konsep kepemimpinan islam-jawa dalam manuskrip kyai

93
KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM-JAWA DALAM MANUSKRIP KYAI AGENG IMAM PURO DAN RELEVANSINYA DENGAN KEPEMIMPINAN PUBLIK DI INDONESIA TESIS Oleh: HERU BUDI SUSENO NIM 502200012 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO 2022

Transcript of konsep kepemimpinan islam-jawa dalam manuskrip kyai

KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM-JAWA DALAM MANUSKRIP KYAI

AGENG IMAM PURO DAN RELEVANSINYA DENGAN

KEPEMIMPINAN PUBLIK DI INDONESIA

TESIS

Oleh:

HERU BUDI SUSENO

NIM 502200012

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PONOROGO

2022

SURAT PERSETUJUAN

PUBLIKASI

Yang Bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Heru Budi Suseno

NIM : 210415008

Fakultas : Pascasarjana

Program Studi : Manajemen Pendidikan Islam

Judul Skripsi : Konsep Kepemimpinan Islam-Jawa DalamManuskrip Kyai

Ageng Imam Puro dan Relevansinya Dengan Kepemimpinan

Publik

Menyatakan bahwa naskah skripsi / tesis telah diperiksa dan disahkan oleh dosen

pembimbing. Selanjutnya saya bersedia naskah tersebut dipublikasikan oleh

perpustakaan IAIN Ponorogo yang dapat diakses di etheses.iainponorogo.ac.id.

Adapun isi dari keseluruhan tulisan tersebut, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari

penulis.

Demikian pernyataan saya untuk dapat dipergunakan semestinya.

Ponorogo 13 Juni 2022

Penulis

Heru Budi Suseno

NIM. 502200012

PERSEMBAHAN

Tesis ini dipersembahkan untuk:

Bapak, Ibu, kakak dan Adik-adik Ku

Setiap bulu, kulit, daging, urat, tulang, otak, dan ruhku berdoa dalam bakti

kehidupan. Harapan yang kalian alirkan dalam denyut darah dan doa yang

kalian taburkan pada nafas adalah jantung masa depan, yang aku hidup

bersamanya.

Guru-guruku

Nafas ilmu, denyut kesalehan, dan gerak langkah ajaran aku baca sampai

lembar-lembar terakhir kehidupan.

Sahabat-sahabatku

Kalian adalah sosok-sosok penting yang menghiasi hari-hariku. tak akan indah

kehidupan ini tanpa keceriaan, senyuman, dan kebersamaan bersama kalian.

Almamater tercinta

IAIN Ponorogo

MOTTO

“Urip Kang Utama, Mateni Kang Sempurna”

Selama Hidup Kita Melakukan Perbuatan Baik Maka Kita Akan Menemukan

Kebahagiaan di Kehidupan Selanjutnya

“Yen Urip Mung Isine Isih Nuruti Napsu, Sing Jenenge Kamulyan Mesti Soyo

Angel Ketemu”

Jika Hidup Masih Dipenuhi Dengan Nafsu Untuk Bersenang-Senang,Yang

Namanya Kemuliaan Hidup Akan Semakin Sulit Ditemukan

ABSTRAK

Heru Budi Suseno. 2022. Konsep Kepemimpinan Islam-Jawa Dalam Manuskrip

Kyai Ageng Imam Puro dan Relevansinya Dengan Kepemimpinan

Publik. Tesis, Program Studi Manajemen Pendidikan Islam, Institut

Agama Islam Negeri Ponorogo. Pembimbing : Nur Kolis, Ph.D

Kata Kunci : Kyai Ageng Imam Puro, Naṣāiḥ al-Mulūk, Adāb al-Mulūk, Adāb

al-Salāṭīn, Kepemimpinan Islam-Jawa.

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro merupakan salah satu karya sastra

Jawa yang membahas tentang kepemimpinan Islam-Jawa. Kyai Ageng Imam Puro

merupakan seorang ulama Ponorogo yang punya kredibilitas tinggi dan wawasan

yang luas, ditambah lagi dengan konteks sosial politik nusantara waktu itu dan

dengan latar belakang dan sejarah penulisan yang kompleks menjadi sangat

menarik untuk dibahas.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi manuskrip Kyai

Ageng Imam Puro (2) menganalisis konsep kepemimpinan Islam-Jawa dalam

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro, dan (3) menganalisis relevansi kepemimpinan

publik dalam Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro. Menggunakan metode filologi

yang terdiri dari: (1) inventarisasi naskah, (2) deskripsi naskah, (3) suntingan teks,

(4) terjemahan teks, dan (5) analisis isi. Teori yang digunakan diantaranya: (1)

hermeneutika double movement, dan (2) interaksionisme-simbolik.

Berdasarkan analisis terhadap Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro

mempunyai keistimewaan yang luar biasa dalam menguraikan masalah

kepemimpinan diantaranya pertama, dari sisi sajian redaksi kalimatnya yang

kental nuansa sastra. Kedua, referensi naskah yang otentik. Ketiga,

kontekstualisasi dengan kondisi keindonesiaan khususnya Jawa. Dalam

menguraikan kepemimpinan Islam-Jawa Kyai Ageng Imam Puro ditulis menjadi 2

bab pertama, bab Kitāb Naṣāiḥ al-Mulūk (Integritas Moral Pemimpin) berisi

tentang kepemimpin adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh

pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Kedua,

Kitab Adāb al-Mulūk (Karatkter Ideal Pemimpin) inti bab ini adalah kualitas

kepribadian pemimpin merupakan hal yang paling ideal dan penting dimilliki oleh

seorang pemimpin. Terdapat 10 kriteria seorang pemimpin menurut Kyai Ageng

Imam Puro antara lain : Berakal Sehat dan Berbudi Syariat, Berilmu/ Cerdas :

Fathanah, Aqil Baligh, Budi Pekerti Baik, Peduli : Empati, Welas Asih, Berani,

Mengurangi Makan dan Tidur, Menahan Hawa Nafsu, Pemimpin Laki-laki.

Dalam menguraikan relevansi kepemimpinan publik dengan Kyai Ageng

Imam Puro ini ada tiga argumentasi yang memiliki arti penting dalam konteks

kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan yang kuat untuk berkolaborasi.

Komponen kunci dari publik kepemimpinan tampaknya baru muncul dalam

kebijakan pemerintah dalam mendukung program modernisasi. Kepemimpinan

terlihat kuat untuk mendorong pelayanan yang kolaboratif. Kedua, kepemimpinan

publik memiliki potensi untuk menghasilkan pengetahuan baru yang selaras

dengan kompleksitas. Ketiga, ada ruang yang cukup untuk meningkatkan

kepemimpinan dalam pengembangan lintas sektor publik.

ABSTRACT

Heru Budi Suseno. 2022. The Concept of Javanese-Islamic Leadership in Kyai

Ageng Imam Puro's Manuscript and Its Relevance to Public

Leadership. Tesis, Program Studi Manajemen Pendidikan Islam,

Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Pembimbing : Nur Kolis,

Ph.D

Kata Kunci : Kyai Ageng Imam Puro, Naṣāiḥ al-Mulūk, Adāb al-Mulūk, Adāb

al-Salāṭīn, Leadership Islamic-Javanese.

The Kyai Ageng Imam Puro manuscript is a Javanese literary work that

discusses Javanese-Islamic leadership. Kyai Ageng Imam Puro is a Ponorogo

cleric who has high credibility and broad insight, coupled with the socio-political

context of the archipelago at that time and with a complex background and history

of writing, it becomes very interesting to discuss.

This study aims to: (1) identify the Kyai Ageng Imam Puro manuscript (2)

analyze the concept of Javanese-Islamic leadership in the Kyai Ageng Imam Puro

Manuscript, and (3) analyze the relevance of public leadership in the Kyai Ageng

Imam Puro Manuscript. Using a philological method consisting of: (1) manuscript

inventory, (2) manuscript description, (3) text editing, (4) text translation, and (5)

content analysis. The theories used include: (1) double movement hermeneutics,

and (2) symbolic-interactionism.

Based on an analysis of the Kyai Ageng Imam Puro Manuscript, he has

extraordinary features in describing leadership problems, first of all, from the

editorial side of his sentence which is thick with literary nuances. Second,

authentic manuscript references. Third, contextualization with Indonesian

conditions, especially Java. In describing the Javanese-Islamic leadership of Kyai

Ageng Imam Puro, it is written into the first 2 chapters, the chapter Kitāb Naṣāiḥ

al-Mulūk (The Moral Integrity of Leaders) contains about leadership is the

process of influencing or setting an example by the leader to his followers in an

effort to achieve organizational goals. Second, Kitab Adab al-Mulūk (Ideal

Character of Leaders) the core of this chapter is that the personality quality of a

leader is the most ideal and important thing for a leader to have. There are 10

criteria for a leader according to Kyai Ageng Imam Puro, among others:

Reasonable and virtuous Shari'a, Knowledgeable / Intelligent: Fathanah, Aqil

Baligh, Good manners, Caring: Empathy, Compassionate, Courageous, Reduce

eating and sleep, Retaining Lust, Male Leader.

In outlining the relevance of public leadership with Kyai Ageng Imam

Puro, there are three arguments that have important meaning in the context of

leadership. First, strong leadership to collaborate. The key component of public

leadership appears to be emerging in government policies in support of

modernization programs. Leadership looks strong to encourage collaborative

ministry. Second, public leadership has the potential to generate new knowledge

that aligns with complexity. Third, there is sufficient room to increase leadership

in development across the public sector.

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Tuhan semesta Alam, Sang

penggenggan jiwa, Dzat Yang Maha Sempurna, Allah SWT, yang senantiasa

mengalirkan Rohman-RohimNya kepada kami yang tengah berada dalam fase

bertolabul ‘ilmi. Wa al-Shalātu wa al-Salāmu ‘alā Rasūlillāh, doa tulusku

untukmu wahai Rasulullah saw, para keluarga, sahabat, tabi’in, serta pengikut

terbaikmu.

Tesis ini membahas tentang “Konsep Kepemimpinan Islam-Jawa Dalam

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro dan Implementasi Kepemimpinan Publik di

Indonesia”, penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dan dekat dalam

kekurangan. Oleh karena itu, tesis ini sangat terbuka untuk dikoreksi dan

mendapatkan masukan dari pembaca. Disamping itu, Penelitian tidak berarti apa-

apa tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, dengan selesainya tesis

ini rasa terima kasih yang tulus dan rasa hormat yang dalam kami sampaikan

kepada:

1. Ibu Dr. Hj. Evi Muafiah M.Ag selaku rektor IAIN Ponorogo

2. Bapak Dr. Miftahul Huda, M.Ag, selaku Direktur Pascasarjana IAIN

Ponorogo.

3. Bapak Dr. Sugiyar, selaku Ketua Prodi Manajemen Pendidikan Islam

IAIN Ponorogo beserta stafnya.

4. Bapak Nur Kolis, Ph.D, selaku dosen pembimbing tesis atas bimbingan

dan dukungannya serta keluangan waktu, kecermatan dan kebijaksanaan

beliau tesis ini terselesaikan.

5. Bapak dan Ibu dosen MPI, karyawan dan karyawati serta seluruh civitas

akademika, lingkungan Pascasarjan IAIN Ponorogo.

6. Seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian KH. Muhammad Maksum, K.

Muhammad Fatuhat, Mas Rofiqi yang telah bersedia meluangkan waktu,

membantu dan memberikan dukungan penulis selama menyelesaikan

penelitian.

7. Kedua orangku, Bapak Lasimun dan Ibu Supatmi yang telah membimbing

dan mengajarkan etika, tiada kata lain selain ucapan do’a yang selalu buat

kalian, terimah kasih atas motivasi hidup yang kalian berikan kepadaku.

Semoga Bapak Lasimun dan Ibu Supatmi diberikan umur yang panjang

dan barokah, serta kesehatan. Amin

8. Terima kasih juga kepada kakak ku tersayang Khusnul Khotimah dan

adik-adiku Heri Prayitno dan Alif Thoriqul Huda, yang selalu dan selalu

memotivasi dalam bentuk apapun dan dalam hal apapun. Semoga kalian

diberikan rizki yang banyak, halal dan berkah, serta kesehatan dan umur

yang panjang. Amin.

9. Keluarga besar MPI.B angkatan tahun 2020 yang selalu menyemangati

dan yang selalu menghibur. Terimahkasih atas segalanya.

10. Serta semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa

disebutkan satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat. Terima Kasih

banyak.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini tanpa doa dan

motivasi kalian semua, mungkin tidak akan selesai. Oleh karena itu, saya

mengucapkan beribu-ribu terima kasih dan apabila ada kritik dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca

dan semua pihak yang membutuhkannya.

Ponorogo, 2 Juni 2022

Penulis,

Heru Budi Suseno

NIM.502200012

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i

LEMBAR PERSETUJUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .ii

LEMBAR PENGESAHAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .iii

PERNYATAAN KEASLIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

PEDOMAN TRANSELITERASI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .ix

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . x

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . vii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1

B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

C. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

D. Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

E. Kajian Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4

F. Kerangka Teori . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5

G. Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7

H. Sistematika Pembahasan . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .10

BAB II : KONSEP DASAR KEPEMIMPINAN

A. Kepemimpinan Publik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .11

B. Kepemimpinan Islam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .15

C. Kepemimpinan Jawa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21

BAB III : MANUSKRIP KYAI IMAM PURO

A. Biografi Kyai Ageng Imam Puro . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

B. Identifikasi Naskah Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro . . . . . . . . 40

C. Ringkasan Isi Naskah Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro . . . . . . .46

D. Suntingan Naskah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46

E. Terjemahan Naskah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .50

BAB IV : KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM-JAWA DALAM

MANUSKRIP KYAI AGENG IMAM PURO

A. Kitāb Naṣāiḥ al-Mulūk (Integritas Moral Pemimpin). . . . . . . . . . . 54

B. Kitab Adāb al-Mulūk (Karatkter Ideal Pemimpin) . . . . . . . . . . . . . 56

C. Kitab Adāb al-Salāṭīn (Manajemen Kepemimpinan) . . . . . . . . . . . 63

BAB V : RELEVANSI KEPEMIMPINAN PUBLIK DI INDONESIA

DALAM MANUSKRIP KYAI AGENG IMAM PURO

A. Potret Kepimpinan Publik Di Indonesia. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .71

B. Karakter Pemimpin Sejati . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 73

C. Kepemimpinan Publik Masa Depan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 75

BAB VI : PENUTUP

A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .78

B. Rekomendasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 80

BIOGRAFI PENULIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah umat manusia mencatat bahwa sejak zaman dahulu manusia yang hidup

berkelompok sudah mengenal istilah kepemimpinan. Kepemirnpinan rnerupakan aspek penting bagi

seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus berperan sebagai organisator kelompoknya

untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Kepemimpinan memiliki peranan strategis dalam

kerangka manajemen, sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya merupakan serangkaian

fungsi kepemimpinan. Sedangkan fungsi kepemimpinan itu sendiri merupakan salah satu di antara

peranan manajer dalam kerangka untuk mempengaruhi bawahan atau pengikutnya agar dengan

penuh kemauan memberikan pengabdian dalam mencapai tujuan organisasi sesuai dengan

kemampuan bawahan secara maksimal. Berdasarkan fungsi-fungsi manajemen inilah manajemen

organisasi harus dapat dikelola dengan baik untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui

pendayagunaan fungsi-fungsi manajemen yaitu meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengontrolan (controlling).1

Faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin di antaranya adalah teknik kepemimpinan,

yaitu bagaimana seorang pemimpin mampu menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang

dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang dikehendaki oleh seorang

pemimpin. Dengan kata lain, efektif atau tidaknya seorang pemimpin tergantung bagaimana

kemampuannya dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya sesuai dengan situasi

dan kondisi dalam organisasi tersebut.2 Dalam perkembangannya belakangan ini, kepemimpinan

dianggap sebagai suatu yang sangat memprihatinkan terutama dengan kecenderungan sejumlah

besar pemimpin pada level pemimpin organisasi formal yang cenderung corrupt. Akibatnya

kepemimpinan dicitrakan sebagai sesuatu yang kotor, nista dan mengambil keuntungan di satu

pihak tetapi merugikan dipihak lain. Orang kemudian tidak jarang miris melihat organisasi sebagai

sarang korupsi dengan bentuknya yang beragam. Di dunia birokrasi, kepemimpinan sering diklaim

dengan isu money politik, korupsi dan nepotisme. 3

Dalam konteks ke Indonesiaan, krisis keteladanan sosial (social distrust) saat ini menjadikan

bangsa ini kehilangan figur yang patut menjadi contoh dan teladan yang harus diikuti secara

konsisten. Oleh karenanya, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menerjemahkan

1 Hardi Mulyono, “Kepemimpinan (Leadership) Berbasis Karakter Dalam Peningkatan Kualitas Pengelolaan Perguruan

Tinggi” Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora Vol. 3. No. 1 (2018): 294 2 Marsetio, Kepemimpinan Nusantara Archipelago Leadership (Bogor: Univ. Pertahanan, 2018): 61

3 Berliana Kartakusumah, Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer (Jakarta: PT Mizan Publika,

2006): 7

2

nilai-nilai keadilan dalam praksis kehidupan. Orang-orang yang dipimpin harus mendapatkan rasa

adil dan kesejahteraan lahir dan batin4. Kepemimpinan ternyata tidak sekedar berfokus untuk

memerintah dengan otoritas legal formal, namun juga menciptakan suasana yang mampu

membangkitkan motivasi bawahan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Pemimpin yang

dibutuhkan oleh organisasi adalah pemimpin yang dapat menunjukkan kualitas dirinya.5

Bagi orang Jawa pemimpin yang ideal merupakan perpaduan antara tokoh agama atau

ulama, panglima perang dan raja6. Dengan perpaduan itu diharapkan akan lahir pemimpin yang taat

dalam beragama sekaligus dapat mengatur masalah-masalah kehidupan beragama, memiliki jiwa

pemberani dan pilih tanding sebagai panglima perang sekaligus bijaksana dan adil sebagai raja atau

penguasa.7 Sejarah telah mencatat bahwa setelah Islam masuk ke Nusantara dan sejak akhir abad

ke-15 telah menjadi kekuatan politik yaitu munculnya satu kerajaan Islam pertama Jawa yang

bernama Demak Bintoro, maka muncul konsep kepemimpinan yang bersifat integratif, yaitu:

Sayijdin Panata Gama, Senopati Ing Ngalogo, Khalifatullah Fil-Ardh (Penguasa yang mengatur

agama, Panglima di medan perang dan Wakil Tuhan di bumi).8 Inilah gelar yang diberikan Wali

Songo ketika melantik Raden Patah menjadi Raja Islam pertama di Kerajaan Demak. Betapa arif

bijaksananya Wali Songo memberikan gelar pada penguasa Islam yang tidak serta merta

menggunakan istilah yang umum digunakan para penguasa Islam di Timur Tengah saat itu yaitu

menggunakan sebutan “Khalifah” dan “Amir”.

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin harus mempunyai kualitas spiritual, terbebas

dari segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan realitas dan tidak terjebak pada kenikmatan

dunia. Urgensi kepemimpinan dalam Islam adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan

menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan, yang didasari atas nila-nilai Islam. Usaha yang

paling praktis ialah mencontoh akhlak atau perilaku Rasulullah Muhammad saw dalam memimpin

umat Islam. Selain mendapat julukan Al-Amin karena kejujurannya, Rasul merupakan suri tauladan

yang baik. Rasulullah Muhammad saw bagi orang Islam adalah uswatun hasanah yang harus ditiru

dalam segi perilaku dan perkatannya. Sifat Rasulullah yang dapat menjadi panutan seseorang dalam

menjalankan kepemimpinannya sangat banyak, namun ada 4 sifat dasar yang sesuai untuk dijadikan

suri tauladan yang baik, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathonah.9

4 Hardi Mulyono, “Kepemimpinan (Leadership) Berbasis Karakter Dalam Peningkatan Kualitas Pengelolaan Perguruan

Tinggi,” Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora Vol.3 No.1 (2018): 291 5 Marsetio, Kepemimpinan Nusantara Archipelago Leadership (Bogor: Univ. Pertahanan, 2018): 61

6 Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa, (Yogyakarta: Araska,2013): 24

7 Hardi Mulyono, “Kepemimpinan (Leadership) Berbasis Karakter Dalam Peningkatan Kualitas Pengelolaan Perguruan

Tinggi” Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora Vol. 3. No. 1 (2018): 294 8 Ahmad Febri Kurniawan “Falsafah Kepemimpinan Pendidikan (Hasta Brata sebagai Basis Kepemimpinan

Pendidikan)” Ri’ayah Vol. 04, No. 02, Juli-Desember (2019): 199 9 Sarjana Sigit Wahyudi, “Kepemimpinan Tradisional Jawa-Islam Dalam Masyarakat Jawa” Sabda Vol. 6 No. 1 April

(2021): 23

3

Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu rancangan yang menyeluruh untuk

menata kehidupan umat manusia, dengan politik dalam arti kepemimpinan sebagai satu-satunya alat

yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap rancangan tersebut. Konsep ini telah

difahami oleh Nabi Muhammad saw sebagai sebuah cara untuk membangun peradaban Islam dalam

bidang Politik Ketatanegaraan. Hal itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan

sebuah negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam pada masa pemerintahan Islam waktu itu.

Khususnya perkembangan Islam di Jawa dalam hal kepemimpinan yang berkualitas yang memiliki

komitmen kepemimpinan terekam dalam karya sastra Jawa.10

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro merupakan salah satu karya sastra Jawa yang membahas

tentang kepemimpinan Islam-Jawa yang berbasis manajemen organisasi. Kyai Ageng Imam Puro

merupakan seorang ulama Ponorogo yang punya kredibilitas tinggi dan wawasan yang luas,

ditambah lagi dengan konteks sosial politik nusantara waktu itu dan dengan latar belakang dan

sejarah penulisan yang kompleks akan sangat menarik untuk dibahas Manuskrip Kyai Ageng Imam

Puro ini. Jika dilihat dari isinya, Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro ini cukup tebal karena terdapat

82 halaman serta mempunyai keistimewaan yang luar biasa dalam mengulas masalah

kepemimpinan diantaranya pertama, dari sisi sajian redaksi kalimatnya yang kental nuansa sastra.

Kedua, referensi naskah yang autentik. Ketiga, kontekstualisasi dengan kondisi ke-Indonesiaan

khususnya Jawa. Seharusnya pemikiran Kyai Ageng Imam Puro ini masih sangat layak dan penting

untuk menjadi referensi atau acuan bagi orang Jawa ketika mengkaji hal yang berkaitan dengan

permasalahan Kepemimpinan.

Dari berbagai pemaparan dan latar belakang peneliti di atas, peneliti akan mendeskripsikan

dan menguraikan kepemimpinan Jawa-Islam yang berbasis manajemen organisasi dalam Manuskrip

Kyai Ageng Imam Puro. Sehingga, untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut diatas,

sebenarnya masyarakat Jawa memiliki warisan leluhur yang adiluhung yang ada dalam karya sastra

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro yang kaya akan nilai teladan, baik secara eksplisit maupun

implisit. Nilai adiluhung ini haruslah terus tetap dijaga serta dibina guna memperkuat penghayatan

dan pengamalan nilai luhur budaya bangsa, meningkatkan kualitas hidup, mempertegas jati diri

bangsa, menjadi kebanggan nasional, serta menjadi penggerak dalam mencapai cita-cita bersama.

Dengan demikian, penelitian ini berusaha untuk mengangkat kembali kepemimpinan Jawa sebagai

sebuah kebudayaan dan kearifan lokal dari konsepsi kepemimpinan yang multivarian. Dengan dasar

inilah penulis mencoba membahas dan memperkenalkan konsep kepemimpinan Islam-Jawa dalam

manuskrip Kyai Ageng Imam Puro dan Implementasi Kepemimpinan Publik di Indonesia.

10

Ibid., 261

4

B. Rumusan Masalah:

1. Bagaimana konsep kepemimpinan Islam-Jawa dalam Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro?

2. Bagaimana Implementasi Kepemimpinan Publik dalam Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini

diantaranya:

1. Untuk menganalisis konsep kepemimpinan Islam-Jawa dalam Manuskrip Kyai Ageng Imam

Puro.

2. Untuk menganalisis Implementasi Kepemimpinan Publik dalam Manuskrip Kyai Ageng Imam

Puro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi kajian kepemimpinan yang bersumber

dari naskah-naskah Jawa tradisional abad XVIII yang digambarkan pada Manuskrip Kyai

Ageng Imam Puro sebagai penyeimbang (equilibrium) dan pembanding kultural (counter

culture) dari pada kajian-kajian kepemimpinan modern selama ini.

2. Manfaat Praktis

Bagi pembaca atau masyarakat pada umumnya, penelitian ini setidaknya dapat

memberikan kontribusi ideasional terkait kepemimpinan berbasis literatur lokal (local genus

literature) yang diharapkan dapat dijiwai (internalization) dan dilaksanakan (implementation)

dalam kehidupan sosial. Sedangkan bagi penulis/peneliti khususnya, penelitian ini diharapkan

memberikan proyeksi diskursus atau wacana kontekstual kepemimpinan Jawa yang relevan

dengan pendidikan Islam sebagai latar belakang akademik penulis/peneliti.

E. Kajian Pustaka

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki kesesuaian dengan penelitian ini

diantaranya:

Pertama, Tesis Izzudin Rijal Fahmi tahun 2020 (Institut Agama Islam Negeri Ponorogo)

dengan judul “Ajaran Kepemimpinan Jawa (Kajian atas Serat Nitisruti dan Relevansinya dengan

Pendidikan Islam)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi naskah Serat Nitisruti, dan

menganalisis ajaran kepemimpinan Jawa dalam Serat Nitisruti dan relevansinya dengan pendidikan

Islam. Menggunakan metode filologi yang terdiri dari inventarisasi naskah, deskripsi naskah,

suntingan teks, terjemahan teks, dan analisis isi. Teori yang digunakan diantaranya hermeneutika,

semiotika, dan interaksionisme-simbolik. Berdasarkan analisis terhadap Serat Nitisruti disimpulkan

bahwa Serat Nitisruti (niti: kepemimpinan, sikap/perilaku baik; sruti: ilmu, pernyataan), dan ajaran

5

kepemimpinan Jawa dalam Serat Nitisruti meliputi kedudukan yang dipimpin (kawula), kedudukan

pemimpin (gusti), serta relasi pemimpin (gusti) dan yangdipimpin (kawula).

Kedua, Penelitian Ahmad Febri Kurniawan tahun 2019 (Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga ) dengan judul “Falsafah Kepemimpinan Pendidikan (Hasta Brata sebagai basis

kepemimpinan pendidikan)”. Dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) yang

digunakan dalam penelitian ini yang dilakukan dalam rangka melihat dan menganalisis kerangka

konseptual falsafah Hasta Brata dan implikasinya terhadap konsep kepemimpinan pendidikan.

Hasta Brata mengajarkan perlunya fleksibilitas kepala sekolah dalam kepemimpinannya. Terkait

dengan kematangan anggota, kepala sekolah harus fleksibel menggunakan gaya suportif, delegatif,

konsultatif atau direktif dalam kepemimpinannya.

Ketiga, Penelitian Sarjana Sigit Wahyudi tahun 2011 (Universitas Diponegoro) dengan judul

“Kepemimpinan Tradisional Jawa-Islam Dalam Masyarakat Jawa”. Penelitian ini membicarakan

tentang sifat pemimpin berdasarkan model kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Ada beragam

tipe atau model kepemimpinan dan sifat-sifat ideal pemimpin, dalam model kepemimpinan

tradisional Jawa dan Islam, model kepemimpinan dan sifat-sifat pemimpin itu dipandang lebih

selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan mayoritas menganut Islam.

F. Kerangka Teori

1. Hermeneutika Double Movement

Pengertian secara sederhana bahwa hermeneutika sebagai sebuah kajian tentang

penafsiran atau pemahaman sebuah teks masa lalu sehingga bisa bermakna secara eksistensial

pada saat ini. Inti dari teori yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman terletak pada apa yang

dinamakannya sebagai teori gerak ganda (double movement theory), yakni proses penafsiran

yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah), dari situasi sekarang ke masa teks itu ada dan

kembali lagi ke masa kini.11

Dalam gerakan pertama, pemahaman diarahkan pada makna dari

suatu pernyataan teks dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan teks

tersebut merupakan jawabannya. Oleh karena itu kajian mengenai situasi makro yang berkaitan

dengan masyarakat, agama, adat istiadat, bahkan mengenai kehidupan menyeluruh di

masyarakat mesti dilakukan terlebih dahulu. Langkah pertama ini pada dasarnya merupakan

pemahaman terhadap makna teks sebagai suatu keseluruhan, di samping juga memahaminya

dalam batas-batas ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi yang khusus pula.

