BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suku Padang atau dalam hal ini pun lazim disebut sebagai
Suku Minang atau Minangkabau adalah salah satu suku dengan
jumlah yang cukup besar di Indonesia. Tentunya sebagai sebuah
suku, orang-orang yang hidup dengan memegang teguh adat dan
kebiasaan yang telah lama hidup dan turun temurun dalam
masyarakat padang atau minangkabau itu sendiri.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dan menjadikan
suku padang atau minangkabau ini berbeda dari suku-suku lain
yang hidup di Indonesia. Pertama, masyarakat padang hidup
dalam ikatan adat dan agama yang terjalin secara kuat dan
harmonis sehingga munculah semboyan “adat basandi syara, syara
basandi kitabulah” atau yang kira-kira memiliki makna bahwa antara
adat dan agama haruslah terjalin kesinergisan diantara
keduanya.
Kedua adalah sistem matrilineal yang merupakan satu-
satunya yang diterapkan oleh suku-suku di Indonesia, di tengah
dominasi sistem kekerabatan patrilineal yang diterapkan hampir
seluruh suku-suku yang ada di Indonesia.
Namun, ditengah gempuran modernisasi dan globalisasi,
masihkah harmonisasi antara adat dan agama masih dijunjung
tinggi oleh suku padang? Bagaimana dengan kondisi suku padang
1
yang berada di perantauan? Terutama karena suku padang dikenal
sebagai salah satu dengan tingkat perantauan paling tinggi di
Indonesia? Apakah keunikan sistem kemasyarakatan dan
kekerabatan yang khas dari suku padang masih dipertahankan
hingga kini? Dalam makalah ini akan dipaparkan beberapa
jawabanya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, penulis merumuskan beberapa pokok masalah yang
akan dijelaskan lebih lanjut adalah:
1. Apakah pandangan dan kajian teoritis mengenai budaya?
2. Bagaimanakah sejarah penamaan kota Padang?
3. Bagaimanakah kondisi geografi dan demografi kota Padang?
4. Bagaimanakah identifikasi mengenai Suku Padang?
5. Bagaimanakah sistem kemasyarakatan yang dipakai oleh Suku
Padang?
6. Bagaimanakah sistem kekerabatan yang dipakai oleh Suku
Padang?
7. Bagaimanakah eksistensi dari pola kemasyarakatan dan
kekerabatan Suku Padang saat ini?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini
disusun dengan tujuan untuk mengetahui :
2
1. Untuk mengetahui pandangan dan kajian teoritis mengenai
budaya.
2. Untuk memahami sejarah penamaan kota Padang.
3. Untuk mengetahui kondisi geografi dan demografi kota Padang.
4. Untuk mengetahui identifikasi mengenai Suku Padang.
5. Untuk mengetahui sistem kemasyarakatan yang dipakai oleh
Suku Padang.
6. Untuk mengetahui sistem kekerabatan yang dipakai oleh Suku
Padang.
7. Untuk memahami eksistensi dari pola kemasyarakatan dan
kekerabatan Suku Padang saat ini.
D. Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dengan harapan memberikan kegunaan
baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis
makalah ini berguna untuk membantu memperbaiki kesalahan
bahasa yang biasa digunakan dalam penulisan karya tulis
ilmiah. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat baik
bagi penulis maupun bagi pembaca terutama untuk menambah
informasi dan pengetahuan tentang keanekaragaman dan kekhasan
suku-suku yang ada di Indonesia, khususnya suku Padang yang
menjadi fokus dalam makalah ini.
E. Sistematika Penulisan Makalah
3
Makalah yang berjudul “Kemasyarakat Suku Padang ” terdiri
atas tiga bab, yaitu :
Bab 1: Pada bab ini berisi Pendahuluan, latar belakang
penulisan makalah, rumusan hal-hal apa saja yang akan dibahas
dalam makalah ini, tujuan apa yang akan dihasilkan dalam
penulisan makalah ini, serta berisi mengenai manfaat dari
penulisan makalah ini serta sistematika yang digunakan atau
yang di bedah pada makalah ini.
Bab II : Pada bab ini berisi Pembahasan mengenai pandangan
dan kajian teoritis tentang budaya, suku, dan matrilineal.
Sejarah Penamaan Kota Padang, Kondisi Geografi dan Demografi
Kota Padang, Identifikasi Suku Padang, Sistem Kemasyarakatan
Suku Padang, Sistem Kekerabatan Suku Padang, dan Eksistensi
Pola Kemasyarakatan dan Kekerabatan Suku Padang.
Bab III : Pada bab ini berisi simpulan, yang menyimpulkan
secara keseluruhan apa yang dibahas dalam makalah ini.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teoritis
Menurut Soerjanto Poespowardojo 1993 budaya adalah
keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri
manusia dengan cara belajar.
Lehman, Himstreet, dan Batty, mengartikan budaya sebagai
sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka
sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah
banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku
dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri.
