabati untuk Rehabilitasi Lahan Kritis di Bali dan NTB. Laporan
Hasil Penelitian Insentif KNRT . Balai Penelitian Kehutanan.
Tidak dipublikasikan.
Bustomi, S. dkk. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber
energy biofuel yang potensial. Balitbang Kehutanan. Dephut.
Jakarta.
Putra, FSK., Findra AF. & Setiyo G. 2012. Karakterisasi dan Potensi
Minyak Nyamplung (Caloghyllum inophyllum) sebagai Bahan
Baku Pembuatan Biodiesel. Jurnal Teknik Pomits Vol. 1 No. 1,
(2012). Institut Sepuluh November. Surabaya
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Leksono, B. dkk. 2010. Pemuliaan Nyamplung (Calophyllum inophyllum
L.) untuk Bahan Baku Biofuel. Laporan Penelitian Program
Insentif Ristek. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan
Siahaan, et al. ----. Potensi Pemanfaatan Biji Karet (Hevea brasiliensis
MuelLArg) Sebagai Sumber Energi Alternatif Biokerosin. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian Vol 19(3) (2010). IPB Press. Bogor.
230| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sitompul, S.M. dan Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Sudrajat R., Yogie, S., D. Hendra & D. Setiawan. 2010. Pembuatan
Biodiesel Biji Kepuh dengan Proses Transesterifikasi. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Vol. 28 No. 2 Juni 2010. Balitbang
Kehutanan. Dephut
Tanjaya, A., Sudono, Nani I., Suryadi I. 2006. Aktivasi Bentonit Alam
Pacitan sebagai Bahan Penjerap pada Proses Pemurnian Minyak
Sawit. Jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol. 5 no.2 Agustus 2006:
429-434
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 231
SERBUK KAYU SEBAGAI SUMBER KARBON ALTERNATIF
DALAM MEDIUM PERTUMBUHAN Fusarium
Lutfi Anggadhania1, YMM Anita Nugraheni
2
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl. Dharma Bhakti No.7, Langko, Lingsar, NTB
Email : [email protected], [email protected]
2
ABSTRAK
Serbuk kayu yang berasal dari sisa penggergajian kayu tidak memiliki nilai
ekonomi dan cenderung menjadi limbah yang mengganggu lingkungan telah
dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan Fusarium. Fusarium merupakan
fungi filamen yang mampu mendegradasi bahan selulosik yang terkandung
dalam kayu sebagai sumber karbon. Fusarium sebagai penginduksi
terbentuknya gaharu dan telah diaplikasikan secara luas, terutama di Propinsi
Nusa Tenggara Barat. Dalam produksinya sebagai inokulan penginduksi
gaharu, medium pertumbuhan Fusarium memerlukan biaya yang relatif tinggi,
maka residu serbuk kayu merupakan substrat alternatif untuk pertumbuhannya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari sumber karbon alternatif yang
relatif murah dan untuk mendapatkan medium yang dapat mempertahankan
karakter induksi cendawan. Penelitian dilakukan dengan menumbuhkan
Fusarium dari pohon penghasil gaharu pada medium serbuk kayu sebagai
sumber karbon. Seleksi isolat dilakukan dengan memilih tiga isolat yang paling
cepat tumbuh dengan melepaskan aroma spesifik dari serbuk kayu. Isolat
terpilih diharapkan menginduksi gaharu berkualitas. Media PDA (Potato
Dextrose Agar) digunakan sebagai kontrol atau pembanding. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 5 isolat Fusarium (Lombok Barat, Lombok Tengah,
Lombok Utara, Alas dan Bima) mampu tumbuh pada medium serbuk kayu dan
hanya tiga isolat yang menunjukkan kecepatan tumbuh tinggi dengan
melepaskan aroma spesifik (bau senyawa terpenoid). Tiga isolat terpilih
berhasil menginduksi pembentukan gaharu yang diawali dengan pembusukan
dan warna coklat kehitaman yang spesifik. Warna dan aroma yang timbul
diduga merupakan awal pembentukan gaharu.
Kata kunci : Fusarium, medium pertumbuhan, serbuk kayu, warna, aroma
I. PENDAHULUAN
Permintaan pasar akan gaharu yang semakin meningkat dan
ketersediaannya di alam yang semakin menipis mendorong berbagai upaya
232| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
untuk melakukan budidaya gaharu, baik dari segi budidaya tanaman,
maupun proses percepatan pembentukan gaharunya secara buatan.
Fusarium merupakan salah satu cendawan yang memiliki kemampuan
sebagai pembentuk gaharu (Santoso, E., Purwito, D., Pratiwi, Pari, G.,
Turjaman, M., Leksono, B., Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Irianto, R.S.B.,
Subiakto, A., Waluyo, T.K., Rahman, Tampubolon, A., Siran, S.A.., 2012).
Berdasarkan kemampuannya dalam membentuk gaharu tersebut,
penggunaan Fusarium sebagai isolat pembentuk gaharu telah diterapkan
secara luas.
Beberapa pihak swasta telah melakukan upaya produksi inokulan
Fusarium secara massal (Anonim, 2014). Isolat Fusarium biasanya
ditumbuhkan pada medium Potato Dextrose Broth yang dalam
produksinya, medium pertumbuhan Fusarium memerlukan biaya yang
relatif tinggi. Biaya yang tinggi ini akan dapat ditekan apabila diperoleh
alternatif medium yang lebih ekonomis, sekaligus tetap mampu memenuhi
kebutuhan nutrisi cendawan Fusarium dalam proses pertumbuhannya.
Fusarium merupakan fungi filmen yang mampu mendegradasi
bahan selulotik yang terkandung dalam kayu sebagai sumber karbon
(Amore and Faraco, 2012). Serbuk kayu yang berasal dari sisa
penggergajian kayu selama ini diketahui tidak memiliki nilai ekonomi dan
cenderung menjadi limbah yang mengganggu lingkungan. Kemampuan
Fusarium hidup dan berkembang di dalam jaringan kayu gaharu, dan
selanjutnya mampu menginduksi inang untuk mengeluarkan resin
mendasari dipilihnya serbuk kayu sebagai sumber karbon alternatif dalam
penelitian ini.
Berdasarkan catatan diatas penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan sumber karbon alternatif yang relatif murah dengan bahan
yang melimpah dan kurang memiliki manfaat seperti serbuk kayu. Serta
untuk mendapatkan medium pertumbuhan yang mampu mempertahankan
karakter induksi dari Fusarium. Sehingga daya guna serbuk kayu dapat
ditingkatkan dan biaya produksi Fusarium sebagai inokulan dapat ditekan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 233
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai
Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, Mataram. Serbuk kayu
diperoleh dari limbah pengerjajian kayu dalam industry pembuatan berugaq
di Gunung Sari, Mataram. Serbuk kayu dijemur dan disaring dengan
saringan berukuran 0.5 mm.
Penelitian dimulai dengan menghitung karbon total pada serbuk
kayu yang dilakukan dengan menimbang serbuk kayu sebanyak 1 gram dan
ditempatkan pada Erlenmeyer 250 ml. Serbuk kayu direndam dalam 50 ml
H2O2 30 % selama 24 jam. Suspensi serbuk kayu kemudian disaring
dengan kertas saring. Residu serbuk kayu dikeringkan didalam inkubator
temperatur 50°C dan ditimbang setiap hari hingga diperoleh berat konstan.
Perhitungan total karbon dilakukan dengan menggunakan rumus :
(Schumacher, 2002).
Untuk pembuatan medium serbuk kayu terlebih dahulu dilakukan
pretreatment dengan pelarut NaOH dan akuades. Metode pertama,
sebanyak 66,67 gr serbuk kayu yang telah dikeringkan direndam dalam 1 L
larutan NaOH 1% (perbandingan serbuk kayu : NaOH adalah 1 : 15).
Larutan dipanaskan dalam stirrer hot plate ± 60 – 90 menit dan kemudian
di autoklaf dalam tekanan 1 atm, temperatur 121°C selama 15 menit.
Setelah autoklaf campuran tersebut dipisahkan dengan kertas saring.
Residu hasil saringan dinetralkan dengan merendamnya dalam 1 L H2SO4
1% selama 10 – 15 menit. Kemudian dibilas dengan akuades 3 kali untuk
selanjutnya dikeringkan dalam oven.
Metode kedua dengan pelarut akuades. Serbuk kayu ditimbang
sebanyak 66,67gr yang kemudian direndam dalam 1 L akuades
(perbandingan serbuk kayu : akuades adalah 1 : 15) dan dididihkan selama
30 menit. Campuran tersebut kemudian dipisahkan dengan penyaringan.
Residu yang dihasilkan dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali dan
dikeringkan dalam oven.
234| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pembuatan larutan basic mineral. Larutan ini digunakan sebagai
nutrient tambahan dalam medium serbuk kayu dan kayu gaharu. Komposisi
larutan ini berupa garam-garaman : NH4NO3 25 gr, Na2HPO4.2H2O 10 gr,
MgSO4.7H2O 5 gr, Fe(SO4)3.5H2O 0,1gr, CO(NO3)2.6H2O 0,05gr,
CaCl2.2H2O 10 mg, KH2PO4 5 mg, MnSO4.2H2O 1mg,
(NH4)6Mo7O24.4H2O, 0,1 mg. Garam-garaman tersebut kemudian
dilarutkan dalam 10 L akuades.
Pembuatan medium serbuk kayu. Sebanyak 8 gram serbuk kayu
dengan pretreatment NaOH dan akuades ditempatkan dalam Erlenmeyer
500 ml. Masing-masing ditambahkan dengan 4,5 gr dextrose dan 6 gr agar
teknis serta 300 ml larutan basic mineral. Kemudian tiap medium
dipanaskan di atas stirrer hot plate hingga dextrose dan agar larut. Medium
tersebut kemudian disterilisasi pada tekanan 1 atm suhu 121°C selama 15
menit. Medium yang telah disterilkan dituang dalam petridish dan
didiamkan hingga memadat, selanjutnya medium siap digunakan. Kelima
strain Fusarium asal Nusa Tenggara Barat yang telah diremajakan dan
diinkubasi selama 7 hari diinokulasikan kedalam medium PDA dan
medium serbuk kayu yang telah disiapkan. Inkubasi dilakukan pada suhu
kamar selama 7 hari dan diamati pertumbuhannya setiap hari.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Modifikasi medium dilakukan dengan menggunakan sumber
karbon yang berasal dari serbuk kayu dan ekstrak kentang (PDA) sebagai
kontrolnya. Penelitian Ali, N., Eliyas, M., Radwan, S.S., 2011
menunjukkan bahwa serbuk kayu secara natural mengandung koloni
mikroflora yang sangat banyak, termasuk koloni cendawan dan bakteri
yang mampu memanfaatkan hidrokarbon. Adanya berbagai macam koloni
mikroflora dalam serbuk kayu menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang
terdapat di dalam serbuk kayu dapat digunakan sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhan mikroflora. Hal ini mendasari dipilihnya serbuk kayu
sebagai medium alternatif yang digunakan dalam penelitian ini. Pada
medium dengan serbuk kayu dilakukan pretreatment terlebih dahulu yaitu
menggunakan basa NaOH dan akuades, serta dilakukan perhitungan total
karbon pada serbuk kayu. Perhitungan total karbon ini bertujuan untuk
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 235
menentukan banyaknya (gram) serbuk kayu yang dibutuhkan dalam
pembuatan medium selektif. Hasil perhitungan karbon total pada serbuk
kayu diperoleh nilai 75%. Berdasarkan penelitian Nwodo-Chinedu,S.,
Okochi, V.I., Omidiji, O., Omowaye, O.O., Adeniji, B.R., Olukoju, D. and
Chidozie, F., (2007) pada nilai karbon total tersebut serbuk kayu yang
ditambahkan dalam medium serbuk kayu sebesar 15 gram/L dengan asumsi
karbon total dalam medium sebesar 100%.
Kenampakan pertumbuhan Fusarium pada medium dengan
sumber karbon yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 1. Pertumbuhan
koloni kelima strain Fusarium memperlihatkan perbedaan. Pertumbuhan
Fusarium pada kontrol (PDA) relatif lebih baik, dimana luas pertumbuhan
koloninya terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan pertumbuhan
dalam medium serbuk kayu. Hasil yang ditunjukkan tersebut sejalan
dengan hasil penelitian Nwodo-Chinedu,S., Okochi, V.I., Omidiji, O.,
Omowaye, O.O., Adeniji, B.R., Olukoju, D. and Chidozie, F (2007),
dimana pertumbuhan relatif Aspergilus niger dan Penicillium chrysogenum
pada medium modifikasi dengan serbuk kayu sebagai sumber carbonnya
mencapai 88,9% dan 87,8% berturut-turut dibandingkan dengan
Sabouraud’s Agar (SA) yang mencapai 100% pada keduanya. Perbedaan
tersebut terjadi sebagai proses adaptasi organisme terhadap serbuk kayu
sebagai bahan selulosik (Nwodo-Chinedu, S., Okochi, V.I., Omidiji, O.,
2006). Menurut Nwodo-Chinedu, S., Okochi, V.I., Smith, H.A., Omidiji,
O., (2005) Serbuk kayu merupakan sumber karbon yang paling komplek
dan susah untuk didegradasi. Oleh karenanya pertumbuhan Fusarium dalam
medium serbuk kayu relatif lambat.
Serbuk Kayu
(NaOH)
Serbuk Kayu
(Aquades) PDA
Ala
s
236| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Bim
a
Lo
mb
ok
Bar
at
Lo
mb
ok
Ten
gah
Lo
mb
ok
Uta
ra
Gambar 1. Kenampakan morfologi Fusarium pada medium serbuk kayu dan
medium PDA pada hari ke-6.
Walaupun demikian pertumbuhan Fusarium dalam medium
serbuk kayu yang relatif rendah tersebut menunjukkan suatu ciri
spesifik, dimana pertumbuhan Fusarium pada medium serbuk kayu
menghasilkan aroma spesifik yang diduga merupakan senyawa
aromatic (perlu dilakukan analisa GC-MS untuk memastikan jenis
senyawa yang dihasilkan). Hal ini mengimplikasikan bahwa medium
serbuk kayu akan mampu mempertahankan karakter Fusarium dalam
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 237
menginduksi gaharu ketika diproduksi sebagai inokulan, yang
dibuktikan dengan munculnya aroma spesifik.
Jika dibandingkan lebih lanjut pada dua medium serbuk
kayu dengan pretreatment alkali dan aquades juga menunjukkan
perbedaan. Pertumbuhan Fusarium pada medium serbuk kayu
pretreatment aquades cenderung lebih baik dibandingkan dengan
pretreatment NaOH, yang ditunjukkan dengan luas koloni yang lebih
besar. Menurut Rokhman, (2011) Pretreatment yang dilakukan
dengan menggunakan NaOH bertujuan untuk membuka struktur
lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim
yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula. Selain
lignin, senyawa-senyawa penting lain yang diperlukan sebagai
nutrisi pertumbuhan Fusarium juga dimungkinkan ikut terlarut/rusak
dengan adanya pretreatment ini. Terlihat pada hasil pengamatan
bahwa isolat Fusarium yang ditumbuhkan pada serbuk kayu dengan
pretreatment NaOH memiliki pertumbuhan yang kurang optimal
dibanding dengan pertumbuhan Fusarium pada medium serbuk kayu
dengan pretreatment akuades.
Terlihat pada Gambar 2. Grafik hasil pengamatan Fusarium
pada medium serbuk kayu maupun pada medium PDA, isolat Bima
memiliki kemampuan pertumbuhan tertinggi, disusul oleh isolat LB,
dan isolat LT. Berdasarkan perkembangan luas aerial hifa yang
terbentuk, terlihat bahwa semua isolat yang ditumbuhkan pada
medium serbuk kayu maupun pada medium PDA mampu tumbuh
dan berkembang dengan cukup baik, diperlihatkan kecenderungan
grafik yang semakin naik dari hari pertama pengamatan sampai pada
hari terakhir pengamatan, yaitu hari ke-7 (Gambar 2). Hal ini
menunjukkan bahwa medium serbuk kayu dapat digunakan sebagai
medium alternatif pertumbuhan Fusarium.
238| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 2. Grafik pertumbuhan kelima strain Fusarium pada medium
serbuk kayu dan medium PDA
Aplikasi Fusarium ini dalam induksi gaharu diperlihatkan
pada gambar 3. Tiga isolat terpilih berhasil menginduksi
pembentukan gaharu yang diawali dengan pembusukan dan
timbulnya warna coklat kehitaman yang spesifik. Warna dan aroma
yang timbul diduga merupakan awal pembentukan gaharu.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 239
Gambar 3. Pembentukan gaharu pada pohon Gyrinops
versteegii di Nusa Tenggara Barat, induksi dengan Fusarium
asal Bima, Lombok Barat dan Lombok Tengah (dari atas ke
bawah kanan)
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Lima isolat Fusarium (Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok
Utara, Alas dan Bima) mampu tumbuh pada medium serbuk kayu, hal
ini menunjukkan bahwa medium serbuk kayu dapat digunakan sebagai
sumber karbon alternatif untuk pemeliharaan Fusarium di
laboratorium.
2. Tiga isolat (Bima, Lombok Barat, dan Lombok Tengah) yang diamati
pada medium serbuk kayu menunjukkan kecepatan tumbuh tinggi
dengan melepaskan aroma spesifik. Tiga isolat terpilih berhasil
menginduksi pembentukan gaharu yang diawali dengan warna coklat
kehitaman yang diduga merupakan awal pembentukan gaharu.
B. Keterbatasan
Penelitian ini masih merupakan pengujian kemampuan tumbuh kelima
strain Fusarium asal Nusa Tenggara Barat dalam medium serbuk
kayu. Penelitian ini belum sampai pada tahap optimasi medium
pertumbuhan Fusarium sehingga belum didapat formula medium yang
sesuai untuk pertumbuhannya.
240| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
C. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai optimasi medium
dengan menggunakan serbuk kayu sebagai sumber karbon sehingga
diperoleh komposisi optimum medium serbuk kayu untuk
]pertumbuhan Fusarium.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan, Prof.
Dra. Annisah Endang S.S, M.Sc., I Gde Adi Suryawan W., dan seluruh
anggota tim penelitian atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan
selama dilakukannya penelitian ini. Terima kasih juga kepada tim review
dan mitra bestari sehingga tulisan ini dapat tersusun dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym, 2014. Produksi Gaharu Dengan Inokulasi Fusarium.
http://www.agrotekno.net/2014/12/produksi-gaharu-dengan-
inokulasi.html. diakses 19 Desembe 2014.
Ali, N., Eliyas, M., Radwan, S.S. 2011. Hidrocarbon-Utilizing
Microorganism Naturally Associated with Sawdust. Journal Chemosphere. 83:1268-1272.
Amore, A. and Faraco, F. 2012. Potential of Fungi as Category I
Consolidated BioProcessing Organism for Cellulosic Ethanol
Production. Journal Renewable and Sustainable Energy Reviews.
16 : 3291-3294.
Nwodo-Chinedu, S., Okochi, V.I., Smith, H.A, and Omidiji, O., 2005.
Isolation of Cellulolytic Microfungi Involved in Wood-Waste
Decomposition: Prospect for Enzymatic Hydrolysis of Cellulosic
Wastes. International Journal of Biomedical and Health Sciences.
Vol. 1 No. 2.
_____________, S., Okochi, V.I., Omidiji, O., 2006. Enzymatic Hydrolysis
of Cellulosic Materials by Extracellular Enzymes of Aspergillus
niger ANL301 and Penicillium chrysogenum PCL501
(Unpublished) dalam Nwodo-Chinedu,S., Okochi, V.I., Omidiji,
O., Omowaye, O.O., Adeniji, B.R., Olukoju, D. and Chidozie, F.,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 241
2007. Potentials of Cellulosic Waste in Media Formulation.
African Journal of Biotechnology Vol. 6 (3), pp. 243-246.
_____________., Okochi, V.I., Omidiji, O., Omowaye, O.O., Adeniji,
B.R., Olukoju, D. and Chidozie, F., 2007. Potentials of Cellulosic
Waste in Media Formulation. African Journal of Biotechnology
Vol. 6 (3), pp. 243-246.
Rohman, I. 2011. Pengaruh Pretreatment (Delignifikasi) Bertekanan
terhadap Kandungan Bubuk Jerami Padi Giling pada Produksi
Bioetanol. Skripsi. Jurusan Keteknikan Pertanian. Universitas
Brawijaya Malang. Dalam Argo, B.D. dan Yulianingsih, R. 2013.
Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma reseei dan
Aspergilus niger sebagai Katalisator Hidrolisis Enzimatik Jerami
Padi dengan Pretreatment Microvawe. Jurnal Bioproses
Komoditas Tropis. 1(1):36-43.
Santoso, E., Purwito, D., Pratiwi, Pari, G., Turjaman, M., Leksono, B.,
Widyatmoko, A.Y.P.B.C., Irianto, R.S.B., Subiakto, A., Waluyo,
T.K., Rahman, Tampubolon, A., Siran, S.A. 2012. Master Plan
Penelitian Dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013 – 2023. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Schumacher, B.A. 2002. Methods For The Determination of Total Organic
Carbon (TOC) in Soil and Sediment. Ecological Risk Assesment
Support Center. US.
242| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PRODUKSI PROPOLIS LEBAH MADU Trigona spp
DI PULAU LOMBOK
Krisnawati1,
dan Septiantina Dyah Riendriasari1
1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPT HHBK)
Jl. Dharma Bhakti No. 7, Desa. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat NTB
Email : [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Di Pulau Lombok, budidaya lebah madu trigona telah dilakukan khususnya di
Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat dan Lombok Timur. Keuntungan
yang diperoleh dari usaha budidaya lebah madu trigona selain madu yaitu
propolis. Hasil propolis yang dipanen pada masing – masing bagian sarang
atau stup dapat dijadikan informasi awal produksi propolis dari usaha budidaya
trigona. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi
produksi propolis pada masing – masing lokasi dan masing – masing bagian
stup per sekali panen per tahun per 6 bulan. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret sampai dengan Oktober 2013 dengan lokasi di Desa Lendang Nangka
Kabupaten Lombok Timur, Desa Genggelang dan Desa Sigar Penjalin
Kabupaten Lombok Utara dan yang terakhir di Desa Karangbayan Kabupaten
Lombok Barat. Data hasil penimbangan propolis pada masing – masing bagian
stup perlokasi penelitian ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan jumlah nilai produksi propolis di masing – masing
lokasi penelitian yaitu terbesar di Desa Genggelang dengan berat 603,06gram,
Desa Sigar Penjalin 426,53gram, Desa Lendang Nangka 331,91gram dan
terakhir dari Desa Karang Bayan sebanyak 289,21gr per sekali panen per tahun
per 6 bulan. Produksi propolis dapat digunakan sebagai informasi yang penting
bagi pembudidaya trigona. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan budidaya
trigona dengan harapan mendapatkan produk madu dan propolis yang
maksimal guna meningkatkan pendapatan dari usaha budidaya trigona.
Kata kunci : budidaya trigona, panen propolis, produksi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki
kekayaan alam yang berlimpah berupa flora dan fauna. Dari sekian
banyaknya flora dan fauna, salah satu fauna yang bermanfaat bagi manusia
adalah lebah madu trigona. Di Pulau Lombok, budidaya lebah madu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 243
trigona telah dilakukan khususnya di Kabupaten Lombok Utara, Lombok
Barat dan Lombok Timur. Budidaya lebah madu trigona saat ini cukup
populer, terlebih setelah masyarakat mengetahui keuntungan dari
membudidayakan lebah madu secara ekonomi. Sehingga budidaya lebah
madu trigona merupakan usaha yang dapat menjanjikan keuntungan.
(Riendriasari & Krisnawati, 2013).
Keuntungan yang akan dijanjikan dalam budidaya trigona adalah
menghasilkan produk berupa madu, propolis dan bee bread. Produk
perlebahan yang dihasilkan trigona yang pertama adalah madu. Madu
adalah cairan kental seperti sirup yang berwarna kuning muda sampai
kuning kemerahan yang dikumpulkan di dalam indung madu oleh lebah
madu (Adriani, 2011). Produk kedua yaitu propolis. Propolis merupakan
suatu substansi yang berbentuk getah dan diproduksi oleh lebah madu
untuk melawan penyusup yang akan masuk ke dalam sarangnya (Miguel &
Antunes, 2011). Produk trigona yang terakhir adalah bee bread yaitu
kumpulan polen yang dibungkus oleh kantung dan terdapat di dalam sarang
(Sila, 2014). Dari ketiga produk ini, hanya propolis yang akan dibahas
lebih lanjut. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa propolis
merupakan substansi yang berbentuk getah, sehingga bersifat lengket.
Definisi lain dari Bankova, De Castro & Marcucci,1999 menyebutkan
bahwa propolis atau lem lebah merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh
lebah madu, dikumpulkan oleh lebah dari pucuk daun-daun yang muda
untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, digunakan untuk menambal
dan mensterilkan sarang. Bagi lebah, propolis berfungsi untuk pertahanan
terhadap penyusup, dan digunakan untuk menutup lubang atau
memperbaiki kerusakan pada sarang.
Pada penelitian ini, bagian propolis dalam stup yang diambil
meliputi 3 bagian yaitu propolis di penutup sarang, pintu sarang dan
penutup madu, seperti yang terlihat pada Gambar.1
244| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar.1. Propolis pada masing – masing bagian stup
Hasil propolis yang dipanen pada masing – masing bagian stup
dapat dijadikan informasi sebagai produksi dari usaha budidaya trigona.
Informasi produksi propolis pada masing-masing stup menjadi penting bagi
pembudidaya trigona, yaitu sebagai dasar pengelolaan budidaya trigona
yang baik. Selain itu juga bisa sebagai dasar penentuan perlu atau tidaknya
penambahan jenis pakan yang dibutuhkan trigona sehingga dapat
meningkatkan pendapatan pembudidaya trigona.
Di NTB untuk lebah trigona masih belum banyak yang meneliti
sehingga ketersediaan data dan informasi sangat penting. Selain itu,
propolis mentah yang dipanen di Pulau Lombok masih belum banyak
dipakai oleh perusahaaan besar sebagai bahan utama pembuatan propolis
sebagai produk. Trigona di NTB masih perlu banyak diteliti, sehingga
penelitian mengenai produksi propolis ini dilakukan dan merupakan
informasi awal yang dasar untuk penelitian – penelitian lainnya.
Penutup madu
Penutup sarang
Pintu sarang
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 245
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi
produksi propolis pada masing – masing lokasi dan masing – masing
bagian stup.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan
Oktober tahun 2013, di Desa Lendang Nangka Kabupaten Lombok
Timur, Desa Genggelang dan Sigar Penjalin Kabupaten Lombok
Utara dan yang terakhir di Desa Karangbayan Kabupaten Lombok
Barat.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan penelitian yang digunakan adalah stup dan koloni lebah
madu Trigona spp 6 stup per lokasi, sehingga jumlah sampel
sebanyak 24 stup.
2. Alat
Alat yang digunakan adalah alat tulis, pisau kikis, toples sampel,
timbangan, dan kamera.
C. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Stup yang sudah diisi dengan koloni dibiarkan selama 6 bulan
tanpa dibuka dan perlakuan tertentu. Setelah 6 bulan, maka dilakukan
pemanenan propolis yang terbentuk pada masing – masing stup.
Pemanenan propolis yang dilakukan pada 3 bagian stup yaitu bagian
penutup sarang, pintu sarang dan penutup madu. Propolis di bagian pintu
sarang dan penutup sarang dipanen dengan cara dikerok dengan pisau
kikis, hasil kerokan diletakkan di dalam toples yang kemudian diberi
label sebagai penanda. Khusus untuk penutup madu, setelah madu
dipanen dan dibersihkan dari stup, madu diletakkan di toples tanpa proses
pemisahan madu dengan penutup madunya, hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya penyerapan air oleh madu. Setelah di laboratorium
dilakukan pemisahan madu dan penutupnya agar kondisinya tetap steril.
Setelah semua bagian propolis di sarang sudah dipanen dan dipisahkan,
246| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kemudian menimbang berat masing – masing propolis tersebut. Hasil
penimbangan tersebut dicatat dalam alat tulis.
D. Analisis Data
Data hasil penimbangan masing – masing bagian stup perlokasi
penelitian ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Propolis merupakan hasil utama dari budidaya lebah madu jenis
trigona. Hal ini didukung oleh (Anonim, 2012) yang mengungkapkan
bahwa 80% dari hasil produksi lebah trigona adalah propolisnya, dan
jumlah propolis yang dihasilkan oleh lebah trigona 5 kali lebih banyak dari
yang dihasilkan lebah Apis cerana dan Apis mellifera. Hal ini disebabkan
karena propolis digunakan trigona untuk pertahanan diri dan sarang,
sehingga lebah ini akan fokus membuat propolis agar sarang dan koloninya
tetap aman.
Pada tabel 1 dapat dilihat jumlah propolis yang dipanen pada
masing-masing bagian stup pada 24 stup penelitian dalam waktu 6 bulan.
Tabel 1. Data Produksi Propolis Per Stup Per 6 Bulan Di Lokasi Penelitian
Lokasi Kode
Sarang
Penutup
Sarang (Gr)
Pintu Sarang
(Gr)
Penutup
Madu (Gr)
LENDANG
NANGKA
A 0 0 0
B 31,32 25,2 34,04
C 23,35 23,64 21,05
D 31,05 23,37 6,91
E 28,35 26,24 25,38
F 24,23 0 7,78
SIGAR
PENJALIN
A 51,04 32,89 12,14
B 23,83 31,4 53,43
C 20,47 22,89 1,21
D 39,59 24,21 8,44
E 21,54 24,38 6,27
F 21,73 24,02 7,05
GENG
GELANG
A 31,49 24,92 38,75
B 28,52 25,85 85,93
C 33 24,45 42,92
D 89,97 31,57 41,34
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 247
Lokasi Kode
Sarang
Penutup
Sarang (Gr)
Pintu Sarang
(Gr)
Penutup
Madu (Gr)
E 31,28 24,39 48,68
F 0 0 0
KARANG
BAYAN
A 27,72 23,03 91,16
B 0 0 0
C 22,99 27,54 29,2
D 23,73 25,6 18,24
E 0 0 0
F 0 0 0
Tabel 1 merupakan produksi propolis dari berbagai lokasi penelitian
yang bervariasi. Diduga, besar kemungkinan hasil tersebut dipengaruhi
oleh faktor kehidupan lebah. Sulthoni (1986) mengatakan bahwa kehidupan
lebah sangat bergantung pada temperatur dan curah hujan, ketersediaan
pakan serta pengelolaan koloni lebah. Data temperatur dan curah hujan
pada masing – masing lokasi kegiatan penelitian masih masuk dalam
rentang normal kelembaban yang disukai trigona yaitu untuk suhu berkisar
27oC – 29
oC dan kelembaban 60,5% - 71% (Wahyuni & Riendriasari,
2012). Sehingga suhu dan kelembaban di areal lokasi penelitian
mendukung aktivitas lebah trigona dalam mencari pakan dan menjaga
sarangnya. Ketersediaan pakan di lokasi penelitian melimpah walaupun
dengan kondisi biofisik yang berbeda.
Gambar 2. Grafik rata – rata produksi propolis
di setiap lokasi penelitian
0 20 40 60 80
100 120
23.05 29.70 35.71 12.41
16.41 26.63 21.86
12.7
15.86 14.76
42.94
23.10 PENUTUP MADU
PINTU SARANG
PENUTUP SARANG
Gra
m
Rata – rata Produksi Propolis di Lokasi Penelitian
248| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 2. memperlihatkan bahwa rata – rata produksi propolis
yang dihasilkan di keempat lokasi penelitian relatif beragam. Pada lokasi
Karangbayan, propolis yang dihasilkan menunjukkan hasil terendah
daripada lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan ada 3 stup penelitian
dengan kode BPTHHBK KB B, D, dan F koloninya kabur. Sehingga
propolis yang dipanen tidak sebanyak lokasi lainnya. Stup yang kabur
koloninya pada 3 lokasi penelitian yaitu di Lendang Nangka dengan kode
BPTHHBK A, Sigar Penjalin kode BPTHHBK Sira E dan di Genggelang
kode BPTHHBK GG F.
Propolis pada bagian penutup sarang dari keempat lokasi
menunjukkan hasil terendah pada lokasi Karangbayan sebesar 12,41 gram.
Dan hasil tertinggi pada lokasi Genggelang sebesar 35,71 gram. Untuk
lokasi Sigar Penjalin dan Lendang Nangka relatif sama. Hasil propolis
tertinggi ditemukan di lokasi Desa Genggelang karena banyaknya stup
yang sudah lama dipakai sehingga terlihat lapuk dan berongga pada bagian
penutup sarang dan pintu sarang. Dari kondisi tersebut, trigona banyak
menghasilkan propolis pada bagian tersebut untuk menutupi sarang yang
rusak dari serangan predator dan mempertahankan suhu dalam sarang
(Jongjitvimol & Wattanachaiyingcharoen, 2007). Seperti yang
dikemukakan oleh Yaouchun dalam Budiaman & Rahman, 2006 bahwa
propolis yang dikumpulkan oleh lebah pekerja lapangan digunakan sebagai
penutup celah sarang atau sisiran, menempel lubang-lubang kecil untuk
perlindungan diri dari musuh alami terutama bakteri dan virus.
Untuk propolis pada bagian penutup madu, dari keempat lokasi
penelitian di Genggelang hasilnya lebih tinggi daripada lokasi lainnya,
yaitu sebesar 42,94 gram. Diduga hal ini berkaitan dengan ketersediaan
pakan di lingkungan lokasi penelitian. Genggelang yang sekitarnya hutan
kemasyarakatan lebih banyak sumber nektar dan polen. Hal ini juga sama
dengan kondisi lokasi Karangbayan sehingga hasil propolis pada bagian
madu lebih tinggi daripada lokasi Sigar Penjalin dan Lendang Nangka.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 249
Gambar 3. Grafik produksi propolis di Lendang Nangka
Di Lendang Nangka, lokasi penelitian dekat dengan kebun campur
dan pemukiman penduduk yang lumayan padat. Stup kode BPTHHBK LN
A koloninya kabur, sehingga stup penelitian ada 5 stup. Produksi propolis
pada masing – masing bagian penutup sarang dan pintu sarang hasilnya
relatif sama. Sarang dengan dengan kode BPTHHBK LN F tidak
ditemukan propolis. Propolis pada bagian penutup madu hasilnya bervariasi
antara 6,91 gram hingga 34,04 gram. Hasil tersebut relatif jauh. Kondisi
tersebut diduga karena perbedaan kondisi koloni masing – masing sarang
dalam hal penyimpanan madu oleh trigona. (Perusahaan Umum Perusahaan
Kehutanan Negara, 1993) menyatakan ketersediaan simpanan nektar
berupa madu di dalam sarang dalam jumlah banyak akan merangsang
pertumbuhan koloni yang lebih baik, baik dalam membuat sarang
penyimpanan madu maupun untuk menempatkan telur dan perkembangan
larva menjadi pupa.
Gambar 4. Grafik produksi propolis di Sigar Penjalin
0
50
100
A B C D E F
0
31.32 23.35 31.05 28.35 24.23 0
25.2 23.64
23.37 26.24
0
0
34.04
21.05 6.91 25.38
7.78
PENUTUP MADU
PINTU SARANG
PENUTUP SARANG
Produksi Propolis di Lendang Nangka
Stup
Gra
m
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E F
51.04
23.83 20.47 39.59
21.54 21.73
32.89
31.4 22.89
24.21
24.38 24.02
12.14 53.43
1.21
8.44
6.27 7.05
PENUTUP MADU
PINTU SARANG
PENUTUP SARANG
Produksi Propolis di Sigar Penjalin
Stup
Gra
m
250| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sira merupakan lokasi penelitian yang dekat dengan pantai Sira
dengan ketinggian tempat mencapai 200 mdpl (Wahyuni et al, 2012).
Seperti terlihat pada Gambar 4, produksi propolis pada bagian penutup
sarang dan penutup pintu lebih besar daripada bagian penutup madu. Hal
ini dikarenakan kesalahpahaman petani yang mengakibatkan madu telah
dipanen beberapa kali. Sehingga untuk hasil propolis pada bagian madu
tidak banyak. Propolis pada bagian penutup sarang dan penutup pintu
hasilnya relatif sama.
Gambar 5. Grafik produksi propolis di Genggelang
Dapat dilihat pada Gambar 5 produksi propolis pada penutup
sarang dan pintu sarang hasilnya relatif sama, kecuali produksi propolis
pada stup kode BPTHHBK GG D. Stup dengan kode tersebut diketahui
rusak, sehingga propolis banyak berada pada bagian tersebut. Hal ini
membuktikan bahwa trigona memproduksi propolis pada bagian penutup
sarang dahulu kemudian baru di pintu sarang dan penutup madu. Seperti
yang dikemukakan Suranto 2007, bahwa resin digunakan untuk melapisi
sarang bagian dalam, memperbaiki sisiran yang rusak, menambal lubang
– lubang dan memperkecil jalan masuk sel untuk menghindari dingin.
Untuk produksi propolis bagian penutup madu hasilnya hampir
relatif sama kecuali pada stup kode BPTHHBK GG B. Kondisi stup
tersebut untuk jumlah koloninya terlihat sehat dibanding sarang lainnya.
Sehingga trigona memproduksi propolis lebih banyak pada bagian
penutup madu. Selain faktor luar seperti suhu, kelembaban, dan
0
50
100
150
200
A B C D E F
31.49 28.52 33
89.97
31.28 0
24.92 25.85 24.45
31.57
24.39
0
38.75
85.93 42.92
41.34
48.68
0
PENUTUP MADU
PINTU SARANG
PENUTUP SARANG
Produksi Propolis di Genggelang
Stup
Gra
m
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 251
ketersediaan pakan ada juga faktor dalam sarang yaitu koloni yang
berpengaruh terhadap produksi propolis. Seperti yang dikemukakan Wati,
2013 bahwa faktor dalam yang mempengaruhi koloni yaitu ukuran tubuh,
jumlah individu dalam satu koloni, perbedaan masa pertumbuhan pada
masing-masing koloni dan kebutuhan pakan untuk anggota koloni
termasuk larva.
Gambar 6. Grafik produksi propolis di Karangbayan
Hasil produksi propolis di Karang Bayan dapat dilihat pada
Gambar 6. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dari keenam
stup penelitian, ada 3 stup yang koloninya kabur yaitu stup dengan kode
BPTHHBK KB B, E dan F. Produksi propolis pada bagian penutup sarang
dan pintu sarang relatif sama. Sedangkan pada bagian penutup madu untuk
stup dengan kode BPTHHBK KB A hasilnya jauh lebih banyak daripada
stup dengan kode BPTHHBK KB C dan D. Seperti pada lokasi
Genggelang, bagian penutup madu hasil rendemen propolisnya lebih
banyak daripada bagian sarang lainnya. Lokasi Karang Bayan yang kondisi
biofisiknya hampir sama dengan lokasi Genggelang yaitu hutan
kemasyarakatan. Lokasi Genggelang untuk hutan kemasyarakatannya lebih
banyak tanaman perkebunan seperti coklat (kakao), kopi kelapa dll,
sedangkan di lokasi Karangbayan didominasi oleh tanaman buah seperti
rambutan, manggis, pepaya, durian dll. Melimpahnya ketersediaan sumber
pakan di Karang Bayan dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung
melimpahnya produksi madu dan berpengaruh terhadap tingginya propolis
yang dihasilkan.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
A B C D E F
27.72 0
22.99 23.73 0 0
23.03
0
27.54 25.6
0 0
91.16
0
29.2 18.24
0 0
PENUTUP MADU
PINTU SARANG
PENUTUP SARANG
Produksi Propolis di Karang Bayan
Stup
Gra
m
252| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Budidaya Trigona di Pulau Lombok merupakan usaha budidaya
dalam perlebahan yang saat ini semakin berkembang. Produk – produk
hasil budidaya trigona dapat diperoleh jika dalam budidaya trigona baik
dan benar dan didukung oleh ketersediaan pakan. Trigona dengan sarang
yang sehat dan baik diharapkan dapat membuat koloni yang kuat sehingga
trigona dapat aktif dalam mencari pakan. Stup menjadi catatan penting bagi
pembudidaya trigona untuk lebih diperhatikan, agar trigona dapat
menghasilkan madu dan propolis yang banyak dan menjadikan trigona agar
tidak kabur. Harapannya dengan stup dan kondisi koloni yang sehat dan
baik maka trigona akan memproduksi madu dan propolis yang maksimal
sehingga didapatkan produksi yang tinggi.
IV. KESIMPULAN
1. Produksi propolis pada masing – masing lokasi penelitian didapatkan
jumlah yang berbeda. Jumlah produksi propolis terbesar di Desa
Genggelang dengan berat 603,06 gram, Desa Sigar Penjalin 426,53
gram, Desa Lendang Nangka 331,91 gram dan Desa Karang Bayan
sebanyak 289,21gram per sekali panen dengan waktu 6 bulan.
2. Informasi produksi propolis penting bagi pembudidaya trigona. Hal ini
berkaitan dengan pengelolaan budidaya, harapannya adalah
mendapatkan produk madu dan propolis yang maksimal. Produk madu
dan propolis yang maksimal dapat diperoleh dari kesediaan pakan yang
melimpah disekitar lokasi budidaya trigona, sehingga pendapatan
pembudidaya trigona akan meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, R. (2011). Identifikasi dan Karakterisasi Sifat Kimia Dan Sifat Fisika Dari Madu Asli Dengan Madu Yang Sijual Di Pasaran
Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Anonim. (2012). Propolis Trigona. Retrieved Oktober 2014, 2014, from
wordpress: http://www.kicauan.files.wordpress.com
Bankova, V. S., De Castro, S. L., & Marcucci, M. C. (2000). Propolis :
Recent Advances In Chemistry And PlantOrigin. Apidologie,3-15.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 253
Budiaman, & Rahman, A. (2006). Uji Efektifitas Empat Variasi Propolis
Trap Terhadap Produksi Propolis Lebah Madu Apis mellifera L.
Jurnal Perennial , 1-4.
Jongjitvimol, T., & Wattanachaiyingcharoen, W. (2007). Distribution
Nesting Sites And Nest Structure of The Stingless Bee Species. The
Natural History Journal of Chulalongkorn University, 25-34.
Miguel, M. G., & Antunes, M. D. (2011). Is Propolis Safe As An
Alternative Medicine? Journal of Pharmacy And Bioallied Sciences ,
479-495.
Negara, P. U. (1993). Jenis Tumbuhan-Tumbuhan Yang Tergolong
Tanaman Pakan Lebah Madu. Jakarta: Perusahaan Umum
Perusahaan Kehutanan Negara.
Riendriasari, S. D., & Krisnawati. (2013). Teknik Produksi Propolis Lebah
Madu Trigona spp di Pulau Lombok. Mataram: Balai Penelitian
Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
Sila, M. (2014, September 16). Teknik Produksi Propolis Lebah Madu
Trigona spp. (S. D. Riendriasari, Interviewer).
Wahyuni, N., & Riendriasari, S. D. (2012). Teknik Produksi Propolis
Lebah Madu Trigona spp di NTB. Mataram: Balai Penelitian
Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
254| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
POTENSI MIMBA SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK
KESEHATAN DAN PERTANIAN DI BALI DAN LOMBOK
I Wayan Widhana Susila
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl. Dharma Bhakti No. 7-Po Box 1054, Ds. Langko, Kec. Lingsar Lombok
Barat – NTB 83371,
Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841, E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan salah satu hasil hutan bukan
kayu (HHBK) sebagai penghasil bahan pestisida nabati dan antiseptik.
Populasi mimba di Bali dan Lombok cukup potensial, namun diduga
potensinya menurun. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi potensi
tegakan dan produk mimba. Lokasi survey ditentukan secara purposive dengan
meletakkan secara acak petak ukur lingkaran seluas 0,1 ha pada setiap lokasi
mimba di Bali, sedangkan di Lombok dilakukan metode survey secara sensus.
Kerapatan dan volume mimba di Kecamatan Seririt dan Gerokgak Kabupaten
Buleleng adalah 313 pohon/ha dan 70,7 m3/ha, Kecamatan Kubu Kabupaten
Karangasem adalah 123 pohon/ha dan 24,57 m3/ha. Jumlah dan volume
pohon mimba yang ditemukan di Lombok adalah di Kecamatan Jerowaru 34
pohon dan volume 14,89 m3, Keruak 51 pohon dan 22,04 m
3, Sakra 73 pohon
dan 24,14 m3, Pringgabaya 34 pohon dan 11,13 m
3, Sambelia 35 pohon dan
15,77 m3; dan Kecamatan Bayan 164 pohon dan volume 35,65 m
3. Produksi
biji mimba adalah 5 – 15 kg/pohon/tahun. Tahun 2009, produksi biji untuk
bahan baku PT Intaran adalah 10 ton dari Kabupaten Karangsem, 5 ton dari
Buleleng, 36 ton dari Lombok Timur dan 2 ton dari Kabupaten Lombok Utara.
Potensi biomassa daun mimba di Kecamatan Kubu Karangasem adalah 15,38
kg/pohon, di Lombok Timur 5,44 kg/pohon dan di Lombok Utara 6,51
kg/pohon. Produksi dan rendemen minyak dari daun mimba di Kecamatan
Kubu adalah 0,23 kg dan 1,82 %, Kabupaten Lombok Timur 0,13 kg dan 2,07
%, dan di Lombok Utara 0,16 kg dan 3,57 %.
Kata kunci : Potensi tegakan mimba, biomassa daun, Bali dan Lombok, PT
Intaran
I. PENDAHULUAN
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan tumbuhan hutan
yang bernilai ekonomis sebagai penghasil produk Hasil Hutan Bukan Kayu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 255
(HHBK). Biji dan daun mimba mempunyai kandungan azadirachtin
digunakan sebagai bahan baku produk pertanian seperti pestisida nabati
dan pupuk, dan bahan baku produk kesehatan, yaitu zat antiseptic.
Beberapa produk mimba telah beredar di pasaran, berupa neem leaves
powder (tepung dari daun mimba) sebagai bahan obat dan insektisida, neem
oil (minyak mimba) dipergunakan sebagai produk kesehatan, pertanian,
kosmetik sampai produk sabun dan neem cake (bungkil mimba) sebagai
bahan pupuk organik (Ade, 2006).
Keberadaan mimba cukup potensial di Bali dan Lombok, sehingga
dipergunakan sebagai salah satu sumber bahan baku produk mimba untuk
pabrik PT Intaran Indonesia, yang berkedudukan di Denpasar. Tanaman
mimba di Bali banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng (Kecamatan Seririt
dan Gerokgak) dan Kabupaten Karangsem di Kecamatan Kubu. Sementara
di Lombok, banyak ditemukan mimba di Kabupaten Lombok Timur bagian
selatan dan Kabupaten Lombok Utara di Kecamatan Bayan. Akan tetapi,
potensi mimba pada wilayah tersebut belum diketahui (belum terdata pada
instansi terkait di pemda setempat). Di Provinsi NTB, hanya delapan
komoditas HHBK seperti madu, gaharu, kemiri, bambu, aren, arang, asam,
dan rotan yang tercatat volume produksinya selama 6 tahun (2000-2005)
(Bappenas, 2006).
Akhir-akhir ini, potensi mimba di wilayah Bali dan Lombok
diduga mengalami penurunan karena aktivitas penebangan. Di Bali
terutama di Kubu Karangasem, penebangan pohon mimba terjadi secara
intensif sejak tahun 2002. Harga jual dan pasar kayu mimba sebagai kayu
pertukangan yang tinggi menjadi penyebab terus menurunnya potensi
tegakan mimba. Di daerah tersebut, kayunya disamping digunakan sebagai
bahan baku bangunan rumah, juga untuk pembuatan bangunan suci (pura
keluarga). Sedangkan di Lombok terutama di Lombok Timur, penebangan
pohon mimba dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar
omprongan tembakau. Menurut Zaenal (2007), Lombok Timur sebagai
salah satu daerah utama penyerap kayu bakar di NTB, dibutuhkan
sedikitnya 370.045 m3
kayu bakar per tahun untuk memenuhi lebih dari
10.520 oven tembakau. Kondisi ini kemungkinan menjadi sebab
256| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
berkurangnya pasokan bahan baku akhir-akhir ini untuk PT Intaran
Indonesia di Denpasar.
Keberlanjutan usaha produk mimba di Bali dan Nusa Tenggara
dihadapkan pada permasalahan penurunan dan ketidakpastian suplai bahan
baku. Di samping itu, data dan informasi potensi tanaman mimba belum
tersedia. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan produk mimba sebagai
suplai bahan baku obat-obatan (kesehatan) dan pupuk organik (pertanian)
belum bisa diprediksi sehingga usaha industri berbasis mimba akan
menjadi kendala. Informasi ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku
merupakan kunci penting bagi keberhasilan pengusahaan mimba. Oleh
karena itu, pada makalah ini menampilkan potensi dan sebaran tegakan
mimba dan kuatifikasi produk mimba di Bali dan Lombok.
II. METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Lokasi
Kegiatan penelitian di Bali dilakukan di Kecamatan Seririt dan
Gerokgak Kabupaten Buleleng, dan Kecamatan Kubu Kabupaten
karangasem pada tahun 2010 dan 2013. Sementara di Lombok dilakukan
pada lokasi sebaran mimba di seluruh Kabupaten pada tahun 2012. Lokasi
kegiatan di Lombok Timur adalah Kecamatan Jerowaru, Keruak, Sakra,
Labuhan Haji, Pringgabaya, dan Kecamatan Sambelia. Di Lombok Utara
di Kecamatan Bayan, Pemenang dan Kecamatan Gangga, Lombok Barat di
Kecamatan Kediri dan Sekotong, dan Lombok Tengah di Kecamatan Praya
Timur.
2. Survey Potensi dan Sebaran Mimba
Penentuan lokasi survey berdasarkan potensi sebaran mimba
ditentukan secara purposive. Untuk di Bali, petak ukur berbentuk lingkaran
seluas 0,1 ha diletakkan secara acak pada setiap lokasi dengan 2 – 3
ulangan. Sementara untuk lokasi di Lombok dilakukan pengamatan secara
sensus pada setiap lokasi sebaran mimba. Parameter yang diamati adalah
diameter batang setinggi dada (dbh), tinggi pohon, jumlah pohon, dan
jumlah anakan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 257
3. Potensi Daun dan Minyak dari Daun Mimba
Pengamatan potensi daun tidak melakukan penimbangan seluruh
daun pada tajuk pohon, namun diwakili oleh kurang lebih 10 – 25 % dari
total daun, seperti cara penghitungan buah yang dinyatakan Bonner
(Bonner, et al., 1994 dalam Nurhasybi dan Sudradjat, 2009). Penandaan
tajuk untuk pengambilan daun dilakukan pada 2 cabang atau 3 – 4 ranting.
Semua daun pada masing-masing cabang/ranting dipisahkan, kemudian
ditimbang berat basahnya. Sampel daun disimpan dan di angin-anginkan
beberapa hari (5 – 7 hari) untuk memperoleh berat kering udara
(penampilan daun tetap hijau), kemudian dilakukan penimbangan berat
kering udara.
Kegiatan penyulingan minyak mimba dilakukan kerjasama dengan
Fak Teknologi Pertanian Universitas Udayana, untuk mengetahui
kandungan dan rendemen minyak dari daun mimba.
4. Analisis Data
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengukuran lapangan dihitung
potensi tanaman mimba pada tiap lokasi. Potensi yang dihitung adalah
jumlah individu dan volume per satuan luas (ha).
Potensi daun dan kandungan minyaknya pada setiap pohon mimba,
dapat didekati melalui notasi sebagai berikut :
Potensi daun (berat basah) adalah jumlah ranting total dibagi jumlah
ranting sampel (yang dipangkas) dikalikan dengan berat daun sampel.
Biomassa daun (berat kering daun) adalah berat kering sampel dibagi
dengan berat basah sampel dikalikan berat basah daun total.
Produksi minyak dari daun mimba per pohon dapat diprediksi melalui
perkalian biomassa daun per pohon dengan berat minyak hasil sulingan
dibagi dengan berat ekstrak sampel.
Rendemen minyak adalah berat minyak yang diperoleh dibagi berat
daun yang diekstrak.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Potensi Mimba di Bali
1.1. Potensi dan sebaran tegakan mimba
258| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Hasil survey pada tahun 2010, potensi mimba di Kabupaten Buleleng
menyebar di Kecamatan Seririt dan Gerokgak. Potensi tegakannya
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi mimba di Desa Pengulon, Banyu Poh dan Lokapaksa,
Kabupaten Buleleng
No.
Desa
Dbh
(cm)
Tinggi
(m)
Kerapatan
(pohon/ha)
Volume
(m3/ha)
1. Pengulon 18,2 10,4 640 131,7
2. Banyu Poh 23,0 11,5 190 65,8
3. Lokapaksa 17,1 7,6 110 14,7
Rata-rata 19,4 ± 3,1 9,8 ± 2,0 313 ± 286 70,7 ± 58,7 Sumber : Susila, et al., 2011
Di Desa Pengulon, survey mimba dilakukan pada kawasan hutan
produksi terbatas (RTK 19) seluas 50 ha dengan tahun tanam 1989,
sedangkan di Desa Banyu Poh dan Lokapaksa dilakukan pada lahan milik
rakyat. Menurut PT Intaran dan pengepul biji-daun mimba di Desa
Pengulon, potensi biji mimba relatif besar berasal dari desa-desa tersebut.
Adanya pemangkasan cabang dan ranting di Desa Pengulon dan Banyupoh
untuk aktifitas budidaya tanaman pertanian, telah menyebabkan potensi biji
tersebut mengalami penurunan. Di Desa Lokapaksa, banyak ditemukan
trubusan pada lahan bekas tebangan mimba.
Hasil survey mimba pada tahun 2013 di Kecamatan Kubu
Karangasem (Tabel 2) dapat dilihat bahwa berdasarkan volume pohon,
tingkat potensi mimba pada setiap desa secara berurutan adalah Desa
Sukadana, Kubu, Tianyar Tengah, Baturinggit, Tianyar Barat, Tulamben
dan Desa Tianyar. Banyak tanaman mimba dijumpai di lahan-lahan milik
sebagai pembatas kebun, yang bercampur dengan tanaman penghasil kayu
(jati dan gmelina) dan tanaman serbaguna (mangga, jambu mente, kelapa
dll).
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 259
Tabel 2. Ukuran dimensi dan potensi mimba pada setiap lokasi di
Kecamatan Kabupaten Karangasem
No Lokasi/Desa
Diameter/
dbh
(cm)
Tinggi
pohon (m)
Jumlah
pohon /
ha
Volume
per ha
(m3)
Jumlah
anakan /
pohon
1 Tianyar Barat 23,4±8,4 11,1±1,3 77 18,064 33
2 Tianyar Tengah 18,9±4,2 13,2±2,6 87 25,690 6
3 Tianyar 21,9±6,7 10,9±2,7 67 12,775 5
4 Sukadana 21,2±8,8 9,6±2,5 293 47,396 15
5 Baturinggit 20,1±8,3 10,4±1,7 105 18,211 9
6 Kubu 19,6±5,6 10,5±2,6 150 34,491 2
7 Tulamben 29,4±14,0 10,5±1,9 80 15,337 33
Rata-rata 22,1±3,6 10,8±2,3 123±80 24,57±
12,44 15±13
Sudah relatif langka menemukan pohon mimba berdiameter di atas 30
cm. Menurut informasi dari beberapa staf kecamatan dan tokoh
masyarakat Kubu, penebangan pohon mimba secara intensif mulai
dilakukan sejak tahun 2002. Di Kubu, kayu mimba digunakan untuk
pembangunan rumah (kusen, tiang, jendela, dll) dan bangunan suci (pura
keluarga) sebagai pengganti kayu cempaka (Michelia campaka L). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Orwa et al. (2009) bahwa kayu mimba potensial
digunakan sebagai kayu pertukangan dan kayu bakar dengan daya tahan
yang tinggi terhadap serangan hama.
Terjadi kompetisi dalam pemanfaatan produk mimba, yaitu sebagai
bahan baku kayu pertukangan dan sebagai bahan baku obat-obatan (biji dan
daun). Untuk saat ini, nilai produk kayu mimba mungkin jauh lebih
menguntungkan dari pada produk bijinya, sehingga banyak terdapat area
bekas tebangan mimba pada lahan-lahan petani. Tahun 2010 di Kubu,
harga pasaran satu pohon berdiameter 35 – 40 cm dengan tinggi bebas
cabang 2,5 – 3,5 m adalah Rp 3 juta s/d Rp 4 juta, sedangkan harga biji dan
daun mimba di petani adalah rata-rata Rp 2.700,- per kg dan Rp 1.000,- per
kg daun basah. Hilangnya tegakan mimba dapat menyebabkan
berkurangnya pasokan bahan baku biji dan daun mimba untuk keperluan
industri PT Intaran di Denpasar Bali.
Tingkat anakan mimba cukup merata dan terdapat dalam jumlah yang
cukup besar pada hampir semua lokasi yang disurvey (Tabel 2), dan
260| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
sebagian tumbuh dalam bentuk trubusan dari tunggak kayu mimba. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Judd (2004) bahwa trubusan adalah merupakan
salah satu teknik silvikultur mimba disamping generatif melalui biji.
Dengan kondisi demikian, meskipun saat ini diameter pohon mimba
umumnya relatif kecil (rata-rata 22 cm) dengan kerapatan mimba yang
cukup jarang (< 300 individu per ha) dan tidak seragam, namun dalam
jangka panjang permudaan alami mimba akan cenderung tetap dapat
dipertahankan.
1.2. Potensi produk mimba
Sampai saat ini, produk mimba yang dimanfaatkan untuk bahan baku
produk kesehatan dan pertanian pada umumnya berasal dari biji dan
daunnya. Menurut perhitungan PT Intaran, produksi biji mimba adalah 5-
15 kg/pohon/per musim. Produksi biji ini relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan beberapa lokasi di negara lain, yaitu 11–50
kg/pohon/tahun di Queensland Utara, Australia (Csurhes, 2008), 20–50
kg/pohon/tahun di Burkina Faso, Afrika (Mineard, 2010), 37–50 kg/pohon/
tahun di India (Lokanadhan, et al., 2012), dan 50 – 100 kg/pohon/tahun di
Sinegal (International Resources Groap, 2007). Pohon mimba biasanya
mulai berbunga dan menghasilkan buah setelah berumur 3–5 tahun dan
akan aktif berproduksi sampai umur 10 tahun. Musim panen biji umumnya
terjadi selama tiga bulan setiap tahunnya, yaitu bulan Desember – Februari
tahun berikutnya.
Pada Tahun 2009, produksi biji mimba yang terkumpul dari
Kabupaten Karangasem dan Buleleng adalah 10 ton dan 5 ton. Menurut PT
Intaran, terjadi penurunan produksi biji mimba dalam tiga tahun terakhir
yaitu tahun 2007-2009. Selain karena kemampuan produksi alami tegakan
mimba, produksi biji mimba sangat dipengaruhi oleh jumlah nilai tambah
yang diperoleh masyarakat sebagai pengumpul dari mata pencaharian yang
lainnya, seperti menjadi buruh tani, jasa memanen hasil kebun, buruh
bangunan dan yang lainnya. Menurunnya produksi biji mimba karena
pekerjaan mengumpulkan biji mimba adalah pekerjaan sambilan. Menurut
pengepul produk mimba di Buleleng, kemampuan rata-rata petani
mengumpulkan biji mimba pada musim panen adalah sekitar 15 kg/hari
dengan harga kotor Rp 2.700,- per kg.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 261
Hasil pengamatan produksi daun di Kubu menunjukkan bahwa
tanaman-tanaman mimba yang tumbuh di lokasi Desa Kubu dan Desa
Sukadana merupakan penghasil daun yang relatif lebih besar dari pada
lokasi-lokasi desa yang lain (Tabel 3). Urutan tingkat produksi biomassa
daunnya adalah Desa Kubu, Sukadana, Tianyar Barat, Baturinggit, Tianyar
Tengah dan Desa Tulamben. Disamping ukuran tajuk, tempat tumbuh
mungkin berpengaruh atas perbedaan ini, karena rata-rata sebaran diameter
dan rata-rata ukuran pertajukannya relatif tidak jauh berbeda. Tekstur tanah
di lima lokasi rata-rata cenderung pasir, kandungan C-organik rata-rata
rendah, kandungan unsur makro relatif seragam, namun pH tanah untuk
lokasi Sukadana dan Kubu adalah mendekati netral (pH 6,6), sedangkan
lokasi yang lainnya agak masam (pH 6,3 – 6,5) (Lab Tanah Faperta Unud,
2013).
Tabel 3. Produksi daun dan minyak serta rendemen minyak dari daun
mimba per pohon pada setiap lokasi di Kec Kubu
Lokasi Dbh
(cm)
Dt
(m)
BB
daun
(kg)
BK daun
(kg)
Produk
minyak
(kg)
Rendemen
(%)
Tianyar Barat 19,3 4,84 16,59 15,67 0,35 2,10
Tianyar Tengah 18,6 4,07 13,68 13,02 0,18 2,23
Sukadana 17,6 4,63 19,55 18,69 0,16 1,10
Baturinggit 16,9 4,70 16,38 15,55 0,20 1,72
Kubu 19,1 5,56 20,10 19,15 0,33 2,09
Tulamben 17,8 5,95 10,76 10,21 0,17 1,87
Jumlah/rerata 18,2 4,96 16,18 15,38 0,23 1,82
Keterangan : Dbh = Diameter setinggi dada , Dt = Diameter tajuk, BB = berat basah
daun dan BK = berat kering udara daun (biomassa)
Kisaran rendemen minyak mimba pada setiap pohon di lokasi-lokasi
tempat tumbuh seperti tabel 3 adalah 0,40 – 3,80 %, dengan rata-rata 1,82
%. Disamping karena ukuran dimensi pohon dan tempat tumbuh,
perbedaan produksi daun dan minyak mimba, kemungkinan juga
dipengaruhi oleh warna daun mimba. Warna daun yang banyak dijumpai
di lapangan pada saat sedang berbunga dan menjelang berbuah adalah
warna hijau/hijau tua dan hijau muda. Daun warna hijau muda biasanya
262| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
berada pada area mendekati pucuk ranting, namun banyak juga terdapat
pada posisi daun berwarna hijau tua, bahkan terkadang lebih dominan.
Helai warna daun berhubungan dengan berat basah daun, yaitu daun hijau
muda relatif lebih tipis dari pada daun hijau tua sehingga beratnya lebih
rendah. Disamping warna daun, konsistensi jumlah daun yang terdapat
pada tajuk pohon juga berpengaruh. Hal ini disebabkan pada saat
pengamatan banyak dijumpai daun yang gugur. Terkadang pohon
(pertajukan) yang besar dijumpai jumlah daun yang relatif sedikit dan
sebaliknya.
2. Potensi Mimba di Lombok
2.1. Potensi dan sebaran tegakan mimba
Survey mimba di Lombok dilakukan pada tahun 2012, yang hasilnya
di sajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa tanaman
mimba di Kecamatan Bayan Kabupaten lombok Utara sebanyak 164
pohon, terkonsentrasi di tiga desa yaitu Desa Anyar, Sukadana dan Desa
Akar-Akar. Tingkat anakan mimba cukup merata di Lombok dan terdapat
dalam jumlah yang cukup besar pada hampir semua lokasi yang disurvei.
Tabel 4. Ukuran dimensi dan potensi mimba pada setiap lokasi di Lombok
No Lokasi / Kecamatan
Diameter/
dbh (cm)
Tinggi
pohon
(m)
Jumlah
pohon
Volume
pohon
(m3)
Rerata
anakan/
pohon
1 Jerowaru, Lotim 29,5±11,5 11,7±3,1 34 14,887 4
2 Keruak, Lotim 35,6±21,4 10,3±1,8 51 22,042 15
3 Sakra, Lotim 34,0±10,0 10,0±1,6 73 24,137 50
4 Lb.Haji, Lotim 25,5±13,3 10,3±1,1 13 8,486 16
5 Pringgabaya, Lotim 27,1±17,6 11,2±1,4 34 11,132 56
6 Sambelia, Lotim 28,6±11,6 11,5±1,7 35 15,765 6
7 Bayan, KLU 18,8±8,5 10,9±2,4 164 35,645 23
8 Pemenang, KLU 20,6±3,9 8,3±2,0 9 1,996 20
9 Gangga, KLU 31,9±9,6 13,8±3,0 17 13,469 7
10 Praya Timur, Loteng 15,3±4,1 8,1±1,0 18 1,212 1
11 Kediri, Lobar 12,9±1,6 7,6±0,8 25 1,785 -
Jumlah 480
Permasalahan muncul ketika masyarakat mulai melakukan
penebangan mimba untuk tujuan kayu bakar dan kayu pertukangan. Untuk
wilayah NTB terjadi defisit kebutuhan kayu bangunan yang cukup tinggi,
yakni 80.000 meter kubik per tahun sementara kebutuhan kayu bakar
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 263
sekitar 480.000 m3/tahun (Dinas Kehutanan NTB, 2007). Kabupaten
Lombok Timur sebagai salah satu daerah utama penyerap kayu bakar
terbesar di NTB untuk memenuhi sedikitnya 10.520 oven tembakau,
dibutuhkan minimal 370.045 m3 kayu bakar per tahun (Zaenal, 2007).
Seiring dengan perbaikan pasar produk HHBK yang semakin membaik
maka potensi mimba harus terus dipertahankan dan berpeluang
meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, wilayah Lombok
merupakan wilayah yang cukup potensial untuk pengembangan mimba.
Disamping reboisasi dan rehabilitasi dengan jenis mimba, juga diharapkan
tidak meninggalkan tegakan bekas tebangan mimba karena regenerasi
alami mimba melalui trubusan tunggak batang sangat kuat.
2.1. Potensi produk mimba
Menurut PT Intaran, produksi biji mimba selama tiga tahun di
Lombok adalah 30 ton pada tahun 2007, 18 ton tahun 2008, dan 38 ton
pada tahun 2009. Pada tahun 2009, produksi biji mimba dari Kabupaten
Lombok Timur adalah 36 ton dan 2 ton dari Kabupaten Lombok Utara.
Sama seperti kasus di Bali, pekerjaan mengumpulkan biji mimba oleh
masyarakat adalah pekerjaan sambilan, artinya adanya kegiatan ini karena
pekerjaan lain tidak ada. Oleh karena itu, produksi biji mimba setiap tahun
di Lombok belum mencerminkan kemampuan alami tegakan mimba.
Kemungkinan produksi biji dari tegakan mimba bisa lebih tinggi dengan
asumsi tidak ada kegiatan penebangan setiap tahun.
Hasil pengamatan potensi daun mimba di Lombok menunjukkan
bahwa mimba yang tumbuh di lokasi Kecamatan Jerowaru (Lombok
Timur) dan Pemenang (Lombok Utara) merupakan penghasil biomassa
daun yang relatif lebih besar dari pada lokasi-lokasi kecamatan lain (Tabel
5). Urutan tingkat produksi biomassa daunnya adalah Kecamatan
Jerowaru, Pemenang, Keruak, Sakra, Bayan, Sambelia, Pringgabaya,
Kediri dan Kecamatan Praya Timur. Khusus di Lombok Timur, tempat
tumbuh mungkin juga berpengaruh atas perbedaan ini, karena rata-rata
sebaran diameter di lima lokasi mimba relatif hampir sama. Tekstur tanah
lokasi Jerowaru dan Keruak adalah liat lempung berpasir, dan lokasi
lainnya berstektur pasir (Lab Tanah BPTP NTB, 2012). Tanah liat lempung
berpasir relatif lebih baik dari pada tanah yang dominan pasir. Di Lombok
264| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
utara, mimba yang tumbuh di Pemenang mempunyai ukuran dimensi
pohon yang besar dan tapak yang lebih baik dari pada mimba yang di
Kecamatan Bayan, yaitu tekstur tanah di Pemenang lempung berpasir, dan
tekstur pasir di Bayan.
Kisaran rendemen dan rata-rata produksi minyak mimba pada
setiap pohon di Lombok Timur adalah 1,14 – 4,03 % dan 0,13 kg,
sedangkan dari Lombok Utara adalah 0,88 – 9,53 % dan 0,16 kg.
Tabel 5. Produksi daun dan minyak serta rendemen minyak dari daun
mimba per pohon pada setiap lokasi di Lombok
Lokasi Dbh
(cm)
Dt
(m)
BB
daun
(kg)
BK
daun
(kg)
Produksi
Minyak
(kg)
Rendemen
(%)
Jerowaru, Lotim 24,6 7,5 21,57 9,18 0,20 2,30
Keruak, Lotim 27,0 7,0 17,04 6,15 0,13 2,16
Sakra, Lotim 23,0 10,4 9,06 4,39 0,11 1,94
Pringgabaya, Lotim 21,5 5,4 8,39 3,70 - -
Sambelia, Lotim 24,9 6,1 7,41 3,80 0,07 1,88
Praya Timur,
Loteng 12,1 2,9 1,55 1,02 - -
Kediri, Lobar 12,9 3,3 3,63 2,01 - -
Bayan, KLU 18,3 4,5 10,45 4,19 0,16 3,57
Pemenang, KLU 20,9 6,5 21,18 8,83 - -
Jumlah/rerata 20,6 6,0 11,14 4,81 0,13 2,37
Keterangan : N = Jumlah pohon , Dbh = Diameter setinggi dada , Dt = Diameter tajuk,
BB = Produk berat basah daun, dan BK = produk berat kering udara
daun (biomassa)
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kerapatan dan volume pohon mimba di Kecamatan Seririt dan
Gerokgak, Buleleng adalah 313 pohon/ha dan 70,7 m3/ha, dan
Kecamatan Kubu, Karangasem adalah 123 pohon/ha dan 24,57 m3/ha.
Di Lombok, jumlah dan volume pohon mimba di setiap kecamatan
adalah Jerowaru 34 pohon dan 14,89 m3; Keruak 51 pohon dan 22,04
m3; Sakra 73 pohon dan 24,14 m
3; Pringgabaya 34 pohon dan 11,13 m
3;
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 265
Sambelia 35 pohon dan 15,77 m3; dan Bayan 164 pohon dan volume
35,65 m3.
2. Produksi biji mimba adalah 5 – 15 kg/pohon/per musim, musim
berbuah Bulan Desember s/d Februari tahun berikutnya. Produksi biji
mimba untuk bahan baku PT Intaran tahun 2009 adalah 10 ton dari
Kabupaten Karangsem, 5 ton dari Buleleng, 36 ton dari Lombok Timur
dan 2 ton dari Kabupaten Lombok Utara.
3. Potensi biomassa daun mimba di Kecamatan Kubu Karangasem adalah
15,38 kg/pohon, di Lombok Timur 5,44 kg/pohon dan di Lombok Utara
6,51 kg/pohon.
4. Produksi dan rendemen minyak dari daun mimba di Kecamatan Kubu
adalah 0,23 kg dan 1,82 %, Kabupaten Lombok Timur 0,13 kg dan 2,07
%, dan di Lombok Utara 0,16 kg dan 3,57 %.
5. Untuk mempertahankan kelestarian tanaman mimba dan menjaga
pasokan produk mimba untuk PT Intaran serta kuatnya regenerasi alami
mimba maka perlu menggunakan jenis tanaman mimba untuk
rehabilitasi lahan-lahan kritis di Bali dan Lombok, namun tidak
melupakan pengelolaan trubusan bekas-bekas tebangan tegakan mimba.
DAFTAR PUSTAKA
Ade. 2006. Pemanfaatan Tanaman Mimba untuk Rehabilitasi Lahan Kering
sekaligus Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor
Bappenas. 2006. Ringkasan: Kajian Strategi Pengembangan Potensi Hasil
Hutan Non Kayu dan Jasa Lingkungan. Direktorat Kehutanan dan
Konservasi Sumber Daya Air, Bappenas
Csurhes, S. 2008. Pest plant risk assessment Neem tree Azadirachta indica.
Biosecurity Queensland Department of Primary Industries and
Fisheries, Queensland GPO Box 46, Brisbane Qld 4001 August 2008.
Dinas Kehutanan NTB, 2007. Statistik Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2006. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Mataram.
International Resources Group, 2007. Neem Value Chain Senegal. Analysis
And Strategic Framework For Sub-Sector Growth Iniatiatives. The
United States Agency for International Development.www.irgltd.com
266| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Judd. M.P. 2004. Introduction and Management of Neem (Azadirachta
indica) in Small Holdersfarm Fields in The Baddibu Districts of The
Gambia, West Gambia. Master of Science in Forestry Michigan
Technological University.
Lab. Tanah BPTP NTB. 2012. Laporan Hasil Uji 5 contoh tanah dari Kab
Lombok Timur dan Lombok Utara. Laboratorium Pengujian BPTP
NTB. Mataram
Lab. Tanah Faperta UNUD. 2013. Laporan Hasil Uji 5 contoh tanah dari Kec
Kubu Kab Karangasem. Laboratorium Pengujian Tanah Fak
Pertanian UNUD. Denpasar.
Lokanadhan, S., P. Muthukrishnan, and S. Jeyaraman. 2012. Neem products
and their agricultural applications. JBiopest, 5 (Supplementary):72-76.
Mineard, K. 2010. Neem Tree Assessment For Socioeconomic Empowerment
in Rural Burkina Faso. Master Project Submitted in Partial
Fulfillment of the Requirement for the Master of Enviromental
Management degree in the Nicholas School of the Environment of
Duke University.
Nurhasybi dan D.J. Sudradjat. 2009. Teknik Pendugaan Potensi Produksi
Benih Tanaman Hutan. Info Benih Volume II, No. 1. Puslitbang
Hutan Tanaman. Bogor.
Orwa, C, A. Mutua, R. Kindt , R. Jamnadass dan A. Simons. 2009.
Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version
4.0 (http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/).
Susila, IWW., Tjakrawarsa, G., Handoko, C., Sukito, A., dan Prihartini, AI.
2011. Eksplorasi Potensi dan Tataniaga HHBK Unggulan NTB dan
Bali : Mimba (Azadirachta indica A. Juss). Laporan Hasil Penelitian
Tahun 2010. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu.
Mataram.
Zaenal, B. 2007. Pengalaman Menyelenggarakan Hutan Kemasyarakatan
(HKm) di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahan Masukan
dalam Kegiatan Konsultasi Publik Draft Permenhut tentang HKM dan
Hutan Desa, 20 Juni 2007. Dinas Kehutanan Propinsi NTB. Mataram.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 267
STUDI JENIS DAN PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN
KAYU (HHBK) DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN
KHUSUS (KHDTK) SENARU
Irwan Mahakam Lesmono Aji, Indriyatno Dan Dwi Sukma Rini
Laboratorium Silvikultur dan Teknologi Hasil Hutan – Prodi Kehutanan
Universitas Mataram - Mataram
ABSTRAK
Usaha pengembangan KHDTK Senaru telah dilakukan oleh Prodi Kehutanan
Universitas Mataram dengan cara mulai mengelola kembali hasil hutan yang
ada di KHDTK Senaru, tidak hanya pada tanaman gaharu, tetapi juga mencoba
untuk menemukan jenis hasil hutan lainnya untuk dikembangkan, terutama
yang berasal dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi jenis-jenis HHBK yang terdapat di kawasan ini, baik
yang masih ada dan yang dahulunya pernah ada tetapi saat ini mulai sulit
ditemukan. Hasil penelitian akan dijadikan panduan untuk menentukan produk
apa yang akan dikembangkan sebagai hasil unggulan dari KHDTK Senaru.
Metode eksplorasi purposif digunakan untuk identifikasi jenis Hasil Hutan
Bukan Kayu, dengan cara wawancara masyarakat dan survei langsung di
lapangan. Hasil wawancara dengan masyarakat akan digunakan sebagai dasar
untuk melakukan survei jenis-jenis yang masih ada di lapangan dan
pertimbangan untuk penentuan jenis produk yang akan dikembangkan
selanjutnya. Berdasarkan hasil wawancara dan survey pada lima petak di hutan
pendidikan senaru ditemukan 36 jenis hasil hutan bukan kayu yang yang
berasal dari 14 famili tumbuhan. HHBK ini dapat dikelompokkan ke dalam
kelompok resin, minyak atsiri, minyak lemak, pati/karbohidrat, buah dan
tumbuhan obat. Hasil hutan bukan kayu yang potensial tetapi belum memiliki
nilai ekonomi adalah tumbuhan obat yang berada di bawah tegakan. Jenis
tumbuhan obat yang diketahui dan biasa digunakan masyarakat lokal sekitar 13
jenis, diantaranya untuk obat sakit pinggang, digigit serangga, demam, dan
lain-lain.
Kata kunci: KHDTK Senaru, Hutan Senaru, jenis HHBK, tanaman obat.
I. PENDAHULUAN
Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru
merupakan kawasan hutan yang terletak di desa Senaru Kecamatan Bayan
Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas
268| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
225,7ha. Daerah ini telah diserahkan pengelolaannya kepada Universitas
Mataram sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 392/Menhut-
II/2004 sebagai hutan pendidikan. Sebelum diserahkan sebagai hutan
pendidikan KHDTK Senaru terkenal sebagai pusat penelitian tanaman
Gaharu dan daerah penghasil kopi dan kakao yang ditanam oleh
masyarakat dalam bentuk agroforestri.
Setelah resmi menjadi hutan pendidikan, mulai banyak dilakukan
penelitian di kawasan ini, tidak hanya mengenai gaharu tetapi juga terkait
bidang sejarah, biofisik (analisis vegetasi dan cadangan karbon), dan sosial
masyarakat baik dilakukan oleh mahasiswa, serta peneliti dari dalam
maupun luar negeri. Hasil penelitian yang telah dilakukan diharapkan
berguna untuk menententukan bentuk pengelolaan KHDTK Senaru dimasa
akan datang. Selain sebagai kampus lapangan dan lokasi penelitian,
KHDTK Senaru juga menjadi salah satu tujuan wisata karena memiliki
bentang alam yang indah dan merupakan salah satu jalan menuju Taman
Nasional Gunung Rinjani. Oleh sebab itu dalam pengembangan KHDTK
Senaru juga harus memperhatikan aspek pariwisata terutama yang
berhubungan dengan pengelolaan lingkungan dan hasil hutan yang
terdapat di KHDTK Senaru untuk menambah minat para wisatawan
mengunjungi daerah ini. Selama ini pengelolaan hasil hutan di KHDTK
Senaru dirasa belum optimal. Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas
potensi hutan Senaru baik dari hasil hutan kayu maupun bukan kayu.
Salah satu usaha untuk mengetahui potensi hasil hutan di KHDTK
Senaru yaitu telah dilakukan penelitian mengenai jenis-jenis vegetasi
penyusun KHDTK Senaru. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
di KHDTK Senaru terdapat total 32 jenis vegetasi yang tersusun dalam
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Beberapa vegetasi penyusun
merupakan penghasil produk hasil hutan bukan kayu, yaitu Gaharu
(Aquilaria mollucensis), Kemiri (Aleurites moluccana), Durian (Durio
zibenthinus), dan Nangka (Artocarpus heterophyllus) (Idris, M.H, S.
Latifah, I.M.L. Aji, E. Wahyuningsih dan Indriyatno. 2012).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, HHBK yang
terdapat di KHDTK Senaru hanya berasal dari tanaman berkayu, belum ada
data mengenai jenis-jenis HHBK yang berasal dari sumber-sumber
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 269
lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-
II/2007 HHBK di Indonesia sangat beragam meliputi kelompok resin;
kelompok minyak atsiri; kelompok minyak lemak, pati, dan buah-buahan;
kelompok tannin, bahan pewarna, dan getah; kelompok obat dan tanaman
hias; kelompok palma dan bambu; dan kelompok hasil hewan. Dalam
penelitian ini, sebagai langkah awal akan dilakukan kegiatan identifikasi
jenis HHBK di KHDTK Senaru, sehingga dari hasil tersebut dapat
diketahui jenis apa saja yang masih ada di dalam kawasan dan jenis apa
yang pernah tumbuh namun saat ini sudah tidak dijumpai lagi.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di KHDTK Senaru di Desa Senaru
Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa tenggara Barat.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis-jenis hasil
hutan bukan kayu di KHDTK Senaru. Alat yang digunakan adalah panduan
jenis HHBK berdasarkan Permenhut No.P.35/Menhut-II/2007, alat tulis
menulis, recorder, tallysheet, kamera, dan GPS.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksplorasi purposif untuk
identifikasi jenis Hasil Hutan Bukan Kayu, dengan cara wawancara
masyarakat dan survei langsung di lapangan. Hasil wawancara dengan
masyarakat akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan surveI jenis-
jenis yang masih ada di lapangan dan pertimbangan untuk penentuan jenis
produk yang akan dikembangkan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di
KHDTK Senaru
Pengembangan KHDTK Senaru pada awalnya dibangun untuk
menjaga kerusakan akibat adanya illegal loging. Pada awal
pengembangannnya jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis
tanaman gaharu (Gyrinops vertegii) dan kopi (Coffe robusta).
270| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pengembangan tanaman ini pada awalnya dimaksudkan kecuali sebagai
fungsi ekologi juga sebagai fungsi ekonomi, dimana jenis tersebut memiliki
nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hasil wawancara dengan masyarakat
menyatakan bahwa dalam perkembangannya tanaman gaharu belum
memberikan hasil yang optimal, sementara yang telah berkembang dengan
baik adalah tanaman agroforestri seperti kopi (Coffe robusta) dan kakao
(Teobroma cacao).
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan
tanaman gaharu banyak yang terganggu akibat serangan hama ulat pada
daun yang akhirnya menyebabkan kematian. Selain itu kondisi tegakan
juga tidak terawat. Disisi lain dari survey yang dilakukan bersama
masyarakat banyak ditemukan tanaman bawah yang selama ini telah
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal berupa sumber pangan dan obat-
obatan. Hasil hutan bukan kayu menurut Departemen Kehutanan adalah
hasil hutan hayati baik hayati maupun nabati beserta produk turunan dan
budidaya kecuali kayu yang berasal dari hutan (Anonim, 2007). Pada saat
ini telah berkembang cukup banyak, pemanfaatannya dari hasil hutan
bukan kayu di senaru diantaranya kelompok resin, minyak atsiri, minyak
lemak, pati/karbohidrat, buah dan tumbuhan obat.
Pola tanam yang dikembangkan pada hasil hutan bukan kayu
dalah pola agroforestry, sehingga dari sisi ekologi memberikan nilai
konservasi yang menyerupai hutan alam di Taman Nasional Gunung
Rinjani diantaranya stratifikasi tajuk terdapat 3 strata. Secara ekonomi
tanaman agoforestry dengan hasil hutan bukan kayu memberikan peluang
nilai ekonomi kepada masyarakat berupa pendapatan harian, mingguan,
bulanan dan tahunan. Pendapatan harian berupa air nira yang disadap untuk
mendapatkan gula. Pendapatan mingguan didapatkan dari tanaman kakao
(Teobroma cacao), untuk pedapatan tahunan seperti tanaman kopi.
Hasil hutan bukan kayu yang potensial tetapi belum memiliki nilai
ekonomi adalah tumbuhan obat yang berada di bawah tegakaan. Jenis
tumbuhan obat yang diketahui masyarakat sekitar 13 jenis, diantaranya
untuk obat sakit pinggang, digigigt serangga, dan lain-lain. Potensi lain
yang belum dikembangkan adalah minyak atsiri di mana produk ini ke
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 271
depan memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan baku obat, kosmetik
dan lain-lain. Jenis tersebut diantaranya kayu putih dan cengkeh.
B. Pengelompokan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Di
KHDTK Senaru
1. Pengelompokan jenis HHBK berdasarkan Famili
Eksplorasi HHBK yang telah dilakukan di KHDTK Senaru
meliputi 5 petak, yaitu petak 2, petak 3, petak 11, dan petak bangunan.
Dari hasil eksplorasi banyak dijumpai tanaman-tanaman bukan kayu,
meliputi tanaman bawah, tanaman merambat, serta talas-talasan yang biasa
dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai sumber pangan dan obat-obatan
namun belum banyak digunakan secara luas. Jumlah jenis HHBK yang
ditemukan pada kelima petak tersebut sekitar 36 jenis. Beberapa tumbuhan
hanya diketahui nama lokalnya saja. Beberapa tumbuhan yang dapat
diketahui nama ilmiahnya secara umum dapat dikelompokkan menjadi 14
famili, diantaranya: famili Apocynaceae, Arecaceae, Clusiaciae,
compositae, ebenaceae, euphorbiaceae, fabaceae, meliaceae, moraceae,
myrtaceae, orchidaceae, piperaceae, rosaceae, dan rubiaceae
2. Pengelompokan jenis HHBK berdasarkan kegunaan
HHBK yang ditemui di Senaru dapat dikelompokkan berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-II/2007, yang disajikan
dalam tabel.1
Tabel.1.Pengelompokan jenis HHBK berdasarkan kegunaan
No Jenis
Produk Nama Indonesia Nama Ilmiah
A Kelompok Resin
1 Gaharu Gyrinops vertegii Resin gaharu
B Kelompok Minyak Atsiri
1 Kayu putih Melaleuca
cajuputi
Minyak Kayu Putih
2 Gaharu Gyrinops vertegii Minyak Gaharu
3 Cengkeh Eugenia
aromaticum
Minyak Cengkeh
C Kelompok Minyak Lemak, pati dan buah-buahan
C.1 Kelompok Minyak Lemak
1 Kemiri Aleurites Minyak kemiri
272| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Jenis
Produk Nama Indonesia Nama Ilmiah
mullucana
C.2 Pati (Karbohidrat)
1 Bambu Dendrocalamus
asper
Rebung
2 Gadung Dioscorea
hispida
Tepung gadung
3 Iles-iles Amhorphopalus
conjac
Tepung iles-iles
4 Aren Arenga pinata Tepung aren, gula aren
C.3 Buah-buahan
1 Aren Arenga pinata Kolang-kaling
2 Kluwih Arthocarpus sp Buah kluwih
3 Nangka Artocarpus
heteropyllus
Buah nangka
4 Alpukat Persia gratisima Buah alpukat
5 Duwet Syzyigium cumini Buah duwet
6 Durian Durio
zibenthinus
Buah durian
7 Mangga Hutan Mangifera
longifetiolatum
Buah mangga
8 Rambutan Nephelium
lapaceum
Buah rambutan
9 Brune Diospyros
pilosanthera
Buah brune
10 Kalimutung Rubus
moluccanus
Buah kalimutung
D Tannin, Bahan pewarna, dan Getah
D1 Tannin
1 Pinang Arenga catechu Tannin pinang
2. Akasia Acacia mangium Tannin akasia
D2 Bahan Pewarna
1 Alpukat Persia gratisima Pewarna hijau coklat
2 Jati Tectona grandis Pewarna merah
3 Mahoni Swietenia
mahagoni
Pewarna coklat
4 Pinang Arenga catechu Pewarna kuning emas
5 Suren Toona sinensis Pewarna coklat
D3 Getah
1 Pulai Alstonia
scholaris
Getah pulai
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 273
No Jenis
Produk Nama Indonesia Nama Ilmiah
E Tumbuhan Obat
1 Pulai Alstonia
scholaris
Ekstrak pepagan batang,
akar, daun, getah
2 Kayu putih Melaleuca
cajuputi
Ekstrak daun
3 Vanili Vanilla
planifolia
Obat gigitan
kalajengking
4 Kemalindingan Leucaena
leuchepala
Obat cacing
5 Laos Alpinia galangal Obat panu
6 Lemboke Ficus septic Digigit kalajengkin
7 Lemboke bulu Ficus hispida Obat sesak napas
8 Andong Penyakit kuning
9 Bebile/kaki kuda Garcinia rigida Ambeien
10 Gemboya Obat sakit panas dalam
11 Barat daye/Kerinyu Eupatorium
odoratunt
Obat luka
12 Sirih Piper betle Ekstrak daun
13 Ate-ate Morinda
citrifolia
F Palma dan Bambu
Bambu
1 Bambu santong
2 Bambu tali
Dari Tabel.1 dapat dilihat bahwa hasil hutan bukan kayu di
KHDTK Senaru dapat dikelompokkan menjadi resin, minyak atsiri, minyak
lemak, pati, buah-buahan, tannin, bahan pewarna, getah, tumbuhan obat,
dan bambu. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.35/Menhut-
II/2007 keseluruhan hasil hutan bukan kayu ini dikelompok menjadi 6
kelompok besar. Dari keenam kelompok ini, kelompok tumbuhan obat
memiliki jenis yang paling banyak, dan sebagian besar dari jenis tersebut
belum banyak diketahui dan dimanfaatkan secara luas. Disisi lain
masyarakat lokal sudah lama memanfaatkannya sebagai sumber obat
tradisional. Selain kelompok tumbuhan obat, di KHDTK Senaru juga
banyak terdapat jenis tumbuhan penghasil buah-buahan, namun belum
dikelola dengan baik, sehingga hasilnya belum begitu komersil.
274| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pemanfaatan hasil hutan Bukan Kayu di KHDTK Senaru saat ini
masih terbatas, tanaman yang banyak dikembangkan masyarakat
adalah tanaman kopi, kakao, dan aren yang ditanam dengan pola
agroforestri
2. HHBK yang ditemukan di KHDTK Senaru sekitar 36 jenis yang
berasal dari 13 famili, diantaranya: famili Apocynaceae,
Arecaceae, Clusiaciae, compositae, ebenaceae, euphorbiaceae,
fabaceae, meliaceae, moraceae, myrtaceae, orchidaceae,
piperaceae, rosaceae, dan rubiaceae
3. Pengelompokan HHBK di KHDTK Senaru berdasarkan
kegunaannya meliputi kelompok resin (1 jenis), minyak atsiri (3
jenis), minyak lemak (1 jenis), karbohidrat (4 jenis), buah-buahan
(10 jenis), tannin (2 jenis), bahan pewarna (5 jenis), getah (1 jenis),
tumbuhan obat (13 jenis), dan bamboo (2 jenis)
B. Keterbatasan
Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian ini baru dilakukan pada sebagian petak di KHDTK
Senaru, sehingga masih dimungkinkan akan ditemui jenis tanaman
lainnya.
2. Beberapa jenis tanaman lokal ada yang masih belum diketahui
nama ilmiahnya, karena keterbatasan waktu penelitian, dan masih
akan terus berlanjut.
C. Saran
Saran yang diberikan dari penelitian ini adalah agar segera
dilakukan penelitian lanjut untuk mengidentifikasi jenis HHBK apa
saja yang ada di seluruh kawasan KHDTK Senaru dan untuk
pengelolaan selanjutnya sebaiknya difokuskkan dalam pengembangan
tanaman obat karena memiliki potensi yang cukup besar.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 275
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Penetapan
Jenis-jenis HHBK. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Anonim, 2009. Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2009 tentang Strategi
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Nasional. Departemen
Kehutanan RI. Jakarta.
Ichsan, A.C., R.F.Silamon, H. Anwar, B. Setiawan. 2013. Analisis
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru dengan Menggunakan
Pendekatan Partisipatif. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan).
Idris, M.H, S. Latifah, I.M.L. Aji, E. Wahyuningsih dan Indriyatno. 2012.
Studi Potensi Vegetasi Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus
(KHDTK) Senaru untuk Pengembangan Model Hutan Pendidikan
di Universitas Mataram. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
276| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
SIGNIFIKANSI STUDI KARAKTERISTIK MADU BAGI
KEPENTINGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Kuntadi
Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan
Jl. Gunung Batu 5, Bogor 16610; E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Indonesia termasuk negara penghasil madu dengan produksi sekitar 4000-8000
ton per tahun. Bentang alam yang bervariasi dari Sumatra hingga Papua
menjadikan setiap bioregion menghasilkan madu yang khas sesuai
karakteristik tumbuhannya. Dalam strategi pemasaran, kekhasan asalusul
maupun jenis madu tidak jarang dimanfaatkan produsen untuk meningkatkan
nilai jual dengan mencantumkannya pada label kemasan. Belum adanya
perangkat yang dapat menditeksi asalusul/jenis madu menyebabkan pilihan
konsumen sepenuhnya bergantung kepada kejujuran produsen. Standar
Nasional Indonesia tentang Madu (SNI No. 3545: 2013) belum dapat
menjamin hak konsumen mendapatkan jenis madu sesuai keinginan karena
ketentuan yang digunakan tidak dapat menditeksi asalusul dan jenis madu.
Oleh sebab itu dibutuhkan adanya data dasar karakteristik madu Indonesia
sebagai bahan rujukan dalam diteksi kebenaran asalusul dan jenis madu. Data
dasar tersebut akan melengkapi upaya yang sudah ada dalam fasilitasi
perlindungan kosumen, baik hak mendapatkan madu dengan kualitas baik
maupun hak mendapatkan madu sesuai jenis yang dikehendaki. Beberapa
komponen di dalam madu, seperti serbuk sari dan mineral, serta sifat
fisikokimia madu dalam banyak studi terbukti dapat menjadi ‘sidik jari’ untuk
menelusuri asalusul madu. Makalah ini membahas hal tersebut, di samping hal-
hal lain yang berkaitan dengan diversitas tumbuhan dan produk madu di
Indonesia, perangkat penentuan karakteristik madu, dan kepentingan data dasar
karakteristik madu Indonesia bagi kebutuhan konsumen.
Kata kunci : Madu Indonesia, data dasar, karakteristik madu.
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini, kejelasan asalusul suatu produk pangan adalah salah
satu isu paling penting di bidang pengendalian mutu dan kimia pangan.
Belum lama Komisi Eropa memutuskan untuk mulai mengeluarkan
regulasi yang mengatur labelisasi produk makanan. Mereka berpandangan
bahwa asalusul berikut kandungan utama suatu produk harus dapat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 277
diketahui konsumen. Regulasi dibuat dengan tujuan untuk menjamin
kualitas, keamanan, dan keaslian produk serta untuk menjaga hak-hak
konsumen (Stanimirova, Üstün, Cajka, Riddelova, Hajslova, Buydens &
Walczak 2010). Seiring dengan itu mulai dikembangkan prosedur
pengujian yang dapat secara efektif mendeteksi kemungkinan adanya
kecurangan dan kesesuaiannya dengan spesifikasi mutu suatu produk.
Keterangan asalusul merupakan hal yang saat ini dipandang penting
dalam kaitannya dengan produk madu, terutama setelah adanya larangan
masuk madu asal China ke Eropa pada tahun 2002-2004 menyusul
ditemukannya kandungan antibiotik di dalam madu (CIAFS 2012).
Meskipun larangan tersebut telah dicabut pada tahun 2004, namun
kecurigaan adanya perdagangan ilegal produk madu asal China tetap
mengemuka seiring masih diberlakukannya kebijakan anti-dumping oleh
pemerintah AS terhadap madu China. Diduga madu China banyak masuk
ke pasar Amerika setelah melalui proses ‘pencucian’ (honey laundering) di
negara ke tiga (Lallanilla 2013). Pada bulan Juni 2010, Eropa melarang
masuk madu berlabel India karena tidak adanya keterangan yang dapat
dirunut ke asalusul, keaslian, dan potensi cemaran madu (CIAFS 2012).
Kuat dugaan bahwa sebagian madu India berasal dari China. Indonesia
termasuk salah satu dari beberapa negara Asia yang dicurigai sebagai
tempat ‘pencucian’ madu (Schneider 2011; CIAFS 2012).
Isu ‘honey laundering’ semakin memperkuat kebutuhan akan
kejelasan asalusul produk madu. Kejelasan asalusul dan spesifikasi madu
sangat dibutuhkan mengingat semakin berkembangnya permintaan dan
preferensi konsumen atas produk madu tertentu, misalnya madu pelawan,
madu randu, madu klengkeng, madu putih, dsb. Informasi yang jelas
tentang asalusul dan spesifikasi madu akan memberikan keyakinan bagi
konsumen untuk mendapat madu sesuai yang diinginkan.
Preferensi konsumen terhadap produk madu tertentu, di satu sisi,
dapat mengangkat nilai jual di pasaran. Contoh paling nyata yaitu madu
pelawan dari Bangka-Belitung yang harga jualnya saat ini jauh di atas rata-
rata harga madu pada umumnya. Namun, di sisi lain, meningkatnya harga
jual juga berisiko adanya pemalsuan dan penipuan, terutama apabila jumlah
produksinya terbatas, seperti yang disinyalir terjadi pada madu manuka
278| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
yang berasal dari Selandia Baru (Leake 2013). Untuk itu diperlukan
prosedur dan atau perangkat pengujian yang dapat secara efektif menditeksi
potensi kecurangan dan penipuan atas produk madu tertentu.
II. DIVERSITAS TUMBUHAN DAN PRODUK MADU
Madu adalah produk alami yang dihasilkan oleh lebah madu (Apis
spp.) dari bahan baku nektar yang disekresikan oleh bunga atau bagian lain
tanaman setelah melalui proses fisikokimia. Madu telah digunakan sebagai
bahan pangan dan obat sejak ribuan tahun lalu. Saat ini madu menjadi salah
satu komoditas internasional yang tingkat konsumsinya terus meningkat.
Madu dilaporkan mengandung tidak kurang dari 200 zat
(Escuredo, Silva, Valentão, Seijo & Andrade 2012) dengan komponen
utamanya terdiri dari campuran beberapa jenis karbohidrat, khususnya gula
sederhana, dan zat-zat lain dalam jumlah yang kecil seperti fenol, asam
organik, asam amino, protein, vitamin, mineral, dan lemak (White 1975).
Madu telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional. Madu
dilaporkan berperan dalam mengatasi penyakit pencernaan dengan
memberikan perlindungan terhadap radang usus akut (Ali 1995). Madu
juga telah lama diketahui memiliki efek anti mikroba yang diperoleh dari
senyawa fenol yang berasal dari tumbuhan yang menjadi sumber pakan
lebah madu (Gil, Ferreres, Ortiz, Subra & Tomãs-Barberãn 1995; Lee,
Churey & Worobo 2008).
Lebah madu memerlukan nektar dan serbuksari, masing-masing
untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein. Nektar dan serbuk sari
sebagian besar diperoleh dari bunga. Ketergantungan lebah madu kepada
nektar dan serbuk sari bunga menyebakan setiap madu yang dihasilkan
selalu mengandung butiran serbuk sari dan senyawa fitokimia sesuai asal
tumbuhan dari mana lebah madu mengumpulkan makanannya. Adanyanya
karakteristik tumbuhan di setiap bioregion menyebabkan polen dan
kandungan fitokimia di dalam madu memilik karakteristik sesuai jenis
tumbuhan yang ada di setiap bioregionnya.
Indonesia adalah satu di antara 17 negara megabiodiversity dengan
sekitar 30.000 species tumbuhan atau sekitar 10% dari keseluruhan
tumbuhan di dunia (Margono, Potapov, Turubanova, Stolle & Hansen
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 279
2014). Menurut Dunggio dan Gunawan (2009), sedikitnya terdapat 47 tipe
ekosistem di Indonesia. Indonesia termasuk negara penghasil madu dengan
rata-rata produksi sekitar 4000-8000 ton per tahun. Sebagian besar
merupakan hasil dari lebah hutan (Apis dorsata) yang penyebarannya
meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Bentang alam yang sangat
bervariasi dari Sumatra hingga Papua menjadikan setiap bioregion dan
ekosistem hutan menghasilkan madu yang khas sesuai dengan karakteristik
tumbuhan yang mendominasi wilayah tertentu.
Dalam beberapa kasus, kekhasan madu asal suatu daerah
memberikan keuntungan dan nilai tambah yang tidak sedikit, khususnya
untuk madu yang dinilai konsumen memiliki kelebihan tertentu. Contohnya
madu pelawan dari Bangka-Belitung dan madu putih dari Sumbawa. Kedua
jenis madu ini tidak saja dikenal dan diminati masyarakat di wilayahnya,
tetapi juga masyarakat dari daerah lain. Harga jualnya pun di atas rata-rata
harga madu pada umumnya. Bahkan, harga madu pelawan berkali lipat
dibanding madu yang lain, meskipun madu ini berasa pahit. Dari luar
negeri, produk madu yang terkenal dan memiliki nilai jual tinggi di
antaranya adalah madu manuka dari Selandia Baru (Atrott & Henle 2009)
dan madu sidir dari Yaman dan Saudi Arabia (Alqurashi, Masoud &
Alamin 2013). Selain itu, masih banyak lagi jenis madu yang beredar di
Indonesia yang dikenali masyarakat dari asal daerah atau pun jenis
tanamannya, seperti madu riau, madu lampung, madu kalimantan, madu
amfoang, madu arab, madu australia, madu rambutan, madu klengkeng,
madu randu, madu pulas, dan lain-lain (Suranto 2004, 2007). Minat dan
preferensi konsumen terhadap madu tertentu seperti di atas mendorong
produsen mencantumkan nama jenis madu dalam strategi pemasarannya
untuk tujuan menarik pembeli dan meningkatkan nilai jual. Namun, di sisi
lain, preferensi konsumen dan nilai jual tinggi pada produk madu tertentu
membawa konsekuensi pada potensi pemalsuan. Hal ini pula yang
disinyalir terjadi pada madu pelawan (Radar Bangka Online 2012). Peluang
terjadinya pemalsuan cukup besar mengingat harga jual madu pelawan
sangat tinggi dan permintaan pasar cukup besar, namun produksinya
terbatas.
280| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
III. KARAKTERISTIK MADU DAN PERANGKAT ANALISISNYA
Sifat khas madu dicirikan oleh kandungan serbuk sari dan sifat
fisikokimia madu, antara lain warna, kejernihan, viskositas, kandungan
fenol, dll. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh jenis tumbuhan yang menjadi
sumber pakan lebah. Mengingat setiap bioregion secara ekologis memiliki
kekhasan pada jenis tumbuhan penyusunnya, maka madu yang berasal dari
bioregion tertentu akan memiliki karakteristik spesifik sesuai dengan
sumber pakan yang ada di bioregion tersebut.
Lebah madu mengumpulkan nektar dan serbuk sari di sekitar sarang
sampai dengan jarak tertentu sesuai kemampuan terbangnya. Proporsi
nektar pembentuk madu menjadi sangat bervariasi tergantung kepada tipe
vegetasi dan musim pembungaan. Komposisi utama madu tergantung
kepada jenis tumbuhan yang dominan menjadi sumber pakan lebah madu
(Moussa, Noureddine, Saad, Abdelmalek & Salima 2012). Oleh sebab itu
komposisi kimia dan sifat madu bervariasi antar jenis madu yang berbeda
(Ruoff 2006).
Perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik madu pada setiap jenis
madu yang berbeda asal tumbuhannya memungkinkan dikembangkannya
tata cara pengenalan asalusul madu berdasarkan karateristiknya masing-
masing. Secara tradisional, pengenalan asalusul madu telah dilakukan
melalui uji jenis serbuk sari di dalam madu (melissopalynology) (Anklam
1998). Metode ini didasarkan pada adanya perbedaan bentuk, ukuran dan
ornamen lainnya pada serbuk sari masing-masing jenis tumbuhan berbunga
(Shubharani, Roopa & Sivaram 2013). Metode lainnya yaitu menggunakan
pendekatan analisis fisikokimia.
A. Melissopalynology
Mellisopalynology adalah cabang dari ilmu palynology yang khusus
mempelajari serbuk sari di dalam madu atau serbuk sari yang menjadi
sumber pakan lebah madu. Adapun palynology adalah cabang ilmu yang
berhubungan dan digunakan untuk mempelajari serbuk sari, spora, dan
bahan mikroskopis lainnya, baik yang masih hidup maupun memfosil.
Serbuk sari hampir selalu ada di dalam madu, baik madu yang berasal
dari nektar bunga maupun yang berasal dari nektar ekstra flora dan madu
embun (honey dew). Karena itu analisis serbuk sari menjadi sangat penting
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 281
di dalam kegiatan pengendalian mutu madu karena butiran serbuk sari di
dalam madu dapat menjadi petunjuk dari mana dan lingkungan seperti apa
madu tersebut berasal. Analisis serbuk sari juga dapat digunakan untuk
menentukan jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan lebah madu dan
dari mana asalusul madu. Selain itu, analisis serbuk sari dapat memberikan
informasi lain seperti, kemungkinan adanya pencampuran, adanya filtrasi
atau penyaringan serbuk sari, adanya fermentasi, dan adanya cemaran oleh
benda-benda mikroskopis (Von Der Ohe, Persano Oddo, Piana, Morlot &
Martin 2004).
Melissopalynology diusulkan sebagai pendekatan ilmiah untuk
analisis madu oleh International Commission for Bee Botany (ICBB) dan
dipublikasikan pada tahun 1978. Metode ini secara rinci dielaborasi oleh
Louveaux, Maurizio & Vorwohl (1978), mencakup hal-hal yang berkaitan
dengan (1) lingkup analisis mikroskopis madu, (2) aplikasi di lapangan, (3)
analisis mikroskopis secara kualitatif, (4) analisis mikroskopis secara
kuantitatif, dan (5) pembuatan preparat rujukan. Prinsip kerja metode ini
adalah analisis mikroskopis untuk mengidentifikasi jenis-jenis serbuk sari
di dalam madu berdasarkan karakteristiknya serta untuk menentukan
kuantitas masing-masing jenis serbuk sari. Serbuk sari bunga memiliki
bentuk dan ukuran tertentu sehingga memungkinkan untuk membedakan
antar famili, genus, atau bahkan antar jenis tumbuhan berdasarkan
pengamatan mikroskopis (Nolan 1998).
Informasi yang diperoleh dari pengamatan mikroskopis akan
diinterpretasikan dan digunakan untuk menentukan asalusul madu, baik
dalam konteks geografis (daerah asal madu) maupun jenis tumbuhan
(species tumbuhan yang menjadi sumber nektar). Secara geografis, asal
madu dapat diketahui dari adanya serbuk sari dengan karakteristik tertentu
yang khas dari suatu wilayah. Kehadiran jenis atau kombinasi jenis serbuk
sari di dalam madu seringkali spesifik untuk wilayah dan kondisi ekosistem
tertentu. Hal ini karena ragam jenis serbuk sari di dalam madu bergantung
kepada kondisi lingkungan dan pembungaan tumbuhan yang menjadi
sumber pakan lebah. Sedangkan untuk mengetahui jenis tumbuhan yang
menjadi sumber utama dari mana madu berasal yaitu berdasarkan frekuensi
serbuk sari jenis tertentu di dalam madu. Misalnya, madu dikategorikan
282| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
sebagai unifloral (berasal dari satu jenis tumbuhan) yaitu apabila memiliki
kandungan serbuk sari dari jenis tertentu sebanyak lebih dari 45%
(Maurizio 1975; Von Der Ohe et al. 2004).
