Implementasi Pemikiran Hasyim Asyari pada Pesantren

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren Gedang. 1 Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan mulia. Semenjak masih anak-anak, Ia dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh lebih tua dari dirinya. Selama bertahun-tahun Ia berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain, bahkan beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu, 1 Drs. H.M. Laily Mansur, L.PH. Ajaran dan Teladan Para Sufi, hlm. 305. 1 | Page

Transcript of Implementasi Pemikiran Hasyim Asyari pada Pesantren

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari

Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287 H, bertepatan dengan

tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer

sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama

Kiai Asy’ari berasal dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya

bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri Pesantren

Gedang.1 Dilihat dari garis keturunan itu, beliau termasuk

putera seorang pemimpin agama yang berkedudukan baik dan

mulia.

Semenjak masih anak-anak, Ia dikenal cerdas dan rajin

belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah bimbingan

ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih

mudah menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu

Tauhid, Fiqih, Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab. Karena

kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun ia sudah

diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang

usianya jauh lebih tua dari dirinya. Selama bertahun-tahun

Ia berkelana dari pondok satu ke pondok yang lain, bahkan

beliau bermukim di Makkah selama bertahun-tahun dan berguru

kepada ulama-ulama Makkah yang termasyhur pada saat itu,

1 Drs. H.M. Laily Mansur, L.PH. Ajaran dan Teladan Para Sufi, hlm. 305.1 | P a g e

seperti: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi

Banten dan Syekh Mahfudz At Tarmisi.2

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal

31 Januari 1926, K.H. Hasyim Asy’ari bersama K.H. Abdul

Wahab Hasbullah serta para ulama yang lain mendirikan

Jam’iyah Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam

terbesar di Indonesia. Hampir seluruh kiai di Jawa

mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha

Guru” kepadanya, karena beliau adalah seorang ulama yang

secara gigih dan tegas mempertahankan ajaran-ajaran

madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai

masalah yang prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari

Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa mempelajari pendapat

ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki,

Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar

balikan pengertian dari ajaran Islam itu sendiri.

Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan umat,

maka K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng,

Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya,

Tebuireng kemudian berkembang menjadi “pabrik” pencetak

kiai. Dari sini dapat dilihat betapa besar pengaruh

Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa

pada awal abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya

hasil didikan Tebuireng.

Pengabdian Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia

pesantren, melainkan juga pada bangsa dan negara. Beliau

2 Ibid., hlm. 305.2 | P a g e

seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional seperti

Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran

dan bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.

Pada saat Jepang berkuasa mereka memaksakan budaya

‘Saikerei’ yaitu menghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika”

dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke

arah Tokyo, yang harus dilakukan oleh seluruh penduduk.

K.H. Hasyim Asy’ari menentangnya karena beliau beranggapan

hal itu haram. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai

‘ruku’ dalam sholat, yang hanya diperuntukkan menyembah

Allah SWT. Akibat penolakkanya itu, pada akhir April 1942,

K.H. Hasyim Asy’ari ditangkap dan dijebloskan ke dalam

penjara di Jombang. Ribuan santri dan kiai alumni Tebuireng

berunjuik rasa, mereka meminta dipenjarakan bersama-sama

Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada

guru dan pemimpin mereka. Peristiwa itu cukup membakar

dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang

dan menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya

mulai takut, hingga kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H

bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai Hasyim

dibebaskan.

Pada Oktober 1943, NU dan Muhammadiyah bersepakat

membentuk organisasi gabungan menggantikan MIAI (Al

Majlisul Islamil A’la Indonesia) dan diberi nama MASYUMI

(Majlis Syuro Muslimin Indonesia) yang non politik,

pimpinan tertingginya dipercayakan kepada K.H. Hasyim

Asy’ari. Dan pada tahun 1944 beliau diangkat oleh

3 | P a g e

pemerintah Jepang menjadi Ketua SHUMUBU (Kantor Pusat

Urusan Agama). Pada masa-masa akhir pemerintahan Jepang di

Indonesia, Masyumi melatih pemuda-pemuda Islam khususnya

para santri dengan latihan kemiliteran yang kemudian diberi

nama Hizbullah.

Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan dengan tanggal

25 Juli 1947, K.H. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah.

Atas jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar

“Pahlawan Nasional”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengajukan

satu pertanyaan umum, yaitu:

1.2.1 Bagaimana pemikiran Hasyim Asy’ari terhadap

pendidikan Islam di Indonesia?

1.2.2 Bagaimana implementasi pemikiran Hasyim

Asy’ari dalam Pesantren Tebuireng?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Penulis menetapkan ruang lingkup masalah secara

temporial yang digunakan dalam makalah ini yaitu dari tahun

1899 hingga tahun 1947. Tahun 1899 dipilih sebagai awal

perioderisasi dalam makalah ini karena tahun tersebut K.H.

Hasyim Asy’ari tiba di Indonesia setelah memperdalam Ilmu

Agama di Mekah sejak tahun 1893. Pada tahun tersebut pula

K.H. Hasyim Asy’ari pertama kalinya mendirikan Pesantren

Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan tahun 1947

4 | P a g e

dipilih penulis sebagai akhir perioderisasi bahasan makalah

ini karena pada tahun tersebut K.H. Hasyim Asy’ari wafat.

Dengan begitu otomatis kepemimpinan Tebuireng diwariskan

kepada anaknya yaitu Wahid Hasyim.

Sedangkan ruang lingkup masalah secara spasial yang

ditetapkan oleh penulis adalah Indonesia. Karena pemikiran

K.H. Hasyim Asy’ari berkembang selama ia menuntut ilmu di

berbagai pelosok daerah dan bertemu dengan santri-santri

lain dari penjuru Indonesia. Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari

beserta Pesantren Tebuireng pun membawa pengaruh yang

besar bahkan menjadi suatu pembaharuan bagi banyak

pesantre-pesantren di Indonesia, khususnya Jawa Timur.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui

sejauh mana peranan K.H. Hasyim Asy’ari dalam rangka

memajukan umat lewat Pondok Pesantren Tebuireng yang Ia

bangun. Mengingat Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah

satu pesantren yang membawa pengaruh dan perubahan besar

pada pesantren-pesantren di seluruh Indonesia. Selain itu

makalah ini juga dibuat untuk mengtahui bagaimana pemikiran

K.H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan Islam di Indonesia

yang menjadi dasar perkembangan dari Pondok Pesantren

Tebuireng itu sendiri.

1.5 Metode Penulisan

5 | P a g e

Dalam penulisan makalah ini penulis memilih

menggunakan metode penulisan sejarah yang mana tahapannya

antara lain;

1.5.1 Heuristik

Penulis mencari sumber-sumber yang berkaitan

dengan tema makalah berupa buku teks di Perpustakaan

Universitas Indonesia dan Perpustakaan Nasional RI. Selain

itu penulis juga mendapat kemudahan dengan dipinjamkannya

buku teks dari dosen mata kuliah yang bersangkutan. Penulis

juga mengakses website dan mendapatkan sebuah artikel.

1.5.2 Kritik

Setelah mendapatkan sumber-sumber tersebut

selanjutnya penulis memberikan kritik terhadap sumber-

sumber tersebut. Baik kritik intern maupun ekstern.

1.5.3 Interpretasi

Tahap berikutnya penulis memberikan interpretasi

pada sumber-sumber yang sudah ditetapkan dan menarik

kesimpulan dari beberapa sumber tersebut.

1.5.4 Historiografi

Tahap terakhir penulis mengembangkan kerangka

tulisan yang telah dirumuskan dalam perumusan masalah

dengan sistematika dan cara penlisan yang lebih rapih

dan tertata.

1.6 Sumber Data

6 | P a g e

Seperti yang telah dijelaskan di atas, penulis

mendapatkan sumber-sumber untuk penulisan makalah ini di

Perpustakaan Universitas Indonesia dan Perpustakaan

Nasional RI, serta sebuah sumber dari dosen mata kuliah

yang bersangkutan dan sebuah artikel dari website. Sumber-

sumber tersebut antara lain:

Arifin, Imron. 1993. Kepemimpinan Kiyai: Kasus : Pesantren

Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press.

