KEMASYARAKATAN SUKU PADANG

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suku Padang atau dalam hal ini pun lazim disebut sebagai Suku Minang atau Minangkabau adalah salah satu suku dengan jumlah yang cukup besar di Indonesia. Tentunya sebagai sebuah suku, orang-orang yang hidup dengan memegang teguh adat dan kebiasaan yang telah lama hidup dan turun temurun dalam masyarakat padang atau minangkabau itu sendiri. Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dan menjadikan suku padang atau minangkabau ini berbeda dari suku-suku lain yang hidup di Indonesia. Pertama, masyarakat padang hidup dalam ikatan adat dan agama yang terjalin secara kuat dan harmonis sehingga munculah semboyan “adat basandi syara, syara basandi kitabulah” atau yang kira-kira memiliki makna bahwa antara adat dan agama haruslah terjalin kesinergisan diantara keduanya. Kedua adalah sistem matrilineal yang merupakan satu- satunya yang diterapkan oleh suku-suku di Indonesia, di tengah dominasi sistem kekerabatan patrilineal yang diterapkan hampir seluruh suku-suku yang ada di Indonesia. Namun, ditengah gempuran modernisasi dan globalisasi, masihkah harmonisasi antara adat dan agama masih dijunjung tinggi oleh suku padang? Bagaimana dengan kondisi suku padang 1

Transcript of KEMASYARAKATAN SUKU PADANG

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku Padang atau dalam hal ini pun lazim disebut sebagai

Suku Minang atau Minangkabau adalah salah satu suku dengan

jumlah yang cukup besar di Indonesia. Tentunya sebagai sebuah

suku, orang-orang yang hidup dengan memegang teguh adat dan

kebiasaan yang telah lama hidup dan turun temurun dalam

masyarakat padang atau minangkabau itu sendiri.

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dan menjadikan

suku padang atau minangkabau ini berbeda dari suku-suku lain

yang hidup di Indonesia. Pertama, masyarakat padang hidup

dalam ikatan adat dan agama yang terjalin secara kuat dan

harmonis sehingga munculah semboyan “adat basandi syara, syara

basandi kitabulah” atau yang kira-kira memiliki makna bahwa antara

adat dan agama haruslah terjalin kesinergisan diantara

keduanya.

Kedua adalah sistem matrilineal yang merupakan satu-

satunya yang diterapkan oleh suku-suku di Indonesia, di tengah

dominasi sistem kekerabatan patrilineal yang diterapkan hampir

seluruh suku-suku yang ada di Indonesia.

Namun, ditengah gempuran modernisasi dan globalisasi,

masihkah harmonisasi antara adat dan agama masih dijunjung

tinggi oleh suku padang? Bagaimana dengan kondisi suku padang

1

yang berada di perantauan? Terutama karena suku padang dikenal

sebagai salah satu dengan tingkat perantauan paling tinggi di

Indonesia? Apakah keunikan sistem kemasyarakatan dan

kekerabatan yang khas dari suku padang masih dipertahankan

hingga kini? Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa

jawabanya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan

sebelumnya, penulis merumuskan beberapa pokok masalah yang

akan dijelaskan lebih lanjut adalah:

1. Apakah pandangan dan kajian teoritis mengenai budaya?

2. Bagaimanakah sejarah penamaan kota Padang?

3. Bagaimanakah kondisi geografi dan demografi kota Padang?

4. Bagaimanakah identifikasi mengenai Suku Padang?

5. Bagaimanakah sistem kemasyarakatan yang dipakai oleh Suku

Padang?

6. Bagaimanakah sistem kekerabatan yang dipakai oleh Suku

Padang?

7. Bagaimanakah eksistensi dari pola kemasyarakatan dan

kekerabatan Suku Padang saat ini?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini

disusun dengan tujuan untuk mengetahui :

2

1. Untuk mengetahui pandangan dan kajian teoritis mengenai

budaya.

2. Untuk memahami sejarah penamaan kota Padang.

3. Untuk mengetahui kondisi geografi dan demografi kota Padang.

4. Untuk mengetahui identifikasi mengenai Suku Padang.

5. Untuk mengetahui sistem kemasyarakatan yang dipakai oleh

Suku Padang.

6. Untuk mengetahui sistem kekerabatan yang dipakai oleh Suku

Padang.

7. Untuk memahami eksistensi dari pola kemasyarakatan dan

kekerabatan Suku Padang saat ini.

D. Manfaat Penulisan Makalah

Makalah ini ditulis dengan harapan memberikan kegunaan

baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis

makalah ini berguna untuk membantu memperbaiki kesalahan

bahasa yang biasa digunakan dalam penulisan karya tulis

ilmiah. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat baik

bagi penulis maupun bagi pembaca terutama untuk menambah

informasi dan pengetahuan tentang keanekaragaman dan kekhasan

suku-suku yang ada di Indonesia, khususnya suku Padang yang

menjadi fokus dalam makalah ini.

