Konsep nafs dalam alquran

32
Shonnia Yosita | 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang sempurna, keberadaannya menjadi sebuah tanda tanya besar bagi berbagai kalangan, terutama bagi para ilmuan dan filosof. Hampir semua kalangan tersebut tidak ingin mengabaikan fenomena besar dari penciptaannya. Dan terma nafs termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. 1 Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Dimensi nafs atau jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik dan merupakan bagian dari metasfisika. Ia merupakan penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia. 2 Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad. 3 1 Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 13 2 Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al- Muslimin, (Kairo, Darul Asy-Syuruq, 1993), h. 118. 3 Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology , ( London , Oxford University, 1952), h. 199-200.

Transcript of Konsep nafs dalam alquran

S h o n n i a Y o s i t a | 1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang sempurna,

keberadaannya menjadi sebuah tanda tanya besar bagi

berbagai kalangan, terutama bagi para ilmuan dan

filosof. Hampir semua kalangan tersebut tidak ingin

mengabaikan fenomena besar dari penciptaannya. Dan

terma nafs termasuk unsur utama dari manusia, bahkan ada

yang mengatakan sebagai intisari dari manusia.1 Hampir

semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut

berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian

yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia.

Dimensi nafs atau jiwa dalam Islam lebih tinggi dari

sekedar dimensi fisik dan merupakan bagian dari

metasfisika. Ia merupakan penggerak dari seluruh

aktifitas fisik manusia.2 Meskipun saling membutuhkan

antara jiwa dan jasad tanpa harus dipisahkan, namun

peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad.3

1 Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 13

2Muhammad Ustman Najjati, Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin, (Kairo, Darul Asy-Syuruq, 1993), h. 118.

3 Fazlur Rahman, Avecenna’s Psychology, ( London , Oxford University, 1952), h. 199-200.

S h o n n i a Y o s i t a | 2

Nafs dalam khazanah Islam memiliki beberapa banyak

pengertian. Nafs dapat diartikan sebagai jiwa (Soul,

Psyche), nyawa dan lain-lain. Semua potensi yang

terdapat pada kata "nafs" bersifat potensial, tetapi

dapat juga aktual jika manusia mengupayakan. Setiap

komponen yang ada memiliki daya-daya yang dapat

menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs

membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi

oleh faktor internal dan eksternal.4

Di dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Dan tentang

anfus kalian, apakah kalian tidak memperhatikan (“untuk

menganalisisnya”).5 Seruan Allah ini mengisyaratkan

bahwa betapa pentingnya menganalisis diri pribadi

(anfus) manusia. Di dalam al-Qur’an telah cukup banyak

diterangkan tentang konsep manusia. Salah satu yang

diterangkan dalam al-Qur’an adalah tentang rahasia-

rahasia yang ada dalam diri manusia (anfus),

sebagaimana firman Allah, yang artinya: “Kami perlihatkan

kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami pada seluruh ufuk dan di

dalam “anfus”mu sendiri, sehingga jelas bahwasannya al-Qur’an itu

benar”.6

Di dalam ayat tersebut terdapat kata anfus jama’

dari kata nafs yang banyak disebut dalam al-Qur’an.

4 Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hlm.46

5 Lihat QS. Adz-Dzaariyat/51: 216 QS. Fushshilat/41: 53

S h o n n i a Y o s i t a | 3

Konsep tentang nafs dalam al-Qur’an banyak variasi

maknanya. Hal itu disebabkan karena berasal dari

bervariasinya makna kata nafs itu sendiri dalam

sumbernya, yaitu berbagai ayat al-Qur’an. Quraish

Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur’an

mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai

totalitas manusia, tetapi di tempat lain nafs menunjuk

kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang

menghasilkan tingkah laku. Namun, secara umum dapat

dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia,

menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik

dan buruk.7 Pembahasan mengenai terma nafs menarik untuk

dikaji, karena terma tersebut cukup banyak disebut

dalam al-Qur'an. Hal ini menandakan bahwa pribadi

manusia atau nafs itu sangat penting untuk dibahas dan

dianalisis.

7 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.

S h o n n i a Y o s i t a | 4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Nafs

1. Makna Terminologi Nafs

Kata nafs secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai

diri atau secara lebih sederhana diterjemahkan dengan

jiwa,8 dalam bahasa Inggris disebut juga soul atau spirit.9

Secara umum, nafs jika dikaitkan dengan

hakekat manusia, menunjuk lebih kepada sisi manusia

yang berpotensi baik dan buruk. An-nafs mempunyai sifat

lembut (lathif) dan robbāni, ia adalah al-ruh sebelum bersatu

dengan jasad (tubuh kasar manusia), sebagaimana

dipahami dari ayat: ت� وج�� ز� س ف� ال�ن� ا ذ� sebab وا� al-ruhdiciptakan terlebih dahulu sebelum jasad. Sejalan

dengan Amin al-Kurdi, Imam al-Gazali dalam menguraikan

al-nafs (jiwa) menggunakan empat terminologi, yakni al-

qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-‘aql.10

8 A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya, Pustaka Progressif, 2007), h. 366.

9 John M. Echols, Kamus Indonesia-Inggris, cet. III, (Jakarta, Gramedia, 1997), h. 245

10 Al-Gazali, Raudhah ath-Thālibin wa ‘Umdah as-Sālikin, alih bahasa : M. Lukman Hakiem, cet. V, (Surabaya : Risalah Gusti, 2005), hlm. 69 - 72

