KONSENTRASI MERKURI PADA AIR, SEDIMEN, DAN KEONG POPACO (Telescopium telescopium Linnaeus, 1758), DI...

93
KONSENTRASI MERKURI PADA AIR, SEDIMEN, DAN KEONG POPACO (Telescopium telescopium Linnaeus, 1758), DI MUARA SUNGAI BALAOTIN, CIBOK DAN KOBOK, KECAMATAN KAO TELUK, HALMAHERA UTARA ARDAN SAMMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of KONSENTRASI MERKURI PADA AIR, SEDIMEN, DAN KEONG POPACO (Telescopium telescopium Linnaeus, 1758), DI...

KONSENTRASI MERKURI PADA AIR, SEDIMEN, DAN KEONG POPACO (Telescopium telescopium Linnaeus, 1758),

DI MUARA SUNGAI BALAOTIN, CIBOK DAN KOBOK, KECAMATAN KAO TELUK, HALMAHERA UTARA

ARDAN SAMMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konsentrasi Merkuri pada Air, Sedimen, dan Keong Popaco (Telescopium telescopiun Linnaeus, 1758) di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok Kecamatan Kao Teluk, Halmahera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Ardan Samman NPM C251110041

ii

RINGKASAN ARDAN SAMMAN. Konsentrasi Merkuri pada air, Sedimen dan Keong

popaco (Telescopium telescopiun Linnaeus, 1758) di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok Kecamatan Teluk Kao, Halmahera Utara yang di bimbing oleh Djamar T.F. Lumban Batu dan Isdradjad Setyobudiandi.

Merkuri di ekosistem perairan merupakan ancaman lingkungan, habitat, biota maupun manusia, karena sifatnya yang berbahaya dan beracun. Masuknya merkuri di perairan bersumber dari berbagai kegiatan yang memanfaatkan merkuri sebagai bahan baku beberapa diantaranya adalah industri klor, limbah perkotaan, dan aktivitas penambangan emas.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis konsentrasi merkuri pada air, sedimen dan keong poaco di muara sungai Balaotin, Cibok dan Kobok berdasarkan nilai ambang batas keamanan baku mutu produk perikanan; (2) Menganalisis faktor biokonsentrasi merkuri pada keong popaco (T. telescopium) di Muara Sungai Balaotin, Cibok, dan Kobok; (3) Mengevaluasi status ekologi Keong Popaco (T. telescopium) dan perubahan Ekologi sebagai dasar pengelolaan di Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara dan (4) Menentukan strategi pengelolaan yang aman dan lestari di Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara.

Hasil analisis menunjukkan konsentrasi merkuri di air pada bulan Juni hingga Agustus di Muara Sungai Balaotin berkisar 0,00052-0,0012 ppm dengan nilai rata-rata 0,00081 ppm. Konsentrasi merkuri di Muara Sungai Cibok adalah 0,00026-0,00098 ppm dengan nilai tara-rata 0,00064 ppm. Konsentrasi merkuri di Muara Sungai Kobok adalah 0,00036-0,00065 ppm, dengan nilai rata-rata 0,00034 ppm. Konsentrasi merkuri tertinggi di Muara Sungai Balaotin dan terendah di Muara Sungai Kobok. Konsentrasi merkuri yang tercatat masih sesuai dengan baku mutu air laut berdasarkan US EPA (2009). Konsentrasi merkuri di sedimen pada bulan Juni-Agustus di Muara Sungai Balaotin tertinggi 0,12 ppm dengan nilai rata-rata 0,09 ppm, dan terendah di Muara Sungai Kobok 0,01 ppm dengan nilai rata-rata 0,06 ppm. Konsentrasi merkuri masih sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh EPA (1997). Konsentrasi merkuri pada keong popaco (T. telescopium) yang terdeteksi, tertinggi di Muara Sungai Cibok 0,15 ppm dan terendah di Muara Sungai Kobok 0,06 ppm. Konsentrasi merkuri pada keong masih dibawah baku mutu yang ditetapkan oleh EPA (2009).

Kisaran persen komposisi tekstur sedimen yang terukur di Muara Sungai Balaotin pasir 40,08-40,96%, debu 27,92-43,52% dan liat 12,31-31,12%, di Muara Sungai Cibok pasir 26,36-71.80%, debu 22.47-49,39% dan liat 5,73-26,03%, dan di Muara Sungai Kobok pasir 7,73-36,78%, debu 41.47-44.66% dan liat 21,75-43.54. Hasil analisis segi tiga tekstur di Muara sungai Balaotin adalah lempung liat, di Muara Sungai Cibok adalah liat dan lempung berpasir sedangkan di Muara Sungai Kobok adalah liat dan lempung berdebu. C-organik pada sedimen di Muara Sungai Balaotin 4,5-6,9%, di Muara Sungai Cibok adalah adalah 3,9-5,2% dan di Muara Sungai Kobok 4,8-5,9%. C-Organik tergolong tinggi hingga sangat tinggi.

Paparan merkuri harian keong popaco (T. telescopium) yang terkontaminasi merkuri diperoleh berkisar 0,21-0,58 ppm/kg/hari untuk orang dewasan dan untuk

iii

anak-anak berkisar 0,93-2,55 ppm/kg/hari, sedangkan paparan merkuri mingguan untuk orang dewasa berkisar antara 2,57-5,43 ppm/kg/minggu. Paparan merkuri harian dan mingguan tergolong tinggi terutama untuk anaka-anak, karena anak-anak sangat rentan merterhadap keracunan merkuri.

Ancaman merkuri terhadap ekosistem perairan di Kao Teluk, terutama sumber pangan yang berasal dari pesisir dan laut diantaranya keong, kerang, krustasea, dan ikan sudah terkontaminasi merkuri sehingga perlu pengelolaan lebih lanjut untuk menjamin kemanan pangan bagi masyarakat di sekitarnya.

Kata kunci : Merkuri, T. telescopium, kemanan konsumsi dan ekobiologi

iv

SUMMARY ARDAN SAMMAN. Mercury Concentration in Water, Sediment and Snails “popaco” (Telescopium telescopiun Linnaeus, 1758) in the Estuaries Balaotin, Cibok and Kobok in District Kao bay, North Halmahera under direction of Djamar T.F. Lumban Batu and Isdradjad Setyobudiandi.

Mercury in aquatic ecosystems is a threat environment, habitat, biota and humans, because it is dangerous and toxic. The entry of mercury in waters sourced from a variety of activities that utilize mercury as a raw material some of which is chlorine industry, urban sewage, and gold mining activities.

This study aims to (1) detrmine the concentration of mercury in water, sediment and snails poaco in Estuaries Balaotin, Cibok and Kobok based on a threshold value of fishery product safety standards; (2) Analyze the bioconcentration factors of mercury of snails (T. telescopium) in the estuary Balaotin, Cibok, and Kobok; (3) Evaluating the ecological status of snails and Ecology as a basis for change management in the District of Kao Bay, North Halmahera and (4) Determine the safe management strategies and sustainable in the District of Kao Bay, North Halmahera.

The analysis showed mercury concentrations in water from June to August in the Balaotin estuary ranged from 0.00052 to 0.0012 ppm with an average value of 0.00081 ppm. The concentration of mercury in the Cibok estuary is from 0.00026 to 0.00098 ppm with an average value 0.00064 ppm. The concentration of mercury in the Kobok estuary is 0.00036 to 0.00065 ppm, with an average value of 0.00034 ppm. The highest mercury concentration in the Balaotin estuary and lowest in the Kobok estuary. Mercury concentrations were recorded in accordance with the sea water quality standards based by the EPA (2009). The concentration of mercury in sediments from June to August in the highest Balaotin estuary is 0.12 ppm and the lowest at 0.01 ppm in Kobok estuary. The concentration of mercury is still in accordance with the quality standards established by the EPA (1997). The concentration of mercury in the snail “popaco” (T. telescopium) were detected, the highest in the estuary Cibok is 0.15 ppm and the lowest in Kobok estuary is 0.06 ppm. The concentration of mercury in the snail is still below the quality standard by the EPA (2009).

Percent composition range measured in sediment texture estuary Balaotin include sand from 40.08 to 40.96%, from 27.92 to 43.52% was it silt and clay is from 12.31 to 31.12%. Station in Cibok estuary is 26,36 to 71.80%, 5.73 to 26.03% and 22.47 to 49,39% respectively are sand, silt and clay. Kobok estuary station in each is sand, silt and clay are 7.73 to 36.78%, 41.47 to 44.66% and 21,75 to 43.54. The results of the analysis in terms of three textures in the Balaotin estuary is clay and loam, in the Cibok estuary is clay and sandy loam in the Kobok estuary while is clay and silty clay dust. C-organic sediment in the Balaotin estuary 4.5 to 6.9%, in the Cibok estuary is 3.9 to 5.2% and Kobok estuary from 4.8 to 5.9%. C-Organic is high to very high.

Daily mercury exposure snail (T. telescopium) contaminated with mercury obtained ranged from 0.21 to 0.58 ppm/kg/day for the mature people and for the children ranged from 0.93 to

v

2.55 ppm/kg/day, whereas weekly mercury exposure for adults ranged from 2.57 to 5.43 ppm/kg/week. Daily and weekly exposure to mercury is high, especially for children, because children are particularly vulnerable to mercury poisoning.

The threat of mercury to the aquatic ecosystem in the Kao Bay, especially sources of food derived from such coastal and marine snails, clams, crustaceans, and fish is contaminated with mercury that need further management to ensure food safety for the surrounding community. Keywords: Mercury, T. telescopium, safety consumption and ecology

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan lPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin lPB.

vii

KONSENTRASI MERKURI PADA AIR, SEDIMEN DAN KEONG POPACO (Telescopium telescopiun Linnaeus, 1758) DI

MUARA SUNGAI BALAOTIN, CIBOK DAN KOBOK KECAMATAN KAO TELUK, HALMAHERA UTARA

ARDAN SAMMAN

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS

ix

Judul Tesis :

Nama : Ardan Samman NPM : C251110041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.DjamarT.F.LumbanBatu, M.Agr Dr.Ir.Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc, Agr Tanggal Ujian : 29 Agustus, 2014 Tanggal Lulus :

Konsentrasi Merkuri pada air, Sedimen dan Keong popaco (Telescopium telescopiun Linnaeus, 1758) di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok Kecamatan Kao Teluk, Halmahera Utara

x

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan yang Maha Esa

atas segala karunia-Nya sehingga rencana karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 2013 sampai Agustus 2013 ini dengan judul : Konsentrasi Merkuri pada Air, Sedimen dan Keong Popaco (Telescopium telescopiun Linnaeus, 1758), di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumban Batu, M.Agr dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku pembimbing utama dan kedua, serta Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, M.Sc, Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf dosen Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan staf pegawai tata usaha, teman-teman yang membantu selama menulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ditjen DIKTI atas beasiswa studi lanjut (BPPS) dan PT. Toyota Astra yang membantu dana analisis sampel. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ansar Ajid dan Adam Marwan yang banyak membantu saat sampling.

Sujud Sujud dan terima kasih yang dalam penulis persembahkan kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta, atas dorongan yang kuat, kebijaksanaan dan do’a. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada istri dan anak-anak ku tercinta dan semua keluarga yang selalu mendorong dan memotifasinya.

Bogor, Agustus 2014 Ardan Samman

xi

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1 1.3. Kerangka Pikir ............................................................................................ 2 1.4. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3 1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merkuri ...................................................................................................... 4 2.2. Pencemaran Merkuri di Sungai ................................................................ 5 2.3. Konsentrasi Merkuri di Air ....................................................................... 6 2.4. Konsentrasi Merkuri di Sedimen ............................................................... 6 2.5. Peran Keong Popaco (T. telescopium) sebagai Bioindikator .................... 7 2.6. Bioakumulasi dan Biotransformasi Merkuri ............................................. 9 2.7. Pengaruh Merkuri terhadap Organisme ................................................... 10 2.8. Baku Mutu Produk Perikanan .................................................................. 10

2.9.1. Bahaya Merkuri Terhadap Kesehatan Manusia ............................ 11 2.9.2. Batasan Merkuri dalam Pangan ..................................................... 12

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 12 3.2. Peta Lokasi Penelitian .............................................................................. 13 3.3. Bahan dan Alat ......................................................................................... 13 3.4. Penentuan Stasiun Pengambilan Sampel .................................................. 14 3.5. Teknik Pengambilan Sampel .................................................................... 14 3.6. Preparasi sampel ....................................................................................... 14 3.7. Teknik Analisa Data Konsentrasi Merkuri ............................................... 15

3.7.1. Teknik Analisis Faktor Biokonsentrasi Merkuri ........................... 16 3.7.2. Teknik Analisis Geokonsentrasi Merkuri ..................................... 16

3.8. Teknik Analisis Tekstur sedimen dan Karbon Organik ........................... 16 3.9. Teknik Analisa Ekobiologi Keong (T. telescopium) ................................. 17

3.9.1. Teknik Analisis Indeks Kepadatan Keong popaco ....................... 17 3.9.2. Teknik Analisis pola sebaran keong ............................................. 17 3.9.3. Teknik Analisis indeks kondisi .................................................... 17

3.10. Teknik Analisis Keamanan konsumsi Keong yang Terkontaminasi Merkuri .......................................................................... 18

IV. HASIL 4.1. Konsentrasi Merkuri pada Air ................................................................... 18 4.2. Konsentrasi Merkuri pada Sedimen .......................................................... 20

4.2.1. Indeks Geokonsentrasi Merkuri ...................................................... 22 4.2.2. Tekstur Sedimen .............................................................................. 22 4.2.3. C-Organik ........................................................................................ 23 4.2.4. pH sedimen ...................................................................................... 23

4.3. Konsentrasi Merkuri pada KeongPopaco (T. telescopium) ....................... 24 4.3.1. Faktor Biokonsentrasi Merkuri Keong popaco (T. telescopium) .... 25

4.4. Distribusi Merkuri pada air sedimen dan keong ...................................... 25

xii

4.5. Ekobiologi Keong Popaco (T. telescopium) ............................................. 28 4.5.1. Indeks Kepadatan Keong Popaco (T. telescopium) ........................ 28 4.5.2. Polas Sebaran Keong Popaco (T. telescopium) .............................. 29 4.4.3. Indeks Kondisi Keong Popaco ........................................................ 29

4.6. Paparan Harian dan Mingguan Keong Popaco yang Terkontaminasi Merkuri ............................................................................ 29

4.6.1. Paparan Harian dan Mingguan Kerang Darah (Anadara granosa Lin) terkontaminasi merkuri yang tertangkap di Kao Teluk .................................................................................... 30

4.7. Parameter Kualitas Air .............................................................................. 31 4.7.1. Suhu Perairan .................................................................................. 31 4.7.2. Oksigen Terlarut (mg/l) .................................................................. 31 4.7.3. pH Perairan ..................................................................................... 31 4.7.4. Salinitas (ppt) .................................................................................. 32 4.7.5. Konduktivitas .................................................................................. 32 4.7.6. Kekeruhan ....................................................................................... 32 4.7.7. Total Dissolved Solid (TDS) .......................................................... 32

V. PEMBAHASAN 5.1. Konsentrasi Merkuri pada Air .................................................................. 32 5.2. Konsentrasi Merkuri pada Sedimen .......................................................... 34

5.2.1. Indeks Geokonsentrasi .................................................................... 35 5.2.2. Tekstur Sedimen ............................................................................. 36 5.2.3. C-Organik ....................................................................................... 36 5.2.4. pH Sedimen .................................................................................... 37

5.3. Konsentrasi Merkuri pada Keong Popca (T. telescopium) ....................... 38 5.3.1. Faktor Biokonsentrasi Merkuri pada Keong (T. telescopium) ........ 39

5.4. Distribusi merkuri pada air, sedimen dan keong ...................................... 40 5.5. Ekobiologi Keong Popaco (T. telescopium) ............................................. 41

5.5.1. Indeks Kepadatan Keong Popaco (T. telescopium) ........................ 42 5.5.2. Pola Sebaran Keong Popaco (T. telescopium) ................................ 42 5.5.3. Indeks Kondisi Keong Popaco (T. telescopium) ............................. 43

5.7. Paparan Harian dan Mingguan Keong yang Terkontaminasi Merkuri ..... 43 5.7. Parameter Kualitas Air .............................................................................. 46

5.7.1. Suhu Air .......................................................................................... 46 5.7.2. Oksigen Terlarut ............................................................................. 47 5.7.3. Tingkat Keasaman (pH) .................................................................. 47 5.7.4. Salinitas ........................................................................................... 48 5.7.5. Konduktivitas (DHL) ...................................................................... 48 5.7.6. Kekeruhan ....................................................................................... 49 5.7.7. Total Dissolved Solid (TDS) .......................................................... 49

5.8. Pengelolaan Merkuri di Lingkungan Pesisir ............................................. 49 5.8.1. Pengelolaan dan Konservasi Ekosistem Mangrove ........................ 50 5.8.2. Pertukaran ion membrane bioreaktor .............................................. 50

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ............................................................................................... 52 6.2. Saran ......................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

xiii

RIWAYAT HIDUP

DAFTAR TABEL 1. Jenis merkuri dan derajat toksisitasnya ............................................................. 4 2. Konsentrasi merkuri di perairan pesisir Teluk Kao .......................................... 6 3. Konsentrasi merkuri di sedimen Kao Teluk...................................................... 7 4. Batas maksimum cemaran merkuri dalam pangan ........................................... 11 5. Parameter Lingkungan ...................................................................................... 13 6. Bahan dan alat yang digunakan......................................................................... 14 7. Tekstur sedimen ................................................................................................ 22 8. C-organik (%).................................................................................................... 23 9. pH sedimen ....................................................................................................... 24 10. Faktor biokonsentrasi merkuri keong popaco melalui sedimen (ppm) ........... 25 11. Indeks Kepadatan Keong popaco (ind/m2) ..................................................... 29 12. Pola sebaran keong popaco (T. telescopium) .................................................. 29 13. Indek Kondisi Popaco (T. telescopium) .......................................................... 29 14. Paparan merkuri harian (PMH) keong popaco untuk orang dewasa (ppm/kg/hari) pada bulan Juni-Agustus di Pesisir Teluk Kao, Halmahera Utara ............................................................................................. 30 15. Paparan merkuri harian (PMH) keong popaco untuk anak-anak

(ppm/kg/hari), terdiri dari sembilan contoh keong yang di koleksi pada bulan Juni-Agustus di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara ................. 30

16. Paparan merkuri mingguan (PMM) untuk orang dewasa ppm/kg/minggu ..... 30 17. Paparan merkuri harian (PMH) kerang darah untuk orang

dewasa (ppm/kg/hari) di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara ...................... 30 18. Paparan merkuri harian (PMH) kerang darah untuk anak-anak

(ppm/kg/hari) di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara .................................. 31 19. Paparan merkuri mingguan (PMM) kerang darah untuk anak-anak dan orang dewasa (ppm/kg/minggu) di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara ....... 31 20. Parameter Kualitas Air yang terukur pada bulan Juni-Agustus ...................... 32

DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka alur pikir penelitian ........................................................................... 3 2. Sumber pencemaran merkuri secara alami ....................................................... 4 3. Proses Bioakumulasi logam merkuri pada organisme perairan ........................ 5 4. Proses Biomagnifikasi methyl merkuri di ekosistem ........................................ 12 5. Peta Lokasi Penelitian ....................................................................................... 13 6. Segi tiga Tekstur sedimen ................................................................................. 16 7. Konsentrasi merkuri pada air bulan Juni-Agustus masing-masing

di Muara Sungai Balaotin (ST I), Cibok (ST II) dan Kobok (ST III) ............... 19 8. Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada air perstasiun pengamatan ....................................................................................................... 19 9. Standar deviasi konsentrasi merkuri pada air berdasarkan stasiun

Pengamatan ...................................................................................................... 20 10. Konsentrasi merkuri pada air di perairan Kao Teluk berdasarkan

hasil penelitian terdahulu ................................................................................ 20 11. Konsentrasi merkuri pada sedimen Juni hingga Agustus,

xiv

masing-masing di Muara Sungai Balaotin (ST I), Cibok (ST II) dan Kobok (ST III) ......................................................................................... 21

12. Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada sedimen perstasiun pengamatan .................................................................................... 21 13. Kondisi konsentrasi merkuri di sedimen di Kao Teluk berdasarkan penelitian terdahulu ........................................................................................ 22 14. Segitiga Tekstur (USDA), Keterangan ● ST I ● ST II dan ● ST III .............. 23 15. Konsentrasi merkuri pada keong popaco bulan Juni sampai dengan

Agustus masing-masing di Muara Sungai Balaotin (ST I), Cibok (ST II) dan Kobok (ST III)................................................................... 24

16. Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada keong popaco di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok ................................................ 25

17. Distribusi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni hingga Agustus di Stasiun I .................................................................................... 26

18. Distribusi merkuri pada keong, sedimen dan keong bulan Juni-Agustus di stasiun II ............................................................................... 26

19. Distribusi konsentrasi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni-Agustus di stasiun III .................................................................... 27

20. Rata-rata distribusi konsentrasi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni-Agustus ................................................................................... 27

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Analisis Tekstur Sedimen dan C-Organik............................................... 65

2. Bukti analisis konsentrasi merkuri pada air di Baristan Manado ..................... 66

3. Bukti analisis konsentrasi merkuri pada sedimen dan keong popaco (T. Telescopim) di Baristan Manado ................................................................ 67

4. Kondisi Muara Sungai Kobok .......................................................................... 68 5. Kondisi Muara Sungai Cibok ........................................................................... 68 6. Kondisi Muara Sungai Balaotin ....................................................................... 68 7. Kondisi keong popaco di Muara Sunga Balaotin (ST I) .................................. 69 8. Kondisi keong popaco di Muara Sungai Cibok (ST II) .................................... 69 9. Kondisi keong popaco di Muara Sungai Kobok (ST III) ................................. 70 10. Penanganan Keong popaco di Laboratorium Fakultas Perikanan,

Universitas Khairun........................................................................................ 71 11. Pengukuran Panjang Cangkan (cm) ............................................................... 71 12. Pengukuran Bobot Cangkan keong (g) ........................................................... 71 13. Pemisahan daging keong dari cangkang ........................................................ 72 14. Pengeringan daging dan cangkang keong ...................................................... 72 15. Penimbangan daging keong (g) ...................................................................... 72 16. Analisis Segi Tiga Tekstur secara online ....................................................... 73 17. Segi tiga tekstur di Muara Sungai Balaotin adalah lempung liat ................... 74 18. Segi tiga tekstur di Muara Sungai Cibok adalah liat dan lempung berpasir ........................................................................................................... 75 19. Segi tiga tekstur sedimen di Muara Sungai Kobok adalah liat dan

lempung berdebu ........................................................................................... 76

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Teluk Kao terletak di Pulau Halmahera. Di Teluk Kao terdapat aktifitas penambangan biji emas oleh PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM) yang beroperasi sejak tahun 1992 merupakan perusahaan patungan antara Newscrest Singapore Holdings Pty. Ltd (82.5%) dan Antam (17.5%). Kontrak karya ini meliputi luasan ±449.300 hektar. Selain itu, terdapat pula penambangan emas oleh masyarakat terutama di Sungai Cibok. Penambangan emas rakyat ini dalam memisahkan emas dari logam lain menggunakan merkuri yakni unsur kimia yang berbentuk cair dan bersifat toksik.

Di Pulau Halmahera terdapat Sungai Balaotin, Cibok, dan Kobok terletak di Kecamatan Kao Teluk yang bermuara di Teluk Kao. Sungai Balaotin merupakan sungai yang tidak terdapat aktivitas penambangan dan Sungai Cibok terdapat aktivitas penambangan emas tanpa izin, sedangkan aktivitas penambangan emas yang di lakukan oleh PT. Nusa Halmahera Mineral terdapat di sekitar Sungai Kobok. Pada sungai-sungai yang terdapat kegiatan penambangan emas berpotensi tercemar mekuri. Dilain pihak Costal et al. (2012) kegiatan antropogenik dapat mengubah siklus biokimia merkuri baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga pada akhirnya dapat mengubah dampak kontaminasi merkuri baik pada biota perairan maupun pada manusia.

Aktivitas penambangan emas di sekitar Teluk Kao berdampak positif terhadap pendapatan daerah Kabupaten Halmahera Utara. Namun, penggunaan merkuri (Hg) dalam proses ekstraksi emas dapat menimbulkan pencemaran perairan, keracunan dan kematian terhadap sumberdaya ikan dan non ikan. Perairan Teluk Kao sangat kompleks dan terlindung dari gelombang dan arus. Polutan yang masuk ke badan perairan terutama yang berasal dari sungai, akan mudah di endapkan pada dasar perairan. Limbah pengolahan emas yang terus menerus di lepaskan ke perairan, lambat laun akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi merkuri di perairan maupun sedimen. Hal tersebut dapat mengancam sumberdaya yang terdapat pada ekosistem sungai dan mangrove terutama pada muara sungai yang merupakan habitat dari jenis udang, ikan dan kerang-kerangan (Riani 2012).

Proses pemisahan emas dari logam lain yang menggunakan merkuri yang terjadi di sungai-sungai yang ada di Pulau Halmahera dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan. Kondisi tersebut meningkatkan terjadinya perubahan kualitas perairan. Pencemaran pada ekosistem sungai yang semuanya bermuara di Teluk Kao. Mengingat tingginya aktifitas penambangan emas terutama di Sungai Cibok, maka perlu di lakukan penelitian di kedua sungai tersebut dan perlu membandingkan kondisinya dengan sungai yang relatif belum tercemar seperti di Sungai Balaotin.

1.2. Rumusan Masalah Ekosistem mangrove yang ada di muara merupakan habitat dari berbagai

jenis ikan, krustasea, moluska, bivalvia, udang dan kepiting. Selain itu ekosistem mangrove juga sebagai tempat berpijah, habitat parmanen maupun tempat naungan serta mengurangi tekanan predator, penyedia sumber makanan baik dalam bentuk matrial organik yang terbentuk dari berjatuhan daun dan jenis invertebrata serta tempat pembesaran bagi anak ikan. Ekosistem mengalami

2

tekanan berupa bahan pencemaran terutama logam berat maka tidak menutup kemungkinan akan menyebab degradasi ekosistem terutama struktur dan komunitas yang ada di dalam ekosistem tersebut.

Keong popaco (T. telescopium) salah satu jenis gastropoda yang hidup di air payau (15-34) ppt atau hutan mangrove. Hewan ini bisa di temukan di daerah muara mulut sungai dan dapat hidup pada kadar garam 1-2 ppt, banyak membenamkan diri di dalam lumpur yang kaya bahan organik dari pada di atas lumpur, termasuk di ketiga sungai yang diteliti yakni Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok.

Namun sungai-sungai tersebut berpotensi untuk tercemari merkuri. Adapun sumber merkuri berasal dari limbah pengolahan emas di sepanjang Sungai Cibok dan Kobok, sehingga mencemari ekosistem sungai tersebut dan ekosistem mangrove yang ada di sekitar muara sungai tersebut. Tromol atau proses memisahkan emas di Sungai Cibok yang menggunakan bahan merkuri menyisakan limbah pengolahan yang masih mengandung merkuri yang di buang langsung maupun tidak langsung ke badan perairan. Hal tersebut akan menurunkan kualitas lingkungan. Pencemaran merkuri hingga dapat mencemari lingkungan dan sedimen serta terakumulasi ke dalam tubuh keong popaco.

