relevansi pemikiran kartini dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam

83
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan persoalan yang sangat penting bagi semua kalangan, pendidikan selalu menjadi tumpuan, harapan untuk mengembangkan individu dan masyarakat. Dengan pendidikan kita akan memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat dan menciptakan generasi yang mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka atau dengan kata lain pendidikan sebenarnya dapat dipahami sebagai rangkaian usaha pembaharuan. Pendidikan pada hakikatnya tidak mengenal perbedaan. Agama Islam mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab dengan pendidikan, manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dalam kehidupannya. 1 Oleh karena itu, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersifat organis-fungsional di mana pendidikan difungsikan sebagai alat untuk mencapai tujuan ke-Islaman, dan Islam menjadi 1 Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2007), 61. 1

Transcript of relevansi pemikiran kartini dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan persoalan yang sangat penting bagi semua kalangan,

pendidikan selalu menjadi tumpuan, harapan untuk mengembangkan individu dan

masyarakat. Dengan pendidikan kita akan memajukan peradaban, mengembangkan

masyarakat dan menciptakan generasi yang mampu berbuat banyak bagi

kepentingan mereka atau dengan kata lain pendidikan sebenarnya dapat dipahami

sebagai rangkaian usaha pembaharuan. Pendidikan pada hakikatnya tidak

mengenal perbedaan.

Agama Islam mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek

kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, salah satu ajaran Islam tersebut adalah

mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut

Islam, pendidikan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus

dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebab dengan pendidikan, manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu

pengetahuan untuk bekal dalam kehidupannya.1

Oleh karena itu, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat

erat. Hubungan tersebut bersifat organis-fungsional di mana pendidikan

difungsikan sebagai alat untuk mencapai tujuan ke-Islaman, dan Islam menjadi

1 Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2007), 61. 1

kerangka dasar serta pondasi pengembangan pendidikan Islam.2 Islam telah

menetapkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki. Al-Qur’an juga menetapkan

bahwa yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.3

Beradasarkan hak-hak asasi, tidak ada diskriminasi di antara mereka.

Hal ini tercantum dalam QS. Al-Hujurat: 13

$ pκš‰r' ‾≈ tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $ ‾ΡÎ) / ä3≈ oΨ ø) n=yz ÏiΒ 9�x. sŒ 4 s\Ρé& uρ öΝ ä3≈ oΨ ù=yè y_ uρ $ \/θ ãè ä© Ÿ≅ Í←!$ t7s%uρ (# þθ èùu‘$ yè tGÏ9 4 ¨β Î) ö/ ä3tΒ t�ò2r& y‰Ψ Ïã «! $# öΝ ä39 s) ø?r& 4 ¨β Î) ©!$# îΛÎ=tã ×�� Î7 yz ∩⊇⊂∪

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. 4

Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam pada hakikatnya

memiliki kedudukan terhormat. Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan

perempuan dikatakan sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan

sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua di

anugerahi Allah potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung

jawab dan yang menjadikan mereka dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang

bersifat umum maupun khusus.

Ajaran Islam menunjukkan bahwa seluruh umat manusia yang terdiri atas

berbagai bangsa, ras, dan warna kulit adalah sama, tidak ada beda dari segi

kemanusiaan. Semua manusia diciptakan dari asal kejadian yang sama, baik laki-

laki maupun perempuan, sehingga tidak terdapat perbedaan jenis kelamin, ras dan

2 Ahmad Tafsir, Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Mimbar, 2004), v.

3 Hujjatul Islam Hashmi Rafsanjani,Kemerdekaan Wanita Dalam Keadilan Sosial

Islam,Terj.Satrio Pinandito (Jakarta: CV. Firdaus, 1992), 7. 4 Al-Qur’an, 49:13.

kedudukan manusia. Pendidikan Islam menempatkan posisi manusia secara

proporsional. Islam menyerukan adanya persamaan dan peluang yang sama dalam

belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar bagi semua orang, tanpa

adanya perbedaan antara si kaya, si miskin dan status sosial ekonomi, serta tidak

pula perbedaan jenis kelamin.5

Semua kewajiban, apakah berkaitan dengan politik, ekonomi atau sosial

umumnya adalah kewajiban-kewajiban agama, tidak ada bedanya dengan shalat

dan puasa. Laki-laki dan perempuan harus dipandang sama dalam bidang

pendidikan. Nabi bukan hanya bisa mengucapkan doktrin umum persamaan

Jender6 yang melibatkan kesempatan pendidikan perempuan ini, tetapi juga sudah

melaksanakannya.7 Muhammad SAW adalah pembela wanita dan pembebas

seluruh wanita serta seluruh umat tertindas.

Muhammad SAW tidak pernah membodohkan dan membungkam wanita

agar tetap patuh padanya. Bahkan kedudukannya saling melengkapi, ibarat pakaian

yang saling melindungi.8 Bila setiap muslim diseru untuk mengajar dan mendidik

hamba perempuannya dengan baik, maka mengajar dan mendidik anak perempuan

sendiri lebih utama dan lebih wajib. Sebaik-baiknya bekal yang diberikannya

adalah akhlak yang lurus dan ilmu yang bermanfaat, itu bermacam-macam dan

kadarnya pun beragam dari masa ke masa.

5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 336.

6 Jender dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, di

sosialisasikan, dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan

sebagainya. (Lihat Arimbi Heroepoetri, Percakapan Tentang Feminisme VS Neo Liberalisme (Jakarta:

debtWATCH dan Institut Perempuan, 2004), 7. 7 Mai Yamani, Feminisme dan Islam Perspektif Hukum dan Sastra, ter. Purwanto (Bandung:

Nuansa, 2000), 136-137. 8 Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), 49.

Ketika kita melihat kehidupan wanita di tanah air pada zaman dahulu,

dimana kultur dan budaya daerah masih memiliki pengaruh yang sangat

memprihatinkan. Hal tersebut merupakan dampak tidak langsung dari berbagai

budaya yang mengikat dan membatasi kehidupan seorang wanita, bahkan ketika itu

sangat sulit bagi seorang wanita untuk memperoleh pendidikan dan hak untuk

menentukan nasibnya sendiri.9 R.A. Kartini telah menjadi icon pembebasan

perempuan Indonesia. Pembebasan yang memungkinkan perempuan Indonesia

memperoleh pendidikan seperti laki-laki.10

Ada banyak sebab terjadinya diskriminasi terhadap perempuan, baik bersifat

teologis, filosofis, maupun kultural seperti masih kentalnya budaya patriarki.11

Budaya patriarki terjadi karena adanya dominasi sekelompok tertentu terhadap

kelompok yang lain. Kelompok pertama (laki-laki) tidak saja berkuasa secara fisik

terhadap kelompok kedua (perempuan), tetapi juga menentukan ideologi budaya

yang melanggengkan kekuasaannya.

Kondisi dominan budaya patriarki kiranya merupakan sebab utama terjadi

diskriminasi, baik di dalam sektor domestik maupun sosial-politik. Sekalipun

masih banyak juga kaum perempuan dengan sengaja merasa nyaman dengan

budaya patriarki. Seperti kegelisahan Kartini yang merupakan perempuan Jawa

yang senantiasa gelisah berada di dalam ‘kerangkeng’ budaya patriarki kaum

9 http: // dwinanto. blogsome. com/2008/04/15/p85/

10 http://kewanitaande.multiply.com/journal 11 Dominasi kekuasaan laki-laki dewasa (Patriach) (Lihat Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi

Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 10-11.

priyayi. Lewat surat-suratnya, Kartini mencoba mendiskusikan segenap gejolak

batin yang lahir dari denyut feminisme kepada sahabat-sahabatnya di luar negeri.12

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi

sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-

suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang

dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki

kebebasan menuntut ilmu dan belajar.13

Pada zaman dulu orang berpandangan untuk apa para perempuan sekolah?

Akhirnya perempuan menjadi ibu rumah tangga. Paling jauh hanyalah mengurusi

rumah tangga dan keluarga. Jadi hanya tiga perkara, yaitu urusan rumah tangga,

urusan dapur, dan urusan mendidik anak, tidak lebih.14

Semangat untuk menghembuskan angin emansipasi di kalangan perempuan

Jawa tak pernah pupus darinya. Melalui dunia pendidikan Kartini menaruh harapan

untuk kemajuan kaum perempuan. Untuk merombak kultur feodal-patriarkal yang

selama berabad-abad membelenggu kaum perempuan, dimana kaum hawa hanya

dibatasi pada sektor domestik, antara dapur, sumur dan kasur. Kartini berusaha

’menyuntik’nya dengan pendidikan, bahwa kaum perempuan berhak memperoleh

pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Kartini percaya bahwa dengan

pendidikan kaum perempuan bisa dengan cepat dapat tercerahkan dan jendela masa

depan yang lebih baik akan terbuka.

12 Imam Tholkhah, Membuka Jendela 144.

13 http: //id.wikipedia.org/wiki/Kartini

14 Umar Hasyim, RA.Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia (Solo: Tiga Serangkai,

1984), 17.

R.A. Kartini adalah perempuan kritis yang selalu ingin tahu tentang sesuatu,

dalam pencariannya yang panjang dan belum selesai ia ingin menjadi muslimah

sejati, ingin kembali kepada Islam dengan mempelajari ajaran Islam, tapi ia

bergelut dengan tradisi yang kolot sekaligus ia harus menghadapi serangan halus

dari temannya yang dari Barat itu.15 Kartini merupakan salah satu figur yang

mengambil peran aktif dalam perjuangan penuh pertentangan pemikiran dengan

budaya Jawa terhadap pendidikan perempuan. Pada waktu itu, masyarakat Jawa

pincang dalam memberikan pendidikan kepada perempuan yang sangat haus ilmu

pengetahuan. Pada saat itu mereka tidak meyakini esensi juang emansipasi, kaum

pria harus diistimewakan dan perempuan harus tinggal dalam pingitan sesudah

tamat Sekolah Dasar.16

Pengalaman R.A. Kartini menjadi penting untuk diperhatikan. Dia adalah

saksi munculnya sebuah kesadaran baru di kalangan perempuan Indonesia dan

masyarakat Indonesia secara umum. Kartini memilih pendidikan sebagai jalur yang

harus ditempuh perempuan untuk memperoleh pengakuan sejajar dengan kaum

laki-laki.17

Feminisme mulai banyak dibicarakan di kalangan akademisi Indonesia, baik

dalam tinjauan yang bersifat umum, terutama menyangkut hak-hak dan

pemberdayaan perempuan. Banyaknya pembicaraan tentang feminisme ini

didorong oleh keprihatinan terhadap realitas kecilnya peran perempuan dalam

15 Mansour Fakih, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah

Gusti, 2000), 259. 16 Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartini (Yogyakarta: NARASI, 2005), 29.

17 Jajat Burhanudin, Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2004), 4.

kehidupan sosial, ekonomi, dan pendidikan.18 Nilai feminisme yang diperjuangkan

oleh kaum hawa adalah memposisikan perempuan pada proporsinya. Hal ini

didasarkan pada ajaran Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia sebagai instruksi

teologis bagi pembebasan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan

penindasan, baik seksual, etnis maupun ikatan-ikatan primordial lainnya.19

Feminisme Kartini, yang dikemas dengan bungkus budaya Jawa, lebih

ditujukan untuk menuntut kemitraan antara perempuan dan laki-laki, bukan

persamaan dalam berperilaku, yang mengandalkan kekuatan fisik. Feminisme

Kartini dengan demikian adalah relasi sosial yang merdeka dan memerdekakan

perempuan, yang dalam kemerdekaan itu muncul kemitraan (konsep gender yang

saling melengkapi). Seperti yang tertulis dalam surat Kartini kepada Nyonya RM.

Abendanon pada tanggal 1 Agustus 1903 sebagai berikut:

Allah menciptakan perempuan untuk jadi teman laki-laki. Betul, tidak dapat

disangkal bahwa tujuan hidupnya adalah bersuami. Dengan senang hati kami

mengakui bahwa kebahagiaan perempuan yang paling utama, juga berabad-abad

kemudian dari sekarang adalah hidup selaras bersama laki-laki !

Dalam kaitannya dengan kehidupan manusia Allah sang pencipta manusia

telah menyampaikan di dalam firman Allah QS. AR-Rum:21 sebagai berikut:

ôÏΒ uρ ÿ ϵ ÏG≈ tƒ# u ÷β r& t, n=y{ / ä3s9 ô ÏiΒ öΝ ä3Å¡ à�Ρr& % [`≡uρø— r& (# þθ ãΖä3ó¡ tF Ïj9 $ yγ øŠs9 Î) Ÿ≅ yè y_ uρ Ν à6 uΖ÷� t/ Zο̈Š uθ̈Β ºπ yϑôm u‘ uρ 4 ¨β Î) ’Îû y7 Ï9≡sŒ ;M≈ tƒ Uψ 5Θöθ s) Ïj9 tβρã� ©3x� tGtƒ ∩⊄⊇∪

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan istri-istri dari

jenis kamu sendiri supaya kamu tenang kepadanya dan dijadikann-Nya di antaramu

mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir20

18 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an Studi Pemikiran Para Mufassir

(Yogyakarta: LABDA Press, 2006), 1. 19 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 143.

20 Al-Qur’an, 30:21.

Allah menghendaki penciptaan manusia dengan jenis laki-laki dan

perempuan adalah supaya keduanya cenderung dan saling menentramkan, sehingga

tercipta kelangsungan jenis manusia tersebut.

Pada era reformasi, kaum feminisme menemukakan momentumnya untuk

mengadakan perubahan di segala bidang, termasuk dalam bidang relasi jender.

Istilah ketimpangan jender sudah menjadi bahasa baku yang artinya pasti dikaitkan

dengan perempuan yang terpuruk, tertinggal, tersubordinasi, dan istilah lain yang

sejenis.

Ide-ide feminisme tampaknya cukup berpotensi menggugah semangat kaum

muslimah untuk berjuang, yakni mereka yang mempunyai semangat dan idealisme

yang tinggi untuk mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik. Realitas

masyarakat yang berbicara terkadang memang menampilkan sosok perempuan

yang memilukan terpuruk dibidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan,

kesejahteraan, politik, sosial dan lain-lain. Hasilnya, tidak diingkari gerakan-

gerakan perempuan itu berpotensi menarik simpati para muslimah.21

Berangkat dari latar belakang di atas, hal ini mendorong penulis melakukan

penelitian untuk mencari hubungan antara pemikiran Kartini tentang pendidikan

perempuan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam, untuk mengetahui

kesamaan ide keduanya, sehingga menjadi jelas adanya dukungan/ saling

melengkapi. Ini menjadi penting untuk diteliti dan dikembangkan sehingga

menghasilkan pembahasan yang benar.

21 Siti Muslihati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan Dalam Timbangan Islam (Jakarta:

Gema Insani, 2004), 10-14.

Maka penelitian ini diberi judul “RELEVANSI PEMIKIRAN

PENDIDIKAN R.A. KARTINI DENGAN KONSEP FEMINISME DALAM

PENDIDIKAN ISLAM”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep feminisme dan pendidikan Islam ?

2. Bagaimana pemikiran R.A. Kartini mengenai pendidikan perempuan ?

3. Bagaimana relevansi pemikiran pendidikan perempuan R. A. Kartini dengan

konsep feminisme dalam pendidikan Islam ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep feminisme dalam pendidikan Islam.

2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran R.A. Kartini mengenai pendidikan

perempuan.

3. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pemikiran pendidikan perempuan

R.A. Kartini dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Ikut memberikan kontribusi dalam mengurai benang kusut dalam

permasalahan pendidikan selama ini, memperkaya khasanah pendidikan serta

dijadikan usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki pendidikan di

Indonesia agar lebih relevan dengan tuntutan perkembangan zaman yang tidak

lagi mendeskriditkan kebutuhan perempuan akan pendidikan yang setara.

2. Secara Praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi para pendidik, perencana, dan praktisi

pendidikan bagi terciptanya fungsi dan peran setiap usaha pendidikan dalam

menumbuh kembangkan potensi tanpa harus melihat perbedaan jenis kelamin

serta untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kajian kepustakaan (library research), yakni

proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari

pustaka, baik sumber primer maupun sekunder, sehingga dapat mudah

dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis

data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam

unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang

penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat

diceritakan kepada orang lain.22

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang terdiri dari

buku-buku, majalah, artikel, catatan dan sebagainya yang ada kaitannya

dengan pemikiran pendidikan RA. Kartini, Feminisme dan Pendidikan

Islam.

b. Sumber Data Sekunder

22 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo (Ponorogo: STAIN Ponorogo

Press, 2008), 67-68.