S h o n n i a Y o s i t a | 5

Terma nafs pun juga diambil dari bahasa Arab an-nafs

yang bermakna ego atau kepribadian seseorang, bentuk

pluralnya al-anfus atau an-nufûs. Dapat juga diartikan

dengan jiwa, ruh, batin, dll.11 Secara etimologis, kata

ini merupakan kata musytarak12 yaitu satu kata dengan

makna lebih dari satu. Jumhur mengatakan bahwa nafsu

adalah ruh. Ketika dikatakan: Kharajat nafsuhu, maksudnya

ruhnya keluar. Ada yang mengatakan nafsu dan ruh itu

berbeda.13

Secara bahasa, fi'il mufrad dari kata nafs adalah

nafasa yang berarti 'bernafas' artinya nafas keluar dari

rongga.14 Belakangan arti kata tersebut berkembang

sehingga ditemukan arti-arti yang beraneka ragam

seperti 'menghilangkan', 'melahirkan', 'bernafas',

'jiwa', 'ruh', 'darah', 'manusia', 'diri', dan

'hakikat'. Namun, keanekaragaman arti itu tidak

menghilangkan arti asalnya, misalnya ungkapan bahwa

Allah menghilangkan kesulitan dari seseorang

digambarkan dengan ungkapan naffasa Allah kurbatahu karena

kesulitan seseorang itu hilang bagaikan embusan

11 Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm.731

12 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ar-Rûh, Dar al-Fikr, Beirut, cet. 1992, hlm. 212.

13 Ibn Mandzur, Lisân al-'Arab, (Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VI),hlm. 234.

14 Hasan 'Izzuddin Al-Jamal, Mu'jam wa Tafsir Lughowi Lii Kalimati-l-Qur'an, Jilid 5 (Kairo, Al-Hai'ah Al-Mishriyah Al-'Ammah, 2008), hlm. 91

S h o n n i a Y o s i t a | 6

nafasnya. An-nafs juga diartikan sebagai 'darah' karena

bila darah sudah tidak lagi beredar di badan, dengan

sendirinya nafasnya hilang. Wanita yang sedang haid

dinamakan an-nufasa (س�������اء ف� (ال�ن� karena ketika itu ia

mengeluarkan darah sehingga kalimat nafisatil mar'atu

ghulaman (ا لام� ة� غ�� �ست� ال�مرا ف� diartikan sebagai 'wanita itu (ن��melahirkan'. Demikian juga 'jiwa' atau 'ruh' disebut

nafs karena bila jiwa sebagai daya penggerak hilang,

dengan sendirinya nafas akan hilang. Semua yang

dijelaskan adalah arti yang ditinjau dari segi bahasa.

Pembahasan nafs selalu dikaitkan dengan ruh dan

jasad, karena semuanya merupakan unsur pembentuk

manusia. Kaum Peripatetik, penganut filsafat

Aristoteles, mengatakan bahwa nafs bukan jisim dan

aksiden; tidak bertempat, tidak mempunyai ukuran

panjang, lebar, volume, warna dan dimensi; juga tidak

ada di dunia, di luar, berdekatan atau berbeda.15

Dalam literature Arab, nafs berarti "jiwa

kehidupan" atau "gairah dan hasrat duniawi".16

Amatullah Amstrong dalam tulisannya, nafs adalah

dimensi manusia yang berada di antara ruh yang

15 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Op.cit, hlm. 176-177 16 Tim, Ensiklopedi Islam, jilid 3 bab kasyf, (Jakarta: Ichtiar

Van Hoeve, 1994), hlm.342

S h o n n i a Y o s i t a | 7

merupakan cahaya dan jasmani yang merupakan

kegelapan.17

2. Makna Nafs dalam Al-quran

Kata nafs dengan segala bentuknya terulang

sebanyak 313 kali di dalam Al-Qur'an.18 Nafs dalam

bentuk mufrad disebut sebanyak 77 kali dan 65 kali

dalam bentuk idafah.19 Dalam bentuk jamak nufus disebut

2 kali, sedang dalam bentuk jamak anfus disebut 158

kali. Sedangkan kata tanaffasa- yatanaffasu dan al-mutanaffisu

masing-masing hanya disebut 2 kali.20

Term nafs dalam al-Qur'an semuanya disebut dalam

bentuk ism atau kata benda, yakni nafs dan anfus. Di

dalam al-Qur'an nafs dikategorikan sebagai nafs atau jiwa

itu sendiri21 dan sebagai sisi dalam kejiwaan manusia,

yang dapat melahirkan berbagai macam tingkah laku.22

Sebagai penggerak tingkah laku jiwa mempunyai peranan

penting dalam kegiatan manusia sekurang-kurangnya dalam

17Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi, (Bandung: Mizan,. 2001) , hlm.206

18Tim Penyusun (perpustakaan nasional), Ensiklopedia Al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, Cetakan I, 2007), hlm. 691

19Muhamaad Basam Rusydi Az-zain, Mu’jam al-Mufahrash li Ma'ani al-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 1249-1259

20 Adib Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm.731

21 Lihat QS. Asy-Syams 91: 7 dan Al-Fajr 89: 2722 Lihat QS. Ar-Ra'd 13: 11 dan QS. Al-Anfal 8: 53

S h o n n i a Y o s i t a | 8

dua hal, yaitu: Pertama, mewarnai corak tingkah laku

manusia. Kedua, menentukan makna atau nilai dari

perbuatan yang dilakukan orang dalam hidupnya, yang

terkonsep dalam al-Qur'an dengan tiga sifat kejiwaan,

yaitu: nafs lawwamah (jiwa pencela yang tidak memiliki

pendirian), nafs muthmainnah (jiwa tenang), nafs ammarah

bissu' (jiwa yang senantiasa menyuruh berbuat jahat).