Penggunaan metode mellissopalynology untuk analisis asalusul dan
jenis madu memiliki beberapa keterbatasan. Tidak semua jenis madu
tergolong unifloral sehingga pada kondisi di mana serbuk sari tertentu
persentasenya di dalam madu sangat tinggi atau (sebaliknya) sangat rendah
dari rata-rata pada umumnya maka diterminasi asalusul madu menjadi
berkurang validitasnya (Molan 1998). Peringatan akan adanya potensi
kesalahan dalam penarikan kesimpulan sudah dikemukakan oleh Louveaux
et al. (1978), baik pada kasus yang kehadiran serbuk sarinya berlebihan
(over-represented pollens) maupun yang justru sangat kurang (under-
represented pollens), terutama untuk jenis madu yang berasal dari nektar
ekstra flora pada jenis tumbuhan tertentu yang tidak menghasilkan serbuk
sari. Dalam kondisi di mana terdapat anomali pada representasi serbuk sari
di dalam madu seperti di atas maka diperlukan pengujian karakteristik
lainnya untuk dapat meningkatkan akurasi dalam pengambilan kesimpulan
mengenai asalusual suatu produk madu. Sifat fisikokimia adalah
karakteristik lain dari madu yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
asalusul suatu produk madu (Louveaux et al. 1978; Molan 1998; Von Der
Ohe et al. 2004).
B. Fisikokimia Madu
Madu sangat beragam dari sisi aroma, rasa, dan warna. Fitur-fitur
tersebut seringkali berhubungan dengan karakteristik madu dari bunga
tertentu. Madu yang berasal dari bunga yang sama biasanya memiliki
kesamaan fitur, baik aroma, rasa, maupun warna. Keunikan komponen
kimia dari masing-masing jenis madu menyebabkan adanya kekhasan pada
aroma, rasa dan warna setiap jenis madu. Beberapa komponen kimia telah
dibuktikan sebagai zat yang bertanggung jawab kepada kekhasan aroma
pada jenis madu tertentu (Molan 1998). Tidak jarang juga terdapat zat
kimia yang hanya ada pada madu tertentu dan tidak terdapat pada jenis
madu yang lainnya.
Penggunaan komponen kimia madu sebagai penanda asal bunga,
menurut Molan (1998), memiliki dua kelemahan, terutama apabila hanya
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 283
menggunakan satu senyawa sebagai alat analisisnya. Kelemahan pertama
yaitu masih banyaknya jenis madu yang belum dianalisis sehingga masih
ada kemungkinan adanya kesamaan dengan senyawa yang akan digunakan
sebagai penanda untuk jenis madu tertentu. Kelemahan ke dua yaitu
terdapat variasi yang cukup lebar pada senyawa kimia penanda tertentu
pada setiap jenis madu. Karena itu, menurut Molan (1998), penggunaan
sebanyak mungkin komponen kimia penanda akan lebih potensial dari pada
hanya menggunakan komponen tunggal.
Berbagai komponen kimia yang potensial sebagai penanda untuk
penentuan karakteristik dan asalusul madu di antaranya adalah jenis
mineral (Fernández-Torres, Pérez-Bernal, Bello-López, Callejón-Mchón,
Jiménez-Sánchez & Guiraúm-Pérez 2005), senyawa volatil (Radovic,
Careri, Mangia, Musci, Gerboles & Anklam 2001; Stanimirova et al.
2010), phenol (Escuredo, Silva, Valentão, Seijo & Andrade 2012),
flavonoid (Tomás-Barberáns, Martos, Ferreres, Radovic & Anklam 1993),
keasaman, electrical conductivity, dll.
IV. PERAN INFORMASI KARAKTERISTIK MADU BAGI
KONSUMEN
Kejelasan asalusul suatu produk sudah menjadi isu penting di
dalam perdagangan produk pangan di negara-negara maju. Di Eropa, isu ini
telah berbuah regulasi yang mengharusnya pencantuman asalusul dan
kandungan utama suatu produk makanan dengan tujuan untuk menjamin
kualitas, keamanan, dan keasliannya (Stanimirova et al. 2010). Di
Indonesia, kewajiban mencantumkan asalusul produk pangan belum diatur
secara tegas, baik di dalam UU no. 7 tahun 1996 tentang Pangan maupun
aturan turunannya yaitu PP nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan. Meskipun demikian, UU nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen wewajibkan kepada setiap pelaku usaha untuk
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
Walaupun UU 7/1996 telah mengatur agar proses produksi dan
perdagangan produk pangan harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
dan gizi bagi kepentingan kesehatan dan perdagangan pangan harus
284| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dilakukan dengan jujur dan bertanggung jawab, dan UU 8/1999
mewajibkan adanya kebenaran, kejelasan, dan kejujuran mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, namun masih adanya sinyalemen
beredarnya madu palsu di Indonesia menandakan bahwa masih ada
produsen yang abai dan tidak taat aturan. Oleh karenanya diperlukan
pengawasan yang saksama terhadap produk madu agar konsumen tidak
dirugikan dari segi ekonomi maupun kesehatan. Untuk itu dibutuhkan
adanya standar dan prosedur pengujian yang dapat secara efektif
mendeteksi kemungkinan adanya kecurangan dan ketidaksesuaian dengan
asalusul, spesifikasi, dan mutu suatu produk madu.
Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia untuk produk
madu. Standar yang berlaku saat ini yaitu SNI No. 01 3545-2013. Standar
ini menetapkan persyaratan mutu, pengambilan contoh, cara uji higiene,
penandaan dan pengemasan untuk madu. Dengan demikian standar dan
cara uji pada SNI hanya memungkinkan untuk mengetahui keaslian dan
mutu madu, namun tidak dapat digunakan untuk mengetahui jenis dan
asalusul madu. Karena itu potensi adanya penipuan masih sangat mungkin
terjadi, misalnya pencatuman nama jenis/asalusul madu yang tidak sesuai
jenis/asalusul madu yang sesungguhnya.
Sampai saat ini belum tersedia pedoman dan atau perangkat yang
dapat menditeksi jenis madu, sehingga pilihan konsumen sepenuhnya
bergantung kepada kejujuran produsen. Oleh sebab itu penyusunan data
dasar karakteristik madu Indonesia sangat penting dilakukan untuk
melengkapi upaya perlindungan konsumen dalam mendapatkan haknya,
yaitu barang yang asli, bermutu baik, dan sesuai dengan pilihannya.
Adanya informasi karakteristik madu dari berbagai bioregion di Indonesia
akan dapat menjadi bahan rujukan dalam pengujian dan penentuan asalusul
dan jenis madu.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 285
V. PENUTUP
Madu adalah produk pangan alami yang diperdagangkan secara
luas di dalam dan luar negeri. Variasi jenis madu yang beragam dari segi
rasa, warna, dan aroma telah membentuk preferensi konsumen pada jenis
madu tertentu. Tidak jarang, preferensi konsumen juga dibangun oleh
adanya sugesti dan keyakinan akan khasiat dari madu tertentu.
Preferensi konsumen pada suatu produk, dalam banyak contoh,
mampu memperbesar volume perdagangan dan menaikan harga jual
produk tersebut. Namun, adanya pengaruh positif tidak jarang diikuti oleh
dampak negatif berupa pemalsuan dan penipuan. Apabila terjadi pada
produk madu, maka konsumen tidak hanya akan dirugikan oleh karena
tidak mendapatkan jenis produk sesuai pilihan yang diinginkan, tetapi juga
beresiko mengalami gangguan kesehatan apabila upaya
penipuan/pemalsuannya menggunakan bahan-bahan yang tidak dibenarkan.
Uraian di atas mempertegas pentingnya perlindungan konsumen
untuk memastikan madu yang beredar dan dikonsumsi masyarakat bermutu
baik dan tidak ada unsur pemalsuan/penipuan di dalamnya. Untuk itu
dibutuhkan perangkat yang memungkinkan untuk menguji kebenaran
asalusul, keaslian produk dan kualitas madu sehingga konsumen terjamin
hak-haknya. Dalam konteks inilah data dasar karakteristik madu Indonesia
ditemukan signifikansinya sebagai bahan rujukan untuk pengujian asalusul
dan jenis madu untuk mendampingi SNI Madu No. 3545: 2013 yang hanya
mengatur standar mutu dan keaslian madu.
DAFTAR PUSTAKA
Ali ATMM. 1995. Natural honey exerts its protective effects against
ethanol-induced gastric lesions in rats by preventing depletion of
glandular nonprotein sulfhydryls. Tropical Gastroenterology 16:18-
26.
Alqurashi AM, Masoud EA & Alamin MA. 2013. Antibacterial activity of
Saudi honey against Gram negatif bacteria. Journal of Microbiology
and Antimicrobial 5(1): 1-5. DOI: 10.5897/JMA2012.0235.
286| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Anklam E. 1998. A review of the analytical methods to determine the
geographical and botanical origin of honey. Food Chemistry 63(4):
549-562.
Atrott J & Henle T. 2009. Methylglyoxal in manuka honey – correlation
with antibacterial properties. Czech J. Food Sc. 27 (special issue):
S163-165.
Dunggio I & Gunawan H. 2009. Telaah sejarah kebijakan pengelolaan
taman nasional di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
6(1): 43-56.
Escuredo O, Silva LR, Valentão P, Seijo MC & Andrade PB. 2012.
Assessing Rubus honey value: Pollen and phenolic compounds
content and antibacterial capacity. Food Chamistry 130: 671-678.
Fernández-Torres R., Pérez-Bernal J., Bello-López M., Callejón-Mchón
M., Jiménez-Sánchez J. & Guiraúm-Pérez A. 2005. Mineral content
and botanical origin of Spanish honeys. Talanta 65: 686-691.
Gil M.I., Ferreres F., Ortiz A., Subra E., & Tomãs-Barberãn FA. 1995.
Plant phenolic metabolites and floral origin of rosemary honey. J.
Agric. and Food Chemis. 43: 2833-2838.
Lallanilla M. 2013. ‘honey laundering’ an international scandal, experts
say. LiveScience, March 19, 2013. Website:
http://www.livescience.com/28039-honey-laundering.html. Diakses
tanggal 20 Desember 2013.
Leake J. 2013. Food fraud buzz over fake manuka honey. The Times, edisi
online 26 Agustus 2013. Website:
http://www.theaustralian.com.au/news/world/food-fraud-buzz-over-
fake-manuka-honey/story-fnb64oi6-1226704038619. Diakses
tanggal 2 Januari 2014.
Lee H., Churey JJ., & Worobo RW. 2008. Antimicrobial activity of
bacterial isolates from different floral sources of honey. International
J. Food Microbiol. 126: 240-244.
Louveaux J, Maurizio A & Vorwohl G. 1978. Methods of
mellissopalynology. Bee World 59: 139-157.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 287
Margono BA, Potapov PV, Turubanova S, Stolle F & Hansen MC. 2014.
Primary forest cover loss in Indonesia over 2000-2012. Nature
Climate Change. DOI 10.1038/NCLIMATE2277.
Maurizio A. 1975. Microscopy of honey. Dalam Crena E (ed.): Honey, a
comprehensive survey. Heinemann; London, UK.
Moussa A., Noureddine D., Saad A., Abdelmalek M. & Salima B. 2012.
The influence of botanical origin and physico-chemical parameters
on antifungal activity of Algerian honey. J Plant Phatol Microb 3:
132. Doi: 10.4172/2157-7471.1000132.
Molan P. 1998. The limitation of the metods of identifying the floral source
of honeys. Bee World 79(2): 59-68.
Radar Bangka Online. 2012. Jangan Palsukan Madu Pelawan. Kamis 01
November 2012. Website: https://id.berita. yahoo.com/madu-
pelawan-kian-sulit-dicari-073412620.html. Diakses tanggal 15
September 2014.
Radovic BS., Careri M., Mangia A., Musci M., Gerboles M. & Anklam E.
2001. Contribution of dynamic headspace GC-MS analysis of aroma
compounds to authenticity testing of honey. Food Chemistry 72:
511-520.
Ruoff, K. 2006. Authentication of the Botanical Origin of Honey. Ph D
Desertation, ETH Zurich.
Schneider A. 2011. Asian honey, banned in Europe, is flooding US grocery
shelves. FDA has the laws needed to keep adulterated honey off
store shelves but does little, honey industry says. Food Safety News,
Aug 15, 2011. http://www.foodsafetynews.com /2011/08/honey-
laundering/ Diakses tanggal 16 Juli 2012.
Shubharani R, Roopa P & Sivaram V. 2013. Pollen morphology of selected
bee forage plants. Global Journal of Bio-science and Biotechnology
2(1): 82-90.
Stanimirova I, Üstün B, Cajka T, Riddelova K, Hajslova J, Buydens LMC
& Walczak B. 2010. Tracing the geographical origin of honeys
based on volatile compounds profiles asessment using pattern
recognition techniques. Food Chemistry 118: 171-176.
288| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Suranto A. 2004. Khasiat dan manfaat madu herbal. Agro Media Pustaka,
Jakarta.
Suranto, A. 2007. Terapi madu. Penerbit Penebar Plus, Jakarta.
Tomás-Barberáns FA., Martos I., Ferreres F., Radovic BS. &Anklam E.
1993. HPLC flavonoid profiles as markers for the botanical origin of
European unifloral honeys. Journal of the Science of Food and
Agriculture 81: 485-496.
Von Der Ohe W, Persano Oddo L, Piana ML, Morlot M & Martin P. 2004.
Harmonized methods of mellissopalynology. Apidologie 35(S): 18-
25.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 289
ETNOBOTANI TUMBUHAN HUTAN BERKHASIAT OBAT
MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI KABUPATEN KOTABARU
PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
Syaifuddin1, Sudin Panjaitan
2, Edi Suryanto
3, Nur Muchammad Azizi
Kurniawan4, Siska Fitriyanti
5
1,2,3Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Jl. A. Yani Km.28,7 Gn. Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru 4,5
Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Banjarmasin
Email:[email protected]
ABSTRAK
Tumbuhan hutan berkhasiat obat termasuk dalam salah satu Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK). Tumbuhan hutan berkhasiat obat sudah digunakan masyarakat
sekitar hutan sejak jaman dulu dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke
generasi secara lisan. Salah satunya masyarakat di Kabupaten Kotabaru
Propinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena itu perlu adanya kajian etnobotani
tumbuhan berkhasiat obat, agar ilmu pengobatan tradisional yang dimiliki
masyarakat setempat tetap lestari. Penelitian ini dilakukan di 3 Desa, yaitu
Desa Sebelimbingan, Gunung Sari, dan Megasari. Metode yang digunakan
adalah survey eksploratif dan metode Participatory Rural Appraisal.
Penentuan sampel menggunakan metode Pusposive Sampling. Data dianalisis
secara deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa di
Kabupaten Kotabaru terdapat tumbuhan berkhasiat obat sebanyak 24 spesies
dan 20 famili. Dari 24 spesies, penggunaan dengan cara ditelan sebesar 75%,
penggunaan luar sebesar 17%, penggunaan luar dan ditelan sebesar 2%. Bagian
tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah akar sebesar 29%, buah
sebesar 21%, batang sebesar 17%, kulit batang sebesar 13%, daun sebesar 8%,
batang sebesar 8%, akar dan batang 4%.
Kata Kunci: Etnobotani, Tumbuhan hutan berkhasiat obat, Masyarakat sekitar
hutan
I. PENDAHULUAN
Tumbuhan hutan berkhasiat obat termasuk dalam salah satu Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) (Profound’s, 2014). Masyarakat sekitar hutan
memanfaatkan tumbuhan hutan berkhasiat untuk pengobatan. Salah
satunya adalah masyarakat di Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan
290| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Selatan. Tumbuhan hutan berkhasiat obat dimanfaatkan masyarakat sekitar
hutan sudah sejak jaman dulu untuk mengobati berbagai penyakit dengan
cara yang masih tradisional. Ilmu pengobatan tradisional biasanya dimiliki
oleh tabib atau tokoh masyarakat. Proses pewarisan ilmu pengobatan
tradisional dari generasi ke generasi diwariskan secara lisan (CIFOR, 2007)
dan (Noorcahyati, 2011). Namun demikian, pengetahuan tentang
pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat semakin berkurang. Sehingga
pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat oleh masyarakat saat ini juga
semakin berkurang (Noorcahyati, 2011). Selama ini belum pernah
dilakukan kajian etnobotani tumbuhan hutan berkhasiat obat di Kabupaten
Kotabaru. Oleh karena itu perlu adanya kajian etnobotani tumbuhan hutan
berkhasiat obat, agar ilmu pengobatan tradisional di Indonesia khususnya
yang dimiliki masyarakat Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan
Selatan terhindar dari kepunahan.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan April
2014 di tiga desa yaitu Desa Sebelimbingan, Desa Gunung Sari, dan Desa
Megasari Kecamatan Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, Propinsi
Kalimantan Selatan. Desa-desa tersebut dipilih karena berada disekitar
hutan. Metode yang digunakan adalah survey eksploratif dan metode
Participatory Rural Appraisal, yaitu orientasi proses pengkajian pada
keterlibatan masyarakat dan berperan aktif dalam penelitian
(Kandowangko, 2011). Penentuan sampel (informan) menggunakan
metode Purposive Sampling. Informan merupakan masyarakat yang berada
di sekitar kawasan hutan yang dianggap mengetahui tumbuhan hutan
berkhasiat obat atau yang mempunyai ilmu pengobatan tradisional
(Setiawan, 2005). Pengumpulan data dengan menggunakan teknik
wawancara. Data yang dikumpulkan yaitu jenis-jenis tumbuhan hutan apa
saja yang berkhasiat obat, bagian yang digunakan, jenis penyakit yang
diobati, dan bagaimana cara penggunaannya oleh masyarakat setempat.
Setelah pengumpulan data, dilakukan pengkoleksian herbarium tumbuhan
hutan berkhasiat obat yang diambil dari lokasi tumbuh alaminya dengan
didampingi oleh informan. Kemudian dilakukan identifikasi berdasarkan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 291
morfologi dan fisiologinya dengan menggunakan buku kunci determinasi
dan studi literatur untuk mengetahui nama latinnya. Data dianalisis secara
deskriptif kualitatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa
Sebelimbingan, Desa Gunung Sari, dan Desa Megasari Kecamatan Pulau
Laut Utara Kabupaten Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan, diperoleh 24
spesies dan 20 famili tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh
masyarakat. Hasil bisa dilihat pada Tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 1. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat
Desa Sebelimbingan
No Nama Lokal Famili Kegunaan
Bagian
yang
digunakan
Cara
penggunaan
1 Bayur (Pterosper
mum sp.)
Ster. Anti Nyamuk Getah
batang
Dioleskan ke
badan
2 Jengkol bajing
(Archiden
dron sp.)
Mimo. Melancar kan
BAB
Buah Dimasak,
dimakan
3 Kalangkala
(Litsea gra
ciae)
Anac.
Melancar kan
persalinan
Akar Akar direbus
dengan air,
diminum
penawar bisa
ular
Kulit akar Kulit akar
diserut,
tempelkan di
bagian yang
digigit ular
4 Kujajing (Ficus
sp.)
Mora. obat panas
dalam
Batang Batang
dipotong,
ditiriskan, air
tirisannya
diminum
5 Lupun (Poikilos
permum sp)
Secrop. Kanker Akar Direbus
bersama jeruk
nipis, air
rebusan
diminum
6 Nanasian
(Saurauria sp.)
Acti. Sakit Ginjal Daun Direbus, air
rebusan
diminum
292| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama Lokal Famili Kegunaan
Bagian
yang
digunakan
Cara
penggunaan
7 Sumbabi
(Saurauria sp.)
Acti. Anti bisa Kulit
batang
Diusapkan ke
bagian yang
terkena bisa
8 Tawar-tawar
(Costus
spiralis)
Cost. Panas dalam Air batang Potong bagian
batang 10 cm
dari pucuk,
tampung air
yang keluar
kemudian
diminum
9 Ulur-ulur
(Tetrastigma
sp.)
Vita. Luka Getah
akar
Kulit akar
dikelupas,
getahnya
dioleskan ke
bagian yang
luka
Sumber: Data Primer, diolah 2014
Tabel 2. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat
Desa Gunung Sari
No Nama Lokal Famili Kegunaan
Bagian
yang
digunakan
Cara
penggunaan
1 Akar kuning
(Arcangelisia
flava)
Menis. Obat sakit
kuning
Akar Akar direbus
dengan air,
diminum airnya
2 Ampelas
kijang
(Tetracera
fagifolia)
Dill. Obat batuk Batang Batang
dipotong, air
batang
ditiriskan,
kemudian
diminum
3 Baywan
(Saraca
indica)
Caes. Obat sakit
perut
Kulit
batang
Kulit batang
direbus dalam
buluh bambu,
airnya diminum
4 Bangkal
(Neolitsea
sp.)
Laur. Campuran
bedak dingin
untuk mengha
luskan kulit
Kulit
batang
Kulit batang
dihaluskan,
dicampur
dengan bedak
dingin
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 293
No Nama Lokal Famili Kegunaan
Bagian
yang
digunakan
Cara
penggunaan
5 Paririk
(Calathea sp)
Marant. Pencegah bisul Buah Langsung
ditelan
6 Limpasu
walang
(Baccaurea
javanica)
Euph. Penawar racun Akar Akar dikunyah,
dihisap sarinya
Sumber: Data Primer, diolah 2014
Tabel 3. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat
Desa MegaSari
No Nama Lokal Famili Kegunaan
Bagian
yang
digunakan
Cara penggunaan
1 Carikan darah
(Agelaea
macrop hylla)
Faba. Diare Air batang Batang dilukai/
dipotong, air
yang keluar dari
batang kemudian
diminum
Luka Getah
batang
Getah dioleskan
ke bagian yang
luka
2 Jawaling (Clau
sena sp.)
Ruta. Maag Daun Haluskan,
dimakan
3 Kantut-kantut
(Lasianthus
sp.)
Rubi. Obat flu,
dan sakit
kepala
Akar Akar dipotong,
air akar
ditiriskan,
kemudian
diminum
4 Kem bang
kuluman
Aster Sakit perut
& Masuk
angin
Akar Direndam, air
rendaman
diminum
5 Marawali
(Litsea sp)
Laur. Obat bau
badan
Akar Akar direbus
dengan air,
diminum airnya
6 Patiti pitukun
(Amomum sp.)
Zing. Diare Buah Dimakan (tanpa
diolah)
7 Patiti jarum
(Amomum sp.)
Zing. Diare Buah Dimakan (tanpa
diolah)
294| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama Lokal Famili Kegunaan
Bagian
yang
digunakan
Cara penggunaan
8 Patiti buah
ujung
(Amomum
sp.).
Zing. Diare Buah Dimakan (tanpa
diolah)
9 Sabui Flac. Menghindari
keracunan
pada ibu
pasca
melahirkan
Akar &
Batang
Direndam, air
rendaman
diminum
Sumber: Data Primer, diolah 2014
Berdasarkan hasil di atas, ada dua tumbuhan hutan berkhasiat obat
yang dikenal masyarakat dengan nama kembang kuluman dan sabui, hanya
diketahui familinya namun tidak diketahui nama latinnya.
Gambar 1. Habitus tumbuhan hutan berkhasiat obat
Dari 24 spesies tumbuhan hutan berkhasiat obat, sebanyak 10 spesies
habitusnya pohon, 8 spesies semak belukar, 5 spesies merambat berkayu,
dan 1 spesies merambat.
0
2
4
6
8
10
12
Pohon Semak Belukar
Merambat berkayu
Merambat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 295
Gambar 2. Penggunaan tumbuhan berkhasiat obat
Dari cara penggunaan, penggunaan dengan cara oral sebesar 75%,
penggunaan untuk obat luar sebesar 17%, dan penggunaan oral dan obat
luar sebesar 2%.
Gambar 3. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat
Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah pada bagian akar
yaitu sebesar 29%, selanjutnya pada bagian buah sebesar 21%, batang
sebesar 17%, kulit batang sebesar 13%, daun sebesar 8%, batang sebesar
8%, dan yang terakhir pada bagian akar dan batang sebesar 4%.
Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang sering digunakan
masyarakat untuk pengobatan tradisional, mereka tanam di pekarangan
rumah. Contohnya seperti kembang kuluman. Masyarakat sering terkena
sakit perut dan masuk angin, untuk mengobatinya dengan meminum air
rendaman akar tumbuhan kembang kuluman. Agar tidak sulit mencari
tumbuhan kembang kuluman ke hutan, maka masyarakat menanamnya di
0%
20%
40%
60%
80%
Oral Obat luar Oral dan obat luar
0%
10%
20%
30%
40%
296| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pekarangan rumah. Tumbuhan hutan berkhasiat obat lainnya seperti
jengkol bajing, bayur, ulur-ulur, patiti pitukun, patiti jarum, patiti buah
ujung, marawali, dan kantut-kantut juga ditanam masyarakat di pekarangan
rumah.
Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang ditemukan di Kabupaten
Kotabaru, beberapa jenis ditemukan dan dimanfaatkan juga oleh
masyarakat sekitar hutan di daerah lain di Propinsi Kalimantan Selatan.
Seperti yang ada pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang ditemukan di Kabupaten
Kotabaru, ditemukan juga di daerah lain di Propinsi Kalimantan
Selatan
No Nama Lokal Nama Latin Lokasi ditemukan
1 Akar
kuning/Arau
Arcangelisia
flava
- Desa Kiyu, dan Desa Hinas
Kiri Kab. Hulu Sungai Tengah
- Desa Misim, Kab. Tabalong
2 Ampelas kijang Tetracera
fagifolia
Desa Riam Adungan, Kab.
Tanah Laut
3 Baywan Saraca indica Desa Kiyu, dan Desa Hinas Kiri
Kab. Hulu Sungai Tengah
4 Carikan darah Agelaea
macrophylla
Desa Kiyu, dan Desa Hinas Kiri
Kab. Hulu Sungai Tengah
5 Jawaling/Jualing/
Kayu tuyung
Clausena
excavata
- Desa Belangaian, Kab.
Banjar
- Desa Malinau, Kab. Hulu
Sungai Selatan
- Desa Kiyu, dan Desa Hinas
Kiri Kab. Hulu Sungai
Tengah
6 Kalangkala Litsea graciae Desa Riam Adungan, Kab.
Tanah Laut
7 Kantut-kantut Lasianthus sp. - Desa Riam Adungan, Kab.
Tanah Laut
- Desa Kiyu, Kab. Hulu Sungai
Tengah
8 Kujajing Ficus sp. Desa Kiyu, dan Desa Hinas Kiri
Kab. Hulu Sungai Tengah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 297
No Nama Lokal Nama Latin Lokasi ditemukan
9 Limpasu walang Baccaurea
javanica
- Desa Mayanau, Kab.
Balangan
- Desa Riam Adungan, Kab.
Tanah Laut
10 Marawali Litsea sp. - Desa Bitahan Baru, Kab.
Tapin
11 Tawar-tawar Costus spiralis - Desa Harakit, Kab. Hulu
Sungai Selatan
- Desa Hinas Kiri Kab. Hulu
Sungai Tengah
12 Ulur-ulur Tetrastigma
sp.
- Desa Kiyu, dan Desa Hinas
Kiri Kab. Hulu Sungai
Tengah
- Desa Ju’uh, Kab. Balangan
Sumber: Data Sekunder, (Karyono, 2012) dan (Nisa, 2013)
Berdasarkan dari data sekunder, ada kegunaan lain dari jawaling,
limpasu walang, tawar-tawar, dan ulur-ulur selain di Kabupaten Kotabaru.
Kegunaan lain dari jenis-jenis tersebut yaitu: tumbuhan jawaling (Clausena
excavata) di Desa Belangaian dimanfaatkan untuk obat sakit gigi, akarnya
dipotong kecil-kecil, kemudian dimasukkan ke gigi yang berlubang atau
ditempelkan ke gigi yang sakit. Sedangkan di Desa Kiyu, jawaling/kayu
tuyung digunakan untuk obat sakit kepala, caranya 7 lembar pucuk daun
diremas-remas, setelah itu ditempelkan di kepala. Jawaling bisa juga untuk
obat sakit pinggang, caranya akar jawaling direndam air putih dalam
wadah, kemudian diminum air rendamannya. Tumbuhan tawar-tawar
(Costus spiralis) dimanfaatkan masyarakat Desa Harakit untuk obat sakit
panas, caranya dengan meminum air rendaman akarnya. Tumbuhan ulur-
ulur (Tetrastigma sp.) di Desa Kiyu dimanfaatkan untuk mengobati sakit
ambeien, caranya buah ulur-ulur direbus dengan air sampai masak, setelah
itu buahnya dimakan dan airnya diminum. Yang terakhir, tumbuhan
limpasu walang (Baccaurea javanica) yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Desa Mayanau dan Desa riam adungan untuk melancarkan proses
melahirkan. Caranya, pada saat sebelum melahirkan meminum air
rendaman akar limpasu walang (Karyono, 2012) dan (Nisa, 2013).
298| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah didapatkan 24 spesies dan 20
famili tumbuhan hutan berkhasiat obat untuk pengobatan tradisional yang
digunakan oleh masyarakat sekitar hutan di Desa Sebelimbingan, Desa
Gunung Sari, dan Desa Megasari Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten
Kotabaru Propinsi Kalimantan Selatan. Selanjutnya perlu dilakukan
pengembangan dan studi lebih lanjut terhadap tumbuhan hutan berkhasiat
obat mengenai uji fitokimia, cara penggunaannya, dosis yang tepat, serta
keamanannya untuk dikonsumsi masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
CIFOR. (2007). Center of International Forestry Research. Infobrief. Mei
2007, No.11.
Kandowangko, N. Y., Solang, M., dan Ahmad, J. (2011). Kajian
Etnobotani Tanaman Obat Oleh Masyarakat Kabupaten
Bonebolango Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian. Jurusan
Biologi Universitas Negeri Gorontalo.
Karyono, A., Nisa, L. S., Lestari, F., dan Syaifuddin. (2012). Kajian
Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Kalimantan
Selatan. Laporan Akhir Penelitian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Karyono, A., Nisa, L. S., Lestari, F., dan Syaifuddin. (2012). Kajian
Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Kalimantan
Selatan (Lanjutan). Laporan Akhir Penelitian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Nisa, L. S., Kurniawan, N. M. A., Putryanda, Y., Syaifuddin, Suryanto, E.
(2013). Eksplorasi Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat. Laporan
Akhir Penelitian. Pembangunan Kebun Raya Daerah Kalimantan
Selatan. Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi
Kalimantan Selatan.
Noorcahyati, Arifin, Z., dan Ningsih, M. K., (2011). Potensi Etnobotani
Kalimantan Sebagai Sumber Penghasil Tumbuhan Berkhasiat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 299
Obat. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.
Balikpapan.
Profound’s, www.ntfp.org. Diakses tanggal 28 Juni 2014.
Setiawan, N. (2005). Diklat Metodologi Penelitian Sosial: Teknik
Sampling. Parung Bogor, 25-28 Mei 2005. Universitas
Padjadjaran.
300| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
DAYA ANTIMIKROBA KANTONG MADU Trigona sp
TERHADAP BAKTERI PATOGEN
Renita Yuliana dan Endang Sutariningsih
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
Email: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Penelitian produk Trigona sp difokuskan pada propolis sebagai antimikroba,
karena jumlah yang dihasilkan relatif lebih banyak daripada produk lain seperti
kantong madu. Kantong madu Trigona sp memiliki potensi sebagai bahan
antibiotik. Hal tersebut didukung dari penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa dalam kantong madu terdapat adanya senyawa flavonoid.
Potensi kantong madu untuk menghasilkan antimikroba sangat tinggi, sehingga
diperlukan penelitian untuk mendeteksi adanya antimikroba beserta
pengaruhnya terhadap bakteri patogen. Tujuan dari penelitian ini untuk
menganalisis aktivitas daya antimikroba kantong madu Trigona sp terhadap
mikroba patogen. Prosedur kerja dari penelitian ini adalah, ekstraksi kantong
madu, analisis populasi, deteksi daya antimikroba dan analisis senyawa
antimikroba kantong madu. Rancangan yang akan digunakan adalah rancangan
acak lengkap (RAL) dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan statistik parametrik One way ANOVA, dilanjutkan
dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hipotesis dari penelitian ini
adalah kantong madu Trigona sp mempunyai daya antimikroba yang bersifat
menghambat dan membunuh pertumbuhan mikroba patogen.
Kata kunci: antimikroba, kantong madu, Trigona sp, bakteri patogen
I. PENDAHULUAN
Lebah madu merupakan serangga dari ordo Hymenoptera yang
hidup berkoloni. Jenis lebah madu sangat beragam, salah satunya adalah
lebah madu Trigona sp (klanceng). Trigona sp dapat hidup di lingkungan
tropis dan sub tropis seperti Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Trigona
sp merupakan lebah madu yang tidak memiliki sengat (Stingless bee) untuk
mepertahankan diri seperti Apis sp. Produk komersial yang dihasilkan oleh
Trigona sp dengan jumlah terbanyak adalah propolis. Selain propolis,
Trigona sp menghasilkan produk lain seperti madu, royal jelly, polen,
beeswax dan venom.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 301
Propolis (bee glue) merupakan zat yang dihasilkan lebah madu
berasal dari getah tumbuhan sehingga menyebabkan propolis menjadi
lengket seperti lem. Propolis digunakan untuk mempertahankan sarangnya
dari predator maupun mikroba patogen. Propolis disebut sebagai antibiotik
alami karena memiliki kemampuan sebagai antimikroba dengan adanya
senyawa aktif sebagai antibakteri seperti asam ferulat dan senyawa aktif
sebagai antifungi yaitu pinocembrin.
Penelitian tentang propolis telah banyak dilakukan seperti penelitian
yang dilakukan oleh Sabir (2005) tentang aktivitas antibakteri flavonoid
propolis Trigona sp terhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro)
terbukti dapat menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans. Penelitian
tentang aktivitas antibakteri propolis yang diproduksi Trigona spp melawan
Cammpylobacter spp telah berhasil menghambat pertumbuhan bakteri pada
konsentrasi rata-rata 1,73% (w/w) (Fatoni, Artika, Hasan, Kuswandi.,
2008). Penelitian tentang efek sinergistik antimikroba dari Trigona
iridipennis dan bawang putih melawan isolat bakteri patogen klinis
menunjukkan ada pengaruh dalam menghambat pertumbuhan bakteri klinis
seperti Escherichia coli dan Salmonella sp (Andualem, 2013).
Penelitian pencarian antimikroba terhadap hasil peternakan Trigona
sp selain propolis terus dilakukan, salah satunya adalah pada produk
kantong madu. Kantong madu Trigona sp berbentuk bulat yang digunakan
sebagai tempat produksi madu. Kantong madu dapat mempengaruhi
kualitas madu yang dihasilkan jika terkontaminasi mikroba patogen.
Kondisi sarang lebah sangat mempengaruhi kualitas madu yang dihasilkan
oleh lebah madu. Madu dapat mengalami penurunan kualitas dan tidak
layak untuk dikonsumsi disebabkan karena keberadaan bakteri tertentu
seperti Bacillus sp yang mendominasi pada sarang lebah madu (Perez,
Suarez E, Pena-Vera, Gonzalez, Vit P., 2013).
Kandungan senyawa yang menentukan kualitas madu seperti
flavonoid yang merupakan senyawa fenol alami terdapat pula pada kantong
madu (Wahyuni, Septiantina, Kurniawan., 2013). Kandungan senyawa
pada sarang lebah madu Trigona sp telah diteliti dan digunakan sebagai
antibakteri Streptococcus mutans (Sabir, 2005). Kelompok antibiotik
tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid, tylosin, erytromisin, lincomisin, dan
302| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kloramfenikol terdapat pada kantong madu (Reybroeck et al., 2012). Hal
tersebut menunjukkan bahwa kantong madu berpotensi digunakan sebagai
antibiotik untuk menekan sampai membunuh berbagai macam bakteri
patogen sehingga kualitas madu terjaga.
Potensi kantong madu sebagai sumber antimikroba menarik untuk
diteliti, sehingga dengan keberadaan antimikroba tersebut mempengaruhi
kualitas madu. Pengaruh yang diberikan antimikroba pada bakteri patogen
dapat diketahui dari aktivitas daya hambat dan daya bunuh senyawa
antimikroba yang terkandung didalam kantong madu. Selain adanya
antimikroba dalam kantong madu, keanekaragaman mikroba dalam
kantong madu perlu diteliti, sehingga penanganan dapat dilakukan untuk
menjaga kantong madu tetap dalam kondisi yang steril.
II. METODE PENELITIAN
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 100 gram
kantong madu Trigona sp yang berasal dari Pulau Lombok hasil panen
tahun2013 dan akuades steril 100 ml. Mikroba uji terdiri dari kultur murni
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans.
Media pertumbuhan mikroba terdiri dari NA (Natrium Agar) dan media
Potato Dextrose Agar (PDA). Media penentuan populasi mikroba terdiri
dari Plate Count Agar (PCA) dan PDA. Media uji antimikroba terdiri dari
Mueller Hinton Agar (MHA) dan PDA. Antimikroba pembanding yang
digunakan terdiri dari tetrasiklin 1% dan ketoconazole 1%. Pewarnaan
mikroba menggunakan satu set perangkat pengecatan gram. Senyawa yang
digunakan untuk uji fitokimia meliputi: methanol, NaOH, H2SO4 (pekat),
FeCl3 10%, ethanol, eter, pereaksi Lieberman buchard, kloroform, pereaksi
dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner, pereaksi Molisch dan
pereaksi benedict.
2. Alat
Alat yang digunakan berupa seperangkat alat gelas (glassware),
mikroskop (Nikon Eclipse E100), inkubator (Memmert type INB 500),
vortex mixer (Health),mikro pipet (Vitlab), neraca analitik (AND GF-
G100), pH meter (Merck), termohygrometer (extech), shaker (Heidolph
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 303
type unimax 2010), colony counter (Funke Gerber), blender (Miyako), dan
jarum ose.
3. Prosedur Kerja
Prosedur kerja dalam penelitian meliputi:
1. Pembuatan Ekstrak Kantong madu Madu Trigona sp
Kantong madu ditimbang 100 gram, dipotong-potong, kemudian
diblender dengan akuades steril sebanyak 100 ml. Kantong madu
disimpan selama 7 hari dengan diletakkan diatas shaker, kemudian
disaring dengan kertas saring dan corong steril untuk memisahkan filtrat
dari endapan/ ampas.
2. Analisis populasi mikroba
Analisis populasi mikroba dilakukan secara tidak langsung /indirect).
Sampel yang digunakan sebanyak 1 ml untuk pengenceran mulai dari
10-1
sampai dengan 10-5
. Sampel pada masing-masing pengenceran
diambil sebanyak 0,1 ml (100 µl) dikultur media PCA dan PDA secara
spead plate, diinkubasi pada suhu ±30oC selama 24 jam, kemudian
dilakukan pengamatan populasi mikroba. Pengamatan yang dilakukan
meliputi jumlah koloni mikroba dan pengamatan morfologi koloni yang
terdiri dari bentuk, warna, ukuran, tepian dan elevasi. Mikroba yang
tumbuh diwarnai menggunakan pengecatan Gram untuk bakteri.
Pengamatan secara mikroskopis meliputi: bentuk, warna, susunan, dan
sifat (gram + atau gram).
3. Deteksi daya antimikroba kantong madu
a. Pemurniakan Biakan Bakteri
Biakan murni Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa
ditumbuhkan pada NA, sedangkan Candida albicans ditumbuhkan
pada media PDA, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.
b. Uji Konsentrasi Hambat Minimum dan Uji Konsentrasi Bunuh
Minimum
Uji antimikroba menggunakan metode difusi dengan pembuatan
sumuran pada media uji. Uji KHM dan KBM dilakukan
menggunakan ekstrak kantong madu yang telah diperoleh pada
konsentrasi 1%, 10%, 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100% (v/v).
Antimikroba pembanding yang digunakan adalah tetrasiklin 1% dan
304| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ketoconazole 1%. Isolat mikroba diinokulasikan dalam NaCl 0,9%
steril, kemudian suspensi diambil sebanyak 100 µl. Suspensi
diinokulasikan kedalam media MHA dan PDA yang memiliki
ketebalan 0,5 cm (20 ml) dengan cara spread plate. Media yang telah
diinokulasikan suspensi mikroba dilubangi dengan diameter 0,9 cm
untuk membuat sumuran tempat memasukkan sampel kantong madu
dengan konsentrasi yang berbeda sebanyak 50 µl. Inkubasi pada suhu
37oC selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk merupakan hasil
positif adanya aktivitas antimikroba kemudian diukur diameternya.
4. Analisis Fitokimia Kantong Madu
a. Uji Senyawa Fenolik dan Flavonoid
1 ml sampel dilarutkan dengan metanol, kemudian dipanaskan sampai
dengan suhu 50oC. Filtrat ditambahkan dengan NaOH, hasil positif
ditunjukkan dengan warna merah jingga menunjukkan adanya fenolik
hidroquinon. Jika filtrat ditambahkan H2SO4 terbentuk warna merah,
menunjukkan adanya senyawa fenolik.
b. Uji Tanin
Uji tanin dilakukan dengan menambahkan 1 ml sampel dengan FeCl3
10%. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru hijau
kehitaman.
c. Uji Minyak Atsiri
Uji minyak atsiri dilakukan dengan melarutkan sampel dengan alkohol,
kemudian diuapkan sampai kering. Hasil postif ditunjukkan dengan
adanya bau aromatis yang spesifik.
d. Uji Triterpenoid dan Steroid
Uji triterpenoid dilakukan dengan cara memanaskan 1 ml sampel
dengan etanol, filtrat yang terbentuk diuapkan, kemudian ditambahkan
dengan eter. Lapisan eter ditambahkan dengan pereaksi Lieberman
Burchard (3 tetes asam asetat anhidrat ditambah dengan 1 tetes
H2SO4(p)). Hasil positif ditunjukkan dengan warna hijau kebiruan jika
mengandung steroid dan warna merah ungu jika mengandung
triterpenoid.
e. Uji Saponin
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 305
Uji saponin dilakukan dengan cara menggojog 1 ml sampel selama 5
menit. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya busa yang tidak
hilang selama ±15 menit.
f. Uji Alkaloid
Uji adanya senyawa alkaloid dengan cara melarutkan 1 ml sampel
dengan 2 ml kloroform, kemudian diasamkan dengan H2SO4 (p). Bagian
asam diambil kemudian ditambahkan dengan pereaksi Dragendorf, hasil
positif ditunjukkan dengan terbentuknya endapan, merah. Jika ditambah
pereaksi Mayer, hasil positif ditunjukkan dengan adanya endapan putih.
Jika ditambah pereaksi Wagner, hasil positif ditunjukkan dengan
terbentuknya endapan cokelat.
g. Uji Glikosida
Uji glikosida menggunakan pereaksi Molisch. Prosedur kerja uji ini
adalah: 2 ml sampel ditambah 3 tetes H2SO4 (p), biarkan selama 3
menit. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya cincin ungu
kemerahan.
h. Uji Gula Pereduksi
Uji adanya gula pereduksi menggunakan pereaksi benedict. Prosedur
kerja yang dilakukan adalah: 1 ml sampel ditambah dengan 2 ml reagen
benedict kemudian dipanaskan diatas bunsen hingga mendidih. Hasil
positif ditunjukkan dengan warna merah bata.
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di laboratorium
dianalisis dengan menggunakan statistik parametrik yaitu One way
ANOVA. Jika hasil ANOVA menunjukkan hasil yang signifikan,
dilanjutkan dengan uji least Significant Difference (LSD).
III. HIPOTESIS DAN HASIL SEMENTARA
1. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah kantong madu Trigona sp
mempunyai daya antimikroba yang bersifat menghambat dan membunuh
pertumbuhan mikroba patogen. Analisis populasi yang diharapkan tidak
terdapat mikroba patogen, jumlah mikroba yang hadir kurang dari 30
CFU/ml. Analisis senyawa antimikroba yang diharapkan adalah golongan
306| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
senyawa fenolik, senyawa flavonoid, senyawa tanin, triterpenoid dan
steroid, saponin, dan alkaloid.
2. Hasil Sementara
1. Aktivitas Antimikroba
Hasil penelitian sementara dengan sampel kantong madu yang
dipanen pada tahun 2013 menunjukkan bahwa kantong madu memiliki
aktivitas antimikroba, hal tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya zona
bening disekitar sampel kantong madu. Konsentrasi hambat minimum
(KHM) untuk mengetahui konsentrasi minimum dari antimikroba kantong
madu untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan konsentrasi bunuh
minimum (KBM) untuk membunuh mikroba. Konsentrasi hambat dan
konsentrasi bunuh minimum masing-masing isolat berbeda. Konsentrasi
hambat minimum Staphyllococcus aureus pada konsentrasi 1% dengan
diameter zona bening 9,5 mm, Pseudomonas aeruginosa pada konsentrasi
60% dengan diameter zona bening 11 mm dan Candida albicans pada
konsentrasi 80% dengan diameter zona bening 11,2 mm. Konsentrasi
bunuh minimum isolat pada konsentrasi 40% dengan diameter zona bening
pada isolat Staphyllococcus aureus sebesar 12 mm; Pseudomonas
aeruginosa pada konsentrasi 80% dengan diameter zona bening 17 mm dan
Candida albicans pada konsentrasi 80% 11,2 mm. Adanya perbedaan
aktivitas antimikroba dapat disebabkan oleh sifat isolat uji dan senyawa
aktif pada antibakteri. Diameter zona hambat pada masing-masing isolat
ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Diameter zona hambat isolat pada konsentrasi berbeda
Konsentrasi Staphyllococcus
aureus
Pseudomonas
aeruginosa
Candida
albicans
100% 1,6 1,75 1,23
80% 1,3 1,7 1,12
60% 1,25 1,1 0
40% 1,2 0 0
20% 1 0 0
10% 1 0 0
1% 0,95 0 0
Kontrol
positif 4 2,1 3,2
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 307
Secara umum, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan perbedaan
variasi aktivitas antimikroba. Semakin besar konsentrasi semakin besar
pula zona bening atau aktivitas antimikroba yang terbentuk. Jika
dibandingkan dengan antibiotik kontrol yaitu tetrasiklin dan ketoconazole,
ekstrak kantong madu memiliki aktivitas daya antimikroba yang lebih
rendah, yaitu lebih dari 20 mm. Aktivitas antimikroba kantong madu
terhadap Staphyllococcus aureus ditunjukkan pada gambar 1. Gambar 2
menunjukkan aktivitas antimikroba kantong madu terhadap Pseudomonas
aeruginosa, dan gambar 3 menunjukkan aktivitas antimikroba kantong
madu terhadap Candida albicans.
Gambar 1. Aktivitas antimikroba kantong Madu Terhadap
Staphyllococcus aureus
Gambar 2. Aktivitas antimikroba kantong Madu
Terhadap Pseudomonas aeruginosa
308| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Aktivitas antimikroba kantong Madu
Terhadap Candida albicans
Aktivitas daya antimikroba kantong madu Trigona sp diuji dengan
metode difusi sumur supaya sampel yang digunakan lebih banyak
dibanding dengan paper disk, metode ini juga lebih mudah digunakan.
Hasil positif adanya aktivitas antimikroba ditunjukkan dengan adanya zona
bening disekitar sumuran. Berdasarkan hasil pengamatan uji pendahuluan,
kantong madu memiliki potensi sebagai antimikroba. Kemampuan suatu
senyawa sebagai bahan antimikroba tergantung dari beberapa faktor
seperti konsentrasi yang digunakan, spesies bakteri, dan fase
perkembangan bakteri (Utami, E. 2012). Antibiotik yang digunakan
sebagai pembanding adlah tetrasiklin karera dalam spektrum luas bekerja
terhadap berbagai jenis bakteri, seperti bakteri gram positif dan gram
negatif, serta fungi (Rostinawati, 2009). Tetrasiklin yang digunakan dengan
konsentrasi 1 %. Antifungi yang digunakan sebagai pembanding adalah
ketoconazole 1% yang merupakan antifungi dalam pengobatan kandidiasis
yang disebabkan oleh Candida albicans (Susilo et al., 2011).
2. Analisis Populasi
Analisis populasi dilakukan menggunakan pengenceran dari 10-1
sampai dengan 10-5
, dikulturkan di media PCA dan PDA dengan metode
spread plate. Berdasarkan hasil sementara didapatkan jumlah populasi
mikroba yang berbeda pada masing masing pengenceran. Hasil jumlah
populasi mikroba ditunjukkan pada pengenceran 10-1
dan 10-2
. Mikroba
yang tumbuh dengan pengenceran 10-1
pada media PCA adalah 97x10-1
CFU/ml sedangkan pada media PDA 63x10-1
CFU/ml, sedangkan pada
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 309
pengenceran 10-2
pada media PCA 9x10-2
CFU/ml dan pada PDA 6x10-2
CFU/ml. Karakteristik morfologi koloni berdasarkan bentuk, warna,
ukuran, tepian, dan elevasi. Bakteri yang tumbuh pada media PCA terdapat
9 jenis koloni media berbeda berdasarkan karakter morfologi koloni. Yeast
yang tumbuh pada media PDA terdapat satu jenis koloni. Koloni mikroba
yang tumbuh pada media PCA ditunjukkan pada gambar 4, sedangkan
koloni yang tumbuh pada media PDA ditunjukkan pada gambar 5. Mikroba
yang tumbuh pada media diwarnai menggunakan pengecatan gram.
Karakteristik secara mikroskopis berdasarkan pada bentuk, warna, susunan,
dan sifat (gram+atau gram -). Gambar mikroskopis mikroba yang tumbuh
ditunjukkan pada gambar 6.
Gambar 4. Koloni Mikroba pada Media PCA
Gambar 5. Koloni Mikroba pada Media PDA
Karakteristik koloni yang tumbuh pada media PDA berbentuk bulat,
warna putih, ukuran besar dengan tepian rata dan elevasi datar.
310| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Karakteristik koloni yang tumbuh pada media PCA yaitu; 1) bentuk bulat,
warna putih, ukuran besar, tepian bergerigi, dan elevasi datar; 2) bentuk
bulat, warna putih, ukuran besar, tepian rata dengan elevasi cembung; 3)
bentuk bulat, warna putih,mukuran besar, tepian bergerigi, dan elevasi
datar; 4) bentuk bulat, warna putih kekuningan, ukuran sedang, tepian rata
dengan elevasi cembung; 5) bentuk bulat, warna putih mengkilat, ukuran
kecil, tepian rata, dan elevasi cembung; 6) bentuk bulat, warna putih,
ukuran sedang, tepian rata, dan elevasi cembung; 7) bentuk bulat, warna
putih, ukuran besar, tepian rata dan elevasi cembung; 8) bentuk bulat,
warna putih, ukuran besar,tepian rata, dan elevasi datar; 9) bentuk bulat,
warna putih, ukuran besar, tepian rata, dan elevasi datar.
Karakteristik mikroba yang tumbuh pada PDA secara mikroskopis
berbentuk batang, berwarna ungu dengan susunan tersebar. Karakteristik
mikroba yang tumbuh pada media PCA yaitu; 1) bentuk batang, warna
merah muda, susunan bergerombol, dan sifat gram negatif; 2) bentuk
batang, warna merah muda, susunan tersebar, dan sifat gram negatif; 3)
bentuk batang pendek, warna merah muda, susunan tersebar, dan sifat gram
negatif; 4) bentuk batang, warna merah muda, susunan berderet, dan sifat
gram negatif; 5) bentuk batang, warna ungu, susunan tersebar, sifat gram
positif; 6) bentuk batang pendek, warna merah muda, susunan tersebar, dan
sifat gram negatif; 7) bentuk bulat oval, warna merah muda, susunan
tersebar; 8) bentuk batang, warna merah muda, susunan tersebar, dan sifat
gram negatif; 9) bentuk batang, warna merah muda, susunan berderet, dan
sifat gram negatif.
PCAL 1 PCAL 2
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 311
PCAL 3 PCAL 4
PCAL 5 PCAL 6
PCAL 7 PCAL 8
PCAL 9 PCAL 10
Gambar 6. Gambar mikroskopis mikroba
312| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Senyawa yang terkandung dalam kantung madu yang telah
disimpan selama satu tahun memiliki pengaruh dalam menghambat
dan membunuh isolat uji. Konsentrasi hambat minimum
Staphyllococcus aureus pada konsentrasi 1%, Pseudomonas
aeruginosa pada konsentrasi 60%, dan Candida albicans pada
konsentrasi 80%. Konsentrasi bunuh minimum sampel terhadap
Staphyllococcus aureus pada konsentrasi 40%, Pseudomonas
aeruginosa pada konsentrasi 80%, dan Candida albicans pada
konsentrasi 80%. Analisis populasi didapatkan hasil mikroba 97x10-1
pada media PCA dan 63x10-1
pada media PDA.
B. Keterbatasan
Penelitian ini terbatas pada penggunaan pelarut air untuk ekstraksi
kantong madu yang menyebabkan kandungan senyawa dalam kantong
madu tidak larut sempurna dalam air.
C. Saran
Penelitian lanjutan tentang aktivitas antimikroba pada kantong madu
perlu dilakukan. Pengujian kandungan senyawa dalam kantong madu
beserta kelarutannya terhadap pelarut dapat lebih dikembangan
menggunakan pelarut ethanol dengan konsentrasi bertingkat untuk
mengekstrak senyawa antimikrobanya.
DAFTAR PUSTAKA
Andualem, B. (2013). Synergistic Antimicrobial Effect of Tenegn Honey
(Trigona iridipennis) and Garlic Against Standard and Clinical
Pathogenic Bacterial Isolates. International Journal of
Microbiological Research 4 (1): 16-22
Fatoni, A., Artika, I., Hasan, A., Kuswandi. (2008). Activity of Propolis
Produced by Trigona spp. Against Campylobacter spp. Journal
of Biosciences ISSN: 1978-3019.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 313
Pérez-Pérez EM, Suárez E, Peña-Vera MJ, González AC, Vit P. (2013).
Antioxidant activity and microorganisms in nest products of
Tetragonisca angustula Latreille, 1811 from Mérida,
Venezuela. pp. 1-8. In Vit P & Roubik DW, eds. Stingless bees
process honey and pollen in cerumen pots. Facultad de
Farmacia y Bioanálisis, Universidad de Los Andes;
Mérida, Venezuela. http://www.saber.ula.ve/handle/
123456789/35292
Reybroeck, Wim., Daeseleire, Els., Barabander, H & Herman, L. (2012).
Antimicrobials in Beekeeping. Veterinary Microbiology 158 1-11
Rostinawati, T. (2009). Aktivitas Antibakteri Ekstrak EtanolBunga Rosella
(Hibiscus sabdariffa L.) Terhadap Escherichia coli, Salmonella
typhi, dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar.
Bandung: Universitas Padjajaran
Sabir, A. (2005). Aktivitas antibakteri flavonoid propolis Trigona sp
terhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro). Makasar:
Universitas Hasanudin. Majalah Kedokteran Gigi. (Dent. J.), Vol.
38. No. 3: 135–141
Susilo, J., Setiawati, A., Darmansjah, I., Indarti, J., Kusuma, F. (2011).
Low Dose Ketoconazole fluconazole Combination Versus
Fluconazole in Single Doses for The Treatment of Vaginal
Candidiasis. Medicinie Journal Indonesia Vol. 20, No. 3
Utami, E. (2012). Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis
Vol.1 No.1 ISSN: 2089-0699
Wahyuni, N., Septiantina, Kurniawan, E. (2013). Teknik Produksi Propolis
Lebah Madu Trigona sp di Nusa Tenggara Barat. Mataram:
Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan
Bukan Kayu
314| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KUALITAS MIKROBIOLOGI DAN DAYA ANTIMIKROBIA
MADU Trigona sp
Rikha Putri Devianti1, Endang S. Soetarto
2
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada1,2
[email protected] dan [email protected]
2
ABSTRAK
Madu merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh lebah madu dari
nektar berbagai macam tanaman. Salah satu lebah penghasil madu adalah
Trigona sp yang terkenal sebagai lebah tanpa sengat. Madu dari Trigona sp
belum banyak diteliti, terlebih mengenai kualitas mikrobiologi dan daya
antimikrobianya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas
mikrobiologi madu Trigona sp dan mengukur daya antimikrobia madu Trigona
sp terhadap mikrobia. Penelitian ini dibatasi hanya pada populasi mikrobia
yang hidup pada madu dan daya antimikrobia yang meliputi antibakteri dan
antifungi. Dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis varians
(ANOVA), penelitian ini menganalisis populasi mikrobia pada madu dengan
melakukan pengamatan terhadap jenis mikrobia yang tumbuh pada media,
deteksi daya antimikrobia madu yang meliputi nilai penetapan konsentrasi
hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum madu Trigona sp terhadap
mikrobia uji dan analisis kandungan senyawa antimikrobia pada madu dengan
uji fitokimia yang meliputi uji flavonoid dan senyawa fenolik,uji tannin,uji
alkaloid,uji glikosida dan uji gula pereduksi. Aktivitas antimikrobia dapat
terlihat dari zona bening yang terbentuk di sekeliling sumuran pada media.
Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Rancangan Acak lengkap
dengan tiga kali ulangan. Hipotesis penelitian ini adalah madu Trigona sp
berkualitas baik dengan tidak ditemukannya mikrobia pathogen yang tumbuh
serta memiliki daya antimikrobia yang tinggi dengan ditunjukannya diameter
zona hambat yang besar pada konsentrasi bahan uji terkecil. Hasil sementara
menunjukkan bahwa terdapat mikrobia pada madu serta nilai KHM
Pseudomonas aeruginosa adalah 20%, sedangkan Staphylococcus aureus dan
Candida albicans adalah 10%.
Kata kunci : antimikroba, kualitas, madu, mikrobiologi,Trigona sp
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 315
I. PENDAHULUAN
Madu merupakan salah satu hasil alam yang memiliki potensi
besar. Madu dihasilkan oleh lebah madu dari nektar-nektar bunga. Salah
satu jenis lebah yang mampu menghasilkan madu adalah lebah Trigona sp.
Lebah Trigona sp merupakan salah satu jenis lebah madu yang tidak
memiliki sengat (stingless bee). Trigona sp menghasilkan madu dengan
jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah propolis
dikarenakan Trigona sp lebih banyak mengambil resin-resin tanaman
dibandingkan dengan nektar bunga. Madu akan dihasilkan setelah Trigona
sp menghasilkan propolis sebagai salah satu bentuk pertahanan sarang dari
gangguan predator ataupun lingkungan yang tidak mendukung.
Lebah Trigona sp. sebenarnya sudah cukup lama dikenal
masyarakat di Pulau Lombok. Sebagian masyarakat sudah
membudidayakannya meskipun pengelolaan dan pengembangannya tidak
sebanyak lebah Apis cerana. Hal ini karena keunggulan budidaya lebah
Trigona sp. dan produk yang dihasilkannya belum dikenal luas di
masyarakat. Teknik budidaya yang tepat juga belum banyak diketahui
masyarakat, sehingga daya tarik masyarakat untuk membudidayakan
menjadi rendah. Penelitian terdahulu terhadap jenis madu dari Apis sp
menunjukkan bahwa di dalam madu tersebut terdapat zat antimikrobia yang
dapat digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit Penelitian
mengenai antimikrobia pada madu yang dihasilkan lebah bersengat seperti
Apis sp sudah banyak dilakukan, diantaranya penelitian Mundo, Olga
,Zakour dan Worobo (2004), Suganda (2005), Rio, Djamal dan Asterina
(2012), Sholihah (2013) yang menunjukkan bahwa madu dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli,
Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus., Salmonella typhii, dan
Pseudomonas aeruginosa Penelitian Rintiswati, Winarsih dan Malueka
(2004) juga menunjukkan bahwa ekstrak madu mampu menghambat
pertumbuhan jamur Candida albicans. Sayangnya, dari banyak penelitian
yang dilakukan, permasalahan tentang bagaimana antimikrobia pada madu
yang dihasilkan oleh lebah tidak bersengat terutama Trigona sp. belum
dianalisis.
316| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penelitian ini berusaha menutup kekurangan tersebut dengan
melakukan penelitian antimikroba pada madu yang dihasilkan oleh lebah
tidak bersengat Trigona sp untuk mengetahui bagaimana daya antimikrobia
terhadap pertumbuhan mikrobia yang untuk kemudian dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai obat tradisional yang efektif untuk melawan
pertumbuhan mikrobia, baik bakteri maupun jamur. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan pengujian terhadap jenis madu yang dihasilkan oleh lebah
Trigona sp untuk mengetahui bagaimana daya antimikrobia terhadap
pertumbuhan mikrobia yang untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai obat yang efektif untuk melawan pertumbuhan
mikrobia, baik bakteri maupun jamur. Selain itu, populasi mikrobia yang
dapat tumbuh pada madu perlu diketahui pula untuk mengetahui kualitas
mikrobiologi, sehingga penanganan yang baik dapat dilakukan untuk
menjaga kualitas madu.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan
Bukan Kayu, Desa langko, Kecamatan Lingsar, kabupaten Lombok Barat,
Nusa Tenggara Barat Lombok mulai bulan November 2014-Februari 2015.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah madu Trigona
sp dari pulau Lombok,Nusa Tenggara Barat, media NA (Nutrient
Broth),media PDA (Potato Dextrose Agar) , media MHA (Muller Hinton
Agar), mikrobia uji Staphyolococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Candida albicans, kit cat gram, methylen blue, NaOH, FeCl, kloroform,
amoniak, asam sulfat, pereaksi Dragendrof, Meyer, Wagner, Molish,
FehlingA, FehlingB.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah glassware (alat
gelas), pHmeter, termohigrometer, neraca analitik, magnetic stirrer,
autoclave, vortex, mikropipet, mikroskop,refractometer dan incubator.
C. Metode Penelitian
1. Analisis populasi mikrobia
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 317
Analisis populasi mikrobia dilakukan dengan cara
mengkulturkan sampel madu pada media pertumbuhan PDA dan
PCA. Langkah yang dilakukan adalah dengan menuang media PDA
dan PCA pada cawan petri, kemudian didiamkan hingga memadat.
Sampel madu yang akan di kulturkan dilakukan pengenceran terlebih
dahulu dengan cara memasukkan 1ml madu ke dalam tabung reaksi
yang berisi akuades steril sebanyak 9ml. reaksi berisi akuades steril 9
ml (pengenceran 10-1
), lalu divortex. Larutan sampel sebanyak 1 ml
diambil dengan mikropipet dari pengenceran 10-1
ke tabung
berikutnya untuk mendapatkan pengenceran 10-2
. Larutan sampel
sebanyak 1 ml diambil dari pengenceran 10-2
ke tabung berikutnya
untuk mendapatkan pengenceran 10-3
dan seterusnya hingga
pengenceran 10-5.0,1 ml dari tabung reaksi pada pengenceran 10
-1, 10
-
3 dan 10
-5 diambil dan dipindahkan masing-masing ke cawan petri
(spread plate).
Larutan sampel yang disebar pada media PCA didiamkan
pada suhu ruang selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah koloni,
dicatat morfologi, disubkultur pada media NA untuk dicuplik dan
dilakukan dicat gram untuk menentukan jenis gram bakteri. Larutan
sampel yang disebar pada media PDA didiamkan pada suhu ruang
selama 1-3 hari,kemudian dihitung jumlah koloni, dicatat morfologi,
disubkultur pada media PDA untuk dicuplik dan dilakukan pewarnaan
dengan metilen blue agar terlihat morfologi jamur.
2. Deteksi daya antimikrobia pada madu
Tahap deteksi daya antimikrobia diawali dengan melakukan
pemurnian biakan mikrobia. Mikrobia yang digunakan adalah
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida
albicans. Biakan Stapylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa
yang telah ditumbuhkan pada media NA diambil 1 ose dan diinokulasi
pada NaCl 0,9% . Biakan murni Candida albicans ditumbuhkan pada
media PDA, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.
Masing-masing jamur yang tumbuh diambil 1 ose dan diinokulasi
pada NaCl 0,9%. .
318| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Uji antimikrobia dilakukan dengan cara menanam bakteri
pada media Mueller-Hinton agar (untuk bakteri) dan media PDA
(untuk jamur). Pengujian aktivitas antibakteri madu menggunakan
larutan sampel madu dengan konsentrasi 10%,20%, 30%, 40%, 50%,
60%, 70%, 80%, 90% dan 100% serta kontrol positif dengan
menggunakan larutan baku tetrasiklin 5% untuk bakteri dan
ketoconazole 3% untuk jamur. Uji antimikrobia menggunakan metode
difusi agar. Suspensi mikrobia uji sebanyak 1 ml diambil secara swab
menggunakan kapas lidi steril, kemudian inokulasikan ke media MHA
(untuk bakteri) dan media PDA (untuk jamur) secara merata. Media
dibuat sumuran dengan memasukkan 4 sedotan pada cawan petri.
Madu dengan berbagai konsentrasi dimasukkan ke dalam masing-
masing sumuran, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam untuk bakteri dan selama 3-7 hari untuk jamur. Pengamatan dan
pengukuran diameter zona hambat dan zona bunuh menggunakan
mistar. Diamter zona hambat dapat digunakan untuk menentukan
nilai KHM dan KBM serta sifat antimikrobia Nilai KHM merupakan
konsentrasi bahan uji terkecil dengan pertumbuhan koloni paling
sedikit, sedangkan nilai KBM merupakan konsentrasi bahan uji
terkecil tanpa pertumbuhan koloni.
3. Deteksi kandungan senyawa pada madu
a. Uji Flavonoid dan senyawa fenolik
Uji dilakukan dengan menggunakan NaOH dan asam sulfat.
Perubahan warna menjadi merah atau jingga setelah penambahan
NaOH menunjukkan adanya kandungan senyawa fenolik dan
hidrokuinon. Perubahan warna menjadi merah setelah penambahan
asam sulfat pekat menunjukkan adanya kandungan senyawa
flavonoid.
b. Uji Tanin
Uji dilakukan dengan menggunakan FeCl3 10%. Keberadaan senyawa
tannin ditunjukkan dengan terbentuknya warna biru atau hijau
kehitaman.
c. Uji triterpenoid dan steroid
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 319
Uji dilakukan menggunakan pereaksi Leibermenn Burchard.
Keberadaan senyawa ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau
atau biru.
d. Uji alkaloid
Uji dilakukan dengan pereaksi Dragendrof, Mayer dan Wagner.
Keberadaan alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan merah
jika direaksikan dengan pereaksi Dragendrof, terbentuk endapan putih
jika direaksikan dengan pereaksi Mayer dan endapan coklat dengan
pereaksi Wagner.
e. Uji glikosida
Uji dilakukan denganlarutan asam sulfat pekat dan pereaksi Molish.
Keberadaan glikosida ditandai dengan terbentuknya warna ungu
f. Uji gula pereduksi
Uji dilakukan dengan Fehling A dan B. Keberadaan gula pereduksi
ditunjukkan dengan adanya endapan merah bata.
III. HIPOTESIS DAN HASIL SEMENTARA
Hipotesis dari penelitian ini adalah madu Trigona sp tidak
mengandung sejumlah mikrobia pathogen, hanya beberapa jenis mikrobia
tertentu yang non pathogen, mempunyai daya antimikrobia tinggi yang
ditunjukkan dengan diameter zona hambat yang besar pada konsentrasi
bahan uji terkecil. Daya antimikrobia madu (Trigona sp) bersifat
mematikan (mikrobiacidal) dan menghambat (mikrobiastatis) pada
pertumbuhan mikrobia.
A. Analisis Populasi Mikrobia
Penelitian ini menggunakan dua jenis sampel, yaitu sampel segar
dan sampel lama yang telah mengalami masa penyimpanan selama satu
tahun, namun sampai saat ini baru dilakukan pengujian pada sampel lama.
Data sementara yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa
pada sampel madu yang lama terdapat mikrobia baik bakteri maupun
jamur. Hal ini ditunjukkan dengan tumbuhnya beberapa koloni bakteri
pada media PCA sebagai media pertumbuhan dan perhitungan untuk
bakteri dan juga adanya koloni jamur pada media PDA yang merupakan
media pertumbuhan untuk jamur. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh
320| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
masih memenuhi batas ambang minimal untuk kelayakan konsumsi.
Perhitungan jumlah koloni bakteri berdasarkan CFU (Colony Form Unit).
Hasil Perhitungan koloni di setiap pengenceran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Koloni Bakteri
Pengen ceran Ulangan ke- Jumlah koloni Rata-rata
10-1
1 55 49
2 54
3 39
10-3
1 0 0
2 0
3 0
10-5
1 0 0
2 0
3 0
Perhitungan CFU :
CFU = 49 x 1/0,1x1/10-1
= 4900
= 49 x 102 cfu/ml
Tabel 2. Karakteristik Koloni dan Sel
Nama
strain
Karakteristik
Morfologi Pigmentasi Gram Bentuk sel
PB
KK
Circular, entire
Circular, undulate
Putih susu
Putih
kekuningan
+
+
Batang
bengkok
Batang
Gambar 1. Isolat PB perbesaran 40x Gambar 2.Isolat KK perbesaran 40x
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 321
Berdasarkan pengamatan dan perhitungan jumlah bakteri
tersebut di atas dapat dilihat bahwa di dalam madu terdapat beberapa
jenis mikrobia. Ditemukan 2 isolat bakteri pada sampel madu. Jenis
isolat tersebut belum diidentifikasi apakah termasuk ke dalam bakteri
pathogen atau tidak, namun diharapkan jenis bakteri tersebut adalah
bakteri yang bermanfaat dan bukan merupakan bakteri pathogen.
Bakteri yang mampu hidup pada madu diduga termasuk dalam
golongan bakteri pengguna gula dan suka suasana asam. Penelitian
terdahulu menemukan bahwa bakteri golongan Bacillus pada madu
dan merupakan isolat bakteri yang mampu digunakan sebagai
antimikrobia (Hamouda & Abouwarda, 2011; Hafez, Kabei, & Masry,
2014). Penelitian dari Loncaric, I., Ruppitsch, W., Licek, E.,
Rosengarten, R., Moosbeckhofer, R., & Busse, H. J. (2011)
menunjukkan bahwa terdapat bakteri dari genus Pseudomonas yang
berasosiasi dengan lebah madu, sehingga dimungkinkan madu juga
mengandung mikrobia tersebut. Hasil untuk perhitungan jumlah
kapang pada media PDA adalah seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Jumlah Koloni Jamur
Peng-
enceran
Ulangan ke- Jumlah
koloni
Rata-rata Kerapatan sel
(CFU/ml)
10-1 1 19 6 60
2 0
3 0
10-3 1 3 3 300
2 1
3 4
10-5 1 0 0 0
2 0
3 0
Karakteristik koloni jamur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Koloni
Nama strain Karakteristik
K1
Koloni berwarna hijau di tengah dan putih di
tepi,dasar membentuk motif bintang laut
322| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
K2
K3
K4
K5
Koloni berwarna hijau kehitaman dengan dasar
berwarna gelap tanpa motif, permukaan agak
mencembung
Koloni berwarna hijau kehitaman dengan dasar
Warna gelap tanpa motif, permukaan relatif datar
Koloni berwarna hijau kekuningan dengan tepi
berwarna putih, dasar berwarna oranye
Koloni berwarna putih kecoklatan dengan dasar
berwarna coklat dan kehitaman di tengah
Gambar 3. Hifa K2 perbesaran 10x Gambar 4. Badan Buah K2
perbesran 40x
Gambar 5. Badan Buah K3
perbesaran 10x
Gambar 6. Miselium K3
perbesaran 10x
Gambar 7. K5 perbesaran 10x Gambar 8. Miselium K5
perbesaran 10x
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 323
Ditemukan adanya beberapa jenis jamur yang tumbuh pada
media PDA. Diduga jenis jamur ini berasal dari lebah madu itu
sendiri,nectar dan pollen yang dibawa lebah dan juga dapat
disebabkan adanya kontaminasi dari manusia dan alat-alat yang
digunakan untuk panen (Olaitan, Adeleke, & Ola, 2007). Beberapa
jenis jamur yang dimungkinkan dapat hidup pada madu antara lain
Saccaromyces spp, Penicillium spp, Aspergillus spp,Torulopsis spp
(Olaitan, Adeleke, & Ola, 2007; Popa, Vica, Axinte, Glevitzky, &
Varvara, 2009 ; Munitis, Cabrera, & Navarro, 1976).
Hasil penelitian Carvalho, Meirinho, Estevinho, & Choupina
(2010) menemukan 24 strain isolat pada madu yang sembilan
diantaranya telah diidentifikasi dan masuk ke dalam genus Candida,
Rhodotorula dan Zygosaccharomyces. Jenis-jenis mikrobia ini
merupakan jenis yang bersifat osmofilik. Mikrobia yang ditemukan
pada madu pada umumnya dalam keadaan tidak aktif dan kebanyakan
membentuk spora. Mikrobia tersebut tidak membahayakan kesehatan
manusia (Popa, Vica, Axinte, Glevitzky, & Varvara, 2009).
B. Deteksi Daya Antimikrobia pada Madu
Deteksi daya antimikrobia dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya kemampuan antimikrobia yang terdapat pada madu.
Kemampuan antimikrobia terbagi menjadi dua,yaitu kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan mikrobia yang biasa disebut dengan sifat
microbiostatis dan kemampuan untuk mampu membunuh mikrobia yang
disebut dengan sifat microbiocidal (Madigan, et.al., 2003). Hasil dari uji
antimikrobia pada ketiga mikrobia uji dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Diameter zona hambat (cm)
Konsentrasi
Madu (%)
Staphylococcus
aureus
Pseudomonas
Aeruginosa
Candida
Albicans
10 0,22 0 0,17
20 0,23 0,2 0,25
30 0,73 0,89 0,37
40 0,88 1,45 0,69
50 1,23 1,4 0,66
60 0,87 1,54 0,76
70 0,32 1,65 0,72
324| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Konsentrasi
Madu (%)
Staphylococcus
aureus
Pseudomonas
Aeruginosa
Candida
Albicans
80 1,03 1,70 0,79
90 0,78 1,43 0,66
100 0,97 1,23 1,02
Kontrol 4,57 4,08 4,4
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa dapat dilihat
rata-rata diameter zona hambat untuk berbagai konsentrasi madu
menunjukkan perbedaan. Konsentrasi Hambat Minimum untuk bakteri
uji Pseudomonas aeruginosa adalah 20%, sedangkan untuk
Staphylococcus aureus dan Candida albicans adalah 10%.
Berdasarkan hasil pengamatan selama satu minggu terlihat bahwa
zona bening pada masing-masing konsentrasi di setiap mikrobia uji
mengalami perbedaan.
Data didapatkan dari dua pengulangan dan direncanakan akan
kembali dilakukan pengulangan agar data yang dihasilkan lebih valid.
Berdasarkan penelitian sebelumnya disebutkan bahwa madu memiliki
daya antimikrobia yang baik. Penelitian terhadap bakteri E.coli
didapatkan hasil bahwa dengan madu berkonsentrasi 50 %, bakteri
akan mengalami kematian setelah 2 jam (Molan, 1992). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Ilmiana (2005) terhadap bakteri Streptococcus
viridans dari inokulat pasien abses dengan menggunakan madu
berkonsentrasi beranekaragam menunjukkan hasil bahwa pemberian
madu dengan konsentrasi yang semakin besar akan menyebabkan
jumlah rata-rata koloni semakin kecil dikarenakan daya antibakterinya
juga semakin besar.
Aktivitas antifungi ditemukan pada madu. Madu dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans.
(Rintiswati et.al ,2004). Madu yang dihasilkan oleh lebah madu yang
tidak bersengat memiliki spectrum aktivitas antibakteri yang luas,
meskipun terbatas untuk melawan Candida (Boorn, Khor, Sweetman,
Tan, Heard, & Hammer, 2009).
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 325
C. Deteksi Kandungan senyawa pada Madu
Tahap ini belum dilakukan dikarenakan penelitian masih
berjalan pada deteksi antimikrobia. Deteksi kandungan senyawa
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya kandungan
senyawa apa saja yang terdapat pada madu. Komposisi senyawa
dipengaruhi oleh lingkungan tempat madu dikumpulkan, diantaranya
adalah keragaman ketersediaan jenis pakan lebah. Hasil dari penelitian
ini nantinya diharapkan akan terdeteksi adanya senyawa flavonoid dan
fenolik serta tannin yang berperan sebagai antimikrobia (V azquez,
Glory, Baas, Guevara, & Sierra, 2013; Ratnayani, Laksmiwati, &
Septian, 2012). Selain kedua senyawa tersebut, glikosida juga salah
satu senyawa yang berperan sebagai antimikrobia pada madu
(Rostinawati, 2009).
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
1. Madu Trigona sp mengandung sejumlah mikrobia yang diduga berasal
dari lingkungan luar.
2. Mikrobia pada madu diduga bukan merupakan mikrobia pathogen .
3. Madu Trigona sp memiliki daya antimikrobia yang mampu
menghambat pertumbuhan mikrobia pathogen, baik bakteri maupun
jamur.
4. Terdapat kandungan senyawa yang berperan sebagai antimikrobia
diantaranya flavonoid, steroid, glikosida dan tannin
5. Penelitian masih terdapat keterbatasan karena penelitian sedang dalam
proses dan masih berlanjut
6. Penelitian mengenai jenis senyawa antimikrobia yang terdapat pada
madu Trigona sp perlu dilakukan .
7. Perlu dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut mengenai jenis
pakan lebah Trigona sp pada musim yang berbeda, sehingga dapat
diketahui pengaruhnya pada kandungan senyawa antimikrobia.
DAFTAR PUSTAKA
Boorn, K. L., Khor, Y. Y., Sweetman, E., Tan, F., Heard, T. A., &
Hammer, K. A. (2009). Antimicrobial activity of honey from the
326| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
stingless bee Trigona carbonaria determined by agar diffusion,
agar dilution, broth microdilution and time-kill methodology.
Journal of Applied Microbiology ISSN 1364-5072 , 1534-1543.
Carvalho, C. M., Meirinho, S., Estevinho, M. L., & Choupina, A. (2010).
Yeast Species Associated With Honey: Different Identification
Methods. Arch. Zootec , 59 (225), 103-113.
Hafez, E. E., Kabei, S. S., & Masry, S. H. (2014). New Paenibacillus larvae
bacterial isolates from honey bee colonies colonies infekted with
American. Biotechnology & Biohnological Ed , 271-276.
Hamouda, H. M., & Abouwarda, A. (2011). Antimicrobial Activity of
Bacterial Isolates from Homey. International Journal of
Microbiological Research , 2 (1), 82-85.
Loncaric, I., Ruppitsch, W., Licek, E., Rosengarten, R., Moosbeckhofer,
R., & Busse, H. J. (2011). Characterization of Selected Gram-
Negative Non-Fermenting Bacteria Isolated From Honey Bees
(Apis mellifera carnica). Apidologie, Sringer Verlag , 42 (3), 312-
325.
Molan, P. C. (1992). The Antibacterial Activity oF Honey: Variation in the
potency of the antibacterial activity. Bee World .
Munitis, M. T., Cabrera, E., & Navarro, A. R. (1976). An Obligate
Osmophilic Yeast from Honey. Applied and Environmental
Microbiology , 32 (3), 320-323.
Olaitan, P. B., Adeleke, O. E., & Ola, I. O. (2007). Honey:a Reservoirfor
Microorganisms and an Inhibitory Ant for Microbesg. African
Health Sciences , 7 (3), 159-165.
Popa, M., Vica, M., Axinte, R., Glevitzky, M., & Varvara, S. (2009). Study
Concerning The honey Qualities in Transylvania Region. Annales
Universitatis Apulensis Series Oeconomica, 11 (2), 1034-1040.
Ratnayani, K., Laksmiwati, M., & Septian, I. (2012). Kadar Total Senyawa
Fenolat Pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng Serta Uji
Aktivitas Antiradikal Bebas Dengan Metode DPPH (Difenilpikril
Hidrazil). Jurnal Kimia , 6 (2), 163-168.
Rostinawati, T. (2009). Aktivitas Antibakteri Madu Amber dan Madu Putih
Terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa multiresisten dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 327
Staphylococcus aureus resisten metisilin. Jatinangor: Universitas
Padjajaran, fakultas Farmasi.
Vazquez, E. O., Glory, L. C., Baas, G. Z., Guevara, J. M., & Sierra, J. R.
(2013). Which bee honey components contribute to its
antimicrobial activity?A review. Academi Journals , 7 (51), 5758-
5765.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 329
PROFIL PENGELOLAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU GETAH
JERNANG DI PANTAI BARAT ACEH
Aswandi1)
dan Cut Rizlani Kholibrina2)
1) 2)Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Jl. Raya Parapat Km 10,5
Sibaganding Parapat Simalungun Provinsi Sumatera Utara
Email : [email protected]
ABSTRAK
Berbagai studi menunjukkan pengelolaan hasil hutan bukan kayu menyediakan
alternatif mata pencaharian masyarakat, pengatasan kemiskinan dan
mendukung kelestarian hutan. Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan potensi
pemanfaatan getah jernang sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu unggulan
di pantai barat Aceh. Sejarah pengelolaan dan kontribusi yang cukup besar bagi
pendapatan masyarakat mendorong komoditas jernang sebagai HHBK
unggulan di wilayah ini. Namun, pemanenan yang tidak lestari, rendahnya
upaya budidaya, dan tata niaga yang tidak menguntungkan petani akibat
produk getah yang tidak terstandarisasi dan fluktuasi harga mengakibatkan
kelestarian jangka panjang komoditas HHBK ini terganggu. Strategi yang
diusulkan merupakan pemecahan akar permasalahan yang dihadapi. Upaya
peningkatan populasi dilakukan melalui penanaman intensif dan praktek
pemanenan yang tidak melebihi pertumbuhan. Standarisasi kualitas dan
dukungan kebijakan pemerintah akan mendukung tata niaga yang adil.
Kata Kunci : Getah jernang, rotan, potensi, hasil hutan bukan kayu, strategi,
pemanenan lestari
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ekosistem
hutan tropika terluas di dunia. Dengan penutupan 86-93 juta ha atau hampir
setengah wilayah daratannya, hutan Indonesia merupakan tempat hidup
bagi 17% spesies burung, 16% spesies reptilia dan amfibia, 12% spesies
mamalia dan 10% spesies tumbuhan di dunia (Forest Watch Indonesia dan
Global Forest Watch, 2001). Dengan keanekaragaman hayati yang tinggi,
sejarah pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan
sumberdaya alam tersebut.
Sejak awal pembangunan nasional, pengelolaan hutan melalui
eksploitasi kayu menjadi sektor penting peraih devisa. Namun, manfaat
330| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ekonomi yang diperoleh juga mengorbankan kelestariannya. Seluas 59,62
juta ha hutan telah rusak dengan laju deforestasi yang signifikan (Badan
Planologi Kehutanan, 2010). Kerusakan hutan telah mengakibatnya
terganggunya fungsi ekosistem dalam menyediakan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, jasa lingkungan, serta secara langsung maupun tidak langsung
memiskinkan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Salah satu upaya yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi
tingginya laju kerusakan hutan adalah dengan mengembangkan skema
pengelolaan hutan yang mengoptimalkan pelibatan masyarakat dengan
hasil hutan bukan kayu sebagai komoditas utamanya (Permenhut No. 35
Tahun 2007). Berbagai studi menunjukkan bahwa skema ini menjanjikan
bagi penyediaan alternatif mata pencaharian dan pengatasan kemiskinan.
Salah satu pengelolaan hasil hutan bukan kayu yang memiliki sejarah yang
panjang serta telah menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian
masyarakat di pantai barat Aceh adalah pemungutan getah jernang.
Masyarakat memungut buah rotan jernang alam yang tumbuh pada hutan-
hutan di sekitar tempat tinggalnya serta mengekstraksinya menjadi serbuk
atau bongkahan resin jernang yang bernilai ekonomi tinggi.
Walaupun memiliki kontribusi terhadap perekonomian masyarakat,
masih terbatas informasi yang telah digali terkait permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan getah jernang di pantai barat Aceh. Tulisan ini
bertujuan untuk menyajikan gambaran pemanfaatan getah jernang sebagai
salah satu hasil hutan bukan kayu unggulan. Strategi yang diusulkan
diharapkan dapat mengatasi persoalan yang dihadapi dalam upaya
pengembangannya.
II. BAHAN DAN METODE
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada beberapa daerah pengumpul getah
jernang di pantai barat Aceh yakni Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat,
Blangpidie dan Babah Rot di Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kota Fajar
dan Labuhanhaji di Kabupaten Aceh Selatan. Pengumpulan data
dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2013.
B. Bahan dan Alat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 331
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dengan
responden masyarakat pengumpul buah dan getah jernang, pedagang
pengumpul dan industri pengolahan getah jernang. Peralatan yang
digunakan adalah kamera, alat tulis, perangkat komputer dengan program
pengolah data Microsoft Office Excel 2007.
C. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah informasi sumber bahan baku dan
pola pemanenan, proses pengolahan dan kualitas, alur pemasaran, harga
jual, dan permasalahan pengelolaan yang dihadapi. Data dikumpulkan
melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner. Responden dipilih
secara purposive terhadap petani pengumpul buah rotan jernang, pedagang
pengumpul dan industri pengolah getah jernang. Total 14 orang responden
diwawancarai dengan rincian seorang responden pelaku usaha pengolah
getah yang juga bertindak sebagai pedagang pengumpul di Meulaboh,
seorang pedagang dan 3 orang petani pengumpulan buah dan getah di Aceh
Selatan, seorang pedagang dan 4 orang petani pengumpul di Aceh Barat
Daya, dan 4 orang petani di Aceh Barat.
D. Analisis Data
Proses pemanenan dan pengolahan getah jernang dianalisis secara
dekstriptif berdasarkan rangkaian tahapan mulai dari pemanenan buah,
penyiapan bahan baku hingga pengolahannya. Kualitas getah jernang
dianalisa menggunakan standar kualitas nasional (SNI). Alur pemasaran
dianalisis secara deskriptif dengan mencatat rangkaian penjualan hasil buah
dan getah mulai dari petani - pedagang pengumpul – industri pengolahan –
pedagang besar serta harga jual pada setiap tingkatan penjualan.
Informasi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan pengelolaan
jernang yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis SWOT.
Hasil analisis kemudian ditabulasikan sebagai berikut :
332| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tabel 1. Teknik analisis SWOT
INTERNAL STRENGHTS (S) WEAKNESSES (W)
EKSTERNAL Faktor-faktor kekuatan
Internal
Faktor-faktor kelemahan
Internal
OPPORTUNITIES STRATEGI SO STRATEGI WO
Tentukan faktor
peluang eksternal
Ciptakan strategi
menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang.
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang
TREATHS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT
Tentukan faktor
ancaman eksternal
Ciptakan strategi
menggunakan kekuatan untuk
mengatasi ancaman.
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman.
Sumber : Rangkuty (2006)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sebaran Ekologi
Getah jernang merupakan resin berwarna merah tua terang yang
dihasilkan dari bagian kulit buah rotan terutama dari genus Daemonorops
(Sumarna, 2004). Diantara anggota genus ini, terdapat tiga jenis rotan
jernang yang sering dipanen di pantai barat Aceh, yakni Daemonorops
draco (rotan jernang), D. crinitus (rotan jernang padi), dan D. angustifolia
(rotan jernang getah). Ketiga jenis rotan jernang ini disukai pengumpul
karena menghasilkan resin yang lebih banyak. Diantara ketiganya, rotan
jernang getah lebih disukai karena memiliki rendemen getah yang lebih
tinggi (±5% mutu super).
Rotan jernang tumbuh berumpun dengan 5-10 batang yang menjalar
atau memanjat pohon di sekitarnya hingga ketinggian 10-15 m. Jika
tumbuh lebih panjang, bagian tengah batang turun hingga mencapai tanah
dengan bagian pucuk tetap berada di atas. Dengan posisinya yang terlihat
merunduk dan terduduk di permukaan tanah, masyarakat Aceh juga
menamai rotan jernang dengan nama awe duk (rotan duduk). Daun rotan
jernang berpelepah, menyirip seperti palem, dengan anak daun berbentuk
lanset dan memita, pada permukaan anak daun terdapat duri-duri halus,
dengan duduk anak daun yang berhadap-hadapan. Masing-masing daun
berduri, berwarna coklat-kekuningan. Perbungaannya membentuk malai,
dan tersusun dalam tandan. Tandan tersebut terselubung oleh
seludang/pembungkus berbentuk perahu. Selain tandan bunga, kondisi
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 333
kekakuan duri-duri halus pada daun dapat dijadikan penciri rotan jantan
dan rotan betina. Pada rotan jantan, tandan bunga lebih kecil dan duri-duri
halus pada daun relatif lebih kasar.
Secara morfologi, bentuk buah jernang secara umum hampir sama
dengan jenis rotan lainnya namun dengan ukuran yang relatif lebih kecil.
Ciri khas dari buah rotan jernang adalah pada bagian kulit buah yang
bersisik dijumpai adanya lapisan (selaput) berupa butiran halus getah
berwarna kemerahan. Pada buah rotan jernang getah muda, selaput butiran
halus menutupi hampir seluruh permukaan buah dan apabila digosok
dengan jari akan memerahkan permukaan jari tangan.
B. Pemanenan dan Pengolahan Pasca Panen
Pemanenan dilakukan ketika buah masih muda. Pada saat itu butiran
halus getah yang berwarna kemerahan masih banyak menempel pada kulit
buah. Ketika buah menjelang matang, butiran tersebut akan gugur dan
hilang saat buah telah tua. Buah yang masak ditandai perubahan warna
kulit buah menjadi cokelat kekuningan mengkilat. Jarak waktu antara buah
muda hingga menjelang matang adalah 1-2 minggu dan periode ini
merupakan waktu terbaik memanen buah. Curah hujan yang tinggi dapat
mengakibatkan banyaknya butiran getah yang gugur.
Pada dasarnya rotan jernang berbuah sepanjang tahun. Dalam setiap
batang, bisa terdapat 2 – 3 tandan buah dengan tingkat kematangan yang
berbeda. Di pantai barat Aceh panen besar umumnya terjadi dua kali dalam
setahun yakni pada bulan Agustus dan Januari. Pada bulan-bulan ini panen
buah dapat dilakukan setiap 2 (dua) minggu. Pemanenan dilakukan dengan
memotong tandan buah dari batang. Posisi tandan yang tinggi
mengharuskan petani menggunakan alat panjat. Berat buah muda segar
dalam satu tandan mencapai 300 – 500 g. Setiap batangnya, rotan jernang
dewasa dapat menghasilkan 10-15 kg buah selama setahun.
Buah yang telah dikumpulkan biasanya dimasukkan ke dalam
kantong/goni plastik dan setelah terkumpul 5-10 kg buah segar segera
dijual petani ke pedangang penampung/ pengepul atau industri pengolahan.
Pada lokasi-lokasi yang jauh dan buah melimpah, petani terlebih dahulu
memisahkan getah dari kulit buah dengan cara menggosok dan memipilnya
dalam wadah air. Cara ini menghemat tenaga dan mengatasi kehilangan
butiran getah dari buah selama pengangkutan.
334| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pada industri pengolahan, setelah diseleksi/sortir sesuai ukuran buah
dan membuang kotoran-kotoran, buah diekstraksi dengan menggunakan
ekstraktor mekanis atau secara tradisional dengan menggunakan alat
tumbuk. Ekstraksi dapat juga dilakukan dengan cara merebus buah dan
mengumpulkan getah yang telah menggumpal. Aliran pengolahan getah
jernang secara garis besar mengikuti tahapan seperti pada Gambar 1.
Salah satu industri pengolahan getah jernang yang menampung buah
rotan dari petani pengumpul di pantai barat Aceh adalah CV. Darah Naga
di Meulaboh, Aceh Barat. Industri skala kecil ini telah menggunakan alat
ekstraktor yang mendapatkan paten dari Kementerian Hukum dan HAM RI
atas inovasi alat pengolah getah jernangnya. Berdasarkan hasil pengujian
Baristan Indag Banda Aceh tahun 2006, penggunaan alat ekstraktor milik
perusahaan tersebut menghasilkan 3 (tiga) tingkatan kualitas yakni getah
jernang mutu super, mutu tipe A dan mutu tipe B (Tabel 1).
Dengan rendemen 5%, untuk mendapatkan 1 kg resin jernang
kualitas Super, diperlukan 20 kg buah segar. Buah jernang yang telah
dikeluarkan dari ekstraktor pada tahap pertama untuk menghasilkan mutu
Super, dapat diekstraksi kembali untuk menghasilkan getah jernang mutu A
(kadar resin 60%) dengan rendemen 20% dan mutu B.(25%) dengan
rendemen 20-25%. Sisa pengolahan mutu B kemudian dihancurkan untuk
mendapatkan kelas mutu Abu (<5%). Dengan demikian tidak ada sisa
pengolahan yang terbuang.
Secara rinci hasil pengujian serta pemenuhannya terhadap
standarisasi nasional (SNI) getah jernang terdapat pada Tabel 1.
Tabel 2. Hasil pengujian kualitas dan Standarisasi Nasional Indonesia
terhadap getah jernang di pantai barat Aceh
No Jenis Uji Satuan Hasil Uji
Mutu Super Mutu A Mutu B
1. Kadar Resin
(b/b)
% 82,27 (SNI
min 80)
63,71 (SNI
min 60)
25,54 (SNI
min 25)
2. Kadar air(b/b) % 2,99 (SNI
max 6)
6,80 (SNI
max 8)
13,90 (SNI
max 10)
3. Kadar Kotoran
(b/b)
% 12,34 (SNI
max 14)
29,49 (SNI
max 39)
60,56 (SNI
max 50)
4. Kadar Abu (b/b) % 2,4(SNImax4) 3,89(SNImax 8) 3,89(SNImax20)
5. Titik Leleh oC 90(SNI min80) - -
6. Warna Merah tua Merah muda Merah pudar
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 335
Sumber : CV. Darah Naga dan Baristan Indag Banda Aceh (2006)
(Sumber : CV Darah Naga, 2007)
Gambar 2. Bagan alur pengolahan getah jernang
C. Rantai Pemasaran
Para pihak yang terlihat dalam tata niaga getah jernang di pantai
barat Aceh adalah petani, pedagang pengumpul, industri pengolahan getah,
dan pedagang besar. Petani menjual buah jernang yang dikumpulkan dari
Buah Rotan
Seleksi/Sortir
Ekstraksi
Pemisahan
Penyaringan Pelumatan
Pengendapan Penyaringan
ResiduFiltrat
Pengendapan
Pencampuran
& Pengeringan
Pencetakan/
Press
Angin-anginkan
Mutu Tipe A
> 60%
Mutu Tipe B
>25%
Penjemuran
Penyaringan &
Pengendapan
Pengeringan
& Pencetakan
Angin-anginkan
Getah Kental
Pengeringan
Pencetakan/
Press
Angin-anginkan
Mutu Super
> 80%
Air
Aditif
336| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
hutan kepada pedagang pengumpul yang biasanya berdomisili di ibukota
kecamatan. Selain menerima buah pedagang pengumpul juga menerima
getah jernang setengah jadi yang masih memiliki kadar air tinggi. Buah
atau getah jernang yang telah terkumpul kemudian dijual pedagang
pengumpul kepada industri pengolahan di Meulaboh. Selain memperoleh
bahan baku dari pedagang pengumpul, industri juga mendapatkan dari
petani-petani binaan di sekitar lokasinya. Untuk mengikat petani, industri
pengolahan memberikan modal awal (talangan) untuk membiayai kegiatan
pencarian buah rotan jernang di hutan.
Gambar 3. Rantai pemasanan getah jernang hasil produksi petani dan
industry pengolahan di pantai barat Aceh
Sebagian besar getah jernang yang dihasilkan industri pengolahan di
pantai barat Aceh dipasarkan ke luar daerah terutama ke Medan, Sumatera
Utara. Dari Medan, getah jernang dijual ke Jakarta, Jambi, Surabaya, atau
diekspor langsung ke Singapura, Malaysia dan Tiongkok. Pada saat-saat
tertentu pembeli dari Singapura dan Tiongkok datang langsung ke Medan
untuk melakukan transaksi. Sebagian hasil jernang juga dikirim ke Jambi
SINGAPURA
MEDAN
MEULABOH
JAMBI
JAKARTA
KUALA LUMPUR
TIONGKOK
SURABAYA
Aceh Barat
Aceh Barat Daya
Aceh Selatan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 337
dikarenakan daerah ini lebih dahulu terkenal sebagai produsen getah
jernang.
D. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Getah Jernang
Harga jual getah jernang didasarkan pada kelas kualitas dan
dipengaruhi musim panen buah jernang. Pada saat panen raya, rata-rata
harga jual getah kepada pedagang besar di Medan mencapai Rp
3.750.000/kg untuk mutu Super, Rp 3.000.000/kg untuk mutu A dan Rp
2.500.000/kg untuk mutu B. Harga ini akan melonjak pada musim paceklik
buah hingga mencapai Rp 4.500.000-6.000.000/gg untuk kualitas Super,
Rp 3.750.000-5.000.000/Kg untuk kualitas A dan Rp 3.000.000-
4.000.000/gg untuk kualitas B. Kurangnya ketersediaan buah di hutan
mengakibatkan harga buah segar bisa mencapai Rp 250.000 – 500.000/kg
dari harga normal Rp 75.000 – 150.000/kg. Harga-harga ini relatif lebih
murah dibandingkan harga getah jernang untuk kualitas yang sama di kota
Jambi. Pada pedagang besar, getah jernang dengan kadar resin 80%
dihargai Rp5.000.000/kg, kadar resin 60% diharga Rp 4.000.000/kg, dan
kadar resin 40% dihargai Rp 3.000.000/kg.
E. Permasalahan dan Strategi Pengelolaan
Beberapa hal yang menjadi kekuatan dalam pengembangan HHBK
ini diantaranya adalah getah jernang mengandung kandungan fitokimia
yang penting sebagai bahan baku farmasi, kosmetika, pengawet dan
pewarna organik. Hasil uji fitokimia menunjukkan getah jernang sebagian
besar mengandung senyawa semi-polar yang terdeteksi positif sebagai
obat-obatan antara lain senyawa flavonoid, triterpenoid dan tanin. Uji
penapisan fitokimia juga menunjukkan bahwa resin jernang berpotensi
sebagai antioksidan dan prokoagulasi darah (mempersingkat proses
pembekuan darah) (Waluyo dan Pasaribu, 2013).
Di pantai barat Aceh, tanaman rotan jernang tumbuh pada kawasan
hutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Gunung Leuser, hutan alam
tersisa yang terdapat di Kluet Aceh Selatan, Manggeng dan Babah Rot di
Aceh Barat Daya, dan pegunungan Woyla di Aceh Barat dengan ketinggian
tempat 500 hingga 2000 mdpl. Tanaman rotan jernang banyak dijumpai
pada tanah yang subur dan mengandung air seperti di sekitar mata air dan
338| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
aliran sungai. Di alam rotan jernang tumbuh berasosiasi dengan rotan
manau (Calamus sp.).
Waktu pemanenan buah relatif cepat dan usia produktif yang lama.
Pohon rotan jernang mulai berbuah pada umur 5 tahun dan terus berbuah
hingga berumur lebih dari 20 tahun. Secara tradisional, masyarakat Aceh
telah lama pemanen buah getah jernang untuk pengobatan diare,
pendarahan, luka dalam dan luka-luka luar akibat senjata tajam berkhasiat
afrodisiak (meningkatkan libido).
Namun, tingginya permintaan terhadap komoditas ini tidak
diimbangi suplai tersedia. Permintaan dunia mencapai 400 ton/ tahun
(Harian Merdeka online, 2007), sedangkan sentra penghasil jernang di
Sumatera dan Kalimantan, baru dapat memasok 27 ton/ tahun. Saat ini,
rotan jernang semakin sulit diperoleh karena habitatnya banyak yang telah
rusak atau dikonversi menjadi perkebunan. Semakin jauhnya tempat
tumbuh rotan jernang yang tersisa mengakibatkan petani semakin jauh
memasuki hutan. Selama satu minggu, petani hanya dapat mendapatkan 10-
20 kg buah segar atau setara dengan 0,5-1 kg getah jernang. Rendahnya
kemampuan regenerasi mengakibatkan populasi alaminya semakin
menurun.
Beberapa upaya penanaman rotan jernang di Babahrot di Aceh Barat
Daya menunjukkan bahwa sebetulnya budidaya komoditas ini tidak
memerlukan teknik yang rumit. Namun sulitnya memperoleh buah tua dan
masak akibat panen buah dilakukan ketika buah muda mengakibatkan
penyiapan bibit tanaman hanya dapat dilakukan dalam kuantitas yang
rendah. Waktu pembibitan yang lama mengakibatkan harga jual bibit
cukup tinggi (mencapai Rp 15.000-25.000/batang) serta waktu panen buah
baru dapat dilakukan pada umur 4-5 tahun mengakibatkan petani belum
terdorong untuk membudidayakannya.
Kurangnya informasi pasar yang diterima petani mengakibatkan
pemasaran buah rotan jernang dari pedagang pengumpul kepada industri
bersifat semi tertutup karena monopsoni industri, sehingga merugikan para
petani. Penguasaan teknologi pengolahan getah jernang yang dimiliki
petani masih rendah sehingga hasilnya belum sesuai standar. Keterbatasan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 339
modal dalam pengembangan industri pengolahan juga merupakan beberapa
aspek lainnya yang membatasi usaha pengembangannya.
Beberapa aspek eksternal yang dapat menjadi peluang diantaranya
getah jernang merupakan komoditas ekspor dengan permintaan dunia yang
tinggi serta perkembangan IPTEK pengobatan herbal selama dekade
terakhir. Tercatat permintaan getah jernang hingga 400 ton/tahun untuk
kebutuhan pengobatan herbal dan lainnya. Permintaan ini belum termasuk
dari Singapura dan Amerika Serikat (Harian Merdeka online, 2007).
Sedangkan beberapa hal dapat mengancam pengembangannya
diantaranya praktek pemanenan tidak lestari dengan menebang batangnya.
Pemanenan buah rotan jernang dengan cara menebang batangnya juga
merupakan salah satu penyebab semakin rendahnya kerapatan populasi
alaminya. Modus ini umum dilakukan oknum petani ketika memanen buah-
buah yang tinggi dan sulit dicapai. Perilaku berburu buah rotan muda juga
mendorong petani saling berlomba cepat memanen sehingga panen buah
cenderung dilakukan lebih dini.
Harga buah dan getah berfluktuasi di tingkat petani. Fluktuasi harga
yang tinggi pada musim-musim buah susah diperoleh juga mengakibatkan
industri pengolahan getah jernang banyak yang tidak beroperasi karena
ketiadaan modal untuk membeli buah dari petani dengan harga tinggi.
Harga jual masih dipengaruhi oleh pembeli yang merupakan pedagang
besar sehingga tidak menguntungkan petani yang menghabiskan waktu
yang lama.
Banyaknya beredar getah jernang oplosan dengan harga lebih murah
merupakan ancaman laten dalam pengusahaan komoditas ini. Belum
terstandarisasinya kualitas getah jernang yang dihasilkan dan masih adanya
petani dan industri pengolahan getah yang mencampur resin getah dengan
berbagai kotoran untuk meningkatkan berat jual mengakibatkan harga jual
tidak menguntungkan petani dan industri yang jujur karena secara umum
pedagang besar menekan harga untuk mengurangi potensi kerugiannya.
Terhadap berbagai aspek diatas, dilakukan analisis SWOT dalam
menentukan strategi pengelolan getah jernang disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan unsur kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta
memadukannya dengan unsur peluang dan ancaman, maka terdapat
340| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan HHBK ini.
Strategi ini tentunya berupaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan
untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan peluang yang ada.
Strategi-strategi pengembangan prioritas (WO) yang dapat dilakukan,
antara lain:
a. Budidaya rotan jernang secara intensif pada hutan dan milik dan
peningkatan populasi pada kawasan hutan sebagai bagian upaya
rehabilitasi hutan dan lahan. Budidaya jernang dengan pola wanatani
dan penanaman pengkayaan dalam kawasan hutan dapat dilakukan.
b. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dari
instansi terkait. Untuk menggalakankan budidaya rotan jernang perlu
dilakukan upaya-upaya sosialisasi dan pembanguan plot contoh
budidaya.
c. Penggunaan bibit rotan jernang unggul untuk meningkatkan
produktivitas getah dan juga mempercepat usia panen;
d. Membentuk kelompok tani dan koperasi untuk menghindari spekulasi
harga yang dilakukan oleh para agen pengumpul;
e. Standarisasi kualitas getah jernang. Untuk standarisasi kualitas, perlu
standarisasi pengelolahan. Dukungan pemerintah Pemerintah yang
menyatakan bahwa jernang berasal dari indigeneous people kemudian
di berikan sertifikat dari instansi terkait dan mengolahnya secara
tradisional.
f. Dukungan kebijakan dalam pengembangan komoditas jernang sebagai
andalan daerah. Dasar hukum bagi pengembangan budidaya rotan
jernang sebagai HHBK Unggulan telah ada yakni Permenhut No. 35
Tahun 2007.
g. Dukungan permodalan dari perbankan (kredit lunak).