Penelitian ini juga menggunakan sumber data sekunder meliputi

buku-buku, majalah, artikel, catatan dan sebagainya yang bisa

membantu memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,

penulis menggunakan tehnik membaca yaitu mengumpulkan data dengan cara

membaca literatur (buku-buku) dan dari artikel yang ada relevansinya dengan

permasalahan yang ditetapkan, kemudian data tersebut dicatat untuk

mempermudah analisisnya.

Maka dalam skripsi ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

dokumentasi kepustakaan yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, legger, agenda, dan sebagainya.23 Untuk melengkapi data yang

dibutuhkan, peeliti juga mengambil dari browsing internet.

4. Analisa Data

Dari data yang telah terkumpul, maka selanjutnya data tersebut

dianalisis dengan menggunakan metode content analysis yaitu menganalisa

data-data kepustakaan yang bersifat deskriptif atau analisis ilmiah tentang

pesan suatu komunikasi.24

Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan tentang

masalah yang dibahas dengan menggunakan proses berfikir induktif dan

23 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Yogyakarta: Rinneka Cipta, 1992), 200.

24 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafia, 1998, 49.

menarik kesimpulan.25 Berfikir induktif adalah pendekatan yang berangkat

dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang khusus, konkrit,

kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus, konkret itu

ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat-sifat umum.

F. Sistematika Pembahasan

Bab satu, berisi pendahuluan untuk memberikan gambaran secara umum

dan komprehensif tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tulisan ini. Dari

sini pembaca dapat memahami latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

kajian, manfaat kajian, landasan teori, metode kajian dan sistematika pembahasan.

Bab dua, membahas mengenai Pendidikan Islam dan feminisme meliputi

konsep pendidikan perempuan dalam Islam serta Konsep Feminisme dalam Islam.

Bab tiga, memaparkan tentang pemikiran pendidikan R.A. Kartini meliputi

riwayat hidup dan pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan perempuan.

Pada Bab empat, memberikan analisa tentang Relevansi Pemikiran

pendidikan R. A. Kartini dengan Konsep Feminisme Dalam Pendidikan Islam

Akhirnya, dalam Bab lima ditutup dengan kesimpulan dari analisis tentang

relevansi pemikiran pendidikan RA. Kartini dengan konsep Feminisme dalam

pendidikan Islam dan saran.

25 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabert, 2005), 91.

BAB II

FEMINISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Perempuan dalam Pendidikan Islam

1. Konsep Pendidikan Perempuan dalam Islam

Pengetahuan dan pendidikan merupakan dua hal yang sangat ditekankan

dalam Islam. Keduanya adalah bagian integral dari agama ini. Islam

mendorong para pengikutnya untuk menerangi dirinya dengan pengetahuan

agama, juga cabang-cabang pengetahuan yang lain. Islam memberikan

penghargaan yang tinggi kepada orang yang mencari ilmu pengetahuan dan

memuliakan posisinya.

Dalam kenyataan, seluruh tujuan wahyu Allah dan diutusnya para nabi

kepada umat manusia telah ditekankan di dalam al-Qur’an sebagai bentuk

komunikasi pengetahuan. Allah SWT menghendaki agar setiap orang mukmin

memiliki pengetahuan dalam hal agama, serta memiliki kebijaksanaan dan

pengetahuan intelektual yang luas. Karena itu, tujuan mengangkat seorang

Nabi pada sebuah bangsa adalah untuk mengajar dan menanamkan

pengetahuan.

Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan perintah kenabian, seorang

muslim diwajibkan memulai aktifitas mencari ilmu sejak awal usia.

Pendidikan dianggap sebagai persoalan kewajiban agama, sebuah manifestasi

kepatuhan seorang muslim terhadap kehendak Allah dan suatu perbuatan yang

mengarah kepada pengetahuan yang lebih mendalam mengenai Sang Pencipta

Yang Maha Esa. Karena itu, kita melihat bahwa semua anggota masyarakat

berpartisipasi dalam proses tersebut.26

Di dalam Islam, pendidikan adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim

laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan secara umum

sangat dijunjung tinggi dan dihormati dalam Islam. Penghormatan yang tinggi

terhadap ilmu pengetahuan dan mereka yang memilikinya tampak jelas dalam

al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11, sebagai berikut:

26 Haifaa Jawad, Perlawanan Wanita: Sebuah Pendekatan Otentik Religius, terj. Moh.Sidik

(Malang: Cendekia Paramulya, 2002), 47.

Æìsùö� tƒ ª!$# tÏ% ©!$# (#θ ãΖtΒ# u öΝ ä3ΖÏΒ tÏ% ©!$# uρ (#θ è?ρé& zΟ ù=Ïè ø9 $# ;M≈y_ u‘ yŠ 4 ª

"......Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat".27

Ayat-ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw juga

menekankan pentingnya ilmu pengetahuan seperti yang tertuang dalam al-

Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5:

ù& t�ø%$# ÉΟ ó™$$Î/ y7 În/ u‘ “Ï% ©!$# t, n=y{ ∩⊇∪ t, n=y{ z≈|¡Σ M}$# ôÏΒ @, n=tã ∩⊄∪ ù& t�ø%$# y7 š/ u‘ uρ ãΠ t� ø. F{$# ∩⊂∪ “Ï%©!$# zΟ‾=tæ ÉΟ n=s) ø9 $$ Î/ ∩⊆∪ zΟ ‾=tæ z≈ |¡ΣM}$# $ tΒ óΟ s9 ÷Λs>÷è tƒ

∩∈∪

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah

menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang

Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia

mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.28

Ayat-ayat ini diwahyukan untuk menetapkan pokok-pokok agama

berdasarkan ilmu pengetahuan, dan juga menegaskan pentingnya pengetahuan

agama. Karena itu, kata pertama yang diwahyukan dan diucapkan oleh

Malaikat Jibril adalah “Bacalah!”, sedangkan membaca adalah kunci menuju

ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam mempunyai nilai

kemanusiaan yang universal, dan menjadi tolok ukur keutamaan di antara

manusia. Atas dasar gambaran inilah, al-Qur’an mengemukakannya dalam

surat az-Zumar ayat 9:

27 Al-Qur’an, 58:11.

28 Al-Qur’an, :1-5.

ô̈Β r& uθ èδ ìM ÏΖ≈ s% u !$ tΡ# u È≅ ø‹ ©9 $# # Y‰É`$ y™ $ VϑÍ←!$ s%uρ â‘ x‹ øts† nοt� Åz Fψ$# (#θ ã_ ö� tƒ uρ sπ uΗ÷qu‘ ϵÎn/ u‘ 3 ö≅ è% ö≅ yδ “Èθ tGó¡ o„ tÏ%©!$# tβθ çΗs>ôè tƒ tÏ% ©!$# uρ Ÿω tβθ ßϑn=ôè tƒ 3 $yϑ‾ΡÎ)

ã� ©. x‹tGtƒ (#θ ä9 'ρé& É=≈t7ø9 F{ $# ∩∪

"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak

mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima

pelajaran.29

Dalam bidang pendidikan, Islam juga memberikan perhatian dan

harapan yang besar kepada kaum perempuan, karena mereka adalah bagian

tak terpisahkan dari masyarakat. Bahkan lebih dari itu, perempuan adalah

pembentuk masyarakat. Oleh karenanya, kaum perempuan selayaknya

mendapatkan perhatian agar dapat menjalankan perannya mencetak putra-

putra bangsa dengan sempurna. Islam menganjurkan untuk memberikan

perhatian terhadap pendidikan perempuan serta mencurahkan segala tenaga

dan harta untuk memenuhinya, agar tertanam pada jiwa-jiwa kaum perempuan

sikap kelembutan, murah hati, dan belas kasih.30

Ilmu pengetahuan merupakan parameter nilai yang sama bagi laki-laki

dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan tentang pentingnya pencapaian

ilmu antara laki-laki dan perempuan. Allah Swt menyeru keduanya untuk

menambah ilmu, sebagaimana pesan surat Thaha ayat 114:

n?≈ yètGsù ª! $# à7 Î=yϑø9 $# ‘, ys ø9 $# 3 Ÿω uρ ö≅ yf ÷ès? Èβ#u ö�à)ø9 $$ Î/ ÏΒ È≅ ö6s% βr&

#|Ó ø)ムš� ø‹s9 Î) …çµã‹ôm uρ ( ≅ è%uρ Éb> §‘ ’ ÎΤ÷Š Η $Vϑù=Ïã ∩⊇⊇⊆∪

29 Al-Qur’an, 59:9.

30 Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan Mewujudkan Idealisme Gender Sesuai

Tuntunan Islam, terj.Burhan Wirasubrata (Jakarta: CV. Cenderkia Sentra Muslim, 1999).

Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-

gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan

Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."31

Islam memandang setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan

bertanggung jawab terhadap nilai keimanannya kepada Allah SWT dan hari

kemudian, secara independen dan tidak bergantung kepada orang lain. Karena

pencapaian nilai keimanan membutuhkan proses pemikiran dan perolehan

ilmu untuk memperluas cakrawala pemikiran dan pengetahuan, maka baik

laki-laki dan perempuan memerlukan pengembangan potensi rasionalitasnya

dengan ilmu.

Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan melakukan peranan

kemanusiaan dalam kehidupan, dan massing-masing dari mereka bertanggung

jawab dalam hal ini. Maka, tidak dibenarkan adanya usaha membandingkan

ilmu antar keduanya, baik dari segi ilmiah yang mereka berdua dapat raih,

atau dari sisi proses pencapaian ilmu yang mereka lalui.

Pernyataan bahwa wanita bertanggung jawab di hadapan Allah

sebagaimana laki-laki bertanggung jawab di hadapan-Nya merupakan

pengakuan akan independensinya dan kebebasannya dalam berpikir dan

berkemauan, dan kebutuhannya kepada pengembangan unsur-unsur kekuatan

di dalamnya, dan kemenangan atas titik-titik kelemahannya, serta

perlindungannya dirinya dari penyimpangan dan ancaman-ancaman dunia

luar. Ini merupakan hal-hal yang memberikan sumbangan kepada ilmu sampai

pada batas maksimal dalam perwujudannya kepada manusia, baik pria

maupun wanita.

31 Al-Qur’an, 20:114.

Sesungguhnya, penegasan tentang peranan perempuan sebagai ibu tidak

berarti membatasi kehidupannya dan ilmunya dalam peranan ini, sehingga ia

tidak dapat belajar hal-hal yang tidak masuk dalam ruang lingkupnya,

sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Perempuan adalah manusia yang

membutuhkan seluruh sumbangan ilmu. Pernyataan yang menyatakan bahwa

potensi perempuan terbatas, baik dalam fisik maupun rasio, adalah pernyataan

yang tidak adil dan tidak manusiawi.

Sesungguhnya Allah SWT menciptakan laki- laki dan perempuan agar

keduanya menjadi sempurna pada level karakter-karakter keduanya dalam

kehidupan secara bersama, tetapi Dia menjadikan masing-masing dari mereka

bertanggung jawab di hadapan-Nya dengan bebas dari campur tangan yang

lain. Tanggung jawab ini menuntut laki- laki dan perempuan untuk memiliki

kekuatan dan kebebasan berkehendak, berpikir, serta bergerak.32

Banyak ayat al-Qur’an dan hadith Nabi Saw yang berbicara tentang

kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada laki-laki maupun

perempuan. Keduanya diperintah untuk menimba ilmu sebanyak mungkin dan

dituntut untuk belajar, karena “menuntut ilmu adalah kewajiban setiap

muslim”. Para perempuan di zaman Nabi Muhammad SAW menyadari benar

kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi SAW agar beliau

bersedia menyisihkan waktu khusus untuk mereka dalam rangka menuntut

ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh beliau SAW. 33

32 Sayyid Muhammad Husain Fadlullah, Dunia Wanita dalam Islam, terj. Muhammad Abdul

Qadir Alkaf (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), 47-48. 33 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996) 277.

Al-Qur’an juga memberi pujian kepada kaum cendekia dengan sebutan

Ulul Albab, yang berdzikir dan memikirkan kejadian langit dan bumi, seperti

tersurat dalam surat Ali Imran ayat 190-191:

āχÎ) ’ Îû È, ù=yz ÏN≡ uθ≈yϑ¡¡9 $# ÇÚö‘ F{$# uρ É#≈ n=ÏF ÷z $# uρ È≅øŠ©9 $# Í‘$pκ̈]9 $# uρ ;M≈ tƒ Uψ

’Í<'ρT[{ É=≈t6 ø9 F{ $# ∩⊇⊃∪ tÏ% ©!$# tβρã�ä. õ‹ tƒ ©! $# $Vϑ≈ uŠÏ% # YŠθãè è%uρ 4’n? tãuρ öΝ Îγ Î/θ ãΖã_

tβρã� ¤6x� tGtƒ uρ ’ Îû È, ù=yz ÏN≡ uθ≈ uΚ¡¡9 $# ÇÚö‘ F{ $# uρ $ uΖ−/ u‘ $ tΒ |Mø) n=yz # x‹≈ yδ

Wξ ÏÜ≈t/ y7 oΨ≈ ysö6 ß™ $ oΨ É) sù z>#x‹tã Í‘$ ¨Ζ9 $# ∩⊇⊇∪ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam

dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-

orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan

berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya

berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,

Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.34

Kecerdasan intelektual seorang perempuan tidaklah lebih rendah

daripada kaum laki-laki..Kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari, dan

kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati setelah berdzikir kepada

Allah SWT serta apa yang mereka ketahui tentang alam raya ini. 35

Kaum perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan

keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing. Rasulullah SAW tidak

membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-

perempuan merdeka (yang memiliki status sosial lebih tinggi), tetapi juga para

budak perempuan dan mereka yang berstatus sosial lebih rendah. Karena itu,

34 Al-Qur’an, 3:190-191.

35 Ali Munhanif, et.al., Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta:PT

Gramedia Pustaka Utama, 2002), 34-35.

sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang berstatus budak belian tetapi

memiliki tingkat pendidikan yang sangat tinggi.36

2. Pendidikan Tanpa Diskriminasi dalam Pendidikan Islam

Secara sederhana, pendidikan memberikan arti sebagai suatu proses

perubahan perilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu. Proses ini dapat

ditempuh melalui pendidikan. Secara umum, pendidikan tidak mengenal

diskriminasi. Sehingga dalam hal ini, pendidikan merupakan langkah yang

strategis untuk untuk memberdayakan kaum perempuan.37

Islam mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak

belajar. Masing-masing memiliki hak untuk memperoleh apa saja yang

mereka inginkan berupa berbagai jenis pengetahuan. Al-Qur’an pun

mendorong seluruh manusia untuk mencari ilmu tanpa membedakan antara

laki-laki dan perempuan.

Prinsip pengajaran perempuan telah diterapkan pada zaman Rasulullah

SAW dan dilanjutkan pada masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin.38 Ajaran

Islam menempatkan perempuan dalam derajat yang sama dengan kaum laki-

laki, baik dalam ibadah maupun hak memperoleh pendidikan.39

Perempuan diijinkan memperoleh pendidikan dalam cabang-cabang

ilmu keagamaan dan pengetahuan keduniaan. Pendidikan mereka dianggap

sama pentingnya dengan pendidikan bagi kaum laki-laki. Menurut Islam,

36 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 278.

37 Tapi Omas Ihromi, Penghapusan Diskriminasi, 143.

38 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan

Persoalan Gender dalam Islam, terj. Ikhwan Fauzi (tt: Amzah, 2002), 17-18. 39 Departemen Penerangan RI, Pejuang Wanita Indonesia:10 Windu Setelah Kartini 1904-1984

(Jakarta: PT Gita Karya, 1984), 73.

untuk tujuan pendidikan tidak ada diskriminasi antara laki-laki dan

perempuan.