Ayat-ayat Al-Qur'an yang menyebut kata nafs dan

anfus menunjukkan bermacam-macam pengertian,

diantaranya:

a. Nafs, sebagai "hati", yaitu salah satu komponen

terpenting di dalam diri manusia sebagai daya

penggerak emosi dan rasa.23

b. Nafs, sebagai jenis atau species.24

c. Nafs, sebagai diri seseorang.25

d. Nafs, sebagai diri Tuhan.26

e. Nafs, sebagai personal.27

f. Nafs, sebagai ruh.28

g. Nafs, sebagai jiwa29

23 Lihat QS. Al-Isra'/17: 2524 QS. At-Taubah/9: 12825QS. Ali Imran/3: 61, lihat juga surat Yusuf/12: 53 dan

surat Az-Zariyat/51: 2126 Lihat QS. Al-An'am/6: 12, 5427 QS. Al-Furqan/25: 3, Al-An'am/6: 13028 QS. Al-An'am/6: 93 dan Surat Ali Imran/3: 14529 Lihat QS. Asy-Syams/91: 7 dan Al-Fajr/89: 27

S h o n n i a Y o s i t a | 9

h. Nafs, sebagai totalitas manusia.30

i. Nafs, sebagai sisi dalam diri manusia yang

melahirkan tingkah laku.31 Makna yang terakhir inilah

yang ada kaitannya dengan pendidikan, pengajaran dan

pembentukan watak dan kepribadian manusia. Dapat

dibentuk menjadi baik, atau tidak, cerdas atau bodoh,

bermoral atau tidak, tergantung interaksi yang

terjadi antara diri seseorang dengan lingkungan

dimana mereka berada.

Secara umum, jika dikaitkan dengan pembicaraan

manusia, kata nafs menunjuk kepada sisi dalam manusia

yang berpotensi baik dan buruk.32

Di dalam pandangan Al-Qur'an nafs diciptakan oleh

Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung

serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan,

dan karena itu, sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-

Qur'an dianjurkan untuk diberikan perhatian lebih

besar.

Di sisi lain, terlihat perbedaan kata nafs menurut

Al-Qur'an dengan terminology shufi. Oleh Al-Qusyairi di

dalam risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam

pengertian kaum Sufi adalah sesuatu yang melahirkan

sifat tercela dan perilaku buruk.

30 QS. Al-Maidah/5: 32, dan Al-Qasas/28: 19 dan 33.31 Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Paramadina,

2000), hlm. 4432 Hasan 'Izzuddin Al-Jamal, Op.cit, hlm. 93

S h o n n i a Y o s i t a | 10

Walaupun Al-Qur'an menegaskan bahwa nafs

berpotensi positif dan negatif, diperoleh pula isyarat

bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih

kuat dari potensi negatifnya. Hanya saja daya Tarik

keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Oleh

karena itu, manusia dituntut agar memelihara kesucian

nafsu dan tidak mengotorinya.33

Dalam konteks manusia disamping penggunaan nafs

untuk menyebut totalitas manusia,34 banyak ayat Al-

Qur'an yang mengisyaratkan gagasan nafs sebagai sesuatu

di dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya,

nafs sebagai "sisi dalam" diri manusia, sebagai lawan

dari "sisi luar" diri manusia.35

Ayat yang mengisyaratkan bahwa manusia mempunyai

"sisi dalam" dan "sisi luar" adalah Surat Ar-Ra'd/13:

10:

Kesanggupan manusia untuk merahasiakan dan

berterus terang dengan ucapannya merupakan petunjuk

adanya sisi dalam dan sisi luar dari manusia. Al-Qur'an

33 QS. As-Syams/91: 9-1034Fakhrudin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, Juz 2, (Beirut: Daar

Ihya' Turots Al-'Araby) hlm. 30435 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Op.cit, hlm. 84

S h o n n i a Y o s i t a | 11

juga menyebut hubungan antara sisi dalam dan sisi

luarnya. Jika sisi luar manusia dapat dilihar dari

perbuatan lahirnya, maka sisi dalam, menurut AlQur'an

berfungsi sebagai penggeraknya. Terdapat di dalam Al-

Qur'an yang secara tegas disebutkan nafs sebagai jiwa.36

Jadi "sisi dalam" manusia adalah jiwanya.

Sekurang-kurangnya Al-Qur'an dua kali menyebut

nafs sebagai "sisi dalam" yang mengandung potensi

sebagai penggerak tingkah lakunya, yaitu pada Surat ar-

Ra'd/13: 11 dan al-Anfal /8: 53:

:(11 )ال�رغ�دBagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya

bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas

perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu

kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka

sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu

kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada

pelindung bagi mereka selain Dia. (ar-Ra'd/13: 11)

36 Lihat QS. Asy-Syams/91: 7

S h o n n i a Y o s i t a | 12

Yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak

akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada

suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri

mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui. (al-Anfal/8: 53)

Pada Surat ar-Ra'd/13: 11 di atas, ada dua

kalimat yang menunjukan keadaan sesuatu pada kaum,

yaitu kalimat ma biqaumin (وم ق� ا ن�� ا) dan ma bianfusihim (م� م�هم س���� ف� ن�� �ا Dalam kaidah bahasa Arab, huruf .(ب�� ma pada

kalimat ma biqaumin dan ma bianfusihim mengandung arti

berita ( ة� ي���67 ر ب� ا ال�خ� رف� م���� Jadi .(ح���� ma biqaumin artinya apa

yang ada pada suatu kaum, dan ma bianfusihim artinya

yang ada pada nafs atau "sisi dalam" mereka.37 Apa

yang terdapat di dalam nafs, di dalam konteks ayat

ini, adalah ide dan kemauan yang keras. Ini berarti

nafs dapat menampung kedua hal tersebut. Ide dan

37 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Op.cit, hlm. 86

S h o n n i a Y o s i t a | 13

kemauan anggota-anggota dalam suatu masyarakat dapat

mengubah nasib masyarakat tersebut.