Jadi, yang dilakukan pada tahap ini adalah mempelajari konteks makro dan mikro di mana teks

pertama kali ditulis.12

11

Ramli Abdul Wahid, MA., Ulumul Qur’an, Ed. Rev,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 81 12

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago & London: The

university of Chicago Press, 1982), 7

6

Gerakan kedua yang dilakukan adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik

tersebut sebagai pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat disarikan dari

ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratiolegis yang sering

dinyatakan. Oleh karena itu, langkah pertama, memahami makna dari ayat spesifik,

sesungguhnya telah mengimplikasikan langkah kedua dan membawa kepadanya. Selama proses

ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran teks sebagai suatu keseluruhan (kesatuan)

sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan

yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Dengan ungkapan lain tidak akan ada

kontradiksi di dalamnya tetapi justru koherensi secara keseluruhan.13

Sementara gerakan

pertama terjadi dari hal-hal spesifik dalam teks ke penggalian dan sistematisasi prinsip umum,

nilai-nilai, dan tujuan jangka panjangnya; gerakan kedua dilakukan dari pandangan umum ini

ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-

ajaran yang bersifat umum tersebut harus dijelmakan dalam konteks sosio-historis yang

kongkrit pada saat sekarang.14

Oleh karena itu diperlukan analisis yang cermat atas situasi sekarang dan mengubah

kondisi sekarang sejauh yang dibutuhkan, kemudian menentukan prioritas baru untuk dapat

mengimplementasikan nilai-nilai teks secara baru pula. Tugas gerakan pertama merupakan

kerja para ahli sejarah, sementara tugas gerakan kedua merupakan kerja para ahli etika yang

mesti didukung oleh para ahli ilmu sosial. Jika kita berhasil mencapai kedua gerakan dari gerak

ganda tersebut dengan benar, maka perintah-perintah teks akan menjadi hidup dan efektif

kembali pada saat ini.

2. Interaksi Simbolik

Interaksionisme simbolik merupakan sebuah teori yang berusaha menjelaskan tingkah

laku manusia melalui analisis makna.15

Interaksionisme simbolik merupakan salah satu model

penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Perspektif interaksi

simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam

komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah

komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat.

13

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), 88. Lihat pula Erle H. Waugh dan

Frederick M Denny (eds.), The Shaping of An American Islamic Discourse; A Memorial to Fazlur Rahman, (Georgia:

Scholar Press Atlanta, 1998), 38 14

Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1946), 32-34 15

George Ritzer dan Douglas J. Goddman, Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, (Jakarta: Prenada media, 2005),

43

7

Pada saat berkomunikasi manusia banyak menampilkan simbol-simbol yang memiliki banyak

makna, sehingga perlu dilakukan pengamatan untuk dapat menemukan maknanya.16

Kajian Interaksionisme simbolik adalah salah satu kajian dari sosiolinguistik. Dan

dalam perspektif sosiolinguistik bahwa praksis bahasa seseorang atau sekelompok orang, yang

mencakup dialek, register, jargon dan sebagainya, dibentuk oleh:17

a. Posisi dalam struktur sosial seperti nativitas, bahasa ibu, tempat tinggal, pendidikan,

pekerjaan, kelas sosial, dan jenis kelamin.

b. Formalitas dan informalitas percakapan dan audiensnya.

c. Proses produksi linguistiknya, yang pada akhirnya menentukan keluaran interaksionalnya.

Peneliti ini ingin menguraikan interaksi antara kepemimpinan Islam dan kepemimpinan

Jawa dalam manuskrip Kyai Ageng Imam Puro sebagai ungkapan pesan baik verbal maupun

perilaku non verbal, dengan bertujuan mencoba memaknai simbol atau lambang tersebut

melalui kesepakatan bersama, yang diberlakukan dalam wilayah atau kelompok komunitas

masyarakat tertentu.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan filosofis, karena pada penelitian

ini penulis menggali pemikiran seorang tokoh yang dituangkan dalam karyanya. Pada

penelitian kali ini, peneliti menggunakan jenis penelitian pustaka (library research), yakni

penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama. Hal ini dimaksudnya

untuk menggali teori-teori serta konsep-konsep terdahulu yang telah di cetuskan serta telah

dikembangkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya serta untuk memperluas bahan yang dimiliki

dalam membahas materi yang ingin diteliti dan juga untuk menghindari plagiasi atau duplikasi

dalam penelitian yang akan dilakukan18

.

2. Data

Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas

obyek dan subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk di pelajari dan ditarik kesimpulannya. Data ini adalah berupa Manuskrip Kyai

Ageng Imam Puro sebagai sumber analisis penelitian.

3. Sumber Data

a. Sumber primer yang peneliti gunakan adalah kitab manuskrip Kyai Ageng Imam Puro.

16

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 55 17

Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa Dan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014), 56 18

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung : Alfabeta, 2011), 243

8

b. Sumber sekundernya dalam penulisan ini adalah adalah informasi yang berasal dari orang

lain yang ada kaitannya dengan pembahasan, yakni buku-buku bacaan, artikel dan jurnal.

Diantaranya sebagai berikut:

1) Buku :

a) Sri Wintala Achmad. Falsafah Kepemimpinan Jawa, (Yogyakarta: Araska,2013)

b) Kartini Kartono. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal

Itu?, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016)

c) Sutarto Wijono, Kepemimpinan Dalam Perspektif Organisasi, (Jakarta: Prenada

Media, 2018)

d) Manahan P. Tampubolon, Change Management, (Jakarta: Mitra Wacana, 2020)

2) Jurnal :

a) Sarjana Sigit Wahyudi, “Kepemimpinan Tradisional Jawa-Islam Dalam Masyarakat

Jawa” Sabda Vol. 6 No. 1 April (2021)

b) Hardi Mulyono, “Kepemimpinan (Leadership) Berbasis Karakter Dalam Peningkatan

Kualitas Pengelolaan Perguruan Tinggi,” Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora

Vol.3 No.1 (2018): 291

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah metode library research, yaitu

studi kepustakaan. Metode kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

membaca buku-buku atau majalah dengan sumber data lainnya dalam perpustakaan.19

Kegiatan

penelitian ini dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur, yang dipergunakan

tidak terbatas hanya pada buku-buku, tetapi dapat juga berupa bahan-bahan dokumentasi,

majalah-majalah, Koran, dan lain-lain.20

Metode penelitian ini tidak menuntut kita mesti terjun

kelapangan melihat fakta langsung sebagaimana adanya. Dalam ungkapan Nyoman Kutha

Ratna, metode kepustakaan adalah peneliti yang pengumpulan datanya dilakukan melalui

tempat-tempat penyimpanan hasil penelitian, yaitu perpustakaan. Maka pengumpulan data

ditentukan dengan menelaahan literatur dan bahan pustaka yang relavan terhadap masalah yang

diteliti baik dari buku-buku dan data menggunakan bahan-bahan pustaka tentang konsep

kepemimpinan Islam-Jawa dalam manuskrip Kyai Ageng Imam Puro dan Implementasi

Kepemimpinan Publik di Indonesia.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,

karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Teknik pengumpulan data

19

Saifuddin Anwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, Cet III, 2001, 91 20

Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian, ArRuzz Media, Jogjakarta, cet

III, 2016, 208

9

yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi dokumenter yaitu mencari data mengenai hal-

hal atau variabel yang berupa tulisan-tulisan, buku, artikel-artikel yang relevan dengan tema

yang diteliti yaitu dengan membaca dan mencari data yang berkaitan dengan konsep

kepemimpinan Islam-Jawa dan kepemimpinan publik. Serta membaca dan mencari data yang

berkaitan dengan teori double movement Fazlur Rahman.

Penulis dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini melakukan beberapa tahap,

yaitu mengumpulkan bahan pustaka yang berkaitan dengan penelitian, kemudian memilih

bahan pustaka yang dijadikan sumber primerdan sekunder, membaca bahan pustaka yang

telah dipilih kemudian mencatat isi bahan yang berhubungan dengan konsep kepemimpinan

Islam-Jawa dan kepemimpinan publik.

5. Uji Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan pelaksanaan teknik

pemeriksaan didasarkan atas sujumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan,

yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan

(dependability), dan kepastian (confirmability).21

Dari beberapa uji tersebut , dalam penelitian

ini telah diutamakan adalah uji kredebilitas semata yang dilakukan dengan cara triangulasi

karena triangulasi bertujuan bukan hanya untuk mencapai kebenaran untuk tentang beberapa

fenomena, tetapi ditemukan, teknik triangulasijuga lebih mengutamakan efektifitas proses dan

hasil yang diinginkan. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan

melalui sumber lainnya. Denzim membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik

pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.

a) Triangulasi dengan sumber

b) Triangulasi dengan metode

c) Triangulasi penyidik

d) Triangulasi teori

6. Analisis Data

Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka peneliti menggunakan tehnik

berikut ini untuk mengolah data:

a) Reduksi data (data reduction)

Proses reduksi data dalam penelitian dilakukan dengan cara merangkum, memilih hal-hal yang

pokok, memfokuskan pada hal- hal yang penting, dicari tema dan polanya, dalam hal ini

memilih hal-hal yang berhubungan dengan aspek konsep kepemimpinan Islam-Jawa dan

kepemimpinan publik dan teori double movement sehingga dapat memberikan gambaran yang

21

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, 324

10

lebih jelas dan mempermudah dalam proses pengumpulan data.22

Data yang diperoleh

kemudian diolah melalui tahapan memahami, mengamati setiap kata dan menuliskan berbagai

informasi yang berhubungan dengan reinterpretasi konsep konsep kepemimpinan Islam-Jawa

dan kepemimpinan publik yang sedang diteliti.

b) Penyajian data (data display)

Setelah mereduksi data, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data (data display).

Penyajian data diikuti oleh proses mengumpulkan data-data yang saling berhubungan satu sama

lain. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat danbagan. Hal ini dilakukan

untuk memperkuat hasil reduksi data untuk diolah lebih lanjut sehingga pada akhirnya akan

menghasilkan suatu kesimpulan.23 Dalam hal ini, penulis mulai menyajikan data dalam

bentuk teks yang bersifat diskriptif mulai dari sejarah ditulisnya manuskrip dan kondisi sosial

orang Jawa pada zaman itu, dan seterusnya.

c) Pengambilan kesimpulan dan verifikasi data (conclusion drawing/verification)

Langkah terakhir yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi data.

Setelah peneliti menarik kesimpulan dari hasil penelitian, peneliti mempelajari dan memahami

kembali data-data hasil penelitian sehingga diharapkan kesimpulan yang diperoleh dapat

menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sejak awal.

H. Sistematika Penelitian

Penyusunan penulisan pada penelitian ini dirancang melalui sistematika sebagai berikut:

1. Bab I (Pendahuluan) berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian serta

tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, serta

sistematika penelitian.

2. Bab II (Kajian Pustaka) Konsep dasar kepemimpinan yang terbagi menjadi tiga sub bab.

Pertama, kepemimpinan publik. Kedua, kepemimpinan Islam. Ketiga, kepemimpinan Jawa.

3. Bab III (Biografi Tokoh) Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro yang yang terbagi menjadi dua

sub bab. Pertama, profil dan biografi Kyai Ageng Imam Puro. Kedua, identifikasi naskah,

meliputi : deskripsi naskah, suntingan naskah dan terjemah naskah.

4. Bab IV (Pembahasan I) konsep kepemimpinan Islam-Jawa Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro

5. Bab V (Pembahasan II) Implementasi Kepemimpinan Publik di Indonesia dalam Manuskrip

Kyai Ageng Imam Puro.

6. Bab VI (Penutup) menguraikan kesimpulan serta saran kepada peneliti.

22

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung : Alfabeta, 2011), 243 23

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago & London: The

university of Chicago Press, 1982), 7

11

BAB II

KONSEP DASAR KEPEMIMPINAN

A. Kepemimpinan Publik

1. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan faktor terpenting dalam suatu organisasi. Menurut Stogdi dalam

Dr. M. Sobry Sutikno menyatakan bahwa, Kepemimpinan sebagai konsep manajemen dapat

dirumuskan dalam berbagai macam definisi tergantung dari mana titik tolak pemikirannya.1

Beberapa pengertian kepemimpinan menurut pendapat para ahli, menurut Achmad Sanusi dan M.

Sobry Sutikno adalah berikut ini: 2

a. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktivitas kelompok yang diatur

untuk mencapai tujuan bersama. (Rauch & Behling).

b. Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan

penuh kemauan untuk tujuan kelompok. (George P. Terry).

c. Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai

tujuan umum. ( H. Koontz dan C. Donnell).

d. Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama guna

mencapai tujuan tertentu yang diinginkan” (Ordway Tead).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan

untuk mempengaruhi dan menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan dalam

organisasi diarahkan untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya agar mau berbuat seperti

yang diharapkan ataupun diarahkan oleh orang yang memimpinnya.

2. Teori-Teori Kepemimpinan

Teori kepemimpinan membicarakan bagaimana seorang menjadi pemimpin, atau bagaimana

timbulnya seorang pemimpin. Beberapa teori kepemimpinan diantaranya sebagai berikut: 3

a. Teori Sifat

Teori ini penekanannya lebih pada sifat-sifat umum yang dimiliki pemimpin, yaitu sifat-

sifat yang dibawa sejak lahir. Menurut teori sifat, hanya individu yang memiliki sifat-sifat

tertentulah yang bisa menjadi pemimpin. Teori ini menegaskan ide bahwa beberapa individu

dilahirkan memiliki sifat-sifat tertentu yang secara alamiah menjadikan mereka seorang

pemimpin.

1 M. Sobry Sutikno, Pemimpin dan Kepemimpinan (Lombok: Holistica, 2014), 15

2 Hamzah Zakub, Menuju Keberhasilan, Manajemen dan Kepemimpinan, ( Bandung: CV Diponegoro), 125

3 Nasharuddin Baidan& Erwati Aziz, Etika islam dalam Berbisnis ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 127

12

Menurut Stogdill dalam Sutikno, sifat-sifat tertentu efektif di dalam situasi tertentu, dan

ada pula sifat – sifat tertentu yang berkembang akibat pengaruh situasi organisasi. Sebagai

contoh, sifat kreativitas akan berkembang jika seorang pemimpin berada di dalam organisasi

yang flexible dan mendorong kebebasan berekspresi, dibandingkan di dalam organisasi yang

birokratis. Menurut Darf dalam Sutikno, menjelaskan tiga sifat penting yang harus dimiliki oleh

seorang pemimpin, yaitu kepercayaan diri, kejujuran, dan integritas, serta motivasi. 4

b. Teori Perilaku

Teori ini lebih terfokus pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemimpin dari pada

memperhatikan atribut yang melekat pada diri seorang pemimpin. Dasar pemikiran teori ini

adalah kepemimpinan merupakan perilaku seseorang ketika melakukan kegiatan pengarahan

suatu kelompok kearah pencapaian tujuan.

c. Teori Situasional

Teori ini mengatakan bahwa pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah

berbeda-beda, tergantung dari situasi yang sedang dihadapi. Hersey dan Blanchard dalam

Sutikno, terfokus pada karakterisitik kematangan bawahan sebagai kunci pokok situasi yang

menentukan keefektifan perilaku seorang pemimpin. Menurut mereka, bawahan memiliki

tingkat kesiapan dan kematangan yang berbeda-beda sehingga pemimpin harus mampu

menyesuaikan gaya kepemimpinannya, agar sesuai dengan situasi kesiapan dan kematangan

bawahan. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu adalah: 5

1) Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas

2) Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan

3) Norma yang dianut kelompok

4) Ancaman dari luar organisasi

5) Tingkat stress

6) Iklim yang terdapat dalam organisasi Menurut Fread Fiedler dalam Sutikno,

Kepemimpinan yang berhasil bergantung kepada penerapan gaya kepemimpinan terhadap

situasi tertentu. Sehingga suatu gaya kepemimpinan akan efektif apabila gaya

kepemimpinan tersebut digunakan dalam situasi yang tepat.

d. Teori Jalan-Tujuan

Menurut teori ini, nilai strategis dan keefektifan seorang pemimpin didasarkan pada

kemampuannya dalam menimbulkan kepuasan dan motivasi anggotanya dengan penerapan

hadiah. Tugas pemimpin menurut teori ini adalah bagaimana bawahan bisa mendapatkan

4 Vietzal Rivai, Bahtiar dan Boy Rafli Amar, Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi (Jakarta; PT Raja

Grafindo Persada, 2013), 21 5 Susilo Martoyo, Manajemen Sumberdaya Manusia ( Yogyakarta: BPFE, 2000), 184-186

13

hadiah atas kinerjanya, dan bagaimana seorang pemimpin menjelaskan dan mempermudah

jalan menuju hadiah tersebut. Pemimpin berusaha memperjelas jalur menuju tujuan yang

diinginkan oleh organisasi sehingga bawahan tahu ke mana harus mengerahkan tenaganya

untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu, pemimpin juga memberikan hadiah yang jelas

bagi prestasi bawahan yang telah memenuhi tujuan organisasi sehinggan bawahan termotivasi.

e. Teori Kelebihan

Teori ini beranggapan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin apabila ia memiliki

kelebihan dari para pengikutnya. Pada dasarnya kelebihan yang harus dimiliki oleh seorang

pemimpin mencakup 3 hal yaitu: 6

1) Kelebihan rasio, ialah kelebihan menggunakan pikiran, kelebihan dalam pengetahuan

tentang hakikat tujuan dari organisasi, dan kelebihan dalam memiliki pengetahuan

tentang cara-cara menggerakkan organisasi, dan pengambilan keputusan yang cepat dan

tepat.

2) Kelebihan Rohaniah, artinya seorang pemimpin harus mampu menunjukkan keluhuran

budi pekertinya kepada bawahannya. Seorang pemimpin harus mempunyai moral yang

tinggi karena pada dasarnya pemimpin merupakan panutan para pengikutnya. Segala

tindakan, perbuatan, sikap dan ucapan hendaknya menjadi suri teladan bagi para

pengikutnya.

3) Kelebihan Badaniah, seorang pemimpin hendaknya memiliki kesehatan badaniah yang

lebih dari para pengikutnya sehingga memungkinkannya untuk bertindak dengan cepat.

f. Teori Kharismatik

Menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai kharisma

(pengaruh) yang sangat besar. Kharisma diperoleh dari kekuatan yang luar biasa. Pemimpin

yang bertipe kharismatik biasanya memiliki daya tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat

besar. Pengaruh yang luar biasa ini dapat dilihat dari pengorbanan yang diberikan oleh para

pengikut untuk pribadi sang pemimpin, sampai-sampai mereka rela untuk menebus nyawanya

untuk sang pemimpin.7 Konsep kepemimpinan yang kharismatik ini banyak bersumber dari

ajaran agama dan sejara Yunani Kuno. Namun secara konseptual kepemimpinan kharismatik

ini dalam pandangan ilmiah dipelopori oleh Robert House, yang meneliti pemimpin politik dan

religius di dunia.

6 Usman Effendi, Asas Manajemen (Jakarta: PT Raja Grafindo,2011), 188-189

7 Komang Ardana, Ni Wayan Mujiati, dan Agung Ayu Sriathi, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009), 101-102

14

3. Tipe-Tipe Kepemimpinan

Dalam upaya menggerakkan dan memotivasi orang lain agar melakukan tindakan-tindakan

yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang pemimpin memiliki beberapa tipe (bentuk)

kepemimpinan. Tipe kepemimpinan sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya

kepemimpinan. Berikut adalah tipe-tipe kepemimpinan yang luas dan dikenal dan diakui

keberadaannya: 8

a. Tipe Otokratik

Tipe kepemimpinan ini menganggap bahwa kepemimpinan adalah hak pribadinya

(pemimpin), sehingga ia tidak perlu berkonsultasi dengan orang lain dan tidak boleh ada orang

lain yang turut campur. Seorang pemimpin yang tergolong otokratik memiliki serangkaian

karakteristik yang biasanya dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Jadi, seorang

pemimpin yang otokratik ialah seorang pemimpin yang :

1) Menganggap organisasi sebagai milik pribadi

2) Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi

3) Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata

4) Tidak mau menerima kritik, saran, dan pendapat

5) Terlalu tergantung kepada kekuasan formilnya

6) Dalam tindakan penggerakkannya sering mempergunakan pendekatan yang mengandung

unsur paksaan dan bersifat menghukum

b. Tipe Kendali Bebas (Laissez-Faire)

Tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpinan otokratik. Dalam

tipe ini sang pemimpin biasanya menunjukkan perilaku yang pasif dan seringkali menghindar

diri dari tanggung jawab. Seorang pemimpin kendali bebas cenderung memilih peran yang

pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri. Sifat kepemimpinan pada

tipe kendali bebas seolah-olah tidak tampak. Kepemimpinannya dijalankan dengan

memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpin dalam mengambil keputusan dan

melakukan kegiatan menurut kehendak dan kepentingan masing-masing, baik perseorangan

maupun kelompok-kelompok kecil. Disini seorang pemimpin mempunyai keyakinan bahwa

dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya terhadap bawahan maka semua usahanya

akan cepat berhasil. 9

8 Komang Ardana, Ni Wayan Mujiati, dan Agung Ayu Sriathi, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009), 106-107 9 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: PT Grafindo persada,2003), 10-11

15

c. Tipe Demokratik

Yang dimaksud dengan tipe demokratik adalah tipe pemimpin yang demokratis, dan

bukan karena dipilihnya si pemimpin secara demokratis. Tipe kepemimpinan di mana

pemimpin selalu bersedia menerima dan menghargai saran, pendapat, dan nasehat dari staf dan

bawahan, melalui forum musyawarah untuk mencapai kata sepakat. Untuk mencapai

keefektifan organisasi, penerapan beberapa tipe kepemimpinan di atas perlu disesuaikan

dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan kepemimpinan situasional. Untuk dapat

mengembangkan tipe kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan

khusus yakni : 10

1) Kemampuan analitis, kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi

bawahan dalam melaksanakan tugas. Kemampuan untuk fleksibel, kemampuan untuk

menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi

2) Kemampuan berkomunikasi, kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang

perubahan gaya kepemimpinan yang diterapkan.

B. Kepemimpinan Islam

1. Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.

Dalam sejarah perkembangan kepemimpinan di dunia Islam, model kepemimpinan pastinya

sangat dipengaruhi oleh tokoh sentral pada masa tersebut. Zaman Rasulullah Saw, tokoh utama

kepemimpinan tentunya adalah Rasulullah Saw. Di masa kepemimpinan beliau, bisa dikatakan

bahwa model kepemimpinan yang beliau jalankan adalah model kepemimpinan situasional. Yakni

model kepemimpinan yang memadukan antara model kepemimpinan otokratis, permisif, dan

partisipatif secara konsisten.11

Sebagaimana diketahui, model kepemimpinan situasional adalah perpaduan antara model

kepemimpinan dimana seorang pemimpin dapat menggunakan model kepemimpinannya sesuai

dengan situasi dan kondisi yang mendukung, yakni kapan dia harus menentukan sendiri kebijakan

dan menugaskannya kepada staf tanpa berkonsultasi dengan mereka, mengarahkan secara rinci dan

harus dilaksanakan tanpa pertanyaan, kapan dia harus memberi kepercayaan penuh kepada

bawahannya dengan prinsip umum bahwa pada prinsipnya semua manusia terlahir

bertanggungjawab dan memiliki kemampuan untukmelaksanakan kewajibannya, yang terakhir

kapan dia harus melibatkan stafnya dalam memutuskan suatu perencanaan.

Dalam masa keemasan pertama, yakni di masa kenabian, Rasulullah sangat sering

mempraktekkan kepemimpinan situasional ini. Diantara contoh yang dapat disuguhkan adalah

10

Komang Ardana, Ni Wayan Mujiati, dan Agung Ayu Sriathi, Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2009), 90 11

Shalih Bin Ghanim As-Sadlan, Aplikasi Syariat Islam (Jakarta : Darul Fallah, 2002), 21

16

ketika beliau mengirimkan Mush’ab bin Umair untuk menjadi duta pertama Islam ke Madinah yang

saat itu masih bernama Yatsrib. Misi ini sebenarnya merupakan pekerjaan berat, dimana objek

pendidikan adalah masyarakat Yatsrib yang hampir 100% adalah penganut agama nenek moyang.12

Nabi Muhammad Saw memberi kepercayaan begitu saja kepada Mush’ab bin Umair karena beliau

telah mengetahui akan kapasitas Mush’ab. Mush’ab saat masih di Makkah terkenal sebagai ahli

negosiasi yang sangat diakui kehebatannya. Benar terbukti Mush’ab mampu membuat masyarakat

Yatsrib secara berangsur-angsur melakukan bai’at ke Mekkah menemui Nabi Muhammad Saw.

Puncaknya adalah hijrahnya Rasulullah Saw ke Yatsrib dengan disambut secara gegap gempita oleh

seluruh masyarakat Arab asli Yatsrib dengan nasyid yang terkenal thola’al badru ‘alaina. Model

kepemimpinan seperti ini adalah yang bisa disebut dengan model kepemimpinan permisif.

Contoh lainnya adalah ketika Rasulullah Saw hendak menentukan bagaimana cara

mengundang manusia untuk melaksanakan shalat, maka dilakukanlah musyawarah bersama para

shahabat dan akhirnya muncullah lafaz adzan yang ternyata merupakan hasil mimpi salah seorang

shahabat. Dalam kasus model kepemimpinan seperti ini Rasulullah Saw senantiasa jalankan dalam

banyak hal termasuk musyawarah menentukan strategi peperangan. Model kepemimpinan seperti

ini adalah yang bisa disebut dengan model kepemimpinan partisipatif. Sementara contoh model

kepemimpinan otokratis adalah ketika Rasulullah Saw memerintahkan kepada shahabat Ali Ra

untuk tidur di kamar Rasulullah Saw tanpa memberi alasan sedikitpun kepada Ali Ra dan tanpa

memberi peluang sedikit saja kepada Ali untuk bertanya.

Seluruh model kepemimpinan ini dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw selaku tokoh

sentral pendidikan dalam menjalankan model kepemimpinannya yang sangat khas dan kaya. Pada

masa kepemimpinan Rasul memang selalu dituntun oleh wahyu, jika tidak ada wahyu maka rasul

berijtihad baik melalui musyawarah maupun inisiatif beliau sendiri. Jika keputusan itu benar, Allah

membiarkannya dalam arti tidak ada teguran wahyu, tapi jika ketetapan Rasul atau ijtihadnya itu

tidak tepat maka turunlah wahyu. Dari dasar itu, maka segala keputusan yang diambil masa

kepemimpinan Rasul selalu benar.

2. Kriteria Pemimpin Islam

Sebagai pemimpin teladan yang menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah dikaruniai

empat sifat utama, yaitu:13

a. Shidiq (Jujur)

Kejujuran adalah lawan dari dusta dan memiliki arti kecocokan sesuatu sebagaimana

dengan fakta. Di antaranya yaitu kata rajulun shaduq (sangat jujur), yang lebih mendalam

maknanya daripada shadiq (jujur). Al-mushaddiq yakni orang yang membenarkan setiap

12

Hendri Tanjung, Manajemen Syariah dalam Praktik ( Jakarta: Gema Insani, 2003), 120 13

Harahap Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Perspektif islam, Jakarta; Salemba Empat, 2011, h.76

17

ucapanmu, sedang ash-shiddiq ialah orang yang terus menerus membenarkan ucapan orang,

dan bisa juga orang yang selalu membuktikan ucapannya dengan perbuatan. Kejujuran

merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin. Masyarakat akan menaruh respek kepada

pemimpin apabila dia diketahui dan juga terbukti memiliki kualitas kejujuran yang tinggi.

Pemimpin yang memiliki prinsip kejujuran akan menjadi tumpuan harapan para

pengikutnya. Mereka sangat sadar bahwa kualitas kepemimpinannya ditentukan seberapa jauh

dirinya memperoleh kepercayaan dari pengikutnya.14

Seorang pemimpin yang sidiq atau bahasa

lainnya honest akan mudah diterima di hati masyarakat, sebaliknya pemimpin yang tidak jujur

atau khianat akan dibenci oleh rakyatnya. Kejujuran seorang pemimpin dinilai dari perkataan

dan sikapnya. Sikap pemimpin yang jujur adalah manifestasi dari perkataannya, dan

perkatannya merupakan cerminan dari hatinya. Nabi Saw disifati dengan ash-shadiqul amin

(jujur dan terpercaya), dan sifat ini telah diketahui oleh orang Quraisy sebelum beliau diutus

menjadi rasul.

b. Amanah (terpercaya)

Amanah merupakan kualitas wajib yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan

memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat yang telah

diserahkan di atas pundaknya. Kepercayaan maskarakat berupa penyerahan segala macam

urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan untuk kemaslahatan bersama. Amanah

erat kaitanya dengan tanggung jawab. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang

bertangggung jawab. Dalam perspektif Islam pemimpin bukanlah raja yang harus selalu

dilayani dan diikuti segala macam keinginannya, akan tetapi pemimpin adalah khadim.

Sebagaimana pepatah Arab mengatakan “sayyidulqaumi khodimuhum”, pemimpin sebuah

masyarakat adalah pelayan mereka. Sebagai seorang pembantu, pemimpin harus merelakan

waktu. Tenaga dan pikiran untuk melayani rakyatnya.

Pemimpin dituntut untuk melepaskan sifat individualis yang hanya mementingkan diri

sendiri. Ketika menjadi pemimpin maka dia adalah kaki-tangan rakyat yang senantiasa harus

melakukan segala macam pekerjaan untuk kemakmuran dan keamanan rakyatnya. Dalam buku

The Indispensable Quality of Leader, John C. Maxwell menekankan bahwa tanggung jawab

bukan sekedar melaksanakan tugas, namun pemimpin yang bertanggung jawab harus

melaksanakan tugas dengan lebih, berorienatsi kepada ketuntasan dan kesempurnaan. “Kualitas

tertinggi dariseseorang yang bertangging jawab adalah kemampuannya untuk

menyelesaikan”.15

14

Tasmara Toto, Spiritual Centered Leadership (Jakarta : Erlangga, 2005), 163 15

Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yokyakarta : Gajah Mada Unuversiuty Press, 2001), 17

18

c. Tabligh (Komunikatif)

Kemampuan berkomunikasi merupakan kualitas ketiga yang harus dimiliki oleh

pemimpi sejati. Pemimpin bukan berhadapan dengan benda mati yang bisa digerakkan dan

dipindah-pindah sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi pemimpin berhadapan dengan

rakyat manusia yang memiliki beragam kecenderungan. Oleh karena itu komunikasi

merupakan kunci terjadinya hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyat. Salah satu ciri

kekuatan komunikasi seorang pemimpin adalah keberaniannya menyatakan kebenaran

meskipun konsekuensinya berat. Dalam istilah Arab dikenal ungkapan, “kul al-haq walau

kaana murran”, katakanlah atau sampaikanlah kebenaran meskipun pahit rasanya.