Menurut Islam, jenis pendidikan yang benar bagi perempuan ialah yang

mempersiapkannya untuk menjadi istri yang baik, ibu yang baik, serta warga

masyarakat yang lebih berguna bagi lingkungannya. Oleh karena itu, kaum

perempuan perlu dididik dalam ilmu-ilmu yang membantunya menjalani

peran-peran tersebut. Dengan demikian, diwajibkan bagi setiap muslimah

untuk memperoleh pengetahuan dan memperluas wawasannya, secara moral

maupun kultural. Namun, jika seorang perempuan memiliki kemampuan

intelektual dan menginginkan pendidikan yang lebih tinggi, juga dalam

cabang-cabang ilmu yang lain, Islam tidak pernah menghalanginya.40

Bagi perempuan, meraih dan menyebarkan ilmu pengetahuan

bermanfaat bagi diri sendiri, sebagai pelindung dari penindasan dan

eksploitasi serta sebagai bangunan dasar bagi kehidupannya di masa datang.

Ini bermanfaat bagi masyarakat dan generasi masa depannya. Mereka,

siapapun yang belum memanfaatkan ide-ide ini karena alasan-alasan

tradisional, pada akhirnya akan menyadari bahwa anak-anak mereka sendiri

akan merugi apabila ibu-ibu mereka tidak terdidik dan gagap menghadapi

dunia yang terus berubah.41

Laki-laki dan perempuan berfungsi saling melengkapi satu sama lain.

Seorang perempuan tidak akan lengkap tanpa seorang laki-laki. Begitu pula

40 Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, terj. Adang Affandi (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2005), 444. 41 Ali Husein Hakeem, Membela Perempuan: Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, terj.

Jemala Gembala (Jakarta: Al-Huda, 2005), 104.

sebaliknya, seorang laki-laki tidak akan lengkap tanpa seorang perempuan.

Sebagai pendidik keluarga, kaum perempuan memiliki tanggung jawab

mendidik anak-anaknya. Jika kurang mendapatkan pendidikan yang benar,

seorang perempuan akan menghasilkan anak-anak yang tidak berkualitas.

Karena itu, perempuan mempunyai peran penting dalam mengembangkan

umat dan memegang kunci peradaban.

Dalam hal ini, Islam telah menyumbangkan jasa yang besar, yang tak

pernah ada presedennya dalam sejarah. Islam menyelamatkan perempuan dari

penindasan dan mengangkat mereka kepada kedudukan yang khusus. Islam

tak pernah berupaya menurunkan derajat perempuan, melainkan malah

mendukungnya untuk maju dan berupaya menjaga kehormatan dan kemuliaan

gendernya.42

Peluang untuk meraih pendidikan, tak ada pembedaan antara laki-laki

dan perempuan, yang telah ditegaskan seacra khusus dalam surat an-Nahl ayat

97:

ô tΒ Ÿ≅ Ïϑtã $ [sÎ=≈ |¹ ÏiΒ @� Ÿ2sŒ ÷ρr& 4 s\Ρé& uθ èδ uρ ÖÏΒ ÷σ ãΒ …çµ ¨Ζt� Í‹ós ãΖn=sù Zο4θ u‹ ym Zπ t6ÍhŠsÛ ( óΟ ßγ ¨Ψ tƒ Ì“ ôf uΖs9 uρ Ν èδ t� ô_ r& Ç |¡ ôm r'Î/ $ tΒ (#θ çΡ$ Ÿ2 tβθ è=yϑ÷è tƒ ∩∠∪

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan

dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya

kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada

mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.43

Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan antara laki-laki

dan perempuan serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik

42 Ibid., 141.

43 Al-Qur’an, 16:97.

dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional, tidak mesti

dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan

memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal.

Salah satu obsesi al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam

masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat

manusia, baik dalam bidang pendidikan maupun sosial. Karena itu, al-Qur’an

tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis,

warna kulit, suku bangsa, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.44

3. Persamaan dan Kebebasan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Prinsip persamaan berarti bahwa setiap individu mempunyai hak yang

sama, karena manusia dilahirkan. Sama dalam pengertian hak dan kewajiban.

Ajaran Islam telah menetapkan prinsip yang tidak membedakan siapapun

dalam memperoleh pendidikan.

Ajaran Islam menunjukkan bahwa seluruh umat manusia yang terdiri

atas berbagai suku bangsa, ras, dan warna kulit adalah sama, tidak ada beda

dari segi kemanusiaan. Semua manusia diciptakan dari asal kejadian yang

sama, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak terdapat perbedaan

jenis kelamin, ras, dan kedudukan sosial. Islam mengajarkan agar setiap

manusia berlomba-lomba untuk meraih dan mencapai ketakwaan serta

membuktikan kualitas moralnya. Begitu juga dengan pendidikan, terbuka

secara transparan bagi setiap individu. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan

sama, kehidupan mereka ditentukan oleh persamaan dan keadilan, bukan oleh

44 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina,

1999), 265.

otoritas yang sewenang-wenang. Persamaan dalam pendidikan Islam adalah

keadilan Islam yang mempunyai satu-satunya ukuran yang dapat diikuti oleh

setiap manusia dalam segala aspek kehidupan, hak pendidikan, hak antara

laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

Prinsip persamaan dalam Islam pada dasarnya bertujuan agar setiap

orang atau sekelompok orang menemukan harkat dan martabat

kemanusiaannya dan dapat mengembangkan prestasinya. Untuk itu, Islam

memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik untuk

mendapatkan pendidikan. Dalam pendidikan Islam tidak dikenal diskriminasi

terhadap peserta didik. Setiap peserta didik dibimbing mengembangkan

potensinya secara maksimal. Maka seorang pendidik harus mampu

memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik untuk

mendapatkan pendidikan.45

Kebebasan yang diberikan kepada manusia dapat menyelamatkan diri

dari segala macam bentuk tekanan, paksaan, dan segala macamnya. Selain itu,

kebebasan yang bertanggung jawab akan mampu menjadikan manusia sebagai

pemimpin dalam kehidupan, dan di saat yang sama sebagai hamba yang

tunduk kepada Allah SWT.

Dasar kebebasan dalam Islam adalah keimanan, dalam arti keimanan

merupakan nilai dan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada setiap

manusia. Ketika Allah menciptakan manusia, manusia diikat dengan janji

bahwa Allah Swt adalah satu-satunya dzat yang patut disembah, tidak ada

45 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006),

sekutu bagi-Nya. Konsekuensinya, manusia tidak boleh tunduk selain kepada-

Nya, juga dilarang menyalahi aturan-Nya dan kaidah yang diatur-Nya.46

Menurut Al-Abrasyi, mendidik berarti harus membiasakan peserta didik

untuk berpegang teguh kepada kemampuan dirinya sendiri dan diberi

kebebasan dalam berpikir, sehingga peserta didik bisa menentukan secara

bebas masa depannya sendiri berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya.

Kebebasan seperti ini dapat membiasakan peserta didik menjadi manusia yang

berani mengemukakan pendapat dengan penuh tanggung jawab.47

Pengembangan potensi peserta didik dapat dilakukan melalui proses

pendidikan yang mampu mengantar peserta didik menjadi hamba Allah dan

khalifah Allah di muka bumi denagn tetap berpegang teguh pada nilai-nilai

Ilahiyah. Pendidikan Islam memberikan kebebasan kepada siapapun (baik

laki-laki maupun perempuan) untuk memperoleh pendidikan.

Ajaran Islam memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk

mengembangkan nilai fitrah yang ada pada dirinya. Dalam proses belajar,

peserta didik harus diposisikan sebagai subyek, sehingga mereka bisa

mengembangkan potensi yang dimiliki. Kepada para pendidik, Islam

menganjurkan agar tidak mengekang kebebasan individu untuk memperoleh

pendidikan. Pendidikan Islam telah menempatkan posisi manusia secara

proporsional, sebab Islam sendiri menyerukan adanya prinsip persamaan dan

kebebasan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk

46 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj. Syamsudin

Ashrofi, dkk. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 21. 47 Ibid.,57.

belajar bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan antara si kaya dan si

miskin, serta tidak pula gender.48

B. Konsep Feminisme

1. Gender dan Feminisme

Konsep mendasar yang ditawarkan oleh feminisme untuk menganalisis

masyarakat adalah jender. Jender dipahami sebagai karakteristik yang melekat

pada laki-laki dan perempuan, dibuat, disosialisasikan, dan dikonstruksikan

oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan

sebagainya. Konsep jender memungkinkan kita melihat bahwa perbedaan

jender tidak sama dengan perbedaan jenis kelamin atau kodrat, di mana jenis

kelamin atau kodrat adalah karakteristik biologis yang melekat pada

perempuan dan laki-laki, yang dating sebagai pemberian Tuhan, tidak dapat

dipertukarkan, dan berlaku sama sepanjang masa.

Dalam perkembangannya, jender digunakan sebagai pisau analisis untuk

memahami realitas social berkaitan dengan perempuan dan laki-laki.

Misalnya, untuk menganalisis bahwa pemahaman yang keliru mengenai

jender sebagai kodrat akan merugikan dan menderitakan perempuan,

anggapan atau pembebanan perempuan sebagai pihak yang kodratnya

dunianya sebatas “sumur, dapur, dan kasur” telah mengakibatkan jutaan

perempuan tidak mempunyai pilihan lain selain tidak mengenyam pendidikan,

mengurus anak, merapikan rumah, dan memasak.49

48 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 336.

49 Arimibi Heroepoetri, Percakapan tentang Feminisme, 3-5.

Pembicaraan mengenai masalah jender biasanya diawali dengan

perbedaan secara ketat antara dua istilah ini, yaitu jender dan seks (jenis

kelamin). Kedua istilah ini memiliki makna yang sama, yaitu jenis kelamin.

Namun keduanya berbeda dalam konotasinya. Seks berkonotasi

natural/alamiah, karena ciri-ciri yang dikandungnya merupakan ciri-ciri

biologis dengan segala sifat dan watak yang mengikuti ciri biologis itu,

sedangkan jender berkonotasi kebiasaan. Jika yang bertama berarti segala sifat

dan cirinya tidak bisa dipertukarkan, sedangkan pada yang kedua dapat

dipertukarkan.

Hampir segala argumen dalam kajian jender berawal dari suatu asumsi

bahwa perbedaan jender, bahkan ketidaksetaraan jender antara laki-laki dan

perempuan, terjadi melalui proses sejarah yang panjang dan dibentuk,

disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksikan secara sosial dan kultural,

termasuk melalui tradisi keagamaan. Sebagaimana sifat tradisi dan kebiasaan

lainnya, proses panjang pembentukan jender pada umumnya juga sebagai

proses yang tidak disadari, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya

natural, kodrati, dan ketentuan Tuhan.50

50 Muhammad Muslih, Bangunan Wacana Gender (Ponorogo: CIOS, 2007), 2-3.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan skema 1.1 berikut ini:51

Istilah jender harus dibedakan dengan istilah jenis kelamiun (seks).

Pentingnya pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan jender adalah

dalam rangka melakukan analisis untuk memahami persoalan ketidakadilan

sosial, khususnya yang menimpa perempuan.

Secara bahasa, kata jender berasal dari bahasa Inggris, gender, yang

berarti jenis kelamin. Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat

51 Mufidah, Paradigma Gender (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), 7.

Seks (jenis Kelamin

Biologis

Pemberian Tuhan

Tidak Dapat Diubah

Peran Seks

Laki-laki Perempuan

Produksi

Reproduksi:

Haid, Hamil,

melahirkan,

menyusui, dan

sebagainya

Jender

Kultural

Diajarkan Melalui Sosialisasi

Dapat Diubah

Peran Jender

Memasak,

Merawat anak , mendidik

Anak, bekerja di luar rumah,

menjadi tenaga professional,

dan sebagainya

pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional

antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat.52

Pengertian lain tentang jender sebagaimana dirumuskan oleh Mansour

Fakih53, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun

perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Sifat jender yang

melekat pada perempuan, misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut,

cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap lebih kuat,

rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat tersebut merupakan sifat yang

dapat dipertukarkan antara kaum laki-laki dan perempuan.

Sedangkan pengertian jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian

dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis

kelamin tertentu. Misalnya bahwa laki-laki mempunyai penis, sperma, dan

jakun. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, dan alat menyusui.

Alat-alat tersebut secara biologis yang bersifat permanen dan tidak

dipertukarkan, dan itu semua merupakan pemberian Tuhan yang kemudian

disebut sebagai kodrat.

Perempuan dan laki-laki dipandang sebagai kelompok sosial, bukan

dipandang sebagai pribadi manusia. Relasi timpang di antara mereka tetap

dilestarikan. Kedudukan perempuan masih tetap subordinat. Usaha-usaha

untuk menciptakan kesetaraan perempuan dan laki-laki belum mampu

membebaskan perempuan dan laki-laki. Maka tidak mengherankan apabila

52 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender (Purwokerto: PSG, 2006), 16.

53 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),

7-8.

masih terjadi berbagai ketidakadilan jender, diskriminasi terhadap perempuan,

dan yang paling memprihatinkan, kekerasan terhadap perempuan.54

Atas asumsi ini, wacana jender kemudian terlibat dalam dua agenda

sekaligus. Pertama, melakukan penelusuran tiada henti terhadap pembentukan

tradisi yang disebutkan sebagai patriarkal. Upaya ini dalam rangka

menyadarkan bahwa perbedaan dan ketidaksetaraan jender itu benar-benar

bersifat sosial dan kultural. Kedua, melakukan perubahan. Awalnya persepsi,

lalu pola pikir, dan akhirnya perubahan tradisi dan budaya yang berkeadilan

jender.55

Agenda kedua ini, aplikasinya bisa sekadar latihan-latihan keterampilan,

upaya pemberdayaan, sampai lahirnya gerakan-gerakan keperempuanan

(feminisme). Jender dalam pengertiannya sebagai gerakan keperempuanan

(feminisme) melakukan kegiatan-kegiatan yang umumnya mengambil salah

satu atau beberapa dari bidang berikut ini: penelitian, penyuluhan, gerakan

untuk kesehatan reproduksi, advokasi atas kekerasan terhadap perempuan,

pelatihan-pelatihan peningkatan pendidikan perempuan, dan lain-lain.56

Problematika jender atau lebih lazim dikenal dengan gerakan feminisme,

sebenarnya merupakan upaya untuk mengangkat posisi perempuan dan

menutupi seminimal mungkin kesenjangan antara laki-laki dan perempuan,

54 Nunuk Prasetyo Murniati, Gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Yogyakarta:

Kanisius, 1998), 34. 55 Sasaran utama pada proses ini adalah untuk membangkitkan rasa emosi kaum perempuan agar

bangkit untuk mengubah keadaannya, karena banyak juga di antara perempuan yang tidak sadar bahwa

mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem patriarkhi. Lihat Ratna Megawangi, “Perkembangan

Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang”, dalam Mansour Fakih, Membincang Feminisme, 225. 56 Muhammad Muslih, Bangunan Wacana, 5-6.

baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, maupun dalam bidang

pendidikan.57

Dalam sejarah feminisme, tidaklah mudah untuk melihat kapan tepatnya

gerakan ini dimulai. Namun setidaknya, bahwa feminisme dimulai sejak

perempuan mulai secara sadar mengorganisasikan diri mereka dalam skala

yang cukup untuk memperbaiki kondisi ketertindasan mereka.

Pada abad ke-17, istilah feminisme mulai digunakan, maknanya

dipahami dalam konteks waktu itu, berakar pada analisis politik tahun 1970-

an. Feminisme atau bahasa Inggris-nya feminism, berasal dari bahasa Latin,

femina=woman, secara harfiah artinya “having the qualities of females”.

Istilah ini awalnya digunakan merujuk pada teori tentang persamaan seksual

dan gerakan hak-hak asasi perempuan.

Dalam menghadapi tuduhan bahwa feminisme berasal dari Barat, dan

oleh karenanya asing bagi para perempuan di dunia Timur, para feminis

meyakini bahwa feminisme hadir bersamaan dengan kesadaran yang dimiliki

perempuan dalam lingkup personal maupun publik, di mana mereka

menyadari ketidakadilan yang dialami dan mengambil langkah untuk

mengubahnya. Feminisme di Asia, misalnya, muncul pada abad ke-19 dalam

konteks kesadaran tentang hak-hak demokrasi serta ketidakadilan yang

menimpa perempuan. Kesadaran ini muncul selama perjuangan melawan

kekuasaan asing.