Kondisi tersebut merupakan masalah yang cukup serius mengingat merkuri merupakan logam berat yang paling toksik di bandingkan logam berat lainnya, namun demikian masalah yang perlu segera di teliti di lokasi penambangan emas adalah sebagai berikut : 1. Konsentrasi merkuri pada air, sedimen dan biota yang ada didalamnya. 2. Faktor biokonsentrasi merkuri teutama pada biota yang dominan didalam

ekosistem tersebut. 3. Kondisi keamanan pangan apabila pada biota tersebut dikonsumsi. 4. Rumusan strategi pengelolaan di Kecamatan Kao Teluk yang menjadi lokasi

penelitian.

1.3. Kerangka Pikir Populasi sumberdaya keong popaco di pengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaraya gangguan habitat dan turunnya kualitas lingkungan baik yang disebabkan secara alami maupun oleh aktivitas manusia. Adanya kegiatan penambangan liar dapat menyebabkan gangguan baik terhadap habitat maupun terhadap sumberdaya yang selanjutnya berdampak pada keong popaco.

Informasi komprehensif tentang indikator kunci dari aspek ekobiologi, data pemanfaatan Keong Popaco ini di harapkan dapat di gunakan sebagai dasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya Keong Popaco agar tetap terjaga kelestariannya. Kerangka alur pikir penelitian terlihat pada Gambar 1.

3

Gambar 1. Kerangka alur pikir penelitian

1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah :

1. Mendeterminasi konsentrasi merkuri pada air, sedimen dan keong popaco di sekitar muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok.

2. Menganalisis tingkat faktor biokonsentrasi merkuri pada Keong Popaco (T. telescopium) di sekitar Muara Sungai Balaotin, Cibok, dan Kobok

3. Mengevaluasi status ekologi keong popaco (T. telescopium) dan perubahan Ekologi sebagai dasar pengelolaan di Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara.

4. Mengevaluasi tingkat keamanan konsumsi harian dan mingguan keong popaco yang terkontaminasi merkuri.

5. Menentukan strategi pengelolaan yang aman dan lestari di Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

tentang : 1. Konsentrasi merkuri pada air, sedimen dan keong popaco (T. telescopium) 2. Informasi ekologi yang meliputi indeks kepadatan, pola sebaran dan faktor

kondisi keong popaco (T. telescopium) 3. Konsep dasar dan strategi pengelolaan merkuri di Perairan Pesisir

Kecamatan Kao Teluk, Kabupaten Halmahera Utara.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Merkuri

Merkuri adalah suatu logam berat beracun. Toksitasnya mencerminkan pengaruh terhadap organisme, terutama pada kerusakan fisiologis dan sel-sel darah. Merkuri di kelompokkan menjadi merkuri anorganik dan merkuri organik (metil merkuri). Logam merkuri adalah merkuri anorganik sedangkan methyl merkuri adalah merkuri organik yang berbentuk serbuk putih dan berbau seperti belerang pada sumber air panas, serta unsur merkuri pada kondisi suhu kamar berbentuk padat dan ada pula yang berbentuk cairan yang berwarna putih keperakan dengan titik beku -38.870C dan titik didih 356.900C serta berat jenis 13.6 dan berat atom 200.6 (Arularasan dan Ponnusamy 2012; Waraouw 2008). Jenis merkuri digolongkan pada tiga kategori berdasarkan tingkat racunnya seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis merkuri dan derajat toksisitasnya Jenis Sifat Derajat toksisitas Unsur Uap merkuri (Hg0) Satu atom

gas yang stabil Berhubungan dengan Amalgams

Anorganik Divalen Merkuri (Hg2+) Beracun pada organ dan jaringan manusia

Organik Methyl merkuri (CH3Hg+) Etil Merkuri (CH3CH3Hg+)

Ikan dan mamalia laut Vaksin thimerosal

Sumber : Arularasan and Ponnusamy 2012.

Secara alami merkuri di alam berasal dari aktivitas gunung berapi dan penguapan dari air laut, pemanasan global dan formasi geologi dapat menyumbang konsentrasi merkuri yang tinggi memiliki pertukaran antara air ditambah re-emisi sebelum tersimpan di permukaan tanah, tumbuhan dan kebakaran hutan (UNEP 2011). Ilustrasi sumber merkuri secara alami dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Sumber pencemaran merkuri secara alami (UNEP 2011)

5

Sumber merkuri secara antropogenik berasal dari penambangan, industri, kedokteran, pertanian, kosmetik, dan bahan baku pembuatan alat laboratorium. Meningkatnya konsentrasi merkuri di lingkungan kebanyakan berasal dari aktivitas manusia dan atau gunung berapi kemudian diangkut secara global melalui sirkulasi udara. Merkuri di atmosfer kemudian dikembalikan ke dalam tanah ataupun laut melalui curah hujan basah. Beberapa tahun terakhir emisi antropogenik tiga kali lebih besar konsentrasinya dari atmosfer dan permukaan laut (Marson et al. 1994 dalam Kesavan et al. 2011). Siklus merkuri di lingkungan perairan seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses bioakumulasi logam merkuri pada organisme perairan

(EPA 2011)

Pencemaran merkuri yaitu berupa “merkuri klorida” pernah dialami oleh Jepang pada tahun 1930 yang membuang limbah industri secara langsung ke Teluk Minamata di pantai barat pulau Kyushu, setelah lima belas tahun sejak dimulainya pembuangan limbah ke perairan tersebut barulah terlihat dampaknya yaitu timbulnya penyakit yang di kenal dengan “penyakit minamata byo” pada masyarakat berdomisili di Teluk Minamata bahkan pulau-pulau di sekitarnya (Lasut 2002 dalam Waraouw 2008).

2.2. Pencemaran Merkuri Di Sungai Penambangan emas tanpa izin yang melibatkan ekstraksi emas dengan

menggunakan logam merkuri, telah mengakibatkan peningkatan konsentrasi logam tersebut di sungai. Bioakumulasi merkuri Trichoptera tertinggi dari

6

kelompok kebiasaan makan fungsional yang di amati di Sungai Cikaniki, di ikuti oleh kelompok scraper, collector filter, collector gathrer, shelder dan yang terakhir adalah predator. Keberadaan merkuri telah banyak dilaporkan menyebabkan bioakumulasi dan biomagnifikasi merkuri pada biota dan rantai makanan yang ada di perairan (Yoga et al. 2009).

Sungai merupakan ekosistem yang memiliki nilai ekologi yang tinggi dengan fauna yang kaya dari struktur populasi yang kompleks dan nilai biologi yang tinggi. Tipologi sungai sangat rentan dan rapuh terhadap perubahan lingkungan, terutama gangguan yang berasal dari antropogenik, yang sering mengisyaratkan terdegradasinya biota (Beasley dan Kneale, 2003; Dahl et al. 2004 dalam Benetti et al. 2011). Lebih lanjut Benetti (2011) menjelaskan bahwa di antara fauna sungai yang harus disorot adalah makroinvertebrata. Kelompok invertebrata yang berukuran 1 mm mewakili ukuran makroskopik biasanya tinggal secara parmanen atau selama periode waktu tertentu dari siklus hidupnya dapat digunakan untuk menilai kondisi ekologi dan keragaman jenis di lingkungan perairan diantaranya adalah jenis serangga, krustasea, Annelida, moluska, dan lintah.

2.3. Konsentrasi Merkuri Di Air Total konsentrasi merkuri sangat tergantung pada masukan dan siklus.

Keberadaan merkuri di perairan telah banyak dilaporkan menyebabkan bioakumulasi dan biomagnifikasi merkuri pada biota perairan dan rantai makanan di perairan. Besarnya konsentrasi merkuri di perairan merupakan fungsi dari kondisi lingkungan yang dapat mendukung terjadinya unsur merkuri seperti suhu air yang tinggi, pH rendah, kondisi anaerobik, tingginya konsentrasi karbon organik terlarut dan kepadatan lahan basah disekitarnya (MacFarlane 2004; Yoga et al. 2009).

Edward (2008) melaporkan bahwa hasil analisis konsentrasi merkuri di perairan laut Teluk Kao adalah 0,0001 ppm, konsentrasi ini masih di bawah nilai ambang batas sehingga aman untuk kehidupan biota perairan. Aktivitas penambangan baik oleh PT. Nusa Halmahera Minerals dan penambangan tanpa izin oleh masyarakat belum mencemari perairan tersebut. Hamid (2011) melaporkan bahwa Konsentrasi merkuri di Teluk Kao yaitu 0,0007 ppm lebih tinggi bila dibandingkan hasil dari Edward (2008). Hasil penelitian tersebut diatas dapat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi merkuri di perairan pesisir Teluk Kao

Konsentrasi merkuri di air laut Satuan Sumber 0,0001 0.0007

ppm ppm

Edward 2008 Hamid 2011

2.4. Konsentrasi Merkuri Di Sedimen Distribusi, spesiasi dan bioavailabilitas merkuri dalam sedimen berbeda

antar lokasi berdasarkan sampling sistemik sedimen dan konsentrasi merkuri. Merkuri dipengaruhi oleh faktor alam dan antropogenik, termasuk polutan terestrial, sifat geomorfik, dan secara tidak langsung dengan status ekonomi. Merkuri berkorelasi positif dengan bahan organik, pH, fraksi debu dan liat, tapi merkuri berkorelasi negatif dengan fraksi pasir. Merkuri yang ditemukan pada sedimen terutama dalam bentuk merkuri volatile.

7

Merkuri yang mudah dalam bioakumulasi di lahan basah mangrove dan mungkin merupakan sumber alami emisi merkuri dari atmosfir (Ding et al. 2009).

Kontaminasi merkuri dalam sedimen terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan termineralisasi), proses pengolahan emas secara tradisional (amalgamasi), maupun proses industri yang menggunakan bahan baku yang mengandung merkuri. Nilai anomali unsur Hg dalam sedimen harus dievaluasi secara hati-hati mengingat besar kemungkinan terjadi pencemaran akibat pemakaian merkuri oleh pertambangan emas rakyat. Kontur dasar berbatu biasanya tidak mengalami mineralisasi (Widhiyatna et al. 2005).

Umumnya konsentrasi logam pada suatu ekosistem perairan berhubungan dengan sumber masukan di sekitar kawasan, sehingga semakin tinggi masukan logam, cenderung semakin meningkatkan akumulasinya di dalam ekosistem perairan. Merkuri di perairan mengalami berbagai proses pengendapan, pengenceran, disperse dan absorbsi oleh organisme yang berada pada habitat kawasan ekosistem tersebut. Rendahnya pH pada sedimen berpotensi untuk meningkatkan konsentrasi merkuri. Selain itu pH merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas absorbsi sedimen terhadap Hg2+, serta memicu peningkatan toksisitas Hg bagi organisme (Sanusi 2006; Asonye et al. 2007, Begum et al. 2009, dan Danazumi dan Bichi, 2010 dalam Cordova et al. 2011 serta Riani, 2011).

Menurut Palar (2004) dalam Riani (2012) menjelaskan bahwa konsentrasi logam di air dan sedimen akan turun ketika pH naik. Hal ini disebabkan pada lingkungan perairan, bentuk logam antara lain berupa ion-ion bebas, pasangan ion organik, dan ion kompleks. Hal ini mengakibatkan kelarutan logam dalam air dan sedimen di kontrol oleh pH, karena kenaikan pH dapat mengubah kestabilan dari bentuk karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada perairan, hingga pada akhirnya di endapkan dalam bentuk lumpur.

Hasil terdahulu tentang konsentrasi merkuri sedimen pada Teluk Kao terutama di beberapa muara sungai di antaranya Sungai Cibok 0,014, Muara Sungai Kasusu 0,020 ppm, Muara Sungai Tabobo 0,151 ppm dan air panas sebagai Kontrol 0,137 (Edward 2008). Hasil analisis konsentrasi merkuri oleh Hamid (2011) di pantai Dumdum Kao Teluk berkisar antara 0,838-1,321 ppm dan stasiun pembanding sebesar 1,233 ppm. Konsentrasi merkuri sedimen Kao Teluk di sajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Konsentrasi merkuri di sedimen Kao Teluk Konsentrasi merkuri di Sedimen Satuan Sumber

0,014-0,151 0,838-1,321

ppm ppm

Edward, 2008 Hamid, 2011

2.5. Peran Keong Popaco (T. telescopium) sebagai Bioindikator Hutan mangrove mempunyai berbagai fungsi yang meliputi fungsi ekologi,

biologi dan ekonomi. Secara biologi hutan mangrove dikenal sebagai daerah paska larva berbagai biota perairan seperti udang dan ikan, berbagai habitat alami kepiting dan moluska, sebagai daerah pemijahan, perlindungan dan penyediaan makanan (Qasim 1998; Macintosh dan Ashton 2002; dalam Suresh et al. 2012).

Jenis organisme yang biasa digunakan sebagai bioindikator terutama pada ekosistem mangrove di antaranya adalah moluska, kepiting dan bivalv. Namun organisme seperti Keong Popaco (T. telescopium) yang bersifat bioakumulatif

8

terhadap logam berat dapat digunakan sebagai indikator biologi terutama pada perairan yang tercemar. Umumnya Keong Popaco (T. telescopium) mendiami tanah berlumpur yang kaya akan bahan organik, dekat dengan daerah pasang surut dan mampu bertahan pada kadar garam yang tinggi bersifat eurihalin, mampu bertahan pada tanah gambut payau sehingga memberikan indikasi untuk dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (Hamsiah 2000; Suresh et al. 2012).

Keong popaco (T. telescopium) merupakan salah satu gasropoda yang hidup di air payau terutama pada ekosistem hutan mangrove yang di dominasi oleh pohon bakau (Rhizophora sp). Adapun sistematika hewan ini (Darma 1998; Oemarjati dan Wardhana, 1990 dalam Hamsia 2000) adalah :

Filum : Mollusca Kelas : Gastropoda Subkelas : Probobrachia Ordo : Messogastropoda Famili : Patomididea Genus : Telescopium Spesies : Telescopium telescopium Linne

Keunggulan Keong Popaco (T. telescopium) dari kerang lain untuk pemantauan lingkungan adalah : distribusi geografisnya yang luas, berlimpah, menetap, toleran terhadap perubahan lingkungan. Konsentrasi polutan yang tinggi, aktivitas enzim sangat rendah apabila terpapar oleh kontaminasi bahan organik, populasinya luas dan stabil, berumur panjang, ukurannya wajar, cukup kokoh dalam bertahan hidup untuk perlakuan penelitian lapang maupun laboratorium sehingga dapat diadopsi untuk biomonitoring pencemaran logam berat pada ekosistem perairan (Zhou et al. 2007).

Bioakumulasi dan distribusi logam berat pada kerang dan moluska adalah tinggi. Faktor biokonsetrasi untuk setiap spesies berbeda-beda terhadap setiap jenis logam berat khususnya di daerah tropis misalnya (Crassiastrea iredalei dan C. belcheri) dimana faktor biokonsentrasi untuk Zn adalah 2.9 x 105, Cu 8.0-8.1 x 103, Cd 2.6-4.1 x 103 dan Pb 0.9-1.8 x 103, menunjukkan tingginya akumulasi logam oleh kerang (Boening 1999 dalam Zhou et al. 2007). Faktor biokonsentrasi Hg pada kerang hijau yang dibudidaya pada tali nilon di Teluk Jakarta mencapai 10402 kali terhadap air, namun terhadap sedimen 63.69 kali (Riani 2009)

Keong Popaco (T. tetescopium) menyukai lahan terbuka dan banyak mendapat sinar matahari. Substrat dan lumpur yang halus, sinar matahari, dan habitat yang di sukainya di tengah hutan mangrove. Umumnya keong popaco penghuni hutan asli ekosistem hutan mangrove terutama pada bagian tengah hutan mangrove, suatu tempat yang hanya digenangi dalam waktu tertentu. Keong Popaco (T. tetescopium) juga mendapat pengaruh yang berimbang dari laut dan darat, sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator mewakili daerah peralihan darat dan laut (Haryanto 2009).

Pengaruh pencemaran secara keseluruhan akan dapat menyebabkan terjadinya dominasi oleh organisme yang tahan terhadap kondisi lingkungan yaitu jenis bivalvia sehingga terbentuk zonasi (Priyono 2004; Zaman 2001 dalam Onrizal et al. 2009).

Hasil terdahulu tentang konsentrasi merkuri pada beberapa jenis bio-indikator di antaranya pada insang Kerang darah (Anadara garanossa Lin) di perairan Pantai Dumdum berkisar antara 0,058-0,093 ppm (Hamid 2011).

9

Konsentrasi merkuri pada kerang hijau yang dibudidaya di Muara Kamal Teluk Jakarta, pada stasiun yang terletak 1000m dari daratan (saat surut terendah) mencapai 9.362 ppm (Riani 2009). 2.6. Bioakumulasi dan Biotransformasi Merkuri

Karakteristik terkait bioavilabilitas seperti halnya sifat biogeokimia suatu unsur di perairan secara alamiah sangat dipengaruhi oleh spesiasi kimianya. Spesiasi Hg2+ sebagai bentuk paling stabil di alam akan segera terkompleksasi dengan berbagai gugus ligan baik organik maupun anorganik. Interaksi seperti ini penting untuk mengontrol solubilitas, mobilitas, dan bioavilabilitas ion Hg2+. Kompleksasi Hg2+ dengan materi organik akan meningkatkan solubilitasnya dan mungkin akan memudahkan perpindahan merkuri dari lingkungan terrestrial ke lingkungan akuatik (Santschi 1998; Buffle 1990; Santschi et al. 1997; Han dan Gill 2005; Han et al. 2006; dalam Awalina et al. 2009) serta dari sedimen perairan ke dalam kolom air (Riani 2012).

Pencemaran merkuri dan methyl merkuri dapat mempengaruhi peningkatan aktivitas enzim pada daging, usus, insang, ginjal dan hati. Berdasarkan sebuah eksperimen dilakukan pengaruh peningkatan konsentrasi Hg2+ maupun CH3HgCl dalam medium air terhadap kemampuan akumulasinya dalam berbagai jenis biota sangat bervariasi. Peningkatan konsentrasi Hg menyebabkan kenaikan kecepatan mortalitas pada Tinca tinca, sejenis ikan karper yang dapat hidup diair tawar dan payau. Pada ikan jenis P. gibbosus peningkatan konsentrasi Hg2+ mengakibatkan kemampuan akumulasi senyawaan tersebut menurun, tetapi peningkatan konsentrasi CH3HgCl dalam medium air justru memberikan efek yang berlawanan. Hubungan antara konsentrasi kedua kontaminan tersebut terhadap respon enzim maupun rasio kedua enzim tersebut memberikan berbagai persamaan linier yang dapat digunakan untuk kepentingan pemantauan cemaran senyawa merkuri pada air payau (Suseno et al. 2011).

Merkuri (CH3Hg+) adalah bentuk merkuri pada umumnya menyebabkan pencemaran dilingkungan terutama terhadap ikan, kerang, burung-burung dan mamalia. Methyl merkuri dilingkungan menjadi bagian dari rantai makanan. Organisme air kecil menelan merkuri dari sekitar lingkungan mereka, dan pada akhirnya dimakan oleh ikan dan organisme air lainnya yang lebih besar. Akibatnya, terjadi biomagnifikasi merkuri, menjadi semakin terkonsentrasi sebagai polutan melalui rantai makanan. Mamalia laut, burung, dan hewan lainnya yang mengkonsumsi ikan dapat menjadi sangat tercemar dengan methyl merkuri . Umumnya, konsentrasi yang lebih tinggi ditemukan pada hewan yang lebih besar dan lebih tua (Weinberg 2010).

Merkuri terlarut Hg(II) dan MeHg terakumulasi dalam vegetasi air, fitoplankton, dan invertebrata bentik. Biomagnifikasi MeHg pada tingkat trofik yang berurutan dalam rantai makanan baik bentik, pelagis hingga pada ikan predator air tawar ditemukan hampir secara eksklusif sebagai transformasi aktif terhadap MeHg. Posisi trofik dan kompleksitas rantai makanan memainkan peran penting dalam bioakumulasi MeHg. Karakteristik kimia dan fisik dari ekosistem yang berbeda mempengaruhi serapan MeHg sebagai dasar dari rantai makanan, pengendali bioakumulasi pada tingkat trofik yang lebih tinggi. Dasar dari rantai makanan pada bagian pelagis ekosistem air tawar, MeHg diserap oleh plankton yang diperkirakan menjadi kombinasi difusi pasif dan difasilitasi transport. Plankton menyerap MeHg dapat ditingkatkan atau dihambat oleh adanya ikatan

10

ligan yang berbeda terhadap MeHg. Efisiensi asimilasi MeHg pada dasar rantai makanan juga dipengaruhi oleh jenis MeHg terlarut yang kompleks dalam air dan sedimen. Kemampuan dan perbedaan fungsi dari setiap organisme untuk melarutkan MeHg melalui proses pencernaan yang kompleks terhadap MeHg juga berbeda. Kehadiran ligan organik dan tingginya konsentrasi DOC di ekosistem air umumnya dianggap membatasi penyerapan MeHg oleh biota (Bloom 1992; Watras et al. 1998:183; Kidd et al. 1995; Laporte et al. 2002; Lawson dan Mason 1998; Lawrence dan Mason 2001; Leaner dan Mason 2002; Driscoll 1995;. Sunda dan Huntsman 1998). 2.7. Pengaruh Merkuri terhadap Organisme

Toksikokinetik melalui penyerapan, distribusi, metabolisme dan ekskresi merkuri sangat tergantung pada bentuk merkuri dan reseptor yang terkena. Sifat fisik dan kimia merkuri pada umumnya dipengaruhi oleh suhu dan tekanan serta kecenderungan untuk mengalami transformasi biologis, sehingga dapat diprediksi konsentrasi merkuri. Permasalahan yang di hadapi saat ini dalam mempelajari perilaku merkuri karena memiliki batas deteksi yang tinggi sebagai penentuan logam berat, masalah kontaminasi yang serius selama sampling, dan kurangnya konsentrasi merkuri dalam berbagai referensi saat ini (EEC 1976; EEC 1982; EEC 1984; Pavlogeorgatos 2001 dalam Pavlogeorgatos 2002).

Deposisi merkuri ke badan air juga dapat berdampak pada ekosistem dan satwa liar. Kontaminasi merkuri pada semua media lingkungan terutama sistem perairan mengalami eksposur terbesar karena bioakumulasi. Bioakumulasi mengacu pada penyerapan bersih dari kontaminan semua jalur yang mencakup akumulasi terjadinya kontak langsung ke media yang terkontaminasi serta penyerapan dari makanan (EPA 2011).

Merkuri di atmosfer yang memasuki ekosistem air melalui deposisi langsung dan limpasan dari daerah aliran sungai terestrial. Deposit merkuri, dapat dikonversi menjadi methyl merkuri organik terutama dimediasi oleh bakteri pengurai sulfat. Meningkatnya methylasi terutama pada kondisi lingkungan anaerob dan asam, hingga meningkatkan toksisitas merkuri dan berpotensi untuk bioakumulasi pada rantai makanan. Sejumlah kontrol kunci secara biogeokimia mempengaruhi produksi methyl merkuri dalam ekosistem perairan. Hal ini termasuk sulfur, pH, bahan organik, besi, merkuri "penuaan," dan aktivitas jenis bakteri (Munthe et al. 2007). 2.8. Baku Mutu Produk Perikanan

Lingkungan perairan, khususnya sungai, danau, dan laut melalui jalur air dan tanah terbawa merkuri kemudian mengalami perubahan menjadi merkuri organik yang sangat beracun yakni methyl merkuri oleh organisme melalui proses metilasi. Merkuri organik jika dibandingkan dengan methyl merkuri dapat diserap enam kali lebih besar dan dapat bermigrasi melalui barrier sel dan menyebabkan keracunan. Rantai makanan merupakan jalur bioakumulasi merkuri yang paling penting (lihat Gambar 4). Proses bioakumulasi melalui rantai makanan meliputi plankton yang memperoleh merkuri melalui absorbsi permukaan secara pasif atau melalui asupan makanan, kemudian dimakan oleh konsumer plankton, yang kemudian dimakan oleh ikan yang lebih besar dan pada akhirnya dikonsumsi oleh manusia (The Green Lane TM 2004; Gesbauer 2007 dalam Direktur Penilaian keamanan Pangan dan Balai Besar POM 2009).

11

Suhu yang lebih tinggi, produksi perikanan global harus tetap berimbang, namun distribusi spasial stok ikan dapat berubah karena migrasi ikan dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari kondisi yang sesuai. Perubahan iklim lainnya berdampak pada perikanan meliputi angin permukaan (yang akan mengubah baik pengiriman nutrisi ke zona fotik dan kekuatan dan distribusi arus laut), tingkat CO2 yang tinggi (yang mengubah keasaman laut) dan variabilitas curah hujan (mempengaruhi permukaan air laut). Perubahan iklim dapat mempengaruhi produktivitas sistem akuakultur dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit ikan budidaya dan mengurangi kembali ke petani. Peristiwa cuaca ekstrim dapat mengakibatkan penurunan keragaman genetik yang dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati (Jaykus et al. 2008).

Perubahan lingkungan ekologi memiliki dampak, baik langsung maupun tidak langsung terhadap bahaya keamanan pangan pada berbagai tahap rantai makanan. Pemerintah harus siap untuk menghadapi perubahan tersebut. Beberapa negara maju telah memulai program kerja yang bertujuan untuk mengidentifikasi risiko keamanan pangan yang terkait dengan perubahan lingkungan. FAO memiliki peran penting dalam membantu negara-negara berkembang untuk menilai situasi perubahan keamanan pangan dan untuk mempromosikan kerjasama internasional dalam meningkatkan pemahaman tentang implikasi keamanan perubahan pangan (Jaykus et al. 2008).

Persyaratan keamanan pangan (food safety) yang akan dikonsumsi, merupakan salah satu hal yang penting untuk dipenuhi, agar supaya tubuh tetap sehat. Apa artinya makanan bergizi tinggi, berpenampilan menarik, lezat dan bermutu tinggi namun tidak aman untuk dikonsumsi. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung (1) bahaya biologi atau mikrobiologi, (2) bahaya kimia dan (3) bahaya fisik. (Ardiansyah 2006; Fardiaz 2008 dalam Anggrahini, 2008).

2.8.1. Bahaya Merkuri terhadap Kesehatan Pencemaran logam berat tidak mengenal ambang batas karena kalau

sudah masuk ke dalam tubuh manusia bersifat akumulatif atau tertimbun. Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menimbulkan cacat fisik, menurunkan kecerdasan, melemahkan system saraf, dan berpengaruh ke tulang. Terkait dengan afinitas, logam berat memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S, yang menyebabkan logam berat menyerang ikatan belerang (-SH) dalam enzim, sehingga enzim menjadi inaktif, yang menyebabkan terjadinya gangguan pada proses metabolisme dalam tubuh (Anggrahini 2008).

