Konsep nafs dalam alquran
Transcript of Konsep nafs dalam alquran
S h o n n i a Y o s i t a | 1
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sempurna,
keberadaannya menjadi sebuah tanda tanya besar bagi
berbagai kalangan, terutama bagi para ilmuan dan
filosof. Hampir semua kalangan tersebut tidak ingin
mengabaikan fenomena besar dari penciptaannya. Dan
terma nafs termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada
yang mengatakan sebagai intisari dari manusia.1 Hampir
semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut
berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian
yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia.
Dimensi nafs atau jiwa dalam Islam lebih tinggi dari
sekedar dimensi fisik dan merupakan bagian dari
metasfisika. Ia merupakan penggerak dari seluruh
aktifitas fisik manusia.2 Meskipun saling membutuhkan
antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun
peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad.3
1 Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 13
2Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, (Kairo, Darul Asy-Syuruq, 1993), h. 118.
3 Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, ( London , Oxford University, 1952), h. 199-200.
S h o n n i a Y o s i t a | 2
Nafs dalam khazanah Islam memiliki beberapa banyak
pengertian. Nafs dapat diartikan sebagai jiwa (Soul,
Psyche), nyawa dan lain-lain. Semua potensi yang
terdapat pada kata "nafs" bersifat potensial, tetapi
dapat juga aktual jika manusia mengupayakan. Setiap
komponen yang ada memiliki daya-daya yang dapat
menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs
membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal.4
Di dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Dan tentang
anfus kalian, apakah kalian tidak memperhatikan (“untuk
menganalisisnya”).5 Seruan Allah ini mengisyaratkan
bahwa betapa pentingnya menganalisis diri pribadi
(anfus) manusia. Di dalam al-Qur’an telah cukup banyak
diterangkan tentang konsep manusia. Salah satu yang
diterangkan dalam al-Qur’an adalah tentang rahasia-
rahasia yang ada dalam diri manusia (anfus),
sebagaimana firman Allah, yang artinya: “Kami perlihatkan
kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami pada seluruh ufuk dan di
dalam “anfus”mu sendiri, sehingga jelas bahwasannya al-Qur’an itu
benar”.6
Di dalam ayat tersebut terdapat kata anfus jama’
dari kata nafs yang banyak disebut dalam al-Qur’an.
4 Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hlm.46
5 Lihat QS. Adz-Dzaariyat/51: 216 QS. Fushshilat/41: 53
S h o n n i a Y o s i t a | 3
Konsep tentang nafs dalam al-Qur’an banyak variasi
maknanya. Hal itu disebabkan karena berasal dari
bervariasinya makna kata nafs itu sendiri dalam
sumbernya, yaitu berbagai ayat al-Qur’an. Quraish
Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur’an
mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai
totalitas manusia, tetapi di tempat lain nafs menunjuk
kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang
menghasilkan tingkah laku. Namun, secara umum dapat
dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia,
menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik
dan buruk.7 Pembahasan mengenai terma nafs menarik untuk
dikaji, karena terma tersebut cukup banyak disebut
dalam al-Qur'an. Hal ini menandakan bahwa pribadi
manusia atau nafs itu sangat penting untuk dibahas dan
dianalisis.
7 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
S h o n n i a Y o s i t a | 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Nafs
1. Makna Terminologi Nafs
Kata nafs secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai
diri atau secara lebih sederhana diterjemahkan dengan
jiwa,8 dalam bahasa Inggris disebut juga soul atau spirit.9
Secara umum, nafs jika dikaitkan dengan
hakekat manusia, menunjuk lebih kepada sisi manusia
yang berpotensi baik dan buruk. An-nafs mempunyai sifat
lembut (lathif) dan robbāni, ia adalah al-ruh sebelum bersatu
dengan jasad (tubuh kasar manusia), sebagaimana
dipahami dari ayat: ت� وج�� ز� س ف� ال�ن� ا ذ� sebab وا� al-ruhdiciptakan terlebih dahulu sebelum jasad. Sejalan
dengan Amin al-Kurdi, Imam al-Gazali dalam menguraikan
al-nafs (jiwa) menggunakan empat terminologi, yakni al-
qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-‘aql.10
8 A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya, Pustaka Progressif, 2007), h. 366.
9 John M. Echols, Kamus Indonesia-Inggris, cet. III, (Jakarta, Gramedia, 1997), h. 245
10 Al-Gazali, Raudhah ath-Thālibin wa ‘Umdah as-Sālikin, alih bahasa : M. Lukman Hakiem, cet. V, (Surabaya : Risalah Gusti, 2005), hlm. 69 - 72
S h o n n i a Y o s i t a | 5
Terma nafs pun juga diambil dari bahasa Arab an-nafs
yang bermakna ego atau kepribadian seseorang, bentuk
pluralnya al-anfus atau an-nufûs. Dapat juga diartikan
dengan jiwa, ruh, batin, dll.11 Secara etimologis, kata
ini merupakan kata musytarak12 yaitu satu kata dengan
makna lebih dari satu. Jumhur mengatakan bahwa nafsu
adalah ruh. Ketika dikatakan: Kharajat nafsuhu, maksudnya
ruhnya keluar. Ada yang mengatakan nafsu dan ruh itu
berbeda.13
Secara bahasa, fi'il mufrad dari kata nafs adalah
nafasa yang berarti 'bernafas' artinya nafas keluar dari
rongga.14 Belakangan arti kata tersebut berkembang
sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam
seperti 'menghilangkan', 'melahirkan', 'bernafas',
'jiwa', 'ruh', 'darah', 'manusia', 'diri', dan
'hakikat'. Namun, keanekaragaman arti itu tidak
menghilangkan arti asalnya, misalnya ungkapan bahwa
Allah menghilangkan kesulitan dari seseorang
digambarkan dengan ungkapan naffasa Allah kurbatahu karena
kesulitan seseorang itu hilang bagaikan embusan
11 Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm.731
12 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ar-Rûh, Dar al-Fikr, Beirut, cet. 1992, hlm. 212.