Meskipun setidaknya telah disepakati bahwa feminisme sebagai istilah

untuk pertama kali digunakan pada abad ke-17 di Inggris, feminisme

57 Imam Tolkhah, Membuka Jendela, 155.

menangkap bahwa dalam dunia saat ini, penindasan, hegemoni, dominasi,

semuanya menimpa pihak yang dilemahkan, dalam hal ini perempuan. Kaum

feminis meyakini bahwa perempuan memiliki kemerdekaan atas tubuh, diri,

dan hidupnya; bahwa perempuan adalah subjek utuh yang memiliki daya dan

kedaulatan, sama dengan laki-laki; bahwa tujuan akhir feminisme bukanlah

kemenangan suatu kelompok atas kelompok lainnya (dalam hal ini perempuan

atas laki-laki), atau pemusatan kekuasaan di satu pihak, melainkan penataan

kembali segenap segi masyarakat tanpa penindasan. Ini tentu bukanlah sebuah

babak peperangan melawan laki-laki, melainkan melawan sistem yang

menindas, utamanya menindas perempuan.58

2. Ragam Gerakan Feminisme

Gerakan feminisme dikontekstualkan dengan kepentingan sejarah dan

tempatnya, maka muncul gerakan-gerakan feminisme kontemporer, seperti

feminisme liberal, gerakan feminisme radikal, dan gerakan feminisme sosialis.

a. Gerakan Feminisme Liberal

Gerakan ini mulai berkembang pada abad ke-18, didasari pada

prinsip-prinsip liberalisme, yaitu bahwa semua orang (perempuan dan

laki-laki) dengan kemampuan rasionalitasnya, diciptakan dengan hak-

hak yang sama, dan setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama

untuk memajukan dirinya.

Perempuan didiskriminasikan hak, kesempatan, dan kebebasannya

karena ia perempuan. Oleh karena itu untuk menghapuskan diskriminasi

58 Arimbi Heroepoetri, Percakapan tentang Feminisme, 12.

tersebut, perlu diperjuangkan perubahan hukum dan reformasi sosial

yang membuka kesempatan yang sebesar-besarnya bagi pendidikan

untuk perempuan.59

Gerakan feminisme liberal mendasarkan pahamnya pada prinsip-

prinsip liberalisme yang percaya bahwa tujuan utama dari kehidupan

bermasyarakat adalah kebebasan individu, kebebasan individu

dipandang sebagai kondisi yang paling ideal, karena dalam kebebasan,

seorang individu dapat memilih untuk memuaskan ekspresinya terhadap

hal-hal yang diinginkannya.60

b. Gerakan Feminisme Radikal

Gerakan ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada tahun

1960-an.61 Gerakan ini mendasarkan pahamnya pada strukturalisme

politik, yang memandang bahwa hubungan antar kelompok manusia

pada dasarnya merupakan hubungan saling menguasai dan

mengendalikan. Paham ini percaya bahwa kekuasaanlah satu-satunya

penentu dari mampu tidaknya seseorang mendapatkan segala yang

diharapkannya. Kekuasanlah yang menirukan kebahagian seseorang.62

c. Gerakan Feminisme Sosialis

59 Ibid., 36.

60 Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme, 47.

61 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan, 34.

62 Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme, 48.

Gerakan ini melihat persoalan penindasan adalah kelas (sosial-

ekonomi) dan patriarki. Untuk itu, semua bentuk eksploitasi harus

diakhiri dan membangun masyarakat yang didak membedakan

perempuan dan laki-laki.

Gerakan feminisme sosial lebih difokuskan kepada penyadaran

kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut mereka

banyak perempuan yang tak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang

tertindas oleh sistem patriarki. Timbulnya kesadaran ini membuat kaum

perempuan bangkit emosinya dan diharapkan dapat meruntuhkan system

patriarki.

Walaupun ada perbedaan pada ketiga aliran tesebut, secara garis

besar semua aliran ini berpendapat, gejala pemilikan pribadi dalam hal

ini laki- laki memiliki perempuan merupakan sumber penindasan.

Keadilan baru akan tercapai apabila system kepemilikan ini diganti

dengan system tanpa kelas, yaitu menghilangkan peran domestic

perempuan dan system patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi

yang lebih menguntungkan.63

3. Feminisme di dunia Islam

Pengertian feminisme secara ilmu umum berkaitan dengan politik, yaitu

sebuah politik langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara

perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Kekuatan ini mencakup semua

struktur kehidupan, segi-segi kehidupan, keluarga, pendidikan, kebudayaan,

dan kekuasaan. Segi-segi kehidupan itu menetapkan siapa, apa dan untuk

63 Dadang Anshori, Membincangkan Feminisme, 48.

siapa serta akan menjadi apa perempuan itu. Membaca perempuan dalam

konteks Islam akan menimbulkan kesadaran untuk membangun ingatan

kolektif kita mengenai hal sebuah aturan-aturan yang harmonis,

keseimbangan, dan kemuliaan agar terus diposisikan setiap saat dalam ingatan

kita dan yang lebih penting dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.64

Pemikiran feminisme di dunia Islam, boleh jadi sudah dikenal sejak

awal masuknya Islam. Walaupun mereka barangkali tidak menggunakan

istilah tesebut.

Islam datang untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar terhadap

praktek kehidupan jahiliyah yang mendiskriminatif perempuan. Rasulullah

sebagai Nabi terakhir secaramakro berupaya mengangkat martabat manusia

dengan misi rahmatan li al alamin, secara khusus melakukan pembelaan

terhadap hak-hak perempuan yang selama itu tidak pernah diperoleh. Karena

itu, oleh beberapa feminis muslim, beliau dipandang sebagai feminis pertama

dalam Islam.

Secara epistemologis, proses pembentukan kesetaraan gender yang

dilakukan oleh Rasulullah tidak hanya pada wilayah domestik, tetapi hampir

menyeluruh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Apakah perempuan

sebagai ibu, istri, anak, tetangga, dan anggota masyarakat sekaligus

memberikan jaminan keamanan untuk perlindungan hak-hak dasar yang telah

dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dengan demikian, Rasulullah telah

memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan karena berikut ini.

64 http://medsastra.multiply.com/Journal/item/21/Indahnya Femin.

Pertama, beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara

pandang dunia masyarakat arab yang pada waktu itu masih didominiasi oleh

cara pandangan masyarakat era Fir'aun. Di mana latar historis yang menyertai

konstruk masyarakat ketika itu bernuansa misoginis (membenci perempuan).

Satu kebiasaan yang dipandang spektakuler, beliau sering menggendong

putrinya (Fatimah) secara demonstratif di depan umum, yang dinilai tabu oleh

tradisi masyarakat Arab pada waktu itu. Apa yang beliau lakukan itu

merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak

boleh dibeda-bedakan.

Kedua, Rasulullah memberikan teladan perlakuan baik terhadap

perempuan di sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah melakukan kekerasan

terhadap istri-istrinya.65

Kesadaran akan apa yang kemudian pada akhir abad ke-20 dikenal

dengan ketidakadilan gender yang dialami kaum perempuan, telah mulai

terlihat dalam karya tulis para penulis muslimah pada akhir abad ke-19 sampai

pertengahan abad ke-20 baik dalam bentuk puisi, cerita pendek, novel,

esai,artikel, buku, maupun dalam bentuk kumpulan surat-surat.

Beberapa di antara mereka yang tekrenal adalah Aisyah Taimiruyah,

Zainab Fawwaz dari Lebanon, Nabawiyah Musa dan Hifni Nashif dari Mesir,

Rokeya Sakhawat Hossair dan Nazar Sajjad Haydar dari India, Raden Adjeng

Kartini dari Jawa, Emile Ruete dari Zanzibar, Taj As-Shithanah dari Iran, dan

Fatme Aliye dari Turki. Mereka dikenal sebagai para perintis besar dalam

menumbuhkan kesadaran atas persoalan gender, termasuk dalam melawan

65 Mufidah, Paradigma Gender, 36-37.

kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak mengungkung kebebasan

perempuan.66

Sejak awal abad ke-20 lahir gerakan feminisme dalam Islam yang

bertujuan memperjuangkan perubahan strkuktur masyarakat ke arah yang

lebih adil. Bagi laki-laki dan perempuan. Para feminis muslim awal

bermaksud menepis tuduhan bahwa Islam adalah agama yang menindas

perempuan. Penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam

masyarakat disebabkan oleh adanya sistem yang tidak adil dan manusiawi.

Feminisme Islam mengambil ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi sebagai

dasar pijakan teori maupun praktek. Untuk itu, laki-laki dan perempuan Islam

didorong agar melakukan perubahan konstruk pemahaman yang keliru

terhadap gender dalam pendekatan Islam.67

Kemudian pada paruh kedua abad ke-20 M, tatkala kaum perempuan

kelas atas dan menengah telah memiliki aksses sepenuhnya kepada kehidupan

publik dan telah berintegrasi dengan masyarakat luas, maka para feminis

muslimah mulai menulis tentang peran gender, dan hubungannya dengan

keluarga dan masyarakat, dan teman-teman yang menyangkut kekerasan

seksual terhadap perempuan, eksploitasi perempuan mitsogini, dan tentang

sistem patriarki itu sendiri.

Seperti kurun waktu sebelumnya, mereka juga menuliskan pikiran dan

pandangan mereka dalam bentuk novel, isai, artikel, memoar dan buku.

Beberapa di antara mereka yang terkenal adalah Nawal as-Sa'dawi, Lathifah

66 Yunahar Ilyas, Fenomena Dalam Kajian, 53

67 Mufidah, Paradigma Gender, 43.

az-Zayyat dan Inji Aflatun dari Mesir, Fatima Mernissi dari Maroko, Riffat

Hasan dari Pakistan, Assia Djebar dari Aljazair, Furugh Farrukhzad dari Iran,

Huda Na'mani, Ghadah Samman dan Hanan Asy-Syaikh dari Lebanon,

Fauzziyah Abu Khalid dari Saudi Arabia, Amina Wadud Muhsin dari

Malaysia, Wardah Hafizh Nurul Agustina dan Siti Ruhaini Zuhayatin dari

Indonesia, dan tidak ketinggalan seorang feminis muslim (laki-laki) dari India

yaitu Asghar Ali Enginneer.68

Fatimah Mernissi merupakan guru besar sosiologi pada Universitas

Muhamad V Rabat, Maroko. Dikaitkan dengan feminisme, arah gerakan

pemikiran Mernissi adalah mengupayakan sistem masyarakat yang

memberikan jaminan bagi perempuan untuk memperoleh hak-haknya dalam

keluarga dan masyarakat menghendaki peran lebih berarti dalam kehidupan,

kemajuan pendidikan, juga kesempatan-kesempatan profesional lainnya.

Arah ini sama seperti gerakan feminisme secara umum. Bedanya,

gerakan pemikiran feminisme Mernissi berdasar pada pemahaman ulang

terhadap teks-teks keagamaan. Dalam peta pemikiran Islam secara umum,

model pemikiran Fatima Mernisi sejalan dengan Amina Wadud Muhsin (AS),

Riffat Hasan (Pakistan) dan lainnya yang mencoba menggali teks-teks suci

untuk dipahami ulang sesuai tuntutan feminisme dan konteks zaman.69

Rifat Hassan, kelahiran Pakistan, memfokuskan kajian tafsir al-Qur'an

terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan soal teologi perempuan.

Menurutnya, akar ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan adalah

68 Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian, 54.

69 Fatima Mernissi, "Menggugat Ketidakadilan Gender," Dalam Pemikiran Islam Kontemporer,

ed. Khudori Soleh (Yogyakarta: Jendela, 2003), 111.

pandangan teologi tradisional yang menyudutkan perempuan. Karena itu, ia

berusaha membongkar tradisi itu dan menggantikannya dengan teologi

Feminis, misalnya mengkritisi istilah-istilah khusus dalam al-Qur'an yang

sering dimaknai diskriminatif terhadap perempuan.70

Di dalam ajaran Islam, laki-laki dan perempuan tidak dibedakan

peranannya dalam beragama. Keduanya memiliki kesempatan yang sama

dalam berusaha berbuat yang terbaik bagi dirinya, keluarga dan

masyarakatnya. Jelasnya, al-Qur'an tidak membedakan perlakuan terhadap

laki-laki dan perempuan.71

Dalam perspektif sejarah, al-Qur'an sebagai revolusioner terhadap

norma-norma masyarakat tempat ia diturunkan. Al-Qur'an melahirkan

perubahan-perubahan yang radikal yang lebih manusiawi dan menguntungkan

kaum perempuan. Secara khusus aspek revolusioner memang berhubungan

dengan perempuan. Sebelum zaman Nabi, bayi-bayi perempuan yang baru

lahir biasanya dikubur hidup-hidup. Kalaupun dengan jelas dan tanpa ragu-

ragu Al-Qur'an menempatkan perempuan sederajat dan setara dengan laki-

laki, keduanya harus memenuhi seruan Allah dan memiliki berbagai hak dan

tanggung jawab sama.72

Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam, termasuk

kepada kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran

Islam seperti perdamaian, pembebasan termasuk persamaan derajat antara

70 Rifat Hasan, Periode Kebangkitan Feminisme Dalam Islam, Dalam Paradigma Gender, ed.

Mifidah, 44. 71 Majalah Mutiara Amaly, Ditepi Pantai Keimanan, "Wanita yang Mana"

72Lynn Wilcox, Wanita dan al-Qur'an Dalam Perspektif Sufi, Terj. Dictia (Bandung: Pustaka

Hidayah, 2001), 44.

laki-laki dan perempuan banyak tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Namun dalam kenyataan dewasa ini dijumpai kesenangan antara ajaran Islam

yang mulia tersebut dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari.

Khusus tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, masih banyak

tantangan dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan ditengah

masyarakat Islam sekalipun.

Perjuangan untuk mencapai kesetaraan dengan kaum laki-laki

sebagaimana diajarkan al-Qur'an masih panjang dan memerlukan dukungan

dari semua pihak. Bagaimanapun juga, masalah perempuan adalah masalah

kemanusiaan, termasuk di dalamnya kaum laki-laki. Sebagaimana disebut

dalam al-Qur'an, laki-laki dan perempuan itu saling menolong, saling

memuliakan,dan saling melengkapi.

Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan

perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan

mempunyai derajat yang sama. Namun, masalahnya terletak pada

implementasi ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya dan

tradisi yang patriarki, serta sikap dan perilaku individual yang menentukan

status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut. Dalam kondisi

seperti ini yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan terhadap kaum

perempuan serta penyadaraan akan hak dan status mereka yang Islami.73

Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua orang feminisme dari

Asia Selatan,tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang dapat

73 Wahid Zaini, Memposisikan Kodrat Perempuan Dan Perubahan Dalam Perspektif Islam

(Bandung: Mizan, 1999), 11-12.

diterima oleh atau ditetapkan kepada semua feminis dalam semua waktu dan

di semua tempat. Definisi feminisme berubah-ubah sesuai dengan perbedaan

realitas sosio-kultural yang melatar belakangi lahirnya faham ini, dan

perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para

feminis itu sendiri.

Feminisme harus didefinisikan secara jelas dan luas, supaya tidak lagi

terjadi kesalahfahaman. Bahkan ketakutan terhadap feminisme. Media massa

sering memberikan gambaran yang keliru terhadap feminis sebagai

perempuan pembenci laki-laki dan perusak keluarga.

Dengan latar belakang di atas, dua feminis dari Asia Selatan ini,

mendefinisikan bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan

dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan

dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk

mengubah keadaan tersebut.74

Keyakinan tentang adanya ketidakadilan masyarakat dalam

memperlakukan perempuan telah mendorong lahirnya gerakan feminisme.

Dalam arti luas, feminisme menunjuk pada setiap orang yang memiliki

kesadaran terhadap subordinasi perempuan dan berusaha menyelesaikannya.

Beberapa fenomena ketidakadilan Jender tersebut, sebagaimana

diungkapkan oleh Mansour Fakih, adalah: Pertama, marginalisasi perempuan

baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan

74 Kamia Bhasin,Feminisme dan Feminis Muslim, dalam feminisme dalam Kajian Tafsir, ed.

Yunahar Ilyas, 40-41.

bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada kemiskinan

ekonomi, perempuan.