Akan tetapi, bukan hanya ide dan kemauan saja

yang ditampung oleh kata nafs. Di dalamnya juga

terdapat "nurani". Inilah yang menyebabkan manusia

menyesali perbuatannya, merasa berdosa atas

kesalahan-kesalahannya. Isyarat tentang adanya nurani

di dalam nafs manusia juga termaktub dalam Al-

Qur'an.38

B. Klasifikasi Nafs Dalam Al-Qur'an

Nafs dalam al-Qur'an sendiri lebih mengarah dalam

arti sifat jiwa yang berkaitan dengan keinginan tubuh

(mendorong syahwat), mulanya ia bersifat baik tetapi

setelah menyatu dengan jasmani yang bersifat materi ia

menjadi dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh tubuh.

Setelah ditinjau dari berbagai hal, seberapa besar

tingkat pengaruhnya dengan tubuh, maka nafs tersebut

dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian:

1) An nafs al muthmainnah ( ة�� ن���� Cس ال�مطمئ ف� yaitu jiwa yang(ال�ن�mampu meminimalisir pengaruh tubuh terhadapnya,

sehingga dapat menikmati kebahagiaan ruhaninya.39

38 Lihat QS. Al-Qiyamah/75: 13-1439 Mustansir Mir, Dictionary of Qur'anic Terms and Concepts, New York

and London: Garland Publishing Inc, 1987), hlm. 42

S h o n n i a Y o s i t a | 14

2) An nafs al lawwamah ( س ال�لوام����ة�� ف� yaitu nafsu yang (ال�ن�memiliki sebuah kemampuan dalam memilih antara yang

baik dan buruk, yang benar dan yang salah.

3) An nafs al ammaroh bi assu' (ال�س����وء ازة� ب�� م����� �س الا ف� yaitu (ال�ن�sifat jiwa yang lebih cenderung kepada keburukan.40

Ketiga kategori nafs tersebut di atas merupakan

tingkatan kualitas dari mulai yang tertinggi hingga

terendah.41 Ayat-ayat yang secara ekplisit menyebut

ketiga jenis nafs ini adalah sebagai berikut:

Pertama, An-Nafsul Muthmainnah,

:ج�ر -27)س�وزة� ال�ف�30)

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang

puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-

Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku.

40 Ibid, hlm. 2841 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Tafsir Al-Qur'an Tematik

Pendidikan, Pembangunan Karakter, Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Aku Bisa, 2012), hlm. 88

S h o n n i a Y o s i t a | 15

Kedua, An-Nafsul- Lawwamah,

: امة� ي6 (2-1)س�وزة� ال�ف�Aku bersumpah demi hari kiamat, Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang

amat menyesali (dirinya sendiri). Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia

juga menyesal Kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia

berbuat kejahatan.

Ketiga, an-Nafsul-ammaratu bis-su' selalu menggoda berbuat

negatif,

: وس�ف� (53)س�وزة� ي�6Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali

nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha

Pengampun lagi Maha penyanyang.

Ketiga jenis nafs ini sama-sama berusaha untuk

memenangkan pertarungan dalam diri manusia. Apabila

pertarungan ini dimenangkan oleh daya nafsu ammarah bis-

su', maka akan membentuk kepribadian yang berprinsip

mengejar kenikmatan duniawi, mengumbar nafsu-nafsu

impulsif dan primitif. Jika dalam pertarungan ini

S h o n n i a Y o s i t a | 16

dimenangkan oleh nafsul-lawwamah mempfungsikan daya

akal, maka akan membentuk kepribadian yang realistik

dan rasionalistik. Namun apabila pertarungan ini

dimengkan oleh nafsul-muthmainnah, maka akan melahirkan

pribadi dan individu yang berprinsip yang mengejar pola

kehidupan akhirat dan pengabdian kepada Allah,

disinilah letak pentingnya pendidikan untuk dapat

mengatur dan menguasai nafsu-nafsu yang berada dalam

"sisi dalam" diri manusia.

Dari sisi lain, manusia dianugerahi nafsu oleh

Allah SWT. Dengan nafsu itulah manusia dapat hidup

menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Dengan

nafsulah manusia belajar. Dengan nafsulah manusia

bekerja. Dan dengan nafsulah manusia beribadah.

Nafsu tidak selamanya negatif, karena

nafsupun ada yang positif. Nafsu yang dimiliki manusia

dapat dikelompokkan dalam tiga bagian:42

a) Nafsu rububiyah, yaitu dorongan atau kecenderungan

untuk mengenal dan mendekatkan diri dan beribadah

kepada Allah. Termasuk di dalam kecenderungan untuk

meniru dan merapkan sifat-sifat Allah yang mulia

dalam kehidupan sehari-hari. seperti Allah bersifat

Maha Pemurah dan Penyayang, kemudian manusia

menerapkan kedua sifat tersebut terhadap sesame

manusia dan makhluk yang lainnya.

42 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Ibid, hlm. 89

S h o n n i a Y o s i t a | 17

b) Nafsu Insaniyah, yakni dorongan atau kecenderungan yang

bersifat manusiawi. Contoh: nafsu untuk makan,

minum, atau memenuhi kebutuhan hidup. Termasuk juga

keinginan belajar, bekerja dan berumah tangga.