Bashri, Yanto dan Retno Suffatni. 2005. (ed) Sejarah

Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa.

Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang

Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Penerbit LP3ES.

Khuluq, M.A., Drs. Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama

Biografi K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LkiS.

Nata, Prof. Dr. H. Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam.

Jakarta, Kencana.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 –

1942. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Mansur, L.PH., Drs. H.M. Laily. 1999. Ajaran dan Teladan

Para Sufi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rifai, Muhammad. 2009. K.H. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat

1871–1947. Yogyakarta: Garasi.

Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren, Madrasah, Sekolah:

Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: PT Pustaka

LP3ES Indonesia.

Soekadri, Heru. 1982. Kiyai Haji HASYIM ASY’ARI. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat7 | P a g e

Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Naisonal.

http://www.nu.or.id.a,public-m,dinamic-s,detail-

ids,46-id,38786-lang,id-c,pesantren-t,Kisah+Tebuireng+

+dari+Mbah+Hasyim+hingga+Gus+Dur-.phpx (Diakses pada

14 April 2013 pukul 08.00 WIB)

1.7 Sistematika Penulisan

Penulis menyusun makalah ini ke dalam empat bab,

yaitu:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang

menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan

masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penulisan, metode

penulisan, serta sistematika penulisan.

BAB II: PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI TERHADAP PENDIDIKAN

ISLAM DI INDONESIA

Bab kedua ini merupakan bab isi yang membahas

perluasan dari perumusan masalah pertama yaitu

Pemikiran Hasyim Asyari Terhadap Pendidikan Islam di

Indonesia.

BAB III: IMPLEMENTASI PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI DALAM

PESANTREN TEBUIRENG

Bab ketiga masih merupakan bab isi yang membahas

perluasan dari perumusan masalah kedua yaitu

8 | P a g e

Implementasi Pemikiran Hasyim Asy’ari dalam Pesantren

Tebuireng. Dalam bab ini terdapat pula dua sub-bab mengenai

berdirinya Pesantren Tebuireng dan Perkembangan

Pesantren Tebuireng

BAB IV: PENUTUP

Pada bab keempat ini terdapat satu bab-bab yaitu

kesimpulan yang merupakan simpulan dari bab-bab

sebelumnya.

BAB II

PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI

TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

2.1 Pemikiran Hasyim Asy’ari

9 | P a g e

K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871

(24 Dzulqadah 1287 H) dan wafat pada 25 Juli 1947. Masa

hidupnya selama 76 tahun banyak diwarnai oleh momen ataupun

fase penting dalam kondisi sosial dan politik Indonesia.

Fase-fase tersebut3 :

Akhir abad ke-19 yang sering disebut dengan second

Islamic Wave

kebijakan Politik Etis yang mulai diberlakukan pada

tahun 1900

Pertumbuhan organisasi modern seperti Budi Utomo pada

tahun 1908

Tercapainya konsensus gerakan nasionalisme sejak

tahun 1924

Perang Kemerdekaan

Kehidupan beliau sendiri terbagi dalam beberapa fase.

Fase pertama lahir dan dibesarkan dalam lingkungan

pesantren. Orangtua dan kakeknya merupakan pemimpin

pesantren di Jombang. Sejak kecil hingga beranjak dewasa,

K.H. Hasyim Asy’ari banyak berguru di berbagai pesantren di

pulau Jawa. Berkat bakat kepemimpinan dan kecerdasan yang

dimilikinya, beliau kemudian dinikahkan dengan salah satu

anak dari pemimpin pesantren Siwalan Panji di Sidoarjo,

yaitu Kiyai Ya’qub. Fase kedua adalah ketika K.H. Hasyim

Asy’ari diberangkatkan haji ke Mekkah kemudian memperdalam

ilmu agama di sana. Setelah tujuh bulan, Hasyim kembali ke3 Prof Bernhard Dahm, dalam bukunya History of Indonesia in Twentieth Century (London: Pall Mall Press: 1971)

10 | P a g e

tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893,

beliau kembali ke tanah suci dan belajar di sana selama

tujuh tahun. Beliau memperdalam ilmu agama kepada banyak

guru, salah satunya Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau.