13 Ibn Mandzur, Lisân al-'Arab, (Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VI),hlm. 234.
14 Hasan 'Izzuddin Al-Jamal, Mu'jam wa Tafsir Lughowi Lii Kalimati-l-Qur'an, Jilid 5 (Kairo, Al-Hai'ah Al-Mishriyah Al-'Ammah, 2008), hlm. 91
S h o n n i a Y o s i t a | 6
nafasnya. An-nafs juga diartikan sebagai 'darah' karena
bila darah sudah tidak lagi beredar di badan, dengan
sendirinya nafasnya hilang. Wanita yang sedang haid
dinamakan an-nufasa (س�������اء ف� (ال�ن� karena ketika itu ia
mengeluarkan darah sehingga kalimat nafisatil mar'atu
ghulaman (ا لام� ة� غ�� �ست� ال�مرا ف� diartikan sebagai 'wanita itu (ن��melahirkan'. Demikian juga 'jiwa' atau 'ruh' disebut
nafs karena bila jiwa sebagai daya penggerak hilang,
dengan sendirinya nafas akan hilang. Semua yang
dijelaskan adalah arti yang ditinjau dari segi bahasa.
Pembahasan nafs selalu dikaitkan dengan ruh dan
jasad, karena semuanya merupakan unsur pembentuk
manusia. Kaum Peripatetik, penganut filsafat
Aristoteles, mengatakan bahwa nafs bukan jisim dan
aksiden; tidak bertempat, tidak mempunyai ukuran
panjang, lebar, volume, warna dan dimensi; juga tidak
ada di dunia, di luar, berdekatan atau berbeda.15
Dalam literature Arab, nafs berarti "jiwa
kehidupan" atau "gairah dan hasrat duniawi".16
Amatullah Amstrong dalam tulisannya, nafs adalah
dimensi manusia yang berada di antara ruh yang
15 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Op.cit, hlm. 176-177 16 Tim, Ensiklopedi Islam, jilid 3 bab kasyf, (Jakarta: Ichtiar
Van Hoeve, 1994), hlm.342
S h o n n i a Y o s i t a | 7
merupakan cahaya dan jasmani yang merupakan
kegelapan.17
2. Makna Nafs dalam Al-quran
Kata nafs dengan segala bentuknya terulang
sebanyak 313 kali di dalam Al-Qur'an.18 Nafs dalam
bentuk mufrad disebut sebanyak 77 kali dan 65 kali
dalam bentuk idafah.19 Dalam bentuk jamak nufus disebut
2 kali, sedang dalam bentuk jamak anfus disebut 158
kali. Sedangkan kata tanaffasa- yatanaffasu dan al-mutanaffisu
masing-masing hanya disebut 2 kali.20
Term nafs dalam al-Qur'an semuanya disebut dalam
bentuk ism atau kata benda, yakni nafs dan anfus. Di
dalam al-Qur'an nafs dikategorikan sebagai nafs atau jiwa
itu sendiri21 dan sebagai sisi dalam kejiwaan manusia,
yang dapat melahirkan berbagai macam tingkah laku.22
Sebagai penggerak tingkah laku jiwa mempunyai peranan
penting dalam kegiatan manusia sekurang-kurangnya dalam
17Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi, (Bandung: Mizan,. 2001) , hlm.206
18Tim Penyusun (perpustakaan nasional), Ensiklopedia Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, Cetakan I, 2007), hlm. 691
19Muhamaad Basam Rusydi Az-zain, Mu’jam al-Mufahrash li Ma'ani al-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 1249-1259
20 Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm.731
21 Lihat QS. Asy-Syams 91: 7 dan Al-Fajr 89: 2722 Lihat QS. Ar-Ra'd 13: 11 dan QS. Al-Anfal 8: 53
S h o n n i a Y o s i t a | 8
dua hal, yaitu: Pertama, mewarnai corak tingkah laku
manusia. Kedua, menentukan makna atau nilai dari
perbuatan yang dilakukan orang dalam hidupnya, yang
terkonsep dalam al-Qur'an dengan tiga sifat kejiwaan,
yaitu: nafs lawwamah (jiwa pencela yang tidak memiliki
pendirian), nafs muthmainnah (jiwa tenang), nafs ammarah
bissu' (jiwa yang senantiasa menyuruh berbuat jahat).