Tabligh juga dapat diartikan sebagai akuntabel, atau terbuka untuk dinilai. Akuntabilitas

berkaitan dengan sikap keterbukaan (transparansi) dala kaitannya dengan cara

mempertanggungkawabkan sesuatu di hadapan orang lain. Sehingga, akuntabilitas merupakan

bagian melekat dari kredibilitas. Bertambah baik dan benar akuntabilitas yang miliki,

bertambah besar tabungan kredibilitas sebagai hasil dari setoran kepercayaan orang-orang.16

d. Fathanah (Cerdas)

Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga

memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan

segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah

frustasi menghadapai problema, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi.

Pemimpin yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu

tertantang untuk menyelesaikan masalah tepat waktu. Kecerdasan pemimpin tentunya ditopang

dengan keilmuan yang mumpuni. Ilmu bagi pemimpin yang cerdas merupakan bahan bakar

untuk terus melaju di atas roda kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas selalu haus akan

ilmu, karena baginya hanya dengan keimanan dan keilmuan dia akanmemiliki derajat tinggi di

mata manusia dan juga pencipta.

3. Ciri Kepemimpinan Islam

Kepemimpinan menurut Rivai juga memiliki beberapa ciri penting yang menggambarkan

kepemimpinan Islam adalah sebagai berikut:17

a. Setia: pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetiaan kepada Allah Swt.

b. Tujuan: pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan

kelompok tetapi juga dalam ruang lingkup tujuan Islam yang lebih luas.

c. Berpegang pada syariat dan akhlak Islam: pemimpin terikat dengan peraturan Islam, boleh

menjadi pemimpin selama ia berpegang pada perintah syariat. Waktu mengendalikan

16

2Tasmara Toto, Spiritual Centered Leadership (Jakarta : Erlangga, 2005), 19 17

Veithzal Rivai, Kiat Kepemimpinan dalam Abat-21 (Jakarta : Murai Kencana, 2004), 72

19

urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan

golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham.

d. Pengembang Amanah: menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt yang disertai

oleh tanggung jawab yang besar. Qur’an memerintahkan pemimpin melaksanakan

tugasnya untuk Allah Swt dan menunjukkan sikap baik kepada pengikutnya.

e. Tidak sombong: menyadari bahwa diri ini adalah kecil, karena yang besar hanya Allah

Swt, sehingga allahlah yang boleh sombong. Sehingga kerendahan hati dalam memimpin

merupakan salah satu ciri kepemimpinan yang patut dikembangkan.

f. Disiplin, konsisten dan konsekuen: sebagai perwujudan seorang pemimpin yang

profesional yang akan memegang teguh janji, ucapan dan perbuatan yang dilakukan,

karena ia menyadari bahwa Allah Swt mengetahui semua yang ia lakukan bagaimanapun ia

berusaha menyemunyikannya.

Sedangkan menurut Rahman menyatakan, bahwa kepemimpinan Islami, menurutnya, adalah

upaya mengungkap kepribadian Rasulullah Muhammad Saw dalam menjalankan kepemimpinan.

Berdasarkan temuannya, ada beberapa nilai yang menjadikan kepemimpinan Muhammad Saw

sukses, yaitu:18

a. Mutu kepemimpinan

b. Keberanian dan ketegasan

c. Pengendalian diri

d. Kesabaran dan daya tahan

e. Keadilan dan persamaan

f. Kepribadian dan

g. Kebenaran dan kemuliaan tujuan.

4. Azaz-azaz Kepemimpinan Islam

Adapun azas pemimpin dalam Islam, seperti dikemukakan Kamrani Buseri seperti berikut:19

a. Power sesuai dengan yang diberikan oleh pemberi kekuasaan.

Jadi setiap pemimpin mesti memiliki dua amanah yakni amanah dari

organisasi/lembaga sekaligus amanah dari Tuhannya. Kesadaran spiritualitas ini memberikan

corak kepemimpinan yang sangat berketuhanan dan manusiawi, dia akan membawa

organisasinya ke arah visi ketuhanan dan kemanusiaan, bukan ke arah keserakahan.

18

Rahman, Afzalur, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 62-77 19

Veithzal Rival Zainal, Subardjo Joyo Sumarto Dkk, Islamic Manajemen, ( Yogyakarta: BPEE, 2013), 296

20

b. Wewenang (authority)

Kewenangan adalah batasan gerak seorang pemimpin sesuai dengan apa yang telah

diberikan oleh pemberinya. Dalam pandangan Islam, wewenang juga dua lapis, yakni

wewenang yang diperoleh sejalan dengan ruang lingkup tingkatan tugas dan tanggung jawab

pemimpin, serta wewenang yang diberikan oleh Tuhan sebagai khalifah-Nya, yakni memiliki

kewenangan atas bumi dan segala isinya, dengan tugas memakmurkan bumi ini. Kesadaran

spiritual adanya kewenangan yang berlapis ini akan menumbuhkan pertanggung jawaban atas

jalannya wewenang yang diterimanya, bahkan akan mempertanggung jawabkan di hadapan

Yang Maha Kuasa kelak. Bilamana seorangpemimpin sudah memiliki power, wewenang dan

amanah, maka dia akan memiliki wibawa atau pengaruh.

c. Keimanan

Iman yang akan membalut power, authority dan amanah tersebut sehingga

kepemimpinan akan dibangun atas dasar bangunan yang komprehensip, kuat dan berorientasi

jauh ke depan tidak sekedar melihat manajemen hanya diorientasikan kepada masalah

mondial (duniawi) semata. Seorang pemimpin yang kuat imannya, dia memahami bahwa

kemampuan memimpin yang dia miliki adalah pemberian Tuhannya. Dia menyadari punya

kekurangan, dan di saat itu dia juga mudah bertawakkal kepada Tuhannya. Sehingga

keberhasilan dan kegagalan baginya akan memiliki makna yang sama, karena keduanya

diyakini sebagai anugerah sekaligus pilihan Tuhannya. Disini pentingnya zero power.

d. Ketakwaan

Takwa sebagai azas kepemimpinan bukan dalam arti yang sempit, yakni takwa berarti

berhati-hati dan teliti. Oleh sebab itu dalam surah al-Hasyr : 18 mengenai perencanaan, Allah

Swt memulai menyeru dengan seruan ”Hai orang-orang yang beriman bertakwalah”, baru

dilanjutkan dengan perintah mengamati kondisi kekinian yang digunakan untuk menyusun

rencana ke depan. Setelah itu ditutup dengan seruan “bertakwalah” kembali. Ini menunjukkan

perencanaan dan implementasi rencana harus dengan kehati-hatian dan ketelitian dalam

mengumpulkan data, pula dalam mengimplementasikannya.

e. Musyawarah

Sebagaimana diterangkan dalam surah as-Syura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159.

Musyawarah penting karena kepemimpinan berkaitan dengan banyak orang. Melalui

musyawarah akan terbangun tradisi keterbukaan, persamaan dan persaudaraan. Perencanaan,

organisasi, pengarahan dan pengawasan selalu saja terkait dengan sejumlah orang, maka

keterbukaan, persamaan dan persaudaraan akan memback up lancarnya proses manajemen

tersebut. Sebuah visi dan misi organisasi, akan semakin baik bilamana dibangun atas dasar

21

musyawarah, akan semakin sempurna dan akan memperoleh dukungan luas, sense of

belonging and sense of responsibility karena masyawarah sebagai bagian dari sosialisasi.

C. Kepemimpinan Jawa

1. Karakteristik Jawa

Wilayah Jawa, atau tana (tanah) Jawa merupakan bagian terbesar dari wilayah yang disebut

oleh para ahli geografi sebagai Kepulauan Sunda. Kepulauan ini acap kali disebut sebagai bagian

dari Kepulauan Malaya yang membentuk gugusan Kepulauan Oriental, yang kemudian disebut

sebagai Kepulauan Asiatik. Terkait nama Jawa, dalam arti terkait asal mula penyebutan nama

sebagai wilayah Jawa, memang tidak ada kepastian. Namun beredar cerita tentang penemuan

bijibijian baru oleh para pendatang India yang diberi nama jawawut. Ada juga yang menyebut

wilayah ini dengan Nusa Hara-hara, atau Nusa Kendang, yang mempunyai makna masih liar atau

yang bertepian dengan perbukitan.20

Asal mula penduduk di wilayah Jawa, disebut-sebut berasal dari nenek moyang yang sama

yakni dari pulau-pulau di timur semenanjung Asia yang merupakan wilayah pertamakali ditempati

manusia. Di kawasan Asia Timur terdapat suatu bangsa yang besar, bangsa Cina, bangsa Jepang

dan beberapa suku bangsa lain yang mendiami Semenanjung India di luar Gangga, dan juga di

pulau-pulau selatan dan timurnya, sampai New Guinea. Ditemukan kemiripan ciri-ciri yang terdapat

pada masyarakat Jawa dengan ciri-ciri bangsa yang disebut di atas. Begitu juga adanya kemiripan

dengan bangsa Birma dan Siam. Berdasar kemiripan ini, baik secara fisik, tingkah laku ataupun adat

istiadat, memperkuat dugaan bahwa penghuni pulau Jawa berasal dari pulau-pulau di wilayah antara

Cina dan Siam. Terkait migrasi dan penyebabnya, memang tidak diketahui secara pasti apa yang

melatarbelakanginya.21

Waktu terus berlanjut, hingga bangsa asing berkunjung ke wilayah Jawa yang

mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Raffles, seorang Inggris, mantan Letnan-Gubernur pulau

Jawa yang memerintah pada tahun 1811-1816 merekam hal itu. Ia menggambarkan kedatangan

Portugis, Belanda, hingga Inggris di Pulau Jawa. Raffles mencatat, Portugis pertama kali melakukan

perjalanan ke kepulaun paling Timur pada tahun 1510, saat Alphonzo de Albuquerqe mendatangi

Sumatera. Lalu Albuquerqe menyuruh Antonio de Abrew ke wilayah Jawa dan Maluku untuk

berdagang. Kekuasaan Portugis terus berlanjut hingga kisaran tahun 1959, ketika Belanda

melakukan pelayaran pertama kali di bawah kendali Houtman. Pada kurun waktu ini Portugis

menyerang Raja Bantam (yang kini dikenal sebagai daerah Banten), bertepatan Belanda yang

20

Berliana Kartakusumah, Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer, (Jakarta: PT Mizan Publika,

2006), 7 21

Suyami, Konsep Kepemimpinan Jawa Dalam Ajaran Sastra Cetha Dan Astha Brata, (Yogyakarta: Kepel Press,

2008), 11-14

22

berlayar dengan tujuan Bantam, langsung menawarkan bantuan, dan sebagai balasan atas jasa

bantuannya pihak Belanda mendapat hak untuk membangun pabrik di daerah Bantam.22

Waktu berlanjut, Badan Dagang milik Inggris menyusul. Di bawah pimpinan Ratu Elizabeth

tahun 1601 Inggis menuju Sumatera dan kemudian pergi ke Bantam. Belanda yang untuk sekian

tahun menempati Bantam akhirnya pada tahun 1610, Bolt, Gubernur Jendral Belanda pertama

menginisiasi perpindahan dari Bantam ke Batavia. Pada tahun 1683 pihak Inggris juga turut pindah

dari Bantam setelah mengalahkan pihak Belanda. Hingga akhirnya pada 11 September tahun 1811,

pemerintah Inggis semakin berkuasa atas wilayah Jawa dengan proklamasi yang ditandatangani

oleh Earl Minto. Namun pada 13 Agustus 1814, sebuah konvensi dibuat agar Inggris menyerahkan

kembali kepada Belanda seluruh kekuasaan atas Hindia Timur. Akhirnya pada 19 Agustus tahun

1816 bendera Belanda kembali berkibar di Batavia.

Terkait agama yang dianut oleh masyarakat Jawa, sebelum kedatangan agama Islam yang

menjadi keyakinan terbesar di kalangan masyarakat Jawa kekinian, masyarakat Jawa menganut

agama Hindu. Dalam catatan sejarah dan tradisi umum di daerah, kerajaan Hindu Majapahit

sekitaran tahun 1475 M yang berdiri dan berkuasa di tanah Jawa harus tergeser sebab datangnya

Islam. Pengaruh Islam juga dirasakan oleh Portugis ketika ia pertamakali berkunjung ke Bantam.

Portugis menemukan raja Hindu di Bantam yang kehilangan hak atas propinsinya sebab keberadaan

raja Islam yang berkuasa. Meskipun Islam sudah menjadi agama masyarakat Jawa, namun tak

semua elemen dari kalangan masyarakat Jawa yang masih enggan meninggalkan kebiasaannya dan

memercayai institusi nenek moyang mereka. Secara dzahirnya masyarakat Jawa sudah tidak pergi

ke candi, namun mereka masih menunjukkan perhatian yang tinggi pada hukum, adatistiadat dan

kebiasaan setempat yang telah ada sebelum datangnya Islam.23

2. Kepemimpinan Politik Jawa

Sebagai sebuah komunitas masyarakat yang mempunyai sejarah panjang dalam

peradabannya, banyak nilai-nilai yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa. Franz Magnis

Suseno menuliskan bahwa ada 4 lingkaran dalam pandangan dunia masyarakat Jawa. Lingkaran

pertama adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai sebuah kesatuan kesadaran antara

manusia, alam dan dunia adikodrati. Lingkaran kedua adalah penghayatan kekuasaan politik

sebagai perpanjangan tangan kekuatan adikodrati. Lingkaran ketiga adalah pengalaman mistis-

batiniah manusia Jawa dalam memahami eksistensi dirinya sebagai bagian dari alam. Lingkaran

keempat adalah penentuan semua lingkaran di atas sebagai bagian dari takdir kehidupannya.24

22

Dani Nur Rahman, “Peran Kepemimpinan Jawa” Diponegoro Journal Of Management, Vol. 1 No. 1 2012, 312 23

Suwardi Endraswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), 23 24

Stephen R Covey, Principle-Centered Leadership (New York: Simon & Schuster, 1992), 78

23

Dalam kehidupan masyarakat Jawa pandangan itu menjadi satu kesatuan dan merupakan

bagian dari kehidupan. Demikian pula dalam politik. Di dalam kepemimpinan politik masyarakat

Jawa tercermin empat lingkaran yang disampaikan oleh Suseno di atas. Paling tidak hal itu dapat

diterjemahkan dalam tiga ciri model kepemimpinan masyarakat Jawa yakni mistik, kharismatik-

filosofis, dan eufemistis.25

Pertama, pola kahidupan mistik. Secara definitif mistik atau mistifikasi bermakna

mengaburkan, misterius dan menjadi teka-teki. Hal yang mistik cenderung kabur, gaib dan tidak

terjangkau dengan akal manusia yang biasa. Bertolak dari penjelasan ini, mistik jika dikaitkan

dengan politik akan didapat sebuah pemahaman yang mengarah kepada sebuah aktifitas, tindakan

atau langkah-langkah politik yang tidak lazim ada pada aktifitas politik secara umum. Kepercayaan

animisme yang dianut masyarakat Jawa kiranya dapat dikaitkan dengan permasalahan “politik-

mistik” ini.

Berbagai literatur merekam, sejak zaman prasejarah masyarakat Jawa telah memiliki

kepercayaan animisme, yakni suatu kepercayaan terhadap roh yang terdapat pada benda-benda,

tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan, atau juga manusia sendiri. Saat melakukan prosesi

penyembahan, masyarakat Jawa melakukan upacara dengan sesaji yang tentu erat dengan hal-hal

mistik dan gaib. Dalam upacara tersebut masyarakat Jawa juga menyertainya dengan bunyi-bunyian

dan tari-tarian. Kebiasaan lokal masyarakat Jawa ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja pada

masa-masa setelahnya. Ketika Islam datang, persentuhan dengan kebiasaan lokal suatu daerah,

menyebabkan Islam hadir dengan tetap mengakomodir atau disesuaikan dengan ajaran Islam. Mark

R. Woodward menuliskan bahwa Islam terutama yang berkembang di Jawa merupakan Islam yang

masih dilekati lapisan simbol tipis makna animistik dan atau tradisi Hindu-Budha.26

Corak keislaman yang dipresentasikan oleh Islam tradisional ini, dalam kajian pemikiran

Islam disebut sinkretis atau sinkretisme. Sinkritisme, secara etimologis berasal dari bahasa arab,

tepatnya kata syin dan kritozein yang berarti mencampuradukkan unsur-unsur yang bertentangan.

Ada juga yang menyebut bahwa sinkritisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu syncretism yang

dimaknai campuran, gabungan, paduan dan kesatuan. Berbicara sinkretisme kita akan dihadapkan

dengan dua tradisi atau lebih dengan percampurannya sebab adanya masyarakat yang mengadopsi

suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan apa-apa yang menjadi

kebiasaan lama.

John R. Bowen melalui tulisannya Religious Practice menjelaskan bahwa sinkretisme adalah

percampuran antara dua tradisi atau lebih yang terjadi ketika masyarakat mengadopsi sebuah agama

baru dan berusaha membuatnya tidak bertabrakan gagasan dan praktik budaya lama. Bertolak dari

25

Suwardi Endraswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), 35 26

Agus Dharma, Gaya kepemimpinan yang Efektif bagi Para Manajer (Bandung: Sinar Baru, 1984), 13

24

penjelasan ini potret kemistikan masyarakat Jawa memang berakar nun jauh hingga zaman pra

sejarah. Walau kepercayaan masyarakat berganti, dari HinduBudha dan kini memeluk Islam,

masyarakat Jawa tak ubahnya secara jamak masih tetap memercayai unsur-unsur mistik, gaib, hal-

hal yang secara rasional tidak bisa diterima.27

Karakteristik kekuasaan di Jawa hampir dapat dipastikan selalu berkaitan dengan hal yang

berbau gaib. Orang Jawa masih memegang teguh keyakinan adanya kekuatan lain di luar dirinya

yang dapat membantu atau memberikan pengaruh pada kekuasaan. Paling tidak ada dua

karakteristik yang melekat pada paham kekuasaan Jawa, seperti yang disampaikan Anderson dan

Setiwan. Karakter tersebut yakni sentralistik. Kekuasaan yang ada terkonsentrasi serta adanya

kecenderungan untuk mengambil hak kekuasaan lain. Dikarenakan sifat yang memusat tersebut

maka tidak akan ada kekuatan lain yang dibiarkan bebas dan terlepas dari kendali pusat kekuasaan,

sebab selain ada potensi mengganggu keseimbangan atau keharmonisan lingkaran kekuasaan, juga

secara ancaman yang terus mengintai sehingga membahayakan keberadaan pemegang kekuasaan

tersebut.

Ciri lain kekuasan yang bercorak mistik adalah kekuasaan yang dianggap berasal dari alam

ilahiah atau adikodrati yang tunggal, dan tidak berasal dari rakyat sebagaimana yang tercantum

dalam teori kedaulatan rakyat. Dampak dari pemahaman ini adalah tidak adanya sebuah pertanyaan

atau pengkritisan atas sah atau tidaknya kekuasaan tersebut diperoleh. Rakyat akan cenderung

tunduk saja, tidak macammacam sebab meyakini bahwa hal yang ilahiah atau adikodrati memang

suatu hal yang mutlak, tidak boleh ada pertanyaan atau pengkritisan. Pertanggungjawaban moral

pun akan sulit terjadi. Semisalpun ada bukan merupakan hasil dari hubungan kekuasaan antara yang

memerintah dengan yang diperintah, melainkan lebih sebagai bentuk tanggungjawab moral yang

ditumbuhkan dari dalam diri sendiri.

Para pemegang kekuasaan menurut paham kekuasaan Jawa menerima kekuasaan tersebut

dari sumber adikodrati, dan kekuasaan yang diterima tersebut dianggap sebagai amanat atau tugas

suci yang hanya mempunyai konsekuensikonsekuensi tertentu dengan sumber atau asal kekuasaan

dan bukannya dari pihak lain. Kedua karakteristik kekuasaan yang disebut di atas akan

memengaruhi perilaku elite politik. Semisal karakteristik pertama, yaitu kekuasaan yang cenderung

sentralistis. Pola ini akan kita dapati dalam cara-cara pengambilan keputusan elite politik dan

pemangku jabatan di setiap sektornya. Kecenderungan yang demikian menempatkan pemegang

posisi puncak sebuah kekuatan politik berperan sangat dominan atau menentukan dalam setiap

proses pengambilan keputusankeputusan. Oleh karenanya kontrol yang sangat ketat adalah

konsekuensi dari persepsi atas kekuasaan.

27

Sri Wintala Achmad, Falsafah Kepemimpinan Jawa: Dari Sultan Agung Hingga Hamengkubuwana IX

(Yogyakarta: Araska, 2018), 17

25

Karakteristik kedua, karena kekuasaan berasal dari alam adikodrati, hal yang ilahiah maka

tidak mempunyai ikatan moral secara horisontal, mengakibatkan pola pertanggungjawaban sebuah

keputusan atau kebijaksanaan elite kepada masyarakat umum juga tidak ada. Mungkin bisa saja

masyarakat didengar suaranya atau seolah-olah dibuat mereka ikut berpartisipasi dalam proses

pembuatan keputusan, namun pada prinsipnya, persepsi tentang kekuasaan seperti ini nyatanya

tetap menonaktifkan partisipasi arus bawah yang ada. Seperti telah disinggung di atas, bahwa

hadirnya corak Islam tradisional yang tetap menjadikan kebiasaan masyarakat Jawa untuk tetap

diakomodir dalam Islam. Ini membuat kepercayaan akan hal-hal mistik, berbau gaib tetap

terpelihara dalam model kepemimpinan masyarakat Jawa hingga kini.

Kedua, kharismatik-filosofis. Pola kepemimpinan sebagaimana yang tergambar pada

karakteristik dalam poin pertama mengakibatkan pola kepemimpinan yang kharismatik. Secara

etimologis kharismatik mempunyai makna suatu hal yang membuat seorang individu atas dasar

kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya membuat orang lain mempunyai rasa kagum atas diri

sang linuwih atau yang mempunyai kelebihan tersebut. Namun bukan berarti berpijak pada poin

pertama, seseorang langsung dapat dihormati dan disegani masyarakat. Ada beberapa catatan atau

hal-hal yang harus dipenuhi. Hal ini bisa diketahui dari apa yang telah dilakukan diejawentahkan

oleh pemimpin nusantara masa lalu.

Terkait ciri kharismatik dalam model kepemimpinan Jawa, dalam hal ini bisa dikaitkan

dengan pandangan Max Weber. Secara historis, Max Weber mengambil istilah charisma dari

perbendaharaan kata yang dipakai pada permulaan pengembangan agama Kristen guna menunjuk

satu dari tiga jenis kekuasaan dengan pengklarifikasian klasik. Weber membedakan antara pertama,

Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada pada kesucian tradisi kuno.

Kedua, Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum (legal) yang didasarkan atas kepercayaan

terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang

berkuasa berdasarkan peraturanperaturan untuk mengeluarkan perintah. Ketiga, Kekuasaan

kharismatik yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut

dicontoh dari ketertiban atas kekuasaannya.

Lebih lanjut menurut Weber, walaupun istilah kharismatik pada masa kini berbeda dengan

ketiga hal lainnya namun tetap mempertahankan aspek loyalitas (pengabdian). Kharismatik diyakini

memiliki sesuatu yang luar biasa. Memimpin dengan cara yang tidak lazim dari sesuatu yang telah

dikenal. Serta mampu mematahkan hal-hal terdahulu untuk kemudian menciptakan hal-hal baru

bersifat revolusioner yang mampu tumbuh dalam keadaan serumit apapun. Dari segi

kemunculannya, kharisma yang disematkan pada seorang pemimpin lazimnya terlontar pada

persepsi rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, dapat didefinisikan kembali (tanpa keluar dari

26

maksud Weber yang hakiki) kharismatik adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mendapatkan

kehormatan, ketaatan serta kehebatannya sebagai sumber dari kekuasaan tersebut dengan

penekanan dalam setiap interaksinya (antara pemimpin dan pengikutnya) harus terdapat suatu

integritas yang continue. Dengan kata lain, diwajibkan akan adanya kesadaran pada benak kita

untuk bersatu pada satu tujuan, satu keinginan, satu cita-cita, satu harapan dan satu perjuangan.

Kemudian, barulah kita berharap akan muncul sosok pemimpin kharismatik yang dicintai, dihargai,

dan dihormati. Tentu saja, pemimpin kharismatik adalah pemimpinan yang mampu menggandeng

semua kelompok, golongan, etnis, suku, agama dan siapapun saja untuk mendapatkan kesetiaan.

Menurut Conger dan Kanungo, karakteristik pemimpin yang karismatik adalah percaya diri,

memiliki visi yang jelas dan mampu mengungkapkannya, memiliki keyakinan yang kuat akan visi

tersebut, berkomitmen tinggi. Beberapa teori menganggap bahwa kharisma itu adalah suatu hasil

dari kemampuan memahami dan mempengaruhi bawahan, dan hanya bisa dilakukan oleh pemimpin

yang berkualitas dan memiliki perilaku yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat

itu. Berbagai teori karismatik memiliki penjelasan yang beragam mengenai proses-proses

memengaruhi yang terdapat di dalamnya. Penjelasan psikoanalitis dari kharisma menekankan pada

pengaruh dari pemimpin yang berasal dari identifikasi pribadi dengan pemimpin tersebut. Semisal

Teori atribusi kharisma menekankan kepada identifikasi pribadi sebagai proses utama dan

internalisasi sebagai proses sekunder.

Teori Meindle menjelaskan bahwa orang-orang yang pindah agama secara langsung

dipengaruhi oleh pemimpin, tetapi orang lain kemudian dipengaruhi melalui sebuah proses

penularan sosial. Teori dari House menekankan kepada identifikasi pribadi, pembangkitan motivasi

oleh pemimpin, dan pengaruh pemimpin terhadap tujuan-tujuan dan rasa percaya diri para pengikut.

Teori konsep diri menekankan internalisasi nilai, identifikasi sosial, dan pengaruh pemimpin

terhadap kemampuan diri, dengan hanya memberi peran yang sedikit terhadap identifikasi pribadi.

Karakteristik kekuasaan dalam pemahaman Jawa yang berbentuk sentralistis atau memusat dan

diyakini berasal dari alam illahiah atau adikodrati yang tunggal semakin memperkuat sebagimana

yang disampaikan Weber.

Ketiga, bercorak eufemistis yang bermakna penghalusan dalam bertutur kata dan cenderung

berputar-putar. Clifford Geertz dalam The Religion of Java memaparkan karakter masyarakat Jawa

ini. Dalam tradisi Jawa, sifat “halus” baik dalam prilaku, perkataan, maupun tulisan menunjukkan

kepriyayi-an atau kejawaan seseorang. Dalam hal ini kalangan priyayi Jawa cenderung memakai

istilah-istilah eufemistik atau bahasa halus. Kata-kata keras dan bersifat langsung atau to the point

sebisa mungkin untuk dihindari, sehingga cenderung berputar-putar tidak mengena langsung pada

27

maksud. Karakter ini bisa dengan mudah kita temui dalam falsafah ataupun peribahasa yang beredar

di kalangan masyarakat Jawa.

Semisal Wong Jowo Nggone Semu, Sinamun Ing Samudana, Sesadone Ingadu Manis,

Ngunu Ya Ngunu Ning Aja Ngunu, dan Ewuh Pekewuh. Ungkapan Wong Jowo nggone semu,

sinamun ing samudana, sesadone ingadu manis mempunyai makna orang Jawa cenderung

terselubung, ditutup kata-kata tersamar, masalah apapun dihadapi dengan manis. Santosa

menjelaskan berpikir dan bersikapnya orang Jawa tidak selalu terbuka atau dalam arti cenderung

bersifat simbolik. Pernyataan yang disampaikan masyarakat Jawa dipenuhi Sanepa, kiasan dan

perlambangan. Santosa melanjutkan, semisal ada pengemis datang, apabila tidak berkenan

menyisihkan sedikit hartanya, seorang yang didatangi itu biasanya akan menggelengkan kepala

sembari tersenyum. Bisa juga mengatakan Maklume Mawon (maafkan saja) untuk tidak mengatakan

“tidak” kepada si pengemis. Jadi cenderung disamarkan. Ada juga yang menggunakan kalimat

Sanese Mawon (lainnya saja) yang intinya sama untuk Sinamun Ing Samudana.28

3. Sifat Kepemimpinan Jawa

Menurut ajaran Kitab Dasa Dharma Sastera Gajah Mada dianggap mampu mewujudkan

sifat kepemimpinan Jawa yang hakiki. Dia mampu bertindak manjing ajur-ajer, artinya mau

merasakan penderitaan rakyat, mengayomi, ikut menghayati apa saja yang menjadi keluhan rakyat,

dan mampu menemukan jalan keluar. Dari karya besar itu, Gajah Mada mampu menjalankan

sepuluh sifat dasar kepemimpinan Jawa, yaitu:29

a. Rajin sujud, meditasi atau samadhi. Laku sujud atau disebut manembah, selalu menjadi

landasan bertindak. Memimpin yang disertai sujud, akan ingat selalu pada Sang Pencipta,

sehingga tidak gegabah dalam bertindak. Digambarkan bahwa sejak anak-anak, Gajah Mada

suka sujud atau meditasi. Meditasi sering dilakukan malam hari dan sering mendapatkan

vision (penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari dewa Brahma.

b. Awas (visioner), artinya menjadi pelopor dan memiliki wawasan ke depan. Gajah Mada

selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif yang pertama serta bekerja keras di antara

teman-teman sebayanya. Cetusan ide cemerlang seorang pimpinan memang penting, biarpun

belum tentu disetujui bawahan. Ide yang visioner, dilandasi sikap awas, artinya tahu

berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Dengan kata lain, dia dapat menggabungkan dua

konsep kepemimpinan, yaitu

1) ngerti, artinya tahu berbagai hal

2) pakarti, artinya tindakan apa yang seharusnya diambil.