Tabel 3. Analisis SWOT pengelolaan HHBK rotan jernang di pantai barat
Aceh
INTERNAL
STRENGHTS (S)/
Kekuatan
WEAKNESSES (W)/
Kelemahan
1. Kandungan fitokimia
yang penting untuk
bahan baku farmasi,
1. Populasi semakin
menurun akibat
kemampuan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 341
EKSTERNAL
pengawet dan pewarna
organik
2. Sejarah pemanenan
telah lama;
3. Tenaga kerja tersedia;
4. Rotan jernang memiliki
sebaran tempat tumbuh
yang lebar;
5. Waktu panen yang
relatif cepat dan usia
produktif yang lama;
6. Kawasan hutan dan
luar kawasn yang
didapat ditanami cukup
luas.
regenerasi rendah
2. Budidaya di kebun
masyarakat belum
banyak dimulai
3. Kurangnya informasi
pasar yang diterima
petani
4. Harga berfluktuasi di
tingkat petani
5. Penguasaan teknologi
pengolahan yang
dimiliki petani masih
rendah, belum
terstandarisasi
6. Keterbatasan modal
dalam pengembangan
industry pengolahan
OPPORTUNITIES
(O)/ Peluang STRATEGI SO STRATEGI WO
1. Getah jernang
merupakan
komoditas ekspor
dengan permintaan
dunia yang tinggi;
2. Perkembangan
IPTEK bidang
pengobatan herbal;
3. Berkembang
peralatan
pengolahan getah
yang meningkatkan
kualitas hasil;
4. Dukungan
kebijakan pemda
untuk
pengembangan
hasil hutan bukan
kayu dalam rangka
pengurangan
ketergantungan
a. Melakukan kajian/
penelitian aspek sosek,
pengolahan, dll.
b. Pengembangan
pengobatan herbal getah
jernang sebagai
antioksidan dan
proagulasi.
c. Meningkatkan nilai jual
sebagai bahan setengah
jadi ataupun bahan jadi
dengan kerja sama
dengan industry farmasi,
industri pewarna dan
pengawet organik.
d. Sosialisasi penggunaan
peralatan pengolah
sederhana yang dapat
kualitas dan memenuhi
standar kualitas nasional
(SNI)
a. Budidaya intensif dan
peningkatan
populasinya.
b. Mengintensifkan
penyuluhan dan
bimbingan teknis.
c. Penggunaan bibit
rotan jernang unggul
untuk meningkatkan
produktivitas getah.
d. Membentuk kelompok
tani dan koperasi
hindari spekulasi
harga .Standarisasi
kualitas getah jernang
e. Dukungan kebijakan
dalam pengembangan
komoditas jernang
sebagai andalan daerah.
f. Dukungan permodalan
dari perbankan (kredit
342| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
terhadap hasil kayu
dan peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
lunak)
TREATHS (T)/
Ancaman STRATEGI ST STRATEGI WT
1. Praktek pemanenan
tidak lestari dengan
menebang batang
rotan jernang.
2. Kebutuhan lahan
untuk peruntukan
lain (perkebunan
sawit) meningkat
3. Batas dan status
lahan tidak jelas;
4. Beredar getah
jernang oplosan
dengan harga lebih
murah.
a. Penerapan teknik
pemanenan lestari
(pemanenan tidak
melebihi pertumbuhan)
b. Pengembangan
hutan/kebun rotan
jernang dengan sistem
wana tani
c. Penetapan batas kawasan
d. Penyusunan rencana aksi
pemantauan pemanenan
dan pemasaran getah
jernang
a. Monitoring populasi
tanaman rotan jernang
dan pengawasan
peredaran getah
jernang oplosan
b. Penetapan aturan
larangan pemanenan
dengan menebang
batang rotan jernang
Strategi-strategi pengembangan prioritas (SO) yang dapat
dilakukan, antara lain:
a. Melakukan kajian/penelitian terhadap aspek-aspek sosial, ekonomi,
pengolahan produk, dan lainnya yang bermanfaat dalam
pengembangan budidaya rotan jernang;
b. Dukungan pengembangan pengobatan herbal memanfaatkan getah
jernang sebagai antioksidan dan proagulasi;
c. Meningkatkan nilai jual getah jernang sebagai bahan setengah jadi
ataupun bahan jadi dengan melakukan kerja sama dengan industri
farmasi, pewarna dan pengawet organik;
d. Sosialisasi penggunaan peralatan pengolah sederhana yang dapat
kualitas dan memenuhi standar kualitas nasional (SNI).
Strategi-strategi pengembangan prioritas (ST) yang dapat
dilakukan, antara lain:
a. Penerapan teknik pemanenan lestari; pemanenan dilakukan tidak
melebihi kemampuan pertumbuhan dan regenerasinya.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 343
b. Pengembangan hutan/ kebun rotan jernang dengan sistem wana tani;
c. Penetapan batas kawasan hutan yang jelas;
d. Penyusunan rencana aksi pemantauan pemanenan dan pemasaran getah
jernang.
Strategi-strategi pengembangan prioritas (WT) yang dapat
dilakukan, antara lain:
a. Monitoring populasi tanaman rotan jernang dan pengawasan peredaran
getah oplosan;
b. Penetapan aturan larangan pemanenan dengan menebang batang rotan
jernang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Pengelolaan hasil hutan bukan kayu rotan jernang merupakan
langkah yang strategis untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di
sekitar hutan sekaligus mendukung upaya pelestarian hutan. Apabila
HHBK ini dikelola dengan baik, rangkaian tata usaha ini akan membuka
mata pencaharian dan peningkatan pendapatan dalam rangka pengentaskan
kemiskinan. Upaya peningkatan populasi rotan jernang dapat dilakukan
melalui kegiatan penanaman intensif dengan pola wanatani serta praktek
pemanenan yang tidak melebihi pertumbuhannya. Standarisasi kualitas dan
dukungan kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga akan
mendukung tata niaga yang adil.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Planologi Kehutanan, 2010. Penentuan Tingkat Referensi Emisi.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan,
Jakarta. http://www.dnpi.go.id/mrv2/Sesi%20I/ Penentuan%20
Tingkat%20Referensi%20Emisi%20(Defining%20Reference%20
Emission%20Level)Ruandha%20A%2 Sugardiman.pdf. Diakses
20 November 2013.
Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001. Keadaan Hutan
Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia dan
Washington D.C.: Global Forest Watch.
344| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Harian Merdeka online, 2007. Permintaan 400 ton ke china per tahun
kemampuan hanya 27 ton/tahun (http://www.merdeka.com/
ekonomi/internasional/china-butuh-400-ton-jernang-rotan-dari-
indonesia-bz6qu2l.html). diakses 20 Maret 2014.
Rangkuty, F. 2006. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 18 – 35 p.
Sumarna, Y. 2004. Budidaya rotan penghasil getah jernang. Badan
Puslitbang Bogor.
Waluyo, T.K. dan Pasaribu, G. 2013. Aktivitas Aktioksidan dan
Antikoagulasi Resin Jernang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 31(4):
306-315
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 345
ANALISIS KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA GULINGGANG
(Cassia alata L ) SEBAGAI TUMBUHAN BAWAH DALAM SISTEM
AGROFORESTRI
Adnan Ardhana1)
Dan Wawan Halwany1)
1)Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Jl. A Yani Km 28.7 Landasan Ulin Banjarbaru Kalimantan Selatan
Phone/fax: +62-511-4707872; Email: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu potensi hasil hutan kayu dan mempunyai manfaat sebagai tumbuhan
obat yang tersebar di Kalimantan Selatan adalah Gulinggang (Cassia alata
L).Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendapatan dan kelayakan
budidaya Gulinggang. Penelitian dilakukan di desa Mangkaok, Kecamatan
Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Data yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil wawancara dengan petani
dan data sekunder yang berasal dari pustaka yang berhubungan dengan tujuan
penelitian. Analisis yang digunakan dengan analisis pendapatan dan Revenue
Cost Ratio (R/C). Hasil peneliitian Total Pendapatan selama satu tahun sebesar
Rp. 25.327.500,-.dan Revenue Cost Ratio sebesar 2,47 atau R/C > 1. Dengan
demikian, usaha budidaya Gulinggang layak untuk dilaksanakan.
Kata Kunci: Pendapatan, Analisis Kelayakan, Gulinggang (Cassia alata L)
I. PENDAHULUAN
Hutan tropis Indonesia yang sangat luas beserta keanekaragaman
hayati yang ada didalamnya merupakan sumber daya alam yang tak ternilai
harganya. Saat ini sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat obat, namun
baru sekitar 200 spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pada
industri obat tradisional dan dari jumlah tersebut baru sekitar 4% yang
dibudidayakan. Penggunaan bahan alam sebagai obat (biofarmaka)
cenderung mengalami peningkatan dengan adanya isu back to nature dan
krisis ekonomi yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat
terhadap obat-obat modern yang relatif lebih mahal harganya. Obat dari
bahan alam juga dianggap hampir tidak memiliki efek samping yang
membahayakan. (http://www.bbpp-lembang.info.)
346| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Salah satunya adalah Gulinggang (Cassia alata L.). Tumbuhan ini
merupakan perdu yang tumbuh tegak, tinggi sampai 3 m, tumbuh di
tempat-tempat yang lembab mulai dari dataran rendah sampai + 1.400 m di
atas permukaan laut, kadang-kadang juga ditanam sebagai tanaman hias.
Dibeberapa tempat jenis ini dikenal dengan nama Ketepeng Cina, Kupang-
kupang (Manado), atau Ki Manila (Jawa) (Heyne , 1987). Cassia alata L
termasuk ke dalam Famili Fabaceae. Tumbuhan ini merupakan jenis asli
dari Amerika Tengah terutama di daerah Caribia namun jenis ini juga
dikenal atau ditemukan di daerah-daerah tropis dan kepulauan
(Hennebelle, Hennebelle, T., B. Weniger, H. Joseph, S. Sahpaz., F.
Bailleul, 2009). Di Kalimantan Selatan, Gulinggang ditemukan di hampir
semua wilayah diantaranya Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai
Utara, Tabalong, Tanah Bumbu, Kotabaru, dan Banjar. Tumbuhan ini
biasanya ditemukan dalam kondisi mengelompok di daerah lembah, pinggir
sungai di lereng gunung atau ditemukan di daerah lembab.
Adapun bagian tumbuhan gulinggang yang dimanfaatkan adalah
pada bagian daun dengan manfaat dari daun gulinggang sebagai obat
diantaranya adalah sebagai obat sembelit, sakit perut, liver, penyakit kulit
pada umumnya seperti panu dan kurap, malaria, dan flu (Hennebelle, et al.,
2009, Naemah, 2012).
Beberapa penelitian, khususnya mengenai komoditas tumbuhan
obat di Kalimantan sudah pernah dilakukan. Naemah (2012) melakukan
Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Bagi Masyarakat Dayak di
Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Suyanto dan
Hafizianor (2006) melakukan Inventarisasi Komposisi Jenis Dan Potensi
Tumbuhan Berkhasiat Obat Dari Hutan Rawa Di Propinsi Kalimantan
Selatan,Andriani (2010) melakukan Eksplorasi Tumbuhan Hutan
Berkhasiat Obat Di Kalimantan Selatan Dan Kalimantan Tengah masih
bersifat identifikasi dan eksplorasi belum sampai tahap budidaya sampai
kelayakan pengusahaanya.
Saat ini, kebutuhan daun Gulinggang khususnya di Kalimantan
Selatan masih mengandalkan dari tumbuhan alam. Mengingat potensi
manfaat dan ekonominya perlu dilakukan kajian analisis kelayakan usaha
budidaya gulinggang sebagai salah satu komoditas tumbuhan bawah dalam
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 347
sistem agroforestri yang saat ini sedang banyak di kembangkan sebagai
tambahan penghasilan masyarakat sekitar hutan.
II. METODE PENELITIAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penentuan lokasi dan teknik pengambilan responden dilakukan
secara purposive dengan criteria telah melakukan kegiatan budidaya
Gulinggang. Berdasarkan hal tersebut maka kegiatan penelitian ini
dilakukan di desa Mangkaok, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan. Desa ini dipilih karena kegiatan budidaya tanaman
gulinggang telah dilakukan dan masih berlangsung sampai saat ini.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2014. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan petani pelaku
budidaya gulinggang dan pengumpulan data sekunder yang berasal dari
pustaka yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data primer yang
dikumpulkan adalah data-data yang berhubungan dengan biaya yang
dikeluarkan dalam budidaya gulinggang.
B. Analisis data
Penelitian ini menggunakan dua jenis analisis yaitu :
1. Analisis Pendapatan
Soekartawi (1995) menyatakan pendapatan usahatani adalah
selisih antara penerimaan (TR) dan semua biaya (TC), dimana penerimaan
usahatani adalah perkalian antara produksi dan harga jual, sedangkan biaya
adalah semua pengeluaran yang digunakan dalam suatu usahatani. Jadi
rumus pendapatan dapat dituliskan sebagai berikut:
Keterangan:
π = Pendapatan
TR = Total Revenue (Total Penerimaan)
TC = Total Cost (Total Biaya)
Dimana:
TR = P.Q
TC = FC+VC
348| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
2. Analisis Kelayakan
Kelayakan usahatani adalah suatu ukuran untuk mengetahui usaha
ini layak untuk diusahakan atau tidak layak. Disini dalam artian apakah
dapat menghasilkan suatu manfaat atau tidak. Suatu usahatani yang akan
dilaksanakan dinilai dapat memberikan keuntungan atau layak diterima jika
dilakukan analisis kelayakan usaha, kelayakan usaha dapat diketahui
dengan pendekatan R/C. R/C adalah singkatan dari Revenue Cost Ratio
atau dikenal dengan perbandingan antara total penerimaan (R) dan total
biaya (C).
Soekartawi (1995) lebih lanjut mengemukakan bahwa analisis
Revenue Cost Ratio merupakan analisis yang melihat perbandingan antara
penerimaan dan pengeluaran. Tujuannya adalah untuk mengetahui layak
atau tidak usahatani itu dilaksanakan, dengan rumus:
Keterangan:
a = Perbandingan antara Total Revenue dengan Total Cost
R = Total Revenue (total penerimaan)
C = Total Cost (total biaya)
Apabila R/C = 1, berarti usaha tani tidak untung tidak pula rugi
atau impas, selanjutnya bila R/C < 1, menunjukkan bahwa usaha tersebut
tidak layak diusahakan dan jika R/C > 1, maka usahatani tesebut layak
untuk diusahakan (Soekartawi, 2002).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Biaya Usaha Budidaya
Budidaya mempunyai tujuan utama yaitu untuk mendapatkan hasil
yang maksimal dengan menggunakan faktor produksi seoptimal mungkin.
Didalam usaha budidaya Gulinggang ini rekapitulasi biaya yang
dikeluarkan harus diperhitungkan sebagai biaya oleh pengelola usaha tani,
karena dengan diketahui biaya dan penerimaan seorang petani dapat
memperkirakan apakah usahatani yang dilakukan untung atau rugi. Biaya
usahatani menurut Kaslan (1982) dalam Husni, et.al, (2014) dapat
digolongkan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 349
A.1. Biaya Tetap
Biaya tetap (Fixed Cost) adalah jenis biaya yang selama kisaran
waktu operasi tertentu atau tingkat kapasitas produksi tertentu selalu tetap
jumlahnya atau tidak berubah walaupun volume produksi berubah. Biaya
tetap usaha budidaya Gulinggang ini dapat dilihat dalam tabel 1. berikut :
Tabel 1. Biaya Tetap Budidaya Gulinggang
No Uraian Biaya
1 Sewa lahan Rp. 3,750,000,-
2 Gunting stek Rp. 110,000,-
Total Rp. 3.850.000,-
Sumber : Data Primer, diolah (2014)
A.2. Biaya Tidak Tetap (variabel)
Biaya variabel (Variable Cost) adalah jenis-jenis biaya yang besar
kecilnya tergantung pada banyak sedikitnya volume produksi. Apabila
volume produksi bertambah maka biaya variabel akan meningkat,
sebaliknya apabila volume produksi berkurang maka biaya variabel akan
menurun. Dalam analisis titik impas disyaratkan bahwa perubahan biaya
variabel ini sebanding dengan perubahan volume produksi, sehingga biaya
variabel per-unit barang yang diproduksi bersifat tidak tetap.
Biaya tidak tetap (variabel) terdiri dari : biaya sarana produksi dan
biaya tenaga kerja, jadi biaya keseluruhan yang dikeluarkan oleh petani
dapat dilihat dalam tabel 2. Berikut :
Tabel 2. Biaya Tidak Tetap Budidaya Gulinggang
No Uraian Biaya (Rp)
1 Pupuk 1,237,500
2 Bibit 6,750,000
3 Pemeliharaan 1,100,000
4 Persiapan lahan 2,000,000
5 Upah Penanaman 2,250,000
Total Biaya 13.337.500
Sumber : Data Primer, diolah (2014)
350| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
A.3 Biaya Total
Biaya total adalah penjumlahan dari Biaya Tetap dan Biaya
Variabel. Jadi Biaya Total yang dikeluarkan oleh petani pada usaha
budidaya Gulinggang adalah sebesar Rp 17.197.500/ Ha.
B. Pendapatan Usahatani.
Analisis pendapatan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui besarnya pendapatan yang diperoleh petani dengan cara
menghitung selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang
dikeluarkan selama satu tahun. Sehingga perlu diketahui terlebih dahulu
besarnya tingkat penerimaan yang diperoleh serta biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam melakukan suatu usaha budidaya tersebut. Adapun
asumsi yang digunakan dalam analisis usaha budidaya Gulinggang adalah
sebagai berikut :
a) Waktu penghitungan adalah 1 tahun
b) Jarak tanam menggunakan 1,5 m x 1,5 m
c) Pemanenan dilakukan mulai bulan ke 4
d) Frekuensi pemanenan adalah satu kali per bulan
e) Rata-rata volume produksi per pohon adalah 0,7 kg
f) Harga jual di tingkat petani adalah Rp. 1500,-/kg
Tingkat penerimaan petani dalam usaha budidaya Gulinggang
dapat dilihat dalam tabel 3 berikut :
Tabel 3. Pendapatan Usaha Budidaya Gulinggang
No Uraian Nilai Konversi
(Rp/Ha)
1. Penerimaan Usaha Tani
- Rata-Rata Produksi/bulan Rp.3.150 kg
- Rata-rata produksi/tahun Rp.28.350 kg
- Harga jual Rp.1.500,-
Rata-Rata Penerimaan 42.525.000
2. Biaya Produksi
Biaya Tetap
- Sewa lahan 3.750.000
- Gunting Stek 110.000
Biaya Tidak Tetap
- Pupuk 1,237,500
- Bibit 6,750,000
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 351
- Pemeliharaan 1,100,000
- Persiapan lahan 2,000,000
- Upah Penanaman 2,250,000
Biaya Total 17.197.500
Pendapatan (2-1) 25.327.500
Sumber : Data Primer, diolah (2014)
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa total
penerimaan dari usaha budidya Gulinggang adalah Rp. 42.525.000,- dan
total pendapatan dari usaha budidaya Gulinggang sebesar Rp. 25.327.500,-
dalam periode 1 tahun.
C. Analisis Kelayakan Budidaya Gulinggang
Untuk mengetahui kelayakan pengembangan budidaya Gulinggang
dalam penelitian ini digunakan analisis Revenue of Cost Ratio (R/C) yakni
besarnya perbandingan penerimaan dan biaya total dengan menggunakan
rumus Revenue of Cost Ratio (R/C), dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
a = Perbandingan antara Total Revenue dengan Total Cost
R = (Total Revenue) penerimaan total, dinyatakan dalam satuan (Rp)
C = (Total Cost) Biaya total, dinyatakan dalam satuan (Rp)
Dengan Kriteria apabila:
R/C > = Usaha pengembangan Gulinggang menguntungkan atau layak
diusahakan
R/C =1 = Usaha pengembangan Gulinggang berada pada titik impas
R/C < 1 = Usaha pengembangan Gulinggang dalam keadaan rugi atau tidak
layak diusahakan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh tingkat kelayakan usahatani
Gulinggang sebagai berikut:
= 2.47
352| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penerimaan yang diterima oleh petani adalah Rp 42.525.000,- dengan rata-
rata biaya total sebesar Rp 27.327.500,- sehingga diperoleh Revenue of
Cost Ratio sebesar 2,84. Dengan demikian, usaha budidaya Gulinggang
layak untuk diusahakan, sebab nilai rasio R/C > 1.
IV. KESIMPULAN , KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tingkat penerimaan petani
dalam usaha budidaya Gulinggang adalah sebesar Rp. 42.525.000,- dengan
total pendapatan sebesar Rp. 25.327.500. R/C rasio dari usaha budidaya
Gulinggan adalah sebesar 2,47 atau R/C >1 sehingga usaha budidaya
Gulinggang ini layak dilaksanakan.
B. Keterbatasan
Penelitian ini hanya terbatas pada kelayakan pengusahaan secara
spesifik lokasi dan jangka pengusahaan selama 1 tahun produksi mengingat
daya produksi/daur hidup tanaman Gulinggang belum diketahui.
C. Saran
Dalam rangka pengembangan sistem agroforestri, perlu dilakukan
kajian lebih lanjut mengenai jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan
bersama dengan Gulinggang mengingat sifat tumbuhan ini yang perlu
intensitas cahaya cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Hennebelle, T., B. Weniger, H. Joseph, S. Sahpaz., F. Bailleul. 2009.
Senna alata. Fitoterapia 80 (2009) 385-393.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta.
Husni, Abdul Kholik Hidayah, dan Maskan AF. 2014. Analisis Finansial
Usahatani Cabai Rawit (Capsicum Frutescens L) Di Desa
Purwajaya Kecamatan Loa Janan. Jurnal AGRIFOR Volume XIII
Nomor 1, Maret 2014. Universitas 17 Agustus. Samarinda
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 353
Herdina, Elvina. Potensi Tanaman Obat Indonesia. http://www.bbpp-
lembang.info. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2014
Naemah, Dina.2012. Inventarisasi Tumbuhan Berkhasiat Obat Bagi
Masyarakat Dayak di Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. Laporan Penelitian (Mandiri). Fakultas Kehutanan
Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
_________, 2002. Ilmu Usahatani, Jakarta.
354| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PROSPEK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI DODOL DAN
MANISAN PALA DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Yulia Ratnaningsih
Fakultas Ilmu Kehutanan UNTB
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untukmengetahui faktor yang mempengaruhi produksi
dodol dan manisan pala, mengetahui hambatan yang mempengaruhi dalam
pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala, dan mengetahui prospek
pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala. Penelitian ini dilakukan
di Desa Mantang Kecamatan Batu Kliang. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode deskriptif. Teknik pemilihan lokasi dilakukan secara purposive
sampling. Penentuan jumlah responden pengrajin dilakukan secara sensus
dengan 15 unit usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala adalah
bahan baku dan tenaga kerja, hambatan yang dialami pengrajin dalam pe
ngembangan agroindustri dodol dan manisan pala adalah pemasaran terbatas,
modal kurang dan alat produksi masih sederhana; Pengembangan agroindustri
dodol dan manisanpala secara ekonomi berprospek baik yang ditunjukkan oleh
nilai rentabilitas yang lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku saat ini
yaitu 1,25 % per tahun dan nilai (R/C >1), menguntungkan secara sosial dapat
diterima oleh masyarakat, dan tidak merusak lingkungan.
Kata kunci : Prospek, agroindustri, dodol pala, manisan pala.
I. PENDAHULUAN
Tanaman pala (Myristica fragrans houtt)merupakan salah satu
tanaman asli Indonesia sangat potensial sebagai komoditas perdagangan di
dalam dan di luar negeri (ekspor) berasal dari pulau banda, yang dapat
diolah menjadi bahan makanan, obat-obatan, parfum, kosmetik, dan lain-
lain.Tanaman ini merupakan tanaman keras dapat berumur panjang hingga
lebih dari 100 tahun. Indonesia telah menduduki posisi pertama penghasil
pala dunia, karena sebagian besar kebutuhan pala dunia berasal dari negara
kita. Lebih dari 60 % kebutuhan pala dunia didatangkan dari Indonesia
selebihnya didatangkan dari negara Grenada, India, dan Madagaskar.
Adapun negara pengimpor pala adalah negara-negara Eropa dan negara di
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 355
AmerikaSudah sejak lama tanaman pala dikenal sebagai bahan rempah-
rempah. Hasil pala Indonesia lebih disukai oleh pasaran luar negeri
(ekspor) karena memberikan aroma khas dan memiliki rendemen minyak
atsiri yang tinggi(Rahmat, 2004).
Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2010, Kecamatan Batukliang, Kabupaten Lombok
Tengah merupakan salah satu sentra agroindustri dodol pala dan manisan
pala dengan 15 unit usaha yang mampu memproduksi 8.125 kg/tahun.
Luas panen maupun jumlah produksi pala di Kabupaten Lombok
Tengah selama lima tahun terakhir berfluktuasi, meskipundemikian tetapi
secara kuantitas produksi pala relatip cukup banyak seperti halnya
komoditas-komoditas yang lain. Produksi pala ini selain produksinya
kontinyu juga persediaannya cukup banyak, hal inilah yang merupakan
faktor pendorong berkembangnya usaha pengolahan pala diKabupaten
Lombok Tengah. Tujuan Penelitian, untuk mengetahui prospek
pengembangan,faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, dan hambatan
yang mempengaruhi produksi pada agroindustri dodol dan manisan pala di
Kabupaten Lombok Tengah.
II. METODE PENELITIAN
A. Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode yang
mengumpulkan, menyusun dan menganalisa serta menginterpretasikan data
kemudian menarik kesimpulan. Sedangkan teknik pengumpulan data
mengunakan teknik survey, yaitu pengumpulan data dari sejumlah individu
(unit sampling) dalam waktu bersamaan dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang telah disusun sebelumnya (Arikunto, 2000). Penelitian ini
dilaksanakan Kabupaten Lombok Tengah, yang ditentukan secara
“purposive sampling“ atas dasar pertimbangan bahwa industri pengrajin
pala hanya ada di kecamatan Batukliang yaitu sebanyak 15 unit usaha, hal
ini berdasarkan data skunder yang diperoleh dari Departemen Perindustrian
dan Perdagangan Kabupaten Lombok Tengah. Atas dasar pertimbangan
yang sama ditentukan Desa Mantang sebagai desa tempat penelitian.
356| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penentuan jumlah Responden dilakukan dengan cara “sensus” yaitu
sebanyak 15 pengusaha pala.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Agroindustri Dodol dan Manisan Pala
Agroindustri dodol dan manisan pala di Kabupaten Lombok Tengah
terdapat diDesa Mantang Kecamatan Batukliang merupakan satu-satunya
sentra produksi yang tercatat di Departemen Perindustrian dan
Perdagangan. Agroindustri dodol dan manisan pala ini umumnya dilakukan
pada skala industri kecil (Industri rumah tangga) yang dilakukan oleh ibu-
ibu rumah tangga, dengan modal yang terbatas dan bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu juga untuk mengisi kios/
toko yang dimiliki, perluasan lapangan kerja, menyerap tenaga kerja dan
mengurangi limbah buah pala yang hanya dimanfaatkan bijinya saja.
Sehingga keberadaannya mampu mengoptimalkan produktivitas tenaga
kerja dalam keluarga petani pala dan dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat pedesaan dari penggunaan daging buah pala yang sebelumnya
tidak bernilai ekonomi.
Tenaga kerja yang digunakan pada agroindustri dodol dan manisan
pala adalah tenaga kerja dalam keluarga dan luat keluarga. Adapun cara
yang digunakan dalam pengolahan dodol dan manisan pala ini masih
sederhana yang dibuktikan dengan pengunaan alat-alat yang masih
sederhana serta belum menggunakan alat-alat yang modern. Demikian pula
dengan penjemurannya masih bergantung dengan sinar matahari, belum
menggunakan oven.
Pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala di Desa
Mantanng sangat ditunjang dengan ketersediaan bahan baku yang cukup
tersedia secara kontinyu. Hal ini merupakan hasil binaan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan sejak tahun 1999 yang memberi bimbingan
keterampilan manajemen dan teknologi pembuatan dodol dan manisan
buah pala. Pemerintah juga memberikan bantuan berupa pinjaman modal
usaha, peralatan produksi berupa baskom, pisau, pengaduk, wajan, kompor
dan dandang. Hal ini dilakukan untuk memberikan motivasi agar
pengembangan agroindustri dodol dan manisan pala dapat berjalan lancar.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 357
B. Biaya Produksi
Biaya produksi yang dikeluarkan pengrajin untuk pengolahan
dan pengembangan agroindustri pala meliputi biaya variabel dan biaya
tetap. Dari hasil analisa diketahui total biaya produksi untuk manisan pala
dalam satu bulan sebesar Rp 192.697,- dan untuk dodol pala sebesar
Rp147.842,- yang meliputi biaya bahan baku, biaya depresiasi alat tahan
lama dan biaya tenaga kerja dari luar keluarga. Rata-rata biaya tenaga
kerja untuk pembuatan manisan pala dalam satu bulan yaitu Rp 75.510,-
sedangkan pada pembuatan dodol pala biaya tenaga kerjanya sebesar Rp
59.443,-.Para pengrajin palamengalami peningkatan setiap menjelang
perayaan hari raya Idul Fitri dimana peningkatannya mencapai dua kali
lipat dari jumlah permintaan normal setiap bulannya.Adapun besaran
biaya untuk produksi dodol dan manisan pala dapat dilihat pada tabel 1:
Tabel 1 Biaya Produksi Dodol dan Manisan Pala
No Jenis Biaya Besar Biaya Persentase
Manisan Dodol Manisan Dodol
1
2
3
Biaya Variabel
* Biaya Bahan Baku
* Biaya Tenaga Kerja
Biaya Tetap
Biaya Depresiasi
Biaya Pemasaran
90.832
75.510
5.467
20.888
66.832
59,443
5.467
16.100
47,14
39,18
2,83
10,83
45,20
40,20
3,69
10,89
Jumlah 192.697 147.842 100 100
Dari tabel1terlihat bahwa biaya produksi terbesar yang dikeluarkan
pengusaha adalah biaya bahan baku,untuk dodol sebesar Rp 66.832,- atau
sebesar 45,20 % dan manisan pala sebesar Rp 90.832,-atau sebesar 47.14
% dari seluruh biaya yang dikeluarkan.
Penjelasan dari masing-masing biaya produksi pada tabel 1 adalah
sebagai berikut:
1. Biaya Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan dodol dan manisan pala
adalah buah pala. Rata-rata biaya bahan baku buah pala dan bahan
penolong yang digunakan dalam pembuatan manisan dan dodol pala oleh
358| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
responden dalam satu bulan adalah sebesar Rp 90.832,- untuk manisan
pala dan Rp 66.832,- untuk dodol pala.
2. Biaya Tenaga Kerja
Biaya tenaga kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
biaya tenaga kerja luar keluarga dan dalam keluarga pada semua
kegiatan, yang terdiri dari kegiatan pengupasan,
penumbukan/penghalusan. Kegiatan pengupasan dan penumbukan
sampai penghalusan hasil analisis menunjukan bahwa (100%) responden
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga sedangkan proses pemasakan
menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Adapun yang dihitung dalam
penelitian ini adalah tenaga kerja luar keluarga. Pada penelitian ini tenaga
kerja dalam keluarga tidak dihitung karena usaha agroindustri ini sifatnya
masih skala rumah tangga sehingga mereka tidak pernah
memperhitungkan biaya tenaga kerja dalam keluarga. Lebih jelas biaya
tenaga kerja yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2 Rata-rata Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga dan Tenaga Kerja
Luar Keluarga
No Jenis kegiatan
Dalam
keluarga
(Rp)
Luar
keluarga
(Rp)
Total (Rp)
1.
2.
Pengupasan dan pemotongan
(Pembuatan manisan )
Pengupasan penghalusan
(pembuatan dodol )
-
-
75.510
59.443
75.510
59.443
Jumlah - 134.953 134.953
Sumber : Data primer diolah
Dari tabel terlihat bahwa biaya tenaga kerja terbesar dikeluarkan
pengrajin responden adalah jenis kegiatan pengupasan dan pemotongan
buah pala sebagai bahan pembuatan manisan pala yaitu sebesar Rp.
75.510.
3. Biaya Depresiasi
Alat-alat yang digunakan oleh responden pengrajin untuk
memproduksi makanan dengan bahan baku pala yaitu mulai dari
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 359
pengupasan. Penumbukan sampai penghalusan buah pala yaitu alat
penumbuk,kelabang,pisau,baki,bak peredam,parut, dandang, kompor dan
sendokpengaduk. Biaya depresiasi alat-alat tahan lama dalam satu bulan
adalah Rp.10.934 dengan alat yang nilai depresiasi yang terbesar adalah
kompor yaitu Rp Rp 2.250,-. Karena penggunaan alat-alat yang sama dan
bergantian pada agroindustri dodol dan manisan pala ini maka dalam
perhitungannya nilaibiaya depresiasi ini dibagi dua.
Tabel 3 Rata-rata Biaya Depresiasi Alat-alat Tahan Tama
No Jenis Alat Biaya Depresiasi (RP)
1. Alat penumbuk 1.800
2. Kelabang 750
3. Pisau 350
4. Baki 1000
5. Bak perendam 1100
6. Parut 984
7. Dandang 2.100
8. Sendok pengaduk 200
9
.
Kompor 2.250
10.934.
Jumlah
Sumber : Data primer diolah
4. Nilai produksi
Nilai produksi yaitu hasil kali antara jumlah produksi dodol dan
manisan pala (kilogram) dengan harga produksi per unit (Rp/kg). Secara
rinci rata-rata produksi, harga per unit dan nilai produksi dodol dan
manisan pala dapat dilihat pada tabel 4 berikut:
Tabel 4 Rata-rata Produksi, Harga Per Unit, dan Nilai Produksi
No Uraian Nilai ( Rp/Kg)
Dodol Manisan
1. 2.
3.
Produksi Harga per Unit
Nilai Produksi
12.93 18.833
244.866
24.67 14.700
359.066
Sumber : Data primer diolah
360| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Dari tabel 4 diatas dapat dijelaskan bahwa rata-rata jumlah
produksi agroindustri pala yaitu sebanyak 37.6 kg dimana produksi
manisan pala sebesar 24.67 Kg dan dodol pala sebesar 12.93 Kg. Rata-rata
harga per unit untuk manisan adalah Rp.14.700,-dan untuk dodol sebesar
Rp. 18.833,-. Sedangkan rata-rata nilaiproduksi untuk manisan pala yaitu
mencapai Rp.359.066,- dan untuk dodol pala sebesar Rp 244.866,-.
Sehingga dicapai total nilai produksi untuk kedua komoditi adalah sebesar
Rp 603.932,-
5. Pendapatan Pengrajin
Besarnya pendapatan yang diterima pengrajin sangat tergantung
pada besarnya biaya produksi,jumlah produksi,dan nilai produksi.
Pendapatan yang diperoleh pengusaha responden dihituhg dengan cara
mengurangi nilai produksi dengan biaya produksi.Besarnya pendapatan
bersih responden pengrajin dodol dan manisan pala dalam satu bulan dapat
dilihat pada tabel 5 berikut
Tabel 5. Rata-rata Pendapatan Bersih Responden
No Uraian Nilai
1. Nilai produksi
Manisan
Dodol
359.066
244.866
2. Total biaya produksi
Manisan
Dodol
166.775
131.742
3. Pendapatan Bersih
Manisan
Dodol
179.757
102.390
Sumber : Data primer diolah
Dari hasil analisis maka dapat dikatakan bahwa usaha agroindustri
manisan palalah yang lebih menguntungkan hal ini dapat dilihat dari nilai
pendapatan bersih didapat dari pembuatan manisan pala yang lebiih tinggi
yaitu sebesar Rp 179.757,-
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 361
C. Prospek Pengembangan Agroindustri Pala
Untuk mengetahui prospek pengembangan usaha pengolahan buah
pala di Desa Mantang digunakan analisis rentabilitas . Analisis rentabilitas
yang dimaksud yaitu menunjukkan perbandingan antara laba atau
pendapatan bersih dengan modal atau total biaya yang menghasilkan laba
(pendapatan) tersebut
Tabel 6 Nilai Rentabilitas dan R/C Ratio dalan Satu Bulan
No Uraian Nilai (Rp)
1. Pendapatan Kotor (Rp)
* Manisan
* Dodol
192.290
113.124
2. Total Biaya(Rp)
* Manisan
* Dodol
166.775
131.742
3. Pendapatan Bersih (Rp)
* Manisan
* Dodol
179.757
102.390
4. Nilai Rentabilitas (%)
Manisan
Dodol
166
121
5. Nilai R/C Ratio
Manisan
Dodol
2.77
2.39
Sumber : Data primer diolah
Agar dapat menentukan layak atau tidaknya agroindustri dodol
dan manisan pala ini untuk dikembangkan dapat diketahui dengan
membandingkan rentabilitas dengan tingkat suku bunga bank yang sama
dengan periode atau lama produksi dodol dan manisan pala.
Tingkat suku bunga tersebut diketahui sebesar 1 % perbulan.sedangkan
besarnya rentabilitas yang diperoleh untuk manisan pala adalah 1.66 %
dan untuk dodol pala adalah sebesar 1.21%. Melihat besarnya nilai
rentabilitas pada usaha pengolahan buah pala yang menunjukkan angka
yang lebih besar dari suku bunga deposito bank artinya bahwa usaha
pengolahan buah pala di Desa Mantang secara ekonomi layak untuk
dikembangkan karena lebih menguntungkan untuk menanam modal pada
362| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
agroindustri dodol dan manisan pala daripada mendepositonya di
Bank.Analisis kelayakan dengan menggunakan rentabilitas ini diperkuat
oleh analisis R/C rasio dimana nilai yang dihasilkan pada usaha pengolahan
buah pala ini yaitu lebih dari 1 (satu) yaitu 2.77 untuk manisan pala dan
2.39 untuk dodol pala berarti besarnya manfaat atau pendapatan yang
diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk agroindustri
tersebut.Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri dodol dan manisan pala
di Desa Mantang dilihat dari aspek ekonomi sangat layak untuk
dikembangkan.Sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat umumnya dan untuk kesejahteraan masyarakat Desa Mantang
khususnya.
Dilihat dari aspek lingkungan, agroindustri dodol dan manisan pala
sangat ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah buah pala segar
yang tadinya terbuang percuma menjadi sampah, Pada awalnya karena
tidak mengeti buah pala hanya di ambil biji dan fulinya saja, tetapi
sekarang telah di adopsi bahwa pemanfaatan daging buah pala dapat dibuat
dodol dan manisan pala sehingga memiliki nilai ekonomis. Limbah rumah
tangga petani buah pala dapat diserap dan dimanfaatkan sehingga tidak
merusak lingkungan.
Dilihat dari aspek sosial, agroindustri dodol dan manisan pala
diterima oleh masyarakat hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar akan
produk dodol dan manisan pala yang semakin diminati masyarakat dan
pengalaman usaha para pengrajin dodol dan manisan pala yang berkisar
antara 3-12 tahun.
D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi Dodol dan Manisan
pala
Faktor – faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi dodol
dan manisan pala diidentifikasi berdasarkan teori dan disesuaikan dengan
spesifikasi masalah yaitu biaya bahan (X1) dan tenaga kerja (X2), Faktor-
faktor tersebut merupakan variabel bebas dalam penelitian ini sedangkan
yang menjadi variabel terikat adalah produksi dodol dan manisan pala di
Desa Mantang. Pengujian secara serentak tentang pengaruh variabel bebas
(x1 dan x2) terhadap produksi dodol pala menunjukkan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,5469. Artinya, 54,69 %keragaan dalam
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 363
produksi dodol pala dapat diterangkan oleh keragaan variabel bebas dan
hanya 45.31% dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel bebas yang
diteliti. Selanjutnya hasil analisis serentak menunjukkan bahwa variabel
bebas berpengaruh nyata terhadap produksi dodol pala pada taraf
kepercayaan 95 % karena nilai F hitung sebesar 7.2358933 lebih besar dari
F tabel = 3,89. Artinya secara serentak semua variabel bebas berpengaruh
nyata terhadap produksi dodol pala.
E. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Produksi Dodol Pala Ditampilkan Pada Tabel :
Variabel Koef regresi T Hitung T-tabel Ket
Bahan
Tenaga Kerja
0,178013908
0,051026845
1.85214619
0,10376478
2,179
2,179
NS
NS
Intercept
Koef Deterninan (R2)
F-Hitung
F- Tabel 5 %
11,0448083
0,546687187
7,2358933
3,89
Pada manisan pala koefisien determinasi (R2) sebesar 0.6938.
Artinya 69,39 % keragaan dalam produksi manisan pala dipengaruhi
variabel bebas sedangkan sisanya sebesar 30,61 % dipengaruhi oleh faktor
lain diluar model. Selanjutnya hasil analisis serentak menunjukkan bahwa
variabel bebas berpengaruh nyata terhadap produksi Manisan pala pada
taraf kepercayaan 95 % karena nilai F hitung sebesar 13,594785 lebih besar
dari F tabel ( 4,15). Artinya serentak semua variabel bebas berpengaruh
nyata terhadap produksi manisan pala artinya secara bersama-sama semua
variabel x yang dimasukkan dalam model berpengaruh nyata terhadap Y
(produksi). Pengujian secara parsial pada tingkat kepercayaan 95 %
diketahui bahwa biaya bahan manisan pala (x1) dan biaya tenaga kerja (x2)
secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap produksi manisan pala
yanng dinyatakan dengan nilai P value sebesar 0,08875. Lebih besar dari
nilai α = 0,05.
Hasil analisis regresi faktor yang mempengaruhi produksi dodol pala
ditampilkan pada table.
F. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Produksi Manisan Pala Ditampilkan Pada Tabel :
364| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Variabel Koef regresi T Hitung T-tabel Ket
Bahan
Tenaga Kerja
0,524495189
0,486516231
1,20016989
0,16808876
5 %
5 %
Intercept
Koef Deterninan (R2)
F-Hitung
F- Tabel 5 %
12,76699384
0,693796081
13,594785
4,15
G. HambatanYang diHadapiPengrajin DalamPengembangan
AgroindustriDodol dan Manisan Pala di Desa Mantang
Dalam upaya pengembangan agroindustridodol dan manisan pala
menjadi bahan makanan banyak hambatan yang dirasakan oleh
pengusaha.Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para
pengrajin buah pala tersebut dilakukan dengan cara secara deskriptif data
yang diperoleh wawancara langsung dengan pengrajin, sebagai berikut:
1) Modal Kurang
Modal merupakan salah satu diantara empat faktor produksi yang
dalam ilmu ekonomi dianggap perlu bagi sebuah kesatuan produksi atau
usaha.Modal usaha yang di miliki digunakan untuk pembelian bahan-bahan
baku produksi seperti buah pala dan untuk membayar upah tenaga
kerja.Selain itu juga digunakan untuk pengadan peralatan yang digunakan
memproduksi yaitu alat penggoreng,sudu pengaduk,kelabang,parut,bak
perendam,baki dan alat pengaduk.Dalam perkembangan usaha pengolahan
buah pala di Desa Mantang dari 15 responden ada4 orang dari responden
yang merasakan adanya kendala dalam pemodalannya yaitu kurangnya
modal usaha,sehingga upaya untuk mengembangkan usaha ke skala yang
lebih besar menjadi terhambat.Untuk mengatasi kendala ke 4 responden
tersebut pernah mengambil pinjaman dari koperasi simpan pinjam tetapi
hal ini dirasakan tidak cukup membantu karena bunga pinjaman yang
ditanggung cukup memberatkan sehingga mereka berhenti menjadi nasabah
pada koperasi tersebut.
2) Alat Produksi Sederhana
Alat-alat produksi yang digunakan masih sederhana hal ini merupakan
penghambat dalam proses produksi, seperti halnya pada alat penumbuk dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 365
penghalus untuk pembuatan dodol dan manisan pala yang sangat
mempengaruhi waktu produksi karna dengan menggunakan alat penumbuk
yang manual ini waktu dn tenaga yang dibutuhkan untuk memproduksi
manisan pala menjadi bertambah
3) Pemasaran Terbatas
Dalam agroindustri dodol dan manisan pala di Desa Mantang masih
mengalami hambatan dalam hal pemasaran. Hal ini dapat kita lihat dari
belum adanya pangsa pasar yang baik sehingga ada sebagian pengrajin
yang mengeluh tentang ketidakteraturan pemasaran. Selama ini para
pengrajin hanya memasarkan hasil olahan mereka disekitar lokasi
penelitian.
IV. KESIMPULAN
Tebatas padahasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Secara ekonomi agroindustri dodol dan manisan pala layak untuk
dikembangkan yang ditunjukkan oleh nilai rentabilitas yang lebih besar
dari tingkat suku bunga yang berlaku saat ini yaitu 1,25 % per bulan dan
nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1 (satu).
2. Secara serentak faktor biaya bahan dan biaya tenaga kerja berpengaruh
nyata terhadap produksi dodol dan manisan pala. Sedangkan secara
parsial biaya bahan dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi.
3. Hambatan yang dialami pengrajin dalam pengembangan agroindustri
dodol dan manisan pala adalah pemasaran terbatas, modal kurangdan
alat produksi masih sederhana
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Prospek Pengembangan Buah Pala, Majalah Penyuluh
kehutanan. Jakarta
Assauri sopyan, 1989.Manajemen Produksi. Penerbit FE UI. Jakarta.
Downey dan Ericson, 1992. Manajemen Agribisnis, Erlangga.Jakarta.516 h
Kadariah, Lien Karlina, Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek.
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Press. Jakarta. 104 h.
366| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kartasapoetra, A.G., 1988. Marketing Produk Pertanian dan Industri. Bina
Aksara. Jakarta. 430 h.
Kotler, P, 1987. Manajemen Pemasaran. Analisa Perencanaan dan
Pengendalian Jilid II. Erlangga. Jakarta.
Mosher. 2000. Pengantar Ilmu Ekonomi. Ghalia. Jakarta
Mosher, 1998. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. LPFE UI.
Jakarta.
Mubyarto, 1999. Pambangunan Ekonomi di Dunia Ke Tiga, Airlangga.
Surabaya.
Nitisemito, 1991. Perkembangan Industri di Indonesia, Gramedia. Jakarta.
Rosmilawati, 1988. Pengantar Ilmu Ekonomi, Ghalia. Jakarta.
Riyanto, 2002. Prospek Pengembangan Usaha, Gramedia. Jakarta.
Rifianto. 1999. Pengantar Ilmu Pertanian. Ghalia. Jakarta.
Rifianto, 2003. Ekonomi Makro Indonesia. BPFE. Yogyakarta
Rismunandar, 1990.. Budidaya dan Tataniaga Pala. PT Penebar Swadaya.
Jakarta. Cetakan kedua.
Rusdan, 1988. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro, LPFE UGM. Yogyakarta
Sanyoto, 1993. Prioritas Penanaman Modal Agroindustri. Makalah pada
seminar Permodalan Agroindustri Prospek Pengembangan pada
PJPT II PPA, CIDES dan UQ. Jakarta.
Sutrisno, 1999, Pengolahan Sumber Daya Alam, Bagian Satu IPB.
Bandung.
Sukartawi, A. Soeharto, John L. Dillon, Brion J. Hardaker,1986. Ilmu
Usaha Tani dan penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil.
Universitas Indonesia Press. Jakarta. 253 h.
Sukartawi, 1999. Dunia Investasi Indonesia. Ghalia. Jakarta.
Sukartawi.2001.ekonomipembangunan &perencanaan. Aditya Media
yogyakarta.237 h.
Supartiningsih, S., Hidayati, A., Nufus, N., 1997. Kajian Sistem Pemasaran
pada Agribisnis Ubi Kayu Di Kabupaten Lombok Barat. Laporan
Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram, 93 h.
Sutalaksana, 1993. Sistem Permodalan Pengembangan Agroindustri
Besar,Menengah, Kecil. Makalah pada seminar Permodalan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 367
Agroindustri Prospek Pengembangan pada PJPT II PPA, CIDES
dan UQ. Jakarta.
Simatupang, 1999. Pendidikan Ekoonomi Dasar. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Tohir, 1997. Strategi Pembangunan dan Rencana Kesempatan, Gramedia.
Jakarta.
Winardi, 2000. Strategi Pembangunan dan Rencana Kesempatan kerja,
Aditya Utama Jakarta.
.
368| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
DISTRIBUSI NILAI TAMBAH PADA RANTAI NILAI MADU
HUTAN SUMBAWA
Studi Kasus di Desa Batudulang dan Semongkat, Kec. Batulanteh,
Kabupaten Sumbawa
Yumantoko*, Rubangi Al Hasan
*
* Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jl. Darma Bakti No 7 Ds.Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat, NTB
Email: [email protected]
ABSTRAK
Lebah hutan (Apis dorsata) banyak terdapat di kawasan hutan di Kabupaten
Sumbawa. Lebah hutan tersebut banyak diburu masyarakat desa sekitar hutan
untuk mendapatkan madunya sebagai tambahan penghasilan. Penelitian ini
bertujuan mengetahui distribusi margin tataniaga madu hutan pada setiap rantai
pemasaran. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumbawa pada tahun 2013
dengan mengaambil lokasi di dua tempat yakni di Desa Batudulang, dan
Semongkat. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara menggunakan
kuisioner. Data sekunder didapatkan dari BPS dan instansi terkait. Analisis
data dilakukan secara deskriptif dengan melakukan kalkulasi atas margin pada
setiap rantai tataniaga. Hasil yang didapatkan menunjukan di Batudulang untuk
pasar lokal margin harga terbesar dinikmati petani (74,29%) dan untuk pasar
luar provinsi margin terbesar dinikmati oleh perusahaan dagang tingkat
nasional (71%), di Semongkat margin harga terbesar juga dinikmati oleh petani
(93,10%). Margin harga yang diperoleh petani di Semongkat lebih tinggi
daripada di Batudulang karena rantai tataniaganya lebih pendek. Rantai
tataniaga madu di Batudulang relatif lebih panjang dan beragam. Penelitian ini
merekomendasikan dilakukannya pemberdayaan petani untuk meningkatkan
kapasitas secara personal dan kelembagaan. Di samping itu perlu juga
dilakukan kemitraan yang saling menguntungkan antara pengusaha dengan
petani.
Kata kunci: madu hutan, Sumbawa, margin tataniaga
I. PENDAHULUAN
Sumbawa memiliki potensi HHBK salah satunya berupa madu hutan
yang dihasilkan dari lebah jenis Apis Dorsata yang tersebar merata di
daerah yang masih memiliki hutan dengan kondisi yang masih baik. Madu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 369
hutan merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang penting
karena memberi pendapatan kepada masyarakat sekitar hutan. masyarakat
sudah sejak lama mencari madu hutan yang didapat dari warisan nenek
moyang. Hasil dari berburu madu dapat untuk membantu memenuhi
kebutuhan rumah tangga (Yumantoko, 2013).
Akses informasi pasar yang masih lemah menjadikan petani madu
lebih banyak menjual madu kepada pengepul. Harga yang ditetapkan
pengepul merupakan kesepakan yang umum. Walaupun begitu, pengepul
mendapatkan keuntungan yang besar dari menjual madu yang telah dibeli
dari petani. Hal ini dikarenakan harga beli madu nilainya lebih rendah dari
harga jual yang dilakukan oleh pengepul, sedangkan pengepul membeli
madu dalam skala yang besar. Petani madu merupakan mata pencaharian
yang menjanjikan bagi hampir sebagian besar masyarakat di Batudulang
dan Semongkat. Keberlangsungan pendapatan petani disana salah satunya
ditentukan oleh seberapa besar jumlah pasokan madu yang dapat diperoleh
petani.
Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi nilai tambah
pengusahaan madu, serta interaksi dan kolaborasi mengenai kelembagaan
madu sehingga semua pihak mampu berperan aktif, sehingga didapat
kelembagaan pemasaran yang dapat mendorong kelangsungan
pengusahaan madu.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2013 di Desa Baudulang dan
Desa Semongkat Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Lokasi ini dipilih karena di Daerah tersebut
merupakan daerah penghasil madu hutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan pendekatan
kualitatif. Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data
primer didapatkan menggunakan teknik wawancara dengan panduan
kuesioner. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive
sampling, dimana kriteria yang dijadikan responden adalah pelaku yang
terlibat dengan pengusahaan madu, seperti dari Dinas Kehutanan,
perangkat desa, pengusaha madu, petani madu, maupun masyarakat umum.
370| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber seperti
monografi desa, internet, data BPS, buku, hasil penelitian, dan sumber-
sumber lainnya.
Setelah melakukan pengumpulan data, kemudian dilakukan
pengolahan dan analisis data. Dalam tahap awal dilakukan pengumpulan
data yang diperoleh dari berbagai sumber. Pemilihan data dilakukan secara
hati-hati dengan melakukan cek silang dari berbagai sumber yang ada. Data
yang sudah dikumpulkan kemudian dihitung distribusi nilai tambahnya
menggunakan analisis profit margin (margin keuntungan), efisiensi
pemasaran, dan persentase harga yang diterima produsen (petani). Profit
margin diperoleh dari persentase keuntungan di tiap pelaku terhadap total
keuntungan pada semua level. Profit margin setiap aktor yang terlibat
dalam pemasaran dapat diformulasikan sebagai berikut (Sudiyono 2001).
Formulasi Analisa Data:
1. Margin harga: πi = Psi – Pbi – C
Dimana:
πi = profit yang diperoleh aktor ke-i (lembaga pemasaran ke-i)
Psi = harga penjualan pada aktor ke-i
Pbi = harga pembelian produk pada aktor ke-i
C = biaya transaksi pada setiap aktor
2. Sedangkan efisiensi pemasaran dihitung menggunakan rumus
(Shapred (1962), Soekarwati (2002) dalam Hasan, 2012):
Ep = (TNB/TNP)X100%
Harga yang diterima petani yaitu:
FSi = (Pƒi / Pri) X 100%
Dimana :
Ep = efisiensi pemasaran
TNB = total biaya pemasaran
TNP = total nilai produk
FSi = persentase harga yang diterima produsen
Pƒi = harga ditingkat petani
Pri = harga di tingkat industri
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 371
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi
Kabupaten Sumbawa berada di Pulau Sumbawa, pulau terbesar di
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kabupaten Sumbawa terletak pada
1160 42
0 BT dan 118
022
0 BT serta 8
0 8
0 Ls dan 9
0 7
0. Batas wilayah
Kabupaten Sumbawa sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, di
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Dompu, sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Sumbawa Barat (BPS, 2012).
Kabupaten Sumbawa terbagi kedalam 24 kecamatan dan terbagi
lagi kedalam 158 desa dan 8 kelurahan. Jumlah penduduk pada tahun 2009
sebanyak 420.750 jiwa, yang terdiri dari 214.699 laki-laki dan 206.051
perempuan. Dan rata-rata kepadatan penduduk mencapai 63 jiwa/km2.
Kecamatan terpadat yaitu Kecamatan Sumbawa dengan kepadatan
mencapai 1.204 jiwa/km2. Sebagian besar masyarakat Sumbawa berprofesi
sebagai petani denganhasil utamanya padi dan jagung. Penelitian ini
mengambil sampel di Desa Batudulang dan Semongkat, Kecamatan
Batulanteh. Kedua desa tersebut adalah salah satu daerah yang
menghasilkan banyak madu. Kecamatan Batulanteh sebagian besar
lahannya berupa hutan (BPS, 2012).
B. Jejaring Pengusahaan Madu
Terbukanya perdagangan madu menjadikan persaingan antar
pelaku semakin terbuka, akan tetapi, pola interaksi cenderung merugikan
petani kecil. Pedagang besar merugikan petani dengan membeli hasil panen
dengan harga yang terlalu rendah. Uang yang diterima oleh petani hanya
cukup memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu pedagang besar mampu
mendapat keuntungan yang besar dan mampu melakukan kapitalisasi aset.
Pedagang mendapatkan keuntungan yang besar karena mereka mampu
memberikan nilai tambah madu hutan yang dibeli dari petani. Upaya itu
misalnya dilakukan dengan jalan mengemas madu dalam kemasan yang
lebih cantik dengan label yang menarik. Upaya yang lain misalnya dengan
melakukan penyaringan kembali madu dari petani agar terlihat lebih bersih.
Dalam sistem klaster (Diagram 1) jaringan yang terbangun dalam
pengusahaan madu merupakan usaha untuk mengangkat madu di tingkat
372| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
lokal ke dalam lingkup nasional dan bahkan internasional. Sehingga nilai
tambah dalam pengusahaan madu dapat memberi kontribusi terhadap
kesejahteraan petani.
Sumber: Permenhut No. 19 Tahun 2009
Diagram 1. Skema pemasaran dalam klaster madu
Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan
madu antara lain: Kurangnya wawasan dan pengetahuan dalam
pengusahaan madu. Petani masih menggunakan teknik tradisional dalam
berburu madu, misalnya dengan cara membakar ranting. Di sisi lain dalam
memeras madu petani tidak menggunakan sarung tangan sehingga tidak
higienis.Ini bisa dilihat hampir pada semua tempat penghasil madu di
Kabupaten Sumbawa. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut telah
dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Dengan begitu diharapkan
pengusahaan madu mampu memberdayakan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Jejaring kolaborasi yang dilakukan baik di
Semongkat maupun di Batudulang adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 373
Diagram 2: Jejaring Kelembagaan di Semongkat
Diagram 2 menunjukan jejaring aktor pengusahaan madu di
Semongkat yang utama adalah pengumpul, petani, PLN, dan perusahaan
farmasi. PLN Sumbawa memberi pinjaman tanpa bunga kepada UD Madu
Lestari sebagai modal untuk pengusahaan madu. Pinjaman tersebut antara
lain dialokasikan untuk melakukan pembelian madu dari petani, dan
sebagai modal untuk meningkatkan pemasaran. Petani yang menjadi binaan
dari UD Madu Lestari menjual madu hasil buruannya masih dalam
kemasan jerigen untuk diolah dan dikemas kembali dengan kemasan yang
lebih baik.
Pengumpul di Semongkat melakukan pengolahan kembali madu
hasil buruan dari petani sehingga memiliki nilai tambah atas madu.
Tekniknya dengan melakukan penyaringan. Dengan penyaringan ini
diharapkan akan mengurangi proses fermentasi karena banyaknya kotoran
yang bercampur dengan madu. Selanjutnya madu dikemas dalam berbagai
ukuran untuk kemudian diberikan label sehingga layak jual. Madu
kemudian dipasarkan baik secara eceran di galeri-galeri/outlet yang ada di
Kabupaten Sumbawa, maupun Lombok. Namun sebagian besar lebih
banyak dipasarkan ke perusahaan farmasi di Pulau Jawa.
PLN
Petani
Pengumpul
Perusahaan farmasi di Jakarta
dan Surabaya
374| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Diagram 3. Jejaring Kelembagaan di Batudulang
Diagram 3 menunjukan aktor dalam jejaring kelembagaan
pengusahaan madu di Batudulang. Dibandingkan dengan Semongkat,
pengusahaan madu di Batudulang lebih melibatkan banyak aktor. Aktor-
aktor dalam pengusahaan madu di Batudulang antara lain petani, koperasi,
dinas kabupaten/provinsi, JMHS, BNI, Dian Niaga, dan UPT Kementerian
Kehutanan. Kolaborasi di tingkat desa dapat dilihat antara koperasi dan
petani madu. Petani memiliki peran untuk menjual madu kepada koperasi
dengan kriteria kualitas yang sudah ditentukan. Koperasi menetapkan harga
yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan anggota. Koperasi
melakukan pengolahan untuk memberi nilai tambah madu. Prosesnya
memiliki kesamaan dengan daerah lain misalnya di Semongkat. Madu
dibersihkan dengan cara disaring beberapa kali agar mendapat madu yang
sesuai dengan standar asosiasi.Petani di Batudulang telah membentuk
koperasi di mana koperasi ini menjadi anggota asosiasi yang tergabung
dalam Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI). JMHI ini memiliki standar
tertentu untuk menentukan kualitas madu yang diperdagangkan. Inilah
yang standar yang dipakai oleh koperasi petani di Batudulang. Madu
kemudian dipasarkan lewat kerjasama dengan PT. Dian Niaga, yang
dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan.
Dukungan dalam pengusahaan madu diberikan oleh beberapa
lembaga baik dari pemerintah, swasta, maupun LSM. Lembaga tersebut
antara lain Kementerian Kehutanan, Dinas Kehutanan Kabupaten/Provinsi,
BNI Petani
Koperasi
Dinas
UPT
Kemenhut
Dian Niaga
JMHS/ JMHI
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 375
BNI, JMHI/JMHS. Kegiatan yang rutin dilakukan antara lain bantuan
modal/peralatan, bantuan pelatihan, bantuan pemasaran, dan bantuan dalam
bentuk asistensi teknis untuk pengembangan kelembagaan koperasi dan
petani.
C. Distribusi Nilai Tambah
Petani menjual madu kepada pengepul dengan harga Rp.55.000
sampai dengan Rp. 75.000. Perbedaan tersebut didasarkan pada beberapa
hal. Pertama ketersediaan madu di alam, semakin banyak madu yang bisa
didapatkan maka harga akan semakin murah. Tetapi apabila madu di alam
sulit didapat maka harga akan cenderung naik. Kedua ikatan perjanjian jual
beli antara petani dengan pengepul. Sebelum berangkat mencari madu ke
hutan, petani yang tidak punya modal umumnya memilih untuk meminjam
kepada pengepul. Perjanjian petani dengan pengepul antara lain yaitu
mengenai kesepakatan harga yang akan dikenakan kepada petani. Harga
madu di tingkat pengepul di tingkat desa rata-rata Rp 80.000,- sampai
dengan Rp 120.000,-. hal tersebut dipengaruhi oleh harga dari petani.
Untuk memahami aliran perdagangan madu dari hulu sampai
hilir di Sumbawa dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, petani
mendapat madu dari hutan. Rata-rata biaya yang dikeluarkan petani untuk
pergi kehutan dalam satu hari sekitar Rp 50.000,-. Berdasarkan wawancara,
responden mengatakan bahwa jika dirata-rata petani kehutan tiga hari
mendapatkan madu sebanyak 12,5 botol. Dengan demikian kalkulasinya,
biaya selama tiga hari yaitu Rp.150.000 dan keuntungan bersih jika madu
Diagram 4: Skema pemasaran madu di
Semongkat
Diagram 5: Skema pemasaran madu di
Batudulang
Petani
Pengumpul/Koperasi
Dian
Niaga
Pengecer/Retail
Pengumpul/Usaha
Dagang/Retailer
Perusahaan farmasi
di Surabaya/Jakarta
Petani
376| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dijual dengan harga Rp.60.000, maka untuk biaya satu botol sebesar Rp
7.500,-.
Kedua, petani kemudian membawa madu ke pengepul yang
berada di desa. Pengepul melakukan proses penyaringan untuk membuat
madu lebih bersih, namun ada juga pengumpul yang tidak melakukan
proses ini. Kemudian, madu dikemas kedalam botol kaca bekas sirup atau
botol plastik bekas air mineral. Ada pula pengepul yang menjual madu
dalam jerigen isi 30 liter dan jika di masukan kedalam botol sama dengan
50 botol. Pengepul yang menjual dengan jerigen untuk memenuhi
permintaan luar daerah seperti ke Bima, Sumbawa, Mataram atau bahkan
sampai ke Jawa.
Ketiga, setelah madu sampai di kota tujuan, kemudian madu di
jual di tingkat retail baik milik pribadi pengumpul mapun retail milik orang
lain. Di Sumbawa madu yang telah ditampung khususnya di Semongkat
dan Batudulang ada yang dikirim keluar provinsi. Di Batudulang madu
yang telah terkumpul di Koperasi Hutan Lestari dikirim ke Dian Niaga di
Jakarta. Harga madu yang dipatok oleh Dian Niaga sebesar Rp 90.000
untuk satu kilogram. Sedangkan madu dari Semongkat yang dikumpulkan
oleh UD Madu Lestari di kirim ke perusahaan farmasi seperti Kimia Farma
dengan harga Rp 200.000,- untuk satu kilo untuk diolah menjadi berbagai
produk kesehatan.
Tabel 1: Profit margin tiap aktor pengusahaan madu
No Aktor
Pendapatan
(Rp/1 botol/
620 ml)
Pengeluaran
(Rp/1 botol
620 ml)
Nilai
Tambah
(Rp/)
Persen
tase
(%)
Ep
(%)
Fsi
(%)
Profit margin tiap aktor pengusahaan madu di Batudulang pada pasar lokal
1 Petani /
Pemungut
65.000 7.500 57.500 74,29 70 65
2 Pedagang
Pengumpul/
Perantara
95.000 78.100 16.900 21,83
3 Ritel/Galeri 100.000 97.000 3.000 3,88
Total 260.000 182.000 77.400 100
Profit margin tiap aktor pengusahaan madu di Batudulang pada pasar luar provinsi
1 Petani / 65.000 7.500 57.500 23 42 23
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 377
No Aktor
Pendapatan
(Rp/1 botol/
620 ml)
Pengeluaran
(Rp/1 botol
620 ml)
Nilai
Tambah
(Rp/)
Persen
tase
(%)
Ep
(%)
Fsi
(%)
Pemungut
2 Pedagang
Pengumpul/
Perantara
95.000 78.100 16.900 6
3 Perusahaan
Dagang
Nasional
281.000 100.000 181.000 71
Total 441.000 185.600 255.400 100
Profit margin tiap aktor pengusahaan madu di Semongkat untuk pasar lokal
1 Petani /
Pemungut
75.000 7.500 67.500 93,10 54,7 88
2 Pedagang /
Pengumpul /
ritel/ aleri
85.000 80.000 5.000 6,90
Total 160.000 87.500 72.500 100
Data primer, 2013
Pada tabel 1 menunjukan perhitungan margin harga, efisiensi
pemasaran, dan nilai share bagi petani. Untuk daerah Batudulang dengan
pemasaran untuk tingkat lokal, margin harga terbesar diraih oleh petani
dengan persentase sebesar 74,29% sedangkan yang terendah berada di
galeri/ritel dengan nilai persentase sebesar 3,88. Margin harga untuk petani
diatas berbanding terbalik dengan profit margin tiap aktor pengusahaan
madu di Batudulang pada pasar luar provinsi dimana sebagian besar profit
margin dinikmati oleh perusahaan dagang nasional dengan presentase
sebesar 71% dan bandingkan dengan nilai presentase profit margin yang
diterima petani sebesar 23%. Sedangkan profit margin yang diterima petani
di Semongkat terbesar dinikmati oleh petani dengan persentase sebesar
93,10% dan terendah dinikmati oleh pedagang pengumpul atau galeri
sebesar 6,90%.
Dari kedua tempat baik di Batudulang maupun Semongkat,
persentase efisiensi pemasaran terbesar terdapat di Batu dulang untuk
kategori pasar local yaitu sebesar 70%, sedangkan persentase efisiensi
terkecil berada di Batu dulang dengan nilai persentase efisiensi sebesar
378| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
42% untuk pasar luar provinsi dan terakhir, persentase efisiensi pemasaran
di Semongkat sebesar 54,7%. Semkin tinggi nilai efisiensi maka
pengusahaan madu tersebut semakin tidak efisien (Hasan R.A, 2012). Dari
sini terlihat jelas bahwa pengusahaan madu di Batudulang dengan system
pemasaran luar pulau kurang efisien, sebaliknya pemasaran yang dilakukan
untuk pasar lokal lebih efisien.
Nilai harga yang diterima oleh petani dari kedua tempat terlihat
bahwa, rasio keuntungan tertinggi yang dinikmati petani berasal dari
Semongkat dengan nilai 88%dan yang terendah berasal dari Batu dulang
dengan pasar luar pulau yakni sebesar 23%. Besarnya persentase nilai yang
diterima petani di Semongkat dikarenakan rantai pemasarannya pendek,
sedangkanrantaipemasaran di Batu dualang untuk pasar luar provinsi lebih
panjang.
IV. KESIMPULAN
1. Pengusahaan madu di sebagian besar di wilayah Sumbawa terutama di
wilayah Batulanteh antara lain: Kurangnya wawasan dan pengetahuan
dalam pengusahaan madu. Untuk mengatasi kendala tersebut telah
dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak seeperti dari pihak LSM,
Swasta, Pemerintah, dan petani itu sendiri. Dengan begitu diharapkan
pengusahaan madu mampu memberdayakan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan membentuk jejaring kerja dapat
mempermudah dalam menentukan permasalahan dan kemudian
dilakukan cara-cara untuk mengatasinya dengan berbagai tindakan
seperti pembinaan, bantuan modal, bantuan pemasaran dan asistensi
teknis terhadap kelompok masyarakat petani madu. Untuk saat ini telah
banyak kegiatan yang dilakukan oleh instansi terutama pengusaha yang
bermitra dengan pengumpul di Semongkat dan Batudulang. Diharapkan
kemitraan dapat membawa keuntungan bagi masing-masing pihak.
2. Di Batudulang margin harga terbesar oleh petani sebesar 74,29% dalam
skala pasar lokal, namun berbanding terbalik dengan profit margin di
Batudulang pada pasar luar provinsi dimana sebagian besar profit
margin dinikmati oleh perusahaan dagang nasional dengan presentase
sebesar 71% dan bandingkan dengan nilai presentase profit margin yang
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 379
diterima petani sebesar 23%. Sedangkan profit margin di Semongkat
terbesar dinikmati oleh petani dengan persentase sebesar 93,10% dan
terendah dinikmati oleh pedagang pengumpul atau galeri sebesar
6,90%. Persentase efisiensi pemasaran terbesar terdapat di Batudulang
untuk kategori pasar lokal yaitu sebesar 70%, sedangkan persentase
efisiensi terkecil berada di Batudulang dengan nilai persentase efisiensi
sebesar 42% untuk pasar luar provinsi. Nilai presentase harga yang
diterima oleh petani dari kedua tempat terlihat bahwa,
rasiokeuntungantertinggi yang dinikmati petani berasal dari Semongkat
dengan nilai 88% dan yang terendahberasal dari Batudulang dengan
pasar luar pulau yakni sebesar 23%.
DAFTARPUSTAKA
BPS Sumbawa. 2012. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. BPS.
Hasan R.A, Yumantoko. Setyayudi A, Sukito, A. (2012). Kelembagaan dan
Tata Niaga Madu Hutan Studi Kasus Kabupaten Dompu. Prosiding
Seminar Nasional HHBK (hal 431-438). BPTHHBK.
Permenhut. No. 19 Tahun 2009. Strategi Pengembangan Hasil Hutan
Bukan Kayu Nasional.
Sudiyono A. 2001. Pemasaran Pertanian. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang Press.
Yumantoko. 2013. Kajian Kelembagaan Pemasaran Madu Hutan di
Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi
Hasil Hutan Bukan Kayu Mataram.
380| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
IDENTIFIKASI MODAL SOSIAL DALAM PEMANFAATAN SONGGA
(Strychnos lucida R.Br.) SEBAGAI SUMBER BAHAN OBAT
Studi Kasus di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Dompu- NTB
Ryke Nandini1)
, Rubangi Al Hasan2)
1)Program Doktor Ilmu Kehutanan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2)
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Di Desa Hu’u banyak terdapat tanaman songga (Strychnos lucida R.Br.) yang
dimanfaatkan sebagai bahan obat. Banyaknya perburuan tanaman songga
dikhawatirkan akan mengganggu kelestariannya di alam sementara teknik budidaya
yang tepat belum ditemukan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk menjaga
kelestariannya. Salah satu upaya yang penting adalah dengan membangun modal
sosial. Tulisan ini bertujuan mengangkat bagaimana pemanfaatan tanaman songga
oleh masyarakat, dan bagaimana kontekstualisasi modal sosial dalam rangka
menjaga kelestarian songga. Hasil kajian menunjukkan bahwa saat ini perburuan
songga yang begitu gencar di Hu’u telah menjadikan tanaman songga di alam
mengalami penurunan. Jika pada tahun 1990-an mudah ditemukan tanaman songga
dengan diameter 15-20 cm, maka saat ini sudah sangat sulit dijumpai.
Permasalahan utamanya antara lain kurangnya keterlibatan masyarakat dalam
upaya pelestarian songga. Masyarakat Hu’u memiliki modal sosial dalam konteks
pelestarian sumber daya hutan (SDH). Modal sosial itu misalnya dalam
pemanfaatan hutan (wuba) ada aturan “dei haju” yakni pemanfaatan harus
memerhatikan kelestarian lingkungan dengan tidak menebang sembarangan. Jika
ini dilanggar maka dikenakan sanksi denda sekaru fareatau sekarung padi. Pada
saat ini modal sosial tersebut tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu tulisan ini
merekomendasikan untuk melakukan identifikasi modal sosial lebih jauh untuk
kemudian dilakukan revitalisasi dengan jalan membangun pemahaman terhadap
tata nilai yang telah ada, penegakan aturan atau sanksi sosial terhadap pelanggar
norma, penguatan kelembagaan dan jaringan sosial dalam masyarakat, serta
pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas. Upaya tersebut
hendaknya dilakukan secara simultan dan berkelanjutan sehingga terlihat adanya
indikator penguatan modal sosial berupa terbentuknya kerjasama dan solidaritas
(kohesivitas), perluasan jaringan kerja dan peningkatan daya saing kolektif secara
berkelanjutan.
Kata kunci: modal sosial, kelestarian, songga, revitalisasi
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 381
I. PENDAHULUAN
Dalam pembangunan, manusia selalu menjadi bagian yang tidak
dapat dipisahkan. Menurut Todaro (1977, dalam Bryant & White, 1982),
pembangunan merupakan sebuah proses multidimensi yang mencakup
perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap masyarakat
dan lembaga-lembaga nasional, dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi,
pengurangan kesenjangan, dan pemberantasan kemiskinan. Arief Budiman
(1995), menyebutkan bahwa pembangunan memiliki dua unsur pokok yaitu
materi yang akan dihasilkan dan dibagi, serta manusia yang menjadi
pengambil inisiatif. Kondisi lingkungan merupakan hal paling berperan
dalam membentuk manusia kreatif yang pada akhirnya menciptakan
manusia pembangunan yang mempunyai inisiatif untuk memecahkan
berbagai permasalahan. Sejarah pembangunan di Indonesia menunjukkan
adanya pergeseran paradigma pembangunan. Semula negara sebagai pelaku
tunggal, kemudian bergeser pada paradigma negara sebagai pelaku dan
masyarakat sebagai partisipan, dan pada akhirnya negara dan masyarakat
sama-sama partisipan (Salman, 2005). Kondisi tersebut menunjukkan
kecenderungan urgensi pendekatan partisipatoris dalam pembangunan.
Davis dan Newstorm (1988, dalam Salman, 2005) memaknai partisipasi
sebagai keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi
kelompok yangmendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada
tujuan kelompok dan berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan itu.
Definisi yang dikemukakan Davis dan Newstorm tersebut mengandung
pengertian bahwa partisipasi bersifat suka rela (Salman, 2005) sehingga
partisipasi masyarakat khususnya dalam pembangunan itu sangat
bergantung pada kondisi dan dinamika sosial masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan termasuk dalam
pembangunan kehutanan bergantung pada sifat masing-masing individu
yang kemudian secara kolektif terbentuk sebagai modal sosial dalam
masyarakat. Berbagai definisi tentang modal sosial telah dikemukakan oleh
para ahli, diantaranya Fukuyama (1997, dalam Ancok, 2003) yang
mengemukakan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau
norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota
kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara
382| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
mereka. Narayan (1997, dalam Adjargo, 2012) mendefinisikan modal
sosial sebagai aturan, norma, kewajiban, hubungan timbal balik dan
kepercayaan yang tertanam dalam hubungan sosial, struktur sosial dan
pembentukan kelembagaan sosial di mana anggotanya mampu mencapai
tujuan baik secara individu maupun berkelompok. Adapun Cohen dan
Prusak (2001, dalam Ancok, 2003) memberikan definisi bahwa modal
sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia yang
meliputi rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku
yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang
memungkinkan adanya kerjasama. Dari ketiga definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa inti dari modal sosial adalah adanya norma yang
mengikat, kepercayaan, serta jaringan atau kerjasama pada anggota
kelompok atau komunitas.
Modal sosial sangat berperan dalam pembangunan kehutanan,
salah satunya misalnya pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat
adat. Penelitian Nandini, Hasan, dan Riendrasari (2011) di Pulau Lombok
menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh masyarakat adat kondisinya
lebih baik dibandingkan dengan kawasan hutan negara, salah satunya
terlihat pada kondisi tutupan hutan yang lebih rapat.Kondisi tersebut antara
lain disebabkan oleh adanya kearifan lokal masyarakat dalam mengelola
hutan. Kearifan lokal tersebut mengatur baik dari aspek pengelolaan
maupun pemanfaatan. Terdapat aturan yang tegas terkait dengan sanksi
bagi masyarakat yang melanggar aturan adat sehingga masyarakat begitu
patuh dan sukarela untuk menjalankan kearifan lokal tersebut. Contoh lain
dari kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dapat dilihat pada komunitas
masyarakat di Bali. Kearifan lokal yang dimiliki oleh komunitas adat di
Bali selalu dikaitkan dengan agama atau kepercayaannya sehingga
masyarakat tidak berani untuk melanggar. Misalnya, hutan digambarkan
sebagai tempat yang angker dan merupakan tempat bersemayam para dewa
yang tidak boleh diganggu. Kondisi tersebut memberi dampak positif pada
kelestarian hutan. Selain itu di dalam kitab sucinya juga disebutkan
beberapa jenis pohon yang tidak boleh diusik seperti kemiri, kemuning,
mundeh dan bodi yang secara ilmiah ternyata mempunyai manfaat ekologi
dan ekonomi (Wardi, 2007). Sebagai pengontrolnya, masyarakat Bali
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 383
mempunyai hukum adat yang sering disebut sebagai awig-awig, di mana
tujuan dari pembentukan awig-awig ini adalah untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan penciptanya, manusia dengan sesamanya serta
manusia dengan alam. Konsep ini sering disebut dengan istilah Tri Hita
Karana (UNESCO, 2012). Pelanggaran terhadap hukum adat akan dikenai
sangsi adat mulai dari yang ringan yang berupa pemberian nasehat hingga
sangsi yang berat berupa dikeluarkan dari komunitas masyarakat.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Sirtha (2007), sampai saat ini
hukum adat masih berlaku di Bali dan masih berperan efektif dalam
pelestarian lingkungan hidup di daerah.
Keterkaitan modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan
merupakan hal yang telah banyak dikaji oleh beberapa peneliti. Diaz (1982)
mengemukakan tentang pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan
hutan yang terintegrasi melalui pengembangan socio-economic trust yang
ada di masyarakat. Webb (1982) menguraikan tentang beberapa kearifan
lokal masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga pada berbagai program
yang akan dikembangkan untuk pengelolaan hutan hendaknya selalu
melibatkan masyarakat. Adapun Smith, Siderelis, Moore, dan
Anderson(2012) mengemukakan bahwa modal sosial mempengaruhi proses
pengambilan keputusan dalam penentuan outcome pengelolaan hutan. Pada
tataran lokal, Saputro (2006) telah meneliti tentang modal sosial dalam
pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat adat Kasepuhan Banten
Kidul, di mana hasil penelitian diketahui bahwa adanya saling kepercayaan
yang didukung oleh norma sosial dan jaringan masyarakat yang tinggi
dalam pengelolaan hutan telah menciptakan kondisi hutan yang relatif
lestari. Muspida (2008) telah meneliti tentang keterkaitan modal sosial
dalam pengelolaan hutan kemiri masyarakat di Kabupaten Maros. Hasil
penelitiannya diperoleh bahwa keberhasilan pengelolaan hutan kemiri di
Maros selama berabad-abad adalah karena adanya kekuatan modal sosial
baik secara makro maupun mikro yang membentuk saling kepercayaan dan
jaringan dalam masyarakat. Adapun Hartoyo, dkk (2012) meneliti tentang
perlunya penguatan modal sosial dalam pelestarian hutan mangrove di
Pulau Pahawang yang dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan
masyarakat, pemerintah dan swasta.
384| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, tidak dipungkiri bahwa
modal sosial mempunyai peran dalam pelestarian sumberdaya hutan.
Analisis terhadap modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan
merupakan hal yang menarik. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang
seringkali disebut sebagai saudara muda Bali, berbagai kearifan lokal yang
merupakan modal sosial masyarakat juga masih banyak berkembang dalam
masyarakat. Salah satunya adalah kearifan lokal masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya hutan sebagai bahan obat. Tulisan ini bertujuan
mengangkat bagaimana pemanfaatan tanaman songga oleh masyarakat, dan
bagaimana kontekstualisasi modal sosial dalam rangka menjaga kelestarian
songgayang ada di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, NTB.
II. Pemanfaatan Songga Sebagai Bahan Obat
Desa Hu’u terletak di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, NTB.
Mayoritas penduduknya adalah nelayan. Selain itu masyarakat Hu’u masih
mengandalkan hutan sebagai sumber kehidupan. Salah satunya adalah
dengan memanfaatkan berbagai macam sumberdaya hutan sebagai bahan
obat tradisional. Songga (Strychnos lucida R.Br.) atau lebih dikenal dengan
bidara laut merupakan salah satu bahan obat yang berasal dari hutan yang
telah dimanfaatkan berabad-abad lamanya. Hasil penelitian BPK Mataram
(2010) menyebutkan bahwa pengetahuan tentang pemanfaatan songga telah
turun temurun dari nenek moyang yang diperoleh dari proses kreatif selama
berinteraksi dengan alam. Masyarakat Hu’u memanfaatkan songga untuk
mengobati berbagai penyakit. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
penyakit yang dapat diobati dengan songga antara lain malaria, sakit perut,
mual, sakit gigi, darah tinggi, demam, luka luar, serta mampu mengobati
usus buntu tanpa perlu dilakukan operasi. Pemanfaatan songga sebagai
bahan obat berasal dari seluruh bagian tumbuhan, mulai dari akar, batang,
daun serta buahnya. Cara pemanfaatannya pun masih tradisional, yaitu
dengan meminum air rebusan bagian songga, menelan buahnya, atau
mengoleskan tumbukan bagian songga kepada luka. Meskipun semua
bagian tanaman songga dapat dimanfaatakan, namun sebagian masyarakat
Hu’u lebih percaya bahwa buah songga lebih berkhasiat. Dengan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 385
mengkonsumsi 2-3 butir buah songga akan terhindar dari malaria sehingga
bebas beraktivitas di hutan.
Pada saat ini pemanfaatan songga sebagai bahan obat telah
diketahui secara luas bahkan telah memasuki proses industri yaitu dengan
memanfaatkan kayunya untuk dibuat cangkir sehingga pemanfaatan songga
lebih praktis yaitu hanya dengan menyeduhnya menggunakan air panas.
Akibatnya kebutuhan bahan baku sebagai bahan pembuat cangkir songga
semakin meningkat. Menurut data Dinas Kehutanan Propinsi NTB (2007),
kebutuhan bahan baku kayu songga pada tahun 2006 mencapai 6000 ton
dan apabila terus meningkat maka akan berpotensi untuk mengancam
kelestariannya di alam. Berdasarkan hasil kajian BPK Mataram (2010),
pada saat ini belum terdapat budidaya songga di Kabupaten Dompu.
Tanaman songga mempunyai kemampuan adaptasi yang relatif rendah bila
dikembangkan di luar habitat aslinya serta belum ditemukan teknologi
budidaya yang sesuai sehingga kebutuhan songga masih bergantung pada
alam. Kondisi ini perlu untuk diperhatikan agar kelestarian songga di alam
dapat terjaga, terlebih karena masyarakat masih memanfaatkannya sebagai
bahan obat tradisional.
III. Revitalisasi Modal Sosial dalam Pelestarian Songga
Kerajinan kayu songga dalam bentuk cangkir merupakan ikon
baru bagi masyarakat Hu’u. Dalam setiap perburuan kayu songga,
masyarakat memperoleh pendapatan sekitar Rp.10.000,-/batang songga
berukuran diameter 10-15 cm dengan panjang 1 meter. Adapun harga gelas
berukuran 10 cm dihargai Rp.5.000,- sehingga hal ini cukup membantu
perekonomian masyarakat. Nilai jual kayu songga yang cukup tinggi
menyebabkan banyak masyarakat yang awalnya bekerja sebagai nelayan
beralih menjadi pemburu songga terutama pada saat musim angin barat.
Masyarakat Hu’u belum memikirkan kelestarian songga karena
ketersediaan di alam masih cukup banyak, meskipun sebagian masyarakat
mengemukakan saat ini mulai sulit untuk menemukan kayu songga
berukuran diameter lebih dari 10 cm. Songga adalah jenis tanaman yang
masuk dalam golongan perdu.Kemampuan regenerasinya cepat melalui
anakan atau trubusan dari akar, namun memiliki kecepatan pertumbuhan
386| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
yang lambat. Nandini dan Agustarini (2010) menemukan bahwa rata-rata
diameter tanaman songga berumur 7 bulan hanyalah 1,7 – 2,2 mm.
Keterbatasan kayu songga di alam cepat atau lambat akan semakin
berkurang karena tidak diimbangi dengan upaya pembatasan dalam
pengambilannya terutama untuk industri. Apabila hal ini terjadi, maka
kearifan lokal masyarakat Hu’u dalam memanfaatkan bahan obat dari hutan
akan hilang, bahkan peluang masyarakat untuk mendapatkan pemasukan
dari berburu songga juga akan hilang. Untuk itu diperlukan upaya-upaya
pelestarian songga dengan melibatkan masyarakat Hu’u. Pelestarian songga
dapat dilakukan karena masyarakat Hu’u memiliki modal sosial yang
cukup kuat. Dalam sebuah upaya untuk membangun kegiatan yang berbasis
pada partisipasi masyarakat, Salman (2005) menyebutkan bahwa ada tiga
hal yang harus dilihat sebagai bagian dari pembangunan yaitu sumberdaya,
organisasi dan norma-norma yang terdapat pada masyarakat. Adapun
Parker dan Burch, Jr (1992) mengungkapkan bahwa agar pengelolaan
hutan dapat berhasil maka perlu memperhatikan konsep sosial ekologi yang
menekankan pada hubungan masyarakat dalam sebuah ekosistem, orientasi
nilai, struktur sosial serta mekanisme alokasi yang terjadi di dalamnya.
Berdasarkan hal tersebut maka sebagai upaya untuk membangun partisipasi
masyarakat Hu’u dalam pelestarian songga perlu dicermati beberapa hal
yang sebagai berikut:
Pertama, Desa Hu’u merupakan daerah yang mempunyai potensi
tanaman songga cukup besar sebagai sumber bahan obat, dan merupakan
pusat perburuan kayu songga untuk keperluan industri.
Kedua, dalam pemanfaatan sumberdaya hutan (wuba), masyarakat
di Hu’u mempunyai aturan yang disebut dei haju yaitu pemanfaatan hutan
harus memperhatikan kelestarian dengan tidak menebang secara
serampangan (Syafrudin, 2009). Bagi pelanggar akan dikenai sanksi berupa
denda sekaru fare (sekarung padi). Ini merupakan suatu norma penting
yang berguna untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Jika ini
diberlakukan pada jenis tanaman songga maka kelestarian songga dapat
terjaga.
Ketiga, adanya tradisi yang berkembang dalam masyarakat Hu’u
bahwa songga mempunyai khasiat sebagai bahan obat yang mampu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 387
menyembuhkan berbagai macam penyakit merupakan suatu modal yang
dapat digunakan untuk penyadaran pada masyarakat terutama pemburu
songga untuk lebih arif dalam pengambilan songga. Tradisi masyarakat
untuk mengkonsumi buah songga sebelum beraktifitas di hutan merupakan
suatu norma yang berkembang di dalam masyarakat. Selama berabad-abad,
masyarakat Hu’u telah menggunakan songga sebagai pertolongan pertama
dalam mengobati berbagai penyakit merupakan wujud kepatuhan terhadap
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Keempat, sebagai masyarakat tradisional, masyarakat Hu’u masih
patuh pada tokoh adat dou mbojo yang disebut Ncuhi. Biasanya tokoh adat
ini selain sebagai panutan juga mampu melakukan pengobatan secara
tradisional yang disebut sebagai sando. Tokoh adat inilah yang sering
mengingatkan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam termasuk
melakukan pengobatan dengan menggunakan songga. Melalui tokoh adat,
kegiatan penyadaran terhadap masyarakat untuk mengambil songga secara
arif dapat dilakukan karena secara sosiologis masyarakat mempunyai trust
kepada tokoh adat, apa yang dikatakan oleh tokoh adat biasanya akan
dipatuhi.
Kelima, masyarakat Hu’u memiliki berbagai macam aksi kolektif
atau organisasi sosial dalam pemanfaatan songga, diantaranya adalah saling
bantu, pengumpulan sumberdaya, serta penciptaan aset. Saling bantu pada
masyarakat Hu’u atau sering disebut sebagai kasama weki antara lain
dilakukan pada saat ada seseorang yang membutuhkan songga untuk
pengobatan maka yang lain akan berusaha mencarikan ke hutan.
Bentuk pengumpulan sumberdaya yang dilakukan oleh masyarakat
Hu’u dalam pemanfaatan songga adalah adanya kelompok-kelompok
masyarakat yang bertugas sebagai pemburu dan pengumpul songga.
Pemburu songga adalah kelompok masyarakat yang mencari songga
kehutan sedangkan pengumpul adalah kelompok masyarakat yang bertugas
mengumpulkan hasil perburuan kemudian menyetorkannya kepada industri
songga. Adapun penciptaan aset yang terdapat pada masyarakat Hu’u
adalah pada kalangan industri skala rumah tangga yang mengubah kayu
songga menjadi bentuk cangkir.
388| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Permasalahan yang ada, para pemburu cenderung tidak
mengindahkan kelestarian. Perburuan lebih didasarkan pada pertimbangan
permintaan pasar. Di sisi lain para pengrajin juga melakukan usaha cangkir
songga karena lebih didasari motif mencari keuntungan, tanpa
mengindahkan kelestarian lingkungan. Dari sini terlihat bahwa perburuan
songga dan tumbuhnya industri songga lebih dilandasi oleh keinginan
mendapatkan keuntungan diri sendiri (rent seeking). Oleh karena itu modal
sosial ini harus direvitalisasi untuk menjaga keseimbangan antara motif
menjaga kelestarian lingkungan pada satu sisi, dan untuk melakukan
kontrol atas aksi rent seekingsebagai akibat dari komersialisasi songga, di
sisi yang lain.Dengan demikian pengusahaan songga yang bermanfaat bagi
peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat seiring dengan
upaya pelestarian songga sebagai kearifan lokal dalam bentuk pengobatan
tradisional.
IV. KESIMPULAN
Masyarakat di Hu’u mempunyai modal sosial untuk dikembangkan
dalam pengelolaan songga sebagai sumber bahan obat. Modal sosial yang
dimiliki mencakup norma, kepercayaan serta jejaring sosial. Namun saat ini
modal sosial yang ada belum berjalan optimal sehingga upaya pelestarian
tanaman songga belum dapat berjalan dengan baik. Untuk mendorong agar
masyarakat Hu’u dapat memanfaatkan modal sosialnya dalam pelestarian
tanaman songga perlu dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat,
pemerintah, serta stakeholder terkait. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain dengan peningkatan pemahaman terhadap tata nilai atau norma yang
telah ada, penegakan aturan atau sanksi sosial terhadap pelanggar norma,
penguatan kelembagaan dan jaringan sosial dalam masyarakat, serta
pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas, dalam hal ini
adalah budidaya tanaman songga. Upaya tersebut hendaknya dilakukan
secara simultan dan berkelanjutan sehingga terlihat adanya indikator
penguatan modal sosial yang berupa terbentuknya kerjasama dan
solidaritas (kohesivitas), perluasan jaringan kerja dan peningkatan daya
saing kolektif secara berkelanjutan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 389
DAFTAR PUSTAKA
Adjargo, G. 2012. Social Capital: An Indispensable Resource In Ghana.
Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 14 No. 3.
ISSN: 1520-5509. Clarion University of Pensilvania.
Ancok, D. 2003. Modal Sosial dan Kualitas Manusia. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
www.lib.ugm.ac.id. Diakses 12 Mei 2014.
BPK Mataram. 2010. Eksplorasi, Pemanfaatan dan Budidaya Kayu Songga
Sebagai Bahan Obat Alternatif di Provinsi NTB dan Bali. Laporan
Program Intensif RisetDasar. Tidak dipublikasikan.
Budiman, A. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Bryant, C., L.G. White. 1982. Manajemen Pembangunan Untuk Negara
Berkembang. LP3ES. Jakarta.
Diaz, C.P. 1982. Sosio-economic Thrust In An Integrated Forest Management
System: Philippine Case. In Socio-economic Effect and Constraints
in Tropical Forest Management (ed. E.G. Hallsworth). John Wiley
& Sons Ltd.
Dinas Kehutanan Prov. NTB. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB
Tahun 2006. Mataram. NTB.
Hartoyo, E. Rochana, B. Wirawan. 2012. Penguatan Modal Sosial Dalam
Pelestarian Hutan Mangrove Di Pulau Pahawang, Kecamatan
Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran. Makalah Seminar Hasil-
Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat dalam rangka
Dies Natalis FISIP UNILA. Lampung.
Muspida. 2008. Keterkaitan Modal Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Kemiri
Masyarakat di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Jurnal Hutan
dan Masyarakat Vol. 2 No. 3. P.290-302.
Nandini, R., R. Agustarini. 2010. Teknik BudidayaTanamanBidara Laut
(Strychnoslucida R.Br) secaraGeneratifProsiding Workshop
SintesaHasilPenelitianHutanTanaman 2010. Puslitbang Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Nandini, R., R.A. Hasan., S.D. Riendriasari. 2011. Analisis Kebijakan REDD
dan REDD+ di Pulau Lombok. Laporan Penelitian. Balai Penelitian
Kehutanan Mataram.Tidak Dipublikasikan.
Parker, J.K., W.R. Burch, JR. 1992. Toward Social Ecology for Agaroforestry
in Asia. In Social Science Applications in Asian Agroforestry (Eds.
William R. Burch, JR. And J. Kathy Parker). Winrock International.
USA.
390| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Salman, D. 2005. Pembangunan Partisipatoris. Modul Konsentrasi
Manajemen Perencanaan. Program Studi Manajemen Pembangunan.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Saputro, G.E. 2006. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pada Adat Kasepuhan Banten Kidul. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. www.repository.ipb.ac.id. Diakses 12 Mei 2014.
Sirtha, I.N. 2007. Peran Hukum Adat dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Daerah. Dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup. (Editor A.A.G. Raka Dalem, I.N. Wardi, I.W. Suarna, dan
I.W. Sandi Adnyana). UPT Penerbit Universitas Udayana dan PPLH
UNUD. Denpasar.
Smith, J.W., C. Siderelis, R.L. Moore, D.H. Anderson. 2012. The Effects Of
Place Meanings And Social Capital On Desired Forest Management
Outcomes: A Stated Preference Experiment. Journal of Landscape
and Urban PlanningVol. 106. p 207– 218
Syafrudin. 2009. Pergeseran Pola Ruang Pemukiman Berbasis Budaya Lokal
di Hu’u, Kabupaten Dompu, NTB. Tesis. Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro.
Semarang.
UNSECO. 2012. Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a
Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy. Website:
http://whc.unesco.org/en/list/1194. Diakses 21 November 2014.
Wardi, I.N. 2007. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan, Tanah dan Air:
Refleksi Kearifan Ekologi dari Budaya Bali. Dalam Kearifan Lokal
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Editor A.A.G. Raka Dalem,
I.N. Wardi, I.W. Suarna, dan I.W. Sandi Adnyana). UPT Penerbit
Universitas Udayana dan PPLH UNUD. Denpasar.
Webb, L.J. 1982. The Human Face in Forest Management. In Socio-economic
Effect and Constraints in Tropical Forest Management (ed. E.G.
Hallsworth). John Wiley & Sons Ltd.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 391
STRATEGI PENGEMBANGAN BAMBU
DI KAWASAN HUTAN KPHL RINJANI BARAT
Asmanah Widiarti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rahabilitasi
Jln. Gunung Batu No 5 PO BOX 165; 0251-8633234,7520067; Fax 0251-
8638111 Bogor, E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Bambu menjadi salah satu jenis hasil hutan bukan kayu unggulan di Nusa
Tenggra Barat dan merupakan jenis tanaman yang direkomendasikan untuk
reboisasi dan pengayaan di kawasan hutan KPHL Rinjani Barat sesuai usulan
masyarakat. Pilihan tersebut dinilai sangat tepat, mengingat bambu banyak
kegunaannya untuk kehidupan sehari – hari. Tanaman bambu lebih dari
sekedar pengganti kayu karena rumpunnya tumbuh sepanjang tahun maka bisa
dipanen setiap saat dan bambu muda (rebung) biasa dikonsumsi masyarakat
dan kini menjadi komoditas eksport. Selain itu manfaat yang penting lainnya
dari bambu adalah kemampuannya dalam memelihara tata air. Mengingat
kondisi masyarakat di lingkar kawasan hutan yang masih miskin dan tingginya
tingkat kekritisan lahan di kawasan KPHL Rinjani Barat yang mencapai 17.640
Ha atau hampir mencapai 50% sementara jasa air begitu penting maka untuk
itu diperlukan strategi pengembangan bambu secara terpadu mulai dari hulu
peningkatan produktivitas bambu dan capacity building petani maupun di hilir
berkaitan dengan teknik pengolahan dan pemanfaatan bambu serta
pemasarannya agar bambu menjadi komoditas unggulan yang mampu
meningkatkan kesejateraan petani dan patut diperhitungkan sebagai core
bisnisnya KPHL Rinjani Barat . Dengan strategi pengembangan bambu yang
ditempuh KPHL Rinjani Barat diharapkan dapat mewujudkan keberlanjutan
dari fungsi dan peranan hutan melalui penerapan teknik dan pola usaha bambu.
Kebijakan pengelolaan secara tapak relatif cukup efektif dalam satu kesatuan
wilayah kelola akan lebih mengedepankan keterpaduaan dan keseimbangan
sektor hulu dan hilir komoditas bambu sehingga dapat memberi dampak
terhadap pengelolaan hutan yang lebih optimal.
Kata kunci : Komoditi unggul, manfaat, kawasan hutan, masyarakat
sejahtera,lahan kritis
392| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang banyak
ditemukan di Nusa Tenggara Barat, baik di dalam maupun di luar kawasan
hutan. Bambu tumbuh dengan sendirinya atau sengaja ditanam karena
banyaknya kegunaan bambu dalam kehidupan masyarakat pedesaan.
Tidak ada satu jenis tanamanpun yang mempunyai fungsi serba guna
sebagaimana halnya bambu (LIPI, 1980). Begitu dekatnya dengan
kehidupan masyarakat, bambu menjadi salah satu tanaman pilihan
masyarakat untuk reboisasi dan pengayaan di kawasan hutan KPHL Rinjani
barat (RPH JP KPHL Rinjani Barat, 2014).
Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk turut
berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan
sekaligus mendukung upaya pelestarian alam. Bambu merupakan tanaman
yang environmentally friendly dan alleviate poverty. Selain itu berpotensi
menumbuhkan usaha baik skala kecil, menengah dan besar. Bambu bila
dikelola dengan baik maka rangkaian keterkaitan usaha ini akan
menyumbang adanya multifliyer effek bagi pendapatan baru. Dengan
karakateristik lengkap ini, bambu akan dapat menjadi komoditas bernilai
ekonomi tinggi yang sangat dibutuhkan dalam berbagai kehidupan
masyarakat dan meningkatkan daya saing Indonesia. (Alisjahbana, 2012).
Mengingat kawasan hutan yang dikelola KPHL (hutan produksi
dan hutan lindung) cukup luas dan kondisinya cukup kritis dengan
kecintaan masyarakat sekitar hutan terhadap bambu merupakan potensi
yang cukup besar dalam pengembangan bambu dan akan menjadi peluang
usaha bagi KPHL dalam upaya tercapainya KPH Mandiri. Namun
pengembangan bambu sebagaimaan hasil hutan bukan kayu lainnya
umumnya masih perlu mendapatkan perhatian khusus agar benar-benar
berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan
menjadi komoditi perdagangan yang dapat meningkatkan devisa negara.
Terkait dengan hal di atas, pengembangan potensi bambu sudah
saatnya mendapat perhatian yang serius baik dari pemerintah, perguruan
tinggi, lembaga penelitian maupun masyarakat luas. Dengan keberadaan
KPHL diharapkan pengembangan bambu secara terpadu mulai hulu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 393
hingga hilir akan mampu mengangkat bambu menjadi komoditas unggul
yang patut diperhitungkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran potensi
tanaman bambu dan keadaan usaha bambu, keunggulan dan kelemahan
yang terdapat pada usaha bambu dan strategi yang dapat
diimplementasikan dalam mengembangkan bambu.
II. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif
analisis, yang merupakan suatu metode penelitian untuk memperoleh
gambaran mengenai situasi dan keadaan dengan cara memaparkan data
yang diperoleh sebagaimana adanya yang kemudian melalui berbagai
analisis dibuat beberapa perumusan.
III. Hasil Penelitian
A. Kunggulan Tanaman Bambu
Bambu tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia, dari sekitar
1.250 jenis bambu di dunia, 142 jenis atau 11% nya adalah spesies asli
Indonesia dan ada 30 jenis bambu introduksi dari luar negeri (Widjaja,
2001). Bambu dikatagorikan sebagai zero waste species karena hampir
seluruh bagian tanaman bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga
ke ujung daun dan memenuhi banyak sekali hajat hidup manusia dan sejak
September 2011 di Rusia bambu telah disepakati sebagai salah satu
komoditi yang masuk dalam daftar produk ramah lingkungan karena
bambu mempunyai manfaat yang sangat banyak baik dari segi ekonomi,
segi ekologi maupun sosial budaya:
Dari segi ekonomi, bambu digunakan untuk berbagai keperluan
seperti bahan bangunan rumah, peralatan rumah tangga, kesenian, saluran
air, jembatan ringan, kayu energi, bahan kerajinan tangan, tanaman hias,
bahan kertas, lantai, papan laminating, papan partikel, tulang beton dan
sebagainya. Demikian juga bagian tunas bambu merupakan sumber
pangan dan bahan obat-obatan. Oleh karena itu sebagai tanaman multi
394| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
manfaat maka bambu berpotensi menumbuhkan usaha baik skala kecil,
menengah, dan besar.
Dari segi ekologi, tanaman bambu berpotensi menjadi solusi
alternatif bagi sejumlah permasalahan lingkungan terutama dalam
mengatasi pemanasan global. Menurut Widjaja (2004), cepatnya
pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon kayu, membuat bambu dapat
diunggulkan untuk deforestasi. Bambu tumbuh dalam waktu yang lebih
singkat dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu
dapat bertambah panjang 30-90 cm, untuk mencapai usia dewasa hanya
dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan
kekuatan yang paling tinggi, sementara tanaman kayu-kayuan butuh waktu
sampai puluhan tahun. Budidaya bambu juga tergolong lebih mudah
dibanding pohon kayu-kayuan, setelah tanaman bambu tumbuh selanjutnya
dipanen terus tanpa melakukan penanaman lagi sedangkan pohon
membutuhkan penanaman kembali.
Bambu adalah penghasil oksigen paling besar dibanding pohon,
kemampuan fotosintesisnya 35% lebih cepat sehingga daya serap
karbonnya cukup tinggi. Kaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim,
pengembangan tanaman bambu mendukung meningkatkan penyerapan
karbon. Dari suatu penelitian, tanaman bambu dapat menyerap lebih dari
62 ton/Ha/tahun karbon dioksida (Anonim, 2012).
Bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat air dan
tanah karena bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat, struktur akar
ini menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik untuk
mencegah erosi, sedimentasi dan longsor. Dibandingkan dengan pepohonan
yang hanya menyerap air hujan 35-40 %, bambu dapat menyerap air hujan
hingga 90 % (Rahardi,2009). Semua ciri dari bambu ini memenuhi sebagai
syarat sebuah hutan yang baik. Bahkan syarat yang ada di bambu melebihi
kualitas hutan dari kayu, sehingga untuk memulihkan kondisi hutan dan
lahan yang kritis, kita tidak perlu waktu yang lama (Widjaja, 2004). Dari
segi sosial budaya, bambu menciptakan mata pencaharian/lapangan
pekerjaan dan mendorong pariwisata.
China dan beberapa negara Asia telah menggunakannya bambu
sebagai tanaman utama untuk konservasi alam selain untuk memperbaiki
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 395
dan meningkat sumber tangkapan air, karena memiliki kemampuan
mempengaruhi retensi air dalam lapisan topsoil yang mampu meningkatkan
aliran air bawah tanah sangat nyata. Disamping pertimbangan budaya
karena meningkatkan ekonomi masyarakat melalui aneka produk bambu,
kebutuhan konstruksi dan kerajinan (Tan, 2012).
Dengan beberapa kelebihan tanaman bambu seperti diuraikan di
atas, bambu merupakan salah satu solusi untuk menggantikan hutan kayu
dan oleh karenanya bambu ini menjadi sangat potensial untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan bambu ini dapat
selaras dengan strategi pembangunan nasional yang menganut 4-pro’s,
yaitu, pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment.(Alisyahbana,
2012).
B. Gambaran potensi tanaman bambu dan keadaan usaha kerajinan
bambu Tanaman bambu telah banyak dikembangkan baik oleh
pemerintah, swasta maupun masyarakat baik di dalam kawasan hutan dan
lahan masyarakat. Hal ini karena tanaman bambu banyak dimanfaatkan
oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat, yaitu tercatat diusahakan sebanyak
371.371 tanaman. Kabupaten Lombok Barat merupakan kabupaten yang
paling banyak mengusahakan tanaman bambu, yaitu sebanyak 92.553
tanaman bambu (24,92 persen) dan Kota Mataram memiliki jumlah
tanaman bambu paling sedikit, yaitu hanya sebanyak 383 tanaman (0,103
persen) (BPS, 2012)
Saat ini pemanfaatan bambu oleh masyarakat di Nusa Tenggara
Barat belum banyak berubah. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan
teknologi yang dimiliki oleh masyarakat yang masih sangat minim.
Masyarakat pada umumnya mengambil bambu hanya untuk memenuhi
kebutuhan sendiri dan belum merupakan sumber pendapatan bagi
masyarakat setempat. Meskipun aktivitas pemanfaatan bambu masih
tergolong rendah, namun keberlangsungan fungsi tanaman bambu
mengalami degradasi yang cukup memprihatinkan karena selain
dimanfaatkan sebagai bahan baku alat-alat rumah tangga, masyarakat juga
menebang bambu untuk memperluas tanaman pangan.
396| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sebetulnya produk yang dihasilkan kerajinan anyaman (bambu,
rotan dan ketak) di daerah Nusa Tenggara Barat, memiliki ciri khas serta
memiliki keunggulan yang cukup kompetitif. Hal ini dapat dilihat dari
karakteristik produk yang dihasilkan di beberapa kabupaten di Nusa
Tenggara Barat. Beberapa jenis kerajinan anyaman telah menjadi andalan
ekspor Nusa Tenggara Barat antara lain berupa mebel, handicraft seperti
tas anyaman, candek, oval, baki, nampan, kap lampu, vas bunga, dll. Para
pengrajin di daerah ini pun tidak hanya melayani permintaan pasar
domestic, tetapi juga permintaan untuk ekspor ke negara-negara Asia,
Eropa dan Amerika.
Namun selama tiga tahun terakhir nilai ekspor kerajinan Nusa
Tenggara Barat merosot. penyebabnya, selain kelesuan pasar akibat krisis
ekonomi, juga keterbatasan bahan baku dan ketertinggalan keterampilan
perajin. Jika pada tahun 2005 nilai ekspornya US$ 1,991 juta, terus
menurun pada tahun 2006 menjadi US$ 1,003 juta, tahun 2007 sebesar US$
679.042 lalu tahun 2008 US$ 425.397 dan tahun 2011 anjlok hanya senilai
US $ 14.320,20. Sementara dari Provinsi Bali perolehan devisa dari
kerajinan bamboo Bali mengalami naik turun pada tahun 2006 senilai US$
12,87 juta, tahun 2007 menurun senilai US$ 8,75 juta pada 2008
meningkat US$ 16,29 juta dan turun lagi menjadi US$ 11,34 juta pada
2009, tahun 2010 US$ 9,51 juta dan meningkat lagi di tahun 2011 sebesar
US$ 14,12 juta (http://antarantb.com).
Selain pasokan bahan baku bambu yang semakin kurang, untuk
memenuhi permintaan pasar luar negeri, para produsen kerajinan bambu
harus memperhatikan syarat-syarat kualitas barang baik dari segi
kandungan kadar air, konsistensi dan keawetan produk, serta ketepatan
jadwal pengiriman menjadi hal yang tidak boleh diabakaian oleh para
pengrajin.
Festival Bambu Internasional telah sering diselenggarakan di Nusa
Tenggara Barat, hal ini menunjukkan NTB memiliki keinginan yang
cukup tinggi untuk mengembangkan bamboo. Namun demikian tanaman
bambu belum banyak berubah masih dikelola secara subsisten/tradisional
karena pengembangannya mengalami berbagai hambatan. Hal ini dapat
dilihat dari masih banyaknnya jumlah penduduk miskin di wilayah sekitar
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 397
hutan dan kecilnya kontribusi bamboo terhadap pendapatan petani
demikian juga terhadap perolehan devisa Negara.
C. Peluang Usaha Komoditi Bambu
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19 tahun 2009 menyebutkan
bahwa sumberdaya hutan mempunyai potensi multi fungsi yang dapat
memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan
umat manusia. Pengembangan tanaman bambu akan mendukung
pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar KPHL Rinjani Barat karena
akan menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi atau memberikan
stimulus agar terjadi perkembangan ekonomi yang yang akan
melipatgandakan (multiplier effect) dampak berupa nilai tambah bagi
masyarakat dan pada akhirnya mampu mewujudkan pencapaian tujuan
ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Mengingat luasnya lahan kritis baik di dalam maupun di luar
kawasan yaitu tercatat masing-masing seluas 17.640 Ha .dan 9.948 Ha, di
sisi lain meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman
bambu maka hal ini sebaiknya menjadi alasan yang kuat bagi KPHL
memilih bamboo sebagai tanaman reboisasi dan pengayaan. Pohon
membutuhkan waktu tumbuh yang lama sementara kerusakan kondisi
lingkungan berjalan cepat, suhu semakin panas, iklim terus menerus
berubah. Dengan keunggulan yang dimiliki tanaman bambu dapat menjadi
alternatif menggantikan pohon yang lebih ramah lingkungan.
Saat ini jenis bambu yang mendominasi di wilayah KPHL Rinjani
Barat antara lain: bambu ori, bambu gesing, bambu ampel, bambu cendani,
petung, bambu buluh kecil, bambu buluh besar, bambu lampar, gombong,
bambu apus, bambu bubat, bambu legi, dan bambu cina. Jenis bambu
tersebut termasuk jenis bamboo untuk produksi rebung, bahan kerajinan,
pulp, kertas, lamina dan bahan baku lainnya. Oleh karena itu diperlukan
segmentasi produk yang akan dihasilkan dan sejak awal masyarakat perlu
dilibatkan dalam perecanaan penanaman dan pemanfaatannya, yakni
produksi batangnya untuk bahan baku atau produksi tunas bambu/rebung
untuk sumber pangan dan menjadi komoditi eksport. Dengan penerapan
teknologi tepat guna berbagai produk dari tanaman bambu akan membuat
nilai komoditas bambu dapat dikembangkan.
398| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Saat ini penggunaan bambu laminasi dalam berbagai kebutuhan
seperti industri mebel menjadi salah satu solusi atas permasalahan semakin
langkanya pasokan kayu bagi perajin mebel di tanah air yang
permintaannya senantiasa meningkat. Mebel berbahan baku bambu
laminasi memiliki keunikan tersendiri yang terekspos dari serat dan
ruasnya. Alur serat yang simetris menciptakan nuansa seni yang unik pada
interior rumah.
Serat bambubahkan akhir-akhir ini bisa dibuat menjadi bahan baku
produk fesyen, dengan kualitas dan keunggulannya dapat menjadi produk
kaus kaki, sepatu, dan kaus yang tidak hanya unik dari segi tampilan,
namun memiliki keunggulan tersendiri bagi si pemakai. Kualitas produk-
produk berbahan serat bambu ini pun tak hanya dilirik pasar dalam negeri,
tetapi sudah merambah ke pasar luar negeri.
Sebagai daerah wisata Nusa Tenggara Barat, mestinya juga
mampu menawarkan berbagai paket kunjungan wisata dengan fasilitas
home stay, paket atraksi seni budaya dan tak ketinggalan paket belajar
kerajinan bambu. Masyarakat manca negara umumnya meminatinya
karena kenaturalan dan keantikannya. (Duryatmo, 2000). Pemerintah dalam
hal ini dapat menjadi contoh menggunakan bambu dalam berbagai
kesempatan seperti: bangunan pemerintah, dokumen pemerintah yang
menggunakan kertas dari bambu, serta memulai hutan bambu.
Bambu sangat potensial sebagai bahan substitusi kayu, karena
rumpun bambu dapat terus berproduksi selama pemanenannya terkendali
dan terencana. Potensi produktifitas tanaman bambu dapat digambarkan,
sebagai berikut : Bambu petung menghasilkan batang 43,4 ton/ha dengan
rotasi 2 tahun (Sutarno dkk., 1996) dan bambu apus produktivitasnya 682-
6.053 batang/ha/tahun (Wijaya dkk., 2005). Sedangkan untuk produksi
rebung di Thailand, bambu petung produksinya sebesar 38.000 ton/ha,
rebung bambu taiwan di Boyolali menghasilkan 2-6 kuintal/ha/panen (dlm
1 minggu 2 kali panen) setelah tanaman berumur >2 th. Produksi rebung
ampel gading yang dikembangkan pada lahan milik dengan pola kebun
campuran di Desa Banyumeneng - Demak sebesar 4994,53 kg/ha/tahun,
sedangkan rebung ampel ijo di Desa Timbang Kecamatan Leksono-
Wonosobo sebesar 3128,85 kg/ha/tahun (Widiarti, 2013).
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 399
Upaya pengembangan bambu sebaiknya tidak berhenti pada peran
pemerintah dan peran serta masyarakat semata. Program corporate social
responsibility (CSR dapat diarahkan untuk medukung upaya pengembangan
bambu dan kegiatan kampanye cinta bambu cinta lingkungan. Kerjasama
antar daerah dalam pengembangan bambu perlu digagas oleh KPHL
Rinjani Barat, demikian juga dengan perguruan tinggi dan lembaga
penelitian untuk peningkatan potensi produksi di hulu dan industri di hilir
dengan ketersediaan teknologi pemrosesan. Dan yang terpenting perlunya
konsistensi kebijakan pemerintah pusat dan daerah terhadap pemanfaatan
bambu untuk kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu menyelenggarakan
forum bambu, dalam forum ini, seluruh ide, gagasan dan aspirasi
masyarakat dalam pengelolaan bambu dan lingkungan dapat tersalurkan.
Saatnya masyarakat ikut serta dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pengelolaan sumber daya hutan.
D. Strategi pengembangan bambu
Pengembangan kawasan dengan suatu komoditi tertentu haruslah
diarahkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki oleh
komoditas tersebut dan tetap berorientasi pada kepentingan daerah
(Daryanto, 2004). Pengembangan bambu akan memberikan nilai tambah
dan memberikan kontribusi yang tinggi bagi pertumbuhan ekonomi daerah
bila diversifikasi produksi bambu berkembang dan hasil ikutannya
dimanfaatkan, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani ditingkatkan
demikian juga sarana dan prasarana pengolahan dan modal usaha tersedia.
Paradigma pembangunan wilayah saat ini juga tidak bisa bersifat
sektoral tapi perlu memperhatikan potensi wilayah tersebut, yaitu dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada dan mengacu pendekatan komoditas
unggulan untuk meningkatkan nilai ekonomi dan jenis peluang kerja dari
komoditi tersebut. Pengembangan industri pengolahan bambu merupakan
sarana meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, memperluas
pasar bagi produk bambu dan menunjang usaha peningkatan pendapatan
serta kesejahteraan petani (Harini dkk, 2005; Daryanto, 2004; Astana,
2001).
Bambu sebagai komoditi unggulan telah diusahakan oleh
masyarakat sekitar KPHL secara turun-temurun jauh sebelum pembentukan
400| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KPHL dan sudah menjadi bagian dari budaya sebagian besar masyarakat.
Saatnya KPHL memfasilitasi pembentukan klaster, agar kelompok petani
bamboo dapat menjual langsung kepada pengrajin atau industry
/perusahaan pengolah hasil bamboo. Upaya ini dimaksudkan agar dapat
memutus mata rantai penjualan bamboo dari petani yang selama ini
cenderung merugikan petani karena pihak petani berada pada posisi lemah
di hadapan para tengkulak. Dengan mengurangi mata rantai penjualan
tersebut berarti meningkatkan pendapatan dan pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan petani.
Klaster didefinisikan sebagai kelompok yang terdiri atas jejaring
pengusaha yang secara bersama-sama memajukan kesejahteraan di tingkat
wilayah melalui penguasaan dan pengendalian rantai suplai dan rantai nilai.
Pembentukan klaster dipilih dalam pengembangan komoditas bamboo agar
dapat meningkatkan efisiensi biaya, daya tawar, bersifat terpadu, dan
berdampak bagi pengembangan ekonomi daerah. Pendekatan ini juga
diharapkan mampu meningkatkan pertukaran pengalaman dan pengetahuan
antar pelaku usaha dalam hubungan hulu-hilir serta mendorong keterkaitan
sosial dan keahlian masing-masing anggota klaster.
Pada tingkat hulu, pengembangan bambu diarahkan pada
pemanfaatan lahan kritis, pemanfaatan lahan tidurdan lahan yang belum
dimanfaatkan secara komersial, bail milik masyarakat maupun kawasan
hutan negara. Dalam budidaya bambu diperlukan dukungan sarana
produksi dengan teknologi budidaya yang tepat guna menghasilkan tunas
bambu dan batang bambu dari segi kuntitas dan kualitas tinggi. Pada
tingkat hilir pengembangan industri berbasis bahan baku bambu dan barang
jadi lainnya dengan teknologi tepat guna dan efisien sehingga produk yang
dihasilkan berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Pengembangan citra produk bambu yang dipasarkan di dalam dan
luar sangat penting untuk mengangkat nilai penjualan dan keuntungan,
karena itu promosi produk kerajinan NTB perlu digalakan baik desain,
kualitas produk maupun harga yang bersaing. Informasi perkembangan
pasar dan harga tidak hanya di pasar dalam negeri tetapi juga pasar luar
negeri. Hal ini akan mendorong peningkatan pemasaran dan pangsa pasar
produk bambu.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 401
Pengembangan bambu harus dilakukan secara terintegrasi oleh
para pihak sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat untuk
meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan, pengrajin, meningkatkan
kesempatan berusaha, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pendapatan daerah dan devisa. Kebijakan pembangunan kehutanan tahun
2015, diarahkan pada : Peningkatan hasil hutan dan bioprospecting melalui
pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan hutan (public private
patnership) dan perkuatan integrasi industri hulu-hilir dalam bentuk
pengembangan integrated forest based cluster industry.
Pemerintah dan para pihak secara bersama-sama menetukan
tingkat teknologi, produktivitas dan skala industri yang dikembangkan
mengikuti perkembangan teknologi industri pengolahan bambu yang
terbaru. Pemerintah perlu memfasilitasi kemitraan serta menciptakan iklim
usaha yang kondusif. Dengan demikian pengembangan bambu di NTB
mempunyai pilihan model pembangunan industri skala kecil, dan
menengah yang dirancang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi wilayah
setempat yang ingin dicapai.
Program klaster ini dilaksanakan melalui kerjasama dan koordinasi
dengan berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,
dinas terkait, dan perbankan setempat. Serta pelibatan perguruan tinggi dan
lembaga penelitian Selain itu juga, dalam rangka peningkatan keterampilan
para pengusaha/pengrajin perlu dilakukan pelatihan teknis oleh dinas
perindustrian dan perdagangan kabupaten dan studi banding ke Bali atau
lokasi lain yg merupakan sentra kerajinan atau industry berbahan baku
bamboo untuk meningkatkan mutu kerajinan dan pemasarannya
Upaya yang dibutuhkan dalam mendukung pengembangan bambu
khususnya di KPHL Rinjani Barat adalah data dan informasi
pembangunan potensi dan produksi di hulu dan industri di hilir dengan
ketersediaan teknologi pemrosesan dan perlunya konsistensi kebijakan
pemerintah pusat dan daerah terhadap pemanfaatan bambu untuk
kesejahteraan rakyat.
402| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
V. KESIMPULAN
Pengembangan bambu merupakan langkah yang tepat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan KPHL Rinjani Barat,
sekaligus mendukung upaya pelestarian alam karena bamboo memiliki
keunggulan dibanding pohon.
Pengembangan bamboo sebagai komoditi unggulan daerah agar
mampu berkesinambungan dan memberikan dampak pengganda yang besar
perlu diversivikasi produk-produk lainnya dan seyogianya didesain
melalui basis klaster.
Dengan berbasis klaster, maka pengembangan bamboo tidak hanya
di bagian hulu tetapi akan memperhatikan keterkaitan (linkages) dengan
unsur-unsur pendukungnya (industri), perguruan tinggi dan litbang, pasar
dan sebaginya, sehingga tercipta keterkaitan yang kuat untuk mendukung
pengembangan pemanfaatan bamboo menjadi berbagai produk untuk
meningkatkan nilai tambah dari bamboo.
KPHL sebagai pemangku di tingkat tapak sebaiknya memfasilitasi
pembentukan kluster, membangun keterkaitan antar unsur-unsur
pendukungnya yang diintegrasikan dalam kesatuan manajemen serta
menjadi penghubung antara pemerintah daerah dengan pihak swasta dan
masyarakat untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat di wilayahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida S. 2012. Pidato Arahan Menteri PPN/Kepala
Bappenas pada Forum Pengembangan Bambu Nasional
Kementerian Perindustrian tahun 2012 di Bandung.
Astana Satria, 2001. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Bambu. Info
Sosial Ekonomi Vol. 2 No.1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Berlian V. A. N. dan E. Rahayu 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu.
Penerbar Swadaya. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012. Nusa Tenggara
Barat Dalam Angka 2012. Mataram.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 403
Daryanto, A, 2004. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Identifikasi
Komoditas Unggulan dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi
Regional. Jurnal Agrimedia, 9 (2), 51–62.
http://www.tempo.co. 2009. Nilai Ekspor Kerajinan NTB Merosot, Jetro
Bantu Perajin. Rabu, 24 Juni 2009. Mataram.
Kementerian Perdagangan, 2011. Warta Ekspor Edisi Desember : Menggali
Peluang Ekspor Untuk Produk Dari Bambu. Jakarta .
Kementerian Perindustrian, 2012.Pidato Pembukaan Forum Pengembangan
Bambu Nasional dengan tema acara "Bambu Sebagai Produk
Ramah Lingkungan Guna Meningkatkan Ekonomi Kerakyatan
yang Berkelanjutan" di Jakarta, 23 Oktober 2012. Jakarta.
Lembaga Biologi Nasional – LIPI. 1980. Beberapa Jenis Bambu. PT
Sumber Bahagia : PN Balai Pustaka. Jakarta.
Rahardi, F, 2009. Memperbaiki Tata Air dengan Bambu.
http://www.kompas.co.id. 10/5/2009. Diakses 20 Agustus 2010.
Senior, 2007. Rebung Kaya Serat, Penangkal Stroke.
http://cybermed.cbn.net.id Kamis, 26 April 2007. Diakses 16
Oktober 2009.
Sutiyono, Hendromono, M. Wardani, dan I. Sukardi. 1992. Teknik
Budidaya Tanaman Bambu. Informasi Teknis No. 35. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Tan, Lieke. 2012. mengenal bambu dan manfaatnya terhadap konservasi
alam, konstruksi dan kerajinan [Serial Online]. http://www.
indonesiaforest.net/bambu.html. Diunduh pada 21 Juni 2012.
Widiarti, A, 2013. Pengusahaan Rebung Bamboo Oleh Masyarakat : Studi
kasus di Kabupaten Demak dan Wonosobo. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 10 No. 1. Bogor.
Widjaja, Elizabeth A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. LIPI- Seri
Panduan Lapangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi –
LIPI. Balai Penelitian dan Pengembangan Botani, Herbarium
Bogoriense. Bogor.
Widjaja, E. A., N. W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan
Membudidayakan Bambu . Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Widnyana. K. 2012. Bambu dengan berbagai manfaatnya. Fakultas
Pertanian Universitas Mahasaraswati. Denpasar-Bali
404| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PERANAN AGROFORESTRI TERHADAP CADANGAN KARBON DI
HULU DAS RENGGUNG KABUPATEN LOMBOK TENGAH
Budhy Setiawan1)*
, Ahmad, Ismail, Mahrin2)
1) Program Studi Kehutanan Universitas Mataram 2) Fauna & Flora International-Indonesia Programme
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kerapatan tutupan pohon, cadangan
karbon, jenis tanaman yang ingin ditanam oleh masyarakat pengelola kawasan
hutan, dan potensi penambahan cadangan karbon dari penanaman yang akan
dilaksanakan oleh masyarakat pada kawasan hulu DAS Renggung. Penelitian
dilakukan pada bulan Januari s/d Maret 2013 yang berlokasi di kawasan hutan
di wilayah hulu DAS Renggung Kabupaten Lombok Tengah seluas 100 ha
dengan pembuatan 7 plot pengamatan. Perhitungan estimasi cadangan karbon
dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik yang yang telah
dikembangkan. Hasil analisis kerapatan tutupan pohon, terdapat 110 pohon/ha
dengan cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha. Jenis tanaman yang
diinginkan oleh masyarakat untuk ditanam dengan pola agroforestri sehingga
menghasilkan kerapatan tutupan sebanyak 400 pohon/ha untuk memenuhi
persyaratan proyek REDD+ dengan skema Plan Vivo, terdiri dari 1 (satu) jenis
tanaman kayu yaitu rajumas dan 6 (enam) jenis HHBK, yaitu; manggis, durian,
alpukat, sirsak, sawo nila, dan duku. Hasil analisis potensi penambahan
cadangan karbon melalui penanaman 7 (tujuh) jenis tanaman tersebut
diperkirakan akan terjadi penambahan cadangan karbon setelah lima belas
tahun sebesar 205,18 ton C/ha atau rata-rata per tahun sebesar 13,68 ton C/ha.
Kata Kunci: DAS Renggung, agroforestri, HHBK, cadangan karbon.
I. PENDAHULUAN
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) melalui skema
hutan kemasyarakatan (HKm) di Pulau Lombok telah berlangsung sejak
pertengahan tahun 1990-an. Skema HKm telah memberikan akses yang
cukup luas kepada masyarakat pinggiran hutan di Pulau Lombok untuk
terlibat langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan. Secara umum, pola
pengelolaan lahan hutan yang dikembangkan oleh petani HKm di Pulau
Lombok menerapkan sistem tanaman campuran atau yang dikenal dengan
istilah agroforestri yaitu mengkombinasikan tanaman kayu, buah-buahan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 405
dan tanaman semusim (Setiawan, 2005). Kombinasi tanaman yang
dikembangkan oleh petani HKm di Pulau Lombok menganut sistem
agroforestri komplek. Hal ini sejalan dengan definisi yang dipublikasi oleh
ICRAF (2000), sistem agroforestri komplek adalah sistem-sistem yang
terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman dan
atau rumput. Praktek penerapan sistem agrofrestri di lahan HKm di Pulau
Lombok telah berkontribusi secara signifikan baik dalam peningkatan
ekonomi masyarakat maupun pemulihan kondisi biofisik kawasan hutan
(Samad, 2012).
Penerapan sistem agroforestri juga memiliki kontribusi terhadap
perbaikan kualitas ekologis di daerah sekitarnya. Dari sisi ekologis,
keberadaan vegetasi yang ada dapat berfungsi sebagai pengendali iklim
mikro. Sebagai gambaran, tanaman seluas 1 ha dapat memproduksi
oksigen sebesar 600kg/hari, menyerap karbodioksida sebesar 900 kg/hari,
menyaring debu sampai 85% serta dapat menurunkan suhu sampai 4°C
(Jochim et al. yang diacu oleh Frick dan Suskiyanto dalam Adinugroho et
al, 2013). Peran vegetasi sebagai penyerap karbondioksida menjadi bagian
penting saat ini dalam rangka mengatasi pemanasan global yang
disebabkan meningkatnya kadar gas rumah kaca terutama karbondioksida
di atmosfer. Oleh karenanya, praktek agroforestri yang dikembangkan oleh
petani HKm di Pulau Lombok tentunya patut diperhitungkan untuk
mendapatkan imbal jasa lingkungan berupa kredit karbon di masa
mendatang.
Praktek agroforestri yang dikembangkan petani HKm di Pulau
Lombok tersebut telah menarik perhatian lembaga Fauna & Flora
International (FFI) untuk mengintegrasikan skema HKm dengan
implementasi proyek REDD+ melalui skema Plan Vivo dengan mengambil
lokasi di Kawasan Hutan Aik Bul Kabupaten Lombok Tengah yang
terletak di Hulu DAS Renggung. Adapun penelitian yang dilakukan ini
bertujuan untuk; 1) menganalisis kerapatan tutupan pohon, 2) menganalisis
cadangan karbon pada sistem agroforestri di Hulu DAS Renggung, 3)
mengetahui jenis tanaman yang ingin ditanam oleh petani HKm, dan 4)
menganalisis potensi penambahan cadangan karbon dari penanaman yang
akan dilaksanakan oleh petani HKm pada kawasan Hulu DAS Renggung.
406| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
II. METODE PENELITIAN
2.1 Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2013 dengan
mengambil lokasi di wilayah Hulu DAS Renggung yang secara
adiministratif pemerintahan hampir keseluruhannya (96%) termasuk
kedalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan secara geografis terletak
pada posisi 8°30’0’’ - 8°53’30’’ LS dan 8°30’0’’dan 116°16’0’’ -
116°25’0’’ BT.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Hulu DAS Renggung
2.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain; Peta Rupa
Bumi, Peta Kawasan Hutan NTB, Kertas Plano, Tallysheet, GPS, Kompas,
Phiband, Meteran (DBH meter), Lasser Meter, Kamera, dan Spidol.
2.3 Metode
Sampling dilakukan secara random, total ada 7 (tujuh) plot yang tersebar
pada lokasi penelitian, terdiri dari 5 (lima) plot yang secara umum
menunjukkan keterwakilan penutupan lahan oleh vegetasi pohon pada
setiap sistem agroforestri di Hulu DAS Renggung dan 2 (dua) plot
purposive yang dijadikan sebagai plot pembanding. Perhitungan estimasi
cadangan karbon dilakukan dengan menggunakan metode non-destruktif,
yaitu menggunakan persamaan alometrik yang telah dikembangkan atau
tersedia saat ini.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 407
Gambar 2. Sebaran Plot Sampling
Keterangan Ukuran Plot:
125 m x 20 m = Area Pengukuran Pohon DBH ≥ 30 cm (A)
20 m x 20 m = Area Pengukuran Pohon DBH 15 - 29,9 cm (B)
10 m x 10 m = Area Pengukuran Pohon DBH 5 - 14,9 cm (C )
60 m x 60 m (plot purposive) = Area Pengukuran Pohon DBH ≥ 5 cm
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kerapatan Tutupan Pohon
Kerapatan tutupan pohon di Hulu DAS Renggung dilakukan
melalui kegiatan identifikasi dan inventarisasi jenis pohon pada 7 (tujuh)
plot pengamatan. Hasil identifikasi dan inventarisasi dijumpai ada
sebanyak 9 jenis pohon di 7 (tujuh) plot pengamatan, yakni; cokelat
(Theobroma cacao), kopi (Coffea robusta), nangka (Artocarpus
heterophyllus), durian (Durio zibethinus), jambu batu (Psidium guajava),
dadap (Erythrina sp), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni
(Swietenia mahagoni), randu (Ceiba petandra). Adapun jenis dan jumlah
408| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pohon yang teridentifikasi di masing-masing plot pengamatan adalah
sebagai berikut: 1) Plot AB. I.I (Agroforestri Tegakan Dominasi Dadap)
teridentifikasi 4 (empat) jenis dengan tingkat kerapatan tutupan mencapai
30 pohon), 2) Plot AB.I.II (Agroforestri Tegakan Dominasi Mahoni)
teridentifikasi 3 (tiga) jenis dengan tingkat kerapatan mencapai 33 pohon,
3) Plot AB.I.III (Agroforestri Kopi Tegakan Dominasi Dadap, Sengon dan
Nangka) teridentifikasi 5 (lima) jenis dengan tingkat kerapatan tutupan
mencapai 30 pohon, 4) Plot AB. I.IV (Agroforestri Kopi Tegakan
Dominasi Mahoni) teridentifikasi 5 (lima) jenis dengan tingkat kerapatan
tutupan mencapai 21 pohon, 5) Plot AB.I.V (Agroforestri Kopi-Cokelat
Tegakan Dominasi Dadap) teridentifikasi 5 (lima) jenis dengan tingkat
kerapatan tutupan mencapai 23 pohon, 6) Plot Purposive Mahoni
teridentifikasi 3 (tiga) jenis dengan tingkat kerapatan tutupan mencapai 65
pohon, dan 7) Plot Purvosive Lahan Terbuka teridentifikasi 3 (tiga) jenis
dengan tingkat kerapatan tutupan mencapai 14 pohon. Berdasarkan hasil
analisis data dan perhitungan maka rata-rata tingkat kerapatan pohon
setelah dilakukan konversi ke dalam satuan hektar (ha) pada Kawasan
hutan Aik Bual maka diperoleh tingkat kerapatan tutupan pohon mencapai
110 pohon/ha.
B. Cadangan Karbon Pohon
Perhitungan biomassa pohon pada masing-masing plot
pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode non-destructive
sampling atau tanpa menyebabkan kerusakan pohon, yaitu menggunakan
beberapa persamaan alometrik yang telah tersedia dalam Hairiah et al.
(2001), Brown (1997) dan Chave et al. (2005). Cadangan karbon dihitung
dengan menggunakan pendekatan biomassa, cadangan karbon yang
tersimpan dalam bentuk biomassa dapat diketahui dengan mengalikan
biomassa dengan konstanta fraksi karbon dari biomassa tersebut, yaitu
sebesar 0,50 (0,44-0,55) (IPCC, 2006 dalam Adinugroho et al. 2013).
Serapan CO2 dihitung dengan menggunakan perbandingan massa molekul
relative CO2 (44) dan massa atom relatif C(12) yaitu serapan CO2 = 3,67 x
cadangan karbon. Berdasarkan hasil tabulasi dan perhitungan cadangan
karbon seperti diuraikan diatas diperoleh potensi cadangan karbon pada
plot pengamatan adalah sebesar 77,63 ton C/ha yang dirincikan pada
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 409
masing-masing plot adalah sebagai berikut: 1) Plot AB. I.I sebesar 89,46
ton C/ha, 2) Plot AB. I.II sebesar 214 ton C/ha, 3) Plot AB. I.III sebesar
84,71 ton C/ha, 4) Plot AB. I.IV sebesar 97,17 ton C/ha, 5) Plot AB. I.V
sebesar 45,94 ton C/ha, 6) Plot Purposive Mahoni sebesar 253,26 ton C/ha,
dan 7) Plot Purposive Lahan Terbuka sebesar 79,73 ton C/ha.
Gambar 3. Potensi Cadangan Karbon di Tiap Plot Pengamatan
C. Jenis Tanaman yang diinginkan Masyarakat
Salah satu persyaratan dari implementasi REDD+ dengan skema
Plan Vivo adalah jumlah pohon per ha minimal sebanyak 400 pohon. Hasil
inventarisasi yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah pohon
per ha di 7 (tujuh) plot pengamatan adalah sebanyak 110 pohon/ha. Oleh
karena itu, kegiatan FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan
bersama masyarakat pengelola hutan di Desa Aik Bual adalah untuk
memperoleh informasi terkait jenis tanaman apa yang ingin ditanam
sebanyak 290 pohon per ha untuk mencapai kerapatan tutupan pohon
sebanyak 400 pohon/ha. Hasil kesepakatan melalui kegiatan FGD
mengenai jenis pohon dan jumlah penambahan masing-masing jenis pohon
per ha adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jenis dan Jumlah Penambahan Tanaman per Ha yang diinginkan
Petani HKm Aik Bual
No. Nama
Perdagangan Nama Ilmiah Jenis
Prosentase
Penambahan
Jenis
Jumlah
Penambahan
Pohon/Ha
1. Srikaya Annona Buah 10% 29
0 100 200 300
Plot Purposive Mahoni
Plot Purposive Lahan Terbuka
Plot AB. I.V
Plot AB. I.IV
Plot AB. I.III
Plot AB. I.II
Plot AB. I.I
410| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No. Nama
Perdagangan Nama Ilmiah Jenis
Prosentase
Penambahan
Jenis
Jumlah
Penambahan
Pohon/Ha
muricata
2. Rajumas Duabanga
moluccana
Kayu 30% 87
3. Durian Durio
zibethinus
Buah 10% 29
4. Manggis Garcinia
mangostana
Buah 20% 58
5. Duku Lansium
domesticum
Buah 10% 29
6. Sawo Nila Manilkara
zapota
Buah 10% 29
7. Alpokat Persea
Americana
Buah 10% 29
Total 100% 290
D. Potensi Penambahan Cadangan Karbon
Kondisi tutupan hutan saat ini tanpa aktivitas penambahan jenis
tanaman dengan cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha akan terjadi
peningkatan cadangan karbon di kawasan Hulu DAS Renggung sampai
pada tahun ke-15 mencapai 152,92 ton C/ha. Potensi peningkatan
cadangan karbon akibat dari aktivitas penambahan 7 jenis pohon dengan
jumlah penambahan mencapai 290 pohon/ha akan terjadi rata-rata
peningkatan sebesar 0,14 ton C/ha/tahun sehingga pada tahun ke-15
cadangan karbon menjadi 358,10 ton C/ha.
Tabel 2. Baseline Data Cadangan Karbon
Tahun Baseline
(Ton C/ha) Tahun
Baseline
(Ton C/ha)
1 77,63 9 120,65
2 83,00 10 126,03
3 88,38 11 131,41
4 93,76 12 136,79
5 99,14 13 142,17
6 104,52 14 147,55
7 109,90 15 152,92
8 115,28
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 411
Tabel 3. Potensi Peningkatan Cadangan Karbon melalui
Penambahan Jenis dan Jumlah Tanaman
Tahun Peningkatan Cadangan
Karbon (Ton C/ha) Project Scenario
1 0,00 77,63
2 0,00 83,00
3 0,00 88,38
4 9,72 103,48
5 14,97 114,11
6 22,37 126,89
7 31,87 141,76
8 43,65 158,93
9 57,91 178,57
10 74,83 200,86
11 94,58 225,99
12 117,34 254,12
13 143,25 285,42
14 172,48 320,02
15 205,18 358,10
Gambar 4. Potensi Peningkatan Cadangan Karbon
412| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
IV. KESIMPULAN
1. Hasil analisis kerapatan tutupan pohon, terdapat 110 pohon/ha dengan
cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha.
2. Jenis tanaman yang diinginkan oleh masyarakat untuk ditanam dengan
sistem agroforestri sehingga menghasilkan kerapatan tutupan sebanyak
400 pohon/ha terdiri dari 1 (satu) jenis tanaman kayu yaitu rajumas
(Duabanga moluccana) dan 6 (enam) jenis HHBK, yaitu; manggis
(Garcinia mangostana), durian (Durio zibethinus), alpokat (Persea
americana), sirsak (Annona muricata), sawo nila (Manilkara zapota),
dan duku (Lansium domesticum).
3. Hasil analisis potensi penambahan cadangan karbon melalui
penanaman 7 (tujuh) jenis tersebut diperkirakan akan terjadi
penambahan cadangan karbon setelah lima belas tahun sebesar 205,18
ton C/ha atau rata-rata per tahun sebesar 13,68 ton C/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho WC, Indrawan A, Supriyanto, Arifin HS. 2013. Kontribusi
Sistem Agroforestri terhadap Cadangan Karbon di Hulu DAS Kali
Bekasi. Jurnal Hutan Tropis Volume 1 No. 3. Banjarbaru.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical
Forests: a Primer. Rome, Italy: FAO Forestry Paper 134.
Chave J, Andalo C, Brown S, Cairns MA, Chambers JQ, Eamus D, Folster
H, Fromard F, Higuchi N, Kira T, Lescure JP, Puig H, Riera B,
Yamakura T. 2005. Treeallometry and improved estimation of
carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145:87-
99.
Hairiah K, Sitompul SM, van Noordwijk M. 2001. Methods for sampling
carbon stocks above and below ground. ASB Lecture Note 4B.
Bogor: International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).
International Centre for Research in Agroforestry. 2000. Ketika kebun
berupa hutan : Agroforest Khas Indonesia Sebuah sumbangan
masyarakat. Bogor.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 413
Samad, S. 2012. (Tesis). Efektivitas Program Hutan Kemasyarakatan di
Pulau Lombok. Mataram.
Setiawan, B. 2006. Pengembangan Model Diversifikasi Tanaman dalam
Sistem Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian “IPTEK Pengelolaan DAS untuk
Mendukung Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat di
Wilayah Zona Ekologi Nusa Tenggara”. Mataram.
414| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
POTENSI BIOMASSA, CADANGAN KARBON DAN SERAPAN
KARBON DIOKSIDA (CO2) SERTA PERSAMAAN ALLOMETRIK
PENDUGA BIOMASSA PADA TEGAKAN BAMBU BETUNG
(Dendrocalamus asper) PADA HUTAN BAMBU RAKYAT
DI KABUPATEN TANA TORAJA
Baharuddin1, Djamal Sanusi
2 Muhammad Daud
3, dan Ferial
4
1,2) Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
3) Program Studi Kehutanan, Universitas Muhammaddiyah Makassar 4)
Alumni Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Email:[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi biomassa, cadangan karbon
dan penyerapan Karbon Dioksida (CO2) serta membuat model alometrik
penduga biomassa bambu betung (Dendrocalamus asper) di hutan rakyat
bambu Kabupaten Tana Toraja. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
purpossive sampling untuk menentukan potensi tegakan bambu dan untuk
menduga potensi biomassa, cadangan karbon dan penyerapan CO2 dengan
menggunakan model alometrik. Sebanyak 60 batang bambu untuk membuat
model alometrik penduga biomassa, 30 sampel yang digunakan untuk
membuat model alometrik dan 30 sampel untuk validasi model. Sampel
destruktif digunakan untuk mengumpulkan data dari sampel di mana diameter
(D) dari bambu betung digunakan sebagai prediktor untuk berat kering total
biomassa (W). Bambu betung tua ditebang kemudian dipisahkan bertdasarkan
bagian bambu (batang, akar, ranting, dan daun). Semua bagian bambu
ditimbang sebagai berat basah. Selanjutnya penentuan kadar air masing-masing
bagian. Biomassa bambu ditentukan berdasarkan berat kering masing-masing
bagian. Karbon terikat bambu betung ditentukan berdasarkan ASTM D-3175.
Model alometrik dibuat berdasarkan rumus regresi alometrik, dan uji t-test dan
koefisien determinasi (R2). Validasi model digunakan untuk menguji keandalan
model persamaan alometrik untuk prediksi jumlah biomassa bambu betung.
Uji keandalan model dilakukan dengan menggunakan kriteria validasi model
dari 30 sampel seperti koefisien determinasi, bias, Square Error Prediction
(MSEP), dan (EI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi bambu betung
berdiri di hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja adalah 21 batang per rumpun,
4134 batang per hektar dan 194 rumpun per hektar. Berdasarkan indikator
statistik, model persamaan alometrik untuk menduga biomassa bamboo betung
dengan persamaan W = 25,840D0,295
dengan nilai R2 0,780 dengan bias,
(MSEP), dan (EI) adalah -1,03; 3,11; 44,68. Potensi biomassa, cadangan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 415
karbon dan penyerapan CO2 bambu betung berdiri di hutan rakyat bambu di
Kabupaten Tana Toraja adalah 225,241 ton / ha; 111,224 ton / ha; 110,143 ton
/ ha per tahun.
Kata Kunci: Biomassa, cadangan karbon, Betung Bambu, Hutan
Rakyat Bambu, Model alometrik.
I. PENDAHULUAN
Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat
Indonesia dan sudah menyebar di kawasan nusantara, tanaman ini dapat
tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering. Bambu termasuk
keluarga rerumputan dan merupakan tumbuhan paling besar di dunia dalam
keluarga ini. Menurut Berlian (1995) ada lebih dari 1200 spesies bambu
dan kebanyakan terdapat di Asia. Tumbuhan yang indah ini, dengan
kekuatan dan kelenturannya, memiliki manfaat yang tidak terbatas.
Tanaman bambu berpotensi menjadi solusi alternatif bagi sejumlah
permasalahan lingkungan terutama dalam mengatasi pemanasan global
(Widjaja, 2004). Cepatnya pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon,
membuat bambu dapat diunggulkan untuk perbaikan lahan. Bambu juga
merupakan penghasil oksigen paling besar dibanding pohon lainnya dan
memiliki daya serap karbon yang cukup tinggi untuk mengatasi persoalan
emisi karbon dioksida (CO2) di udara. Selain itu bambu juga merupakan
tanaman yang cukup baik untuk memperbaiki lahan kritis karena
kemampuannya tumbuh di berbagai kondisi tanah bahkan yang ekstrim
sekalipun.
Banyaknya kandungan CO2 di udara yang sebagian besar
dihasilkan oleh industri menyebabkan kadar CO2 di udara telah melewati
ambang batas. Hal ini menyebabkan sinar ultraviolet terjebak di atmosfer
yang sering dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan
terjadinya pemanasan global dan kenaikan suhu serta perubahan iklim.
Salah satu cara untuk menyerap CO2 di udara adalah melalui proses
fotosintesis. Karbon di udara banyak di serap oleh tumbuhan yang
berfotosintesis. Salah satu tanaman kehutanan yang berpotensi untuk
dikembangkan guna mengurangi emisi CO2 di atmosfer adalah bambu.
Bambu saat ini banyak dikembangkan pada hutan rakyat, meskipun
416| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
demikian kajian tentang pemanfaatan jasa lingkungan dari bambu terutama
pada hutan bambu rakyat untuk menyerap karbon masih sangat kurang.
Selama ini, kajian tentang pendugaan biomassa untuk penentuan
serapan karbon pada bambu masih manggunakan model penduga
allometrik yang masih umum padahal bambu memiliki variasi jenis dan
karakteristik yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu adanya kajian
tentang pendugaan biomassa untuk penentuan serapan karbon yang lebih
spesifik pada satu jenis bambu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
potensi biomassa, cadangan karbon dan serapan karbon dioksida (CO2)
serta persamaan allometrik penduga biomassa pada tegakan bambu betung
(Dendrocalamus asper) pada hutan bambu rakyat di Kabupaten Tana
Toraja.
II. BAHAN DAN METODE
A. Alat dan bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah GPS (Global
Positioning System), parang, gergaji, timbangan gantung, kaliper, pita
meter, roll meter, linggis, gunting, tali rafiah, karung, timbangan analitik,
desikator, ayakan (mesh), oven, drum, furnace, cawan petri, crucible
porselin, pinggan porselin, lumpang dan alu, gegep besi, alat tulis menulis
sedangkan bahan yang digunakan adalah plastik sampel, kertas/koran
bekas, kertas label, dan bambu betung (Dendrocalamus asper).
B. Metode Penelitian
1. Inventarisasi Tegakan Bambu Betung
Variabel yang diukur dalam inventarisasi bambu di lapangan
meliputi jumlah rumpun, jumlah batang dalam rumpun dan permudaan.
Plot yang dibuat berbentuk persegi panjang dengan ukuran 20 x 50 m yang
dilakukan dengan teknik sampling secara purposive (purvossive with
random start).
2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel bambu dilakukan secara destruktif
(destructive sampling). Bambu yang dipillih ialah bambu dewasa, bambu
yang terpilih kemudian ditebang, selanjutnya diukur diameternya kemudian
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 417
dipisahkan berdasarkan bagian-bagian bambu (batang, akar, ranting, dan
daun). Sampel bambu yang diambil adalah sebanyak 60 batang, 30 batang
digunakan untuk membangun model persamaan hubungan diameter dengan
biomassa dan sebanyak 30 batang untuk pengujian validasi model. Semua
bagian bambu tersebut ditimbang sehingga diketahui berat basahnya. Berat
basah bambu adalah total berat basah dari semua bagian bambu. Pada
masing-masing bagian bambu diambil beberapa sampel untuk menghitung
kadar air bambu basah dan kadar karbon terikat bambu untuk mengetahui
biomassa dan cadangan karbon masing-masing batang bambu yang
selanjutnya digunakan untuk membangun model hubungan antara diameter
dengan biomassa bambu melalui persamaan allometrik.
3. Pengukuran Kadar Air
Biomassa bambu ditentukan dari konversi biomassa basahnya ke
berat basahnya dengan menggunakan data kadar air. Karena kondisi lokasi
dan karakteristik bambu yang relatif seragam dan pertimbangan efisiensi
penelitian maka penentuan kadar air sampel tidak dilakukan per sampel
bambu tetapi kadar air ini diduga per bagian bambu. Oleh karena itu, kadar
air sampel ditentukan dari kadar air per bagian populasi. Pendugaan kadar
air populasi ini dilakukan dengan teknik sampling. Tiga batang bambu
yang dipilih secara acak dari sampel bambu penduga biomassa dipotong
per bagian kemudian ditentukan kadar airnya di laboratorium. Kadar air per
bagian bambu adalah merupakan data kadar air rata-rata per bagian sampel
yang digunakan untuk menduga biomassa.
4. Pengukuran Biomassa
Besarnya biomassa dapat diketahui dengan menggunakan
perhitungan berat kering. Setiap batang bambu akan diketahui berat
keringnya setelah dilakukan pengukuran kadar air sampel. Berat kering
(biomassa) batang, akar, ranting, dan daun dihitung dengan menggunakan
rumus:
Keterangan :
BK = Berat kering (kg); BB = Berat basah (kg); Ka = Persen kadar air (%)
418| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
5. Pengukuran Kadar Karbon Terikat
Kadar karbon terikat bambu dilakukan dengan menggunakan
metode karbonisasi. Kadar karbon terikat bambu diduga melalui penentuan
kadar karbon hasil karbonisasi jika penentuan karbonnya dilakukan
terhadap arang yang terbentuk sesaat setelah terjadinya karbonisasi
terhadap sampel. Nilai karbon yang diperoleh akan mendekati nilai kadar
karbon terikat biomassa bambu betung hidup.
a. Penentuan Kadar Air Arang (SNI 06-3730-1995)
Sebanyak 2 gram serbuk arang yang lolos saringan ukuran 100
mesh dimasukkan ke dalam crucible porselin yang telah diketahui
beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 103±2oC sampai
beratnya konstan. Setelah itu crucible porselin dikeluarkan dan didinginkan
dalam desikator selama 1 jam lalu ditimbang. Pada akhir pengujian diukur
kadar air arang dengan rumus :
Keterangan:
Ka = Persen Kadar air arang
Ba = Berat awal
Bkt = Berat kering tanur
b. Penentuan zat terbang arang (SNI 06-3730-1995)
Crucible porselin yang berisi serbuk arang bambu yang telah
diketahui kadar airnya, kemudian dimasukkan ke dalam furnace pada suhu
950°C selama 7 menit. Selanjutnya didinginkan selama 1 jam dan
ditimbang. Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat
dengan rumus:
Kadar zat terbang =
Keterangan:
A = berat sampel semula (g)
B = berat sampel setelah pemanasan (g)
c. Penentuan kandungan abu (SNI 06-3730-1995)
Serbuk arang yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke
dalam furnace pada suhu 750°C selama 6 jam. Selanjutnya cawan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 419
dikeluarkan dari furnace, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai
beratnya tetap. Untuk mengetahui kadar abu dihitung dengan rumus:
Kadar abu =
d. Penentuan kadar karbon terikat
Penentuan kadar karbon terikat pada arang bambu ditentukan
dengan menggunakan rumus:
Kadar karbon terikat arang = 100% - kadar zat terbang arang – kadar abu.
6. Penentuan Cadangan Karbon
Cadangan karbon dapat dihitung dengan rumus:
Cadangan Karbon = Biomassa x Kadar Karbon Terikat
7. Penentuan Serapan Karbon Dioksida
Serapan Karbon dioksida dihitung berdasarkan perbandingan
massa dari persamaan reaksi fotosintesis:
6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6 O2
(264) (108) (180) (192)
Berdasarkan persamaan reaksi fotosintesis di atas, maka untuk
menghasilkan 180 gram biomassa (C6H12O6), maka diperlukan sekitar 264
gram CO2, oleh karena itu serapan CO2 dapat ditentukan dengan rumus:
Serapan CO2 = (264/180) x Biomassa = 1,4667 x Biomassa
C. Analisis Data
1. Potensi Tegakan
Data yang meliputi jumlah batang/rumpun, jumlah rumpun/ha dan
jumlah batang/ha dan biomassa bambu dianalisis dengan cara sebagai
berikut:
a) Menghitung jumlah rata-rata batang per rumpun
b) Menghitung jumlah rata-rata batang per plot
c) Menghitung jumlah rata-rata rumpun per plot
420| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
d) Menghitung jumlah rumpun per hektar
=
e) Menghitung jumlah batang per hektar
=
Keterangan: Y = Jumlah batang
Y’ = Jumlah rata-rata batang per rumpun
Y’’ = Jumlah rata-rata batang per plot
Y’’’ = Jumlah rata-rata batang per hektar
X = Jumlah rumpun
X’ = Jumlah rumpun per plot
X’’ = Jumlah rata-rata rumpun per hektar
CP = Jumlah contoh plot
LCP = Luas contoh plot
2. Model Allometrik Pendugaan Biomassa Bambu
Model hubungan antara biomassa bambu dan diameter bambu
dibuat dengan menggunakan persamaan regresi allometrik yang
menggambarkan biomassa sebagai fungsi dari diameter. Penyusunan dan
analisa persamaan allometrik ini dibuat dengan menggunakan bantuan
software statistik. Adapun bentuk analisis regresi allometrik dan persamaan
polynomial adalah sebagai berikut :
W = aDb
Dimana :
W = biomassa kering bambu (kg)
D = diameter bambu (cm)
a, b = koefisien penduga
3. Uji Validasi Model
Selain kriteria nilai statistik, dilakukan uji validasi model untuk
menentukan persamaan allometrik terbaik. Kriteria yang dipertimbangkan
adalah ketepatan dari suatu penduga dalam menduga nilai yang sebenarnya
secara berturut-turut dinyatakan oleh sistematika, besar dan penyebab dari
simpangan tersebut. Semakin kecil simpangan maka penduga tersebut akan
semakin tinggi ketepatannya. Semakin sempit sebaran simpangan maka
akan semakin tinggi ketelitiannya dan semakin kecil kesalahan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 421
sistematiknya, maka penduga tersebut semakin tidak bias. Kriteria uji yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Model akan semakin baik apabila memiliki nilai bias, MSEP dan
EI yang semakin kecil. Atas dasar ini maka nilai bias dan MSPE serta EI
ini selanjutnya dipakai sebagai kriteria dalam menentukan tingkat
keabsahan dari model-model yang dicobakan. Uji keabsahan model
merupakan uji terakhir dilakukan dalam pemilihan model yang terbaik
sekaligus juga untuk menentukan cara pendekatan terbaik dalam
pemecahan masalah dalam penelitian. Selain faktor-faktor dalam
kekonsistenan dalam penerimaan model tertentu pada setiap kali
membangun model, kepraktisan pemakaian model dan kemudahan
mendapatkan modelnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Potensi Tegakan Bambu
Dalam rangka pengelolaan hutan bambu rakyat secara lestari, perlu
diketahui jumlah potensi tegakan bambu pada daerah tersebut agar
pemanfaatanya dapat dilakukan secara optimal, tanpa harus mengurangi
kelestarian hutan tersebut. Pada tabel 1 dapat dilihat potensi tegakan bambu
berdasarkan jumlah batang, jumlah rumpun dan umur bambu.
Tabel 1. Potensi tegakan bambu betung
No Plot Jumlah
Rumpun
Jumlah Batang
<1 (tahun) 1-3 (tahun) >3 (tahun) Total
1 19 177 145 115 437
2 17 103 90 108 301
3 20 91 98 105 294
4 21 154 144 179 477
422| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
5 20 179 191 188 558
Total 97 704 668 695 2067
Rata-Rata
per Plot 19.4 140.8 133.6 139.0 413.4
Total per
ha 194 1.408 1.336 1.390 4.134
Berdasarkan data di atas potensi tegakan bambu mencapai 4.134
batang per ha dengan jumlah rumpun sebanyak 194 rumpun per ha.
Sehingga jumlah batang per rumpun sebanyak 21 batang dengan 3
klasifikasi umur yang berbeda yaitu umur di bawah satu tahun, antara satu
sampai tiga tahun dan di atas tiga tahun. Data di atas dapat menjadi acuan
pemanfaatan potensi tegakan bambu secara optimal. Jumlah batang yang
harus ditebang sebanyak jumlah bambu pada umur di bawah satu tahun
yaitu 1.408 batang, karena bambu muda ini merupakan permudaan yang
akan tumbuh menggantikan bambu dewasa yang akan di tebang. Oleh
karena itu jumlahnya harus sesuai agar pemanfaatannya optimal dan
potensi tegakan bambu pada daerah tersebut tetap lestari.
B. Model Penduga Biomassa
Berdasarkan pengukuran biomassa bambu di lapangan, nilai
koefisien penduga yang diperoleh berbeda-beda berdasarkan hubungan
diameter dengan bagian bambu lainnya seperti akar, batang, ranting dan
daun serta total biomassa bambu.
Tabel 2. Model allometrik penduga biomassa bambu betung
Bagian
Bambu
Penduga
parameter Model
Allometrik
Uji F
(sig) R
2
a B
Akar 0,599 0,335 W = 0,599 D0,335
0,127tn 0,881
Batang 19,400 0,278 W = 19,400 D0,278
0,000* 0,830
Ranting 4,308 0,383 W = 4,308 D0,383
0,010* 0,326
Daun 1,370 0,227 W = 1,370 D0,227
0,007* 0,183
Biomassa
Total
25,840 0,295 W = 25,840D0,295
0,001* 0,780
Ket: tn) Tidak nyata pada taraf nyata 5% *) Nyata pada taraf nyata 5%
Berdasarkan table diatas menunjukkan bahwa diameter memiliki
hubungan persamaan kuadratik dengan biomassa total dan bagian bambu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 423
lainnya kecuali akar. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ada
hubungan yang nyata antara diameter biomassa total dan bagian bambu
lainnya kecuali akar. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Husch,
Miller, and Beers (1972) bahwa jika ada dua variabel mempunyai korelasi
dengan variabel lain maka kedua variabel tersebut akan berkorelasi satu
dengan lainnya. Persamaan allometrik pada akar tidak baik untuk
digunakan karena hunbungannya dengan diameter tidak berpengaruh nyata
meskipun nilai R2 cukup besar dan mendekati satu. Besarnya nilai R
2 pada
model penduga biomassa bagian batang bambu menunjukkan nilai sebesar
0,830. Hal ini menunjukkan bahwa nilai dari koefisien determinasi
memiliki hubungan persamaan kuadratik yang baik antara biomassa batang
dengan diameter bambu. Oleh karena itu, model persamaan tersebut baik
untuk diterapkan dalam menentukan nilai penduga biomassa bagian batang
bambu. Model persamaan penduga biomassa untuk tanaman bambu
memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 0,780. Hal ini berarti 78 %
peubah tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel diameter bambu.
1. Validasi Model Penduga Biomassa
Berikut adalah hasil uji validasi model penduga biomassa bambu
betung dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Validasi Model allometrik penduga biomassa bambu betung
Bagian Bambu
Kriteria Uji
Bias MSEP EI
Akar -0,15 0,03 4,38
Batang 0,04 2,01 29,26
Ranting -0,94 1,28 30,22
Daun 0,10 0,19 10,23
Total -1,03 3,11 44,68
Nilai Bias, MSEP dan EI terkecil menunjukkan bahwa semakin
baik penduga model yang digunakan. Hal ini didapatkan pada nilai validasi
total biomassa bambu dengan nilai bias sebesar -1,03. Angka ini
menunjukkan bias bambu kecil dengan MSEP sebesar 3,11 dan EI sebesar
44,68. Semakin rendah nilai ketiganya semakin baik penduga model yang
424| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
digunakan (Putranto, 2011). Untuk validasi model penduga biomassa dari
masing-masing bagian bambu, model penduga bagian bambu akar memliki
nilai terkecil diantara model penduga bagian bambu lainnya.
Gambar 1. Diagram pencar hubungan diameter bambu dengan biomassa
Gambar 1 menunjukkan hubungan antara diameter bambu dengan
biomassa bambu dari hasil pengukuran langsung dan yang menggunakan
model allometrik pada tabel 2. Nilai dari hasil pengukuran langsung dan
nilai dari yang menggunakan model allometrik sama-sama mendekati garis
fungsi model allometrik. Hal ini menunjukkan bahwa nilai dari pengukuran
langsung dan nilai yang menggunakan model allometrik hampir sama atau
memiliki selisih yang sangat kecil. Fakta ini menunjukkan bahwa rumus
model allometrik W = 25,840D0,295
memiliki bias yang sangat kecil, artinya
tingkat kesalahan pendugaan sangat kecil. Oleh karena itu rumus model
allmetrik W = 25,840D0,295
dapat digunakan untuk menduga besarnya
biomassa bambu betung. Pendugaan biomassaa bambu dari hutan rakyat ini
sangat diperlukan karena berpengaruh pada siklus karbon (Morikawa,
2002). Data biomassa suatu ekosistem sangat berguna untuk mengevaluasi
pola produktivitas berbagai macam ekosistem yang ada
2. Potensi Biomassa dan Cadangan Karbon
Berikut data hasil penaksiran potensi biomassa dan cadangan
karbon bambu betung pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Potensi biomassa dan cadangan karbon bambu betung
W = 25.84D0.295 R² = 0.780
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
0 5 10 15 20 25
Bio
mas
sa (
kg)
Diameter (cm)
Total
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 425
No Plot Jumlah
Batang
Diameter
Rata-rata
Biomassa Per
Batang (kg)
Biomassa per
plot (ton)
Cadangan
Karbon
(ton)
1 437 15,82 54,49 23,809 11,757
2 301 15,82 54,49 16,400 8,098
3 294 15,82 54,49 16,018 7,910
4 477 15,82 54,49 25,989 12,833
5 558 15,82 54,49 30,402 15,012
Total 2067 79,12 272,43 112,620 55,612 Rata-Rata
per Plot 413,4 15,82 54,49 22,524 11,122
Total per
ha 4.134 158,23 544,85 225,241 111,224
Berdasarkan hasil inventarisasi didapatkan total jumlah batang
bambu sebesar 4.134 batang per ha dengan total biomassa 225, 241 ton per
ha. Hal ini berarti rata-rata satu batang bambu memiliki biomassa sebesar
0,05 ton per batang. Total cadangan karbon sebesar 111, 224 ton C per ha
dengan rata-rata satu batang bambu menyimpan karbon sebesar 0,026 ton C
per batang.
3. Potensi Serapan Karbon Dioksida (CO2)
Berikut data hasil penaksiran potensi serapan karbon dioksida
bambu betung pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Potensi Serapan Karbon Dioksida Bambu Betung
No Plot Biomassa per
plot (ton)
Serapan CO2
(ton CO2)
Serapan CO2 per
tahun (ton
CO2/tahun)
1 23,809 34,929 11,643
2 16,400 24,058 8,019
3 16,018 23,499 7,833
4 25,989 38,126 12,708
5 30,402 44,600 14,866
Total 112,620 165,214 55,071
Rata-Rata per
Plot 22,524 33,042 11,014
Total per ha 225,241 330,429 110,143
Berdasarkan hasil pendugaan potensi serapan karbon dioksida
bambu betung diperoleh total serapan CO2 sebesar 110,143 ton CO2 per ha
426| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
per tahun dengan total biomassa tanaman bambu sebesar 225,241 ton per
ha. Rata-rata umur tanaman bambu betung berumur tiga tahun. Hal ini pula
menunjukkan bahwa nilai serapan CO2 sebesar 50 % dari total biomassa,
dengan kata lain semakin besar biomassa maka akan semakin besar pula
potensi serapan CO2 oleh tanaman bambu betung.
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Potensi tagakan bambu betung pada hutan rakyat di Kecamatan Makale
Utara Kabupaten Tana Toraja cukup besar dengan jumlah rata-rata
batang per rumpun sebesar 21 batang per rumpun, 4.134 batang per ha
dengan jumlah rumpun sebesar 194 rumpun per ha.
2. Model persamaan allometrik untuk menduga potensi biomassa tegakan
bambu betung adalah W = 25,840D0,295
3. Jumlah potensi biomassa, cadangan karbon dan serapan CO2 tegakan
bambu betung pada hutan rakyat di Kecamatan Makale Utara
Kabupaten Tana Toraja berturut-turut sebesar 225,241; 111,224;
110,143 ton per ha.
B. Keterbatasan
Dalam penelitian ini, kendala yang dialami adalah peralatan
laboratorium dan metode yang digunakan untuk menentukan kadar karbon
bambu. Selain itu, kendala dana penelitian menyebabkan pengambilan data
kadar air hanya dilakukan terhadap beberapa sampel bambu untuk mencari
kadar air rata-rata setiap bagian bambu sebagai pewakil kadar air setiap
bagian sampel bambu yang dipilih sebagai pembuat model dan validasi
model untuk mengkonversi biomassa basah bambu ke dalam biomassa
keringnya.
C. Saran
Perlu adanya pengelolaan tegakan bambu betung pada hutan
rakyat secara lestari oleh masyarakat di Kecamatan Makale Utara
Kabupaten Tana Toraja sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan dengan
optimal, tanpa mengurangi aspek kelestarian tegakan bambu.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 427
DAFTAR PUSTAKA
Berlian, N. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Husch, B., Miller, C.I. and Beers, T.W. 1972. Forest Mensuration. Second
Edition. The Ronald Press Company, New York.
Morikawa, Y. 2002. Biomass Measurement in Planted Forest in and Around
Benakat. Fiscal Report of Assessment on the Potentiality of
Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate
Change 2001, 58-63. JIFPRO, Tokyo, Japan.
Putranto, B. 2011. Penduga Model Hubungan Tinggi dan Diameter Pohon
Jenis Jambu-Jambu (Kjellbergiodendron sp.) pada Hutan Alam di Kab
Mamuju Sulawesi Barat. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV. Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia, Yogyakarta. Hal. 676-684.
Widjaja, E. A. 2004. Jenis-Jenis Bambu Endemik dan Konservasinya di
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV.
428| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
RESOLUSI KONFLIK LAHAN DI KPHP MODEL BANJAR
Marinus Kristiadi Harun, S.Hut., M.Si, Rudy Supriyadi, S.P.
dan Adnan Ardana, S.Sos
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Jl. A. Yani Km. 28,7, Landasan Ulin,
Kota Banjarbaru-Kalsel
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan solusi bagi
pembenahan kelembagaan kehutanan supaya prinsip-prinsip teknis pengelolaan
hutan dapat dijalankan. Pembangunan KPH telah menjadi komitmen
pemerintah dan para pihak untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien
dan lestari. Pembangunan KPH dalam implementasinya masih menghadapi
permasalahan dan kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah adanya
konflik hak atas lahan (land tenure). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis konflik lahan dan model pengembangan institusi untuk
penyelesaian (resolusi) konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi
Kalimantan Selatan. Menemukenali akar permasalahan timbulnya konflik
sangat diperlukan agar dapat dilakukan manajemen konflik. Lingkup penelitian
mencakup: (a) faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya konflik lahan di
KPHP Model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, (b) bagaimana peran para
stakeholders dalam manajemen konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi
Kalimantan Selatan, (c) bagaimana implementasi dan implikasi kebijakan
KPHP di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan dan (d) model
pengembangan institusi seperti apa yang dapat untuk penyelesaian (resolusi)
konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa lahan pada kawasan KPHP Model Banjar
secara de jure merupakan kawasan milik negara (state property), namun
adanya pemukiman warga yang berupa desa di dalam kawasan yang belum
dilakukan enclave, menyebabkan status state property yang close access secara
de jure berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan
opportunity sets ikut mengambil sumberdaya lahan tersebut. Isu Pokok dalam
konflik lahan di KPHP Model Banjar ada 5, yakni: (a) dualisme administrasi
(satu tapak dua kewenangan), (b) IUPHHK tidak aktif, (c) pemberdayaan
ekonomi masyarakat terabaikan, (d) potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan (e) penegakan hukum masih lemah. Masalah yang timbul dalam konflik
lahan di KPHP Model Banjar merupakan masalah atau konflik struktural, yakni
aktor yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konflik struktural
(structural conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau keadaan di
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 429
luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai
perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak
berimbang. Resolusi konflik yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah
upaya “mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar”, hal ini dilakukan
dengan langkah-langkah berikut: (1) membangun kepercayaan (trust building).
(2) menumbuh kembangkan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD), (3)
menyiapkan tim ahli yang independen, (4) komunikasi yang efektif dan (5)
regulasi yang disepakati bersama.
Kata kunci: KPH, KPHP Model Banjar, konflik lahan, resolusi konflik.
I. PENDAHULUAN
Kawasan Hutan di Indonesia sekitar 63% dari luasnya sangat
rawan sengketa pertanahan. Permasalahan sengketa ini mengemuka dengan
kenyataan bahwa hanya sekitar 10% dari seluruh kawasan hutan telah
memiliki tata batas kawasan (Media Indonesia, 2003). Makin maraknya
sengketa pertanahan juga dipicu oleh realitas kebutuhan tanah oleh rakyat
dan pihak-pihak lainnya yang semakin meningkat. Masalah tenurial (klaim
atas hak) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflik
pengelolaan hutan di Indonesia. Konflik tenurial dapat muncul ke
permukaan berupa ketidakpastian status hak masyarakat di kawasan hutan
dan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan. Sebagian besar kasus konflik
tenurial di kawasan hutan hingga saat ini belum berhasil diselesaikan
dengan baik. Belum ada mekanisme penyelesaian konflik yang dapat
menjadi pegangan seluruh pihak untuk menyelesaikan konflik ini.
Pendalaman terhadap berbagai permasalahan tenurial dan inisiatif
penyelesaian konflik sangat diperlukan untuk mendapatkan pemahaman
yang komprehensif atas konflik yang terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis konflik lahan, model resolusi dan pengembangan institusi
untuk penyelesaian konflik lahan di KPHP Model Banjar, Provinsi
Kalimantan Selatan. Keunikan penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian sejenis adalah model resolusi yang diusulkan berupaya untuk
mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar dan berkeadilan dengan
mengembangkan model kelembagaan Forum Kehutanan Antar Desa
(FKAD).
430| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2012 di lima desa
yang merupakan desa di sekitar hutan kawasan KPHP Model Banjar, yakni:
Desa Angkipih, Desa Paramasan Bawah, Desa Lubang Baru, Desa Lok
Tunggul dan Desa Sungai Jati). Kelima desa tersebut termasuk wilayah
administrasi Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Studi Pustaka, yaitu pengumpulan data-data sekunder
berupa dokumen dari berbagai sumber yang berkaitan dengan
penelitian ini dan sumber-sumber lain yang terkait dan relevan.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan
dokumen-dokumen hasil studi/penelitian terdahulu (jika ada), peraturan
perundang-undangan dan data pendukung lainnya sebagai kompilasi
kebijakan dari berbagai sektor baik nasional maupun lokal yang
dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dari
Dinas/Instansi yang terkait. Kedua, Survey/observasi lapangan, yaitu
melakukan observasi langsung di lokasi penelitian untuk
mendapatkan situasi kondisi fisik/gambaran umum lokasi
penelitian. Ketiga, wawancara mendalam untuk memperoleh data
primer, yaitu dengan melakukan pengkajian bersama dengan para
stakeholders yang terkait untuk mendapatkan data-data dan
informasi yang mendukung dalam penelitian ini. Tabel 1
menyajikan jenis dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam
penelitian ini.
Tabel 1. Jenis dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian
No Jenis Data Sumber Data
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Peraturan terkait dengan KPHP Model
Banjar
Sejarah Kawasan Hutan
Peta Administrasi
Data Kebijakan terkait KPHP Model
Banjar yang telah diimplementasikan
Monografi Kecamatan/Desa
Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat
Kasus-kasus konflik lahan yang pernah
terjadi terkait dengan pembentukan
Dishut Banjar
Dinas Kehutanan
Dinas Kehutanan
Dinas Kehutanan
Kantor Camat/Desa
Kantor Camat/Desa
Dishut Banjar, UPTD,
Kantor Desa
Instansi yang
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 431
KPHP Model Banjar
Data Penunjang Lainnya
terkait/LSM
Teknik pengambilan contoh untuk data primer dilakukan secara
sengaja (purpossive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden
adalah masyarakat yang berada di sekitar kawasan, pelaku (individu atau
lembaga) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung
maupun tidak langsung dalam pengelolaan KPHP Model Banjar di Provinsi
Kalimantan Selatan. Jumlah informan (responden) dalam penelitian ini
sebanyak 150 orang. Pengamatan/observasi langsung terhadap objek
penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi secara riil.
Teknik pengambilan contoh yang digunakan untuk menganalisis
kepentingan dan pengaruh stakeholder, dilakukan dengan teknik snowball
sampling. Prosedur penelitian seperti pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Skema prosedur penelitian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Konflik Lahan di KPHP Model Banjar
Pembentukan KPHP Model Banjar adalah sebuah perencanaan
skala besar dan menyangkut berbagai macam aspek, seperti aspek
pemanfaatan kawasan, aspek sosial dan aspek ekologi. Pemetaan
permasalahan dalam implementasi pembangunan KPHP Model Banjar
secara rinci seperti pada Tabel 2.
Model Resolusi Konflik lahan
A Existing policy
D PENYEBAB GAP : A
Vs B
B PROBLEM (P1, P2,
P3, P4) C HUBUNGAN : A Vs
B (GAP)
E PEMECAHAN
MASALAH
Studi Literatur
Wawancara, FGD
Metode III Mengelola Konflik
Metode II
alat bantu analisis: konflik, triangulasi,
Stakeholder
Metode I
Analisis Kebijakan
DATA
432| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tabel 2. Isu dan Permasalahan KPHP Model Banjar
Isu Permasalahan Kendala
Kawa
san Unit managemen HTI dalam
kawasan tidak aktif.
Sasaran program rehabilitasi
lahan ditujukan hanya pada
areal yang tidak dibebani hak
pengelolaan.
Tumpang tindih hak antar unit
managemen IUPHHTI
Tumpang tindih hak
pengelolaan akan menghambat
target pelaksanan pekerjaan
masing-masing pemegang hak,
serta areal yang disengketakan
menjadi tidak terurus.
Sosial Klaim masyarakat atas lahan
pengelolaan
Masyarakat dalam kawasan
belum sepenuhnya memahami
posisi keruangan tempat
tinggalnya
Belum ada mekanisme
penyelesaian win win solution
atas klaim lahan oleh
masyarakat.
Ekolo
gi Rehabilitasi lahan eks tambang
ilegal
Rehabilitasi lahan
Areal dengan tutupan lahan
bervegetasi relatif kecil
Alokasi anggaran untuk
rehabilitasi lahan masih bersifat
proyek pemerintah yang tidak
sebanding dengan luas lahan
yang akan direhabilitasi.
Ekono
mi Belum maksimalnya
pendapatan daerah dari sektor
kehutanan yang dihasilkan dari
kawasan KPHP.
Besarnya potensi mineral
tambang di areal kawasan
KPHP
Sebagian besar kawasan
dengan status HP dan HPT
hanya berupa alang-alang dan
semak belukar.
Sangat menarik investasi di
bidang pertambangan,
mekanisme pinjam pakai lahan
hutan.
Kebija
kan Pembentukan unit KPHP
memberikan resiko beban
anggaran bagi pemda
Operasional management unit
KPHP menjadi kurang
progresif.
Penetapan masalah pada konflik lahan di KPHP Model Banjar
ditujukan untuk lebih memudahkan dalam mencari solusi dan strategi yang
tepat dalam resolusi konfliknya. Penetapan ini diperlukan agar masalah
yang terjadi terkait konflik lahan di KPHP Model Banjar dapat
diidentifikasi dan dipahami secara lebih komprehensif. Untuk lebih
jelasnya bisa kita lihat pada Gambar 2 berikut. Konflik lahan di KPHP
Model Banjar merupakan masalah atau konflik struktural, yakni aktor yang
terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konflik struktural (structural
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 433
conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau keadaan di luar
kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan
status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak berimbang
(Moore, 1986). Pada sisi masyarakat, mereka memperjuangkan haknya atas
sumberdaya lahan yang berada di daerahnya sementara dari sisi Pemerintah
(Dinas Kehutanan) menganggap bahwa sumberdaya lahan tersebut
merupakan kawasan hutan yang secara de jure merupakan state property
yang close acces.
Gambar 2. Penetapan Masalah Konflik Lahan di KPHP Model Banjar
Pihak-pihak yang berkaitan dan berkepentingan dalam konflik
lahan ini meliputi: UPT KPHP Model Banjar, BPKH Wilayah IX (UPT
kemenhut), IUPHHK, peladang, Kades/Pambakal Desa di dalam kawasan
hutan (34 desa), Camat (Peramasan, Sambung Makmur, Pengaron, Sungai
Pinang, dan Telaga Bauntung), Dinas Pertambangan, LSM, BAPPEDA,
Kementrans, Perguruan Tinggi, Polisi Kehutanan, Polsek, Penyuluh dan
FKAD. Keterkaitan ini didasarkan pada tupoksi, motif ekonomi dan unsur
politik. Pada kegiatan perladangan dan perkebunan terdapat kelompok
peladang yang bekerja melakukan pengarapan lahan dengan tanaman
budidaya. Motivasi dari stakeholders ini berupa aspek ekonomi dan
kesempatan bekerja dan berusaha. Kegiatan pengkavlingan lahan untuk
KEBIJAKAN
Legalitas kegiatan,
penegakan hukum
Konflik Lahan
KPHP Model Banjar
STAKE-
HOLDERS
EKOLOGI
Terjadi degradasi
hutan dan lahan
kritis
SOSIAL
Membuka
kesempatan kerja dan
berusaha masyarakat
EKONOMI
Nilai ekonomi tinggi
bagi masyarakat dan
potensial PAD
DRIVER POWER
Nilai strategis
lahan
KELEMBAGAAN
PEMBERDAYAAN
434| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pemukiman baru melibatkan oknum warga desa, Pambakal dan warga
pendatang dari luar desa. Motivasi dari stakeholders ini berupa aspek
ekonomi dan kesempatan memperoleh lahan untuk tempat tinggal dan
kebun (berusaha). Ada beberapa stakeholders yang mempunyai kaitan dan
kepentingan lebih dari satu kegiatan yakni: (a) Polsek mempunyai
kepentingan karena tupoksinya untuk menjaga keamanan dan ketertiban
pada semua kegiatan, (b) penyuluh kehutanan, (c) POLHUT, (d) dan
FKAD. Sementara itu, IUPHHK mempunyai kepentingan karena faktor
ekonomi dan kebijakan. Perusahaan pemegang IUPHHK merupakan
Badan Usaha yang ditunjuk oleh negara sebagai pelaksana usaha dari
kegiatan pengelolaan lahan konsesi. Keberadaan peladang yang merambah
lahan konsesi akan merugikan perusahaan IUPHHK secara ekonomi
maupun kredibilitas perusahaan menyangkut kelestarian hasil hutan dan
ekosistem hutan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan berkaitan dan
berkepentingan pada tata batas kawasan hutan dengan non kawasan hutan.
Isu yang dipersoalkan dalam permasalahan konflik lahan dalam
KPHP Model Banjar mempunyai hubungan yang erat dan timbal balik
kepada stakeholders yang berperan dalam kasus ini. Ketekaitan
stakeholders dengan isu pokok perlu di analisis agar penyelesaian
persoalan lebih terarah dan jelas sehingga isu yang satu tidak memicu isu
yang lain dan memperparah persoalan yang ada di kawasan tersebut.
Gambar 3 menjelaskan keterkaitan dan pengaruh stakeholders terhadap isu
pokok dan pengaruh antar isu. Menurut Bryson (2004) setiap stakeholders
memiliki kepentingan dalam isu-isu yang berbeda dan ada kemungkinan
stakeholders berhubungan dengan stakeholders lain melalui isu-isu
tersebut, selanjutnya Bryson (2004) menjelaskan diagram keterkaitan
stakeholders dengan isu pokok membantu memilah dan menata daerah
masalah (arena aksi), sehingga dapat mengidentifikasi masalah aktual yang
berpotensi bisa bekerjasama atau justru menjadi konflik.
Isu dualisme administrasi dan penegakan hukum yang masih
lemah serta IUPHHK yang tidak aktif merupakan isu yang di pengaruhi
kinerja Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar dan BPKH Wilayah IX (UPT
Kemenhut). Isu pemberdayaan masyarakat yang terbaikan oleh pemerintah
dipengaruhi oleh lemahnya kinerja aparat pemerintah yakni:
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 435
Kades/Pambakal, Camat dan Bappeda. Akibat isu 2 ini peladang menjadi
pihak yang paling dipengaruhi karena kondisi ekonomi dan tingkat
pendidikan mereka yang rendah menyebabkan tidak ada alternatip lain
selain bekerja disektor pertanian subsisten (perladangan dan perkebunan
tradisional). LSM berkepentingan dengan isu 2 ini berkaitan dengan visi
dan misi mereka untuk mendorong pemberdayaan masyarakat.
Isu Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak bisa
dipungut akan sangat mempengaruhi kinerja Dinas Kehutanan dan
BAPPEDA Kabupaten Banjar, karena salah satu sumber APBD adalah
PAD, hal ini akan berkaitan juga dengan penyusunan program
pembangunan mengingat potensi yang besar dari pengelolaan KPHP Model
Banjar.
Isu penegakan hukum yang masih lemah merupakan akibat dari
kinerja aparat keamanan (POLHUT) yang buruk yang berakibat pada
perambahan lahan hutan dan kegiatan ilegal lainnya.
LSM & PT
Dinas Kehuta
nan
Perusahaan
IUPHHK BAPPEDA
KPHP Model Banjar
Kemen trans &
FKAD
Kemen trans
Distamben
Camat, Pambakal
POLHUT & Polsek
Dinas Kehuta
nan Banjar
Dishut Banjar
Isu 5
Isu 4
Isu 3
Isu 2 Isu 1
Pelada
Pambakal & FKAD
BPKH (UPT
Kemenhut)
Penyuluh Dishut Banjar
436| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Hubungan Stakeholders dengan Isu Pokok dan
hubungan Antar Isu
Gambar 3 tersebut juga dapat mengidentifikasi hubungan antar isu pokok
sehingga dapat diketahui bagaimana isu tersebut mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh isu yang lain. Cara ini akan memudahkan untuk memilah
dan menata bagaimana memprioritaskan isu tersebut untuk dapat di atasi
dan diselesaikan melalui program atau kebijakan pemerintah.
Isu penegakan hukum yang lemah menyebabkan perambahan
lahan hutan untuk kegiatan ilegal (ladang, kebun, pertambangan emas, dll).
Penegakan hukum yang lemah juga menyebabkan IUPHHK tidak aktif,
dikarenakan aspek sosial yang belum dapat diselesaikan dengan baik.
Faktor inilah yang menyebabkan maraknya kegiatan perambahan kawasan
KPHP Model Banjar menjadi tak terkendali dan tanpa aturan yang jelas.
B. Konsep Strategi Resolusi Konflik Lahan di KPHP Model Banjar
Strategi utama yang diusulkan dalam penelitian ini untuk resolusi
konflik lahan di HP Riam Kiwa mencakup dua (2) kegiatan berikut.
Pertama, merubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar. Hal ini
dilakukan dengan langkah-langkah berikut.
1) Menciptakan saling percaya antar keduabelah pihak yang berkonflik
(trust building). Ini merupakan kegiatan pra kondisi menuju negosiasi
yang sangat menentukan proses selanjutnya, karena konflik yang sudah
berlangsung (apalagi sudah lama) akan membuat keduabelah pihak
untuk saling mencurigai satu sama lain, atau bahkan tidak jarang sudah
saling membenci dan menyerang. Kelemahan mediasi yang seringkali
Keterangan:
- Isu 1 : IUPHHK tidak aktif
- Isu 2 : Pemberdayaan masyarakat yang terabaikan
- Isu 3 : Potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
- Isu 4 : Penegakan hukum masih lemah
- Isu 5 : Dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan)
: Hubungan antara stakeholders dengan isu
: Hubungan antar isu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 437
dilakukan adalah terletak pada tidak adanya kondisi yang kondusif
untuk keduabelah pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi, sehingga
emosi dan ego sepihak sering kali terjadi yang mengakibatkan gagal
menghasilkan kesepakatan. Kuncinya, ini bisa dilakukan setelah
memahami secara utuh peta konflik di lapangan, jadi asesmen awal
harus sudah dilakukan sebelum masuk tahapan ini. Pengelola HP Riam
Kiwa ada baiknya memulai dengan melakukan proyek-proyek kecil
yang menyentuh kepentingan masyarakat seperti bantuan benih kencur,
bantuan bibit karet unggul, bantuan benih ikan, dll. Hal ini diharapkan
membatu mengembalikan keperecayaan masyarakat ke HP Riam Kiwa.
2) Menumbuh kembangkan kelembagaan komunitas/desa. Ini perlu
sebagai wadah untuk membicarakan segala tuntutan dan mengevaluasi
capaian serta sebagai refresentatif/ perwakilan dalam forum negosiasi.
Pengalaman di lapangan juga menunjukkan pentingya transformasi
pengetahuan teoritis dan teknis tentang proses dan capaian negosiasi
kepada masyarakat sebelum masuk tahap negosiasi. Hal ini penting
untuk memastikan agar delegasi masyarakat tidak mudah putus asa
terhadap capaian dan proses negosiasi yang membosankan dan berliku-
liku.
3) Menyiapkan Tim Ahli yang Independen. Tim Ahli bekeja untuk
membuat analisis sosial, ekonomi untuk melihat dampak jangka
panjang konflik bagi masyarakat maupun HP Riam Kiwa.
4) Pertemuan silang (awal) menjajaki kebutuhan. memulai pertemuan
dengan keduabelah yang berkonflik secara silang dilakukan untuk
mendapatkan gambaran sejauhmana perbedaan kepentingan pihak-
pihak yang berkonflik dan unsur-unsur yang menjadi dasar bertahan
masing-masing pihak. Melalui tahapan ini kebutuhan-kebutuhan dan
gambaran proses berikutnya dapat dirumuskan sehingga mediator sudah
memiliki rancangan untuk di tawarkan. Pertemuan silang bisa dilakukan
berulang-ulang jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih sempurna.
5) Menyepakati tahapan penting secara bersama. Hal ini bisa menjadi
bagian dari capaian pertemuan silang atau dicapai melalui pertemuan
perdana keduabelah pihak. Mediator sebaiknya menawarkan tahapan-
tahapan kepada keduabelah pihak berdasarkan hasil penjajakan
kebutuhan awal yang sudah dilakukan, jangan membuatnya menjadi
438| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
bola liar. Jika konfliknya menyangkut tumpang tindih pengeloalaan
(pemanfaatan dan penguasaan), maka langkah awal yang selalu penting
untuk dilakukan adalah: (a) memperjelas batas klaim masing-masing
pihak melalui pemetaan partisipatif yang dilakukan tim gabungan
masyarakat, perusahaan, dan mediator serta pihak pemerintah (sebagai
saksi) yang segera diselesaikan melalui kegiatan eenclave. Pengambilan
titik koordinat harus dilakukan bersama dengan satu alat (GPS/Global
Position system) atau masing-masing pihak memegang GPS sebagai
pembanding. Sebelum survey kedua belah pihak harus mendapat
pengetahuan standar pemetaan melalui pelatihan kecil yang dilakukan
oleh mediator dengan mengundang tenaga terampil. Penggambaran
harus dilakukan bersama dengan menunjuk perwakilan, lalu kemudian
disahkan secara bersama-sama pula dengan disaksikan/diketahui oleh
mediator dan pengelola HP Riam Kiwa, (b) Pemetaan sosial ekonomi
untuk menemukan peluang kerjasama/kemitraan antara keduabelah
pihak sebagai gambaran penyelesaian atas konflik lahan. Pemetaan ini
harus dibuat keterkaitan langsung dengan areal konflik yang sudah
dipetakan. Karena itu keberadaan tim ahli yang sudah disepakati
bersama sebelumnya sangat penting dalam pekerjaan ini.
6) Negosiasi mencari titik temu (kesepakatan). Untuk memasuki proses ini
hubungan keduabelah pihak sudah harus kondusif, sudah memiliki
pemahaman yang baik tentang proses negosiasi, sudah mengenali
persoalan dan tuntutan masing-masing dengan baik, dan sudah memiliki
data tentang objek konflik serta gambaran tentang peluang-peluang
kerjasama yang bisa dibangun sesuai potensi yang dimiliki masing-
masing pihak. Artinya disini keduabelah pihak telah siap berperang tapi
tidak dengan senjata (emosi dan egoisme). Pada proses ini peran
mediator dalam negosiasi sangat penting untuk menghindari situasi
kritis yang tidak bisa dipecahkan. Mediator harus selalu menyiapkan
tawaran jalan tengah yang tetap membuat keduabelah pihak nyaman
dalam forum negosiasi. Capain sekecil apapun harus selalu ditegaskan
sebagai kemajuan-kemajuan yang harus dihargai sebagai kemajuan
untuk mencapai kesepakatan final. Karena itu hasil apapun yang didapat
dalam setiap pertemuan negosiasi harus didokumentasikan dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 439
ditandatangani kedua belah pihak dan mediator serta para saksi yang
hadir dari pemerintah.
Kedua, melakukan pemberdayaan FKAD. Hal ini dilakukan
dengan langkah-langkah berikut. Selain berfungsi sebagai lembaga yang
menjembatani komunikasi antara peladang di HP Riam Kiwa dengan BPK
Banjarbaru, lembaga FKAD juga merupakan tempat pelayanan kepada
masyarakat di dalam kegiatan Penyuluhan Kehutanan dan juga merupakan
tempat untuk berkonsultasi bagi masyarakat bila ada permasalahan yang
dihadapi terkait kegiatan pertanian dalam arti luas. Lembaga FKAD
diharapkan berperan dalam kegiatan penyebaran informasi kegiatan
kehutanan sehingga diharapkan dapat membantu penyebaran informasi
kehutanan kepada peladang di KPHP Model Banjar. Model resolusi konflik
di KPHP Model Banjar seperti tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4 Model resolusi konflik lahan di KPHP Model Banjar
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Karakteristik konflik lahan pada kawasan KPHP Model Banjar dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, secara de jure merupakan kawasan
milik negara (state property), namun adanya pemukiman warga yang
berupa desa di dalam kawasan yang belum dilakukan enclave,
440| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
menyebabkan status state property yang close access secara de jure
berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan
opportunity sets ikut mengambil sumberdaya lahan tersebut. Kedua, isu
pokok dalam konflik lahan di KPHP Model Banjar ada 5, yakni: (a)
dualisme administrasi (satu tapak dua kewenangan), (b) IUPHHK tidak
aktif, (c) pemberdayaan ekonomi masyarakat terabaikan, (d) potensi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan (e) penegakan hukum masih
lemah. Ketiga, masalah yang timbul dalam konflik lahan di KPHP
Model Banjar merupakan masalah atau konflik struktural, yakni aktor
yang terlibat tidak berada pada tataran yang sama. Konflik struktural
(structural conflict) adalah keadaan dimana secara struktural atau
keadaan di luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan
mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik
yang tidak berimbang.
2. Resolusi konflik yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah upaya
“mengubah konflik menjadi kemitraan yang sejajar”, hal ini dilakukan
dengan langkah-langkah berikut: (a) membangun kepercayaan (trust
building), (b) menumbuh kembangkan Forum Kehutanan Antar Desa
(FKAD), (c) menyiapkan tim ahli yang independen, (d) komunikasi
yang efektif dan (e) regulasi yang disepakati bersama. Pembelajaran
berharga dari konflik lahan di KPHP Model Banjar adalah pentingnya
untuk melakukan hal-hal berikut: kepastian hukum (formal/informal),
kenyamanan berusaha dan keberlanjutan usaha. Ketiga hal tersebut
berlaku tidak saja untuk masyarakat dan perusahaan yang berkonflik,
tapi sangat penting juga bagi pemerintah sebagai jaminan untuk
masuknya investasi, peningkatan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan,
serta peningkatan PAD.
B. Keterbatasan
Penelitian ini dilakukan dengan kasus di KPHP Model Banjar,
sehingga generalisasi untuk kasus di daerah lain perlu modifikasi dan
penyesuaian dengan kondisi setempat.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 441
C. Saran
Keberadaan Forum Kehutanan Antar Desa (FKAD) di wilayah
KPHP Model Banjar perlu terus diberdayakan agar dapat semakin berperan
dalam penyelesaian konflik lahan pada khususnya dan konflik kehutanan
pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bryson JM. 2004. What to Do when Stakeholders Matter: Stakeholder
Identification and Analysis Techniques. Public Management
Review Vol 6 issue 1 2004: 21-53.
Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2010. Rancang Bangun KPHP
Kabupaten Banjar.
Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar. 2011. Laporan Valuasi Ekonomi
KPHP Kabupaten Banjar.
Sahwan. 2002. Analisis kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Studi
Kasus Tahura Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Tesis].
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
442| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK), HUTAN DESA DAN
KONTRIBUSINYA TERHADAP REDD+
Bugi Sumirat dan Nurhaedah Muin
Balai Penelitian Kehutanan Makassar
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16, Makassar, Sulawesi Selatan (90243)
Telp. (0411) 554049, Fax. (0411) 554058
Email: [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and
Degradation Plus) memerlukan tata kelola hutan yang baik. Pengelolaan hutan
yang baik ini juga diperlukan untuk mengelola hutan secara lestari. Hutan
Desa, seperti yang terdapat di Kabupaten Bantaeng, merupakan alternatif
untuk memenuhi tujuan tersebut. Beberapa analisis dilakukan di lokasi Hutan
Desa di Kabupaten Bantaeng, seperti analisis stakeholder dan analisis sosial
ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor penyebab
deforestasi dan degradasi hutan di Kabupaten Bantaeng adalah alih fungsi
lahan, perambahan hutan dan penebangan hutan. Pengelolaan Hutan Desa
Bantaeng memiliki enabling condition dalam mendukung implementasi
REDD+. Hal tersebut terkait dengan kepastian tenurial, sistem pengelolaan
hasil dan distribusi manfaat. Model kelembagaan, dukungan stakeholder
terkait, dan dukungan Bupati Bantaeng memperkuat kondisi tersebut. HHBK
dan pemanfaatannya termasuk didalamnya. Hal ini menjadi perekat pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan Hutan Desa.
Kata Kunci: HHBK, hutan desa, REDD plus, pelibatan masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Hutan tropis menutupi sekitar 15% permukaan darat bumi, dan
mengandung sekitar 25% carbon dalam biosfir daratan. Saat ini hutan-
hutan tersebut semakin berkurang luasannya dimana sekitar 13 juta
hektar/tahun dialihfungsikan menjadi peruntukan lain (Pusat madia, 2009).
Akibatnya dapat meningkatkan emisi gas-gas penyebab efek rumah kaca di
atmosfir terutama karbon yang turut memicu terjadinya pemanasan global
dan perubahan iklim.
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing
Emission from Deforestation and Degradation, REDD) merupakan suatu
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 443
upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim dimaksud. Hal ini karena
semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim, mempunyai
kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip
permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but
differentiated responsibilities). REDD ini merupakan mekanisme
internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi
negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan (Ginoga, 2009).
Istilah REDD (Reducing Emission from Deforestation and
Degradation) Plus itu sendiri adalah istilah yang mengacu pada Bali Action
Plan paragraf 1 b (iii), yaitu 'pendekatan kebijakan dan insentif positif
pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan
kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang; dan peran
konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan
di negara berkembang’.
Gelombang isu perubahan iklim saat ini semakin gencar
disosialisasikan dalam semua bidang kehidupan, termasuk kehutanan.
Konsep REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation) dan REDD+ kemudian muncul sebagai respon terhadap
upaya pengurangan emisi karbon dalam menyikapi terjadinya perubahan
iklim. Pada awalnya, konsep REDD dijelaskan sebagai mekanisme
internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat
positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan (Nurmasripatin, 2007). Setelah COP ke 15
di Copenhagen Denmark, cakupan upaya pengurangan emisi karbon
diperluas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi hutan, akan tetapi
juga memasukkan unsur konservasi, pengelolaan hutan lestari dan
pengayaan cadangan karbon (Kementrian Kehutanan, 2010).
Tata kelola hutan yang baik penting untuk REDD+ dalam rangka
membangun dan mempertahankan kepercayaan antara stakeholder dan
investor, juga untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan melalui
strategi yang efektif dan untuk memastikan keadilan dan transparansi
444| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
distribusi manfaat dari REDD+. Tata kelola yang baik akan mendukung
REDD+ dalam tiga hal :
1. Mengurangi deforestasi dengan meningkatkan efektifitas kebijakan
pemerintah dan institusi, termasuk lembaga pengelolaan hutan dan
penegakan hukum;
2. Menciptakan insentif bagi pengelolaan hutan yang lebih baik dan
menghapus insentif bahwa deforestasi drive untuk keuntungan pribadi
dengan mengorbankan kepentingan umum;
3. Pengaman REDD+ pembayaran melawan korupsi dan menangkap elit
dengan memastikan bahwa pembayaran mekanisme dan lembaga-
lembaga keuangan yang mengatur mereka mampu, akuntabel, dan bebas
dari pengaruh politik yang tidak semestinya.
Kecepatan pertumbuhan penduduk dapat meningkatkan kebutuhan
hidup terhadap ruang dan areal aktivitas serta produk sumberdaya alam
yang dapat mengakibatkan tekanan terhadap hutan terutama oleh
masyarakat sekitar hutan berkaitan dengan perladangan berpindah,
perambahan hutan, penebangan liar, pembakaran hutan, pemukiman,
perburuhan. Upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi (REDD) seringkali berbenturan dengan
kondisi tersebut di atas.
II. HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI HUTAN DESA
Karakteristik pengelolaan hutan daerah sangat beragam, dengan
dinamika permasalahan masing-masing. Demikian pula dengan data dan
informasi potensi kawasan hutan yang dimiliki. Dari aspek tata kelola,
masing-masing daerah menghadapi permasalahan berbeda terkait dengan
pengelolaan hutan, deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya untuk
mengatasi persoalan tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah: (a) faktor-
faktor tata kelola apa yang menyebabkan penggunaan sumber daya hutan
tidak efisien (deforestasi dan degradasi hutan); (b) apa yang menjadi
kebijakan pokok pemerintah pada level kabupaten dalam pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan saat ini.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam mengelola sumberdaya
hutan salah satunya adalah permasalahan sosial ekonomi, budaya
masyarakat desa di dalam/sekitar hutan seperti perambahan kawasan,
perladangan berpindah, klaim sebagai lahan adat dsb. Untuk mengelola
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 445
hutan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat di sekitarnya, maka
pengelolaan sumberdaya hutan sebaiknya dilakukan secara partisipatif aktif
masyarakat di dalam/sekitar kawasan hutan. Keberhasilan dalam mengatasi
permasalahan sosial ekonomi, dan budaya masyarakat merupakan salah
satu indikasi keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan lestari (Dirjen
Planologi Kehutanan, 2011).
Kabupaten Bantaeng memiliki keunikan tersendiri dalam
pengelolan sumberdaya hutan. Upaya perlindungan hutan terhadap
deforestasi dan degradasi hutan dikelola dengan pelibatan masyarakat
melalui model Hutan Desa. Penelitian ini berusaha mengkaji tata kelola
hutan di Kabupaten Bantaeng secara umum dan khususnya pengelolaan
Hutan Desa dikaitkan dengan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan
melalui implementasi REDD+. Disamping itu, pembentukan Hutan Desa
juga berperan dalam mengatasi konflik lahan seperti perambahan hutan
oleh masyarakat (aspek legalitas). Sebagaimana tujuan dari pembangunan
Hutan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 49/2008,
yaitu untuk memberikan akses kepada masyarakat setempat melalui
lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari serta
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara
berkelanjutan.
Bagi pemerintah, program Hutan Desa selain memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk memungut hasil sesuai aturan yang
telah ditetapkan, juga potensi hasil hutan yang ada dapat lebih terkelola
mulai dari tahap perencanaan sampai pemasaran serta terkoordinasi dengan
baik. Pemberian akses kepada masyarakat untuk pengelolaan HHBK
menjadi salah satu alasan dibentuknya Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng.
Seperti diketahui bahwa sesuai dengan permenhut no. P.35/Menhut-
II/2007, HHBK didefinisikan sebagai hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunan kecuali kayu yang berasal dari
hutan. Permenhut tersebut juga menggolongkan HHBK, yang
diklasifikasikan kedalam sekitar 565 jenis komoditas, kedalam dua
golongan, yaitu: Kelompok hasil tumbuhan dan tanaman serta kelompok
hasil hewan.
Sementara tujuan dari pemanfaatan HHBK secara umum oleh
masyarakat antara lain adalah mengurangi ketergantungan masyarakat pada
446| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
hasil hutan kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari
HHBK serta sekaligus menumbuhkan kesadaran memelihara kawasan
hutan, terciptanya lapangan kerja di sektor kehutanan yang berasal dari
HHBK dan optimalisasi potensi daerah dalam pengembangan HHBK.
Tulisan ini sendiri didasarkan pada dua buah kegiatan penelitian
yang berjudul Kajian Tata Kelola REDD dan REDD+ serta Kajian Sosial
Budaya REDD. Kedua penelitian tersebut dilaksanakan oleh Balai
Penelitian Kehutanan Makassar dengan mengambil lokasi penelitian di
Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian
ini merupakan penelitian yang baru pertama kali dilakukan di Sulawesi
Selatan.
Kedua penelitian itu sendiri bertujuan untuk mendapatkan informasi
dan pengetahun tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
yang dapat mempengaruhi implementasi REDD serta melakukan kajian
terhadap tata kelola REDD dan REDD+ pada tingkat kabupaten. Tulisan ini
menggambarkan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, dengan
pemanfaatan HHBK potensial setempat yang lebih terarah, terencana dan
legal, sehingga diharapkan manfaat ekonomi dan ekologi hutan tetap
terjaga.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada pada tahun 2012 di Kabupaten
Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi ini dipilih dengan
pertimbangan adanya program pemerintah daerah yaitu Hutan Desa yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No
55/Menhut-II/2010 Tanggal 21 Januari 2010. Disamping itu, Hutan Desa di
Kabupaten Bantaeng memiliki karakteristik pengelolaan hutan yang
menjadi unggulan, yaitu dengan ditetapkannya 3 hutan desa sejak 2009.
Hal menarik lainnya adalah Kabupaten Bantaeng dipimpin oleh seorang
Bupati yang memiliki latar belakang pendidikan kehutanan yang menaruh
perhatian tinggi terhadap kelestarian hutan dan lingkungan.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
Panduan wawancara (kuisioner), alat perekam, kamera dan alat tulis
menulis. Sementara pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan
data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan wawancara
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 447
menggunakan kuesioner terstruktur dan diskusi kelompok terarah (FGD).
Data sekunder diperoleh dengan mengumpullkan informasi tentang
(laporan-laporan kegiatan/ program,rencana kerja instansi, data spasial
(Peta tutupan lahan, status kawasan hutan, program kehutanan dll), data
demografi, data stastistik kehutanan dsb).
Data hasil penelitian yang diperoleh diolah dengan melihat peran
dari parapihak (stakeholder) melalui analisis stakeholder. Dari peran-peran
parapihak tersebut akan terlihat peran masing-masing pihak atau institusi
yang terlibat dalam kegiatan Hutan Desa yang menunjang REDD+
termasuk tata kelolanya serta dimana masih terdapat celah atau gap
didalamnya. Disamping itu dilakukan pula kajian tentang sosial budaya dan
ekonomi terhadap para pihak terutama masyarakat sekitar hutan. Terutama
untuk melihat bagaimana HHBK dapat memberikan peran secara khusus
terhadap pendapatan masyarakat. Secara deskriptif dilakukan pula analisis
terkait kondisi aktual pengelolaan hutan di Kabupaten Bantaeng,
pengelolaan Hutan Desa serta kaitannya dengan isu REDD+.
Gambar 1. Peta Kabupaten Bantaeng (Widianto et al., 2012)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi penggunaan lahan di Kabupaten Bantaeng adalah sebagai
berikut: Penggunaan lahan terbesar adalah pertanian lahan kering (33,55%)
dan kebun campuran(27,71%), sementara penggunaan lahan hutan sebesar
Kab. Bantaeng
448| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kurang lebih 24% yang terdiri dari kategori hutan alam, hutan tanaman dan
hutan lahan kering(BPDAS JenWal, 2010).
Kabupaten Bantaeng memiliki kawasan hutan yang relatif kecil di
banding kabupaten lain di Sulawesi Selatan yakni 0,2% dari luas total
kawasan hutan Sulawesi Selatan. Luas kawasan hutan Kabupaten Bantaeng
seluas 6.222 ha, dengan fungsi peruntukan sebagai hutan lindung (HL)
seluas 2.773 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 1.262 ha dan hutan
produksi biasa seluas (HPB) 2.187 ha.
Dari sudut pengelolaan hutan Kabupaten Bantaeng, tabel di bawah
ini memberikan gambaran singkat mengenai pengelolaan hutan di
Kabupaten Bantaeng yang selama ini telah berjalan. Beberapa instansi
terkait terlibat langsung dalam pelaksanaan program seperti Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, BPMD, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai) Jeneberang Walanae, BUMDES (Badan Usaha Milik Desa)
dan LSM.
Tabel 1. Gambaran Umum Pembangunan Kehutanan Kabupaten Bantaeng
Potensi
Hutan
Luas kawasan hutan 6.222 ha (15,7% luas wilayah
kabupaten)
Didominasi (44,6%) hutan lindung
Sebesar 54,4% kawasan hutan dalam kondisi kritis
Catchment area DAS lintas Kabupaten
Unit Usaha
Kehutanan
Hutan rakyat melalui perijinan IPKTM
Usaha tani tanaman semusim di dalam kawasan hutan
Agroforestry
Budidaya lebah madu
Sosial
Ekonomi
Masyarakat
Ketergantungan masyarakat terhadap hutan tinggi
Konflik air dengan Kabupaten Bulukumba
Lapangan kerja kurang
Tenaga kerja terdidik kurang
Migrasi keluar penduduk tinggi
Terdapat jaringan LSM
Rawan illegal logging
Program
Kehutanan
GNRHL
Hutan Rakyat
HKm
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 449
Reboisasi dan penghijauan
Kebijakan
Pemda
Sudah ada KPH
PNPM
Perda pengaturan pungutan hasil hutan rakyat
Dukungan pemerintah terhadap pengelolaan hutan dan
lingkungan cukup kuat
Program
Potensial Pembangunan KPH lindung
Pembangunan Hutan Desa
Pengembangan unit usaha desa berbasis kehutanan
Pengembangan hutan rakyat
Pengembangan usaha jasa lingkungan
Sumber : Buku Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng (Supratman
dan Alif, 2010)
Lahan kritis dan deforestasi masih menjadi permasalahan dalam
pengelolan hutan di Kabupaten Bantaeng, Dalam kawasan hutan terdapat
lahan kritis seluas 3,327 ha, sementara di luar kawasan hutan seluas 5.423
ha. Laju deforestrasi di dalam kawasan hutan seluas -0,84%/thn dan di luar
kawasan hutan seluas 12,2%/thn (Supratman dan Alif, 2010).
Hingga saat ini, terdapat 3 hutan desa telah disahkan pada tahun
2010 yaitu HD Campaga, HD Labbo dan HD Patteneteang. Hutan Desa
Labbo, Pattaneteang dan Campaga telah mendapatkan SK penetapan Areal
Kerja HD (dari Kemenhut) : No. 55/Menhut-II/2009, SK HPHD (dari
Gubernur SULSEL): No. 3804/XI/2010, SK pengesahan RKHD dari
Gubernur dengan No. 1465/V/2012.
Rencana Kelola Usaha Hutan Desa (BPDAS JENWAL, 2010) yang
teridentifikasi dari hasil penelitian ini yang terkait dengan HHBK adalah
pengembangan usaha dalam hal:
Merencanakan penanaman jenis hasil hutan bukan kayu yang meliputi
jenis, jumlah dan pola tanam.
Merencanakan cara pemeliharaan dan perlindungan tanaman sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan kelompok.
Merencanakan pemanenan dan pemungutan dengan memperhitungkan
kelestarian hasil.
Rencana Pengembangan Usaha Hasil Hutan Bukan Kayu
450| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sedangkan dari hasil interview yang dilakukan, beberapa manfaat hutan
desa yang dirasakan oleh masyarakat, antara lain :
Masyarakat menjadi lebih aman beraktivitas dalam kawasan hutan,
karena telah memiliki hak kelola lahan.
Potensi hasil hutan bukan kayu terkelola, termasuk berkembangnya
usaha peternakan lebah, buah-buahan dan hasil tanaman semusim
seperti kopi,coklat dsb.
Terbentuk kelompok pengelola lebah madu
Pengelolaan jasa lingkungan air minim perpipaan yang bersumber dari
hutan desa
Terbentuk kelompok pengelola hutan desa dalam tubuh BUMDES.
Pengelolaan potensi kawasan hutan menjadi terencana dan
terkoordinasi, salah satunya melalui RKHD
Penebangan pohon di hutan semakin menurun
Kebakaran hutan semakin menurun.
Terkait dengan HHBK, hasil penelitian mencoba menghubungkan antara
HHBK dengan sistem pengelolaan hasil dan distribusi manfaat, yaitu:
a. Hak kelola Hutan Desa diutamakan diberikan terlebih dahulu kepada
masyarakat yang telah terlanjur menggarap lahan di dalam kawasan
hutan, sedangkan sisanya baru diserahkan untuk dikelola oleh
masyarakat dengan urutan pertama yang tidak memiliki lahan milik,
lahan milik sempit dan seterusnya sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan oleh BUMDES. Jatah kelola untuk tiap petani adalah 50 are,
dengan jangka waktu 30 tahun dievaluasi tiap 5 tahun.
b. Pemanfaatan kawasan Hutan Desa difokuskan hanya untuk budidaya,
jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Kegiatan
budidaya hanya dilakukan melalu pemanfaatan ruang tumbuh antar
pohon dan blok yang telah diatur peruntukannya. Terdapat larangan
untuk mengubah fungsi dan status kawasan hutan desa, menebang
pohon dan mengambil pohon tumbang. Hasil manfaat yang diterima
oleh masyarakat dikelola dengan sistem bagi hasil, dengan proporsi
80% untuk petani dan 20% disetor kepada BUMDES. Sistem
pengaturan ini dapat mendukung implementasi REDD+ karena
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 451
mendasarkan pada prinsip pengelolaan hutan lestari dan memberikan
kontribusi pendapatan masyarakat.
Sementara dari hasil pegamatan (Nurhaedah dan Hapsari, 2014)
bahwa beberapa jenis Hasil Hutan Bukan Kayu di Desa Labbo dan Desa
Pattaneteang yang saat ini sudah dikelola oleh masyarakat secara komersil
dan memiliki prospek pasar adalah madu, markisa dan kopi. Tanaman kopi
dan markisa diusahakan masyarakat dibawah tegakan pinus. Jenis kopi
yang diusahakan dibawah tegakan adalah kopi Arabica. Kopi Arabica dapat
menghasilkan 3 ton kopi/ha/tahun. Namun jumlah produksi juga sangat
tergantung pada berbagai faktor diantaranya iklim, hama penyakit dll
sehingga produksinya juga sangat bervariasi dari waktu ke waktu.