E. Sistematika Penulisan Makalah

3

Makalah yang berjudul “Kemasyarakat Suku Padang ” terdiri

atas tiga bab, yaitu :

Bab 1: Pada bab ini berisi Pendahuluan, latar belakang

penulisan makalah, rumusan hal-hal apa saja yang akan dibahas

dalam makalah ini, tujuan apa yang akan dihasilkan dalam

penulisan makalah ini, serta berisi mengenai manfaat dari

penulisan makalah ini serta sistematika yang digunakan atau

yang di bedah pada makalah ini.

Bab II : Pada bab ini berisi Pembahasan mengenai pandangan

dan kajian teoritis tentang budaya, suku, dan matrilineal.

Sejarah Penamaan Kota Padang, Kondisi Geografi dan Demografi

Kota Padang, Identifikasi Suku Padang, Sistem Kemasyarakatan

Suku Padang, Sistem Kekerabatan Suku Padang, dan Eksistensi

Pola Kemasyarakatan dan Kekerabatan Suku Padang.

Bab III : Pada bab ini berisi simpulan, yang menyimpulkan

secara keseluruhan apa yang dibahas dalam makalah ini.

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Teoritis

Menurut Soerjanto Poespowardojo 1993 budaya adalah

keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri

manusia dengan cara belajar.

Lehman, Himstreet, dan Batty, mengartikan budaya sebagai

sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka

sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah

banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku

dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri.

Maka, budaya yakni merupakan suatu sistem gagasan, hasil

karya ataupun pengalaman dalam kehidupan suatu masyarakat.

Dalam Ensiklopedia Indonesia suku bangsa berarti kelompok

sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti

5

atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa

dan sebagaiannya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik

memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik

yang digunakan ataupun tidak). Sistem nilai, serta adat

istiadat dan tradisi.

Fredrick Barth sendiri menyatakan bahwa etnis atau suku

bangsa adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama,

asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang

terikat pada sistem nilai budaya.

Menurut Hassan Shadily MA, suku bangsa atau etnis adalah

segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan

biologis.

Dapat disimpulkan bahwa suku bangsa adalah sekelompok

orang atau masyatakat yang memiliki ikatan akan kebudayaan

karena kedudukan, adat atau asal-usul.

Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur

alur keturunan beradal dari pihak ibu. Kata ini seringkali

disamakan dengan matriarkhat atau matiarkhi. Meskipun pada

dasarnya artinya berbeda. Matrilineal sendiri berasal dari dua

katam yaitu dalam bahasa latin adalah mater yang berarti “ibu”

dan lineal berarti “garis. Jadi matrilinel yakni berarti

mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu.

B. Sejarah Penamaan Kota Padang

6

Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini

Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah

lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan

Padang. Dalam bahasa Minang, kata padang juga dapat bermaksud

pedang. Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya

merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para

perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek).

Tempat permukiman pertama mereka adalah perkampungan di

pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama

Seberang Padang. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya,

pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatera berada

di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung. Namun, pada awal abad

ke-17 kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan

Kesultanan Aceh.

Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai

kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan

nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar

pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini

ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari terjadinya

pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli

VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat

perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad

ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui

Pelabuhan Teluk Bayur.

7

Saat ini Kota Padang menjadi pusat perekonomian dengan

jumlah pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat.

Selain itu, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan

kesehatan di wilayah Sumatera bagian tengah, disebabkan

keberadaan sejumlah perguruan tinggi (termasuk Universitas

Andalas, kampus tertua di luar Pulau Jawa) dan fasilitas

kesehatan yang cukup lengkap. Di kalangan masyarakat

Indonesia, nama kota ini banyak dikenal sebagai sebutan lain

untuk etnis Minangkabau, dan juga digunakan untuk menyebut

masakan khas mereka yang umumnya dikenal sebagai masakan

Padang.

C. Kondisi Geografi dan Demografi Kota Pandang

Kota Padang terletak di pantai barat pulau Sumatera,

dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65%

dari luas provinsi Sumatera Barat. Lebih dari 60% luas Kota

Padang (±434,63 km²) merupakan daerah perbukitan yang ditutupi

hutan lindung, sementara selebihnya merupakan daerah efektif

perkotaan. Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 84 km

dan pulau kecil sebanyak 19 buah (di antaranya yaitu Pulau

Sikuai dengan luas 4,4 ha di Kecamatan Bungus Teluk Kabung,

Pulau Toran seluas 25 ha dan Pulau Pisang Gadang di Kecamatan

Padang Selatan). Daerah perbukitan membentang di bagian timur

dan selatan kota. Bukit-bukit yang terkenal di Kota Padang di

antaranya adalah Bukit Lampu, Gunung Padang, Bukit Gado-Gado,

dan Bukit Pegambiran.