28

Khoirul Rosyadi, Mistik Politik Gus Dur (Yogyakarta: Jendela, 2014), 151 29

Suwardi Endraswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), 46

28

c. Greget, artinya tokoh pimpinan yang menjadi sumber motivator bawahan. Pimpinan yang

penuh greget, berarti mampu mendorong kemajuan bawahan. Paling tidak, dia mampu

memberi semangat dalam kerja keras dan berat, terutama dalam memajukan sistem

pertanian. Gajah Mada mampu memotivasi sesamanya. Kharismanya tampak sejak anak-

anak, kemana Gajah Mada pergi diikuti oleh temanteman sebayanya.

d. Babar binuka, artinya pimpinan yang benar-benar bersifat open manajemen. Kepemimpinan

yang terbuka jauh lebih dihargai bawahan. Ahli memimpin, termasuk memimpin sidang,

hatinya terbuka dan kata-katanya manis bagai air kehidupan. Dalam berbagai kesempatan

Gajah Mada digambarkan dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan memimpin

yang memberikan kesejukan kepada bawahannya. Pemimpin demikian hatinya halus, tidak

gemar nggetak-nggetak (memarahi) pada bawahan. Bawahan juga tidak akan banyak curiga

pada atasan.

e. Lantip, artinya pemimpin yang mampu menangani berbagai hal. Kelantipan pemimpin ini

yang disegani bawahan. Dia mampu menarik simpati, cerdas dan kreatif. Hal ini tampak

ketika Gajah Mada pertama kali mengabdikan dirinya di istana maha patih yang sudah mulai

tua yang bernama Arya Tadah, dan kemudian dia dikawinkan dengan putrinya yang

bernama Dyah Bebed. Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin mengetahui

wajah asli raja Bedahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang utuh sedepa

panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumnyasatu bumbung legen, ia bersedia

makan dihadapan raja. Dengan cara demikian itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah

raja Bali pada saat itu, dan raja tidak boleh membunuh utusan raja Majapahit ini, apalagi

yang bersangkutan sedang menikmati makanan.

f. Sopan dan ramah. Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo Wawira

(Kebo Iwa) dan Pasung Grigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus

oleh raja Jawa yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di Wilatikta, dan

memuji Kebo Wawira (Kebo Iwa) supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut. Karena

penampilannya yang sopan dan ramah, akhirnya Kebo Wawira (Kebo Iwa) berhasil ditipu

oleh Gajah Mada.

g. Senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi,

mempelajari kitab suci, dan melaksanakan upacara yadnya.

h. Senantiasa melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan

keadilan.

29

i. Seorang pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggung jawab, dan tangguh dalam

menghadapi berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum). Tidak menghina rakyat

jelata, dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan).

j. Menghormati orang bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan

tapabrata dan semadhi.

Dari sepuluh sifat kepemimpinan itu, sebenarnya kalau dapat dilaksanakan bangsa ini akan

adil dan makmur. Jangakan sepuluh halite, dapat menjalankan lima saja, seorang pimpinan sudah

tergolong hebat. Pemimpin yang handal dapat menerapkan syarat-syarat tersebut dalam sikap dan

perilakunya. Ajaran itu penting bagi pimpinan, tetapi jika tanpa implementasi juga tidak ada artinya.

Kalau diperhatikan, hampir seluruh ajaran kepemimpinan itu memuat idealism dan gagasan mulia.

4. Sintesis Mistik Kepemimpinan Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki akar sejarah yang sangat panjang,

terutama dalam kehidupan beragama dan berbudaya.30

Sebelum kedatangan Islam dan Barat

(terutama Belanda), Jawa beberapa ratus tahun lamanya dibawah kerajaan Hindu Buddha, dan

mereka menancapkan agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat. Jawa merupakan etnik

terbesar di Asia Tenggara. Etnik ini berjumlah kurang lebih empat puluh persen dari dua ratus juta

penduduk Indonesia. Seperti sebagian besar penduduk Indonesia, 85 % lebih juga memeluk agama

Islam. Tetapi sudah bisa diduga, pemeluk agama yang sedemikian masif itu, berbeda-beda secara

kultural, bukan karena keanekaragaman yang begitu besar di kalangan orang Indonesia, tetapi juga

karena variasi subkultur di lingkungan orang Jawa sendiri.31

Pada umumnya, orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah

muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan slametan merupakan

upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam sekelilingnya. Selain itu, inti dari

ajaran kejawen adalah amemayu hayuning bawana, yang dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha.

Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa menggambarkan tugas seorang pimpinan yang harus

memperbaiki dan memakmurkan dunia, seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait 4-5. Sunan

Pakubuwana IX (1861-1893) mengubah bait tersebut dalam serat Wiwaha Jarwa menjadi “Amayu

jagad puniki kang parahita, tegese parahita nenggih angecani manahing Iyan wong sanagari

puniki” (melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan

hati orang lain di seluruh negeri ini).

Tugas hidup amemayu hayuning bawana, oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar

Dewantara, dikembangkan menjadi mahayu hayuning bangsa, mahayu hayuning bawana

(memelihara dan melindungi keselamatan pribadi, bangsa, dan dunia). Tugas amemayu hayuning

30

Ibid., 152 31

Cliford Geertz, The Religion of Java (New York: Free Press, 1964), 34

30

bawana jelas merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagai pemimpin. Tradisi Jawa,

“Jawanisme” atau “Kejawen” bukanlah suatu katagori religius. Namun ia lebih merujuk pada

sebuah etika atau sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Sehingga, ketika sebagian

orang mengungkap kejawaan mereka, pada hakikatnya hal itu adalah suatu karakteristik yang secara

kultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman religius.32

Pengalaman Mulder ketika melakukan penelitian di Yogyakarta, ia menemukan seorang

muslim yang taat menjalankan ibadah sesuai dengan syariat Islam, tetapi mereka tetap orang Jawa

yang membicarakan mitologi wayang, atau menafsirkan shalat lima waktu sebagai pertemuan

pribadi dengan Tuhan. Banyak diantara mereka menghormati slametan sebagai mekanisme integrasi

sosial yang penting, atau sangat memuliakan ziarah makam orang tua dan leluhur mereka. Apa yang

dikemukakan Mulder, juga diperjelas oleh Woodward.

Dalam penelitiannya tentang Islam Jawa ditemukan beberapa aspek penting yang

membedakan Islam Jawa dengan praktik Islam lain. Pertama, Islam Jawa mengharuskan agar ritus-

ritus peralihan kehidupan khitanan, perkawinan, dan kematian harus dilaksanakan sesuai dengan

hukum Islam, tetapi juga berpegang pada aspek lain dari kesalehan syariat-centris yang merupakan

suatu hal yang bebas pilih. Di dalam hal ini, penerapan mikrokosmos/makrokosmos ke dalam

pemikiran kosmologis, keagamaan, politik dan sosial mentransformasikan watak mistisisme sufi.

Di Jawa, struktur jalan mistik memainkan peran dominan dalam pemikiran kosmologis

sosial, politik dan tradisional. Kedua, baik Islam normatif maupun berbagai versi desa Islam Jawa

berkaitan dengan kepercayaan kraton (royal cult). Hubungan antara syariat dan doktrin mistik

adalah suatu tema paling penting dalam teks-teks keagamaan yang menjadi dasar agama kraton.

Tetapi ada kalanya Islam normatif sesuai dengan syariat, tetapi ada pula syariat tidak terpakai

kesemuanya.33

Dalam mempraktikkan agama dalam kehidupan sosial, masyarakat Jawa dikenal sebagai

masyarakat yang pintar dan canggih. Terutama dalam menciptakan sintesis mistik dan agama dalam

ruang sosial. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari para pemimpinnya, seperti Wali, Raja, dan

Sultan yang secara cerdik mampu mengkonversi tradisi Islam ke dalam tradisi Jawa. Menurur

Ricklefs, inilah salah satu titik kunci keberhasilan Islamisasi di Jawa. Masyarakat Jawa telah

mengembangkan sebuah budaya literer yang dan religius yang canggih serta diperintah kaum elite

yang berfikiran cukup jauh sebelum Islam tercatat muncul untuk pertama kalinya dalam masyarakat

Jawa pada abad-14. selanjutnya tradisi tersebut diperkuat dan diperteguh oleh Islam, dan menjadi

salah kekuatan dalam proses Islamisasi.

32

Suwardi Endraswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2013), 143 33

Mark R. Woodward Woodward, Islam Jawa Kesalehan Normatif (Yogyakarta: LKiS, 2004), 16

31

Konversi budaya dalam Islam, selain Wali Songo, juga tidak dapat dilepaskan dari tokoh

utama, yakni raja terbesar di Jawa Sultan Agung (1613-1646). Dalam sejarah Sultan Agung dikenal

mampu mempertemukan dan mendamaikan keraton dengan tradisi Islam. Sultan tidak lantas

memutus hubungannya dengan Ratu Kidul (Nyi Roro Kidul) penguasa laut selatan, tetapi dia juga

mengambil langkah yang tegas terhadap Islamisasi di Jawa. Meskipun dalam sejarah, rintisan

canggih Sultan Agung tidak secara sistemik dilanjutkan oleh generasi sesudahnya, namun apa yang

dia dilakukan merupakan langkah besar dalam menghubungan antara agama dan budaya Jawa.

Karena sesudah era Sultan Agung, Jawa menghadapi beragam persoalan, mulai konflik antar

keluarga, antar kerajaan hingga berhadapan dengan imperialis Belanda. Keberhasilan Sultan Agung

dalam mengawinkan agama dan tradisi, melahirkan apa yang disebut Rickleft sebagai “Sistesis

Mistik”.34

Sistesis Mistik memuat tiga pilar utama, suatu kesadaran identitas islami yang kuat, menjadi

Jawa berarti menjadi muslim, pelaksanaan lima rukun ritual dalam Islam secara sungguh-sungguh

dan konsekwen serta penerimaan terhadap realitas kekuatan spritual khas Jawa seperti Nyi Roro

Kidul dan Sunan Lawu. Bersamaan dengan kedatangan Islam, maka tradisi yang sudah sangat kuat

dianut oleh masyarakat Jawa selanjutnya memperoleh tempat melalui justifikasi keagamaan lewat

bebarapa aktor. Pemimpin Jawa seperti Wali, sultan, kiai dan santri merupakan aktor penting yang

meperkuat posisi dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan politik formal dan birokrasi.

34

Jati Nur Cahyo, “Makna Simbolik Tokoh Wayang semar Dalam Kepemimpinan Jawa”, Jurnal Media Wisata Vol. 16

No. 2 November 2018, 1073

32

BAB III

MANUSKRIP KYAI AGENG IMAM PURO

A. Biografi Kyai Ageng Imam Puro

1. Sejarah Kyai Ageng Imam Puro

Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496 yang di deklarasikan oleh Raden Bathara

Katong. Nama Ponorogo berasal dari kata Pramana dan Raga. Pramana atau Pana yang artinya

mengerti, atau wasis, rahasia hidup, wadi, mumpuni. Sedangkan Raga artinya Jasmani, badan,

keseluruhan atau fisik. Jadi nama Ponorogo dapat ditafsirkan berarti dibalik badan wadak manusia

itu tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa oleh batin yang mantap dan mapan berkaitan

dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah, shufiah, dan muthmainah.1

Pendiri Kadipaten Ponorogo adalah Bathara Katong yang masih merupakan putra dari Prabu

Brawijaya V raja terakhir Kerajaan Majapahit. Raden Bathara Katong dalam pemerintahannya juga

dibantu oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji, dan para Warok Ponorogo.2 Raden Bathara Katong

turut mensyiarkan agama Islam di Ponorogo. Sepeninggal Bathara Katong, Kadipaten Ponorogo

dipimpin oleh penerusnya. Salah satunya adalah Raden Tumenggung Surabrata yang memimpin

Ponorogo pada masa Pakubuwono II melarikan diri ke Ponorogo karena Geger Pacinan. Salah satu

pertimbangannya adalah karena kekuatan militer Adipati Ponorogo Surobroto saat itu sangat kuat

daripada milik Adipati Madiun.

Dalam masa pelariannya ke Ponorogo, Sunan Pakubuwono II menggunakan gelar Panembahan

Brawijaya. Ini berarti secara tidak langsung Sunan Pakubuwono II menganggap dirinya sebagai

keturunan Sunan Lawu (Raden Gubtur atau Raden Gugur), putra Prabu Brawijaya V penghabisan

dari Majapahit).3

Pada hari Sabtu Wage, tanggal 27 Rabiul Akhir tahun Alip 1667 atau tanggal 30 Juli 1742

Masehi Sunan Pakubuwono II dan para rombongannya melarikan diri ke arah timur dan sampai ke

Kabupaten Ponorogo. Dalam perjalanan tersebut sesekali Sunan Pakubuwono II dan rombongan

beristirahat guna melepas lelah dan mengisi tenaga. Menurut tutur cerita masyarakat Ponorogo, ada

banyak tempat di Kabupaten Ponorogo yang sempat di singgahi oleh Sunan Pakubuwono II selama

1 Tim Penulis, Hari Jadi Kabupaten Ponorogo, (Ponorogo: Pemda Ponorogo, 1996), hlm. 8.

2 Warok adalah sosok orang yang dituakan, disegani, dan orang yang dihormati oleh masyarakat Ponorogo. Warok

berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu

memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik. Warok adalah orang yang sudah

sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin. Herry Lisbijanto, Reog Ponorogo. (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2013), hlm., 20. Sedangkan menurut Babad Ponorogo, Warok berasal dari bahasa Arab, Waroi, artinya

pimpinan. Bahasa Jawanya Wirangi, yang artinya sudah paham, sudah mengerti sekali kepada kasar halusnya lahir

batin. Warok perbuatan hidupnya hanya untuk menolong masyarakat dan negara, karena Allah. Baca juga

Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid VII. 1985. hlm 49. 3 Dwi Ratna N, dkk, op.cit, hlm. 73.

33

masa pelarian. Seperti cerita masyarakat Badegan berikut ini, rombongan Sunan Pakubuwono II

ketika beristirahat disana oleh masyarakat setempat disuguhi badeg (air ketan). Sunan Pakubuwono

kemudian memberikan nama daerah ini dengan nama Badegan.4

Perjalanan kemudian dilanjutkan dan sampailah Sunan Pakubuwono II beserta rombongan

melewati perkampungan yang tertata rapi dan terdapat pula alun-alun disana. Ternyata sesepuh dari

daerah ini bernama Jayenggrana. Sunan Pakubuwono II dan rombongan sempat singgah dan

beristirahat di kediaman Jayenggrana. Sunan Pakubuwana II meyakini bahwa Jayenggrana masih

mempunyai silsilah keturunan orang besar (tedhaking kusumu rembesing madu). Kemudian Sunan

Pakubuwono II mengajak Jayenggrana mengikuti perjalanan Sunan Pakubuwono II ke daerah

Ponorogo.5 Mulai dari sinilah Jayenggrana kemudian menjadi pendamping dan penunjuk arah

Sunan Pakubuwana II selama berada di Ponorogo. Tempat tinggal Jayenggrana akhirnya bernama

Dukuh Jayenggrana masuk Desa Kranggan, Kecamatan Sukorejo.

Selanjutnya, rombongan Sunan Pakubuwono II melanjutkan perjalanannya dan melewati

sebuah hutan lebat. Sunan Pakubuwono II memutuskan untuk singgah sebentar untuk beristirahat

dan bertapa. Alas duduk Sunan Pakubuwono II adalah batu persegi pipih dan lebar. Tempat itu

dikemudian hari bernama Pertapan, sekarang masuk Kelurahan Mangkujayan, Kecamatan

Ponorogo. Sedangkan batu tempat alas duduk tersimpan di Pemakaman Tamanarum.6

Ketika Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo, banyak pengikutnya kemudian yang ingin

tinggal dan menetap di Ponorogo. Salah satunya adalah Wonodikromo yang kemudian babad alas di

Ponorogo. Datang lagi rombongan dari Pajang berjumlah 6 keluarga, yaitu Sumodriyo,

Surosentono, Surodihardjo, Kromodrono, Mangundriyo, dan Singomarto.7 Joko Pitono adalah salah

satu pengikut Pakubuwono II yang datang ke Ponorogo. Joko Pitono memilih untuk tinggal

menetap di Ponorogo dan babad di wilayah yang dekat dengan sungai yang sekarang jadi Kelurahan

Pinggirsari. Pengikut dari Pakubuwono II yang lain adalah Raden Tumenggung Mangkuwijoyo

yang ikut menemani rajanya bertapa di Hutan Mangkujayan. Senopati prajurit Kartasura yang

bernama Elang Lawet atau Pronojoyo dan para prajurit menempati Mangkujayan bagian barat

tepatnya di daerah Prajuritan. Ada juga Kyai Nologati salah satu pengikut dari Pakubuwono II yang

kemudian menetap di Kelurahan Nologaten sekarang.8

Adipati Ponorogo, Raden Surabrata, mendengar keberadaan Susunan Pakubuwono II.

Adipati Surobroto secepatnya melacak, akhirnya bertemu di sebelah barat kota. Susunan

4 Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid III: R. Brotodiningrat, (Ponorogo: Depdikbud, 1985), hlm. 21.

5 Ibid.

6 Ibid, hlm. 22.

7 R. Purwowijoyo, Babad Kandha Wahana: 19 Desa Kecamatan Ponorogo, (Ponorogo: Dep. Pendidikan dan

Kebudayaan Ponorogo, 1990), hlm. 29. 8 Ibid, hlm. 40-42.

34

Pakubuwono II dimohon menuju ke Pendopo Kabupaten tetapi Sunan belum berkenan. Dalam

rombongan Sunan Pakubuwono II juga terdapat orang Belanda, yaitu Hoogendrorp.9 Namun,

Hoogendorp kemudian melanjutkan perjalanannya ke Surabaya dan kemudian ke Batavia untuk

melapor pada pemerintah VOC.

Perjalanan Sunan Pakubuwono II berlanjut ke timur dengan diikuti Jayengrana sebagai

penunjuk jalan. Sebagai hiburan kadang perjalanan itu diselingi dengan berburu (bebedag). Tempat

beliau berkenan berburu sekarang bernama Dusun Bedagan, Desa Pulung. Sehari tidak mendapat

satu burungpun dan kemudian turun hujan. Sunan Pakubuwono II memakai payung (songsong).

Tempat memakai payung ini kemudian dinamakan Dukuh Sepayung.10

Pengikut Sunan

Pakubuwono II juga ada yang kemudian menetap di Pulung, tepatnya di Desa Serag yang termasuk

bagian dari Desa Kesugihan. Pengikut Sunan Pakubuwono II di Desa Serag bernama Kyai Sera

yang berkeinginan untuk hidup sendiri, karena itu atas perkanan Sunan Pakubuwono II beliau

kemudian babad hutan di desa yang masih asing tidak berpenghuni.11

Malam hari beliau beristirahat di bukit kecil (puthuk alit). Di tempat itu beliau tampak pucat

seperti mayat (layon), maka tempat tersebut bernama Selayon. Di tengah malam beliau melihat

sebuah cahaya (pulung) jatuh. Tempat menghilang cahaya itu ternyata tempat tinggal (padhepokan)

orang yang sudah tua. Sunan Pakubuwono II mendekati rumah tinggal tersebut. Setelah

mengucapkan salam beliau memasuki tempat tinggal tersebut. Pemilik rumah itu adalah seorang

empu yang bernama Empu Salembu. Empu Salembu menunjukkan bahwa cahaya tadi masuk ke

dalam kotak. Sunan Pakubuwono II memerintahkan Jayenggrana untuk membuka kotak tersebut

dan isinya adalah pedang yang merupakan milik dari Empu Salembu sendiri.12

Empu Salembu kemudian menyerahkan pusaka itu yang mempunyai kekuatan untuk

menjaga ketenteraman Negara. Sunan Pakubuwono II kemudian menyerahkan pusaka itu kepada

Jayenggrana. Empu Salembu juga mengajak Sunan Pakubuwono II dan Jayenggrana ke tempat

pembuatan pusakanya. Tempat pembuatan pusaka dari Empu Salembu kemudian dinamakan

Besalen. Sedangkan tempat tinggal Empu Salembu dinamakan Desa Pulung.13

Menjelang pagi

Sunan Pakubuwono II mau berwudhu untuk sholat Subuh. Melihat blumbang (sumur dangkal

berbentuk lebar) begitu besar seperti segara (laut). Akhirnya tempat itu dinamakan

Segaran.14

Perjalanan Sunan Pakubuwono II dan rombongan kemudian menuju ke arah wilayah

9 Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid III: R. Brotodiningrat, op.cit, hlm. 22.

10 Ibid.

11 E.M. Shodieq, Pulungku, (Ponorogo:Nirbita, 1984), hlm. 49

12 Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid III: R. Brotodiningrat, op.cit, hlm. 22-23.

13 Ibid, hlm. 24.

14 Ibid.

35

Gunung Bayangkaki. Disana Sunan Pakubuwono II bertemu saudaranya yaitu Pangeran Kalipo

Kusumo yang sudah lama bertapa dan menetap di Pegunungan Bayangkaki.

Gunung Bayangkaki merupakan gunung yang tidak aktif yang terletak di Desa Temon,

Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Gunung Bayangkaki terdiri dari empat puncak. Urutan

puncak jika dilihat dari sebelah utara adalah sebagai berikut, aling timur bernama puncak atau

Gunung Ijo, puncak yang kedua bernama puncak atau Gunung Tuo, yang nomor tiga bernama

Puncak Tumpak atau Puncak Bayangkaki, sedangkan yang ujung barat dinamakan puncak atau

Gunung Gentong. Keempat puncak tersebut memiliki keindahan alam yang menakjubkan.15

Ada

beberapa goa yang ada di Gunung Bayangkaki, antara lain:

a. Goa Watu Tutup, dipakai sebagai rumah dan tempat bertapanya Pangeran Kalipo Kusumo.

b. Goa Putri Piningit, dipakai sebagai tempat beristirahat oleh para putri yang menjadi istri

sang pangeran.

c. Goa Dandang, dipakai sebagai tempat untuk memasak.

d. Goa Lumbu.

e. Goa Lawa.

Rombongan Sunan Pakubuwono II kemudian bertemu dengan Pangeran Kalipo Kusumo di

Gunung Bayangkaki. Pangeran Kalipo Kusumo adalah putra Pakubuwono I dari Kartosuro. Beliau

menjauhkan diri dari keramaian masyarakat. Untuk itu Pangeran Kalipo Kusumo pergi bertapa di

Gunung Bayangkaki di daerah Kabupaten Ponorogo. Selama Pangeran Kalipo Kusumo melakukan

tapa di Gunung Bayangkaki keadaan masyarakat di sekitarnya kelihatan sangat tentram, dan hasil

tanaman sangat memuaskan dan semuanya terhindar dari segala gangguan hama. Di samping itu,

Pangeran Kalipo Kusumo mempunyai sifat suka menolong kepada sesamanya. Oleh sebab itu

beliau sangat disenangi dan dihormati serta disegani oleh penduduk di sekitar Gunung Bayangkaki

tempat Pangeran Kalipo Kusumo bertapa.16

Dalam pertemuan Sunan Pakubuwono II dengan Pangeran Kalipo Kusumo itu, Sunan

menceritakan segala hal yang terjadi sehingga membuat dirinya harus melarikan diri dari Keraton.

Mendengar penjelasan Sunan Pakubuwono II itu, maka tertegunlah Pangeran Kalipo Kusumo.

Setelah diam sejenak mulailah Pangeran Kalipo Kusumo memberikan petunjuk agar adiknya

bersedia melakukan tapa di bawah pohon Sawoo (Sawoo sak kembaran) yang terletak di sebelah

selatan Gunung Bayangkaki.

15

Alip Sugianto, Eksotika Pariwisata Ponorogo, (Yogyakarta: Samudra Biru, 2015), hlm. 117. 16

Sebagai peringatan akan jasa-jasa Pangeran Kalipo Kusumo terhadap penduduk sekitar itu, maka diadakanlah upacara

labuhan dengan makan bersama di Krapyak tersebut pada hari Jumat Legi setelah hujan bersama. Lihat di, Gatot

Murniatmo dan H.J Wibowo, Beberapa Peninggalan Budaya di Daerah Ponorogo, (Yogyakarta: Balai Penelitian

Sejarah dan Budaya, 1981), hlm. 37-38.

36

Sunan Pakubuwono II kemudian mematuhi anjuran dari Pangeran Kalipo Kusumo untuk

bertapa di bawah pohon Sawoo.17

Sekarang ini petilasan tempat bertapa Sunan Pakubuwono itu

masih ada dan disebut petilasan Sunan Kumbul.18

Di daerah itu Sunan Pakubuwono II mendapat

sajian gula sebesar sawo dibagi dua. Ada pula seorang janda yang menyajikan kacang. Daerah itu

kemudian dinamakan Dusun Kacangan.

Pangeran Kalipo Kusuno sendiri hanya bisa membantu perjuangan adiknya dari tempat

pertapaannya yaitu Gunung Bayangkaki. Sebab beliau telah bersumpah tidak akan meninggalkan

Bayangkaki sampai akhir hayatnya. Untuk itulah maka setelah mendekati umur tua, Pangeran

Kalipo Kusumo bila naik ke puncak Bayangkaki memerlukan waktunya membuat lubang kubur

yang disediakan untuk dirinya sendiri.19

Beliau berpesan pada para pengikutnya kelak apabila

saatnya meninggal supaya dikuburkan di puncak Bayangkaki.

Setelah Pangeran Kalipo Kusumo wafat, maka oleh para pengikutnya jenazah Pangeran

Kalipo Kusumo dibawa ke puncak Gunung Bayangkaki untuk dimakamkan disana. Jenazah

Pangeran Kalipo Kusumo diangkat oleh orang-orang laki-laki tua (kaki-kaki, dalam bahasa Jawa).

Cara membawanya diangkat bersama-sama dengan hati-hati (dibayang-bayang, dalam bahasa Jawa)

yang akhirnya selamat tiba di tempat. Oleh sebab itu gunung tempat Pangeran Kalipo Kusumo

dimakamkan disebut Bayangkaki.20

Adapun putra-putri dari Pangeran Kalipo Kusumo adalah:21

a. Raden Mas Lelah, dikenal sebagai Mbah Lelah tinggal di Desa Kori.

b. Raden Mas Dumeling, tinggal di Gunung Pegat Tugurejo.

c. Raden Adirasa, dimakamkan di Desa Tugu Mlarak.

d. Raden Surodongsa, di makamkan di Bayangkaki.

e. Raden Setroikromo, dimakamkan di Desa Kori.

Sementara itu, setelah bertemu dengan Pangeran Kalipo Kusumo dan bertapa di Sawoo,

rombongan Sunan Pakubuwono II melanjutkan perjalanan ke Pondok Gerbang Tinatar di Desa

Tegalsari. Pondok Gerbang Tinatar yang berada di Desa Tegalsari kemudian menjadi tempat

persinggahan rombongan Sunan Pakubuwono II. Pondok dan Masjid Tegalsari ini didirikan oleh

Kyai Mohammad Besari sekitar abad ke-18 atas perintah dari gurunya yaitu Kyai Donopuro.22

Kyai

Mohammad Besari berasal dari Caruban dan merupakan murid dari Kyai Donopuro yang

17

Sunan Pakubuwono II kemudian bertapa dengan duduk di atas bonggol sawo. 18

Gatot Murniatmo dan H.J Wibowo, op.cit, hlm. 38. 19

Ibid. 20

Ibid. 21

Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid V: Desa Perdikan, (Ponorogo: Depdikbud, 1985), hlm. 49. 22

Tempat belajar para santri di Pondok Gerbang Tinatar dahulu berada di Angkringan (Pondok sederhana dari bambu).

37

mempunyai Pondok di Setono.23

Kyai Mohammad Besari sendiri masih keturunan dari Majapahit,

sebagai berikut:

a. Raja Brawijaya V

b. Retno Manik, menikah dengan Adipati Gelang Kediri

c. Demang Irawan Kediri

d. Raden Demang Kediri

e. Kyai Ngabdul Mursat (Kyai Ageng Tukun)

f. Kyai Ageng Anom di Caruban

g. Kyai Ageng Mohammad Besari di Tegalsari

Sunan Pakubuwono II beserta rombongan diterima dengan senang hati oleh Kyai

Mohammad Besari. Sunan Pakubuwono II dan rombongan beristirahat di kediaman Mohammad

Besari yang letaknya tidak jauh dari Pondok Gerbang Tinatar dan Masjid Tegalsari. Para santri

pondok saat itu juga siap membantu rombongan Sunan Pakubuwono II selama berada di Tegalsari.