Merkuri yang diserap olah tubuh manusia diperkirakan hanya 15 persen, logam merkuri sebagian besar ditumbun oleh ginjal, otak, hati dan janin yang mengakibatkan kerusakan pada susunan syaraf pusat. Alkil merkuri dapat terakumulasi dalam jaringan karena sifatnya yang lipofilik sehingga ditimbun dalam jaringan lemak dengan menghambat fungsi enzimatik. Pengaruh merkuri lebih sensitive terhadap anak-anak, dapat berkembang menjadi masalah terhdap susunan syaraf pusat, system pencernaan, dan kerusakan ginjal. Merkuri bersifat, seperti pada Teluk Minamata, Jepang, kurang lebih tahun 1970an bayi yang lahir dari ibu yang terkontaminasi yang mengkonsumsi ikan tercemar merkuri mengalami

12

abnormal syaraf, termasuk retaldasi mental (Direktur Penilaian keamanan Pangan dan Balai Besar POM 2009).

Gambar 4. Proses Biomagnifikasi methyl merkuri di ekosistem

2.8.2. Batasan Merkuri dalam Pangan US-EPA menetapkan batas merkuri pada air minum, sebesar 0,002

mg/l (2 ppb) dan merekomendasikan batas anorganik merkuri di sungai dan danau tidak lebih dari 144 ppt. Menurut U.S. Food and Drug Administration (FDA) menetapkan batas merkuri dalam air kemasan sebesar 0,002 mg/L, dan batas maksimum merkuri yang diperbolehkan terdapat dalam makanan berupa produk perikanan sebesar 1 ppm (ATSDR 1999; Johnson, 1997 dalam Direktur Penilaian keamanan Pangan dan Balai Besar POM 2009).

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No.037/25lB/SK/Vll/1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan menetapkan bahwa batasan maksimum merkuri dalam produk pangan sebesar 0,03-0,5 mg/kg pangan.

Tabel 4. Batas maksimum cemaran merkuri dalam pangan N

Produk Prikanan Konsentrasi Maksimum

1. 2. 3. 4.

Ikan hasil olahan Ikan Predator Kekerangan (Bivalvia, muluska dan teripang) Udang dan krustasea lainnya

0.05 mg/Kg 1.0 mg/Kg 1.0 mg/Kg

1.0 mg/Kg

Sumber : Standar Nasional Indonesia 2009.

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di muara Sungai Balaotin, Cibok, dan Kobok Kecamatan Kao Teluk Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2013.

13

3.2. Peta Lokasi Penelitian Peta lokasi penelitian ini berada di Kecamatan Kao Teluk, yaitu pada Sungai

Balaotin, Cibok, dan Kobok Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

3.3. Bahan dan Alat Parameter lingkungan yang diukur dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan

bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada Tabel 6. Tabel 5. Parameter Lingkungan

Parameter Satuan Metode Suhu Kekeruhan pH Salinitas Oksigen terlarut DHL Logam Berat (Hg) Sedimen Karbon Organik

0C NTU

- ppt

mg/l mS/m ppm

persen Tekstur %

In Situ In Situ In Situ In Situ In Situ In Situ AAS

Ayakan

14

Tabel 6. Bahan dan alat yang digunakan Alat Bahan

Horiba pH Tanah AAS Kamera GPS Alat tulis Kertas Label Botol sampel Kantong Sampel

Sampel air Sampel sedimen Sampel keong H2SO4 pekat KMnO4 K2S2O8 H3SO4 K2Cr2K7 FeSO4.7H2O

3.4. Penentuan Stasiun Pengambilan Sampel Stasiun pengamatan ditentukan secara purposive sampling, berdasarkan

karakteristik lingkungan sekitar yaitu kawasan tanpa aktivitas penambangan emas di sekitar Muara Sungai Balaotin (ST I), kawasan penambangan emas tanpa izin (PETI) oleh masyarakat terdapat di sekitar Muara Sungai Cibok (ST II), dan kawasan penambangan emas yang di lakukan oleh PT. Nusa Halmahera Mineral (PT. NHM) di sekitar muara sungai Kobok (ST III).

Masing-masing stasiun dilakukan tiga kali sampling dimulai dari bulan Juni-Agustu 2013. Pengambilan sampel dilakukan di tiga titik pengamatan masing-masing pada ekosistem mangrove di sekitar muara sungai Balaotin, Cibok dan Kobok koleksi sampel dilakukan saat surut terendah (Yap dan Noorhaidah 2011; Maji et al. 2010). 3.5. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel air permukaan sebanyak 500 ml difiksasi dengan H2SO4 pekat.Pengambilan sampel sedimen dilakukan pada saat surut rendah, sampel sedimen permukaan dimasukkan ke dalam kantong platik volume 1 kg. Sampel di kering udarakan dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk proses preparasi. Pengambilan sampel keong popaco (T. telescopium) saat surut dengan menggunakan beberapa transek kuadrat (1x1m2) pada masing-masing stasiun pengamatan. Keong popaco dalam transek dihitung, kemudian diambil untuk analisis morfometrik dan konsentrasi merkuri.

Analisis konsetrasi merkuri pada sampel air, sedimen dan keong dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri (BARISTAN) Manado dengan metode AAS. Tekstur sedimen dan persen karbon organik dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian IPB.

3.6. Preparasi sampel Sampel air laut yang telah dikoleksi dimasukkan kedalam botol BOD

sebanyak 50 ml, kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat, 15 ml larutan KMnO4, kocok dan dibiarkan 15 menit. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan K2S2O8, dipanaskan dalam water bath pada suhu 950 C selama 2 jam. Setelah dingin ditambahkan larutan hidroksilamin sampai warna ungu hilang, kemudian dianalisis dengan AAS di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri (BARISTAN) Manado.

Sampel sedimen dimasukkan kedalam beaker Teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna, kemudian pengeringan sedimen dengan

15

oven pada suhu 1050 C selama 24 jam. Sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk hingga halus. Sedimen ditimbang sebanyak ±4 gram kemudian dimasukkan kedalam beaker Teflon yang tertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu 1300C sampai semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu kamar dan sampel dipindahkan kesentrifus polietilen. Kemudian ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 30 ml dan dibiarkan hingga mengendap, kemudian menampung fase airnya. Selanjutnya siap diukur dengan Spektrofotometer serapan atom (AAS) di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri (BARISTAN) Manado.

Sampel keong popaco ditimbang ±1-2 g, didestruksi dengan KMnO4, hidroksilamin klorida dan larutan SnCl2. Sampel keong popaco kemudian dimasukkan kedalam beaker Teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. Sampel keong dikeringkan dengan oven pada suhu 1050 C selama 24 jam. Sampel keong yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus. Sampel keong ditimbang ±1 g, selanjutnya sampel keong dimasukkan kedalam beaker Teflon yang tertutup. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu 1300 C. Setelah semua sampel keong larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu kamar dan dipindahkan kesentrifus polietilen. Kemudian ditambahkan air destilasi hingga volumenya mencapai 30 ml dan dibiarkan mengendap, kemudian supernatannya dipisahkan. Selanjutnya dilakukan deteksi dengan atomic absobtion spectrophotometric (AAS) di Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi Industri (BARISTAN) Manado.

Karbon organik tereduksi dengan larutan kalium dikromat (K2Cr2K7) 1 N dalam suasana asam. Kemudian dikromat yang telah bereaksi dititrasi dengan larutan fero sulfat menggunakan difenilamin sebagai indikator.

Ditimbang 1 g sampel sedimen <0,5 mm kering udara, dimasukkan kedalam elenmeyer 500 ml dan disediakan juga penetapan blangko. Ditambahkan kalium dikromat 1 N dan secara berlahan-lahan ditambahkan 20 ml larutan H2SO4, elenmeter digoyang dengan tangan selama 1 menit, kemudian didiamkan selama 30 menit diatas asbes. Ditambahkan masing-masing 200 ml air destilasi, 5 ml asam fosfat pekat (80%) dan 1 ml larutan dipenilamin. Blangko dan sampel dititrasi dengan larutan ferosulfat 1 N hingga warna hijau, ditambahkan lagi 0,5 ml larutan K2Cr2K7 1 N dan dititrasi kembali dengan larutan FeSO2 1 N sampai dengan warna hijau muncul kembali. Berat sampel dikoreksi dengan penetapan kadar air. Analisis persen tekstur dan karbon organik di lakukan di Laboratoriun Tanah, Fakultas Pertanian IPB dengan metode Wakley dan Blachk.

3.7. Teknik Analisis Data Konsentrasi Merkuri Hasil pembacaan absorban sampel oleh AAS selanjutnya dihitung dengan

menggunakan persamaan regresi sederhana yaitu :Y = a + bx, dimana nilai absorban sebagai Y, sedangkan a dan b dari persamaan garis standar, maka diperoleh harga x yang merupakan konsentrasi contoh. Hasil perhitungan ini dinyatakan dengan ppm.

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑚𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖(𝑝𝑝𝑚) =(𝐴𝑐 − 𝐴𝑏)

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ (𝑔)𝑥𝐹𝑃

16

Ac adalah absorban contoh, Ab adalah absorban blangko dan FP adalah faktor pengenceran. 3.7.1. Teknik Analisis Faktor Biokonsentrasi Merkuri

Faktor biokonsentrasi merupakan hasil pembagian antara partikel dan fase terlarut yang meliputi partikel tersuspensi, biogenik organisme dan faksi nonbiogenik (Baeyens et al. 2003). Untuk melihat faktor biokonsentrasi digunakan persamaan (Vassiliki dan Konstantina 1984; in Falusi dan Olanipekun 2007) sebagai berikut :

𝐵𝐶𝐹 =𝑀𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖 𝑏𝑖𝑜𝑡𝑎

𝑀𝑒𝑟𝑘𝑢𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛

3.7.2. Teknik Analisi Geokonsentrasi Merkuri Analisis indeks geokonsentrasi merkuri berdasarkan persamaan yang di

kemukakan Hasan et al. (2013) yaitu :

𝐼𝑔𝑒𝑜 = 𝑙𝑜𝑔2𝐶𝑛

1.5 𝑥 𝐵𝑛

Cn adalah konsentrasi merkuri yang terukur di sedimen, Bn adalah latar belakang konsentrasi merkuri di pesisir dan laut diperoleh dari tabel elemen informasi geokimia merkuri yaitu 0.05 (http://www.webelements.com/mercury/geology.html), 1.5 adalah konstanta yang digunakan untuk meminimal pengaruh variasi nilai latar belakang yang berhubungan dengan variasi litologi pada sedimen. Apabila Igeo <0 praktis tercemar, 0<Igeo <1 cukup tercemar, 1 < Igeo <2 tercemar. 3.8. Teknik Analisis Tekstur sedimen dan Karbon Organik

Penetapan kelas tekstur sedimen dengan menggunakan bantuan segitiga USDA, terhadap komposisi ukuran tekstur yang juga mempengaruhi distribusi dan penyebaran merkuri. Komposisi substrat akan dipisahkan berdasarkan kandungan pasir, debu dan liat, dibuat perbandingan diantara ketiga komposisi berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) secara oline (http://www.nrcs.usda.gov/wps/portal/nrcs/detail/soils/survey/tools/?cid=nrcs142p2_054167). Hasil analisis tekstur sedimen digolongkan dalam segi tiga miler dalam (Gambar. 6). Hasil yang diperoleh diklasifikasikan kedalam skala wenworth sediment Shaphard, (Natan 2008; Fitriana 2006).

Gambar 6. Segi tiga tekstur sedimen (Arsyad 2006 dalam; Natan, 2008)

17

Pengukuran peubah yang diamati dilakukan in situ dan di laboratorium. Jenis-jenis peubah yang diamati serta peralatan ukur yang digunakan disajikan pada Tabel 5. Data hasil analisis kemudian dikelompokkan berdasarkan metode (USDA 1989). C-Organik digolongkan menjadi 5 kategori berdasarkan kandungan bahan organik yaitu: a) <1% sangat rendah; b) 1-2% (rendah); c) 2-3% (sedang); d) 3 – 5% (tinggi) dan e) >5% (sangat tinggi). Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif (Haeruddin et al. 2005). 3.9. Analisis Data Ekobiologi Keong Popaco (T. telescopium)

3.9.1. Teknik Analisis Indeks Kepadatan Keong popaco Kepadatan Analisis kepadatan popolasi keong popaco dihitung

menggunakan indeks kepadatan (McClanahan dan Muthiga 1992) yaitu dengan persamaan sebagai berikut :

𝐷 =𝑥𝑚

Keterangan:

D : Kepadatan populasi (individu/m2) x : Jumlah individu pada area yang diukur (individu) m : Luas area pengambilan contoh (1 x 1 m2)

3.9.2. Teknik Analisis pola sebaran keong Pola sebaran populasi Siput laut gonggong ditentukan dengan

menghitung indeks dispersi morisita dengan persamaan (Pratama et al. 2013) :

𝐼𝑑 =𝑛(∑ 𝑋2 − 𝑁𝑠

𝑛−1 )𝑁(𝑁 − 1)

Keterangan : Id = Indeks Dispesi Morisita n = Jumlah plot pengambilan contoh N = Jumlah individu dalam n plot X = Jumlah individu pada setiap plot

Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut: Id = 1, distribusi individu cenderung acak Id = 0, distribusi individu bersifat seragam Id = n (> 1), distribusi individu cenderung berkelompok.

Kemudian untuk menguji apakah suatu persebaran acak atau tidak, maka dilakukan uji chi kuadrat dengan rumus sebagai berikut :

𝑋2 = 𝑛 �𝑋2

𝑁� − 𝑁

Untuk melihat distribusi spasial dari keong yang diperoleh diuji pada taraf 5% dengan menggunakan diagram poisson, tipe distribusi spasial populasi. 3.9.3. Teknik Analisis indeks Kondisi

Indeks kondisi dihitung menggunakan pendekatan rumus berikut (Sahin 2006; Yilzid et al. 2006; Davenport dan Chen 1987 dalam Komala et al. 2011) yaitu :

18

𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 =𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑔𝑖𝑛𝑔𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑐𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑔

𝑥100

Data indeks kondisi kemudian dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada modifikasi kriteria yang dikemukakan oleh BCEOM 2003 dalam Komala et al. 2011), sebagai berikut : • Nilai < 2,5 termasuk kategori kurus • Nilai berkisar antara 2,5-4,5 termasuk kategori sedang • Nilai > 4,5 termasuk kategori gemuk

3.10. Teknik Analisis Keamanan konsumsi Keong yang Terkontaminasi Merkuri Keamanan konsumsi menurut Food Drug Administration (FDA). Paparan

merkuri harian (PMH) dan Paparan merkuri mingguan (PMM) masing-masing adaah 0.025 kg/hari dan 0.30 kg/minggu. Nilai tetapan untuk merkuri sebesar 0.0001 ppm. Ketetapan berat tubuh untuk orang dewasa dan anak-anak masing-masing adalah 70 kg dan 16 kg. Persamaan keamanan konsumsi produk perikanan diacu berdasarkan Monteduro et al., (2007), Yusa et al., (2010) sebagai berikut :

𝐸𝑚𝐶𝑚𝑥 𝐼𝑅𝐵𝑊/𝑅𝑑

Keterangan: Em : Maksimum konsumsi yang diizinkan (ppm/kg/hari) Cm : Konsentrasi merkuri pada sampel keong (ppm) IR : Tingkat konsumsi 0.025 kg/hari dan 0,30 kg/minggu BW : Berat tubuh (70 dan 16 kg) Rd : Referensi dosis Hg 0.0001 ppm

Penentuan jumlah keong yang aman dikonsumsi perhari dan perminggu untuk dewasa dan anak-anak yaitu dengan persamaan : 𝐸𝑘 = (Br x Ji)

1000 dimana Ek

adalah jumlah keong yang aman dikonsumsi, Br adalah rata-rata bobot daging keong perkawasan, Ji adalah jumlah keong dari i sampai n yang aman untuk dikonsumsi, 1000 adalah nilai konversi dari g ke kg. Selanjutnya menentukan jumlah maksimum paparan merkuri harian dan paparan merkuri mingguan yang aman dikonsumsi oleh orang dewasa dan anak-anak dengan persamaan :

ppm/kg/hari = 𝐸𝑘 𝑥 𝑅𝐻𝑔𝐵𝑊/𝐻𝑔𝑟𝑑

Ek adalah kg/hari dan kg/minggu, RHg adalah rata-rata konsentrasi merkuri perkawasan, BW adalah bobot orang dewasa dan anak-anak, Hgrd adalah dosisi referensi merkuri.

IV. HASIL

4.1. Konsentrasi Merkuri pada Air Berdasarkan Gambar 7, pengukuran konsentrasi merkuri pada air di Muara

Sungai Balaotin (ST I) berkisar antara 0,00052-0,0012 ppm. Konsentrasi merkuri yang tercatat di Muara Sungai Cibok (ST II) adalah 0,00026-0,00098 ppm. Konsentrasi merkuri di Muara Sungai Kobok (ST III) adalah 0,00036-0,00065 ppm. Konsentrasi merkuri pada air cenderung menurun sejalan dengan bulan

19

pengamatan. Konsentrasi merkuri tertinggi pada bulan Juni dan terendah pada bulan Agustus, dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Konsentrasi merkuri pada air bulan Juni-Agustus masing-masing di

Muara Sungai Balaotin (ST I), Cibok (ST II) dan Kobok (ST III). Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada air di stasiun I, Muara

Sungai Balaotin sebesar 0,00081±0,00032 ppm, stasiun II, Muara Sungai Cibok sebesar (ST II) 0,00064±0,00030 ppm, dan Muara Sungai Kobok (ST III) adalah 0,00034±0,00027 ppm, disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada air perstasiun

pengamatan. Konsentrasi merkuri pada air cenderung homogen antar stasiun pengamatan.

Nilai standar deviasi di Muara Sungai Balaotin sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi merkuri di Muara Sungai Cibok dan Kobok. Tingginya konsentrasi merkuri di Muara Sungai Balaotin diduga karena adanya pengaruh dari sistem hidrologi perairan seperti banjir dan arus pasang-surut yang menyebabkan merkuri terdistribusi pada kawasan tersebut. Hal inilah yang

0.0012

0.00098

0.00065 0.00052

0.00069

0.00036

0.00065

0.00026

td 0.0000

0.0002

0.0004

0.0006

0.0008

0.0010

0.0012

0.0014

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

Juni

Juli

Agustus

0.00081

0.00064

0.00034

0.0000

0.0002

0.0004

0.0006

0.0008

0.0010

0.0012

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

20

menyebabkan konsentrasi merkuri pada kawasan tanpa aktivitas penambangan (ST I) lebih besar, dibandingkan dengan kawasan penambangan emas tanpa izin (ST II) dan kawasan sekitar aktivitas penambangan PT. NHM (ST III), disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Standar deviasi konsentrasi merkuri pada air berdasarkan stasiun

pengamatan.

Konsentrasi merkuri di perairan Teluk Kao beberapa tahun terakhir cenderung meningkat. Berdasarkan beberapa laporan penelitian (Gambar 10), menunjukkan plot peningkatan konsentrasi merkuri pada perairan adalah 0,0001 ppm (2008), 0,0007 (2011) dan 0,0012 (2013).

Gambar 10. Konsentrasi merkuri pada air di perairan Kao Teluk berdasarkan hasil

penelitian terdahulu. 4.2. Konsentrasi Merkuri pada Sedimen

Hasil pengukuran konsentrasi merkuri pada sedimen bulan Juni di Muara Sungai Balaotin (ST I) adalah 0,12 ppm, sedngkan pada bulan Juli dan Agustus masing-masing 0,07 ppm. Konsentrasi merkuri pada sedimen di Muara Sungai

0.00032 0.00030

0.00027

0.00000

0.00005

0.00010

0.00015

0.00020

0.00025

0.00030

0.00035

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

0.0001

0.0007

0.0012

0.0000

0.0002

0.0004

0.0006

0.0008

0.0010

0.0012

0.0014

Edward, 2008 Hamid, 2011 Hasil Penelitian, 2013

21

Cibok (ST II) pada bulan Juni-Agustus berturut-turut 0,05 ppm, 0,09 ppm dan 0,07 ppm. Konsentrasi merkuri pada sedimen di Muara Sungai Kobok (ST III) yang terukur pada bulan Juni dan Juli masing-masing adalah 0,07 ppm dan 0,09 ppm, sedangkan pada bulan Agustus adalah 0,01 ppm (Gambar 11). Konsentrasi merkuri pada sedimen tertinggi di Muara Sungai Balaotin pada bulan Juni, sedangkan terendah di Muara Sungai Kobok pada Bulan Agustus.

Komposisi tekstur sedimen di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok masing-masing adalah liat dan lempung, liat dan lempung berpasir serta liat dan lempung berdebu berkorelasi positif dengan merkuri. Komposisi tekstur yang terdiri dari liat dan lempung memiliki afinitas yang tinggi terhadap merkuri.

Gambar 11. Konsentrasi merkuri pada sedimen Juni hingga Agustus, masing-

masing di Muara Sungai Balaotin (ST I), Cibok (ST II) dan Kobok (ST III).

Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada sedimen di Muara Sungai Balaotin adalah 0,09±0,03 ppm, Muara Sungai Cibok adalah 0,07±0,02 ppm, dan Muara Sungai Kobok adalah 0,06±0,04 ppm, (Gambar 12). Konsentrasi merkuri pada sedimen bervariasi antar stasiun pengamatan. Rata-rata konsentrasi merkuri pada sedimen tercatat sedikit lebih tinggi di Muara Sungai Balaotin dibandingkan dengan rata-rata konsentrasi merkuri yang terukur di Muara Sungai Cibok dan Kobok.

Gambar 12. Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada sedimen

perstasiun pengamatan.

0.12

0.05

0.07 0.07

0.09 0.09

0.07 0.07

0.01

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

JuniJuliAgustus

0.09 0.07

0.06

0.000

0.020

0.040

0.060

0.080

0.100

0.120

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

22

Hasil penelitian sebelumnya tentang konsentrasi merkuri di sedimen bervariasi pada tahun 2008 hingga 2013, rendah pada tahun 2008, naik secara drastis ditahun 2011 kemudian turun di tahun 2013, fluktuasi merkuri pada sedimen disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Kondisi konsentrasi merkuri di sedimen di Kao Teluk berdasarkan

penelitian terdahulu. 4.2.1. Indeks Geokonsentrasi Merkuri

Hasil analisis geoakumulasi merkuri menunjukkan di Muara Sungai Balaotin sebesar 0,482 ppm, Muara Sungai Cibok dan Kobok adalah 0,361 ppm. Berdasarkan hasil analisis tentang indeks geokonsentrasi di tiga stasiun yang terdapat di Teluk Kao, dikategorikan pencemaran sedang karena Igeo 0< 1. 4.2.2. Tekstur Sedimen

Hasil analisis tekstur sedimen di Muara Sungai Balaotin (ST I) didominasi pasir 40,08-40,96%, debu 27,92-43,52% dan liat 12,31-31,12%, Muara Sungai Cibok (ST II) pasir 26,36-71,80%, debu 22,47-49,39% dan liat 5,73-26,03%, sedangkan di Muara Sungai Kobok (ST III) pasir 7,73-36,78%, debu 41,47-44,66% dan liat 21,75-43,51%, sepeti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tekstur sedimen

Tekstur (%) Juni Juli Agustus Kawasan Pasir Debu Liat

40,08 34,35 25,57

40,96 27,92 31,12

44,17 43,52 12,31

ST I

Pasir Debu Liat

26,36 49,39 24,25

37,57 36,44 26,03

71,80 22,47 5,73

ST II

Pasir Debu Liat

36,78 41,47 21,75

7,73 44,66 43,51

33,61 42,31 24,08

ST III

Hasil analisis segitiga tekstur berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) di Muara Sungai Balaotin diperoleh komposisi liat dan

0.15

0.83

0.12 0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

Edward, 2008 Hamid, 2011 Hasil Penelitian, 2013

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Hasil Penelitian

23

lempung liat, Muara Sungai Cibok lempung berpasir dan lempung, dan Muara Sungai Kobok diperoleh komposisi lempung dan lempung berdebu, (Gambar 14).

Gambar 14. Segitiga Tekstur (USDA), Keterangan ● ST I ● ST II dan ● ST III.

4.2.3. C-Organik Hasil analisis C-organik di Muara Sungai Balaotin berkisar 6,06-7,42 %,

Muara Sungai Cibok berkisar 4,54-6,62% dan di Muara Sungai Kobok berkisar 5,02-7,02, seperti terlihat pada Tabel 8. Rata-rata C-organik di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok berturut-turut adalah 6,70 %, 5,31 % dan 6,27 %. Kategori C-organik pada masing-masing stasiun pengamatan adalah sangat tinggi, dimana kuantitas C-organik berkorelasi positif dengan konsentrasi merkuri pada sedimen (Tabel 8). Hal ini merupakan salah satu faktor yang diduga menyebabkan konsentrasi merkuri pada sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi merkuri pada air. Tabel 8. C-organik (%)

Stasiun Pengamatan ST I ST II ST III Juni 6,62 6,62 6,78 Juli 6,06 4,78 5,02 Agustus 7,42 4,54 7,02 Rata-rata 6,70 5,31 6,27

4.2.4. pH Sedimen Hasil pengukuran pH sedimen selama penelitian di Muara Sungai Balaotin

(ST I) berkisar 4,5-6,9, Muara Sungai Cibok dan Kobok masing-masing adalah 3,9-5,2 dan 4,8-5,9, seperti disajikan pada Tabel 9. Kisaran pH yang terukur pada masing-masing stasiun pengamatan adalah pada kondisi basah yakni <7. Hal ini diduga karena merkuri lebih mudah larut dan dapat memediasi terjadinya proses metilasi pada sedimen, sehingga dapat meningkatkan toksisitas merkuri (Riani, 2012).

24

Tabel 9. pH sedimen Stasiun Pengamatan ST I ST II ST III Juni 6,9 5,2 5,9 Juli 5,5 4,1 5 Agustus 4,5 3,9 4,8

4.3. Konsentrasi Merkuri pada Keong Popaco (T. telescopium) Hasil pengukuran konsentrasi merkuri pada keong popaco (T. telescopium)

di Muara Sungai Balaotin (ST I) cenderung meningkat berdasarkan bulan pengamatan (Juni hingga Agustus) berturut-turut adalah 0,07 ppm, 0,09 ppm dan 0,13 ppm (Gambar 15). Konsentrasi merkuri pada keong popaco di Muara Sungai Cibok (ST II) juga meningkat seiring dengan bulan pengamatan masing-masing adalah 0,13 ppm, 0,11 ppm dan 0,15 ppm. Konsentrasi merkuri pada keong di Muara Sungai Kobok (ST III) homogen antara bulan Juni dan Agustus masing-masing adalah 0,11 ppm, sedangkan sedikit menurun pada bulan Juli adalah 0,06 ppm.

Gambar 15. Konsentrasi merkuri pada keong popaco bulan Juni sampai dengan

Agustus masing-masing di Muara Sungai Balaotin (ST I), Cibok (ST II) dan Kobok (ST III).