Ayat-ayat Al-Qur'an yang menyebut kata nafs dan
anfus menunjukkan bermacam-macam pengertian,
diantaranya:
a. Nafs, sebagai "hati", yaitu salah satu komponen
terpenting di dalam diri manusia sebagai daya
penggerak emosi dan rasa.23
b. Nafs, sebagai jenis atau species.24
c. Nafs, sebagai diri seseorang.25
d. Nafs, sebagai diri Tuhan.26
e. Nafs, sebagai personal.27
f. Nafs, sebagai ruh.28
g. Nafs, sebagai jiwa29
23 Lihat QS. Al-Isra'/17: 2524 QS. At-Taubah/9: 12825QS. Ali Imran/3: 61, lihat juga surat Yusuf/12: 53 dan
surat Az-Zariyat/51: 2126 Lihat QS. Al-An'am/6: 12, 5427 QS. Al-Furqan/25: 3, Al-An'am/6: 13028 QS. Al-An'am/6: 93 dan Surat Ali Imran/3: 14529 Lihat QS. Asy-Syams/91: 7 dan Al-Fajr/89: 27
S h o n n i a Y o s i t a | 9
h. Nafs, sebagai totalitas manusia.30
i. Nafs, sebagai sisi dalam diri manusia yang
melahirkan tingkah laku.31 Makna yang terakhir inilah
yang ada kaitannya dengan pendidikan, pengajaran dan
pembentukan watak dan kepribadian manusia. Dapat
dibentuk menjadi baik, atau tidak, cerdas atau bodoh,
bermoral atau tidak, tergantung interaksi yang
terjadi antara diri seseorang dengan lingkungan
dimana mereka berada.
Secara umum, jika dikaitkan dengan pembicaraan
manusia, kata nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia
yang berpotensi baik dan buruk.32
Di dalam pandangan Al-Qur'an nafs diciptakan oleh
Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung
serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan,
dan karena itu, sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-
Qur'an dianjurkan untuk diberikan perhatian lebih
besar.
Di sisi lain, terlihat perbedaan kata nafs menurut
Al-Qur'an dengan terminology shufi. Oleh Al-Qusyairi di
dalam risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam
pengertian kaum Sufi adalah sesuatu yang melahirkan
sifat tercela dan perilaku buruk.
30 QS. Al-Maidah/5: 32, dan Al-Qasas/28: 19 dan 33.31 Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina,
2000), hlm. 4432 Hasan 'Izzuddin Al-Jamal, Op.cit, hlm. 93
S h o n n i a Y o s i t a | 10
Walaupun Al-Qur'an menegaskan bahwa nafs
berpotensi positif dan negatif, diperoleh pula isyarat
bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih
kuat dari potensi negatifnya. Hanya saja daya Tarik
keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Oleh
karena itu, manusia dituntut agar memelihara kesucian
nafsu dan tidak mengotorinya.33
Dalam konteks manusia disamping penggunaan nafs
untuk menyebut totalitas manusia,34 banyak ayat Al-
Qur'an yang mengisyaratkan gagasan nafs sebagai sesuatu
di dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya,
nafs sebagai "sisi dalam" diri manusia, sebagai lawan
dari "sisi luar" diri manusia.35
Ayat yang mengisyaratkan bahwa manusia mempunyai
"sisi dalam" dan "sisi luar" adalah Surat Ar-Ra'd/13:
10:
Kesanggupan manusia untuk merahasiakan dan
berterus terang dengan ucapannya merupakan petunjuk
adanya sisi dalam dan sisi luar dari manusia. Al-Qur'an
33 QS. As-Syams/91: 9-1034Fakhrudin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, Juz 2, (Beirut: Daar
Ihya' Turots Al-'Araby) hlm. 30435 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Op.cit, hlm. 84
S h o n n i a Y o s i t a | 11
juga menyebut hubungan antara sisi dalam dan sisi
luarnya. Jika sisi luar manusia dapat dilihar dari
perbuatan lahirnya, maka sisi dalam, menurut AlQur'an
berfungsi sebagai penggeraknya. Terdapat di dalam Al-
Qur'an yang secara tegas disebutkan nafs sebagai jiwa.36
Jadi "sisi dalam" manusia adalah jiwanya.
Sekurang-kurangnya Al-Qur'an dua kali menyebut
nafs sebagai "sisi dalam" yang mengandung potensi
sebagai penggerak tingkah lakunya, yaitu pada Surat ar-
Ra'd/13: 11 dan al-Anfal /8: 53:
:(11 )ال�رغ�دBagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu
kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia. (ar-Ra'd/13: 11)
36 Lihat QS. Asy-Syams/91: 7
S h o n n i a Y o s i t a | 12
Yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak
akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri
mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (al-Anfal/8: 53)
Pada Surat ar-Ra'd/13: 11 di atas, ada dua
kalimat yang menunjukan keadaan sesuatu pada kaum,
yaitu kalimat ma biqaumin (وم ق� ا ن�� ا) dan ma bianfusihim (م� م�هم س���� ف� ن�� �ا Dalam kaidah bahasa Arab, huruf .(ب�� ma pada
kalimat ma biqaumin dan ma bianfusihim mengandung arti
berita ( ة� ي���67 ر ب� ا ال�خ� رف� م���� Jadi .(ح���� ma biqaumin artinya apa
yang ada pada suatu kaum, dan ma bianfusihim artinya
yang ada pada nafs atau "sisi dalam" mereka.37 Apa
yang terdapat di dalam nafs, di dalam konteks ayat
ini, adalah ide dan kemauan yang keras. Ini berarti
nafs dapat menampung kedua hal tersebut. Ide dan
37 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Op.cit, hlm. 86
S h o n n i a Y o s i t a | 13
kemauan anggota-anggota dalam suatu masyarakat dapat
mengubah nasib masyarakat tersebut.
Akan tetapi, bukan hanya ide dan kemauan saja
yang ditampung oleh kata nafs. Di dalamnya juga
terdapat "nurani". Inilah yang menyebabkan manusia
menyesali perbuatannya, merasa berdosa atas
kesalahan-kesalahannya. Isyarat tentang adanya nurani
di dalam nafs manusia juga termaktub dalam Al-
Qur'an.38
B. Klasifikasi Nafs Dalam Al-Qur'an
Nafs dalam al-Qur'an sendiri lebih mengarah dalam
arti sifat jiwa yang berkaitan dengan keinginan tubuh
(mendorong syahwat), mulanya ia bersifat baik tetapi
setelah menyatu dengan jasmani yang bersifat materi ia
menjadi dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh tubuh.