Sunan Pakubuwono II kemudian menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada

Kyai Mohammad Besari. Sunan Pakubuwono II juga meminta nasehat serta doa kepada Kyai

Mohammad Besari supaya diberi kesabaran dan diberikan kekuatan supaya bisa mengatasi semua

masalah yang sedang dihadapinya. Kyai Mohammad Besari kemudian mengajak Sunan

Pakubuwono II untuk bersama-sama memanjatkan doa kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan

dalam mengatasi cobaan ini.24

Setelah mendapat dukungan dan kekuatan moril dari Kyai Mohammad Besari, rombongan

Sunan Pakubuwono II pamit untuk kembali ke Keraton Kartasura. Keputusan ini diambil karena

pasukan bantuan yang sedang berperang melawan pasukan aliansi Tionghoa-Jawa berada di atas

angin dalam pertempuran. Sunan Pakubuwono II kemudian kembali ke Keraton Kartasura dengan

diikuti oleh beberapa santri terpilih, yaitu Hasan Besari, Bagus Harun Basyariah, dan Imam Puro.

Rombongan Sunan Pakubuwono II. Hasan Besari adalah cucu dari Kyai Mohammad Besari putra

dari Kyai Ilyas. Bagus Harun Basyariyah adalah putra dari Kyai Ageng Prongkot di Tosanan,

Somoroto. Kyai Ageng Prongkot putera Raden Imam di Mataram. Raden Imam Putera Raden

Pringgalaya di Mataram. Pangeran Pringgalaya putera Panembahan Senapati, Raja Mataram.25

Sedangkan Imam Puro yang makamnya ada di Desa Sukosari, Kecamatan Babadan, adalah putra

23

Kyai Donopuro masih keturunan dari Sunan Tembayat. Desa Tegalsari berasal dari Pedukuhan Sentono yang

statusnya berubah menjadi Desa Setono yang terletak di sebelah barat Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis. Kyai Donopuro

dan Pangeran Sumende adalah yang babad di Setono pertama kali, kemudian mendirikan masjid dan pondok. Lihat di

Suwarno, Kekunaan Masjid Tegalsari Ponorogo, Jawa Timur, PATRAWIDYA, Vol. VII, No. 4, Desember 2007. 24

R. Purnomo, Kyai Ageng Besari di Sewulan Madiun, (Ponorogo: K.U.A.D.T. II Ponorogo, 1961), hlm. 18. 25

Purwowijoyo, Babad Ponorogo Jilid III: R. Brotodiningrat, op.cit, hlm. 25.

38

dari Abu Yamin dari Pangeran Bagus Pasai. Kyai Imam Puro kemudian menurunkan beberapa

generasi sebagai berikut:26

a. Kyai Imam Puro II

b. Nyai Imam Besari

2. Kesenian Kebo Bule Kyai Ageng Imam Puro

Kebo Bule Kyai Slamet adalah hewan langka yang menjadi hewan klangenan dari Sunan

Pakubuwono II.27

Menurut GKR. Timoer Rumbai, Sunan Pakubuwono II sebelumnya bersemedi di

daerah Ponorogo kemudian mendapat petunjuk ada benda pusaka yang diberi nama Kyai Slamet

yang dapat dijadikan media dalam mensejahterakan kehidupan pada saat itu, tapi syaratnya satu,

Sunan Pakubuwono II harus mencari kerbau warna putih yang gunanya untuk mengawal atau

mendampingi benda pusaka tersebut. Bupati Surobroto yang tahu akan hal itu, kemudian

mencarikan Kebo Bule di wilayah Kadipaten Ponorogo dan memberikannya kepada Sunan

Pakubuwono II.28

Setelah Adipati Ponorogo memberikan Kebo Bule kepada Sunan Pakubuwono II, pusaka

Tombak Kyai Slamet kemudian dimasukkan kedalam binatang langka tersebut. Kebo Bule Kyai

Slamet kemudian ikut dibawa rombongan Sunan Pakubuwono II ke Keraton Kartasura. Para santri

Kyai Mohammad Besari dari Tegalsari juga ikut, yang terkemuka adalah Hasan Besari, Bagus

Harun Basyariyah, dan Imam Puro.

Ketika Sunan Pakubuwono II mencari tempat kerajaan baru sebagai pengganti Keraton

Kartasura, Sunan Pakubuwono II memerintahkan Patih Pringgalaya dan Sindureja melakukan

penelitian bersama Mayor van Hoogendrorp. Turut pula para ahli nujum yaitu Kyai Tumenggung

Honggowongso, Raden Tumenggung Paspanagara, dan Raden Tumenggung Mangkuyuda.29

Mereka menemukan tiga tempat, yaitu Desa Kadipala, Desa Solo, dan Desa Sanasewu, dan mereka

menentukan Desa Solo yang layak dipilih. Namun, Sunan Pakubuwono II masih belum yakin

dengan hasil musyawarah tersebut. Manurut Insiwi Febriari Setiasih, ada satu andil yang dilakukan

Kebo Bule dalam menentukan lokasi baru kerajaan tersebut. Ketika diumbar, Kebo Bule kemudian

26

Silsilah Kyai Imam Pura yang peneliti dapatkan dari keluarga keturunan Imam Puro di Dusun Danyang, Desa

Sukosari, Kecamatan Babadan. 27

Wakit Abdullah, Javanese Language and Culture in the Expression of Kebo Bule in Surakarta: An Ethnolinguistic

Study, Jurnal Komunitas 8 (2): 285-294. 28

Hasil wawancara Sindy Nuranindya dengan GKR. Timoer Rumbai, 50 tahun, Pengageng keputren Keraton

Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sindy Nuranindya, Kebo Bule: Makna Kebo Bule Kyai Slamet Pada Ritual Kirab

Pusaka Satu Suro Di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Skripsi, (UNAIR: Antropologi FISIP, 2016). 29

Dwi Ratna N, dkk, op.cit, hlm. 73.

39

berjalan menuju Desa Solo dan memakan rumput disana. Oleh sebab itu, maka Sunan Pakubuwono

II yakin bahwa Desa Solo cocok untuk dijadikan keraton yang baru.30

Maka dari itu, Kebo Bule menjadi binatang peliharaan yang istimewa dan keramat di

Keraton Surakarta dari masa ke masa. Kebo Bule adalah simbol kekuatan yang secara praktis bagi

masyarakat berbasis agraris digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian

hidup bagi masyarakat Jawa. Kerbau juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, karena

kerbau-kerbau ini dinilai oleh masyarakat sekitar memiliki kekuatan ghaib karena kerbau tersebut

dianggap keramat.31

Keturunan Kebo Bule Kyai Slamet kemudian menjadi icon Keraton Kartasura setiap

diadakan Kirab Pusaka malam satu Suro. Kebo Bule Kyai Slamet menjadi cucuk lampah karena

dianggap keramat. Barisan kirab pusaka ini didahului oleh barisan Kebo Bule lalu diikuti dengan

barisan benda-benda pusaka yang dibawa oleh abdi dalem dan sentana dalem yang telah ditunjuk

oleh raja untuk membawa benda pusaka tersebut.32

Rute yang mereka lewati pada saat Kirab adalah dari Kamandungan, menuju ke Alun-Alun

Utara, Gladhag, Sangkrah, Jl. Pasar Kliwon, Gading, Gamblegan, menuju Nonongan, ke jalan

protokol Slamet Riyadi, ke arah timur menuju ke Gladhag, lalu masuk melalui Alun-Alun Utara,

menuju kembali ke Kamandungan. Rute yang mereka lewati tersebut adalah daerah kekuasaan

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kirab tersebut memakan waktu selama kurang lebih 4

jam sejak dari keluar Kamandungan hingga kembali ke Keraton Surakarta Hadiningrat. Meskipun

begitu, masyarakat yang ingin menyaksikan dengan segala kepercayaan mereka, banyak pula yang

menunggu dari sebelum Kirab dimulai hingga kirab tersebut selesai.33

Menurut penuturan Srati Kebo Bule yang bernama Ngabehi Mulyo Pradito dalam Majalah

Djaya Baya tanggal 18 April 1999, jika ada pedagang sayuran, jika ada dagangannya di makan oleh

Kebo Bule merasa bahagia sekali. Hal itu menandakan barang dagangannya akan laris. Jadi, di

pasar Kebo Bule bisa bebas memakan apapun sekehedaknya.34

Nilai kesejarahan yang terkandung dalam Sejarah Kebo Bule Kyai Slamet, mampu kembali

menjelaskan bagaimana hubungan harmonis antara Kabupaten Ponorogo dan Kasunanan Surakarta

sudah lama terjalin. Kebo Bule Kyai Slamet yang diberikan Adipati Ponorogo yaitu Raden

Tumenggung Surobroto sebagai wadah pusaka Kyai Slamet yang diperoleh Sunan Pakubuwono II

30

Riza Ayu Purnamasari, Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Dalam Kirab 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta,

Skripsi, (UNS: Program Ilmu Komunikasi FISIPOL, 2014), hlm. 105. Hasil wawancara dengan Insiwi Febriari Setiasih,

pada 10 Juli 2012, di Kampus FSSR UNS. 31

Sindy Nuranindya, op.cit, hlm. 10. 32

Ibid, hlm. 55. 33

Ibid, hlm. 43. 34

“1 Suro Manut Tradisi Jawa”, Djaya Baya 29, Minggu Pon, 18 April 1999.

40

ketika bersemedi di Ponorogo, menjadi simbol yang bisa bertahan lintas generasi sampai sekarang

ini.

Dari penjelasan diatas tersebut, kemudian memberikan inspirasi kepada Silahudin Hudaya,

S.Pd yang beralamat di Dusun Danyang, Desa Sukosari, Kecamatan Babadan, Kabupaten

Ponorogo, untuk membuat kesenian Kebo Bule Kyai Slamet. Kesenian Kebo Bule Kyai Slamet ini

dibuat sebagai pengingat sejarah besar yang pernah terjadi ketika Raja Kartasura Sunan

Pakubuwono II melarikan diri ke Ponorogo akibat Geger Pacinan. Peristiwa besar ini jangan sampai

dilupakan oleh generasi penerus kita dan supaya bisa diambil hikmahnya dari sejarah yang terjadi

untuk kebaikan di masa yang akan datang.

Kesenian tradisional Kebo Bule Kyai Slamet merupakan kesenian rakyat yang bersifat

kesenian jalanan (Street arts) karena dalam pertunjukannya diarak berjalan mengelilingi

perkampungan masyarakat. Dalam pentasnya kesenian ini berjalan sambil diiringi oleh irama

lantunan musik religi yang menyiratkan pesan-pesan moral dalam masyarakat.

Sebelum pentas kesenian Kebo Bule Kyai Slamet ini, terlebih dahulu diadakan sebuah rapat

dan latihan dihalaman masjid bisa jadi pindah tempat sesuai keinginan dari temen temen selaku

pemerkasa paguyuban guna mengecek persiapan, kondisi personil maupun perawatan Kebo Bule

Kyai Slamet agar dalam pentasnya berjalan maksimal.

B. Identifikasi Naskah Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro

1. Inventarisasi Naskah

Dalam penelitian ini, inventarisasi naskah dilakukan yaitu naskah manuskrip Kyai Ageng

Imam Puro sebagai sumber data penelitian. Setelah melakukan pengamatan naskah yang diteliti

secara langsung dan sudah melihat kondisi naskah, maka ditetapkan naskah naskah manuskrip Kyai

Ageng Imam Puro sebagai sumber data penelitian.

2. Deskripsi Naskah

Merupakan uraian atau gambaran keadaan naskah secara fisik dengan teliti dan diuraikan

secara terperinci. Selain melakukan deskripsi naskah, peneliti sebaiknya juga melakukan deskripsi

teks. Deskripsi teks merupakan garis besar isi teks yang meliputi bagian pembukaan, isi, dan

penutup teks. Naskah dan teks dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah, ukuran

naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, dan garis besar isi teks35

. Berikut deskripsi naskah

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro :

a. Judul : Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro

Naskah ini sebenarnya tidak berjudul karena tidak ditemukan kata yang menunjukkan

judul atau sebagai cover dari naskah tersebut. Setelah itu penulis memberikan nama naskah

35

Nabilah Lubis, Naskah, Teks, & Metode Penelitian Filologi (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Depag RI, 2007).

58

41

ini sesuai dengan nama penulisnya yaitu Kyai Ageng Imam Puro, jadi judul naskah ini adalah

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro.

b. Penulis : Pennulis naskah ini ialah Kyai Ageng Imam Puro

c. Penyimpanan naskah : penyimpanan naskah saat ini di rumah bapak Marwan, Dusun

Krajan Desa Sukosari

d. Asal-usul Naskah : Naskah ini merupakan tulisan tangan dari Kyai Ageng Imam Puro,

kemudian setelah beliau meninggal di wariskan kepada santrinya yaitu Mbah Mad

Semangun kemudian di wariskan kembali kepada anaknya yang bernama Mbah

Karsoikromo kemudian di wariskan ke anaknya yang bernama Mbah Kromo Miran

kemudian di wariskan kembali kepada anaknya yang bernama Mbah sikir kemudian di

wariskan kembali kepada anaknya yang bernama Bapak Marwan, hingga saat ini naskah

itu masih di simpan oleh Bapak Marwan.

e. Keadaan: tidak terawat, karena naskah ini tidak di bersihkan dari debu dan kotoran serta

tempat penyimpananya pun kurang baik untuk naskah tersebut. Naskah ini disimpan di

lemari yang keadaanya sangat lembap yang mengakibatkan banyak jamur yang ada pada

naskah tersebut. Ada beberapa lembar bagiannya yang sudah sobek, khususnya dibagian

awal banyak yang sudah sobek.

f. Cover: naskah manuskrip Kyai Ageng Imam Puro ini tidak memiliki cover naskah, yang

ada adalah halaman depan naskah yang berupa halaman kosong.

Gambar 3.1 Halaman depan naskah

g. Cover Belakang: naskah ini tidak memiliki bentuk cover belakang tetapi dalam akhir

naskah ini terdapat salah satu kalimat penutup yang diambil dari ayat al-Qur’an yaitu surah

42

al-Hu >d ayat 6 dan 56. Kalimat penutup ini pada intinya adalah Kyai Ageng Imam Puro

berpesan bahwa semua makhluk yang ada di bumi ini akan di jamin rezekinya oleh Allah

Swt.

Gambar 3.2 Halaman belakang naskah

h. Ukuran Naskah :

1) Ukuran Naskah : 17 cm x 21 cm

2) Ukuran Teks : 12,5 x 16 cm

3) Margin Atas : 2 cm

4) Margin Bawah : 3 cm

5) Margin Kiri : 3 cm

6) Margin Kanan : 2 cm

i. Halaman Naskah : 82 halaman

j. Huruf dan Tulisan :

1) Jenis Tulisan : Teks ini ditulis dengan Aksara Arab-Pegon

2) Ukuran Huruf : Cukup Besar dan Stabil.

43

3) Bentuk Huruf : Arah Letak Huruf tegak.

4) Keadaan Tulisan : Jelas dan mudah dibaca.

5) Bekas Pena : Tebal.

6) Jarak antar huruf : Rapat dan rapi.

7) Warna Tinta : Hitam.

8) Peggunaan Tanda Vokal (Harakat)

Aksara yang digunakan adalah Arab-Pegon oleh karena itu dalam

mengklasifikasikan aksara sesuai dengan aksara Arab-Pegon, tapi untuk beberapa cuplikan

dari al-Qur’an ditulis sesuai huruf Arab.

Tabel 3.1 Aksara Arab-Pegon

Alif :

Ba> :

Ta> :

Tsa> :

Ji>m :

Ha> :

Kha> :

Dal :

Dzal :

Ra> :

Za> :

Si>n :

Shi>n :

Sha>d :

Da>d :

Ta> :

Z}a> :

‘Ain :

Ghain :

Fa> :

Qa>f :

Ka>f :

La>m :

Mi>m :

Nu>n :

Wa>w :

Ha> :

La>m-Alif :

Hamzah :

Ya> :

Aksara Arab yang dipakai untuk aksara Pegon antara lain :

اب ت ج د ر س ط ع ف ك ل م ن و ه ي

Aksara Pegon merupakan huruf konsonan yang digandeng dengan huruf vokal dan

sandangan huruf lain. Untuk menjadikan huruf vokal maka harus ditambahkan huruf vokal

yaitu, Alif (ا) : untuk bunyi A, Ya (ي) : untuk bunyi I, Wawu (و) : untuk bunyi U, Serta

44

harus ditambah sandangan (bantu) yaitu fathah ( َ ) , pȇpȇt (~) dan Hamzah (ء). Kaidah –

kaidah aksara Pegon adalah sebagai berikut:

a) Huruf Jim ( ج) ditambah 2 titik menjadi/dibaca Ca/C

Contoh: Wacakake (Dibacakan) ditulis

b) Huruf Dal (د) diberi 3 titik di atas menjadi/dibaca Dha/Dh

Contoh: Sumedheng (Sedang) ditulis

c) Huruf Ya (ي) ditambah 2 titik menjadi/dibaca Nya/Ny

Contoh: Penyaket (Penyakit) ditulis

d) Huruf Kaf (ك) ditambah 3 titik dibawah menjadi/dibaca Ga/G

Contoh: Penggaweyane (Pekerjaannya) ditulis

e) Huruf ‘Ain (ع) ditambah 3 titik diatas menjadi/dibaca Nga/Ng

Contoh: Irung (Hidung) ditulis

f) Huruf Pegon ditambah alif (ا) berbunyi A, contoh أ/ها maka dibaca Ha/A

Contoh: Anganiyaya (Menganiaya) ditulis

g) Huruf Pegon ditambah Ya (ي) berbunyi I

Contoh: Budi (Budi/Akhlaq) ditulis

h) Huruf Pegon digandeng dengan Wawu (و) untuk bunyi O

Contoh: Wong (Orang) ditulis

45

i) Huruf Pegon diberi sandangan Pȇpȇt (~) atau tidak diberi sandangan apapun

dibaca Ê

Contoh: Derengki (Dengki) ditulis

9) Penggunaan tanda baca:

a) Awal bab pembahasan

Disetiap awal pembahasan diawali dengan kata Kitab

b) Titik. Titik ini menggunakan huruf Ha

c) Akhir bab pembahasan

Disetiap akhir pembahasan ditutup dengan kata Tamat Wawlahua’lam

k. Cara Penulisan

1) Lembaran yang digunakan naskah tulisan ini dengan bolak-balik (recto-verso).

Selanjutnya ditulis pada kedua halaman, yakni muka (recto) dan belakang (verso).

2) Penempatan isi teks pada lembaran naskah ditulis rapi sejajar dengan lembaran

naskah.

3) Tata letak ruang tulisan, larik-lariknya ditulis secara berdampingan dan rapi.

l. Bahasa Naskah

Jenis bahasa yang dipakai naskah ini ialah Bahasa Jawa baru dan ragam bahasanya

ialah Jawa Ngoko. Bahasa jawa baru artinya tidak bersifat statis, meskipun digunakan sejak

sekitar 500 tahun lalu, diperkirakan awal prasati Sukabumi di daerah Kediri, Jawa Timur.

Sedangkan bahasa Jawa baru ini yang dituturkan dan ditulis pada zaman Majapahit dianggap

lebih ke arah Bahasa Jawa Modern karena banyak mengalami hampir setengah perubahan36

.

Bahasa Jawa baru ini bisa dilihat dalam penggunaan imbuhan kata e seperti Kendhel

m. Bahan Kertas Naskah :

1) Jenis : Lokal

2) Macam : Polos

36

Siti Baroroh Baried, dkk, Pengantar Teori Filologi (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departmen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), 14

46

3) Kualitas : Tebal dan kuat

4) Warna : Kuning kecoklat-coklatan

n. Umur Manuskrip : 200 Tahun lebih.

C. Ringkasan Isi Naskah Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro, merupakan karya monumental yang pernah ditulis oleh

Kyai Ageng Imam Puro. Manuskrip ini berisi tentang pembahasan agama Islam perspektif al-

Qur’an, Hadits maupun sejarah para ulama. Penulisan Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro diawali

dengan pembahasan tema-tema tertentu, sedangkan pembahasan Manuskrip tersebut antara lain :

1. Halaman 1 Cover

2. 2-10 tentang Pupuh Asmorondono. Inti bab ini adalah tentang petuah agar menjadi orang yang

baik budinya serta ajaran tentang ilmu sejati yang membuat hati tentram.

3. Halaman 11 Lembar Kosong

4. 12-35 tentang Hadist Nabi Muhammad saw. Dalam bab ini membahas tentang keberkahan

umat Nabi Muhammad Saw yang meninggalkan fitnah.

5. Halaman 36-37 Lembar kosong.

6. Alaman 38-49 tentang kisah raja Ismail bin Ahmad.

7. Halaman 50-51 Gambar wayang.

8. Halaman 52-58 tentang Nashoihul Muluk (nasehat kepada Raja-raja).

9. Halaman 59-61 tentang Adabus Salathin (adab atau etika seorang penguasa).

10. Halaman 62-77 tentang serat Angger-anggeran yaitu Perjanjian antara keraton Yogyakarta dan

Keraton Solo.

11. Halaman 78 Do’a Kebangsaan.

12. Halaman 79 lembar kosong

13. Halaman 80 tentang amalan pengobatanal-Qur’an penyakit batu karang

14. Halaman 81 tentang ayat al-Qur’an ayat ke 56 Surah Hud yang dijadikan sebagai penutup kitab

dan pada intinya adalah berpesan untuk bertawakkal kepada Allah swt.

15. Halaman 82 tentang coretan-coretan pengarang dan menurut penulis halaman ini dimaksudkan

untuk dijadikan sebagai sampul belakang.

D. Suntingan Naskah

Suntingan teks adalah teks yang telah mengalami pembetulan dan perubahan sehingga

bersih dari bacaan yang korup. Salah satu tujuan dari penyuntingan teks dalam penelitian ini supaya

teks dibaca dengan mudah oleh kalangan yang lebih luas berikut suntingan teks manuskrip Kyai

Ageng Imam Puro :

47

1. Huruf kapital digunakan untuk menulis ungkapan untuk Tuhan, unsur nama orang, nama

tempat, dan nama tahun-bulan-hari. Maka dari itu, kata ataupun kelompok kata yang tidak

memenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, akan ditulis menggunakan huruf kecil

atau biasa (bukan kapital).

2. Pembagian alenia/paragraf dalam suntingan teks, berdasarkan interpetrasi penulis.

3. Pemakaian tanda hubung (-) untuk penulisan kata ulang (reduplikasi) dalam teks.

4. Pemakaian tanda koma (,) dan titik pada teks (.) berdasarkan pada interpretasi penulis, karena

tanda koma pada teks asli hanya digunakan untuk mengakhiri sebuah pembahasan dalam satu

bab, sedangkan titik pada teks asli biasanya hanya digunakan untuk mengakhiri sebuah bab

pembahasan.

5. Tanda /é/ digunakan untuk menandai vokal e yang dibaca [e] seperti pengucapan kata “kowé”

dalam Bahasa Jawa dan kata “enak” dalam bahasa Indonesia.

6. Dalam mentranselitarisakan teks dalam suntingan ini untuk yang selain, maqāla Arab dan ayat

al-Qur‘an menggunakan pedoman penulisan pegon.

7. Sedangkan maqālah Arab dan ayat al-Qur‘an menggunakan transeliterasi Mc. Gill University.

8. Untuk halaman menggunakan halaman terus bukan recto-verso.

Berikut adalah sajian suntingan teks manuskrip Kyai Ageng Imam Puro setelah

mengalami berbagai tahapan dalam penulisan ini:

Kitāb Naṣāiḥ al-Mulūk. Ikilah kitab ingdalem anyatakaken ing caritane ing dadya

becike para ratu. Lan angucapaken pertingkahe ratu ana ing karaton donya kang pinilih iya

ratu iku dening Allah ta’ala saking sakehe manungsa donya kabeh khale den gadhekaken tur

dinadekaken ratu lan sinerahan ratu ing sakehe kawulaning Allah lan sinerahan ratu iki ing

sakehe kamulyan lan kaagungan lan sinerahan kinon angreksa ing kawula balane lan kinon

angeling-elingi kang becik lan aja lali-lali sira kabeh ing kawulaning Allah ta’ala lan kinon

angreksa ing sakehe ratu lan kagungan kang den pasrahaken marang sira kabeh para ratu

poma aja kongsi eling sakehe wewengkas kang ana ing sira para ratu maka lamun ana para

ratu iku gemi nestiti olehe anglakoni pakon angreksa [52] ing kawula balane kabeh maka

dadya mulya para ratu iki ana ing donya lan ing akherat saking kareksane olehe angreksa ing

kawulane Allah lan kang tinindhakaken dening Allah ta’ala marang para ratu kang ginawe

kawula ala iki kabeh.

Lan sebab dene kareksane artane Allah kang den serahake marang para ratu iku kabeh

apatah dene marang kawula balane maka dadya luwih luhur luwih mulya darajate saking

sakehe wong iku kabeh, lan sinungan kanugrahan. Lamun ana wong iku cilik maka orana wong

iku kabeh oleh kabecikan ora oleh kabecikan saking lobane lan ora eling saking sakehe barang

48

penggaweyane saking bangete bodhone khale ora pantes parentahe lan penggaweane patrape

marang sakehe kawulaning Allah lan marang sakehe arta kang ana para ratu kabeh maka

dadya lebur luwih eling ora karuan [53] maka dadya kalakuane ratu iku dadi ina lan wuwuh

alane lan kaya mangkono upamane anane ratu kaya upamane wong sawiji kang ginadhekaken

dening ratu dinadekaken gedhe anduweni sasigar nagara. Lamun ora becik penggaweane lan

parentahe maka akhir-akhire dadya rusak. Lan tatkala sira kawruhe martabate karaton ing

sakehe para ratu kang wus kasebut ngarep iku menggah bab pratingkahe kaagungan lan

kabecikan ingdalem penggawean kang ana sajerone karaton maka pahirsaken malih denira ing

pasal kang teka buri iki amihasaken ing sawirasatae ajar iki.

Utawi anapun ingdalem Kitab Adāb al-Mulūk maka sayogya urip ana sarate wong kang

dadya ratu iki anglakoni ing [54] sapuluh perkara maka kena ingucapaken ratu. Kang dhihin,

arep ana ratu iki duwe ngakal sarta kalawan budine kang bangsa sarngi, darapun bisaa ratu

iki ambedakaken ing becik lan ala. Lan kapindho, iki arep ana ratu iku anduweni ngelmu,

maka lamun ana ratu iku ora duwe ngelmu maka arepataa ratu iku anganthia wong kang ahli

ngelmu. Lan lamun ora anganthi wong duwe ngelmu, maka anguwatana ing kitab kang

anyaritakaken ing paprentahan saking sakehe ratu kang ngadil. Lan lamun ora bisa amaca ing

kitab iku maka akona amaca ing wong liyan kang bisa amaca, maka amiharsakena sira kabeh

wong kang padha dadya ratu ing sakehe wicarane kitab iki lan sira eling-elinga ing

sawicarane kitab iku sawuse sira piharsa maka sira turuta ajare kitab iku. Maka lamun ora

kaya mangkono maka dadya siya-siya olehe dadya ratu, [55] tan paedah dadya ratu tan kena

ingarep-arep ing donya akherat.

Lan kaping telu, iki arep ana sakehe mantri iku ngakil balig darapun yaktiya olehe ing

penggaweane ratu-ratu iku kabeh. Lan kapapat, iki arep ana ratu iku bagus rupane sarta becik

pakartine supaya yen padha asiha sakehe kawula balane ratu iku. Lan kaping lima, arep ana

ratu iku murah karana kang murah iku bangsane trah-trahe wong becik dadya wuwuh dana

lawan karamate kang bangsa sarngi kaya upamane mangkono wong kang bagus rupane. Lan

kaping nem, arep ana ratu iki anitenana ing penggaweane wong kang becik marang dheweke

ratu iku tatkala wong iku kasusahan maka arep den welasana kalawan kabecikan kaya

mangkono kang kinarepaken dening ratu iku.

Lan kaping pitu, iki arep ana ratu iku wani darapun anaa sakehe manteri iku [56] lan

ulubalang wani kabeh sarta kalawan ngaskara, tegese prajurit, iku padha melua wani. Lamun

ana ratu iki jerih maka yekti sakehe ngaskare iya melu jerih. Lan kaping wolu arep ana ratu

iku angurang-ngurangi pangan lan turu karana satuhune wong angakeh-akehaken mangan

turu iku dadya anarik ing bodhone hikmah anane karana satuhune Kitab Hikmah anyatakaken

49

maka sing sapa wonge angakeh-akehaken mangan maka yekti akeh-akeh turune temah

wekasan dadya kaluputan lan nelongsa saking sabarang penggaweane kang bangsa donya lan

kang bangsa akherat.