Rata-rata konsentrasi merkuri pada keong popaco (T. telescopium) di Muara Sungai Balaotin sebesar 0,10±0,02 ppm, Muara Sungai Cibok 0,13±0,02 ppm, dan Muara Sungai Kobok sebesar 0,09±0,02 ppm, disajikan pada Gambar 16. Konsentrasi merkuri pada keong popaco cenderung homogen antara Muara Sungai Balaotin dan Kobok dibandingkan dengan konsentrasi merkuri pada keong popaco yang terdapat di Muara Sungai Cibok. Rata-rata konsentrasi merkuri pada keong popaco tertinggi di Muara Sungai Cibok dan Terendah di Muara Sungai Kobok. Tingginya konsentrasi merkuri pada keong popaco di Muara Sungai Cibok diduga dipengaruhi oleh aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di sepanjang sungai tersebut.

0.07

0.13

0.11

0.09

0.11

0.06

0.13

0.15

0.11

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

Juni

Juli

Agustus

25

Gambar 16. Rata-rata dan standar deviasi konsentrasi merkuri pada keong popaco

di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok.

4.3.1. Faktor Biokonsentrasi Merkuri Keong popaco (T. telescopium) Faktor biokonsentrasi merkuri didefenisikan sebagai jumlah penyerapan biota

terhadap logam tertentu melalui media hidupnya. Faktor biokonsentrasi merkuri pada keong popaco terhadap partikel terlarut (sedimen) bulan Juni di Muara Sungai Balaotin dan Cibok masing-masing adalah 0,58 ppm, dan 2,60 ppm, sedangkan di Muara Sungai Kobok sebesar 1,57 ppm (Tabel 10). Tabel 10. Faktor biokonsentrasi merkuri keong popaco melalui sedimen (ppm). Stasiun Pengamatan ST I ST II ST III Juni 0,58 2,60 1,57 Juli 1,29 1,22 0,67 Agustus 1,86 2,14 11,00 Rata-rata 1,24 1,99 4,41

4.4. Distribusi Merkuri pada air sedimen dan keong Distribusi merkuri di Muara Sungai Balaotin (ST I) bulan Juni hingga

Agustus diperoleh konsentrasi merkuri pada keong popaco lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi merkuri pada sedimen dan air. Kisaran distribusi konsentrasi merkuri pada keong popaco, sedimen dan air masing-masing adalah 0,07-0,13 ppm, 0,07-0,12 ppm dan 0,00052-0,00126 ppm (Gambar 17). Rendahnya konsentrasi merkuri dalam air dibandingkan sedimen disebabkan sebagian besar logam berat termasuk merkuri yang berasal dari lingkungan perairan umumnya terendapkan dalam sedimen sehingga sedimen sangat representatif untuk merekam akumulasi logam berat di perairan.

0.10

0.13

0.09

0.000

0.020

0.040

0.060

0.080

0.100

0.120

0.140

0.160

ST I ST II ST III

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Stasiun Pengamatan

26

Gambar 17. Distribusi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni hingga

Agustus di Stasiun I. Kisaran distribusi merkuri pada keong, sedimen dan air (Gambar 18) bulan

Juni sampai Agustus di Muara Sungai Cibok (ST II) masing-masing adalah 0,11-0,15 ppm, 0,05-0,09 ppm dan 0,00026-0,00098 ppm. Konsentrasi merkuri tertinggi terdeteksi pada keong dan konsentrasi merkuri terendah pada air.

Gambar 18. Distribusi merkuri pada keong, sedimen dan keong bulan Juni-

Agustus di stasiun II.

Konsentrasi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni-Agustus di Muara Sungai Kobok (ST III) berturut-turut adalah 0,06-0,11 ppm, 0,01-0,09 ppm, dan 0,00036-0,00065 ppm. Konsentrasi merkuri tertinggi pada keong popaco sedangkan terendah pada air, disajikan pada Gambar 19.

0.00126 0.00052 0.00065

0.12

0.07 0.07

0.07

0.09

0.13

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

Juni Juli Agustus

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Bulan Pengamatan

Keong

Sedimen

Air

0.00098 0.00069 0.00026

0.05

0.09

0.07

0.13 0.11 0.15

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

Juni Juli Agustus

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Bulan Pengamatan

Keong

Sedimen

Air

27

Gambar 19. Distribusi konsentrasi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan

Juni-Agustus di stasiun III.

Kisaran rata-rata distribusi mekuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni hingga Agustus masing-masing adalah 0,09-0,13 ppm, adalah 0,05-0,08 ppm, dan 0,00030-0,00096 ppm. Rata-rata distribusi merkuri pada keong, sedimen dan air dapat dilihat pada gambar 20. Konsentrasi merkuri pada keong popaco lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi merkuri pada sedimen dan air. Hal ini diduga bioakumulasi merkuri pada keong popaco relatif lebih cepat, terkait dengan merkuri di sedimen. Menurut Umar et al. (2001) dan Riani et al. (2014) logam berat yang masuk ke perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi kemudian diserap oleh organisme di perairan tersebut.

Gambar 20. Rata-rata distribusi konsentrasi merkuri pada keong, sedimen dan air

bulan Juni-Agustus. Distribusi merkuri pada keong antar bulan pengamatan yaitu Juni-Agustus

cenderung homogen masing-masing adalah 0,03 ppm, 0,03 ppm dan 0,02 ppm. Distribusi merkuri pada sedimen cenderung bervariasi antar bulan Juni-Agustus

0.00065 0.00036

0.07

0.09

0.01

0.11

0.06

0.11

0.00

0.04

0.08

0.12

0.16

Juni Juli Agustus

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Bulan pengamatan

Keong

Sedimen

Air

0.00096 0.00052 0.00030

0.08 0.08

0.05

0.10 0.09

0.13

-0.01

0.01

0.03

0.05

0.07

0.09

0.11

0.13

0.15

0.17

0.19

Juni Juli Agustus

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Bulan pengamatan

Keong

Sedimen

Air

28

masing-masing adalah 0,04 ppm, 0,03 ppm, dan 0,01 ppm. Distribusi merkuri pada air cenderung homogen antar bulan Juni dan Agustus masing-masing adalah 0,0003 ppm, sedangkan bervariasi pada bulan Juli (0,0002 ppm). (Gambar 21). Menurut Amin et al. (2009) 90% logam berat yang terkontaminasi pada lingkungan perairan akan terendap di dalam sedimen. Leiwakabessy (2005) dan Riani (2012) juga melaporkan bahwa logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibanding dalam air.

Gambar 21. Standar deviasi merkuri pada keong, sedimen dan air bulan Juni-

Agustus.

4.5. Ekobiologi Keong Popaco (T. telescopium) Berdasarkan pengamatan pada tiga lokasi pengamatan distribusi ukuran

keong yakni keong popaco yang berukuran kecil cenderung menempati daerah mangrove yang lebih dekat dengan daratan, sedangkan keong yang berukuran bersar terdapat pada bagian tengah hutan mangrove.

Cangkang keong popaco menyerupai seperti kerucut, dengan garisan melingkar dari ventral ke balgian literal. Warna cangkang antara coklat hingga coklat kehitaman, jaringan keong berupa jaringan lunak dan jaringan keras yang melingkar mengikuti ruang kosong pada bagian dalam cangkang yang disokong dengan tiang pada bagian tengahnya. Jaringan lunak terdiri dari gonad dan jaringan pencernaan yang terbungkus dengan lapisan tipis yang elastis. Ukuran panjang keong popaco yang ditemukan mencapai 10.7 cm dan lebar 5 cm.

Keong popaco (T. telescopium) merupakan hewan yang bergerak pasif dan hanya bergerak ketika surut. Cara pergerakan keong yaitu menjulurkan jaringan keras dibagian permukaan cangkang kemudian merayap diatas permukaan lumpur.

4.5.1. Indeks Kepadatan Keong popaco (T. telescopium) Kepadatan keong popaco tinggi di sekitar Muara Sungai Balaotin (ST I),

kemudian berturut-turut disekitar Muara Sungai Cibok (ST II) dan Kobok (ST III)

0.0003 0.0002 0.0003

0.04

0.01

0.03

0.03

0.03

0.02

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

0.07

0.08

Juni Juli Agustus

Kon

sent

rasi

Mer

kuri

(ppm

)

Bulan pengamatan

Keong

Sedimen

Air

29

Tabel 11. Tingginya kepadatan di sekitar Muara Sungai Balaotin diduga disebabkan oleh preferensi habitat yang disukai keong, dalam hal ini kawasan tersebut merupakan lahan bekas tambak yang cenderung terbuka. Di Sekitar Muara Sungai Cibok dan Kobok cenderung lebih tertutupi oleh kerapatan mangrove, namun keong kurang menyukai preferensi habitat ini. Tabel 11. Indeks Kepadatan Keong popaco (ind/m2) Kawasan Stasiun I Stasiun II Stasiun III Juni Juli Agustus

12 11 11

7 5 9

6 7 5

Rata-rata 11.3 7 6

4.5.2. Pola Sebaran Keong Popaco (T. telescopium) Pola sebaran keong popaco yang ditemukan Muara Sungai Balaotin, Cibok

dan Kobok masing-masing adalah 0,97, 1,01 dan 0,97, nilai pola sebaran keong popaco selengkapanya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pola sebaran keong popaco (T. telescopium) Stasiun Pengamatan id Rerata S2

X2 Pola Sebaran Kao Teluk 1,08 8,11 2,55 2,52 Mengelompok ST I 0,97 11,33 0,33 0,058 Acak ST II 1,01 7 4 1,14 Mengelompok

Acak ST III 0,97 6 1 0,33 Keterangan : S2 adalah ragam id adalah Indeks Morsita 4.5.3. Indeks Kondisi Keong popaco

Hasil analisis indeks kondisi keong popaco (T. telescopium) bulan Juni sampai dengan Agustus di Muara Sungai Balaotin berkisar antara 5,02-7,71 gram/berat kering, Muara Sungai Cibok berkisar 3,93-8,93 gram/berat kering dan Muara Sungai Kobok berkisar antara 2,54-6,02 gram/berat kering. Indeks kondisi keong popaco pada setiap stasiun pengamatan bulan Juni hingga Agustu disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Indek kondisi keong popaco (T. telescopium)

Stasiun Pengamatan ST I ST II ST II Bulan Indeks Kondisi Indeks Kondisi Indeks Kondisi Juni Juli Agustus

5,02 g 3,87 g 7,71 g

7,41 g 8,93 g 3,92 g

5,43 g 2,54 g 6,02 g

4.6. Paparan Harian dan Mingguan Keong Popaco yang Terkontaminasi Merkuri Paparan harian keong popaco yang terkontaminasi merkuri di Taluk Kao

untuk orang dewasa berkisar 0,21-0,58 ppm/kg/hari. Rata-rata paparan merkuri harian keong popaco di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok masing-masing adalah 0,34 ppm/kg/hari, 0,51 ppm/kg/hari dan 0,33 ppm/kg/hari, (Tabel 14).

30

Tabel 14. Paparan merkuri harian (PMH) keong popaco untuk orang dewasa (ppm/kg/hari) pada bulan Juni-Agustus di Pesisir Teluk Kao, Halmahera Utara

Stasiun Pengamatan ST I ST II ST III Juni 0,26 0,43 0,38 Juli 0,31 0,58 0,21 Agustus 0,45 0,52 0,41 Rata-rata 0,34 0,51 0,33

Paparan harian keong popaco yang terkontaminasi merkuri untuk anak-anak berkisar 0,93-2,55 ppm/kg/hari. Rata-rata paparan harian keong popaco yang mengandung merkuri di Muara Sungai Balaotin adalah 1,43 ppm/kg/hari, Muara Sungai Cibok dan Kobok masing-masing adalah 2,24 ppm/kg/hari dan 1,46 ppm/kg/hari (Tabel 15). Tabel 15. Paparan merkuri harian (PMH) keong popaco untuk anak-anak

(ppm/kg/hari), terdiri dari sembilan contoh keong yang di koleksi pada bulan Juni-Agustus di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara

Stasiun Pengamatan

ST I ST II ST III

Juni 1,15 1,88 1,67 Juli 1,35 2,55 0,93 Agustus 1,98 2,29 1,77 Rata-rata 1,49 2,24 1,46

Paparan merkuri mingguan keong popaco yang terkontaminasi merkuri untuk orang dewasa berkisar 2,57-7,00 ppm/kg/minggu. Rata-tara paparan mingguan keong yang mengandung merkuri di Muara Sunga Balaotin, Cibok dan Kobok berkisar 4,00-6,14 ppm/kg/minggu, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Paparan merkuri mingguan (PMM) untuk orang dewasa

(ppm/kg/minggu) Stasiun Pengamatan kg ST I ST II ST III Juni Juli Agustus

0,30 3,14 3,71 5,43

5,14 7,00 6,29

4,57 2,57 4,86

Rata-rata 4,10 6,14 4,00

4.6.1. Paparan Harian dan Mingguan Kerang Darah (Anadara granosa lin) Terkontaminasi Merkuri yang Tertangkap di Kao Teluk

Keamanan konsumsi kerang dara yang terkontaminasi merkuri di Kao Teluk, untuk orang dewasa diantaranya adalah kerang darah 0,33 ppm/kg/hari (Tabel 17). Tabel 17. Paparan merkuri harian (PMH) kerang darah untuk orang dewasa

(ppm/kg/hari) di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara Jenis Kerang Tingkat Keamanan

konsumsi Sumber Data

Kerang darah 0,33 Hamid 2011

31

Keamanan konsumsi kerang darah yang terkontaminasi merkuri di Kao Teluk, untuk anak-anak adalah 1,45 ppm/kg/hari selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Paparan merkuri harian (PMH) kerang darah untuk anak-anak

(ppm/kg/hari) di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara Jenis Kerang Tingkat Keamanan

konsumsi Suber data

Kerang darah 1,45 Hamid 2011 Keamanan konsumsi mingguan kerang darah yang terkontaminasi merkuri

di Kao Teluk untuk anak-anak dan orang dewasa telah melampaui level aman sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tahun 2009 tentang kontaminasi logam berat pada daging sebesar 1 ppm/kg/hari. Data keamanan konsumsi dapat disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Paparan merkuri mingguan (PMM) kerang darah untuk anak-anak dan

orang dewasa (ppm/kg/minggu) di Pesisir Kao Teluk, Halmahera Utara Jenis kerang Anak-anak Orang dewasa Sumber data

Kerang darah 17,44 3,99 Hamid 2011

4.7. Parameter Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur pada bulan Juni hingga Agustus masing-

masing disetiap stasiun pengamatan meliputi suhu (0C), oksigen terlarut (mg/L), pH, salinitas (‰), konduktifitas (mS/cm), kekeruhan (mg/L), dan TDS (mg/L) (Tabel 20). Tabel 20. Parameter kualitas air yang terukur pada bulan Juni-Agustus

Parameter ST I ST II ST III Satuan Kisaran Suhu 30,11-30,81 28,13-28,24 27,85-29,28 0C Oksigen Terlarut 5,12-6,23 3,00-9,04 7,07-8,07 mg/l pH Air 7,11-7,18 6,73-7,79 6,23-7,23 - Salinitas 13,70-14,85 16,30-17,79 23,31-26,23 ppt Konduktifitas 4,48-8,22 7,08-12,81 3,70-4,14 mS/cm Kekeruhan 186-215,09 126-136,95 99-171,13 mg/l TDS 12,70-17,35 11,98-17,21 26-27,11 mg/l

4.7.1. Suhu Perairan Suhu air yang terukur pada bulan Juni hingga Agustus masing-masing di

Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok berkisar antara 30,11-30,81 0C, 28,13-28,25 0C dan 27,85-29,28 0C.

4.7.2. Oksigen Terlarut (mg/L) Kisaran oksigen terlarut yang di peroleh pada bulan Juni-Agustus di Muara

Sungai Balaotin dan Cibok masing-masing adalah 5,12-6.23 mg/L dan 3,00-9,04 mg/L, sedangkan di Muara Sungai Kobok adalah 7,07-8,07 mg/L.

4.7.3. pH Perairan pH air terukur pada bulan Juni sampai dengan Agustus di setiap stasiun

pengamatan diantaranya adalah di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok berturut-turut adalah 7.11-7.18, 6.73-7.79 dan 6.74-7.23.

32

4.6.4. Salinitas (ppt) Salinitas yang diperoleh pada bulan Juni sampai dengan Agustus masing-

masing di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok adalah 13,66-14,85 ppt, 16,30-17,79 ppt dan 23,31-26,23 ppt.

4.6.5. Konduktivitas Konduktifitas atau daya hantar listrik yang terukur pada bulan Juni, Juli,

Agustus menunjukan di Muara Sungai Balaotin berkisar 4,48-8,22 mS/cm, Cibok 7,08-12,81 mS/cm dan Kobok 33,70-43,14 mS/cm.

4.6.6. Kekeruhan Kekeruhan terukur pada bulan Juni-Agustus berkisar antara 186-215,09

mg/L, 126-136,95 mg/L dan 99-171,13 mg/L masing-masing di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok.

4.6.7. Total dissolved Solid (TDS) Total partikel terlarut (TDS) yang terukur pada bulan Juni hingga Agustus

di Muara Sungai Balaotin, Cibok dan Kobok berturut-turut adalah 12,70-17,35 mg/L, 11,98-17,21 mg/L dan 26-27,11 mg/L.

V. PEMBAHASAN 5.1. Konsentrasi Merkuri pada Air

Berdasarkan Gambar 7, konsentrasi merkuri pada air di Muara Sungai Balaotin lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi merkuri di Muara Sungai Cibok dan Kobok. Konsentrasi merkuri pada air cenderung menurun antar bulan pengamatan, pada bulan Juni lebih besar kemudian menurun pada bulan Juli dan Agustus. Menurunnya konsentrasi merkuri antar bulan pengamatan diduga karena adanya sistem hidrodinamika perairan seperti banjir dan arus, sehingga merkuri pada air terdistribusi ke kawasan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Riani (2012) yang mengatakan bahwa logam berat di perairan akan menurun karena adanya dinamika perairan seperti adanya arus, gelombang, pengenceran, reaksi dengan bahan organik dan anorganik dalam perairan serta adanya penyerapan oleh mahluk hidup. Konsentrasi merkuri pada air bervariasi yakni pada kisaran rendah hingga sedang dan masih sesuai dengan baku mutu air alut Environmental Protection Agency (US EPA) 62FR 42160 sebesar 0,0018 ppm. Menurut Kinghorn et al. (2007) konsentrasi logam berat pada musim hujan, kandungan logam berat dalam air cenderung lebih kecil karena proses pengenceran, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi.

Konsentrasi logam pada suatu perairan dari waktu ke waktu selalu berubah-ubah, konsentrasinya bisa semakin meningkat maupun sebaliknya menurun hal ini karena kondisi air sungai dan air laut sangat labil adanya pergerakan arus, gelombang, curah hujan dan perubahan kondisi lingkungan yang berlangsung terus menerus akibat masuknya air limbah akan mempengaruhi konsentrasi logam dalam air. Dinamika logam dalam air baik jenis air, maupun makhluk yang hidup di air tersebut telah banyak diteliti, terutama dalam memonitor pencemaran logam berat pada lingkungan perairan. Dalam memonitor pencemaran logam, analisis biota air sangat penting artinya dari pada analisis air itu sendiri. Hal ini

33

disebabkan kandungan logam dalam air yang dapat berubah-ubah dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Pada musim hujan, kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi (Taftazani, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu konsentrasi merkuri pada air juga bervariasi yaitu pada tahun 2008 konsentrasi merkuri sebesar 0,0001 ppm, kemudian meningkat pada tahun 2011 adalah 0,0007 ppm, lalu kembali meningkat pada tahun 2013 sebesar 0,0012 ppm (Edward, 2008; Hamid, 2011). Konsentrasi merkuri yang terpantau sepanjang tahun dari 2008 hingga 2013 menunjukkan pola peningkatan. Hal ini diduga terjadi peningkatan masukan merkuri sepanjang tahun yang menyebabkan terjadi peningkatan konsentrasi merkuri di perairan pesisir Kao Teluk.

Whalin et al. (2007) melaporkan konsentrasi merkuri pada zona fotik pesisir dapat direduksi melaui proses fotokimia, fotodegradasi, dan proses biologis. Selain itu, kecepatan angin dan arus juga dapat menyebabkan konsentrasi merkuri pada air cenderung rendah (Kirk et at. 2008 dan Riani, 2012). Lehnherr et al. (2011) menyebutkan bahwa variasi konsentrasi merkuri pada perairan pesisir dan laut dipengaruhi berbagai faktor hidrodinamika dan sifat fisik kimiawi di antaranya adalah banjir dan arus, jumlah bahan tersuspensi dan terlarut, meningkat atau menurunnya laju adsopsi, suhu, pH dan sistem mikroba yang mengubah merkuri organik menjadi merkuri anorganik, dan selanjutnya diakumulasi oleh biota (Rinda 2008; serta Riani 2011 dan 2012).

Merkuri pada perairan terdapat dalam fase terlarut, tersuspensi dan terendapkan. Konsentrasi merkuri dalam tiga fase tersebut sangat dinamis dan sangat menentukan konsentrasi logam dalam biota. Pencampuran air sungai yang tinggi kandungan polutan logamnya dengan air laut dan penambahan debit sungai memberikan pengaruh pengenceran yang menyebabkan rendahnya kandungan polutan logam di daerah estuary (Apeti et al. 2009; Rainbow 1995).

Berdasarkan Gambar 8, rata-rata konsentrasi merkuri pada air menunjukkan bahwa merkuri di Muara Sungai Balaotin lebih besar, diikuti Muara Sungai Cibok dan Kobok. Rata-rata konsentrasi merkuri pada air berfariasi, dimana kawasan tanpa aktivitas penambangan emas (ST I) lebih besar dari kawasan peanambangan emas tanpa izin (ST II) dan kawasan sekitar PT. NHM (ST III).

Konsentrasi merkuri diperairan diakibatkan oleh aktivitas antropogenik yang menyebabkan kontaminasi, terjadinya pencemaran merkuri merupakan sebab akibat dari fenomena tersebut. Tinggi rendahnya konsentrasi merkuri pada kolom air disebabkan oleh pertukaran massa air, kawasan yang terlindung, limpasan terrestrial, kualitas dan kuantitas bahan organik, pergerakan pasang-surut, fraksi partikel terlarut dan tersuspensi, variasi musim dapat mengendalikan konsentrasi merkuri pada kolom air, serta pergerakan sedimen dasar juga sebagai sumber merkuri dilingkungan perairan (Protano et al. 2000; Pato et al. 2008; Covelli et al. 2009; Saniewska et al. 2010; Oursel et al. 2014).

Konsentrasi merkuri di kawasan muara sungai dan pesisir dikendalikan oleh berbagai aktivitas di bagian hulu seperti penambangan emas skala kecil, limbah industri perkotaan dan desa, industri bubur kertas, Fe, Zn. Namun kontribusi dari semua sumber kontaminasi merkuri di muara dan pesisir 46% bersumber dari penambangan emas skala kecil (Luo et al. 2012).

34

5.2. Konsentrasi Merkuri pada Sedimen Berdasarkan Gambar 11, konsentrasi merkuri pada sedimen bervariasi antar

stasiun pengamatan. Konsentrasi merkuri pada sedimen di sekitar Muara Sungai Balaotin lebih besar dibandingkan dengan di Muara Sungai Cibok dan Kobok. Tingkat variasi konsentrasi sepanjang bulan pengamatan diduga dipengaruhi oleh arus pasang-surut dan banjir yang menyebabkan terjadinya pembilasan sedimen permukaan sehingga konsentrasi merkuri cenderung menurun, sedangkan peningkatan konsentrasi merkuri diduga diakibatkan oleh laju sedimentasi. Rata-rata konsentrasi merkuri pada sedimen tertinggi di sekitar Muara Sungai Balaotin dan terendah di sekitar Muara Sungai Kobok (Gambar 12). Tingginya konsentrasi merkuri di stasiun tanpa penambangan emas (ST I) diduga dipengaruhi tingginya kekeruhan yang mengandung bahan organik terlarut dan tersuspensi yang meningkat dapat mengabsorbsi merkuri, selanjutnya di endapkan. Faktor lain yang diduga menyebabkan konsentrasi merkuri sedimen di Muara Sungai Balaotin sebagai kawasan tanpa kegiatan penambangan emas diantaranya adalah siklus geokimia yakni proses mineralisasi sedimen dasar dan faktor hidrodinamika perairan yang menyebabkan merkuri terdistribusi pada kawasan tersebut.

Konsentrasi merkuri pada sedimen di pasisir Teluk Kao berkisar 0,014-0,151 ppm (Edward, 2008), meningkat menjadi 0,83-1,32 ppm (Hamid, 2011) dan pada penelitian menunjukkan penurunan secara signifikan yaitu 0,01-0,12 ppm. Variasi merkuri antara tahun diduga terjadi karena adanya perbedaaan spasial yakni yakni pada penelitian ini sampel sedimen terdapat dikawasan ekosisitem mangrove yang merupakan habitat dari keong popaco, sedangkan penelitian sebelumnya sampel sedimen dikoleksi di luar ekosistem mangrove yang merupakan habitat dari kerang darah (A. granosa lin). Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi masukan merkuri di perairan Pesisir Teluk Kao yang diduga berasal dari kegiatan penambangan emas. Lebih lanjut Williams et al. (1978) menyatakan bahwa variasi konsentrasi merkuri pada sedimen dapat terjadi bahkan tanpa adanya sumber pencemaran, apabila terkait dengan partikel-ukuran dan mineral sedimen yang heterogen. Di sisi lain, Covelli et al. (2001) menyatakan konsentrasi merkuri pada sedimen cenderung tinggi terkait dengan fraksi lempung, partikel tersuspensi, koloid dan bahan organik yang mengalami proses pengendapan. Konsentrasi merkuri pada sedimen berkorelasi dengan karbon organik, akan tetapi bervarisi dan berbanding terbalik dengan fraksi pasir (Fang dan Chen 2010).

Menurut Ding et al. (2009) distribusi, spesiasi dan bioavailabilitas merkuri dalam sedimen berbeda antar lokasi. Merkuri dipengaruhi oleh faktor alam dan antropogenik, termasuk polutan terestrial, sifat geomorfik, dan secara tidak langsung dengan status ekonomi. Merkuri berkorelasi positif dengan bahan organik, pH, fraksi debu dan liat, tapi merkuri berkorelasi negatif dengan fraksi pasir. Merkuri yang ditemukan pada sedimen terutama dalam bentuk merkuri volatile. Merkuri yang mudah dalam bioakumulasi di lahan basah mangrove dan mungkin merupakan sumber alami emisi merkuri ke atmosfer. Sedimen berperan penting dalam siklus biokimia merkuri pada sistem perairan (Yan et al. 2008 dan Riani, 2012). Pola distribusi spasial merkuri di sedimen ditentukan oleh kuantitas karbon organik, karena merkuri memiliki afinitas tinggi terhadap bahan organik. Metilasi merkuri pada sedimen terjadi ketika menurunnya oksigen terlarut yang disebabkan oleh bakteri anaerob (Taylor et al. 2012).

35

Kontaminasi merkuri di sedimen terjadi karena proses alamiah (pelapukan batuan termineralisasi), proses pengolahan emas secara tradisional (amalgamasi), maupun proses industri yang menggunakan bahan baku yang mengandung merkuri. Nilai anomali unsur Hg dalam sedimen harus di evaluasi secara hati-hati mengingat besar kemungkinan terjadi pencemaran akibat pemakaian merkuri oleh pertambangan emas tanpa izin (PETI). Kontur dasar berbatu biasanya tidak mengalami mineralisasi. Konsentrasi merkuri sangat berhubungan erat dengan pemakaian merkuri dalam proses amalgamasi (Widhiyatna et al. 2005).