Pemasaran produk HHBK dari hutan desa saat penelitian berlangsung
masih dilakukan oleh masyarakat secara individu, namun dengan fasilitasi
Bumdes pemasaran akan diarahkan melalui kelompok sehingga bisa lebih
terorganisir. Buah markisa yang sudah dipanen sementara dijual ke pasar
bersamaan dengan saat belanja untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.
Harga markisa saat penelitian berlangsung berkisar antara Rp.3000-
4000/10 biji.
Sementara untuk komoditas lain seperti lebah madu, saat ini sudah
terbentuk lima kelompok peternak madu di Desa Labbo. Setiap kelompok
beranggotakan antara 20–30 orang. Dalam setahun biasanya dilakukan
panen sebanyak dua kali, dengan jumlah kotak 10-20 per peternak, atau
sekitar 40-80 botol madu. Selanjutnya madu dijual dengan harga berkisar
Rp 75.000 - Rp100.000/botol (Chandra, 2013) dan saat ini sedang
diupayakan perolehan ijin produksi dari Dinas Kesehatan melalui fasilitasi
BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).
Sedangkan di Hutan Desa lain yaitu di Hutan Desa Campaga,
potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (air), telah lama digunakan oleh
masyarakat untuk pengairan sawah irigasi dan sumber air PDAM.
Meskipun di lokasi ini terdapat berbagai jenis HHBK potensil seperti
pandan yang daunnya dapat diolah menjadi tikar serta buah pangi yang
dapat diolah menjadi bahan pangan, namun pengelolaan Hutan Desa ini
dikonsentrasikan pada kelestarian jasa lingkungan air. Kondisi ini sangat
mendukung pengelolaan lingkungan terutama dikaitkan dengan REDD
452| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
karena dengan menjaga keberlangsungan air, otomatis menjaga tegakan
hutan dan mempertahankan stok karbon di wilayah tersebut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Keberadaan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng yang melibatkan
masyarakat desa untuk mengelola sumberdaya hutan dan mengambil
manfaat dari hutan melalui pola agroforestri yang memanfaatkan HHBK,
misalnya tanaman pinus dengan kopi, markisa serta lebah madu dapat
dipandang memberi dampak positif pada kelestarian hutan dan lingkungan.
Hal ini disebabkan oleh pengusahaan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan
dalam konsep pengelolaan hutan desa dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat.
Keterlibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan Hutan Desa
secara legal dapat mengurangi tekanan terhadap kawasan hutan yang secara
tidak langsung menjaga kelestarian hutan yang berkelanjutan dan
mengurangi efek dari perubahan iklim. Hal ini mendukung konsep REDD+
yang sedang digalakkan oleh pemerintah.
Beberapa faktor dari pengelolaan Hutan Desa yang dapat menjadi
enabling condition bagi implementasi REDD+ adalah kepastian tenurial,
konsep pengaturan peran dan manfaat, model kelembagaan, dukungan
stakeholder terkait dan dukungan Bupati Bantaeng.
Beberapa saran yang muncul berdasarkan kegiatan penelitian
dimaksud, antara lain: Pertama, dalam pengelolaan Hutan Desa di
Kabupaten Bantaeng, perlu dilakukan kegiatan evaluasi yang terus-
menerus terhadap terhadap kegiatan pengelolaan tersebut. Hal ini
diperlukan guna memantau pelaksanaan program, distribusi manfaat serta
kelestarian ekologis dari Hutan Desa tersebut.
Kedua, pengelolaan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng dapat
diusulkan sebagai demonstration plot/activities skema REDD+ di tingkat
lokal yang memperlihatkan bagaimana masyarakat melakukan pengelolaan
HHBK dalam kawasan hutan Negara.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 453
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang Walanae (BPDAS
JenWal). 2010. Laporan hasil kegiatan fasliitasi penyusunan
rencana kerja Hutan Desa. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan
dan Perhutanan Sosial.
Chandra, W. 2013. Madu alam dari Hutan Desa di Bantaeng.
www.mongabay co.id. Diakses tanggal 15 Januari 2014.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 2011. Petunjuk Teknis
Inventarisasi Sosial Budaya Masyarakat Di Dalam/Sekitar
Kawasan Hutan/Kesatuan Pengelolaan Hutan. Kementerian
Kehutanan.
Ginoga, K.L. 2009. Rencana Penelitian Integratif 2010-2014 Ekonomi dan
Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi.
Naskah tidak diterbitkan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Kementerian Kehutanan. 2010. Strategi REDD-Indonesia (Fase Readiness
2009-2012 dan progress implementasinya). Kementerian
Kehutanan. Jakarta.
Pusat madia, 2009. REDD. redd-Indonesia.org. Di akses 2 Nopember
2010.
Nurhaedah dan E. Hapsari, 2014. Hutan Desa Kabupaten Bantaeng dan
manfaatnya bagi masyarakat. Info Teknis Ebony 11(1): 27-36.
Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Makassar.
Nurmasripatin, 2007. Apa itu REDD. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Jakarta.
Supratman dan Alif. 2010. Pembangunan Hutan Desa di Kabupaten
Bantaeng. Konsep, Proses dan Refleksi. Regional Community
Forestry Training Center for Asia and The Pacifik. CV. Bumi Bulat
Bundar.
Widianto, T., Hasnawir, B.K. Sumirat, A. K. Wakka, A. Hermawan,
Hamdan, Supardi. 2012. Kajian Tata Kelola REDD dan REDD Plus.
Laporan Hasil Penelitian. Makassar. Tidak dipublikasikan.
454| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PENGUATAN KELEMBAGAAN PELAKU UTAMA DAN PELAKU
USAHA INDUSTRI OLAHAN MADU
DI NUSA TENGGARA BARAT DALAM MENGHADAPI
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
Mashur
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Tenggara Barat; E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Keberhasilan program pengembangan industri olahan madu sangat bergantung
pada dua hal, yaitu: (1) penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha
melalui penguatan wadah kelompok mulai dari hulu hingga hilir bagi
kelompok pembudidaya, pencari atau pemanen madu hutan, pengolah, industri
kemasan dan pemasaran); (2) fasilitasi pembinaan yang terus menerus secara
berkesinambungan kepada pelaku utama dan pelaku usaha oleh berbagai
stakeholder terutama pemerintah sesuai dengan kebutuhan dunia usaha yang
berorientasi pada agribisnis hulu hilir. Penguatan kelembagaan pelaku utama
dan pelaku usaha dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar pelaku utama
dan pelaku usaha dalam pengembangan usaha agribisnis madu, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteran masyarakat. Sedangkan tujuan
penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha adalah meningkatkan
kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha dalam menyediakan bahan baku
yang dibutuhkan dalam pengembangan industri olahan baik dari segi jumlah,
kualitas dan kontinuitas melalui pembinaan kelompok dan meningkatkan
kerjasama antar pelaku utama dan pelaku usaha melalui fasilitasi pertemuan
kelompok sehingga diharapkan dapat meningkatan pengetahuan, keterampilan
dan perubahan sikap pelaku utama dan pelaku usaha dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Kata kunci: Penguatan kelembagaan, Pelaku utama dan usaha, Olahan madu
MEA,2015.
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Madu merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) yang sangat potensial di Nusa Tenggara Barat, karena madu dari
Nusa Tenggara Barat dengan nama “Madu Sumbawa” sangat terkenal tidak
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 455
hanya di wilayah Nusa Tenggara Barat tetapi juga di seluruh nusantara.
Prospek pengembangan agribisnis madu sangat menjanjikan karena
peluang pasar dan potensi pengembangan madu hutan dan madu hasil
budidaya sangat besar. Namun disayangkan, nama besar Madu Sumbawa
yang sudah terkenal itu, kini hampir kurang mendapat kepercayaan dan
keyakinan bagi para konsumen, karena sebagian konsumen merasa kecewa
dan tertipu oleh ulah pedagang atau penjual madu yang kurang
bertanggung jawab yang dengan sengaja menggunakan label madu asli
tetapi kenyataannya madu telah dicampur dengan gula, air tebu atau bahan-
bahan lainnya. Ada juga modus yang dengan sengaja menaruh bekas sarang
madu di botol atau cerigen kemasan agar terkesan asli. Modus pecampuran
madu seperti ini tidak hanya dilakukan oleh pedagang atau penjual madu
tetapi juga dilakukan oleh pengolah madu atau pemanen madu dari
sumbernya. Hal ini sangat merugikan konsumen dan pada gilirannya nanti
juga merugikan para pedagang atau penjual madu. Akibatnya, konsumen
madu kesulitan mendapatkan madu asli. Pada dasarnya konsumen tidak
mempermasalahkan harga madu yang relatif mahal asalkan madu asli,
tetapi sungguh sangat mengecewakan bila pembeli madu yang bermerek
madu asli dengan harga mahal tetapi sebetulnya bukan madu asli.
Kondisi seperti ini tentu tidak dapat dipertahankan lagi terutama
dalam rangka mengahadapi perdagangan bebas tahun 2015 melalui
Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana arus barang dan jasa dari negara-
negara ASEAN tidak dapat lagi dibendung memasuki pasaran di Indonesia,
termasuk persaingan agribisnis madu. Keunggulan suatu produk akan
menentukan daya saingnya. Produk-produk yang mampu bersaing dan
memberikan nilai tambahlah yang mampu bertahan dan bersaing dengan
produk dari luar. Untuk itu, keberadaaan madu asli dari Nusa Tenggara
Barat yang telah mendapat nama di tengah masyarakat dapat dipertahankan
bahkan ditingkatkan agar mampu bersaing dengan produk olahan madu
dari luar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menjamin
keaslian madu dari Nusa Tenggara Barat yang sangat terkenal itu adalah
melalui penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha industri
olahan madu di NTB mulai dari hulu hingga hilir baik untuk madu hutan
maupun madu yang dihasilkan dari budidaya.
456| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
B. Pengertian Kelembagaan Pelaku Utama dan Pelaku Usaha
Dalam Undang-undang No.16/2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) yang dimaksud dengan pelaku
utama kegiatan kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan beserta keluarga intinya.
Masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan adalah penduduk yang
bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki kesatuan
komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung
pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Sedangkan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau
korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha
kehutanan. Kelembagaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
hutan adalah lembaga yang ditumbuh kembangkan dari, oleh, dan untuk
pelaku utama.
Kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu
merupakan wadah organisasi bagi kelompok pembudidaya madu dan
pemanen madu hutan untuk melakukan aktivitas usaha agribisnis madu,
mulai dari hulu sampai hilir, membangun koordinasi dengan stakeholder
terkait. Peranan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan
madu sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan hubungan
antara pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu dalam jaringan
kerja sama dengan para stakeholder untuk membangun dan memperkuat
kelembagaannya, guna mendorong tumbuhnya usaha agribisnis madu yang
lebih efisien, efektif dan berkelanjutan.
Penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan
madu merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaku
utama dan pelaku usaha pengolahan madu melalui perbaikan manajerial
usaha, pengembangan dan diversifikasi usaha yang dibangun dalam satu
kelembagaan usaha. Penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku
usaha pengolahan madu diharapkan dapat memperkuat kemandirian pelaku
utama dan pelaku usaha pengolahan madu dalam pembangunan kehutanan
yang berkelanjutan. Upaya pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha
pengolahan madu dan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 457
pengolahan madu yang berdaya saing tinggi, dilakukan melalui kebijakan
penguatan kapasitas kelembagaan menjadi penguatan kelembagaan
ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu yang diarahkan
menjadi badan usaha milik pembudidaya madu dan pemanen madu dalam
bentuk koperasi dan atau pembentukan perseroan terbatas dan lain-lain
yang dapat meningkatkan posisi daya tawarnya dengan berbagai pihak.
Setiap kelembagaan memiliki peluang untuk membentuk dan
mengembangkan lembaga, namun demikian kelembagaan pelaku utama
dan pelaku usaha pengolahan madu harus terbentuk berdasarkan kebutuhan
untuk mengembangkan kegiatan usaha. Setelah kelembagaan pelaku utama
dan pelaku usaha pengolahan madu terbentuk, maka diperlukan adanya
fasilitasi berupa pendampingan oleh dinas yang membidangi fungsi
pelayanan, fasilitasi, penelitian dan penyuluhan yang berkaitan dengan
hasil hutan bukan kayu baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat agar
kelembagaan tersebut dapat berjalan secara profesional dan mampu
mengembangkan diri menjadi lembaga pelaku utama dan pelaku usaha
pengolahan madu yang mandiri, serta meningkatkan usahanya sebagai
lembaga usaha yang komersial. Untuk itu diperlukan fasilitas bagi
kelembagaan ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu,
di antaranya: (1) penguatan kapasitas manajerial usaha kelembagaan
ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu, (2)
pengembangan jejaring dan kemitraan dan (3) pengembangan pelayanan
informasi, pemagangan dan pelatihan bagi calon kelembagaan ekonomi
pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu (Mashur, 2014).
C. Maksud dan Tujuan Penguatan Kelembagaan Pelaku Utama dan
Pelaku Usaha
Menurut Mashur (2014) penguatan kelembagaan pelaku utama dan
pelaku usaha dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar pelaku utama
dan pelaku usaha dalam pengembangan usaha agribisnis, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteran masyarakat. Sedangkan tujuan
penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha adalah:
1. Meningkatkan kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha dalam
menyediakan bahan baku yang dibutuhkan dalam pengembangan
458| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
industri olahan madu baik dari segi jumlah, kualitas dan kontinuitas
melalui pembinaan kelompok.
2. Meningkatkan kerjasama antar pelaku utama dan pelaku usaha melalui
fasilitasi pertemuan kelompok sesuai dengan komoditas yang
dikembangkan dalam mendukung keberadaan unit kelembagaan
pemasaran produk olahan.
3. Meningkatkan kerjasama antara pelaku utama dan pelaku usaha dengan
unit penyangga pemasaran (UPP) dalam pemasaran dan fasilitasi
kemasan produk.
4. Memperkuat keberadaan unit penyangga pemasaran (UPP) sebagai
mitra dari retil modern dalam pemasaran produk dari pelaku utama dan
pelaku usaha.
5. Memfasilitasi pelaku utama, pelaku usaha, UPP dan retil modern
dengan berbagai dinas/instansi terkait dalam pengembangan industri
olahan komoditas unggulan daerah di NTB.
II. MASALAH YANG DIHADAPI PELAKU UTAMA DAN
PELAKU USAHA INDUSTRI OLAHAN MADU DI NUSA
TENGARA BARAT
Masalah-masalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha
baik penghasil madu hutan dan pembudidaya dalam pengembangan
industri olahan dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Untuk madu hutan di Pulau Sumbawa, sebagai besar kelompok atau
regu pencari (pemanen) madu hutan pada beberapa sentra penghasil
madu bekerja berdasarkan pesanan para pedagang atau pengepul madu.
Sebagian lainnya dengan beregu (dalam kelompok kecil) mencari madu
di suatu kawasan hutan dengan mendapat izin dari desa setempat
dengan membayar sejumlah uang tertentu. Kelompok ini belum
membentuk kelembagaan yang sesuai dengan ketentuan, yaitu dibentuk
oleh, dari dan untuk pelaku utama. Kelompok ini lebih berorientasi pada
pesanan dari pedagang atau pengepul, sehingga posisi tawarnya lemah.
Akibatnya tingkat pendapatannya bergantung pada pada pemesan atau
pedagang. Meskipun demikian, pada kelompok ini yang telah
diorganisir dengan baik, misalnya melalui Jaringan Madu Hutan
Sumbawa (JMHS).
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 459
2. Untuk pembudidaya madu di Pulau Lombok, sebagian besar telah
membentuk wadah kelompok, tetapi pengorganisasiannya yang perlu
ditingkatkan baik administrasi kelompok maupun pengelolaan
kelompok.
3. Keterampilan dan pengetahuan serta sikap pelaku utama masih perlu
ditingkatkan dalam manajemen panen yang berkelanjutan, penanganan
panen dan pasca panen terutama yang berkaitan dengan higeinitas dan
peningkatan mutu hasil terutama kadar air yang memenuhi standar.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana baik peralatan panen dan penangan
pasca panen untuk menghasilkan madu yang berkualitas dan memenuhi
persyaratan pasar modern.
5. Kemasan produk madu yang dihasilkan selama ini sebagian besar
belum memenuhi standar pasar modern, sehingga jaringan pasarnya
masih terbatas, akibatnya daya saingnya rendah.
6. Adanya sikap pelaku utama dan pelaku usaha yang sudah puas dengan
permintaan pasar yang relatif tinggi selama ini, menyebabkan
kurangnya inovasi dan motivasi untuk melakukan diversifikasi produk
baik ukuran kemasan, bentuk kemasan dan persyaratan sebuah produk
yang terstandar untuk memenuhi permintaan pasar modern (seperti
PIRT, barcode, sertifikat halal dari MUI, masa kedaluarsa, kandungan
nutrisinya, dll)
7. Dengan akan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015
maka diperlukan kesiapan produk industri olahan madu yang
memberikan nilai tambah dan daya saing tinggi, yang tidak hanya
berorientasi pada segmen pasar yang selama ini, tetapi harus siap
menghadapi persaingan global arus barang dan jasa tidak hanya lokal,
nasional bahkan global (internasional) yang dengan bebas masuk ke
Indonesia termasuk ke NTB.
8. Baik pelaku utama maupun pelaku usaha belum siap menghadapi
permintaan konsumen madu baik dari segi kualitas (adanya madu yang
tidak asli), kuantitas (belum sanggup memenuhi jumlah kebutuhan
konsumen), maupun kontinuitas (pada waktu tertentu produksi madu
terbatas, karena pengaruh musim).
460| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
9. Keterbatasan modal dan informasi pasar serta kurangnya kemampuan
pelaku utama dan pelaku usaha dalam membangun jejaring usaha juga
turut berpengaruh terhadap pengembangan industri olahan madu.
10. Kurangnya fasilitasi pembinaan oleh stakeholder terutama dalam aspek
kemasan dan pasar menyebabkan perkembangan industri pengolahan
madu belum berjalan secara akseleratif dalam meningkatkan daya saing.
III. UPAYA-UPAYA PENGUATAN KELEMBAGAN PELAKU
UTAMA DAN PELAKU USAHA INDUSTRI OLAHAN MADU
DALAM MENGHADAPI MEA 2015
Tahun 2015 Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA), mau tidak mau harus mau, suka tidak suka harus suka dan
siap tidak siap harus siap untuk menghadapinya. Dengan adanya MEA
maka arus barang dan jasa yang masuk ke Indonesia (termasuk produk
madu) tidak dapat dibendung lagi, tidak mustahil madu dari Arab,
Australia, Cina bahkan dari negara lain, yang kualitasnya lebih baik dan
lebih murah akan membanjiri pasaran madu di Indonesia. Akibatnya,
apabila kita tidak mempersiapkan diri dengan baik maka tidak mustahil
merek dagang Madu Sumbawa yang kita banggakan selama ini akan kalah
bersaing dengan madu dari luar daerah NTB bahkan dengan madu dari luar
negeri, akhirnya kebanggaan tinggal kebanggaan bahkan kita hanya
menjadi penonton di negeri kita sendiri. Untuk itu, mari kita jadikan
kehadiran MEA menjadi sebuah peluang bukan tantangan dalam
mengembangkan usaha agribisnis madu yang berdaya saing dan
memberikan nilai tambah bagi pelaku utama dan pelaku usaha dalam
rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahterannya.
Untuk itu, beberapa pemikiran yang dapat disampaikan baik bagi
pemerintah selaku pengambil kebijakan, fasilitator maupun bagi pelaku
utama dan pelaku usaha dalam memperkuat kelembagaan pelaku utama dan
pelaku usaha industri olahan madu dalam menghadapi MEA tahun 2015,
antara lain:
1. Keberhasilan program atau kegiatan pembangunan termasuk
pengembangan industri olahan madu sangat bergantung pada dua hal,
yaitu: (a) penguatan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 461
melaui penguatan wadah kelompok mulai dari hulu hingga hilir
(kelompok pembudidaya madu, pencari atau pemanen madu hutan,
pengolah, industri kemasan dan pemasaran). Fungsi kelompok sebagai
harus mencakup sebagai kelas belajar, unit produksi dan wadah
membangun kerja sama baik internak maupun eksternal kelompok; (2)
fasilitasi pembinaan yang terus menerus secara berkesinambungan
dilakukan kepada pelaku utama dan pelaku usaha dari berbagai
stakeholder terutama pemerintah sesuai dengan kebutuhan dunia usaha
yang berorientasi agribisnis hulu hilir (Mashur, 2014).
2. Peningkatan pengetahun, keterampilan dan perubahan sikap pelaku
utama dan pelaku usaha mulai dari kegiatan di hulu (budidaya, panen,
pasca panen, pengemasan dan pemasaran) dalam menghadapi MEA
2015.
3. Adanya reorientasi kebijakan dari penguatan kelembagaan pelaku
utama dan pelaku usaha menjadi kelembagaan ekonomi, sehingga
mampu meningkatkan daya saing dan nilai tambah yang berazaskan
pada “market oriented” dengan prinsip “start from the end”. (Mashur,
2013)
4. Pembinaan pelaku utama dan pelaku usaha industri pengolahan madu
harus berorientasi pada produk berstandar nasional atau internasional
(ekspor) dengan memperhatikan aspek kemasan dan pasar, setidaknya
sama seperti standar retil modern.
5. Untuk mengembangkan usaha bagi pelaku utama dan pelaku usaha
diperlukan fasilitasi sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai triger
usaha terutama yang tidak terjangkau oleh kemampuan pelaku utama
dan pelaku usaha. Selanjutnya diperlukan dukungan modal untuk
mengembangkan usaha dari perbankan dengan prosedur dan
persyaratan yang mudah dan dengan bunga yang rendah dan jangka
waktu yang sesuai dengan siklus usaha.
6. Perlu dibentuk Unit Penyangga Pemasaran (UPP) produk industri
olahan madu sebagai mitra untuk meningkatkan kerjasama antara
pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemasaran produk dan fasilitasi
kemasan.
462| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
7. Memperkuat keberadaan UPP sebagai mitra dari retil modern dalam
pemasaran produk dari pelaku utama dan pelaku usaha.
8. Memfasilitasi pelaku utama, pelaku usaha, UPP dan retil modern
dengan berbagai dinas/instansi terkait dalam pengembangan industri
olahan komoditas unggulan daerah termasuk madu di NTB.
9. Terbentuknya kelompok pelaku utama yang dapat menyediakan bahan
baku untuk industri olahan madu yang sesuai dengan jumlah, kualitas
dan kontinuitas di NTB.
10. Terjalinnya kemitraan usaha antara pelaku utama dan pelaku usaha
dalam penyediaan bahan baku produk olahan madu di NTB.
11. Inisiasi terbentuknya kelembagaan yang berfungsi tidak hanya sebagai
pengepul (puller) juga sebagai sorter dan grader agar ketersediaan
bahan baku dengan spesifikasi tertentu dapat dijamin dari segi kualitas,
kuantitas dan kontinuitas, sehingga produk akhir yang diterima
konsumen akan tetap terjaga dengan baik.
12. Inisiasi terbentuknya Supply Chain Management (rantai pasok) produk
olahan bagi pengusaha kecil sesuai dengan proses dan prinsip bisnis
mulai dari penyedia bahan baku, sorter/grader, prosesing bahan baku ½
jadi atau bahan jadi, branding dan commersial, trading dan
distributorship.
13. Pembinaan terhadap penetapan harga standar berdasarkan harga eceran
terendah (HET) yang menguntungkan pelaku utama, pelaku usaha,
UPP, retil modern dan konsumen.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Melalui fasilitasi pendampingan penguatan kelembagaan akan
diperoleh informasi tentang berbagai masalah dan alternatif pemecahan
masalah yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha sebagai
kelembagaan yang terkait langsung dalam pengembangan industri olahan
produk madu sebagai komoditas unggulan daerah di NTB. Informasi ini
selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan kebijakan bagi
pemerintah dalam pengembangan industri olahan madu di NTB. Untuk itu
dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 463
diperlukan fasilitasi bagi kelembagaan ekonomi pelaku utama dan pelaku
usaha pengolahan madu, melalui: (1) penguatan kapasitas manajerial usaha
kelembagaan ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu;
(2) pengembangan jejaring dan kemitraan dan (3) pengembangan
pelayanan informasi, pemagangan dan pelatihan bagi calon kelembagaan
ekonomi pelaku utama dan pelaku usaha pengolahan madu.
B. Saran
Dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun
2015 kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha industri olahan madu
membutuhkan fasilitasi berupa pendampingan oleh dinas/instansi/
lembaga yang membidangi fungsi pelayanan, fasilitasi, penelitian dan
penyuluhan yang berkaitan dengan pengembangan industri olahan madu
mulai dari hulu hingga hilir baik di kabupaten/kota, provinsi dan pusat
agar kelembagaan tersebut dapat berjalan secara profesional dan mampu
mengembangkan diri menjadi lembaga pelaku utama dan pelaku usaha
pengolahan madu yang mandiri, serta meningkatkan usahanya sebagai
lembaga usaha yang komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Mashur, dkk., 2013. Media Penyuluhan Produk HHBK Kabupaten
Lombok Tengah. Kerjasama WWF Indonesia Program Nusa
Tenggara, Bakorluh Provinsi NTB dan BPDAS Dodokan
Moyosari NTB.
Mashur, dkk., 2013. Media Penyuluhan Produk HHBK Kabupaten
Lombok Utara. Kerjasama WWF Indonesia Program Nusa
Tenggara, Bakorluh Provinsi NTB dan BPDAS Dodokan
Moyosari NTB.
Mashur, dkk., 2013. Katalog Branding Produk Olahan Pijar NTB. Profil
Pelaku Usaha Pengolah Produk Pijar Menuju Retil Modern (dari
katanya menjadi nyatanya, dream come true). Sekretariat
Bakorluh Pemerintah Daerah Provinsi NTB.
Mashur, 2014. Penguatan Kelembagaan Pelaku Utama dan Pelaku Usaha
Melalui Fasilitasi Pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif
464| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Menuju Retil Modern Di Nusa Tenggara Barat. Proposal
Konsultan Ahli Kelembagaan.
Kementerian Pertanian RI, 2006. Undang-undang Nomor.16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(SP3K). Badan Penyuluhan dan SDM Kementerian Pertanian RI.
Jakarta
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) Kementerian
Pertanian RI, 2013. Pedoman Pembinaan Kelompoktani. Jakarta
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 465
KAJIAN KONFLIK TENURIAL DI KPHL RINJANI BARAT
STUDI KASUS DESA SENARU, SANTONG DAN REMPEK
Cecep Handoko
Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Jln. Dharma Bhakti No. 7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat
ABSTRAK
Penyelesaian konflik tenurial merupakan syarat penting bagi terwujudnya tata
kelola hutan yang baik. Konflik terkait hutan dan sumberdayanya tersebut
dapat terjadi secara spesifik di suatu wilayah baik dari segi penyebab, pihak-
pihak yang terkait, kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, begitu pula
dampak yang ditimbulkannya. Untuk mendukung penyelesaian konflik
tenurial, informasi penting terkait konflik tersebut diperlukan. Hal tersebut
menjadi tujuan penelitian. Penelitian dilakukan pada tahun 2013 dan 2014,
dengan mengambil lokasi di Desa Senaru, Santong dan Rempek di wilayah
KPHL Rinjani Barat. Penelitian dilakukan melalui studi literatur, wawancara
mendalam dan FGD di tingkat desa. Data dianalisa secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa buruknya kondisi pengelolaan hutan yang telah
menghasilkan hutan-hutan terdegradasi, bencana alam dan tingginya
penebangan liar telah memicu tuntutan masyarakat untuk secara mandiri
melakukan pengelolaan hutan. Sementara itu, tumpang tindih kepentingan
pembangunan antara sektor kehutanan dan non-kehutanan telah memunculkan
tuntutan perlunya pembenahan/penataan ruang wilayah bagi peruntukan hutan
dan non-hutan. Di lain pihak, komunikasi antar para pihak perlu dilakukan
untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan selama implementasi
program pembangunan kehutanan di tingkat lapangan. Sejalan dengan hal
tersebut, diperlukan pula kolaborasi antar para pihak untuk meningkatkan nilai
ekonomi dan keberlanjutan pengelolaan hutan khususnya di KPHL Rinjani
Barat.
Kata kunci: konflik tenurial, KPHL Rinjani Barat, komunikasi dan kolaborasi
pengelolaan hutan
I. PENDAHULUAN
Sebagai sumberdaya publik, hak tenurial terhadap hutan mencakup
hak akses, pakai, eksklusi dan pengalihan (Larson, 2013). Rendahnya
akomodasi dan kepastian hak merupakan penyebab umum timbulnya
konflik tenurial (Mayers et al., 2013). Hal tersebut dapat diperburuk oleh
466| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
perbedaan pandangan para pihak terkait penggunaan hutan dan
sumberdayanya (Kusumanto et al., 2006). Selain perlu mempertimbangkan
berbagai sudut pandang, penyelesaian konflik tenurial perlu pula
disesuaikan dengan kondisi spesifik di mana konflik terjadi (Herrera dan
Passano, 2006). Di samping itu, penggalian perspektif lokal diperlukan
dalam penyelesaian konflik tenurial. Hal tersebut untuk memberikan
pemahaman yang holistik terhadap berbagai penggerak konflik di tiap
tingkatnya (Midgley dan Garred, 2013).
Terkait hak dan konflik tenurial khususnya yang terdapat di
wilayah KPHL Rinjani Barat, informasi yang lengkap untuk menilai,
mengakomodasikan dan meningkatkan kepastian tenurial dalam
implementasi pengelolaan hutan sangat diperlukan. Informasi tersebut,
antara lain mencakup: diskriminasi kebijakan dan aturan, kelemahan
kebijakan dan sistem pengelolaan hutan, kepentingan para pihak terhadap
hutan dan sumberdayanya, serta perubahan sosial yang terjadi (Herrera dan
da Passano, 2006). Selain untuk menghindari benturan kepentingan antar
para pihak di tingkat tapak, informasi tersebut dapat pula menjadi acuan
bersama dalam mengatasi konflik yang ada, serta menjadi landasan bagi
terselenggaranya pengelolaan hutan yang dapat diterima dan didukung oleh
para pihak terkait, efektif, serta secara konsisten dapat dilaksanakan.
Adapun penyediaan informasi penting terkait hak dan konflik tenurial
tersebut merupakan tujuan penelitian.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan pada tahun 2013 dan 2014. Penelitian
dilakukan di desa-desa sekitar kawasan hutan produksi KPHL Rinjani
Barat di wilayah administrasi Kabupaten Lombok Utara. Wilayah ini
termasuk dalam Register Tanah Kehutanan I (RTK I) Gunung Rinjani.
Adapun desa-desa yang menjadi lokasi penelitian, yaitu: Desa Senaru di
Kecamatan Bayan, Desa Santong di Kecamatan Kayangan dan Desa
Rempek di Kecamatan Gangga. Lokasi penelitian dan wilayah KPHL
Rinjani Barat seperti disajikan pada Gambar 1.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 467
Sumber peta: http://www.kph.dephut.go.id
Gambar 1. Lokasi penelitian dan wilayah KPHL Rinjani Barat. (a) Desa
Rempek; (b) Desa Santong; dan (c) Desa Senaru.
B. Bahan dan Alat
Bahan penelitian berupa laporan/publikasi terkait batas-batas
kawasan, penggunaan lahan dan konflik di KPHL Rinjani Barat, serta
laporan/publikasi terkait pembentukan, organisasi pengelola dan kegiatan
pengelolaan oleh KPHL Rinjani Barat. Adapun peralatan yang digunakan
dalam penelitian yaitu kuisioner.
C. Metode Kegiatan
Kegiatan dalam penelitian meliputi studi pustaka, wawancara
mendalam dan focus group discussion (FGD). Studi pustaka dilakukan
terhadap laporan-laporan dan publikasi terkait kawasan hutan dan konflik
tenurial di KPHL Rinjani Barat. Wawancara mendalam ditujukan untuk
mengetahui sejarah terjadinya konflik tenurial di kawasan hutan di masing-
masing desa, termasuk pihak-pihak yang terkait dalam sejarah konflik
tersebut. Wawancara dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang mengetahui
dan/atau terkait dengan terjadinya konflik tenurial di masing-masing desa
kajian. Sementara itu, FGD dilakukan di masing-masing desa dengan
468| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
melibatkan wakil-wakil masyarakat, meliputi: Kepala Desa, ketua
kelompok masyarakat, kepala Dusun, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat.
The Puget Sound Consorstium for Manufacturing Excellece (2005)
menyatakan bahwa FGD merupakan wawancara terfokus terhadap
kelompok peserta tertentu dengan topik tertentu. Empat alasan
dilakukannya FGD, yaitu: (1). untuk mengidentifikasi masalah; (2). untuk
perencanaan pencapaian tujuan; (3). untuk menyempurnakan implementasi
rencana; dan (4). untuk memperkirakan dan memahami apa yang sedang
terjadi selama kegiatan berlangsung sebagai panduan bagi pelaksanaan
kegiatan di masa datang.
Sesuai dengan kebutuhan penggalian informasi penting terkait
konflik tenurial di masing-masing desa, FGD yang dilakukan diarahkan
untuk:
1) Memperoleh gambaran kondisi hutan saat ini, termasuk manfaat yang
diperoleh, kondisi penutupan lahan, daerah rawan yang menyebabkan
banjir/longsor, dan daerah sumber permasalahan di dalam hutan.
2) Memperoleh prediksi kondisi hutan dan manfaat hutan sepuluh tahun
ke depan dari kondisi hutan yang ada tersebut.
3) Memperoleh gambaran kondisi hutan ideal dan manfaat yang bisa
dihasilkannya hutan sepuluh tahun ke depan.
4) Merumuskan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai
kondisi hutan ideal.
5) Merumuskan permasalahan yang menghambat pencapaian tujuan
tersebut dan menemukan langkah-langkah mengatasinya.
D. Analisa Data
Data yang dikumpulkan bersifat kualitatif. Data yang terkumpul
tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya dianalisis secara
deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Konflik Tenurial dan Tingkatannya
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat
terletak di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara, ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kehutanan No: 651/Menhut-II/2010 tanggal 22
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 469
Desember 2010. Konflik tenurial di KPHL Rinjani Barat terbagi dalam
kategori tinggi, sedang dan rendah (Gambar 2). Konflik tenurial
berkategori tinggi dan sedang terjadi di kawasan hutan produksi, sedangkan
konflik berkategori rendah terjadi di kawasan hutan lindung. Konflik
berkategori tinggi ditandai adanya pemukiman/rumah, hotel dan sertifikat
tanah di areal seluas 912,56 hektar. Konflik sedang ditandai oleh penolakan
masyarakat terhadap implementasi program kehutanan di areal seluas
3.210,06 hektar, dan konflik rendah ditandai oleh penggarapan lahan tanpa
ijin untuk budidaya non kehutanan di areal seluas 14.627,37 hektar
(Mukarom, 2013). Penyebaran konflik tenurial menurut resort di KPHL
Rinjani Barat disajikan pada Tabel 1.
Sumber : Mukarom, 2013
Gambar 2. Peta ekskalasi konflik tenurial di KPHL Rinjani Barat
470| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Tabel 1. Penyebaran konflik tenurial menurut resort di KPHL Rinjani Barat
No Resort Luas Eskalasi Konflik (Ha)
Keterangan Rendah Sedang Tinggi
1. Sesaot 2.137,26 - - Menggarap non-program
2. Jangkok 2.327,44 - - Menggarap non-program
3. Meninting 1.891,53 - - Menggarap non-program
4. Malimbu 2.095,64 - - Menggarap non-program
5. Tanjung 564,82 - - Menggarap non-program
6. Monggal 3.805,30 - - Menggarap non-program
7. Santong
Santong 1.399,12 - - Menggarap non-program
Rempek - - 86.00 Sertifikat Prona 1984
Pondok Ijong
dsk. - - 665,46 Pemukiman ± 108 KK
Senjajak -
379,35 - Menolak Program 45 %
8. Senaru
Senaru - - 8,50 Rumah/hotel ± 18 Rumah
Akar Akar - - 238,60 Rumah ± 298 KK
Sambi Elen,
Sukadana dsk. 406,26 2.830,71 - Menolak Program HTI
JUMLAH 14.627,37 3.210,06 912,56
Sumber : Mukarom, 2013
Berdasarkan kondisi konflik yang ada tersebut, keberadaan konflik
tenurial di KPHL Rinjani Barat yang dikaji dalam penelitian ini
diindikasikan oleh adanya pemukiman, hotel, konflik batas kawasan hutan
dan penggarapan lahan non-program di dalam kawasan hutan. Tingkat
konflik tenurial tinggi diindikasikan oleh adanya aksi sertifikasi tanah
hutan dan benturan fisik terkait upaya tersebut. Konflik ini terjadi di lokasi
kajian Desa Rempek. Tingkat konflik sedang ditandai adanya penolakan
implementasi program kehutanan secara terstruktur melibatkan pihak desa,
namun benturan fisik dalam kaitannya dengan konflik yang ada tidak
terjadi. Konflik ini terjadi di Desa Senaru. Sementara itu, tingkat konflik
rendah ditandai adanya solusi sementara atas permasalahan pemanfaatan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 471
lahan hutan antara masyarakat dengan instansi kehutanan. Tingkat konflik
rendah tersebut terjadi di lokasi kajian Desa Santong.
2. Risalah Konflik Tenurial di Desa Rempek, Senaru dan Santong
Sengketa tanah hutan merupakan indikasi utama adanya konflik
tenurial yang tinggi di wilayah Rempek. Sengketa ini telah teridentifikasi
sejak tahun 1989 (Buckles, 1999) di mana terjadi penolakan dari para
petani pelaksana program kopi penyangga untuk meninggalkan lahan
garapannya yang kemudian dinyatakan sebagai kawasan hutan pada tahun
tersebut. Perubahan luas kawasan hutan melewati batas kawasan hutan
zaman pemerintahan Belanda melalui tata guna hutan kesepakatan (TGHK)
tahun 1982 menjadi dasar dari dimasukkannya areal kopi penyangga
menjadi kawasan hutan.
Hingga saat ini, warga di wilayah Rempek menolak batas hutan
“resmi” dan mengklaim batas kawasan hutan adalah “gegumuk” yaitu batas
hutan zaman Belanda. Dipicu terbitnya 84 sertifikat di kawasan hutan tahun
1984, tuntutan sertifikat baru diajukan oleh sebanyak 509 penggarap sejak
tahun 1985. Klaim “sepihak” dari Kantor Pertanahan setempat bahwa areal
sertifikasi tersebut bukan kawasan hutan, serta dukungan dari institusi-
institusi pemerintahan setempat saat itu terhadap sertifikasi kawasan hutan
telah menjadi dasar legalisasi munculnya tuntutan sertifikasi baru dari
warga tersebut. Konflik tersebut terus berkembang terutama didorong oleh
kebutuhan pengembangan desa yang meliputi seluruh areal yang
disengketakan.
Sementara itu, terlepas dari tingginya konflik dan adanya tuntutan
serfikasi atas lahan hutan yang terjadi hingga sekarang, sejarah penataan
batas kawasan hutan telah dimulai pada tahun 1957 dengan mengakomodir
kawasan hutan zaman pemerintahan Belanda. Selanjutnya, dengan dasar
tata guna hutan kesepakatan (TGHK) tahun 1982, telah pula dilakukan tata
batas fungsi tahun 1995, dan rekonstruksi batas tahun 2012. Berpegang
pada bukti serah terima kawasan hutan dari pemerintah daerah Lombok
pada tahun 1954 dan tata batas kawasan hutan yang telah dilakukan, pihak
kehutanan kemudian mengklaim bahwa wilayah sengketa (diantaranya
termasuk areal kopi penyangga) adalah sah kawasan hutan. Terkait klaim
tersebut, sinkronisasi peta antara pihak kehutanan dan pertanahan pun telah
472| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dilakukan pada tahun 2012 yang menghasilkan kesepakatan dua pihak
(kehutanan dan pertanahan) bahwa wilayah sengketa adalah kawasan
hutan. Namun demikian, kesepakatan tersebut masih belum memenuhi
tuntutan pengembangan desa yang sudah mulai dicanangkan sejak tahun
2014.
Sengketa batas terjadi pula di Desa Senaru. Sengketa batas ini
terjadi karena klaim terhadap kawasan hutan telah memasukan wilayah
pemukiman penduduk, yang di dalamnya terdapat 18 rumah dan satu buah
hotel pada areal seluas 8,5 ha. Dukungan kuat dari pemerintah desa
terhadap keberadaan permukiman serta klaim batas kawasan hutan adalah
“gegumuk” menyebabkan konflik di wilayah ini belum bisa diatasi. Di luar
kondisi yang ada, meskipun konflik di wilayah ini mulai meluas, namun
belum memunculkan tuntutan resmi sertifikasi lahan hutan dan belum
menghasilkan benturan fisik antara masyarakat dengan pihak KPHL
Rinjani Barat. Adapun aksi penolakan terhadap implementasi kegiatan
pengelolaan hutan, diantaranya penolakan kegiatan rekonstruksi batas
tahun 2012 telah terjadi. Namun upaya penyelesaian permasalahan tersebut
belum dilakukan hingga saat ini.
Sementara itu, sengketa batas tidak terjadi di wilayah Santong. Di
wilayah ini tuntutan kemudahan perijinan penggunaan kawasan hutan
untuk kepentingan penduduk mendapat perhatian penting dari masyarakat
setempat. Sementara itu, mengatasi adanya penggarapan lahan hutan oleh
masyarakat telah dihasilkan solusi bersama berupa penetapan lokasi
garapan tersebut sebagai areal Hutan kemasyarakatan (HKm). Hal tersebut
tidak terlepas dari peran para pihak yang telah berupaya mewujudkan
terbangunnya areal HKm di wilayah ini. Di luar solusi bersama tersebut,
penyelesaian penggarapan lahan tanpa ijin yang terus meluas dan kondisi
hutan yang terus mengalami kerusakan belum mendapat perhatian dari
pemerintah. Sementara itu, tuntutan peningkatan pendapatan masyarakat
dari kawasan hutan belum pula mendapatkan perhatian yang memadai.
3. Opsi-opsi Penyelesaian Konflik Tenurial di Desa Rempek, Senaru
dan Santong
Berdasarkan hasil wawancara, secara umum dapat diketahui bahwa
penyelesaian konflik tenurial di wilayah KPHL Rinjani Barat, khususnya di
wilayah Rempek dapat dicapai melalui peningkatan komunikasi,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 473
kerjasama, keberpihakan, dan pendampingan kepada masyarakat. Terkait
hasil tersebut, upaya-upaya tersebut perlu dilakukan dalam kerangka
peningkatan pendapatan masyarakat, kecukupan pendapatannya dan
peningkatan pemahaman bersama terhadap peraturan-peraturan terkait
hutan dan sumberdayanya.
Sementara itu, secara khusus melalui FGD yang dilakukan di
tingkat desa di Senaru, Santong dan Rempek, beberapa opsi penyelesaian
konflik tenurial di masing-masing desa, sebagai berikut:
a. Hasil FGD di Desa Santong, Kecamatan Kayangan.
Konflik tenurial di wilayah Santong pada dasarnya terbagi menjadi
konflik lahan dan akses terhadap sumberdaya hutan. Hal tersebut
diindikasikan oleh adanya pemanfaatan lahan dan sumberdaya tanpa ijin di
dalam kwasan hutan. Konflik tersebut terjadi karena adanya proses
pembiaran terhadap penggarapan lahan hutan tanpa ijin dan penanaman
jenis-jenis tanaman non-kehutanan terutama cengkeh di dalam kawasan
hutan. Hal tersebut berdampak pada rusaknya penutupan pohon dan
meningkatnya ancaman hilangnya sumber-sumber air akibat penutupan
tumbuhan bawah pada lahan-lahan yang berpotensi sebagai tangkapan air.
Diketahui melalui diskusi bahwa upaya penanganan penggarapan dan
aktivitas budidaya tanpa ijin tersebut telah dilakukan, namun
pelaksanaannya tidak dilakukan secara konsisten.
Sementara itu,akomodasi terhadap perkembangan sosial yang
menuntut tingginya pendapatan masyarakat dari hutan mendapatkan
kendala dari proses perijinan terkait pemanfaatan hasil hutan kayu dari
kawasan hutan lama dan rumit, hal tersebut sangat dirasakan oleh para
pengelola HKm di wilayah Santong. Di lain pihak, peningkatan kebutuhan
masyarakat akan lahan budidaya dan penggunaan lahan hutan untuk usaha
non-kehutanan untuk tujuan ekonomis telah berdampak semakin
meningkatnya kerusakan hutan dan resiko hilangnya sumber-sumber air.
Kegiatan FGD di Desa Santong disajikan pada Gambar 3.
474| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Kegiatan FGD di Desa Santong
Berdasarkan kondisi tersebut, hasil FGD menghasilkan beberapa
opsi bagi penyelesaian konflik yang ada dan mungkin terjadi ke depan,
yaitu:
- Penyerahan hak kelola hutan adat Semboyan kepada masyarakat
Santong. Hutan tersebut dapat digunakan untuk mengakomodir
kebutuhan masyarakat akan lahan yang terus meningkat dan
memberikan peluang budidaya tanaman di lahan hutan secara
ekonomis.
- Percepatan proses penerbitan ijin pemanfaatan HHK di kawasan HKm.
- Dibangunnya jejaring kerjasama antar pihak-pihak terkait dalam
pengelolaan hutan agar pengelolaan hutan dapat dilakukan secara
konsisten.
- Dukungan teknologi budidaya di dalam kawasan hutan untuk
pengembangan jenis-jenis tanaman yang bernilai ekonomi dan
mempertahankan kelestarian hutan.
- Pengoptimalan jasa lingkungan kawasan hutan khususnya air agar dapat
memberikan kontribusi pendapatan ke desa.
- Pembinaan terhadap masyarakat penggarap di luar HKm yang
melakukan aktivitas yang mengganggu fungsi hidrologi kawasan hutan.
- Perlu dilakukannya pendampingan yang terus menerus terhadap petani
baik dari sisi teknologi maupun kebijakan/peraturan terkait pengelolaan
HKm.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 475
b. Hasil FGD di Desa Senaru, Kecamatan Bayan.
Konflik lahan yang ditandai terjadinya sengketa batas kawasan
hutan merupakan indikasi terjadinya konflik tenurial di wilayah Senaru.
Konflik tersebut belum teratasi dengan sangat kurangnya komunikasi
antara pihak pengelola KPHL Rinjani Barat dengan masyarakat secara luas,
maupun khususnya dengan tokoh-tokoh dan aparat desa setempat. Di lain
pihak, pengelolaan hutan oleh pihak kehutanan di wilayah ini belum
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Berdasarkan kondisi yang ada,
beberapa hasil FGD di desa ini (Gambar 4) yang utama yang berhasil
dirumuskan, sebagai berikut:
- Perlunya kejelasan status lahan bersertifikat apakah berada di dalam
enclave atau tidak. Jika sertifikat tersebut/begitu pula dengan pipil di
dalamnya tidak diakui oleh pihak kehutanan, maka masyarakat dalam
hal ini dipimpin oleh kepala desa tidak akan menerima pengelolaan
hutan yang dilakukan hingga sertifikat tersebut diakui.
- Kawasan hutan di sekitar senaru harus dijadikan hutan desa. Hal
tersebut ditujukan agar pengelolaan hutan dapat dilakukan oleh lembaga
desa dan pemerintah desa sehingga manfaat hutan dapat berdampak dan
dirasakan langsung oleh masyarakat desa Senaru.
- Awig-awig adat secara nyata harus diakomodir di dalam kebijakan
pengelolaan hutan. Hal ini didasarkan pendapat bersama bahwa
kerusakan hutan diawali dari tidak dipatuhinya norma-norma adat
dalam pengelolaan hutan.
Gambar 4. Kegiatan FGD di Desa Senaru
476| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
c. Hasil FGD di Desa Rempek, Kecamatan Gangga
Konflik lahan merupakan indikasi adanya konflik tenurial di
wilayah Rempek. Konflik ini ditandai oleh tuntutan sertifikasi di dalam
kawasan yang masih diklaim oleh masyarakat bukan sebagai kawasan
hutan. Sementara itu, kerusakan hutan yang tinggi, pembiaran illegal
logging dan kecurigaan warga Rempek akan terjadinya pengusiran warga
dari tempat tinggalnya melalui ”dalih” pelaksanaan program kehutanan di
kawasan hutan telah menyebabkan komunikasi dan implementasi program
pembangunan kehutanan terhenti. Seiring dengan diimplementasikannya
program Kemitraan Kehutanan di wilayah ini, kurangnya komunikasi
dalam implementasi program tersebut telah pula menyebabkan terjadinya
perpecahan di tengah masyarakat antara masyarakat yang mendukung dan
masyarakat yang tidak. Kegiatan FGD di Desa Rempek disajikan pada
Gambar 5.
Gambar 5. Kegiatan FGD di Desa Rempek
Di lain pihak, klaim sebagai kawasan hutan terhadap areal yang
telah dinyatakan sebagai wilayah desa telah menyebabkan terjadinya
benturan kepentingan pembangunan antara desa dan pihak kehutanan di
wilayah ini. Tuntutan pengembangan desa ini terus mengemuka dan
merupakan issu yang tidak dapat dielakkan seiring dengan perkembangan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 477
sosial masyarakat desa yang ada. Dengan kondisi yang ada tersebut, hasil
FGD di Desa Rempek menghasilkan beberapa opsi penanganan konflik
yang ada, sebagai berikut:
- Penataan ulang batas kawasan hutan. Batas kawasan hutan perlu
ditetapkan di luar wilayah desa, termasuk di wilayah pengembangan
desa yang meliputi empat dusun, yaitu Dusun Jelutung, Kuripan, Busur,
dan Dusun Busur Barat. Jika tuntutan tersebut terpenuhi, tokoh-tokoh
masyarakat menjamin tidak akan terjadi perluasan penggunaan hutan
tanpa ijin di luar wilayah tersebut. Lebih jauh, tokoh-tokoh tersebut juga
menjamin kelestarian dan terlaksananya program pembangunan
kehutanan di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang terletak di
kawasan hutan di atas wilayah sengketa.
- Selama kegiatan penaatan batas ulang tersebut belum dilakukan,
penanganan kasus illegal logging khususnya yang dilakukan oleh
masyarakat secara tradisional (untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari)
di kawasan hutan berkonflik cukup dilakukan di tingkat desa dan tidak
perlu ditempuh melalui jalur hukum.
- Pelaksanaan program kemitraan kehutanan ke depan cukup difokuskan
di kawasan hutan yang terletak di atas batas gegumuk. Adapun program
yang telah terlanjur dilaksanakan di bawah batas gegumuk tetap
diperbolehkan untuk dilanjutkan. Selain itu, program-program
pembangunan kehutanan perlu difokuskan terhadap penanganan
sumber-sumber air yang kondisinya semakin mengkhawatirkan baik
dari kualitas maupun debitnya. Terkait dengan tuntutan tersebut, akan
dibentuk peraturan desa yang mengatur mengenai perlindungan mata air
dan sumber-sumber air lainnya.
IV. KESIMPULAN
1. Tuntutan lokal akan manfaat hutan tidak terlepas dari kenyataan
buruknya kondisi hutan dan pengelolaannya, kebutuhan hidup yang
semakin meningkat, serta meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
lahan budidaya seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan
penduduk. Untuk mengakomodasikan tuntutan tersebut, diperlukan
peningkatan komunikasi, kerjasama, keberpihakan dan pembinaan
478| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
masyarakat. Seiring dengan meningkatnya pemahaman masyarakat
terhadap nilai manfaat hutan, tanggung jawab bersama terhadap
kelestarian dan peningkatan manfaat hutan perlu dikembangkan.
2. Untuk mengatasi tingginya tuntutan sertifikasi atas lahan hutan,
diperlukan pembenahan terhadap penguasaan dan kepatutan penguasaan
hutan, dan perbaikan pengelolaan hutan serta akomodasi kepentingan
para pihak terkait lahan hutan dan sumberdayanya. Sementara itu,
penegakan hukum diperlukan untuk meningkatkan keberlanjutan
pengelolaan serta menangani penyimpangan dalam implementasi
pengelolaan hutan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buckles, D. (ed.). 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in
Natural Resource Management. International Development
Research Centre-World Bank Institute. International Development
Research Centre. Canada.
Herrera, A., dan M.G. da Passano. 2006. Land Tenure Alternative Conflict
Management. Food and Agriculture Organization of The United
Nations (FAO). Rome.
Kusumanto, T., E. L. Yuliani, P. Macoun, Y. Indriatmoko dan H. Adnan.
Belajar Beradaptasi: Bersama-sama Mengelola Hutan di Indonesia.
Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.
Larson, A. M. 2013. Hak tenurial dan akses ke hutan: Manual pelatihan
untuk penelitian. Center for International Forestry Research
(CIFOR). Bogor.
Mayers, J., E. Morrison, L. Rolington, K. Studd dan S. Turrall. 2013.
Improving governance of forest tenure: a practical guide.
Governance of Tenure Technical Guide No.2, International
Institute for Environment and Development, and Food and
Agriculture Organization of the United Nations. London dan
Roma.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 479
Midgley, T. dan M. Garred. 2013. Bridging the Participation Gap:
Developing Macro Level Conflict Analysis through Local
Perspective. Policy and Practice Paper. World Vision. UK.
Mukarom, M. 2013. Progres Masalah Tenurial dan Upaya Penanganannya
pada KPH Rinjani Barat. Bahan presentasi pada Rapat Koordinasi
Fasilitasi dan Mediasi Permasalahan Tenurial Di KPHL Rinjani
Barat. Mataram, 4-5 Juli 2013.
The Puget Sound Consortium for Manufacturing Excellence. 2005. A
Guide For Planning, Organizing, and Managing Focus Groups.
Publikasi online pada: http://www.shoreline.edu/pscme/reports/
Y4/FocusGroupGuide.pdf. diakses 24/1/2014.
480| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PEMILIHAN JENIS DAN PEMBAGIAN PERAN DALAM
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT BERBASIS HHBK
Eva Fauziyah1, Nugraha Firdaus
2, dan Sanudin
1
1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestri, Jl Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis
Jawa Barat, 46201 2 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu, Jl. Dharma Bhakti No.
7, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat NTB
E-mail: [email protected], [email protected]
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Saat ini hutan rakyat lebih banyak dikelola dengan sistem agroforestri, karena
umumnya kepemilikan lahan terbatas dan adanya keinginan pemilik untuk
mengoptimalkan hasil dari hutan rakyat. Oleh karena itu seringkali ditemui
lahan hutan rakyat tidak didominasi oleh tanaman kayu melainkan juga
tanaman non kayu. Kondisi ini juga berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat
yang tidak hanya dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala keluarga tetapi juga
melibatkan anggota keluarga lain terutama perempuan. Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh informasi mengenai jenis tanaman penyusun hutan rakyat
dan pembagian peran dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian dilakukan di
Desa Kemawi Kecamatan Somagede dan di Desa Baseh Kecamatan
Kedungbanteng Kabupaten Banyumas pada bulan April-Mei 2013. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah FGD (Focus
Group Discussion), wawancara, dan observasi lapang. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis
tanaman kayu yang dominan dipilih untuk ditanam di Desa Kemawi adalah
pinus dan akasia, sedangkan di Desa Baseh adalah waru, ganitri dan sengon.
Tanaman non kayu yang banyak ditanam di lahan hutan rakyat di Desa
Kemawi adalah kelapa, pala, kopi, sereh, laos, dan kunyit, sedangkan di Desa
Baseh adalah kelapa dan singkong. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara
bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. Namun peran perempuan pada
pengelolaan tanaman non kayu terlihat lebih besar dibandingkan pada
pengelolaan tanaman kayu. Peran laki-laki lebih banyak pada kegiatan yang
membutuhkan tenaga, sedangkan perempuan pada kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan kesabaran dan ketelatenan seperti kegiatan pemeliharaan, panen,
dan pasca panen.
Kata kunci: hutan rakyat, jenis tanaman, pembagian peran, laki-laki,
perempuan
I. PENDAHULUAN
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 481
Kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan petani khususnya di
Jawa lebih banyak mengelola hutan rakyat dengan sistem agroforestri.
Petani berupaya mengoptimalkan hasil dari hutan rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan keluarga baik jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang. Oleh karena petani tidak hanya menanami lahannya
dengan tanaman kayu melainkan juga berbagai jenis tanaman non kayu.
Pemilihan jenis tanaman merupakan aspek yang sangat penting
diperhatikan, agar hutan rakyat dapat memberikan hasil yang tinggi secara
ekonomi. Jenis tanaman non kayu kadangkala mendominasi hutan rakyat
karena dinilai lebih menguntungkan dibandingkan jika lebih banyak
menanam tanaman kayu.
Pemilihan jenis tanaman dan pengelolaan hutan rakyat tidak hanya
dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala keluarga tetapi juga melibatkan
anggota keluarga lain terutama istri/perempuan. Keterlibatan laki-laki dan
perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat tentu berbeda sesuai dengan
porsinya. Artinya ada peran gender dalam pengelolaan hutan rakyat. Peran
gender menurut Meliala (2006) adalah perilaku yang diajarkan pada setiap
masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan
aktivitas, tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan
perempuan dan laki-laki. Terdapat tiga peran dalam rumahtangga yaitu
reproduktif, produktif, serta pengelolaan masyarakat yang oleh Sajogyo
(1993) dikategorikan sebagai peran yang terkait dengan kedudukan
perempuan: yaitu berturut-turut sebagai isteri atau ibu rumahtangga,
sebagai pencari nafkah dan sebagai anggota masyarakat.
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, persifatan, kedudukan,
tanggungjawab dan hak perilaku baik perempuan maupun laki-laki yang
dibentuk, dibuat, dan disosialisasikan oleh norma, adat, kebiasaan, dan
kepercayaan masyarakat setempat (Puspitawati, 2012). Menurut Hartomo
(2007), gender pada dasarnya membahas permasalahan perempuan dan
laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat agar terjadi keadilan dan
kesetaraan. Sedangkan menurut Handayani dan Sugiarti (2002), gender
terkait dengan sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh faktor sosial maupun budaya sehingga timbul beberapa
anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan.
482| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Bentukan tersebut misalnya laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan
perkasa, sedangkan perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah
lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara relasi gender adalah
hubungan laki-laki dan perempuan berkaitan dengan pembagian peran yang
dijalankan masing-masing pada berbagai tipe dan struktur keluarga
(Puspitawati, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi
mengenai jenis tanaman penyusun hutan rakyat dan pembagian peran
dalam pengelolaan hutan rakyat. Penelitian ini menarik dilakukan karena
didalamnya memperhatikan faktor gender baik dalam pemilihan jenis
tanaman maupun pengelolaan hutan rakyat, sementara penelitian
sebelumnya lebih banyak melihat dari sisi kepentingan ekonomi, ekologi
dan sosial.
II. METODE
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Kemawi Kecamatan Somagede dan
Desa Baseh Kecamatan Kedungbanteng Kabupaten Banyumas. Waktu
penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Mei 2015.
B. Metode Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data
primer dikumpulkan melalui wawancara, Focus Group Discussion (FGD),
dan observasi lapang. Wawancara dilakukan terhadap petani yang
mengelola hutan rakyat dengan jumlah 20 orang di Desa Kemawi dan 20
orang di Desa Baseh. FGD dilakukan terhadap petani di masing-masing
desa, dengan membagi menjadi dua kelompok diskusi yaitu kelompok laki-
laki dengan jumlah 7 orang dan kelompok perempuan dengan jumlah 7
orang. Pembagian kelompok ini untuk mempermudah melihat peran laki-
laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Adapun diskusi pada
FGD meliputi kondisi umum hutan rakyat di lokasi penelitian dan
pemilihan jenis tanaman sesuai dengan kriteria yang disepakati bersama
dengan memberikan skoring 1-5 untuk setiap kriteria. Observasi lapang
dilakukan untuk melihat kondisi hutan rakyat yang dikelola oleh petani.
Data sekunder diperoleh dari perguruan tinggi, kantor pemerintah desa dan
instansi terkait lainnya.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 483
C. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan tabulasi dan dianalisis secara
deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Kemawi dan Desa Baseh
Pola tanam hutan rakyat yang ditemui dilokasi penelitian meliputi
pola monokultur, polikultur dan campuran (agroforestri). Pada umumnya
petani di lokasi penelitian mengelola hutan rakyat dengan sistem
agroforestri. Hutan rakyat agroforestri yang ditemui ada dua macam yakni
yang didominasi oleh tanaman berkayu dan ada yang didominasi oleh
tanaman non kayu baik berupa tanaman buah atau lainnya.
Pola tanam agroforestri lebih banyak dipilih oleh petani sebagian
besar karena alasan ekonomi dan keberlanjutan pendapatan. Petani menilai
dengan menanan tanaman non kayu yang dapat diambil buah atau hasil lain
bukan kayu lebih menguntungkan karena biaya tanam hanya sekali saja
tetapi hasilnya bisa dinikmati dalam jangka yang panjang. Widyaningsih,
Diniyati, dan Fauziyah (2012) menyebutkan beberapa alasan petani
mengelola kebunnya dengan sistem agroforestri yaitu dengan pola
agroforestri terdapat pola keberlanjutan dan keberagaman penghasilan serta
menghasilkan tanaman jangka pendek, menengah, dan panjang. Kusumedi
et al. (2010) juga mneyebutkan faktor ekonomi merupakan prioritas petani
dalam pemilihan jenis tanaman di hutan rakyat, dimana yang menjadi
pertimbangan diantaranya adalah mudah dipasarkan, mempunyai harga jual
tinggi, memenuhi standar bahan baku industri sawmill (untuk kayu), dan
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Menurut Simon (1995) dalam Kusumedi et al. (2010) aspek penting
yang perlu diperhatikan terkait dengan pemilihan jenis tanaman di hutan
rakyat yaitu : sesuai dengan keadaan iklim, jenis tanah dan kesuburan tanah
serta sifat fisik wilayah (aspek lingkungan); cepat menghasilkan dan mudah
dibudidayakan oleh masyarakat (aspek sosial); dan menghasilkan
komoditas yang mudah dipasarkan dan memenuhi bahan baku industri
(aspek ekonomi).
484| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Jenis tanaman yang banyak dikembangkan di lahan petani di kedua
lokasi sangat beragam. Dengan memperhatikan lima kriteria yaitu
kecocokan dengan tanah, umur tanaman ekonomis, kemudahan
pengelolaan, kemudahan pemasaran, dan serangan hama penyakit, jenis
tanaman yang dipilih dan banyak dikembangkan di lokasi penelitian seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemilihan jenis tanaman kayu di lokasi penelitian
Rangking Desa Kemawi Desa Baseh
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 Pinus Akasia Waru, Ganitri Sengon
2 Mahoni.
Akasia, Jati
Mahoni,
pinus
Mahoni,
Sengon merah
Mahoni
3 Alba, jabon Alba Suren Akasia
4 Jabon Sengon putih Jabon
5 Jati
Sumber : Data primer, 2013
Tabel 2. Pemilihan jenis tanaman non kayu di lokasi penelitian
Rang
king
Desa Kemawi Desa Baseh
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 Kelapa,
pala
Pala,
melinjo,
kopi, sereh,
laos, kunyit
Kelapa Kelapa, singkong
2 Kapulaga Kapulaga Cengkeh,
salak
Melinjo, pisang
3 Cengkeh Kelapa, jahe Jengkol Kapulaga, alpukat,
talas
4 Lada, pete Durian Salak, rambutan
5 Jengkol Kopi, coklat Jengkol
6 Melinjo Pete Cengkeh, durian
7 Pete Sumber: Data primer, 2013
Dari tabel 1 dan 2 terlihat tanaman kayu yang dominan di Desa
kemawi adalah pinus dan akasia, sedangkan di Desa Baseh adalah waru,
ganitri dan sengon. Tanaman non kayu yang banyak ditanam oleh petani di
Desa Kemawi adalah kelapa, pala, melinjo, kopi, sereh, laos dan kunyit,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 485
sedangkan di Desa Baseh adalah kelapa dan singkong. Terdapat beberapa
perbedaan dalam prioritas pemilihan jenis tanaman antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini berkaitan dengan pandangan dan keterlibatan laki-laki
dan perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Secara umum petani
menganggap tanaman non kayu (HHBK) merupakan komponen penting
yang harus ada di hutan rakyat. Di Desa Kemawi pala dan kelapa
merupakan hasil hutan rakyat yang bernilai ekonomi tinggi karena tanaman
tersebut dapat menghasilkan pendapatan yang rutin dan dapat tumbuh
dalam jangka waktu yang panjang. Kopi juga menjadi pilihan petani
karena memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan stabil meskipun hanya
dapat dipanen sekali dalam setahun.
Di Desa Baseh kelapa dan singkong banyak ditanam karena bisa
memberikan pendapatan yang rutin, sedangkan singkong banyak ditanam
karena kemudahan membudidayakannya. Salak sebetulnya banyak ditanam
oleh petani di Desa Baseh, namun harga salak yang tidak stabil dan
budidaya yang harus intensif, menjadikan petani mulai beralih menanam
tanaman lain yang juga dapat dikembangkan di hutan rakyat seperti
kapulaga.
Pengelolaan hutan rakyat di kedua lokasi memiliki banyak kesamaan
dalam setiap tahapannya. Penyediaan bibit sebagian besar dilakukan
dengan cara membeli bibit dari pasar atau pedagang keliling, hanya
sebagian kecil yang membibitkan sendiri. Persiapan lahan diawal-awal
penamanan sebagian besar dilakukan oleh petani, namun setelah hutan
rakyat terbentuk sistem cemplongan lebih sering diterapkan oleh petani,
yaitu dengan langsung membuat lubang tanam dan hanya membersihkan
rumput di sekitar lubang tanam.
Pemeliharaan terhadap hutan rakyat cenderung tidak intensif, tetapi
sebagian besar petani melakukan pemeliharaan meskipun hanya
seperlunya. Kegiatan yang hampir tidak dilakukan oleh sebagian besar
petani adalah penyemprotan hama penyakit tanaman (HPT) karena
keterbatasan biaya. Hal ini pula yang menyebabkan petani lebih banyak
melakukan pemupukan tanaman hanya di awal tanam dengan pupuk
kandang. Tanaman yang masih sering dipupuk di hutan rakyat saat ini
adalah kelapa dan cengkeh terutama jika setelah buahnya di panen.
486| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kegiatan pemanenan tanaman kayu hampir 100% diborongkan
dengan sistem tebang pilih karena dianggap lebih praktis dan mudah.
Berbeda dengan tanaman non kayu yang berupa pohon seperti kelapa, pala
atau cengkeh, selain diborongkan beberapa petani juga melakukan
pemanenan sendiri. Setelah dipanen buah yang dihasilkan juga biasanya
diberi perlakuan terlebih dahulu sebelum dijual seperti dikeringkan melalui
penjemuran. Baik di Desa Kemawi maupun di Desa Baseh masih jarang
petani yang mengolah hasil non kayu dari hutan rakyat karena masih
terbatasnya pengetahuan dan modal. Bahkan tidak jarang petani menjual
buah seperti cengkeh, pala atau kapulaga dalam bentuk basah agar hasil
berupa uang segera diterima.
Pemasaran kayu maupun non kayu sebagian besar dilakukan secara
individu tanpa ada peran serta kelompok tani. Kelompok tani berperan
sebagai wadah berbagi informasi dan pengetahuan serta tempat
pembelajaran petani pada aspek budidaya terutama pembibitan. Pemasaran
kayu maupun non kayu di lokasi penelitian tidak mengalami kendala.
Petani biasanya menjual ke bandar/tengkulak yang ada di desa atau dari
luar desa yang datang ke rumah/kebun petani.
Tabel 3. Pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian
No Uraian Desa Kemawi Desa Baseh
1 Pemilihan
dan
penyediaan
bibit
- Berdasarkan keinginan
- Bibit dibeli dari pasar,
pedagang keliling, bantuan
pemerintah, dengan tinggi
50-100 cm
- Berdasarkan keinginan
sendiri
- Bibit dibeli dari pasar
(80%), anakan (10%),
membibitkan sendiri (10%),
tinggi bibit 40-60 cm
2 Persiapan
lahan dan
Penanaman
Sebanyak 35% petani
menerapkan sistem
cemplongan
65% melakukan
pembersihan lahan,
pembuatan lubang tanam,
pemberian pupuk dasar
Sebanyak 24% petani
menerapkan sistem
cemplongan
76 % melakukan
pembersihan lahan,
pembuatan lubang tanam,
pemberian pupuk dasar
3 Pemelihara
an
- Semua petani melakukan
pembersihan
gulma/rumput secara
manual, hanya 5% yang
kadangkala menggunakan
- Sebagian besar petani
(100%) melakukan
pembersihan gulma
dilakukan manual
- Pemupukan menggunakan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 487
No Uraian Desa Kemawi Desa Baseh
obat kimia
- Pemupukan menggunakan
pupuk kandang saja,
adapula yang
menggunakan pupuk
kandang dan kimia (18%)
- Pemupukan dilakukan
diawal tanam, selanjutnya
sesuai dengan kebutuhan
- Hanya ada 5% petani yang
melakukan penyemprotan
HPT
- 100 % petani melakukan
penyulaman jenis tanaman
yang sama atau berbeda
- 76 % melakukan
penjarangan untuk
tanaman yang jelek/besar
- 42% melakukan
pemangkasan
pupuk kandang
- Pemupukan dilakukan
diawal tanam
- Tidak ada petani yang
melakukan penyemprotan
HPT
- Sebanyak 95% petani
melakukan penyulaman
- 77% petani melakukan
penjarangan untuk tanaman
yang jelek (terkena
penyakit)
- 33% melakukan
pemangkasan
4 Pemanenan - Untuk tanaman kayu
pemanenan dilakukan
secara tebang pilih sistem
diborongkan ke pembeli
- Untuk tanaman non kayu
dilakukan sendiri atau
mengupahkan
- Untuk tanaman kayu
pemanenan dilakukan
secara tebang pilih, sistem
diborongkan ke pembeli
- Untuk tanaman non kayu
pemanenan dilakukan
sendiri dan atau
mengupahkan
5 Pasca
panen
- Tidak ada pengolahan
pasca panen untuk
tanaman kayu
- Pengolahan pasca panen
dilakukan terhadap
beberapa jenis tanaman
non kayu
- Tidak ada pengolahan pasca
panen untuk tanaman kayu
- Pengolahan pasca panen
dilakukan terhadap
beberapa jenis tanaman non
kayu
6 Pemasaran Pemasaran dilakukan secara
individu melalui bandar di
dalam desa, luar desa atau
ke pasar (tanaman nonkayu)
Pemasaran dilakukan secara
individu melalui bandar di
dalam desa, luar desa atau ke
pasar (tanaman non kayu)
Sumber : Data primer, 2013
B. Pembagian peran dalam pengelolaan hutan rakyat
Pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu kegiatan produktif
petani di kedua lokasi penelitian. Terlebih kedua desa sebagian besar
488| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
berupa lahan kering, sehingga usaha hutan rakyat menjadi sumber mata
pencaharian utama. Dalam keluarga pada umumnya laki-laki atau suami
bertanggung jawab dalam mencari nafkah, sehingga kegiatan usahatani
menjadi tanggung jawab laki-laki. Sementara perempuan lebih banyak
berperan dalam kegiatan domestik. Puspitawati dan Fahmi (2008)
menyebutkan pembagian peran dalam tugas keluarga memperlihatkan
untuk kegiatan yang berhubungan dengan pengaturan keuangan dan rumah
tangga, mengurus anak dan rumahtangga, dan aktivitas sosial lebih banyak
dilakukan oleh perempuan, sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan
pekerjaan publik (mencari nafkah) lebih banyak dilakukan oleh laki-laki
(suami). Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usaha tani
dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan.
Bernard et al. (1998) mengemukakan bahwa terjadi disparitas
pembagian kerja pada usahatani ladang antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki menyumbang sebesar 458 jam (47,32%) sedangkan perempuan
sebesar 510 jam (52,68%). Proses pengambilan keputusan umumnya
dipengaruhi oleh dominasi keterlibatan pada setiap tahap sistem usahatani
yang dilakukan.
Pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan
rakyat terlihat dalam setiap tahapan pengelolaan hutan rakyat seperti
terlihat pada Tabel 4 dan 5. Baik di Desa Kemawi maupun Desa Baseh
laki-laki sangat terlihat perannya pada kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan tenaga besar dan kegiatan yang memerlukan pengambilan
keputusan strategis seperti persiapan lahan (pembersihan lahan,
penggemburan lahan, pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk dasar,
penyulaman, penyemprotan HPT), pemanenan dan pemasaran. Perempuan
juga banyak terlibat pada kegiatan pemupukan setelah tanam dan
pembersihan rumputk karena kegiatan ini tidak begitu berat namun
membutuhkan ketelatenan.
Secara keseluruhan pada Tabel 4 dan 5 terlihat peran perempuan
terlihat lebih banyak dalam pengelolaan tanaman non kayu daripada
tanaman kayu. Perempuan terlibat banyak sejak persiapan tanam sampai
dengan pemasaran, bahkan untuk kegiatan pasca panen tanaman non
perempuan dinilai lebih banyak terlibat dibanding laki-laki. Pemanenan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 489
tanaman non kayu yang berupa buah, getah, biji atau umbi-umbian lebih
mudah dan ringan sehingga tidak sulit bagi perempuan untuk
melakukannya. Selain itu pemanenan beberapa jenis tanaman non kayu
yang sulitpun biasanya dilakukan oleh pembeli misalnya kelapa, sehingga
petani hanya perlu menunjukkan pohon mana saja yang akan dijual.
Penjualan tanaman non kayu juga biasanya dilakukan di rumah atau
di warung terdekat sehingga sangat memungkinkan perempuan yang
melakukan penjualan karena tidak harus mengangkut hasil panen. Namun
demikian secara umum pengambilan keputusan untuk menjual hasil panen
baik kayu maupun non kayu dan pelaksanaannya dilakukan secara
bersama-sama dengan prosentase yang berbeda.
Tabel 4. Penilaian peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan
rakyat di Desa Kemawi
No Kegiatan
Prosentase peran
Penilaian kelompok laki-
laki
Prosentase Peran
Penilaian kelompok
perempuan
Tanaman
Kayu
Tanaman
Non Kayu
Tanaman
Kayu
Tanaman
Non Kayu
L P L P L P L P
1. Penentuan jenis
tanaman 80 20 50 50 60 40 30 70
2. Persiapan lahan
a. Pembersihan
lahan (babad) 70 30 60 40 50 50 50 50
b. Penggemburan
lahan
(cangkul)
90 10 90 10 90 10 90 10
c. Pembuatan
lubang tanam 100 0 100 0 100 0 70 30
d. Pemupukan
(pupuk dasar) 80 20 80 20 70 30 50 50
e. Pembuatan ajir 100 0 - - 100 0 - -
3. Penanaman 90 10 90 10 90 10 50 50
4. Pemeliharaan
a. Penyulaman 100 0
10
0 0 90 10 50 50
b. Pemupukan 90 10 90 10 50 50 50 50
490| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
c. Pembersihan
rumput 70 30 70 30 50 50 50 50
d. Penyemprotan
HPT 100 0 100 0 100 0
10
0 0
e. Pemangkasan 100 0 - - 100 0 70 30
f. Penjarangan 100 0 - - 100 0 50 50
5. Pemanenan 100 0 - - 80 20 50 50
6. Pasca panen - - 0 100 - - 40 60
7. Pemasaran 100 0 50 50 70 30 30 70
Sumber : Data primer, 2013
Tabel 5. Penilaian peran laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan
rakyat di Desa Baseh
No Kegiatan
Prosentase peran
Penilaian kelompok
laki-laki
Prosentase Peran
Penilaian kelompok
perempuan
Tanaman
Kayu
Tanaman
Non Kayu
Tanaman
Kayu
Tanaman
Non Kayu
L P L P L P L P
1. Penentuan
jenis tanaman 80 20 100 0 90 10 30 70
2. Persiapan lahan
a. Pembersiha
n lahan
(babad)
100 0 100 0 100 0 50 50
b. Penggembu
ran lahan
(cangkul)
100 0 100 0 90 10 90 10
c. Pembuatan
lubang
tanam
100 0 100 0 80 20 80 20
d. Pemupukan
(pupuk
dasar)
100 0 100 0 80 20 80 20
e. Pembuatan
ajir 100 0 100 0 100 0 - -
3. Penanaman 100 0 0 100 70 30 30 70
4. Pemeliharaan
a. Penyulama
n 100 0 0 100 100 0 0 100
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 491
b. Pemupukan 100 0 0 100 100 0 0 100
c.
Pembersihan
rumput
80 20 25 75 50 50 50 50
d. Penyempro
tan HPT 100 0 100 0 - - 100 0
e.
Pemangkasan 100 0 - - 100 0 - -
f. Penjarangan 100 0 - - 100 0 - -
5. Pemanenan 100 0 80 20 100 0 0 100
6. Pasca panen - - 50 50 - - 0 100
7. Pemasaran 100 0 50 30 100 0 50 50
Sumber : Data primer, 2013
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Jenis tanaman kayu yang banyak dipilih untuk ditanam petani di Desa
Kemawi adalah pinus dan akasia, sedangkan di Desa Baseh adalah
waru, ganitri dan sengon. Tanaman non kayu yang banyak ditanam di
lahan hutan rakyat di Desa Kemawi adalah kelapa, pala, kopi, sereh,
laos, dan kunyit, sedangkan di Desa Baseh adalah kelapa dan singkong.
2. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara bersama-sama oleh laki-laki
dan perempuan. Pengelolaan tanaman kayu lebih banyak dilakukan
oleh laki-laki, sementara untuk pengelolaan tanaman non kayu lebih
banyak dilakukan oleh perempuan. Peran laki-laki lebih banyak pada
kegiatan yang membutuhkan tenaga, sedangkan perempuan pada
kegiatan-kegiatan yang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan seperti
pada kegiatan pemeliharaan, panen, dan pasca panen.
492| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
B. Keterbatasan
Penilaian pembagian peran dalam pengelolaan hutan rakyat dalam
penelitian ini diperoleh dari hasil diskusi kelompok dalam bentuk
prosentase. Penilaian tersebut akan lebih jelas apabila disertai dengan
penghitungan alokasi tenaga kerja laki-laki dan perempuan di hutan rakyat
dan membandingkannya dengan alokasi tenaga kerja petani di sektor yang
lain (di luar hutan rakyat).
C. Saran
Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara bersama-sama antara
laki-laki dan perempuan sesuai dengan porsinya masing-masing dapat
menjadi pertimbangan bagi praktisi maupun pengambil kebijakan untuk
melibatkan keduanya secara proporsional dalam program atau kegiatan
yang berkaitan dengan hutan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard B. D., Chasana E. dan Bachmid S. 1998. Perspektif Gender pada
Sistem Usahatani Ladang Suatu Studi di Desa Kabiarat Tanibar
Selatan, Maluku Tenggara. JPPTP 1(1) : 69 -79.
Handayani dan Sugiarti. 2002. Teknik Penelitian Berorientasi Gender.
UMM Press. Malang.
Hartomo, W. 2007. Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif
Gender di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Disertasi.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak
diterbitkan.
Kusumedi, P., E. Irawan, N. Haryanti, dan PB. Putra. 2010. Sistim
Agroforestri Hutan Rakyat dalam Mendukung Pengelolaan DAS
Berkelanjutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Solo. Tidak diterbitkan.
Meliala, A.D.S. 2006. Pembagian Kerja Gender dalam Rumah Tangga
Petani Pedagang tanaman Hias (Kasus Sentra Bunga Dukuh
Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kelurahan Tawangmangu,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 493
Kabupaten Karanganyar, Solo, Jawa Tengah). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan.
Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di
Indonesia. PT IPB Press. Bogor.
Puspitawati, H. dan SA. Fahmi. 2008. Analisis Pembagian Peran dalam
Keluarga Petani. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol. 1 No.2
Tahun 2008 :1-10.
Sajogyo, P, 1993. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa.
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta.
Widyaningsih, T. S., D. Diniyati, dan E. Fauziyah. 2012. Manajemen
Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Makalah dalam Prosiding Seminar Nasional Kesehatan Hutan dan
Kesehatan Pengusahaan Hutan untuk Produktivitas Hutan tanggal 14
Juni 2012 di Bogor, hal 381-392. Pusat Litbang Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 495
PENINGKATAN PRODUKTIFITAS BUDIDAYA GAHARU
MELALUI PEMBENTUKAN BATANG GANDA DAN
TEKNIK PERMUDAAN
Agus Sofyan, Imam Muslimin
Peneliti Pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang
Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Puntikayu Palembang
Tlp. 0711-414864, E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang saat ini mulai banyak
dikembangkan. Perkembangan teknologi melalui inokulasi buatan bisa
menghasilkan gaharu dengan kuantitas dan kualitas yang baik. Hal ini
mendorong semakin berkembangnya pembangunan pohon gaharu dalam
bentuk budidaya tanaman, sehingga tidak lagi tergantung pada alam. Tanaman
gaharu mempunyai sifat toleran (membutuhkan naungan), maka budidayanya
dapat dilakukan dengan pola tanam campur. Pemanenan gaharu dapat
dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan system batang ganda yang
bisa dibentuk sejak awal budidaya. Permudaan pohon gaharu dapat dilakukan
dengan tebang habis dan pemeliharaan terubusan yang dinilai lebih efektif dan
efisien dalam membangun tanaman gaharu baru.
Kata kunci: Gaharu, budidaya, polatanam, batangganda, pemanenan,
permudaan
I. PENDAHULUAN
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang
bernilai ekonomi sangat tinggi. Selain dapat meningkatkan devisa negara,
gaharu juga berperan sebagai sumber penghasilan masyarakat yang tinggal
di sekitar hutan. Menurut Suharti (2010), Indonesia merupakan produsen
gaharu terbesar di dunia dan mempunyai beberapa jenis pohon penghasil
gaharu yang tumbuh endemik. Saat ini, eksploitasi gaharu banyak
dilakukan di hutan alam dan menjadi semakin tidak terkendali. Hal ini
mengakibatkan jenis-jenis tanaman penghasil gaharu menjadi semakin
langka dan produksi gaharu menjadi sangat menurun.Untuk melindungi
jenis-jenis tanaman penghasil gaharu, CITES sejak tahun 2004 telah
menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam
496| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dengan memasukkan Aquilaria spp dan Gyrinops sp dalam daftar
tumbuhan Appendix II CITES.
Tingginya permintaan dan harga gaharu di pasar internasional serta
semakin langkanya tanaman penghasil gaharu di hutan alam, telah
mendorong masyarakat di berbagai daerah untuk melakukan budidaya
tanaman pengahasil gaharuseperti di Jambi, Riau, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan (Squidoo, 2008 dalam Suharti,
2010). Melalui pembudidayaan tanaman penghasil gaharu, diharapkan
produksi gaharu sebagai komoditas eksport dapat terus berkelanjutan.
Selain itu, secara langsung ataupun tidak langsung merupakan langkah
nyata dalam usaha untuk mengkonservasi jenis-jenis tanaman penghasil
gaharu yang sudah mulai langka.
Pengembangan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk kebun atau
hutan tanaman mempunyai prospek yang sangat potensial untuk
diwujudkan, baik ditinjau dari sumber daya lahan, ketersediaan materi atau
bahan bibit serta keragaman jenis yang kita miliki. Hal ini juga ditunjang
oleh teknik budidaya tanaman gaharu yang dapat dikatakan relatif mudah.
Namun demikian, untuk memperoleh produktivitas gaharu yang maksimal
(kuantitas maupun kualitas), dukungan dari berbagai aspek khususnya
teknik budidaya sertateknik produksi (inokulasi) dalam pembentukan
gaharu harus terus dilakukan.
Makalah ini menyajikan informasi tentang tanaman penghasil dan
produk gaharu, budidaya serta teknik pembentukan batang ganda dalam
budidaya tanaman penghasil gaharu, mulai pada tingkat bibit maupun
tingkat lapang saat penanaman. Informasi ini sangat bermanfaat bagi
pengelola tanaman penghasil gaharu khususnya masyarakat petani gaharu
untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi gaharu.
II. Mengenal Tanaman Penghasil Gaharu dan Gaharu
Gaharu merupakan produk hasil hutan bukan kayu berupa hasil
endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi tanaman
terhadap pelukaan atau infeksi penyakit yang disebabkan oleh jamur atau
jasad renik lainnya (Santoso dkk., 2010). Sementara itu, Siran (2010)
mengemukakan bahwa gaharu jika dilihat dari bentuk atau
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 497
wujudnyamerupakan produk berbentuk gumpalan padat berwarna coklat
sampai hitam, beraroma harum, terdapat pada bagian kayu atau akar
tanaman inangnya (tanaman yang dapat menghasilkan gaharu), yang telah
mengalami proses perubahan fisik dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis
jamur.
Indonesia memiliki lebih dari 27 jenis tanaman penghasil gaharu
yang tersebar di beberapa pulau diantaranya Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.Beberapa tanaman penghasil
gaharu yang populer diusahakan di Indonesia yaitu Aquilaria malaccensis,
A. microcarpa, A. filaria, A. cumingiana dan Gyrinops (Santoso dkk.,
2012).Tanaman penghasil gaharu tidak selalu mengandung atau
menghasilkan gaharu, karena jika tanaman tidak terinfeksi oleh cendawan
atau mikroorganisme lain yang dapat membentuk gaharu maka tanaman
tersebut tidak mengandung gaharu.
Gaharu mempunyai beberapa nama penting dalam perdagangan
internasional seperti karas, jinkoh, kresna, agarwood, eaglewood, aleowood
dan oudh. Komoditas gaharu yang diperdagangkan bentuknya cukup
beragam, antara lain berbentuk bongkahan, dekorasi dalam bentuk patung
atau ukiran, tasbih, hio, chip, serbuk serta minyak gaharu. Berbagai produk
gaharu atau berbahan baku gaharu yang selama ini diperdagangkan
umumnya berasal dari hasil produksi yang berasal darigaharu alam.
Produksi gaharu alam mempunyai kuantitas dan kualitas hasil yang
tidak bisa diperkirakan, karena memang pembentukan gaharu secara
alamiah diserahkan oleh faktor-faktor pembentuk alami. Melalui
perkembangan teknologi, saat ini proses pembentukan gubal gaharu melalui
mekanisme induksi atau inokulasi jamur secara artifisial telah banyak
dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sofyan dkk., (2010)
melakukan pengujian beberapa inokulan (isolat) jamur dari berbagai
provinsi di Indonesia pada berbagai kondisi lahan dan pola tanam di
wilayah Sumatera Bagian Selatan. Hasil kegiatan tersebut menunjukkan
bahwa inokulan yang digunakan (isolat dari Jambi, Gorontalo, Papua, Babel
dan Kaltim) menunjukkan terbentuknya gaharu pada semua lokasi uji dan
telah menimbulkan bau harum sebagai indikator utama terbentuknya
gaharu.
498| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
III. Pola Tanam Dalam Budidaya Gaharu
Produksi gaharu Indonesia mengalami perkembangan yang
signifikan dan diimbangi dengan peningkatan kuota produksi di
perdagangan Internasional. Siran (2010) mengemukakan bahwa untuk jenis
A. malaccensis, pada tahun 2007 Indonesia bisa merealisasikan produksi
sebesar 79% dari kuota sebesar 30.000 ton dan realisasinya meningkat
menjadi 100% dengan kuota yang sama pada tahun 2008. Sedangkan pada
tahun 2009 terjadi peningkatan kuota sebesar 173.250 ton dan terealisasi
sebesar 43% (Siran, 2010). Data dan informasi ini merupakan peluang dan
sekaligus tantangan bagi pengusahaan gaharu untuk dapat memenuhi kuota
produksi yang ada.
Tanaman gaharu mempunyai potensi dan prospek yang sangat baik
bila dikembangkan sebagai komoditas yang dibudidayakan. Beberapa nilai
penting dari pengembangan budidaya gaharu adalah: a. budidaya
merupakan wujud dari pelestarian jenis tanaman penghasil gaharu,
mengingat beberapa jenis sudah termasuk dalam kategori langka, b.
permintaan pasar dan harga yang masih tinggi, sementara pasokan gaharu
terbatas, c. berbuah sepanjang tahun, pembiakan generatif relatif mudah dan
regenerasi alami masih tinggi, d. sudah dikuasainya teknologi rekayasa
produksi gaharu yang menjamin kuantitas dan kualitas produksi.
Budidaya gaharu melalui pembangunan tanaman rakyat sudah mulai
banyak dikembangkan di beberapa daerah. Salah satu poin penting dalam
budidaya gaharu adalah pemanfaatan sifat pertumbuhan gaharu yang
“toleran” atau butuh naungan. Sumarna (2008) dalam Santoso dkk., (2012)
mengemukakan bahwa tanaman penghasil gaharu (A. malaccensis dan A.
microcarpa) tumbuh baik pada suhu 20-27oC, kelembaban nisbi 78-85%
dan intensitas cahaya 56-75%.
Sifat “toleran” dari tanaman gaharu bukan berarti bahwa tanaman
gaharu membutuhkan naungan secara mutlak dan tanaman gaharu yang di
tanam pada tempat terbuka tidak bisa tumbuh. Hasil pengamatan yang
dilakukan oleh Muslimin (2010), pertumbuhan tanaman gaharu yang di
tumpangsarikan dengan tanaman cabe, pada tahap awal pertumbuhannya,
tanaman gaharu menerima cahaya matahari dengan intensitas yang rendah
(ternaungi cabe), setelah tinggi tanaman gaharu melebihi tinggi tanaman
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 499
cabe, maka tanaman gaharu menerima cahaya matahari penuh. Dalam
sistem tanam gaharu seperti ini, tanaman gaharu secara tidak langsung
memperoleh suplai nutrisi yang banyak pada saat pemupukan tanaman cabe
dilakukan. Pertumbuhan tanaman gaharu pada umur 1 tahun mempunyai
tinggi sebesar 111,91cm dan diameter sebesar 21,35mm. Hal ini
mengindikasikan bahwa sifat toleransi pada tanaman gaharu bukanlah
merupakan faktor yang utama dalam pertumbuhan tanaman gaharu. Pada
periode-periode tertentu (awal penanaman) tanaman gaharu membutuhkan
naungan dan dengan aplikasi teknik pemupukan yang tepat ternyata juga
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan normal.
Pola tanam gaharu sistem monokultur dengan “keharusan”
pemberian naungan pada tahap awal pertumbuhannya juga bisa dilakukan
secara langsung di lapangan dengan “memodifikasi’ sistem penyiapan
lahannya, khususnya pada lahan yang bervegetasi semak dan perdu
(misalnya alang-alang). Sistem penyiapan lahan tidak perlu dilakukan
secara total, tetapi cukup dengan sistem pembukaan jalur pada arah utara-
selatan, sehingga tanaman gaharu tidak terkena cahaya matahari secara
langsung dan masih ternaungi oleh tanaman yang ada di sepanjang jalur
yang tidak dibersihkan. Sistem lain adalah dengan menggunakan
cemplongan/piringan, dimana lahan yang dibersihkan hanya pada bagian
yang tertanami gaharu saja. Tanaman yang berada di luar piringan dibiarkan
yang sekaligus berfungsi sebagai naungan pada tanaman gaharu. Konsep
modifikasi sistem tanam ini memerlukan persyaratanyaitu ukuran bibit
gaharu yang digunakan harus sudah cukup besar dari standar bibit yang
digunakan pada penanaman sebagai tanaman campuran. Penggunaan bibit
yang besar diharapkan mempunyai daya adaptabilitas yang tinggi pada
lokasi penanaman dan mempunyai ketahanan dan daya saing tinggi dengan
tanaman lain dalam hal persaingan unsur hara dan tempat tumbuh.
Konsep budidaya tanaman gaharu dalam pola tanam yang lebih
sederhana dan menguntungkan adalah pola tanam campur dengan
memanfaatkan sifat “toleran” (butuh naungan) dari tanaman gaharu.
Beberapa keuntungan dari budidaya tanaman gaharu dengan pola tanam
campur adalah:
500| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
1. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal sebagaimana tanaman gaharu
yang tumbuh pada kondisi alaminya. Tanaman gaharu yang di tanam
secara terbuka membutuhkan “perlakuan khusus” untuk memperoleh
pertumbuhan yang normal seperti: pemupukan yang tepat ataupun
sistem penyiapan lahan yang khusus (jalur dan cemplongan).
2. Meningkatkan produktifitas lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh
(spasial).
3. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan
tanaman utama karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun
mempunyai kontribusi nilai ekonomi yang bisa jadi lebih tinggi dari
nilai tanaman utamanya.
4. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur, maka elemen biaya
pembuatan tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan
dalam budidaya tanaman gaharu hanya sebatas biaya pengadaan bibit,
penanaman dan pemanenan. Sedangkan biaya untuk penyiapan lahan
dan pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman utama.
5. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola
tanam campur (lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas
ekosistem serta mempunyai variasi produksi dalam suatu lahan
pengelolaan, sebagai salah satu strategi antisipasi dampak buruk
perubahan pasar.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Tanaman gaharu yang ditanam dengan cabe (a), ditanam di
semak belukar (b) dan tanaman campur dengan karet (c)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 501
Pola tanam gaharu dengan sistem campur sudah banyak dilakukan
pada beberapa daerah dan jenis yang berbeda. Pola tanam campur antara
tanaman karet dengan A. malaccensis terdapat di Kabupaten Banyuasin,
Musi Rawas-Sumatera Selatan dan Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan
dkk., 2010), campuran Aquilaria spp dengan tanaman karet atau kakao
terdapat di Propinsi Bengkulu (Wiriadinata dkk., 2010), sedangkan
campuran antara tanaman karet dengan A. microcarpa terdapat di
Sarolangun-Jambi (Wiriadinata, 2004 dalam Wiriadinata dkk., 2010).
Tumpangsari antara Gyrinops versteegii dengan coklat, jagung dan
singkong terdapat di Rarung-Nusa Tenggara Barat (Surata dan Soenarno,
2011). Campuran antara tanaman sungkai dengan gaharu di Kabupaten
Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010). Penanaman A. malaccensis dengan
kelapa sawit terdapat di Kabupaten Rokan Hulu-Riau (Suhartati dan
Wahyudi, 2011).Campuran antara gaharu dengan vanili terdapat di Luwu
Utara-Sulawesi Selatan (Subehan dkk., 2005). Pengelolaan tanaman gaharu
pada lahan hutan yang didominasi oleh tanaman pohon (meranti, mahoni,
pulai, khaya) dan tanaman buah (melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai,
dan nangka)terdapat di KHDTK Carita Banten, Jawa Barat (Suharti, 2010).
IV. Pembentukan Batang Ganda Tanaman Penghasil Gaharu
Produksi gaharu merupakan kuantitas dari batang tanaman gaharu
yang mengandung endapan resin dan beraroma harum. Dalam produksi
gaharu baik dari hasil hutan alam dan inokulasi buatan, tidak seluruh
bagian batang kayu mengandung endapan resin dan beraroma harum.
Indikator utama dari keberhasilan pembentukan gaharu yang bisa
ditengarai secara visual adalah adanya perubahan dari warna batang
tanaman gaharu yang sebelumnya berwarna putih menjadi berwarna coklat
dan kehitaman. Sehingga dimungkinkan terdapat bagian-bagian batang
tertentu yang tidak berubah warna dan bagian-bagian ini harus dihilangkan
melalui kegiatan “ekstraksi” atau “pengerokan”. Sehingga hasil yang
didapatkan adalah murni bagian batang tanaman gaharu yang mengandung
endapan resin saja dan beraroma harum. Dengan demikian batang pokok
tanaman gaharu merupakan modal dasar dalam budidaya tanaman gaharu,
502| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dimana asumsinya semakin besar batang pokok gaharu maka juga semakin
besar pula hasil yang akan di dapatkan.
Dalam hubungannnya dengan batang pokok, tidak semua
pertumbuhan tanaman gaharu mempunyai batang tunggal yang lurus dan
dengan batang bebas cabang yang tinggi. Kondisi pertumbuhan tanaman
gaharu dengan batang ganda (lebih dari 2 batang pokok) ditemukan di
daerah Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan (Sofyan dkk., 2010).
Munculnya batang ganda pada tanaman gaharu ini salah satunya
dimungkinkan disebabkan oleh penanaman gaharu pada tempat yang
terbuka, sedangkan tanaman gaharu yang ditanam di bawah naungan
cenderung membentuk batang tunggal dengan batang bebas cabang yang
tinggi (Muslimin, 2010).
Pertumbuhan tanaman gaharu dengan jumlah batang pokok yang
lebih dari satu sebenarnya mempunyai beberapa keuntungan bila
dibandingkan dengan tanaman gaharu yang hanya mempunyai satu batang
pokok. Tanaman gaharu batang ganda umumnya mempunyai jumlah
batang 2-5 batang dengan rerata pertumbuhan diameter pohon yang lebih
besar bila dibandingkan dengan diameter pohon yang mempunyai batang
pokok tunggal/ individual. Penampilan batang ganda dengan jumlah 3
batang mempunyai ukuran diameter yang relatif sama, namun bilamana
jumlah batang lebih dari 3 umumnya batang ke 4 dan 5 mempunyai ukuran
diameter yang lebih kecil (Sofyan dkk., 2010).Semakin besar diameter
batang pokok, maka luas bidang dasar batang yang bisa di inokulasi juga
semakin besar, sehingga nantinya hasil yang di dapatkan juga semakin
besar.
Keuntungan lain dari adanya batang ganda ini adalah berhubungan
dengan pengaturan proses produksi dan memperkecil tingkat resiko
kegagalan inokulasi. Proses inokulasi dapat dilakukan secara bertahap,
misalnya bilamana terdapat batang pokok berjumlah 3 maka inokulasi
dapat dilakukan dengan 3 tahapan waktu yang berbeda. Karena waktu
inokulasi yang berbeda, maka proses pemanenan juga dapat dilakukan pada
waktu yang berbeda-beda. Pemanenan pada waktu yang berbeda-beda
menjamin kontinuitas produksi tanaman gaharu yang di dapatkan dan
berdampak pada pendapatan yang berkelanjutan. Adanya waktu inokulasi
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 503
dan kegiatan pemanenan yang berbeda-beda ini secara tidak langsung akan
memperkecil resiko tingkat kegagalan. Bilamana proses inokulasi
mengalami kegagalan pada suatu batang, maka masih terdapat batang lain
dalam pohon yang sama yang bisa diinokulasi sebagai pengganti inokulasi
pada batang yang gagal tersebut.
Terdapat beberapa cara untuk mendapatkan tanaman gaharu dengan batang
pokok ganda yaitu:
1. Secara alamiah melalui penanaman pada tempat terbuka (Muslimin,
2010). Tanaman gaharu yang ditanam pada tempat terbuka menerima
cahaya matahari yang berlebihan, sehingga umumnya pertumbuhan
apikal (pucuk) tanaman muda terhambat dan kadangkala mati. Matinya
bagian pucuk tanaman ini secara langsung akan memacu pertumbuhan
tunas samping menjadi batang pokok baru yang biasanya lebih dari dua
batang pokok (Gambar 2a.)
2. Batang pokok ganda juga dapat dibentuk pada saat tanaman gaharu
berada di persemaian. Saat bibit dipelihara di persemaian, dilakukan
pemotongan batang dengan menggunakan gunting stek ataupun pisau,
diharapkan dari perlakuan ini muncul tunas baru dengan jumlah yang
banyak. Tunas baru ini akan tumbuh menjadi batang pokok ganda.
Keuntungan dari perlakuan pembentukan batang ganda yang dilakukan
saat di persemaian adalah bibit dengan batang ganda mempunyai cukup
waktu untuk beradaptasi, dengan jumlah batang yang lebih banyak dan
pada saat nantinya di tanam di lapangan, masing-masing batang ganda
dapat tumbuh dengan normal dan mempunyai ukuran yang lebih
seragam (Gambar 2b.)
3. Pembentukan batang ganda juga dapat dilakukan secara langsung pada
saat tanaman di lapangan. Prinsip kerjanya sama dengan pembentukan
batang ganda saat di persemaian. Tanaman gaharu di lapangan yang
sudah mapan, kemudian dilakukan pemotongan batang untuk
memperoleh terubusan baru sebagai bakal batang pokok baru dengan
jumlah yang lebih banyak. Pemotongan batang pokok harus dilakukan
pada saat musim penghujan dan pada ketinggian beberapa cm dari
permukaan tanah (50-60cm) agar terubusan cepat tumbuh dan tidak
504| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
mengalami evapotranspirasi yang berlebihan. Dalam ilmu kehutanan
kegiatan semacam ini disebut sebagai pollarding (Gambar 2c.)
4. Tanaman gaharu tua yang telah dipanen dan meninggalkan bekas
potongan (tunggul), maka biasanya pada batang bekas pemotongan
tersebut muncul terubusan dengan jumlah yang banyak. Pengelola
tanaman gaharu dapat memilih beberapa terubusan saja yang dipelihara
dan dijadikan sebagai tanaman baru. Dalam ilmu kehutanan kegiatan
semacam ini disebut sebagai coppicing.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. Pembentukan batang ganda gaharu dengan penanaman di laha
terbuka (a), perlakuan saat di persemaian (b), perlakuan saat tanaman di
lapangan (c) dan penampilan tanaman gaharu dewasa dengan batang ganda (d).
V. Teknik Permudaan Melalui Terubusan
Permudaan tanaman gaharu dimaksudkan untuk membentuk
tanaman gaharu yang baru setelah kegiatan pemanenan dilakukan.
Permudaan tanaman gaharu dapat dilakukan secara alami dan buatan.
Permudaan secara alami tanaman gaharu dapat dilakukan dengan
melakukan perawatan terhadap anakan gaharu yang potensinya sangat
banyak di sekitar pohon gaharu tua. Permudaan secara alami ini
mempunyai kelemahan yaitu penyebaran tanaman gaharu tidak bisa kita
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 505
atur secara sistematis, sehingga terkadang akan menyulitkan dalam
pengelolaan tahap berikutnya.
Permudaan secara buatan dapat dilakukan dengan melakukan
penanaman bibit gaharu yang sebelumnya telah mengalami pembesaran
dan adaptasi di persemaian. Permudaan buatan dengan cara ini tentu saja
membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit, namun memberikan
keleluasaan pada pengelola tanaman untuk dapat mengatur tanaman baru
yang akan ditanam sesuai dengan tujuan pengelolaan.
Teknik permudaan lain yang banyak diaplikasikan di negara-
negara maju dan merupakan teknik permudaan buatan yang sudah sejak
lama diterapkanadalah permudaan dengan pemeliharaan terubusan (coppice
system). Teknik coppice system banyak diterapkan di beberapa negara
maju, seperti Prancis, Italy, Inggris, Turkey, Spanyol dan Bulgaria, dimana
hampir 16% dari seluruh area hutan menggunakan coppice system untuk
suplai kayu (UN/ECE-FAO, 2000dalam Bottalicodkk., 2014). Dari luas
lahan hutan sebesar 10,5 juta ha di Italy, 58% diantaranya menggunakan
coppice system (INFC, 2005dalam Bottalicodkk., 2014). Menurut Ciancio
dan Nocentini (2004), jenis-jenis yang umumnya menggunakan permudaan
dengan coppice systemantara lain adalah Oaks (Quercus cerrisL., Quercus
pubescensWilld, Quercus ilexL.), sweet chestnut (Castanea sativaMiller)
dan beech (Fagus sylvaticaL.).
Di Indonesia, aplikasi permudaan tanaman dengan teknik
pemeliharaan terubusan juga telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman,
khususnya tanaman yang dikelola oleh rakyat yaitu pada tanaman jati
(Pramono dkk., 2010) dansengon (Sandra, 2011). Mansur (2012)
mengemukakan bahwa beberapa daerah di Indonesia juga telah melakukan
teknik terubusan yaitu di Jawa Barat pada jenis sengon, suren hutan dan
kayu afrika; di Kabupaten Konawe-Sulawesi Tenggara pada tanaman jati
rakyat dan di Kebumen-Jawa Tengah pada tanaman sono keling yang
tumbuh di kebun rakyat.
Beberapa rangkaian kegiatan dalam teknik coppice system ini
adalah sebagai berikut: a). pemanenan kayu di lakukan sampai menyisakan
tunggak yang hampir rata dengan tanah, b).terubusan akan muncul pada
tunggak bekas tebangan dengan jumlah yang relatif banyak, c). diperlukan
506| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
kegiatan penjarangan untuk mengurangi trubusan yang ada dan
meninggalkan beberapa terubusan saja yang mempunyai penampilan
terbaik, d). untuk memperoleh trubusan dengan pertumbuhan yang kokoh
maka trubusan yang muncul dekat dengan permukaan tanah sebaiknya
dilakukan penimbunan dengan tujuan agar pada bagian pangkal trubusan
yang tertimbun tersebut tumbuh akar baru yang nantinya dapat mendukung
pertumbuhan dan perkembangan trubusan.
Teknik permudaan dengan coppice system ini sangat
memungkinkan untuk diaplikasikan pada tanaman gaharu dengan berbagai
pertimbangan yaitu:
1. Tahap awal pertumbuhan trubusan biasanya relatif lebih cepatkarena
adanya dukungan ketersediaan cadangan makanan di dalam akar,
konsentrasi sitokinin yang tinggi dan tidak adanya penghambatan
auksin (Sandra, 2011).
2. Permudaan tanaman dengan pemeliharaan terubusan akan menghemat
biaya pembuatan tanaman karena secara otomatis anggaran yang
dibutuhkan hanya sebatas pada pemeliharaan terubusan saja.
3. Trubusan yang muncul pada coppice system biasanya lebih dari satu,
sehingga pengelola dapat mengaplikasikan penggunaan sistem batang
ganda yang sengaja dibentuk sejak awal pembuatan tanaman.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan
permudaan tanaman gaharu dengan pemeliharaan trubusan adalah berkaitan
dengan teknik inokulasi batang pohon induk yang telah dilakukan.