K.H. Hasyim Asy’ari lebih banyak memusatkan perhatian pada

ilmu hadits, yang merupakan kegemarannya.

Sekembalinya beliau ke Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari

mengajar di Pesantren Nggedang, sebuah pesantren yang

didirikan oleh kakeknya, KH. Utsman. Beberapa santri yang

beliau ajar di pesantren tersebut kemudian menjadi “pondasi

awal” terbentuknya pesantren yang didirikan oleh K.H Hasyim

Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Santri yang diajak pada

awalnya berjumlah 8 orang, yang kemudian hanya dalam waktu

3 bulan bertambah menjadi 28 orang.

Di pesantren inilah, KH. Hasyim Asy’ari banyak

melakukan aktifitas tidak hanya berperan sebagai pimpinan

pesantren secara formal, melainkan juga sebagai pemimpin

masyarakat secara informal. Sebagai pemimpin pesantren, KH.

Hasyim Asy’ari melakukan pengembangan institusi

pesantrennya, termasuk mengadakan pembaruan sistem dan

kurikulum pesantren. Sedangkan perannya sebagai pemimpin

informal, KH. Hasyim Asy’ari menunjukkan kepeduliannya

terhadap kebutuhan masyarakat melalui bantuan pengobatan

kepada masyarakat yang membutuhkannya, termasuk juga kepada

keturunan Belanda.

11 | P a g e

Sistem pengajaran yang diterapkan Pesantren Tebuireng

sejak berdirinya (1899) sampai tahun 1916 adalah dengan

menggunakan sistem sorogan4 dan bendongan/halaqah5. Kedua

sistem tersebut digunakan sebagai metode utama dalam

mentransformasikan ilmu-ilmu agama kepada santrinya.

Pada 1916-1919, pelajaran umum di samping pelajaran

agama seperti Bahasa Melayu, Matematika dan Ilmu Bumi,

dimasukkan ke dalam kurikulum madrasah. Sejak tahun 1926

ditambah dengan bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia. Kedua

pelajaran terakhir ini diperkenalkan oleh Kyai Ilyas,

keponakan K.H. Hasyim Asy’ari yang telah menamatkan

pelajarannya di HIS6 Surabaya.

Perhatian K.H Hasyim Asy’ari yang begitu besar kepada

Pesantren Tebuireng sebenarnya bisa ditelusuri dari

pandangan dan pemikiran beliau terhadap pendidikan.

Pandangan dan pemikiran beliau terhadap pendidikan

diejawantahkan dalam kitab yang berjudul Adab al-Alim wa

al-Muta’allim. Kitab yang ditulis oleh K.H. Hasyim Asy’ari

ini membahas etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan.

Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur,

4 santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru

5 kyai membaca kitab dan santri memberi makna

6 Hollandsch-Inlandsche School,12 | P a g e

sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-

etiak yang luhur pula.

Latar belakang kitab ini dipengaruhi oleh perubahan

yang cepat dan perubahan dari pendidikan klasik menuju

pembentukan pendidikan modern, di mana hal tersebut

dipengaruhi oleh penjajahan Belanda di Indonesia. Kitab

tersebut dibuat untuk memasukkan nilai etis, moral, seperti

nilai menjaga tradisi yang baik dan perilaku santun dalam

bermasyarakat, tanpa menolak kemajuan atau perubahan zaman.

Beliau menerima kemajuan dan perubahan zaman dengan syarat

tidak mengubah nilai substantifnya (melestarikan nilai-

nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai baru yang

lebih positif)

Di dalam kitabnya ini, K.H Hasyim Asy’ari menyebutkan

bahwasanya pendidikan itu penting sebagai sarana mencapai

kemanusiaannya, sehingga menyadari siapa sesungguhnya

penciptanya, untuk apa diciptakan, melakukan segala

perintahnya dan menjauhi segala larangannya, untuk berbuat

baik di dunia dengan menegakkan keadilan, sehingga layak

disebut makhluk yang lebih mulia disbanding dengan makhluk-

makhluk lain yang diciptakan Tuhan.