Logam berat menjadi perhatian khusus karena keberadaannya di lingkungan mengalami daur ulang biogeokimia, dan resiko ekologis. Ketika terjadi resuspensi sedimen, banyak logam, termasuk terlarut dan fraksi partikel, yang dilepaskan ke dalam kolom air. Organisme akuatik mengasimilasi logam terlarut dengan mudah, menyebabkan bioakumulasi. Proses resuspensi, partikulat logam secara bertahap menetap pada sedimen dan kemudian diserap oleh hydrophytes dan zoobenthos (Ip et al. 2005).

5.2.1. Indeks Geokonsentrasi Merkuri Pengayaan merkuri di sedimen tergantung pada peningkatan bahan

tersuspensi yang masuk ke kawasan pesisir, terutama pada musim hujan (Song et al. 2010). Namun dalam penelitian ini di temukan Igeo tertinggi pada saat kemarau dan terendah pada saat hujan. Konsentrasi merkuri disedimen yang terukur lebih tinggi daripada nilai latar berlakang yaitu sebesar 0,05 ppm (Nevado et al. 2003).

Menurut Karbassi et al. (2008) nilai indeks geokonsentrasi digunakan untuk menjelaskan kualitas sedimen. Namun, nilai indeks geokonsentrasi tidak sebanding dengan faktor pengayaan kerena fungsi indeks geokonsentrasi menggunakan nilai logaritmik dan nilai latar belakang 1,5. Lebih lanjut Abirahim dan Parker (2008) mengemukakan proses akumulasi dan pengayaan logam dipengaruhi oleh aktivitas alami dan antropogenik.

Indeks geoakonsentrasi merkuri di Teluk Kao ditentukan oleh faktor pengayaan diduga sebagian besarnya berasal dari aktivitas antropogeneik (PETI dan PT. NHM). Kegiatan antropogenik yang dapat merubah siklus merkuri di lingkungan perairan pesisir dan laut baik secara spasial maupun secara temporal. Hal ini dapat merubah kualitas dan kuantitas ekosistem, gangguan dari sistem biologis yakni bioakumulasi dan biomagnifikasi biota dari trofik level rendah hingga trofik level yang lebih tinggi. Di lain pihak, pengayaan merkuri juga terjadi secara alami meliputi proses geokimia dan deposisi dari atmosfer, namun demikian merkuri secara alami sangat kecil (Hasan et al. 2013).

Proses geokimia meliputi mineralisasi merkuri di sedimen yang memiliki gas diatas deposit epitermal dan geotermal. Merkuri secara signifikan larut dalam beberapa pelarut organik yang memungkinkan retevansi dalam sedimen yang kaya akan bahan organik. Siklus geokimia merkuri dikendalikan oleh reaksi proporsional. Disisi lain, merkuri di atmosfer dikendalikan oleh suhu udara, suhu tanah, tekanan udara, tingkat permukaan air dan keadaan beku dari tanah. Pemahaman proses evaporasi senyawa merkuri baik pada lapisan tanah permukaan dan air sangat penting untuk menilai efek kesehatan dan dampaknya terhadap lingkungan. Pengayaan merkuri sebagai faktor pembatas terutama pada daerah mineralisasi senyawa merkuri yang mudah menguap, variasi meteorology dan karakteristik jenis tanah yang memungkinkan senyawa merkuri medah menuap. Tingkat penguapan merkuri kurang dari 0,2 µg/m-2/h-1, secara signifikan

36

lebih kecil dibandingkan dengan pengayaan merkuri dari proses mineralisasi. (Jonasson dan Boyle, 1972 dan Schluter 2000).

5.2.2. Tekstur Sedimen Berdasarkan Tabel 7, menunjukkan bahwa komposisi sedimen di Muara

Sungai Balaotin (ST I), adalah liat dan lempung liat, Muara Sungai Cibok (ST II) adalah lempung berpasir dan lempung, sedangkan di Muara Sungai Kobok adalah lempung dan lempung berdebu.

Komposisi tekstur berkorelasi positif dengan konsentrasi merkuri di sedimen kerena patikel lempung dan liat mampu mengikat merkuri di air hingga diendapkan ke sedimen, namun komposisi sedimen berpasir berkorelasi negatif (Ding et al. 2009). Lebih lanjut Widhiyatna et al. (2005) menjelaskan bahwa tingginya merkuri di sedimen karena aktivitas amalgamasi, proses pelapukan batuan yang mengalami mineralisasi. Namun demikian biasanya kontur dasar berbatu merkuri tidak mengalami mineralisasi.

Konsentrasi merkuri meningkat menunjukkan bahwa transport, metilasi dan bioavailabilitas meningkat yang didukung oleh peningkatan karbon organik dan menurunya oksigen terlarut (Tuomola et al. 2008). Aktivitas manusia dapat meningkatkan konsentrasi logam berat di lingkungan baik sedimen, air dan biota (Bengtsson et al. 1981; Mountouris et al. 2002).

5.2.3. C-Organik Berdasarkan Tabel 8, C-organik pada sedimen di Muara Sungai Balaotin

dan Kobok bulan Juni-Agustus tergolong sangat tinggi, sedangkan C-organik yang tercatat di Muara Sungai Cibok tergolong tingi hingga sangat tinggi. Namun demikian nilai rata-rata C-organik antara stasiun pengamatan tergolong sangat tinggi. Karbon organik di Perairan Pesisir Teluk Kao di kategorikan sangat tinggi yakni >5 %. Haeruddin et al. (2006) menyatakan bahwa konsentrasi logam berat pada sedimen, tidak saja ditentukan oleh proses pelapukan batuan, tetapi juga dipengaruhi oleh konsentrasi bahan sedimen, komposisi mineral serta ukuran (partikel) endapan sedimen tersebut. Meador et al. (1998) yang dikonfirmasi Haeruddin et al. (2006) menyatakan bahwa distribusi dan konsentrasi elemen dalam sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: tekstur sedimen, konsentrasi karbon organik dalam sedimen dan redoks potensial sedimen. Bahan organik di sedimen, terutama dalam bentuk karbon organik, akan lebih memungkinkan terbentuknya ikatan-ikatan antara karbon organik dengan logam. Karbon mampu melakukan ikatan dengan sedimen dalam bentuk ikatan komplek (complexation), sehingga semakin tinggi konsentrasi karbon organik dalam sedimen, kemungkinan akan semakin tinggi konsentrasi merkuri yang terdapat dalam sedimen (Driscoll et al. 2012).

Mikroba dapat memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi, selain itu, bahan organik tersuspensi dapat merangsang pertumbuhan mikroba dengan demikian dapat meningkatkan tingkat metilasi pada air dan sedimen. Bahan organik sangat labil dan mudah terdegradasi, dapat merangsang metilasi dengan merangsang pertumbuhan mikroba, bahan organik yang terdiri dari molekul humat dan asam sulfat akan sulit terdegradasi, sehingga proses metilasi terjadi secara abiotik (Watras et al. 1995).

Secara biokimia laju bioakumulasi keong terhadap merkuri dimobilisasi oleh konsentrasi merkuri pada air dan sedimen. Peningkatan konsentasi merkuri

37

juga berdampak terhadap peningkatan karbon organik dan deposisi sedimen, menurunkan status redoks sedimen dan perubahan habitat. (Covelli 2012; Driscoll et al. 2012). Lebih lanjut Covelli et al. (2012) menjelaskan bahwa perubahan distribusi merkuri secara vertikal berkaitan dengan sumber kontaminan. Laju peningkatan pengendapan konsentrasi merkuri pada sedimen dipengaruhi aktivitas antropogenik. Produksi metil merkuri pada sistem perairan dan sedimen merupakan fungsi dari konsentrasi merkuri. Namun demikian, pembentukan metil merkuri dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan diantaranya suhu, pH, redoks potensial, aktivitas dan struktur bakteri, spesiasi, umur, dan adanya bahan organik dan anorganik yang terkompleksasi (Ullrich et al. 2001).

5.2.4. pH Sedimen Tebel 9 menunjukkan pH sedimen yang terukur pada setiap stasiun

pengamatan berkisar antara 3.9-6.9, artinya kisaran pH berada pada kondisi asam, karena secara keseluruhan lebih kecil dari 7. Kondisi pH asam akan menyebabkan logam lebih mudah larut (Pilar, 1994 dalam Wulandari et al. 2009 dan Riani 2012).

Menurut Ullrich et al. (2001) kondisi pH rendah pada sedimen dapat memicu pelepasan logam berat dari pertikel sedimen, namun pembagian dan pergerakan merkuri sedikit kontradiktif. Kelarutan dan pergerakan merkuri tergantung pH, karena pH dapat mengatur banyak faktor penyerapan merkuri pada biota. Beberapa penelitian menemukan bahwa rata-rata tingginya konsentrasi merkuri pada kondisi pH asam (Duarte et al. 1991 in Randall and Chattopadhyay, 2013).

Ramlal et al. (1998) melaporkan tingginya kelarutan merkuri pada air pori dan sedimen seiring dengan menurunnya pH, selanjutnya merkuri mudah larut pada pH rendah. Lebih lanjut Meech et al. (1991) menjelaskan banyak bukti yang bertentangan tetang pengaruh pH terhadap kelarutan merkuri, akan tetapi banyak penelitian yang membuktikan kondisi pH asam dapat melarutkan merkuri. Sebagaimana dijelaskan oleh Kidd (2012) bahwa pH dapat mempengaruhi berbagai faktor geokimia termasuk bahan organik dan kondisi redoks, selain itu pH basah dapat mempengaruhi produksi dimetilasi merkuri dan metilasi merkuri. Proses metilasi merkuri terjadi pada kisaran pH antara 2-5.5 (NOAA 1996; Falter 1999; Bonzongo et al. 1996).

Beberapa penelitian melaporkan merkuri lebih mudah larut pada pH rendah dengan asam organik (Meech et al. 1998). Selain itu, pH dapat mempengaruhi produksi dimetil merkuri. Kondisi pH netral atau asam muncul untuk mendukung produksi metil merkuri daripada dimetil merkuri (Beijer dan Jernelov, 1979; Ullrich et al. 2001). Metilasi dapat terjadi pada kondisi basa, sebagaimana, rentang pH yang menguntungkan bagi metilasi merkuri anorganik dilaporkan antara pH 2 dan pH 5.5 (Falter, 1999). Kelly et al. (2003) mempelajari efek meningkatkan ion hidrogen (H+) konsentrasi pada pengambilan merkuri organik oleh bakteri akuatik. Bahkan perubahan kecil pada pH 7,3-6,3 menghasilkan peningkatan absorbsi merkuri organik. Peningkatan bioakumulasi berbanding lurus dengan konsentrasi H+.

Perubahan pH dapat mempengaruhi konsentrasi merkuri pada sistem perairan. Richman et al. (1988) melaporkan beberapa mekanisme yang diusulkan untuk memperhitungkan konsentrasi merkuri tinggi pada biota terutama kondisi

38

asam dapat menimbulkan stres. Kondisi pH rendah memfasilitasi pelepasan logam berat dan partikel dari sedimen. Kelarutan dan mobilitas merkuri tergantung pH, bahkan pH dapat menyederhanakan banyak faktor yang mengatur absorsi pada ikan dan transpot merkuri. Beberapa penelitian melaporkan mobilitas merkuri lebih tinggi pada kisaran pH asam (Duarte et al., 1991), tetapi Schindler et al. (1980) melaporkan bahwa perairan yang asam menyebabkan proporsi yang lebih tinggi merkuri untuk mengikat partikel, sehingga mengurangi kelarutan merkuri pada air. Ramlal et al. (1985) melaporkan bahwa jumlah merkuri terlarut pada sedimen menurun dengan menurunannya pH.

5.3. Konsentrasi Merkuri pada Keong popaco (T. telescopium) Berdasarkan Gambar 15, konsentrasi merkuri pada keong (Telescopium

telescopium) menunjukkan peningkatan sejalan dengan bulan pengamatan. Rata-rata konsentrasi merkuri pada keong popaco lebih besar di sekitar Muara Sungai Cibok (ST. II) diduga dipengaruhi oleh aktifitas “penambangan emas tanpa izin” (PETI), dibangdingkan dengan di sekitar Muara Sungai Balaotin (ST I) dan Kobok (ST III), dimana terdapat aktifitas penambangan yang dilakukan olah PT. Nusa Halmahera Mineneral (PT. NHM). Konsentrasi merkuri pada keong (T. telescopium) di masing-masing stasiun pengamatan belum melampaui baku mutu US EPA 823R-01-001 (2009) sebesar 0,3 ppm. Namun demikian, merkuri bersifat bioakumulatif sehingga dapat menimbulkan efek jangka panjang.

Faktor lain yang diduga dapat mempengaruhi konsentrasi merkuri dalam tubuh keong popaco (T. telescopium) adalah tingkah laku makan. Keong umumnya memiliki tingkah laku makan dan penyebaran yang berbeda bergantung kepada spesiesnya. Penyebaran habitat dan pola tingkah laku makan ini akan berpengaruh terhadap interaksi keong bersangkutan terhadap konsentrasi merkuri yang tersuspensi didasar perairan. Desta et al. (2007) menyatakan bahwa sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekaan yang tinggi terhadap merkuri di dalam lingkungan yang tercemar, sehingga keong pemakan sedimen dan detritus cenderung untuk mengakumulasi merkuri dalam kepekatan yang lebih tinggi.

Taftazani (2004) menjelaskan bahwa proses transformasi merkuri dalam sistem rantai makanan mengalami pelipatgandaan (bioakumulasi). Konsentrasi merkuri yang masuk dan terakumulasi dalam jaringan biota terus meningkat seiring dengan peningkatan strata atau posisi dari biota tersebut dalam sistem rantai makanan yang dikenal dengan biomagnifikasi. Sehingga biota seperti ikan-ikan besar yang telah memakan ikan-ikan yang lebih kecil yang telah terkontaminasi oleh merkuri, disinyalir mempunyai kandungan merkuri yang lebih besar dalam tubuhnya dan manusia yang menempati posisi puncak dari sistem rantai makanan akan mengakumulasi merkuri dalam jumlah yang lebih tinggi (McIntyre dan Beauchamp, 2007). Selain itu, akumulasi merkuri dalam biota laut terpusat pada organ tubuh yang berfungsi untuk reproduksi, sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan biota laut terutama di dalam mengembangkan keturunannya. Disamping itu merkuri yang diakumulasi dalam tubuh biota akan merangsang sistem enzimatik, yang dapat menurunkan kemampuan adaptasi bagi biota bersangkutan terhadap lingkungan yang tercemar (Pentreath, 1976).

Tingginya konsentrasi merkuri pada biota perairan diakibatkan oleh aktivitas antropogenik, sehingga biota dapat mengakumulasi merkuri yang tinggi. Konsentasi merkuri pada kawasan yang tertutup dan terlindung relatif lebih tinggi

39

dibandingkan dengan kawasan yang terbuka. Bioakumulasi merkuri pada biota perairan yang rendah karena menurunnya ukuran biomassa, panjang dan lama tinggal dari biota (Protano et al. 2000; Costa et al. 2012; Saniewska et al. 2010; Shi et al. 2010; Xu et al. 2013; Pan et al. 2014).

Sánchez-Chardi et al. (2007a) melaporkan bahwa pencemaran kronis logam berat dapat mengganggu struktur dan fungsi genom, sehingga mempengaruhi status kesehatan dan potensi reproduksi individu dan kelangsungan hidup populasi (Riani et al. 2014). Kegiatan antropogenik melepaskan logam berat di udara, tanah, dan air, sehingga mengekspos biota, yang berpotensi membahayakan. Sistem alam dapat bertindak sebagai filter yang efektif dengan mempertahankan senyawa beracun dalam tanah atau mungkin mentransfernya ke ekosistem darat dan air, sehingga meningkatkan bioavailabilitas dengan demikian dapat menimbulkan risiko keracunan biota dan manusia (Sánchez-Chardi et al. 2007b). Senyawa yang paling beracun adalah logam non-esensial, namun beberapa logam lainnya dan metaloid, dapat menimbulkan pengaruh toksik terhadap sistem biologis (Iavicoli et al. 2009; Liu et al. 2010).

5.3.1. Faktor Biokonsentrasi Merkuri pada Keong (T. telescopium) Berdasarkan Tabel 10, rata-rata biokonsentrasi merkuri keong popaco (T.

telescopium) di stasiun PT. Nusa Halmahera Mineral (di sekitar Muara Sungai Kobok) lebih besar, dibandingkan dengan stasiun sekitar penambangan tanpa izin (di sekitar Muara Sungai Cibok) dan stasiun tanpa penambangan emas (di sekitar Muara Sungai Balaotin). Tingginya faktor biokonsentrasi merkuri pada keong ditentukan oleh jumlah konsentrasi merkuri pada sedimen sebagai habitat, karena keong popaco merupakan pemakan deposit aktif. Proses biotransfer merkuri pada keong popaco melalui rantai makanan, latar belakang kontaminasi merkuri perstasiun juga ikut berperan.

Faktor biokonsentrasi (BCF) merkuri pada keong nilainya lebih tinggi dari pada nilai bioakumulasi, BCF selalu berkorelasi positif dengan bioakumulasi merkuri pada keong. Dalam hal ini konsentrasi merkuri pada keong meningkat, maka nilai BCF juga ikut meningkat.

Pontensi penimbunan logam berat adalah melalui biokonsentrasi pada biota air, terutama biota bentik. Faktor biokonsentrasi biasanya melalui kebiasaan makan berdasarkan tingkatan trofik (biomagnifikasi). Hal ini dapat memicu peningkatan penumpukan logam dalam tubuh biota (bioakumulasi). Bioakumulasi logam pada biota terus berlanjut maka dapat meningkatkan toksisitas hingga dapat membahayakan biota (Belden et al. 2005). Selain itu, Jonsson et al. (2014) melaporkan biokonsentrasi dapat menimbulkan efek perubahan tingkah laku biota yaitu berusaha menghindar baik terhadap paparan tinggi maupun rendah bila dibandingkan dengan media kontrol yang lebih pasif. Biokonsentrasi berbeda berdasarkan jenis dan tingkat trofik biota perairan laut, dimana pola peningkatan progresif tidak konsisten terhadap tingkatan trofik pada ekosistem perairan (Hope et al. 1998). Biokonsentrasi merupakan fungsi dari biotransfer logam berat dari sedimen ke biota sehingga dapat menimbulkan efek biologis. Beberapa faktor lingkungan berperan dan menentukan tingkat biokonsentrasi diantaranya adalah pH, bahan organik dan karbon organik terlarut (Mountouris et al. 2002; Akkanen dan Kukkonen 2003; Haitzer et al. 1998; Wang et al. 2014).

Jalur bioakumulasi merkuri pada biota sangat kompleks dan kebanyakan melalui rantai makanan, walaupun tingkat konsentrasi bervasiasi secara temporal.

40

Hal tersebut karena setiap jenis biota bervariasi dalam kebiasaan makan, fisiologi dan preferensi habitat. Kemungkinan keong popaco dapat mentrasfer merkuri yang tinggi karena berasosiasi langsung dengan sedimen daripada merkuri di air. Faktor biokonsentrasi pada umumnya berbanding terbalik dengan bioakumulasi pada biota target (George dan Batzer, 2008; DeForest et al. 2007).

Organisme akuatik mengakumulasi senyawa merkuri dalam bentuk CH3Hg+ dan Hg2+ pada seluruh tingkatan jejaring makanan (Selid, 2009). Bioakumulasi merkuri dari berbagai jalur paparan yaitu: air, pakan dan partikulat (Kojadinovic et al. 2006; Chasar et al. 2009). Hasil akumulasi tersebut meningkatkan kandungan merkuri didalam jaringan tubuh biota. Berbagai hasil penelitian menunjukkan senyawa merkuri yang terkandung dalam tubuh ikan dan kerang sebanyak 80-90% berbentuk CH3Hg+ (Schwindt et al. 2008). Hal ini sangat berbahaya karena ikan dan kerang banyak dikonsumsi oleh masyarakat sehingga menjadi sumber utama asupan CH3Hg+ pada manusia.

Proses bioakumulasi logam berat (termasuk senyawa merkuri) secara kimiawi merupakan reaksi pembentukan senyawaan kompleks antara ion logam berat dengan ligan biologis di dalam sel organisme. Secara tradisional suatu zat dinyatakan mengalami bioakumulasi jika nilai koefisien partisi antara oktanol dan air (US EPA 2002). Asumsi yang digunakan pada model ini adalah bahwa bioakumulasi merupakan hasil dari kesetimbangan tiga mekanisme yaitu kecepatan pengambilan kontaminan dari makanan, kecepatan pengambilan kontaminan dari fase terlarut dan kecepatan pelepasan kontaminan.

Merkuri dapat diadsorpsi dari berbagai fase padatan pada sedimen dasar terutama pirit. Adsorpsi dan korpresipitasi merkuri oleh pirit pada kondisi anoksik yang menyebabkan kuantitas merkuri pada air menjadi berkurang. Walaupun demikian interaksi tersebut dapat terlepas melalui proses oksidasi sedimen secara gradual (Boszke et al. 2003). Konsentrasi merkuri dalam sedimen dasar merupakan indikator polusi merkuri pada perairan. Akumulasi merkuri pada sedimen dasar sebagai hasil proses dari sedimentasi dan disisi lain merkuri dapat dilepaskan dari sedimen dasar dan menjadi tersedia untuk transformasi biokimia lanjut (Morel et al. 1998; Boszke et al. 2002). Proses sedimentasi dan pelepasan merkuri pada sedimen dasar ditentukan oleh kondisi spesifik perairan dan sebagai hasilnya adalah senyawaan merkuri dalam bentuk kompleks, transformasi fisik dan biologis ke dalam spesi yang lebih toksik.

5.4. Distribusi merkuri pada air, sedimen, dan keong Berdasarkan Gambar 17-21 menunjukkan bahwa distribusi merkuri pada air

jauh lebih kecil, sekitar 10-11 kali dibandingkan dengan merkuri pada sedimen dan keong. Distribusi merkuri pada air mengalami pengenceran dan laju pengendapan, sehingga konsentrasi merkuri di air jauh lebih rendah. Distribusi merkuri pada sedimen merupakan hasil dari proses pengendapan dimana dipengaruhi oleh massa jenis merkuri lebih besar dari air yang menyebabkan merkuri di sedimen lebih tinggi. Distribusi merkuri pada keong (T. telescopium) merupakan hasil dari proses pengambilan merkuri dari lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan proses pelepasannya (bioakumulasi). Hal ini menyebabkan konsentrasi merkuri pada keong lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi merkuri pada air dan sedimen. Namun demikian, konsentrasi merkuri pada keong cenderung homogen dengan konsentrasi merkuri pada sedimen. Hal

41

mengindikasikan bahwa konsentrasi merkuri pada keong popaco dapat digunakan sebagai indikator merkuri pada sedimen.

Wilken dan Hintelmann (1991), menyatakan bahwa kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Hal ini menunjukkan adanya akumulasi logam berat dalam sedimen. Logam berat dalam air mengalami proses pengenceran dengan adanya pengaruh pola arus pasang surut. Perjalanan perpindahan ion logam dalam air ke dalam sedimen terutama melalui proses partisi air – sedimen, yaitu perpindahan logam dari bentuk terlarut dalam air ke dalam sedimen melalui proses fenomena adsorpsi. Hal inilah yang menyebabkan merkuri yang berada pada ekosistem pesisir akan terakumulasi dalam sedimen. Merkuri dalam jumlah yang tinggi dari hasil proses akumulasi ini mempunyai potensi sebagai polutan yang bersifat toksik.

Distribusi merkuri antara fase pertikel dan terlarut dengan menekankan siklus dan pertimbangan jenis logam yang terkontaminasi pada sistem perairan. Partisi merkuri diperairan pesisir sebagai pertimbangan pemantauan dan juga pertimbangan ekologi, secara langsung berhubungan dengan bioavailabilitas merkuri dan dampaknya terhadap jejaring trofik (Duarte et al. 2014). Konsentrasi merkuri meningkat menunjukkan bahwa transport, metilasi dan bioavailabilitas meningkat yang didukung oleh peningkatan karbon organik dan menurunya oksigen terlarut (Tuomola et al. 2008). Menurut Nordic (2003) sumber-sumber logam berat di laut, berasal dari sumber yang bersifat alami dari lapisan kulit bumi seperti masukan dari daerah pantai yang berasal dari sungai-sungai dan abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari laut dalam yang berasal dari aktivitas geologi gunung berapi laut dalam, dan masukan dari udara yang berasal dari atmosfer sebagai partikel-partikel debu.

Menurut Usman et al. (2013), logam berat yang terserap pada partikel-partikel air akan terendap di permukaan sedimen dan organisme air akan menyerapnya dan mentransfer melalui rantai makanan. Tinggi rendahnya konsentrasi logam berat disebabkan oleh jumlah masukan limbah logam berat ke perairan. Semakin besar limbah yang masuk ke dalam suatu perairan maka semakin besar konsentrasi logam berat. Komponen ekosistem termasuk air, sedimen dan biota terkontaminasi merkuri dalam bentuk organik dan anorganik terdiri dari senyawa merkuri dan fraksi terlarut pada fase air (USEPA, 1997). Bioakumulasi pada biota sebagian besarnya adalah mono metil merkuri (CH3Hg). Bioakumulasi metil merkuri pada biota pada akhirnya akan terakumulasi pada manusia.

5.5. Ekobiologi Keong Popaco (T. telescopium) T. telescopium memiliki cangkang yang besar, tebal, berbentuk kerucut, sisi

datar dengan alur spiral, garisan konsentris pada cangkang dasar dan saluran mendalam di sekitar columellar. Liang sempit ovate, cangkangnya berbentuk sumbu tangensial memutar, menyalurkan columela, dan bibir melengkung keluar kearah pusat, saluran siphonal yang pendek, operkulum menanduk, multispiral dan melingkar membentuk pusat inti (Houbrick, 1991).

Keong popaco (T. telescopium) mampu mentoleransi berbagai salinitas, dari 15-35 ppt (Alexander dan Rae, 1974), dan mampu bertahan pada kondisi kekeringan. Selama periode kekeringan tidak aktif, T. telescopium sering berkelompok, berlindung dan berteduh pada mikrohabitat di bawah pohon bakau, namun suhu tinggi dapat mengakibatkan kematian yang tinggi. Keong popaco (T.

42

telescopium) dapat bertahan dalam kurun waktu yang menakjubkan pada saat kekeringan. Keong popaco (T. telescopium) mampu bertahan hingga enam bulan, walaupun tidak selalu terendam air laut (Houbrick, 1991).