Setelah ditinjau dari berbagai hal, seberapa besar
tingkat pengaruhnya dengan tubuh, maka nafs tersebut
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian:
1) An nafs al muthmainnah ( ة�� ن���� Cس ال�مطمئ ف� yaitu jiwa yang(ال�ن�mampu meminimalisir pengaruh tubuh terhadapnya,
sehingga dapat menikmati kebahagiaan ruhaninya.39
38 Lihat QS. Al-Qiyamah/75: 13-1439 Mustansir Mir, Dictionary of Qur'anic Terms and Concepts, New York
and London: Garland Publishing Inc, 1987), hlm. 42
S h o n n i a Y o s i t a | 14
2) An nafs al lawwamah ( س ال�لوام����ة�� ف� yaitu nafsu yang (ال�ن�memiliki sebuah kemampuan dalam memilih antara yang
baik dan buruk, yang benar dan yang salah.
3) An nafs al ammaroh bi assu' (ال�س����وء ازة� ب�� م����� �س الا ف� yaitu (ال�ن�sifat jiwa yang lebih cenderung kepada keburukan.40
Ketiga kategori nafs tersebut di atas merupakan
tingkatan kualitas dari mulai yang tertinggi hingga
terendah.41 Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut
ketiga jenis nafs ini adalah sebagai berikut:
Pertama, An-Nafsul Muthmainnah,
:ج�ر -27)س�وزة� ال�ف�30)
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-
Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.
40 Ibid, hlm. 2841 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Tafsir Al-Qur'an Tematik
Pendidikan, Pembangunan Karakter, Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Aku Bisa, 2012), hlm. 88
S h o n n i a Y o s i t a | 15
Kedua, An-Nafsul- Lawwamah,
: امة� ي6 (2-1)س�وزة� ال�ف�Aku bersumpah demi hari kiamat, Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang
amat menyesali (dirinya sendiri). Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia
juga menyesal Kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia
berbuat kejahatan.
Ketiga, an-Nafsul-ammaratu bis-su' selalu menggoda berbuat
negatif,
: وس�ف� (53)س�وزة� ي�6Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha penyanyang.
Ketiga jenis nafs ini sama-sama berusaha untuk
memenangkan pertarungan dalam diri manusia. Apabila
pertarungan ini dimenangkan oleh daya nafsu ammarah bis-
su', maka akan membentuk kepribadian yang berprinsip
mengejar kenikmatan duniawi, mengumbar nafsu-nafsu
impulsif dan primitif. Jika dalam pertarungan ini
S h o n n i a Y o s i t a | 16
dimenangkan oleh nafsul-lawwamah mempfungsikan daya
akal, maka akan membentuk kepribadian yang realistik
dan rasionalistik. Namun apabila pertarungan ini
dimengkan oleh nafsul-muthmainnah, maka akan melahirkan
pribadi dan individu yang berprinsip yang mengejar pola
kehidupan akhirat dan pengabdian kepada Allah,
disinilah letak pentingnya pendidikan untuk dapat
mengatur dan menguasai nafsu-nafsu yang berada dalam
"sisi dalam" diri manusia.
Dari sisi lain, manusia dianugerahi nafsu oleh
Allah SWT. Dengan nafsu itulah manusia dapat hidup
menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Dengan
nafsulah manusia belajar. Dengan nafsulah manusia
bekerja. Dan dengan nafsulah manusia beribadah.
Nafsu tidak selamanya negatif, karena
nafsupun ada yang positif. Nafsu yang dimiliki manusia
dapat dikelompokkan dalam tiga bagian:42
a) Nafsu rububiyah, yaitu dorongan atau kecenderungan
untuk mengenal dan mendekatkan diri dan beribadah
kepada Allah. Termasuk di dalam kecenderungan untuk
meniru dan merapkan sifat-sifat Allah yang mulia
dalam kehidupan sehari-hari. seperti Allah bersifat
Maha Pemurah dan Penyayang, kemudian manusia
menerapkan kedua sifat tersebut terhadap sesame
manusia dan makhluk yang lainnya.
42 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Ibid, hlm. 89
S h o n n i a Y o s i t a | 17
b) Nafsu Insaniyah, yakni dorongan atau kecenderungan yang
bersifat manusiawi. Contoh: nafsu untuk makan,
minum, atau memenuhi kebutuhan hidup. Termasuk juga
keinginan belajar, bekerja dan berumah tangga.