Menurut beliau, tujuan diberikannya sebuah pendidikan

pada setiap manusia ada dua, yaitu:

13 | P a g e

1. Menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri

kepada Allah Swt.

2. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan

dunia dan akhirat

K.H. Hasyim Asy’ari membagi ilmu pengetahuan itu menjadi

tiga bagian :

1. Ilmu pengetahuan yang tercela dan dilarang. Artinya,

ilmu pengetahuan yang tidak dapat diharapkan

kegunaannya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti

ilmu sihir, nujum, ramalan nasib dan sebagainya

2. Ilmu pengetahuan yang dalam keadaan tertentu menjadi

terpuji, tetapi jika mendalaminya menjadi tercela.

Artinya, ilmu yang sekiranya mendalami akan

menimbulkan kekacauan pikiran, sehingga dikhawatirkan

menimbulkan kufur. Misalnya, ilmu kepercayaab dan

kebatinan, ilmu filsafat

3. Ilmu pengetahuan yang terpuji, yakni ilmu pelajaran-

pelajaran agama dan berbagai macam ibadah. Ilmu-ilmu

tersebut dapat menyucikan jiwa, melepaskan diri dari

perbuatan-perbuatan tercela, membantu mengetahui

kebaikan dan mengerjakannya, mendekatkan diri kepada

Allah swt, mencari rida-Nya dan mempersiapkan dunia

ini untuk kepentingan di akhirat

14 | P a g e

Sementara itu, terdapat kesamaan pandangan antara K.H.

Hasyim Asy’ari dan Al-Ghazali mengenai hukum mempelajari

ilmu pengetahuan, yaitu :

1. Fardhu Ain. Artinya kewajiban mencari ilmu dibebankan

kepada setiap Muslim (setiap individu)

2. Fardhu Kifayah. Artinya ilmu yang diperlukan dalam

rangka menegakkan urusan duniawi

Apa yang menjadi inti seorang santri (atau pelajar)

bukan sekadar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, di mana pun

jua dengan belajar yang rajin dan penuh disiplin. Tapi

bagaimana ilmu yang sudah didapat itu harus dipraktikkan

atau bisa dimanfaatkan. Ilmu bukan hanya untuk dirinya

sendiri, tapi juga untuk kemaslahatan khalayak umum. Itu

semua merupakan bekal untuk kehidupan di dunia dan akhirat.

BAB III

IMPLEMENTASI PEMIKIRAN HASYIM ASY’ARI

DALAM PESANTREN TEBUIRENG

3.1 Berdirinya Pesantren Tebuireng

15 | P a g e

Pada akhir abad 19 saat itu di Indonesia dikenal dua

sistem pendidikan bagi penduduk pribumi. Pertama yaitu

sistem pendidikan Barat yang dikenalkan oleh pemerintah

kolonial Belanda dengan tujuan menyiapkan para siswa untuk

menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan. Kedua

adalah sistem pendidikan yang disediakan untuk para santri

Muslim di pesantren yang fokus pengajarannya adalah ilmu

agama.7Metode utama sistem pengajaran di lingkungan

pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga

disebut weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5

sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca,

menerjemahakan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-

buku Islam dalam bahasa arab.8 Sebelum mereka belajar di

pesantren mereka telah lebih dulu mendapatkan pembelajaran

dasar secara individual atau sorogan oleh seorang ulama.

Jika mereka benar-benar ingin memetik keberhasilan dari

sistem di pesantren, maka lebih dulu mereka harus

memantapkan ilmu-ilmu dasar mereka.