Inokulasi merupakan upaya untuk meng-infeksi batang pokok tanaman
gaharu dengan memasukkan mikroorganisme (jamur, bakteri) agar tanaman
menjadi “sakit” dan bereaksi terhadap “sakit” tersebut dengan membentuk
endapan resin. Sehingga bilamana kita menginginkan “tunggul” bekas
pemanenan tersebut bisa menghasilkan trubusan, maka tunggul tersebut
harus dalam kondisi hidup dan tidak terinfeksi oleh mikroorganisme yang
di inokulasikan. Salah satu cara yang mungkin untuk dilakukan adalah
melakukan kegiatan inokulasi batang pokok bagian bawah harus relatif
lebih jauh dari permukaan tanah, sehingga perkembangan infeksi
mikroorganisme tidak sampai mematikan akar dan batang bagian bawah
tanaman.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 507
VI. PENUTUP
Teknologi inokulasi buatan pada tanaman penghasil gaharu
terbukti mampu untuk meningkatkan produksi gaharu baik kuantitas
maupun kualitas. Pengembangan budidaya gaharu dapat dilakukan dengan
pola tanam campur yang memanfaatkan sifat toleran tanaman. Modal dasar
utama produksi gaharu adalah batang pokok gaharu yang akan diinokulasi.
Batang pokok gaharu dapat digandakan melalui perlakuan mulai dari
persemaian atau saat di tanam di lapangan (pollarding). Permudaan buatan
dengan pemeliharaan terubusan (coppice system) merupakan salah satu
teknik permudaan yang bisa di aplikasikan pada gaharu untuk menekan
biaya pembuatan tanaman dan membentuk batang ganda.
DAFTAR PUSTAKA
Bottalico, F., D. Travaglini, G. Chirici, M. Marchetti, E. Marchi, S. Nocentini
dan P. Corona. 2014. Classifying Silvicultural System (coppices vs. High
forests) in Mediterranean oak forests by Airborne Laser Scanning Data.
European Journal of Remote Sensing-2014, 47:437-460.
Doi:10.5721/EuJRS20144725.
Ciancio O., S. Nocentini. 2004. The coppice forest. Silviculture, regulation,
management. In: Ciancio O., Nocentini S., Il bosco ceduo. Selvicoltura,
assestamento, gestione. Accademia Italiana di Scienze Forestali, Firenze,
Italy, pp. 679-701.
Mansur, I. 2012. 5 Prospek Pengembangan Jabon Untuk Mendukung
Pengembangan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-
Hasil Penelitian “Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat),
Konservasi dan Rehabilitasi Hutan”. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
IPB Press.
Muslimin, I. 2010. Pertumbuhan Tanaman Karas (Aquilaria malaccensis Lamk)
di KHDTK Kemampo: Tinjauan Aspek Naungan. Prosiding Workshop
Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman. Kementerian Kehutanan.
Puslitbang Peningkatan Produktifitas Tanaman Hutan. Bogor.
Pramono, A. A., M. A. Fauzi, N. Widyani, I. Heriansyah, J. M. Roshetko. 2010.
Pengelolaan Hutan Jati Rakyat: Panduan Lapangan Untuk Petani. CIFOR.
Bogor. Indonesia.
S andra, E. 2011. Sumbang Pemikiran Teknologi Tunggul Pada Pohon Sengon.
http://eshaflora.blogspot.com/2011/09/sumbang-pemikiran-teknologi-
tunggul.html. Diakses tanggal 12 September 2014.
508| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono,
A.Y.P.B.C. Widyatmoko, R.S.B. Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo,
Rahman, A. Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master Plan Penelitian dan
Pengembangan Gaharu Tahun 2013-2023. Kementerian Kehutanan.
Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmullah.,
A. Yani, Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu
(Induction Technology of Eaglewood). Info Hutan. Volume VII. Nomor 2,
Tahun 2010.ISSN 1410-0657. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam. Bogor.
Siran, S. A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat “Perkembangan Pemanfaatan Gaharu”. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan
Peningkatan Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai bahan Obat di
Sumatera. Laporan Hasil Penelitian Program insentif Peningkatan
Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kementerian Kehutanan. Balai
Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
Subehan, J.U., F. Hiroharu, A. Faisal, and K. Shigetoshi. 2005. A Field Survey
of Agarwood in Indonesia. Journal of Traditional Medicine 22: 244-251.
Suhartati, A. Wahyudi. 2011. Pola Agroforestry Tanaman Penghasil Gaharu
dan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8
No. 4:363-371, 2011.
Suharti, S. 2010. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat . Info Hutan Vol. VII No. 2:141-154,2000.
Surata, I. K., Soenarno. 2011. Penanaman gaharu (Gyrinops verstegii (Gilg.)
Domke) Dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:349-
361, 2011.
Wiriadinata, H., G. Semiadi, D. Darnaedi, E. B. Waluyo. 2010. Konsep
Budidaya gaharu (Aquilaria spp.) di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam Vol. VII No. 4:371-380, 2010.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 509
PRODUKSI KEMIRI DI DESA AIKPERAPA-KECAMATAN AIKMEL
(KABUPATEN LOMBOK TIMUR) DAN DESA KALATE-
KECAMATAN RAIMAU (KABUPATEN BIMA)
Dewi Maharani1, Nurul Wahyuni
2, Saptadi Darmawan
2
1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry
Jln. Raya Ciamis – Banjar Km. 4 PO.BOX 5 Ciamis 46201 2 Balai Penelitian Teknologi HHBK,
Jl. Karya Bhakti No.7 Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat
Telp. (0370) 6573874, Fax (0370) 6573841
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Kemiri (Aleurites mollucana Wild) merupakan komoditas Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) yang termasuk dalam kelompok pohon penghasil minyak lemak
terutama dari bijinya. Manfaat kemiri cukup beragam, selain biji dan kayunya,
tempurung biji kemiri pun dapat dimanfaatkan misalnya untuk arang dan bahan
campuran pembuatan papan serat. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan
pengamatan dan pengukuran produksi kemiri. Metode penelitian dilakukan
dengan survey dan pengukuran langsung di lapangan. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa produksi kemiri di 2 lokasi menunujukkan rata-rata
produksi tertinggi dihasilkan oleh pohon dengan kelas diameter lebih dari 50
cm dan umur lebih dari 20 tahun yaitu mencapai lebih dari 9 kg/minggu/pohon
(di Lombok Timur) 4.01 kg/minggu/pohon (di Bima), sedangkan produksi
tempurung kemiri pada bulan Nopember di kedua lokasi tersebut rata-rata
mencapai 2 kg dari 3 kg biji kemiri utuh. Pemanfaatan kemiri di Kab. Lotim
cukup beragam diantaranya kayunya dimanfaatkan untuk papan digesting,
bijinya untuk dijual dan/atau dimanfaatkan untuk bumbu serta tempurungnya
untuk bahan bakar omprengan tembakau, sedangkan di Kab. Bima tempurung
kemiri belum dimanfaatkan.
Kata Kunci: produksi, kemiri, tempurung, arang.
I. PENDAHULUAN
Kemiri (Aleurites mollucana Wild) merupakan komoditas Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang termasuk dalam kelompok pohon
penghasil minyak lemak (Permenhut, 2007). Minyak kemiri dapat
digunakan sebagai bahan dasar misalnya untuk minyak cat, pembuatan
sabun, kertas tahan air, pernis, dan minyak rambut (Heyne, 1987; Duke,
510| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
1983). Menurut Hendra dan Darmawan (2007) pohon kemiri merupakan
jenis pohon serbaguna, hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan
dengan produk utama kemiri isi. Biji kemiri selain menghasilkan minyak
juga biasa digunakan sebagai bumbu, pada pola agroforestry kemiri sering
digunakan sebagai pohon penahan angin dan untuk stabilisasi kondisi tanah
(Elevitch and Manner, 2006). Berat jenis kayu kering udara 0,31 dengan
kelas awet V dan kelas kuat IV, dapat dibuat kayu lapis,peti, korek api, dan
peralatan rumah tangga karena mempunyai sifat pengerjaan yang mudah
(Anonim (1981) dalam Wibowo, 2007). Lebih lanjut dijelaskan kulit biji
(cangkang) dapat dimanfaatkan untuk bahan obat nyamuk bakar dan arang.
Ampas dari pengolahan minyak dapat digunakan untuk pakan ternak dan
pupuk tanaman karena mengandung unsur NPK yang cukup tinggi. Pada
proses pemecahan kemiri dihasilkan limbah berupa tempurung kemiri yang
belum dimanfaatkan secara optimal, dimana berat tempurung kemiri
mencapai 2/3 dari berat biji kemiri utuh sedangkan 1/3 berupa inti biji
(karnel). Limbah berupa tempurung kemiri tersebut dapat dimanfaatkan
optimal salah satunya sebagai bahan produk arang aktif (Hendra dan
Darmawan, 2007). Begitupun yang dijelaskan oleh Darmawan, et. al.
(2010) arang tempurung kemiri dapat dimanfaatkan sebagai campuran
bahan papan partikel dan papan serat kerapatan sedang (medium density
fiberboard/MDF).
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah
penyebaran alami dan daerah penghasil kemiri sejak tahun 1920-an
(Heyne, 1987). Menurut Data Statistik Dinas Kehutanan Provinsi NTB
Tahun 2006 daerah produsen kemiri terdapat di Kabupaten Bima dengan
produksi puncak terjadi pada tahun 2004 mencapai 216,68 ton sedangkan
produksi di NTB pada tahun tersebut mencapai 2.150 ton (Rosman dan
Djauhariya, 2009). Belum terdatanya produksi kemiri di NTB secara baik
maka akan sulit memprediksi potensi yang ada. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan produktivitas kemiri.
II. METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Mei hingga Desember 2009,
berlokasi di Dusun Aikperapa, Desa Aikmel Utara, Kecamatan Aikmel,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 511
Kabupaten Lombok Timur serta di Dusun Kalate, Desa Riamau,
Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima. Pengukuran produksi dilakukan
dengan cara mengambil sampel pohon kemiri berdasarkan kelompok kelas
diameter. Dari pohon terpilih tersebut kemudian diamati berapa banyak
kemiri yang dihasilkan. Selanjutnya untuk mengetahui jumlah dan sebaran
pohon kemiri akan dilakukan dengan cara mengambil data sekunder dari
beberapa instansi. Pengamatan dilakukan dengan cara menimbang berat
buah dan berat tempurung dari setiap sampel pohon dalam setiap jangka
waktu satu bulan sehingga akan diketahui produksi dan produktivitas
kemiri untuk setiap pohonnya.
Data dan informasi lain yang dikumpulkan pada penelitian ini
diantaranya umur pohon, diameter batang dan tajuk, tinggi pohon, status
kepemilikan lahan dan pohon kemiri, pemanfaatan dan pemasarannya,
harga jual kemiri, analisa usaha tani serta pemanfaatan tempurung kemiri
oleh masyarakat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Produksi Kemiri
Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Propinsi NTB dan
Dishutbun Kab. Lombok Timur, bahwa pohon kemiri di P. Lombok pada
saat ini banyak terdapat menyebar di lahan masyarakat dan tidak
mengelompok sehingga data produksi tidak tercatat dan potensinya mulai
berkurang. Di Kab. Lombok Timur daerah yang terkenal sebagai penghasil
kemiri adalah sekitar Kecamatan Aikmel, akan tetapi setelah survey
lapangan dan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa
potensi kemiri di daerah tersebut mengalami penurunan akibat banyaknya
pohon kemiri yang ditebang untuk dimanfaatkan kayunya. Kayu kemiri
disamping digunakan sebagai papan digesting (untuk pengecoran
bangunan) juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan omprongan
tembakau yaitu sebagai kayu bakar. Hal ini didukung dengan harga kayu
yang lebih mahal dibandingkan dengan harga buahnya. Pohon yang
berdiameter ± 85 cm harganya mencapai 3 juta rupiah, sedangkan buahnya
hanya dihargai Rp 15.000,-/sekali panen atau Rp 100,-/5 biji kemiri
bertempurung. Sedangkan produksinya dari setiap pohon tidak dapat
512| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
diketahui karena sistem penjualan diborongkan di pohon pada waktu
musim panen atau dipungut secara perorangan. Berdasarkan hal tersebut
untuk mengetahui produksi biji kemiri dari setiap pohon maka diambil
beberapa sampel pohon dengan dikelompokkan pada 3 kelas diameter
berbeda seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Sampel pohon kemiri untuk pengukuran produksinya
No.
No. Pohon
& Kelas
Diameter
Keliling
batang
(cm)
Diameter
batang
(Ø=cm)
Diameter
Tajuk (m)
T.tot
(m)
T.bc
(m) Keterangan
Aikperapa, Aikmel Utara, Lombok Timur
I Ø ≥ 60 cm
1 1 270 85.99 18.25 24 12 umur ± > 20 tahun
2 2 344 109.55 23.75 28 umur ± > 20 tahun
3 7 200 63.69 13.35 16 umur ± > 20 tahun
II 50 cm ≤ Ø ≤ 60 cm
4 3 168 53.50 12.35 23 10 umur ± 8 tahun
5 4 173 55.10 12.6 20.5 6.5 umur ± > 10 tahun
6 8 180 57.32 13.8 20 umur ± > 10 tahun
III Ø ≤ 50 cm
7 5 130 41.40 13.65 26.5 13 umur ± 7 tahun
8 6 154 49.04 12.85 24 9 umur ± 7 tahun
9 9 115 36.62 13 15 11 umur ± 7 tahun
Kalate, Riamau, Bima
I Ø > 50 cm umur > 20 tahun
10 1 176 56.05 15.85 14 5
11 2 171 54.46 15.1 20 5.8
12 9 105+110
33.44+
35.03 11.7 13.75 4.2 2 pohon
II 30 cm < Ø ≤ 50 cm
10 tahun < umur <
20 tahun
13 3 125 39.81 10.15 12 6
14 4 140 44.59 11.23 12.25 1.25
15 5 136 43.31 11.94 14.5 1
III Ø ≤ 30 cm umur 5 tahun
16 6 88 28.03 8.58 9.5 1
17 7 81 25.80 7.55 11 1.5
18 8 86 27.39 9.5 12 2.5
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 513
Berdasarkan Tabel 1. di atas diketahui bahwa pohon sampel
berumur lebih tua mempunyai diameter batang lebih besar dibanding pohon
kemiri berumur lebih muda. Lokasi sampel pohon kemiri di Kabupten
Lombok Timur (Lotim) berada di Dusun Aikperapa, Desa Aikmel Utara,
Kecamatan Aikmel (Gambar 1.). Pohon kemiri di P. Lombok selain
dimanfaatkan kayu dan inti bijinya, tempurung bijinya pun dimanfaatkan
sebagai bahan bakar untuk oven tembakau. Pasokan tempurung kemiri
selain dari P. Lombok sendiri juga didatangkan dari Kab. Sumbawa.
Berbeda dengan Kab. Lotim, produksi kemiri di Kab. Bima cukup
tercatat dengan baik seperti yang tertera di Tabel 2. di bawah ini.
Tabel 2. Data Produksi Kemiri di Kabupaten Bima
No. Tahun Jenis HHBK
Kemiri (Ton)
1. 2004 216.683
2. 2005 62.000
3. 2006 3.800
4. 2007 3.050
5. 2008 127.000
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Bima, 2009.
Berdasarkan Tabel 2., Kabupaten Bima merupakan salah satu
daerah penghasil biji kemiri yang potensial. Hal ini terlihat dari
produksinya pernah melimpah (tahun 2004), walaupun tahun berikutnya
mengalami fluktuasi. Lokasi penyebaran pohon kemiri di Kab. Bima selain
di Kec. Riamau terdapat di 3 kecamatan lainnya yaitu Parado, Wawo, dan
Donggo seperti dijelaskan pada Tabel 3. di bawah ini.
Tabel 3. Data lokasi Penyebaran dan Prakiraan Kemiri di Kabupaten Bima
Lokasi Penyebaran Prakiraan Potensi Keterangan
Desa Kec. Potensi Luas (Ha)
Parado Parado 3.000 Kg/Ha 1.850 Htn produksi
Kanca Parado 2.400 Kg/Ha 250 Htn produksi
Riamau Wawo 2.700 Kg/Ha 100 Htn Lindung
Bumi Bajo Donggo 2.560 Kg/Ha 100 Lahan milik
Palama Donggo 2.000 Kg/Ha 50 Lahan milik
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Bima, 2009. Catatan : Perkiraan produksi kemiri
40 – 60 Kg/pohon. Pohon produktif diperkirakan sebanyak 50 – 60/Ha
514| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pohon kemiri di yang berada di Kecamatan Parado berada dalam
kawasan hutan produksi (Kelompok Hutan Tofo Rompu). Kemiri yang
berlokasi di Desa Kanca merupakan hasil dari kegiatan penanaman yang
dilakukan HTI pada tahun 1993, selain kemiri jenis lain yang ditanam yaitu
jati, mahoni, dan sonokeling dengan jarak tanam 10 x 10 m, sedangkan
untuk tegakan kemiri yang berlokasi di Desa Parado merupakan kegiatan
reboisasi dari Dishut Kab. Bima sejak tahun 1968. Bibit kemiri yang
digunakan merupakan bibit lokal dengan jarak tanam 2 x 3 m, sehingga
setelah tinggi pohon banyak yang rubuh dan produksi biji berkurang. Dari
tegakan kemiri tersebut, masyarakat di beri ijin untuk memungut buah
kemiri dan menanam tanaman obat-obatan di bawah tegakan tersebut.
Sistem pemungutan di Desa Parado dilakukan per blok untuk tiap desa.
Dari luasan 1.850 Ha, ijin pemungutan diberikan pada 4 desa yaitu desa
Paradowane dan Rato (Kec. Parado), Kuta dan Lolotangga (Kec. Monta).
Sedangkan tegakan kemiri yang berada di Desa Kanca, ijin pemungutan
hanya untuk penduduk Desa Kanca. Pada lokasi yang berbeda yaitu di Kec.
Donggo tepatnya di Desa Bumi Pajo pohon kemiri yang ada di lokasi ini
merupakan kemiri yang ditanam pada lahan milik sejak tahun 1990. Hal ini
mengakibatkan lebih terukurnya hasil produksi kemiri pada suatu luasan
kawasan milik masing-masing petani. Lokasi pengamatan produksi kemiri
di Kabupaten Bima dilaksanakan di Dusun Kalate, Desa Riamau, Kec.
Wawo. Lokasi ini dipilih karena memiliki keberagaman umur dan diameter
pohon dibandingkan lokasi lainnya (Gambar 1.). Keamanan juga menjadi
faktor yang mendukung dipilihnya lokasi tersebut. Tegakan kemiri di
lokasi ini termasuk dalam kawasan hutan lindung kelompok hutan Gunung
Maria dan merupakan hasil kegiatan reboisasi pada tahun 1994.
Harga buah kemiri yang masih bertempurung di Kab. Bima rata-
rata antara Rp 1.600,- sampai Rp 2000,-/Kg, dengan musim panen raya dari
bulan Oktober – Desember. Sedangkan harga di pasar induk yang berada di
kota Bima buah kemiri yang telah dikupas mencapai Rp 12.500,- sampai
Rp 20.000,-/Kg dan harga buah kemiri belum dikupas/masih ada
tempurung Rp 15.000,-/Kg. Buah kemiri yang dijual di pasar tersebut
dipasok dari Donggo dan P. Sumba (NTT), hal ini diduga disebabkan oleh
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 515
produksi dan kualitas minyak berkurang atau lebih banyak dikirim ke P.
Lombok.
Gambar 1. Kiri: Kemiri di Dsn. Aikperapa (Kab. Lotim); Kanan: Kemiri di
Dsn. Kalate (Kab. Bima)
Data produksi kemiri yang berlokasi di Lombok Timur dimulai
pada bulan September sedangkan untuk di Bima dimulai bulan Oktober.
Berikut hasil pengukuran produksi kemiri dari sampel pohon yang dipilih.
Gambar 2. Grafik produksi kemiri pada 2 lokasi
Berdasarkan Tabel 1. dan Gambar 2. di atas, terlihat adanya
perbedaan pertumbuhan pohon kemiri yang juga berpengaruh pada
produksi buahnya, yaitu di Dusun Kalate (Bima) pertumbuhan pohon
0
2
4
6
8
10
12
I II III
Pro
du
ksi K
em
iri
(Kg/
Min
ggu
)
Kelompok Kelas Diameter Pohon
Aikperapa
Kalate
516| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dengan umur lebih dari 20 tahun baru mencapai diameter > 50 cm,
sedangkan di Dusun Aikperapa dengan umur lebih dari 20 tahun diameter
pohon telah mencapai lebih dari 60 cm. Hal ini diduga karena adanya
perbedaan lokasi serta kondisi lingkungan lokasi tersebut misalnya
perbedaan kondisi curah hujan, jenis tanah dan sebagainya.
Menurut informasi dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan
Informatika Kab. Bima (2008) Dusun Kalate termasuk dalam wilayah Kec.
Wawo dan Kab. Bima yang mempunyai curah hujan tahunan 58.75 mm,
curah hujan tertinggi pada bulan Februari tercatat 171 mm dengan hari
hujan selama 15 hari dan musim kering terutama pada bulan Juli, Agustus
dan September dimana tidak terjadi hujan sehingga dapat disimpulkan
bahwa Kab. Bima termasuk dalam daerah kering sepanjang tahun. Jenis
tanah di Kab. Bima terdiri dari alluvial, komplit regosol, komplit litosol
dan komplit mediteran dimana semuanya menyebar rata di seluruh wilayah.
Kemiringan lahan di Kab. Bima sebagian besar berada pada kemiringan >
40% termasuk Kec. Wawo. Adapun Kab. Lotim memiliki curah hujan rata-
rata sebesar 1882 mm/tahun dengan jumlah hari hujan perbulan 15 hari.
Daerah yang basah pada musim penghujan adalah Kec. Aikmel, Suela,
Sembalun, Masbagik Pringgasela, Montong Gading sedangkan daerah
kering adalah Kec. Keruak dan Jerowaru dengan curah hujan rata-rata
1.080 mm/tahun. Jenis tanah terutama di Kec. Aikmel adalah grumosol dan
berada pada kelerengan lahan 2 – 15 % (BIKD, 2007).
Produktivitas kemiri di Aikperapa (Lotim) pada kelas diameter
kelompok I rata-rata menghasilkan sekitar 9.68 kg/minggu (38.7 kg/bulan),
kelompok II menghasilkan 5.64 kg/minggu (22.54 kg/bulan dengan bulan
Desember tidak terukur); dan kel. III menghasilkan 4.76 kg/minggu (19.05
kg dengan bulan Desember tidak terukur). Sehingga dalam 1 tahun
diperkirakan produksi buah kemiri di dusun Aikperapa dapat mencapai
sekitar 228.48 - 464.64 kg/pohon/tahun, sedangkan dalam 1 ha dari jumlah
pohon yang diukur dan dengan kondisi diameter seperti pada Tabel 1.
produksi buah kemiri dapat diprediksi mencapai 2408.8 kg/ha/bulan atau
28.91 ton/ha/tahun. Perhitungan tersebut menggunakan rumus (Rostiwati,
2008) di bawah ini (dengan syarat pohon berada dalam satu lokasi):
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 517
n
PB = [ ∑ Pbi (i = 1, 2, …. n)]/0.1
i=1
dimana : PB = Produksi buah/biji per Ha
Pbi = Produksi buah/biji pohon ke-i
Produksi kemiri di Bima diukur dari 2 minggu akhir Oktober –
Desember dengan hasil yaitu dari kelas diameter kelompok I rata-rata
sebanyak 4.01 kg/minggu dan bulan Desember tidak berbuah, kelompok II
= 2.89 kg/minggu dengan bulan Desember tidak berbuah; serta kelompok
III menghasilkan rata-rata 3.90 kg/minggu dengan bulan Oktober belum
berproduksi. Sehingga dalam 1 tahun diperkirakan produksi buah kemiri di
dusun Kalate dapat mencapai sekitar 138.72 – 192.48 kg/pohon/tahun,
sedangkan dalam 1 ha dari jumlah pohon yang diukur dan dengan kondisi
diameter seperti pada tabel 1. produksi buah kemiri dapat diprediksi dengan
menggunakan rumus yang sama seperti di atas bisa mencapai 323.2
kg/ha/bulan atau 3.88 ton/ha/tahun. Produktivitas buah kemiri di dusun
Kalate menurut informasi dari Bapak Syamsudin (ketua kelompok tani Toti
Mori) pada tahun 2009 ini relatif lebih rendah dari tahun sebelumnya, hal
ini karena kebiasaan pohon kemiri di lokasi tersebut yang berbuah relatif
naik turun misalnya pada tahun sebelumnya produksi melimpah maka pada
tahun selanjutnya lebih rendah. Sedangkan dilihat dari produksi tempurung
kemiri, di Lotim maupun di Bima pada bulan Nopember menghasilkan
tempurung rata-rata 2 kg dari berat 3 kg biji kemiri bertempurung (1 kg =
rata-rata 80 – 100 biji bertempurung).
Buah kemiri yang dihasilkan dari 200 pohon/ha dilaporkan
mencapai 16 ton/ha/tahun dengan 80 kg/pohon dan sekitar 20% dari hasil
tersebut dapat diekstrak menjadi minyak atau setara dengan 3.2 ton/ha
(Duke, 1983).
B. Analisa Usaha Kemiri
Manfaat kemiri antara lain buah/bijinya selain untuk bumbu dapur
juga minyaknya untuk bahan campuran pembuatan minyak rambut, sabun,
dan sebagainya. Kayunya untuk bahan kerajinan dan bahan bangunan, serta
518| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
tempurung kemirinya untuk arang dan pengganti kayu bakar. Berikut Tabel
4. merupakan hasil analisa usaha kemiri dan bambu yang masih relatif,
artinya di lokasi/tempat lain akan berbeda. Hasil analisa ini juga belum
termasuk analisa usaha minyak kemiri.
Tabel 4. Analisa Usaha Tempurung Kemiri
Uraian Kemiri Satuan Vol Harga
Satuan Jumlah
Asumsi
Lahan milik sendiri luas
minimal 1 Ha dan Lahan
relatif datar
Jarak tanam 8 x 8 m, sehingga
pohon
yang ditanam sebanyak 155
pohon dan untuk kebutuhan
sulaman sebanyak 25%, total
194 pohon
Waktu tanam bulan
Nopember (Lombok)
bulan Desember (Bima)
Mulai berbuah pada umur 4 -
5 tahun
Produksi buah mencapai 20
tahun
Biaya
Produksi Menggunakan biji
3,309,000
Menggunakan bibit jadi
3,988,000
perkiraan biaya produksi/hari
110,300
perkiraan biaya produksi/hari
tanpa
biaya pengupasan
97,383
1. a. Pembibitan dari biji
120,000
Biji (1 kg = 80 butir/biji) =
Rp 2.000,-/kg kg 3 2,000 6,000
Polybag ukuran 20 x 10 cm lembar 300 100 30,000
Paranet meter 2 7,000 14,000
Bambu batang 2 7,000 14,000
Gembor buah 1 35,000 35,000
Pupuk Kandang kg 30 700 21,000
1.b. Pembibitan dari bibit jadi
799,000
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 519
Uraian Kemiri Satuan Vol Harga
Satuan Jumlah
Bibit Kemiri tinggi 30 cm bibit 250 3,000 750,000
Bambu batang 2 7,000 14,000
Gembor buah 1 35,000 35,000
2. Penanaman
1,461,500
3. Pemeliharaan
240,000
4. Pemanenan
1,100,000
5. Pengupasan kg 775 500 387,500
Pendapat
an
Pohon umur 5 tahun
(5 kg/pohon/minggu x 155
pohon)
kg 775 2,000 1,550,000
Harga hasil produksi biji
kemiri/bulan 6,200,000
Pendapatan/hari
206,667
Harga tempurung
kemiri/minggu kg 516 1,000 516,000
Harga tempurung
kemiri/bulan 2,064,000
Pendapatan/hari
68,800
Harga biji kemiri
kupas/minggu kg 258 8,000 2,064,000
Harga biji kemiri kupas/bulan
8,256,000
Pendapatan/hari
275,200
Keuntun
gan
per hari
Dari biji kemiri bertempurung
206,667 - 97,383 109,283
Dari tempurung
kemiri+kemiri kupas
(68,800+275,200)-73,633
233,700
IV. KESIMPULAN
Potensi dan produktivitas kemiri di 2 lokasi menunujukkan rata-
rata produksi tertinggi dihasilkan oleh pohon dengan kelas diameter lebih
dari 50 cm dan umur lebih dari 20 tahun yaitu mencapai lebih dari 9
kg/minggu/pohon (di Lombok Timur) 4.01 kg/minggu/pohon (di Bima),
sedangkan produksi tempurung kemiri pada bulan Nopember di kedua
lokasi tersebut rata-rata mencapai 2 kg dari 3 kg biji kemiri utuh.
520| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
DAFTAR PUSTAKA
BIKD. 2007. Keadaan Geografis Kab. Lombok Timur.
http://www.lomboktimur.go.id/?pilih=hal&id=4
Darmawan, S., D. Maharani, dan N. Wahyuni. 2010. Papan Serat Arang
Tempurung Kemiri Beremisi Formaldehida Rendah. Laporan Hasil
Penelitian Program Insetif DIKTI Tahun 2009. Balai Penelitian
Kehutanan Mataram. Mataram.
Dinas Kehutanan Prov. NTB. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi
NTB Tahun 2006: 45-47. Mataram-NTB.
Dinas Kehutanan Kabupaten Bima. 2009. Data Produksi dan Perkiraan
Penyebaran Hasil Hutan Bukan Kayu di Kabupaten Bima. Bima-
NTB.
Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kab. Bima. 2008.
Karakteristik Wilayah Kab. Bima. http://www.bimakab.go.id/
index.php?pilih=hal&id=7. Diakses tanggal 21 Januari 2010.
Duke, J.A. 1983. Handbook of Energy Crops: Aleurites moluccana (L.)
Willd.unpublished.http://www.hort.purdue.edu/newcrop/
dukeenergy/ Aleurites_moluccana.html#References. Diakses
tanggal 11 Agustus 2009.
Elevitch, C.R., and H.I. Manner. 2006. Aleurites moluccana (kukui), ver.
2.1. In: Elevitch, C.R. (ed.). Species. Profiles for Pacific Island
Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Hōlualoa,
Hawai‘i. http://www.traditionaltree.org. Diakses tanggal 11
Agustus 2009.
Hendra, D., dan Saptadi Darmawan. 2007. Sifat Arang Aktif dari
Tempurung Kemiri. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.25 No.4.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Hyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang
Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Rostiwati, T. 2009. Materi Pengajaran Pelatihan Metodologi Penelitian:
Manajemen Hasil Hutan Bukan Kayu. Tidak Dipublikasikan.
Wibowo. S. 2007. Pengusahaan Kemiri (Aleurites mollucana Wild.) di
Desa Kuala, Tiga Binangana, Tanah Karo. Info Sosio-Ekonomi
Vol. 2 Juni Tahun 2007. 71-77.
Rosman, R. dan E. Djauhariya. 2006. Status Teknologi Budidaya Kemiri.
http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/file/Perkembanga
n%20TRO/edsusvol18no2/1KEMIRI.pdf. Diakses tanggal 12
November 2014.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 521
APLIKASI FUNGISIDA TERHADAP KEBERHASILAN
PERKECAMBAHAN NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.)
Tri Maria Hasnah1)
dan YMM Anita Nugraheni2)
1) Peneliti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
2) Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu
Email : triemaria@ yahoo.com; [email protected]
ABSTRAK
Keberhasilan dalam pembuatan bibit di persemaian salah satunya ditentukan
oleh keberhasilan dalam mengecambahkan benih. Permasalahan yang sering
dijumpai dalam mengecambahkan benih nyamplung adalah serangan jamur
pada satu atau dua minggu setelah benih ditabur atau sebelum biji
berkecambah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aplikasi fungisida
yang paling efektif digunakan selama proses perkecambahan benih nyamplung
guna meningkatkan daya kecambahnya. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap. Aplikasi fungisida yang dilakukan adalah: 1)
mencelupkan benih ke dalam larutan fungisida; 2) merendam benih dalam
larutan fungisida selama 1 jam; 3) merendam benih dalam larutan fungisida
selama 2 jam; 4) merendam benih dalam larutan fungisida selama 24 jam; 5)
menyiram larutan fungisida pada media sebelum benih ditabur,6) menyiram
larutan fungisida dan mencelupkan benih sebelum ditabur; 7) menyiram larutan
fungisida setiap 3 hari sekali setelah benih ditabur; dan 8) kontrol. Pengamatan
daya kecambah dilakukan setiap minggu (4 minggu) atau setelah 80% benih
yang berkecambah tercapai. Hasil penelitian menunjukan bahwa aplikasi
fungisida mempunyai pengaruh yang nyata terhadap daya kecambah benih
nyamplung di persemaian. Aplikasi fungisida yang paling efektif digunakan
adalah dengan merendam biji nyamplung dalam larutan fungisida selama 1
sampai dengan 24 jam dengan daya kecambah 97% dibandingkan dengan
kontrol, mencelupkan benih dalam larutan fungisida sebelum penaburan, dan
menyiram larutan fungisida pada media sebelum penaburan dengan daya
kecambah antara 77%-83%.
Kata Kunci: Calophyllum inophyllum L., aplikasi fungisida, daya kecambah
I. PENDAHULUAN
Nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai
potensi sebagai penghasil bahan bakar nabati. Tanaman ini dipilih sebagai
sumber energi biofuel karena bijinya mengandung rendemen minyak
522| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
tinggi, tidak berkompetisi dengan pangan dan memiliki multiguna
(Bustomi, 2008). Berdasarkan potensi yang dimilikinya, nyamplung
mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam pembangunan
hutan tanaman. Terlebih lagi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
energi nasional yang diantaranya dengan menetapkan target produksi
biofuel pada tahun 2025 sebesar 5% dari total kebutuhan energi minyak
nasional (PP Nomor 5 Tahun 2006). Kebutuhan biodisel sebagai campuran
BBM terus ditingkatkan, pada Juli 2014 minimal 10% hingga pada Januari
2020 minimal 30% biodisel digunakan sebagai campuran BBM (Permen
ESDM Nomor 20 Tahun 2014 Jo Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 Jo
Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013).
Dalam rangka kegiatan penanaman jenis tersebut diperlukan benih
yang bermutu tinggi dan memiliki daya kecambah dan vigor yang tinggi.
Benih merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang
terlaksananya program penanaman. Benih nyamplung termasuk jenis
rekalsitran. Menurut Desai (2004), biji rekalsitran memiliki kandungan air
yang lebih tinggi (50%-70%) dibandingkan benih orthodox (30%-50%).
Menurut Tao (2001) kandungan air pada biji yang melebihi 12-14% akan
mengundang jamur untuk menginfeksi, biji rekalsitrant biasanya disimpan
pada kandungan air lebih dari 14% untuk menjaga viabilitasnya. Oleh
karena itu bernih rekalsitran sangat rentan dengan serangan jamur (Berjak
et al., 2004 dalam Baskin & Baskin, 2014). Penaburan benih nyamplung
biasanya dilakukan setelah benih diektraksi dari buahnya. Menurut Baskin
& Baskin (2014) kondisi tersebut juga rentan terhadap serangan jamur
sehingga diperlukan aplikasi fungisida.
Kendala yang dihadapi dalam proses mengecambahkan benih
nyamplung diantaranya adalah adanya serangan hama dan penyakit pada
benih yang ditabur, terutama jamur. Jamur memerlukan kelembaban yang
tiggi untuk dapat berkembang biak. Biji dapat terserang jamur pada saat di
lapangan dan selama penyimpanan (Bawley et al., 2013). Jamur dapat
menginfeksi biji melalui hila, hidatoda, lentisel, mikrofil, stomata, dan luka
karena hujan, pasir, binatang, serangga, manusia dan mikroorganisme
lainnya dengan tekanan mekanis, aktivitas enzim atau dengan keduanya
secara langsung (Agarwal & Sinclair, 1997). Kondisi yang lembab akan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 523
mendukung pertumbuhan jamur (Desai, 2004). Jamur dapat menyebabkan
penurunan viabilitas benih perkecambahan pada biji menurun (Watanabe,
2010).
Untuk mengatasi kendala tersebut, dilakukan beberapa percobaan
mengenai aplikasi fungisida yang paling efektif diterapkan untuk benih
nyamplung. Penggunaan fungisida dianggap paling efektif dan efisisen
untuk menangani penyakit pada benih, fungisida dapat membentuk zona
proteksi disekitar benih, menghilangkan jamur patogen pada benih, dan
melindungi kecambah dari infeksi patogen pada tanah (Narayanasamy,
2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi fungisida yang
paling tepat digunakan untuk biji nyamplung di persemaianng dalam
rangka mendapatkan bibit yang berkualitas, ekonomis dan efisien.
II. METODE PENELITIAN
A. Bahan
Benih nyamplung yang digunakan berasal dari buah nyamplung
yang dipungut di bawah tegakan nyamplung di KHDTK Watusipat,
Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 2 Ha. Tegakan tersebut
ditanam pada tahun 1958 atau sudah berumur 56 tahun saat dilakukan
pengambilan buah.
B. Metode
Sampel benih diambil secara acak dan dipilih yang masih segar dan
berwarna cerah putih kekuningan sebagai indikator biji masih baik secara
fisik. Masing-masing kelas perlakuan sebanyak 30 butir. Aplikasi fungisida
(2 gr/liter air) yang dilakukan dalam penelitian yaitu:
a. Kontrol
b. Benih direndam dalam larutan fungisida selama 2 jam sebelum ditabur
c. Benih disiram dengan larutan fungisida 3 hari sekali setelah ditabur
d. Benih dicelup dalam larutan fungisida sebelum ditabur
e. Benih direndam selama 1 jam sebelum penaburan
f. Media disiram dengan larutan fungisida dan benih dicelup dalam
larutan fungisida sebelum ditabur
g. Media disiram dengan larutan fungisida sebelum benih ditabur
h. Biji direndam dalam larutan fungisida selama 24 jam sebelum ditabur
524| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Benih ditabur secara langsung (direct seeding) pada media top soil dan
kompos dengan perbandingan 1 :1 kemudian diberi sungkup dan diberi
naungan dengan intensitas cahaya 50%. Penyiraman dilakukan setiap 2 hari
sekali sebelum benih berkecambah dan dilakukan setiap hari setelah 80%
benih berkecambah.
Pengamatan perkecambahan benih dan bibit di persemaian
Pengamatan perkecambahan benih dilakukan setiap minggu (4 minggu),
kecambah dihitung setelah munculnya plumulae (calon batang).
Pengamatan perkecambahan benih dilakukan dengan mencatat jumlah
kecambah normal yang tumbuh setiap minggunya.Nilai daya kecambah
merupakan nilai rata-rata dari persen kecambah normal yang terdapat pada
setiap ulangan. Daya kecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rancangan percobaan
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (CRD) dengan 8 perlakuan aplikasi fungisida dan 30 ulangan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa
benih nyamplung yang digunakan masih dalam kondisi baik, daya
kecambah rata-rata di atas 75%. Benih nyamplung mulai berkecambah
pada minggu kedua setelah penaburan dan 80% perkecambahan rata-rata
telah tercapai pada minggu ketiga setelah benih ditabur (Tabel 1), sama
dengan penelitian Hasnah (2013).
Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 diketahui bahwa
penggunaan fungisida berpengaruh nyata terhadap perkecambahan benih
nyamplung di persemaian. Benih tanpa perlakuan fungisida memiliki daya
kecambah paling rendah diantara perlakuan dengan fungisida. Penggunaan
fungisida dengan diaplikasikan melalui penyiraman setiap 3 hari sekali
menghasilkan persen kecambah tertinggi dari minggu kedua hingga
minggu keempat setelah penaburan. Perendaman benih nyamplung selama
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 525
2 jam dan 24 jam juga masih menghasilkan persen perkecambahan yang
tinggi (97%), namun demikian benih nyamplung yang direndam pada
larutan fungisida selama 24 jam berkecambah lebih lambat (minggu ke-3).
Fungisida merupakan satu-satunya metode yang paling efektif untuk
mengatasi serangan jamur pada tanaman (Agarwal, 2009). Konsentrasi
fungisida dapat mempengaruhi perkecambahan, pada konsentrasi rendah
fungisida tidak mempengaruhi perkecambahan namun pada konsentrasi
tinggi fungisida dapat menghambat perkecambahan (Agarwal, 2009). Oleh
karena perkecambahan benih nyamplung pada aplikasi perendaman
fungisida selama 24 jam menjadi terhambat karena benih mengabsorbsi
fungisida lebih lama.
Berdasarkan data pada Tabel 1 benih nyamplung yang terserang
jamur (Gambar 1) paling banyak dijumpai pada minggu pertama setelah
penaburan sehingga penggunaan fungisida akan efektif bila diaplikasikan
lebih intensif pada minggu pertama setelah penaburan. Jamur paling
banyak menyerang pada benih yang hanya dicelup pada larutan fungisida
sebelum ditabur. Hal ini menandakan bahwa jamur yang dapat menginfeksi
benih setelah ditabur dapat berasal dari tanah dan juga dari bawaan benih
tersebut. Oleh karena itu sebaiknya fungisida juga diaplikasikan pada
media sebelum dilakukan penaburan benih. Menurut Fraedrich & Cram
(2012) beberapa jamur patogen yang terdapat pada biji dapat menyebabkan
penyakit pada biji tetapi sedikit dan bahkan tidak berpengaruh pada tahap
perkembangan tanaman selanjutnya, patogen ini menginfeksi jaringan di
dalam biji merusak embryo dan endosperm. Selanjutnya diterangkan bahwa
ada juga beberapa jamur patogen pada biji yang masih sedikit berpengaruh
sampai setelah benih berkecambah yaitu yang menyebabkan damping-off,
root-rot, dan seedling blight pada semai.
Pada Tabel 1 diketahui bahwa pada minggu ke-4 beberapa benih
belum berkecambah. Biji yang belum berkecambah tidak hanya disebabkan
oleh jamur. Biji yang tidak berkecambah pada akhir pengamatan dapat
disebabkan karena berbagai hal. Menurut Bedell (1998) daya kecambah
ditentukan oleh tingkat kemasakan buah dan benih serta penanganan benih
pasca panen. Benih pada Hardwickia bianata yang diperoleh pada peak
season menghasilkan perkecambahan 99% sedangkan biji yang diperoleh
526| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
di awal dan akhir periode pembuahan menghasilkan daya kecambah 50%
dan 60%, fenomena yang sama juga terjadi pada Albizzia lebbeck. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa biji masak pohon pada Azadirachta indica
menghasilkan daya kecambah 83% sedangkan biji semi masak di pohon
kemudian di peram di laboratorium hanya menghasilkan daya kecambah
47%. Penangan benih pasca panen jika tidak dilakukan dengan baik akan
menurunkan kualitas benih. Benih nyamplung yang tidak berkecambah
dalam penelitian ini dapat disebabkan karena benih tidak masak secara
fisiologis. Hal ini karena benih-benih yang ditabur hanya dilihat secara
fisik yang mutunya masih baik.
Gambar 1. Biji nyamplung yang terserang jamur
Tabel 1. Daya kecambah, persentase biji terserang jamur, dan persentase
biji yang tidak berkecambah pada benih nyamplung umur 1
sampai dengan 4 minggu
A B C D E F G H
Daya kecambah
Minggu ke-1
Minggu ke-2 7 3 23 7 10 20 17 0
Minggu ke-3 63 83 97 60 90 93 80 87
Minggu ke-4 80 97 100 77 93 93 83 97
Persentase biji terserang jamur
Minggu ke-1 3 10 3
Mnggu ke-2 7 3 7
Persentase biji tidak berkecambah
Minggu ke-4 10 3 7 3 7 3
Keterangan:A: kontrol; B: benih direndam dalam larutan fungisida selama 2
jam sebelum ditabur; C: benih disiram dengan larutan fungisida 3
hari sekali setelah ditabur; D: benih dicelup dalam larutan fungisida
sebelum ditabur; E: benih direndam selama 1 jam sebelum
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 527
penaburan; F: media disiram dengan larutan fungisida dan benih
dicelup dalam larutan fungisida sebelum ditabur; G: media disiram
dengan larutan fungisida sebelum benih ditabur; H: biji direndam
dalam larutan fungisida selama 24 jam sebelum ditabur
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN
1. Penggunaan fungisida berpengaruh terhadap daya kecambah biji
nyamplung di persemaian.
2. Aplikasi fungisisda dapat meningkatkan daya kecambah benih
nyamplung di persemaian.
3. Aplikasi fungisida yang paling efektif dan efisien untuk diaplikasikan
pada benih nyamplung adalah dengan merendam benih dalam larutan
fungisida selama 1- 2 jam sebelum benih ditabur.
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal. S. K. 2009.Pesticide Pollution. Balaji Offset. New Delhi.
Agarwal, V. K., & Sincalir, J.B. 1997. Principles of Seed Pathology 2nd
Edition.CRC Press Inc. Florida.
Bawley, J.D., Bradford, K.J., Hilhorst, H.W.M., Nonogaki, H. Seeds
Physiology of Development, germination, and Dormancy 3rd
Edition. Springer. London.
Baskin, C.C.& Baskin, J.M. 2014. Seeds Ecology Biogeography and
Evolution of Dormancy and Germination 2nd
Edition. Academic
Press. USA.
Bedell. P. E. 1998. Seeds Science and Technology Indian Forestry Species.
Allied Publishers Ltd. New Delhi
Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I.
Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin,
Mahfudz, E. Rahman. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum
L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Jakarta: Pusat
Informasi Kehutanan.
528| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Desai, B.B. 2004. Seeds Handbook Biology Production Processing and
Storage 2nd
Edition Revised and Expanded. Marcell Dekker Inc.
USA
Fraedrich S.W., Cram M.M. 2012. Seed fungi. In Cram M.M., Frank M.S.,
Mallams K.M., tech.coords. Forest Nursery Pests. Washington
(DC): USDA Forest Service.
Faloon, R.E. 1980. Seedling emergence responses in ryegrasses (Lolium
spp.) to fungicide seed treatment. In Baker (Ed.). New Zealand
Journal of Agricultural Reasearch 23: 385-91
Agriculture Handbook 680: 132-134.Hasnah, T.M. 2013. Pengaruh Ukuran
Benih terhadap Pertumbuhan Bibit Nyamplung (Calophyllum
inophyllum L. ). Wana Benih Vol.14 No.2, September 2013.
BBPBPTH. Yogyakarta.
Narayanasamy, P. 2006. Postharvest Pathogens and Disease
Management.John Wiley & Sons Inc. USA.
PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas
Permen ESDm Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel)
Sebagai Bahan Bakar Lain.
Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan,
dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan
Bakar Lain.
Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Permen
ESDm Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan,
dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan
Bakar Lain.
Tao, K.L. 2001. Seed conservation. In Saad & Rao (Eds). Establishment
and Management of Field Genebank: A Training Manual IPGRI-
APO, Serdang. IPGRI. Malaysia.
Watanabe,T. 2010. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi : Morphologies
of Cultured Fungi and Key to Species 3rd
Edition. CRC Press
Taylor and Francis Group. USA.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 529
AWAL PERTUMBUHAN TANAMAN JENIS HHBK
PENGHASIL BUAH
(Studi Kasus : KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat)
Krisnawati1,*
,Ogi Setiawan1*
1Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPT HHBK)
Jl. Dharma Bhakti No. 7, Desa. Langko, Lingsar-Lombok Barat -NTB *Email : [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) jenis penghasil buah merupakan jenis
potensial yang dapat dikembangkan di hutan lindung Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat. Berdasarkan hal tersebut telah
dilakukan ujicoba penanaman beberapa jenis HHBK penghasil buah di hutan
lindung KPHL Rinjani Barat. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat
kesesuaian jenis tanaman dengan lahan, maka dimensi pertumbuhan tanaman
dapat dijadikan sebagai salah satu indikator. Tujuan penelitian ini adalah untuk
memperoleh informasi awal pertumbuhan tanaman jenis penghasil buah yang
meliputi tinggi dan diamenter tanaman dalam setahun. Penanaman dilakukan
pada bulan Desember 2012, dan pengamatan pertumbuhan sampai dengan Juni
2014. Data hasil pengamatan pertumbuhan yang diperoleh ditabulasi dan
dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan rata
– rata tinggi pertumbuhan tanaman selama satu tahun untuk alpukat 67.86 cm,
ceruring 32.52 cm, mangga 67.56 cm, sawo 30.76 cm, durian 40.96 cm, kemiri
88.17 cm, kluih 56.70 cm dan manggis 42.65 cm . Sedangkan untuk rata – rata
diameter pertumbuhan tanaman selama satu tahun untuk alpukat 8.20 mm,
ceruring 3.63 mm, mangga 7.40 mm, sawo 3.12 mm, durian 15.45 mm, kemiri
16.81 mm, kluih 14.34 mm dan manggis 8.01 mm. Tanaman yang potensial
untuk dapat lebih dikembangkan berdasarkan rata – rata pertumbuhan tinggi
dan diameter adalah kemiri, alpukat, mangga dan kluih. Sedangkan untuk
tanaman ceruring, sawo, durian dan manggis belum cukup bagus
pertumbuhannya sehingga diperlukan upaya pemeliharaan yang lebih intensif
dan pemupukan. Informasi awal pertumbuhan tanaman dapat sebagai acuan
untuk pengelolaan dan strategi KPHL ke depan khususnya tanaman HHBK
jenis penghasil buah dalam kerangka rehabilitasi.
Kata kunci : HHBK, jenis penghasil buah, dimensi pertumbuhan, kesesuaian
lahan, rehabilitasi
530| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
Hutan lindung merupakan salah satu kawasan yang mempunyai
nilai strategis untuk kelestarian ekosistem. Hal ini diperkuat secara hukum
yang tercantum pada Undang Undang No.41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, yang menyatakan bahwa hutan lindung merupakan sistem
penyangga kehidupan yang berfungsi mencegah erosi, banjir, intrusi air
laun dan memelihara kesuburan tanah. Namun demikian pada saat ini
kondisi hutan lindung pada umumnya sudah terdegradasi dan perlu upaya
rehabilitasi.
Fenomena ini juga terjadi di kawasan hutan lindung Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat. (Setiawan dan
Krisnawati 2012). KPHL Rinjani Barat ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor : SK. 337/Menhut-VII/2009 dan Nomor : SK.
785/Menhut-II/2009 dengan wilayah kerja seluas 40.963 ha, yang terdiri
dari Hutan Lindung 28.911 ha, Hutan Produksi Terbatas 6.997 ha dan
Hutan Produksi Tetap 5.075 ha (Kementerian Kehutanan, 2012). Menurut
hasil inventarisasi hutan, kualitas kondisi penutupan lahan di KPH Rinjani
Barat sebagian besar (± 60%) berupa kawasan hutan kurang produktif
meliputi; lahan kosong ± 6.147 Ha (15%), alang-alang dan semak belukar ±
8.197 Ha (20%), serta hutan rawang ± 10.246 Ha (25%). Sedangkan
kawasan hutan yang cukup produktif dengan kerapatan sedang-rapat ±
16.393 Ha (40%).(KPH Rinjani Barat, 2011).
Upaya rehabilitasi hutan lindung dengan berbasis Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) merupakan pilihan yang logis karena pemanfaatan
hasil hutan berupa kayu tidak diperkenankan di kawasan ini. Di hutan
beriklim tropis, secara umum HHBK dapat dikelompokkan menjadi : buah-
buahan dan biji-bijian, bagian vegetatif seperti daun, batang atau akar, dan
penghasil resin atau minyak atsiri (Peters, 1990: Grundy dan Cambell,
1993; Cunningham, 1996; Ayuk, et.al., 1999; Dovie, et.al., 2002). HHBK
jenis penghasil buah-buahan merupakan jenis yang direkomendasikan
untuk dikembangkan dalam kerangka rehabilitasi hutan lindung di KPHL
Rinjani Barat. Selain itu, sebagai alternatif dapat juga dikembangkan jenis
penghasil HHBK lainnya, seperti penghasil minyak atsiri seperti kayu
putih, penghasil getah seperti karet, dan sumber BBN seperti kemiri sunan,
nyamplung dan kepuh. (Setiawan dan Krisnawati, 2012).
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 531
Sebagai bentuk eksperimentasi dari rekomendasi penelitian
sebelumnya, di KPHL Rinjani Barat telah dilakukan ujicoba penanaman
beberapa jenis HHBK penghasil buah. Untuk mengetahui sejauhmana
tingkat kesesuaian dari jenis yang dicobakan, makan diperlukan informasi
pertumbuhan. Indikator pertumbuhan yang dapat dijadikan dasar adalah
pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman (Putri, Widyani & Bramastyo,
2011). Informasi ini juga dapat dijadikan acuan bahwa jenis HHBK
penghasil buah cocok untuk dikembangkan di KPHL Rinjani Barat. Oleh
sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui awal pertumbuhan
jenis tanaman HHBK penghasil buah yang dicobakan di KPHL Rinjani
Barat.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai
dengan Juni 2014. Desember 2012 adalah tahun tanam tanaman sedangkan
mulai tahun 2013 sampai dengan 2014 adalah tahun pengamatan
pertumbuhan tanaman. Lokasi terpilih yaitu di Lombok Barat yang berada
di Dusun Longserang Barat Utara (Desa Langko) sedangkan untuk wilayah
Kabupaten Lombok Utara, lokasi yang terpilih adalah Dusun Lendang luar
(Desa Malaka). Pada Gambar 1, disajikan peta administrasi hutan lindung
di KPHL Rinjani Barat.
Gambar 1. Peta administrasi batas kabupaten di hutan lindung
KPH Rinjani Barat
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
# #
#
##
#
#
#
#
#
# #
##
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
#
##
#
#
#
#
# #
#
##
##
#
#
#
##
#
##
#
##
#
# #
#
#
##
#
#
#
##
#
#
#
#
#
#
##
## #
##
#
#
##
#
##
#
#
#
#
#
##
##
#
#
#
##
#
##
#
#
##
##
#
##
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
# ###
#
##
#
#
#
#
##
#
# ##
#
#
#
#
#
#
##
#
#
##
#
# #
#
##
##
#
#
# #
#
# #
#
##
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
##
##
#
#
#
#
#
#
#
## #
#
##
##
#
#
#
##
#
#
##
# #
#
#
#
##
#
# #
#
# # #
#
#
##
#
#
#
#
#
#
#
372 6
Tato
Po po
Lia s
Ka pu
Se la t
Ku mb i
Gibih
Birak
An ca k
Cam ek
Dud uk
Ke lu i
Nip ah
Leo ng
More s
Se sia
So lo h
Kipu t
Len ek
Cup ek
Pe se ng
Ke ro ak
Pe diti
Ke ke ri
Sa ndik
Se ma ya
Loloa n
Ba ngle
Ka ko ng
Pe njor
Ga ng ga
Se nara
Am pe nan
Go nd ang
MATAR AM
Be nte ng
Lin gsar
Rem biga
Sintu ng
Mon tan g
Ba tukoq
Taera er
Pe sisok
Ka pitan
Go njon g
Ke ke ran
Man gsit
Se tan gi
Malimb u
Men tigi
Teba ngo
Ran gsot
Ren dan g
Mon gga s
Ja ngka r
Se le los
Mon gga l
Ke ru kak
Ba ngke t
Praw ira
Ke ncon g
Ka ya nga n
Tete batu
Aiqb ukaq
Ren gga lo
Go nto ran
Go nto ran
Ba tua sa k
Dasan pa l
Melau tan
Se rijata
Pa le mp at
Se ngg ig i
Se ngg ig i
Pa nda nan
Se ru ng ga
Po re mp ek
Se le bun g
Murkom ah
Muh ajirin
Dum an desa
Men in ting
Ba tulayar
Ea tpu ntik
Ke don don g
Ba tup enyu
Gu bu gba ru
Dasan ba ru
Lelon gker
Gu bu gba ruDasan erot
Melaksrea
Po le ndo ng
Ge ge klico
Broklelet
Dasan ba ro
Ba tulil irBa turakit
Dasan tiko
Be limb in gKa lipuca k
Ja mb ia nom
Ge takg aliBa tua mp ar
G. PUNIKAN
G. RINJAN I
SELAPAR AN G
Dasan ag ung
Sige ro ng an
Po ndo kbua kDayen peken
Tre ng galuh
Lan gkoe ma s
Sa mb ikba ru
Lokokku ang
Dasan tap en
Ba tusan tekLokoklitak
Teresge nit
Pe nyang ka r
Oro ngd uren
Ba tub olong
Telo kboro k
Oro ngg rom o
Ka yu sa ngka
Se se la De sa
Mon ton gda ye
Sa ja ng Lau q
Om an seng oa r
Ke ra nd ang an
Len dan gluar
Ka ra ng paso r
Ba ngsa lba ro
Pa ncorge tar
Ka ra ng bed il
Len dan gba ju r
Side me n Da ye
Ju rang ma la ng
Leb ahse mb aga
Tela ga waren g
Po ndo kinjun g
So ro ng ju ku ng
Ba wakna o L auq
Ba wakna o D aya
Pa nda nan Da ya
Lekon gting ga ng
Dasan kebo nda ye
Dasan lian g D aya
Gu bu kjero Timu k
Pe nimb ung Barat
Ba tulayar U tara
Ba tulayar Selatan
KABUPATEN LOMBOK UTARA
KABUPATEN LOMBOK BARAT
PETA BATAS ADMINISTRASIDI KAWASAN HUTAN LINDUNG
KPHL RINJANI BARATU
Skala : 1 : 200.000
Batas W ilayah KPHL Rinjani Barat
KETERANGAN :
Jalan
- Peta W ilayah K PHL Rinjani Barat
- Peta Adm iniatrasi NTB
- Peta Rupa Bum i Indonesia
SUMBER PETA :
PETA S ITUASI
Batas Kabupaten
8°30' 8°30'
8°20' 8°20'
116°10'
116°10'
116°20'
116°20'
532| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Penelitian dimulai dengan penanaman HHBK jenis penghasil
buah di kedua lokasi penelitian. Untuk di Desa Lendang Luar jenis
penghasil buah yang ditanam yaitu alpukat (Persea americana), ceruring
(Lansium sp), mangga (Mangifera indica) dan sawo (Achraszapota sp).
Sedangkan di Desa Longserang Barat Utara jenis penghasil buah yang
ditanam yaitu durian (Durio zibethinus), kemiri (Aleuritas moluccana),
kluih (Artocarpus altilis) dan manggis (Garcinia mangostana). Setiap 4
bulan sekali dilakukan evaluasi pertumbuhan tanaman. Variabel yang
diukur pada evaluasi pertumbuhan adalah tinggi dan diameter batang.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan meteran dari
mulai permukaan tanah sampai pucuk tanaman. Sedangkan diameter
tanaman diukur menggunakan jangka sorong pada batang tanaman yang
berada kurang lebih 2 cm di atas permukaan tanah. Hasil pengukuran
dicatat pada blanko pengukuran. Data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis. Tahap analisis yaitu tabulasi data, klasifikasi, perhitungan
variable penelitian dan deskripsi secara kualitatif dan kuantitatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan tanaman menurut Vanclay (1994) adalah
pertambahan dimensi pohon atau tegakan hutan selama periode waktu
tertentu. Sehingga dapat dikatakan lebih lanjut bahwa besaran pertumbuhan
tanaman dapat diketahui dari parameter - parameter tinggi, diameter atau
volume. Tabel 1. merupakan hasil pengukuran dimensi pertumbuhan
tanaman berupa rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter HHBK jenis
penghasil buah yang diujicoba di Lendang luar Kabupaten Lombok Utara.
Tabel 1. Rata – rata tinggi dan diameter pertumbuhan tanaman di Lendang
luar
No Jenis
Tanaman
Umur
Tinggi (cm) Diameter (mm)
0-4 bulan 4-8 bulan 8-12 bulan 0-4 bulan 4-8 bulan 8-12 bulan
1 Alpukat 29.63 18.44 19.79 2.68 3.06 2.45
2 Ceruring 7.9 9.73 14.89 1.20 0.32 2.11
3 Mangga 16.98 21.79 28.79 2.05 1.69 3.65
4 Sawo 14.81 9.19 6.76 1.55 1.03 0.54
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 533
Dapat diketahui dari tabel 1 bahwa dari keempat jenis HHBK
penghasil buah yang diujicobakan di Lendang luar untuk jenis alpukat dan
mangga mempunyai pertumbuhan baik diameter maupun tinggi yang lebih
besar dari jenis ceruring dan sawo. Hal ini diduga ceruring dan sawo yang
ditanam di lokasi penelitian lebih memerlukan penyesuaian diri
(aklimatisasi) untuk kemudian tumbuh pesat dibandingkan jenis tanaman
alpukat dan mangga. Secara umum pertumbuhan semua jenis yang
dicobakan mempunyai nilai yang tinggi pada periode 0-4 bulan. Hal
tersebut diduga disebabkan pada periode tersebut bibit yang ditanam pada
waktu masih awal masih memanfaatkan nutrisi yang ada di media lamanya
(Rusdiana, Fakuara, Kusmana & Hidayat, 2000) serta pada periode
tersebut merupakan musim hujan dimana air yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan melarutkan unsur hara cukup tersedia. Jadi dalam satu
tahun untuk rata – rata pertumbuhan tinggi keempat jenis tanaman HHBK
penghasil buah alpukat 67.86 cm, ceruring 32.52 cm, mangga 67.56 cm,
sawo 30.76 cm. Sedangkan untuk rata – rata pertumbuhan diameternya
adalah alpukat 8.20 mm, ceruring 3.63 mm, mangga 7.40 mm, sawo 3.12
mm. Gambar mengenai rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter
tanaman dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Grafik rata – rata pertumbuhan tanaman di Lendang luar
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
0-4
bu
lan
4-8
bu
lan
8-1
2b
ula
n
Umur
Nila
i
Rata - rata tinggi pertumbuhan tanaman di Lendang Luar (cm)
Alpukat
Ceruring
Mangga
Sawo
534| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 2. Rata – rata pertumbuhan diameter tanaman
di Lendang luar
Lokasi penelitian yang kedua berada di Longserang Barat Utara
Kabupaten Lombok Barat. Tabel 2 merupakan hasil pengukuran dimensi
pertumbuhan tanaman berupa rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter
HHBK jenis penghasil buah yang di ujicoba di Longserang Barat Utara
Kabupaten Lombok Barat.
Tabel. 2. Rata – rata tinggi dan diameter pertumbuhan tanaman di
Longserang Barat Utara
No Jenis
Tanaman
Umur
tinggi (cm) diameter (mm)
0-4
bulan
4-8
bulan
8-12
bulan
0-4
bulan
4-8
bulan
8-12
bulan
1 Durian 13.67 12.25 15.04 12.11 1.76 1.57
2 Kemiri 23.00 23.05 42.12 8.32 4.46 4.03
3 Kluih 20.63 16.49 19.59 7.59 3.52 3.23
4 Manggis 21.22 10.08 11.35 5.78 1.15 1.09
Tabel 2 memperlihatkan dari keempat jenis HHBK penghasil
buah yang diujicoba di Longserang Barat Utara dari umur 0 - 4 bulan
sampai dengan 1 tahun jenis kemiri mempunyai pertumbuhan tertinggi dari
jenis lainnya yaitu mencapai 88.17 cm untuk tinggi dan 16.81 mm untuk
diameter sampai dengan umur satu tahun. Menurut Elevitch dan Manner
(2006), kemiri dapat tumbuh dengan cepat dan mudah pada tempat terbuka
yang sudah terganggu atau di tepi-tepi hutan. Pohon kemiri cukup toleran
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
0-4 bulan 4-8bulan 8-12bulan
Umur
Nila
i
Rata - rata diameter pertumbuhan tanaman di Lendang luar (cm)
Alpukat
Ceruring
Mangga
Sawo
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 535
terhadap kekeringan dan bahkan dapat tumbuh baik pada tanah yang
kurang subur jika ditanam dengan baik pada kelembapan tanah yang cukup.
Kemiri mampu berkembang di lingkungan yang lembab, menyukai cahaya
dan tumbuh sebagai pohon pionir di tempat terbuka apabila curah hujannya
sesuai. Jenis ini juga dapat tumbuh di bawah naungan sampai dengan
tingkat penutupan 25% sama seperti kondisi di Longserang Barat Utara.
Sehingga kemiri lebih pesat pertumbuhan rata – rata tinggi dan
diameternya dibandingkan ketiga jenis lainnya. Penelitian Krisnawati,
Kallio & Kanninen, 2008 mengenai kemiri yang dilaksanakan di
Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) yang berumur sampai dengan
5 tahun mempunyai diameter berkisar antara 3,2 cm dan 21,9 cm dan tinggi
pohon total berkisar antara 2,9 dan 12,5 m. Hal tersebut dapat menjadi
indikasi bahwa kemiri yang berada di Longserang Barat Utara masih dalam
pertumbuhan yang bagus.
Jenis lainnya yang mempunyai pertumbuhan cukup bagus adalah
jenis kluih. Jeinis ini mempunyai pertumbuhan tinggi terbaik kedua setelah
kemiri. Di sisi lain, hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa pada
periode pertumbuhan 0 – 4 bulan merupakan periode dengan tingkat
pertumbuhan yang lebih tinggi dari periode lainnya. Peranan musim hujan
dan ketersediaan unsur hara yang diberikan pada saat penanaman masih
memberikan pengaruh yang positif. Jadi dalam satu tahun untuk rata – rata
pertumbuhan tinggi keempat jenis tanaman HHBK penghasil buah adalah
durian 40.96 cm, kemiri 88.17 cm, kluih 56.70 cm dan manggis 42.65 cm.
Sedangkan untuk rata – rata pertumbuhan diameternya adalah durian 15.45
mm, kemiri 16.81 mm, kluih 14.34 mm dan manggis 8.01 mm.
Gambar mengenai rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter
tanaman dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
536| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Grafik rata – rata tinggi pertumbuhan
tanaman di Longserang Barat Utara
Gambar 4. Grafik rata – rata diameter pertumbuhan
tanaman di Longserang Barat Utara
Kondisi lingkungan penanaman serta perlakuan pemeliharaan yang
diberikan untuk semua jenis tanaman HHBK penghasil buah yang diujikan
adalah sama atau seragam, namun respon yang ditunjukkan dari setiap jenis
tanaman tersebut cukup berbeda, yang dapat dilihat dari bervariasinya
pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan kemampuan adaptasi pada suatu
lingkungan untuk setiap jenis tanaman tidak sama. Pertumbuhan setiap
jenis tanaman banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor
lingkungan dan faktor genetik individu tersebut. Faktor lingkungan yang
termasuk adalah intensitas cahaya. Kondisi di Lendang luar lebih terbuka
daripada di Longserang Barat Utara sehingga intensitas cahaya yang penuh
menyebabkan penyerapan cahaya bagi tanaman cukup efektif untuk
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
0-4 bulan 4-8bulan 8-12bulan
Umur
Durian
Kemiri
Kluih
Manggis
Rata - rata pertumbuhan tinggi
tanaman di Longserang
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00
10.00 12.00 14.00 16.00
0-4 bulan 4-8bulan 8-12bulan
Umur
Durian
Kemiri
Kluih
Manggis
Dia
mat
er
Rata - rata diameter pertumbuhan
tanaman di Longserang
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 537
memacu pertumbuhan tinggi. Namun demikian, tiap-tiap jenis tanaman
HHBK penghasil buah yang di ujicoba mempunyai variasi pertumbuhan
yang berbeda, karena masing-masing jenis mempunyai persyaratan tumbuh
tertentu.
Marjenah (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan diameter batang
lebih cepat pada tempat terbuka dari pada tempat ternaung sehingga
tanaman yang ditanam pada tempat terbuka cenderung pendek dan kekar.
Millang, Budirman & Anita, 2011 menyatakan bahwa terhambatnya
petumbuhan diameter tanaman karena produk fotosintesisnya serta
spektrum matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses
pembentukan sel meristem ke arah diameter batang, terutama pada
intensitas cahaya yang rendah. Tinggi pohon merupakan salah satu faktor
penting sebagai indikator keberhasilan penanaman khususnya tanaman
hutan. Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik, menurut Effendi (2012)
dalam Sukotjo dan Naiem (2006) mengemukakan tiga pilar utama yaitu
pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu
untuk dirterapkan pada kegiatan penanaman dalam rangka silvikultur
intensif.
Manipulasi lingkungan berupa pemanfaatan pupuk organik yang
diterpkan pada penelitian ini belum optimal dalam mendukung
pertumbuhan tanaman. Kondisi lahan di kedua lokasi tersebut mempunyai
kandungan unsur hara yang relatif kecil. Oleh sebab itu diperlukan upaya
penambahan unsur hara setelah penanaman melalui pemupukan, khususnya
penambahan unsur hara makro N, P dan K. Menurut Hardjowigeno (1987)
unsur hara N, P, K sangat dibutuhkan oleh tanaman karena unsur hara
tersebut berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman, dan
mempermudah proses fisiologi tanaman. Selain itu upaya pemeliharaan
khususnya pada musim hujan perlu ditingkatkan, karena pada musim ini
gulma dan tanaman pengganggu lainnya.
IV. KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan rata – rata tinggi pertumbuhan tanaman
selama setahun untuk alpukat 67.86 cm, ceruring 32.52 cm, mangga
67.56 cm, sawo 30.76 cm, durian 40.96 cm, kemiri 88.17 cm, kluih
538| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
56.70 cm dan manggis 42.65 cm . Sedangkan untuk rata – rata diameter
pertumbuhan tanaman selama setahun untuk alpukat 8.20 mm, ceruring
3.63 mm, mangga 7.40 mm, sawo 3.12 mm, durian 15.45 mm, kemiri
16.81 mm, kluih 14.34 mm dan manggis 8.01 mm.
2. Tanaman yang potensial untuk dapat lebih dikembangkan berdasarkan
rata – rata pertumbuhan tinggi dan diameter adalah kemiri, alpukat,
mangga dan kluih. Sedangkan untuk tanaman ceruring, sawo, durian
dan manggis belum cukup bagus pertumbuhannya sehingga diperlukan
upaya pemeliharaan yang lebih intensif serta pemberian pupuk NPK.
3. Informasi awal pertumbuhan tanaman dapat sebagai acuan untuk
pengelolaan dan strategi KPHL ke depan khususnya tanaman HHBK
jenis penghasil buah dalam kerangka rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, R. (2012). Kajian Keberhasilan Pertumbuhan Tanaman Nyawai
(Ficus variegate Blume) Di KHDTK Cikampek, Jawa Barat.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Volume 9 No 2. 95 – 104.
Pusat Peningkatan Produktivitas Hutan Tanaman. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Hardjowigeno, S. (1987). Ilmu Tanah. Medyatma Sarana Prakarsa. Jakarta.
Kementerian Kehutanan. (2012). Data dan Informasi Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH).Direktorat Wilayah Pengelolaan dan
Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Ditjen Planologi
Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Krisnawati, H, Kallio, M dan Kanninen,M. (2011). Aleurites moluccana
(L.) Willd.: ekologi, silvikultur dan produktivitas. CIFOR, Bogor,
Indonesia.
KPH Rinjani Barat. (2011). Kondisi umum KPH Rinjani Barat. KPH
Rinjani Barat.
Marjenah. (2001). Penyebaran Pohon Manglid (Manglietia glauca B1.) di
Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Laporan Ekspedisi
Manglid. www.rimpala.com . Akses 18 Nopember 2014.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 539
Millang, S, Budirman, B dan M , Anita. (2011). Awal Pertumbuhan Pohon
Gaharu (Gyrinops sp.) Asal Nusa Tenggara Barat Di Hutan
Pendidikan Universitas Hasanuddin. Jurnal Hutan dan
Masyarakat., Volume. 6, No.2. Fakultas Kehutanan. Universitas
Hasanuddin. Makasar.
Setiawan, O, dan Krisnawati. (2012). Model Rehabilitasi Hutan Lindung
Berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu. Laporan Penelitian. Balai
Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. Tidak
dipublikasikan.
Peters, C.M. (1990). Plenty of Fruit but No free Lunch. Garden 14: 813.
Putri, KP, Nurin Widyani dan Yulianti Bramasto. (2011). Pertumbuhan
Sembilan Jenis Tanaman Endemik Indonesia Di Hutan
Penelitian Rumpin. Prosiding Hasil – Hasil Penelitian Balai
Perbenihan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan.
Rusdiana, O, Fakuara, Y, Kusmana, C dan Hidayat, Y. (2000). Respon
Pertumbuhan Akar Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria)
Terhadap Kepadatan Dan Kandungan Air Tanah Podsolik
Merah Kuning. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Volume. 6 No.
2 : 43-53. Departemen Kehutanan. IPB. Bogor.
Vanclay, J.K. (1994). Effects of Inter-rotation Management on Site
Productivity of in Riau Province, Sumatera, Indonesia Site
Management and Productivity in Tropical Plantation Forests
Modelling Forest Growth and Yield. Application to Mixed
Tropical Forest Acacia mangium In CAB International.
Guildfort.
540| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN HASIL
HUTAN BUKAN KAYU DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN
Studi Kasus Di KHDTK Rarung, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Tigor Butarbutar
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Jalan Gunung Batu No.5 .P.O.Box.272,Bogor 16118; Telp (0251) 863394, Fax
(0251) 8634924, E-mail;[email protected]
ABSTRAK
Budidaya hasil hutan bukan kayu (HHBK) baik dalam kawasan hutan maupun
di luar kawasan hutan di Nusa Tenggara Barat umumnya adalah dalam
bentuk tanaman campuran pohon dengan jenis HHBK seperti, kemiri, aren,
lontar, melinjo, gaharu dan lebah madu. Budidaya HHBK tersebut umumnya
secara tradisionil, tanpa mempertimbangkan kesuburan tanah atau kesesuaian
lahan. Pengembangan HHBK dapat direvitalisasi supaya berproduksi maksimal
dan ramah lingkungan melalui 2 (dua) cara, yaitu : (1) melalui manajemen
sifat-sifat tanah dan (2) penentuan jenis kombinasi yang paling tepat sesuai
dengan kelas kesesuain lahan. Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisa
karakteristik tanah dan analisa kesesuaian lahan untuk beberapa jenis tanaman
pohon, buah, pangan dan pakan ternak; penentuan berbagai kombinasi jenis
kayu dan bukan kayu dan kebijakan yang diperlukan. Studi ini dilakukan di
kebun percobaan KHDTK Rarung, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa
Tenggara Barat. Hasil penelitian menunjukkan perlunya pembuatan teras
untuk konservasi tanah dan air, rekayasa tekstur tanah berpasir dengan
menambah bahan organik. Kesesuaian untuk jenis jati, nangka, rambutan ,
pinang, jagung, cabe dan rumput gajah termasuk S3, sedangkan untuk mahoni
termasuk S2. Kombinasi yang paling tepat adalah pencampuran mahoni dengan
salah satu jenis pohon buah dan satu jenis pangan dan rumput gajah. Kebijakan
yang diperlukan antara lain memberikan pendampingan khususnya yang terkait
dengan informasi kesesuaian lahan dan kombinasi jenis yang optimal di lahan-
lahan yang diperuntukkan bagi pegembangan HHBK.
Kata kunci : budidaya, HHBK , kesesuaian lahan, dan sifat tanah
I. PENDAHULUAN
Budidaya HHBK yang banyak dikembangkan di Nusa Tenggara
Barat umumnya dengan tanaman campuran pada suatu bidang lahan,
seperti jenis tanaman pakan ternak antara lain; turi (Sesbania grandifolia)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 541
dan rumput gajah ; dengan tanaman pohonnya adalah jati (Tectona
grandis), mahoni (Swietenia sp) dan jabon (Anthocephalus cadamba);
jenis tanaman buahnya adalah nangka (Artocarpus integra), rambutan
(Nephelium lappaceum) dan pinang (Areca catechu); jenis tanaman
pangannya adalah pisang (Musa spp ), jagung (Zea mays) dan jenis
rempahnya seperti cabe merah (Capsicum sp). Pola pencampuran tersebut
biasa disebut agroforestri tetapi masih bersifat tradisional. Sistem tanaman
campuran ini terdapat baik di luar kawasan hutan maupun di luar kawasan
hutan (seperti ladang dan sawah yang bera/istrahat). Pola pencampuran
yang masih tradisional tersebut belum mempertimbangkan sifat-sifat tanah,
kondisi iklim, topografi dan persyaratan tumbuh masing-masing jenis
tanaman yang akan dicampur. Penelitian ini bertujuan: (1) analisa
karakteristik tanah dan perlakuan yang diperlukan; (2) analisa kesesuaian
lahan dan penentuan berbagai alternatif kombinasi campuran yang
optimum dan (3) kajian kebijakan yang diperlukan.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus Penelitian (KHDTK) di Rarung, Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Lokasi penelitian termasuk Desa Pemempek Kecamatan
Pringgarata dan Desa Karang Sidemen Kecamatan Batukliang Utara,
Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Wilayah
KHDTK ini berada pada kelompok hutan lindung Gunung Rinjani RTK 1.
Secara geografis terletak antara 116015’-116
016’ BT dan antara 08
030’00’’-
08030’36’’ LS dengan ketinggian dari permukaan laut 300-450 m dan luas
areal 306,60 ha. Jenis tanah termasuk entisol dengan batuan induk volkan.
Jumlah hari hujan rata-rata 125 hari dengan curah hujan diatas 2000
mm/tahun (Sk.Menhut: No.Sk 390/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober
2004).
B. Metode
Penelitian ini dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
542| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
1. Analisa Tanah
Penentuan petak pengamatan analisa tanah dipilih disekitar petak
tanaman campuran mahoni (Swietenia macrophylla) , duabanga
(Duabanga moluccana), kemiri (Aleuritas moluccana), sengon
(Paraserianthes falcataria), mimba (Azadirachta indica), tanaman
pakan lebah seperti Calliandra callothyrsus dan lain-lain.
Pengamatan profil tanah dengan menggunakan petunjuk deskripsi profil
tanah (FAO, 1976), sedangkan untuk analisa sifat fisik dan kimia
diambil contoh tanah terganggu dari setiap lapisan profil dan dianalisa
di laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah Bogor.
2. Analisa kesesuaian lahan berdasarkan kriteria kelas kesesuaian lahan
berdasarkan Djaenuddin, Marwan, Subagyo dan Hidayat (2003)
3. Analisa kombinasi jenis hutan tanaman campuran dengan metode
matching antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan
persyaratan tumbuh berapa jenis tanaman (Ritung, Wahyuanto, Agus
dan Hidayat, 2007)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Analisa Tanah
Hasil deskripsi profil tanah dan analisa tekstur tanah dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus Penelitian
(KHDTK) Rarung di Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada Tabel 1
berikut.
Tabel 1. Deskripsi profil tanah dan tekstur tanah di Kebun Percobaan
KHDTK Rarung, NTB
Lapisan
Kedala
man
(cm)
Uraian
Fraksi (%)
Kelas
Tekstur
Pa
sir
Deb
u
Lia
t
O
(serasah)
3-0/ (3) daun, ranting kering: pakis
pakisan,empat jenis rumput;
kerapatan akar: 5,6/100 cm2
A1
(lapisan
atas tanah)
0-10 (10) Coklat terang; granular,
agakkeras, tidak lengket ,
lepas,tidak plastis, lempung
72 24 4 Lempung
Berpasir
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 543
Lapisan
Kedala
man
(cm)
Uraian
Fraksi (%)
Kelas
Tekstur
Pa
sir
Deb
u
Lia
t
berliat; batu apung, merata-
batu padas (diameter 0,5-1
cm) kerapatan akar:0,8/100
cm2; batas berangsur-
bergelombang
A2
(lapisan
bawah
atas)
10-43/62
(33/52)
Butiran lepas, tidak lengket,
tidak elastis; debu berpasir,
batuan padas-apung yang
merata; akar;0,25/100 cm2;
batas jelas berombak-
bergelombang;
67 27 6 Lempung
Berpasir
B 43/62-
63/94
(20/30)
Berblok, padas, agak lengket,
tidak elastis, lempung-liat –
berpasir, batuan apung-padas
(diameter 0,5-1 cm);
kerapatan akar;0,57/100 cm2;
batas jelas rata
64 32 4 Lempung
Berpasir
C1
(endapan/
lapisan
khusus)
63/94-
100/137
(37/43)
Batuan padas, batupasir ,
berpasir (batu apung padas)
diameter 0,5-3,5 cm;
akar halus :0,57/100 cm2;
batas jelas kontras
73 21 6 Lempung
Berpasir
C2 100/137-
150/176
(50/39)
Padas, agak lengket, tidak
elastis, batuan padu ,struktur
padas; kerapatan akar halus -
kasar: 0,29/100 cm2
65 31 4 Lempung
Berpasir
Berdasarkan Tabel 1 tersebut perkembangan profil tanah termasuk
normal, dimana terjadi proses pembentukan lapisan pelapukan
(pedogenesis tanah yang normal). Hal ini ditujunkkan oleh deskripsi
lapisan tanah yang dimulai dari lapisan O (organik), lapisan A1 (lapisan
yang paling tinggi tingkat pelapukannya) kemudian diikuti oleh A2 (lapisan
peralihan dari A ke B, tetapi masih dominan memiliki ciri-ciri A1);
kemudian lapisan B (lapisan dimana tingkat pelapukannya lebih rendah
544| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dari A dan lebih tinggi dari lapian C1) selanjutnya diikuti oleh C1 dan C2
(lapisan bahan induk yang baru mulai melapuk). Mulai dari lapisan A
sampai C1 terdapat batuan kecil sejenis batu apung yang merata diseluruh
profil. Batu apung ini berdiameter 0,5 cm -3,5 cm dan semakin kelapisan
bawah ukurannya semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa bahan induk
merupakan bahan volkan dari Gunung Rinjani. Tekstur tanah mulai dari
lapisan atas termasuk lempung berpasir. Perakaran tanaman masih terdapat
sampai lapisan bawah (150 cm) . Hal menunjukkan bahwa pertumbuhan
akar tanaman bukan merupakan penghambat, tetapi ada kecenderungan
tanah tidak dapat menyimpan air karena tekstur didominasi oleh fraksi
pasir (64-72 %). Selanjutnya hasil analisa sifat-sifat kimia dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Sifat-sifat kimia di kebun percobaan KHDTK Rarung, NTB
La
pi
san
pH Bahan organik Kation Tukar KTK KB
(%)
H2O KCl C N C/N Ca Mg K Na
A1 6,1
(agak asam)
5,6
(agak asam)
3,41 (tinggi) 0,33
(sedang)
10
(rendah)
12,98
(tinggi)
2,2
(tinggi)
0,64
(tinggi)
0,13
(rendah)
15,35
rendah
78
A2 6,0
(agak asam)
5,4 (asam)
2,18
sedang
0,23
(sedang)
9 (rendah)
9,95
sedang
1,70 (sedang)
0,31 (rendah)
0,13
(rendah)
12,09
rendah
72
B1
C
6,0
(agak
asam)
4,6
(asam)
0,12
(sangat
rendah)
0,01
(sangat
rendah)
12
(sedang)
5,23
rendah
1,62
(sedang)
0,79
(tinggi)
0,31
(rendah)
7,94 rendah
9
C1 5,8
(agak
asam)
4,4
(asam)
0,06
(sangat
rendah)
0,01
(sangat
rendah)
12
(sedang)
2,06
rendah
1,17
(sedang)
0,26
(rendah
)
0,10
(rendah)
3,69 sangat
rendah
>100
C2 6,4 (agak
asam)
5,3 (asam)
0,07 (sangat
rendah)
0,01 (sangat
rendah)
7 (rendah)
4,67 rendah
2,08 (sedang)
0,53 (sedang)
0,13 (rendah)
7,41 rendah
>100
Tabel 2 menunjukkan kemasaman tanah termasuk agak masam,
tidak perlu pengapuran. Kandungan bahan organik dan kualitasnya
termasuk baik mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah (karena nilai
C/N <=12 (Van Ranst, 1994). Kation tukar Ca, Mg dan K termasuk tinggi
sampai lapisan A1. Perlakuan yang dibutuhkan untuk mempertahankan dan
meningkatkan ketebalan lapisan A1 supaya tidak tererosi adalah dengan
menerapkan teknik konservasi tanah dan air, seperti terasering, dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 545
penambahan bahan organik tanah sehingga air limpasan tidak langsung
terinfiltrasi ke bawah. Nilai kation tukar Ca, K,Mg dan Na termasuk tinggi
di lapisan atas (A1) dan rendah dilapisan bawah berikutnya (A2,B, C1 dan
C2), dengan kejenuhan basa (KB) sebesar 78 %. Nilai kation tukar yang
lebih rendah di lapisan bawah perlu ditingkatkan dengan menambah bahan
organik tanah sampai lapisan bawah, sehingga meningkatkan daya
menyimpan air yang berguna untuk proses pelapukan fisik dan kimia dan
meningkatkan nilai KTK.
B. Analisa kesesuaian lahan
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sistem tanaman
campuran tradisionil yang ada menunjukkan bahwa jenis-jenis kayu
seperti mahoni, duabanga dan sengon tumbuh baik di tajuk lapisan atas,
sedangkan pada lapisan bawah tajuk dapat tumbuh pisang, tanaman rumput
pakan ternak, tanaman buah-buahan dan gaharu. Hasil pengamatan di
daerah pantai Batulayar dan Senggigi terdapat model tanaman campuran
pada unit lahan yang datar, berlereng dan berbukit didominasi oleh
kelapa, kedondong hutan, kacang-kacangan pada strata terbawah, pisang
dan aren di beberapa tempat. Sistem pengolahan lahan masih bersifat
tradisionil (tidak ada pola kombinasi yang baku dan tanpa teras) sehingga
produksi tidak optimum. Untuk mencapai produksi yang optimum sistem
tanaman campuran harus mempertimbangkan kesesuaian lahan, prinsip-
prinsip ekologis tanaman campuran dan persyaratan tumbuh masing-
masing jenis tanaman yang akan dicampur. Untuk menentukan kombinasi
jenis yang akan dicampur perlu diketahui kriteria kesesuaian lahan untuk
untuk beberapa jenis tanaman yang akan dicampur. Sesuai dengan hasil
pengamatan dilapangan jenis-jenis tanaman yang dikombinasikan/
dicampur adalah jenis tanaman pohon seperti mahoni; jenis tanaman
buah-buahan seperti nangka (Artocarpus integra) dan rambutan
(Nephelium lappaceum); jenis tanaman industri seperti pinang (Arecha
catechu); jenis tanaman pertanian/perkebunan seperti pisang (Musa sp),
jagung (Zea mays), cabe (Capsicum sp) dan tanaman pakan ternak seperti
rumput gajah (Pennisetum purpureum). Adapun kriteria kesesuaian lahan
untuk beberapa jenis tanaman tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
546| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Selanjutnya hasil analisa kesesuaian lahan untuk masing-masing
jenis tersebut di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Penilaian kesesuaian lahan untuk masing-masing jenis di lokasi
penelitian berdasarkan Djaenuddin, et al. (2003).
Kualitas
lahan
Karakteristi
k lahan
Nilai / hasil
analisa
Kelas
Kesesu
aian
Untuk jenis
(kode jenis)
Tempera
tur
Temperatur
rata-rata
24,05oC* S1 4,8,9,10
S2 2,3,5,6,7
S3 -
Ketersedi
aan air
Curah hujan >2000
mm/tahun
S1 3,6,5,7,10
kelembaban
udara
Lamanya
bulan kering
5 S3 3,7
Ketersedi
aan O2
Drainase Cepat-agak
cepat
S1 2,3,4,5,6,7,8,9,10
Keadaaan
media
perakaran
Tekstur Ak disemua
lapisan
S3 2,4,5,6,7,8,9
Bahan kasar 15-35% S2 4,5,7,8,9
Kedalaman
tanah
150 cm S1 2,3,4,5,6,7,8,9
Retensi
hara
KTK liat 17,2 S1 4,5,7,8,9
KB 73,17 S1 6,7
pH 6,1-6,0 S1 2,3,4,5,6,7,8,9
C-organik 3,713 S1 4,5,6,7,8,9
Toksidi
tas
Salinitas
(ds/m)
Sodisitas Alkalinitas/E
SP (%)
1,02
Bahaya
sulfidik
Bahaya
erosi (eh)
Lereng (%) 15-40 % S2
2,3,4,5,6,7,8,9
S3 10
Bahaya erosi Sangat ringan
: <0,15
cm/tahun
S1 2,3,4,5,6,7,8,9,10
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 547
Bahaya
banjir (fh)
Genangan F0= dapat
diabaikan
S1 2,4,5,7,8,9
Penyiapan
lahan (lp)
Batuan diper
mukaan (%)
10% S2 2,4,5,7,8,9
Singkapan
batuan (%)
4% S1 4,5,7,8,9
S2 2, Keterangan :
* = berdasarkan Brack (1928) : 26,3oC - (0,01 x elevasi x 0,6oC);
2 = jati;3=mahoni; 4= nangka; 5= rambutan; 6= pinang;7=pisang;
8= jagung;9 = cabe dan 10 = rumput gajah.
Selanjutnya kesesuaian lahan aktual, potensial lahan dan
kombinasi untuk masing-masing jenis dapat dilihat pada Table 4 berikut.
Tabel 4. Kesesuain aktual dan potensial untuk masing-masing jenis dan
kombinasi campuran paling ideal
Jenis
Kesesuaian lahan Keterangan Kombinasi
Aktual Potensial
Tidak bisa naik
kelas kesesuaian
lahan potensial,
karena tekstur
sulit dirobah
Jati S3 S3 Sda
Mahoni S2 S2 Sda Mahoni, nangka,pinang,
jagung
Nangka S3 S3 Sda Mahoni, nangka,
rambutan dan cabe
Rambu tan S3 S3 Sda Mahoni rambutan
Pinang S3 S3 Sda Mahoni pinang
Pisang S3 S3 Sda Pisang, cabe, mahoni
Jagung S3 S3 sda Jagung, cabe , pinang
dan mahoni
Cabe
merah
S3 S3 Sda Cabe merah, jagung,
mahoni
R. gajah Sda Mahoni, pinang, r. gajah
Keterangan : penentuan kesesuaian potensial berdasarkan kemungkinan merobah faktor
pembatas minimum (Djaenuddin, et al., 2003)
Berdasarkan Tabel 4 tersebut, kelas kesesuaian lahan untuk jenis
jati, mahoni, nangka, rambutan, pinang, pisang, jagung, cabe dan rumput
548| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
gajah termasuk S3 (sesuai marginal) sedangkan untuk mahoni termasuk S2
(cukup sesuai).
Penilaian kombinasi campuran dapat juga dilakukan dengan
menerapkan prinsip-prinsip ekologis tanaman campuran yaitu : (1) prinsip
interaksi komplementer, terdiri dari interaksi interspesifik (interkasi 2 jenis
tanaman yang mempunyai persyaratan tumbuh yang berbeda dan interaksi
intra spesifik adalah interaksi persaingan yang terjadi pada jenis yang
sama) dan (2) prinsip fasilitasi. Prinsip interaksi komplementer adalah
persaingan yang terkait dengan sifat-sifat toleransi jenis terhadap naungan,
perbedaan kecepatan pertumbuhan tinggi, perbedaan leaf area indeks,
perbedaan fenologi daun (gugur daun dan evergreen) perbedaan kedalaman
sistim perakaran. Prinsip fasilitasi adalah interaksi antar jenis dimana suatu
jenis tertentu membantu pertumbuhan jenis lainnya secara langsung, seperti
kelompok jenis penambat nitrogen melalui perakaran dan menambah
nitrogen melalui pengguguran daunnya (Valdermeer, 1989) Kombinasi
campuran atas dasar kesesuaian lahan aktual yang termasuk S3 (sesuai
marginal ) untuk semua jenis, kecuai untuk mahoni (S2) dan prinsip-prinsip
pencampuran dapat dilihat pada Table 5 berikut.
Tabel 5. Kombinasi tanaman campuran berdasarkan pertimbangan prinsip-
prinsip pencampuran fasilitasi, kompetisi dan kesesuaian lahan
untuk masing-masing jenis
Jenis/
prinsip
campu
ran
2 3 4 5 6 7 8 9 10
K F K F K F K F K F K F K F K F K F
2
K
F
3
K X X
F
4
K X X
F
5
K X X
F
6
K X x
F
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 549
Keterangan : K = prinsip komplementer dan F = prinsip fasilitasi
Berdasarkan Tabel 5 tersebut kombinasi jenis sebaiknya dilakukan
maksimal 2-3 jenis dengan pertimbangan kesesuain untuk semua jenis
termasuk marginal (S3) sehingga produksinya dapat optimal.
C. Kebijakan yang diperlukan
Pengembangan HHBK dikabupaten Lombok tengah dapat
dilakukan pada berbagai peruntukan lahan yang ada tetapi perlu didukung
oleh kebijakan yang memberikan akses lahan lebih baik dan pendampingan
budidaya HHBK campuran kepada masyarakat sekitar. Kabupaten
Lombok Tengah memiliki luas 1.208,39 km² dengan peruntukan tanah
sebagaimana terlihat dalam Tabel 6 dibawah ini :
Tabel 6. Uraian Peruntukan Lahan di Kabupaten Lombok Tengah
No. Jenis Peruntukan Luas (Ha) %
1. Pekarangan/
bangunan
6.993 5,79
2. Sawah 52.556 43,49
3. Tegalan / Kebun 12.420 10,28
4. Ladang / Huma 12 0,01
5. Tanah
Penggembalaan
85 0,07
6. Tambak 281 0,23
7. Kolam / Empang 1.773 1,47
8. Hutan Rakyat 2.583 2,14
7
K X X X
F
8
K
F X
9
K X
F
10
K X X X X
F
550| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No. Jenis Peruntukan Luas (Ha) %
9. Hutan Negara 21.158 17,50
10. Perkebunan 5.461 4,51
11. Lain-lain 17.517 14,49
Jumlah luas seluruhnya 120.839 100,00
Sumber : Lombok Tengah dalam angka tahun 2013.
Berdasarkan jenis peruntukan lahan pada Tabel 6 tersebut, lahan
yang dapat dikembangkan untuk tanaman campuran HHBK terdapat pada
jenis peruntukan tegalan/kebun seluas 12.420 hektar dan hutan rakyat 2583
hektar. Selanjutnya Hidayat dan Supriharjo (2014) menyebutkan bahwa
sub sektor unggulan kecamatan di Lombok Tengah adalah tanaman
pangan, peternakan dan kehutanan. Pengembangan HHBK dalam model
tanaman campuran sub sektor unggulan tersebut perlu didukung oleh
kebijakan-kebijakan terkait. Sebagai contoh di Propinsi Jawa Timur
berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor:188/798/Kpts/
013/2011 telah ditetapkan komoditi unggulan HHBK yang perlu dilindungi
dan dikembangkan adalah bambu, lebah madu, porang, empon-empon dan
getah pinus. Penetapan seperti ini belum terdapat di Propinsi ntB maupun
di Kabupaten Lombok Tengah. Kebijakan yang sudah ada antara lain
adalah: (1) Permenhut Nomor 19 Tahun 2009 tentang Strategi
Pengembangan HHBK (maksud dan tujuannnya: Menggali potensi daerah
dalam pengembangan HHBK sebagai alternatif sumber pangan, sumber
bahan obat-obatan, penghasil serat, penghasil getah-getahan dan lainnya
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (2) Perdirjen Bina
pengelolaan daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : P.1/V-
SET/2014 tentang Pedoman Teknis pembentukan sentra hasil hutan bukan
kayu unggulan; (3) Perda HKm Nomor 6 tahun 2004 tentang pedoman
penyelenggaraan HKM di Propinsi NTB pasal 2 ayat 2b menjelasakan
pemanfafatan HHBK dalam kawasan dan izin selama 10 tahun (pasal 7
ayat 2b) dan (4) Perda Kabupaten Lombok Tengah Nopmor 4 Tahun 2009
tentang penyelenggaraan HKm dimana disebutkan hhbk diizinkan untuk
dimanfaatkan sesuai perizinan untuk HKm .
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 551
Keempat kebijakan di atas perlu segera disosialisaikan dan
diimplementasikan sesuai dengan perda-perda terkait yang mendukung.
Kebijakan lain yang diperlukan adalah pemberian akses pinjam
pakai kawasan hutan dan pendampingan kombinasi pemilihan jenis
kepada masyarakat sekitar hutan. Pendampingan pemilihan kombinasi
pemilihan jenis campuran kayu, HHBK dan tanaman pangan perlu
dikoordinasikan dengan semua stakeholder terkait.
IV. KESIMPULAN , KETERBATASAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian ini, kesesuaian lahan dilokasi penelitian
termasuk S3 (sesuai marginal untuk jenis-jenis Jati, mahoni, nangka,
rambutan, pinang, pisang, jagung, cabe dan rumput gajah), sedangkan
untuk mahoni termasuk S2 (cukup sesuai ). Kombinasi jenis sebaiknya
dilakukan secara terbatas (2-3jenis) dengan mempertimbangkan prinsip
komplementer dan prinsip fasilitasi. Tindakan perlakuan yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan produksi hasil hhbk pertanian/pangan di
lokasi penelitian harus dengan merobah tekstur tanah dengan menambah
bahan organik sampai lapisan perakaran dan dengan membuat teras.
B. Keterbatasan
Keterbatasan dalam penerapan kombinasi jenis berdasarkan analisa
kesesuaian lahan di atas antara lain; ketidakmampuan petani untuk
membayar biaya analisa tanah, ketidakmampuan untuk memilih atau
menentukan kombinasi yang tepat dan masih rendahnya tingkat
kepercayaan mereka terhadap inovasi-inovasi baru.
D. Saran
Perlu dilakukan ujicoba untuk jenis-jenis kombinasi di atas
terhadap kondisi tekstur tanah yang berpasir. Pendampingan yang lebih
intensif khususnya untuk menyediakan infomasi analisa kesesuaian lahan
dan kombinasi jenis yang paling optimal di lahan-lahan yang
diperuntukkan untuk pengembangan HHBK.
DAFTAR PUSTAKA
552| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Brack, C. 1928. The Climate of The Netherlands Indies. Proc. Royal Mogn.
Meteor. Observ. Batavia, nr. 14. pp. 192.
Badan Pusat Statistik Lombok Tengah.2012. Lombok Tengah dalam
Angka tahun 2012.
Djaenudin, D., Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk
Teknis untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama tahun 2003, ISBN
979-9474-25-6. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, Indonesia
FAO. 1976. A Frame Work for Land Evaluation [Soil Buletin]. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome.Italia
Hidayatullah, M., Butarbutar,T. 2006. Status Kesuburan Tanah Pada
beberapa Kawasan Di Nusa Tenggara. Prosiding Ekspose/Diskusi
Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan bali dan
Nusatenggara. Kupang, 12 Desember 2006. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.Bogor;215-224.
Hidayat, M.E dan R. Supriharjo.2014. Identifikasi sub sektor unggulan
kecamatan di kabupaten Lombok tengah. Program Studi
Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan
perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Dinduyh di
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-32140-3609100062-
paper.pdf pada tanggal 26 Nopember 2014
Ritung,S., Wahyuanto., Agus F dan Hidayat, H. 2007. Panduan Evaluasi
Kesesuain lahan dengan Contoh Peta Arahan penggunaan lahan
kabupaten Aceh barat. Balai Penelitian tanah dan Agroforestry
Centre (ICRAF), Bogor. Indonesia.
Vandelmeer, J. 1989. The ecology of intercropping. Cambridge University
Press, New York.
Van Ranst, E. 1993. Regional Pedology. International Training Centre for
Soil Scientist. Universiteit of Ghent. Belgium
Lampiran 1. Kriteria kesuaian lahan untuk berbagai jenis tanaman pohon
penghasil kayu, penghasil buah dan tanaman pertanian lainnya
Karak
teristik
Lahan
Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe
merah
Rumput
gajah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 553
Karak
teristik
Lahan
Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe
merah
Rumput
gajah
Temperatur rata-rata (0C)
S1 25-30 25-30 22-28 25-28 25-28 25-27 20-26 21-27 20-27
S2 <30-35 <30-35 28-34 28-32 28-32 27-30 - 27-28 18-20
21-<25 21-25 18-22 22-25 22-25 22-25 26-30 16-21 28-30
S3 - - 34-40 32-35 32-35 30-35 16-20 28-30 16-18
N Td td >40 >35 >35 >35 <16 >30 <16
>38
1. Ketersediaan air (wa)
S1 1500-
2000
2000-
3000
1500-
2000
2000-
3000
2000-
3000
1500-
2500
500-
1200
600-
1200
1700-
2000
S2 >2000-
2250
>3000-
3500
2000-
3000
1750-
2000
1300-
2000
1250-
1500
1200-
1600
500-600 1400-
1700
1250-
1500
1750-
<2000
1000-
1500
3000-
3500
3000-
4000
2500-
3000
400-
500
1200-
1400
2000-
3000
S3 >2250-
2500
>3500-
4000
3000-
4000
1250-
1750
1000-
3000
1000-
1250
>1600 400-500 1100-
1400
1250-
<1000
1500-
>1750
750-
1000
3500-
4000
4000-
5000
3000-
4000
300-
400
>1400 3000-
5000
N - - >4000 <1250 <1000 <1000 - <400 <1100
<750 >4000 >5000 >4000 <3000 - >5000
2. Kelembaban udara (%)
S1 - >60 >60 <42 <65
S2 - 50-60 50-60 36-42 65-75
S3 <50 30-50 30-36
N <30 <30
3. Lama masa kering (bulan)
S1
S2 Td <3 3-4
S3 Td <3-4 4-6
N Td Td >6
4. Ketersediaan oksigen (oa)
S1 Baik baik baik,
sedang
baik,
sedang
baik,
sedang
baik,
agak
terham
bat
baik,
agak
terha
m bat
baik,
agak
terham
bat
S2 agak
cepat,
sedang
agak
cepat,
sedang
agak
terhamb
at
agak
terhamb
at
agak
terhambat
agak
cepar,
sedang
agak
cepat,
sedan
g
agak
cepat,
sedang
S3 cepat,
agak
terhamb
cepat,
agak
terham
Terham bat, agak
cepat
Terham
bat,
agak
Terham
bat,agak
cepat
terhamba
t
Terha
mbat
Terham
bat
554| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Karak
teristik
Lahan
Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe
merah
Rumput
gajah
at bat cepat
Ns Terham
bat
Terham
bat
sangat
terham
bat
sangat
terham
bat
sangat
terhambat
Terhamb
at
sangat
terha
mbat
sangat
terham
bat
Media perakaran (rc)
1. tekstur tanah
S1 h,ah,s h,ah,s h,ah,s h,ah,s h, ah,s h,ah,s h,ah,s
S2 h,ah,s - - h,ah,s - - -
S3 Ak Ak ak,sh ak ak,sh Ak ak
N K K k k K K K
2. Bahan kasar (%)
S1 <15 <15 <15 <15 <15
S2 15-35 15-35 15-35 15-35 15-35
S3 35-55 35-55 35-55 35-55 35-55
N >55 >55 >55 >55 >55
3. Kedalaman efektif
S1 >100 <150 >100 >100 >100 >75 >60 >75
S2 75-100 100-
<150
75-100 75-100 75-100 >75 40-60 50-75
S3 50-75 75-
<100
50-75 50-75 50-75 50-75 25-40 30-50
N <50 50-<75 <50 <50 <50 <50 <25 <30
Retensi hara (nr)
1. KTK liat (cmol)
S1 >16 >16 >16 >16 >16
S2 <=16 <=16 <=16 <=16 <=16
S3
N
2.Kejenuhan basa (%)
S1 >35 >35 >50 >50 >50
S2 20-35 20-35 35-50 35-50 35-50
S3 <20 <20 <=35 <=35 <=35
N
3.pH2O
S1 5,5-7,0 5,5-7,0 5,0-6,0 5,0-6,0 5,2-7,5 5,6-7,5 5,8-
7,8
6,0-7,6
S2 >7,0-
7,5
>7,0-
7,5
4,5-5,0 4,5-5,0 4,8-5,2 5,2-5,6 5,5-
5,8
5,5-6,0
5,0-
<5,5
5,0-
<5,5
6,0-7,5 6,0-7,5 7,5-8,0 7,8-
8,2
7,6-8,0
S3 >7,0- >7,0- <4,5 <4,5 <4,8 <5,2 <5,5 <5,5
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 555
Karak
teristik
Lahan
Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe
merah
Rumput
gajah
8,0 8,0
4,5-
<5,0
4,5-
<4,5
>8,0 >7,5 >8,0 >8,2 >8,0
N Td Td
4. C-organik (%)
S1 >1,2 >1,2 >0,8 >1,5 >0,4 >0,8
S2 0,8-1,2 0,8-1,2 <=0,8 0,8-1,5 <=0,4 <=0,4
S3 <0,8 <0,8 <0,8
N
Toksititas (xc)
Salinitas (ds/m)
S1 <4 <4 <4 <4 <12 <2 <4 <3
S2 4-6 4-6 4-6 4-6 12-6 2-4 4-6 3-5
S3 5-8 >6-8 6-8 6-8 16-20 4-6 6-8 5-7
N >8 - >8 >8 >20 >6 >8 >7
Bahaya erosi (eh)
1. Lereng (%)
S1 <8 <8 <8 <8 <8 <8 <8 <8
S2 8-16 8-15 8-16 8-16 8-16 8-16 8-16 8-16
S3 16-30 >15-30 16-30 16-30 16-30 16-40 16-40 16-30
N >30 >30-50 >30 >30 >30 >40 >40 >30
2.Bahaya erosi
S1 Sr sr Sr sr sr Sr Sr sr
S2 r-sd r r-sd r-sd r-sd r-sd r-sd r-sd
S3 B sr B b b B B B
N Sb b Sb sb sb Sb Sb sb
Bahaya banjir (fh)
1.Genangan
S1 Fo fo Fo fo Fo Fo fo
S2 f1 f1 f1 f1 f1 - -
S3 f2 f2 f2 f2 f2 f1 f1
N f3 f3 >f2 >f2 >f2 >f2 .f1
Penutupan lahan
1.Batuan dipermukaan (%)
S1 <3 <5 <5 <5 <5 <5
S2 3-15 5-15 5-15 5-15 5-15 5-15
S3 15-40 15-25 15-25 15-25 15-25 15-25
N >40 >25 >25 >25 >25 >25
2.Singka pan batuan (%)
S1 <2 <5 <5 <5 <5 <5
S2 2-10 5-15 5-15 5-15 5-15 5-15
556| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Karak
teristik
Lahan
Jati Mahoni Nangka Rambutan Pinang Pisang Jagung Cabe
merah
Rumput
gajah
S3 >10-25 15-25 15-25 15-25 15-25 15-25
N >25-40 >25 >25 15-25 15-25 15-25
Keterangan : S1 = sangat sesuai; S2 = cukup sesuai;S3 = sesuai marginal dan N = tidak
sesuai
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 557
PENGENALAN HHBK MELALUI JALUR PENDIDIKAN –
PELAJARAN DARI SMK KEHUTANAN KADIPATEN
MM. Budi Utomo1, Ari Darmawan
2, Yumantoko
3 & Levina AGP
1
1) BPT- Agroforestry
Jalan Raya Ciamis-Banjar km.4, Pamalayan, Ciamis 2)
SMK Kehutanan Kadipaten
Jalan Raya Timur Sawala, Kotak Pos 20, Kadipaten, Majalengka 3)
BPT- HHBK
Jalan Dharma Bhakti No.7, Langko, Lingsar, Lombok Barat, NTB
Email: [email protected]
ABSTRAK
Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Indonesia sangatlah besar dan
nilai yang dihasilkan jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil hutan kayu.