8

Secara geografis, Kota Padang termasuk salah satu daerah

rawan gempa bumi. Pada tahun 1833, Residen James du Puy

melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan

8.6–8.9 skala Richter di Padang yang menimbulkan tsunami.

Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli

pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter,

yang juga menimbulkan tsunami di pesisir Kota Padang dan

menyebabkan kerusakan pada kawasan Pantai Air Manis.

Pada 30 September 2009, kota ini kembali dilanda gempa

bumi berkekuatan 7,6 skala Richter, dengan titik pusat gempa

di laut pada 0.84° LS dan 99.65° BT dengan kedalaman 71 km,

yang menyebabkan kehancuran 25% infrastruktur yang ada di kota

ini. Dalam kunjungan serta mengawasi secara langsung proses

evakuasi dan pemulihan karena bencana ini, Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono meminta seluruh aparat pemerintah untuk

mengutamakan kegiatan tanggap darurat kemudian dilanjutkan

dengan rehabilitasi serta rekonstruksi. Pada 27 Oktober 2010

presiden kembali ke kota ini untuk meninjau dan memastikan

kegiatan tanggap darurat atas bencana gempa bumi dan tsunami

yang terjadi di Kepulauan Mentawai.

Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat

bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas permukaan

laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan.

Suhu udaranya cukup tinggi, yaitu antara 23 °C–32 °C pada

siang hari dan 22 °C–28 °C pada malam hari, dengan

kelembabannya berkisar antara 78%–81%. Kota Padang memiliki

9

banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil,

dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km.

Tingkat curah hujan Kota Padang mencapai rata-rata 405,58 mm

per bulan dengan rata-rata hari hujan 17 hari per bulan.

Tingginya curah hujan membuat kota ini cukup rawan terhadap

banjir. Pada tahun 1980 2/3 kawasan kota ini pernah terendam

banjir karena saluran drainase kota yang bermuara terutama ke

Batang Arau tidak mampu lagi menampung limpahan air tersebut.

Data Iklim Kota Padang

Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov DesTah

un

Rata-

rata

terti

nggi

°C

(°F)

30

(86

)

30

(86

)

30

(86

)

30

(86

)

30

(86

)

30

(86

)

29

(85

)

29

(85

)

29

(84

)

29

(84

)

29

(84

)

29

(85

)

29.

5

(85

.3)

Rata-

rata

teren

dah

°C

(°F)

24

(75

)

24

(75

)

24

(75

)

24

(76

)

24

(75

)

23

(74

)

23

(74

)

23

(74

)

23

(74

)

24

(75

)

23

(74

)

24

(75

)

23.

6

(74

.7)

Presi

pitas

i mm

(inci

)

340

(13

.39

)

250

(9.

84)

300

(11

.81

)

370

(14

.57

)

300

(11

.81

)

270

(10

.63

)

270

(10

.63

)

320

(12

.6)

380

(14

.96

)

480

(18

.9)

510

(20

.08

)

460

(18

.11

)

4.2

90

(16

8,9

)

10

1. Tata Ruang

Kota Padang memiliki karakteristik ruang perkotaan yang

menghadap Samudera Hindia dan dikelilingi oleh jajaran

Pegunungan Bukit Barisan. Perkembangan kawasan urban di

Padang bergerak ke arah utara dan timur dari kawasan kota

tua di muara Batang Arau. Penataan wilayah kota saat ini

mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah (RT/RW) Kota Padang Tahun 2010–2030. Wilayah

barat Padang yang berdekatan dengan pantai merupakan kawasan

jantung perkotaan yang menjadi pusat bisnis, sedangkan

wilayah timur dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan

pusat pendidikan. Pemindahan pusat pemerintahan Kota Padang

ke wilayah timur (Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah) pada

tahun 2010 adalah salah satu upaya mengurangi konsentrasi

penduduk di kawasan pusat kota.

2. Kependudukan

Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling

banyak di provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data

kependudukan tahun 2008, diketahui rasio jenis kelamin

99.13, sedangkan jumlah angkatan kerja 344.497 orang dengan

jumlah pengangguran 50.343 orang. Pada tahun 2009 kota ini

bersama dengan kota Makassar, Denpasar, dan Yogyakarta,

ditetapkan oleh Kemendagri sebagai empat kota proyek

percontohan penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis

Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Indonesia.

11

Tahun181

91874 1930 1971 1980 1990 2008 2010 2012

Jumlah

pendud

uk

8.5

0025.

000

52.

054

195.

912

480.

607

631.

263

856.

815

833.

584

871.