Lan kaping sanga, iki arep ana ratu iku angurang-ngurangi jima’ marang rabine lan

sapapadhane kalawan sukan-sukan rabine, karana satuhune penggawean kang mangkono iku

angapesaken ing badan kabeh lan andadekaken ing penyakit lan angurangaken ngakal. Lan

[57] kaping sepuluh, iki arep ana ratu iku lanang lan arep orana ratu iku wadon, karana ratu

wadon iki kurang ngakale lan malih ora winedenan saking sakehe mantrei lan ulubalang sarta

ora layak ratu wadon iki kaya pocapan kang kaucap ana ing jerone Kitab ‘Aqā’id al-

Muslimūn. Tamat wallāhu a’lam

Wa ṣāḥibu hādha Imām Pura wa kātibuhu huwa. [58]

Kitāb Adāb al-Salāṭīn. Ikilah kitab ingdalem anyatakaken tata kramane sakehe wong

kang dadya ratu utawa tumenggung utawa bekel. Kang ngadil kang wus kalakon ing zaman

kang dhihin-dhihin ingdalem saben-saben dina iki yogyane tinurut dening sakehe para ratu

kang kari-kari, para tumenggung kang kari-kari, para bekel kang kari-kari, maka ana kang den

lakokaken iki patang perkara penggaweane. Kang dhihin, iki arep gawea ngibadah ing Allah

ta’ala. Lan kapindho, iki iku amriksaa ing penggaweane wong kang anganiyaya lan wong kang

kena niyaya lan arep angira-ngiraaken ing nagarane lan arep cecelathon kalawan wong

ngalim lan sapapadhane iku kabeh. Lan kaping telu, iki arep ana penggaweane ratu iku tatkala

arif yen amangan lan aturu. Lan kaping pat, iki arep ana penggaweane ratu iku ameng-

amengan sanjata utawa lalancangan jaran utawa lelepasan panah [59] utawa ameng-amengan

pedhang lan tameng. Tamat.

Kitāb Adāb al-Salāṭīn. Ikilah kitab ingdalem anyatakaken tata kramane ratu kang

rahayu iya iku arep anglungguhe ing sapangendikane darapun kenaa ingarep-arep dening

wong akeh-akeh lan darapun dadya sukane wong iku kabeh marang sang ratu iku. Utawi

lamun ana ratu iku ora panggih ing barang pangandikane utawa ing barang parentahe maka

dadya ina ratu iku, tegese kena ingarep-arep pangandikane ratu iku maring wong akeh lan

dadya sinengitan dening wong akeh ratu iku. Utawi anapun lamun arep asare ratu iku maka

angaliha marang enggon liyan lan akon ratu iki ing wong sawiji yen anuronana ing paturone

sang ratu iki ingdalem saben-saben wengi, karana ratu iku akeh-akeh satrune. [60] Kawruhana

denira ing satuhune caritane sakehe ratu kang ngadil saking sakehe para nabi lan para wali

lan para solih lan para mu’min lan padha wedia ing Allah subḥānahu. Eh eling-eling sira

kabeh para ratu ing sakehe caritane Kitāb Tāj al-Salāṭīn.

50

Tamat wallāhu a’lam

Allāhumma aḥfiẓ lana fulānat mā dāma fī baṭniha ṣūratan ḥasanatan jāmilatan

kāmilatan wa thabbit fī qalbihi īmānan bika wa birasūlika mā dāma fī ḥayātihi fī al-dunya wa

al-ākhirati, Allāhumma akhrijhu. [61]

E. Terjemahan Naskah

Terjemahan adalah penggantian bahasa yang satu dengan bahasa yang lain atau pemindahan

makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran Penerjemahan adalah memindahkan suatu bahasa

sumber ke dalam bahasa sasaran. Terjemahan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

terjemahan harfiah, terjemahan isi atau makna, dan terjemahan bebas. Berikut ini terjemahan

naskah manuskrip Kyai Ageng Imam Puro :

KITĀB NAṢĀIḤ AL-MULŪK

Inilah kitab yang menerangkan cerita agar menjadi baiknya para raja. Dan menyatakan

tingkah laku raja di kerajaan dunia, dan raja tersebut pilihan Allah dari manusia dunia

seluruhnya. Raja ini diberi gadai serta dijadikan raja dan diserahi pangkat raja bagi seluruh

umat Allah, dan diberikan kepada raja tersebut seluruh kemuliaan dan keagungan supaya ia

mampu menjaga seluruh hamba dan balanya, dan agar ia mengingat kebajikan, dan jangan

sampai ia melupakan hamba Allah dan mampu menjaga sesuatu yang ia disuruh menjaganya

dan menjaga semua apa yang sudah diserahkan kepada kalian hai para raja, maka ingat-ingatlah

apa yang sudah diamanatkan kepada kalian. Maka jika raja itu teliti dalam melaksanakan

perintah untuk menjaga [52] seluruh hamba dan balanya, maka raja ini akan mendapat

kemuliaan di dunia dan di akhirat sebab dari ia menjaga hamba Allah dan apa yang telah

diperbuat oleh Allah ta’ala kepada para raja yang berasal dari seluruh hamba yang buruk.

Sebab dijaga oleh Allah yang diserahkan oleh raja berserta pengikutnya maka menjadi lebih

luhur dan mulia derajatnya dari semua orang dan selalu dalam anugrah. Jika ada orang kecil

dalam tanggung jawabnya tidak ada kebaikan dalam pekerjaan seorang pemimpin karena

kebodohannya dan tidak pantas perintah dan pekerjannya terhadap semua makhluknya Allah

dan semua uang yang ada dalam penguasaan raja maka menjadi lebur dan sia-sia [53] maka

menjadi raja yang hina dan buah kesalahannya dan seperti itu perumpamaan seseorang yang

dijadikan raja yang diberikan sebagian negara. Jika tidak baik pekerjaannya dan perintahnya

maka pada akhirnya akan menjadi rusak. Saat kamu mengetahui martabat keraton dari semua

raja yang sudah disebutkan didepan bahwa bab perilaku, keagungan dan kebaikan didalam

pekerjaan yang ada dalam keraton maka perhatikan kembali dalam pasal atau pembahasan

sebelum dan selanjutnya yang akn di sampaikan.

51

Ini adalah kitab Adab Al-Muluk maka seyogyanya hidup syarat menjadi raja untuk

melakukan [54] 10 perkara sebagai berikut. Pertama, seorang raja yang berakal sehat serta

akhlaqnya yang mencerminkan syariat bisa membedakan baik dan buruk. Kedua, seorang raja

harus berilmu jika tidak berilmu maka akan menjadi hina dan seharusnya diganti dengan

seseorang yang berilmu. Jika tidak diganti seorang yg berilmu maka berpegang teguhlah

dengan kitab yang menceritakan pemerintahan yang adil dan jika tidak bisa membaca kitab ini

maka mintalah seseorang yang bisa membaca dan menjelaskan tentang menjadi raja sesuai

dalam kitab ini dan ingat-ingatlah pembahasan dikitab ini sesudah mempelajari kitab ini dan

ajarkanlah kitab ini, maka jika tidak begitu akan siya-siya selama menjadi raja yang [55] tidak

berfaedah, jadilah raja yang menjadi panutan di dunia dan akhirat. Ketiga, pemimpin yang aqil

baligh artinya mengerti dengan semua apa yang dilakukan. Keempat, raja yang bagus dan

rupawan fisiknya dan baik perilakunya supaya bisa mengasihi seluruh rakyatnya. Kelima, raja

yang dermawan karena dermawan merupakan keturunan orang baik dan jadilah pelopor

penegak syariat seperti perumpamaan orang yang bagus rupawan. Keenam, raja yang teliti

dengan pekerjaannya yang baik serta peduli dengan orang yang kesusahan dan seperti itulah

yang diharapkan saat menjadi raja. Ketujuh, raja yang berani dari seluruh menterinya [56] dan

ulubalang serta seluruh rakyatnya harus berani, jika raja penakut maka sungguh seluruh

rakyatnya ikut penakut. Kedelapan, raja yang ahli puasa bahwa sesungguhnya orang yang

banyak makan dan tidur itu menarik dalam kebodohan hikmah karena dalam kitab hikmah

menyatakan barang siapa memperbanyak makan maka sungguh banyak kesalahan dan

kesengsaraan dari semua urusan dunia dan akhiratnya. Kesembilan, raja yang mengurangi jima’

terhadap istrinya karena hal tersebut dapat mendatangkan kerusakan badan dan mendatangkan

penyakit serta mengurangi akal.[57] Kesepuluh, raja dari jenis kelamin laki-laki dan bukan

perempuan karena raja perempuan kurang akalnya dan kurang menghormati para menteri dan

ulubalang serta tidak layak raja itu perempuan seperti yang diucapkan dalam cerita di kitab

‘Aqaidul Muslimun. Tamat wallāhu a’lam

Wa ṣāḥibu hādha Imām Pura wa kātibuhu huwa. [58]

KITĀB ADĀB AL-SALĀṬĪN

Ini adalah kitab yang menerangkan tata krama seseorang sebagai ratu, tumenggung,

atau bekel yang adil pada zaman dahulu. Hal ini setiap harinya sebaiknya ditiru oleh para raja,

tumenggung, dan bekel saat ini, yang harus dilakukan adalah empat perkara berikut. Pertama,

beribadah kepada Allah ta’ala. Kedua, memeriksa perbuatan aniaya dan orang yang teraniaya,

menganalisa negaranya serta komunikatif dengan para alim dan sepadannya. Ketiga, sebaiknya

52

seorang raja harus mengurangi makan dan tidur. Keempat, memainkan senjata, pacuan kuda,

panahan [59] atau memainkan pedang dan tameng. Tamat.

Kitāb Adāb al-Salāṭīn. Inilah kitab yang menerangkan raja yang selamat, kedudukan

dan sabdanya selalu dinantikan oleh orang banyak yang menjadikan orang banyak menyukai

sang raja. Jika sang raja tidak komitmen terhadap apa yang diucapkannya atau perintahnya

maka hinalah raja tersebut. Artinya sabdanya akan ditunggu orang banyak namun ia akan

dibenci oleh orang banyak.

Jika seorang raja ingin beranjak tidur maka hendaknya ia tidur di tempat lain dan

menyuruh orang lain agar tidur di tempat tidurnya setiap malam, karena raja itu selalu banyak

musuhnya. [60] Ketahuilah cerita-cerita para raja yang adil dari para nabi, para wali, para saleh,

dan para mukmin serta takutlah kepada Allah swt. Dan ingat-ingatlah kalian semua cerita para

raja yang tertulis dalam kitab Tāj al-Salāṭīn.

Tamat wallāhu a’lam

Allāhumma aḥfiẓ waladu fulānat mā dāma fī baṭniha ṣūratan ḥasanatan jāmilatan

kāmilatan wa thabbit fī qalbihi īmānan bika wa birasūlika mā dāma fī ḥayātihi fī al-dunya wa

al-ākhirati, Allāhumma akhrijhu. [61]

54

BAB IV

KONSEP KEPEMIMPINAN ISLAM-JAWA

DALAM MANUSKRIP KYAI AGENG IMAM PURO

A. Kitāb Naṣāiḥ al-Mulūk (Integritas Moral Pemimpin)

Kata integritas dalam bahasa Latin adalah “integrate”, artinya komplit, utuh dan sempurna

(tidak ada cacat). Integritas adalah tanpa kedok, bertindak sesuai dengan yang diucapkan, konsisten

antara iman dan perbuatan, antara sikap dan tindakan. Dalam konteks ini, integritas adalah rasa

batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter.1 Sedangkan

menurut kamus besar bahasa Indonesia integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang

menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan

kewibawaan dan kejujuran.2 Sedangkan secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin

mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan,

tabiat, watak, akhlak). Moral berasal dari Bahasa Latin yaitu Moralitas adalah istilah manusia

menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif.3

Pemimpin yang berintegritas moral adalah pemimpin yang tanpa kedok, yang bertindak

sesuai dengan ucapan, sama di depan dan di belakang publik, konsisten antara apa yang di imani

dan kelakuannya, antara sikap dan tindakan,antara nilai hidup yang dijalani, tanpa kompromi,

pemimpin yang matang dan berintegritas berfokus untuk mencapai tujuan Allah. Moral dalam

zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap

amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.

Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaannya pada hatinya

sendiri. Pemimpin yang berintegritas moral selalu berpikir dan akan bertanggung jawab atas

keputusan yang dia ambil.4 Seperti dalam naskah manuskrip Kyai Ageng Imam Puro halaman 52 :

Kitāb Naṣāiḥ al-Mulūk. Ikilah kitab ingdalem anyatakaken ing caritane ing dadya becike

para ratu. Lan angucapaken pertingkahe ratu ana ing karaton donya kang pinilih iya ratu

iku dening Allah ta’ala saking sakehe manungsa donya kabeh khale den gadhekaken tur

dinadekaken ratu lan sinerahan ratu ing sakehe kawulaning Allah lan sinerahan ratu iki ing

sakehe kamulyan lan kaagungan lan sinerahan kinon angreksa ing kawula balane lan kinon

angeling-elingi kang becik lan aja lali-lali sira kabeh ing kawulaning Allah ta’ala lan kinon

angreksa ing sakehe ratu lan kagungan kang den pasrahaken marang sira kabeh para ratu

poma aja kongsi eling sakehe wewengkas kang ana ing sira para ratu maka lamun ana para

ratu iku gemi nestiti olehe anglakoni pakon angreksa ing kawula balane kabeh maka dadya

mulya para ratu iki ana ing donya lan ing akherat saking kareksane olehe angreksa ing

1 https://indrasetiawan17.wordpress.com/2022/02/02/definisi-integritasdan-pengertian-integritas-indolibrary/

2 Kamus Besar Bahasa Indonesia

3 Bagus lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 672

4 Ade Herlan Wahyudin, “Integritas Moral Pemimpin: Antara Cita Dan Fakta”, AN-NIDHOM Volume 1 No. 1

(Januari-Juni) 2016, 19

55

kawulane Allah lan kang tinindhakaken dening Allah ta’ala marang para ratu kang ginawe

kawula ala iki kabeh.

Inilah kitab yang menerangkan cerita agar menjadi baiknya para raja. Dan menyatakan

tingkah laku raja di kerajaan dunia, dan raja tersebut pilihan Allah dari manusia dunia

seluruhnya. Raja ini diberi gadai serta dijadikan raja dan diserahi pangkat raja bagi seluruh

umat Allah, dan diberikan kepada raja tersebut seluruh kemuliaan dan keagungan supaya ia

mampu menjaga seluruh hamba dan balanya, dan agar ia mengingat kebajikan, dan jangan

sampai ia melupakan hamba Allah dan mampu menjaga sesuatu yang ia disuruh menjaganya

dan menjaga semua apa yang sudah diserahkan kepada kalian hai para raja, maka ingat-

ingatlah apa yang sudah diamanatkan kepada kalian. Maka jika raja itu teliti dalam

melaksanakan perintah untuk menjaga seluruh hamba dan balanya, maka raja ini akan

mendapat kemuliaan di dunia dan di akhirat sebab dari ia menjaga hamba Allah dan apa

yang telah diperbuat oleh Allah ta’ala kepada para raja yang berasal dari seluruh hamba

yang buruk.

Pemimpin dalam pandangan Kyai Ageng Imam Puro sebenarnya adalah pilihan Allah SWT,

bukan hanya pilihan dan kesepakatan manusia sebagaimana yang dipahami dan dijadikan pijakan

oleh umumnya umat Islam. Pilihan manusia membuka pintu yang lebar untuk memasuki kesalahan

dan kezaliman. Selain itu, kesepakatan manusia tidak menutup kemungkinan bersepakat pada

perbuatan dosa, kemaksiatan dan kedzaliman. Hal ini telah banyak terbukti dalam sepanjang sejarah

manusia. Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada

pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu

yang mesti menyenangkan, tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat

yang harus diemban dengan sebaik-baiknya. Dalam naskah manuskrip Kyai Ageng Imam Puro

halaman 54 dijelaskan :

Lan sebab dene kareksane artane Allah kang den serahake marang para ratu iku kabeh

apatah dene marang kawula balane maka dadya luwih luhur luwih mulya darajate saking

sakehe wong iku kabeh, lan sinungan kanugrahan. Lamun ana wong iku cilik maka orana

wong iku kabeh oleh kabecikan ora oleh kabecikan saking lobane lan ora eling saking

sakehe barang penggaweyane saking bangete bodhone khale ora pantes parentahe lan

penggaweane patrape marang sakehe kawulaning Allah lan marang sakehe arta kang ana

para ratu kabeh maka dadya lebur luwih eling ora karuan maka dadya kalakuane ratu iku

dadi ina lan wuwuh alane lan kaya mangkono upamane anane ratu kaya upamane wong

sawiji kang ginadhekaken dening ratu dinadekaken gedhe anduweni sasigar nagara. Lamun

ora becik penggaweane lan parentahe maka akhir-akhire dadya rusak. Lan tatkala sira

kawruhe martabate karaton ing sakehe para ratu kang wus kasebut ngarep iku menggah

bab pratingkahe kaagungan lan kabecikan ingdalem penggawean kang ana sajerone

karaton maka pahirsaken malih denira ing pasal kang teka buri iki amihasaken ing

sawirasatae ajar iki.

Sebab dijaga oleh Allah yang diserahkan oleh raja berserta pengikutnya maka menjadi lebih

luhur dan mulia derajatnya dari semua orang dan selalu dalam anugrah. Jika ada orang kecil

dalam tanggung jawabnya tidak ada kebaikan dalam pekerjaan seorang pemimpin karena

kebodohannya dan tidak pantas perintah dan pekerjannya terhadap semua makhluknya Allah

dan semua uang yang ada dalam penguasaan raja maka menjadi lebur dan sia-sia maka

56

menjadi raja yang hina dan buah kesalahannya dan seperti itu perumpamaan seseorang yang

dijadikan raja yang diberikan sebagian negara. Jika tidak baik pekerjaannya dan perintahnya

maka pada akhirnya akan menjadi rusak. Saat kamu mengetahui martabat keraton dari

semua raja yang sudah disebutkan didepan bahwa bab perilaku, keagungan dan kebaikan

didalam pekerjaan yang ada dalam keraton maka perhatikan kembali dalam pasal atau

pembahasan sebelum dan selanjutnya yang akn di sampaikan.

Maju mundurnya bangsa banyak ditentukan oleh para pemimpin. Sebab pada hakikatnya

pemimpin itu memiliki tanggungjawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat.

Tanggungjawab inilah yang pada dasarnya terkait dengan moral kepemimpinan yang menjadi

anugrah. Kehidupan keseharianpun juga tidak lepas dari bagaimana seseorang melakukan

kepemimpinan, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain. Pemimpin yang efektif adalah

pemimpin yang memiliki integritas dalam masalah uang. Banyak pemimpin-pemimpin yang sangat

handal jatuh karena melanggar integritas mereka dalam masalah uang. Peringatan kepada orang-

orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jangan berharap pada sesuatu yang tak

tentu seperti kekayaan, melainkan pada Allah yang dalam kekayaannya memberikan kepada kita

segala sesuatu untuk dinikmati. Peringatan agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam

kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai

dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.

B. Kitab Adāb al-Mulūk (Karatkter Ideal Pemimpin)

Kualitas kepribadian pemimpin yang ideal penting seyogyanya dimilliki oleh seorang

pemimpin. Seorang pemimpin juga harus mampu merangkul anggota atau bawahannya dari semua

lini tanpa membedakan fungsi dan posisi masing-masing. Di samping itu, pemimpin juga harus

mampu mengarahkan anggota dan bawahannya. Artinya pemimpin harus mampu mengarahkan,

menyemangati, dan mendorong agar memiliki semangat dan motivasi tinggi dalam bekerja, yang

masih belum optimal dalam bekerja, bahkan yang masih malas. Terakhir, seorang pemimpin tidak

diharapkan untuk “overconfidence” dalam melakoni sikap kepemimpinannya. Sikap

“overconfidence” dapat menjerumuskan pemimpin kepada perilaku lalai atau lengah. Sikap lalai

atau lengahnya seorang pemimpin ini karena sikap “overconfidence” tersebut akan berakibat pada

gagalnya rencana yang telah disusun matang dan dapat berujung pada tujuan yang tidak sesuai

dengan yang diharapkan/targetkan.5

Kualitas kepribadian yang dapat menjadikan seseorang sebagai pemimpin yang ideal dalam

manuskrip Kyai Ageng Imam Puro dicirikan dalam 10 (sepuluh) karakter yang ideal berikut ini ,

yaitu:

5 Sahadi dkk, “Karakter Kepemimpinan Ideal Dalam Organisasi” MODERAT Volume 6 Nomor 3 (Agustus)

2020. 519

57

Dalam manuskrip Kyai Ageng Imam Puro pemimpin yang baik akan memainkan peran

kepemimpinan dengan menjadikan intelektual sebagai alatnya dan moral sebagai tuannya, jadi

intelektual harus dapat melayani moral. Bahkan, Einstein berabad-abad yang lalu pernah

mengemukakan bahwa manusia harus berhati-hati agar tidak mendewakan intelektual walaupun

intelektual memiliki daya kekuatan yang dahsyat, tetapi intelektual tidak mempunyai kepribadian.

Intelektual tidak dapat memimpin karena intelektual hanya dapat melayani.6 Kepemimpinan adalah

kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dirinya maupun orang lain, sehingga kepemimpinan

adalah potensi yang melekat pada jati diri manusia. Berikut 10 (sepuluh) karakter yang ideal

seorang pemimpin dalam manuskrip Kyai Ageng Imam Puro :

1. Berakal Sehat dan Berbudi Syariat

Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam. Sebab

perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh

sebab itu, Islam mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh semua

lapisan masyarakat. Pemimpin harus mampu mengembalikan umat kepada ketentuan-ketentuan

yang dibawa oleh Rasul, karena salah satu tugas pemimpin adalah sebagai pengganti tugas kenabian

dalam menjaga agama. Apabila pemimpin telah menentukan suatu peraturan, maka rakyat wajib

menaatinya, dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan

Rasul-Nya.7

2. Berilmu/ Cerdas : Fathanah

Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata masyarakatnya sehinga

memiliki kepercayaan diri. Kecerdasan pemimpin akan membantu dia dalam memecahkan segala

macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemimpin yang cerdas tidak mudah frustasi

menghadapai masalah, karena dengan kecerdasannya dia akan mampu mencari solusi. Pemimpin

yang cerdas tidak akan membiarkan masalah berlangsung lama, karena dia selalu tertantang untuk

menyelesaikan masalah tepat waktu. Kecerdasan pemimpin tentunya ditopang dengan keilmuan

yang tinggii Ilmu bagi pemimpin yang cerdas merupakan bahan bakar untuk terus melaju di atas

roda kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas selalu haus akan ilmu, karena baginya hanya

dengan keimanan dan keilmuan dia akan memiliki derajat tinggi di mata manusia dan juga

pencipta.8

Ketika seseorang telah memiliki ilmu yang mencukupi, kemudian dia menjadi pemimpin,

maka dia bisa memimpin dengan lebih baik daripada orang yang menjadi pemimpin tanpa memiliki

ilmu yang mencukupi. Karena salah satu power yang dimiliki oleh seorang pemimpin adalah ilmu.

6 Jamal Mahdi, Menjadi Pemimpin Yang Efektif &Berpengaruh (Bandung: Syamil, 2001), 2

7 Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), 93

8 Murtadha Muthahhari, Akhlak Suci Nabi yang Ummi, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1995), 67

58

Hal ini telah dijelaskan di dalam ilmu kepemimpinan, ketika seorang pemimpin memiliki ilmu yang

banyak dan melebihi bawahannya, maka secara psikologis bawahnya akan lebih menghormatinya

dan mentaatinya.9 Dengan ilmu itu juga seorang pemimpin bisa memimpin dengan lebih baik dan

lebihtepat, sehingga dia bisa mengusahakan kemajuan dan kesuksesan bagi semua yang

dipimpinnya.

Jika ada seorang pemimpin yang tidak memiliki ilmu atau bodoh, maka dia akan kesulitan

untuk dapat memahami segala permasalahan negara atau lembaga yang dipimpinnya dan dia juga

akan kesulitan untuk mendapatkan respek dan ketaatan dari bawahannya. Oleh karena itu, ilmu

adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin, terutama ilmu agama bagi pemimpin

agama, ilmu pemerintahan bagi pemimpin pemerintahan, dan ilmu manajemen serta kepemimpinan

secara umum bagi semua pemimpin.

3. Akil Balig

Seorang pemimpin haruslah seorang yang memenuhi syarat taklif, artinya dapat dibebani

hukum. Kriteria seorang yang dapat dibebani hukum tersebut yaitu sudah dewasa (baligh) dan

berakal sehat. Rata-rata yang menjadi pemimpin agama adalah mereka yang telah berusia dewasa

karena di usia ini telah terlihat kematangan spiritual dan moral sehingga memungkinkan bagi

seseorang untuk menjadi figur pemimpin agama. Kematangan beragama sendiri adalah

kemampuan seseorang dalam mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai

luhurnya yang kemudian direalisasikan nilai-nilai tersebut dalam sikap dan tingkah laku sehari-

hari. Ia menganut suatu agama dengan keyakinan bahwa agama tersebutlah yang terbaik sehingga ia

akan berusaha menjadi penganut yang baik. Dan keyakinan itu akan ditampilkan dalam sikap dan

tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketataannya pada agama.10

4. Budi Pekerti Baik

Budi pekerti/ akhlak merupakan perpaduan dari rasio dan rasa yang dimanifestasikan atau

diwujudkan dalam karsa dan tingkah laku manusia sehari-hari dalam kehidupan organisasi. Kata

hati sangat berperan dalam budi pekerti/ akhlak, namun demikian Ia tidak timbul dengan sendirinya,

tetapi perlu dibangun melalui strategi manajerial seorang pemimpin agar menjadi budaya organisasi

yang kuat untuk mencapai prestasi organisasi di masa mendatang. Implementasi manajerial

pemimpin dalam membangun budi pekerti/ akhlak dapat diadopsi dengan mempertimbangkan

situasi dan kondisi organisasi.11

9 Fazalur Rahman, Nabi Muhammad saw. Sebagai Seorang Pemimpin Militer, terj. Annas Siddik, (Jakarta:

Bumi Aksara, 1991), 68 10

Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 109 11

Mumuh Muhtarom, Implementasi Kepemimpinan Dan Manajemen Dalam Lembaga Pendidikan, DIKLAT

KEAGAMAAN Volume 12 Nomor 33 (Mei-Agustus) 2018. 152

59

Kesungguhan setiap pemimpin organisasi yang didukung oleh stakeholdes yang ada sangat

menopang keberhasilan dalam membangun budi pekerti/ akhlak yang terbaik dalam jangka panjang.

Hasil-hasilnya sangat dibutuhkan untuk menghasilkan budaya organisasi dalam rangka mencapai

prestasi organisasi terbaik di masa mendatang. Setiap pemimpin yang hendak membangun budi

pekerti/akhlak yang luhur bagi stakeholders-nya perlu memahmi dan merumuskan konsep-konsep

ideal sesuai dengan harapan sebagaimana terimplisitkan dalam rumusan visi dan misi organisasi.

Pemimpin dapat menerapkan strategi manajerial dalam membangun budi pekerti/akhlak secara

dinamis, konsisten, dan melibatkan stkeholders organisasi. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara

baik, bangunan budi pekerti/akhlak akan kuat nan indah hingga dapat menghasilkan budaya

organisasi yang sesuai dengan harapan.

5. Peduli : Empati

Yang dimaksud dengan berempati dengan penderitaan rakyat adalah merasakan apa yang

dirasakan oleh rakyat. Bukan hanya bersimpati. Pemimpin yang memiliki rasa empati tinggi akan

memperlakukan rakyatnya sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. Ia mencintai rakyatnya,

sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Jika seorang pemimpin suka melakukan tindakan yang

melukai rakyatnya, sementara ia juga merasakan luka yang sama ketika diperlakukan seperti itu,

menurut Imam Ghazali, pemimpin yang demikian termasuk kategori pemimpin khianat yang tertipu

oleh kekuasaan.12

Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses dan efektif mampu

mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga

memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Sehubungan dengan itu bahwa fungsi

pengendalian dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan

pengawasan. Dengan bimbingan dan pengarahan, koordiansi dan pengawasan, pemimpin berusaha

mencegah terjadinya kekeliruan atau kesalahan setiap unit atau perseorangan dalam melaksanakan

volume dan beban kerjanya atau perintah dari pimpinannya. Pengendalian dilakukan dengan cara

mencegah anggota berfikir dan berbuat sesuatu yang cenderung merugikan kepentingan bersama.13

6. Welas Asih

Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri sendiri. Kepemimpinan menuntut

suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam

dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya (al-Imamu Khodimul

Ummah). Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin

12

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan (Bandung: Mizan,

2010), 157 13

Evy Sumiati, Hubungan antara Empati Kepemimpinan dan Pengetahuan Terhadap Tugas dengan

Kemampuan Melaksanakan Peran Kepala Sekolah Sebagai Manajer Sekolah di Taman Kanak-kanak Bengkulu,

MANAJEMEN PENDIDIKAN 2009, Volume.3 Nomor 4, 45

60

sejati dan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan-

kawan, ada sejumlah ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang

melayani, yaitu:14

a. Tujuan paling utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang

dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun

golongannya, tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya.

b. Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan

mereka yang dipimpinnya, sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya.

7. Berani

Menjadi seorang pemimpin yang berani, terdengar cukup mudah tetapi pada kenyataannya

merupakan hal yang sulit untuk dilakukan setiap orang bisa menjadi seorang pemberani, tetapi

menjadi pemimpin yang pemberani adalah hal yang bisa dikatakan berbeda, karena besarnya

tanggung jawab dan tugas yang dihadapi oleh seorang pemimpin ini. Bahwa keberanian ini adalah

sifat berani menanggung resiko dari sebuah pengambilan keputusan yang dilakukan secara cepat

dan tepat waktu. Mengambil keputusan bukanlah hal mudah karena dibutuhkan keberanian, ada

lanjutannya dimana dijelaskan bahwa keberanian ini bukanlah bawaan sejak lahir tetapi bisa dilatih

dan dibentuk sehingga seorang yang akan menjadi pemimpin bisa dilatih supaya memiliki

keberanian.15

Dalam Islam keberanian ini disebut dengan istilah syaja’ah, yaitu ketetapan hati yang berani

untuk berupaya melangkah maju, atau mundur untuk mengatur kembali langkah-langkah

perjuangan. Ada dua macam syaja’ah, yaitu syaja’ah batiniyah (moralitas) atau syaja’ah adabiyah

dan syaja’ah jasmaniyah (fisik).16

Syaja’ah batiniyah, ialah keberanian mengatakan kebenaran dan

memberantas kebathilan, termasuk di dalamnya keberanian berbicara dan mengambil tindakan

untuk meluruskan kesalahan yang dilakukan seseorang. Pemimpin yang memiliki keberanian

tersebut adalah pemimpin yang berwatak satria. Tujuannya, bukan untuk mencari popularitas atau

mendapatkan suatu jabatan, tetapi agar kebenaran menjadi pijakan yang kuat bagi setiap orang.