c) Nafsu Syaithaniyah, adalah dorongan dan kecenderungan

yang berasala dari bisikan setan. Misalnya saja

berdusta, mencuri, memfitnah, iri, dengki, dan

sebagainya. Termasuk juga kehendak untuk

meninggalkan, melawan atau menentang perintah Allah

dan RasulNya.43

C. Interpretasi Nafs Dalam Al-Qur'an

Nafs yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah

makhluk ciptaan Allah44 yang termasuk makhluk hidup,

dan karena itu nafs juga dimatikan,45 ciri khusus

darinya adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan

dan keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi,

dan dari unsur tanah dan air.46 Nafs sebagai makhluk

Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah.47 Para

mufassir umumnya menafsirkan nafs wahidah itu identik

dengan Nabi Adam. 43 Ibid, hlm. 90

44 Sebab ada kata nafs dalam Al-Qur'an yang digunakan juga

untuk menunjuk kepada diri Tuhan, yaitu dalam QS. Al-An'Am/6: 12

45 QS. Al-Anbiya'/21: 3546 QS. Al-An'am/6: 247 QS. Al-A'raaf/7: 189

S h o n n i a Y o s i t a | 18

Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu

berasal dari Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu

Hawa’ darinya, kemudian Allah membuat keturunannya

sehingga terbesar semua manusia laki laki perempuan

sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya

sehingga hari kiamat nanti, sebagaimana yang diatur

oleh Allah yang berupa persetubuhan laki-laki dan

istrinya. Dan Allah menjadikan Hawa dari tubuh Adam

supaya ia jinak, tenang, dan senang kasih kepadanya

sehingga saling membutuhkan dan saling melengkapi.48

Penafsiran seperti ini karena berdasarkan atas tafsir

harfiah (secara tekstual), dimana kata nafs itu sama

dengan pribadi dan kata wahidah artinya satu, yang

berarti diri Adam. Mayoritas (jumhur) ulama mengikuti

penafsiran seperti ini. Adapun Rashid Ridla menafsirkan

nafs wahidah adalah suatu bahan baku yang hakikatnya

tidak diketahui, dan dari bahan tersebutlah manusia

diciptakan secara khusus.49 Hal ini juga sama dengan

apa yang ditafsirkan oleh al-Maraghi, bahwa nafs

48 Abi Fida' Ismail Ibnu Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi, Tafsir

al-Qur'an al-'Adzim, Juz II, (Cairo: Dar al-Hadits, 1988), hlm. 263.

Lihat Nidzam al-Din al-Hasan bin Muhammad bin Husein al-Qummy al-

Nisaaburry, Tafsir Gharaib al'Qur'an wa Gharaib al-Furqan, Juz III, (Beirut:

Dar- al-Kotoob al-'Ilmiyah, 1996), hlm. 359, yang menjelaskan

bahwa nafs wahidah menunjuk pada diri Adam.

49 Muhammad Rashid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IX, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 476.

S h o n n i a Y o s i t a | 19

wahidah (dari jenis yang sama), maksudnya Allah yang

telah meciptakan kalian dari satu jenis, lalu Dia

menjadikan dari itu pula jenis yang sama, sehingga

jadilah mereka berdua berjodoh, laki-laki dan

perempuan,50 dan juga semua makhluk hidup.51 Oleh karena

itu setiap sel dalam sel-sel yang menumbuhkan makhluk

hidup (organisme) terdiri dari dua unsur yaitu unsur

jantan dan betina yang apabila dipertemukan maka

lahirlah sel-sel yang lain dan begitu seterusnya.52

Dari penafsiran ini dapat dilihat bahwa nafs

wahidah itu tidak menunjuk pada diri Adam, tetapi

menunjuk cikal bakal manusia atau sel yang darinya

manusia diciptakan, dan sel-sel tersebut juga menjadi

cikal bakal dari seluruh makhluk hidup. Hal ini

berdasarkan pada kata nafs wahidah sendiri yang

terulang dalam al-Qur’an sebagai bentuk nakirah yang

berarti sesuatu yang tidak dikenal.

Dalam al-Qur’an, (QS:76;1) manusia diciptakan

sebagai suatu nafs, yang pada saat itu adalah sesuatu

yang tak dapat disebutkan. Ayat pertama turun yang

mengandung kata nafs dalam bentuk jama’nya nufus

terdapat pada surat al-Muzammil (73) ayat 20 surat

paling awal ke tiga sesudah al-‘Alaq dan al-Qalam, yang

50 QS. Al-Hujuraat/49: 1351 QS. Adz-Dzariyat/51: 4952 Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz IX, (Cairo:

Musthafa al-Babi al-Halabi, 1974), hlm. 264.

S h o n n i a Y o s i t a | 20

menjelaskan sesuatu perbuatan manusia yang efeknya

hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa

apapun yang dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa

perbuatan baik atau buruk akan ditemui balasannya di

hari kiamat.53 Ayat kedua yang turun bersama dengan

kata nafs menjelaskan bahwa setiap jiwa itu tergadai

dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya,

maka jiwa itulah sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa

itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat.54 Nafs di

sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa

yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh

terhadap jiwa orang tersebut. Ayat ketiga yang turun

memuat kata nafs terdapat pada surat at-Takwir (81)

ayat 14, menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang

dilakukan oleh nafs (jiwa) besok pada hari kiamat akan

menanggung semua apa yang telah dikerjakan di dunia,

dan tiap-tiap jiwa besok akan mengetahui apa yang telah

dikerjakan di dunia,55 hanya jiwa yang tenanglah (nafs

al-Muthmainnah) yang akan menghadap kepada Allah.56

D. Konsep Nafs Menurut Para Ulama

53 Lihat al-Maraghi, Juz VIII, 267.12, lihat juga al-Maraghi,

Juz VIII, 269.13, M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia……, hlm. 265

54 QS. Al-Mudatsir/74: 3855 QS. Al-Anfaal/8: 556 QS. Al-Fajr/89: 27-30

S h o n n i a Y o s i t a | 21

Makna kata nafs atau konsepnya sangat berbeda

dalam beberapa pendapat para ulama.

a. Konsep An-nafs, menurut Ibn Sina terbagi menjadi

tiga: Jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia.

Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya: makan, tumbuh, dan

berkembang biak. Jiwa binatang memiliki dua daya:

daya bergerak dan daya menangkap. Daya bergerak dapat

berbentuk marah, syahwat dan berpindah tempat.57

Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang jiwa

manusia hanya mempunyai satu daya, yaitu daya

berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua; akal

praktis (‘amilah) yang berhubungan dengan hal-hal yang

sifatnya konkret dan akal teoritis yang berhubungan

dengan hal-hal yang sifatnya abstrak. Akal teoritis

mempunyai empat tingkatan , yaitu 1). Akal Materiil,

yang beru merupakan potensi, untuk menangkap arti-

arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam

materi. Akal bakat, yaitu akal yang kesanggupannya

berfikir secara murni abstrak telah mulai Nampak.

Akal aktual, yaitu akal yang telah terlatih untuk

menangkap arti-arti murni, dan. Akal perolehan, yaitu

tingkat akal yang tertinggi dan terkuat dayanya,

yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut

selamanyan sedia untuk dikeluarkan dengan mudah. Akal

57Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:PT.Bulan Bintang, 1991), hlm.120

S h o n n i a Y o s i t a | 22

serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu

pengetahuan dari akal aktif (akal kesepuluh). Menurut

penjelasan Ibn Sina, akal aktif itu adalah Jibril.58

b. Nafs atau jiwa menurut Ibnu Thufail bukanlah jisim

dan bukan pula suatu daya yang ada di dalam jisim.59

Menurutnya, nafs atau jiwa terdiri dari tiga tingkat:

dari yang rendah jiwa tumbuhan (an-nafs an-nabatiyyat),

ke tingkat yang lebih tinggi jiwa hewan (an-nafs al-

hayawaniyyat), kemudian ke tingkat jiwa yang

martabatnya lebih tinggi dari keduanya jiwa manusia

(an-nafs annatiqaat).60 Mengenai keabadian jiwa manusia

sendiri dan hubungannya dengan Allah, Ibnu Thufail

mengklasifikasikan jiwa dalam tiga keadaan:61

1) Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah

mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungaNya,

dan selalu ingat kepadaNya, maka jiwa tersebut akan

kekal dalam kebahagiaan.

2) Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan

maksiat dan melupakan Allah, maka akan abadi dalam

kesengsaraan.

58Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve,Jilid.2, 2003) hlm. 167.

59 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam;Filosof dan Filsafatnya, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 217

60 Muhammad 'Athif Al-Iraqy, Al-Mitafiziqa min Falsafat ibn Thufail, (Kairo: Dar Al-Ma'arif, 1979) hlm. 91

61 Ibid, hal. 155-158

S h o n n i a Y o s i t a | 23

3) Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama

hidupnya, maka akan berakhir seperti hewan.

c. Ibnu Maskawih berpendapat bahwa nafs atau jiwa

berasal dari limpahan akal aktif (al-'aql al-fa'al). Dalam

teori emanasinya, akal aktif adalah limpahan

pertama,62 jiwa adalah limpahan kedua, dan langit-

langit adalah limpahan ketiga.63 Beliau mengatakan

bahwa jiwa itu adalah substansi imateri. Kemudian ia

menguraikan substansialitas jiwa tersebut melalui

penelaahan terhadap hakikat pengetahuan manusia yang

imateri, dan membandingkannya dengan materi.64

d. Menurut Al-Ghazali makna Nafs yang pertama adalah

yang menggabungkan kekuatan marah dan nafsu syahwat

pada manusia.65 Makna kedua dari nafs adalah Lathifah

(yang halus). Inilah hakekat manusia yang

membedakannya dari nafs.

e. Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith

(tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan

lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan

mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal dari substansi

62 Bagi Al-Farabi dan Ibnu Sina, akal aktif adalah akal kesepuluh

63Prof. Majid Fakhry, A History Of Islamic Philosophy, alih bahasa: Drs. R. Mulyadhi Kartanegara. Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 266

64Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-'Araq, (Mirs: Kurdistan Al-'Ilmiyah, 1329 H), hlm. 4

65 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, III, (Bairut: Dar Al-KutubAl-Islamiy, t. th), hlm. 4

S h o n n i a Y o s i t a | 24

Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan

cahaya dengan matahari.66 Jiwa mempunyai wujud

tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau

badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahy.67 Sementara

itu, jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.

E. Klasifikasi Tingkatan Nafs Menurut Para Filosof

Para filosof berkata bahwa nafs itu terbagi

menjadi tujuh tingkatan: 1. Akal hayulani (akal

potensial). 2. Akal bilmalakah (tingkatan rasionisasi

pelbagai konsep dan afirmasi swa-bukti). 3. Akal bilfi’l

(akal aktual). 4. Akal mustafad (akal perolehan). 5.

Mahw. 6. Thams. 7. Muhiq.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam pandangan

para filosof, karena nafs memiliki kapabilitas

memperoleh berbagai kesempurnaan maka ia disebut

sebagai akal potensial (al-aql al-hayulani); dan kapan saja

nafs memperoleh silsilah pemahaman primer dan

pengetahuan-pengetahuan pendahuluan yang dengannya

pemahaman sekunder dan ilmu-ilmu perolehan dapat

diraih. Kondisi nafs seperti ini disebut sebagai akal

bilmalakah; dan kapan saja nafs memperoleh kemampuan

untuk melakukan inferensi pelbagai pemahaman sekunder

66 Sirajuddin Zar, Op.cit, hlm. 5967 M.M Syarif, (Ed.) History of Muslim Philosophy, vol. 1,

(Wisbaden: Otto Horossowitz, 196), hlm. 432

S h o n n i a Y o s i t a | 25

dan pelbagai pengetahuan perolehan dengan berpikir dan

berasumsi maka nafs di sini disebut sebagai akal aktual

(akal bilfi’il); dan lantaran kehadiran dan perolehan

pelbagai pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh dalam

nafs yang diraih melalui akal aktif maka ia disebut

sebagai akal mustafad (akal perolehan). Nafs pada maqam

tauhid perbuatan disebut mahw. Pada maqam tauhid sifat

disebut thams. Dan pada maqam tauhid zati disebut

muhiq.68

Dalam beberapa riwayat juga disebutkan jenis

klasifikasi nafs seperti ini.69 Sebagaimana redaksi ruh

yang digunakan untuk ragam aplikasi dalam kitab-kitab

Filsafat dan Irfan.70 Di sini penulis akan menyinggung

masalah penggunaan dan aplikasi redaksi ruh sebagaimana

berikut:

68 Hasan Zadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn, hal. 569. Name-ha wa Barname-ha, hal. 121 dan 122.

69 Bihâr al-Anwâr, jil. 90, hlm. 154.(صال (ال�خ� عة� ن� لى س� سوم غ� ف� ر م� ک� ال�د�لى ا� iاج ت� ح ها ی�6 ن� د م� ل واح� لب� و ک� ق� ر و ال� و ال�س ة� معرف� ل و ال� عق� س و ال� ف� وج و ال�ن� و ال�ر iسان اء ال�ل ص� ع� �ادق� لب� ص� ق� امة� ال� ق� ن� از و اس� ق� ع� ن� دق� الاس� وج ص� امة� ال�ر ق� ن� �راز و اس� ق� دق� الا� ص� iسان امة� ال�ل ق� ن� اس� ف�� امة� ق� ن� الاس�م عال� روز ن�� ر ال�س امة� ال�س ق� ن� از و اس� خ� ت� دق� الاف�� ص� ة� معرف� امة� ال� ق� ن� از و اس� ي� ت� دق� الاغ� ل ص� عق� امة� ال� ق� ن� از و اس� د� ي� الاع�ر ک� اء و ذ� ح�� وف� و ال�ر خ� وج ال� ر ال�ر ک� اء و ذ� عي� هد و ال� ج� س ال� ف� ر ال�ن� ک� اء و ذ� ي� مد و ال�ئ� ح ال� iسان ر ال�ل ک� د� سراز ف�� �الا ة� ي�6 �لى زو ر غ� ر ال�س ک� ا و ذ� ص�� م و ال�ر سلی6 ال�ت� ة� معرف� ر ال� ک� اء و ذ� ت6 ح م و ال� ی6 عظ� ل ال�ن� عق� ر ال� ک� اء و ذ� ق� دق� و ال�ص لب� ال�ص ق� ال�اء ق� ال�ل

70 Syarh al-'Uyun, hlm. 266

S h o n n i a Y o s i t a | 26

1. Nafs Nathiqah (jiwa rasional).

2. Nafs Hayawaniyah (Jiwa hewani).71

3. Akal non-material dan atas dasar itu akal pertama

disebut sebagai ruh al-qudus.

4. Maqam yaum al-jam’ insân (tingkatan hari perhimpunan

manusia) yang berada di atas maqam hati (yaum al-

fashl insân).

5. Tingkatan akal basith (akal simple) yang menjadi

kriteria kreativitas pelbagai perincian pemahaman dan

sebagai lawan tingkatan akal-akal rinci (‘uqul tafshili)

(pemahaman-pemahaman yang terpisah [ma’qulat

munfashilah] atau hati).72

6. Cahaya yang keluar dari mata sesuai dengan teori

matematikawan tentang abshar.

7. Jism lathif (jasmani lembut) atau ruh bukhari.73

Adapun terkait dengan redaksi pikiran (dzihn) harus

dikatakan bahwa terkadang yang dimaksud dengan dzihn di

sini adalah akal atau fakultas rasional. Dan terkadang

yang dimaksud adalah fakultas imagisional dan terkadang

juga yang dimaksud adalah fakultas memorial.

Sebagaimana pada redaksi fitrah juga harus diperhatikan

bahwa terkadang yang dimaksud dengan fitrah adalah ruh

71 Lihat juga Abu Lufa Al-Ghanimi At-Taftazaniy, Ibnu Sab'ina Wa Falsafatu Shufiyah, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Lubnaniy, Cetakan I, 1973), hlm. 345

72 Nampaknya penggunaan keempat dan kelima adalah satu.73 Hasan Hasan Zadeh Amuli, Hizâr wa Yek Nukteh, hal. 81-83. 

S h o n n i a Y o s i t a | 27

dan hakikat manusia. Dan terkadang yang dimaksud adalah

sekumpulan pengenalan dan kecenderungan yang terdapat

pada diri seseorang.74

Sebagaimana terkadang juga yang dimaksud dengan

nyawa adalah ruh bukhari dan yang dimaksud dengan jiwa

di sini adalah nafs nathiqah (jiwa rasional) manusia.75

74 Mishbah Yazdi, Amuzesy ‘Aqaid, hal. 44, Cetakan Ketujuh, Syerkat-e Cap wa Nasyr-e Bain al-Milal, tanpa tempat, 1381 S.

75 bnu Sina menyebutkan dalam sebagian tulisan berbahasa Persia dengan redaksi ruh bukhari sebagai nyawa dan nafs nathiqah sebagai jiwa. Mulla Shadra, Asfar al-Arba’ah, jil. 8, hal. 251.

S h o n n i a Y o s i t a | 28

BAB III

KESIMPULAN

Terma nafs dalam Al-Qur'an lebih terlihat merujuk

kepada sisi dalam dari diri manusia. Yang memiliki

beberapa aspek kejiwaan, yaitu keseluruhan kualitas

khas manusia berupa pikiran, perasaan, kemauan, dan

kebebasan. Aspek tersebut merupakan persentuhan antara

aspek jismiyah dan ruhaniyah, yang menghasilkan perilaku.