Sudah menjadi seperti suatu hal yang diwajibkan bahwa

setiap santri yang belajar agama pastilah akan mengabdi

demi kemajuan umat. Sebagian besar dari mereka membagikan

ilmunya di pesantren-pesantren, sedangkan sebagian lagi

mendirikan pesantren mereka sendiri dalam menyebarkan

ilmunya. Setelah memperdalam agama Islam di Mekkah selama

7 Drs. Lathiful Khuluq, M.A., Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, hlm.21.

8 Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, hlm. 21.

16 | P a g e

hampir tujuh tahun sejak 1893 akhirnya K.H. Hasyim Asy’ari

kembali ke Indonesia pada 1899. Setibanya ia di Indonesia,

sempat sebentar ia ikut mengajar di pesantren milik

ayahnya. Seperti ulama lain yang ingin mengabdi demi

kemajuan umat melalui penyebaran ilmu dengan mendirikan

pesantren, K.H. Hasyim Asy’ari pun mulanya ingin mendirikan

pesantren di Plemahan (Kediri), tempat tinggal mertuanya.

Sayang rencananya itu gagal. Akhirnya ia memutuskan untuk

mendirikan pesantren di desa Tebuireng. Menurut cerita

masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari kata kebo

ireng. Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki

kebo yang berkulit kuning. Suatu hari kebo itu menghilang

entah ke mana. Setelah dicari kesana kemari, menjelang

senja barulah kebo tersebut ditemukan dalam keadaan hampir

mati karena terperosok ke dalam rawa-rawa yang banyak

dihuni lintah. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh lintah,

sehingga kulit kerbau yang semula kuni berubah menjadi

hitam. Karena saking terkejutnya, pemiliknya berteriak-

teriak: “kebo ireng..kebo ireng..kebo ireng”. Sejak saat itu desa

tersebut dikenal dengan nama Kebo Ireng.9 Desa Tebuireng

terletak di Kelurahan Cukir, sekitar 8 KM tenggara Jombang

dengan sistem transportasi yang terjangkau kendaraan

umum.10 Kelurahan cukir sudah cukup modern dan ramai di

masa itu, penduduknya sudah banyak yag bersifat urban

mengingat di daerah itu berdiri sebuah pabrik gula milik

9 Muhammad Rifai, K.H. Hasyim Asy’ari Biografi Singkat 1871–1947, hlm. 41.

10 Drs. Lathiful Khuluq, M.A., Op.Cit., hlm. 30.17 | P a g e

Belanda yang sudah pasti banyak pula pegawai-pegawai

Belanda yang tinggal di daerah itu. Namun sebagian besar

penduduk Kelurahan Cukir bermatapencaharian sebagai tani

dan buruh. Sehingga jelas terlihat kesenjangan sosial

maupun ekonomi di daerah tersebut. Tebuireng juga dikenal

sebagai desa yang penduduknya berperilaku sangat buruk.

Maka banyak pula yang menyebut Tebuireng sebagai desa yang

mirip dengan jaman jahiliyah.

Pesantren milik K.H. Hasyim Asy’ari tersebut dibangun

tidak jauh dari sebuah pabrik gula milik Belanda tersebut.

Menjadi suatu hal yang sangat menarik ketika sebuah

pesantren dibangun di dekat pabrik milik bangsa barat yang

dianggap sebagai simbol modernisasi. Sedangkan saat itu

Islam dianggap sebagai agama yang konservatif dan anti

modernisasi. Setelah diberlakukannya ekonomi liberal pada

1870 banyak investor asing yang menanamkan modalnya di

Indonesia, maka munculah banyak pabrik-pabrik milik

pengusaha asing hingga di pelosok desa. Pabrik-pabrik ini

kemudian mempekerjakan penduduk yang tinggal di sekitar

pabrik untuk bekerja menjadi buruh pabrik. Penduduk sekitar

kemudian diberikan upah atas pekerjaannya berupa uang.