Maka, budaya yakni merupakan suatu sistem gagasan, hasil
karya ataupun pengalaman dalam kehidupan suatu masyarakat.
Dalam Ensiklopedia Indonesia suku bangsa berarti kelompok
sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti
5
atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa
dan sebagaiannya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik
memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak). Sistem nilai, serta adat
istiadat dan tradisi.
Fredrick Barth sendiri menyatakan bahwa etnis atau suku
bangsa adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama,
asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang
terikat pada sistem nilai budaya.
Menurut Hassan Shadily MA, suku bangsa atau etnis adalah
segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai hubungan
biologis.
Dapat disimpulkan bahwa suku bangsa adalah sekelompok
orang atau masyatakat yang memiliki ikatan akan kebudayaan
karena kedudukan, adat atau asal-usul.
Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur
alur keturunan beradal dari pihak ibu. Kata ini seringkali
disamakan dengan matriarkhat atau matiarkhi. Meskipun pada
dasarnya artinya berbeda. Matrilineal sendiri berasal dari dua
katam yaitu dalam bahasa latin adalah mater yang berarti “ibu”
dan lineal berarti “garis. Jadi matrilinel yakni berarti
mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu.
B. Sejarah Penamaan Kota Padang
6
Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini
Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah
lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan
Padang. Dalam bahasa Minang, kata padang juga dapat bermaksud
pedang. Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya
merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para
perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek).
Tempat permukiman pertama mereka adalah perkampungan di
pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama
Seberang Padang. Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya,
pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatera berada
di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung. Namun, pada awal abad
ke-17 kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan
Kesultanan Aceh.
Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai
kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan
nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar
pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah bendera
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hari jadi kota ini
ditetapkan pada 7 Agustus 1669, yang merupakan hari terjadinya
pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli
VOC. Selama penjajahan Belanda, kota ini menjadi pusat
perdagangan emas, teh, kopi, dan rempah-rempah. Memasuki abad
ke-20, ekspor batu bara dan semen mulai dilakukan melalui
Pelabuhan Teluk Bayur.
7
Saat ini Kota Padang menjadi pusat perekonomian dengan
jumlah pendapatan per kapita tertinggi di Sumatera Barat.
Selain itu, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan
kesehatan di wilayah Sumatera bagian tengah, disebabkan
keberadaan sejumlah perguruan tinggi (termasuk Universitas
Andalas, kampus tertua di luar Pulau Jawa) dan fasilitas
kesehatan yang cukup lengkap. Di kalangan masyarakat
Indonesia, nama kota ini banyak dikenal sebagai sebutan lain
untuk etnis Minangkabau, dan juga digunakan untuk menyebut
masakan khas mereka yang umumnya dikenal sebagai masakan
Padang.
C. Kondisi Geografi dan Demografi Kota Pandang
Kota Padang terletak di pantai barat pulau Sumatera,
dengan luas keseluruhan 694,96 km² atau setara dengan 1,65%
dari luas provinsi Sumatera Barat. Lebih dari 60% luas Kota
Padang (±434,63 km²) merupakan daerah perbukitan yang ditutupi
hutan lindung, sementara selebihnya merupakan daerah efektif
perkotaan. Kota Padang memiliki garis pantai sepanjang 84 km
dan pulau kecil sebanyak 19 buah (di antaranya yaitu Pulau
Sikuai dengan luas 4,4 ha di Kecamatan Bungus Teluk Kabung,
Pulau Toran seluas 25 ha dan Pulau Pisang Gadang di Kecamatan
Padang Selatan). Daerah perbukitan membentang di bagian timur
dan selatan kota. Bukit-bukit yang terkenal di Kota Padang di
antaranya adalah Bukit Lampu, Gunung Padang, Bukit Gado-Gado,
dan Bukit Pegambiran.
8
Secara geografis, Kota Padang termasuk salah satu daerah
rawan gempa bumi. Pada tahun 1833, Residen James du Puy
melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan
8.6–8.9 skala Richter di Padang yang menimbulkan tsunami.
Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli
pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter,
yang juga menimbulkan tsunami di pesisir Kota Padang dan
menyebabkan kerusakan pada kawasan Pantai Air Manis.
Pada 30 September 2009, kota ini kembali dilanda gempa
bumi berkekuatan 7,6 skala Richter, dengan titik pusat gempa
di laut pada 0.84° LS dan 99.65° BT dengan kedalaman 71 km,
yang menyebabkan kehancuran 25% infrastruktur yang ada di kota
ini. Dalam kunjungan serta mengawasi secara langsung proses
evakuasi dan pemulihan karena bencana ini, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono meminta seluruh aparat pemerintah untuk
mengutamakan kegiatan tanggap darurat kemudian dilanjutkan
dengan rehabilitasi serta rekonstruksi. Pada 27 Oktober 2010
presiden kembali ke kota ini untuk meninjau dan memastikan
kegiatan tanggap darurat atas bencana gempa bumi dan tsunami
yang terjadi di Kepulauan Mentawai.
Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat
bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas permukaan
laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan Lubuk Kilangan.
Suhu udaranya cukup tinggi, yaitu antara 23 °C–32 °C pada
siang hari dan 22 °C–28 °C pada malam hari, dengan
kelembabannya berkisar antara 78%–81%. Kota Padang memiliki
9
banyak sungai, yaitu 5 sungai besar dan 16 sungai kecil,
dengan sungai terpanjang yaitu Batang Kandis sepanjang 20 km.
Tingkat curah hujan Kota Padang mencapai rata-rata 405,58 mm
per bulan dengan rata-rata hari hujan 17 hari per bulan.
Tingginya curah hujan membuat kota ini cukup rawan terhadap
banjir. Pada tahun 1980 2/3 kawasan kota ini pernah terendam
banjir karena saluran drainase kota yang bermuara terutama ke
Batang Arau tidak mampu lagi menampung limpahan air tersebut.
Data Iklim Kota Padang
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov DesTah
un
Rata-
rata
terti
nggi
°C
(°F)
30
(86
)
30
(86
)
30
(86
)
30
(86
)
30
(86
)
30
(86
)
29
(85
)
29
(85
)
29
(84
)
29
(84
)
29
(84
)
29
(85
)
29.
5
(85
.3)
Rata-
rata
teren
dah
°C
(°F)
24
(75
)
24
(75
)
24
(75
)
24
(76
)
24
(75
)
23
(74
)
23
(74
)
23
(74
)
23
(74
)
24
(75
)
23
(74
)
24
(75
)
23.
6
(74
.7)
Presi
pitas
i mm
(inci
)
340
(13
.39
)
250
(9.
84)
300
(11
.81
)
370
(14
.57
)
300
(11
.81
)
270
(10
.63
)
270
(10
.63
)
320
(12
.6)
380
(14
.96
)
480
(18
.9)
510
(20
.08
)
460
(18
.11
)
4.2
90
(16
8,9
)
10
1. Tata Ruang
Kota Padang memiliki karakteristik ruang perkotaan yang
menghadap Samudera Hindia dan dikelilingi oleh jajaran
Pegunungan Bukit Barisan. Perkembangan kawasan urban di
Padang bergerak ke arah utara dan timur dari kawasan kota
tua di muara Batang Arau. Penataan wilayah kota saat ini
mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RT/RW) Kota Padang Tahun 2010–2030. Wilayah
barat Padang yang berdekatan dengan pantai merupakan kawasan
jantung perkotaan yang menjadi pusat bisnis, sedangkan
wilayah timur dikembangkan sebagai kawasan permukiman dan
pusat pendidikan. Pemindahan pusat pemerintahan Kota Padang
ke wilayah timur (Air Pacah, Kecamatan Koto Tangah) pada
tahun 2010 adalah salah satu upaya mengurangi konsentrasi
penduduk di kawasan pusat kota.
2. Kependudukan
Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling
banyak di provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan data
kependudukan tahun 2008, diketahui rasio jenis kelamin
99.13, sedangkan jumlah angkatan kerja 344.497 orang dengan
jumlah pengangguran 50.343 orang. Pada tahun 2009 kota ini
bersama dengan kota Makassar, Denpasar, dan Yogyakarta,
ditetapkan oleh Kemendagri sebagai empat kota proyek
percontohan penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis
Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Indonesia.
11
Tahun181
91874 1930 1971 1980 1990 2008 2010 2012
Jumlah
pendud
uk
8.5
0025.
000
52.
054
195.
912
480.
607
631.
263
856.
815
833.
584
871.
534
Sejarah kependudukan Kota Padang
D. Identifikasi Suku Padang
Seperti beberapa suku lainya di Indonesia, suku Padang
merupakan suatu suku besar yang di dalamnya terdapat beberapa
klan, yang oleh masyarakat padang sendiri disebut sebagai
suku. Beberapa suku besar ini diantaranya adalah suku Koto,
Piliang, Bodi, dan Caniago. Dalam perkembanganya, muncul
berbagai suku-suku lain, yang terkadang ciri- ciri nya sudah
sulit dibedakan dengan suku induk, diantaranya adalah:
1. Suku Tanjung
2. Suku Sikumbang
3. Suku Sipisang
4. Suku Bendang
5. Suku Melayu (Minang)
6. Suku Guci
7. Suku Panai
8. Suku Jambak
9. Suku Kutianyie
10. Suku Kampai
11. Suku Payobada
12. Suku Pitopang
13. Suku Mandailiang
14. Suku Mandaliko
15. Suku Sumagek
16. Suku Dalimo
12
17. Suku Simabua
18. Suku Salo
19. Suku Singkuan
Seperti yang telah dijelaskan pada poin-poin sebelumnya,
bahwa suku padang berasal dari daerah sekitar Sumatera Barat,
dan sekarang pun mayoritas dari mereka tinggal disana.