c) Nafsu Syaithaniyah, adalah dorongan dan kecenderungan
yang berasala dari bisikan setan. Misalnya saja
berdusta, mencuri, memfitnah, iri, dengki, dan
sebagainya. Termasuk juga kehendak untuk
meninggalkan, melawan atau menentang perintah Allah
dan RasulNya.43
C. Interpretasi Nafs Dalam Al-Qur'an
Nafs yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
makhluk ciptaan Allah44 yang termasuk makhluk hidup,
dan karena itu nafs juga dimatikan,45 ciri khusus
darinya adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan
dan keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi,
dan dari unsur tanah dan air.46 Nafs sebagai makhluk
Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah.47 Para
mufassir umumnya menafsirkan nafs wahidah itu identik
dengan Nabi Adam. 43 Ibid, hlm. 90
44 Sebab ada kata nafs dalam Al-Qur'an yang digunakan juga
untuk menunjuk kepada diri Tuhan, yaitu dalam QS. Al-An'Am/6: 12
45 QS. Al-Anbiya'/21: 3546 QS. Al-An'am/6: 247 QS. Al-A'raaf/7: 189
S h o n n i a Y o s i t a | 18
Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu
berasal dari Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu
Hawa’ darinya, kemudian Allah membuat keturunannya
sehingga terbesar semua manusia laki laki perempuan
sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya
sehingga hari kiamat nanti, sebagaimana yang diatur
oleh Allah yang berupa persetubuhan laki-laki dan
istrinya. Dan Allah menjadikan Hawa dari tubuh Adam
supaya ia jinak, tenang, dan senang kasih kepadanya
sehingga saling membutuhkan dan saling melengkapi.48
Penafsiran seperti ini karena berdasarkan atas tafsir
harfiah (secara tekstual), dimana kata nafs itu sama
dengan pribadi dan kata wahidah artinya satu, yang
berarti diri Adam. Mayoritas (jumhur) ulama mengikuti
penafsiran seperti ini. Adapun Rashid Ridla menafsirkan
nafs wahidah adalah suatu bahan baku yang hakikatnya
tidak diketahui, dan dari bahan tersebutlah manusia
diciptakan secara khusus.49 Hal ini juga sama dengan
apa yang ditafsirkan oleh al-Maraghi, bahwa nafs
48 Abi Fida' Ismail Ibnu Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi, Tafsir
al-Qur'an al-'Adzim, Juz II, (Cairo: Dar al-Hadits, 1988), hlm. 263.
Lihat Nidzam al-Din al-Hasan bin Muhammad bin Husein al-Qummy al-
Nisaaburry, Tafsir Gharaib al'Qur'an wa Gharaib al-Furqan, Juz III, (Beirut:
Dar- al-Kotoob al-'Ilmiyah, 1996), hlm. 359, yang menjelaskan
bahwa nafs wahidah menunjuk pada diri Adam.
49 Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IX, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 476.
S h o n n i a Y o s i t a | 19
wahidah (dari jenis yang sama), maksudnya Allah yang
telah meciptakan kalian dari satu jenis, lalu Dia
menjadikan dari itu pula jenis yang sama, sehingga
jadilah mereka berdua berjodoh, laki-laki dan
perempuan,50 dan juga semua makhluk hidup.51 Oleh karena
itu setiap sel dalam sel-sel yang menumbuhkan makhluk
hidup (organisme) terdiri dari dua unsur yaitu unsur
jantan dan betina yang apabila dipertemukan maka
lahirlah sel-sel yang lain dan begitu seterusnya.52
Dari penafsiran ini dapat dilihat bahwa nafs
wahidah itu tidak menunjuk pada diri Adam, tetapi
menunjuk cikal bakal manusia atau sel yang darinya
manusia diciptakan, dan sel-sel tersebut juga menjadi
cikal bakal dari seluruh makhluk hidup. Hal ini
berdasarkan pada kata nafs wahidah sendiri yang
terulang dalam al-Qur’an sebagai bentuk nakirah yang
berarti sesuatu yang tidak dikenal.
Dalam al-Qur’an, (QS:76;1) manusia diciptakan
sebagai suatu nafs, yang pada saat itu adalah sesuatu
yang tak dapat disebutkan. Ayat pertama turun yang
mengandung kata nafs dalam bentuk jama’nya nufus
terdapat pada surat al-Muzammil (73) ayat 20 surat
paling awal ke tiga sesudah al-‘Alaq dan al-Qalam, yang
50 QS. Al-Hujuraat/49: 1351 QS. Adz-Dzariyat/51: 4952 Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz IX, (Cairo:
Musthafa al-Babi al-Halabi, 1974), hlm. 264.
S h o n n i a Y o s i t a | 20
menjelaskan sesuatu perbuatan manusia yang efeknya
hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa
apapun yang dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa
perbuatan baik atau buruk akan ditemui balasannya di
hari kiamat.53 Ayat kedua yang turun bersama dengan
kata nafs menjelaskan bahwa setiap jiwa itu tergadai
dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya,
maka jiwa itulah sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa
itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat.54 Nafs di
sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa
yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh
terhadap jiwa orang tersebut. Ayat ketiga yang turun
memuat kata nafs terdapat pada surat at-Takwir (81)
ayat 14, menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh nafs (jiwa) besok pada hari kiamat akan
menanggung semua apa yang telah dikerjakan di dunia,
dan tiap-tiap jiwa besok akan mengetahui apa yang telah
dikerjakan di dunia,55 hanya jiwa yang tenanglah (nafs
al-Muthmainnah) yang akan menghadap kepada Allah.56
D. Konsep Nafs Menurut Para Ulama
53 Lihat al-Maraghi, Juz VIII, 267.12, lihat juga al-Maraghi,
Juz VIII, 269.13, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia……, hlm. 265
54 QS. Al-Mudatsir/74: 3855 QS. Al-Anfaal/8: 556 QS. Al-Fajr/89: 27-30
S h o n n i a Y o s i t a | 21
Makna kata nafs atau konsepnya sangat berbeda
dalam beberapa pendapat para ulama.
a. Konsep An-nafs, menurut Ibn Sina terbagi menjadi
tiga: Jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia.
Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya: makan, tumbuh, dan
berkembang biak. Jiwa binatang memiliki dua daya:
daya bergerak dan daya menangkap. Daya bergerak dapat
berbentuk marah, syahwat dan berpindah tempat.57
Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang jiwa
manusia hanya mempunyai satu daya, yaitu daya
berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua; akal
praktis (‘amilah) yang berhubungan dengan hal-hal yang
sifatnya konkret dan akal teoritis yang berhubungan
dengan hal-hal yang sifatnya abstrak. Akal teoritis
mempunyai empat tingkatan , yaitu 1). Akal Materiil,
yang beru merupakan potensi, untuk menangkap arti-
arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam
materi. Akal bakat, yaitu akal yang kesanggupannya
berfikir secara murni abstrak telah mulai Nampak.
Akal aktual, yaitu akal yang telah terlatih untuk
menangkap arti-arti murni, dan. Akal perolehan, yaitu
tingkat akal yang tertinggi dan terkuat dayanya,
yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut
selamanyan sedia untuk dikeluarkan dengan mudah. Akal
57Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:PT.Bulan Bintang, 1991), hlm.120
S h o n n i a Y o s i t a | 22
serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu
pengetahuan dari akal aktif (akal kesepuluh). Menurut
penjelasan Ibn Sina, akal aktif itu adalah Jibril.58
b. Nafs atau jiwa menurut Ibnu Thufail bukanlah jisim
dan bukan pula suatu daya yang ada di dalam jisim.59
Menurutnya, nafs atau jiwa terdiri dari tiga tingkat:
dari yang rendah jiwa tumbuhan (an-nafs an-nabatiyyat),
ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (an-nafs al-
hayawaniyyat), kemudian ke tingkat jiwa yang
martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia
(an-nafs annatiqaat).60 Mengenai keabadian jiwa manusia
sendiri dan hubungannya dengan Allah, Ibnu Thufail
mengklasifikasikan jiwa dalam tiga keadaan:61
1) Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah
mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungaNya,
dan selalu ingat kepadaNya, maka jiwa tersebut akan
kekal dalam kebahagiaan.
2) Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan
maksiat dan melupakan Allah, maka akan abadi dalam
kesengsaraan.
58Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,Jilid.2, 2003) hlm. 167.
59 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam;Filosof dan Filsafatnya, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 217
60 Muhammad 'Athif Al-Iraqy, Al-Mitafiziqa min Falsafat ibn Thufail, (Kairo: Dar Al-Ma'arif, 1979) hlm. 91
61 Ibid, hal. 155-158
S h o n n i a Y o s i t a | 23
3) Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama
hidupnya, maka akan berakhir seperti hewan.
c. Ibnu Maskawih berpendapat bahwa nafs atau jiwa
berasal dari limpahan akal aktif (al-'aql al-fa'al). Dalam
teori emanasinya, akal aktif adalah limpahan
pertama,62 jiwa adalah limpahan kedua, dan langit-
langit adalah limpahan ketiga.63 Beliau mengatakan
bahwa jiwa itu adalah substansi imateri. Kemudian ia
menguraikan substansialitas jiwa tersebut melalui
penelaahan terhadap hakikat pengetahuan manusia yang
imateri, dan membandingkannya dengan materi.64
d. Menurut Al-Ghazali makna Nafs yang pertama adalah
yang menggabungkan kekuatan marah dan nafsu syahwat
pada manusia.65 Makna kedua dari nafs adalah Lathifah
(yang halus). Inilah hakekat manusia yang
membedakannya dari nafs.
e. Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith
(tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan
lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan
mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal dari substansi
62 Bagi Al-Farabi dan Ibnu Sina, akal aktif adalah akal kesepuluh
63Prof. Majid Fakhry, A History Of Islamic Philosophy, alih bahasa: Drs. R. Mulyadhi Kartanegara. Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 266
64Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-'Araq, (Mirs: Kurdistan Al-'Ilmiyah, 1329 H), hlm. 4
65 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, III, (Bairut: Dar Al-KutubAl-Islamiy, t. th), hlm. 4
S h o n n i a Y o s i t a | 24
Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari.66 Jiwa mempunyai wujud
tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau
badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy.67 Sementara
itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
E. Klasifikasi Tingkatan Nafs Menurut Para Filosof
Para filosof berkata bahwa nafs itu terbagi
menjadi tujuh tingkatan: 1. Akal hayulani (akal
potensial). 2. Akal bilmalakah (tingkatan rasionisasi
pelbagai konsep dan afirmasi swa-bukti). 3. Akal bilfi’l
(akal aktual). 4. Akal mustafad (akal perolehan). 5.
Mahw. 6. Thams. 7. Muhiq.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam pandangan
para filosof, karena nafs memiliki kapabilitas
memperoleh berbagai kesempurnaan maka ia disebut
sebagai akal potensial (al-aql al-hayulani); dan kapan saja
nafs memperoleh silsilah pemahaman primer dan
pengetahuan-pengetahuan pendahuluan yang dengannya
pemahaman sekunder dan ilmu-ilmu perolehan dapat
diraih. Kondisi nafs seperti ini disebut sebagai akal
bilmalakah; dan kapan saja nafs memperoleh kemampuan
untuk melakukan inferensi pelbagai pemahaman sekunder
66 Sirajuddin Zar, Op.cit, hlm. 5967 M.M Syarif, (Ed.) History of Muslim Philosophy, vol. 1,
(Wisbaden: Otto Horossowitz, 196), hlm. 432
S h o n n i a Y o s i t a | 25
dan pelbagai pengetahuan perolehan dengan berpikir dan
berasumsi maka nafs di sini disebut sebagai akal aktual
(akal bilfi’il); dan lantaran kehadiran dan perolehan
pelbagai pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dalam
nafs yang diraih melalui akal aktif maka ia disebut
sebagai akal mustafad (akal perolehan). Nafs pada maqam
tauhid perbuatan disebut mahw. Pada maqam tauhid sifat
disebut thams. Dan pada maqam tauhid zati disebut
muhiq.68
Dalam beberapa riwayat juga disebutkan jenis
klasifikasi nafs seperti ini.69 Sebagaimana redaksi ruh
yang digunakan untuk ragam aplikasi dalam kitab-kitab
Filsafat dan Irfan.70 Di sini penulis akan menyinggung
masalah penggunaan dan aplikasi redaksi ruh sebagaimana
berikut:
68 Hasan Zadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn, hal. 569. Name-ha wa Barname-ha, hal. 121 dan 122.
69 Bihâr al-Anwâr, jil. 90, hlm. 154.(صال (ال�خ� عة� ن� لى س� سوم غ� ف� ر م� ک� ال�د�لى ا� iاج ت� ح ها ی�6 ن� د م� ل واح� لب� و ک� ق� ر و ال� و ال�س ة� معرف� ل و ال� عق� س و ال� ف� وج و ال�ن� و ال�ر iسان اء ال�ل ص� ع� �ادق� لب� ص� ق� امة� ال� ق� ن� از و اس� ق� ع� ن� دق� الاس� وج ص� امة� ال�ر ق� ن� �راز و اس� ق� دق� الا� ص� iسان امة� ال�ل ق� ن� اس� ف�� امة� ق� ن� الاس�م عال� روز ن�� ر ال�س امة� ال�س ق� ن� از و اس� خ� ت� دق� الاف�� ص� ة� معرف� امة� ال� ق� ن� از و اس� ي� ت� دق� الاغ� ل ص� عق� امة� ال� ق� ن� از و اس� د� ي� الاع�ر ک� اء و ذ� ح�� وف� و ال�ر خ� وج ال� ر ال�ر ک� اء و ذ� عي� هد و ال� ج� س ال� ف� ر ال�ن� ک� اء و ذ� ي� مد و ال�ئ� ح ال� iسان ر ال�ل ک� د� سراز ف�� �الا ة� ي�6 �لى زو ر غ� ر ال�س ک� ا و ذ� ص�� م و ال�ر سلی6 ال�ت� ة� معرف� ر ال� ک� اء و ذ� ت6 ح م و ال� ی6 عظ� ل ال�ن� عق� ر ال� ک� اء و ذ� ق� دق� و ال�ص لب� ال�ص ق� ال�اء ق� ال�ل
70 Syarh al-'Uyun, hlm. 266
S h o n n i a Y o s i t a | 26
1. Nafs Nathiqah (jiwa rasional).
2. Nafs Hayawaniyah (Jiwa hewani).71
3. Akal non-material dan atas dasar itu akal pertama
disebut sebagai ruh al-qudus.
4. Maqam yaum al-jam’ insân (tingkatan hari perhimpunan
manusia) yang berada di atas maqam hati (yaum al-
fashl insân).
5. Tingkatan akal basith (akal simple) yang menjadi
kriteria kreativitas pelbagai perincian pemahaman dan
sebagai lawan tingkatan akal-akal rinci (‘uqul tafshili)
(pemahaman-pemahaman yang terpisah [ma’qulat
munfashilah] atau hati).72
6. Cahaya yang keluar dari mata sesuai dengan teori
matematikawan tentang abshar.
7. Jism lathif (jasmani lembut) atau ruh bukhari.73
Adapun terkait dengan redaksi pikiran (dzihn) harus
dikatakan bahwa terkadang yang dimaksud dengan dzihn di
sini adalah akal atau fakultas rasional. Dan terkadang
yang dimaksud adalah fakultas imagisional dan terkadang
juga yang dimaksud adalah fakultas memorial.
Sebagaimana pada redaksi fitrah juga harus diperhatikan
bahwa terkadang yang dimaksud dengan fitrah adalah ruh
71 Lihat juga Abu Lufa Al-Ghanimi At-Taftazaniy, Ibnu Sab'ina Wa Falsafatu Shufiyah, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Lubnaniy, Cetakan I, 1973), hlm. 345
72 Nampaknya penggunaan keempat dan kelima adalah satu.73 Hasan Hasan Zadeh Amuli, Hizâr wa Yek Nukteh, hal. 81-83.
S h o n n i a Y o s i t a | 27
dan hakikat manusia. Dan terkadang yang dimaksud adalah
sekumpulan pengenalan dan kecenderungan yang terdapat
pada diri seseorang.74
Sebagaimana terkadang juga yang dimaksud dengan
nyawa adalah ruh bukhari dan yang dimaksud dengan jiwa
di sini adalah nafs nathiqah (jiwa rasional) manusia.75
74 Mishbah Yazdi, Amuzesy ‘Aqaid, hal. 44, Cetakan Ketujuh, Syerkat-e Cap wa Nasyr-e Bain al-Milal, tanpa tempat, 1381 S.
75 bnu Sina menyebutkan dalam sebagian tulisan berbahasa Persia dengan redaksi ruh bukhari sebagai nyawa dan nafs nathiqah sebagai jiwa. Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 8, hal. 251.
S h o n n i a Y o s i t a | 28
BAB III
KESIMPULAN
Terma nafs dalam Al-Qur'an lebih terlihat merujuk
kepada sisi dalam dari diri manusia. Yang memiliki
beberapa aspek kejiwaan, yaitu keseluruhan kualitas
khas manusia berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan
kebebasan. Aspek tersebut merupakan persentuhan antara
aspek jismiyah dan ruhaniyah, yang menghasilkan perilaku.