Hal itu didapat dari fungsi nafs yang menampung

dimensi-dimensi jiwa yang lain, seperti: al-'aql, al-qalb, ar-

ruh, yang mana masing-masing dimensi tersebut memiliki

saham dalam pembentukan kepribadian manusia.

Konsep Al-Qur'an mengenai nafs yang terbaik adalah

merujuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik,

menghasilkan perilaku yang baik pula. Dalam arti nafs

positif yang selalu dapat mengendalikan diri dari

nafsunya menuju kebaikan. Tidak sedikit ayat dalam al-

Qur'an yang menganjurkan manusia agar memelihara

kesucian nafsu dan tidak mengotorinya.

Dan dapat disimpulkan bahwa manusia dianugerahi

nafs oleh Allah SWT, dengan nafs itulah manusia dapat

hidup menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Dengan

nafslah manusia belajar. Dengan nafslah manusia bekerja.

Dan dengan nafslah manusia beribadah.

S h o n n i a Y o s i t a | 29

S h o n n i a Y o s i t a | 30

Daftar Pustaka

Al-Qur'anul KarimAl-Dimasyqi, Abi Fida' Ismail Ibnu Katsir Al-Quraisy,

1988, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz ii, Cairo: Daar al-Hadits.

Al-Gazali, 2005, Raudhah ath-Thālibin wa ‘Umdah as-Sālikin, alih bahasa : M. Lukman Hakiem, cet. V, Surabaya : Risalah Gusti.

Al-Ghazali, Imam, t.th, Ihya Ulum Al-Din, III, Bairut: Dar Al-Kutub Al-Islamiy.

Al-Iraqy, Muhammad 'Athif, 1979, Al-Mitafiziqa min Falsafat ibn Thufail, Kairo: Dar Al-Ma'arif.

Al-Jamal, Hasan 'Izzuddin, 2008, Mu'jam wa Tafsir Lughowi Lii Kalimati-l-Qur'an, Jilid 5 Kairo, Al-Hai'ah Al-MishriyahAl-'Ammah.

Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim, 1992, Ar-Rûh, Dar al-Fikr, Beirut.

Al-Nisaaburry, Nidzam al-Din al-Hasan bin Muhammad bin Huesin al-Qummy, 1996, Tafsir Gharaib al-Qur'an wa Gharaibal-Furqan, Juz III, Beirut: Daar al-Kotoob al-'Ilmiyah

Amuli, Hasan Zadeh, Sarh al-‘Uyûn, hal. 569. Name-ha wa Barname-ha

Armstrong Amatullah, 2001, Khazanah Istilah Sufi, Bandung: Mizan.

Ar-Razi, Fakhrudin, Mafatihul Ghaib, Juz 2, Beirut: Daar Ihya' Turots Al-'Araby.

At-Taftazaniy, Abu Lufa Al-Ghanimi, 1973, Ibnu Sab'ina Wa Falsafatu Shufiyah, Beirut: Daar Al-Kutub Al-Lubnaniy,Cetakan I.

Az-zain, Muhamaad Basam Rusydi, 1995, Mu’jam al-Mufahrash li Ma'ani al-Qur’an al-Karim, Damaskus: Dar al-Fikr.

S h o n n i a Y o s i t a | 31

Bihâr al-Anwâr, jil. 90Bisri, Adib, 1999, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka

Progressif.Echols, John M, 1997, Kamus Indonesia-Inggris, cet. III,

Jakarta, Gramedia. Fakhry, Majid, 1987, A History Of Islamic Philosophy, alih

bahasa: Drs. R. Mulyadhi Kartanegara. Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya.

Hanafi, Ahmad, 1991, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT.Bulan Bintang.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2012, Tafsir Al-Qur'an Tematik Pendidikan, Pembangunan Karakter, Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Aku Bisa.

Mandzur, Ibn, Lisân al-'Arab, (Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VI).

Mir, Mustansir, 1987, Dictionary of Qur'anic Terms and Concepts,New York and London: Garland Publishing Inc.

Miskawaih, Ibn, 1329 H, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-'Araq, (Mirs: Kurdistan Al-'Ilmiyah.

Mubarok, Ahmad, 2000, Jiwa Dalam Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina.

Mujib, Abdul, 2003, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Munawwir, A.Warson, 2007, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet. I, (Surabaya, Pustaka Progressif.

Musthafa, Al-Maraghi Ahmad, 1974, Tafsir al-Maraghi, Juz IX, Cairo: Musthafa al-Babi al-Halabi.

Najjati, Muhammad Ustman, 1993,  Ad-Dirasat al-Nafsaniyah ‘inda al-‘Ulama al-Muslimin,  Kairo, Darul Asy-Syuruq.

Nasution, Harun, 1973, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Rahman, Fazlur, 1952, Avecenna’s Psychology, London, OxfordUniversity.

S h o n n i a Y o s i t a | 32

Ridha, Muhammad Rashid, t.th, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, Juz IX, Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Sabzewari, Hakim, Manzhumah, jil. 5.Shadra, Mulla, Asfar al-Arba'ah, jil. 8.Syarif, M.M, 1996, (Ed.) History of Muslim Philosophy, vol.

1, Wisbaden: Otto Horossowitz.Tim Penyusun (perpustakaan nasional), 2007, Ensiklopedia

Al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, Cetakan I.Tim Redaksi Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, Ensiklopedi

Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid.2.Tim, 1994, Ensiklopedi Islam, jilid 3 bab kasyf, Jakarta:

Ichtiar Van Hoeve.Yazdi, Mishbah, 1381 S, Amuzesy ‘Aqaid, Cetakan Ketujuh,

Syerkat-e Cap wa Nasyr-e Bain al-Milal, tanpa tempat.

Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.