Sejauh ini, kondisi ideal yang diharapkan terhadap pemanfaatan HHBK
domain kementerian kehutanan yang berjumlah 565 belum tercapai, termasuk
pada lima jenis HHBK yang dijadikan unggulan; rotan, gaharu, sutera, lebah
madu, dan bambu. Kriteria unggulan yang salah satunya berdasarkan kekhasan
daerah ini selaras dengan alur pikir sistem pembelajaran di sekolah yang
terwujud dalam mata pelajaran muatan lokal. Alur pikir dalam tulisan ini
adalah adanya kemungkinan sinergi dalam hal pengenalan HHBK yang
menjadi kekhasan lingkungan suatu daerah dengan institusi pendidikan melalui
sistem pembelajaran. Maksud dari pengenalan ini adalah agar kekhasan HHBK
suatu daerah dapat diketahui oleh para peserta didik yang akan menjadi
tumpuan masa depan daerah itu sendiri. Pengenalan ini juga bertujuan untuk
memberikan keterampilan, pendidikan lingkungan, sekaligus investasi
pengembangan HHBK jangka panjang. Salah satu institusi yang telah
mengenalkan HHBK, khususnya madu dan diintegrasikan dalam kurikulum
adalah SMK Kehutanan Kadipaten. Meskipun hanya berfokus pada HHBK
madu, namun sistem ini dapat diadaptasi oleh institusi pendidikan yang lain
dan disesuaikan dengan potensi lingkungan sekitar. Diharapkan melalui
integrasi HHBK dalam kurikulum mampu meningkatkan pengetahuan
masyarakat yang pada akhirnya mampu mengembangkan HHBK dengan lebih
luas.
Kata kunci: HHBK, pengenalan, integrasi, sekolah
558| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
Potensi hasil hutan bukan kayu sudah seharusnya dikembangkan
dan diperhatikan secara serius mengingat potensinya jauh lebih besar
dibandingkan hasil hutan kayu. Menurut Permenhut RI no. 21/Menhut-II/
2009, hasil dari HHBK adalah 90% dari sebuah ekosistem hutan, sembilan
kali lipat dibandingkan hasil kayu. Di beberapa daerah seperti di China,
HHBK jenis bambu merupakan salah satu penyumbang devisa utama
negara. Banyaknya contoh yang nyata terlihat, sudah seharusnyalah
pengembangan HHBK dilakukan sekarang dan dalam cakupan yang jauh
lebih luas.
Saat ini di Indonesia telah memiliki lima jenis HHBK unggulan;
gaharu, sutera, rotan, bambu, dan lebah madu. Namun sayangnya dari
semua pengusahaan HHBK ini masih banyak masalah yang dihadapi. Dari
kelima jenis HHBK unggulan ini, madu merupakan salah satu komoditas
dimana dari sisi keilmuan (apidologi) telah sangat maju. Khusus untuk
lebah madu, salah satu masalah utama adalah masih kurang maksimalnya
produksi. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan produksi adalah dengan menciptakan sentra-sentra budidaya
lebah yang baru.
Meskipun Indonesia adalah Negara agraris, namun pengetahuan
tentang beternak lebah bukanlah hal yang umum. Hal ini berakibat pula
pada kurangnya pengetahuan masyarakat tentang jenis dan peran lebah,
produk-produk perlebahan, maupun cara beternak. Kekurangan informasi
dan atau pengetahuan tentang perlebahan dapat memicu tingkat konsumsi
madu yang rendah dimana salah satu pemacunya diakibatkan oleh
kekhawatiran akan madu palsu disaat belum ada lembaga yang
bertanggung jawab penuh tentang asli tidaknya produk perlebahan di
Indonesia. Situasi ini yang saat ini dimanfaatkan produsen-produsen asing
lewat kran impor sehingga produk perlebahan lokal tergerus dan
menyebabkan kondisi pemasaran dan perkembangan madu secara umum di
Indonesia bergerak sangat lamban bahkan cenderung stagnan.
Membahas tentang produk perlebahan khususnya madu, banyak
sekali daerah yang telah dikenal baik pada tataran lokal, regional, maupun
nasional sebagai daerah penghasil madu, baik budidaya maupun liar.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 559
Disinilah seharusnya masyarakat mampu menjadi mitra pemerintah dalam
menyebarkan ilmu tentang perlebahan. Sehingga akan semakin banyak
penduduk diluar daerah tersebut mengenal dan mengerti tentang ilmu
perlebahan.
Pendidikan merupakan hal mendasar yang diperlukan setiap
manusia. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan terbagi atas tiga jalur yaitu pendidikan formal, pendidikan non
formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi (UU no.20 tahun 2003). Dalam
pendidikan dasar dan menengah kurikulumnya wajib memuat muatan lokal.
Dalam UU no.20 tahun 2003, bab X pasal 36, kurikulum pada semua jenis
dan jenjang pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Kurikulum
disusun dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan.
Salah satu terobosan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
mengintegrasikan HHBK madu dalam kurikulum sekolah dan ternyata
SMK Kehutanan Kadipaten telah melakukannya. Sebenarnya nilai lokal
yang masuk dalam pembelajaran bukan hanya jenis madu namun dapat
disesuaikan dengan nilai keunggulan lingkungan daerah sekolah yang
bersangkutan. Apa yang telah dilakukan di SMK kehutanan inilah yang
ingin ditularkan ke institusi pendidikan lain agar kejayaan HHBK benar-
benar terwujud di Indonesia.
II. Metode Penelitian
Tulisan ini merupakan desk study dengan menggunakan literatur-
literatur yang berhubungan dengan HHBK dan sistem pendidikan di
Indonesia. Sehingga alur pikir penulisan dapat dilihat pada gambar berikut.
560| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 1. Alur Pikir Penulisan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum
Secara umum tantangan pengembangan komoditas HHBK di
Indonesia sangatlah kompleks. Wiratno (2014) menyatakan bahwa
penyebab HHBK belum berkembang dengan baik adalah karena belum
adanya penanganan yang fokus dan terarah mengingat komoditas HHBK
yang sangat bervariasi, perhatian pemerintah baik pusat dan daerah yang
masih rendah, dan kebijakan pengembangan HHBK yang tidak terpadu dan
cenderung parsial.
Menilik pada kondisi industri agraris di beberapa Negara maju,
pemerintah banyak berperan dalam hal pengembangan teknologi melalui
1. Kerjasama dengan Kemendikbud lewat
Mapel Muatan lokal
2. Penguatan kapasitas SDM yang terukur 3. Rekonstruksi mekanisme program ke
masyarakat
Tujuan akhir :
1. HHBK semakin memasyarakat
2. Sarana pendidikan lingkukngan
3. memperbaiki kondisi pasar komoditas HHBK
4. Terciptanya lapangan kerja di bidang HHBK
Perlu strategi
Pengenalan budidaya
HHBK lewat pendidikan
Telah dilakukan oleh SMK
Kehutanan Kadipaten; madu
Dapat diadopsi oleh
institusi pendidikan lain
disesuaikan dengan
potensi/ keunggulan daerah
Pengembangan HHBK belum
berjalan baik
Perlu terobosan, salah satunya:
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 561
divisi penelitian dan pengembangan, regulator lewat mekanisme kebijakan,
dan pengolah-penampung komoditas. Kondisi ini sangat berbeda dengan
yang ada di Indonesia, dimana pemerintah kurang maksimal dalam
menjalankan ketiga hal tersebut dan masih berkutat pada urusan yang
sangat mendasar, semisal pembuatan sentra-sentra bagi komoditas tersebut.
Pada akhirnya kemajuan pengembangan komoditas tersebut jalan ditempat.
Mengingat terbatasnya sumberdaya manusia, pendanaan, waktu/intesnsitas,
dan areal yang dimiliki pemerintah, maka yang paling tepat untuk
melaksanakan kegiatan mendasar ini adalah masyarakat/rakyat. Sehingga
selain merubah dan memperbaiki peran pemerintah, kesadaran dan
kemampuan masyarakat untuk mengusahakan komoditas HHBK harus
ditingkatkan. Posisi pemerintah tidak lagi “menyuapi” namun
“memberdayakan”. Apabila kondisi ini dapat dicapai maka permasaB lahan
klasik tidak terserapnya hasil panen masyarakat dapat dihindari. Jaminan
akan terserapnya hasil panen akan menghindarkan dari peralihan profesi,
hal yang masih sering terjadi.
B. Hubungan Pendidikan dan HHBK
Berfokus pada peningkatan kesadaran masyarakat untuk secara
mandiri mengusahakan komoditas HHBK dalam hal ini, peran pemerintah
sangat besar. Salah satu terobosan yang patut dipertimbangkan adalah
melalui pendidikan. Pendidikan yang merupakan investasi, kelak dapat
menjadi modal anak didik dalam dunia kerja dan mampu menanamkan
mindset akan terbukanya peluang kerja dengan modal keterampilan/ ilmu
pengetahuan yang didapat di bangku sekolah. Hal ini sesuai dengan salah
satu tujuan atau kondisi yang diharapkan dalam pengembangan HHBK,
yaitu terciptanya lapangan kerja baru di sektor kehutanan yang berasal dari
komoditas HHBK (Permenhut RI no. P.19/Menhut-II/2009).
Dalam peraturan-peraturan mengenai HHBK, sangat terlihat
bahwa kementerian kehutanan sangat mendominasi. Namun terdapat celah
bagi institusi, lembaga, maupun perorangan untuk ikut berperan didalam
pengusahaannya dan di titik inilah institusi pendidikan dapat berperan
serta. Salah satu institusi yang telah mengembangkan kurikulum yang
memasukkan salah satu komoditas HHBK (madu) adalah SMK Kehutanan
562| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Kadipaten. Model pembelajaran dititikberatkan pada praktek lapangan dan
dikategorikan dalam pelajaran muatan lokal. Pelajaran muatan lokal
merupakan mata pelajaran yang disesuaikan dengan cirri khas dan potensi
daerah, termasuk keunggulan daerah dan dalam pengembangannya dapat
bekerjasama dengan departemen terkait (Anonim). Salah satu keunggulan
daerah ini adalah keunggulan dalam bentuk keunggulan HHBK. Mengingat
bahwa hampir setiap daerah memiliki potensi lingkungan dalam bentuk
HHBK, baik itu unggulan yang bersifat nasional, provinsi, maupun lokal
(kabupaten/kota) (Permenhut RI no. P.21/Menhut-II/2009), maka
sepertinya pintu masuk HHBK kedalam sistem pendidikan di seluruh
Indonesia terbuka. Peluang tersebut ada dalam kerangka pelajaran muatan
lokal (mulok).
Anonim menyebutkan bahwa tujuan pelajaran mulok adalah untuk
mengenal dan lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya.
Sehingga apabila mulok berbasis HHBK ini dijalankan maka akan banyak
manfaat yang diperoleh, yaitu HHBK semakin dikenal oleh masyarakat,
menjadi sarana pendidikan lingkungan, dalam jangka panjang mampu
memperbaiki kondisi pasar komoditas HHBK, dan memberi bekal
keterampilan yang dapat menjadi bekal dalam dunia kerja. Termasuk apa
yang telah dilakukan oleh SMK Kehutanan Kadipaten. Melalui pelajaran
mulok ini, siswa diajari untuk berbudidaya lebah madu, dari pengenalan
lebah, pakan, hingga produk yang dihasilkan (Novitasari et al, 2013).
Meskipun nantinya dengan bekal budidaya lebah ini belum tentu
dipraktekkan saat memasuki dunia kerja ataupun ditekuni sebagai profesi,
namun banyak intangible value yang bermanfaat bagi pengembangan
HHBK di Indonesia. Sebagai contoh, secara universal produk makanan
yang banyak dipalsukan adalah susu dan madu (Safira, 2014). Di Indonesia
sendiri hampir 80% madu di pasaran adalah madu palsu (Bina Apiari, 2009
dalam Suseno, 2011) dan saat ini sebagian besar produksi madu Indonesia
adalah madu budidaya. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang
mengerti tentang budidaya madu, maka pasar madu palsu sedikit demi
sedikit dapat digerus. Jangan sampai kondisi seperti saat ini dimana
masyarakat cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi
(trustworthy) terhadap madu impor. Hal ini terjadi karena lembaga
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 563
penjamin keaslian produk belum berjalan dengan baik dan minimnya
pengetahuan masyarakat dalam menentukan keaslian madu.
Analogi yang sama dapat diaplikasikan pada komoditas HHBK
yang lain. Semakin banyak masyarakat yang mengerti bagaimana
mengusahakan komoditas HHBK dengan baik, maka kontribusi HHBK
dalam meningkatan kesejahteraan penggiat usaha semakin mendekati
kenyataan. Jalur pendidikan merupakan jalan yang efektif, mengingat
karakter anak didik yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, idealisme
yang kuat, dan efek yang lebih membekas dalam diri siswa yang akan
dibawa hingga dewasa.
C. Perencanaan Kedepan
Pemikiran diatas merupakan proyeksi apabila HHBK benar-benar
digulirkan dalam bentuk mata pelajaran mulok dan dilaksanakan bukan
hanya di sekolah-sekolah yang langsung bergelut dalam dunia kehutanan.
Sehingga upaya pengenalan HHBK dilakukan secara lebih massif.
Kementerian terkait HHBK, yaitu kementerian lingkungan hidup dan
kehutanan, akan sangat baik apabila memanfaatkan momentum pergantian
kepemimpinan dan pemecahan kementerian pendidikan dan kebudayaan
untuk menawarkan kerjasama dalam pengenalan HHBK di sekolah (tujuan
jangka pendek) dan pengembangan HHBK secara luas (tujuan jangka
panjang). Pengembangan HHBK saat ini yang masih jauh dari kondisi yang
diharapakan menyiratkan arti bahwa strategi yang telah dijalankan saat ini
butuh banyak perbaikan, baik itu perubahan/ modifikasi maupun percobaan
metode yang lain. Mengenalkan HHBK dalam kurikulum merupakan
bentuk percobaan metode yang lain yang sebenarnya tidak terlalu sulit
untuk dimulai. Ketersediaan atau pengalihan dana sangat mungkin untuk
dilakukan, ketersediaan SDM; peneliti, widyaiswara, guru, dan penyuluh
dapat dimaksimalkan dalam program tersebut.
Langkah konkret yang dapat ditempuh adalah; Pertama, menjalin
kerjasama pada kementerian pendidikan dan kebudayaan agar HHBK dapat
dimasukkan dalam mulok yang disesuaikan dengan potensi/keunggulan
daerah. Kedua, penguatan SDM melalui mekanisme pendidikan dan
pelatihan yang terukur. Ketiga, rekonstruksi program yang menyentuh ke
564| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
masyarakat, masyarakat yang benar-benar ingin bergelut dalam bidang
HHBK difasilitasi agar dapat berkembang. Skema bantuan harus dievaluasi
agar bantuan tersebut tepat sasaran, paradigma yang ada harus diarahkan
kearah pemberdayaan.
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
1. Pelajaran yang dapat dipetik dari SMK Kehutanan Kadipaten adalah
peluang pengenalan dan pengembangan HHBK lewat institusi
pendidikan terbuka.
2. Semakin banyak masyarakat yang mengenal HHBK akan
mempermudah dalam mengembangkannya dan lewat pendidikan hal
itu akan lebih mudah tercapai.
3. Banyak program pemerintah yang harus dievaluasi dan dibenahi
apabila ingin komoditas HHBK berperan nyata dalam perekonomian
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tanpa tahun. Pengembangan Model Mata Pelajaran Muatan
Lokal. http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/KTSP-SMK/12.ppt, diakses
tanggal 20 November 2014.
Novitasari, D., Kurniawati, M. & Dimyati. 2013. Budidaya Lebah Madu.
SMK Kehutanan Kadipaten. Kadipaten.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.19/Menhut-
II/2009 tentang Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Nasional.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.21/Menhut-
II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan
Bukan Kayu Unggulan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.35/Menhut-
II/2009 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.
Safira, M. 2014. Madu dan Susu Paling Sering Dipalsukan di Dunia.
http://food.detik.com/read/2014/11/05/133823/2739623/297/madu
-dan-susu-paling-sering-dipalsukan-di-dunia--1-, diakses tanggal
27 November 2014.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 565
Suseno. 2011. Uji Mutu Madu yang Dipasarkan di Pasar Gede Surakarta
Ditinjau dari Kandungan Enzim Diastase, Aktivitas Enzim
Diastase dan Kadar Sukrosa. Jurnal Kimia dan Teknologi, 5(2): 51
– 58.
Wiratno. 2014. Strategi dan Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu Dalam Rangka Kelola Kawasan untuk Kesejahteraan
Masyarakat. Makalah Utama Seminar Nasional HHBK. Fakultas
Kehutanan UGM.
566| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PRODUKSI SERESAH TANAMAN MIMBA UMUR TIGA TAHUN
DI NUSA PENIDA
Ali Setyayudi, Ryke Nandini dan Budi Hadi Narendra
Balai Peneelitian Teknologi HHBK
Jl dharma bhakti no.7 langko lingsar lobar, NTB
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Salah satu kontribusi tanaman bagi perbaikan kondisi lahan kritis adalah
adanya sumbangan biomassa tanah melalui seresah yang dihasilkan. Seresah
terdekomposisi akan menghasilkan unsur hara yang penting bagi pertumbuhan
tanaman dan perbaikan kesuburan tanah. Tanaman mimba merupakan salah
satu tanaman yang dipilih sebagai jenis rehabilitasi lahan di Nusa penida. Guna
mengetahui kontribusi tanaman mimba terhadap perbaikan kondisi lahan di
Nusa Penida maka dilaksanakan pengukuran besarnya produksi seresah yang
dihasilkan. Penelitian dilaksanakan dengan membuat jaring penangkap seresah
berukuran 1 x 1 m dan diletakkan dibawah tanaman mimba. Hasil penelitian
menunjukkan besarnya produksi seresah tanaman mimba hingga umur tiga
tahun di Nusa penida adalah sebesar 2,511g/th/m2.
Kata kunci : Mimba, Seresah, Nusa Penida
I. PENDAHULUAN
Nusa Penida merupakan salah satu pulau terluar yang berada
disebelah selatan pulau Bali. Secara administrasi Nusa Penida adalah
sebuah kecamatan dibawah pemerintahan Kabupaten Klungkung, Propinsi
Bali. Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida cenderung landai
hingga berbukit, dimana daerah datar merupakan daerah pesisir di
sepanjang pantai bagian utara dengan kemiringan 0 - 3 % dari ketinggian
lahan 0 - 268 m dpl. Sedangkan semakin ke selatan daerahnya memiliki
kemiringan lereng yang semakin bergelombang (Pemerintah Kabupaten
Klungkung, 2013). Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Bali (2010)
hampir 45% wilayah Kabupaten Klungkung termasuk dalam kondisi kritis
dan sebagian besar berada di Nusa Penida (Pemerintah Propinsi Bali,
2010). Selain kemiringan lahan yang curam, kedalaman tanah yang dangkal
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 567
dan minimnya jumlah air tanah mejadi penyebab lahan di Nusa Penida
tergolong kritis.
Upaya perbaikan kondisi lahan di Nusa Penida terus dilakukan dan
salah satunya melalui program penanaman tanaman. Salah satu jenis
tanaman yang dapat disarankan adalah jenis mimba yang dikenal
mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup baik terhadap lingkungan
kritis. Struktur akar yang sering menyamai tinggi pohonnya menjadikan
tanaman ini sebagai penahan air dan tanah sehingga dapat mengantisipasi
kekeringan dan erosi (Putri dan Widyani, 2007). Peran tanaman dalam
rehabilitasi lahan kritis selain melalui kemampuan menahan air hujan
sehingga mengurangi potensi erosi adalah melalui seresah yang dihasilkan
dan terakumulasi dalam tanah. Seresah terdekomposisi akan menghasilkan
unsur hara yang penting bagi pertumbuhan tanaman dan perbaikan
kesuburan tanah. Oleh karena itu guna mengetahui peran tanaman mimba
bagi tanah di Nusa Penida dilakukan penelitian untuk mengukur besarnya
produksi seresah yang dihasilkannya.
II. METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan penelitian
Nusa penida yang secara administrasi termasuk dalam kawasan hutan
suana, Nusa penida. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2012 hingga tahun
2013, dengan pengambilan sampel sebanyak empat kali yaitu pada bulan
juli dan oktober 2012 serta bulan juli dan desember 2013. Pengambilan
data dilakukan dalam plot penanaman mimba yang ditanam dengan empat
perlakuan manipulasi lingkungan yaitu P1 (pupuk kandang), P2 (pupuk
kandang + gulud), P3 (pupuk kandang + hydrogel), P4 (gulud + hydrogel)
dan P0 (plot kontrol).
Rancangan penelitian yang digunakan dalam pembuatan plot
penanaman mimba adalah rancangan bujur sangkar latin 5 x 5, dimana lima
baris searah dengan kemiringan lahan dan lima kolomnya tegak lurus
kemiringan atau sejajar kontur lahan. Berdasarkan hal tersebut
pengambilan sampel seresah dilakukan secara purposive pada baris
pertama, ketiga, dan kelima. Pembuatan plot pebgambulan seresah
dilakukan dengan jaring penangkap seresah seluas 1m dan diletakkan
568| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dibawah tanaman mimba yang terpilih sebagai sampel. Pemilihan sampel
tanaman dalam setiap plot tanaman dilakukan secara random.
Pengukuran dilakukan dengan mengmbil seresah mimba baik daun
maupun dahan yang tertangkap dalam jaring. Seresah yang diperoleh
kemudian ditimbang dan di oven selama 24 jam dengan suhu 105oC
sehingga diperoleh berat kering oven atau biomassa seresah. Data berat
seresah dianalisa secara diskriptif dan dihitung berat estimasi produksi
seresah mimba per bulan per meter persegi atau per tahun per meter
persegi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengukuran produksi seresah tanaman mimba ditampilkan
dalam gambar 1. Data tersebut merupakan data berat seresah yang diukur
selama dua tahun (20 bulan) dengan intensitas empat kali pengukuran.
Berat kering oven seresah adalah berat seresah setelah dioven pada suhu
105oC selama 24jam. Bagian tanaman mimba yang jatuh dan ditangkap
jaring penangkap sebagian besar berupa daun dan ranting. Pada saat
dilakukan pengamatan, bagian tanaman mimba yang terdapat pada jaring
penangkap biasanya masih berupa jaringan utuh berwarna kuning hingga
kecoklatan.
Gambar 1. Berat seresah tanaman mimba umur tiga tahun
di Nusa penida
1.090
0.305 0.406
1.477
0.111
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
P0 P1 P2 P3 P4
ber
at
seres
ah
(g
)
Plot penanaman mimba
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 569
Berat seresah rata-rata yang diperoleh selama pengamatan dua puluh
bulan adalah sebesar 0,678g. Berat tertinggi diperoleh dari tanaman dalam
plot P3 dan terendah dalam plot P4. Dalam plot P3 penanaman mimba
dilakukan dengan penambahan pupuk kandang dan hydrogel, berdasarkan
analisa pertumbuhannya tanaman mimba dalam plot P3 memiliki
pertumbuhan yang paling baik diantara yang lain baik itu tinggi, diameter
maupun lebar tajuknya. Sedangkan pertumbuhan tanaman mimba yang
paling rendah ada pada plot P0, namun ini tidak berbanding lurus dengan
jumlah seresah yang dihasilkan dikarenakan berdasar gambar 1 terlihat
bahwa jumlah seresah terendah ada pada plot P4. Hasil analisa korelasi
antara berat seresah dengan parameter pertumbuhan tanaman mimba
menunjukkan berat serresah yang dihasilkan lebih berkorelasi dengan lebar
tajuk tanaman daripada tinggi dan diameter batang tanamannya (Tabel 1).
Hal ini menggambarkan bahwa semakin besar tajuk yang dimiliki tanaman
mimba akan semakin besar pula kemungkinan seresah yang jatuh ketanah.
Hal ini sebagimana yang dikatakan Cragg (1964) dalam Soeroyo (1986)
bahwa selain faktor lingkungan seperti kesuburan tanah, kelembaban,
kerapatan, bidang dasar, musim dan tegakan, tajuk juga cukup berpengaruh
terhadap produksi seresah dimana semakin tipis tajuk akan semakin
berkuarng produksi seresahnya.
Tabel 1. Data pertumbuhan tanaman mimba dan korelasi pearson antara
berat seresah terhadap pertumbuhan tanaman mimba
Plot penanaman
mimba
Seresah
(g)
Tinggi
(cm)
Diameter
(mm)
lebar
tajuk (cm)
P0 1.089567 46.97328 6.206193 24.36325
P1 0.305417 70.57758 8.722325 36.43845
P2 0.40635 79.09019 9.82872 40.77586
P3 1.47695 96.12388 11.80801 51.27407
P4 0.1109 53.38944 6.252543 24.79496
korelasi pearson berat
seresah dengan pertumbuhan
tanaman mimba
0.395149 0.454846 0.467632
570| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 2. Berat seresah rata-rata dalam setiap pengambilan sampel
Berdasarkan gambar 1 terlihat besarnya berat rata-rata seresah
selama dua puluh bulan adalah 0,678g, sedangkan dalam gambar 2
ditampilkan besarnya berat seresah rata-rata setiap pengamatan selama dua
puluh bulan. Pengambilan sampel pada bulan oktober 2012 diperoleh
jumlah seresah terbesar diantara yang lain, sedangkan yang terendah pada
bulan juli 2013. Data dalam gambar 2 bila dikonversi menjadi data berat
seresah per bulan dalam setiap pengambilan sampelnya adalah bulan juli
2012 sebesar 0,127g, oktober 2012 sebsar 0,662g, juli 2013 sebesar 0,014g,
dan desember 2013 sebesar 0,035g. Oleh karena itu secara rata-rata
menjadi 0,209g/m2/bulan, sehingga bila dikonversi menjadi per tahun
adalah sebesar 2,511g/th/m2. Produksi seresah yang dihasilkan tersebut
masih cukup kecil atau hampir hanya 0,109% dari produksi seresah pada
hutan hujan tropis (Wiharto,2004 dalam Raharjo, 2006). Hasil ini juga
masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan produksi seresah beberapa
jenis tanaman lain seperti Acacia crassicarpa umur 3 tahun di Riau yaitu
sebesar 44,3g/m2/bulan (Aprianis, 2011), Acacia mangium dan Pinus
merkusii di Gunung Walat yaitu sebesar 16,9g/m2/minggu dan 11,2
g/m2/minggu (Hilman, 1992 dalam Raharjo, 2006). Hasil ini juga masih
jauh lebih kecil daripada produksi seresah mimba di sumbawa pada tahun
2013 yaitu sebesar 30,1-45,4g/pohon/tahun (Setiawan dkk, 2013).
0
0.381
1.985
0.122 0.175
0
0.5
1
1.5
2
2.5
be
rat
sere
sah
(g)
waktu pengambilan sampel
Berat seresah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 571
Salah satu potensi penting dari keberadaan seresah dalam tanah
adalah adanya potensi menyumbang bahan organik dan unsur hara N bagi
tanah. hasil penelitian Setiawan dkk (2013) menunjukkan bahwa seresah
mimba di sumbawa berpotensi menyumbang bahan organik sebesar 52,73-
53,92% dan unsur hara N sebesar 1,03-1,95%. Berdasarkan informasi
tersebut maka seresah mimba di nusa penida berpotensi menyumbangkan
bahan organik sebesar 1,32-1,35g/m2/th dan unsur hara N sebesar 0,026-
0,049g/m2/th. Data pengukuran tahun 2013 bahwa besarnya unsur hara N
dan bahan organik di Nusa Penida adalah sebesar 0,26% dan 1,88%,
sedangkan berat jenis tanahnya adalah sebesar 2,21g/cm3 dan kedalaman
rata-rata tanahnya adalah 50cm. Maka dari itu besarnya potensi sumbangan
unsur hara N dan bahan organik seresah tanaman mimba bagi tanah di
Nusa Penida masih cukup kecil yaitu hanya sebesar 0,001-0,002% dan
0,006-0,007% saja. Namun demikian meskipun produksi seresah yang
dihasilkan masih cukup kecil namun peran seresah tersebut masih cukup
penting khususnya bagi tanah di Nusa Penida yang cenderung memiliki
solum tipis dan bertopografi miring. Seresah yang sudah terdekomposisi
menjadi bahan organik atau humus mempunyai beberapa peran yaitu
sebagai granulator untuk memperbaiki struktur tanah, sumber unsur hara
seperti N,P,S dan unsur lainnya, menambah kemampuan tanah menahan
air, menambah kemampuan tanah menahan unsur hara, dan sebagai sumber
energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno, 1987).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Besarnya produksi seresah tanaman mimba hingga umur tiga tahun
di Nusa Penida adalah sebesar 2,511g/m2/th.
B. Saran
Dalam penelitian ini masih hanya sebatas melihat seberapa besar
produksi seresah yang dihasilkan tanaman mimba umur tiga tahun sehingga
kedepan perlu juga dilakukan penelitian mengukur besarnya produksi
seresah hingga umur yang lebih tua serta dilakukan pengamatan laju
572| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dekomposisi seresahnya dalam kondisi lahan seperti yang ada di Nusa
penida.
DAFTAR PUSTAKA
Aprianis, Y. 2011. Produksi Dan Laju Dekomposisi Serasah Acacia
crassicarpa A. Cunn. di PT. Arara Abadi. Tekno Hutan Tanaman
4: 41 – 47.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa.
Jakarta
Pemerintah kabuoaten klungkung. 2013. Kondisi geografis Kabuoaten
Klungkung.
http://www.klungkungkab.go.id/index.php/profil/14/Kondisi-
Geografis diakses tanggal 06 Juni 2014.
Pemerintah Propinsi Bali. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Bali. Pemerintah Propinsi Bali.
Putri, K.P. dan N. Widyani. 2007. Potensi Tanaman Mimba Sebagai Bahan
Pestisida Nabati untuk Hutan Tanaman Rakyat di Sumatra Barat.
Prosiding Seminar Teknologi Perbenihan untuk Peningkatan
Produktifitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatra Barat. Solok, 7
November 2007
Raharjo, R. 2006. Studi Terhadap Produktivitas Serasah, Dekomposisi
Serasah, Air Tembus Tajuk Dan Aliran Batang Serta Leaching
Pada Beberapa Kerapatan Tegakan Pinus (Pinus Merkusii), Di
Blok Cimenyan, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi.
Skripsi Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor
Soeroyo. 1986. Struktur dan gugur seresah hutan mangrove di Kembang
Kuning, Cilacap. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove.
Denpasar tanggal 5-8 aguatus 1986. Denpasar.
Setiawan, O., G. Samawandana, dan D.S.P. Sari. 2013. Ujicoba penyiapan
lahan dalam mendukung keberhasilan penanaman mimba di
Sumbawa. Laporan hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi
Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 573
PERILAKU HARIAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis)
PADA PENANGKARAN DI PULAU LOMBOK
Dewi Maharani1)
, Resti Wahyuni2)
dan Lalu Gde Wiryadi2)
1 Balai Penelitian Teknologi Agroforestry,
Jln. Raya Ciamis – Banjar Km. 4 PO.BOX 5 Ciamis 46201
Telp. 0265 - 771352, Fax 0265 – 775866 2 Balai Penelitian Teknologi HHBK,
Jl. Karya Bhakti No.7 Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Perilaku satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang ditimbulkan oleh
semua faktor yang mempengaruhinya baik faktor dari dalam tubuh satwa itu
sendiri maupun faktor dari luar, sedangkan perilaku harian rusa merupakan
pola aktivitas yang dilakukan rusa sehari-hari dalam memanfaatkan habitatnya.
Pengetahuan tentang tingkah laku satwa diperlukan sebagai pengetahuan dasar
untuk menunjang penelitian-penelitian selanjutnya yaitu tentang pakan,
reproduksi, ekologi habitat dan sebagainya. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui perilaku harian rusa timor pada penangkaran di Pulau Lombok.
Pengamatan menggunakan metoda Time Sampling yang terdiri dari 3 (tiga)
periode waktu yaitu pagi hari (pukul 06.00 – 09.00); siang hari (pukul 11.00 -
14.00) dan sore hari (pukul 16.00 – 19.00) selama 3 (tiga) hari berturut-turut
setiap bulannya. Pengamatan perilaku harian rusa dilakukan selama 8 bulan
yaitu mulai dari bulan April – November tahun 2009, sedangkan perilaku yang
diamati merupakan aktivitas yang dilakukan rusa antara lain aktivitas makan,
istirahat dan aktivitas lain. Aktivitas lainnya adalah aktivitas selain istirahat
dan makan, misalnya bermain, berdiri, dan sebagainya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan waktu oleh rusa timor pada penangkaran
masyarakat di Desa Puyung dan Suranadi dalam satu periode waktu
pengamatan sebagian besar adalah untuk makan (43% dan 46%),
duduk/istirahat 41% serta aktivitas lain 13% dan 16%. Rusa timor di
penangkaran KHDTK Rarung beraktivitas makan 34% dan 51%,
duduk/istirahat 33% dan 25% serta aktivitas lain 33% dan 24%.
Kata kunci: Perilaku harian, rusa, penangkaran.
574| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
I. PENDAHULUAN
Populasi rusa timor (Cervus timorensis) di alam semakin menurun
akibat perburuan liar dan perdagangan ilegal serta kerusakan habitat yang
cenderung meningkat, sehingga perlindungan dan pemanfaatannya telah
diatur oleh perangkat hukum yang ada di Indonesia salah satunya melalui
penangkaran. Penangkaran menurut PP no. 8 Tahun 1999 tentang
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar adalah upaya perbanyakan
melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan atau satwa liar
dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Menurut Semiadi dan
Nugraha (2004) bentuk pemeliharaan rusa dapat dilakukan dengan cara
diikat, dikandangkan dan pedok. Kemudian menurut Takandjandji dan
Sutrisno (2006) teknik pemeliharaan meliputi pemeliharaan rusa itu sendiri
antara lain: pengelompokan rusa, penyapihan anak, kesehatan, dan
penandaan/tagging; pemeliharaan pagar dan kandang; pemeliharaan pakan
dan teknik pemberian pakan. Salah satu upaya dalam peningkatan jumlah
individu rusa adalah mengetahui tentang perilakunya disertai pengamanan
dan perburuan (Suratmo (1979) dalam Wirdateti, et. al., 1997). Menurut
Wirdateti, et. al. (2005) pengetahuan tentang tingkah laku satwa diperlukan
sebagai pengetahuan dasar untuk menunjang penelitian-penelitian
selanjutnya yaitu tentang pakan, reproduksi, ekologi habitat dan
sebagainya. McFarland (1994) dalam Fajri (2000) menjelaskan perilaku
satwa dapat diartikan sebagai suatu ekspresi yang ditimbulkan oleh semua
faktor yang mempengaruhinya baik faktor dari dalam tubuh satwa itu
sendiri.
Berdasarkan hasil pengamatan pola aktivitas rusa antara lain
aktivitas makan, istirahat dan aktivitas lainnya. Lelono (2003) lebih lanjut
menjelaskan aktivitas makan merupakan aktivitas merenggut rumput yang
dilakukan sambil berdiri atau berjalan dimana pengamatan hanya terbatas
dari lamanya waktu memasukkan makanan ke mulut. Begitupula menurut
Garsetiasih dan Sutrisno (1997) dalam Fajri (2000), bahwa perilaku/
aktivitas makan dapat dilakukan bersama-sama dengan perilaku lokomosi
atau bergerak pindah. Pergerakan berpindah tersebut merupakan
perpindahan untuk suatu penjelajahan daerah lingkungan maupun memilih
dan mencari makanan. Aktivitas istirahat yaitu aktivitas merebahkan diri
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 575
tanpa melakukan apapun atau tidak sambil makan (Lelono, 2003).
Kemudian aktivitas lainnya adalah aktivitas selain makan dan istirahat
antara lain berjalan, memelihara diri, merawat anak, bercumbu, bertarung
dan lain-lain. Berdasarkan hal tersebut sehingga penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perilaku harian rusa timor pada penangkaran di Pulau
Lombok.
II. METODOLOGI
Pengamatan perilaku harian dilakukan pada penangkaran rusa
yang berada dalam Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Rarung serta pada 2 (dua) penangkaran masyarakat dengan jenis rusa yaitu
rusa timor (Cervus timorensis). KHDTK Rarung terletak dalam Kelompok
Hutan Gunung Rinjani RTK 1 dengan peruntukan kawasan sebagai hutan
lindung (Dishut NTB, 2007). Secara administrasi pemerintahan, KHDTK
Rarung berada di Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah,
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah rusa pada penangkaran KHDTK
Rarung berjumlah 4 (empat) ekor rusa timor dengan 2 betina dan 2 jantan
(Gambar 1.). Umur keempat rusa tersebut diperkirakan berbeda dilihat dari
ukuran tubuh rusa timor saat baru datang/dipindahkan dari tempat lain.
Penangkaran masyarakat yang dipilih yaitu penangkaran milik bapak I
Nyoman Radmawan (Desa Puyung, Kecamatan Jonggat, Kabupaten
Lombok Tengah) dengan jumlah rusa timor 1 jantan : 3 betina dan bapak
Benny (Desa Suranadi, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat)
mempunyai rusa timor 1 jantan : 5 betina (Gambar 1.). Pengamatan
perilaku harian di KHDTK Rarung dilakukan pada tahun 2008 (Juli –
Agustus) dan 2009 (April – Mei), sedangkan di Penangkaran masyarakat
tahun 2009 selama 8 bulan yaitu mulai dari bulan April – November.
Gambar 1. Dari kiri ke kanan: Penangkaran KHDTK Rarung-Puyung-
Suranadi
576| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pengamatan menggunakan metoda Time Sampling (Martin dan
Bateson (1986) dalam Wirdateti, dkk. (2005) yang terdiri dari 3 (tiga)
periode waktu yaitu pagi hari (pukul 06.00 – 09.00); siang hari (pukul
11.00 - 14.00) dan sore hari (pukul 16.00 – 19.00) selama 3 (tiga) hari
berturut-turut setiap bulannya. Parameter perilaku harian rusa yang diamati
antara lain aktivitas makan, istirahat dan aktivitas lain. Aktivitas lainnya
adalah aktivitas selain istirahat dan makan, misalnya bermain, berdiri, dan
sebagainya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Perilaku Harian Rusa Timor di Penangkaran Masyarakat
Pengamatan perilaku harian pada penelitian ini merupakan
pengamatan perilaku rusa yang dilakukan bersamaan, karena
kecenderungan perilaku rusa yang mengikuti kelompoknya. Menurut
Hoogerwerf (1970) dalam Masy’ud, et. al. (2007) studi-studi terkait
perilaku harian rusa timor di berbagai lokasi dan tipe habitat antara lain
menunjukkan bahwa rusa timor senang hidup berkelompok, satu kelompok
dapat terdiri dari 2 bahkan kadang-kadang mencapai 75 ekor, banyak aktif
pada siang hari (diurnal) tetapi apabila ada gangguan atau perubahan
kondisi lingkungan maka dapat aktif pada malam hari (nocturnal). Lelono
(2003) menjelaskan kondisi habitat alami berbeda dengan habitat di
penangkaran, perbedaan ini dapat membentuk pola perilaku yang berbeda
pula, salah satunya dalam memanfaatkan pakan tambahan. Perilaku makan
yaitu perilaku memasukkan makanan ke dalam mulutnya karena rata-rata
pemberian pakan pada ketiga penangkaran tersebut dilaksanakan dengan
pengaritan (cut and carry), perilaku istirahat yaitu perilaku duduk tanpa
makan dan perilaku lainnya yaitu misalnya perilaku minum, jalan dan
berlari, berkubang dan sebagainya selain perilaku makan dan duduk.
Berikut Tabel 1. merupakan hasil pengamatan perilaku harian rusa timor di
2 penangkaran.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 577
Tabel 1. Perilaku harian rusa timor di penangkaran Desa Puyung dan
Suranadi.
Bulan Periode
waktu
Lokasi penangkaran dan Jenis perilaku
Makan (menit) Duduk/Istirahat
(menit)
Perilaku lain
(menit)
P S P S P S
April Pagi 33 67.67 37.55 33.33 18.55 19
Siang 62.5 63.33 41.5 45.67 16 9.33
Sore 51.67 75 41.67 48.33 22.33 13.33
Mei Pagi 63 74.67 44.33 35.33 8.67 6
Siang 60.67 61.33 53.33 46.67 6 8.33
Sore 58 57.67 49.67 46 - 14.67
Juni Pagi 59.33 54.33 43 45.67 15.67 16.67
Siang 59.33 47.67 43.33 63.33 17.33 9
Sore 43.67 49 45.67 47.67 14.33 21
Juli Pagi 56 50 49.33 44 12.67 34.33
Siang 54.33 44.67 59 56 6.67 16.33
Sore 51.33 37.33 39 51.67 24.67 23.67
Agustus Pagi 54.67 44.67 48.67 54.33 16.67 21
Siang 53.33 44 60 59 6.67 13.67
Sore 50.33 49.67 45.67 42.67 22.33 28.67
September Pagi 52 48 48 49 16.67 22.67
Siang 55 45.33 48.67 62.67 15.67 11.33
Sore 49.67 50.67 49 47 20 22.33
Oktober Pagi 57.67 50 49.67 51.33 12.33 18.67
Siang 55.33 54.67 53.67 53.67 11 10.67
Sore 44.67 50.33 52 46 20.33 23.67
Nopember Pagi 45 46.67 40 46.67 12.5 26.67
Siang 51.67 41.67 55 53.33 - 25
Sore 43.33 36.67 45 51.67 - 31.67
Rata-rata
Total 53.18 51.39 47.61 49.21 15.10 18.65
Pagi 52.58 54.50 45.07 45.96 14.22 20.63
Siang 56.52 50.33 51.81 55.04 11.33 12.96
Sore 49.08 50.79 45.96 47.63 20.67 22.38
Ket: P = Puyung, S = Suranadi
Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa lamanya waktu yang
digunakan rusa timor untuk beraktivitas pada penelitian ini hanya dalam
kurun waktu pengamatan yang telah ditentukan. Pada umumnya rusa timor
578| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
makan pada semua periode waktu yaitu untuk penangkaran di Desa Puyung
mulai dari 33 – 63 menit pada pagi hari (pukul 06.00 – 09.00) dan 51,67 –
62,5 menit pada siang hari (pukul 11.00 - 14.00), serta 43,33 – 58 menit
pada sore hari (pukul 16.00 – 19.00). Perilaku makan rusa timor pada
penangkaran di Desa Suranadi yaitu 46,67 – 67,67 menit pada pagi hari,
41,67 – 63.33 pada siang hari serta 36 – 75 menit pada sore hari. Perilaku
duduk/istirahat yaitu untuk rusa timor pada penangkaran di Desa Puyung
dilakukan mulai dari 37,55 – 49,67 menit pada pagi hari, siang hari mulai
dari 41,50 – 67 menit, dan sore hari mulai dari 39 – 49,67 menit. Rusa
timor di Penangkaran Desa Suranadi melakukan duduk/istirahat mulai dari
33,33 – 51,33 menit pada pagi hari, sedangkan siang dan sore hari mulai
dari 45,67 – 62,67 menit dan 42,67 – 51,67 menit. Perilaku lainnya mulai
dari 8,67 – 18,55 menit; 6 – 17,33 menit dan 14,33 – 22,33 masing-masing
pada pagi, siang dan sore hari di Penangkaran Desa Puyung. Adapun di
Desa Suranadi mulai dari 6 – 3,33 menit; 8,33 - 25 menit dan 14,67 – 31,67
menit masing-masing pada pagi, siang dan sore hari.
Rata-rata waktu yang digunakan rusa timor di beraktivitas setiap
periode waktunya yaitu untuk makan selama 53,18 menit, duduk/istirahat
47,61 menit dan aktivitas lain 15,10 menit/periode waktu (di Penangkaran
Desa Puyung), sedangkan rusa timor di Penangkaran Desa Suranadi untuk
makan menggunakan waktu rata-rata selama 51,39 menit, duduk/istirahat
selama 49,21 menit dan aktivitas lain selama 18,65 menit/periode waktu.
Lamanya waktu yang digunakan oleh rusa timor untuk beraktivitas di
kedua penangkaran tersebut pada umumnya hampir sama.
Adapun periode waktu yang paling banyak digunakan untuk
makan adalah siang hari (pukul 11.00 - 14.00) selama 56,52 menit di
penangkaran Desa Puyung, berbeda dengan di Desa Suranadi pada pagi
hari (pukul 06.00 – 09.00) selama 54,50 menit. Perbedaan ini diduga
karena perbedaan waktu pemberian pakan di kedua penangkaran tersebut,
dimana pemberian pakan dilakukan secara cut and carry serta tanpa pakan
tambahan sehingga aktivitas makan rusa sangat tergantung ketersediaan
pakan. Menurut Lelono (2003) pola aktif makan rusa mempunyai 3 puncak
waktu yaitu pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00, siang antara pukul 11.00
– 14.00 dan sore mulai pukul 17.00 – 18.00. Berbeda dengan hasil
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 579
pengamatan Dradjat (2000), aktifitas makan tertinggi rusa timor terjadi
pada pukul 06.00 dan 18.00, terjadi penurunan pada saat siang hari dan
malam hari yaitu sejak pukul 21.00 (waktu istirahat). Perbedaan ini diduga
karena adanya perbedaan waktu dan cara pemberian pakan serta waktu
pengamatan itu sendiri. Berdasarkan beberapa pengamatan tersebut,
diketahui bahwa rusa pada dasarnya melakukan aktivitas makan hampir
sepanjang waktu bahkan sampai malam hari (hewan nokturnal). Lebih
lanjut Lelono (2003) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan penggunaan
waktu pada beberapa rusa timor dengan berbeda fisiologi dalam melakukan
aktivitas makan. Perilaku makan yang paling banyak dilakukan adalah oleh
rusa betina yang merawat anak yaitu selama 7,15 jam, hal ini dikarenakan
selain untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya juga karena harus
menyediakan susu sebagai makanan pokok anaknya. Kemudian diikuti oleh
jantan dengan ranggah lunak yaitu selama 7 jam, tingginya kebutuhan
makan kemungkinan disebabkan untuk membantu dalam pertumbuhan
ranggah dan menyimpan cadangan lemak yang dapat dijadikan sumber
energi pada saat kawin yaitu ketika ranggah mengeras, karena pada masa
itu nafsu makan rusa menurun.
Periode waktu yang paling banyak digunakan untuk aktivitas
duduk/istirahat dan aktivitas lain pada kedua penangkaran adalah sama
yaitu pada siang hari dan sore hari masing-masing selama 51,81 menit dan
20,67 menit (Puyung) serta 55,04 menit dan 22,38 menit (Suranadi).
Perilaku lain yang teramati yaitu perilaku minum, jalan, berdiri diam,
berlari, urinasi (buang air kecil), defikasi (buang air besar), saling
mendekati, saling menjilati, berkubang dan meraung. Aktivitas
duduk/istirahat banyak dilakukan siang hari, hal ini diduga dikarenakan
pada siang hari umumnya berhawa panas sedangkan rusa termasuk
mamalia yang memiliki sistem fisiologi tubuh berdarah panas yaitu
cenderung mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil tidak terpengaruh
dengan suhu lingkungannya, oleh karena itu rusa lebih banyak istirahat
agar kalor tidak banyak keluar dari tubuh serta agar cairan tubuh tetap
stabil karena cairan tubuh berguna untuk mengontrol suhu tubuh rusa agar
tetap stabil. Berikut Gambar 2 adalah prosentase perbedaan penggunaan
waktu oleh rusa timor di penangkaran masyarakat.
580| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 2. Prosentase Perilaku Harian Rusa Timor pada Penangkaran di
Desa Puyung dan Suranadi
Berdasarkan Gambar 2., penggunaan waktu dalam satu periode
waktu oleh rusa timor pada penangkaran masyarakat di Desa Puyung dan
Suranadi sebagian besar adalah untuk makan (43% dan 46%),
duduk/istirahat 41% serta aktivitas lain 13% dan 16%. Begitupun dari hasil
penelitian Masy’ud, et. al. (2007) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
alokasi waktu untuk setiap aktivitas harian dari rusa timor di kawasan
padang perumput Tanjung Sari Taman Nasional Bali Barat pada setiap
periode aktivitas yakni pagi, siang dan sore hari. Sebagian besar alokasi
waktu digunakan untuk aktivitas ingesti atau makan-minum (52,05 %)
sebagai aktivitas utama untuk memenuhi kebutuhn hidup (energi), diikuti
istirahat (30,61%), bergerak (6,12%), investigative (6,12%) dan grooming/
membersihkan diri (5,10%).
2. Perilaku harian rusa timor di Penangkaran KHDTK Rarung
Pengamatan perilaku harian rusa timor di Penangkaran KHDTK
Rarung dilakukan pada 2 tahun yaitu tahun 2008 dan 2009 masing-masing
selama 2 bulan. Hal ini dikarenakan rusa menunjukkan perilaku tidak
alamiah dan cenderung menunjukkan kewaspadaan atau ketegangan
sehingga dikhawatirkan menimbulkan stress. Perilaku tidak alamiah diduga
karena pengaruh kandang dengan dinding permanen dan relatif tertutup
sehingga rusa belum terbiasa dengan kehadiran manusia, berbeda dengan
kondisi kandang di penangkaran masyarakat (Puyung dan Suranadi) yang
memiliki kandang dengan dinding terbuka sehingga rusa terbiasa dengan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 581
keberadaan manusia. Berikut Tabel 2. lama dan jenis perilaku yang
dilakukan rusa timor di Penangkaran KHDTK Rarung.
Tabel 2. Perilaku haraian rusa timor di Penangkaran KHDTK Rarung
Bulan/Tahun Periode
waktu
Jenis perilaku
Makan
(menit)
Duduk/Istirahat
(menit)
Perilaku lain
(menit)
Juli (2008) Pagi 70.5 37.75 64.25
Siang 57 78.25 71
Sore 60.5 62.5 57
Agustus
(2008) Pagi
65.75 36 84.5
Siang 53.25 77.5 48
Sore 74 70.5 35.75
Rata-rata
Total 63.50 60.42 60.08
Pagi 68.13 36.88 74.38
Siang 55.13 77.88 59.50
Sore 67.25 66.50 46.38
April (2009) Pagi 60 32.5 27.5
Siang 71.33 20.66 25.66
Sore 69.33 31.66 21.66
Mei (2009) Pagi 53.67 28 31.67
Siang 51.6 33.33 31.6
Sore 50 30 25
Rata-rata
Total 59.32 29.36 27.18
Pagi 56.84 30.25 29.59
Siang 61.47 27.00 28.63
Sore 59.67 30.83 23.33
Tabel 2. di atas menjelaskan aktivitas rusa timor di Penangkaran
KHDTK Rarung untuk makan mulai dari 53,25 – 74 menit; duduk/istirahat
36 – 78,25 menit serta aktivitas lain 35,75 – 84,5 menit pada tahun 2008,
sedangkan tahun 2009 perilaku harian untuk makan, duduk/istirahat dan
aktivitas lain mulai dari 50 – 71,33 menit; 28 – 33,33 menit dan 25 – 31,67
menit. Perilaku harian rusa timor untuk makan, duduk/istirahat dan perilaku
lain masing-masing rata-rata selama 63,50; 60,42 dan 60,08 menit/periode
waktu pengamatan (tahun 2008); serta 59,32; 29,36 dan 27,18
menit/periode waktu pengamatan (tahun 2009). Berikut Gambar 3. adalah
prosentase perbedaan penggunaan waktu oleh rusa timor di Penangkaran
KHDTK Rarung.
582| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Gambar 3. Prosentase Perilaku Harian Rusa Timor di Penangkaran
KHDTK Rarung.
Berdasarkan Gambar 3. di atas terlihat bahwa pada tahun 2008
waktu yang digunakan rusa timor untuk berbagai aktivitas hampir sama, hal
ini diduga karena rusa belum terbiasa akan seringnya kehadiran manusia
dibanding sebelumnya, serta diduga karena kandang rusa sudah ditanami
rumput sehingga selain makan juga beraktivitas lainnya seperti jalan sambil
merumput. Berbeda dengan tahun 2009, penggunaan waktu cukup berbeda
jauh, hal ini diduga rusa sudah terbiasa dengan seringnya kehadiran
manusia serta karena variasi pakan lebih beragam (Maharani dan Wiryadi,
2009) yaitu selain hijauan yang ditanam seperti turi (Sesbania grandiflora),
gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), rumput gajah
(Pennisetum purpureum), rumput raja (Pennisetum purpuphoides) dan
rumput mulato (Brachiaria mulato) yang diberikan sesuai dengan
waktu/daur pemanenan juga hijauan lainnya yaitu daun nangka
hijau+kering, daun mahoni dan daun pisang serta pakan tambahan (dedak
padi dan jagung giling). Dibandingkan sebelumnya (Maharani, et. al.,
2010) hanya hijauan (daun turi, daun lamtoro, daun kacang gude, rumput
raja, rumput gajah dan daun gamal) serta pakan tambahan (dedak padi, ubi
jalar dan jagung giling). Akan tetapi dari hasil pengamatan tersebut,
aktivitas makan masih merupakan aktivitas yang banyak dilakukan
dibanding aktivitas lainnya yaitu 34% (tahun 2008) dan 51 % (tahun 2009),
seperti halnya rusa di tempat lain. Hasil pengamatan yang dilakukan
Wirdateti, et. al. (1997) mulai dari Agustus sampai dengan Oktober 1993,
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 583
rataan aktivitas rusa jawa (Cervus timorensis) di penangkaran Taman Safari
adalah 44% makan (merumput), 27% memamah biak, 18% istirahat/tidur,
6% berdiri diam, dan 5% berjalan-jalan di sekitar penangkaran. Begitu juga
hasil penelitian Wirdateti, et. al. (2005), aktivitas rusa timor di wilayah PT.
Kuala Tembaga Desa Aertembaga-Bitung-Sulawesi Utara yang dilakukan
mulai bulan Oktober – November 1994 yaitu merumput (31,17%),
memamah (14,63%) dan berbaring/istirahat (13,54%) dengan waktu
merumput terbanyak pada pagi dan menjelang malam hari, sedangkan
memamah dan istirahat pada siang hari.
IV. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini terbatas waktu pengamatan sehingga dapat
diambil kesimpulan yaitu:
1. Penggunaan waktu oleh rusa timor pada penangkaran masyarakat di
Desa Puyung dan Suranadi dalam satu periode waktu pengamatan
sebagian besar adalah untuk makan (43% dan 46%), duduk/istirahat
41% serta aktivitas lain 13% dan 16%.
2. Rusa timor di penangkaran KHDTK Rarung beraktivitas makan 34%
dan 51%, duduk/istirahat 33% dan 25% serta aktivitas lain 33% dan
24%.
Dari kesimpulan diatas dapat direkomendasikan terutama kepada
para pengelola penangkaran rusa agar lebih banyak mengamati aktivitas
rusa sehingga diketahui jadwal pemberian pakan serta terutama diketahui
musimnya rusa reproduksi atau musim kawin sehingga upaya perbanyakan
dapat tercapai sesuai target yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dradjat, A. S. 2000. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan, Embrio
Transfer dan In Vitro Fertilisasi pada Rusa di Indonesia: Suatu
Cara Untuk Mencegah Hewan Langka dari Kepunahan. Laporan
Riset Unggulan Terpadu V Bidang Teknologi Perlindungan
Lingkungan. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dewan
Riset Nasional. Jakarta.
Dinas Kehutanan Prov. NTB. 2007. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi
NTB Tahun 2006: 45-47. Mataram-NTB.
584| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Fajri, S. 2000. Perilaku Harian Rusa Totol (Axis axis) yang
Dikembangbiakkan di Padang Rumput Halaman Istana Negara
Bogor. Skripsi Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Lelono, A., 2003. Pola Aktivitas Harian Individual Rusa (Cervus
timorensis) dalam Penangkaran. Jurnal Ilmu Dasar Vol. 4 no.1: 48-
53.
Maharani, D. dan L.G. Wiryadi. 2009. Uji Coba Teknik Pemeliharaan
Rusa Timor dalam Kandang Permanen untuk Mendukung
Ekowisata di KHDTK Rarung. Laporan Hasil Penelitian BPK
Mataram. Tidak diterbitkan.
Maharani, D., R. Wahyuni dan L.G. Wiryadi. 2010. Uji Coba Teknik
Pemeliharaan Rusa Timor dalam Kandang Permanen untuk
Mendukung Ekowisata di KHDTK Rarung. Laporan Hasil
Penelitian BPK Mataram. Tidak diterbitkan.
Masy’ud, B., R. Wijaya dan I.B. Santoso. 2007. Pola Distribusi, Populasi
dan Aktivitas Harian Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville
1822) di Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi Vol.12
No.3 ISSN: 0215-1677. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/123456789/43594/Burhanuddin%20Masy%27ud.pdf?seque
nce=1. Diakses tanggal 20 Juni 2011.
Semiadi, G. dan R. Taufiq Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa
Tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Bogor.
Takandjandji, M. dan Edy Sutrisno. 2006. Teknik Penangkaran Rusa Timor
(Cervus timorensis timorensis). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang.
Wirdateti, M. Mansur dan A. Kundarmasno. 2005. Pengamatan Tingkah
Laku Rusa Timor (Cervus timorensis) di PT Kuala Tembaga, Desa
Aertembaga, Bitung-Sulawesi Utara. Animal Production, Vo. 7
No.2, Mei 2005: 121-126.
Wirdateti, W.R. Farida dan M.S.A Zein. 1997. Perilaku Harian Rusa Jawa
(Cervus timorensis) di Penangkaran Taman Safari Indonesia. Biota
Vol. II (2): 78 – 81. ISSN 0853-8670.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 585
HHBK LAK DENGAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA DI DESA SUGIAN
KECAMATAN SAMBELIA KABUPATEN LOMBOK TIMUR
Febriana Tri Wulandari & Sad Kurniati Wanitaningsih
Fakultas Ilmu Kehutanan Universitas Nusa Tenggara Barat
Email : [email protected]
ABSTRAK
Desa Sugian merupakan salah satu daerah yang telah melaksanakan budidaya
lak. Tetapi perkembangannya kurang menunjukan hasil yang maksimal.
Berdasarkan survey di lapangan kami menemukan beberapa permasalahan
sebagai berikut: a. Belum adanya teknologi pasca panen lak yang baik dari
petani sehingga mutu lak sangat rendah.b. Kurangnya bibit kutu lak yang baik.
c. Belum adanya pemeliharaan kutu lak yang baik sehingga sangat mudah
terserang parasit dan predator. d. Kurang pembinaan secara berkesinambungan
oleh dinas kehutanan. e. Harga jual yang rendah ditingkat petani. f. Lokasi
pemasaran yang belum jelas (pembeli mengambil langsung ke petani). g.
Ketersediaan kutu lak tidak berkesinambungan (setahun hanya 2 kali panen).
Tujuan dari penelitian ini memberikan gambaran pemecahan masalah dalam
budidaya dan pengolahan hasil lak sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi
masyarakat setempat khususnya di desa Sugian kecamatan Sambelia
Kabupaten Lombok Timur. Metode yang digunakan dalam penulisan makalah
ini dengan menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu menyajikan suatu
gambaran terperinci atas suatu situasi khusus (Silalahi, 2009).
Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan masyarakat lokal
sesuai prinsip hutan untuk rakyat (forest for people). Pemberdayaan yang
dilakukan harus memperhatikan dimensi sosial, ekonomi dan ekologi agar
pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai.Posisi masyarakat dalam
pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai pelaksana utama, sedangkan
pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau pendukung dari setiap program
pengembangan HHBK. HHBK kutu lak merupakan salah satu HHBK yang
dapat menjadi alternative untuk daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang
rendah (lahan kering) terutama untuk daerah Kabupaten Lombok Timur yang
sebagian wilayah memiliki curah hujan yang rendah.Dalam pengembangan
HHBK kutu lak perlu penanganan budidaya dan pasca panen kutu lak yang
baik untuk menghasilkan mutu lak yang baik sehingga dapat meningkatkan
nilai jual lak yang awalnya hanya Rp 7000 – 8000 per kilogram menjadi
Rp 90.000 – 125.000 per kilogram. Selain budidaya dan penanganan pasca
panen yang baik, pembinaan dari pihak terkait terutama pemerintah daerah
sangat diperlukan untuk kesinambungan pengembangan HHBK kutu lak
586| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
terutama dalam hal pemasaran.Pembentukan Forum pemerhati kutu lak perlu
dibentuk untuk pengembangan penelitian terutama untuk menghasilkan bibit
kutu lak yang baik.
Kata kunci : HHBK, kutu lak dan lak
I. PENDAHULUAN
Lak merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Lak
atau biasa disebut sherlak merupakan hasil dari sekresi kutu lak. Kutu lak
biasanya hidup di pohon kesambi. Kutu lak tidak akan merusak pohon
kesambi karena kutu lak hanya memakan gubal kayu pada cabang muda
pohon kesambi dan juga pohon kesambi yang ditulari kutu lak harus
berumur diatas 10 tahun sehingga tidak akan mengganngu pertumbuhan
pohon kesambi. Lak biasanya digunakan untuk kosmetik, vernis, obat sakit
perut dan lain-lain.
Desa Sugian merupakan salah satu daerah yang telah melaksanakan
budidaya lak. Tetapi perkembangannya kurang menunjukan hasil yang
maksimal. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan analisis
permasalahan di lapangan untuk memecahkan masalah tersebut.
Berdasarkan survey di lapangan kami menemukan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
a. Belum adanya teknologi pasca panen lak yang baik dari petani sehingga
mutu lak sangat rendah.
b. Kurangnya bibit kutu lak yang baik
c. Belum adanya pemeliharaan kutu lak yang baik sehingga sangat mudah
terserang parasit dan predator.
c. Kurang pembinaan secara berkesinambungan oleh dinas kehutanan.
d. Harga jual yang rendah ditingkat petani
e. Lokasi pemasaran yang belum jelas (pembeli mengambil langsung ke
petani).
f. Ketersediaan kutu lak tidak berkesinambungan (setahun hanya 2 kali
panen)
Salah satu pemecahan masalahnya dengan membuat teknologi
tepat guna yaitu teknologi yang dirancang bagi masyarakat setempat agar
memudahkan masyarakat untuk menggunakannya. Dengan teknologi tepat
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 587
guna ini diharapkan dapat meningkatkan pengembangan budidaya lak
didaerah tersebut karena teknologi yang digunakan sederhana sehingga
tidak memerlukan keahlian yang khusus.
Tujuan dari penelitian ini memberikan gambaran pemecahan
masalah dalam budidaya dan pengolahan hasil lak sehingga dapat
meningkatkan nilai ekonomi masyarakat setempat khususnya di desa
Sugian kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur.
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan
informasi pada masyarakat tentang teknik budidaya dan pengolahan hasil
lak dengan teknologi tepat guna sehingga masyarakat mudah untuk
menerapkan dan mengembangkannya serta membantu pemerintah dalam
program pengembangan HHBK lak.
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu menyajikan suatu
gambaran terperinci atas suatu situasi khusus (Silalahi, 2009). Data
diperoleh dari data primer dan data sekunder hasil penelitian dari peneliti
yang bersangkutan serta literature beberapa pustaka.
III. PEMBAHASAN
Permasalahan secara umum pengembangan HHBK adalah
kurangnya perhatian terhadap komoditi HHBK, mengingat HHBK ini
umumnya bersifat sementara ketersediaannya di pasaran. Sehingga
masyarakat tidak terlalu tertarik untuk mengembangkan beberapa komoditi
HHBK.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan HHBK kutu
lak adalah sebagai berikut :
a. Membuat blok-blok tularan
Untuk ketersediaan HHBK kutu lak secara berkesinambungan maka
pembentukan blok-blok tularan ini sangat ideal sehingga sepanjang
tahun kutu lak akan dapat dipanen sehingga ketersediaannya di pasaran
selalu ada
b. Menerapkan teknik budidaya kutu lak yang baik
588| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pemanfaatan teknik budidaya yang baik akan menghasilkan mutu lak
yang cukup tinggi dan produktivitas per pohonnya yang tinggi.
Budidaya kutu lak yang baik adalah dengan pemilihan bibit kutu lak
yang bermutu, teknik penularan kutu lak yang benar, pemeliharaan
secara berkesinambungan dan teknik pemanenan yang benar.
Bibit yang kami gunakan adalah bibit lak cabang (stok lak).stok
lak yang baik bila tularannya penuh dan berwarna kuning bening dan
permukaannya terdapat benang putih melapisi permukaannya.
Gambar 1. Contoh bibit lak cabang yang baik
Teknik penularan yang baik dengan menggunakan kantung strimin
untuk menghindari serangan parasit dan predator.Berdasarkan pemantauan
kami dilapangan masyarakat lebih menyukai tidak menggunakan kantung
strimin karena menurut mereka kutu lak lebih cepat penularan dengan
tanpa kantung strimin, tetapi dampaknya tularan kutu lak hasilnya tidak
baik (tularan tidak penuh/terputus-putus dan berwarna kehitaman).Hal ini
disebabkan serangan parasit dan predator (biasanya semut merah besar).
Gambar 2. Contoh tularan kutu lak yang tidak baik
Selain teknik penularan yang baik, pemeliharaan juga diperlukan
dalam budidaya kutu lak.pemeliharaan dilakukan setelah 3 bulan penularan
dengan melakukan proses pengasapan disekitar pohon inang, pembersihan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 589
tanaman disekitar pohon inang yang mengganggu pertumbuhan pohon
inang dan pemangkasan tanaman yang menghalangi sinar matahari
mengenai pohon inang (tebang matahari). Cara ini sangat efektif untuk
menghasilkan mutu lak yang baik karena tularan menjadi penuh karena
kutu lak sangat menyukai sinar matahari langsung untuk memudahkan dia
menempel pada pohon inang bila musim hujan biasanya mutu lak menjadi
rendah (tularan tidak penuh dan berwarna hitam bahkan bisa tidak tertular
sama sekali).
Teknik pemanenan yang baik akan melindungi pohon inang.
Petani kutu lak berdasarkan pemantauan kami dilapangan biasanya
menggunakan parang untuk memangkas lak cabang, hal ini akan
menyebabkan kerusakan pada pohon inang, yang akibatnya akan membuat
pohon inang mengalami gangguan dalam pertumbuhannya. Untuk
mengatasi hal tersebut dengan memangkas dengan menggunakan gunting
pangkas, sehingga tidak akan merusak cabang pohon inang.
Gambar 3. Bagan budidya kutu lak (Wulandari,F.T,2011)
c. Menerapkan teknologi pasca panen.
Permasalahan utama ketika kami ke lapangan adalah rendahnya harga lak
karena mutu yang rendah (berwarna hitam dan di kemas seadanya dengan
menggunkan karung).Harga lak di tingkat di desa Sugian hanya Rp 7000 –
Rp 8000.Harga ini sangat jauh dengan harga lak di pasaran yaitu sekitar Rp
90.000 sampai Rp 125.000. Berdasarkan hal tersebut kami melakukan
beberapa uji coba untuk menghasilkan mutu lak yang baik yaitu dengan
menerapkan teknologi pasca panen. Teknologi pasca panen yang kami
terapkan dengan menggunakan beberapa bantuan alat untuk memudahkan
PRODUK LAK BATANG
SELEKSI LAK
BIBIT
PENULARAN KUTU
LAK
DITUNGGU 156 HR ATAU 5 BLN
PEMANENAN
LAK
PEMILAHAN LAK BATANG UTK
BIBIT
590| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
dalam pengolahannya dan untuk menghasilkan mutu lak yang baik yaitu
berwarna kuning bening.Tahapan-tahapan pengolahan pasca panen lak
dapat dilihat pada bagan dibawah ini.
Gambar 4. Bagan alur teknologi pasca panen lak (Wulandari.F.T, 2011).
d. Penetapan standar mutu lak
Penetapan standar mutu diperlukan untuk mendukung peningkatan harga
lak di pasaran.Standar mutu yang kami buat nantinya dapat menjadi acuan
bagi para petani untuk menetapkan mutu lak yang dihasilkannya.
Standar mutu lak dibagi dua bagian yaitu standar mutu lak cabang dan
standar mutu lak butiran.
Standar mutu lak cabang mengkatagorikan berdasarkan kerataan
tularan (%) pada lak cabang dengan melihat panjang dan sisi lak cabang
tularan.Lak cabang yang tertular diamati seberapa panjang yang tertular
dan semua sisinya diamati apakah terisi penuh atau tidak. Lak cabang
yang terbaik akan menjadi bibit pada penularan lak pada periode
berikutnya. Bibit lak yang baik akan menghasilkan kualitas lak yang baik
dan produksinya yang dihasilkan juga akan tinggi.
MENGUPAS LAK
CABANG
MENGOLAH DALAM
BENTUK BUTIRAN
PENGERINGAN
LAK BUTIRAN
PEMBILASAN LAK
BUTIRAN
PACKING/
PENGEMASAN
PELABELAN
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 591
Tabel 1. Standar mutu lak cabang
No Standar
Mutu
Kerataan (% dari panjang lak)
Panjang (%) Sisi (%)
1 tinggi 100 100
2 sedang 50 50
3 rendah 25 25
(Wulandari,F.T, 2012).
Standar mutu lak butiran dikatagorikan berdasarkan warna lak
yang dihasilkan dari proses pasca panen lak. Pada proses pasca panen, lak
cabang diolah melalui teknologi pasca panen menjadi lak butiran. Setelah
proses pengolahan tersebut kemudian dilakukan penentuan standar mutu
pada lak butiran yang dihasilkan.
Tabel 2. Standar mutu lak butiran
No. Standar Mutu Warna lak
1 Tinggi Kuning bening
2 Sedang Kuning kehitaman
3 Rendah Hitam
(Wulandari,F.T, 2012)
Standar mutu ini dapat menjadikan acuan petani kutu lak untuk
menentukan mutu lak sehingga dapat menentukan harga lak di
pasaran.Standar mutu lak ini sangat subyektif karena pengamatan setiap
orang berbeda, sehingga membutuhkan pengalaman yang tinggi dalam
penentuan mutu.
IV. PENUTUP
Pengembangan HHBK merupakan upaya pemberdayaan
masyarakat lokal sesuai prinsip hutan untuk rakyat (forest for people).
Pemberdayaan yang dilakukan harus memperhatikan dimensi sosial,
ekonomi dan ekologi agar pemanfaatan hutan lestari dapat dicapai.Posisi
masyarakat dalam pengembangan HHBK harus benar-benar sebagai
592| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pelaksana utama, sedangkan pemerintah bertindak sebagai fasilitator atau
pendukung dari setiap program pengembangan HHBK.
HHBK kutu lak merupakan salah satu HHBk yang dapat menjadi
alternative untuk daerah-daerah yang memiliki curah hujan yang rendah
(lahan kering) terutama untuk daerah Kabupaten Lombok Timur yang
sebagian wilayah memiliki curah hujan yang rendah.Dalam pengembangan
HHBK kutu lak perlu penanganan budidaya dan pasca panen kutu lak yang
baik untuk menghasilkan mutu lak yang baik sehingga dapat meningkatkan
nilai jual lak yang awalnya hanya Rp 7000 – 8000 per kilogram menjadi Rp
90.000 – 125.000 per kilogram.Selain budidaya dan penanganan pasca
panen yang baik, pembinaan dari pihak terkait terutama pemerintah daerah
sangat diperlukan untuk kesinambungan pengembangan HHBK kutu lak
terutama dalam hal pemasaran.Pembentukan Forum pemerhati kutu lak
perlu dibentuk untuk pengembangan penelitian terutama untuk
menghasilkan bibit kutu lak yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Kasmudjo, 2007.Karateristik Hasil Hutan Non Kayu. Diktat Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Radijanto, S.S.,1999. Model untuk Penaksiran Lak pada tanaman Inang
Schleichera eleosa
Merr. Majalah Duta Rimba, V (31). Perum perhutani. Jakarta.
Setyodarmodjo, S., 2005.Perusahaan Lak dan Pengembangannya.
Majalah Duta Rimba, IX (67-68). Perum
Silalahi Ulber, 2009. Metode Penelitian Sosial. PT.Refika Aditama
Bandung
Wulandari,F.T, 2010. Budidaya Dan Teknologi Pasca Panen Lak Di Desa
Sugian, KecamatanSambelia, Kabupaten Lombok Timur. Makalah
seminar INAFE, Yogyakarta.
Wulandari,F.T, 2011. Strategi peningkatan pasca panen lak didesa sugian
Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur.Makalah Poster
Litbang Bogor.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 593
Wulandari, F.T dan Ernawati 2011. Deskripsi nilai ekonomi kutu lak
dengan teknologi pasca panen di desa Sugian Kecamatan sambelia
kabupaten lombok timur. Makalah seminar ASEAN Fakultas
Pertanian Universitas Mataram.
Wulandari, F.T, 2012. Gambaran Sistem Kultur Stok Lak Dan Tekonologi
Pasca Panen Lak Serta Manfaatnya Bagi Industri. Jurnal Media
Bina Ilmiah Mataram,NTB.
Wulandari,F.T, 2010. Budidaya Dan Teknologi Pasca Panen LakDi Desa
Sugian, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur.
Makalah seminar INAFE, Yogyakarta.
594| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
PRODUKSI MADU JENIS LEBAH Apis mellifera L. DENGAN
SUMBER PAKAN BUNGA RAMBUTAN (Nephelium lappoceum)
Yelin Adalina
Peneliti pada Puslitbang Konservasi Dan Rehabilitasi
Jl.Gunung Batu No.5, Bogor
Telp. (0251) 863324; 7520067; Fax (0251) 8638111
Email:[email protected]
ABSTRAK
Sampai saat ini madu merupakan produk utama perlebahan. Ketersediaan
nektar dan tepungsari yang melimpah merupakan faktor yang menentukan
dalam keberhasilan budidaya lebah madu. Bunga rambutan (Nephelium
lappoceum) merupakan salah satu jenis tanaman yang menghasilkan nektar.
Penelitian ini dilakukan di Desa Pangadungan Kaligambir, Kecamatan
Cikaum, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui tingkat produksi madu dalam pengelolaan budidaya lebah
madu Apis mellifera. Pengukuran dilakukan terhadap berat lebah, dan jumlah
madu yang dihasilkan pada penggunaan sistem kotak tunggal di lokasi
pemanenan madu dengan sumber pakan bunga rambutan (Nephelium
lappoceum). Dilakukan pengukuran terhadap 15 koloni lebah A. mellifera yang
memiliki jumlah sisiran/sarang madu sebanyak delapan sisiran per koloni. Data
dianalisis dengan analisis regresi sederhana. Hasil analisis regresi adalah
Y = 220,33 + 3,51 X. Hasil Analisis menunjukkan bahwa berat lebah
berpengaruh nyata secara positif terhadap produksi madu dengan nilai
koefisien korelasi (r) sebesar 0,5895, dan nilai koefisien determinasi (r2)
sebesar 0,3475. Hal ini berarti produksi madu sebesar 34,75% ditentukan oleh
berat lebah, sedangkan 65,25% ditentukan oleh faktor lain. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi madu antara lain adalah ketersediaan pakan lebah
penghasil nektar dan tepungsari, cuaca, kelembaban dan temperatur udara serta
proporsi koloni lebah yang tertinggi pada saat produksi nektar paling banyak.
Produksi madu tertinggi sebesar 7.366 gram/koloni/satu kali panen, dan
produksi madu terendah sebesar 1.674 gram/koloni/satu kali panen. Berat lebah
tertinggi dalam satu koloni sebesar 1.842 gram/koloni dan berat lebah terendah
sebesar 748 gram/koloni.
Kata kunci: Produksi madu, lebah Apis mellifera, bunga rambutan (Nephelium
lappoceum)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 595
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis mempunyai pontensi dalam usaha
lebah madu, selain iklim yang mendukung juga ketersediaan berbagai
tanaman perkebunan maupun pertanian yang cukup melimpah sebagai
sumber pakan lebah madu. Usaha perlebahan merupakan kegiatan
agribisnis akrab lingkungan yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Manfaat yang dapat diperoleh dari
pengembangan perlebahan antara lain adalah meningkatnya pendapatan
dan mutu gizi masyarakat dari hasil-hasil perlebahan yang berupa madu,
tepungsari, royal jelly, lilin lebah, dan propolis (Departemen Kehutanan,
2003).
Jenis lebah Apis mellifera merupakan lebah impor yang
didatangkan pertama kali ke Indonesia pada tahun 1972 oleh Pramuka
(Praja Muda Karana) dari Australia (Hadisoesilo, 2001). Lebah A. mellifera
mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia dan
mempunyai produksi madu yang tinggi, bahkan populasinya sudah semakin
meningkat (Hadisoesilo, 1991).
Saat ini usaha ternak lebah madu A. mellifera sudah dilakukan oleh
peternak-peternak di berbagai daerah. Budidaya lebah A. mellifera
menduduki posisi penting dalam kegiatan perlebahan dan produksi madu di
Indonesia, yaitu menyumbang sekitar 25% dari total produksi madu
Indonesia dengan rata-rata produksi sebesar 4.000 ton per tahun (Asmanah
& Kuntadi, 2012). Produksi madu yang dihasilkan para peternak sangat
bervariasi. Koloni yang baik pengaturannya dan sumber pakan yang cukup
akan menghasilkan produksi madu yang optimal (Moeller, 1967).
Ketersediaan nektar dan tepungsari/polen yang melimpah merupakan faktor
yang menentukan dalam keberhasilan budidaya lebah madu. Nektar dan
tepungsari dari tanaman dibutuhkan oleh lebah sebagai sumber karbohidrat
dan protein bagi kelangsungan hidupnya (Herbert, 1992).
Salah satu wilayah yang berpotensi untuk pengembangan usaha
lebah madu adalah Kabupaten Subang. Potensi pakan lebah madu di daerah
ini adalah bunga rambutan sebagai sumber nektar. Pada umumnya peternak
lebah madu di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun dari Jawa Timur
menggembalakan lebahnya di Kabupaten Subang saat musim bunga
596| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
rambutan tiba. Namun produksi madu yang dihasilkan setiap peternak
bervariasi, tergantung dari manajemen koloninya. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian tentang produksi madu dalam pengelolaan budidaya
lebah madu A. mellifera. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
produksi madu dalam pengelolaan budidaya A. mellifera dengan sumber
pakan tanaman rambutan (Nephelium lappoceum).
II. METODE PENELITIAN
2.1. Deskripsi Objek Penelitian
Untuk mengetahui tingkat produksi madu dengan cara melakukan
pengukuran pada lokasi pemanenan madu dengan sumber pakan bunga
rambutan (Nephelium lappoceum). Lokasi pemanenan merupakan daerah
sumber pakan lebah madu, tempat berkumpulnya peternak lebah madu dari
berbagai daerah dalam menghasilkan madu.
Salah satu daerah sebagai sumber pakan lebah madu dari jenis
tanaman rambutan adalah di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Tanaman
rambutan merupakan sumber nektar bagi lebah madu. Pengukuran
dilakukan terhadap berat lebah dan jumlah madu yang dihasilkan pada
masing-masing kotak tunggal. Dilakukan juga pengamatan suhu dan
kelembaban/relative humidity di lokasi pemanenan.
2.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2011, di lokasi
pemanenan madu dengan sumber pakan bunga rambutan, yaitu di Desa
Pangadungan Kaligambir, Kecamatan Cikaum, Kabupaten Subang,
Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Subang sebagai salah satu kabupaten di
kawasan Utara Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah 205.176,95 hektar
atau 6,34% dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di
antara 107º 31' – 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' – 6º 49' Lintang Selatan.
Temperatur rata-rata 29°C; kelembaban 58%. Ketinggian tempat 500 meter
di atas permukaan laut (dpl). Curah hujan rata-rata per tahun 2.352 mm
dengan jumlah hari hujan 100 hari. Potensi rambutan di Kabupaten Subang
sebanyak 36.017 ton dari 487.489 pohon.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 597
2.3. Bahan dan Alat
Bahan : 15 koloni kotak tunggal dari jenis lebah madu A. mellifera.
Setiap koloni terdiri dari 8 sisiran/sarang madu. Peralatan yang diperlukan
dalam penelitian ini antara lain terdiri dari: Timbangan digital kapasitas
150 kg, timbangan digital kapasitas 20 kg, termometer, hidrometer,
refraktometer, ekstraktor, dan bahan penunjang penelitian lainnya.
2.4. Cara kerja
Dipilih masing-masing jenis kotak tunggal yang mempunyai
jumlah sisiran yang sama, yaitu sebanyak 8 sisiran dalam setiap kotak.
a. Ditimbang setiap jenis kotak tunggal yang berisi koloni lebah berikut
sarangnya/sisiran.
b. Ditimbang semua sisiran tanpa lebah yang ditempatkan pada kotak
stereoform.
c. Ditimbang masing-masing sisiran madu.
d. Setiap sisiran/sarang diekstrak dengan alat ekstraktor untuk diambil
madunya.
e. Setiap sisiran yang sudah diekstrak ditimbang kembali.
Jumlah madu
yang
dihasilkan
=
(jumlah berat
semua sisiran
sebelum
diekstrak/dipanen)
-
(jumlah berat
semua sisiran
setelah diekstrak)
Berat lebah =
(berat kotak +
lebah + semua
sisiran)
- (berat kotak +
semua sisiran)
Alat timbangan yang digunakan adalah timbangan digital dengan
kemampuan maksimum 150 kg dengan ketelitian hingga 10 gram, yaitu
untuk menimbang kotak yang berisi koloni lebah berikut sarangnya,
sedangkan untuk menimbang sisiran/sarang digunakan alat timbangan
digital dengan kemampuan maksimum 20 kg dan ketelitian hingga 2 gram.
598| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
2.5. Analisis Data
Penelitian dilakukan melalui pengukuran jumlah produksi madu
yang dihasilkan pada penggunaan sistem kotak tunggal dengan sumber
pakan bunga rambutan (Nephelium lappoceum) yang mewakili populasi
kotak tunggal. Untuk mengetahui pengaruh berat lebah terhadap produksi
madu maka digunakan model analisis regresi sederhana, yaitu dengan
rumus:
Y= a + b X
Keterangan: Y= Produksi madu
a = Konstanta
b = Koefisien regresi
X = Berat lebah
III. HASIL dan PEMBAHASAN
Lebah madu seperti organisme lain sangat dipengaruhi oleh
lingkungan faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor lingkungan ini baik
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi aktivitas hidup,
keadaan makanan di alam dan perkembangan populasinya. Faktor biotik
terdiri dari keanekaragaman tanaman penghasil nektar dan tepung sari,
sedangkan faktor abiotik yang mempengaruhinya terdiri dari temperatur,
tinggi tempat, kelembaban udara, curah hujan dan lama penyinaran
(Wihdiono, 1986).
Pemeliharaan lebah A. mellifera dilaksanakan secara berpindah-
pindah mengikuti musim pembungaan tanaman pakan lebah dan memiliki
pilihan jenis tanaman pakan yang terbatas (Departemen Kehutanan, 2000).
Proses produksi ternak lebah madu A. mellifera tergantung pada musim
bunga dari jenis pakan lebah. Peternak lebah madu harus mengetahui jenis-
jenis tanaman yang dapat menjadi sumber pakan lebah madu yang berupa
nektar dan tepungsari (polen), kondisi pakan lebah sebagai lahan
penggembalaan dan musim pembungaan. Nektar merupakan sumber
karbohidrat bagi lebah madu sedangkan tepungsari merupakan sumber
protein. Kedua jenis pakan tersebut harus tersedia dalam jumlah yang
cukup dan sebaiknya tersedia sepanjang tahun. Tanpa sumber pakan yang
cukup, lebah tidak dapat bertahan lama di suatu lokasi dan lebah akhirnya
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 599
hijrah (minggat) mencari tempat lain yang cukup sumber pakannya
(Hadisoesilo, 2003).
Salah satu sumber pakan lebah madu yang menghasilkan nektar
adalah bunga rambutan (Nephellium lappoceum). Bunga rambutan akan
muncul sekitar bulan Oktober sampai Nopember dengan rata-rata masa
berbunga sekitar satu bulan. Peternak lebah madu yang berada di wilayah
Jawa Barat, Jawa Tengah maupun yang berasal dari Jawa Timur
menggembalakan lebahnya di Kabupaten Subang pada saat musim bunga
rambutan tiba. Pada umumnya peternak lebah madu A. mellifera
menempatkan koloni di wilayah ini selama satu bulan dan selama
penempatan koloni di lokasi ini dapat mencapai 2 sampai 3 kali panen.
Namun produksi madu yang dihasilkan setiap peternak bervariasi. Hal ini
tergantung dari mananjemen koloninya/pengelolalaannya. Penguasaan
pengelolaan yang baik akan menjamin seorang peternak mendapatkan
madu sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dengan mengkondisikan koloni
lebah pekerja yang dipelihara berjumlah maksimal dan sehat bersamaan
dengan musim berbunganya tanaman pakan lebah madu. Dengan demikian
pada saat menjelang musim pembungaan yang diharapkan telah tiba, koloni
lebah madu telah siap dipergunakan untuk memanen madu (Departemen
Kehutanan, 2000).
Hasil pengukuran produksi madu di Desa Pangadungan
Kaligambir dapat di lihat pada Tabel 1. Suhu rata-rata di lokasi penelitian
sebesar 30,5°C dengan suhu terendah sebesar 29°C dan suhu tertinggi
sebesar 32°C. Rata-rata kelembaban udara sebesar 58%, dengan
kelembaban terendah sebesar 56% dan kelembaban tertinggi sebesar 64%.
Tabel 1. Berat madu dan berat lebah Apis mellifera dengan sumber pakan
bunga rambutan di Desa Pangadungan Kaligambir, Kecamatan
Cikaum, Kabupaten Subang
No koloni
Berat sisiran
+ lebah
(gram/koloni)
Berat sisiran
sebelum diekstrak
(gram/koloni)
Berat sisiran
setelah diekstrak
(gram/koloni)
Berat madu (gram/koloni)
Berat lebah (gram/koloni)
A 11.210 9.902 6.488 3.414 1.308
B 10.970 9.912 6.648 3.264 1.058
C 12.678 11.668 7.628 4.040 1.010
600| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
1 2 3
4 5 6
Gambar: 1. Lokasi penempatan koloni lebah A. mellifera; 2. Bunga rambutan; 3.
Penimbangan sisiran/sarang madu dan koloni lebah; 4. Penimbangan seluruh sisiran
madu dalam satu koloni; 5. Penimbangan sisiran madu;
6. Pemanenan madu dengan alat ekstraktor
3.1. Produksi Madu
Pada Tabel 1 dapat di lihat bahwa produksi/berat madu yang
dihasilkan pada masing-masing koloni sangat bervariasi. Produksi madu
tertinggi, yaitu sebesar 7.366 gram/koloni/satu kali panen dengan rata-rata
berat madu per sisiran sebesar 920,75 gram/sisiran. Produksi madu
D 13.120 11.278 6.302 4.976 1.842
E 14.864 13.420 6.570 6.850 1.444
F 11.646 10.676 6.482 4.194 970
G 15.850 14.392 7.026 7.366 1.458
H 8.826 7.704 6.030 1.674 1.122
I 15.752 14.412 7.194 7.218 1.340
J 10.132 9.034 5.990 3.044 1.098
K 9.206 8.294 5.350 2.944 912
L 11.976 10.766 6.316 4.450 1.210
M 12.228 11.382 6.860 4.522 846
N 10.882 9.986 6.732 3.254 896
O 9.182 8.434 5.834 2.600 748
Jumlah 178.552 161.260 97.450 63.810 17.262
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 601
terendah, yaitu sebesar 1.674 gram/koloni/satu kali panen, dengan rata-rata
berat madu per sisiran sebesar 209,25 gram/sisiran. Rata-rata berat madu
per koloni, yaitu sebesar 4.254 gram/koloni/satu kali panen, dengan rata-
rata berat madu per sisiran sebesar 531,75 gram/sisiran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bervariasinya produksi madu
pada setiap koloni antara lain adalah ketersediaan pakan lebah penghasil
nektar dan tepungsari, cuaca, kelembaban dan temperatur udara serta
proporsi koloni lebah yang tertinggi pada saat produksi nektar paling
banyak (Anonim, 2002). Pola perilaku lebah dalam mencari makan
termasuk dalam hal pengumpulan nektar dan polen dipengaruhi oleh faktor
genetik (lebah) maupun faktor lingkungan (Eckert,1942, Hirchfelder 1951;
lauveaux 1958; Seeley 1952a dalam Mark L.Winston, 1991). Jumlah dan
kualitas nektar atau polen yang dihasilkan oleh bunga dapat beragam
sekali, baik antara spesies tanaman (pohon) maupun di dalam tiap-tiap
tapak dalam bunga jenis tanaman yang sama (Shuel, 1975 dalam Mark
L.Winston, 1991).
Dalam budidaya lebah A. mellifera dapat mencapai 8 sampai 10
kali panen per tahun. Produksi madu yang dihasilkan para peternak sangat
bervariasi. Hal ini tergantung dari manajemen koloninya dan ketersediaan
sumber pakan lebah madu. Produktivitas madu tertinggi dari jenis lebah
A.mellifera pernah dicapai oleh peternak di Jawa Timur, yaitu sebesar 86
kg/koloni pada satu musim bunga randu (Ceiba petandra) atau 14,3kg/satu
kali panen. Pada umumnya rata-rata madu yang diperoleh peternak lebah
A.mellifera sebesar 25–30 kg/koloni/tahun, dengan rata-rata produksi
sebesar 2,5 – 3,0 kg/koloni/satu kali panen (Departemen Kehutanan, 1999).
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata produksi madu
adalah sebesar 4,254 kg/koloni/satu kali panen. Hal ini menunjukkan
bahwa produksi madu yang dihasilkan cukup tinggi, sedangkan rata-rata
produksi madu yang dihasilkan para peternak sebesar 2,5–3,0
kg/koloni/satu kali panen. Hal ini disebabkan karena kondisi lebah pekerja
tertinggi pada saat produksi nektar paling banyak. Selain itu daya dukung
ketersediaan sumber pakan lebah sebagai sumber nektar, yaitu bunga
rambutan cukup melimpah. Penempatan koloni di lokasi penelitian
menunjukkan bahwa ketersediaan pakan lebah madu sangat mendukung
dalam pengelolaan budidaya lebah madu A. mellifera.
602| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
3.2. Pengaruh Berat Lebah Terhadap Produksi Madu
Persamaan regresi untuk menunjukan bagaimana suatu variabel
bebas (X) yaitu berat lebah berpengaruh terhadap variabel terikat (Y) yaitu
produksi madu dalam pengelolaan budidaya lebah madu A.mellifera.
Berdasarkan hasil analisis regresi adalah Y = 220,33 + 3,51 X. Hal ini
menunjukan bahwa setiap kenaikan berat lebah sebesar 1%, maka produksi
madu akan meningkat sebesar 3,51 gram.
Hasil Analisis menunjukkan bahwa berat lebah berpengaruh nyata
secara positif terhadap produksi madu pada taraf nyata 5% dengan nilai
koefisien korelasi (r) sebesar 0,5895, sedangkan nilai koefisien determinasi
(r2) yang tidak nyata yaitu sebesar 0,3481. Hal ini berarti produksi madu
sebesar 34,81% ditentukan oleh berat lebah dan sebesar 65,19% ditentukan
oleh faktor lain seperti: ketersediaan pakan lebah penghasil nektar dan
tepungsari, cuaca, kelembaban dan temperatur udara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata berat lebah kotak
engkel jenis lebah A. mellifera sebesar 1.150 gram/koloni. Berat lebah
tertinggi adalah sebesar 1.842 gram per koloni, dan madu yang dihasilkan
sebesar 4.976 gram. Berat lebah terendah, yaitu sebesar 746 gram dengan
produksi madu 2.600 gram.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berat lebah berpengaruh nyata secara positif terhadap produksi madu.
2. Ketersediaan bunga rambutan sebagai sumber nektar sangat mendukung
dalam budidaya lebah madu A. mellifera.
3. Rata-rata berat lebah A. mellifera jenis kotak engkel sebesar 1.150 gram
per koloni.
4. Rata-rata produksi madu sebesar 4.254 gram per koloni dalam satu kali
panen.
B. Saran
Untuk mendapatkan produksi madu yang optimum, peternak lebah
madu harus memperhatikan kondisi lebah pekerja dan kondisi lingkungan
dalam penempatan koloni pada saat musim bunga rambutan tiba.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 603
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Buku Petunjuk Beternak Lebah. Pusat Perlebahan Pramuka
(Apiari Pramuka), Jakarta. hal 17
Asmanah W dan Kuntadi. 2012. Budidaya Lebah Madu Apis mellifera L
Oleh Masyarakat Pedesaan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (4): 351 – 361.
Departemen Kehutanan. 1999. Petunjuk Praktis Budidaya Lebah Madu
Unggul (Apis mellifera). Proyek Pengembangan Pesuteraan Alam
dan Lebah Madu Pusat. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan & Perkebunan. 2000. Petunjuk Teknis Pengelolaan
Usaha Perlebahan. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2003. Pengembangan Usaha Perlebahan.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
Jakarta.
Eckert,1942; Hirchfelder,1951; lauveaux 1958; Seeley 1952a dalam Mark
L.Winston. The Biology of the Honey Bee. 1991. Harvard
University Press. Cambridge Massachusetts and London, England.
hal 309
Hadisoesilo, S. 1991. Jenis-jenis lebah madu (Species of honey bees).
Komunikasi 5 (4): 5 – 6. In Indonesian.
Hadisoesilo S.2001. Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.
Biodiversitas 2 : 123–125
Hadisoesilo, S. 2003. Teknik Budidaya Apis cerana. Gelar dan Dialog
Teknologi. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Herbert, E.W. Jr. 1992. Honeybee nutrion. In: The hive and the honeybee
(Graham, ed). Dadant & Sons, Hamilton, Illinois. hal 1324.
Moeller, F. E. 1967. Managing Colonies for High Honey Yields. In:
Beekeeping in The United States. United States Departement of
Agriculture. Washington. D. C. hal 23
Shuel, R.W. 1975. dalam Mark L.Winston 1991). The Biology of the
Honey Bee. 1991. Harvard University Press. Cambridge
Massachusetts and London,England. hal 265
Wihdiono, I. 1986. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
penambahan sel dalam sisiran lebah madu. Prosiding Lokakarya
Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat 20–22 Mei 1986 di Sukabumi. Perum Perhutani
Jakarta : 39 – 41.
604| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
RENCANA STRATEGIS PENGELOLAAN HHBK KABUPATEN
LOMBOK UTARA; SEBUAH PRODUK AKSI PARTISIPATIF
Rato F. Silamon
PS. Kehutanan, Universitas Mataram. Jl. Pendidikan No. 36 Mataram
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Dalam paradigma baru pembangunan kehutanan, komoditi Hasil Hutan Bukan
Kayu (HHBK) menempati posisi yang sangat strategis.Kkomoditi HHBK
merupakan salah satu sumberdaya yang memiliki keunggulan komparatif dan
paling menyentuh kehidupan masyarakat sekitar hutan.Kabupaten Lombok
Utara sebagai kabupaten termuda di Propinsi NTB menempatkan pengelolaan
sumberdaya alam dan hutan termasuk HHBK sebagai salah satu isu strategis
dan prioritas utama dalam pembangunan daerah ini seperti yang tercantum
dalam RPJMD KLU Tahun 2011-2015.Walaupun demikian, status dan tingkat
pengelolaan HHBK di wilayah ini dirasakan masih belum optimal, baik
ditinjau dari aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan, maupun kelola usaha.
Penelitian menggunakan pendekatan partisipatif dengan tujuan menghasilkan
rencana strategis sebagai arahan dan pedoman untuk mencapai sinergitas
program dan kegiatan antar stakeholders dalam pengelolaan HHBK di
Kabupaten Lombok Utara.Penelitian berhasil membangun visi pengelolaan
HHBK berupa “Pengelolaan HHBK Terpadu untuk Kesejahteraan
Masyarakat”, yang akan dicapai melalui pengejawantahan 4 misi pengelolaan
yaitu: (1) meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan; (2)
mengembangkan kerjasama multi pihak antar wilayah; (3) mengembangkan
HHBK unggulan; dan (4) mengupayakan fasilitasi proses IUPHHBK dan/atau
IUPHKm. Lebih lanjut, terbangun 4 arahan dalam aspek kelola kawasan
meliputi: (i) pengembangan budidaya HHBK unggulan kabupaten; (ii)
pemberdayaan masyarakat; (iii) pengembangan data dan informasi; (iv)
pengembangan IPTEK., 3 arahan dalam aspek kelola usaha meliputi: (i)
pengembangan industri pengolahan HHBK; (ii) pengembangan permodalan;
(iii) pengembangan pemasaran dan promosi HHBK., dan 4 arahan dalam kelola
kelembagaan meliputi: (i) pengembangan kelembagaan; (ii) pengembangan
networking (iii) pengembangan kebijakan pendukung; dan (iv) pengembangan
nilai-nilai budaya lokal.
Kata kunci: HHBK, pengelolaan, rencana strategis.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 605
I. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan pembangunan kehutanan dalam Undang-Undang
Pokok Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, adalah untuk mendorong peran
serta masyarakat dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Oleh sebab itu, maka pembangunan kehutanan seharusnya
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat dan lestari, kerakyatan,
keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan dengan tujuan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan.Isu pokok yang berkembang sebagai implikasi dari
pembangunan kehutanan tersebut adalah adanya kebijakan memposisikan
masyarakat sebagai pelaku utama dan penerima manfaat utama dalam
pengelolaan hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini ditandai
dengan lahirnya model pembangunan kehutanan yang dikenal dengan
program Hutan Kemasyarakatan (Community forest) disingkat HKm.
Sebagai salah satu tipologi pengelolaan hutan, HKm mampu memberikan
pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan hutan terutama
melalui pengembangan usaha dan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK).
HHBK dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibandingkan
dengan hasil hutan kayu, sehingga memiliki prospek dan peluang yang
besar dalam pengembangannya.Walaupun demikian, untuk kasus
Kabupaten Lombok Utara (KLU), tingkat pengembangan usaha,
pengelolaan, dan pemanfaatannya masih belum optimal, akibat dari tidak
adanya sinergitas program maupun kegiatan dari para pihak yang
berkepentingan, baik ditinjau dari aspek kelola kawasan, kelola
kelembagaan, maupun kelola usaha. Sebagai contoh pada aspek kelola
kawasan, kombinasi jenis komoditi HHBK dalam konfigurasi usahatani
belum didasarkan pada keunggulan komoditi.Pada aspek kelola
kelembagaan, kapasitas di tingkat kelompok masyarakat pengelola maupun
pada tataran pemerintah daerah masih lemah. Pada aspek kelola usaha,
pengembangan komoditi HHBK masih terkendala oleh belum
terbangunnya jiwa kewirausahaan dari masyarakat pengelola, terbatasnya
pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan HHBK, hingga lemahnya
606| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
jaringan kerjasama (kemitraan) yang menyebabkan terbatasnya akses
informasi, pasar dan modal untuk pengembangan usaha.
Penelitian eksploratif dengan pendekatan partisipatif ini bertujuan
untuk menghasilkan rencana strategis sebagai arahan dan pedoman untuk
mencapai sinergitas program dan kegiatan antar pemangku kepentingan
dalam pengelolaan HHBK di Kabupaten Lombok Utara.
II. BAHAN DAN METODE
Seperti diungkapkan sebelumnya, penelitian ini merupakan
penelitian eksploratif dengan pendekatan partisipatif, yang diinisiasi dan
difasilitasi oleh World Wildlife Foundation (WWF) Program Nusa
Tenggara atas pembiayaan dari International Tropical Timber Organitation
(ITTO).Lokus penelitian adalah Kabupaten Lombok Utara dengan jangka
waktu penelitian selama 3 bulan terhitung dari bulan Maret sampai dengan
April 2012. Data yang digunakan adalah data primer memuat informasi-
informasi terkini terkait pengelolaan HHBK dalam 3 konteks kelola (kelola
kawasan, kelola lembaga, dan kelola usaha) yang diperoleh melalui
serangkaian seri Workshop, Focus Group Discussion (FGD), dan Rapat
Pleno dengan informan-informan kunci seperti kelompok masyarakat
sekitar hutan, pelaku usaha pertanian, Pemerintah Daerah, UPT
Kementerian Kehutanan di daerah, Akademisi, LSM, dan Perbankan. Data-
data primer tersebut akan ditunjang dengan data-data sekunder berupa
dokumen-dokumen perencanaan baik pusat maupun daerah, dokumen
rencana umum dan rencana operasional kelompok masyarakat pemegang
IUPHKm di Kabupaten Lombok Utara, dokumen daerah dalam angka
(DDA), serta dokumen-dokumen penelitian terkait. Data-data yang
terkumpul selanjutnya akan dianalisis menggunakan teknik Analisis Gap
untuk mendapatkan isu-isu strategis dan merumuskan visi, misi, tujuan,
arahan, sasaran, serta strategi pengelolaan HHBK di Kabupaten Lombok
Tengah pada rentang tahun 2013 sampai dengan tahun 2017.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Profil Pengelolaan HHBK Lombok Tengah
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 607
Pola pengusahaan HHBK di KLU secara umum dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kegiatan budidaya dan pemungutan hasil dari
alam.Kegiatan budidaya banyak dilakukan oleh masyarakat, baik pada
tanah-tanah milik maupun dalam kawasan hutan yang dikelola (areal kerja
HKm).Sedangkan pemungutan hasil dari alam dilakukan pada kawasan
hutan negara.Pola pengusahaan HHBK pada areal HKm sebagian besar
merupakan hasil budidaya melalui sistem agroforestry dan hanya beberapa
jenis HHBK saja yang sebagian besarnya masih merupakan produk alam,
seperti; bamboo dan kemiri. Beberapa jenis produk HHBK yang lain
seperti gaharu/ketimunan dan ketak, pembudidayaannya masih dalam taraf
uji coba, baik yang dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi
(Unram) maupun secara swadaya oleh masyarakat. Bila mengacu pada
Permenhut P.35/Menhut-II/2007, pada tahun 2010-2011 teridentifikasi 30
jenis komoditi HHBK di KLU dengan produksi, luasan, dan sebaran yang
bervariasi. Kelompok minyak lemak, pati, dan buah-buahan merupakan
kelompok dengan jenis terbanyak yang teridentifikasi diusahakan dan/atau
dibudidayakan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan meliputi:
Kemiri, Aren, Nangka, Durian, Melinjo, Rambutan, Talas, Kluwih, dan
Sukun.
Komoditi HHBK di KLU memilki peran penting, baik ditinjau dari
segi ekologis, ekonomi maupun sosial budaya. Dari segi ekologis, tanaman
HHBK merupakan vegetasi dominan dalam kawasan hutan. Dalam areal
kerja HKm misalnya, tanaman HHBK yang berkembang dalam pola
tajukmulti strata dan menempati sekitar 70% ruang yang ada dimana
sisanya sebesar 30% adalah tanaman hutan berkayu. Pada lahan-lahan
tegalan/kebun milik masyarakat, tanaman HHBK bahkan menempati ruang
90% hingga 100%.Ini berarti bahwa tanaman HHBK tidak saja berperan
dalam meningkatkan produktivitas dan menjaga kesestarian sumberdaya
lahan, tetapi juga berperan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon
(carbon pool).Dari segi ekonomi, komoditi HHBK memberi kontribusi
signifikan terhadap pendapatan rumahtangga masyarakat. Menurut Zaini
(2009), di kawasan HKm Santong, panen HHBK memberikan keuntungan
ekonomis dengan penerimaan sebesar Rp 13.250.000, per tahun. Hasil
FGD pada tingkat kawasanmenunjukkan bahwa HHBK pada areal HKm
608| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
memberi kontribusi sekitar 30 – 60 % dari total pendapatan rumah tangga
petani HKm (aguman) di Desa Mumbulsari dan di Desa Salut.Selain itu,
komoditi HHBK juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja, terutama
pada kegiatan pemanenan, pengangkutan, pemasaran dan distribusi
hasil/produksi.Sedangkan dari segi sosial budaya, komoditi HHBK menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dengan upacara-upacara adat dan ritual
keagamaan yang digelar oleh masyarakat di KLU.