534

Sejarah kependudukan Kota Padang

D. Identifikasi Suku Padang

Seperti beberapa suku lainya di Indonesia, suku Padang

merupakan suatu suku besar yang di dalamnya terdapat beberapa

klan, yang oleh masyarakat padang sendiri disebut sebagai

suku. Beberapa suku besar ini diantaranya adalah suku Koto,

Piliang, Bodi, dan Caniago. Dalam perkembanganya, muncul

berbagai suku-suku lain, yang terkadang ciri- ciri nya sudah

sulit dibedakan dengan suku induk, diantaranya adalah:

1. Suku Tanjung

2. Suku Sikumbang

3. Suku Sipisang

4. Suku Bendang

5. Suku Melayu (Minang)

6. Suku Guci

7. Suku Panai

8. Suku Jambak

9. Suku Kutianyie

10. Suku Kampai

11. Suku Payobada

12. Suku Pitopang

13. Suku Mandailiang

14. Suku Mandaliko

15. Suku Sumagek

16. Suku Dalimo

12

17. Suku Simabua

18. Suku Salo

19. Suku Singkuan

Seperti yang telah dijelaskan pada poin-poin sebelumnya,

bahwa suku padang berasal dari daerah sekitar Sumatera Barat,

dan sekarang pun mayoritas dari mereka tinggal disana.

Walaupun, menurut hasil studi yang pernah dilakukan oleh

Mohctar Naim di tahun 1973, pada tahun 1961 terdapat sekitar

32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat,

tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %.

Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar

pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di

Indonesia.

Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa

mencapai 70 %, bahkan lebih. Hal ini berdasarkan penelitian

acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua

pertiga saudaranya hidup di perantauan. Kini wanita suku

padang pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan

ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier

dan melanjutkan pendidikan. Selama dalam perantauan ini juga

mereka menggeluti berbagai macam profesi mulai dari bagian

pemerintahan, guru, dokter dan pedagang. Namun, tetap yang

paling dikenal adalah profesi mereka di bidang wirausaha

terutama di bidang kuliner dengan membuka rumah makan Padang.

Beberapa tokoh terkenal dalam sejarah bangsa ini pun merupakan

keturunan suku Padang, diantaranya adalah Mohammad Hatta,

Sutan Syahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Agus Salim,13

Muhammad Natsir, Mr.Assat, Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan

Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, Chairil Anwar, Taufik

Ismail, dan Rosihan Anwar.

Asal-usul suku Padang sendiri merupakan bagian dari

masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi

dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-

2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini

masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai

Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).

Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke

daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang

terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan.

Secara umum, kebudayaan suku-suku yang hidup di wilayah

sumatera memiliki garis persamaan, dengan budaya melayu yang

memang menyebar dari wilayah Malaya dsk. Begitupun dengan suku

padang. Salah satu contohnya dapat kita lihat dalam penggunaan

bahasanya, bahasa melayu dan bahasa padang memiliki kesamaan

bentuk, yang membedakan hanyalah dari perubahan bunyi pada

beberapa huruf dan kata. Begitupun dengan bahasa Indonesia,

yang membedakanya hanya bunyi huruf vokal “a” dan “e” pada

bahasa Indonesia diganti menjadi bunyi “o” pada bahasa Padang.

E. Sistem Kemasyarakatan

Di daerah Minangkabau terdapat tiga macam stratifikasi

sosial, dalam beberapa masyarakat keadaan ini boleh dikatakan

14

meliputi seluruh kehidupan masyarakat, sebagaimana terdapat

pada masyarakt di padang dan pariaman. Pada masyarakat ini

golongan bangsawan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam

masyarakat. Seorang laki-laki bangsawan mendapat layanan yang

istimewa, kalau mereka menikah tidak perlu memberi balanja

istrinya. Bahkan untuk menikahi seorang gadis, ia akan

mendapat sejumlah uang yang besar sebagai uang jemputan.

Menurut konsepsi orang minangkabau, perbedaan lapisan

sosial dinyatakan dengan istilah-istilah sebagai berikut:

1. Urang asa yaitu orang yang dianggap bangsawan kedudukannya

paling tinggi

2. Kemenakan tali pariuk yaitu keturunan langsung urang asa

3. Kemenankan tali budi yaitu orang yang dating ke wilaya urang

asa, tetapi karena kedudukan mereka tinggi dan mereka

mempunyai tanah yang luas sehingga dianggap sederajat dengan

keluarga-keluarga urang asa.

4. Kemenakan tali ameh yaitu pendatang yang menjalin hubungan

dengan urang asa melalui perkawinan

5. Kemenakan bawah lutuik yaitu orang yang hidupnya menghamba

kepada urang asa

Namun demikian pelapisan sosial ini semakin hilang dan

berubah menjadi bentuk lain. Sistem kebangsawanan dalam

masyarakat ini didasarkan pada penguasaan tanah, dan tanah itu

tidak digunakan untuk menghasilkan tanamanyang dapat dijual

sehingga mendatangkan hasil yang banyak, Sehingga penghasilan

yang didapat dari tanah tidak bertambah. Hal yang terjadi15

dengn orang-orang dari lapisan lain sebaliknya. Mereka mencari

cara lain untuk mendapatkan hasil yaitu dengan jalan berniaga.