Kedua, subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa

perempuan itu irasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh

karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.

Ketiga, stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi

bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan

jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual

selalu dikaitkan dengan label ini.masyarakat punya kecenderungan

menyalahkan perempuan sebagai korban perkosaan akibat stereotype tadi.

Keempat, berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik

maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan

dengan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan kekerasan terhadap

perempuan.

Kelima, pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum

perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik,

oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki.

Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit.75

Untuk menempatkan perempuan dalam kedudukan seimbang dengan

laki-laki dapat dilakukan pemberdayaan perempuan tersebut melalui

pendidikan formal maupun non formal. Adapun maksud pemberdayaan

perempuan disini memberikan arti sebagai upaya peningkatan kemampuan

perempuan dalam mengembangkan keterampilan perempuan.

75 Mansour Fakih, 13-23.

Proses pemberdayaan perempuan ini dapat dilakukan melalui

penyadaran. Dengan penyadaran ini diharapkan perempuan mampu

menganalisis secara kritis situasi masyarakat sehingga dapat memahami atau

mengetahui praktek-praktek diskriminatif yang merupakan konstruksi sosial

serta membedakan peran. Oleh karena itu, terhadap perempuan dalam proses

penyadaran perlu dibekali dengan informasi, pendidikan, pelatihan dan

motivasi agar mengenal jati diri.76

Kesadaran akan ketidakadilan pada perempuan melatarbelakangi

munculnya gerakan feminisme. Dengan potensi kemanusiaannya sebagai

sesama makhluk ciptaan Allah, perempuan juga mempunyai kemungkinan

untuk meraih peluang tersebut. Dengan demikian, feminisme merupakan

gerakan untuk mencari peluang guna meraih kebebasan dan kemerdekaan

kaum perempuan dari penindasan dan ketidakadilan.77

Hakikat feminisme adalah perlawanan, bebas dari penindasan,

ketidakadilan dan kekerasan. Karena melawan penindasan, maka perlawanan

ini, harus diawali dengan adanya kesadaran kritis.

Feminisme sering digambarkan dengan mata, hati dan tindakan yaitu

bahwa dia menyadari, melihat, mengalami adanya diskriminasi dan

penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat

dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Feminisme dengan

demikian berpihak pada perempuan, pada mereka yang ditindas,

76Tapi Omas Ihromi, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: Alumni, 2002),

142-143.

77 Achmad Muthali'in, Bias Gender Dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhammadiyah University

Press, 2001), 41.

didiskriminasi, diabaikan. Feminisme membongkar pengalaman ketertindasan

sebagai perempuan, mempertanyakan relasi-relasi kekuasaan yang

berlangsung pada perempuan dan berbuat sesuatu untuk mengubahnya.78

Secara umum, feminisme Islam adalah alat analisis maupun gerakan

yang bersifat historis dan kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang

berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual

menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran. Para feminis muslim ini

menuduh adanya kecenderungan misoginis dan patriarki (dominasi laki-laki)

di dalam penafsiran teks-teks keagamaan klasik, sehingga menghasilkan

tafsir-tafsir keagamaan yang bisa kepentingan laki-laki. Mereka

mencontohkan tentang hukum kepemimpinan (apakah dalam keluarga

maupun dalam politik), penguasaan nafkah, stereotype tentang hijab dan

sebagainya yang dianggap menjadikan perempunan tidak mandiri secara

ekonomis dan selanjutnya tergantung secara psikologis.

Apa yang khas dari feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif

antara prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks

keagamaan (al-Qur'an dan hadith) dengan realitas perlakuan terhadap

perempuan yang ada atau hidup dalam masyarakat muslim. Perubahan cara

pandang dan penafsiran teks keagamaan adalah kata kunci yang paling

penting dan merupakan tujuan feminisme Islam.79

Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam meliputi,

ibadah, akhlak, politik, sosiologi, pendidikan, ekonomi dan hukum yang

78Arimbi Heroepoetri, Percakapan Tentang Feminisme, 6.

79 Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan, 47.

mengurusi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Semua pengetahuan itu

tidak dapat diperoleh secara otomatis, melainkan melalui proses pengkajian,

belajar dan mengajar.

Kaum perempuan mewakili separuh masyarakat konsekuensinya,

mereka bersama-bersama dengan kaum laki-laki memikul beban untuk

membangun masyarakat ini.Mereka sama-sama memikul tanggung jawab

pribadi dan masyarakat yang membutuhkan pendidikan yang baik dan ilmu

pengetahunan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan individu dan bangsa

Islam yang sedang tumbuh.

Pendidikan perempuan sangat vital bagi masyarakat kita karena

perempuan adalah orang yang melahirkan laki-laki dan perempuan masa

datang. Perempuan adalah sekolah dasar bagi anak-anak kita. Dari mereka

belajar tentang fondasi kemanusiaan dan pendidikan moral laki-laki dan

perempuan sama saja haknya untuk mempelajari, membaca dan menulis buku-

buku agama dan moral, dan juga buku-buku mengenai masalah kesehatan,

pendidikan, anak, dan sebagainya.80 Dialah yang melahirkan anggota

masyarakat yang baik maupun yang buruk.

Islam memberikan hak kepada kaum perempuan untuk mencari

penetahuan yang tidak terbatas. Islam memberinya kebebasan untuk memilih,

memilah, dan memutuskan. Terserah kepadanya untuk membuat pilihan yang

benar sesuai dengan nalurinya yang fitri dan dengan keadaan fisiknya serta

peran alamiahnya dalam masyarakat.81

80 Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, 102.

81 Ibid., 107.

Al-Qur'an sebagai petunjuk bahwa setiap kaum muslim harus terpelajar,

perempuan akhirnya berhasil menyingkirkan banyak penghalang yang

diletakan di atas jalan yang menjadikan mereka terdidik.82 Di antara topik

terpenting yang dibawa al-Qur'an adalah perintah untuk berlaku adil kepada

perempuan, membebaskanya dari kedzoliman Jahiliyah,dan dari tindakan

otoriter dari laki-laki yang menentukan kehidupanya. Al-Qur'an memberikan

kehormatan kepada kaum perempuan, sebagai seorang anak perempuan,

seorang istri, seorang ibu, dan seorang anggota masyarakat.83

Dalam hal ini, Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan

martabat perempuan. Dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, kaum

perempuan diperlakukan sebagai barang yang hampir-hampir tidak

mempunyai hak, maka ajaran Islam secara drastis memperlakukan kaum

perempuan sebagaiu manusia yang mempunyai hak-hak tertentu sebagai

layaknya kaum laki-laki.

BAB III

PEMIKIRAN R.A. KARTINI MENGENAI PENDIDIKAN

PEREMPUAN

82 Mai Yamani, Feminisme dan Islam

83 Yusuf Al-Qaradhawi, Berrinteraksi dengan al-Qur'an, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta:

Gema Insani Press, 1999), 148.

A. Riwayat hidup R.A. Kartini

Raden Adjeng Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April

1879. Beliau adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa,

putri Raden Mas Sosroningrat, Bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari

istri pertama, tetapi bukan garwa prameswari, saat itu poligami adalah suatu hal

yang biasa di kalangan bangsawan. Poligami merupakan hal lazim bagi keluarga di

Jawa zaman dulu. Tidak heran bila ayah Kartini memiliki dua istri, yaitu Nyi

Ngasirah (ibunda Kartini) dan Nyi Ajeng Moerjam. Ibunda Kartini adalah istri

pertama Sosroningrat yang dinikahinya pada tahun 1872 dan posisinya sebagai

garwa ampil, yaitu istri sah yang hanya berfungsi sebagai selir, sedangkan Nyi

Ajeng Moerjam adalah istri kedua dari Raja Madura, R.A.A Tjitrowikromo dan

posisinya sebagai garwa padmi, yaitu garwa prameswari yang mendampingi suami

di dalam upacara-upacara resmi.84

Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya R.M. Sosroningrat, pada

mulanya adalah seorang Wedana di Mayong, Ibunya bernama M.A Ngasirah, putri

dari Nyai Haji Siti Aminah dan K.H. Madirono, seorang guru agama di Telukawur,

Jepara. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan

seorang bangsawan, karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan (Moerjam),

keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini

diangkat menjadi Bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.

Moerjam, R.A.A. Tjitrowikromo.85 Ayahanda Kartini juga seorang penulis yang

tajam penanya. Tulisan-tulisan beliau kerap diterbitkan oleh majalah “Bijdragen

84 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 147.

85 http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini.

52

Vool-het Koninklijk Institut Voor de Taal, Land-en Volkenkunde Voor

Nederlandsch Indie”. Beliau menulis problem-problem sosial di negeri ini serta

usul-usul untuk menanggulanginya. Bahkan beliau menulis di majalah itu, tentang

penghapusan diskriminasi pendidikan kepada Bumi Putera pada tanggal 16 Agustus

1882. Corak tulisan-tulisan Sosroningrat simbolik dan berkilau, namun tusukannya

senyeri ujung jarum yang mendarahi kulit yang kena. Satu hal yang istimewa bahwa

Sosroningrat mengupas materi-materi psikologis yang lekat dalam pendidikan para

wanita kita. Lebih daripada kupasan mengenai perbaikan-perbaikan nasib dan

emansipasi wanita Indonesia, Sosroningrat pun secara mendetail meneliti berbagai

kekurangan alat peraga yang ada di sekolah-sekolah desa di pulau Jawa.86

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Selain

keluarga ningrat juga keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, pangeran Ario

Tjondronegoro IV, diangkat Bupati dalam usia 25 tahun. Kakek Kartini,

Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.

Saudara kandung Kartini hanya R.M.P. Sosrokartono, sedangkan yang

sembilan saudaranya dari Raden Ayu Sosroningrat, seorang bangsawan keturunan

ratu Madura.87

Kartini kecil sudah diberikan pendidikan yang berwawasan masa depan,

kesehariannya dengan berbagai kegiatan pendidikan, seperti pagi ia harus masuk

sekolah dan sorenya ia harus belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya.

Tradisi demikian merupakan warisan kakeknya Tjondronegoro IV, seorang Bupati

Demak, yang senantiasa ‘memecuti’ anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan

86 Suryanto Sastroatmodjo, Tragedi Kartibi, 13.

87 Umar Hasyim, R.A. Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, 7-8

sehingga ayah Kartini pun pernah bersekolah di Europe Lagere School, sebuah

sekolah khusus untuk orang Belanda dan anak pribumi yang diberikan kesempatan

untuk belajar di sana. Kakek Kartini merupakan salah seorang penggagas gerakan

pembebasan di bidang pendidikan, terbukti dengan mendatangkan guru privat dari

Negeri Belanda untuk mengajar putra-putrinya. Sebagaimana dilukiskan Kartini di

dalam suratnya kepada Stella bahwa kakeknya adalah seorang pembuka pintu

masuk peradaban barat, Belanda ke Indonesia. Namun sayang, Kartini harus

kecewa dengan menerima kenyataan bahwa pada usia 12 tahun ia harus

meninggalkan bangku sekolah dan memasuki masa-masa pingitan ke arah

pernikahan. Ayahnya yang cukup berpendidikan maju tidak kuasa melepaskan diri

dari budaya Jawa yang mengharuskan orang tua untuk memingit putrinya di rumah

pada usia demikian. Sebagaimana rasa kecewa itu ‘diluapkan’ dalam suratnya

kepada Nyonya JH. Abendanon, sahabat karibnya dari Belanda, demikian

tulisannya:

Gadis itu kini berusia 12 tahun. Waktunya telah tiba baginya untuk mengucap

selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah,

tempat di mana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropanya,

di tengah mana ia selalu ingin terus berada.

….Ia tahu, sangat tahu bahkan, pintu sekolah yang memberinya kesenangan yang

tak berkeputusan telah tertutup baginya. Berpisah dengan gurunya yang telah

mengucap kata perpisahan yang begitu manis. Berpisah dengan teman-teman

yang menjabat tangannya erat-erat dengan air mata berlinangan.88

Kartini menjalani pingitan dengan kakak perempuannya yang bernama

Soelastri. Mereka berdua sebenarnya saling menyayangi, tetapi mereka bertolak

belakang dalam hal pemikiran dan cita-cita. Soelastri tidak sependapat dengan apa

yang dicita-citakan Kartini, dia sangat berpegang teguh dengan adat jawa. Soelastri

88 Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan, 147-149.

pasrah dengan apa yang dia terima, berbeda dengan kartini yang ingin melepaskan

diri dari ketertindasan tersebut.89

Selama menjalankan pingitan, komunikasi dengan laki-laki lain hanya

berlangsung dengan ayah dan saudara laki-lakinya, terutama kakaknya, R.M.

Sosrokartono. Lebih menyedihkan lagi, kakak perempuannya, Soelastri yang lebih

dulu dipingit, menolak mendengarkan keluhan Kartini dengan mengatakan “Masa

bodoh ! aku ini orang Jawa”.

Memahami apa yang diceritakan oleh Kartini, maka atas prakarsa Bupati

Sosroningrat dan Sosrokartono, setiap minggu didatangkan kotak bacaan untuk

Kartini. Kegiatan membaca ini ternyata membantu Kartini mengembangkan

pengetahuannya. Secara resmi, masa pingitan Kartini berlangsung dua tahun, tetapi

karena ia menolak dijadikan Raden Ayu, masa pingitannya ditambah dua tahun lagi.

Pada masa perpanjangan pingitan inilah telah bergabung pula kedua adik

perempuan Kartini yang bernama Roekmini dan Kardinah.

Penolakan Kartini untuk dijadikan R.A. agaknya merupakan reaksi jiwa

setelah melihat kehidupan kedua ibunya yang dalam suasana perkawinan poligami.

Mas Ayu Ngasirah yang tidak lain adalah ibu kandung Kartini pasrah untuk dimadu

juga merupakan kepatuhan terhadap tradisi Jawa. Kepatuhan itu pula yang

menyebabkan Ngaisarah tahu diri bahwa setelah Sosroningrat menjabat Bupati

Jepara tempatnya adalahdi belakang, dan akan disebut bibi oleh anak-anaknya

sendiri maupun oleh anak-anak madunya. Ia pun wajib memanggil ndoro kepada

anaknya sendiri maupun kepada ketiga putri R.A. Moerjam.

89 Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), 13.

Sementara itu, dipihak lain R.A. Moerjam juga harus menerima kenyataan

bahwa dirinya bukanlah satu-satunya istri dalam rumah tangga Bupati Sosroningrat

secara adil, sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar. R.A. Moerjam bertugas di

depan menerima tamu dan bersosialisasi ke luar, sedangkan Mas Ayu Ngasirah

bertugas di belakang sebagai kepala urusan rumah tangga.

Tepat pada peralihan ke tahun 1900, Bupati Sosroningrat menghapuskan

tradisi pingitan terhadap putri-putrinya. Pada waktu itu Kartini gunakan untuk

menulis artikel di majalah dan membaca buku-buku. Berkat ketekunannya itu,

Kartini mencapai keterbukaan jiwa, cipta maupun rasa, yang membuat dirinya sadar

bahwa sebagian tradisi Jawa telah menghambat kemajuan. Namun di sisi lain

Kartini menyadari pula bahwa mengubah semua itu perlu waktu.90

Kegelisahan Kartini menggambarkan kegelisahan seorang gadis kecil yang

cerdas, kritis dan berwawasan masa depan. Dalam usia yang relatif muda, Kartini

kecil sudah fasih berbahasa, berdialog, dan menulis banyak hal dengan bahasa

Belanda kepada sahabat-sahabatnya. Sekalipun berada di bawah pingitan budaya

Jawa, karena kecerdasan dan kekritisan yang dimilikinya, Kartini tetap

diperkenankan bergaul dan bermain dengan gadis-gadis Belanda. Dari sana ia

memperoleh banyak pengalaman dan belajar banyak hal yang menjadikan

pemikiran Kartini semakin tajam, kepribadiannya semakin kokoh, dan

pandangannya ke depan melampaui batas usianya.