Walaupun, menurut hasil studi yang pernah dilakukan oleh
Mohctar Naim di tahun 1973, pada tahun 1961 terdapat sekitar
32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat,
tetapi pada tahun 1971, jumlah itu meningkat menjadi 44 %.
Melihat data tersebut, maka berarti ada perubahan cukup besar
pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di
Indonesia.
Saat ini diperkirakan jumlah Minang perantauan bisa
mencapai 70 %, bahkan lebih. Hal ini berdasarkan penelitian
acak, yang menyebutkan setiap keluarga di ranah Minang, dua
pertiga saudaranya hidup di perantauan. Kini wanita suku
padang pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan
ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier
dan melanjutkan pendidikan. Selama dalam perantauan ini juga
mereka menggeluti berbagai macam profesi mulai dari bagian
pemerintahan, guru, dokter dan pedagang. Namun, tetap yang
paling dikenal adalah profesi mereka di bidang wirausaha
terutama di bidang kuliner dengan membuka rumah makan Padang.
Beberapa tokoh terkenal dalam sejarah bangsa ini pun merupakan
keturunan suku Padang, diantaranya adalah Mohammad Hatta,
Sutan Syahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Agus Salim,13
Muhammad Natsir, Mr.Assat, Marah Rusli, Abdul Muis, Sutan
Takdir Alisjahbana, Idrus, Hamka, Chairil Anwar, Taufik
Ismail, dan Rosihan Anwar.
Asal-usul suku Padang sendiri merupakan bagian dari
masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi
dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-
2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini
masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai
Kampar hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).
Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke
daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang
terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan.
Secara umum, kebudayaan suku-suku yang hidup di wilayah
sumatera memiliki garis persamaan, dengan budaya melayu yang
memang menyebar dari wilayah Malaya dsk. Begitupun dengan suku
padang. Salah satu contohnya dapat kita lihat dalam penggunaan
bahasanya, bahasa melayu dan bahasa padang memiliki kesamaan
bentuk, yang membedakan hanyalah dari perubahan bunyi pada
beberapa huruf dan kata. Begitupun dengan bahasa Indonesia,
yang membedakanya hanya bunyi huruf vokal “a” dan “e” pada
bahasa Indonesia diganti menjadi bunyi “o” pada bahasa Padang.
E. Sistem Kemasyarakatan
Di daerah Minangkabau terdapat tiga macam stratifikasi
sosial, dalam beberapa masyarakat keadaan ini boleh dikatakan
14
meliputi seluruh kehidupan masyarakat, sebagaimana terdapat
pada masyarakt di padang dan pariaman. Pada masyarakat ini
golongan bangsawan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
masyarakat. Seorang laki-laki bangsawan mendapat layanan yang
istimewa, kalau mereka menikah tidak perlu memberi balanja
istrinya. Bahkan untuk menikahi seorang gadis, ia akan
mendapat sejumlah uang yang besar sebagai uang jemputan.
Menurut konsepsi orang minangkabau, perbedaan lapisan
sosial dinyatakan dengan istilah-istilah sebagai berikut:
1. Urang asa yaitu orang yang dianggap bangsawan kedudukannya
paling tinggi
2. Kemenakan tali pariuk yaitu keturunan langsung urang asa
3. Kemenankan tali budi yaitu orang yang dating ke wilaya urang
asa, tetapi karena kedudukan mereka tinggi dan mereka
mempunyai tanah yang luas sehingga dianggap sederajat dengan
keluarga-keluarga urang asa.
4. Kemenakan tali ameh yaitu pendatang yang menjalin hubungan
dengan urang asa melalui perkawinan
5. Kemenakan bawah lutuik yaitu orang yang hidupnya menghamba
kepada urang asa
Namun demikian pelapisan sosial ini semakin hilang dan
berubah menjadi bentuk lain. Sistem kebangsawanan dalam
masyarakat ini didasarkan pada penguasaan tanah, dan tanah itu
tidak digunakan untuk menghasilkan tanamanyang dapat dijual
sehingga mendatangkan hasil yang banyak, Sehingga penghasilan
yang didapat dari tanah tidak bertambah. Hal yang terjadi15
dengn orang-orang dari lapisan lain sebaliknya. Mereka mencari
cara lain untuk mendapatkan hasil yaitu dengan jalan berniaga.
Ternyata mereka lebih cepat mendapat kemajuan, dengan kekayaan
yang mereka dapat mereka dapat naik derajat dalam masyarakat.
Secara adat, sistem pemerintahan di minangkabau dibedakan
dalam dua sistem:
1. Bodi-Caniago (sistem demokrasi) : musyawarah memegang peran
penting
2. Koto Piliang (otokrasi) : penghulu tetap pdari sebuah
keluarga tertentu dan tidak dipilih.
Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut
pola matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari
mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal.