Ternyata mereka lebih cepat mendapat kemajuan, dengan kekayaan

yang mereka dapat mereka dapat naik derajat dalam masyarakat.

Secara adat, sistem pemerintahan di minangkabau dibedakan

dalam dua sistem:

1. Bodi-Caniago (sistem demokrasi) : musyawarah memegang peran

penting

2. Koto Piliang (otokrasi) : penghulu tetap pdari sebuah

keluarga tertentu dan tidak dipilih.

Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut

pola matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari

mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal.

Terdapat kontradiksi iantara pola matrilineal dengan pola

pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan

orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang,

dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta

pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan

berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah

merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh

berdasarkan hukum Islam.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Adat_Minangkabau)

F. Sistem Kekerabatan

16

Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau

diperhitungkan menurut garis matrilineal. Seorang termasuk

keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah

berada di luar keluarga anak dan istrinya. Anggota dari sebuah

keluarga Minangkabau dapat diperhitungkan sebagai berikut

( dengan memperhitungkan dua generasi di atas ego laki-laki

dan satu generasi dibawahnya. Seorang ayah dalam keluarga

Minangkabau termasuk keluarga lain dari keluarga istri dan

anaknya, sama halnya dengan seorang anak dari seorang laki-

laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya. Karena itu,

keluarga batih menjadi kabur dalam sistem kekeluargaan

Minangkabau. Keluarga batih tidak merupakan kesatuan yang

mutlak, meskipun tidak dapat di bantah bahwa keluarga batih

memegang peranan penting juga dalam pendidikan dan masa depan

anak-anak mereka, dan tidak hanya berfungsi untuk pengembangan

keturunan. Kesatuan keluarga yang terkecil atas dasar prinsip

terurai diatas adalah paruik ( perut ). Dalam sebagian

masyarakat Minangkabau ada kesatuan kampung yang memisahkan

paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari ketiga

macam kesatuan kekerabatan ini, paruik yang betul-betul dapat

dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat

genealogis. Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang

laki-laki dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai

niniek mamak bagi keluarga itu. Istilah mamak itu berarti

saudara laki-laki ibu. Tanggung jawab untuk memperhatikan

kepentingan sebuah keluarga memang terletak pada pundak

17

seorang atau beberapa orang mamak. Hal itu tidak berarti bahwa

generasi yang lebih tua dari mereka dibebaskan dari kewajiban

itu. Untuk memasukkan mereka digunakan kata niniek mamak yang

kadang kala dipendekkan menjadi mamak.

Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen

matrilineal.dan jodoh harus dipilih di luar suku. Di beberapa

daerah seorang hanya terlarang kawin dalam kampungnya sendiri

sedangkan di daerah-daerah lain orang harus kawin di luar

sukunya sendiri. Secara historis mungkin dapat dikatakan bahwa

dulu seorang selalu harus kawin keluar dari sukunya sendiri.

Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau sebenarnya tidak

mengenal mas kawin. Tidaklah menjadi sistem pengantin laki-

laki memyerahkan suatu pemberian kepada pengantin perempuan

sebagai suatu hal yang di wajibkannya oleh agama islam. Di

beberapa daerah keluarga pengantin perempuan memberi kepada

keluarga pengantin laki-laki sejumlah uang atau barang sebagai

alat, untuk menjemputnya supaya suka mengawini perempuan tadi.

Ini biasanya disebut uang jemputan tetapi yang penting dalam

perkawinan dalam masyarakat Minangkabau ialah pertukaran benda

lambang antara dua keluarga yang bersangkutan, berupa cincin

atau keris. Sesudah upacara perkawinan yang pertama dilakukan

di rumah pengantin perempuan, si suami menumpang tinggal di

rumah istrinya. Pada masa dulunya ia datang berkunjung ke

rumah istrinya pada waktu malam saja, yaitu selagi ia tetap

tinggal dalam desanya sendiri. Kalau terjadi perceraian si

18

suami harus meninggalkan rumah istrinya dan anak-anak dari

perkawinan itu akan tinggal bersama ibunya.

Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada larangan seseorang

untuk mempunyai lebih dari satu istri. Orang-orang dengan

kedudukan sosial tertentu, memang kadang-kadang suka melakukan

perkawinan poligini, yang menjadi sasaran serangan golongan

muda. Diatas telah disebutkan adanya kelompok kekerabatan

sebagai paruik, kampung dan suku. Suku dan kampung dapat

dianggap sebagai kelompok yang formel, suku dipimpin oleh

seorang penghulu suku sedangkan kampung oleh seorang panghulu

andiko atau datuek kampung. Karena suku dan kampung dalam

beberapa hal juga berhubungan dengan sistem kemasyarakatan.