Seperti diuraikan Kartini dalam suratnya kepada Estelle ‘Stella’

Zeehandelaar, bahwa ia ingin seperti gadis-gadis Belanda yang memperoleh

90 Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi Bangsa

(Jakarta: Kompas, 2005), 115.

kesempatan pendidikan sama dengan kaum laki-laki. Perempuan Jawa di zaman

Kartini sangat memprihatinkan, di mana ia tidak bebas duduk di bangku sekolah,

dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, dan celakanya ia pun harus

rela dimadu.

Pada zaman Kartini, budaya Jawa memposisikan perempuan sebagai objek

seksual dan ‘media’ reproduksi. Kisah Ken Dedes dari Kerajaan Kediri, misalnya,

menggambarkan kisah seorang perempuan cantik dan sempurna yang dimitoskan

sebagai perempuan yang dari rahimnya lahir putra-putra yang kelak menjadi raja-

penguasa di Jawa. Dalam buku Barata Yudha dan Ramayana bisa dilihat betapa

perempuan digambarkan sebagai pemuas nafsu nafsu seksual dan reproduksi.

Perkawinan yang sejatinya menjadi media ke arah ketentraman dan kebahagiaan

(mawaddah wa rahmah), justru pada sebagian perempuan Jawa menjadi penjara

dan pemasungan atas nama agama. Sebagimana dikatakan Kartini dalam suratnya

kepada Nyonya Van Kol pada tanggal 19 Agustus tahun 1901, demikian tulisannya;

“Satu-satunya jalan bagi gadis Jawa, terutama bagi kalangan ningrat adalah

perkawinan. Tetapi apa yang terjadi dengan perkawinan yang mula-mula oleh

Tuhan ditentukan sebagai tujuan tertinggi bagi wanita? Perkawinan yang

semestinya merupakan panggilan suci telah menjadi semacam jabatan. Jabatan

yang harus dikerjakan dengan syarat-syarat yang merendahkan dan

mencemarkan bagi wanita-wanita kita. Atas perintah bapak atau paman atau

kakaknya, seorang gadis harus siap untuk mengikuti seorang laki-laki yang tidak

pernah dikenalnya, yang tidak jarang telah mempunyai istri dan anak-anak.

Pendapatnya tidak ditanya, ia harus menurut saja”.91

Perasaan teriris dan miris yang dirasakan Kartini melihat kenyataan hidup

sosial-budaya Jawa seperti di atas, menggugah dirinya untuk membangkitkan

kesadaran masyarakat Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk

menyatukan barisan ke arah pembebasan di bidang pendidikan. Kartini berharap

91 Armijen Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang,, 98.

perempuan diposisikan sejajar dengan laki-laki dengan peran partisipatif di dalam

menghantarkan manusia Indonesia ke arah pembangunan masa depan yang lebih

baik.92

92 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 149-151.

B. Pemikiran R.A. Kartini Mengenai Pendidikan Perempuan

1. Aspek Perempuan sebagai Pendidik Pertama

Perempuan sebagai pendidik pertama berperan dalam pembentukan

watak anaknya. Dalam suratnya kepada N.V.Z., Yang dimuat di Kolonial

Weekblad, pada tanggal 25 Desember 1902, ia mengatakan:

Bukan tanpa alasan orang mengatakan Kebaikan dan kejahatan dimulai anak

bersama air susu Ibu. Alam sendirilah yang menunjuk dia untuk melakukan

kewaiban itu. Sebagai ibu dialah pendidik pertama anaknya. Di

pangkuannya anak pertama belajar merasa, berpikir, berbicara. Dan dalam

kebanyakan hal pendidikan pertama-tama bukan tanpa arti untuk seluruh

hidupnya. Tangan ibulah yang meletakkan benih kebaikan dan kejahatan

dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Dan

bagiamana sekarang ibu-ibu jawa dapat mendidik anak-anaknya, kalau

mereka sendiri tidak terdidik? Peradaban dan kecerdasan bangsa jawa tidak

akan maju dengan pesatnya, kalau perempuan dalam hal itu terbelakang.93

Kartini berpendapat, membesarkan seorang anak adalah tugas besar.

Pembentukan kepriabdian manusia pertama-tama harus diperoleh dari rumah.

Para calon ibu terus diberi semacam pendidikan dan pembinaan keluarga.

Dan sekarang bagiamana keluarga dapat mendidik dengan baik, kalau

unsur yang penting dalam keluarga, yakni perempuan, ibu, sama sekali tidak

cakap mendidik?94

Karena itu kartini meminta pemerintah otonomi Hindia-Belanda

memperhatikan masalah ini dengan serius, teruama menyangkut kebutuhan dana

dan tenaga pengajarnya. Dengan menjelaskan peran dan tanggung jawab

perempuan dalam masyarakat. Kesadaran ini, dalam pandangan Kartini, lebih

efektif daripada suatu pemerintah penguasa yang jarang diketahui manfaatnya.95

93 Dri Arbaningsih, Kartini dari sisi lain, 127.

94 Nota Kartini untuk Idenburg lihat di Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 128.

95 Ibid., 129.

Seperti sudah sering dikatakan, R.A. Kartini menganggap pengaruh

Biologis Ibu kepada anak yang dilahirkan dan dibesarkan dipangkuannya sangat

penting bagi pembentukan watak serta perkebangan jiwa anak itu selanjutnya.

Akan tetapi karena pada waktu itu kaum Ibu kita pada umumnya belum

mendapat pendidikan, maka perlu diadakan sekolah bagi perempuan dengan

guru-guru yang kompeten, yang mampu memberi pendidikan yang dapat

dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kebutuhan zaman.96

Bagi Kartini peradaban masyarakat terletak di tangan perempuan, karena

itu perempuan harus dididik diberi pelajaran dan turut serta dalam usaha untuk

mencerdaskan bangsa.

Dalam notanya kepada Roeseboom tersebut Kartini sampai kepada

kesimpulan, sepanjang peradaban manusia ditopang oleh jiwa-jiwa yang tidak

memiliki keseimbangan antara kecerdasan otak dan budi pekerti, tatanan

masyarakat akan tetap pincang dalam memberikan pendidikan kepada

perempuan, karena itulah, dalam karya Kartini tertulis sebagai berikut:

Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia,

rumahpun harus turut mendidik. 97

Kartini yakin, pendidikan manusia harus dimulai sedini mungkin, namun

bukan pendidikan yang hanya membentuk menjadi keras kepala, yang kelak

akan menjadi orang yang mementingkan diri sendiri dan bersikap semena-mena.

Perempuan bertanggung jawab terhadap corak kehidupan di masyarakat, apalagi

perempuan (ibu) adalah pendidik pertama dan utama. Di tangannya terbentuk

generasi yang menjadi harapan umat dan tergenggam masa depan umat, karena

96 Siti Sumantri Soeroto, Kartini sebuah Biografi (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1979), 321.

97 Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 133.

ia adalah tiang Negara yang menentukan tegak atau runtuhnya Negara atau

masyarakat.98

2. Aspek Pendidikan dan Pengajaran Bagi Perempuan

Pendidikan dan pengajaran bagi Bumiputra hendaknya ditujukan

kepada hal-hal praktis demi meningkatkan kecerdasan dan kualitas hidup

rakyat. Pemikiran Kartini mengenai sistem pengajaran untuk zaman itu boleh

dikatakan sangat modern, karena menempatkan anak didi sebagai subyek

kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai obyek pengajaran seperti lazimnya

pendidikan pada waktu itu.99

Pendidikan yang dimaksud Kartini bukanlah pendidikan formal saja,

tetapi juga pendidikan Budi Pekerti.100

Konsep pendidikan kartini terfokus pada

penyempurnaan kecerdasan berpikir (cipto) dan kepekaan budi pekerti (roso)

siswa melalui keteladanan sikap dan perilaku guru. Pendidikan harus mampu

menanamkan moralitas yang akan membentuk siswa berwatak ksatria, seperti

kutipan berikut:

Kesadaran anak-anak harus dibangunkan, "bahwa mereka harus memenuhi

panggilan budi dalam masyarakat terhadap bangsa yang akan mereka

kemudikan. Kewajiban para guru adalah menjadikan anak-anak perempuan

yang dipercayakan kepada mereka, menurut pandangan mereka yang sebaik-

baiknya dan dengan sekuat tenaganya perempuan-perempuan yang beradab,

cerdas, sadar, akan panggilan budinya dalam masyarakat. Menjadi ibu yang

penuh kasih sayang, pendidikan yang berbudi dan cakap. Dan selanjutnya

agar dengan cara apapun juga berguna dalam masyarakat yang dalam tiap

bidang sangat memerlukan pertolongan. 101

98 http://Wartafeminis.wordpress.com/2007/07/30/ perempuannasionalisme -dan-pendidikan.

99 Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 124.

100 http://wartafeminis.wordpress

101 Sistem pengajaran melalui keteladanan guru ini diterapkan oleh KI Hajar Dewantara, yang

melahirkan postulat pendidikan Ing Ngarso Sungtulodho, Ing Madya Mbangun Karta, Tut Wuri Handayani

(mengikuti dan mengawasi anak didik, memberi contoh dan teladan, serta membentuk kreativitas anak).

System ini tidak menempatkan anak didik sebagai obyek yang sekedar "menampung" pengetahuan,

mealinkan sebagai subyek yang harus mampu membentuk dirinya sendiri melalui proses belajar-mengajar

dan interaksi guru-murid. Lihat di Dri Arbaningsih, Kartini dari sisi lain, 134.

Kartini juga melihat pentingnya menjaga silaturahmi antara siswa yang

sudah lulus sekolah dan yang masih berstatus siswa, yang dihubungkan oleh

figur guru sebagai sumber pengetahuan sekaligus sebagai pembahas manfaat

pelajaran sekolah (teori) di lapangan (praktek).102

Mengenai kurikulum sekolah yang di cita-citakan itu ternyata berbeda

sekali dari sistem pendidikan di sekolah-sekolah negeri. Kartini berpendapat

bahwa suatu sistem pendidikan yang hanya ditujukan kepada pelajaran

intelektualistis itu salah, pendidikan tidak hanya bersifat mengasah otak saja.

Pendidikan budi pekerti dan pembinaan watak adalah sangat penting juga dan

bahkan harus diutamakan.

Memang dalam sekolah kami, kami lebih mementingkan pendidikan budi

pekerti dari pada doktrinal. Oleh sebab itu kami juga tidak menginginkan

sekolah itu didirikan oleh pemerintah, melainkan oleh swasta, karena kami

nanti akan tunduk pada peraturan-peraturan tertentu. Padahal kami ingin

membangun sekolah menurut gagasan kami sendiri. Kami ingin mendidik

anak-anak seperti seorang ibu mendidik anak-anaknya. Cara mendidik di situ

seperti dalam suatu rumah tangga besar, di mana anggota-anggotanya saling

mencintai dan saling mengajar, dan di mana ibu tidak hanya namanya saja,

melainkan sungguh ibu pendidik jasmani dan rohani anaknya.103

Kartini ingin meletakkan dasar moralitas bagi masyarakat Bumiputra

melalui pendidikan budi pekerti sebagai pengimbang pendidikan akal (rasio).

Kartini berpandangan bahwa peradaban manusia membutuhkan keseimbangan

antara akal dan budi pekerti. Budi pekerti adalah sumber moralitas keadilan dan

perikemanusiaan, yang menurut Kartini kurang dipedulikan. Menurut hemat

Kartini, hanya dengan memiliki moralitas keadilan dan peri-kemanusiaanlah

102 Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 126.

103 Siti Soemandari Soeroto, Kartini Sebuah Biografi, 321.

pemimpin mampu menyelenggarakan kehidupan bersama dengan rakyat tanpa

penindasan.104

Pendidikan yang diinginkan Kartini tidak hanya menyangkut penguasan

materi kognitif saja, melainkan bagiamana menjadikan manusia-manusia yang

berbudi luhur dan berjiwa besar. Yaitu, pendidikan yang mengarahkan manusia

menuju kesejatian dirinya secara sempurna, baik aspek kognitif, aspek afektif,

maupun aspek psikomotorik. Atau dengan kata lain, pendidikan yang bisa

menumbuhkan kekokohan diri secara sempurna baik spiritual, moral dan

intelektual. 105

Kartini menginginkan keseimbangan otak dan akhlak, jadi siswa selain pandai dalam

hal teori, mereka juga harus mempunyai ketrampilan sehingga pengaplikasian dari

teori tersebut terlaksana.

104 Dri Arbaningsih, Kartini Dari Sisi Lain, 117.

105 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 154.

3. Pendidikan Tanpa Diskriminasi

Pendidikan adalah salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini

untuk memajukan perempuan dan bangsa Bumiputra Umumnya. Dialah Kartini,

yang mengirimkan Nota Kepada Pemerintah Kolonial, yang dikirimkan kepada

penasehat hukum Kementrian Jajahan, Slingenberg tahun 1903 bertepatan

dengan masih berlangsungnya politik etis pemeritah kolonial belanda. Nota

kartini berjudul "Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa" memuat berbagai

hal termasuk kritik terhadap kebijakan, perilaku pejabat pemerintah kolonial

dalam bidang kesehatan, budaya dan pendidikan. Terutama pendidikan, Kartini

menelankan pentingnya bangsa Bumiputra terdidik.

Mengenai pendidikan bagi Bumiputra, Kartini mengingatkan bahwa

semua Bumiputra harus memperoleh pendidikan bagi kalangan manapun dan

berlaku untuk semua tanpa membedakan jenis kelamin. Karena menekankan

pentingnya pendidikan bagi perempuan. Dalam suratnya kepada Nyonya

Abendanon, Kartini menyatakan bahwa pengajaran bagi perempuan akan

bermanfaat bagi Bumiputra pada umumnya.

Pendidikan telah memperluas peluang perempuan pada akses politik.

Kemampuan Kartini membaca Buku berbagai bahasa memperluas peluang

perempuan pada akses politik. Kemampuan Kartini membaca buku berbagai

bahasa, menjadi alat pencapaiannya akses ilmu pengetahuan dan pengalaman

berbagai bangsa. Pendidikan juga memberi peluang bagi perempuan untuk

mengembangkan potensinya.106

106 http://wartafeminis.wordpress.com

Kartini adalah orang Jawa pertama yang memikirkan tentang pendidikan

gadis remaja bangsa Jawa dan menyatakan keyakinannya bahwa perlunya

pendidikan. Dalam hal itu ia mendahului pemerintah Hindia Belanda. Pada

dasawarsa terakhir dari abad 19 ia sudah merumuskan gagasan-gagasannya

mengenai maslaah itu sampai mendetail. Sebetulnya yang diidam-idamkannya

ialah sebuah sekolah untuk para perempuan.107

Surat Kartini berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.

Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap

keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan

penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat yaitu tidak bisa bebas

duduk di bangku sekolah harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tidak

dikenal, dan harus bersedia dimadu.108

Kartini berkeyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus memperoleh

pendidikan yang sama. Pendidikan merupakan kata kunci menuju perubahan

kehidupan yang lebih baik. Pendidikan merupakan mediator utama pembebasan

manusia dari diskriminasi dan penindasan. Khusus kaum perempuan diharapkan

Kartini bukan hanya menjadi komoditi domestik, melainkan bagaimana bisa

memasuki peran emansipatoris di dalam pergaulan global yang dinamis dan

progresif. Karena perempuan merupakan kunci pembuka bagi pendidikan putra-

putri anak bangsa.

Kondisi perempuan pada Era Kartini sangat memprehatinkan, karena

sedikit sekali perempuan yang bisa memasuki sekolah. Tercatat bahwa pada

107 Siti Soemandari, Kartini Sebuah Biografi, 320.

108 http://wiskipedia.org/wiki/Kartini.

tahun 1879 hanya 713 gadis Jawa dan Madura yang bisa menikmati bangku

sekolah. Pada tahun 1898 hanya 11 perempuan Jawa yang berkesempatan dan

diberi kesempatan menikmati sekolah GuberMemen Belanda. Atas keprihatinan

inilah Kartini memberontak dan bergerak secara revolusioner untuk

menggelegarkan pembebasan kondisi pendidikan perempuan di Indonesia.109

Dalam kaitan ini, pengalaman Kartini menjadi penting untuk

diperhatikan. Dia adalah saksi dari munculnya sebuah kesadaran baru di

kalangan perempuan Indonesia, dan masyarakat Indonesia secara umum,

tentang kemajuan perempuan, yang tumbuh menyusul kebijakan politik etis.