Syaja’ah jasmaniah (fisik), adalah kebenaran melalui kekuatan fisik. Keberanian untuk

mempertahankan diri, harta benda, dan keluarga, atau orang lain yang lemah, atau untuk membela

hak-hak masyarakat umum dari bahaya yang diakibatkan oleh tingkah laku manusia atau dari

bahaya alam. Sebagai pengemban kekuasaan, pemimpin dipersyaratkan bermoralitas tinggi,

pemimpin harus mampu memahami dan mengelola kekuasaan sebagai pemersatu masyarakat, agar

14

Jamal Mahdi, Menjadi Pemimpin Yang Efektif & Berpengaruh (Bandung: Syamil, 2001), 2 15

Sakdiah, Manajemen Oraganisasi Islam Suatu Pengantar (Banda Aceh : Dakwah Ar-Raniry Press, 2015),

115 16

Yayat Hidayat, Kepemimpinan Pendidikan di Sekolah (Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia UPI,

2005) 26.

61

mereka saling menolong dalam memajukan mutu kehidupan seraya mempertahankan diri terhadap

berbagai macam ancaman. Memiliki moralitas yang tinggi, berpegang teguh kepada ajaran dan

kaidah agama, merupakan petunjuk dari adanya persyaratan untuk mengemban kekuasaan, di

samping keharusan adanya dukungan kelompok solidaritas yang cukup kuat. Sebaliknya, kehidupan

yang bergelimang kerendahan moral dan tidak mengindahkan ajaran dan kaidah agama atau budi

pekerti yang mulia, adalah tanda nihilnya persyaratan untuk mengemban kekuasaan.17

8. Mengurangi Makan dan Tidur

Para pemimpin pada zaman dahulu untuk menambah kekuatannya, mereka berani bertirakat

dengan berpuasa, mengurangi tidur, makan, dan minum. Tatkala rakyatnya tidur, pemimpinnya

justru berjaga, tatkala rakyatnya kenyang, mereka berani menahan lapar. Rupanya, di zaman modern

seperti sekarang ini yang banyak terjadi justru sebaliknya, yaitu rakyatnya lapar, pemimpinnya justru

kekenyangan dan bahkan hidup berlebih-lebihan. Pemimpijn yang demikian itu akan melahirkan

kehidupan masyarakat yang tidak stabil, kaya masalah, dan miskin makna dalam menjalani

kehidupan.18

Penggerak perilaku manusia berada pada hati. Maka, kekuatan untuk menghidupkan dan

menggerakkan juga berada pada hati yang tulus, bersih, dan sehat yang dimiliki oleh pemimpinnya.

Namun, pada akhir-akhir ini, tidak sedikit orang di dalam menjalankan kepemimpinan terlalu

mengedepankan akalnya. Bahkan, pendekatan transaksional pun dilakukan. Padahal, melalui cara

tersebut masalah yang sebenarnya tidak akan terselesaikan. Sebaliknya, melalui cara sederhana, yaitu

dengan hati yang tulus, bertanggung jawab, berintegritas, dan sanggup mencintai semuanya, maka

pemimpin akan berhasil menunaikan tugasnya, yaitu menghidupkan, menggerakkan, dan

mengarahkan mereka yang dipimpinnya.

9. Menahan Hawa Nafsu

Menghindari segala kezaliman, bagaimanapun bentuknya. Seorang pemimpin harus

memiliki sikap ini, dan menanamkannya dalam semua bawahannya, pembantu dan asistennya.

Seorang pemimpin harus mampu menjauhkan dirinya dan bawahannya dari segala perilaku yang

tidak pantas. Sekalipun ia bisa adil dan menjauh dari ketidakadilan, tetapi ternyata para

pembantunya dan pembantunya berbuat salah dan adil, ia akan diminta bertanggung jawab dan juga

akan menanggung dosa atas perilaku bawahannya yang zalim, sementara dia mendiamkannya.

Diantara contoh seorang pemimpin yang senantiasa berusaha menjauhkan dirinya dan segenap

17

Zainuddin, A. Rahman, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, Jurnal Ilmu Politik 10 (Jakarta : AIPI-LIPI

Gramedia, 1991), 78 18

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan

(Jakarta: Erlangga, 1980), 246

62

pembantunya dari sikap dzalim adalah Khalifah Umar bin Khaththāb ra. Khalifah Umar ra.

merupakan teladan ideal seorang pemimpin yang tidak rela dengan perilaku dzalim sekecil apa pun.

Beliau senantiasa mengingatkan para pembantunya agar berlaku adil dalam mengemban

amanah sebagai pelayan rakyat, sebagaimana yang tercermin dalam sebuah kisah, bahwa suatu

ketika, Khalifah Umar bin Khaththāb ra menulis surat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari ra, yang

pada waktu itu menjabat sebagai Gubernur di Bashrah dan Irak. Dalam suratnya, Khalifah Umar ra

berkata: “Ingatlah, sesungguhnya pemimpin yang paling sejahtera adalah yang mampu

menyejahterakan rakyatnya. Berhati-hatilah dengan sikap menyepelekan sesuatu, sebab para

pembantumu akan meniru perilakumu. Sesungguhnya engkau (yang sedang memegang kekuasaan)

laksana hewan ternak yang melihat padang hijau, lalu memakan rumput hingga banyak dan menjadi

gemuk. Gemuknya hewan ternaklah yang menyebabkannya menjadi binasa. Dan karena

kegemukannya itu, hewan ternak disembelih dan dimakan.”19

10. Pemimpin Laki-laki

Ketika Islam memberikan tanggungjawab berbeda, antara pria dan wanita tidak berarti Islam

meninggikan yang satu dan merendahkan yang lain. Hak dan tanggung jawab itu sesungguhnya

didasarkan oleh perbedaan fitrah manusia yang telah diciptakan oleh Allah secara berbeda pula.

Allah dengan sifat al-Alim nya, tentulah lebih mengetahui apa yang baik dan bermanfaat bagi

kemaslahatan manusia dibandingkan dengan manusia itu sendiri. Maka seorang muslim akan lebih

percaya kepada faliditas informasi dari Allah dan Rasul-Nya ketimbang mempercayai perasaannya

sendiri, sebagaimana Firman Allah dalam Surat An-Nisa’: 34: “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi

kaum perempuan, sebagaimana Allah telah melebhkannya atas kalian”. Rasulullah bersabda:

“…Dan wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai

pertanggungjawaban atasnya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Abi Bakrah meriwayatkan sebuah

hadits: “Ketika sampai suatu berita kepada Rasulullah saw bahwa Bangsa Persia telah mengangkat

putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang

menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita”. (HR. Bukhari dan

Tirmidzi)20

Jika diteliti dari kesepuluh karakter kepemimpinan tersebut sebenarnya telah mencakup

semua macam karakter ideal pemimpin Islam-Jawa seperti seperti yang telah diuraikan di atas.

Dengan demikian, dapat diambil suatu pelajaran bahwa dengan menyadari adanya peranan-peranan

tersebut di atas kiranya sangatlah berguna bagi para pemimpin dan calon pemimpin atau lainnya

untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan lebih berhati-hati untuk menuju ke arah yang lebih

baik lagi.

19

Hadari Nawawi, Hakekat Manusia Menurut Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 360-363 20

Mansur Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 72-75

63

C. Kitab Adāb al-Salāṭīn (Manajemen Kepemimpinan)

1. Manajemen Organisasi : Pemimpin Adil

Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Kata

manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia maneggiare yang berarti "mengendalikan", terutama

dalam konteks mengendalikan kuda, yang berasal dari bahasa latin manus yang berarti "tangan".

Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki

arti “seni melaksanakan dan mengatur”. Mary Parker Follet, misalnya mendefinisikan manajemen

sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang

manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky

W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,

pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan

efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien

berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.

Manajemen melibatkan aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain,

sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif.21

Efisiensi ialah menghasilkan output sebanyak mungkin dari input sesedikit mungkin.

Efektivitas yaitu mengerjakan hal yang tepat atau menjalankan aktivitas-aktivitas secara langsung

yang mendorong tercapainya sasaran-sasaran organisasi. Efisiensi lebih ke cara mencapai suatu

tujuan, sedangkan efektivitas lebih berkenaan dengan hasil atau pencapaian tujuan tersebut.

Pembahasan dalam manajemen yaitu proses untuk mencapai tujuan, yang meliputi perencanaan

(planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating) dan pengendalian (controlling).

Dalam manuskrip Kyai Ageng Imam Puro pada salah satu bab Adāb al-Salāṭīn dijelaskan tentang

manajemen organisasi yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin.

Manajemen organisasi yang digagas oleh Kyai Ageng Imam Puro ini berorientasi kepada

pemimpin yang adil dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Ada 4 hal yang dilakukan

seorang pemimpin untuk mencapai status pemimpin yang adil dalam manuskrip Kyai Ageng Imam

Puro :

a. Beribadah kepada Allah SWT : Planning

Dalam pandangan Islam, kepemimpinan berarti merupakan kegiatan menuntun, membimbing,

memandu untuk menunjukkan jalan yang diridai Allah SWT. Kegiatan itu bermaksud untuk

menumbuh kembangkan kemampuan mengerjakan sendiri di lingkungan orang-orang yang

dipimpin, dalam usahanya mencapai rida Allah SWT selama kehidupannya di dunia dan akhirat

21

Sarinah, Pengantar Manajemen (Yogyakarta: Deepublish, 2017), 3

64

kelak. Dengan kata lain, kepemimpinan Islam adalah kemampuan mewujudkan semua kehendak

Allah SWT yang telah diberitahukannya melalui Rasulnya serta dengan perencanaan yang baik.22

Perencanaan mempunyai posisi yang penting dalam sebuah organisasi, lembaga dan

kumpulan pendidikan lainya, tanpa adanya perencanaan maka jalannya organisasi tidak jelas arah

dan tujuannya. Oleh Karena itu perencanaan penting karena pertama, dengan adanya perencanaan

diharapan tumbuhnya suatu pengarahan kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-

kegiatan yang ditujukan kepada pencapaian tujuan. Kedua, dengan perencanaan, maka dapat

dilakukan suatu perkiraan terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaan yang akan dilalui. Ketiga,

perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternative tentang cara terbaik atau

kesempatan untuk memilih kombinasi cara yang terbaik. Keempat, dengan perencanaan dapat

dilakukan skala prioritas. Kelima, dengan adanya rencana, maka akan ada suatu alat pengukur atau

standar untuk mengadakan pengawasan.23

Dengan demikian perencanaan mempunyai peranan penting dalam organisasi umum maupun

dalam organisasi yang bersifat pribadi. Dengan adanya perencanaan akan dimungkinkan untuk

memprediksi kerja dimasa yang akan datang, bahkan akan mampu memprediksi kemungkinan hasil

yang akan dicapai. Dari penjelasan tersebut tergambar dengan jelas bahwa perencanaan dalam

manajemen organisasi sangat rumit. Dengan demikian perencanaan tidak dapat dilakukan tanpa

adanya pemikiran yang matang, komprehensif dan rasional. Untuk itu perhatian terhadap langkah-

langkah perencanaan dan segala yang berkaitan dengan perencanaan penting bagi manajemen dan

bagi para manajer.

b. Pengorganisasian : Organizing

Secara konsep, ada dua batasan yang perlu dikemukakan,yakni istilah “organizing” sebagai

kata benda dan “organizing” pengorganisasian sebagai kata kerja, menunjukan pada rangkaian

aktivitas yang harus dilakukan secara sistematis. Istilah organisasi memiliki dua arti umum,

pertama, mengacu pada suatu lembaga (institution) atau kelompok fungsional, sebagai contoh kita

mengacu pada perusahaan, badan pemerintah, rumah sakit, atau suatu perkumpulan olahraga. Arti

kedua mangacu pada proses pengorganisasian, sebagai salah satu dari fungsi manajemen. Tujuan

pengorganisan adalah agar dalam pembagian tugas dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung

jawab. Dengan pembagaian tugas diharapkan setiap organisasi dapat meningkatkan

keterampilannya secara khusus (spesialisasi) dalam menangani tugas-tugas yang dibebankan.24

22

Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktek (Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2012), 47-48 23

Abin Syamsuddin dkk, Perencanaan Pendidikan, (Bandung : Rosda Karya, 2007), 60 24

Paruhuman Tampubolon, Pengorganisasian Dan Kepemimpinan: Kajian Terhadap Fungsi-fungsi

Manajemen Organisasi Dalam Upaya Untuk Mencapai Tujuan Organisasi, STINDO PROFESIONAL, Volume 4 Nomor

3 (Mei) 2018. 25

65

Apabila pengorganisasian itu dilakukan secara serampangan, tidak sesuai dengan bidang

keahlian seseorang, maka tidak mustahil dapat menimbulkan kegagalan dalam penyelesaian

pekerjaan itu. Tujuan organisasi dapat dirumuskan dan ditetapkan dengan jelas. Hal ini penting

karena:25

a. Tanpa tujuan yang jelas organisasi tidak akan mempunyai arah.

b. Tanpa tujuan jelas, organisasi tida ada artinya dan hanya akan menimbulkan pemborosan

belaka.

c. Tujuan yang jelas akan mempermudah dalam membentuk dan struktur organisasi.

d. Tujuan yang jelas akan mempermudah dalam menentukan jumlah dan penempatan pegawai.

e. Tujuan yang jelas akan memberikan perangsang kerja pada para anggota organisasi.

f. Tujuan yang jelas akan mempermudah pelaksanaan koordinasi, karena mereka menyadari

bahwa semua anggota organisasi bekerja ketujaun yang sama, yaitu tujuan organisasi.

g. Tujuan yang jelas merupakan awal dari penetapan strategi. Siasat, metode, dan prosedur

yang akan dipergunakan.

h. Tujuan yang jelas merupakan dasar dari pada organisasi untuk bergerak.

Ajaran Islam juga senantiasa mendorong para pemeluknya untuk melakukan segala sesuatu

secara terorganisir dengan rapi, sebab bisa jadi suatu kebenaran yang tidak terorganisir dengan rapi

akan dengan mudah bisa diluluhlantakan oleh kebathilan yang tersusun rapi. Menurut Terry

pengorganisasian merupakan kegiatan dasar dari manajemen dilaksanakan untuk mengatur seluruh

sumber-sumber yang dibutuhkan termasuk unsur manusia, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan

dengan sukses.

c. Ahli Puasa : Controling

Pengawasan dalam Islam berbeda dengan pengawasan dalam Barat. Di dalam islam

pengawasan mencakup bidang spiritual yang tidak ada di barat. Adanya bidang spiritual ini tidak

terlepas dari konsep keimanan sebagai seorang muslim kepada Allah SWT. Didalam melakukan

pengawasan, ada tiga cara yang dilakukan Allah SWT:

a. Allah SWT melakukan pengawasan secara langsung

b. Allah SWT melakukan pengawasan melalui malaikat

c. Allah SWT melakukan pengawasan melalui diri kita sendiri

Islam memberi kebebasan setiap individu muslim guna menjalankan pengawasan sesuai

dengan pengalaman, kondisi sosial atau manajemen yang terdapat dalam masyarakat. Pada masa

Rasulullah, khulafaurrasyidin, dinasti Umayyah dan Abasiyyah terdapat bentuk pengawasan yang

dijalankan yakni sebagai berikut :

25

Ibid., 27

66

a. Pengawasan manajemen (dilakukan lembaga negara)

b. Pengawasan masyarakat

c. Pengawasan Peradilan manajemen

Pengawasan di dalam ajaran Islam, paling tidak terbagi kepada 2 (dua) hal: pertama,

pengawasan yang berasal dari diri, yang bersumber dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT.

Orang yang yakin bahwa Allah pasti mengawasi hamba-Nya, maka orang itu akan bertindak hati-

hati. Ketika sendiri, dia yakin Allah yang kedua, dan ketika berdua dia yakin Allah yang ketiga.26

Pengawasan merupakan suatu usaha sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan

tujuan dengan tujuan-tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik,

membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan

mengukur penyimpangan-penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan.

Pengawasan penting disebabkan karena Perubahan lingkungan organisasi, Peningkatan

kompleksitas organisasi, Meminimalisasikan tingginya kesalahan-kesalahan, Kebutuhan manager

untuk mendelegasikan wewenang, Komunikasi dan Menilai informasi dan mengambil tindakan

koreksi. Perancangan proses pengawasan diantaranya yaitu: Merumuskan hasil yang di inginkan,

Menetapkan penunjuk hasil, Menetapkan standar penunjuk dan hasil, Menetapkan jaringan

informasi dan umpan balik dan Menilai informasi dan mengambil tindakan koreksi.27

Pengawasan dirasa sangat dibutuhkan dalam suatu organisasi. Karena jika tidak ada

pengawasan dalam suatu organisasi akan menimbulkan banyaknya kesalahan-kesalahan yang

terjadi baik yang berasal dari bawahan maupun lingkungan. Pengawasan menjadi sangat dibutuhkan

karena dapat membangun suatu komunikasi yang baik antara pemimpin organisasi dengan anggota

organisasi. Serta pengawasan dapat memicu terjadinya tindak pengoreksian yang tepat dalam

merumuskan suatu masalah. Pengawasan lebih baik dilakukan secara langsung oleh pemimpin

organisasi. Disebabkan perlu adanya hak dan wewenang ketegasan seorang pemimpin dalam suatu

organisasi. Pengawasan disarankan dilakukan secara rutin karena dapat merubah suatu lingkungan

organisasi dari yang baik menjadi lebih baik lagi.

d. Berperang : Actuating

Pada dasarnya penggerakan sangat erat kaitannya dengan unsur manusia yang ada dalam

organisasi. Kegiatan organisasi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana unsur manusia dapat

mendayagunakan seluruh unsur-unsur lainnya (non manusiawi) serta mampu melaksanakan tugas-

tugas yang telah ditetapkan. Penggerakan merupakan aktualisasi dari perencanaan dan

pengorganisasian secara kongkrit. Perencanaan dan pengorganisasian tidak akan mencapai tujuan

26

Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer (Rajawali Pers:

Jakarta, 2012), 180 27

Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006), 133

67

yang ditetapkan tanpa adanya aktualisasi dalam bentuk kegiatan. Singkatnya actuating mencakup

kegiatan yang dilakukan seorang yang ditetapkan manager untuk mengawali dan melanjutkan

kegiatan yang telah di tetapkan oleh unsur perencanaan dan pengorganisasian agar tujuan-tujuan

dapat tercapai. Menggerakkan (Actuating) berhubungan erat dengan sumber daya manusia yang

pada akhirnya merupakan pusat aktivitas-aktivitas manajemen. Arti penting sumber daya manusia

bagi suatu perusahaan terletak pada kemampuan untuk bereaksi secara sukarela dan secara positif

melaksanakan pekerjaan untuk mencapai tujuan.28

Dalam sejarah yang telah dibukukan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, ada beberapa langkah

yang dilakukan oleh para rasul atau sahabat dalam menggerakkan kaumnya, antara lain:29

a. Directing

Dalam memberikan arahan kepada bawahan, rasul telah memberikan

gambaran.Rasulullah dalam memerintah umatnya untuk melaksanakan sholat, rasul

memberikan contoh atau model. Di dalam Islam terdapat perintah atau kewajiban untuk

melaksanakan sholat dan haji, namun bagaimana melaksanakannya tidak dijelaskan secara

rinci, tapi disampaikan dalam bentuk contoh atau model yang diberikan oleh Rasulullah. Dalam

sebuah organisasi ada aturan-aturan yang harus diikuti oleh seluruh elemen organisasi. Untuk

dapat melaksanakan aturan-aturan tersebut maka diperlukan tidak hanya arahan dalam bentuk

verbal maupun tulis, tetapi juga arahan dalam bentuk contoh prilaku oleh pemimpin.

b. Coordinating

Dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi maka musyawarah mutlak diperlukan.

Kegiatan pengorganisasian adalah sangat penting karena dengan hal ini akan bisa membawa

irama seluruh komponen organisasi berjalan sesuai dengan komando, standard operation of

procedure (SOP) organasasi, sehingga hambatan yang ditemukan dalam melaksanakan kegiatan

dapat teratasi. Dengan adanya SOP tidak akan terjadi overlaping pekerjaan dan tanggungjawab,

apa dan kepada siapa seseorang atau departemen bertanggung jawab.

c. Communication

Dalam surat Al-Shafat: 102 dipaparkan bahwa ketika Nabi Ibrahim diperintah untuk

menyembelih putranya, beliau tidak langsung melaksanakan perintah itu, akan tetapi terlebih

dahulu mengkomunikasikan perintah itu kepada putranya Nabi Ismail. Terkait dengan

komunikasi itu, di ayat yang lain dijelaskan,

28

Mochamad Nurcholiq, Actuating Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Al-Hadits (Kajian Al-Qur’an dan Al-

Hadits Tematik), EVALUASI. Vol.1, No. 2, (September) 2017. 140 29

Jawahir Tanthowi. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Qur’an (Jakarta Pusat: Pustaka Al Husna,

1983), 75

68

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia

bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkata-an)ku; sesungguhnya

aku khawatir mereka akan mendustakanku”.

Dari ayat ini terdapat tiga nilai, yaitu; Pertama, komunikasi; kisah di atas ketika Nabi

Musa diutus berdakwah kepada Firaun, Nabi Musa mengalami hambatan berkomunikasi,

padahal hal itu sangat menentukan keberhasilan dakwah tersebut. Akhirnya Nabi Musa

mengutus Nabi Harus saudaranya untuk menyampaikan dakwah kepada Firaun, karena dia

dipandang memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik.Sebaik apapun perencanaan dan

pengorganisasian suatu organisasi tidak akan berhasil tanpa proses komunikasi yang baik.

Selanjutnya, pendelegasian; kisah tersebut di atas juga bisa kita ambil ibrah bahwa dalam

melaksanakan tugas organisasi seorang pemimpin tidak harus melakukannya sendiri, akan

tetapi dapat mendelegasikan kepada bawahan yang mempunyai kompetensi yang lebih baik.

Yang terakhir, profesionalisme; bahwa pemilihan Nabi Harun untuk melaksanakan tugas

dakwah didasari atas prinsipprinsip profesionalisme, karena Nabi Harun memiliki kemampuan

yang lebih baik dalam komunikasi. Prinsip inilah yang seharusnya diterapkan dalam sebuah

organisasi dalam melaksanakan seluruh aktifitas keorganisasian.

d. Motivasi

Ketika rasulullah memimpin perang, Allah menyuruhnya untuk mengobarkan semangat

perjuangan bagi para mukminin. Rasul diperintah untuk memotivasi supaya pasukannya

bersemangat dalam peperangan. Motivasi mempunyai peran yang sangat penting. Seorang

pemimpin harus mampu membangkitkan motivasi bawahan dalam menjalankan tugas

organisasi. Seperti apa yang telah dilakukan Rasulullah ketika mengobarkan semangat juang

pasukannya dalam peperangan. Kalau mereka kalah pada peperangan itu akan mengakibatkan

kehancuran umat di dunia sampai akhirat. Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai

tujuan sangat dipengaruhi oleh motivasi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu

seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk memotivasi.

2. Manajemen Kepemimpinan : Pemimpin Sukses

a. Berwibawa

Kewibawaan merupakan suatu hal sangat penting khususnya dalam kekuasaan, karena

menyangkut tentang suatu pembawaan serta keadilan. Kewibawaan sangat berpengaruh dalam

beberapa hal, baik itu dalam bernegara dan berorganisasi. Kewibawaan tidak hanya soal kekuasaan

negara, kewibawaan pun dibutuhkan dalam kekuasaan hukum. Negara pada hakikatnya merupakan

organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut

69

bangsa dan negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki suatu kewibawaan sehingga negara dapat

memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh organisasi tersebut.30

Kekuasaan dalam arti kewibawaan diartikan bahwa pemegang kekuasaan memiliki sifat-

sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan sebagian besar warga masyarakatnya. Kewibawaan

ini tidak sama pada setiap pemegang kekuasaan. Pokok dalam melaksanakan kekuasaan adalah

apabila kekuasaan itu diterima oleh masyarakat dan dipatuhi. Kalau sudah dipatuhi maka segala

kekuasaan berubah menjadi kewibawaan, dengan pengertian bahwa rakyat yang menerima

kekuasaan yakin akan kebenaran dari kekuasaan itu. Untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan

cara yang paling efektif adalah dengan diadakannya suatu hukum.

Max Weber membagi kewibawaan menjadi tiga macam, yaitu pertama, Kewibawaan yang

bersifat kharismatik. Kewibawaan ini terdapat pada seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat

kepribadian yang tinggi dan istimewa. Sebagai contoh kewibaan ini adalah kewibawaan para nabi-

nabi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pengikut-pengikutnya atau kewibawaan seorang

presiden terhadap rakyatnya. Kedua, Kewibawaan yang bersifat tradisional. Kewibawaan ini

lazimnya dimiliki oleh seorang raja yang karena hak warisnya mempunyai pengaruh terhadap

rakyatnya. Keistimewaan pribadi seorang raja mungkin tidak ada atau mungkin juga ia tidak

sepandai seorang presiden, tapi karena hak wari yang dimilikinya itu rakyat patuh kepadanya dan ia

memiliki kewibawaan sebagai simbol dari kerajaannya. Ketiga, Kewibawaan yang bersifat rasional.

Kewibawaan ini didasarkan atas pertimbangan akal pikiran manusia yang banyak terdapat pada

organisasi-organisasi modern dengan disertai disiplin yang kuat dan birokrasi.31

Kewibawaan yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan tidak sama antara yang satu dengan

yang lainnya tergantung pada karakteristik kewibawaan itu. Untuk melaksanakan kekuasaan maka

seseorang atau beberapa orang tersebut harus memiliki legitimasi kekuasaan. Legitimasi kekuasaan

berasal dari kata legitimate yang artinya authorized or sanctioned by conforming to law or rule.

Sedangkan dalam Dictionary of Law menyebutkan bahwa arti legitimate (adjective) adalah allowed

by law. Karena itu legitimasi kekuasaan akan berkaitan dengan 3 hal yakni:32

1) Sumber kekuasaan

2) Siapa pemegang kekuasaan

3) Bagaimana keabsahan dari kekuasaan tersebut.

b. Waspada

Arti yang lebih besar dari kepemimpinan adalah tindakan nyata, cara bekerja, dan

serangkaian peristiwa. Pada bagian ini, kepemimpinan dapat dilihat kerangka pergerakan,

30

Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Rajawali Pers: Jakarta, 2012), 3 31

Anton Athoillah, Dasar-Dasar Manajemen (Pustaka Setia Bandung: 2010), 198 32

Siswanto, Pengantar Manajemen (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2015), 158-159

70

perubahan, dan waktu. Jelasnya, tindakan kepemimpinan menurut Kyai Ageng Imam Puro ini

berbeda dari talking atau analyzing hal tersebut, media yang dipergunakan di sini akan menjadi

sesuatu yang penting untuk ditulis. Hal ini menjadi penting untuk memadukan apa yang terjadi

dalam kenyataan dengan teori haruslah menjadi keharusan, karena kepemimpinan menurut Kyai

Ageng Imam Puro ini tidak dinilai dari sudut pendekatan teoretis atau ideologi semata. Akan tetapi

kepemimpinan akan menghadapi suatu era perubahan pesat atau "accelerating" perubahan.

Karenanya, waktu merupakan faktor penting untuk menjadikan seorang pemimpin waspada.

Guna menghadapi perubahan pesat ini dengan baik, pemimpin harus memiliki serangkaian

kompetensi yang pokok seperti kemampuan antisipasi, kecepatan, agility dan persepsi. Antisipasi

berarti bahwa kepemimpinan harus secara proaktif mengamati lingkungan guna menemukan

perubahan yang secara negatif maupun positif mempengaruhi organisasi. Pemimpin harus secara

aktif mendukung pekerja untuk bersiap setiap saat menghadapi perubahan pesat lingkungan, dan

untuk mempertahankan pemimpin dan para manajer selalu menaruh perhatian atas hal tersebut.

Menjadi “perceptive, nimble dan innovative” dalam lingkungan yang berubah pesat akan

memberikan manfaat bagi organisasi. Sebagai tambahan, praktik menggunakan skenario “what if”

menguntungkan bagi para pemimpin.33

Secara rutin, mempertimbangkan dan mendiskusikan kemungkinan seluruh skenario yang

mungkin dapat terjadi pada masa depan, menjaga pemimpin harus waspada untuk memfokuskan

dan menyiapkan beragam kemungkinan. Penciptaan rencana-rencana darurat dapat berguna untuk

beberapa skenario. Pemimpin waspada melihat kecepatan sebagai sebuah kemampuan yang harus

dikuasai guna memuaskan konsumen yang menginginkan pelayanan atau pemenuhan kebutuhan

seketika. Pelayanan yang cepat, bersahabat dan efisien merupakan contoh dari apa yang diinginkan

oleh pelanggan terhadap pelayanan pemerintah. Teknologi informasi, pelayanan on-line melalui

internet merupakan prasyarat bagi pemerintah dalam membentuk highest quality service. Hal ini

menandakan, kecepatan pelayanan membantu pemerintah dalam meraih simpati dan kerja sama

warga.34

Perceptiveness merupakan kapasitas penting lain dari pemimpin waspada. Pemimpin harus

waspada terhadap segala bentuk intrik dan perubahan di lingkungan eksternal. Kewaspadaan ini

harus segera ditindaklanjuti guna merespon secara cepat dan tepat, dan mengambil langkah-langkah

yang tepat. Pada kasus dimana peluang dirasa ada, pemimpin harus segara bertindak. Leadtime juga

penting bagi kesuksesan organisasi karenanya, pemimpin waspada harus memiliki "radar screens"

yang selalu menyala setiap saat.