5.5.1. Indeks Kepadatan Keong popaco (T. telescopium) Tabel 11, menunjukkan indeks kepadatan ditemukan tinggi di stasiun tanpa

penambangan emas, di ikuti stasiun sekitar PETI, dan stasiun sekitar PT. NHM. Stasiun tanpa penambangan emas dan bekas tambak yang terbuka, di dukung dengan komposisi substrat pasir-berlumpur sehingga indeks kepadatan keong popaco sedikit lebih tinggi. Stasiun sekitar PETI merupakan kawasan cenderung tertutup kondisi hutan mangrovenya serta pembuangan limbah merkuri secara langsung dari aktivitas antropogenik, di duga menyebabkan indeks kepadatan keong popaco rendah. Namun demikian stasiun sekitar PT. NHM merupakan kawasan cenderung terbuka, akan tetapi komposisi sedimennya cenderung pasir-berdebu namun indeks kepadatan keong popaco yang ditemukan sangat rendah. Komposisi sedimen berpasir bukan merupakan habitat yang sesuai untuk keong popaco.

Rata-rata indeks kepadatan keong popaco (T. telescopium) perkawasan pengamatan yaitu 11.33 ind/m2 distasiun tanpa aktifitas penambangan emas, 7 ind/m2 distasiun sekitar PETI dan 6 ind/m2 distasiun sekitar PT. NHM. Tingginya indeks kepadatan karena jenis keong popaco mempunyai kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan sesuai dengan pernyataan (Arnorld dan Birtles 1989).

Menurut Hamsiah et al. (2002) keong popaco sering ditemukan dalam jumlah berlimpah di daerah pertambakan yang berbatasan dengan hutan mangrove. Selain itu, keong popaco juga banyak ditemukan di sungai-sungai yang dekat dengan daerah pertambakan (Wahono, 1991). Lebih lanjut dijelaskan FAO (2007) habitat keong popaco terutama adalah ekosistem mangrove dan intertidal berlumpur, dan masih terdapat salinitas atau payau.

Kepadatan koeng popaco yang lebih tinggi diperoleh kensentrasi merkuri sedikit lebih rendah dibantingkan dengan kepadatan rendah konsentrasi merkuri lebi tinggi. Kepadatan keong popaco lebih tinggi sedangkan konsentrasi merkuri rendah diduga karena adanya persaingan antar individu dalam memperoleh makanan yang menyebabkan bioakumulasi merkuri pada kepadatan tinggi jauh lebi rendah.

5.5.2. Pola Sebaran Keong popaco (T. telescopium) Pola persebaran populasi terbagi menjadi 3 yaitu mengelompok, acak dan

merata/seragam. Dalam menganalisa pola persebaran yang dimiliki oleh kerang dan keong laut dilakukan pengukuran dengan menggunakan indeks dispersi morisita dan diujikan dengan uji chi Kuadrat, dengan nilai koefisien dengan metode indeks dispersi morisita relatif tidak bergantung oleh tingkat kepadatan (Rani, 2003 dalam Pratama et al. 2013).

Berdasarkan Tabel 12, rata-rata indeks kepadatan Keong T. telescopium pada 100 cm2 di stasiun tanpa penambangan emas adalah 11.33 ind/m2 dengan ragam 0.33, stasiun sekitar PETI 7 ind/m2 dengan ragam 4 dan stasiun sekitar PT. NHM 6 ind/m2 dengan ragam 1. Pola sebaran keong popaco (T. telescopium) di stasiun sekitar PETI cenderung mengelompok, sedangkan stasiun tanpa penambangan emas dan stasiun sekitar PT. NHM polanya sebaran acak, namun

43

secara keseluruhan keong popaco di Pesisir Kecamatan Kao Teluk adalah distribusi mengelompok.

Menurut Riyanto (2004) tidak adanya interaksi atau kompetisi antara individu dalam populasi keong yang bersifat mengelompok, keadaan ini diduga karena adanya saling melindungi dalam populasi. Pola distribusi mengelompok paling umum terjadi di alam, hal ini disebabkan oleh individu dalam populasi saling melindungi (Odum 1983 dalam Riyanto 2004). Odum (1993) yang dikonfirmasi oleh Riniatsih dan Widianingsih (2007) menyatakan bahwa pengumpulan individu sebagai strategi dalam menanggapi perubahan cuaca dan musim, serta perubahan habitat. Lebih lanjut Pratama et al. (2013) menjelaskan pola mengelompok dapat dikatakan pola sebaran yang alami dan baik bagi populasi keong popaco terbentuk pola persebaran mengelompok akibat dorongan perubahan lingkungan alami yaitu aktivitas reproduksi.

Menurut Indardjo dan Muslim (1997) bahwa penyebaran individu secara acak dapat terjadi jika habitat dalam kearadaan seragam dan tidak ada kecenderungan dari organisme tersebut untuk hidup bersama. Aktivitas manusia dapat meningkatkan konsentrasi logam berat di lingkungan baik sedimen, air dan biota karena pencemaran logam dapat mempengaruhi kepadatan, dan keragaman komunitas biotik (Bengtsson et al. 1981; Mountouris et al. 2002).

5.5.3. Indeks Kondisi Keong popaco (T. telescopium) Berdasarkan Tabel 13, rata-rata indeks kondisi keong popaco yang tersebar

disemua stasiun yaitu stasiun tanpa penambangan emas, stasiun sekitar PETI dan stasiun sekitar PT. NHM pada kondisi gemuk. Namun indeks kondisi berdasarkan pada bulan pengamatan yaitu pada Juni di semua stasiun indeks kondisi yang diperoleh gemuk, kemudian pada bulan Juli indeks kondisi sedang di stasiun tanpa penambangan emas, gemuk di stasiun sekitar PETI dan kurus di sekitar stasiun PT. NHM, sedangkan pada bulan Agustus di stasiun tanpa penambangan emas dan stasiun sekitar PT. NHM pada kondisi gemuk, sedangkan di stasiun sekitar PETI pada kondisi sedang.

Kondisi keong T. telescopium yang kurus dapat diakibatkan karena lingkungan yang sudah terganggu. Faktor lingkungan yang terganggu dapat mengakibatkan keong stress dan salah satu faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah konsentrasi merkuri. Selain itu, keong yang kurus diakibatkan oleh energi yang digunakan keong bakau lebih banyak untuk bereproduksi dibandingkan untuk tumbuh.

Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin, musim atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan. Nilai faktor kondisi di suatu perairan bervariasi. Variasi nilai faktor kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad (King, 1995; Effendie 2002 dalam Nugroho et al. 2013). 5.6. Paparan Harian dan Mingguan Keong yang terkontaminasi Merkuri

Berdasarkan Tabel 14, paparan merkuri harian untuk orang dewasa masih berada pada level sedang, sedangkan untuk anak-anak telah melampaui level aman perhari. Paparan merkuri harian (PMH) untuk orang dewasa berkisar 0.21-0.58 ppm/kg/hari dan anak-anak berkisar 0.93-2.55 ppm/kg/hari.

Berdasarkan Tabel 35, maka ditetapkan jumlah keong popaco yang aman di konsumsi pada stasiun tanpa penambangan emas adalah sebanyak sebanyak 47

44

ekor, total bobot daging mencapai 0.070 kg/hari, dan PMH sebesar 0.96 ppm/kg/hari, sedangkan untuk anak-anak dianjurkan agar mengkonsumsi keong tidak lebih dari sembilan ekor, bobot daging sekitar 0.013 kg/hari dan PMH sebesar 0.85 ppm/kg/hari. Stasiun sekitar PETI disekitar muara Cibok jumlah keong yang dianjurkan adalah 13 ekor perhari dengan bobot kurang lebih 0.048 kg/hari dan PMH sebesar 0.98 ppm/kg/hari, sedangkan anak-anak 3 ekor, bobot daging sekitar 0.011 kg/hari dan PMH sekitar 0.97 ppm/kg/hari. Pada stasiun muara Kobok (PT. NHM) untuk orang dewasa dianjurkan agar tidak lebih dari 48 ekor, dengan bobot sekitar 0.072 kg/hari dan PMH sebesar 0.97 ppm/kg/hari, sedangkan anak-anak jumlah keong yang dianjurkan tidak lebih dari 11 ekor, bobot daging sekitar 0.013 kg/hari dan PMH sebesar 0.94 ppm/kg/hari. Rata-rata jumlah keong yang aman dikonsumsi dari semua kawasan untuk orang dewasa adalah 27 ekor perhari dengan total bobot daging sekitar 0.060 kg/hari dan paparan merkuri harian sebesar 0.95 ppm/kg/hari, sedangkan anak-anak adalah 6 ekor dengan bobot daging keong sekitar 0.013 kg/hari dan PMH sebesar 0.92 ppm/kg/hari.

Berdasarkan Tabel 14, 15 dan 16, paparan merkuri harian dan mingguan keong yang terkontaminasi merkuri di Teluk Kao terutama untuk anak-anak telah melampaui batas maksium konsumsi per 25 gram keong perhari dan 300 gram perminggu, sedangkan untuk orang dewasa per 25 gram keong perhari masih di bawah batas maksimum, akan tetapi apabila konsumsi keong perminggu sebesar 300 gram telah melampaui batas maksimum yang di rekomendasikan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Food Drug Administration (FDA) tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan.

Menurut Brambilla et al. (2013) penentuan tingkat konsumsi pada moluska dan krustasea yang terkontaminasi merkuri sangat penting untuk memastikan tingkat keracunan dan nilai-nilai ambang batas sumber pangan dari laut terutama pada spesies yang paling sering dikonsumsi, sehingg dapat diperbaiki ketidakpastian konservatif sumber makanan laut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Di Leo et al. (2010) penentuan keamanan konsumsi mingguan konsetrasi total merkuri dan metil merkuri pada kerang (Mytilus galloprovincialis) terhadap ancaman keracunan merkuri untuk orang dewasa maupun anak-anak. Namun perlu dipertimbangkan untuk sumber makanan seafood lainnya seperti ikan dan krustasea yang dapat menambah kontaminasi merkuri terhadap masyarakat pesisir.

Metil merkuri, sebagian besar akan terakumulasi di otak, oleh karena penyerapannya besar, dalam waktu singkat dapat menyebabkan berbagai gangguan. Mulai dari rusaknya keseimbangan tubuh, tidak bisa berkonsentrasi, tuli, dan berbagai gangguan lain seperti yang terjadi pada kasus Minamata. Merkuri yang terhisap dapat lewat udara berdampak akut atau terakumulasi dan terbawa ke organ-organ tubuh lainnya, menyebabkan bronkitis, hingga rusaknya paru-paru. Keracunan merkuri tingkat awal, pasien merasa mulutnya kebal sehingga tidak peka terhadap rasa dan suhu, hidung tidak peka bau, mudah lelah, dan sering sakit kepala. Jika terjadi akumulasi yang lebih dapat berakibat pada degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang menguasai koordinasi saraf, gangguan pada luas pandang, degenerasi pada sarung selaput saraf dan bagian dari otak kecil (Edward, 2008). Selain itu EPA/ATSDR (2012) memperingatkan bahwa tingkat merkuri yang tinggi dapat membahayakan otak, jantung, ginjal, paru-paru dan

45

sistem kekebalan tubuh manusia. Kadar merkuri yang tinggi dalam darah janin dan anak-anak dapat membahayakan sistem saraf dan mengganggu aktifitas otak dan kemampuan belajar. Semua bentuk merkuri baik dalam bentuk metil maupun dalam bentuk alkil yang masuk kedalam tubuh manusia secara terus-menerus akan menyebabkan kerusakan parmanen pada otak, hati dan ginjal.

Paparan merkuri pada manusia kurang lebih 95%, karena lebih mudah diserap tubuh. Merkuri akan terdistribusi pada seluruh orangan melalui sistem peredaran darah. Merkuri pada jaringan tubuh manusia bisanya tinggi pada ginjal, namun demikian organ target metil merkuri adalah sistem syaraf pusat. Metil merkuri dalam tubuh relatif lebih stabil. Kemampuan merkuri dapat menembus sistem peredaran darah, otak dan plasenta. Paparan merkuri secara akut pada dosis 10-40 µg/kg berat badan. Efek akut yang ditimbulkan merkuri diantaranya adalah aneuploidi limfositik, perubahan warna permukaan depan lensa mata, insomnia, tremor dan hipereksitabilitas (JECFA 2006).

Beberapa eksperimen telah dilakukan pada tikus, marmut dan monyet menunjukkan bahwa merkuri dapat menimbulkan efek nerologis. Gejala utama yang ditimbulkan adalah gangguan sistem syaraf dan gangguan sensorik. Pengaruh merkuri terhadap neorologi tergantung pada dosis dan kerentanan hewan target. Di lain pihak, dosis merkuri yang rendah dapat menimbulkan efek pada sistem kardiovaskuler dan sistem kekebalan tubuh terhadap hewan target. Paparan merkuri pada ibu hamil dengan mudah melewati plasenta ke janin dan jaringan lainnya. Paparan merkuri pada bayi juga melalui ASI. Anak-anak sangat rentan terhadap merkuri karena dapat menyebabkan penurunan IQ, inkoordinadi, kebutaan dan kejang-kejang. Paparan ekstrim pada orang dewasa dapat menyebabkan perubahan kepribadian, tremor, perubahan visi, tuli, kehilangan koordinasi otot dan sensasi, kehilangan memori dan gangguan intelektual. Di sisi lain, merkuri dapat menyebabkan kerusakan clastogenic dan kromosom. Environmental Protection Agency (EPA) telah mengklasifikasikan merkuri berpotensi mengakibatkan mutagenitas sel germinal manusia (JECFA 2007).

The Joint Expert Committe on Food Additives (JECFA, 2000) menetapkan standar konsumsi ikan dan kerang yang terkontaminasi merkuri perminggu sebesar 3,3 mg/kg berat tubuh orang dewas. Namun demikian pada tahun 2006 mempertimbangkan perlindungan bayi dan anak-anak yang dianggap sangat sensitif terhadap merkuri menetapkan standar keamanan sebesar 1,6 µg/kg berat tubuh. Hasil penelitian menunjukan bahwa keong popaco dan kerang darah telah melebihi standar yang ditetapkan oleh The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA 2000 dan 2006). Hal ini berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan terutama pada anak-anak maupun orang dewasa dimasa mendatang.

Pengaruh kontaminasi merkuri pada sedimen dapat menambah konsentrasi merkuri dalam tubuh biota perairan dan manusia yang mengkonsumsi ikan. Sumber limbah yang mengandung merkuri perlu pengontrolan lebih lanjut sebelum dibuang ke sistem perairan. Kontaminasi merkuri pada sedimen dan air memerlukan waktu yang panjang untuk mengembalikan konsentrasi merkuri yang relatif aman. Merkuri pada sedimen mengalami remobilisasi secara fisik, kimia dan biologis sebagai ancaman terhadap pada sistem perairan. Konsentrasi merkuri pada air dan sedimen secara kritis mempengaruhi reaktivitas, transport dan paparan terhadap biota. Kondisi geokimia juga dapat mepengaruhi aktivitas

46

bakteri metilasi yang dapat memicu meningkatnya bioavailabilitas merkuri (Randall dan Chattopadhyay 2013).

5.7. Parameter Kulitas Air Kualitas air yang diukur meliputi suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas,

kekeruhan, total dissolvel solid (TDS) dan konduktivitas. Menurut Bryan (1976), daya racun logam berat ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi fisiologi organisme, seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH dan cahaya, perubahan siklus hidup, umur, jenis kelamin, makanan dan adaptasi terhadap merkuri.

Faktor lingkungan perairan seperti pH, kesadahan, suhu dan salinitas juga mempengaruhi daya racun logam berat. Penurunan pH air akan menyebabkan daya racun logam berat semakin besar. Kesadahan yang tinggi dapat mempengaruhi daya racun logam berat, karena logam berat dalam air yang berkesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam dasar perairan. Pencemaran logam berat yang menyebabkan kematian ikan secara masal (Rochyatun dan Rozak 2007), namun dalam konsentrasi yang rendah mengakibatkan kerusakan organ (Riani, 2012) dan kecacatan pada embrio yang dilahirkan (Cordova, 2011 dan Riani et al.2014).

Menurut Chester (1990) menyatakan bahwa reaktivitas biogeokimia dalam perairan alami diatur oleh sejumlah parameter fisiko-kimia seperti: pH, redoks potensial, salinitas, konsentrasi complexing ligand, berbagai jenis nutrien, komponen organik dan bahan-bahan partikulat. 5.7.1. Suhu Air

Suhu yang terukur selama penelitian di Perairan Pesisir Teluk Kao berkisar antara 27-300C. Suhu tertinggi diperoleh di stasiun I dan terendah di stasiun III masing-masing adalah 30.11-30.810C dan 27.85-29.280C. Kisaran suhu ini masih sesuai dengan kisaran suhu air laut perairan tropis pada umumnya. Suhu merupakan salah satu faktor sifik yang sangat penting dalam lingkungan perairan. Perubahan suhu perairan akan dapat mempengaruhi proses fisika, kimia perairan, demikian pula bagi biota perairan. Peningkatan suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme dan respirasi biota, sehingga kebutuhan oksigen menjadi meningkat.

Kondisi suhu perairan tinggi terutama pada bulan Juni ditemukan konsentrasi merkuri pada air juga tinggi, sedangkan kondisi suhu rendah maka konsentrasi merkuri pada air yang terukur juga cenderung menurun Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Hutagalung 1984 dalam Sarjono 2009). Dilain pihal, Ogllvle (2003) mengatakan peningkatan suhu dapat memicu peningkatan toksisitas merkuri di perairan.

Transformasi merkuri pada sedimen dasar termasuk metilasi dan dimetilasi tergantung pada suhu. Proses metilasi terhambat oleh suhu rendah atau tinggi, untuk sedimen pada perairan tawar methylasi terhambat pada suhu rendah pada suhu optimal 350C, berdasarkan pengamatan pada suatu penelitian menemukan peningkatan suhu dari 10-350C dan kemudian menurun. Proses ini benar-benar terhambat pada suhu 900C (Wright and Hamilton 1982; Callister and Winfrey 1986; Steffan et al. 1988 dalam Liu 2008) suhu optimal proses methylasi antara 33-450C dan ketika terjadi peningkatan suhu maka laju methylasi akan menurun dan berhenti pada suhu 550 C.

Peningkatan suhu air laut secara tidak langsung dapat mempengaruhi paparan kontaminasi terhadap beberapa rantai makanan seperti : ikan, kerang-

47

kerangan, dan mamalia. Pemanasan laut dapat memfasilitasi metilasi merkuri dan penyerapan merkuri oleh ikan dan mamalia meningkat sebesar 3-5% setiap kenaikan suhu sebesar 10C (Booth and Zeller 2005 dalam Jaykus et al. 2008). 5.7.2. Oksigen Terlarut

Gas oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan sangat penting sebagai pengatur metabolisme tubuh untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen dalam air berasal dari difusi dari oksigen yang berasal dari atmosfir, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis tumbuhan air dan fitoplangkton (Novonty 1994).

Oksigen dibutuhkan organisme akuatik sebagai penghasil energi untuk pencernaan dan asimilasi makanan, menjaga keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Pengaruh oksigen terhadap fisiologi biota terutama adalah proses respirasi. Laju konsumsi oksigen terlarut berfluktuasi mengikuti proses-proses hidup yang dilaluinya. Puncak maksimum konsumsi oksigen terlarut terjadi pada saat berlangsungnya reproduksi (Barus, 2004).

Kisaran oksigen terlarut di Perairan Teluk Kao tertinggi di Muara Sungai Cibok dan terendah di Muara Sungai Balaotin masing-masing adalah 3.00-9.04 mg/L dan dan 5.12-6.23 mg/L. Secara keseluruhan oksigen terlarut di Perairan Teluk Kao masih sesuai dengan kebutuhan biota perairan yakni diatas kisaran minimal 2.5 mg/L (Boyd, 1990).

Kondisi oksigen relatif tinggi dapat meningkatkan fraksi logam terlarut, karena oksigen terlarut sangat dibutuhkan untuk pelepasan logam sulfide dan bahan organik, serta dapat menginduksi desorbsi logam (Zheng et al. 2013). Namun demikian Atkinson et al. (2007) menjelaskan bahwa hubungan antara konsentrasi logam berat dengan oksigen terlarut tidak liner. Meningkatnya oksigen terlarut pada pH netral akan teroksidasi menjadi endapan hidroksida dan oksida. Proses metilasi merkuri pada perairan dan sedimen berlangsung pada musim panas, ketika suhu tinggi dan kelarutan oksigen terlarut yang rendah (Callister dan Winfrey, 1986; Stordal dan Gill, 1995; Watras et al. 1995; Carroll et al. 2000; Zagar et al. 2006). 5.7.3. Tingkat Keasaman (pH)

Tingkat keasaman (pH) perairan merupakan parameter kualitas air penting dalam ekosistem perairan. Perubahan pH ditentukan oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi dalam ekosistem. Fotosintesis memerlukan karbon di oksida, yang oleh komponen autotrof akan dirubah menjadi monosakarida. Penurunan karbon dioksida dalam ekosistem akan meningkatkan pH perairan. Sebaliknya, proses respirasi oleh semua komponen ekosostem akan meningkatkan jumlah karbon dioksida, sehingga pH perairan menurun (Wetzel, 1983). Nilai pH perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan konsentrasi karbon dioksida (CO2) dalam ekosistem. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan semakin rendah. Konsentrasi karbon dioksida ditentukan pula oleh keseimbangan antara proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis merupakan proses yang menyerap CO2, sehingga dapat meningkatkan pH perairan tambak. Respirasi menghasilkan CO2 ke dalam ekosistem, sehingga pH perairan menurun. Karbon dioksida dalam ekosistem perairan dihasilkan melalui proses respirasi oleh semua organisme dan proses perombakan bahan organik dan anorganik oleh bakteri.

48

Berdasarkan Tabel 20 kisaran pH yang terukur pada lokasi penelitian berkisar antara 6.72-7.79. Kisaran pH tertinggi di kawasan tanpa penambangan emas berkisar 7.11-7.18 dan terendah disekitar kawasan kawasan PT. NHM dengan kisaran 6.74-7.23.

Kondisi pH rendah, biasanya merkuri dilepaskan pada kolom sedimen. Mobilitas merkuri tergantung pada perbedaan variabel pH. Desorbsi, absorbsi dan transformasi merkuri pada sedimen merupakan proses yang rumit dan tergantung dari banyaknya faktor, sehingga dampak pH sangat tergantung pada bentuk sedimen. Akan tetapi banyak studi yang menjelaskan bahwa pada kondisi pH rendah dapat berpengaruh terhadap proses metilasi merkuri (MeHg) (Boszke et al. 2003 dalam Liu 2008).

Kondisi pH rendah terutama pada biota akan memiliki konsentrasi merkuri paling tinggi dibandingkan dengan kondisi pH yang tinggi (Wren and Maccrimmon 1983; Richman et al. 1988; Grieb et al. 1990; Wiener and Stokes, 1990; Parkman and Meili 1993 dalam Liu, 2008). Oleh karena itu konsentrasi merkuri yang tinggi merupakan indikasi dampak langsung seperti permeabilitas insang, menurunnya laju pertumbuhan biomassa, dan kemungkinan konsentrasi merkuri yang tinggi karena berperan sebagai bioavailable pada ekosistem sehingga pembagian perubahan kimia antara air permukaan terhadap peningkatan produksi MeHg di sedimen (Rodgers and Beamish 1983; Ramlal et al. 1985; Hamasaki et al. 1991; Miskimmin et al. 1992 dalam Liu 2008). 5.7.4. Salinitas

Nilai salinitas air untuk perairan tawar biasanya berkisar antara 0-5 ‰ Salinitas air Tawar, perairan payau biasanya berkisar antara 6-30 ‰, salinitas air payau dan perairan laut berkisar antara >30 ‰, salinitas air Laut (Barus, 2004).

Berdasarkan Tabel 20, hasil pengukuran salinitas menunjukkan salinitas tertinggi di sekitar Muara Sungai Kobok (ST III) dan terendah di sekitar Muara Sungai Balaotin (ST I). Kondisi salinitas yang rendah terutama di sekitar Muara Sungai Balaotin konsentrasi merkuri yang terdeteksi lebih besar, sedangkan kondisi salinitas yang cenderung tinggi konsentrasi merkuri terdeteksi rendah. Kondisi salinitas yang tinggi diduga dapat mereduksi merkuri di air, sehingga konsentrasi merkuri pada perairan tawar biasanya lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi merkuri pada perairan laut.

Salinitas merupakan dampak dari penghambatan klorin-kompleks, tingkat methylasi merkuri biasanya menurun ketika ada peningkatan kadar garam, oleh karena itu sedimen laut dan muara rasio merkuri dengan total konsentrasi merkuri lebih kecil dari sedimen pada perairan tawar. Rasio sedimen perairan laut ~0,5% sedangkan sedimen perairan tawar 1-1.5%. Proses dimetilasi pada ekositem perairan pada perairan laut lebih efektif pada kondisi salinitas yang tinggi dari perairan tawar (Liu 2008). 5.7.5. Konduktivitas (DHL)

Berdasarkan Tabel 20, menunjukkan konduktivitas (DHL) tertinggi di sekitar Muara Sungai Kobok (ST III) dan terendah di sekitar Muara Sungai Balaotin. Pola yang sama seperti salinitas, dimana kondisi konduktivitas yang cenderung tinggi merkuri di air cenderung menurun, sedangkan kondisi konduktivitas yang rendah merkuri di air cenderung tinggi.

49

Konduktivitas berkorelasi negatif terhadap merkuri, tingginya nilai konduktivitas dapat mengurangi kelarutan merkuri pada air dan dapat memperlambat proses metilasi merkuri (NOAA, 1996). Lebih lanjut Gilmour dan Henry (1991) melaporkan bahwa persentase merkuri lebih tinggi pada perairan tawar berkisar 37%, air laut berkisar 5%.

Fairchild et al. (1987) menyebutkan pengaruh dari drainase pertanian umumnya akan meningkatkan konsentrasi partikel sedimen tersuspensi dan nilai konduktivitas di perairan. Konduktivitas (DHL) seringkali dapat dilihat dari tingkat salinitas perairan. Konduktivitas dan kekeruhan cenderung meningkat dari hulu ke hilir (Sudarso et al. 2009). 5.7.6. Kekeruhan

Sifat desktruktif pencemar muncul apabila berada dalam jumlah yang berlebihan, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem melalui perubahan proses fisika-kimia perairan. Kekeruhan terdiri atas bahan-bahan tersuspensi dan nutrien. Bahan tersuspensi dapat meningkatkan kekeruhan sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Laju suspensi sedimen lewat sungai-sungai yang bermuara di Teluk Kao menyebabkan tingkat sedimentasi dan kekeruhannya sangat tinggi (Subandri 2008).

Berdasarkan Tabel 20, nilai kekeruhan tertinggi di sekitar Muara Sungai Balaotin dan terendah di sekitar Muara Sungai Kobok. Tingginya kekeruhan disebabkan oleh beberapa sungai yang dikeruk bagian dasar dan penampang untuk mengambil matrial batuan sebagai bahan perekat trowongan oleh PT. NHM. Nilai kekeruhan tinggi terutama di sekitar Muara Sungai Balaotin berbanding lurus dengan konsentrasi merkuri di air maupun sedimen, sedangkan nilai kekeruhan yang lebih rendah di sekitar Muara Sungai Kobok berbanding terbalik dengan konsentrasi merkuri di air maupun sedimen. Kondisi perairan yang keruh diduga mengandung bahan tersuspensi dan terlarut dengan mudah berikatan dengan merkuri sehingga merkuri di air dan sedimen cenderung tinggi. 5.7.7. Total Dissolved Solid (TDS)

Berdasarkan Tabel 20, total dissolved solid (TDS) tertinggi di sekitar Muara Sungai Kobok dan terendah di sekitar Muara Sungai Cibok. Nilai TDS yang tersebar pada setiap stasiun pengamatan dengan kisaran yang rendah.

Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan, dapat meningkatkan nilai kekeruhan, yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan (Effendi, 2003 dalam Suyantri et al. 2011). 5.8. Pengelolaan Merkuri di Lingkungan Pesisir

Merkuri merupakan logam berat yang sangat beracun yang menyebabkan masalah kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan. Kontaminasi merkuri di lingkungan perairan, sedimen dan bioakumulasi merkuri pada biota ditentukan oleh berbagai faktor yang kompleks seperti sejarah masukan masa lalu seperti proses amalgamamsi, pertambangan yang menghasilkan limbah merkuri, deposisi atmosfir dan siklus geokimia seperti mineralisasi batuan dasar dan sedimen.

Kompleksnya permasalahan yang di timbulkan merkuri, sehingga berbagai upaya di lakukan untuk meminimalisasi dan bahkan menghilangkan pengaruh merkuri baik terhadap kulitas lingkungan maupun terhadap berbagai

50

permasalahan manusia seperti kerusakan ginjal, mengganggu sistem reproduksi, merusak sistem syaraf dan bahkan kematian.

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di Kao Teluk hingga saat ini secara keseluruhan belum melampaui batas maksimum baku mutu yang di tetapkan baik pada air, sedimen dan biota. Namun demikian, jika masukan merkuri terus berlanjut maka tidak menutup kemungkinan suatu saat dapat mengancam ekosistem dan sumberdaya yang terdapat sekitarnya. Secara historis merkuri dapat bertahan pada air dan sedimen dalam jangka waktu lama, akibatnya tingginya tingkat paparan merkuri terhadap sumberdaya ikan dan non ikan serta manusia yang mengkonsumsi semberdaya tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan pengelolaan seperti menentukan faktor kunci proses kimia untuk mengurangi pergerakan merkuri, karakterisasi dan mengontrol sumber, prosedur pengelolaan lingkungan, pilihan perbaikan dan alat pemodelan (Randall and Chattopadhyay, 2013).

Banyaknya permasalahan yang di timbulkan merkuri sehingga perlu suatu perumusan pengelolaan agar dapat mencapai kelestarian dan keberlanjutan ekosistem dan semberdaya di dalamnya. Dua tawaran pengelolaan yang ditawarkan meliputi : 5.8.1. Pengelolaan dan Konservasi Ekosistem Mangrove

Keunggulan jenis mangrove adalah dapat menyerap berbagai logam di sedimen, sehingga pelestarian dan perlindungan ekosistem mangrove sangat penting sebagai bioremediasi merkuri di sedimen. Menurut Qiu et al., (2011) mangrove dapat menyerap merkuri di sedimen dengan baik, hal ini dibuktikan dengan menganalisis konsentrasi merkuri pada jaringan daun, batang dan akar menemukan tingginya konsentrasi merkuri pada jaringan mangrove. Mangrove dapat menyerap merkuri dari sistem perakarannya dari sedimen hingga dapat menyebabkan mutasi populasi Rhizophora mangle (Klekowski et al. 1999).

Permasalahan ekosistem mangrove di Kao Teluk saat ini di antaranya adalah konversi sebagai lahan perkebunan dan kebutuhan bahan baku kayu bakar. Menurunnya kawasan ekositem mangrove akibat eksploitasi dan pemanfaatan berlebihan, maka akan mengurangi peran ekologis terutama menyerap berbagai logam berat di sedimen. 5.8.2. Pertukaran Ion Membran Bioreaktor

Kontaminasi merkuri pada lingkungan perairan disebabkan oleh aktivitas alami dan manusia. aktivitas alam yang dapat menyumbang merkuri adalah vulkanik dan erosi sedimen yang mengandung merkuri. Aktivitas manusia yang menyumbang merkuri pada lingkungan adalah kegiatan penambangan emas, limbah industri, pembakaran batu bara, pulp dan kertas (Landis dan Yu, 1999). Efek merkuri terhadap kesehatan diantaranya dapat menimbulkan gangguan neurologis, ginjal, dengan mudah melewati sel dalam darah sehingga dapat mempengaruhi kinerja otak dan janin. Mengingat bahaya merkuri dapat membahayakan kesehatan, maka sangat penting upaya pengelolaan merkuri baik pada limbah yang mengandung merkuri maupun ekosistem perairan yang terkontaminasi merkuri. Beberapa jenis teknologi telah dikembangkan untuk pengelolaan merkuri meliputi presipitasi kimia, koagulasi, kapur pelunakan, reverse osmosis, ion-exchange dan absorpsi karbon aktif. Namun metode ini membutuhkan biaya yang tinggi. Selain tidak efisien, juga tidak efektif ketika

51

konsentrasi logam yang rendah. Salah satu metode yang efisien dan efektif dalam pengelolaan limbah cair adalah biopolymer yang sangat kuat dalam mengikat logam (Deans dan Dixon 1992; Seki dan Suzuki 1995).

Proses pengelolaan pertukaran ion bireaktor membutuhkan biaya yang besar, namun demi keberlanjutan ekosistem sumberdaya perairan sangat penting dibandingkan dengan biaya yang di keluarkan. Mahalnya biaya yang di butuhkan dalam pengelolaan tersebut karena melalui beberapa tahapan dan proses diantaranya adalah pemilihan membrane, mendemontrasikan proses tingkat efektifitas untuk menghilangkan merkuri, aplikasi pengelolaan air yang terkontaminasi merkuri lebih dari 98% yang dioptimalkan melalui pra-pengelolaan. Proses pengelolaan membran yang dapat mengurangi dampak merkuri terhadap lingkungan secara keseluruhan (Oehmen et al. 2014).

Banyak penelitian telah dilakukan menggunakan chitosan sebagai pemisahan logam berat pada fase air, dan disarankan untuk menggunakan chitosan sebagai bahan adsorben (Guibal et al. 2000; Wan Ngah et al. 2002; Kushwaha dan sudhakar, 2011; Vieiraa et al. 2011). Ion merkuri (II) diklasifikasikan sebagai ion lunak yang dapat membentuk ikatan yang sangat kuat dengan CN-, RS-, SH-, NH2- dan imidazole, yaitu kelompok atom yang mengandung nitrogen dan sulfur. Oleh karena itu, kelompok chitosan NH2- menunjukkan kapasitas adsorpsi yang sangat tinggi untuk ion merkuri (Volesky, 1990). Hal ini diketahui bahwa kelompok amina kitosan dapat menyerap logam melalui beberapa mekanisme termasuk interaksi kimia seperti khelasi, interaksi elektrostatik, seperti pertukaran ion, atau pembentukan pasangan ion. Untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi, beberapa turunan kitosan juga telah dikembangkan diantarnya kapasitas adsorpsi untuk Hg2+ berkisar 815 mg/g (Babel dan Kurniawan 2003). Selain itu, Edelio et al. (2001) melaporkan bahwa kapasitas adsorpsi kitosan untuk Hg2+ berkisar 435 mg/g.

Jeon dan Park, (2005) Karakteristik adsorpsi dan desorpsi penghilangan ion merkuri dan pemulihan dengan menggunakan chitosan dapat mengikat merkuri secara optimal pada suhu rendah. Sedangkan kapasitas adsorpsi merkuri menurun, efisiensi penghilangan meningkat sebagai mengakibatkan peningkatan dosis adsorben. Chitosan tidak dipengaruhi oleh kekuatan ion, bahan organik dan ion logam alkali tanah. Ion merkuri teradsorpsi pada chitosan yang terserap secara efektif sekitar 95%. Kushwaha dan Sudhakar, (2011) melaporkan adsorben Chitosan BG- memiliki kapasitas lebih baik dibandingkan dengan Chitosan G-. Chitosan G- dan BG- dapat mengabsobsi merkuri organik dan anorganik diantaranya adalah Hg2+, CH3Hg2+, dan C6H5Hg2+. Secara equilibrium Chitosan BG- proses absorbsinya jauh lebih cepat di bandingkan dengan Chitosan G-.

Partikel silica magnetik turunan kelompok dithiocarbamate memiliki kemampuan dalam mengabsobsi Hg(II). Partikel silica magnetic merupakan sorben yang efektif dalam menghilangkan Hg(II) pada perairan sintesis dan alami. Dimana proses absobsi sangat tergantung pada waktu paparan dan konsentrasi pattikel. Jumlah konsentrasi ion Cl- dan Na+ tidak mempengaruhi kuantitas Hg(II) yang hilang per gram pada kesetimbangan sorben tetapi dapat mengurang senyawa merkuri. Model Sips merupakan salah satu metode yang efektif sebagai kapasitas absobsi maksimum yaitu 206 mg/g pada suhu 21±1° C. Selain itu, pencangkokan partikel magnetik dan silica dengan kelompok dithiocarbamate

52

secara efektif mengabsorbsi senyawa merkuri pada perairan sungai dan laut. Keunggulan patikel dithiocarbamate memiliki afinitas terhadap senyawa merkuri yang tinggi, dapat menghilangkan merkuri secara selektif dan sangat efisien. Selain itu, mudah memisahkan sorben sebagai solusi magnetik karena sifat ferrimagnetik membuka prospek desain sorben untuk proses remediasi lingkungan dan pemulihan senyawan merkuri (Figueiraa et al. 2011).

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka ditarik beberapa kesimpulan berikut : 1. Konsentrasi merkuri pada air tertinggi di sekitar Muara Sungai Balaotin

dan terendah di sekitar Muara Sungai Kobok. Konsentrasi merkuri yang terdeteksi masih sesuai dengan baku mutu air laut berdasarkan US EPA (2009) yakni sebesar < 0,0018 ppm. Konsentrasi merkuri pada sedimen tertinggi di sekitar Muara Sungai Balaotin dan terendah di sekitara Muara Kobok. Konsentrasi merkuri yang terdeteksi pada sedimen masih dibawah baku mutu berdasarkan US EPA (1997) yaitu <0,2 ppm. Konsentrasi merkuri pada keong popaco (T. telescopium) tertinggi di sekitar Muara Sungai Cibok dan terendah di sekitar Muara Sungai Kobok. Konsentrasi merkuri yang terukur masih dibawah amabang batas untuk biota perairan yang direkomendasikan US EPA (2009) yakni 0,3 ppm.

2. Faktor biokonsentrasi merkuri pada keong popaco tertinggi di sekitar Muara Sungai Kobok dan terendah di sekitar Muara Sungai Balaotin.

3. Ekobiologi keong T. telescopium diantara adalah rata-rata indeks kepadatan tinggi di Muara Sungai Balaotin dan terendah di Muara Sungai Kobok. Pola sebaran keong T. telescopium di Muara Sungai Balaotin dan Muara Sungai Kobok adalah sebaran acak, sedangkan di Muara Sungai Cibok adalah sebaran mengelompok. Indeks kondisi keong di Muara Sungai Balaotin adalah kondisi sedang pada bulan Juli sedangkan pada Juni dan Agustus gemuk. Indeks kondisi keong popaco di Muara Sungai Cibok pada bulan Juni hingga Juli kondisi gemuk, sedangkan pada bulan Agustus kondisi sedang. Indeks kondisi di Muara Sungai Kobok pada bulan Juni dan Agustus adalah kondisi gemuk, sedangkan pada bulan Juli adalah kondisi kurus.

4. Paparan merkuri keong popaco (T. telescopium) yang terkontamiasi merkuri untuk anak-anak telah melampaui batas maksimum >1 ppm/kg/hari, sedangkan untuk orang dewasa <1 ppm/kg/hari. Paparan merkuri mingguan berada pada kisaran yang tinggi yakni >3.5 ppm/kg/minggu. Namun demikian, paparan merkuri dapat meningkat sejalan dengan tingkat konsumsi beberapa jenis ikan dan kerang yang tertangkap di perairan Kao Teluk.

5. Pengelolaan yang dapat memungkinkan untuk diterapkan di Teluk Kao saat ini adalah perlindungan dan konservasi ekosisitem mangrove. Dimana mangrove memiliki kemampuannya untuk menyerap merkuri di sedimen dan lebih efisien, sedangkan penggunaan bioaktif sebagai absorben membutuhkan biaya yang tinggi.

53

6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan agar mengurangi konsumsi

keong, kerang dan ikan yang terdapat di Teluk Kao, terutama untuk anak-anak. Perlu penelitian lanjutan tentang distribusi merkuri di Teluk Kao terutama konsentrasi merkuri pada partikel terlarut dan tersuspensi secara spasial dan temporal berdasarkan sumber dan siklus secara geokimia. Perlu penelitian lebih lanjut tentang resiko kesehatan yang disebabkan konsumsi ikan dan kerang yang terkontaminasi merkuri. Perlu penelitian lanjutan tentang laju penynerapan merkuri oleh jenis-jenis mangrove dan tumbuhan air lainnya sebagai alternative fitoremediasi untuk pengelolaan lingkungan pesisir dan laut.

Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak tersedianya data time series pada lokasi penelitian maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang distribusi merkuri secara spasial dan temporal serta prediksi pengayaan merkuri di lingkungan perairan. Disisi lain, pemahaman model prediksi proses mineralisasi secara geokimia maupun proses evaporasi serta deposisi atmosfir masih sangat terbatas, sehingga dalam menduga sumber pengayaan merkuri di lingkungan perairan masih sangat lemah. Selain itu, perlu penelitian lebih lanjut tentang afinitas bahan organik dan anorganik serta senyawa lainnya yang dapat meningkatkan merkuri di perairan. Parameter fisik-kimia secara komprehensif yang dapat menyebabkan merkuri terkonsentrasi dan terlarut, serta memungkinkan merkuri berikatan dengan senyawa lain yang dapat meningkatankan bioavailabilitas merkuri.

DAFTAR PUSTAKA Abirahim G, Parker R. 2008. Assessment of heavy metal enrichment factors and

the degree of contamination in marine sedimen from Tamaki Estuary, Aucland, New Zealand. Environtment Monitoring Assessment 38, (1-3), 227-238.

Ackerman JT, Overton CT, Casazza ML, Takekawa JY, Eagles-Smith CA, Keister, RA. Herzog, MP. 2012. Does mercury contamination reduce body condition of endangered california clapper rails? Environmental Pollution, 162, 439-448.

Akkanen J, Kukkonen JVK. 2003. Biotransformation and bioconcentration of pyrene in Daphnia magna. Aquatic Toxicology, 64, (1), 53–61.

Amin B, Ismail A, Arshad A, Yap, CK, Kamarudin MS. 2009. Anthropogenic impacts on heavy metal concentrations in the coastal sediments of Dumai, Indonesia. Environment Monitoring and Assessment, 148, 291–305.

Anggrahini S. 2008. Keamanan Pangan kaitannya dengan Penggunaan Bahan Tambahan dan Kontaminan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada.

Arnold PW, Birtles RA. 1989. Soft sediment marine invertebrates of Southeast Asia and Australia: A Guide to identification. Australian Institute of Marine Science Townsville, 272.

Atkinson CA, Jolley DF, Simpson SL. 2007. Effect of overlying water pH, dissolved oxygen, salinity and sediment disturbances on metal release and sequestration from metal contaminated marine sediments. Chemosphere 69, (9), 1428-1437.

54

Awalina, Sunanisari S. 2009. Pengaruh Variasi pH Dan Ion Klorida Terhadap Konstanta Stabilitas Kondisional Kompleks Merkuri Anorganik Di Sungai Cikaniki, Jawa Barat. LIMNOTEK. XVI, (2), 140-152.

Babel S, Kurniawan TA. 2003. Low-cost adsorbents for heavy metals uptake from contaminated water: a review. Journal Hazardous Material, 97, (1-3), 219–243.

Badan Standarisasi Nasional. 2008. Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan Air dan Air Limbah, SNI. 6986 57 ICS. 13.060.50

Baeyens W, Leermakers M, Papina T, Saprykin A, Brion N, Noyen J, De Gieter M, Elskens M, Goeyens L. 2003. Bioconcentration and Biomagnification of Mercury and Methylmercury in North Sea and Scheldt Estuary Fish. Environmental Contamination and Toxicology, 45, 498–508. DOI: 10-1007/S00244-003-2136-4.

Barus TA. 2004. Pengantar Limnologi: Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Univesitas Sumatra Utara Press, Medan.

Begum G. 2012. Ecotoxicology. Published by In Tech, Janeza Trdine 9, 51000 Rijeka, Croatia.

Beijer K, Jernelov A. 1979. Methylation of mercury in aquatic environments. In: Nriagu, J.O. (Ed.), Biogeochemistry of Mercury in the Environment. Elsevier/ North-Holland Biomedical Press, New York, pp. 203–210.

Belden JB, Ownby DR, Lotufo GR, Lydy MJ. 2005. Accumulation of trinitrotoluene (TNT) in aquatic organisms: Part 2—Bioconcentration in aquatic invertebrates and potential for trophic transfer to channel catfish (Ictalurus punctatus). Chemosphere, 58, 1161–1168.

Bengtsson G, Nordstorm S, Rundgren S. 1981. Population density and tissue metal concentration of lumbricids in forest soils near a brass mill. Environmental Pollution, 30, 87-108.

Bloom NS. 1992. On the chemical form of mercury in edible fish and marine invertebrate tissue. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 49, 1010-1017.

Boszke L, Kowalski A, Glosinska G, Szarek R, Siepak J. 2003. Environmental factors affecting of mercury in the bottom sediment; an; an overview. Polish Journal of Environmental Studies, 12, 5-13.

Boszke L, Glosinska G, Siepak J. 2002. Some aspects of speciation of mercury in water environment. Polish Journal of Environmental Studies, 11, 285-298.

Callister SM, Winfrey MR. 1986. Microbial methylation of mercury in Upper Wisconsin River sediments. Water Air Soil Pollution, 29, 453– 465.

Cardoso PG, Sousa E, Matos P, Henriques B, Pereira E, Duarte AC, Pardal MA. 2013. Impact of mercury contamination on the population dynamics of Peringia ulvae (gastropoda): Implications on metal transfer through the trophic web. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 129, 189-197.

55

Carroll RWH, Warwick JJ, Heim KJ, Bonzongo JC, Miller JR, Lyons WB. 2000. Simulation of mercury transport and fate in the Carson River, Nevada. Ecological Modelling, 125, 255– 278.

Chasar LC, Scudder BC, Stewart AR, Bell AH, Aiken GR. 2009. Mercury cycling in stream ecosystems. 3. trophic dynamics and methylmercury bioacumulation. Environment Science Technology, 48, 2733-2739.

Cordova M.R. 2011. Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta. Thesis. Tidak Dipublikasikan. Institut Pertanian Bogor

Cordova MR, Riani E. 2011. Konsentasi Logam Berat (Hg, Cd, Pb) Pada Air dan Sedimen Di Muara Sungai Angke, Jakarta. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 6, 1907-1043.

Covelli S, Faganeli J, Horvat M, Brambati A. 2001. Mercury contamination of coastal sediments as the result of long-term cinnabar mining activity (gulf of trieste, northern adriatic sea). Applied Geochemistry, 16, (5), 541-558.

Das S, Khangarot BS. 2011. Bioaccumulation of copper and toxic effects on feeding, growth, fecundity and development of pond snail lymnaea luteola l. Journal of Hazardous Materials, 185, (1), 295-305.

Deans JR, Dixon BG. 1992. Uptake of Pb2+ and Cu2+ by novel biopolymers. Water Resources, 26, 469–472.

Desta Z, Borgstrom R, Rosseland BO, Dadebo E. 2007. Lower than expected mercury concentration in piscivorous African sharptooth catfish Clarias gariepinus (Burchell). Science of Total Environment Journal, 376, 134-142.

Direktur Penilaian keamanan Pangan dan Balai Besar POM, 2009. Pendelegasian Pendaftaran Produk Pangan di Daerah. Buletin Badan Keamanan Pangan dan BPOM RI 15 (VIII) 1693-9344

Ding ZH, Liu JL, Li LQ, Lin HN, Wu H, Hu ZZ. 2009. Distribution and speciation of mercury in surficial sediments from main mangrove wetlands in China. Marine Pollution Bulletin, 58, (9), 1319–1325.

Driscoll CT. 1995. The Role Of Dissolved Organic Carbon In The Chemistry And Bioavailability Of Mercury In Remote Adirondack Lakes. Water, Air, Soil Pollution, 80, (1-4), 499-508.

Duarte B, Silva G, Costa JL, Medeiros JP, Azeda C, Sá E, Metelo I, Costa MJ, Caçador I. 2014. Heavy metal distribution and partitioning in the vicinity of the discharge areas of Lisbon drainage basins (Tagus Estuary, Portugal). Journal of Sea Research, 93, 101-111.

Duarte AC, Pereira ME, Oliveira JP, Hall A. 1991. Mercury desorption from contaminated sediments. Water Air Soil Pollutant, 56, (1), 77-82.

Edelio T, Cardenas G, Orlando P. 2001. Synthesis and applications of chitosan mercaptanes as heavy metal retention agent. International Journal of Biological Macromolecules, 28, (2), 167–174.

Edward. 2008. Pengamatan Kadar Merkuri di Teluk Kao dan Perairan Anggai Maluku Utara. Makara Sains. 12, 97-101

56

EPA. 2011. Regulatory Impact Analysis for the Final Mercury and Air Toxics Standards. U.S. Environmental Protection Agency, Office of Air Quality, Planning and Standards, Health and Environmental Impacts Division, Research Triangle Park, NC.

EPA. 2012. Methodology For Determining Chemical and Physical Properties, Factor Values and Screening Concentration Benchmarks. For Volatile Substances Listed in the u.s. Epa’s Superfund Chemical Data Matrix (SCDM). Washington, DC 20460.

Environmental Protection Agency/Agency for Toxic Substances and Disease Registry (EPA/ATSDR. 2012. Chemical-Specific Health Consultation for Joint EPA/ATSDR National Mercury Cleanup Policy Workgroup Action Levels For Elemental Mercury Spills. ATSDR Chemical Specific Health Consultation – Mercury. Division of Toxicology and Environmental Medicine Prevention, Response and Medical Support Branch Emergency Response Team.

Falusi BA, Olanipekun EO. 2007. Bioconcentration factors of heavy metals in tropical crab (Carcinus sp) from River Aponwe, Ado-Ekiti, Nigeria. Journal of Application Science Environment Manager, 11, (4), 51-54.

Falandysz J, Widzicka E, Kojta AK, Jarzyńska G, Drewnowska M, Dryżałowska A, Danisiewicz-Czupryńska D, Lenz E, Nnorom IC. 2012. Mercury in Common Chanterelles mushrooms: Cantharellus spp. update. Journal of Food Chemistry, 133, (3), 842-850.

Falter R. 1999. Experimental study on the unintentional abiotic methylation of inorganic mercury during analysis: Part 1: Localisation of the compounds effecting the abiotic mercury methylation. Chemosphere, 39, (7), 1051–1073.

Fang TH, Chen RY. 2010. Mercury contamination and accumulation in sediments of the East China Sea. Journal of Environmental Sciences, 22, (8), 1164-1170.

Figueira P, Lopesb CB, Daniel-da-Silvaa AL, Pereirab E, Duarte AC, Trindade T. 2011. Removal of mercury (II) by dithiocarbamate surface functionalized magnetite particles: Application to synthetic and natural spiked waters. Water Research, 45,(17), 5773–5784.

Gbaruko BC, Friday OU. 2007. Bioaccumulation of Heavy Metals in Some Fauna and Flora. International Journal Environment Science Technology, 4, (2), 197-202.

Guibal E, Vincent T, Navarro-Mendoza R. 2000. Synthesis and characterization of a thiourea derivative of chitosan for platinum recovery. Journal of Applied Polymer Science, 75, (1), 119–134.

Haitzer M, Höss S, Traunspurger W, Steinberg C. 1998. Effects of dissolved organic matter (DOM) on the bioconcentration of organic chemicals in aquatic organisms, a review. Chemosphere, 37, (7), 1335–1362.

Hamid M. 2011. Konsentrasi Merkuri Pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Darah (Anadara granosa Linn.) di Perairan Teluk Kao dan Guraping Halmahera Maluku. Tesis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.Tidak dipublikasi.

Hamsiah 2000. Peran Keong Bakau (Telescopium telescopium L.) Sebagai Biofilter dalam Pengelolaan Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Tesis

57

Ilmu Perairan Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.Tidak dipublikasi.

Hamsiah, Djokosetiyanto D, Adiwilaga EM, Nirmala K. 2002. Peranan Keong Bakau, Telescopium telescopium L., sebagai Biofilter dalam Pengelolaan Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1, (2), 57-63.

Hasan AB, Kabir S, Reza AHMS, Zaman MN, Ahsan A, Rasid M. 2013. Enrichment factor and geo-accumulation index of trace metals in sediments of the ship breaking area of Sitakund Upazilla (Bhatiary–Kumira), Chittagong, Bangladesh. Journal of Geochemical Exploration, 125, 130-137.

Haryanto, 2009. Fauna Moluska Mangrove di Kawasan Pesisir Pulau Sepanjang. Oseana, XXXIV, 1216-1877.

Hope B, Scatolini S, Titus E. 1998. Bioconcentration of chlorinated biphenyls in biota from the North Pacific Ocean. Chemosphere, 36, 1247–1261.

Houbrick RS. 1991. Systematic Review And Functional Morphology Of The Mangrove Snails Terebralia And Telescopium (Potamididae; Prosobranchia). Malacologia, 33, (1-2), 289-338.

Iavicoli I, Fontana L, Bergamaschi A. 2009. The effectors of metals as endocrine disruptors. Journal Toxicology Environment Health B, 12, (3), 206-223.

Ip CCM, Li XD, Zhang G, Wong CSC, Zhang WL. 2005. Heavy metal and Pb isotopic compositions of aquatic organisms in the Pearl River Estuary, South China. Environmental Pollution, 138, (3), 494-504.

Jaykus LA, Woolridge M, Frank MJ, Miraglia M, Gollop AMc, Tirado CC, Clarke R, Friel M. 2008. Climate change: Implications for Food Safety. Food Quality and Standards Service, Nutrition and Consumer Protection Division, FAO.

Jeon C, Park KH. 2005. Adsorption and desorption characteristics of mercury(II) ions using aminated chitosan bead. Water Research, 39, (16), 3938–3944.

Jonsson M, Fickb J, Klamindera J, Brodina T. 2014. Antihistamines and aquatic insects: Bioconcentration and impacts on behavior in damselfly larvae (Zygoptera). Science of The Total Environment, 472, 108–111.

Jonasson IR, Boyle RW. 1972. Geochemistry of mercury and origins of natural contamination of the environment. Canadian Mining Metals Bulletin, 65, 32–39.

Karabassi A, Munavari S, Bidhendi GRN, Nouri J, Nematpour K. 2008. Metal pollutin assessment of sediment and water Shur River. Environment Monitoring Assessment, 16, (1-3), 107-147.

Kelly CA, Rudd JWM, Holoka MH. 2003. Effect of pH on mercury uptake by an aquatic bacterium: implications for Hg cycling. Environment Science Technology, 37, (13), 2941–2946.