Kartini memang mewarisi semangat pembaharuan pendidikan dari Abendanon.

Ini ditandai tidak saja kedekatannya dengan salah seorang tokoh politik etis

tersebut, tetapi yang terpenting adalah hasratnya yang besar bagi kemajuan

kaum perempuan. Lebih dari itu, sejalan dengan pemikiran Abendanon, Kartini

memilih pendidikan sebagai jalur yang harus ditempuh perempuan untuk

memperoleh pengakuan sejajar dengan kaum laki-laki. Dalam kaitan inilah, dia

diakui sebagai simbol dari awal gerakan emansipasi perempuan di Indonesia,

dia menjadi pelopor kebangkitan perempuan Indonesia.110

Hasrat Kartini untuk memajukan kaum perempuan memang harus

berhadapan dengan sistem sosial dan budaya Jawa yang tidak berpihak, dia

harus tunduk pada ayahnya yang memilih menikahkan dia ketimbang

mendukung memperoleh pendidikan lebih tinggi. Namun demikian, hal yang

paling penting dalam konteks ini adalah bahwa Kartini mempresentasikan

109 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 151.

110 Jajat Burhanudin, Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka, 2004), 4.

kebangkitan satu kesadaran baru yang tengah berkembang di kalangan bangsa

Indoensia, di mana kemauan menjadi satu wacana sosial dan intelektual yang

dominan. Surat-surat Kartini, yang kemudian diterbitkan sebagai penghargaan

atas cita-citanya untuk kemajuan kaum perempuan, dengan tegas merefleksikan

pemikiran yang berkembang secara umum saat itu, satu pemikiran bangsa

Indonesia yang mencitakan kemajuan. Hasrat dan cita kemajuan memang

menjadi ciri utama pergerakan Indonesia. Budi utomo, berdiri tahun 1905,

merupakan wujud dari keinginan sebagian bangsa Indonesia, lagi-lagi mereka

yang terdirik secara barat, untuk memperjuangkan terciptanya kemajuan.

Pembentukan organisasi modern, satu bentuk baru perjuangan bangsa Indonesia

saat itu, merupakan bukti dari keakraban mereka dengan pranata modernitas

yang diperkenalkan pemerintah kolonial, atas dasar makna ideologi kemajuan

memperoleh pendasaran historis-sosiologis di Indonesia.

Penting ditekankan, perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas, di

mana gagasan kemajuan menjadi cita-cita bersama bangsa Indonesia saat itu,

memang didukung teknologi cetak yang sudah diperkenalkan pihak kolonial. Di

samping tentu saja faktor pendidikan, perkembangan teknologi cetak telah

memainkan peran sangat penting dalam pembentukan wacana sosial-intelektual

di Indonesia. Media cetak telah menyediakan sarana demikian efektif bagi

perkembangan dan penyebaran gagasan, dan selanjutnya perubahan sosial,

termasuk gerakan kaum perempuan pada awal abad ke-20. Lagi-lagi

pengalaman Kartini memberi bukti hal demikian. Kemajuan kaum perempuan

yang dicitakan Kartini menjadi milik bersama bangsa Indonesia, khususnya

mereka dari kalangan pergerakaan berbasis di perkotaan. Hal ini tentu saja

terjadi karena gagasan-gagasan Kartini disebarkan melalui tulisan-tulisan yang

terbit di berbagai surat kabar, yang memang telah berkembang pesat di

Indonesia saat itu. Tulisan-tulisan Kartini dibaca tidak saja oleh sahabat-sahabat

sebangsa, tetapi juga dari bangsa, lain, khususnya Belanda.111

Tentu saja mereka sangat tertarik dan kagum, bahwa seorang putri

Bumiputra dapat menulis tentang hal-hal aktual dalam masyarakat dan dalam

bahasa Belanda yang demikian indahnya. Di antara mereka ada beberapa yang

memberanikan diri mengirim surat kepada Kartini untuk menyatakan

kekaguman serta dukungan mereka atas gagasan dan cita-cita suci Kartini

mengenai emansipasi kaum perempuan dan perempuan Indonesia pada

umumnya. Mereka juga mengagumi keluhuran budi Kartini yang meskipun

berasal dari kalangan ningrat tinggi, bersedia untuk bekerja dikalangan rakyat

biasa dan bahkan menamakan diri anak rakyat. Kartini gembira menerima

surat-surat itu, yang menunjukkan antusiasme muda yang masih murni. Dalam

menjawab surat-surat ini Kartini menempatkan diri sebagai mbakyu (Saudara

tua) mereka, kepada siapa mereka dapat menceritakan segala suka duka dan

juga meminta nasehat jika memerlukannya.112

Perempuan akan lebih dihargai bila ia memperoleh pendidikan yang

sama dengan laki-laki dan apalagi lebih tinggi. Perempuan berpendidikan yang

diangangkan Kartini adalah bagaimana ia bisa memasuki sektor-sektor publik,

seperti peneliti, penguasaha, wartawan, arsitek, dan bahkan pemimpin negara.

111 Jajat Burhanudin, Tentang Perempuan, 6.

112 Siti Soemandari, Kartini Sebuah Biografi, 320.

Itulah yang ada dalam bidikan lensa-lensa angan-angan Kartini menuju

pembebasan dan kebebasan perempuan dalam perspektif pendidikan.

Atas jasa Kartini ini, kemudian bermunculan wanita-wanita Indonesia

yang berpendidikan modern. Liberalisasi dan emansipasi pendidikan terus

digalakkan bagi kaum perempuan. Kaum wanita era sesudah Kartini boleh

berbangga dan sekaligus berbenah diri kea rah dua beban yang harus dipikul,

yaitu sektor domestik dan sektor publik. Wanita dewasa ini harus

menyeimbangkan segenap potensi dan kesempatan yang ada, antara rumah

tangga dan karirnya. Kemampuan manajerial balancing ini diharapkan supaya

apa yang menjadi cita-cita awal gerakan feminisme tidak sia-sia dan tidak

menjadi nihil.113

Pandangan Kartini tentang pendidikan barangkali bisa dijelaskan

kedalam beberapa hal. Pertama, pendidikan perempuan haruslah ditekankan

pertama kali sebagai usaha, mengejawantahkan pembangunan kepribadian anak

bangsa secara menyeluruh. Kedua, selain diorientasikan kepada pengetahuan

dan keterampilan, pendidikan hendaknya juga diarahkanm kepada pembentukan

watak dan kepribadian peserta didik. Ketiga, kunci kemajuan bangsa terletak

pada pendidikan, karena itu seluruh rakyat harus dapat menerima pendidikan

secara sama. Sistem dan praktek pendidikan tidak mengenal diskriminasi dan

siapa saja tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, keturunan, kedudukan sosial

dan sebagainya berhak memperoleh pendidikan.114

113 Imam Tholkhah, Membuka Jendela, 155.

114 Ibid., 154.

Kartini berusaha untuk memberikan perubahan terhadap posisi

perempuan Jawa pada waktu itu. Karena Kartini berharap kaum perempuan

akan memperoleh nasib yang lebih baik daripada apa yang dialaminya. Kartini

merupakan sosok pejuang pemikiran modern pertama sekaligus menjadi

inspirator bagi perempuan penerusnya. Beliau tidak hanya pejuang perempuan

saja, melainkan juga seorang pejuang pembebasan pemikiran untuk bangsanya.

BAB IV

ANALISA RELEVANSI PEMIKIRAN KARTINI DENGAN KONSEP

FEMINISME DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Analisa Konsep Feminisme Dalam Pendidikan Islam

Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam mempunyai nilai kemanusiaan

yang universal, dan menjadi tolok ukur keutamaan di antara manusia. Setiap

manusia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, tidak hanya menjadi

kewajiban untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dewasa ini, masih banyak

manusia yang belum menyadari akan hak yang dimiliki oleh masing-masing

individu. Bahkan, banyak manusia satu dengan lainnya masih memandang

sebelah mata untuk menerima pendidikan karena perbedaan kepemilikan harta,

status, suku, warna kulit, agama, dan perbedaan jenis kelamin. Perlakuan

diskriminasi tersebut menyebabkan ketimpangan terhadap kemajuan ilmu

pengetahuan, terlebih penyudutan hak akan ilmu pengetahuan yang dimiliki

antara kaum laki-laki dan perempuan.

Di dalam Islam, pendidikan adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim

laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan secara umum sangat

dijunjung tinggi dan dihormati dalam Islam. Penghormatan yang tinggi terhadap

ilmu pengetahuan dan mereka yang memilikinya, merupakan salah satu pegangan

bagi setiap muslim. Maka Islam menjadi agama yang juga mengutamakan

kesetaraan akan kepemilikan ilmu pengetahuan bagi laki-laki dan perempuan.

Maka dari itu, ilmu pengetahuan merupakan parameter nilai yang sama bagi laki-

laki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan tentang pentingnya pencapaian

ilmu antara laki-laki dan perempuan.

Sama halnya dalam konsep feminisme di dunia Islam, feminisme sudah

dikenal sejak awal masuknya Islam. Walaupun para muslim barangkali tidak

menggunakan istilah tesebut. Bahwa pendidikan merupakan hak bagi manusia

baik laki-laki maupun perempuan. Keyakinan tentang adanya ketidakadilan

masyarakat dalam memperlakukan perempuan telah mendorong lahirnya gerakan

feminisme. Dalam arti luas, feminisme menunjuk pada setiap orang yang

memiliki kesadaran terhadap subordinasi perempuan dan berusaha

menyelesaikannya. Terlebih dalam masalah pendidikan, menjadi sangat urgen

untuk segera ada penyadaran pada masyarakat.

Persamaan dalam pendidikan Islam adalah keadilan Islam yang mempunyai

satu-satunya ukuran yang dapat diikuti oleh setiap manusia dalam segala aspek

kehidupan, hak pendidikan, hak antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

Jadi, kesinambungan antara konsep dasar feminisme dengan Pendidikan Islam

menjadi salah satu daya tawar untuk memajukan pemikiran, peradaban dan

71

pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Kesetaraan yang terjadi antara laki-

laki dan perempuan merupakan posisi yang integral-holistik dalam Pendidikan

Islam.

Penghapusan dari kelima diskriminasi yang telah di petakan sebagai berikut,

pertama, marginalisasi perempuan, bahwa perempuan dianggap kaum yang tidak

pantas mendapatkan pendidikan tinggi karena perempuan hanya akan menjadi ibu

rumah tangga, maka dalam pendidikan Islam pun, marginalisasi harus

dihapuskan, karena pendidikan berhak dimiliki oleh semua orang baik laki-laki

maupun perempuan.

Kedua, subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa

perempuan itu irasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena

itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; tapi dalam pendidikan Islam

kecerdasan intelektual seorang perempuan tidaklah lebih rendah daripada kaum

laki-laki, ini berarti bahwa kaum perempuan bebas untuk mempelajari apa saja,

sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing, sehingga

diharapkan dengan pendidikan yang tinggi perempuan bisa menjadi pemimpin.

Ketiga, stereotype yang merugikan kaum perempuan, dalam pendidikan

Islam stereotip itu menimbulkan asumsi bahwa perempuan bersekolah tinggi

hanya untuk mencari jodoh, maka dalam pendidikan Islam stereotipe itu

dihapuskan dengan asumsi positif bahwa perempuan memang membutuhkan

pendidikan tinggi untuk menggapai cita-citanya.

Keempat, berbagai bentuk kekerasan (violence) menimpa perempuan baik

fisik maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan

dengan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan kekerasan terhadap

perempuan. Jika ditarik di dunia pendidikan juga muncul kekerasan terhadap

peserta didik perempuan, mereka lebih sering mendapat pelecehan dari gurunya.

Dalam pendidikan Islam dilarang adanya kekerasan dalam mendidik peserta didik

tanpa harus melihat jenis kelaminnya, maka semua harus diperlakukan secara

baik.

Kelima, pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan,

misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu

tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Dalam pendidikan

Islam perempuan pun berhak mencari jurusan yang sesuai dengan minat dan

bakatnya. Sehingga perkembangan ilmu yang diperoleh akan membawa pada

pekerjaan yang diinginkan, tanpa ada pembatasan karir dan jurusan yang dipilih

dalam pendidikan yang diikuti.

B. Analisa Pemikiran Kartini Mengenai Pendidikan Perempuan

Kartini adalah salah satu sosok yang menjadi ikon pembebasan perempuan

Indonesia. Pembebasan yang memberi perubahan kepada kaum perempuan dalam

hak memperoleh pendidikan yang sama seperti laki-laki.

Kartini adalah anak kelima dari sebelas saudara kandung dan saudara tiri.

Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Sampai usia 12 tahun, Kartini

diperbolehkan bersekolah. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah

karena sudah masuk usia pingitan. Melihat adat yang sudah mengental ini, bisa

kita perhatikan betapa minimnya kesadaran dari masyarakat kita pada waktu itu

dalam masalah pendidikan bagi perempuan.

Pada usia 24 tahun, oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan

Bupati Rembang, tepatnya pada tanggal 12 Nopember 1903. dengan demikian

Kartini meraih kebebasannya dari putri pingitan menjadi istri Bupati yang

memperoleh fasilitas yang lebih leluasa dalam penggunaannya, akhirnya

keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah untuk perempuan.tercapai.

Pada surat-surat Kartini yang kesemuanya berisi tentang harapan-

harapannya untuk memajukan perempuan di Jawa bahkan nusantara. Di dalamnya

karya-karyanya Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat

kungkungan adat, yaitu tak bisa duduk di bangku sekolah karena harus dipingit,

dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal.

Sosok Kartini memang telah memberikan sebuah warna baru dalam

kehidupan perempuan. Bagi Kartini, peradaban masyarakat terletak pada baik

tidaknya perempuan dalam dalam tempat tersebut. Karena itu, perempuan harus

dididik agar bisa mencetak generasi-generasi baru yang berkualitas.

Pendidikan yang diharapkan Kartini adalah pendidikan yang bisa

menyeimbangkan antara kecerdasan otak dan budi pekerti. Kecerdasan otak bisa

diperoleh dengan memberi kebebasan kepada peserta didik dalam

mengembangkan potensi yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendidikan

Islam, yang bisa disebut dengan pendidikan humanis.

Pendidikan humanis yaitu pendidikan yang memposisikan peserta didik

sebagai subjek. Jadi mereka berperan aktif dalam proses belajar mengajar. Selain

itu, budi pekerti sangat ditekankan dalam pembelajaran di sekolah untuk para

gadis. Kartini ingin meletakkan dasar moralitas bagi masyarakat melalui

pendidikan budi pekerti sebagai pengimbang pendidikan akal.

Kartini adalah perempuan Jawa pertama yang pemikirannya bisa

memberikan perombakan pada posisi perempuan di Jawa pada saat itu. Sistem

pengajaran Kartini juga bisa dikatakan modern. Serta pengikisan dari pernyataan

masyarakat tentang posisi perempuan yang terus termarginalkan. Kartini

memberikan pendidikan kepada perempuan sebagai modal untuk kemajuan

mereka. Pendidikan yang tidak mengenal diskriminasi, laki-laki dan perempuan

sama-sama berhak untuk memperoleh pendidikan. Maka dari itu pemikiran

Kartini memberikan kebebasan bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas

hidup mereka, sehingga hal ini memberikan kesadaran bagi perempuan akan

ketertindasan mereka.

Pandangan Kartini tentang pendidikan barangkali bisa dijelaskan kedalam

beberapa hal. Pertama, pendidikan perempuan haruslah ditekankan pertama kali

sebagai usaha mengejawantahkan pembangunan kepribadian anak bangsa secara

menyeluruh. Kedua, selain diorientasikan kepada pengetahuan dan keterampilan,

pendidikan hendaknya juga diarahkanm kepada pembentukan watak dan

kepribadian peserta didik. Ketiga, kunci kemajuan bangsa terletak pada

pendidikan, karena itu seluruh rakyat harus dapat menerima pendidikan secara

sama. Sistem dan praktek pendidikan tidak mengenal diskriminasi dan siapa saja

tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, keturunan, kedudukan sosial dan

sebagainya berhak memperoleh pendidikan.