33

Hadari nawawi, Manajemen Sumber Daya Manusia (Gadja Madja University: Yogyakarta, 1996), 352 34

Vietsal Rivai, Islamic Leadership (Membangun Superleadersip Melalui Kecerdasan Spiritual) (PT Bumi

Aksara: Jakarta, 2013), 389

71

BAB V

RELEVANSI KEPEMIMPINAN PUBLIK

DALAM MANUSKRIP KYAI AGENG IMAM PURO

A. Potret Kepimpinan Publik Di Indonesia

Behn mengidentifikasi delapan tanggungjawab dari kepemimpinan sektor publik:

Pertama, berusaha untuk mencapai kepentingan umum. Kedua, identifikasi dengan jelas

keberhasilan dengan dengan melakukan benchmarking. Ketiga, mengembangkan strategi untuk

mencapai kesuksesan. Keempat, menganalisis kemungkinan konsekuensi dari keputusan.

Kelima, menekankan adanya rincian yang jelas dari pelaksanaan. Keenam, untuk mencapai

tujuan yang lebih luas pengaruh dengan memotivasi anggota dan stakeholders untuk

menciptakan lingkungan yang positif dengan konsensus. Ketujuh, mengenali dan

memanfaatkan keberuntungan mereka dan, ketika mereka tidak beruntung, tetap fokus pada

tujuan mereka publik dan meraba-raba jalan mereka ke arah itu. Kedelapan, membuat

organisasi lebih baik daripada itu.1

Kepemimpinan publik menciptakan koalisi internal dan eksternal untuk mendapatkan

dukungan atas tindakan mereka. Tindakan mereka harus mendukung kepentingan publik.

Sumber daya yang langka, sehingga para kepemimpinan publik harus mengikuti proses dan

prosedur organisasi serta ketentuan konstitusi dan peradilan dalam mengembangkan strategi.

Kepemimpin publik tidak bisa melanggar aturan organisasi mereka untuk mengejar keyakinan

mereka sendiri. Pemimpin badan publik seharusnya tidak hanya fokus pada tindakan

kewirausahaan untuk motif keuntungan, seperti Boone Pickens lakukan di Mesa Petroleum.

Profit motif bagi para pemangku kepentingan tidak dapat menjadi dasar untuk aksi dari

Pemimpin badan publik. Efektivitas kepemimpinan di sektor publik penting karena

menentukan kepuasan dan kepercayaan warga negara, dan reputasi organisasi. 2

Fokus pada teori-teori terbaru selalu menjadi bagian kritik dari teori sebelumnya dengan

mengabaikan pendekatan kepemimpinan klasik, seperti pendekatan sifat, perilaku, gaya, dan

situasional. Teori-teori ini dikritik karena perspektif terlalu sempit yang gagal dalam merespon

realitas kepemimpinan yang semakin kompleks. Pendekatan klasik berasumsi bahwa ada

pengaruh pribadi yang bersifat searah antara pemimpin ke pengikutnya. Pemimpin tradisional

memiliki kepribadian tertentu dengan sifat-sifat yang berbeda dari pengikutnya. Mereka

dikonseptualisasikan pemain aktif dalam proses kepemimpinan. Sebaliknya, para pengikut

1 Sarinah, Pengantar Manajemen (Yogyakarta: Deepublish, 2017), 3

2 Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktek (Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2012), 47-48

72

dianggap sebagai pasif dan reaktif. Selain itu, hubungan kepemimpinan dalam konteks formal

hirarki biasanya dipahami sebagai situasi yang telah ditentukan secara sosial. Akibatnya yang

memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak.

Ada tiga argumen mengapa New Public Leadership yang memiliki arti penting dalam

konteks kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan yang kuat untuk berkolaborasi. Komponen

kunci dari publik kepemimpinan tampaknya baru muncul dalam kebijakan pemerintah dalam

mendukung program modernisasi. Kepemimpinan terlihat kuat untuk mendorong pelayanan

yang kolaboratif. Kedua, kepemimpinan publik memiliki potensi untuk menghasilkan

pengetahuan baru yang selaras dengan kompleksitas. Ketiga, ada ruang yang cukup untuk

meningkatkan kepemimpinan dalam pengembangan lintas sektor publik.3

Ada tiga komponen utama dalam New Public Leadership yang melekat dalam konteks

reformasi sektor publik, yaitu: 4

1. Peran kepemimpinan

Momentum peningkatan dalam reformasi sektor publik pasca 1997, merupakan bagian

dari agenda pemerintah modernisasi yang lebih luas yang berusaha untuk memperkuat lebih

terbuka, transparan dan pemerintah berfokus pada pelanggan dengan maksud untuk

meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam ketentuan pelayanan publik. Sejumlah tantangan

kepemimpinan kunci yang disajikan oleh kebanyakan program reformasi untuk organisasi

sektor publik. Pertama dan terpenting adalah bahwa berbagai program reformasi sedang

dilaksanakan dalam kolaboratif. Tantangannya menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan

adalah lebih penting daripada manajemen dalam mendorong berbagi belajar di lembaga-

lembaga sektor non-tradisional dan dalam lingkungan yang semakin jaringan.

2. Network Management

Manajemen jaringan semakin penting bagi tata kelola dan kepemimpinan dan

manajemen. Agranoff dan Mc Guire menyatakan bahwa manajemen jaringan menawarkan

kelas penting dari manajemen kolaboratif model. Pemahaman mereka berasal terutama dari

teoritis pemeriksaan, daripada empiris katalogisasi, tugasnya. mereka mencatat bagaimana

beberapa koleganya mengidentifikasi bagaimana manajer campur tangan dalam yang ada antar-

hubungan, mempromosikan interaksi, dan memobilisasi koordinasi dan dengan demikian

bekerja dalam jaringan. Jadi ada kebutuhan untuk mengamati saling ketergantungan fungsional

tapi ini bab berpendapat bahwa kepemimpinan adalah salah satu faktor yang sering diabaikan

ketika memeriksa pentingnya kepemimpinan jaringan.

3 Hadari nawawi, Manajemen Sumber Daya Manusia (Gadja Madja University: Yogyakarta, 1996), 352

4 Abin Syamsuddin dkk, Perencanaan Pendidikan, (Bandung : Rosda Karya, 2007), 60

73

3. Nilai publik sebagai hasil dari kepemimpinan publik yang efektif

Nilai publik sebagai sebuah konsep pertama kali didukung oleh Mark Moore dan

kemudian diperluas di dalam konteks Inggris oleh Talbot dan Kelly dengan tujuan untuk

mengidentifikasi tujuan sosial, memberikan tujuan tersebut dengan cara yang

mempertahankan kepercayaan dan legitimasi dan memastikan bahwa organisasi sektor

publik memiliki kemampuan dan kapasitas untuk tujuan yang telah ditetapkan. Semua

pemimpin publik terlibat dalam pemahaman, menciptakan dan menunjukkan nilai publik.

Sebaliknya, fungsi administrasi publik tradisional baik di stabil lingkungan dengan tujuan

utama memberikan barang publik. 5

Dari konstruksi teori tentang kepemimpinan transformasional yang dipaparkan di

atas, jelas bahwa tipe kepemimpinan transformasional sangat dibutuhkan dan relevan

dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kondisi masyarakat kita saat ini sedang krisis

kepercayaan (distrust), terjadi degradasi moral bangsa, dibuktikan dengan masih cukup

tingginya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta etika berpolitik yang kurang baik

yang berakibat semakin melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.

Presiden Joko Widodo sejak awal menjabat sudah bertekat melakukan revolusi mental, yang

artinya bahwa diperlukan suatu perubahan besar dalam pola pikir, perilaku, sikap dan mental

seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan suatu perubahan. Oleh sebab itu dibutuhkan

pemimpin yang memiliki visi yang jelas dan kuat untuk melakukan perubahan kearah yang

lebih baik, mampu membangun kepercayaan diri pengikutnya, mampu menjadi tauladan

bagi yang dipimpin, serta mampu mentransfer ide-ide perubahan kepada anggota organisasi

yang dipimpinnya sehingga mau melakukan kegiatan untuk mencapai visi tersebut. Untuk

itu pemimpin transformasional sangat relevan dan dibutuhkan dalam kondisi masyarakat dan

bangsa kita pada saat ini.

B. Karakter Pemimpin Sejati

Setiap orang memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin. Dalam tulisan ini penulis

memperkenalkan sebuah jenis kepemimpinan yang sebut dengan Q Leader. Kepemimpinan Q

dalam hal ini memiliki empat makna. Pertama, Q berarti kecerdasan atau intelligence (seperti

dalam IQ-Kecerdasan Intelektual, EQ-Kecerdasan Emosional, dan SQ-Kecerdasan Spiritual). Q

Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan IQ-EQ-SQ yang cukup tinggi.

Kedua, Q Leader berarti kepemimpinan yang memiliki quality, baik dari aspek visioner

maupun aspek manajerial. Ketiga, Q Leader berarti seorang pemimpin yang memiliki qi

5 Paruhuman Tampubolon, Pengorganisasian Dan Kepemimpinan: Kajian Terhadap Fungsi-fungsi Manajemen

Organisasi Dalam Upaya Untuk Mencapai Tujuan Organisasi, STINDO PROFESIONAL, Volume 4 Nomor 3 (Mei)

2018. 25

74

(dibaca “chi” bahasa Mandarin yang berarti energi kehidupan). Makna Q keempat adalah

seperti yang dipopulerkan oleh KH Abdullah Gymnastiar sebagai qolbu atau inner self.

Seorang pemimpin sejati adalah seseorang yang sungguh-sungguh mengenali dirinya (qolbu-

nya) dan dapat mengelola dan mengendalikannya (self management atau qolbu management).6

Menjadi seorang pemimpin Q berarti menjadi seorang pemimpin yang selalu belajar

dan bertumbuh senantiasa untuk mencapai tingkat atau kadar Q (intelligence-quality-qi-qolbu)

yang lebih tinggi dalam upaya pencapaian misi dan tujuan organisasi maupun pencapaian

makna kehidupan setiap pribadi seorang pemimpin. Kepemimpinan Q dapat dirangkum dalam

tiga aspek penting dan saya singkat menjadi 3C , yaitu: 7

1. Perubahan karakter dari dalam diri (character change)

2. Visi yang jelas (clear vision)

3. Kemampuan atau kompetensi yang tinggi (competence)

Ketiga hal tersebut dilandasi oleh suatu sikap disiplin yang tinggi untuk senantiasa

bertumbuh, belajar dan berkembang baik secara internal (pengembangan kemampuan

intrapersonal, kemampuan teknis, pengetahuan) maupun dalam hubungannya dengan orang lain

(pengembangan kemampuan interpersonal dan metoda kepemimpinan). Seperti yang dikatakan

oleh John Maxwell: 8

“ The only way that I can keep leading is to keep growing. The day I stop growing,

somebody else takes the leadership baton. That is the way it always it.”

Satu-satunya cara agar saya tetap menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa

bertumbuh. Ketika saya berhenti bertumbuh, orang lain akan mengambil alih

kepemimpinan tersebut.

Mitos pemimpin adalah pandangan-pandangan atau keyakinan-keyakinan masyarakat

yang dilekatkan kepada gambaran seorang pemimpin. Mitos ini disadari atau tidak

mempengaruhi pengembangan pemimpin dalam organisasi. Ada 3 (tiga) mitos yang

berkembang di masyarakat, yaitu :9

1. Mitos the Birthright

Berpandangan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dihasilkan (dididik). Mitos ini

berbahaya bagi perkembangan regenerasi pemimpin karena yang dipandang pantas menjadi

pemimpin adalah orang yang memang dari sananya dilahirkan sebagai pemimpin, sehingga

yang bukan dilahirkan sebagai pemimpin tidak memiliki kesempatan menjadi pemimpin . Teori

Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa “Leader are born and nor made”

6 Vietsal Rivai, Islamic Leadership (Membangun Superleadersip Melalui Kecerdasan Spiritual) (PT Bumi

Aksara: Jakarta, 2013), 389 7 Ibid., 27

8 Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer (Rajawali Pers:

Jakarta, 2012), 180 9 Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006), 133

75

(pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini

mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia

telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang

ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul

sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada

pandangan fasilitas atau determinitis.

2. The For All Seasons

Berpandangan bahwa sekali orang itu menjadi pemimpin selamanya dia akan menjadi

pemimpin yang berhasil. Pada kenyataannya keberhasilan seorang pemimpin pada satu situasi

dan kondisi tertentu belum tentu sama dengan situasi dan kondisi lainnya.

3. The Intensity

Berpandangan bahwa seorang pemimpin harus bisa bersikap tegas dan galak karena pekerja itu

pada dasarnya baru akan bekerja jika didorong dengan cara yang keras. Pada kenyataannya

kekerasan mempengaruhi peningkatan produktivitas kerja hanya pada awal-awalnya saja,

produktivitas seterusnya tidak bisa dijamin. Kekerasan pada kenyataannya justru dapat

menumbuhkan keterpaksaan yang akan dapat menurunkan produktivitas kerja.

C. Kepemimpinan Publik Masa Depan

Visi dan Kompetensi Kepemimpinan Publik Masa Depan Dengan landasan penalaran

yang tajam, Brill dan Worth memberikan ramalan bahwa organisasi masa depan yang akan

mampu bersaing harus memiliki visi yang jelas dan terarah. Visi adalah suatu pernyataan yang

berisi arahan yang jelas tentang apa yang harus diperbuat organisasi di masa yang akan datang.

“A vision is a realistic, credible, attractive future for your organization”. Visi yang jelas dan

tepat sesuai dengan kebutuhan organisasi akan mampu menumbuhkan hal-hal berikut: 10

1. Menumbuhkan komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan mampu memupuk semangat

kerja karyawan.

2. Menumbuhkan rasa kebermaknaan di dalam kehidupan kerja karyawan.

3. Menumbuhkan standar kerja yang prima.

4. Menjembatani keadaan organisasi masa sekarang dan masa depan.

Penelitian Collin dan Porras menunjukkan bahwa organisasi yang memiliki visi dapat

melampaui prestasi organisasi yang tidak memiliki visi sampai 55 kali.11

Suatu survai yang

dilaksanakan majalah Fortune terhadap 1500 pimpinan senior perusahaan, mengungkapkan

ciri-ciri atau kemampuan paling dominan yang harus dimiliki pimpinan pada tahun 2000 adalah

10

Jawahir Tanthowi. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Qur’an (Jakarta Pusat: Pustaka Al Husna,

1983), 75 11

Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi (Rajawali Pers: Jakarta, 2012), 3

76

kemampuan merumuskan visi masa depan. Menurut Kotter visi organisasi merupakan tanggung

jawab pemimpin organisasi. Visi adalah komponen sentral dari kepemimpinan yang hebat

(great leadership). Dengan visinya seorang pemimpin memberikan jaminan

kepastian/keamanan kepada anak buahnya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan karena

pengaruh perubahan lingkungan. Sudah jelas bahwa pekerjaan yang tidak ringan dan menjadi

keharusan bagi seorang pemimpin untuk dapat merumuskan visi kepemimpinannya (visi

organisasi) dengan jelas dan terarah.

Untuk dapat merumuskan visi yang jelas, kepemimpinan organisasi harus

mempertanyakan hal-hal berikut apa visi dan tujuan organisasi saat ini, apa manfaat organisasi

bagi masyarakat, apa ciri wilayah kerja dan kerangka kerja institusional dimana organisasi

beroperasi, apa keunikan organisasi di dalam wilayah garapan atau di dalam struktur yang

dimasuki, dan hal-hal apa yang harus dilakukan agar organisasi maju dan berkembang. Di

depan telah disodorkan kompetensi yang harus dimiliki seorang pemimpin yang terangkum

dalam 5 dimensi.12

Mendasarkan pada fenomena perubahan yang terus menerus terjadi, di

samping harus memiliki visi yang jelas dan terarah, pemimpin organisasi masa depan harus

memiliki kompetensi yang menonjol sesuai lingkungan perubahan. Spencer mengidentifikasi

beberapa kompetensi yang akan semakin penting bagi pemimpin organisasi masa depan yang

meliputi: 13

1. kemampuan berpikir strategis, yaitu kemampuan untuk memahami kecenderungan perubahan

lingkungan yang berlangsung cepat, peluang pasar, ancaman kompetisi, kekuatan dan

kelemahan organisasi yang dipimpinnya, serta mampu mengidentifikasi tanggapan-tanggapan

strategis.

2. Kepemimpinan dalam perubahan, yaitu kemampuan untuk mengkomunikasikan visi strategis

organisasi kepada seluruh pihak yang terkait, menciptakan komitmen dan motivasi, penggerak

inovasi dan semangat kewirausahaan, serta mampu mengalokasikan sumber daya organisasi

secara optimal untuk mengantisipasi perubahan yang akan terjadi.

3. pengelolaan hubungan, yaitu kemampuan untuk membina hubungan di tengah-tengah jaringan

kerja yang kompleks, baik dengan partner usaha maupun pihak lain yang memiliki pengaruh

terhadap keberlangsungan organisasi.

12

Anton Athoillah, Dasar-Dasar Manajemen (Pustaka Setia Bandung: 2010), 198 13

Siswanto, Pengantar Manajemen (PT Bumi Aksara: Jakarta, 2015), 158-159

78

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian teori, analisis dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa:

1. Kyai Ageng Imam Puro merupakan seorang ulama Ponorogo yang punya kredibilitas tinggi dan

wawasan yang luas, ditambah lagi dengan konteks sosial politik nusantara waktu itu dan

dengan latar belakang dan sejarah penulisan yang kompleks akan sangat menarik untuk dibahas

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro ini. Jika dilihat dari isinya, Manuskrip Kyai Ageng Imam

Puro ini cukup tebal karena terdapat 82 halaman serta mempunyai keistimewaan yang luar

biasa dalam mengulas masalah kepemimpinan diantaranya pertama, dari sisi sajian redaksi

kalimatnya yang kental nuansa sastra. Kedua, referensi naskah yang autentik. Ketiga,

kontekstualisasi dengan kondisi keindonesiaan khususnya Jawa. Seharusnya pemikiran Kyai

Ageng Imam Puro ini masih sangat layak dan penting untuk menjadi referensi atau acuan bagi

orang Jawa ketika mengkaji hal yang berkaitan dengan permasalahan kepemimpinan.

2. Dalam menguraikan kepemimpinan Islam-Jawa Kyai Ageng Imam Puro ditulis menjadi 2 bab

pertama, bab Kitāb Naṣāiḥ al-Mulūk (Integritas Moral Pemimpin) berisi tentang kepemimpin

adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam

upaya mencapai tujuan organisasi. Kedua, Kitab Adāb al-Mulūk (Karatkter Ideal Pemimpin)

inti bab ini adalah kualitas kepribadian pemimpin merupakan hal yang paling ideal dan penting

dimilliki oleh seorang pemimpin. Terdapat 10 kriteria seorang pemimpin menurut Kyai Ageng

Imam Puro antara lain : Berakal Sehat dan Berbudi Syariat, Berilmu/ Cerdas : Fathanah, Akil

Balig, Budi Pekerti Baik, Peduli : Empati, Welas Asih, Berani, Mengurangi Makan dan Tidur,

Menahan Hawa Nafsu, Pemimpin Laki-laki.

3. Dibutuhkan pemimpin yang memenuhi kriteria sebagai pemimpin transformasional,

Kepemimpinan transformasional memiliki visi kolektif jelas, memiliki kemampuan

mengkomunikasikan secara efektif terhadap seluruh pegawai, melalui berbagai cara, antara lain

memberi contoh yang memberi inspirasi bahwa kepentingan organisasi lebih dari kepentingan

individual. Dalam kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan,

kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi untuk

melakukan pekearjaan lebih produktif dari yang direncanakan diawal.

79

B. Rekomendasi

Manuskrip Kyai Ageng Imam Puro sebagai karya sastra warisan budaya Nusantara secara

umum dan khususnya membahas kepemimpinan Islam-Jawa, juga banyak memuat konsep

kepemimpinan Islam-Jawa. Ini memungkinkan kajian yang lebih beragam dari varian tema yang

dimuat dalam manuskrip Kyai Ageng Imam Puro. Sebuah kesadaran apresiatif yang diwujudkan

dengan telaah kritis atas hasil budaya masa lalu ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan

determinatif masa kini dan konstruksi wacana antisipatif masa depan.

80

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. Filsafat Bahasa Dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014

Anwar, Saifuddin Metode Penelitian. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, Cet III, 2001

Ardana, Komang. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009

As-Sadlan, Shalih Bin Ghanim. Aplikasi Syariat Islam. Jakarta : Darul Fallah, 2002

Baharuddin. Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktek. Jogjakarta: Ar-Ruzz

Media, 2012

Baidan, Nasharuddin. Etika islam dalam Berbisnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014

Baried, Siti Baroroh. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985

Bungin, Burhan Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group, 2006

Covey, Stephen R Principle-Centered Leadership. New York: Simon & Schuster, 1992

Dharma, Agus Gaya kepemimpinan yang Efektif bagi Para Manajer. Bandung: Sinar Baru, 1984

Effendi, Usman Asas Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo,2011

Endraswara, Suwardi. Falsafah Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2013

Fakih, Mansur. Analisis Gender dan Transformasi Sosial Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

Geertz, Cliford. The Religion of Java. New York: Free Press, 1964

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.

Jakarta: Erlangga, 1980

Ibrahim, Ahmad. Manajemen Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006

Jaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: Bina Ilmu, 1995

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998

Kartakusumah, Berliana Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer. Jakarta: PT

Mizan Publika, 2006

Kartakusumah, Berliana. Pemimpin Adiluhung Genealogi Kepemimpinan Kontemporer. Jakarta: PT

Mizan Publika, 2006

Lorens, Bagus Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996

Lubis, Nabilah. Naskah, Teks, & Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan

Depag RI, 2007

Mahdi, Jamal Menjadi Pemimpin Yang Efektif & Berpengaruh. Bandung: Syamil, 2001

Mahdi, Jamal. Menjadi Pemimpin Yang Efektif &Berpengaruh. Bandung: Syamil, 2001

Marsetio. Kepemimpinan Nusantara Archipelago Leadership. Bogor: Univ. Pertahanan, 2018

Martoyo, Susilo. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: BPFE, 2000

MoleongLexy J. Metode Penelitian Kualitatif . PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007

Muhtarom, Mumuh Implementasi Kepemimpinan Dan Manajemen Dalam Lembaga Pendidikan,

DIKLAT KEAGAMAAN Volume 12 Nomor 33 (Mei-Agustus) 2018

Mulyono, Hardi. “Kepemimpinan (Leadership) Berbasis Karakter Dalam Peningkatan Kualitas

Pengelolaan Perguruan Tinggi” Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora Vol. 3. No. 1 2018

Mustaqim, Abdul Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010

Muthahhari, Murtadha Akhlak Suci Nabi yang Ummi, Cet. I. Bandung: Mizan, 1995

Nawawi, Hadari. Hakekat Manusia Menurut Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993

Nawawi, Hadari. Kepemimpinan Menurut Islam. Yokyakarta: Gajah Mada Unuversiuty Press, 2001

Nurcholiq, Mochamad. Actuating Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Al-Hadits (Kajian Al-Qur’an

dan Al-Hadits Tematik), EVALUASI. Vol.1, No. 2, (September) 2017

Prastowo, Andi Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. ArRuzz

Media, Jogjakarta, 2016

Purwowijoyo. Babad Ponorogo Jilid III: R. Brotodiningrat. Ponorogo: Depdikbud, 1985

Purwowijoyo. Babad Ponorogo Jilid V: Desa Perdikan. Ponorogo: Depdikbud, 1985

Purwowijoyo/ Babad Kandha Wahana: 19 Desa Kecamatan Ponorogo,. Ponorogo: Dep.

Pendidikan dan Kebudayaan Ponorogo, 1990

81

Rahman, Dani Nur “Peran Kepemimpinan Jawa” Diponegoro Journal Of Management, Vol. 1 No.

1 2012

Rahman, Fazlur Islamic Methodology in History, Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1946

Rahman, Fazlur Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer. Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Rahman,Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, Chicago &

London: The university of Chicago Press, 1982

Ritzer, George Teori Sosiologi Modern, Terj. Alimandan, Jakarta: Prenada media, 2005

Rivai, Veithzal. Kiat Kepemimpinan dalam Abat-21. Jakarta: Murai Kencana, 2004

Rivai, Vietzal. Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta; PT Raja Grafindo

Persada, 2013

Rosyadi, Khoirul. Mistik Politik Gus Dur. Yogyakarta: Jendela, 2014

Sahadi. “Karakter Kepemimpinan Ideal Dalam Organisasi” MODERAT Volume 6 Nomor 3

(Agustus) 2020

Sakdiah. Manajemen Oraganisasi Islam Suatu Pengantar. Banda Aceh : Dakwah Ar-Raniry Press,

2015

Shodieq. Pulungku. Ponorogo:Nirbita, 1984

Sofyan, Harahap. Etika Bisnis Dalam Perspektif islam, Jakarta; Salemba Empat, 2011

Sugianto, Alip Eksotika Pariwisata Ponorogo. Yogyakarta: Samudra Biru, 2015

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta, 2011

Sumiati, Evy. Hubungan antara Empati Kepemimpinan dan Pengetahuan Terhadap Tugas dengan

Kemampuan Melaksanakan Peran Kepala Sekolah Sebagai Manajer Sekolah di Taman

Kanak-kanak Bengkulu, MANAJEMEN PENDIDIKAN 2009, Volume.3 Nomor 4

Sutikno, M. Sobry Pemimpin dan Kepemimpinan. Lombok: Holistica, 2014), 15

Suyami, Konsep Kepemimpinan Jawa Dalam Ajaran Sastra Cetha Dan Astha Brata. Yogyakarta:

Kepel Press, 2008

Tampubolon, Paruhuman Pengorganisasian Dan Kepemimpinan: Kajian Terhadap Fungsi-fungsi

Manajemen Organisasi Dalam Upaya Untuk Mencapai Tujuan Organisasi, STINDO

PROFESIONAL, Volume 4 Nomor 3 (Mei) 2018

Tanjung, Hendri. Manajemen Syariah dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2003

Tanthowi, Jawahir. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Qur’an. Jakarta

Tim Penulis, Hari Jadi Kabupaten Ponorogo. Ponorogo: Pemda Ponorogo, 1996

Toto, Tasmara. Spiritual Centered Leadership. Jakarta : Erlangga, 2005

Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an, Ed. Rev, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Wahyudi, Sarjana Sigit. “Kepemimpinan Tradisional Jawa-Islam Dalam Masyarakat Jawa” Sabda

Vol. 6 No. 1 April 2021

Wahyudin, Ade Herlan “Integritas Moral Pemimpin: Antara Cita Dan Fakta”, AN-NIDHOM

Volume 1 No. 1 (Januari-Juni) 2016

Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif . Yogyakarta: LKiS, 2004

Yahya, Yohannes Pengantar Manajemen. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006

Zainal,Veithzal Rival Islamic Manajemen. Yogyakarta: BPEE, 2013

Zakub, Hamzah. Menuju Keberhasilan, Manajemen dan Kepemimpinan. Bandung: CV

Diponegoro. 2008

BIOGRAFI PENULIS

Heru Budi Suseno dilahirkan pada tanggal 22

November 1996 di Ponorogo, putra pertama dari Bapak

Lasimun dan Ibu Supatmi serta adik pertama Hery Prayitno

dan adik kedua Alif Thoriqul Huda. Pendidikan sekolah

dasar ditempuh di SDN 1 Sukosari Babadan Ponorogo

tamat pada tahun 2008. Pendidikan berikutnya dijalani di

Madrasah Tsanawiyah Negeri Ngunut Ponorogo dan tamat pada tahun 2011.

Kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2

Ponorogo dengan mengambil jurusan Agama dan tamat pada tahun 2014. Pada

tahun 2015 melanjutkan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

dengan mengambil jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir tamat tahun 2019. Setelah

itu melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut Agama Islam Negeri

Ponorogo dengan mengambil prodi Manajemen Pendidikan Islam.

Sebelum dan sesudah menyelesaikan pendidikan sarjana dan

pascasarjananya banyak pengalaman bekerja di dunia pendidikan antara lain:

Madrasah Diniyah Nurus Salam Sukosari sebagai ustadz al-Qur’an, SMPN 1

Kauman sebagai pengajar Tahfidz al-Qur’an sejak tahun 2017-2020, SMK PGRI

Somoroto sebagai pengajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sejak tahun

2020-2022, SDN 1 Sukosari sebagai pengajar Pendidikan Agama Islam dan Budi

Pekerti sejak tahun 2021-sekarang. Dalam bidang organisasi banyak pengalaman

yang dicapainya antara lain: Pengurus forum mahasiswa Tafsir-Hadis nasional

yang tergabung dalam FKMTHI Nasional divisi intelektual tahun 2018-2022,

pengurus karang taruna kabupaten Ponorogo tahun 2019-2023.