Terdapat kontradiksi iantara pola matrilineal dengan pola
pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan
orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang,
dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta
pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan
berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah
merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh
berdasarkan hukum Islam.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Adat_Minangkabau)
F. Sistem Kekerabatan
16
Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau
diperhitungkan menurut garis matrilineal. Seorang termasuk
keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah
berada di luar keluarga anak dan istrinya. Anggota dari sebuah
keluarga Minangkabau dapat diperhitungkan sebagai berikut
( dengan memperhitungkan dua generasi di atas ego laki-laki
dan satu generasi dibawahnya. Seorang ayah dalam keluarga
Minangkabau termasuk keluarga lain dari keluarga istri dan
anaknya, sama halnya dengan seorang anak dari seorang laki-
laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya. Karena itu,
keluarga batih menjadi kabur dalam sistem kekeluargaan
Minangkabau. Keluarga batih tidak merupakan kesatuan yang
mutlak, meskipun tidak dapat di bantah bahwa keluarga batih
memegang peranan penting juga dalam pendidikan dan masa depan
anak-anak mereka, dan tidak hanya berfungsi untuk pengembangan
keturunan. Kesatuan keluarga yang terkecil atas dasar prinsip
terurai diatas adalah paruik ( perut ). Dalam sebagian
masyarakat Minangkabau ada kesatuan kampung yang memisahkan
paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari ketiga
macam kesatuan kekerabatan ini, paruik yang betul-betul dapat
dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat
genealogis. Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang
laki-laki dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai
niniek mamak bagi keluarga itu. Istilah mamak itu berarti
saudara laki-laki ibu. Tanggung jawab untuk memperhatikan
kepentingan sebuah keluarga memang terletak pada pundak
17
seorang atau beberapa orang mamak. Hal itu tidak berarti bahwa
generasi yang lebih tua dari mereka dibebaskan dari kewajiban
itu. Untuk memasukkan mereka digunakan kata niniek mamak yang
kadang kala dipendekkan menjadi mamak.
Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen
matrilineal.dan jodoh harus dipilih di luar suku. Di beberapa
daerah seorang hanya terlarang kawin dalam kampungnya sendiri
sedangkan di daerah-daerah lain orang harus kawin di luar
sukunya sendiri. Secara historis mungkin dapat dikatakan bahwa
dulu seorang selalu harus kawin keluar dari sukunya sendiri.
Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau sebenarnya tidak
mengenal mas kawin. Tidaklah menjadi sistem pengantin laki-
laki memyerahkan suatu pemberian kepada pengantin perempuan
sebagai suatu hal yang di wajibkannya oleh agama islam. Di
beberapa daerah keluarga pengantin perempuan memberi kepada
keluarga pengantin laki-laki sejumlah uang atau barang sebagai
alat, untuk menjemputnya supaya suka mengawini perempuan tadi.
Ini biasanya disebut uang jemputan tetapi yang penting dalam
perkawinan dalam masyarakat Minangkabau ialah pertukaran benda
lambang antara dua keluarga yang bersangkutan, berupa cincin
atau keris. Sesudah upacara perkawinan yang pertama dilakukan
di rumah pengantin perempuan, si suami menumpang tinggal di
rumah istrinya. Pada masa dulunya ia datang berkunjung ke
rumah istrinya pada waktu malam saja, yaitu selagi ia tetap
tinggal dalam desanya sendiri. Kalau terjadi perceraian si
18
suami harus meninggalkan rumah istrinya dan anak-anak dari
perkawinan itu akan tinggal bersama ibunya.
Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada larangan seseorang
untuk mempunyai lebih dari satu istri. Orang-orang dengan
kedudukan sosial tertentu, memang kadang-kadang suka melakukan
perkawinan poligini, yang menjadi sasaran serangan golongan
muda. Diatas telah disebutkan adanya kelompok kekerabatan
sebagai paruik, kampung dan suku. Suku dan kampung dapat
dianggap sebagai kelompok yang formel, suku dipimpin oleh
seorang penghulu suku sedangkan kampung oleh seorang panghulu
andiko atau datuek kampung. Karena suku dan kampung dalam
beberapa hal juga berhubungan dengan sistem kemasyarakatan.
Dalam pesta-pesta perkawinan dan lain-lain peristiwa keluarga
dapat kita lihat adanya beberapa kelompok kekerabatan yang
saling bersangkutan. Laki-laki yang mengawini seorang
perempuan dari satu paruik atau kampung di sebut urang
sumando. Kaum kerabat laki-laki dari si perempuan di sebut
niniek mamak. Kaum kerabat perempuan dari penganten laki-laki
disebut pasumandan. Bagi seorang anak, kaum kerabat ayahnya
adalah bako yang di beberapa daerah disebut induk bako.
Seorang anak dari anggota laki-laki dari paruiknya sendiri
disebut anak pisang. Kelompok-kelompok ini penting, karena
pula peristiwa-peristiwa keluarga ini anak pisang harus
menyumbangkan tenanganya bila ada sesuatu pesta atau kematian
dalam keluarga bakonya. Seorang istri harus bekerja di rumah
pasumandannya kalau di sana ada suatu pesta dan sebagainya.