Dalam pesta-pesta perkawinan dan lain-lain peristiwa keluarga

dapat kita lihat adanya beberapa kelompok kekerabatan yang

saling bersangkutan. Laki-laki yang mengawini seorang

perempuan dari satu paruik atau kampung di sebut urang

sumando. Kaum kerabat laki-laki dari si perempuan di sebut

niniek mamak. Kaum kerabat perempuan dari penganten laki-laki

disebut pasumandan. Bagi seorang anak, kaum kerabat ayahnya

adalah bako yang di beberapa daerah disebut induk bako.

Seorang anak dari anggota laki-laki dari paruiknya sendiri

disebut anak pisang. Kelompok-kelompok ini penting, karena

pula peristiwa-peristiwa keluarga ini anak pisang harus

menyumbangkan tenanganya bila ada sesuatu pesta atau kematian

dalam keluarga bakonya. Seorang istri harus bekerja di rumah

pasumandannya kalau di sana ada suatu pesta dan sebagainya.

19

G. Eksistensi Pola Kemasyarakat Suku Padang

Menurut

https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-71.pdf

telah banyak terjadi perubahan dalam sistem istilah

kekerabatan Minangkabau. Perubahan terjadi untuk sebagian

istilah kekerabatan misalnya sebutan atau sapaan untuk ayah

dan ibu sudah mengalami beberapa kali perubahan dari abak,

amai, menjadi apak, amak menjadi ayah, ibu,dan kemudian

berubah menjadi papa mama dan terakhir papi dan mami.

Perubahan tersebut memang tidak terjadi untuk semua keluarga

masih ada dalam masyarakat yang memakai istilah kekerabatan

apak, amak, sedangkan abak dan amai sudah hampir hilang,

kemudian dalam masyarakat ada yang memakai istilah ayah, ibu,

atau papa mama. Pemakaian istilah kekerabatan yang lebih baru

papa dan mama tidak hanya digunakan oleh kelas terntentu atau

yang lebih berada tetapi juga masyarakat biasa. Hal ini

menandakan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat

egaliter yang bisa cepat menerima sesuatu yang datang dari

luar. Walaupun kadang-kadang ada halangan psikologis terhadap

penggunaan istilah tersebut yang datang dari dalam masyarakat

itu sendiri. Bagi sebagian masyarakat penggunaan istilah mama

dan papa kurang cocok untuk diterapkan di desa, istilah

tersebut cocok untuk orang-orang berada atau kaya. Menurut

mereka kurang pantas orang yang pekerjaan di sawah atau di

ladang anak-anak mereka memanggil mereka dengan papa dan mama.

20

Hal ini kemudian melahirkan anekdot-anekdot yang lucu yang

menjadi bahan percakapan di warung, nanti kalau ada yang

bertanya pada anaknya, kemana mamanya atau papanya, anaknya

misalnya menjawab mama dan papa ke sawah, hal itu bagi

dianggap kurang cocok atau kurang pantas. Anekdot lain

mengatakan kalau anaknya memanggil papa uang jajan untuk anak

itu lebih besar, contoh kalau anak-anak menyebut ayahnya

dengan istilah bapak uang jajannya cukup Rp 1000,- tetapi

kalau anak-anak memanggil ayahnya dengan papa tidak bisa uang

jajannya Rp 1000,- tetapi harus Rp 5000,-. Selain dinamika

dalam istilah kekerabatan untuk ayah dan ibu perubahan juga

terjadi untuk sebutan atau panggilan untuk saudara laki-laki

ibu yaitu dari mamak menjadi om. Perubahan tersebut sama

dengan sebutan untuk panggilan mama dan papa tidak semua

keluarga terjadi perubahan istilah ini.

Berkaitan dengan perubahan panggilan dari mamak menjadi om

yang terjadi kelihatannya adalah seiring dengan perubahan

peran mamak itu sendiri. Mamak lebih terikat kepada peran

tradisional sebagai pembimbing kemenakan dan juga pembimbing

keberlangsungan adat kemudian sekarang perannya semakin

berkurang. Istilah Om berasal dari bahasa Belanda kemudian

diadopsi ke bahasa Indonesia yang kemudian juga mempengaruhi

istilah kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau. Om dalam

bahasa Indonesia lebih ditujukan pada saudara laki-laki ibu

atau saudara laki-laki ayah ayah, tetapi dalam masyarakat

Minangkabau istilah om cendrung untuk mengganti istilah mamak

21

saudara laki-laki ibu, om tidak lazim digunakan untuk saudara

laki-laki ayah. Perubahan peran saudara laki-laki ibu

berhubungan dengan perubahan dari istilah Mamak ke istilah om.

Perubahan penggunaan istilah ini bisa diartikan indikasi

perubahan yang terjadi dalam sistem kekerabatan itu sendiri.

Semakin melemahnya keluarga luas dan menguatnya keluarga inti.