Barulah pada masa itu para penduduk mengenal ekonomi uang

karena pada sistem-sistem ekonomi sebelumnya masyarakat

tidak benar-benar dikenalkan dengan uang kecuali pada masa

sewa tanah. Karena mereka tidak biasa menggunakan uang

akhirnya uang tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang

buruk seperti berjudi dan meminum minuman keras. Lambat

18 | P a g e

laun tingkat kriminalitas di desa itu pun semakin

meningkat, tidak hanya berjudi dan meminum minuman keras,

tapi mereka juga banyak yang mencuri, merampok, berkelahi,

hingga berzina. Hal itulah yang menjadi alasan Tebuireng

mulanya sering disebut seperti desa pada jaman jahiliyah.

Niat K.H Hasyim Asy’ari untuk mendirikan pesantren di

daerah yang penduduknya berperilaku buruk seperti itu jelas

menuai tentangan baik dari keluarganya maupun para

sahabatnya. Mereka menganggap pesantren tidak bisa

didirikan ditempat yang penduduk sekitarnya berakhlak buruk

seperti di Tebuireng tersebut. Namun K.H. Hasyim Asy’ari

menjawab:

“Menyebarkan agama Islam berarti meningkatkan kualitaskehidupan manusia. Jika manusia sudah mendapat kehidupanyang baik, apa lagi yang harus ditingkaatkan darimereka? Lagi pula, menjalankan jihad berarti menghadapi

kesulitan dan mau berkorban, sebagaimana yang telahdilakukan Rasul kita dalam perjuangannya.”11

Dengan kebulatan tekad akhirnya K.H. Hasyim Asy’ari

membeli tanah kepunyaan seorang dalang yang terkenal di

desa Tebuireng. Letak tanah tersebut hampir berhadapan

dengan pabrik gula Cukir, kira-kira 200 meter di sebelah

barat laut pabrik gula Cukir.12 Di atas tanah tersebut

dibangun Pesantren Tebuireng. Pesantren Tebuireng berdiri

di atas dua bidang tanah. Satu bidang diperuntukan mengajar

para santri dan satu bidang lainnya digunakan sebagai

11Ibid., hml. 30. (Dikutip dalam Salam. K.H. Hasyim Asy’ari, 31)

12 Imron Arifin, Kepemimpinan Kiyai: Kasus : Pesantren Tebuireng, hlm. 47.19 | P a g e

tempat tinggal K.H. Hasyim Asy’ari sekeluarga. Pada mulanya

bangunan tersebut terbuat dari bambu. Selanjutnya tanggal

26 Rabu’ul Awal 1317 Hijriyah atau 1899 Masehi ditetapkan

sebagai hari kelahiran Pesantren Tebuireng. Mula-mula K.H.