19
G. Eksistensi Pola Kemasyarakat Suku Padang
Menurut
https://icssis.files.wordpress.com/2012/05/09102012-71.pdf
telah banyak terjadi perubahan dalam sistem istilah
kekerabatan Minangkabau. Perubahan terjadi untuk sebagian
istilah kekerabatan misalnya sebutan atau sapaan untuk ayah
dan ibu sudah mengalami beberapa kali perubahan dari abak,
amai, menjadi apak, amak menjadi ayah, ibu,dan kemudian
berubah menjadi papa mama dan terakhir papi dan mami.
Perubahan tersebut memang tidak terjadi untuk semua keluarga
masih ada dalam masyarakat yang memakai istilah kekerabatan
apak, amak, sedangkan abak dan amai sudah hampir hilang,
kemudian dalam masyarakat ada yang memakai istilah ayah, ibu,
atau papa mama. Pemakaian istilah kekerabatan yang lebih baru
papa dan mama tidak hanya digunakan oleh kelas terntentu atau
yang lebih berada tetapi juga masyarakat biasa. Hal ini
menandakan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat
egaliter yang bisa cepat menerima sesuatu yang datang dari
luar. Walaupun kadang-kadang ada halangan psikologis terhadap
penggunaan istilah tersebut yang datang dari dalam masyarakat
itu sendiri. Bagi sebagian masyarakat penggunaan istilah mama
dan papa kurang cocok untuk diterapkan di desa, istilah
tersebut cocok untuk orang-orang berada atau kaya. Menurut
mereka kurang pantas orang yang pekerjaan di sawah atau di
ladang anak-anak mereka memanggil mereka dengan papa dan mama.
20
Hal ini kemudian melahirkan anekdot-anekdot yang lucu yang
menjadi bahan percakapan di warung, nanti kalau ada yang
bertanya pada anaknya, kemana mamanya atau papanya, anaknya
misalnya menjawab mama dan papa ke sawah, hal itu bagi
dianggap kurang cocok atau kurang pantas. Anekdot lain
mengatakan kalau anaknya memanggil papa uang jajan untuk anak
itu lebih besar, contoh kalau anak-anak menyebut ayahnya
dengan istilah bapak uang jajannya cukup Rp 1000,- tetapi
kalau anak-anak memanggil ayahnya dengan papa tidak bisa uang
jajannya Rp 1000,- tetapi harus Rp 5000,-. Selain dinamika
dalam istilah kekerabatan untuk ayah dan ibu perubahan juga
terjadi untuk sebutan atau panggilan untuk saudara laki-laki
ibu yaitu dari mamak menjadi om. Perubahan tersebut sama
dengan sebutan untuk panggilan mama dan papa tidak semua
keluarga terjadi perubahan istilah ini.
Berkaitan dengan perubahan panggilan dari mamak menjadi om
yang terjadi kelihatannya adalah seiring dengan perubahan
peran mamak itu sendiri. Mamak lebih terikat kepada peran
tradisional sebagai pembimbing kemenakan dan juga pembimbing
keberlangsungan adat kemudian sekarang perannya semakin
berkurang. Istilah Om berasal dari bahasa Belanda kemudian
diadopsi ke bahasa Indonesia yang kemudian juga mempengaruhi
istilah kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau. Om dalam
bahasa Indonesia lebih ditujukan pada saudara laki-laki ibu
atau saudara laki-laki ayah ayah, tetapi dalam masyarakat
Minangkabau istilah om cendrung untuk mengganti istilah mamak
21
saudara laki-laki ibu, om tidak lazim digunakan untuk saudara
laki-laki ayah. Perubahan peran saudara laki-laki ibu
berhubungan dengan perubahan dari istilah Mamak ke istilah om.
Perubahan penggunaan istilah ini bisa diartikan indikasi
perubahan yang terjadi dalam sistem kekerabatan itu sendiri.
Semakin melemahnya keluarga luas dan menguatnya keluarga inti.
Perubahan dari istilah mamak menjadi om mungkin menandakan
perubahan dari peran mamak tradisional ke peran saudara laki-
laki ibu yang tidak terlalu terikat dengan nilai-nilai
tradisional lagi. Perubahan juga bisa dikaitkan analisa Levi
Strauss (dalam Koentjaraningrat, 1986) mengenai sistem
kekerabatan. Levis Strauss menjelaskan adanya hubungan positif
dan negatif dalam hubungan kekerabatan. Hubungan positif
adalah hubungan yang akrab, mesra dan terbuka sedang hubungan
yang negatif adalah hubungan saling menghormati, segan
menyegani dan bersifat kaku. Levi Straus selalu menempatkan
hubungan ini dalam bentuk oposisi misalnya kalau seorang
perempuan mempunyai hubungan positif dengan suaminya hubungan
dengan saudara laki-lakinya negatif, demikian juga sebalik.