Perubahan dari istilah mamak menjadi om mungkin menandakan

perubahan dari peran mamak tradisional ke peran saudara laki-

laki ibu yang tidak terlalu terikat dengan nilai-nilai

tradisional lagi. Perubahan juga bisa dikaitkan analisa Levi

Strauss (dalam Koentjaraningrat, 1986) mengenai sistem

kekerabatan. Levis Strauss menjelaskan adanya hubungan positif

dan negatif dalam hubungan kekerabatan. Hubungan positif

adalah hubungan yang akrab, mesra dan terbuka sedang hubungan

yang negatif adalah hubungan saling menghormati, segan

menyegani dan bersifat kaku. Levi Straus selalu menempatkan

hubungan ini dalam bentuk oposisi misalnya kalau seorang

perempuan mempunyai hubungan positif dengan suaminya hubungan

dengan saudara laki-lakinya negatif, demikian juga sebalik.

Kembali pada hubungan mamak dan kemenakan dalam masyarakat

Minangkabau hubungan tersebut lebih bersifat negatif karena

mamak dalam masyarakat Minangkabau sangat disegani ataukadang-

kadang ditakuti karena tugasnya adalah mengotrol perilaku

kemenakannya. Perubahan istilah kekerabatan dari mamak ke om

juga bisa dilihat dalam konteks ini hubungan yang dulu negatif

antara mamak dengan kemenakan menjadi hubungan yang positif.

22

Hubungan mamak kemenakan tidak lagi kaku hubungan tersebut

telah berubah menjadi hubungan yang akrab dan terbuka. Menurut

salah seorang mamak di Sumpur kelihatannya seperti itu, Azwar

seorang laki-laki yang bekerja sebagai PNS di kota Padang dan

sekali-sekali pulang kampung menceritakan hal seperti itu. Dia

memiliki anak-anak dari saudara perempuannya yang masih

tinggal di kampung dia dipanggil om oleh kemenakannya.

Bagi dia tidak masalah dan panggilan om tersebut membuat

dia merasa lebih dekat dengan kemenakannnya. Hubungan dengan

kemenakannya lebih bersifat bersahabat mesra dan bersenda

gurau. Berbeda dengan hubungan mamak kemenakan masa lampau

yang lebih bersifat formal dan kaku. Dia sering bercanda kalau

bertemu dengan kemenakannya saat pulang kampung. Ada perbedaan

sedikit dalam istilah kekerabatan antara darek dan rantau di

nagari Sungai Asam yang mewakili daerah rantau panggilan untuk

kakak laki-laki adalah ajo. Sedangkan dalam masyarakat

Minangka bau lainnya panggilan untuk kakak laki-laki adalah

uda. Demikian juga dengan panggilan untuk kakak perempuan di

Sungai Asam panggilannya uniang dan di Sumpur panggilannya

uni. Perubahan dalam istilah kekerabatan ini karena pengaruh

kota istilah untuk ajo atau uda sebagian anak-anak memakai

istilah abang untuk kakak laki-lakinya. Sedangkan untuk

istilah uniang dan uni sebagian anak menggantikannya dengan

kakak. Perubahan ini kelihatannya dipengaruhi oleh televisi

dan banyaknya orang yang pulang pergi dari rantau.

23

Namun ditemukan lagi data yang berbeda dengan data di

atas, di dalam artikel

http://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-

simg-ui-2012-jilid-2-20.pdf dituliskan adat atau tata cara

dalam sistem matrilineal yang di anut masyarakat Minangkabau

ini, tidak akan atau bahkan sulit untuk hilang sepenuhnya.

Karena hingga saat ini, masih banyak upaya-upaya yang

dilakukan oleh masyarakatnya untuk mempertahankan identitas

mereka tersebut. Yang juga disebutkan dalam pepatah Minang,

adat nan tak lekang dek paneh, tak lapuak dek hujan. Apapun

yang akan terjadi, adat tidak akan pernah lekang oleh segala

macam problematika. Termasuk perubahan zaman yang kini dikenal

dengan istilah era globalisasi, yang dinyatakan oleh

masayarakat Minang dalam petatah petitihnya yang berbunyi,

tapian bisa baraliah, duduak buliah baranjak, asa dilapiak nan

sahalai, tagak buliah bapaliang, asa ditanah nan sabingkah.

(Chalid, 2004) perubahan pasti akan terjadi, perkembangan

zaman tidak akan mungkin untuk dihindari, oleh karena itu kita

sebagai makhluk berbudaya hendaknya tetap melestarikan adat

istiadat yang ada agar tidak terkikis oleh perkembangan zaman.

Masyarakat Minangkabau juga memiliki suatu keyakinan yang

tertuang didalam pepatah adat mereka, dima bumi dipijak,

disitu langik dijunjuang, secara arti dan makna sama dengan

pepatah Indonesia dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.

Bahwa, dimanapun kita berada, kita harus menyesuaikan diri

dengan kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Begitu juga

24

masyarakat Minangkabau, yang terkenal dengan tradisi

merantaunya. Meskipun demikian, namun ada pepatah lain yang

diyakini masyarakat Minangkabau agar mereka tetap menjaga

identitas mereka sebagai masyarakat Minangkabau, meskipun

mereka telah merantau ke luar dari daerahnya sendiri. Namun

tetap, akan ada aturan-aturan yang harus disesuaikan dengan

perkembangan zaman, maupun aturan yang berlaku secara umum

maupun global.