Hal itu didapat dari fungsi nafs yang menampung
dimensi-dimensi jiwa yang lain, seperti: al-'aql, al-qalb, ar-
ruh, yang mana masing-masing dimensi tersebut memiliki
saham dalam pembentukan kepribadian manusia.
Konsep Al-Qur'an mengenai nafs yang terbaik adalah
merujuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik,
menghasilkan perilaku yang baik pula. Dalam arti nafs
positif yang selalu dapat mengendalikan diri dari
nafsunya menuju kebaikan. Tidak sedikit ayat dalam al-
Qur'an yang menganjurkan manusia agar memelihara
kesucian nafsu dan tidak mengotorinya.
Dan dapat disimpulkan bahwa manusia dianugerahi
nafs oleh Allah SWT, dengan nafs itulah manusia dapat
hidup menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Dengan
nafslah manusia belajar. Dengan nafslah manusia bekerja.
Dan dengan nafslah manusia beribadah.
S h o n n i a Y o s i t a | 30
Daftar Pustaka
Al-Qur'anul KarimAl-Dimasyqi, Abi Fida' Ismail Ibnu Katsir Al-Quraisy,
1988, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz ii, Cairo: Daar al-Hadits.
Al-Gazali, 2005, Raudhah ath-Thālibin wa ‘Umdah as-Sālikin, alih bahasa : M. Lukman Hakiem, cet. V, Surabaya : Risalah Gusti.
Al-Ghazali, Imam, t.th, Ihya Ulum Al-Din, III, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Islamiy.
Al-Iraqy, Muhammad 'Athif, 1979, Al-Mitafiziqa min Falsafat ibn Thufail, Kairo: Dar Al-Ma'arif.
Al-Jamal, Hasan 'Izzuddin, 2008, Mu'jam wa Tafsir Lughowi Lii Kalimati-l-Qur'an, Jilid 5 Kairo, Al-Hai'ah Al-MishriyahAl-'Ammah.
Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, 1992, Ar-Rûh, Dar al-Fikr, Beirut.
Al-Nisaaburry, Nidzam al-Din al-Hasan bin Muhammad bin Huesin al-Qummy, 1996, Tafsir Gharaib al-Qur'an wa Gharaibal-Furqan, Juz III, Beirut: Daar al-Kotoob al-'Ilmiyah
Amuli, Hasan Zadeh, Sarh al-‘Uyûn, hal. 569. Name-ha wa Barname-ha
Armstrong Amatullah, 2001, Khazanah Istilah Sufi, Bandung: Mizan.
Ar-Razi, Fakhrudin, Mafatihul Ghaib, Juz 2, Beirut: Daar Ihya' Turots Al-'Araby.
At-Taftazaniy, Abu Lufa Al-Ghanimi, 1973, Ibnu Sab'ina Wa Falsafatu Shufiyah, Beirut: Daar Al-Kutub Al-Lubnaniy,Cetakan I.
Az-zain, Muhamaad Basam Rusydi, 1995, Mu’jam al-Mufahrash li Ma'ani al-Qur’an al-Karim, Damaskus: Dar al-Fikr.
S h o n n i a Y o s i t a | 31
Bihâr al-Anwâr, jil. 90Bisri, Adib, 1999, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka
Progressif.Echols, John M, 1997, Kamus Indonesia-Inggris, cet. III,
Jakarta, Gramedia. Fakhry, Majid, 1987, A History Of Islamic Philosophy, alih
bahasa: Drs. R. Mulyadhi Kartanegara. Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya.
Hanafi, Ahmad, 1991, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT.Bulan Bintang.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2012, Tafsir Al-Qur'an Tematik Pendidikan, Pembangunan Karakter, Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Aku Bisa.
Mandzur, Ibn, Lisân al-'Arab, (Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VI).
Mir, Mustansir, 1987, Dictionary of Qur'anic Terms and Concepts,New York and London: Garland Publishing Inc.
Miskawaih, Ibn, 1329 H, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-'Araq, (Mirs: Kurdistan Al-'Ilmiyah.
Mubarok, Ahmad, 2000, Jiwa Dalam Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina.
Mujib, Abdul, 2003, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Munawwir, A.Warson, 2007, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya, Pustaka Progressif.
Musthafa, Al-Maraghi Ahmad, 1974, Tafsir al-Maraghi, Juz IX, Cairo: Musthafa al-Babi al-Halabi.
Najjati, Muhammad Ustman, 1993, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, Kairo, Darul Asy-Syuruq.
Nasution, Harun, 1973, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fazlur, 1952, Avecenna’s Psychology, London, OxfordUniversity.
S h o n n i a Y o s i t a | 32
Ridha, Muhammad Rashid, t.th, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IX, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Sabzewari, Hakim, Manzhumah, jil. 5.Shadra, Mulla, Asfar al-Arba'ah, jil. 8.Syarif, M.M, 1996, (Ed.) History of Muslim Philosophy, vol.
1, Wisbaden: Otto Horossowitz.Tim Penyusun (perpustakaan nasional), 2007, Ensiklopedia
Al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, Cetakan I.Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid.2.Tim, 1994, Ensiklopedi Islam, jilid 3 bab kasyf, Jakarta:
Ichtiar Van Hoeve.Yazdi, Mishbah, 1381 S, Amuzesy ‘Aqaid, Cetakan Ketujuh,
Syerkat-e Cap wa Nasyr-e Bain al-Milal, tanpa tempat.
Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.