Tabel 1. Jenis dan Sebaran HHBK di Kabupaten Lombok Utara Tahun
2010-2011
No
Jenis/Spesies
HHBK
Lokasi penyebaran
Kalender Panen
(Bulan)
Dalam Kawasan
Hutan Luar
Kawasan
Hutan Dalam
HKm
Luar
HKm
A Kelompok Minyak
Atsiri
1 Gaharu √ √ √
B Kelompok Minyak
Lemak, Pati, dan
Buah-buahan
2 Kemiri √ √ √ Agustus-Oktober
3 Durian √ √ Mei-Juni
4 Nangka √ √ √ Sepanjang tahun
5 Rambutan √ √ Oktober-
November
6 Talas/Keladi √ √
8 Aren √ √
9 Melinjo √ √ Juli-Agustus
10 Kluwih √ √
11 Sukun √ √
C Kelompok Tannin,
Bahan Pewarna dan
Getah
12 Pinang √ √ √
13 Alpukat √ √ Juni-Juli
D Kelompok
Tumbuhan Obat
dan Tanaman Hias
14 Jahe √ √
15 Kunyit √ √
16 Lengkuas √ √
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 609
No
Jenis/Spesies
HHBK
Lokasi penyebaran
Kalender Panen
(Bulan)
Dalam Kawasan
Hutan Luar
Kawasan
Hutan Dalam
HKm
Luar
HKm
17 Rengga
18 Pakis √ √ √
E Kelompok Palma &
Bambu
19 Bambu √ √ √ Sepanjang tahun
20 Kelapa √ √
F Kelompok Lainnya
21 Mete √ √ Juli-Oktober
22 Pisang √ √ Sepanjang tahun
23 Kopi √ √ √
24 Kakao √ √
25 Kapuk √ √
26 Vanili √
27 Sirih √ √ Sepanjang tahun
28 Ketak √ √
29 Asam √ √ Juni
G Kelompok Hasil
Hewan
30 Lebah Madu √ √ √ Oktober
2. Isu Strategis Pengelolaan HHBK Lombok Utara
Tingkat teknologi yang diterapkan dalam pengembangan HHBK di
KLU masih sangat minim, baik dalam sistem budidaya maupun pengolahan
hasil (pasca panen).Sistem silvikultur tanaman HHBK hanya dilakukan
secara konvensional, tanpa sentuhan teknologi.Akibatnya produktivitas dan
mutu prodak HHBK yang dihasilkan juga relatif rendah.Sementara itu,
kondisi teknologi pengolahan hasil (pasca panen) yang sederhana telah
memperkecil peluang produk olahan HHBK berkiprah secara luas, pasar
cenderung bersifat lokal. Ditinjau dari aspek kelembagaan, sebagian besar
pola pengelolaan masih bersifat individualistik atau perorangan, sehingga
tidak tercipta pola kemitraan yang nyata baik ke dalam (antar pelaku usaha
sejenis) maupun keluar (dengan pemerintah dan pihak lain). Akibatnya
adalah produsen hanya menunggu konsumen dan sangat jarang
memperoleh order. Oleh karena itu, upaya ke arah peningkatan kinerja
sangat perlu dilakukan terutama melalui pengembangan teknologi
610| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
pengolahan dengan difersivikasi produk. Penataan kelembagaan dengan
membangun kemitraan akan sangat menentukan luasnya jaringan pasar
komoditi HHBK, dengan demikian maksimasi pemanfatan dan keuntungan
dapat diperoleh.
Pola kegiatan pemungutan hasil HHBK relatif masih belum
berkembang, yaitu masih dilakukan secara perorangan/individu oleh
anggota masyarakat. Para anggota masyarakat ini belum didukung oleh
wadah organisasi yang mampu mengangkat posisi rebut tawar (bargaining
position) mereka dalam menghadapi pedagang pengumpul/tengkulak.
Akibatnya adalah harga yang diterima oleh mereka relatif lebih
rendah.Selain itu, pola pengusahaan seperti ini juga sangat menyulitkan
bagi dinas/instansi pemerintah yang terkait, baik dalam hal pendataan
jumlah produksi maupun dalam hal penentuan dan perolehan retribusi
untuk daerah. Berikut secara rigid disajikan hasil identifikasi isu strategis
pengelolaan HHBK di KLU dirinci berdasarkan aspek kelola kawasan,
kelola usaha, dan kelola kelembagaan:
Tabel 2. Matriks Isu Strategis Pengelolaan HHBK Kabupaten Lombok
Utara.
Kelola Kawasan Kelola Usaha Kelola Kelembagaan
1. Belum seluruhnya
terinvetarisasi/
teridentifikasi dan
terpetanya jenis, luas
dan sebaran tanaman
HHBK, baik yang
berada di dalam
kawasan hutan (dalam
dan luar areal kerja
HKm) maupun yang
berada di luar kawasan
hutan;
2. Penataan tanaman
HHBK secara
horisontal dan vertikal
belum diatur dengan
baik, sehingga
pemanfaatan
sumberdaya lahan dan
ruang tidak optimal;
1. Unit kelola usaha/bisnis
HHBK masih bersifat
usaha skala kecil pada
tingkat rumahtangga,
tetapi corak usahanya
sudah bersifat semi
komersial sampai
komersial;
2. Produk HHBK yang
dijual seluruhnya masih
dalam bentuk bahan
mentah (raw material),
belum dilakukan
pengolahan, sehingga
tidak tercipta nilai
tambah produk;
3. Pemasaran produk-
produk HHBK (kecuali
madu), masih dilakukan
1. Belum tersusun
rencana kerja, baik
rencana umum maupun
rencana operasional
oleh pemegang
IUPHKm;
2. Rendah kapasitas
kelompok masyarakat
dalam pengelolaan
HHBK, baik di tingkat
kelompok, blok,
maupun kawasan;
3. Peran Koperasi Maju
Bersama Santong
sebagai pemegang ijin
IUPHKm dalam
koordinasi dan
pelayanan kepada
kelompok, belum
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 611
3. Masih rendahnya
pengetahuan dan
keterampilan
masyarakat dalam
penerapan tekonologi
silvikultur HHBK,
sehingga produktivitas
HHBK juga rendah;
4. Pilihan jenis komoditi
HHBK dalam
konfigurasi
usahatani/agroforestry
belum didasarkan pada
keunggulan komparatif
dan kompetitif
komoditi;
5. Belum akurat/belum
lengkapnya data
produksi riil dan
potensi produksi
HHBK, baik dalam
kawasan hutan maupun
luar kawasan hutan;
dan
6. Pemungutan HHBK
oleh masyarakat belum
berijin.
secara sendiri-sendiri
oleh setiap petani di Desa
Salut dan Mumbulsari
kepada tengkulak dengan
harga yang relatif rendah,
namun di Desa Santong
pemasaran produk
dilakukan melalui
Koperasi Maju Bersama
Santong;
4. Pangsa pasar sebagian
besar komoditi HHBK
(kecuali beberapa jenis
komoditi seperti; madu,
bambu dan kemiri),
masih terbatas pada
konsumen domestik,
yaitu melalui jasa
pedagang pengumpul
desa (“penendak”) yang
membawanya ke pasar-
pasar tradisional terdekat
yang ada di tingkat desa
dan kecamatan;
5. Keterbatasan modal
usaha dan desakan
kebutuhan sehari-hari,
menyebabkan sebagian
besar petani terjerat
dalam sistem ijon
(terutama untuk jenis
komoditi HHBK; kemiri,
mete, kopi, pisang,
kakao), hal ini
menyebabkan lemahnya
posisi tawar petani dalam
menentukan harga jual
produk; dan
6. Belum ada kemitraan
antar pelaku bisnis dalam
pengembangan komoditi
HHBK, baik dalam hal
produksi, pengolahan
hasil (pasca panen),
maupun dalam hal
pemasaran.
optimal dan masih
terbatas di Desa
Santong saja;
4. Belum ada lembaga
intermediasi (forum
perantara) yang dapat
menjembatani
hubungan kerjasama
antara kelompok
masyarakat pengelola
HKm/HHBK antar
kawasan, baik dalam
hal sharing informasi,
teknologi, maupun
dalam hal pemasaran
hasil;
5. Peran LSM
pendamping masih
terbatas pada upaya-
upaya penguatan
kapasitas kelompok
dan kurang mampu
memfasilitasi
kepentingan kelompok
masyarakat dengan
pihak-pihak lain
(pengusaha dan
pemerintah/perbankan)
;
6. Penyuluh
pertanian/kehutanan
belum berperan dalam
membantu masyarakat,
baik dalam hal
budidaya, pengolahan
maupun pemasaran
produk-produk HHBK;
7. Program-program
pemerintah dalam
pengembangan HHBK
di KLU masih bersifat
sporadis dan tidak
berlangsung secara
berkelanjutan (kecuali
untuk komoditi
madu); dan
612| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
8. Belum ada kebijakan
atau regulasi yang
dapat memberikan
insentif bagi
pengembangan HHBK,
yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah daerah
di tingkat kabupaten
maupun provinsi
3. VIsi dan Misi Pengelolaan HHBK Lombok Utara
Determinasi Visi pengelolaan HHBK merupakan sebuah mimpi dan
cita-cita besar yang ingin dicapai dalam mengelola HHBK di KLU. Visi
pengelolaan hasil hutan bukan kayu yang berhasil terbangun adalah:
“Pengelolaan HHBK Terpadu untuk Kesejahteraan Masyarakat”
Kata “Terpadu” dalam rumusan visi di atas mengandung makna: (1)
Keterpaduan komoditi dalam pemanfaatan lahan, hal ini dapat dicapai
dengan cara menerapkan teknologi agroforestry; (2) Keterpaduan
pengelolaan komoditi dari hulu sampai ke hilir, hal ini dapat dicapai
dengan menerapkan sistem agribisnis; dan (3) Keterpaduan multi pihak
dalam pengelolaan HHBK, hal ini dapat dicapai melalui pengelolaan
HHBK secara terintegrasi dan sinergisme program para pemangku
kepentingan.Kata “Kesejahteraan” dalam rumusan visi di atas mengandung
makna peningkatan pendapatan dan ekonomi masyarakat di sekitar hutan
yang dibarengi dengan perbaikan mutu lingkungan hidup secara
berkelanjutan.
Berdasarkan visi di atas, maka dirumuskan Misi pengelolaan sebagai
berikut: (1) Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dan
kelembagaan; (2) Mengembangkan kerjasama multi pihak antar wilayah;
(3) Mengembangkan hasil hutan bukan kayu unggulan; dan (4)
Mengupayakan fasilitasi proses IUPHHBK dan/atau IUPHKm.
4. Arah, Sasaran, dan Strategi Pengelolaan HHBK Lombok Tengah
Arah dan strategi pengembangan HHBK merupakan rumusan
perencanaan komperhensif tentang bagaimana mencapai dan mewujudkan
visi, misi, dan tujuan pengelolaan HHBK dengan efektif dan efisien.Arahan
pengembangan dimaksudkan untuk memberikan arah strategi, program dan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 613
kegiatan dalam pengembangan usaha tani budidaya dan pemanfaatan
komoditas HHBK.Sedangkan tujuannya adalah meningkatnya kualitas dan
kuantitas produksi HHBK, berkembangnya usaha dan pemanfaatan HHBK
sehingga memiliki nilai ekonomi dan daya saing, serta terciptanya
kelestarian lingkungan sesuai dengan kondisi fisik, sosial-ekonomi dan
budaya masyarakat setempat.
Kelola Kawasan
Arah, sasaran dan strategi pengembangan HHBK pada aspek kelola
kawasan, seperti yang disajikan pada Tabel 3, dimaksudkan untuk
menjawab 4 tujuan pada lini kelola kawasan, yaitu: (1) Kelestarian
sumberdaya hutan, terutama untuk menopang ketersediaan air secara
berkelanjutan; (2) Optimalisasi pemanfaatan lahan; (3) Terlaksananya tata
kelola kawasan dengan pendekatan multi strata untuk menjamin potensi
sumberdaya hutan dan lingkungan hidup; dan (4) Menjamin kepastian
wilayah kelola kelompok masyarakat.
Tabel 3. Matriks Arah, Sasaran dan Strategi Pengembangan HHBK pada
Aspek Kelola Kawasan.
No Arah Sasaran Strategi
1 Pengembangan
Budidaya
Tanaman HHBK
Unggulan
Kabupaten.
Meningkatnya persentase
jumlah dan kualitas
tanaman HHBK unggulan
dalam konfigurasi usahatani
pada areal kerja HKm
Optimalisasi pemanfaatan
ruang
Mengganti secara bertahap
tanaman non HHBK dan
HHBK non unggulan
dengan tanaman HHBK
unggulan
Pemanfaatan bibit unggul
2 Pengembangan
SDM dan
Pemberdayaan
Masyarakat.
Meningkatnya ketersediaan
jumlah dan mutu sumberda-
ya manusia yang menguasai
teknik budidaya HHBK
unggulan
Peningkatan kapasitas
kelompok petani dalam
teknik budidaya HHBK
unggulan
Peningkatan jumlah dan
kapasitas aparat (pegawai,
penyuluh, dan pendamping)
dalam teknik budidaya
HHBK
Meningkatnya ketersediaan
jumlah dan mutu sumberda-
Peningkatan kapasitas
kelompok petani, tenaga
614| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ya manusia yang menguasai
teknik perlindungan dan
pengamanan kawasan
penyuluh dan pendamping
dalam perlindungan dan
pengamanan kawasan
Meningkatnya mutu
sumberdaya manusia terkait
manajemen usahatani
HHBK
Peningkatan kapasitas
kelompok dalam
manajemen usahatani
HHBK
3 Pengembangan
Data dan
Informasi.
Terbangunnya sistem data
dan informasi yang dapat
di-akses secara terbuka
untuk mendukung
pengembangan usaha
budidaya dan pemanfaat
komoditas HHBK.
Meningkatkan ketersediaan
dan
aksesibilitas data dan
informasi
HHBK
4 Pengembangan
Pe-nelitian dan
Tekno-logi
Dihasilkannya paket-paket
teknologi produksi dan
paket-paket tekonologi
budidaya, terutama HHBK
unggulan, yang dapat
diadopsi oleh petani dalam
pengembngan HHBK.
Mengembangkan penelitian
HHBK
unggulan
Mengoptimalkan
pemanfaatan
hasil riset.
Kelola Usaha
Arah, sasaran dan strategi pengembangan HHBK pada aspek kelola
usaha, seperti yang disajikan pada Tabel 4, dimaksudkan untuk menjawab
3 tujuan pada lini kelola usaha, yaitu: (1) Menjamin kuantitas, kualitas dan
kontinuitas HHBK; (2) Kemudahan dalam akses permodalan untuk
mendukung usaha-usaha kelompok masyarakat dan Koptan; dan (3)
Memperluas pangsa pasar HHBK (promosi, informasi, dll.).
Tabel 4. Matriks Arah, Sasaran dan Strategi Pengembangan HHBK pada
Aspek Kelola Usaha.
No Arah Sasaran Strategi
1 Pengembangan
industri pengolahan
HHBK
Meningkatnya nilai
tambah komoditi
HHBK
Mendorong
pengembangan sentra-
sentra agroindustri
HHBK berskala
menengah
Fasilitasi bantuan dan
pembinaan
Meningkatnya Pengembangan usaha
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 615
penyerapan tenaga
kerja
agroindustri HHBK
berbasis industri rumah
tangga (homeindustry)
2 Pengembangan
permodalan bagi
usaha HHBK
Meningkatnya sumber
permodalan bagi
petani, pengusaha dan
koperasi
Pengembangan skema-
skema bantuan
permodalan
Pengembangan sistem
pemupukan modal
secara swadaya
3 Pengembangan
pemasaran dan
promosi HHBK
Terwujudnya sistem
pemasaran yang
mampu menciptakan
harmonisasi harga
antara petani di hulu
dan industri di hilir
Membangun tata niaga
HHBK yang dapat
mendorong peningkatan
pendapatan petani dan
swasta secara seimbang
Meningkatnya jumlah
dan harga jual produk
HHBK
Meningkatkan daya
saing produk HHBK
Kelola Kelembagaan
Arah, sasaran dan strategi pengembangan HHBK pada aspek kelola
kelembagaan, seperti yang disajikan pada Tabel 5, dimaksudkan untuk
menjawab 4 tujuan pada lini kelola kelembagaan, yaitu: (1) Meningkatnya
kapasitas kelompok masyarakat dalam pengolahan pasca panen dan
budidaya HHBK; (2) Mewujudkan Koperasi dan Lembaga Ekonomi Mikro
pada tingkat kawasan sebagai lembaga bisnis yang mandiri; (3)
Tersedianya produk hukum yang mengatur tata niaga HHBK; dan (4)
Terbentuknya asosiasi HKm Lombok Utara.
Tabel 5. Arah, Sasaran dan Strategi Pengembangan HHBK pada Aspek
Kelola Kelembagaan
No Arah Sasaran Strategi
1 Pengembangan
kelembagaan/organisasi
kelompok masyarakat
dan pemerintah
Meningkatnya kapasitas
organisasi dan peran
kelompok masyarakat
dan pemerintah dalam
pengelolaan HHBK
Penguatan dan
pengembangan
organisasi kelompok
masyarakat pengelolaa
HHBK
Pembenahan sistem
kelembagaan dan dan
peran pemerintah dalam
616| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
penanganan HHBK
2 Pengembangan jejaring
kerja (net working)
stake holders HHBK
Terjalinnya hubungan
jejaring kerja (net
working) semua stake
holders, mulai dari
pemerintah, pengusaha,
petani, lembaga
litbang/PT, dan LSM di
tingkat daerah
(kabupaten)
Pembentukan forum
kerjasama multi pihak
pengelolaan HHBK di
tingkat kabupaten
Tercapainya penguatan
dan terbangunnya
jejaring kerjasama antar
institusi di tingakt daerah
(kabupaten & provinsi)
dengan institusi di
tingkat pusat dalam
memfasilitasi
pengembangan HHBK
Peningkatan koordinasi
dan pengembangan
jejaring kerja (net
working)
3 Pengembangan
regulasi/kebijakan yang
mendukung pengelolaan
HHBK
Tersedianya perangkat
regulasi/kebijakan yang
mendukung dan
memberikan insentif
bagi pengembangan
komoditi HHBK
Pengembangan peraturan
dan perijinan HHBK
4 Pengembangan
kelembagaan/nilai-nilai
budaya lokal
Meningkatnya peran
kelembagaan/nilai-nilai
budaya lokal dalam
mendukung pengelolaan
HHBK
Penguatan dan
pengembangan
kelembagaan/nilai-nilai
budaya lokal
5. Program dan Kegiatan Pengembangan HHBK Lombok Utara
Dalam upaya mengimplementasikan arah, sasaran dan strategi
pengembangan HHBK diperlukan program dan kegiatan pokok. Program
merupakan rangkaian/kumpulan kegiatan yang menggambarkan langkah-
langkah yang akan diambil untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan. Terdapat 5 rumusan program yang terelaborasi kedalam 16
jenis kegiatan pengembangan HHBK pada aspek kelola kawasan, yaitu:
1. Program inventarisasi dan identifikasi potensi tanaman HHBK, meliputi
kegiatan-kegiatan: (i) Inventarisasi, dan identifikasi tanaman HHBK
dalam kawasan hutan alam; (ii) Inventarisasi, dan identifikasi tanaman
HHBK dalam kawasan hutan alam; (iii) Inventarisasi, dan identifikasi
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 617
tanaman HHBK di luar kawasan hutan; (iv) Inventarisasi, dan
identifikasi tanamannon-HHBK dan HHBK non-unggulan yang tidak
produktif.
2. Program penetapan HHBK unggulan daerah, melalui kegiatan kajian
penetapan HHBK unggulan KLU.
3. Program rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan-kegiatan: (i)
pemetaan lokasi untuk pengayaan HHBK unggulan; dan (ii) pengayaan
tanaman HHBK unggulan;
4. Program pengadaan bibit unggul HHBK unggulan melalui kegiatan-
kegiatan: (i) identifikasi, eksplorasi, dan penetapan sumber benih
tanaman penghasil HHBK unggulan; (ii) pembangunan kebut bibit
rakyat (KBR) berbasis komoditi HHBK unggulan; dan (iii) subsidi bibit
komoditi HHBK unggulan.
5. Program peningkatan kapasitas dan keterampilan kelompok masyarakat
dalam aspek budidaya HHBK dan pengelolaan kawasan meliputi
kegiatan-kegiatan: (i) penyelenggaraan bimbingan, penyuluhan,
pendampingan, dan pelatihan teknik budidaya HHBK, konservasi tanah
dan air, perlindungan dan pengamanan hutan, serta manajemen usaha
tani; (ii) pengembangan demplot HHBK unggulan berbasis hasil riset
dan pellibatan kelompok masyarakat; (iii) pengembangan project
pengelolaan HHBK unggulan secara terpadu hulu hilir; (iv) fasilitasi
studi banding dan magang pengelolaan HHBK bagi kelompok
masyarakat; (v) fasilitasi kegiatan inter dan intra learning kelompok
masyarakat pengelola HHBK; dan (vi) ToT petani sebagai penyuluh
mandiri.
Terdapat 8 rumusan program yang terelaborasi kedalam 16 jenis
kegiatan pengembangan HHBK pada aspek kelola usaha, yaitu sebagai
berikut:
1. Program peningkatan kemampuan teknologi industry, melalui kegiatan-
kegiatan: (i) pelatihan, kursus, magang, dan studi banding; (ii) subsidi
saprodi pengolahan HHBK; dan (iii) pembinaan teknologi industri.
2. Pengembangan sentra usaha pengolahan HHBK, melalui kegiatan-
kegiatan: (i) identifikasi potensi pengembangan agroindustri
618| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
rumahtangga di masing-masing wilayah; dan (ii) pembentukan pilot
project sentra usaha agroindustri HHBK unggulan.
3. Program fasilitasi modal usaha, meliputi kegiatan: (i) studi skema
insentif permodalan sebagai solusi berkembangnya sistem ijon; (ii)
fasilitasi dan penerapan hasil kajian skema insentif permodalan.
4. Program peningkatan peran koperasi dan pengembangan skema
pemupukan modal melaui kegiatan pendampingan masyarakat dalam
upaya pemupukan modal secara swadaya.
5. Program peningkatan efisiensi tata niaga local dan regional komoditas
HHBK melalui kegiatan peningkatan system dan jaringan informasi
perdagangan HHBK.
6. Program pengembangan sistem “pemasaran-bersama” HHBK, melalui
kegiatan-kegiatan: (i) pembentukan asosiasi pelaku usaha HHBK; (ii)
peningkatan peran kelompok tani dan lembaga koperasi dalam
pemasaran produk HHBK; dan (iii) pengembangan kemitraan usaha
dalam pemasaran hasil HHBK.
7. Program peningkatan promosi HHBK Unggulan KLU pada tingkat
propinsi dan nasional, melalui kegiatan-kegiatan: (i) pembangunan
pusat pemasaran produk HHBK; dan (ii) fasilitasi keikutsertaan dalam
pameran dan perlombaan dalam tingkat propinsi dan nasional sebagai
ajang promosi.
8. Program peningkatan mutu produk HHBK melaui kegiatan-kegiatan: (i)
penerapan teknologi tepat guna pengolahan HHBK; dan (ii) penyusunan
dan penetapan standar kualitas hasil HHBK.
Terdapat 9rumusan program yang terelaborasi kedalam 26 jenis
kegiatan pengembangan HHBK pada aspek kelola kelembagaan, yaitu
sebagai berikut:
1. Program pembentukan dan penguatan organisasi kelompok masyarakat
pengelola HHBK melalui kegiatan-kegiatan: (i) fasilitasi pembentukan
dan penguatan lembaga pengelola HHBK; (ii) peningkatan kapasitas
manajerial pengelola; dan (iii) fasilitasi pembentukan lembaga ekonomi
mikro.
2. Program peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah
terkait pengembangan HHBK, melalui kegiatan-kegiatan: (i)
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 619
pembentukan gugus tugas penanganan HHBK; (ii) rekritment aparat
penyuluh kehutanan; (iii) peningkatan kapasitas penyuluh; (iv) fasilitasi
studi banding dan pelatihan bagi kelompok pengelola HHBK; dan (v)
peningkatan frekwensi kunjungan penyuluh kehutanan ke kelompok
pengelola HHBK.
3. Program pengembangan basis data dan system informasi HHBK,
melalui kegiatan-kegiatan: (i) penyusunan pedoman penyediaan data
dan informasi HHBK; (ii) pengembangan web portal informasi HHBK;
dan (iii) pembangunan pusat informasi HHBK di tingkat kabupaten.
4. Program pengembangan riset dan teknologi HHBK, melalui kegiatan:
(i) pengembangan riset dan teknologi budidaya dan pengolahan HHBK
ungulan; dan (ii) fasilitasi pelaksanaan penelitian oleh petani (PoP).
5. Program pemanfaatan hasil-hasil riset HHBK melalui kegiatan
diseminasi hasil riset, dan pembangunan demo plot hasil riset bersama
kelompok masyarakat.
6. Program penguatan jejaring kerjasama stakeholders HHBK di tingkat
kabupaten, melalui kegiatan: (i) lokakarya inisiasi pembentukan forum
kerjasama multipihak pengelolaan HHBK; dan (ii) temu usaha multi
pihak pengelola HHBK.
7. Program peningkatan koordinasi jejaring kerjasama stakeholders
HHBK melalui kegiatan: (i) pembentukan arahan tata kerja sama
stakeholders HHBK di tingkat pusat dan daerah; dan (ii) internalisasi
pengembangan dan pengelolaan HHBK dalam program kerja SKPD di
KLU.
8. Program kebijakan dan regulasi pengembangan HHBK unggulan,
melalui kegiatan-kegiatan: (i) penetapan daftar komoditi HHBK
unggulan daerah dan sentra wilayah pengembangan HHBK ungulan
daerah; (ii) penyusunan peraturan daerah tentang pedoman
pengembangan HHBK unggulan di KLU; (iii) pengembangan kebijakan
dan regulasi insentif dalam merangsang usaha HHBK unggulan; (iv)
pengembangan kebijakan dan regulasi insentif yang mampu
merangsang iklim investasi dalam pengolahan dan pemasaran produk
HHBK; dan (iv) pengembangan kebijakan sebagai payung hukum dan
landasan kerja SKPD dalam pengelolaan HHBK terpadu.
620| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
9. Program pengembangan ijin usaha HHBK, melalui kegiatan-kegiatan:
(i) penerbitan izin usaha pemungutan dan pemanfaatan HHBK; (ii)
penyederhanaan prosedur perizinan pemanfaatan HHBK; dan (iii)
penghapusan biaya “transaksional” dalam pengurusan perizinan.
IV. PENUTUP
Rencana Strategis Pengelolaan HHBK Kabupaten Lombok Utara ini
disusun secara bersama (partisipatif) oleh para pihak pemangku
kepentingan, melalui tahapan dan proses yang cukup panjang. Keluaran
yang diharapkan adalah agar dokumen perencanaan ini menjadi acuan
bersama bagi pemangku kepentingan dalam mengelola dan
mengembangkan HHBK di Kabupaten Lombok Utara. Tantangan
selanjutnya adalah menetapkan langkah-langkah apa yang harus ditempuh
agar dokumen rencana pengelolaan ini dapat dinternalisasikan dan
diimplementasikan ke dalam prograrm dan kegiatan masing-masing
pemangku kepentingan. Tantangan tersebut menjadi penting untuk
dikedepankan mengingat setiap pemangku kepentingan memiliki program
dan rencana kerja sendiri yang berorientasi pada kepentingan masing-
masing. Bahkan acapkali kepentingan berbagai pihak tersebut saling
berbenturan, yang menyebabkan pengelolaan HHBK selama ini belum
berjalan secara sinergis. Oleh karenanya, tugas pemangku kepentingan
selanjutnya adalah mendorong dan mendukung agar rencana pengelolaan
ini menjadi dokumen yang secara legal formal memiliki payung hukum
yang jelas, semisal Perda (Peraturan Daerah) atau Perbup (Peraturan
Bupati). Pentingnya payung hukum adalah agar dapat mengikat komitmen
bersama untuk secara sungguh-sungguh mengadopsi dan
mengimplementasikan perencanaan ini.
BAHAN BACAAN
Bappeda KLU, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Kabupaten Lombok Utara Tahun 2011-2015. Bappeda KLU.
Tanjung.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 621
BPS. 2011. Lombok Utara dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Lombok Utara.Tanjung.
Dinas Kehutanan Provinsi NTB. 2011. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi
Nusa Tenggara Barat 2010. Dinas Kehutanan Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Mataram
DPPKKP, 2012.Rencana Kerja Dinas Pertanian, Perebunan, Kehutanan,
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Utara Tahun 2012.
DPPKKP KLU.Tanjung.[tidak dipublikasikan]
Kementrian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis Kementrian Kehutanan
2010-2014. Kementrian Kehutanan. Jakarta.
________ . 2010. Grand Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu
Nasional 2010-2014. Kementrian Kehutanan. Jakarta.
622| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
F. Diskusi
a) Notulensi Sesi Utama
1) Sambutan : Paparan Kebijakan Pengelolaan HHBK di NTB
Oleh : Asisten III Bidang Ekonomi Pembangunan Pemda
Provinsi NTB
Penandatanganan MoU antara Balai Penelitian Teknologi HHBK
dengan Lembaga Pendidikan yang ada di NTB semoga bisa
dilaksanakan dengan optimal untuk meningkatkan kemanfaatan
HHBK dan kesejahteraan masyarakat.
Peraturan Presiden No 32 tahun 2011 tentang Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
menjadikan Lombok sebagai gerbang pariwisata nasional.
Instruksi Gubernur NTB yang berisi tentang penyelenggaraan
rapat-rapat baik lingkup nasional maupun internasional untuk
memanfaatkan produk-produk lokal, mengunjungi sentra-sentra
industri dan mengunjungi destinasi-destinasi wisata.
Kantong-kantong kemiskinan justru ada di sentra-sentra industri,
sentra-sentra kerajinan, atau masyarakat sekitar hutan.
Pengentasan kemiskinan salah satunya dengan jalan bagaimana
meningkatkan manfaat HHBK.
Kearifan lokal dihadapkan dengan kebutuhan masyarakat terhadap
kayu di hutan.
Program-program untuk memanfaatkan HHBK harus
dikedepankan untuk mendukung program-program yang lain.
Keterpaduan dari dinas-dinas misal dinas kehutanan, dinas
pertanian dan dinas perdagangan.
Sesuai dengan program NTB Hijau, pada Green Asia Forum
berikutnya NTB akan menjadi tuan rumah.
Dinas kehutanan : pemanfaatan kawasan hutan lindung jadi
kawasan pariwisata.
2) Sambutan dan Arahan : Strategi dan Kebijakan Penelitian HHBK
Oleh : Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan (Dr. Ir. Rufi’ie, M.Sc.)
Permenhut No 35 tahun 2007 tentang HHBK. HHBK masih
dianggap sebagai hasil hutan ikutan. Padahal hasil hutan berupa
kayu hanya 10% dari total hasil hutan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 623
Konsekuensinya nilai ekonomi dan nilai tambah HHBK sangat
rendah. Contoh rotan, pengusaha untung besar, sedangkan
petaninya tidak.
Jenis-jenis produk HHBK yaitu energi, pangan, obat-obatan dan
lainnya.
Di Papua terdapat 5 juta ha tumbuhan sagu yang belum diusahakan
dengan baik dan tidak dibudidayakan. Jika diusahakan untuk
pangan, dapat untuk mensuplai 10 milyar orang.
Tanaman porang diusahakan oleh Perhutani. Porang diproses
untuk bahan pangan yang sehat. Tepung porang sangat mahal
hingga Rp 500.000,- per kg.
Tantangan : lebih dari 500 jenis HHBK yang berupa akar, daun,
buah, biji, dan lain-lain. Sementara ini pemanfaatannya masih
terbatas, hanya dalam bentuk raw material. Contoh biji
tengkawang, oleh masyarakat hanya disangrai kemudian dikirim
ke Malaysia.
Strategi pengelolaan HHBK ke depan perlu dilakukan seperti
menentukan komoditas apa yang akan dikembangkan.
HHBK sebenarnya bukan sumber alamnya saja. Kondisi sosial,
kondisi pasar dan kondisi hutanya akan menentukan aktor-aktor
penting yang bergerak di dalamnya. Oleh karena itu penelitian
integratif sangat diperlukan.
Peran Litbang adalah menghasilkan IPTEK yang terintegrasi,
pemetaan potensi dan budidaya HHBK serta pemanfaatan
komersialnya. Kerjasama akan melengkapi penelitian yang
terintegrasi. Penelitian yang diperlukan adalah penelitian
kolaborasi atau partisipatori dan penelitian dari hulu sampai hilir.
Fokus penelitian Litbang : energi (biomassa, bioetano, biodiesel
dll), pangan (madu dan porang), obat-obatan (pemanfaatan
senyawa aktif tumbuhan obat hutan, getah dan pengolahan turunan
produk), serta lainnya (rotan dan bambu).
624| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
b) Komisi Budidaya dan Pengelolaan HHBK
Sesi I
Moderator: Sad Kurniati W. S.Hut.MP
Makalah:
No. Judul Makalah Nama Pemakalah
1. Komposisi Kimia dan Sifat Insektisida
Minyak Atsiri Eucalyptus urophylla
Terhadap nyamuk Culex
quinguefasciatus
Rini Pujiarti
2. Teknik Budidaya Gulinggang (Senna
alata Linn.) Di Kalimantan Selatan
Sudin Panjaitan,
Ahmad Ali
Musthofa Rusmana
3. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Muda
Aquilariacrassna Pierre ex Lecomte Di
Lapang
Ragil SB Irianto
4. Optimalisasi Hasil Panen Tanaman Rami
Untuk Mendukung Industri Tekstil Di
Kabupaten Garut
Tri S.W., Dian
Diniyati, dan Harry
Budi Santoso
5. Ujicoba Rehabilitasi Dengan Tanaman
Penghasil Bahan Bakar Nabati Di KPHL
Rinjani Barat Dan KPHL Bali Timur
Cecep Handoko
6. Adaptasi Dan Preferensi Pakan Rusa
Sambar (Rusa unicolor Brookei) Pada
Tahap Awal Di Penangkaran KHDTK
Samboja
Tri Atmoko
7. Evaluasi Pohon Serbaguna Hasil
Rehabilitasi Kawasan Konservasi Taman
Nasional Merubetiri, Jawa Timur
Sumarhani dan
Titiek Setyawati
Pertanyaan/Masukan/Saran
1. Wahyu Yuniati (Fahutan UNTB, Mataram)
Apa perbedaan Glomus sp 1 dan Glomus sp 2
Jawaban:
Ragil SB Irianto (Puskonser Bogor): Glomus sp 1 diambil dari spesies
mahoni di PT. Musi Hutan Persada sedangkan Glomus sp 2 diambil dari
lahan tambang batu bara.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 625
2. Sahwalita (BPK Palembang)
a. Bagaimana efektivitas mikoriza terkait pengaruh pemupukan, dan
waktu penanaman dilapangan, kondisi naungan di lapangan, dan pola
tanam monokultur atau polikutur ?
Jawaban:
Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor): Efektivitas tertinggi/terbaik
yaitu saat semai dipindah dari persemaian ke lapangan. Pemberian di
persemaian selalu menguntungkan. Kalau media subur, kurang. Jenis
tanah di lapangan subur, efektivitas juga kurang. Kalau menggunakan
lahan bekas tambang, efektivitas tinggi. Pada awalnya tanaman
dibawah naungan, dan yang tingginya di bawah 1 m pertumbuhannya
lebih cepat. Pola tanam adalah monokultur dan tidak ada penambhan
pupuk selain pupuk kandang sebanyak 2 kg/lubang tanam.
b. Pengaruh pupuk bagaimana? dosis pupuk sama atau tidak? Kondisi di
lapangan ada naungan atau tidak? Pola tanam monokultur atau
campuran?
Jawaban :
Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor): Tanaman awal di bawah
naungan. Tanaman dengan tinggi kurang dari 1 meter tumbuhnya
lebih cepat. Pola tanam monokultur, tidak ada penambahan pupuk lain
selain perlakuan yaitu pupuk kandang sebanyak 2 kg per lubang
tanam.
3. Dona Octavia (Puskonser Badan Litbang, Bogor).
Pupuk kandang dan mikoriza diberikan hanya kepada Kranji dan
Kemiri Sunan. Bagaimana dengan jenis lainnya. Kondisi unsure hara
pada lokasi penelitian bagaimana ?
Jawaban:
Cecep Handoko, (BPTHHBK Mataram): Keputusan berdasarkan hasil
analisis data pengamatan respon pemupukan tahun 2013, dimana hanya
Kranji dan Kemiri Sunan yang berbeda nyata. Data kondisi unsur hara
sudah disajikan pada halaman 4. Banyak unsur hara yang rendah
626| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
ketersediannya dan ada unsur hara yang menjadi kendala selain kendala
ketebalan solum dan curah hujan.
4. Dona Octavia, (Puskonser Bogor)
Nilai R2 pada hubungan variable bebas kondisi lingkungan
(penangkaran awal) dan variable tetap/terikat kondisi psikologis rusa
nilainya ternyata kecil. Minta penjelasan
Jawaban:
Triatmoko, (BPTKSDA, Samarinda): Nilai R2 = 0,235 pada kondisi
fisiologis rusa sambar pada tahap awal penangkaran menunjukkan
adanya tren adaptasi yaitu dampak lingkungan trerhadap psikologis rusa
pada awalnya saja besar, lalu menurun sejalan waktu adaptasi, sehingga
nilai R 2 secara kumulatif pada akhirnya kecil. ada nilai standar untuk
Rusa Timor, sedangkan untuk Rusa Sambar Belum
5. Sudin (Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru)
a. Pada makalah Ujicoba rehabilitasi dengan jenis penghasil BBN (Cecep
Handoko), pada kesimpulan disebutkan kematian tidak terjadi. Minta
dijelaskan persentase hidup. Jenis BBN belum disebutkan, dan
munculkan pada kesimpulan.
Jawaban:
Cecep Handoko, (BPTHHBK Mataram): Saran diterima, perbaikan
untuk kesimpulan. Kematian tidak terjadi maksudnya hanya untuk
persyaratan tidak adanya gangguan fisik.
b. Penelitian Rusa Sambar dilakukan hanya terhadap sepasang rusa,
umurnya berapa ?
Jawaban:
Triatmoko, (BPTKSDA Samarinda): Memang jumlah sample
penelitian terlalu sedikit karena kesulitan memperoleh rusanya. Umur
rusa saat awal ditangkarkan adalah 1-2 tahun dan 8 bulan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 627
Sesi II
Moderator: Dr. Liliana Baskorowati, S. Hut, M.P
Makalah:
No. Judul Makalah Nama Pemakalah
8. Teknik Produksi Bibit Dan Penanaman
Rotan (Calamus sp.) Di Kalimantan
Selatan
Sudin Panjaitan
9. Demplot Tanaman Obat Dan Tanaman
Anggrek: Media Percontohan
Pengembangan Usaha Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) Alternatif Di
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS)
Tri Sulistyati
Widyaningsih, Aditya
Hani, Nova Indri
Hapsari,dan Ratna Uli
Damayanti
10. Potensi Agroforest Medang Bambang
Lanang (Michelia champaca) Dalam
Mendukung Kemanfaatan Hasil Hutan
Non Kayu Dikecamatan Muara Payang
Kawasan Lematang Ulu, Sumatera
Selatan.
Endah Kusuma
Wardhani dan Dona
Octavia
11. Potensi Sistem Perakaran Beberapa Jenis
HHBK Dalam Pengendalian Erosi Dan
Longsor
Ogi Setiawan,
Krisnawati dan Budi
Hadi Narendra
12. Inventarisasi Status Pohon Gaharu
(Gryinops verstigii) Di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK)
Senaru Lombok Utara
Sitti Latifah, Muhamad
Husni Idris, Maiser
Syahputra, Rato
Silamon Firdaus,
Budhy Setiawan
13. Budidaya Dan Pemanfaatan Pandan
Hutan Di Kabupaten Tapanuli Selatan,
Sumatera Utara
Sahwalita
14. Keanekaragaman Jenis Bakteri
Penginduksi Pembentukan Resin Gaharu
Pada Pohon Gyrinops versteegii
((Gilg.)Domke) Di Kabupaten Lombok
Bara
Prilya D. Fitriasari,
Endang S. Soetarto, I
Komang Surata
628| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pertanyaan/Masukan/Saran
1. Dr. Liliana Baskorowati, (B2PBPTH Yogyakarta)
a. Komentar dan saran: rancangan dan pelaksanaan penelitian teknik
produksi dan penanaman rotan belum didukung uji statistik, hanya
deskripsi tentang praktek teknik pembibitan dan produksi yang ada di
masyarakat. Penelitian yang baik ada komparasinya, ada pembuktian
secara statistic.
Jawaban:
Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru): Saran diterima. Pada penelitian ini
memang dimaksudkan untuk menginventarisasi praktek-praktek yang
dilakukan masyarakat.
b. Saran: Powerpoin dalam mpenyajian makalah Potensi Agroforest
Bambang Lanang, menggunakan tampilan yang bergerak-gerak.
Tampilan ini malah dapat menyebabkan audiens lebih memperhatikan
gambarnya, bukan materinya. Saran: perlu format standar penyajian
powerpoin
Jawaban:
Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru): Sebenarnya gambar yang bergerak
ada maksudnya terkait materi. Terimakasih atas masukannya.
2. Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor)
Bila dibandingkan antara rotan Manau dan Jernang, mana yang lebih
bagus kualitasnya dan juga nilai ekonominya. Bagaimana kemungkinan
pengembangannya di hutan tanaman?
Jawaban:
Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru): Rotan manau, berkembang lewat
batangnya, lama berkembang sekitar 10 tahun, sedangkan rotan jernang
berkembang lewat biji, cepat berkembang. Rotan manau di Kalimantan
paling bagus kualitasnya, dan juga nilai ekonominya. Pengembangan
rotan manau idealnya di hutan alam daripada hutan tanaman karena
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 629
rotan akan mengalahkan pertumbuhan tanaman lain. Rotan lebih baik
ditanam dengan sistem rumpang daripada sistem jalur
3. Sad Kurniati (UNTB Mataram)
a. Tanaman anggrek ternyata sudah menjadi atau termasuk HHBK.
Apakah ada teknik khusus untuk mengembangkan tanaman anggrek? Di
Mataram tanamana anggrek yang dibudidayakan dapat tumbuh tetapi
tidak berbunga
Jawaban:
Tri Sulistyati Widyaningsih, (BPTA Ciamis): Iklim sangat berpengaruh
pada tanaman anggrek, selain ketelatenan dalam perawatan individu
tanamannnya. Jenis anggrek juga berpengaruh: ada jenis anggrek tanah
ada jenis efipit. Perawatannya harus rajin seperti pemotongan secara
berkala dan penyiraman.
b. Saran untuk makalah: Potensi Agroforest Bambang Lanang,
Penelitiannya akan lebih bagus dilanjutkan untuk mengetahui potensi
dari masing-masing hasil hutan non kayunya
Jawaban:
Dona Octavia, (Puskonser Bogor): saran untuk melanjutkan penelitian
diterima, terimakasih.
c. Apakah ada gambaran umum tentang budidaya untuk jenis –jenis
pandan ?
Jawaban:
Sahwalita, (BPK Palembang): Jarak tanam 2,5 x 4 meter. Panen: dalam
1 rumpun biasanya berisi 2 – 27 anakan. Sisakan 5 – 10 anakan saja
untuk dikembangkan sebagai bahan baku anyaman. Penyiangan seperti
pemotongan daun yang sudah tua perlu dilakukan. Kualitas daun yang
bagus akan memenuhi kebutuhan pengrajin. Budidaya masih terbatas.
Yang perlu diperhatikan untuk budidaya pandan yaitu jarak tanam dan
pemeliharaannya.
630| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
4. Meitry Daningwuri, (BPDAS DMS NTB)
Saran: Kedepan, terkait teknik rehabilitasi hutan, diperlukan penelitian
untuk mengetahui jenis tanaman apa yang cocok untuk jenis tanah
tertentu
Jawaban:
Krisnawati, (BPTHHBK Mataram): Untuk program penelitian ini, jenis
tanaman yang cocok sudah diteliti/pilih tahun kegiatan 2011 dan 2012.
Untuk berbagai jenis-jenis potensial lainnya memang masih perlu
dilakukan penelitian pemilihan dan kesesuaian jenis untuk mendukung
program rehabilitasi hutan
5. Ragil SB Irianto, (Puskonser Bogor)
Untuk bahasan system perakaran, apakah system perakaran
dikelompokkan lagi berdasarkan sumber bibitnya? Saran untuk
pembuatan slide: ukuran font perlu diperhatikan, jangan terlalu kecil,
background dan huruf warnanya harus kontras. Untuk Panitia, kedepan
mungkin perlu dibuat standar persyaratan penyajian powerpoin
Jawaban:
Krisnawati, (BPTHHBK Mataram ): Bibit yang diteliti berasal dari
cabutan yang diambil langsung dari lapangan. Aspek tanah
(jenis/tipe/struktur fisik) memang belum dibahas, karena penelitian
tahun berjalan (2013) masih difokuskan pada aspek perakaran saja.
Saran pengelompokan atas dasar sumber bibit akan dikaji lebih lanjut.
6. Subhan, (BAPPELUH NTB)
Terkait sistem perakaran, sumber bibit akan menentukan sistem
perakaran, selain juga kemungkinan ada pengaruh jenis tanah tempat
tumbuhnya. Contoh: sumber bibit dari anakan alam dan dari hasil
cangkok pasti berbeda sistem perakarannya. Saran: sistem perakaran
mesti dikelompokkan/dibedakan antar sumber bibit dan jenis/tipe
struktur tanah
Jawaban:
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 631
Krisnawati, (BPTHHBK Mataram ): Tahun 2011 dan 2012 jenis
tanaman sudah dipilih. Bibit yang diteliti berasal dari cabutan. Cabutan
diambil langsung di lapangan.
7. Sahwalita, (BPK Palembang )
a. Fisik tanah sangat mempengaruhi perakaran tanaman. perakaran dalam
hasil penelitian ini merupakan pola umum atau karena pengaruh fisik
tanah?
Jawaban:
Krisnawati, (BPTHHBK Mataram): Dalam penelitian tahun ini korelasi
antara sistem/pola perakaran dan aspek tanah memang belum dibahas.
b. Pada makalah Inventarisasi Status Gaharu di KHDTK Senaru,
ditampilkan data-data seperti data cahaya dan pertumbuhan tanaman.
Apa hubungannya antara data yang ditampilkan tersebut? Dan pohon
gaharu yang diteliti apakah hasil penanaman atau tumbuh secara alami?
Jawaban:
Maiser Syahputera, (Prodi Kehutanan UNRAM): Data-data yang
diambil/disajikan ada hubungannya dengan keberhasilan pertumbuhan
pohon gaharu. Tanamaan gaharu yang diamati adalah tanaman alami,
bukan hasil penanaman.
8. Dr. Liliana Baskorowati, (B2PBPTH Yogyakarta)
Saran : untuk makalah Inventarisasi Status Gaharu di KHDTK Senaru:
hubungan anta data harus dijelaskan secara statistik. Misal
menggunakan regresi atau korelasi sehingga tidak hanya ditampilkan
data-datanya saja.
Jawaban:
Maiser Syahputera, (Prodi Kehutanan UNRAM) : Sebenarnya korelasi
secara statistik sudah dibuat/ada di makalah, hanya saja di slide power
point tidak ditampilkan. Saran diterima, terimakasih.
c) Komisi Pemanfaatan Dan Pengolahan HHBK
632| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Sesi I
Moderator : Dr. Gustan Pari, MS
Makalah:
No. Judul Makalah Nama Pemakalah
1. Analisis Fitokimia Daun Beke
(Pycnarrhena tumefacta Miers) Dari Hutan
Adat Tana Ulen, Kalimantan Timur
Andrian Fernandes,
Tati Rostiwati, dan
Karmilasanti
2. Ujicoba Lama Rendam Biji Mimba
Terhadap Kematian Ulat Heortia
Vitessoides
Ali Setyayudi dan
Septiantina Dyah
Riendrasari
3. Inokulasi Sembilan Isolat Asal Nusa
Tenggara Barat Untuk Pembentukan
Gaharu Pada Cabang Gyrinops versteegii
YMM. Anita Nugraheni
dan Lutfi Anggadhania
4. Induksi Pembentukan Gaharu Pada
Gyrinops versteegii (Gilgs.) Domke
Dengan Teknik Inokulan Campur Di
Kabupaten Lombok Barat
Asmiati, Endang S.
Soetarto, dan I Komang
Surata
5. Penggunaan Bentonite Pada Proses
Pembuatan Biokerosin Dari Biji
Nyamplung
Nurul Wahyuni,
Saptadi Darmawan dan
Djeni Hendra
6. Serbuk Kayu Sebagai Sumber Karbon
Alternatif Dalam Medium Pertumbuhan
Fusarium
Lutfi Anggadhania,
YMM Anita Nugraheni
Pertanyaan/Masukan/Saran
1. Adang Sopandi, (Balai Besar Litbang Dipterocarpa Samarinda)
Senyawa utama apakah yang dihasilkan oleh minyak atsiri Eucalyptus
Urophylla yang berfungsi sebagai larvasida.
Jawaban :
Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta): Kandungan senyawa aktif
seperti 1,8-Cineole dan α-Terpineol yang terkandung pada minyak E.
urophylla merupakan senyawa yang diduga efektif untuk mematikan
larva dari nyamuk Culex Quinquefasciatus karena bersifat toksik bagi
nyamuk dan juga dapat berfungsi sebagai racun perut dan pernafasan
pada larva nyamuk sehingga mengakibatkan kematian larva.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 633
2. Cut Rizlani, (Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli)
a. Bagaimana dampak Kesehatan manusia apabila terpapar oleh senyawa
kimia dalam minyak E. urophylla dalam konsentarsi yang besar?
Jawaban:
Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta): Senyawa aktif yang
berfungsi sebagai repelant maupun larvasida adalah senyawa
eucalyptol (1,8-cineole) yang mana apabila konsentrasi dari senyawa
tersebut berlebih maka dapat menyebabkan iritasi kulit dan panas
terutama bagi kulit yang sensitive.
b. Apa penyebab perbedaan komposisi dan kandungan senyawa kimia
Eucalyptus Urophylla dengan beberapa spesies ekaliptus lainnya?
Faktor apa saja yang mempengaruhi perbedaan komposisi kimia
tersebut?
Jawaban :
Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta) : Perbedaan kandungan
senyawa utama dan persen komponen Eucalyptus Urophylla dengan
beberapa spesies ekaliptus lainnya karena faktor tempat tumbuh,
iklim, suhu. Tempat tumbuh dapat mempengaruhi komposisi kimia
dari suatu tanaman karena adanya perbedaan kandungan unsur hara
ataupun mineral dalam tanah. Iklim dan suhu juga mempengaruhi
persen komponen dari kandungan senyawa kimia ekaliptus dan
menentukan laju pertumbuhan dari tanaman ekaliptus.
3. I Wayan Widhiana S, (BPTHHBK Mataram)
Apakah telah diuji semua jenis-jenis Eucalyptus untuk diketahui
kandungan senyawa kimianya dan dapat dimanfaatkan sebagai
insektisida?
Jawaban :
Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta):Tidak, Tim kami hanya
menguji minyak atsiri dari Eucalyptus Urophylla saja. Namun, untuk
beberapa jenis Eucalyptus telah diuji oleh peneliti-peneliti lain yang
mana ekaliptus tersebut berasal dari Congo, India dan Brazil.
4. Rini Pujiarti, (Fahutan-UGM Yogyakarta)
634| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
a. Apakah telah tersedia data kuantitatif kandungan senyawa daun Beke?
Karena akan lebih jelas pemanfaatan dari daun beke jika diketahui
secara jelas komposisi senyawa kimia secara kuantitatif.
b. Pengujian seperti apa yang dilakukan untuk mengetahui komposisi
kimia daun Beke seperti flavonoid, tannin dan lain-lain.
Jawaban:
Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda) : Belum ada data kuantitatif
mengenai komposisi senyawa kimia dari daun Beke. Hal ini
dikarenakan keterbatasan dari sampel daun beke sendiri. Di hutan adat
Tanah Ulen, Kalimantan Timur, tanaman beke masih sangat sedikit
sehingga dalam hal ini perlu dilakukan budidaya.
Jawaban :
Andrean Fernandez, (B2PD Samarinda): Uji fitokimia yang dilakukan
mengacu pada metode yang dikemukakan oleh Harborne (1998) dan
Kokate (2001).
5. Nurul Wahyuni, (BPTHHBK Mataram)
Daun beke yang bagaimana yang baik untuk diambil ekstraknya?
Jawaban :
Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda): Daun Beke yang sudah tua
6. Rini Pujiarti, (Fahutan-UGM)
a. Komponen senyawa kimia apakah yang ada dalam biji mimba yang
berfungsi mematikan ulat Heortia vitessoide?
Saran : Sebaiknya dilampirkan detail komposisi senyawa kimia dari biji
mimba sehingga diketahui komponen senyawa kimia manakah yang
berperan penting dalam mematikan ulat Heortia vitessoide.
Jawaban :
Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Senyawa kimia yang berperan
penting dalam mempengaruhi kematian Heortia vitessoide adalah zat
azadirachtin yang terkandung didalam biji dan daun tanaman mimba
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 635
b. Apakah daun dari tanaman mimba pernah diuji coba untuk dijadikan
insektisida alami? Bagian tanaman mimba yang manakah yang paling
efektif menghasilkan insektisida alami?
Jawaban :
Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Pernah dicoba, namun yang
paling efektif sebagai insektisida alami adalah biji mimba karena
memiliki kandungan zat azadirachtin yang paling tinggi diantara bagian
tanaman mimba yang lainnya
c. Bagaimana pengaruh penggunaan alkohol sebagai pelarut dalam proses
perendaman biji mimba terhadap kematian ulat?
Jawaban :
Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Penggunaan alkohol yang cukup
besar akan mengakibatkan kematian ulat Heortia vitessoide secara
cepat. Sehingga penggunaan alkohol yang besar dihindari karena yang
diujicoba adalah efektifitas insektisida alami dari biji mimba bukan
pengaruh dari senyawa kimia sintetis seperti alcohol. Dalam penelitian
ini pelarut alkohol digunakan dalam konsentrasi yang kecil yaitu 1:
1000, 1 ml alkohol dalam 1000 ml air sehingga tidak berpengaruh
dalam kematian ulat
d) Bagaimana cara mengatasi kelemahan insektisida alami bila
diaplikasikan di lapangan, salah satunya karena kendala hujan? Saran:
Gunakan minyak atsiri sebagai pengikat senyawa insektisida agar tahan
lama menempel di bagian tanaman sehingga pada saat musim hujan,
insektisida alami yang telah disemprotkan ke tanaman tidak mudah
tercuci.
Jawaban:
Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Sampai saat ini penelitian masih
dilakukan dalam skala laboratorium, belum diuji di lapangan.
7. (I Wayan Widhiana S., BPTHHBK Mataram)
Biji mimba yang seperti apa yang diekstrak?
636| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Jawaban:
Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Biji mimba yang sudah masak
baik yang sudah jatuh di tanah maupun masih di pohon
8. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta)
Pada saat Fase ulat yang bagaimana dilakukan penyemprotan
insektisida?
Jawaban :
Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram): Pada tahapan pertumbuhan ulat
Heortia vitessoides fase ke tiga hingga ke empat.
9. Prilya D.,F (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta)
Mengapa menggunakan PDB sebagai control?
Jawaban:
YMM. Anita Nugraheni (BPTHHBK, Mataram): Karena ingin
mengetahui sejauh mana peran cendawan yang diinokulasikan dalam
membentuk gaharu. PDB hanya sebagai media pertumbuhan cendawan
yang diinokulasikan.
10. I Wayan Widhiana S. (BPTHHBK, Mataram)
Apa ada tanda/penciri lain pembentukan gaharu selain perubahan warna
kecoklatan pada area, kalau ada sebaiknya diamati juga
Jawaban:
YMM. Anita Nugraheni (BPTHHBK, Mataram): Ada, yaitu dari tingkat
warna yang terbentuk (dari putih, cokelat muda, sampai cokelat tua);
dan dari bau yang dapat diketahui dari aroma yang tercium setelah
irisan sample dibakar.
11. Rini Pujiarti, (Fahutan UGM Yogyakarta)
a. Bagaimana cara menghitung kurva pertumbuhan isolat jamur?
Saran Menghitung dengan berat kering biomassa jamur
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 637
Jawaban:
Asmiati (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):
Pegukuran pertumbuhan isolat jamur memang sudah dilakukan
berdasarkan pengukuran biomassa atau berat kering sel jamur.
b. Jelaskan korelasi antara kurva pertumbuhan dengan induksi
pertumbuhan gaharu?
Jawaban :
Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Kurva
tumbuh menunjukkan fase pertumbuhan dari isolat jamur. Jika
menggunakan isolate jamur pada saat pertumbuhan jamur maksimal
maka induksi pertumbuhan gaharu pun akan maksimal karena jumlah
jamur (spora) yang banyak untuk melakukan induksi gaharu.
12. Andrean Fernandez, B2PD Samarinda)
Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):
Bagaimana cara mengetahui kadar wangi gaharu hasil inokulasi
dengan teknik Inokulan Campur?
Jawaban :
Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Dengan
membandingkan wangi standar yang telah ada dan tersedia di
BPTHHBK dan dianalisa oleh 5 orang yang berkompeten dalam
wangi gaharu
13. Cut Rizlani, (BPK Aek Nauli)
Mengapa menggunakan tanaman Gaharu yang berumur 3 tahun
(kayunya belum cukup dewasa/matang)? Mengapa tidak
menggunakan Gaharu umur 5-7 tahun?
Jawaban :
Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Karena
saat ini tanaman Gaharu umur 3 tahun yang banyak tersedia di
lapangan, sedangkan gaharu yang berumur 5-7 tahun masih sedikit,
638| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
tentunya belum cukup untuk mendukung penelitian ini. Meskipun
ada, kebanyakan pohon gaharu tersebut telah diinjeksikan inokulan
pada saat umur 3 tahun, jadi hanya sedikit sekali jumlah pohon gaharu
yang masih belum diinjeksikan inokulan.
14. Tri Krisnawati, (BP2HP Denpasar)
Kapan waktu yang tepat dilakukan inokulasi pada pohon Gaharu?
Jawaban :
Asmi (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta): Belum
mendapatkan referensi yang tepat dan jelas kapan pohon gaharu
idealnya untuk dilakukan inokulasi.
15. Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda)
Apakah biokerosin dari minyak nyamplung telah dicoba secara
aplikatif dan diuji secara kuantitatif? Misalnya : perbandingan bahan
bakar dan lama waktu yang dihabiskan dalam memasak air 1 liter
dengan menggunakan biokerosin dan kerosin.
Jawaban :
Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Biokerosin nyamplung sudah
pernah diaplikasikan pada kompor bertekanan dengan percobaan
memasak 500 ml air hingga mendidih. Dengan komposisi campuran
50 % biokerosin dan 50 % minyak tanah waktu yang dibutuhkan
adalah 2 menit lebih lama dari yang dibutuhkan minyak tanah saja.
Biokerosin saja (100%) pun masih bisa digunakan untuk memasak air
namun membutuhkan waktu yang lebih lama.
16. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Biologi UGM Yogyakarta)
Manakah yang lebih baik nilai kalori yang dihasilkan dari biokerosin
yang berasal dari minyak nyamplung Sumbawa atau Lombok?
Jawaban:
Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Untuk masalah ini belum
dilakukan ujicoba dan akan dilakukan ujicoba dalam waktu dekat ini.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 639
17. Ali Setyayudi, (BPTHHBK, Mataram)
Apakah fungsi bentonit dalam penelitian ini?
Jawaban :
Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Fungsi bentonit dalam hal ini
adalah sebagai adsorben yang dapat menyerap asam lemak dalam
minyak maupun senyawa-senyawa yang tidak diinginkan (kotoran)
lain yang terdapat dalam minyak serta dapat mencerahkan warna dari
minyak.
18. Sudin Panjaitan, (BPK Banjarbaru)
Berapakah nilai fisikokimia yang diharapkan dari biokerosin
nyamplung?
Jawaban:
Nurul Wahyuni (BPTHHBK Mataram): Nilai fisikokimia yang
diharapkan tentunya tidak berbeda nyata secara aplikatif dengan
kerosin. Karena biokerosin sendiri belum memiliki standar
sebagaimana jenis biofuel lainnya seperti biodiesel, maka yang
dipakai acuan sementara ini adalah secara aplikatif dengan uji bakar.
19. Ali Setyayudi, (BPTHHBK Mataram)
Jenis serbuk kayu apa saja yang digunakan dan mana yang paling
efektif?
Jawaban:
Lutfi Anggadhania, (BPTHHBK, Mataram): Jenis serbuk kayu yang
digunakan berasal dari beberapa jenis kayu namun yang paling banyak
adalah serbuk kayu dari pohon nangka. Untuk yang menghasilkan
karbon yang paling efektif sejauh ini belum diteliti.
20. Wayan WS, (BPTHHBK Mataram)
640| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Mengapa tidak dimaanfaatkan limbah kayu Gaharu sebagai sumber
karbon?
Jawaban :
Lutfi Anggadhania (BPTHHBK, Mataram): Karena kayu gaharu
harganya relatif mahal maka petani gaharu akan rugi jika
menggunakan serbuk kayu gaharu sebagai sumber karbon alternative,
dimana limbahnya pun masih dapat dimanfaatkan kembali (misalnya :
diekstrak minyaknya).
21. Tri Krisnawati, (BP2HP Denpasar)
Mengapa digunakan serbuk kayu. Hasil kerajinan kayu atau
pengolahan kayu?
Jawaban:
Lutfi Anggadhania (BPTHHBK, Mataram): Tujuannya untuk mencari
sumber karbon alternative yang relatif murah dan membantu
mengurangi dan memanfaatkan limbah hasil pemotongan/pengolahan
kayu. Serbuk limbah kerajinan kayu juga bisa dipakai.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 641
Sesi 2
Moderator : Ir. Adang Sopandi, M. Sc
Makalah:
No. Judul Makalah Nama Pemakalah
7. Produksi Propolis Lebah Madu Trigona
spp Di Pulau Lombok
Krisnawati dan
Septiantina Dyah
Riendriasari
8. Potensi Mimba Sebagai Bahan Baku
Produk Kesehatan Dan Pertanian Di Bali
Dan Lombok
Wayan Widhiana
Susila
9. Studi Jenis Dan Pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) Di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Senaru
Irwan M. L. A.,
Indriyatno Dan Dwi
Sukma Rini
10. Signifikansi Studi Karakteristik Madu
Bagi Kepentingan Perlindungan
Konsumen
Kuntadi
11. Daya Antimikroba Kantong Madu Trigona
sp Terhadap Bakteri Patogen Renita Yuliana dan Endang
Sutariningsih
12. Kualitas Mikrobiologi Dan Daya
Antimikrobia Madu Trigona Rikha Putri Devianti, Endang S.
Pertanyaan/Masukan/Saran
1. I Wayan Widhiana S., (BPTHHBK, Mataram)
Apakah terdapat perbedaan perlakuan dalam satu lokasi hingga timbul
perbedaan produksi madu dan/atau propolis
Jawaban:
Septiantina Dyah Riendriasari, (BPTHHBK, Mataram): Perlakuan
terhadap stup di semua lokasi sama. Ketersediaan pakan di semua lokasi
berlimpah dan juga kisaran kelembaban dan temperatur pada rentang
normal (60,5 – 71 %; 27 – 29 º C), sehingga kemungkinan perbedaan
produksi baik madu maupun propolis adalah karena kondisi internal biologi
lebah sendiri, seperti umur dan respon terhadap depresi dari
gangguan/ancaman dari luar (serangga atau predator misalnya).
2. Andrean Fernandez, (B2PD Samarinda)
642| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Produk manakah yang lebih menguntungkan untuk diproduksi, apakah
madu dalam bentuk madu asli atau telah diolah menjadi propolis?
Jawaban:
Septiantina Dyah Riendriasari, (BPTHHBK, Mataram): Tergantung tujuan
produksi. Untuk memproduksi madu, stup dirapatkan (tidak ada cahaya
masuk). Untuk memproduksi propolis, stup diberi celah atau lobang
sehingga banyak cahaya masuk dan lebah akan menutupi celah dahulu
dengan propolis sebelum memproduksi madu.
3. Asmiati, (Mahasiswa S-2 Fak Biologi UGM, Yogyakarta)
Apakah dilakukan analisis ekologis?
Jawaban :
I Wayan W.S., (BPTHHBK, Mataram): Tidak dilakukan pengamatan dan
analisis, hanya potensi produksi daun saja.
4. Andrean Fernandez (B2PD Samarinda)
Apakah tanaman mimba ditanam atau tumbuh liar? Saran : penelitian
diarahkan ke mikro
Jawaban :
I Wayan W.S., (BPTHHBK, Mataram): Semuanya tegakan alami kecuali
di Desa Gruga kurang lebih 50 ha. Kalo penelitiannya kayu maka yang
diambil secara makro, kalo penelitiannya bukan kayu maka pendekatan
mikro.
5. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Biologi UGM Yogyakarta)
Apa yang menjadi dasar penentuan petak dan dari 36 jenis tersebut, apakah
karena tanaman memang hasil budidaya, atau karena tidak hasil budidaya/
liar? Saran : jangan hanya disebutkan jenisnya saja tetapi disebutkan juga
jumlahnya
Jawaban :
Dwi Sukma Rini, (Prodi Kehutanan UNRAM): Dasar penentuannya petak
dan aksesabilitas yaitu masyarakat sering beraktivitas di 5 petak ini.
Tanaman ada yang tumbuh liar dan ada juga yang budidaya tetapi tidak
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 643
terurus. Awalnya ingin dicatat semua tetapi karena waktu hanya 3 hari jadi
tidak tercatat semua.
6. Sudin Panjaitan (Balai Penelitian Kehutanan Banjar Baru)
Pada pohon/tanaman yang sudah diberi inokulan Fusarium sp ada yang
tidak menjadi harum. Fusarium apa yang membuat kayu/tanaman menjadi
harum? Jenis pohon inang gaharu apakah yang sudah masuk Appendix II
Cites?
Jawaban :
Prilya D. Fitriasari, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):
Hampir semua jenis/spesies Fusarium berpotensi menstimulir pembentukan
gaharu tetapi yang potensial adalah Fusarium oxysporum dan Fusarium
solani . Untuk bahan inokulan belum diidentifikasi sampai spesies hanya
sampe genus saja. Jenis Aquilaria malacensis sudah termasuk Appendix II
Cites. Jenis- jenis Gyrinops sp sebagian sudah masuk Appendix II Cites.
Jenis Aquilaria malacensis sudah termasuk Appendix II Cites. Jenis- jenis
Gyrinops sp sebagian sudah masuk Appendix II Cites.
7. Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda)
Untuk studi ini sebaiknya mencakup seluruh daerah penghasil madu di
Indonesia. Kenapa madu yang diambil tidak dari seluruh Indonesia?
Jawaban :
Kuntadi, (Puskonser, Bogor): Memang sudah direncanakan mengambil
madu dari daerah-daerah seluruh Indonesia, dengan minta bantuan setiap
UPT Litbang di daerah untuk mengumpulkannya.
8. Atmoko, (B2PD,Samarinda)
Darimana sumber anti mirobanya, dari Trigona atau dari pakannya?
Jawaban:
Renita Yuliana, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):
Antimikrobanya bersumber dari pakan yang berupa resin tanaman yang
diolah oleh Trigona dalam pencernaannya.
9. Andrean Fernandez, (B2PD, Samarinda)
Kenapa memilih ketiga mikroba tersebut? Apa dasarnya?
Jawaban:
644| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Renita Yuliana, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):
Memilih S.aureus untuk mewakili bakteri gram positif, P. aerugmosa untuk
mewakili gram negative sedangkan c. albicans mewakili yeast
10. Asmiati, (Mahasiswi S-2 Biologi UGM Yogyakarta)
Kenapa memilih metode ekstraksi dengan air?
Jawaban:
Renita Yuliana, (Mahasiswi S-2 Fakultas Biologi UGM Yogyakarta):
Metode ekstraksi dengan air cukup aman, dan direkomendasikan karena
untuk menghindari hasil yang bias, jika efek yang diberikan dari kantong
madunya bukan efek pelarut. Selain itu agar aman dikonsumsi.
e) Sosial, Ekonomi Dan Lingkungan HHBK
Sesi I
Moderator : Dr. Mashur, MS
Makalah:
No. Judul Makalah Nama Pemakalah
1. Profil Pengelolaan Hasil Hutan Bukan
Kayu Getah Jernang Di Pantai Barat Aceh
Aswandi dan Cut
Rizlani Kholibrina
2. Analisis Kelayakan Usaha Budidaya
Gulinggang (Cassia Alata L.) Sebagai
Tumbuhan Bawah Dalam Sistem
Agroforestri
Adnan Ardhana
Dan Wawan
Halwany
3. Prospek Pengembangan Agroindustri
Dodol Dan Manisan Pala Di Kabupaten
Lombok Tengah
Yulia
Ratnaningsih
4. Distribusi Nilai Tambah Pada Rantai
Nilai Madu Hutan Sumbawa: Studi
Kasus Di Desa Batudulang Dan
Semongkat, Kec. Batulanteh, Kabupaten
Sumbawa
Yumantoko dan
Rubangi Al Hasan
5. Identifikasi Modal Sosial Dalam
Pemanfaatan Songga (Strychnos lucida
R.Br.) Sebagai Sumber Bahan Obat : Studi
Kasus di Desa Hu’u, Kecamatan Hu’u,
Dompu- NTB
Ryke Nandini,
Rubangi Al Hasan
6. Strategi Pengembangan Bambu Di
Kawasan Hutan KPHL Rinjani Barat
Asmanah Widiarti
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 645
7. Peranan Agroforestri Terhadap Cadangan
Karbon Di Hulu Das Renggung
Kabupaten Lombok Tengah
Budhy Setiawan,
Ahmad, Ismail,
dan Mahrin
8. Resolusi Konflik Lahan Di KPHP Model
Banjar
Marinus Kristiadi
Harun, Rudy S.,
dan Adnan Ardana
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Hutan
Desa Dan Kontribusinya Terhadap
REDD+
Bugi Sumirat dan
Nurhaedah Muin
9. Pemilihan Jenis Dan Pembagian Peran
Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Berbasis HHBK
Eva Fauziyah,
Nugraha Firdaus,
dan Sanudin
10. Potensi Biomassa, Cadangan Karbon Dan
Serapan Karbon Dioksida (CO2) Serta
Persamaan Allometrik Penduga Biomassa
Pada Tegakan Bambu Betung
(Dendrocalamus Asper) Pada Hutan
Bambu Rakyat Di Kabupaten Tana Toraja
Baharuddin,
Djamal Sanusi,
Muhammad Daud,
dan Ferial
Pertanyaan/Masukan/Saran
1. Afifah Kurniasih (BKSDA NTB Mataram)
a. Pala sangat menarik untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
kawasan BKSDA. Minta masukan bagaimana upaya yang mesti
dilakukan untuk pemberdayaan ini, untuk budidayanya.
Jawaban:
Yulia Ratnaningsih (Fahutan, UNTB Mataram ): Salah satu kendala
dalam budidaya di Lombok adalah kesulitan mendapatkan benih untuk
benih.Selain sebaran populasi pohon pala tidak luas, juga bijinya
sebagai komoditi yang laku dijual sebagai rempah. Buah pala yang
bagus adalah yang jatuh dari pohon, jarak waktunya satu minggu harus
lekas ditanam. Cara pembibitan/penyemaian dan pemeliharan tanaman
di lapangan tidak terlalu sulit. Juga pemberdayaan teknik pengurangan
kadar air/pengeringan madu.
b. Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Pemberdayaan mesti dilakuakn
kepada keduanyan: petani/pemburu dan pengumpul madu dan
kelembagaannya. Petani diberikan ketrampilan dan kesadaran cara
646| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
memanen sarang lebah yang berkelanjutan/panen lestari cara sunat, dan
cara mengekstrak madu dari sarang dengan cara tiris (bukan peras).
Juga pemberdayaan teknik pengurangan kadar air/pengeringan
maduTentang madu di Semongkat dan Batudulang. Bagaimana
pemberdayaannya? Lebih baik bagi petani atau lembaga? Keuntungan
yang lebih besar dinikmati oleh pedagang di luar daerah produksi
(perantara) Bagaimana itu terjadi, bagaimana memberdayakan
petani/pengumpul madu hutan untuk meningkatkan keuntungannya ?
Jawaban:
Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Dari aspek kelembagaan, yang
paling penting adalah menjamin tidak terjadi konflik (persaingan tidak
sehat dalam berburu sarang lebah diantara para pemburu madu di
lapangan/hutan), dengan misalnya membentuk kelompok-kelompok
pemburu, menguatkan solidaritas dan kerjasama intra dan antar
kelompok, membuat/menggali dan mmberdayakan aturan local.
(tradisional/kearifan lokal) diantara mereka
2. Asmanah Widiarti (Puskonser, Bogor)
a. Saran/masukan: Masyarakat kita sudah sangat care dengan herbal,
namun dukungan litbang kehutanan sendiri masih belum optimal dalam
aspek kandungan bahan kimia/aktif dan kaitannya dengan khasiat dan
potensi pemanfaatannya untuk obat teretentu. Diperlukan kerjasama
dengan instansi lain yang kompeten, misal Balitro, Litbang Kemeterian
Kesehatan, atau perusahaan swasta dalam menggali dan pemanfaatkan
potensi tanaman obat sektor kehutanan secara tuntas.
b. Saran/masukan : Pada umumnya konsumen lebih menyukai madu yang
asli/alami, pengolahan seminimal mungkin. Namun pola produksinya
oleh petani dalam skala kecil dan tersebar sehingga menjadi kendala
dalam memasarkan (posisi tawar rendah). Pembeli biasanya menuju
ke sentra-sentra produksi dan dalam volume yang banyak dan telah
mengalami pengolahan. Perlu pembentukan koperasi untuk madu alami.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 647
c. Masalah madu ada di masalah pakan. Di Pati, Jateng banyak sumber
pakan seperti randu yang ditebang, padahal itu merupakan sumber
pakan lebah.
Jawaban:
Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Memang kajian mendetail khasiat
madu perlu dilakukan untuk diversifikasi produk madu sebagai pangan
berkhasiat, suplemen atau bahan obat, yang dapat, peningkatan nilai
tambah, dan harga jual madu. Penelitian yang dibutuhkan untuk itu
(misal aspek biokimia dan aspek klinis, dll) bisa dilakukan dengan
kerjasama dengan Balitro, BPOM, Perusahaan Farmasi, dll. Untuk
menjaga keberlanjutan keberadaan populasi lebah, dan
mempertahankan volume produksi madu hutan Sumbawa, penyediaan
dan pelestarian pohon sarang dan vegetasi pakan, mutlak mesti
dilakukan. Dalam Program Pengembangan KPH setempat, sangat
memungkinkan untuk mengembangkan penanaman.
3. Mashur (UNTB, Mataram)
Saran/tangggapan: Dari keempat pemakalah tadi, komoditas yang ada
sagat prospektif. Dari aceh, baru bagi kami, namun mungkin juga ada di
sini (daerah Provinsi NTB) cuma belum diketahui. Saran: hasil-hasil
penelitian HHBK khas di suatu daerah (seperti Jernang dan
Gulinggang) didiseminasikan ke daerah lain, termasuk Nusa Tenggara
Barat.
Jawaban:
Aswandi (BPK Aek Nauli):Tidak ada pertanyaan untuk saya namun ada
saran dari Pak Mashur. Ada tamu dari Singapura, mereka mewakaili
rumah sakit tertentu mencari bahan obat-obatan herbal dari hutan.
Mereka menghubungi saya dan menawarkan untuk menanam jernang di
Singapura 10 Ha. saya tidak mau. Tentang Saran diseminasi informasi
HHBK unggulan setempat ke daerah-daerah lain, kami setuju.
4. Safruddin (WWFI-NT, Mataram)
a. Market Share terbesar dinikmati oleh pedagang tingkat nasional,
sementara yang diperoleh petani/pemburu/pemanen madu dan pedagang
648| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
di tingkat lokal kecil. Apa yang menyebabkan share terbesar berada di
tingkat pedagang nasional.
Jawaban:
Yumantoko, (BPTHHBK, Mataram): Kesenjangan harga terjadi karena
lemahnya posisi tawar petani/pemburu terlebih kalau menjual secara
individu kepada pedagang pengumpul. Hal ini dapat dikurangi dengan
menjual melalui kelompok/koperasi. Kalau koperasi berkembang, bisa
langsung berhubungan dengan pembeli besar tingkat nasional (industry
farmasi, eksportir), namun dengan endorsement, kalau sudah terbentuk,
Klaster Madu Hutan Sumbawa; sehingga harga jual lebih tinggi, dan
margin tataniaga pada setiap rantai/pelaku proporsional, sesuai dengan
kontribusi terhadap kualitas dan kelancaran pengaliran/transaksi
produk/madu dan risiko akan kerugian yang ditanggung. Tinggal
membina manajemen koperasinya supaya solid dan fair. Penjualan ke
Jawa (industri farmasi, dll) umumnya berdasarkan kontrak (ada
denda/sanksi bila tidak terpenuhi) dalam volume besar, sehingga
membutuhkan waktu cukup untuk pengmpulan dan penaganannya.
Kemungkinan karena biaya transportasi/pengiriman yang ditanggung
pedagang lokal/kontraktor, Selain itu, kesenjangan harga juga terjadi
karena kurangnya informasi harga di tingkat nasional bagi petani local
dan pedagang pengumpul lokal. Kesenjangan harga jual dapat diatasi
apabila koperasi petani/pemburu bisa memeiliki akses langsung dengan
pembeli/industri di Jawa. Hal ini perlu difasilitasi oleh pemerintah.
Pembinaan dapat dilakukan baik oleh koperasi, Perindag, LSM, maupun
lembaga pemerintah terkait. Margin tataaniaga pedagang pengumpul
dari pemburu sekitar Rp 10.000 an per botol, termasuk biaya
pembotolan. Margin dari pengumpul besar local ke pembeli di Jawa
(industri) dapat mencapai Rp 150.000 – 175.000/botol. Ada biaya
modal yang tertanam untuk mengumpulkan madu dari pedagang
pengumpul local atau pemburu langsung dalam jumlah besar sebelum
pengiriman dilakukan dan biaya resiko kerusakan/penurunan mutu dan
harga selama transportasi serta pengkemasan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 649
b. Prosepek agroindustri pala memang bagus, namun kalau pada skala
rumah tangga seperti ini kira-kira tindaklanjutnya apa untuk
mengembangkan usaha ini?
Jawaban:
Yulia Ratnaningsih (Fahutan, UNTB Mataram ): Pada prinsipnya,
sementara kami akan kembangkan sebagai industri rumah tangga untuk
meningkatkan nilai tambahnya dengan aneka produk olahan diantaranya
sirup, yang juga ada yang dicoba untuk diolah lebih lanjut menjadi
sejenis wine untuk dipasarkan di daerah-daerah tujuan wisata.
Rencananya 3 tahun ke depan kami buat jalur pemasaran, dibuat outlet
dan menjadikan pala sebagai branda NTB. Terkait dengan pengolahan
kami sudah berupaya untuk meberikan pendidikan keterampilan kepada
beberapa anggota dan kelompok masyarakat. Untuk pengembangan
sumber bahan baku, kami mengharapkan bantuan kegiatan-kegiatan
jajaran kehutanan daerah dan pusat terus membantu perluasan
penanaman tanaman pala pada kawasan dan tapak dan lahan milik
masyarakat yang sesuai.
5. Adnan Ardana (BPK Banjarbaru)
Biasanya Gulinggang tumbuh di pinggir sungai. Gulinggang memiliki
kandungan kimia yang memilki khasiat obat herbal. Ini di Eropa jadi
teh, namun di sini justru jadi pencahar. Mungkin di Eropa sudah
dihilangkan dulu kandungan senyawa kimia berkhasiat obat
pencaharnya. Untuk ekspor, daun gulinggang dikeringkan, lalu daun
kering tersebut diekspor ke Jepang. Aslinya Gulinggang dari Amerika
Tengah. Saran untuk diseminasi HHBK unggulan daerah setempat ke
daerah lain sangat baik. Mungkin peran BPTHHBK Mataram lebih
diharapkan.
Jawaban:
Mashur, (Fahutan UNTB): Penelitian HHBK mungkin sudah cukup
banyak dilakukan, tetapi belum terpadu (bersifat parsial) untuk dapat
memecahkan masalah pemanfaatan dan pengelolaan HHBK secara
cepat dan dirasakan oleh masyarakat. Penelitian terpadu melalui
kerjasama berbagai pihak, minimal pada tingkat mengkomunikasikan
650| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
penelitian yang sudah dilakukan, sangat diperlukan. Untuk itu perlu
dibentuk jejaring penelitian dan dan pengembangan HHBK yang
anggotanya meliputi antara lain peneliti dari berbagai lembaga
penelitian terkait HHBK, pengajar perguruan tinggi, praktisi kehutanan
dan perkebunan, pertanian, farmasi dari berbagai instansi pemerintah
dan badan usaha swasta, serta pemerhati HHBK lainnya. Sasaran hasil-
hasil litbang HHBK yang diharapkan antara lain adalah: teknologi
aplikatif, materi kebijakan dan materi aturan kelembagaan yang
mendukung pengelolaan dan pemanfaatan HHBK, dan pedoman teknis
dan/atau petujuk teknis.
6. Baharudin (Fahutan UNHAS Makassar)
Tanggapan/masukan: HHBK banyak jenisnya, beragam tingkat
pemanfaatan dan pengembangannya, memerlukan penelitian terpadu.
Belum ada keterpaduan antara lembaga litbang dan perguruan tinggi.
Masalah HKm yaitu luasnya lebih dari yang diusulkan. Negara susah
mengatur hutan apalagi hutan desa.
Jawaban:
Asmanah Widiarti (Puskonser Bogor): HHBK begitu luas tapi
prioritasnya kurang terasa manfaatnya. Sudah banyak penelitian seperti
pengelolaan bambu dan rotan tapi belum ada jejaring antara hulu dan
hilir sehingga terjadi kekurangan bahan baku. Untuk mengkaitkannya
diperlukan peran serta stakeholder.
7. Bugi Sumirat (BPK Makassar)
Agar diperbaiki peralatan untuk presentasi karena kurang representatif.
Terlalu dini jika harus revitaslisai nilai modal sosial. Harus ada
pengukuran modal sosial sebelum menyimpulkan.
Jawaban:
Rubangi Al Hasan (BPTHHBK Mataram): Tanggapan dan saran
menjadi koreksi buat kami. Kami hanya sebatas mengidentifikasi modal
sosial disana. Ini menjadi untuk merevisi tulisan kami. Di Hu’u
konsumsi songga merupakan kearifan lokal dalam konteks pengobatan
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 651
lokal disana. Dan di sana terdapat norma yang sifatnya kelembagaan
dan belum terinternalisasi dalam pengelolaan songga. kita sudah tahu
masalahnya apa akan tetapi tidak pernah terjun kelapangan.
Sesi 2
Moderator : Dr. Mashur
Notulis : Isnanto, Meity EI
Makalah :
No. Judul Makalah Nama Pemakalah
1 Potensi Biomassa, Cadangan Karbon
Dan Serapan Karbon Dioksida (Co2)
Serta Persamaan Allometrik Penduga
Biomassa Pada Tegakan Bambu
Betung (Denrocalamus Asper) Pada
Hutan Bambu Rakyat di Kabupaten
Tana Toraja
Baharuddin, Djamal
Sanusi, Muhammad
Daud, Ferial
2 Resolusi Konflik Lahan di KPH Model
Banjar
Marinus K.H, S.Hut.,
M.Si, Rudy S., S.P.
dan Adnan Ardhana,
S.Sos
3 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK),
Hutan Desa dan Kontribusinya
Terhadap REDD+.
Bugi Sumirat dan
Nurhaedah Muin
4 Peranan Agroforestri Terhadap
Cadangan Karbon di Hulu DAS
Renggung Kabupaten Lombok Tengah
Budhy Setiawan,
Ismail
5 Kajian Konflik Tenurial di KPHL
Rinjani Barat Studi Kasus Desa
Senaru, Santong dan Rempek
Cecep Handoko
6 Pemilihan Jenis dan Pembagian Peran
Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Berbasis HHBK
Eva Fauziyah,
Nugraha Firdaus, dan Sanudin
652| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Pertanyaan/Masukan/Saran
1. Kemas Usman (Fahutan UNTB):
a. Apakah pemanenan tegakan bambu tidak akan mengganggu atau
kontradiktif terhadap tujuan sebagai cadangan carbon ?
Jawaban:
Baharuddin (Fahutan, UNHAS): Pemanenan justru diperlukan dan
menjadi salah satu bagian penting dalam pengelolaan keberlanjutan
produksi tegakan bambu. Memang intensitas (jumlah dan pola
pemanenan) harus optimal, sehingga selalu menyisakan cadangan
karbon positif (jumlah biomasa yang dipanen selalu atau bahkan jauh
lebih rendah dari biomasa riap). Tegakan bambu bisa sebagai cadangan
karbon, terlebih dalam skema REDD++, bilamana keberadaan bambu
dapat sebagai insentif terhadap upaya-upaya konservasi yang dilakukan
untuk pelestarian hutan secara keseluruhan
b. Peningkatan cadangan karbon akibat penambahan pohon kurang
signifikan (13,68 %), apakah sistem (pola ?) agroforestry ini akan
cukup efektif sebagai tegakan cadangan karbon. Saran: pada
kesimpulan cukup disajikan dalam pointer/ringkas saja. saran: pada Bab
Kesimpulan dan Saran dari makalah, hendaknya disajikan secara
ringkas dan jelas, berupa poin-poin, tidak menguraikan lagi argumentasi
lagi.
Jawaban:
Budhy Setiawan, (Program Studi Kehutanan UNRAM): Saran diterima.
Perhitungan peningkatan cadangan karbon akibat pengkayaan ini
memang akan sangat tergantung dari perkembangan pertumbuhan/riap
tanaman terutama tanaman pengkayaannya. Peningkatan nilai cadangan
karbon akan sejalan dengan pertumbuhan total vegetasi dalam tegakan
(atau total pertambahan biomassa) tegakan). Menurut estimasi
peningkatan yang cukup signifikan dapat dicapai minimal setelah tahun
ke tiga.
2. Safrudin (WWF-NT NTB, Mataram)
Salah satu solusi yang diajukan adalah untuk menjadikan bagian
kawasan hutan yang menjadi sumber konflik menjadi Hutan Desa (HD),
apakah kompatibel dengan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah
lainnya dalam bidang kehutanan.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 653
Jawaban:
Cecep Handoko (BPTHHBK, Mataram): Pada dasarnya pembentukan
hutan desa tidak mengganggu pelaksanaan program-program kehutanan
pemerintah lainnya (HKM, Kemitraan, dll). Kekuatan hutan desa
adalah pada solidnya kelembagaan dan modal social dari kesatuan desa.
Pemberdayaan tentu masih perlu dilakukanpada aspek-aspek lainnya.
Hutan desa lebih sebagai simbul pengakuan terhadap eksistensi dan
originalitas desa dan masyarakatnya serta kearifan lokalnya terhadap
lingkungan hidup. Skema program kehutanana pemerintah lainnya
(HKM, Kemitraan, dll) bisa diorientasikan lebih kepada pemberdayaan/
peningkatan kemampuan ekonomi dari petani anggotanya dan juga
fasilitasi untuk mempertahankan terjaganya nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat khususnya dalam melestarikan lingkungan/hutan.
3. Rato F. Silamon (Prodi Fahutan, UNRAM)
a. Aktivitas dan capaian masyarakat dalam mengembangkan agroforestry
pada hutan desanya apakah telah terjadi sebelumnya (sebelum
penetapan Hutan Desa) atau setelah ditetapkan ? dan bagaimana respon
masyarakat dalam pengelolaan hutan setelah ditetapkan sebagai Hutan
Desa apakah lebih baik atau bahkan menurun
Jawaban:
Bugi Sumirat Sumirat (BPK, Makasar) : Memang sebelum penetapan
hutan desa masyarakat sudah menerapkan agroforestry secara terbatas
dan tradisional. Setelah penetapan sebagai hutan desa, aktivitas dan
semangat masyarakat mengelola hutan secara lebih intensif meningkat
terutama karena tidak ada keraguan untuk melakukan aktivitas karena
pemanfaatan dan pengelolaan sudah mendapatkan penguatran legal
formal. Memang pemberdayaan SDM masyarakat masih perlu terus
dilakukan khususnya dalam membuat perencanaan pengelolaan yang
lebih intensif. yang dapat diajukan kepada instansi terkait untuk
mendapat bantuan/proyek pemberdayaan.
b. Apakah plot-plot agroforestry yang diamati dibuat/by design atau di
kelompokkan dari kondisi yang ada. Bagaimana dasar perhitungannya
untuk mencapai target cadangan karbon 400 ton /ha dengan penanaman
jenis-jenis dan jumlah seperti yang tetapkan tersebut.
Jawaban:
654| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Budhy Setiawan, (Program Studi Kehutanan UNRAM): Plot memang
dirancang (by design) dari kondisi tegakan yang ada, dengan
pengakayaan jenis-jenis tertentu yang disepakati masyarakat, sehingga
dapat secara optimal memenuhi target cadangan karbon dan
memberikan insentif ekonomi berupa hasil hutan bukan kayu kepada
petaninya secara progresif. Dasar perhitungannya adalah dengan
mengestimasi pertumbuhan riap total vegetasi atau peningkatan total
biomassa sebagai input ke dalam persamaan allometrik untuk
mendapatkan nilai cadangan karbonnya.
c. Apa dasarmya dan bagaimana melakukan rekonstruksi batas (penentuan
batas-batas) desa pengembangan sebagaimana yang dituntut oleh
masyarakat. Semestinya perlu dilakukan penerapan aturan yang cukup
tegas untuk mengendalikan tuntutan masyarakat sehingga tidak semua
tuntutan mesti diakomodir.
Jawaban:
Cecep Handoko (BPTHHBK, Mataram: Memang melaksanakan
rekonstruksi batas hutan dalam pengertian secara legal, tidak ada dasar
hukumnya dalam kasus ini. Yang dimaksudkan rekonstruksi fisik saja,
yaitu memetakan luasan areal kawasan yang sudah menjadi desa dan
areal pengembangan desa (4 Dusun) dan areal hutan produksi yang
sudah digarap untuk hutan adat. Hal ini diberikan sementara menunggu
penyelesaian yang lebih permanen (legal) belum bisa dilakukan.
Tuntutan masyarakat untuk diberikan areal yang dirambah untuk
pengembangan Desa dan hutan adat sudah tidak bisa ditawar lagi.
d. Sebenarnya apa dasar dan tujuan pengelompokan masyarakat ke dalam
jenis kelamin dan korelasinya dengan jenis tanaman; apakah hanya
ingin mengetahui/ mendiskripsikan atau mencari korelasi tertentu.
Jawaban:
Nugraha Firdaus (BPTHHBK, Mataram): Sebagai kajian, penelitian ini
ingin mendeskripsikan peran yang bisa dilakukan wanita dalam
kegiatan agroforestri, dalam rangka meningkatkan efesiensi tanaga
kerja, sesuai perspektif gender. Saraannya adalah preferenssi pekerjaan dan jenis tanaman, yang diingikan tenaga kerja wanita. Analisis korelasi
memang belum diperlukan.
656| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Lampiran 1.
JAWDAL ACARA
WAKTU MATERI PEMBICARA
07.00-08.00 Registrasi Panitia
08.00-08.10 Pembukaan dan Doa 1. Septiantina DR
2. Ahmad Nur
08.10-08.20 Menyanyikan Lagu Indonesia Raya Nurul Wahyuni
08.20-08.35 Laporan Ketua Panitia
Penyelenggara
Kepala BPTHHBK
08.35-08.45 Penandatanganan MoU dan
perjanjian kerjasama :
1. Univ. Mataram (UNRAM)
dengan Badan Litbang
Kehutanan
2. Univ. Nusa Tenggara Barat
dengan Badan Litbang
Kehutanan
3. Fak. Biologi UGM dengan
BPTHHBK
4. Fak. Kehutanan UNTB dengan
BPTHHBK
5. Prodi Kehutanan Univ. Mataram
dengan BPTHHBK
1. Rektor UNRAM
dengan Kabadan
2. Rektor UNTB
dengan Kabadan
3. Dekan Fak. Biologi
dengan Kabalai
4. Dekan Kehutanan
UNTB dengan
Kabalai
5. Ketua Prodi
Kehutanan Unram
dengan Kabalai
SESI UTAMA
08.45-09.15 Sambutan (paparan kebijakan
pengelolaan HHBK di NTB) dan
membuka acara seminar
Gubernur NTB
09.15-09.45 Sambutan dan Arahan (Strategi Dan
Kebijakan Penelitian HHBK)
Kepala Badan Litbang
Kehutanan
09.45-10.00 COFFEE BREAK/SESI POSTER
SESI PARAREL I
10.00-12.00 1. Komisi Budidaya Moderator : Sad
Kurniati
Wanitaningsih, SP. MP
2. Komisi Pemanfaatan dan
Pengolahan
Moderator : Dr. Gustan
Pari, MS
3. Komisi Sosek dan Lingkungan Moderator : DR. Ir.
Markum, MSi
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 657
12.00-13.00 ISHOMA/SESI POSTER
SESI PARAREL II
13.00-15.00 1. Komisi Budidaya Moderator : Dr. Liliana
Baskorowati, S.Hut,
M.P
2. Komisi Pemanfaatan dan
Pengolahan
Moderator : Ir. Adang
Sopandi, M. Sc
3. Komisi Sosek dan Lingkungan Moderator : Dr.
Mashur, MS
15.00-15.15 COFFEE BREAK/SESI POSTER
15.15-15.45 Perumusan
15.45-16.00 Pembacaan dan Penyerahan
Rumusan
Tim Perumus
16.00-16.15 Pembacaan dan Penyerahan Hadiah
Pemenang Makalah Terbaik,
Presenter Terbaik dan Poster
Terbaik
Panitia
16.15-16.30 Penutupan dan Foto bersama Kepala BPTHHBK
658| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
Lampiran 2.
SUSUNAN PANITIA
No Nama Jabatan Pada Kepanitiaan
A. Panitia
1. Ir. Harry Budi Santoso, M.P Penanggung Jawab
2. Ir. I Made Widnyana Ketua Panitia
3. Wawan Darmawan Sekretaris Panitia
4. Dr. Kresno A.H, S.Hut., MM Koordinator seksi Materi
5. Ir. Kemas Usman, MS Anggota Seksi Materi
6. Dr. Husni Idris, SP, M.Sc Anggota Seksi Materi
7. Budi Setiawan, S.Hut. M.Si Anggota Seksi Materi
8. Nugraha Firdaus, S.Hut., M.Ev Koordinator Seksi Acara
9. Septiantina D. R., S.Hut Anggota Seksi Acara/MC
10. Isnanto, S.Hut Anggota Seksi Acara
11. Rubangi Al Hasan, S.Sos. MSi Koordinator Seksi
persidangan dan Notulis
12. Anita Apriliani D. R, S.Hut Anggota Seksi Persidangan
dan Notulis
13. Qurotun Ayyuni, S.Si Anggota Seksi persidangan
dan Notulis
14. Meity Ellysta I., S.Kom Koordinator Seksi Konsumsi
15. Ratnawati Anggota seksi Konsumsi
16. Drs. Dede Suryana Koordinator Seksi
Transportasi
17. Abdul Jafar Maring Anggota Seksi Transportasi
18. Ahmad Nur, S.Hum., M.E Seksi Akomodasi
19. Alpian Adi Herawan Seksi Dokumentasi
20. Dudi Komarudin, S.Hut Seksi Perlengkapan
B. Moderator
21. Dr. Gustan Pari Moderator
22. Dr. Ir. Mashur. MS Moderator
23. Sad Kurniati W., SP., MP Moderator
24. Dr.Ir. Markum, M.Sc Moderator
25. Dr.Liliana B.,S.Hut.MP Moderator
26. Ir. Adang Sopandi, M.Sc Moderator
Lampiran 3.
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 659
DAFTAR PESERTA
No Nama Instansi
1 Ir. Harry Budi Santoso, M.P BPTHHBK
2 Ir. I Made Widnyana BPTHHBK
3 Ir. I Komang Surata, M.Sc BPTHHBK
4 Dr. Kresno A.H, S.Hut., MM BPTHHBK
5 Dr. Saptadi Darmawan, S.Hut., M.Si BPTHHBK
6 Lutfi Anggadhania, S.Si BPTHHBK
7 Yumantoko, S.Sos BPTHHBK
8 Ir. I Wayan Widhiana S., MP BPTHHBK
9 Nugraha Firdaus, S.Hut., M.Ev BPTHHBK
10 Septiantina D. R., S.Hut BPTHHBK
11 Yosephin M AN, S.Hut BPTHHBK
12 Wawan Darmawan, S.Hut BPTHHBK
13 Anita Apriliani D. R, S.Hut BPTHHBK
14 Ali Setyayudi, S.Hut BPTHHBK
15 Meity Ellysta I., S.Kom BPTHHBK
16 Nurul Wahyuni, S.Hut BPTHHBK
17 Drs. Dede Suryana BPTHHBK
18 Abdul Jafar Maring BPTHHBK
19 Ahmad Nur, S.Hum. BPTHHBK
20 Alpian Adi Herawan BPTHHBK
21 Dudi Komarudin, S.Hut BPTHHBK
22 Isnanto, S.Hut BPTHHBK
23 Ahmad Syakur BPTHHBK
24 Aslah BPTHHBK
25 Ramdiawan BPTHHBK
26 Dewi sahmin PS BPTHHBK
27 Amrillah BPTHHBK
28 Mardoni BPTHHBK
29 Jumadil BPTHHBK
30 Supandi BPTHHBK
31 Edi Kurniawan BPTHHBK
660| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama Instansi
32 Junaidi BPTHHBK
33 Krisnawati, S.Hut BPTHHBK
34 Gipi Samawandana BPTHHBK
35 Masyur BPTHHBK
36 Yeyen Utari, SP BPTHHBK
37 Nuriman BPTHHBK
38 Asmat BPTHHBK
39 Zulfirman S BPTHHBK
40 L. Gde Wiryadi BPTHHBK
41 Alfu Mahar Syarofi BPTHHBK
42 Sahar BPTHHBK
43 Saat BPTHHBK
44 Cecep Handoko, S.Hut., M.Sc BPTHHBK
45 Heri Setiawan BPTHHBK
46 Anah BPTHHBK
47 Tahir BPTHHBK
48 Alvin J. BPTHHBK
49 Qurotun Ayyuni BPTHHBK
50 Ratnawati BPTHHBK
51 Rubangi Al Hasan, S.Sos BPTHHBK
52 Asmiati, S.Si FAK. BIOLOGI UGM
53 Renita Yuliana, S.Pd FAK. BIOLOGI UGM
54 Prilya D Fitriasari, S.Si FAK. BIOLOGI UGM
55 Rikha Putri Devianti, S.Pd FAK. BIOLOGI UGM
56 Rini Pujiarti FKT UGM
57 Febriana T. W. UNIV. MATARAM
58 Kemas Usman UNIV. NTB
59 Subhan BAPELUH LOBAR
60 Andrian F B2PD SAMARINDA
61 Sad Kurniati W. UNIV. NTB
62 Adang Supandi PUSPROHUT
63 Tri Atmoko BALITEK KSDA
64 Baharuddin UNHAS
65 Adnan A. BPK BANJARBARU
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 661
No Nama Instansi
66 Asmanah W. PUSKONSER
67 Yelin Adalina PUSKONSER
68 Evi Kusmiati PUSTEKOLAH
69 Iwan Setiawan BPTPTH BOGOR
70 Wahyu yuniati N FIK UNIV NTB
71 Ragil SB Irianto PUSKONSER
72 Dona Octavia PUSKONSER
73 Liliana B B2PBPTH
74 Kurniasih N. Afifah BKSDA NTB
75 Silva Suraqqan UNIV. MATARAM
76 Kadek Dewi K BPPHP IX DENPASAR
77 Tri Kuncorowati BPPHP IX DENPASAR
78 Dewi Maharani BPTA CIAMIS
79 Tri Sulistiawati W BPTA CIAMIS
80 Ida Bagus Arnaya BTN BB
81 Alam Bakhtiar DISHUTBUN
82 Budhy setiawan UNIV. MATARAM
83 Firmansyah K BTN GN RINJANI
84 Sahwalita BPK PALEMBANG
85 Sudin Panjaitan BPK BANJARBARU
86 Sumarhani PUSKONSER
87 Sukaesih P PUSKONSER
88 Meitri D BPDAS DMS
89 Yulia Ratnaningsih UNIV. NTB
90 Armilanopi UNIV. NTB
91 Kuntadi PUSKONSER
92 Diyah P BPTH BNT
93 Muh Satriadi BPTH BNT
94 Joko Purnomo PETANI
95 Dewi Rina BP4K LOTIM
96 Irwan ML Aji UNIV. MATARAM
97 I Nengah Pasek Sudjana UNIV. NTB
98 Dwi Sukma Rini UNIV. MATARAM
99 Lalu Ari Hadi UNIV. MATARAM
662| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama Instansi
100 Malser Syaputra UNIV. MATARAM
101 Adhi Saputrayadi UNIV. MUH. MATARAM
102 Lalu Saladin Jufri DISHUT LOBAR
103 Markum UNIV. MATARAM
104 Syafuddin S WWF MATARAM
105 Aswandi BPK AEK NAULI
106 Cut Rizlani K BPK AEK NAULI
107 Mareta Karin Bonita FIK UNIV NTB
108 Siti Maryam FIK UNIV NTB
109 Akhmad Junaidi BPKP3 LOTENG
110 Zainuddin Irawan KPH TASTURA
111 Nilwan Subulhadi DISHUTBUN LOTIM
112 Rato F. Silaman UNIV. MATARAM
113 Muh Irwan FIK UNIV NTB
114 Wahyu Nurwahid UNIV. NTB
115 Slamet Santoso DPPKKP KLU
116 Idha Jatiningsih KPHL RINJANI BARAT
117 Rufi'ie PUSTEKOLAH
118 L. Gita Ariadi PEMPROP. NTB
119 Intannia Ekanasti IPB
120 Bugi K Sumirai BPK MAKASSAR
121 Maulidya AF UNIV. MATARAM
122 Zulkarnaen BPDAS DMS
123 Baharuddin UNHAS
124 Muhammad Husni Idris UNIV. MATARAM
125 Titiek Setyawati PUSKONSER
126 Diana Prameswari PUSKONSER
127 Esa Pangersa PUSTEKOLAH
128 Mega Setiawan UNIV. MATARAM
129 Eka Purnomo UNIV. MATARAM
130 Andi M UNIV. MATARAM
131 Iwan Kusuma UNIV. MATARAM
132 Bayu Arto UNIV. MATARAM
133 Maria Ulfa BKSDA NTB
Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK | 663
No Nama Instansi
134 Nur Fitri BKSDA NTB
135 Dewi Putri Lestari UNIV. NTB
136 Lalu Akhmad Tantilar UNIV. MATARAM
137 Alex novandra BPTHHBK
138 Muhasim BPTHHBK
139 Sang Made P.A BPTHHBK
140 Julian Hadi UBIV. MATARAM
141 Khaerani UNIV. MATARAM
142 Zohriya wardani UNIV. MATARAM
143 Nurul Hidayah UNIV. MATARAM
144 Khoiratul Fitriah R UNIV. MATARAM
145 Khaerul Kharis UNIV. MATARAM
146 Imraatin UNIV. MATARAM
147 Yanis Malatry B UNIV. MATARAM
148 Adelia Dwi P.S UNIV. MATARAM
149 Irwan UNIV. MATARAM
150 Khaerul Fadli UNIV. MATARAM
151 Pujiarti UNIV. MATARAM
152 Gustan PUSTEKOLAH
153 Juliadi Gandi P UNIV. MATARAM
154 Muhammad Amin UNIV. MATARAM
155 Ali sjukri UNIV. MATARAM
156 Hendri Gunawan UNIV. MATARAM
157 Heri Kurniawan UNIV. MATARAM
158 Hilyan K UNIV. MATARAM
159 M Agus Kariawan UNIV. MATARAM
160 Lukman Hakim DISHUT LOBAR
161 Julian Hadi UNIV. MATARAM
162 Wawan Ruliandi KPHL RINJANI BARAT
163 I Nyoman Yudiarta DISHUT PROV. NTB
164 Siswanto BPTH
165 Irmawati FAK. KEHUT. UNRAM
166 Rizkya UNIV. MATARAM
167 Tigor Butarbutar Puspijak
664| Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK
No Nama Instansi
168 Erlis Septiana UNIV. MATARAM
169 Anshari Firmansyah UNIV. MATARAM
170 Iswatun arfiana UNIV. MATARAM
171 Maman S KPH PLAMPANG
172 Deni Rahadi BKSDA NTB
173 Sigit Hadi P BPDAS DMS
174 Fikri BTNGR
175 Kardjono BKP3 LOTENG
176 I Nyoman Zirna BAPPELUH LOBAR
177 Marslahatul Umami KPH RINJANI TIMUR
178 H. Pahruddin BP4K LOTIM
179 Makrip DISHUTBUN
180 Ahmad Sofyan KPH RINJANI TIMUR
181 Mulawarman KPH RINJANI TIMUR
182 Nurmiati Sulatin KPH RINJANI TIMUR
183 Dindin Saefuddin KPH BATU LANTEH
184 Alwan UNIV. MATARAM
185 Heny Wulandari UNIV. MATARAM
186 Nadia Monika UNIV. MATARAM
187 Siloa Sirrayan UNIV. MATARAM
188 Fera Fardila UNIV. MATARAM
189 Rara Taranita UNIV. MATARAM
190 Sultan Habibi UNIV. MATARAM
191 Hardianti Ela W UNIV. MATARAM
192 Erwin Kurniadi UNIV. MATARAM
193 Dinta Roihani UNIV. MATARAM
194 Nurul BPDAS DMS
195 Evi DISHUT LOBAR
196 Sukrisman Ahmadi UNIV. MATARAM
197 M. Ihsan UNIV. MATARAM
198 Lalu Ahmad Tantilar UNIV. MATARAM
199 Sabtiya Khaerani UNIV. MATARAM
200 Silta Hajar UNIV. MATARAM