Adat istiadat dalam masyarakat atau yang lebih dikenal

sebagai sistem Matrilineal, tidak akan pernah benar-benar

hilang sebagai identitas budaya mereka. Namun yang akan

mereka lakukan hanyalah penyesuaian-penyesuian dengan segala

elemen yang memungkinkan terjadinya peleburan, seperti

bertolak belakang dengan landasan agama maupun perkembangan

era globalisasi yang mulai memaksa adat dan budaya daerah

melakukan penyesuaian terhadapnya. Sebagai generasi penerus

budaya, beberapa dari generasi muda kini tidak akan tinggal

diam, ketika adat istiadat mereka mulai terkikis. Mereka akan

melakukan upaya-upaya untuk melestarikannya. Sekalipun mereka

harus melakukan penyesuaian-penyesuaian pada beberapa elemen.

25

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Lehman, Himstreet, dan Batty, mengartikan budaya sebagai

sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka

sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah

banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku

dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri.

2. Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini

Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah

lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan

Padang.

Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai

kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan

nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar

pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah

bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

3. Kota Padang adalah kota terbesar di pantai barat Pulau

Sumatera sekaligus ibu kota dari provinsi Sumatera Barat,

Indonesia. Kota ini memiliki wilayah seluas 694,96 km²

26

dengan kondisi geografi berbatasan dengan laut namun

memiliki daerah perbukitan yang ketinggiannya mencapai 1.853

mdpl. Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat

bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas

permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan

Lubuk Kilangan.

Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling

banyak di provinsi Sumatera Barat

4. Beberapa suku besar yang berada di Padang diantaranya

adalah suku Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago. Asal-usul suku

Padang sendiri merupakan bagian dari masyarakat Deutro

Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan

China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun

yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari

arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar

hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).

Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke

daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera,

yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di

selatan.

5. Sistem kemasyarakatan yang dipakai oleh Suku Padang,

menurut konsepsi orang minangkabau, perbedaan lapisan sosial

dinyatakan dengan istilah-istilah sebagai berikut:

a. Urang asa yaitu orang yang dianggap bangsawan

kedudukannya paling tinggi

27

b. Kemenakan tali pariuk yaitu keturunan langsung urang asa

c. Kemenankan tali budi yaitu orang yang dating ke wilaya

urang asa, tetapi karena kedudukan mereka tinggi dan

mereka mempunyai tanah yang luas sehingga dianggap

sederajat dengan keluarga-keluarga urang asa.

d. Kemenakan tali ameh yaitu pendatang yang menjalin

hubungan dengan urang asa melalui perkawinan

e. Kemenakan bawah lutuik yaitu orang yang hidupnya

menghamba kepada urang asa

6. Sistem kekerabatan yang dipakai oleh Suku Padang yakni di

lihat dari garis keturunan ibu atau dikenal dengan garis

matrilineal. Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai

suatu klen matrilineal.dan jodoh harus dipilih di luar suku.

7. Eksistensi dari pola kemasyarakatan dan kekerabatan Suku

Padang saat ini memang terjadi beberapa perubahan dalam

sistem istilah kekerabatan Minangkabau, hal ini menunjukkan

bahwa masyarakat Minangkabatu merupakan masyarakat yang

egaliter yang bisa cepat menerima sesuatu yang datang dari

luar. Meskipun begitu, adat atau tata cara dalam sistem

matrilineal yang di anut masyarakat Minangkabau ini, tidak

akan atau bahkan sulit untuk hilang sepenuhnya. Karena

hingga saat ini, masih banyak upaya-upaya yang dilakukan

oleh masyarakatnya untuk mempertahankan identitas mereka

tersebut

28

DAFTAR PUSTAKA

Sumber : Ningrat, Kountjara. (2004). Manusia dan Kebudayaan

Indonesia. Jakarta: Djambatan.

NN. (2013). Adat Minangkabau. [Online]. Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Adat_Minangkabau

NN. (2013). Adat Minangkabau. [Online]. Tersedia:

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Padang

Sukma, Mairda.(2012). Pengertian Patrilinel, Matrilineal dan Bilateral.[Online]. Tersedia:http://chachanomarisu.blogspot.com/2012/11/pengertian-patrilinel-matrilineal-dan.html

Ahira, Anne. ( ). Pengertian Suku Bangsa: Berbeda dalam Segala.

[Online]. Tersedia: http://www.anneahira.com/pengertian-suku-

bangsa.htm

Anggraeni, Rosyana. (2012). Pengertian Budaya Menurut Para Ahli.

[Online]. Tersedia :

http://rosyanaanggraeni.blogspot.com/2012/11/pengertian-

budaya-menurut-para-ahli.html

29

30