C. Analisa Relevansi Pemikiran Kartini Dengan Konsep Feminisme Dalam

Pendidikan Islam

1. Analisa Relevansi Pemikiran Kartini tentang Perempuan Sebagai

Pendidik Pertama dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam

Kartini berpandangan bahwa perempuan bertanggung jawab terhadap

corak kehidupan di masyarakat, karena perempuan (ibu) adalah pendidik

pertama dan utama. Di tangan perempuan terbentuk generasi handal harapan

umat dan tergenggam masa depan umat, karena ia adalah tiang negara yang

menentukan tegak atau runtuhnya negara atau masyarakat. Menurut beliau,

peradaban masyarakat terletak di tangan perempuan, karena itu perempuan

harus dididik, diberi pelajaran, dan turut serta dalam pekerjaan besar yang

disebutnya dengan “pendidikan bangsa yang berjuta-juta”.

Menurut penulis, pemikiran semacam itu relevan dengan konsepsi, al-

ummu madrasatun (yakni pemikiran bahwa kaum perempuan mengemban

fungsi penting sehingga sekolah pertama bagi anak-anak dan generasi

penerus), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Islam. Dalam banyak

literatur Islam, dapat kita temukan teks-teks (ayat-ayat al-Qur’an, hadits,

dan ungkapan dari para sahabat-sahabat Nabi maupun ulama) mengenai

peran perempuan sebagai pendidik utama. Dalam konteks pendidikan

generasi, perempuan adalah “benteng terakhir” yang di dalamnya Islam

melindungi akhlak dan peradaban manusia.

Seabad lebih berlalu semenjak Kartini menegaskan pentingnya

pendidikan bagi perempuan. Kartini menganggap, pengaruh psikologis ibu

kepada anak yang dilahirkan dan dibesarkan di pangkuannya sangat penting

bagi pembentukan watak serta perkembangan jiwa anak itu selanjutnya.

Akan tetapi, karena pada masa itu kaum ibu kita pada umumnya belum

mendapat pendidikan, maka Kartini memandang perlu diadakannya sekolah

bagi gadis-gadis (calon ibu) dengan guru-guru yang kompeten, yang mampu

memberikan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkana dan sesuai

dengan keperluan zaman, Kartini paham, kebangkitan manusia diawali

dengan cara berfikirnya sehingga ia terus mengupayakan pengajaran dan

pendidikan bagi perempuan demi untuk kebangkitan berfikir kaumnya agar

lebih terampil menjalankan kewajibannya sebagai perempuan.

Pada konteks psikososial Indonesia saat ini, dan di manapun juga,

tingkat pendidikan perempuan memang bisa menjadi jembatan utama

kemajuan. Perempuan berpendidikan akan lebih memiliki akses informasi

yang lebih baik. Tetapi pendidikan akan memberi arti kepada perempuan

sebagai ibu, itulah yang tidak banyak orang pikirkan, karena itu, penulis

berpendapat bahwa pandangan Kartini mengenai pentingnya pendidikan

bagi kaum perempuan sangat relevan dengan tuntutan Islam agar para orang

tua (terutama ibu) memberikan yang terbaik kepada generasi berikutnya,

salah satunya melalui peningkatan kualitas perempuan.

2. Analisa Relevansi Pemikiran Kartini Tentang Pendidikan dan

Pengajaran bagi Perempuan dengan Konsep Feminisme dalam

Pendidikan Islam

Pendidikan adalah salah satu yang menjadi kepedulian utama Kartini

untuk memajukan perempuan dan Bangsa Bumiputera umumnya.

Pendidikan dan pengajaran bagi Bumiputera, menurut Kartini hendaknya

ditujukan kepada hal-hal praktis demi meningkatkan kecerdasan dan

kualitas hidup rakyat. Pemikiran Kartini mengenai sistem pengajaran untuk

zaman itu boleh dikatakan sangat modern, karena menempatkan anak didik

sebagai subjek kegiatan belajar mengajar, bukan sebagai objek pengajaran

seperti halnya pendidikan pada waktu itu.

Konsep pendidikan Kartini terfokus pada penyempurnaan kecerdasan

berfikir dan kepekaan budi pekerti siswa melalui keteladanan sikap dan

perilaku guru. Pendidikan harus mampu menanamkan moralitas yang akan

membentuk siswa berwatak ksatria. Pemikiran Kartini boleh dibilang jauh

ke depan membina character building sejak muda. Konsep pendidikan

Kartini memerlukan suri teladan guru yang handal dan berbudi pekerti

luhur. Kartini juga melihat pentingnya menjaga silaturahmi antara siswa

yang sudah meninggalkan bangku sekolah dan masih berstatus murid, yang

dihubungkan oleh figur sebagai sumber pengetahuan sekaligus pengajar.

Kartini juga berpendapat bahwa sepanjang peradaban manusia

ditopang oleh jiwa-jiwa yang tidak memiliki keseimbangan antara

kecerdasan otak dan budi pekerti, tatanan masyarakat akan tetap pincang

dalam memberikan pendidikan kepada perempuan. Kartini yakin,

pendidikan manusia harus dimulai sedini mungkin, namun bukan

pendidikan yang membentuk anak menjadi keras kepala, yang kelak akan

menjadi orang yang mementingkan diri sendiri.

Penulis memandang pemikiran yang semacam itu relevan dengan

pemikiran dalam pendidikan Islam, yaitu bahwa pengembangan potensi

peserta didik dapat dilakukan melalui proses pendidikan yang mampu

mengantar peserta didik menjadi hamba Allah dan khalifah Allah di muka

bumi dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ilahiyyah pendidikan

Islam memberikan kebebasan kepada siapapun (laki-laki maupun

perempuan) untuk memperoleh pendidikan, kebebasan yang diberikan

kepada manusia dapat menyelamatkan diri dari segala macam bentuk

tekanan, paksaan dan segala macamnya.

Menurut penulis, mendidik harus membiasakan peserta didik

menggunakan kemampuannya dan bebas dalam berfikir, sehingga mereka

akan terbiasa menggunakan pendapat dengan penuh tanggung jawab.

Pendidikan memberikan kebebasan mengembangkan potensi yang dimiliki.

Peserta didik berperan aktif dalam proses belajar mengajar (diposisikan

sebagai subjek). Islam tidak memperbolehkan membatasi kebebasan

individu untuk memperoleh pendidikan. Dalam kerangka berfikir inilah,

maka penulis berpendapat bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan dan

pengajaran bagi perempuan relevan dengan konsep feminisme dalam

pendidikan Islam.

3. Analisa Relevansi Pemikiran Kartini tentang Pendidikan Tanpa

Diskriminasi dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam

Kartini berkeyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus

memperoleh pendidikan yang sama. Pendidikan merupakan kata kunci

menuju perubahan, juga sebagai penghapus diskriminasi dan penindasan

diantara manusia. Khusus kaum perempuan, diharapkan oleh Kartini,

mereka bukan hanya menjadi komoditi domestik melainkan bagaimana bisa

memasuki peran kunci pembuka bagi pendidikan putra-putri anak bangsa.

Di sisi lain, Islam sangat mendorong perempuan untuk selalu tanggap

terhadap segala yang ada di sekelilingnya. Kaum perempuan terus didorong

untuk membekali diri dengan pemahaman Islam, sehingga mampu

menyelesaikan seluruh problem yang ada disekelilingnya dengan benar.

Tercatat dalam sejarah bahwa, Rasulullah tidak pernah membedakan

perempuan dalam mendapatkan ilmu. Bahkan Rasulullah menyediakan

waktu dan tempat tersendiri untuk kajian kaum perempuan. Sangat jelas,

Islam mencerdaskan perempuan karena mereka juga bagian dari warga

negara sebagaimana laki-laki, keduanya bertanggung jawab membawa umat

ke keadaan yang lebih baik.

Dalam banyak literatur Islam dinyatakan bahwa ajaran Islam

menempatkan perempuan dalam derajat sama dengan laki-laki, baik dalam

ibadah maupun dalam urusan sosial, termasuk hak memperoleh pendidikan.

Islam mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak belajar

dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Perempuan diijinkan memperoleh

pendidikan, baik dalam cabang ilmu keagamaan maupun pengetahuan

keduniaan. Menurut Islam, untuk tujuan pendidikan, tidak ada diskriminasi

antara laki-laki dengan perempuan.

Prinsip persamaan dalam Islam pada dasarnya bertujuan agar setiap

orang mampu menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya serta dapat

mengembangkan prestasinya. Untuk itu, Islam memberikan kesempatan

yang sama bagi semua peserta didik untuk mendapatkan bimbingan dalam

rangka pengembangan potensinya secara maksimal. Salah satu amanat

ajaran Islam ialah terwujudnya keadilan dalam masyarakat yang mencakup

segala segi kehidupan. Karena itu, Islam tidak mentolerir segala bentuk

penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa

maupun jenis kelamin.

Menimbang pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka penulis,

berpendapat bahwa pemikiran Kartini tentang pendidikan tanpa diskriminasi

sangat relevan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam.

Penghapusan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan

Islam adalah sebagai berikut: Marginalisasi harus dihapuskan, karena

pendidikan berhak dimiliki oleh semua orang. Subordinasi harus dihapuskan

karena kecerdasan intelektual seorang perempuan tidaklah lebih rendah

daripada kaum laki-laki. Stereotype harus dihapuskan dengan asumsi positif

bahwa perempuan memang membutuhkan pendidikan tinggi. Dalam

pendidikan Islam dilarang adanya kekerasan dalam mendidik peserta didik

tanpa harus melihat jenis kelaminnya. Pembagian kerja secara seksual yang

merugikan kaum perempuan harus dihapuskan karena dalam pendidikan Islam

perempuan pun berhak mencari jurusan yang sesuai dengan minat dan

bakatnya.

2. Pemikiran Kartini mengenai pendidikan perempuan

Pendidikan perempuan haruslah ditekankan pertama kali sebagai usaha

mengejawantahkan pembangunan kepribadian anak bangsa secara

menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada pembentukan watak dan

kepribadian peserta didik. Seluruh rakyat harus dapat menerima pendidikan

secara sama.

3. Relevansi pemikiran Kartini dengan konsep Feminisme dalam

Pendidikan Islam

84

a. Relevansi pemikiran Kartini tentang perempuan sebagai pendidik

pertama dengan konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam

Pemikiran tentang peradaban masyarakat terletak di tangan

perempuan relevan dengan konsepsi, al-ummu madrasatun (yakni

pemikiran bahwa kaum perempuan mengemban fungsi penting sebagai

sekolah pertama bagi anak-anak dan generasi penerus).

b. Relevansi pemikiran Kartini tentang pendidikan dan pengajaran bagi

perempuan dengan konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam

Pemikiran Kartini relevan dengan Pendidikan Islam yaitu

pengembangan potensi peserta didik dapat dilakukan melalui proses

pendidikan yang mampu mengantar peserta didik menjadi hamba Allah

dan khalifah Allah di muka bumi.

c. Relevansi pemikiran Kartini tentang pendidikan tanpa diskriminasi

dengan konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam

Pemikiran Kartini tentang pendidikan tanpa diskriminasi sangat

relevan dengan konsep feminisme dalam pendidikan Islam. Karena

sama-sama tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan

kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa maupun jenis kelamin.

B. Saran

Diharapkan masyarakat mampu menghilangkan anggapan-anggapan negatif

yang merugikan perempuan. Stigma yang muncul dalam masyarakat telah membuat

berbagai ketimpangan-ketimpangan terhadap perempuan seperti marginalisasi,

subordinasi, stereotype, pembagian kerja, dan berbagai bentuk kekerasan.

Kesemuanya menjadi momok yang menakutkan ketika masyarakat dan perempuan

itu sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya.

Dengan wacana yang digulirkan dimaksudkan untuk ikut merombak paradigma

masyarakat luas. Sehingga kehidupan yang lebih harmonis akan tercipta. Terlebih dalam

dunia pendidikan Islam yang sangat mengagungkan sosok perempuan sebagai sekolah

pertama bagi anaknya, maka pengembangan potensi dalam diri perempuan itu sendiri

juga harus menjadi satu harapan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasi, Muhammad Athiyah. Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam. terj.Syamsudin

Ashrofi.Yogyakarta : Titian Ilahi , 1996.

Al- Qaradhawi , Yusuf. Berinteraksi dengan Alquran. Terj. Abdul Hayyi al – Kattani.

Jakarta : Gema Insani Press , 1999.

Anshori, Dadang. Membincangkan Feminisme. Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Arbaningsih, Dri. Kartini Dari Sisi Lain Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi

Bangsa. Jakarta: KOMPAS, 2005.

Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2007.

Burhanudin, Jajat. Tentang Perempuan Islam Wacana dan Gerakan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. Rekonstruksi Metodologi Wacana Kesetaraan Gender dalam

Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Fadlulloh, Sayyid Muhammad Husain. Dunia Wanita dalam Islam. Terj. Muhammad

Abdul Qodir Alkaf. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.

Fakih, Mansour. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya:

Risalah Gusti, 2000.

Hakeem, Ali Husein. Membela Perempuan : Menakar Feminisme dengan Nalar Agama.

terj. Jemala Gembala. Jakarta: Al- Huda, 2005.

Hasyim, Umar. RA. Kartini Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia. Solo: Tiga

Serangkai, 1984.

Heroepoetri, Arimbi. Percakapan Tentang Feminisme Vs Neoliberalisme. Jakarta:

debtWATCH, 2004.

http: //dwinanto.blogsome.com.2009/04/15/p85.

http: //id/wikipedia.org/wiki/Kartini.

http: //kewanitaande. Multiply. com /journal

http: //medsastra.multiply. com /journal /item / 21 / indahnya femin

Ihromi, Tapi Omas. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: ALUMNI,

2002.

Ilyas, Yunahar. Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an Studi Pemikiran Para Mufasir.

Yogyakarta. LABDA PRESS, 2006.

Ja’far, Muhammad Anis Qasim. Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan

Persoalan Gender dalam Islam. Terj. Ikhwan Fauzi. tt: Amzah, 2002.

Jawad, Haifa. Perlawanan Wanita Sebuah Pendekatan Otentik Religius. terj. Moh.

Sidiq.Malang: Cendekia Paramulya, 2002.

Mahmudunnasir, Syed. Islam: Konsepsi dan Sejarahnya. terj. Adang Afandi. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing, 2003.

Muhadjir, Noeng. Metotodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafia,

1998.

Munhanif, Ali. Mutiara Terpendam Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jakarta.

PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Murniati, Nunuk Prasetyo. Gerakan Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta:

Kanisius, 1998.

Muslih, Muhammad. Bangunan Wacana Gender. Ponorogo: CIOS, 2007.

Muslihati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam.

Jakarta: Gema Insani, 2004.

Muthali’in, Achmad. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah

University Press., 2001.

Pane, Armijn. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka,1992.

Pedoman Penulisan Skripsi STAIN Ponorogo. Jurusan Syari’ah, Jurusan Tarbiyah,

Jurusan Usuluddin, 2008.

Rafsanjani. Hujjatul Islam Hasemi. Kemerdekaan Wanita dalam Keadilan Sosial Islam.

terj. Satrio Pinandito. Jakarta: CV. Firdaus, 1992.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006.

RI, Departemen Penerangan. Pejuang Wanita Indonesia: 10 Windu Setelah Kartini 1904-

1984. Jakarta: PT Gita Karya, 1984.

Ridwan. Kekerasan Gender. Purwokerto: PSG, 2006.

Sastroatmodjo, Suryanto. Tragedi Kartini. Yogyakarta: NARASI, 2005

Soeroto, Siti Sumantri. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: PT Gunung Agung, 1979.

Soleh, Khudori. Pemikiram Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela, 2003.

Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Mimbar, 2004.

Tafsir, Ahmad. Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar, 2004.

-----------------. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.

Tholkhah, Imam. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur-an. Jakarta :

Paradina, 1999.

Wilcox, lynn. Wanita Dan Al-Qur’an dalam Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-

Qur’an. Jakarta: Paradina, 1999.perspektif sufi. Terj. Dictia. Bandung: Pustaka

Hidayah, 2001.

Yamani, Mai. Feminisme dan Islam Perspektif Hukum dan Sastra. terj. Purwanto.

Bandung: Nuansa, 2000.

Zaini, Wahid. Memposisikan Kodrat Perempuan dan Perubahan Dalam Perspektif Islam.

Bandung: Mizan, 1999.