Kembali pada hubungan mamak dan kemenakan dalam masyarakat
Minangkabau hubungan tersebut lebih bersifat negatif karena
mamak dalam masyarakat Minangkabau sangat disegani ataukadang-
kadang ditakuti karena tugasnya adalah mengotrol perilaku
kemenakannya. Perubahan istilah kekerabatan dari mamak ke om
juga bisa dilihat dalam konteks ini hubungan yang dulu negatif
antara mamak dengan kemenakan menjadi hubungan yang positif.
22
Hubungan mamak kemenakan tidak lagi kaku hubungan tersebut
telah berubah menjadi hubungan yang akrab dan terbuka. Menurut
salah seorang mamak di Sumpur kelihatannya seperti itu, Azwar
seorang laki-laki yang bekerja sebagai PNS di kota Padang dan
sekali-sekali pulang kampung menceritakan hal seperti itu. Dia
memiliki anak-anak dari saudara perempuannya yang masih
tinggal di kampung dia dipanggil om oleh kemenakannya.
Bagi dia tidak masalah dan panggilan om tersebut membuat
dia merasa lebih dekat dengan kemenakannnya. Hubungan dengan
kemenakannya lebih bersifat bersahabat mesra dan bersenda
gurau. Berbeda dengan hubungan mamak kemenakan masa lampau
yang lebih bersifat formal dan kaku. Dia sering bercanda kalau
bertemu dengan kemenakannya saat pulang kampung. Ada perbedaan
sedikit dalam istilah kekerabatan antara darek dan rantau di
nagari Sungai Asam yang mewakili daerah rantau panggilan untuk
kakak laki-laki adalah ajo. Sedangkan dalam masyarakat
Minangka bau lainnya panggilan untuk kakak laki-laki adalah
uda. Demikian juga dengan panggilan untuk kakak perempuan di
Sungai Asam panggilannya uniang dan di Sumpur panggilannya
uni. Perubahan dalam istilah kekerabatan ini karena pengaruh
kota istilah untuk ajo atau uda sebagian anak-anak memakai
istilah abang untuk kakak laki-lakinya. Sedangkan untuk
istilah uniang dan uni sebagian anak menggantikannya dengan
kakak. Perubahan ini kelihatannya dipengaruhi oleh televisi
dan banyaknya orang yang pulang pergi dari rantau.
23
Namun ditemukan lagi data yang berbeda dengan data di
atas, di dalam artikel
http://multikulturalui.files.wordpress.com/2013/05/prosiding-
simg-ui-2012-jilid-2-20.pdf dituliskan adat atau tata cara
dalam sistem matrilineal yang di anut masyarakat Minangkabau
ini, tidak akan atau bahkan sulit untuk hilang sepenuhnya.
Karena hingga saat ini, masih banyak upaya-upaya yang
dilakukan oleh masyarakatnya untuk mempertahankan identitas
mereka tersebut. Yang juga disebutkan dalam pepatah Minang,
adat nan tak lekang dek paneh, tak lapuak dek hujan. Apapun
yang akan terjadi, adat tidak akan pernah lekang oleh segala
macam problematika. Termasuk perubahan zaman yang kini dikenal
dengan istilah era globalisasi, yang dinyatakan oleh
masayarakat Minang dalam petatah petitihnya yang berbunyi,
tapian bisa baraliah, duduak buliah baranjak, asa dilapiak nan
sahalai, tagak buliah bapaliang, asa ditanah nan sabingkah.
(Chalid, 2004) perubahan pasti akan terjadi, perkembangan
zaman tidak akan mungkin untuk dihindari, oleh karena itu kita
sebagai makhluk berbudaya hendaknya tetap melestarikan adat
istiadat yang ada agar tidak terkikis oleh perkembangan zaman.
Masyarakat Minangkabau juga memiliki suatu keyakinan yang
tertuang didalam pepatah adat mereka, dima bumi dipijak,
disitu langik dijunjuang, secara arti dan makna sama dengan
pepatah Indonesia dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Bahwa, dimanapun kita berada, kita harus menyesuaikan diri
dengan kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Begitu juga
24
masyarakat Minangkabau, yang terkenal dengan tradisi
merantaunya. Meskipun demikian, namun ada pepatah lain yang
diyakini masyarakat Minangkabau agar mereka tetap menjaga
identitas mereka sebagai masyarakat Minangkabau, meskipun
mereka telah merantau ke luar dari daerahnya sendiri. Namun
tetap, akan ada aturan-aturan yang harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman, maupun aturan yang berlaku secara umum
maupun global.