Hasyim Asy’ari membawa delapan santri dari pesantren

Ayahnya, hal tersebut merupakan suatu hal yang mengartikan

ia telah mendapat dukungan dari Ayahnya untuk mendirikan

pesantrennya sendiri. Santri-santri tersebut merupakan

santri yang sudah cukup berilmu sehingga mereka bisa

membantu K.H. Hasyim Asy’ari memberikan pengajaran pada

santri-santri dasar lainnya.13

3.2 Perkembangan Pesantren Tebuireng

Dalam mengembangkan Pesantren Tebuireng, Hasyim

Asy’ari tidak melakukannya sendiri. Dia di bantu oleh para

asistennya yang berkompeten seperti Kyai Awi, Kyai Ma’sun,

Kyai Baidlawi, Kyai Ilyas dan Kyai Wahid Hasyim. Antara

tahun 1899-1916 Pesantren Tebuireng mengikuti sistem

pengajaran sorongan dan bandongan. Jumlah santri menjadi

banyak dari 28 orang santri pada tahun 1899 menjadi lebih

dari 200 orang santri menjelang akhir 1910-an. Pada 10

tahun berikutnya jumlah santri terus meningkat, hampir

mencapai 2000 orang santri. Pada awalnya luas Pesantren

Tebuireng kurang lebih hanya satu hektar pesergi. Dengan

menambahnya jumlah santri, pembangunan pondok-pondok untuk

13 Drs. Lathiful Khuluq, M.A., Op.Cit., hlm. 29.20 | P a g e

para santri di tingkatkan. Pada tahun 1923, kompleks baru

dibuat di Seblak. Hal inilah yang membuat semakin luasnya

wilayah Pondok Pesantren Tebuireng. Pada tahun 1906,

Belanda mengakui ada Pesantren Tebuireng karena semakin

berkembangnya pesantren ini.bPesantren Tebuireng yang kuat

dengan dasar pesantrennya dan tidak mau tunduk dengan

Belanda, pesantren ini di tuduh sebagai perkumpulan

ekstrimis islam. Sehingga pada tahn 1913 Pesantren

Tebuireng di hancurkan oleh Belanda. Pemerintah Belanda

memaksa NU untuk menghapus sistem pesantre. Namun NU

menolak perintah kolonial Belanda. Untuk menghadapi masalah

tersebut, selain memperdalam ilmu agama para santri di

berikan pengetahuan yang lain dari pendidikan sekuler.

Kyai Ma’sum adalah menantu pertama Hasyim Asy’ari,

yang pertama kali memperkenalkan sistem Madrasah Salafiyah

Syafi'iyah pada tahun 1916. Pada tahun 1916-1934 Pesantren

Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi ke dalam

dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal

dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki

madrasa lima tahun berikutnya.14 Para tingkatan pertama dan

kedua ini khusus dididik untuk memahami bahasa arab sebagai

landasan penting dari madrasah. Pada kurun waktu 1916-

1919, kurikulum madrasah terdiri dari pengetahuan agama

islam saja. Dari tahun 1919 sampai tahun 1926 mulai

ditambahkan pelajaran-pelajaran Bahasa Indonesia (Melayu),

14 Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Penerbit LP3ES. 1982, Hal 104

21 | P a g e

Matematika, Ilmu Bumi, Bahasa Belanda dan Sejarah. Dalam

tahun 1934, pembelajaran madrasah diperpanjang menjadi 6

tahun, karena semakin meluasnya kurikulum pengetahuan.

Antara tahun 1932-1933 Kyai Wahid Hasyim mengusulkan

kepada Kyai Hasyim Asy’ari suatu perubahan yang radikal

dalam sistem pengajaran pesantren. Usul itu antara lain

agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang

sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan

kepribadian para santri.15 Kyai Hasyim Asy’ari tidak

menyetujui usul Kyai Wahid Hasyim. Menurut Hadratus-Syekh

perubahan radikal akan menciptakan kekacauan antara sesama

pemimpin pesantren. Putra tertua Hadratus-Syekh ini juga

mendirikan perpustakaan. Para santri dianjurkan untuk

membaca majalah dan surat kabar sebanyak mungkin. Dengan

demikian para santri memperoleh penerangan yang cukup

mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik baik dalam

negeri maupun luar negeri. Perkembangan lain yang penting

pada Pesantren Tebuireng dalam tangan Kyai Hasyim Asy’ari

ialah mulai diperkenalkannya kursus-kursus pidato, Bahasa

Belanda, Inggris dan mengetik.

Pada masa pemerintahan Jepang, Pesantren Tebuireng

tidak mau melakukan Saikere (penghormatan pada bendera

Jepang). Kegiatan surat-menyurat dalam bahasa latin juga

dilarang oleh pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942, Kyai

Hasyim Asy’ari ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.

Setelah Kyai Hasyim Asy’ari dipenjarakan, dia dibebaskan15 Ibid, Hal 105

22 | P a g e

tanpa syarat dan diberi jabatan tinggi di Jawa Hokokai.

Pada masa menjelang kemerdekaan, Posisi Tebuireng sangat

sentral. Bersamaan dikeluarkannya Resolusi Jihad 22 Oktober

1945, para pimpinan Nasional baik Bung Karno, Tan malaka

dan Bung Tomo selalu berkordinasi ke Tebuireng untuk

menghadapi sekutu.16

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

16 http://www.nu.or.id.a,public-m,dinamic-s,detail-ids,46-id,38786-lang,id-c,pesantren-t,Kisah+Tebuireng++dari+Mbah+Hasyim+hingga+Gus+Dur-.phpx

23 | P a g e