Kesavan A, Babu A, Ravi V. 2011. Mercury concentration in molluscs and sediments from Uppanar Estuary, Southeast Coast of India. Jurnal Formas, 3, (2), 297-301.

58

Kidd K, Hesslein R, Fudge R, Hallard K. 1995. The Influence Of Trophic Level As Measured By Delta-N-15 On Mercury Concentrations In Fresh-Water Organisms. Water, Air, and Soil Pollution, 80, (1-4), 1011-1015.

Kinghorn A, Solomon P, Chan HM. 2007. Temporal and spatial trends of mercury in fish collected inthe English-Wabigoon river system in Ontario,Canada. Science of Total Environment Journal, 372, (2-3), 615-623.

Kirk JL, St. Louis VL, Hintelmann H, Lehnherr I, Else B, Poissant L. 2008. Methylated mercury species in marine waters of the Canadian High and Sub-Arctic. Journal of Environment Science Technology, 42, (22), 8367–8373.

Klekowski EJ, Temple SA, Siung-Chang AM, Kumarsingh K. 1999. An association of mangrove mutation, scarlet ibis, and mercury contamination in Trinidad, West Indies. Environmental Pollution, 105, (2), 185–189.

Kojadinovic J, Potier M, Le Corre M, Cosson RP, Bustamante P.2006. Mercury content in commecial pelagic fish and its risk assesment in the western indian. Science of The Total Environment, 366, (2-3), 688-700.

Komala R, Yulianda F, Lumbanbatu DTF, Setyobudiandi I. 2011. Indeks Kondisi Kerang Darah (Anadara granosa) sebagai Indikator Kualitas Lingkungan di Teluk Lada Perairan Selat Sunda. Bioma IX,0126-3552.

Kushwaha S, Sudhakar PP. 2011. Adsorption of mercury(II), methyl mercury(II) and phenyl mercury(II) on chitosan cross-linked with a barbital derivative. Carbohydrate Polymers, 86, (2), 1055–1062.

Landis WG, Yu MH. 1999. Introduction to Environmental Toxicology: Impacts of Chemicals Upon Ecological Systems, second edition. CRC Press LLC, Boca Raton, FL.

Laporte JM, Andres S, Mason RP. 2002. Effect of ligands and other metals on the uptake of mercury and methylmercury across the gills and the intestine of the blue crab (Callinectes sapidus). Comparative Biochemistry and Physiology Part C, 131, (2), 185-196.

Lawson NM, Mason RP. 1998. Accumulation of Mercury in Estuarine Food Chains. Biogeochemistry, 40, 235-247.

Lawrence AL, Mason RP. 2001. Factors controlling the bioaccumulation of mercury and methyl mercury by the estuarine amphipod Leptocheirus plumulosus. Environmental Pollution, 111, (2), 217-231.

Leaner JJ, Mason RP. 2002. factors controlling the bioavailability of ingested methyl mercury to channel catfish and Atlantic Sturgeon. Environmental Science and Technology, 36, (23), 5124-5129.

Lehnherr I, St. Louis VL, Hintelmann H, Kirk JL. 2011. Methylation of inorganic mercury in polar marine waters. Nature Geoscience 4, 298–302.

Leiwakabessy F. 2005. Logam berat di perairan pantai Pulau Ambon dan korelasinya dengan kerusakan cangkang, rasio seks, ukuran cangkang, kepada individu dan indeks keragaman jenis siput Nerita (Neritidae: Gastropoda). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Tidak dipublikasi.

59

Liu HC, You CF, Huang BJ, Huh CA. 2013. Distribution and accumulation of heavy metals in carbonate and reducible fractions of marine sediment from offshore mid-western taiwan. Marine Pollution Bulletin, 73, (1), 37-46.

Liu J. 2008. Mercury Transport Through A Capped Sediment. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana State University and Agricultural and Mechanical College In partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in The Department of Chemical Engineering Louisiana State University.

Liu W, Chaspoul F, Botta C, De Meo M, Gallice P. 2010. Bioenergetics and DNA alteration of normal human fibroblasts by hexavalent chromium. Environment Toxicology Pharmacology, 29, (1), 58-63.

Luo W, Wang T, Jiao W, Hu W, Naile JE, Khim JS, Giesy JP. Lu Y. 2012. Mercury in coastal watersheds along the chinese northern bohai and yellow seas. Journal of Hazardous Materials, 215-216, (0), 199-207.

MacFarlane B. 2004. Mercury concentrations in water and sediment in resurrection Creek, Alaska (Final Report). USDA Forest Service Chugach National Forest Anchorage, AK.

McClanahan TR, Muthiga NA. 1992. Ccomparative sampling methods for subtidal epibenthic gastropos. Journal Experience Marine Biology and Ecology, 164, 87-101.

Maji S, Datta U, Hembram ML. 2010. Cell surface changes associated with in vitro capacitation and acrosome reaction of goat epididymal sperm by a marine bio-active comp Telescopium telescopium. Veterinarski Arhiv 80 (5), 561-570.

McIntyre JK, Beauchamp DA. 2007. Age and trophic position dominate bioaccumulation of mercury and organochlorines in the food web of Lake Washington. Science Total Environment, 372, (2-3), 571–584.

Meech JA, Veiga MM, Tromans D. 1998. Reactivity of mercury from gold mining activities in darkwater ecosystems. Ambio, 27, (2), 92–98.

Montagna P. 2004. Lavaca Bay Mercury Total Maximum Daily Load (TMDL) Study. Final Report University of Texas at Austin Marine Science Institute 750 Channel View Drive Port Aransas, Texas 78373, USA.

Munthe J, Bodaly RA, Branfireun BA, Driscoll CT, Gilmour CC, Harris R. 2007. Recovery of Mercury-Contaminated Fisheries. Environmental Science and Technology, 36, 33-44.

Mountouris A, Voutsas E, Tassios D. 2002. Bioconcentration of heavy metals in aquatic environments: the importance of bioavailability. Marine Pollution Bulletin, 44, 1136-1141.

Morel FMM, Kraepiel AML, Amiyot M. 1998. The chemical cycling and bioaccumulation of mercury. Annual Riviews Journal Ecology Evaluation and Systematics, 29, 543-566.

Natan Y. 2008. Studi Ekologi dan Reproduksi Populasi Kerang Lumpur Anodontia edentula pada Ekosistem Mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam. Disertasi Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasi.

60

Nordic. 2003. Cadmium Review. Denmark: Prepared by COWI A/S on behalf of the Nordic Council of Ministers.

Nugroho ES, Efrizal T, Zulfikar A. 2013. Condition Factor And Heavy Length Relationship Selikur's Fish (Scomber australasicus) at Natuna's Oceanic One that is Landed at Pelantar Kud Tanjungpinang's City. Management Aquatic Resources Faculty of Marine Science and Fisheries, University Maritime Raja Ali Haji.

Oehmen A, Vergel D, Fradinho J, Maria AMR, Crespo JG, Velizarov S. 2014. Mercury removal from water streams through the ion exchange membrane bioreactor concept. Journal of Hazardous Materials, 264, 65-70.

Onrizal, Simarmata FSP, Wahyuningsih H. 2009. Keanekaragaman Makrozoobenthos pada Hutan Mangrove yang Direhabilitasi di Pantai Timur Sumatra Utara. Jurnal Natur Indonesia, 11, (2), 94-103.

Pavlogeorgatos G, Kikilias V. 2002. The importance of mercury determination and speciation to the health of the general population. Global Nest: the International Journal, 4, (2-3), 107-125.

Pentreath, R.J. 1976. The accumulation of mercury from seawater by the plaice (Pleuronectus platessa). Journal of Experimental Marine Biology and Ecolgy, 24, (2), 121-132.

Pong-Masak PR, Pirzan AM. 2006. Komunitas Makrobentos Pada Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Malakosa Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah. Biodeversitas, 7, (4), 1412-1422.

Pratama RR, Efrizal T, Viruly L. 2013. Analisis Tingkat Kepadatan Dan Pola Persebaran Populasi Siput Laut Gonggong (Strombus cannarium) di Perairan Pesisir Pulau Dompak. Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Qiu YW, Yu KF, Zhang G, Wang WX. 2011. Accumulation and partitioning of seven trace metals in mangroves and sediment cores from three estuarine wetlands of Hainan Island, China. Journal of Hazardous Materials 190, (1-3), 631-638.

Rachmawatie, Hidayah Z, Abida IW. 2009. Analisis Konsentrasi Merkuri (Hg) dan Cadmium (Cd) di Muara Sungai Porong sebagai Area Buangan Limbah Lumpur Lapindo. Jurnal Kelautan, 2, (1), 42-52.

Rainbow PS. 1995. Physiology, physicochemistry and metal uptake: a crustacean prespective. Marine Pollution Bulletin, 31, (1-3), 55-59.

Ramial PS, Rudd JWM, Furutam A, Xun L. 1985. The effect of pH on methyl mercury production and decomposition in lake-sediments. Canadian Journal Fish Aquatic Science, 42, (4), 685–692.

Randall PM, Chattopadhyay S. 2013. Mercury contaminated sediment sites—An evaluation of remedial options. Journal of Environmental Research, 125, 131-149.

Riani E. 2009. Kerang Hijau (Perna viridis) Ukuran Kecil sebagai "Vacum Cleaner" Limbah Cair. Jurnal Alami, Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 14(3): 24 – 30.

61

Riani E. 2011. Gangguan Reproduksi Akibat Pencemaran Logam Berat Pada Kerang Hijau (Perna viridis) yang Dibudidaya Di Perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta. Jurnal Moluska Indonesia. 3: 65-69.

Riani E. 2012. Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik (Bioakumulasi Bahan Berbahaya dan Beracun dan Reproduksi). IPB Press 216 hal

Riani E, Sudarso Y, Cordova MR. 2014. Heavy metals effect on unviable larvae of Dicrotendipes simpsoni (Diptera: Chironomidae), a case study from Saguling Dam, Indonesia. AACL Bioflux 7(2): 76-84.

Riniatsih I, Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (Bivalvia) di ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. Ilmu Kelautan 12, (1), 53-58.

Ricker WE. 1995. Computation and Interpretation of biological of fish populations. Bulletin Fisheries Rescours Board Canada, 19, 191-382.

Richman LA. Wren CD. Stokes PM. 1988. Facts and fallacies concerning mercury uptake by fish in acid stressed lakes. Water Air Soil Pollutant, 37, (3-4), 465-473.

Rinda K. 2008. Studi Pencemaran Logam Berat Kadmium (Cd), Merkuri (Hg) dan Timbal (Pb) Pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Bulu di Perairan Pantai Lekok Pasuruan. Jurusan Biologi, Fakultas Sains Universitas Islam Negeri, Malang.

Riyanto. 2004. Pola Distribusi Keong Mas (Pomacea canaliculata L.) di Kecamatan Belitang Oku. Majalah Sriwijaya, 32, 70-75.

Rochyatun E, Rozak A. 2007. Pemantauan Logam Berat dalam Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Makara Sains, 11, (1), 28-36.

Sanchez-Chardi A, Lopez-Fuster MJ, Nadal J. 2007a. Bioaccumulation of lead, mercury, and cadmium in the greater white-toothed shrew, Crocidura russula, from the Ebro Delta (NE Spain): sex-and age-dependent variation. Environment Pollution, 145, (1), 7-14.

Sanchez-Chardi A, Penarroja-Matutano C, Oliveira Ribeiro CA. Nadal, J. 2007b. Bioaccumulation of metals and effects of a landfill in small mammals. Part II. The wood mouse. Apodemus sylvaticus Chemical, 70, (1), 101-109.

Seki H, Suzuki A. 1995. Adsorption of heavy metal ions on insolubilized humic acid. Journal Colloid Interface Science, 171, (2), 490–494.

Selid PD, Xu H, Collins EM, Faca-Collins MS, Zhao JX. 2009. Sensing mercury for biomedical and environmental monitoring: Review. Sensor, 9, (7), 5446-5459.

Shaheen SM, Tsadilas CD, Rinklebe J. 2013. A review of the distribution coefficients of trace elements in soils: Influence of sorption system, element characteristics, and soil colloidal properties. Advances in Colloid and Interface Science, 202, 43-56.

Schindler DW, Hesslein RH, Wagemann R. 1980. Effects of acidification on mobilization of heavy-metals and radionuclides from the sediments of a fresh- water lake. Canadian Journal Fish Aquatic Science, 37, (3), 373–377.

62

Schluter K. 2000. Review: evaporation of mercury from soils. An integration and synthesis of current knowledge. Environment Geology, 39, (3-4), 249-271.

Schwindt AR, Fournie JW, Landers DH, Schreck CB, Kent ML.2008. Mercury concentration in samonids from western US National Parks and Relationships with age and Macrophage Aggregates. Environment Science Technology, 42, (4), 1365-1370.

Shah SL. 2005. Effects of Heavy Metal Accumulation on the 96-h LC50 Values in Tech Tinca tinca. L., 1758. Research Article. Turkish Journal of Veterinary Animal Science, 29, (1), 139-144.

Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan (Terapan Metode Pengambilan Contoh di Wilayah Pesisir dan Laut. MAKAIRA-FPIK Institut Pertanian Bogor, 7, 979-99021.

Suresh M, Arularasan S, Ponnusamy K. 2012. Distribution of molluscan fauna in the artificial mangroves of Pazhayar back water canal, Southeast Coast of India. Advances in Applied Science Research, 3, (3), 1795-1798. Pelagia Research Library, 0976-8610.

Standar Nasional Indonesia. 2003. Cara Uji (Hg) secara Cold Vapor denga Spektrofotometer serapan Atom atau Meruury Analyzer. Kualitas Air Laut, SNI 19-6964.2. ICS 19.040.

Standar Nasional Indonesia. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Pangan. SNI 7387. ICS 67-220-20.

Stordal MC, Gill GA. 1995. Determination of mercury methylation rates using a 203-Hg radiotracer technique. Water Air Soil Pollution, 80, 725–734.

Sunda WG, Huntsman SA. 1998. Processes regulating cellular metal accumulation and physiological effects: phytoplankton as model systems. Science of the Total Environment, 219, (2-3), 165-181.

Sudarmaji, Mukono J, Corie. 2006. Toksikologi Logam Berat B3 dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Universitas Airlangga, 2, (2), 129-142.

Suseno H, Hudyono SPWS. 2011. Respon Enzim Antioksidan pada Bioakumulasi Senyawaan Merkuri Pada Oreochromiss mossambicus. Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 14, (2), 56-61.

Taftazani, A. 2004. Distribusi Konsentrasi Logam Berat Hg Dan Cr Pada Sampel Lingkungan Perairan Surabaya. Prosiding PPI – PDIPTN Pustek Akselerator dan Proses Bahan, PTAPB-BATAN, Yogyakarta, ISN: 0216 – 3128, 36-45.

Taylor DL, Linehan JC, Murray DW, Prell WL. 2012. Indicators of sediment and biotic mercury contamination in a southern New England estuary. Marine Pollution Bulletin, 64, (4), 807–819.

Tuomola L, Niklasson T, de Castro e Silva E, Hylander LD. 2008. Fish mercury development in relation to abiotic characteristics and carbon sources in a six-year-old, Brazilian reservoir. Science of The Total Environment, 390 (1), 177–187.

63

Umar MT, Meagaung WM, Fachrudi L. 2001. Kandungan logam berat tembaga (Cu) pada air, sediment dan kerang Marcia, sp. di Teluk Parepare, Sulawesi Selatan. Marina Chimica Acta, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Hasanuddin, 6, (2), 21-24.

UNEP. 2011. Mercury in the Aquatic Environment: Sources, Releases, Transport and Monitoring. Division of Technology, Industry and Economics (DTIE) Chemicals Branch, Geneva, Switzerland.

U.S. EPA. 1997. Mercury Study Report to Congress, Office of Air Quality Planning and Standards and Office of Research and Development, U.S. Environmental Protection Agency, EPA/452/R-96/001A-H.

US EPA. 2002. Methodology for deriving water quality criteria for the protection of human helth, technical support document, (2) : Development of National Bioaccumulation Factors. U.S. Environment Protection Agency, Washinton DC.

United States Department of Agriculture (2014). Natural Resources Consevation Service.http://www.nrcs.usda.gov/wps/portal/nrcs/detail/soils/survey/tools/?cid= nrcs142p2_054167.

Usman S, La Nafie N, Ramang M. 2013. Distribusi Kuantitatif Logam Berat Pb dalam Air, Sedimen dan Ikan Merah (Lutjanus erythropterus) di Sekitar Perairan Pelabuhan Parepare. Marina Chimica Acta, Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Hasanuddin, 14, (2), 50-55.

Verhaert V, Covaci A, Bouillon S, Abrantes K, Musibono D, Bervoets L, Verheyen E, Blust R. 2013. Baseline levels and trophic transfer of persistent organic pollutants in sediments and biota from the congo river basin (DR Congo). Environment International, 59, 290-302.

Wang Y, Wen Y, Li JJ, He J, Qin WC, Su LM, Zhao YH. 2014. Investigation on the relationship between bioconcentration factor and distribution coefficient based on class-based compounds: The factors that affect bioconcentration. Environmental Toxicology and Pharmacology, 38, (2), 388–396.

Waraouw ZWM. 2008. Teknologi Bioremediasi sebagai Pembersih Lahan Tercemar Metil Merkuri. Jurnal Formas, 1, (4), 292-301.

Watras CJ, Bloom NS, Class SA, Morisson KA, Gilmour CC, Craig SR. 1995. Methyl-mercury production in the anoxic hypolimnion of a dimictic seepage lake. Water, Air and Soil Pollution, 80, (1-4), 735–745.

Watras Carl J, Back RC, Halvorsen S, Hudson RJ, Morrison KA, Wente SP. 1998. Bioaccumulation of mercury in pelagic freshwater food webs. Science of the Total Environment, 219, (2-3), 183-208.

Watras, Carl J, Morrison KA, Host JS, Bloom NS. 1995. Concentration of mercury species in relationship to other site-specific factors in the surface waters of Northern Wisconsin Lakes. Limnology Oceanography, 40, (3), 556-565.

Weinberg J. 2010. An NGO Introduction to Mercury Pollution. International POPS Elimination Network.

64

World Health Organization (WHO). Safety evaluation of certain food additives and contaminants WHO Food Additive Series No. 44, Methylmercury. 2000. Available from URL: http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v44jec13.htm.

WHO. Safety evaluation of certain food additives and contaminants WHO Food Additive Series No. 52. Methylmercury (Addendum) 2004. Available from URL: http://www.inchem.org/documents/jecfa/jecmono/v52je23.htm.

WHO. Evaluation of certain food additives and contaminants (Sixty-seventh report of the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) WHO Technical Report Series, No. 940 (2006, TRS 940-JECFA 67), 2007. Available from URL: http://whqlibdoc.who.int/trs/WHO_TRS_940_eng.pdf.

Widhiyatna D, Tjahjono B, Gunrady R, Sukandar MM, Ta’in Z. 2005. Pendataan Sebaran Merkuri Di daerah Cineam, KabupatenTasikmalaya, Jawa Barat dan Sangon, Kabupaten Kulon Progo, Di Yogyakarta. Subdit Konservasi.

Williams SC, Sompson HJ, Olsen CR, Bopp RF. 1978. Sources of heavy metals in sedimenns of the hudson river estuari. Marine Chemistry, 6, (3), 195-213.

Wilken RD, Hintelmann H. 1991. Mercury and Methylmercury in sediments and Suspended Particle from the River ELuria Bertanie, Nort Germany. Water Air Soil Pollutions, 56, 427-437.

Whalin L, Kim EH, Mason R. 2007. Factors influencing the oxidation, reduction, methylation, and demethylation of mercury species in coastal waters. Journal of Marine Chemistry, 107, (3), 278-294.

Ngah WWS, Endud CS, Mayanar R. 2002. Removal of copper(II) ions from aqueous solution onto chitosan and cross-linked chitosan beads. Reactive and Functional Polymer, 50, (2), 181–190.

Yoga PG, Sudarso Y, Suryono T, Awalina, Syawal MS, Yustiawati. 2009. Bioakumulasi Logam Merkuri Pada Beberapa Tipe Kebiasaan Makan Fungsional Biota Air Di Sungai Cikaniki. Limnotek XVI, 167-179.

Yan H, Feng X, Shang L, Qiu G, Dai Q, Wang S. 2008. The variations of mercury in sediment profiles from a historically mercury-contaminated reservoir, Guizhou province, China. Science of the Total Environment, 407, (1), 497–506.

Yap CK, Noorhaidah. 2011. Gill and Digestive Caecum of Telescopium telescopium as Biomonitors of Pb Bioavailability and Contamination by Pb in the Tropical Intertidal Area. Sains Malaysiana, 40, 1075–1085.

Zagar D,Knap A, Warwick JJ, Rajar R, Horvat M, Cetina M. 2006. Modelling of mercury transport and transformation processes in the Idrijca and Soca river system. Science of the Total Environment, 368, (1), 149– 163.

Zheng S, Wang P, Wang C, Hou J, Qian J. 2013. Distribution of metals in water and suspended particulate matter during the resuspension processes in Taihu Lake sediment, China. Quaternary International, 286, 94-102.

Zhou Q, Zhang J, Fu J, Shi J, Jiang G. 2007. Biomonitoring: an appealing tool for assessment of metal pollution in the aquatic ecosystem. Analytical Chimica Acta, 606, (2), 135–150.

65

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Analisis Tekstur Sedimen dan C-Organik

No.Lab No.Lapang Walkley & Black Tekstur

C-Organik Pasir Debu Liat …(%)… …..(%)…..

F 9864 11 + 1 6.62 40.08 34.35 25.57 F 9865 11 + 2 6.06 40.96 27.92 31.12 F 9866 11 + 3 7.42 44.17 43.52 12.31 F 9867 12 + 1 4.00 45.31 38.43 16.26 F 9868 12 + 2 6.46 48.11 32.51 19.38 F 9869 12 + 3 6.38 31.05 45.18 23.77 F 9870 13 + 1 6.06 31.20 37.72 31.08 F 9871 13 + 2 6.70 33.79 37.04 29.17 F 9872 13 + 3 6.70 35.20 42.73 22.07 F 9873 21 + 1 6.62 26.36 49.39 24.25 F 9874 21 + 2 4.78 37.53 36.44 26.03 F 9875 21 + 3 4.54 71.80 22.47 5.73 F 9876 22 + 1 5.18 49.52 35.51 14.97 F 9877 22 + 2 6.22 39.56 37.57 22.87 F 9878 22 + 3 5.82 50.57 36.63 12.80 F 9879 23 + 1 4.00 43.73 38.09 18.18 F 9880 23 + 2 6.30 21.26 45.11 33.63 F 9881 23 + 3 3.43 58.95 26.32 14.73 F 9882 31 + 1 7.58 28.11 44.38 27.51 F 9883 31 + 2 5.10 12.39 45.87 41.74 F 9884 31 + 3 5.98 55.08 31.82 13.10 F 9885 32 + 1 5.98 23.36 54.35 22.29 F 9886 32 + 2 4.00 11.15 45.46 43.39 F 9887 32 + 3 5.98 52.62 34.81 12.57 F 9888 33 + 1 6.78 36.78 41.47 21.75 F 9889 33 + 2 5.02 7.83 48.66 43.51 F 9890 33 + 3 7.02 33.61 42.31 24.08

66

Lampiran 2. Bukti analisis konsentrasi merkuri pada air di Baristan Manado

67

Lampiran 3. Bukti analisis konsentrasi merkuri pada sedimen dan keong popaco (T. Telescopim) di Baristan Manado

68

Lampiran 4. Kondisi Muara Sungai Kobok

Lampiran 5. Kondisi Muara Sungai Cibok

Lampiran 6. Kondisi Muara Sungai Balaotin

69

Lampiran 7. Kondisi keong popaco di Muara Sunga Balaotin (ST I)

Lampiran 8. Kondisi keong popaco di Muara Sungai Cibok (ST II)

70

Lampiran 9. Kondisi keong popaco di Muara Sungai Kobok (ST III)

71

Lampiran 10. Penanganan Keong popaco di Laboratorium Fakultas Perikanan, Universitas Khairun

Lampiran 11. Pengukuran Panjang Cangkan (cm)

Lampiran 12. Pengukuran Bobot Cangkan keong (g)

72

Lampiran 13. Pemisahan daging keong dari cangkang

Lampiran 14. Pengeringan daging dan cangkang keong

Lampiran 15. Penimbangan daging keong (g)

73

Lampiran 16. Analisis Segi Tiga Tekstur secara online

74

Lampiran 17. Segi tiga tekstur di Muara Sungai Balaotin adalah lempung liat

75

Lampiran 18. Segi tiga tekstur di Muara Sungai Cibok adalah liat dan lempung berpasir

76

Lampiran 19. Segi tiga tekstur sedimen di Muara Sungai Kobok adalah liat dan lempung berdebu

77

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kayoa, Halmahera Selatan pada tanggal 10 Oktober 1982 sebagai anak bungsu dari pasangan Samman dan Jubaidah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate, lulus pada tahun 2008 dan pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Program Pascasarjana IPB. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Ditjen Pendidikan Tinggi. Penulis bekerja sebagai Dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan pada tahun 2008 dan ditempatkan di Ternate. Selama mengikuti program S-2, penulis mempublikasikan Jurnal Karya Ilmiah berjudul Konsentrasi merkuri dan hubungannya dengan indeks kepadatan keong popaco (T. telescopium) di Kao Teluk, Halmahera Utara telah diterbikan di Jurnal DEPIK UNSIA di Banda Aceh pada bulan Agustus 2014 karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2.

Indeks Singkatan AAS ATSDR BARIATAND BCF DOC DOM EPA FAO FDA Hg HgCl CH3HgCl Igeo Kd MeHg NOAA POM PT. NHM PETI PMH SNI UNEP WHO

: Atomic absorption spectrometer : Agency for Toxic Substances and Disease Registry : Balai Riset dan Standarisasi Industri Daerah : Bioconcentration factor : Dissolved organic carbon : Dissolved organic matter : Environmental Protection Agency : Food and Agriculture Organization : Food Drug Administration : Hydragyrum : Merkuri anorganik : senyawa alkil merkuri : Indeks geokonsentrasi : Koefisien distribusi : Metil Merkuri : National Oceanic and Atmospheric Administration : Badan Pengawas Obat dan Makanan : Perseroan Terbatas Nusa Halmahera Mineral : Penambangan Eman Tanpa Izin : Paparan Merkuri Harian : Standar Nasional Indonesia : United Nations Environment Program : World Health Organization

Istilah Bimagnifikasi Bioakumulasi Biokonsentrasi Kompartemen Afinitas

: Penyerapan senyawa merkuri yang masuk ke dalam rantai makanan sehingga secara berurutan meningkatkan senyawa tersebut dari produsen hingga konsumen tertinggi.

: Proses perpindahan senyawa merkuri ke dalam organisme yang kemudian akan ditimbun dalam sel atau jaringan tubuhnya.

: Kemampuan suatu organisme untuk mengolah atau merubah suatu senyawa senyawa yang berbahaya menjadi suatu senyawa yang lebih sederhana dan tidak membahayakan.

: Ruang tempat zat bebas masuk dan bercampur secara homogen dan terjadi pertukaran zat dari luar ke dalam atau sebaliknya

: Kecenderungan suatu unsur atau senyawa untuk membentuk ikatan kimia dengan unsur atau senyawa lain.