Adat istiadat dalam masyarakat atau yang lebih dikenal
sebagai sistem Matrilineal, tidak akan pernah benar-benar
hilang sebagai identitas budaya mereka. Namun yang akan
mereka lakukan hanyalah penyesuaian-penyesuian dengan segala
elemen yang memungkinkan terjadinya peleburan, seperti
bertolak belakang dengan landasan agama maupun perkembangan
era globalisasi yang mulai memaksa adat dan budaya daerah
melakukan penyesuaian terhadapnya. Sebagai generasi penerus
budaya, beberapa dari generasi muda kini tidak akan tinggal
diam, ketika adat istiadat mereka mulai terkikis. Mereka akan
melakukan upaya-upaya untuk melestarikannya. Sekalipun mereka
harus melakukan penyesuaian-penyesuaian pada beberapa elemen.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Lehman, Himstreet, dan Batty, mengartikan budaya sebagai
sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka
sendiri. Pengalaman hidup masyarakat tentu saja sangatlah
banyak dan variatif, termasuk di dalamnya bagaimana perilaku
dan keyakinan atau kepercayaan masyarakat itu sendiri.
2. Tidak ada data yang pasti siapa yang memberi nama kota ini
Padang. Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah
lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan
Padang.
Sejarah Kota Padang tidak terlepas dari peranannya sebagai
kawasan rantau Minangkabau, yang berawal dari perkampungan
nelayan di muara Batang Arau lalu berkembang menjadi bandar
pelabuhan yang ramai setelah masuknya Belanda di bawah
bendera Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
3. Kota Padang adalah kota terbesar di pantai barat Pulau
Sumatera sekaligus ibu kota dari provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Kota ini memiliki wilayah seluas 694,96 km²
26
dengan kondisi geografi berbatasan dengan laut namun
memiliki daerah perbukitan yang ketinggiannya mencapai 1.853
mdpl. Ketinggian di wilayah daratan Kota Padang sangat
bervariasi, yaitu antara 0 m sampai 1.853 m di atas
permukaan laut dengan daerah tertinggi adalah Kecamatan
Lubuk Kilangan.
Kota Padang merupakan kota dengan jumlah penduduk paling
banyak di provinsi Sumatera Barat
4. Beberapa suku besar yang berada di Padang diantaranya
adalah suku Koto, Piliang, Bodi, dan Caniago. Asal-usul suku
Padang sendiri merupakan bagian dari masyarakat Deutro
Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan
China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun
yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari
arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar
hingga tiba di dataran tinggi Luhak nan Tigo (darek).
Kemudian dari Luhak nan Tigo inilah suku Minang menyebar ke
daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera,
yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di
selatan.
5. Sistem kemasyarakatan yang dipakai oleh Suku Padang,
menurut konsepsi orang minangkabau, perbedaan lapisan sosial
dinyatakan dengan istilah-istilah sebagai berikut:
a. Urang asa yaitu orang yang dianggap bangsawan
kedudukannya paling tinggi
27
b. Kemenakan tali pariuk yaitu keturunan langsung urang asa
c. Kemenankan tali budi yaitu orang yang dating ke wilaya
urang asa, tetapi karena kedudukan mereka tinggi dan
mereka mempunyai tanah yang luas sehingga dianggap
sederajat dengan keluarga-keluarga urang asa.
d. Kemenakan tali ameh yaitu pendatang yang menjalin
hubungan dengan urang asa melalui perkawinan
e. Kemenakan bawah lutuik yaitu orang yang hidupnya
menghamba kepada urang asa
6. Sistem kekerabatan yang dipakai oleh Suku Padang yakni di
lihat dari garis keturunan ibu atau dikenal dengan garis
matrilineal. Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai
suatu klen matrilineal.dan jodoh harus dipilih di luar suku.
7. Eksistensi dari pola kemasyarakatan dan kekerabatan Suku
Padang saat ini memang terjadi beberapa perubahan dalam
sistem istilah kekerabatan Minangkabau, hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat Minangkabatu merupakan masyarakat yang
egaliter yang bisa cepat menerima sesuatu yang datang dari
luar. Meskipun begitu, adat atau tata cara dalam sistem
matrilineal yang di anut masyarakat Minangkabau ini, tidak
akan atau bahkan sulit untuk hilang sepenuhnya. Karena
hingga saat ini, masih banyak upaya-upaya yang dilakukan
oleh masyarakatnya untuk mempertahankan identitas mereka
tersebut
28
DAFTAR PUSTAKA
Sumber : Ningrat, Kountjara. (2004). Manusia dan Kebudayaan
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
NN. (2013). Adat Minangkabau. [Online]. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Adat_Minangkabau
NN. (2013). Adat Minangkabau. [Online]. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Padang
Sukma, Mairda.(2012). Pengertian Patrilinel, Matrilineal dan Bilateral.[Online]. Tersedia:http://chachanomarisu.blogspot.com/2012/11/pengertian-patrilinel-matrilineal-dan.html
Ahira, Anne. ( ). Pengertian Suku Bangsa: Berbeda dalam Segala.
[Online]. Tersedia: http://www.anneahira.com/pengertian-suku-
bangsa.htm
Anggraeni, Rosyana. (2012). Pengertian Budaya Menurut Para Ahli.
[Online]. Tersedia :
http://rosyanaanggraeni.blogspot.com/2012/11/pengertian-
budaya-menurut-para-ahli.html
29
Top Related